PEMBALASAN DEWA PEDANG
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Pembalasan Dewa Pedang
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Pagi tampak begitu cerah. Cahaya merah tem-
baga membias di langit yang biru dan tak bernoda se-
dikit pun. Di sebelah selatan tampak Gunung Slamet
berdiri dengan gagahnya, menjulang tinggi mencakar
langit. Puncaknya bahkan bagaikan menyentuh kaki
langit sebelah selatan. Sedangkan kakinya, terhampar
dari timur sampai ke barat wilayah Jawa Tengah.
Kali Pemali nampak meliuk-liuk seperti ular
raksasa, membujur dari selatan ke utara, melewati Ko-
ta Brebes, Jatibarang, dan bermuara di pantai laut
utara Jawa.
Dari arah timur, nampak sesosok lelaki tua ber-
jubah putih tengah menggebah kuda tunggangannya.
Di punggung lelaki tua itu tersampir sebilah pedang.
Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas kepa-
la. Jubah putihnya tampak berkibar-kibar, karena ku-
da besar berwarna coklat belang putih itu lari begitu
kencang.
"Hiya, hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan dari mulut lelaki tua itu me-
mecah suasana pagi. Kuda pun tampak semakin
mempercepat larinya. Seperti ada perasaan tidak sabar
untuk sampai tempat yang dituju.
Dilihat dari pedang yang tersandang di pun-
daknya, orang tua itu tak lain adalah Ki Badawi atau
yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Pedang. Pe-
dangnya yang berwarna merah darah tersarang dalam
warangka dengan ukiran berbentuk api membara.
"Pendekar Gila, ke mana pun kau pergi, aku
akan mencarimu! Tunggulah saatnya nanti...!" geram
Ki Badawi yang tampak murka. Orang tua itu tampak-
nya tengah memendam kemarahan atas kejadian yang
menimpa muridnya (Untuk jelasnya, silakan baca seri-
al Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke Akhe-
rat").
Ki Badawi atau Dewa Pedang hendak menjum-
pai sahabatnya yang bernama Ki Asem Gede atau Ma-
laikat Tanpa Bayangan di Desa Ajibarang. Sudah lama
sekali mereka berpisah. Kini Dewa Pedang hendak me-
nemui sahabatnya untuk meminta bantuan dalam
menghadapi Pendekar Gila.
Di Desa Ajibarang, Ki Asem Gede memiliki se-
buah perguruan yang terkenal dengan nama Pergu-
ruan Tapis Putih. Perguruan itu termasuk golongan
putih yang sepak terjangnya bertujuan menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Meski Ki Jalna Kumilang telah berusaha me-
nyadarkan bahwa Pendekar Gila bukan orang sesat, Ki
Badawi yang keras kepala tetap saja menganggap ka-
lau Pendekar Gila orang jahat, karena telah membu-
nuh muridnya yang dianggap beraliran putih seperti
dirinya. Maka kedatangan Ki Badawi ke Desa Ajibarang
juga untuk membujuk Ki Asem Gede agar memusuhi
Pendekar Gila.
Pagi telah berlalu, mentari pun telah tinggi ke-
tika Ki Badawi sampai di Desa Ajibarang. Desa itu be-
gitu ramai, dengan pasar buah yang cukup besar dan
ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah. Desa
Ajibarang memang menjadi pusat pasar buah. Di
samping desa itu penghasil buah, di sana pun berma-
cam jenis buah-buahan murah harganya. Kebanyakan
yang datang ke Desa Ajibarang adalah para tengkulak
yang akan menjual buahnya kembali di pasar desanya
masing-masing.
Ki Badawi menjalankan kudanya perlahan, ka-
rena kini telah memasuki kawasan yang ramai dikun-
jungi orang. Setelah keluar dari keramaian pasar, lela
ki tua itu kembali menggebah kudanya.
"Hiya, hiyaaa...!"
Kuda besar dan kekar itu kembali berlari ken-
cang membawa tubuh tuannya yang tengah menyim-
pan bara dendam. Dendam pada Pendekar Gila, yang
dianggapnya telah menghancurkan anak angkatnya.
Ki Badawi memperlambat lari kudanya, ketika
matanya melihat bangunan besar yang dikelilingi tem-
bok tinggi. Di pintu gerbang, nampak empat lelaki mu-
da bertubuh kekar tengah berjaga lengkap dengan sen-
jatanya. Dua orang dengan senjata pedang, yang dua
lagi memegang tombak. Yang bersenjata pedang men-
genakan pakaian kuning muda. Dua orang lain yang
bersenjata tombak terbalut pakaian hijau lumut.
Keempatnya berambut panjang dan diikat membentuk
ekor kuda.
"Sampurasun...!" sapa Ki Badawi setelah turun
dari kudanya.
"Rampes...!" sahut keempatnya bersamaan.
"Siapakah Kisanak? Serta hendak bertujuan apa?"
tanya salah seorang penjaga yang berwajah bersih tan-
pa kumis dan bersenjata pedang.
"Aku Ki Badawi atau Dewa Pedang. Maksud
dan tujuanku kemari ingin bertemu sahabatku Ki
Asem Gede," jawab Ki Badawi dengan suara tenang
penuh wibawa, namun tidak membuang sikap hor-
matnya. Meski tahu keempat lelaki muda di hadapan-
nya merupakan murid-murid Ki Asem Gede, dia me-
nyadari kalau dirinya tamu yang harus menghormati
tuan rumah.
"Kalau begitu, tunggulah sebentar! Saya akan
melapor kepada guru," ujar penjaga berpakaian kuning
itu.
Lelaki bersenjatakan pedang itu segera berjalan
meninggalkan ketiga rekannya untuk memberitahukan
kehadiran Ki Badawi pada ketua sekaligus gurunya.
Tidak begitu lama kemudian, pemuda itu kem-
bali muncul.
"Ki Badawi, silakan. Guru telah mengizinkan."
"Terima kasih," sahut Ki Badawi.
Lelaki muda berwajah bersih tanpa kumis itu
mengantarkan Ki Badawi masuk ke lingkungan Pergu-
ruan Tapis Putih. Ki Badawi diantar menuju sebuah
bangunan besar di antara tiga bangunan lainnya yang
terdapat dalam lingkungan perguruan. Keduanya kini
masuk ke bangunan utama. Di sana Ki Asem Gede
tengah menunggu, duduk di kursi di dalam sebuah
ruangan besar. Di belakangnya, berdiri murid-murid
Perguruan Tapis Putih, lengkap dengan senjata.
Ketika Ki Badawi masuk, seketika murid-murid
Perguruan Tapis Putih bergerak maju, menyerang den-
gan senjata mereka masing-masing.
"Heaaa...!"
Wut, wut!
Ki Badawi tersentak kaget, mendapat serangan
secara tiba-tiba oleh murid-murid Perguruan Tapis Pu-
tih. Namun, dengan cepat tubuh lelaki tua itu berkelit,
lalu balas menyerang. Tetapi jurus-jurus yang diguna-
kan hanya jurus ringan. Ki Badawi nampaknya men-
gerti, itulah sambutan dari sahabatnya.
"Terima kasih atas sambutan mu, Asem Gede!
Yeaaa...!"
Orang tua berjubah putih itu dengan cepat me-
lompat ke atas, bergerak mengelakkan serangan la-
wan-lawannya dengan jurus 'Dewa Pedang Terbang
Menyapu Awan'. Tangannya bergerak mengebut ke sa-
na kemari, sedangkan kakinya menendang dan melu-
ruk ke muka lawan.
"Yeaaa!"
Murid-murid Perguruan Tapis Putih kembali
bergerak menyerang dengan jurus 'Rangkaian Tapis
Menjerat Singa'. Mereka bergerak membuat lingkaran.
Kemudian dengan berjalan mengitari tubuh Ki Badawi,
murid-murid Perguruan Tapis Putih melakukan seran-
gan.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut!
Pedang dan tombak di tangan murid-murid
Perguruan Tapis Putih yang mengenakan pakaian kun-
ing muda dan hijau lumut bergerak menusuk dan
membabat tubuh Ki Badawi. Dewa Pedang mau tak
mau harus berkelit mengelakkannya, kalau tidak ingin
tubuhnya hancur dengan usus berantakan.
"Heit! Heaaa...!"
Ki Badawi melompat dengan cepat, mengelak-
kan serangan lawan-lawannya. Namun kelihatannya
jurus ciptaan Ki Asem Gede bukan jurus sembaran-
gan. Hal itu dirasakan Ki Badawi. Gerakan murid-
murid Perguruan Tapis Putih sangat cepat dan lihai.
Ke arah mana Ki Badawi mengelak, mereka cepat
memburu dengan sabetan dan tusukan senjata.
"Hebat! Hebat sekali jurus ciptaanmu, Asem
Gede!" seru Ki Badawi sambil menoleh pada lelaki be-
rusia sekitar enam puluh lima tahun yang duduk di
kursi dan tersenyum-senyum menyaksikan bagaimana
murid-muridnya menjamu tamunya.
"Kurasa belum seberapa, Dewa Pedang! Kau be-
lum menunjukkan jurus-jurus pedangmu! Itu sebab-
nya kau agak kewalahan!" seru lelaki tua bermuka bu-
lat dengan hidung mancung dan besar itu. Alis ma-
tanya tebal. Kumis melintang lebat di atas mulutnya
sudah putih. Rambutnya terurai lurus, dengan ikat
kepala berwarna hijau lumut. Pakaiannya yang ber-
bentuk jubah warna hijau lumut terbuka di bagian da-
da, hingga memperlihatkan pakaian dalamnya yang
kuning.
"Ah, aku sudah terlalu tua, Asem Gede! Meski
ku kerahkan seluruh ilmuku, rasanya belum tentu aku
mampu menandingi jurus barumu!" sahut Ki Badawi
sambil terus bergerak mengelakkan serangan-serangan
murid-murid Ki Asem Gede.
"Kurasa, nama besarmu bukan omong kosong,
Dewa Pedang! Cobalah, keluarkan jurus pedangmu!"
seru Ki Asem Gede berusaha memancing sahabatnya
agar mengeluarkan jurus-jurus pedangnya.
"Tidak mungkin, Asem Gede! Kau tahu sendiri,
jika Pedang Darah telah keluar dari warangkanya, be-
rarti harus mendapat korban! Aku datang ke tempat-
mu bukan untuk bertarung, tapi sebagai sahabat! Ma-
na mungkin aku berbuat keji?"
Ki Asem Gede tertawa terbahak-bahak, sampai-
sampai tubuhnya yang tinggi besar turut berguncang-
guncang.
"Kau memang benar, Dewa Pedang! Tapi untuk
menjamumu, kurasa muridku telah siap! Satu orang
mungkin rela berkorban untuk menjamumu!" sahut Ki
Asem Gede.
Sebenarnya Ki Asem Gede berusaha melihat
perkembangan ilmu sahabatnya. Itu pula yang menja-
dikan Malaikat Tanpa Bayangan rela mengorbankan
muridnya. Di samping itu, murid-murid Perguruan Ta-
pis Putih memang ingin tahu ilmu setiap tamunya
Ki Asem Gede mengedip ke salah seorang mu-
ridnya memberi isyarat, yang dibalas sang Murid den-
gan anggukan kepala kecil pertanda perintah gurunya
disetujuinya.
"Baiklah kalau itu yang kau kehendaki! Maaf,
bukannya aku hendak pamer kebolehan!" kata Dewa
Pedang akhirnya meluluskan permintaan tuan rumah.
Sring!
Pedang Darah yang mengeluarkan sinar merah
darah kini ditarik dari warangkanya, menjadikan mu-
rid-murid Perguruan Tapis Putih tersentak membela-
lakkan mata. Mereka yang semula menyerang, seketika
menyurut mundur. Ngeri menyaksikan bagaimana pe-
dang itu laksana mengeluarkan sinar gaib yang kuat
"Mengapa kalian mundur?! Serang dia...!" seru Ki Asem
Gede pada murid-muridnya untuk melakukan seran-
gan lagi.
Mendengar perintah gurunya, seketika murid-
murid Perguruan Tapis Putih yang sebenarnya takut
menyaksikan kekuatan gaib yang keluar dari Pedang
Darah kembali serentak maju.
"Heaaa...!"
Ki Badawi yang telah memegang Pedang Darah,
nampak merah wajahnya. Rupanya lelaki tua itu pun
telah terbawa oleh kekuatan pedang di tangannya. De-
ngan jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa' Ki Badawi
bergerak memutar pedangnya, dari arah kanan ke kiri,
membentuk setengah lingkaran.
"Heaaa!"
Whuttt...!
Cras!
"Wuaaa...!"
Seorang murid Perguruan Tapis Putih terjung-
kal. Dadanya tergores oleh Pedang Darah di tangan Ki
Badawi. Sebuah gerakan yang begitu cepat, sehingga
pantas kalau dia dijuluki Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan yang duduk di kursi
tersentak kaget, menyaksikan kecepatan ilmu pedang
itu. Matanya membelalak lebar. Tidak disangka kalau
ilmu pedang sahabatnya ternyata semakin hebat.
Ki Badawi atau Dewa Pedang berdiri mema-
tung. Tubuhnya kembali bergetar hebat. Wajahnya
menyala merah, terbawa oleh kekuatan gaib pedang
nya. Sesaat dia terdiam, kemudian dengan desahan
napas panjang Pedang Darah dimasukkan ke warang-
kanya.
Srak!
***
Plok! Plok...!
"Hebat, hebat..!" seru Malaikat Tanpa Bayangan
sambil bertepuk tangan. "Rupanya selama ini kau se-
makin bertambah maju saja, Dewa Pedang."
"Ah, tak seberapa, Asem Gede. Tentunya kau-
lah yang bertambah maju dengan ilmumu," tukas Ki
Badawi merendah.
"Silakan duduk, Dewa Pedang! Ada apa sebe-
narnya? Tiba-tiba saja kau datang kemari," tanya Ki
Asem Gede atau Malaikat Tanpa Bayangan sambil
menggerakkan kepala, memerintahkan pada murid-
muridnya mengurus tubuh murid yang terluka oleh
Dewa Pedang.
Murid-murid Perguruan Tapis Putih menurut,
mereka segera menjura hormat dan membawa teman-
nya meninggalkan ruang tamu itu. Sedangkan Ki Ba-
dawi kini melangkah ke meja di depan Malaikat Tanpa
Bayangan. Ditariknya sebuah kursi lalu duduk. Di situ
ada banyak kursi yang mengelilingi meja bulat. Tentu-
nya meja itu digunakan untuk rapat perguruan atau
rapat para pendekar yang diundang Ki Asem Gede.
Plok, plok, plok!
Malaikat Tanpa Bayangan bertepuk tangan tiga
kali. Dan tak lama kemudian, dari belakang muncul
tujuh wanita muda dan cantik dengan pakaian aneka
warna. Mereka membawa suguhan. Ketujuh wanita
cantik yang rambutnya disanggul itu menaruh maka-
nan dan minuman di atas meja, kemudian berlalu me
ninggalkan tempat itu.
"Ah, rupanya kedatanganku ke sini hanya un-
tuk merepotkan mu, Asem Gede..."
"O, sama sekali tidak. Bagi seorang sahabat
baik yang telah lama tidak berjumpa, apa salahnya
aku menghormatimu?"
Keduanya tertawa tergelak-gelak.
"Silakan, Dewa Pedang!"
"Terima kasih."
Plok, plok!
Malaikat Tanpa Bayangan kembali bertepuk ta-
ngan. Seketika dari belakang muncul sepuluh orang
penabuh gamelan. Kesepuluh lelaki itu berpakaian
adat Jawa Tengah warna coklat muda dengan blang-
kon serta memakai kain batik. Setelah Ki Asem Gede
mengangguk, kesepuluh lelaki berusia sekitar empat
puluh tahun itu segera mengambil tempat duduk, lima
tombak dari Ki Asem Gede dan Ki Badawi duduk.
Bunyi gamelan pun mengalun, mengiramakan
gending Jawa yang terasa merdu, menjadikan suasana
di ruangan itu terasa semarak.
Plok, plok...!
Ki Badawi kembali bertepuk tangan. Seketika
dari belakang muncul tiga orang wanita muda dan
cantik berambut disanggul besar. Kebaya yang dikena-
kan wanita-wanita cantik itu berwarna merah jambu.
Seirama dengan alunan gending, ketiga wanita
cantik itu mendendangkan lagu Jawa Karawitan.
Kepala Ki Asem Gede dan Ki Badawi yang se-
dang menyantap makanan terangguk-angguk, menik-
mati alunan merdu ketiga pesinden yang sedang me-
nyanyikan karawitan.
"Bagaimana, Badawi? Kau suka...?" tanya Ki
Asem Gede.
Ki Badawi tersenyum, mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Puluhan tahun aku mengasingkan diri, Asem
Gede. Saat ini aku benar-benar merasakan seperti be-
rada di surga," gumam Ki Badawi dengan kepala masih
manggut-manggut, menikmati alunan gamelan dan
suara merdu ketiga pesinden yang bergantian men-
dendangkan lagu-lagu karawitan.
Ki Asem Gede tertawa tergelak-gelak mendengar
ucapan sahabatnya. Dia merasa senang, karena telah
dapat menghibur hati sahabat lamanya yang telah la-
ma berpisah.
"Hampir tiga puluh tahun kita tak bertemu,
Dewa Pedang. Rasanya kita seperti kembali muda," tu-
tur Ki Asem Gede.
"Ya! Tiga puluh tahun kita berpisah, setelah da-
ri dulu kita bersama-sama. Beruntung kau masih
mengenaliku," sahut Ki Badawi.
"Ah, bagaimana mungkin aku melupakanmu?
Seorang sahabat yang berilmu tinggi, dengan jurus pe-
dangnya yang tak terkalahkan!" puji Ki Asem Gede.
"Tapi sekarang tidak juga, Asem Gede," kata Ki
Badawi yang menjadikan Ki Asem Gede terhenyak. Ma-
ta lelaki tua itu membeliak, menatap tajam wajah Ki
Badawi. Keningnya berkerut, sepertinya tak percaya
pada ucapan sahabatnya itu.
"Ah, rupanya kau bergurau, Badawi," gumam
Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tidak! Aku sungguh-sungguh. Kini di rimba
persilatan banyak sekali bermunculan pendekar-
pendekar muda yang berilmu lebih tinggi dibandingkan
kita."
Semakin membelalak mata Ki Asem Gede men-
dengar penjelasan Ki Badawi. Diakuinya memang se-
lama tiga puluh tahun belakangan ini, dia tidak lagi
terjun ke rimba persilatan. Hal itu pula yang menjadi
kannya tidak tahu perkembangan dunia persilatan
saat ini.
"Hm...," Ki Asem Gede menggumam tak jelas.
Kepalanya manggut-manggut "Lalu, apakah kedatan-
ganmu kemari ada sangkut pautnya dengan per-
kembangan dunia persilatan?"
"Ya!"
"Hm.... Ada apa rupanya, Badawi?"
"Kini di rimba persilatan muncul seorang pe-
muda bertingkah laku seperti orang gila yang berilmu
tinggi. Sepak terjangnya sangat mengiriskan. Beberapa
hari yang lalu muridku telah tewas di tangannya," tu-
tur Ki Badawi.
"Pendekar Gila maksudmu, Badawi?" tanya Ki
Asem Gede menegaskan.
"Ya! Dari mana kau tahu?"
"Namanya memang sering kudengar. Tapi
orangnya dan sepak terjangnya di rimba persilatan be-
lum pernah kulihat Hm... Bukankah menurut kabar
dia berada di pihak kita?" tanya Ki Asem Gede masih
belum percaya.
"Itu hanya kedoknya belaka! Sesungguhnya, dia
dan pendekar-pendekar muda lainnya bermaksud me-
nyingkirkan orang-orang tua seperti kita!"
Ki Asem Gede semakin terhenyak kaget. Namun
begitu, orang tua bertubuh kekar dan tegar itu belum
yakin dengan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Hm.... Apakah kau tidak salah dengar, Bada-
wi?"
"Tidak! Sudah kukatakan, dia telah membunuh
muridku. Bukankah secara tidak langsung dia menan-
tangku?"
"Mungkin muridmu yang salah, Badawi."
"Tidak mungkin! Aku tahu persis, siapa Su-
mantri. Sejak kecil, dia kutemukan dan ku didik. Ada
kah didikan guru yang lurus menjadikan muridnya se-
sat?" tanya Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan menghela napas pan-
jang. Sulit rasanya dia menafsirkan siapa yang benar.
Dia sering mendengar nama Pendekar Gila. Seorang
pendekar muda yang berpihak pada golongan putih.
Bahkan dialah yang kini menjadi tokoh penegak keadi-
lan.
Mungkinkah Pendekar Gila berbuat tak adil?
Tanya Malaikat Tanpa Bayangan dalam hati.
***
DUA
Gending Jawa yang diiringi gamelan masih
mengalun dengan lembut, melantunkan tembang-
tembang yang menambah suasana tenteram dan te-
nang. Namun, tidak begitu yang dirasakan Malaikat
Tanpa Bayangan. Hati lelaki tua berjubah hijau itu
masih bergulat antara percaya dan tidak terhadap ka-
bar yang dituturkan Dewa Pedang.
Malaikat Tanpa Bayangan menarik napas da-
lam-dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
Mungkinkah itu terjadi? Seorang pendekar berbuat
menyimpang dari tuntutan batinnya? Pikir Ki Asem
Gede dalam hati.
"Dewa Pedang, kau memang sahabatku. Namun
dalam hal ini, aku tak bisa memastikan kebenaran ka-
ta-katamu. Apakah waktu pembunuhan muridmu kau
tahu?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tentu saja aku tahu."
"Kau tahu juga masalahnya?"
"Ya."
"Kalau boleh aku tahu, apa masalahnya hingga
Pendekar Gila membunuh muridmu?" tanya Malaikat
Tanpa Bayangan ingin tahu duduk persoalannya.
Dewa Pedang menghentikan makannya. Ditua-
ngnya arak, kemudian diminumnya. Setelah menyeka
mulut dengan tangan, Dewa Pedang menceritakan se-
mua kejadian yang dia karang sendiri.
"Pendekar Gila merasa bahwa dirinya salah sa-
tu pendekar yang tak ada tandingannya di rimba per-
silatan. Dia datang ke rumah muridku, kemudian
membuat keonaran serta menantang muridku dan te-
man-temannya. Malah yang kurang ajar, dia menan-
tangku!"
"Mengapa Pendekar Gila berbuat begitu?" tanya
Malaikat Tanpa Bayangan tak mengerti.
"Masalahnya begini. Ketika itu muridku menye-
barkan sayembara yang isinya mengatakan barang sia-
pa yang bisa menangkap dan membinasakan bocah se-
tan, akan diberi hadiah sebagian dari hartanya. Bocah
setan itu telah banyak memakan korban," tutur Dewa
Pedang.
"Bocah setan?" kening Malaikat Tanpa Bayan-
gan kembali berkerut, mendengar Dewa Pedang me-
nyebut bocah setan.
"Ya!"
"Siapakah bocah setan itu?"
"Seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun
dengan tubuh bersisik ular yang menghuni Pulau Ka-
rang Apa di Danau Sambak Neraka," jawab Dewa Pe-
dang (Mengenai bocah ular penghuni Pulau Karang Ne-
raka, silakan simak serial Pendekar Gila dalam episode
"Perjalanan ke Akherat").
"Hm...," Ki Asem Gede kembali bergumam tak
jelas dengan kepala mengangguk-angguk. Entah apa
arti anggukan itu.
Plok, plok...!
Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Seketi-
ka itu, rombongan karawitan menghentikan tabuhan-
nya. Lalu mereka menjura hormat, kemudian mening-
galkan ruang besar itu.
"Baiklah, Dewa Pedang. Aku menerima alasan-
mu. Sekarang, katakanlah maksud kedatanganmu ke-
mari!" pinta Ki Asem Gede.
Sesaat Ki Badawi diam sambil menghela napas
perlahan.
"Kedatanganku ke tempatmu, semata-mata in-
gin mengajak mu kembali ke dunia persilatan. Kita se-
bagai orang tua, tidak bisa hanya diam menerima na-
sib. Sepertinya kita menunggu ajal, membiarkan yang
muda bertindak sewenang-wenang. Bahkan kalau bisa,
bagaimana jika kita mendahului mereka?" tanya Ki Ba-
dawi.
"Maksudmu!" Ki Asem Gede mengerutkan ken-
ing, belum jelas maksud Dewa Pedang yang sesung-
guhnya.
"Aku mengajak mu untuk menumpas pende-
kar-pendekar muda yang berusaha menyingkirkan to-
koh tua seperti kita. Kedua, aku bermaksud mengun-
dang golongan tua dan mengajak mereka turut serta.
Bagaimana kalau tempatmu yang digunakan untuk
pertemuan?"
Malaikat Tanpa Bayangan sejenak terdiam. Di-
tariknya napas dalam-dalam. Sepertinya dia tengah
menimbang permintaan sahabatnya. Dirinya juga me-
rasa belum yakin kalau para pendekar muda khusus-
nya Pendekar Gila bertujuan menyingkirkan para to-
koh tua. Untuk apa para pendekar muda bermaksud
menyingkirkan para tokoh tua? Tanya Ki Asem Gede
dalam hati, seakan belum yakin. Bukankah tanpa me
reka singkirkan para tokoh tua akan hilang dengan
sendirinya?
"Bagaimana, Asem Gede?" desak Ki Badawi.
"Kalau memang kau bermaksud memakai tem-
pat perguruanku, baiklah. Kapan kau akan mengun-
dang mereka?" tanya Ki Asem Gede.
"Secepatnya. Dan kuharap lagi, murid-
muridmu dapat membantuku menyebarkan undangan
kepada para tokoh tua," pinta Ki Badawi.
"Hm, baiklah. Namun sekali lagi aku berharap,
pikirkanlah masak-masak! Jangan sampai di kemu-
dian hari kau akan menyesal, Dewa Pedang!"
"Maksudmu...?" tanya Ki Badawi dengan kening
berkerut.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Ma-
tanya memandang lepas ke arah pintu depan.
Plok, plok...!
Ki Asem Gede kembali bertepuk tangan. Tidak
lama kemudian, dari belakang muncul tujuh gadis
cantik yang tadi membawa makanan. Ketujuh wanita
cantik berpakaian kebaya warna-warni itu menjura.
Kemudian mengambil sisa makanan. Lalu ketujuh wa-
nita berwajah elok itu kembali berlalu pergi.
"Aku tidak ingin terjadi salah paham, yang bisa
memecah belah golongan putih."
"Kau belum yakin padaku, Asem Gede?"
"Bukan begitu, Dewa Pedang. Aku percaya pa-
damu, karena kau sahabatku. Aku tahu siapa dirimu.
Namun tak ada salahnya, sebagai sahabat aku mem-
beri saran, bukan?"
"Ya..., ya," jawab Ki Badawi sambil mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Nah, apakah kau telah memikirkannya masak-
masak? Tentunya, jika benar mereka hendak menying-
kirkan para tokoh tua macam kita, jelas mereka akan
berhadapan dengan guru-guru mereka sendiri. Apakah
itu mungkin, Badawi?"
"Mungkin saja, Asem Gede."
Malaikat Tanpa Bayangan tersenyum kecut
mendengar jawaban temannya yang keras kepala.
"Tadi kau mengatakan, jika seorang guru baik,
tak mungkin menghasilkan murid yang jahat"
"Ya!"
"Nah, apakah mungkin pendekar muda itu juga
begitu? Bermaksud membinasakan guru mereka?"
tanya Ki Asem Gede.
Ki Badawi terdiam. Nafasnya tersengal di dada.
Jelas ucapan Malaikat Tanpa Bayangan merupakan
sindiran baginya. Di samping itu, ucapan Ki Asem Ge-
de bernada tidak setuju apa yang telah direncanakan-
nya.
"Maaf, Badawi! Bukannya aku bermaksud
menghalangi rencanamu. Tapi, mungkin usahamu
memanggil tokoh tua akan sia-sia. Mereka mungkin
juga berpikiran sepertiku," tandas Ki Asem Gede.
"Jadi kau tak bersedia membantuku?" tanya Ki
Badawi.
"Dengan amat menyesal, Badawi. Jika kau in-
gin meneruskan tujuanmu, lakukanlah! Aku tak dapat
menghalangi niatmu, tapi tak dapat membantumu,"
tegas Ki Asem Gede.
"Baiklah, Asem Gede. Rupanya persahabatan
kita selama puluhan tahun tak ada artinya. Permisi...!"
Dengan perasaan gusar, Dewa Pedang yang ti-
dak berhasil membujuk sahabatnya, meninggalkan Ki
Asem Gede yang masih duduk di bangkunya dengan
bibir tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Dasar orang keras kepala! Sudah tua, masih
belum juga mau mengubah sifatnya," gumam Ki Asem
Gede lirih. "Orang tua aneh! Selalu merasa benar sen
diri. Apakah mungkin, Pendekar Gila yang termasyhur
dengan keadilan dan kebaikannya melakukan hal yang
tercela?"
Tengah Ki Asem Gede merenung memikirkan
watak Dewa Pedang yang keras kepala, tiba-tiba dia
dikejutkan oleh kehadiran seorang muridnya yang da-
lam keadaan luka parah. Penjaga pintu gerbang itu
ambruk di depan pintu dengan tubuh berlumur darah.
"Pranolo, kenapa kau?!"
Ki Asem Gede segera bangun dari kursinya,
berlari mendekati muridnya yang dalam keadaan seka-
rat. Diangkatnya kepala sang Murid, kemudian dita-
ruhnya di atas pangkuan.
"Orang tua itu..., mengamuk.... Akh!"
Pranolo terkulai lemas, nyawanya seketika me-
layang meninggalkan raga.
"Keparat! Dewa Pedang keparat! Air susu kau
balas air tuba! Tak akan kubiarkan kau hidup!"
Dengan penuh amarah, Ki Asem Gede segera
melesat keluar untuk mengejar Ki Badawi. Di tangan-
nya tergenggam senjatanya yang berbentuk rantai pan-
jang dengan ujung runcing seperti anak panah. Senja-
ta itu bernama Jerat Malaikat Pencabut Nyawa.
Malaikat Tanpa Bayangan semakin gusar, keti-
ka sampai di pintu gerbang tak menemukan Dewa Pe-
dang. Yang ada hanya tiga sosok tubuh muridnya yang
tergeletak mati dengan dada menganga tergores pe-
dang.
"Bedebah! Rupanya kau mencari permusuhan
denganku, Dewa Pedang!" maki Ki Asem Gede. "Sudah
kuduga sebelumnya, kau memang bermaksud jahat!"
Ki Asem Gede menyapukan pandangannya ke
sekeliling tempat perguruannya. Tiba-tiba matanya ter-
tumbuk pada sebatang pohon ara besar yang tumbuh
di samping kanan pintu gerbang perguruan. Di pohon
ara itu, terdapat tulisan yang dibuat dengan goresan
pedang.
Ki Asem Gede mendengus marah. Kemudian
kakinya melangkah mendekati pohon ara untuk mem-
baca maksud tulisan itu. Matanya semakin terbelalak
marah, manakala membaca tulisan yang tergores di
pohon ara.
Malaikat Tanpa Bayangan!
Sejak saat ini, antara kita bukan lagi sahabat.
Kelak jika urusanku dengan Pendekar Gila selesai, ku
tantang kau di Bukit Siluman!
Dewa Pedang.
"Bedebah! Kau kira aku takut, Dewa Pedang!
Malaikat Tanpa Bayangan tak akan takut menghada-
pimu!" geram Ki Asem Gede, sampai gigi-giginya ber-
gemerutuk saling beradu. Ingin rasanya dia mencabut
nyawa Dewa Pedang saat itu juga dengan senjatanya.
Namun Dewa Pedang telah berlalu.
"Aku akan mencarimu, Dewa Pedang!"
Malaikat Tanpa Bayangan kembali melangkah
masuk ke rumahnya. Dadanya masih dipenuhi amarah
atas tindakan Dewa Pedang yang dianggap telah
menghina dirinya. Meski keduanya telah bersahabat
sejak muda, tantangan Dewa Pedang merupakan
penghinaan yang keterlaluan dan harus dibalas. Terle-
bih dengan pembantaian keempat orang muridnya.
***
Desa Piring Ceper yang berada di kaki Gunung
Dandaka nampak tenang. Desa yang kebanyakan pen-
duduknya bertani itu, merupakan desa yang aman dan
tenteram. Penduduknya ramah tamah, sehingga ba
nyak orang berdatangan ke desa yang juga merupakan
pusat niaga di wilayah Kadipaten Sempalan Bumi.
Siang itu langit tampak mendung. Awan gelap
berarak menutupi langit di atas sekitar Desa Piring
Ceper. Sebuah kedai yang terletak di sebelah timur de-
sa itu, siang ini banyak disinggahi orang-orang yang
kebetulan berkunjung ke desa itu.
Seorang pemuda tampan berambut gondrong
dengan pakaian rompi kulit ular nampak tengah du-
duk lesehan. Kepalanya bersandar pada dinding kedai
yang terbuat dari batu bata. Mata pemuda yang tidak
lain Pendekar Gila itu menerawang ke atas. Mulutnya
terkadang cengengesan, tersenyum-senyum seorang
diri.
Dari luar, lima orang berpakaian kembar ma-
suk. Dua orang di antara mereka adalah wanita muda.
Keduanya berwajah cantik dengan rambut dibiarkan
terurai seperti rambut tiga lelaki kawannya. Pakaian-
nya panjang sampai lutut dan berwarna merah jambu.
Kelima orang muda yang berusia sekitar dua puluh tu-
juh tahun itu sejenak mengedarkan pandangannya
pada orang-orang di dalam kedai. Dan tiba-tiba pan-
dangan mata mereka terhenti ketika menatap seorang
pemuda yang tengah tersenyum-senyum sendiri den-
gan kepala tersandar di dinding kedai.
"Hati-hati dengan pemuda gila itu," bisik lelaki
bermata lebar dengan hidung pesek kepada teman-
temannya.
"Kenapa?" tanya lelaki berkumis tipis dan ber-
hidung agak mancung.
"Nampaknya dialah yang dimaksudkan oleh ke-
tua," sahut lelaki muda yang berwajah bersih tanpa
kumis maupun jenggot
Keempat temannya mengangguk-anggukkan
kepala mengerti. Mata mereka masih menatap Pende
kar Gila yang masih cengengesan dengan wajah ter-
dongak menatap atap kedai.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa, telunjuknya menud-
ing ke atas. Seperti ada sesuatu di atas. Hal itu mem-
buat kelima orang muda yang tadi memperhatikannya,
kini mengikuti telunjuk Sena memandang ke atas.
Namun mereka tidak menemukan apa-apa.
"Tak ada apa-apa," kata lelaki muda yang pal-
ing tampan di antara ketiga lelaki itu. Hidungnya man-
cung, dengan alis mata tipis. Kumis tipis menghias di
atas bibirnya.
"Kurang ajar! Dia mempermainkan kita!" den-
gus wanita cantik yang bermata lebar dengan alis mata
lebat
Kelimanya serentak menoleh ke arah Pendekar
Gila yang baru saja duduk di tempat itu, tapi kini telah
hilang entah ke mana. Hal itu membuat kelima orang
muda itu membelalakkan mata. Kelima pasang mata
mengitari ruangan kedai itu. Tapi mereka tidak juga
menemukan pemuda bertingkah laku seperti orang gi-
la.
"Hilang! Ke mana dia?" tanya wanita cantik
yang bermata lentik bertubuh ramping.
"Entahlah. Mungkin benar apa yang dikatakan
ketua, kalau pemuda tadi orangnya," tukas lelaki ber-
hidung pesek dan bertubuh kekar.
Kelima orang muda berpakaian merah itu tiada
lain Lima Darah Bukit Perawan. Mereka berlima me-
rupakan satu keturunan, kakak beradik. Yang tertua,
lelaki berhidung pesek dengan mata lebar dan bertu-
buh tinggi tegap. Dia bernama Getih Ireng.
Yang kedua, lelaki bertubuh gemuk dan pendek
berkumis tipis dengan hidung agak mancung. Dia adik
Getih Ireng, bernama Getih Ungu.
Yang ketiga juga lelaki. Wajahnya tampan, tu
buhnya tidak terlalu tinggi Juga tidak terlalu gemuk
ataupun kurus. Dia bernama Getih Biru.
Yang keempat seorang gadis cantik; bermata
lebar dengan alis mata lebat. Mulutnya kelihatan sinis.
Dia bernama Getih Merah. Sedangkan yang terakhir,
juga seorang gadis. Dialah yang paling cantik dari
keempat saudaranya. Hidungnya mancung, alis ma-
tanya lentik. Mulutnya mungil. Dia bernama Getih Pu-
tih.
Kelimanya masih berusaha mencari Pendekar
Gila yang tiba-tiba menghilang entah ke mana. Bagai-
kan angin begitu cepat Pendekar Gila menghilang. Se-
hingga Lima Darah Bukit Perawan tak tahu ke arah
mana pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu.
"Hua ha ha... !Indah sekali siang ini," tiba-tiba
di luar terdengar suara Sena berceloteh sendiri. "Ah,
sayang! Mendung menutupi langit. Seharusnya siang
ini indah sekali...."
Tersentak Lima Darah Bukit Perawan menden-
gar suara Pendekar Gila.
"Hm, dia ada di luar. Benar juga, rupanya di-
alah yang dimaksud oleh ketua," tukas Getih Ireng.
"Ya. Tentunya dialah Pendekar Gila," sahut Ge-
tih Merah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Ge-
tih Ungu.
"Entahlah,"
"Bukankah lata harus menjauhi pemuda itu?"
tanya Getih Putih.
"Ya," jawab Getih Biru.
"Ayo, kita pergi!" ajak Getih Ireng.
Kelima kakak beradik itu baru saja hendak
angkat kaki, ketika tiba-tiba Pendekar Gila telah
menghadangnya.
"Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian? Mengapa
kalian harus terburu-buru...?" tanya Sena. Tingkah la-
kunya masih seperti orang gila. Matanya memandang
ke atas langit, sedangkan tangan kanannya mengga-
ruk-garuk kepala.
Lima Darah Bukit Perawan menarik napas da-
lam-dalam. Mata mereka memandang lekat ke wajah
Pendekar Gila.
"Berilah kami jalan!" pinta Getih Ireng.
"Aha, silakan!"
Kelima orang muda berpakaian merah itu sege-
ra melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang masih
tertawa-tawa seperti orang gila sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Hm..., apa yang mereka bawa? Mereka seperti
membawa sesuatu yang mencurigakan." Pikir Sena se-
telah kepergian Lima Darah Bukit Perawan. "Kurasa
ada sesuatu yang membuat mereka begitu tergesa-
gesa. Aha, sebaiknya kutanyakan saja pada pemilik ke-
dai"
Pendekar Gila yang juga menaruh curiga pada
pemilik kedai, kembali melangkah masuk.
"Ada apa, Kisanak?" tanya pemilik kedai yang
tubuhnya gemuk dan kepalanya terikat kain segitiga.
"Aha, pertama kuucapkan terima kasih atas pe-
layanan mu. Sedangkan yang kedua, aku ingin ber-
tanya," ujar Sena dengan masih bertingkah laku seper-
ti orang tolol.
"Hm, tentang apakah?"
"Aha, bukankah kau tadi melihat lima orang
berpakaian merah itu?" Sena balik bertanya.
"Ya, benar."
"Siapakah mereka? Tampaknya mereka mem-
punyai kepentingan denganmu."
"Mereka Lima Darah Bukit Perawan, yang ter-
gabung dalam Serikat Serigala Merah."
"Hm..., terima kasih. Kau telah memberitahu-
kan tentang mereka padaku. Bolehkah aku kembali
bertanya?"
"Silakan!"
"Ada urusan apa mereka padamu?"
"Tak ada," tegas pemilik kedai dengan nada tak
senang mendengar pertanyaan Sena.
"Aha, kau begitu sewot, Ki! Tapi, tak apalah. Te-
rima kasih!" ujar Sena, kemudian dengan cepat mele-
sat meninggalkan kedai itu.
Pemilik kedai dan orang-orang yang ada di ke-
dai melongo menyaksikan gerakan yang dilakukan
Pendekar Gila. Begitu cepat hingga dalam sekejap mata
tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata mereka.
***
TIGA
Lima orang muda berpakaian merah dadu ten-
gah melangkah terburu-buru melintasi Hutan Sawar.
Sesekali mereka menoleh ke belakang. Wajah mereka
menggambarkan ketakutan dan cemas, kalau-kalau
Pendekar Gila terus mengejar.
"Celaka, kalau dia tahu apa yang kita bawa,"
ujar Getih Ireng. "Tentunya dia akan menghalangi niat
kita. Bahkan mungkin akan merebut benda yang kita
bawa ini"
"Mari, kita percepat langkah kita!" ajak Getih
Biru.
Mereka baru saja mempercepat langkah, ketika
tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul prajurit-
prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
"Itu mereka! Tangkap...!" perintah pimpinan
prajurit kadipaten yang berbadan tegap dan berwajah
garang. Telunjuknya menunjuk ke arah Lima Darah
Bukit Perawan yang seketika tersentak kaget.
Serentak para prajurit Kadipaten Sempalan
Bumi bergerak maju. Dengan senjata lengkap di tan-
gan, dua puluh orang prajurit menyerbu Lima Darah
Bukit Perawan yang tampak kebingungan.
"Celaka! Keluar dari mulut singa kini kita diha-
dang mulut buaya!" umpat Getih Ungu kesal.
"Tak ada jalan lain, kita harus melawan mere-
ka!" sambut Getih Merah.
Cring!
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Lima Darah Bukit Perawan segera mencabut
pedang, kemudian tanpa rasa takut kelimanya berge-
rak maju menghadang para prajurit kadipaten.
"Yeaaa...!"
Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Lima Da-
rah Bukit Perawan dengan tanpa rasa takut segera
menerjang. Pedang di tangan mereka bergerak dengan
cepat, menggunakan jurus 'Lima Darah Sudut Bin-
tang'. Mereka menyerang dengan cepat dari lima pen-
juru, membentuk bintang bersegi lima.
"Heaaa!"
Wuttt! Wuttt..!
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Pekikan kematian susul-menyusul terdengar
dari para prajurit yang terkena sabetan pedang Lima
Darah Bukit Perawan. Kelima tokoh muda itu bergerak
cepat melakukan serangan. Pedang di tangan mereka
laksana kilat, membabat dan menusuk ke tubuh para
prajurit Kadipaten Sempalan Bumi.
Lima orang prajurit kadipaten roboh dengan
dada terbelah lebar. Darah bersimbah, membasahi re-
rumputan.
Melihat anak buahnya banyak yang tewas,
pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan Bumi melompat
turun menyerang Lima Darah Bukit Perawan.
"Kurang ajar! Kalian harus ditangkap! Heaaa...!"
Lelaki bertubuh tegap dan bermata tajam itu
bergerak cepat menyerang lawan. Di tangan lelaki yang
bertelanjang dada itu telah tergenggam keris berkeluk
lima. Keris yang berjuluk Ki Gendra itu mengeluarkan
cahaya kuning. Tangan lelaki berambut digelung itu
bergerak dengan cepat dalam jurus andalannya yang
bernama 'Pancalan Malaikat'.
"Heaaa...!"
Wuttt!
Keris di tangan pimpinan prajurit Kadipaten
Sempalan Bumi bagaikan hidup, bergerak semakin ce-
pat, menusuk dan menyabet ke arah lawan-lawannya.
Seketika itu, lima Darah Bukit Perawan tersentak. Me-
reka langsung berlompatan mundur, berusaha menge-
lakkan sabetan keris sakti di tangan pimpinan prajurit
Kadipaten Sempalan Bumi
"Celaka! Dia bukan orang sembarangan!" seru
Getih Ireng setelah berhasil lolos dari sabetan keris
yang mengeluarkan sinar kuning di tangan pimpinan
prajurit Keris itu seperti mengandung kekuatan gaib
yang mampu membuat getaran hebat di dada Lima Da-
rah Bukit Perawan.
"Tentunya keris itulah yang menjadi kekuatan-
nya," tukas Getih Biru.
"Ya! Dengan memegang keris itu, siapa pun
akan menjadi sakti. Nampaknya keris itu mengandung
tuah yang dahsyat. Dari hawa panas yang keluar, kita
me-rasakan betapa hebat getaran tadi," sambung Getih
Ungu.
"Lalu apa yang harus kita perbuat?" tanya Ge-
tih Merah.
"Terpaksa, kita harus menghadapinya," jawab
Getih Ireng.
Belum juga mereka memulai penyerangan lagi,
tiba-tiba pimpinan prajurit kembali berseru memerin-
tah anak buahnya.
"Kurung mereka...!"
Lima Darah Bukit Perawan menyangka kalau
perintah itu ditujukan pada kelima belas prajurit yang
masih hidup. Mereka segera bersatu dan menyiapkan
jurus 'Darah Mengalir Menyapu Debu'. Tapi...
Srrrt! Srrrt..!
Tiba-tiba rangkaian tali-temali yang memben-
tuk jaring seketika meluncur dari atas. Kelima orang
berpakaian merah itu tak sempat mengelak. Tali-temali
itu mengurung Lima Darah Bukit Perawan.
"Celaka! Kita terjebak!" seru Getih Ireng, ketika
tiba-tiba tubuhnya dan keempat adiknya terkurung
jaring.
Susah payah Lima Darah Bukit Perawan beru-
saha membebaskan diri dari jerat jaring itu. Namun
jaring yang ditaburkan para prajurit Kadipaten Sempa-
lan Bumi dari tempat tersembunyi itu begitu kuat
"Ha ha ha....! Mau lari ke mana, Tikus-tikus
Busuk?! Kalian telah berbuat keji, meracuni warga Ka-
dipaten Sempalan Bumi dengan madat Kalian harus
dihukum!" seru pimpinan prajurit Kadipaten Sempalan
Bumi.
"Celaka, Kakang! Apa yang harus kita laku-
kan?" tanya Getih Putih.
"Entahlah. Kalau kita tak dapat lolos dari ku-
rungan ini, tiang gantungan telah menanti kita," sahut
Getih Ireng sambil terus berusaha merusak tali-temali
jaring yang sangat kuat. Entah dibuat dengan bahan
apa tali itu.
"Tikus busuk! Serahkan adikmu yang cantik itu
padaku, maka kalian akan bebas!" kata pimpinan pra-
jurit kadipaten. Lelaki berbadan kekar dan bermata be-
lo itu bernama Ki Palu Geni. Mulutnya yang terhias
kumis tebal tampak tersenyum mengejek.
"Cuh! Tak sudi aku menjadi istrimu! Kau tak
lebihnya seperti penjilat! Memalukan...!" dengus Getih
Putih berang sambil menyemburkan ludah.
"Setan!" maki Ki Palu Geni dengan mata melotot
marah. Wajahnya yang garang, semakin bertambah ga-
rang. Wajahnya memerah mendengar hinaan yang di-
lontarkan Getih Putih.
"Prajurit..! Bawa mereka...!" serunya kemudian.
Para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi berge-
rak hendak meringkus Lima Darah Bukit Perawan.
Namun baru saja lima orang prajurit melangkah maju,
tiba-tiba....
Swing, swing...!
Crab! Crab!
"Wuaaa...!
"Aaa...!"
Seketika terdengar pekikan kematian yang me-
nyayat hati, disusul dengan robohnya tubuh lima pra-
jurit Kadipaten Sempalan Bumi. Tampak beberapa
senjata rahasia berbentuk bintang dan berwarna putih
keperakan menancap di leher, dada, dan wajah lima
prajurit itu.
"Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencam-
puri urusan kadipaten?!" sentak Ki Palu Geni murka.
Dilihatnya kelima anak buahnya telah tewas. Tubuh
mereka terkapar berlumur darah di atas rerumputan.
Mata Ki Palu Geni mengawasi sekelilingnya, ta-
pi tidak juga menemukan adanya seseorang yang telah
membunuh kelima prajuritnya.
"Cari orang keparat itu!" perintahnya pada para
prajurit
Belum sempat para prajurit Kadipaten Sempa-
lan Bumi bergerak maju, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat cepat menuju jaring. Di tangan sosok
bayangan putih itu, tergenggam sebilah pedang ber-
warna merah darah. Tampak pedang itu dengan cepat
membabat tali-temali yang mengurung tubuh Lima Da-
rah Bukit Perawan.
Bret, bret, bret!
Seketika itu juga, Lima Darah Bukit Perawan
terbebas dari kurungan tali-temali yang menjerat me-
reka. Hal itu semakin membuat Ki Palu Geni bertam-
bah marah.
"Kurang ajar! Bunuh mereka semua!"
Prajurit Kadipaten Sempalan Bumi segera ber-
gerak maju melakukan serangan. Namun lawan kini
bertambah kuat dengan hadirnya seorang lelaki tua
berjubah putih yang bersenjatakan pedang berwarna
merah darah.
Serangan-serangan para prajurit Kadipaten
Sempalan Bumi dengan mudah dapat dipatahkan. Kini
keenam orang itu justru mendesak para prajurit yang
jumlahnya empat puluh orang itu.
"Heaaa...!"
Lelaki tua berjubah putih yang ternyata Dewa
Pedang, bergerak cepat melakukan serangan dengan
jurus 'Pedang Dewa Mencabut Nyawa'. Dengan jurus
itu, Dewa Pedang benar-benar tak memberi kesempa-
tan bagi lawan-lawannya untuk melakukan serangan
balasan.
Bet!
Cras!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari
mulut para prajurit Kadipaten Sempalan Bumi yang
terbabat pedang di tangan. Darah segar muncrat
membasahi rerumputan. Tubuh-tubuh para prajurit
terkapar berlumuran darah.
Lima Darah Bukit Perawan yang merasa dibela
oleh seorang berilmu tinggi, semakin bertambah se-
mangat. Kelimanya dengan tangan menggenggam pe-
dang terus menggebrak lawan-lawannya. Dalam seke-
jap saja, prajurit-prajurit Kadipaten Sempalan Bumi
dibuat kocar-kacir.
"Mundur...!" seru Ki Palu Geni, melihat banyak
anak buahnya yang mati oleh serangan Lima Darah
Bukit Perawan. Terlebih dengan hadirnya lelaki tua
berjubah putih yang membantu Lima Darah Bukit Pe-
rawan.
Semua prajurit yang masih hidup, seketika lari
tunggang-langgang meninggalkan tempat itu, mening-
galkan teman-temannya yang terkapar tak bernyawa.
"Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kalau boleh
kami tahu, siapa Kisanak sebenarnya?" tanya Getih
Ireng setelah menjura hormat sebagai ungkapan rasa
terima kasih atas pertolongan lelaki tua berjubah pu-
tih.
"Hm...," Dewa Pedang hanya bergumam sambil
memasukkan Pedang Darah ke warangkanya. Sedikit
pun tak tampak senyum apalagi tawa di mulutnya. Si-
kapnya tampak tak acuh sekali.
"Ki, kau telah menolong kami. Sepantasnyalah
kami mengucapkan terima kasih. Dan kalau diperke-
nankan, kami ingin mengajak mu untuk bergabung
dengan kami," ujar Getih Ireng menawarkan balas bu-
di.
"Hm..., apa yang menjadi pekerjaan kalian?"
tanya Dewa Pedang tertarik ingin tahu.
"Nanti kau akan tahu jika bersedia ikut kami,"
jawab Getih Ireng.
"Hm...," Dewa Pedang kembali bergumam tak
jelas. "Baiklah, aku akan ikut kalian."
"Mari, Ki!"
Mereka segera meninggalkan Hutan Sawar.
***
Lembah Cadas Setan nampak membentang
luas di sebelah selatan Desa Kendal. Di lembah itu, te-
patnya di bagian barat terbentang hutan lebat. Hutan
Damar Kanginan yang ditumbuhi pohon damar, meru-
pakan kubu dari Serikat Serigala Merah. Ke hutan itu-
lah Dewa Pedang dibawa oleh Lima Darah Bukit Pera-
wan.
Di tengah Hutan Damar Kanginan, nampak
berdiri sebuah bangunan yang berbilik bambu. Atap-
nya sirap terbuat dari daun bambu.
Di dalam rumah bilik itu, nampak lima lelaki
berusia empat puluhan tengah duduk-duduk sambil
ngobrol. Kelima lelaki berwajah garang itu sama-sama
berambut panjang terurai lepas. Kumis tebal dan me-
lintang menghiasi bibir mereka.
"Kenapa mereka belum juga datang?" tanya le-
laki bermuka bulat yang duduk paling kanan. Dia ber-
nama Kanjani, orang yang memimpin Serikat Serigala
Merah di sebelah timur Kadipaten Sempalan Bumi.
"Mungkinkah mereka mendapat halangan?"
gumam Sembilang.
"Entahlah. Memang tugas mereka kurasa be-
rat," sambut Karadipa.
Kelimanya sesaat terdiam dengan pikiran mas-
ing-masing. Dada mereka yang bidang, kelihatan turun
naik mengatur napas. Saat itu, dari luar terdengar su-
ara isyarat dari para penjaga di luar kalau lima orang
yang mereka tunggu telah datang. Namun suara isya-
rat itu juga memberitahukan, kalau ada orang asing
yang datang bersama Lima Darah Bukit Perawan.
"Kuk, kuk! Pakukuk...!"
Isyarat itu terdengar mirip suara burung yang
ada di dalam hutan. Hal itu dimaksudkan, jika orang
lain yang mendengar, akan mengira kalau itu suara-
suara burung biasa.
"Hm..., mereka telah datang," gumam lelaki
berbaju biru tua yang hidungnya mancung seperti be-
tet. Dia bernama Prabakuta yang menjadi pimpinan
Serikat Serigala Merah di sebelah utara Kadipaten
Sempalan Bumi.
"Ya! Tapi siapa yang bersama mereka?" tanya
lelaki berbaju coklat tua dengan mata lebar dan jeng-
got menghias wajahnya. Dialah Gempal Sudra, Ketua
Serikat Serigala Merah di wilayah barat Kadipaten
Sempalan Bumi.
Belum juga kelima pimpinan Serikat Serigala
Merah tahu siapa orang yang bersama Lima Darah
Bukit Perawan, dari luar masuk anak buahnya.
"Mereka telah datang, Ketua. Mereka bersama
seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Di punggung lelaki tua itu, tersandang sebilah pe-
dang."
"Hm, biarkan mereka masuk!" ujar Gajah Be-
deg, seorang lelaki berbadan gemuk besar. Wajahnya
menunjukkan kekerasan. Matanya tajam, dan ram-
butnya terurai lurus.
"Baik, Ketua," lelaki muda bertubuh tegap den-
gan pakaian rompi merah itu segera melesat keluar,
meninggalkan ruangan itu.
Tidak begitu lama kemudian, terdengar langkah
kaki mendekat ke rumah gubuk itu.
"Masuk!" perintah Gajah Bedeg.
Pintu yang terbuat dari bilik bambu terbuka.
Masuklah Lima Darah Bukit Perawan yang diikuti De-
wa Pedang
"Kami datang, Ketua," ujar Getih Ireng sambil
menjura hormat, diikuti keempat saudaranya. Sedang-
kan Dewa Pedang hanya diam. Matanya yang tajam,
menatap ke wajah lima pimpinan Serikat Serigala Me-
rah. Kening kelima pimpinan itu berkerut menyaksi-
kan sikap lelaki tua berjubah putih di depan mereka.
"Siapa sebenarnya Kisanak ini?" tanya Gajah
Bedeg. Matanya yang tajam membalas tatapan tajam
Dewa Pedang.
"Ampun, Ketua! Dia telah menolong kami dari
penangkapan pihak kadipaten," sahut Getih.
"Hm,..," gumam Gajah Bedeg. "Orang tua, kalau
boleh kami tahu, siapakah sebenarnya dirimu?"
"Aku Dewa Pedang!" sahut Ki Badawi tegas. Su-
aranya menunjukkan keangkuhan.
Kelima pimpinan Serikat Serigala Merah tersen-
tak mendengar julukan lelaki tua di hadapan mereka.
Serentak mereka bangkit dari duduknya, kemudian de-
ngan hormat kelimanya langsung menjura.
Mereka telah tahu dan sering mendengar nama
besar Dewa Pedang. Itu sebabnya, mereka begitu me-
naruh hormat pada orang tua itu. Di samping itu, me-
reka mengharapkan Dewa Pedang sudi menjadi pimpi-
nan dalam Serikat Serigala Merah. Jika orang tua itu
mau, serikat itu merupakan sebuah perkumpulan
yang kuat. Sulit bagi pendekar aliran lurus mengo-
brak-abrik mereka.
"Terimalah hormat kami!" ujar mereka serem-
pak. "Sungguh kami yang buta! Tak tahu sedang ber-
hadapan dengan Dewa Pedang," sambut Gajah Bedeg.
"Sudahlah! Tak usah kalian bersikap begitu!
Aku datang ke tempat kalian, semata-mata atas ajakan
lima anak muda ini," ujar Dewa Pedang, dingin.
"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, kalau
Dewa Pedang yang namanya sangat termasyhur berke-
nan datang ke tempat kami," kata Gajah Bedeg.
"Terima kasih!" sahut Dewa Pedang. "Katakan-
lah, apa yang kalian lakukan?"
Gajah Bedeg dan keempat pimpinan Serikat Se-
rigala Merah saling pandang. Wajah mereka menggam-
barkan kecemasan, takut kalau-kalau Dewa Pedang
yang mereka kenal sebagai penegak kebenaran dan
keadilan akan menghalangi kegiatan mereka.
"Heh, kenapa kalian diam?!" bentak Dewa Pe-
dang tak sabar.
"Oh! Maaf, Dewa Pedang! Mungkin kau telah ta-
hu, apa yang kami lakukan," sahut Gajah Bedeg.
"Hm..., tidak!"
"Apakah Lima Darah Bukit Perawan belum
menceritakannya?"
"Belum!" sahut Dewa Pedang.
Gajah Bedeg kembali menatap wajah empat
orang rekannya. Kemudian setelah mengangguk, Gajah
Bedeg pun menceritakan apa yang dilakukan gerombo-
lannya.
"Kami bergerak di bidang penjualan serbuk
surga, Ki. Kalau memang kau sudi, dengan penuh
hormat dan harap, kami bermaksud mengangkatmu
sebagai pimpinan kami," ungkap Gajah Bedeg.
Dewa Pedang sesaat terdiam. Nampaknya dia
berpikir keras setelah tahu apa yang dikerjakan Seri-
kat Serigala Merah.
"Hm..., kurasa tak ada buruknya kalau aku te-
rima. Dengan begitu, bukankah aku akan semakin
kuat? Aku akan dapat membinasakan Pendekar Gila! "
Pikir Dewa Pedang dalam hati. "Lagi pula, kalau Malai-
kat Tanpa Bayangan mencariku, aku bisa mengandal-
kan Lima Darah Bukit Perawan dan kelima orang ini. "
"Bagaimana, Ki?" tanya Gajah Bedeg.
"Baiklah, aku terima," jawab Dewa Pedang.
"Terima kasih! Semoga dengan pengangkatan
Dewa Pedang menjadi pimpinan Serikat Serigala Me-
rah, gerakan kita akan semakin kuat!" Gajah Bedeg be-
rusaha menyanjung ketuanya yang baru.
"Selama Dewa Pedang masih bersama kalian,
tak akan ada pendekar yang mampu menghadapi ka-
lian! Serikat Serigala Merah, akan menjadi serikat yang
paling besar di tanah Jawa Dwipa ini," ujar Dewa Pe-
dang angkuh.
Semua tertawa senang.
"Untuk memeriahkan pengangkatan ini, bagai-
mana kalau kita rayakan dengan makan dan minum
arak?" usul Gajah Bedeg.
"Bagus! Dan mulai saat ini, tugas yang perlu
kalian utamakan adalah mengundang para tokoh hi-
tam rimba persilatan untuk bergabung. Kemudian, cari
dan bunuh Pendekar Gila...!" seru Dewa Pedang lan-
tang.
Semua mata membelalak mendengar perintah
Dewa Pedang. Suatu perintah yang berat. Membunuh
Pendekar Gila bukanlah hal yang mudah. Namun Pen-
dekar Gila memang tokoh yang harus mereka singkir-
kan. Dialah penghalang utama bagi sepak terjang me-
reka.
Sore itu pula, pesta pengangkatan Dewa Pedang
dilaksanakan. Mereka berpesta-pora, dengan makan
sekenyangnya dan minum tuak sepuasnya.
***
EMPAT
Keterlibatan Dewa Pedang dalam Serikat Seri-
gala Merah memang sangat berarti. Dalam beberapa
hari kemudian, Serikat Serigala Merah semakin kuat.
Kini sepak terjang mereka tidak hanya di lingkungan
Kadipaten Sempalan Bumi. Mereka bergerak lebih le-
luasa dan bertambah maju. Penyusupan mereka telah
mencapai kadipaten-kadipaten yang termasuk dalam
kekuasaan Kerajaan Sunda Layung.
Gerakan Serikat Serigala Merah semakin ber-
tambah berani. Apalagi mereka melibatkan beberapa
tokoh yang dianggap akan banyak berperan. Termasuk
pejabat-pejabat kerajaan dan kadipaten.
Kerajaan Sunda Layung kini bagaikan kerajaan
mati. Banyak kaum mudanya yang kecanduan madat.
Kejahatan-kejahatan pun semakin merajalela. Mereka
melakukan tindakan kejahatan semata-mata untuk
mendapatkan uang guna membeli madat. Penyiksaan,
perampokan, pencurian, dan bentuk kejahatan lain ba-
gaikan cendawan di musim hujan. Tumbuh dan ber-
kembang pesat
Desa Pring Kuning yang masih termasuk wi-
layah Kerajaan Sunda Layung siang itu terasa sangat
panas. Matahari tak segan-segan memancarkan sinar-
nya yang bagaikan hendak memanggang semua yang
ada di bumi. Sepertinya, matahari murka menyaksikan
kejahatan yang berkembang dan semakin merajalela.
Pasar Kliwon yang ada di Desa Pring Kuning
siang itu masih ramai dikunjungi orang, karena pasar
itu merupakan pasar yang cukup ramai. Apalagi ber-
langsung dari pagi sampai malam.
Siang itu, nampak tiga anak muda berambut
gondrong dengan wajah pucat dan mata sayu melang
kah gontai menuju Pasar Kliwon. Pakaian mereka ku-
sut. Ketiga pemuda itu tampaknya bukan pemuda bi-
asa. Ketiganya para pecandu madat yang kuat dan ju-
ga sebagai pemeras di Pasar Kliwon.
Tiga anak muda itu melangkah gontai, masuk
ke lingkungan Pasar Kliwon. Mereka kemudian ber-
pencar di dalam pasar, meminta uang pada para peda-
gang sebagai uang jago.
"Dua hari kau tidak bayar pajak pada kami!"
bentak pemuda berwajah pucat yang berpakaian ungu.
Matanya yang sayu, dipaksakan untuk melotot. "Kini
kuminta kau harus membayar!"
"Ampun, Den Karso! Bagaimana saya harus ba-
yar! Aden tahu sendiri, dagangan saya kecil? Hanya
cukup untuk menutup utang pada Juragan Darma,"
ratap lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun me-
melas. Pedagang sirih itu tampak ketakutan.
"Tak peduli! Sekarang beri aku tiga bendong!"
bentak pemuda yang bernama Karso itu, sambil tan-
gannya menggebrak meja tempat dagangan orang tua
itu.
Brak!
"Ayo! Beri aku tiga bendong! Cepat...!" Semakin
menggigil ketakutan lelaki tua berbadan kurus itu. Tu-
buhnya gemetar dan menggeragap. Tak ada yang bisa
diperbuat kecuali ketakutan yang di rasakannya.
"Ayo! Apakah kau ingin mampus, heh?!" bentak
Karso semakin garang.
Srrt!
Pemuda itu menarik goloknya, yang membuat
lelaki tua penjual sirih kian ketakutan. Tubuhnya se-
makin menggigil dengan mata membelalak tegang.
"Ayo! Berikan uangmu! Atau kau ingin kepala-
mu lepas dari tubuh, heh?!" ancam Karso.
"Jangan, Den! Ampun..., sungguh saya tak
punya uang sebanyak itu!" ratap lelaki tua itu mengi-
ba. Bahkan membungkuk-bungkuk, berusaha memin-
ta betas kasihan.
"Hm, ada berapa uangmu?"
"Ampun, Den! Ba... baru du... dua ketip, Den,"
jawab lelaki tua itu dengan suara menggeragap.
"Serahkan uangmu! Cepaaat..!" sentak Karso
garang.
Srek!
Kembali Karso mempermainkan goloknya,
membuat orang tua itu semakin kebingungan dan ta-
kut. Kalau dia menyerahkan uangnya yang dua ketip,
lalu anak dan istrinya yang menunggu di rumah mau
makan apa? Sedangkan jika tak memberikan uangnya,
dia takut pemuda itu akan membunuhnya.
Dengan tangan gemetaran, lelaki tua itu segera
mengambil uang dari ikat pinggangnya.
"Cepat!" bentak Karso tak sabar.
Lelaki tua yang malang itu semakin menggigil.
Wajahnya bahkan lebih pucat dibandingkan
dengan wajah pemuda yang ada di hadapannya.
"Ini, Den. Tapi Bapak minta dua sen saja, un-
tuk makan anak dan istri Bapak!" harap lelaki tua itu
memohon.
"Apa?! Enak saja kau bicara! Nih untukmu...!"
bentak Karso seraya hendak memukul dada lelaki tua
itu, ketika tiba-tiba....
Trak!
"Aduh!" pekik Karso sambil menarik mundur
tangannya yang terasa sakit. Tulangnya bagaikan re-
tak. "Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar ingin
mampus, Orang Tua Keparat!"
Srrrt!
Karso menarik goloknya, yang membuat lelaki
tua malang itu semakin ketakutan.
"Ampun, Den. Jangan bunuh saya!" pinta lelaki
tua itu meratap.
"Setan! Rupanya kau hendak mempermainkan
ku, heh?! Kubunuh kau, Orang Tua Keparat!"
Pemuda bertampang garang itu seketika mem-
babatkan goloknya ke arah lelaki tua malang yang
membelakkan matanya.
Wuttt..!
Hampir saja leher lelaki tua itu menjadi santa-
pan golok di tangan pemuda berandalan itu. Namun,
belum sempat golok itu sampai ke leher, sebuah batu
kecil melesat ke arah tangan Karso.
Tuk!
"Aduh!" Karso kembali memekik keras, golok-
nya kini terjatuh karena tangannya sangat sakit. Mata
pemuda itu liar, memandang garang ke arah sekeli-
lingnya dengan tangan kiri memegangi tangan kanan
yang terasa sakit. "Kurang ajar! Siapa yang berani jual
lagak di depan Karso?! Ayo, keluarlah!"
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggema
di penjuru pasar. Sepertinya orang yang tertawa itu
ada di mana-mana. Hal itu menjadikan Karso dan ke
dua orang temannya tersentak. Mereka yang sedang
memeras, seketika menghentikan kegiatannya. Mereka
langsung mengedarkan pandangan, mencari-cari asal
suara itu.
"Setan! Keluarlah! Hadapi kami...!" seru Karso
semakin marah, karena merasa dipermainkan orang
yang kini masih tertawa tergelak-gelak.
"Aha, aku di sini, Sobat!"
Karso tersentak bagaikan disengat kala ketika
tiba-tiba di belakang lelaki tua penjual sirih telah ber-
diri seorang pemuda seusianya dengan tingkah laku
seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dan tangan
nya menggaruk-garuk kepala.
"Setan belang! Rupanya orang gila yang main-
main denganku! Minggir kau dari sini, atau terpaksa
golokku akan memenggal lehermu?!" bentak Karso ga-
rang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Cecurut! Mukamu
persis tikus kebakaran kumis," ejek pemuda berambut
gondrong dengan ikat kepala dari kulit ular. Tubuhnya
dibalikkan, kemudian sambil tertawa-tawa pantatnya
ditunggingkan ke arah Karso.
Brut..!
"Hua ha ha...! Bagaimana, Cecurut! Enak ken-
tut-ku?" tanya pemuda berambut gondong yang tak
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
"Bedebah! Rupanya kau pun minta mampus,
Bocah Gendeng!" dengus Karso semakin bertambah
marah. Dipungutnya kembali golok yang tadi jatuh, ke-
mudian dengan geram dia menyerang. "Pecah kepala-
mu, Setan! Heaaa...!"
Wuttt!
"Aduh!" pekik Sena mengejek lawan.
Sambil berkata begitu didorongnya tubuh orang
tua penjual sirih ke samping. Sedangkan dia dengan
cepat merundukkan tubuh mengelakkan serangan go-
lok lawan.
"Ampun, Den. Jangan bunuh saya...!" ratap Se-
na, menirukan orang tua penjual sirih itu.
"Kurang ajar! Kau benar-benar minta mampus,
Bocah Edan!" maid Karso semakin beringas, ketika se-
rangan pertamanya gagal. Kembali goloknya diba-
batkan ke arah Pendekar Gila.
Wuttt!
"Aduh, Mak! Galak sekali kau, Den! Jangan bu-
nuh saya...!"
Sambil meratap seperti itu, Pendekar Gila sege
ra menyusup masuk ke kolong meja tempat dagangan
sirih. Kemudian dari kolong meja, kaki kanannya me-
nendang ke arah perut lawan.
Dug!
"Ukh!"
Karso mengeluh, ketika tendangan Pendekar
Gila mendarat telak di perutnya. Seketika tubuhnya
terhuyung ke belakang. Perutnya terasa sangat mual.
"Hi hi hi...! Enak kue apemku, Sobat...?" tanya
Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala.
Melihat tindakan itu, Karso dan kedua teman-
nya yang telah berada di tempat itu semakin bertam-
bah marah.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!
Heaaa...!"
Karso dan kedua temannya langsung mengge-
brak Pendekar Gila.
Wut! Wut..!
"Tolong! Aduh, galak sekali kalian...!" jerit Sena
sambil berjumpalitan dan bergerak meliuk-liukkan tu-
buh, mengelakkan babatan golok ketiga lawannya.
Semua mata yang ada di Pasar Kliwon seketika
tertuju pada pertarungan itu. Dari mulut para penjual
dan pembeli yang ada di pasar itu keluar decak kagum,
menyaksikan bagaimana Pendekar Gila mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan ketiga pemuda
berandalan yang selalu memeras mereka.
"Tahu rasa! Kalian kena batunya!" kata penjual
pisang, bersungut-sungut
"Moga-moga pemuda gila itu bisa menghajar
mereka!" sambung penjual daging.
"Ya! Biar mereka kapok!" timpal penjual ikan.
"Ck ck ck...! Tak kusangka, pemuda gila itu
ternyata memiliki kepandaian yang hebat," decak pen..
jual tempe dengan mata bergerak-gerak ke sana kema-
ri mengikuti pertarungan itu.
Pasar yang semula tenang, seketika berubah
riuh. Orang-orang yang semula berada di tempatnya
masing-masing kini berkerumun menyaksikan perta-
rungan.
"Aku bertaruh pemuda gila itu. Ayo, siapa yang
mau taruhan denganku?" seorang penjual tahu meng-
gunakan pertarungan itu untuk berjudi.
"Wah, sama juga bohong! Aku pegang dia tiga
banding satu! Kalau pemuda gila itu kalah, aku bayar
tiga bendong buatmu!" penjual daging tak mau kalah.
***
Pertarungan antara tiga pemuda berandal yang
mengeroyok Pendekar Gila masih berlangsung sengit.
Ketiga berandal itu semakin bernafsu ingin segera
membunuh pemuda gila. Mereka begitu jengkel meli-
hat Pendekar Gila.
"Pecah kepalamu, Bocah Gila?!"
Wuttt!
"Wadau! Jangan, Kang! Kepalaku mahal...!" se-
ru Sena sambil meliukkan tubuh agak ke bawah, se-
hingga serangan golok lawan melesat beberapa jari di
atas kepalanya. Kemudian dengan jurus 'Si Gila Mena-
ri Menepuk Lalat' Sena balas menyerang.
"Heits! Setan! Rupanya kau bisa silat juga, Bo-
cah Gila?!" maki Tarmin yang tersentak kaget. Tak dis-
angka kalau pemuda bertingkah laku seperti orang gila
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Hal itu dapat dirasakan, ketika tangan Pendekar Gila
menepuknya. Tepukannya kelihatan sangat pelan dan
lambat, namun tahu-tahu telah berkelebat begitu de-
kat. Bahkan angin tepukannya terasa menderu ken
cang.
Tarmin melompat mundur dengan mata terbe-
lalak. Wajahnya semakin merah karena marah.
Melihat Tarmin mundur, kedua temannya kini
bergerak maju menyerang. Keduanya langsung menu-
suk dan membabatkan golok ke bagian tubuh Pende-
kar Gila.
"Hancur perutmu!" dengus Karso sambil me-
nyodokkan goloknya ke perut Pendekar Gila.
Wuttt!
"Aduh, Kang! Jangan galak-galak!" seru Sena
sambil melangkah mundur mengelak. Kemudian de-
ngan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' tu-
buhnya bergerak mengelak menyerang lawan-lawan-
nya. Tubuhnya berputar cepat laksana gasing ke arah
kiri. Tangannya tak diam begitu saja, terus menyerang
dengan tamparan dan cengengesan ke arah lawan
Plak!...
"Aduh...!"
Karso terpekik, ketika wajahnya kena tampar
tangan Pendekar Gila. Tubuhnya memutar ke arah ka-
nan dengan kencang laksana gasing. Hal itu menun-
jukkan betapa kuat tamparan Pendekar Gila.
Tubuh Karso masih terhuyung-huyung, lalu
bagaikan orang mabuk dengan mata kosong ambruk
ke tanah. Dan pingsan.
Orang-orang di pasar seketika bersorak girang
melihat salah seorang dari tiga pemuda berandalan itu
terkapar pingsan kena tamparan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lihat, lucu sekali dia! Seperti
ayam kena pukul!" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Pemuda gila! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Menyaksikan Karso pingsan terkena tamparan
Pendekar Gila, kedua temannya semakin beringas me
nyerang. Golok di tangan mereka serentak bergerak
maju melakukan serangan dengan tebasan dan sodo-
kan.
Wut! Wut..!
"Wah! Kenapa kalian main keroyok! Aduh...!"
Dengan masih bertingkah laku seperti orang gi-
la, Sena kembali mengelak seraya mengejek kedua la-
wannya. Tubuhnya bergerak meliuk-liuk, kemudian
berputar dengan cepat laksana gasing.
Wusss!
Dengan memadukan jurus 'Si Gila Menari Me-
nepuk Lalat' dan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pende-
kar Gila mengelakkan serangan-serangan kedua ka-
wannya. Kemudian dengan cepat pula tangannya ber-
gerak menyodok dan mencakar.
Breeet!
"Wuaaa...!"
Tarmin menjerit ketika tahu-tahu bajunya telah
tercengkeram. Belum sempat Tarmin melepaskan
cengkeraman itu, tahu-tahu Sena telah menyentakkan
tangan dan melemparkan tubuhnya.
"Kau belum pernah terbang, kan? Hi hi hi...! Ku
ajari kau bagaimana caranya terbang! Hih...!"
Tubuh Tarmin terlempar deras ke atas dan me-
lesat laksana terbang masuk ke pasar.
Wusss!
"Aaa.... Tolooong...!"
Tarmin menjerit, tubuhnya melayang laksana
terbang. Semua orang di pasar melongo dengan mata
membelalak, menyaksikan kejadian yang lucu dan
menegangkan itu.
Brukkk!
Tubuh Tarmin mendarat di tumpukan sampah
yang ada di samping pasar. Tubuhnya berkelojotan se-
bentar, lalu terkulai pingsan setelah berusaha bangun
tapi tak mampu.
Menyaksikan kedua temannya dalam keadaan
pingsan, Tarban menggigil ketakutan. Nyalinya men-
ciut. Tanpa diperintah, dia langsung berlutut di depan
Pendekar Gila.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh saya! Ampunilah
selembar nyawa saya!" ratapnya mengiba.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Aneh..., kenapa
kau berubah seperti cecurut kecebur got?" ejek Sena
sambil tertawa bergelak-gelak dengan tangan kanan
menggaruk-garuk kepala.
Tubuh Tarban menggigil ketakutan. Tangannya
disatukan di depan dada. Matanya menatap penuh ha-
rap pada pemuda gila di hadapannya.
"Bantai saja dia!" seru para pedagang.
"Ya! Mereka tak mungkin kapok!" sambut yang
lainnya.
"Kuliti saja!"
"Cincang! Biar dagingnya kujual!" seru penjual
daging dengan nada gemas dan jengkel.
"Beraninya sama pedagang saja! Huh!"
Pekikan-pekikan kemarahan terdengar bersa-
hutan. Sepertinya para pedagang tak puas kalau ketiga
pemuda berandalan itu dibiarkan hidup.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tingkah
lakunya kini seperti kera, melompat-lompat sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, aku tak berhak menghukum mu, Kisa-
nak. Biarlah nanti para pedagang yang menentukan
hukuman untukmu," ujar Sena.
Mendengar ucapan itu Tarban semakin ketaku-
tan. Tapi begitu hendak meminta pertolongan pada
Pendekar Gila, pemuda berbaju rompi kulit ular itu te-
lah pergi meninggalkan Pasar Kliwon.
"Tangkap dia!" seru para pedagang.
"Habisi saja!" teriak yang lain.
"Bagaikan diperintah, seketika para pedagang
yang sudah dilanda amarah menyerbu Tarban dan ke-
dua temannya yang masih pingsan.
"Ampun! Jangan...!"
Tarban berusaha meminta ampun, tapi para
pedagang yang sudah marah tak peduli dengan rata-
pan pemuda itu. Dengan pisau-pisau yang biasa digu-
nakan untuk berdagang, mereka melampiaskan kema-
rahan.
"Mampus kau, Bajingan!"
Crab!
Bret!
"Wuaaa...!"
Tarban melolong kesakitan ketika pisau-pisau
para pedagang menghujani tubuhnya. Tak lama kemu-
dian, tubuhnya berantakan terbeset-beset bagaikan di-
cincang. Begitu juga dengan keadaan kedua orang te-
mannya.
***
LIMA
Malam telah larut. Gelap menyelimuti bumi.
Angin menghembuskan hawa dingin dan basah. Se-
mentara itu halimun yang tebal pun merayap, bagai
menyimpan sejuta misteri.
Desa Piring Ceper yang terletak di kaki Gunung
Dandaka nampak sepi. Sebuah kedai besar di sebelah
timur Desa Piring Ceper, malam itu nampak masih ra-
mai dikunjungi orang. Kebanyakan dari mereka anak-
anak muda. Suasana di kedai itu masih terang bende-
rang, tak ubahnya seperti sebuah kendurian besar
tengah berlangsung.
Tiga lelaki muda berambut gondrong dengan
tubuh tegap dan bermata tajam melangkah masuk ke
kedai itu. Mata mereka yang tajam menatap ke sekeli-
lingnya, di mana para pengunjung kedai tengah me-
nikmati santapan.
Salah seorang dari ketiga lelaki muda yang
mengenakan rompi warna merah menggerakkan tan-
gan kanannya. Kemudian ketiganya melangkah menu-
ju ke pemilik kedai yang segera menyambut kedatan-
gan mereka dengan senyum.
"Apakah pemuda gila itu datang lagi ke sini, Ki
Jamhari?" tanya Suroso, lelaki yang berjalan di tengah.
Pemuda itu berbadan tinggi dan tegap serta berwajah
garang. Rambutnya yang gondrong, ditutup dengan
kain ikat batik membentuk blangkon. Hal serupa juga
ada pada kedua pemuda lainnya.
"Sampai sekarang tidak," jawab pemilik kedai
yang ternyata bernama Ki Jamhari.
"Hm..., syukurlah! Bisa aku menemui mereka?"
tanya Suroso.
"Silakan," jawab Ki Jamhari sambil merentang-
kan tangan, kemudian dia pun mengajak ketiga orang
dari Serikat Serigala Merah itu mengikutinya.
Ki Jamhari membawa Suroso dan kedua te-
mannya ke belakang. Di sana terdapat sebuah ruan-
gan yang sempit dan hanya bisa dimasuki orang satu
persatu. Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah pintu
bawah tanah.
Ki Jamhari segera membuka pintu bawah ta-
nah, kemudian mempersilakan ketiga anggota Serikat
Serigala Merah itu masuk ke ruangan bawah tanah.
Satu per satu dari mereka menuruni tangga
yang menghubungkan dengan ruang bawah. Kemudian
setelah semuanya masuk, Ki Jamhari kembali menu
tup pintu penghubung bawah tanah dan kembali ke
ke-dainya.
Rupanya di bawah tanah, terdapat sebuah
ruangan yang sangat luas. Menuju ke tempat itulah
ketiga pemuda berbadan tegap yang tergolong anggota
Serikat Serigala Merah. Kedatangan mereka seketika
disambut muda-mudi yang berwajah sayu. Mereka me-
rengek, meratap, meminta sesuatu kepada ketiga lelaki
muda itu.
"Cepat! Berikan aku surga itu!" seorang gadis
cantik yang keadaannya nampak memprihatinkan
"Mana uangmu?" tanya Suroso.
"Tak ada! Habis...," jawab gadis itu.
"Huh! Kalau tak punya uang, mengapa kau da-
tang ke tempat ini, Bodoh?!"
Sambil berkata begitu Suroso menyentakkan
tubuh gadis itu sampai terjengkang ke belakang. Na-
mun gadis cantik berwajah pucat dan kusut itu seperti
tak peduli. Dia kembali merangkak mendekati Suroso,
lalu menjilati kaki lelaki muda itu.
"Berilah aku surga itu!" ratapnya penuh harap.
"Minggir! Hih!"
Suroso kembali menyentakkan tubuh gadis itu
hingga terjengkang. Namun, gadis cantik yang sudah
kecanduan madat itu tak menghiraukan. Dia kini
membuka pakaiannya, lalu dengan tubuh bugil me-
liuk-liuk menari di depan Suroso. Tindakan itu mem-
buat Suroso membelalakkan mata. Jakunnya turun
naik, menyaksikan tubuh gadis yang gemulai menggi-
urkan.
"Oh, berilah aku surga itu, Tuan! Kau boleh
memperlakukan tubuhku ini sesukamu, asal kau mau
memberi aku surga itu," pinta gadis itu sambil me-
nempelkan tubuh bugilnya ke tubuh Suroso yang se-
makin bergetar.
Mata Suroso tak berkedip, menyaksikan kea-
daan tubuh gadis yang menggiurkan itu. Pikirannya
benar-benar kacau. Kelelakiannya seketika terbakar.
Beberapa kali dia harus menelan ludah, tak tahan me-
nyaksikan keadaan tubuh gadis yang bahenol dan
sangat mulus itu.
Gadis cantik itu terus meliuk-liukkan tubuhnya
di depan Suroso. Dari mulutnya keluar desisan-
desisan yang membuat kelelakian Suroso semakin ber-
tambah menggelegak.
"Oh, berilah aku surga, Tuan! Lakukanlah apa
yang kau ingin lakukan atas tubuhku, asalkan kau
memberi ku surga itu," pinta gadis cantik itu sambil
meliuk-liukkan tubuhnya di depan mata Suroso dan
kedua temannya yang kini terpaku seperti patung den-
gan jantung berdebar.
"Bagaimana, apakah akan kita beri dia?" tanya
Sugonggo.
"Hm...," Suroso bergumam tak jelas. Jakunnya
masih turun naik menyaksikan lekuk tubuh gadis can-
tik di depannya yang masih meliuk dan menari-nari.
"Kurasa kalau sedikit tak akan kentara oleh ke-
tua," sambung Sugama.
"Ya! Bukankah dengan begitu kita bisa terlepas
dari marah? Sudah begitu, kita bisa menikmati tubuh
gadis ini," sambut Sugonggo.
Suroso masih terdiam. Nampaknya dia masih
berpikir dengan apa yang akan diperbuatnya. Dia tak
ingin pimpinan mereka marah. Dia sudah tahu, apa
hukumannya jika Dewa Pedang marah. Pedang Darah
yang sangat sakti, tak memberi ampun lagi pada
orang-orang yang berani menentang dan berbuat sa-
lah.
"Baiklah, beri dia sedikit!" ujar Suroso pada ke-
dua temannya.
"Kemarilah!" perintah Sugonggo sambil melam-
baikan tangannya pada gadis itu. "Kau akan kami beri
surga itu. Tapi, kau harus melayani kami!"
"Berilah aku surga itu, aku akan segera me-
layani kalian!" jawab gadis itu setengah meratap.
Sugonggo menoleh pada Suroso. Kemudian, se-
telah melihat Suroso mengangguk, Sugonggo pun sege-
ra memberikan serbuk putih. Wanita cantik itu lang-
sung menjilatinya dengan mata mengerjap-ngerjap ke-
nikmatan.
"Ayo!" Sugonggo segera menyeret gadis cantik
itu ke ruangan lainnya.
Gadis itu tak mengelak, dia segera mengikuti ke
mana ketiga lelaki itu mengajaknya.
Di ruangan itu, nampak muda-mudi tengah
menggelosor dengan mulut tiada henti mengoceh. Mata
mereka antara melek dan terpejam. Mereka bagaikan
tiada gairah untuk hidup. Tubuh mereka kurus kering
tak menentu. Wajah kusut masai dan pucat bagaikan
tak berdarah. Mereka inilah korban-korban bubuk
maut yang dijual Serikat Serigala Merah.
Di sisi ruangan lain, nampak tiga lelaki anggota
Serikat Serigala Merah tengah asyik bergantian me-
lampiaskan nafsu birahinya pada gadis cantik yang ju-
ga salah satu korban serbuk maut. Mereka dengan pe-
nuh nafsu menggagahi gadis itu.
Tengah ketiganya melampiaskan nafsu iblisnya,
tiba-tiba terdengar suara bentakan yang mengejutkan
mereka.
"Bedebah! Rupanya begini kerja kalian?!"
Ketiga pemuda itu tersentak kaget. Kemudian
setelah tahu orang yang membentak, ketiganya lang-
sung menunduk di hadapan lelaki tua berjubah putih
yang di punggungnya bertengger sebilah pedang.
"Ampun, Ketua! Semua telah kami jalankan de
ngan sebaik mungkin," ujar Suroso sambil menyem-
bah.
"Hm..... Bagus! Kalian memang anak buahku
yang patut diberi penghargaan atas perbuatan dan
kerja kalian. Nah, kini kalian bersiaplah untuk mam-
pus!" dengus Dewa Pedang, yang seketika menyen-
takkan ketiganya.
"Ketua, apa salah kami?" tanya Sugonggo se-
perti belum menyadari kesalahannya.
Dewa Pedang tersenyum sinis, mendengar per-
tanyaan yang dilontarkan Sugonggo.
"Kau belum tahu kesalahanmu, Sugonggo?!"
"Benar, Ketua. Kalau memang kami salah, kami
mengharap sudilah Ketua memberitahukan kesalahan
kami!" jawab Sugonggo dengan wajah ketakutan.
"Baiklah! Dengar...! Aku sangat tak suka den-
gan cara kerja kalian! Sudah kukatakan, yang lebih
utama bukan bersenang-senang dengan perempuan!
Kalian harus bisa membunuh Pendekar Gila!"
"Tapi, kami tak menemukannya, Ketua."
"Apa pun alasannya, kalian telah membuatku
marah! Nah, bersiaplah kukirim ke akherat!"
Cring!
Dewa Pedang menghunus Pedang Darahnya
yang memancarkan sinar merah membara. Hal itu
membuat mata ketiga anak buahnya semakin membe-
lalak tegang.
"Ampuni kami, Ketua! Jangan bunuh kami!" ra-
tap ketiganya hampir bersamaan. Mereka segera men-
cium kaki Dewa Pedang yang masih berdiri mematung
dengan tubuh gemetar, menahan gelora kekuatan yang
keluar dari Pedang Darahnya.
"Ketua, janganlah bunuh kami! Biarlah kami ti-
dak dibayar selama dua purnama, asalkan Ketua sudi
mengampuni kami," ratap Sugonggo memelas.
"Benar, Ketua. Kami berjanji akan mencari Pen-
dekar Gila untuk membunuhnya," sambut Suroso.
"Dapatkah kupegang janji kalian?!" bentak De-
wa Pedang.
"Kami bersumpah, akan membunuh Pendekar
Gila dalam waktu kurang satu purnama ini!" sahut ke-
tiganya bersamaan
"Baiklah! Kuampuni nyawa kalian. Tapi jika da-
lam satu purnama ini kalian tak sanggup membunuh-
nya, kalianlah yang akan kubunuh!" ancam Dewa Pe-
dang.
"Kami berjanji!"
"Minggirlah!" bentak Dewa Pedang dengan tu-
buh masih bergetar hebat, terbawa oleh kekuatan gaib
Pedang Darah yang haus akan darah jika telah telanjur
keluar dari warangkanya.
Ketiga anak buahnya langsung berguling me-
nyingkir. Mereka tahu persis kalau pedang di tangan
ketua mereka tak akan diam jika belum menyentuh
darah dan merenggut nyawa.
"Heaaa...!"
Dengan pedang terayun tinggi ke atas kepala,
Dewa Pedang melangkah dua tindak ke depan. Ma-
tanya yang tajam menatap dingin gadis yang berada di
tempat tidur.
"Tidaaak..!"
Wuttt!"
Pedang bersinar merah itu berkelebat begitu
cepat memangsa nyawa. Dan....
Crab!
"Aaakh...!"
Pekikan melengking memecah suasana di ruan-
gan bawah tanah itu. Tubuh gadis yang masih bugil itu
terkapar berlumur darah di tempat tidur. Dadanya
yang hancur menyemburkan darah. Seketika nya
wanya melayang.
Dewa Pedang menarik napas panjang, kemu-
dian pedangnya dimasukkan ke dalam warangka yang
tersampir di punggung. Lalu dengan tenang lelaki tua
berjubah putih itu meninggalkan tempat itu.
***
Pendekar Gila baru saja hendak merebahkan
tubuhnya untuk tidur, ketika tiba-tiba telinganya men-
dengar suara jeritan-jeritan dari desa sebelah barat
Hutan Gareng tempat Pendekar Gila malam itu berada.
"Ah! Kejahatan lagi!" gumam Pendekar Gila.
"Aneh, akhir-akhir ini kejahatan semakin merajalela!"
Pendekar Gila mengurungkan niatnya tidur.
Dia bangun dan duduk di cabang pohon besar itu. Ma-
tanya memandang ke asal suara jeritan itu.
"Tolong! Perampok...!"
"Diam!"
Cras!
"Aaakh...!"
Pekikan kematian pun terdengar, disusul suara
bentakan dan babatan senjata. Tentunya babatan sen-
jata para perampok yang menjarah Desa Kadipan di
sebelah utara Hutan Gareng.
"Wah, pertanda kejahatan masih merajalela?"
gumam Sena.
Secepat kilat, Pendekar Gila melompat dari atas
pohon. Bagaikan terbang tubuhnya melayang ke utara.
Dalam sekejap tubuhnya hilang di tengah kegelapan
malam.
Sementara itu, di Desa Kadipan suasana malam
yang seharusnya tenang berubah hiruk-pikuk oleh jeri-
tan ketakutan bercampur dengan kematian.
Penduduk Desa Kadipan semakin bertambah
ketakutan, setelah dikejutkan oleh suara jeritan-jeritan
kaum wanita yang dipaksa para perampok untuk men-
gikuti mereka.
"Tolong! Tolooong...!"
Crab!
"Aaa...!"
Pekikan kematian kembali terdengar, memecah
keheningan suasana malam. Seorang lelaki bertubuh
besar dan berkepala botak tampak menyeret seorang
gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membe-
baskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa ber-
gelak-gelak dan sesekali menjilati dan menciumi wajah
gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan keta-
kutan.
"Lepaskan! Tolooong...!"
"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang
dari warga. Seorang lelaki tua berusia sekitar enam
puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan
berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu. "Le-
paskan anakku!"
"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?"
tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyum-
nya menampakkan kesinisan. Kemudian dengan buas,
diciuminya wajah gadis itu.
"Lepaskan, Bajingan!"
"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus
menurut padaku!"
"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki
tua bertubuh kurus tampak berang. Dia segera berge-
rak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, le-
laki tinggi besar berkepala botak itu telah menghan-
tamkan pukulan dengan tangan kirinya.
"Pergilah ke akherat sana! Hih!"
Wusss!
Dugk!
"Akh!"
Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari
mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk
dengan nyawa melayang.
"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki
berkepala botak. Gadis bertubuh langsing dan semam-
pai itu terus meronta. "Lepaskan, Bajingan!"
"He he he...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin
bertambah buas menciumi wajah gadis cantik anak
orang tua yang telah tewas di tangannya.
Gadis berpakaian hijau tua itu terus meronta-
ronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam,
berusaha mengundang amarah lelaki berbadan tinggi
besar yang terus mendekapnya.
"Iblis! Setan laknat, lepaskan!"
"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia me-
mang setan...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda tu-
rut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan
pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini meman-
dang ke sekeliling tempat itu.
"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berke-
pala botak itu gusar.
"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu per-
sis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!"
seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat cepat, dan....
Pletak!
"Aduh!"
Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepa-
lanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepa
lanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis
itu terlepas.
"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu,
Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti
orang gila itu tahu-tahu telah berdiri tiga tombak di
hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
tertawa cengengesan dengan tangan kanan mengga-
ruk-garuk kepala.
"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pen-
dekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus!
Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak
buahnya. Seketika berdatangan beberapa orang yang
langsung menyerang.
"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue
apem. Baik, majulah! Hua ha ha...!"
Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si
Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang
menyerangnya. Tubuhnya bergerak laksana baling-
baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Sul-
ing Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala
orang-orang yang menyerangnya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wusss!
Pletak!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susul-
menyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang
Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil merin-
gis-ringis memegangi kepala yang benjol dan ber-
denyut-denyut
"Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar
Gila sambil berjingkrak-jingkrakkan seperti seekor ke-
ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala botak
yang menjadi pimpinan para perampok bertambah ma-
rah.
"Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan
suara keras menggelegar.
"Heaaa...!"
Serempak anak buahnya kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut den-
gan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Heaaa...!"
Wusss!
"Wuaaa...!"
Kesepuluh perampok itu seketika lintang-
pukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pen-
dekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian ja-
tuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, tubuh mereka
akan hancur berantakan.
Pendekar Gila segera menghampiri salah seo-
rang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar
berkepala botak pimpinan para perampok yang dideka-
tinya.
"Katakan, siapa yang membuat rencana semua
kejahatan ini?" bentak Sena garang.
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi
besar itu.
"Cepat katakan, siapa dalang semua ini?!" ben-
tak Sena.
"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!"
Belum usai lelaki berkepala botak itu menun-
taskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah me-
nancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu se-
gera berlari ke arah sembilan anak buah lelaki berke-
pala botak itu.
Tapi mereka pun telah tewas.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar sebuah bayangan merah yang berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu.
***
ENAM
Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok
bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang
telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tu-
buh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala
itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila
yang tak ingin kehilangan buruannya, segera menge-
rahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat lak-
sana terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di
depan lelaki berpakaian rompi merah itu.
"Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa
Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia seki-
tar tiga puluh tahun itu.
"Kau...?!" mata lelaki itu membelalak dengan
wajah tegang.
"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa
yang menyuruhmu melakukan semua ini? Dan kuden-
gar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!"
bentak Sena dengan mata melotot.
Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki
muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan
Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya
menganga bengong.
"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus ku-
tangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," an-
cam Sena.
"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku
ke penjara, Pendekar Gila?!" dengus lelaki berambut
gondrong dengan ikat kepala merah.
"Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa? Baik,
aku akan menangkapmu!"
Pendekar Gila baru saja hendak melangkah
maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah,
tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap.
"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak.
Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika ma-
tanya membelalak kaget, menyaksikan Senapati Kera-
jaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini mem-
buru dirinya.
"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya
Sena kaget. Dia benar-benar tak menyangka, kalau dia
yang hendak menangkap penjahat justru akan ditang-
kap.
"Tangkap dia...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget me-
nyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena
benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang di-
jadikan sasaran? Padahal dia bermaksud membantu
pihak kerajaan.
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam
Sena lirih.
Sena hendak menghindari bentrokan dengan
pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dike-
pung puluhan, bahkan ratusan prajurit yang siap me-
nyerangnya.
Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu
Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang te-
lah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun ter-
libat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam
hati
"Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lambayu memerintah pada para prajuritnya agar menye-
rang.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan
Sunda Layung meramaikan tempat itu.
"Cincang dia...!"
"Tangkap hidup atau mati!"
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali
menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang ber-
maksud menangkap dan membunuhnya.
"Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat’
Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang
menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari,
dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah
dada lawan
Bugk!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari seorang praju-
rit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketi-
ka tubuh prajurit itu terpental deras ke belakang,
menghantam prajurit-prajurit lainnya.
Wuttt! Wuttt!
Dari arah belakang dan samping, para prajurit
menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata
mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliuk-
kan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan be-
runtun menendang lawan-lawannya yang telah men-
dekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan
yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para
prajurit yang mengeroyoknya.
Plak! Bugk!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para pra-
jurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar
Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak
menghiraukan kematian teman-temannya, terus me-
rangsek menyerang.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah
Senapati Lembu Lambayu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa!"
Kembali para prajurit kerajaan bergerak menye-
rang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka
berkelebat cepat, menusuk, membabat dan membelah
ke arah tubuh Pendekar Gila.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pen-
dekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkan-
nya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak
laksana baling-baling. Tangannya terus bergerak
menghantam dan memapas setiap serangan yang da-
tang.
"Heaaa...!"
Wusss!
Plak! Plak!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan,
disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang
tadi menyerangnya. Kenyataan itu membuat marah
dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit
yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu
menangkap Pendekar Gila.
"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja
tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah.
Gelombang penyerangan kembali terjadi. Pulu-
han prajurit serentak merangsek dengan serangan serangan mematikan ke arah Pendekar Gila.
Pertempuran semakin bertambah seru. Pende-
kar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk
dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian
beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menye-
rang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat
dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan
dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjata-
senjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok
bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang
ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu berge-
rak cepat dan langsung masuk ke arena pertempuran
dengan pedang di tangan.
"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping
itu sambil bergerak cepat memapas dan menyerang pa-
ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pen-
cabut nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan
jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan
dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan
sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu
tak nampak bentuknya. Itu sebabnya dia mendapat ju-
lukan Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena.
Kini keduanya bergerak saling berlawanan
arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Ma-
laikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila memben-
dung serangan membabi buta para prajurit kerajaan.
"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin
mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati
Lembu Lambayu bertambah gusar melihat kedatangan
Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar
Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita ha-
rus segera keluar dari kepungan ini," ujar Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Tampaknya kau punya kepentingan denganku,
Kisanak? Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagai-
mana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan me-
ninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayang-
an.
"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki."
"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, kelua-
rkan Suling Naga Saktimu, Kisanak," perintah Malai-
kat Tanpa Bayangan. "Hanya dengan suling itulah kita
dapat mendobrak mereka."
"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapa-
kah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus beru-
saha mengelak dan membalas serangan para prajurit
dengan pukulan dan tendangan.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus sece-
patnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tan-
pa Bayangan.
Srt!
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila
berusaha menggempur kepungan para prajurit Suling
Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup.
Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut,
mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana.
Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin
mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit
Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa seng-
saranya manusia-manusia yang buta hatinya karena
nafsu iblis.
Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu.
Mereka menangis!
"Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa
Bayangan.
"Aha! Benar! Hi hi hi...!"
Keduanya pun segera melesat meninggalkan
kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Da-
lam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari
tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua
merasa bagaikan baru saja terbangun dari mimpi yang
menyedihkan.
"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati
Lembu Lambayu, menyaksikan kedua orang yang tadi
dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan
mereka.
***
Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda
Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa
Bayangan melangkah beriringan.
"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku
belum tahu siapa kau sebenarnya," ujar Sena.
Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya.
Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus
melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi
dan nampak masih perawan.
"Namaku Asem Gede, namun orang menye-
butku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede
memperkenalkan diri.
"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang
tua yang namanya cukup disegani dan ditakuti...," gu-
mam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan
kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan
dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan
nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang
pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk ke-
benaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini,
merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah
"Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku
heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hen-
dak menangkapku?" gumam Sena.
"Mudah sekali, Anak Muda."
"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena
penasaran.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Semen-
tara malam terus merayap menyelimuti bumi. Kedua-
nya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi
dan gelap.
"Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Mu-
da, ujar Ki Asem Gede.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon
yang paling besar?" saran Sena,
"Itu lebih baik."
"Itu pohon besar. Hop!"
"Hops!"
Keduanya melesat begitu cepat, naik ke seba-
tang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka
hinggap pada sebuah cabang pohon.
"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Ba-
ru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan,"
desah Ki Asem Gede.
"Meski kedamaian dan keindahan itu harus ki-
ta cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil
tertawa.
"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah
aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus
keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem
Gede.
"Aha, dengan senang hati aku akan menden-
garkannya."
"Baiklah...."
Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal
mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua
purnama yang lalu perguruannya didatangi teman la-
manya. Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud
mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila.
Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Ba-
yangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa
murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu
meninggalkan surat tantangan.
"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku
yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun men-
carimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai
dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku
yakin kaulah orangnya. Maka aku tadi ikut mencam-
puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceri-
tanya.
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malai-
kat Tanpa Bayangan. Tentunya semua itu ada sangkut
pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk
lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Perjalanan ke Akhirat").
"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu sia-
pa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya.
Aku akan menceritakan semua kejadian yang terja-
di...."
Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-
tan para pendekar. Tersiar kabar kalau di lembah itu
ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang menda-
patkan bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-
tu di rimba persilatan. Sumantri pun mengerahkan
orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong
yang sebenarnya kemenakannya sendiri.
"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki
Asem Gede terkekeh.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Me-
mang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah
terjadi kemelut cinta."
"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi
merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede
yang tahu karena Ki Badawi alias Dewa Pedang.
"Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak
angkatnya," sahut Sena.
Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai
memahami apa yang telah terjadi.
"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?"
"Begitulah...," sahut Sena.
"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua na-
ga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede.
"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," ja-
wab Sena.
"Orang tua itu memang dari dulu keras kepa-
la...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya me-
mandang lepas ke kegelapan malam yang menyelimuti
sekelilingnya. "Sudah kuduga ketika dia menceritakan
padaku tentang dirimu."
Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan pera-
saan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pende-
kar muda di sampingnya.
"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kera-
jaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpu-
lan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan
generasi muda?" tanya Sena ingin tahu.
"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku
tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi
mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan.
Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Seri-
gala Merah. Mereka bertujuan mencari dan membu-
nuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring
Ceper," kata Ki Asem Gede.
"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku
pun menaruh curiga kalau kedai itu merupakan tem-
pat jual beli mereka," sahut Sena.
"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?"
tanya Ki Asem Gede.
Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tan-
gan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mu-
lutnya nyengir tersenyum-senyum.
"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi
prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian.
"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede. "Satu purna-
ma lagi, aku harus pergi ke Bukit Siluman," gumam Ki
Asem Gede.
"Untuk apa?"
"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menan-
tangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai
masalahnya denganmu, maka dia mengundangku di
Bukit Siluman."
"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan
tugas kita. Kita harus segera bertindak menghancur-
kan Serikat Serigala Merah," kata Sena.
"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orang-
orang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede. "Ayo
kita pergi!"
Keduanya pun melompat, kemudian berlari me-
lesat meninggalkan Hutan Balambu.
***
TUJUH
Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang
biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tu-
tup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa
orang di dalamnya.
"Kurasa, kita harus segera menemukan Pende-
kar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-
ta," terdengar suara lelaki berkata.
"Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh
Pendekar Gila," timpal lainnya.
"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin ka-
lian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar
suara orang muda menyela.
"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang
gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan
kening, mendengar percakapan mereka.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah
mencariku? Aku ada di luar...!" seru Sena sambil ter-
tawa tergelak-gelak.
"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede.
"Ayo!"
"Heaaa...!"
Brak!
Pintu papan kedai seketika hancur berantakan,
terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang
ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan
mata terbelalak, mereka melompat mundur.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus ber-
temu kucing?" tanya Sena sambil berjingkrakan seperti
seekor kera kegirangan.
"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus
mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil men-
cabut pedang. Kemudian dengan cepat tubuhnya me-
lompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak
ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wuttt!
Glarrr!
"Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi
hi hi... "
Dengan jurus 'Sambar Geledek' dan jurus
'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pende-
kar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan de-
ras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tan-
gan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran
angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek.
Melihat lawan melakukan serangan dengan ju-
rus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila
tak hanya tinggal diam. Dengan tingkah seperti kera,
serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu den-
gan cepat pula melakukan serangan balasan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya
disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas
dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahan-
lahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan
ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar
dengan pinggang
"Yeaaa...!"
Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila
menghantamkan telapak tangannya bergantian ke da-
da lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-
pencar mengelakkan serangan yang dilancarkan Pen-
dekar Gila.
"Heaaa!"
"Yeaaah...!"
Dengan melakukan salto beberapa kali, keti-
ganya mengelakkan serangan gencar itu.
"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Su-
gonggo.
"Ya! Mari kita serang lagi!" ajak Suroso.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketiganya kembali bergerak dengan cepat me-
nusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila sege-
ra bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Mene-
puk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan.
Wut! Wut..!
"Heaaa..!"
Beberapa kali serangan lawan memburunya,
tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gi-
la yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat
serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sa-
saran.
Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga la-
wannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikelua-
rkan bahkan ketiga lawan itu pun telah mengerahkan
jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh
itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan
yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan mu-
da dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan....
"Heaaa...!"
Bukkk!
Suara pekikan tertahan terdengar ketika gera-
kan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat
ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pu-
kulan itu terdorong ke belakang dan melayang. Tubuh
lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu terhenti
ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting
di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat
mengerang lirih kemudian tak berkutik lagi. Tewas!
Brak!
"Aaa...!"
Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetu-
lan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat
Tanpa Bayangan. Mereka terkagum-kagum menyaksi-
kan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau
tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dah-
syat kekuatannya.
Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nya-
linya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu,
namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya se-
gera menghadang.
"Mau ke mana kalian?"
"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu,
Ki!" dengus Getih Ireng.
"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak
Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya
kau pun ada sangkut pautnya dengan Dewa Pedang,"
tukas Ki Asem Gede.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-
ru.
"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang
berada kalau kalian ingin selamat!"
"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Ja-
ngan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manu-
sia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit
"Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu ter-
hormat?! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari ke-
coa busuk yang hanya main kucing-kucingan saja!"
ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Pera-
wan semakin naik darah.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit,
Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan.
"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit!
Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri
dengan serbuk iblis! Karena itulah, aku akan menang-
kap kalian!"
"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih
Ireng.
"Yeaaa...!"
"Heaaat...!"
Lima Darah Bukit Perawan yang sudah kepa-
lang tanggung segera menyerang dengan sengit. Den-
gan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Pera-
wan langsung menggebrak dengan serangan-serangan
gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mema-
tikan.
Wut! Wut..!
"Heaaa...!"
Melihat keberingasan kelima orang muda itu,
Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua
itu dengan cepat bergerak memapaki serangan lawan
lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Ma-
laikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah
mengatasi setiap serangan yang datang secara berun-
tun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang.
Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari
menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan
yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengelu-
arkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak
kaget
Wut!
"Uts!"
Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan
Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak
ingin menunjukkan rasa takutnya di hadapan lawan.
Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus
menggebrak Malaikat Tanpa Bayangan.
"Heaaa!"
"Hiaaa...!"
Kedai yang semula tenang dan sepi, telah beru-
bah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan
kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan
patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Se-
mentara suara teriakan dan makian yang mengiringi
pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi
yang dingin.
Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya
bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan
yang dilancarkan kedua lawannya.
"Heaaa...!"
Wuttt!
Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghin-
dari serangan pedang lawan yang selalu diikuti puku-
lan-pukulan 'Sambar Geledek'nya. Sesekali tangan
Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Heit!"
Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya
ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar
Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang
dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar
Gila.
"Heaaa...!"
Wuttt!
"Uts!"
Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samp-
ing, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan ce-
pat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Ge-
rakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak
tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang
tersentak kaget berusaha mengelak, tapi tangan Pen-
dekar Gila ternyata lebih cepat. Dan....
Degk!
"Aaakh...!"
Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke
belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari
busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tu-
buh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-
ja lelaki tua itu tidak segera lompat ke samping, tentu
akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan kekar.
Wusss!
Brak!
"Akh...!"
Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan
terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari
belahan papan itu jebol. Dan tubuh kekar Suroso ter-
kapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya
remuk dan gosong kehitaman.
Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima la-
wannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat
Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan
nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat
dan gesit sehingga bayangannya tak terlihat.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hanta-
man tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di
dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu men-
galir darah segar. Sesaat tubuhnya mengejang, kemu-
dian ambruk tanpa nyawa.
***
Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat
kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah me-
rangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan.
Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, ke-
cuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami,
Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus
Getih Ireng dengan wajah merah membara penuh ama-
rah.
"Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda
Bejat?!" tanya Ki Asem Gede. "Kalianlah yang harus se-
gera disingkirkan!"
"Kurang ajar! Yeaaat...!"
Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera me-
nyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan
Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak lak-
sana bayangan yang sangat cepat, membabat dan me-
nusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya
digeser setindak ke belakang. Lalu dengan cepat dita-
rik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak
ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak
membabat dan menusuk ke lambung lawan
"Heaaa...!"
Wut!
Trang!
Benturan senjata mereka terdengar berdentang,
memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata
terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemu-
dian dengan didahului pekikan keras, keempatnya
kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus
'Empat Pedang Penjuru Angin'.
"Heaaa..!"
"Yeaaa...!"
Wut, wut..!
Empat pedang di tangan anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat
dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak
memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua ber-
jubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan
sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan ke-
empat lawannya.
"Yeaaa...!"
Wut!
"Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat meng-
gerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamung-
kas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan me-
mutar, secepat kilat pedangnya membabat lawan-
lawannya.
"Heaaa...!"
Wrt!
Jrabs!
"Wuaaa...!"
Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar
pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun
memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru
mengerang lirih, tapi kemudian ambruk dengan nyawa
melayang.
Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata
mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang
menderu di depan mereka ketika pedang Malaikat
Tanpa Bayangan menyabet
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi
Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-
go semakin kewalahan menghadapi Pendekar Gila yang
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana
menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas
tepukan itu nampak pelan sekali, tapi angin yang menyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Su-
gonggo.
"Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke
samping, mengelakkan serangan Pendekar Gila yang
ternyata begitu keras dan cepat. "Ilmu siluman!"
Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus
aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia
melihat jurus ilmu silat yang aneh. Kelihatan sepintas
sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang re-
kannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua te-
mannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya
seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak
tangan hingga terbanting dan tewas.
"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pende-
kar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrak-
an. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliuk-
liuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepu-
kan.
Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan
tengah menggebrak dengan jurus andalannya,
'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu
terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gera-
kan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin
kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Na-
mun....
"Heaaa...!"
Wuttt!
Bret!
"Aaa...!"
Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih
Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan me-
nyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung
beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di pe-
rutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian merah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian
tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi.
"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka!
Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah me-
rangsek Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam
tak jelas. Matanya yang tajam laksana mata elang, me-
natap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang
menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat...
"Heaaa...!"
Wuttt..!
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat mem-
babatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan
ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya.
Wuttt! Wuttt!
Crab, crab!
"Akh!"
"Wuaaa...!"
Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang me-
layang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai.
Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka
menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya
tewas berlumuran darah.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali ber-
gumam lirih, lalu disekanya darah yang menempel di
mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan itu
dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di
punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke
tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawan-
nya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada se-
buah langkah....
Plak!
"Akh!"
Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar
deras ke belakang. Kemudian membentur tembok ke-
dai.
Brak
"Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena.
"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?"
tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hei, dia pergi!" seru Sena,
Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana
perginya pemilik kedai, tiba-tiba....
***
DELAPAN
"Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pen-
dekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan tersentak ke-
tika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Sua-
ra itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat
Tanpa Bayangan. Dialah Senapati Lembu Lambayu,
Panglima Kerajaan Sunda Layung.
"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak
kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Bagaimana langkah kita, Ki?"
"Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-
da kebenaran. Meski harus menentang pihak kerajaan,
terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat
Tanpa Bayangan, manggut-manggut
"Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena.
"Mari!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-
gelak, kemudian dengan cepat tubuhnya melesat ke
luar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan.
"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah mem-
buat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lam-
bayu. "Tangkap mereka...!"
Mendengar perintah sang Panglima, seketika
para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah
ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa
tombak dan pedang. Ratusan prajurit itu langsung
mengurung dan menyerang.
"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat ke-
rajaan, Ki!" celetuk Sena.
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti
yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan tertawa-tawa dan melompat-lompat berjingkra-
kan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan ter-
bang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga
Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala pra-
jurit yang dapat dijangkaunya.
"Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!"
Wut!
Pletak! Pletak...!
"Akh?"
"Aduh!"
Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga
orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi
kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling
Naga Sakti.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan...? Hua ha
ha...!"
Sambil tertawa tergelak-gelak dan tangan kiri
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus menge-
brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga
Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit.
Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala
prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya se-
bagai jembatan bagi langkah Pendekar Gila yang terus
bertingkah seperti kera.
"Kurang ajar!"
"Setan!"
"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para pra-
jurit sambil memegangi kepalanya yang telah terinjak
kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, kare-
na kepala mereka dianggap sebagai titian bambu saja.
"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu
semakin bertambah gusar melihat tingkah laku Pende-
kar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling
bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan
amarah yang menggelegak di kepalanya.
Pendekar Gila semakin bertambah konyol ting-
kah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor
kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejak-
kan kakinya di atas kepala para prajurit
"Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Ka-
wan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke ke-
pala prajurit yang dapat dijangkaunya dan bermaksud
menyerangnya.
"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!"
"Kubikin sate tubuhmu, Setan!"
"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!"
Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya
diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka
langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Su-
ling Naga Sakti memapak serangan mereka.
"Hi hi hi...!"
Trang!
Beberapa kali terdengar suara dentangan dari
benturan senjata dengan Suling Naga Sakti.
Pletak!
"Aduh!"
"Wuaaa...!"
Kembali tiga orang prajurit mengerang kesaki-
tan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pen-
dekar Gila. Dengan jurus 'Si Gila Terbang Menerkam
Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menye-
rang dengan patukan-patukan sulingnya.
Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan
kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan
mengamuk dengan jurus 'Pukulan Tangan Malaikat’
nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam
para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya.
"Sikat..!"
"Cincang dia!"
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar
dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung
Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki
tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menye-
rang.
"Heaaa!"
Bug!
"Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terden-
gar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan
Sunda Layung. Namun sepertinya para prajurit itu tak
me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat
menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Sena-
pati Lembu Lambayu terus memerintah pada para pra-
juritnya.
"Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo
Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas kepala lawan-lawannya. "Turunlah kemari! Bukankah ki-
ta tengah berpesta?! Hua ha ha...!"
Pletak!
"Aduh!"
Seorang prajurit yang terkena totokan Suling
Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol
dipegangi. Tubuhnya berputar-putar karena pening,
dan jatuh pingsan.
Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terin-
jak-injak temannya yang terus berusaha merangsek.
Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyada-
ri bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pi-
haknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasu-
kannya. Namun karena Senapati Lembu Lambayu ten-
gah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan
tak peduli dengan semuanya. Para prajuritnya dibiar-
kan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseo-
rang yang telah memperalat mereka untuk membunuh
Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
terus mengamuk, menyerang para prajurit yang ber-
jumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka,
setiap gerakannya membuat prajurit-prajurit menjerit
kesakitan. Ambruk dan akhirnya terinjak-injak teman-
nya.
Sementara suasana semakin terang. Matahari
di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah temba-
ga, mengusir embun dan halimun pagi.
Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak
Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban in-
jakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta
dentang benturan senjata mereka semakin riuh ter-
dengar.
Suasana di depan kedai seketika berubah men-
jadi berantakan. Malah kedai yang semula sudah rusak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika
itu, dari dalam kedai yang ambruk muncul anak-anak
muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak
serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi
lawan, pemuda-pemuda itu langsung menyerang para
prajurit kerajaan.
"Heaaa...!"
Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi
ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemuda-
pemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para
penduduk desa yang marah melihat tingkah polah pa-
ra prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka
telah tahu kalau di dalam angkatan perang kerajaan
itu terdapat Serikat Serigala Merah.
"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru
warga desa itu.
Dengan berbagai macam senjata seperti cang-
kul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak
atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan
Serikat Serigala Merah, kini merangsek maju membe-
rikan serangan.
Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit
kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, ha-
rus menghadapi pula ratusan penduduk Desa Piring
Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya.
"Serang...!" seru warga desa.
"Hancurkan serbuk iblis!"
"Hancurkan kerajaan yang tak adil!"
"Bunuh panglima perang iblis itu...!"
Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat
para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mere-
ka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk
meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayan-
gan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka
harus menghadapi penduduk desa, ditambah para
pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok
orang bingung turut menghambur ke dalam pertempu-
ran itu.
"Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lam-
bayu.
Pertarungan besar itu pun tak dapat dielakkan
lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan
kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-
tumbuhan yang ada di sekitar tempat itu banyak yang
tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang
semakin ganas.
Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula
tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pe-
kikan yang membahana. Darah membanjir, dari tu-
buh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.
Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti
itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar
suara teriakan menggelegar.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan...!"
Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan
rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak
jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih
gagah berani dari Kerajaan Sunda Layung Telunjuknya
mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati
kerajaan.
"Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap
panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari
berseru, memerintah para prajuritnya untuk memban-
tu penduduk desa.
***
Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah se-
ru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya
para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya.
Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu kini kian terdesak.
"Serbu...!"
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara
menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang
merupakan tangan kanan Dewa Pedang.
"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang
kedua yang dihormati dalam Serikat Serigala Merah se-
telah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu.
Serentak anak buah Serikat Serigala Merah
yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu
para prajurit pemberontak yang selama ini membantu
mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala
Merah.
Trang! Trang...!
Crab!
"Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar
dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Semen-
tara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi den-
tang senjata tajam mereka.
Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpi-
nan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat
meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malai-
kat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa
pendekar yang hadir dalam pertempuran itu.
Serentak mereka menghadang para tokoh rim-
ba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah
pimpinan Dewa Pedang. Di antara para pendekar yang
turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi
Jaladri, Gagak Putih, Kupu-kupu Emas, dan Resi An-
gling Mukti.
Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung
dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gen-
tro, Buta Cakra, Banaspati, Ampel Gegel, Nyi Capis,
Rana Jalna, dan Gempal Sudra.
Kini dari kedua golongan saling berhadapan sa-
tu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan de-
ngan Gajah Bedeg. Malaikat Tanpa Bayangan berha-
dapan dengan Gempal Sudra.
"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa
Bayangan.
"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi?
Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha
ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap
pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!"
dengus Gajah Bedeg.
"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira
kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak
sebaliknya, kalianlah yang akan mampus?" sahut Sena
dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah
Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah.
"Pendekar Gila, kami memang mendapat perin-
tah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu!
Heaaa...!"
Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menye-
rang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang.
Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak
Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam
Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu mem-
bentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi
amarah.
Wut!
"Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah
Bedeg.
"Heits! Hua ha ha...! Tangkap kodok itu, Seriga-
la Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki
kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian
dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak
merunduk.
"Heaaa!"
Wut!
"Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melom-
pat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki Pende-
kar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg
balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan
wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian
dengan cepat tubuhnya bergerak ke samping. Kaki ki-
rinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-
la Melempar Batu' Sena balas menyerang.
Serangkum angin pukulan menderu keras ke
arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang
bergerak seperti tengah melempar bebatuan menye-
rang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya
bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesa-
kitan.
"Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil ber-
gerak mengelitkan serangan lawan. Kemudian dengan
cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Se-
rigala Menerkam Mangsa'.
Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan
mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum
tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit
dengan meliukkan tubuh. Kemudian disusul gerakan
menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan ju-
rus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila
membuat Gajah Bedeg kembali tersentak.
"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar
sambil menarik serangannya, menyaksikan serangan
Pendekar Gila yang begitu cepat
Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak
para pendekar dapat menekan lawan mereka masing-
masing. Para pendekar tak mau memberikan kesempa-
tan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih den-
gan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia
memburu lawannya dengan jurus 'Malaikat Sambar
Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeraman-
cengkeraman maut, terus memburu lawan.
"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat
mundur, mengelakkan serangan Malaikat Tanpa Ba-
yangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah
hijau lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan ba-
ginya untuk membuka serangan.
"Mau lari ke mana, Iblis?!" dengus Malaikat
Tanpa Bayangan yang marah setelah melihat bagaima-
na pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang me-
nyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis,
tubuhnya bagaikan tak berdarah.
Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah te-
lanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang
yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah.
Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Pu-
tih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan ta-
hun tak ikut meramaikan rimba persilatan. Ilmu-ilmu
silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat
Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', ter-
paksa dikeluarkan dalam pertempuran kali ini.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Ar-
wah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Ma-
laikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gen-
car. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah la-
wan.
Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Ma-
laikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! De-
sis Gempal Sudra dalam hati.
Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui
kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin
menunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Gempal
Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan,
sambil sesekali balas menyerang.
Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak
memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk
membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak
dengan serangan-serangan gencar. Dan...
Degk!
"Hugk! Akh...!"
Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang
dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah se-
gar. Sesaat tubuhnya meregang, lalu ambruk tanpa
nyawa.
"Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-
tunggu kalian di Bukit Siluman...!" terdengar suara
Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra am-
bruk.
"Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat
Tanpa Bayangan mengejar, diikuti Pendekar Gila.
Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Ga-
jah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu
membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar
Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar.
Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit
yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemu-
dian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para
prajurit Kerajaan Sunda Layung pimpinan Patih Pra-
meswari.
***
SEMBILAN
Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan
Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin
bertiup kencang, seperti akan terjadi badai. Bulan per-
lahan-lahan merangkak dari ufuk timur, menerangi
sekeliling Bukit Siluman.
Binatang-binatang malam terdengar merdu
berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk ber-
diri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, di-
tingkahi lolongan anjing hutan yang menyayat dan
memilukan.
Malam itu, merupakan malam purnama ketiga.
Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang
Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila
yang dianggapnya telah membunuh muridnya.
Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang
tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah
Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang
itu nampaknya ingin menunjukkan kalau dirinya bu-
kan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada
Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pende-
kar Gila akan dituntaskannya malam ini.
Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki
memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda
berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang
tidak lain adalah Pendekar Gila. Sedangkan seorang
lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang
berwarna hijau lumut, adalah Malaikat Tanpa Bayan-
gan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh
rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak me-
nyusul. Bukit Siluman yang semula sepi dan terkenal
angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak ke-
hadiran mereka.
Tak berapa lama kemudian, muncul para pra-
jurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka
nampaknya ingin menyaksikan pertarungan seru anta-
ra Dewa Pedang melawan dua pendekar.
"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu,
tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-
ru Dewa Pedang dengan mata menatap tajam pada
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang ma-
sih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini
tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti ke-
ra.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sung-
guh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal ga-
gah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru
Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam
menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih
pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih
bersikap tenang.
"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan.
Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok,"
ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan.
"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti
berdua? Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-
ri, Ki," sahut Sena dengan cengengesan. Kemudian ka-
kinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan
pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masa-
lahnya.
"Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-
tanganmu. Sebenarnya dari dulu aku ingin mencari-
mu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku
ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan se-
telah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan
dengan suara yang masih terdengar tenang.
"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di po-
hon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan
menyingkirkan mu dan Pendekar Gila yang telah
membunuh muridku!"
Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan
tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang.
"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?"
"Ya!"
"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesung-
guhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem
Gede.
"Aha, baiklah! Biar kau tak penasaran, aku
akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid
kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk ma-
nusia. Dia tega-teganya memfitnah Anjasmara...."
Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila
menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat,
sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa
pula kedua naga api. Tak lupa juga Pendekar Gila
menjelaskan siapa adanya bocah sakti.
"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru
Sena diikuti gelak tawanya, serta tingkah lakunya yang
konyol.
"Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bo-
cah Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan per-
caya! Rupanya kau takut menghadapiku!" dengus De-
wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam
menatap Pendekar Gila.
"Terserah! Kau memang tikus keras kepala
yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa
cekikikan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila?!"
maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu
hendak menyerang ke arah Pendekar Gila, tapi dengan
cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya.
"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pe-
dang!"
"Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus
lebih dahulu, Asem Gede! Bersiaplah...!"
Sring!
"Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayan-
gan.
Sring!
Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pe-
dang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bi-
lah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih
keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang de-
ngan langkah yang teratur. Mata mereka saling mena-
tap tajam.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan didahului pekikan keras menggelegar
yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman,
keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di
tangan.
Wut! Wut..!
Trang!
Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak sege-
ra membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segan-
segan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut
Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya
merah itu bergerak laksana kilat, memburu ke arah
Malaikat Tanpa Bayangan.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan membuka serangan dengan
jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus
'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus
pamungkas.
"Heaaa...!"
Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupa-
kan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama
mereka perlihatkan. Karena, jurus-jurus itu mereka
ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh
tahun.
Tubuh keduanya melesat begitu cepat laksana
terbang. Pedang di tangan mereka bergerak cepat,
membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu
cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu,
wujud mereka sampai tak terlihat. Yang nampak hanya
sinar putih keperakan dan merah menyala.
Trang!
Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyar-
ing disertai percikan bunga api keluar dari benturan
pedang. Keduanya melompat ke belakang dengan posi-
si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan ta-
jam. Kemudian dengan pekikan menggelegar, ke-
duanya kembali melakukan serangan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha mem-
buru lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Si-
nar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke
arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tu-
buh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena mena-
han kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar
mengiringi serangan kedua tokoh tua itu.
Wut! Bet!
Trang!
"Heaaa!"
Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang
membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Malaikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan,
dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan
pedang bersinar merah itu meleset beberapa jari saja
di atas kepalanya. Kemudian tanpa membuang waktu,
Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pe-
dangnya sebagai serangan balasan.
"Yeaaa!"
"Heit..!"
Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu
pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke
dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat
ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Ke-
mudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya dite-
baskan ke arah pedang lawan.
Trang!
Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang
sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masing-
masing ke belakang. Kemudian dengan didahului pe-
kikan keras, keduanya kembali menggebrak.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan la-
wannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya
yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malai-
kat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan.
Wut!
Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lu-
mut itu merundukkan kepala, berusaha menghindar.
Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan.
Cras!
Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tu-
buhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan.
Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan
dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasan
tebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus
berguling.
Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba....
Trang!
"Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedang-
nya berbenturan dengan senjata di tangan Pendekar
Gila. "Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-
la!"
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak
sambil berusaha membantu Malaikat Tanpa Bayangan
bangkit berdiri.
"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!"
***
Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pe-
dang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila
yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk
bangkit berdiri.
"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus
Sena melihat serangan cepat yang dilancarkan Dewa
Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat
Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya lang-
sung bersalto mengelakkan serangan lawan.
"Yeaaa...! Tembus dadamu!"
Wut..!
"Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila
sambil masih berjumpalitan di udara. Kemudian de-
ngan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang lak-
sana terbang sambil tangannya bergerak dengan jari-
jari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram
ke arah lawan.
Wuttt..!
"Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil
menggeser kaki ke samping. Lalu disusul dengan tu-
sukan pedangnya ke arah Pendekar Gila.
"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa
Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya.
Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tu-
buhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tu-
sukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah
dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke ka-
nan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan
tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan
gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'
"Heaaa...!"
Kaki mereka melangkah secara beraturan, sal-
ing berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan
tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut
bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh
lawan.
Sementara Pendekar Gila masih menghadapi
Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di
tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pe-
dang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, pa-
ra pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan
dengan cepat menangkap mereka.
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan
Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah
terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, te-
rus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedang-
nya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat
pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan.
"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tu-
buh ke kanan, terkejut mendapat tusukan yang tiba-
tiba dan cepat itu.
Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan
dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya
melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengan-
dung kekuatan gaib pun bergerak cepat
"Heaaa...!"
"Heits! Hih...!
Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila
melancarkan serangan dengan tepukan tangannya.
Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pe-
dang. Sehingga....
Wuttt!
Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pe-
dangnya ke dada Pendekar Gila.
"Hah...?!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan ce-
pat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun....
Bret!
"Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak
tertutup rompi tergores Pedang Darah. Dari goresan
itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melom-
pat ke belakang dengan mata melotot
"Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-
gelak, merasa telah mampu melukai Pendekar Gila.
"Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil me-
nyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Se-
mentara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda
Layung nampak tegang. Mereka khawatir kalau Pen-
dekar Gila akan kalah.
"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa
Busuk!" dengus Pendekar Gila. "Kurasa aku memang
harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu.
Hm.... Mari kita lanjutkan!"
Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan
Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju
rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang ke-
luar dari pedangnya.
"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mam-
pus!"
"Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!"
Dengan semakin bertambah marah menyaksi-
kan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh
racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang
Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan
jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Ge-
ledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini
dilakukan Dewa Pedang.
Dewa Pedang benar-benar bermaksud meng-
hancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu se-
babnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya
dengan ajian tingkat tinggi.
"Heaaa...!"
Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan
pedang Dewa Pedang.
Wut!
Ctar!
Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar ke-
luar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya te-
lah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila
segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan ce-
pat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat
kesempatan, Pendekar Gila segera balas menyerang
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hosss!"
Kedua tangannya disatukan, kemudian diren-
tangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam,
Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sam-
pai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan menggelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan
pukulan-pukulan telapak tangannya.
"Keaaa...!"
Wut! Wut!
Jlegar!
Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru me-
narik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan han-
cur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan
dahsyat jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' itu
menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri.
Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang
besar.
Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat
karena pukulan dahsyat yang dilancarkan Pendekar
Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya
kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan
pendekar sembarangan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang marah akibat luka di da-
danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan un-
tuk menggempur Dewa Pedang. Mau tak mau Dewa Pe-
dang harus melompat ke sana kemari dan sesekali me-
lenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak in-
gin tubuhnya hancur lebur seperti tanah yang terkena
hantaman pukulan Pendekar Gila.
Rupanya dia bukan sembarangan pendekar!
Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap be-
rusaha membendung serangan-serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan
Pedang Darahnya.
"Yeaaa...!"
Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat
ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya
yang menggelegar.
"Heaaa...!"
Wut! Wut!
Cletar...!
"Heits! Hop! Heaaa...!"
Pendekar Gila melompat ke samping, lalu den-
gan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan
jurus pamungkasnya.
Pertarungan semakin seru, ketika bulan pur-
nama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah
cahaya bulan purnama tampak tubuh mereka berkele-
batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras men-
giringi setiap serangan mereka.
Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pe-
dang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan
cepat bergerak melompat untuk menghindar. Namun
Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan....
Bret!
"Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan
kembali membabat tubuhnya. Pundaknya yang tak ter-
tutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh ke-
luar.
"Ha ha ha...!"
Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak
menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya.
Sementara, para pendekar kini membelalakkan mata-
nya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan
Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah.
"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!"
ejek Dewa Pedang.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak.
"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk!
Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-
gat dan dunia!"
"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!"
"Aha, kita buktikan!"
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa
Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, ke-
mudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pen-
dekar Gila membuka gerakan.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mam-
pus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyak-
sikan jurus Pendekar Gila yang seperti gerakan seekor
monyet
Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang,
kemudian ditekuk membentuk siku. Matanya terpe-
jam, lalu kaki kanannya dilangkahkan ke depan de-
ngan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri
ditekuk, kemudian digeser ke samping diikuti senta-
kan tangan kiri.
Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang se-
dang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah
putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus
'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatan-
nya mampu menghancurkan bangsa siluman dan me-
leburkan batu menjadi tepung.
"Heaaa...!"
"Mampuslah kau, Bocah!"
Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gi-
la tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah ma-
buk kemenangan, seketika mencelat hendak menye-
rang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang te-
rayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menu-
suk dan membabat ke arah lawan.
"Heaaa...!"
Wut!
Pendekar Gila yang kini menggunakan mata ba-
tin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser
ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang me-
luruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tan-
gan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan.
Dan....
Prat!
Jlegar!
"Aaakh...!"
Dewa Pedang melolong keras menyayat hati.
Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar
ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pende-
kar Gila meniup Suling Naga Sakti dan mengarahkan
mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang
bersalto. Maka....
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah membara melesat keluar
dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang.
Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu
menghantam tubuh Dewa Pedang.
Jlegar!
"Aaa...!"
Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan
dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi te-
pung yang beterbangan, ketika angin bertiup.
Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan
Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri me-
nyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pende-
kar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Ke-
mudian diam-diam mereka meninggalkan tempat itu
dengan rasa takut.
"Kukuruyuuuk....!"
Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa berge-
lak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pende-
kar Gila melangkah seiring dengan para pendekar lain
meninggalkan Bukit Siluman.
SELESAI