..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENJAGAL ALAM AKHIRAT

PENJAGAL ALAM AKHIRAT

 

Serial Pendekar Naga Putih 
PENJAGAL ALAM AKHERAT 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Rusli 
Gambar sampul oleh Pro's 
128 hal. ; 12 x 18 cm 

SATU


Siang itu matahari bersinar terik. Sesosok tubuh ramping 
berpakaian serba hijau bergerak menaiki le-reng gunung. 
Rambutnya yang panjang hingga ke ba-hu tampak bergoyang 
lembut mengiringi ayunan lang-kahnya. 
Sosok tubuh ramping itu tidak lain adalah gadis bernama 
Kenanga. Ia bergerak lincah melintasi lereng gunung yang 
banyak terdapat batu-batu menonjol. Gadis jelita itu sama 
sekali tidak menemui kesukaran walaupun di atas bahunya 
terlihat sesosok tubuh berpakaian serba putih yang tergantung 
lemah. 
Wajah cantik bagai bidadari itu tampak pucat dan lelah. 
Kecemasan atas keadaan Panji yang berada dalam 
pondongannya, telah membuat gadis jelita itu tak 
menghiraukan lagi akan dirinya.

Pendekar Naga Putih atau Panji belum lagi siuman dari 
pingsannya. Padahal sudah hampir dua hari Kenanga 
melakukan perjalanan. Namun, pemuda itu belum juga sadar. 
Semenjak mereka meninggalkan Lembah Biru (Baca serial 
Pendekar Naga Putih dalam episode: "Raja Iblis dari Utara"). 
Rasa cemas itu membuat Kenanga menempuh perjalanan 
Jauh dan melelahkan tanpa mengeluh sedikit pun. Gadis itu 
hampir tidak pemah berhenti dalam menempuh perjalanan 
menuju tempat kedia-man Eyang Wiku Girting. Keadaan gadis 
itu tak ubah-nya seorang gembel. 
Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dan berbatu 
terjal itu, Kenanga tiba didepan sebuah pon-dok sederhana di 
sekitar puncak gunung itu. 
"Eyang...!" panggil Kenanga lirih dan bergetar. Belum lagi ia 
dapat menjangkau pintu pondok itu, ia pun terguling roboh. 
Kenanga si bidadari jelita itu jatuh pingsan sebelum bertemu 
dengan si penghuni pondok. 
Bunyi suara berdebuk agak keras itu membuat seorang 
kakek renta membuka pintu pondoknya. Alis kakek tua 
bertubuh kurus itu berkerut ketika melihat dua sosok tubuh 
tergeletak di depan pintu pondok-nya. Si kakek bergegas 
menghampiri dan memeriksa kedua anak muda itu. 
"Kasihan. Seorang gadis yang keras hati dan ta-bah!" Ucap 
kakek itu menggeleng-gelengkan kepala-nya penuh kagum, 
ketika ia memeriksa tubuh Kenanga. "Entah siapa pula pemuda 
itu, sampai-sampai gadis itu rela mengenyampingkan 
kesehatannya sen-diri!" Sesaat setelah memeriksa keadaan 
Kenanga, lalu ia mengangkat tubuh gadis itu ke pondoknya. 
Diba-ringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai yang ter-buat 
dari bambu dan hanya beralaskan selembar tikar tua.

Begitu selesai merebahkan Kenanga, si kakek kembali keluar 
untuk mengambil tubuh Panji. Si kakek membungkuk 
memeriksa tubuh Panji yang ter-geletak pingsan. 
"Eh!" 
Bagai disengat kalajengking, si kakek terlonjak ke belakang. 
la menyeringai menahan rasa sakit pada jari tangannya. "Aneh, 
apa gerangan yang ada dalam tubuh pemuda tampan ini? 
Totokan jari-jari tanganku seolah-olah amblas ke dasar 
samudra yang amat dalam. Tenagaku membalik bagai 
dilemparkan sebuah kekuatan yang hanya ada dalam dongeng. 
Luar biasa! Aku tidak bisa menggunakan tenaga saktiku untuk 
memeriksa tubuhnya!" Si kakek menggeleng-geleng-kan 
kepalanya tak habis mengerti. Pelahan-lahan si kakek 
mengangkat tubuh pemuda tampan. Karena sedikit saja ia 
menggunakan tenaga saktinya, maka celakalah ia! 
Si kakek membaringkan tubuh Panji di atas balai-balai 
lainnya yang terletak lebih ke dalam. Hati-hati sekali si kakek 
membaringkan tubuh pemuda itu. Da-hinya sedikit berkeringat 
karena ketegangan yang menyelimuti hatinya. Hal itu wajar. 
Kakek itu tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting yang dicari-cari 
Ke-nanga. Sebagai seorang tokoh sakti yang berpengala-man, 
ia pun tahu bahwa sedikit saja ia melakukan kesalahan, maka 
bukan tidak mungkin nyawanya sendiri yang akan melayang. 
"Heran, bagaimana mereka dapat sampai di tempat ini? 
Kalau menurut pengamatanku, pemuda itu sudah tak sadarkan 
diri selama satu hari lebih. Apa-kah gadis itu yang telah 
membawanya? Lalu bagai-mana cara gadis itu membawanya? 
Dan mengapa tidak terpengaruh oleh tenaga aneh yang 
bergolak liar di dalam tubuh pemuda ini? Ahhh, 
membingungkan!" Desah si kakek yang segera mengusir 
pikiran-pikiran yang membuat kepalanya pusing.

Tanpa mempedulikan pikirannya yang memusing-kan itu, si 
kakek bergegas memasak air untuk kedua tamunya, terutama 
Kenanga. Ia tahu bahwa gadis itu baru saja jatuh pingsan 
ketika tiba di pintu pondok-nya. Kemungkinan besar gadis jelita 
itu pasti menge-tahui apa yang telah terjadi dengan pemuda 
itu. 
Beberapa saat kemudian si kakek membawa air masak yang 
telah dicampur air dingin sebelumnya, sehingga menjadi 
hangat. Dengan sehelai kain bersih, si kakek mengusap wajah 
Kenanga yang kotor dan terlihat letih. Setelah membersihkan 
wajahnya, si kakek mengurut pelahan bagian belakang 
lehernya. Wajah keriput itu tersenyum ketika melihat Kenanga 
mulai siuman. 
"Ohhh...," terdengar keluhan lirih keluar dari bibir yang indah 
itu. Eyang Wiku Ginting menghentikan pi-jatnya, kemudian ia 
bangkit dan berjalan ke belakang. 
Tidak lama sepeninggal Eyang Wiku Ginting, pe-lahan-lahan 
Kenanga membuka matanya. Sejenak se-pasang mata bintang 
itu mengerjap-ngerjap mem-biasakan penglihatannya. Ketika 
gadis jelita itu men-coba bangkit, sekujur tubuhnya terasa nyeri 
dan sa-kit. la baru merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit se-
telah di atas pembaringan. 
"Jangan banyak bergerak dulu, Cucuku. Beristira-hatlah dan 
tenangkan hatirnu, agar kesehatanmu cepat pulih," kata Eyang 
Wiku Ginting yang telah ber-diri di sisi pembaringan Kenanga. 
Di tangan kanan si kakek tampak sebuah gelas terbuat dari 
batang bambu. Bau harum ramuan tercium dari asap yang 
mengepul dari mulut gelas bambu. 
"Kakek, engkaukah yang bernama Eyang Wiku Ginting?" 
Tanya Kenanga dengan suaranya yang masih lemah.

"Benar, Cucuku. Aku adalah Eyang Wiku Ginting. Nah, 
sekarang simpan pertanyaanmu dulu sampai kau benar-benar 
sehat. Minum obat ini selagi masih hangat," jawab si kakek 
lembut sambil mengangkat kepalanya hati-hati. Lalu ia 
dekatkan gelas bambu ke mulut gadis itu. 
Dengan tangan gemetar, Kenanga mencoba me-megang 
gelas bambu yang disodorkan ke mulutnya. Pelahan-lahan ia 
menghirup ramuan obat yang terasa pahit mencekik 
tenggorokannya. Kenanga menyeringai menahan rasa pahit 
yang amat sangat. Si kakek kem-bali menyerahkan gelas lain 
sebagai penghilang rasa pahit. Cepat diteguknya air yang 
disodorkan Eyang Wiku Ginting kepadanya. 
"Nah, sekarang tidurlah dulu, Cucuku." Setelah itu baru nanti 
engkau boleh menceritakan semua yang telah kau alami," ucap 
si kakek bahagia. Kemudian si kakek pun bergegas 
meninggalkannya. 
Sementara itu di luar pondok, senja sudah mulai nampak 
redup. Cahaya kemerahan tampak di kaki la-ngit sebelah Barat. 
Sang mentari kembali ke peraduan meninggalkan cahaya 
teriknya. 
*** 
"Nah, sekarang ceritakan. Siapakah engkau sebe-narnya, 
Cucuku? Dan apa yang telah terjadi pada ka-wanmu itu?" 
Tanya Eyang Wiku Ginting pada keeso-kan harinya. Ketika 
Kenanga mulai agak sehat Kedua-nya duduk berhadapan di 
ruang tengah pondok se-derhana itu. 
"Eyang, aku adalah Kenanga murid dari Raja Pe-dang 
Pemutus Urat. Dan kedatangan aku kemari untuk minta

pertolongan Eyang," sahut Kenanga ber-simpuh di depan si 
kakek Eyang Wiku Ginting. 
"Hm... di manakah sekarang gurumu itu, Cucuku? Apakah ia 
baik-baik saja? Lama kami tak saling jum-pa." Eyang Wiku 
Ginting menghela napas berat. Raja Pedang Pemutus Urat 
adalah adik seperguruan kakek itu. Oleh karena itu Kenanga 
mengetahui nama dan tempat tinggal kakek itu, karena ia 
pernah diceritakan oleh Raja Pedang Pemutus Urat itu. 
"Eyang, Guru sudah tewas beberapa waktu yang lalu di 
tangan seorang pemuda licik yang bernama Ja-ya Sukma," kata 
Kenanga sedih. Kemudian ia pun menceritakan pula tentang 
kematian Raja Pedang Pemutus Urat. 
"Hm... jadi pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih, yang 
telah membunuh Jaya Sukma yang terkenal dengan Jari 
Mautnya itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting terkejut ketika 
Kenanga memperkenalkan siapa se-sungguhnya pemuda yang 
masih dalam keadaan pingsan itu. Si kakek memang belum 
mengobati pemuda itu, karena ia ingin mencari keterangan 
lebih dulu dari Kenanga. 
"Benar, Eyang," tegas gadis jelita itu lagi. Kenanga kembali 
menceritakan awal mula yang membuat pemuda itu sampai 
pingsan begitu lama. 
"Luar biasa! Benar-benar sebuah kejadian yang amat langka 
dan tidak akan ditemui orang lain!" Seru si kakek menggeleng-
geleng kepalanya penuh keka-guman. Setelah Kenanga selesai 
menceritakannya. "Jadi pendekar muda itu bangkit tepat pada 
saat ger-hana bulan muncul?" Tanya si kakek. 
"Begitulah yang aku saksikan, Eyang," jawab Kenanga. 
"Tahukah engkau, Cucuku. Tenaga apakah yang dimiliki 
pemuda itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting penuh selidik.

Meskipun ia sudah menduga apa yang telah dialami Pendekar 
Naga Putih, namun menurut-nya hal itu tak akan terjadi tanpa 
sebab yang jelas. 
"Kalau tidak salah, Kakang Panji mempunyai sebuah ilmu 
yang bernama 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-tan'," sahut Kenanga. 
"Hm... aku tahu sekarang! Sebenarnya inti tenaga sakti 
dalam gerhana bulan itu tidak akan merasuk ke dalam 
tubuhnya kecuali pemuda itu tengah menge-rahkan tenaganya. 
Menurut ceritamu, pemuda itu te-ngah dalam keadaan kalap 
ketika gerhana itu terjadi. Marilah kita lihat, siapa tahu aku 
dapat membuat siuman dari pingsannya," ajak si kakek seraya 
men-dekati tubuh Panji yang masih tergolek di atas pem-
baringan bambu itu. 
"Tolong, kau angkat pemuda itu keluar, Cucuku. Aku akan 
mencoba untuk menyadarkannya. Nanti kalau dalam keadaan 
sadar aku akan lebih mudah mengobatinya," ujar Eyang Wiku 
Ginting sambil me-langkah keluar. 
Semula Kenanga merasa bingung mendengar perintah si 
kakek Dalam hati kecilnya bukankah akan lebih baik kalau 
kakek itu sendiri yang membawanya keluar. Tapi kakek itu 
kembali menyuruhnya, maka tanpa banyak cakap lagi Kenanga 
segera mengangkat tubuh pemuda itu dan membawanya 
keluar. Gadis itu menjadi heran ketika melihat Eyang Wiku 
Ginting me-mandanginya dengan kening berkerut setelah 
berada di luar pondok. 
"Cucuku, apakah kau pernah mempelajari 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan'?" Tanya Eyang Wiku Ginting, dengan rasa 
penasarannya. 
"Mmm... pernah Eyang. Kakang Panji yang meng-
ajarkannya. Itu pun hanya dasar-dasarnya saja, E-yang," sahut 
Kenanga heran mendengar pertanyaan Eyangnya.

"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam tak jelas. 
Kemudian ia menyuruh gadis itu untuk mele-takkan tubuh Panji 
di atas rerumputan. "Kau me-nyingkirlah dulu, Cucuku!" ujar si 
kakek kepada Kenanga. 
Setelah berkata demikian, Eyang Wiku Ginting mengambil 
jarak kira-kira lima tombak di depan tubuh Panji. Sesaat 
kemudian, Eyang Wiku Ginting sudah duduk bersila sambil 
memejamkan matanya. 
"Hmhhh!" 
Eyang Wiku Ginting mendengus agak panjang. Tubuhnya 
tampak bergetar karena ia tengah menge-rahkan tenaga 
saktinya. Kedua tangannya terangkat dan terulur ke arah tubuh 
Panji yang tergolek. Tiba-tiba angin keras berhembus ke arah 
Panji. 
Whuuusss! 
Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu mulai bergerak pelahan, 
makin lama makln berguncang keras. Dan secara tiba-tiba, 
tubuhnya bangkit karena inti 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
yang mengendap di dalam tubuhnya tidak menerima hembusan 
tenaga yang dikerahkan Eyang Wiku Ginting. 
Sorot matanya tajam dan penuh curiga seolah di-rinya 
merasa terganggu akan kehadiran si kakek. Na-mun hati 
nuraninya membisikkan bahwa kakek itu bukanlah orang jahat, 
terjadilah perang batin di dalam hatinya. Perang antara suatu 
kekuatan dahsyat membunuh si kakek dan kesadaran kebaikan. 
Bebe-rapa saat lamanya Panji hanya berdiri tegak menatap 
Eyang Wiku Ginting. 
"Kakang Panji...!" Tiba-tiba muncul suara merdu yang amat 
dikenalnya. Kenanga menghampirinya.

"Adik Kenanga!" Panggil Panji tak percaya dengan apa yang 
dilihatnya. Air mukanya yang angker beru-bah tenang. Namun 
kekuatan tenaga liar dalam tubuhnya tetap bergolak 
membutuhkan penyaluran. Eyang Wiku Ginting tahu hal itu. Ia 
cepat komat-kamit membaca mantera ilmu 'Mengirim Suara 
dari Jauh'. Ucapan orang tua itu hanya didengar oleh Kenanga 
tanpa sepengetahuan Panji. 
Kenanga tertegun sejenak mendengar suara halus begitu 
dekat di telinganya. Tanpa menolehnya ia sudah tahu siapa 
yang telah mengirimkan suara itu kepadanya. Setelah jelas 
mengetahui apa yang dikata-kan si kakek itu, ia kembali 
mendekati kekasihnya yang menatap dengan sorot mata tajam. 
"Kakang, bukankah engkau merasakan suatu tenaga dahsyat 
bergolak di dalam tubuhmu?" Tanya Kenanga setelah berada di 
hadapan Panji. Tatapan gadis itu tampak lembut dan penuh 
rasa kerinduan. 
"Eh, bagaimana kau tahu, Adik Kenanga?" Tanya Panji, 
heran mendengar gadis pujaannya mengetahui secara pasti 
tentang apa yang tengah dialaminya saat itu. 
"Nah, kalau begitu puaskanlah hatimu dengan ca-ra 
mengumbar pukulan-pukulanmu sesuka hati. Tapi jangan 
sampai melukai seorang pun!" kata Kenanga tegas sambil 
memperhatikan kekasihnya. 
Panji bukanlah orang bodoh. Tapi karena baru si-uman dari 
pingsan, ia agak linglung. Ketika ia mendengar ucapan 
kekasihnya, Panji teringat apa yang harus dilakukannya untuk 
menjinakkan tenaga liar yang tengah bergolak dalam tubuhnya. 
Tanpa me-ngucap sepatah kata, pemuda itu segera berbalik 
dan melepaskan pandangannya ke sekitar tempat itu. 
Kenanga bergegas menyingkir. Ia melihat Panji melangkah 
ke arah rerimbunan pepohonan besar yang tumbuh di sekitar


tempat itu. Saat itu juga sekali ayun tangan Panji dengan 
tenaga dalamnya menghantam pepohonan. 
Wuuusss! 
Blarrr! 
Kraaakkkhhh! 
Empat pohon besar sekali pukul, berderak dan hancur 
menjadi beberapa bagian. Luar biasa! Debu pun mengepul 
tinggi disusul hembusan angin. Ke-nanga dan Eyang Wiku 
Ginting menggigil kedinginan. Tubuh mereka terasa beku 
sampal ke tulang sum-sum. Itulah pengaruh tenaga dalam 
Panji yang telah ia keluarkan. Mereka harus mundur beberapa 
lang-kah lagi untuk menghindari pengaruh angin gaib itu. 
Sebenarnya bagi Eyang Wiku Ginting sendiri kejadian itu 
tidaklah terlalu membahayakan. Tingkat ilmu tenaga dalam 
yang dimilikinya masih di atas ilmu tenaga dalam Panji. Tapi 
bagi Kenanga, terpaan angin dingin itu dapat membekukan 
tubuhnya. Untunglah si kakek cepat bertindak melindungi 
Kenanga. 
"Luar biasa sekali tenaga gerhana bulan yang me-rasuk ke 
dalam tubuhnya! Tapi sayang tenaga sakti yang dahsyat itu 
masih sangat liar dan dapat membahayakan orang lain. Kalau 
saja pemuda itu dapat menjinakkannya rasanya tidak ada 
seorang tokoh pun yang mampu menghadapinya," tukas Eyang 
Wiku Ginting dengan wajah sedih. 
"Apakah Eyang tidak sanggup untuk menyembuh-kannya?" 
Tanya Kenanga terkejut mendengar desah li-rih kakek sakti itu. 
"Entahlah, Cucuku. Tapi Eyang akan berusaha se-kuat 
tenaga untuk menyembuhkannya. Hanya satu pesan Eyang, 
janganlah hal ini kau beritahukan kepa-danya. Biar Eyang

sendiri yang akan menyampaikan-nya nanti," kata Eyang Wiku 
Ginting sambil meman-dang gadis jelita itu dalam-dalam. 
"Baiklah, kalau itu yang Eyang inginkan," jawab Kenanga 
patuh. 
Setelah berkata demikian, gadis jelita itu kembali 
mengalihkan pandangannya ke arah pemuda yang di-cintainya 
belum juga berhenti mengumbar tenaganya itu. 
Beberapa saat kemudian, Panji mulai lelah. Pukul-an-pukulan 
yang dilontarkannya tak lagi sekuat dan sedahsyat semula. Ia 
menjatuhkan kedua lututnya di tanah berumput, kemudian ia 
pun lemas tergeletak, karena aliran tenaga sakti liar yang luar 
biasa itu telah terhenti. Napasnya memburu. Pakaian yang di-
kenakannya basah bermandikan keringat yang tak henti-
hentinya mengalir. Eyang Wiku Ginting cepat berlari 
menghampiri pemuda itu, diikuti Kenanga dari belakang. Begitu 
tiba di dekat Panji si kakek meme-rintahkan Kenanga 
mengangkat tubuh Panji, untuk dibawa ke dalam pondoknya. 
Setelah tubuh pemuda itu direbahkan di atas balai-balai, si 
kakek memberi segelas air ramuan yang sudah disiapkan. Panji 
segera meneguk ramuan mi-numan itu. Ramuan si kakek itu 
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit pada 
otot-otot aki-bat amukannya yang banyak mengeluarkan 
tenaga. Panji harus banyak istirahat, tenaga yang dia umbar 
melebihi batas tenaga manusia biasa. 
Eyang Wiku Ginting tersenyum melihat kedua mata Panji 
mulai terpejam. Itu menandakan ramuan obatnya mulai 
bekerja. Ketika Panji telah terlena, si kakek segera melakukan 
pemeriksaan secara teliti. Dan apa yang ditemukan sangat 
mengagetkan! Wajah tua itu pun muram seketika. 
"Ada apa, Eyang? Apakah Kakang Panji dapat di-
sembuhkan?" Tanya Kenanga yang berada agak jauh dari

tempat Panji berbaring itu sambil melangkah. Namun gadis itu 
segera menahan langkahnya ketika melihat isyarat yang 
diberikan kakek itu. 
Kemudian, si kakek mendekati Kenanga yang berada di 
ruang tengah yang terpisah beberapa langkah dari tempat Panji 
berbaring. 
"Maafkan Eyang, Cucuku. Setelah Eyang meme-riksanya 
secara lebih teliti, rasanya apa yang diderita oleh pemuda itu 
tak dapat disembuhkan lagi," ujar Eyang Wiku Ginting berat 
hati. 
"Jadi… jadi, Eyang...," Kenanga tak mampu me-neruskan 
ucapannya. Sedetik kemudian, terdengar isak tangis yang 
membuat si kakek menjadi terharu. Kenanga menutupi wajah 
dengan kedua telapak ta-ngannya. 
"Sudahlah, Cucuku. Semua ini hanya dugaan Eyang saja. 
Siapa tahu Yang Maha Kuasa berkehen-dak lain sama sekali 
tidak kita ketahui," ujar Eyang Wiku Ginting menghibur. 
"Berapa lama lagikah umur Kakang Panji, menu-rut Eyang?" 
Tanya gadis itu dengan sinar mata minta jawaban sejujurnya. 
"Hm... mungkin hanya sekitar enam bulan lagi, Cucuku. Tapi, 
entahlah! Kita sebagai manusia hanya bisa menduga tanpa bisa 
menentukan." 
"Ohhh... Kakang Panji...," gadis itu menangis sejadi-jadinya 
begitu ia mendengar keterangan Eyang Wiku Ginting. 
* * *

DUA


Pagi belum lagi datang. Kegelapan masih menye-limuti alam 
sekitarnya. Semenrara kokok ayam hutan mulai terdengar 
bersahut-sahutan, suara jangkrik pun masih terdengar 
menyemarak. 
Di tengah keremangan fajar yang mulai merekah, sesosok 
bayangan putih berkelebat cepat menuruni lereng gunung. 
Gerakannya yang ringan dan gesit me-nandakan sosok tubuh 
itu memiliki ilmu kepandaian yang sulit diukur. Terkadang sosok 
tubuh itu mela-yang bagai seekor burung besar yang tengah 
bermain di angkasa luas. Jubahnya yang putih melambai-lambai 
diterpa angin gunung. 
Bayangan putih itu terus meluncur bagaikan dike-jar setan. 
Sepertinya bayangan itu memang tengah menghindari sesuatu. 
Sesekali ia menolehkan kepala ke belakang seolah ia merasa 
khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya. 
Di kaki langit sebelah Timur tampak cahaya keme-rahan. 
Namun sosok bayangan putih itu masih terus berlari seolah-
olah ia sama sekali tidak mengenal rasa lelah sedikit pun. 
Disaat matahari telah beranjak se-makin tinggi, barulah sosok 
bayangan putih itu meng-hentikan latinya. 
Sosok tubuh berpakaian putih itu ternyata adalah Panji atau 
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Peluh mengalir 
deras membasahi wajah dan tubuhnya. Pemuda tampan itu 
menjatuhkan dirinya di atas hamparan rerumputan hijau di tepi 
kali yang berair jernih. 
Pelahan-lahan diciduknya air jernih itu dengan kedua 
tangannya. Air itu disapukan ke wajahnya dengan penuh

perasaan. Lama... pemuda itu menutup wajah dengan kedua 
telapak tangannya. Kemudian, pelahan-lahan telapak tangan itu 
turun disertai helaan napas beratnya. Sepertinya ada sesuatu 
yang mengganggu pikirannya. 
"Adik Kenanga, maafkan aku. Aku terpaksa me-
ninggalkanmu. Karena aku telah mendengar tentang 
pembicaraanmu dengan kakek itu. Aku tidak ingin membuatmu 
lebih menderita, karena memikirkan pe-nyakitku ini Maafkan 
aku, Adik Kenanga," ucap Panji lirih. Wajah pemuda sakti itu 
terlihat dingin dan kaku. Senyum yang biasanya selalu 
menghias wajah tampan itu Wni tidak terlihat lagi. 
"Hhh...," keluh Panji kembali menutup wajah dengan kedua 
tangannya. Jelas sekali kalau ia merasa berat untuk 
meninggalkan wanita yang sangat dicin-tainya itu. Rupanya 
pada saat Eyang Wiku Ginting dan Kenanga membicarakan 
dirinya, rupanya Panji belum terlelap benar. Ia mendengar 
pembicaraan mereka. Itulah sebabnya mengapa pemuda itu 
mening-galkan tempat kediaman Eyang. Wiku Ginting pada 
waktu dini hari. la telah mengambil keputusan untuk tidak 
menyusahkan orang lain. 
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya pemuda itu 
bangkit dari duduk. Ia bermaksud untuk kembali ke Gua Bukit 
Harimau untuk menemani gu-runya. Ia ingin menghabiskan 
sisa-sisa hidupnya itu untuk membaktikan diri kepada sang 
guru. 
Setelah berpikir sesaat Pendekar Naga Putih me-neruskan 
perjalanan, dan menyeberangi sungai. Pemuda itu gesit 
meloncat dari batu yang satu ke batu lainnya yang banyak 
tersebar di tengah sungai. Lalu ia masuk menyusuri hutan. 
Hari mulai gelap ketika pemuda itu tiba di sekitar bukit. Ia 
memutuskan untuk beristirahat semalam di tempat itu. Baru

saja ia mencari ranting untuk membuat api unggun, tiba-tiba 
badannya menggjgil kedi-nginan. 
"Aaargh...!" 
Panji meraung kesakitan, sakit yang luar biasa. Tubuh 
pemuda itu berguling di atas tanah berumput halus. Sesaat 
kekuatan yang sangat dahsyat melon-jak-lonjak di dalam 
tubuhnya, sehingga tubuh pe-muda itu terbanting-banting di 
atas tanah. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang 
menyiksa, tu-buhnya tiba-tiba terangkat bangkit. Untuk 
kemudian terhempas ke belakang bagai dihentakkan oleh se-
suatu kekuatan yang tak tampak. 
Bukkk! Kraaakkk! 
"Aaakh...!" 
Panji meraung keras ketika tubuhnya menghan-tam 
sebatang pohon besar yang langsung berderak patah. Karena 
tak sanggup menahan azab yang me-nyiksa dirinya itu, 
Pendekar Naga Putih pun jatuh tak sadarkan diri. Di wajahnya 
masih terlihat seringai kesakitan. Tubuh Pendekar Naga Putih 
tergeletak lemah di bawah batang pohon yang tumbang akibat 
ben-turan tubuhnya. 
*** 
"Uhhh...," keluh Panji. Sinar matahari pagi yang hangat 
membuat ia terbangun. Pemuda itu meringis menahan sakit 
pada sekujur tubuhnya. Pelahan-lahan ia memaksakan diri 
untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat pucat dan lebam 
kebiruan. Rupanya hawa sakti yang merasuki tubuhnya 
mempengaruhi kulit-nya. Keadaan Panji sangat menyedihkan.

Tak ubah-nya gembel gila penuh daki, dengan tertatih-tatih di-
carinya sungai terdekat. 
Suara gemericik air sungai di balik bukit itu membuat Panji 
makin mempercepat langkahnya. la langsung menceburkan 
dirinya ke dalam air tanpa mem-buka pakaiannya. Setelah 
merasa tubuhnya agak segar, ia pun melompat naik. 
"Hhh... tampaknya kekuatan aneh yang merasuk ke dalam 
tubuhku ini mulai menunjukkan akibat bu-ruknya," gumam 
Panji sambil menghda napas dalam-dalam. 
Setelah mengganti pakaiannya, pemuda itu pun kembali 
meneruskan perjalanan. Panji yang telah me-lihat kulit 
wajahnya berwarna agak kebiruan, ia segera menutup 
kepalanya sampai ke lutut agar tidak diketahui orang lain. 
Setelah agak lama berjalan, tampak di depannya perbatasan 
desa. Panji mempercepat langkahnya me-masuki perbatasan 
desa itu. la berniat singgah se-bentar guna mengisi perutnya, 
karena sejak kemarin perutnya belum diisi. 
"Aneh, mengapa desa ini tampak sepi? Tak ada seorang 
petani pun yang tampak bekerja di sawah. Juga tak ada satu 
pun warga di jalan," gumam Panji seraya berhenti sejenak. la 
mulai curiga dilangkahkan kakinya pelahan-lahan sambil 
memperhatikan sekeli-lingnya. 
Pendekar Naga Putih mengerutkan kening ketika matanya 
menangkap beberapa sosok tubuh menggele-tak di tengah 
jalan. Dihampirinya enam sosok tubuh itu penuh curiga. 
"Darah!" gumam Panji menyaksikan genangan da-rah di 
antara sosok-sosok tubuh yang menjadi mayat itu. "Kalau 
melihat dari mayat orang-orang ini, peristiwanya belum begitu 
lama terjadi," kata Panji yang hanya bisa menduga.

Panji mengalihkan perhatiannya pada sebuah rumah 
sederhana yang letaknya paling dekat dengan mulut desa itu. 
Ia segera menghampiri, dan menarik pintu rumah yang telah 
rusak itu. Beberapa percikan darah mengotori daun pintu. 
"Gila!" Panji memaki kasar ketika melihat apa yang 
disaksikannya. Lima sosok mayat yang terdiri dari wanita dan 
anak-anak bergelimpangan di ruang te-ngah yang porak-
poranda itu, di antaranya ada kepala yang terpisah dari 
anggota badannya. 
Panji bergegas lari keluar. Lalu diperiksanya selu-ruh rumah 
lainnya di sekitar mulut desa. Sungguh mengerikan! Apa yang 
ditemuinya benar-benar mem-buat darah pemuda itu mendidih! 
Seluruh penghuni rumah yang berada dekat mulut desa itu 
tewas tanpa tersisa satu pun! 
"Biadab! Iblis dari mana yang telah mengamuk di desa ini? 
Kesalahan apa yang telah dibuat oleh pen-duduk desa ini 
sehingga begitu tega menghabisi mereka?!" geram Panji. 
Wajah pemuda itu memerah menahan rasa marah yang 
bergelora dalam dadanya. Panji marah sekali! Entah apa yang 
telah mengakibat-kan seluruh penduduk desa itu dibantai habis. 
Siapa pula yang telah melakukan perbuatan keji ini, pikir Panji 
tak habis mengerti. 
Akhirnya Pendekar Naga Putih itu meninggalkan desa yang 
telah dilanda musibah. la sama sekali tidak memperoleh satu 
petunjuk pun, karena semua warga desa ini telah dibantai 
habis! 
Kurang lebih setengah hari berjalan, Panji pun tiba di desa 
lainnya. Beberapa orang petani yang ber-siap-siap hendak 
pulang, menoleh ke arah Panji. Me-reka terheran-heran melihat 
cara berpakaian pemuda itu. Tapi Panji tidak peduli 
diperhatikan para petani. Ia terus berjalan memasuki kedai

makanan yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Orang-orang 
yang se-dang duduk memandangnya dengan curiga, tapi Panji 
tetap tenang memasuki ruangan kedai itu, dan ia memilih 
tempat duduk di bangku kosong yang berada di pojok ruangan. 
Pemuda itu makan dengan lahapnya, karena sangat lapar. Ia 
acuh tak acuh diperhatikan orang, dan nasi pesanannya habis 
dinikmatinya. 
"Tidak salah lagi, pasti dialah si iblis keparat itu!" Bisik 
seorang tamu yang berkumis tebal kepada te-man di 
sampingnya. 
Kawarmya yang diajak bicara menatap Panji sema-kin tajam. 
Kedua alisnya bertaut, seolah ia tengah berusaha untuk 
mengingat-ingat tentang seseorang yang pernah dilihatnya. 
"Rasanya sulit aku memastikan dia. Lagipula pe-ristiwa 
pembantaian itu terjadi pada malam hari. Aku sendiri berada 
agak jauh ketika si iblis itu beraksi," kata temannya ragu-ragu. 
Panji duduk tenang di pojok kedai sambil melepas-kan lelah. 
Pada saat itulah seorang lelaki berperawa-kan gemuk bersama 
dua orang temannya mendekati Panji dengan wajah sinis. 
"Jangan biarkan lolos iblis keparat itu. Kaulah pembunuh 
yang kami cari," bentak lelaki gemuk lan-tang seraya 
mengayunkan pedangnya ke arah Panji yang tengah bersantai 
itu. 
Brakkk! 
Panji cepat mengelak, sehingga ayunan pedangnya melesat, 
menghantam meja. Makanan di meja jadi berantakan. 
"Sabar, Kisanak. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan 
itu," Panji berusaha menyabarkan orang yang naik pitam itu.

"Jangan berlagak bodoh, iblis Biadab! Heaaat...!" Dua orang 
kawan laki-laki gendut itu serentak ikut maju menyerang Panji. 
Senjata tajam mereka ber-sinar-sinar siap mengancam Panji. 
Panji terkesiap Wajahnya pucat pasi. Tenaga dalam dirinya 
kembali bergejolak. Tidak disangka-sangka para penyerang itu 
sudah terlempar sebelum mereka mulai menyerang. Semua isi 
yang ada di kedai berantakan. 
Bukan main kagetnya mereka menyaksikan perubahan aneh 
pada diri Panji itu. Sekujur tubuh pemuda itu bersinar putih 
keperakan disertai hawa dingin. Pengaruh hawa dingin yang 
dikeluarkan Panji membuat mereka kedinginan sampai gigi 
mereka bergemeletuk. 
"Aaahhh...!?" 
Panji sendiri terkejut melihat perubahan tubuh-nya. la sadar 
bahwa kekuatan aneh dalam dirinya bisa mencelakakan orang 
lain, maka ia segera keluar meninggalkan kedai. 
"Itu dia! Serbu...!" 
Para penyerang itu berteriak-teriak mengepung Panji yang 
sudah berada di luar kedai. Lelaki gemuk menyuruh mereka 
untuk membekuk Panji. 
"Hei, berhenti! Jangan serang aku! Kalian telah salah 
menuduh orang!" Seru Panji sambil mengangkat kedua 
tangannya dengan maksud memberi tanda agar belasan orang 
itu tidak menyerang. 
Celaka! Maksud baik Panji dengan cara mengangkat kedua 
tangannya justru menimbulkan kesulitan baru bagi dirinya. 
Melalui kedua tangannya hem-busan deru angin keluar sendiri 
tanpa kemauan Panji. Para penyerang berjumpalitan dibuatnya.

"Iblis biadab! Terimalah pembalasan ini! Heaaat..!" Seorang 
laki-laki tinggi gagah dan berwibawa, melesat menusukkan 
ujung tombak ke tubuh Panji. Tombak itu sampai berdesing, 
menandakan bahwa dorongan tombak itu tidak dapat di anggap 
remeh. 
Siuttt! 
Tukkk! 
"Ahhh...!" 
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung tombak tepat 
mengenai tubuh Panji. Tubuh laki-laki tinggi gagah itu terpental 
ke belakang. Wajahnya terlihat pucat. Sedang tombaknya 
sendiri telah patah menjadi tiga bagian. 
"Hm...!" 
Penyerang itu menggeram mengerahkan tenaga dalamnya 
guna mengusir hawa dingin luar biasa yang merasuk ke dalam 
tubuhnya. 
"Gila! Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakan ma-nusia biadab 
itu?" teriak si tinggi gagah penasaran bercampur gentar. "Ayo, 
kepung! Hati-hati dengan pu-kulannya yang dingin menusuk 
tulang itu!" Perintah laki-laki gagah itu sambil memperingatkan 
teman-temannya. 
Tubuh Panji saat itu tengah bergemetar hebat! Rupanya 
pengaruh ujung tombak laki-laki itu telah membuat tenaga 
yang mengendap di dalam tubuhnya semakin bergerak liar. 
"Heeeaaa...!" 
Panji meraung keras kesakitan yang menusuk-nu-suk di 
dalam tubuhnya. Para penyerang ketakutan melihat perubahan 
itu. Belasan orang terlempar dan jatuh bergulingan di tanah! 
Empat orang dari mereka yang memiliki ilmu kepandaian paling

rendah, lang-sung menggelepar tewas! Dari mulut, hidung dan 
telinga mereka mengeluarkan darah segar. Rupanya raungan 
dahsyat Panji menyebabkan pembuluh darah di dalam tubuh 
korban pecah seketika. Dua belas orang lainnya yang memiliki 
kepandaian tinggi, ber-gulingan menjauhkan diri. Mereka diam-
diam sangat kecut menghadapi Panji yang bukan tandingannya 
itu. 
"Gila! Bagaimana mungkin dalam dua hari saja ilmu 
kepandaian iblis ini sudah meningkat demikian pesat! Aku jadi 
meragukannya, Kakang?" Ucap seorang laki-laki tinggi kurus 
kepada si tinggi gagah ber-getar. 
"Hm... aku pun mulai meragukannya, Adi Palasa? Tapi 
bagaimana mungkin kalau dia bukan dari kelom-pok iblis itu? 
Lihat saja cara berpakaiannya! Bukan-kah jarang sekali orang-
orang persilatan yang menge-nakannya?" Sahut si tinggi gagah 
meyakinkan teman-nya yang bernama Adi Palasa itu. 
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Kakang? Jelas 
kita tidak akan mampu untuk mengha-dapinya. Karena ilmu 
kepandaian yang dimiliki orang berkerudung itu rasanya tidak 
mungkin dapat tertan-dingi!" Ujar Palasa kepada kawannya 
bagaikan orang yang putus asa. 
Kedua orang itu segera menghentikan pembica-raannya 
ketika mereka melihat Panji yang mereka ke-pung itu telah 
menggerak-gerakkan tangannya ke arah mereka. 
"Awaaasss...!" 
Duaaarrr! 
Terdengar ledakan dahsyat disusul robohnya seba-tang 
pohon yang tumbuh di tepi jalan didepan kedai. Untunglah laki-
laki tinggi gagah yang rupanya me-mimpin belasan orang itu 
sempat memperingatkan kawan-kawannya, sehingga kedua

belas orang itu dapat terhindar dari pukulan maut yang dapat 
men-cerai-beraikan tubuh mereka. Peristiwa itu sangat 
mengerikan! Mereka terpaku dicekam ketakutan. Sehingga 
untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tanpa 
mengucap sepatah kata pun. 
"Kakang, bagaimana ini? Tidak mungkin kita me-lawannya?" 
Bisik Palasa yang lebih dulu tersadar me-ngingatkan laki-laki 
tinggi besar itu bahwa keadaan mereka benar-benar 
berbahaya! 
"Lebih balk kita sembunyi saja sekarang. Nanti kalau orang 
berkerudung itu meninggalkan tempat ini, baru kita ikuti dari 
jauh!" Jawab laki-laki gagah itu terpaksa mengambil keputusan 
yang amat berten-tangan dengan kebiasaan pada dirinya. 
Setelah ber-kata demikian, ia pun bergegas hendak 
meninggalkan tempat itu. 
Paji yang pandangannya mulai samar karena pe-ngaruh 
kekuatan yang menguasainya, kembali men-dorongkan telapak 
tangannya. Kembali deru angin dingin berhembus keras. 
Whuuusss! Brooolll! 
Kesadaran Panji yang telah dipengaruhi kekuatan dahsyat 
membuat ia tidak dapat lagi melihat dengan baik. Sehingga 
sasaran pukulannya pun tidak lagi ter-arah. Kali ini pukulan 
mautnya menghantam sebuah pondok kayu yang langsung 
berderak karena tiang penyangganya telah patah akibat 
pukulan jarak jauh pemuda itu. Betapa luar biasanya tenaga 
sakti yang mengendap dalam tubuh pemuda itu. 
"Luar biasa! Kalau begini caranya, siapa pula yang akan 
sanggup menghadapi manusia iblis itu?" kata Palasa sedih. 
"Hhh...," gumam laki-laki tinggi gagah yang ber-sembunyi di 
sebelah Palasa menghela napas berat. Rupanya ia juga
memikirkan hal yang sama dengan kawannya itu. "Eh, lihat! 
Iblis itu muntah darah! Wah, rupanya ia menderita luka dalam 
yang cukup parah. Entah siapa manusia sakti yang melukai 
pemuda itu," suaranya terperangah. 
Dari jauh tampak Panji temuyung-huyung mende-kap 
dadanya la terbatuk-batuk dengan mulut me-nyemburkan 
darah. 
"Ouuuh... uhuk... uhuk...!" 
Sambil terbatuk-batuk, Panji berlari meninggalkan desa itu. 
Gerakan pemuda itu terlihat goyah karena kedua kakinya agak 
gemetar. 
"Hei, dia melarikan diri! Ayo kejar!" teriak laki-laki tinggi 
gagah itu kepada kawan-kawannya. la langsung melesat 
memburu Panji yang melarikan diri, dan diikuti teman yang 
lainnya. 
*** 
TIGA


Sinar rembulan yang biasanya mcnerangi malam, 
bersembunyi di balik gumpalan awan. Angin dingin berhembus 
keras disertai gerimis. Suasana malam kian mencekam. Sesekali 
tampak kilat bersinar terang disusul gelegar sambaran petir! 
Sehingga suasana malam itu demikian sunyi dan mencekam. 
Jalan utama di Desa Jati Alur, tampak lengang dan sepi. Tak 
seorang penduduk pun terlihat melintas di jalan itu Sepertinya

mereka enggan keluar pada saat seperti ini. Rupanya mereka 
lebih suka tinggal di dalam rumah bersama istri dan anaknya. 
Namun tak seorang pun yang akan menyangka kalau pada 
malam ini sesosok tubuh berkerudung berjalan seorang diri di 
tengah gerimisnya malam. Langkah kakinya tampak tenang dan 
tidak terlihat terburu-buru. Seperti, ia sama sekali tidak merasa 
terganggu oleh cuaca yang buruk itu. 
Sosok tubuh tinggi sedang dan berkerudung itu terus 
menyusuri jalan utama Desa Jati Alur. Wajah-nya yang 
tersembunyi di balik kerudung tampak dingin dan kaku. Sorot 
matanya tajam dan menakut-kan! Seandainya ada seorang 
penduduk desa yang kebetulan melihatnya, pastilah orang itu 
akan lari terbirit-birit. 
Orang berkerudung itu terus berjalan dengan tegar tanpa 
menoleh sedikit pun. Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan 
sebuah bangunan tembok yang kokoh. Bangunan tembok itu 
letaknya hampir di de-kat perbatasan Desa Jati Alur. Sesaat 
diperhatikannya papan nama yang tergantung di atas pintu 
gerbang bangunan itu. Kemudian, tubuh berkerudung itu me-
layang bagaikan seekor burung rajawali. Dalam seke-jap 
tubuhnya menghilang di balik tembok bangunan yang kokoh 
itu. 
Begitu tubuhnya mendarat di tanah pekarangan perguruan 
itu, sepasang matanya bergerak kaku me-rayapi sekitarnya. 
Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju gedung 
perguruan itu. Sikapnya tam-pak tenang sekali, ia sama sekali 
tidak peduli kalau kedatangannya akan diketahui penghuni 
gedung itu. 
Baru saja beberapa langkah ia bergerak, tiba-tiba terdengar 
bentakan keras disusul munculnya empat orang bersenjata 
tombak.

"Hei, berhenti! Siapa kau?" Gertak salah seorang dari empat 
orang itu galak. 
Tapi si orang berkerudung sama sekali tidak mem-pedulikan 
teguran itu. Kakinya terus saja melangkah seolah-olah ia tidak 
mendengar teguran mereka. Sehingga membuat mereka 
menjadi marah. 
"Hei, keparat! Apakah kau tuli? Berhenti atau sen-jataku 
yang akan berbicara!" Bentak yang lain. Siap menodongkan 
mata tombaknya. 
Si orang berkerudung terus... dan terus berjalan. Sosok 
tubuhnya yang tegar memperlihatkan dirinya tidak gentar 
ancaman salah seorang penjaga! 
"Keparat! Lihat serangan!" teriak seorang penjaga seraya 
menusukkan mata tombak ke perut lawannya. 
Wuuut! 
Tappp! 
"Aaah...!" 
Si penjaga berteriak kaget ketika tahu-tahu saja tombaknya 
telah ditangkap si orang berkerudung. Bersamaan dengan itu si 
penjaga terangkat ke atas. Kemudian diputar-putamya tombak 
itu. 
"Haiii..., Kakang tolong...!" si penjaga berteriak-teriak 
ketakutan memangil kawan-kawannya. 
Tapi sebelum kawannya sempat menolong, tahu-tahu saja 
mata tombak telah merobek perutnya. 
"Hhhkkk...!"

Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Matanya terbeliak 
bagaikan hendak keluar. Seluruh wajahnya menegang menahan 
rasa sakit! 
'Iblis keji! Rupanya kau sengaja membuat ke-onaran di sini!" 
Teriak seorang penjaga lainnya. Tanpa banyak cakap lagi ia 
pun menerjang si orang berke-rudung yang masih berdiri tegak 
memegang ujung tombak. 
Dan pada saat penjaga berikut menyerang lagi dengan 
ketiga mata tombaknya, si orang berkerudung segera 
melemparkan mayat si penjaga yang tertembus tombak ke arah 
kawan-kawannya. 
"Aaah...!" 
Cappp! Jreppp! 
Tanpa dapat dicegah lagi, tiga mata tombak itu pun 
menancap tubuh si penjaga yang telah menjadi mayat itu. Para 
penjaga sampai tidak menyadari keadaannya, si orang 
berkerudung sudah melesat dengan sekali tamparan menyapu 
kepala mereka. Ketiga orang penjaga itu tak sempat lagi 
berteriak karena kepala mereka pecah akibat tamparan maut si 
orang berkerudung yang amat kuat. Mereka pun roboh 
bermandikan darah. Malang sekali nasib keempat orang 
penjaga itu. 
"Kurang ajar! Kita terlambat, Kakang!" Kata seorang penjaga 
dengan suara berat menemukan teman-temannya telah 
menjadi mayat. Di belakangnya ber-diri pula para penjaga lain. 
"Ahhh... benar-benar keparat sekali manusia ini!" Seru yang 
lainnya terkejut ketika melihat mayat ke-empat orang penjaga 
yang bernasib sial itu. Wajahnya terlihat menegang karena 
emosinya telah bangkit begitu melihat mayat-mayat itu.

"Hm..., Penjagal Alam Akherat! Hari ini kau tidak akan lolos 
dari tanganku! Lihatlah di sekelilingmu!" Ujar seorang laki-laki 
pendek kekar bemada geram. 
Mendengar perkataan itu si orang berkerudung tertawa 
dingin. Ia menganggap ucapan orang itu hanya gertak sambal. 
Namun, si orang berkerudung agak gentar melihat di sekeliling 
tempat itu telah muncul puluhan api obor. Suasana di sekitar 
pekara-ngan perguruan tampak terang benderang. 
"Ha ha ha... lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, 
manusia haus darah. Agar kami dapat me-menggal kepalamu 
sekaligus!" Ejek laki-laki pendek kekar tertawa keras. 
Sejenak orang yang dijuluki Penjagal Alam Akhe-rat ragu 
melihat demikian banyaknya orang yang mengurung tempat 
itu. Sepasang matanya mulai liar mencari jalan keluar. Tapi 
belum lagi ia sempat akan kabur, mendadak belasan orang 
muncul dari dalam gedung. 
"Serang...!" Seru si lelaki gagah mengibaskan tangannya 
kedepan. Setelah berkata demikian, ia pun segera melesat 
mengayun-ayunkan pedang disertai slutan-siutan tajam. 
Wuttt! 
Dengan gerakan gesit si orang berkerudung berha-sil 
mengelakkan, lalu ia balas pula dengan tamparan mautnya ke 
kepala lawan. Si lelaki gagah memiring-kan kepalanya sambil 
melepaskan pukulan tangan kirinya ke arah lambung si orang 
berkerudung itu. 
Bukkk! 
"Uuuhhh...!" 
Pukulan si lelaki gagah tepat menghantam lambung lawan. 
Anehnya tubuh lawannya tidak apa-apa, malah ia sendiri

berbalik yang terjajar mundur sambil memekik kesakitan! Jari-
jari tangannya terlihat agak sedikit membengkak, akibat kalah 
kuat beradu de-ngan si orang berkerudung. 
"Gila! Tubuh si iblis keparat itu tak ubahnya se-batang besi 
baja panas! Hati-hati, kawan-kawan! Berita tentang kesaktian 
Penjagal Alam Akherat itu benar!" Teriak laki-laki gagah 
memperingatkan kepada teman-temannya. 
"Jangan khawatir, Adi Salangi! Aku ingin melihat sampai di 
mana kekuatan tubuh iblis ini? Apakah ia akan mampu 
menahan ilmu pukulanku yang ber-nama 'Tapak Pembeku 
Darah' ini!?" Sahut laki-laki pendek bertubuh kekar geram. 
Setelah berkata demi-kian si pendek kekar yang berjuluk Tapak 
Maut itu memutar kedua tangannya hingga menimbulkan deru 
angin tajam menggebu-gebu. 
"Iblis, sambutlah! Hiaaattt...!" 
Disertai teriakan yang mengguntur, si tubuh pendek melesat 
sambil membentangkan kedua tangannya Hebat sekali orang 
yang dijuluki Pendekar Tapak Maut. Meski pun tubuhnya 
pendek, namun gerakannya demikian gesit dan lincah. 
Wuttt! Wuttt! 
Dua buah tamparan yang dilancarkan si Pendekar Tapak 
Maut mengenai tempat kosong karena Penjagal Alam Akherat 
sudah lebih dahulu menghindarkan dirinya ke arah samping. 
Secepatnya menghindar, secepat itu pula tangan kanannya 
terulur menjambret wajah lawan. Angin pukulan orang 
berkerudung itu terdengar mencicit tajam dan menebarkan bau 
harum yang memabukkan. 
"Bangsat licik!" Teriak si Pendekar Tapak Maut terkejut 
ketika ia mencium bau racun yang memabuk-kan itu. Cepat ia

mengibaskan tangan kanannya memapaki serangan si orang 
berkerudung. 
Dukkk! 
"Aiiihhh...!" 
Si Pendekar Tapak Maut memang berhasil mene-pis 
pergelangan tangan lawan sehingga serangan cakar lawan 
melenceng ke samping. Tapi tenaganya masih kalah kuat oleh 
si orang berkerudung, maka tubuh pendek itu pun terlempar ke 
belakang sejauh empat tombak. Dari bibirnya tampak mengalir 
darah segar. 
"Setan! Tenaga dalam iblis itu ternyata masih dua tingkat 
diatas tenagaku. Hm.. Benar-benar lihai sekali kepandaian 
Penjagal Alam Akherat itu Entah siapa dia sebenarnya? Dan apa 
pula maksudnya mengacaukan dunia persilatan?" Ujar 
Pendekar Tapak Maut. Pena-saran karena ilmu yang dibangga-
banggakan selama ini ternyata tidak ada artinya di hadapan 
Penjagal Alam Akherat. 
"Sudahlah, Kakang Jarga Lawa. Lebih baik cepat kita 
bereskan iblis itu sebelum ia berhasil meloloskan diri dari 
kepungan kita!" Ajak orang tinggi gagah yang bemama Salangi 
mengingatkan betapa berbahaya jika orang berkerudung itu 
sampai meloloskan diri. 
"Hm... baiklah! Anak-anak, cepat siapkan jaring dan tali!" 
Perintah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar 
Tapak Maut kepada orang-orang yang memegang obor. 
Sementara itu, si orang berkerudung masih ber-tarung sengit 
menghadapi belasan pengeroyoknya. Gerakan gerakan kelima 
belas orang laki-laki itu sepertinya memang sengaja hanya 
untuk memancing kemarahan si orang berkerudung. Kelima 
belas orang itu sesekali melakukan balasan kalau dalam

keadaan benar-benar terdesak. Mereka hanya menghindar dan 
saling melindungi dengan maksud agar lama kela-maan si 
orang berkerudung akan semakin melemah tenaganya. 
Namun, meskipun si orang berkerudung selalu melancarkan 
serangan-serangan maut yang mem-butuhkan banyak tenaga. 
Anehnya kekuatan daya serangnya sama sekali tidak 
berkurang, seolah-olah Penjagal Alam Akherat itu memiliki 
sumber tenaga yang tak pernah habis. Hingga lama-kelamaan 
para pengeroyok itu merasa kelelahan. 
"Gila! Tenaga si iblis itu tak ada habisnya!” seru salah 
seorang pengeroyok itu dengan napas tersengal-sengal. 
Kawan-kawannya tidak ada yang menyahut. Karena saat itu 
mereka benar-benar kerepotan mengha-dapi gempuran-
gempuran si orang berkerudung yang semakin gencar. 
"Mundurrr...!" 
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menyuruh ke lima belas 
orang itu mundur. Ketika mereka berlom-patan mundur, 
sebuah benda hitam halus menebar jatuh ke arah si orang 
berkerudung. 
"Heaaat..!" 
Whuuus! 
Melihat adanya sesuatu benda halus yang menebar di 
sekelilingnya, orang berkerudung itu pun ber-gegas 
mendorong, sepasang telapak tangannya ke atas. Serangkum 
angin pukulan yang amat kuat keluar. 
Empat buah jala halus yang ditebarkan itu mem-balik dan 
menutupi tubuh ke empat orang yang me-lemparkannya. 
Keempat orang itu berteriak dan me-ronta-ronta melepaskan 
dirinya yang terkurung dalam jala.

Tolong... tolong,.. tolooong...!" 
Keempat orang itu menjerit-jerit ketakutan karena tak 
mampu melepaskan diri dalam kurungan jala itu. 
Berbarengan dengan membaliknya keempat jala halus itu, 
kaki orang berkerudung itu langsung men-jejakkan kakinya. Ia 
berjumpalitan beberapa kali di udara, dan terus meluncur 
menuju atas tembok perguruan itu. Si orang berkerudung 
berusaha me-loloskan diri dari kepungan. 
"Hujani dengan panah...!" Si Pendekar Tapak Maut berteriak 
memberi perintah. Setelah itu tubuhnya langsung melesat 
diikuti Salangi dan empat orang lainnya mengejar si orang 
berkerudung. 
Werrr! Werrr! Werrr! 
Puluhan anak panah menghujani Penjagal Alam Akherat 
yang melayang di udara. Secepat itu pula ia menangkis 
serangan anak panah dengan kibasan ju-bahnya. 
"Hiah!" 
Trak! Trak! Trak! 
Puluhan batang anak panah berjatuhan ke tanah akibat 
kibasan jubah si orang berkerudung. Belum habis menarik 
napas Iega, datang lagi serangan beri-kut. Dua anak panah 
yang lebih kuat dari puluhan batang anak panah sebelumnya 
melesat. Dan.... 
Jreppp! Jrebbb! 
"Aaakh...!" 
Si penjagal Alam Akherat terpekik kesakitan ketika dua anak 
panah yang terakhir menancap pangkal le-ngan dan dada 
kirinya. Seketika ia terjungkal ke bawah. Namun dengan gesit

tubuhnya berputar-putar dan mendarat di luar bangunan 
perguruan itu. 
Sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, panah itu berhasil 
dicabut dan langsung dilemparkan ke arah dua orang yang 
mengejarnya. Tak pelak lagi, panah itu menewaskan mereka 
seketika. la segera melesat melarikan diri meninggalkan tempat 
itu. Tubuhnya berkelebat cepat melintasi jalan utama Desa Jati 
Alur. 
"Kejar...! Dia sudah terluka. Tidak mungkin dapat bertari 
jauh!" teriak si Pendekar Tapak Maut mengo-barkan semangat 
kawan-kawannya. 
Suasana malam yang semula gelap dan sunyi menjadi ramai. 
Jalan utama Desa Jati Alur terang benderang oleh puluhan api 
obor, hingga suasana malam itu menjadi hiruk-pikuk oleh 
teriakan-teriakan puluhan orang tokoh persilatan yang 
melakukan pe-ngejaran terhadap si orang berkerudung atau 
Penjagal Alam Akherat itu. 
Si orang berkerudung terus mempercepat larinya dengan 
gerakan ringan berloncatan dari satu pohon ke pohon lain yang 
banyak tumbuh di desa itu. Lari-nya agak terganggu karena 
lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah. 
Kemudian, ia berhenti sejenak, tangan kanannya bergerak 
cepat melakukan totokan pada bagian lukanya guna 
mengurangi luka-nya yang terus-menerus mengeluarkan darah. 
Setelah ia yakin Iuka yang dideritanya berhenti mengeluarkan 
darah, ia meneruskan larinya lagi. Karena di bela-kangnya 
terdengar langkah-langkah kaki beberapa orang yang berlari 
mendekatinya. 
Sementara itu di tengah sebuah hutan kecil yang letaknya 
tidak jauh dari Desa Jati Alur, seorang pemuda sedang 
menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun. Pemuda itu

tidak lain adalah Panji, ia ber-maksud ingin bermalam di dalam 
hutan. la terme-nung memikirkan kejadian yang terus saja 
dialami-nya. Keningnya berkerut dalam la mencoba untuk 
mencari-cari apa yang menyebabkan orang-orang itu 
menganggapnya sebagai iblis pembunuh. 
"Hm.. Mungkin kejadian yang kualami tadi ada kaitannya 
dengan peristiwa terbantainya seluruh penduduk kampung 
yang kulewati kemarin. Kalau begitu, dunia persilatan saat ini 
sedang tercemar dengan seorang pembunuh keji," gumam 
Panji menyimpul-kan. Mendadak Panji bangkit berdiri dari 
duduknya. Pendengarannya yang terlatih itu mendengar 
langkah-langkah kaki yang terseok-seok mendekati ke arah-
nya. Kemudian Panji bergegas memadamkan api unggunnya 
agar tidak terlihat oleh suara yang men-curigakan itu. Tubuh 
pemuda itu pun sudah melen-ting ke atas pohon yang berdaun 
rimbun. la melepas-kan pandangannya ke arah datangnya 
suara itu 
Tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang berkerudung 
lari terseok-seok menuju anak bukit. Panji menduga orang 
berkerudung itu menderita luka, karena berjalan susah payah. 
Melihat ciri-ciri orang itu, Panji teringat akan pengalamannya 
ketika dikeroyok belasan orang di kedai yang disangka ia 
adalah pem-bunuhnya karena berpakaian seperti itu. la lang-
sung melesat mengejar sosok berkerudung itu. 
"Orang itu pastilah ada hubungannya dengan pembunuh 
keji, serta buronan penduduk desa," gumam Panji bergegas 
turun dari pohon. Teka-teki itu harus dipecahkan. Panji tidak 
mau kehilangan jejak, ia pun mengejarnya. 
"Sahabat, berhentilah...!" Seru Panji hampir dekat. Orang 
berkerudung itu terkejut setengah mati ketika mendengar ada 
orang yang menegurnya di tengah hutan. la berhenti sejenak

lalu pelahan-lahan membalik-kan badannya dan menatap ke 
arah orang yang menegurnya. 
Jelas sekali terlihat kalau si orang berkerudung itu semakin 
terkejut ketika melihat pakaian yang dike-nakan Panji. 
Sepasang mata yang semula menyipit terbuka lebar-lebar. 
Diperhatikannya sosok tubuh Panji dari atas hingga ke bawah 
penuh selidik. 
"Siapa kau?!" Tegur si orang berkerudung dingin, dan parau. 
Panji melepaskan kerudungnya, dan dibi-arkan terjuntai di 
bawah lehernya. Sehingga wajah pemuda itu tampak terlihat 
agak jelas. Apalagi saat itu sang rembulan pun sudah mulai 
muncul mene-rangi permukaan bumi. Wajah Panji yang dingin 
dan kaku itu membuat si orang berkerudung meragu sejenak. 
"Hm... seharusnya akulah yang bertanya kepada-mu! Apa 
maksudmu menyembunyikan wajah dengan memakai kerudung 
di kepala itu! Apa pula keperluanmu berkeliaran pada malam-
malam begini?" Tanya Panji dengan suara berat dan dingin. 
Kedua orang itu saling memandang dengan sikap penuh 
waspada. Keduanya membisu beberapa saat 
*** 
EMPAT


Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si orang berkerudung 
mulai mengulurkan tangannya ke depan. Serangkum angin 
keras berkesiutan ke arah Panji. Rupanya Penjagal Alam

Akherat itu bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali 
pukul! 
Panji terkejut merasa sambaran yang begitu kuat 
ditimbulkan oleh pukulan orang berkerudung itu. la pun bangkit 
melawan dengan tenaga sakti yang masih liar itu dalam dirinya 
yang mulai bergolak menyerang-nya itu. 
Blubbb! 
"Aaa...!" 
Terdengar suara letupan kecil ketika dua gelom-bang tenaga 
sakti itu bertemu di tengah-tengah. Si orang berkerudung 
berseru terpatah-patah. la terjajar mundur sejauh empat 
langkah. Sejenak seolah ia tak percaya dengan apa yang 
dirasakannya saat itu. Se-dangkan tubuh Panji kembali dibalut 
kabut bersinar putih keperakan. Hawa malam berhembus 
semakin dingin, sehingga membuat orang berkerudung itu 
menggigil sesaat Namun, dinginnya udara malam sudah tidak 
mengganggunya lagi. 
Sebenarnya tenaga sakti yang dimiliki a orang berkerudung 
sangat hebat! Kalau saja Pendekar Naga Putih alias Panji belum 
dirasuki tenaga sakti yang masih liar itu, pastilah ia tidak akan 
sanggup menangkal dorongan telapak tangan si orang 
berkerudung yang dijuluki Penjagal Alam Akherat itu. 
"Hm!" 
Panji mendengus gusar. Tenaga liar yang berge-jolak di 
dalam tubuhnya semakin kuat melonjak-lonjak, sehingga Panji 
menyeringai sejenak menahan rasa nyeri yang mengigit la 
cepat menjulurkan kedua tangannya melakukan dorongan 
untuk melumpuhkan si orang berkerudung itu. 
Wusss!

"Aaahhh...!" 
Si orang berkerudung menghindar ke samping ketika 
mendapat serangan dari Panji. Dan secepat kilat ia 
melancarkan serangan balasan ke leher Panji. Desis angin 
pukulan yang mencicit tajam menandakan kalau tenaga sakti 
yang dimiliki orang itu memang sangat kuat dan mematikan! 
Mendapat serangan balasan yang berbahaya, Panji segera 
mengegoskan kepalanya dan langsung melon-tarkan tamparan 
telapak tangannya ke kepala orang berkerudung itu. 
Wuttt! 
Brakkk! 
Sebatang pohon sebesar tubuh orang dewasa, ber-derak 
patah ketika tamparan Panji berhasil dielakkan lawannya lalu 
menghantam pohon itu keras. Si orang berkerudung sudah 
melompat mundur dan mempersi-apkan serangan berikutnya. 
"Kreeeaaa...!" 
Sambil meraung bagaikan binatang buas yang murka, tubuh 
orang berkerudung itu melesat melakukan serangan maut ke 
arah Panji. Sambaran-samba-ran angin pukulannya berkesiutan 
hingga menimbul-kan hembusan angin kencang. Panji meloncat 
rneng-hindari serangan yang mengancam jalan darah di 
tubuhnya. Sesekali terlihat dibalasnya pukulan-puku-lan maut 
itu. Pertarungan dua orang sakti itu mem-buat daerah sekitar 
hutan kecil itu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk angin 
topan yang hebat! 
"Heaaat..!" 
Tiba-tiba Panji memekik nyaring hingga di sekitar tempat itu 
bagai dilanda gempa. Tubuhnya melesat dengan kecepatan 
yang luar biasa ke arah orang berkerudung itu. Kedua

tangannya terayun silih berganti melontarkan pukulan-pukulan. 
Si orang berkerudung sama sekali tidak menyangka kalau di 
dalam hutan kecil itu ia menemui lawan yang sangat tangguh 
dan tegar! la sempat dibuat kalang-kabut, melihat sera-ngan 
yang tak mungkin dapat dihindarinya itu, Pen-jagal Alam 
Akherat mengangkat kedua tangannya menangkis serangan 
Panji. Dan.... 
Dukkk! Dukkk! 
"Aaakh...!" 
Suara benturan yang ditimbulkan beradunya dua pasang 
lengan itu telah membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar. 
Sehingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan 
telinga. 
Si orang berkerudung menjerit. Tubuhnya terlem-par deras 
bagaikan sehelai daun kering yang diter-bangkan angin. Darah 
segar menyembur dari mulut-nya. Dan terbanting di tanah 
berumput sambil meng-gigil bagaikan orang terserang demam 
hebat! Gigi-giginya bergemelutuk tanpa dapat di cegah. Panji 
berdiri tegak memandangi tubuh orang berkerudung yang 
masih berusaha membebaskan dirinya dari serangan hawa 
dingin yang hampir tak tertahankan oleh nya itu. 
"Hm...," gumam Panji, seraya diangkat tangannya pelahan-
lahan ke atas. Rupanya pemuda itu berniat menghabisi nyawa 
si orang berkerudung itu yang hanya memandang pasrah. 
"Tahan...!" 
Tiba-tiba Panji dikagetkan bentakan keras, yang membuat 
Panji menahan gerakannya. Belum lagi ge-ma suara itu lenyap, 
tahu-tahu beberapa sosok tubuh berlompatan ke tempat itu. 
Mereka adalah Pendekar Tapak Maut dan kawan-kawannya 
yang tengah me-ngejar si orang berkerudung itu. Jarga Lawa

yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut terpaku 
sejenak ketika melihat raut wajah Panji yang dingin dan kaku 
itu. Tanpa sadar ia mundur selangkah de-ngan wajah agak 
pucat. 
"Ki.... Kisanak, siapakah kau...?" Tanya Pendekar Tapak 
Maut ragu. Dikiranya Panji adalah kelompok Penjagal Alam 
Akherat. Karena melihat cara berpa-kaian pemuda itu memang 
mirip dengan si orang berkerudung. Hanya saja saat itu 
kerudung Panji tergan-tung di belakang lehernya. 
"Namaku Panji. Dan orang-orang menjuluki aku sebagai 
Pendekar Naga Putih," selama berkecimpung dalam dunia 
ramai, baru kali inilah Panji menyebut-kan sendiri gelarnya Hal 
itu dilakukan guna meng-hindarkan kesalahpahaman di antara 
mereka. 
"Pendekar Naga Putih...!" Gumam Jarga Lawa dan tujuh 
orang kawan-kawannya terkejut. 
"Aku sedang bermalam di hutan kecil ini ketika orang aneh 
itu kulihat berlari seperti menghindari sesuatu Aku terpaksa 
menghentikannya karena aku mencurigainya," lanjut Panji 
menerangkan duduk per-soalannya. 
"Hm...," gumam Jarga Lawa. la belum yakin apa yang 
dikatakan Panji. Namun, ia juga tidak mau te-rang-terangan 
menuduh Panji musuhnya. Sebab, ia sadar orang yang diajak 
bicara bukan orang sem-barangan. 
"Aku tahu, para sahabat pasti mencurigaiku karena 
pakaianku mirip dengan orang ini. Tapi percaya-lah. aku 
berkata apa adanya," ujar Panji lagi me-yakinkan mereka. 
"Hhh... maafkan kami, Kisanak. Kami harus ber-hati-hati 
dalam menghadapi setiap orang asing yang kami temui. Apalagi 
pakaian Kisanak sangat mirip dengan orang-orang berkerudung

yang belakangan ini seringkali melakukan pembunuhan yang 
kekejaman-nya melebihi iblis," tukas Jarga Lawa merasa tak 
enak mendengar ucapan Panji. 
"Eh, jadi orang berkerudung itu tidak cuma satu?" Tanya 
Panji heran. 
"Itu baru dugaan kami saja, Kisanak. Pernah ter-jadi 
beberapa pembunuhan. Dalam waktu bersamaan. Menurut 
orang-orang yang melihatnya, pembunuh-nya adalah orang-
orang yang mengenakan kerudung seperti itu," ujar Jarga Lawa 
dengan nada sedih. "Nantilah aku ceritakan seluruhnya, 
Pendekar Naga Putih. Sekarang sebaiknya orang itu kita bawa 
ke perguruan guna mendapat kepastian, untuk kita usut," 
lanjut laki-laki pendek kekar itu sambil memerintah-kan para 
pengawalnya untuk mengangkat si orang bertopeng yang kini 
dalam keadaan pingsan. Belum lagi dua pengawal Jarga Lawa 
akan mengangkat tubuh si orang berkerudung, tiba-tiba dua 
sosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh orang 
berkerudung yang tergolek pingsan itu. Sambil me-nyambar 
tubuh orang pingsan itu, tangan mereka mengibas ke kiri dan 
kanan. 
Wuttt! Wuttt! 
"Aaahhh...!" 
Hebat sekali serangan yang ditimbulkan oleh kibasan tangan 
sosok bayangan hitam itu. Jarga Lawa dan kawan-kawannya 
terpental didorong oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak 
Tubuh kedelapan orang itu bergulingan guna mematahkan 
kibasan serangan gelap yang dilakukan oleh orang berkerudung 
itu yang amat kuat. 
Kedua sosok bayangan yang juga berkerudung itu, terus 
melesat tanpa mempedulikan Jarga Lawa dan para pengawal.

Kedua sosok bayangan itu berlari sambil membawa tubuh 
temannya yang sekarat itu. 
"Hei, berhenti...!" 
Panji berteriak sambil memburu kedua sosok ba-yangan itu. 
Tubuh Panji melayang. Sehingga dalam beberapa kali 
lompatan, tubuh pemuda itu mendarat didepan dua orang 
berkerudung yang menjadi terke-jut setengah mati, tidak 
disangka kalau mereka akan terkejar. 
"Hm... mau lari ke mana kalian?" Seru Panji ber-usaha 
mencegah buronan itu kabur. 
Kedua buronan salmg berpandangan satu sama lain, dan 
keduanya mengangguk berbarengan. Mereka berbalik ke arah 
Panji serempak seraya berseru Ian-tang. 
"Hiaaat!" 
Wusss! 
Angin keras menderu tajam ketika dua orang berkerudung 
itu mendorong telapak tangan mereka ma-sing-maang, Pemuda 
itu pun mengangkat kedua tangannya yang langsung didorong 
menyambut dorongan dua orang berkerudung itu. Sehingga.... 
Blarrr! 
"Aaa...!" 
Terdengar suara ledakan dahsyat yang bagaikan hendak 
meruntuhkan gunung. Beberapa batang pohon yang tumbuh 
dekat mereka roboh seketika dan memperdengarkan suara 
ribut! Benar-benar hebat se-kali pertemuan dua gelombang 
tenaga sakti yang maha dahsyat itu! 
Jarga Lawa dan kawan-kawannya yang telah sampai itu 
dapat menyaksikan dari kejauhan terdorong mundur dengan 
wajah pucat pasi. Dada mereka bagaikan digedor oleh sesuatu

kekuatan raksasa yang tak tampak! Cepat mereka menjatuhkan 
diri dan ber-semadi guna menenangkan debaran dalam dada 
mereka. 
Sedangkan tubuh kedua orang berkerudung itu terhempas 
ke belakang beserta sosok tubuh yang di-bawanya terpental 
dengan kerasnya sehingga darah segar menyembur dari mulut 
kedua orang berkerudung itu. Untunglah kedua orang 
berkerudung itu dalam melakukan penyerangan dibarengi 
penyatuan tenaga dalam saktinya. Kalau tidak, pastilah tulang-
tulang tubuh kedua sosok berkerudung itu akan remuk, akibat 
dahsyatnya tenaga sakti liar yang mengeram dalam tubuh 
Panji. Secepatnya dua orang berkerudung berbalik 
menghampiri tubuh kawannya yang tergeletak pingsan itu 
langsung membopongnya serta melakukan beberapa kali salto 
di udara dan terus menghilang dalam kegelapan malam yang 
mulai beranjak dini hari. 
Panji sendiri, tidak menderita cidera. Pemuda itu hanya 
tergempur kuda-kudanya. Sehingga tubuhnya hanya terdorong 
mundur sejauh delapan tindak. Wajahnya yang tetap dingin 
dan kaku tanpa emosi se-dikit pun membuat ia tidak sempat 
mengejar lawan-nya karena keburu menghilang. 
Didepan Panji terlihat Jarga Lawa bersama kawan-kawannya. 
Panji melangkah pelahan menghampiri de-lapan laki-laki gagah 
yang tengah melakukan semadi. Ditatapinya wajah orang-orang 
itu satu persatu seolah ia ingin menegaskan kalau-kalau ada di 
antara me-reka yang telah dikenalnya. Pemuda sakti itu meng-
hela napas berat ketika melihat tidak satu pun di antara 
kedelapan orang pendekar itu yang dikenalnya. Akibat dari 
tenaga sakti liar itu membuat dirinya menjadi linglung. 
Pemuda tampan itu pun melangkah menjauh dan 
menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Dila-yangkan 
pandangannya ke arah orang-orang berkerudung yang

melarikan diri. Ia terpaksa harus me-nunggu tokoh-tokoh itu 
menyelesaikan semadinya. Karena ia ingjn memperoleh 
keterangan secara lebih jelas mengenai orang-orang 
berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu. 
Panji menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang 
menuju ke arahnya. Tampak seorang laki-laki pendek gemuk 
dan kekar tengah menghampiri-nya. Laki-laki itu tak lain adalah 
Jarga Lawa. Setelah menyelesaikan semadinya dan melihat 
Pendekar Naga Putih masih berada di tempat itu, maka ia pun 
bergegas mendekatinya. 
"Kau tidak apa-apa, Pendekar Naga Putih?" Tegur Jarga 
Lawa agak sedikit khawatir. 
'Terima kasih, Paman. Aku tidak apa-apa. Kuha-rap Paman 
sudi memanggilku dengan nama Panji saja," sahut Panji 
tersenyum. Pemuda itu tidak sadar kalau senyumnya itu lebih 
mirip seringai daripada se-nyum yang dimaksudnya. 
"Hm...," gumam Jarga Lawa. "Aneh, mengapa pen-dekar 
muda yang sangat sakti ini seperti orang sedang menderita 
sakit? Wajah tampan itu begitu pucat dingin dan kaku. Hm... 
Pasti ada sesuatu yang di-sembunyikan. Dan tampaknya ia 
tidak ingin melibat-kan orang lain dalam persoalannya itu," kata 
Pende-kar Tapak Maut dalam hati. Ia juga tidak mau mengu-
tarakan kepada Panji karena ia tidak ingin melibatkan dirinya 
dalam persoalan pendekar ini yang sepertinya tidak ingin 
diketahui orang lain. 
"Marilah singgah di tempatku, Nak Panji. Bukan-kah aku 
sudah berjanji akan menceritakan persoalan yang masih gelap 
ini kepadamu," ajak Pendekar Ta-ngan Maut ramah kepada 
Panji. 
"Baiklah, Paman!" sahut Panji singkat mengikuti pendekar itu 
yang juga telah mengajak kawan-kawannya.

Lalu mereka pergi meninggalkan hutan. Sinar bulan 
keperakan menerangi rombongan pendekar. Dari kejauhan 
lapat-lapat terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan 
menyambut pagi. 
*** 
"Sabarlah, Cucuku. Jangan kau turuti kata hati-mu," ujar si 
kakek menghibur kepada seorang gadis jelita berpakaian serba 
hijau. 
Gadis jelita itu tidak Iain adalah Kenanga. la me-nunduk 
sedih dihadapan kakek yang tidak lain adalah Eyang Wiku 
Ginting. Kakek sakti itu membelai rambut kepala gadis yang 
sudah dianggapnya sebagai cucu-nya sendiri. 
'Tapi, Eyang, saya harus menyusul Kakang Panji. Saya 
khawatir akan keselamatannya," kata Kenanga yang telah 
mengetahui kepergian kekasihnya tanpa pamit. Kini ia 
bersikeras hendak menyusul. 
"Cucuku. Eyang tidak akan melarangmu untuk menyusul 
kekasihmu itu. Tapi, tenangkanlah dulu hatimu. Setelah itu, 
baru Eyang akan mengijinkanmu untuk menyusulnya," ucap 
Eyang Wiku Ginting de-ngan lembut. Walaupun ia baru pertama 
kali bertemu dengan murid keponakannya itu, ia amat 
menyayangi-nya. 
"Menurut Eyang, apakah yang telah menyebab-kan Kakang 
Panji nekad minggat? Apakah ia marah padaku, Eyang?" Tanya 
Kenanga lirih dengan nada se-dih. 
'Tidak. Eyang rasa ia pergi bukan karena marah kepadamu, 
Cucuku. Tapi kemungkinan ia mendengar pembicaraan kita.

Dan ketika Eyang mengatakan bahwa penyakitnya itu tak bisa 
disembuhkan, mungkin ia menjadi putus asa. Lalu ia 
mengambil keputusan un-tuk meninngalkanmu karena ia tidak 
ingin kau ikut menderita karena memikirkan penyakitnya itu. 
Hhh... Sayang ia tidak mendengar pembicaraan kita seluruh-
nya Kalau saja ia mendengarnya, pastilah ia tidak melakukan 
hal yang bodoh seperti itu," kata Eyang Wiku Ginting menghela 
napas berat. la pun kecewa atas kepergian pendekar muda 
yang diam-diam amat dikaguminya itu. 
"Ya! Oleh karena itulah saya harus menyusulnya, Eyang. Dan 
saya akan menyampaikan perkataan Eyang yang belum sempat 
didengarnya itu. Ahhh..., Kakang Panji, mengapa kita harus 
berpisah lagi?" keluh gadis jelita itu. Sepasang mata yang indah 
me-nerawang ke cakrawala biru. 
"Pergilah, Cucuku. Semoga engkau dapat bertemu kembali 
dengan pemuda idamanmu itu. Ahhh... be-tapa bodohnya dia. 
Apakah ia tidak melihat kecanti-kan Cucuku ini. Atau ia 
memang seorang pemuda yang bodoh," ucap Eyang Wiku 
Ginting mencoba menghilangkan rasa sedih di antara mereka. 
"Ahhh, Eyang...," desah Kenanga tertunduk dengan wajah 
kemerahan. "Sudahlah! Saya mohon pa-mit, Eyang," seru gadis 
itu sambil membungkuk mem-beri hormat kepada si kakek 
yang menjadi paman gu-runya itu. 
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam lirih. Senyum 
menghias di wajah tuanya. Padahal ia sendiri merasa berat 
melepaskan murid keponakan-nya itu pergi, yang baru 
beberapa hari dikenalnya. 
Belum jauh Kenanga melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia 
dikejutkan oleh suara tawa berkepanjangan. Kenanga cepat 
memejamkan matanya guna melawan kekuatan dahsyat yang

menyerangnya. Karena suara tawa itu didorong oleh tenaga 
sakti yang amat kuat. 
"Ha ha ha...." 
Suara tawa itu terus bergema memenuhi seluruh pelosok 
puncak gunung tempat kediaman Eyang Wiku Ginting. Kenanga 
yang semula akan menuruni lereng gunung, terpaksa menunda 
kepergiannya. Gadis itu kembali berlari ke arah pondok 
gurunya, menurut firasatnya bahwa suara tawa itu 
menyebarkan hawa maut yang tersembunyi. 
"Eyang...!" Kenanga berlari menghampiri si kakek yang 
tengah berdiri didepan pintu pondok. Wajah Eyang Wiku 
Ginting yang biasanya selalu tenang itu. Kini tampak tegang 
dan gelisah. Hingga membuat Kenanga terheran-heran. 
"Aihhh, Cucuku, apa yang telah terjadi?" Tegur Eyang Wiku 
Ginting cemas. 
"Aku terpaksa kembali, Eyang. Di tengah jalan aku 
mendengar orang cekakakan. Siapakah gerangan orang yang 
mengeluarkan suara tawa yang demikian menyeramkan itu, 
Eyang?" Tanya Kenanga tanpa mempedulikan pandangan kakek 
tua itu. 
"Entahlah, Cucuku? Tapi yang jelas orang itu pas-tilah 
berilmu tinggi, karena suara tawa itu dikeluar-kan dari tempat 
yang cukup jauh," sahut si kakek kecut. Sebagai pendekar yang 
sangat berpengalaman, Eyang Wiku Ginting sudah dapat 
menduga bahwa orang yang tertawa aneh itu dapat 
mengancam ke-selamatan dirinya dan Kenanga. 
"Lebih baik kau cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka 
itu datang dan melihatmu, Cucuku. Cepatlah! Sebelum 
terlambat!" pinta Eyang Wiku Ginting tegas.


Terlambat! Dari kejauhan dua orang berpakaian hitam dan 
berkerudung muncul, terlihat gelagat mereka datang dengan 
maksud jahat. 
"Cepat pergilah Cucuku. Biar Eyang yang akan menghadapi 
mereka. Tampaknya mereka tidak bermaksud baik," bisik Eyang 
Wiku Ginting lagi. Tapi Kenanga tetap tidak berajak dari 
tempatnya berdiri. Ia enggan meninggalkan kakek seorang diri. 
*** 
LIMA


'Tidak, Eyang. Biarlah aku tetap di sini bersama Eyang. Aku 
ingin tahu apa maksud mereka kemari," tegas Kenanga. 
Eyang Wiku Ginting terdiam mendengar bantahan gadis itu. 
Ia dengan was-was memperhatikan kedua orang berkerudung 
itu datang mendekat. 
"Siapakah kalian! Ada keperluan apa denganku?" Tanya si 
kakek ramah. Namun sepasang matanya ta-jam penuh selidik 
memandang kedua orang tamu yang tak diundang itu. 
"Hm... benarkah aku berhadapan dengan Eyang Wiku 
Ginting?" Salah seorang berkerudung balik ber-tanya yang 
seharusnya ia jawab teguran si kakek itu. Ia sebenarnya tidak 
pantas mengeluarkan kata-kata kasar kepada seorang kakek 
seperti Eyang Wiku Ginting. 
"Kurang ajar!" maki Kenanga marah. Gadis itu sangat 
tersinggung melihat kakeknya diperlakukan demikian. Kedua

tamu ini tidak tahu sopan santun menyapa kakeknya. Gadis itu 
cepat naik pitam, di-cabut pedang hitamnya dan bersiap 
menerjang orang-orang berkerudung itu. 
Eyang Wiku Ginting cepat menahan Kenanga yang siap 
dengan pedangnya. Hingga gadis jelita itu ter-paksa menahan 
langkahnya. Si kakek memberi isya-rat dengan mengedipkan 
sebelah matanya agar kenanga menahan diri. 
"Kau tenanglah, Cucuku. Biar Eyang saja yang membereskan 
mereka," bisik Eyang Wiku Ginting pelan. 
"Benar! Akulah yang bernama Eyang Wiku Ginting. Ada 
keperluan apakah sahabat berdua menca-riku?" Tanya si kakek 
tersenyum ramah. 
"Kami adalah Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Maksud 
kedatangan kami adalah untuk mengambil nyawamu! Nah, 
bersiaplah!" ucap orang berkerudung yang satunya lagi. 
"Hm..., Penjagal Alam Akherat..?" gumam si kakek sambil 
mengerutkan kening. la mengingat-ingat s-suatu yang 
berhubungan dengan dua orang tamu berkerudung itu. "Aku 
pernah mendengar nama dan sepak terjang kalian di daerah 
Selatan baru-baru ini Tidak kusangka hari ini kalian sampai di 
daerah Barat ini. Dan karena aku tinggal di perbatasan antara 
Selatan dan Barat maka sasaran pertama kalian adalah aku. 
Boleh aku tahu, apa maksud kalian menebarkan bencana di 
kalangan dunia persilatan? Apakah, kalian mencari seseorang 
untuk membalas dendam, atau ingin menguasai dunia 
persilatan?" 
Kedua tamu berkerudung itu diam membisu. Sorot mata 
mereka menatap tajam menyiratkan hawa maut yang 
menggetarkan hah siapa saja yang beradu pandang dengan 
mereka. Pelahan-lahan tangan me-reka terangkat ke atas. 
Angin dingin menebar meng-gigit kulit.

"Hm!" 
Disertai sebuah dengus kasar, tubuh salah seorang dari 
kedua orang berkerudung itu dengan geram menerjang Eyang 
Wiku Ginting dan Kenanga. Serangkum angin tajam berhembus 
keras mengiringi sambaran sepasang tangannya yang 
bertenaga kuat itu. 
"Menyingkirlah, Cucuku!" Seru Eyang Wiku Ginting 
mendorong Kenanga hingga terdorong beberapa langkah ke 
sampingnya. 
Wuttt! 
"Hm..." 
Eyang Wiku Ginting memiringkan badannya ke kanan 
sehingga bacokan telapak tangan lawan lewat di sampingnya. 
Kemudian si kakek melompat ke belakang menghindari tusukan 
tangan lawan yang menyusul serangan pertamanya yang gagal. 
Sambaran jari-jari tangan yang menimbulkan suara mencicit 
tajam itu berhasil pula dihindari kakek itu. 
Orang berkerudung yang mengaku Penjagal Alam Akherat itu 
melompat mengejar tubuh lawannya. Kedua tangannya kembali 
menyambar berkesiutan me-ngancam keselamatan kakek itu 
yang menjadi cukup kerepotan dibuatnya. 
Beberapa kali serangan si orang berkerudung itu berhasil 
dihindari Eyang Wiku Ginting dengan me-lukkan tubuh maupun 
geseran kaki. Akhirnya kakek itu terpaksa mengangkat tangan 
kanannya menangkis serangan lawannya yang kali ini tak 
mungkin dapat dihindari. Selain itu pun ingin menjajaki sampai 
di mana kira-kira kekuatan tenaga dalam lawannya yang meng-
aku mempunyai julukan mendirikan bulu roma itu. 
"Hm...!"

Dukkk! 
"Aaahhh...!" 
Eyang Wiku Ginting sangat terkejut ketika mera-sakan 
tangannya bagaikan berbenturan dengan se-bongkah salju 
yang keras bagaikan baja. Tubuh kakek tua itu terjajar mundur 
sejauh empat tombak. Wajahnya menyeringai menahan rasa 
nyeri yang mengigit pada pergelangan tangannya. 
"Gila! Tenaga dalam orang berkerudung ini luar biasa! 
Untunglah aku sebelumnya telah menggunakan lebih dari 
separuh tenagaku sewaktu menangkis se-rangannya. Kalau 
tidak, bisa-bisa remuk tulang-tu-lang lenganku dibuatnya," 
desah Eyang Wiku Ginting terkejut. 
Si orang berkerudung pun tidak kalah terkejutnya dengan 
tenaga dalam kakek itu. Tubuhnya tergetar mundur sejauh 
enam tombak ke belakang. Wajah di balik kerudung itu terlihat 
meringis menahan rasa sakit. 
"Eyang...!" Teriak Kenanga sambil berlari membu-ru ke arah 
Eyang Wiku Ginting la cemas menyaksikan Eyang Wiku Ginting 
mengerang kesakitan. 
"Tenanglah, Cucuku. Eyang Hdak apa-apa. Seba-iknya 
engkau cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Engkau sudah 
lihat betapa dahsyatnya tenaga yang dimiliki orang yang 
satunya Itu, hingga membuat Eyang kewalahan seperti ini. 
Entah apa jadinya bila mereka berdua mengeroyok Eyang. 
Rasanya Eyang tidak akan mampu menghadapi gempuran 
kedua orang berkerudung itu," Eyang Wiku Ginting kembali 
mengingatkan gadis itu, akan bahaya yang mengan-cam. 
'Tidak, Eyang Aku akan tetap di sini menemani Eyang!" 
bantah gadis jelita itu. Pedang hitam yang masih berada di 
dalam genggamannya itu, sudah me-lintang didepan dada.

Rupanya tekad gadis itu sudah benar-benar tak dapat dibantah 
lagi. 
"Dengarlah, Cucuku. Kematian bukanlah meru-pakan sesuatu 
yang mengerikan bagiku. Lagi pula usiaku yang memang sudah 
demikian lanjut. Sedang-kan engkau, masih sangat muda 
sekali, Cucuku. Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih? 
Bukankah engkau hendak mencarinya? Lalu, bagaimana mung-
kin kamu dapat menemukannya kalau kamu tidak segera pergi 
untuk mencarinya? Mungkin saat ini ke-kasihmu dalam keadaan 
sekarat, entah di mana dan tidak ada seorang pun yang berada 
di sisinya yang dapat meringankan penderitaannya," kata 
Eyang Wiku Ginting, merasa kewalahan menghadapi kekerasan 
hati gadis itu, terpaksa menggunakan akalnya untuk membujuk 
Kenanga. 
Mendengar ucapan Eyang Wiku Ginting yang me-ngingatkan 
niatnya semula untuk mencari Pendekar Naga Putih, membuat 
gadis itu termenung sejenak. Terlintas dalam benaknya 
bayangan tubuh Panji yang rebah tergolek tampak seorang diri 
di tengah hutan. Ia menarik napas dalam-dalam. Di dalam 
dirinya sedang berkecamuk dua pilihan yang amat sulit. Pergi 
me-ninggalkan Eyang Wiku Ginting atau mencari kekasih-nya 
yang sekarang tidak tahu ke mana rimbanya. Jelas sekali kalau 
gadis itu tidak berdaya untuk mengambil keputusan. 
Eyang Wiku Ginting tersenyum ketika melihat pancingannya 
membawa hasil. Rasa haru menyeruak di hati tuanya ketika 
mengetahui apa yang tengah dipikirkan gadis jelita itu. Ditepuk-
tepuknya bahu sang cucu seolah-olah dengan cara begitu sang 
kakek ingin memberi tambahan kekuatan kepada murid ke-
ponakannya itu. 
"Nah, sekarang pergilah, Cucuku. Semoga kau berhasil 
menemukan kekasihmu itu," ujar Eyang Wiku Ginting seraya 
tersenyum lemah.


'Tapi... bagaimana dengan Eyang?" Sahut Kenanga yang 
masih cemas terhadap nasib paman gurunya. 
"Sudahlah, sebelum kau datang pun Eyang selalu 
menghadapi hal-hal seperti ini. Karena sebagai se-orang yang 
memiliki kepandaian silat, kita selalu me-nemukan kejadian 
yang berbau maut," tukas si kakek itu tenang. 
"Baiklah, Eyang, saya pergi dulu. Jagalah diri Eyang baik-
baik. Mudah-mudahan kita dapat berjum-pa lagi kelak." 
Akhirnya Kenanga dengan berat hati pergi meninggalkan 
paman gurunya, ia melesat keluar pondok terus berlari 
menuruni lereng bukit itu hingga tak tampak lagi batang 
hidungnya. 
Tentu saja kedua orang berkerudung itu tidak mau 
membiarkan gadis jelita itu lepas begitu saja. Salah seorang 
dari mereka sudah melesat untuk men-cegah Kenanga. 
"Jangan ganggu dia! Bukankah kedatangan kalian kemari 
untuk berurusan denganku!" Bentak Eyang Wiku Ginting agak 
gusar ketika melihat salah seorang dari musuhnya hendak 
menahan kepergian murid keponakannya itu. Teriakannya tidak 
digubris orang berkerudung yang tetap hendak menahan 
kepergian gadis jelita itu, maka tubuh si kakek itu pun segera 
melesat memapaki si orang berkerudung yang siap menangkap 
Kenanga. 
"Huh!" 
Wuttt! 
Hantaman telapak tangan si kakek berhasil membuat si 
orang berkerudung menunda maksudnya itu. Ketika serangan 
telapak tangan lewat disisi tubuh-nya, si orang berkerudung 
membalas melepaskan sebuah tendangan kilat yang meluncur 
deras menuju lambung Eyang Wiku Ginting. Sesaat kemudian,

ke-dua orang itu pun sudah teriibat dalam sebuah per-kelahian 
sengit! 
"Hiaaa!" 
Wuttt! Wuttt! 
Plak! Plak! Plak! 
"Uhhh...!" 
Tubuh kedua orang sakti itu terjajar mundur ke-tika 
beberapa buah pukulan mereka saling berben-turan hingga 
menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup keras. 
"Hm!" 
Si orang berkerudung menggeram gusar karena pada 
pertemuan tenaga yang kedua kalinya itu, tubuhnya sempat 
hampir terpelanting akibat kuatnya tenaga yang terkandung 
dalam tangkisan dan puku-lan kakek itu. Dari sini jelas terihat 
bahwa kekuatan tenaga dalam si orang berkerudung ternyata 
masih di bawah tenaga dalam Eyang Wiku Ginting. 
Sebenarnya wajar saja kalau tenaga yang dimiliki si orang 
berkerudung masih kalah dengan tenaga yang dimiliki kakek 
tua itu. Karena kedudukan Eyang Wiku Ginting pada masa itu 
boleh dibilang termasuk tokoh-tokoh tingkat atas. Dan jarang 
ada tokoh-tokoh sesat yang berani membuat persoalan 
dengannya. Hanya saja pada beberapa tahun terakhir ini ia 
jarang sekali muncul di dunia ramai hingga orang-orang 
kalangan dunia persilatan hampir melupakan nama-nya. 
Namun, hal itu bukan merupakan jaminan bah-wa 
kepandaiannya sudah menurun. 
"Hm... mengapa kau berhenti, Penjagal Alam Akherat? 
Apakah kau merubah keputusanmu dan berniat meninggalkan 
tempatku ini?" ujar Eyang Wiku Ginting masih tetap ramah

meskipun dalam ucapan-nya itu terkandung ejekan yang 
tersembunyi. 
Si orang berkerudung tidak menanggapi ucapan lawannya 
itu, sekilas ia menoleh ke arah kawannya yang tengah 
melangkah menghampirinya. Sejenak ter-lihat keduanya saling 
pandang. Sedetik kemudian, dua orang berkerudung itu pun 
mengalihkan pandang ke arah Eyang Wiku Ginting yang saat itu 
juga tengah menatap kedua orang lawannya itu. 
Sadar bahwa mereka serempak akan menyerang, si kakek 
siap memasang kuda-kuda dan menyilang-kan kedua 
tangannya. 
"Hm..., 'Lapisan Benteng Menahan Pasukan Ber-kuda'...!" 
Seru salah seorang berkerudung mendengus mengejek. 
"Gila, siapa sebenarnya dua orang yang menge-nakan 
kerudung ini? Kalau mereka dapat mengenali ilmu yang jarang 
kupergunakan ini, jelas mereka bukan orang sembarangan! Aku 
harus lebih berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu mereka 
sudah mengetahui akan ketemahan-kelemahan dari ilmuku ini," 
gumam si kakek mawas diri. 
"Hiaaat..!" 
Disertai teriakan menggelegar, tubuh kedua orang 
berkerudung itu melesat serentak. Tubuh mereka jungkir balik 
di udara, kemudian melepaskan sera-ngan dari dua jurusan 
yang berlawanan. Serangan mereka sangat hebat dan 
membingungkan. 
Melihat lawannya menyerang dari dua jurusan, Eyang Wiku 
Ginting tidak kalah sigap melepaskan deru angin kuat melalui 
daya pukul kedua tangannya. 
"Aaakh...!"

Di luar perhitungan mereka, serangan mereka tidak bisa 
menembus, seakan-akan ada dinding pemisah yang amat kuat. 
Akibatnya serangan mereka gagal, bahkan mereka menderita 
cidera. 
"Hiaaat!" 
Sambil melengking keras, mereka mencoba menembus 
dinding yang tak tampak itu. Kedua tangan mereka bergerak 
berganti-bergantian hingga menim-bulkan deru angin kencang. 
Di sekitar arena perta-ru-ngan menjadi agak gelap oleh debu-
debu kering beter-bangan. 
"Hekhhh...!" 
Tenaga dalam Eyang Wiku Ginting kembali ber-tambah. 
Wajah si kakek merah padam menangkis te-kanan gelombang 
tenaga dahsyat yang menghimpit-nya dari dua arah. 
"Hiaaat!" 
Disertai teriakan keras, tubuh si kakek melam-bung ke udara 
melepaskan benteng pertahanannya. Ia sadar, kekuatan 
tenaganya tak akan mampu mena-han tenaga himpitan lawan. 
Beberapa kali jungkir balik di udara, si kakek langsung 
menghunus pedang saktinya. 
Walaupun Eyang Wiku Ginting lebih banyak men-dalami ilmu 
pengobatan dari pada ilmu silat tapi kepandaian silatnya tidak 
berbeda jauh dengan adik seperguruannya, si Raja Pedang 
Pemutus Urat yang tewas di tangan Jaya Sukma. (Baca serial 
Pendekar Naga Putih dalam episode: Malaikat Maut Pencabut 
Nyawa') 
Wunggg! Wunggg! 
Angin pedang menderu berkesiutan ketika Eyang Wiku 
Ginting menggerakkan pedang di tangannya. Meskipun ia tidak

mampu untuk mempelajari 'Ilmu Pedang Pemutus Urat' yang 
dimiliki adik seperguruannya, namun 'Ilmu Pedang Bunga 
Teratai' yang dimili-kinya tidak bisa dipandang remeh. 
Saat itu dua orang berkerudung yang menjadi lawannya 
mendorongkan pukulan telapak tangan jarak jauhnya secara 
berbarengan. 
Wusss! 
Dhuarrr! 
Debu dan daun-daun kering membumbung tinggi ketika 
pukulan mereka menghantam tanah tempat di mana Eyang 
Wiku Ginting berdiri. Untunglah si kakek cepat mengelak. 
Sedikit saja ia lengah, maka tidak ayal lagi pukulan jarak jauh 
yang dilepaskan lawan dapat menghancurkan tubuhnya. 
"Hiaaat..!" teriak si kakek balik menyerang, tubuh renta itu 
meluncur deras ke arah mereka. Kedua orang kakek. 
Penglihatan mereka terganggu oleh sinar kilatan yang 
menyilaukan dari pedang kakek itu yang menyilaukan dari 
pedang si kakek itu. 
Dua orang berkerudung terus berloncatan meng-hindari 
sabetan pedang si kakek yang siap mencabut nyawa mereka. 
Gulungan sinar pedang yang terka-dang mirip bunga teratai itu 
benar-benar membuat dua orang Penjagal Alam Akherat itu 
dibuat sibuk. Kalau saja kepandaian mereka tidak betul-betul 
tinggi, rasanya mereka tidak mungkin akan berani menyatroni 
kediaman kakek sakti itu. 
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tebasan pedang Eyang 
Wiku Ginting menderu dalam posisi men-datar. Sinamya yang 
berwarna kekun'mgan itu ber-keredep Iaksana sambaran kilat 
yang menerangi per-mukaan bumi. Salah seorang dari 
kawannya bergegas menggeser tubuhnya menghindari tebasan

maut itu. Sambil menghindari serangan, jari-jari tangan si 
orang berkerudung meluncur tajam menuju lambung Eyang 
Wiku Ginting. 
CuittH 
"Aiilhhh...!" 
Eyang Wiku Ginting meliukkan tubuhnya sehingga tusukan 
jari tangan yang dapat mencoblos batu ka-rang itu dapat 
dihindarinya. Tapi siapa sangka lawan-nya telah 
memperhitungkan gerak pukulannya secara cermat Sebuah 
tendangan kilat meluncur mengancam dada si kakek. Merasa 
tidak mempunyai peluang lagi untuk menghindari, kakek itu 
terpaksa menyabetkan pedangnya dengan maksud membabat 
putus kaki lawan. 
Tapi rupanya tendangan si orang berkerudung itu hanya 
merupakan tipuan! Tepat pada saat sabetan pedang si kakek 
menyambut kakinya, si orang berke-rudung segera menarik 
pulang tendangannya. Dan pada saat itu juga, sebuah 
tamparan dari si orang berkerudung yang satunya lagi telah 
menghantam pelipis kakek itu. 
Wuttt! Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Tubuh si kakek terpelanting seketika! Tampak darah segar 
meleleh di sela bibirnya. Untung dalam keadaan terpojok ia 
sempat menundukkan kepalanya sehingga tamparan dahsyat 
itu hanya mengenai bahu-nya. Namun, meskipun hanya 
mengenai bahu, tamparan orang berkerudung Itu telah pula 
membuat dada dalamnya terluka. Entah apa jadinya apabila 
tamparan itu benar-benar mengenai pelipisnya. Mung-kin kepa-
lanya itu akan pecah berantakan!

Kesempatan yang hanya beberapa detik tidak disia-siakan 
lawan-lawannya. Mereka menghujani pukulan dengan dorongan 
sepasang telapak tangannya. Tak pelak lagi, serangan dahsyat 
itu tak dapat dihindarinya. Maka.... 
Desss! Bukkk! Desss! 
"Aaakh...!" 
Eyang Wiku Ginting menjerit ngeri ketika hanta-man empat 
pasang telapak tangan yang berkekuatan itu menghantam 
tubuhnya. Sehingga tubuh tua renta itu terhempas bagai 
sehelai daun kering yang tertiup angin. Darah segar 
menyembur dari mulutnya, sebelum tubuh kakek tua itu 
terbanting di tanah, dua orang berkerudung itu melontarkan 
pukulan jarak jauh secara bersamaan. 
"Hiaaat..!" 
Whuuusss! 
Blaaarrr! 
"Aaa...!" 
Mengerikan sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan 
Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu. Bagaikan sebuah mercon, 
tubuh Eyang Wiku Ginting pecah berhamburan diiringi teriakan 
kematian yang menyayat. Kakek tua sakti itu tewas di tangan 
dua orang berkerudung yang mengaku sebagai Penjagal-
Penjagal Alam Akherat dengan tubuh hancur dan tak dapat 
dikenali lagi. 
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dua orang 
berkerudung itu pun melesat meninggalkan tempat kediaman 
Eyang Wiku Ginting. Semilir angin bertiup sejuk seolah-olah 
mengusir si Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu.
*** 
ENAM


Di sebuah ruangan pertemuan bangunan induk perguruan 
yang letaknya di sudut Desa Jati Alur, tampak tujuh orang laki-
laki duduk mengitari sebuah meja. 
"Jadi bagaimana menurutmu, Nak Panji?" Tanya seorang 
laki-laki bertubuh pendek. Orang itu tidak lain adalah Jarga 
Lawa atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tapak 
Maut. Setelah men-ceritakan berbagai kejadian yang 
dialaminya, ia pun meminta pendapat Pendekar Naga Putih 
yang juga dikenal dengan panggilan akrab Panji. 
Panji tidak langsung menjawab. Ia termenung sejenak, 
memikirkan langkah yang akan mereka ambil untuk 
menghentikan keganasan kawanan Penjagal Alam Akherat. 
Kening pemuda itu berkerut, ia seperti tengah berpikir keras. 
Jarga Lawa dan lima orang tokoh lainnya tidak berani untuk 
bertanya lebih lanjut. Mereka sadar apa yang akan dikatakan 
pemuda itu nanti, bukankah ucapan yang asal jadi saja. Oleh 
karena itu, mereka hanya berdiam diri saja melihat Panji 
termenung. 
'Paman, kira-kira berapa perguruan silat yang ter-besar di 
wilayah Selatan ini?" Tanya Panji tiba-tiba. 
Mendengar pertanyaan yang cukup aneh itu, enam orang 
tokoh yang hadir dalam pertemuan itu saling memandang tak 
mengerti. Namun ketika mereka me-lihat kesungguhan Panji,

mereka pun mengerti bahwa Panji pasti mempunyai maksud 
dengan pertanyaan itu. 
"Hm... kurang lebih sekitar delapan perguruan. Itu hanya 
yang terbesar. Sedangkan yang lainnya tidak terhitung," jawab 
Jarga Lawa. la kelihatan agak bi-ngung karena sama sekali 
belum dapat menduga jalan pemikiran Panji. 
"Menurut cerita yang Paman tuturkan padaku, saat ini hanya 
tinggal Perguruan Golok Sakti yang belum diganggu kawanan 
iblis itu Benar begitu, Paman?" ujar Panji memastikan. Orang 
yang berjuluk Pendekar Tapak Maut mengangguk. "Nah, karena 
hanya tinggal perguruan itu yang belum diganggu, apakah 
bukan tidak mungkin suatu hari kelak juga mendapat giliran 
sasaran kawanan Penjagal Alam Akherat?!" tukas Panji lagi. 
"Aaahhh...?" gumam para pendekar serentak. 
Pemyataan Panji menyadarkan mereka bahwa peristiwa itu 
bisa saja di Perguruan Golok Sakti. 
"Ah, betapa bodohnya aku! Mengapa selama ini tidak pernah 
terlintas dalam pikiranku?" kata Jarga Lawa sambil menepuk 
dahinya. 
"Benar! Mengapa kita tidak pernah berpikir ke sana!" Seru 
lainnya, yang juga baru tersadar apa yang dikhawatirkan Panji. 
"Kalau begitu sasaran mereka kali ini pastilah Per-guruan 
Golok Sakti. Perguruan itulah satu-satunya yang belum 
ditaklukkan kawanan Penjagal Alam Akherat," sahut yang 
lainnya menimpali. 
"Jika benar demikian, ayolah kita berangkat! Jangan-jangan 
kita akan kedahuluan oleh iblis-iblis keparat!" perintah Jarga 
Lawa seraya keluar meninggalkan ruang perguruan.

Rombongan para pendekar termasuk Panji ber-siap-siap 
berangkat menuju Perguruan Golok Sakti. Rombongan dipimpin 
langsung Pendekar Tapak Maut. 
"Paman, sebaiknya kita jangan terlalu banyak membawa 
orang. Biar perjalanan kita bisa lebih cepat," bisik Panji yang 
berjalan di sisi Jarga Lawa. Panji sengaja berbicara pelan agar 
tidak didengar teman-temannya yang lain. Salah-salah bisa 
menyingung pe-rasaan mereka. 
"Baiklah, Panji. Aku akan memilih beberapa orang saja yang 
kira-kira kepandaiannya dapat di andal-kan," jawab Jarga Lawa 
yang langsung menyetujui usul Pendekar Naga Putih alias Panji. 
Jarga Lawa pun segera memilih dua belas orang dari 
perguruan yang berlainan. Kemudian dipilih lagi dua orang 
tokoh dari tiap-tiap perguruan untuk me-wakili perguruan 
masing-masing. Setelah segala se-suatunya dipersiapkan, maka 
pagi itu juga rombo-ngan yang terdiri dari sembilan belas orang 
berangkat meninggalkan Desa Jati Alur. 
*** 
Tidak seperti biasanya, hari itu halaman Pergu-ruan Golok 
Sakti tampak ramai. Puluhan orang murid berjajar rapi 
membentuk sebuah barisan yang cukup panjang. Di muka 
barisan para murid itu, tampak seorang laki-laki setengah baya 
yang seluruh wajahnya di tumbuhi brewok, berdiri angker. 
Sepasang matanya yang bulat dan lebar itu merayapi wajah 
puluhan orang murid yang berdiri tegang. Di kanan-kirinya 
tampak dua orang laki-laki gagah berdiri tegap. Pada bagian 
dada sebelah kiri pakaian mereka bergambar golok bersulam

benang perak. Kedua pendekar itu adalah tokoh-tokoh tingkat 
utama dari Perguruan Golok Sakti. 
"Murid-muridku sekalian, dengarlah!" Teriak laki-laki brewok 
lantang. Suaranya yang didorong tenaga dalam itu terdengar 
nyaring hingga barisan yang paling belakang. Hal ini 
menandakan bahwa kekuatan tenaga dalam si brewok itu 
sudah sangat tinggi. "Hari ini, aku sengaja mengumpulkan 
kalian. Karena per-guruan kita mungkin akan menjadi sasaran 
kebiada-ban Penjagal-Penjagal Alam Akherat yang pada saat ini 
tengah mengganas. Jadi aku minta agar kalian bersiap-siap. 
Dan kalau ada sesuatu yang mencuriga-kan, kalian harus cepat 
melapor, mengerti!" 
"Kami mengerti, Guru!" Sahut para murid serentak. 
Setelah memberikan beberapa pesan lainnya yang kira-kira 
diperlukan, maka laki-laki brewok yang juga adalah ketua 
Perguruan Golok Sakti itu pun segera membubarkan murid-
muridnya. 
Puluhan orang murid membubarkan diri. Mereka segera 
melaksanakan tugas masing-masing yang dibe-rikan gurunya. 
Sedangkan dua orang laki-laki gagah yang berpakaian biru 
muda, mengiringi guru besar mereka yang berjalan memasuki 
bangunan induk perguruan. 
"Guru, benarkah kawanan Penjagal Alam Akherat itu akan 
menyerang perguruan kita?" Tanya salah seorang berseragam 
biru muda itu kepada sang Guru. Rupanya ia belum merasa 
yakin apa yang dikatakan gurunya tadi. 
"Entahlah, Prawida. Aku sendiri masih meragukan hal itu. 
Tapi tidak ada salahnya kita bersiap-siap. Karena beberapa 
perguruan terbesar di wilayah ini telah hancur ditaklukkan 
Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Siapa tahu mereka

mengincar..." Sahut sang guru yang dalam rimba persilatan 
dijuluki Pendekar Golok Kembar. 
"Jadi masih kabar burung?" Tanya lelaki berseragam biru 
muda yang lainnya. 
"Hm..." Pendekar Golok Kembar hanya bergumam, sehingga 
membuat kedua orang itu terdiam. Mereka sadar bahwa guru 
mereka sudah tidak ingin mem-bicarakan masalah itu lagi. 
Belum sampai Hga orang itu menginjakkan kaki di pintu, 
tiba-tiba terdengar jeritan menyayat. Mereka saling 
memandang penuh tandatanya. Kemudian mereka meluncur 
menuju ke tempat asal suara jeritan tadi. 
Pendekar Golok Kembar dan dua orang murid uta-manya itu 
terkejut ketika mereka melihat dari kejauhan dua orang 
berpakaian hitam-hitam sedang mengamuk dikeroyok belasan 
orang murid Perguruan Golok Sakti. Para pengeroyok banyak 
yang berja-tuhan. 
"Guru, sepertinya kedua orang berkerudung...!?" Kata murid 
utama yang bernama Prawida tak berani meneruskan 
ucapannya. 
"Ya! Itulah mereka, kawanan Penjagal Alam Akhe-rat!" Tukas 
sang guru tegas. la geram melihat belasan orang muridnya 
bergeletakan tak bernyawa. 
"Tapi... Bukankah biasanya mereka datang malam hari?" 
Tanya murid utama yang satunya lagi tak per-caya. 
"Hm... mungkin iblis-iblis keparat itu sudah tak sabar untuk 
membantai kita," sahut Pendekar Golok Kembar, seraya 
melambungkan tubuhnya ke udara. Dengan beberapa kali 
putaran, kedua kakinya men-darat tepat di tengah-tengah 
arena perkelahian yang sedang berlangsung itu.

"Tahan...!" teriak keras sang guru. Sambil mem-bentak keras 
ketua Perguruan Golok Sakti mendo-rongkan sepasang telapak 
tangannya kedepan. Angin pukulannya menderu keras 
mengejutkan si orang berkerudung yang berada dua tombak di 
hadapannya. 
"Hm!" 
Sambil mendengus keras si orang berkerudung melompat ke 
belakang. Tangan kanannya dikibaskan menyambut dorongan 
ketua Perguruan Golok Sakti. 
Bresss! 
"Uhhh...!" 
Terdengar suara Ietupan kecil di udara ketika dua 
gelombang tenaga sakti itu saling bertemu. Pendekar Golok 
Kembar terpekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur sejauh enam 
langkah ke belakang. la benar-benar merasa terkejut ketika 
mendapat kenyataan bahwa tenaga si orang berkerudung itu 
tidak berada di ba-wahnya. 
Sedangkan si orang berkerudung sendiri tidak ka-lah 
terkejutnya ketika merasakan kekuatan tenaga orang yang 
menyerangnya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ketika 
berbenturan dengan laki-laki brewok yang baru tiba itu. Si 
orang berkerudung melakukan beberapa kali salto guna 
mematahkan doro-ngan itu. Kedua kakinya mendarat ringan 
beberapa tombak di depan lawannya. 
'"Guru...!" teriak kedua murid utamanya. 
Dua orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid 
utama bergegas menghampiri Pendekar Golok Kembar. Kedua 
orang itu sempat terkejut ketika melihat tubuh guru besar 
mereka sempat terdorong aki-bat benturan tenaga sakti si 
orang berkerudung. Meskipun mereka sudah mendengar

tentang kehe-batan Penjagal Alam Akherat. Namun sama sekali 
di luar dugaan mereka kalau iblis-iblis itu dapat me-mukul 
mundur guru besarnya hanya dalam segebrak-kan saja. 
"Hm... kalian berhati-hatilah! Kepandaian Pen-jagal-Penjagal 
Alam Akherat itu sepertinya tidak berada di bawah 
kepandaianku," bisik sang guru mempe-ringatkan dua orang 
murid utamanya. 
Mendengar peringatan gurunya, kedua orang laki-laki 
berpakaian biru itu mengangguk mengiyakan. Mereka pun 
sadar bahwa kepandaian orang-orang berkerudung itu memang 
sangat tinggi. Dan hal itu telah mereka lihat sendiri ketika guru 
mereka mengadu tenaga dengan salah seorang dari dua orang 
berkerudung itu. 
Saat itu juga, sang guru memerintahkan semua murid-murid 
dan dua murid utamanya segera mun-dur. Mereka berdiri dan 
membentuk lingkaran dalam jarak sepuluh tombak dari kedua 
orang berkerudung itu. Senjata mereka masih tergenggam erat 
dan siap untuk hertempur kembali. 
"Hm..., Penjagal-penjagal Alam Akherat! Kedata-ngan kalian 
memang sudah kami tunggu-tunggu, tapi tidak kusangka kalian 
datang demikian cepat. Nah, sekarang mari kita selesaikan 
urusan ini," seru Pendekar Golok Kembar siap dengan golok 
kembarnya yang memancarkan sinar keperakan. 
Dua orang berkerudung itu hanya menggeram pe-lahan 
tanpa menjawab ucapan lawannya Sedetik kemudian, keduanya 
menggeser kaki masing-masing dan berpencar ke arah yang 
berlawanan. 
"Gggrh...!"


Dibarengi sebuah geraman yang menggetarkan jantung, 
Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu pun melompat berbarengan 
ke arah lawan-lawannya. 
"Kalian hadapilah orang berkerudung yang di se-belah 
kanan. Biar aku akan menghadapi orang berkerudung yang 
berada di sebelah kiri," perintah Pende-kar Golok Kembar 
kepada kedua orang murid utama-nya itu. 
Mendengar perintah gurunya, dua orang laki-laki gagah itu 
serentak melompat menyambut serangan si orang 
berkerudung. Sesaat kemudian, mereka pun sudah saling 
serang dengan ganas. 
Prawida yang merupakan murid tertua dari Perguruan Golok 
Sakti mengisyaratkan kepada adik seper-guruannya agar 
mereka melakukan pertempuran ber-pasangan. Karena dengan 
cara bertempur seperti itu mereka dapat saling melindungi dan 
tenaga tangkisan atau pukulan mereka pun akan lebih kuat 
daripada melakukan pertempuran sendiri-sendiri. 
Wuuut! 
Sebuah tamparan telapak tangan lawan berhasil dihindarkan 
Prawida dengan baik. Dan pada detik itu juga adik 
seperguruannya melontarkan sebuah puku-lan yang disusul 
babatan goloknya mengancam lam-bung si orang berkerudung. 
Dua serangan berbahaya meluncur cepat. Si orang 
berkerudung bukan menghindari malah sebaliknya melangkah 
maju menyambut serangan lawan. Tentu hal itu sengaja 
mereka lakukan agar lawan terkecoh. Dua murid andalan guru 
besar dari Perguruan Golok Sakti itu begitu bernapsu untuk 
menghabisi lawan-nya. 
Plakkk! Bukkk! Desss! 
"Aaakh...!"

Dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata, si orang 
berkerudung bergerak menangkis serangan lawannya, hingga 
serangan golok lawan luput dari tubuhnya. Demikian cepatnya 
gerakan Penjagal Alam Akherat itu, hingga pengawal yang 
bernama Prawida tak sempat lagi untuk menyelamatkan adik 
seperguruannya dari hantaman lawan. 
Tubuh laki-laki gagah, murid kedua dari Pergu-ruan Golok 
Sakti itu terlempar ke belakang. Darah pun mengucur deras 
dari mulutnya. Rupanya puku-lan dan tendangan si orang 
berkerudung telah meng-hantam dada dan lambungnya. Tanpa 
sempat ber-pesan lagi, adik seperguruan Prawida tewas 
seketika. Bagian dada dan lambungnya telah remuk akibat 
hantaman yang sangat kuat itu. 
"Keparat! Kau harus menebusnya dengan nya-wamu! Lihat 
pukulanku!" Teriak Prawida marah ke-tika melihat adik 
seperguruannya telah tewas. Tanpa mempedulikan 
keselamatan dirinya lagi, Prawida me-ngamuk. Tapi sayang 
yang dihadapinya kali ini bukan tokoh sembarangan. Orang 
berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu adalah 
tokoh yang sangat ditakuti. Kepandaian ilmu silatnya sangat 
tinggi, jarang tertandingi meski oleh tokoh-tokoh ting-katan 
atas sekalipun. Wajarlah kalau serangan-sera-ngan yang 
dilontarkan Prawida sama sekali tidak ada artinya buat si orang 
berkerudung itu. 
"Hm!" 
Si orang berkerudung mendengus kasar. Sedetik kemudian, 
tubuhnya melompat ke belakang menjauhi Prawida. Tapi ia 
sama sekali tidak bersiap untuk menyerang. Orang itu hanya 
berdiri tegak sambil me-natap lawannya. 
Sementara itu, pertarungan lain berlangsung sengit antara 
Pendekar Golok Kembar dan Penjagal Alam Akherat yang

lainnya, tampak berlangsung se-ngit. Sepasang golok perak di 
tangan laki-laki brewok itu berkelebat cepat dan menyambar-
nyambar. Pe-mimpin Perguruan Golok Sakti itu benar-benar 
telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menun-
dukkan si orang berkerudung yang satunya lagi. 
"Hiaaat...!" 
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, ketua Perguruan 
Golok Sakti membentak keras sambil mengi-bas-ngibaskan 
gotoknya secara bersilangan. Kilatan-kilatan mata golok yang 
memantulkan sinar matahari sangat menyilaukan membuat si 
orang berkerudung terpaku untuk beberapa saat lamanya. Dan 
pada saat sepasang golok itu hampir membabat batang leher-
nya, si orang berkerudung menundukkan kepalanya. Tentu saja 
hal itu sangat mengejutkan hati Pendekar Golok Kembar. 
Karena sabetan sepasang goloknya yang luput itu, membuat 
tubuhnya kehilangan kese-imbangan. Namun hal itu bukan 
sesuatu yang me-nyulitkan baginya. Dengan sebuah gerakan 
yang indah laki-laki brewok itu mengayunkan kedua golok-nya 
ke bawah kuat-kuat. Sedetik kemudian tubuhnya meluncur dan 
berputar mejauhi lawannya. 
Tapi begitu kedua kakinya mendarat ringan, tahu-tahu saja 
sepasang tangan lawan telah mengancam lambung dan 
pelipisnya. Cepat ia memutar tubuhnya hingga serangan itu 
mengenai tempat kosong. Secepat ia mengelak, secepat itu 
pula ia melempar tubuhnya ke belakang sambil melepaskan dua 
buah tendangan kilat yang mengarah dada si orang 
berkerudung. 
Gerakan si orang berkerudung pun tidak kalah cepatnya. 
Begitu kedua kaki lawannya naik, ia pun bergegas menarik 
pulang kedua tangannya dan langsung melakukan tangkisan 
dengan pengerahan tenaga dalamnya yang terkenal sangat 
kuat itu. Maka....

Plakkk! Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Pendekar Golok Kembar memekik pelahan ketika sepasang 
tangan lawan menepiskan kakinya Tubuh pendekar itu 
terguling-guling menjauhi tempat lawan-nya berada. Setelah 
merasa agak jauh dari lawannya, laki-laki brewok itu pun 
melenting bangkit. Kedua kakinya yang masih terasa linu itu 
agak gemetar ketika ia gunakan untuk menahan berat 
tubuhnya. 
"Huh! Jangan merasa takabur dulu Keparat! Aku masih 
belum kalah!" Seru ketua Perguruan Golok Sakti geram. Seraya 
kembali melintangkan sepasang golok peraknya didepan dada 
dan siap melakukan serangan balasan. 
Si orang berkerudung melangkah tenang meng-hampiri 
lawannya. Sepasang matanya menatap tajam penuh hawa 
membunuh. 
"Heaaat..!" 
Dengan teriakan keras, tubuh Pendekar Golok Sakti melesat 
ke arah lawannya. Kedua golok kembar-nya menyambar ganas 
membentuk dua gulungan si-nar perak yang melindungi 
tubuhnya Sedetik kemu-dian salah satu mata goloknya 
menyembul dari balik gulungan sinar dan meluncur mengancam 
teng-gorokan lawan. 
Ketua Perguruan Golok Sakti sempat terkejut ketika melihat 
orang berkerudung itu sama sekali tidak menghindari 
serangannya. Sedetik kemudian meragu karena la tidak 
mengetahui apa maksud lawannya berbuat demikian. Hingga 
perbuatan lawannya itu sempat membuat konsentrasinya 
terganggu.

Memang itu yang diharapkan si orang berkeru-dung. Dengan 
terpecahnya konsentrasi lawan, maka serangannya pun 
menjadi berkurang kekuatan dan ketepatannya. Dan ketika 
mata golok itu hampir me-nyentuh kulit leher lawannya, tangan 
kiri Penjaga Alam Akherat bergerak secepat kilat melakukan 
tangkisan dari dalam keluar. Secepat tangan kirinya menangkis, 
secepat itu pula tangan kanannya ber-gerak menggedor dada 
lawannya yang terbuka lebar itu. 
Plakkk! Bukkk! 
"Uhhh...!" 
Pendekar Golok Kembar terpelanting disertai ke-luhannya 
yang lirih. Darah tampak mengalir dari se-la-sela bibirnya. 
Untunglah pada saat telapak tangan lawannya meluncur ke 
arah dada ia masih sempat untuk memirlngkan tubuhnya 
hingga hantaman itu tidak terlalu telak mengenainya. Kalau 
tidak, jangan harap ia sempat untuk bernapas lagi. 
Pada saat tubuh lawannya berputar limbung. Penjagal Alam 
Akherat melompat sambil mendorong-kan sepasang telapak 
tangannya. Rupanya ia berniat menghabisi nyawa ketua 
Perguruan Golok Sakti yang tengah tak berdaya itu. Sehingga 
pendekar itu hanya dapat memandang pasrah. 
Blarrr! 
"Aaargh...!" 
Suara benturan bagaikan hendak merobohkan ge-dung 
perguruan itu, yang diiringi teriakan ngeri mem-belah langit. 
Tubuh si orang berkerudung terpental balik dengan 
dahsyatnya. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tubuhnya 
terbanting di tanah dan menggelepar gelepar disertai suara 
erangan dari mu-lutnya. Sesaat kemudian tubuh Penjagal Alam 
Akhe-rat itu diam tak bergerak lagi. Si orang berkerudung itu

tewas seketika akibat benturan gelombang tenaga sakti yang 
maha dahsyat itu. 
Sementara itu, di tengah-tengah arena pertaru-ngan telah 
berdiri sesosok tubuh berjubah putih. Kabut bersinar putih 
keperakan berpendar mengeli-lingi tubuhnya hingga jarak dua 
tombak. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga 
Putih. Pemuda itu yang telah memapaki pukulan maut yang 
dilancarkan orang berkerudung itu. 
Sesaat setelah kehadiran pemuda itu, beberapa sosok tubuh 
lainnya berloncatan memasuki halaman perguruan itu. 
"Ki Palasana...!" Teriak seorang dari mereka yang bertubuh 
pendek berlari mendatangi Pendekar Golok Kembar. Orang 
yang tak lain dari Jarga Lawa itu telah mengenali Ketua 
Perguruan Golok Sakti. 
"Ahhh, Jarga Lawa, terima kasih atas kedatangan-mu yang 
benar-benar sangat kubutuhkan ini." sam-but Ketua Perguruan 
Golok Sakti yang ternyata ber-nama Ki Palasana. Keduanya 
berangkulan erat bagai dua orang sahabat yang sudah lama tak 
jumpa. 
*** 
TUJUH


Di tengah suasana gembira dua sahabat yang sudah lama 
tidak bertemu tiba-tiba dikejutkan oleh suara jerit melengking 
merobek langit. Suara jerit itu dibarengi dengan terlempamya 
sesosok tubuh yang menyemburkan darah segar dari mulutnya.

"Prawida...!" Teriak Ki Palasana tersentak dan ber-gegas 
melepaskan pelukkannya dari Jarga Lawa. Se-cepat kilat ketua 
Perguruan Golok Sakti memburu tubuh murid utamanya yang 
telah tergolek tak ber-nyawa di tanah. 
Rupanya pada saat yang hampir bersamaan dengan 
tewasnya salah seorang Penjagal Alam Akherat, Prawida 
bertarung mati-matian dalam keadaan ter-desak! Sehingga 
ketika pukulan lawannya meluncur ke arah bagian bawah 
perutnya, ia sudah tak dapat mengindari serangan lawan. 
Akibatnya pukulan si orang berkerudung yang sangat kuat itu 
bersarang te-pat dan menghancurkan bagian dalam perutnya. 
"Prawida...!" Guru Besar Perguruan Golok Sakti itu 
memanggil parau. Namun, murid utama yang sangat 
disayanginya itu telah tewas tanpa sempat mengetahui apa-apa 
lagi. 
Jarga Lawa yang sudah berada di sampingnya berusaha 
mencegah Ki Palasana yang sudah siap untuk mengadu nyawa 
dengan Penjagal Alam Akherat yang telah membunuh muridnya 
itu. 
"Sabarlah, Ki Palasana. Jangan memperturutkan emosi yang 
hanya akan membawa kerugian pada di-rimu. Mari kita hadapi 
iblis keparat itu bersama-sama," ujar Pendekar Tapak Maut, 
yang juga turut prihatin. 
Hari Ki Palasana sedikit terhibur mendengar nasihat 
sahabatnya itu. Karena apa yang diucapkan Jarga Lawa benar 
tidak dapat dibantah. Pendekar Golok Sakti menatap wajah 
sahabatnya lekat-lekat. 
"Terima kasih, Jarga Lawa. Kedatanganmu benar-benar 
sangat berarti bagi diriku," sahut Ki Palasana serak karena rasa 
haru yang menyesak dadanya.

"Kepung iblis berkerudung itu! Jangan biarkan dia lolos!" 
Jarga Lawa berteriak memerintahkan kawan-kawannya dan 
puluhan orang murid Perguruan Golok Sakti." 
Saat itu juga puluhan orang murid dan belasan tokoh 
perguruan lainnya serentak mengurung si Penjagal Alam 
Akherat. Sehingga orang berkerudung itu berada di dalam 
lingkaran yang dibuat oleh puluhan orang itu. 
Si orang berkerudung tampak gelisah. la menoleh ke kiri dan 
kanan mencari jalan untuk meloloskan diri. Sesaat kemudian 
tubuhnya melambung dan ber-niat menjebol barisan 
pengepung yang berada di se-belah kirinya. 
Sesosok tubuh bersinar putih keperakan menyam-but 
terjangan orang berkerudung itu dengan dorongan telapak 
tangannya. Penjagal Alam Akherat itu rupanya sadar bahwa 
tenaganya tidak dapat menandingi te-naga dalam Pendekar 
Naga Putih. Maka ia pun me-lempar tubuhnya ke samping dan 
mendarat kembali di tengah-tengah kurungan orang-orang. 
Sedangkan tubuh Panji juga mendarat ringan di tanah, dan 
Panji kembali menjejakkan kakinya menghampiri Pendekar 
Tapak Maut. 
"Paman, sebaiknya kita lepaskan orang berkeru-dung itu. 
Biar aku yang akan mengikutinya. Siapa tahu ada seorang 
tokoh yang tersembunyi di balik mereka," bisik Panji 
memberikan usul yang sudah berada di sampingnya. 
Sejenak terlihat sinar keraguan di mata Pendekar Tapak 
Maut. Biar bagaimanapun juga sebenarnya ia lebih suka kalau 
orang berkerudung itu dibunuh saja. Tapi ketika ia mendengar 
alasan yang dikemukakan pemuda itu, maka pendekar itu pun 
mengangguk me-nyetujui. 
'Terima kasih, Paman!" jawab Panji berseri.

