..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label JAKA WULUNG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JAKA WULUNG. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Januari 2025

JAKA WULUNG EPISODE PERTARUNGAN DI BUKIT SEGARA

Jaka Wulung

 

Masa Muram 

Sepotong Sejarah


Tahun 1580-an adalah salah satu masa pa ling 

muram dalam sejarah Nusantara. Ke ra ton 

Majapahit sudah puluhan tahun run tuh 

nya ris tanpa bekas. Tapi, sisa-sisa pasukan nya masih 

berkeliaran di gunung-gunung, hutan, per kam pung -

an, dan di kotaraja, kadang dengan memba wa-bawa 

nama Brawijaya meskipun pakaiannya koyak moyak.

Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa Dwipa, 

runtuh dalam usia hanya 90 tahun dan kini muncul 

Kesultanan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir, 

yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Tapi, tanda-tanda 

keruntuhan Pajang mulai kelihatan dengan ambisi 

Danang Sutawijaya, kerabat Hadiwijaya sendiri, untuk menyerang Pajang dan mendirikan kerajaan sen-

diri.

Di belahan barat Jawa Dwipa, Kerajaan Sunda, 

salah satu kerajaan di Nusantara yang berusia paling 

tua, sudah pula sirna ning bhumi. Kerajaan Sunda—

orang-orang juga menyebutnya Pajajaran—akhirnya 

teriris-iris menjadi Kesultanan Banten, Cirebon, Su-

me dang Larang, dan sejumlah daerah kecil yang ma-

sih merasa berhak menjadi raja karena merasa ketu-

runan Siliwangi.

Sementara itu, raja-raja kecil bermunculan di pan-

tai utara, pantai selatan, hingga pantai timur Jawa.

Pendeknya, Jawa Dwipa menjadi semacam makan-

an yang terus dicacah-cacah oleh para penguasa yang 

merasa dirinya berhak menjadi raja.

Dalam situasi seperti itu, wajarlah kalau kemu-

dian banyak wilayah yang lepas dari kerajaan mana 

pun, menjadi tak bertuan, dan yang berkuasa kemu-

dian adalah para jagoan yang hanya mengandalkan 

kekuat an wadak dan kesaktian. Belum lagi ancaman 

dari orang-orang negeri jauh bertubuh tinggi, berku-

lit pu cat, dan berhidung mancung yang siap men-

cengkeram.

Rakyat kebanyakan hanya menjadi perasan tidak 

hanya oleh para penguasa, tetapi juga oleh para pen


jahat, perampok, begal, dan jagoan golongan hitam 

lainnya. Nyaris tak ada yang bisa menolong mereka 

kecuali ketika muncul satu-dua tokoh-tokoh putih 

yang disebut sebagai pendekar.

Tiga abad kemudian, di sebuah kabuyutan berna-

ma Astana Luhur, di sisi timur bekas wilayah Kerajaan 

Sunda, ditemukan banyak naskah yang ditulis pada 

helai-helai daun lontar, menggunakan aksara Sunda 

kuna. Lembar-lembar naskah itu sudah nyaris rusak 

dimakan zaman, tetapi sebagian masih bisa dibaca. 

Salah satu naskah itu bertutur tentang seorang tokoh 

yang misterius asal usulnya, tidak diketahui nama 

aslinya, seorang pendekar hebat yang entah mengapa 

belakangan hilang dari catatan sejarah.

Berdasarkan naskah inilah terjalin sebuah kisah 

tentang sang pendekar, seorang pahlawan pembela 

rakyat yang mewarisi dua ilmu yang selama ini diang-

gap saling berlawanan: kesaktian Prabu Siliwangi dan 

kedigdayaan Gajah Mada .... 


1

.Terkucil 

di Lembah Baribis

Pondok kayu itu berdiri hanya beberapa pu-

luh langkah dari Ci Gunung, sebuah su-

ngai berbatu-batu besar dan membelah 

Gu nung Baribis, dengan jurang-jurangnya yang me-

nga nga. Pondok itu terkesan dibuat seadanya, asal 

cu kup untuk berteduh dari hujan dan angin yang se-

lalu menggigit. Tapi, tiang penyangganya terbuat dari 

kayu besi. Keras dan kukuh. Dindingnya berupa ge-

dek dari bambu hitam. Atapnya terbuat dari rumbia 

dan dibuat berbentuk limas. 

Pondok itu memang terkesan sengaja dibangun 

di tempat terpencil. Kampung terdekat harus ditem


puh sepertiga hari berjalan kaki. Di samping berdiri 

di dekat tebing curam, hutan yang ditumbuhi berba-

gai pohon yang rapat dan hijau seakan membungkus 

bangunan itu dari pandangan. Di tambah pula, pagar 

kayu yang rapat setinggi jangkauan tangan mengha-

langi pemandangan di dalamnya. 

Gunung Baribis sendiri adalah bebukitan berhu-

tan rapat yang jarang sekali diinjak manusia. Hari-

mau, babi hutan, dan berbagai jenis kera masih men-

jadi penguasa utama. Hanya orang dengan tekad sa-

ngat bulatlah yang berani menembus hutan di bukit 

itu, lebih-lebih menyusuri Sungai Ci Gunung, sungai 

yang berdinding ngarai terjal dan memiliki jeram-

jeram yang mematikan.

%

PAGI masih menyisakan titik-titik embun terakhir 

di dedaunan. Matahari menerobos dedaunan lebat 

akasia dan garis-garis cahayanya rebah memanjang di 

halaman depan pondok kayu itu. Luas halaman itu 

kira-kira sepuluh tumbak. 

Tiga bocah belasan tahun berdiri berjajar mengha-

dapi seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun dengan 

wajah yang keras.


Wajah ketiga bocah itu berkilat oleh keringat. Baju 

mereka juga basah dan kotor. Dada mereka tampak 

mengembang dan mengempis dengan cepat. 

“Ulangi jurus yang terakhir,” kata pria berwajah 

keras itu. Matanya memandang tajam ketiga bocah di 

hadapannya satu per satu.

Ketiga bocah itu sama-sama mengeluarkan keluh-

an melalui bibir dan hidung mereka. 

Bocah paling kanan memiliki wajah yang tampan, 

dengan bibir tipis yang selalu tampak menyeringai. 

Tubuhnya tinggi langsing, lebih tinggi daripada dua 

bocah lainnya. 

Bocah paling kanan kira-kira setengah jengkal le-

bih pendek dan bertubuh kekar, nyaris bulat, dengan 

kulit lebih gelap. 

Sementara itu, bocah di tengah memiliki rambut 

panjang yang diikat pita ungu serta berwajah lembut 

dengan mata yang cemerlang dan bibir merah. Dia 

memang bocah perempuan yang mulai menunjuk-

kan garis-garis kecantikan.

Umur mereka sebaya, kira-kira empat belas atau 

lima belas tahun.

“Kalian jangan cengeng. Nama besar leluhur 

agung kita berada di pundak kalian.”


Lelaki itu memandang ketiga bocah di depannya 

satu per satu. Ia lelaki dengan kulit cokelat karena 

ma tahari. Sehelai ikat kepala menutupi sebagian 

ram butnya yang mulai bergaris-garis putih. Wajah-

nya terkesan menyimpan seribu pengalaman pahit 

se panjang perjalanan hidupnya. Garis lurus menghi-

tam melin tang di pipi kirinya, luka yang rasanya be-

lum benar-benar sembuh meskipun sudah bertahun-

tahun .

“Ayo, Lingga, jangan menganggap enteng pelajar-

an kali ini.”

Bocah paling kanan menangkupkan telapaknya 

di depan dada, sedikit membungkuk, kemudian ber-

kata dengan tegas, “Baik, Paman Jayeng.” Masih ter-

sisa nada keluhan dalam suara Lingga Prawata, nama 

lengkap si bocah.

Lelaki yang dipanggil Jayeng itu, lengkapnya Ki 

Jayeng Segara, menghela napas dalam-dalam, men-

coba meredam kegeramannya. 

Sekarang ia memang sudah kehilangan nyaris se-

ga lanya. Tapi, beberapa tahun lalu, ia masih seorang 

senapatiyuda. Tentu saja lengkapnya Senapatiyuda Ja-

yeng Segara, salah satu kesatria dari Kadipaten Jipang 

Panolan, yang bertanggung jawab atas keselamatan 

wilayah itu. Posisinya hanya dua lapis di bawah Arya


Penangsang, pimpinan tertinggi angkatan perang Ji-

pang. 

Sebagai salah seorang senapatiyuda, Jayeng tentu 

saja memiliki ilmu kanuragan pada tataran tinggi. Ia 

memimpin ratusan laskar Jipang yang semuanya ter-

latih. Senjata andalannya, seperti umumnya kesatria 

Jipang, adalah sebilah keris tanpa luk dengan bilah 

yang hitam legam—mirip keris Kiai Setan Kober mi-

lik Arya Penangsang sendiri. Sampai sekarang, gagang 

keris pusakanya selalu mencuat di perut, ditempa 

oleh keadaan untuk selalu bersiaga menghadapi siapa 

pun yang berniat menyerang.

“Kalian juga, Wulan dan Watu, berlatihlah dengan 

penuh semangat. Kalian tak akan bisa menjadi apa-

apa kalau melakukannya hanya setengah-setengah.”

Kedua bocah yang dipanggil Wulan dan Watu, 

leng kapnya Dyah Wulankencana dan Watu Ageng, 

mem bungkuk dengan hormat. 

“Baik, Paman Jayeng,” ucap keduanya berba-

rengan.

“Mulai!”

Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu 

Ageng sama-sama berdiri tegak dengan kaki selebar 

pundak, lalu sedikit menekuk kaki seraya mengang-

kat kedua tangan, mula-mula hingga di sisi pinggang,


kemudian merentang melebar seperti sayap-sayap bu -

rung. Kaki kiri melangkah menyerong, kemudian ka-

ki kanan menyusul, dengan jemari tangan yang me-

nge ras seakan-akan cakar rajawali yang siap menceng-

keram dan mencabik-cabik. 

Itulah salah satu dasar gerak awal jurus ilmu ga-

gak rimang, ilmu kesaktian andalan laskar Jipang Pa-

nolan , ciptaan Arya Penangsang sendiri. Pada taraf 

pun caknya, seperti yang dimiliki Arya Penangsang, 

ilmu ini berpadu dengan ilmu kebal sang adipati, yang 

membuatnya disegani siapa pun lawan yang ia hadapi.

Mata Ki Jayeng Segara tak pernah sedetik pun 

lepas dari setiap gerakan ketiga bocah itu. Ilmu gagak 

rimang bukanlah ilmu sembarangan. Kesalahan gerak 

atau keliru bernapas sedikit saja, kedahsyatan ilmu-

nya tak akan keluar. 

Memang, meskipun ia seorang senapatiyuda, Ki 

Jayeng Segara merasa ilmu gagak rimang yang ia mi-

liki masih satu-dua lapis di bawah ilmu Arya Penang-

sang yang sulit ditakar kedalamannya. 

Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara adalah le-

laki yang memiliki semangat baja dan otak lumayan 

cerdas sehingga ia tak pernah berhenti mengasah sen-

diri ilmu gagak rimang-nya. Kalau saja ada kesempat-

an, ingin rasanya menjajal ilmu gagak rimang Arya


Penangsang. Begitu pikiran usilnya, meskipun selalu 

kemudian ia meralat pikirannya. 

Setelah Arya Penangsang percaya oleh cara licik 

yang diterapkan Danang Sutawijaya, atas gagasan Jaka 

Tingkir sendiri, laskar Jipang Panolan menjadi bu ron 

pasukan Pajang. Tidak hanya keluarga Arya Pe nang-

sang. Bahkan, keluarga pasukan inti Jipang Pa no lan 

dikejar-kejar ke mana pun mereka melarikan diri. 

Kenyataan itulah yang selalu membuat mata Ki 

Jayeng Segara berkaca-kaca. Sekaligus, di dadanya 

ber golak dendam yang sulit diredam. 

Sisa-sisa laskar Jipang yang tertangkap hampir bisa 

dipastikan nasibnya: hukuman penggal. Mereka yang 

lolos tercerai-berai ke berbagai tujuan dan arah mata 

angin. Ki Jayeng Segara tidak tahu berapa banyak sisa 

laskar Jipang yang selamat. Dia sendiri bersama be-

lasan orang lain melarikan diri ke arah matahari teng-

gelam. Mereka tersaruk-saruk mendaki gunung ber-

hutan-hutan dan menembus hutan-hutan pegunung-

an, lembah dan ngarai, menyeberang sungai yang 

membentang, meninggalkan wilayah Pajang. Se telah 

berbulan-bulan, mereka akhirnya tiba di sebu ah lem-

bah di kaki Gunung Baribis, melewati batas sisi barat 

bekas Kerajaan Majapahit. Mereka memba ngun ru-

mah-rumah sederhana di tepi Ci Gunung.


Sendirian, Ki Jayeng Segara kemudian menembus 

hutan Gunung Baribis, membangun pondok kayu di 

tempat terpencil. Setiap saat ia melakukan mesu diri, 

menempa ilmu miliknya, kemudian mengambil tiga 

bocah untuk dijadikan muridnya. Ketiganya adalah 

anak-anak para prajurit Jipang yang gugur ketika me-

lawan pasukan Pajang. Ia berharap murid-muridnya 

bisa melestarikan ilmu kebanggaan Arya Penangsang 

supaya tidak musnah dimakan zaman.

Akan halnya Sungai Ci Gunung, sungai ini meng-

alir ke timur dan akan bermuara di Ci Pamali, sungai 

yang pernah menjadi batas antara Kerajaan Sunda 

dan Kerajaan Majapahit.

%

KETIKA ketiga bocah itu tengah memperagakan ge-

rakan-gerakan gagak rimang, tiba-tiba wajah Ki Ja-

yeng Segara menegang. Matanya memandang ta jam 

ke arah pohon kiara di luar pagar. Telinga dan indra-

nya yang peka merasakan ada sesuatu yang tidak wa-

jar di pohon berdaun rimbun itu.

Dipungutnya sebutir batu kecil. Melalui tenaga 

lontar yang terbentuk dari jari tengah yang dijentik-

kan dengan tumpuan ibu jari, batu itu pun meluncur


nyaris tak kasat mata, menimbulkan desis ketika me-

nyibak angin, kemudian terdengar bunyi benturan 

nyaring ketika batu itu mengenai sesuatu.

Hanya dalam waktu sepersekian detik kemudian, 

terdengar bunyi gedebuk benda jatuh ke tanah. 

Gerakan yang diperagakan ketiga bocah itu lang-

sung terhenti.

Tanpa menunggu waktu, Ki Jayeng Segara melesat 

dan melalui tumpuan ujung kaki kirinya, ia melen-

ting tinggi dan kedua kakinya hinggap di ujung pagar, 

kemudian menjadikan ujung pagar sebagai tumpuan 

berikutnya guna melenting keluar dari pagar pondok 

mereka.

Lingga Prawata, Dyah Wulankencana, dan Watu 

Ageng bergegas menuju pintu pagar, lalu berlarian 

memburu ke arah Ki Jayeng Segara. 

Di hadapan mereka, seorang bocah lelaki tengah 

meringis sambil memegangi pantatnya yang sakit. 


2.Bocah Kumal 

Misterius


BOCAH itu berusia kira-kira sebaya dengan 

Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah 

Wu lankencana. Kulitnya cokelat cende rung 

ungu, sekilas seperti warna bambu wulung. Rambut-

nya tergerai hingga sepundak dan hanya diikat de-

ngan bandana hitam yang sudah pudar warnanya. 

Ce lananya pangsi dan bajunya tanpa lengan, dengan 

war na kelabu yang sudah pudar dan koyak di bebera-

pa tempat. 

“Siapa kamu?” tanya Lingga Prawata dengan wajah geram.


Bocah itu tidak menjawab. Ia masih terduduk me-

nyeringai sambil mengusap-usap pantatnya. 

Ia merasa bersyukur hanya pantatnya yang sakit, 

itu pun karena jatuh ke tanah. Tadi ia tidak menyadari 

adanya sebutir batu yang menyambitnya dan nyaris 

mengenai keningnya. Kalau saja ia tidak membung-

kuk secara tiba-tiba, pasti dahinya sudah berlubang 

dan hidupnya berakhir begitu saja. 

Batu itu mengenai batang pohon, melesak hingga 

menembus kulitnya entah seberapa dalam. Bisa diba-

yangkan betapa kuat tenaga yang melontarkan sebu-

tir batu itu.

Si bocah sendiri heran bagaimana ia bisa membung-

kuk pada saat yang tepat. Tapi, karena terkejut, posisi 

duduknya di dahan pohon menjadi goyah dan ia tidak 

bisa menjaga keseimbangan dan mela yang jatuh.

Ia berusaha tersenyum menyadari kebodohannya.

Anehnya, meskipun kumal, bocah itu memiliki 

mata yang cemerlang dan gigi yang rapi berbaris se-

perti mutiara. Bahkan, kalau diperhatikan secara lebih 

saksama, ia juga memiliki alis yang tebal, bentuk bi-

bir yang menarik, dan rahang yang tegas. Pendeknya, 

ia bocah tampan, setidaknya untuk ukuran golongan 

pengemis.

Lingga Prawata melangkah dengan wajah marah.


Akan tetapi, Ki Jayeng Segara menahan langkah 

Lingga Prawata.

“Bocah, siapa kamu? Ada tujuan apa mengintip 

kami?” tanya Ki Jayeng Segara.

Si bocah memandang Ki Jayeng Segara, kemudian 

Lingga Prawata, dan berturut-turut Watu Ageng dan 

Wulankencana, dengan wajah yang masih menyeri ngai 

meskipun ia sudah berupaya mati-matian tersenyum.

“Duh, maafkan saya, Tuan. Sungguh saya tidak ta-

hu mengapa bisa sampai di sini. Saya hanya berjalan 

mengikuti langkah kaki ke mana saja. Kemudian, saya 

mendengar sesuatu di sini dan ternyata saya lihat ada 

Tuan-Tuan Muda sedang berlatih ilmu silat yang hebat. 

Saya senang melihat orang berlatih silat. Jadi, saya me-

nonton di atas pohon. Sekali lagi maafkan saya kalau 

kedatangan saya mengganggu teman-teman semua.”

Kata-kata si bocah kumal mengejutkan Ki Jayeng 

Segara dan ketiga bocah keturunan laskar Jipang itu. 

Pertama, susunan katanya runtut dan ia meng ucap-

kannya dengan wajah yang tampak ceria. Kedua, ia 

menyebut keempat orang itu “teman”. Dan ketiga, ia 

terkesan dengan enaknya “menonton di atas pohon”.

Ki Jayeng Segara mengerutkan dahinya.

Wajah Lingga Prawata berubah merah. Ia merasa 

dalam kata-kata itu tersimpan semacam ejekan. Ba


gai mana mungkin seorang bocah kumal tak dikenal 

menyebut dirinya sebagai teman?

Akan tetapi, sebelum ia bergerak, lagi-lagi Ki Ja-

yeng Segara menahannya. 

Ki Jayeng Segara lalu menarik napas dalam-dalam. 

“Nama kamu siapa, Bocah?”

“Oh, ya, orang-orang memanggil saya Wulung. 

Kadang-kadang Jaka Wulung. Mungkin karena kulit 

saya begini, ya. Seperti sudah saya bilang, saya tidak 

tahu mengapa saya bisa sampai di sini. Dan kalau Tu-

an percaya, saya juga tidak tahu dari mana saya ber-

asal ....”

“Dan, tujuan kamu mengintip kami?” Ki Jayeng 

Segara memotong.

“Oh, maafkan saya. Saya tidak mengintip, tapi saya 

terang-terangan menonton. Makanya saya kaget bu-

kan main ketika Tuan melempar saya dengan kerikil.”

“Kurang ajar!” seru Lingga Prawata.

Ki Jayeng Segara lagi-lagi mengangkat tangannya.

“Sejak kapan kamu menonton?” tanya Ki Jayeng 

Segara. Meskipun hatinya mengkal, ia penasaran, ba-

gai mana mungkin ia tidak mengetahui ada penyu sup 

di luar pagar pondoknya yang terpencil. Lagi pula, 

de ngan enteng Jaka Wulung, si bocah itu, lagi-lagi 

meng aku sengaja menonton.


Yang juga mengherankan Ki Jayeng Segara, tidak 

ada tanda-tanda bahwa batu yang dilontarkannya 

mengenai si bocah. Tak ada luka di tubuhnya, tak 

ada darah yang menetes. Si bocah hanya menyeringai 

kesa kitan sambil melirik pantatnya.

Dilihat dari sosoknya, Jaka Wulung hanyalah bo-

cah gelandangan seperti yang kerap dijumpainya di 

mana-mana. Di balik bajunya yang koyak moyak 

juga tampak otot-otot lengan dan dada yang kurus. 

Lagi pula, tempat mereka berlatih bukanlah tempat 

yang mudah didatangi karena terlindung oleh hutan 

belukar yang lebat, bukit menjulang di belakang, dan 

ngarai terjal di bibir Ci Gunung. 

“Mmm ... saya menonton kira-kira sepuluh jurus,” 

sahut Jaka Wulung.

Lagi-lagi, Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah asuh-

annya terkejut bukan main. Sepuluh jurus bukanlah 

waktu yang pendek untuk menonton di atas pohon. 

Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara mencoba 

menahan diri. 

“Dan, apa tujuan kamu menonton?”

Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara de-

ngan ragu. “Hmm ... kalau boleh ... saya ingin ikut 

bel ajar silat ....


Ki Jayeng Segara dan ketiga muridnya sama-sama 

membelalakkan mata.

“Maaf, Bocah,” kata Ki Jayeng Segara. “Ini bukan 

perguruan silat yang menerima murid secara terbuka. 

Saya hanya mengajari ketiga keponakan saya ini.”

“Oh. Padahal, saya ingin sekali ikut belajar ....”

“Kamu dengar apa kata guru kami!” Wajah Lingga 

Prawata mulai memerah. “Guru kami tidak semba-

rangan menurunkan ilmunya kepada orang seperti 

kamu!”

Ki Jayeng Segara masih berupaya menahan geram 

Lingga Prawata. “Bocah,” katanya. “Ilmu ini hanya di-

berikan untuk orang-orang tertentu,” Ki Jayeng Sega-

ra berhenti sebentar sambil mengatur napasnya, “yaitu 

mereka yang masih memiliki terah laskar Jipang.”

“Oh.” Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara 

dengan wajah kecewa. 

“Oleh karena itu, segeralah pergi dari sini!” Mata 

Lingga Prawata membelalak.

“Tapi, saya ingin sekali belajar ....”

“Pergi kubilang!” 

“Oh.” Jaka Wulung masih memandang keempat 

orang di depannya dengan pandangan tak mengerti. 

“Pergi! Kalau tidak ....” Lingga Prawata mengepal-

kan jemarinya dan mengangkatnya di depan wajah


nya. Itu berarti ia mengancam akan mengusir si bocah 

kumal dengan kekerasan. 

Dengan wajah tertunduk, Jaka Wulung berbalik 

hendak meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai.

“Tunggu!”

Langkah Jaka Wulung terhenti. 

“Berapa kali kamu mengintip latihan kami?”

Jaka Wulung menoleh memandang Ki Jayeng 

Segara. Ia tampak ragu-ragu beberapa jenak sebelum 

men jawab, “Tiga kali.”

Kalau saja Ci Gunung tiba-tiba dilanda banjir ban-

dang, tentulah Ki Jayeng Segara tidak akan seka get 

mendengar kata-kata Jaka Wulung. Lingga Prawata, 

Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana bahkan sam-

pai sama-sama ternganga. Tubuh mere ka bergetar 

oleh campuran berbagai perasaan, tetapi yang teruta-

ma adalah terkejut sekaligus marah.

Ki Jayeng Segara berdebar-debar. Bagaimana 

mung kin ia tidak tahu bahwa selama tiga kali seorang 

bocah bisa lolos dari pengamatannya? Jika jawaban 

Jaka Wulung benar, Ki Jayeng Segara bisa menyim-

pulkan bahwa Jaka Wulung bukanlah bocah kam-

pung pada umumnya. 

“Dan, berapa lama setiap kali kamu mengintip?” 

tanya Ki Jayeng Segara pula.


“Hmm ... dari awal sampai selesai.”

Lagi-lagi Ki Jayeng Segara membelalakkan mata. 

Ditatapnya si bocah dari ujung rambut hingga ujung 

kaki. Ada sebersit rasa kagum, tetapi sekaligus ia me-

rasakan kekhawatiran.

Dan, kemudian hening berkuasa dalam hitungan 

lima. Matahari makin tinggi. Burung-burung melin-

tas, meninggalkan titik-titik bayangan buram di ta-

nah dalam sekilas.

Jaka Wulung kembali membalikkan badan dan 

berniat meninggalkan tempat itu.

“Kamu pasti seorang telik sandi! Telik Sandi dari 

Pajang!” Lingga Prawata bergegas mendekati Jaka 

Wu lung dengan wajah yang makin memerah.

Lingga Prawata mengulurkan tangannya yang ter-

latih untuk meraih pundak kanan Jaka Wulung. Ia 

ya kin, dengan sekali sentak akan bisa menghentikan 

bocah aneh itu untuk mengorek keterangan.

Akan tetapi, satu keanehan terjadi hanya dalam 

sekejap.

Tangan Lingga Prawata memang berhasil meraih 

pundak Jaka Wulung. Tapi, anehnya, Lingga Pra wata 

seakan-akan tidak memegang sesuatu pun. Ia se perti 

menangkap angin. Karena ia hendak merenggut pun-

dak Jaka Wulung dengan sepenuh tenaga , Lingga


Prawata justru kehilangan keseimbangan dan kemu-

dian terjerembap dengan pundak kanannya berde-

bum di tanah lebih dahulu. 

Lingga Prawata masih beruntung karena tanah di 

sana berumput tebal sehingga terhindar dari rasa sakit 

dan cedera.

Akan tetapi, rasa malu yang bukan alang kepalang 

lebih menyakitkan daripada cedera seperti apa pun. 

Apalagi ia terjatuh oleh sebab yang di luar akalnya. 

Jatuh di kaki seorang bocah kumal, di hadapan dua 

saudara seperguruan dan gurunya!

Akan halnya Jaka Wulung, bocah kumal itu me-

mandang Lingga Prawata dengan mulut ternganga. 

Wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa ia pun 

tidak mengerti mengenai apa yang terjadi, mengapa 

dan bagaimana bisa bocah gagah itu terjatuh di dekat 

kakinya. Oleh karena itu, Jaka Wulung dengan cepat 

mengulurkan tangannya hendak menolong Lingga 

Prawata berdiri lagi.

Akan tetapi, dengan cepat Lingga Prawata melon-

cat ber diri. Matanya merah nanar memandang Jaka 

Wulung.

“Bocah setan!” pekik Lingga Prawata.

Lingga Prawata tampaknya sudah dikuasai kema-

rahan hebat. Tanpa berpikir matang, Lingga Prawata


menyerang Jaka Wulung dengan jurus yang selama 

ini ia pelajari: jurus maut yang membuat nama Arya 

Penangsang sangat disegani siapa pun di Pajang dan 

sekitarnya. Gagak rimang. 

Meskipun baru dalam tataran gerak kasar, gagak 

rimang tetaplah ilmu yang kehebatannya tak terperi. 

Bisa dibayangkan kalau bocah mana pun akan ter-

jungkal dalam sekali pukul, lebih-lebih jemari Lingga 

Prawata langsung mengarah salah satu titik memati-

kan pada manusia: leher. 

Sekali pukulan Lingga Prawata mengenai leher 

Jaka Wulung, tentu akibatnya akan mengerikan. Ja-

lan napas akan terputus. Setidaknya, korban serangan 

akan menderita sesak napas berat dan itu akan ber-

langsung berhari-hari.

Jaka Wulung sendiri masih berdiri dengan wajah 

terheran-heran. Sama sekali tidak bersiap mengha-

dapi sebuah serangan mematikan.

Ki Jayeng Segara terlambat mencegah gerakan 

Lingga Prawata.

Plak!

Apa yang terlihat adalah Jaka Wulung hanya me-

nyi langkan tangan kirinya di depan wajahnya yang 

ter tunduk dan terjadilah benturan antara jemari Ling -

ga Prawata dan siku Jaka Wulung.


Jaka Wulung terjengkang dua langkah dan tubuh-

nya terjerembap ke belakang.

Di pihak lain, Lingga Prawata terpental selangkah 

mundur, tetapi masih mampu berdiri dengan kedua ka-

ki nya. Wajahnya menyeringai sesaat, seakan memperli-

hatkan kepuasan telah berhasil mengalahkan lawannya. 

Akan tetapi, kepuasan Lingga Prawata hanya ber-

lang sung beberapa kejap. Tak lama kemudian, wajah-

nya menyeringai kesakitan. Jemari tangan kanannya 

seper ti kaku dan rasa panas menyebar hingga pangkal 

le ngan. Kedua kakinya goyah, kemudian ia jatuh de-

ngan bertumpu pada lututnya.

“Lingga!” 

Ki Jayeng Segara dan Watu Ageng sama-sama 

mem buru Lingga Prawata.

Dyah Wulankencana ragu-ragu sejenak, tetapi ke-

mudian melangkah dan pelan-pelan membungkuk di 

hadapan Jaka Wulung.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dyah Wulanken-

cana dengan nada penuh khawatir. 

Jaka Wulung terlonjak kaget. Ini lebih mengaget-

kan dibanding dengan serangan mendadak Lingga 

Prawata tadi. 

Dipandangnya gadis itu dengan mata menyipit. 

Ajaib! Seorang gadis cantik, sangat cantik, menyapa


nya dengan lembut. Digosok-gosoknya matanya. 

Benar-benar ajaib! Gadis itu nyata di hadapannya.

“Nay nanya saya?” Keheranan Jaka Wulung makin 

menjadi-jadi. Di tengah wajah-wajah merah karena 

marah dan mata-mata nyalang karena berang, ternya-

ta masih ada wajah bersih dengan mata penuh kasih. 

“Tanganmu terluka ....”

Tangan halus itu tanpa sungkan memegang siku 

Ja ka Wulung. Entah, apakah Jaka Wulung tidak be-

nar-benar terluka dalam benturan itu, ataukah karena 

elusan tangan halus Dyah Wulankencana, Jaka Wu-

lung tidak merasakan apa pun pada sikunya. Memang 

ada memar ber warna biru-ungu, tetapi Jaka Wulung 

tidak merasa sakit.

Elusan jemarinya pun ajaib! pikir Jaka Wulung.

“Terima kasih, saya baik-baik saja,” Jaka Wulung 

men coba tersenyum semanis yang ia bisa meskipun ia 

sa dar bahwa mungkin bentuk bibirnya mirip senyum 

kuda.

Akan tetapi, senyum Jaka Wulung dengan lekas le-

nyap dari wajahnya ketika didengarnya sebuah ben-

takan yang suaranya lebih mirip dahan patah.

“Wulan! Mundur!”

Lingga Prawata berdiri dengan dua tangan berto-

lak pinggang dan wajah yang gelap mengerikan. Wa


jah tampan Lingga Prawata tiba-tiba berubah men-

jadi seperti ririwa. Matanya merah menyala dan 

ku lit wajahnya menjadi merah padam kecokelatan. 

Bahkan, rambutnya tampak kejang dan ada asap tipis 

dari ubun-ubunnya. Setidaknya, begitulah gambaran 

orang yang sedang marah bukan main.

Kemarahan Lingga Prawata berlipat-lipat meli-

hat Dyah Wulankencana alih-alih memburu dirinya, 

ma lahan memburu Jaka Wulung. Dadanya bergolak 

oleh rasa marah, geram, dan ... cemburu!

Dyah Wulankencana segara mundur.

Ia tidak suka dibentak begitu rupa, tetapi ia me-

nahan diri.

Jaka Wulung mendongak memandang Lingga Pra-

wata. 

Watu Ageng dan Ki Jayeng Segara berada di be-

lakang Lingga Prawata. 

Jaka Wulung perlahan-lahan bangkit berdiri. Aneh. 

Memandang wajah Lingga Prawata, Jaka Wulung me-

rasa sikunya berdenyut-denyut lagi. Sakit dan ngilu. 

Luar biasa tenaga Lingga Prawata tadi, dan luar biasa 

pula daya sembuh senyum seorang gadis rupawan.

“Ayo, kita selesaikan secara laki-laki,” Lingga Pra-

wata menggeram.


Jaka Wulung memandang aneh kepada Lingga 

Prawata. “Apanya yang harus diselesaikan? Saya pikir, 

persoalan sudah selesai.”

“Jangan banyak bermain kata-kata. Ayo!”

Berbekal pengalaman sebelumnya, Lingga Prawata 

tidak lagi meremehkan bocah dekil itu. Lingga Prawa-

ta kini yakin Jaka Wulung bukan bocah sembarang-

an. Ia memang kelihatan kurus, tetapi tampaknya 

si bocah pernah belajar ilmu silat. Meski demikian, 

Lingga Prawata yakin ia bisa memukul jatuh si bocah. 

Kalaupun sebelumnya ia sempat terjerembap, ia ya-

kin itu karena ia terlalu meremehkan si bocah.

Kali ini, ia tak mau melakukan kesalahan lagi. 

Oleh karena itu, Lingga Prawata merangkum ilmu 

yang bertahun-tahun ia serap dari Senapatiyuda Ja-

yeng Segara, berupa jurus maut yang dilambari po-

kok ilmu gagak rimang yang dahsyat. Melalui dua 

gerak awal untuk maksud mengecoh, kedua tangan 

Lingga Prawata yang mengembang langsung meng-

arah kepada sasaran nya: kepala Jaka Wulung. 

Gerakannya secepat kaki burung gagak sehingga 

siapa pun akan bisa menduga bahwa ia akan dengan 

mudah menjatuhkan Jaka Wulung. Kalaupun Jaka 

Wu lung akan menghindar, Lingga Prawata tentulah 

akan mengubah gerakannya untuk memapasnya.

Kali ini Ki Jayeng Segara diam saja menyaksikan 

gerakan muridnya. Pertama, ia ingin tahu sejauh ma-

na ilmu yang telah dipelajari sang murid. Kedua, ia 

penasaran apakah benar si bocah memiliki ilmu s ilat.

Siapa sebenarnya bocah kumal itu?

%

KARENA kali ini Lingga Prawata sudah memberi-

kan peringatan lebih dulu, Jaka Wulung pun tampak 

bersiap menghadapi sebuah perkelahian. Oleh karena 

itu, ketika melihat serangan kedua tangan Lingga 

Prawata, Jaka Wulung menekuk kedua kakinya untuk 

merendahkan tubuhnya.

Akan tetapi, gerakan seperti ini sudah diduga Ling-

ga Prawata. Oleh karena itu, dengan cepat pula ta ngan 

Lingga Prawata berbelok arah dan langsung meng arah 

ke bawah. Lingga Prawata tersenyum meng ejek me-

lihat gerakan menghindar Jaka Wulung yang terlalu 

sederhana.

Akan tetapi, sekejap kemudian senyum di bibir 

Lingga Prawata menguap, berganti dengan keluh an 

ter tahan. Melalui gerakan yang aneh dan nyaris tak 

kasat mata, Jaka Wulung sengaja melemparkan tu-

buh nya ke belakang, tetapi kaki kanannya setengah 

ber putar memapas gerak tangan Lingga Prawata.


Sebuah gerakan nekat!

Lingga Prawata telanjur menyalurkan tenaganya 

yang penuh ke tangan kanannya dan tidak sempat 

menghindari serangan balik Jaka Wulung. 

Apa yang kemudian terdengar adalah suara ben-

turan keras. 

Tulang bertemu tulang!

Jaka Wulung terjengkang untuk kali kedua. Kali 

ini wajahnya menyeringai menahan sakit yang tak 

terperi di tulang kering kakinya. Panas sekujur tubuh-

nya seperti disengat bara api. Ia tidak tahu mengapa 

kakinya tadi harus berbenturan dengan tangan Ling-

ga Prawata. Maksud sebenarnya adalah menghindar 

dari serangan lawannya.

Apakah kakiku patah? Sakit bukan kepalang!

Sepuluh langkah dari Jaka Wulung, Lingga Prawata 

terduduk bertumpu pada kedua lututnya. Punggung-

nya melengkung dan kepalanya tertekuk, menahan 

rasa nyeri tak terperi di pergelangannya. Mula-mula 

ia seperti mati rasa. Kemudian, rasa nyeri menyerang 

seluruh tubuhnya. Kini, tangan kanannya sama sekali 

tak bisa ia gerakkan. Ia menyeringai. Air mata mene-

tes tak tertahan. 

Bocah iblis! Kamu mematahkan tanganku!


Lingga Prawata menggeram sekeras-kerasnya. Gi gi -

nya beradu sesamanya, menimbulkan suara geme re tak 

seperti kayu terbakar. Dadanya benar-benar terbakar 

oleh marah dan gusar. Sejak kecil, dunia yang ia keta-

hui adalah perkelahian dan pertempuran. Ia dibesarkan 

oleh lingkungan prajurit dan ia sudah di ajari jurus-ju-

rus dasar silat semenjak belum lima tahun. Setelah itu, 

apa yang ia hirup sehari-hari adalah olah kanuragan 

yang diturunkan oleh siapa saja, dan terakhir oleh guru 

yang ia kagumi ilmunya, Ki Jayeng Segara. 

Menghadapi lawan yang sepadan dalam usia, bah-

kan satu-dua tahun lebih tua, belum pernah ia meng-

alami kekalahan. 

Akan tetapi, kini menghadapi bocah yang keli-

hat an lebih muda dan lebih ringkih, bahkan de ngan 

tingkat ilmu yang tidak ada apa-apanya, Lingga Pra-

wata mene mui kenyataan menyakitkan. Sakit tidak 

hanya di tangan yang tulangnya patah, tetapi di hati 

yang jauh lebih dalam.

Hatinya benar-benar terluka.

Oleh karena itu, tangan kirinya lekas mencabut 

keris yang tersarung di bagian perut ikat pinggangnya. 

Tanpa menunggu kejapan mata berikutnya, Ling ga 

Prawata menerjang Jaka Wulung yang masih da lam 

posisi terjengkang.


Pada saat yang persis sama, Watu Ageng melompat 

dengan kekuatan penuh.

Satu kekuatan yang didorong kemarahan luar biasa 

dan satu kekuatan yang masih segar bugar mengincar 

sasaran yang sama dari dua arah yang berbeda.

Ki Jayeng Segara terlambat mencegah kedua mu-

ridnya.

Dyah Wulankencana hanya bisa memejamkan ma -

ta nya.

Jaka Wulung melihat dalam sekejap dua bocah itu 

melompat bersamaan. Hatinya mengeluh tak terta-

hankan. Ia tidak tahu apa kesalahan yang telah ia per-

buat. Ia hanya ingin mereguk sebuah ilmu yang he-

bat, tetapi justru serangan maut yang didapat.

Jaka Wulung hanya tidak ingin menjadi sasaran 

empuk yang sia-sia. Hanya berdasarkan naluri, Jaka 

Wulung kemudian menjejak sebuah pokok kayu de-

ngan kaki kanannya untuk memberikan daya tolak 

bagi tubuhnya untuk meloncat menghindar.

Gerakan itu memberinya waktu lebih lama untuk 

bertahan.

Akan tetapi, waktu lebih lama itu hanyalah bebe-

rapa kejap belaka.

Baik Lingga Prawata maupun Watu Ageng sama-

sama sudah bisa menebak kemungkinan sederhana itu.


Ujung keris di tangan kiri Lingga Prawata melesat 

membelah udara. 

Dari sisi yang hampir berseberangan, Watu Ageng 

meluncur dengan jemari mengembang.

Hanya satu yang bisa dilakukan Jaka Wulung. Ia ber-

guling ke belakang dengan sekuat tenaga yang tersisa. 

Jaka Wulung terhindar dari serangan maut Lingga 

Prawata dan Watu Ageng.

Akan tetapi, ia tidak bisa menghindari bahaya lain 

yang mengintainya.

Jaka Wulung hanya bisa berguling dua putaran.

Pada putaran berikutnya, tubuhnya tidak lagi me-

ra sakan lapisan bumi.

Jaka Wulung melayang menuju jurang.

Kecuali jeritan sesaat dan gemeresak benda yang 

menembus dedaunan pekat, tak ada suara apa pun di 

bawah sana.

Ketegangan menggurat di wajah keempat manusia 

asal Jipang Panolan itu. Tak ada yang menduga akhir 

pertempuran itu demikian adanya.

Setetes air bening menggulir dari mata Dyah Wu-

lankencana. 

Akan tetapi, lekas-lekas ia menyekanya sebelum 

te pergok oleh Lingga Prawata, Watu Gunung, dan Ki 

Ja yeng Segara. 


3.Kitab Siliwangi


KAMPUNG itu diapit dua sungai, yaitu 

Ka li Keruh dan Kali Erang. Nama Kali 

Ke ruh tampaknya dipakai karena airnya 

se la lu keruh, tidak hanya pada musim penghujan. 

Pa da musim kemarau pun, airnya tetap cokelat. Seba-

liknya, Kali Erang, yang hanya beberapa ratus lang-

kah dari Kali Keruh, adalah sungai yang airnya selalu 

jernih, bahkan pada musim penghujan.

Secara resmi kampung ini pernah menjadi batas 

barat Kerajaan Majapahit. Tapi, setelah kerajaan-ke-

ra jaan jatuh dan bangun, daerah ini seakan-akan tak


bertuan. Mungkin karena, dari pusat kerajaan di Ja-

wa, daerah ini terhalang oleh Gunung Slamet. Pada-

hal, wilayah ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi 

karena dilintasi jalur yang menghubungkan pantai 

utara dan pantai selatan Jawa Dwipa.

Lagi pula, lahannya subur dan makmur. Para pe ta -

ni selalu menghasilkan panen yang melimpah. Hu tan-

hutannya juga menyediakan kekayaan yang mem buat 

masyarakatnya sejahtera. 

Dengan aliran dua sungai yang bermata air dari 

bebukitan di sisi barat Gunung Slamet, kampung ini 

juga memberikan pemandangan alam yang indah tak 

terkatakan. Sungguh bumi yang indah. 

Bumi Ayu.

Tanah yang elok.

Pendeknya, kalau ada peribahasa gemah ripah loh 

jinawi, tata tentrem kerta raharja, wilayah inilah con-

tohnya.

Akan tetapi, tidak banyak yang tahu bahwa di 

tengah ketenteraman wilayah ini, datang sejumlah 

orang de ngan wajah dan penampilan yang jauh dari 

ketente raman. 


LANGIT biru menjadi latar belakang Gunung Sla-

met. Seekor burung sriti melesat menggarisi segum-

pal awan. Di letar depan, orang-orang berjual-beli 

hasil hutan dan tani, yang digelar di bangku atau 

beralas tikar di tepi jalan tanah berbatu.

Di sebuah kedai makan, orang-orang sudah ham-

pir selesai sarapan. Ada sekitar enam atau tujuh orang 

yang masih duduk di bangku masing-masing. Bia sa-

nya mereka adalah para petani atau peladang yang 

datang dari jauh dan berhasil menjual dagangan 

m ereka.

Akan tetapi, hari itu ada dua pengunjung kedai 

yang berpakaian agak berbeda. Yang seorang adalah 

laki-laki yang sulit ditebak usianya, mungkin 35 ta-

hun, tetapi bisa saja 45 tahun. Duduk di sudut, wa-

jahnya tampak gelap karena tertutup topi caping 

bun dar yang sudah lusuh. Tubuhnya sedang, tetapi 

ke lihatan kukuh. Ia su dah menyantap dua piring nasi 

dan lauk-pauk, dan sekarang piring ketiga. Ia makan 

seolah-olah sudah satu bulan tidak bertemu dengan 

nasi.

Satu orang lagi adalah perempuan berpakaian pu-

tih-putih. Rambutnya hitam tebal, sebagian digelung 

dan sisanya tergerai ke punggung. Lehernya seperti 

kulit langsat. Usianya menjelang 40 tahun, tetapi ma


sih kelihatan cantik. Atau tepatnya begini: ia sedang 

berada di puncak kematangan pada usianya yang di 

akhir 30-an.

Yang membedakan keduanya dari orang-orang 

lain adalah senjata yang tersandang di badan. Si lelaki 

membawa pedang panjang yang sedikit melengkung 

di punggung dan sekilas mirip dengan pedang yang 

biasa dibawa oleh para samurai negeri Jepun. Adapun 

si perempuan membawa dua bilah pedang pendek, 

masing-masing di pinggang kiri dan kanan.

Si perempuan tampaknya sudah selesai makan. Ia 

berdiri, membayar makanan, dan bertanya kepada si 

pemilik kedai. Suaranya lembut, lebih dekat disebut 

berbisik, dan nyaris ditelan keriuhan pasar sehingga 

hampir tidak ada yang mendengarnya.

“Ki Sanak tahu di mana letak Bukit Sagara?” tanya 

perempuan itu.

Beberapa jenak lelaki pemilik kedai makan itu ter-

paku. Sekilas kelihatan dari wajahnya bahwa ia mera-

sa heran. Tapi, sejenak kemudian ia tersenyum.

“Nona ikuti jalan di depan ke arah barat. Dari sini 

akan kelihatan sebuah bukit yang membujur berwar-

na biru. Tidak perlu sampai setengah hari juga Nona 

akan sampai di bukit yang dimaksud. Nah, Bukit 

Sagara terletak di balik bukit yang tampak itu.”


“Terima kasih,” kata perempuan itu sambil terse-

nyum manis. Ia mungkin merasa senang karena di-

panggil dengan sebutan “nona”. Ha, ia memang ma-

sih berstatus nona meskipun sudah hampir empat 

puluh tahun. Pasti ia punya kisah cinta yang menarik 

untuk diceritakan .... 

Setidaknya arah yang kuambil sudah benar.

Di tempat duduknya di sudut kedai, lelaki berpe-

dang panjang terkejut mendengar pertanyaan perem-

puan itu kepada pemilik kedai. Jarak antara si perem-

puan dan lelaki itu sebenarnya hampir sepuluh lang-

kah, tetapi ia dengan jelas mendengar pertanyaan si 

perempuan. Jelas bahwa ia memiliki indra pende-

ngar an yang peka dan kemampuan seperti itu hanya 

bisa diperoleh seseorang yang sudah mencapai taraf 

ilmu yang tinggi. Sapta pangrungu.

Ketika si perempuan melangkah pergi, lelaki itu 

terus memasang telinganya untuk menangkap lang-

kah-langkah si perempuan.

Dan, sebelum langkah-langkah itu hilang dari pen-

dengarannya, lekas-lekas ia menyelesaikan makannya 

dan membayar kepada si pemilik kedai.

Pada saat yang sama, dua orang itu, si pemilik ke-

dai dan lelaki berpedang panjang, sama-sama dilanda 

keheranan.


lelaki berpedang heran karena perempuan itu 

menanyakan Bukit Sagara, tempat yang juga menjadi 

tujuannya.

Si pemilik kedai heran karena dalam dua atau tiga 

hari ada beberapa orang yang menanyakan bukit yang 

sama. Dan, mereka memiliki ciri yang serupa: sama-

sama membawa senjata dan bisa dipastikan mereka 

adalah orang-orang dari dunia persilatan.

“Ki Sanak juga hendak ke Bukit Sagara?” tanya pe-

milik kedai. Sebuah pertanyaan polos.

Si lelaki berpedang dengan cepat menutupi kehe-

ranannya yang bertambah besar. Ia tersenyum lebar. 

Jadi, meskipun bercaping bundar, lelaki itu bukan je-

nis orang yang sangar.

“Oh, tidak. Saya hendak ke selatan.”

Si pemilik kedai mengangguk-angguk meskipun 

ia kurang percaya terhadap kata-kata si lelaki berpe-

dang. Tapi, tentu saja ia tidak akan mendesak lebih 

lanjut. Hanya saja, dalam hatinya terselip pertanyaan: 

ada apa orang-orang berpedang menanyakan Bukit 

Sagara?

Si lelaki berpedang cepat-cepat melangkah keluar 

supaya tidak kehilangan jejak si perempuan. Di ke-

palanya juga berputar pertanyaan: berapa orang yang 

memiliki tujuan yang sama menuju Bukit Sagara?


Kabar itu ternyata telah menyebar, pikirnya.

Perempuan itu sudah menghilang di jalan berca-

bang. Tapi, si lelaki berpedang panjang langsung bisa 

memutuskan jalan mana yang diambil si perempuan. 

Diambilnya jalan yang kiri.

Akan tetapi, di sana ia segera kehilangan jejak.

Di hadapannya, hanya jalan tanah membentang 

membelah persawahan. Sapta pangrungu-nya sama 

se kali tidak menangkap gelombang selirih apa pun 

yang ditinggalkan perempuan itu. Sunyi sepi. Hanya 

lirih embusan angin yang membawa uap rerumput-

an. Dan, satu-dua suara cangkul petani di kejauhan.

“Sungguh wanita yang luar biasa,” desah lelaki itu.

Ia berharap bisa berkenalan dengan wanita itu, wa-

nita yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan 

pertama, tetapi ia bahkan sudah kehilangan jejak pada 

pan dang an kedua.

Lelaki itu—baiknya disebutkan saja namanya, Ma -

hesa Geni, pendekar dari kawasan Gunung Maha-

meru di belahan timur Jawa Dwipa—menghela napas 

sebelum menerapkan ilmu lari cepatnya.

Dari balik sebatang pohon, sepasang mata setajam 

elang mengamati kepergian Mahesa Geni. Ia meng-

elus selendang yang menyampir di pundaknya.


PADA zaman kapan pun, di belahan dunia mana 

pun, perempuan memang selalu menjadi sasaran ke-

ja hatan. Terutama, perempuan yang bepergian sen di-

ri, melalui jalan yang lengang dan hutan yang lebat. 

Lebih-lebih kalau perempuan itu memiliki ciri la-

hiriah cantik dan berpakaian menarik. 

Begitu pula dengan perempuan cantik berpakaian 

putih-putih yang sedang melenggang menuju Bukit 

Sagara.

Sepasang pedang yang menggantung di pinggang 

hanyalah menjadi bahan tertawaan dua lelaki bertu-

buh raksasa yang berniat mengadang.

Kedua raksasa yang berpenampilan serupa itu mak-

lum bahwa sasaran mereka pastilah bukan perempuan 

sembarangan. Oleh karena itu, mereka mengamati 

hing ga mangsanya hanya beberapa langkah dari sam-

pan yang hendak membawanya menyeberang sungai.

Sungai itu bernama Ci Pamali, sungai yang sudah 

ratusan tahun menjadi batas wilayah Kerajaan Sunda. 

Sungai yang sangat legendaris, menyimpan kisah-

kisah lama yang selalu menjadi tuturan secara turun -

temurun di kalangan masyarakat, tidak hanya masya-

rakat Sunda, yang berdiam di belahan barat Ci Pama-

li, tetapi juga masyarakat Banyu Mas, yang berdiam 

di belahan timur.


Salah satu kisahnya adalah pertempuran antara 

Ciung Wanara dan Hariang Banga—yang konon 

men jadi penanda terpisahnya Sunda dan Jawa.

Bagian sungai tempat menyeberang itu lebarnya 

sekitar seratus langkah kaki.

Di bagian itu air mengalir tenang.

Akan tetapi, tenangnya aliran sebuah sungai tidak-

lah selalu berarti aman dan damai.

Ci Pamali mengalir tenang sekaligus mengancam.

Bukan hanya buaya yang bisa muncul pada wak-

tu-waktu tertentu, tetapi juga perompak sungai, yang 

kadang lebih berbahaya dibanding buaya karena me-

re ka bisa muncul semaunya. Dan kali itu, dua raksasa 

yang sedang mengincar mangsa adalah dua penya-

mun air yang berasal dari nun jauh muara di selatan: 

Segara Anakan.

Bahkan, di siang benderang seperti saat itu.

Perempuan itu—ah, ya, namanya Sekar Ayuwar-

dhani—sebenarnya sudah tahu bahwa ia dikuntit 

oleh setidaknya dua orang. Tapi, ia tetap melenggang 

dengan keyakinan diri yang tak berkurang. Begal, 

rampok, atau berandal jenis apa pun bukan sesu atu 

yang asing baginya—wanita yang sudah belasan ta-

hun disegani dengan julukan Mawar Beracun dari 

Bhumi Sambhara Budhara!


Ketika ia keluar dari kedai makan tadi, ia sadar 

di ikuti oleh lelaki berpedang panjang. Selepas kam-

pung itu, ia mempermainkan si lelaki dengan cara 

bersembunyi di balik sebuah gerumbul, tanpa gerak 

dan tanpa suara sehingga keberadaannya sama sekali 

tidak terjejaki. Setelah si lelaki pergi, barulah ia keluar 

dari persembunyiannya dan berjalan melenggang. 

Sekar Ayu memang pendekar yang senang usil, 

seakan-akan pertempuran adalah sebuah permainan.

Akan tetapi, kali ini boleh jadi ia akan ketemu ba-

tunya. Atau, bertemu sepasang manusia batu.

Sekar Ayu memandang langit barat di seberang 

Ci Pamali. Untuk kali pertama, sebentar lagi ia akan 

melintas batas sebuah negeri. 

Ia meloncat dari sebongkah batu dan mendarat 

tepat di lantai sampan tanpa membuat sampan itu 

ber goyang! Sungguh ilmu meringankan tubuh yang 

bukan main dahsyat!

“Ayo jalan, Pak,” katanya kepada tukang dayung 

sampan.

Akan tetapi, hanya beberapa saat setelah tukang 

dayung itu mendorong sampannya ke air, berloncat-

an dua lelaki bertubuh raksasa. Dan, sungguh hebat, 

meskipun keduanya memiliki badan sebesar badak 

gemuk, mereka hinggap di lantai sampan secara ber


samaan dan hanya menimbulkan sedikit goyangan 

pada sampan itu!

Alamat buruk, pikir si tukang sampan, yang memi-

lih membiarkan dirinya mematung di tepi sungai se-

mentara sampannya sudah melaju di air. Karena tidak 

ada yang mendayung, sampan itu pun pelan-pelan 

ter seret arus ke hilir. 

Sekar Ayu beberapa jenak kebingungan meman-

dang si tukang sampan yang memilih membiarkan 

sam pannya terbawa hanyut. Kebingungan itu mem-

buatnya kehilangan waktu. Untuk kembali meloncat 

ke darat, jaraknya terlalu jauh. Untuk berenang, ia 

ma sih bimbang. Apa yang bisa dilakukannya hanya-

lah menunggu. 

Salah satu dari dua raksasa itu memungut galah 

bambu yang dipakai untuk mengarahkan sampan ke 

seberang. Hanya dengan dua kali tumpuan, sampan 

pun melaju kencang dan mencapai tengah sungai. 

Akan tetapi, di tengah sungai itulah si raksasa me-

nancapkan bambunya ke dasar sungai dan menjadi-

kannya sebagai penahan sampan.

Sampan berhenti.

Seperti anak-anak yang menemukan mainan me-

nyenangkan, kedua raksasa itu tertawa berbarengan.


“Lihat, Balaupata, dia mulai ketakutan,” kata salah 

satu lelaki raksasa itu di antara tawanya.

“Betul, Cingkarabala, dan itu membuatnya tam-

bah jelita, tidak kalah dengan Dewi Dresanala.”

Oh, oh, nama mereka rupanya mengambil dari 

nama raksasa kembar penjaga pintu Kahyangan itu.

Sekar Ayu terkejut mendengar nama keduanya. 

Ba laupata dan Cingkarabala adalah nama yang sudah 

tidak asing lagi di telinganya meskipun ia belum per-

nah bertemu. 

Keduanya dikenal dengan julukan Raksasa Kem-

bar dari Segara Anakan.

Merekalah sepasang perompak yang menggentar-

kan nyali siapa pun. Terutama, kalau mereka berlaga 

di wilayah hidupnya sehari-hari: air!

Sekar Ayu berdebar-debar dengan sejumput rasa 

sesal.

Akan tetapi, ia teguhkan keyakinannya melalui so-

rot mata yang berkilat seperti kucing.

“Ah, jangan melihat kami seperti itu, Dewi yang 

Cantik,” ujar Balaupata. Kaki kanannya menjejak 

ping gir sampan. Sampan bergoyang-goyang.

Sekar Ayu terkejut. Tapi, kemudian ia menyesuai-

kan diri dengan goyangan sampan supaya tidak ke-

hilangan keseimbangan


“Balaupata,” kata Cingkarabala. “Kalau menilik 

penampilannya, aku yakin dia adalah si mawar ... apa 

namanya? Ah, ya, si mawar dari candi buruk itu. Ha-

haha!”

Balaupata sejenak mengerutkan kening meman-

dang Sekar Ayuwardhani. Terkejut juga hatinya kalau 

dugaan saudara kembarnya itu benar. Wanita berju-

luk Mawar Berduri itu bukanlah wanita sembarang-

an. Tapi, berdua dengan Cingkarabala, Balaupata ya-

kin mereka tidak akan terkalahkan. Oleh karena itu, 

beberapa saat kemudian ia pun terbahak-bahak. 

Tawa mereka menggetarkan udara. Dan, entah 

meng a pa , siang itu keadaan di sana begitu sunyi. 

Mung kin orang-orang sedang berada di kebun, sa-

wah, dan huma masing-masing.

“Apa mau kalian?” Sekar Ayu menggeram.

Balaupata dan Cingkarabala kembali tertawa ter-

bahak-bahak. Tawa yang khas dari orang-orang go-

longan hitam.

Akan tetapi, lebih dari itu, tawa keduanya mengan-

dung ajian yang membuat udara bergetar dan mem-

buat siapa pun yang mendengarnya gemetar. 

Gelap sayuta.

Akan tetapi, Sekar Ayu bukan wanita sembarang-

an. Apalagi terasa bahwa ajian dalam tawa mereka


ma sih terlampau mentah dan menakutkan bagi anak-

anak ingusan belaka.

Menyadari tawanya tidak memberikan pengaruh 

apa-apa, seperti Balaupata, Cingkarabala menjejak-

kan kaki kirinya ke pinggiran sampan sehingga go-

yangan sampan kian menggila. 

Kali ini, darah mulai mengalir deras di seluruh 

pembuluh tubuh Sekar Ayu. Meloncat dari sampan 

ke sungai tentu bukan tindakan bijaksana. Sungai itu 

dalamnya tidak bisa diduga. Airnya mengalir tenang 

kecokelatan dan dasarnya tidak kelihatan. Mungkin 

hanya sepinggang, tetapi mungkin juga sedalam ga-

pai an tangannya. Yang jelas, kalau ia meloncat dan 

berenang, ia justru akan menjadi mangsa empuk dua 

raksasa kembar itu.

Oleh karena itu, sebelum gila oleh goyangan sam-

pan, Sekar Ayu menghunus dua pedang pendeknya 

dan langsung merangsek. Dalam situasi seperti itu, 

menyerang adalah cara bertahan yang paling baik.

Baik Balaupata maupun Cingkarabala sama-sama 

menghindar mundur. Bukan karena takut, melain-

kan karena sekejap mata pun keduanya bisa melihat 

ujung-ujung pedang pendek Sekar Ayu yang berwar-

na ungu. 

Pedang beracu


Jadi, benar dugaan mereka, wanita itu adalah Ma-

war Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara. Candi 

raksasa itu memang menyimpan sejarah gemilang ti-

dak hanya mengenai sastra dan budaya, tetapi juga 

para perempuannya yang terkenal jelita dan berilmu 

tinggi, sebagaimana leluhur mereka, Pramodhawar-

dhani—salah satu perempuan paling jelita dalam se-

jarah Nusantara.

Oleh karena itulah, Balaupata dan Cingkarabala 

tak hendak bermain-main dengan mawar beracun. 

Mereka lebih banyak menghindar dan hanya sesekali 

mencoba menangkis gagang pedang Sekar Ayu de-

ngan gada masing-masing. Lagi pula, karena sampan 

itu hanya selebar satu depa, keduanya sulit menem-

patkan diri untuk menjepit Sekar Ayu.

Wanita itu pun sadar bahwa ia harus menempat-

kan kedua lawannya di depannya dan tidak memberi-

kan ruangan yang memadai sehingga bisa menjepit-

nya dari dua posisi yang berlawanan.

Pertempuran itu dengan cepat berlangsung bebe-

rapa jurus. Dengan mengandalkan kecepatan dan il-

mu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna, 

Sekar Ayu menggerak-gerakkan kedua pedangnya se-

perti mulut-mulut ular berbisa yang siap mematuk 

lawannya. Sementara itu, makin lama makin kelihat


an bahwa meskipun unggul segalanya dalam tenaga, 

kedua raksasa itu—sebagaimana umumnya para rak-

sasa—memiliki otak yang terlalu kental. Atau mung-

kin beku. Mereka lebih banyak mengandalkan naluri 

karena kebiasaan hidup mereka di atas air.

Oleh karena itu, lama-lama kelihatan bahwa Ba-

lau pata dan Cingkarabala kewalahan menghadapi se-

pak terjang Sekar Ayu. Meskipun air sungai bukan lah 

dunia nya, Sekar Ayu menunjukkan bahwa Mawar Ber-

duri bukanlah gelar kosong belaka. Hanya saja, meski-

pun bisa mendesak sedikit demi sedikit, Sekar Ayu su-

lit mendekati, apalagi menjatuhkan lawannya. Sebab, 

setiap kali Sekar Ayu melancarkan serang an maut, 

Balaupata dan Cingkarabala bergantian meng goyang-

goyangkan sampannya dengan keras. Bagai manapun, 

arah serangan Sekar Ayu menjadi mentah karenanya.

Sehebat-hebatnya Adipati Karna, kalau keretanya 

se nga ja digoyang-goyang oleh Salya, bidikannya akan 

sela lu meleset.

Oleh karena itu, pertempuran satu lawan dua itu 

bertambah seru dan terus berlangsung seimbang. Se-

kar Ayu tahu bagaimana catatan buruk dua lawan-

nya yang tidak pernah segan-segan melakukan apa 

pun demi memuaskan nafsu mereka. Di pihak lain, 

Balaupata dan Cingkarabala sadar bahwa sekali ujung


pedang Sekar Ayu menggores kulit mereka, mautlah 

akibatnya.

Dengan demikian, kedua pihak benar-benar me-

musatkan perhatian mereka kepada lawan masing-

masing.

Ketiganya tidak menyadari ada sejumlah pasang 

mata yang mengawasi pertempuran sengit itu.

Di balik sebuah gerumbul perdu, di sebelah timur 

sungai, mata Mahesa Geni tak sedetik pun lepas dari 

perkelahian itu. Sekali lagi, dalam hatinya ia memuji 

kehebatan ilmu wanita itu. Ia baru datang ketika salah 

satu raksasa kembar itu menyebut gelar si pendekar 

wanita meskipun dengan ungkapan yang dipelesetkan.

“Pantas saja,” desis Mahesa Geni memuji Sekar Ayu, 

si Mawar Beracun dari Bhumi Sambhara Bu dhara .

Mahesa Geni tersenyum sendiri. Aku ingin suatu 

saat bisa menguji ilmunya.

Oleh karena itu, Mahesa Geni menarik sebatang 

bambu kecil sepanjang sejengkal dari balik bajunya. 

Dipungutnya sebutir kerikil, dimasukkannya ke lu-

bang bambu, lalu bambu itu pun ditiupnya. Kerikil 

melesat seperti anak panah, menimbulkan desis yang 

mengiris. 

Balaupata terlambat menyadari datangnya serang-

an gelap itu.


Sesuatu mengenai mata kakinya dan sakitnya lang-

sung menyengat hingga sekujur tubuh. Tumpuan kaki-

nya menjadi goyah dan tubuh besarnya terjeng kang, 

lalu tercebur dengan punggung lebih dulu. Gadanya 

terlepas mencelat dan jatuh tepat mengenai keningnya. 

Ibarat peribahasa: sudah jatuh tertimpa gada!

Cingkarabala terkejut bukan buatan. Perhatian-

nya terpecah sehingga ujung pedang Sekar Ayu nyaris 

menyayat lengannya. Kalau saja ia tidak menghindar, 

pastilah tidak hanya bajunya yang sobek. 

Akan tetapi, ujung pedang Sekar Ayu terus mem-

bu ru seperti ular sendok mendesis-desis. Cingkaraba-

la ha nya mampu mencoba menangkis, baik dengan 

ta ngan kiri maupun dengan gada di tangan kanan. 

Ta pi, lambat laun ia kian terdesak, hingga pada satu 

saat kakinya keliru menumpu dan tubuhnya terjeng-

kang dan tercebur dengan punggung lebih dulu. Ga-

danya mencelat dan jatuh menimpa keningnya.

Mungkin begitulah nasib saudara kembar. Nasib 

sial pun serupa.

Sekar Ayu memanfaatkan kesempatan itu untuk 

mencabut galah bambu yang tadi ditancapkan ke da-

sar sungai, dan dengan menjejakkan pangkal bam bu 

itu sekuat tenaga, sampan pun meluncur ke tepi barat 

sungai.

Sebelum sampan sampai ke tepi, Sekar Ayu melon-

cat menuju sebongkah batu yang menonjol di tepi 

sungai, kemudian menjadikan batu itu benar-benar 

sebagai “batu loncatan” untuk mencapai daratan.

Uh, nyaris saja! katanya dalam hati.

Di balik sebatang pohon, seseorang dengan mata 

elang mengamati sepak terjang Sekar Ayu, sepasang 

rak sasa dari Segara Anakan, dan Mahesa Geni sekaligus.

Sebelum Sekar Ayu menjejakkan kakinya di sebe-

rang, seseorang merapatkan tubuhnya di balik sebuah 

gerumbul perdu.

Gila, setidaknya empat orang aneh dengan kemam-

puan tinggi sama-sama hadir di sini, pikirnya. Apakah 

tujuan mereka sama?

Ia membiarkan Sekar Ayu melenggang hanya be-

berapa puluh langkah darinya. Sekar Ayu meman-

dang sekilas ke arah sepasang raksasa kembar, Siapa 

pun yang telah membantuku, kuucapkan terima ka-

sih, batin Sekar Ayu, yang sejenak kemudian melesat 

menembus hutan di hadapannya.

Sepasang raksasa itu dengan susah payah berenang 

menuju tepi. Meskipun mereka jagoan air, mereka ba-

ru saja terluka dan gerak mereka tak lebih dari kerbau. 

“Tunggu pembalasanku!” kata Balaupata.

“Pembalasan kita!” ucap Cingkarabala.


Akan tetapi, keduanya berjalan terpincang-pin-

cang sehingga mustahil mengejar Sekar Ayu.

Orang yang bersembunyi di balik gerumbul perdu 

itu mengambil jalan memutar agak ke selatan. Ia un-

tuk sementara tidak ingin bertemu dengan siapa pun. 

Pasti akan ada pertunjukan yang hebat, pikir orang 

itu. Meskipun hanya kabar angin, keberadaan Kitab 

Siliwangi memang menarik minat siapa pun jago silat 

di jagat ini.

%

MEMANG sulit diterima akal sehat. Pada masa itu, 

antara satu kampung dan kampung lain kadang ter-

bentang jarak sejauh satu bukit. Dari satu kota ke kota 

lain harus ditempuh paling cepat satu hari naik kuda. 

Kabar hanya beredar dari mulut ke mulut. Alat pem-

bantu penyampai kabar hanyalah kentongan, yang 

ditabuh dengan jumlah ketukan atau irama tertentu 

untuk menyampaikan kabar tertentu. Akan dibutuh-

kan waktu berhari-hari hingga seseorang mendengar 

kabar bahwa saudaranya di kampung lain meninggal 

dunia misalnya.

Akan tetapi, entah bagaimana caranya, pepohonan 

seakan-akan memiliki telinga dan udara seolah-olah


dengan cepat menyampaikan kabar ke pelbagai sudut 

negeri bahwa di sebuah kawasan bernama Bukit Sa-

gara tersimpan salah satu kitab yang paling dicari di 

kalangan para pendekar. 

Kitab Siliwangi.

Inilah satu-satunya kitab yang ditulis semasa Sri 

Ba duga Maharaja, yang jauh lebih termasyhur de-

ngan julukan Prabu Siliwangi, tengah berada di pun-

cak kekuasaannya. Tidak jelas siapa yang menulisnya, 

apakah Prabu Siliwangi sendiri atau seorang pejabat 

keraton yang ia percayai. Tapi, kalangan luas percaya 

bahwa kitab itu, selain berisi wejangan mengenai ajar-

an leluhur, juga mengandung inti ilmu kesaktian Pra-

bu Siliwangi sendiri, yang membuatnya nyaris tanpa 

lawan ketika berada di puncak kejayaan. 

Kitab itu kemudian diturunkan kepada para pene-

rusnya.

Hanya sayang, penerus Sri Baduga, Prabu Surawi-

sésa, kurang memiliki minat terhadap ajaran dan 

ke saktian yang terpapar dalam kitab itu. Raja-raja 

berikutnya, Prabu Déwatabuanawisésa, Prabu Sakti, 

Prabu Nilakéndra, dan terakhir Prabu Ragamulya, 

malahan makin lama makin surut perhatiannya.

Dan kini, entah bagaimana, kitab itu diyakini ber-

ada di sebuah wilayah terpencil di Bukit Sagara, se


buah perbukitan kecil di lereng selatan Gunung Kum-

bang, tidak jauh dari bekas batas timur Paja jaran.

Oleh karena itu, dengan cepat Bukit Sagara di-

datangi oleh tokoh-tokoh utama persilatan dari ber-

bagai penjuru Jawa Dwipa dengan tujuan yang sama: 

berebut Kitab Siliwangi. Mereka tidak hanya datang 

dari negeri-negeri bekas Pajajaran, tetapi juga dari ber-

bagai pelosok, mulai dari pantai utara, pantai selatan, 

Demak, Pajang, Madiun, bahkan Probolinggo di 

ujung timur Jawa Dwipa. Tidak hanya para pendekar 

pembela kebenaran, kebanyakan justru para jagoan 

dari golongan hitam.

Siapa pun tahu, pada masa itu pengakuan sebagai 

tokoh silat paling hebat masih menjadi angan semua 

orang.

Kedatangan mereka memang tidak terlalu men-

colok. Biasanya mereka datang seorang demi seorang. 

Tapi, mereka memiliki ciri yang hampir serupa: mere-

ka datang dengan menyandang senjata di pinggang 

atau punggung mereka.

Nantinya, memang, tidak semua tokoh itu tiba 

di daerah yang dituju pada saat yang tepat. Sebagian 

ter lambat, sebagian lagi perlu mengukur diri untuk 

berebut melawan tokoh-tokoh hebat. 


4.Jalan Aneh 

Menimba Ilmu


BAKA WULUNG membuka mata. Melalui 

lubang-lubang di dinding bilik, tampak di 

luar masih remang. Barangkali fajar baru 

merekah di langit timur.

Dan, selalu saja, dalam waktu seperti itu, si kakek 

sudah pergi. Ke mana ia sepagi ini?

Jaka Wulung meregangkan tubuhnya. Setiap hari, 

ia merasakan tubuhnya makin bugar. Kakinya tak 

lagi merasakan sakit. Begitu pula tangannya. Pendek 

kata, ia sudah pulih seperti sedia kala, seperti sebe-

lum meng alami perlakuan tidak menyenangkan dari 

bocah-bocah keturunan Jipang Panolan, beberapa ha-

ri la

Oh, bahkan terasa lebih bugar. Napasnya lebih se-

gar dan panjang. Otot-otot jemarinya lebih kencang. 

Apa yang telah dilakukan kakek itu?

Ketika jatuh dari tebing, Jaka Wulung sudah ti-

dak lagi berharap selamat. Tubuhnya terasa remuk re-

dam tatkala berbenturan dengan dahan-dahan pepo-

honan. Ia bahkan sudah tak merasakan apa-apa lagi 

karena sejak itu kesadarannya sudah lenyap.

Ketika ia membuka mata, hanya kesunyian yang ia 

rasakan. Angin seperti mati. Hanya terdengar napas 

teratur seseorang tak jauh darinya. Seorang lelaki tua. 

Mengenakan jubah abu-abu, ia duduk bersila dengan 

tangan bersedekap dan mata terpejam. 

Siapa dia?

“Syukurlah kamu sudah siuman,” desis lelaki tua 

itu.

Jaka Wulung terkejut. Lelaki tua itu masih terpe-

jam dengan napas teratur seperti sedang tidur. 

“Di mana saya?” Jaka Wulung mencoba duduk.

“Jangan bergerak. Berbaringlah.” Lelaki tua itu 

masih tetap terpejam. 

Jaka Wulung tetap berbaring. Bukan karena kata-

kata kakek itu, melainkan karena ia tidak bisa meng-

gerakkan tubuhnya. Semua tulang tubuhnya seperti 

porak-poranda. Otot-ototnya tidak bertenaga. Rasa


nyeri merejam-rejam seperti seribu jarum menusuk-

nusuk pori-porinya.

Ia hanya bisa mengedarkan matanya.

Lampu minyak jarak yang suram memberikan pe-

man dangan sebuah bangunan yang lebih tepat dise-

but pondok, sebuah bangunan yang terkesan dibuat 

untuk tempat tinggal sementara. Hanya ada satu 

pem baringan, yang kini ditempatinya. Di sebuah su-

dut, ada bangku persegi yang tidak terlalu tinggi. Di 

atasnya teronggok sejenis dedaunan bertulang pan-

jang. 

Tiang-tiang kayu pondok itu kelihatannya sudah 

mulai keropos dimakan rayap. Dinding bambunya 

berlubang-lubang. Udara mengalir pelan dan mem-

buat tubuh Jaka Wulung menggigil.

Dengan daya nalarnya yang masih belum pulih 

be nar, Jaka Wulung mencoba mereka-reka apa yang 

terjadi ketika ia jatuh. Ah, ia pastilah ditolong oleh 

kakek itu. Ia kemudian dibawa ke pondoknya yang 

sederhana ini, entah di mana. 

Kakek itu tampaknya enggan berbicara mengenai 

siapa dia dan di mana mereka berada. Tapi, setiap hari 

kakek itu memberikan ramuan yang harus diminum 

Jaka Wulung. Pada hari kedua, Jaka Wulung sudah 

bisa bangun dan berjalan dengan tertatih-tatih. Ke


tika memandang ke luar, barulah ia menyadari bahwa 

pondok itu berada di sebuah lereng yang landai, di 

tengah hutan yang sunyi.

Maksudnya, sunyi dari manusia dan bangunan 

lain.

Hutan ini, sebagaimana hutan di mana pun, ada-

lah kehidupan yang riuh oleh suara binatang dan ge-

sekan dedaunan.

Akan tetapi, sampai hari ketiga, kakek tua itu tetap 

su nyi dari kata-kata. Terutama mengenai dirinya. Mes-

kipun demikian, Jaka Wulung yakin bahwa kakek itu 

bukan manusia pada umumnya. Terbukti Jaka Wu lung 

pulih dalam waktu singkat berkat ramuannya.

Siang hari, barulah lelaki tua itu akan muncul lagi 

dengan membawa berbagai tanaman untuk dibuat 

ramuan serta buah-buahan.

“Kakek, siapa sebenarnya Kakek ini?”

Lelaki tua itu memandang Jaka Wulung tanpa 

menjawab. Ia membereskan semua bawaannya. Sete-

lah semuanya tertata, barulah ia menghadapi helai-

helai daun bertulang panjang dan menggores-gores-

kan cairan hitam dengan semacam kuas. 

Baru belakangan Jaka Wulung tahu nama daun itu 

adalah daun nipah dan kakek itu sedang membuat 

tulisan di permukaan daun nipah itu.


“Bolehkah saya menjadi murid Kakek?” Jaka Wu-

lung memandang lelaki tua itu penuh harap.

Kali ini lelaki tua itu menoleh dan memandang 

Jaka Wulung beberapa lama, seakan-akan sedang me-

nimbang-nimbang keinginan Jaka Wulung. “Aku ti-

dak punya kepandaian apa-apa.” Lelaki tua itu bang-

kit, mengambilkan buah-buahan, dan menyodorkan-

nya kepada si bocah. “Makanlah.”

Jaka Wulung memandang lelaki itu meminta kete-

gasan. “Kakek menolong saya ketika jatuh dari tebing 

yang sangat curam. Kalau tidak punya kepandaian 

apa-apa, Kakek tentu tidak akan mampu menolong 

saya.”

Lelaki tua itu masih diam.

Jaka Wulung tertunduk. “Kalau begitu, sebelum 

saya pergi, boleh tahu nama Kakek?”

Lelaki tua itu kembali memandang Jaka Wulung 

yang masih tertunduk. “Jangan pergi dulu. Tunggu-

lah beberapa hari lagi,” ditariknya napas dalam. “Kau 

boleh panggil aku Karta. Ki Karta.”


DAN kini, Jaka Wulung bangkit, membuka pintu, 

lalu memandang keremangan pagi. Langit masih benderang oleh bintang-bintang. Dedaunan hutan mem-

berikan kesegaran berupa zat asam. Paru-paru Jaka 

Wu lung menghirup sebanyak mungkin udara dan 

me lepasnya pelan-pelan.

Mendadak, samar-samar ia mendengar sesuatu.

Jaka Wulung melangkahkan kakinya mengikuti 

pen dengarannya. Ia merasakan keanehan. Hutan itu 

riuh dengan gesekan dedaunan, derit dahan-dahan 

pohon, nyanyian serangga, dan jerit bermacam kera. 

Biasanya, memang seperti itulah yang ia dengar. Tapi, 

kali ini pendengarannya bisa dengan jelas menangkap 

suara-suara lain.

Ia terpaku ketika tiba di suatu tempat yang agak 

lapang, beberapa puluh langkah di sebelah kanan 

pondok mereka.

Di hadapannya, seseorang sedang melakukan ge-

rakan-gerakan kaki, tubuh, dan tangan yang lincah. 

Langkahnya sangat ringan, tangannya seperti menari, 

tetapi juga mematuk dan mencakar udara, dan tu-

buhnya sangat lentur mengikuti segala gerakan kaki 

dan tangannya. Beberapa gerakan bahkan sedemikian 

cepat sehingga Jaka Wulung tidak bisa mengikuti de-

ngan penglihatannya. Jelas bahwa gerakan demikian 

hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki ke-

mampuan tinggi!


Kalau tidak dengan mata kepalanya sendiri, Jaka 

Wulung pastilah tak akan percaya.

Tiada lain orang itu: Ki Karta!

Berbeda dengan penampilan selama ini, yang keli-

hatan ringkih, Ki Karta benar-benar kelihatan dua pu-

luh atau bahkan tiga puluh tahun lebih muda. Hanya 

mengenakan celana pangsi sampai separuh betis, tan-

pa baju, Ki Karta memperlihatkan tubuh yang terpeli-

hara. Dan, di tengah hawa pagi yang masih menggigit, 

keringat berkilat memenuhi permukaan badannya.

Tiba-tiba pada suatu saat, Ki Karta menghentikan 

gerakannya.

“Keluarlah!” serunya.

Jaka Wulung terkejut. Sekali lagi terbukti bahwa 

Ki Karta bukan orang sembarangan. Ki Karta tahu 

bahwa Jaka Wulung sedang mengintipnya di balik se-

batang pohon.

Jaka Wulung ragu-ragu beberapa jenak.

“Ke sinilah, Bocah.”

Jaka Wulung keluar dari balik sebatang pohon. 

Langit mulai terang dan wajah Ki Karta tampak 

segar. Tak ada rona kemarahan pada wajahnya.

Si bocah membungkuk penuh hormat.

“Aki, saya ingin belajar silat,” suara Jaka Wulung 

pelan, tetapi mengandung bergumpal harapan.


Ki Karta menghela napas. “Itu tadi bukanlah ilmu 

silat,” katanya. “Itu tadi hanyalah gerakan-gerakan 

un tuk menjaga kesehatan. Maklumlah, aku sudah 

tua. Kalau tidak melakukan gerak badan seperti ini 

se tiap pagi, penyakit akan mudah sekali datang.”

“Ki Karta adalah seorang berilmu tinggi dan saya 

ingin menjadi murid Aki.”

“Tidak, Bocah. Aku hanyalah kakek-kakek biasa.”

“Tapi, boleh kan kalau saya menjadi murid Aki?”

Ki Karta menggeleng dengan tegas.

Jaka Wulung menunduk penuh kecewa.


AKAN TETAPI, Jaka Wulung adalah bocah yang me-

miliki kemampuan mengingat yang luar biasa meski-

pun ia sendiri tidak menyadarinya. Ia juga tergolong 

bocah yang mempunyai keinginan sangat kuat untuk 

bel ajar. Terutama belajar ilmu kanuragan. Hanya saja, 

sampai saat itu ia belum pernah menjadi murid siapa 

pun atau perguruan mana pun.

Rupanya, kalangan jelata seperti dia sulit mendapat 

tempat di mana pun. Keinginannya untuk belajar il-

mu kanuragan bahkan telah membuatnya celaka. Ta-

pi, di sisi lain, pengalaman pahitnya itu justru me


nambah kuat keinginannya untuk memiliki kemam-

puan, setidaknya membela diri. 

Jaka Wulung sudah melihat bahwa Ki Karta me-

miliki ilmu yang hebat, punya pengetahuan tentang 

pengobatan, dan bisa membuat tulisan di daun nipah. 

Pastilah Ki Karta bukan orang kampung biasa. 

Sayang sekali keinginannya untuk berguru kepada 

Ki Karta tidak kesampaian.

Penolakan Ki Karta sebenarnya membuat Jaka 

Wulung ingin segera pergi dari pondok itu. Tapi, ia 

masih menyimpan penasaran. Setidaknya, ia ingin 

dua atau tiga kali lagi melihat Ki Karta melatih ge rak-

an-gerakan silatnya.

Untuk mengisi waktunya, siang itu, ketika Ki Karta 

pergi seperti biasanya, Jaka Wulung mencoba meng-

ingat-ingat semua gerakan yang dilakukan Ki Karta, 

lalu menerapkannya sendiri. Mulai dari langkah kaki, 

kemudian gerakan tubuh, hingga bentuk jemari yang 

dibuat seperti cakar harimau. Mula-mu la memang tera-

sa kaku, tetapi lama-lama ia bisa melakukannya dengan 

sempurna. 

Jaka Wulung juga melakukan semua gerakan yang 

dilakukan bocah-bocah keturunan Jipang Panolan. Ia ti-

dak tahu bahwa gerakan itu berdasarkan ilmu hebat yang 

disebut gagak rimang, ilmu andalan Arya Pe nangsang.


Berdasarkan daya ingatnya, dari tiga hari menon-

ton ketiga bocah itu berlatih dibimbing Ki Jayeng Se-

gara, Jaka Wulung berhasil meniru semua jurus gagak 

rimang nyaris tanpa kesalahan. Di tengah melakukan 

semua gerakan itu, tergambarlah dengan jelas wajah-

wajah bocah itu: Lingga Prawata, Watu Ageng, dan 

Dyah Wulankencana.

Ketika mengingat wajah gadis kecil itu, hatinya 

ber desir oleh rasa hangat. Apakah aku bisa bertemu 

lagi dengannya? Cepat-cepat Jaka Wulung mengusir 

pi kir an seperti itu. Ia hanyalah bocah jelata. Gadis itu 

jelas sebangsa bidadari meskipun kini seperti bidadari 

yang tersesat di rimba raya.

Meskipun demikian, dengan membayangkan wa-

jah gadis itu, dan terutama bocah sombong bernama 

Lingga Prawata, Jaka Wulung terus melakukan semua 

gerakan dasar ilmu gagak rimang berulang-ulang.

Berulang-ulang pula ia meniru semua gerakan 

yang ia ingat dilakukan Ki Karta pagi itu.

Keringat sudah membanjir dari tubuhnya.

Jaka Wulung tidak sadar matahari sudah mulai 

jatuh di langit barat.

Ia juga tidak sadar sepasang mata menyorot tajam 

dari balik rumpun perdu.

Luar biasa bocah ini, kata hati Ki Karta.


Ketika kali pertama menemukan bocah itu dalam 

keadaan pingsan di atas gerumbul perdu di tepi Ci 

Gunung—untung bocah itu tidak jatuh menimpa 

bebatuan—Ki Karta mengakui bahwa Jaka Wulung 

memiliki tubuh yang sangat istimewa. Kalau yang 

jatuh dari ketinggian seperti itu anak muda biasa, se-

telah membentur-bentur dahan-dahan pepohonan, 

apalagi ia jatuh setelah melalui sebuah perkelahian, 

Ki Karta yakin siapa pun tak akan selamat nyawanya. 

Tapi, bocah itu hanya pingsan.

Setelah ia membawa bocah itu ke pondoknya, di se-

buah tempat yang jauh terpencil di sebuah bukit kecil 

yang dinamakan orang Bukit Segara, lalu mera watnya, 

Ki Karta benar-benar dibuat kagum. Hanya dalam 

be berapa hari, bocah itu sudah hampir pulih seperti 

se diakala. Padahal, ia hanya merawat dengan ramuan 

seadanya dan makanan buah-buahan di sekitarnya.

Ki Karta menunggu sampai Jaka Wulung me nye-

lesaikan semua gerakannya

GELAP mulai menyungkup seperti tirai raksasa. Nya -

nyian serangga mengiring kepergian garis-garis ma ta-

hari ditelan rerimbun hutan.


Ki Karta tengah menulis sesuatu di lembar-lembar 

nipah ketika Jaka Wulung muncul dari membersih-

kan diri di aliran sungai kecil di lembah pondok.

“Sampurasun, Aki.”

“Rampes,” Ki Karta menjawab tanpa menoleh. Ia 

terus menggurat-guratkan kuasnya di lembar nipah 

dengan alas bangku. “Dapat ikan banyak, ya?” Kepala 

Ki Karta tetap menunduk.

Jaka Wulung tersenyum sendiri. Kadang orang tua 

memang selalu lupa. Bagaimanapun disembunyikan, 

makin jelas bahwa Ki Karta banyak memiliki kelebih-

an dibanding orang kebanyakan. Ia bisa mencium 

bau ikan dan jumlahnya banyak.

“Iya, Ki, tadi saya dapat di kali sebelum mandi di 

pancuran. Nanti sekalian saya bakar, ya. Malam ini 

kita makan enak.”

Jaka Wulung lekas menyiapkan kayu-kayu dan 

segera membuat pembakaran. Tak lama kemudian, 

menguarlah aroma ikan bakar. Jaka Wulung tidak sa-

bar lagi untuk segera menyantapnya. Perutnya terde-

ngar seperti tetabuhan dogdog!

“Ki,” ujar Jaka Wulung ketika mereka bersama-sa-

ma menyantap nasi dan ikan bakar. “Kalau Aki meno-

lak mengajari saya ilmu beladiri, biarlah saya menjadi 

murid Aki dalam menulis di daun nipah. Boleh, kan?”

Ki Karta berhenti mengunyah sejenak, kemudian 

menarik napas dalam. Bocah ini memiliki banyak kele-

bihan. Siapa sebenarnya dia? pikir Ki Karta.

“Baiklah,” kata Ki Karta.

Semenjak malam itu juga Jaka Wulung mendapat 

pelajaran tentang menulis. Benar-benar dari dasar, 

yaitu menulis huruf demi huruf. Mula-mula ia belajar 

melalui goresan kayu di tanah. Setelah mahir, barulah 

ia berpindah ke daun nipah. Bahkan di belakang hari, 

Jaka Wulung juga belajar menulis di atas permukaan 

daun lontar dengan menggunakan pisau pangot.

Tidak hanya belajar cara menulis huruf. Jaka Wu-

lung juga belajar cara menulis naskah sastra. Tahap 

ini tentu saja jauh lebih rumit dibanding hanya me-

nulis huruf. Dan, belakangan terbukti bahwa baik 

Jaka Wulung maupun Ki Karta sama-sama saling 

memuji meskipun dalam hati. 

Jaka Wulung memuji Ki Karta, yang sudah ia 

pang gil sebagai guru, yang ternyata seorang penulis 

naskah yang mumpuni. Naskah-naskahnya yang se-

bagian besar berupa pantun1

 sangat indah. Di pihak 

lain, Ki Karta memuji Jaka Wulung sebagai murid 

yang sangat cerdas. Ingatannya sangat kuat dan ba-

kat nya dalam menulis naskah sangat besar. 

1

 Sejenis naskah cerita dalam sastra Sunda.


Serupa benar dengan Bambang Ekalaya di jagat pe-

wayangan, pikir Ki Karta.

Tiba-tiba Ki Karta teringat sosok yang selama ini 

ia anggap menjadi gurunya, baik dalam sastra mau-

pun ilmu kanuragan, Resi Jaya Pakuan. Kalau saja 

sang Guru masih ada, pikir Ki Karta, tentu Jaka Wu-

lung akan mendapat didikan dari orang yang tepat. Ki 

Karta menyesal tidak terlalu mendalami ilmu sastra. 

Ia selama ini lebih memilih mendalami ilmu kesak-

tian, yang membuatnya lebih banyak menghadapi 

masalah daripada menyelesaikan masalah.

Ki Karta menghela napas panjang, mengusir rasa 

sesalnya.

Sementara itu, setiap menjelang fajar menying-

sing, Ki Karta akan selalu bangun lebih dulu.

Jaka Wulung akan pura-pura masih tertidur ka-

lau Ki Karta memulai kegiatannya setiap hari. Tidak 

berapa lama kemudian, Jaka Wulung akan bangun 

dari tempat tidurnya, bersijingkat keluar dari pondok 

itu, berhati-hati menuju sebatang pohon di tepi lahan 

lapang, dan dari sana ia juga memulai harinya. 

Langit masih temaram, tetapi Jaka Wulung makin 

lama makin terbiasa melihat Ki Karta mulai meng-

hangatkan tubuhnya dengan olah napas, kemudian 

melatih dan memelihara kelenturan segenap anggota


badannya melalui gerakan-gerakan teratur yang mem-

bentuk jurus-jurus tertentu yang kelihatan sederhana, 

tetapi kerap memberikan akibat yang dahsyat. 

Setiap geraknya selalu menimbulkan kesiur angin 

di sekitar tubuhnya, yang membuat dedaunan rontok 

dari tangkainya.

Jaka Wulung akan menyimpan dalam kepala nya 

semua yang dilakukan Ki Karta. Dan, sebelum ma-

ta hari sepenggalah, menjelang Ki Karta menye le sai-

kan ritual latihannya, Jaka Wulung akan menye li nap 

kembali ke pondok, lalu membaringkan tubuhnya di 

tempat tidur. Jaka Wulung akan pura-pura mendeng-

kur ketika Ki Karta masuk ke pondok.

Ketika Ki Karta pergi menjelang siang, Jaka Wu-

lung akan segera menuju sebuah tanah agak lapang 

yang ia pilih sendiri, tidak jauh dari pancuran. Ia pun 

akan segera menerapkan semua ingatan di kepalanya 

saat itu juga. Mulai dari olah napas hingga bermacam 

gerak yang membentuk jurus-jurus tertentu.

Beberapa kali Jaka Wulung melakukan kesalahan 

ketika menerapkan gerak baru. Tapi, ia akan selalu 

mengulanginya sehingga semua jurusnya ia lakukan 

hampir tanpa kesalahan lagi.

Ketika matahari sudah di puncak langit, Jaka Wu -

lung akan menyelesaikan latihannya. Ia akan me loncat-loncat lincah, meniti bebatuan yang bertonjolan, 

dan akan segera menceburkan diri sambil menikmati 

segarnya air pancuran. Berendam menikmati kese-

jukan sungai dan memulihkan tenaganya.

Jaka Wulung tidak menyadari bahwa dari sebuah 

gerumbul perdu sepasang mata mengawati semua 

yang dilakukannya.

Ki Karta!

Sekali lagi Ki Karta mengagumi bakat yang dimi-

liki Jaka Wulung. Tanpa bimbingan langsung siapa 

pun, hanya dengan mengingat apa yang ia lihat, Jaka 

Wulung mampu melakukannya dengan hampir sem-

purna. 

Tentu saja Ki Karta tahu bahwa Jaka Wulung se-

lalu mengintip setiap pagi. Ki Karta juga tahu bahwa 

Jaka Wulung hanya pura-pura tidur, baik ketika ia ke-

luar maupun ketika ia datang lagi.

“Kalau saja bocah ini mendapat bimbingan seca ra 

langsung,” batin Ki Karta. Tapi, ia tidak bisa me la ku-

kannya. Ia tak ingin melanggar sumpahnya sen diri, yak-

ni tidak akan pernah mengangkat seorang pun murid. 

Batin Ki Karta dilanda kebimbangan menyaksikan 

bakat luar biasa Jaka Wulung. 

Oleh karena itu, Ki Karta memutuskan untuk menja-

dikan Jaka Wulung sebagai murid secara tidak langsung.


Ia akan membiarkan Jaka Wulung menye rap ilmunya 

setiap pagi, tahap demi tahap mening kat secara terus-

menerus, mulai dari tahap gerak ka sar, hingga akhirnya 

ke jurus yang dilambari tenaga dalam. Ia akan berpu-

ra-pura tidak tahu bahwa Jaka Wulung selalu mengin-

tipnya. Ia juga berpura-pura tidak tahu bahwa Jaka Wu-

lung meniru semua gerak dan jurusnya setiap hari.

Dengan demikian, Ki Karta merasa tidak melang-

gar sumpahnya untuk mengangkat seorang murid.

Demikianlah, terjadi penurunan ilmu yang ganjil 

dari seorang kakek misterius yang mengaku bernama 

Ki Karta kepada bocah aneh bernama Jaka Wulung.


DALAM waktu singkat, karena daya serap Jaka Wu-

lung yang sangat istimewa, seluruh ilmu yang dimiliki 

Ki Karta sudah diturunkan kepada si bocah. Tinggal 

satu ilmu yang belum diturunkan. Ki Karta ragu-ragu 

apakah ia akan menurunkan ilmu yang satu ini. 

Ilmu pamungkas miliknya. 

Ada beberapa pertimbangan yang membuatnya 

ragu-ragu.

Pertama, Jaka Wulung kelihatan masih terlampau 

muda untuk menerima ilmu ini. Ki Karta tidak yakin


apakah si bocah akan mampu mempelajari ilmu ini 

mengingat dibutuhkan laku yang sangat berat untuk 

mencapai tingkatan yang diharapkan. 

Kedua, ini yang sangat sulit dilaksanakan, ilmu ini 

diturunkan hanya kepada orang yang mewarisi darah 

Prabu Siliwangi. Sebab, ilmu ini memang diciptakan 

dan disempurnakan oleh Prabu Siliwangi sendiri dan 

yang secara tradisi hanya diturunkan kepada mereka 

yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Prabu 

Siliwangi. 

Inilah ilmu yang membuat Prabu Siliwangi ham-

pir tidak menemui lawan sepadan ketika ia di puncak 

kejayaan.

Ilmu gulung maung.

Dalam hati kecilnya, Ki Karta cenderung ingin me-

nu runkan pula ilmu gulung maung kepada si bo cah. Ia 

tidak tahu tinggal berapa orang di tatar Sun da yang 

masih menggenggam ilmu dahsyat ini. Ia kha wa tir 

ilmu ini akan punah kalau tidak diturunkan seka rang.

Akan tetapi, di sisi lain, ia harus mematuhi garis 

yang telah ditetapkan leluhurnya agar tidak semba-

rangan menurunkan ilmu ini kepada orang yang ti-

dak jelas asal usulnya.

Semalam suntuk Ki Karta menimbang-nimbang 

ke mungkinan untuk menurunkan ilmu gulung maung. Tak lupa ia bersemadi, meminta petunjuk kepa-

da leluhurnya, apakah ia tidak tergolong melanggar 

purba tisti dan purbajati kalau ia memutuskan menu-

runkan ilmu pamungkasnya kepada si bocah.

Di kejauhan, terdengar auman panjang seekor 

harimau.

Telinga Ki Karta menegang.

Beberapa saat kemudian, setelah auman itu meng-

hilang, Ki Karta membuka matanya. Dadanya men-

jadi lega.

Ki Karta yakin, auman harimau itu menjadi se-

macam restu

Ia pun sudah bisa mengambil keputusan secara 

mantap.

LANGIT masih ditaburi ribuan kerlip bintang. Bu-

rung-burung bangun dari tidur nyenyak mereka, ber-

ceriap nyaring, menyilap serangga malam yang mulai 

kelelahan.

Ki Karta sudah menyelesaikan olah napasnya seba-

gai pemanasan menuju olah tubuh dan gerak badan. 

Jurus demi jurus kemudian melindas udara pagi, 

hing ga akhirnya, bertepatan dengan garis-garis pertama matahari, Ki Karta mulai memasuki jurus pa-

mungkasnya: gulung maung.

Sedikit demi sedikit tangan dan jemarinya menge-

ras, membentuk cakar yang siap mencabik sasaran. 

Pancaindranya menjadi lebih tajam. Penglihatan, 

pen dengaran, penciuman, peraba, dan pengecap per-

lahan tetapi pasti menjadi lebih peka. Jika ada gerakan 

kecil di mana pun yang mencurigakan di sekitarnya, 

pasti tak akan lepas dari pancaindranya.

Dari tenggorokannya tak tertahan mengalir gelom-

bang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan 

langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman, se-

perti suara harimau ....

Grrrhhh!

Ki Karta meloncat ringan dan kedua tangannya 

mengarah sebatang pohon kiara sebesar tubuh manu-

sia. Segumpal tenaga tak kasat mata meluncur dari 

cakar-cakar Ki Karta dan menghantam batang po-

hon, menimbulkan suara debam yang akan terasa 

me mukul dada siapa pun yang menyaksikannya.

Beberapa jenak Ki Karta tetap berdiri dengan ke-

dua kaki rendah dan tangan masih terentang ke de-

pan.

Pohon itu tetap berdiri tegak.

Tetapi hanya beberapa jenak.


Tiba-tiba terdengar suara derak batang yang re-

muk dan patah, kemudian pohon itu pun tumbang 

berdebum menimpa tanah.

Sulit membayangkan bagaimana kalau pukulan 

tak kasat mata itu menimpa tubuh manusia.

Dari balik pohon, Jaka Wulung hanya bisa me-

mandang peristiwa itu dengan mulut menganga. Ia 

lupa bahwa ia harus segera pergi dari tempat itu sebe-

lum ketahuan oleh Ki Karta.

DI tanah yang agak lapang di atas pancuran, di sana-

lah Jaka Wulung menerapkan daya ingatnya yang luar 

biasa ke dalam gerakan-gerakan jurus yang nyata. Sam-

pai beberapa lama Jaka Wulung tidak menyadari bah-

wa semua ilmu yang dipertunjukkan Ki Karta makin 

lama makin bertambah dan tingkatannya makin naik. 

Baru belakangan ia sadar ketika kemampuannya 

sendiri terasa meningkat dengan pesat. Langkahnya 

kian ringan, loncatannya makin jauh, tendangan dan 

pukulannya tambah bertenaga, dan pancaindranya 

menjadi jauh lebih peka. 

Matanya bisa melihat lebih jelas meskipun Ki Kar-

ta memulai latihannya dalam gelap dini hari. Telinga


nya mampu menangkap jerit kera di kejauhan, em-

busan angin yang menggesekkan rumpun bambu di 

lembah pondok, dan bahkan jatuhnya tetes-tetes air 

dari dedaunan. Hidungnya bisa membedakan rum-

put dan ilalang dari jarak beberapa langkah. Ia juga 

bisa merasakan permukaan sebatang pohon sebelum 

telapaknya benar-benar menyentuhnya. 

Ia menduga Ki Karta dengan sengaja membim-

bingnya secara tidak langsung. Dan, dugaannya su-

dah menjadi kesimpulan ketika kakek yang tetap 

misterius itu mempertunjukkan jurus ilmunya yang 

dahsyat.

Jaka Wulung memusatkan segenap kekuatannya 

un tuk mengingat seluruh gerak ilmu dahsyat Ki Karta. 

Perlahan-lahan Jaka Wulung merasakan tangan 

dan jemarinya mengeras, membentuk cakar yang siap 

men cabik sasaran. Pancaindranya menjadi lebih ta-

jam. Dari tenggorokannya mengalir gelombang su-

ara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-

la ngit, dan keluar dalam bentuk geraman, seperti su-

ara harimau ....

Grrrhhh!

Jaka Wulung meloncat ringan dan kedua tangan-

nya mengarah sebatang pohon rasamala yang masih 

muda, dengan ukuran batang sebesar paha orang de


wasa. Jaka Wulung merasakan segumpal tenaga tak 

kasat mata meluncur dari cakar-cakar jemarinya dan 

menghantam batang pohon rasamala, menimbulkan 

suara debam yang gemanya seakan-akan memukul 

dadanya sendiri.

Beberapa jenak Jaka Wulung agak goyah di atas 

kuda-kuda kedua kakinya yang rendah dan dengan 

tangan masih terentang ke depan.

Pohon itu tetap berdiri tegak. Hanya bergoyang 

pelan.

Jaka Wulung menunggu.

Pukulannya seakan-akan tidak memberikan pe nga -

ruh apa-apa.

Jaka Wulung menarik napas kecewa.

Ia berdiri tegak, melangkah mendekati pohon itu, 

dan menyentuh bekas pukulannya.

Jaka Wulung menarik napas lega ketika menyen-

tuh bekas pukulannya di pohon yang terasa seperti 

ka yu keropos selebar telapak tangan. Tapi, hanya sam-

pai di situ. Pukulan itu belum mampu menyebab kan 

batang itu patah.

Aku harus banyak berlatih, pikirnya.

Demikianlah, dalam beberapa hari Jaka Wulung 

benar-benar memusatkan perhatiannya untuk meng-

asah ilmunya.


Dan kemudian, suatu hari, ketika ia mencoba me -

le paskan pukulan yang sama ke sebatang pohon ra-

sa mala yang sedikit lebih besar, tiba-tiba terdengar 

suara derak batang yang remuk dan patah, kemudian 

sebatang cabang pohon itu pun tumbang berderak 

menimpa tanah. 

Jaka Wulung menganga tak percaya.

Di tempat persembunyiannya, Ki Karta tak kurang 

terkesima. 

Untuk bisa mengeluarkan tenaga tak kasat mata 

sebesar itu, Ki Karta perlu berlatih dalam hitungan 

berbulan-bulan. Tapi, si bocah—bocah semuda itu—

melakukannya hanya dalam tempo hanya beberapa 

hari. 

Luar biasa, batinnya. Hanya Prabu Siliwangi sen-

di ri lah yang mampu melakukannya dalam usia semuda 

itu.

Ki Karta berdebar-debar. Dalam hatinya ia kem-

bali memohon restu dari para leluhur semoga ia ti-

dak salah memilih murid. Sebab, kalau ilmu itu ja-

tuh kepada orang yang salah, akibatnya akan sangat 

mengerikan.

Tinggal rajin mematangkan diri, aku yakin bocah 

ini suatu saat setidaknya akan bisa setara dengan gu-

ruku sendiri, batin Ki Karta lag


Pada kesempatan berikutnya, Ki Karta mengarah-

kan pukulannya pada sebongkah batu sebesar kepala 

kerbau. 

Batu itu pecah berserakan menjadi ribuan kerikil 

beterbangan ke segala arah. 

Ketika Jaka Wulung mencoba menerapkan hal 

yang sama, permukaan batu yang terkena pukulan-

nya remuk memercik, meninggalkan lekukan selebar 

telapak tangan. 

Demikianlah, melalui penurunan ilmu secara ti-

dak langsung, kemampuan Jaka Wulung meningkat 

dengan pesat. 


SEIRING dengan peningkatan yang pesat dalam ke-

mampuan olah kanuragan, Jaka Wulung juga cepat 

sekali menangkap pelajaran menulis sastra yang ditu-

runkan Ki Karta. Hal itulah yang justru tidak disadari 

oleh Ki Karta sendiri, yang membuat jati dirinya yang 

sesungguhnya terungkap.

Suatu hari, ketika Ki Karta pergi dari pondok itu, 

Jaka Wulung membuka-buka lembar-lembar naskah 

yang sudah ditulis gurunya. Dalam kebanyakan nas-

kahnya, Ki Karta tak pernah menuliskan namanya.Akan tetapi, Jaka Wulung secara tidak sengaja me-

ne mukan sebuah nama pada salah satu naskah karya 

Ki Karta. Nama yang jauh berbeda.

Darmakusumah.

Lama Jaka Wulung memandang lembar daun 

nipah itu.

Sampai-sampai ia tidak menyadari kemunculan Ki 

Karta.

“Ah, tekun sekali kau membaca naskah itu,” ujar 

Ki Karta.

Jaka Wulung terkejut karena tidak menyadari ke-

datangan gurunya.

“Oh, maafkan saya, Ki, telah membuka-buka nas-

kah Aki,” Jaka Wulung membereskan naskah yang 

terserak-serak. Lalu, ia memandang gurunya dengan 

penuh hormat. “Siapa Darmakusumah itu, Ki?”

Ki Karta memandang Jaka Wulung, duduk bersila 

di hadapan sang murid, menarik napas dalam-dalam, 

dan melepaskannya perlahan-lahan. 

“Cerita yang panjang, Bocah,” kata Ki Karta, tidak 

menjawab pertanyaan Jaka Wulung.

“Apakah itu nama asli Aki?” Jaka Wulung meman-

dang gurunya dengan rasa ingin tahu yang menggelora.

“Ada baiknya memang kamu mengetahui cerita 

yang sebenarnya.” 


5.Menyelamatkan 

Kitab Pusaka


Maka, cerita harus mundur ke tahun 1579. 

Waktu itu isi Keraton Pakuan, istana Ke-

ra jaan Pajajaran, sudah nyaris kosong me-

lompong. Prabu Ragamulya Suryakancana, raja ter-

akhir Pajajaran, sudah pergi mengasingkan diri ke 

arah matahari tenggelam, yakni Gunung Pulasari di 

ujung barat Jawa Dwipa. Ia menolak diiringi banyak 

peng ikut. 

Empat perwira tepercayanya, Jaya Perkosa, Wira-

dijaya, Kondang Hapa, dan Pancar Buana, diiringi 

se jumlah orang lain, sudah pula pergi ke arah sebalik-

nya, dengan membawa pusaka-pusaka kerajaan, ter


masuk Mahkota Bino Kasih Sanghyang Pake—mah-

kota yang sudah berusia 200 tahun, sebagai lambang 

raja Sunda sejak zaman Niskala Wastukancana.

Akan tetapi, ada satu ruang pusaka di keraton 

yang terlupa.

Ruang itu sebenarnya tidak jauh dari ruang tem-

pat para raja Pajajaran bersemadi, menyepi menye-

rahkan diri kepada Yang Mahatinggi, yakni ruang 

ber isi pustaka leluhur. 

Hanya satu orang yang berhasil menyelamatkan 

pustaka leluhur sebelum keraton menjadi puing-pu-

ing arang. Sebagian besar pustaka pusaka itu musnah 

dilalap api, tetapi orang itu berhasil menyelamatkan 

tiga kitab paling penting: satu kitab Patrikrama Ga-

lunggung, satu naskah adalah kitab yang belakangan 

disebut naskah Bujangga Manik, dan satu lagi tanpa 

judul. Kalangan keraton menyebut naskah ketiga itu 

Kitab Siliwangi.

Si penyelamat, Resi Darmakusumah, sebenarnya 

masih memiliki darah Siliwangi yang sangat kental. 

Kalau ditelusuri, garis darahnya akan sampai kepada 

Surasowan, salah satu putra Prabu Siliwangi. Tapi, 

ia lebih memilih hidup sebagai resi, menyendiri di 

tempat-tempat sunyi, lebih banyak menyerahkan diri 

kepada Yang Mahasuci. Setelah menjadi resi, Darma


kusumah nyaris tak pernah menginjakkan kaki di 

Keraton Pakuan. 

Darmakusumah tidak lain adalah murid tunggal 

Resi Jaya Pakuan, yang hidup menyendiri di Gunung 

Sepuh hingga entah usia berapa. 

Adapun Jaya Pakuan, tidak lain adalah seorang le-

genda besar Pajajaran: Bujangga Manik! Dialah pe-

tua lang terbesar Negeri Pajajaran, tokoh legendaris 

yang sangat dihormati di seantero Jawa Dwipa karena 

ketinggian ilmunya baik dalam sastra maupun olah 

kanuragan meskipun tidak pernah menonjolkan ke-

hebatannya.

Nah, Resi Darmakusumah kecewa karena para pe-

ne rus Prabu Siliwangi tidak sekuat dan setegar penda-

hulunya. Surawisesa, yang menggantikan Prabu Si li-

wangi, perlu meminta bantuan orang-orang berkulit 

pucat dari Peranggi untuk menangkal ancaman Cer-

bon. Pada masa Surawisesa, terjadi beberapa kali per-

tempuran dan sedikit demi sedikit wilayah Pajajaran 

direbut Cerbon.

Sang Ratu Dewata, pengganti Surawisesa, cende-

rung mengabaikan urusan dunia sehingga kurang pe-

duli terhadap segala urusan pemerintahan. Raja beri-

kutnya, Ratu Sakti, malah berkuasa dengan zalim , 

hanya ingin memenuhi nafsu serakahnya. Ia membunuh orang-orang tak berdosa, merampas harta rakyat, 

menghina para pendeta, dan bahkan menikahi ibu 

tirinya!

Prabu Nilakendra nyaris sama buruknya dengan 

Ratu Sakti. Ia berpesta pora tiap hari, mengabaikan 

rakyat yang kelaparan. Setelah itu, Pajajaran benar-

benar sekarat. Dan, di bawah raja penghabisan, Prabu 

Ragamulya, Pajajaran hanya menunggu sekali pukul 

untuk musnah dikubur waktu.

Satu hal membuat hidup Darmakusumah penuh 

sesal: ia dan sejumlah prajurit Sunda yang tersisa sama 

sekali tak dapat mempertahankan Keraton Pakuan, 

ke raton yang terkenal dengan nama Sri Bima-Punta-

Na rayana-Madura-Suradipati, lambang persatuan Pa-

ja jaran, ketika diserbu dari dua jurusan sekaligus, las-

kar Banten dari barat dan laskar Cerbon dari timur. 

Maka sirnalah Pajajaran dari marcapada. 

Masih membayang di mata Resi Darmakusumah 

ketika malam itu api raksasa menghanguskan Kera-

ton Pakuan dan api membubung memerahi langit.


MENGIKUTI jalan hidup gurunya, Resi Jaya Paku-

an alias Bujangga Manik, Resi Darmakusumah su dah

merasa tenteram dan damai hidup di sebuah tempat 

terpencil, yakni di Bukit Tunggul, tidak begitu jauh 

dari gunung legendaris Tangkuban Parahu, setelah 

bertahun-tahun menjalani petualangan di berbagai 

sudut Jawa Dwipa.

Ia ingin sebelum hidupnya berakhir, ia bisa menu-

lis setidaknya sebuah naskah yang bisa diwariskan ke-

pada generasi jauh sesudahnya.

Oleh karena itu, selain menyerahkan diri kepada 

Yang Mahatinggi, Resi Darmakusumah setiap hari 

ber usaha terus menulis, baik di lembar daun nipah 

mau pun daun lontar.

Akan tetapi, ketenteraman hidupnya terkoyak oleh 

ba yangan mengerikan yang terus-menerus mengham-

piri malam-malamnya.

Malam itu sudah hampir melewati puncak. Bulan 

yang belum lagi purnama mulai tergelincir di ze nit 

la ngit, memulas rimbun pohon ki hujan menja di 

ke pe rakan. Garis-garis cahayanya yang samar me re-

bah kan diri pada atap rumbia sebuah bangunan kayu 

sederhana.

Resi Darmakusumah siap membaringkan tubuh-

nya di bangku kayu setelah menyelesaikan semadi 

malamnya. Kantuk sudah menarik kelopak matanya 

ketika tiba-tiba saja sebuah ruang di Keraton Pakuan


gambar nyata di kepalanya. Langit membentang hi-

tam, tetapi sekonyong-konyong menjadi terang oleh 

nyala api yang berkobar-kobar. Terdengar jerit dan pe-

kik kesakitan. Lalu, samar tercium bau lembar-lembar 

nipah dijilat api.

Resi Darmakusumah tergeragap bangun, lalu du-

duk dengan napas terengah-engah. Angin dini hari 

kian menggigit, tetapi kening sang resi basah oleh ke-

ringat.

Tiga malam berturut-turut pemandangan itu men -

jelma di kepalanya, sangat nyata. Tiga kali tentu sa ja 

sebuah pertanda. Sudah niscaya.

Sang resi merapatkan jubahnya, lalu membenahi 

ikat kepalanya.

Ia tidak mau menunggu lagi lebih lama.

Butuh setidaknya dua hari untuk mencapai Kera-

ton Pakuan.

Benar seperti bayangan mengerikan yang menerjang 

kepalanya. Asap sudah menyerbu hidung Resi Dar ma-

kusumah begitu ia tiba di batas luar Pakuan. Ma lam 

di lukis dengan warna kuning, merah, dan hitam.

Pakuan benar-benar sudah nyaris rata dengan ta-

nah. Api berkobar di mana-mana, menghanguskan 

rumah-rumah kayu penduduk ibu kota Kerajaan Pa-

jajaran itu. Nyaris tak ada satu pun yang tersisa.


Istana Pakuan tidak lagi berisi orang-orang Paja-

jaran. Yang terdengar adalah pekik kemenangan pa-

sukan penyerbu.

Berloncatan di antara bara, asap, dan api, Resi 

Dar makusumah menyelinap dan ia nyaris terlambat 

menyelamatkan tiga harta pusaka yang sangat berhar-

ga: Kitab Patikrama Galunggung yang ditulis Prabu 

Darmasiksa beberapa ratus tahun lalu, Bujangga Ma-

nik yang ditulis gurunya sendiri, Resi Jaya Pakuan , 

be be rapa puluh tahun lalu, dan Kitab Siliwangi yang 

mungkin disusun oleh Prabu Siliwangi sendiri.

Beberapa saat Resi Darmakusumah melihat sejum-

lah orang yang juga memburu ke tempat yang sama. 

Tapi, ia tak sempat memikirkan hal itu terlalu lama.

Hanya beberapa kejap setelah Resi Darmakusu-

mah berhasil membawa ketiga kitab itu, ruang pusta-

ka tersebut ambruk sempurna dilalap api.

Berdiri di kejauhan, Resi Darmakusumah mena tap 

dengan hati remuk redam Keraton Pakuan—istana 

yang hampir keseluruhan bangunannya terbuat dari 

kayu jati, yang mestinya masih bisa tahan beberapa 

ratus tahun lagi—luluh lantak tidak bersisa lagi.

Matanya basah.

Satu-dua tetes bergulir melalui pipinya yang keri-

put, menggantung di janggut putihnya, lalu jatuh ke


tanah. Tanah tumpah darahnya. Tanah yang sudah 

bukan lagi bernama Pajajaran.

Pajajaran sudah sirna!


RESI Darmakusumah tergeragap bangun dari lamun-

annya yang menyayat hati. Langit masih dilukis war-

na merah dan hitam. Ia membalikkan tubuhnya dan 

hendak pergi meninggalkan tempat itu. 

Akan tetapi, ia terkejut.

Di hadapannya, sudah mengadang setidaknya ti-

ga orang. Semuanya dengan pedang menggantung 

di pinggang. Bagaimana mungkin ia tadi tidak me-

nyadari kedatangan mereka? Ah, pasti karena hatinya 

sedang dilanda duka. Hati yang terluka bisa menye-

babkan kurangnya rasa waspada.

Di luar sadarnya, Resi Darmakusumah meraba ke-

tiga kitab yang terselip di balik jubahnya.

“Sampurasun, Resi,” sapa salah seorang dari mere-

ka, seorang lelaki tinggi besar berusia kira-kira empat 

puluh tahun yang tampaknya menjadi pemimpin di 

antara mereka, dengan suara rendah dan sopan. 

“Rampes, Ki Dulur,” Resi Darmakusumah meman-

dang satu per satu ketiga orang yang mengadangnya.

Dilihat dari pakaiannya yang berbeda, ketiga orang 

itu tampaknya bukan bagian dari pasukan yang mem-

bumihanguskan Istana Pakuan. “Ada apakah gerang-

an dulur semuanya mengadang saya?”

“Tampaknya Resi membawa sesuatu yang dicuri da-

ri Istana Pakuan,” ujar pemimpin kelompok orang itu.

Resi Darmakusumah sejenak terkejut. Tapi, de-

ngan cepat ia menguasai diri. Dengan segera pula ia 

ingat bahwa orang-orang itulah yang ia lihat ketika 

menyelamatkan tiga kitab pusaka di Keraton Pa kuan.

“Berdasarkan apa Ki Dulur menyangka saya mem-

bawa sesuatu yang dicuri dari Istana Pakuan?” tanya 

Resi Darmakusumah.

Pemimpin kelompok itu menahan napasnya sera-

ya meraba gagang pedangnya. “Sudahlah, Resi,” kata-

nya. Suaranya mulai meninggi. “Jangan memulai silat 

lidah. Kami tidak punya cukup banyak waktu. Serah-

kan saja barang curian itu.”

Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya. Si-

kap sopan orang itu dengan cepat menguap ke udara. 

Tapi, sang Resi masih berusaha menahan kesabar-

annya. 

“Saya menyelamatkan barang ini, bukan mencu-

rinya.”

“Tahukah apa barang yang Resi curi?”


Resi Darmakusumah menghela napas. “Sekali la gi 

saya tegaskan bahwa saya tidak mencuri, tetapi me-

nye lamatkan pusaka leluhur Kerajaan Pajajaran.”

“Nah, kamilah yang berhak atas pusaka itu.”

Resi Darmakusumah lagi-lagi mengerutkan dahi-

nya, menimbulkan keriput yang makin dalam di wa-

jahnya. “Siapa kalian?” tanyanya.

“Ketahuilah, nama saya Munding Wesi,” kata pe-

mimpin kelompok kecil itu. “Dan, ini saudara-sauda-

ra saya. Kami sama-sama keturunan Prabu Dewata 

Buana Wisesa. Kami adalah orang-orang Pajajaran 

yang tersingkirkan. Tapi, kami tentu saja berhak atas 

benda-benda yang dicuri Resi.” 

Resi Darmakusumah terkejut. Wajahnya segera 

ber ubah keruh. Hanya remang malam yang membuat 

perubahan di wajahnya tidak tampak. Tapi, tak lama 

kemudian ia mengangguk-angguk. Kalau Munding 

Wesi mulai memperlihatkan sifat yang sera kah dan 

merasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya, ia 

mafhum adanya. Prabu Dewata adalah salah satu pe-

nerus Prabu Siliwangi yang sifat-sifatnya bertolak be-

lakang. Ia penguasa zalim yang menghancurkan kera-

jaannya sendiri, Pajajaran.

“Kalau Ki Dulur merasa berhak, mengapa tidak 

segera menyelamatkan benda-benda pusaka ini jauh


lebih awal, sebelum ada serangan dari Banten dan 

Cerbon?” tanya Resi Darmakusumah.

Munding Wesi dan saudara-saudaranya menggere-

takkan gigi hampir berbarengan. “Kalau tidak kedu-

luan dicuri, kami tentu sudah bisa menyelamatkan 

benda-benda hak milik kami itu.”

Resi Darmakusumah tertawa pelan. “Hmm ... su-

dahlah, biarkan saya pergi,” katanya. “Kalau Ki Du-

lur mengaku berhak atas pusaka ini, saya juga bisa 

menga takan berhak.”

Munding Wesi menyeringai. Dalam keremangan, 

seringai itu membuat wajahnya menjadi tambah me-

nyeramkan. “Memangnya siapakah kau ini sehingga 

mengaku berhak atas pusaka itu?” 

Resi Darmakusumah diam. Penyebutan kata ganti 

pun sudah berubah. Ia ragu-ragu apakah akan mem-

buka diri mengenai siapa ia sebenarnya.

“Siapa sebenarnya kau ini?” suara Munding Wesi 

terdengar tak sabar lagi.

“Panggil saja aku Karta,” kata Resi Darmakusumah 

begitu saja.

Munding Wesi tertawa terbahak-bahak sehingga 

badannya yang besar terguncang-guncang hebat, se-

akan-akan ia baru saja mendengar sebuah lelucon 

yang sangat lucu. Begitu juga kedua saudaranya.


Memandang ketiga orang itu Resi Darmakusumah 

menjadi prihatin. Wajahnya menjadi suram. Sungguh 

tidak mencerminkan keturunan Prabu Siliwangi.

Setelah tawanya reda, Munding Wesi memandang 

tajam Resi Darmakusumah. “Tidak mungkin ketu-

runan Siliwangi bernama aneh seperti itu!”

“Aneh atau tidak, saya tetap keturunan Prabu Sili-

wangi.”

“Dasar kakek pembual!”

“Bukankah segenap warga Sunda adalah ketu-

runan Prabu Siliwangi?”

Darah serasa mulai naik ke kepala Munding Wesi. 

“He, dari mana kau punya pendapat ganjil seperti itu?”

“Kalau Ki Dulur mendapat karunia umur pan-

jang, kelak akan muncul pendapat seperti yang ku-

katakan.”

“Sudahlah, pusing aku mendengarnya!”

Senyum tersungging di bibir Resi Darmakusumah. 

“Jika demikian, biarkan aku pergi dengan aman.”

Gigi Munding Wesi gemeletuk. “Siapa yang akan 

membiarkanmu pergi dengan aman?”

Resi Darmakusumah tidak memedulikan kata-ka-

ta Munding Wesi. Ia melangkah hendak pergi.

Akan tetapi, tentu saja Munding Wesi tidak akan 

membiarkan Resi Darmakusumah pergi begitu saja.


Ia pun bergeser menghalangi jalan Resi Darmaku-

sumah.

Resi Darmakusumah menimbang-nimbang apa-

kah ia punya kesempatan untuk menembus kepung-

an ketiga orang ini.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Sudah belasan tahun ia tidak pernah lagi menggu-

nakan tangan dan kakinya dalam sebuah laga. Sebe-

narnyalah Resi Darmakusumah enggan lagi mengha-

dapi segala urusan dan mengakhirinya dengan per-

tempuran. 

Hanya saja, ia melihat tidak ada jalan leluasa un-

tuk menghindar. Resi Darmakusumah yakin masih 

ada beberapa orang lain selain ketiga orang yang 

meng adang di depannya. Setidaknya tiga atau empat 

orang lagi bersembunyi di balik pepohonan.

Oleh karena itu, dan demi kitab-kitab yang ia 

bawa, tampaknya kali ini ia harus kembali melakukan 

sesuatu yang dibencinya.

“Cepat serahkan sebelum kami melakukan keke-

rasan,” Munding Wesi meloncat dengan tangan ter-

julur. Gerakannya sama sekali tidak diduga, sangat 

cepat seperti harimau lapar.

Resi Darmakusumah menghindar selangkah.


Munding Wesi sudah menduga lawannya akan 

menghindar. Oleh karena itu, secepat kilat tangan 

yang satu lagi melayang cepat dengan jemari terbuka, 

dengan maksud mencengkeram baju Resi Darmaku-

sumah. Orang tidak akan menyangka Munding Wesi 

yang bertubuh besar mampu bergerak secepat itu. 

Gerak cepatnya itu seakan menimbulkan hawa panas 

di sekitarnya.

Munding Wesi sendiri tidak mau setengah-sete ngah 

menghadapi orang tua itu. Ketika Munding Wesi dan 

saudara-saudaranya hampir mendapatkan apa yang me-

reka cari di Keraton Pakuan, ia sudah melihat bagaima-

na hebatnya sang resi melesat di antara api dan asap. 

Meskipun demikian, dengan langsung mengerah-

kan kecepatan dan tenaga penuhnya, ia yakin bah-

wa ia akan mampu menyelesaikan tugasnya dengan 

cepat. Ia akan lekas kembali ke tempat gurunya dan 

bersama-sama mempelajari isi kitab-kitab yang ia ya-

kini berisi rahasia ilmu mumpuni leluhur-leluhurnya.

Kalau mereka sudah mempelajari semua ilmu lelu-

hurnya, begitu pikir Munding Wesi, mereka akan tum -

buh menjadi kelompok yang disegani. Bukan tidak mung-

kin mereka bisa menarik banyak pengikut untuk suatu 

saat kelak membangun sebuah kerajaan baru, sebagai 

penerus kejayaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi


Akan tetapi, khayalan Munding Wesi terlampau 

ting gi.

Resi Darmakusumah juga sudah bisa menebak 

ancaman Munding Wesi dengan cara menekuk kaki 

kanannya dan mencondongkan punggungnya sedikit 

ke belakang. Pukulan jari terbuka Munding Wesi itu 

pun melesat hanya beberapa jari dari hidung Resi 

Dar makusumah.

Dalam sekejap itu penciuman Resi Darmakusu-

mah menangkap bau yang dibawa angin pukulan 

itu. Bau semacam warangan yang mengandung racun 

me matikan, bercampur dengan ... bau badan Mun-

ding Wesi!

Sekedipan Resi Darmakusumah bergidik memba-

yangkan betapa jiwanya terancam kalau kuku-kuku 

Munding Wesi menggores kulitnya. 

Resi Darmakusumah sebenarnya punya kesempat-

an untuk menampar tengkuk Munding Wesi yang 

terbuka setelah serangannya luput dari sasaran. Tapi, 

ia tak hendak lagi melumuri tangannya dengan ke-

salahan-kesalahan yang tak perlu. 

Pada saat yang sama, ia merasa prihatin orang 

yang sesungguhnya memiliki garis darah yang sama 

de ngan dirinya itu sudah mulai menggunakan seje-

nis racun. Selama ini, belum pernah Resi Darmaku


sumah mendengar dalam sejarah panjang negeri Sun-

da ada pendekar yang bersenjatakan racun. Senjata 

se perti itu bertentangan dengan sikap yang selalu di-

junjung Prabu Siliwangi hingga leluhur-leluhurnya 

jauh di masa awal: sikap kesatria!

“Keparat!”

Resi Darmakusumah terkesiap sejenak. 

Bahkan ketika mendapat serangan maut seperti itu, 

sempat-sempatnya ia melamun!

Dua saudara Munding Wesi secara bersamaan me-

rangseknya, dari kanan dan kiri dua ujung pedang 

mengarah tubuhnya. Ujung pedang di sebelah kanan 

berkilat kemerahan memantulkan cahaya api di ke-

jauhan, melesat mengarah pundaknya. Ujung pedang 

di sebelah kiri tak kalah cepat menuju sasaran ping-

gang Resi Darmakusumah.

Resi Darmakusumah belum benar-benar menyim-

pan dengan aman kitab-kitab pusaka di balik jubah-

nya. Oleh karena itu, ia harus mengamankan dengan 

salah satu tangannya. Ia hanya punya satu tangan be-

bas untuk menghadapi ujung-ujung kedua pedang itu. 

Akan tetapi, tentu saja kedua kaki Resi Darma ku-

sumah pun mampu bergerak bebas dan cepat. De-

ngan tumpuan salah satu kakinya, Resi Darmakusu-

mah melen ting mengatasi serangan beruntun itu dan


sebelum tiba lagi di tanah ia sempat sekali berjum-

palitan dan tangannya memapas tangan salah seorang 

saudara Mun ding Wesi yang menggenggam pedang, 

dan se persekian kejap juga menyentuh pelipis satu 

orang lainnya. 

Salah satu orang itu memekik dengan tangan yang 

terasa membara. Pedangnya terlontar ke udara, lalu 

jatuh di bebatuan dengan suara berdentang. Adapun 

orang satunya lagi terhuyung-huyung dengan kepa la 

serasa disambit dengan batu sebesar kepalan tangan!

Munding Wesi terkejut bukan kepalang melihat 

betapa hanya dalam satu gebrakan ia dan saudara-

saudaranya berada dalam kesulitan.

Oleh karena itu, seraya menghunus dan meng a-

cung kan pedangnya, Munding Wesi bersiul nya ring.

Suiiiit!

Tiga orang melesat dari balik kerimbunan pohon 

dengan senjata terhunus di tangan masing-masing. 

Tiga orang dan tiga senjata yang berbeda, dan dari 

arah yang berbeda-beda, membentuk segitiga ham-

pir sama kaki. Orang pertama sekilas tampak masih 

muda, mungkin baru berumur tiga puluhan, bertu-

buh sedang, dan meloncat dengan tombak di tangan. 

Orang kedua berusia separuh baya, agak bungkuk, 

dan di tangannya terarah senjata trisula—tombak


mata tiga. Orang ketiga botak, berusia sekitar lima 

puluh tahun, bermata sipit tapi kejam, dan menga-

rahkan kerisnya.

Resi Darmakusumah tidak lagi sempat menim-

bang-nimbang. Ia juga tidak sempat menebak dari 

mana saja asal ketiga orang itu, yang ia yakin bukan-

lah orang-orang pribumi negerinya. 

Dengan cepat Resi Darmakusumah menyelipkan 

salah satu kitabnya lebih ke dalam, tetapi segera me-

narik dua kitab yang lainnya. Lembaran-lembaran 

kitab lontar umumnya berukuran selebar tiga jari dan 

panjang hampir dua jengkal. Lembar-lembar itu di-

satukan dengan benang dan naskah yang paling luar 

diperkuat masing-masing dengan kayu yang panjang 

dan lebarnya sama. Dalam keadaan terlipat, kitab itu 

serupa saja dengan dua kayu pipih yang dilekatkan. 

Dengan demikian, Resi Darmakusumah menggu-

nakan kedua kitab itu seperti sepasang ruyung. Satu 

di tangan kanan dan satu di tangan kiri.

Meskipun demikian, Resi Darmakusumah meng-

hindari benturan langsung dengan senjata logam la-

wan -lawannya. Dari kesiur angin yang ditimbulkan 

ketiga senjata itu bisa disimpulkan bahwa ketiga 

orang itu bukanlah lawan yang bisa dipandang sebe-

lah mata.


Akan tetapi, Resi Darmakusumah adalah tokoh 

yang pernah disegani di jagat silat karena ilmunya 

yang dahsyat—meskipun sudah belasan tahun ber-

sembunyi dari dunia ramai. Oleh karena itu, Resi 

Dar makusumah menggunakan kecepatan gerak dan 

ke lenturan tubuhnya untuk menghindari tiga serang-

an lawannya sekaligus. Resi Darmakusumah bahkan 

mampu menyerang balik melalui salah satu kitab 

yang ia guna kan sebagai senjata.

Ujung kayu pejal di tangan Resi Darmakusumah 

itu tiba-tiba berubah menjadi senjata maut yang siap 

mematuk punuk orang yang agak bungkuk. 

Kecepatan gerak Resi Darmakusumah membuat 

lawan-lawannya sejenak sama-sama terkesiap. Bagi 

pen dekar dalam tataran mereka, serangan ketiganya 

secara bersamaan adalah serangan yang muskil di-

hindari. Tapi, dia tidak hanya berhasil menghindar, 

bahkan mampu melakukan serangan balik, menye-

rang sasaran empuk di punuk.

Si bungkuk pasti tidak akan mampu menghindar 

dari serangan mengejutkan Resi Darmakusumah. 

Dan, itu disadari oleh dua rekannya yang dalam po-

sisi lebih bebas. Keduanya secara bersamaan menye-

rang sang resi dengan keris dan tombak pendek di 

tangan masing-masing


Kalau Resi Darmakusumah meneruskan serangan-

nya, tentu pertahanannya akan terbuka sehingga be-

sar kemungkinan keris atau tombak lawannya akan 

mengenainya. Oleh karena itu, Resi Darmakusumah 

terpaksa mengurungkan serangannya ke arah punuk 

lawannya, dan harus melenting mundur.

Maka, pertempuran antara Resi Darmakusumah 

dan tiga pengeroyoknya segera berlangsung dengan 

cepat menuju jurus-jurus andalan mereka.

Tampaknya, masing-masing tidak mau berpan-

jang-panjang dalam perkara ini. Resi Darmakusumah 

merasa tidak punya urusan apa-apa dengan Mun ding 

Wesi dan orang-orangnya sehingga semakin lama 

waktu terbuang, akan semakin sia-sia. Sebaliknya, 

Mun ding Wesi juga ingin cepat-cepat merampas se-

mua kitab pusaka yang diincarnya, yang sekarang 

nyata-nyata berada dalam pegangan resi aneh ini.

Anak muda yang bersenjatakan tombak bertarung 

trengginas dengan pola gerak khas pesisir timur Jawa 

Dwipa. Penuh tenaga dan tak pernah ragu-ragu un-

tuk terus-menerus menyerang, seperti banteng yang 

tidak mengenal kata mundur. 

Gerakan-gerakan si bungkuk yang menggunakan 

senjata trisula tidak kalah mengerikan. Trisulanya 

me nusuk-nusuk tak hen ti -henti. Pola geraknya yang


kasar mirip dengan ma nu sia-manusia pegunungan di 

sekitar Pegunungan Sewu. 

Sementara itu, si botak bersenjatakan keris meng-

an dalkan kelincahan dan kecepatan gerak. Demikian 

ce patnya, seakan-akan telapak kaki nya tidak pernah 

meng injak tanah. Cukup dengan ujung kaki seba-

gai tum puan, ia mampu melenting-lenting seperti 

umum nya para pendekar berkulit ku ning dari zaman 

Dinasti Ming.

Anehnya, meskipun pola gerak ketiga pendekar 

itu berbeda-beda seperti bumi dan langit, mereka 

mam pu saling mengisi satu sama lain. Masing-ma-

sing bisa saling menutupi dan kemudian menjadikan 

ketiga nya satu kesatuan kekuatan yang mematikan. 

Bisa dikatakan, ilmu ketiga pendekar itu berpadu un-

tuk saling menguatkan, seperti halnya satu ditambah 

satu ditambah satu sama dengan tiga.

Dalam hati, Resi Darmakusumah memuji kehe-

batan mereka. Tidak mudah memadukan ilmu yang 

berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang dahsyat.

Akan tetapi, sang Resi ini pun bukanlah manusia 

bia sa. Pada masa mudanya, setelah berguru kepada Re si 

Jaya Pakuan, sang Resi mengembara ke berba gai su dut 

Jawa Dwipa, bahkan ke pulau-pulau lain di luar Jawa, 

dan ilmunya terus semakin matang. Ia me ngenal banyak 

jenis ilmu bela diri di tempat-tem pat yang ia sambangi.


Oleh karena itu, pertempuran antara Resi Darma-

kusumah dan ketiga lawannya makin lama makin 

seru. Sulit ditebak siapa yang lebih unggul. Ketiga la-

wan Resi Darmakusumah melancarkan serangan demi 

serangan yang tidak putus-putusnya, seakan-akan me-

reka adalah sebuah pasukan yang terdiri atas puluhan 

orang. Ujung-ujung keris, trisula, dan tombak pendek 

mereka silih berganti mengincar leher, dada, perut, 

dan bagian-bagian tubuh lain Resi Darmakusumah.

Di pihak lain, Resi Darmakusumah pun seakan-

akan memiliki sepuluh mata dan kedua senjata seder-

hana di tangannya meliuk-liuk cepat tak ubahnya 

seperti ruyung dengan sepuluh ujung. Dengan tatag

ia melayani ketiga lawannya sekaligus. Sedikit demi 

sedikit, meskipun sangat pelan, Resi Darmakusumah 

bahkan menguasai keadaan. 

Pertarungan itu membuat Munding Wesi gelisah. 

Paduan tiga pendekar itu tidak juga dapat meroboh-

kan lawannya. Oleh karena itu, Munding Wesi tidak 

perlu berpikir lebih lama lagi.

Munding Wesi tak mau tinggal diam. Dengan pe-

dang di tangan, ia menggabungkan dirinya untuk 

me nge royok Resi Darmakusumah. 

Akan tetapi, sesungguhnyalah kemampuan Mun-

ding Wesi masih dua atau tiga lapis di bawah ketiga 

begun dalnya. Di satu sisi, hal itu membuat Resi Dar


makusumah prihatin. Keturunan Prabu Siliwangi ini 

sama sekali tak bisa dibanggakan. Di sisi lain, kesem-

patan Resi Darmakusumah dengan demikian justru 

makin terbuka karena dalam beberapa jurus pun ke-

lihatan bahwa gerak Munding Wesi justru merusak 

kesela rasan gerak paduan ketiga begundalnya.

Ibarat dalam permainan gamelan, ketiga pendekar 

yang juga begundal Munding Wesi itu sudah memain-

kan rebab, saron, dan kendang secara baik dan meng-

hasilkan bebunyian yang selaras. Tapi, Munding Wesi 

memainkan gong tanpa mengikuti ketukan yang se-

mestinya. Ia memainkan lagu sendiri, sama sekali ti-

dak menyesuaikan diri dengan lagu yang sedang ber-

langsung. Pada saat seharusnya menabuh gong kecil, 

ia malah menabuh gong besar. Pada saat harus mena-

buh gong besar, ia malah menabuh gong kecil. Atau 

kadang-kadang, seharusnya mengakhiri sebuah irama 

dengan gong besar, ia malah tidak menabuh apa-apa. 

Parahnya, Munding Wesi tidak menyadari bahwa 

permainan gongnya sama sekali merusak permainan 

gamelan secara keseluruhan.

Akibatnya, serangan yang sudah terpola rapi dari 

ke tiga pendekar sewaannya menjadi buyar tidak tentu 

arah. Kadang-kadang, permainan pedang Mun ding 

We si membuat gerakan keris si botak atau trisula 

si bung kuk menjadi tidak terarah. Sesekali, pedang


Mun ding Wesi nyaris berbenturan dengan tombak 

pen dek si pemuda.

Ketiga pendekar itu mengeluh dalam hati masing -

masing. Meskipun alot dan akan membutuhkan waktu 

lama, mereka yakin bisa mendesak lawannya. Setidaknya 

mereka bisa menguras tenaga sang Resi. Bagaimanapun, 

alam sudah mempunyai hukumnya sendiri. Sehebat apa 

pun seorang tua, tentu napas dan kekuatan ototnya su-

dah dibatasi oleh usia. Mereka jauh lebih muda sehingga 

merasa yakin, kalau bertempur dalam waktu yang lama, 

mereka akan meraih kemenangan.

“Tuan Munding Wesi, biarkan kami saja yang me-

nyelesaikan tugas ini,” seru si bungkuk tak tahan lagi, 

sambil berusaha menghindari serangan Resi Darma-

kusumah yang mengarah ke kepalanya.

“Betul, Tuan, lebih baik Tuan beristirahat saja!” 

timpal si botak. 

“Aku bantu kalian membekuk kakek ....” 

Munding Wesi tidak sempat menyelesaikan kali-

matnya karena tiba-tiba sebuah pukulan menyengat 

pergelangan tangannya dan pedangnya melenting ke 

udara. Sebelum mencapai puncak ketinggian, pedang 

itu mendadak lenyap. 

Munding Wesi juga tidak sempat mengetahui ke 

mana lenyapnya pedang itu karena tahu-tahu ia mera


sakan sebuah sabetan ringan yang menyobek bajunya, 

tembus tipis di kulit dadanya. 

“Kakek iblis ...!”

Pedang itu, yang juga beracun, memakan tuannya 

sendiri. Munding Wesi pun harus segera mengoles-

kan obat pemusnah racun kalau tidak ingin nyawa-

nya lekas melayang.

“Munduuur!” teriaknya parau, sambil berusaha 

me loncat ke sela-sela gerumbul.

Menyadari luka yang menggores tubuh Munding 

Wesi, ketiga pendekar itu juga sama-sama meloncat 

jauh, menghindari serangan Resi Darmakusumah, 

ke mu dian melarikan diri.

Resi Darmakusumah berdiri termangu sejenak. 

Ia tidak ingin mengejar mereka. Ia merasa memiliki 

tu gas yang jauh lebih penting: menyelamatkan tiga 

kitab pusaka itu.

Dilemparkannya pedang Munding Wesi yang tadi 

berada di tangannya.

Tanpa menunggu waktu lagi, Resi Darmakusumah 

berlari meninggalkan tempat itu ke arah datangnya fajar. 

Langit timur sudah berhias dengan warna kepe rakan.

Di sebuah bukit, untuk kali terakhir Resi Darma-

kusumah memandang jauh ke arah warna keme rahan 

dan asap hitam yang masih membubung ke langit.

Sirnalah sudah negerinya. 


6.Berawal dari Mimpi


Sunyi senyap di lereng barat Bukit Tunggul. 

Awan dan kabut menghalangi pandangan 

ke puncak Gunung Tangkuban Parahu. 

Ke dua gunung itu, Bukit Tunggul dan Tangkuban 

Pa rahu, adalah sisa-sisa legenda Sangkuriang. 

Belasan tahun Resi Darmakusumah melalui hari-

hari yang damai di Bukit Tunggul, menunggu saat-

saat moksa jika waktunya tiba. 

Akan tetapi, kedamaian itu tampaknya bakal se ge-

ra tercoreng. Pancaindranya yang peka bisa merasa-

kan bahwa udara yang selama ini penuh kedamaian


telah berubah menjadi hiruk-pikuk oleh lintasan ge-

lombang yang samar di kejauhan. 

“Kenapa setelah lenyap dari persemayamannya se-

lama ini, kitab-kitab ini seakan-akan menjadi buron? 

Apakah orang-orang tidak menyadarinya selama ini? 

Kenapa sesuatu menjadi sangat berharga setelah tidak 

ada lagi di tempatnya?”

Semua tanda tanya itu berseliweran di kepala Resi 

Darmakusumah.

Dibungkusnya kitab-kitab yang telah ia selamat-

kan dengan sehelai kain yang selama ini ia jadikan 

ikat kepala. Dikemasnya beberapa helai pakaian mi-

liknya ke dalam sebuah kantong kulit sapi. 

Hanya itulah harta kekayaan miliknya. 

Hanya sebilah kujang kecil yang terselip di balik 

ba junya. Kujang yang bahkan tidak bernama apa-apa. 

Tak ada air mata ketika Resi Darmakusumah me-

ninggalkan pondoknya, lalu perlahan menuruni Bu-

kit Tunggul ke arah matahari terbit. 

Sungguh keputusan yang didasarkan pada nalu-

rinya yang tajam. Weruh sadurunge winarah.

Tiga hari setelah Resi Darmakusumah pergi, se-

jumlah orang mendatangi dan mengobrak-abrik pon-

dok peninggalan Resi Darmakusumah.


RESI Darmakusumah tidak takut kalau ia menja di 

semacam buruan justru menjelang akhir masa hi dup-

nya. Ia hanya tidak mau banyak berurusan, terutama 

dengan orang-orang yang mungkin saja akan menye-

lewengkan keluhuran isi kitab pusaka. Betapa akan 

berduka para leluhurnya kalau tahu kitab-kitab itu 

jatuh ke tangan orang yang keliru. 

Oleh karena itu, Resi Darmakusumah terus meng-

ikuti naluri dan langkah kakinya ke mana pun meng -

arah. 

Ia sempat tinggal di lereng Gunung Indrakila, se-

buah gunung yang kemudian disebut juga Gunung 

Cerme, yang menjega di selatan Negeri Cerbon. Tapi, 

tidak sampai dua purnama, ia tinggalkan tempat itu. 

Perjalanannya akhirnya sampai di Bukit Sagara, 

sebuah bukit kecil yang dirasanya sudah jauh dari 

pu sat-pusat keramaian di bekas Kerajaan Pajajaran, 

tetapi juga jauh dari berbagai negeri di sebelah timur.

Bertahun-tahun Resi Darmakusumah menyepi, me -

nyerahkan hidupnya kepada Yang Mahakuasa, sam bil 

mempelajari isi ketiga kitab yang dibawanya. 

Sampai kemudian ia merasakan bahwa hidupnya 

akan terusik lagi. Dan, kali ini tampaknya akan ter-

jadi peristiwa besar menyangkut ketiga kitab yang ia 

sembunyikan.


“JADI, di mana sebenarnya Aki, eh, maaf, Resi Dar-

ma kusumah menyembunyikan kitab-kitab pusaka 

itu?” tanya Jaka Wulung.

Resi Darmakusumah menarik napas dan terse-

nyum. “Suatu saat kau akan tahu.”

Jaka Wulung berdebar-debar mendengar kata-kata 

gurunya. “Benarkah?”

Resi Darmakusumah mengangguk.

Jaka Wulung memandang langit kelam di luar. 

Teta pi, di matanya, langit itu tampak bercahaya cerah.

Ia membayangkan suatu saat membaca dan mem-

pelajari kitab-kitab hebat itu. Ia berkhayal menjadi 

seorang sakti seperti gurunya, Ki Karta alias Resi Dar-

makusumah.

Ia akan membasmi para penjahat, para pembuat 

onar negara, mereka yang membuat rakyat sengsara, 

dan ... ya, pokoknya orang-orang yang seperti itu. 


7.Lahirnya Seorang Pendekar


Keluar dari hutan, padang rumput memben-

tang hijau, mengikuti cekungan dan cem-

bungan tanah lereng barat bukit. Pohon-

pohon menggerumbul di beberapa tempat, seperti 

pulau-pulau di tengah ombak. Dedaunan di permu-

kaannya kekuningan memantulkan cahaya mentari 

sore hari, yang menembus lembut lapisan tipis kabut.

Burung-burung bercericit terbang dari pohon ke 

pohon, kembali pulang ke kandang, menggarisi la-

ngit yang putih cerah. Udara sangat segar oleh embun 

yang siap-siap turun. Di latar belakang, puluhan atap


rumah, dengan warnanya yang kelabu, hilang timbul 

mengikuti lekuk tanah. Sungguh alam yang tak kepa-

lang indah.

Ratusan tahun alam bergeming dalam keindahan-

nya.

Akan tetapi, sore itu lengking suara jeritan menya-

yat udara, menyobek keindahannya. 

“Tolooong! Lepaskaaan!” 

Suara perempuan. 

Akan tetapi, hanya sekali itu suaranya melengking, 

merayap di udara, menyebar seperti uap air, kemu-

dian lenyap seperti diserap kabut. 

Setelah itu sunyi.

Tiada satu pun penduduk kampung yang berani 

memburu asal suara. Kaki-kaki mereka seolah dipa-

sak ke dalam lapisan tanah. Mereka hanya bisa me-

lihat tanpa daya ketika seorang lelaki berwajah tam-

pan tiba-tiba muncul seperti siluman, lalu melarikan 

seorang gadis yang sedang mandi di sungai kecil yang 

mengalir di lembah di tepi kampung.

Tentu saja tidak ada yang berani. 

Mana ada yang nekat menghalangi sepak terjang 

Bratalaras, pemuda berilmu siluman yang lebih dike-

nal dengan julukan Si Pemetik Bunga dari Gunung 

Cakrabuana. Sudah enam purnama ia merajalela di

kampung itu, dan beberapa kampung kecil di seki-

tarnya, menebarkan ketakutan bagi para gadis muda. 

Setiap bulan ia datang, seperti drakula yang meminta 

persembahan perawan setiap purnama. Dan selalu, 

yang diincar adalah gadis usia lima belas tahun.

Kalau seorang gadis sudah dilarikan Si Pemetik 

Bunga, dipastikan nasibnya akan lebih buruk daripada 

sekadar kembali tinggal jasad. Sebagian lenyap tidak 

diketahui nasibnya. Beberapa lainnya kembali dalam 

keadaan tubuh yang hancur dan jiwa yang rusak.

Para orang tua hancur hatinya. Dan, kampung itu 

pun menjadi kawasan yang muram.

Tentu saja pada awalnya ada beberapa pemuda 

yang punya nyali untuk mencoba menghalangi sepak 

terjang Si Pemetik Bunga. Tapi, siapa pun yang nekat, 

sudah jelas nasibnya: pulang tinggal nama.

BRATALARAS sebenarnyalah lelaki yang tampan. 

Usianya kira-kira dua puluh tiga tahun. Rambutnya 

terurai hingga separuh punggungnya dan diikat de-

ngan kulit ular sanca. Ia selalu mengenakan baju dan 

celana kulit ular tanpa lengan. Senjatanya adalah se-

batang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular 

dan dengan ujung runcing berlapis baja.


Akan tetapi, begitulah, ketampanan wajah tidak 

berbanding lurus dengan perilakunya. 

“Sudahlah, Gadis Manis, tak perlu menangis. Nan -

ti kita akan bersenang-senang,” kata Bratalaras ali as Si 

Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana.

Meskipun memondong si gadis di pundak, Brata-

laras berlari ringan meniti bebatuan di tepi sungai.

Hanya terdengar isak tertahan-tahan. Si gadis ti-

dak lagi bisa memberontak. Meskipun masih sadar, 

gadis itu hanya bisa pasrah dengan tubuh lemah kare-

na titik-titik tertentu urat sarafnya sudah dibuat kaku 

dengan pukulan kecil ujung jari Bratalaras.

Akan tetapi, tiba-tiba langkah Bratalaras terhenti.

Nyaris tanpa diketahuinya dari mana datangnya, 

seorang pemuda tahu-tahu sudah berdiri tepat di ja-

lur jalan yang akan dilaluinya.

Bratalaras membelalakkan matanya. Alisnya me-

nyatu dan keningnya berkerut membentuk garis-ga ris. 

Tapi, hanya beberapa saat kemudian ia tertawa ter ge-

lak-gelak, seakan-akan menemukan kejadian yang sa-

ngat jenaka.

“Mau apa kamu, Bocah?” tanya Bratalaras. Ta ngan -

nya kemudian menepis-nepis seperti gerakan meng -

usir ayam. “Hush, hush, ayo minggir!”


Pemuda di hadapannya itu memang tampak ma-

sih sangat muda. Sekitar lima belas tahun. Rambut-

nya tergerai sepundak dan diikat seadanya dengan 

bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Kulitnya 

kehitaman seperti bambu wulung.

Ia memang Jaka Wulung.

Akan tetapi, kali ini bajunya tidak lagi sekumal be-

be rapa waktu lalu. Baik baju maupun celananya su-

dah lebih baik dan bersih. Sedikit.

Jaka Wulung memandang Bratalaras dengan ke-

pala sedikit miring, seakan-akan mengira-ngira apa 

yang sedang dilakukan Si Pemetik Bunga.

“Aha,” desis Jaka Wulung kemudian. “Pasti gadis 

yang dipondong Ki Dulur itulah yang tadi berteriak 

minta tolong.”

Bratalaras memandang Jaka Wulung dengan sisa 

tawa di mulutnya. “Kalau betul, kau mau apa?”

Jaka Wulung berdeham, lalu pura-pura batuk. 

“Yaaa, melihat kondisinya, tentu gadis itu sangat bu-

tuh pertolongan. Jadi, aku akan coba menolongnya.”

Belum satu tarikan napas kata-kata Jaka Wulung 

lepas dari bibirnya, Bratalaras kembali tertawa terba-

hak-bahak. Kali ini bahkan sampai mengguncang-

guncangkan tubuhnya dan tubuh lemas si gadis di


pundaknya. Orang jahat bisa diketahui dari tawanya, 

pikir Jaka Wulung.

“Tawamu menyebalkan,” Jaka Wulung mencebik-

kan bibirnya.

Tawa Bratalaras langsung lenyap. Wajahnya pun 

segera berubah merah. Seumur-umur, baru kali inilah 

ia terpaksa menghentikan tawanya secara mendadak. 

Dan, yang membuatnya terhenti tertawa hanyalah 

bocah culun yang baru saja kering ingusnya.

“He, Bocah, minggirlah. Kau tahu dengan siapa 

berhadapan?”

Jaka Wulung menggeleng, lalu menyeringai. “Me-

mangnya kau siapa?”

Pertanyaan sederhana ini membuat wajah Brata-

laras kian merah. Darah di kepalanya serasa men-

didih. Ditancapkannya tongkat berkepala ular sanca 

di tanah. Oh, bukan, di batu cadas! Dan, clep! Tong-

kat itu melesak sekitar setengah jengkal ke dalam. 

Sungguh pertunjukan tenaga dalam yang memukau.

“Kali ini aku tak ingin membasahi tongkatku de-

ngan darah anak semuda kau. Namaku Bratalaras. 

Orang mengenalku dengan nama Si Pemetik Bunga 

dari Gunung Cakrabuana.”

Bratalaras menunggu beberapa saat. Ia berharap, 

setelah mendengar namanya, bocah itu akan geme tar

an dan langsung lari terbirit-birit sambil terken cing-

kencing. Atau kalau tidak begitu, si bocah akan ter-

duduk menyembah-nyembah meminta ampun. Atau 

malah bersujud menghunjamkan kepalanya ke ta nah 

dan kedua tangan menangkup mengacung-acung. 

Se bab, memang seperti itulah yang biasa ia lihat jika 

orang-orang mengetahui siapa dia sebenar nya.

Akan tetapi, Jaka Wulung bukanlah bocah biasa.

Ia malah mengerutkan keningnya, seakan-akan se-

dang mengingat-ingat sesuatu, kemudian kepalanya 

menggeleng.

“Ah, aku baru mendengar nama Bratalaras,” ucap 

Jaka Wulung dengan wajah yang datar-datar saja. 

“Na ma yang sangat bagus. Begitu juga julukannya.”

Bratalaras menggeram, lalu mencabut tongkat ular 

sancanya dengan cara menekan ke belakang sehingga 

menghasilkan percikan kerikil. “Bocah setan. Kau 

men cari mampus rupanya!” 

Bratalaras bukanlah orang yang senang bermain. 

Apalagi ia juga sedang dikejar waktu. Ia tidak mau di-

dahului oleh gelapnya malam. Oleh karena itu, mes ki-

pun hanya lontaran kerikil, ia melakukannya de ngan 

tenaga penuh. 

Butir-butir kerikil itu pun meluncur bersamaan 

mengarah tubuh Jaka Wulung, sangat cepat seperti


lontaran ketapel! Jika salah satu kerikil itu mengenai 

sasaran di kepala, tulang kepala pun bisa retak!

Akan tetapi, Jaka Wulung kali ini bukanlah seorang 

bo cah yang terkejut ketika disentil dengan peluru ke-

ri kil. Tanpa memindahkan kakinya, Jaka Wulung 

me mi ringkan tubuhnya ke kanan dan kerikil-kerikil 

itu melesat beberapa jari dari telinga kirinya.

“Oh, rupanya kamu punya nyali juga!” Bratalaras 

meraung seraya mengibaskan tongkat ular sanca di 

tangannya, berlawanan arah dengan gerakan tubuh 

Jaka Wulung ketika menghindar tadi. Ujung baja pu-

tihnya yang tajam menyibak udara, menimbulkan 

de sir angin yang menciutkan nyali. Bratalaras yakin 

lawannya tidak akan memiliki kesempatan untuk 

menghindar.

Akan tetapi, melalui gerakan yang ringan, Jaka 

Wu lung bisa membelokkan arah tubuhnya, masih 

tanpa memindahkan kakinya, dan dada Jaka Wulung 

hanya terkena angin kibasan tongkat Bratalaras. Dan, 

karena hanya mengenai udara kosong, Bratalaras ter-

bawa oleh tenaganya sendiri.

Bahkan tanpa dipahami oleh Bratalaras, tiba-tiba ia 

merasakan jemarinya seperti dihantam sebatang baja. 

“Auww!” pekik Bratalaras.

Nyaris saja tongkat ular sanca miliknya lepas.


Bratalaras memandang Jaka Wulung seakan-akan 

si bocah adalah makhluk aneh yang baru pertama 

kali dilihatnya. Rupanya si bocah memukulnya de-

ngan senjata sebatang kayu pendek yang aneh. Kapan 

si bocah menghunus senjatanya? Setahu Bratalaras, si 

bocah tadi hanya bertangan kosong!

Mimpi apa Bratalaras tadi malam sampai meng-

alami peristiwa aneh ini? Dia, Bratalaras, yang berge-

lar Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana, yang 

disegani para pendekar terutama di kawasan selatan 

Cakrabuana yang merentang hingga pantai selatan, 

hari ini kena pukul oleh seorang bocah tidak dikenal, 

hanya dalam dua gerakan pendek!

Atau ini hanya mimpi?

Akan tetapi, rasa sakit di jemarinya benar-benar nya-

ta. Berdenyut-denyut hingga mencengkeram jantung.

“Jangan berbangga diri dulu, Bocah!” Bratalaras 

me nurunkan si gadis curian dari pundaknya, sete ngah 

melemparkannya ke rumput di sisi jalan setapak.

Jaka Wulung menjadi sebal melihat lagak iblis ber-

wajah tampan itu. 

“He, siapa pula yang berbangga diri, Kang?”

“Bocah iblis!” Bratalaras langsung mengarahkan 

ujung tongkatnya ke leher Jaka Wulung. Kali ini ia 

tidak mau meremehkan si bocah.


“Wah, siapa pula yang iblis?” Jaka Wulung meng-

hindar dengan langkah ringan.

Akan tetapi, serangan pertama Bratalaras hanya 

pan cingan. Tongkat Bratalaras memutar mengikuti 

ke arah tubuh Jaka Wulung menghindar, seakan-akan 

tongkat itu adalah ular sanca yang memiliki mata ta-

jam dan tahu akan ke mana Jaka Wulung bergerak. 

Jaka Wulung terkesiap sekejap melihat kecepatan 

gerak ujung tongkat Bratalaras. Ia terpaksa melenting 

dengan tumpuan salah satu kakinya. 

Bratalaras tidak mau memberikan kesempatan ba-

gi Jaka Wulung. Tangan kirinya yang bebas memu tar 

separuh lingkaran dan mencoba memapas Jaka Wu-

lung dari arah yang berbeda dengan arah tongkatnya. 

Jaka Wulung merendahkan tubuhnya guna meng-

hindari benturan. Ia masih enggan berbenturan de-

ngan lawannya. Benturan yang tidak perlu mungkin 

saja akan membuat tenaganya cepat terkuras. Oleh 

karena itu, Jaka Wulung lebih mengikuti gerakan la-

wannya. 

Bratalaras bukanlah pendekar kemarin sore. Sejak 

masih bocah, ia sudah mendapat gemblengan ilmu 

silat dahsyat dari seorang tokoh sakti di Gunung 

Cakrabuana, yang lebih dikenal dengan julukannya, 

Si Jari-Jari Pencabik, karena kegemarannya yang sangat mengerikan, yakni mencabik-cabik tubuh la-

wan nya yang sudah tidak berdaya. Pada masanya, 

tokoh-tokoh persilatan, bahkan dari golongan hitam, 

pun enggan berurusan dengannya. Orang-orang me-

nilai Si Jari-Jari Pencabik bukan lagi manusia, melain-

kan iblis!

Anak ular tentu tidak akan belajar terbang kepada 

induknya, tetapi belajar bagaimana menggelosor de -

ngan otot-otot perutnya, mengintip mangsanya , me-

nye rang dengan racunnya, lalu menerkam mang sa nya .

Bratalaras pun menyerap segala macam ilmu dan 

perilaku gurunya. Bedanya, Bratalaras memanfaatkan 

rupa yang tampan, tidak buruk seperti gurunya, un-

tuk menyalurkan hasrat jahatnya.

Kali ini Bratalaras melihat peluang untuk mema-

sukkan serangan berikut, yaitu berupa sapuan kaki-

nya. Gerakan kakinya itu pun sangat cepat, menjulur 

seperti kecepatan kepala ular ketika menerkam mang-

sanya. 

Tongkat, tangan, dan kedua kaki Bratalaras benar-

benar memberikan serangan tanpa jeda, seperti angin 

topan saja layaknya.

Di pihak lain, Jaka Wulung sudah pula menyerap 

semua ilmu dahsyat Resi Darmakusumah meskipun 

masih perlu waktu untuk mematangkannya. Na lurinya sudah terasah dan dengan otaknya yang cer das, 

ia mampu meladeni serangan-serangan awal Brata-

laras.

Dengan demikian, seiring dengan langit yang ma-

kin temaram, Jaka Wulung dan Bratalaras langsung 

terlibat dalam pertempuran dahsyat. 

Bratalaras tidak lagi menerapkan gerak penjajakan , 

tetapi segera melarapkan ilmu andalannya, ilmu ular 

sanca emas, sebuah ilmu yang didasari gerak-gerak 

tipuan yang cerdik dan licik, tetapi juga disertai pa-

tuk an-patukan yang mengejutkan.

Akan halnya Jaka Wulung, meskipun tenaga dalam -

nya masih memerlukan waktu untuk penyempur na-

an, ia mampu menerapkan segala pelajaran yang te lah 

diberikan gurunya, terutama gerak-gerak inti ilmu 

dahsyat gulung maung. Bahkan, Jaka Wulung kadang 

kala menyelipkan gerak-gerak ilmu gagak rimang

yang ia serap dari pengalamannya mengintip bocah-

bocah Jipang itu berlatih. 

Bratalaras terus meningkatkan kecepatan dan te-

na ga nya. Ia juga terus memasang gerak-gerak tipu un-

tuk memerangkap lawannya. Tongkat berujung baja 

di tangannya mendesis-desis menebarkan ancaman 

kematian.

Akan tetapi, Jaka Wulung mampu melayani setiap 

ti pu an dan terkaman Bratalaras. Bahkan, sesekali Jaka 

Wulung memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun 

un tuk melancarkan serangan-serangan maut. Sebi lah 

kayu tipis di tangannya berkali-kali mengincar titik-ti tik 

mematikan di tubuh lawannya. Jaka Wu lung tidak akan 

setengah-setengah bertempur dengan manusia ber moral 

bejat macam Bratalaras. Ia sudah bertekad men jadi ma-

nusia yang berguna bagi masya rakat ba nyak.

Bratalaras benar-benar geram dan penasaran. Ia 

sa ma sekali tidak pernah mampu menyentuh lawan-

nya yang masih bocah itu. Kalau lawannya adalah 

tokoh tersohor, ia bisa maklum mengalami pertem-

puran yang seimbang. Tapi, lawannya kali ini hanya-

lah bocah belasan tahun yang bahkan namanya pun 

belum ia tanyakan. Sungguh memalukan!

Oleh karena itu, Bratalaras bersiap dengan ilmu 

pamungkasnya: jari-jari naga maut. Ilmu ini sebenar-

nya belum dikuasainya benar dan ia perlu waktu lama 

untuk mematangkannya. Tapi, Bratalaras sudah gelap 

mata. Ia tidak melihat jalan lain untuk menaklukkan 

bocah aneh ini. 

“Ssssss ...!”

Dengan mengeluarkan suara desis, Bratalaras me-

lipatgandakan tenaganya dan menyalurkannya ke ta


ngan kirinya yang terbuka. Kuku-kukunya serasa ber-

munculan seperti cakar naga. Disertai raungan yang 

meng getarkan udara, Bratalaras meloncat panjang 

lang sung berniat membenturkan cakar naganya ke 

dada Jaka Wulung. 

Jaka Wulung terkesiap melihat ilmu lawannya. Ia 

sadar bahwa Bratalaras sudah sampai pada ilmu pa-

mungkasnya. 

Oleh karena itu, Jaka Wulung pun tidak menung-

gu waktu dan pada saat yang bersamaan memindah-

kan senjatanya ke tangan kirinya, lalu mengaum pan-

jang seraya menyalurkan tenaga dalam melalui jemari 

kanannya yang juga terbuka. 

Duarrr!

Dua tenaga yang tak kasat mata berbenturan di 

uda ra, menciptakan bunyi yang memekakkan teli nga .

Jaka Wulung terlontar dua-tiga langkah ke bela-

kang. Kuda-kudanya goyah. Tangannya serasa meng-

hantam baja dan tenaga pantulannya membuat dada-

nya sesak. Jaka Wulung menyeringai menahan sakit.

Di pihak lain, Bratalaras terjengkang jauh ke bela-

kang. Tubuhnya berdebum menimpa rerumputan. 

Kalau saja kepalanya membentur batu atau pokok 

kayu, bisa dipastikan nyawanya sudah melayang.


Dadanya seperti dibakar api, akibat pantulan tena-

ga panas yang dialaminya. Napasnya satu-satu. Dari 

sela-sela bibirnya menetes darah kental.

Bratalaras menggeleng-geleng, mengusir kepala-

nya yang berputar-putar. 

“Bocah ...,” ucapnya, “siapa ... sebenarnya ... 

kamu?”

Jaka Wulung memandang Bratalaras ragu-ragu. 

Pada saat itu, sebenarnya bisa saja ia melancarkan sisa 

tenaganya untuk menuntaskan perlawanan Bratala-

ras. Tapi, Jaka Wulung mendadak diselimuti perasaan 

welas asih yang aneh. Ia tidak bisa menyerang orang 

yang sudah tidak berdaya, sejahat apa pun orang itu.

Inilah yang kelak akan selalu menjadi kekuatan 

Jaka Wulung, sekaligus kelemahannya!

“Namaku Jaka Wulung.”

Bratalaras mencoba mengingat-ingat apakah ada 

pen dekar bernama Jaka Wulung. Tidak, ia tidak per-

nah mendengarnya. Dia pasti bocah siluman.

“Apa ... kau punya ... julukan?”

Jaka Wulung termangu sejenak ditanya demikian. Ia 

tidak pernah berpikir akan punya julukan apa pun. Ba-

gus atau tidak, Jaka Wulung adalah namanya. Setidak-

nya, itulah nama pemberian orang yang pernah meme-

liharanya. Sejenak ia memejam. Siapa orangtuaku?


Bratalaras mencoba bangun, lalu meraih tongkat-

nya. “Aku belum kalah ... Jaka Wulung. Aku ... akan 

datang lagi menemuimu suatu saat.” 

Jaka Wulung memandang dingin Bratalaras. “Ya, 

kali ini aku memberimu kesempatan. Tapi awas, ka-

lau telingaku masih mendengar kelakuanmu, aku tak 

akan segan-segan membunuhmu.”

Bratalaras mengangguk, lalu berbalik dan berjalan 

dengan langkah goyah hendak meninggalkan tempat 

itu. 

Tetapi, mendadak ia berhenti, lalu menoleh.

“Benarkah kau ... tidak punya julukan?” 

Jaka Wulung menarik napas beberapa jenak. Seca-

ra mendadak, di kepalanya muncul sebuah nama. La-

lu, ia menyebutkannya begitu saja.

“Aku Titisan Bujangga Manik.” 


8.Geger Kembalinya 

Bujangga Manik


Cahaya mentari pagi menerobos dinding bam-

bu dan menimpa wajah Jaka Wulung, me-

maksanya membuka mata. Sebenarnya lah 

Ja ka Wulung belum lama terlelap. Semalaman ia tidak 

benar-benar bisa memejamkan mata. Pikirannya di-

penuhi satu persoalan yang baru saja disulutnya sendiri: 

ia menyebut dirinya sebagai Titisan Bujangga Manik.

Kemarin, nama Bujangga Manik melintas begitu 

saja di kepalanya. Resi Darmakusumah sudah menu-

turkan kisah perjalanan sang legenda di masa muda-

nya hingga Pulau Dewata. Jaka Wulung benar-benar 

mengagumi tokoh ini. Ia ingin suatu saat, ingin seka-

li, mengikuti jejak tokoh hebat ini.


Satu hal lagi, ia bangga karena bagaimanapun Bu-

jangga Manik adalah kakek gurunya.

Mudah-mudahan pemakaian nama Titisan Bujang-

ga Manik tidak membawa petaka bagiku, pikir Jaka 

Wulung.

Kemarin ia tidak berpikir betapa besarnya akibat 

dari penyebutan julukan ini. Ketika ia mengatakan-

nya kepada Bratalaras, lelaki berjuluk Si Pemetik Bu-

nga dari Gunung Cakrabuana itu terbelalak.

“Tidak mungkin ...,” ucap Bratalaras.

Jaka Wulung memandang tajam Bratalaras. “Apa-

nya yang tidak mungkin?”

“Bujangga Manik sudah lebih dari setengah abad 

tidak lagi terdengar.”

“Kepalamu berisi juga,” Jaka Wulung tersenyum 

mengejek. “Tentu saja. Dan, aku cucu muridnya!”

Dalam senja yang temaram, wajah Bratalaras me-

mucat. Ia kemudian pergi menembus keremangan 

senja, entah ke mana—ah, ya, pastilah melapor kepada 

gurunya di Gunung Cakrabuana sana!

Gadis yang diculik itu masih terkulai. Jaka Wulung 

mendekatinya dan, dengan ilmu yang didapat dari 

sang guru, disalurkannya hawa murni yang ha ngat 

ke titik-titik tempat simpul sarafnya yang terkena to-

tokan.


“Oh, terima kasih, Tuan Pendekar ....”

“Segeralah pulang, Nyai. Kukira kampung Nyai 

tidak terlalu jauh dari sini.”

Gadis itu membenahi kainnya yang kusut masai. 

“Mungkin Tuan mau mampir dulu?”

“Terima kasih, aku masih punya tujuan lain.” 

Si bocah memandang gadis itu hingga lenyap 

ditelan keremangan, di balik tikungan jalan setapak. 

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian timbul 

penyesalan dalam hatinya. Kenapa ia tidak ikut ke 

kampung gadis itu? Perjalanan yang tengah ia laku-

kan masih jauh dari tujuan. Jadi, ia harus menemu-

kan pondok di tengah hutan, atau di pinggir huma, 

untuk tempatnya bermalam.

Jaka Wulung tidak tahu, benar-benar tidak terpi-

kirkan dalam kepalanya, bahwa malam itulah nama-

nya mulai menjadi buah bibir. Si gadis, sesampainya 

di kampungnya, bercerita kepada orang-orang kam-

pung itu. Sebagian orang tua di sana pun menjadi 

heboh. 

“Bagaimana orangnya? Kakek tua pasti, ya?”

“Dia remaja belasan tahun.”

“Tidak mungkin!”

Lalu, Bratalaras, sesampainya di Gunung Cakra-

buana beberapa hari kemudian, menuturkan kepada


sang guru, Si Jari-Jari Pencabik, yang terbelalak tak 

percaya.

“Benarkah ia punya murid dan kini cucu murid?”

Di kedua tempat itu, dimulailah terjadi keheboh-

an yang serupa.

Dari kedua tempat itu, kabar akan merayap ke ber-

bagai tempat lain, mungkin sepelan kura-kura, tetapi 

boleh jadi secepat angin. Barangkali perlu berbulan-

bulan, tetapi sangat boleh jadi hanya dalam hitung an 

hari. Seperti biasanya, kabar dari mulut ke mulut akan 

selalu berubah dari kisah awalnya, bisa dikurangi , bisa 

ditambah, dibumbui ini dan itu sehingga bisa saja ka-

bar yang tersebar menjadi jauh melenceng. 

Meskipun demikian, yang jelas, dunia persilatan 

akan guncang.

Bujangga Manik muncul lagi!

JAKA WULUNG memandang matahari yang mulai 

meninggi. Tubuhnya menjadi segar setelah mandi di 

sebuah pancuran, lalu melakukan olah napas secu-

kup nya. 

Di tempatnya berdiri, ia harus membelakangi ma-

tahari untuk menentukan arah mencapai tujuannya.


Dari kejauhan, puncak Gunung Sawal tampak bi-

ru lembut, disaput tipis kabut, berpulas garis-garis 

war na emas. Di latar depan, tidak jauh di kaki Gu-

nung Sawal, terdapat danau alam yang indah. Orang 

me nye butnya Situ Lengkong. Di tengah danau itu 

ter dapat sebuah pulau kecil yang dikenal dengan na-

ma Nusa Larang.

Sesuai dengan pesan sang guru, ke sanalah ia me-

nuju.

“Apa yang akan saya dapatkan di sana?” tanya Jaka 

Wulung menjelang keberangkatannya dari pondok 

Resi Darmakusumah di Bukit Sagara.

“Kau akan tahu sendiri nanti.”

JAKA WULUNG memandang hamparan danau yang 

bening seperti bentangan kaca, memantulkan la ngit 

biru muda dan segerombol mega. Di tengahnya, Nusa 

Larang seakan mengapung di permukaannya. 

Matahari hampir tegak lurus dengan bumi. 

Bersama dengan empat atau lima penduduk se-

tempat, Jaka Wulung naik sampan membelah danau, 

menimbulkan kecipak yang memberikan nada syah-

du. Aroma air danau membuat dadanya menjadi lega.


Jaka Wulung memejamkan mata, menikmati kein-

dahan alam yang tiada tara.

Tepat di tengah Nusa Larang, Jaka Wulung menun-

duk dalam-dalam di depan sebuah pusara. Pusara itu 

dirindangi dedaunan rimbun dari sebatang pohon 

kiara berusia ratusan tahun. Dan, tentu saja pohon-

pohon lain yang juga tua, dengan lingkar batang yang 

rata-rata lebih dari dua depa orang dewasa.

Pusara itu sendiri sangat sederhana, hanya dikeli-

lingi deretan batu alam.

Akan tetapi, di situlah terbaring abadi seorang to-

koh besar—kalau tidak dikatakan terbesar—negeri-

nya: Niskala Wastukancana, leluhur Prabu Siliwangi, 

dan leluhur masyarakat Sunda.

Lembar-lembar sastra menyebutnya juga Sang 

Mok teng Nusa Larang—‘yang mukti di Nusa Larang’.

TIRAI malam menyungkup senja di Nusa Larang. 

Ketika orang-orang sudah lama pergi, dan tempat itu 

dicekam sunyi, Jaka Wulung masih duduk bersila, ta-

fakur tunduk di dekat pusara Sang Niskala. Ia tidak 

tahu mengapa ia merasa kakinya seperti pokok kayu 

kiara, berat sekali untuk segera pergi. Ia bahkan me-

rasakan keinginan untuk terus berdiam di 

Saat itulah ia mengalami sebuah suasana yang pe-

nuh keanehan. 

Jaka Wulung tahu bahwa dirinya sadar. Matanya 

se penuhnya terbuka. Tapi, masih dalam posisi ber sila, 

ia merasakan tubuhnya ringan. Makin lama makin 

ringan, seakan-akan badan wadaknya larut menjadi 

butir-butir udara. Ia merasa seolah-olah tidak lagi 

memiliki wujud nyata. 

Langit gelap tanpa bulan. Tapi, Jaka Wulung mam-

pu melihat dengan sangat jelas apa pun di sekitar-

nya. Hamparan rumput, perdu, dedaunan, kilau per-

mukaan danau, serangga hutan yang berdengung di 

sekitarnya, bahkan ulat yang merayap di daun-daun 

ki hujan. Telinganya menangkap suara tetes air yang 

satu demi satu menimpa permukaan batu, desir angin 

yang mengusap bening danau, bahkan langkah pelan 

sejenis kadal yang menembus rerumputan. Saraf pen-

ciumannya pun bisa membedakan dengan jelas bau 

daun kering yang jatuh, bau uap air yang terbawa 

udara, dan bau celurut yang berkerosak.

Jaka Wulung melayang, memasuki alam niskala!

Ia merasa seperti sedang bermimpi, tetapi sesung-

guhnya ia sadar. Ah, ketika kita sadar, mimpi memang 

bukanlah kenyataan. Tapi, ketika ketika kita bermim-

pi, kesadaran seakan-akan bukanlah kenyataan.

Perlahan-lahan, langit di sekitar Jaka Wulung ber-

ubah seperti tabir hitam. Suara-suara berhenti. Dan, 

kemudian samar-samar tercium bau kesturi.

Bau kesturi itu tertiup oleh angin yang membawa 

asap putih tipis. 

Di tempat duduknya, badan Jaka Wulung geme-

tar. Ada rasa takut yang membuat bulu tengkuknya 

meremang. Tapi, juga ada rasa penasaran yang ber-

golak di dadanya. 

Asap putih itu mengumpul menjadi satu, perla-

han-lahan menciptakan bentuk seperti tubuh manu-

sia, kemudian kaki, tangan, dan kepala. 

Badan Jaka Wulung menggigil. Giginya gemele-

tuk. Keringat mengucur dari pori-pori kening dan 

punggungnya.

Bersamaan dengan terciptanya sosok manusia, 

asap itu mulai memendarkan cahaya keperakan. Ma-

kin lama makin terang dan nyata.

Dan, akhirnya menjelmalah sosok lelaki muda 

yang sangat tampan. Usianya sekitar 25 tahun. Kulit-

nya memendarkan cahaya kekuningan. Rambutnya 

sedikit mengombak, tergerai melewati pundaknya. 

Baju nya berwarna semu ungu dengan kilau-kilau ke-

emasan melingkari lehernya.



Di kepalanya bertakhta mahkota emas dengan 

ben tuk sedikit mengerucut ke atas, dengan pola de da-

unan yang mengilaukan warna emas cemerlang. Ma-

tanya memandang Jaka Wulung dengan sorot yang 

lembut tetapi tegas. Kedua sudut bibirnya memben-

tuk senyum yang bersahaja tetapi tulus.

Jaka Wulung tak sanggup membalas tatapannya. 

Wa jah Jaka Wulung hanya menekur menatap jemari-

nya sendiri, yang saling menjalin di pangkuannya. 

Dadanya bergetar karena takut, tetapi juga sekarang 

oleh rasa bahagia tiada terkira. 

Beberapa jenak lamanya tak ada suara.

Jaka Wulung menunggu dengan dada berdebar, 

apa yang akan terjadi. Apakah ia akan mengucapkan 

sesuatu? 

Jaka Wulung tetap menunduk, seakan sebongkah 

batu menahannya di bagian tengkuk. 

Di tengah keheningan itulah terdengar sesuatu di-

letakkan di atas tanah pusara.

Dia meletakkan sesuatu di sana.

Sesuatu yang memancarkan sinar keperakan.

Jaka Wulung makin merasakan dadanya berdebar-

debar.

Dari sinar keperakan itulah memancar semacam 

kekuatan yang langsung menghantam sekujur tubuh


Jaka Wulung. Jaka Wulung serasa disengat kilat. Tu-

buh nya bergetar hebat. Wajahnya menyeringai mena-

han panas di seluruh permukaan kulit tubuhnya. Ba-

dannya kejang-kejang. Jaka Wulung memekik mem-

belah udara sebelum tubuhnya ambruk tak berdaya 

dan kesadarannya sirna.

KETIKA Jaka Wulung membuka matanya, fajar su-

dah membayang. Siluet pepohonan yang hitam men-

jadi latar depan langit yang dipulas warna kuning dan 

lembayung. 

Jaka Wulung bangkit. Tubuhnya sedikit menggigil 

karena tanah basah oleh embun. Angin pagi masih 

diam, seakan belum terjaga dari tidur malam. 

Dalam keadaan terjaga, Jaka Wulung merasa baru 

saja bangun dari mimpi yang sangat aneh. Lelaki tam-

pan bermahkota keemasan. Siapa dia? 

Jaka Wulung berdiri. Aneh, ia merasa tiba-tiba 

men jadi orang yang sangat berbeda. Napasnya ringan, 

kekuatan tubuhnya berlipat, dan tatapan matanya 

men jadi sangat tajam. Apa yang terjadi padanya, ia ti-

dak tahu. Apakah karena sambaran sinar yang dipan-

carkan sesuatu yang diletakkan sosok misterius itu?


Jaka Wulung memandang tanah dua langkah di 

depannya. 

Sesuatu itu masih ada di sana. Sesuatu itulah yang 

semalam memancarkan cahaya keperakan dan gelom-

bang kekuatan yang menghantamnya.

Panjang keseluruhannya hanya satu setengah jeng-

kal. Bilahnya melengkung, memancarkan warna lo-

gam pejal yang keperakan. Ujungnya tajam meleng-

kung mirip paruh burung ciung. Punggungnya ber-

hias lima mata—lubang kecil yang diisi butiran perak. 

Perutnya melekuk dan tajam berkilat, memantulkan 

cahaya pagi. Tadahnya—lengkungan menonjol pada 

perut—juga sama tajamnya dengan bagian ujung. 

Ga gangnya entah terbuat dari kayu jenis apa—cokelat 

ke hitaman dan sangat keras. Landean—bagian bawah 

gagangnya—berbentuk kepala harimau sedang me-

nga nga, mengaum siap melindas mangsanya.

Jaka Wulung berdebar-debar.

Sebilah kujang yang tiada tara!

Kujang itu terletak berdampingan dengan warang-

kanya. Warangka itu pun terbuat dari kayu yang sama 

dengan gagangnya, berhias ukiran dedaunan yang sa-

ngat rapi dan indah.

Jaka Wulung membungkuk untuk meraih gagang 

kujang.


Diangkatnya kujang yang sudah di genggamannya. 

Ujungnya mengarah ke langit. Sebuah gelombang 

kekuatan kembali mengalir dari kujang itu, merasuk 

ke segenap pembuluh darahnya, memberinya tenaga 

yang berlipat!

Bersamaan dengan itu, pendengarannya menang-

kap sebuah suara yang samar, tetapi memberikan 

gema kuat dalam dadanya:

“Cucuku, kurestui kudi hyang itu menjadi milikmu. 

Bawalah selalu. Jadikan ia perkakas untuk meniti di ja-

lan waras. Jangan lupa, bersikaplah selalu ber dasarkan 

welas asih, junjung tinggi tata krama, dan pakai selalu 

budi bahasa yang baik. Hanya itu pesanku.”

Pesan itu menghilang bersamaan dengan sinar per-

tama matahari di cakrawala.

Jaka Wulung terpaku dengan ujung kujang, kudi 

hyang, masih teracung. 

Badannya berdenyar ketika ia memastikan siapa 

sosok ia saksikan semalam, dan memberikan pesan-

nya pagi ini. Tak salah lagi.

Dialah lelaki pertama yang mengenakan mahko-

ta itu, Mahkota Bino Kasih Sang Hyang Pake. Lelaki 

yang paling dihormati di tanah Sunda, yang jasadnya 

sudah seratus tahun terbaring di sana: lelaki yang ke-

mudian bergelar Sang Mokteng Nusa Larang.

Niskala Wastukancana! 


9.Firasat yang Makin Kuat


Hujan sudah reda, awan-awan menyingkir 

membuka wajah langit yang biru, menyi la-

kan matahari sore mengintip. Tapi, Su ngai 

Ci Tanduy masih meluap, membawa air kecokelatan 

dari hulunya di utara.

Setelah berteduh di sebuah dangau, Jaka Wulung 

memutuskan tidak akan nekat menembus sungai 

yang sedang meluap. 

Ia memilih mencari dulu sebuah kedai untuk seka-

dar menyantap makanan kecil atau menyeruput ban-

drek. Bahkan kalau mungkin, ia juga hendak menginap sekalian. Sore itu ia merasa cukup kelelahan 

juga. Sepulang dari Nusa Larang di Situ Lengkong, 

ia se ngaja mengunjungi dua tempat bersejarah seba-

gaimana yang disarankan gurunya.

Mula-mula, ia mampir ke Kawali, tidak terlalu 

jauh dari Nusa Larang. Di sana ia menyaksikan sen-

diri sebuah situs yang pernah menjadi pusat Kerajaan 

Sunda. Sayang sekali tidak banyak yang tersisa dari 

peninggalan Prabu Niskala Wastukancana. Reruntuh-

an bekas Istana Kawali sudah nyaris menjadi tumpuk-

an batang kayu yang lapuk dimakan zaman. 

Hanya barisan bebatuan yang masih menandakan 

bahwa di sana, pada suatu kurun ratusan tahun, per-

nah bertakhta para raja besar Sunda, termasuk Prabu 

Linggabuana, tokoh besar yang gugur dalam pertem-

puran dengan pasukan Gajah Mada di Bubat, ketika 

mengantar sang putri Dyah Pitaloka untuk melang-

sungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk—

sebuah perkawinan yang gagal.

Entah mengapa, dadanya sesak ketika membayang-

kan sang putri melesakkan ke ulu hatinya sendiri se-

bilah patrem pusaka.

Dari Kawali, ia menuju arah matahari tenggelam, 

menyambangi bekas pusat Kerajaan Galunggung, yang 

terletak di gunung dengan nama yang sama.

Kerajaan Galunggung adalah salah satu kerajaan 

yang pernah disegani. Di sana pernah bertakhta Pra-

bu Darmasiksa, salah seorang leluhur raja-raja Sunda. 

Prabu Darmasiksalah yang menulis kitab terkenal Pa-

tikrama Galunggung.

Jaka Wulung sesungguhnya sudah mulai menerus-

kan perjalanan menyusuri pantai selatan. Meskipun 

mungkin perlu waktu lama, ia ingin menuju Pelabuh-

an Ratu, dan kemudian kelak menuju bekas Kerajaan 

Salakanagara di ujung barat Jawa Dwipa.

Akan tetapi, entah mengapa, mendadak ia selalu 

teringat kepada Resi Darmakusumah di Bukit Sagara. 

Semacam irasat. Mungkin ada apa-apa dengan guru-

nya. Oleh karena itu, Jaka Wulung memilih berbalik 

kanan dan kembali ke arah matahari terbit.


KEDAI itu berada di tanah yang agak tinggi, meng-

hadap jalur jalan tempat orang-orang hendak pergi 

menyeberangi sungai dan sebaliknya datang dari se-

berang. Ada beberapa sampan di tepi sungai. Tapi, 

tidak ada satu pun yang dijalankan untuk menyebe-

rangkan orang-orang. Luapan air terlalu berbahaya 

bagi sampan kecil itu. Dan, orang-orang tampaknya 

sudah tak ada lagi yang hendak menyeberang.

Jaka Wulung terhenti di luar pintu kedai ketika 

didengarnya suara percakapan dua orang.

Terdengar suara seorang laki-laki, pelan, bahkan 

lebih tepat disebut berbisik, tetapi telinga Jaka Wu-

lung dapat menangkapnya dengan jelas, “Mungkin 

kita lebih baik menginap saja di sini, sambil menung-

gu air surut.”

Lalu, jawaban seorang perempuan, juga dengan 

sua ra perlahan, “Lebih baik kita menyeberang seka-

rang. Kita sudah terlambat. Bukit Sagara kupikir ti-

dak akan terlalu jauh. Jangan sampai kita kedahuluan 

orang lain.”

Jaka Wulung berdebar-debar. Kedua orang itu 

hen dak menuju Bukit Sagara. Ada tujuan apakah 

me reka hendak ke Bukit Sagara? Bukit Sagara adalah 

tempat yang sangat sunyi, jauh dari pedukuhan, dan 

ia pikir bukanlah tempat yang terkenal seperti Gu-

nung Cerme atau Gunung Slamet. Atau apakah ada 

tempat lain di sana yang bernama sama dan letaknya 

lebih dekat? Siapa gerangan mereka?

Kemudian, terjadi percakapan dengan suara yang 

lebih keras.

“Siapa kiranya tukang sampan di sini?” tanya suara 

perempuan.


“Mereka sudah pada pulang, Nyi,” jawab sese-

orang, mungkin suara si pemilik kedai.

Perempuan itu mendesak, “Tapi kami mau me-

nyeberang.”

“Waduh, Nyi, kalau banjir begitu, tak ada tukang 

sampan yang berani menyeberang.”

Sepi beberapa jenak.

Kemudian, terdengar lagi suara si perempuan, “Ka -

lau begitu, biar kami sendiri yang akan mendayung-

nya. Ini bayarannya, berikan ke tukang sampan. Kami 

akan menyimpan sampannya di seberang.”

“Tapi, Nyi ....”

Dari pintu, melangkah dengan cepat dua orang 

itu, si perempuan lebih dulu, kemudian si lelaki, nya-

ris menabrak Jaka Wulung. Untung si bocah sempat 

meloncat mundur. 

Lelaki itu sempat menoleh kepada Jaka Wulung—

kumisnya tebal dan sorot matanya tajam, sekilas usia-

nya tampak sekitar 45 tahun, di balik ikat kepalanya 

rambutnya sudah bergaris-garis putih. Sejenak lelaki 

itu mengerutkan kening, tetapi kemudian berlari 

meng ikuti si perempuan. Langkahnya cepat di atas 

ta nah yang basah, tidak kesulitan melompati bebatu-

an dan tanah yang lici


Sementara itu, si perempuan juga kelihatan ber-

usia sekitar 45 tahun. Pakaiannya ketat, memperli-

hatkan bentuk tubuhnya yang masih langsing. Ram-

butnya sebagian diikat di belakang kepala, sebagian 

lagi ter urai dan melambai-lambai hingga di bawah 

punggung.

Keduanya sama-sama membawa pedang panjang 

di punggung mereka. Ciri bahwa mereka adalah to-

koh persilatan. 

Apakah mereka sepasang suami-istri? pikir Jaka Wu-

lung. Ah, bukan sesuatu yang penting.

Si lelaki menarik sampan dari bawah sebatang po-

hon kelapa, kemudian mendorongnya menuju tepi 

su ngai. Si perempuan meloncat ringan ke atas sam-

pan. Begitu menyentuh air sungai, sampan itu pun 

segera terbawa arus deras Sungai Ci Tanduy ke arah 

selatan.

Beberapa orang yang sempat menyaksikan peris-

tiwa itu sempat memekik. Nekat sekali mereka! begitu 

pikir orang-orang dengan mulut ternganga.

Akan tetapi, apa yang terjadi kemudian sungguh 

di luar dugaan dan di luar akal sehat manusia keba -

nyak an. Sampan itu perlahan-lahan bisa melawan 

ter ja ng an arus sungai menuju hilir, kemudian melaju 

lurus menuju arah seberang. Padahal, kedua orang itu


sama sekali tidak memakai dayung. Keduanya men-

dayung menggunakan tangan kosong!

Dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam 

mereka!

Jelaslah bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi!

Jaka Wulung sangat penasaran pada kedua orang 

itu. Batinnya bertanya-tanya, Siapa mereka? Apakah 

mereka menuju Bukit Sagara, tempat Resi Darma kusu-

mah berada? Kalau benar, untuk apa mereka ke sana? 

La gi pula, tampaknya mereka sangat tergesa-gesa. ‘Ja-

ngan sampai kita kedahuluan orang lain’.

Jaka Wulung kembali berdebar-debar. Firasatnya 

semakin kuat bahwa tampaknya akan terjadi apa-apa 

pada gurunya.

Sepasang lelaki dan perempuan itu, entah siapa 

me reka, sudah hampir mendarat di seberang. Mata 

Ja ka Wulung terus memperhatikan mereka. Rasa la-

par nya tidak lagi terasa. Begitu juga keinginannya 

untuk minum air hangat seperti bandrek. Perhatian-

nya terus terpusat kepada dua orang itu. 

Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah sam-

pai di seberang, menarik sampan yang baru saja me-

reka naiki, kemudian sama-sama meloncat dan ber-

lari. Beberapa saat berikutnya, mereka hilang di balik 

pepohonan.


Jaka Wulung berlari ke tepi sungai dan menarik 

sebuah sampan lain, lalu mendorongnya ke permu-

kaan air. 

Seseorang terkejut dan berteriak, “He, Bocah! Kau 

mencari mampus?”

Jaka Wulung mengabaikan teriakan itu. Ia melon-

cat ke atas sampan. 

Sampan itu pun dengan cepat terseret arus air 

ban jir Sungai Ci Tanduy ke arah hilir. Jaka Wulung 

memusatkan tenaga pada kedua tangan, memberikan 

tekanan yang besar kepada laju sampan. Terasa oleh 

Jaka Wulung betapa saat itu arus air sungai sangat 

kuat. Gelombangnya menggila seperti hendak mene-

lan apa saja. Tidak hanya itu, Jaka Wulung juga harus 

melawan serbuan dahan-dahan kayu yang terbawa 

hanyut. 

Meskipun demikian, perlahan-lahan sampan itu 

melaju memotong arah arus sungai. Tapi, tidak urung, 

sekalipun Jaka Wulung sudah mengerahkan seluruh 

kekuatannya, arus yang kuat terus mendorong sam-

pan ke hilir. Sampan itu pun melaju dengan arah me-

nyerong. 

Sampan itu pun akhirnya tiba di seberang, di tem-

pat sejauh ratusan langkah di hilir dari titik ke datang-

an sampan yang ditumpangi kedua orang tadi.


Jaka Wulung meloncat, kemudian menarik sam-

pan itu hingga jauh dari permukaan air. 

Jaka Wulung tertegun beberapa jenak. Ia baru sa-

dar telah memakai sampan orang lain tanpa minta 

izin dan sama sekali tidak memberikan bayaran. “Mo-

hon aku dimaafkan, wahai tukang sampan. Kalau aku 

mendapat kesempatan untuk kembali ke tempat ini 

kelak, aku tidak akan lupa untuk bayar,” kata Jaka 

Wulung kepada dirinya sendiri.

Jaka Wulung berlari menuju jalur jalan, kemudian 

mendaki menuju ketinggian tebing. 

Tak kelihatan ada orang satu pun di sana.

Untunglah jejak kaki kedua orang itu masih keli-

hatan di tanah dan bebatuan. 

Jaka Wulung mengikuti jejak-jejak kaki itu.

Di belahan langit barat, matahari kembali tersaput 

mega. Mungkin hujan akan turun lagi.

Jaka Wulung mempercepat larinya. 


10.Dari Tangan Turun ke Hati


Hidup memang selalu tidak bisa diduga. Kita 

tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu 

juga dengan Jaka Wulung, pendekar bocah 

yang mulai mengaku dirinya sebagai Titisan Bujangga 

Manik. Tujuan perjalanannya sudah jelas, yaitu kem-

bali segera ke pondok Resi Darmakusumah, gurunya, 

di lereng Bukit Sagara. 

Keinginannya pulang dipicu oleh irasatnya yang 

kuat, ditambah secara kebetulan menguping pembi-

caraan sepasang pendekar yang dicurigai hendak me-

nuju Bukit Sagara. Tapi, perjalanan Jaka Wulung ter-

paksa tertunda keesokan paginya ketika di suatu jalan


yang sunyi, di pinggir hutan, ia mendadak mendengar 

suara dentang senjata beradu disertai pekikan-pekikan. 

Suara perkelahian.

Jaka Wulung memperlambat larinya, kemudian 

berhenti. Ia pun mengintai di balik sebatang pohon.

Di sebuah padang rumput yang lapang, terjadi 

perkelahian seru yang melibatkan tiga orang. Sung-

guh perkelahian yang tidak seimbang: dua orang le-

laki bertubuh besar mengeroyok seorang gadis yang 

masih sangat muda. Dua lelaki itu berwajah sama-

sama menyeramkan. Yang seorang memiliki kumis 

dan cambang yang nyaris mengisi seluruh wajahnya. 

Badannya gempal dan hitam. Sekilas orang itu mirip 

sekali dengan gorila. Di tangannya tergenggam senja-

ta semacam gada, tetapi bentuknya aneh, lebih mirip 

dengan pemukul beduk.

Yang seorang lagi bermata besar yang seakan-akan 

terus-menerus melotot. Giginya juga besar-besar. Ia 

akan mengingatkan orang kepada tokoh raksasa da-

lam wayang golek. Ia memainkan senjatanya berupa 

golok yang bilahnya sangat lebar, persis golok jagal 

sapi.

Sementara itu, seorang lelaki yang tidak kalah me-

nyeramkan tampak berdiri sambil bertolak pinggang 

hanya beberapa langkah dari kalang perkelahian. Wajahnya penuh bopeng. Sesekali ia tersenyum-senyum. 

Tapi, berkali-kali ia tampak mengernyit. Kadang-ka-

dang kepalanya miring mengikuti gerak mereka yang 

sedang berkelahi.

Dengan gerak yang kasar dan mengandalkan tena-

ga mereka yang kuat, kedua lelaki menyeramkan itu 

mengeroyok seorang gadis remaja berusia kira-kira 

lima belas tahun. 

Jaka Wulung mengernyit. Wilayah bekas negeri-

nya benar-benar sudah tidak aman. Di mana-mana 

tampaknya ada saja kejahatan.

Meskipun demikian, si gadis mampu melayani 

per lawanan kasar kedua orang itu dengan sebatang 

pe dang ramping dan dengan gerak dan langkah kaki-

nya yang cepat dan ringan. Rambutnya yang panjang 

dan diikat dengan pita ungu berkibar-kibar ketika ia 

bergerak menghindar, menunduk, dan bahkan ka-

dang mencoba menyerang salah satu lawannya. Le-

ngan bajunya digulung hingga siku, memperlihatkan 

kulit tangannya yang berwarna seperti langsat. Mata-

nya tajam cemerlang ... oh!

Jaka Wulung terkejut ketika mengenali siapa gadis 

itu.

Wulan. 

Dyah Wulankencana!

Oh, ada persoalan apa Wulan tersasar sampai jauh 

dari Gunung Baribis dan menghadapi dua begal yang 

kasar? Ah, ya, kedua orang pengeroyok itu, ditambah 

satu orang yang berdiri, tentulah para begal. Peker-

jaan mereka memang membegal alias merampok 

mangsanya di jalan yang sepi. Apalagi mangsanya kali 

ini adalah gadis muda yang cantik. Seperti mendapat 

durian runtuh saja.

Di mana gurunya, Ki Jayeng Segara, dan dua sau-

dara perguruannya, Lingga Prawata dan Watu Ageng? 

Wulan tampaknya akan menghadapi masalah besar.

Akan tetapi, di luar dugaan si wajah gorila dan 

si raksasa wayang golek, gadis yang memang Dyah 

Wu lan kencana itu bukanlah remaja manja yang akan 

merengek minta ampun ketika bertemu dengan para 

begal atau penyamun mana pun. Wulan adalah mu-

rid Ki Jayeng Segara, seorang yang pernah menjadi 

senapa tiyuda Kadipaten Pajang di bawah pimpin an 

Arya Penangsang yang sudah hampir sempurna me-

ngu asai ilmu gagak rimang.

Baik gada pemukul beduk di tangan si gorila 

maupun golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang 

golek belum sekali pun mengenai sasaran. Jangankan 

tubuh, ujung rambut yang berkibar-kibar pun selalu 

luput dari serangan keduanya.


Laki-laki berwajah bopeng yang sejak tadi me-

nyaksikan perkelahian itu tampaknya mulai tidak sa-

bar. Ia pun memekik dengan kasar, “Dasar manusia-

manusia tak berguna! Jangankan menangkap hidup-

hidup dengan tangan kosong, menyentuh dengan 

senjata pun kalian tidak becus!” 

Kedua laki-laki yang mengeroyok Wulan, si gorila 

dan si raksasa wayang golek, menggeram marah. Ka-

ta-kata si bopeng, yang pastilah pemimpin para begal 

itu, membuat darah mereka mendidih. Oleh karena 

itu, mereka meningkatkan serangan masing-masing 

untuk melumpuhkan si gadis. Gada pemukul beduk 

di tangan si gorila terus berputar-putar seperti ba-

ling-baling untuk kemudian mengincar sasarannya. 

Golok jagal sapi di tangan si raksasa wayang golek 

pun makin membabi buta memburu sasarannya.

Akan tetapi, Wulan tetap mampu melayani perma-

inan senjata maut kedua lawannya. Bahkan, berkali-

kali ujung pedang Wulan mengancam titik-titik le-

mah kedua lawannya sehingga kedua lawannya itu 

pun memaki-maki penuh benci.

Jaka Wulung terpesona memandang sepak terjang 

Wulan. 

Si bocah bergumam pelan, “Hanya dalam waktu be-

berapa bulan, dia makin hebat dan ... makin cantik ....”


Jaka Wulung tiba-tiba merasakan wajahnya meng-

hangat. Memerah seperti warna kesumba. Ia menolah 

ke kanan dan kiri, berharap tidak ada satu pun orang 

di dekatnya, hingga mendengar gumamannya. Tentu 

saja tidak ada seorang pun di sana. Kalaupun ada, 

Jaka Wulung pasti akan mengetahuinya. Tapi, begi-

tulah, jatuh cinta memang bikin orang lupa diri—dan 

lupa lingkungannya.

Ai, apakah aku jatuh cinta? bisik hati Jaka Wu lung. 

Lagi-lagi wajahnya memerah. Karena pada da sarnya 

kulitnya gelap, maka wajah Jaka Wulung menjadi ber-

semu merah tua. Jaka Wulung menggeleng-geleng kan 

kepala. Aku belum tahu apa itu cinta.

“MUNDUR!”

Khayalan Jaka Wulung pecah berkeping-keping. 

Dua lawan Dyah Wulankencana sama-sama me-

lon cat mundur sambil sama-sama terus menumpah-

kan sumpah serapah. 

Si muka bopeng kemudian berdiri sambil tetap 

bertolak pinggang menghadapi si gadis Jipang Pano-

lan.

Inilah masalah besar Wulan, pikir Jaka Wulung.

“Hmm ... hebat juga kau, Bocah Cantik!” puji si 

bopeng. Suaranya serak, seakan-akan keluar dari ke-

rongkongan dengan pita suara yang sobek.


Dyah Wulankencana memandang tajam si bopeng . 

Ia yakin si bopeng memiliki tingkat ilmu yang lebih 

tinggi dibanding kedua anak buahnya. Oleh karena 

itu, ia tetap memasang pedang tipisnya di depan da-

da, dengan kuda-kuda yang tetap bersiaga. Gadis itu 

benar-benar mirip burung sriti yang siap mematuk.

“Nah, sebelum aku benar-benar turun tangan, aku 

peringatkan. Lebih baik kau letakkan saja pedangmu 

di tanah. Serahkan apa pun perhiasan dan harta ben-

da yang kau bawa. Dengan demikian, kujamin kau 

akan pulang dengan aman.”

Dyah Wulankencana masih memandang tajam si 

pemimpin begal dengan kuda-kuda yang bergeming.

“Ayo, Bocah Manis. Kuhitung ya, sampai tiga. 

Satu ...!”

Dyah Wulankencana tidak menggeser kakinya se-

jari pun.

“Dua ...!”

Tatapan gadis itu bahkan semakin tajam.

“Tiga ...!”

Tidak ada yang berubah.

Hening.

Seekor burung melintas. Bayangannya melewati 

tanah di antara si bopeng dan Dyah Wulankencana.


Pemimpin begal itu menggeleng. “Kau sudah ku-

peringatkan, Bocah Ayu ....”

Sreeet!

Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata 

berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak 

yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Ke-

dua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya 

matahari, menunjukkan betapa tajamnya!

“HIAAAA!”

Dengan raungan serak si muka bopeng langsung 

meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya 

untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulan-

kencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan 

bunyi seperti siulan. 

Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang 

tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng. 

Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya 

pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng su-

dah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, de-

ngan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah. 

Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan 

kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini 

juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusuk-

kannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.

“Eit, bocah ayu edan


Pemimpin begal itu menggeleng. “Kau sudah ku-

peringatkan, Bocah Ayu ....”

Sreeet!

Di tangan si bopeng sudah tergenggam senjata 

berbentuk kapak. Kapak raksasa, dengan mata kapak 

yang lebarnya lebih dari sejengkal. Cling, cling! Ke-

dua mata kapak itu berkilat memantulkan cahaya 

matahari, menunjukkan betapa tajamnya!

“HIAAAA!”

Dengan raungan serak si muka bopeng langsung 

meloncat menyerang seraya memainkan kapaknya 

untuk menebas pedang tipis di tangan Dyah Wulan-

kencana. Wuuut! Ayunan kapaknya menimbulkan 

bunyi seperti siulan. 

Dyah Wulankencana tidak mau mengadu pedang 

tipisnya dengan kapak raksasa di tangan si bopeng. 

Ditekuknya lututnya lebih rendah dan disabetkannya 

pedangnya mengarah perut si bopeng. Si bopeng su-

dah menduga serangan seperti itu. Oleh karena itu, de-

ngan cepat ia membelokkan arah kapaknya ke bawah. 

Tapi, Dyah Wulankencana juga sudah memperkirakan 

kemungkinan ini. Sebelum terjadi benturan, gadis ini 

juga menarik pedangnya dengan cepat, lalu menusuk-

kannya dengan lebih cepat ke dada lawannya.

“Eit, bocah ayu edan!

Si bopeng terkesiap dan nyaris ujung pedang 

Dyah Wulankencana mengenai dadanya. Beruntung 

ia masih bisa meloncat mundur dua langkah. Tapi, 

tak urung si bopeng menggeretakkan giginya tanda 

mulai jengkel. Oleh karena itu, ia tidak mau lagi 

me remehkan si gadis seakan-akan hendak menepuk 

nyamuk. Yang ia lawan adalah burung sriti yang ter-

nyata mampu bergerak sangat cepat. 

Akan tetapi, si bopeng yakin bahwa ia memiliki 

tenaga yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, ia te-

rus melan carkan serangan dengan kapaknya dengan 

mak sud membenturkannya dengan pedang si gadis. 

Se ba gai mana umumnya para begal, yang memang 

adalah manusia kasar, jurus-jurusnya juga kasar. Su-

dah begitu, kata-kata yang keluar dari bibirnya yang 

kasar pun kasar-kasar. 

Awalnya, Dyah Wulankencana mampu melayani 

serangan macam apa pun yang dilancarkan si bopeng. 

Tapi, lama-kelamaan tampak bahwa kelincahan juga 

membutuhkan tenaga yang kuat. Oleh karena itu, se-

makin lama si gadis kerepotan dan hanya bisa menge-

lak dan menghindar, tanpa mampu memberikan se-

rangan balik. 

Si bopeng menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi-

nya yang berbintik-bintik hitam. Oh, ternyata gigi-

nya pun bopeng.


“Sudahlah, Bocah Ayu, menyerah sajalah,” si bo-

peng menyapukan kakinya yang hitam kelam seperti 

kaki meja.

“Lebih baik mati daripada menyerah,” Dyah Wu-

lankencana meloncat mundur menghindari sapuan 

kaki si bopeng. 

Si bopeng sengaja tidak meneruskan serangannya. 

Tapi, tangan kirinya mengibas seraya berseru, “Ayo, 

Kawan-Kawan, kita cepat ringkus saja bocah som-

bong ini!”

Si gorila dan si raksasa wayang golek, yang dari 

tadi menonton, kembali bangkit semangatnya, lalu 

ber barengan meloncat ke tengah gelanggang perkela-

hian. Si gorila meloncat ke sebelah kanan, si raksasa 

wayang golek ke sebelah kiri Dyah Wulankencana.

Si bopeng berseru lagi, “Tangkap dia hidup-hidup, 

jangan sampai tergores sedikit pun!”

“Siap, Kang!” sahut kedua anak buah si bopeng 

berbarengan.

Dyah Wulankencana mengeluh dalam hati. Ia bisa 

membayangkan nasib buruk yang akan menimpanya 

kalau sampai bisa diringkus hidup-hidup. Pastilah le-

bih mengerikan daripada kematian. Tampaknya kema-

tian akan lebih terhormat daripada ... ah, Dyah Wu-

lan kencana tak sanggup membayangkan lebih jauh.


Jadi, gadis pemberani itu pun berteriak, “Ayo, ke-

ro yok saja! Aku tidak takut!” seraya mulai memutar-

kan pedangnya seperti kincir angin. 

Akan tetapi, agaknya dewa kematian belum mau 

meng ulurkan tangannya untuk mencabut nyawa si ga-

dis. Ketika itulah tampak sesosok bayangan melesat dan 

mendarat tepat di sebelah Dyah Wulankencana. Baik si 

gadis maupun ketiga begal itu sama-sama terkejut. Me-

reka hanya bisa melihat satu bayangan melesat cepat dan 

tahu-tahu bayangan itu sudah berdiri di sebelah si gadis.

“Tak tahu malu, tiga orang tua mengeroyok gadis 

kecil,” kata sosok yang baru datang itu.

Ketiga begal itu terpaku beberapa saat saking ter-

kejut.

Dyah Wulankencana pun hanya bisa memandang 

orang yang baru datang itu. Lebih terkejut lagi ketika 

ia tahu siapa orang yang datang.

“Kau ...?”

Jaka Wulung menoleh memandang wajah Dyah 

Wulankencana. Dasar gadis cantik, ketika kaget pun 

wajahnya tetap cantik.

“Wulung ...?”

“Ya,” sahut Jaka Wulung. Ia tersenyum, “Ini aku, 

bukan hantu.” 

“Kau ...?


“Ceritanya panjang, Wulan.”

“Aku siap mendengarkan.”

“Waktu itu ....”

“DIAAAM!”

Jaka Wulung dan Dyah Wulankencana terkejut. 

Keduanya kembali ke dunia nyata: di sekeliling mere-

ka masih berdiri tiga begal berwajah seram. Si bo-

peng, si gorila, dan si raksasa wayang golek. Mereka 

memandang Jaka Wulung dengan wajah memerah. 

Ah, bukan, menghitam lebih tepat. Tentu saja mereka 

merasa diremehkan karena dianggap tidak ada.

“Oh, ... rupanya kita ada di tengah arena perkela-

hian,” kata Jaka Wulung. “Kalau begitu, kita cepat 

bereskan saja.”

Dyah Wulankencana terkejut mendengar kata-

kata Jaka Wulung. Kata-katanya terkesan main-main. 

Apakah bocah ini sudah gila karena pernah jatuh ke 

jurang? Ia nyaris menjadi korban keganasan mereka 

dan Jaka Wulung mengucapkan kata-kata seakan-

akan para begal itu anak-anak ingusan.

Ketiga begal itu lebih terkejut lagi. Mereka adalah 

begal yang sangat ditakuti di daerah itu dan kini se-

orang bocah yang baru mereka lihat, memandang 

me reka dengan sebelah mata. Tidak. Bahkan, si bocah 

mengatakannya tanpa melihat mereka.

“Bocah gila!” raung si bopeng. “Ayo, Kawan-Ka-

wan! Kalian lawan si bocah ayu. Aku akan hadapi 

bo cah gila ini. Dia harus dihukum akibat kelancang-

annya!”

Si gorila dan si raksasa wayang golek bersiap de-

ngan senjata masing-masing. Keduanya sebenarnya 

agak jeri menghadapi Dyah Wulankencana yang di 

luar dugaan memiliki tingkat ilmu tinggi. Keduanya, 

yang sudah belasan tahun malang melin tang sebagai 

penyamun yang ditakuti, kerepotan meng hadapi se-

orang gadis yang masih sangat belia. 

Mereka sebenarnya ingin menghadapi bocah edan 

yang baru datang itu. Mereka juga berhasrat besar 

membungkam mulutnya yang sangat kurang ajar!

Si bopeng, pemimpin para begal itu, memandang 

Jaka Wulung dari kepala sampai ke kaki. Tingginya 

paling-paling sebatas telinganya. Badannya juga ter-

kesan kurus dan tidak bertenaga. Tapi, tadi ia sudah 

melihat bagaimana si bocah melesat cepat dan tahu-

tahu sudah berdiri di sana. Ditambah dengan kata-

kata yang penuh ejekan, si bocah tentulah setidaknya 

mempunyai nyali yang besar.

“Bocah, kau benar-benar mencari mati datang ke 

sini,” ujar si bopeng dengan suaranya yang serak dan 

pecah. “Tapi, sebagai penghormatan, sebutkan na


mu, supaya nanti kalau ada yang menguburmu, 

orang-orang bisa menuliskan namamu!” Lalu, sambil 

membusungkan dada, si bopeng meneruskan, “Na-

maku Kalamarica, kalau kau mau tahu.”

Wajah Jaka Wulung tidak memperlihatkan per-

ubahan apa pun mendengar si bopeng menyebutkan 

namanya, seakan-akan nama itu tidak berarti apa-apa. 

“Sebetulnya aku tidak mau tahu. Tapi baiklah, Kala-

marica, namaku Jaka Wulung.” Lalu, dengan sengaja 

ia menekankan lagi, “Titisan Bujangga Manik.”

 Sejenak keempat orang di sana tertegun. Sebagai 

orang-orang yang lama malang melintang di dunia si-

lat yang penuh kekerasan, para begal itu pun setidak-

nya pernah mendengar nama-nama para pendekar 

yang punya nama besar, baik yang sudah lama hilang 

dari peredaran maupun yang masih berkeliaran. Bu-

jangga Manik adalah salah satu nama besar yang per-

nah diceritakan oleh guru mereka. 

Dan kini, seorang bocah mengaku sebagai titisan 

Bujangga Manik!

Sementara itu, Dyah Wulankencana pernah sese-

kali mendengar gurunya, Ki Jayeng Segara, menye-

but nama Bujangga Manik. Kedatangan mereka jauh 

dari Jipang Panolan ke seputar Gunung Baribis, se-

lain dalam rangka melarikan diri dari kejaran prajurit


Pajang, tampaknya berkaitan dengan nama ini meski-

pun ia tidak tahu secara persisnya.

Akan tetapi, benarkah Jaka Wulung adalah titisan 

pen dekar besar Bujangga Manik? Dyah Wulanken-

cana makin yakin bahwa Jaka Wulung sudah menjadi 

gila gara-gara jatuh ke dalam jurang.

Tiba-tiba si bopeng tertawa tergelak-gelak. 

“Bocah, jangan mengigau di siang bolong! Geli 

aku mendengarnya!”

Si bopeng, yang mengaku bernama Kalamarica, ter ta-

wa lagi. Lebih keras dan lama. Kini si gorila dan si rak sasa 

wayang golek ikut-ikutan tertawa. Sudah bisa di du ga, 

para begal, seperti kelompok penjahat lainnya, me miliki 

cara tertawa yang sama. Sama-sama menyebalkan!

“Tertawalah kalian,” ucap Jaka Wulung dengan 

sua ra pelan, “sebelum kalian ditertawakan orang.”

Suara Jaka Wulung, sekali lagi, pelan saja. Kesan-

nya, mau didengar atau tidak, ia tidak peduli. Tapi, 

ternyata pengaruhnya luar biasa. Ketiga begal itu 

langsung berhenti tertawa pada saat yang sama. Persis 

seperti suara tiga jangkrik yang langsung diam karena 

sama-sama tergilas kaki seekor gajah!

“Kau memang mencari mati!” pekik Kalamarica. 

Lalu, dengan sekali loncat ia langsung menerkam Jaka 

Wulung seraya menyabetkan kapaknya, “Yeaaaahh!”

Siuuut!

Jaka Wulung menunggu hingga mata kapak itu 

mendekat. Ia kemudian memiringkan tubuhnya be-

berapa jengkal. Kapak itu pun melintas hanya bebe-

rapa jari dari wajahnya. 

Kalamarica sebenarnya bisa menduga gerakan 

meng hindar Jaka Wulung. Oleh karena itu, ia berni at 

mengubah gerakan kapaknya. Secara naluri ia me mang 

harus melakukannya. Tapi, apa yang tidak disangka-

nya adalah tangan Jaka Wulung bergerak sa ngat cepat, 

nyaris tidak terlihat oleh mata Kalamarica. Dan, si bo-

peng ini tidak bisa menghindar ketika jemarinya yang 

menggenggam kapak serasa dihantam sebatang baja. 

Pletak!

Kalamarica memekik kesakitan. 

Kapaknya melayang di udara, tetapi kemudian ti-

dak terdengar bunyi jatuhnya.

Sebab, tahu-tahu kapak itu sudah ada di geng-

gaman Jaka Wulung.

Tidak hanya dua anak buah Kalamarica yang ter-

pana. Bahkan, Dyah Wulankencana terkesima oleh 

sepak terjang Jaka Wulung yang jauh di luar perkira-

annya. Hanya dalam satu pukulan, Jaka Wulung 

mem buat Kalamarica memekik kesakitan dan hanya 

bi sa terbungkuk-bungkuk memegang jemarinya yang

serasa remuk. Alhasil, baik dua begal anak buah Kala-

marica maupun Dyah Wulankencana seolah-olah lu-

pa bahwa mereka mestinya bertempur lagi. Ketiga nya 

tetap berdiri di tempat masing-masing.

Jaka Wulung masih menunggu dengan kapak di 

tangan kanan.

Lalu, katanya, “Bagaimana, Paman Kalamarkisa, 

eh, Kalamarica? Masih mau bertempur lagi?” 

Kalamarica menggeram penuh geram. Selama per-

jalanan kariernya sebagai seorang begal yang sudah 

berlangsung belasan tahun, dan bahkan sekarang 

menjadi pemimpin yang ditakuti di wilayah ini, be-

lum pernah ia mengalami kekalahan sekali pun. Tapi, 

kali ini, dalam sekali gebrak, ia harus merasakan be-

tapa jemarinya remuk dan tak bisa digerakkan sama 

sekali. Dan, yang melakukannya adalah seorang bo-

cah ingus an. Ia benar-benar terhina luar biasa!

Mulutnya yang bergigi bopeng terus meracau, 

“Bocah iblis! Bocah setan! Bocah siluman!” sampai -

sampai ia kesulitan menemukan kata yang lain, “Bo-

cah ... iblis!”

Akan tetapi, untuk melawan lagi, Kalamarica be-

nar-benar kehilangan nyali. Apalagi senjata andal an-

nya, kapak bermata dua, sudah berpindah ke ta ngan 

lawan


Bagaimana dengan dua anak buahnya? Alih-alih 

berniat melawan Jaka Wulung, keduanya merasakan 

betapa tiba-tiba nyali masing-masing ciut menjadi 

sebesar mulut cecurut. 

“Bagaimana, Kang?” tanya salah satu anak buah-

nya, yang wajahnya dipenuhi bulu. Kali ini, ia tidak 

lagi mirip gorila, tetapi lebih mirip seekor lutung. 

Jadi, akan lebih tepat kalau julukannya pun menjadi 

si lutung.

“Bagaimana, bagaimana ... ayo, lawan!”

Si lutung terbengong-bengong mendengar perin-

tah pimpinannya. Tapi, bukannya melancarkan se-

rangan, ia memilih ... “Kabuuur!” teriaknya, lari lin-

tang pukang, seperti lutung dikejar maung. Teriakan 

si lutung seakan-akan menjadi komando bagi si rak-

sasa wayang golek untuk memilih langkah seribu.

Tinggallah Kalamarica yang kini terduduk di 

tanah . Kariernya sebagai begal benar-benar hancur 

dalam sekejap. Ia kehilangan kekuatan jarinya yang 

remuk, kehilangan anak buahnya, dan terbayang di 

matanya, ia kehilangan mata pencahariannya sebagai 

begal. Mau diberi makan apa anak-istrinya di rumah?

“Sudahlah, Paman,” kata Jaka Wulung, “jangan 

menangis seperti anak-anak ....”

“SIAPA YANG MENANGIS, HA?”


“Ya, sudah,” kata Jaka Wulung pula, “tidak perlu te-

riak-teriak begitu. Sakit kupingku.” Jaka Wulung men-

dekati Kalamarica, “Sekarang pulanglah. Carilah pe ker-

jaan yang baik. Kalau kudengar namamu masih ber-

ke liaran membegal orang-orang, aku tak segan-segan 

me remukkan tidak hanya jari-jarimu, tetapi kepalamu!”

Kalamarica menggeram lagi, “Bocah ib ....”

“KAU YANG IBLIS, TAHU!” Jaka Wulung 

meng acungkan kapak andalan Kalamarica di tangan-

nya. “Orang seperti kau seharusnya tidak diberi am-

pun. Tak tahu diri!”

Akan tetapi, gerakan tangannya terhenti di udara. 

Jari-jari yang halus menghentikan gerakan Jaka Wu-

lung, yang sesungguhnya hanyalah gertak belaka. 

Jari-jari Dyah Wulankencana. 

“Sudahlah, Wulung,” kata si gadis. “Dia pasti akan 

menuruti kata-katamu.”

Jaka Wulung tidak menyahut. Bukan semata-mata 

karena ia percaya akan kata-kata Dyah Wulanken-

cana. Lebih dari itu, ia menikmati saat-saat demiki-

an. Dari jemari Dyah Wulankencana mengalir hawa 

hangat, merayap turun melalui pembuluh darah di 

tangannya, kemudian sampai di dadanya. Lalu ke 

hatinya. Mau rasanya Jaka Wulung menjadi patung 

sehingga adegan itu akan terus berlangsung, abadi. 


11.Patah Sebelum Tumbuh


Dyah Wulankencana memandang Jaka Wu-

lung dengan rasa kagum yang luar biasa. 

Beberapa waktu lalu, Jaka Wulung hanya-

lah bocah kumal yang tidak memiliki kemampuan 

apa-apa selain gerak silat seadanya. Kini, Jaka Wu-

lung sudah menjelma menjadi seorang pemuda de-

ngan kemampuan yang sulit dicari tandingannya.

Apa yang terjadi pada bocah aneh ini? pikir Dyah 

Wulankencana.

Di pihak lain, Jaka Wulung memandang Dyah 

Wu lankencana dengan rasa kagum yang berbeda. Kau 

sungguh gadis yang cantik dan menarik, batinnya.


Mata Dyah Wulankencana dan Jaka Wulung sa-

ling memandang, saling mengalirkan denyar yang 

meng hangatkan dada. Kedua dada remaja itu pun 

ber debar-debar bahagia. 

Keduanya tak peduli lagi orang-orang lain di kedai 

makan di sebuah kampung. 

Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah 

yang memerah jambu. 

“Maafkan kami waktu itu,” ujar Dyah Wulanken-

cana pelan. 

“Ah, tidak apa-apa. Tanpa kejadian itu, pasti aku 

tidak akan menjadi seperti ini.”

Keduanya diam lagi, sama-sama merasakan keba-

hagiaan yang baru mereka rasakan. 

“Jadi, kau sendiri hendak menuju ke mana?” tanya 

Jaka Wulung. 

Dyah Wulankencana menarik napas sebelum me-

ngisahkan perjalanannya. “Kami menjalani masa per -

co baan mengembara dua bulan. Guru kami, Ki Ja-

yeng Segara, menugasiku pergi ke arah selatan, Ling-

ga Pra wata ke timur, dan Watu Ageng ke utara. Sete-

lah dua bulan, kami diminta untuk berkumpul lagi di 

pon dok di lereng Gunung Baribis.”

Jaka Wulung mengangguk-angguk. “Sungguh ma -

sa percobaan yang sangat berat bagi gadis muda se


pertimu,” terasa nada suara Jaka Wulung yang me-

nun jukkan kekhawatiran. 

“Tapi, begitulah tugas yang harus kami jalani. Dan, 

aku bisa menjalaninya dengan baik sebelum bertemu 

dengan Kalamarica dan anak-anak buahnya.”

Jaka Wulung tersenyum, “Kau hebat, Wulan, bisa 

menghadapi orang-orang kasar itu dengan baik.”

Dyah Wulankencana menunduk dengan wajah 

sedikit memerah. Selalu begitu, kalau gadis cantik wa-

jahnya memerah, dia akan semakin cantik. “Tapi, ke-

betulan sekali kau muncul. Kalau tidak ....”

“Itu bukan kebetulan, Wulan.”

Dyah Wulankencana mendongak memandang 

Jaka Wulung.

“Maksudku,” Jaka Wulung menunjuk langit, “Dia 

Yang Di Atas pasti sudah mengatur sedemikian rupa 

sehingga aku yang baru saja pulang dari barat ber-

temu dengan kau di tempat pertempuran tadi.”

Dyah Wulankencana mengangguk. Kekaguman-

nya kepada Jaka Wulung bertambah saja. Dalam usia 

semuda itu—paling banyak setahun lebih tua diban-

ding Dyah Wulankencana—Jaka Wulung sudah me-

nunjukkan kebijaksanaan seseorang yang berumur 

dewasa.


“Kalau kau dalam perjalanan pulang, bolehkah 

aku menemanimu?” Jaka Wulung menatap Dyah 

Wu lankencana penuh harap.

Gadis itu tampak berpikir sejenak. “Hmm ... ku-

rasa tidak.”

Jaka Wulung mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

Dyah Wulankencana tersenyum. Manis sekali. 

“Mak sudku, tidak menolak.”

Kerutan di kening Jaka Wulung memudar dengan 

segera. Dicubitnya hidung gadis itu dengan gemas. 

Cubitan sayang.

“Auuww!”

Orang-orang menoleh ke arah Jaka Wulung dan 

Dyah Wulankencana.

Akan tetapi, keduanya tidak ped

JAKA WULUNG dan Dyah Wulankencana berjalan 

pulang ke utara. Mereka menyusuri jalan kampung 

selebar kira-kira lima langkah kaki, terbuat dari tanah 

dan batu-batu. Sebuah gerobak lewat ditarik seekor 

kerbau. Gerobak itu membawa hasil tani berupa padi 

dan palawija. Orang-orang juga banyak yang lewat 

jalan itu. Memang jalan yang cukup ramai.


Di sebuah jalan cabang, mereka mengambil jalan 

lurus. Jalan itu lebih sepi. Hanya satu-dua orang yang 

lewat. Itu pun para pahuma (petani huma) atau orang 

yang baru mencari kayu di hutan.

Mereka memang harus melalui pinggir hutan dan 

melintas satu bukit sebagai jalan yang lebih dekat.

Akan tetapi, itu bukan masalah bagi mereka, anak-

anak muda yang sudah terbiasa mengembara melalui 

hutan, gunung, ngarai, dan tempat-tempat lain yang 

jarang sekali disambangi manusia.

Dyah Wulankencana merasa nyaman berjalan ber-

dua dengan Jaka Wulung. Di pihak lain, Jaka Wulung 

senang menemani gadis itu.

Dunia di sekitarnya serbahijau. Indah tak terkira.

Dunia milik berdua. Orang lain cuma penonton.

Akan tetapi, mendadak keindahan itu buyar.

“Hiyaaaaaaaa!”

Sesosok tubuh manusia melayang dari kanan Jaka 

Wulung. Jaka Wulung terkesiap karena ia sama sekali 

tidak menyangka. Ia terlampau asyik bercakap-cakap 

dengan Dyah Wulankencana sehingga kewaspadaan-

nya menurun.

Jaka Wulung hanya memasang tangannya di luar 

sadarnya, untuk melindungi diri dan, terutama, kha-

wa tir kalau-kalau serangan itu ditujukan kepada Dyah 

Wulankencan



Terjadi benturan keras dan Jaka Wulung merasa-

kan seakan-akan tangannya dihantam dengan kayu 

besi! Jaka Wulung terdorong mundur tiga langkah, 

tetapi dengan cepat mempersiapkan diri menjaga ke-

mungkinan dari serangan berikutnya. 

Orang itu rupanya menyerangnya dengan sapuan 

kaki kanan dan ia juga terdorong mundur tiga lang-

kah. Wajahnya merah padam.

“Lingga!” teriak Dyah Wulankencana.

“Bocah setan!” pekik orang yang menyerang itu, 

yang ternyata Lingga Prawata, saudara seperguruan 

Dyah Wulankencana. “Rupanya kau masih hidup 

...!” Lingga Prawata mencabut kerisnya dan langsung 

me nyerang Jaka Wulung membabi buta.

“Lingga! Jangan!” pekik Dyah Wulankencana lagi.

Akan tetapi, Lingga Prawata tidak mendengar te-

riakan gadis itu. Telinganya sudah tidak mende ngar 

suara lain. Ia hanya bisa mendengar suara hatinya 

sendiri, suara hati yang dilambari dengan kemarahan 

dan ... cemburu buta! 

Jaka Wulung menghindari serangan Lingga Prawa-

ta. Sebenarnya ia bisa saja melakukan serangan balik. 

Orang yang marah besar dan cemburu buta akan mu-

dah kehilangan penguasaan diri. Ia akan terus menye-

rang dan mengabaikan pertahanannya. Dan, itulah 

yang terjadi pada Lingga Prawata.

Jaka Wulung sesungguhnya marah juga mendapat 

serangan tiba-tiba. Dan, si penyerang adalah Lingga 

Pra wata, orang yang telah menyebabkannya celaka 

tempo hari sehingga jatuh ke jurang dalam. Ingin juga 

ra sanya memberikan perlawanan yang sepadan bagi 

anak sombong itu. 

Akan tetapi, Jaka Wulung masih memper tim bang-

kan Dyah Wulankencana. Akan apa jadinya kalau ia 

men celakakan saudara seperguruan gadis itu? Seperti 

se ring terjadi, hubungan dengan saudara seperguruan 

acap kali lebih kuat dibanding dengan saudara sekan-

dung. Apalagi antara ia dan Dyah Wulankencana sa-

ma sekali tidak ada hubungan apa-apa—kecuali bah-

wa ia merasa bahagia berdekatan dengannya.

Oleh karena itu, Jaka Wulung hanya bisa menghin-

dari apa pun jenis serangan Lingga Prawata. Kadang 

ia meloncat mundur, kadang menekuk tubuh, atau 

juga berguling di tanah. 

Lingga Prawata heran sekaligus semakin marah. 

Selama berbulan-bulan ini ia terus meningkatkan il-

munya di pondok sunyi di lereng Gunung Baribis. 

Ki Jayeng Segara sudah menurunkan semua ilmunya. 

Kemajuan yang dialami Lingga Prawata pun sudah 

cukup jauh melampaui Watu Ageng dan Dyah Wu-

lankencana. Ia memang memiliki bakat alam yang 

kuat dibanding dua adik perguruannya.


Dalam dua bulan pengembaraannya, Lingga Pra-

wata juga terus meningkatkan ilmunya, baik melalui 

latihan sendiri sepanjang perjalanan maupun dengan 

pertempuran melawan orang lain. Ia dua kali harus 

bertempur dengan para pembuat onar di sebuah kam-

pung. Di sana ia mampu mengalahkan dua pembuat 

onar yang sebelumnya ditakuti seluruh kampung.

Ketika masa pengembaraannya hampir selesai, ia 

memang sengaja memutar ke selatan sambil bertanya-

tanya kepada orang-orang, barangkali pernah melihat 

gadis muda dengan ciri-ciri yang dimiliki Dyah Wu-

lankencana. Rasa penasarannya terjawab. Ia senang 

karena akhirnya bisa mencium jejak gadis itu. 

Akan tetapi, hatinya dibakar rasa cemburu ketika 

dilihatnya Dyah Wulankencana justru berjalan sam-

bil bercakap akrab berdua dengan Jaka Wulung.

Dan, kini Lingga Prawata semakin mendidih da-

rahnya ketika setelah puluhan jurus tak mampu juga 

senjatanya menyentuh, jangankan kulit Jaka Wulung, 

bahkan bajunya pun tidak.

“Bocah setan, ayo lawan!” pekik Lingga Prawata. 

“Jangan menghindar terus seperti banci!”

Bagi Lingga Prawata, kemampuan Jaka Wulung 

un tuk menghindari setelah sekian jurus sungguh 

mem buatnya heran. Keheranan pertama, bagaimana 

ca ra Jaka Wulung selamat dari kecelakaan jatuh ke


jurang? Yang kedua, ya inilah, bagaimana mungkin 

Jaka Wulung mampu menghindari serangan-serang-

an maut Lingga Prawata? 

Di pihak lain, meskipun hatinya mulai panas ju-

ga, Jaka Wulung enggan terpancing oleh kata-kata 

pedas Lingga Prawata. Sambil terus menghindar itu-

lah Jaka Wulung akhirnya bertanya-tanya mengapa 

orang-orang selalu mengatainya sebagai “bocah se-

tan”. Apakah aku benar-benar keturunan setan? tanya 

hati Jaka Wulung. Tapi, ia menjawab sendiri perta-

nyaannya, Tidak mungkin. Sebab, hanya orang-orang 

jahatlah yang menyebutnya “bocah setan”. Kalau be-

gitu, apakah Lingga Prawata termasuk orang jahat? Ia 

jahat karena merusak kebahagiaannya bersama Dyah 

Wulankencana.

“Lingga! Hentikan!” seru Dyah Wulankencana ber -

kali-kali.

Akan tetapi, berkali-kali pula Lingga Prawata meng -

abaikan teriakan gadis itu. Lingga Prawata bahkan me-

mutuskan untuk menggunakan ilmu yang paling dian-

dalkannya: gagak rimang. 

“Bocah setan, bersiaplah!”

Jaka Wulung mengenali gerak jurus maut itu. Dan, 

ia tidak mau lagi menjadi sasaran ilmu yang dilandasi 

kemarahan memuncak. Oleh karena itu, ia pun ber

siaga dengan ilmu andalannya pula: gulung maung. 

Jaka Wulung dengan cepat menyalurkan tenaga da-

lam nya ke kedua tangannya, lalu ke jari-jemarinya 

yang mengembang seperti cakar harimau. 

Grrrhh ...!

Belum pernah Jaka Wulung menggunakan ilmu 

ini untuk ditujukan kepada manusia mana pun. Ia 

bahkan belum lagi mencobanya setelah kali terakhir 

di Bukit Sagara ia hanya mampu mematahkan dahan 

pohon. Jadi, ia kini seperti sedang berjudi ....

Sebelum Lingga Prawata melancarkan serangan-

nya, Jaka Wulung sudah mendahuluinya. Sebuah ge-

lombang tak kasat mata meluncur cepat mengarah ... 

sebatang pohon! 

DUARRR!

Terdengar ledakan keras. Pohon yang batangnya 

sebesar tubuh manusia dewasa itu dihantam sebuah 

kekuatan yang luar biasa. 

Bergoyang-goyang beberapa jenak, kemudian ba-

tangnya ambruk berdebum ke tanah di antara Jaka 

Wu lung dan Lingga Prawata, menerbangkan debu 

dan dedaunan kering ke udara.

Beberapa saat kemudian hening.

Tak ada yang berbicara. Bahkan, tak ada yang 

bergerak


Ketiganya terpaku di tempat masing-masing de-

ngan pikiran sendiri-sendiri.

Jaka Wulung menarik napas meredakan perasaan-

nya yang campur aduk. Dipandangnya wajah Dyah 

Wulankencana untuk kali terakhir sebelum ia melon-

cat dan melesat pergi ke arah utara.

“Wuluuuung ...!”

Pekikan Dyah Wulankencana dengan cepat men-

jadi samar di telinganya. 

Jaka Wulung berlari seakan dikejar setan. Hati-

nya remuk redam. Kebahagiaannya bertemu dengan 

Dyah Wulankencana hanya berlangsung sekejap. Ia 

harus merelakan gadis itu. Dyah Wulankencana bu-

kanlah miliknya. Meskipun tidak pernah terucap, 

Jaka Wu lung tahu bahwa Lingga Prawata cemburu 

buta. Cemburu itu tanda cinta. Itu berarti telah ada 

hubungan antara Lingga Prawata dan Dyah Wulan-

kencana.

Lagi pula, ia tidak yakin apakah Dyah Wulanken-

cana menyukainya juga.

Jadi, Jaka Wulung merasa bahwa ia harus melu-

pakan gadis itu.

Tak terasa pipinya basah oleh air mata.

Hatinya patah sebelum tumbuh berkembang. 


12.Kemelut di Bukit Sagara


Angin meniup pelan di lereng Bukit Saga ra. 

Matahari menyapa dedaunan perdu yang 

ber goyang-goyang disentuh cipratan air 

pan curan. Suara gemercik air ditingkahi cericit bu-

rung -burung menyambut hari baru. Udara harum 

tercium.

Sejenak Resi Darmakusumah memejamkan mata-

nya, merasakan segarnya berendam di dekat pancur-

an. Hampir tiap hari ia berendam di sana, tetapi se-

tiap kali itu pula ia selalu merasakan keindahan alam 

di sana. Sungguh keindahan yang tak terkira. Resi Dar-

makusumah makin larut dalam pengakuan akan ke-

be saran Sang Pencipta.


Mendadak telinganya menangkap bunyi samar 

yang aneh. Seperti jauh, tetapi rasanya dekat. Seperti 

ketukan tak berirama entah di mana, tetapi juga se-

perti langkah kaki yang sangat berhati-hati.

Resi Darmakusumah berdebar-debar.

Perlahan ia bangkit dari air kali, naik ke rerumput-

an, mengambil bajunya, lalu melangkah cepat me-

nuju pondok. 

Tak ada siapa-siapa di pondoknya.

Suasana tetap sunyi seperti hari-hari kemarin. Ba-

yangan pohon rasamala rebah memanjang di hala-

man pondok. Dedaunannya bergoyang pelan.

Akan tetapi, kesunyian itu terasa mencekam sang 

Resi. 

Ia beranjak ke dalam pondok kecilnya, menuju ru-

ang di sudut belakang, tempat ia menyimpan kitab-

kitab pusaka. Sarang laba-laba saling melintang dan 

Resi Darmakusumah menarik napas panjang. 

Tiba-tiba ia teringat muridnya, Jaka Wulung. Di-

panjatkannya doa, semoga bocah itu selamat dalam 

perjalanannya dan menyerap pengetahuan apa pun di 

mana pun. 

Bocah itu punya bakat yang langka, batin Resi Dar-

makusumah. Mungkin aku terlampau cepat me le pas-

nya. Dia masih perlu bimbingan, baik dalam kanura


gan maupun dalam sastra. Kuharap dia tidak meng-

alami musibah.

%

AKAN TETAPI, ihwal musibah, tidak seorang pun 

bisa men duganya. 

Telinga Resi Darmakusumah menegang ketika di-

dengarnya suara samar langkah-langkah manusia di 

luar pondoknya. Mungkin masih agak jauh, tetapi 

makin lama makin jelas bahwa langkah-langkah itu 

makin dekat menuju kediamannya. Ia memastikan 

itu bukan Jaka Wulung. Ia sangat mengenal cara me-

langkah muridnya. Siapa dia?

Tunggu.

Tidak hanya satu, tetapi dua .... Tiga malah. Le bih 

....

Siapa mereka? Ada tujuan apakah mereka menuju 

kemari? Selama bertahun-tahun tempat ini benar-

benar tempat yang damai. Apakah mereka sudah me-

nemukan tempat persembunyiannya? Apakah mere-

ka masih terus mengejar kitab-kitab yang sekarang 

ada di tangannya?

Ada rasa penyesalan di dalam dada Resi Darmaku-

sumah. Mungkin ia terlalu yakin bahwa persembu-

nyiannya sudah aman, tidak bakal tercium oleh mere


yang berambisi memiliki kitab-kitab pusaka di ta-

ngannya. Boleh jadi ia terlalu khusyuk dalam semadi 

memuja Yang Mahatinggi. Tapi, apa pun alasannya, 

penyesalan sudah tidak berguna lagi.

Bukit Sagara yang indah dan damai kini terancam 

ternoda.

Ada keinginan untuk lari dari tempat itu sebelum 

mereka datang. Tapi, Resi Darmakusumah akhirnya 

memutuskan menghadapi mereka apa pun yang ter-

jadi. Lagi pula, kalaupun pergi diam-diam, ia tidak 

yakin apakah akan bisa lolos dari mereka. Ia tidak tahu 

siapa saja dan seberapa besar kemampuan me reka.

Resi Darmakusumah sudah menunggu di pintu 

pondoknya ketika orang pertama muncul. 

Orang pertama adalah laki-laki yang sulit ditebak 

usianya. Tubuhnya lebih kekar daripada Resi Darma-

kusumah sehingga kelihatan lebih muda. Tapi, wa-

jahnya tirus dan penuh dengan keriput sehingga keli-

hatan lebih tua dari Resi Darmakusumah. Lagi pula, 

kepalanya gundul, bukan karena digunduli, melain-

kan rambutnya rontok semua dan tidak mau tumbuh 

lagi. Di tangannya tergenggam erat cambuk berujung 

baja yang setajam belati.

“Selamat pagi, Resi,” ucapnya seraya tersenyum misterius.


Resi Darmakusumah mengerutkan keningnya, “Oh, 

rupanya Ki Wira alias Si Cambuk Maut. Aku nya ris ti-

dak mengenalmu. Sekarang kepalamu gundul.”

Ki Wira terkekeh-kekeh, memperlihatkan mulut-

nya yang tidak lagi bergigi. “Setelah dua puluh tahun, 

Resi, akhirnya kita bertemu lagi.”

Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. “Ya, 

ya. Tampaknya ada keperluan penting sehingga Ki 

Wira jauh-jauh dari pantai utara mengunjungi tem-

pat sepi ini.”

“Tentu saja, Resi. Pertama-tama, aku kangen un-

tuk berjumpa kawan lama. Kedua, aku dengar kau 

pu nya benda yang menarik. Jangan rakus, Resi, ber-

ba gilah dengan sahabat.”

Resi Darmakusumah mengernyit lagi. “Benda apa -

kah yang menarikmu sejauh ini?”

Ki Wira terkekeh lagi. “Sudahlah, Resi. Dulu aku 

memang kalah ketika kali terakhir kita bertempur. 

Tapi, selama dua puluh tahun ini aku sudah mening-

katkan ilmuku. Begitu kerasnya aku berupaya sam-

pai-sampai rambut dan gigiku tak mau tumbuh lagi. 

Seka rang perlihatkanlah barang milikmu kepadaku 

sebelum datang orang lain ....”

Belum selesai kata-kata Ki Wira, sudah muncul 

orang lain seakan-akan tidak diketahui dari mana 

datangnya.


Ia seorang perempuan yang kira-kira sebaya de-

ngan Resi Darmakusumah dan Ki Wira. Rambutnya 

yang sebagian besar sudah berwarna putih dibiarkan 

berkibar ditiup angin. Tapi, wajahnya masih mem-

perlihatkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya. Ia 

ti dak kelihatan membawa senjata apa pun, tetapi ta-

tapan matanya tajam seperti mata elang. Di tubuh-

nya hanya melintang sehelai selendang merah yang 

ujungnya tergenggam di tangan kanan. 

“Ah, kalau punya sesuatu, jangan dihabisi berdua,” 

kata perempuan itu. “Aku juga tak mau ketinggalan 

oleh kalian.”

Resi Darmakusumah dan Ki Wira sama-sama me-

mandang perempuan itu dengan kening berkerut. 

Ki Wiralah yang mula-mula mengenali perem-

puan itu. Ia terkekeh-kekeh, “Ah, Siluman Cantik 

dari Karang Bolong pun datang.”

Resi Darmakusumah mengangguk-angguk. “Hmm 

... Nyai Purwati rupanya. Sungguh kehormatan ba-

giku.”

Nyai Purwati tertawa. Sekilas tawanya terdengar 

renyah di telinga, seperti tawa riang seorang remaja. 

Tapi, akan terasa kemudian bahwa suara tawa itu me-

ngandung tenaga dalam tersembunyi yang membuat


siapa pun yang mendengarnya lama-lama akan bergi-

dik ngeri.

“Ah, benar kata Ki Wira. Cepatlah kau perlihatkan 

benda yang kini di tanganmu itu. Aku yakin itu bukan-

lah benda milikmu. Oleh karena itu, lebih baik kita 

pelajari saja bersama-sama. Bukankah bersama-sama 

kita bisa menjadi kekuatan yang sangat dahsyat?”

Resi Darmakusumah memandang Nyai Purwati 

seraya menarik napas dalam. Ia juga memandang 

Ki Wira. Ki Wira memandang Resi Darmakusumah 

dan Nyai Purwati bergantian dengan mulut terkekeh. 

Nyai Purwati memandang Resi Darmakusumah dan 

Ki Wira sambil menyunggingkan senyumnya yang 

masih menyisakan aura kecantikan.

Mereka saling pandang dan belum ada yang ber-

sua ra lagi. Jadi, suasana hening beberapa jenak.

Akan tetapi, keheningan itu pecah ketika dalam 

waktu yang nyaris bersamaan, meloncat dua orang dari 

arah yang berbeda. Dari arah timur, muncul perem-

puan berpakaian putih-putih. Rambutnya hitam tebal, 

sebagian digelung dan sisanya tergerai ke punggung. 

Lehernya seperti kulit langsat. Usianya menjelang 40 

tahun, tetapi masih kelihatan cantik. Ya, ia adalah Se-

kar Ayuwardhani atau yang lebih dikenal sebagai Ma-

war Beracun dari Bhumi Sambhara Budhara.


Dari arah utara muncul lelaki berusia 40-an juga, 

menyandang pedang panjang yang melengkung di 

punggung. Dialah Mahesa Geni dari Gunung Maha-

meru. 

Baik Sekar Ayu maupun Mahesa Geni terkejut 

melihat keberadaan para orang tua itu. Tapi, mereka 

segera meredam keterkejutan itu dan mulai memper-

hatikan satu per satu siapa mereka. Sekar Ayu belum 

pernah bertemu dengan Ki Wira. Tapi, melihat pe-

nampilannya yang aneh dengan senjata cambuk di 

tangan, Sekar Ayu segera mengenali bahwa lelaki 

bo tak itu adalah Si Cambuk Maut. Sekar Ayu juga 

be lum pernah bertemu dengan Nyai Purwati. Tapi, 

dari ciri-cirinya ia langsung bisa menebak bahwa ne-

nek yang masih kelihatan cantik itu adalah Siluman 

Cantik dari Karang Bolong. Dan, orang berjubah di 

depan pondoknya tentulah sang tuan rumah, Resi 

Darmakusumah.

Lalu, siapa lelaki yang datang pada saat yang ham-

pir bersamaan dengannya? Rasanya Sekar Ayu pernah 

berjumpa dengannya, entah di mana. 

Akan halnya Mahesa Geni, seperti Sekar Ayu, ia 

bisa mengenali para tokoh golongan tua itu dari pe-

nampilan mereka. Mahesa Geni membungkuk ke-

pada mereka, juga kepada Sekar A


“Mohon dimaafkan kalau saya mengganggu per-

temuan para orang tua di sini.” Lalu, katanya kepa-

da Sekar Ayu, “Senang juga bisa berkenalan dengan 

Mawar Beracun di sini.”

Sekar Ayu memandang Mahesa Geni dengan ke-

ning berkerut. 

Ki Wira tertawa. Karena ompong, suara tawanya 

terdengar aneh, seperti mengandung suara siulan. 

“Ah,” katanya setelah tawanya reda, “Mawar Beracun 

dari Bumi Sambhara Budhara. Sungguh bukan nama 

yang kosong. Dunia persilatan benar-benar tak per-

nah kehilangan kelompok muda yang hebat. Juga Ki 

Sanak yang berpedang panjang. Ki Sanak pasti juga 

bukan orang sembarangan.”

“Nama saya Mahesa Geni. Sayang saya tidak pu-

nya julukan apa pun.”

Nyai Purwati tertawa. “Mungkin Pendekar Pe dang 

Panjang nama yang cocok. Atau Pendekar Sumpit 

Maut?”

Mahesa Geni menoleh ke arah Nyai Purwati de ngan 

kening berkerut. Mungkinkah nenek ini melihat ketika 

ia menggunakan sumpitnya di tepi Sungai Ci Pamali?

Bagaimana mungkin aku tidak tahu keberadaannya?

Tiba-tiba terdengar tawa membahana, menggetar-

kan udara di sekitarnya, dan menggetarkan dada si


apa pun yang mendengarnya. Tawa yang mengan-

dung ilmu gelap sayuta. 

Raksasa Kembar dari Segara Anakan sama-sama 

meloncat dari balik pohon. Orang-orang di sana ter-

kejut. Tidak mungkin tawa hanya dua raksasa itu 

mampu menggetarkan dada mereka. Ternyata benar, 

di belakang mereka muncul seseorang yang juga ber-

tubuh raksasa. Bedanya, ia kelihatan lebih tua karena 

kepalanya sudah botak nyaris seluruhnya, tinggal me-

nyisakan helai-helai rambut putih di belakang dan di 

dekat telinganya. Dialah yang melalui tawanya mene-

barkan ilmu gelap sayuta, yang kekuatannya berlipat-

lipat dibanding gelap sayuta-nya si raksasa kembar.

Nyai Purwati memandang si raksasa tua. “Hmm ... 

rupanya bayi kembar itu belum punya nyali sehingga 

masih harus nggandul gurunya ....”

Cingkarabala dan Balaupata sudah hendak meng-

acungkan gadanya ke arah Nyai Purwati, tetapi sang 

guru menahan keduanya.

“Ah, Anak-Anak Manis,” kata Nyai Purwati ke-

pada raksasa kembar itu, “lebih baik kalian di rumah 

saja.”

“Nyai, sudahlah,” kata si raksasa tua menggelegar. 

Bagaimanapun, tersinggung juga ia. Murid-murid 

yang ia banggakan, yang telah menebarkan ketakutan


wilayah Segara Anakan dan sekitarnya, hanya di-

anggap sebelah mata oleh perempuan itu. 

Sementara itu, mendengar kata-kata Nyai Purwa-

ti, Sekar Ayuwardhani menunduk menahan tawa. 

Baik Cingkarabala maupun Balaupata melihat ge-

rakan Sekar Ayu dan keduanya sama-sama melotot ke 

arah si Mawar Beracun. 

Akan tetapi, keinginan raksasa kembar itu untuk 

mem balas dendam terhadap Sekar Ayu harus mereka 

pendam dulu ketika terdengar kata-kata Brahala, guru 

mereka, yang menggelegar. “Kenapa kalian justru sa-

ling bertegur sapa seperti terhadap sahabat lama?”

Nyai Purwati tertawa genit. “Jadi, apa maumu, 

Brahala?”

Brahala memandang Nyai Purwati, kemudian ber-

turut-turut menatap Ki Wira, Mahesa Geni, Sekar 

Ayuwardhani, dan akhirnya Resi Darmakusumah. 

Lalu, katanya, “Bukankah kita datang ke sini untuk 

merebut pusaka di tangan Resi Darmakusumah?”

“Dan, kau ingin pusaka itu?” tanya Ki Wira.

“Hahaha, tentu saja! Dan kau, kalian semua, buat 

apa jauh-jauh datang ke sini?”

“Maksudku, bagaimana kau akan mendapatkan-

nya?” tanya Ki Wira lagi.

Ditanya seperti ini, Brahala terdiam. Ia menyadari 

bahwa orang-orang yang datang memiliki kemam


puan yang sulit ditakar. Mungkin ia bisa menandingi 

Ki Wira, Nyai Purwati, atau bahkan Resi Darmaku-

sumah secara sendiri-sendiri. Tapi, bagaimana kalau 

ia menghadapi mereka secara bersama-sama? 

Akan tetapi, bukan hanya Brahala yang kebingung-

an. Ki Wira, Nyai Purwati, Mahesa Geni, dan Sekar 

Ayuwardhani, apalagi raksasa kembar dungu macam 

Cingkarabala-Balaupata, juga sama-sama bingung ba-

gai mana mereka bisa merebut benda yang mere ka in-

car, yang kini berada di tangan Resi Darmakusumah. 

“Ki Sanak yang bersembunyi di sana,” Ki Wira 

menunjuk sebatang pohon di arah timur, “mungkin 

Ki Sanak punya usul bagaimana kita mendapatkan 

kitab pusaka itu?” 

Kata-kata Ki Wira alias Si Cambuk Maut kede-

ngarannya hanya pertanyaan biasa-biasa saja. Tapi, 

di balik itu, tentu saja Ki Wira sedang menunjukkan 

pengamatannya yang sangat tajam, yang tidak bisa 

dilakukan oleh sembarang orang. Bahkan, Nyai Pur-

wati dan Brahala pun terkejut karena mereka tidak 

menyadari ada orang lain lagi di sekitar mereka.

Seorang lelaki meloncat dari balik sebuah pohon, 

lalu mendekat kepada kelompok yang sedang menge-

pung pondok Resi Darmakusumah. Ia lelaki berusia 

awal 40-an dengan wajah yang keras dan sorot mata


tajam. Dialah Ki Jayeng Segara, tokoh penting di 

masa kejayaan Jipang Panolan. Di perutnya terselip 

keris dengan gagang dan warangka hitam.

Ki Wira mengerutkan keningnya memandang Ki 

Jayeng Segara, seakan-akan sedang menggali ingat an-

nya mengenai siapa lelaki di depannya. Tapi, ia meng-

geleng pelan. Begitu juga Nyai Purwati dan Bra hala. 

Pengetahuan seseorang tampaknya menjadi ter batas 

terhadap orang yang berbeda cukup jauh usianya.

“Selamat datang, Ki Sanak. Lebih baik Ki Sanak 

segera memperkenalkan diri,” kata Ki Wira.

Sekar Ayuwardhani menyela melalui tawanya yang 

renyah. “Kelompok orang tua memang sering meng-

ang gap enteng orang-orang muda,” katanya. “Kalau ti-

dak salah lihat,” mata Sekar Ayu memandang keris yang 

menyelip di perut Ki Jayeng Segara, “Ki Sanak ini ten-

tulah tokoh penting dari Kadipaten Jipang. Barangkali 

dia orang kedua atau ketiga Arya Penangsang sendiri.”

Baik Ki Wira, Nyai Purwati, maupun Brahala sa-

ma-sama terkejut. Arya Penangsang adalah sosok yang 

tentu saja menggetarkan hati mereka. Dan, mere ka 

yakin tokoh kedua atau ketiga Kadipaten Jipang bu-

kanlah tokoh sembarangan.

Ki Jayeng Segara membungkuk. “Saya sebenarnya 

datang bukan untuk kitab pusaka seperti Ki Sanak


semua. Tapi, akhirnya saya tertarik untuk mengeta-

hui apa sebenarnya yang terjadi di sini.”

Ki Wira tertawa. “Terserah apa tujuanmu, Ki Sa-

nak. Tapi, karena sudah berada di sini, bukankah Ki 

Sanak akan ikut juga berebut benda pusaka?”

Akan tetapi, sebelum Ki Jayeng Segara menjawab, 

terdengar suara tawa yang panjang. Suara tawa dari 

dua orang. Lelaki dan perempuan. Dan, ketika su-

ara tawa mereka belum hilang, kedua orang itu sudah 

mela yang dan hinggap tepat di ruang kosong di sebe-

lah Nyai Purwati. 

Tatapan semua orang kini mengarah kepada sepa-

sang lelaki dan perempuan itu. Si lelaki memiliki ku-

mis tebal dan sorot mata tajam, sedangkan si perem-

puan berwajah cantik dan berpakaian ketat. Sekilas 

keduanya sama-sama berusia sekitar 45 tahun. Di 

punggung mereka menyilang pedang panjang.

“Ah, rupanya kalian,” ucap Nyai Purwati sambil 

menggeleng-geleng. “Sepasang Rajawali dari Pelabuh-

an Ratu. Sungguh kalian tidak berubah sejak puluhan 

tahun lalu. Tetap awet muda. Tetap gagah dan can-

tik.” Ada nada iri pada kata-kata Nyai Purwati.

Ki Wira dan Brahala mengangguk-angguk.

Akan tetapi, Sekar Ayuwardhani, Mahesa Geni, 

Ki Ja yeng Segara, dan Raksasa Kembar dari Segara


Anakan terkejut mendengar siapa mereka itu. Nama 

me reka sudah tersohor di dunia persilatan. Teruta-

ma nama mereka sebagai pasangan. Sebab, orang 

tak pernah menyebut mereka secara sendiri-sendiri. 

Na ma ma sing-masing hilang oleh nama mereka se-

bagai pasang an yang tak terpisahkan. Entah dengan 

ra muan apa, sepasang rajawali itu tetap tampak ber-

usia muda, padahal usia mereka sudah enam puluhan 

tahun, sama dengan Ki Wira dan lain-lain.

“Nah,” kata si rajawali jantan. “Kami ternyata be-

lum terlambat tiba di tempat ini. Rupanya kalian le-

bih senang saling memperkenalkan diri seakan-akan 

kalian sedang kangen-kangenan. Bukankah tujuan 

kalian adalah merebut kitab pusaka? Mengapa tidak 

ada satu pun yang mulai bergerak?”

Brahala mengerutkan keningnya sebelum berkata 

dengan suaranya yang mengguntur, “Kau punya usul 

bagaimana kita melakukannya?”

Si rajawali jantan tertawa panjang. “Otak kalian 

tampaknya makin tua makin mengerut. Tentu saja 

sekarang kita kepung pondok ini dan keroyok Resi 

Darmakusumah. Setelah kita dapat pusaka itu, kita 

tentukan nanti melalui pertarungan yang adil di an-

tara kita. Bagaimana?”

“Setuju!” teriak si rajawali betina. Tentu saja


Kelompok tua di antara mereka, Ki Wira, Nyai 

Pur wati, dan Brahala, terpaksa mengangguk-angguk 

meskipun hati mereka mangkel disebut otak mere ka 

mengerut. Adapun kelompok yang lebih muda, Se-

kar Ayuwardhani, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, 

dan Cingkarabala-Balaupata, sama-sama terdiam me-

nunggu.

Sementara itu, Resi Darmakusumah berdebar-

de bar melihat perkembangan yang terjadi. Dari se-

mu la ia lebih suka berdiam diri seraya mencari cara 

bagaimana meloloskan diri dari mereka. Terhadap 

siapa pun Resi Darmakusumah tidaklah jeri kalau 

ber hadapan satu per satu. Atau paling banyak dua 

atau tiga. Tapi, menghadapi keroyokan mereka, per-

soalannya akan sangat berbeda. 

Resi Darmakusumah hanya bisa mengukur sebe-

rapa jauh niat mereka untuk memiliki kitab di ta-

ngannya. Ki Wira, Nyai Purwati, dan Brahala serta 

dua muridnya jelas adalah orang-orang dari golongan 

hitam yang sangat rakus terhadap apa pun di dunia 

ini. Ki Wira dan Nyai Purwati mungkin saja keli-

hatan akrab ketika pertama kali berjumpa tadi. Tapi, 

bagi mereka, nyawa hanyalah salah satu unsur kecil 

kehidupan. Mereka mampu membunuh dengan da-

rah dingin sambil memperlihatkan sikap bercanda.


Sepasang Rajawali itu, setahu Resi Darmakusu-

mah, sulit diketahui apakah termasuk golongan hi-

tam atau putih. Mungkin orang seperti merekalah 

yang masuk golongan abu-abu. Adapun terhadap Se-

kar Ayu, Mahesa Geni, dan Ki Jayeng Segara, penge-

tahuan Resi Darmakusumah sangat terbatas. Jadi, ia 

hanya menunggu apa yang akan terjadi.

“Nah, Resi,” ujar si rajawali jantan, menghadap 

lang sung Resi Darmakusumah. “Tampaknya tak ada 

pi lihan lain. Kauserahkan kitab-kitab pusaka di ta ngan-

mu, atau kami akan memaksamu menyerahkan nya.”

Resi Darmakusumah berdeham. “Setahuku,” kata-

nya, “kalian, Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, 

bukanlah jenis orang yang senang memburu kitab 

seperti ini.”

Sepasang Rajawali itu tertawa bersama-sama. Tam-

paknya mereka sudah terbiasa untuk tertawa bersama-

sama. Maklum, mereka sudah selama sekitar 40 tahun 

hidup bersama. Sejak sama-sama remaja. 

“Resi,” kata si rajawali jantan, “meskipun silsilah-

nya sudah berjauhan, aku yakin bahwa kita masih 

sama-sama keturunan raja-raja besar Negeri Sunda. 

Tapi, aku tidak peduli soal itu. Yang kupedulikan, aku 

juga masih berhak atas kitab-kitab pusaka peninggal-

an para leluhur. Nah, sekarang kesempatan bagiku 

terbuka lebar. Mengapa tidak kuambil?”


“Benar, Kakang,” timpal si rajawali betina. “Sudah 

saatnya kita membangun nama lebih besar sebelum 

kita moksa dari dunia.”

Resi Darmakusumah menarik napas dalam-dalam. 

Ia mundur selangkah ketika Sepasang Rajawali itu 

melangkah maju setapak. Pada saat yang sama, Ki 

Wira, Nyai Purwati, dan Brahala juga melangkah ma-

ju. Kini lima tokoh dengan ilmu yang sulit di ukur 

ke dalamannya mengepung Resi Darmakusumah se-

te ngah lingkaran. 

Berturut-turut dari sebelah kanannya adalah Nyai 

Purwati, si rajawali jantan, si rajawali betina, Ki Wira, 

dan Brahala. 

Nyai Purwati, alias Siluman Cantik dari Karang 

Bolong, sudah menggenggam erat ujung selendang 

merahnya. Pada masa mudanya, ia pernah bertempur 

dan merasakan betapa hebatnya ilmu Resi Darmaku-

sumah. Kalau saja sendirian, ia tentu merasa jeri. 

Tapi, kini ia bersama empat tokoh lain yang setara 

ilmunya sehingga hatinya menjadi yakin.

Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu sudah sa-

ma-sama meloloskan pedang panjang di punggung 

mereka. Sepasang pedang yang sudah memantapkan 

nama mereka terutama di pesisir selatan Jawa Dwipa 

bagian barat. Mereka belum pernah bentrok langsung

dengan Resi Darmakusumah, tetapi mereka pernah 

bertempur dengan Nyai Purwati dan ilmu mereka ti-

dak kalah dibanding siluman cantik itu.

Ki Wira alias Si Cambuk Maut sudah pula meng-

uraikan cambuknya. Bahkan, berkali-kali sudah di ma-

in kan nya cambuk itu. TAR! TAR! Bunyinya me ngan -

dung gelombang yang menyakitkan telinga sia pa pun 

yang mendengarnya. Memekakkan sekaligus me ne-

barkan aroma maut melalui bau racun di ujung nya .

Sementara itu, Brahala memutar-mutarkan gada 

raksasanya, yang panjangnya hampir separuh tubuh-

nya. Ia menamai gadanya Rujak Polo. Padahal, Ru-

jak Polo adalah gada milik Bima. Tapi biarlah, seper-

ti umumnya raksasa, Brahala juga memiliki isi otak 

yang tidak terlalu besar. Karena memang bertubuh 

besar, masih beruntung ia memiliki tenaga raksasa, 

dan itulah yang menjadi andalannya.

Benar-benar tak ada ruang bagi Resi Darmaku-

sumah untuk meloloskan diri.

Sementara itu, kelompok yang lebih muda, Sekar 

Ayu, Mahesa Geni, Ki Jayeng Segara, dan Raksasa 

Kembar dari Segara Anakan, masih sama-sama me-

nung gu perkembangan. Meskipun tidak tahu apa 

yang akan terjadi, kelompok ini berharap para tokoh 

tua itu saling bertempur di antara mereka.


Rupanya Brahala sudah tidak sabar lagi. Ia melon cat 

dan langsung menghantamkan Rujak Polo-nya meng-

arah ke kepala Resi Darmakusumah. Sang Resi meng-

hindar dan gada raksasa itu menghantam sebong kah 

batu yang kemudian hancur berkeping-keping men-

jadi kerikil yang beterbangan ke segala arah! 

Dalam waktu yang bersamaan, ujung pedang Se-

pa sang Rajawali meluncur mengarah Resi Darma-

kusumah yang belum memiliki kuda-kuda setelah 

menghindari serangan Brahala. Resi Darmakusumah 

melenting setinggi orang dewasa dan sambil berjum-

palitan mencoba membalas melalui ujung kujangnya. 

Kujang itu sudah belasan tahun tidak pernah ia pakai 

dan sekarang pada jurus pertama Resi Darmaku-

sumah terpaksa menggunakannya.

Akan tetapi, Resi Darmakusumah terpaksa mena-

rik serangannya karena ia melihat kelebatan selendang 

merah Nyai Purwati. Selendang itu kelihatannya me-

mang hanyalah selembar kain lembut karena terbuat 

dari sutra. Lagi pula, dalam keadaan biasa, Nyai Pur-

wati memakainya juga sebagai pemanis busananya. 

Tapi, di tangan perempuan bermata elang ini, ujung 

selendang itu, yang memang diberi puluhan ba tang 

jarum, bisa menyayat-nyayat kulit seperti halnya sisi 

tajam pedang. Resi Darmakusumah tentu tak mau 

tangannya tersayat sia-sia.


Dan, hanya sekejap kemudian, cambuk maut di 

tangan Ki Wira sudah pula meledak-ledak menyobek 

udara dan berupaya mengejar ke mana pun gerak 

Resi Darmakusumah.

Sekejap kemudian, berlangsung pertarungan ting-

kat tinggi yang secara kasat mata sulit diikuti gerakan-

nya. Yang terlihat adalah bayangan-bayangan yang 

berkelebat menimbulkan semacam angin puting be-

liung yang menerbangkan kerikil-kerikil dan meron-

tokkan dedaunan di sekitar pertempuran, diselingi 

bunyi dentang senjata logam beradu dan ledakan sua-

ra cambuk dan kibasan selendang. 

Meskipun dikeroyok lima tokoh termasyhur yang 

tingkatannya tidak jauh dari dirinya sendiri, Resi Dar-

makusumah justru beruntung karena ke kuatan lima 

orang itu tidak menggambarkan pen jumlahan keku-

atan masing-masing. Karena masing -masing ingin 

me non jolkan diri sendiri, serangan yang dihasilkan 

pa ra tokoh itu acap kali tidak selaras dan, kadang ka-

la, saling mengancam di antara mere ka sendiri.

Dengan demikian, melalui ilmu andalan gulung 

maung yang sudah terasah selama beberapa tahun 

me lalui sumbernya langsung di lembar-lembar Kitab 

Siliwangi, sampai puluhan jurus Resi Darmakusumah 

mampu melayani perlawanan kelima lawannya.


Akan tetapi, seburuk-buruknya keselarasan serang-

an yang diperagakan Sepasang Rajawali dari Pelabuh-

an Ratu, Siluman Cantik dari Karang Bolong, Si 

Cambuk Maut, dan Brahala, mereka adalah tokoh-

tokoh yang selama ini menggentarkan siapa pun, ter-

utama di tanah Jawa Dwipa. Serangan demi serangan 

melanda tidak pernah berhenti sejeda pun. 

Dua ujung pedang sepasang rajawali melesat-lesat 

seakan-akan berubah menjadi belasan ujung pedang. 

Selendang Nyai Purwati berkelebatan tak ubahnya 

seperti ular bersayap, siap mematuk lawan dengan 

jarum-jarum di ujungnya. Cambuk Ki Wira tidak 

henti-hentinya meledak-ledak menimbulkan suara 

yang bikin pekak dan siap menerkam sasaran. Gada 

Rujak Polo pun terus berputar-putar dan, jika tidak 

mengenai sasaran, menghantam bebatuan dan pepo-

honan, menimbulkan badai yang menggila.

Tampaknya kepastian nasib Resi Darmakusumah 

tinggal menunggu waktu.

Pucuk-pucuk daun rasamala bergoyang-goyang di-

tiup angin, seakan-akan menggelengkan kepala tidak 

rela bahwa bebukitan yang selama ini, dalam kurun 

ratusan tahun, damai tiba-tiba akan ternoda. Darah 

sebentar lagi tumpah, memerahi tanah.


13.Titik Akhir adalah Sebuah Awal


Jaka Wulung terus berlari seperti kesetanan . 

Kekuatan yang ia peroleh secara ajaib di 

Nusa Larang, ditambah rasa patah hati yang 

menyayat-nyayat, membuat tenaga Jaka Wulung men -

jadi berlipat-lipat. Kakinya yang telanjang se akan-akan 

tidak menapak di tanah ketika ia meniti ja lan setapak, 

menuruni ngarai, mendaki bukit, menye berang su-

ngai kecil, dan menembus pepohonan rapat di hutan 

menjelang Bukit Sagara.

Ia baru menahan langkah larinya ketika telinganya 

menangkap dentang senjata dan pekik manusia ber-

puluh-puluh langkah di depannya.

Jaka Wulung menyelinap dari satu pohon ke po-

hon lainnya dengan penuh kehati-hatian. Ada apa ge-

rangan? Siapa yang bertempur di tempat yang begini 

sunyi?

Di tanah datar di bagian lembah pondok gurunya, 

tampak seorang perempuan berbaju putih-putih, de-

ngan dua pedang pendek, sedang bertempur seru de-

ngan dua lelaki bertubuh sangat besar, seperti raksasa, 

dengan senjata gada di tangan masing-masing. 

Rupanya, Raksasa Kembar dari Segara Anakan itu 

masih penasaran atas kekalahan yang mereka alami 

di tangan si Mawar Beracun. Jadi, di sini, mereka 

me ngerahkan segala kemampuan dan tenaga mere-

ka yang besar untuk mencoba membalas dendam. 

Mung kin mereka tidak peduli terhadap tujuan utama 

mereka datang ke Bukit Sagara.

Sekilas Jaka Wulung mengagumi sepak terjang 

pe rempuan cantik itu, yang dengan lincah dan gesit 

mam pu melayani dua raksasa bertenaga raksasa. Bah-

kan, sesekali ujung pedang pendeknya, baik di tangan 

kiri maupun kanan, mampu menyentuh tipis kulit 

Cingkarabala dan Balaupata, yang membuat kedua 

raksasa itu bertambah marah dan berusaha melipat-

gandakan serangan mereka.


Jaka Wulung terkesiap ketika dilihatnya di tanah 

yang lebih tinggi, tepat di depan pondoknya, sang 

guru, Resi Darmakusumah, mati-matian menghada-

pi lima orang pengeroyok yang dalam sekilas pun ke-

lihatan bahwa ilmu mereka berada pada level yang sa-

ngat tinggi, setidaknya hanya selapis tipis dari tingkat 

ilmu Resi Darmakusumah.

Di bawah sadarnya, Jaka Wulung meloncat ketika 

ujung cambuk Ki Wira melesat mengancam kepala 

gurunya. Sambil melayang di udara, Jaka Wulung 

me narik kudi hyang dari balik bajunya, mengarah-

kannya untuk memapak ujung cambuk si Cambuk 

Maut. Ilmu gulung maung sudah siap menerkam.

Grrrhh ...!

Dalam keadaan sadar dan memahami keadaan, 

pastilah Jaka Wulung akan berpikir tiga kali untuk 

melawan senjata maut di tangan Ki Wira. Itu adalah 

tindakan nekat!

Akan tetapi, acap kali terjadi, kenekatan seperti itu 

memberikan tenaga yang berlipat, seperti seseorang 

yang tiba-tiba mampu meloncati pagar tinggi ketika 

dikejar binatang buas. Itulah yang terjadi pada Jaka 

Wulung saat itu.

Trang! Tas!


Dalam dua gerakan singkat, kudi hyang di tangan 

Jaka Wulung membentur logam baja di ujung cam-

buk dan memapas leher cambuk itu.

Cambuk itu putus!

Jaka Wulung berjumpalitan dan hinggap tepat di 

sebelah kiri gurunya.

Pertempuran sejenak terhenti.

“Wulung?” Resi Darmakusumah memandang mu -

rid nya seakan-akan sudah puluhan tahun tidak me li -

hat nya. Ia terkejut melihat apa yang baru saja di per buat 

sang murid. Tapi, tak lama kemudian ia ya kin bahwa 

kepergian Jaka Wulung sesuai dengan pe tun juk nya te-

lah memberikan hasil seperti yang di ha rapkan. 

Kudi hyang di genggaman Jaka Wulung adalah 

sen jata pusaka yang hanya dimiliki tokoh hebat masa 

lalu, misalnya Prabu Niskala Wastukancana sendiri. 

Resi Darmakusumah tentu saja ingin mendengar 

cerita tentang pengalaman Jaka Wulung, tetapi ke-

adaan tidak memungkinkan.

Tidak hanya pertempuran di antara mereka yang 

terhenti. Pertempuran antara si Mawar Beracun dan 

dua raksasa itu pun terhenti. Mereka ingin tahu apa 

yang terjadi. Mereka terkejut melihat kedatangan 

seorang bocah belasan tahun yang tiba-tiba menun-

jukkan sesuatu yang berada di luar akal mereka.

Mahesa Geni dan, tentu saja, Ki Jayeng Segara, 

yang sedari tadi tidak melakukan apa-apa kecuali 

me nonton dua kalangan pertempuran, menganga ti-

dak percaya. Terutama Ki Jayeng Segara, yang segera 

mengenal siapa orang yang tiba-tiba ikut terjun dalam 

pertempuran tingkat tinggi itu. Beberapa waktu lalu, 

bocah itu bukanlah siapa-siapa. Bagaimana mungkin 

dalam waktu yang sangat singkat ia tiba-tiba men-

jadi sedemikian hebat? Ki Jayeng Segara bahkan tidak 

sempat menggeleng-gelengkan kepala.

Akan tetapi, orang yang paling terkejut tentu saja 

ada lah Ki Wira. Matanya melotot tak percaya. Mulut-

nya terbuka, memperlihatkan gua yang menganga. Ia 

bahkan tidak bergerak beberapa jenak, dengan cambuk 

terkulai di tangannya. Bagaimana mungkin ? Bagaima-

na bisa? Cambuk maut di tangannya adalah senjatanya 

yang nyaris tidak pernah terkalahkan se umur ia terjun 

di dunia persilatan. Entah sudah be ra pa puluh nyawa 

tercabut oleh cambuk mautnya. Dan kini, hanya da-

lam satu gebrakan, cambuknya putung! Dan, yang me-

lakukannya adalah seorang bocah ingusan! 

Brahala tidak kalah kagetnya. Baru kali pertama 

dalam hidupnya ia menyaksikan seorang tokoh hebat 

setingkat Si Cambuk Maut mengalami peristiwa me-

malukan seperti itu

Mata Sepasang Rajawali pun menatap Jaka Wu-

lung dengan kening berkerut berlipat-lipat.

“Bukankah kau ...,” kata si rajawali jantan, “... kau 

yang kemarin kulihat di seberang Ci Tanduy?”

Jaka Wulung memandang sepasang lelaki dan pe-

rempuan itu. “Benar,” kata Jaka Wulung. “Saya lihat 

Ki Dulur berdua menyeberang Sungai Ci Tanduy 

yang sedang banjir bandang. Luar biasa. Tapi, meng-

apa Ki Dulur berdua mengeroyok guru saya?”

Sepasang Rajawali itu mengangguk-angguk. Pan-

tas, kata mereka dalam hati. Resi Darmakusumah 

adalah tokoh hebat dan pantas memiliki murid yang 

hebat. 

Akan tetapi, tiba-tiba, pada saat yang sama, mere-

ka justru menjadi gembira. Sehebat-hebatnya seorang 

murid tentu belum akan melebihi kehebatan guru-

nya. Kalaupun tadi ia mampu memutuskan senjata 

maut Ki Wira, itu pastilah karena keberuntungan. 

Meskipun datangnya hanya sekali dua kali dari seribu 

peristiwa, keberuntungan terkadang datang dalam se-

buah pertempuran.

Pemikiran yang sama menghinggapi Nyai Purwati 

alias Siluman Cantik dari Karang Bolong dan Ki Wira 

sendiri. Bahkan, Brahala, dengan otaknya yang bebal, 

saat itu mendadak menjadi agak cerdas dan menyimpulkan bahwa gerak mengejutkan si bocah tadi lebih 

banyak terjadi karena keberuntungan.

Sebenarnyalah, Jaka Wulung sendiri merasakan ta-

ngannya yang menggenggam kudi hyang seperti ter-

sengat hawa panas yang luar biasa. Beberapa saat ia 

merasakan seperti mati rasa. Untunglah, pusaka di 

ta ngannya tidak mencelat jatuh dan beberapa saat 

ke mudian ia mampu menyalurkan hawa sejuk ke ta-

ngan kanannya dan kini yang tersisa adalah rasa se-

perti kesemutan.

Brahala tertawa dengan suara yang tetap menggun-

tur. “Hah, sekarang kau mendapat bantuan sepadan, 

Resi. Pertempuran ini akan semakin menarik.”

Sambil menjejakkan kakinya ke tanah dan menim-

bulkan getaran seperti gempa, Brahala menyerbu 

lang sung ke arah Jaka Wulung dengan gada Rujak 

Polo-nya. Jaka Wulung terkejut sepersekian kejap, te-

tapi kemudian menyadari ancaman yang mengincar 

kepalanya. 

Jaka Wulung merunduk dengan cepat dan kaki-

nya mencoba menyapu Brahala. Brahala sengaja tidak 

menghindari sapuan kaki Jaka Wulung. Dan, hal itu 

justru membuat Jaka Wulung ragu-ragu sehingga ia 

menarik serangannya dan memilih menusukkan kudi 

hyang-nya mengarah ke ulu hati.


Demikianlah, pertempuran berlangsung kembali. 

Kali ini Resi Darmakusumah dan Jaka Wulung bahu-

membahu menghadapi lima orang yang tadi menge-

royok sang Resi sendirian. Ki Wira, setelah cambuk 

mautnya putung, memang sempat patah arang. Tapi, 

ia tersulut lagi hasrat tempurnya, bahkan kini dilam-

bari dengan dendam yang membara. Ia merasa sudah 

dipermalukan oleh seorang bocah. Oleh karena itu, Ki 

Wira, yang kini menggenggam sebilah keris berwarna 

cokelat kelam, langsung menggempur Jaka Wulung.

Dengan demikian, Jaka Wulung menghadapi dua 

orang sekaligus, Brahala dan Ki Wira, sedangkan Resi 

Darmakusumah melawan gempuran Sepasang Raja-

wali dan Nyai Purwati. 

Brahala adalah tokoh tua bertubuh raksasa yang 

sangat mengerikan. Muridnya saja, si raksasa kem-

bar, sudah menebarkan ketakutan di kawasan Segara 

Anakan dan sekitarnya karena kekejaman dan tingkat 

ilmu mereka yang tinggi. Dan, tentu saja gurunya 

memiliki tingkat ilmu yang jauh lebih tinggi. 

Sementara itu, meskipun sudah tidak menggeng-

gam cambuk mautnya, Ki Wira tetaplah tokoh de-

ngan tingkat ilmu yang tak terperi, yang membuat 

namanya ditakuti di sepanjang pantai utara di bagian 

tengah Jawa Dwipa.


Kalau tadi keduanya, Brahala dan Ki Wira, kurang 

leluasa ketika mengeroyok Resi Darmakusumah, kini 

mereka benar-benar bisa memusatkan perhatian dan 

bi sa mengeluarkan segenap ilmu kepada Jaka Wulung .

Oleh karena itu, serangan yang mereka lakukan 

adalah serangan-serangan yang berhawa maut. Braha-

la terus membabi buta sebagaimana kebiasaan se orang 

raksasa di mana pun, seperti babi hutan yang terus 

menyeruduk tidak peduli apa pun yang menghalang 

di depan. Dari arah yang selalu berlawanan, Ki Wira 

tidak pernah putus menusukkan kerisnya yang ber-

warna kusam, yang justru menimbulkan ha wa maut 

yang sangat kental.

Jaka Wulung, meskipun sudah tuntas menyerap 

ilmu Resi Darmakusumah dan tingkatan ilmunya su-

dah melesat jauh secara ajaib dalam peristiwa aneh 

di Nusa Larang, hanyalah bocah berumur lima belas 

tahun. Ia belum menyerap banyak pengalaman dalam 

pertempuran yang sesungguhnya. Apalagi sekarang ia 

melawan tokoh-tokoh dengan tingkat ilmu yang sa-

ngat tinggi seperti Brahala dan Ki Wira, dan langsung 

berhadapan dengan dua orang.

Tampak dengan segera bahwa kedudukan Jaka 

Wu lung langsung terdesak hebat. Ia hanya bisa ber


loncatan menghindari dua tokoh dari pantai selatan 

dan pantai utara itu. 

Luar biasa bocah ini! Ki Wira mengakui dalam 

ha ti, dan hal itu justru membuatnya penasaran dan 

terus meningkatkan ilmunya hingga ke puncak. 

Sementara itu, Resi Darmakusumah mampu me-

ladeni perlawanan Sepasang Rajawali dan Siluman 

Cantik. Nama besarnya di masa lalu bukanlah nama 

kosong, apalagi pada beberapa tahun terakhir ia men-

dalami semua intisari yang terkandung dalam kitab-

kitab pusaka peninggalan leluhurnya. Tapi, perhati-

annya menjadi terbelah ketika melihat Jaka Wulung 

terdesak hebat oleh Brahala dan Ki Wira. 

Situasi itu memaksa Resi Darmakusumah sese-

kali mendekat ke lingkaran pertempuran antara Jaka 

Wulung dan dua lawannya. Sesekali pula ia berhasil 

membantu muridnya dengan cara menahan serbuan 

Brahala atau Ki Wira. 

Akan tetapi, Sepasang Rajawali dan Nyai Purwati 

selalu sengaja menjauhkan Resi Darmakusumah dari 

lingkaran pertempuran muridnya. 

“Kami bukan anak-anak, Resi,” teriak Nyai Pur-

wati seraya tertawa.

Resi Darmakusumah menggeram dan melesat 

hen dak membungkam mulut Nyai Purwati. Tapi, ia


harus menarik serangannya karena dua ujung pedang 

milik Sepasang Rajawali mengancamnya dari dua 

arah yang berbeda.

Suatu saat, kedudukan Jaka Wulung benar-benar 

terjepit. Ia baru saja menghindari hantaman Rujak 

Polo di tangan Brahala ketika keris kusam Ki Wira 

sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali ti-

dak diduga. Resi Darmakusumah melihat situasi ter-

sebut dan ia dengan nekat melenting memapak keris 

Ki Wira.

TRANG!

Kujang Resi Darmakusumah menghantam keris Ki 

Wira pada saat yang tepat. Ia berhasil menyelamatkan 

sang murid. Tapi, pertahanan dirinya sendiri menjadi 

terbuka. Hanya sekejapan, ujung selendang merah 

Nyai Purwati menyentuh tipis leher Resi Darmaku-

sumah. Sang Resi terpekik dan ia merasakan lehernya 

seperti panas membara. 

Jarum-jarum di ujung selendang itu pastilah be-

ra cun!

Akan tetapi, Resi Darmakusumah sudah tidak lagi 

memikirkan dirinya sendiri.

“Wulung, cepat lari!” pekiknya seraya mati-matian 

menahan serbuan lawan-lawannya.


Akan tetapi, Jaka Wulung sama sekali tidak ber-

pikir untuk lari. Kalaupun mereka tidak mampu lagi 

bertahan, pikirnya, biarlah ia akan gugur bersama gu-

runya.

Kini pertarungan sudah bisa ditebak kesudahan-

nya. Tenaga Resi Darmakusumah dengan cepat susut. 

Darah terus mengucur dari lukanya, sedangkan racun 

yang buas dengan cepat meresap ke dalam pembuluh 

darahnya, menyerap kekuatan di dalam tubuh sang 

Resi.

Sementara itu, Jaka Wulung beberapa kali tidak 

bisa menghindari serangan lawan-lawannya. Pakaian-

nya sudah koyak di beberapa tempat oleh ujung keris 

Ki Wira. Kulit perutnya bahkan sudah tersayat sepan-

jang hampir setengah jengkal. Terasa luka itu sangat 

perih. 

Ujung keris Ki Wira pun mengandung racun! 

Begitulah kejinya orang-orang golongan hitam!

Akan tetapi, baik Resi Darmakusumah maupun 

Jaka Wulung tetap bertarung seperti maung. Mereka 

tidak mengenal kata menyerah. Guru dan murid sa-

ma-sama menerapkan ilmu andalan leluhur mereka: 

gu lung maung. Meskipun sudah terluka nyaris arang 

keran jang, keduanya terus mengaum melancarkan se-

rangan-serangan pamungkas. Pada satu saat, boleh jadi melalui semacam keberuntungan juga, kujang Resi 

Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyai 

Purwati, bahkan menggores tangan nenek siluman 

cantik itu.

Grrrhhh ...!

Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang Jaka 

Wulung menyayat perut Brahala.

Nyai Purwati dan Brahala memekik pada saat yang 

sama.

Melalui tenaga dan kecepatan yang seakan-akan 

menjadi berlipat, Resi Darmakusumah melepaskan 

kujangnya dan Nyai Purwati tidak sempat menghin-

dar. Kujang itu menancap tepat di ulu hati Siluman 

Cantik dari Karang Bolong. Pada saat yang sama, 

kudi hyang Jaka Wulung di luar dugaan siapa pun, 

bahkan Jaka Wulung sendiri, mengiris leher Brahala.

Nyai Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang 

sama!

Akan tetapi, setelah itu pertahanan Resi Dar ma ku-

su mah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan ter isap 

habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara be-

run tun ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepa-

sang Rajawali menembus tubuh Resi Darmakusumah!

Resi Darmakusumah, salah seorang tokoh besar 

terakhir dari Pajajaran, tumbang di tangan Sepasang


Rajawali dari Pelabuhan Ratu, daerah yang sesung-

guhnya pernah menjadi andalan Pajajaran sendiri!

“GURUUU!” Jaka Wulung memekik pilu me-

nyak sikan akhir hidup gurunya. 

Akan tetapi, pada kejapan berikutnya Jaka Wu-

lung juga tidak mampu menghindari serangan maut 

keris Ki Wira yang meluncur seperti kilat ke arah ulu 

hati nya ....

Pada saat-saat terakhir itulah entah dari mana da-

tangnya, sesosok bayangan putih melesat, meraih tu-

buh Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sekali gus, 

kemudian menghilang di rerimbunan hutan di sebe-

lah barat pondok.

Semua orang yang ada di sana hanya bisa terpaku 

menyaksikan kejadian yang bagi mereka di luar akal 

itu. Bayangkan, mereka, Sepasang Rajawali dan Ki 

Wira, di luar Nyai Purwati dan Brahala yang tam-

paknya hampir sekarat, sama sekali tidak mengetahui 

ada sosok putih yang menyelamatkan Resi Darmaku-

sumah dan Jaka Wulung.

Siapa dia? Manusiakah? Adakah di dunia ini ma-

nusia yang memiliki kecepatan seperti itu?

Pondok bekas kediaman Resi Darmakusumah 

kem bali dicekam kesunyian.


Orang-orang belum segera bisa menepis keanehan 

yang mereka alami dan lihat pada akhir pertempuran 

itu.


GUNUNG Sepuh sunyi senyap. Hanya angin yang 

cukup kencang meniup permukaan kawah berwarna 

putih bersemu hijau. 

Jaka Wulung memandang puncak gunung itu de-

ngan perasaan aneh. Ia merasa pernah mengalami 

kejadian seperti itu. Tentu saja, ia pernah diselamat-

kan oleh seorang tua aneh ketika terjatuh ke jurang 

dalam, ketika ia sudah pasrah akan nasib buruk apa 

pun. Ia kemudian menjadi murid orang tua aneh itu, 

yang belakangan diketahui bernama Resi Darmaku-

sumah, melalui jalan yang aneh pula.

Kini untuk kali kedua, ketika sudah hendak di-

jemput maut dalam sebuah pertempuran yang hanya 

samar-samar ia ketahui persoalannya, ia diselamatkan 

oleh seorang tua yang tidak kalah anehnya.

Apakah ini semacam peristiwa berulang?

Angin lembut berdesir.

Jaka Wulung menoleh.

Orang tua aneh itu berdiri seraya menggenggam 

kitab lontar di tangan kanannya. Rambut, alis, kumis,


janggut lelaki itu putih semua. Jubah yang dike-

nakannya juga putih meskipun sudah agak kusam. 

Kerut merut di wajahnya menunjukkan usianya. 

Pastilah ia setidaknya dua puluh tahun lebih tua 

dibanding Resi Darmakusumah. Ah, Resi, semoga ke-

damaian kau dapat di sana ....

Sorot matanya tajam, tetapi terasa teduh di dada 

Jaka Wulung.

Jaka Wulung membungkuk penuh hormat. “Se-

lamat pagi, Kakek yang terhormat ....”

“Cucuku, syukurlah kau sudah makin pulih. Ra-

cun yang sempat meresap di aliran darahmu sangat 

kuat. Kalau aku terlambat datang, kau pasti tidak 

akan bertahan lama.”

“Terima kasih atas pertolongan Kakek.”

“Ini kubawakan salah satu kitab yang untungnya 

juga masih bisa kuselamatkan dari pondok gurumu. 

Kau pelajarilah. Kau memiliki bakat yang langka. Tak 

perlu dibimbing, kau akan mampu menyerap ilmu 

dalam kitab ini. Aku tinggal tidak jauh dari sini. Nan-

ti sesekali, kalau usiaku masih ada, aku akan mengun-

jungimu, melihat perkembanganmu.”

“Sekali lagi, terima kasih. Bolehkah saya menyebut 

... guru?”

Lelaki tua itu tersenyum


“Aku sudah terlalu tua untuk menjadi seorang guru. 

Aku hanya bisa memberimu restu. Jalan masih pan-

jang membentang bagimu dan kau telah memu tuskan 

sebuah nama untuk kau sandang. Jangan co reng nama 

itu. Ya, ya, aku merestuimu meneruskan jalanku.”

Jaka Wulung masih menunduk, menunggu kata-

kata berikutnya.

Akan tetapi, yang ada hanya keheningan.

Jaka Wulung mendongak. Kakek serbaputih itu 

tiada lagi di tempatnya semula.

“Kakek?”

Jaka Wulung celingukan. “Kakek?”

Jaka Wulung berdebar-debar. Otaknya yang cerdas 

langsung berputar.

Tentu dialah orangnya, tokoh legendaris yang se-

lama ini seakan-akan hanya ada di dalam khayalan: 

Resi Jaya Pakuan. Atau orang lebih mengenalnya de-

ngan nama ini: Bujangga Manik. 


TAMAT


Nantikan petualangan Jaka Wulung selanjutnya 

dalam buku kedua serial Jaka Wulung.


Tentang Penulis


Hermawan Aksan lahir di Brebes Jawa Tengah, telah 

cukup lama malang melintang di dunia literasi dan 

jur nalistik. Beberapa cerpen karyanya dimuat di sejumlah 

me dia massa, antara lain Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, 

Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, majalah Horison, 

Koran Sindo, dan lain-lain. Hermawan juga menulis bebera-

pa cerpen dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya itu bisa dite-

mukan di majalah Mangle, Cupumanik, Galura, dan Kujang. 

Adapun novel-novelnya antara lain Dyah Pitaloka, Senja di 

Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala, 

Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 

2008). Pernah bekerja sebagai editor bahasa pada tabloid 

Detik, Bola, Raket, dan Detak. Kini ia menjadi redaktur di 

harian Tribun Jabar. 

































Share: