SENGKETA JAGO-JAGO PEDANG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Sengketa Jago-Jago Pedang
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Malam semakin larut. Hembusan angin dingin se-
sekali bertiup keras membawa titik-titik air, yang per-
lahan-lahan jatuh membasahi permukaan bumi. Sang
dewi malam yang biasanya selalu menghias cakrawala,
kali ini lebih suka bersembunyi di balik gumpalan awan
hitam. Sepertinya dia enggan untuk menampakkan
sinarnya dalam suasana seperti ini. Hanya sesekali saja
dia mengintip, untuk kemudian bersembunyi lagi.
Kilatan-kilatan cahaya putih yang disusul gelegar
halilintar saling sambung di angkasa yang gelap gulita.
Tampaknya, tidak ada lagi hujan yang akan turun
membasahi bumi.
Di bawah siraman titik-titik air yang tampak sema-
kin banyak tercurah ke bumi, tampak sesosok baya-
ngan hitam bergerak cepat bagaikan hantu. Sesekali
dia lenyap di balik gerombolan semak belukar, ataupun
ketika terhalang pepohonan lebat.
Glarrr...!
"Haiiit...!"
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang disu-
sul robohnya sebatang pohon besar di sebelah kanan
sosok bayangan itu. Dan disertai pekikan nyaring, so-
sok bayangan hitam itu melenting ke depan dan lang-
sung bersalto beberapa kali di udara. Kemudian dia
turun dengan gerakan ringan, berjarak beberapa tom-
bak dari pohon besar yang roboh hingga menimbulkan
suara bergemuruh.
Sosok bayangan hitam itu tampak tidak segera me-
lanjutkan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang, ke
arah robohnya pohon besar yang hampir menimpanya
tadi. Untunglah gerakannya demikian gesit dan lincah.
Kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah tewas tergencet
batang pohon besar tadi.
"Hm...."
Setelah mengeluarkan dengusan kesal, sosok baya-
ngan hitam itu kembali melanjutkan perjalanan. Tanah
becek yang mulai tergenang air, sama sekali tidak
mengganggu langkahnya. Sosok tubuh itu terus saja
melesat cepat, sehingga tidak lumrah bagi ukuran ma-
nusia.
Tak berapa lama kemudian, langkah sosok tubuh
itu terhenti beberapa tombak didepan bangunan se-
buah perguruan. Sepasang mata tajam di balik keru-
dung hitam Itu, nampak berputar mengawasi sekeli-
lingnya.
"He he he.... Nampaknya alam merestui rencanaku.
Kalau tidak, mungkin keadaannya tidak akan sesunyi
ini. Sepertinya rencanaku ini akan berjalan mulus,"
gumam sosok bayangan hitam itu lega.
Setelah memastikan kalau tidak ada seorang pun
yang melihatnya, sosok tubuh terbungkus pakaian hi-
tam itu kembali bergerak menuju halaman belakang
bangunan.
Setibanya di bagian belakang bangunan, sosok ba-
yangan hitam itu melambung melampaui pagar seting-
gi dua tombak. Tubuhnya yang melayang bagaikan
seekor burung besar, tampak berputar ketika berada di
atas pagar. Kemudian dengan gerakan perlahan. Tela-
pak tangan kanannya menepak ujung pagar. Rupanya
dengan berbuat demikian dia hendak membantu daya
lambung tubuhnya.
Hasilnya, sosok tubuh yang tengah berjumpalitan
itu kembali melayang hingga satu tombak Jauhnya.
Ringan sekali ketika sepasang kakinya menjejak tanah
di dekat taman belakang bangunan.
Kembali sosok bayangan hitam itu mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Yakin keadaan di sekitarnya
aman, ia melangkah sambil merapatkan tubuhnya pa-
da sebuah dinding yang di atasnya terpancang sebuah
obor. Tampak sosok tubuh itu mengeluarkan sesuatu
yang tergulung rapi dari balik pakaiannya, lalu diben-
tangkannya perlahan.
Gulungan kulit kayu yang ternyata gambar ruangan
gedung ini, ditelitinya beberapa saat. Sebentar, kepala-
nya tampak terangguk-angguk. Kemudian, gulungan
itu kembali dimasukkan ke dalam pakaiannya. Lalu,
dia terus menyelinap ke dalam melalui pintu belakang
yang tidak terkunci.
"Bagus! Mereka ternyata telah mempersiapkannya
dengan baik. Mudah-mudahan saja mereka tidak men-
dapat kesulitan," gumam sosok bayangan hitam, de-
ngan sinar mata berseri.
Ketika tiba pada sebuah ruangan yang jelas men-
jadi tujuannya, kening sosok tubuh itu tampak ber-
kerut. Tampak dua orang berseragam merah hitam te-
ngah duduk mengelilingi meja bulat.
"Mengapa hanya ada dua orang penjaga? Bukankah
menurut keterangan mereka biasanya berempat? Ah!
Mudah-mudahan saja orang-orangku tidak berkhia-
nat," gumam sosok itu penuh harap.
Setelah menanti agak lama, sosok bayangan hitam
itu melesat cepat melumpuhkan kedua orang penjaga
yang langsung roboh tanpa sempat berteriak. Diam-
bilnya kunci ruangan yang bertuliskan 'ruang pustaka'
dari balik pakaian salah seorang penjaga. Sesaat ke-
mudian, sosok tubuh itu pun telah lenyap di balik pin-
tu ruangan perpustakaan itu.
Tanpa rasa ragu sedikit pun, sosok bayangan hitam
yang telah berada dalam ruangan perpustakaan lang-
sung saja melangkah ke arah sebuah patung batu ber
bentuk seekor kuda. Diputarnya kepala patung kuda
itu disertai pengerahan tenaga dalam.
Grrrgh...!
Terdengar suara berderak perlahan ketika sebuah
tembok di samping kirinya terbuka. Tanpa menanti
pintu itu terkuak lebar, sosok bayangan itu bergegas
melompat masuk. Wajahnya berseri seketika, sewaktu
melihat sebuah peti kayu tebal yang tergeletak di atas
sebuah batu pipih lebar.
"Ha ha ha.... Raja Pedang Sinar Pelangi. Ingin ra-
sanya aku melihat, bagaimana rupamu kalau menge-
tahui kitab ini lenyap dari tempat penyimpanannya."
Tawa sosok tubuh itu berderai perlahan sambil
mengangkat peti kayu di atas kepalanya. Selanjutnya,
tubuh terbungkus pakaian hitam itu melesat mening-
galkan ruang perpustakaan milik Perguruan Pedang
Sinar Pelangi.
"Hei?! Siapa kau...? Berhenti...!" Terdengar bentkan
keras yang disusul berkelebatnya enam sosok tubuh,
mereka langsung mengepung sosok bayangan hitam
yang mengepit peti kayu pada lengan kirinya.
"Hei, lihat! Apa yang dibawanya itu...?" Seru salah
seorang dari enam lelaki muda itu. Keningnya yang
lebar, tampak berkerut dalam. Jelas, ia merasa curiga
dengan sosok bayangan hitam itu.
'"He he ha... Cecunguk-cecunguk bodoh! Lebih baik
menyingkirlah sebelum kesabaranku lenyap!" Ancam
sosok bayangan hitam, perlahan.
Dan sebelum keenam orang murid Perguruan Pe-
dang Sinar Pelangi sempat menyahuti, tahu-tahu saja
sosok di depannya telah melesat disertai serangan
maut!
Wuuttt...!
Serangkum angin keras berhembus mengiringi tam-
paran yang cepat dan mengandung kekuatan tinggi.
Keenam orang murid Perguruan Pedang Sinar Pe-
langi tentu saja menjadi terkejut bukan main! Cepat
mereka berloncatan mundur, menghindari serangan
mengandung hawa maut itu.
Namun, serangan yang dilancarkan sosok bayangan
hitam itu memang hebat sekali! Hingga, dua orang mu-
rid yang terlambat menghindar, terpaksa harus merela-
kan dirinya terkena tamparan keras!
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat tamparan sosok bayangan hi-
tam itu. Dua orang murid Perguruan Pedang Sinar Pe-
langi, langsung ambruk dan menggelepar tanpa dapat
bangkit lagi. Keduanya tewas seketika. Dari mulut, hi-
dung, dan telinga tampak mengalir darah segar.
Robohnya kedua orang berseragam merah hitam
itu, tentu saja membuat keempat orang lainnya menja-
di marah!
Srettt... Sriiing!
Sadar kalau orang berpakaian serba hitam itu sa-
ngat berbahaya mereka bergegas mencabut senjata
masing-masing. Kemudian, mereka bergerak menyebar
melakukan kepungan.
"Cepat bunyikan kentongan tanda bahaya...!" ujar
salah seorang murid.
Melihat dari raut wajahnya, paling tidak dia berusia
sekitar tiga puluh tahun. Dan tindakannya dalam
menghadapi keadaan itu memang tepat sekali.
Teriakan itu, membuat ketiga orang lainnya sadar
seketika. Salah seorang yang berwajah tampan dan ber-
kumis tipis, langsung saja berlari menuju penjagaan.
Bukan hanya ketiga orang itu saja yang tersentak
mendengar teriakan salah seorang temannya. Sosok
berpakaian hitam yang ternyata seorang pencuri itu
terkejut pula karenanya. Cepat tubuhnya melesat,
mencegah salah seorang yang tengah berlari menuju
pos jaga itu.
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaringnya, sosok bayangan
hitam itu berjumpalitan beberapa kali. Sekejap saja,
kakinya telah mendarat beberapa langkah didepan
orang itu.
Wuuut..!
Tanpa banyak cakap lagi, sosok berpakaian serba
hitam itu langsung mengirimkan tamparan maut ke
kepala lelaki tampan berkumis tipis itu.
"Adi Sujana, awaaas...!" Seru salah seorang dari ke-
tiga kawannya, memberi peringatan kepada lelaki ber-
kumis tipis yang ternyata bernama Sujana.
Sujana pun bukan tidak tahu akan bahaya maut
yang mengancamnya. Cepat langkahnya digeser ke kiri
sambil merundukkan kepala. Gerakan mengelak itu
masih dibarengi sabetan pedangnya yang langsung
mengincar perut lawan!
"Bagus...!"
Terdengar seruan perlahan yang bernada pujian
dari orang berpakaian hitam itu. Tubuhnya ditarik ke
belakang hingga doyong. Gerakan itu masih disusul
uluran tangannya yang bergerak cepat menangkap per-
gelangan tangan Sujana.
Tappp.... Desss...!
"Hukhhh...!"
Hebat sekali memang apa yang dilakukan sosok
berpakaian hitam itu! Sebelum Sujana sempat menya-
dari kalau pergelengannya ditangkap, sosok tubuh ber-
pakaian hitam itu telah mengirimkan sebuah tenda-
ngan. Dalam keadaan seperti itu, Sujana tak mampu
mengelak. Maka, tendangan itu telah menghantam
dadanya! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki muda
berusia dua puluh lima tahun itu terjungkal keras!
Sujana pun tewas akibat tendangan keras lawannya.
"Bangsat! Rasakan pembalasanku, Pembunuh Ke-
ji...!" teriak salah seorang dari ketiga kawan Sujana de-
ngan kemarahan yang meluap-luap. Kemudian, tubuh-
nya langsung melompat disertai sambaran pedangnya.
Wuuut...!
Terdengar suara mendesing tajam ketika pedang di
tangan lelaki pendek gemuk itu membabat dengan
kecepatan tinggi.
Belum lagi sambaran pedang itu tiba, dari dua arah
lainnya meluncur dua bilah golok yang juga meng-
ancam tubuh orang berpakaian hitam itu.
Datangnya tiga buah serangan dari arah yang ber-
beda, sama sekali tidak membuat gugup orang berpa-
kaian hitam itu. Dengan sikap tetap tenang, tubuhnya
bergerak mundur ke belakang. Sambil melakukan lom-
patan kecil, telapak kaki kanannya melancarkan se-
rangan untuk mematahkan sambaran dua bilah golok
yang datang dari samping dan belakangnya. Gerakan-
gerakan itu begitu cepat, dan hampir tidak terlihat
lawan-lawannya. Sehingga, ketiga orang pengeroyoknya
sempat dibuat terkejut!
Plakkk! Plakkk! Desss...!
"Uhhh...!"
"Ughhh...!"
Hebat sekali gerakan yang dilakukan pencuri itu.
Tepat pada waktu telapak kakinya menghajar balik dua
buah serangan bilah golok lawan, kepalan tangan
kanannya langsung meluncur menghajar dada lelaki
pendek gemuk yang berada di depannya!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pendek gemuk itu
terjungkal sambil memuntahkan segumpal darah segar
dari mulutnya. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh
lelaki gemuk itu terkulai. Tewas! Jelas pukulan yang
dilancarkan lelaki berpakaian serba hitam itu telah
mendatangkan luka dalam yang sangat parah, hingga
membuatnya tak kuat bertahan hidup.
Sedangkan dua orang lain yang tertangkis sambar-
an telapak kaki orang berpakaian serba hitam, melintir
hingga beberapa langkah ke belakang. Wajah mereka
tampak meringis sambil memijat-mijat pergelangan
tangan yang terasa nyeri. Mereka tidak lagi mempe-
dulikan senjata yang terpental entah ke mana. Yang
dipikirkan saat itu hanyalah, bagaimana agar rasa sakit
pada pergelangan dapat segera lenyap.
Kesempatan baik itu rupanya tidak disia-siakan si
pencuri. Cepat tubuhnya melesat meninggalkan kedua
orang lawan yang masih sibuk mengurusi pergelengan-
nya. Hal itu membuktikan kalau si pencuri sebenarnya
tidak ingin bentrok dengan murid-murid Perguruan Pe-
dang Sinar Pelangi. Mungkin, ia hanya berniat mencuri
peti kayu tanpa bermaksud membuat kekacauan. Sa-
yang pencuri itu tidak menyadari, kalau akibat per-
buatannya jelas telah berurusan dengan pihak Pergu-
ruan Pedang Sinar Pelangi.
Tapi baru saja sosok berpakaian serba hitam itu
hendak melintasi pagar kayu yang menghalangi pergu-
ruan itu dengan dunia luar, dua sosok bayangan ber-
kelebat mencegahnya sambil membentak keras!
"Keparat! Hendak lari kemana kau, Maling Hina...!
Jangan harap dapat lolos demikian mudah setelah
melakukan kekacauan di perguruan kami...!" sentak
salah seorang dari kedua bayangan yang melesat cepat
memotong jalan lari pencuri itu.
"Sial!" Maki sosok bayangan berpakaian hitam itu.
Dia mengetahui betul, siapa kedua orang pengha-
dangnya. Memang, mereka tak lain adalah dua orang
murid utama Ki Giri Tantra, Ketua Perguruan Pedang
Sinar Pelangi. Maka wajarlah kalau pencuri itu agak
terperanjat melihat kedua orang penghadangnya.
Ki Giri Tantra memang bukan tokoh sembarangan.
llmu 'Pedang Sinar Pelangi'nya, sangat terkenal dan
sangat disegani dunia persilatan. Bahkan boleh dibi-
lang, kepandaian tokoh berusia enam puluh tahun itu
tidak ada tandingannya. Dan di wilayah Selatan, Ki Giri
Tantra adalah jago pedang nomor satu yang belum
pernah terkalahkan. Itulah sebabnya, mengapa lelaki
berpakaian serba hitam itu merasa terkejut atas mun-
culnya dua murid utama Perguruan Pedang Sinar Pe-
langi itu. Sebagai murid-murid utama tokoh nomor
satu wilayah Selatan, tentu kepandaian mereka tidak
bisa disamakan dengan para pengeroyoknya tadi.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak?! Mengapa begitu lan-
cang mengacau perguruan kami? Dan benda apa yang
kau bawa?" Tanya salah seorang dari kedua laki-laki
gagah itu, keras. Sepasang mata mereka tampak mena-
tap curiga ke arah peri kayu yang dikempit di sela-sela
ketiak orang berbaju serba hitam itu.
Untuk beberapa saat, lelaki berjubah serba hitam
itu tidak segera menjawab pertanyaan para pengha-
dangnya. Sepasang matanya yang memancarkan ke-
gelisahan, bergerak ke kiri dan ke kanan mencari jalan
meloloskan diri. Kelihatan sekali kalau hatinya merasa
gentar menghadapi kedua orang penghadangnya.
"Haiiit...!"
Tanpa mempedulikan pertanyaan tadi, lelaki ber-
pakaian serba hitam itu langsung saja melompat me-
nerjang dibarengi teriakan keras menggetarkan.
"Hati-hati, Adi Wiradesa. Nampaknya orang ini cu-
kup berisi," bisik salah seorang penghadang.
Lelaki berwajah gagah dan bertubuh tegap yang
dipanggil Wiradesa itu mengangguk-anggukkan kepala
perlahan. Entah kapan tercabutnya, tahu-tahu saja di
tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang
yang mengeluarkan cahaya berkilatan. Sejenak wajah-
nya menoleh ke arah kakak seperguruannya.
"Kita ringkus saja pencuri tengik ini, Kakang Ki-
naya. Biar guru sendiri yang akan memutuskan, hu-
kuman apa yang patut untuk maling hina seperti pe-
ngecut ini," ajak Wiradesa sambil menggeser ke kanan
dengan lompatan pendek.
Wuuut..!
Sambaran mata pedang yang tiba-tiba dilepaskan
lelaki berjubah hitam itu ternyata luput, karena Wira-
desa telah lebih dahulu menghindarkannya. Bahkan
sebelum pencuri itu sempat menarik pulang serangan-
nya, murid utama Ki Giri Tantra yang berusia sekitar
empat puluh tahun sudah melancarkan serangan ba-
lasan yang cepat dan berbahaya!
Wuuut..! Wuuut...!
Pedang bersinar putih yang tergenggam di tangan
Wiradesa bergulung-gulung membentuk bulatan-bulat-
an yang terkadang mengeluarkan cahaya berpendar
menyilaukan mata. Melihat dari gerakannya, jelas ka-
lau Wiradesa memiliki kepandaian tinggi.
Tranggg.... Tranggg!
Terdengar benturan nyaring yang disertai pijaran
bunga api ketika pedang di tangan Wiradesa bertum-
bukan sebanyak dua kali.
"Uhhh...!"
Benturan yang sangat keras itu ternyata telah mem-
buat tubuh keduanya terpental balik sejauh setengah
tombak lebih. Dari gebrakan pertama, jelas terlihat
kalau tenaga keduanya berimbang!
Ternyata kenyataan ini membuat kedua belah pi-
hak sama-sama terkejut! Sehingga untuk beberapa saat
lamanya mereka hanya saling pandang penuh selidik.
Tapi ketegangan itu tidak berlangsung lama, kare-
na Kinaya telah melompat disertai teriakan lantang dan
mengejutkan.
"Haaat..!"
Wunggg.... Wunggg..!
Gerakan yang dilancarkan Kinaya lebih hebat lagi.
Putaran pedangnya yang bergulung-gulung bagaikan
angin puting beliung, bergerak turun naik dengan ke-
cepatan menggetarkan. Sehingga, lelaki berpakaian ser-
ba hitam itu sempat menjadi gugup dibuatnya!
Namun pada saat yang genting bagi keselamatan
lelaki berpakaian serba hitam itu, mendadak seberkas
sinar putih melesat dan langsung memotong arah pe-
dang Kinaya!
Syuuut...! Tranggg...!
"Hani...!"
Bukan main terperanjatnya hati Kinaya ketika pe-
dang di tangannya membentur batu sebesar kepalan
tangan. Meskipun batu itu menjadi hancur berkeping-
kepiig, namun tak urung kuda-kuda lelaki setengah
baya itu tergempur sejauh tiga langkah! Dan kenyataan
itu hampir tidak dapat dipercayanya. Sehingga, untuk
beberapa saat lamanya Kinaya hanya tercenung bagai
patung.
Sedangkan lelaki berpakaian serba hitam itu tahu
kalau ada orang yang secara diam-diam menolongnya.
Maka dia cepat melesat melewati pagar kayu setinggi
dua tombak. Dan dia terus menghilang ditelan kegela-
pan suasana malam.
"Bangsat..!" maki Wiradesa, geram.
Sadar kalau untuk melakukan pengejaran dalam
suasan gelap seperti ini jelas tidak menguntungkan,
maka Wiradesa hanya dapat menelan rasa kecewa.
Sedangkan, saat itu Kinaya sudah melesat mening-
galkan adik seperguruannya. Rupanya tokoh utama
Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu hendak melihat,
siapa gerangan orang yang telah menggagalkan sera-
ngannya tadi.
Wiradesa yang semula hendak mengejar kakak se-
perguruannya, menahan langkahnya ketika melihat Ki-
naya telah melangkah lesu ke arahnya.
"Bagaimana, Kakang? Sebenarnya apa yang telah
terjadi...?" Tanya Wiradesa.