Maka ketika Penjagal Alam Akherat itu kembali hendak 
meloloskan diri, Panji tidak mencoba untuk mencegahnya. 
"Awaaas...!" Jarga Lawa dan Ki Palasana berteriak serempak 
memperingatkan para pengepung untuk menghindari. Beberapa 
orang pengepung yang tak sempat menghindarkan diri, 
terpelanting tewas akibat hantaman telapak tangan orang 
berkerudung yang mengandung maut itu. Begitu kepungannya 
terbuka. Penjagal Alam Akherat itu langsung melarikan diri 
tanpa menoleh lagi ke belakang. Sehingga ia sama se-kali tidak 
sadar bahwa beberapa tombak di belakang-nya, tampak 
Pendekar Naga Putih membayanginya. 
*** 
Sepeninggal Panji, Jarga Lawa atau Pendekar Tapak Maut 
menghampiri mayat Penjagal Alam Akherat yang tewas di 
tangan Pendekar Naga Putih. Ki Palasana dan Salangi ikut 
mendampingi, begitu tiba Jarga Lawa membungkuk dan 
menyingkap kerudung yang selama ini menyembunyikan wajah 
Penjagal Alam Akherat itu. Ki Palasana dan Salangi menunggu 
tegang. 
"Ahhh...!" 
Tiga orang tokoh rimba persilatan itu tersentak mundur 
ketika menyaksikan wajah si orang berkerudung yang selama 
ini tersembunyi itu membelalak pu-cat bagaikan melihat hantu 
di siang bolong! 
"Ini... ini...," Salangi, laki-laki berusia empat puluh tahun itu 
tak sanggup meneruskan kata-katanya. Laki-laki gagah itu 
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah tak percaya apa 
yang dilihatnya.

"Gila! Benar juga apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih 
itu ada benarnya. Pastilah ada orang di belakang layar yang 
mengendalikan serta mempenga-ruhi mereka!" Seru ketua 
Perguruan Golok Sakti terdengar penuh kegeraman. 
Sementara Jarga Lawa hanya berdiri tercenung. Tak sepatah 
kata pun yang terucap dari bibirnya. Hanya wajahnya saja yang 
sebentar merah sebentar pucat menandakan bahwa hari 
pendekar itu tengah terguncang! 
Keributan di dekat mayat orang berkerudung itu 
mengundang perhatian yang lainnya. Beberapa orang tokoh 
persilaian lain bergegas mendatangi mayat ber-kerudung 
dengan wajah penasaran. 
"Guru...!" 
Tiba-tiba dua orang laki-laki yang mengenakan pa-kaian 
kuning gading menyeruak di antara kerumunan para tokoh itu. 
Keduanya serentak berlutut di sisi mayat si orang berkerudung 
itu. Rupanya si orang berkerudung itu adalah ketua perguruan 
mereka yang beberapa bulan lalu menghilang. 
"Guru... mengapa... mengapa... ahhh," laki-laki berpakaian 
kuning gading yang usianya lebih tua dari kawannya tak 
mampu untuk meneruskan kata-katanya. Ia benar-benar tidak 
mengerti mengapa guru yang mereka hormati itu sampai tega 
berbuat demi-kian. Hal itu yang membuat mereka tak sanggup 
untuk meneruskan kata-katanya. 
"Sudahlah, Suraga. Kita semua belum mengetahui apakah 
gurumu melakukan perbuatan-perbuatannya selama ini dengan 
kesadaran atau beliau dalam pengaruh suatu kekuatan yang 
tidak mampu untuk dilawannya, dan hal ini menjadi kewajiban 
kita untuk menyelidikinya," ujar Jarga Lawa menghibur sambil 
menepuk-nepuk bahu Suraga. Seolah dengan cara begitu ia


ingin memberikan tambahan kekuatan bagi Suraga menghadapi 
kenyataan pahit. 
"Benar, Suraga! Siapa tahu guru kami yang lenyap tanpa 
jejak itu termasuk kawan Penjagal Alam Akhe-rat yang kini 
masih hidup itu," sahut seorang laki-laki berpakaian merah hati. 
Di bagian dadanya tergambar kepalan tangan bersulam benang 
putih. Ia adalah salah seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti 
yang juga sedang mencari gurunya. 
"Demikian pula halnya dengan guru kami. Ia menghilang 
beberapa bulan yang lalu," tutur orang pendekar lain 
menimpali. 
"Hm.. Aku pun telah mendengar tentang hal itu. Tapi aku 
sama sekali tidak menduga kalau Penjagal Alam Akherat yang 
seorang ini adalah guru besar Suraga. Sebaiknya hal ini kita 
rundingkan dengan Pendekar Naga Putih nanti. Kita akan 
meminta kepada pendekar muda itu agar tidak segera 
membunuh Penjagal Alam Akherat lainnya. Sebab siapa tahu 
kalau para penjagal yang masih tersisa itu adalah guru kalian 
yang lenyap tanpa berita itu," ujar Jarga Lawa mengambil 
keputusan demi untuk menenangkan para tokoh-tokoh 
perguruan yang sekarang berkumpul di Perguruan Golok Sakti. 
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Jarga Lawa," ki 
Palasana ikut pula angkat bicara. Ia merupakan satu-satunya 
tokoh kelas atas di tempat itu, maka para tokoh dari beberapa 
perguruan itu pun mengangguk setuju. 
*** 
Dengan menggunakan ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin', 
Panji terus mengikuti si orang berkerudung. Ilmu lari cepat

yang dipergunakan Panji memang hebat sekali! Kedua kakinya 
bergerak cepat bagaikan tidak menyentuh permukaan tanah, 
sehingga si orang berkerudung yang memiliki kepandaian tinggi 
itu pula sampai tidak mendengar suara langkah kaki Panji si 
Pendekar Naga Putih itu. 
Penjagal Alam Akherat memperlambat larinya ketika ia 
hampir mencapai kaki bukit. Kedua kakinya berloncatan lincah 
menotol bebatuan yang menonjol di atas permukaan sebuah 
kali. Setelah melewati kali yang membujur di kaki bukit itu, si 
orang berke-rudung menghentikan langkahnya sejenak 
Ditolehkan kepalanya ke belakang guna memastikan bahwa 
diri-nya tidak diikuti lawan. 
Panji yang masih berada di seberang kali bergegas melompat 
ke atas pohon ketika ia melihat si orang berkerudung 
menghentikan tangkahnya. Untunglah gerakan yang dilakukan 
pemuda itu sangat cepat sehingga Penjagal Alam Akherat itu 
tidak keburu me-mergokinya. Setelah memastikan bahwa ia 
tidak di-ikuti, si orang berkerudung itu pun bergegas men-
dekati bukit di depannya. Tubuhnya yang tinggi besar itu 
berlompatan bagaikan seekor burung besar yang tengah 
bermain-main di angkasa luas. 
Selang beberapa waktu kemudian, si orang berkerudung itu 
pun tiba didepan sebuah bangunan tua yang di kelilingi tembok 
yang sudah mulai rusak di beberapa bagian. Tanpa 
memperhatikan keadaan di sekelilingnya lagi, ia pun bergegas 
memasuki halaman bangunan tua itu. Begitu mengetahui 
tempat tinggal Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu, Panji pun 
bergegas kembali melaporkan kepada Jarga Lawa. Kali ini ia 
mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari yang dimilikinya 
dengan maksud agar ia dapat tiba di Perguruan Golok Sakti 
secepat mungkin. Dalam waktu sekejap tubuh pemuda itu


berubah wujud menjadi bayangan samar-samar yang 
berkelebatan seperti hantu. 
Panji tiba di Perguruan Golok Sakti itu, disambut hangat oleh 
belasan orang tokoh dari berbagai perguruan. Kecemasan yang 
menyelimuti perasaan mereka lenyap seketika begitu mereka 
melihat Pendekar Naga Putih tiba dengan selamat. 
"Bagaimana, Nak Panji? Apa kau sudah menemu-kan tempat 
persembunyian iblis-iblis itu?" Tanya seorang tokoh Perguruan 
Kepalan Sakti tak sabar. 
"Sabarlah, Adi. Biar pemuda ini beristirahat dulu," ujar Jarga 
Lawa menengahi. "Mari kita bicara di da-lam saja," ajak 
pendekar itu sambil menggamit tangan pemuda itu dan 
dibawanya masuk ke dalam pendopo Perguruan Golok Sakti. 
"Ada apa ini, Paman? Mengapa mereka tampak cemas? 
Apakah ada sesuatu yang terjadi sepening-galku tadi?" Tanya 
Panji sambil mengikuti Jarga Lawa. 
"Nantilah aku ceritakan!" Sahut Pendekar Tapak Maut cepat. 
Dengan ditemani Ki Palasana, Salangi, Suraga dan beberapa 
orang tokoh lainnya, Jarga Lawa mencerita-kan apa-apa yang 
telah terjadi di tempat itu. 
Wajah Panji yang dingin dan kaku itu sama sekali tidak 
menunjukkan reaksi ketika mendengar cerita Jarga Lawa. 
Meskipun semua yang diceritakan pendekar itu tak luput dari 
pendengarannya. 
"Oleh karena itu, maka kami bersepakat meminta 
bantuanmu untuk melumpuhkan Penjagal-Penjagal Alam 
Akherat yang masih ada tanpa membunuhnya. Kami khawatir di 
antara para penjagal yang masih ada itu adalah salah seorang 
dari ketua-ketua perguruan yang lenyap," ujar Jarga Lawa 
mengakhiri ceritanya dalam nada penuh harapan.

"Jadi, orang berkerudung yang kubunuh itu adalah salah 
seorang ketua perguruan yang menyamar itu?" Tanya Panji 
penasaran. 
"Ya, begitulah. Tapi yang kami khawatirkan adalah ada 
orang di belakang layar yang mengendahkan atau 
mempengaruhi mereka, seperti dugaanmu itu," jawab Pendekar 
Tapak Maut itu. 
'Tapi... Rasanya sulit sekali untuk melumpuhkan orang 
berkerudung itu tanpa harus melukainya. Se-bab kepandaian 
yang dimilikinya boleh dibilang jarang terdapat di dunia 
persilatan pada masa kini. Tapi, akan kucoba 
mengusahakannya, Paman," janji Panji meskipun ia sendiri 
merasa ragu bisa melakukan itu. Namun, untuk tidak membuat 
hati para tokoh pendekar itu resah, Panji terpaksa 
menyanggupinya. 
"Nah, sekarang kita harus segera berangkat! Sebagai kepala 
rombongan ini, kurasa Ki Palasana-lah orang yang tepat. Selain 
ia lebih berpengalaman, Ki Palasana merupakan orang yang 
paling tua di antara kita. Bagaimana?" usul Jarga Lawa. 
Tanpa ragu-ragu lagi, belasan tokoh pendekar dari beberapa 
perguruan silat mengangguk setuju. Mereka percaya apa yang 
dikatakan Pendekar Tapak Maut, karena mereka sudah 
mengenai siapa itu Ki Palasana yang dijuluki Pendekar Golok 
Kembar. Setelah semua tokoh menyetujui, maka mereka pun 
membuat beberapa rencana. Hari itu juga rombongan yang 
terdiri dari dua puluh orang tokoh persilatan segera berang-kat 
menuju tempat persembunyian Penjagal Alam Akherat. 
***

Di bawah siraman cahaya matahari siang itu, dua puluh 
orang tokoh persilatan pimpinan Pendekar Golok Kembar 
tampak tengah mendaki bukit tempat kediaman Penjagal-
Penjagal Alam Akherat. Para tokoh rimba persilatan itu berjalan 
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar 
kedatangan mereka tidak segera diketahuinya. Wajah-wajah 
mereka tampak diliputi tegang! Karena mereka sadar bahwa 
dengan memasuki tempat itu, sama saja memasuki sa-rang 
harimau. Taruhannya adalah nyawa! 
Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tiba di sekitar 
tanah lapang yang merupakan puncak bukit ini. Dua puluh 
orang tokoh itu bergegas merapatkan tubuhnya ke pepohonan 
yang banyak tumbuh di se-kitar tempat ini. Didepan mereka 
tampak sebuah bangunan tua berdiri angker! 
"Biar, aku yang akan menyelidikinya sebentar," ujar Panji 
melihat puluhan orang tokoh itu tampak ragu-ragu. Begitu 
ucapannya selesai tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan 
mereka. Mau tidak mau para tokoh itu menggelengkan kepala 
melihat kepan-daian ilmu silat yang dimiliki pemuda tampan itu. 
"Luar biasa! Pemuda itu tak ubahnya seperti orang yang 
pandai menghilang saja!" gumam salah seorang tokoh yang 
merasa kagum melihat kecepatan gerakan Panji. 
Tidak lama kemudian, terlihat pendekar muda yang mereka 
bicarakan itu tampak memberikan isya-rat bahwa keadaan 
didepan mereka aman. Cepat Pen-dekar Golok Kembar 
menggerakkan tangannya agar para tokoh memecah menjadi 
dua kelompok. Mereka segera bergerak mendekati bangunan 
tua itu dari arah samping. Jarga Lawa memimpin delapan orang 
tokoh melewati samping sebelah kiri. Ki Palasana dan sem-bilan 
orang tokoh lainnya mendekati bangunan dari samping kanan. 
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang masuk duluan melalui 
depan bangunan, bergerak cepat menotok dua orang penjaga

gerbang. Dua orang penjaga itu melorot jatuh sebelum sempat 
berteriak. Dengan kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata, 
pemuda itu melesat menuju samping gedung. Ia me-ngerutkan 
keningnya ketika pada bagian samping ka-nan gedung itu ia 
melihat empat sosok tubuh meng-geletak berlumuran darah. 
"Hm... rupanya Ki Palasana sudah masuk ke dalam," gumam 
Panji pelahan. Secepat kilat Panji menjejakkan kakinya ke atas 
bangunan ketika ia mendengar suara pertempuran yang berasal 
dari bagian samping kiri bangunan. Di tempat itu terlihat 
rombongan yang dipimpin Jarga Lawa tengah berta-rung 
melawan enam orang penjaga yang rupanya memergoki 
rombongan Pendekar Tapak Maut itu. 
'Terlihat Paman Jarga Lawa tidak mengalami ke-sulitan, 
dalam menghadapi enam orang penjaga ber-sama-sama 
kawan-kawannya," kata Panji dalam hati, melihat akan hal itu ia 
berniat meninggalkan tempat pertempuran. Tapi matanya 
tertumbuk delapan orang penjaga lainnya yang berlari 
menghampiri arena per-tarungan. Hingga langkah kakinya 
tertahan. Jarga Lawa dan Suraga melompat menghadang 
kedelapan orang penjaga yang mendatangi tempat itu. Kedua 
orang pendekar itu segera menerjang lawan-lawannya cepat 
dan ganas. Karena keduanya ingin cepat-cepat menyelesaikan 
sebelum diketahui oleh penjaga-pen-jaga lainnya. Namun Jarga 
Lawa dan Suraga terkejut mendapat perlawanan sengit. 
Delapan orang penjaga yang baru datang itu temyata lebih 
hebat dari enam orang sebelumnya. Hingga dalam lima jurus 
mereka menerjang tapi senjata-senjata mereka belum juga 
dapat melukai tubuh lawan-lawannya. Tentu saja hal itu 
membuat mereka cemas! 
Delapan orang penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian 
cukup tinggi terus mendesak Jarga Lawa dan Suraga yang 
menjadi lawan mereka. Sinar-sinar pedang mereka

berkelebatan mencari sasaran, sehingga Jarga Lawa dan 
Suraga kewalahan dibuatnya. Cepat keduanya melompat 
kebelakang guna memper-siapkan serangan berikutnya. 
"Hiaaa...!" 
Disertai teriakan yang nyaring, tubuh Jarga Lawa dan Suraga 
melayang ke arah delapan orang lawannya. Senjata Suraga 
menderu membentuk gulungan-gulungan cahaya yang 
menyilaukan mata. 
Traaang! 
Brettt! Brettt! 
"Aaakh...!" 
Dua di antara delapan orang penjaga itu terguling mandi 
darah. Tebasan golok Suraga meskipun ber-hasil drtangkis 
lawannya. Tapi ia masih bisa menem-bus dan membabat tubuh 
dua orang lawannya berkat kelihaiannya. Hingga tewas! 
Desss! Desss! 
"Aaargh...!" 
Kembali terdengar dua jeritan kematian yang me-robek 
udara, disusul terlempamya dua orang penjaga lainnya. Tubuh 
kedua orang itu terbanting keras di tanah. Darah segar 
menyembur dari mulut mereka hingga dua orang itu 
menghembuskan napas terakhir. Pada bagian dada mereka 
tampak memerah akibat hantaman telapak tangan Jarga Lawa 
yang amat kuat itu. 
"Keparat!" 
Salah seorang penjaga yang berwajah kehltaman 
menggeram marah, ia meluncur cepat ke arah dua orang 
pendekar itu.

Jarga Lawa dan Suraga melompat menghindari se-rangan 
yang berbahaya itu. Pada saat senjata lawan lewat di 
sampingnya, Jarga Lawa melepaskan sebuah tendangan kilat 
yang meluncur deras ke lambung lawannya. Si penjaga itu 
rupanya cukup cerdik. Secepat itu juga, senjatanya memutar 
dan menebas kaki Pendekar Tapak Maut Cepat Jarga Lawa 
menarik pulang tendangannya. Sambil melompat berputar, 
pendekar itu melakukan sebuah tendangan ke pelipis si penjaga 
berwajah kehitaman itu. Dan.... 
Blakkk! 
"Aduhhh!" 
Penjaga itu menjerit kesakitan ketika tumit Pendekar Tapak 
Maut tepat menghantam pelipisnya. Tubuh orang itu melintir 
bagaikan sebuah gasing. Sesaat kemudian, ia pun ambruk dan 
tak mampu bangkit lagi karena tengkorak kepalanya telah retak 
akibat tendangan maut yang dilakukan Jarga Lawa. 
Kini tinggal tiga orang penjaga lagi yang masih tersisa, dan 
berniat melarikan diri dari tempat itu. Na-mun, wajah mereka 
mendadak pucat ketika didepan mereka berjajar tujuh orang 
pendekar dengan tatapan penuh ancaman. Rupanya para 
kawanan pendekar itu telah pula menghabisi keenam orang 
musuhnya. 
Panji yang merasa bahwa Jarga Lawa dan yang lainnya tidak 
membutuhkan bantuan, bergegas meninggalkan arena 
pertarungan. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat di atas atap 
bangunan itu. la berniat untuk mencari orang berkerudung 
yang sampai saat ini belum juga muncul. 
"Aaakh...!" 
Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang mem-belah udara. 
Parqi mendengar suara teriakan mem-percepat larinya dan

mencari dari mana asal suara teriakan itu. Alangkah terkejutnya 
Pendekar Naga Putih ketika melihat rombongan yang dipimpin 
Ki Palasana tengah bertarung sengit melawan orang 
berkerudung yang dicari-carinya. Tanpa membuang-buang 
waktu lagi, tubuh Pariji meluncur dari atas atap dan lang-sung 
menerjunkan dirinya ke dalam kancah pertaru-ngan. 
*** 
DELAPAN


Dukkk! 
"Uhhh...!" 
Terdengar suara benturan keras ketika Panji menangkis 
pukulan orang berkerudung yang meng-ancam salah seorang 
anggota rombongan Ki Palasana. Penjagal Alam Akherat itu 
mengeluh dan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah 
kebelakang. Si orang berkerudung menggigil sesaat menahan 
hawa dingin yang masuk ke dalam tubuhnya. 
"Grhhh...!" 
Penjagal Alam Akherat itu menggeram marah ketika melihat 
kemunculan pemuda berpakaian serba putih itu. Selintas 
terlihat kegentaran yang terpancar dari matanya. Sedetik 
kemudian rasa gentar sudah berubah menjadi beringas! 
"Nak Panji, dalam melumpuhkannya hati-hati tan-pa harus 
membunuh. Siapa tahu orang berkerudung itu adalah salah 
satu dari ketua perkumpulan yang hilang," bisik Ki Paiasana 
mengingatkan pemuda itu akan janjinya.

"Akan kucoba, Ki!" sahut Panji cepat menenang-kan hati 
ketua Perguruan Golok Sakti dan yang lainnya. 
"Hm!" 
Sambil mendengus gusar, tubuh si Penjagal Alam Akherat 
melayang ke arah Panji dengan tangan ter-kembang, deru 
angin mengiringi serangannya. Rupa-nya dalam kemarahannya 
orang berkerudung itu me-ngerahkan seluruh kekuatan 
tenaganya untuk meng-hadapi Pendekar Naga Putih yang 
diketahui kepan-daiannya. Untunglah Panji cepat menguasai 
dirinya agar kekuatan tenaga sakti liar yang meronta-ronta di 
dalam tubuhnya terkendalikan. Lapisan kabut bersi-nar putih 
keperakan berpendar di sekeliling tubuh-nya. Beberapa orang 
pendekar segera menyingkir dari tempat itu ketika merasakan 
hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka. 
"Gila! Kekuatan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu 
rasanya mustahil mengingat usianya yang masih demikian 
muda?!" Gumam Salangi, seolah tak percaya apa yang 
disaksikannya. Panji berkelebat di antara sambaran pukulan-
pukulan maut lawannya. Sampai saat itu ia masih dapat 
menguasai alam pikirannya sehingga ia tidak sampai 
melepaskan pukulan-puku-lan pembawa maut bagi si orang 
berkerudung itu. Ia hanya mengandalkan ilmu meringankan 
tubuhnya guna menghindari serangan Penjagal Alam Akherat 
itu. 
Sambil terus menghindari, sesekali Panji mem-balas 
serangan lawan. Serangan balasannya itu di-maksudkan hanya 
untuk meredam pukulan-pukulan maut lawan agar tidak sampai 
terdesak. Pemuda itu masih tetap lebih banyak menghindar, 
guna mencari kelemahan lawan. 
"Hiaaat'" 
Wuttt! Wuttt!

Dua buah pukulan yang memperdengarkan suara mencicit 
tajam lewat di sisi kepala Panji. Ketika pemuda itu memiringkan 
kepalanya menghindari puku-lan itu. Pada saat itu juga, 
tangannya bergerak me-lakukan beberapa kali totokan kilat. 
Namun, alangkah terkejutnya Panji ketika melihat lawannya 
sama sekali tidak berusaha untuk menghindarkan totokannya 
itu. Pendekar Naga Putih terpaksa menarik pulang toto-kan 
kilatnya. Tentu saja Panji menjadi geram melihat kelicikan 
lawan. Dan posisi Panji kini menjadi lebih sulit, karena setiap 
kali ia melakukan totokan, si orang berkerudung sama sekali 
tidak berusaha mengelak. Malah ia sengaja membarenginya 
dengan pukulan yang mematikan! Sehingga dalam jurus-jurus 
berikutnya, Panji dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan yang 
dilancarkan lawannya. Si orang ber-kerudung kini tidak merasa 
kuatir dengan serangan-serangan pemuda itu yang 
dianggapnya tidak mem-bahayakan keselamatannya. Karena si 
orang berkeru-dung sudah membaca maksud yang tersembunyi 
di balik pikiran pemuda itu. 
"Keparat licik!" Maki Panji gusar, karena ia benar-benar 
dibuat tidak berdaya oleh si orang berkerudung. 
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, sebuah pukulan si 
orang berkerudung tak dapat lagi dihindari Panji. Pukulan yang 
didorong tenaga yang amat kuat itu menghantam dada Panji. 
Bukkk! 
"Ahhh...!?" 
Apa yang terjadi?! Para tokoh persilatan yang me-nyaksikan 
pertarungan itu terbelalak! Para tokoh per-silatan itu 
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak percaya dengan 
apa yang disaksikannya itu! 
Aneh! Pukulan si orang berkerudung luput menghantam 
dada Panji. Lapisan kabut yang melindungi tubuh Panji

berpendar menyilaukan mata! Disertai jeritan kengerian, tubuh 
si orang berkerudung terpen-tal dan menghantam sebuah 
tembok yang berada di belakangnya. Tembok batu yang kokoh 
itu hancur be-rantakan hingga menimbulkan suara ribut! 
Ki Palasana dan para tokoh yang lainnya begitu tersadar dari 
keterkejutannya langsung berlari mem-buru ke arah si orang 
berkerudung. Wajah mereka memucat ketika melihat tubuh si 
orang berkerudung yang tergeletak tak berdaya itu tampak di 
kelilingi oleh kabut yang bersinar putih keperakan seperti kabut 
yang selalu menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih. Tubuh 
Penjagal Alam Akherat itu mengejang kaku bagaikan mayat 
yang dibekukan di dalam gum-palan es! 
"Gila! Padahal kekuatan tenaga dalam orang ber-kerudung 
ini sudah tak ada yang menandingi. Tapi ternyata kekuatannya 
itu tak berarti banyak bagi pemuda itu! Entah kekuatan apa 
yang dimiliki pemuda itu hingga sampai sedemikian 
dahsyatnya!" gumam Ki Palasana tak habis mengerri dengan 
keja-dian yang disaksikannya itu. 
Jangankan orang lain. Sedangkan Panji sendiri sampai 
terkejut ketika menyaksikan kejadian yang dialaminya itu. 
Pemuda itu memang merasakan suatu kekuatan raksasa 
bergolak di dalam tubuhnya. Dan kekuatan raksasa itu 
membobol keluar ketika puku-lan Penjagal Alam Akherat 
menghantam dadanya. Pemuda itu baru menyadari betapa 
dahsyatnya kekuatan tenaga sakti liar yang tersembunyi di 
dalam tubuhnya. Dan hal itu membuatnya semakin me-nyadari 
betapa berbahayanya. Kemudian Panji meng-hampiri Ki Pala-
sana. 
"Maafkan aku, Paman. Aku... Aku sama sekali tidak 
bermaksud membunuhnya." Ujar Panji ketika ia sudah berada 
di samping Pendekar Golok Kembar yang tengah 
memperhatikan mayat orang berkeru-dung itu.

Ki Palasana mengangguk lemah. la pun mengetahui bahwa 
kejadian itu memang bukan kehendak Pendekar Naga Putih. 
Ketua Perguruan Golok Sakti itu berdiri dan menepuk-nepuk 
bahu Panji pelahan agar pemuda itu tidak terlalu merasa telah 
berbuat ke-salahan. 
"Benar, Nak Panji. Meskipun mayat orang berkerudung ini 
adalah ketua perguruan kami, namun kami sama sekali tidak 
menyalahkanmu. Karena kami tahu bahwa engkau sudah 
berusaha untuk tidak membunuhnya. Jadi janganlah engkau 
merasa ber-salah atas kematiannya," selak laki-laki gagah ber-
pakaian merah hari dari Perguruan Kepalan Sakti kepada 
pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat Panji menjadi lega, 
karena orang berkerudung yang menjadi mayat itu adalah 
Ketua Perguruan Kepalan Sakti itu. 
"Terima kasih, Kisanak. Ucapanmu itu benar-benar telah 
membuatku menjadi lega," sahut Panji, ter-senyum 
menyeringai dengan rasa nyeri pada dirinya. 
"Hm... entah apa yang tengah diderita pemuda ini. 
Tampaknya ia begitu tertekan sekali," kata Ki Pala-sana dalam 
hati melihat senyum yang aneh di wajah pemuda yang 
dikaguminya itu. Sebagai seorang pen-dekar yang telah 
memiliki pengalaman yang luas, pendekar itu dapat mengetahui 
bahwa anak muda yang dikaguminya itu tengah mengalami 
suatu teka-nan batin yang cukup hebat. 
"Setan belang! Siapa pula yang telah berani mati membuat 
keonaran ditempatku ini?" Tiba-tiba terdengar bentakan yang 
menggeledek. Dan belum suara gema itu lenyap. Sesosok 
tubuh kurus telah melayang turun. 
Panji dan para tokoh persilatan yang berada di tempat itu 
terkejut di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh tinggi kurus 
yang berambut panjang. Orang itu berdiri dalam jarak lima

tombak. Sinar matanya liar menyapu wajah para tokoh 
persilatan yang berada di hadapannya itu. 
Sesaat orang tinggi kurus itu termangu ketika me-lihat sosok 
tubuh berpakaian hitam yang telah men-jadi mayat itu. 
Sepasang matanya bergerak menye-lidik seolah ia ingin 
mencari siapa gerangan yang telah membunuh orang 
berpakaian hitam itu. 
Sebelum orang tinggi kurus yang menyeramkan itu 
membuka suaranya, tiba-tiba beberapa sosok tu-buh melayang 
dan mendarat ringan di dekat Panji dan yang lainnya. Mereka 
tidak lain adalah Jarga Lawa, Suraga dan para tokoh lainnya 
yang telah selesai membunuh para penjaga. 
"Ke mana yang lainnya, Jarga?" Tanya Ki Palasana ketika 
melihat kedatangan Jarga Lawa yang hanya di-iringi enam 
orang itu. 
"Mereka telah tewas, Ki," sahut Jarga Lawa lesu. Setelah 
berkata demikian, pendekar itu menolehkan wajahnya ke arah 
laki-laki tinggi kurus yang kebe-tulan saat itu juga menatap 
tajam ke arahnya. Sesaat kening pendekar itu berkerut seolah 
sedang meng-ingat-ingat sesuatu. 
"Ki Kalianjar...!?" Gumam Pendekar Tapak Maut agak 
terkejut. 
"Kau mengenai kakek tinggi kurus itu, Paman?" Tanya Panji 
yang mendengar gumam Jarga Lawa ingin tahu. 
"He he he... rupanya kau masih ingat kepadaku, Jarga 
Lawa," ujar kakek tinggi kuais itu sambil mem-permainkan 
jenggotnya yang panjang dan berwarna putih itu. 
"Dia adalah kakak seperguruan guruku yang telah 
menyeleweng dari perguruan. Dia telah diusir oleh kakek 
guruku sepuluh tahun yang lalu karena tertang-kap basah

ketika hendak menodai istri guruku. Entah apa keperluannya ia 
muncul di tempat ini?" Tutur Jarga Lawa dengan suara rendah. 
"Sepertinya dialah orang di belakang layar yang tengah 
mempengaruhi ketua-ketua perguruan dan membentuknya 
menjadi Penjagat-Penjagal Alam A-kherat. Mungkin tujuannya 
adalah untuk membalas sakit hatinya itu," jelas Panji menduga-
duga. 
"He he he... Tidak salah apa yang kau katakan itu, Anak 
Muda. Memang aku yang telah melakukan pen-culikan-
penculikan terhadap beberapa ketua pergu-ruan di daerah 
Selatan ini pada beberapa bulan yang lalu. Kemudian kuberi 
minuman sejenis ramuan kepada mereka hingga mereka tak 
ubahnya sesosok mayat hidup yang selalu mematuhi 
perintahku. Lalu aku perintahkan kepada mereka untuk 
membunuh siapa saja yang mereka jumpai terutama 
membinasa-kan seluruh perguruan yang ada di daerah Selatan 
ini." Tutur kakek itu terkekeh gembira karena usaha-nya telah 
berhasil dengan baik. 
"Keparat! Kau sembunyikan di mana guruku seka-rang?" 
Teriak Pendekar Tapak Maut menggeram marah ketika 
mendengar pengakuan Ki Kalianjar. la benar-benar tidak 
menduga sama sekali bahwa biang keladi dari bencana yang 
terjadi selama ini adalah eyang gurunya yang sesat itu. 
"He he he... dia hanya tinggal menunggu kemati-annya saja 
karena telah dilukai oleh seorang yang berkepandaian lebih 
tinggi darinya," sahut kakek tua yang bernama Ki Kalianjar itu 
terkekeh. 
"Tapi mengapa para Penjagal Alam Akherat yang kau 
perintah itu tidak mempergunakan ilmu aslinya?" Desak Ki 
Palasana penasaran.

"Tentu saja aku tidak sebodoh itu membiarkan mereka 
mempergunakan ilmunya sendiri. Kalau begitu caranya bisa 
berantakan rencanaku karena kalian tidak mungkin mau untuk 
menghadapi guru kalian sendiri. Karena itu aku sengaja 
memasukkan ke dalam tubuh mereka sejenis ramuan dari tum-
buhan yang dapat melipat gandakan kekuatan tenaga dalam 
mereka. Juga kulatih mereka dengan ilmu baru yang kuciptakan 
selama sepuluh tahun. Dengan de-mikian, maka rencanaku pun 
berjalan mulus. He he he...!" Kakek itu membuka rahasia yang 
selama ini disimpannya, karena ia begitu yakin para tokoh per-
silatan itu tidak akan berumur panjang. 
"Keparat kau manusia sesat! Terimalah pembala-sanku! 
Hiaaat..!" Sambil berteriak keras, Jarga Lawa melompat dan 
menerjang dengan menggunakan ilmu andalannya. 
"He he he. Kau ingin memamerkan ilmu 'Tapak Pembeku 
Darah' itu kepadaku, Jarga Lawa. Nah, kau lihat baik-baik 
bahwa ilmu andalanmu itu tak lebih dari sekadar permainan 
anak-anak," seru Ki Kalianjar mengejek sambil menggeser kaki 
kanannya hingga hantaman telapak tangan Jarga Lawa 
mengenai tempat kosong. Begitu pula dengan dua buah 
serangan lainnya. Kedua serangan itu pun dapat dielakkannya 
dengan mudah. Tentu saja hal itu membuat Jarga Lawa 
penasaran. Dengan mengempos semangatnya pendekar itu 
kembali menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga 
dalamnya. 
"Hm!" 
Sambil mendengus gusar, Ki KaBanjar mengang-kat 
lengannya memapak pukulan telapak tangan yang dilancarkan 
Jarga Lawa. Dan.... 
Plakkk! Plakkk! Desss! 
"Hukkk...!"

Tubuh Jarga Lawa terlempar mundur akibat tang-kisan yang 
luar biasa kuatnya. Sebelum ia sempat bertindak, tahu-tahu 
saja kepalan lawan telah ber-sarang di perutnya. Pendekar 
Tapak Maut terlempar keras. Darah segar menyembur dari 
mulutnya. Untunglah pada saat itu Panji melompat dan 
menang-kap tubuh pendekar itu. Kalau tidak, tubuh pendekar 
itu past akan membentur tembok di belakangnya. 
"Berisrirahatlah, Paman. Biar aku yang akan men-coba untuk 
menghadapi kakek itu," ujar Pendekar Naga Putih sambil 
menyerahkan tubuh Pendekar Tapak Maut kepada tokoh yang 
lainnya. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar muda itu 
melompat ke-hadapan Ki KaBanjar. 
"Siapa kau, Anak Muda? Rasanya aku belum per-nah 
mengenalmu?" Tanya kakek itu sambil menatap seluruh tubuh 
Panji penuh selidik. Tiba-tiba sepasang mata kakek itu 
tertumbuk pada gagang pedang yang melingkar di pinggang 
pemuda itu. "Hm... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih, Anak Muda?" 
"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih yang akan mengakhiri 
segala kejahatanmu, Kakek lblis!" Jawab Panji yang membuat 
sepasang mata kakek itu terbe-lalak. 
"He he he... Orang lain boleh takut mendengar nama 
julukanmu, Pendekar Naga Putih. Tapi kali ini aku akan 
membuatmu jatuh berlutut dan mencium telapak kakiku," ujar 
Ki KaBanjar bersumbar. 
"Hm... kalau begitu bersiaplah, Kakek Tua!" Seru Panji 
memperingatkan. Darah Panji mendidih di be-naknya terbayang 
mayat-mayat penduduk desa yang ditemuinya dl dalam 
perjalanan. "Orang seperti kakek ini tidak pantas untuk 
dibiarkan hidup lebih lama. Karena la hanya akan menimbulkan 
bencana di muka bumi Ini," kata Panji daiam hati.

Tenaga sakti yang mengendap di dalam tubuh pe-muda itu 
seketika bergolak. Ia menarik napas dalam-dalam seraya 
menggerakkan tangan membentuk ca-kar naga. Sesaat 
kemudian, tubuh pemuda itu pun meluncur ke arah lawan. 
Kedua tangannya menyam-bar-nyambar laksana seekor naga 
yang sedang mur-ka! 
Sadar bahwa ia berhadapan dengan Pendekar Naga Putih 
yang terkenal itu, Ki Kalianjar segera menge-luarkan ilmu 
andalannya. Sesaat kemudian tubuh kakek itu berputar cepat 
bagaikan baling-baling, se-hingga tubuhnya hanya merupakan 
bayang-bayang samar yang meluncur ke tubuh lawan. Sesekali 
jari-jari tangannya muncul memapaki ke tubuh lawan. Sesekali 
jari-jari tangannya muncul secara tak ter-duga, siap 
mengancam tubuh lawannya. Begitu baya-ngan kakek itu 
hampir di dekat Panji, tiba-tiba saja bayangan tubuh orang itu 
terpecah menjadi tujuh bagian. Itu salah satu keistimewaan 
ilmunya yang bernama 'Tujuh Bayangan Iblis'. Namun, daya 
tang-kap sepasang mata Panji tentu tidak bisa disamakan 
dengan daya tangkap orang lain. Hingga di mata orang lain 
bayangan kakek itu tampak terpecah-pecah, tapi bagi Panji hal 
itu tidak berlaku. Oleh karena itu me-ngapa Panji dapat 
menghindari cengkeraman lawan-nya demikian mudah. 
Wuttt! Wuttt! 
Kembali dua kali cengkeraman kakek itu berhasil dielakkan 
Panji. Dan pemuda itu pun langsung mem-balasnya dengan 
tidak kalah cepat. Jari-jari tangan Panji yang membentuk cakar 
naga menyambar sece-pat kilat ke arah tenggorokan lawan. 
Wrrrt! 
"Hm!" 
Ki Kalianjar mendengus sambil memiringkan ke-palanya 
sehingga serangan pemuda itu menyambar angin. Sambil

memiringkan kepalanya, kakek itu me-lepaskan tendangan kilat 
ke lambung Panji. Namun dengan cepat tangan yang mencakar 
itu menepis tendangan Ki Kalianjar. 
Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Tubuh kedua orang sakti itu terpental mundur. Wajah Ki 
Kalianjar menyeringai menahan rasa sakit Tulang keringnya 
terhantam lengan Panji. Ia merasa-kan tulang kakinya seperti 
baru saja bertemu dengan gumpalan salju yang sekeras bagai 
baja. Kakek itu terlihat agak terpincang-pincang. 
"Uh, Bangsat Keparat! Rasakan pembalasanku!" Teriak Ki 
Kalianjar menggeram marah. Di tangannya telah tergenggam 
sebatang tongkat berkepala ular. 
"Hiaaat..!" 
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh si kakek melesat 
sambil memutar tongkatnya hingga menim-bulkan deru angin 
dahsyat. Debu, daun-daun kerihg dan batu kerikil beterbangan 
bagaikan dilanda angin topan yang hebat! 
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan dari 
jarak jauh, terpaksa berlari menghindari, karena batu-batu kecil 
yang beterbangan mengenai tubuh mereka. Hingga para tokoh 
persilatan terpaksa harus bersembunyi. 
"Mudah-mudahan saja Pendekar Naga Putih dapat mengatasi 
kakek iblis itu," desah Jarga Lawa yang ter-lihat cemas, melihat 
kepandaian yang dimiliki eyang gurunya yang sesat itu. Setelah 
menghilang sepuluh tahun. 
"Aku rasa pemuda itu mampu menundukkan si kakek itu," 
kata Ki Palasana yakin. Ia sudah melihat bagaimana Panji 
menghadapi Penjagal Alam Akherat yang akhirnya tewas begitu

pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Hal ini membuat 
pendekar itu merasa yakin. 
Saat itu pertarungan sudah memasuki pada jurus yang ke 
sembilan puluh tujuh. Tubuh Ki Kalianjar melesat ke arah Panji 
sambil mengayunkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur 
mengancam kepala Panji. Panji merendahkan tubuhnya sedikit 
dalam menghadapi sambaran tongkat lawan. Dan secepat kilat 
tangan kanannya meluncur menghantam tepat di tengah-
tengah tongkat itu. 
Wuuut! Krakkk! 
"Aaakh...!" 
Ki Kalianjar menjerit kaget! Tubuhnya terjajar mundur 
beberapa langkah. Dari sela-sela bibirnya tampak menetes 
darah segar. Sedangkan tongkat kepala ularnya telah patah 
menjadi dua bagian. Wajah kakek itu pucat bagaikan tak dialiri 
darah. Ia sama sekali tidak menyangka kecepatan Panji 
melebihi kecepatan geraknya sendiri. Dan hal itu benar-benar di 
luar perhitungannya! 
"Keparaaat!" Geram Ki Kalianjar sambil menyeka darah yang 
menetes dari sela-seta bibirnya. Tangkisan pemuda itu rupanya 
juga telah membuat dadanya sesak. Kedua tangannya cepat 
melakukan gerakan untuk mengusir hawa dingin yang merasuk 
ke tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali meluncur 
sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya. 
"Yeaaat..!" 
Angin keras menderu menyertai dorongan sepasang telapak 
tangan kakek sakti itu. Rupanya kali ini ia benar-benar hendak 
mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih. 
"Hiaaat..!"

Melihat lawannya melompat sambil mendorongkan sepasang 
telapak tangannya, Panji pun berseru keras. Detik itu juga 
tubuhnya meluncur dengan dorongan telapak tangannya. Kabut 
bersinar putih keperakan berpendar disertai hawa dingin yang 
menusuk tulang. 
Beberapa orang pendekar yang tenaga dalamnya kurang 
kuat, jatuh melorot ketika mendengar teriakan Panji yang 
melebihi ledakan guntur. Sedang yang lainnya cepat 
mengerahkan tenaga batin guna melin-dungi dada mereka agar 
tidak terguncang. 
Blarrr! 
"Aaa...!" 
Luar biasa! Benturan dua gelombang tenaga sakti yang 
dahsyat telah menggetarkan bangunan tua di sekitarnya. 
Beberapa bagian runtuh karena pengaruh getaran yang 
ditimbulkan benturan itu. 
Tubuh Ki Kalianjar melayang bagaikan sehelai daun kering 
yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu terus meluncur 
menabrak dinding bangunan hingga jebol! Darah segar seketika 
muncrat dari mulut kakek tua itu. Setelah menjebol dinding, 
tubuh orang tua itu pun jatuh berdebuk di atas runtuhan 
tembok itu. Darah terus mengalir menggenang di bagian 
kepalanya karena pembuluh darah kepala orang tua itu telah 
pecah akibat benturan yang sangat dahsyat itu! Ki Kalianjar 
tewas seketika itu juga. 
Sedangkan Panji masih jungkir balik di udara. Guna 
mematahkan akibat benturan yang hebat itu. Pemuda itu 
benar-benar kagum akan kekuatan tenaga dalam kakek tua itu 
yang benar-benar hampir men-capai titik kesempurnaan. Panji 
mendarat ringan di tanah. Wajahnya tetap dingin dan kaku.

"Nak Panji! Kau tidak apa-apa?" Tanya Jarga Lawa setelah 
mendatangi pemuda itu. Wajah Jarga Lawa itu tampak cemas. 
Sepertinya ia mengkhawatirkan ke-adaan pemuda itu. 
"Terima kasih, Paman, aku tidak apa-apa," jawab Panji 
cepat. Setelah berkata demikian, Panji segera mohon pamit 
kepada Jarga Lawa, yang berjuluk Pen-dekar Tapak Maut itu. 
"Maaf, Paman, aku harus per-gi," pamit Panji. Tanpa menunggu 
jawaban Pendekar Tapak Maut, tubuh pemuda itu sudah 
melesat me-ninggalkan tempat itu. 
Jarga Lawa tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah 
kepergian Panji. Lalu ia menghampiri ka-wan-kawannya yang 
tengah berkerumun di dekat mayat Ki Kalianjar. 
Sang Matahari sudah naik semakin tinggi. Tak lama 
kemudian, kegelapan pun mulai nampak di per-mukaan bumi. 



                            SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar