..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR GILA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR GILA. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Januari 2025

PENDEKAR GILA EPISODE PEMBALASAN DEWA PEDANG

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

PEMBALASAN DEWA PEDANG

Oleh Firman Raharja

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Penyunting: A. Suyudi

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Firman Raharja 

Serial Pendekar Gila 

dalam episode: 

Pembalasan Dewa Pedang

128 hal; 12 x 18 cm


SATU


Pagi tampak begitu cerah. Cahaya merah tem-

baga membias di langit yang biru dan tak bernoda se-

dikit pun. Di sebelah selatan tampak Gunung Slamet 

berdiri dengan gagahnya, menjulang tinggi mencakar 

langit. Puncaknya bahkan bagaikan menyentuh kaki 

langit sebelah selatan. Sedangkan kakinya, terhampar 

dari timur sampai ke barat wilayah Jawa Tengah.

Kali Pemali nampak meliuk-liuk seperti ular 

raksasa, membujur dari selatan ke utara, melewati Ko-

ta Brebes, Jatibarang, dan bermuara di pantai laut 

utara Jawa.

Dari arah timur, nampak sesosok lelaki tua ber-

jubah putih tengah menggebah kuda tunggangannya. 

Di punggung lelaki tua itu tersampir sebilah pedang. 

Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas kepa-

la. Jubah putihnya tampak berkibar-kibar, karena ku-

da besar berwarna coklat belang putih itu lari begitu 

kencang.

"Hiya, hiyaaa...!"

Teriakan-teriakan dari mulut lelaki tua itu me-

mecah suasana pagi. Kuda pun tampak semakin 

mempercepat larinya. Seperti ada perasaan tidak sabar 

untuk sampai tempat yang dituju.

Dilihat dari pedang yang tersandang di pun-

daknya, orang tua itu tak lain adalah Ki Badawi atau 

yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Pedang. Pe-

dangnya yang berwarna merah darah tersarang dalam 

warangka dengan ukiran berbentuk api membara.

"Pendekar Gila, ke mana pun kau pergi, aku 

akan mencarimu! Tunggulah saatnya nanti...!" geram 

Ki Badawi yang tampak murka. Orang tua itu tampak-

nya tengah memendam kemarahan atas kejadian yang


menimpa muridnya (Untuk jelasnya, silakan baca seri-

al Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akhe-

rat").

Ki Badawi atau Dewa Pedang hendak menjum-

pai sahabatnya yang bernama Ki Asem Gede atau Ma-

laikat Tanpa Bayangan di Desa Ajibarang. Sudah lama 

sekali mereka berpisah. Kini Dewa Pedang hendak me-

nemui sahabatnya untuk meminta bantuan dalam 

menghadapi Pendekar Gila.

Di Desa Ajibarang, Ki Asem Gede memiliki se-

buah perguruan yang terkenal dengan nama Pergu-

ruan Tapis Putih. Perguruan itu termasuk golongan 

putih yang sepak terjangnya bertujuan menegakkan 

kebenaran dan keadilan.

Meski Ki Jalna Kumilang telah berusaha me-

nyadarkan bahwa Pendekar Gila bukan orang sesat, Ki 

Badawi yang keras kepala tetap saja menganggap ka-

lau Pendekar Gila orang jahat, karena telah membu-

nuh muridnya yang dianggap beraliran putih seperti 

dirinya. Maka kedatangan Ki Badawi ke Desa Ajibarang 

juga untuk membujuk Ki Asem Gede agar memusuhi 

Pendekar Gila.

Pagi telah berlalu, mentari pun telah tinggi ke-

tika Ki Badawi sampai di Desa Ajibarang. Desa itu be-

gitu ramai, dengan pasar buah yang cukup besar dan 

ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Desa 

Ajibarang memang menjadi pusat pasar buah. Di 

samping desa itu penghasil buah, di sana pun berma-

cam jenis buah-buahan murah harganya. Kebanyakan 

yang datang ke Desa Ajibarang adalah para tengkulak 

yang akan menjual buahnya kembali di pasar desanya 

masing-masing.

Ki Badawi menjalankan kudanya perlahan, ka-

rena kini telah memasuki kawasan yang ramai dikun-

jungi orang. Setelah keluar dari keramaian pasar, lela


ki tua itu kembali menggebah kudanya.

"Hiya, hiyaaa...!"

Kuda besar dan kekar itu kembali berlari ken-

cang membawa tubuh tuannya yang tengah menyim-

pan bara dendam. Dendam pada Pendekar Gila, yang 

dianggapnya telah menghancurkan anak angkatnya.

Ki Badawi memperlambat lari kudanya, ketika 

matanya melihat bangunan besar yang dikelilingi tem-

bok tinggi. Di pintu gerbang, nampak empat lelaki mu-

da bertubuh kekar tengah berjaga lengkap dengan sen-

jatanya. Dua orang dengan senjata pedang, yang dua 

lagi memegang tombak. Yang bersenjata pedang men-

genakan pakaian kuning muda. Dua orang lain yang 

bersenjata tombak terbalut pakaian hijau lumut. 

Keempatnya berambut panjang dan diikat membentuk 

ekor kuda.

"Sampurasun...!" sapa Ki Badawi setelah turun 

dari kudanya.

"Rampes...!" sahut keempatnya bersamaan. 

"Siapakah Kisanak? Serta hendak bertujuan apa?" 

tanya salah seorang penjaga yang berwajah bersih tan-

pa kumis dan bersenjata pedang.

"Aku Ki Badawi atau Dewa Pedang. Maksud 

dan tujuanku kemari ingin bertemu sahabatku Ki 

Asem Gede," jawab Ki Badawi dengan suara tenang 

penuh wibawa, namun tidak membuang sikap hor-

matnya. Meski tahu keempat lelaki muda di hadapan-

nya merupakan murid-murid Ki Asem Gede, dia me-

nyadari kalau dirinya tamu yang harus menghormati 

tuan rumah.

"Kalau begitu, tunggulah sebentar! Saya akan 

melapor kepada guru," ujar penjaga berpakaian kuning 

itu.

Lelaki bersenjatakan pedang itu segera berjalan 

meninggalkan ketiga rekannya untuk memberitahukan



kehadiran Ki Badawi pada ketua sekaligus gurunya.

Tidak begitu lama kemudian, pemuda itu kem-

bali muncul.

"Ki Badawi, silakan. Guru telah mengizinkan."

"Terima kasih," sahut Ki Badawi.

Lelaki muda berwajah bersih tanpa kumis itu 

mengantarkan Ki Badawi masuk ke lingkungan Pergu-

ruan Tapis Putih. Ki Badawi diantar menuju sebuah 

bangunan besar di antara tiga bangunan lainnya yang 

terdapat dalam lingkungan perguruan. Keduanya kini 

masuk ke bangunan utama. Di sana Ki Asem Gede 

tengah menunggu, duduk di kursi di dalam sebuah 

ruangan besar. Di belakangnya, berdiri murid-murid 

Perguruan Tapis Putih, lengkap dengan senjata.

Ketika Ki Badawi masuk, seketika murid-murid 

Perguruan Tapis Putih bergerak maju, menyerang den-

gan senjata mereka masing-masing. 

"Heaaa...!" 

Wut, wut!

Ki Badawi tersentak kaget, mendapat serangan 

secara tiba-tiba oleh murid-murid Perguruan Tapis Pu-

tih. Namun, dengan cepat tubuh lelaki tua itu berkelit, 

lalu balas menyerang. Tetapi jurus-jurus yang diguna-

kan hanya jurus ringan. Ki Badawi nampaknya men-

gerti, itulah sambutan dari sahabatnya.

"Terima kasih atas sambutan mu, Asem Gede! 

Yeaaa...!"

Orang tua berjubah putih itu dengan cepat me-

lompat ke atas, bergerak mengelakkan serangan la-

wan-lawannya dengan jurus 'Dewa Pedang Terbang 

Menyapu Awan'. Tangannya bergerak mengebut ke sa-

na kemari, sedangkan kakinya menendang dan melu-

ruk ke muka lawan.

"Yeaaa!"

Murid-murid Perguruan Tapis Putih kembali


bergerak menyerang dengan jurus 'Rangkaian Tapis 

Menjerat Singa'. Mereka bergerak membuat lingkaran. 

Kemudian dengan berjalan mengitari tubuh Ki Badawi, 

murid-murid Perguruan Tapis Putih melakukan seran-

gan.

"Yeaaa...!" 

Wut! Wut!

Pedang dan tombak di tangan murid-murid 

Perguruan Tapis Putih yang mengenakan pakaian kun-

ing muda dan hijau lumut bergerak menusuk dan 

membabat tubuh Ki Badawi. Dewa Pedang mau tak 

mau harus berkelit mengelakkannya, kalau tidak ingin 

tubuhnya hancur dengan usus berantakan. 

"Heit! Heaaa...!"

Ki Badawi melompat dengan cepat, mengelak-

kan serangan lawan-lawannya. Namun kelihatannya 

jurus ciptaan Ki Asem Gede bukan jurus sembaran-

gan. Hal itu dirasakan Ki Badawi. Gerakan murid-

murid Perguruan Tapis Putih sangat cepat dan lihai. 

Ke arah mana Ki Badawi mengelak, mereka cepat 

memburu dengan sabetan dan tusukan senjata.

"Hebat! Hebat sekali jurus ciptaanmu, Asem 

Gede!" seru Ki Badawi sambil menoleh pada lelaki be-

rusia sekitar enam puluh lima tahun yang duduk di 

kursi dan tersenyum-senyum menyaksikan bagaimana 

murid-muridnya menjamu tamunya.

"Kurasa belum seberapa, Dewa Pedang! Kau be-

lum menunjukkan jurus-jurus pedangmu! Itu sebab-

nya kau agak kewalahan!" seru lelaki tua bermuka bu-

lat dengan hidung mancung dan besar itu. Alis ma-

tanya tebal. Kumis melintang lebat di atas mulutnya 

sudah putih. Rambutnya terurai lurus, dengan ikat 

kepala berwarna hijau lumut. Pakaiannya yang ber-

bentuk jubah warna hijau lumut terbuka di bagian da-

da, hingga memperlihatkan pakaian dalamnya yang


kuning.

"Ah, aku sudah terlalu tua, Asem Gede! Meski 

ku kerahkan seluruh ilmuku, rasanya belum tentu aku 

mampu menandingi jurus barumu!" sahut Ki Badawi 

sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan 

murid-murid Ki Asem Gede.

"Kurasa, nama besarmu bukan omong kosong, 

Dewa Pedang! Cobalah, keluarkan jurus pedangmu!" 

seru Ki Asem Gede berusaha memancing sahabatnya 

agar mengeluarkan jurus-jurus pedangnya.

"Tidak mungkin, Asem Gede! Kau tahu sendiri, 

jika Pedang Darah telah keluar dari warangkanya, be-

rarti harus mendapat korban! Aku datang ke tempat-

mu bukan untuk bertarung, tapi sebagai sahabat! Ma-

na mungkin aku berbuat keji?"

Ki Asem Gede tertawa terbahak-bahak, sampai-

sampai tubuhnya yang tinggi besar turut berguncang-

guncang.

"Kau memang benar, Dewa Pedang! Tapi untuk 

menjamumu, kurasa muridku telah siap! Satu orang 

mungkin rela berkorban untuk menjamumu!" sahut Ki 

Asem Gede.

Sebenarnya Ki Asem Gede berusaha melihat 

perkembangan ilmu sahabatnya. Itu pula yang menja-

dikan Malaikat Tanpa Bayangan rela mengorbankan 

muridnya. Di samping itu, murid-murid Perguruan Ta-

pis Putih memang ingin tahu ilmu setiap tamunya

Ki Asem Gede mengedip ke salah seorang mu-

ridnya memberi isyarat, yang dibalas sang Murid den-

gan anggukan kepala kecil pertanda perintah gurunya 

disetujuinya.

"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki! Maaf, 

bukannya aku hendak pamer kebolehan!" kata Dewa 

Pedang akhirnya meluluskan permintaan tuan rumah.

Sring!



Pedang Darah yang mengeluarkan sinar merah 

darah kini ditarik dari warangkanya, menjadikan mu-

rid-murid Perguruan Tapis Putih tersentak membela-

lakkan mata. Mereka yang semula menyerang, seketika 

menyurut mundur. Ngeri menyaksikan bagaimana pe-

dang itu laksana mengeluarkan sinar gaib yang kuat 

"Mengapa kalian mundur?! Serang dia...!" seru Ki Asem 

Gede pada murid-muridnya untuk melakukan seran-

gan lagi.

Mendengar perintah gurunya, seketika murid-

murid Perguruan Tapis Putih yang sebenarnya takut 

menyaksikan kekuatan gaib yang keluar dari Pedang 

Darah kembali serentak maju. 

"Heaaa...!"

Ki Badawi yang telah memegang Pedang Darah, 

nampak merah wajahnya. Rupanya lelaki tua itu pun 

telah terbawa oleh kekuatan pedang di tangannya. De-

ngan jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa' Ki Badawi 

bergerak memutar pedangnya, dari arah kanan ke kiri, 

membentuk setengah lingkaran.

"Heaaa!"

Whuttt...!

Cras!

"Wuaaa...!"

Seorang murid Perguruan Tapis Putih terjung-

kal. Dadanya tergores oleh Pedang Darah di tangan Ki 

Badawi. Sebuah gerakan yang begitu cepat, sehingga 

pantas kalau dia dijuluki Dewa Pedang.

Malaikat Tanpa Bayangan yang duduk di kursi 

tersentak kaget, menyaksikan kecepatan ilmu pedang 

itu. Matanya membelalak lebar. Tidak disangka kalau 

ilmu pedang sahabatnya ternyata semakin hebat.

Ki Badawi atau Dewa Pedang berdiri mema-

tung. Tubuhnya kembali bergetar hebat. Wajahnya 

menyala merah, terbawa oleh kekuatan gaib pedang


nya. Sesaat dia terdiam, kemudian dengan desahan 

napas panjang Pedang Darah dimasukkan ke warang-

kanya. 

Srak!

***

Plok! Plok...!

"Hebat, hebat..!" seru Malaikat Tanpa Bayangan 

sambil bertepuk tangan. "Rupanya selama ini kau se-

makin bertambah maju saja, Dewa Pedang."

"Ah, tak seberapa, Asem Gede. Tentunya kau-

lah yang bertambah maju dengan ilmumu," tukas Ki 

Badawi merendah.

"Silakan duduk, Dewa Pedang! Ada apa sebe-

narnya? Tiba-tiba saja kau datang kemari," tanya Ki 

Asem Gede atau Malaikat Tanpa Bayangan sambil 

menggerakkan kepala, memerintahkan pada murid-

muridnya mengurus tubuh murid yang terluka oleh 

Dewa Pedang.

Murid-murid Perguruan Tapis Putih menurut, 

mereka segera menjura hormat dan membawa teman-

nya meninggalkan ruang tamu itu. Sedangkan Ki Ba-

dawi kini melangkah ke meja di depan Malaikat Tanpa 

Bayangan. Ditariknya sebuah kursi lalu duduk. Di situ 

ada banyak kursi yang mengelilingi meja bulat. Tentu-

nya meja itu digunakan untuk rapat perguruan atau 

rapat para pendekar yang diundang Ki Asem Gede.

Plok, plok, plok!

Malaikat Tanpa Bayangan bertepuk tangan tiga 

kali. Dan tak lama kemudian, dari belakang muncul 

tujuh wanita muda dan cantik dengan pakaian aneka 

warna. Mereka membawa suguhan. Ketujuh wanita 

cantik yang rambutnya disanggul itu menaruh maka-

nan dan minuman di atas meja, kemudian berlalu me


ninggalkan tempat itu.

"Ah, rupanya kedatanganku ke sini hanya un-

tuk merepotkan mu, Asem Gede..."

"O, sama sekali tidak. Bagi seorang sahabat 

baik yang telah lama tidak berjumpa, apa salahnya 

aku menghormatimu?"

Keduanya tertawa tergelak-gelak.

"Silakan, Dewa Pedang!"

"Terima kasih."

Plok, plok!

Malaikat Tanpa Bayangan kembali bertepuk ta-

ngan. Seketika dari belakang muncul sepuluh orang 

penabuh gamelan. Kesepuluh lelaki itu berpakaian 

adat Jawa Tengah warna coklat muda dengan blang-

kon serta memakai kain batik. Setelah Ki Asem Gede 

mengangguk, kesepuluh lelaki berusia sekitar empat 

puluh tahun itu segera mengambil tempat duduk, lima 

tombak dari Ki Asem Gede dan Ki Badawi duduk.

Bunyi gamelan pun mengalun, mengiramakan 

gending Jawa yang terasa merdu, menjadikan suasana 

di ruangan itu terasa semarak.

Plok, plok...!

Ki Badawi kembali bertepuk tangan. Seketika 

dari belakang muncul tiga orang wanita muda dan 

cantik berambut disanggul besar. Kebaya yang dikena-

kan wanita-wanita cantik itu berwarna merah jambu.

Seirama dengan alunan gending, ketiga wanita 

cantik itu mendendangkan lagu Jawa Karawitan.

Kepala Ki Asem Gede dan Ki Badawi yang se-

dang menyantap makanan terangguk-angguk, menik-

mati alunan merdu ketiga pesinden yang sedang me-

nyanyikan karawitan.

"Bagaimana, Badawi? Kau suka...?" tanya Ki 

Asem Gede.

Ki Badawi tersenyum, mengangguk-anggukkan


kepalanya.

"Puluhan tahun aku mengasingkan diri, Asem 

Gede. Saat ini aku benar-benar merasakan seperti be-

rada di surga," gumam Ki Badawi dengan kepala masih 

manggut-manggut, menikmati alunan gamelan dan 

suara merdu ketiga pesinden yang bergantian men-

dendangkan lagu-lagu karawitan.

Ki Asem Gede tertawa tergelak-gelak mendengar 

ucapan sahabatnya. Dia merasa senang, karena telah 

dapat menghibur hati sahabat lamanya yang telah la-

ma berpisah.

"Hampir tiga puluh tahun kita tak bertemu, 

Dewa Pedang. Rasanya kita seperti kembali muda," tu-

tur Ki Asem Gede.

"Ya! Tiga puluh tahun kita berpisah, setelah da-

ri dulu kita bersama-sama. Beruntung kau masih 

mengenaliku," sahut Ki Badawi.

"Ah, bagaimana mungkin aku melupakanmu? 

Seorang sahabat yang berilmu tinggi, dengan jurus pe-

dangnya yang tak terkalahkan!" puji Ki Asem Gede.

"Tapi sekarang tidak juga, Asem Gede," kata Ki 

Badawi yang menjadikan Ki Asem Gede terhenyak. Ma-

ta lelaki tua itu membeliak, menatap tajam wajah Ki 

Badawi. Keningnya berkerut, sepertinya tak percaya 

pada ucapan sahabatnya itu.

"Ah, rupanya kau bergurau, Badawi," gumam 

Malaikat Tanpa Bayangan.

"Tidak! Aku sungguh-sungguh. Kini di rimba 

persilatan banyak sekali bermunculan pendekar-

pendekar muda yang berilmu lebih tinggi dibandingkan 

kita."

Semakin membelalak mata Ki Asem Gede men-

dengar penjelasan Ki Badawi. Diakuinya memang se-

lama tiga puluh tahun belakangan ini, dia tidak lagi 

terjun ke rimba persilatan. Hal itu pula yang menjadi


kannya tidak tahu perkembangan dunia persilatan 

saat ini.

"Hm...," Ki Asem Gede menggumam tak jelas. 

Kepalanya manggut-manggut "Lalu, apakah kedatan-

ganmu kemari ada sangkut pautnya dengan per-

kembangan dunia persilatan?"

"Ya!"

"Hm.... Ada apa rupanya, Badawi?"

"Kini di rimba persilatan muncul seorang pe-

muda bertingkah laku seperti orang gila yang berilmu 

tinggi. Sepak terjangnya sangat mengiriskan. Beberapa 

hari yang lalu muridku telah tewas di tangannya," tu-

tur Ki Badawi.

"Pendekar Gila maksudmu, Badawi?" tanya Ki 

Asem Gede menegaskan.

"Ya! Dari mana kau tahu?"

"Namanya memang sering kudengar. Tapi 

orangnya dan sepak terjangnya di rimba persilatan be-

lum pernah kulihat Hm... Bukankah menurut kabar 

dia berada di pihak kita?" tanya Ki Asem Gede masih 

belum percaya. 

"Itu hanya kedoknya belaka! Sesungguhnya, dia 

dan pendekar-pendekar muda lainnya bermaksud me-

nyingkirkan orang-orang tua seperti kita!"

Ki Asem Gede semakin terhenyak kaget. Namun 

begitu, orang tua bertubuh kekar dan tegar itu belum 

yakin dengan apa yang dikatakan sahabatnya.

"Hm.... Apakah kau tidak salah dengar, Bada-

wi?"

"Tidak! Sudah kukatakan, dia telah membunuh 

muridku. Bukankah secara tidak langsung dia menan-

tangku?"

"Mungkin muridmu yang salah, Badawi."

"Tidak mungkin! Aku tahu persis, siapa Su-

mantri. Sejak kecil, dia kutemukan dan ku didik. Ada


kah didikan guru yang lurus menjadikan muridnya se-

sat?" tanya Dewa Pedang.

Malaikat Tanpa Bayangan menghela napas pan-

jang. Sulit rasanya dia menafsirkan siapa yang benar. 

Dia sering mendengar nama Pendekar Gila. Seorang 

pendekar muda yang berpihak pada golongan putih. 

Bahkan dialah yang kini menjadi tokoh penegak keadi-

lan.

Mungkinkah Pendekar Gila berbuat tak adil? 

Tanya Malaikat Tanpa Bayangan dalam hati.

***

DUA



Gending Jawa yang diiringi gamelan masih 

mengalun dengan lembut, melantunkan tembang-

tembang yang menambah suasana tenteram dan te-

nang. Namun, tidak begitu yang dirasakan Malaikat 

Tanpa Bayangan. Hati lelaki tua berjubah hijau itu 

masih bergulat antara percaya dan tidak terhadap ka-

bar yang dituturkan Dewa Pedang.

Malaikat Tanpa Bayangan menarik napas da-

lam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya. 

Mungkinkah itu terjadi? Seorang pendekar berbuat 

menyimpang dari tuntutan batinnya? Pikir Ki Asem 

Gede dalam hati.

"Dewa Pedang, kau memang sahabatku. Namun 

dalam hal ini, aku tak bisa memastikan kebenaran ka-

ta-katamu. Apakah waktu pembunuhan muridmu kau 

tahu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.

"Tentu saja aku tahu."

"Kau tahu juga masalahnya?"


"Ya."

"Kalau boleh aku tahu, apa masalahnya hingga 

Pendekar Gila membunuh muridmu?" tanya Malaikat 

Tanpa Bayangan ingin tahu duduk persoalannya.

Dewa Pedang menghentikan makannya. Ditua-

ngnya arak, kemudian diminumnya. Setelah menyeka 

mulut dengan tangan, Dewa Pedang menceritakan se-

mua kejadian yang dia karang sendiri.

"Pendekar Gila merasa bahwa dirinya salah sa-

tu pendekar yang tak ada tandingannya di rimba per-

silatan. Dia datang ke rumah muridku, kemudian 

membuat keonaran serta menantang muridku dan te-

man-temannya. Malah yang kurang ajar, dia menan-

tangku!"

"Mengapa Pendekar Gila berbuat begitu?" tanya 

Malaikat Tanpa Bayangan tak mengerti.

"Masalahnya begini. Ketika itu muridku menye-

barkan sayembara yang isinya mengatakan barang sia-

pa yang bisa menangkap dan membinasakan bocah se-

tan, akan diberi hadiah sebagian dari hartanya. Bocah 

setan itu telah banyak memakan korban," tutur Dewa 

Pedang. 

"Bocah setan?" kening Malaikat Tanpa Bayan-

gan kembali berkerut, mendengar Dewa Pedang me-

nyebut bocah setan.

"Ya!"

"Siapakah bocah setan itu?"

"Seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun 

dengan tubuh bersisik ular yang menghuni Pulau Ka-

rang Apa di Danau Sambak Neraka," jawab Dewa Pe-

dang (Mengenai bocah ular penghuni Pulau Karang Ne-

raka, silakan simak serial Pendekar Gila dalam episode 

"Perjalanan ke Akherat").

"Hm...," Ki Asem Gede kembali bergumam tak 

jelas dengan kepala mengangguk-angguk. Entah apa


arti anggukan itu.

Plok, plok...!

Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Seketi-

ka itu, rombongan karawitan menghentikan tabuhan-

nya. Lalu mereka menjura hormat, kemudian mening-

galkan ruang besar itu.

"Baiklah, Dewa Pedang. Aku menerima alasan-

mu. Sekarang, katakanlah maksud kedatanganmu ke-

mari!" pinta Ki Asem Gede.

Sesaat Ki Badawi diam sambil menghela napas 

perlahan.

"Kedatanganku ke tempatmu, semata-mata in-

gin mengajak mu kembali ke dunia persilatan. Kita se-

bagai orang tua, tidak bisa hanya diam menerima na-

sib. Sepertinya kita menunggu ajal, membiarkan yang 

muda bertindak sewenang-wenang. Bahkan kalau bisa, 

bagaimana jika kita mendahului mereka?" tanya Ki Ba-

dawi.

"Maksudmu!" Ki Asem Gede mengerutkan ken-

ing, belum jelas maksud Dewa Pedang yang sesung-

guhnya.

"Aku mengajak mu untuk menumpas pende-

kar-pendekar muda yang berusaha menyingkirkan to-

koh tua seperti kita. Kedua, aku bermaksud mengun-

dang golongan tua dan mengajak mereka turut serta. 

Bagaimana kalau tempatmu yang digunakan untuk 

pertemuan?"

Malaikat Tanpa Bayangan sejenak terdiam. Di-

tariknya napas dalam-dalam. Sepertinya dia tengah 

menimbang permintaan sahabatnya. Dirinya juga me-

rasa belum yakin kalau para pendekar muda khusus-

nya Pendekar Gila bertujuan menyingkirkan para to-

koh tua. Untuk apa para pendekar muda bermaksud 

menyingkirkan para tokoh tua? Tanya Ki Asem Gede 

dalam hati, seakan belum yakin. Bukankah tanpa me


reka singkirkan para tokoh tua akan hilang dengan 

sendirinya?

"Bagaimana, Asem Gede?" desak Ki Badawi. 

"Kalau memang kau bermaksud memakai tem-

pat perguruanku, baiklah. Kapan kau akan mengun-

dang mereka?" tanya Ki Asem Gede.

"Secepatnya. Dan kuharap lagi, murid-

muridmu dapat membantuku menyebarkan undangan 

kepada para tokoh tua," pinta Ki Badawi.

"Hm, baiklah. Namun sekali lagi aku berharap, 

pikirkanlah masak-masak! Jangan sampai di kemu-

dian hari kau akan menyesal, Dewa Pedang!"

"Maksudmu...?" tanya Ki Badawi dengan kening 

berkerut.

Ki Asem Gede menghela napas panjang. Ma-

tanya memandang lepas ke arah pintu depan. 

Plok, plok...!

Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Tidak 

lama kemudian, dari belakang muncul tujuh gadis 

cantik yang tadi membawa makanan. Ketujuh wanita 

cantik berpakaian kebaya warna-warni itu menjura. 

Kemudian mengambil sisa makanan. Lalu ketujuh wa-

nita berwajah elok itu kembali berlalu pergi.

"Aku tidak ingin terjadi salah paham, yang bisa 

memecah belah golongan putih."

"Kau belum yakin padaku, Asem Gede?"

"Bukan begitu, Dewa Pedang. Aku percaya pa-

damu, karena kau sahabatku. Aku tahu siapa dirimu. 

Namun tak ada salahnya, sebagai sahabat aku mem-

beri saran, bukan?"

"Ya..., ya," jawab Ki Badawi sambil mengang-

guk-anggukkan kepala.

"Nah, apakah kau telah memikirkannya masak-

masak? Tentunya, jika benar mereka hendak menying-

kirkan para tokoh tua macam kita, jelas mereka akan


berhadapan dengan guru-guru mereka sendiri. Apakah 

itu mungkin, Badawi?"

"Mungkin saja, Asem Gede."

Malaikat Tanpa Bayangan tersenyum kecut 

mendengar jawaban temannya yang keras kepala.

"Tadi kau mengatakan, jika seorang guru baik, 

tak mungkin menghasilkan murid yang jahat"

"Ya!"

"Nah, apakah mungkin pendekar muda itu juga 

begitu? Bermaksud membinasakan guru mereka?" 

tanya Ki Asem Gede.

Ki Badawi terdiam. Nafasnya tersengal di dada. 

Jelas ucapan Malaikat Tanpa Bayangan merupakan 

sindiran baginya. Di samping itu, ucapan Ki Asem Ge-

de bernada tidak setuju apa yang telah direncanakan-

nya.

"Maaf, Badawi! Bukannya aku bermaksud 

menghalangi rencanamu. Tapi, mungkin usahamu 

memanggil tokoh tua akan sia-sia. Mereka mungkin 

juga berpikiran sepertiku," tandas Ki Asem Gede.

"Jadi kau tak bersedia membantuku?" tanya Ki 

Badawi.

"Dengan amat menyesal, Badawi. Jika kau in-

gin meneruskan tujuanmu, lakukanlah! Aku tak dapat 

menghalangi niatmu, tapi tak dapat membantumu," 

tegas Ki Asem Gede.

"Baiklah, Asem Gede. Rupanya persahabatan 

kita selama puluhan tahun tak ada artinya. Permisi...!"

Dengan perasaan gusar, Dewa Pedang yang ti-

dak berhasil membujuk sahabatnya, meninggalkan Ki 

Asem Gede yang masih duduk di bangkunya dengan 

bibir tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Dasar orang keras kepala! Sudah tua, masih 

belum juga mau mengubah sifatnya," gumam Ki Asem 

Gede lirih. "Orang tua aneh! Selalu merasa benar sen


diri. Apakah mungkin, Pendekar Gila yang termasyhur 

dengan keadilan dan kebaikannya melakukan hal yang 

tercela?"

Tengah Ki Asem Gede merenung memikirkan 

watak Dewa Pedang yang keras kepala, tiba-tiba dia 

dikejutkan oleh kehadiran seorang muridnya yang da-

lam keadaan luka parah. Penjaga pintu gerbang itu 

ambruk di depan pintu dengan tubuh berlumur darah.

"Pranolo, kenapa kau?!"

Ki Asem Gede segera bangun dari kursinya, 

berlari mendekati muridnya yang dalam keadaan seka-

rat. Diangkatnya kepala sang Murid, kemudian dita-

ruhnya di atas pangkuan.

"Orang tua itu..., mengamuk.... Akh!"

Pranolo terkulai lemas, nyawanya seketika me-

layang meninggalkan raga.

"Keparat! Dewa Pedang keparat! Air susu kau 

balas air tuba! Tak akan kubiarkan kau hidup!"

Dengan penuh amarah, Ki Asem Gede segera 

melesat keluar untuk mengejar Ki Badawi. Di tangan-

nya tergenggam senjatanya yang berbentuk rantai pan-

jang dengan ujung runcing seperti anak panah. Senja-

ta itu bernama Jerat Malaikat Pencabut Nyawa.

Malaikat Tanpa Bayangan semakin gusar, keti-

ka sampai di pintu gerbang tak menemukan Dewa Pe-

dang. Yang ada hanya tiga sosok tubuh muridnya yang 

tergeletak mati dengan dada menganga tergores pe-

dang.

"Bedebah! Rupanya kau mencari permusuhan 

denganku, Dewa Pedang!" maki Ki Asem Gede. "Sudah 

kuduga sebelumnya, kau memang bermaksud jahat!"

Ki Asem Gede menyapukan pandangannya ke 

sekeliling tempat perguruannya. Tiba-tiba matanya ter-

tumbuk pada sebatang pohon ara besar yang tumbuh 

di samping kanan pintu gerbang perguruan. Di pohon


ara itu, terdapat tulisan yang dibuat dengan goresan 

pedang.

Ki Asem Gede mendengus marah. Kemudian 

kakinya melangkah mendekati pohon ara untuk mem-

baca maksud tulisan itu. Matanya semakin terbelalak 

marah, manakala membaca tulisan yang tergores di 

pohon ara. 

Malaikat Tanpa Bayangan! 

Sejak saat ini, antara kita bukan lagi sahabat. 

Kelak jika urusanku dengan Pendekar Gila selesai, ku

tantang kau di Bukit Siluman!

Dewa Pedang.

"Bedebah! Kau kira aku takut, Dewa Pedang! 

Malaikat Tanpa Bayangan tak akan takut menghada-

pimu!" geram Ki Asem Gede, sampai gigi-giginya ber-

gemerutuk saling beradu. Ingin rasanya dia mencabut 

nyawa Dewa Pedang saat itu juga dengan senjatanya. 

Namun Dewa Pedang telah berlalu.

"Aku akan mencarimu, Dewa Pedang!"

Malaikat Tanpa Bayangan kembali melangkah 

masuk ke rumahnya. Dadanya masih dipenuhi amarah 

atas tindakan Dewa Pedang yang dianggap telah 

menghina dirinya. Meski keduanya telah bersahabat 

sejak muda, tantangan Dewa Pedang merupakan 

penghinaan yang keterlaluan dan harus dibalas. Terle-

bih dengan pembantaian keempat orang muridnya.

***

Desa Piring Ceper yang berada di kaki Gunung 

Dandaka nampak tenang. Desa yang kebanyakan pen-

duduknya bertani itu, merupakan desa yang aman dan 

tenteram. Penduduknya ramah tamah, sehingga ba


nyak orang berdatangan ke desa yang juga merupakan 

pusat niaga di wilayah Kadipaten Sempalan Bumi.

Siang itu langit tampak mendung. Awan gelap 

berarak menutupi langit di atas sekitar Desa Piring 

Ceper. Sebuah kedai yang terletak di sebelah timur de-

sa itu, siang ini banyak disinggahi orang-orang yang 

kebetulan berkunjung ke desa itu.

Seorang pemuda tampan berambut gondrong 

dengan pakaian rompi kulit ular nampak tengah du-

duk lesehan. Kepalanya bersandar pada dinding kedai 

yang terbuat dari batu bata. Mata pemuda yang tidak 

lain Pendekar Gila itu menerawang ke atas. Mulutnya 

terkadang cengengesan, tersenyum-senyum seorang 

diri. 

Dari luar, lima orang berpakaian kembar ma-

suk. Dua orang di antara mereka adalah wanita muda. 

Keduanya berwajah cantik dengan rambut dibiarkan 

terurai seperti rambut tiga lelaki kawannya. Pakaian-

nya panjang sampai lutut dan berwarna merah jambu. 

Kelima orang muda yang berusia sekitar dua puluh tu-

juh tahun itu sejenak mengedarkan pandangannya 

pada orang-orang di dalam kedai. Dan tiba-tiba pan-

dangan mata mereka terhenti ketika menatap seorang 

pemuda yang tengah tersenyum-senyum sendiri den-

gan kepala tersandar di dinding kedai.

"Hati-hati dengan pemuda gila itu," bisik lelaki 

bermata lebar dengan hidung pesek kepada teman-

temannya.

"Kenapa?" tanya lelaki berkumis tipis dan ber-

hidung agak mancung.

"Nampaknya dialah yang dimaksudkan oleh ke-

tua," sahut lelaki muda yang berwajah bersih tanpa 

kumis maupun jenggot

Keempat temannya mengangguk-anggukkan 

kepala mengerti. Mata mereka masih menatap Pende


kar Gila yang masih cengengesan dengan wajah ter-

dongak menatap atap kedai.

"Hi hi hi...!" Sena tertawa, telunjuknya menud-

ing ke atas. Seperti ada sesuatu di atas. Hal itu mem-

buat kelima orang muda yang tadi memperhatikannya, 

kini mengikuti telunjuk Sena memandang ke atas. 

Namun mereka tidak menemukan apa-apa.

"Tak ada apa-apa," kata lelaki muda yang pal-

ing tampan di antara ketiga lelaki itu. Hidungnya man-

cung, dengan alis mata tipis. Kumis tipis menghias di 

atas bibirnya.

"Kurang ajar! Dia mempermainkan kita!" den-

gus wanita cantik yang bermata lebar dengan alis mata 

lebat

Kelimanya serentak menoleh ke arah Pendekar 

Gila yang baru saja duduk di tempat itu, tapi kini telah 

hilang entah ke mana. Hal itu membuat kelima orang 

muda itu membelalakkan mata. Kelima pasang mata 

mengitari ruangan kedai itu. Tapi mereka tidak juga 

menemukan pemuda bertingkah laku seperti orang gi-

la.

"Hilang! Ke mana dia?" tanya wanita cantik 

yang bermata lentik bertubuh ramping.

"Entahlah. Mungkin benar apa yang dikatakan 

ketua, kalau pemuda tadi orangnya," tukas lelaki ber-

hidung pesek dan bertubuh kekar.

Kelima orang muda berpakaian merah itu tiada 

lain Lima Darah Bukit Perawan. Mereka berlima me-

rupakan satu keturunan, kakak beradik. Yang tertua, 

lelaki berhidung pesek dengan mata lebar dan bertu-

buh tinggi tegap. Dia bernama Getih Ireng.

Yang kedua, lelaki bertubuh gemuk dan pendek 

berkumis tipis dengan hidung agak mancung. Dia adik 

Getih Ireng, bernama Getih Ungu.

Yang ketiga juga lelaki. Wajahnya tampan, tu


buhnya tidak terlalu tinggi Juga tidak terlalu gemuk 

ataupun kurus. Dia bernama Getih Biru.

Yang keempat seorang gadis cantik; bermata 

lebar dengan alis mata lebat. Mulutnya kelihatan sinis. 

Dia bernama Getih Merah. Sedangkan yang terakhir, 

juga seorang gadis. Dialah yang paling cantik dari 

keempat saudaranya. Hidungnya mancung, alis ma-

tanya lentik. Mulutnya mungil. Dia bernama Getih Pu-

tih.

Kelimanya masih berusaha mencari Pendekar

Gila yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Bagai-

kan angin begitu cepat Pendekar Gila menghilang. Se-

hingga Lima Darah Bukit Perawan tak tahu ke arah 

mana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.

"Hua ha ha... !Indah sekali siang ini," tiba-tiba 

di luar terdengar suara Sena berceloteh sendiri. "Ah, 

sayang! Mendung menutupi langit. Seharusnya siang 

ini indah sekali...."

Tersentak Lima Darah Bukit Perawan menden-

gar suara Pendekar Gila.

"Hm, dia ada di luar. Benar juga, rupanya di-

alah yang dimaksud oleh ketua," tukas Getih Ireng.

"Ya. Tentunya dialah Pendekar Gila," sahut Ge-

tih Merah.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Ge-

tih Ungu.

"Entahlah,"

"Bukankah lata harus menjauhi pemuda itu?" 

tanya Getih Putih.

"Ya," jawab Getih Biru.

"Ayo, kita pergi!" ajak Getih Ireng.

Kelima kakak beradik itu baru saja hendak 

angkat kaki, ketika tiba-tiba Pendekar Gila telah 

menghadangnya.

"Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian? Mengapa


kalian harus terburu-buru...?" tanya Sena. Tingkah la-

kunya masih seperti orang gila. Matanya memandang 

ke atas langit, sedangkan tangan kanannya mengga-

ruk-garuk kepala.

Lima Darah Bukit Perawan menarik napas da-

lam-dalam. Mata mereka memandang lekat ke wajah 

Pendekar Gila.

"Berilah kami jalan!" pinta Getih Ireng.

"Aha, silakan!"

Kelima orang muda berpakaian merah itu sege-

ra melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang masih 

tertawa-tawa seperti orang gila sambil menggaruk-

garuk kepala.

"Hm..., apa yang mereka bawa? Mereka seperti 

membawa sesuatu yang mencurigakan." Pikir Sena se-

telah kepergian Lima Darah Bukit Perawan. "Kurasa 

ada sesuatu yang membuat mereka begitu tergesa-

gesa. Aha, sebaiknya kutanyakan saja pada pemilik ke-

dai"

Pendekar Gila yang juga menaruh curiga pada 

pemilik kedai, kembali melangkah masuk.

"Ada apa, Kisanak?" tanya pemilik kedai yang 

tubuhnya gemuk dan kepalanya terikat kain segitiga.

"Aha, pertama kuucapkan terima kasih atas pe-

layanan mu. Sedangkan yang kedua, aku ingin ber-

tanya," ujar Sena dengan masih bertingkah laku seper-

ti orang tolol.

"Hm, tentang apakah?"

"Aha, bukankah kau tadi melihat lima orang 

berpakaian merah itu?" Sena balik bertanya. 

"Ya, benar."

"Siapakah mereka? Tampaknya mereka mem-

punyai kepentingan denganmu."

"Mereka Lima Darah Bukit Perawan, yang ter-

gabung dalam Serikat Serigala Merah."


"Hm..., terima kasih. Kau telah memberitahu-

kan tentang mereka padaku. Bolehkah aku kembali 

bertanya?"

"Silakan!"

"Ada urusan apa mereka padamu?"

"Tak ada," tegas pemilik kedai dengan nada tak 

senang mendengar pertanyaan Sena.

"Aha, kau begitu sewot, Ki! Tapi, tak apalah. Te-

rima kasih!" ujar Sena, kemudian dengan cepat mele-

sat meninggalkan kedai itu.

Pemilik kedai dan orang-orang yang ada di ke-

dai melongo menyaksikan gerakan yang dilakukan 

Pendekar Gila. Begitu cepat hingga dalam sekejap mata 

tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata mereka.

***

TIGA



Lima orang muda berpakaian merah dadu ten-

gah melangkah terburu-buru melintasi Hutan Sawar. 

Sesekali mereka menoleh ke belakang. Wajah mereka 

menggambarkan ketakutan dan cemas, kalau-kalau 

Pendekar Gila terus mengejar.

"Celaka, kalau dia tahu apa yang kita bawa," 

ujar Getih Ireng. "Tentunya dia akan menghalangi niat 

kita. Bahkan mungkin akan merebut benda yang kita 

bawa ini"

"Mari, kita percepat langkah kita!" ajak Getih 

Biru.

Mereka baru saja mempercepat langkah, ketika 

tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul prajurit-

prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.


"Itu mereka! Tangkap...!" perintah pimpinan 

prajurit kadipaten yang berbadan tegap dan berwajah 

garang. Telunjuknya menunjuk ke arah Lima Darah 

Bukit Perawan yang seketika tersentak kaget.

Serentak para prajurit Kadipaten Sempalan 

Bumi bergerak maju. Dengan senjata lengkap di tan-

gan, dua puluh orang prajurit menyerbu Lima Darah 

Bukit Perawan yang tampak kebingungan.

"Celaka! Keluar dari mulut singa kini kita diha-

dang mulut buaya!" umpat Getih Ungu kesal.

"Tak ada jalan lain, kita harus melawan mere-

ka!" sambut Getih Merah. 

Cring!

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Lima Darah Bukit Perawan segera mencabut 

pedang, kemudian tanpa rasa takut kelimanya berge-

rak maju menghadang para prajurit kadipaten.

"Yeaaa...!"

Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Lima Da-

rah Bukit Perawan dengan tanpa rasa takut segera 

menerjang. Pedang di tangan mereka bergerak dengan 

cepat, menggunakan jurus 'Lima Darah Sudut Bin-

tang'. Mereka menyerang dengan cepat dari lima pen-

juru, membentuk bintang bersegi lima.

"Heaaa!"

Wuttt! Wuttt..!

Cras! Cras!

"Aaakh...!"

Pekikan kematian susul-menyusul terdengar 

dari para prajurit yang terkena sabetan pedang Lima 

Darah Bukit Perawan. Kelima tokoh muda itu bergerak 

cepat melakukan serangan. Pedang di tangan mereka 

laksana kilat, membabat dan menusuk ke tubuh para 

prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.


Lima orang prajurit kadipaten roboh dengan 

dada terbelah lebar. Darah bersimbah, membasahi re-

rumputan.

Melihat anak buahnya banyak yang tewas, 

pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi melompat 

turun menyerang Lima Darah Bukit Perawan.

"Kurang ajar! Kalian harus ditangkap! Heaaa...!"

Lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam itu 

bergerak cepat menyerang lawan. Di tangan lelaki yang 

bertelanjang dada itu telah tergenggam keris berkeluk 

lima. Keris yang berjuluk Ki Gendra itu mengeluarkan 

cahaya kuning. Tangan lelaki berambut digelung itu 

bergerak dengan cepat dalam jurus andalannya yang 

bernama 'Pancalan Malaikat'.

"Heaaa...!"

Wuttt!

Keris di tangan pimpinan prajurit Kadipaten 

Sempalan Bumi bagaikan hidup, bergerak semakin ce-

pat, menusuk dan menyabet ke arah lawan-lawannya. 

Seketika itu, lima Darah Bukit Perawan tersentak. Me-

reka langsung berlompatan mundur, berusaha menge-

lakkan sabetan keris sakti di tangan pimpinan prajurit 

Kadipaten Sempalan Bumi

"Celaka! Dia bukan orang sembarangan!" seru 

Getih Ireng setelah berhasil lolos dari sabetan keris 

yang mengeluarkan sinar kuning di tangan pimpinan 

prajurit Keris itu seperti mengandung kekuatan gaib 

yang mampu membuat getaran hebat di dada Lima Da-

rah Bukit Perawan.

"Tentunya keris itulah yang menjadi kekuatan-

nya," tukas Getih Biru.

"Ya! Dengan memegang keris itu, siapa pun 

akan menjadi sakti. Nampaknya keris itu mengandung 

tuah yang dahsyat. Dari hawa panas yang keluar, kita 

me-rasakan betapa hebat getaran tadi," sambung Getih


Ungu.

"Lalu apa yang harus kita perbuat?" tanya Ge-

tih Merah.

"Terpaksa, kita harus menghadapinya," jawab 

Getih Ireng.

Belum juga mereka memulai penyerangan lagi, 

tiba-tiba pimpinan prajurit kembali berseru memerin-

tah anak buahnya.

"Kurung mereka...!"

Lima Darah Bukit Perawan menyangka kalau 

perintah itu ditujukan pada kelima belas prajurit yang 

masih hidup. Mereka segera bersatu dan menyiapkan 

jurus 'Darah Mengalir Menyapu Debu'. Tapi...

Srrrt! Srrrt..!

Tiba-tiba rangkaian tali-temali yang memben-

tuk jaring seketika meluncur dari atas. Kelima orang 

berpakaian merah itu tak sempat mengelak. Tali-temali 

itu mengurung Lima Darah Bukit Perawan.

"Celaka! Kita terjebak!" seru Getih Ireng, ketika 

tiba-tiba tubuhnya dan keempat adiknya terkurung 

jaring.

Susah payah Lima Darah Bukit Perawan beru-

saha membebaskan diri dari jerat jaring itu. Namun 

jaring yang ditaburkan para prajurit Kadipaten Sempa-

lan Bumi dari tempat tersembunyi itu begitu kuat

"Ha ha ha....! Mau lari ke mana, Tikus-tikus 

Busuk?! Kalian telah berbuat keji, meracuni warga Ka-

dipaten Sempalan Bumi dengan madat Kalian harus 

dihukum!" seru pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan 

Bumi.

"Celaka, Kakang! Apa yang harus kita laku-

kan?" tanya Getih Putih.

"Entahlah. Kalau kita tak dapat lolos dari ku-

rungan ini, tiang gantungan telah menanti kita," sahut 

Getih Ireng sambil terus berusaha merusak tali-temali


jaring yang sangat kuat. Entah dibuat dengan bahan 

apa tali itu.

"Tikus busuk! Serahkan adikmu yang cantik itu 

padaku, maka kalian akan bebas!" kata pimpinan pra-

jurit kadipaten. Lelaki berbadan kekar dan bermata be-

lo itu bernama Ki Palu Geni. Mulutnya yang terhias 

kumis tebal tampak tersenyum mengejek.

"Cuh! Tak sudi aku menjadi istrimu! Kau tak 

lebihnya seperti penjilat! Memalukan...!" dengus Getih 

Putih berang sambil menyemburkan ludah.

"Setan!" maki Ki Palu Geni dengan mata melotot 

marah. Wajahnya yang garang, semakin bertambah ga-

rang. Wajahnya memerah mendengar hinaan yang di-

lontarkan Getih Putih.

"Prajurit..! Bawa mereka...!" serunya kemudian.

Para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi berge-

rak hendak meringkus Lima Darah Bukit Perawan. 

Namun baru saja lima orang prajurit melangkah maju, 

tiba-tiba....

Swing, swing...!

Crab! Crab!

"Wuaaa...!

"Aaa...!"

Seketika terdengar pekikan kematian yang me-

nyayat hati, disusul dengan robohnya tubuh lima pra-

jurit Kadipaten Sempalan Bumi. Tampak beberapa 

senjata rahasia berbentuk bintang dan berwarna putih 

keperakan menancap di leher, dada, dan wajah lima 

prajurit itu.

"Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencam-

puri urusan kadipaten?!" sentak Ki Palu Geni murka. 

Dilihatnya kelima anak buahnya telah tewas. Tubuh 

mereka terkapar berlumur darah di atas rerumputan.

Mata Ki Palu Geni mengawasi sekelilingnya, ta-

pi tidak juga menemukan adanya seseorang yang telah


membunuh kelima prajuritnya.

"Cari orang keparat itu!" perintahnya pada para 

prajurit

Belum sempat para prajurit Kadipaten Sempa-

lan Bumi bergerak maju, tiba-tiba sesosok bayangan 

putih berkelebat cepat menuju jaring. Di tangan sosok 

bayangan putih itu, tergenggam sebilah pedang ber-

warna merah darah. Tampak pedang itu dengan cepat 

membabat tali-temali yang mengurung tubuh Lima Da-

rah Bukit Perawan.

Bret, bret, bret!

Seketika itu juga, Lima Darah Bukit Perawan 

terbebas dari kurungan tali-temali yang menjerat me-

reka. Hal itu semakin membuat Ki Palu Geni bertam-

bah marah.

"Kurang ajar! Bunuh mereka semua!"

Prajurit Kadipaten Sempalan Bumi segera ber-

gerak maju melakukan serangan. Namun lawan kini 

bertambah kuat dengan hadirnya seorang lelaki tua 

berjubah putih yang bersenjatakan pedang berwarna 

merah darah.

Serangan-serangan para prajurit Kadipaten 

Sempalan Bumi dengan mudah dapat dipatahkan. Kini 

keenam orang itu justru mendesak para prajurit yang 

jumlahnya empat puluh orang itu.

"Heaaa...!"

Lelaki tua berjubah putih yang ternyata Dewa 

Pedang, bergerak cepat melakukan serangan dengan 

jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa'. Dengan jurus 

itu, Dewa Pedang benar-benar tak memberi kesempa-

tan bagi lawan-lawannya untuk melakukan serangan 

balasan.

Bet!

Cras!

"Aaakh...!"


"Aaa...!"

Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari 

mulut para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi yang 

terbabat pedang di tangan. Darah segar muncrat 

membasahi rerumputan. Tubuh-tubuh para prajurit 

terkapar berlumuran darah.

Lima Darah Bukit Perawan yang merasa dibela 

oleh seorang berilmu tinggi, semakin bertambah se-

mangat. Kelimanya dengan tangan menggenggam pe-

dang terus menggebrak lawan-lawannya. Dalam seke-

jap saja, prajurit-prajurit Kadipaten Sempalan Bumi 

dibuat kocar-kacir.

"Mundur...!" seru Ki Palu Geni, melihat banyak 

anak buahnya yang mati oleh serangan Lima Darah 

Bukit Perawan. Terlebih dengan hadirnya lelaki tua 

berjubah putih yang membantu Lima Darah Bukit Pe-

rawan.

Semua prajurit yang masih hidup, seketika lari 

tunggang-langgang meninggalkan tempat itu, mening-

galkan teman-temannya yang terkapar tak bernyawa.

"Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kalau boleh 

kami tahu, siapa Kisanak sebenarnya?" tanya Getih 

Ireng setelah menjura hormat sebagai ungkapan rasa 

terima kasih atas pertolongan lelaki tua berjubah pu-

tih.

"Hm...," Dewa Pedang hanya bergumam sambil 

memasukkan Pedang Darah ke warangkanya. Sedikit 

pun tak tampak senyum apalagi tawa di mulutnya. Si-

kapnya tampak tak acuh sekali.

"Ki, kau telah menolong kami. Sepantasnyalah 

kami mengucapkan terima kasih. Dan kalau diperke-

nankan, kami ingin mengajak mu untuk bergabung 

dengan kami," ujar Getih Ireng menawarkan balas bu-

di.

"Hm..., apa yang menjadi pekerjaan kalian?"


tanya Dewa Pedang tertarik ingin tahu.

"Nanti kau akan tahu jika bersedia ikut kami," 

jawab Getih Ireng.

"Hm...," Dewa Pedang kembali bergumam tak 

jelas. "Baiklah, aku akan ikut kalian."

"Mari, Ki!"

Mereka segera meninggalkan Hutan Sawar. 

***

Lembah Cadas Setan nampak membentang 

luas di sebelah selatan Desa Kendal. Di lembah itu, te-

patnya di bagian barat terbentang hutan lebat. Hutan 

Damar Kanginan yang ditumbuhi pohon damar, meru-

pakan kubu dari Serikat Serigala Merah. Ke hutan itu-

lah Dewa Pedang dibawa oleh Lima Darah Bukit Pera-

wan.

Di tengah Hutan Damar Kanginan, nampak 

berdiri sebuah bangunan yang berbilik bambu. Atap-

nya sirap terbuat dari daun bambu.

Di dalam rumah bilik itu, nampak lima lelaki 

berusia empat puluhan tengah duduk-duduk sambil 

ngobrol. Kelima lelaki berwajah garang itu sama-sama 

berambut panjang terurai lepas. Kumis tebal dan me-

lintang menghiasi bibir mereka.

"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya le-

laki bermuka bulat yang duduk paling kanan. Dia ber-

nama Kanjani, orang yang memimpin Serikat Serigala 

Merah di sebelah timur Kadipaten Sempalan Bumi.

"Mungkinkah mereka mendapat halangan?" 

gumam Sembilang.

"Entahlah. Memang tugas mereka kurasa be-

rat," sambut Karadipa.

Kelimanya sesaat terdiam dengan pikiran mas-

ing-masing. Dada mereka yang bidang, kelihatan turun


naik mengatur napas. Saat itu, dari luar terdengar su-

ara isyarat dari para penjaga di luar kalau lima orang 

yang mereka tunggu telah datang. Namun suara isya-

rat itu juga memberitahukan, kalau ada orang asing 

yang datang bersama Lima Darah Bukit Perawan.

"Kuk, kuk! Pakukuk...!"

Isyarat itu terdengar mirip suara burung yang 

ada di dalam hutan. Hal itu dimaksudkan, jika orang 

lain yang mendengar, akan mengira kalau itu suara-

suara burung biasa. 

"Hm..., mereka telah datang," gumam lelaki 

berbaju biru tua yang hidungnya mancung seperti be-

tet. Dia bernama Prabakuta yang menjadi pimpinan 

Serikat Serigala Merah di sebelah utara Kadipaten 

Sempalan Bumi.

"Ya! Tapi siapa yang bersama mereka?" tanya 

lelaki berbaju coklat tua dengan mata lebar dan jeng-

got menghias wajahnya. Dialah Gempal Sudra, Ketua 

Serikat Serigala Merah di wilayah barat Kadipaten 

Sempalan Bumi.

Belum juga kelima pimpinan Serikat Serigala 

Merah tahu siapa orang yang bersama Lima Darah 

Bukit Perawan, dari luar masuk anak buahnya.

"Mereka telah datang, Ketua. Mereka bersama 

seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. 

Di punggung lelaki tua itu, tersandang sebilah pe-

dang."

"Hm, biarkan mereka masuk!" ujar Gajah Be-

deg, seorang lelaki berbadan gemuk besar. Wajahnya 

menunjukkan kekerasan. Matanya tajam, dan ram-

butnya terurai lurus.

"Baik, Ketua," lelaki muda bertubuh tegap den-

gan pakaian rompi merah itu segera melesat keluar, 

meninggalkan ruangan itu.

Tidak begitu lama kemudian, terdengar langkah


kaki mendekat ke rumah gubuk itu.

"Masuk!" perintah Gajah Bedeg.

Pintu yang terbuat dari bilik bambu terbuka. 

Masuklah Lima Darah Bukit Perawan yang diikuti De-

wa Pedang

"Kami datang, Ketua," ujar Getih Ireng sambil 

menjura hormat, diikuti keempat saudaranya. Sedang-

kan Dewa Pedang hanya diam. Matanya yang tajam, 

menatap ke wajah lima pimpinan Serikat Serigala Me-

rah. Kening kelima pimpinan itu berkerut menyaksi-

kan sikap lelaki tua berjubah putih di depan mereka.

"Siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya Gajah 

Bedeg. Matanya yang tajam membalas tatapan tajam 

Dewa Pedang.

"Ampun, Ketua! Dia telah menolong kami dari 

penangkapan pihak kadipaten," sahut Getih.

"Hm,..," gumam Gajah Bedeg. "Orang tua, kalau 

boleh kami tahu, siapakah sebenarnya dirimu?"

"Aku Dewa Pedang!" sahut Ki Badawi tegas. Su-

aranya menunjukkan keangkuhan.

Kelima pimpinan Serikat Serigala Merah tersen-

tak mendengar julukan lelaki tua di hadapan mereka. 

Serentak mereka bangkit dari duduknya, kemudian de-

ngan hormat kelimanya langsung menjura.

Mereka telah tahu dan sering mendengar nama 

besar Dewa Pedang. Itu sebabnya, mereka begitu me-

naruh hormat pada orang tua itu. Di samping itu, me-

reka mengharapkan Dewa Pedang sudi menjadi pimpi-

nan dalam Serikat Serigala Merah. Jika orang tua itu 

mau, serikat itu merupakan sebuah perkumpulan 

yang kuat. Sulit bagi pendekar aliran lurus mengo-

brak-abrik mereka.

"Terimalah hormat kami!" ujar mereka serem-

pak. "Sungguh kami yang buta! Tak tahu sedang ber-

hadapan dengan Dewa Pedang," sambut Gajah Bedeg.


"Sudahlah! Tak usah kalian bersikap begitu! 

Aku datang ke tempat kalian, semata-mata atas ajakan 

lima anak muda ini," ujar Dewa Pedang, dingin.

"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, kalau 

Dewa Pedang yang namanya sangat termasyhur berke-

nan datang ke tempat kami," kata Gajah Bedeg.

"Terima kasih!" sahut Dewa Pedang. "Katakan-

lah, apa yang kalian lakukan?"

Gajah Bedeg dan keempat pimpinan Serikat Se-

rigala Merah saling pandang. Wajah mereka menggam-

barkan kecemasan, takut kalau-kalau Dewa Pedang 

yang mereka kenal sebagai penegak kebenaran dan 

keadilan akan menghalangi kegiatan mereka.

"Heh, kenapa kalian diam?!" bentak Dewa Pe-

dang tak sabar.

"Oh! Maaf, Dewa Pedang! Mungkin kau telah ta-

hu, apa yang kami lakukan," sahut Gajah Bedeg.

"Hm..., tidak!"

"Apakah Lima Darah Bukit Perawan belum 

menceritakannya?"

"Belum!" sahut Dewa Pedang.

Gajah Bedeg kembali menatap wajah empat 

orang rekannya. Kemudian setelah mengangguk, Gajah 

Bedeg pun menceritakan apa yang dilakukan gerombo-

lannya.

"Kami bergerak di bidang penjualan serbuk 

surga, Ki. Kalau memang kau sudi, dengan penuh 

hormat dan harap, kami bermaksud mengangkatmu 

sebagai pimpinan kami," ungkap Gajah Bedeg.

Dewa Pedang sesaat terdiam. Nampaknya dia 

berpikir keras setelah tahu apa yang dikerjakan Seri-

kat Serigala Merah.

"Hm..., kurasa tak ada buruknya kalau aku te-

rima. Dengan begitu, bukankah aku akan semakin 

kuat? Aku akan dapat membinasakan Pendekar Gila! "


Pikir Dewa Pedang dalam hati. "Lagi pula, kalau Malai-

kat Tanpa Bayangan mencariku, aku bisa mengandal-

kan Lima Darah Bukit Perawan dan kelima orang ini. "

"Bagaimana, Ki?" tanya Gajah Bedeg.

"Baiklah, aku terima," jawab Dewa Pedang.

"Terima kasih! Semoga dengan pengangkatan 

Dewa Pedang menjadi pimpinan Serikat Serigala Me-

rah, gerakan kita akan semakin kuat!" Gajah Bedeg be-

rusaha menyanjung ketuanya yang baru.

"Selama Dewa Pedang masih bersama kalian, 

tak akan ada pendekar yang mampu menghadapi ka-

lian! Serikat Serigala Merah, akan menjadi serikat yang 

paling besar di tanah Jawa Dwipa ini," ujar Dewa Pe-

dang angkuh.

Semua tertawa senang.

"Untuk memeriahkan pengangkatan ini, bagai-

mana kalau kita rayakan dengan makan dan minum 

arak?" usul Gajah Bedeg.

"Bagus! Dan mulai saat ini, tugas yang perlu 

kalian utamakan adalah mengundang para tokoh hi-

tam rimba persilatan untuk bergabung. Kemudian, cari 

dan bunuh Pendekar Gila...!" seru Dewa Pedang lan-

tang.

Semua mata membelalak mendengar perintah 

Dewa Pedang. Suatu perintah yang berat. Membunuh 

Pendekar Gila bukanlah hal yang mudah. Namun Pen-

dekar Gila memang tokoh yang harus mereka singkir-

kan. Dialah penghalang utama bagi sepak terjang me-

reka.

Sore itu pula, pesta pengangkatan Dewa Pedang 

dilaksanakan. Mereka berpesta-pora, dengan makan 

sekenyangnya dan minum tuak sepuasnya.

***


EMPAT


Keterlibatan Dewa Pedang dalam Serikat Seri-

gala Merah memang sangat berarti. Dalam beberapa 

hari kemudian, Serikat Serigala Merah semakin kuat. 

Kini sepak terjang mereka tidak hanya di lingkungan 

Kadipaten Sempalan Bumi. Mereka bergerak lebih le-

luasa dan bertambah maju. Penyusupan mereka telah 

mencapai kadipaten-kadipaten yang termasuk dalam 

kekuasaan Kerajaan Sunda Layung.

Gerakan Serikat Serigala Merah semakin ber-

tambah berani. Apalagi mereka melibatkan beberapa 

tokoh yang dianggap akan banyak berperan. Termasuk 

pejabat-pejabat kerajaan dan kadipaten.

Kerajaan Sunda Layung kini bagaikan kerajaan 

mati. Banyak kaum mudanya yang kecanduan madat. 

Kejahatan-kejahatan pun semakin merajalela. Mereka 

melakukan tindakan kejahatan semata-mata untuk 

mendapatkan uang guna membeli madat. Penyiksaan, 

perampokan, pencurian, dan bentuk kejahatan lain ba-

gaikan cendawan di musim hujan. Tumbuh dan ber-

kembang pesat

Desa Pring Kuning yang masih termasuk wi-

layah Kerajaan Sunda Layung siang itu terasa sangat 

panas. Matahari tak segan-segan memancarkan sinar-

nya yang bagaikan hendak memanggang semua yang 

ada di bumi. Sepertinya, matahari murka menyaksikan 

kejahatan yang berkembang dan semakin merajalela.

Pasar Kliwon yang ada di Desa Pring Kuning 

siang itu masih ramai dikunjungi orang, karena pasar 

itu merupakan pasar yang cukup ramai. Apalagi ber-

langsung dari pagi sampai malam.

Siang itu, nampak tiga anak muda berambut 

gondrong dengan wajah pucat dan mata sayu melang


kah gontai menuju Pasar Kliwon. Pakaian mereka ku-

sut. Ketiga pemuda itu tampaknya bukan pemuda bi-

asa. Ketiganya para pecandu madat yang kuat dan ju-

ga sebagai pemeras di Pasar Kliwon.

Tiga anak muda itu melangkah gontai, masuk 

ke lingkungan Pasar Kliwon. Mereka kemudian ber-

pencar di dalam pasar, meminta uang pada para peda-

gang sebagai uang jago.

"Dua hari kau tidak bayar pajak pada kami!" 

bentak pemuda berwajah pucat yang berpakaian ungu. 

Matanya yang sayu, dipaksakan untuk melotot. "Kini 

kuminta kau harus membayar!"

"Ampun, Den Karso! Bagaimana saya harus ba-

yar! Aden tahu sendiri, dagangan saya kecil? Hanya 

cukup untuk menutup utang pada Juragan Darma," 

ratap lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun me-

melas. Pedagang sirih itu tampak ketakutan.

"Tak peduli! Sekarang beri aku tiga bendong!" 

bentak pemuda yang bernama Karso itu, sambil tan-

gannya menggebrak meja tempat dagangan orang tua 

itu.

Brak!

"Ayo! Beri aku tiga bendong! Cepat...!" Semakin 

menggigil ketakutan lelaki tua berbadan kurus itu. Tu-

buhnya gemetar dan menggeragap. Tak ada yang bisa 

diperbuat kecuali ketakutan yang di rasakannya.

"Ayo! Apakah kau ingin mampus, heh?!" bentak 

Karso semakin garang. 

Srrt!

Pemuda itu menarik goloknya, yang membuat 

lelaki tua penjual sirih kian ketakutan. Tubuhnya se-

makin menggigil dengan mata membelalak tegang.

"Ayo! Berikan uangmu! Atau kau ingin kepala-

mu lepas dari tubuh, heh?!" ancam Karso.

"Jangan, Den! Ampun..., sungguh saya tak


punya uang sebanyak itu!" ratap lelaki tua itu mengi-

ba. Bahkan membungkuk-bungkuk, berusaha memin-

ta betas kasihan.

"Hm, ada berapa uangmu?"

"Ampun, Den! Ba... baru du... dua ketip, Den," 

jawab lelaki tua itu dengan suara menggeragap.

"Serahkan uangmu! Cepaaat..!" sentak Karso 

garang.

Srek!

Kembali Karso mempermainkan goloknya, 

membuat orang tua itu semakin kebingungan dan ta-

kut. Kalau dia menyerahkan uangnya yang dua ketip, 

lalu anak dan istrinya yang menunggu di rumah mau 

makan apa? Sedangkan jika tak memberikan uangnya, 

dia takut pemuda itu akan membunuhnya.

Dengan tangan gemetaran, lelaki tua itu segera 

mengambil uang dari ikat pinggangnya.

"Cepat!" bentak Karso tak sabar.

Lelaki tua yang malang itu semakin menggigil.

Wajahnya bahkan lebih pucat dibandingkan 

dengan wajah pemuda yang ada di hadapannya.

"Ini, Den. Tapi Bapak minta dua sen saja, un-

tuk makan anak dan istri Bapak!" harap lelaki tua itu 

memohon.

"Apa?! Enak saja kau bicara! Nih untukmu...!" 

bentak Karso seraya hendak memukul dada lelaki tua 

itu, ketika tiba-tiba....

Trak!

"Aduh!" pekik Karso sambil menarik mundur 

tangannya yang terasa sakit. Tulangnya bagaikan re-

tak. "Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin 

mampus, Orang Tua Keparat!"

Srrrt!

Karso menarik goloknya, yang membuat lelaki 

tua malang itu semakin ketakutan.


"Ampun, Den. Jangan bunuh saya!" pinta lelaki 

tua itu meratap.

"Setan! Rupanya kau hendak mempermainkan

ku, heh?! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat!"

Pemuda bertampang garang itu seketika mem-

babatkan goloknya ke arah lelaki tua malang yang 

membelakkan matanya.

Wuttt..!

Hampir saja leher lelaki tua itu menjadi santa-

pan golok di tangan pemuda berandalan itu. Namun, 

belum sempat golok itu sampai ke leher, sebuah batu 

kecil melesat ke arah tangan Karso.

Tuk!

"Aduh!" Karso kembali memekik keras, golok-

nya kini terjatuh karena tangannya sangat sakit. Mata 

pemuda itu liar, memandang garang ke arah sekeli-

lingnya dengan tangan kiri memegangi tangan kanan 

yang terasa sakit. "Kurang ajar! Siapa yang berani jual 

lagak di depan Karso?! Ayo, keluarlah!" 

"Hua ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggema 

di penjuru pasar. Sepertinya orang yang tertawa itu 

ada di mana-mana. Hal itu menjadikan Karso dan ke 

dua orang temannya tersentak. Mereka yang sedang 

memeras, seketika menghentikan kegiatannya. Mereka 

langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari asal 

suara itu.

"Setan! Keluarlah! Hadapi kami...!" seru Karso 

semakin marah, karena merasa dipermainkan orang 

yang kini masih tertawa tergelak-gelak.

"Aha, aku di sini, Sobat!"

Karso tersentak bagaikan disengat kala ketika 

tiba-tiba di belakang lelaki tua penjual sirih telah ber-

diri seorang pemuda seusianya dengan tingkah laku 

seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dan tangan


nya menggaruk-garuk kepala.

"Setan belang! Rupanya orang gila yang main-

main denganku! Minggir kau dari sini, atau terpaksa 

golokku akan memenggal lehermu?!" bentak Karso ga-

rang.

"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Cecurut! Mukamu 

persis tikus kebakaran kumis," ejek pemuda berambut 

gondrong dengan ikat kepala dari kulit ular. Tubuhnya 

dibalikkan, kemudian sambil tertawa-tawa pantatnya 

ditunggingkan ke arah Karso. 

Brut..!

"Hua ha ha...! Bagaimana, Cecurut! Enak ken-

tut-ku?" tanya pemuda berambut gondong yang tak 

lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.

"Bedebah! Rupanya kau pun minta mampus, 

Bocah Gendeng!" dengus Karso semakin bertambah 

marah. Dipungutnya kembali golok yang tadi jatuh, ke-

mudian dengan geram dia menyerang. "Pecah kepala-

mu, Setan! Heaaa...!"

Wuttt!

"Aduh!" pekik Sena mengejek lawan.

Sambil berkata begitu didorongnya tubuh orang 

tua penjual sirih ke samping. Sedangkan dia dengan 

cepat merundukkan tubuh mengelakkan serangan go-

lok lawan.

"Ampun, Den. Jangan bunuh saya...!" ratap Se-

na, menirukan orang tua penjual sirih itu.

"Kurang ajar! Kau benar-benar minta mampus, 

Bocah Edan!" maid Karso semakin beringas, ketika se-

rangan pertamanya gagal. Kembali goloknya diba-

batkan ke arah Pendekar Gila.

Wuttt!

"Aduh, Mak! Galak sekali kau, Den! Jangan bu-

nuh saya...!"

Sambil meratap seperti itu, Pendekar Gila sege


ra menyusup masuk ke kolong meja tempat dagangan 

sirih. Kemudian dari kolong meja, kaki kanannya me-

nendang ke arah perut lawan.

Dug!

"Ukh!"

Karso mengeluh, ketika tendangan Pendekar 

Gila mendarat telak di perutnya. Seketika tubuhnya 

terhuyung ke belakang. Perutnya terasa sangat mual.

"Hi hi hi...! Enak kue apemku, Sobat...?" tanya 

Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-

garuk kepala.

Melihat tindakan itu, Karso dan kedua teman-

nya yang telah berada di tempat itu semakin bertam-

bah marah.

"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan! 

Heaaa...!"

Karso dan kedua temannya langsung mengge-

brak Pendekar Gila. 

Wut! Wut..!

"Tolong! Aduh, galak sekali kalian...!" jerit Sena 

sambil berjumpalitan dan bergerak meliuk-liukkan tu-

buh, mengelakkan babatan golok ketiga lawannya.

Semua mata yang ada di Pasar Kliwon seketika 

tertuju pada pertarungan itu. Dari mulut para penjual 

dan pembeli yang ada di pasar itu keluar decak kagum, 

menyaksikan bagaimana Pendekar Gila mengelakkan 

serangan-serangan yang dilancarkan ketiga pemuda 

berandalan yang selalu memeras mereka.

"Tahu rasa! Kalian kena batunya!" kata penjual 

pisang, bersungut-sungut

"Moga-moga pemuda gila itu bisa menghajar 

mereka!" sambung penjual daging.

"Ya! Biar mereka kapok!" timpal penjual ikan. 

"Ck ck ck...! Tak kusangka, pemuda gila itu 

ternyata memiliki kepandaian yang hebat," decak pen..


jual tempe dengan mata bergerak-gerak ke sana kema-

ri mengikuti pertarungan itu.

Pasar yang semula tenang, seketika berubah 

riuh. Orang-orang yang semula berada di tempatnya 

masing-masing kini berkerumun menyaksikan perta-

rungan.

"Aku bertaruh pemuda gila itu. Ayo, siapa yang 

mau taruhan denganku?" seorang penjual tahu meng-

gunakan pertarungan itu untuk berjudi.

"Wah, sama juga bohong! Aku pegang dia tiga 

banding satu! Kalau pemuda gila itu kalah, aku bayar 

tiga bendong buatmu!" penjual daging tak mau kalah.

***

Pertarungan antara tiga pemuda berandal yang 

mengeroyok Pendekar Gila masih berlangsung sengit. 

Ketiga berandal itu semakin bernafsu ingin segera 

membunuh pemuda gila. Mereka begitu jengkel meli-

hat Pendekar Gila.

"Pecah kepalamu, Bocah Gila?!"

Wuttt!

"Wadau! Jangan, Kang! Kepalaku mahal...!" se-

ru Sena sambil meliukkan tubuh agak ke bawah, se-

hingga serangan golok lawan melesat beberapa jari di 

atas kepalanya. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Mena-

ri Menepuk Lalat' Sena balas menyerang.

"Heits! Setan! Rupanya kau bisa silat juga, Bo-

cah Gila?!" maki Tarmin yang tersentak kaget. Tak dis-

angka kalau pemuda bertingkah laku seperti orang gila 

itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sempurna. 

Hal itu dapat dirasakan, ketika tangan Pendekar Gila 

menepuknya. Tepukannya kelihatan sangat pelan dan 

lambat, namun tahu-tahu telah berkelebat begitu de-

kat. Bahkan angin tepukannya terasa menderu ken


cang.

Tarmin melompat mundur dengan mata terbe-

lalak. Wajahnya semakin merah karena marah.

Melihat Tarmin mundur, kedua temannya kini 

bergerak maju menyerang. Keduanya langsung menu-

suk dan membabatkan golok ke bagian tubuh Pende-

kar Gila. 

"Hancur perutmu!" dengus Karso sambil me-

nyodokkan goloknya ke perut Pendekar Gila.

Wuttt!

"Aduh, Kang! Jangan galak-galak!" seru Sena 

sambil melangkah mundur mengelak. Kemudian de-

ngan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' tu-

buhnya bergerak mengelak menyerang lawan-lawan-

nya. Tubuhnya berputar cepat laksana gasing ke arah 

kiri. Tangannya tak diam begitu saja, terus menyerang 

dengan tamparan dan cengengesan ke arah lawan

Plak!...

"Aduh...!"

Karso terpekik, ketika wajahnya kena tampar 

tangan Pendekar Gila. Tubuhnya memutar ke arah ka-

nan dengan kencang laksana gasing. Hal itu menun-

jukkan betapa kuat tamparan Pendekar Gila.

Tubuh Karso masih terhuyung-huyung, lalu 

bagaikan orang mabuk dengan mata kosong ambruk 

ke tanah. Dan pingsan. 

Orang-orang di pasar seketika bersorak girang 

melihat salah seorang dari tiga pemuda berandalan itu 

terkapar pingsan kena tamparan Pendekar Gila.

"Hua ha ha...! Lihat, lucu sekali dia! Seperti 

ayam kena pukul!" seru Sena sambil tertawa-tawa.

"Pemuda gila! Kubunuh kau! Heaaa...!"

"Heaaa...!"

Menyaksikan Karso pingsan terkena tamparan

Pendekar Gila, kedua temannya semakin beringas me


nyerang. Golok di tangan mereka serentak bergerak 

maju melakukan serangan dengan tebasan dan sodo-

kan.

Wut! Wut..!

"Wah! Kenapa kalian main keroyok! Aduh...!"

Dengan masih bertingkah laku seperti orang gi-

la, Sena kembali mengelak seraya mengejek kedua la-

wannya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, kemudian 

berputar dengan cepat laksana gasing.

Wusss!

Dengan memadukan jurus 'Si Gila Menari Me-

nepuk Lalat' dan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pende-

kar Gila mengelakkan serangan-serangan kedua ka-

wannya. Kemudian dengan cepat pula tangannya ber-

gerak menyodok dan mencakar. 

Breeet! 

"Wuaaa...!"

Tarmin menjerit ketika tahu-tahu bajunya telah 

tercengkeram. Belum sempat Tarmin melepaskan 

cengkeraman itu, tahu-tahu Sena telah menyentakkan 

tangan dan melemparkan tubuhnya.

"Kau belum pernah terbang, kan? Hi hi hi...! Ku 

ajari kau bagaimana caranya terbang! Hih...!"

Tubuh Tarmin terlempar deras ke atas dan me-

lesat laksana terbang masuk ke pasar.

Wusss!

"Aaa.... Tolooong...!"

Tarmin menjerit, tubuhnya melayang laksana 

terbang. Semua orang di pasar melongo dengan mata 

membelalak, menyaksikan kejadian yang lucu dan 

menegangkan itu.

Brukkk!

Tubuh Tarmin mendarat di tumpukan sampah 

yang ada di samping pasar. Tubuhnya berkelojotan se-

bentar, lalu terkulai pingsan setelah berusaha bangun



tapi tak mampu.

Menyaksikan kedua temannya dalam keadaan 

pingsan, Tarban menggigil ketakutan. Nyalinya men-

ciut. Tanpa diperintah, dia langsung berlutut di depan 

Pendekar Gila.

"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya! Ampunilah 

selembar nyawa saya!" ratapnya mengiba.

"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Aneh..., kenapa 

kau berubah seperti cecurut kecebur got?" ejek Sena 

sambil tertawa bergelak-gelak dengan tangan kanan 

menggaruk-garuk kepala.

Tubuh Tarban menggigil ketakutan. Tangannya 

disatukan di depan dada. Matanya menatap penuh ha-

rap pada pemuda gila di hadapannya. 

"Bantai saja dia!" seru para pedagang.

"Ya! Mereka tak mungkin kapok!" sambut yang 

lainnya. 

"Kuliti saja!"

"Cincang! Biar dagingnya kujual!" seru penjual

daging dengan nada gemas dan jengkel.

"Beraninya sama pedagang saja! Huh!"

Pekikan-pekikan kemarahan terdengar bersa-

hutan. Sepertinya para pedagang tak puas kalau ketiga 

pemuda berandalan itu dibiarkan hidup.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah 

lakunya kini seperti kera, melompat-lompat sambil 

menggaruk-garuk kepala.

"Aha, aku tak berhak menghukum mu, Kisa-

nak. Biarlah nanti para pedagang yang menentukan 

hukuman untukmu," ujar Sena.

Mendengar ucapan itu Tarban semakin ketaku-

tan. Tapi begitu hendak meminta pertolongan pada 

Pendekar Gila, pemuda berbaju rompi kulit ular itu te-

lah pergi meninggalkan Pasar Kliwon.

"Tangkap dia!" seru para pedagang.


"Habisi saja!" teriak yang lain.

"Bagaikan diperintah, seketika para pedagang 

yang sudah dilanda amarah menyerbu Tarban dan ke-

dua temannya yang masih pingsan.

"Ampun! Jangan...!"

Tarban berusaha meminta ampun, tapi para 

pedagang yang sudah marah tak peduli dengan rata-

pan pemuda itu. Dengan pisau-pisau yang biasa digu-

nakan untuk berdagang, mereka melampiaskan kema-

rahan.

"Mampus kau, Bajingan!"

Crab!

Bret!

"Wuaaa...!"

Tarban melolong kesakitan ketika pisau-pisau 

para pedagang menghujani tubuhnya. Tak lama kemu-

dian, tubuhnya berantakan terbeset-beset bagaikan di-

cincang. Begitu juga dengan keadaan kedua orang te-

mannya.

***


LIMA



Malam telah larut. Gelap menyelimuti bumi. 

Angin menghembuskan hawa dingin dan basah. Se-

mentara itu halimun yang tebal pun merayap, bagai 

menyimpan sejuta misteri.

Desa Piring Ceper yang terletak di kaki Gunung 

Dandaka nampak sepi. Sebuah kedai besar di sebelah 

timur Desa Piring Ceper, malam itu nampak masih ra-

mai dikunjungi orang. Kebanyakan dari mereka anak-

anak muda. Suasana di kedai itu masih terang bende-

rang, tak ubahnya seperti sebuah kendurian besar

tengah berlangsung.

Tiga lelaki muda berambut gondrong dengan 

tubuh tegap dan bermata tajam melangkah masuk ke 

kedai itu. Mata mereka yang tajam menatap ke sekeli-

lingnya, di mana para pengunjung kedai tengah me-

nikmati santapan.

Salah seorang dari ketiga lelaki muda yang 

mengenakan rompi warna merah menggerakkan tan-

gan kanannya. Kemudian ketiganya melangkah menu-

ju ke pemilik kedai yang segera menyambut kedatan-

gan mereka dengan senyum.

"Apakah pemuda gila itu datang lagi ke sini, Ki 

Jamhari?" tanya Suroso, lelaki yang berjalan di tengah. 

Pemuda itu berbadan tinggi dan tegap serta berwajah 

garang. Rambutnya yang gondrong, ditutup dengan 

kain ikat batik membentuk blangkon. Hal serupa juga 

ada pada kedua pemuda lainnya.

"Sampai sekarang tidak," jawab pemilik kedai 

yang ternyata bernama Ki Jamhari.

"Hm..., syukurlah! Bisa aku menemui mereka?" 

tanya Suroso.

"Silakan," jawab Ki Jamhari sambil merentang-

kan tangan, kemudian dia pun mengajak ketiga orang 

dari Serikat Serigala Merah itu mengikutinya.

Ki Jamhari membawa Suroso dan kedua te-

mannya ke belakang. Di sana terdapat sebuah ruan-

gan yang sempit dan hanya bisa dimasuki orang satu 

persatu. Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah pintu 

bawah tanah.

Ki Jamhari segera membuka pintu bawah ta-

nah, kemudian mempersilakan ketiga anggota Serikat 

Serigala Merah itu masuk ke ruangan bawah tanah.

Satu per satu dari mereka menuruni tangga 

yang menghubungkan dengan ruang bawah. Kemudian 

setelah semuanya masuk, Ki Jamhari kembali menu


tup pintu penghubung bawah tanah dan kembali ke 

ke-dainya.

Rupanya di bawah tanah, terdapat sebuah 

ruangan yang sangat luas. Menuju ke tempat itulah 

ketiga pemuda berbadan tegap yang tergolong anggota 

Serikat Serigala Merah. Kedatangan mereka seketika 

disambut muda-mudi yang berwajah sayu. Mereka me-

rengek, meratap, meminta sesuatu kepada ketiga lelaki 

muda itu.

"Cepat! Berikan aku surga itu!" seorang gadis 

cantik yang keadaannya nampak memprihatinkan

"Mana uangmu?" tanya Suroso.

"Tak ada! Habis...," jawab gadis itu.

"Huh! Kalau tak punya uang, mengapa kau da-

tang ke tempat ini, Bodoh?!"

Sambil berkata begitu Suroso menyentakkan 

tubuh gadis itu sampai terjengkang ke belakang. Na-

mun gadis cantik berwajah pucat dan kusut itu seperti 

tak peduli. Dia kembali merangkak mendekati Suroso, 

lalu menjilati kaki lelaki muda itu.

"Berilah aku surga itu!" ratapnya penuh harap.

"Minggir! Hih!"

Suroso kembali menyentakkan tubuh gadis itu 

hingga terjengkang. Namun, gadis cantik yang sudah 

kecanduan madat itu tak menghiraukan. Dia kini 

membuka pakaiannya, lalu dengan tubuh bugil me-

liuk-liuk menari di depan Suroso. Tindakan itu mem-

buat Suroso membelalakkan mata. Jakunnya turun 

naik, menyaksikan tubuh gadis yang gemulai menggi-

urkan.

"Oh, berilah aku surga itu, Tuan! Kau boleh 

memperlakukan tubuhku ini sesukamu, asal kau mau 

memberi aku surga itu," pinta gadis itu sambil me-

nempelkan tubuh bugilnya ke tubuh Suroso yang se-

makin bergetar.


Mata Suroso tak berkedip, menyaksikan kea-

daan tubuh gadis yang menggiurkan itu. Pikirannya 

benar-benar kacau. Kelelakiannya seketika terbakar. 

Beberapa kali dia harus menelan ludah, tak tahan me-

nyaksikan keadaan tubuh gadis yang bahenol dan 

sangat mulus itu. 

Gadis cantik itu terus meliuk-liukkan tubuhnya 

di depan Suroso. Dari mulutnya keluar desisan-

desisan yang membuat kelelakian Suroso semakin ber-

tambah menggelegak.

"Oh, berilah aku surga, Tuan! Lakukanlah apa 

yang kau ingin lakukan atas tubuhku, asalkan kau 

memberi ku surga itu," pinta gadis cantik itu sambil 

meliuk-liukkan tubuhnya di depan mata Suroso dan 

kedua temannya yang kini terpaku seperti patung den-

gan jantung berdebar.

"Bagaimana, apakah akan kita beri dia?" tanya 

Sugonggo.

"Hm...," Suroso bergumam tak jelas. Jakunnya 

masih turun naik menyaksikan lekuk tubuh gadis can-

tik di depannya yang masih meliuk dan menari-nari.

"Kurasa kalau sedikit tak akan kentara oleh ke-

tua," sambung Sugama.

"Ya! Bukankah dengan begitu kita bisa terlepas 

dari marah? Sudah begitu, kita bisa menikmati tubuh 

gadis ini," sambut Sugonggo.

Suroso masih terdiam. Nampaknya dia masih 

berpikir dengan apa yang akan diperbuatnya. Dia tak 

ingin pimpinan mereka marah. Dia sudah tahu, apa 

hukumannya jika Dewa Pedang marah. Pedang Darah 

yang sangat sakti, tak memberi ampun lagi pada 

orang-orang yang berani menentang dan berbuat sa-

lah.

"Baiklah, beri dia sedikit!" ujar Suroso pada ke-

dua temannya.



"Kemarilah!" perintah Sugonggo sambil melam-

baikan tangannya pada gadis itu. "Kau akan kami beri 

surga itu. Tapi, kau harus melayani kami!"

"Berilah aku surga itu, aku akan segera me-

layani kalian!" jawab gadis itu setengah meratap.

Sugonggo menoleh pada Suroso. Kemudian, se-

telah melihat Suroso mengangguk, Sugonggo pun sege-

ra memberikan serbuk putih. Wanita cantik itu lang-

sung menjilatinya dengan mata mengerjap-ngerjap ke-

nikmatan.

"Ayo!" Sugonggo segera menyeret gadis cantik 

itu ke ruangan lainnya.

Gadis itu tak mengelak, dia segera mengikuti ke 

mana ketiga lelaki itu mengajaknya.

Di ruangan itu, nampak muda-mudi tengah 

menggelosor dengan mulut tiada henti mengoceh. Mata 

mereka antara melek dan terpejam. Mereka bagaikan 

tiada gairah untuk hidup. Tubuh mereka kurus kering 

tak menentu. Wajah kusut masai dan pucat bagaikan 

tak berdarah. Mereka inilah korban-korban bubuk 

maut yang dijual Serikat Serigala Merah.

Di sisi ruangan lain, nampak tiga lelaki anggota 

Serikat Serigala Merah tengah asyik bergantian me-

lampiaskan nafsu birahinya pada gadis cantik yang ju-

ga salah satu korban serbuk maut. Mereka dengan pe-

nuh nafsu menggagahi gadis itu.

Tengah ketiganya melampiaskan nafsu iblisnya, 

tiba-tiba terdengar suara bentakan yang mengejutkan 

mereka.

"Bedebah! Rupanya begini kerja kalian?!"

Ketiga pemuda itu tersentak kaget. Kemudian 

setelah tahu orang yang membentak, ketiganya lang-

sung menunduk di hadapan lelaki tua berjubah putih 

yang di punggungnya bertengger sebilah pedang.

"Ampun, Ketua! Semua telah kami jalankan de


ngan sebaik mungkin," ujar Suroso sambil menyem-

bah.

"Hm..... Bagus! Kalian memang anak buahku 

yang patut diberi penghargaan atas perbuatan dan 

kerja kalian. Nah, kini kalian bersiaplah untuk mam-

pus!" dengus Dewa Pedang, yang seketika menyen-

takkan ketiganya.

"Ketua, apa salah kami?" tanya Sugonggo se-

perti belum menyadari kesalahannya.

Dewa Pedang tersenyum sinis, mendengar per-

tanyaan yang dilontarkan Sugonggo.

"Kau belum tahu kesalahanmu, Sugonggo?!" 

"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami 

mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan 

kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan.

"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka den-

gan cara kerja kalian! Sudah kukatakan, yang lebih 

utama bukan bersenang-senang dengan perempuan! 

Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!" 

"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua." 

"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku 

marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!" 

Cring!

Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya 

yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu 

membuat mata ketiga anak buahnya semakin membe-

lalak tegang.

"Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ra-

tap ketiganya hampir bersamaan. Mereka segera men-

cium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung 

dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang

keluar dari Pedang Darahnya.

"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami ti-

dak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi 

mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas.


"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pen-

dekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso.

"Dapatkah kupegang janji kalian?!" bentak De-

wa Pedang.

"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar 

Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ke-

tiganya bersamaan

"Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika da-

lam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuh-

nya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pe-

dang.

"Kami berjanji!"

"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tu-

buh masih bergetar hebat, terbawa oleh kekuatan gaib 

Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur 

keluar dari warangkanya.

Ketiga anak buahnya langsung berguling me-

nyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan 

ketua mereka tak akan diam jika belum menyentuh 

darah dan merenggut nyawa.

"Heaaa...!"

Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala, 

Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Ma-

tanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di 

tempat tidur.

"Tidaaak..!" 

Wuttt!"

Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu 

cepat memangsa nyawa. Dan....

Crab!

"Aaakh...!"

Pekikan melengking memecah suasana di ruan-

gan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu 

terkapar berlumur darah di tempat tidur. Dadanya 

yang hancur menyemburkan darah. Seketika nya


wanya melayang.

Dewa Pedang menarik napas panjang, kemu-

dian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang 

tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua 

berjubah putih itu meninggalkan tempat itu.

***

Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan 

tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya men-

dengar suara jeritan-jeritan dari desa sebelah barat 

Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu berada.

"Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila. 

"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!"

Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur. 

Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Ma-

tanya memandang ke asal suara jeritan itu.

"Tolong! Perampok...!"

"Diam!"

Cras!

"Aaakh...!"

Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara 

bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan sen-

jata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di 

sebelah utara Hutan Gareng.

"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?" 

gumam Sena.

Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas 

pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara. 

Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan 

malam.

Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam 

yang seharusnya tenang berubah hiruk-pikuk oleh jeri-

tan ketakutan bercampur dengan kematian.

Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah


ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan 

kaum wanita yang dipaksa para perampok untuk men-

gikuti mereka.

"Tolong! Tolooong...!"

Crab!

"Aaa...!"

Pekikan kematian kembali terdengar, memecah 

keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh 

besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang 

gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membe-

baskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa ber-

gelak-gelak dan sesekali menjilati dan menciumi wajah 

gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan keta-

kutan.

"Lepaskan! Tolooong...!"

"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang 

dari warga. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam 

puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan 

berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu. "Le-

paskan anakku!"

"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?" 

tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyum-

nya menampakkan kesinisan. Kemudian dengan buas, 

diciuminya wajah gadis itu.

"Lepaskan, Bajingan!"

"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus 

menurut padaku!"

"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki 

tua bertubuh kurus tampak berang. Dia segera berge-

rak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, le-

laki tinggi besar berkepala botak itu telah menghan-

tamkan pukulan dengan tangan kirinya.

"Pergilah ke akherat sana! Hih!"

Wusss!

Dugk!


"Akh!"

Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya 

terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari 

mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk 

dengan nyawa melayang.

"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki 

berkepala botak. Gadis bertubuh langsing dan semam-

pai itu terus meronta. "Lepaskan, Bajingan!"

"He he he...!"

Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin 

bertambah buas menciumi wajah gadis cantik anak 

orang tua yang telah tewas di tangannya.

Gadis berpakaian hijau tua itu terus meronta-

ronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam, 

berusaha mengundang amarah lelaki berbadan tinggi 

besar yang terus mendekapnya.

"Iblis! Setan laknat, lepaskan!"

"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia me-

mang setan...!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda tu-

rut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh 

tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan 

pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata 

lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini meman-

dang ke sekeliling tempat itu.

"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berke-

pala botak itu gusar.

"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu per-

sis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!" 

seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah 

bayangan berkelebat cepat, dan....

Pletak!

"Aduh!"

Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepa-

lanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepa



lanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis 

itu terlepas.

"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu, 

Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti 

orang gila itu tahu-tahu telah berdiri tiga tombak di 

hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu 

tertawa cengengesan dengan tangan kanan mengga-

ruk-garuk kepala.

"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pen-

dekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus! 

Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak 

buahnya. Seketika berdatangan beberapa orang yang 

langsung menyerang.

"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue 

apem. Baik, majulah! Hua ha ha...!"

Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si 

Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang 

menyerangnya. Tubuhnya bergerak laksana baling-

baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Sul-

ing Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala 

orang-orang yang menyerangnya. 

"Yeaaa...!" 

"Heaaa...!" 

Wusss! 

Pletak! 

"Aaa...!" 

"Aaakh...!"

Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susul-

menyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang 

Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil merin-

gis-ringis memegangi kepala yang benjol dan ber-

denyut-denyut

"Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar 

Gila sambil berjingkrak-jingkrakkan seperti seekor ke-

ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala botak


yang menjadi pimpinan para perampok bertambah ma-

rah.

"Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan 

suara keras menggelegar.

"Heaaa...!"

Serempak anak buahnya kembali menyerang. 

Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut den-

gan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.

"Heaaa...!"

Wusss!

"Wuaaa...!"

Kesepuluh perampok itu seketika lintang-

pukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pen-

dekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian ja-

tuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tubuh mereka 

akan hancur berantakan.

Pendekar Gila segera menghampiri salah seo-

rang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar 

berkepala botak pimpinan para perampok yang dideka-

tinya.

"Katakan, siapa yang membuat rencana semua 

kejahatan ini?" bentak Sena garang.

"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi 

besar itu.

"Cepat katakan, siapa dalang semua ini?!" ben-

tak Sena.

"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!"

Belum usai lelaki berkepala botak itu menun-

taskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah me-

nancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu se-

gera berlari ke arah sembilan anak buah lelaki berke-

pala botak itu.

Tapi mereka pun telah tewas. 

"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar sebuah bayangan merah yang berkelebat cepat mening-

galkan tempat itu.

***

ENAM



Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok 

bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang 

telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tu-

buh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala 

itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan 

mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila 

yang tak ingin kehilangan buruannya, segera menge-

rahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat lak-

sana terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di 

depan lelaki berpakaian rompi merah itu.

"Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa 

Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia seki-

tar tiga puluh tahun itu.

"Kau...?!" mata lelaki itu membelalak dengan 

wajah tegang.

"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa 

yang menyuruhmu melakukan semua ini? Dan kuden-

gar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!" 

bentak Sena dengan mata melotot.

Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki 

muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan 

Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya 

menganga bengong.

"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus ku-

tangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," an-

cam Sena.

"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku


ke penjara, Pendekar Gila?!" dengus lelaki berambut 

gondrong dengan ikat kepala merah.

"Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa? Baik, 

aku akan menangkapmu!"

Pendekar Gila baru saja hendak melangkah 

maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah, 

tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap. 

"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak. 

Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika ma-

tanya membelalak kaget, menyaksikan Senapati Kera-

jaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini mem-

buru dirinya.

"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya 

Sena kaget. Dia benar-benar tak menyangka, kalau dia

yang hendak menangkap penjahat justru akan ditang-

kap.

"Tangkap dia...!" 

"Heaaa...!"

Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget me-

nyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena 

benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang di-

jadikan sasaran? Padahal dia bermaksud membantu 

pihak kerajaan.

"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam 

Sena lirih.

Sena hendak menghindari bentrokan dengan 

pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dike-

pung puluhan, bahkan ratusan prajurit yang siap me-

nyerangnya.

Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu 

Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang te-

lah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun ter-

libat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam 

hati

"Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lambayu memerintah pada para prajuritnya agar menye-

rang.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan 

Sunda Layung meramaikan tempat itu.

"Cincang dia...!"

"Tangkap hidup atau mati!"

Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali 

menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang ber-

maksud menangkap dan membunuhnya.

"Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian! 

Heaaa...!"

Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat’ 

Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang 

menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari, 

dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah 

dada lawan

Bugk!

"Akh...!"

Pekikan tertahan terdengar dari seorang praju-

rit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketi-

ka tubuh prajurit itu terpental deras ke belakang, 

menghantam prajurit-prajurit lainnya.

Wuttt! Wuttt! 

Dari arah belakang dan samping, para prajurit 

menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata 

mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliuk-

kan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan be-

runtun menendang lawan-lawannya yang telah men-

dekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan 

yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para 

prajurit yang mengeroyoknya.

Plak! Bugk!

"Aaa...!"


"Wuaaa...!"

Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para pra-

jurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar 

Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak 

menghiraukan kematian teman-temannya, terus me-

rangsek menyerang. 

"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah 

Senapati Lembu Lambayu.

"Heaaa...!"

"Yeaaa!"

Kembali para prajurit kerajaan bergerak menye-

rang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka 

berkelebat cepat, menusuk, membabat dan membelah 

ke arah tubuh Pendekar Gila.

Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pen-

dekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkan-

nya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak 

laksana baling-baling. Tangannya terus bergerak 

menghantam dan memapas setiap serangan yang da-

tang.

"Heaaa...!"

Wusss!

Plak! Plak!

"Aaa...!" 

"Wuaaa...!"

Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan, 

disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang 

tadi menyerangnya. Kenyataan itu membuat marah 

dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit 

yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu 

menangkap Pendekar Gila.

"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja 

tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah.

Gelombang penyerangan kembali terjadi. Pulu-

han prajurit serentak merangsek dengan serangan serangan mematikan ke arah Pendekar Gila.

Pertempuran semakin bertambah seru. Pende-

kar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk 

dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian 

beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menye-

rang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat 

dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan 

dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjata-

senjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu.

Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok 

bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang 

ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu berge-

rak cepat dan langsung masuk ke arena pertempuran 

dengan pedang di tangan.

"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping 

itu sambil bergerak cepat memapas dan menyerang pa-

ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pen-

cabut nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan 

jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan 

dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan 

sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu 

tak nampak bentuknya. Itu sebabnya dia mendapat ju-

lukan Malaikat Tanpa Bayangan.

"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena.

Kini keduanya bergerak saling berlawanan 

arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Ma-

laikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila memben-

dung serangan membabi buta para prajurit kerajaan.

"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin 

mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati 

Lembu Lambayu bertambah gusar melihat kedatangan 

Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar 

Gila.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"


"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita ha-

rus segera keluar dari kepungan ini," ujar Malaikat 

Tanpa Bayangan.

"Tampaknya kau punya kepentingan denganku, 

Kisanak? Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu.

"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagai-

mana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan me-

ninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayang-

an.

"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki."

"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, kelua-

rkan Suling Naga Saktimu, Kisanak," perintah Malai-

kat Tanpa Bayangan. "Hanya dengan suling itulah kita 

dapat mendobrak mereka."

"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapa-

kah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus beru-

saha mengelak dan membalas serangan para prajurit 

dengan pukulan dan tendangan.

"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus sece-

patnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tan-

pa Bayangan.

Srt!

Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga 

Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian 

dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila 

berusaha menggempur kepungan para prajurit Suling 

Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup.

Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut, 

mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana. 

Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin 

mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit 

Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa seng-

saranya manusia-manusia yang buta hatinya karena 

nafsu iblis.

Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu.


Mereka menangis!

"Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa 

Bayangan.

"Aha! Benar! Hi hi hi...!"

Keduanya pun segera melesat meninggalkan 

kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Da-

lam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari 

tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua 

merasa bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang 

menyedihkan.

"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati 

Lembu Lambayu, menyaksikan kedua orang yang tadi 

dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan 

mereka.

***

Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda 

Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa 

Bayangan melangkah beriringan.

"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku 

belum tahu siapa kau sebenarnya," ujar Sena. 

Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya. 

Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus 

melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi 

dan nampak masih perawan.

"Namaku Asem Gede, namun orang menye-

butku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede 

memperkenalkan diri.

"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang 

tua yang namanya cukup disegani dan ditakuti...," gu-

mam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan 

kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan ke-

pala.

"Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan


dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan 

nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang 

pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk ke-

benaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini, 

merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah 

"Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku 

heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hen-

dak menangkapku?" gumam Sena. 

"Mudah sekali, Anak Muda." 

"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena 

penasaran.

Ki Asem Gede menghela napas panjang. Semen-

tara malam terus merayap menyelimuti bumi. Kedua-

nya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi 

dan gelap.

"Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Mu-

da, ujar Ki Asem Gede.

"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon 

yang paling besar?" saran Sena, 

"Itu lebih baik."

"Itu pohon besar. Hop!"

"Hops!"

Keduanya melesat begitu cepat, naik ke seba-

tang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka 

hinggap pada sebuah cabang pohon.

"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Ba-

ru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan," 

desah Ki Asem Gede.

"Meski kedamaian dan keindahan itu harus ki-

ta cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil 

tertawa.

"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah 

aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus 

keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem 

Gede.


"Aha, dengan senang hati aku akan menden-

garkannya." 

"Baiklah...."

Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal 

mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua 

purnama yang lalu perguruannya didatangi teman la-

manya. Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud 

mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila. 

Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Ba-

yangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa 

murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu 

meninggalkan surat tantangan.

"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku 

yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun men-

carimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai 

dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku 

yakin kaulah orangnya. Maka aku tadi ikut mencam-

puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceri-

tanya.

Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala. 

Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malai-

kat Tanpa Bayangan. Tentunya semua itu ada sangkut 

pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk

lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam 

episode "Perjalanan ke Akhirat").

"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu sia-

pa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya. 

Aku akan menceritakan semua kejadian yang terja-

di...."

Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-

tan para pendekar. Tersiar kabar kalau di lembah itu 

ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang menda-

patkan bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-

tu di rimba persilatan. Sumantri pun mengerahkan 

orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong



yang sebenarnya kemenakannya sendiri.

"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki 

Asem Gede terkekeh.

"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Me-

mang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah 

terjadi kemelut cinta."

"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi 

merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede 

yang tahu karena Ki Badawi alias Dewa Pedang.

"Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak 

angkatnya," sahut Sena.

Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai 

memahami apa yang telah terjadi.

"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?"

"Begitulah...," sahut Sena.

"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua na-

ga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede.

"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," ja-

wab Sena.

"Orang tua itu memang dari dulu keras kepa-

la...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya me-

mandang lepas ke kegelapan malam yang menyelimuti 

sekelilingnya. "Sudah kuduga ketika dia menceritakan 

padaku tentang dirimu."

Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas pan-

jang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan pera-

saan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pende-

kar muda di sampingnya.

"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kera-

jaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpu-

lan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan 

generasi muda?" tanya Sena ingin tahu.

"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku 

tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi 

mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan.


Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Seri-

gala Merah. Mereka bertujuan mencari dan membu-

nuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring 

Ceper," kata Ki Asem Gede.

"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku 

pun menaruh curiga kalau kedai itu merupakan tem-

pat jual beli mereka," sahut Sena.

"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?" 

tanya Ki Asem Gede.

Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tan-

gan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mu-

lutnya nyengir tersenyum-senyum.

"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi 

prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian.

"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede. "Satu purna-

ma lagi, aku harus pergi ke Bukit Siluman," gumam Ki 

Asem Gede.

"Untuk apa?"

"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menan-

tangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai 

masalahnya denganmu, maka dia mengundangku di 

Bukit Siluman."

"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan 

tugas kita. Kita harus segera bertindak menghancur-

kan Serikat Serigala Merah," kata Sena.

"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orang-

orang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede. "Ayo 

kita pergi!"

Keduanya pun melompat, kemudian berlari me-

lesat meninggalkan Hutan Balambu.

***


TUJUH


Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang 

biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tu-

tup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa 

orang di dalamnya.

"Kurasa, kita harus segera menemukan Pende-

kar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-

ta," terdengar suara lelaki berkata.

"Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh 

Pendekar Gila," timpal lainnya.

"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin ka-

lian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar 

suara orang muda menyela.

"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang 

gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama.

Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan 

yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan 

kening, mendengar percakapan mereka.

"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah 

mencariku? Aku ada di luar...!" seru Sena sambil ter-

tawa tergelak-gelak.

"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede.

"Ayo!"

"Heaaa...!"

Brak!

Pintu papan kedai seketika hancur berantakan, 

terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang 

ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan 

mata terbelalak, mereka melompat mundur.

"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus ber-

temu kucing?" tanya Sena sambil berjingkrakan seperti 

seekor kera kegirangan.

"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus


mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil men-

cabut pedang. Kemudian dengan cepat tubuhnya me-

lompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak 

ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Wuttt!

Glarrr!

"Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi 

hi hi... "

Dengan jurus 'Sambar Geledek' dan jurus 

'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pende-

kar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan de-

ras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tan-

gan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran 

angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek.

Melihat lawan melakukan serangan dengan ju-

rus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila 

tak hanya tinggal diam. Dengan tingkah seperti kera, 

serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu den-

gan cepat pula melakukan serangan balasan dengan 

jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya 

disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas 

dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahan-

lahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan 

ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar 

dengan pinggang

"Yeaaa...!"

Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila 

menghantamkan telapak tangannya bergantian ke da-

da lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-

pencar mengelakkan serangan yang dilancarkan Pen-

dekar Gila.

"Heaaa!"

"Yeaaah...!"


Dengan melakukan salto beberapa kali, keti-

ganya mengelakkan serangan gencar itu.

"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Su-

gonggo.

"Ya! Mari kita serang lagi!" ajak Suroso.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Ketiganya kembali bergerak dengan cepat me-

nusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila sege-

ra bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Mene-

puk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, 

sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan.

Wut! Wut..!

"Heaaa..!"

Beberapa kali serangan lawan memburunya, 

tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gi-

la yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat 

serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sa-

saran.

Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga la-

wannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikelua-

rkan bahkan ketiga lawan itu pun telah mengerahkan 

jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh 

itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan 

yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan mu-

da dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si 

Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan....

"Heaaa...!"

Bukkk!

Suara pekikan tertahan terdengar ketika gera-

kan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat 

ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pu-

kulan itu terdorong ke belakang dan melayang. Tubuh 

lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu terhenti 

ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting


di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat 

mengerang lirih kemudian tak berkutik lagi. Tewas!

Brak!

"Aaa...!"

Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetu-

lan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat 

Tanpa Bayangan. Mereka terkagum-kagum menyaksi-

kan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau 

tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dah-

syat kekuatannya.

Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nya-

linya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu, 

namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya se-

gera menghadang.

"Mau ke mana kalian?" 

"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu, 

Ki!" dengus Getih Ireng.

"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak 

Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya 

kau pun ada sangkut pautnya dengan Dewa Pedang," 

tukas Ki Asem Gede.

"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-

ru.

"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang 

berada kalau kalian ingin selamat!"

"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Ja-

ngan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manu-

sia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit

"Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu ter-

hormat?! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari ke-

coa busuk yang hanya main kucing-kucingan saja!" 

ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Pera-

wan semakin naik darah.

"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit, 

Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan.


"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit! 

Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri 

dengan serbuk iblis! Karena itulah, aku akan menang-

kap kalian!"

"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih 

Ireng.

"Yeaaa...!"

"Heaaat...!"

Lima Darah Bukit Perawan yang sudah kepa-

lang tanggung segera menyerang dengan sengit. Den-

gan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Pera-

wan langsung menggebrak dengan serangan-serangan 

gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mema-

tikan.

Wut! Wut..! 

"Heaaa...!"

Melihat keberingasan kelima orang muda itu, 

Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua 

itu dengan cepat bergerak memapaki serangan lawan 

lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Ma-

laikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah 

mengatasi setiap serangan yang datang secara berun-

tun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang. 

Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari 

menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan 

yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengelu-

arkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak 

kaget

Wut!

"Uts!"

Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan 

Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak 

ingin menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan. 

Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus 

menggebrak Malaikat Tanpa Bayangan.


"Heaaa!"

"Hiaaa...!"

Kedai yang semula tenang dan sepi, telah beru-

bah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan 

kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan 

patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Se-

mentara suara teriakan dan makian yang mengiringi 

pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi 

yang dingin.

Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya 

bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan 

yang dilancarkan kedua lawannya.

"Heaaa...!"

Wuttt!

Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghin-

dari serangan pedang lawan yang selalu diikuti puku-

lan-pukulan 'Sambar Geledek'nya. Sesekali tangan 

Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan.

"Hih!"

"Heit!"

Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya 

ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar 

Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang 

dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar 

Gila.

"Heaaa...!"

Wuttt!

"Uts!"

Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samp-

ing, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan ce-

pat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Ge-

rakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak 

tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang 

tersentak kaget berusaha mengelak, tapi tangan Pen-

dekar Gila ternyata lebih cepat. Dan....


Degk!

"Aaakh...!"

Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke 

belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari 

busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tu-

buh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-

ja lelaki tua itu tidak segera lompat ke samping, tentu 

akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan kekar.

Wusss!

Brak!

"Akh...!"

Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan 

terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari 

belahan papan itu jebol. Dan tubuh kekar Suroso ter-

kapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya 

remuk dan gosong kehitaman.

Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun 

tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima la-

wannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat 

Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan 

nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat 

dan gesit sehingga bayangannya tak terlihat.

Bukkk!

"Aaakh...!"

Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hanta-

man tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di 

dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu men-

galir darah segar. Sesaat tubuhnya mengejang, kemu-

dian ambruk tanpa nyawa.

***

Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat 

kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah me-

rangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa


Bayangan.

Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, ke-

cuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat 

Tanpa Bayangan.

"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami, 

Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus 

Getih Ireng dengan wajah merah membara penuh ama-

rah.

"Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda 

Bejat?!" tanya Ki Asem Gede. "Kalianlah yang harus se-

gera disingkirkan!"

"Kurang ajar! Yeaaat...!"

Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera me-

nyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan 

Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak lak-

sana bayangan yang sangat cepat, membabat dan me-

nusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan.

"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya 

digeser setindak ke belakang. Lalu dengan cepat dita-

rik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak 

ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak 

membabat dan menusuk ke lambung lawan

"Heaaa...!"

Wut!

Trang!

Benturan senjata mereka terdengar berdentang, 

memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah 

Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata 

terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemu-

dian dengan didahului pekikan keras, keempatnya 

kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus 

'Empat Pedang Penjuru Angin'.

"Heaaa..!" 

"Yeaaa...!" 

Wut, wut..!


Empat pedang di tangan anggota Lima Darah 

Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat

dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak 

memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua ber-

jubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan 

sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan ke-

empat lawannya.

"Yeaaa...!"

Wut!

"Heaaa...!"

Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat meng-

gerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamung-

kas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan me-

mutar, secepat kilat pedangnya membabat lawan-

lawannya.

"Heaaa...!" 

Wrt! 

Jrabs! 

"Wuaaa...!"

Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar 

pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun 

memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru 

mengerang lirih, tapi kemudian ambruk dengan nyawa 

melayang.

Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata 

mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang 

menderu di depan mereka ketika pedang Malaikat 

Tanpa Bayangan menyabet

Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi 

Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-

go semakin kewalahan menghadapi Pendekar Gila yang 

mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.

Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana 

menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas 

tepukan itu nampak pelan sekali, tapi angin yang menyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Su-

gonggo.

"Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke 

samping, mengelakkan serangan Pendekar Gila yang 

ternyata begitu keras dan cepat. "Ilmu siluman!"

Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus 

aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia 

melihat jurus ilmu silat yang aneh. Kelihatan sepintas 

sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang re-

kannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua te-

mannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya 

seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak 

tangan hingga terbanting dan tewas.

"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pende-

kar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangan kanannya 

menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrak-

an. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliuk-

liuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepu-

kan.

Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan 

tengah menggebrak dengan jurus andalannya, 

'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu 

terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gera-

kan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin 

kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Na-

mun.... 

"Heaaa...!" 

Wuttt! 

Bret!

"Aaa...!"

Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih 

Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan me-

nyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung 

beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di pe-

rutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian merah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian 

tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi.

"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka! 

Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah me-

rangsek Malaikat Tanpa Bayangan.

"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam 

tak jelas. Matanya yang tajam laksana mata elang, me-

natap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang 

menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat...

"Heaaa...!"

Wuttt..!

Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat mem-

babatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan 

ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya.

Wuttt! Wuttt!

Crab, crab!

"Akh!"

"Wuaaa...!"

Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang me-

layang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai. 

Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka 

menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya 

tewas berlumuran darah.

"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali ber-

gumam lirih, lalu disekanya darah yang menempel di 

mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan itu 

dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di 

punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke 

tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo.

Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawan-

nya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada se-

buah langkah....


Plak!

"Akh!"

Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar 

deras ke belakang. Kemudian membentur tembok ke-

dai.

Brak

"Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena.

"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?" 

tanya Malaikat Tanpa Bayangan.

"Hei, dia pergi!" seru Sena,

Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana 

perginya pemilik kedai, tiba-tiba....

***

DELAPAN



"Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pen-

dekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan tersentak ke-

tika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Sua-

ra itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat 

Tanpa Bayangan. Dialah Senapati Lembu Lambayu, 

Panglima Kerajaan Sunda Layung.

"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak 

kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk ke-

pala. "Bagaimana langkah kita, Ki?"

"Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-

da kebenaran. Meski harus menentang pihak kerajaan, 

terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat 

Tanpa Bayangan, manggut-manggut

"Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena.

"Mari!"

"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-

gelak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke



luar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan.

"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah mem-

buat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lam-

bayu. "Tangkap mereka...!"

Mendengar perintah sang Panglima, seketika 

para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah 

ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa 

tombak dan pedang. Ratusan prajurit itu langsung 

mengurung dan menyerang.

"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat ke-

rajaan, Ki!" celetuk Sena.

Srt!

Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti 

yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian 

dengan tertawa-tawa dan melompat-lompat berjingkra-

kan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan ter-

bang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga 

Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala pra-

jurit yang dapat dijangkaunya.

"Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!"

Wut!

Pletak! Pletak...! 

"Akh?" 

"Aduh!"

Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga 

orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi 

kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling 

Naga Sakti.

"Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan...? Hua ha 

ha...!"

Sambil tertawa tergelak-gelak dan tangan kiri 

menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus menge-

brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga 

Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit. 

Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala


prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya se-

bagai jembatan bagi langkah Pendekar Gila yang terus 

bertingkah seperti kera. 

"Kurang ajar!" 

"Setan!"

"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para pra-

jurit sambil memegangi kepalanya yang telah terinjak 

kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, kare-

na kepala mereka dianggap sebagai titian bambu saja.

"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu 

semakin bertambah gusar melihat tingkah laku Pende-

kar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling 

bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan 

amarah yang menggelegak di kepalanya.

Pendekar Gila semakin bertambah konyol ting-

kah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor 

kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejak-

kan kakinya di atas kepala para prajurit

"Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Ka-

wan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke ke-

pala prajurit yang dapat dijangkaunya dan bermaksud 

menyerangnya.

"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!"

"Kubikin sate tubuhmu, Setan!"

"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!"

Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya 

diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka 

langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak. 

Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Su-

ling Naga Sakti memapak serangan mereka.

"Hi hi hi...!"

Trang!

Beberapa kali terdengar suara dentangan dari 

benturan senjata dengan Suling Naga Sakti. 

Pletak!


"Aduh!" 

"Wuaaa...!"

Kembali tiga orang prajurit mengerang kesaki-

tan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pen-

dekar Gila. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Menerkam 

Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menye-

rang dengan patukan-patukan sulingnya.

Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun 

tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan 

kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan 

mengamuk dengan jurus 'Pukulan Tangan Malaikat’ 

nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam 

para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya. 

"Sikat..!" 

"Cincang dia!" 

Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar 

dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung 

Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki 

tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menye-

rang.

"Heaaa!" 

Bug!

"Akh!" 

"Aaa...!"

Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terden-

gar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan 

Sunda Layung. Namun sepertinya para prajurit itu tak 

me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat 

menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat 

Tanpa Bayangan. 

"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Sena-

pati Lembu Lambayu terus memerintah pada para pra-

juritnya.

"Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo 

Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas kepala lawan-lawannya. "Turunlah kemari! Bukankah ki-

ta tengah berpesta?! Hua ha ha...!"

Pletak!

"Aduh!"

Seorang prajurit yang terkena totokan Suling 

Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol 

dipegangi. Tubuhnya berputar-putar karena pening, 

dan jatuh pingsan.

Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terin-

jak-injak temannya yang terus berusaha merangsek.

Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyada-

ri bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pi-

haknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasu-

kannya. Namun karena Senapati Lembu Lambayu ten-

gah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan 

tak peduli dengan semuanya. Para prajuritnya dibiar-

kan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseo-

rang yang telah memperalat mereka untuk membunuh 

Pendekar Gila. 

Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan 

terus mengamuk, menyerang para prajurit yang ber-

jumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka, 

setiap gerakannya membuat prajurit-prajurit menjerit 

kesakitan. Ambruk dan akhirnya terinjak-injak teman-

nya.

Sementara suasana semakin terang. Matahari 

di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah temba-

ga, mengusir embun dan halimun pagi.

Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak 

Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban in-

jakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta 

dentang benturan senjata mereka semakin riuh ter-

dengar.

Suasana di depan kedai seketika berubah men-

jadi berantakan. Malah kedai yang semula sudah rusak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika 

itu, dari dalam kedai yang ambruk muncul anak-anak 

muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak 

serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi 

lawan, pemuda-pemuda itu langsung menyerang para 

prajurit kerajaan. 

"Heaaa...!"

Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi 

ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemuda-

pemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para 

penduduk desa yang marah melihat tingkah polah pa-

ra prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka 

telah tahu kalau di dalam angkatan perang kerajaan 

itu terdapat Serikat Serigala Merah.

"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru 

warga desa itu.

Dengan berbagai macam senjata seperti cang-

kul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak 

atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan 

Serikat Serigala Merah, kini merangsek maju membe-

rikan serangan.

Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit 

kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, ha-

rus menghadapi pula ratusan penduduk Desa Piring 

Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya.

"Serang...!" seru warga desa.

"Hancurkan serbuk iblis!"

"Hancurkan kerajaan yang tak adil!"

"Bunuh panglima perang iblis itu...!"

Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat 

para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mere-

ka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk 

meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayan-

gan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka 

harus menghadapi penduduk desa, ditambah para


pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok 

orang bingung turut menghambur ke dalam pertempu-

ran itu.

"Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lam-

bayu.

Pertarungan besar itu pun tak dapat dielakkan 

lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan 

kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-

tumbuhan yang ada di sekitar tempat itu banyak yang 

tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang 

semakin ganas.

Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula 

tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pe-

kikan yang membahana. Darah membanjir, dari tu-

buh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.

Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti 

itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar 

suara teriakan menggelegar.

"Tangkap para pengkhianat kerajaan...!"

Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan 

rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak 

jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih 

gagah berani dari Kerajaan Sunda Layung Telunjuknya 

mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati 

Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati 

kerajaan.

"Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap 

panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari 

berseru, memerintah para prajuritnya untuk memban-

tu penduduk desa.

***

Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah se-

ru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya



para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya. 

Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati 

Lembu Lambayu kini kian terdesak.

"Serbu...!"

Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara 

menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang 

merupakan tangan kanan Dewa Pedang.

"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang 

kedua yang dihormati dalam Serikat Serigala Merah se-

telah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu.

Serentak anak buah Serikat Serigala Merah 

yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu 

para prajurit pemberontak yang selama ini membantu 

mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala 

Merah.

Trang! Trang...! 

Crab!

"Wuaaa...!" 

"Aaa...!"

Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar 

dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Semen-

tara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi den-

tang senjata tajam mereka.

Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpi-

nan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat 

meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malai-

kat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa 

pendekar yang hadir dalam pertempuran itu.

Serentak mereka menghadang para tokoh rim-

ba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah 

pimpinan Dewa Pedang. Di antara para pendekar yang 

turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi 

Jaladri, Gagak Putih, Kupu-kupu Emas, dan Resi An-

gling Mukti.

Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung


dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gen-

tro, Buta Cakra, Banaspati, Ampel Gegel, Nyi Capis, 

Rana Jalna, dan Gempal Sudra.

Kini dari kedua golongan saling berhadapan sa-

tu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan de-

ngan Gajah Bedeg. Malaikat Tanpa Bayangan berha-

dapan dengan Gempal Sudra.

"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa 

Bayangan.

"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi? 

Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha 

ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap 

pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!" 

dengus Gajah Bedeg.

"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira 

kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak 

sebaliknya, kalianlah yang akan mampus?" sahut Sena 

dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah 

Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah.

"Pendekar Gila, kami memang mendapat perin-

tah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu! 

Heaaa...!"

Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menye-

rang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang. 

Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak 

Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam 

Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu mem-

bentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi

amarah.

Wut!

"Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah 

Bedeg.

"Heits! Hua ha ha...! Tangkap kodok itu, Seriga-

la Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki


kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian 

dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak 

merunduk.

"Heaaa!" 

Wut!

"Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melom-

pat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki Pende-

kar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg 

balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan 

wajah Pendekar Gila.

"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian 

dengan cepat tubuhnya bergerak ke samping. Kaki ki-

rinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-

la Melempar Batu' Sena balas menyerang.

Serangkum angin pukulan menderu keras ke 

arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang 

bergerak seperti tengah melempar bebatuan menye-

rang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya 

bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesa-

kitan.

"Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil ber-

gerak mengelitkan serangan lawan. Kemudian dengan 

cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Se-

rigala Menerkam Mangsa'.

Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan 

mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum 

tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit 

dengan meliukkan tubuh. Kemudian disusul gerakan 

menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan ju-

rus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila 

membuat Gajah Bedeg kembali tersentak.

"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar 

sambil menarik serangannya, menyaksikan serangan 

Pendekar Gila yang begitu cepat

Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak


para pendekar dapat menekan lawan mereka masing-

masing. Para pendekar tak mau memberikan kesempa-

tan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih den-

gan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia 

memburu lawannya dengan jurus 'Malaikat Sambar 

Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeraman-

cengkeraman maut, terus memburu lawan.

"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat 

mundur, mengelakkan serangan Malaikat Tanpa Ba-

yangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah 

hijau lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan ba-

ginya untuk membuka serangan.

"Mau lari ke mana, Iblis?!" dengus Malaikat 

Tanpa Bayangan yang marah setelah melihat bagaima-

na pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang me-

nyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis, 

tubuhnya bagaikan tak berdarah.

Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah te-

lanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang 

yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah. 

Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Pu-

tih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan ta-

hun tak ikut meramaikan rimba persilatan. Ilmu-ilmu 

silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat 

Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', ter-

paksa dikeluarkan dalam pertempuran kali ini. 

"Heaaa...!"

Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Ar-

wah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Ma-

laikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gen-

car. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah la-

wan.

Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Ma-

laikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! De-

sis Gempal Sudra dalam hati.


Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui 

kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin 

menunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Gempal 

Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan, 

sambil sesekali balas menyerang.

Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak 

memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk 

membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak 

dengan serangan-serangan gencar. Dan...

Degk!

"Hugk! Akh...!"

Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang 

dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah se-

gar. Sesaat tubuhnya meregang, lalu ambruk tanpa 

nyawa.

"Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-

tunggu kalian di Bukit Siluman...!" terdengar suara 

Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra am-

bruk.

"Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat 

Tanpa Bayangan mengejar, diikuti Pendekar Gila.

Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Ga-

jah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu

membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar 

Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar.

Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit 

yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemu-

dian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para 

prajurit Kerajaan Sunda Layung pimpinan Patih Pra-

meswari.

***

SEMBILAN


Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan 

Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin 

bertiup kencang, seperti akan terjadi badai. Bulan per-

lahan-lahan merangkak dari ufuk timur, menerangi 

sekeliling Bukit Siluman.

Binatang-binatang malam terdengar merdu 

berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk ber-

diri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, di-

tingkahi lolongan anjing hutan yang menyayat dan 

memilukan.

Malam itu, merupakan malam purnama ketiga. 

Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang 

Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila 

yang dianggapnya telah membunuh muridnya.

Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang 

tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah 

Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang 

itu nampaknya ingin menunjukkan kalau dirinya bu-

kan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada 

Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pende-

kar Gila akan dituntaskannya malam ini.

Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki 

memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda 

berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang 

tidak lain adalah Pendekar Gila. Sedangkan seorang 

lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang 

berwarna hijau lumut, adalah Malaikat Tanpa Bayan-

gan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh 

rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak me-

nyusul. Bukit Siluman yang semula sepi dan terkenal 

angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak ke-

hadiran mereka.


Tak berapa lama kemudian, muncul para pra-

jurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka 

nampaknya ingin menyaksikan pertarungan seru anta-

ra Dewa Pedang melawan dua pendekar.

"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu, 

tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-

ru Dewa Pedang dengan mata menatap tajam pada 

Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang ma-

sih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini 

tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti ke-

ra.

"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua! 

Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sung-

guh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal ga-

gah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru 

Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam 

menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih 

pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih 

bersikap tenang.

"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan. 

Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok," 

ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan.

"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti 

berdua? Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-

ri, Ki," sahut Sena dengan cengengesan. Kemudian ka-

kinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan 

pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masa-

lahnya.

"Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-

tanganmu. Sebenarnya dari dulu aku ingin mencari-

mu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku 

ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan se-

telah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan 

dengan suara yang masih terdengar tenang.


"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di po-

hon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan 

menyingkirkan mu dan Pendekar Gila yang telah 

membunuh muridku!"

Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan 

tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang.

"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?"

"Ya!"

"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesung-

guhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem 

Gede.

"Aha, baiklah! Biar kau tak penasaran, aku 

akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid 

kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk ma-

nusia. Dia tega-teganya memfitnah Anjasmara...."

Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila 

menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat, 

sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa 

pula kedua naga api. Tak lupa juga Pendekar Gila 

menjelaskan siapa adanya bocah sakti.

"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru 

Sena diikuti gelak tawanya, serta tingkah lakunya yang 

konyol.

"Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bo-

cah Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan per-

caya! Rupanya kau takut menghadapiku!" dengus De-

wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam 

menatap Pendekar Gila.

"Terserah! Kau memang tikus keras kepala 

yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa 

cekikikan.

"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila?!" 

maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu 

hendak menyerang ke arah Pendekar Gila, tapi dengan 

cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya.


"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pe-

dang!"

"Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus 

lebih dahulu, Asem Gede! Bersiaplah...!" 

Sring!

"Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayan-

gan.

Sring!

Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pe-

dang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bi-

lah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih 

keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang de-

ngan langkah yang teratur. Mata mereka saling mena-

tap tajam.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Dengan didahului pekikan keras menggelegar 

yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman, 

keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di 

tangan.

Wut! Wut..!

Trang!

Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak sege-

ra membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segan-

segan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut 

Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya 

merah itu bergerak laksana kilat, memburu ke arah 

Malaikat Tanpa Bayangan.

"Yeaaa...!"

Menyaksikan lawan membuka serangan dengan 

jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun 

tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus 

'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus 

pamungkas.

"Heaaa...!"



Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupa-

kan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama 

mereka perlihatkan. Karena, jurus-jurus itu mereka 

ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh 

tahun.

Tubuh keduanya melesat begitu cepat laksana 

terbang. Pedang di tangan mereka bergerak cepat, 

membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu 

cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu, 

wujud mereka sampai tak terlihat. Yang nampak hanya 

sinar putih keperakan dan merah menyala.

Trang!

Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyar-

ing disertai percikan bunga api keluar dari benturan 

pedang. Keduanya melompat ke belakang dengan posi-

si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan ta-

jam. Kemudian dengan pekikan menggelegar, ke-

duanya kembali melakukan serangan.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha mem-

buru lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Si-

nar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke 

arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tu-

buh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena mena-

han kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Kembali terdengar teriakan keras menggelegar 

mengiringi serangan kedua tokoh tua itu. 

Wut! Bet! 

Trang! 

"Heaaa!"

Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang 

membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Malaikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan, 

dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan 

pedang bersinar merah itu meleset beberapa jari saja 

di atas kepalanya. Kemudian tanpa membuang waktu, 

Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pe-

dangnya sebagai serangan balasan.

"Yeaaa!"

"Heit..!"

Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu 

pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke 

dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat 

ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Ke-

mudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya dite-

baskan ke arah pedang lawan.

Trang!

Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang 

sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masing-

masing ke belakang. Kemudian dengan didahului pe-

kikan keras, keduanya kembali menggebrak.

"Yeaaa...!"

"Heaaa...!"

Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan la-

wannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya 

yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malai-

kat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan.

Wut!

Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa 

Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lu-

mut itu merundukkan kepala, berusaha menghindar. 

Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan.

Cras!

Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tu-

buhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan. 

Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan 

dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasan


tebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus 

berguling.

Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba.... 

Trang!

"Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedang-

nya berbenturan dengan senjata di tangan Pendekar 

Gila. "Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-

la!" 

"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak 

sambil berusaha membantu Malaikat Tanpa Bayangan 

bangkit berdiri. 

"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!"

"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!" 

***

Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pe-

dang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila 

yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk 

bangkit berdiri.

"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus 

Sena melihat serangan cepat yang dilancarkan Dewa 

Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat 

Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya lang-

sung bersalto mengelakkan serangan lawan.

"Yeaaa...! Tembus dadamu!"

Wut..!

"Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila 

sambil masih berjumpalitan di udara. Kemudian de-

ngan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila 

Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang lak-

sana terbang sambil tangannya bergerak dengan jari-

jari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram 

ke arah lawan. 

Wuttt..!


"Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil 

menggeser kaki ke samping. Lalu disusul dengan tu-

sukan pedangnya ke arah Pendekar Gila.

"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa 

Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya. 

Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tu-

buhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tu-

sukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah 

dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke ka-

nan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan 

tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan 

gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila 

Menari Menepuk Lalat'

"Heaaa...!"

Kaki mereka melangkah secara beraturan, sal-

ing berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan 

tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut 

bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh 

lawan.

Sementara Pendekar Gila masih menghadapi 

Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di 

tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pe-

dang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, pa-

ra pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan 

dengan cepat menangkap mereka.

Pertarungan antara Pendekar Gila melawan 

Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah 

terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, te-

rus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedang-

nya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat 

pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan.

"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tu-

buh ke kanan, terkejut mendapat tusukan yang tiba-

tiba dan cepat itu.

Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan


dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya 

melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengan-

dung kekuatan gaib pun bergerak cepat

"Heaaa...!"

"Heits! Hih...!

Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila 

melancarkan serangan dengan tepukan tangannya. 

Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk La-

lat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pe-

dang. Sehingga....

Wuttt!

Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pe-

dangnya ke dada Pendekar Gila.

"Hah...?!"

Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan ce-

pat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun.... 

Bret!

"Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak 

tertutup rompi tergores Pedang Darah. Dari goresan 

itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melom-

pat ke belakang dengan mata melotot

"Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-

gelak, merasa telah mampu melukai Pendekar Gila. 

"Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!"

Pendekar Gila tampak cengengesan sambil me-

nyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Se-

mentara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda 

Layung nampak tegang. Mereka khawatir kalau Pen-

dekar Gila akan kalah.

"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa 

Busuk!" dengus Pendekar Gila. "Kurasa aku memang 

harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu.

Hm.... Mari kita lanjutkan!"

Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan 

Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju


rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang ke-

luar dari pedangnya.

"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mam-

pus!"

"Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!"

"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!"

Dengan semakin bertambah marah menyaksi-

kan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh 

racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang 

Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan 

jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Ge-

ledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini 

dilakukan Dewa Pedang.

Dewa Pedang benar-benar bermaksud meng-

hancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu se-

babnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya 

dengan ajian tingkat tinggi.

"Heaaa...!"

Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan 

pedang Dewa Pedang. 

Wut!

Ctar!

Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar ke-

luar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya te-

lah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila.

Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila 

segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan ce-

pat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat 

kesempatan, Pendekar Gila segera balas menyerang 

dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.

"Hosss!"

Kedua tangannya disatukan, kemudian diren-

tangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam, 

Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sam-

pai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan menggelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan 

pukulan-pukulan telapak tangannya.

"Keaaa...!" 

Wut! Wut!

Jlegar!

Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru me-

narik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan han-

cur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan 

dahsyat jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' itu 

menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri. 

Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang 

besar.

Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat 

karena pukulan dahsyat yang dilancarkan Pendekar 

Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya 

kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan 

pendekar sembarangan.

"Heaaa...!"

Pendekar Gila yang marah akibat luka di da-

danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan 

jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan un-

tuk menggempur Dewa Pedang. Mau tak mau Dewa Pe-

dang harus melompat ke sana kemari dan sesekali me-

lenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak in-

gin tubuhnya hancur lebur seperti tanah yang terkena 

hantaman pukulan Pendekar Gila.

Rupanya dia bukan sembarangan pendekar! 

Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap be-

rusaha membendung serangan-serangan yang dilan-

carkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan 

Pedang Darahnya.

"Yeaaa...!"

Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat 

ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya 

yang menggelegar.



"Heaaa...!"

Wut! Wut!

Cletar...!

"Heits! Hop! Heaaa...!"

Pendekar Gila melompat ke samping, lalu den-

gan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan 

jurus pamungkasnya.

Pertarungan semakin seru, ketika bulan pur-

nama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah 

cahaya bulan purnama tampak tubuh mereka berkele-

batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras men-

giringi setiap serangan mereka.

Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pe-

dang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila. 

Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan 

cepat bergerak melompat untuk menghindar. Namun 

Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan.... 

Bret!

"Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan 

kembali membabat tubuhnya. Pundaknya yang tak ter-

tutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh ke-

luar.

"Ha ha ha...!"

Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak 

menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya. 

Sementara, para pendekar kini membelalakkan mata-

nya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan 

Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah.

"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!" 

ejek Dewa Pedang.

"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak. 

"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk! 

Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-

gat dan dunia!"

"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!"


"Aha, kita buktikan!"

Srt!

Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari 

ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa 

Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, ke-

mudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pen-

dekar Gila membuka gerakan.

"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mam-

pus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyak-

sikan jurus Pendekar Gila yang seperti gerakan seekor 

monyet

Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang, 

kemudian ditekuk membentuk siku. Matanya terpe-

jam, lalu kaki kanannya dilangkahkan ke depan de-

ngan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri 

ditekuk, kemudian digeser ke samping diikuti senta-

kan tangan kiri.

Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang se-

dang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah 

putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus 

'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatan-

nya mampu menghancurkan bangsa siluman dan me-

leburkan batu menjadi tepung.

"Heaaa...!"

"Mampuslah kau, Bocah!"

Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gi-

la tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah ma-

buk kemenangan, seketika mencelat hendak menye-

rang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang te-

rayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menu-

suk dan membabat ke arah lawan.

"Heaaa...!"

Wut!

Pendekar Gila yang kini menggunakan mata ba-

tin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser



ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang me-

luruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tan-

gan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan. 

Dan....

Prat!

Jlegar!

"Aaakh...!"

Dewa Pedang melolong keras menyayat hati. 

Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar 

ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pende-

kar Gila meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan 

mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang 

bersalto. Maka....

Slarts! Slarts!

Dua larik sinar merah membara melesat keluar 

dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang. 

Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu 

menghantam tubuh Dewa Pedang.

Jlegar!

"Aaa...!"

Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan 

dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi te-

pung yang beterbangan, ketika angin bertiup.

Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan 

Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri me-

nyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pende-

kar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Ke-

mudian diam-diam mereka meninggalkan tempat itu 

dengan rasa takut.

"Kukuruyuuuk....!"

Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa berge-

lak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pende-

kar Gila melangkah seiring dengan para pendekar lain 

meninggalkan Bukit Siluman.


                          SELESAI











Share: