Masa Muram
Sepotong Sejarah
Tahun 1580-an adalah salah satu masa pa ling
muram dalam sejarah Nusantara. Ke ra ton
Majapahit sudah puluhan tahun run tuh
nya ris tanpa bekas. Tapi, sisa-sisa pasukan nya masih
berkeliaran di gunung-gunung, hutan, per kam pung -
an, dan di kotaraja, kadang dengan memba wa-bawa
nama Brawijaya meskipun pakaiannya koyak moyak.
Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa Dwipa,
runtuh dalam usia hanya 90 tahun dan kini muncul
Kesultanan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir,
yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Tapi, tanda-tanda
keruntuhan Pajang mulai kelihatan dengan ambisi
Danang Sutawijaya, kerabat Hadiwijaya sendiri, untuk menyerang Pajang dan mendirikan kerajaan sen-
diri.
Di belahan barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda,
salah satu kerajaan di Nusantara yang berusia paling
tua, sudah pula sirna ning bhumi. Kerajaan Sunda—
orang-orang juga menyebutnya Pajajaran—akhirnya
teriris-iris menjadi Kesultanan Banten, Cirebon, Su-
me dang Larang, dan sejumlah daerah kecil yang ma-
sih merasa berhak menjadi raja karena merasa ketu-
runan Siliwangi.
Sementara itu, raja-raja kecil bermunculan di pan-
tai utara, pantai selatan, hingga pantai timur Jawa.
Pendeknya, Jawa Dwipa menjadi semacam makan-
an yang terus dicacah-cacah oleh para penguasa yang
merasa dirinya berhak menjadi raja.
Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau kemu-
dian banyak wilayah yang lepas dari kerajaan mana
pun, menjadi tak bertuan, dan yang berkuasa kemu-
dian adalah para jagoan yang hanya mengandalkan
kekuat an wadak dan kesaktian. Belum lagi ancaman
dari orang-orang negeri jauh bertubuh tinggi, berku-
lit pu cat, dan berhidung mancung yang siap men-
cengkeram.
Rakyat kebanyakan hanya menjadi perasan tidak
hanya oleh para penguasa, tetapi juga oleh para pen
jahat, perampok, begal, dan jagoan golongan hitam
lainnya. Nyaris tak ada yang bisa menolong mereka
kecuali ketika muncul satu-dua tokoh-tokoh putih
yang disebut sebagai pendekar.
Tiga abad kemudian, di sebuah kabuyutan berna-
ma Astana Luhur, di sisi timur bekas wilayah Kerajaan
Sunda, ditemukan banyak naskah yang ditulis pada
helai-helai daun lontar, menggunakan aksara Sunda
kuna. Lembar-lembar naskah itu sudah nyaris rusak
dimakan zaman, tetapi sebagian masih bisa dibaca.
Salah satu naskah itu bertutur tentang seorang tokoh
yang misterius asal usulnya, tidak diketahui nama
aslinya, seorang pendekar hebat yang entah mengapa
belakangan hilang dari catatan sejarah.
Berdasarkan naskah inilah terjalin sebuah kisah
tentang sang pendekar, seorang pahlawan pembela
rakyat yang mewarisi dua ilmu yang selama ini diang-
gap saling berlawanan: kesaktian Prabu Siliwangi dan
kedigdayaan Gajah Mada ....
1
.Terkucil
di Lembah Baribis
Pondok kayu itu berdiri hanya beberapa pu-
luh langkah dari Ci Gunung, sebuah su-
ngai berbatu-batu besar dan membelah
Gu nung Baribis, dengan jurang-jurangnya yang me-
nga nga. Pondok itu terkesan dibuat seadanya, asal
cu kup untuk berteduh dari hujan dan angin yang se-
lalu menggigit. Tapi, tiang penyangganya terbuat dari
kayu besi. Keras dan kukuh. Dindingnya berupa ge-
dek dari bambu hitam. Atapnya terbuat dari rumbia
dan dibuat berbentuk limas.
Pondok itu memang terkesan sengaja dibangun
di tempat terpencil. Kampung terdekat harus ditem
puh sepertiga hari berjalan kaki. Di samping berdiri
di dekat tebing curam, hutan yang ditumbuhi berba-
gai pohon yang rapat dan hijau seakan membungkus
bangunan itu dari pandangan. Di tambah pula, pagar
kayu yang rapat setinggi jangkauan tangan mengha-
langi pemandangan di dalamnya.
Gunung Baribis sendiri adalah bebukitan berhu-
tan rapat yang jarang sekali diinjak manusia. Hari-
mau, babi hutan, dan berbagai jenis kera masih men-
jadi penguasa utama. Hanya orang dengan tekad sa-
ngat bulatlah yang berani menembus hutan di bukit
itu, lebih-lebih menyusuri Sungai Ci Gunung, sungai
yang berdinding ngarai terjal dan memiliki jeram-
jeram yang mematikan.
%
PAGI masih menyisakan titik-titik embun terakhir
di dedaunan. Matahari menerobos dedaunan lebat
akasia dan garis-garis cahayanya rebah memanjang di
halaman depan pondok kayu itu. Luas halaman itu
kira-kira sepuluh tumbak.
Tiga bocah belasan tahun berdiri berjajar mengha-
dapi seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun dengan
wajah yang keras.
Wajah ketiga bocah itu berkilat oleh keringat. Baju
mereka juga basah dan kotor. Dada mereka tampak
mengembang dan mengempis dengan cepat.
“Ulangi jurus yang terakhir,” kata pria berwajah
keras itu. Matanya memandang tajam ketiga bocah di
hadapannya satu per satu.
Ketiga bocah itu sama-sama mengeluarkan keluh-
an melalui bibir dan hidung mereka.
Bocah paling kanan memiliki wajah yang tampan,
dengan bibir tipis yang selalu tampak menyeringai.
Tubuhnya tinggi langsing, lebih tinggi daripada dua
bocah lainnya.
Bocah paling kanan kira-kira setengah jengkal le-
bih pendek dan bertubuh kekar, nyaris bulat, dengan
kulit lebih gelap.
Sementara itu, bocah di tengah memiliki rambut
panjang yang diikat pita ungu serta berwajah lembut
dengan mata yang cemerlang dan bibir merah. Dia
memang bocah perempuan yang mulai menunjuk-
kan garis-garis kecantikan.
Umur mereka sebaya, kira-kira empat belas atau
lima belas tahun.
“Kalian jangan cengeng. Nama besar leluhur
agung kita berada di pundak kalian.”
Lelaki itu memandang ketiga bocah di depannya
satu per satu. Ia lelaki dengan kulit cokelat karena
ma tahari. Sehelai ikat kepala menutupi sebagian
ram butnya yang mulai bergaris-garis putih. Wajah-
nya terkesan menyimpan seribu pengalaman pahit
se panjang perjalanan hidupnya. Garis lurus menghi-
tam melin tang di pipi kirinya, luka yang rasanya be-
lum benar-benar sembuh meskipun sudah bertahun-
tahun .
“Ayo, Lingga, jangan menganggap enteng pelajar-
an kali ini.”
Bocah paling kanan menangkupkan telapaknya
di depan dada, sedikit membungkuk, kemudian ber-
kata dengan tegas, “Baik, Paman Jayeng.” Masih ter-
sisa nada keluhan dalam suara Lingga Prawata, nama
lengkap si bocah.
Lelaki yang dipanggil Jayeng itu, lengkapnya Ki
Jayeng Segara, menghela napas dalam-dalam, men-
coba meredam kegeramannya.
Sekarang ia memang sudah kehilangan nyaris se-
ga lanya. Tapi, beberapa tahun lalu, ia masih seorang
senapatiyuda. Tentu saja lengkapnya Senapatiyuda Ja-
yeng Segara, salah satu kesatria dari Kadipaten Jipang
Panolan, yang bertanggung jawab atas keselamatan
wilayah itu. Posisinya hanya dua lapis di bawah Arya
Penangsang, pimpinan tertinggi angkatan perang Ji-
pang.
Sebagai salah seorang senapatiyuda, Jayeng tentu
saja memiliki ilmu kanuragan pada tataran tinggi. Ia
memimpin ratusan laskar Jipang yang semuanya ter-
latih. Senjata andalannya, seperti umumnya kesatria
Jipang, adalah sebilah keris tanpa luk dengan bilah
yang hitam legam—mirip keris Kiai Setan Kober mi-
lik Arya Penangsang sendiri. Sampai sekarang, gagang
keris pusakanya selalu mencuat di perut, ditempa
oleh keadaan untuk selalu bersiaga menghadapi siapa
pun yang berniat menyerang.
“Kalian juga, Wulan dan Watu, berlatihlah dengan
penuh semangat. Kalian tak akan bisa menjadi apa-
apa kalau melakukannya hanya setengah-setengah.”
Kedua bocah yang dipanggil Wulan dan Watu,
leng kapnya Dyah Wulankencana dan Watu Ageng,
mem bungkuk dengan hormat.
“Baik, Paman Jayeng,” ucap keduanya berba-
rengan.
“Mulai!”
Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu
Ageng sama-sama berdiri tegak dengan kaki selebar
pundak, lalu sedikit menekuk kaki seraya mengang-
kat kedua tangan, mula-mula hingga di sisi pinggang,
kemudian merentang melebar seperti sayap-sayap bu -
rung. Kaki kiri melangkah menyerong, kemudian ka-
ki kanan menyusul, dengan jemari tangan yang me-
nge ras seakan-akan cakar rajawali yang siap menceng-
keram dan mencabik-cabik.
Itulah salah satu dasar gerak awal jurus ilmu ga-
gak rimang, ilmu kesaktian andalan laskar Jipang Pa-
nolan , ciptaan Arya Penangsang sendiri. Pada taraf
pun caknya, seperti yang dimiliki Arya Penangsang,
ilmu ini berpadu dengan ilmu kebal sang adipati, yang
membuatnya disegani siapa pun lawan yang ia hadapi.
Mata Ki Jayeng Segara tak pernah sedetik pun
lepas dari setiap gerakan ketiga bocah itu. Ilmu gagak
rimang bukanlah ilmu sembarangan. Kesalahan gerak
atau keliru bernapas sedikit saja, kedahsyatan ilmu-
nya tak akan keluar.
Memang, meskipun ia seorang senapatiyuda, Ki
Jayeng Segara merasa ilmu gagak rimang yang ia mi-
liki masih satu-dua lapis di bawah ilmu Arya Penang-
sang yang sulit ditakar kedalamannya.
Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara adalah le-
laki yang memiliki semangat baja dan otak lumayan
cerdas sehingga ia tak pernah berhenti mengasah sen-
diri ilmu gagak rimang-nya. Kalau saja ada kesempat-
an, ingin rasanya menjajal ilmu gagak rimang Arya
Penangsang. Begitu pikiran usilnya, meskipun selalu
kemudian ia meralat pikirannya.
Setelah Arya Penangsang percaya oleh cara licik
yang diterapkan Danang Sutawijaya, atas gagasan Jaka
Tingkir sendiri, laskar Jipang Panolan menjadi bu ron
pasukan Pajang. Tidak hanya keluarga Arya Pe nang-
sang. Bahkan, keluarga pasukan inti Jipang Pa no lan
dikejar-kejar ke mana pun mereka melarikan diri.
Kenyataan itulah yang selalu membuat mata Ki
Jayeng Segara berkaca-kaca. Sekaligus, di dadanya
ber golak dendam yang sulit diredam.
Sisa-sisa laskar Jipang yang tertangkap hampir bisa
dipastikan nasibnya: hukuman penggal. Mereka yang
lolos tercerai-berai ke berbagai tujuan dan arah mata
angin. Ki Jayeng Segara tidak tahu berapa banyak sisa
laskar Jipang yang selamat. Dia sendiri bersama be-
lasan orang lain melarikan diri ke arah matahari teng-
gelam. Mereka tersaruk-saruk mendaki gunung ber-
hutan-hutan dan menembus hutan-hutan pegunung-
an, lembah dan ngarai, menyeberang sungai yang
membentang, meninggalkan wilayah Pajang. Se telah
berbulan-bulan, mereka akhirnya tiba di sebu ah lem-
bah di kaki Gunung Baribis, melewati batas sisi barat
bekas Kerajaan Majapahit. Mereka memba ngun ru-
mah-rumah sederhana di tepi Ci Gunung.
Sendirian, Ki Jayeng Segara kemudian menembus
hutan Gunung Baribis, membangun pondok kayu di
tempat terpencil. Setiap saat ia melakukan mesu diri,
menempa ilmu miliknya, kemudian mengambil tiga
bocah untuk dijadikan muridnya. Ketiganya adalah
anak-anak para prajurit Jipang yang gugur ketika me-
lawan pasukan Pajang. Ia berharap murid-muridnya
bisa melestarikan ilmu kebanggaan Arya Penangsang
supaya tidak musnah dimakan zaman.
Akan halnya Sungai Ci Gunung, sungai ini meng-
alir ke timur dan akan bermuara di Ci Pamali, sungai
yang pernah menjadi batas antara Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Majapahit.
%
KETIKA ketiga bocah itu tengah memperagakan ge-
rakan-gerakan gagak rimang, tiba-tiba wajah Ki Ja-
yeng Segara menegang. Matanya memandang ta jam
ke arah pohon kiara di luar pagar. Telinga dan indra-
nya yang peka merasakan ada sesuatu yang tidak wa-
jar di pohon berdaun rimbun itu.
Dipungutnya sebutir batu kecil. Melalui tenaga
lontar yang terbentuk dari jari tengah yang dijentik-
kan dengan tumpuan ibu jari, batu itu pun meluncur
nyaris tak kasat mata, menimbulkan desis ketika me-
nyibak angin, kemudian terdengar bunyi benturan
nyaring ketika batu itu mengenai sesuatu.
Hanya dalam waktu sepersekian detik kemudian,
terdengar bunyi gedebuk benda jatuh ke tanah.
Gerakan yang diperagakan ketiga bocah itu lang-
sung terhenti.
Tanpa menunggu waktu, Ki Jayeng Segara melesat
dan melalui tumpuan ujung kaki kirinya, ia melen-
ting tinggi dan kedua kakinya hinggap di ujung pagar,
kemudian menjadikan ujung pagar sebagai tumpuan
berikutnya guna melenting keluar dari pagar pondok
mereka.
Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu
Ageng bergegas menuju pintu pagar, lalu berlarian
memburu ke arah Ki Jayeng Segara.
Di hadapan mereka, seorang bocah lelaki tengah
meringis sambil memegangi pantatnya yang sakit.
2.Bocah Kumal
Misterius
BOCAH itu berusia kira-kira sebaya dengan
Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah
Wu lankencana. Kulitnya cokelat cende rung
ungu, sekilas seperti warna bambu wulung. Rambut-
nya tergerai hingga sepundak dan hanya diikat de-
ngan bandana hitam yang sudah pudar warnanya.
Ce lananya pangsi dan bajunya tanpa lengan, dengan
war na kelabu yang sudah pudar dan koyak di bebera-
pa tempat.
“Siapa kamu?” tanya Lingga Prawata dengan wajah geram.
Bocah itu tidak menjawab. Ia masih terduduk me-
nyeringai sambil mengusap-usap pantatnya.
Ia merasa bersyukur hanya pantatnya yang sakit,
itu pun karena jatuh ke tanah. Tadi ia tidak menyadari
adanya sebutir batu yang menyambitnya dan nyaris
mengenai keningnya. Kalau saja ia tidak membung-
kuk secara tiba-tiba, pasti dahinya sudah berlubang
dan hidupnya berakhir begitu saja.
Batu itu mengenai batang pohon, melesak hingga
menembus kulitnya entah seberapa dalam. Bisa diba-
yangkan betapa kuat tenaga yang melontarkan sebu-
tir batu itu.
Si bocah sendiri heran bagaimana ia bisa membung-
kuk pada saat yang tepat. Tapi, karena terkejut, posisi
duduknya di dahan pohon menjadi goyah dan ia tidak
bisa menjaga keseimbangan dan mela yang jatuh.
Ia berusaha tersenyum menyadari kebodohannya.
Anehnya, meskipun kumal, bocah itu memiliki
mata yang cemerlang dan gigi yang rapi berbaris se-
perti mutiara. Bahkan, kalau diperhatikan secara lebih
saksama, ia juga memiliki alis yang tebal, bentuk bi-
bir yang menarik, dan rahang yang tegas. Pendeknya,
ia bocah tampan, setidaknya untuk ukuran golongan
pengemis.
Lingga Prawata melangkah dengan wajah marah.
Akan tetapi, Ki Jayeng Segara menahan langkah
Lingga Prawata.
“Bocah, siapa kamu? Ada tujuan apa mengintip
kami?” tanya Ki Jayeng Segara.
Si bocah memandang Ki Jayeng Segara, kemudian
Lingga Prawata, dan berturut-turut Watu Ageng dan
Wulankencana, dengan wajah yang masih menyeri ngai
meskipun ia sudah berupaya mati-matian tersenyum.
“Duh, maafkan saya, Tuan. Sungguh saya tidak ta-
hu mengapa bisa sampai di sini. Saya hanya berjalan
mengikuti langkah kaki ke mana saja. Kemudian, saya
mendengar sesuatu di sini dan ternyata saya lihat ada
Tuan-Tuan Muda sedang berlatih ilmu silat yang hebat.
Saya senang melihat orang berlatih silat. Jadi, saya me-
nonton di atas pohon. Sekali lagi maafkan saya kalau
kedatangan saya mengganggu teman-teman semua.”
Kata-kata si bocah kumal mengejutkan Ki Jayeng
Segara dan ketiga bocah keturunan laskar Jipang itu.
Pertama, susunan katanya runtut dan ia meng ucap-
kannya dengan wajah yang tampak ceria. Kedua, ia
menyebut keempat orang itu “teman”. Dan ketiga, ia
terkesan dengan enaknya “menonton di atas pohon”.
Ki Jayeng Segara mengerutkan dahinya.
Wajah Lingga Prawata berubah merah. Ia merasa
dalam kata-kata itu tersimpan semacam ejekan. Ba
gai mana mungkin seorang bocah kumal tak dikenal
menyebut dirinya sebagai teman?
Akan tetapi, sebelum ia bergerak, lagi-lagi Ki Ja-
yeng Segara menahannya.
Ki Jayeng Segara lalu menarik napas dalam-dalam.
“Nama kamu siapa, Bocah?”
“Oh, ya, orang-orang memanggil saya Wulung.
Kadang-kadang Jaka Wulung. Mungkin karena kulit
saya begini, ya. Seperti sudah saya bilang, saya tidak
tahu mengapa saya bisa sampai di sini. Dan kalau Tu-
an percaya, saya juga tidak tahu dari mana saya ber-
asal ....”
“Dan, tujuan kamu mengintip kami?” Ki Jayeng
Segara memotong.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak mengintip, tapi saya
terang-terangan menonton. Makanya saya kaget bu-
kan main ketika Tuan melempar saya dengan kerikil.”
“Kurang ajar!” seru Lingga Prawata.
Ki Jayeng Segara lagi-lagi mengangkat tangannya.
“Sejak kapan kamu menonton?” tanya Ki Jayeng
Segara. Meskipun hatinya mengkal, ia penasaran, ba-
gai mana mungkin ia tidak mengetahui ada penyu sup
di luar pagar pondoknya yang terpencil. Lagi pula,
de ngan enteng Jaka Wulung, si bocah itu, lagi-lagi
meng aku sengaja menonton.
Yang juga mengherankan Ki Jayeng Segara, tidak
ada tanda-tanda bahwa batu yang dilontarkannya
mengenai si bocah. Tak ada luka di tubuhnya, tak
ada darah yang menetes. Si bocah hanya menyeringai
kesa kitan sambil melirik pantatnya.
Dilihat dari sosoknya, Jaka Wulung hanyalah bo-
cah gelandangan seperti yang kerap dijumpainya di
mana-mana. Di balik bajunya yang koyak moyak
juga tampak otot-otot lengan dan dada yang kurus.
Lagi pula, tempat mereka berlatih bukanlah tempat
yang mudah didatangi karena terlindung oleh hutan
belukar yang lebat, bukit menjulang di belakang, dan
ngarai terjal di bibir Ci Gunung.
“Mmm ... saya menonton kira-kira sepuluh jurus,”
sahut Jaka Wulung.
Lagi-lagi, Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah asuh-
annya terkejut bukan main. Sepuluh jurus bukanlah
waktu yang pendek untuk menonton di atas pohon.
Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara mencoba
menahan diri.
“Dan, apa tujuan kamu menonton?”
Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara de-
ngan ragu. “Hmm ... kalau boleh ... saya ingin ikut
bel ajar silat ....
Ki Jayeng Segara dan ketiga muridnya sama-sama
membelalakkan mata.
“Maaf, Bocah,” kata Ki Jayeng Segara. “Ini bukan
perguruan silat yang menerima murid secara terbuka.
Saya hanya mengajari ketiga keponakan saya ini.”
“Oh. Padahal, saya ingin sekali ikut belajar ....”
“Kamu dengar apa kata guru kami!” Wajah Lingga
Prawata mulai memerah. “Guru kami tidak semba-
rangan menurunkan ilmunya kepada orang seperti
kamu!”
Ki Jayeng Segara masih berupaya menahan geram
Lingga Prawata. “Bocah,” katanya. “Ilmu ini hanya di-
berikan untuk orang-orang tertentu,” Ki Jayeng Sega-
ra berhenti sebentar sambil mengatur napasnya, “yaitu
mereka yang masih memiliki terah laskar Jipang.”
“Oh.” Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara
dengan wajah kecewa.
“Oleh karena itu, segeralah pergi dari sini!” Mata
Lingga Prawata membelalak.
“Tapi, saya ingin sekali belajar ....”
“Pergi kubilang!”
“Oh.” Jaka Wulung masih memandang keempat
orang di depannya dengan pandangan tak mengerti.
“Pergi! Kalau tidak ....” Lingga Prawata mengepal-
kan jemarinya dan mengangkatnya di depan wajah
nya. Itu berarti ia mengancam akan mengusir si bocah
kumal dengan kekerasan.
Dengan wajah tertunduk, Jaka Wulung berbalik
hendak meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai.
“Tunggu!”
Langkah Jaka Wulung terhenti.
“Berapa kali kamu mengintip latihan kami?”
Jaka Wulung menoleh memandang Ki Jayeng
Segara. Ia tampak ragu-ragu beberapa jenak sebelum
men jawab, “Tiga kali.”
Kalau saja Ci Gunung tiba-tiba dilanda banjir ban-
dang, tentulah Ki Jayeng Segara tidak akan seka get
mendengar kata-kata Jaka Wulung. Lingga Prawata,
Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana bahkan sam-
pai sama-sama ternganga. Tubuh mere ka bergetar
oleh campuran berbagai perasaan, tetapi yang teruta-
ma adalah terkejut sekaligus marah.
Ki Jayeng Segara berdebar-debar. Bagaimana
mung kin ia tidak tahu bahwa selama tiga kali seorang
bocah bisa lolos dari pengamatannya? Jika jawaban
Jaka Wulung benar, Ki Jayeng Segara bisa menyim-
pulkan bahwa Jaka Wulung bukanlah bocah kam-
pung pada umumnya.
“Dan, berapa lama setiap kali kamu mengintip?”
tanya Ki Jayeng Segara pula.
“Hmm ... dari awal sampai selesai.”
Lagi-lagi Ki Jayeng Segara membelalakkan mata.
Ditatapnya si bocah dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Ada sebersit rasa kagum, tetapi sekaligus ia me-
rasakan kekhawatiran.
Dan, kemudian hening berkuasa dalam hitungan
lima. Matahari makin tinggi. Burung-burung melin-
tas, meninggalkan titik-titik bayangan buram di ta-
nah dalam sekilas.
Jaka Wulung kembali membalikkan badan dan
berniat meninggalkan tempat itu.
“Kamu pasti seorang telik sandi! Telik Sandi dari
Pajang!” Lingga Prawata bergegas mendekati Jaka
Wu lung dengan wajah yang makin memerah.
Lingga Prawata mengulurkan tangannya yang ter-
latih untuk meraih pundak kanan Jaka Wulung. Ia
ya kin, dengan sekali sentak akan bisa menghentikan
bocah aneh itu untuk mengorek keterangan.
Akan tetapi, satu keanehan terjadi hanya dalam
sekejap.
Tangan Lingga Prawata memang berhasil meraih
pundak Jaka Wulung. Tapi, anehnya, Lingga Pra wata
seakan-akan tidak memegang sesuatu pun. Ia se perti
menangkap angin. Karena ia hendak merenggut pun-
dak Jaka Wulung dengan sepenuh tenaga , Lingga
Prawata justru kehilangan keseimbangan dan kemu-
dian terjerembap dengan pundak kanannya berde-
bum di tanah lebih dahulu.
Lingga Prawata masih beruntung karena tanah di
sana berumput tebal sehingga terhindar dari rasa sakit
dan cedera.
Akan tetapi, rasa malu yang bukan alang kepalang
lebih menyakitkan daripada cedera seperti apa pun.
Apalagi ia terjatuh oleh sebab yang di luar akalnya.
Jatuh di kaki seorang bocah kumal, di hadapan dua
saudara seperguruan dan gurunya!
Akan halnya Jaka Wulung, bocah kumal itu me-
mandang Lingga Prawata dengan mulut ternganga.
Wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa ia pun
tidak mengerti mengenai apa yang terjadi, mengapa
dan bagaimana bisa bocah gagah itu terjatuh di dekat
kakinya. Oleh karena itu, Jaka Wulung dengan cepat
mengulurkan tangannya hendak menolong Lingga
Prawata berdiri lagi.
Akan tetapi, dengan cepat Lingga Prawata melon-
cat ber diri. Matanya merah nanar memandang Jaka
Wulung.
“Bocah setan!” pekik Lingga Prawata.
Lingga Prawata tampaknya sudah dikuasai kema-
rahan hebat. Tanpa berpikir matang, Lingga Prawata
menyerang Jaka Wulung dengan jurus yang selama
ini ia pelajari: jurus maut yang membuat nama Arya
Penangsang sangat disegani siapa pun di Pajang dan
sekitarnya. Gagak rimang.
Meskipun baru dalam tataran gerak kasar, gagak
rimang tetaplah ilmu yang kehebatannya tak terperi.
Bisa dibayangkan kalau bocah mana pun akan ter-
jungkal dalam sekali pukul, lebih-lebih jemari Lingga
Prawata langsung mengarah salah satu titik memati-
kan pada manusia: leher.
Sekali pukulan Lingga Prawata mengenai leher
Jaka Wulung, tentu akibatnya akan mengerikan. Ja-
lan napas akan terputus. Setidaknya, korban serangan
akan menderita sesak napas berat dan itu akan ber-
langsung berhari-hari.
Jaka Wulung sendiri masih berdiri dengan wajah
terheran-heran. Sama sekali tidak bersiap mengha-
dapi sebuah serangan mematikan.
Ki Jayeng Segara terlambat mencegah gerakan
Lingga Prawata.
Plak!
Apa yang terlihat adalah Jaka Wulung hanya me-
nyi langkan tangan kirinya di depan wajahnya yang
ter tunduk dan terjadilah benturan antara jemari Ling -
ga Prawata dan siku Jaka Wulung.
Jaka Wulung terjengkang dua langkah dan tubuh-
nya terjerembap ke belakang.
Di pihak lain, Lingga Prawata terpental selangkah
mundur, tetapi masih mampu berdiri dengan kedua ka-
ki nya. Wajahnya menyeringai sesaat, seakan memperli-
hatkan kepuasan telah berhasil mengalahkan lawannya.
Akan tetapi, kepuasan Lingga Prawata hanya ber-
lang sung beberapa kejap. Tak lama kemudian, wajah-
nya menyeringai kesakitan. Jemari tangan kanannya
seper ti kaku dan rasa panas menyebar hingga pangkal
le ngan. Kedua kakinya goyah, kemudian ia jatuh de-
ngan bertumpu pada lututnya.
“Lingga!”
Ki Jayeng Segara dan Watu Ageng sama-sama
mem buru Lingga Prawata.
Dyah Wulankencana ragu-ragu sejenak, tetapi ke-
mudian melangkah dan pelan-pelan membungkuk di
hadapan Jaka Wulung.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dyah Wulanken-
cana dengan nada penuh khawatir.
Jaka Wulung terlonjak kaget. Ini lebih mengaget-
kan dibanding dengan serangan mendadak Lingga
Prawata tadi.
Dipandangnya gadis itu dengan mata menyipit.
Ajaib! Seorang gadis cantik, sangat cantik, menyapa
nya dengan lembut. Digosok-gosoknya matanya.
Benar-benar ajaib! Gadis itu nyata di hadapannya.
“Nay nanya saya?” Keheranan Jaka Wulung makin
menjadi-jadi. Di tengah wajah-wajah merah karena
marah dan mata-mata nyalang karena berang, ternya-
ta masih ada wajah bersih dengan mata penuh kasih.
“Tanganmu terluka ....”
Tangan halus itu tanpa sungkan memegang siku
Ja ka Wulung. Entah, apakah Jaka Wulung tidak be-
nar-benar terluka dalam benturan itu, ataukah karena
elusan tangan halus Dyah Wulankencana, Jaka Wu-
lung tidak merasakan apa pun pada sikunya. Memang
ada memar ber warna biru-ungu, tetapi Jaka Wulung
tidak merasa sakit.
Elusan jemarinya pun ajaib! pikir Jaka Wulung.
“Terima kasih, saya baik-baik saja,” Jaka Wulung
men coba tersenyum semanis yang ia bisa meskipun ia
sa dar bahwa mungkin bentuk bibirnya mirip senyum
kuda.
Akan tetapi, senyum Jaka Wulung dengan lekas le-
nyap dari wajahnya ketika didengarnya sebuah ben-
takan yang suaranya lebih mirip dahan patah.
“Wulan! Mundur!”
Lingga Prawata berdiri dengan dua tangan berto-
lak pinggang dan wajah yang gelap mengerikan. Wa
jah tampan Lingga Prawata tiba-tiba berubah men-
jadi seperti ririwa. Matanya merah menyala dan
ku lit wajahnya menjadi merah padam kecokelatan.
Bahkan, rambutnya tampak kejang dan ada asap tipis
dari ubun-ubunnya. Setidaknya, begitulah gambaran
orang yang sedang marah bukan main.
Kemarahan Lingga Prawata berlipat-lipat meli-
hat Dyah Wulankencana alih-alih memburu dirinya,
ma lahan memburu Jaka Wulung. Dadanya bergolak
oleh rasa marah, geram, dan ... cemburu!
Dyah Wulankencana segara mundur.
Ia tidak suka dibentak begitu rupa, tetapi ia me-
nahan diri.
Jaka Wulung mendongak memandang Lingga Pra-
wata.
Watu Ageng dan Ki Jayeng Segara berada di be-
lakang Lingga Prawata.
Jaka Wulung perlahan-lahan bangkit berdiri. Aneh.
Memandang wajah Lingga Prawata, Jaka Wulung me-
rasa sikunya berdenyut-denyut lagi. Sakit dan ngilu.
Luar biasa tenaga Lingga Prawata tadi, dan luar biasa
pula daya sembuh senyum seorang gadis rupawan.
“Ayo, kita selesaikan secara laki-laki,” Lingga Pra-
wata menggeram.
Jaka Wulung memandang aneh kepada Lingga
Prawata. “Apanya yang harus diselesaikan? Saya pikir,
persoalan sudah selesai.”
“Jangan banyak bermain kata-kata. Ayo!”
Berbekal pengalaman sebelumnya, Lingga Prawata
tidak lagi meremehkan bocah dekil itu. Lingga Prawa-
ta kini yakin Jaka Wulung bukan bocah sembarang-
an. Ia memang kelihatan kurus, tetapi tampaknya
si bocah pernah belajar ilmu silat. Meski demikian,
Lingga Prawata yakin ia bisa memukul jatuh si bocah.
Kalaupun sebelumnya ia sempat terjerembap, ia ya-
kin itu karena ia terlalu meremehkan si bocah.
Kali ini, ia tak mau melakukan kesalahan lagi.
Oleh karena itu, Lingga Prawata merangkum ilmu
yang bertahun-tahun ia serap dari Senapatiyuda Ja-
yeng Segara, berupa jurus maut yang dilambari po-
kok ilmu gagak rimang yang dahsyat. Melalui dua
gerak awal untuk maksud mengecoh, kedua tangan
Lingga Prawata yang mengembang langsung meng-
arah kepada sasaran nya: kepala Jaka Wulung.
Gerakannya secepat kaki burung gagak sehingga
siapa pun akan bisa menduga bahwa ia akan dengan
mudah menjatuhkan Jaka Wulung. Kalaupun Jaka
Wu lung akan menghindar, Lingga Prawata tentulah
akan mengubah gerakannya untuk memapasnya.
Kali ini Ki Jayeng Segara diam saja menyaksikan
gerakan muridnya. Pertama, ia ingin tahu sejauh ma-
na ilmu yang telah dipelajari sang murid. Kedua, ia
penasaran apakah benar si bocah memiliki ilmu s ilat.
Siapa sebenarnya bocah kumal itu?
%
KARENA kali ini Lingga Prawata sudah memberi-
kan peringatan lebih dulu, Jaka Wulung pun tampak
bersiap menghadapi sebuah perkelahian. Oleh karena
itu, ketika melihat serangan kedua tangan Lingga
Prawata, Jaka Wulung menekuk kedua kakinya untuk
merendahkan tubuhnya.
Akan tetapi, gerakan seperti ini sudah diduga Ling-
ga Prawata. Oleh karena itu, dengan cepat pula ta ngan
Lingga Prawata berbelok arah dan langsung meng arah
ke bawah. Lingga Prawata tersenyum meng ejek me-
lihat gerakan menghindar Jaka Wulung yang terlalu
sederhana.
Akan tetapi, sekejap kemudian senyum di bibir
Lingga Prawata menguap, berganti dengan keluh an
ter tahan. Melalui gerakan yang aneh dan nyaris tak
kasat mata, Jaka Wulung sengaja melemparkan tu-
buh nya ke belakang, tetapi kaki kanannya setengah
ber putar memapas gerak tangan Lingga Prawata.
Sebuah gerakan nekat!
Lingga Prawata telanjur menyalurkan tenaganya
yang penuh ke tangan kanannya dan tidak sempat
menghindari serangan balik Jaka Wulung.
Apa yang kemudian terdengar adalah suara ben-
turan keras.
Tulang bertemu tulang!
Jaka Wulung terjengkang untuk kali kedua. Kali
ini wajahnya menyeringai menahan sakit yang tak
terperi di tulang kering kakinya. Panas sekujur tubuh-
nya seperti disengat bara api. Ia tidak tahu mengapa
kakinya tadi harus berbenturan dengan tangan Ling-
ga Prawata. Maksud sebenarnya adalah menghindar
dari serangan lawannya.
Apakah kakiku patah? Sakit bukan kepalang!
Sepuluh langkah dari Jaka Wulung, Lingga Prawata
terduduk bertumpu pada kedua lututnya. Punggung-
nya melengkung dan kepalanya tertekuk, menahan
rasa nyeri tak terperi di pergelangannya. Mula-mula
ia seperti mati rasa. Kemudian, rasa nyeri menyerang
seluruh tubuhnya. Kini, tangan kanannya sama sekali
tak bisa ia gerakkan. Ia menyeringai. Air mata mene-
tes tak tertahan.
Bocah iblis! Kamu mematahkan tanganku!
Lingga Prawata menggeram sekeras-kerasnya. Gi gi -
nya beradu sesamanya, menimbulkan suara geme re tak
seperti kayu terbakar. Dadanya benar-benar terbakar
oleh marah dan gusar. Sejak kecil, dunia yang ia keta-
hui adalah perkelahian dan pertempuran. Ia dibesarkan
oleh lingkungan prajurit dan ia sudah di ajari jurus-ju-
rus dasar silat semenjak belum lima tahun. Setelah itu,
apa yang ia hirup sehari-hari adalah olah kanuragan
yang diturunkan oleh siapa saja, dan terakhir oleh guru
yang ia kagumi ilmunya, Ki Jayeng Segara.
Menghadapi lawan yang sepadan dalam usia, bah-
kan satu-dua tahun lebih tua, belum pernah ia meng-
alami kekalahan.
Akan tetapi, kini menghadapi bocah yang keli-
hat an lebih muda dan lebih ringkih, bahkan de ngan
tingkat ilmu yang tidak ada apa-apanya, Lingga Pra-
wata mene mui kenyataan menyakitkan. Sakit tidak
hanya di tangan yang tulangnya patah, tetapi di hati
yang jauh lebih dalam.
Hatinya benar-benar terluka.
Oleh karena itu, tangan kirinya lekas mencabut
keris yang tersarung di bagian perut ikat pinggangnya.
Tanpa menunggu kejapan mata berikutnya, Ling ga
Prawata menerjang Jaka Wulung yang masih da lam
posisi terjengkang.
Pada saat yang persis sama, Watu Ageng melompat
dengan kekuatan penuh.
Satu kekuatan yang didorong kemarahan luar biasa
dan satu kekuatan yang masih segar bugar mengincar
sasaran yang sama dari dua arah yang berbeda.
Ki Jayeng Segara terlambat mencegah kedua mu-
ridnya.
Dyah Wulankencana hanya bisa memejamkan ma -
ta nya.
Jaka Wulung melihat dalam sekejap dua bocah itu
melompat bersamaan. Hatinya mengeluh tak terta-
hankan. Ia tidak tahu apa kesalahan yang telah ia per-
buat. Ia hanya ingin mereguk sebuah ilmu yang he-
bat, tetapi justru serangan maut yang didapat.
Jaka Wulung hanya tidak ingin menjadi sasaran
empuk yang sia-sia. Hanya berdasarkan naluri, Jaka
Wulung kemudian menjejak sebuah pokok kayu de-
ngan kaki kanannya untuk memberikan daya tolak
bagi tubuhnya untuk meloncat menghindar.
Gerakan itu memberinya waktu lebih lama untuk
bertahan.
Akan tetapi, waktu lebih lama itu hanyalah bebe-
rapa kejap belaka.
Baik Lingga Prawata maupun Watu Ageng sama-
sama sudah bisa menebak kemungkinan sederhana itu.
Ujung keris di tangan kiri Lingga Prawata melesat
membelah udara.
Dari sisi yang hampir berseberangan, Watu Ageng
meluncur dengan jemari mengembang.
Hanya satu yang bisa dilakukan Jaka Wulung. Ia ber-
guling ke belakang dengan sekuat tenaga yang tersisa.
Jaka Wulung terhindar dari serangan maut Lingga
Prawata dan Watu Ageng.
Akan tetapi, ia tidak bisa menghindari bahaya lain
yang mengintainya.
Jaka Wulung hanya bisa berguling dua putaran.
Pada putaran berikutnya, tubuhnya tidak lagi me-
ra sakan lapisan bumi.
Jaka Wulung melayang menuju jurang.
Kecuali jeritan sesaat dan gemeresak benda yang
menembus dedaunan pekat, tak ada suara apa pun di
bawah sana.
Ketegangan menggurat di wajah keempat manusia
asal Jipang Panolan itu. Tak ada yang menduga akhir
pertempuran itu demikian adanya.
Setetes air bening menggulir dari mata Dyah Wu-
lankencana.
Akan tetapi, lekas-lekas ia menyekanya sebelum
te pergok oleh Lingga Prawata, Watu Gunung, dan Ki
Ja yeng Segara.
3.Kitab Siliwangi
KAMPUNG itu diapit dua sungai, yaitu
Ka li Keruh dan Kali Erang. Nama Kali
Ke ruh tampaknya dipakai karena airnya
se la lu keruh, tidak hanya pada musim penghujan.
Pa da musim kemarau pun, airnya tetap cokelat. Seba-
liknya, Kali Erang, yang hanya beberapa ratus lang-
kah dari Kali Keruh, adalah sungai yang airnya selalu
jernih, bahkan pada musim penghujan.
Secara resmi kampung ini pernah menjadi batas
barat Kerajaan Majapahit. Tapi, setelah kerajaan-ke-
ra jaan jatuh dan bangun, daerah ini seakan-akan tak
bertuan. Mungkin karena, dari pusat kerajaan di Ja-
wa, daerah ini terhalang oleh Gunung Slamet. Pada-
hal, wilayah ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi
karena dilintasi jalur yang menghubungkan pantai
utara dan pantai selatan Jawa Dwipa.
Lagi pula, lahannya subur dan makmur. Para pe ta -
ni selalu menghasilkan panen yang melimpah. Hu tan-
hutannya juga menyediakan kekayaan yang mem buat
masyarakatnya sejahtera.
Dengan aliran dua sungai yang bermata air dari
bebukitan di sisi barat Gunung Slamet, kampung ini
juga memberikan pemandangan alam yang indah tak
terkatakan. Sungguh bumi yang indah.
Bumi Ayu.
Tanah yang elok.
Pendeknya, kalau ada peribahasa gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem kerta raharja, wilayah inilah con-
tohnya.
Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa di
tengah ketenteraman wilayah ini, datang sejumlah
orang de ngan wajah dan penampilan yang jauh dari
ketente raman.
LANGIT biru menjadi latar belakang Gunung Sla-
met. Seekor burung sriti melesat menggarisi segum-
pal awan. Di letar depan, orang-orang berjual-beli
hasil hutan dan tani, yang digelar di bangku atau
beralas tikar di tepi jalan tanah berbatu.
Di sebuah kedai makan, orang-orang sudah ham-
pir selesai sarapan. Ada sekitar enam atau tujuh orang
yang masih duduk di bangku masing-masing. Bia sa-
nya mereka adalah para petani atau peladang yang
datang dari jauh dan berhasil menjual dagangan
m ereka.
Akan tetapi, hari itu ada dua pengunjung kedai
yang berpakaian agak berbeda. Yang seorang adalah
laki-laki yang sulit ditebak usianya, mungkin 35 ta-
hun, tetapi bisa saja 45 tahun. Duduk di sudut, wa-
jahnya tampak gelap karena tertutup topi caping
bun dar yang sudah lusuh. Tubuhnya sedang, tetapi
ke lihatan kukuh. Ia su dah menyantap dua piring nasi
dan lauk-pauk, dan sekarang piring ketiga. Ia makan
seolah-olah sudah satu bulan tidak bertemu dengan
nasi.
Satu orang lagi adalah perempuan berpakaian pu-
tih-putih. Rambutnya hitam tebal, sebagian digelung
dan sisanya tergerai ke punggung. Lehernya seperti
kulit langsat. Usianya menjelang 40 tahun, tetapi ma
sih kelihatan cantik. Atau tepatnya begini: ia sedang
berada di puncak kematangan pada usianya yang di
akhir 30-an.
Yang membedakan keduanya dari orang-orang
lain adalah senjata yang tersandang di badan. Si lelaki
membawa pedang panjang yang sedikit melengkung
di punggung dan sekilas mirip dengan pedang yang
biasa dibawa oleh para samurai negeri Jepun. Adapun
si perempuan membawa dua bilah pedang pendek,
masing-masing di pinggang kiri dan kanan.
Si perempuan tampaknya sudah selesai makan. Ia
berdiri, membayar makanan, dan bertanya kepada si
pemilik kedai. Suaranya lembut, lebih dekat disebut
berbisik, dan nyaris ditelan keriuhan pasar sehingga
hampir tidak ada yang mendengarnya.
“Ki Sanak tahu di mana letak Bukit Sagara?” tanya
perempuan itu.
Beberapa jenak lelaki pemilik kedai makan itu ter-
paku. Sekilas kelihatan dari wajahnya bahwa ia mera-
sa heran. Tapi, sejenak kemudian ia tersenyum.
“Nona ikuti jalan di depan ke arah barat. Dari sini
akan kelihatan sebuah bukit yang membujur berwar-
na biru. Tidak perlu sampai setengah hari juga Nona
akan sampai di bukit yang dimaksud. Nah, Bukit
Sagara terletak di balik bukit yang tampak itu.”
“Terima kasih,” kata perempuan itu sambil terse-
nyum manis. Ia mungkin merasa senang karena di-
panggil dengan sebutan “nona”. Ha, ia memang ma-
sih berstatus nona meskipun sudah hampir empat
puluh tahun. Pasti ia punya kisah cinta yang menarik
untuk diceritakan ....
Setidaknya arah yang kuambil sudah benar.
Di tempat duduknya di sudut kedai, lelaki berpe-
dang panjang terkejut mendengar pertanyaan perem-
puan itu kepada pemilik kedai. Jarak antara si perem-
puan dan lelaki itu sebenarnya hampir sepuluh lang-
kah, tetapi ia dengan jelas mendengar pertanyaan si
perempuan. Jelas bahwa ia memiliki indra pende-
ngar an yang peka dan kemampuan seperti itu hanya
bisa diperoleh seseorang yang sudah mencapai taraf
ilmu yang tinggi. Sapta pangrungu.
Ketika si perempuan melangkah pergi, lelaki itu
terus memasang telinganya untuk menangkap lang-
kah-langkah si perempuan.
Dan, sebelum langkah-langkah itu hilang dari pen-
dengarannya, lekas-lekas ia menyelesaikan makannya
dan membayar kepada si pemilik kedai.
Pada saat yang sama, dua orang itu, si pemilik ke-
dai dan lelaki berpedang panjang, sama-sama dilanda
keheranan.
lelaki berpedang heran karena perempuan itu
menanyakan Bukit Sagara, tempat yang juga menjadi
tujuannya.
Si pemilik kedai heran karena dalam dua atau tiga
hari ada beberapa orang yang menanyakan bukit yang
sama. Dan, mereka memiliki ciri yang serupa: sama-
sama membawa senjata dan bisa dipastikan mereka
adalah orang-orang dari dunia persilatan.
“Ki Sanak juga hendak ke Bukit Sagara?” tanya pe-
milik kedai. Sebuah pertanyaan polos.
Si lelaki berpedang dengan cepat menutupi kehe-
ranannya yang bertambah besar. Ia tersenyum lebar.
Jadi, meskipun bercaping bundar, lelaki itu bukan je-
nis orang yang sangar.
“Oh, tidak. Saya hendak ke selatan.”
Si pemilik kedai mengangguk-angguk meskipun
ia kurang percaya terhadap kata-kata si lelaki berpe-
dang. Tapi, tentu saja ia tidak akan mendesak lebih
lanjut. Hanya saja, dalam hatinya terselip pertanyaan:
ada apa orang-orang berpedang menanyakan Bukit
Sagara?
Si lelaki berpedang cepat-cepat melangkah keluar
supaya tidak kehilangan jejak si perempuan. Di ke-
palanya juga berputar pertanyaan: berapa orang yang
memiliki tujuan yang sama menuju Bukit Sagara?
Kabar itu ternyata telah menyebar, pikirnya.
Perempuan itu sudah menghilang di jalan berca-
bang. Tapi, si lelaki berpedang panjang langsung bisa
memutuskan jalan mana yang diambil si perempuan.
Diambilnya jalan yang kiri.
Akan tetapi, di sana ia segera kehilangan jejak.
Di hadapannya, hanya jalan tanah membentang
membelah persawahan. Sapta pangrungu-nya sama
se kali tidak menangkap gelombang selirih apa pun
yang ditinggalkan perempuan itu. Sunyi sepi. Hanya
lirih embusan angin yang membawa uap rerumput-
an. Dan, satu-dua suara cangkul petani di kejauhan.
“Sungguh wanita yang luar biasa,” desah lelaki itu.
Ia berharap bisa berkenalan dengan wanita itu, wa-
nita yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan
pertama, tetapi ia bahkan sudah kehilangan jejak pada
pan dang an kedua.
Lelaki itu—baiknya disebutkan saja namanya, Ma -
hesa Geni, pendekar dari kawasan Gunung Maha-
meru di belahan timur Jawa Dwipa—menghela napas
sebelum menerapkan ilmu lari cepatnya.
Dari balik sebatang pohon, sepasang mata setajam
elang mengamati kepergian Mahesa Geni. Ia meng-
elus selendang yang menyampir di pundaknya.
PADA zaman kapan pun, di belahan dunia mana
pun, perempuan memang selalu menjadi sasaran ke-
ja hatan. Terutama, perempuan yang bepergian sen di-
ri, melalui jalan yang lengang dan hutan yang lebat.
Lebih-lebih kalau perempuan itu memiliki ciri la-
hiriah cantik dan berpakaian menarik.
Begitu pula dengan perempuan cantik berpakaian
putih-putih yang sedang melenggang menuju Bukit
Sagara.
Sepasang pedang yang menggantung di pinggang
hanyalah menjadi bahan tertawaan dua lelaki bertu-
buh raksasa yang berniat mengadang.
Kedua raksasa yang berpenampilan serupa itu mak-
lum bahwa sasaran mereka pastilah bukan perempuan
sembarangan. Oleh karena itu, mereka mengamati
hing ga mangsanya hanya beberapa langkah dari sam-
pan yang hendak membawanya menyeberang sungai.
Sungai itu bernama Ci Pamali, sungai yang sudah
ratusan tahun menjadi batas wilayah Kerajaan Sunda.
Sungai yang sangat legendaris, menyimpan kisah-
kisah lama yang selalu menjadi tuturan secara turun -
temurun di kalangan masyarakat, tidak hanya masya-
rakat Sunda, yang berdiam di belahan barat Ci Pama-
li, tetapi juga masyarakat Banyu Mas, yang berdiam
di belahan timur.
Salah satu kisahnya adalah pertempuran antara
Ciung Wanara dan Hariang Banga—yang konon
men jadi penanda terpisahnya Sunda dan Jawa.
Bagian sungai tempat menyeberang itu lebarnya
sekitar seratus langkah kaki.
Di bagian itu air mengalir tenang.
Akan tetapi, tenangnya aliran sebuah sungai tidak-
lah selalu berarti aman dan damai.
Ci Pamali mengalir tenang sekaligus mengancam.
Bukan hanya buaya yang bisa muncul pada wak-
tu-waktu tertentu, tetapi juga perompak sungai, yang
kadang lebih berbahaya dibanding buaya karena me-
re ka bisa muncul semaunya. Dan kali itu, dua raksasa
yang sedang mengincar mangsa adalah dua penya-
mun air yang berasal dari nun jauh muara di selatan:
Segara Anakan.
Bahkan, di siang benderang seperti saat itu.
Perempuan itu—ah, ya, namanya Sekar Ayuwar-
dhani—sebenarnya sudah tahu bahwa ia dikuntit
oleh setidaknya dua orang. Tapi, ia tetap melenggang
dengan keyakinan diri yang tak berkurang. Begal,
rampok, atau berandal jenis apa pun bukan sesu atu
yang asing baginya—wanita yang sudah belasan ta-
hun disegani dengan julukan Mawar Beracun dari
Bhumi Sambhara Budhara!
Ketika ia keluar dari kedai makan tadi, ia sadar
di ikuti oleh lelaki berpedang panjang. Selepas kam-
pung itu, ia mempermainkan si lelaki dengan cara
bersembunyi di balik sebuah gerumbul, tanpa gerak
dan tanpa suara sehingga keberadaannya sama sekali
tidak terjejaki. Setelah si lelaki pergi, barulah ia keluar
dari persembunyiannya dan berjalan melenggang.
Sekar Ayu memang pendekar yang senang usil,
seakan-akan pertempuran adalah sebuah permainan.
Akan tetapi, kali ini boleh jadi ia akan ketemu ba-
tunya. Atau, bertemu sepasang manusia batu.
Sekar Ayu memandang langit barat di seberang
Ci Pamali. Untuk kali pertama, sebentar lagi ia akan
melintas batas sebuah negeri.
Ia meloncat dari sebongkah batu dan mendarat
tepat di lantai sampan tanpa membuat sampan itu
ber goyang! Sungguh ilmu meringankan tubuh yang
bukan main dahsyat!
“Ayo jalan, Pak,” katanya kepada tukang dayung
sampan.
Akan tetapi, hanya beberapa saat setelah tukang
dayung itu mendorong sampannya ke air, berloncat-
an dua lelaki bertubuh raksasa. Dan, sungguh hebat,
meskipun keduanya memiliki badan sebesar badak
gemuk, mereka hinggap di lantai sampan secara ber
samaan dan hanya menimbulkan sedikit goyangan
pada sampan itu!
Alamat buruk, pikir si tukang sampan, yang memi-
lih membiarkan dirinya mematung di tepi sungai se-
mentara sampannya sudah melaju di air. Karena tidak
ada yang mendayung, sampan itu pun pelan-pelan
ter seret arus ke hilir.
Sekar Ayu beberapa jenak kebingungan meman-
dang si tukang sampan yang memilih membiarkan
sam pannya terbawa hanyut. Kebingungan itu mem-
buatnya kehilangan waktu. Untuk kembali meloncat
ke darat, jaraknya terlalu jauh. Untuk berenang, ia
ma sih bimbang. Apa yang bisa dilakukannya hanya-
lah menunggu.
Salah satu dari dua raksasa itu memungut galah
bambu yang dipakai untuk mengarahkan sampan ke
seberang. Hanya dengan dua kali tumpuan, sampan
pun melaju kencang dan mencapai tengah sungai.
Akan tetapi, di tengah sungai itulah si raksasa me-
nancapkan bambunya ke dasar sungai dan menjadi-
kannya sebagai penahan sampan.
Sampan berhenti.
Seperti anak-anak yang menemukan mainan me-
nyenangkan, kedua raksasa itu tertawa berbarengan.
“Lihat, Balaupata, dia mulai ketakutan,” kata salah
satu lelaki raksasa itu di antara tawanya.
“Betul, Cingkarabala, dan itu membuatnya tam-
bah jelita, tidak kalah dengan Dewi Dresanala.”
Oh, oh, nama mereka rupanya mengambil dari
nama raksasa kembar penjaga pintu Kahyangan itu.
Sekar Ayu terkejut mendengar nama keduanya.
Ba laupata dan Cingkarabala adalah nama yang sudah
tidak asing lagi di telinganya meskipun ia belum per-
nah bertemu.
Keduanya dikenal dengan julukan Raksasa Kem-
bar dari Segara Anakan.
Merekalah sepasang perompak yang menggentar-
kan nyali siapa pun. Terutama, kalau mereka berlaga
di wilayah hidupnya sehari-hari: air!
Sekar Ayu berdebar-debar dengan sejumput rasa
sesal.
Akan tetapi, ia teguhkan keyakinannya melalui so-
rot mata yang berkilat seperti kucing.
“Ah, jangan melihat kami seperti itu, Dewi yang
Cantik,” ujar Balaupata. Kaki kanannya menjejak
ping gir sampan. Sampan bergoyang-goyang.
Sekar Ayu terkejut. Tapi, kemudian ia menyesuai-
kan diri dengan goyangan sampan supaya tidak ke-
hilangan keseimbangan
“Balaupata,” kata Cingkarabala. “Kalau menilik
penampilannya, aku yakin dia adalah si mawar ... apa
namanya? Ah, ya, si mawar dari candi buruk itu. Ha-
haha!”
Balaupata sejenak mengerutkan kening meman-
dang Sekar Ayuwardhani. Terkejut juga hatinya kalau
dugaan saudara kembarnya itu benar. Wanita berju-
luk Mawar Berduri itu bukanlah wanita sembarang-
an. Tapi, berdua dengan Cingkarabala, Balaupata ya-
kin mereka tidak akan terkalahkan. Oleh karena itu,
beberapa saat kemudian ia pun terbahak-bahak.
Tawa mereka menggetarkan udara. Dan, entah
meng a pa , siang itu keadaan di sana begitu sunyi.
Mung kin orang-orang sedang berada di kebun, sa-
wah, dan huma masing-masing.
“Apa mau kalian?” Sekar Ayu menggeram.
Balaupata dan Cingkarabala kembali tertawa ter-
bahak-bahak. Tawa yang khas dari orang-orang go-
longan hitam.
Akan tetapi, lebih dari itu, tawa keduanya mengan-
dung ajian yang membuat udara bergetar dan mem-
buat siapa pun yang mendengarnya gemetar.
Gelap sayuta.
Akan tetapi, Sekar Ayu bukan wanita sembarang-
an. Apalagi terasa bahwa ajian dalam tawa mereka
ma sih terlampau mentah dan menakutkan bagi anak-
anak ingusan belaka.
Menyadari tawanya tidak memberikan pengaruh
apa-apa, seperti Balaupata, Cingkarabala menjejak-
kan kaki kirinya ke pinggiran sampan sehingga go-
yangan sampan kian menggila.
Kali ini, darah mulai mengalir deras di seluruh
pembuluh tubuh Sekar Ayu. Meloncat dari sampan
ke sungai tentu bukan tindakan bijaksana. Sungai itu
dalamnya tidak bisa diduga. Airnya mengalir tenang
kecokelatan dan dasarnya tidak kelihatan. Mungkin
hanya sepinggang, tetapi mungkin juga sedalam ga-
pai an tangannya. Yang jelas, kalau ia meloncat dan
berenang, ia justru akan menjadi mangsa empuk dua
raksasa kembar itu.
Oleh karena itu, sebelum gila oleh goyangan sam-
pan, Sekar Ayu menghunus dua pedang pendeknya
dan langsung merangsek. Dalam situasi seperti itu,
menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.
Baik Balaupata maupun Cingkarabala sama-sama
menghindar mundur. Bukan karena takut, melain-
kan karena sekejap mata pun keduanya bisa melihat
ujung-ujung pedang pendek Sekar Ayu yang berwar-
na ungu.
Pedang beracu
Jadi, benar dugaan mereka, wanita itu adalah Ma-
war Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara. Candi
raksasa itu memang menyimpan sejarah gemilang ti-
dak hanya mengenai sastra dan budaya, tetapi juga
para perempuannya yang terkenal jelita dan berilmu
tinggi, sebagaimana leluhur mereka, Pramodhawar-
dhani—salah satu perempuan paling jelita dalam se-
jarah Nusantara.
Oleh karena itulah, Balaupata dan Cingkarabala
tak hendak bermain-main dengan mawar beracun.
Mereka lebih banyak menghindar dan hanya sesekali
mencoba menangkis gagang pedang Sekar Ayu de-
ngan gada masing-masing. Lagi pula, karena sampan
itu hanya selebar satu depa, keduanya sulit menem-
patkan diri untuk menjepit Sekar Ayu.
Wanita itu pun sadar bahwa ia harus menempat-
kan kedua lawannya di depannya dan tidak memberi-
kan ruangan yang memadai sehingga bisa menjepit-
nya dari dua posisi yang berlawanan.
Pertempuran itu dengan cepat berlangsung bebe-
rapa jurus. Dengan mengandalkan kecepatan dan il-
mu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna,
Sekar Ayu menggerak-gerakkan kedua pedangnya se-
perti mulut-mulut ular berbisa yang siap mematuk
lawannya. Sementara itu, makin lama makin kelihat
an bahwa meskipun unggul segalanya dalam tenaga,
kedua raksasa itu—sebagaimana umumnya para rak-
sasa—memiliki otak yang terlalu kental. Atau mung-
kin beku. Mereka lebih banyak mengandalkan naluri
karena kebiasaan hidup mereka di atas air.
Oleh karena itu, lama-lama kelihatan bahwa Ba-
lau pata dan Cingkarabala kewalahan menghadapi se-
pak terjang Sekar Ayu. Meskipun air sungai bukan lah
dunia nya, Sekar Ayu menunjukkan bahwa Mawar Ber-
duri bukanlah gelar kosong belaka. Hanya saja, meski-
pun bisa mendesak sedikit demi sedikit, Sekar Ayu su-
lit mendekati, apalagi menjatuhkan lawannya. Sebab,
setiap kali Sekar Ayu melancarkan serang an maut,
Balaupata dan Cingkarabala bergantian meng goyang-
goyangkan sampannya dengan keras. Bagai manapun,
arah serangan Sekar Ayu menjadi mentah karenanya.
Sehebat-hebatnya Adipati Karna, kalau keretanya
se nga ja digoyang-goyang oleh Salya, bidikannya akan
sela lu meleset.
Oleh karena itu, pertempuran satu lawan dua itu
bertambah seru dan terus berlangsung seimbang. Se-
kar Ayu tahu bagaimana catatan buruk dua lawan-
nya yang tidak pernah segan-segan melakukan apa
pun demi memuaskan nafsu mereka. Di pihak lain,
Balaupata dan Cingkarabala sadar bahwa sekali ujung
pedang Sekar Ayu menggores kulit mereka, mautlah
akibatnya.
Dengan demikian, kedua pihak benar-benar me-
musatkan perhatian mereka kepada lawan masing-
masing.
Ketiganya tidak menyadari ada sejumlah pasang
mata yang mengawasi pertempuran sengit itu.
Di balik sebuah gerumbul perdu, di sebelah timur
sungai, mata Mahesa Geni tak sedetik pun lepas dari
perkelahian itu. Sekali lagi, dalam hatinya ia memuji
kehebatan ilmu wanita itu. Ia baru datang ketika salah
satu raksasa kembar itu menyebut gelar si pendekar
wanita meskipun dengan ungkapan yang dipelesetkan.
“Pantas saja,” desis Mahesa Geni memuji Sekar Ayu,
si Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Bu dhara .
Mahesa Geni tersenyum sendiri. Aku ingin suatu
saat bisa menguji ilmunya.
Oleh karena itu, Mahesa Geni menarik sebatang
bambu kecil sepanjang sejengkal dari balik bajunya.
Dipungutnya sebutir kerikil, dimasukkannya ke lu-
bang bambu, lalu bambu itu pun ditiupnya. Kerikil
melesat seperti anak panah, menimbulkan desis yang
mengiris.
Balaupata terlambat menyadari datangnya serang-
an gelap itu.
Sesuatu mengenai mata kakinya dan sakitnya lang-
sung menyengat hingga sekujur tubuh. Tumpuan kaki-
nya menjadi goyah dan tubuh besarnya terjeng kang,
lalu tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya
terlepas mencelat dan jatuh tepat mengenai keningnya.
Ibarat peribahasa: sudah jatuh tertimpa gada!
Cingkarabala terkejut bukan buatan. Perhatian-
nya terpecah sehingga ujung pedang Sekar Ayu nyaris
menyayat lengannya. Kalau saja ia tidak menghindar,
pastilah tidak hanya bajunya yang sobek.
Akan tetapi, ujung pedang Sekar Ayu terus mem-
bu ru seperti ular sendok mendesis-desis. Cingkaraba-
la ha nya mampu mencoba menangkis, baik dengan
ta ngan kiri maupun dengan gada di tangan kanan.
Ta pi, lambat laun ia kian terdesak, hingga pada satu
saat kakinya keliru menumpu dan tubuhnya terjeng-
kang dan tercebur dengan punggung lebih dulu. Ga-
danya mencelat dan jatuh menimpa keningnya.
Mungkin begitulah nasib saudara kembar. Nasib
sial pun serupa.
Sekar Ayu memanfaatkan kesempatan itu untuk
mencabut galah bambu yang tadi ditancapkan ke da-
sar sungai, dan dengan menjejakkan pangkal bam bu
itu sekuat tenaga, sampan pun meluncur ke tepi barat
sungai.
Sebelum sampan sampai ke tepi, Sekar Ayu melon-
cat menuju sebongkah batu yang menonjol di tepi
sungai, kemudian menjadikan batu itu benar-benar
sebagai “batu loncatan” untuk mencapai daratan.
Uh, nyaris saja! katanya dalam hati.
Di balik sebatang pohon, seseorang dengan mata
elang mengamati sepak terjang Sekar Ayu, sepasang
rak sasa dari Segara Anakan, dan Mahesa Geni sekaligus.
Sebelum Sekar Ayu menjejakkan kakinya di sebe-
rang, seseorang merapatkan tubuhnya di balik sebuah
gerumbul perdu.
Gila, setidaknya empat orang aneh dengan kemam-
puan tinggi sama-sama hadir di sini, pikirnya. Apakah
tujuan mereka sama?
Ia membiarkan Sekar Ayu melenggang hanya be-
berapa puluh langkah darinya. Sekar Ayu meman-
dang sekilas ke arah sepasang raksasa kembar, Siapa
pun yang telah membantuku, kuucapkan terima ka-
sih, batin Sekar Ayu, yang sejenak kemudian melesat
menembus hutan di hadapannya.
Sepasang raksasa itu dengan susah payah berenang
menuju tepi. Meskipun mereka jagoan air, mereka ba-
ru saja terluka dan gerak mereka tak lebih dari kerbau.
“Tunggu pembalasanku!” kata Balaupata.
“Pembalasan kita!” ucap Cingkarabala.
Akan tetapi, keduanya berjalan terpincang-pin-
cang sehingga mustahil mengejar Sekar Ayu.
Orang yang bersembunyi di balik gerumbul perdu
itu mengambil jalan memutar agak ke selatan. Ia un-
tuk sementara tidak ingin bertemu dengan siapa pun.
Pasti akan ada pertunjukan yang hebat, pikir orang
itu. Meskipun hanya kabar angin, keberadaan Kitab
Siliwangi memang menarik minat siapa pun jago silat
di jagat ini.
%
MEMANG sulit diterima akal sehat. Pada masa itu,
antara satu kampung dan kampung lain kadang ter-
bentang jarak sejauh satu bukit. Dari satu kota ke kota
lain harus ditempuh paling cepat satu hari naik kuda.
Kabar hanya beredar dari mulut ke mulut. Alat pem-
bantu penyampai kabar hanyalah kentongan, yang
ditabuh dengan jumlah ketukan atau irama tertentu
untuk menyampaikan kabar tertentu. Akan dibutuh-
kan waktu berhari-hari hingga seseorang mendengar
kabar bahwa saudaranya di kampung lain meninggal
dunia misalnya.
Akan tetapi, entah bagaimana caranya, pepohonan
seakan-akan memiliki telinga dan udara seolah-olah
dengan cepat menyampaikan kabar ke pelbagai sudut
negeri bahwa di sebuah kawasan bernama Bukit Sa-
gara tersimpan salah satu kitab yang paling dicari di
kalangan para pendekar.
Kitab Siliwangi.
Inilah satu-satunya kitab yang ditulis semasa Sri
Ba duga Maharaja, yang jauh lebih termasyhur de-
ngan julukan Prabu Siliwangi, tengah berada di pun-
cak kekuasaannya. Tidak jelas siapa yang menulisnya,
apakah Prabu Siliwangi sendiri atau seorang pejabat
keraton yang ia percayai. Tapi, kalangan luas percaya
bahwa kitab itu, selain berisi wejangan mengenai ajar-
an leluhur, juga mengandung inti ilmu kesaktian Pra-
bu Siliwangi sendiri, yang membuatnya nyaris tanpa
lawan ketika berada di puncak kejayaan.
Kitab itu kemudian diturunkan kepada para pene-
rusnya.
Hanya sayang, penerus Sri Baduga, Prabu Surawi-
sésa, kurang memiliki minat terhadap ajaran dan
ke saktian yang terpapar dalam kitab itu. Raja-raja
berikutnya, Prabu Déwatabuanawisésa, Prabu Sakti,
Prabu Nilakéndra, dan terakhir Prabu Ragamulya,
malahan makin lama makin surut perhatiannya.
Dan kini, entah bagaimana, kitab itu diyakini ber-
ada di sebuah wilayah terpencil di Bukit Sagara, se
buah perbukitan kecil di lereng selatan Gunung Kum-
bang, tidak jauh dari bekas batas timur Paja jaran.
Oleh karena itu, dengan cepat Bukit Sagara di-
datangi oleh tokoh-tokoh utama persilatan dari ber-
bagai penjuru Jawa Dwipa dengan tujuan yang sama:
berebut Kitab Siliwangi. Mereka tidak hanya datang
dari negeri-negeri bekas Pajajaran, tetapi juga dari ber-
bagai pelosok, mulai dari pantai utara, pantai selatan,
Demak, Pajang, Madiun, bahkan Probolinggo di
ujung timur Jawa Dwipa. Tidak hanya para pendekar
pembela kebenaran, kebanyakan justru para jagoan
dari golongan hitam.
Siapa pun tahu, pada masa itu pengakuan sebagai
tokoh silat paling hebat masih menjadi angan semua
orang.
Kedatangan mereka memang tidak terlalu men-
colok. Biasanya mereka datang seorang demi seorang.
Tapi, mereka memiliki ciri yang hampir serupa: mere-
ka datang dengan menyandang senjata di pinggang
atau punggung mereka.
Nantinya, memang, tidak semua tokoh itu tiba
di daerah yang dituju pada saat yang tepat. Sebagian
ter lambat, sebagian lagi perlu mengukur diri untuk
berebut melawan tokoh-tokoh hebat.
4.Jalan Aneh
Menimba Ilmu
BAKA WULUNG membuka mata. Melalui
lubang-lubang di dinding bilik, tampak di
luar masih remang. Barangkali fajar baru
merekah di langit timur.
Dan, selalu saja, dalam waktu seperti itu, si kakek
sudah pergi. Ke mana ia sepagi ini?
Jaka Wulung meregangkan tubuhnya. Setiap hari,
ia merasakan tubuhnya makin bugar. Kakinya tak
lagi merasakan sakit. Begitu pula tangannya. Pendek
kata, ia sudah pulih seperti sedia kala, seperti sebe-
lum meng alami perlakuan tidak menyenangkan dari
bocah-bocah keturunan Jipang Panolan, beberapa ha-
ri la
Oh, bahkan terasa lebih bugar. Napasnya lebih se-
gar dan panjang. Otot-otot jemarinya lebih kencang.
Apa yang telah dilakukan kakek itu?
Ketika jatuh dari tebing, Jaka Wulung sudah ti-
dak lagi berharap selamat. Tubuhnya terasa remuk re-
dam tatkala berbenturan dengan dahan-dahan pepo-
honan. Ia bahkan sudah tak merasakan apa-apa lagi
karena sejak itu kesadarannya sudah lenyap.
Ketika ia membuka mata, hanya kesunyian yang ia
rasakan. Angin seperti mati. Hanya terdengar napas
teratur seseorang tak jauh darinya. Seorang lelaki tua.
Mengenakan jubah abu-abu, ia duduk bersila dengan
tangan bersedekap dan mata terpejam.
Siapa dia?
“Syukurlah kamu sudah siuman,” desis lelaki tua
itu.
Jaka Wulung terkejut. Lelaki tua itu masih terpe-
jam dengan napas teratur seperti sedang tidur.
“Di mana saya?” Jaka Wulung mencoba duduk.
“Jangan bergerak. Berbaringlah.” Lelaki tua itu
masih tetap terpejam.
Jaka Wulung tetap berbaring. Bukan karena kata-
kata kakek itu, melainkan karena ia tidak bisa meng-
gerakkan tubuhnya. Semua tulang tubuhnya seperti
porak-poranda. Otot-ototnya tidak bertenaga. Rasa
nyeri merejam-rejam seperti seribu jarum menusuk-
nusuk pori-porinya.
Ia hanya bisa mengedarkan matanya.
Lampu minyak jarak yang suram memberikan pe-
man dangan sebuah bangunan yang lebih tepat dise-
but pondok, sebuah bangunan yang terkesan dibuat
untuk tempat tinggal sementara. Hanya ada satu
pem baringan, yang kini ditempatinya. Di sebuah su-
dut, ada bangku persegi yang tidak terlalu tinggi. Di
atasnya teronggok sejenis dedaunan bertulang pan-
jang.
Tiang-tiang kayu pondok itu kelihatannya sudah
mulai keropos dimakan rayap. Dinding bambunya
berlubang-lubang. Udara mengalir pelan dan mem-
buat tubuh Jaka Wulung menggigil.
Dengan daya nalarnya yang masih belum pulih
be nar, Jaka Wulung mencoba mereka-reka apa yang
terjadi ketika ia jatuh. Ah, ia pastilah ditolong oleh
kakek itu. Ia kemudian dibawa ke pondoknya yang
sederhana ini, entah di mana.
Kakek itu tampaknya enggan berbicara mengenai
siapa dia dan di mana mereka berada. Tapi, setiap hari
kakek itu memberikan ramuan yang harus diminum
Jaka Wulung. Pada hari kedua, Jaka Wulung sudah
bisa bangun dan berjalan dengan tertatih-tatih. Ke
tika memandang ke luar, barulah ia menyadari bahwa
pondok itu berada di sebuah lereng yang landai, di
tengah hutan yang sunyi.
Maksudnya, sunyi dari manusia dan bangunan
lain.
Hutan ini, sebagaimana hutan di mana pun, ada-
lah kehidupan yang riuh oleh suara binatang dan ge-
sekan dedaunan.
Akan tetapi, sampai hari ketiga, kakek tua itu tetap
su nyi dari kata-kata. Terutama mengenai dirinya. Mes-
kipun demikian, Jaka Wulung yakin bahwa kakek itu
bukan manusia pada umumnya. Terbukti Jaka Wu lung
pulih dalam waktu singkat berkat ramuannya.
Siang hari, barulah lelaki tua itu akan muncul lagi
dengan membawa berbagai tanaman untuk dibuat
ramuan serta buah-buahan.
“Kakek, siapa sebenarnya Kakek ini?”
Lelaki tua itu memandang Jaka Wulung tanpa
menjawab. Ia membereskan semua bawaannya. Sete-
lah semuanya tertata, barulah ia menghadapi helai-
helai daun bertulang panjang dan menggores-gores-
kan cairan hitam dengan semacam kuas.
Baru belakangan Jaka Wulung tahu nama daun itu
adalah daun nipah dan kakek itu sedang membuat
tulisan di permukaan daun nipah itu.
“Bolehkah saya menjadi murid Kakek?” Jaka Wu-
lung memandang lelaki tua itu penuh harap.
Kali ini lelaki tua itu menoleh dan memandang
Jaka Wulung beberapa lama, seakan-akan sedang me-
nimbang-nimbang keinginan Jaka Wulung. “Aku ti-
dak punya kepandaian apa-apa.” Lelaki tua itu bang-
kit, mengambilkan buah-buahan, dan menyodorkan-
nya kepada si bocah. “Makanlah.”
Jaka Wulung memandang lelaki itu meminta kete-
gasan. “Kakek menolong saya ketika jatuh dari tebing
yang sangat curam. Kalau tidak punya kepandaian
apa-apa, Kakek tentu tidak akan mampu menolong
saya.”
Lelaki tua itu masih diam.
Jaka Wulung tertunduk. “Kalau begitu, sebelum
saya pergi, boleh tahu nama Kakek?”
Lelaki tua itu kembali memandang Jaka Wulung
yang masih tertunduk. “Jangan pergi dulu. Tunggu-
lah beberapa hari lagi,” ditariknya napas dalam. “Kau
boleh panggil aku Karta. Ki Karta.”
DAN kini, Jaka Wulung bangkit, membuka pintu,
lalu memandang keremangan pagi. Langit masih benderang oleh bintang-bintang. Dedaunan hutan mem-
berikan kesegaran berupa zat asam. Paru-paru Jaka
Wu lung menghirup sebanyak mungkin udara dan
me lepasnya pelan-pelan.
Mendadak, samar-samar ia mendengar sesuatu.
Jaka Wulung melangkahkan kakinya mengikuti
pen dengarannya. Ia merasakan keanehan. Hutan itu
riuh dengan gesekan dedaunan, derit dahan-dahan
pohon, nyanyian serangga, dan jerit bermacam kera.
Biasanya, memang seperti itulah yang ia dengar. Tapi,
kali ini pendengarannya bisa dengan jelas menangkap
suara-suara lain.
Ia terpaku ketika tiba di suatu tempat yang agak
lapang, beberapa puluh langkah di sebelah kanan
pondok mereka.
Di hadapannya, seseorang sedang melakukan ge-
rakan-gerakan kaki, tubuh, dan tangan yang lincah.
Langkahnya sangat ringan, tangannya seperti menari,
tetapi juga mematuk dan mencakar udara, dan tu-
buhnya sangat lentur mengikuti segala gerakan kaki
dan tangannya. Beberapa gerakan bahkan sedemikian
cepat sehingga Jaka Wulung tidak bisa mengikuti de-
ngan penglihatannya. Jelas bahwa gerakan demikian
hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ke-
mampuan tinggi!
Kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri, Jaka
Wulung pastilah tak akan percaya.
Tiada lain orang itu: Ki Karta!
Berbeda dengan penampilan selama ini, yang keli-
hatan ringkih, Ki Karta benar-benar kelihatan dua pu-
luh atau bahkan tiga puluh tahun lebih muda. Hanya
mengenakan celana pangsi sampai separuh betis, tan-
pa baju, Ki Karta memperlihatkan tubuh yang terpeli-
hara. Dan, di tengah hawa pagi yang masih menggigit,
keringat berkilat memenuhi permukaan badannya.
Tiba-tiba pada suatu saat, Ki Karta menghentikan
gerakannya.
“Keluarlah!” serunya.
Jaka Wulung terkejut. Sekali lagi terbukti bahwa
Ki Karta bukan orang sembarangan. Ki Karta tahu
bahwa Jaka Wulung sedang mengintipnya di balik se-
batang pohon.
Jaka Wulung ragu-ragu beberapa jenak.
“Ke sinilah, Bocah.”
Jaka Wulung keluar dari balik sebatang pohon.
Langit mulai terang dan wajah Ki Karta tampak
segar. Tak ada rona kemarahan pada wajahnya.
Si bocah membungkuk penuh hormat.
“Aki, saya ingin belajar silat,” suara Jaka Wulung
pelan, tetapi mengandung bergumpal harapan.
Ki Karta menghela napas. “Itu tadi bukanlah ilmu
silat,” katanya. “Itu tadi hanyalah gerakan-gerakan
un tuk menjaga kesehatan. Maklumlah, aku sudah
tua. Kalau tidak melakukan gerak badan seperti ini
se tiap pagi, penyakit akan mudah sekali datang.”
“Ki Karta adalah seorang berilmu tinggi dan saya
ingin menjadi murid Aki.”
“Tidak, Bocah. Aku hanyalah kakek-kakek biasa.”
“Tapi, boleh kan kalau saya menjadi murid Aki?”
Ki Karta menggeleng dengan tegas.
Jaka Wulung menunduk penuh kecewa.
AKAN TETAPI, Jaka Wulung adalah bocah yang me-
miliki kemampuan mengingat yang luar biasa meski-
pun ia sendiri tidak menyadarinya. Ia juga tergolong
bocah yang mempunyai keinginan sangat kuat untuk
bel ajar. Terutama belajar ilmu kanuragan. Hanya saja,
sampai saat itu ia belum pernah menjadi murid siapa
pun atau perguruan mana pun.
Rupanya, kalangan jelata seperti dia sulit mendapat
tempat di mana pun. Keinginannya untuk belajar il-
mu kanuragan bahkan telah membuatnya celaka. Ta-
pi, di sisi lain, pengalaman pahitnya itu justru me
nambah kuat keinginannya untuk memiliki kemam-
puan, setidaknya membela diri.
Jaka Wulung sudah melihat bahwa Ki Karta me-
miliki ilmu yang hebat, punya pengetahuan tentang
pengobatan, dan bisa membuat tulisan di daun nipah.
Pastilah Ki Karta bukan orang kampung biasa.
Sayang sekali keinginannya untuk berguru kepada
Ki Karta tidak kesampaian.
Penolakan Ki Karta sebenarnya membuat Jaka
Wulung ingin segera pergi dari pondok itu. Tapi, ia
masih menyimpan penasaran. Setidaknya, ia ingin
dua atau tiga kali lagi melihat Ki Karta melatih ge rak-
an-gerakan silatnya.
Untuk mengisi waktunya, siang itu, ketika Ki Karta
pergi seperti biasanya, Jaka Wulung mencoba meng-
ingat-ingat semua gerakan yang dilakukan Ki Karta,
lalu menerapkannya sendiri. Mulai dari langkah kaki,
kemudian gerakan tubuh, hingga bentuk jemari yang
dibuat seperti cakar harimau. Mula-mu la memang tera-
sa kaku, tetapi lama-lama ia bisa melakukannya dengan
sempurna.
Jaka Wulung juga melakukan semua gerakan yang
dilakukan bocah-bocah keturunan Jipang Panolan. Ia ti-
dak tahu bahwa gerakan itu berdasarkan ilmu hebat yang
disebut gagak rimang, ilmu andalan Arya Pe nangsang.
Berdasarkan daya ingatnya, dari tiga hari menon-
ton ketiga bocah itu berlatih dibimbing Ki Jayeng Se-
gara, Jaka Wulung berhasil meniru semua jurus gagak
rimang nyaris tanpa kesalahan. Di tengah melakukan
semua gerakan itu, tergambarlah dengan jelas wajah-
wajah bocah itu: Lingga Prawata, Watu Ageng, dan
Dyah Wulankencana.
Ketika mengingat wajah gadis kecil itu, hatinya
ber desir oleh rasa hangat. Apakah aku bisa bertemu
lagi dengannya? Cepat-cepat Jaka Wulung mengusir
pi kir an seperti itu. Ia hanyalah bocah jelata. Gadis itu
jelas sebangsa bidadari meskipun kini seperti bidadari
yang tersesat di rimba raya.
Meskipun demikian, dengan membayangkan wa-
jah gadis itu, dan terutama bocah sombong bernama
Lingga Prawata, Jaka Wulung terus melakukan semua
gerakan dasar ilmu gagak rimang berulang-ulang.
Berulang-ulang pula ia meniru semua gerakan
yang ia ingat dilakukan Ki Karta pagi itu.
Keringat sudah membanjir dari tubuhnya.
Jaka Wulung tidak sadar matahari sudah mulai
jatuh di langit barat.
Ia juga tidak sadar sepasang mata menyorot tajam
dari balik rumpun perdu.
Luar biasa bocah ini, kata hati Ki Karta.
Ketika kali pertama menemukan bocah itu dalam
keadaan pingsan di atas gerumbul perdu di tepi Ci
Gunung—untung bocah itu tidak jatuh menimpa
bebatuan—Ki Karta mengakui bahwa Jaka Wulung
memiliki tubuh yang sangat istimewa. Kalau yang
jatuh dari ketinggian seperti itu anak muda biasa, se-
telah membentur-bentur dahan-dahan pepohonan,
apalagi ia jatuh setelah melalui sebuah perkelahian,
Ki Karta yakin siapa pun tak akan selamat nyawanya.
Tapi, bocah itu hanya pingsan.
Setelah ia membawa bocah itu ke pondoknya, di se-
buah tempat yang jauh terpencil di sebuah bukit kecil
yang dinamakan orang Bukit Segara, lalu mera watnya,
Ki Karta benar-benar dibuat kagum. Hanya dalam
be berapa hari, bocah itu sudah hampir pulih seperti
se diakala. Padahal, ia hanya merawat dengan ramuan
seadanya dan makanan buah-buahan di sekitarnya.
Ki Karta menunggu sampai Jaka Wulung me nye-
lesaikan semua gerakannya
GELAP mulai menyungkup seperti tirai raksasa. Nya -
nyian serangga mengiring kepergian garis-garis ma ta-
hari ditelan rerimbun hutan.
Ki Karta tengah menulis sesuatu di lembar-lembar
nipah ketika Jaka Wulung muncul dari membersih-
kan diri di aliran sungai kecil di lembah pondok.
“Sampurasun, Aki.”
“Rampes,” Ki Karta menjawab tanpa menoleh. Ia
terus menggurat-guratkan kuasnya di lembar nipah
dengan alas bangku. “Dapat ikan banyak, ya?” Kepala
Ki Karta tetap menunduk.
Jaka Wulung tersenyum sendiri. Kadang orang tua
memang selalu lupa. Bagaimanapun disembunyikan,
makin jelas bahwa Ki Karta banyak memiliki kelebih-
an dibanding orang kebanyakan. Ia bisa mencium
bau ikan dan jumlahnya banyak.
“Iya, Ki, tadi saya dapat di kali sebelum mandi di
pancuran. Nanti sekalian saya bakar, ya. Malam ini
kita makan enak.”
Jaka Wulung lekas menyiapkan kayu-kayu dan
segera membuat pembakaran. Tak lama kemudian,
menguarlah aroma ikan bakar. Jaka Wulung tidak sa-
bar lagi untuk segera menyantapnya. Perutnya terde-
ngar seperti tetabuhan dogdog!
“Ki,” ujar Jaka Wulung ketika mereka bersama-sa-
ma menyantap nasi dan ikan bakar. “Kalau Aki meno-
lak mengajari saya ilmu beladiri, biarlah saya menjadi
murid Aki dalam menulis di daun nipah. Boleh, kan?”
Ki Karta berhenti mengunyah sejenak, kemudian
menarik napas dalam. Bocah ini memiliki banyak kele-
bihan. Siapa sebenarnya dia? pikir Ki Karta.
“Baiklah,” kata Ki Karta.
Semenjak malam itu juga Jaka Wulung mendapat
pelajaran tentang menulis. Benar-benar dari dasar,
yaitu menulis huruf demi huruf. Mula-mula ia belajar
melalui goresan kayu di tanah. Setelah mahir, barulah
ia berpindah ke daun nipah. Bahkan di belakang hari,
Jaka Wulung juga belajar menulis di atas permukaan
daun lontar dengan menggunakan pisau pangot.
Tidak hanya belajar cara menulis huruf. Jaka Wu-
lung juga belajar cara menulis naskah sastra. Tahap
ini tentu saja jauh lebih rumit dibanding hanya me-
nulis huruf. Dan, belakangan terbukti bahwa baik
Jaka Wulung maupun Ki Karta sama-sama saling
memuji meskipun dalam hati.
Jaka Wulung memuji Ki Karta, yang sudah ia
pang gil sebagai guru, yang ternyata seorang penulis
naskah yang mumpuni. Naskah-naskahnya yang se-
bagian besar berupa pantun1
sangat indah. Di pihak
lain, Ki Karta memuji Jaka Wulung sebagai murid
yang sangat cerdas. Ingatannya sangat kuat dan ba-
kat nya dalam menulis naskah sangat besar.
1
Sejenis naskah cerita dalam sastra Sunda.
Serupa benar dengan Bambang Ekalaya di jagat pe-
wayangan, pikir Ki Karta.
Tiba-tiba Ki Karta teringat sosok yang selama ini
ia anggap menjadi gurunya, baik dalam sastra mau-
pun ilmu kanuragan, Resi Jaya Pakuan. Kalau saja
sang Guru masih ada, pikir Ki Karta, tentu Jaka Wu-
lung akan mendapat didikan dari orang yang tepat. Ki
Karta menyesal tidak terlalu mendalami ilmu sastra.
Ia selama ini lebih memilih mendalami ilmu kesak-
tian, yang membuatnya lebih banyak menghadapi
masalah daripada menyelesaikan masalah.
Ki Karta menghela napas panjang, mengusir rasa
sesalnya.
Sementara itu, setiap menjelang fajar menying-
sing, Ki Karta akan selalu bangun lebih dulu.
Jaka Wulung akan pura-pura masih tertidur ka-
lau Ki Karta memulai kegiatannya setiap hari. Tidak
berapa lama kemudian, Jaka Wulung akan bangun
dari tempat tidurnya, bersijingkat keluar dari pondok
itu, berhati-hati menuju sebatang pohon di tepi lahan
lapang, dan dari sana ia juga memulai harinya.
Langit masih temaram, tetapi Jaka Wulung makin
lama makin terbiasa melihat Ki Karta mulai meng-
hangatkan tubuhnya dengan olah napas, kemudian
melatih dan memelihara kelenturan segenap anggota
badannya melalui gerakan-gerakan teratur yang mem-
bentuk jurus-jurus tertentu yang kelihatan sederhana,
tetapi kerap memberikan akibat yang dahsyat.
Setiap geraknya selalu menimbulkan kesiur angin
di sekitar tubuhnya, yang membuat dedaunan rontok
dari tangkainya.
Jaka Wulung akan menyimpan dalam kepala nya
semua yang dilakukan Ki Karta. Dan, sebelum ma-
ta hari sepenggalah, menjelang Ki Karta menye le sai-
kan ritual latihannya, Jaka Wulung akan menye li nap
kembali ke pondok, lalu membaringkan tubuhnya di
tempat tidur. Jaka Wulung akan pura-pura mendeng-
kur ketika Ki Karta masuk ke pondok.
Ketika Ki Karta pergi menjelang siang, Jaka Wu-
lung akan segera menuju sebuah tanah agak lapang
yang ia pilih sendiri, tidak jauh dari pancuran. Ia pun
akan segera menerapkan semua ingatan di kepalanya
saat itu juga. Mulai dari olah napas hingga bermacam
gerak yang membentuk jurus-jurus tertentu.
Beberapa kali Jaka Wulung melakukan kesalahan
ketika menerapkan gerak baru. Tapi, ia akan selalu
mengulanginya sehingga semua jurusnya ia lakukan
hampir tanpa kesalahan lagi.
Ketika matahari sudah di puncak langit, Jaka Wu -
lung akan menyelesaikan latihannya. Ia akan me loncat-loncat lincah, meniti bebatuan yang bertonjolan,
dan akan segera menceburkan diri sambil menikmati
segarnya air pancuran. Berendam menikmati kese-
jukan sungai dan memulihkan tenaganya.
Jaka Wulung tidak menyadari bahwa dari sebuah
gerumbul perdu sepasang mata mengawati semua
yang dilakukannya.
Ki Karta!
Sekali lagi Ki Karta mengagumi bakat yang dimi-
liki Jaka Wulung. Tanpa bimbingan langsung siapa
pun, hanya dengan mengingat apa yang ia lihat, Jaka
Wulung mampu melakukannya dengan hampir sem-
purna.
Tentu saja Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung se-
lalu mengintip setiap pagi. Ki Karta juga tahu bahwa
Jaka Wulung hanya pura-pura tidur, baik ketika ia ke-
luar maupun ketika ia datang lagi.
“Kalau saja bocah ini mendapat bimbingan seca ra
langsung,” batin Ki Karta. Tapi, ia tidak bisa me la ku-
kannya. Ia tak ingin melanggar sumpahnya sen diri, yak-
ni tidak akan pernah mengangkat seorang pun murid.
Batin Ki Karta dilanda kebimbangan menyaksikan
bakat luar biasa Jaka Wulung.
Oleh karena itu, Ki Karta memutuskan untuk menja-
dikan Jaka Wulung sebagai murid secara tidak langsung.
Ia akan membiarkan Jaka Wulung menye rap ilmunya
setiap pagi, tahap demi tahap mening kat secara terus-
menerus, mulai dari tahap gerak ka sar, hingga akhirnya
ke jurus yang dilambari tenaga dalam. Ia akan berpu-
ra-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengin-
tipnya. Ia juga berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wu-
lung meniru semua gerak dan jurusnya setiap hari.
Dengan demikian, Ki Karta merasa tidak melang-
gar sumpahnya untuk mengangkat seorang murid.
Demikianlah, terjadi penurunan ilmu yang ganjil
dari seorang kakek misterius yang mengaku bernama
Ki Karta kepada bocah aneh bernama Jaka Wulung.
DALAM waktu singkat, karena daya serap Jaka Wu-
lung yang sangat istimewa, seluruh ilmu yang dimiliki
Ki Karta sudah diturunkan kepada si bocah. Tinggal
satu ilmu yang belum diturunkan. Ki Karta ragu-ragu
apakah ia akan menurunkan ilmu yang satu ini.
Ilmu pamungkas miliknya.
Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya
ragu-ragu.
Pertama, Jaka Wulung kelihatan masih terlampau
muda untuk menerima ilmu ini. Ki Karta tidak yakin
apakah si bocah akan mampu mempelajari ilmu ini
mengingat dibutuhkan laku yang sangat berat untuk
mencapai tingkatan yang diharapkan.
Kedua, ini yang sangat sulit dilaksanakan, ilmu ini
diturunkan hanya kepada orang yang mewarisi darah
Prabu Siliwangi. Sebab, ilmu ini memang diciptakan
dan disempurnakan oleh Prabu Siliwangi sendiri dan
yang secara tradisi hanya diturunkan kepada mereka
yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Prabu
Siliwangi.
Inilah ilmu yang membuat Prabu Siliwangi ham-
pir tidak menemui lawan sepadan ketika ia di puncak
kejayaan.
Ilmu gulung maung.
Dalam hati kecilnya, Ki Karta cenderung ingin me-
nu runkan pula ilmu gulung maung kepada si bo cah. Ia
tidak tahu tinggal berapa orang di tatar Sun da yang
masih menggenggam ilmu dahsyat ini. Ia kha wa tir
ilmu ini akan punah kalau tidak diturunkan seka rang.
Akan tetapi, di sisi lain, ia harus mematuhi garis
yang telah ditetapkan leluhurnya agar tidak semba-
rangan menurunkan ilmu ini kepada orang yang ti-
dak jelas asal usulnya.
Semalam suntuk Ki Karta menimbang-nimbang
ke mungkinan untuk menurunkan ilmu gulung maung. Tak lupa ia bersemadi, meminta petunjuk kepa-
da leluhurnya, apakah ia tidak tergolong melanggar
purba tisti dan purbajati kalau ia memutuskan menu-
runkan ilmu pamungkasnya kepada si bocah.
Di kejauhan, terdengar auman panjang seekor
harimau.
Telinga Ki Karta menegang.
Beberapa saat kemudian, setelah auman itu meng-
hilang, Ki Karta membuka matanya. Dadanya men-
jadi lega.
Ki Karta yakin, auman harimau itu menjadi se-
macam restu
Ia pun sudah bisa mengambil keputusan secara
mantap.
LANGIT masih ditaburi ribuan kerlip bintang. Bu-
rung-burung bangun dari tidur nyenyak mereka, ber-
ceriap nyaring, menyilap serangga malam yang mulai
kelelahan.
Ki Karta sudah menyelesaikan olah napasnya seba-
gai pemanasan menuju olah tubuh dan gerak badan.
Jurus demi jurus kemudian melindas udara pagi,
hing ga akhirnya, bertepatan dengan garis-garis pertama matahari, Ki Karta mulai memasuki jurus pa-
mungkasnya: gulung maung.
Sedikit demi sedikit tangan dan jemarinya menge-
ras, membentuk cakar yang siap mencabik sasaran.
Pancaindranya menjadi lebih tajam. Penglihatan,
pen dengaran, penciuman, peraba, dan pengecap per-
lahan tetapi pasti menjadi lebih peka. Jika ada gerakan
kecil di mana pun yang mencurigakan di sekitarnya,
pasti tak akan lepas dari pancaindranya.
Dari tenggorokannya tak tertahan mengalir gelom-
bang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan
langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, se-
perti suara harimau ....
Grrrhhh!
Ki Karta meloncat ringan dan kedua tangannya
mengarah sebatang pohon kiara sebesar tubuh manu-
sia. Segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari
cakar-cakar Ki Karta dan menghantam batang po-
hon, menimbulkan suara debam yang akan terasa
me mukul dada siapa pun yang menyaksikannya.
Beberapa jenak Ki Karta tetap berdiri dengan ke-
dua kaki rendah dan tangan masih terentang ke de-
pan.
Pohon itu tetap berdiri tegak.
Tetapi hanya beberapa jenak.
Tiba-tiba terdengar suara derak batang yang re-
muk dan patah, kemudian pohon itu pun tumbang
berdebum menimpa tanah.
Sulit membayangkan bagaimana kalau pukulan
tak kasat mata itu menimpa tubuh manusia.
Dari balik pohon, Jaka Wulung hanya bisa me-
mandang peristiwa itu dengan mulut menganga. Ia
lupa bahwa ia harus segera pergi dari tempat itu sebe-
lum ketahuan oleh Ki Karta.
DI tanah yang agak lapang di atas pancuran, di sana-
lah Jaka Wulung menerapkan daya ingatnya yang luar
biasa ke dalam gerakan-gerakan jurus yang nyata. Sam-
pai beberapa lama Jaka Wulung tidak menyadari bah-
wa semua ilmu yang dipertunjukkan Ki Karta makin
lama makin bertambah dan tingkatannya makin naik.
Baru belakangan ia sadar ketika kemampuannya
sendiri terasa meningkat dengan pesat. Langkahnya
kian ringan, loncatannya makin jauh, tendangan dan
pukulannya tambah bertenaga, dan pancaindranya
menjadi jauh lebih peka.
Matanya bisa melihat lebih jelas meskipun Ki Kar-
ta memulai latihannya dalam gelap dini hari. Telinga
nya mampu menangkap jerit kera di kejauhan, em-
busan angin yang menggesekkan rumpun bambu di
lembah pondok, dan bahkan jatuhnya tetes-tetes air
dari dedaunan. Hidungnya bisa membedakan rum-
put dan ilalang dari jarak beberapa langkah. Ia juga
bisa merasakan permukaan sebatang pohon sebelum
telapaknya benar-benar menyentuhnya.
Ia menduga Ki Karta dengan sengaja membim-
bingnya secara tidak langsung. Dan, dugaannya su-
dah menjadi kesimpulan ketika kakek yang tetap
misterius itu mempertunjukkan jurus ilmunya yang
dahsyat.
Jaka Wulung memusatkan segenap kekuatannya
un tuk mengingat seluruh gerak ilmu dahsyat Ki Karta.
Perlahan-lahan Jaka Wulung merasakan tangan
dan jemarinya mengeras, membentuk cakar yang siap
men cabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih ta-
jam. Dari tenggorokannya mengalir gelombang su-
ara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-
la ngit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti su-
ara harimau ....
Grrrhhh!
Jaka Wulung meloncat ringan dan kedua tangan-
nya mengarah sebatang pohon rasamala yang masih
muda, dengan ukuran batang sebesar paha orang de
wasa. Jaka Wulung merasakan segumpal tenaga tak
kasat mata meluncur dari cakar-cakar jemarinya dan
menghantam batang pohon rasamala, menimbulkan
suara debam yang gemanya seakan-akan memukul
dadanya sendiri.
Beberapa jenak Jaka Wulung agak goyah di atas
kuda-kuda kedua kakinya yang rendah dan dengan
tangan masih terentang ke depan.
Pohon itu tetap berdiri tegak. Hanya bergoyang
pelan.
Jaka Wulung menunggu.
Pukulannya seakan-akan tidak memberikan pe nga -
ruh apa-apa.
Jaka Wulung menarik napas kecewa.
Ia berdiri tegak, melangkah mendekati pohon itu,
dan menyentuh bekas pukulannya.
Jaka Wulung menarik napas lega ketika menyen-
tuh bekas pukulannya di pohon yang terasa seperti
ka yu keropos selebar telapak tangan. Tapi, hanya sam-
pai di situ. Pukulan itu belum mampu menyebab kan
batang itu patah.
Aku harus banyak berlatih, pikirnya.
Demikianlah, dalam beberapa hari Jaka Wulung
benar-benar memusatkan perhatiannya untuk meng-
asah ilmunya.
Dan kemudian, suatu hari, ketika ia mencoba me -
le paskan pukulan yang sama ke sebatang pohon ra-
sa mala yang sedikit lebih besar, tiba-tiba terdengar
suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian
sebatang cabang pohon itu pun tumbang berderak
menimpa tanah.
Jaka Wulung menganga tak percaya.
Di tempat persembunyiannya, Ki Karta tak kurang
terkesima.
Untuk bisa mengeluarkan tenaga tak kasat mata
sebesar itu, Ki Karta perlu berlatih dalam hitungan
berbulan-bulan. Tapi, si bocah—bocah semuda itu—
melakukannya hanya dalam tempo hanya beberapa
hari.
Luar biasa, batinnya. Hanya Prabu Siliwangi sen-
di ri lah yang mampu melakukannya dalam usia semuda
itu.
Ki Karta berdebar-debar. Dalam hatinya ia kem-
bali memohon restu dari para leluhur semoga ia ti-
dak salah memilih murid. Sebab, kalau ilmu itu ja-
tuh kepada orang yang salah, akibatnya akan sangat
mengerikan.
Tinggal rajin mematangkan diri, aku yakin bocah
ini suatu saat setidaknya akan bisa setara dengan gu-
ruku sendiri, batin Ki Karta lag
Pada kesempatan berikutnya, Ki Karta mengarah-
kan pukulannya pada sebongkah batu sebesar kepala
kerbau.
Batu itu pecah berserakan menjadi ribuan kerikil
beterbangan ke segala arah.
Ketika Jaka Wulung mencoba menerapkan hal
yang sama, permukaan batu yang terkena pukulan-
nya remuk memercik, meninggalkan lekukan selebar
telapak tangan.
Demikianlah, melalui penurunan ilmu secara ti-
dak langsung, kemampuan Jaka Wulung meningkat
dengan pesat.
SEIRING dengan peningkatan yang pesat dalam ke-
mampuan olah kanuragan, Jaka Wulung juga cepat
sekali menangkap pelajaran menulis sastra yang ditu-
runkan Ki Karta. Hal itulah yang justru tidak disadari
oleh Ki Karta sendiri, yang membuat jati dirinya yang
sesungguhnya terungkap.
Suatu hari, ketika Ki Karta pergi dari pondok itu,
Jaka Wulung membuka-buka lembar-lembar naskah
yang sudah ditulis gurunya. Dalam kebanyakan nas-
kahnya, Ki Karta tak pernah menuliskan namanya.Akan tetapi, Jaka Wulung secara tidak sengaja me-
ne mukan sebuah nama pada salah satu naskah karya
Ki Karta. Nama yang jauh berbeda.
Darmakusumah.
Lama Jaka Wulung memandang lembar daun
nipah itu.
Sampai-sampai ia tidak menyadari kemunculan Ki
Karta.
“Ah, tekun sekali kau membaca naskah itu,” ujar
Ki Karta.
Jaka Wulung terkejut karena tidak menyadari ke-
datangan gurunya.
“Oh, maafkan saya, Ki, telah membuka-buka nas-
kah Aki,” Jaka Wulung membereskan naskah yang
terserak-serak. Lalu, ia memandang gurunya dengan
penuh hormat. “Siapa Darmakusumah itu, Ki?”
Ki Karta memandang Jaka Wulung, duduk bersila
di hadapan sang murid, menarik napas dalam-dalam,
dan melepaskannya perlahan-lahan.
“Cerita yang panjang, Bocah,” kata Ki Karta, tidak
menjawab pertanyaan Jaka Wulung.
“Apakah itu nama asli Aki?” Jaka Wulung meman-
dang gurunya dengan rasa ingin tahu yang menggelora.
“Ada baiknya memang kamu mengetahui cerita
yang sebenarnya.”
5.Menyelamatkan
Kitab Pusaka
Maka, cerita harus mundur ke tahun 1579.
Waktu itu isi Keraton Pakuan, istana Ke-
ra jaan Pajajaran, sudah nyaris kosong me-
lompong. Prabu Ragamulya Suryakancana, raja ter-
akhir Pajajaran, sudah pergi mengasingkan diri ke
arah matahari tenggelam, yakni Gunung Pulasari di
ujung barat Jawa Dwipa. Ia menolak diiringi banyak
peng ikut.
Empat perwira tepercayanya, Jaya Perkosa, Wira-
dijaya, Kondang Hapa, dan Pancar Buana, diiringi
se jumlah orang lain, sudah pula pergi ke arah sebalik-
nya, dengan membawa pusaka-pusaka kerajaan, ter
masuk Mahkota Bino Kasih Sanghyang Pake—mah-
kota yang sudah berusia 200 tahun, sebagai lambang
raja Sunda sejak zaman Niskala Wastukancana.
Akan tetapi, ada satu ruang pusaka di keraton
yang terlupa.
Ruang itu sebenarnya tidak jauh dari ruang tem-
pat para raja Pajajaran bersemadi, menyepi menye-
rahkan diri kepada Yang Mahatinggi, yakni ruang
ber isi pustaka leluhur.
Hanya satu orang yang berhasil menyelamatkan
pustaka leluhur sebelum keraton menjadi puing-pu-
ing arang. Sebagian besar pustaka pusaka itu musnah
dilalap api, tetapi orang itu berhasil menyelamatkan
tiga kitab paling penting: satu kitab Patrikrama Ga-
lunggung, satu naskah adalah kitab yang belakangan
disebut naskah Bujangga Manik, dan satu lagi tanpa
judul. Kalangan keraton menyebut naskah ketiga itu
Kitab Siliwangi.
Si penyelamat, Resi Darmakusumah, sebenarnya
masih memiliki darah Siliwangi yang sangat kental.
Kalau ditelusuri, garis darahnya akan sampai kepada
Surasowan, salah satu putra Prabu Siliwangi. Tapi,
ia lebih memilih hidup sebagai resi, menyendiri di
tempat-tempat sunyi, lebih banyak menyerahkan diri
kepada Yang Mahasuci. Setelah menjadi resi, Darma
kusumah nyaris tak pernah menginjakkan kaki di
Keraton Pakuan.
Darmakusumah tidak lain adalah murid tunggal
Resi Jaya Pakuan, yang hidup menyendiri di Gunung
Sepuh hingga entah usia berapa.
Adapun Jaya Pakuan, tidak lain adalah seorang le-
genda besar Pajajaran: Bujangga Manik! Dialah pe-
tua lang terbesar Negeri Pajajaran, tokoh legendaris
yang sangat dihormati di seantero Jawa Dwipa karena
ketinggian ilmunya baik dalam sastra maupun olah
kanuragan meskipun tidak pernah menonjolkan ke-
hebatannya.
Nah, Resi Darmakusumah kecewa karena para pe-
ne rus Prabu Siliwangi tidak sekuat dan setegar penda-
hulunya. Surawisesa, yang menggantikan Prabu Si li-
wangi, perlu meminta bantuan orang-orang berkulit
pucat dari Peranggi untuk menangkal ancaman Cer-
bon. Pada masa Surawisesa, terjadi beberapa kali per-
tempuran dan sedikit demi sedikit wilayah Pajajaran
direbut Cerbon.
Sang Ratu Dewata, pengganti Surawisesa, cende-
rung mengabaikan urusan dunia sehingga kurang pe-
duli terhadap segala urusan pemerintahan. Raja beri-
kutnya, Ratu Sakti, malah berkuasa dengan zalim ,
hanya ingin memenuhi nafsu serakahnya. Ia membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat,
menghina para pendeta, dan bahkan menikahi ibu
tirinya!
Prabu Nilakendra nyaris sama buruknya dengan
Ratu Sakti. Ia berpesta pora tiap hari, mengabaikan
rakyat yang kelaparan. Setelah itu, Pajajaran benar-
benar sekarat. Dan, di bawah raja penghabisan, Prabu
Ragamulya, Pajajaran hanya menunggu sekali pukul
untuk musnah dikubur waktu.
Satu hal membuat hidup Darmakusumah penuh
sesal: ia dan sejumlah prajurit Sunda yang tersisa sama
sekali tak dapat mempertahankan Keraton Pakuan,
ke raton yang terkenal dengan nama Sri Bima-Punta-
Na rayana-Madura-Suradipati, lambang persatuan Pa-
ja jaran, ketika diserbu dari dua jurusan sekaligus, las-
kar Banten dari barat dan laskar Cerbon dari timur.
Maka sirnalah Pajajaran dari marcapada.
Masih membayang di mata Resi Darmakusumah
ketika malam itu api raksasa menghanguskan Kera-
ton Pakuan dan api membubung memerahi langit.
MENGIKUTI jalan hidup gurunya, Resi Jaya Paku-
an alias Bujangga Manik, Resi Darmakusumah su dah
merasa tenteram dan damai hidup di sebuah tempat
terpencil, yakni di Bukit Tunggul, tidak begitu jauh
dari gunung legendaris Tangkuban Parahu, setelah
bertahun-tahun menjalani petualangan di berbagai
sudut Jawa Dwipa.
Ia ingin sebelum hidupnya berakhir, ia bisa menu-
lis setidaknya sebuah naskah yang bisa diwariskan ke-
pada generasi jauh sesudahnya.
Oleh karena itu, selain menyerahkan diri kepada
Yang Mahatinggi, Resi Darmakusumah setiap hari
ber usaha terus menulis, baik di lembar daun nipah
mau pun daun lontar.
Akan tetapi, ketenteraman hidupnya terkoyak oleh
ba yangan mengerikan yang terus-menerus mengham-
piri malam-malamnya.
Malam itu sudah hampir melewati puncak. Bulan
yang belum lagi purnama mulai tergelincir di ze nit
la ngit, memulas rimbun pohon ki hujan menja di
ke pe rakan. Garis-garis cahayanya yang samar me re-
bah kan diri pada atap rumbia sebuah bangunan kayu
sederhana.
Resi Darmakusumah siap membaringkan tubuh-
nya di bangku kayu setelah menyelesaikan semadi
malamnya. Kantuk sudah menarik kelopak matanya
ketika tiba-tiba saja sebuah ruang di Keraton Pakuan
gambar nyata di kepalanya. Langit membentang hi-
tam, tetapi sekonyong-konyong menjadi terang oleh
nyala api yang berkobar-kobar. Terdengar jerit dan pe-
kik kesakitan. Lalu, samar tercium bau lembar-lembar
nipah dijilat api.
Resi Darmakusumah tergeragap bangun, lalu du-
duk dengan napas terengah-engah. Angin dini hari
kian menggigit, tetapi kening sang resi basah oleh ke-
ringat.
Tiga malam berturut-turut pemandangan itu men -
jelma di kepalanya, sangat nyata. Tiga kali tentu sa ja
sebuah pertanda. Sudah niscaya.
Sang resi merapatkan jubahnya, lalu membenahi
ikat kepalanya.
Ia tidak mau menunggu lagi lebih lama.
Butuh setidaknya dua hari untuk mencapai Kera-
ton Pakuan.
Benar seperti bayangan mengerikan yang menerjang
kepalanya. Asap sudah menyerbu hidung Resi Dar ma-
kusumah begitu ia tiba di batas luar Pakuan. Ma lam
di lukis dengan warna kuning, merah, dan hitam.
Pakuan benar-benar sudah nyaris rata dengan ta-
nah. Api berkobar di mana-mana, menghanguskan
rumah-rumah kayu penduduk ibu kota Kerajaan Pa-
jajaran itu. Nyaris tak ada satu pun yang tersisa.
Istana Pakuan tidak lagi berisi orang-orang Paja-
jaran. Yang terdengar adalah pekik kemenangan pa-
sukan penyerbu.
Berloncatan di antara bara, asap, dan api, Resi
Dar makusumah menyelinap dan ia nyaris terlambat
menyelamatkan tiga harta pusaka yang sangat berhar-
ga: Kitab Patikrama Galunggung yang ditulis Prabu
Darmasiksa beberapa ratus tahun lalu, Bujangga Ma-
nik yang ditulis gurunya sendiri, Resi Jaya Pakuan ,
be be rapa puluh tahun lalu, dan Kitab Siliwangi yang
mungkin disusun oleh Prabu Siliwangi sendiri.
Beberapa saat Resi Darmakusumah melihat sejum-
lah orang yang juga memburu ke tempat yang sama.
Tapi, ia tak sempat memikirkan hal itu terlalu lama.
Hanya beberapa kejap setelah Resi Darmakusu-
mah berhasil membawa ketiga kitab itu, ruang pusta-
ka tersebut ambruk sempurna dilalap api.
Berdiri di kejauhan, Resi Darmakusumah mena tap
dengan hati remuk redam Keraton Pakuan—istana
yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari
kayu jati, yang mestinya masih bisa tahan beberapa
ratus tahun lagi—luluh lantak tidak bersisa lagi.
Matanya basah.
Satu-dua tetes bergulir melalui pipinya yang keri-
put, menggantung di janggut putihnya, lalu jatuh ke
tanah. Tanah tumpah darahnya. Tanah yang sudah
bukan lagi bernama Pajajaran.
Pajajaran sudah sirna!
RESI Darmakusumah tergeragap bangun dari lamun-
annya yang menyayat hati. Langit masih dilukis war-
na merah dan hitam. Ia membalikkan tubuhnya dan
hendak pergi meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, ia terkejut.
Di hadapannya, sudah mengadang setidaknya ti-
ga orang. Semuanya dengan pedang menggantung
di pinggang. Bagaimana mungkin ia tadi tidak me-
nyadari kedatangan mereka? Ah, pasti karena hatinya
sedang dilanda duka. Hati yang terluka bisa menye-
babkan kurangnya rasa waspada.
Di luar sadarnya, Resi Darmakusumah meraba ke-
tiga kitab yang terselip di balik jubahnya.
“Sampurasun, Resi,” sapa salah seorang dari mere-
ka, seorang lelaki tinggi besar berusia kira-kira empat
puluh tahun yang tampaknya menjadi pemimpin di
antara mereka, dengan suara rendah dan sopan.
“Rampes, Ki Dulur,” Resi Darmakusumah meman-
dang satu per satu ketiga orang yang mengadangnya.
Dilihat dari pakaiannya yang berbeda, ketiga orang
itu tampaknya bukan bagian dari pasukan yang mem-
bumihanguskan Istana Pakuan. “Ada apakah gerang-
an dulur semuanya mengadang saya?”
“Tampaknya Resi membawa sesuatu yang dicuri da-
ri Istana Pakuan,” ujar pemimpin kelompok orang itu.
Resi Darmakusumah sejenak terkejut. Tapi, de-
ngan cepat ia menguasai diri. Dengan segera pula ia
ingat bahwa orang-orang itulah yang ia lihat ketika
menyelamatkan tiga kitab pusaka di Keraton Pa kuan.
“Berdasarkan apa Ki Dulur menyangka saya mem-
bawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan?” tanya
Resi Darmakusumah.
Pemimpin kelompok itu menahan napasnya sera-
ya meraba gagang pedangnya. “Sudahlah, Resi,” kata-
nya. Suaranya mulai meninggi. “Jangan memulai silat
lidah. Kami tidak punya cukup banyak waktu. Serah-
kan saja barang curian itu.”
Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya. Si-
kap sopan orang itu dengan cepat menguap ke udara.
Tapi, sang Resi masih berusaha menahan kesabar-
annya.
“Saya menyelamatkan barang ini, bukan mencu-
rinya.”
“Tahukah apa barang yang Resi curi?”
Resi Darmakusumah menghela napas. “Sekali la gi
saya tegaskan bahwa saya tidak mencuri, tetapi me-
nye lamatkan pusaka leluhur Kerajaan Pajajaran.”
“Nah, kamilah yang berhak atas pusaka itu.”
Resi Darmakusumah lagi-lagi mengerutkan dahi-
nya, menimbulkan keriput yang makin dalam di wa-
jahnya. “Siapa kalian?” tanyanya.
“Ketahuilah, nama saya Munding Wesi,” kata pe-
mimpin kelompok kecil itu. “Dan, ini saudara-sauda-
ra saya. Kami sama-sama keturunan Prabu Dewata
Buana Wisesa. Kami adalah orang-orang Pajajaran
yang tersingkirkan. Tapi, kami tentu saja berhak atas
benda-benda yang dicuri Resi.”
Resi Darmakusumah terkejut. Wajahnya segera
ber ubah keruh. Hanya remang malam yang membuat
perubahan di wajahnya tidak tampak. Tapi, tak lama
kemudian ia mengangguk-angguk. Kalau Munding
Wesi mulai memperlihatkan sifat yang sera kah dan
merasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya, ia
mafhum adanya. Prabu Dewata adalah salah satu pe-
nerus Prabu Siliwangi yang sifat-sifatnya bertolak be-
lakang. Ia penguasa zalim yang menghancurkan kera-
jaannya sendiri, Pajajaran.
“Kalau Ki Dulur merasa berhak, mengapa tidak
segera menyelamatkan benda-benda pusaka ini jauh
lebih awal, sebelum ada serangan dari Banten dan
Cerbon?” tanya Resi Darmakusumah.
Munding Wesi dan saudara-saudaranya menggere-
takkan gigi hampir berbarengan. “Kalau tidak kedu-
luan dicuri, kami tentu sudah bisa menyelamatkan
benda-benda hak milik kami itu.”
Resi Darmakusumah tertawa pelan. “Hmm ... su-
dahlah, biarkan saya pergi,” katanya. “Kalau Ki Du-
lur mengaku berhak atas pusaka ini, saya juga bisa
menga takan berhak.”
Munding Wesi menyeringai. Dalam keremangan,
seringai itu membuat wajahnya menjadi tambah me-
nyeramkan. “Memangnya siapakah kau ini sehingga
mengaku berhak atas pusaka itu?”
Resi Darmakusumah diam. Penyebutan kata ganti
pun sudah berubah. Ia ragu-ragu apakah akan mem-
buka diri mengenai siapa ia sebenarnya.
“Siapa sebenarnya kau ini?” suara Munding Wesi
terdengar tak sabar lagi.
“Panggil saja aku Karta,” kata Resi Darmakusumah
begitu saja.
Munding Wesi tertawa terbahak-bahak sehingga
badannya yang besar terguncang-guncang hebat, se-
akan-akan ia baru saja mendengar sebuah lelucon
yang sangat lucu. Begitu juga kedua saudaranya.
Memandang ketiga orang itu Resi Darmakusumah
menjadi prihatin. Wajahnya menjadi suram. Sungguh
tidak mencerminkan keturunan Prabu Siliwangi.
Setelah tawanya reda, Munding Wesi memandang
tajam Resi Darmakusumah. “Tidak mungkin ketu-
runan Siliwangi bernama aneh seperti itu!”
“Aneh atau tidak, saya tetap keturunan Prabu Sili-
wangi.”
“Dasar kakek pembual!”
“Bukankah segenap warga Sunda adalah ketu-
runan Prabu Siliwangi?”
Darah serasa mulai naik ke kepala Munding Wesi.
“He, dari mana kau punya pendapat ganjil seperti itu?”
“Kalau Ki Dulur mendapat karunia umur pan-
jang, kelak akan muncul pendapat seperti yang ku-
katakan.”
“Sudahlah, pusing aku mendengarnya!”
Senyum tersungging di bibir Resi Darmakusumah.
“Jika demikian, biarkan aku pergi dengan aman.”
Gigi Munding Wesi gemeletuk. “Siapa yang akan
membiarkanmu pergi dengan aman?”
Resi Darmakusumah tidak memedulikan kata-ka-
ta Munding Wesi. Ia melangkah hendak pergi.
Akan tetapi, tentu saja Munding Wesi tidak akan
membiarkan Resi Darmakusumah pergi begitu saja.
Ia pun bergeser menghalangi jalan Resi Darmaku-
sumah.
Resi Darmakusumah menimbang-nimbang apa-
kah ia punya kesempatan untuk menembus kepung-
an ketiga orang ini.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Sudah belasan tahun ia tidak pernah lagi menggu-
nakan tangan dan kakinya dalam sebuah laga. Sebe-
narnyalah Resi Darmakusumah enggan lagi mengha-
dapi segala urusan dan mengakhirinya dengan per-
tempuran.
Hanya saja, ia melihat tidak ada jalan leluasa un-
tuk menghindar. Resi Darmakusumah yakin masih
ada beberapa orang lain selain ketiga orang yang
meng adang di depannya. Setidaknya tiga atau empat
orang lagi bersembunyi di balik pepohonan.
Oleh karena itu, dan demi kitab-kitab yang ia
bawa, tampaknya kali ini ia harus kembali melakukan
sesuatu yang dibencinya.
“Cepat serahkan sebelum kami melakukan keke-
rasan,” Munding Wesi meloncat dengan tangan ter-
julur. Gerakannya sama sekali tidak diduga, sangat
cepat seperti harimau lapar.
Resi Darmakusumah menghindar selangkah.
Munding Wesi sudah menduga lawannya akan
menghindar. Oleh karena itu, secepat kilat tangan
yang satu lagi melayang cepat dengan jemari terbuka,
dengan maksud mencengkeram baju Resi Darmaku-
sumah. Orang tidak akan menyangka Munding Wesi
yang bertubuh besar mampu bergerak secepat itu.
Gerak cepatnya itu seakan menimbulkan hawa panas
di sekitarnya.
Munding Wesi sendiri tidak mau setengah-sete ngah
menghadapi orang tua itu. Ketika Munding Wesi dan
saudara-saudaranya hampir mendapatkan apa yang me-
reka cari di Keraton Pakuan, ia sudah melihat bagaima-
na hebatnya sang resi melesat di antara api dan asap.
Meskipun demikian, dengan langsung mengerah-
kan kecepatan dan tenaga penuhnya, ia yakin bah-
wa ia akan mampu menyelesaikan tugasnya dengan
cepat. Ia akan lekas kembali ke tempat gurunya dan
bersama-sama mempelajari isi kitab-kitab yang ia ya-
kini berisi rahasia ilmu mumpuni leluhur-leluhurnya.
Kalau mereka sudah mempelajari semua ilmu lelu-
hurnya, begitu pikir Munding Wesi, mereka akan tum -
buh menjadi kelompok yang disegani. Bukan tidak mung-
kin mereka bisa menarik banyak pengikut untuk suatu
saat kelak membangun sebuah kerajaan baru, sebagai
penerus kejayaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi
Akan tetapi, khayalan Munding Wesi terlampau
ting gi.
Resi Darmakusumah juga sudah bisa menebak
ancaman Munding Wesi dengan cara menekuk kaki
kanannya dan mencondongkan punggungnya sedikit
ke belakang. Pukulan jari terbuka Munding Wesi itu
pun melesat hanya beberapa jari dari hidung Resi
Dar makusumah.
Dalam sekejap itu penciuman Resi Darmakusu-
mah menangkap bau yang dibawa angin pukulan
itu. Bau semacam warangan yang mengandung racun
me matikan, bercampur dengan ... bau badan Mun-
ding Wesi!
Sekedipan Resi Darmakusumah bergidik memba-
yangkan betapa jiwanya terancam kalau kuku-kuku
Munding Wesi menggores kulitnya.
Resi Darmakusumah sebenarnya punya kesempat-
an untuk menampar tengkuk Munding Wesi yang
terbuka setelah serangannya luput dari sasaran. Tapi,
ia tak hendak lagi melumuri tangannya dengan ke-
salahan-kesalahan yang tak perlu.
Pada saat yang sama, ia merasa prihatin orang
yang sesungguhnya memiliki garis darah yang sama
de ngan dirinya itu sudah mulai menggunakan seje-
nis racun. Selama ini, belum pernah Resi Darmaku
sumah mendengar dalam sejarah panjang negeri Sun-
da ada pendekar yang bersenjatakan racun. Senjata
se perti itu bertentangan dengan sikap yang selalu di-
junjung Prabu Siliwangi hingga leluhur-leluhurnya
jauh di masa awal: sikap kesatria!
“Keparat!”
Resi Darmakusumah terkesiap sejenak.
Bahkan ketika mendapat serangan maut seperti itu,
sempat-sempatnya ia melamun!
Dua saudara Munding Wesi secara bersamaan me-
rangseknya, dari kanan dan kiri dua ujung pedang
mengarah tubuhnya. Ujung pedang di sebelah kanan
berkilat kemerahan memantulkan cahaya api di ke-
jauhan, melesat mengarah pundaknya. Ujung pedang
di sebelah kiri tak kalah cepat menuju sasaran ping-
gang Resi Darmakusumah.
Resi Darmakusumah belum benar-benar menyim-
pan dengan aman kitab-kitab pusaka di balik jubah-
nya. Oleh karena itu, ia harus mengamankan dengan
salah satu tangannya. Ia hanya punya satu tangan be-
bas untuk menghadapi ujung-ujung kedua pedang itu.
Akan tetapi, tentu saja kedua kaki Resi Darma ku-
sumah pun mampu bergerak bebas dan cepat. De-
ngan tumpuan salah satu kakinya, Resi Darmakusu-
mah melen ting mengatasi serangan beruntun itu dan
sebelum tiba lagi di tanah ia sempat sekali berjum-
palitan dan tangannya memapas tangan salah seorang
saudara Mun ding Wesi yang menggenggam pedang,
dan se persekian kejap juga menyentuh pelipis satu
orang lainnya.
Salah satu orang itu memekik dengan tangan yang
terasa membara. Pedangnya terlontar ke udara, lalu
jatuh di bebatuan dengan suara berdentang. Adapun
orang satunya lagi terhuyung-huyung dengan kepa la
serasa disambit dengan batu sebesar kepalan tangan!
Munding Wesi terkejut bukan kepalang melihat
betapa hanya dalam satu gebrakan ia dan saudara-
saudaranya berada dalam kesulitan.
Oleh karena itu, seraya menghunus dan meng a-
cung kan pedangnya, Munding Wesi bersiul nya ring.
Suiiiit!
Tiga orang melesat dari balik kerimbunan pohon
dengan senjata terhunus di tangan masing-masing.
Tiga orang dan tiga senjata yang berbeda, dan dari
arah yang berbeda-beda, membentuk segitiga ham-
pir sama kaki. Orang pertama sekilas tampak masih
muda, mungkin baru berumur tiga puluhan, bertu-
buh sedang, dan meloncat dengan tombak di tangan.
Orang kedua berusia separuh baya, agak bungkuk,
dan di tangannya terarah senjata trisula—tombak
mata tiga. Orang ketiga botak, berusia sekitar lima
puluh tahun, bermata sipit tapi kejam, dan menga-
rahkan kerisnya.
Resi Darmakusumah tidak lagi sempat menim-
bang-nimbang. Ia juga tidak sempat menebak dari
mana saja asal ketiga orang itu, yang ia yakin bukan-
lah orang-orang pribumi negerinya.
Dengan cepat Resi Darmakusumah menyelipkan
salah satu kitabnya lebih ke dalam, tetapi segera me-
narik dua kitab yang lainnya. Lembaran-lembaran
kitab lontar umumnya berukuran selebar tiga jari dan
panjang hampir dua jengkal. Lembar-lembar itu di-
satukan dengan benang dan naskah yang paling luar
diperkuat masing-masing dengan kayu yang panjang
dan lebarnya sama. Dalam keadaan terlipat, kitab itu
serupa saja dengan dua kayu pipih yang dilekatkan.
Dengan demikian, Resi Darmakusumah menggu-
nakan kedua kitab itu seperti sepasang ruyung. Satu
di tangan kanan dan satu di tangan kiri.
Meskipun demikian, Resi Darmakusumah meng-
hindari benturan langsung dengan senjata logam la-
wan -lawannya. Dari kesiur angin yang ditimbulkan
ketiga senjata itu bisa disimpulkan bahwa ketiga
orang itu bukanlah lawan yang bisa dipandang sebe-
lah mata.
Akan tetapi, Resi Darmakusumah adalah tokoh
yang pernah disegani di jagat silat karena ilmunya
yang dahsyat—meskipun sudah belasan tahun ber-
sembunyi dari dunia ramai. Oleh karena itu, Resi
Dar makusumah menggunakan kecepatan gerak dan
ke lenturan tubuhnya untuk menghindari tiga serang-
an lawannya sekaligus. Resi Darmakusumah bahkan
mampu menyerang balik melalui salah satu kitab
yang ia guna kan sebagai senjata.
Ujung kayu pejal di tangan Resi Darmakusumah
itu tiba-tiba berubah menjadi senjata maut yang siap
mematuk punuk orang yang agak bungkuk.
Kecepatan gerak Resi Darmakusumah membuat
lawan-lawannya sejenak sama-sama terkesiap. Bagi
pen dekar dalam tataran mereka, serangan ketiganya
secara bersamaan adalah serangan yang muskil di-
hindari. Tapi, dia tidak hanya berhasil menghindar,
bahkan mampu melakukan serangan balik, menye-
rang sasaran empuk di punuk.
Si bungkuk pasti tidak akan mampu menghindar
dari serangan mengejutkan Resi Darmakusumah.
Dan, itu disadari oleh dua rekannya yang dalam po-
sisi lebih bebas. Keduanya secara bersamaan menye-
rang sang resi dengan keris dan tombak pendek di
tangan masing-masing
Kalau Resi Darmakusumah meneruskan serangan-
nya, tentu pertahanannya akan terbuka sehingga be-
sar kemungkinan keris atau tombak lawannya akan
mengenainya. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah
terpaksa mengurungkan serangannya ke arah punuk
lawannya, dan harus melenting mundur.
Maka, pertempuran antara Resi Darmakusumah
dan tiga pengeroyoknya segera berlangsung dengan
cepat menuju jurus-jurus andalan mereka.
Tampaknya, masing-masing tidak mau berpan-
jang-panjang dalam perkara ini. Resi Darmakusumah
merasa tidak punya urusan apa-apa dengan Mun ding
Wesi dan orang-orangnya sehingga semakin lama
waktu terbuang, akan semakin sia-sia. Sebaliknya,
Mun ding Wesi juga ingin cepat-cepat merampas se-
mua kitab pusaka yang diincarnya, yang sekarang
nyata-nyata berada dalam pegangan resi aneh ini.
Anak muda yang bersenjatakan tombak bertarung
trengginas dengan pola gerak khas pesisir timur Jawa
Dwipa. Penuh tenaga dan tak pernah ragu-ragu un-
tuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang
tidak mengenal kata mundur.
Gerakan-gerakan si bungkuk yang menggunakan
senjata trisula tidak kalah mengerikan. Trisulanya
me nusuk-nusuk tak hen ti -henti. Pola geraknya yang
kasar mirip dengan ma nu sia-manusia pegunungan di
sekitar Pegunungan Sewu.
Sementara itu, si botak bersenjatakan keris meng-
an dalkan kelincahan dan kecepatan gerak. Demikian
ce patnya, seakan-akan telapak kaki nya tidak pernah
meng injak tanah. Cukup dengan ujung kaki seba-
gai tum puan, ia mampu melenting-lenting seperti
umum nya para pendekar berkulit ku ning dari zaman
Dinasti Ming.
Anehnya, meskipun pola gerak ketiga pendekar
itu berbeda-beda seperti bumi dan langit, mereka
mam pu saling mengisi satu sama lain. Masing-ma-
sing bisa saling menutupi dan kemudian menjadikan
ketiga nya satu kesatuan kekuatan yang mematikan.
Bisa dikatakan, ilmu ketiga pendekar itu berpadu un-
tuk saling menguatkan, seperti halnya satu ditambah
satu ditambah satu sama dengan tiga.
Dalam hati, Resi Darmakusumah memuji kehe-
batan mereka. Tidak mudah memadukan ilmu yang
berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang dahsyat.
Akan tetapi, sang Resi ini pun bukanlah manusia
bia sa. Pada masa mudanya, setelah berguru kepada Re si
Jaya Pakuan, sang Resi mengembara ke berba gai su dut
Jawa Dwipa, bahkan ke pulau-pulau lain di luar Jawa,
dan ilmunya terus semakin matang. Ia me ngenal banyak
jenis ilmu bela diri di tempat-tem pat yang ia sambangi.
Oleh karena itu, pertempuran antara Resi Darma-
kusumah dan ketiga lawannya makin lama makin
seru. Sulit ditebak siapa yang lebih unggul. Ketiga la-
wan Resi Darmakusumah melancarkan serangan demi
serangan yang tidak putus-putusnya, seakan-akan me-
reka adalah sebuah pasukan yang terdiri atas puluhan
orang. Ujung-ujung keris, trisula, dan tombak pendek
mereka silih berganti mengincar leher, dada, perut,
dan bagian-bagian tubuh lain Resi Darmakusumah.
Di pihak lain, Resi Darmakusumah pun seakan-
akan memiliki sepuluh mata dan kedua senjata seder-
hana di tangannya meliuk-liuk cepat tak ubahnya
seperti ruyung dengan sepuluh ujung. Dengan tatag
ia melayani ketiga lawannya sekaligus. Sedikit demi
sedikit, meskipun sangat pelan, Resi Darmakusumah
bahkan menguasai keadaan.
Pertarungan itu membuat Munding Wesi gelisah.
Paduan tiga pendekar itu tidak juga dapat meroboh-
kan lawannya. Oleh karena itu, Munding Wesi tidak
perlu berpikir lebih lama lagi.
Munding Wesi tak mau tinggal diam. Dengan pe-
dang di tangan, ia menggabungkan dirinya untuk
me nge royok Resi Darmakusumah.
Akan tetapi, sesungguhnyalah kemampuan Mun-
ding Wesi masih dua atau tiga lapis di bawah ketiga
begun dalnya. Di satu sisi, hal itu membuat Resi Dar
makusumah prihatin. Keturunan Prabu Siliwangi ini
sama sekali tak bisa dibanggakan. Di sisi lain, kesem-
patan Resi Darmakusumah dengan demikian justru
makin terbuka karena dalam beberapa jurus pun ke-
lihatan bahwa gerak Munding Wesi justru merusak
kesela rasan gerak paduan ketiga begundalnya.
Ibarat dalam permainan gamelan, ketiga pendekar
yang juga begundal Munding Wesi itu sudah memain-
kan rebab, saron, dan kendang secara baik dan meng-
hasilkan bebunyian yang selaras. Tapi, Munding Wesi
memainkan gong tanpa mengikuti ketukan yang se-
mestinya. Ia memainkan lagu sendiri, sama sekali ti-
dak menyesuaikan diri dengan lagu yang sedang ber-
langsung. Pada saat seharusnya menabuh gong kecil,
ia malah menabuh gong besar. Pada saat harus mena-
buh gong besar, ia malah menabuh gong kecil. Atau
kadang-kadang, seharusnya mengakhiri sebuah irama
dengan gong besar, ia malah tidak menabuh apa-apa.
Parahnya, Munding Wesi tidak menyadari bahwa
permainan gongnya sama sekali merusak permainan
gamelan secara keseluruhan.
Akibatnya, serangan yang sudah terpola rapi dari
ke tiga pendekar sewaannya menjadi buyar tidak tentu
arah. Kadang-kadang, permainan pedang Mun ding
We si membuat gerakan keris si botak atau trisula
si bung kuk menjadi tidak terarah. Sesekali, pedang
Mun ding Wesi nyaris berbenturan dengan tombak
pen dek si pemuda.
Ketiga pendekar itu mengeluh dalam hati masing -
masing. Meskipun alot dan akan membutuhkan waktu
lama, mereka yakin bisa mendesak lawannya. Setidaknya
mereka bisa menguras tenaga sang Resi. Bagaimanapun,
alam sudah mempunyai hukumnya sendiri. Sehebat apa
pun seorang tua, tentu napas dan kekuatan ototnya su-
dah dibatasi oleh usia. Mereka jauh lebih muda sehingga
merasa yakin, kalau bertempur dalam waktu yang lama,
mereka akan meraih kemenangan.
“Tuan Munding Wesi, biarkan kami saja yang me-
nyelesaikan tugas ini,” seru si bungkuk tak tahan lagi,
sambil berusaha menghindari serangan Resi Darma-
kusumah yang mengarah ke kepalanya.
“Betul, Tuan, lebih baik Tuan beristirahat saja!”
timpal si botak.
“Aku bantu kalian membekuk kakek ....”
Munding Wesi tidak sempat menyelesaikan kali-
matnya karena tiba-tiba sebuah pukulan menyengat
pergelangan tangannya dan pedangnya melenting ke
udara. Sebelum mencapai puncak ketinggian, pedang
itu mendadak lenyap.
Munding Wesi juga tidak sempat mengetahui ke
mana lenyapnya pedang itu karena tahu-tahu ia mera
sakan sebuah sabetan ringan yang menyobek bajunya,
tembus tipis di kulit dadanya.
“Kakek iblis ...!”
Pedang itu, yang juga beracun, memakan tuannya
sendiri. Munding Wesi pun harus segera mengoles-
kan obat pemusnah racun kalau tidak ingin nyawa-
nya lekas melayang.
“Munduuur!” teriaknya parau, sambil berusaha
me loncat ke sela-sela gerumbul.
Menyadari luka yang menggores tubuh Munding
Wesi, ketiga pendekar itu juga sama-sama meloncat
jauh, menghindari serangan Resi Darmakusumah,
ke mu dian melarikan diri.
Resi Darmakusumah berdiri termangu sejenak.
Ia tidak ingin mengejar mereka. Ia merasa memiliki
tu gas yang jauh lebih penting: menyelamatkan tiga
kitab pusaka itu.
Dilemparkannya pedang Munding Wesi yang tadi
berada di tangannya.
Tanpa menunggu waktu lagi, Resi Darmakusumah
berlari meninggalkan tempat itu ke arah datangnya fajar.
Langit timur sudah berhias dengan warna kepe rakan.
Di sebuah bukit, untuk kali terakhir Resi Darma-
kusumah memandang jauh ke arah warna keme rahan
dan asap hitam yang masih membubung ke langit.
Sirnalah sudah negerinya.
6.Berawal dari Mimpi
Sunyi senyap di lereng barat Bukit Tunggul.
Awan dan kabut menghalangi pandangan
ke puncak Gunung Tangkuban Parahu.
Ke dua gunung itu, Bukit Tunggul dan Tangkuban
Pa rahu, adalah sisa-sisa legenda Sangkuriang.
Belasan tahun Resi Darmakusumah melalui hari-
hari yang damai di Bukit Tunggul, menunggu saat-
saat moksa jika waktunya tiba.
Akan tetapi, kedamaian itu tampaknya bakal se ge-
ra tercoreng. Pancaindranya yang peka bisa merasa-
kan bahwa udara yang selama ini penuh kedamaian
telah berubah menjadi hiruk-pikuk oleh lintasan ge-
lombang yang samar di kejauhan.
“Kenapa setelah lenyap dari persemayamannya se-
lama ini, kitab-kitab ini seakan-akan menjadi buron?
Apakah orang-orang tidak menyadarinya selama ini?
Kenapa sesuatu menjadi sangat berharga setelah tidak
ada lagi di tempatnya?”
Semua tanda tanya itu berseliweran di kepala Resi
Darmakusumah.
Dibungkusnya kitab-kitab yang telah ia selamat-
kan dengan sehelai kain yang selama ini ia jadikan
ikat kepala. Dikemasnya beberapa helai pakaian mi-
liknya ke dalam sebuah kantong kulit sapi.
Hanya itulah harta kekayaan miliknya.
Hanya sebilah kujang kecil yang terselip di balik
ba junya. Kujang yang bahkan tidak bernama apa-apa.
Tak ada air mata ketika Resi Darmakusumah me-
ninggalkan pondoknya, lalu perlahan menuruni Bu-
kit Tunggul ke arah matahari terbit.
Sungguh keputusan yang didasarkan pada nalu-
rinya yang tajam. Weruh sadurunge winarah.
Tiga hari setelah Resi Darmakusumah pergi, se-
jumlah orang mendatangi dan mengobrak-abrik pon-
dok peninggalan Resi Darmakusumah.
RESI Darmakusumah tidak takut kalau ia menja di
semacam buruan justru menjelang akhir masa hi dup-
nya. Ia hanya tidak mau banyak berurusan, terutama
dengan orang-orang yang mungkin saja akan menye-
lewengkan keluhuran isi kitab pusaka. Betapa akan
berduka para leluhurnya kalau tahu kitab-kitab itu
jatuh ke tangan orang yang keliru.
Oleh karena itu, Resi Darmakusumah terus meng-
ikuti naluri dan langkah kakinya ke mana pun meng -
arah.
Ia sempat tinggal di lereng Gunung Indrakila, se-
buah gunung yang kemudian disebut juga Gunung
Cerme, yang menjega di selatan Negeri Cerbon. Tapi,
tidak sampai dua purnama, ia tinggalkan tempat itu.
Perjalanannya akhirnya sampai di Bukit Sagara,
sebuah bukit kecil yang dirasanya sudah jauh dari
pu sat-pusat keramaian di bekas Kerajaan Pajajaran,
tetapi juga jauh dari berbagai negeri di sebelah timur.
Bertahun-tahun Resi Darmakusumah menyepi, me -
nyerahkan hidupnya kepada Yang Mahakuasa, sam bil
mempelajari isi ketiga kitab yang dibawanya.
Sampai kemudian ia merasakan bahwa hidupnya
akan terusik lagi. Dan, kali ini tampaknya akan ter-
jadi peristiwa besar menyangkut ketiga kitab yang ia
sembunyikan.
“JADI, di mana sebenarnya Aki, eh, maaf, Resi Dar-
ma kusumah menyembunyikan kitab-kitab pusaka
itu?” tanya Jaka Wulung.
Resi Darmakusumah menarik napas dan terse-
nyum. “Suatu saat kau akan tahu.”
Jaka Wulung berdebar-debar mendengar kata-kata
gurunya. “Benarkah?”
Resi Darmakusumah mengangguk.
Jaka Wulung memandang langit kelam di luar.
Teta pi, di matanya, langit itu tampak bercahaya cerah.
Ia membayangkan suatu saat membaca dan mem-
pelajari kitab-kitab hebat itu. Ia berkhayal menjadi
seorang sakti seperti gurunya, Ki Karta alias Resi Dar-
makusumah.
Ia akan membasmi para penjahat, para pembuat
onar negara, mereka yang membuat rakyat sengsara,
dan ... ya, pokoknya orang-orang yang seperti itu.
7.Lahirnya Seorang Pendekar
Keluar dari hutan, padang rumput memben-
tang hijau, mengikuti cekungan dan cem-
bungan tanah lereng barat bukit. Pohon-
pohon menggerumbul di beberapa tempat, seperti
pulau-pulau di tengah ombak. Dedaunan di permu-
kaannya kekuningan memantulkan cahaya mentari
sore hari, yang menembus lembut lapisan tipis kabut.
Burung-burung bercericit terbang dari pohon ke
pohon, kembali pulang ke kandang, menggarisi la-
ngit yang putih cerah. Udara sangat segar oleh embun
yang siap-siap turun. Di latar belakang, puluhan atap
rumah, dengan warnanya yang kelabu, hilang timbul
mengikuti lekuk tanah. Sungguh alam yang tak kepa-
lang indah.
Ratusan tahun alam bergeming dalam keindahan-
nya.
Akan tetapi, sore itu lengking suara jeritan menya-
yat udara, menyobek keindahannya.
“Tolooong! Lepaskaaan!”
Suara perempuan.
Akan tetapi, hanya sekali itu suaranya melengking,
merayap di udara, menyebar seperti uap air, kemu-
dian lenyap seperti diserap kabut.
Setelah itu sunyi.
Tiada satu pun penduduk kampung yang berani
memburu asal suara. Kaki-kaki mereka seolah dipa-
sak ke dalam lapisan tanah. Mereka hanya bisa me-
lihat tanpa daya ketika seorang lelaki berwajah tam-
pan tiba-tiba muncul seperti siluman, lalu melarikan
seorang gadis yang sedang mandi di sungai kecil yang
mengalir di lembah di tepi kampung.
Tentu saja tidak ada yang berani.
Mana ada yang nekat menghalangi sepak terjang
Bratalaras, pemuda berilmu siluman yang lebih dike-
nal dengan julukan Si Pemetik Bunga dari Gunung
Cakrabuana. Sudah enam purnama ia merajalela di
kampung itu, dan beberapa kampung kecil di seki-
tarnya, menebarkan ketakutan bagi para gadis muda.
Setiap bulan ia datang, seperti drakula yang meminta
persembahan perawan setiap purnama. Dan selalu,
yang diincar adalah gadis usia lima belas tahun.
Kalau seorang gadis sudah dilarikan Si Pemetik
Bunga, dipastikan nasibnya akan lebih buruk daripada
sekadar kembali tinggal jasad. Sebagian lenyap tidak
diketahui nasibnya. Beberapa lainnya kembali dalam
keadaan tubuh yang hancur dan jiwa yang rusak.
Para orang tua hancur hatinya. Dan, kampung itu
pun menjadi kawasan yang muram.
Tentu saja pada awalnya ada beberapa pemuda
yang punya nyali untuk mencoba menghalangi sepak
terjang Si Pemetik Bunga. Tapi, siapa pun yang nekat,
sudah jelas nasibnya: pulang tinggal nama.
BRATALARAS sebenarnyalah lelaki yang tampan.
Usianya kira-kira dua puluh tiga tahun. Rambutnya
terurai hingga separuh punggungnya dan diikat de-
ngan kulit ular sanca. Ia selalu mengenakan baju dan
celana kulit ular tanpa lengan. Senjatanya adalah se-
batang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular
dan dengan ujung runcing berlapis baja.
Akan tetapi, begitulah, ketampanan wajah tidak
berbanding lurus dengan perilakunya.
“Sudahlah, Gadis Manis, tak perlu menangis. Nan -
ti kita akan bersenang-senang,” kata Bratalaras ali as Si
Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.
Meskipun memondong si gadis di pundak, Brata-
laras berlari ringan meniti bebatuan di tepi sungai.
Hanya terdengar isak tertahan-tahan. Si gadis ti-
dak lagi bisa memberontak. Meskipun masih sadar,
gadis itu hanya bisa pasrah dengan tubuh lemah kare-
na titik-titik tertentu urat sarafnya sudah dibuat kaku
dengan pukulan kecil ujung jari Bratalaras.
Akan tetapi, tiba-tiba langkah Bratalaras terhenti.
Nyaris tanpa diketahuinya dari mana datangnya,
seorang pemuda tahu-tahu sudah berdiri tepat di ja-
lur jalan yang akan dilaluinya.
Bratalaras membelalakkan matanya. Alisnya me-
nyatu dan keningnya berkerut membentuk garis-ga ris.
Tapi, hanya beberapa saat kemudian ia tertawa ter ge-
lak-gelak, seakan-akan menemukan kejadian yang sa-
ngat jenaka.
“Mau apa kamu, Bocah?” tanya Bratalaras. Ta ngan -
nya kemudian menepis-nepis seperti gerakan meng -
usir ayam. “Hush, hush, ayo minggir!”
Pemuda di hadapannya itu memang tampak ma-
sih sangat muda. Sekitar lima belas tahun. Rambut-
nya tergerai sepundak dan diikat seadanya dengan
bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Kulitnya
kehitaman seperti bambu wulung.
Ia memang Jaka Wulung.
Akan tetapi, kali ini bajunya tidak lagi sekumal be-
be rapa waktu lalu. Baik baju maupun celananya su-
dah lebih baik dan bersih. Sedikit.
Jaka Wulung memandang Bratalaras dengan ke-
pala sedikit miring, seakan-akan mengira-ngira apa
yang sedang dilakukan Si Pemetik Bunga.
“Aha,” desis Jaka Wulung kemudian. “Pasti gadis
yang dipondong Ki Dulur itulah yang tadi berteriak
minta tolong.”
Bratalaras memandang Jaka Wulung dengan sisa
tawa di mulutnya. “Kalau betul, kau mau apa?”
Jaka Wulung berdeham, lalu pura-pura batuk.
“Yaaa, melihat kondisinya, tentu gadis itu sangat bu-
tuh pertolongan. Jadi, aku akan coba menolongnya.”
Belum satu tarikan napas kata-kata Jaka Wulung
lepas dari bibirnya, Bratalaras kembali tertawa terba-
hak-bahak. Kali ini bahkan sampai mengguncang-
guncangkan tubuhnya dan tubuh lemas si gadis di
pundaknya. Orang jahat bisa diketahui dari tawanya,
pikir Jaka Wulung.
“Tawamu menyebalkan,” Jaka Wulung mencebik-
kan bibirnya.
Tawa Bratalaras langsung lenyap. Wajahnya pun
segera berubah merah. Seumur-umur, baru kali inilah
ia terpaksa menghentikan tawanya secara mendadak.
Dan, yang membuatnya terhenti tertawa hanyalah
bocah culun yang baru saja kering ingusnya.
“He, Bocah, minggirlah. Kau tahu dengan siapa
berhadapan?”
Jaka Wulung menggeleng, lalu menyeringai. “Me-
mangnya kau siapa?”
Pertanyaan sederhana ini membuat wajah Brata-
laras kian merah. Darah di kepalanya serasa men-
didih. Ditancapkannya tongkat berkepala ular sanca
di tanah. Oh, bukan, di batu cadas! Dan, clep! Tong-
kat itu melesak sekitar setengah jengkal ke dalam.
Sungguh pertunjukan tenaga dalam yang memukau.
“Kali ini aku tak ingin membasahi tongkatku de-
ngan darah anak semuda kau. Namaku Bratalaras.
Orang mengenalku dengan nama Si Pemetik Bunga
dari Gunung Cakrabuana.”
Bratalaras menunggu beberapa saat. Ia berharap,
setelah mendengar namanya, bocah itu akan geme tar
an dan langsung lari terbirit-birit sambil terken cing-
kencing. Atau kalau tidak begitu, si bocah akan ter-
duduk menyembah-nyembah meminta ampun. Atau
malah bersujud menghunjamkan kepalanya ke ta nah
dan kedua tangan menangkup mengacung-acung.
Se bab, memang seperti itulah yang biasa ia lihat jika
orang-orang mengetahui siapa dia sebenar nya.
Akan tetapi, Jaka Wulung bukanlah bocah biasa.
Ia malah mengerutkan keningnya, seakan-akan se-
dang mengingat-ingat sesuatu, kemudian kepalanya
menggeleng.
“Ah, aku baru mendengar nama Bratalaras,” ucap
Jaka Wulung dengan wajah yang datar-datar saja.
“Na ma yang sangat bagus. Begitu juga julukannya.”
Bratalaras menggeram, lalu mencabut tongkat ular
sancanya dengan cara menekan ke belakang sehingga
menghasilkan percikan kerikil. “Bocah setan. Kau
men cari mampus rupanya!”
Bratalaras bukanlah orang yang senang bermain.
Apalagi ia juga sedang dikejar waktu. Ia tidak mau di-
dahului oleh gelapnya malam. Oleh karena itu, mes ki-
pun hanya lontaran kerikil, ia melakukannya de ngan
tenaga penuh.
Butir-butir kerikil itu pun meluncur bersamaan
mengarah tubuh Jaka Wulung, sangat cepat seperti
lontaran ketapel! Jika salah satu kerikil itu mengenai
sasaran di kepala, tulang kepala pun bisa retak!
Akan tetapi, Jaka Wulung kali ini bukanlah seorang
bo cah yang terkejut ketika disentil dengan peluru ke-
ri kil. Tanpa memindahkan kakinya, Jaka Wulung
me mi ringkan tubuhnya ke kanan dan kerikil-kerikil
itu melesat beberapa jari dari telinga kirinya.
“Oh, rupanya kamu punya nyali juga!” Bratalaras
meraung seraya mengibaskan tongkat ular sanca di
tangannya, berlawanan arah dengan gerakan tubuh
Jaka Wulung ketika menghindar tadi. Ujung baja pu-
tihnya yang tajam menyibak udara, menimbulkan
de sir angin yang menciutkan nyali. Bratalaras yakin
lawannya tidak akan memiliki kesempatan untuk
menghindar.
Akan tetapi, melalui gerakan yang ringan, Jaka
Wu lung bisa membelokkan arah tubuhnya, masih
tanpa memindahkan kakinya, dan dada Jaka Wulung
hanya terkena angin kibasan tongkat Bratalaras. Dan,
karena hanya mengenai udara kosong, Bratalaras ter-
bawa oleh tenaganya sendiri.
Bahkan tanpa dipahami oleh Bratalaras, tiba-tiba ia
merasakan jemarinya seperti dihantam sebatang baja.
“Auww!” pekik Bratalaras.
Nyaris saja tongkat ular sanca miliknya lepas.
Bratalaras memandang Jaka Wulung seakan-akan
si bocah adalah makhluk aneh yang baru pertama
kali dilihatnya. Rupanya si bocah memukulnya de-
ngan senjata sebatang kayu pendek yang aneh. Kapan
si bocah menghunus senjatanya? Setahu Bratalaras, si
bocah tadi hanya bertangan kosong!
Mimpi apa Bratalaras tadi malam sampai meng-
alami peristiwa aneh ini? Dia, Bratalaras, yang berge-
lar Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana, yang
disegani para pendekar terutama di kawasan selatan
Cakrabuana yang merentang hingga pantai selatan,
hari ini kena pukul oleh seorang bocah tidak dikenal,
hanya dalam dua gerakan pendek!
Atau ini hanya mimpi?
Akan tetapi, rasa sakit di jemarinya benar-benar nya-
ta. Berdenyut-denyut hingga mencengkeram jantung.
“Jangan berbangga diri dulu, Bocah!” Bratalaras
me nurunkan si gadis curian dari pundaknya, sete ngah
melemparkannya ke rumput di sisi jalan setapak.
Jaka Wulung menjadi sebal melihat lagak iblis ber-
wajah tampan itu.
“He, siapa pula yang berbangga diri, Kang?”
“Bocah iblis!” Bratalaras langsung mengarahkan
ujung tongkatnya ke leher Jaka Wulung. Kali ini ia
tidak mau meremehkan si bocah.
“Wah, siapa pula yang iblis?” Jaka Wulung meng-
hindar dengan langkah ringan.
Akan tetapi, serangan pertama Bratalaras hanya
pan cingan. Tongkat Bratalaras memutar mengikuti
ke arah tubuh Jaka Wulung menghindar, seakan-akan
tongkat itu adalah ular sanca yang memiliki mata ta-
jam dan tahu akan ke mana Jaka Wulung bergerak.
Jaka Wulung terkesiap sekejap melihat kecepatan
gerak ujung tongkat Bratalaras. Ia terpaksa melenting
dengan tumpuan salah satu kakinya.
Bratalaras tidak mau memberikan kesempatan ba-
gi Jaka Wulung. Tangan kirinya yang bebas memu tar
separuh lingkaran dan mencoba memapas Jaka Wu-
lung dari arah yang berbeda dengan arah tongkatnya.
Jaka Wulung merendahkan tubuhnya guna meng-
hindari benturan. Ia masih enggan berbenturan de-
ngan lawannya. Benturan yang tidak perlu mungkin
saja akan membuat tenaganya cepat terkuras. Oleh
karena itu, Jaka Wulung lebih mengikuti gerakan la-
wannya.
Bratalaras bukanlah pendekar kemarin sore. Sejak
masih bocah, ia sudah mendapat gemblengan ilmu
silat dahsyat dari seorang tokoh sakti di Gunung
Cakrabuana, yang lebih dikenal dengan julukannya,
Si Jari-Jari Pencabik, karena kegemarannya yang sangat mengerikan, yakni mencabik-cabik tubuh la-
wan nya yang sudah tidak berdaya. Pada masanya,
tokoh-tokoh persilatan, bahkan dari golongan hitam,
pun enggan berurusan dengannya. Orang-orang me-
nilai Si Jari-Jari Pencabik bukan lagi manusia, melain-
kan iblis!
Anak ular tentu tidak akan belajar terbang kepada
induknya, tetapi belajar bagaimana menggelosor de -
ngan otot-otot perutnya, mengintip mangsanya , me-
nye rang dengan racunnya, lalu menerkam mang sa nya .
Bratalaras pun menyerap segala macam ilmu dan
perilaku gurunya. Bedanya, Bratalaras memanfaatkan
rupa yang tampan, tidak buruk seperti gurunya, un-
tuk menyalurkan hasrat jahatnya.
Kali ini Bratalaras melihat peluang untuk mema-
sukkan serangan berikut, yaitu berupa sapuan kaki-
nya. Gerakan kakinya itu pun sangat cepat, menjulur
seperti kecepatan kepala ular ketika menerkam mang-
sanya.
Tongkat, tangan, dan kedua kaki Bratalaras benar-
benar memberikan serangan tanpa jeda, seperti angin
topan saja layaknya.
Di pihak lain, Jaka Wulung sudah pula menyerap
semua ilmu dahsyat Resi Darmakusumah meskipun
masih perlu waktu untuk mematangkannya. Na lurinya sudah terasah dan dengan otaknya yang cer das,
ia mampu meladeni serangan-serangan awal Brata-
laras.
Dengan demikian, seiring dengan langit yang ma-
kin temaram, Jaka Wulung dan Bratalaras langsung
terlibat dalam pertempuran dahsyat.
Bratalaras tidak lagi menerapkan gerak penjajakan ,
tetapi segera melarapkan ilmu andalannya, ilmu ular
sanca emas, sebuah ilmu yang didasari gerak-gerak
tipuan yang cerdik dan licik, tetapi juga disertai pa-
tuk an-patukan yang mengejutkan.
Akan halnya Jaka Wulung, meskipun tenaga dalam -
nya masih memerlukan waktu untuk penyempur na-
an, ia mampu menerapkan segala pelajaran yang te lah
diberikan gurunya, terutama gerak-gerak inti ilmu
dahsyat gulung maung. Bahkan, Jaka Wulung kadang
kala menyelipkan gerak-gerak ilmu gagak rimang
yang ia serap dari pengalamannya mengintip bocah-
bocah Jipang itu berlatih.
Bratalaras terus meningkatkan kecepatan dan te-
na ga nya. Ia juga terus memasang gerak-gerak tipu un-
tuk memerangkap lawannya. Tongkat berujung baja
di tangannya mendesis-desis menebarkan ancaman
kematian.
Akan tetapi, Jaka Wulung mampu melayani setiap
ti pu an dan terkaman Bratalaras. Bahkan, sesekali Jaka
Wulung memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun
un tuk melancarkan serangan-serangan maut. Sebi lah
kayu tipis di tangannya berkali-kali mengincar titik-ti tik
mematikan di tubuh lawannya. Jaka Wu lung tidak akan
setengah-setengah bertempur dengan manusia ber moral
bejat macam Bratalaras. Ia sudah bertekad men jadi ma-
nusia yang berguna bagi masya rakat ba nyak.
Bratalaras benar-benar geram dan penasaran. Ia
sa ma sekali tidak pernah mampu menyentuh lawan-
nya yang masih bocah itu. Kalau lawannya adalah
tokoh tersohor, ia bisa maklum mengalami pertem-
puran yang seimbang. Tapi, lawannya kali ini hanya-
lah bocah belasan tahun yang bahkan namanya pun
belum ia tanyakan. Sungguh memalukan!
Oleh karena itu, Bratalaras bersiap dengan ilmu
pamungkasnya: jari-jari naga maut. Ilmu ini sebenar-
nya belum dikuasainya benar dan ia perlu waktu lama
untuk mematangkannya. Tapi, Bratalaras sudah gelap
mata. Ia tidak melihat jalan lain untuk menaklukkan
bocah aneh ini.
“Ssssss ...!”
Dengan mengeluarkan suara desis, Bratalaras me-
lipatgandakan tenaganya dan menyalurkannya ke ta
ngan kirinya yang terbuka. Kuku-kukunya serasa ber-
munculan seperti cakar naga. Disertai raungan yang
meng getarkan udara, Bratalaras meloncat panjang
lang sung berniat membenturkan cakar naganya ke
dada Jaka Wulung.
Jaka Wulung terkesiap melihat ilmu lawannya. Ia
sadar bahwa Bratalaras sudah sampai pada ilmu pa-
mungkasnya.
Oleh karena itu, Jaka Wulung pun tidak menung-
gu waktu dan pada saat yang bersamaan memindah-
kan senjatanya ke tangan kirinya, lalu mengaum pan-
jang seraya menyalurkan tenaga dalam melalui jemari
kanannya yang juga terbuka.
Duarrr!
Dua tenaga yang tak kasat mata berbenturan di
uda ra, menciptakan bunyi yang memekakkan teli nga .
Jaka Wulung terlontar dua-tiga langkah ke bela-
kang. Kuda-kudanya goyah. Tangannya serasa meng-
hantam baja dan tenaga pantulannya membuat dada-
nya sesak. Jaka Wulung menyeringai menahan sakit.
Di pihak lain, Bratalaras terjengkang jauh ke bela-
kang. Tubuhnya berdebum menimpa rerumputan.
Kalau saja kepalanya membentur batu atau pokok
kayu, bisa dipastikan nyawanya sudah melayang.
Dadanya seperti dibakar api, akibat pantulan tena-
ga panas yang dialaminya. Napasnya satu-satu. Dari
sela-sela bibirnya menetes darah kental.
Bratalaras menggeleng-geleng, mengusir kepala-
nya yang berputar-putar.
“Bocah ...,” ucapnya, “siapa ... sebenarnya ...
kamu?”
Jaka Wulung memandang Bratalaras ragu-ragu.
Pada saat itu, sebenarnya bisa saja ia melancarkan sisa
tenaganya untuk menuntaskan perlawanan Bratala-
ras. Tapi, Jaka Wulung mendadak diselimuti perasaan
welas asih yang aneh. Ia tidak bisa menyerang orang
yang sudah tidak berdaya, sejahat apa pun orang itu.
Inilah yang kelak akan selalu menjadi kekuatan
Jaka Wulung, sekaligus kelemahannya!
“Namaku Jaka Wulung.”
Bratalaras mencoba mengingat-ingat apakah ada
pen dekar bernama Jaka Wulung. Tidak, ia tidak per-
nah mendengarnya. Dia pasti bocah siluman.
“Apa ... kau punya ... julukan?”
Jaka Wulung termangu sejenak ditanya demikian. Ia
tidak pernah berpikir akan punya julukan apa pun. Ba-
gus atau tidak, Jaka Wulung adalah namanya. Setidak-
nya, itulah nama pemberian orang yang pernah meme-
liharanya. Sejenak ia memejam. Siapa orangtuaku?
Bratalaras mencoba bangun, lalu meraih tongkat-
nya. “Aku belum kalah ... Jaka Wulung. Aku ... akan
datang lagi menemuimu suatu saat.”
Jaka Wulung memandang dingin Bratalaras. “Ya,
kali ini aku memberimu kesempatan. Tapi awas, ka-
lau telingaku masih mendengar kelakuanmu, aku tak
akan segan-segan membunuhmu.”
Bratalaras mengangguk, lalu berbalik dan berjalan
dengan langkah goyah hendak meninggalkan tempat
itu.
Tetapi, mendadak ia berhenti, lalu menoleh.
“Benarkah kau ... tidak punya julukan?”
Jaka Wulung menarik napas beberapa jenak. Seca-
ra mendadak, di kepalanya muncul sebuah nama. La-
lu, ia menyebutkannya begitu saja.
“Aku Titisan Bujangga Manik.”
8.Geger Kembalinya
Bujangga Manik
Cahaya mentari pagi menerobos dinding bam-
bu dan menimpa wajah Jaka Wulung, me-
maksanya membuka mata. Sebenarnya lah
Ja ka Wulung belum lama terlelap. Semalaman ia tidak
benar-benar bisa memejamkan mata. Pikirannya di-
penuhi satu persoalan yang baru saja disulutnya sendiri:
ia menyebut dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik.
Kemarin, nama Bujangga Manik melintas begitu
saja di kepalanya. Resi Darmakusumah sudah menu-
turkan kisah perjalanan sang legenda di masa muda-
nya hingga Pulau Dewata. Jaka Wulung benar-benar
mengagumi tokoh ini. Ia ingin suatu saat, ingin seka-
li, mengikuti jejak tokoh hebat ini.
Satu hal lagi, ia bangga karena bagaimanapun Bu-
jangga Manik adalah kakek gurunya.
Mudah-mudahan pemakaian nama Titisan Bujang-
ga Manik tidak membawa petaka bagiku, pikir Jaka
Wulung.
Kemarin ia tidak berpikir betapa besarnya akibat
dari penyebutan julukan ini. Ketika ia mengatakan-
nya kepada Bratalaras, lelaki berjuluk Si Pemetik Bu-
nga dari Gunung Cakrabuana itu terbelalak.
“Tidak mungkin ...,” ucap Bratalaras.
Jaka Wulung memandang tajam Bratalaras. “Apa-
nya yang tidak mungkin?”
“Bujangga Manik sudah lebih dari setengah abad
tidak lagi terdengar.”
“Kepalamu berisi juga,” Jaka Wulung tersenyum
mengejek. “Tentu saja. Dan, aku cucu muridnya!”
Dalam senja yang temaram, wajah Bratalaras me-
mucat. Ia kemudian pergi menembus keremangan
senja, entah ke mana—ah, ya, pastilah melapor kepada
gurunya di Gunung Cakrabuana sana!
Gadis yang diculik itu masih terkulai. Jaka Wulung
mendekatinya dan, dengan ilmu yang didapat dari
sang guru, disalurkannya hawa murni yang ha ngat
ke titik-titik tempat simpul sarafnya yang terkena to-
tokan.
“Oh, terima kasih, Tuan Pendekar ....”
“Segeralah pulang, Nyai. Kukira kampung Nyai
tidak terlalu jauh dari sini.”
Gadis itu membenahi kainnya yang kusut masai.
“Mungkin Tuan mau mampir dulu?”
“Terima kasih, aku masih punya tujuan lain.”
Si bocah memandang gadis itu hingga lenyap
ditelan keremangan, di balik tikungan jalan setapak.
Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian timbul
penyesalan dalam hatinya. Kenapa ia tidak ikut ke
kampung gadis itu? Perjalanan yang tengah ia laku-
kan masih jauh dari tujuan. Jadi, ia harus menemu-
kan pondok di tengah hutan, atau di pinggir huma,
untuk tempatnya bermalam.
Jaka Wulung tidak tahu, benar-benar tidak terpi-
kirkan dalam kepalanya, bahwa malam itulah nama-
nya mulai menjadi buah bibir. Si gadis, sesampainya
di kampungnya, bercerita kepada orang-orang kam-
pung itu. Sebagian orang tua di sana pun menjadi
heboh.
“Bagaimana orangnya? Kakek tua pasti, ya?”
“Dia remaja belasan tahun.”
“Tidak mungkin!”
Lalu, Bratalaras, sesampainya di Gunung Cakra-
buana beberapa hari kemudian, menuturkan kepada
sang guru, Si Jari-Jari Pencabik, yang terbelalak tak
percaya.
“Benarkah ia punya murid dan kini cucu murid?”
Di kedua tempat itu, dimulailah terjadi keheboh-
an yang serupa.
Dari kedua tempat itu, kabar akan merayap ke ber-
bagai tempat lain, mungkin sepelan kura-kura, tetapi
boleh jadi secepat angin. Barangkali perlu berbulan-
bulan, tetapi sangat boleh jadi hanya dalam hitung an
hari. Seperti biasanya, kabar dari mulut ke mulut akan
selalu berubah dari kisah awalnya, bisa dikurangi , bisa
ditambah, dibumbui ini dan itu sehingga bisa saja ka-
bar yang tersebar menjadi jauh melenceng.
Meskipun demikian, yang jelas, dunia persilatan
akan guncang.
Bujangga Manik muncul lagi!
JAKA WULUNG memandang matahari yang mulai
meninggi. Tubuhnya menjadi segar setelah mandi di
sebuah pancuran, lalu melakukan olah napas secu-
kup nya.
Di tempatnya berdiri, ia harus membelakangi ma-
tahari untuk menentukan arah mencapai tujuannya.
Dari kejauhan, puncak Gunung Sawal tampak bi-
ru lembut, disaput tipis kabut, berpulas garis-garis
war na emas. Di latar depan, tidak jauh di kaki Gu-
nung Sawal, terdapat danau alam yang indah. Orang
me nye butnya Situ Lengkong. Di tengah danau itu
ter dapat sebuah pulau kecil yang dikenal dengan na-
ma Nusa Larang.
Sesuai dengan pesan sang guru, ke sanalah ia me-
nuju.
“Apa yang akan saya dapatkan di sana?” tanya Jaka
Wulung menjelang keberangkatannya dari pondok
Resi Darmakusumah di Bukit Sagara.
“Kau akan tahu sendiri nanti.”
JAKA WULUNG memandang hamparan danau yang
bening seperti bentangan kaca, memantulkan la ngit
biru muda dan segerombol mega. Di tengahnya, Nusa
Larang seakan mengapung di permukaannya.
Matahari hampir tegak lurus dengan bumi.
Bersama dengan empat atau lima penduduk se-
tempat, Jaka Wulung naik sampan membelah danau,
menimbulkan kecipak yang memberikan nada syah-
du. Aroma air danau membuat dadanya menjadi lega.
Jaka Wulung memejamkan mata, menikmati kein-
dahan alam yang tiada tara.
Tepat di tengah Nusa Larang, Jaka Wulung menun-
duk dalam-dalam di depan sebuah pusara. Pusara itu
dirindangi dedaunan rimbun dari sebatang pohon
kiara berusia ratusan tahun. Dan, tentu saja pohon-
pohon lain yang juga tua, dengan lingkar batang yang
rata-rata lebih dari dua depa orang dewasa.
Pusara itu sendiri sangat sederhana, hanya dikeli-
lingi deretan batu alam.
Akan tetapi, di situlah terbaring abadi seorang to-
koh besar—kalau tidak dikatakan terbesar—negeri-
nya: Niskala Wastukancana, leluhur Prabu Siliwangi,
dan leluhur masyarakat Sunda.
Lembar-lembar sastra menyebutnya juga Sang
Mok teng Nusa Larang—‘yang mukti di Nusa Larang’.
TIRAI malam menyungkup senja di Nusa Larang.
Ketika orang-orang sudah lama pergi, dan tempat itu
dicekam sunyi, Jaka Wulung masih duduk bersila, ta-
fakur tunduk di dekat pusara Sang Niskala. Ia tidak
tahu mengapa ia merasa kakinya seperti pokok kayu
kiara, berat sekali untuk segera pergi. Ia bahkan me-
rasakan keinginan untuk terus berdiam di
Saat itulah ia mengalami sebuah suasana yang pe-
nuh keanehan.
Jaka Wulung tahu bahwa dirinya sadar. Matanya
se penuhnya terbuka. Tapi, masih dalam posisi ber sila,
ia merasakan tubuhnya ringan. Makin lama makin
ringan, seakan-akan badan wadaknya larut menjadi
butir-butir udara. Ia merasa seolah-olah tidak lagi
memiliki wujud nyata.
Langit gelap tanpa bulan. Tapi, Jaka Wulung mam-
pu melihat dengan sangat jelas apa pun di sekitar-
nya. Hamparan rumput, perdu, dedaunan, kilau per-
mukaan danau, serangga hutan yang berdengung di
sekitarnya, bahkan ulat yang merayap di daun-daun
ki hujan. Telinganya menangkap suara tetes air yang
satu demi satu menimpa permukaan batu, desir angin
yang mengusap bening danau, bahkan langkah pelan
sejenis kadal yang menembus rerumputan. Saraf pen-
ciumannya pun bisa membedakan dengan jelas bau
daun kering yang jatuh, bau uap air yang terbawa
udara, dan bau celurut yang berkerosak.
Jaka Wulung melayang, memasuki alam niskala!
Ia merasa seperti sedang bermimpi, tetapi sesung-
guhnya ia sadar. Ah, ketika kita sadar, mimpi memang
bukanlah kenyataan. Tapi, ketika ketika kita bermim-
pi, kesadaran seakan-akan bukanlah kenyataan.
Perlahan-lahan, langit di sekitar Jaka Wulung ber-
ubah seperti tabir hitam. Suara-suara berhenti. Dan,
kemudian samar-samar tercium bau kesturi.
Bau kesturi itu tertiup oleh angin yang membawa
asap putih tipis.
Di tempat duduknya, badan Jaka Wulung geme-
tar. Ada rasa takut yang membuat bulu tengkuknya
meremang. Tapi, juga ada rasa penasaran yang ber-
golak di dadanya.
Asap putih itu mengumpul menjadi satu, perla-
han-lahan menciptakan bentuk seperti tubuh manu-
sia, kemudian kaki, tangan, dan kepala.
Badan Jaka Wulung menggigil. Giginya gemele-
tuk. Keringat mengucur dari pori-pori kening dan
punggungnya.
Bersamaan dengan terciptanya sosok manusia,
asap itu mulai memendarkan cahaya keperakan. Ma-
kin lama makin terang dan nyata.
Dan, akhirnya menjelmalah sosok lelaki muda
yang sangat tampan. Usianya sekitar 25 tahun. Kulit-
nya memendarkan cahaya kekuningan. Rambutnya
sedikit mengombak, tergerai melewati pundaknya.
Baju nya berwarna semu ungu dengan kilau-kilau ke-
emasan melingkari lehernya.
Di kepalanya bertakhta mahkota emas dengan
ben tuk sedikit mengerucut ke atas, dengan pola de da-
unan yang mengilaukan warna emas cemerlang. Ma-
tanya memandang Jaka Wulung dengan sorot yang
lembut tetapi tegas. Kedua sudut bibirnya memben-
tuk senyum yang bersahaja tetapi tulus.
Jaka Wulung tak sanggup membalas tatapannya.
Wa jah Jaka Wulung hanya menekur menatap jemari-
nya sendiri, yang saling menjalin di pangkuannya.
Dadanya bergetar karena takut, tetapi juga sekarang
oleh rasa bahagia tiada terkira.
Beberapa jenak lamanya tak ada suara.
Jaka Wulung menunggu dengan dada berdebar,
apa yang akan terjadi. Apakah ia akan mengucapkan
sesuatu?
Jaka Wulung tetap menunduk, seakan sebongkah
batu menahannya di bagian tengkuk.
Di tengah keheningan itulah terdengar sesuatu di-
letakkan di atas tanah pusara.
Dia meletakkan sesuatu di sana.
Sesuatu yang memancarkan sinar keperakan.
Jaka Wulung makin merasakan dadanya berdebar-
debar.
Dari sinar keperakan itulah memancar semacam
kekuatan yang langsung menghantam sekujur tubuh
Jaka Wulung. Jaka Wulung serasa disengat kilat. Tu-
buh nya bergetar hebat. Wajahnya menyeringai mena-
han panas di seluruh permukaan kulit tubuhnya. Ba-
dannya kejang-kejang. Jaka Wulung memekik mem-
belah udara sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya
dan kesadarannya sirna.
KETIKA Jaka Wulung membuka matanya, fajar su-
dah membayang. Siluet pepohonan yang hitam men-
jadi latar depan langit yang dipulas warna kuning dan
lembayung.
Jaka Wulung bangkit. Tubuhnya sedikit menggigil
karena tanah basah oleh embun. Angin pagi masih
diam, seakan belum terjaga dari tidur malam.
Dalam keadaan terjaga, Jaka Wulung merasa baru
saja bangun dari mimpi yang sangat aneh. Lelaki tam-
pan bermahkota keemasan. Siapa dia?
Jaka Wulung berdiri. Aneh, ia merasa tiba-tiba
men jadi orang yang sangat berbeda. Napasnya ringan,
kekuatan tubuhnya berlipat, dan tatapan matanya
men jadi sangat tajam. Apa yang terjadi padanya, ia ti-
dak tahu. Apakah karena sambaran sinar yang dipan-
carkan sesuatu yang diletakkan sosok misterius itu?
Jaka Wulung memandang tanah dua langkah di
depannya.
Sesuatu itu masih ada di sana. Sesuatu itulah yang
semalam memancarkan cahaya keperakan dan gelom-
bang kekuatan yang menghantamnya.
Panjang keseluruhannya hanya satu setengah jeng-
kal. Bilahnya melengkung, memancarkan warna lo-
gam pejal yang keperakan. Ujungnya tajam meleng-
kung mirip paruh burung ciung. Punggungnya ber-
hias lima mata—lubang kecil yang diisi butiran perak.
Perutnya melekuk dan tajam berkilat, memantulkan
cahaya pagi. Tadahnya—lengkungan menonjol pada
perut—juga sama tajamnya dengan bagian ujung.
Ga gangnya entah terbuat dari kayu jenis apa—cokelat
ke hitaman dan sangat keras. Landean—bagian bawah
gagangnya—berbentuk kepala harimau sedang me-
nga nga, mengaum siap melindas mangsanya.
Jaka Wulung berdebar-debar.
Sebilah kujang yang tiada tara!
Kujang itu terletak berdampingan dengan warang-
kanya. Warangka itu pun terbuat dari kayu yang sama
dengan gagangnya, berhias ukiran dedaunan yang sa-
ngat rapi dan indah.
Jaka Wulung membungkuk untuk meraih gagang
kujang.
Diangkatnya kujang yang sudah di genggamannya.
Ujungnya mengarah ke langit. Sebuah gelombang
kekuatan kembali mengalir dari kujang itu, merasuk
ke segenap pembuluh darahnya, memberinya tenaga
yang berlipat!
Bersamaan dengan itu, pendengarannya menang-
kap sebuah suara yang samar, tetapi memberikan
gema kuat dalam dadanya:
“Cucuku, kurestui kudi hyang itu menjadi milikmu.
Bawalah selalu. Jadikan ia perkakas untuk meniti di ja-
lan waras. Jangan lupa, bersikaplah selalu ber dasarkan
welas asih, junjung tinggi tata krama, dan pakai selalu
budi bahasa yang baik. Hanya itu pesanku.”
Pesan itu menghilang bersamaan dengan sinar per-
tama matahari di cakrawala.
Jaka Wulung terpaku dengan ujung kujang, kudi
hyang, masih teracung.
Badannya berdenyar ketika ia memastikan siapa
sosok ia saksikan semalam, dan memberikan pesan-
nya pagi ini. Tak salah lagi.
Dialah lelaki pertama yang mengenakan mahko-
ta itu, Mahkota Bino Kasih Sang Hyang Pake. Lelaki
yang paling dihormati di tanah Sunda, yang jasadnya
sudah seratus tahun terbaring di sana: lelaki yang ke-
mudian bergelar Sang Mokteng Nusa Larang.
Niskala Wastukancana!
9.Firasat yang Makin Kuat
Hujan sudah reda, awan-awan menyingkir
membuka wajah langit yang biru, menyi la-
kan matahari sore mengintip. Tapi, Su ngai
Ci Tanduy masih meluap, membawa air kecokelatan
dari hulunya di utara.
Setelah berteduh di sebuah dangau, Jaka Wulung
memutuskan tidak akan nekat menembus sungai
yang sedang meluap.
Ia memilih mencari dulu sebuah kedai untuk seka-
dar menyantap makanan kecil atau menyeruput ban-
drek. Bahkan kalau mungkin, ia juga hendak menginap sekalian. Sore itu ia merasa cukup kelelahan
juga. Sepulang dari Nusa Larang di Situ Lengkong,
ia se ngaja mengunjungi dua tempat bersejarah seba-
gaimana yang disarankan gurunya.
Mula-mula, ia mampir ke Kawali, tidak terlalu
jauh dari Nusa Larang. Di sana ia menyaksikan sen-
diri sebuah situs yang pernah menjadi pusat Kerajaan
Sunda. Sayang sekali tidak banyak yang tersisa dari
peninggalan Prabu Niskala Wastukancana. Reruntuh-
an bekas Istana Kawali sudah nyaris menjadi tumpuk-
an batang kayu yang lapuk dimakan zaman.
Hanya barisan bebatuan yang masih menandakan
bahwa di sana, pada suatu kurun ratusan tahun, per-
nah bertakhta para raja besar Sunda, termasuk Prabu
Linggabuana, tokoh besar yang gugur dalam pertem-
puran dengan pasukan Gajah Mada di Bubat, ketika
mengantar sang putri Dyah Pitaloka untuk melang-
sungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk—
sebuah perkawinan yang gagal.
Entah mengapa, dadanya sesak ketika membayang-
kan sang putri melesakkan ke ulu hatinya sendiri se-
bilah patrem pusaka.
Dari Kawali, ia menuju arah matahari tenggelam,
menyambangi bekas pusat Kerajaan Galunggung, yang
terletak di gunung dengan nama yang sama.
Kerajaan Galunggung adalah salah satu kerajaan
yang pernah disegani. Di sana pernah bertakhta Pra-
bu Darmasiksa, salah seorang leluhur raja-raja Sunda.
Prabu Darmasiksalah yang menulis kitab terkenal Pa-
tikrama Galunggung.
Jaka Wulung sesungguhnya sudah mulai menerus-
kan perjalanan menyusuri pantai selatan. Meskipun
mungkin perlu waktu lama, ia ingin menuju Pelabuh-
an Ratu, dan kemudian kelak menuju bekas Kerajaan
Salakanagara di ujung barat Jawa Dwipa.
Akan tetapi, entah mengapa, mendadak ia selalu
teringat kepada Resi Darmakusumah di Bukit Sagara.
Semacam irasat. Mungkin ada apa-apa dengan guru-
nya. Oleh karena itu, Jaka Wulung memilih berbalik
kanan dan kembali ke arah matahari terbit.
KEDAI itu berada di tanah yang agak tinggi, meng-
hadap jalur jalan tempat orang-orang hendak pergi
menyeberangi sungai dan sebaliknya datang dari se-
berang. Ada beberapa sampan di tepi sungai. Tapi,
tidak ada satu pun yang dijalankan untuk menyebe-
rangkan orang-orang. Luapan air terlalu berbahaya
bagi sampan kecil itu. Dan, orang-orang tampaknya
sudah tak ada lagi yang hendak menyeberang.
Jaka Wulung terhenti di luar pintu kedai ketika
didengarnya suara percakapan dua orang.
Terdengar suara seorang laki-laki, pelan, bahkan
lebih tepat disebut berbisik, tetapi telinga Jaka Wu-
lung dapat menangkapnya dengan jelas, “Mungkin
kita lebih baik menginap saja di sini, sambil menung-
gu air surut.”
Lalu, jawaban seorang perempuan, juga dengan
sua ra perlahan, “Lebih baik kita menyeberang seka-
rang. Kita sudah terlambat. Bukit Sagara kupikir ti-
dak akan terlalu jauh. Jangan sampai kita kedahuluan
orang lain.”
Jaka Wulung berdebar-debar. Kedua orang itu
hen dak menuju Bukit Sagara. Ada tujuan apakah
me reka hendak ke Bukit Sagara? Bukit Sagara adalah
tempat yang sangat sunyi, jauh dari pedukuhan, dan
ia pikir bukanlah tempat yang terkenal seperti Gu-
nung Cerme atau Gunung Slamet. Atau apakah ada
tempat lain di sana yang bernama sama dan letaknya
lebih dekat? Siapa gerangan mereka?
Kemudian, terjadi percakapan dengan suara yang
lebih keras.
“Siapa kiranya tukang sampan di sini?” tanya suara
perempuan.
“Mereka sudah pada pulang, Nyi,” jawab sese-
orang, mungkin suara si pemilik kedai.
Perempuan itu mendesak, “Tapi kami mau me-
nyeberang.”
“Waduh, Nyi, kalau banjir begitu, tak ada tukang
sampan yang berani menyeberang.”
Sepi beberapa jenak.
Kemudian, terdengar lagi suara si perempuan, “Ka -
lau begitu, biar kami sendiri yang akan mendayung-
nya. Ini bayarannya, berikan ke tukang sampan. Kami
akan menyimpan sampannya di seberang.”
“Tapi, Nyi ....”
Dari pintu, melangkah dengan cepat dua orang
itu, si perempuan lebih dulu, kemudian si lelaki, nya-
ris menabrak Jaka Wulung. Untung si bocah sempat
meloncat mundur.
Lelaki itu sempat menoleh kepada Jaka Wulung—
kumisnya tebal dan sorot matanya tajam, sekilas usia-
nya tampak sekitar 45 tahun, di balik ikat kepalanya
rambutnya sudah bergaris-garis putih. Sejenak lelaki
itu mengerutkan kening, tetapi kemudian berlari
meng ikuti si perempuan. Langkahnya cepat di atas
ta nah yang basah, tidak kesulitan melompati bebatu-
an dan tanah yang lici
Sementara itu, si perempuan juga kelihatan ber-
usia sekitar 45 tahun. Pakaiannya ketat, memperli-
hatkan bentuk tubuhnya yang masih langsing. Ram-
butnya sebagian diikat di belakang kepala, sebagian
lagi ter urai dan melambai-lambai hingga di bawah
punggung.
Keduanya sama-sama membawa pedang panjang
di punggung mereka. Ciri bahwa mereka adalah to-
koh persilatan.
Apakah mereka sepasang suami-istri? pikir Jaka Wu-
lung. Ah, bukan sesuatu yang penting.
Si lelaki menarik sampan dari bawah sebatang po-
hon kelapa, kemudian mendorongnya menuju tepi
su ngai. Si perempuan meloncat ringan ke atas sam-
pan. Begitu menyentuh air sungai, sampan itu pun
segera terbawa arus deras Sungai Ci Tanduy ke arah
selatan.
Beberapa orang yang sempat menyaksikan peris-
tiwa itu sempat memekik. Nekat sekali mereka! begitu
pikir orang-orang dengan mulut ternganga.
Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian sungguh
di luar dugaan dan di luar akal sehat manusia keba -
nyak an. Sampan itu perlahan-lahan bisa melawan
ter ja ng an arus sungai menuju hilir, kemudian melaju
lurus menuju arah seberang. Padahal, kedua orang itu
sama sekali tidak memakai dayung. Keduanya men-
dayung menggunakan tangan kosong!
Dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam
mereka!
Jelaslah bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi!
Jaka Wulung sangat penasaran pada kedua orang
itu. Batinnya bertanya-tanya, Siapa mereka? Apakah
mereka menuju Bukit Sagara, tempat Resi Darma kusu-
mah berada? Kalau benar, untuk apa mereka ke sana?
La gi pula, tampaknya mereka sangat tergesa-gesa. ‘Ja-
ngan sampai kita kedahuluan orang lain’.
Jaka Wulung kembali berdebar-debar. Firasatnya
semakin kuat bahwa tampaknya akan terjadi apa-apa
pada gurunya.
Sepasang lelaki dan perempuan itu, entah siapa
me reka, sudah hampir mendarat di seberang. Mata
Ja ka Wulung terus memperhatikan mereka. Rasa la-
par nya tidak lagi terasa. Begitu juga keinginannya
untuk minum air hangat seperti bandrek. Perhatian-
nya terus terpusat kepada dua orang itu.
Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah sam-
pai di seberang, menarik sampan yang baru saja me-
reka naiki, kemudian sama-sama meloncat dan ber-
lari. Beberapa saat berikutnya, mereka hilang di balik
pepohonan.
Jaka Wulung berlari ke tepi sungai dan menarik
sebuah sampan lain, lalu mendorongnya ke permu-
kaan air.
Seseorang terkejut dan berteriak, “He, Bocah! Kau
mencari mampus?”
Jaka Wulung mengabaikan teriakan itu. Ia melon-
cat ke atas sampan.
Sampan itu pun dengan cepat terseret arus air
ban jir Sungai Ci Tanduy ke arah hilir. Jaka Wulung
memusatkan tenaga pada kedua tangan, memberikan
tekanan yang besar kepada laju sampan. Terasa oleh
Jaka Wulung betapa saat itu arus air sungai sangat
kuat. Gelombangnya menggila seperti hendak mene-
lan apa saja. Tidak hanya itu, Jaka Wulung juga harus
melawan serbuan dahan-dahan kayu yang terbawa
hanyut.
Meskipun demikian, perlahan-lahan sampan itu
melaju memotong arah arus sungai. Tapi, tidak urung,
sekalipun Jaka Wulung sudah mengerahkan seluruh
kekuatannya, arus yang kuat terus mendorong sam-
pan ke hilir. Sampan itu pun melaju dengan arah me-
nyerong.
Sampan itu pun akhirnya tiba di seberang, di tem-
pat sejauh ratusan langkah di hilir dari titik ke datang-
an sampan yang ditumpangi kedua orang tadi.
Jaka Wulung meloncat, kemudian menarik sam-
pan itu hingga jauh dari permukaan air.
Jaka Wulung tertegun beberapa jenak. Ia baru sa-
dar telah memakai sampan orang lain tanpa minta
izin dan sama sekali tidak memberikan bayaran. “Mo-
hon aku dimaafkan, wahai tukang sampan. Kalau aku
mendapat kesempatan untuk kembali ke tempat ini
kelak, aku tidak akan lupa untuk bayar,” kata Jaka
Wulung kepada dirinya sendiri.
Jaka Wulung berlari menuju jalur jalan, kemudian
mendaki menuju ketinggian tebing.
Tak kelihatan ada orang satu pun di sana.
Untunglah jejak kaki kedua orang itu masih keli-
hatan di tanah dan bebatuan.
Jaka Wulung mengikuti jejak-jejak kaki itu.
Di belahan langit barat, matahari kembali tersaput
mega. Mungkin hujan akan turun lagi.
Jaka Wulung mempercepat larinya.
10.Dari Tangan Turun ke Hati
Hidup memang selalu tidak bisa diduga. Kita
tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu
juga dengan Jaka Wulung, pendekar bocah
yang mulai mengaku dirinya sebagai Titisan Bujangga
Manik. Tujuan perjalanannya sudah jelas, yaitu kem-
bali segera ke pondok Resi Darmakusumah, gurunya,
di lereng Bukit Sagara.
Keinginannya pulang dipicu oleh irasatnya yang
kuat, ditambah secara kebetulan menguping pembi-
caraan sepasang pendekar yang dicurigai hendak me-
nuju Bukit Sagara. Tapi, perjalanan Jaka Wulung ter-
paksa tertunda keesokan paginya ketika di suatu jalan
yang sunyi, di pinggir hutan, ia mendadak mendengar
suara dentang senjata beradu disertai pekikan-pekikan.
Suara perkelahian.
Jaka Wulung memperlambat larinya, kemudian
berhenti. Ia pun mengintai di balik sebatang pohon.
Di sebuah padang rumput yang lapang, terjadi
perkelahian seru yang melibatkan tiga orang. Sung-
guh perkelahian yang tidak seimbang: dua orang le-
laki bertubuh besar mengeroyok seorang gadis yang
masih sangat muda. Dua lelaki itu berwajah sama-
sama menyeramkan. Yang seorang memiliki kumis
dan cambang yang nyaris mengisi seluruh wajahnya.
Badannya gempal dan hitam. Sekilas orang itu mirip
sekali dengan gorila. Di tangannya tergenggam senja-
ta semacam gada, tetapi bentuknya aneh, lebih mirip
dengan pemukul beduk.
Yang seorang lagi bermata besar yang seakan-akan
terus-menerus melotot. Giginya juga besar-besar. Ia
akan mengingatkan orang kepada tokoh raksasa da-
lam wayang golek. Ia memainkan senjatanya berupa
golok yang bilahnya sangat lebar, persis golok jagal
sapi.
Sementara itu, seorang lelaki yang tidak kalah me-
nyeramkan tampak berdiri sambil bertolak pinggang
hanya beberapa langkah dari kalang perkelahian. Wajahnya penuh bopeng. Sesekali ia tersenyum-senyum.
Tapi, berkali-kali ia tampak mengernyit. Kadang-ka-
dang kepalanya miring mengikuti gerak mereka yang
sedang berkelahi.
Dengan gerak yang kasar dan mengandalkan tena-
ga mereka yang kuat, kedua lelaki menyeramkan itu
mengeroyok seorang gadis remaja berusia kira-kira
lima belas tahun.
Jaka Wulung mengernyit. Wilayah bekas negeri-
nya benar-benar sudah tidak aman. Di mana-mana
tampaknya ada saja kejahatan.
Meskipun demikian, si gadis mampu melayani
per lawanan kasar kedua orang itu dengan sebatang
pe dang ramping dan dengan gerak dan langkah kaki-
nya yang cepat dan ringan. Rambutnya yang panjang
dan diikat dengan pita ungu berkibar-kibar ketika ia
bergerak menghindar, menunduk, dan bahkan ka-
dang mencoba menyerang salah satu lawannya. Le-
ngan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan
kulit tangannya yang berwarna seperti langsat. Mata-
nya tajam cemerlang ... oh!
Jaka Wulung terkejut ketika mengenali siapa gadis
itu.
Wulan.
Dyah Wulankencana!
Oh, ada persoalan apa Wulan tersasar sampai jauh
dari Gunung Baribis dan menghadapi dua begal yang
kasar? Ah, ya, kedua orang pengeroyok itu, ditambah
satu orang yang berdiri, tentulah para begal. Peker-
jaan mereka memang membegal alias merampok
mangsanya di jalan yang sepi. Apalagi mangsanya kali
ini adalah gadis muda yang cantik. Seperti mendapat
durian runtuh saja.
Di mana gurunya, Ki Jayeng Segara, dan dua sau-
dara perguruannya, Lingga Prawata dan Watu Ageng?
Wulan tampaknya akan menghadapi masalah besar.
Akan tetapi, di luar dugaan si wajah gorila dan
si raksasa wayang golek, gadis yang memang Dyah
Wu lan kencana itu bukanlah remaja manja yang akan
merengek minta ampun ketika bertemu dengan para
begal atau penyamun mana pun. Wulan adalah mu-
rid Ki Jayeng Segara, seorang yang pernah menjadi
senapa tiyuda Kadipaten Pajang di bawah pimpin an
Arya Penangsang yang sudah hampir sempurna me-
ngu asai ilmu gagak rimang.
Baik gada pemukul beduk di tangan si gorila
maupun golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang
golek belum sekali pun mengenai sasaran. Jangankan
tubuh, ujung rambut yang berkibar-kibar pun selalu
luput dari serangan keduanya.
Laki-laki berwajah bopeng yang sejak tadi me-
nyaksikan perkelahian itu tampaknya mulai tidak sa-
bar. Ia pun memekik dengan kasar, “Dasar manusia-
manusia tak berguna! Jangankan menangkap hidup-
hidup dengan tangan kosong, menyentuh dengan
senjata pun kalian tidak becus!”
Kedua laki-laki yang mengeroyok Wulan, si gorila
dan si raksasa wayang golek, menggeram marah. Ka-
ta-kata si bopeng, yang pastilah pemimpin para begal
itu, membuat darah mereka mendidih. Oleh karena
itu, mereka meningkatkan serangan masing-masing
untuk melumpuhkan si gadis. Gada pemukul beduk
di tangan si gorila terus berputar-putar seperti ba-
ling-baling untuk kemudian mengincar sasarannya.
Golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek
pun makin membabi buta memburu sasarannya.
Akan tetapi, Wulan tetap mampu melayani perma-
inan senjata maut kedua lawannya. Bahkan, berkali-
kali ujung pedang Wulan mengancam titik-titik le-
mah kedua lawannya sehingga kedua lawannya itu
pun memaki-maki penuh benci.
Jaka Wulung terpesona memandang sepak terjang
Wulan.
Si bocah bergumam pelan, “Hanya dalam waktu be-
berapa bulan, dia makin hebat dan ... makin cantik ....”
Jaka Wulung tiba-tiba merasakan wajahnya meng-
hangat. Memerah seperti warna kesumba. Ia menolah
ke kanan dan kiri, berharap tidak ada satu pun orang
di dekatnya, hingga mendengar gumamannya. Tentu
saja tidak ada seorang pun di sana. Kalaupun ada,
Jaka Wulung pasti akan mengetahuinya. Tapi, begi-
tulah, jatuh cinta memang bikin orang lupa diri—dan
lupa lingkungannya.
Ai, apakah aku jatuh cinta? bisik hati Jaka Wu lung.
Lagi-lagi wajahnya memerah. Karena pada da sarnya
kulitnya gelap, maka wajah Jaka Wulung menjadi ber-
semu merah tua. Jaka Wulung menggeleng-geleng kan
kepala. Aku belum tahu apa itu cinta.
“MUNDUR!”
Khayalan Jaka Wulung pecah berkeping-keping.
Dua lawan Dyah Wulankencana sama-sama me-
lon cat mundur sambil sama-sama terus menumpah-
kan sumpah serapah.
Si muka bopeng kemudian berdiri sambil tetap
bertolak pinggang menghadapi si gadis Jipang Pano-
lan.
Inilah masalah besar Wulan, pikir Jaka Wulung.
“Hmm ... hebat juga kau, Bocah Cantik!” puji si
bopeng. Suaranya serak, seakan-akan keluar dari ke-
rongkongan dengan pita suara yang sobek.
Dyah Wulankencana memandang tajam si bopeng .
Ia yakin si bopeng memiliki tingkat ilmu yang lebih
tinggi dibanding kedua anak buahnya. Oleh karena
itu, ia tetap memasang pedang tipisnya di depan da-
da, dengan kuda-kuda yang tetap bersiaga. Gadis itu
benar-benar mirip burung sriti yang siap mematuk.
“Nah, sebelum aku benar-benar turun tangan, aku
peringatkan. Lebih baik kau letakkan saja pedangmu
di tanah. Serahkan apa pun perhiasan dan harta ben-
da yang kau bawa. Dengan demikian, kujamin kau
akan pulang dengan aman.”
Dyah Wulankencana masih memandang tajam si
pemimpin begal dengan kuda-kuda yang bergeming.
“Ayo, Bocah Manis. Kuhitung ya, sampai tiga.
Satu ...!”
Dyah Wulankencana tidak menggeser kakinya se-
jari pun.
“Dua ...!”
Tatapan gadis itu bahkan semakin tajam.
“Tiga ...!”
Tidak ada yang berubah.
Hening.
Seekor burung melintas. Bayangannya melewati
tanah di antara si bopeng dan Dyah Wulankencana.
Pemimpin begal itu menggeleng. “Kau sudah ku-
peringatkan, Bocah Ayu ....”
Sreeet!
Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata
berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak
yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Ke-
dua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya
matahari, menunjukkan betapa tajamnya!
“HIAAAA!”
Dengan raungan serak si muka bopeng langsung
meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya
untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulan-
kencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan
bunyi seperti siulan.
Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang
tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng.
Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya
pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng su-
dah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, de-
ngan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah.
Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan
kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini
juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusuk-
kannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.
“Eit, bocah ayu edan
Pemimpin begal itu menggeleng. “Kau sudah ku-
peringatkan, Bocah Ayu ....”
Sreeet!
Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata
berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak
yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Ke-
dua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya
matahari, menunjukkan betapa tajamnya!
“HIAAAA!”
Dengan raungan serak si muka bopeng langsung
meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya
untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulan-
kencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan
bunyi seperti siulan.
Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang
tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng.
Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya
pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng su-
dah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, de-
ngan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah.
Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan
kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini
juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusuk-
kannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.
“Eit, bocah ayu edan!
Si bopeng terkesiap dan nyaris ujung pedang
Dyah Wulankencana mengenai dadanya. Beruntung
ia masih bisa meloncat mundur dua langkah. Tapi,
tak urung si bopeng menggeretakkan giginya tanda
mulai jengkel. Oleh karena itu, ia tidak mau lagi
me remehkan si gadis seakan-akan hendak menepuk
nyamuk. Yang ia lawan adalah burung sriti yang ter-
nyata mampu bergerak sangat cepat.
Akan tetapi, si bopeng yakin bahwa ia memiliki
tenaga yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, ia te-
rus melan carkan serangan dengan kapaknya dengan
mak sud membenturkannya dengan pedang si gadis.
Se ba gai mana umumnya para begal, yang memang
adalah manusia kasar, jurus-jurusnya juga kasar. Su-
dah begitu, kata-kata yang keluar dari bibirnya yang
kasar pun kasar-kasar.
Awalnya, Dyah Wulankencana mampu melayani
serangan macam apa pun yang dilancarkan si bopeng.
Tapi, lama-kelamaan tampak bahwa kelincahan juga
membutuhkan tenaga yang kuat. Oleh karena itu, se-
makin lama si gadis kerepotan dan hanya bisa menge-
lak dan menghindar, tanpa mampu memberikan se-
rangan balik.
Si bopeng menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi-
nya yang berbintik-bintik hitam. Oh, ternyata gigi-
nya pun bopeng.
“Sudahlah, Bocah Ayu, menyerah sajalah,” si bo-
peng menyapukan kakinya yang hitam kelam seperti
kaki meja.
“Lebih baik mati daripada menyerah,” Dyah Wu-
lankencana meloncat mundur menghindari sapuan
kaki si bopeng.
Si bopeng sengaja tidak meneruskan serangannya.
Tapi, tangan kirinya mengibas seraya berseru, “Ayo,
Kawan-Kawan, kita cepat ringkus saja bocah som-
bong ini!”
Si gorila dan si raksasa wayang golek, yang dari
tadi menonton, kembali bangkit semangatnya, lalu
ber barengan meloncat ke tengah gelanggang perkela-
hian. Si gorila meloncat ke sebelah kanan, si raksasa
wayang golek ke sebelah kiri Dyah Wulankencana.
Si bopeng berseru lagi, “Tangkap dia hidup-hidup,
jangan sampai tergores sedikit pun!”
“Siap, Kang!” sahut kedua anak buah si bopeng
berbarengan.
Dyah Wulankencana mengeluh dalam hati. Ia bisa
membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya
kalau sampai bisa diringkus hidup-hidup. Pastilah le-
bih mengerikan daripada kematian. Tampaknya kema-
tian akan lebih terhormat daripada ... ah, Dyah Wu-
lan kencana tak sanggup membayangkan lebih jauh.
Jadi, gadis pemberani itu pun berteriak, “Ayo, ke-
ro yok saja! Aku tidak takut!” seraya mulai memutar-
kan pedangnya seperti kincir angin.
Akan tetapi, agaknya dewa kematian belum mau
meng ulurkan tangannya untuk mencabut nyawa si ga-
dis. Ketika itulah tampak sesosok bayangan melesat dan
mendarat tepat di sebelah Dyah Wulankencana. Baik si
gadis maupun ketiga begal itu sama-sama terkejut. Me-
reka hanya bisa melihat satu bayangan melesat cepat dan
tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di sebelah si gadis.
“Tak tahu malu, tiga orang tua mengeroyok gadis
kecil,” kata sosok yang baru datang itu.
Ketiga begal itu terpaku beberapa saat saking ter-
kejut.
Dyah Wulankencana pun hanya bisa memandang
orang yang baru datang itu. Lebih terkejut lagi ketika
ia tahu siapa orang yang datang.
“Kau ...?”
Jaka Wulung menoleh memandang wajah Dyah
Wulankencana. Dasar gadis cantik, ketika kaget pun
wajahnya tetap cantik.
“Wulung ...?”
“Ya,” sahut Jaka Wulung. Ia tersenyum, “Ini aku,
bukan hantu.”
“Kau ...?
“Ceritanya panjang, Wulan.”
“Aku siap mendengarkan.”
“Waktu itu ....”
“DIAAAM!”
Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana terkejut.
Keduanya kembali ke dunia nyata: di sekeliling mere-
ka masih berdiri tiga begal berwajah seram. Si bo-
peng, si gorila, dan si raksasa wayang golek. Mereka
memandang Jaka Wulung dengan wajah memerah.
Ah, bukan, menghitam lebih tepat. Tentu saja mereka
merasa diremehkan karena dianggap tidak ada.
“Oh, ... rupanya kita ada di tengah arena perkela-
hian,” kata Jaka Wulung. “Kalau begitu, kita cepat
bereskan saja.”
Dyah Wulankencana terkejut mendengar kata-
kata Jaka Wulung. Kata-katanya terkesan main-main.
Apakah bocah ini sudah gila karena pernah jatuh ke
jurang? Ia nyaris menjadi korban keganasan mereka
dan Jaka Wulung mengucapkan kata-kata seakan-
akan para begal itu anak-anak ingusan.
Ketiga begal itu lebih terkejut lagi. Mereka adalah
begal yang sangat ditakuti di daerah itu dan kini se-
orang bocah yang baru mereka lihat, memandang
me reka dengan sebelah mata. Tidak. Bahkan, si bocah
mengatakannya tanpa melihat mereka.
“Bocah gila!” raung si bopeng. “Ayo, Kawan-Ka-
wan! Kalian lawan si bocah ayu. Aku akan hadapi
bo cah gila ini. Dia harus dihukum akibat kelancang-
annya!”
Si gorila dan si raksasa wayang golek bersiap de-
ngan senjata masing-masing. Keduanya sebenarnya
agak jeri menghadapi Dyah Wulankencana yang di
luar dugaan memiliki tingkat ilmu tinggi. Keduanya,
yang sudah belasan tahun malang melin tang sebagai
penyamun yang ditakuti, kerepotan meng hadapi se-
orang gadis yang masih sangat belia.
Mereka sebenarnya ingin menghadapi bocah edan
yang baru datang itu. Mereka juga berhasrat besar
membungkam mulutnya yang sangat kurang ajar!
Si bopeng, pemimpin para begal itu, memandang
Jaka Wulung dari kepala sampai ke kaki. Tingginya
paling-paling sebatas telinganya. Badannya juga ter-
kesan kurus dan tidak bertenaga. Tapi, tadi ia sudah
melihat bagaimana si bocah melesat cepat dan tahu-
tahu sudah berdiri di sana. Ditambah dengan kata-
kata yang penuh ejekan, si bocah tentulah setidaknya
mempunyai nyali yang besar.
“Bocah, kau benar-benar mencari mati datang ke
sini,” ujar si bopeng dengan suaranya yang serak dan
pecah. “Tapi, sebagai penghormatan, sebutkan na
mu, supaya nanti kalau ada yang menguburmu,
orang-orang bisa menuliskan namamu!” Lalu, sambil
membusungkan dada, si bopeng meneruskan, “Na-
maku Kalamarica, kalau kau mau tahu.”
Wajah Jaka Wulung tidak memperlihatkan per-
ubahan apa pun mendengar si bopeng menyebutkan
namanya, seakan-akan nama itu tidak berarti apa-apa.
“Sebetulnya aku tidak mau tahu. Tapi baiklah, Kala-
marica, namaku Jaka Wulung.” Lalu, dengan sengaja
ia menekankan lagi, “Titisan Bujangga Manik.”
Sejenak keempat orang di sana tertegun. Sebagai
orang-orang yang lama malang melintang di dunia si-
lat yang penuh kekerasan, para begal itu pun setidak-
nya pernah mendengar nama-nama para pendekar
yang punya nama besar, baik yang sudah lama hilang
dari peredaran maupun yang masih berkeliaran. Bu-
jangga Manik adalah salah satu nama besar yang per-
nah diceritakan oleh guru mereka.
Dan kini, seorang bocah mengaku sebagai titisan
Bujangga Manik!
Sementara itu, Dyah Wulankencana pernah sese-
kali mendengar gurunya, Ki Jayeng Segara, menye-
but nama Bujangga Manik. Kedatangan mereka jauh
dari Jipang Panolan ke seputar Gunung Baribis, se-
lain dalam rangka melarikan diri dari kejaran prajurit
Pajang, tampaknya berkaitan dengan nama ini meski-
pun ia tidak tahu secara persisnya.
Akan tetapi, benarkah Jaka Wulung adalah titisan
pen dekar besar Bujangga Manik? Dyah Wulanken-
cana makin yakin bahwa Jaka Wulung sudah menjadi
gila gara-gara jatuh ke dalam jurang.
Tiba-tiba si bopeng tertawa tergelak-gelak.
“Bocah, jangan mengigau di siang bolong! Geli
aku mendengarnya!”
Si bopeng, yang mengaku bernama Kalamarica, ter ta-
wa lagi. Lebih keras dan lama. Kini si gorila dan si rak sasa
wayang golek ikut-ikutan tertawa. Sudah bisa di du ga,
para begal, seperti kelompok penjahat lainnya, me miliki
cara tertawa yang sama. Sama-sama menyebalkan!
“Tertawalah kalian,” ucap Jaka Wulung dengan
sua ra pelan, “sebelum kalian ditertawakan orang.”
Suara Jaka Wulung, sekali lagi, pelan saja. Kesan-
nya, mau didengar atau tidak, ia tidak peduli. Tapi,
ternyata pengaruhnya luar biasa. Ketiga begal itu
langsung berhenti tertawa pada saat yang sama. Persis
seperti suara tiga jangkrik yang langsung diam karena
sama-sama tergilas kaki seekor gajah!
“Kau memang mencari mati!” pekik Kalamarica.
Lalu, dengan sekali loncat ia langsung menerkam Jaka
Wulung seraya menyabetkan kapaknya, “Yeaaaahh!”
Siuuut!
Jaka Wulung menunggu hingga mata kapak itu
mendekat. Ia kemudian memiringkan tubuhnya be-
berapa jengkal. Kapak itu pun melintas hanya bebe-
rapa jari dari wajahnya.
Kalamarica sebenarnya bisa menduga gerakan
meng hindar Jaka Wulung. Oleh karena itu, ia berni at
mengubah gerakan kapaknya. Secara naluri ia me mang
harus melakukannya. Tapi, apa yang tidak disangka-
nya adalah tangan Jaka Wulung bergerak sa ngat cepat,
nyaris tidak terlihat oleh mata Kalamarica. Dan, si bo-
peng ini tidak bisa menghindar ketika jemarinya yang
menggenggam kapak serasa dihantam sebatang baja.
Pletak!
Kalamarica memekik kesakitan.
Kapaknya melayang di udara, tetapi kemudian ti-
dak terdengar bunyi jatuhnya.
Sebab, tahu-tahu kapak itu sudah ada di geng-
gaman Jaka Wulung.
Tidak hanya dua anak buah Kalamarica yang ter-
pana. Bahkan, Dyah Wulankencana terkesima oleh
sepak terjang Jaka Wulung yang jauh di luar perkira-
annya. Hanya dalam satu pukulan, Jaka Wulung
mem buat Kalamarica memekik kesakitan dan hanya
bi sa terbungkuk-bungkuk memegang jemarinya yang
serasa remuk. Alhasil, baik dua begal anak buah Kala-
marica maupun Dyah Wulankencana seolah-olah lu-
pa bahwa mereka mestinya bertempur lagi. Ketiga nya
tetap berdiri di tempat masing-masing.
Jaka Wulung masih menunggu dengan kapak di
tangan kanan.
Lalu, katanya, “Bagaimana, Paman Kalamarkisa,
eh, Kalamarica? Masih mau bertempur lagi?”
Kalamarica menggeram penuh geram. Selama per-
jalanan kariernya sebagai seorang begal yang sudah
berlangsung belasan tahun, dan bahkan sekarang
menjadi pemimpin yang ditakuti di wilayah ini, be-
lum pernah ia mengalami kekalahan sekali pun. Tapi,
kali ini, dalam sekali gebrak, ia harus merasakan be-
tapa jemarinya remuk dan tak bisa digerakkan sama
sekali. Dan, yang melakukannya adalah seorang bo-
cah ingus an. Ia benar-benar terhina luar biasa!
Mulutnya yang bergigi bopeng terus meracau,
“Bocah iblis! Bocah setan! Bocah siluman!” sampai -
sampai ia kesulitan menemukan kata yang lain, “Bo-
cah ... iblis!”
Akan tetapi, untuk melawan lagi, Kalamarica be-
nar-benar kehilangan nyali. Apalagi senjata andal an-
nya, kapak bermata dua, sudah berpindah ke ta ngan
lawan
Bagaimana dengan dua anak buahnya? Alih-alih
berniat melawan Jaka Wulung, keduanya merasakan
betapa tiba-tiba nyali masing-masing ciut menjadi
sebesar mulut cecurut.
“Bagaimana, Kang?” tanya salah satu anak buah-
nya, yang wajahnya dipenuhi bulu. Kali ini, ia tidak
lagi mirip gorila, tetapi lebih mirip seekor lutung.
Jadi, akan lebih tepat kalau julukannya pun menjadi
si lutung.
“Bagaimana, bagaimana ... ayo, lawan!”
Si lutung terbengong-bengong mendengar perin-
tah pimpinannya. Tapi, bukannya melancarkan se-
rangan, ia memilih ... “Kabuuur!” teriaknya, lari lin-
tang pukang, seperti lutung dikejar maung. Teriakan
si lutung seakan-akan menjadi komando bagi si rak-
sasa wayang golek untuk memilih langkah seribu.
Tinggallah Kalamarica yang kini terduduk di
tanah . Kariernya sebagai begal benar-benar hancur
dalam sekejap. Ia kehilangan kekuatan jarinya yang
remuk, kehilangan anak buahnya, dan terbayang di
matanya, ia kehilangan mata pencahariannya sebagai
begal. Mau diberi makan apa anak-istrinya di rumah?
“Sudahlah, Paman,” kata Jaka Wulung, “jangan
menangis seperti anak-anak ....”
“SIAPA YANG MENANGIS, HA?”
“Ya, sudah,” kata Jaka Wulung pula, “tidak perlu te-
riak-teriak begitu. Sakit kupingku.” Jaka Wulung men-
dekati Kalamarica, “Sekarang pulanglah. Carilah pe ker-
jaan yang baik. Kalau kudengar namamu masih ber-
ke liaran membegal orang-orang, aku tak segan-segan
me remukkan tidak hanya jari-jarimu, tetapi kepalamu!”
Kalamarica menggeram lagi, “Bocah ib ....”
“KAU YANG IBLIS, TAHU!” Jaka Wulung
meng acungkan kapak andalan Kalamarica di tangan-
nya. “Orang seperti kau seharusnya tidak diberi am-
pun. Tak tahu diri!”
Akan tetapi, gerakan tangannya terhenti di udara.
Jari-jari yang halus menghentikan gerakan Jaka Wu-
lung, yang sesungguhnya hanyalah gertak belaka.
Jari-jari Dyah Wulankencana.
“Sudahlah, Wulung,” kata si gadis. “Dia pasti akan
menuruti kata-katamu.”
Jaka Wulung tidak menyahut. Bukan semata-mata
karena ia percaya akan kata-kata Dyah Wulanken-
cana. Lebih dari itu, ia menikmati saat-saat demiki-
an. Dari jemari Dyah Wulankencana mengalir hawa
hangat, merayap turun melalui pembuluh darah di
tangannya, kemudian sampai di dadanya. Lalu ke
hatinya. Mau rasanya Jaka Wulung menjadi patung
sehingga adegan itu akan terus berlangsung, abadi.
11.Patah Sebelum Tumbuh
Dyah Wulankencana memandang Jaka Wu-
lung dengan rasa kagum yang luar biasa.
Beberapa waktu lalu, Jaka Wulung hanya-
lah bocah kumal yang tidak memiliki kemampuan
apa-apa selain gerak silat seadanya. Kini, Jaka Wu-
lung sudah menjelma menjadi seorang pemuda de-
ngan kemampuan yang sulit dicari tandingannya.
Apa yang terjadi pada bocah aneh ini? pikir Dyah
Wulankencana.
Di pihak lain, Jaka Wulung memandang Dyah
Wu lankencana dengan rasa kagum yang berbeda. Kau
sungguh gadis yang cantik dan menarik, batinnya.
Mata Dyah Wulankencana dan Jaka Wulung sa-
ling memandang, saling mengalirkan denyar yang
meng hangatkan dada. Kedua dada remaja itu pun
ber debar-debar bahagia.
Keduanya tak peduli lagi orang-orang lain di kedai
makan di sebuah kampung.
Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah
yang memerah jambu.
“Maafkan kami waktu itu,” ujar Dyah Wulanken-
cana pelan.
“Ah, tidak apa-apa. Tanpa kejadian itu, pasti aku
tidak akan menjadi seperti ini.”
Keduanya diam lagi, sama-sama merasakan keba-
hagiaan yang baru mereka rasakan.
“Jadi, kau sendiri hendak menuju ke mana?” tanya
Jaka Wulung.
Dyah Wulankencana menarik napas sebelum me-
ngisahkan perjalanannya. “Kami menjalani masa per -
co baan mengembara dua bulan. Guru kami, Ki Ja-
yeng Segara, menugasiku pergi ke arah selatan, Ling-
ga Pra wata ke timur, dan Watu Ageng ke utara. Sete-
lah dua bulan, kami diminta untuk berkumpul lagi di
pon dok di lereng Gunung Baribis.”
Jaka Wulung mengangguk-angguk. “Sungguh ma -
sa percobaan yang sangat berat bagi gadis muda se
pertimu,” terasa nada suara Jaka Wulung yang me-
nun jukkan kekhawatiran.
“Tapi, begitulah tugas yang harus kami jalani. Dan,
aku bisa menjalaninya dengan baik sebelum bertemu
dengan Kalamarica dan anak-anak buahnya.”
Jaka Wulung tersenyum, “Kau hebat, Wulan, bisa
menghadapi orang-orang kasar itu dengan baik.”
Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah
sedikit memerah. Selalu begitu, kalau gadis cantik wa-
jahnya memerah, dia akan semakin cantik. “Tapi, ke-
betulan sekali kau muncul. Kalau tidak ....”
“Itu bukan kebetulan, Wulan.”
Dyah Wulankencana mendongak memandang
Jaka Wulung.
“Maksudku,” Jaka Wulung menunjuk langit, “Dia
Yang Di Atas pasti sudah mengatur sedemikian rupa
sehingga aku yang baru saja pulang dari barat ber-
temu dengan kau di tempat pertempuran tadi.”
Dyah Wulankencana mengangguk. Kekaguman-
nya kepada Jaka Wulung bertambah saja. Dalam usia
semuda itu—paling banyak setahun lebih tua diban-
ding Dyah Wulankencana—Jaka Wulung sudah me-
nunjukkan kebijaksanaan seseorang yang berumur
dewasa.
“Kalau kau dalam perjalanan pulang, bolehkah
aku menemanimu?” Jaka Wulung menatap Dyah
Wu lankencana penuh harap.
Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Hmm ... ku-
rasa tidak.”
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Kenapa?”
Dyah Wulankencana tersenyum. Manis sekali.
“Mak sudku, tidak menolak.”
Kerutan di kening Jaka Wulung memudar dengan
segera. Dicubitnya hidung gadis itu dengan gemas.
Cubitan sayang.
“Auuww!”
Orang-orang menoleh ke arah Jaka Wulung dan
Dyah Wulankencana.
Akan tetapi, keduanya tidak ped
JAKA WULUNG dan Dyah Wulankencana berjalan
pulang ke utara. Mereka menyusuri jalan kampung
selebar kira-kira lima langkah kaki, terbuat dari tanah
dan batu-batu. Sebuah gerobak lewat ditarik seekor
kerbau. Gerobak itu membawa hasil tani berupa padi
dan palawija. Orang-orang juga banyak yang lewat
jalan itu. Memang jalan yang cukup ramai.
Di sebuah jalan cabang, mereka mengambil jalan
lurus. Jalan itu lebih sepi. Hanya satu-dua orang yang
lewat. Itu pun para pahuma (petani huma) atau orang
yang baru mencari kayu di hutan.
Mereka memang harus melalui pinggir hutan dan
melintas satu bukit sebagai jalan yang lebih dekat.
Akan tetapi, itu bukan masalah bagi mereka, anak-
anak muda yang sudah terbiasa mengembara melalui
hutan, gunung, ngarai, dan tempat-tempat lain yang
jarang sekali disambangi manusia.
Dyah Wulankencana merasa nyaman berjalan ber-
dua dengan Jaka Wulung. Di pihak lain, Jaka Wulung
senang menemani gadis itu.
Dunia di sekitarnya serbahijau. Indah tak terkira.
Dunia milik berdua. Orang lain cuma penonton.
Akan tetapi, mendadak keindahan itu buyar.
“Hiyaaaaaaaa!”
Sesosok tubuh manusia melayang dari kanan Jaka
Wulung. Jaka Wulung terkesiap karena ia sama sekali
tidak menyangka. Ia terlampau asyik bercakap-cakap
dengan Dyah Wulankencana sehingga kewaspadaan-
nya menurun.
Jaka Wulung hanya memasang tangannya di luar
sadarnya, untuk melindungi diri dan, terutama, kha-
wa tir kalau-kalau serangan itu ditujukan kepada Dyah
Wulankencan
Terjadi benturan keras dan Jaka Wulung merasa-
kan seakan-akan tangannya dihantam dengan kayu
besi! Jaka Wulung terdorong mundur tiga langkah,
tetapi dengan cepat mempersiapkan diri menjaga ke-
mungkinan dari serangan berikutnya.
Orang itu rupanya menyerangnya dengan sapuan
kaki kanan dan ia juga terdorong mundur tiga lang-
kah. Wajahnya merah padam.
“Lingga!” teriak Dyah Wulankencana.
“Bocah setan!” pekik orang yang menyerang itu,
yang ternyata Lingga Prawata, saudara seperguruan
Dyah Wulankencana. “Rupanya kau masih hidup
...!” Lingga Prawata mencabut kerisnya dan langsung
me nyerang Jaka Wulung membabi buta.
“Lingga! Jangan!” pekik Dyah Wulankencana lagi.
Akan tetapi, Lingga Prawata tidak mendengar te-
riakan gadis itu. Telinganya sudah tidak mende ngar
suara lain. Ia hanya bisa mendengar suara hatinya
sendiri, suara hati yang dilambari dengan kemarahan
dan ... cemburu buta!
Jaka Wulung menghindari serangan Lingga Prawa-
ta. Sebenarnya ia bisa saja melakukan serangan balik.
Orang yang marah besar dan cemburu buta akan mu-
dah kehilangan penguasaan diri. Ia akan terus menye-
rang dan mengabaikan pertahanannya. Dan, itulah
yang terjadi pada Lingga Prawata.
Jaka Wulung sesungguhnya marah juga mendapat
serangan tiba-tiba. Dan, si penyerang adalah Lingga
Pra wata, orang yang telah menyebabkannya celaka
tempo hari sehingga jatuh ke jurang dalam. Ingin juga
ra sanya memberikan perlawanan yang sepadan bagi
anak sombong itu.
Akan tetapi, Jaka Wulung masih memper tim bang-
kan Dyah Wulankencana. Akan apa jadinya kalau ia
men celakakan saudara seperguruan gadis itu? Seperti
se ring terjadi, hubungan dengan saudara seperguruan
acap kali lebih kuat dibanding dengan saudara sekan-
dung. Apalagi antara ia dan Dyah Wulankencana sa-
ma sekali tidak ada hubungan apa-apa—kecuali bah-
wa ia merasa bahagia berdekatan dengannya.
Oleh karena itu, Jaka Wulung hanya bisa menghin-
dari apa pun jenis serangan Lingga Prawata. Kadang
ia meloncat mundur, kadang menekuk tubuh, atau
juga berguling di tanah.
Lingga Prawata heran sekaligus semakin marah.
Selama berbulan-bulan ini ia terus meningkatkan il-
munya di pondok sunyi di lereng Gunung Baribis.
Ki Jayeng Segara sudah menurunkan semua ilmunya.
Kemajuan yang dialami Lingga Prawata pun sudah
cukup jauh melampaui Watu Ageng dan Dyah Wu-
lankencana. Ia memang memiliki bakat alam yang
kuat dibanding dua adik perguruannya.
Dalam dua bulan pengembaraannya, Lingga Pra-
wata juga terus meningkatkan ilmunya, baik melalui
latihan sendiri sepanjang perjalanan maupun dengan
pertempuran melawan orang lain. Ia dua kali harus
bertempur dengan para pembuat onar di sebuah kam-
pung. Di sana ia mampu mengalahkan dua pembuat
onar yang sebelumnya ditakuti seluruh kampung.
Ketika masa pengembaraannya hampir selesai, ia
memang sengaja memutar ke selatan sambil bertanya-
tanya kepada orang-orang, barangkali pernah melihat
gadis muda dengan ciri-ciri yang dimiliki Dyah Wu-
lankencana. Rasa penasarannya terjawab. Ia senang
karena akhirnya bisa mencium jejak gadis itu.
Akan tetapi, hatinya dibakar rasa cemburu ketika
dilihatnya Dyah Wulankencana justru berjalan sam-
bil bercakap akrab berdua dengan Jaka Wulung.
Dan, kini Lingga Prawata semakin mendidih da-
rahnya ketika setelah puluhan jurus tak mampu juga
senjatanya menyentuh, jangankan kulit Jaka Wulung,
bahkan bajunya pun tidak.
“Bocah setan, ayo lawan!” pekik Lingga Prawata.
“Jangan menghindar terus seperti banci!”
Bagi Lingga Prawata, kemampuan Jaka Wulung
un tuk menghindari setelah sekian jurus sungguh
mem buatnya heran. Keheranan pertama, bagaimana
ca ra Jaka Wulung selamat dari kecelakaan jatuh ke
jurang? Yang kedua, ya inilah, bagaimana mungkin
Jaka Wulung mampu menghindari serangan-serang-
an maut Lingga Prawata?
Di pihak lain, meskipun hatinya mulai panas ju-
ga, Jaka Wulung enggan terpancing oleh kata-kata
pedas Lingga Prawata. Sambil terus menghindar itu-
lah Jaka Wulung akhirnya bertanya-tanya mengapa
orang-orang selalu mengatainya sebagai “bocah se-
tan”. Apakah aku benar-benar keturunan setan? tanya
hati Jaka Wulung. Tapi, ia menjawab sendiri perta-
nyaannya, Tidak mungkin. Sebab, hanya orang-orang
jahatlah yang menyebutnya “bocah setan”. Kalau be-
gitu, apakah Lingga Prawata termasuk orang jahat? Ia
jahat karena merusak kebahagiaannya bersama Dyah
Wulankencana.
“Lingga! Hentikan!” seru Dyah Wulankencana ber -
kali-kali.
Akan tetapi, berkali-kali pula Lingga Prawata meng -
abaikan teriakan gadis itu. Lingga Prawata bahkan me-
mutuskan untuk menggunakan ilmu yang paling dian-
dalkannya: gagak rimang.
“Bocah setan, bersiaplah!”
Jaka Wulung mengenali gerak jurus maut itu. Dan,
ia tidak mau lagi menjadi sasaran ilmu yang dilandasi
kemarahan memuncak. Oleh karena itu, ia pun ber
siaga dengan ilmu andalannya pula: gulung maung.
Jaka Wulung dengan cepat menyalurkan tenaga da-
lam nya ke kedua tangannya, lalu ke jari-jemarinya
yang mengembang seperti cakar harimau.
Grrrhh ...!
Belum pernah Jaka Wulung menggunakan ilmu
ini untuk ditujukan kepada manusia mana pun. Ia
bahkan belum lagi mencobanya setelah kali terakhir
di Bukit Sagara ia hanya mampu mematahkan dahan
pohon. Jadi, ia kini seperti sedang berjudi ....
Sebelum Lingga Prawata melancarkan serangan-
nya, Jaka Wulung sudah mendahuluinya. Sebuah ge-
lombang tak kasat mata meluncur cepat mengarah ...
sebatang pohon!
DUARRR!
Terdengar ledakan keras. Pohon yang batangnya
sebesar tubuh manusia dewasa itu dihantam sebuah
kekuatan yang luar biasa.
Bergoyang-goyang beberapa jenak, kemudian ba-
tangnya ambruk berdebum ke tanah di antara Jaka
Wu lung dan Lingga Prawata, menerbangkan debu
dan dedaunan kering ke udara.
Beberapa saat kemudian hening.
Tak ada yang berbicara. Bahkan, tak ada yang
bergerak
Ketiganya terpaku di tempat masing-masing de-
ngan pikiran sendiri-sendiri.
Jaka Wulung menarik napas meredakan perasaan-
nya yang campur aduk. Dipandangnya wajah Dyah
Wulankencana untuk kali terakhir sebelum ia melon-
cat dan melesat pergi ke arah utara.
“Wuluuuung ...!”
Pekikan Dyah Wulankencana dengan cepat men-
jadi samar di telinganya.
Jaka Wulung berlari seakan dikejar setan. Hati-
nya remuk redam. Kebahagiaannya bertemu dengan
Dyah Wulankencana hanya berlangsung sekejap. Ia
harus merelakan gadis itu. Dyah Wulankencana bu-
kanlah miliknya. Meskipun tidak pernah terucap,
Jaka Wu lung tahu bahwa Lingga Prawata cemburu
buta. Cemburu itu tanda cinta. Itu berarti telah ada
hubungan antara Lingga Prawata dan Dyah Wulan-
kencana.
Lagi pula, ia tidak yakin apakah Dyah Wulanken-
cana menyukainya juga.
Jadi, Jaka Wulung merasa bahwa ia harus melu-
pakan gadis itu.
Tak terasa pipinya basah oleh air mata.
Hatinya patah sebelum tumbuh berkembang.
12.Kemelut di Bukit Sagara
Angin meniup pelan di lereng Bukit Saga ra.
Matahari menyapa dedaunan perdu yang
ber goyang-goyang disentuh cipratan air
pan curan. Suara gemercik air ditingkahi cericit bu-
rung -burung menyambut hari baru. Udara harum
tercium.
Sejenak Resi Darmakusumah memejamkan mata-
nya, merasakan segarnya berendam di dekat pancur-
an. Hampir tiap hari ia berendam di sana, tetapi se-
tiap kali itu pula ia selalu merasakan keindahan alam
di sana. Sungguh keindahan yang tak terkira. Resi Dar-
makusumah makin larut dalam pengakuan akan ke-
be saran Sang Pencipta.
Mendadak telinganya menangkap bunyi samar
yang aneh. Seperti jauh, tetapi rasanya dekat. Seperti
ketukan tak berirama entah di mana, tetapi juga se-
perti langkah kaki yang sangat berhati-hati.
Resi Darmakusumah berdebar-debar.
Perlahan ia bangkit dari air kali, naik ke rerumput-
an, mengambil bajunya, lalu melangkah cepat me-
nuju pondok.
Tak ada siapa-siapa di pondoknya.
Suasana tetap sunyi seperti hari-hari kemarin. Ba-
yangan pohon rasamala rebah memanjang di hala-
man pondok. Dedaunannya bergoyang pelan.
Akan tetapi, kesunyian itu terasa mencekam sang
Resi.
Ia beranjak ke dalam pondok kecilnya, menuju ru-
ang di sudut belakang, tempat ia menyimpan kitab-
kitab pusaka. Sarang laba-laba saling melintang dan
Resi Darmakusumah menarik napas panjang.
Tiba-tiba ia teringat muridnya, Jaka Wulung. Di-
panjatkannya doa, semoga bocah itu selamat dalam
perjalanannya dan menyerap pengetahuan apa pun di
mana pun.
Bocah itu punya bakat yang langka, batin Resi Dar-
makusumah. Mungkin aku terlampau cepat me le pas-
nya. Dia masih perlu bimbingan, baik dalam kanura
gan maupun dalam sastra. Kuharap dia tidak meng-
alami musibah.
%
AKAN TETAPI, ihwal musibah, tidak seorang pun
bisa men duganya.
Telinga Resi Darmakusumah menegang ketika di-
dengarnya suara samar langkah-langkah manusia di
luar pondoknya. Mungkin masih agak jauh, tetapi
makin lama makin jelas bahwa langkah-langkah itu
makin dekat menuju kediamannya. Ia memastikan
itu bukan Jaka Wulung. Ia sangat mengenal cara me-
langkah muridnya. Siapa dia?
Tunggu.
Tidak hanya satu, tetapi dua .... Tiga malah. Le bih
....
Siapa mereka? Ada tujuan apakah mereka menuju
kemari? Selama bertahun-tahun tempat ini benar-
benar tempat yang damai. Apakah mereka sudah me-
nemukan tempat persembunyiannya? Apakah mere-
ka masih terus mengejar kitab-kitab yang sekarang
ada di tangannya?
Ada rasa penyesalan di dalam dada Resi Darmaku-
sumah. Mungkin ia terlalu yakin bahwa persembu-
nyiannya sudah aman, tidak bakal tercium oleh mere
yang berambisi memiliki kitab-kitab pusaka di ta-
ngannya. Boleh jadi ia terlalu khusyuk dalam semadi
memuja Yang Mahatinggi. Tapi, apa pun alasannya,
penyesalan sudah tidak berguna lagi.
Bukit Sagara yang indah dan damai kini terancam
ternoda.
Ada keinginan untuk lari dari tempat itu sebelum
mereka datang. Tapi, Resi Darmakusumah akhirnya
memutuskan menghadapi mereka apa pun yang ter-
jadi. Lagi pula, kalaupun pergi diam-diam, ia tidak
yakin apakah akan bisa lolos dari mereka. Ia tidak tahu
siapa saja dan seberapa besar kemampuan me reka.
Resi Darmakusumah sudah menunggu di pintu
pondoknya ketika orang pertama muncul.
Orang pertama adalah laki-laki yang sulit ditebak
usianya. Tubuhnya lebih kekar daripada Resi Darma-
kusumah sehingga kelihatan lebih muda. Tapi, wa-
jahnya tirus dan penuh dengan keriput sehingga keli-
hatan lebih tua dari Resi Darmakusumah. Lagi pula,
kepalanya gundul, bukan karena digunduli, melain-
kan rambutnya rontok semua dan tidak mau tumbuh
lagi. Di tangannya tergenggam erat cambuk berujung
baja yang setajam belati.
“Selamat pagi, Resi,” ucapnya seraya tersenyum misterius.
Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya, “Oh,
rupanya Ki Wira alias Si Cambuk Maut. Aku nya ris ti-
dak mengenalmu. Sekarang kepalamu gundul.”
Ki Wira terkekeh-kekeh, memperlihatkan mulut-
nya yang tidak lagi bergigi. “Setelah dua puluh tahun,
Resi, akhirnya kita bertemu lagi.”
Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. “Ya,
ya. Tampaknya ada keperluan penting sehingga Ki
Wira jauh-jauh dari pantai utara mengunjungi tem-
pat sepi ini.”
“Tentu saja, Resi. Pertama-tama, aku kangen un-
tuk berjumpa kawan lama. Kedua, aku dengar kau
pu nya benda yang menarik. Jangan rakus, Resi, ber-
ba gilah dengan sahabat.”
Resi Darmakusumah mengernyit lagi. “Benda apa -
kah yang menarikmu sejauh ini?”
Ki Wira terkekeh lagi. “Sudahlah, Resi. Dulu aku
memang kalah ketika kali terakhir kita bertempur.
Tapi, selama dua puluh tahun ini aku sudah mening-
katkan ilmuku. Begitu kerasnya aku berupaya sam-
pai-sampai rambut dan gigiku tak mau tumbuh lagi.
Seka rang perlihatkanlah barang milikmu kepadaku
sebelum datang orang lain ....”
Belum selesai kata-kata Ki Wira, sudah muncul
orang lain seakan-akan tidak diketahui dari mana
datangnya.
Ia seorang perempuan yang kira-kira sebaya de-
ngan Resi Darmakusumah dan Ki Wira. Rambutnya
yang sebagian besar sudah berwarna putih dibiarkan
berkibar ditiup angin. Tapi, wajahnya masih mem-
perlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Ia
ti dak kelihatan membawa senjata apa pun, tetapi ta-
tapan matanya tajam seperti mata elang. Di tubuh-
nya hanya melintang sehelai selendang merah yang
ujungnya tergenggam di tangan kanan.
“Ah, kalau punya sesuatu, jangan dihabisi berdua,”
kata perempuan itu. “Aku juga tak mau ketinggalan
oleh kalian.”
Resi Darmakusumah dan Ki Wira sama-sama me-
mandang perempuan itu dengan kening berkerut.
Ki Wiralah yang mula-mula mengenali perem-
puan itu. Ia terkekeh-kekeh, “Ah, Siluman Cantik
dari Karang Bolong pun datang.”
Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. “Hmm
... Nyai Purwati rupanya. Sungguh kehormatan ba-
giku.”
Nyai Purwati tertawa. Sekilas tawanya terdengar
renyah di telinga, seperti tawa riang seorang remaja.
Tapi, akan terasa kemudian bahwa suara tawa itu me-
ngandung tenaga dalam tersembunyi yang membuat
siapa pun yang mendengarnya lama-lama akan bergi-
dik ngeri.
“Ah, benar kata Ki Wira. Cepatlah kau perlihatkan
benda yang kini di tanganmu itu. Aku yakin itu bukan-
lah benda milikmu. Oleh karena itu, lebih baik kita
pelajari saja bersama-sama. Bukankah bersama-sama
kita bisa menjadi kekuatan yang sangat dahsyat?”
Resi Darmakusumah memandang Nyai Purwati
seraya menarik napas dalam. Ia juga memandang
Ki Wira. Ki Wira memandang Resi Darmakusumah
dan Nyai Purwati bergantian dengan mulut terkekeh.
Nyai Purwati memandang Resi Darmakusumah dan
Ki Wira sambil menyunggingkan senyumnya yang
masih menyisakan aura kecantikan.
Mereka saling pandang dan belum ada yang ber-
sua ra lagi. Jadi, suasana hening beberapa jenak.
Akan tetapi, keheningan itu pecah ketika dalam
waktu yang nyaris bersamaan, meloncat dua orang dari
arah yang berbeda. Dari arah timur, muncul perem-
puan berpakaian putih-putih. Rambutnya hitam tebal,
sebagian digelung dan sisanya tergerai ke punggung.
Lehernya seperti kulit langsat. Usianya menjelang 40
tahun, tetapi masih kelihatan cantik. Ya, ia adalah Se-
kar Ayuwardhani atau yang lebih dikenal sebagai Ma-
war Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara.
Dari arah utara muncul lelaki berusia 40-an juga,
menyandang pedang panjang yang melengkung di
punggung. Dialah Mahesa Geni dari Gunung Maha-
meru.
Baik Sekar Ayu maupun Mahesa Geni terkejut
melihat keberadaan para orang tua itu. Tapi, mereka
segera meredam keterkejutan itu dan mulai memper-
hatikan satu per satu siapa mereka. Sekar Ayu belum
pernah bertemu dengan Ki Wira. Tapi, melihat pe-
nampilannya yang aneh dengan senjata cambuk di
tangan, Sekar Ayu segera mengenali bahwa lelaki
bo tak itu adalah Si Cambuk Maut. Sekar Ayu juga
be lum pernah bertemu dengan Nyai Purwati. Tapi,
dari ciri-cirinya ia langsung bisa menebak bahwa ne-
nek yang masih kelihatan cantik itu adalah Siluman
Cantik dari Karang Bolong. Dan, orang berjubah di
depan pondoknya tentulah sang tuan rumah, Resi
Darmakusumah.
Lalu, siapa lelaki yang datang pada saat yang ham-
pir bersamaan dengannya? Rasanya Sekar Ayu pernah
berjumpa dengannya, entah di mana.
Akan halnya Mahesa Geni, seperti Sekar Ayu, ia
bisa mengenali para tokoh golongan tua itu dari pe-
nampilan mereka. Mahesa Geni membungkuk ke-
pada mereka, juga kepada Sekar A
“Mohon dimaafkan kalau saya mengganggu per-
temuan para orang tua di sini.” Lalu, katanya kepa-
da Sekar Ayu, “Senang juga bisa berkenalan dengan
Mawar Beracun di sini.”
Sekar Ayu memandang Mahesa Geni dengan ke-
ning berkerut.
Ki Wira tertawa. Karena ompong, suara tawanya
terdengar aneh, seperti mengandung suara siulan.
“Ah,” katanya setelah tawanya reda, “Mawar Beracun
dari Bumi Sambhara Budhara. Sungguh bukan nama
yang kosong. Dunia persilatan benar-benar tak per-
nah kehilangan kelompok muda yang hebat. Juga Ki
Sanak yang berpedang panjang. Ki Sanak pasti juga
bukan orang sembarangan.”
“Nama saya Mahesa Geni. Sayang saya tidak pu-
nya julukan apa pun.”
Nyai Purwati tertawa. “Mungkin Pendekar Pe dang
Panjang nama yang cocok. Atau Pendekar Sumpit
Maut?”
Mahesa Geni menoleh ke arah Nyai Purwati de ngan
kening berkerut. Mungkinkah nenek ini melihat ketika
ia menggunakan sumpitnya di tepi Sungai Ci Pamali?
Bagaimana mungkin aku tidak tahu keberadaannya?
Tiba-tiba terdengar tawa membahana, menggetar-
kan udara di sekitarnya, dan menggetarkan dada si
apa pun yang mendengarnya. Tawa yang mengan-
dung ilmu gelap sayuta.
Raksasa Kembar dari Segara Anakan sama-sama
meloncat dari balik pohon. Orang-orang di sana ter-
kejut. Tidak mungkin tawa hanya dua raksasa itu
mampu menggetarkan dada mereka. Ternyata benar,
di belakang mereka muncul seseorang yang juga ber-
tubuh raksasa. Bedanya, ia kelihatan lebih tua karena
kepalanya sudah botak nyaris seluruhnya, tinggal me-
nyisakan helai-helai rambut putih di belakang dan di
dekat telinganya. Dialah yang melalui tawanya mene-
barkan ilmu gelap sayuta, yang kekuatannya berlipat-
lipat dibanding gelap sayuta-nya si raksasa kembar.
Nyai Purwati memandang si raksasa tua. “Hmm ...
rupanya bayi kembar itu belum punya nyali sehingga
masih harus nggandul gurunya ....”
Cingkarabala dan Balaupata sudah hendak meng-
acungkan gadanya ke arah Nyai Purwati, tetapi sang
guru menahan keduanya.
“Ah, Anak-Anak Manis,” kata Nyai Purwati ke-
pada raksasa kembar itu, “lebih baik kalian di rumah
saja.”
“Nyai, sudahlah,” kata si raksasa tua menggelegar.
Bagaimanapun, tersinggung juga ia. Murid-murid
yang ia banggakan, yang telah menebarkan ketakutan
wilayah Segara Anakan dan sekitarnya, hanya di-
anggap sebelah mata oleh perempuan itu.
Sementara itu, mendengar kata-kata Nyai Purwa-
ti, Sekar Ayuwardhani menunduk menahan tawa.
Baik Cingkarabala maupun Balaupata melihat ge-
rakan Sekar Ayu dan keduanya sama-sama melotot ke
arah si Mawar Beracun.
Akan tetapi, keinginan raksasa kembar itu untuk
mem balas dendam terhadap Sekar Ayu harus mereka
pendam dulu ketika terdengar kata-kata Brahala, guru
mereka, yang menggelegar. “Kenapa kalian justru sa-
ling bertegur sapa seperti terhadap sahabat lama?”
Nyai Purwati tertawa genit. “Jadi, apa maumu,
Brahala?”
Brahala memandang Nyai Purwati, kemudian ber-
turut-turut menatap Ki Wira, Mahesa Geni, Sekar
Ayuwardhani, dan akhirnya Resi Darmakusumah.
Lalu, katanya, “Bukankah kita datang ke sini untuk
merebut pusaka di tangan Resi Darmakusumah?”
“Dan, kau ingin pusaka itu?” tanya Ki Wira.
“Hahaha, tentu saja! Dan kau, kalian semua, buat
apa jauh-jauh datang ke sini?”
“Maksudku, bagaimana kau akan mendapatkan-
nya?” tanya Ki Wira lagi.
Ditanya seperti ini, Brahala terdiam. Ia menyadari
bahwa orang-orang yang datang memiliki kemam
puan yang sulit ditakar. Mungkin ia bisa menandingi
Ki Wira, Nyai Purwati, atau bahkan Resi Darmaku-
sumah secara sendiri-sendiri. Tapi, bagaimana kalau
ia menghadapi mereka secara bersama-sama?
Akan tetapi, bukan hanya Brahala yang kebingung-
an. Ki Wira, Nyai Purwati, Mahesa Geni, dan Sekar
Ayuwardhani, apalagi raksasa kembar dungu macam
Cingkarabala-Balaupata, juga sama-sama bingung ba-
gai mana mereka bisa merebut benda yang mere ka in-
car, yang kini berada di tangan Resi Darmakusumah.
“Ki Sanak yang bersembunyi di sana,” Ki Wira
menunjuk sebatang pohon di arah timur, “mungkin
Ki Sanak punya usul bagaimana kita mendapatkan
kitab pusaka itu?”
Kata-kata Ki Wira alias Si Cambuk Maut kede-
ngarannya hanya pertanyaan biasa-biasa saja. Tapi,
di balik itu, tentu saja Ki Wira sedang menunjukkan
pengamatannya yang sangat tajam, yang tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Bahkan, Nyai Pur-
wati dan Brahala pun terkejut karena mereka tidak
menyadari ada orang lain lagi di sekitar mereka.
Seorang lelaki meloncat dari balik sebuah pohon,
lalu mendekat kepada kelompok yang sedang menge-
pung pondok Resi Darmakusumah. Ia lelaki berusia
awal 40-an dengan wajah yang keras dan sorot mata
tajam. Dialah Ki Jayeng Segara, tokoh penting di
masa kejayaan Jipang Panolan. Di perutnya terselip
keris dengan gagang dan warangka hitam.
Ki Wira mengerutkan keningnya memandang Ki
Jayeng Segara, seakan-akan sedang menggali ingat an-
nya mengenai siapa lelaki di depannya. Tapi, ia meng-
geleng pelan. Begitu juga Nyai Purwati dan Bra hala.
Pengetahuan seseorang tampaknya menjadi ter batas
terhadap orang yang berbeda cukup jauh usianya.
“Selamat datang, Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak
segera memperkenalkan diri,” kata Ki Wira.
Sekar Ayuwardhani menyela melalui tawanya yang
renyah. “Kelompok orang tua memang sering meng-
ang gap enteng orang-orang muda,” katanya. “Kalau ti-
dak salah lihat,” mata Sekar Ayu memandang keris yang
menyelip di perut Ki Jayeng Segara, “Ki Sanak ini ten-
tulah tokoh penting dari Kadipaten Jipang. Barangkali
dia orang kedua atau ketiga Arya Penangsang sendiri.”
Baik Ki Wira, Nyai Purwati, maupun Brahala sa-
ma-sama terkejut. Arya Penangsang adalah sosok yang
tentu saja menggetarkan hati mereka. Dan, mere ka
yakin tokoh kedua atau ketiga Kadipaten Jipang bu-
kanlah tokoh sembarangan.
Ki Jayeng Segara membungkuk. “Saya sebenarnya
datang bukan untuk kitab pusaka seperti Ki Sanak
semua. Tapi, akhirnya saya tertarik untuk mengeta-
hui apa sebenarnya yang terjadi di sini.”
Ki Wira tertawa. “Terserah apa tujuanmu, Ki Sa-
nak. Tapi, karena sudah berada di sini, bukankah Ki
Sanak akan ikut juga berebut benda pusaka?”
Akan tetapi, sebelum Ki Jayeng Segara menjawab,
terdengar suara tawa yang panjang. Suara tawa dari
dua orang. Lelaki dan perempuan. Dan, ketika su-
ara tawa mereka belum hilang, kedua orang itu sudah
mela yang dan hinggap tepat di ruang kosong di sebe-
lah Nyai Purwati.
Tatapan semua orang kini mengarah kepada sepa-
sang lelaki dan perempuan itu. Si lelaki memiliki ku-
mis tebal dan sorot mata tajam, sedangkan si perem-
puan berwajah cantik dan berpakaian ketat. Sekilas
keduanya sama-sama berusia sekitar 45 tahun. Di
punggung mereka menyilang pedang panjang.
“Ah, rupanya kalian,” ucap Nyai Purwati sambil
menggeleng-geleng. “Sepasang Rajawali dari Pelabuh-
an Ratu. Sungguh kalian tidak berubah sejak puluhan
tahun lalu. Tetap awet muda. Tetap gagah dan can-
tik.” Ada nada iri pada kata-kata Nyai Purwati.
Ki Wira dan Brahala mengangguk-angguk.
Akan tetapi, Sekar Ayuwardhani, Mahesa Geni,
Ki Ja yeng Segara, dan Raksasa Kembar dari Segara
Anakan terkejut mendengar siapa mereka itu. Nama
me reka sudah tersohor di dunia persilatan. Teruta-
ma nama mereka sebagai pasangan. Sebab, orang
tak pernah menyebut mereka secara sendiri-sendiri.
Na ma ma sing-masing hilang oleh nama mereka se-
bagai pasang an yang tak terpisahkan. Entah dengan
ra muan apa, sepasang rajawali itu tetap tampak ber-
usia muda, padahal usia mereka sudah enam puluhan
tahun, sama dengan Ki Wira dan lain-lain.
“Nah,” kata si rajawali jantan. “Kami ternyata be-
lum terlambat tiba di tempat ini. Rupanya kalian le-
bih senang saling memperkenalkan diri seakan-akan
kalian sedang kangen-kangenan. Bukankah tujuan
kalian adalah merebut kitab pusaka? Mengapa tidak
ada satu pun yang mulai bergerak?”
Brahala mengerutkan keningnya sebelum berkata
dengan suaranya yang mengguntur, “Kau punya usul
bagaimana kita melakukannya?”
Si rajawali jantan tertawa panjang. “Otak kalian
tampaknya makin tua makin mengerut. Tentu saja
sekarang kita kepung pondok ini dan keroyok Resi
Darmakusumah. Setelah kita dapat pusaka itu, kita
tentukan nanti melalui pertarungan yang adil di an-
tara kita. Bagaimana?”
“Setuju!” teriak si rajawali betina. Tentu saja
Kelompok tua di antara mereka, Ki Wira, Nyai
Pur wati, dan Brahala, terpaksa mengangguk-angguk
meskipun hati mereka mangkel disebut otak mere ka
mengerut. Adapun kelompok yang lebih muda, Se-
kar Ayuwardhani, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara,
dan Cingkarabala-Balaupata, sama-sama terdiam me-
nunggu.
Sementara itu, Resi Darmakusumah berdebar-
de bar melihat perkembangan yang terjadi. Dari se-
mu la ia lebih suka berdiam diri seraya mencari cara
bagaimana meloloskan diri dari mereka. Terhadap
siapa pun Resi Darmakusumah tidaklah jeri kalau
ber hadapan satu per satu. Atau paling banyak dua
atau tiga. Tapi, menghadapi keroyokan mereka, per-
soalannya akan sangat berbeda.
Resi Darmakusumah hanya bisa mengukur sebe-
rapa jauh niat mereka untuk memiliki kitab di ta-
ngannya. Ki Wira, Nyai Purwati, dan Brahala serta
dua muridnya jelas adalah orang-orang dari golongan
hitam yang sangat rakus terhadap apa pun di dunia
ini. Ki Wira dan Nyai Purwati mungkin saja keli-
hatan akrab ketika pertama kali berjumpa tadi. Tapi,
bagi mereka, nyawa hanyalah salah satu unsur kecil
kehidupan. Mereka mampu membunuh dengan da-
rah dingin sambil memperlihatkan sikap bercanda.
Sepasang Rajawali itu, setahu Resi Darmakusu-
mah, sulit diketahui apakah termasuk golongan hi-
tam atau putih. Mungkin orang seperti merekalah
yang masuk golongan abu-abu. Adapun terhadap Se-
kar Ayu, Mahesa Geni, dan Ki Jayeng Segara, penge-
tahuan Resi Darmakusumah sangat terbatas. Jadi, ia
hanya menunggu apa yang akan terjadi.
“Nah, Resi,” ujar si rajawali jantan, menghadap
lang sung Resi Darmakusumah. “Tampaknya tak ada
pi lihan lain. Kauserahkan kitab-kitab pusaka di ta ngan-
mu, atau kami akan memaksamu menyerahkan nya.”
Resi Darmakusumah berdeham. “Setahuku,” kata-
nya, “kalian, Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu,
bukanlah jenis orang yang senang memburu kitab
seperti ini.”
Sepasang Rajawali itu tertawa bersama-sama. Tam-
paknya mereka sudah terbiasa untuk tertawa bersama-
sama. Maklum, mereka sudah selama sekitar 40 tahun
hidup bersama. Sejak sama-sama remaja.
“Resi,” kata si rajawali jantan, “meskipun silsilah-
nya sudah berjauhan, aku yakin bahwa kita masih
sama-sama keturunan raja-raja besar Negeri Sunda.
Tapi, aku tidak peduli soal itu. Yang kupedulikan, aku
juga masih berhak atas kitab-kitab pusaka peninggal-
an para leluhur. Nah, sekarang kesempatan bagiku
terbuka lebar. Mengapa tidak kuambil?”
“Benar, Kakang,” timpal si rajawali betina. “Sudah
saatnya kita membangun nama lebih besar sebelum
kita moksa dari dunia.”
Resi Darmakusumah menarik napas dalam-dalam.
Ia mundur selangkah ketika Sepasang Rajawali itu
melangkah maju setapak. Pada saat yang sama, Ki
Wira, Nyai Purwati, dan Brahala juga melangkah ma-
ju. Kini lima tokoh dengan ilmu yang sulit di ukur
ke dalamannya mengepung Resi Darmakusumah se-
te ngah lingkaran.
Berturut-turut dari sebelah kanannya adalah Nyai
Purwati, si rajawali jantan, si rajawali betina, Ki Wira,
dan Brahala.
Nyai Purwati, alias Siluman Cantik dari Karang
Bolong, sudah menggenggam erat ujung selendang
merahnya. Pada masa mudanya, ia pernah bertempur
dan merasakan betapa hebatnya ilmu Resi Darmaku-
sumah. Kalau saja sendirian, ia tentu merasa jeri.
Tapi, kini ia bersama empat tokoh lain yang setara
ilmunya sehingga hatinya menjadi yakin.
Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu sudah sa-
ma-sama meloloskan pedang panjang di punggung
mereka. Sepasang pedang yang sudah memantapkan
nama mereka terutama di pesisir selatan Jawa Dwipa
bagian barat. Mereka belum pernah bentrok langsung
dengan Resi Darmakusumah, tetapi mereka pernah
bertempur dengan Nyai Purwati dan ilmu mereka ti-
dak kalah dibanding siluman cantik itu.
Ki Wira alias Si Cambuk Maut sudah pula meng-
uraikan cambuknya. Bahkan, berkali-kali sudah di ma-
in kan nya cambuk itu. TAR! TAR! Bunyinya me ngan -
dung gelombang yang menyakitkan telinga sia pa pun
yang mendengarnya. Memekakkan sekaligus me ne-
barkan aroma maut melalui bau racun di ujung nya .
Sementara itu, Brahala memutar-mutarkan gada
raksasanya, yang panjangnya hampir separuh tubuh-
nya. Ia menamai gadanya Rujak Polo. Padahal, Ru-
jak Polo adalah gada milik Bima. Tapi biarlah, seper-
ti umumnya raksasa, Brahala juga memiliki isi otak
yang tidak terlalu besar. Karena memang bertubuh
besar, masih beruntung ia memiliki tenaga raksasa,
dan itulah yang menjadi andalannya.
Benar-benar tak ada ruang bagi Resi Darmaku-
sumah untuk meloloskan diri.
Sementara itu, kelompok yang lebih muda, Sekar
Ayu, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, dan Raksasa
Kembar dari Segara Anakan, masih sama-sama me-
nung gu perkembangan. Meskipun tidak tahu apa
yang akan terjadi, kelompok ini berharap para tokoh
tua itu saling bertempur di antara mereka.
Rupanya Brahala sudah tidak sabar lagi. Ia melon cat
dan langsung menghantamkan Rujak Polo-nya meng-
arah ke kepala Resi Darmakusumah. Sang Resi meng-
hindar dan gada raksasa itu menghantam sebong kah
batu yang kemudian hancur berkeping-keping men-
jadi kerikil yang beterbangan ke segala arah!
Dalam waktu yang bersamaan, ujung pedang Se-
pa sang Rajawali meluncur mengarah Resi Darma-
kusumah yang belum memiliki kuda-kuda setelah
menghindari serangan Brahala. Resi Darmakusumah
melenting setinggi orang dewasa dan sambil berjum-
palitan mencoba membalas melalui ujung kujangnya.
Kujang itu sudah belasan tahun tidak pernah ia pakai
dan sekarang pada jurus pertama Resi Darmaku-
sumah terpaksa menggunakannya.
Akan tetapi, Resi Darmakusumah terpaksa mena-
rik serangannya karena ia melihat kelebatan selendang
merah Nyai Purwati. Selendang itu kelihatannya me-
mang hanyalah selembar kain lembut karena terbuat
dari sutra. Lagi pula, dalam keadaan biasa, Nyai Pur-
wati memakainya juga sebagai pemanis busananya.
Tapi, di tangan perempuan bermata elang ini, ujung
selendang itu, yang memang diberi puluhan ba tang
jarum, bisa menyayat-nyayat kulit seperti halnya sisi
tajam pedang. Resi Darmakusumah tentu tak mau
tangannya tersayat sia-sia.
Dan, hanya sekejap kemudian, cambuk maut di
tangan Ki Wira sudah pula meledak-ledak menyobek
udara dan berupaya mengejar ke mana pun gerak
Resi Darmakusumah.
Sekejap kemudian, berlangsung pertarungan ting-
kat tinggi yang secara kasat mata sulit diikuti gerakan-
nya. Yang terlihat adalah bayangan-bayangan yang
berkelebat menimbulkan semacam angin puting be-
liung yang menerbangkan kerikil-kerikil dan meron-
tokkan dedaunan di sekitar pertempuran, diselingi
bunyi dentang senjata logam beradu dan ledakan sua-
ra cambuk dan kibasan selendang.
Meskipun dikeroyok lima tokoh termasyhur yang
tingkatannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Resi Dar-
makusumah justru beruntung karena ke kuatan lima
orang itu tidak menggambarkan pen jumlahan keku-
atan masing-masing. Karena masing -masing ingin
me non jolkan diri sendiri, serangan yang dihasilkan
pa ra tokoh itu acap kali tidak selaras dan, kadang ka-
la, saling mengancam di antara mere ka sendiri.
Dengan demikian, melalui ilmu andalan gulung
maung yang sudah terasah selama beberapa tahun
me lalui sumbernya langsung di lembar-lembar Kitab
Siliwangi, sampai puluhan jurus Resi Darmakusumah
mampu melayani perlawanan kelima lawannya.
Akan tetapi, seburuk-buruknya keselarasan serang-
an yang diperagakan Sepasang Rajawali dari Pelabuh-
an Ratu, Siluman Cantik dari Karang Bolong, Si
Cambuk Maut, dan Brahala, mereka adalah tokoh-
tokoh yang selama ini menggentarkan siapa pun, ter-
utama di tanah Jawa Dwipa. Serangan demi serangan
melanda tidak pernah berhenti sejeda pun.
Dua ujung pedang sepasang rajawali melesat-lesat
seakan-akan berubah menjadi belasan ujung pedang.
Selendang Nyai Purwati berkelebatan tak ubahnya
seperti ular bersayap, siap mematuk lawan dengan
jarum-jarum di ujungnya. Cambuk Ki Wira tidak
henti-hentinya meledak-ledak menimbulkan suara
yang bikin pekak dan siap menerkam sasaran. Gada
Rujak Polo pun terus berputar-putar dan, jika tidak
mengenai sasaran, menghantam bebatuan dan pepo-
honan, menimbulkan badai yang menggila.
Tampaknya kepastian nasib Resi Darmakusumah
tinggal menunggu waktu.
Pucuk-pucuk daun rasamala bergoyang-goyang di-
tiup angin, seakan-akan menggelengkan kepala tidak
rela bahwa bebukitan yang selama ini, dalam kurun
ratusan tahun, damai tiba-tiba akan ternoda. Darah
sebentar lagi tumpah, memerahi tanah.
13.Titik Akhir adalah Sebuah Awal
Jaka Wulung terus berlari seperti kesetanan .
Kekuatan yang ia peroleh secara ajaib di
Nusa Larang, ditambah rasa patah hati yang
menyayat-nyayat, membuat tenaga Jaka Wulung men -
jadi berlipat-lipat. Kakinya yang telanjang se akan-akan
tidak menapak di tanah ketika ia meniti ja lan setapak,
menuruni ngarai, mendaki bukit, menye berang su-
ngai kecil, dan menembus pepohonan rapat di hutan
menjelang Bukit Sagara.
Ia baru menahan langkah larinya ketika telinganya
menangkap dentang senjata dan pekik manusia ber-
puluh-puluh langkah di depannya.
Jaka Wulung menyelinap dari satu pohon ke po-
hon lainnya dengan penuh kehati-hatian. Ada apa ge-
rangan? Siapa yang bertempur di tempat yang begini
sunyi?
Di tanah datar di bagian lembah pondok gurunya,
tampak seorang perempuan berbaju putih-putih, de-
ngan dua pedang pendek, sedang bertempur seru de-
ngan dua lelaki bertubuh sangat besar, seperti raksasa,
dengan senjata gada di tangan masing-masing.
Rupanya, Raksasa Kembar dari Segara Anakan itu
masih penasaran atas kekalahan yang mereka alami
di tangan si Mawar Beracun. Jadi, di sini, mereka
me ngerahkan segala kemampuan dan tenaga mere-
ka yang besar untuk mencoba membalas dendam.
Mung kin mereka tidak peduli terhadap tujuan utama
mereka datang ke Bukit Sagara.
Sekilas Jaka Wulung mengagumi sepak terjang
pe rempuan cantik itu, yang dengan lincah dan gesit
mam pu melayani dua raksasa bertenaga raksasa. Bah-
kan, sesekali ujung pedang pendeknya, baik di tangan
kiri maupun kanan, mampu menyentuh tipis kulit
Cingkarabala dan Balaupata, yang membuat kedua
raksasa itu bertambah marah dan berusaha melipat-
gandakan serangan mereka.
Jaka Wulung terkesiap ketika dilihatnya di tanah
yang lebih tinggi, tepat di depan pondoknya, sang
guru, Resi Darmakusumah, mati-matian menghada-
pi lima orang pengeroyok yang dalam sekilas pun ke-
lihatan bahwa ilmu mereka berada pada level yang sa-
ngat tinggi, setidaknya hanya selapis tipis dari tingkat
ilmu Resi Darmakusumah.
Di bawah sadarnya, Jaka Wulung meloncat ketika
ujung cambuk Ki Wira melesat mengancam kepala
gurunya. Sambil melayang di udara, Jaka Wulung
me narik kudi hyang dari balik bajunya, mengarah-
kannya untuk memapak ujung cambuk si Cambuk
Maut. Ilmu gulung maung sudah siap menerkam.
Grrrhh ...!
Dalam keadaan sadar dan memahami keadaan,
pastilah Jaka Wulung akan berpikir tiga kali untuk
melawan senjata maut di tangan Ki Wira. Itu adalah
tindakan nekat!
Akan tetapi, acap kali terjadi, kenekatan seperti itu
memberikan tenaga yang berlipat, seperti seseorang
yang tiba-tiba mampu meloncati pagar tinggi ketika
dikejar binatang buas. Itulah yang terjadi pada Jaka
Wulung saat itu.
Trang! Tas!
Dalam dua gerakan singkat, kudi hyang di tangan
Jaka Wulung membentur logam baja di ujung cam-
buk dan memapas leher cambuk itu.
Cambuk itu putus!
Jaka Wulung berjumpalitan dan hinggap tepat di
sebelah kiri gurunya.
Pertempuran sejenak terhenti.
“Wulung?” Resi Darmakusumah memandang mu -
rid nya seakan-akan sudah puluhan tahun tidak me li -
hat nya. Ia terkejut melihat apa yang baru saja di per buat
sang murid. Tapi, tak lama kemudian ia ya kin bahwa
kepergian Jaka Wulung sesuai dengan pe tun juk nya te-
lah memberikan hasil seperti yang di ha rapkan.
Kudi hyang di genggaman Jaka Wulung adalah
sen jata pusaka yang hanya dimiliki tokoh hebat masa
lalu, misalnya Prabu Niskala Wastukancana sendiri.
Resi Darmakusumah tentu saja ingin mendengar
cerita tentang pengalaman Jaka Wulung, tetapi ke-
adaan tidak memungkinkan.
Tidak hanya pertempuran di antara mereka yang
terhenti. Pertempuran antara si Mawar Beracun dan
dua raksasa itu pun terhenti. Mereka ingin tahu apa
yang terjadi. Mereka terkejut melihat kedatangan
seorang bocah belasan tahun yang tiba-tiba menun-
jukkan sesuatu yang berada di luar akal mereka.
Mahesa Geni dan, tentu saja, Ki Jayeng Segara,
yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa kecuali
me nonton dua kalangan pertempuran, menganga ti-
dak percaya. Terutama Ki Jayeng Segara, yang segera
mengenal siapa orang yang tiba-tiba ikut terjun dalam
pertempuran tingkat tinggi itu. Beberapa waktu lalu,
bocah itu bukanlah siapa-siapa. Bagaimana mungkin
dalam waktu yang sangat singkat ia tiba-tiba men-
jadi sedemikian hebat? Ki Jayeng Segara bahkan tidak
sempat menggeleng-gelengkan kepala.
Akan tetapi, orang yang paling terkejut tentu saja
ada lah Ki Wira. Matanya melotot tak percaya. Mulut-
nya terbuka, memperlihatkan gua yang menganga. Ia
bahkan tidak bergerak beberapa jenak, dengan cambuk
terkulai di tangannya. Bagaimana mungkin ? Bagaima-
na bisa? Cambuk maut di tangannya adalah senjatanya
yang nyaris tidak pernah terkalahkan se umur ia terjun
di dunia persilatan. Entah sudah be ra pa puluh nyawa
tercabut oleh cambuk mautnya. Dan kini, hanya da-
lam satu gebrakan, cambuknya putung! Dan, yang me-
lakukannya adalah seorang bocah ingusan!
Brahala tidak kalah kagetnya. Baru kali pertama
dalam hidupnya ia menyaksikan seorang tokoh hebat
setingkat Si Cambuk Maut mengalami peristiwa me-
malukan seperti itu
Mata Sepasang Rajawali pun menatap Jaka Wu-
lung dengan kening berkerut berlipat-lipat.
“Bukankah kau ...,” kata si rajawali jantan, “... kau
yang kemarin kulihat di seberang Ci Tanduy?”
Jaka Wulung memandang sepasang lelaki dan pe-
rempuan itu. “Benar,” kata Jaka Wulung. “Saya lihat
Ki Dulur berdua menyeberang Sungai Ci Tanduy
yang sedang banjir bandang. Luar biasa. Tapi, meng-
apa Ki Dulur berdua mengeroyok guru saya?”
Sepasang Rajawali itu mengangguk-angguk. Pan-
tas, kata mereka dalam hati. Resi Darmakusumah
adalah tokoh hebat dan pantas memiliki murid yang
hebat.
Akan tetapi, tiba-tiba, pada saat yang sama, mere-
ka justru menjadi gembira. Sehebat-hebatnya seorang
murid tentu belum akan melebihi kehebatan guru-
nya. Kalaupun tadi ia mampu memutuskan senjata
maut Ki Wira, itu pastilah karena keberuntungan.
Meskipun datangnya hanya sekali dua kali dari seribu
peristiwa, keberuntungan terkadang datang dalam se-
buah pertempuran.
Pemikiran yang sama menghinggapi Nyai Purwati
alias Siluman Cantik dari Karang Bolong dan Ki Wira
sendiri. Bahkan, Brahala, dengan otaknya yang bebal,
saat itu mendadak menjadi agak cerdas dan menyimpulkan bahwa gerak mengejutkan si bocah tadi lebih
banyak terjadi karena keberuntungan.
Sebenarnyalah, Jaka Wulung sendiri merasakan ta-
ngannya yang menggenggam kudi hyang seperti ter-
sengat hawa panas yang luar biasa. Beberapa saat ia
merasakan seperti mati rasa. Untunglah, pusaka di
ta ngannya tidak mencelat jatuh dan beberapa saat
ke mudian ia mampu menyalurkan hawa sejuk ke ta-
ngan kanannya dan kini yang tersisa adalah rasa se-
perti kesemutan.
Brahala tertawa dengan suara yang tetap menggun-
tur. “Hah, sekarang kau mendapat bantuan sepadan,
Resi. Pertempuran ini akan semakin menarik.”
Sambil menjejakkan kakinya ke tanah dan menim-
bulkan getaran seperti gempa, Brahala menyerbu
lang sung ke arah Jaka Wulung dengan gada Rujak
Polo-nya. Jaka Wulung terkejut sepersekian kejap, te-
tapi kemudian menyadari ancaman yang mengincar
kepalanya.
Jaka Wulung merunduk dengan cepat dan kaki-
nya mencoba menyapu Brahala. Brahala sengaja tidak
menghindari sapuan kaki Jaka Wulung. Dan, hal itu
justru membuat Jaka Wulung ragu-ragu sehingga ia
menarik serangannya dan memilih menusukkan kudi
hyang-nya mengarah ke ulu hati.
Demikianlah, pertempuran berlangsung kembali.
Kali ini Resi Darmakusumah dan Jaka Wulung bahu-
membahu menghadapi lima orang yang tadi menge-
royok sang Resi sendirian. Ki Wira, setelah cambuk
mautnya putung, memang sempat patah arang. Tapi,
ia tersulut lagi hasrat tempurnya, bahkan kini dilam-
bari dengan dendam yang membara. Ia merasa sudah
dipermalukan oleh seorang bocah. Oleh karena itu, Ki
Wira, yang kini menggenggam sebilah keris berwarna
cokelat kelam, langsung menggempur Jaka Wulung.
Dengan demikian, Jaka Wulung menghadapi dua
orang sekaligus, Brahala dan Ki Wira, sedangkan Resi
Darmakusumah melawan gempuran Sepasang Raja-
wali dan Nyai Purwati.
Brahala adalah tokoh tua bertubuh raksasa yang
sangat mengerikan. Muridnya saja, si raksasa kem-
bar, sudah menebarkan ketakutan di kawasan Segara
Anakan dan sekitarnya karena kekejaman dan tingkat
ilmu mereka yang tinggi. Dan, tentu saja gurunya
memiliki tingkat ilmu yang jauh lebih tinggi.
Sementara itu, meskipun sudah tidak menggeng-
gam cambuk mautnya, Ki Wira tetaplah tokoh de-
ngan tingkat ilmu yang tak terperi, yang membuat
namanya ditakuti di sepanjang pantai utara di bagian
tengah Jawa Dwipa.
Kalau tadi keduanya, Brahala dan Ki Wira, kurang
leluasa ketika mengeroyok Resi Darmakusumah, kini
mereka benar-benar bisa memusatkan perhatian dan
bi sa mengeluarkan segenap ilmu kepada Jaka Wulung .
Oleh karena itu, serangan yang mereka lakukan
adalah serangan-serangan yang berhawa maut. Braha-
la terus membabi buta sebagaimana kebiasaan se orang
raksasa di mana pun, seperti babi hutan yang terus
menyeruduk tidak peduli apa pun yang menghalang
di depan. Dari arah yang selalu berlawanan, Ki Wira
tidak pernah putus menusukkan kerisnya yang ber-
warna kusam, yang justru menimbulkan ha wa maut
yang sangat kental.
Jaka Wulung, meskipun sudah tuntas menyerap
ilmu Resi Darmakusumah dan tingkatan ilmunya su-
dah melesat jauh secara ajaib dalam peristiwa aneh
di Nusa Larang, hanyalah bocah berumur lima belas
tahun. Ia belum menyerap banyak pengalaman dalam
pertempuran yang sesungguhnya. Apalagi sekarang ia
melawan tokoh-tokoh dengan tingkat ilmu yang sa-
ngat tinggi seperti Brahala dan Ki Wira, dan langsung
berhadapan dengan dua orang.
Tampak dengan segera bahwa kedudukan Jaka
Wu lung langsung terdesak hebat. Ia hanya bisa ber
loncatan menghindari dua tokoh dari pantai selatan
dan pantai utara itu.
Luar biasa bocah ini! Ki Wira mengakui dalam
ha ti, dan hal itu justru membuatnya penasaran dan
terus meningkatkan ilmunya hingga ke puncak.
Sementara itu, Resi Darmakusumah mampu me-
ladeni perlawanan Sepasang Rajawali dan Siluman
Cantik. Nama besarnya di masa lalu bukanlah nama
kosong, apalagi pada beberapa tahun terakhir ia men-
dalami semua intisari yang terkandung dalam kitab-
kitab pusaka peninggalan leluhurnya. Tapi, perhati-
annya menjadi terbelah ketika melihat Jaka Wulung
terdesak hebat oleh Brahala dan Ki Wira.
Situasi itu memaksa Resi Darmakusumah sese-
kali mendekat ke lingkaran pertempuran antara Jaka
Wulung dan dua lawannya. Sesekali pula ia berhasil
membantu muridnya dengan cara menahan serbuan
Brahala atau Ki Wira.
Akan tetapi, Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati
selalu sengaja menjauhkan Resi Darmakusumah dari
lingkaran pertempuran muridnya.
“Kami bukan anak-anak, Resi,” teriak Nyai Pur-
wati seraya tertawa.
Resi Darmakusumah menggeram dan melesat
hen dak membungkam mulut Nyai Purwati. Tapi, ia
harus menarik serangannya karena dua ujung pedang
milik Sepasang Rajawali mengancamnya dari dua
arah yang berbeda.
Suatu saat, kedudukan Jaka Wulung benar-benar
terjepit. Ia baru saja menghindari hantaman Rujak
Polo di tangan Brahala ketika keris kusam Ki Wira
sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali ti-
dak diduga. Resi Darmakusumah melihat situasi ter-
sebut dan ia dengan nekat melenting memapak keris
Ki Wira.
TRANG!
Kujang Resi Darmakusumah menghantam keris Ki
Wira pada saat yang tepat. Ia berhasil menyelamatkan
sang murid. Tapi, pertahanan dirinya sendiri menjadi
terbuka. Hanya sekejapan, ujung selendang merah
Nyai Purwati menyentuh tipis leher Resi Darmaku-
sumah. Sang Resi terpekik dan ia merasakan lehernya
seperti panas membara.
Jarum-jarum di ujung selendang itu pastilah be-
ra cun!
Akan tetapi, Resi Darmakusumah sudah tidak lagi
memikirkan dirinya sendiri.
“Wulung, cepat lari!” pekiknya seraya mati-matian
menahan serbuan lawan-lawannya.
Akan tetapi, Jaka Wulung sama sekali tidak ber-
pikir untuk lari. Kalaupun mereka tidak mampu lagi
bertahan, pikirnya, biarlah ia akan gugur bersama gu-
runya.
Kini pertarungan sudah bisa ditebak kesudahan-
nya. Tenaga Resi Darmakusumah dengan cepat susut.
Darah terus mengucur dari lukanya, sedangkan racun
yang buas dengan cepat meresap ke dalam pembuluh
darahnya, menyerap kekuatan di dalam tubuh sang
Resi.
Sementara itu, Jaka Wulung beberapa kali tidak
bisa menghindari serangan lawan-lawannya. Pakaian-
nya sudah koyak di beberapa tempat oleh ujung keris
Ki Wira. Kulit perutnya bahkan sudah tersayat sepan-
jang hampir setengah jengkal. Terasa luka itu sangat
perih.
Ujung keris Ki Wira pun mengandung racun!
Begitulah kejinya orang-orang golongan hitam!
Akan tetapi, baik Resi Darmakusumah maupun
Jaka Wulung tetap bertarung seperti maung. Mereka
tidak mengenal kata menyerah. Guru dan murid sa-
ma-sama menerapkan ilmu andalan leluhur mereka:
gu lung maung. Meskipun sudah terluka nyaris arang
keran jang, keduanya terus mengaum melancarkan se-
rangan-serangan pamungkas. Pada satu saat, boleh jadi melalui semacam keberuntungan juga, kujang Resi
Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyai
Purwati, bahkan menggores tangan nenek siluman
cantik itu.
Grrrhhh ...!
Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang Jaka
Wulung menyayat perut Brahala.
Nyai Purwati dan Brahala memekik pada saat yang
sama.
Melalui tenaga dan kecepatan yang seakan-akan
menjadi berlipat, Resi Darmakusumah melepaskan
kujangnya dan Nyai Purwati tidak sempat menghin-
dar. Kujang itu menancap tepat di ulu hati Siluman
Cantik dari Karang Bolong. Pada saat yang sama,
kudi hyang Jaka Wulung di luar dugaan siapa pun,
bahkan Jaka Wulung sendiri, mengiris leher Brahala.
Nyai Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang
sama!
Akan tetapi, setelah itu pertahanan Resi Dar ma ku-
su mah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan ter isap
habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara be-
run tun ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepa-
sang Rajawali menembus tubuh Resi Darmakusumah!
Resi Darmakusumah, salah seorang tokoh besar
terakhir dari Pajajaran, tumbang di tangan Sepasang
Rajawali dari Pelabuhan Ratu, daerah yang sesung-
guhnya pernah menjadi andalan Pajajaran sendiri!
“GURUUU!” Jaka Wulung memekik pilu me-
nyak sikan akhir hidup gurunya.
Akan tetapi, pada kejapan berikutnya Jaka Wu-
lung juga tidak mampu menghindari serangan maut
keris Ki Wira yang meluncur seperti kilat ke arah ulu
hati nya ....
Pada saat-saat terakhir itulah entah dari mana da-
tangnya, sesosok bayangan putih melesat, meraih tu-
buh Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sekali gus,
kemudian menghilang di rerimbunan hutan di sebe-
lah barat pondok.
Semua orang yang ada di sana hanya bisa terpaku
menyaksikan kejadian yang bagi mereka di luar akal
itu. Bayangkan, mereka, Sepasang Rajawali dan Ki
Wira, di luar Nyai Purwati dan Brahala yang tam-
paknya hampir sekarat, sama sekali tidak mengetahui
ada sosok putih yang menyelamatkan Resi Darmaku-
sumah dan Jaka Wulung.
Siapa dia? Manusiakah? Adakah di dunia ini ma-
nusia yang memiliki kecepatan seperti itu?
Pondok bekas kediaman Resi Darmakusumah
kem bali dicekam kesunyian.
Orang-orang belum segera bisa menepis keanehan
yang mereka alami dan lihat pada akhir pertempuran
itu.
GUNUNG Sepuh sunyi senyap. Hanya angin yang
cukup kencang meniup permukaan kawah berwarna
putih bersemu hijau.
Jaka Wulung memandang puncak gunung itu de-
ngan perasaan aneh. Ia merasa pernah mengalami
kejadian seperti itu. Tentu saja, ia pernah diselamat-
kan oleh seorang tua aneh ketika terjatuh ke jurang
dalam, ketika ia sudah pasrah akan nasib buruk apa
pun. Ia kemudian menjadi murid orang tua aneh itu,
yang belakangan diketahui bernama Resi Darmaku-
sumah, melalui jalan yang aneh pula.
Kini untuk kali kedua, ketika sudah hendak di-
jemput maut dalam sebuah pertempuran yang hanya
samar-samar ia ketahui persoalannya, ia diselamatkan
oleh seorang tua yang tidak kalah anehnya.
Apakah ini semacam peristiwa berulang?
Angin lembut berdesir.
Jaka Wulung menoleh.
Orang tua aneh itu berdiri seraya menggenggam
kitab lontar di tangan kanannya. Rambut, alis, kumis,
janggut lelaki itu putih semua. Jubah yang dike-
nakannya juga putih meskipun sudah agak kusam.
Kerut merut di wajahnya menunjukkan usianya.
Pastilah ia setidaknya dua puluh tahun lebih tua
dibanding Resi Darmakusumah. Ah, Resi, semoga ke-
damaian kau dapat di sana ....
Sorot matanya tajam, tetapi terasa teduh di dada
Jaka Wulung.
Jaka Wulung membungkuk penuh hormat. “Se-
lamat pagi, Kakek yang terhormat ....”
“Cucuku, syukurlah kau sudah makin pulih. Ra-
cun yang sempat meresap di aliran darahmu sangat
kuat. Kalau aku terlambat datang, kau pasti tidak
akan bertahan lama.”
“Terima kasih atas pertolongan Kakek.”
“Ini kubawakan salah satu kitab yang untungnya
juga masih bisa kuselamatkan dari pondok gurumu.
Kau pelajarilah. Kau memiliki bakat yang langka. Tak
perlu dibimbing, kau akan mampu menyerap ilmu
dalam kitab ini. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Nan-
ti sesekali, kalau usiaku masih ada, aku akan mengun-
jungimu, melihat perkembanganmu.”
“Sekali lagi, terima kasih. Bolehkah saya menyebut
... guru?”
Lelaki tua itu tersenyum
“Aku sudah terlalu tua untuk menjadi seorang guru.
Aku hanya bisa memberimu restu. Jalan masih pan-
jang membentang bagimu dan kau telah memu tuskan
sebuah nama untuk kau sandang. Jangan co reng nama
itu. Ya, ya, aku merestuimu meneruskan jalanku.”
Jaka Wulung masih menunduk, menunggu kata-
kata berikutnya.
Akan tetapi, yang ada hanya keheningan.
Jaka Wulung mendongak. Kakek serbaputih itu
tiada lagi di tempatnya semula.
“Kakek?”
Jaka Wulung celingukan. “Kakek?”
Jaka Wulung berdebar-debar. Otaknya yang cerdas
langsung berputar.
Tentu dialah orangnya, tokoh legendaris yang se-
lama ini seakan-akan hanya ada di dalam khayalan:
Resi Jaya Pakuan. Atau orang lebih mengenalnya de-
ngan nama ini: Bujangga Manik.
TAMAT
Nantikan petualangan Jaka Wulung selanjutnya
dalam buku kedua serial Jaka Wulung.
Tentang Penulis
Hermawan Aksan lahir di Brebes Jawa Tengah, telah
cukup lama malang melintang di dunia literasi dan
jur nalistik. Beberapa cerpen karyanya dimuat di sejumlah
me dia massa, antara lain Pikiran Rakyat, Suara Merdeka,
Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, majalah Horison,
Koran Sindo, dan lain-lain. Hermawan juga menulis bebera-
pa cerpen dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya itu bisa dite-
mukan di majalah Mangle, Cupumanik, Galura, dan Kujang.
Adapun novel-novelnya antara lain Dyah Pitaloka, Senja di
Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala,
Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni
2008). Pernah bekerja sebagai editor bahasa pada tabloid
Detik, Bola, Raket, dan Detak. Kini ia menjadi redaktur di
harian Tribun Jabar.