Dia memang tidak sempat mengetahui kejadian
yang menimpa kakak seperguruannya itu. Sehingga,
hanya menatapi wajah Kinaya dengan kening berkerut.
"Hra... Ada seseorang yang secara diam-diam telah
membantu lolosnya pencuri laknat itu. Entah, siapa
orang itu? Yang jelas kepandaiannya tidak di bawah
kepandaian kita," sahut Kinaya.
"Jelas bangsat itu tidak datang seorang diri. Hm,
siapa mereka sebenarnya? Dan apa yang dicarinya di
perguruan kita ini?" gumam Wiradesa. Wajahnya jelas
mengandung rasa penasaran terpendam.
"Sudahlah. Lebih baik kita laporkan saja kejadian
ini kepada guru kita. Biar beliau yang akan mencari
tahu, apa gerangan tujuan orang itu datang kemari,"
jawab Kinaya yang segera melangkah meninggalkan
tempat itu.
Wiradesa pun bergegas meninggalkan tempat itu
setelah terlebih dahulu menyuruh beberapa orang mu-
rid membersihkan tempat itu, dan sekaligus mengurus
mayat kawan-kawannya.
***
DUA
Brakkk...!
"Memalukan! Bagaimana hal ini bisa terjadi?!"
Seorang lelaki gagah berusia enam puluh tahun
tengah marah-marah dengan suara meledak-ledak. Je-
las, ia sangat terpukul mendengar laporan kedua orang
murid utamanya.
"Ampun, Guru.... Sebenarnya, pencuri laknat itu
sudah dapat kami ringkus. Tapi, ternyata ada seseo-
rang yang telah membantunya secara sembunyi-sem-
bunyi. Itulah yang telah menyebabkan kegagalan kami,
Guru," sahut lelaki bertubuh gemuk berusia lima puluh
tahun.
Orang itu tak lain adalah Kinaya, salah seorang
murid tertua Perguruan Pedang Sinar Pelangi. Melihat
sikapnya yang demikian penuh rasa hormat, jelas kalau
saat itu Kinaya tengah berhadapan dengan guru be-
sarnya.
Memang, lelaki yang tengah marah-marah itu ada-
lah Ki Giri Tantra, jago pedang nomor satu di wilayah
Selatan.
"Alasan! Hanya karena lontaran batu sebesar ke-
palan tangan, kalian gagal? Hahhh! Benar-benar me-
malukan!"
Kembali Ki Giri Tantra atau berjuluk Raja Pedang
Sinar Pelangi mengumpat dengan selebar wajah me-
merah.
"Tahukah kalian, apa sebenarnya yang telah dicuri
manusia laknat itu?!" Tanya Ki Giri Tantra yaitu guru
besarnya sambil melangkah maju beberapa tindak
mendekati empat orang murid utamanya yang ber-
kumpul di tempat itu.
Selain keempat murid utama Perguruan Pedang
Sinar Pelangi, tidak seorang pun murid lain yang di-
perbolehkan hadir dalam pertemuan itu. Karena, yang
tengah dibicarakan adalah masalah yang tidak boleh
diketahui murid-murid tingkat rendah. Hanya keempat
orang murid utama itulah yang boleh mengetahuinya.
Itu sebabnya, mengapa ruang pertemuan itu hanya di-
hadiri empat orang murid utama Ki Giri Tantra.
"Ampun, Guru. Kami yang bodoh ini, sama sekali
tidak mengetahui," sahut Kinaya sambil menundukkan
kepala dalam-dalam.
la sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Di-
sadari betul, kemarahan guru besarnya kali ini benar-
benar menakutkan. Padahal dalam menghadapi setiap
persoalan, guru besarnya selalu tampil tenang dan
tidak pernah terlihat marah. Apalagi meledak-ledak
seperti itu. Benar-benar tidak diduga Kinaya. Sehingga,
hatinya jadi bertanya-tanya tentang benda yang telah
berhasil dicuri sosok berpakaian serba hitam itu se-
malam.
"Hm.... Tahukah kalian, selama lima tahun belaka-
ngan ini aku selalu bersemadi? Apa sebabnya? Tidak
lain karena aku tengah menciptakan jurus-jurus ting-
kat terakhir dari limu 'Pedang Sinar Pelangi' yang
memang belum sempurna secara keseluruhan. Nah,
bisa kalian bayangkan, ilmu yang selama hampir lima
tahun ini kutekuni tahu-tahu saja lenyap dicuri orang.
Dan ini merupakan bencana besar bagi perguruan
kita," jelas Ki Giri Tantra dengan wajah penuh keke-
cewaan.
"Jadi.... Jadi maksud Guru, peti kayu yang dibawa
orang berpakaian serba hitam itu adalah tempat pe-
nyimpanan kitab ilmu hasil ciptaan Guru Selama ham-
pir lima tahun terakhir ini?" Tanya Kinaya, gugup. Me-
mang keterangan Ki Giri Tantra benar-benar sangat
mengejutkan bagi keempat murid utamanya. Sehingga
membuat mereka menjadi menyesal karena kelalaian-
nya dalam menjalankan tugas.
"Benar. Dan ilmu itu pulalah yang akan kuguna-
kan untuk menghadapi jago-jago pedang di empat pen-
juru. Karena, pertemuan yang berlangsung setiap lima
tahun sekali, hanya tinggal beberapa bulan lagi. Me-
nurut dugaanku, bukan tidak mungkin kalau pencuri
laknat itu merupakan salah seorang suruhan saingan-
ku. Dan kalau dugaanku ternyata benar, maka habis-
lah harapanku untuk dapat merebut gelar jago pedang
nomor satu di jagad ini. Nah, sekarang kalian mengerti,
mengapa aku demikian marah mendengar adanya pen-
curian itu?" Kata Ki Giri Tantra sambil kembali duduk
di atas kursinya. Wajah jago pedang itu tampak lesu
bagaikan orang kehilangan semangat.
"Kalau begitu biarlah kami yang akan menyelidiki
dan mencari pencuri keparat itu, Guru," pinta Wiradesa
ikut angkat bicara.
Usui itu diajukan untuk menebus kesalahannya
yang tidak berhasil menangkap pecuri kitab yang me-
mang lihai itu.
"Betul, Guru. Izinkan kami menyelidikinya. Dan
kami berjanji tidak akan kembali tanpa kitab ataupun
pencuri laknat itu," timpal Kinaya menguatkan usul
adik seperguruannya.
"Tidak. Kalian tetap menjaga perguruan ini Urus-
lah perguruan ini sebaiknya. Biar aku sendiri yang
akan pergi menyelidiki persoalan ini. Karena menurut-
ku, pencuri kitab itu pasti mempunyai sangkut-paut
dengan pertemuan yang akan berlangsung beberapa
bulan lagi. Kurasa akan lebih baik kalau aku sendiri
yang pergi menyelidikinya. Bukan karena tidak percaya
terhadap kemampuan kalian. Selain persoalan ini sa-
ngat rumit, juga menyangkut nama baik perguruan.
Dan aku tidak ingin ada orang luar yang mengetahui
persoalan ini! Ingat itu baik-baik!" pesan Ki Giri Tantra
menekankan kepada keempat orang murid utamanya.
"Kalau memang itu Sudan menjadi keputusan Gu-
ru, kami akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya,"
sahut Kinaya sambil membungkukkan tubuhnya,
memberi hormat.
"Juga, jangan sekali-kali kalian menyinggung ma-
salah ini kepada murid-murid lain. Cukup hanya kita
berlima saja yang mengetahuinya. Kuserahkan tugas
mengurus perguruan kita kepadamu, Kinaya. Sedang
kalian bertiga harus membantu tugas-tugas Kinaya.
Bila ada yang ingin bertemu denganku, katakan aku te-
ngah menyepi dan tidak bisa diganggu. Kalian paham
maksudku," tegas Ki Giri Tantra dengan wajah tegang.
"Kami paham, Guru...," sahut keempat orang murid
utama itu serempak.
Keempat murid utama itu baru mengangkat kepala
ketika langkah kaki guru besar mereka sudah tidak ter-
dengar lagi. Ki Giri Tantra atau yang lebih dikenal seba-
gai Raja Pedang Sinar Pelangi langsung pergi mening-
galkan perguruan untuk menyelidiki tentang lenyapnya
kitab yang berisikan hasil ciptaannya selama lima ta-
hun terakhir menjelang pertemuan jago-jago pedang.
Sepeninggal Ki Giri Tantra, keempat orang tokoh
utama Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu baru ber-
gegas meninggalkan ruang pertemuan. Tidak satu pun
dari mereka yang mengeluarkan kata-kata. Sepertinya
keempat orang itu lebih suka berdiam diri, menyimpan
berbagai pertanyaan dalam benak masing-masing.
***
TIGA
Laki-laki gagah berusia sekitar enam puluh tahun
itu melangkah tegap di bawah siraman cahaya mataha-
ri sore. Hembusan angin yang sejuk membuat jubah-
nya yang berwarna merah bergaris hitam pada bagian
leher, tampak membuat penampilannya semakin ga-
gah. Dari gagang pedang yang tersembul di balik pung-
gungnya, jelas orang tua itu adalah seorang tokoh rim-
ba persilatan.
Senja sudah mulai menampak ketika langkah kaki
orang tua itu mulai memasuki perbatasan sebuah desa.
Melihat dari huruf-huruf yang tertera pada sebuah
tiang batu yang terpancang di tepi jalan, tampaknya
desa didepan itu bernama Desa Kemang.
"Hm…. Ada baiknya kalau aku melewatkan malam
di desa yang kelihatan tenteram ini Setelah beberapa
hari menempuh perjalanan tanpa hasil dan selalu ber-
malam dalam hutan, membuat pikiranku menjadi tidak
tenteram. Mudah-mudahan saja di desa itu pikiranku
bisa tenang. Dengan pikiran jernih, aku bisa mengkaji
kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perguru-
anku," gumam lelaki tua itu sambil meneruskan lang-
kahnya kembali.
Melihat ciri-ciri dan raut wajahnya, jelas kalau
orang tua itu tak lain dari Raja Pedang Sinar Pelangi
yang tengah dalam perjalanan menyelidiki hilangnya
kitab ciptaannya. Rupanya, langkah kaki orang tua itu
telah membawanya hingga ke Desa Kemang yang ter-
letak di wilayah perbatasan antara Selatan dan Barat.
Jelas, kakek itu telah menempuh perjalanan cukup ja-
uh dan melelahkan.
Setibanya di Desa Kemang, Ki Giri Tantra segera
mencari kedai makan yang juga menyediakan tempat
menginap. Dipesannya sebuah kamar setelah terlebih
dahuti mengisi perutnya yang semenjak pagi belum
kemasukan sepotong makanan pun.
Dengan diantar seorang pelayan yang usianya se-
baya dengannya, Ki Giri Tantra segera merebahkan
tubuh di atas balai-balai. Sepasang mata orang tua itu
tertuju ke langit-langit kamar yang terbuat dari atap
rumbia. Sesekali terdengar helaan napas yang berat
dan berkepanjangan. Jelas, hati orang tua itu tengah
dicekam keresahan yang sangat.
Malam sudah semakin larut ketika Ki Giri Tantra
jatuh terlelap dengan napas teratur lembut. Keadaan
pun semakin hening dan sunyi. Hanya suara jangkrik
dan binatang malam saja yang saling bersahutan me-
nyemarakan suasana malam.
Namun, rupanya tidak semua orang yang ikut ter-
lelap dengan suasana malam ini. Seperti halnya, dua
sosok tubuh berpakaian serba hitam yang melangkah
perlahan mendekati kamar tempat Ki Giri Tantra me-
nginap. Melihat dari cara melangkah yang tanpa me-
nimbulkan suara mencurigakan, jelas mereka adalah
ahli-ahli silat yang terlatih baik.
Langkah kedua sosok bayangan hitam itu baru ber-
henti didepan jendela kamar Ki Giri Tantra. Salah
seorang dari mereka yang bertubuh sedikit lebih tinggi,
memberi isyarat sambil mengeluarkan sesuatu dari
balik pakaiannya. Sedangkan kawannya mencongkel
daun jendela dengan sangat hati-hati.
Namun, seorang tokoh lihai seperti Ki Giri Tantra
tentu saja telah memiliki indera pendengaran yang sa-
ngat terlatih dan peka terhadap bunyi-bunyi mencuri-
gakan. Meskipun kedua orang itu telah berlaku sangat
hati-hati, tetap saja telinga orang tua sakti itu dapat
menangkapnya.
Cepat bagai kilat, Ki Giri Tantra bergerak bangkit
tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun pada balai-balai
yang ditidurinya. Dengan sangat hati-hati sekali, kaki-
nya melangkah turun dari atas pembaringan. Sedang-
kan di tangannya telah tergenggam pedang yang se-
mula diletakkan di atas meja dekat tempat tidurnya.
Derrr...!
Daun jendela itu kontan jebol berantakan akibat
tendangan keras yang dilakukan Ki Giri Tantra! Cepat
bagai kilat, tubuh orang tua itu melesat keluar menero-
bos kayu yang berhamburan.
Dengan gerakan indah, kedua tangan Ki Giri Tantra
menahan jatuh tubuhnya. Persis seekor harimau yang
terkamannya lolos tak mengenai korbannya. Sekejapan
mata saja, tubuh orang tua itu telah bangkit berdiri.
"Hei, berhenti...!" cegah jago pedang wilayah Selatan
itu seketika terlihat dua sosok tubuh berlarian me-
ninggalkan tempat penginapannya itu secara berpen-
car.
Tanpa berpikir panjang lagi, tubuh orang tua itu
melesat melakukan pengejaran terhadap salah satu da-
ri dua orang berpakaian hitam itu. Sosok bayangan
hitam yang menuju keluar desa itulah yang menjadi
sasarannya. Sedangkan, sosok yang satunya lagi telah
lenyap di balik rumah-rumah penduduk.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepat yang telah
mencapai tingkat tinggi, Ki Giri Tantra melakukan pe-
ngejaran. Hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama,
jarak di antara mereka hanya terpisah beberapa tom-
bak saja. Sayangnya, suasana yang gelap telah meno-
long sosok bayangan hitam itu. Sehingga, Ki Giri Tantra
yang telah memiliki banyak pengetahuan tentang ke-
licikan tokoh-tokoh sesat, tidak ingin bertindak cerboh.
Jarak pengejarannya tetap diatur agar tidak memba-
hayakan dirinya. Memang, bukan tidak mungkin kalau
orang yang dikejarnya akan menggunakan senjata
rahasia untuk mencegahnya. Apalagi bila orang itu ter-
nyata ahli racun. Bisa-bisa ia tewas akibat kecerobo-
hannya.
Untunglah, meskipun remang-remang, cahaya rem-
bulan masih menyirami permukaan bumi. Sehingga,
jago pedang nomor satu di wilayah Selatan itu tidak
sampai kehilangan buruannya.
Setelah cukup jauh meninggalkan wilayah Desa
Kemang, Ki Giri Tantra mencoba memperpendek jarak
pengejarannya dengan mengambil tempat di belakang
sebelah kanan lawan. Hal itu tentu saja menyulitkan
buruannya untuk melakukan serangan gelap. Kalau
pun orang itu melakukan, sudah pasti akan dapat di-
tebak sebelumnya. Karena, apabila buruannya hendak
melancarkan serangan gelap, haruslah membalikkan
tubuhnya terlebih dahulu. Dan itu tentu memperlam-
bat gerakannya.
Namun, orang berseragam serba hitam itu pun
bukan tidak tahu akan kejaran lawannya yang semakin
cepat. Maka, larinya pun semakin dipercepat.
"Heaaat...!"
Melihat buruannya sudah hampir mencapai mulut
hutan, Ki Giri Tantra berseru nyaring. Seketika itu
juga, tubuhnya melesat ke depan dan langsung ber-
jumpalitan sebanyak lima kali di udara. Memang, Ki
Giri Tantra berniat hendak menjegal perlajanan lawan-
nya itu.
Sayang Ki Giri Tantra kembali harus menelan ke-
nyataan pahit. Ternyata pada saat tubuhnya berjumpa-
litan di udara, buruannya melakukan hal yang sama.
Sehingga, meskipun jago pedang nomor satu di wilayah
Selatan itu dapat mendaratkan kakinya beberapa tom-
bak di muka, namun buruannya telah lenyap di telah
kegelapan hutan.
"Bedebah....!” maki Ki Giri Tantra sambil mem-
banting kaki kanannya ke atas tanah. Jelas sekali dia
sangat kecewa atas kegagalannya.
Ki Giri Tantra alias Raja Pedang Sinar Pelangi ada-
lah seorang yang berhati keras. Hatinya sama sekali
tidak gentar meskipun buruannya telah lenyap di balik
kegelapan hutan. Dengan mengatupkan gerahamnya,
tubuh orang tua sakti itu melesat masuk ke dalam hu-
tan.
Apa yang dilakukan Ki Giri Tantra sama sekali bu-
kanlah perbuatan nekat. Hal itu memang telah diper-
hitungkan terlebih dahulu. Kegelapan suasana di da-
lam hutan, membuat kakek itu berniat sekali mencoba
ilmu yang selama lima tahun terakhir ini diperdalam-
nya. Memang, kegelapan maupun suara bising bina-
tang malam, benar-benar membantu latihannya. Apa-
lagi, jurus ilmu 'Pedang Sinar Pelangi' tingkat terakhir,
memang mengandalkan kepekaan daya pendengaran
maupun pemusatan pikiran yang hanya tertuju pada
satu titik.
Ki Giri Tantra memasuki wilayah hutan lebat itu
dengan langkah-langkah teratur dan perlahan. Sepa-
sang matanya tertuju lurus ke depan, Sekilas pun
orang tua itu sama sekali tidak menoleh, meski ada
suara gemerisik yang didengarnya. Melihat dari cara
dan sikapnya yang tenang, jelas kalau ilmu pedang
yang diciptakannya telah hampir mencapai titik kesem-
purnaan.
Dengan tetap meningkatkan ketajaman pendenga-
ran maupun daya pemusatan pikirannya, orang tua itu
terus melangkah semakin masuk ke dalam wilayah
hutan. Namun sampai sedemikian jauh Ki Giri Tantra
belum juga menemukan adanya tanda-tanda sesuatu
yang mencurigakan.
"Hm.... Nampaknya orang itu tidak bersembunyi di
dalam hutan ini Mungkin terus melarikan diri. Entah,
apa maksud kedua orang itu menyatroni tempatku
menginap? Mungkinkah mereka mempunyai hubungan
dengan pencuri yang menyantroni perguruanku? Me-
lihat mereka dapat tepat menentukan tempatku meng-
inap, jelas mereka telah cukup lama mengikuti," gu-
mam Ki Giri Tantra sambil meneruskan langkahnya
menerobos kegelapan hutan.
Berbagai macam dugaan berkecamuk di benak
orang tua itu sambil menghubung-hubungkan satu
kejadian dengan kejadian lain. Namun sampai sedemi-
kian jauh memutar otak, tak satu pertanyaan pun yang
bias terjawab. Semuanya gelap dan penuh teka-teki.
***
EMPAT
Malam sudah beranjak pagi. Kokok ayam jantan
hutan saling bersahutan, ikut menyemaraki datangnya
sang fajar. Hembusan angin dingin terasa semakin me-
rasuk tulang sum-sum.
Dalam suasana fajar yang dingin, nampak sesosok
tubuh gemuk melangkah perlahan menelusuri kepeka-
tan hutan. Menilik langkahnya, jelas sosok gemuk itu
tengah dalam keadaan siaga. Gerak-geriknya terlihat
sigap. Tampaknya sosok tubuh itu adalah seorang ahli
silat yang tidak bisa dipandang remeh. Apalagi di balik
punggungnya tampak gagang pedang menyembul. Je-
las, sosok bertubuh gemuk itu adalah seorang tokoh
rimba persilatan.
"Siapa itu...?"
Tiba-tiba sosok bertubuh gemuk mengeluarkan
bentakan nyaring yang disertai gerakannya memben-
tuk kuda-kuda kokoh. Sedangkan tangan kanannya
sudah terangkat, siap melontarkan pukulan maut.
Cukup lama sosok bertubuh gemuk itu berdiri me-
nanti sesuatu yang dicurigainya. Tapi, setelah sampai
sedemikian jauh tidak terdengar sesuatu yang men-
curigakan, kepala sosok bertubuh gemuk itu menoleh
berkeliling.
"Hm.... Kalau memang jantan, keluarlah! Tak perlu
main sembunyi-sembunyi seperti gadis pingitan! Atau
aku akan memaksamu keluar dari persembunyian?!"
Sentak sosok bertubuh gemuk itu bernada mengan-
cam. Melihat dari sikap dan gerakannya, jelas ancaman
sosok bertubuh gemuk itu tidak main-main.
Namun, rupanya ancamannya tidak perlu dibukti-
kan. Karena, tak berapa lama kemudian, terdengarlah
sambaran angin berhembus keras mengiringi sesosok
tubuh tinggi kurus yang melayang turun dari atas
pohon. Dan kini, sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri
tegak dalam jarak tiga tombak dari sosok pendek ge-
muk di depannya.
"Apakah mataku salah lihat? Bukankah kau adalah
Raja Pedang Penakluk Bumi?" Tegur sosok tinggi kurus
itu agak pelan. Nada suaranya jelas mengandung ke-
curigaan besar.
"Tidak salah dugaanmu. Dan, aku pun rasanya ti-
dak merasa asing dengan penampilanmu. Kau pasti
Raja Pedang Sinar Pelangi, bukan? Apa yang kau laku-
kan di hutan sepagi ini...?"
Sosok bertubuh pendek gemuk itu pun melotarkan
pertanyaan yang juga bernada penuh kecurigaan.
Jelas, mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
Memang keduanya merupakan jago-jago pedang wila-
yahnya masing-masing.
"Hm.... Seharusnya akulah yang mengajukan perta-
nyaan itu. Mengapa kau berada di hutan ini? Apa pula
yang kau kerjakan sepagi ini di dalam hutan? Apakah
hendak berburu kelinci?" Tanya sosok tinggi kurus
yang memang Ki Giri Tantra.
Rupanya jago pedang wilayah Selatan itu masih pe-
nasaran, hingga meneruskan pencariannya hingga fa-
jar. Pertemuannya dengan Raja Pedang Penakluk Bumi
tentu saja menimbulkan rasa curiga di hatinya.
Tapi melihat sikap dan cara Raja Pedang Penakluk
Bumi yang juga menatap penuh selidik, jelas dia pun
merasa curiga terhadap Ki Giri Tantra. Sehingga, kedua
orang jago pedang yang sama-sama mempunyai nama
besar itu saling menaruh curiga satu sama lain. Apalagi
waktu pertemuan itu memang dalam keadaan yang
sama sekali tidak tepat. Itulah yang membuat mereka
saling curiga.
"Huh! Sombong sekali kau, Ki Giri Tantra! Apakah
dikiranya pertanyaanmu saja yang patut dijawab? Aku
pun ingin mendengar jawabanmu! Katakanlah dengan
jujur. Apa yang kau lakukan di dalam hutan sepagi ini?
atau aku harus memaksamu untuk menjawab perta-
nyaanku?" Kembali Raja Pedang Penakluk Bumi melon-
tarkan pertanyaan serupa yang juga mengandung ke-
curigaan.
Mendengar pertanyaan yang jelas bernada menu-
duh, panaslah hati Raja Pedang Sinar Pelangi. Wajah-
nya tampak semakin merah.
"Hm.... Tak kusangka kalau jago pedang nomor
satu di wilayah Timur telah berubah menjadi seorang
pengecut besar. Rupanya kau sengaja memancingku ke
dalam hutan ini dengan perantaraan murid-muridmu.
Pasti kau takut kalau dalam pertemuan nanti akan da-
pat kukalahkan. He he he.... Sayang, aku sudah bisa
menebak niat busukmu itu. Dan, sekarang akan ku-
selesaikan secara tuntas! Kau boleh pilih. Menyerahkan
kembali kitabku yang telah kau curi, atau aku terpaksa
harus menggunakan kekerasan untuk mendapatkan-
nya?" Balas Ki Giri Tantra disertai penuh ejekan.
"Kurang ajar kau, Giri Tantra! Jangan dikira aku
tertarik dengan ilmu pedang murahanmu! Huh! Dengan
ilmu pedangku pun, kau dapat kubuat kalang-kabut.
Mengapa pula harus mencuri ilmu pedangmu? Kalau
kau memang sudah tidak sabar hendak mencoba ilmu
pedang barumu, tidak usah berdalih yang tidak-tidak.
Sekarang pun aku siap melayanimu," sambut Raja Pe-
dang Penakluk Bumi tegas.
Sebenarnya, jago pedang nomor satu di wilayah Ti-
mur itu pun tengah menghadapi persoalan yang me-
mang serupa pelik. Tapi hal itu sengaja tidak dikemu-
kannya, karena bisa saja disangka memutar balikan
omongan untuk melindungi dirinya. Selain itu, rasa
harga dirinya sebagai jago pedang terasa diinjak-injak
oleh saingannya. Maka tanpa berpikir panjang lagi,
tokoh ini pun bersiap menghadapi Raja Pedang Sinar
Pelangi yang jelas-jelas telah menghina dirinya. Dan hal
itu tidak bisa didiamkan begitu saja.
"Hm.... Marilah kita buktikan! Apakah ilmu 'Pedang
Penakluk Tikus' milikmu akan mampu bertahan dari
seranganku?" Ejek Ki Giri Tantra sambil melolos pe-
dang yang mengeluarkan sinar berwama-warni dari
balik punggungnya.
Sringgg...!
Pancaran yang tak ubahnya sinar pelangi, berpen-
dar ketika Ki Giri Tantra mengibaskan pedangnya ke
kiri dan ke kanan.
Wuuut... Wuuut..!
Bagaikan pancaran pelangi di angkasa, sinar pe-
dang yang memancarkan cahaya berwarna-warni itu
bergulung-gulung sebelum akhirnya terhenti didepan
wajah Ki Giri Tantra. Melihat dari gerakan sambaran
pedangnya, jelas ilmu 'Pedang Sinar Pelangi' lebih me-
ngutamakan keindahan dan kelincahan.
Berbeda dengan ilmu Pedang Penakluk Bumi, yang
dimiliki jago pedang wilayah Timur. Gerakannya nam-
pak mencerminkan kekuatan dan ketepatan arah.
Sekali lihat saja, bisa dilihat kalau kedua ilmu yang
dimiliki jago-jago pedang itu memilik perbedaan. Tapi,
justru satu sama lain sebenarnya saling menunjang.
Namun rasa tidak mau kalah, membuat mereka saling
mengunggulkan kepandaian masing-masing. Kalau saja
kedua jago pedang wilayah Timur dan Selatan ini mau
bergabung, rasanya ilmu pedang mereka akan menjadi
lebih sempurna. Sayang kedua tokoh sakti itu tidak
menyadarinya. Atau mereka memang tidak mau me-
nyadari hal itu.
"Haiiit...!"
Ki Giri Tantra yang merasa lebih penasaran dari-
pada lawannya, langsung berseru nyaring disertai lom
patan panjangnya. Gerakan itu dibarengi putaran
pedang di tangan yang menimbulkan pancaran warna-
warni dan tentu saja menyilaukan pandangan mata
lawan. Memang itulah salah satu keistimewaan ilmu
'Pedang Sinar Pelangi' yang dimiliki Ki Giri Tantra.
Sehingga, banyak lawan yang tewas akibat pancaran
sinar pelangi yang berpendar dari mata pedang tokoh
sakti wilayah Selatan itu.
Wuuut... Wuuut...!
Sambaran gulungan sinar pedang yang berpendar
menyilaukan mata ternyata tidak membuat Raja Pe-
dang Penakluk Bumi gugup. Cepat tubuhnya melom-
pat ke samping sambil memurar senjatanya cepat dan
kuat, hingga membentur senjata lawan.
Dalam sekejap saja, kedua gulungan sinar pedang
itu terlihat saling libat dan saling tindih dengan hebat-
nya! Sambaran-sambaran angjn pedang yang menim-
bulkan suara mengaung itu, membuat beberapa dahan
pohon yang terlanggar langsung bertebaran bagaikan
dilanda angin topan! Bahkan beberapa batang pohon
sepelukan orang dewasa yang tumbuh dekat arena per-
tarungan, berderak ribut dan langsung tumbang akibat
sambaran pedang yang nyasar! Tentu saja keadaan
yang porak-poranda di tempat itu, membuat pertaru-
ngan semakin semrawut.
"Yeaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
empat puluh, tiba-tiba Raja Pedang Penakluk Bumi
membentak keras! Berbarengan bentakan itu, tokoh
Timur bertubuh pendek gemuk itu langsung melesat
dan melakukan tekanan-tekanan berat pada lawannya.
Sehingga bila dilihat secara sepintas, Raja Pedang Sinar
Pelangi seperti terdesak hebat oleh serangan lawannya.
Nyatanya tokoh wilayah Selatan itu hanya bermain
mundur dan tanpa membuat serangan balasan yang
berarti.
Tapi tidak demikian halnya yang dirasakan Raja
Pedang Penakluk Bumi. Tekanan-tekanannya yang je-
las menggunakan banyak tenaga, sama sekali tidak
membuat lawan terdesak. Bahkan setelah mencecar
selama sepuluh jurus, terlihat serangan tokoh ber-
tubuh pendek gemuk itu mulai mengendur. Peluh pun
mulai menitik membasahi keningnya. Jelas, serangan
yang dilancarkan bertubi-tubi selama lebih kurang
sepuluh jurus itu telah menguras banyak tenaga.
Ki Giri Tantra yang menyadari kalau tekanan la-
wannya mulai berkurang, cepat memutar senjatanya
hingga membentuk gulungan sinar pelangi yang berge-
rak turun naik dengan kecepatan tinggi. Secara sepin-
tas, gerakan pedang itu seperrj tidak membahayakan.
Bahkan hanya kelihatan indah, sehingga akan membu-
at orang mengeluarkan pujian-pujian kagum. Memang,
serangan pedang Ki Giri Tantra tak ubahnya sebuah
tarian pedang. Sehingga, terasa lebih enak untuk di-
nikmati ketimbang dipakai membunuh orang. Namun
justru di balik keindahan gerakan itulah tersembunyi
ancaman maut mengerikan!
Dan akibatnya mulai dirasakan Raja Pedang Penak-
luk Bumi yang menjadi sasaran serangan lawan. Pan-
caran sinar pelangi yang berpendar dari badan pedang,
benar-benar membuatnya jengkel. Sehingga, beberapa
kali tubuhnya nyaris termakan ujung senjata lawan!
Tentu saja keadaan itu sama sekali tidak diinginkan-
nya.
"Haaat..!"
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ke
tujuh puluh, Raja Pedang Penakluk Bumi menjadi ge-
ram sekali. Cepat pedangnya diputar pada saat senjata
lawan hampir menyentuh bagian lambungnya.
Tranggg.... Tranggg...!
Bunga api berpijar menandakan kerasnya benturan
dua batang pedang yang sama-sama digerakkan tenaga
dahsyat itu! Rupanya, Raja Pedang Penakluk Bumi
yang merasa tidak tahan oleh gempuran-gempuran
lawan, nekat memapak sambaran ujung pedang yang
mengincar lambungnya. Sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, kedua senjata yang sama ampuh itu pun saling
berbenturan menimbulkan suara berdentang nyaring!
"Uhhh...!"
"Aaah...!"
Benturan keras itu masih disusul terlemparnya tu-
buh masing-masing ke belakang. Namun sebagai tokoh
sakti yang berpengalaman, mereka dapat mendaratkan
kedua kaki di atas tanah dengan berjumpalitan bebe-
rapa kali di udara.
"Hm.... Jangan merasa bangga dulu, Pedang Penak-
luk Tikus! Aku masih menyimpan sebuah jurus yang
selama lima tahun terakhir ini kuciptakan. Dan dengan
jurus pedang tingkat terakhir inilah, kau akan kupaksa
menyerahkan nyawa. Sebelum semuanya terlambat, se-
baiknya serahkan kitab ilmu pedangku yang kau curi
beberapa hari yang lalu. Cepatlah, sebelum kesabaran-
ku habis!" tegas Ki Giri Tantra, tetap menuduh Raja
Pedang Penakluk Bumi sebagai pencuri kitabnya.
Tuduhan yang dilontarkan Ki Giri Tantra memang
cukup beralasan. Buktinya tokoh wilayah Timur itu ada
di hutan ini pada saat Ki Giri Tantra tengah mengejar
manusia bertopeng yang melarikan diri ke sini. Apalagi,
Raja Pedang Penakluk Bumi memang merupakan sai-
ngannya yang cukup kuat dalam dua kali pertemuan
yang telah diadakan. Dua hal itulah yang membuatnya
Ki Giri Tantra semakin mencurigai saingannya.
"Setan! Enak saja kau lontarkan tuduhan murahan
itu kepadaku! Hm.... Aku tahu sekarang, tuduhan ren
dah itu sengaja kaulontarkan kepadaku, karena kaulah
yang telah mencuri kitab ilmu pedang ciptaanku se-
minggu yang lalu. Dan untuk mengalihkan perhatian,
kau mencoba memutar balikan kenyataan. Heran, me-
ngapa sekarang kau tiba-tiba berubah menjadi ma-
nusia licik berhati culas? Apakah hal itu karena cita-
cita kosongmu untuk menjadi jago pedang nomor satu
di kolong langit ini? Hhh.... Benar-benar sebuah siasat
keji!" Balas Raja Pedang Penakluk Bumi. Dia terpaksa
membuka rahasianya ketika mendengar tuduhan Ki
Grri Tantra yang baginya sangat fidak beralasan.
"Kurang ajar! Kau kira aku akan percaya begitu saja
dengan ocehanmu itu, Manusia Busuk! Setan apa yang
telah merasuki jiwamu, sehingga hatimu bisa demikian
licik?" geram Ki Giri Tantra. Sedangkan wajahnya se-
makin bertambah gelap saja. Jelas kalau ia merasa
sangat marah mendengar tuduhan itu.
"Hm.... Rasanya persoalan ini memang harus di-
selesaikan dengan senjata," kata Raja Pedang Penakluk
Bumi. Tampaknya dia sudah kembali bersiap meng-
hadapi pertarungan mati-matian. Sementara pedang di
tangannya kembali melintang di atas kepala.
"Rasanya itu lebih baik! Aku tidak peduli lagi de-
ngan pertemuan itu, dan harus menghajarmu sekarang
juga!"
Setelah ucapannya selesai, tubuh Ki Giri Tantra
langsung saja melesat disertai gulungan sinar pedang-
nya yang kali ini jelas menggetarkan hati lawan!
Raja Pedang Penakluk Bumi pun jelas sudah siap
menyambut serangan lawan. Pedang di tangannya di-
putar sedemikian rupa hingga membentuk gulungan
sinar yang membungkus sekujur tubuhnya.
"Heaaat..!"
Disertai teriakan mengguntur, tubuh lelaki pendek
gemuk itu melesat bagaikan terbang memapak sam
baran senjata lawan. Jelas, kedua orang tokoh itu telah
bertekad mengadu nyawa demi harga diri dan nama
besar.
Namun sebelum kedua sergata yang sama-sama
mengandung kekuatan dahsyat itu saling gempur, tiba-
tiba saja berkelebat cepat sesosok bayangan putih.
Langsung dua orang siap mengadu senjata itu dipisah-
kan, diiringi bentakan nyaring yang menggetarkan jan-
tung.
'Tahan...!"
Sambil berseru keras, sosok bayangan putih itu
langsung mengibaskan senjata bersinar keemasan di
tangan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan....
Tranggg...! Tranggg...!
Terdengar benturan nyaring yang disertai pijaran
bunga api! Kemudian disusul, terpentalnya ketiga so-
sok tubuh itu ke arah yang berlainan.
Dalam mematahkan tenaga benturan tadi, sosok
bayangan putih yang memisahkan perkelahian itu ter-
nyata menunjukkan kebolehannya dalam hal ilmu me-
ringankan tubuh. Tampak sosok bayangan putih itu
berjumpalitan beberapa kali di udara, kemudian men-
darat ringan sejauh dua tombak dari benturan tadi.
Ki Giri Tantra dan Raja Pedang Penakluk Bumi yang
juga telah mendarat selamat, melepaskan pandangan
ke arah sosok bayangan putih yang berdiri gagah bebe-
rapa langkah di dekat mereka. Senyum ramah tampak
tersungging di wajah sosok bayangan putih yang ter-
nyata seorang pemuda tampan dan menarik.
Namun, bukan ketampanan maupun kegagahan pe-
muda itu yang membuat Ki Giri Tantra dan Raja Pe-
dang Penakluk Bumi menatap dengan kening berkerut.
Tapi, lapisan kabut bersinar putih keperakan yang me-
nyelimuti sekujur tubuh pemuda itulah penyebabnya.
"Pendekar Naga Putih...!"
Baik Ki Giri Tantra maupun Raja Pedang Penakluk
Bumi, sama-sama menyembutkan sebuah julukan yang
telah pula sampai di telinganya. Julukan itu ternyata
telah cukup dikenal kedua jago pedang yang berdarah
panas itu.
"Benar, Kisanak sekalian. Dan maaf kalau aku telah
lancang mencampuri urusan kalian. Tapi, demi keadi-
lan yang harus ditegakkan terpaksa aku terjun men-
campurinya," ucap sosok yang ternyata memang Pende-
kar Naga Putih.
Ucapannya sangat hormat dan sopan. Sehingga,
mau tidak mau ke dua orang jago pedang itu saling
pandang. Bahkan wajah mereka memancarkan rasa
kagum melihat kesopanan nada bicara pemuda tampan
itu.
"Hm.... Apa maksudmu mencampuri urusan kami?
Aku tahu sepak terjangmu. Bahkan aku kagum pada-
mu. Tapi itu tidak berarti bebas mencampuri setiap
urusan orang!" Tegur Ki Giri Tantra dengan pedang
masih tetap terhunus di tangannya.
"Maaf, Raja Pedang Sinar Pelangi," ucap Panji.
Tentu saja, Pendekar Naga Putih dapat mudah me-
ngenali tokoh sakti itu. Memang, pedang di tangan
orang tua itu telah menunjukkan, siapa tokoh itu.
"Nama besar dan kebijaksanaanmu dalam meng-
ambil tindakan, telah lama membuatku kagum. Seperti
halnya dengan kejadian kali ini. Aku pun yakin, kau
akan dapat menyelesaikannya dengan baik dan tanpa
bantuanku yang bodoh ini. Sedangkan kehadiranku,
hanya karena tertarik melihat perkelahian yang hebat
dan mati-matian ini. Entah, apa yang telah menyebab-
kan kalian berdua saling terjang dengan serunya?"
lanjut Panji sengaja memuji sikap Raja Pedang Sinar
Pelangi untuk memancing kebijaksanaan orang tua itu.
Apa yang diharapkan Pendekar Naga Putih mulai
menampakkan hasilnya. Buktinya, raut wajah Ki Giri
Tantra mulai berseri. Jelas, pujian Panji sangat me-
ngena di hatinya. Kenyataan itu tentu saja membuat-
nya merasa gembira.
"Hm.... Bagus kalau kau sudah cukup mengenalku
dengan baik, Pendekar Naga Putih. Dengan meman-
dang nama besarmu sebagai pendekar yang banyak
dikagumi tokoh persilatan, aku bersedia menceritakan
persoalan yang membuat kami bertarung mati-matian.
Marilah kita mencari tempat yang enak untuk berbica-
ra," ajak Ki Giri Tantra, segera melangkah ke sebatang
pohon berdaun rindang.
***
"Persoalan itulah yang membuatku menggempur-
nya habis-habisan, Pendekar Naga Putih. Apalagi ke-
munculan Raja Pedang Penakluk Bumi tepat pada saat
buruanku hilang. Maka tentu saja aku menjadi curiga
kepadanya. Dan rasa, kecurigaanku cukup beralasan,"
jelas Ki Giri Tantra mengakhiri ceritanya sambil me-
ngerling ke arah Raja Pedang Penakluk Bumi.
"Bagaimana, Ki Tunggul Wulung? Apa yang telah
membuatmu melayani kemarahan Ki Giri Tantra?" Ta-
nya Pendekar Naga Putih.
Kini perhatian Panji beralih kepada jago pedang
bertubuh pendek gemuk yang semenjak tadi hanya di-
am mendengarkan penuturan Raja Pedang Sinar Pe-
langi. Sedikit pun cerita saingannya itu tidak dipotong.
Memang, disadari betul kalau hal itu hanya akan me-
nambah keruh suasana saja.
Jago pedang wilayah Timur itu tidak segera men-
jawab pertanyaan Panji. Sejenak pandangannya dile-
paskan ke arah Ki Giri Tantra, Panji, dan Kenanga yang
saat itu telah berada di sebelah Pendekar Naga Putih.
Ditariknya napas perlahan sebelum menceritakan pe-
ngalamannya.
"Sebenarnya aku merasa malu menceritakan per-
soalan ini. Tapi demi keadilan yang kita junjung tinggi,
biarlah aib memalukan yang menimpa perguruanku
pada beberapa hari yang lalu kuceritakan," kata Raja
Pedang Penakluk Bumi, yang ternyata bernama Ki
Tunggul Wulung. Kemudian kepalanya ditengadahkan
ke arah cakrawala yang mulai cerah.
"Apa yang kualami ini, hampir tidak berbeda de-
ngan Ki Giri Tantra. Kitab ilmu pedang ciptaanku yang
terbaru, lenyap dari tempat pertapaanku. Anehnya, ti-
dak seorang murid pun yang memergoki pencuri laknat
itu. Lalu, aku memutuskan untuk mencarinya sendiri.
Dan pada malam tadi, dua orang berseragam hitam
yang hendak mencelakaiku dengan licik."
Sebentar Raja Pedang Penakluk Bumi terdiam.
Otaknya berusaha mengingat-ingat segala peristiwa
yang terjadi pada dirinya. Tampaknya, wajah Ki Tung-
gul Wulung sendiri kusam saja. Jelas, kemarahannya
kali ini seperti tak ada ampun lagi.
"Saat itu, aku tengah melewatkan malam di tepi
sungai yang letaknya tidak jauh dari wilayah hutan ini.
Karena melihat kedua orang itu tidak memiliki kepan-
daian yang membahayakan, maka aku menduga mere-
ka pasti mempunyai pimpinan yang sengaja menugas-
kan untuk mencelakaiku. Itulah sebabnya, mengapa
aku tidak sungguh-sungguh mengejar mereka. Ketika
kedua orang itu berpencar, salah seorang kuikuti.
Kebetulan, larinya menuju ke dalam hutan ini. Sayang
orang itu berhasil menyelamatkan diri dari kejaranku
dengan cara menyelinap di balik pepohonan."
Kembali Ki Tunggu Wulung menghentikan cerita-
nya. Kali ini dia menarik napas daiam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Dia ingin melepaskan
kekesalannya dengan mengungkapkan seluruh hatinya.
"Karena kehilangan jejak buruanku, maka wilayah
hutan ini kutelusuri. Siapa tahu orang berpakaian
hitam itu mempunyai markas di dalam hutan lebat ini.
Namun yang kujumpai ternyata malah Raja Pedang
Sinar Pelangi yang marah-marah dan menuduhku telah
menjebaknya. Dan kemarahanku semakin bangkit ke-
tika aku dituduh telah mencuri kitab ilmu pedangnya.
Maka, kami pun bertempur sampai akhirnya kau da-
tang memisahkan kami".
Ki Tunggul Wulung menutup ceritanya. Hanya se-
pasang matanya saja yang menyiratkan kegeraman ter-
hadap orang-orang yang telah mengadu domba antara
dirinya dengan Raja Pedang Sinar Pelangi.
"Hm.... Sepertinya ada pihak ketiga yang sengaja
hendak mengadu domba kalian berdua. Maksudnya
memang masih belum jelas. Yang pasti, kalian berdua
hendak dilenyapkan tanpa mengotori tangan sendiri.
Dan hampir saja pihak ketiga itu bersorak melihat
usahanya hampir berhasil. Untunglah di antara kalian
belum ada yang terluka ataupun tewas. Dan bila hal itu
sampai terjadi, rasanya akan sulit menghapus dendam
di antara murid-murid kalian berdua," duga Panji se-
raya menghela napas lega.
"Keparat! Padahal sepengetahuanku, aku sama se-
kali tidak mempunyai musuh. Kau tahu, selama ku-
rang lebih hampir lima tahun ini, waktuku kuhabiskan
dengan bertapa untuk menciptakan ilmu baru yang
akan kupertunjukkan pada pertemuan mendatang.
Entah, siapa yang telah mengatur rencana ini dengan
sedemikian rapinya. Untunglah kau datang pada saat
yang sangat tepat, Panji. Terlambat sedikit saja, tentu
kami berdua telah tergeletak jadi mayat," maki Ki Giri
Tantra yang rupanya telah menyadari kekeliruannya.
“Ya. Rasanya kau pun tidak mempunyai musuh yang
perlu dirakuti. Dan melihat dari rencananya yang telah
menjebak kita berdua, jelas mereka tidak berani berha-
dapan langsung dengan kita," kata Ki Giri Tantra lagi
bernada menyimpan rasa penasaran. '
"Hm.... Menurutku, orang yang mengadu domba ini,
pasti bukanlah musuh salah seorang dari kalian. Tapi
yang jelas, orang itu tentu mempunyai hubungan de-
ngan kalian berdua. Dugaanku, kalau ia memang mu-
suh dari salah seorang dari kalian tentu tidak akan
sudi bersusah payah seperti ini. Mereka cukup hanya
dengan menyerbu perguruan kalian tanpa perlu meng-
adu domba segala," jelas Pendekar Naga Putih, meng-
utarakan pendapatnya.
Raja Pedang Sinar Pelangi dan Raja Pedang Penak-
luk Bumi hanya manggut-manggut mendengar penjela-
san Pendekar Naga Putih. Rupanya, mereka sependapat
dengan Panji.
"Hm.... Kalau begitu, aku harus segera kembali ke
perguruan. Hhh.... Bisa saja orang-orang berseragam
hitam itu telah datang selagi aku berada di sini. Maaf,
aku harus pergi. Ingat Ki Giri Tantra. Waktu kita untuk
bertemu hanya tinggal beberapa bulan lagi. Nah, aku
harus pergi...."
Selesai berkata demikian, tubuh Ki Tunggul Wulung
bergerak meninggalkan hutan. Sejekap saja, tubuh jago
pedang dari wilayah Timur pun telah lenyap di balik
lebatnya pepohonan hutan.
Sepeninggal Raja Pedang Penakluk Bumi, Ki Giri
Tantra pun bergerak bangkit dari duduknya.
"Rasanya aku pun harus segera kembali ke pergu-
ruan, Panji. Jangan-jangan apa yang diduga Ki Tunggul
Wulung telah menimpa perguruanku. Hm... Kalau kau
tidak merasa keberatan, aku ingin meminta pertolo-
nganmu untuk menyelidiki orang-orang yang telah
mencampuri dan mengadu domba kami," pinta orang
tua itu sebelum meninggalkan Panji dan Kenanga.
"Terima kasih, Ki. Kepercayaan yang Aki berikan
merupakan suatu kehormatan besar bagiku. Hmmm....
Kalau boleh kutahu, kapankah pertemuan itu akan
diadakan?" Tanya Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih merasa tertarik juga
dengan pertemuan yang diadakan jago-jago pedang di
empat penjuru.
"Empat bulan mendatang. Tepat pada saat purna-
ma," jawab Ki Giri Tantra.
Kemudian, orang tua itu melangkah cepat mening-
galkan Panji dan Kenanga yang menatap kepergian
orang tua itu dengan pandang mata kagum. Memang,
ilmu lari yang dipertunjukkan Ki Giri Tantra hebat
sekali! Jarang ada tokoh persilatan yang dapat mela-
kukannya sesempurna orang tua itu.
"Bagaimana, Kakang? Ke mana kita sekarang?" Ta-
nya Kenanga setelah mereka hanya tinggal berdua di
tengah hutan lebat ini.
Panji tidak lekas menjawab pertanyaan kekasihnya.
Kepalanya tampak menengadah cakrawala yang mulai
dihias sinar matahari pagi.
"Entahlah. Yang pasti, kita harus memenuhi per-
mintaan Ki Giri Tantra untuk menyelidiki pihak ketiga
itu," sahut Pendekar Naga Putih. Kemudian, dia segera
mengajak Kenanga meninggalkan hutan ini.
***
Matahari sudah berada di atas kepala ketika Panji
dan Kenanga mulai memasuki mulut Desa Kemang.
Pasangan pendekar muda itu langsung memasuki se-
buah kedai makan yang terlihal ramai pengunjung.
Pendekar Naga Putih memilih tempat kosong yang
letaknya agak ke sudut dan tidak terlalu menarik per-
hatian orang. Namun, beberapa orang lelaki yang te-
ngah menikmati hidangan sempat pula menolehkan
kepala ke arah Kenanga. Pancaran mata mereka jelas
menyiratkan kekaguman melihat kejelitaan dara itu.
Beberapa orang lelaki yang melihat betapa lekatnya
gadis jelita itu kepada pemuda tampan yang mengena-
kan jubah putih, melontarkan tatapan iri yang tidak
tersembunyi.
Pendekar Naga Putih sendiri sama sekali tidak
mempedulikan tatapan para pengunjung kedai makan
itu. Bagi Panji, hal itu sudah menjadi pemandangan
biasa. Pendekar Naga Putih sendiri menyadari kalau
kecantikan kekasihnya memang selalu menarik perha-
tian setiap lelaki yang melihatnya.
Tanpa mempedulikan sekelilingnya, Panji dan Ke-
nanga segera menikmati hidangan yang telah dipesan-
nya Sikap pasangan muda yang terlihat tenang, mem-
buat beberapa pasang mata yang semula menatap iri
segera memalingkan wajahnya. Apalagi ketika melihat
adanya gagang pedang yang menghias pinggang wanita
jelita itu. Maka seketika hati mereka menjadi ciut.
Memang, mereka sadar kalau pasangan muda itu jelas
dari kaum rimba persilatan. Tentu saja mereka tahu,
bila mengganggu sama saja mencari penyakit.
"Ke mana tujuan kita, Kakang? Apakah kau belum
mempunyai gambaran sedikit pun?" Tanya Kenanga
setelah hidangan yang telah disediakan di depannya
lenyap tanpa sisa.
Panji yang juga telah menyelesaikan hidangan,
mengangkat wajah menatap kekasihnya.
"Hm.... Menurut kabar yang pemah kudengar, saat
ini ada empat orang jago pedang terkenal yang berada
di empat penjuru. Dua orang pertama sudah kita kenal
pagi tadi. Sedangkan dua orang lainnya, kalau tidak
salah berjuluk Raja Pedang Tujuh Bintang dan Raja
Pedang Angin Puyuh. Mereka belum kita kenal. Jadi
menurutku, kita harus menyelidiki kedua orang jago
pedang lainnya itu. Dan yang paling ingin kuketahui,
apakah kedua orang jago pedang dari Barat dan Utara
itu juga mengalami hal yang serupa dengan dua orang
jago pedang Timur dan Selatan. Maka, kita harus me-
lakukan perjalanan ke daerah Barat terlebih dahulu.
Karena, daerah itu lebih dekat jaraknya ketimbang
daerah Urara. Dan sebaiknya, kita segera pergi agar
bisa mengejar waktu. Aku ingin pada saat pertemuan
jago-jago pedang itu, kita sudah berada di sana," jelas
Panji dengan nada suara ditekan perlahan memang, ia
tidak ingin ucapannya sampai terdengar orang lain.
Kenanga yang tentu saja maklum akan ucapan per-
lahan kekasihnya, bergegas melambaikan tangan ke-
pada seorang pelayan. Pelayan laki-laki berusia empat
puluh tahun itu tergopoh-gopoh mendatangi mejanya.
"Ada yang bisa kami bantu, Nisanak?" Tanya pe-
layan kedai makan itu, suaranya sangat hormat.
"Terima kasih, Paman. Kami sudah merasa puas
atas hidangan istimewa yang Paman sediakan," ucap
Kenanga yang langsung membayar harga makanan
yang telah ludes tanpa sisa.
Setelah membayar harga makanan, pasangan pen-
dekar muda itu pun bergegas melanjutkan perjalanan-
nya.
***
Lelaki gagah berusia sekitar enam puluh tahun itu
berdiri menatap bangunan besar di depannya. Wajah-
nya tampak menegang ketika kesunyian dan kehening-
an menyambut kedatangannya. Keningnya tampak ber
kerut dalam setelah mendapati suasana yang terasa
sangat mencurigakan itu.
Setelah agak lama memandangi bangunan dari ja-
rak sekitar sepuluh tombak lebih, perlahan kakinya
melangkah dengan sikap waspada. Sambil melangkah
lambat, pandangannya beredar tanpa menggerakkan
kepala.
"Hm.... Ke mana perginya anak-anak yang biasanya
menjaga pintu gerbang? Tidak biasanya mereka mem-
biarkan pintu gerbang depan ini tidak terjaga. Mung-
kinkah ada sesuatu yang telah terjadi di tempat ini...?"
gumam lelaki tua yang tubuhnya masih terlihat tegap
itu.
Orang tua gagah yang tak lain Ki Giri Tantra itu me-
lanjutkan langkahnya mendekatu pintu gerbang. Na-
mun sebelum sempat menyentuh pintu gerbang yang
terbuat dari kayu bulat itu, mendadak langkahnya ter-
henti.
"Hm.... Keadaan ini benar-benar terasa aneh. Se-
baiknya, aku menyelidiki lebih dahulu sebelum mema-
suki tempat ini. Mudah-mudahan saja dugaanku mele-
set," desah Ki Giri Tantra harap-harap cemas.
Berpikir demikian, Ki Giri Tantra itu memutar lang-
kahnya menuju ke arah belakang, bangunan perguru-
annya. Sepertinya jago pedang wilayah Selatan itu ingin
memasuki tempat tinggalnya secara sembunyi-sembu-
nyi. Memang, hatinya merasa curiga dengan keadaan
yang hening menyelimuti bangunan perguruannya.
Dengan melompati pagar kayu yang merupakan
pintu belakang bangunan, Ki Giri Tantra terus menyeli-
nap di balik sebatang pohon besar yang tumbuh meng-
hiasi taman belakang bangunan Perguruan Pedang Si-
nar Pelangi.
Kembali hati jago pedang wilayah Selatan itu dice-
kam kegelisahan. Ternyata, pada bagian belakang ba
ngunan itu tampak sepi. Tak seorang murid pun yang
ditemuinya di situ.
"Gila! Ke mana perginya murid-muridku? Bahkan
tukang kebun yang biasanya merawat taman belakang
ini pun tidak kelihatan batang hidungnya? Kurang ajar!
Apakah ada sesuatu yang telah menimpa tempat ini?
Atau mereka berubah menjadi pemalas setelah keper-
gianku?" umpat orang tua itu. Wajahnya tampak ge-
ram. Yang pasti, ia merasa tidak suka dengan keadaan
tempat perguruannya itu yang terasa sangat mence-
kam bagi dirinya.
Ki Giri Tantra yang semula hendak bergerak me-
nyelinap ke bagian dapur, cepat menarik tubuhnya ke-
tika melihat seorang berpakaian serba hitam tampak
berjalan melewati persembunyiannya.
"Pakaian yang dikenakan orang itu mengingatkan-
ku pada dua orang aneh yang menyatroni kamar tem-
patku menginap. Mungkinkah orang ini salah satu dari
mereka? Lalu, apa yang dilakukannya di dalam pergu-
ruanku?" gumam Ki Giri Tantra yang semakin tak me
ngerli atas keadaan yang ditemuinya ini.
Sadar kalau orang berpakaian serba hitam itu me-
rupakan kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
yang belum terjawab, maka tanpa banyak cakap lagi, Ki
Giri Tantra melesat. Langsung dikirimkannya pukulan
sisi telapak tangan miring ke belakang leher orang itu.
Pekerjaan itu bukantah merupakan sesuatu yang
sulit bagi Raja Pedang Sinar Pelangi. Sekali bergerak
saja, tubuh orang itu langsung melorot pingsan. Cepat
diseretnya tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu ke
dalam gerumbulan pohon-pohon yang tumbuh cukup
rapat ditaman itu.
Namun apa yang dilihat orang tua itu, benar-benar
membuat hatinya terkejut bukan main! Betapa tidak?
Sebab tahu-tahu saja di sekitar tempat itu telah ber
munculan orang-orang berseragam hitam yang lang-
sung mengurungnya! Yang membuat wajah orang tua
itu semakin geram adalah, terdapatnya Kinaya dan Wi-
radesa di antara pengepungnya!
"Kinaya, Wiradesa, apa maksud atas semua ini...?!
Apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini sepe-
ninggalanku...?!" Bentak Ki Giri Tantra sambil bergerak
bangkit Ditatapnya wajah kedua orang murid utama-
nya itu.
Rasa curiga di hati Ki Giri Tantra semakin menjadi
jadi ketika baik Kinaya maupun Wiradesa sama sekali
tidak menjawab pertanyaannya. Padahal, orang tua itu
tahu betul kalau kedua orang murid kepercayaannya
sangat segan dan hormat kepadanya. Tentu saja sikap
aneh itu semakin membuat hati jago pedang itu men-
jadi tegang! Apalagi, ketika menangkap adanya kilatan
aneh yang tidak wajar dari sepasang mata kedua murid
utamanya.
"Ehhh...! Tidak salahkah penglihatanku...? Benar-
kah mereka berdua telah terpengaruh sesuatu...?" gu-
mam Ki Giri Tantra yang pikirannya terselimut ber-
bagai pertanyaan.
Sebagai tokoh yang banyak pengalaman, sekali pan-
dang saja Ki Giri Tantra langsung dapat menebak kalau
Kinaya dan Wiradesa tengah dikuasal oleh sejenis obat
'Racun Perampas Sukma'. Karuan saja kenyataan itu
menyadarkannya akan bahaya yang mengancam, ter-
utama bagi kelanjutan Perguruan Pedang Sinar Pelangi.
"Heaaat...!"
Ki Giri Tantra langsung melesat ke belakang ketika
Kinaya dan Wiradesa melompat menerjangnya. Kemu-
dian, senjatanya langsung dicabut karena sadar akan
ancaman bahaya itu.
Kepandaian kedua orang murid utamanya memang
telah tinggi. Bahkan hampir dapat menyamainya. Tentu
saja majunya kedua orang murid utama secara ber-
barengan, membuat Ki Giri Tantra kerepotan! Belum
lagi orang-orang berseragam hitam lainnya yang me-
ngepung tempat Itu. Sadarlah orang tua itu kalau jalan
untuk lolos sangat kecil kemungkinannya.
"Yeaaat..!"
Sambil berseru keras, Ki Giri Tantra segera me-
mutar senjata untuk menghalau gempuran hebat ke-
dua orang muridnya. Meskipun putaran pedangnya
dapat menghalau serangan lawan, tapi Ki Giri Tantra
tidak ingin hal itu berlanjut terus. Sambil bertahan,
otaknya terus berputar mencari jalan lolos. Memang,
saat itu Ia benar-benar belum siap menghadapi hal
yang menurutnya sangat mengejutkan. Paling tidak, ia
harus mengatur rencana untuk mengambil alih kembali
perguruannya. Sekaligus menyadarkan Kinaya dan Wi-
radesa yang jelas tidak menyadari atas perbuatannya
selama ini.
Berpikir demikian, Ki Giri Tantra kembali berseru
nyaring! Seketika itu juga tubuhnya langsung melesat
cepat bagai kilat disertai serangan menderu-deru yang
mematikan!
Wuuut! Wuuut!
Serangan hebat yang dilancarkan jago pedang dari
Selatan itu untuk sementara waktu memang dapat me-
mukul mundur Kinaya dan Wiradesa. Sehingga, orang
tua itu dapat melompat mundur ke belakang dan terus
melesat hendak melarikan diri.
Namun ketika tubuh orang tua itu hendak melesat
meninggalkan bangunan perguruan, tiba-tiba sesosok
bayangan melesat dan langsung melancarkan serangan
kilat ke arahnya.
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Giri Tantra yang tidak sempat mengelak
langsung terlempar bagaikan sehelai daun kering, ke-
tika sebuah tendangan keras telak menghajar tubuh-
nya.
Tubuh Ki Giri Tantra terus terbanting ke atas tanah
di sertai keluarnya darah segar yang muncrat dari mu-
lutnya.
Saat Ki Giri Tantra hendak bangkit berdiri, sosok
berpakaian hitam yang bertubuh Jangkung itu kembali
melesat dengan serangkaian serangan yang menderu
tajam!
Namun Ki Giri Tantra yang menyadari semua kea-
daan langsung melontarkan pukulan jarak jauh ke
arah tubuh lawan. Maka orang tua itu langsung me-
lesat setelah melihat lawannya berjumpalitan meng-
hindari pukulannya. Jago pedang wilayah Selatan itu
langsung menghilang dalam kegelapan malam.
"Bangsat...!" maki lelaki finggi kurus itu sambil
menghentakkan kakinya ke tanah.
Jelas ia tidak berani melakukan pengejaran dalam
gelap Sebab, hal itu bisa saja mendatangkan kerugian.
Dengan langkah lebar, sosok bayangan jangkung
itu kembali memasuki gedung perguruan. Sehingga,
halaman luar bangunan perguruan itu kembali sepi.
***
ENAM
"Heaaat...!"
"Haaat..!"
Bentakan-bentakan nyaring yang saling bersahut-
an, terdengar dari dalam sebuah hutan kecil. Kemu-
dian, disusul suara dentang senjata yang saling berben-
turan memekakkan telinga.
"Yeaaat..!"
Disertai bentakan, tubuh seorang lelaki tegap yang
bersenjatakan sebatang pedang melesat menerjang pa-
ra pengeroyoknya.
Wuettt...!
Para pengunjung yang rata-rata berpakaian serba
hitam, berlompatan mundur menjauhi sambaran sinar
pedang yang membawa hawa maut. Sehingga, samba-
ran pedang lelaki tegap itu hanya mengenai angin
kosong!
Namun gerakan pedang lelaki tegap itu ternyata
tidak berhenti sampai di situ saja. Pedang yang berge-
rak mendatar itu, mendadak berputar cepat. Langsung
disambarnya tubuh dua orang pengeroyok yang berada
disamping kanan.
Wuuut..!
Brettt..! Crattt...!
Terdengar jerit kematian ketika ujung pedang lelaki
bertubuh tegap itu merobek dua orang lawannya yang
sama sekali tidak menduga. Mereka langsung roboh
dengan tubuh mandi darah! Setelah menggelepar se-
saat tubuh kedua orang berseragam hitam itu tergolek
tewas!
"Setan...! Kau harus menebus nyawa kedua orang
teman kami, Bangsat!"
Terdengar makian salah seorang lelaki gemuk. Dia
juga mengenakan seragam berwarna hitam. Sepasang
matanya yang bulat bagaikan hendak melompat keluar
ketika melihat dua orang kawannya roboh disertai sem-
buran darah segar.
'Yaaat...!"
Dibarengi teriakan menggetarkan, tubuh lelaki ge-
muk itu melesat cepat ke arah lelaki tegap berpakaian
merah, dengan garis hitam pada bagian lehemya.
Laki-laki bertubuh tegap yang kalau dilihat dari pa-
kaian yang dikenakan adalah murid Perguruan Pedang
Sinar Pelangi, menggeser tubuhnya dengan melompat
ke samping. Berbarengan dengan itu, pedang di ta-
ngannya menyambar cepat seiring selarik sinar berpen-
dar yang berwarna-warni. Gerakan pedangnya demi-
kian indah dan luwes. Sehingga, sempat membuat le-
laki bertubuh gemuk yang menjadi lawannya terpe-
ranjat!
Wuuut..!
"Aaah...!"
Hebat memang serangan balasan yang dilontarkan
lelaki bertubuh tegap itu! Sehingga, lawannya terpaksa
harus melempar tubuh ke belakang dan langsung me-
lakukan beberapa kali putaran di udara.
Namun, cahaya berpendar yang memiliki warna pe-
langi itu seperii mengejar. Gerakannya meliuk, dan tu-
run naik. Bahkan kecepatannya begitu mengagumkan,
sehingga benar-benar membuat lawan kalang-kabut!
Maka mau tak mau lelaki bertubuh gemuk itu kembali
harus berlompatan menghindari sambaran pedang la-
wan yang masih terus mengejarnya!
"Setan...!"
Sambil memaki sejadi-jadinya, tubuh lelaki gemuk
itu kembali berjumpalitan menghindari sambaran pe-
dang lawan. Sekali lihat saja, sudah dapat dinilai kalau
kepandaian lelaki tegap murid Perguruan Pedang Sinar
Pelangi itu masih beberapa tingkat di atas lawannya.
Maka, wajarlah kalau lawannya menjadi kelabakan di-
buatnya.
"Kakang Darpa, awaaas...!"
Tengah gencar-gencarnya lelaki bertubuh tegap itu
mencecar lawan, terdengar teriakan keras. Jelas, itu
sebuah peringatan bagi lelaki bertubuh tegap yang di-
panggil Darpa.
Darpa, yang merupakan murid utama Ki Giri Tantra
cepat menolehkan kepala ke belakang. Ketika telinga-
nya mendengar suara sambaran halus, cepat tubuhnya
melenting ke udara dan melakukan beberapa kali salto
dengan gerakan manis.
Syuuut...! Syuuut...!
Beberapa buah pisau terbang sepanjang satu jeng-
kal meluncur di bawah tubuh Darpa. Untunglah, lelaki
tegap itu bergerak sigap begitu mendengar peringatan
lelaki jangkung yang bernama Sudira. Kalau saja adik
seperguruannya itu tidak cepat memperingatkan,
mungkin Darpa sudah tergeletak terkena sambaran
senjata rahasia yang dilontarkan salah seorang penge-
royoknya.
"Jahanam keji, mampuslah...!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu pula
tubuh Darpa melambung disertai bentakan amarah-
nya.
Wuuut...!
Brettt...!
"Aaakh...!"
Hebat dan sangat menggiriskan apa yang dilakukan
Darpa! Sambaran pedangnya langsung membeset perut
lelaki berpakaian hitam yang melancarkan serangan
gelap terhadapnya tadi.
Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu
pun langsung ambruk mandi darah! Bahkan langsung
tewas seketika dengan usus memburai.
"Heaaat..!"
Darpa yang baru saja menjejakkan kakinya di atas
tanah, menjadi terkejut setengah mati ketika mende-
ngar bentakan yang terdengar dari tempatnya berpijak.
Dan sebelum lelaki tegap itu sempat menyadari, tahu-
tahu tubuhnya terjungkal keras akibat tendangan yang
telak menghantam dada kirinya!
Buggg...!
"Hukhhh...!"
Lelaki tegap murid utama Perguruan Pedang Sinar
Pelangi itu terjungkal keras disertai semburan darah
segar dari mulutnya!
"Yeaaat...!"
Sudira yang melihat nyawa kakak seperguruannya
terancam maut, cepat melesat disertai sabetan pedang
ke arah seorang lelaki tinggi besar yang melontarkan
tendangan ke dada Darpa tadi.
Wuuttt...!
Sambaran pedang Sudira menerjang angin kosong,
karena lelaki tinggi besar itu telah menarik tubuhnya
ke belakang. Sambaran ujung senjata Sudira tadi ha-
nya lewat sejengkal di depan tubuh orang itu.
Namun, kepandaian murid-murid utama Ki Giri
Tantra itu memang hebat sekali! Begitu sambaran pe-
dangnya luput, secepat kilat Sudira memutar senjata-
nya mengarah ke batang leher lawan. Gerakannya
memang cepat dan hebat sekali! Sehingga, lelaki tinggi
besar itu mau tidak mau harus memuji kegesitan
lawannya.
"Bagus...!" puji lelaki tinggi besar itu sambil memu-
tar tubuhnya bagaikan orang menggeliat.
Dan, begitu sambaran senjata lawannya lewat di
atas kepala, lelaki tinggi besar itu langsung melepaskan
tendangan kilat yang mengancam perut lawan Sudira.
Zebbb...!
Meskipun Sudira saat itu belum sempat menarik
pulang serangannya, ternyata ia masih sempat juga
memiringkan tubuh. Maka, serangan lawan pun hanya
lewat di samping tubuhnya.
Sayang perhitungan Sudira masih kurang tepat!
Karena begitu tendangan pertama luput, tubuh lawan-
nya langsung berputar seraya mengirimkan tendangan
berputar yang cepat dan mengejutkan!
Blaggg...!
"Huaaakh...!"
Sudira terjengkang keras hingga sejauh hampir dua
tombak ke belakang! Darah segar kontan menyembur
dari mulut lelaki jangkung itu. Hantaman keras yang
menggedor dadanya, mengakibatkan Sudira tidak
mampu lagi mempertahankan kuda-kudanya. Sehing-
ga, tubuh lelaki jangkung itu terjerembab jatuh menim-
bulkan suara berdebuk keras!
"Huaaakh...!"
Pemuda berbutuh jangkung itu mencoba bangkit
berdiri sambil kembali memegangi dadanya. Namun
belum juga sempurna berdirinya, dia telah memuntah-
kan gumpalan darah berwarna kecoklatan. Jelas, han-
taman dahsyat itu telah mendatangkan luka dalam
yang tidak ringan di tubuh Sudira.
"Adi Sudira...!"
Darpa yang saat itu sudah bangkit berdiri, bergegas
memburu ke arah tubuh adik seperguruannya yang
tengah tergolek lemah. Sadar kalau Sudira telah
mengalami luka dalam yang parah, maka Darpa mem-
balikkan tubuhnya menghadapi lelaki tinggi besar yang
telah siap melontarkan pukulan maut untuk mengirim
nyawa mereka ke akhirat.
"Bangsat keji! Apa salah kami hingga demikian tega
menurunkan tangan kejam terhadap adik seperguru-
anku?!" Geram Darpa sambil melintangkan senjata di-
depan dada.
Sepertinya, lelaki bertubuh tegap berusia empat
puluh tahun itu siap mempertaruhkan nyawanya demi
keselamatan adik seperguruannya.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka, ternyata murid Ki Giri
Tantra yang terkenal gagah itu hanya bocah cengeng
yang takut menghadapi kematian!" lelaki tinggi besar
itu tertawa gelak ketika mendengar pertanyaan yang
dilontarkan Darpa.
Suara tawa menggelegar itu hanya terdengar sesaat.
Kemudian, si pemilik suara tawa yang menggetarkan
itu telah menatap Darpa disertai sorot mata bengis!
Jelas, la sangat membenci lelaki tinggi tegap itu.
Darpa sempat tergetar hatinya melihat sorot mata
tajam yang mengandung ancaman maut Itu. Melihat
pancaran sinar mata lelaki tinggi besar itu, disadari
kalau kekuatan yang dimiliki lawan masih jauh lebih
tinggi. Apalagi saat itu ia masih dalam keadaan terluka.
Maka, ketegangan pun semakin merasuk harinya.
"Hm...."
Sambil menghentikan langkah dalam jarak satu
tombak, lelaki tinggi besar itu menggeram lirih. Perla-
han tangannya terangkat ke atas kepala dalam bentuk
bersilangan.
"Heaaah...!"
Diringi suara bentakan yang menggetarkan isi dada,
tubuh tinggi besar itu melayang disertai sambaran se-
pasang lengannya yang menimbulkan deru angin
tajam!
Wuuut...!
Beuuut...!
Terkejut bukan main hati Darpa merasakan sam-
baran angin pukulan lawan yang membuat rambutnya
bekibar. Padahal, saat itu jarak di antara mereka masih
terpisah cukup jauh. Jelas, kenyataan itu membayang-
kan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki lelaki
tinggi besar Itu.
Cepat Darpa merundukkan kepala ketika kepala
lawan meluncur deras mengarah kepalanya. Sambil
menggeser kaki kanan ke samping, lelaki tegap itu me-
nyabetkan ujung senjata yang mengancam perut lawan.
Namun, serangan balasan yang dilancarkan Darpa
hanya dielakkan dengan menarik mundur tubuhnya.
Belum lagi Darpa sempat menyusuli serangannya, se-
buah tendangan lawan telah melesat cepat bagai kilat.
Zebbb...!
Dengan memiringkan tubuhnya, murid utama Ki
Giri Tantra itu berhasil menghindari tendangan kilat
lawan. Kemudian kaki kanannya bergeser ke samping
disertai tusukan ujung siku yang menekuk.
Wuuut..!
Plakkk... Bukkk..!
Hebat dan cepat sekali gerakan yang dilakukan
lelaki tinggi besar itu! Tusukan siku Darpa ke arah jan-
tungnya ditepis dengan telapak tangan kanan. Ber-
barengan dengan itu, telapak tangan kirinya meluncur.
Langsung dihantamnya iga kanan Darpa secara telak!
"Hukhhh...!"
Tentu saja hantaman telapak tangan yang me-
ngandung kekuatan hebat itu kontan membuat tubuh
Darpa melintir! Darah segar tampak menetes di sela-
sela bibirnya Jelas, hantaman itu semakin parah!
Lelaki tinggi besar berwajah bengis itu ternyata
tidak berhenti sampai di situ saja. Tanpa memberi pe-
luang kepala lawan yang tengah terhuyung, kembali
dikirimkan dua buah pukulan sekaligus yang tertuju ke
arah dada kiri dan pelipis Darpa.
Namun begitu serangan itu hampir menyentuh Dar-
pa, tiba-tiba melesat bayangan putih yang langsung
memapak.
Wuuut...! Beeet..!
Plakkk... Plakkk... Desss...!
"Ughhh...!"
Terdengar benturan keras sebanyak tiga kali yang
disusul terhuyungnya tubuh laki-laki lawan Darpa,
hingga sejauh satu tombak ke belakang! Melihat raut
wajahnya yang menyeringai, jelas kalau lelaki tinggi
besar itu menderita rasa nyeri pada tubuhnya.
***
TUJUH
"Pendekar Naga Putih...!"
Terdengar seruan terkejut dan gentar yang keluar
dari mulut lelaki tinggi besar itu. Sepasang matanya
menatap ragu ke arah sosok pemuda berjubah putih
yang sekujur tubuhnya tampak terselimut lapisan ka-
but bersinar putih keperakan.
"Benar. Akulah Pendekar Naga Putih...," sahut pe-
muda tampan berjubah putih yang tak lain adalah
Panji.
Rupanya pada saat keadaan Darpa tengah teran-
cam maut, Panji datang menolongnya. Sedangkan Dar-
pa sendiri kini tengah dipapah seorang gadis jelita ber-
pakaian serba hijau. Yang tak lain adalah Kenanga.
"Sebaiknya beristirahatlah, Kisanak. Kulihat luka-
lukamu cukup parah," ujar Kenanga.
Gadis itu segera merebahkan tubuh Darpa di ba-
wah sebatang pohon besar, tidak jauh dari situ.
Setelah memberi sebutir obat luka kepada Darpa,
Kenanga melangkah mendekati tubuh Sudira yang saat
itu tengah terkapar pingsan. Diangkatnya tubuh lelaki
jangkung itu, lalu direbahkan di samping tubuh Darpa.
Sigap sekali cara gadis jelita itu dalam memberikan
pertolongan kepada Sudira.
Merasa yakin kalau Darpa dan Sudira sudah tidak
mengkhawafirkan, Kenanga beranjak bangkit dan me-
ngalihkan perhafian kepada Panji.
Sementara itu pertarungan lainnya yang terjadi an-
tara kelompok orang berpakaian serba hitam melawan
para murid Perguruan Pedang Sinar Pelangi, sudah
berakhir. Delapan belas orang berpakaian serba hitam
itu segera meninggalkan mayat-mayat kawan dan la
wannya. Kemudian mereka bergabung dengan lelaki
tinggi besar yang merupakan pimpinan gerombolan.
Panji yang melihat bergeletakannya puluhan mayat
kedua belah pihak hanya menarik napas sedih. Ia me-
nyesali keterlambatannya datang ke tempat itu. Kalau
saja datang lebih awal, mungkin hal itu tidak perlu ter-
jadi.
Kenanga yang mendengar helaan napas berat ke-
kasihnya, segera saja dapat menduga. Dengan langkah
perlahan, dihampirinya Pendekar Naga Putih.
"Tidak perlu menyesal, Kakang. Mereka tidak mung-
kin dapat dihidupkan kembali. Yang penting sekarang
adalah menyelamatkan kedua orang lelaki itu dari ke-
kejaman mereka," hibur Kenanga sambil mengerling-
kan mata ke arah Darpa dan Sudira. Kini dua murid Ki
Giri Tantra tengah menghimpun hawa murni sesuai
anjuran Kenanga.
"Tidak, Kenanga Aku hanya merasa sedih, melihat
banyaknya orang yang menjadi korban akibat nafsu se-
rakah majikan ataupun ketua-ketua mereka Celaka-
nya, dunia ini banyak dihuni orang seperti itu. Sehing-
ga, korban pun tidak pernah berhenti berjatuhan.
Hhh...," Panji menghembuskan napasnya kuat-kuat
seperti hendak melepaskan kegundahan hati.
Sedangkan lelaki tinggi besar dan delapan belas
orang pengikutnya mulai bergerak mengepung pende-
kar muda itu. Melihat dari sikap dan senjata yang ter-
hunus dalam genggaman tangan, jelas mereka hendak
menghabisi nyawa Panji dan Kenanga.
Sepertinya, belasan orang di bawah pimpinan lelaki
tinggi besar itu sudah tidak mempedulikan Darpa dan
Sudira lagi. Dan yang menjadi sasaran mereka kali ini
adalah pasangan pendekar muda itu.
Belasan orang berseragam hitam itu sudah mulai
bergerak mengepung, namun Panji dan Kenanga tetap
saja bersikap tenang. Mereka sama sekali tidak gentar
meskipun pihak lawan jelas jauh lebih banyak.
"Kenanga, sebaiknya jagalah kedua orang yang te-
ngah memulihkan tenaga itu. Rasanya, akan berbahaya
sekali bila mereka dibiarkan tanpa terjaga. Biar aku
saja yang mengurusi orang-orang ini," bisik Panji sam-
bil merapatkan tubuh ke dekat gadis jelita itu.
Kenanga yang semula hendak membantah, terpaksa
melangkah ke arah tempat Darpa dan Sudira tengah
bersemadi. Karena sinar mata kekasihnya jelas tidak
ingin dibantah, maka mau tak mau gadis itu menuruti-
nya.
"Harm...!"
Dua orang lelaki berseragam hitam yang melihat
Kenanga melangkah ke arah Darpa dan Sudira, cepat
melompat sambil berseru nyaring!
Wuuut...! Wuuut...!
Dua batang pedang yang menyambar dari kiri-ka-
nannya, sama sekali tidak dihiraukan Kenanga. Gadis
itu tetap saja meneruskan langkahnya bagaikan orang
hendak bunuh diri. Baru pada saat mata pedang ham-
pir menyentuh kulit tubuhnya, kaki kanannya ditarik
melangkah mundur satu tindak ke belakang. Berba-
rengan dengan itu sepasang tangannya bergerak me-
ngembang untuk menangkis datangnya sambaran dua
batang senjata.
Dukkk! Dukkk!
Buggg.... Desss...!
Dua orang lelaki berpakaian serba hitam itu me-
ngeluh pendek ketika lengan Kenanga langsung berpu-
tar. Dan sebelum ada yang sempat menyadarinya, se-
buah tendangan sisi telapak tangan miring telah meng-
hajar belakang leher mereka secara telak!
Maka tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang
Itu langsung ambruk di atas tanah. Hantaman keras
itu telah membuat mereka pingsan seketika.
Setelah merobohkan dua orang penghadang, Kena-
nga meneruskan langkah ke arah tempat Darpa dan
Sudira berada. Gadis jelita itu cepat bergerak mence-
gah ketika kedua orang lelaki yang dtolongnya hendak
bergerak bangkit dari semadinya.
"Jangan banyak bergerak dulu. Keadaan tubuh ka-
lian masih belum pulih seluruhnya. Lebih baik, kita
lihat saja apa yang akan diperbuat Pendekar Naga Pu-
tih terhadap orang-orang itu," ujar Kenanga sambil
menjatuhkan pantatnya di atas rerumputan hijau dan
tebal.
"Jadi, pemuda yang tadi menolongku itu adalah
Pendekar Naga Putih? Ahhh... benar-benar beruntung
aku hari ini. Rasa-rasanya aku harus berterima kasih
kepada orang-orang berpakaian serba hitam itu. Buk-
tinya, dengan perantaraan merekalah, aku dapat ber-
jumpa pendekar besar yang sudah sering kudengar
namanya dari tokoh-tokoh persilatan. Senang rasanya
dapat melihat langsung pendekar muda yang sudah
terkenal di dalam rimba persilatan," kata Darpa dengan
wajah berseri-seri.
Mendengar dari nada ucapannya, jelas kalau Darpa
benar-benar mengagumi dan menghormati Pendekar
Naga Putih.
Sedangkan Sudira yang belum begitu banyak pe-
ngalamannya, hanya mengangguk-anggukkan kepala
dengan sorot kekaguman. Kalaupun ia pernah mende-
ngar orang yang berjuluk nama Pendekar Naga Putih
itu pun masih dalam lingkungan bangunan perguruan-
nya. Memang, Sudira belum pernah meninggalkan per-
guruan untuk meluaskan pengalaman. Hal Itu karena
Ki Giri Tantra yang menjadi guru besarnya memang
belum memberikan izin mengembara. Dan hal Itu cu-
kup beralasan, karena Sudira memang belum mempu-
nyai bekal cukup.
Kenanga yang juga mendengar ucapan Darpa, sem-
pat heran juga. Dipandanginya lelaki gagah berusia
sekitar empat puluh tahun itu lekat-lekat.
"Mengapa kau terkejut mendengar julukan Pen-
dekar Naga Putih disebut, Kakang Darpa? Apakah kau
tidak sempat mendengar seruan yang dikeluarkan le-
laki tinggi besar yang hampir menewaskanmu tadi?"
Tanya Kenanga, mengingatkan kalau lawan Darpa tadi
sempat menyebut Pendekar Naga Putih, setelah sera-
ngannya digagalkan.
"Eh, benarkah?" Darpa menoleh balik bertanya.
"Wah, mungkin saat itu aku terlalu sibuk dengan lu-
ka-lukaku. Sehingga, aku tidak sempat mendengar se-
ruan itu."
"Hm.... Tampaknya pertarungan sudah dimulai...,"
gumam Kenanga. Pandangannya telah kembali tertuju
ke arah arena pertarungan.
Darpa dan Sudira yang semula tengah memandang
ke arah Kenanga, serentak memalingkan wajah ke are-
na pertempuran yang memang sudah mulai berlang-
sung itu.
Saat itu, Pendekar Naga Putih yang menghadapi
keroyokan tujuh beias orang berpakaian serba hitam,
berkelebat menyelinap di antara kilatan-kilatan sinar
pedang pengeroyoknya. Dan serjap kali tangan pemuda
tampan itu bergerak melancarkan serangan balasan,
selalu saja ada tubuh lawan yang terjungkal roboh tan-
pa mampu bangkit lagi. Memang tamparan dan tenda-
ngan yang dilancarkan pemuda tampan itu dapat mem-
buat lawan menggelepar pingsan seketika.
Bukan main murkanya hati lelaki tinggi besar yang
menjadi pimpinan orang-orang berpakaian serba hitam.
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap, disertai
sorot mata tajam yang ditujukan kepada Pendekar Na-
ga Putih. Sepertinya, dia ingin menelan tubuh pemuda
tampan di depannya hidup-hidup.
"Mampus kau, Pendekar Naga Putih...!" teriak lelaki
tinggi besar sambil melompat disertai sabetan pedang-
nya yang menimbulkan angin menderu tajam.
Panji yang melihat datangnya serangan segera saja
memiringkan tubuh tanpa menggerakkan kaki. Begitu
ujung pedang lawan lewat sejengkal didepan tubuhnya,
jemari tangannya cepat melakukan cengkeraman agar
senjata lawan terlepas. Gerakan pemuda itu masih di-
barengi geseran kaki kanannya kedepan disertai sodo-
kan siku yang mengancam perut lawan.
Namun lelaki bertubuh tinggi besar itu rupanya
cukup cerdik. Sadar kalau untuk menarik pulang ta-
ngan jelas akan kalah cepat mata pedangnya diputar.
Sehingga, kini mata pedang itu tentu saja menjadi ber-
balik mengancam jemari tangan Panji. Sambil memu-
tar senjata, lelaki tinggi besar bermuka hitam itu meng-
geser kaki kanan ke samping menggunakan kuda-kuda
rendah. Sehingga, ia telah menghindarkan dua sera-
ngan Pendekar Naga Putih sekaligus.
"Bagus...!" puji Pendekar Naga Putih yang merasa
kagum dengan kecerdikan lawannya.
Belum lagi ucapannya selesai, tubuh pemuda tam-
pan itu berputar setengah lingkaran disertai sebuah
tendangan kilat sambil melompat.
Wuuuk...!
"Aaah...!"
Kaget bukan main hati lelaki tinggi besar itu me-
lihat kecepatan gerak serangan lawan. Meskipun sebe-
lumnya telah mengetahui tentang pemuda tampan yang
menjadi lawannya, tapi ia tetap saja terkejut. Maka,
cepat tubuhnya berguling ke samping kanan, dan terus
melenting bangkit melakukan beberapa kali puraran
salto di udara.
"Fuhhh...!"
Sambil menyusut peluh dingin yang membasahi ke-
ning, lelaki tinggi besar itu menghembuskan napas
kuat-kuat. Benar-benar hampir tidak dipercayai kalau
hanya dalam beberapa gebrakan saja pemuda tampan
itu hampir dapat membuatnya terhika.
"Gila! Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan
hanya sekadar kabar angin belaka. Untung saja aku
masih sempat meloloskan diri dari serangannya. Kalau
tidak, mungkin sudah menggelepar bagaikan binatang
disembelih," gumam lelaki tinggi besar bermuka hitam
itu, tegang.
Sadar kalau tidak mungkin dapat menanding} ke-
saktian Pendekar Naga Putin, matanya pun mulai me-
lirik mencari jalan menyelamatkan diri. Dan, kalau te-
tap nekat, bisa-bisa ia sendirilah yang akan menjadi
korban. Selain pemuda itu sulit ditandingi, di tempat
itu pun masih terdapat gadis jelita dan dua orang mu-
rid Perguruan Pedang Sinar Pelangi yang mungkin saja
akan mengeroyok dan menangkapnya. Menyadari ke-
adaan itu, cepat-cepat melesat pergi meninggalkan
tempat itu.
"Anak-anak, lariii...!" seru lelaki tinggi besar yang
sudah mendahului para pengikutnya meninggalkan
tempat itu.
Para pengikut lelaki bertubuh tinggi besar yang
jumlahnya hanya tinggal enam orang itu langsung saja
berhamburan ke segala arah! Jelas, mereka bermaksud
membingungkan lawan dengan cara berpencar seperti
itu.
Panji sendiri tidak berusaha mengejar ketika meli-
hat para pengeroyoknya berlarian meninggalkan tempat
itu. Dan bila Pendekar Naga Putih memerlukan ketera
ngan tentang mereka, itu masih ada didapat dari la-
wan-lawannya yang terpukul pingsan tadi.
Sepeninggal lawan-lawannya, Pendekar Naga Putih
melangkah mendekati tubuh salah seorang lawan yang
masih tergeletak pingsan. Namun baru saja tubuhnya
membungkuk hendak menyadarkan orang itu, men-
dadak telinganya yang tajam mendengar suara men-
desis di belakangnya.
"Kakang, Awaaas...!"
Kenanga yang melihat adanya sebuah benda bulat
melayang ke arah tubuh kekasihnya, cepat memperi-
ngatkan!
Tanpa peringatan dari Kenanga pun, sebenarnya
Pendekar Naga Putih memang sudah dengar. Kening
pemuda tampan itu sempat berkerut ketika kepalanya
menoleh melihat benda bulat itu. Merasa curiga kalau-
kalau senjata itu mengandung racun jahat, maka Panji
tidak mau bertindak ceroboh. Cepat tubuhnya dilempar
menjauhi tempat itu!
Daaarrr...!"
Terdengar ledakan keras yang bagaikan menggun-
cang daerah hutan kecil itu. Gumpalan-gumpalan ta-
nah besar kecil beterbangan ke sekitar daerah itu, di-
susul kepulan asap putih yang bergulung-gulung me-
menuhi sekitarnya.
"Asap beracun...?!" Desis Pendekar Naga Putih ke-
tika mendapatkan bagian dalam dadanya terasa nyeri
akibat menghisap asap putih itu.
Sadar akan bahaya yang mengancam ketiga orang
lainnya yang berada tidak terlalu jauh dari tempat itu,
tubuh Panji pun melambung dan bersalto beberapa kali
di udara.
"Kenanga! Bawa mereka menyingkir! Asap ini me-
ngandung racun jahat yang mematikan...!" Seru Panji
begitu kakinya menjejak tanah di dekat Kenanga, Dar-
pa, dan Sudira.
Dan, sebelum gema suaranya lenyap, tubuh pemu-
da tampan itu kembali menjauhi kepululan asap yang
semakin menyebar.
Kenanga, Darpa, dan Sudira pun Bdak mau mem-
buang-buang waktu lagi. Mereka memang sempat
menghirup asap putih. Bahkan juga merasa nyeri pada
bagian dalam dadanya. Maka ketika mendengar seruan
Panji, serentak mereka berlomba meninggalkan daerah
yang telah dicemari gumpalan asap putih itu.
Setelah merasa cukup jauh meninggalkan tempat
celaka itu, barulah mereka menghentikan larinya. Tam-
pak mereka terbatuk-batuk akibat asap yang telah me-
masuki tubuh.
"Cepat telan obat ini...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera menyodorkan sebutir
obat berwarna merah darah kepada Kenanga dan dua
orang lainnya. Sedangkan ia sendiri telah lebih dahulu
menelannya.
Kenanga yang sudah mengetahui khasiat pil ber-
warna merah darah itu, cepat menelannya tanpa ba-
nyak tanya.
Lain halnya dengan Darpa dan Sudira yang baru
pertama kali melihat pil itu. Rasa heran bercampur
takjub jelas tergambar di wajah keduanya. Memang
terasa ada hawa hangat yang berputar di pusat tenaga
mereka, untuk kemudian bergerak naik hingga hampir
mencapai kerongkongan.
"Hebat sekali pengaruh obat itu, Pendekar Naga
Putih. Kalau boleh tahu, apa sajakah khasiatnya?" Ta-
nya Darpa yang merasa heran ketika merasakan ke-
mukjizatan pil merah darah pemberian Panji.
"Khasiat pil itu sebenarnya cukup banyak. Tapi
yang paling utama, dapat melancarkan peredaran jalan
darah yang tersumbat dan memusnahkan sisa penga-
ruh racun yang mengeram dalam tubuh. Karena asap
beracun yang kita hisap tadi tidak terlalu banyak, tentu
saja dapat lenyap hanya dengan penggunaan pil itu,"
jelas Panji.
Darpa dan Sudira mengangguk-anggukkan kepala
ketika mendengar penjelasan itu. Diam-diam rasa ka-
gum dan hormat mereka semakin bertambah terhadap
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Sekarang hendak ke mana tujuan kalian?"
Tanya Pendekar Naga Putih menatap kedua orang lelaki
gagah itu.
"Kami hendak mencari guru kami yang bernama Ki
Giri Tantra atau yang lebih dikenal berjuluk Raja Pe-
dang Sinar Pelangi," sahut Darpa. Ada sedikit kesan
kebanggaan ketika menyebutkan julukan gurunya.
"Aaah.... Pantas permainan pedang kalian memiliki
dasar-dasar yang serupa dengan ilmu pedang yang
dimiliki orang tua sakti itu. Kalau begitu, biarlah kita
berpisah di sini. Karena, aku mempunyai tugas lain
yang harus segera kuselesaikan. Sayang tadi kita di-
serang asap beracun, sehingga orang-orang yang ping-
san tadi menjadi mati. Sebenarnya aku memerlukan
keterangan dari mereka. Tapi biar bagaimanapun, aku
akan tetap menyelidiki di mana markas mereka be-
rada," janji Panji, perlahan.
Setelah berpamitan kepada Darpa dan Sudira, pa-
sangan pendekar muda itu pun melanjutkan perjala-
nan.
"Kakang, mengapa kau tidak menceritakan perso-
alan kita kepadanya? Aku yakin, pendekar muda itu
tentu akan bersedia membantu kesulitan yang tengah
kita hadapi ini," tegur Sudira. Dia memang merasa
heran melihat kakak seperguruannya tidak meminta
pertolongan Pendekar Naga Putih.
"Hhh.... Kau seperti tidak tahu sifat Ki Giri Tantra
saja. Beliau paling tidak suka kalau urusannya dicam-
puri orang lain. Apalagi kita belum melaporkan keja-
dian ini kepada guru. Bisa-bisa kita kena damprat
kalau menceritakannya kepada orang lain sebelum gu-
ru sendiri mengetahuinya dari kita," sahut Darpa
mengingatkan. "Lebih baik sekarang kita cari dulu
beliau. Ayolah."
***
DELAPAN
Matahari sudah memancarkan sinarnya ke seluruh
permukaan bumi. Saat itu, delapan sosok tubuh tam-
pak melangkah tegap memasuki Lembah Kepala Naga.
Menilik langkah kaki yang rata-rata ringan dan man-
tap, jelas mereka bukanlah orang sembarangan.
Jalanan mendaki yang berlapiskan batu-batu ca-
das licin yang dilalui sama sekali tidak menghambat
langkah mereka. Bahkan ketika jalan yang ditempuh
semakin sulit, kedelapan orang itu malah berlari
ringan.
Namun sebelum rombongan kecil itu tiba di tempat
tujuan, lelaki yang berjalan paling depan tampak meng-
hentikan langkahnya. Pandangannya langsung beredar
ke sekeliling. Keningnya tampak berkerut, meskipun di
sekelilingnya hanya terlihat gerombolan semak belukar
dan pohoh-pohon besar. Tampaknya, lelaki berkumis
lebat itu membaui sesuatu yang mencurigakan!
"Ada apa, Kakang Bartawa? Mengapa berhenti di
sini? Bukankah Lembah Kepala Naga masih belasan
tombak didepan?" Tanya salah seorang anggota rom-
bongan kecil itu ikut mengedarkan pandangannya.
"Hm.... Kau tidak merasakan sesuatu yang aneh,
Adik Randika...?" Tanya yang ternyata bemama Barta-
wa, perlahan.
"Tidak, Kakang. Perasaanku wajar saja, dan tidak
melihat adanya sesuatu yang aneh di tempat ini," sahut
orang yang dipanggil Randika itu sambil mengedarkan
pandangannya berkeliling dengan mata menyorot ta-
jam. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak menemu-
kan keanehan yang dimaksud kakak seperguruannya.
"Hm.... Mungkin perasaanku saja yang salah. Su-
dahlah. Ayo kita lanjutkan perjalanan," ajak Bartawa
meskipun harinya masih merasa tidak tenang.
Namun baru beberapa langkah kaki mereka me-
nindak, terdengar suara berdesing nyaring yang saling
bersahutan. Tentu saja hal itu membuat mereka se-
rentak menolehkan kepala ke arah asal suara tadi.
"Awaaas...!"
Bartawa yang merupakan pimpinan rombongan
kecil itu berseru memperingatkan kawan-kawannya.
Memang, ketika menoleh tampak belasan batang anak
panah tengah meluncur mengancam keselamatan me-
reka. Sedangkan ia sendiri, sudah melompat disertai
putaran pedangnya yang membentuk gulungan sinar
menyelimuti sekujur tubuhnya.
Tranggg,..! Tranggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika bebe-
rapa batang anak panah yang mengincar tubuh Bar-
tawa terpukul runtuh oleh putaran gulungan sinar pe-
dangnya.
Demikian pula ketujuh orang lainnya. Anak-anak
panah yang tertuju ke tubuh mereka pun dapat di-
pukul roboh. Sehingga, mereka sama sekali tidak ter-
kena sambaran anak panah yang puluhan banyaknya.
"Keparat! Siapa gerangan yang berani melakukan
perbuatan sepengecut ini?!" umpat Randika, geram.
Sedang pedang di tangannya telah melintang didepan
dada, siap menghadapi serangan gelap berikutnya.
"Hm.... Tenanglah, Adi Randika. Rupanya inilah,
keanehan yang semenjak tadi mengganggu pikiranku.
Rupanya ada orang-orang tolol yang hendak berbuat
curang kepada kita," ujar lelaki berkumis lebat juga
dengan suara perlahan.
"Ini tidak bisa kita maafkan, Kakang Bartawa. Pe-
nyerang-penyerang gelap itu harus diberi pelajaran,
agar lain kali bisa melihat-lihat orang yang diserang-
nya," tegas Randika yang jelas merasa marah atas ke-
curangan itu.
Sedangkan Bartawa tetap bersikap tenang sambil
mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Namun sepanjang matanya memandang, yang di-
lihat hanyalah gerombolan semak belukar dan pepo-
honan besar. Tak satu bayangan pun yang tertangkap
matanya. Sehingga, Bartawa kembali melemaskan urat-
urat tubuhnya yang menegang.
"Hm.... Siapa pun adanya para penyerang gelap itu,
kita harus lebih berhati-hati. Bukan tidak mungkin
kalau mereka adalah murid-murid saingan guru besar
kita. Hanya yang tidak kumengerti, mengapa mereka
bertindak demikian pengecutnya," ujar Bartawa yang
siap hendak menyimpan pedangnya kembali.
Namun belum juga pedangnya tersarung kembali,
bergegas Bartawa melompat mundur ketika mendengar
adanya sambaran angin kuat yang tertangkap pende-
ngarannya. Cepat lelaki berusia empat puluh tahun itu
mengibaskan senjatanya, memukul runtuh beberapa
batang paku hitam yang meluncur ke arahnya.
Tengah sibuknya Bartawa dan rekan-rekannya me-
mukul runtuh senjata-senjata gelap itu, terdengar te-
riakan-teriakan nyaring. Kemudian, disusul berlompa-
tannya belasan sosok tubuh dari balik semak belukar
dan pohon-pohon besar di sekeliling tempat itu.
"Bunuh mereka semua...!"
Terdengar suara perintah tanpa ujud yang mem-
buat delapan orang lelaki gagah itu menjadi terkejut.
Dengan gerakan ringan dan mantap, Bartawa me-
mutar senjatanya dengan kecepatan tinggi.
Wunggg...! Wunggg...!
Bentuk pedang di tangan Bartawa lenyap menjadi
gundukan sinar yang bergulung-gulung menyelimuti
sekujur tubuhnya. Hebatnya, di dalam gulungan sinar
pedang lelaki berkumis tebal itu terkadang muncut
kilatan-kilatan cahaya yang bagaikan gemerlap bintang
di angkasa.
Sementara itu, tampak lelaki bertubuh gemuk yang
berusia sekitar lima puluh tahun memberi isyarat
kepada belasan orang berpakaian serba hitam untuk
segera mengepung rombongan kecil itu. Sedangkan ia
sendiri telah melompat maju menghadapi Bartawa yang
sudah dapat dipastikan adalah salah seorang tokoh
Perguruan Pedang Tujuh Bintang.
Lompatan lelaki gemuk itu dibarengi putaran pe-
dang yang gerakannya tidak kalah cepat dengan gera-
kan Bartawa. Gulungan sinar pedang lelaki itu bahkan
jauh lebih indah daiipada gerakan lawan.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Terdengar suara mengaung tajam ketika sinar pe-
dang lelaki gemuk itu berkeredep bagaikan garis-garis
pelangi yang berwarna-warni. Kemudian, bergerak ce-
pat meluncur ke arah tubuh lawan.
Melihat gerakan pedang lawan, tentu saja hati Bar-
tawa menjadi tercekat. Memang, ia kenal betul dengan
gaya permainan pedang lelaki gemuk itu. Sehingga, un-
tuk beberapa saat lamanya gerakan pedangnya terhenti
sambil menatap tajam ke arah lawannya.
"Ilmu Pedang Sinar Pelangi..?!" Desis lelaki gagah
berkumis tebal itu dengan kening berkerut. "Katakan,
apa hubunganmu dengan Raja Pedang Sinar Pelangi.”
Bartawa kontan bergerak mundur menjauhi lawan-
nya. Memang, ia tidak ingin kalau perkelahian itu ter-
jadi hanya karena salah paham saja.
"Huh! Tidak perlu banyak cakap! Aku memang
salah tokoh Perguruan Pedang Sinar Pelangi. Dan Ki
Giri Tantra menugaskanku untuk menghabisi nyawa
kalian. Kalian harus tahu, guru kalian adalah salah
satu penghalang guru kami untuk menjadi seorang jago
pedang nomor satu di kolong langit ini. Itulah sebab-
nya, mengapa aku harus melenyapkan kalian yang me-
rupakan penerus Raja Pedang Tujuh Bintang," sahut
lelaki gemuk yang ternyata adalah Kinaya, salah satu
murid utama Ki Giri Tantra.
"Keparat!" maki Bartawa setelah mendengar ucapan
lawannya yang jelas-jelas hendak mencelakakan ia dan
kawan-kawannya.
Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki gagah ber-
kumis tebal itu memutar senjatanya sekuat tenaga.
Memang, disadari betul, lawannya kali ini tidak bisa
dipandang ringan.
"Heaaat...!"
Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring yang
menggetarkan, tubuh Bartawa melesat disertai putaran
pedangnya.
"Yeaaat..!"
Kinaya yang memang berniat hendak melenyapkan
kedelapan orang murid Perguruan Pedang Tujuh Bin-
tang, segera berseru menyambut serangan Bartawa.
Pedang di tangannya bergulung-gulung naik-turun di-
iringi suara menderu-deru. Jelas, lelaki gemuk itu pun
telah mengerahkan kekuatannya untuk menggempur
Bartawa.
Pertarungan sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Dua orang tokoh dari aliran berbeda itu, saling gempur
mengandalkan ilmu pedang andalan masing-masing.
Sehingga, dalam sekejap saja suasana yang semula se-
pi itu pun berubah bising!
Hebat dan menarik sekali pertarungan yang ber-
langsung antara dua orang murid jago pedang itu. Gu-
lungan sinar, berwarna-warni bergerak saling libat
dengan gulungan sinar pedang yang terkadang menim-
bulkan kilatan-kilatan sinar bagai taburan bintang di
angkasa. Sehingga, pertarungan kedua orang tokoh itu
menjadi ramai dan menarik!
Di bagian lain, Randika yang juga salah seorang
murid utama Raja Pedang Tujuh Bintang, berhadapan
dengan seorang lelaki bertubuh sedang. Usianya sekitar
empat puluh lima tahun. Orang itu tak lain adalah
Wiradesa yang merupakan adik seperguruan Kinaya.
Rupanya, ia pun telah pula bertarung sengit melawan
Randika. Sehingga, suasana di sekitar tempat itu se-
makin ramai oleh suara dentang senjata beradu.
"Haiiit..!"
Tengah kedua orang tokoh itu bertarung sengit,
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Dan belum juga
gema suara itu hilang, tubuh berpakaian serba hitam
yang langsung terjun ke dalam arena pertarungan
Wiradesa dan Randika.
"Kita tidak perlu membuang-buang waktu dalam
menghadapi keroco-keroco ini. Lebih baik cepat sele-
saikan sebelum yang lain berdatangan," sent sosok tu-
buh gemuk berwajah brewok yang langsung memban-
tu Wiradesa.
Wuuuk...!
Dengan gerakan cepat dan kuat, pedang di tangan
lelaki gemuk itu meluruk ke arah lambung Randika
yang saat itu tengah mengegos ke samping menghindari
tusukan pedang Wiradesa. Sehingga keadaan tokoh
Perguruan Pedang Tujuh Bintang itu benar-benar ter-
jepit!
"Hiaaah...!"
Karena tidak ada waktu untuk menghindari, Ran-
dika mengayunkan pedangnya memapak tusukan lelaki
gemuk berwajah brewok itu. Kekuatannya pun juga
ditambah dalam melakukan tangksan mendadak itu.
Wuuut... Tranggg...!
Pijaran bunga api memercik diiringi suara berden-
tang nyaring yang menulikan telinga. Kemudian disusul
terpentalnya tubuh mereka beberapa langkah ke bela-
kang. Jelas, tenaga Randika dan lelaki brewok itu ma-
sih seimbang!
Wiradesa yang melihat tubuh Randika terjajar mun-
dur, cepat mengibaskan pedang secara mendatar. Gera-
kannya cepat dan tak terduga. Sehingga, tentu saja
membuat lawan terperangah pucat! Dan....
Wuuut...! Brettt...!
"Aaakh...!"
Randika menjerit ngeri ketika ujung pedang lawan
merobek perutnya. Matanya terbelalak melihat sembu-
ran darah segar yang mengalir dari luka menganga di
bagian perutnya. Belum lagi keadaan dirinya sempat
disadari, sebuah tendangan keras dari lelaki berwajah
brewok, membuat tubuhnya terjungkal sejauh satu se-
tengah tombak ke belakang!
Brughhh..!
"Uuugh...!"
Bagaikan binatang disembelih, tubuh Randika me-
negang menahan sakit yang tak terhingga. Matanya
melotot bagaikan hendak melompat keluar dari tem-
patnya. Sesaat kemudian, kepala lelaki gagah itu pun
terkulai karena napasnya telah putus!
"Adi Randika...!"
Bartawa yang saat itu tengah bertarung sengit me-
lawan Kinaya, tentu saja menjadi terkejut ketika men-
dengar jerit kematian adik seperguruannya. Maka ia
cepat melompat meninggalkan lawannya ketika melihat
tubuh Randika roboh bermandikan darah segar!
Namun Kinaya tidak sudi membiarkan lawannya
pergi begitu saja. Cepat ia melesat mengejar disertai
kibasan pedang yang langsung merobek punggung Bar-
tawa.
"Yeaaat..!"
Wuuut..! Brettt..!
"Aaakh...!"
Sambaran mata pedang yang merobek punggung,
membuat Bartawa menjerit kesakitan! Tubuhnya yang
semula tengah meluncur ke arah Randika langsung ter-
huyung limbung akibat tebasan pedang Kinaya.
"Bangsat licik! Tak kusangka kalau murid-murid
Perguruan Pedang Sinar Pelangi merupakan orang-
orang berhati busuk!" Maki Bartawa dengan gerakan
terhuyung. Sepasang matanya tampak menatap Kinaya
penuh dendam.
Namun baik Kinaya, Wiradesa maupun lelaki ber-
wajah brewok itu benar-benar telah berubah menjadi
iblis. Melihat darah yang mengucur melalui luka di
punggung lawan, seolah-olah semakin memancing has-
rat mereka untuk membunuh.
"Heaaat..!"
Didahuiui bentakan nyaring, tubuh ketiga orang
lelaki haus darah itu melesat disertai tebasan senjata
bagai hendak merencah hancur tubuh Bartawa.
"Yeaaah...!"
Sadar kalau untuk menyelamatkan diri dari keke-
jaman ketiga orang itu jelas tidak mungkin, Bartawa
pun membentak keras sambil memutar senjatanya se-
kuat tenaga.
Sayang, meskipun Bartawa telah mengerahkan se-
luruh sisa kekuatannya, tetap saja tidak mampu mem-
bendung gempuran ketiga orang lihai itu. Sehingga,
beberapa kali tusukan senjata lawan mulai melukai
tubuhnya.
"Aaakh...!"
Kembali tubuh Bartawa terhuyung untuk yang ke-
sekian kalinya. Pakaiannya yang semula bersih sudah
dipenuhi noda darah. Belum lagi sempat mengatur ke
adaan tubuhnya, ketiga orang iblis haus darah itu kem-
bali menyarangkan ujung-ujung senjata!
"Heaaat..!"
Brettt...! Crasss...! Brettt...!
"Aaargh...!"
Bagaikan binatang terluka, Bartawa meraung se-
tinggi langit ketika tiga buah senjata lawan kembali
mengoyak beberapa bagian tubuhnya. Sehingga, tubuh
lelaki gagah berkumis tebal itu terjengkang ke belakang
dan terbanting menimbulkan suara berdebuk nyaring!
"He he he.... Pergilah ke neraka, Manusia Dungu...!"
kata Kinaya sambil mengkelebatkan pedang ke arah ba-
tang leher Bartawa yang tengah sekarat.
Wuuut...
“Crakkk...!"
Darah segar kembali menyembur dari leher Bartawa
yang telah terpisah dari kepala. Kejam sekali apa yang
dilakukan Kinaya. Bahkan tatapan matanya begitu
dingin ketika selesai menebas putus leher Bartawa.
Sehingga, lelaki gagah murid utama Perguruan Pedang
Tujuh Bintang itu pun tewas tanpa sempat berteriak
lagi.
"Anak-anak pergi...! Tinggalkan kedua orang cecu-
nguk itu, biar dia melapor kepada guru besarnya. Ha
ha ha...!"
Setelah berkata demikian, Kinaya, Wiradesa, dan
lelaki brewok itu bergerak meninggalkan tempat itu
diiringi para pengikutnya yang berjumlah enam belas
orang.
Tinggal sisa murid Perguruan Pedang Tujuh Bin-
tang yang hanya dua orang. Mereka kini berdiri bagai-
kan orang linglung. Jelas, mereka sangat terpukul atas
kejadian yang bagai mimpi buruk itu.
"Kita kuburkan dulu mayat Kakang Bartawa dan
Randika. Baru kejadian ini kita laporkan kepada guru,"
ajak salah seorang dari kedua lelaki itu dengan suara
parau.
Tanpa banyak cakap lagi, kakinya pun mulai me-
langkah ke arah mayat kedua orang kakak sepergu-
ruan mereka yang terbaring kaku.
"Tenanglah kau di dalam sana, Kakang. Kami ber-
janji akan membalas kekejaman ini...," ucap salah se-
orang dari mereka dengan suara kering dan menyirat-
kan dendam.
Tak lama kemudian, mereka berangkat meninggal-
kan tempat itu. Hanya hembusan angin gunung yang
menyertai langkah lesu mereka.
***
Angin pegunungan bertiup silir-silir menyegarkan
tubuh. Kicauan burung-burung pagi yang menyambut
kehangatan sinar matahari, terdengar saling bersahut-
an. Sehingga, menambah keindahan suasana pagi di
Pegunungan Kelambat.
Namun, keindahan alam Gunung Kelambat itu sa-
ma sekali tidak menarik perhatian seorang lelaki tua
bertubuh kurus. Langkahnya tampak terburu-buru ke-
tika mulai mendaki lereng gunung. Pakaiannya yang
berwarna putih dan panjang hingga ke lutut, tampak
berkibar tertiup angin pegunungan.
Sepasang mata kakek berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu, tertuju lurus ke depan. Menilik dari panca-
ran wajahnya, jelas dia tengah dilanda kemarahan
hebat!
Tidak berapa lama kemudian, langkah kaki kakek
tua itu mulai bergerak memasuki dataran yang cukup
luas. Rupanya, dataran lebar Lembah Kepala Naga itu-
lah yang menjadi tujuannya. Terbukti langkahnya ter
henti pada dataran yang agak tinggi. Tatapan matanya
berputar merayapi daerah sekitarnya.
Wajah Ki Ageng Semplak atau yang lebih dikenal
sebagai Raja Pedang Angin Puyuh tampak semakin ge-
lap ketika melihat sesosok tubuh pendek gemuk tengah
melangkah menuju tempatnya. Melihat dari tatapan
matanya yang menyiratkan kegusaran, jelas ia telah
mengenal sosok yang tengah melangkah itu.
"Hm.... Percepatlah langkahmu, Ki Tunggul Wulung.
Aku sudah tidak sabar menanti kedatanganmu," desis
Raja Pedang Angin Puyuh bemada ancaman.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah lelaki pendek
gemuk itu di tempat Ki Ageng Semplak menanti.
"Ha ha ha...! Rupanya kau tidak sabar menanti
hingga purnama muncul, Ki Ageng Semplak. Pagi sekali
kau tiba di tempat pertemuan ini," kata lelaki pendek
gemuk yang tak Iain adalah Raja Pedang Penakluk
Bumi.
Kalau mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ki
Tunggul Wulung, jelas kalau hari itu merupakan hari
pertemuan yang telah ditentukan para jago-jago pedang
di empat penjuru.
"Hm.... Aku memang sudah tidak sabar menanti ke-
datanganmu, Manusia Cebol berhati culas!" sahut Ki
Ageng Semplak. Nada suaranya dingin, dan tak ber-
sahabat Sehingga, Ki Tunggul Wulung sempat tertegun
dibuatnya.
"Hei?! Ada apa ini, Ki Ageng Semplak? Mengapa
datang-datang langsung melontarkan ucapan yang ti-
dak enak di telingaku? Apakah ada sesuatu yang tidak
berkenan di hatimu?" Tanya Ki Tunggul Wulung de-
ngan wajah tak berdosa.
"Hm... jangan berpura-pura suci, Tunggul Wulung!
Akuilah dosa-dosamu sebelum kupaksa dengan kekerasan!" kembali kakek tua itu menghardik disertai tata-
pan penuh dendam.
"Kau jangan bergurau, Ki Ageng Semplak Lagi pula,
tidak semestinya pertemuan yang hanya terjadi pada
setiap lima tahun sekali ini diawali dengan pertengka-
ran tak beralasan. Sudahlah. Lebih baik kita membica-
rakan hal lain sambil menanti yang lainnya," kilah Ki
Tunggul Wulung.
Sepertinya dia tidak mau meladeni ucapan-ucapan
kasar sahabatnya. Kemudian lelaki pedek gemuk itu
menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan tebal yang
terhampar hijau.
"Hm.... Setelah apa yang dilakukan murid-murid-
mu terhadap sepuluh orang murid perguruanku, rasa-
nya aku sudah tidak dapat lagi bersikap ramah terha-
dapmu. Beberapa orang murid perguruanku yang se-
ngaja kutugaskan meninjau tempat ini pada dua hari
yang lalu, hanya kembali dua orang. Itu pun dengan
luka-luka di tubuhnya. Kau tahu, apa yang dilaporkan
mereka?" Tanya Ki Angeng Semplak yang masih belum
reda amarahnya.
"Apa maksudmu, Ki Angeng Semplak? Aku benar-
benar tidak mengerti ucapanmu?" sahut Ki Tunggul
Wulung tetap bersabar.
"Kau minta penjelasan? Baik. Nah, terimalah kete-
ranganku ini! Hiaaat..!"
Apa yang dilakukan Ki Ageng Semplak benar-benar
membuat Ki Tunggul Wulung terkejut. Bahkan sebelum
ucapannya selesai, tubuh kakek tua itu telah meluncur
ke arahnya disertai putaran pedang yang menimbulkan
deru angin ribut. Tentu saja Ki Tunggul Wulung tidak
bisa mendiamkannya begitu saja. Cepat tubuhnya di-
geser dengan lompatan panjang ke belakang.
"Sabar dulu, Semplak. Bukankah kalau ada perso-
alan dapat diselesaikan dengan kepala dingin?" Bujuk
Ki Tunggul Wulung berusaha untuk tidak terpancing
amarah lawannya.
'Tidak perlu banyak cakap, Wulung! Delapan orang
nyawa muridku tidak akan pernah tenang kalau belum
kubalaskan!" seru Raja Pedang Angin Puyuh. Lalu,
tubuh orang tua itu kembali melesat disertai putaran
pedangnya.
Wuuuk..! Wuuuk...!
Gulungan sinar pedang di tangan Ki Ageng Semplak
benar-benar dahsyat! Angin keras bertiup menerbang-
kan apa saja yang terlanda olehnya. Sehingga dalam
sekejap saja, tempat itu telah dipenuhi sampah daun-
daun pohon yang berguguran akibat hebatnya putaran
pedang yang dilakukan kakek tua itu.
Ki Tunggul Wulung tentu saja tidak ingin tubuhnya
dijadikan korban senjata lawan. Maka dengan tangkas,
tokoh pendek gemuk itu pun bergegas mencabut keluar
senjatanya.
"Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan lantang, tubuh pendek
itu melayang memapak serangan lawan. Jelas, kema-
rahan Ki Ageng Semplak yang menurutnya tanpa ala-
san telah membuat hati Ki Tunggul Wulung menjadi
terbakar. Apalagi ketika mendengar murid-murid kakek
itu telah dibunuh murid-murid perguruannya. Tentu
saja hatinya semakin mengkelap.
Tengah seru-serunya pertarungan kedua jago pe-
dang itu berlangsung, tiba-tiba melesat sesosok baya-
ngan yang langsung memisahkan perkelahian sengit
itu.
"Berhenti...!" seru sosok bayangan itu yang lang-
sung mendaratkan tubuh di dekat arena pertarungan.
Seruan yang disertai pengerahan tenaga dalam ting-
gi itu tentu saja membuat perkelahian terhenti seke-
tika. Mereka langsung melompat mundur hingga ham
pir dua tombak jauhnya, agar mempunyai kesempatan
apabila lawan bermain curang.
"Hm.... Rupanya kalian berdua yang tengah berta-
rung? Lalu, ke mana perginya Raja Pedang Sinar Pela-
ngi? Apakah belum datang, atau sengaja tidak mau da-
tang," kata lelaki tinggi gagah yang mengenakan pa-
kaian terbuat dari kulit ular. Siapa lagi orang itu kalau
bukan Raja Pedang Tujuh Bintang, yang merupakan
jago pedang nomor satu di daerah Barat. Kedatangan-
nya ke tempat itu pun mempunyai alasan yang sama.
Tujuannya, menghadiri pertempuan raja-raja pedang!
***
SEMBILAN
"Raja Pedang Tujuh Bintang! Kuharap kau me-
nyingkir dulu, dan jangan mencampuri urusan kami!
Apabila persoalan ini telah selesai, barulah kita mem-
bicarakan yang lainnya!" sentak Raja Pedang Angin Pu-
yuh. Sementara, tatapan matanya tetap tertuju kepada
Ki Tunggul Wulung si Pedang Penakiuk Bumi.
"Hm.... Ketahuilah, Ki Ageng Semplak. Bukan hanya
kau saja yang mempunyai persoalan. Aku pun tengah
menghadapi suatu masalah yang sangat membuat pe-
nasaran! Delapan orang muridku yang pada beberapa
hari lalu kutugaskan melihat dan merapikan tempat
ini, ternyata telah dibantai murid-murid Raja Pedang
Sinar Pelangi. Hal itu kutahui dari dua orang muridku
yang selamat dan melaporkannya kepadaku. Maka, ini
tidak bisa kubiarkan. Dan aku akan membuat perhitu-
ngan dengan Raja Pedang Sinar Pelangi. Tapi dia belum
tentu hadir pertemuan kali ini," jelas Raja Pedang Sinar
Pelangi yang rupanya juga mempunyai persoalan ham-
pir serupa dengan apa yang tengah dihadapi Raja
Pedang Angin Puyuh.
"Siapa pula yang tidak hadir! Dan mengapa aku
harus takut menghadapi Raja Pedang Tujuh Bintang?"
Tiba-tiba terdengar suara lantang menggetarkan.
Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok tubuh kurus
telah melayang dan mendaratkan kakinya di arena per-
tarungan yang terhenu itu. Dan sosok tubuh itu tak
lain adalah Raja Pedang Sinar Pelangi!
Kedatangan Raja Pedang Sinar Pelangi membuat
Raja Pedang Tujuh Bintang berpaling kepadanya. Sorot
matanya jelas mengandung pertanyaan yang menun-
tut jawaban.
'Tuduhanmu sama sekali tidak benar, Branta Sula.
Aku sama sekali tidak pernah menyuruh murid-murid-
ku berbuat curang. Tapi, apa yang kau tuduhkan itu
mungkin saja terjadi. Apalagi, saat ini perguruan yang
kumpimpin telah direbut kedua orang murid-murid
utamaku. Jadi, mungkin saja mereka melakukan per-
buatan keji itu untuk mengadu domba sesama kita,"
jawab Ki Giri Tantra dengan wajah sedih. Jelas, apa
yang dituduhkan Raja Pedang Tujung Bintang mem-
buat hatinya terpukul.
"Ha ha ha...!"
Ki Branta Sula atau yang lebih dikenal sebagai Raja
Pedang Tujuh Bintang tertawa bergelak-gelak mende-
ngar jawaban yang keluar dari mulut lelaki kurus itu.
"Giri Tantra! Apa kau kira aku akan mempercayai
ucapanmu begitu saja? Ha ha ha.... Siapa pun tentu
tidak akan mempercayai omongan orang bodoh. Mus-
tahil!" sahut Raja Pedang Tujuh Bintang dengan wajah
menghina sekali.
"Apa yang diucapan Ki Giri Tantra itu bisa saja ter-
jadi, Branta Sula. Buktinya aku pun mengalami hal
serupa. Kedua orang murid utamaku yang sangat ku-
percaya, telah merubah peraturan-peraturan yang ku-
buat. Dan mereka menguasai seluruh muridku pada
waktu aku pergi menyelidiki lenyapnya kitab ilmu pe-
dang ciptaanku yang baru. Jadi, ucapan Ki Giri Tantra
bisa kupercaya."
Tiba-tiba saja Raja Pedang Penakluk Bumi ikut me-
nimpali. Sepertinya, ia hendak menyadarkan kedua
orang kawannya dengan ucapannya itu.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar ketika Raja Pe-
dang Penakluk Bumi menyelesaikan ucapannya. Dan
orang yang mengeluarkan suara tawa itu tak lain ada-
lah Ki Ageng Semplak si Raja Pedang Angin Puyuh.
Mendengar suara tawa yang menghina, membuat Ki
Tunggul Wulung menoleh tak senang. Sepasang mata-
nya menyorot tajam mengandung teguran.
"Hm.... Kau boleh tidak mempercayai ucapanku ini,
Ki Ageng Semplak. Tapi, kenyataan yang kuhadapi me-
mang demikian. Itulah sebabnya, mengapa aku mem-
percayai ucapan Ki Giri Tantra. Karena apa yang di-
alaminya persis dengan kejadian yang kualami," kilah
Raja Pedang Penakluk Bumi, mencoba tetap bersikap
tenang.
"Hmh...! Kau dengar keterangan dusta manusia
licik ini, Ki Branta Sula. Jelas, kedua orang manusia
berhati busuk ini telah bersekongkol untuk menjatuh-
kan kita berdua. Sepertinya, mereka sudah memimpi-
kah untuk menjadi jago pedang nomor satu di negeri
ini. Tapi, kelicikan itu ternyata telah dapat kita ketahui.
Dan untuk itu mereka harus mempertanggungjawab-
kannya!" kata Ki Ageng Semplak.
Usai berkata demikian, Raja Pedang Angin Puyuh
kembali bersiap menghadapi Raja Pedang Penakluk Bu-
mi yang dianggap telah membantai murid-muridnya.
Wuuut...! Wuuut..!
Hembusan angin bertiup keras dan berputaran ba-
gaikan angin puyuh ketika Ki Ageng Semplak memutar
pedangnya.
Bersiaplah menerima pembalasanku, Ki Tunggul
Wulung! Kalau kau masih ingin tetap hidup, sebaiknya
serahkan murid-muridmu yang telah berbuat keji itu.
Kalau tidak, terpaksa aku melupakan persahabatan
kita yang telah bertahun-tahun," ancam Raja Pedang
Angin Puyuh.
"Hm.... Semuanya sudah kujelaskan secara tuntas,
Ki Ageng Semplak. Dan kalau kau masih tidak mem-
percayainya, apa boleh buat!" Sahut Ki Tunggul Wulung
sambil menyilangkan pedang didepan dada.
"Huh...! Kalau begitu, terimalah hukumanmu!”
“Heaaat...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh tinggi kurus itu
melesat cepat disertai putaran pedangnya yang meng-
giriskan!
Raja Pedang Penakluk Bumi tentu saja tidak sudi
membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pedang lawan.
Maka dengan menggeser kaki kanannya ke samping,
pedang di tangannya diputar sedemikian rupa.
Wuuunggg...! Wuuunggg...!
Sekejap saja, lenyaplah sekujur tubuh Ki Tunggul
Wulung terbungkus gulungan sinar pedangnya. Hanya
suara mengaung tajam saja yang terdengar ketika mata
pedang Ki Tunggul Wulung meluncur dengan kecepa-
tan tinggi.
Tak bisa dicegah lagi. Terjadilah pertarungan mari-
matian antara kedua orang jago pedang yang semula
merupakan sahabat baik itu. Sekejap saja, arena per-
tarungan itu telah berubah dan terselimut debu tipis
yang ditimbulkan putaran pedang di tangan kedua jago
tua itu.
Melihat Ki Ageng Semplak dan Ki Tunggul Wulung
memulai pertarungan, Ki Branta Sula segera berpaling
ke arah Ki Giri Tantra. Tanpa banyak cakap lagi, pe-
dang yang tersampir di punggungnya diloloskan.
"Bersiaplah, Ki Giri Tantra! Hutang nyawa di antara
kita harus segera dilunasi," ucap Ki Branta Sula meng-
ingatkan.
"Hm.... Apa boleh buat, Sahabat. Kalau memang ki-
ni yang kau inginkan, aku pun tidak kuasa menolak-
nya," sambut Raja Pedang Sinar Pelangi.
Kemudian pedangnya dihunuskan dan diangkat
tinggi-tinggi di atas kepala. Melihat dari gerakannya,
jelas Ki Giri Tantra telah menyiapkan ilmu pedang ter-
barunya untuk menghadapi gempuran Ki Branta Sula.
Apalagi dia sadarinya kalau lawan pasti juga akan
menggunakan ilmu pedang terbaru. Maka untuk men-
jaga kemungkinan itu, Raja Pedang Sinar Pelangi se-
gera memutar pedangnya dengan kecepatan tinggi.
Wuuuk...! Wuuuk...!
Gulungan sinar pedang yang menimbulkan warna-
warni seperti pelangi bergerak turun-naik. Kecepatan
dan keindahannya begitu mengagumkan.
"Aaat..!"
Raja Pedang Tujuh Bintang tidak ingin menunggu
lama. Saat itu juga tubuhnya melayang disertai sam-
baran pedangnya yang mengaung bagaikan ribuan ekor
lebah murka!
Ki Giri Tantra pun tidak mau tinggal diam. Pedang
di tangannya berkelebat cepat dengan perubahan-peru-
bahan tak terduga. Sehingga dalam sekejapan mata
saja kedua jago pedang itu sudah saling menggempur
dahsyat!
Jurus demi jurus berlalu tanpa terasa. Hingga tan-
pa disadari, pertarungan jago-jago pedang itu telah ber-
langsung selama lebih kurang empat puluh jurus.
Meskipun demikian, pertarungan tetap berjalan seru!
Namun belum terlihat seorang pun yang terdesak. Se-
dangkan suasana di sekitar arena pertarungan sudah
porak-poranda bagaikan diamuk badai dahsyat!
"Yeaaat..!"
Wuuuk.... Wuuuk.... Wuuuk...!
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keenam
puluh, tiba-tiba Raja Pedang Tujuh Bintang berseru
nyaring dan mengejutkan! Sinar pedang yang bergu-
lung-gulung di tangannya, berkeredep dan memecah
menjadi tujuh buah sinar kebiruan yang berpendar me-
nyilaukan mata. Sehingga, Raja Pedang Sinar Pelangi
sendiri sempat terperanjat dibuatnya!
Sadar kalau serangan lawan kali ini benar-benar
berbahaya, maka Ki Giri Tantra berseru nyaring bagai
hendak menggetarkan Lembah Kepala Naga.
"Haaat..!"
Disertai putaran pedangnya yang menimbulkan si-
nar wama pelangi, jago pedang dari Selatan itu memu-
tar senjatanya, langsung dipapaknya tusukan pedang
lawan! Maka....
"Aaah...!"
"Uhhh...!"
Terdengar benturan yang memekakkan telinga ke-
tika kedua batang senjata bertenaga dahsyat saling ber-
tumbukan di udara! Kemudian, disusul seruan-seruan
tertahan!
Baik tubuh Raja Pedang Sinar Pelangi maupun Raja
Pedang Tujuh Bintang terlempar keras hingga dua tom-
bak ke belakang! Kedua tokoh itu bertindak cepat, me-
lakukan beberapa kali putaran di udara untuk mema-
tahkan daya luncur akibat bentrokan dahsyat itu.
Meskipun ketika mendaratkan kakinya di atas ta-
nah dalam keadaan goyah, namun kedua jago pedang
itu jelas tidak mengalami luka sedikit pun.
Raja Pedang Sinar Pelangi dan Raja Pedang Tujuh
Bintang saling menatap dalam jarak lima tombak, ba-
gaikan dua ekor ayam jago yang tengah berlagak Kedua
jago pedang itu saling bergerak memutar sambil mene-
liti kelemahan lawan masing-masing.
"Hentikan pertempuran...!"
Selagi jago-jago pedang di empat penjuru angin itu
saling bergerak hendak melanjutkan pertarungan, ter-
dengar bentakan menggelegar laksana hendak mero-
bohkan lembah! Tentu saja bentakan yang mengan-
dung kekuatan raksasa itu membuat pertempuran ter-
henti.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Terdengar seruan yang bersahut-sahutan dari ke-
empat jago pedang itu. Mereka sama-sama menoleh-
kan kepala ke arah sesosok tubuh yang mengenakan
jubah berwarna putih. Sedangkan di belakang sosok
tubuh itu, tampak seorang gadis berbaju hijau dan dua
bayangan lain menyertainya.
"Darpa.... Sudira...!"
Raja Pedang Sinar Pelangi berseru gembira ketika
melihat dua sosok yang menyertai kehadiran Pendekar
Naga Putih dan Kenanga. Memang kedua orang itu tak
lain adalah murid-murid utamanya yang masih setia.
"Guru...!"
Baik Darpa maupun Sudira, cepat menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Ki Giri Tantra. Suara kedua orang
lelaki gagah itu terdengar serak, terselimut keharuan
yang terasa menyesakkan rongga dada.
Bagi Raja Pedang Sinar Pelangi dan Raja Pedang
Penakluk Bumi, tentu saja kehadiran Pendekar Naga
Putih membuat hati menjadi lega. Memang, kebenaran
pendekar muda itu dapat membuat suasana yang se-
mula panas, lenyap seketika. Maka, kedua jago pedang
itu pun memandang Panji dengan sinar mata penuh
rasa terima kasih.
Lain halnya Raja Pedang Angin Puyuh dan Raja Pe-
dang Tujuh Bintang. Mereka menganggap kehadiran
pemuda itu sebagai suatu gangguan yang semakin
membuat hati terbakar.
"Pendakar Naga Putih!" tegur Ki Ageng Semplak
yang kemarahannya semakin menggelegak. "Apa mak-
sud kehadiranmu di tempat ini? Pergilah! Kami tidak
ingin kau mencampuri urusan ini!"
"Benar, Pendekar Naga Putih. Meskipun kau terke-
nal sebagai seorang pendekar yang suka menolong
orang lain, namun kami di sini tidak membutuhkan
kehadiranmu. Maka, lebih baik kau angkat kaki dari
tempat ini. Dan biarkan persoalan ini kami urus sen-
diri," Bmpal Raja Pedang Tujuh Bintang yang jelas-jelas
tidak menyukai kehadiran Pendekar Naga Putih di tem-
pat itu.
Meskipun ucapan-ucapan yang dikeluarkan kedua
orang jago pedang itu sangat menyakitkan, namun Pen-
dekar Naga Putih sama sekali tidak marah. Dengan
langkah perlahan disertai senyum bersahabat, pemuda
itu menghampiri Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula.
"Maaf, Ki. Sebenarnya persoalan ini bukan lagi ha-
nya sekadar persoalan kalian. Tapi, sudah menjadi per-
soalan semua kaum persilatan yang menganggap diri-
nya sebagai pendekar. Perlu kalian ketahui, ada pihak
ketiga yang sengaja hendak mengadu domba raja-raja
pedang di empat penjuru mata angin. Keadaan inilah
yang mau tidak mau memaksaku harus mencampuri-
nya. Dan kedatanganku ke tempat ini pun karena hen-
dak menceritakan duduk perkara yang sebenarnya,"
sahut Pendekar Naga Putih, panjang lebar. Sehingga,
mau tidak mau kedua orang raja pedang itu sama me-
ngerutkan keningnya.
"Apa maksudmu dengan pihak ketiga itu, Pendekar
Naga Putih? Sedangkan orang-orang yang telah mem-
bantai murid-muridku, sudah jelas dari pihak Pergu-
ruan Pedang Sinar Pelangi. Buktinya, Ki Giri Tantra
pun tidak bisa membantah. Nah, apa lagi yang harus
dijelaskan?" Sergah Ki Branta Sula yang sepertinya
masih belum bisa menerima keterangan Pendekar Naga
Putih itu.
"Benar. Demikian pula halnya dengan kematian
murid-muridku. Jelas, yang melakukannya adalah mu-
rid-murid utama Perguruan Pedang Penakluk Bumi.
Maka, kuharap kau menyingkir, Pendekar Naga Putih.
Biarkan kami menyelesaikan persoalan ini. Tapi kalau
kau memang ingin membela, aku pun tidak keberatan.
Asal kau tahu saja, kami tidak akan segan-segan ber-
laku kasar!" Tegas Ki Ageng Semplak yang jelas-jelas
menanrang Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Di sini ada dua orang murid utama Ki Giri
Tantra yang secara langsung telah mengalami peristiwa
itu. Dan secara kebetulan, aku bersama kawanku ini
sempat menyaksikannya. Bahkan sempat pula bentrok
dengan orang-orang berseragam hitam itu. Kuduga,
merekalah yang telah mengadu domba sesama kalian,"
bujuk Panji kembali.
Meskipun Raja Pedang Angin Puyuh dan Raja Pe-
dang Tujuh Bintang mulai mempercayai keterangan
Pendekar Naga Putih, namun sepertinya mereka belum
puas.
"Hm.... Keteranganmu memang cukup masuk akal,
Pendekar NagaPutih. Tapi untuk membicarakannya,
aku terus terang belum bisa menerimanya. Kecuali, bila
kau bersedia meluluskan satu permintaan kami. Kalau
tidak, maka kami kembali akan menagih hutang nyawa
kepada Ki Giri Tantra," ujar Raja Pedang Tujuh Bintang
dengan bibir menyunggingkan senyum licik.
Panji pun bukanlah orang bodoh. Dimakluminya si-
fat tokoh-tokoh rimba persilatan yang selalu haus akan
ilmu silat. Dan apa yang dimaksud dengan 'permintaan'
itu pun, telah dapat diduga.
"Ki Branta Sula. Demi tegaknya keadilan dan rasa
persaudaraan di antara kita, aku bersedia memenuhi
permintaanmu. Dan semoga saja kau tidak menarik
janjimu untuk menyelesaikan persoalan ini secara ke-
keluargaan. Bagaimana?" tegas Panji.
"Hm.... Jangan membuatku marah, Pendekar Naga
Putih. Sekali kata-kataku terucap, tak akan mungkin
ditarik kembali. Meskipun, untuk itu aku harus mati!"
sahut Ki Branta Sula. Rupanya, dia merasa tidak suka
atas ketidakpercayaan pemuda tampan itu.
"Kalau begitu, baiklah. Aku bersedia," tegas Panji
sambil melangkah ke tempat yang lebih luas.
"Cabut senjatamu, Pendekar Naga Putih. Aku tidak
suka menghadapi lawan yang bertangan kosong," ujar
Ki Branta Sula ketika mereka telah berdiri berhadapan
dalam jarak dua tombak.
"Baiklah, Ki...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera memejamkan matanya
untuk memusatkan pikiran. Memang, Pedang Naga la-
ngit yang biasa tersampir di punggung, kini telah ter-
simpan dan menyatu dalam tubuhnya. Hal itu dilaku-
kan untuk tidak menarik perhatian orang. Karena, pe-
dang yang besar dan berat itu terlalu menyolok apabila
disampirkan di punggungnya. (Untuk lebih jelasnya,
silakan lihat episode "Rahasia Pedang Naga Langit").
"Heaaah...!"
Didahului oleh sebuah bentakan keras, Pendekar
Naga putih membuka kedua matanya. Dan entah dari
mana datangnya, tahu-tahu saja di dalam genggaman
tangan pemuda itu tergenggam sebilah pedang yang
mengeluarkan sinar kuning keemasan. Itulah Pedang
Naga Langit!
Adanya sebilah pedang yang tahu-tahu telah ter-
genggam di tangan Pendekar Naga Putih, tentu saja
membuat raja-raja pedang itu menjadi terbelalak tak-
jub! Hanya Kenanga saja yang tidak merasa heran,
karena Panji telah menceritakan pengalaman itu kepa-
danya.
Namun, Raja Pedang Tujuh Bintang tentu saja tidak
sudi memperiihatkan rasa kagumnya terhadap perbua-
tan Pendekar Naga Putih. Baginya, hal itu hanya akan
menurunkan derajat sebagai jago pedang. Maka meski-
pun harinya memuji, tapi wajah tokoh itu tetap dingin
tanpa gambaran perasaan apapun.
"Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...! Hea-
aat..!"
Setelah melihat lawannya mengambil sikap, Ki Bra-
nta Sula segera melompat disertai putaran pedangnya
yang memercikan butiran-butiran sinar kebiruan. Je-
las, jago pedang wilayah Barat itu telah langsung meng-
gunakan ilmu pedang andalannya.
Hebat sekali serangan yang dilancarkan Raja Pe-
dang dari Barat itu. Sambaran sinar pedangnya ber-
gulung-gulung disertai percikan sinar kebiruan yang
berpendar. Sehingga, apabila lawan tidak memiliki pen-
dengaran tajam, sudah pasti akan sulit menghadapi
serangan Ki Branta Sula.
Wuuut..! Wuuut..!
Dua kali tusukan pedang lawan yang mengancam
lambung dan lehernya berhasil dielakkan Panji. Setelah
menggeser tubuh dengan kuda-kuda rendah, pedang di
tangannya dikibaskan secara mendatar.
Beuuut..!
Cepat dan tak terduga sama sekali serangan bala-
san yang dilancarkan Pendekar Naga Putih. Sehingga,
Ki Branta Sula sempat terperanjat dibuatnya. Namun
dengan gerakan ringan dan gesit, tokoh sakti berusia
sekitar enam puluh lima tahun itu bergerak ke kiri
sambil memutar pedangnya untuk melakukan tangki-
san.
Tapi serangan yang dilancarkan Panji ternyata ha-
nya gerak tipu. Pada saat pedang lawan bergerak hen-
dak memapak, tahu-tahu saja pedang di tangan Pende-
kar Naga Putih bergerak berputar setengah lingkaran.
Kemudian dengan gerakan menyamping, pedang pemu-
da tampan itu menusuk cepat mengincar lambung Ki
Branta Sula.
“Haiitt..!"
Sadar kalau tusukan pedang pemuda tampan itu
sangat berbahaya dan sulit dihindari, Ki Branta Sula
membentak keras dan langsung melempar tubuhnya
berjumpalitan ke belakang. Barulah ia dapat menyela-
matkan diri dari tusukan pedang yang cepatnya mele-
bihi sambaran kilat!
"Hiaaat..!"
Begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
tubuh Ki Branta Sula meluncur cepat disertai putaran
pedangnya yang menimbulkan gulungan sinar berpen-
dar. Dari lingkaran gulungan sinar pedang itu tampak
tujuh buah sinar kebiruan yang membentuk bulatan-
bulatan kecil memercik menyilaukan mata.
Kagum dan terkejut juga hati Pendekar Naga Putih
melihat kedahsyatan serangan lawan. Namun Panji pun
maklum kalau sebagai seorang jago pedang yang jarang
ada duanya, Ki Branta Sula memang patut memiliki
ilmu pedang yang hebat dan berbahaya.
"Haiiit..!"
Melihat serangan bahaya yang dilancarkan lawan,
Panji pun memekik nyaring disertai lompatan tubuhnya
ke kanan. Lalu, dia membarenginya dengan tusukan
kilat yang mengancam lambung kiri lawan.
Wueeet..!
Serangkum hawa dingin bersinar keemasan, ber-
hembus mengiringi tusukan pedang Pendekar Naga
Putih.
Tranggg.... Tranggg...!
Desss...!
"Ughhk..!"
Bunga api memercik menandai hebatnya benturan
kedua bilah pedang pusaka yang telah dilapisi tenaga
dahsyat itu. Dan sesaat setelah benturan itu terjadi,
Pendekar Naga Putih bertindak cepat begitu melihat
bagian tubuh lawan yang lowong. Sebuah tendangan
kilat yang keras, sehingga membuat tubuh Ki Branta
Sula terjengkang hingga sejauh dua tombak ke bela-
kang!
"Huaaakh...!"
Gumpalan darah segar terlompat keluar dari mulut
jago pedang wilayah Barat itu. Tubuhnya yang terban-
ting cukup keras di atas tanah berumput kering, ber-
usaha susah payah bergerak bangkit.
"Kau... kau hebat, Pendekar Naga Putih. Aku benar-
benar merasa kagum dengan ilmu 'Pedang Naga Sakti'
yang kau miliki itu. Aku terima kalah," aku Ki Branta
Sula tanpa malu-malu lagi.
Itulah perbedaan yang menyolok antara tokoh go-
longan putih dan golongan sesat. Kaum rimba persila-
tan golongan putih akan mengaku secara jujur apabila
dikalahkan lawan. Namun berbeda dengan kaum golo-
ngan hitam. Mereka tidak sudi menerima kekalahan,
meski dalam sebuah pertandingan yang bersih sekali-
pun. Hal itu pulalah yang membuat Panji semakin me-
naruh hormat kepada Raja Pedang Tujuh Bintang.
"Nah! Sekarang, ceritakanlah. Apa yang kau ketahui
dari hasil penyelidikanmu mengenai persoalan ini?" Ta-
nya Ki Ageng Semplak. Nada suaranya seperti menyi-
ratkan persahabatan.
Rupanya jago pedang wilayah Utara itu pun tidak
lagi memperpanjang urusan. Kepercayaan kakek itu
semakin menebal setelah melihat betapa pemuda itu
tidak menurunkan tangan kejam dalam mengalahkan
Ki Branta Sula. Hal itu cukup baginya untuk memper-
cayai kebersihan hati Pendekar Naga Putih.
Dan kini, keempat orang jago pedang termasuk
Darpa, Sudira, dan Kenanga, duduk melingkar di ba-
wah sebatang pohon rindang. Mereka memandang Pen-
dekar Naga Putih yang tampak terdiam untuk mengatur kata-kata yang akan disampaikannya kepada jago-
jago pedang itu.
***
"Hm.... Jadi, yang menjadi biang keladi dari per-
soalan ini, adalah sekelompok orang-orang berseragam
hitam?" Tanya Ki Ageng Semplak setelah mendengar
penuturan Pendekar Naga Putih.
"Benar, Ki. Dan menurut apa yang kudengar dari
Darpa maupun Sudira, orang-orang yang berdiri di
belakang kedua orang murid utama Ki Giri Tantra ada-
lah orang-orang berseragam hitam yang juga memiliki
ilmu pedang cukup hebat" sahut Panji kembali mem-
beri keterangan.
"Benar, Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula.
Orang-orang yang menguasai perguruanku pun adalah
orang-orang berseragam hitam. Entah, bagaimana ca-
ranya hingga mereka dapat menundukkan murid-mu-
rid utamaku yang bernama Umbara dan Jantika. Se-
dang tiga orang murid utamaku lainnya, dibunuh tanpa
ampun. Benar-benar biadab orang-orang aneh itu,"
timpal Ki Tunggul Wulung.
Kedua orang jago pedang wilayah Utara dan Barat
itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepala. Seper-
tinya, mereka telah percaya penuh akan semua kete-
rangan itu.
"Kalau begitu, sekarang kita harus berpencar untuk
menyelidiki markas orang-orang berseragam hitam itu,
dan siapa yang menjadi datang dari semua kejadian
ini," usul Panji seraya bergerak bangkit dari tempatnya.
"Baiklah. Dan kita berkumpul di tempat ini pada
bulan kelima hari ke delapan. Bagaimana?" usul Ki Giri
Tantra.
Setelah semua menyetujui usul itu, maka para to-
koh persilatan itu berpencar untuk menyelidiki orang-
orang berseragam hitam yang telah mengacaukan per-
temuan mereka.
"Ingat! Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri.
Tugas kita hanya menyelidiki kekuatan lawan," sebe-
lum berpisah Pendekar Naga Putih mengingatkan para
tokoh itu.
Tak berapa lama kemudian, Lembah Kepala Naga
pun kembali dicekam kebisuan. Kini, para tokoh per-
silatan itu telah meninggalkan lembah untuk melaksa-
nakan tugasnya masing-masing.
Nah siapakah sesungguhnya dalang yang menye-
babkan sengketa tersebut? Apa yang menjadi penyebab
mereka ingjn menguasai perguruan raja-raja pedang
itu? Dan bagaimana akhir dari kisah sengketa jago-jago
pedang im? Silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih
dalam episode selanjutnya yaitu "Laba-laba Hitam".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar