Serial Pendekar Naga Putih
PENJAGAL ALAM AKHERAT
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli
Gambar sampul oleh Pro's
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Siang itu matahari bersinar terik. Sesosok tubuh ramping
berpakaian serba hijau bergerak menaiki le-reng gunung.
Rambutnya yang panjang hingga ke ba-hu tampak bergoyang
lembut mengiringi ayunan lang-kahnya.
Sosok tubuh ramping itu tidak lain adalah gadis bernama
Kenanga. Ia bergerak lincah melintasi lereng gunung yang
banyak terdapat batu-batu menonjol. Gadis jelita itu sama
sekali tidak menemui kesukaran walaupun di atas bahunya
terlihat sesosok tubuh berpakaian serba putih yang tergantung
lemah.
Wajah cantik bagai bidadari itu tampak pucat dan lelah.
Kecemasan atas keadaan Panji yang berada dalam
pondongannya, telah membuat gadis jelita itu tak
menghiraukan lagi akan dirinya.
Pendekar Naga Putih atau Panji belum lagi siuman dari
pingsannya. Padahal sudah hampir dua hari Kenanga
melakukan perjalanan. Namun, pemuda itu belum juga sadar.
Semenjak mereka meninggalkan Lembah Biru (Baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode: "Raja Iblis dari Utara").
Rasa cemas itu membuat Kenanga menempuh perjalanan
Jauh dan melelahkan tanpa mengeluh sedikit pun. Gadis itu
hampir tidak pemah berhenti dalam menempuh perjalanan
menuju tempat kedia-man Eyang Wiku Girting. Keadaan gadis
itu tak ubah-nya seorang gembel.
Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dan berbatu
terjal itu, Kenanga tiba didepan sebuah pon-dok sederhana di
sekitar puncak gunung itu.
"Eyang...!" panggil Kenanga lirih dan bergetar. Belum lagi ia
dapat menjangkau pintu pondok itu, ia pun terguling roboh.
Kenanga si bidadari jelita itu jatuh pingsan sebelum bertemu
dengan si penghuni pondok.
Bunyi suara berdebuk agak keras itu membuat seorang
kakek renta membuka pintu pondoknya. Alis kakek tua
bertubuh kurus itu berkerut ketika melihat dua sosok tubuh
tergeletak di depan pintu pondok-nya. Si kakek bergegas
menghampiri dan memeriksa kedua anak muda itu.
"Kasihan. Seorang gadis yang keras hati dan ta-bah!" Ucap
kakek itu menggeleng-gelengkan kepala-nya penuh kagum,
ketika ia memeriksa tubuh Kenanga. "Entah siapa pula pemuda
itu, sampai-sampai gadis itu rela mengenyampingkan
kesehatannya sen-diri!" Sesaat setelah memeriksa keadaan
Kenanga, lalu ia mengangkat tubuh gadis itu ke pondoknya.
Diba-ringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai yang ter-buat
dari bambu dan hanya beralaskan selembar tikar tua.
Begitu selesai merebahkan Kenanga, si kakek kembali keluar
untuk mengambil tubuh Panji. Si kakek membungkuk
memeriksa tubuh Panji yang ter-geletak pingsan.
"Eh!"
Bagai disengat kalajengking, si kakek terlonjak ke belakang.
la menyeringai menahan rasa sakit pada jari tangannya. "Aneh,
apa gerangan yang ada dalam tubuh pemuda tampan ini?
Totokan jari-jari tanganku seolah-olah amblas ke dasar
samudra yang amat dalam. Tenagaku membalik bagai
dilemparkan sebuah kekuatan yang hanya ada dalam dongeng.
Luar biasa! Aku tidak bisa menggunakan tenaga saktiku untuk
memeriksa tubuhnya!" Si kakek menggeleng-geleng-kan
kepalanya tak habis mengerti. Pelahan-lahan si kakek
mengangkat tubuh pemuda tampan. Karena sedikit saja ia
menggunakan tenaga saktinya, maka celakalah ia!
Si kakek membaringkan tubuh Panji di atas balai-balai
lainnya yang terletak lebih ke dalam. Hati-hati sekali si kakek
membaringkan tubuh pemuda itu. Da-hinya sedikit berkeringat
karena ketegangan yang menyelimuti hatinya. Hal itu wajar.
Kakek itu tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting yang dicari-cari
Ke-nanga. Sebagai seorang tokoh sakti yang berpengala-man,
ia pun tahu bahwa sedikit saja ia melakukan kesalahan, maka
bukan tidak mungkin nyawanya sendiri yang akan melayang.
"Heran, bagaimana mereka dapat sampai di tempat ini?
Kalau menurut pengamatanku, pemuda itu sudah tak sadarkan
diri selama satu hari lebih. Apa-kah gadis itu yang telah
membawanya? Lalu bagai-mana cara gadis itu membawanya?
Dan mengapa tidak terpengaruh oleh tenaga aneh yang
bergolak liar di dalam tubuh pemuda ini? Ahhh,
membingungkan!" Desah si kakek yang segera mengusir
pikiran-pikiran yang membuat kepalanya pusing.
Tanpa mempedulikan pikirannya yang memusing-kan itu, si
kakek bergegas memasak air untuk kedua tamunya, terutama
Kenanga. Ia tahu bahwa gadis itu baru saja jatuh pingsan
ketika tiba di pintu pondok-nya. Kemungkinan besar gadis jelita
itu pasti menge-tahui apa yang telah terjadi dengan pemuda
itu.
Beberapa saat kemudian si kakek membawa air masak yang
telah dicampur air dingin sebelumnya, sehingga menjadi
hangat. Dengan sehelai kain bersih, si kakek mengusap wajah
Kenanga yang kotor dan terlihat letih. Setelah membersihkan
wajahnya, si kakek mengurut pelahan bagian belakang
lehernya. Wajah keriput itu tersenyum ketika melihat Kenanga
mulai siuman.
"Ohhh...," terdengar keluhan lirih keluar dari bibir yang indah
itu. Eyang Wiku Ginting menghentikan pi-jatnya, kemudian ia
bangkit dan berjalan ke belakang.
Tidak lama sepeninggal Eyang Wiku Ginting, pe-lahan-lahan
Kenanga membuka matanya. Sejenak se-pasang mata bintang
itu mengerjap-ngerjap mem-biasakan penglihatannya. Ketika
gadis jelita itu men-coba bangkit, sekujur tubuhnya terasa nyeri
dan sa-kit. la baru merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit se-
telah di atas pembaringan.
"Jangan banyak bergerak dulu, Cucuku. Beristira-hatlah dan
tenangkan hatirnu, agar kesehatanmu cepat pulih," kata Eyang
Wiku Ginting yang telah ber-diri di sisi pembaringan Kenanga.
Di tangan kanan si kakek tampak sebuah gelas terbuat dari
batang bambu. Bau harum ramuan tercium dari asap yang
mengepul dari mulut gelas bambu.
"Kakek, engkaukah yang bernama Eyang Wiku Ginting?"
Tanya Kenanga dengan suaranya yang masih lemah.
"Benar, Cucuku. Aku adalah Eyang Wiku Ginting. Nah,
sekarang simpan pertanyaanmu dulu sampai kau benar-benar
sehat. Minum obat ini selagi masih hangat," jawab si kakek
lembut sambil mengangkat kepalanya hati-hati. Lalu ia
dekatkan gelas bambu ke mulut gadis itu.
Dengan tangan gemetar, Kenanga mencoba me-megang
gelas bambu yang disodorkan ke mulutnya. Pelahan-lahan ia
menghirup ramuan obat yang terasa pahit mencekik
tenggorokannya. Kenanga menyeringai menahan rasa pahit
yang amat sangat. Si kakek kem-bali menyerahkan gelas lain
sebagai penghilang rasa pahit. Cepat diteguknya air yang
disodorkan Eyang Wiku Ginting kepadanya.
"Nah, sekarang tidurlah dulu, Cucuku." Setelah itu baru nanti
engkau boleh menceritakan semua yang telah kau alami," ucap
si kakek bahagia. Kemudian si kakek pun bergegas
meninggalkannya.
Sementara itu di luar pondok, senja sudah mulai nampak
redup. Cahaya kemerahan tampak di kaki la-ngit sebelah Barat.
Sang mentari kembali ke peraduan meninggalkan cahaya
teriknya.
***
"Nah, sekarang ceritakan. Siapakah engkau sebe-narnya,
Cucuku? Dan apa yang telah terjadi pada ka-wanmu itu?"
Tanya Eyang Wiku Ginting pada keeso-kan harinya. Ketika
Kenanga mulai agak sehat Kedua-nya duduk berhadapan di
ruang tengah pondok se-derhana itu.
"Eyang, aku adalah Kenanga murid dari Raja Pe-dang
Pemutus Urat. Dan kedatangan aku kemari untuk minta
pertolongan Eyang," sahut Kenanga ber-simpuh di depan si
kakek Eyang Wiku Ginting.
"Hm... di manakah sekarang gurumu itu, Cucuku? Apakah ia
baik-baik saja? Lama kami tak saling jum-pa." Eyang Wiku
Ginting menghela napas berat. Raja Pedang Pemutus Urat
adalah adik seperguruan kakek itu. Oleh karena itu Kenanga
mengetahui nama dan tempat tinggal kakek itu, karena ia
pernah diceritakan oleh Raja Pedang Pemutus Urat itu.
"Eyang, Guru sudah tewas beberapa waktu yang lalu di
tangan seorang pemuda licik yang bernama Ja-ya Sukma," kata
Kenanga sedih. Kemudian ia pun menceritakan pula tentang
kematian Raja Pedang Pemutus Urat.
"Hm... jadi pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih, yang
telah membunuh Jaya Sukma yang terkenal dengan Jari
Mautnya itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting terkejut ketika
Kenanga memperkenalkan siapa se-sungguhnya pemuda yang
masih dalam keadaan pingsan itu. Si kakek memang belum
mengobati pemuda itu, karena ia ingin mencari keterangan
lebih dulu dari Kenanga.
"Benar, Eyang," tegas gadis jelita itu lagi. Kenanga kembali
menceritakan awal mula yang membuat pemuda itu sampai
pingsan begitu lama.
"Luar biasa! Benar-benar sebuah kejadian yang amat langka
dan tidak akan ditemui orang lain!" Seru si kakek menggeleng-
geleng kepalanya penuh keka-guman. Setelah Kenanga selesai
menceritakannya. "Jadi pendekar muda itu bangkit tepat pada
saat ger-hana bulan muncul?" Tanya si kakek.
"Begitulah yang aku saksikan, Eyang," jawab Kenanga.
"Tahukah engkau, Cucuku. Tenaga apakah yang dimiliki
pemuda itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting penuh selidik.
Meskipun ia sudah menduga apa yang telah dialami Pendekar
Naga Putih, namun menurut-nya hal itu tak akan terjadi tanpa
sebab yang jelas.
"Kalau tidak salah, Kakang Panji mempunyai sebuah ilmu
yang bernama 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-tan'," sahut Kenanga.
"Hm... aku tahu sekarang! Sebenarnya inti tenaga sakti
dalam gerhana bulan itu tidak akan merasuk ke dalam
tubuhnya kecuali pemuda itu tengah menge-rahkan tenaganya.
Menurut ceritamu, pemuda itu te-ngah dalam keadaan kalap
ketika gerhana itu terjadi. Marilah kita lihat, siapa tahu aku
dapat membuat siuman dari pingsannya," ajak si kakek seraya
men-dekati tubuh Panji yang masih tergolek di atas pem-
baringan bambu itu.
"Tolong, kau angkat pemuda itu keluar, Cucuku. Aku akan
mencoba untuk menyadarkannya. Nanti kalau dalam keadaan
sadar aku akan lebih mudah mengobatinya," ujar Eyang Wiku
Ginting sambil me-langkah keluar.
Semula Kenanga merasa bingung mendengar perintah si
kakek Dalam hati kecilnya bukankah akan lebih baik kalau
kakek itu sendiri yang membawanya keluar. Tapi kakek itu
kembali menyuruhnya, maka tanpa banyak cakap lagi Kenanga
segera mengangkat tubuh pemuda itu dan membawanya
keluar. Gadis itu menjadi heran ketika melihat Eyang Wiku
Ginting me-mandanginya dengan kening berkerut setelah
berada di luar pondok.
"Cucuku, apakah kau pernah mempelajari 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'?" Tanya Eyang Wiku Ginting, dengan rasa
penasarannya.
"Mmm... pernah Eyang. Kakang Panji yang meng-
ajarkannya. Itu pun hanya dasar-dasarnya saja, E-yang," sahut
Kenanga heran mendengar pertanyaan Eyangnya.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam tak jelas.
Kemudian ia menyuruh gadis itu untuk mele-takkan tubuh Panji
di atas rerumputan. "Kau me-nyingkirlah dulu, Cucuku!" ujar si
kakek kepada Kenanga.
Setelah berkata demikian, Eyang Wiku Ginting mengambil
jarak kira-kira lima tombak di depan tubuh Panji. Sesaat
kemudian, Eyang Wiku Ginting sudah duduk bersila sambil
memejamkan matanya.
"Hmhhh!"
Eyang Wiku Ginting mendengus agak panjang. Tubuhnya
tampak bergetar karena ia tengah menge-rahkan tenaga
saktinya. Kedua tangannya terangkat dan terulur ke arah tubuh
Panji yang tergolek. Tiba-tiba angin keras berhembus ke arah
Panji.
Whuuusss!
Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu mulai bergerak pelahan,
makin lama makln berguncang keras. Dan secara tiba-tiba,
tubuhnya bangkit karena inti 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang mengendap di dalam tubuhnya tidak menerima hembusan
tenaga yang dikerahkan Eyang Wiku Ginting.
Sorot matanya tajam dan penuh curiga seolah di-rinya
merasa terganggu akan kehadiran si kakek. Na-mun hati
nuraninya membisikkan bahwa kakek itu bukanlah orang jahat,
terjadilah perang batin di dalam hatinya. Perang antara suatu
kekuatan dahsyat membunuh si kakek dan kesadaran kebaikan.
Bebe-rapa saat lamanya Panji hanya berdiri tegak menatap
Eyang Wiku Ginting.
"Kakang Panji...!" Tiba-tiba muncul suara merdu yang amat
dikenalnya. Kenanga menghampirinya.
"Adik Kenanga!" Panggil Panji tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Air mukanya yang angker beru-bah tenang. Namun
kekuatan tenaga liar dalam tubuhnya tetap bergolak
membutuhkan penyaluran. Eyang Wiku Ginting tahu hal itu. Ia
cepat komat-kamit membaca mantera ilmu 'Mengirim Suara
dari Jauh'. Ucapan orang tua itu hanya didengar oleh Kenanga
tanpa sepengetahuan Panji.
Kenanga tertegun sejenak mendengar suara halus begitu
dekat di telinganya. Tanpa menolehnya ia sudah tahu siapa
yang telah mengirimkan suara itu kepadanya. Setelah jelas
mengetahui apa yang dikata-kan si kakek itu, ia kembali
mendekati kekasihnya yang menatap dengan sorot mata tajam.
"Kakang, bukankah engkau merasakan suatu tenaga dahsyat
bergolak di dalam tubuhmu?" Tanya Kenanga setelah berada di
hadapan Panji. Tatapan gadis itu tampak lembut dan penuh
rasa kerinduan.
"Eh, bagaimana kau tahu, Adik Kenanga?" Tanya Panji,
heran mendengar gadis pujaannya mengetahui secara pasti
tentang apa yang tengah dialaminya saat itu.
"Nah, kalau begitu puaskanlah hatimu dengan ca-ra
mengumbar pukulan-pukulanmu sesuka hati. Tapi jangan
sampai melukai seorang pun!" kata Kenanga tegas sambil
memperhatikan kekasihnya.
Panji bukanlah orang bodoh. Tapi karena baru si-uman dari
pingsan, ia agak linglung. Ketika ia mendengar ucapan
kekasihnya, Panji teringat apa yang harus dilakukannya untuk
menjinakkan tenaga liar yang tengah bergolak dalam tubuhnya.
Tanpa me-ngucap sepatah kata, pemuda itu segera berbalik
dan melepaskan pandangannya ke sekitar tempat itu.
Kenanga bergegas menyingkir. Ia melihat Panji melangkah
ke arah rerimbunan pepohonan besar yang tumbuh di sekitar
tempat itu. Saat itu juga sekali ayun tangan Panji dengan
tenaga dalamnya menghantam pepohonan.
Wuuusss!
Blarrr!
Kraaakkkhhh!
Empat pohon besar sekali pukul, berderak dan hancur
menjadi beberapa bagian. Luar biasa! Debu pun mengepul
tinggi disusul hembusan angin. Ke-nanga dan Eyang Wiku
Ginting menggigil kedinginan. Tubuh mereka terasa beku
sampal ke tulang sum-sum. Itulah pengaruh tenaga dalam
Panji yang telah ia keluarkan. Mereka harus mundur beberapa
lang-kah lagi untuk menghindari pengaruh angin gaib itu.
Sebenarnya bagi Eyang Wiku Ginting sendiri kejadian itu
tidaklah terlalu membahayakan. Tingkat ilmu tenaga dalam
yang dimilikinya masih di atas ilmu tenaga dalam Panji. Tapi
bagi Kenanga, terpaan angin dingin itu dapat membekukan
tubuhnya. Untunglah si kakek cepat bertindak melindungi
Kenanga.
"Luar biasa sekali tenaga gerhana bulan yang me-rasuk ke
dalam tubuhnya! Tapi sayang tenaga sakti yang dahsyat itu
masih sangat liar dan dapat membahayakan orang lain. Kalau
saja pemuda itu dapat menjinakkannya rasanya tidak ada
seorang tokoh pun yang mampu menghadapinya," tukas Eyang
Wiku Ginting dengan wajah sedih.
"Apakah Eyang tidak sanggup untuk menyembuh-kannya?"
Tanya Kenanga terkejut mendengar desah li-rih kakek sakti itu.
"Entahlah, Cucuku. Tapi Eyang akan berusaha se-kuat
tenaga untuk menyembuhkannya. Hanya satu pesan Eyang,
janganlah hal ini kau beritahukan kepa-danya. Biar Eyang
sendiri yang akan menyampaikan-nya nanti," kata Eyang Wiku
Ginting sambil meman-dang gadis jelita itu dalam-dalam.
"Baiklah, kalau itu yang Eyang inginkan," jawab Kenanga
patuh.
Setelah berkata demikian, gadis jelita itu kembali
mengalihkan pandangannya ke arah pemuda yang di-cintainya
belum juga berhenti mengumbar tenaganya itu.
Beberapa saat kemudian, Panji mulai lelah. Pukul-an-pukulan
yang dilontarkannya tak lagi sekuat dan sedahsyat semula. Ia
menjatuhkan kedua lututnya di tanah berumput, kemudian ia
pun lemas tergeletak, karena aliran tenaga sakti liar yang luar
biasa itu telah terhenti. Napasnya memburu. Pakaian yang di-
kenakannya basah bermandikan keringat yang tak henti-
hentinya mengalir. Eyang Wiku Ginting cepat berlari
menghampiri pemuda itu, diikuti Kenanga dari belakang. Begitu
tiba di dekat Panji si kakek meme-rintahkan Kenanga
mengangkat tubuh Panji, untuk dibawa ke dalam pondoknya.
Setelah tubuh pemuda itu direbahkan di atas balai-balai, si
kakek memberi segelas air ramuan yang sudah disiapkan. Panji
segera meneguk ramuan mi-numan itu. Ramuan si kakek itu
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit pada
otot-otot aki-bat amukannya yang banyak mengeluarkan
tenaga. Panji harus banyak istirahat, tenaga yang dia umbar
melebihi batas tenaga manusia biasa.
Eyang Wiku Ginting tersenyum melihat kedua mata Panji
mulai terpejam. Itu menandakan ramuan obatnya mulai
bekerja. Ketika Panji telah terlena, si kakek segera melakukan
pemeriksaan secara teliti. Dan apa yang ditemukan sangat
mengagetkan! Wajah tua itu pun muram seketika.
"Ada apa, Eyang? Apakah Kakang Panji dapat di-
sembuhkan?" Tanya Kenanga yang berada agak jauh dari
tempat Panji berbaring itu sambil melangkah. Namun gadis itu
segera menahan langkahnya ketika melihat isyarat yang
diberikan kakek itu.
Kemudian, si kakek mendekati Kenanga yang berada di
ruang tengah yang terpisah beberapa langkah dari tempat Panji
berbaring.
"Maafkan Eyang, Cucuku. Setelah Eyang meme-riksanya
secara lebih teliti, rasanya apa yang diderita oleh pemuda itu
tak dapat disembuhkan lagi," ujar Eyang Wiku Ginting berat
hati.
"Jadi… jadi, Eyang...," Kenanga tak mampu me-neruskan
ucapannya. Sedetik kemudian, terdengar isak tangis yang
membuat si kakek menjadi terharu. Kenanga menutupi wajah
dengan kedua telapak ta-ngannya.
"Sudahlah, Cucuku. Semua ini hanya dugaan Eyang saja.
Siapa tahu Yang Maha Kuasa berkehen-dak lain sama sekali
tidak kita ketahui," ujar Eyang Wiku Ginting menghibur.
"Berapa lama lagikah umur Kakang Panji, menu-rut Eyang?"
Tanya gadis itu dengan sinar mata minta jawaban sejujurnya.
"Hm... mungkin hanya sekitar enam bulan lagi, Cucuku. Tapi,
entahlah! Kita sebagai manusia hanya bisa menduga tanpa bisa
menentukan."
"Ohhh... Kakang Panji...," gadis itu menangis sejadi-jadinya
begitu ia mendengar keterangan Eyang Wiku Ginting.
* * *
DUA
Pagi belum lagi datang. Kegelapan masih menye-limuti alam
sekitarnya. Semenrara kokok ayam hutan mulai terdengar
bersahut-sahutan, suara jangkrik pun masih terdengar
menyemarak.
Di tengah keremangan fajar yang mulai merekah, sesosok
bayangan putih berkelebat cepat menuruni lereng gunung.
Gerakannya yang ringan dan gesit me-nandakan sosok tubuh
itu memiliki ilmu kepandaian yang sulit diukur. Terkadang sosok
tubuh itu mela-yang bagai seekor burung besar yang tengah
bermain di angkasa luas. Jubahnya yang putih melambai-lambai
diterpa angin gunung.
Bayangan putih itu terus meluncur bagaikan dike-jar setan.
Sepertinya bayangan itu memang tengah menghindari sesuatu.
Sesekali ia menolehkan kepala ke belakang seolah ia merasa
khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya.
Di kaki langit sebelah Timur tampak cahaya keme-rahan.
Namun sosok bayangan putih itu masih terus berlari seolah-
olah ia sama sekali tidak mengenal rasa lelah sedikit pun.
Disaat matahari telah beranjak se-makin tinggi, barulah sosok
bayangan putih itu meng-hentikan latinya.
Sosok tubuh berpakaian putih itu ternyata adalah Panji atau
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Peluh mengalir
deras membasahi wajah dan tubuhnya. Pemuda tampan itu
menjatuhkan dirinya di atas hamparan rerumputan hijau di tepi
kali yang berair jernih.
Pelahan-lahan diciduknya air jernih itu dengan kedua
tangannya. Air itu disapukan ke wajahnya dengan penuh
perasaan. Lama... pemuda itu menutup wajah dengan kedua
telapak tangannya. Kemudian, pelahan-lahan telapak tangan itu
turun disertai helaan napas beratnya. Sepertinya ada sesuatu
yang mengganggu pikirannya.
"Adik Kenanga, maafkan aku. Aku terpaksa me-
ninggalkanmu. Karena aku telah mendengar tentang
pembicaraanmu dengan kakek itu. Aku tidak ingin membuatmu
lebih menderita, karena memikirkan pe-nyakitku ini Maafkan
aku, Adik Kenanga," ucap Panji lirih. Wajah pemuda sakti itu
terlihat dingin dan kaku. Senyum yang biasanya selalu
menghias wajah tampan itu Wni tidak terlihat lagi.
"Hhh...," keluh Panji kembali menutup wajah dengan kedua
tangannya. Jelas sekali kalau ia merasa berat untuk
meninggalkan wanita yang sangat dicin-tainya itu. Rupanya
pada saat Eyang Wiku Ginting dan Kenanga membicarakan
dirinya, rupanya Panji belum terlelap benar. Ia mendengar
pembicaraan mereka. Itulah sebabnya mengapa pemuda itu
mening-galkan tempat kediaman Eyang. Wiku Ginting pada
waktu dini hari. la telah mengambil keputusan untuk tidak
menyusahkan orang lain.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya pemuda itu
bangkit dari duduk. Ia bermaksud untuk kembali ke Gua Bukit
Harimau untuk menemani gu-runya. Ia ingin menghabiskan
sisa-sisa hidupnya itu untuk membaktikan diri kepada sang
guru.
Setelah berpikir sesaat Pendekar Naga Putih me-neruskan
perjalanan, dan menyeberangi sungai. Pemuda itu gesit
meloncat dari batu yang satu ke batu lainnya yang banyak
tersebar di tengah sungai. Lalu ia masuk menyusuri hutan.
Hari mulai gelap ketika pemuda itu tiba di sekitar bukit. Ia
memutuskan untuk beristirahat semalam di tempat itu. Baru
saja ia mencari ranting untuk membuat api unggun, tiba-tiba
badannya menggjgil kedi-nginan.
"Aaargh...!"
Panji meraung kesakitan, sakit yang luar biasa. Tubuh
pemuda itu berguling di atas tanah berumput halus. Sesaat
kekuatan yang sangat dahsyat melon-jak-lonjak di dalam
tubuhnya, sehingga tubuh pe-muda itu terbanting-banting di
atas tanah. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang
menyiksa, tu-buhnya tiba-tiba terangkat bangkit. Untuk
kemudian terhempas ke belakang bagai dihentakkan oleh se-
suatu kekuatan yang tak tampak.
Bukkk! Kraaakkk!
"Aaakh...!"
Panji meraung keras ketika tubuhnya menghan-tam
sebatang pohon besar yang langsung berderak patah. Karena
tak sanggup menahan azab yang me-nyiksa dirinya itu,
Pendekar Naga Putih pun jatuh tak sadarkan diri. Di wajahnya
masih terlihat seringai kesakitan. Tubuh Pendekar Naga Putih
tergeletak lemah di bawah batang pohon yang tumbang akibat
ben-turan tubuhnya.
***
"Uhhh...," keluh Panji. Sinar matahari pagi yang hangat
membuat ia terbangun. Pemuda itu meringis menahan sakit
pada sekujur tubuhnya. Pelahan-lahan ia memaksakan diri
untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat pucat dan lebam
kebiruan. Rupanya hawa sakti yang merasuki tubuhnya
mempengaruhi kulit-nya. Keadaan Panji sangat menyedihkan.
Tak ubah-nya gembel gila penuh daki, dengan tertatih-tatih di-
carinya sungai terdekat.
Suara gemericik air sungai di balik bukit itu membuat Panji
makin mempercepat langkahnya. la langsung menceburkan
dirinya ke dalam air tanpa mem-buka pakaiannya. Setelah
merasa tubuhnya agak segar, ia pun melompat naik.
"Hhh... tampaknya kekuatan aneh yang merasuk ke dalam
tubuhku ini mulai menunjukkan akibat bu-ruknya," gumam
Panji sambil menghda napas dalam-dalam.
Setelah mengganti pakaiannya, pemuda itu pun kembali
meneruskan perjalanan. Panji yang telah me-lihat kulit
wajahnya berwarna agak kebiruan, ia segera menutup
kepalanya sampai ke lutut agar tidak diketahui orang lain.
Setelah agak lama berjalan, tampak di depannya perbatasan
desa. Panji mempercepat langkahnya me-masuki perbatasan
desa itu. la berniat singgah se-bentar guna mengisi perutnya,
karena sejak kemarin perutnya belum diisi.
"Aneh, mengapa desa ini tampak sepi? Tak ada seorang
petani pun yang tampak bekerja di sawah. Juga tak ada satu
pun warga di jalan," gumam Panji seraya berhenti sejenak. la
mulai curiga dilangkahkan kakinya pelahan-lahan sambil
memperhatikan sekeli-lingnya.
Pendekar Naga Putih mengerutkan kening ketika matanya
menangkap beberapa sosok tubuh menggele-tak di tengah
jalan. Dihampirinya enam sosok tubuh itu penuh curiga.
"Darah!" gumam Panji menyaksikan genangan da-rah di
antara sosok-sosok tubuh yang menjadi mayat itu. "Kalau
melihat dari mayat orang-orang ini, peristiwanya belum begitu
lama terjadi," kata Panji yang hanya bisa menduga.
Panji mengalihkan perhatiannya pada sebuah rumah
sederhana yang letaknya paling dekat dengan mulut desa itu.
Ia segera menghampiri, dan menarik pintu rumah yang telah
rusak itu. Beberapa percikan darah mengotori daun pintu.
"Gila!" Panji memaki kasar ketika melihat apa yang
disaksikannya. Lima sosok mayat yang terdiri dari wanita dan
anak-anak bergelimpangan di ruang te-ngah yang porak-
poranda itu, di antaranya ada kepala yang terpisah dari
anggota badannya.
Panji bergegas lari keluar. Lalu diperiksanya selu-ruh rumah
lainnya di sekitar mulut desa. Sungguh mengerikan! Apa yang
ditemuinya benar-benar mem-buat darah pemuda itu mendidih!
Seluruh penghuni rumah yang berada dekat mulut desa itu
tewas tanpa tersisa satu pun!
"Biadab! Iblis dari mana yang telah mengamuk di desa ini?
Kesalahan apa yang telah dibuat oleh pen-duduk desa ini
sehingga begitu tega menghabisi mereka?!" geram Panji.
Wajah pemuda itu memerah menahan rasa marah yang
bergelora dalam dadanya. Panji marah sekali! Entah apa yang
telah mengakibat-kan seluruh penduduk desa itu dibantai habis.
Siapa pula yang telah melakukan perbuatan keji ini, pikir Panji
tak habis mengerti.
Akhirnya Pendekar Naga Putih itu meninggalkan desa yang
telah dilanda musibah. la sama sekali tidak memperoleh satu
petunjuk pun, karena semua warga desa ini telah dibantai
habis!
Kurang lebih setengah hari berjalan, Panji pun tiba di desa
lainnya. Beberapa orang petani yang ber-siap-siap hendak
pulang, menoleh ke arah Panji. Me-reka terheran-heran melihat
cara berpakaian pemuda itu. Tapi Panji tidak peduli
diperhatikan para petani. Ia terus berjalan memasuki kedai
makanan yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Orang-orang
yang se-dang duduk memandangnya dengan curiga, tapi Panji
tetap tenang memasuki ruangan kedai itu, dan ia memilih
tempat duduk di bangku kosong yang berada di pojok ruangan.
Pemuda itu makan dengan lahapnya, karena sangat lapar. Ia
acuh tak acuh diperhatikan orang, dan nasi pesanannya habis
dinikmatinya.
"Tidak salah lagi, pasti dialah si iblis keparat itu!" Bisik
seorang tamu yang berkumis tebal kepada te-man di
sampingnya.
Kawarmya yang diajak bicara menatap Panji sema-kin tajam.
Kedua alisnya bertaut, seolah ia tengah berusaha untuk
mengingat-ingat tentang seseorang yang pernah dilihatnya.
"Rasanya sulit aku memastikan dia. Lagipula pe-ristiwa
pembantaian itu terjadi pada malam hari. Aku sendiri berada
agak jauh ketika si iblis itu beraksi," kata temannya ragu-ragu.
Panji duduk tenang di pojok kedai sambil melepas-kan lelah.
Pada saat itulah seorang lelaki berperawa-kan gemuk bersama
dua orang temannya mendekati Panji dengan wajah sinis.
"Jangan biarkan lolos iblis keparat itu. Kaulah pembunuh
yang kami cari," bentak lelaki gemuk lan-tang seraya
mengayunkan pedangnya ke arah Panji yang tengah bersantai
itu.
Brakkk!
Panji cepat mengelak, sehingga ayunan pedangnya melesat,
menghantam meja. Makanan di meja jadi berantakan.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan
itu," Panji berusaha menyabarkan orang yang naik pitam itu.
"Jangan berlagak bodoh, iblis Biadab! Heaaat...!" Dua orang
kawan laki-laki gendut itu serentak ikut maju menyerang Panji.
Senjata tajam mereka ber-sinar-sinar siap mengancam Panji.
Panji terkesiap Wajahnya pucat pasi. Tenaga dalam dirinya
kembali bergejolak. Tidak disangka-sangka para penyerang itu
sudah terlempar sebelum mereka mulai menyerang. Semua isi
yang ada di kedai berantakan.
Bukan main kagetnya mereka menyaksikan perubahan aneh
pada diri Panji itu. Sekujur tubuh pemuda itu bersinar putih
keperakan disertai hawa dingin. Pengaruh hawa dingin yang
dikeluarkan Panji membuat mereka kedinginan sampai gigi
mereka bergemeletuk.
"Aaahhh...!?"
Panji sendiri terkejut melihat perubahan tubuh-nya. la sadar
bahwa kekuatan aneh dalam dirinya bisa mencelakakan orang
lain, maka ia segera keluar meninggalkan kedai.
"Itu dia! Serbu...!"
Para penyerang itu berteriak-teriak mengepung Panji yang
sudah berada di luar kedai. Lelaki gemuk menyuruh mereka
untuk membekuk Panji.
"Hei, berhenti! Jangan serang aku! Kalian telah salah
menuduh orang!" Seru Panji sambil mengangkat kedua
tangannya dengan maksud memberi tanda agar belasan orang
itu tidak menyerang.
Celaka! Maksud baik Panji dengan cara mengangkat kedua
tangannya justru menimbulkan kesulitan baru bagi dirinya.
Melalui kedua tangannya hem-busan deru angin keluar sendiri
tanpa kemauan Panji. Para penyerang berjumpalitan dibuatnya.
"Iblis biadab! Terimalah pembalasan ini! Heaaat..!" Seorang
laki-laki tinggi gagah dan berwibawa, melesat menusukkan
ujung tombak ke tubuh Panji. Tombak itu sampai berdesing,
menandakan bahwa dorongan tombak itu tidak dapat di anggap
remeh.
Siuttt!
Tukkk!
"Ahhh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung tombak tepat
mengenai tubuh Panji. Tubuh laki-laki tinggi gagah itu terpental
ke belakang. Wajahnya terlihat pucat. Sedang tombaknya
sendiri telah patah menjadi tiga bagian.
"Hm...!"
Penyerang itu menggeram mengerahkan tenaga dalamnya
guna mengusir hawa dingin luar biasa yang merasuk ke dalam
tubuhnya.
"Gila! Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakan ma-nusia biadab
itu?" teriak si tinggi gagah penasaran bercampur gentar. "Ayo,
kepung! Hati-hati dengan pu-kulannya yang dingin menusuk
tulang itu!" Perintah laki-laki gagah itu sambil memperingatkan
teman-temannya.
Tubuh Panji saat itu tengah bergemetar hebat! Rupanya
pengaruh ujung tombak laki-laki itu telah membuat tenaga
yang mengendap di dalam tubuhnya semakin bergerak liar.
"Heeeaaa...!"
Panji meraung keras kesakitan yang menusuk-nu-suk di
dalam tubuhnya. Para penyerang ketakutan melihat perubahan
itu. Belasan orang terlempar dan jatuh bergulingan di tanah!
Empat orang dari mereka yang memiliki ilmu kepandaian paling
rendah, lang-sung menggelepar tewas! Dari mulut, hidung dan
telinga mereka mengeluarkan darah segar. Rupanya raungan
dahsyat Panji menyebabkan pembuluh darah di dalam tubuh
korban pecah seketika. Dua belas orang lainnya yang memiliki
kepandaian tinggi, ber-gulingan menjauhkan diri. Mereka diam-
diam sangat kecut menghadapi Panji yang bukan tandingannya
itu.
"Gila! Bagaimana mungkin dalam dua hari saja ilmu
kepandaian iblis ini sudah meningkat demikian pesat! Aku jadi
meragukannya, Kakang?" Ucap seorang laki-laki tinggi kurus
kepada si tinggi gagah ber-getar.
"Hm... aku pun mulai meragukannya, Adi Palasa? Tapi
bagaimana mungkin kalau dia bukan dari kelom-pok iblis itu?
Lihat saja cara berpakaiannya! Bukan-kah jarang sekali orang-
orang persilatan yang menge-nakannya?" Sahut si tinggi gagah
meyakinkan teman-nya yang bernama Adi Palasa itu.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Kakang? Jelas
kita tidak akan mampu untuk mengha-dapinya. Karena ilmu
kepandaian yang dimiliki orang berkerudung itu rasanya tidak
mungkin dapat tertan-dingi!" Ujar Palasa kepada kawannya
bagaikan orang yang putus asa.
Kedua orang itu segera menghentikan pembica-raannya
ketika mereka melihat Panji yang mereka ke-pung itu telah
menggerak-gerakkan tangannya ke arah mereka.
"Awaaasss...!"
Duaaarrr!
Terdengar ledakan dahsyat disusul robohnya seba-tang
pohon yang tumbuh di tepi jalan didepan kedai. Untunglah laki-
laki tinggi gagah yang rupanya me-mimpin belasan orang itu
sempat memperingatkan kawan-kawannya, sehingga kedua
belas orang itu dapat terhindar dari pukulan maut yang dapat
men-cerai-beraikan tubuh mereka. Peristiwa itu sangat
mengerikan! Mereka terpaku dicekam ketakutan. Sehingga
untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tanpa
mengucap sepatah kata pun.
"Kakang, bagaimana ini? Tidak mungkin kita me-lawannya?"
Bisik Palasa yang lebih dulu tersadar me-ngingatkan laki-laki
tinggi besar itu bahwa keadaan mereka benar-benar
berbahaya!
"Lebih balk kita sembunyi saja sekarang. Nanti kalau orang
berkerudung itu meninggalkan tempat ini, baru kita ikuti dari
jauh!" Jawab laki-laki gagah itu terpaksa mengambil keputusan
yang amat berten-tangan dengan kebiasaan pada dirinya.
Setelah ber-kata demikian, ia pun bergegas hendak
meninggalkan tempat itu.
Paji yang pandangannya mulai samar karena pe-ngaruh
kekuatan yang menguasainya, kembali men-dorongkan telapak
tangannya. Kembali deru angin dingin berhembus keras.
Whuuusss! Brooolll!
Kesadaran Panji yang telah dipengaruhi kekuatan dahsyat
membuat ia tidak dapat lagi melihat dengan baik. Sehingga
sasaran pukulannya pun tidak lagi ter-arah. Kali ini pukulan
mautnya menghantam sebuah pondok kayu yang langsung
berderak karena tiang penyangganya telah patah akibat
pukulan jarak jauh pemuda itu. Betapa luar biasanya tenaga
sakti yang mengendap dalam tubuh pemuda itu.
"Luar biasa! Kalau begini caranya, siapa pula yang akan
sanggup menghadapi manusia iblis itu?" kata Palasa sedih.
"Hhh...," gumam laki-laki tinggi gagah yang ber-sembunyi di
sebelah Palasa menghela napas berat. Rupanya ia juga
memikirkan hal yang sama dengan kawannya itu. "Eh, lihat!
Iblis itu muntah darah! Wah, rupanya ia menderita luka dalam
yang cukup parah. Entah siapa manusia sakti yang melukai
pemuda itu," suaranya terperangah.
Dari jauh tampak Panji temuyung-huyung mende-kap
dadanya la terbatuk-batuk dengan mulut me-nyemburkan
darah.
"Ouuuh... uhuk... uhuk...!"
Sambil terbatuk-batuk, Panji berlari meninggalkan desa itu.
Gerakan pemuda itu terlihat goyah karena kedua kakinya agak
gemetar.
"Hei, dia melarikan diri! Ayo kejar!" teriak laki-laki tinggi
gagah itu kepada kawan-kawannya. la langsung melesat
memburu Panji yang melarikan diri, dan diikuti teman yang
lainnya.
***
TIGA
Sinar rembulan yang biasanya mcnerangi malam,
bersembunyi di balik gumpalan awan. Angin dingin berhembus
keras disertai gerimis. Suasana malam kian mencekam. Sesekali
tampak kilat bersinar terang disusul gelegar sambaran petir!
Sehingga suasana malam itu demikian sunyi dan mencekam.
Jalan utama di Desa Jati Alur, tampak lengang dan sepi. Tak
seorang penduduk pun terlihat melintas di jalan itu Sepertinya
mereka enggan keluar pada saat seperti ini. Rupanya mereka
lebih suka tinggal di dalam rumah bersama istri dan anaknya.
Namun tak seorang pun yang akan menyangka kalau pada
malam ini sesosok tubuh berkerudung berjalan seorang diri di
tengah gerimisnya malam. Langkah kakinya tampak tenang dan
tidak terlihat terburu-buru. Seperti, ia sama sekali tidak merasa
terganggu oleh cuaca yang buruk itu.
Sosok tubuh tinggi sedang dan berkerudung itu terus
menyusuri jalan utama Desa Jati Alur. Wajah-nya yang
tersembunyi di balik kerudung tampak dingin dan kaku. Sorot
matanya tajam dan menakut-kan! Seandainya ada seorang
penduduk desa yang kebetulan melihatnya, pastilah orang itu
akan lari terbirit-birit.
Orang berkerudung itu terus berjalan dengan tegar tanpa
menoleh sedikit pun. Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan
sebuah bangunan tembok yang kokoh. Bangunan tembok itu
letaknya hampir di de-kat perbatasan Desa Jati Alur. Sesaat
diperhatikannya papan nama yang tergantung di atas pintu
gerbang bangunan itu. Kemudian, tubuh berkerudung itu me-
layang bagaikan seekor burung rajawali. Dalam seke-jap
tubuhnya menghilang di balik tembok bangunan yang kokoh
itu.
Begitu tubuhnya mendarat di tanah pekarangan perguruan
itu, sepasang matanya bergerak kaku me-rayapi sekitarnya.
Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju gedung
perguruan itu. Sikapnya tam-pak tenang sekali, ia sama sekali
tidak peduli kalau kedatangannya akan diketahui penghuni
gedung itu.
Baru saja beberapa langkah ia bergerak, tiba-tiba terdengar
bentakan keras disusul munculnya empat orang bersenjata
tombak.
"Hei, berhenti! Siapa kau?" Gertak salah seorang dari empat
orang itu galak.
Tapi si orang berkerudung sama sekali tidak mem-pedulikan
teguran itu. Kakinya terus saja melangkah seolah-olah ia tidak
mendengar teguran mereka. Sehingga membuat mereka
menjadi marah.
"Hei, keparat! Apakah kau tuli? Berhenti atau sen-jataku
yang akan berbicara!" Bentak yang lain. Siap menodongkan
mata tombaknya.
Si orang berkerudung terus... dan terus berjalan. Sosok
tubuhnya yang tegar memperlihatkan dirinya tidak gentar
ancaman salah seorang penjaga!
"Keparat! Lihat serangan!" teriak seorang penjaga seraya
menusukkan mata tombak ke perut lawannya.
Wuuut!
Tappp!
"Aaah...!"
Si penjaga berteriak kaget ketika tahu-tahu saja tombaknya
telah ditangkap si orang berkerudung. Bersamaan dengan itu si
penjaga terangkat ke atas. Kemudian diputar-putamya tombak
itu.
"Haiii..., Kakang tolong...!" si penjaga berteriak-teriak
ketakutan memangil kawan-kawannya.
Tapi sebelum kawannya sempat menolong, tahu-tahu saja
mata tombak telah merobek perutnya.
"Hhhkkk...!"
Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Matanya terbeliak
bagaikan hendak keluar. Seluruh wajahnya menegang menahan
rasa sakit!
'Iblis keji! Rupanya kau sengaja membuat ke-onaran di sini!"
Teriak seorang penjaga lainnya. Tanpa banyak cakap lagi ia
pun menerjang si orang berke-rudung yang masih berdiri tegak
memegang ujung tombak.
Dan pada saat penjaga berikut menyerang lagi dengan
ketiga mata tombaknya, si orang berkerudung segera
melemparkan mayat si penjaga yang tertembus tombak ke arah
kawan-kawannya.
"Aaah...!"
Cappp! Jreppp!
Tanpa dapat dicegah lagi, tiga mata tombak itu pun
menancap tubuh si penjaga yang telah menjadi mayat itu. Para
penjaga sampai tidak menyadari keadaannya, si orang
berkerudung sudah melesat dengan sekali tamparan menyapu
kepala mereka. Ketiga orang penjaga itu tak sempat lagi
berteriak karena kepala mereka pecah akibat tamparan maut si
orang berkerudung yang amat kuat. Mereka pun roboh
bermandikan darah. Malang sekali nasib keempat orang
penjaga itu.
"Kurang ajar! Kita terlambat, Kakang!" Kata seorang penjaga
dengan suara berat menemukan teman-temannya telah
menjadi mayat. Di belakangnya ber-diri pula para penjaga lain.
"Ahhh... benar-benar keparat sekali manusia ini!" Seru yang
lainnya terkejut ketika melihat mayat ke-empat orang penjaga
yang bernasib sial itu. Wajahnya terlihat menegang karena
emosinya telah bangkit begitu melihat mayat-mayat itu.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat! Hari ini kau tidak akan lolos
dari tanganku! Lihatlah di sekelilingmu!" Ujar seorang laki-laki
pendek kekar bemada geram.
Mendengar perkataan itu si orang berkerudung tertawa
dingin. Ia menganggap ucapan orang itu hanya gertak sambal.
Namun, si orang berkerudung agak gentar melihat di sekeliling
tempat itu telah muncul puluhan api obor. Suasana di sekitar
pekara-ngan perguruan tampak terang benderang.
"Ha ha ha... lebih baik engkau menyerah secara baik-baik,
manusia haus darah. Agar kami dapat me-menggal kepalamu
sekaligus!" Ejek laki-laki pendek kekar tertawa keras.
Sejenak orang yang dijuluki Penjagal Alam Akhe-rat ragu
melihat demikian banyaknya orang yang mengurung tempat
itu. Sepasang matanya mulai liar mencari jalan keluar. Tapi
belum lagi ia sempat akan kabur, mendadak belasan orang
muncul dari dalam gedung.
"Serang...!" Seru si lelaki gagah mengibaskan tangannya
kedepan. Setelah berkata demikian, ia pun segera melesat
mengayun-ayunkan pedang disertai slutan-siutan tajam.
Wuttt!
Dengan gerakan gesit si orang berkerudung berha-sil
mengelakkan, lalu ia balas pula dengan tamparan mautnya ke
kepala lawan. Si lelaki gagah memiring-kan kepalanya sambil
melepaskan pukulan tangan kirinya ke arah lambung si orang
berkerudung itu.
Bukkk!
"Uuuhhh...!"
Pukulan si lelaki gagah tepat menghantam lambung lawan.
Anehnya tubuh lawannya tidak apa-apa, malah ia sendiri
berbalik yang terjajar mundur sambil memekik kesakitan! Jari-
jari tangannya terlihat agak sedikit membengkak, akibat kalah
kuat beradu de-ngan si orang berkerudung.
"Gila! Tubuh si iblis keparat itu tak ubahnya se-batang besi
baja panas! Hati-hati, kawan-kawan! Berita tentang kesaktian
Penjagal Alam Akherat itu benar!" Teriak laki-laki gagah
memperingatkan kepada teman-temannya.
"Jangan khawatir, Adi Salangi! Aku ingin melihat sampai di
mana kekuatan tubuh iblis ini? Apakah ia akan mampu
menahan ilmu pukulanku yang ber-nama 'Tapak Pembeku
Darah' ini!?" Sahut laki-laki pendek bertubuh kekar geram.
Setelah berkata demi-kian si pendek kekar yang berjuluk Tapak
Maut itu memutar kedua tangannya hingga menimbulkan deru
angin tajam menggebu-gebu.
"Iblis, sambutlah! Hiaaattt...!"
Disertai teriakan yang mengguntur, si tubuh pendek melesat
sambil membentangkan kedua tangannya Hebat sekali orang
yang dijuluki Pendekar Tapak Maut. Meski pun tubuhnya
pendek, namun gerakannya demikian gesit dan lincah.
Wuttt! Wuttt!
Dua buah tamparan yang dilancarkan si Pendekar Tapak
Maut mengenai tempat kosong karena Penjagal Alam Akherat
sudah lebih dahulu menghindarkan dirinya ke arah samping.
Secepatnya menghindar, secepat itu pula tangan kanannya
terulur menjambret wajah lawan. Angin pukulan orang
berkerudung itu terdengar mencicit tajam dan menebarkan bau
harum yang memabukkan.
"Bangsat licik!" Teriak si Pendekar Tapak Maut terkejut
ketika ia mencium bau racun yang memabuk-kan itu. Cepat ia
mengibaskan tangan kanannya memapaki serangan si orang
berkerudung.
Dukkk!
"Aiiihhh...!"
Si Pendekar Tapak Maut memang berhasil mene-pis
pergelangan tangan lawan sehingga serangan cakar lawan
melenceng ke samping. Tapi tenaganya masih kalah kuat oleh
si orang berkerudung, maka tubuh pendek itu pun terlempar ke
belakang sejauh empat tombak. Dari bibirnya tampak mengalir
darah segar.
"Setan! Tenaga dalam iblis itu ternyata masih dua tingkat
diatas tenagaku. Hm.. Benar-benar lihai sekali kepandaian
Penjagal Alam Akherat itu Entah siapa dia sebenarnya? Dan apa
pula maksudnya mengacaukan dunia persilatan?" Ujar
Pendekar Tapak Maut. Pena-saran karena ilmu yang dibangga-
banggakan selama ini ternyata tidak ada artinya di hadapan
Penjagal Alam Akherat.
"Sudahlah, Kakang Jarga Lawa. Lebih baik cepat kita
bereskan iblis itu sebelum ia berhasil meloloskan diri dari
kepungan kita!" Ajak orang tinggi gagah yang bemama Salangi
mengingatkan betapa berbahaya jika orang berkerudung itu
sampai meloloskan diri.
"Hm... baiklah! Anak-anak, cepat siapkan jaring dan tali!"
Perintah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Tapak Maut kepada orang-orang yang memegang obor.
Sementara itu, si orang berkerudung masih ber-tarung sengit
menghadapi belasan pengeroyoknya. Gerakan gerakan kelima
belas orang laki-laki itu sepertinya memang sengaja hanya
untuk memancing kemarahan si orang berkerudung. Kelima
belas orang itu sesekali melakukan balasan kalau dalam
keadaan benar-benar terdesak. Mereka hanya menghindar dan
saling melindungi dengan maksud agar lama kela-maan si
orang berkerudung akan semakin melemah tenaganya.
Namun, meskipun si orang berkerudung selalu melancarkan
serangan-serangan maut yang mem-butuhkan banyak tenaga.
Anehnya kekuatan daya serangnya sama sekali tidak
berkurang, seolah-olah Penjagal Alam Akherat itu memiliki
sumber tenaga yang tak pernah habis. Hingga lama-kelamaan
para pengeroyok itu merasa kelelahan.
"Gila! Tenaga si iblis itu tak ada habisnya!” seru salah
seorang pengeroyok itu dengan napas tersengal-sengal.
Kawan-kawannya tidak ada yang menyahut. Karena saat itu
mereka benar-benar kerepotan mengha-dapi gempuran-
gempuran si orang berkerudung yang semakin gencar.
"Mundurrr...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menyuruh ke lima belas
orang itu mundur. Ketika mereka berlom-patan mundur,
sebuah benda hitam halus menebar jatuh ke arah si orang
berkerudung.
"Heaaat..!"
Whuuus!
Melihat adanya sesuatu benda halus yang menebar di
sekelilingnya, orang berkerudung itu pun ber-gegas
mendorong, sepasang telapak tangannya ke atas. Serangkum
angin pukulan yang amat kuat keluar.
Empat buah jala halus yang ditebarkan itu mem-balik dan
menutupi tubuh ke empat orang yang me-lemparkannya.
Keempat orang itu berteriak dan me-ronta-ronta melepaskan
dirinya yang terkurung dalam jala.
Tolong... tolong,.. tolooong...!"
Keempat orang itu menjerit-jerit ketakutan karena tak
mampu melepaskan diri dalam kurungan jala itu.
Berbarengan dengan membaliknya keempat jala halus itu,
kaki orang berkerudung itu langsung men-jejakkan kakinya. Ia
berjumpalitan beberapa kali di udara, dan terus meluncur
menuju atas tembok perguruan itu. Si orang berkerudung
berusaha me-loloskan diri dari kepungan.
"Hujani dengan panah...!" Si Pendekar Tapak Maut berteriak
memberi perintah. Setelah itu tubuhnya langsung melesat
diikuti Salangi dan empat orang lainnya mengejar si orang
berkerudung.
Werrr! Werrr! Werrr!
Puluhan anak panah menghujani Penjagal Alam Akherat
yang melayang di udara. Secepat itu pula ia menangkis
serangan anak panah dengan kibasan ju-bahnya.
"Hiah!"
Trak! Trak! Trak!
Puluhan batang anak panah berjatuhan ke tanah akibat
kibasan jubah si orang berkerudung. Belum habis menarik
napas Iega, datang lagi serangan beri-kut. Dua anak panah
yang lebih kuat dari puluhan batang anak panah sebelumnya
melesat. Dan....
Jreppp! Jrebbb!
"Aaakh...!"
Si penjagal Alam Akherat terpekik kesakitan ketika dua anak
panah yang terakhir menancap pangkal le-ngan dan dada
kirinya. Seketika ia terjungkal ke bawah. Namun dengan gesit
tubuhnya berputar-putar dan mendarat di luar bangunan
perguruan itu.
Sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, panah itu berhasil
dicabut dan langsung dilemparkan ke arah dua orang yang
mengejarnya. Tak pelak lagi, panah itu menewaskan mereka
seketika. la segera melesat melarikan diri meninggalkan tempat
itu. Tubuhnya berkelebat cepat melintasi jalan utama Desa Jati
Alur.
"Kejar...! Dia sudah terluka. Tidak mungkin dapat bertari
jauh!" teriak si Pendekar Tapak Maut mengo-barkan semangat
kawan-kawannya.
Suasana malam yang semula gelap dan sunyi menjadi ramai.
Jalan utama Desa Jati Alur terang benderang oleh puluhan api
obor, hingga suasana malam itu menjadi hiruk-pikuk oleh
teriakan-teriakan puluhan orang tokoh persilatan yang
melakukan pe-ngejaran terhadap si orang berkerudung atau
Penjagal Alam Akherat itu.
Si orang berkerudung terus mempercepat larinya dengan
gerakan ringan berloncatan dari satu pohon ke pohon lain yang
banyak tumbuh di desa itu. Lari-nya agak terganggu karena
lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah.
Kemudian, ia berhenti sejenak, tangan kanannya bergerak
cepat melakukan totokan pada bagian lukanya guna
mengurangi luka-nya yang terus-menerus mengeluarkan darah.
Setelah ia yakin Iuka yang dideritanya berhenti mengeluarkan
darah, ia meneruskan larinya lagi. Karena di bela-kangnya
terdengar langkah-langkah kaki beberapa orang yang berlari
mendekatinya.
Sementara itu di tengah sebuah hutan kecil yang letaknya
tidak jauh dari Desa Jati Alur, seorang pemuda sedang
menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun. Pemuda itu
tidak lain adalah Panji, ia ber-maksud ingin bermalam di dalam
hutan. la terme-nung memikirkan kejadian yang terus saja
dialami-nya. Keningnya berkerut dalam la mencoba untuk
mencari-cari apa yang menyebabkan orang-orang itu
menganggapnya sebagai iblis pembunuh.
"Hm.. Mungkin kejadian yang kualami tadi ada kaitannya
dengan peristiwa terbantainya seluruh penduduk kampung
yang kulewati kemarin. Kalau begitu, dunia persilatan saat ini
sedang tercemar dengan seorang pembunuh keji," gumam
Panji menyimpul-kan. Mendadak Panji bangkit berdiri dari
duduknya. Pendengarannya yang terlatih itu mendengar
langkah-langkah kaki yang terseok-seok mendekati ke arah-
nya. Kemudian Panji bergegas memadamkan api unggunnya
agar tidak terlihat oleh suara yang men-curigakan itu. Tubuh
pemuda itu pun sudah melen-ting ke atas pohon yang berdaun
rimbun. la melepas-kan pandangannya ke arah datangnya
suara itu
Tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang berkerudung
lari terseok-seok menuju anak bukit. Panji menduga orang
berkerudung itu menderita luka, karena berjalan susah payah.
Melihat ciri-ciri orang itu, Panji teringat akan pengalamannya
ketika dikeroyok belasan orang di kedai yang disangka ia
adalah pem-bunuhnya karena berpakaian seperti itu. la lang-
sung melesat mengejar sosok berkerudung itu.
"Orang itu pastilah ada hubungannya dengan pembunuh
keji, serta buronan penduduk desa," gumam Panji bergegas
turun dari pohon. Teka-teki itu harus dipecahkan. Panji tidak
mau kehilangan jejak, ia pun mengejarnya.
"Sahabat, berhentilah...!" Seru Panji hampir dekat. Orang
berkerudung itu terkejut setengah mati ketika mendengar ada
orang yang menegurnya di tengah hutan. la berhenti sejenak
lalu pelahan-lahan membalik-kan badannya dan menatap ke
arah orang yang menegurnya.
Jelas sekali terlihat kalau si orang berkerudung itu semakin
terkejut ketika melihat pakaian yang dike-nakan Panji.
Sepasang mata yang semula menyipit terbuka lebar-lebar.
Diperhatikannya sosok tubuh Panji dari atas hingga ke bawah
penuh selidik.
"Siapa kau?!" Tegur si orang berkerudung dingin, dan parau.
Panji melepaskan kerudungnya, dan dibi-arkan terjuntai di
bawah lehernya. Sehingga wajah pemuda itu tampak terlihat
agak jelas. Apalagi saat itu sang rembulan pun sudah mulai
muncul mene-rangi permukaan bumi. Wajah Panji yang dingin
dan kaku itu membuat si orang berkerudung meragu sejenak.
"Hm... seharusnya akulah yang bertanya kepada-mu! Apa
maksudmu menyembunyikan wajah dengan memakai kerudung
di kepala itu! Apa pula keperluanmu berkeliaran pada malam-
malam begini?" Tanya Panji dengan suara berat dan dingin.
Kedua orang itu saling memandang dengan sikap penuh
waspada. Keduanya membisu beberapa saat
***
EMPAT
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si orang berkerudung
mulai mengulurkan tangannya ke depan. Serangkum angin
keras berkesiutan ke arah Panji. Rupanya Penjagal Alam
Akherat itu bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali
pukul!
Panji terkejut merasa sambaran yang begitu kuat
ditimbulkan oleh pukulan orang berkerudung itu. la pun bangkit
melawan dengan tenaga sakti yang masih liar itu dalam dirinya
yang mulai bergolak menyerang-nya itu.
Blubbb!
"Aaa...!"
Terdengar suara letupan kecil ketika dua gelom-bang tenaga
sakti itu bertemu di tengah-tengah. Si orang berkerudung
berseru terpatah-patah. la terjajar mundur sejauh empat
langkah. Sejenak seolah ia tak percaya dengan apa yang
dirasakannya saat itu. Se-dangkan tubuh Panji kembali dibalut
kabut bersinar putih keperakan. Hawa malam berhembus
semakin dingin, sehingga membuat orang berkerudung itu
menggigil sesaat Namun, dinginnya udara malam sudah tidak
mengganggunya lagi.
Sebenarnya tenaga sakti yang dimiliki a orang berkerudung
sangat hebat! Kalau saja Pendekar Naga Putih alias Panji belum
dirasuki tenaga sakti yang masih liar itu, pastilah ia tidak akan
sanggup menangkal dorongan telapak tangan si orang
berkerudung yang dijuluki Penjagal Alam Akherat itu.
"Hm!"
Panji mendengus gusar. Tenaga liar yang berge-jolak di
dalam tubuhnya semakin kuat melonjak-lonjak, sehingga Panji
menyeringai sejenak menahan rasa nyeri yang mengigit la
cepat menjulurkan kedua tangannya melakukan dorongan
untuk melumpuhkan si orang berkerudung itu.
Wusss!
"Aaahhh...!"
Si orang berkerudung menghindar ke samping ketika
mendapat serangan dari Panji. Dan secepat kilat ia
melancarkan serangan balasan ke leher Panji. Desis angin
pukulan yang mencicit tajam menandakan kalau tenaga sakti
yang dimiliki orang itu memang sangat kuat dan mematikan!
Mendapat serangan balasan yang berbahaya, Panji segera
mengegoskan kepalanya dan langsung melon-tarkan tamparan
telapak tangannya ke kepala orang berkerudung itu.
Wuttt!
Brakkk!
Sebatang pohon sebesar tubuh orang dewasa, ber-derak
patah ketika tamparan Panji berhasil dielakkan lawannya lalu
menghantam pohon itu keras. Si orang berkerudung sudah
melompat mundur dan mempersi-apkan serangan berikutnya.
"Kreeeaaa...!"
Sambil meraung bagaikan binatang buas yang murka, tubuh
orang berkerudung itu melesat melakukan serangan maut ke
arah Panji. Sambaran-samba-ran angin pukulannya berkesiutan
hingga menimbul-kan hembusan angin kencang. Panji meloncat
rneng-hindari serangan yang mengancam jalan darah di
tubuhnya. Sesekali terlihat dibalasnya pukulan-puku-lan maut
itu. Pertarungan dua orang sakti itu mem-buat daerah sekitar
hutan kecil itu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk angin
topan yang hebat!
"Heaaat..!"
Tiba-tiba Panji memekik nyaring hingga di sekitar tempat itu
bagai dilanda gempa. Tubuhnya melesat dengan kecepatan
yang luar biasa ke arah orang berkerudung itu. Kedua
tangannya terayun silih berganti melontarkan pukulan-pukulan.
Si orang berkerudung sama sekali tidak menyangka kalau di
dalam hutan kecil itu ia menemui lawan yang sangat tangguh
dan tegar! la sempat dibuat kalang-kabut, melihat sera-ngan
yang tak mungkin dapat dihindarinya itu, Pen-jagal Alam
Akherat mengangkat kedua tangannya menangkis serangan
Panji. Dan....
Dukkk! Dukkk!
"Aaakh...!"
Suara benturan yang ditimbulkan beradunya dua pasang
lengan itu telah membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar.
Sehingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan
telinga.
Si orang berkerudung menjerit. Tubuhnya terlem-par deras
bagaikan sehelai daun kering yang diter-bangkan angin. Darah
segar menyembur dari mulut-nya. Dan terbanting di tanah
berumput sambil meng-gigil bagaikan orang terserang demam
hebat! Gigi-giginya bergemelutuk tanpa dapat di cegah. Panji
berdiri tegak memandangi tubuh orang berkerudung yang
masih berusaha membebaskan dirinya dari serangan hawa
dingin yang hampir tak tertahankan oleh nya itu.
"Hm...," gumam Panji, seraya diangkat tangannya pelahan-
lahan ke atas. Rupanya pemuda itu berniat menghabisi nyawa
si orang berkerudung itu yang hanya memandang pasrah.
"Tahan...!"
Tiba-tiba Panji dikagetkan bentakan keras, yang membuat
Panji menahan gerakannya. Belum lagi ge-ma suara itu lenyap,
tahu-tahu beberapa sosok tubuh berlompatan ke tempat itu.
Mereka adalah Pendekar Tapak Maut dan kawan-kawannya
yang tengah me-ngejar si orang berkerudung itu. Jarga Lawa
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut terpaku
sejenak ketika melihat raut wajah Panji yang dingin dan kaku
itu. Tanpa sadar ia mundur selangkah de-ngan wajah agak
pucat.
"Ki.... Kisanak, siapakah kau...?" Tanya Pendekar Tapak
Maut ragu. Dikiranya Panji adalah kelompok Penjagal Alam
Akherat. Karena melihat cara berpa-kaian pemuda itu memang
mirip dengan si orang berkerudung. Hanya saja saat itu
kerudung Panji tergan-tung di belakang lehernya.
"Namaku Panji. Dan orang-orang menjuluki aku sebagai
Pendekar Naga Putih," selama berkecimpung dalam dunia
ramai, baru kali inilah Panji menyebut-kan sendiri gelarnya Hal
itu dilakukan guna meng-hindarkan kesalahpahaman di antara
mereka.
"Pendekar Naga Putih...!" Gumam Jarga Lawa dan tujuh
orang kawan-kawannya terkejut.
"Aku sedang bermalam di hutan kecil ini ketika orang aneh
itu kulihat berlari seperti menghindari sesuatu Aku terpaksa
menghentikannya karena aku mencurigainya," lanjut Panji
menerangkan duduk per-soalannya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. la belum yakin apa yang
dikatakan Panji. Namun, ia juga tidak mau te-rang-terangan
menuduh Panji musuhnya. Sebab, ia sadar orang yang diajak
bicara bukan orang sem-barangan.
"Aku tahu, para sahabat pasti mencurigaiku karena
pakaianku mirip dengan orang ini. Tapi percaya-lah. aku
berkata apa adanya," ujar Panji lagi me-yakinkan mereka.
"Hhh... maafkan kami, Kisanak. Kami harus ber-hati-hati
dalam menghadapi setiap orang asing yang kami temui. Apalagi
pakaian Kisanak sangat mirip dengan orang-orang berkerudung
yang belakangan ini seringkali melakukan pembunuhan yang
kekejaman-nya melebihi iblis," tukas Jarga Lawa merasa tak
enak mendengar ucapan Panji.
"Eh, jadi orang berkerudung itu tidak cuma satu?" Tanya
Panji heran.
"Itu baru dugaan kami saja, Kisanak. Pernah ter-jadi
beberapa pembunuhan. Dalam waktu bersamaan. Menurut
orang-orang yang melihatnya, pembunuh-nya adalah orang-
orang yang mengenakan kerudung seperti itu," ujar Jarga Lawa
dengan nada sedih. "Nantilah aku ceritakan seluruhnya,
Pendekar Naga Putih. Sekarang sebaiknya orang itu kita bawa
ke perguruan guna mendapat kepastian, untuk kita usut,"
lanjut laki-laki pendek kekar itu sambil memerintah-kan para
pengawalnya untuk mengangkat si orang bertopeng yang kini
dalam keadaan pingsan. Belum lagi dua pengawal Jarga Lawa
akan mengangkat tubuh si orang berkerudung, tiba-tiba dua
sosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh orang
berkerudung yang tergolek pingsan itu. Sambil me-nyambar
tubuh orang pingsan itu, tangan mereka mengibas ke kiri dan
kanan.
Wuttt! Wuttt!
"Aaahhh...!"
Hebat sekali serangan yang ditimbulkan oleh kibasan tangan
sosok bayangan hitam itu. Jarga Lawa dan kawan-kawannya
terpental didorong oleh kekuatan dahsyat yang tak tampak
Tubuh kedelapan orang itu bergulingan guna mematahkan
kibasan serangan gelap yang dilakukan oleh orang berkerudung
itu yang amat kuat.
Kedua sosok bayangan yang juga berkerudung itu, terus
melesat tanpa mempedulikan Jarga Lawa dan para pengawal.
Kedua sosok bayangan itu berlari sambil membawa tubuh
temannya yang sekarat itu.
"Hei, berhenti...!"
Panji berteriak sambil memburu kedua sosok ba-yangan itu.
Tubuh Panji melayang. Sehingga dalam beberapa kali
lompatan, tubuh pemuda itu mendarat didepan dua orang
berkerudung yang menjadi terke-jut setengah mati, tidak
disangka kalau mereka akan terkejar.
"Hm... mau lari ke mana kalian?" Seru Panji ber-usaha
mencegah buronan itu kabur.
Kedua buronan salmg berpandangan satu sama lain, dan
keduanya mengangguk berbarengan. Mereka berbalik ke arah
Panji serempak seraya berseru Ian-tang.
"Hiaaat!"
Wusss!
Angin keras menderu tajam ketika dua orang berkerudung
itu mendorong telapak tangan mereka ma-sing-maang, Pemuda
itu pun mengangkat kedua tangannya yang langsung didorong
menyambut dorongan dua orang berkerudung itu. Sehingga....
Blarrr!
"Aaa...!"
Terdengar suara ledakan dahsyat yang bagaikan hendak
meruntuhkan gunung. Beberapa batang pohon yang tumbuh
dekat mereka roboh seketika dan memperdengarkan suara
ribut! Benar-benar hebat se-kali pertemuan dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu!
Jarga Lawa dan kawan-kawannya yang telah sampai itu
dapat menyaksikan dari kejauhan terdorong mundur dengan
wajah pucat pasi. Dada mereka bagaikan digedor oleh sesuatu
kekuatan raksasa yang tak tampak! Cepat mereka menjatuhkan
diri dan ber-semadi guna menenangkan debaran dalam dada
mereka.
Sedangkan tubuh kedua orang berkerudung itu terhempas
ke belakang beserta sosok tubuh yang di-bawanya terpental
dengan kerasnya sehingga darah segar menyembur dari mulut
kedua orang berkerudung itu. Untunglah kedua orang
berkerudung itu dalam melakukan penyerangan dibarengi
penyatuan tenaga dalam saktinya. Kalau tidak, pastilah tulang-
tulang tubuh kedua sosok berkerudung itu akan remuk, akibat
dahsyatnya tenaga sakti liar yang mengeram dalam tubuh
Panji. Secepatnya dua orang berkerudung berbalik
menghampiri tubuh kawannya yang tergeletak pingsan itu
langsung membopongnya serta melakukan beberapa kali salto
di udara dan terus menghilang dalam kegelapan malam yang
mulai beranjak dini hari.
Panji sendiri, tidak menderita cidera. Pemuda itu hanya
tergempur kuda-kudanya. Sehingga tubuhnya hanya terdorong
mundur sejauh delapan tindak. Wajahnya yang tetap dingin
dan kaku tanpa emosi se-dikit pun membuat ia tidak sempat
mengejar lawan-nya karena keburu menghilang.
Didepan Panji terlihat Jarga Lawa bersama kawan-kawannya.
Panji melangkah pelahan menghampiri de-lapan laki-laki gagah
yang tengah melakukan semadi. Ditatapinya wajah orang-orang
itu satu persatu seolah ia ingin menegaskan kalau-kalau ada di
antara me-reka yang telah dikenalnya. Pemuda sakti itu meng-
hela napas berat ketika melihat tidak satu pun di antara
kedelapan orang pendekar itu yang dikenalnya. Akibat dari
tenaga sakti liar itu membuat dirinya menjadi linglung.
Pemuda tampan itu pun melangkah menjauh dan
menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Dila-yangkan
pandangannya ke arah orang-orang berkerudung yang
melarikan diri. Ia terpaksa harus me-nunggu tokoh-tokoh itu
menyelesaikan semadinya. Karena ia ingjn memperoleh
keterangan secara lebih jelas mengenai orang-orang
berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu.
Panji menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang
menuju ke arahnya. Tampak seorang laki-laki pendek gemuk
dan kekar tengah menghampiri-nya. Laki-laki itu tak lain adalah
Jarga Lawa. Setelah menyelesaikan semadinya dan melihat
Pendekar Naga Putih masih berada di tempat itu, maka ia pun
bergegas mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa, Pendekar Naga Putih?" Tegur Jarga
Lawa agak sedikit khawatir.
'Terima kasih, Paman. Aku tidak apa-apa. Kuha-rap Paman
sudi memanggilku dengan nama Panji saja," sahut Panji
tersenyum. Pemuda itu tidak sadar kalau senyumnya itu lebih
mirip seringai daripada se-nyum yang dimaksudnya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. "Aneh, mengapa pen-dekar
muda yang sangat sakti ini seperti orang sedang menderita
sakit? Wajah tampan itu begitu pucat dingin dan kaku. Hm...
Pasti ada sesuatu yang di-sembunyikan. Dan tampaknya ia
tidak ingin melibat-kan orang lain dalam persoalannya itu," kata
Pende-kar Tapak Maut dalam hati. Ia juga tidak mau mengu-
tarakan kepada Panji karena ia tidak ingin melibatkan dirinya
dalam persoalan pendekar ini yang sepertinya tidak ingin
diketahui orang lain.
"Marilah singgah di tempatku, Nak Panji. Bukan-kah aku
sudah berjanji akan menceritakan persoalan yang masih gelap
ini kepadamu," ajak Pendekar Ta-ngan Maut ramah kepada
Panji.
"Baiklah, Paman!" sahut Panji singkat mengikuti pendekar itu
yang juga telah mengajak kawan-kawannya.
Lalu mereka pergi meninggalkan hutan. Sinar bulan
keperakan menerangi rombongan pendekar. Dari kejauhan
lapat-lapat terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan
menyambut pagi.
***
"Sabarlah, Cucuku. Jangan kau turuti kata hati-mu," ujar si
kakek menghibur kepada seorang gadis jelita berpakaian serba
hijau.
Gadis jelita itu tidak Iain adalah Kenanga. la me-nunduk
sedih dihadapan kakek yang tidak lain adalah Eyang Wiku
Ginting. Kakek sakti itu membelai rambut kepala gadis yang
sudah dianggapnya sebagai cucu-nya sendiri.
'Tapi, Eyang, saya harus menyusul Kakang Panji. Saya
khawatir akan keselamatannya," kata Kenanga yang telah
mengetahui kepergian kekasihnya tanpa pamit. Kini ia
bersikeras hendak menyusul.
"Cucuku. Eyang tidak akan melarangmu untuk menyusul
kekasihmu itu. Tapi, tenangkanlah dulu hatimu. Setelah itu,
baru Eyang akan mengijinkanmu untuk menyusulnya," ucap
Eyang Wiku Ginting de-ngan lembut. Walaupun ia baru pertama
kali bertemu dengan murid keponakannya itu, ia amat
menyayangi-nya.
"Menurut Eyang, apakah yang telah menyebab-kan Kakang
Panji nekad minggat? Apakah ia marah padaku, Eyang?" Tanya
Kenanga lirih dengan nada se-dih.
'Tidak. Eyang rasa ia pergi bukan karena marah kepadamu,
Cucuku. Tapi kemungkinan ia mendengar pembicaraan kita.
Dan ketika Eyang mengatakan bahwa penyakitnya itu tak bisa
disembuhkan, mungkin ia menjadi putus asa. Lalu ia
mengambil keputusan un-tuk meninngalkanmu karena ia tidak
ingin kau ikut menderita karena memikirkan penyakitnya itu.
Hhh... Sayang ia tidak mendengar pembicaraan kita seluruh-
nya Kalau saja ia mendengarnya, pastilah ia tidak melakukan
hal yang bodoh seperti itu," kata Eyang Wiku Ginting menghela
napas berat. la pun kecewa atas kepergian pendekar muda
yang diam-diam amat dikaguminya itu.
"Ya! Oleh karena itulah saya harus menyusulnya, Eyang. Dan
saya akan menyampaikan perkataan Eyang yang belum sempat
didengarnya itu. Ahhh..., Kakang Panji, mengapa kita harus
berpisah lagi?" keluh gadis jelita itu. Sepasang mata yang indah
me-nerawang ke cakrawala biru.
"Pergilah, Cucuku. Semoga engkau dapat bertemu kembali
dengan pemuda idamanmu itu. Ahhh... be-tapa bodohnya dia.
Apakah ia tidak melihat kecanti-kan Cucuku ini. Atau ia
memang seorang pemuda yang bodoh," ucap Eyang Wiku
Ginting mencoba menghilangkan rasa sedih di antara mereka.
"Ahhh, Eyang...," desah Kenanga tertunduk dengan wajah
kemerahan. "Sudahlah! Saya mohon pa-mit, Eyang," seru gadis
itu sambil membungkuk mem-beri hormat kepada si kakek
yang menjadi paman gu-runya itu.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam lirih. Senyum
menghias di wajah tuanya. Padahal ia sendiri merasa berat
melepaskan murid keponakan-nya itu pergi, yang baru
beberapa hari dikenalnya.
Belum jauh Kenanga melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara tawa berkepanjangan. Kenanga cepat
memejamkan matanya guna melawan kekuatan dahsyat yang
menyerangnya. Karena suara tawa itu didorong oleh tenaga
sakti yang amat kuat.
"Ha ha ha...."
Suara tawa itu terus bergema memenuhi seluruh pelosok
puncak gunung tempat kediaman Eyang Wiku Ginting. Kenanga
yang semula akan menuruni lereng gunung, terpaksa menunda
kepergiannya. Gadis itu kembali berlari ke arah pondok
gurunya, menurut firasatnya bahwa suara tawa itu
menyebarkan hawa maut yang tersembunyi.
"Eyang...!" Kenanga berlari menghampiri si kakek yang
tengah berdiri didepan pintu pondok. Wajah Eyang Wiku
Ginting yang biasanya selalu tenang itu. Kini tampak tegang
dan gelisah. Hingga membuat Kenanga terheran-heran.
"Aihhh, Cucuku, apa yang telah terjadi?" Tegur Eyang Wiku
Ginting cemas.
"Aku terpaksa kembali, Eyang. Di tengah jalan aku
mendengar orang cekakakan. Siapakah gerangan orang yang
mengeluarkan suara tawa yang demikian menyeramkan itu,
Eyang?" Tanya Kenanga tanpa mempedulikan pandangan kakek
tua itu.
"Entahlah, Cucuku? Tapi yang jelas orang itu pas-tilah
berilmu tinggi, karena suara tawa itu dikeluar-kan dari tempat
yang cukup jauh," sahut si kakek kecut. Sebagai pendekar yang
sangat berpengalaman, Eyang Wiku Ginting sudah dapat
menduga bahwa orang yang tertawa aneh itu dapat
mengancam ke-selamatan dirinya dan Kenanga.
"Lebih baik kau cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka
itu datang dan melihatmu, Cucuku. Cepatlah! Sebelum
terlambat!" pinta Eyang Wiku Ginting tegas.
Terlambat! Dari kejauhan dua orang berpakaian hitam dan
berkerudung muncul, terlihat gelagat mereka datang dengan
maksud jahat.
"Cepat pergilah Cucuku. Biar Eyang yang akan menghadapi
mereka. Tampaknya mereka tidak bermaksud baik," bisik Eyang
Wiku Ginting lagi. Tapi Kenanga tetap tidak berajak dari
tempatnya berdiri. Ia enggan meninggalkan kakek seorang diri.
***
LIMA
'Tidak, Eyang. Biarlah aku tetap di sini bersama Eyang. Aku
ingin tahu apa maksud mereka kemari," tegas Kenanga.
Eyang Wiku Ginting terdiam mendengar bantahan gadis itu.
Ia dengan was-was memperhatikan kedua orang berkerudung
itu datang mendekat.
"Siapakah kalian! Ada keperluan apa denganku?" Tanya si
kakek ramah. Namun sepasang matanya ta-jam penuh selidik
memandang kedua orang tamu yang tak diundang itu.
"Hm... benarkah aku berhadapan dengan Eyang Wiku
Ginting?" Salah seorang berkerudung balik ber-tanya yang
seharusnya ia jawab teguran si kakek itu. Ia sebenarnya tidak
pantas mengeluarkan kata-kata kasar kepada seorang kakek
seperti Eyang Wiku Ginting.
"Kurang ajar!" maki Kenanga marah. Gadis itu sangat
tersinggung melihat kakeknya diperlakukan demikian. Kedua
tamu ini tidak tahu sopan santun menyapa kakeknya. Gadis itu
cepat naik pitam, di-cabut pedang hitamnya dan bersiap
menerjang orang-orang berkerudung itu.
Eyang Wiku Ginting cepat menahan Kenanga yang siap
dengan pedangnya. Hingga gadis jelita itu ter-paksa menahan
langkahnya. Si kakek memberi isya-rat dengan mengedipkan
sebelah matanya agar kenanga menahan diri.
"Kau tenanglah, Cucuku. Biar Eyang saja yang membereskan
mereka," bisik Eyang Wiku Ginting pelan.
"Benar! Akulah yang bernama Eyang Wiku Ginting. Ada
keperluan apakah sahabat berdua menca-riku?" Tanya si kakek
tersenyum ramah.
"Kami adalah Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Maksud
kedatangan kami adalah untuk mengambil nyawamu! Nah,
bersiaplah!" ucap orang berkerudung yang satunya lagi.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat..?" gumam si kakek sambil
mengerutkan kening. la mengingat-ingat s-suatu yang
berhubungan dengan dua orang tamu berkerudung itu. "Aku
pernah mendengar nama dan sepak terjang kalian di daerah
Selatan baru-baru ini Tidak kusangka hari ini kalian sampai di
daerah Barat ini. Dan karena aku tinggal di perbatasan antara
Selatan dan Barat maka sasaran pertama kalian adalah aku.
Boleh aku tahu, apa maksud kalian menebarkan bencana di
kalangan dunia persilatan? Apakah, kalian mencari seseorang
untuk membalas dendam, atau ingin menguasai dunia
persilatan?"
Kedua tamu berkerudung itu diam membisu. Sorot mata
mereka menatap tajam menyiratkan hawa maut yang
menggetarkan hah siapa saja yang beradu pandang dengan
mereka. Pelahan-lahan tangan me-reka terangkat ke atas.
Angin dingin menebar meng-gigit kulit.
"Hm!"
Disertai sebuah dengus kasar, tubuh salah seorang dari
kedua orang berkerudung itu dengan geram menerjang Eyang
Wiku Ginting dan Kenanga. Serangkum angin tajam berhembus
keras mengiringi sambaran sepasang tangannya yang
bertenaga kuat itu.
"Menyingkirlah, Cucuku!" Seru Eyang Wiku Ginting
mendorong Kenanga hingga terdorong beberapa langkah ke
sampingnya.
Wuttt!
"Hm..."
Eyang Wiku Ginting memiringkan badannya ke kanan
sehingga bacokan telapak tangan lawan lewat di sampingnya.
Kemudian si kakek melompat ke belakang menghindari tusukan
tangan lawan yang menyusul serangan pertamanya yang gagal.
Sambaran jari-jari tangan yang menimbulkan suara mencicit
tajam itu berhasil pula dihindari kakek itu.
Orang berkerudung yang mengaku Penjagal Alam Akherat itu
melompat mengejar tubuh lawannya. Kedua tangannya kembali
menyambar berkesiutan me-ngancam keselamatan kakek itu
yang menjadi cukup kerepotan dibuatnya.
Beberapa kali serangan si orang berkerudung itu berhasil
dihindari Eyang Wiku Ginting dengan me-lukkan tubuh maupun
geseran kaki. Akhirnya kakek itu terpaksa mengangkat tangan
kanannya menangkis serangan lawannya yang kali ini tak
mungkin dapat dihindari. Selain itu pun ingin menjajaki sampai
di mana kira-kira kekuatan tenaga dalam lawannya yang meng-
aku mempunyai julukan mendirikan bulu roma itu.
"Hm...!"
Dukkk!
"Aaahhh...!"
Eyang Wiku Ginting sangat terkejut ketika mera-sakan
tangannya bagaikan berbenturan dengan se-bongkah salju
yang keras bagaikan baja. Tubuh kakek tua itu terjajar mundur
sejauh empat tombak. Wajahnya menyeringai menahan rasa
nyeri yang mengigit pada pergelangan tangannya.
"Gila! Tenaga dalam orang berkerudung ini luar biasa!
Untunglah aku sebelumnya telah menggunakan lebih dari
separuh tenagaku sewaktu menangkis se-rangannya. Kalau
tidak, bisa-bisa remuk tulang-tu-lang lenganku dibuatnya,"
desah Eyang Wiku Ginting terkejut.
Si orang berkerudung pun tidak kalah terkejutnya dengan
tenaga dalam kakek itu. Tubuhnya tergetar mundur sejauh
enam tombak ke belakang. Wajah di balik kerudung itu terlihat
meringis menahan rasa sakit.
"Eyang...!" Teriak Kenanga sambil berlari membu-ru ke arah
Eyang Wiku Ginting la cemas menyaksikan Eyang Wiku Ginting
mengerang kesakitan.
"Tenanglah, Cucuku. Eyang Hdak apa-apa. Seba-iknya
engkau cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Engkau sudah
lihat betapa dahsyatnya tenaga yang dimiliki orang yang
satunya Itu, hingga membuat Eyang kewalahan seperti ini.
Entah apa jadinya bila mereka berdua mengeroyok Eyang.
Rasanya Eyang tidak akan mampu menghadapi gempuran
kedua orang berkerudung itu," Eyang Wiku Ginting kembali
mengingatkan gadis itu, akan bahaya yang mengan-cam.
'Tidak, Eyang Aku akan tetap di sini menemani Eyang!"
bantah gadis jelita itu. Pedang hitam yang masih berada di
dalam genggamannya itu, sudah me-lintang didepan dada.
Rupanya tekad gadis itu sudah benar-benar tak dapat dibantah
lagi.
"Dengarlah, Cucuku. Kematian bukanlah meru-pakan sesuatu
yang mengerikan bagiku. Lagi pula usiaku yang memang sudah
demikian lanjut. Sedang-kan engkau, masih sangat muda
sekali, Cucuku. Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih?
Bukankah engkau hendak mencarinya? Lalu, bagaimana mung-
kin kamu dapat menemukannya kalau kamu tidak segera pergi
untuk mencarinya? Mungkin saat ini ke-kasihmu dalam keadaan
sekarat, entah di mana dan tidak ada seorang pun yang berada
di sisinya yang dapat meringankan penderitaannya," kata
Eyang Wiku Ginting, merasa kewalahan menghadapi kekerasan
hati gadis itu, terpaksa menggunakan akalnya untuk membujuk
Kenanga.
Mendengar ucapan Eyang Wiku Ginting yang me-ngingatkan
niatnya semula untuk mencari Pendekar Naga Putih, membuat
gadis itu termenung sejenak. Terlintas dalam benaknya
bayangan tubuh Panji yang rebah tergolek tampak seorang diri
di tengah hutan. Ia menarik napas dalam-dalam. Di dalam
dirinya sedang berkecamuk dua pilihan yang amat sulit. Pergi
me-ninggalkan Eyang Wiku Ginting atau mencari kekasih-nya
yang sekarang tidak tahu ke mana rimbanya. Jelas sekali kalau
gadis itu tidak berdaya untuk mengambil keputusan.
Eyang Wiku Ginting tersenyum ketika melihat pancingannya
membawa hasil. Rasa haru menyeruak di hati tuanya ketika
mengetahui apa yang tengah dipikirkan gadis jelita itu. Ditepuk-
tepuknya bahu sang cucu seolah-olah dengan cara begitu sang
kakek ingin memberi tambahan kekuatan kepada murid ke-
ponakannya itu.
"Nah, sekarang pergilah, Cucuku. Semoga kau berhasil
menemukan kekasihmu itu," ujar Eyang Wiku Ginting seraya
tersenyum lemah.
'Tapi... bagaimana dengan Eyang?" Sahut Kenanga yang
masih cemas terhadap nasib paman gurunya.
"Sudahlah, sebelum kau datang pun Eyang selalu
menghadapi hal-hal seperti ini. Karena sebagai se-orang yang
memiliki kepandaian silat, kita selalu me-nemukan kejadian
yang berbau maut," tukas si kakek itu tenang.
"Baiklah, Eyang, saya pergi dulu. Jagalah diri Eyang baik-
baik. Mudah-mudahan kita dapat berjum-pa lagi kelak."
Akhirnya Kenanga dengan berat hati pergi meninggalkan
paman gurunya, ia melesat keluar pondok terus berlari
menuruni lereng bukit itu hingga tak tampak lagi batang
hidungnya.
Tentu saja kedua orang berkerudung itu tidak mau
membiarkan gadis jelita itu lepas begitu saja. Salah seorang
dari mereka sudah melesat untuk men-cegah Kenanga.
"Jangan ganggu dia! Bukankah kedatangan kalian kemari
untuk berurusan denganku!" Bentak Eyang Wiku Ginting agak
gusar ketika melihat salah seorang dari musuhnya hendak
menahan kepergian murid keponakannya itu. Teriakannya tidak
digubris orang berkerudung yang tetap hendak menahan
kepergian gadis jelita itu, maka tubuh si kakek itu pun segera
melesat memapaki si orang berkerudung yang siap menangkap
Kenanga.
"Huh!"
Wuttt!
Hantaman telapak tangan si kakek berhasil membuat si
orang berkerudung menunda maksudnya itu. Ketika serangan
telapak tangan lewat disisi tubuh-nya, si orang berkerudung
membalas melepaskan sebuah tendangan kilat yang meluncur
deras menuju lambung Eyang Wiku Ginting. Sesaat kemudian,
ke-dua orang itu pun sudah teriibat dalam sebuah per-kelahian
sengit!
"Hiaaa!"
Wuttt! Wuttt!
Plak! Plak! Plak!
"Uhhh...!"
Tubuh kedua orang sakti itu terjajar mundur ke-tika
beberapa buah pukulan mereka saling berben-turan hingga
menimbulkan ledakan-ledakan yang cukup keras.
"Hm!"
Si orang berkerudung menggeram gusar karena pada
pertemuan tenaga yang kedua kalinya itu, tubuhnya sempat
hampir terpelanting akibat kuatnya tenaga yang terkandung
dalam tangkisan dan puku-lan kakek itu. Dari sini jelas terihat
bahwa kekuatan tenaga dalam si orang berkerudung ternyata
masih di bawah tenaga dalam Eyang Wiku Ginting.
Sebenarnya wajar saja kalau tenaga yang dimiliki si orang
berkerudung masih kalah dengan tenaga yang dimiliki kakek
tua itu. Karena kedudukan Eyang Wiku Ginting pada masa itu
boleh dibilang termasuk tokoh-tokoh tingkat atas. Dan jarang
ada tokoh-tokoh sesat yang berani membuat persoalan
dengannya. Hanya saja pada beberapa tahun terakhir ini ia
jarang sekali muncul di dunia ramai hingga orang-orang
kalangan dunia persilatan hampir melupakan nama-nya.
Namun, hal itu bukan merupakan jaminan bah-wa
kepandaiannya sudah menurun.
"Hm... mengapa kau berhenti, Penjagal Alam Akherat?
Apakah kau merubah keputusanmu dan berniat meninggalkan
tempatku ini?" ujar Eyang Wiku Ginting masih tetap ramah
meskipun dalam ucapan-nya itu terkandung ejekan yang
tersembunyi.
Si orang berkerudung tidak menanggapi ucapan lawannya
itu, sekilas ia menoleh ke arah kawannya yang tengah
melangkah menghampirinya. Sejenak ter-lihat keduanya saling
pandang. Sedetik kemudian, dua orang berkerudung itu pun
mengalihkan pandang ke arah Eyang Wiku Ginting yang saat itu
juga tengah menatap kedua orang lawannya itu.
Sadar bahwa mereka serempak akan menyerang, si kakek
siap memasang kuda-kuda dan menyilang-kan kedua
tangannya.
"Hm..., 'Lapisan Benteng Menahan Pasukan Ber-kuda'...!"
Seru salah seorang berkerudung mendengus mengejek.
"Gila, siapa sebenarnya dua orang yang menge-nakan
kerudung ini? Kalau mereka dapat mengenali ilmu yang jarang
kupergunakan ini, jelas mereka bukan orang sembarangan! Aku
harus lebih berhati-hati menghadapinya. Siapa tahu mereka
sudah mengetahui akan ketemahan-kelemahan dari ilmuku ini,"
gumam si kakek mawas diri.
"Hiaaat..!"
Disertai teriakan menggelegar, tubuh kedua orang
berkerudung itu melesat serentak. Tubuh mereka jungkir balik
di udara, kemudian melepaskan sera-ngan dari dua jurusan
yang berlawanan. Serangan mereka sangat hebat dan
membingungkan.
Melihat lawannya menyerang dari dua jurusan, Eyang Wiku
Ginting tidak kalah sigap melepaskan deru angin kuat melalui
daya pukul kedua tangannya.
"Aaakh...!"
Di luar perhitungan mereka, serangan mereka tidak bisa
menembus, seakan-akan ada dinding pemisah yang amat kuat.
Akibatnya serangan mereka gagal, bahkan mereka menderita
cidera.
"Hiaaat!"
Sambil melengking keras, mereka mencoba menembus
dinding yang tak tampak itu. Kedua tangan mereka bergerak
berganti-bergantian hingga menim-bulkan deru angin kencang.
Di sekitar arena perta-ru-ngan menjadi agak gelap oleh debu-
debu kering beter-bangan.
"Hekhhh...!"
Tenaga dalam Eyang Wiku Ginting kembali ber-tambah.
Wajah si kakek merah padam menangkis te-kanan gelombang
tenaga dahsyat yang menghimpit-nya dari dua arah.
"Hiaaat!"
Disertai teriakan keras, tubuh si kakek melam-bung ke udara
melepaskan benteng pertahanannya. Ia sadar, kekuatan
tenaganya tak akan mampu mena-han tenaga himpitan lawan.
Beberapa kali jungkir balik di udara, si kakek langsung
menghunus pedang saktinya.
Walaupun Eyang Wiku Ginting lebih banyak men-dalami ilmu
pengobatan dari pada ilmu silat tapi kepandaian silatnya tidak
berbeda jauh dengan adik seperguruannya, si Raja Pedang
Pemutus Urat yang tewas di tangan Jaya Sukma. (Baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode: Malaikat Maut Pencabut
Nyawa')
Wunggg! Wunggg!
Angin pedang menderu berkesiutan ketika Eyang Wiku
Ginting menggerakkan pedang di tangannya. Meskipun ia tidak
mampu untuk mempelajari 'Ilmu Pedang Pemutus Urat' yang
dimiliki adik seperguruannya, namun 'Ilmu Pedang Bunga
Teratai' yang dimili-kinya tidak bisa dipandang remeh.
Saat itu dua orang berkerudung yang menjadi lawannya
mendorongkan pukulan telapak tangan jarak jauhnya secara
berbarengan.
Wusss!
Dhuarrr!
Debu dan daun-daun kering membumbung tinggi ketika
pukulan mereka menghantam tanah tempat di mana Eyang
Wiku Ginting berdiri. Untunglah si kakek cepat mengelak.
Sedikit saja ia lengah, maka tidak ayal lagi pukulan jarak jauh
yang dilepaskan lawan dapat menghancurkan tubuhnya.
"Hiaaat..!" teriak si kakek balik menyerang, tubuh renta itu
meluncur deras ke arah mereka. Kedua orang kakek.
Penglihatan mereka terganggu oleh sinar kilatan yang
menyilaukan dari pedang kakek itu yang menyilaukan dari
pedang si kakek itu.
Dua orang berkerudung terus berloncatan meng-hindari
sabetan pedang si kakek yang siap mencabut nyawa mereka.
Gulungan sinar pedang yang terka-dang mirip bunga teratai itu
benar-benar membuat dua orang Penjagal Alam Akherat itu
dibuat sibuk. Kalau saja kepandaian mereka tidak betul-betul
tinggi, rasanya mereka tidak mungkin akan berani menyatroni
kediaman kakek sakti itu.
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tebasan pedang Eyang
Wiku Ginting menderu dalam posisi men-datar. Sinamya yang
berwarna kekun'mgan itu ber-keredep Iaksana sambaran kilat
yang menerangi per-mukaan bumi. Salah seorang dari
kawannya bergegas menggeser tubuhnya menghindari tebasan
maut itu. Sambil menghindari serangan, jari-jari tangan si
orang berkerudung meluncur tajam menuju lambung Eyang
Wiku Ginting.
CuittH
"Aiilhhh...!"
Eyang Wiku Ginting meliukkan tubuhnya sehingga tusukan
jari tangan yang dapat mencoblos batu ka-rang itu dapat
dihindarinya. Tapi siapa sangka lawan-nya telah
memperhitungkan gerak pukulannya secara cermat Sebuah
tendangan kilat meluncur mengancam dada si kakek. Merasa
tidak mempunyai peluang lagi untuk menghindari, kakek itu
terpaksa menyabetkan pedangnya dengan maksud membabat
putus kaki lawan.
Tapi rupanya tendangan si orang berkerudung itu hanya
merupakan tipuan! Tepat pada saat sabetan pedang si kakek
menyambut kakinya, si orang berke-rudung segera menarik
pulang tendangannya. Dan pada saat itu juga, sebuah
tamparan dari si orang berkerudung yang satunya lagi telah
menghantam pelipis kakek itu.
Wuttt! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tubuh si kakek terpelanting seketika! Tampak darah segar
meleleh di sela bibirnya. Untung dalam keadaan terpojok ia
sempat menundukkan kepalanya sehingga tamparan dahsyat
itu hanya mengenai bahu-nya. Namun, meskipun hanya
mengenai bahu, tamparan orang berkerudung Itu telah pula
membuat dada dalamnya terluka. Entah apa jadinya apabila
tamparan itu benar-benar mengenai pelipisnya. Mung-kin kepa-
lanya itu akan pecah berantakan!
Kesempatan yang hanya beberapa detik tidak disia-siakan
lawan-lawannya. Mereka menghujani pukulan dengan dorongan
sepasang telapak tangannya. Tak pelak lagi, serangan dahsyat
itu tak dapat dihindarinya. Maka....
Desss! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Eyang Wiku Ginting menjerit ngeri ketika hanta-man empat
pasang telapak tangan yang berkekuatan itu menghantam
tubuhnya. Sehingga tubuh tua renta itu terhempas bagai
sehelai daun kering yang tertiup angin. Darah segar
menyembur dari mulutnya, sebelum tubuh kakek tua itu
terbanting di tanah, dua orang berkerudung itu melontarkan
pukulan jarak jauh secara bersamaan.
"Hiaaat..!"
Whuuusss!
Blaaarrr!
"Aaa...!"
Mengerikan sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan
Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu. Bagaikan sebuah mercon,
tubuh Eyang Wiku Ginting pecah berhamburan diiringi teriakan
kematian yang menyayat. Kakek tua sakti itu tewas di tangan
dua orang berkerudung yang mengaku sebagai Penjagal-
Penjagal Alam Akherat dengan tubuh hancur dan tak dapat
dikenali lagi.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dua orang
berkerudung itu pun melesat meninggalkan tempat kediaman
Eyang Wiku Ginting. Semilir angin bertiup sejuk seolah-olah
mengusir si Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu.
***
ENAM
Di sebuah ruangan pertemuan bangunan induk perguruan
yang letaknya di sudut Desa Jati Alur, tampak tujuh orang laki-
laki duduk mengitari sebuah meja.
"Jadi bagaimana menurutmu, Nak Panji?" Tanya seorang
laki-laki bertubuh pendek. Orang itu tidak lain adalah Jarga
Lawa atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tapak
Maut. Setelah men-ceritakan berbagai kejadian yang
dialaminya, ia pun meminta pendapat Pendekar Naga Putih
yang juga dikenal dengan panggilan akrab Panji.
Panji tidak langsung menjawab. Ia termenung sejenak,
memikirkan langkah yang akan mereka ambil untuk
menghentikan keganasan kawanan Penjagal Alam Akherat.
Kening pemuda itu berkerut, ia seperti tengah berpikir keras.
Jarga Lawa dan lima orang tokoh lainnya tidak berani untuk
bertanya lebih lanjut. Mereka sadar apa yang akan dikatakan
pemuda itu nanti, bukankah ucapan yang asal jadi saja. Oleh
karena itu, mereka hanya berdiam diri saja melihat Panji
termenung.
'Paman, kira-kira berapa perguruan silat yang ter-besar di
wilayah Selatan ini?" Tanya Panji tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan yang cukup aneh itu, enam orang
tokoh yang hadir dalam pertemuan itu saling memandang tak
mengerti. Namun ketika mereka me-lihat kesungguhan Panji,
mereka pun mengerti bahwa Panji pasti mempunyai maksud
dengan pertanyaan itu.
"Hm... kurang lebih sekitar delapan perguruan. Itu hanya
yang terbesar. Sedangkan yang lainnya tidak terhitung," jawab
Jarga Lawa. la kelihatan agak bi-ngung karena sama sekali
belum dapat menduga jalan pemikiran Panji.
"Menurut cerita yang Paman tuturkan padaku, saat ini hanya
tinggal Perguruan Golok Sakti yang belum diganggu kawanan
iblis itu Benar begitu, Paman?" ujar Panji memastikan. Orang
yang berjuluk Pendekar Tapak Maut mengangguk. "Nah, karena
hanya tinggal perguruan itu yang belum diganggu, apakah
bukan tidak mungkin suatu hari kelak juga mendapat giliran
sasaran kawanan Penjagal Alam Akherat?!" tukas Panji lagi.
"Aaahhh...?" gumam para pendekar serentak.
Pemyataan Panji menyadarkan mereka bahwa peristiwa itu
bisa saja di Perguruan Golok Sakti.
"Ah, betapa bodohnya aku! Mengapa selama ini tidak pernah
terlintas dalam pikiranku?" kata Jarga Lawa sambil menepuk
dahinya.
"Benar! Mengapa kita tidak pernah berpikir ke sana!" Seru
lainnya, yang juga baru tersadar apa yang dikhawatirkan Panji.
"Kalau begitu sasaran mereka kali ini pastilah Per-guruan
Golok Sakti. Perguruan itulah satu-satunya yang belum
ditaklukkan kawanan Penjagal Alam Akherat," sahut yang
lainnya menimpali.
"Jika benar demikian, ayolah kita berangkat! Jangan-jangan
kita akan kedahuluan oleh iblis-iblis keparat!" perintah Jarga
Lawa seraya keluar meninggalkan ruang perguruan.
Rombongan para pendekar termasuk Panji ber-siap-siap
berangkat menuju Perguruan Golok Sakti. Rombongan dipimpin
langsung Pendekar Tapak Maut.
"Paman, sebaiknya kita jangan terlalu banyak membawa
orang. Biar perjalanan kita bisa lebih cepat," bisik Panji yang
berjalan di sisi Jarga Lawa. Panji sengaja berbicara pelan agar
tidak didengar teman-temannya yang lain. Salah-salah bisa
menyingung pe-rasaan mereka.
"Baiklah, Panji. Aku akan memilih beberapa orang saja yang
kira-kira kepandaiannya dapat di andal-kan," jawab Jarga Lawa
yang langsung menyetujui usul Pendekar Naga Putih alias Panji.
Jarga Lawa pun segera memilih dua belas orang dari
perguruan yang berlainan. Kemudian dipilih lagi dua orang
tokoh dari tiap-tiap perguruan untuk me-wakili perguruan
masing-masing. Setelah segala se-suatunya dipersiapkan, maka
pagi itu juga rombo-ngan yang terdiri dari sembilan belas orang
berangkat meninggalkan Desa Jati Alur.
***
Tidak seperti biasanya, hari itu halaman Pergu-ruan Golok
Sakti tampak ramai. Puluhan orang murid berjajar rapi
membentuk sebuah barisan yang cukup panjang. Di muka
barisan para murid itu, tampak seorang laki-laki setengah baya
yang seluruh wajahnya di tumbuhi brewok, berdiri angker.
Sepasang matanya yang bulat dan lebar itu merayapi wajah
puluhan orang murid yang berdiri tegang. Di kanan-kirinya
tampak dua orang laki-laki gagah berdiri tegap. Pada bagian
dada sebelah kiri pakaian mereka bergambar golok bersulam
benang perak. Kedua pendekar itu adalah tokoh-tokoh tingkat
utama dari Perguruan Golok Sakti.
"Murid-muridku sekalian, dengarlah!" Teriak laki-laki brewok
lantang. Suaranya yang didorong tenaga dalam itu terdengar
nyaring hingga barisan yang paling belakang. Hal ini
menandakan bahwa kekuatan tenaga dalam si brewok itu
sudah sangat tinggi. "Hari ini, aku sengaja mengumpulkan
kalian. Karena per-guruan kita mungkin akan menjadi sasaran
kebiada-ban Penjagal-Penjagal Alam Akherat yang pada saat ini
tengah mengganas. Jadi aku minta agar kalian bersiap-siap.
Dan kalau ada sesuatu yang mencuriga-kan, kalian harus cepat
melapor, mengerti!"
"Kami mengerti, Guru!" Sahut para murid serentak.
Setelah memberikan beberapa pesan lainnya yang kira-kira
diperlukan, maka laki-laki brewok yang juga adalah ketua
Perguruan Golok Sakti itu pun segera membubarkan murid-
muridnya.
Puluhan orang murid membubarkan diri. Mereka segera
melaksanakan tugas masing-masing yang dibe-rikan gurunya.
Sedangkan dua orang laki-laki gagah yang berpakaian biru
muda, mengiringi guru besar mereka yang berjalan memasuki
bangunan induk perguruan.
"Guru, benarkah kawanan Penjagal Alam Akherat itu akan
menyerang perguruan kita?" Tanya salah seorang berseragam
biru muda itu kepada sang Guru. Rupanya ia belum merasa
yakin apa yang dikatakan gurunya tadi.
"Entahlah, Prawida. Aku sendiri masih meragukan hal itu.
Tapi tidak ada salahnya kita bersiap-siap. Karena beberapa
perguruan terbesar di wilayah ini telah hancur ditaklukkan
Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Siapa tahu mereka
mengincar..." Sahut sang guru yang dalam rimba persilatan
dijuluki Pendekar Golok Kembar.
"Jadi masih kabar burung?" Tanya lelaki berseragam biru
muda yang lainnya.
"Hm..." Pendekar Golok Kembar hanya bergumam, sehingga
membuat kedua orang itu terdiam. Mereka sadar bahwa guru
mereka sudah tidak ingin mem-bicarakan masalah itu lagi.
Belum sampai Hga orang itu menginjakkan kaki di pintu,
tiba-tiba terdengar jeritan menyayat. Mereka saling
memandang penuh tandatanya. Kemudian mereka meluncur
menuju ke tempat asal suara jeritan tadi.
Pendekar Golok Kembar dan dua orang murid uta-manya itu
terkejut ketika mereka melihat dari kejauhan dua orang
berpakaian hitam-hitam sedang mengamuk dikeroyok belasan
orang murid Perguruan Golok Sakti. Para pengeroyok banyak
yang berja-tuhan.
"Guru, sepertinya kedua orang berkerudung...!?" Kata murid
utama yang bernama Prawida tak berani meneruskan
ucapannya.
"Ya! Itulah mereka, kawanan Penjagal Alam Akhe-rat!" Tukas
sang guru tegas. la geram melihat belasan orang muridnya
bergeletakan tak bernyawa.
"Tapi... Bukankah biasanya mereka datang malam hari?"
Tanya murid utama yang satunya lagi tak per-caya.
"Hm... mungkin iblis-iblis keparat itu sudah tak sabar untuk
membantai kita," sahut Pendekar Golok Kembar, seraya
melambungkan tubuhnya ke udara. Dengan beberapa kali
putaran, kedua kakinya men-darat tepat di tengah-tengah
arena perkelahian yang sedang berlangsung itu.
"Tahan...!" teriak keras sang guru. Sambil mem-bentak keras
ketua Perguruan Golok Sakti mendo-rongkan sepasang telapak
tangannya kedepan. Angin pukulannya menderu keras
mengejutkan si orang berkerudung yang berada dua tombak di
hadapannya.
"Hm!"
Sambil mendengus keras si orang berkerudung melompat ke
belakang. Tangan kanannya dikibaskan menyambut dorongan
ketua Perguruan Golok Sakti.
Bresss!
"Uhhh...!"
Terdengar suara Ietupan kecil di udara ketika dua
gelombang tenaga sakti itu saling bertemu. Pendekar Golok
Kembar terpekik kaget. Tubuhnya terjajar mundur sejauh enam
langkah ke belakang. la benar-benar merasa terkejut ketika
mendapat kenyataan bahwa tenaga si orang berkerudung itu
tidak berada di ba-wahnya.
Sedangkan si orang berkerudung sendiri tidak ka-lah
terkejutnya ketika merasakan kekuatan tenaga orang yang
menyerangnya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ketika
berbenturan dengan laki-laki brewok yang baru tiba itu. Si
orang berkerudung melakukan beberapa kali salto guna
mematahkan doro-ngan itu. Kedua kakinya mendarat ringan
beberapa tombak di depan lawannya.
'"Guru...!" teriak kedua murid utamanya.
Dua orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid
utama bergegas menghampiri Pendekar Golok Kembar. Kedua
orang itu sempat terkejut ketika melihat tubuh guru besar
mereka sempat terdorong aki-bat benturan tenaga sakti si
orang berkerudung. Meskipun mereka sudah mendengar
tentang kehe-batan Penjagal Alam Akherat. Namun sama sekali
di luar dugaan mereka kalau iblis-iblis itu dapat me-mukul
mundur guru besarnya hanya dalam segebrak-kan saja.
"Hm... kalian berhati-hatilah! Kepandaian Pen-jagal-Penjagal
Alam Akherat itu sepertinya tidak berada di bawah
kepandaianku," bisik sang guru mempe-ringatkan dua orang
murid utamanya.
Mendengar peringatan gurunya, kedua orang laki-laki
berpakaian biru itu mengangguk mengiyakan. Mereka pun
sadar bahwa kepandaian orang-orang berkerudung itu memang
sangat tinggi. Dan hal itu telah mereka lihat sendiri ketika guru
mereka mengadu tenaga dengan salah seorang dari dua orang
berkerudung itu.
Saat itu juga, sang guru memerintahkan semua murid-murid
dan dua murid utamanya segera mun-dur. Mereka berdiri dan
membentuk lingkaran dalam jarak sepuluh tombak dari kedua
orang berkerudung itu. Senjata mereka masih tergenggam erat
dan siap untuk hertempur kembali.
"Hm..., Penjagal-penjagal Alam Akherat! Kedata-ngan kalian
memang sudah kami tunggu-tunggu, tapi tidak kusangka kalian
datang demikian cepat. Nah, sekarang mari kita selesaikan
urusan ini," seru Pendekar Golok Kembar siap dengan golok
kembarnya yang memancarkan sinar keperakan.
Dua orang berkerudung itu hanya menggeram pe-lahan
tanpa menjawab ucapan lawannya Sedetik kemudian, keduanya
menggeser kaki masing-masing dan berpencar ke arah yang
berlawanan.
"Gggrh...!"
Dibarengi sebuah geraman yang menggetarkan jantung,
Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu pun melompat berbarengan
ke arah lawan-lawannya.
"Kalian hadapilah orang berkerudung yang di se-belah
kanan. Biar aku akan menghadapi orang berkerudung yang
berada di sebelah kiri," perintah Pende-kar Golok Kembar
kepada kedua orang murid utama-nya itu.
Mendengar perintah gurunya, dua orang laki-laki gagah itu
serentak melompat menyambut serangan si orang
berkerudung. Sesaat kemudian, mereka pun sudah saling
serang dengan ganas.
Prawida yang merupakan murid tertua dari Perguruan Golok
Sakti mengisyaratkan kepada adik seper-guruannya agar
mereka melakukan pertempuran ber-pasangan. Karena dengan
cara bertempur seperti itu mereka dapat saling melindungi dan
tenaga tangkisan atau pukulan mereka pun akan lebih kuat
daripada melakukan pertempuran sendiri-sendiri.
Wuuut!
Sebuah tamparan telapak tangan lawan berhasil dihindarkan
Prawida dengan baik. Dan pada detik itu juga adik
seperguruannya melontarkan sebuah puku-lan yang disusul
babatan goloknya mengancam lam-bung si orang berkerudung.
Dua serangan berbahaya meluncur cepat. Si orang
berkerudung bukan menghindari malah sebaliknya melangkah
maju menyambut serangan lawan. Tentu hal itu sengaja
mereka lakukan agar lawan terkecoh. Dua murid andalan guru
besar dari Perguruan Golok Sakti itu begitu bernapsu untuk
menghabisi lawan-nya.
Plakkk! Bukkk! Desss!
"Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang tak tampak oleh mata, si orang
berkerudung bergerak menangkis serangan lawannya, hingga
serangan golok lawan luput dari tubuhnya. Demikian cepatnya
gerakan Penjagal Alam Akherat itu, hingga pengawal yang
bernama Prawida tak sempat lagi untuk menyelamatkan adik
seperguruannya dari hantaman lawan.
Tubuh laki-laki gagah, murid kedua dari Pergu-ruan Golok
Sakti itu terlempar ke belakang. Darah pun mengucur deras
dari mulutnya. Rupanya puku-lan dan tendangan si orang
berkerudung telah meng-hantam dada dan lambungnya. Tanpa
sempat ber-pesan lagi, adik seperguruan Prawida tewas
seketika. Bagian dada dan lambungnya telah remuk akibat
hantaman yang sangat kuat itu.
"Keparat! Kau harus menebusnya dengan nya-wamu! Lihat
pukulanku!" Teriak Prawida marah ke-tika melihat adik
seperguruannya telah tewas. Tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya lagi, Prawida me-ngamuk. Tapi sayang
yang dihadapinya kali ini bukan tokoh sembarangan. Orang
berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu adalah
tokoh yang sangat ditakuti. Kepandaian ilmu silatnya sangat
tinggi, jarang tertandingi meski oleh tokoh-tokoh ting-katan
atas sekalipun. Wajarlah kalau serangan-sera-ngan yang
dilontarkan Prawida sama sekali tidak ada artinya buat si orang
berkerudung itu.
"Hm!"
Si orang berkerudung mendengus kasar. Sedetik kemudian,
tubuhnya melompat ke belakang menjauhi Prawida. Tapi ia
sama sekali tidak bersiap untuk menyerang. Orang itu hanya
berdiri tegak sambil me-natap lawannya.
Sementara itu, pertarungan lain berlangsung sengit antara
Pendekar Golok Kembar dan Penjagal Alam Akherat yang
lainnya, tampak berlangsung se-ngit. Sepasang golok perak di
tangan laki-laki brewok itu berkelebat cepat dan menyambar-
nyambar. Pe-mimpin Perguruan Golok Sakti itu benar-benar
telah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menun-
dukkan si orang berkerudung yang satunya lagi.
"Hiaaat...!"
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, ketua Perguruan
Golok Sakti membentak keras sambil mengi-bas-ngibaskan
gotoknya secara bersilangan. Kilatan-kilatan mata golok yang
memantulkan sinar matahari sangat menyilaukan membuat si
orang berkerudung terpaku untuk beberapa saat lamanya. Dan
pada saat sepasang golok itu hampir membabat batang leher-
nya, si orang berkerudung menundukkan kepalanya. Tentu saja
hal itu sangat mengejutkan hati Pendekar Golok Kembar.
Karena sabetan sepasang goloknya yang luput itu, membuat
tubuhnya kehilangan kese-imbangan. Namun hal itu bukan
sesuatu yang me-nyulitkan baginya. Dengan sebuah gerakan
yang indah laki-laki brewok itu mengayunkan kedua golok-nya
ke bawah kuat-kuat. Sedetik kemudian tubuhnya meluncur dan
berputar mejauhi lawannya.
Tapi begitu kedua kakinya mendarat ringan, tahu-tahu saja
sepasang tangan lawan telah mengancam lambung dan
pelipisnya. Cepat ia memutar tubuhnya hingga serangan itu
mengenai tempat kosong. Secepat ia mengelak, secepat itu
pula ia melempar tubuhnya ke belakang sambil melepaskan dua
buah tendangan kilat yang mengarah dada si orang
berkerudung.
Gerakan si orang berkerudung pun tidak kalah cepatnya.
Begitu kedua kaki lawannya naik, ia pun bergegas menarik
pulang kedua tangannya dan langsung melakukan tangkisan
dengan pengerahan tenaga dalamnya yang terkenal sangat
kuat itu. Maka....
Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Pendekar Golok Kembar memekik pelahan ketika sepasang
tangan lawan menepiskan kakinya Tubuh pendekar itu
terguling-guling menjauhi tempat lawan-nya berada. Setelah
merasa agak jauh dari lawannya, laki-laki brewok itu pun
melenting bangkit. Kedua kakinya yang masih terasa linu itu
agak gemetar ketika ia gunakan untuk menahan berat
tubuhnya.
"Huh! Jangan merasa takabur dulu Keparat! Aku masih
belum kalah!" Seru ketua Perguruan Golok Sakti geram. Seraya
kembali melintangkan sepasang golok peraknya didepan dada
dan siap melakukan serangan balasan.
Si orang berkerudung melangkah tenang meng-hampiri
lawannya. Sepasang matanya menatap tajam penuh hawa
membunuh.
"Heaaat..!"
Dengan teriakan keras, tubuh Pendekar Golok Sakti melesat
ke arah lawannya. Kedua golok kembar-nya menyambar ganas
membentuk dua gulungan si-nar perak yang melindungi
tubuhnya Sedetik kemu-dian salah satu mata goloknya
menyembul dari balik gulungan sinar dan meluncur mengancam
teng-gorokan lawan.
Ketua Perguruan Golok Sakti sempat terkejut ketika melihat
orang berkerudung itu sama sekali tidak menghindari
serangannya. Sedetik kemudian meragu karena la tidak
mengetahui apa maksud lawannya berbuat demikian. Hingga
perbuatan lawannya itu sempat membuat konsentrasinya
terganggu.
Memang itu yang diharapkan si orang berkeru-dung. Dengan
terpecahnya konsentrasi lawan, maka serangannya pun
menjadi berkurang kekuatan dan ketepatannya. Dan ketika
mata golok itu hampir me-nyentuh kulit leher lawannya, tangan
kiri Penjaga Alam Akherat bergerak secepat kilat melakukan
tangkisan dari dalam keluar. Secepat tangan kirinya menangkis,
secepat itu pula tangan kanannya ber-gerak menggedor dada
lawannya yang terbuka lebar itu.
Plakkk! Bukkk!
"Uhhh...!"
Pendekar Golok Kembar terpelanting disertai ke-luhannya
yang lirih. Darah tampak mengalir dari se-la-sela bibirnya.
Untunglah pada saat telapak tangan lawannya meluncur ke
arah dada ia masih sempat untuk memirlngkan tubuhnya
hingga hantaman itu tidak terlalu telak mengenainya. Kalau
tidak, jangan harap ia sempat untuk bernapas lagi.
Pada saat tubuh lawannya berputar limbung. Penjagal Alam
Akherat melompat sambil mendorong-kan sepasang telapak
tangannya. Rupanya ia berniat menghabisi nyawa ketua
Perguruan Golok Sakti yang tengah tak berdaya itu. Sehingga
pendekar itu hanya dapat memandang pasrah.
Blarrr!
"Aaargh...!"
Suara benturan bagaikan hendak merobohkan ge-dung
perguruan itu, yang diiringi teriakan ngeri mem-belah langit.
Tubuh si orang berkerudung terpental balik dengan
dahsyatnya. Darah segar menyembur dari mulutnya. Tubuhnya
terbanting di tanah dan menggelepar gelepar disertai suara
erangan dari mu-lutnya. Sesaat kemudian tubuh Penjagal Alam
Akhe-rat itu diam tak bergerak lagi. Si orang berkerudung itu
tewas seketika akibat benturan gelombang tenaga sakti yang
maha dahsyat itu.
Sementara itu, di tengah-tengah arena pertaru-ngan telah
berdiri sesosok tubuh berjubah putih. Kabut bersinar putih
keperakan berpendar mengeli-lingi tubuhnya hingga jarak dua
tombak. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu yang telah memapaki pukulan maut yang
dilancarkan orang berkerudung itu.
Sesaat setelah kehadiran pemuda itu, beberapa sosok tubuh
lainnya berloncatan memasuki halaman perguruan itu.
"Ki Palasana...!" Teriak seorang dari mereka yang bertubuh
pendek berlari mendatangi Pendekar Golok Kembar. Orang
yang tak lain dari Jarga Lawa itu telah mengenali Ketua
Perguruan Golok Sakti.
"Ahhh, Jarga Lawa, terima kasih atas kedatangan-mu yang
benar-benar sangat kubutuhkan ini." sam-but Ketua Perguruan
Golok Sakti yang ternyata ber-nama Ki Palasana. Keduanya
berangkulan erat bagai dua orang sahabat yang sudah lama tak
jumpa.
***
TUJUH
Di tengah suasana gembira dua sahabat yang sudah lama
tidak bertemu tiba-tiba dikejutkan oleh suara jerit melengking
merobek langit. Suara jerit itu dibarengi dengan terlempamya
sesosok tubuh yang menyemburkan darah segar dari mulutnya.
"Prawida...!" Teriak Ki Palasana tersentak dan ber-gegas
melepaskan pelukkannya dari Jarga Lawa. Se-cepat kilat ketua
Perguruan Golok Sakti memburu tubuh murid utamanya yang
telah tergolek tak ber-nyawa di tanah.
Rupanya pada saat yang hampir bersamaan dengan
tewasnya salah seorang Penjagal Alam Akherat, Prawida
bertarung mati-matian dalam keadaan ter-desak! Sehingga
ketika pukulan lawannya meluncur ke arah bagian bawah
perutnya, ia sudah tak dapat mengindari serangan lawan.
Akibatnya pukulan si orang berkerudung yang sangat kuat itu
bersarang te-pat dan menghancurkan bagian dalam perutnya.
"Prawida...!" Guru Besar Perguruan Golok Sakti itu
memanggil parau. Namun, murid utama yang sangat
disayanginya itu telah tewas tanpa sempat mengetahui apa-apa
lagi.
Jarga Lawa yang sudah berada di sampingnya berusaha
mencegah Ki Palasana yang sudah siap untuk mengadu nyawa
dengan Penjagal Alam Akherat yang telah membunuh muridnya
itu.
"Sabarlah, Ki Palasana. Jangan memperturutkan emosi yang
hanya akan membawa kerugian pada di-rimu. Mari kita hadapi
iblis keparat itu bersama-sama," ujar Pendekar Tapak Maut,
yang juga turut prihatin.
Hari Ki Palasana sedikit terhibur mendengar nasihat
sahabatnya itu. Karena apa yang diucapkan Jarga Lawa benar
tidak dapat dibantah. Pendekar Golok Sakti menatap wajah
sahabatnya lekat-lekat.
"Terima kasih, Jarga Lawa. Kedatanganmu benar-benar
sangat berarti bagi diriku," sahut Ki Palasana serak karena rasa
haru yang menyesak dadanya.
"Kepung iblis berkerudung itu! Jangan biarkan dia lolos!"
Jarga Lawa berteriak memerintahkan kawan-kawannya dan
puluhan orang murid Perguruan Golok Sakti."
Saat itu juga puluhan orang murid dan belasan tokoh
perguruan lainnya serentak mengurung si Penjagal Alam
Akherat. Sehingga orang berkerudung itu berada di dalam
lingkaran yang dibuat oleh puluhan orang itu.
Si orang berkerudung tampak gelisah. la menoleh ke kiri dan
kanan mencari jalan untuk meloloskan diri. Sesaat kemudian
tubuhnya melambung dan ber-niat menjebol barisan
pengepung yang berada di se-belah kirinya.
Sesosok tubuh bersinar putih keperakan menyam-but
terjangan orang berkerudung itu dengan dorongan telapak
tangannya. Penjagal Alam Akherat itu rupanya sadar bahwa
tenaganya tidak dapat menandingi te-naga dalam Pendekar
Naga Putih. Maka ia pun me-lempar tubuhnya ke samping dan
mendarat kembali di tengah-tengah kurungan orang-orang.
Sedangkan tubuh Panji juga mendarat ringan di tanah, dan
Panji kembali menjejakkan kakinya menghampiri Pendekar
Tapak Maut.
"Paman, sebaiknya kita lepaskan orang berkeru-dung itu.
Biar aku yang akan mengikutinya. Siapa tahu ada seorang
tokoh yang tersembunyi di balik mereka," bisik Panji
memberikan usul yang sudah berada di sampingnya.
Sejenak terlihat sinar keraguan di mata Pendekar Tapak
Maut. Biar bagaimanapun juga sebenarnya ia lebih suka kalau
orang berkerudung itu dibunuh saja. Tapi ketika ia mendengar
alasan yang dikemukakan pemuda itu, maka pendekar itu pun
mengangguk me-nyetujui.
'Terima kasih, Paman!" jawab Panji berseri.
Maka ketika Penjagal Alam Akherat itu kembali hendak
meloloskan diri, Panji tidak mencoba untuk mencegahnya.
"Awaaas...!" Jarga Lawa dan Ki Palasana berteriak serempak
memperingatkan para pengepung untuk menghindari. Beberapa
orang pengepung yang tak sempat menghindarkan diri,
terpelanting tewas akibat hantaman telapak tangan orang
berkerudung yang mengandung maut itu. Begitu kepungannya
terbuka. Penjagal Alam Akherat itu langsung melarikan diri
tanpa menoleh lagi ke belakang. Sehingga ia sama se-kali tidak
sadar bahwa beberapa tombak di belakang-nya, tampak
Pendekar Naga Putih membayanginya.
***
Sepeninggal Panji, Jarga Lawa atau Pendekar Tapak Maut
menghampiri mayat Penjagal Alam Akherat yang tewas di
tangan Pendekar Naga Putih. Ki Palasana dan Salangi ikut
mendampingi, begitu tiba Jarga Lawa membungkuk dan
menyingkap kerudung yang selama ini menyembunyikan wajah
Penjagal Alam Akherat itu. Ki Palasana dan Salangi menunggu
tegang.
"Ahhh...!"
Tiga orang tokoh rimba persilatan itu tersentak mundur
ketika menyaksikan wajah si orang berkerudung yang selama
ini tersembunyi itu membelalak pu-cat bagaikan melihat hantu
di siang bolong!
"Ini... ini...," Salangi, laki-laki berusia empat puluh tahun itu
tak sanggup meneruskan kata-katanya. Laki-laki gagah itu
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah tak percaya apa
yang dilihatnya.
"Gila! Benar juga apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih
itu ada benarnya. Pastilah ada orang di belakang layar yang
mengendalikan serta mempenga-ruhi mereka!" Seru ketua
Perguruan Golok Sakti terdengar penuh kegeraman.
Sementara Jarga Lawa hanya berdiri tercenung. Tak sepatah
kata pun yang terucap dari bibirnya. Hanya wajahnya saja yang
sebentar merah sebentar pucat menandakan bahwa hari
pendekar itu tengah terguncang!
Keributan di dekat mayat orang berkerudung itu
mengundang perhatian yang lainnya. Beberapa orang tokoh
persilaian lain bergegas mendatangi mayat ber-kerudung
dengan wajah penasaran.
"Guru...!"
Tiba-tiba dua orang laki-laki yang mengenakan pa-kaian
kuning gading menyeruak di antara kerumunan para tokoh itu.
Keduanya serentak berlutut di sisi mayat si orang berkerudung
itu. Rupanya si orang berkerudung itu adalah ketua perguruan
mereka yang beberapa bulan lalu menghilang.
"Guru... mengapa... mengapa... ahhh," laki-laki berpakaian
kuning gading yang usianya lebih tua dari kawannya tak
mampu untuk meneruskan kata-katanya. Ia benar-benar tidak
mengerti mengapa guru yang mereka hormati itu sampai tega
berbuat demi-kian. Hal itu yang membuat mereka tak sanggup
untuk meneruskan kata-katanya.
"Sudahlah, Suraga. Kita semua belum mengetahui apakah
gurumu melakukan perbuatan-perbuatannya selama ini dengan
kesadaran atau beliau dalam pengaruh suatu kekuatan yang
tidak mampu untuk dilawannya, dan hal ini menjadi kewajiban
kita untuk menyelidikinya," ujar Jarga Lawa menghibur sambil
menepuk-nepuk bahu Suraga. Seolah dengan cara begitu ia
ingin memberikan tambahan kekuatan bagi Suraga menghadapi
kenyataan pahit.
"Benar, Suraga! Siapa tahu guru kami yang lenyap tanpa
jejak itu termasuk kawan Penjagal Alam Akhe-rat yang kini
masih hidup itu," sahut seorang laki-laki berpakaian merah hati.
Di bagian dadanya tergambar kepalan tangan bersulam benang
putih. Ia adalah salah seorang tokoh Perguruan Kepalan Sakti
yang juga sedang mencari gurunya.
"Demikian pula halnya dengan guru kami. Ia menghilang
beberapa bulan yang lalu," tutur orang pendekar lain
menimpali.
"Hm.. Aku pun telah mendengar tentang hal itu. Tapi aku
sama sekali tidak menduga kalau Penjagal Alam Akherat yang
seorang ini adalah guru besar Suraga. Sebaiknya hal ini kita
rundingkan dengan Pendekar Naga Putih nanti. Kita akan
meminta kepada pendekar muda itu agar tidak segera
membunuh Penjagal Alam Akherat lainnya. Sebab siapa tahu
kalau para penjagal yang masih tersisa itu adalah guru kalian
yang lenyap tanpa berita itu," ujar Jarga Lawa mengambil
keputusan demi untuk menenangkan para tokoh-tokoh
perguruan yang sekarang berkumpul di Perguruan Golok Sakti.
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Jarga Lawa," ki
Palasana ikut pula angkat bicara. Ia merupakan satu-satunya
tokoh kelas atas di tempat itu, maka para tokoh dari beberapa
perguruan itu pun mengangguk setuju.
***
Dengan menggunakan ilmu 'Lari Terbang di Atas Angin',
Panji terus mengikuti si orang berkerudung. Ilmu lari cepat
yang dipergunakan Panji memang hebat sekali! Kedua kakinya
bergerak cepat bagaikan tidak menyentuh permukaan tanah,
sehingga si orang berkerudung yang memiliki kepandaian tinggi
itu pula sampai tidak mendengar suara langkah kaki Panji si
Pendekar Naga Putih itu.
Penjagal Alam Akherat memperlambat larinya ketika ia
hampir mencapai kaki bukit. Kedua kakinya berloncatan lincah
menotol bebatuan yang menonjol di atas permukaan sebuah
kali. Setelah melewati kali yang membujur di kaki bukit itu, si
orang berke-rudung menghentikan langkahnya sejenak
Ditolehkan kepalanya ke belakang guna memastikan bahwa
diri-nya tidak diikuti lawan.
Panji yang masih berada di seberang kali bergegas melompat
ke atas pohon ketika ia melihat si orang berkerudung
menghentikan tangkahnya. Untunglah gerakan yang dilakukan
pemuda itu sangat cepat sehingga Penjagal Alam Akherat itu
tidak keburu me-mergokinya. Setelah memastikan bahwa ia
tidak di-ikuti, si orang berkerudung itu pun bergegas men-
dekati bukit di depannya. Tubuhnya yang tinggi besar itu
berlompatan bagaikan seekor burung besar yang tengah
bermain-main di angkasa luas.
Selang beberapa waktu kemudian, si orang berkerudung itu
pun tiba didepan sebuah bangunan tua yang di kelilingi tembok
yang sudah mulai rusak di beberapa bagian. Tanpa
memperhatikan keadaan di sekelilingnya lagi, ia pun bergegas
memasuki halaman bangunan tua itu. Begitu mengetahui
tempat tinggal Penjagal-Penjagal Alam Akherat itu, Panji pun
bergegas kembali melaporkan kepada Jarga Lawa. Kali ini ia
mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari yang dimilikinya
dengan maksud agar ia dapat tiba di Perguruan Golok Sakti
secepat mungkin. Dalam waktu sekejap tubuh pemuda itu
berubah wujud menjadi bayangan samar-samar yang
berkelebatan seperti hantu.
Panji tiba di Perguruan Golok Sakti itu, disambut hangat oleh
belasan orang tokoh dari berbagai perguruan. Kecemasan yang
menyelimuti perasaan mereka lenyap seketika begitu mereka
melihat Pendekar Naga Putih tiba dengan selamat.
"Bagaimana, Nak Panji? Apa kau sudah menemu-kan tempat
persembunyian iblis-iblis itu?" Tanya seorang tokoh Perguruan
Kepalan Sakti tak sabar.
"Sabarlah, Adi. Biar pemuda ini beristirahat dulu," ujar Jarga
Lawa menengahi. "Mari kita bicara di da-lam saja," ajak
pendekar itu sambil menggamit tangan pemuda itu dan
dibawanya masuk ke dalam pendopo Perguruan Golok Sakti.
"Ada apa ini, Paman? Mengapa mereka tampak cemas?
Apakah ada sesuatu yang terjadi sepening-galku tadi?" Tanya
Panji sambil mengikuti Jarga Lawa.
"Nantilah aku ceritakan!" Sahut Pendekar Tapak Maut cepat.
Dengan ditemani Ki Palasana, Salangi, Suraga dan beberapa
orang tokoh lainnya, Jarga Lawa mencerita-kan apa-apa yang
telah terjadi di tempat itu.
Wajah Panji yang dingin dan kaku itu sama sekali tidak
menunjukkan reaksi ketika mendengar cerita Jarga Lawa.
Meskipun semua yang diceritakan pendekar itu tak luput dari
pendengarannya.
"Oleh karena itu, maka kami bersepakat meminta
bantuanmu untuk melumpuhkan Penjagal-Penjagal Alam
Akherat yang masih ada tanpa membunuhnya. Kami khawatir di
antara para penjagal yang masih ada itu adalah salah seorang
dari ketua-ketua perguruan yang lenyap," ujar Jarga Lawa
mengakhiri ceritanya dalam nada penuh harapan.
"Jadi, orang berkerudung yang kubunuh itu adalah salah
seorang ketua perguruan yang menyamar itu?" Tanya Panji
penasaran.
"Ya, begitulah. Tapi yang kami khawatirkan adalah ada
orang di belakang layar yang mengendahkan atau
mempengaruhi mereka, seperti dugaanmu itu," jawab Pendekar
Tapak Maut itu.
'Tapi... Rasanya sulit sekali untuk melumpuhkan orang
berkerudung itu tanpa harus melukainya. Se-bab kepandaian
yang dimilikinya boleh dibilang jarang terdapat di dunia
persilatan pada masa kini. Tapi, akan kucoba
mengusahakannya, Paman," janji Panji meskipun ia sendiri
merasa ragu bisa melakukan itu. Namun, untuk tidak membuat
hati para tokoh pendekar itu resah, Panji terpaksa
menyanggupinya.
"Nah, sekarang kita harus segera berangkat! Sebagai kepala
rombongan ini, kurasa Ki Palasana-lah orang yang tepat. Selain
ia lebih berpengalaman, Ki Palasana merupakan orang yang
paling tua di antara kita. Bagaimana?" usul Jarga Lawa.
Tanpa ragu-ragu lagi, belasan tokoh pendekar dari beberapa
perguruan silat mengangguk setuju. Mereka percaya apa yang
dikatakan Pendekar Tapak Maut, karena mereka sudah
mengenai siapa itu Ki Palasana yang dijuluki Pendekar Golok
Kembar. Setelah semua tokoh menyetujui, maka mereka pun
membuat beberapa rencana. Hari itu juga rombongan yang
terdiri dari dua puluh orang tokoh persilatan segera berang-kat
menuju tempat persembunyian Penjagal Alam Akherat.
***
Di bawah siraman cahaya matahari siang itu, dua puluh
orang tokoh persilatan pimpinan Pendekar Golok Kembar
tampak tengah mendaki bukit tempat kediaman Penjagal-
Penjagal Alam Akherat. Para tokoh rimba persilatan itu berjalan
dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar
kedatangan mereka tidak segera diketahuinya. Wajah-wajah
mereka tampak diliputi tegang! Karena mereka sadar bahwa
dengan memasuki tempat itu, sama saja memasuki sa-rang
harimau. Taruhannya adalah nyawa!
Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tiba di sekitar
tanah lapang yang merupakan puncak bukit ini. Dua puluh
orang tokoh itu bergegas merapatkan tubuhnya ke pepohonan
yang banyak tumbuh di se-kitar tempat ini. Didepan mereka
tampak sebuah bangunan tua berdiri angker!
"Biar, aku yang akan menyelidikinya sebentar," ujar Panji
melihat puluhan orang tokoh itu tampak ragu-ragu. Begitu
ucapannya selesai tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan
mereka. Mau tidak mau para tokoh itu menggelengkan kepala
melihat kepan-daian ilmu silat yang dimiliki pemuda tampan itu.
"Luar biasa! Pemuda itu tak ubahnya seperti orang yang
pandai menghilang saja!" gumam salah seorang tokoh yang
merasa kagum melihat kecepatan gerakan Panji.
Tidak lama kemudian, terlihat pendekar muda yang mereka
bicarakan itu tampak memberikan isya-rat bahwa keadaan
didepan mereka aman. Cepat Pen-dekar Golok Kembar
menggerakkan tangannya agar para tokoh memecah menjadi
dua kelompok. Mereka segera bergerak mendekati bangunan
tua itu dari arah samping. Jarga Lawa memimpin delapan orang
tokoh melewati samping sebelah kiri. Ki Palasana dan sem-bilan
orang tokoh lainnya mendekati bangunan dari samping kanan.
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang masuk duluan melalui
depan bangunan, bergerak cepat menotok dua orang penjaga
gerbang. Dua orang penjaga itu melorot jatuh sebelum sempat
berteriak. Dengan kecepatan yang sukar ditangkap oleh mata,
pemuda itu melesat menuju samping gedung. Ia me-ngerutkan
keningnya ketika pada bagian samping ka-nan gedung itu ia
melihat empat sosok tubuh meng-geletak berlumuran darah.
"Hm... rupanya Ki Palasana sudah masuk ke dalam," gumam
Panji pelahan. Secepat kilat Panji menjejakkan kakinya ke atas
bangunan ketika ia mendengar suara pertempuran yang berasal
dari bagian samping kiri bangunan. Di tempat itu terlihat
rombongan yang dipimpin Jarga Lawa tengah berta-rung
melawan enam orang penjaga yang rupanya memergoki
rombongan Pendekar Tapak Maut itu.
'Terlihat Paman Jarga Lawa tidak mengalami ke-sulitan,
dalam menghadapi enam orang penjaga ber-sama-sama
kawan-kawannya," kata Panji dalam hati, melihat akan hal itu ia
berniat meninggalkan tempat pertempuran. Tapi matanya
tertumbuk delapan orang penjaga lainnya yang berlari
menghampiri arena per-tarungan. Hingga langkah kakinya
tertahan. Jarga Lawa dan Suraga melompat menghadang
kedelapan orang penjaga yang mendatangi tempat itu. Kedua
orang pendekar itu segera menerjang lawan-lawannya cepat
dan ganas. Karena keduanya ingin cepat-cepat menyelesaikan
sebelum diketahui oleh penjaga-pen-jaga lainnya. Namun Jarga
Lawa dan Suraga terkejut mendapat perlawanan sengit.
Delapan orang penjaga yang baru datang itu temyata lebih
hebat dari enam orang sebelumnya. Hingga dalam lima jurus
mereka menerjang tapi senjata-senjata mereka belum juga
dapat melukai tubuh lawan-lawannya. Tentu saja hal itu
membuat mereka cemas!
Delapan orang penjaga yang rata-rata memiliki kepandaian
cukup tinggi terus mendesak Jarga Lawa dan Suraga yang
menjadi lawan mereka. Sinar-sinar pedang mereka
berkelebatan mencari sasaran, sehingga Jarga Lawa dan
Suraga kewalahan dibuatnya. Cepat keduanya melompat
kebelakang guna memper-siapkan serangan berikutnya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan yang nyaring, tubuh Jarga Lawa dan Suraga
melayang ke arah delapan orang lawannya. Senjata Suraga
menderu membentuk gulungan-gulungan cahaya yang
menyilaukan mata.
Traaang!
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Dua di antara delapan orang penjaga itu terguling mandi
darah. Tebasan golok Suraga meskipun ber-hasil drtangkis
lawannya. Tapi ia masih bisa menem-bus dan membabat tubuh
dua orang lawannya berkat kelihaiannya. Hingga tewas!
Desss! Desss!
"Aaargh...!"
Kembali terdengar dua jeritan kematian yang me-robek
udara, disusul terlempamya dua orang penjaga lainnya. Tubuh
kedua orang itu terbanting keras di tanah. Darah segar
menyembur dari mulut mereka hingga dua orang itu
menghembuskan napas terakhir. Pada bagian dada mereka
tampak memerah akibat hantaman telapak tangan Jarga Lawa
yang amat kuat itu.
"Keparat!"
Salah seorang penjaga yang berwajah kehltaman
menggeram marah, ia meluncur cepat ke arah dua orang
pendekar itu.
Jarga Lawa dan Suraga melompat menghindari se-rangan
yang berbahaya itu. Pada saat senjata lawan lewat di
sampingnya, Jarga Lawa melepaskan sebuah tendangan kilat
yang meluncur deras ke lambung lawannya. Si penjaga itu
rupanya cukup cerdik. Secepat itu juga, senjatanya memutar
dan menebas kaki Pendekar Tapak Maut Cepat Jarga Lawa
menarik pulang tendangannya. Sambil melompat berputar,
pendekar itu melakukan sebuah tendangan ke pelipis si penjaga
berwajah kehitaman itu. Dan....
Blakkk!
"Aduhhh!"
Penjaga itu menjerit kesakitan ketika tumit Pendekar Tapak
Maut tepat menghantam pelipisnya. Tubuh orang itu melintir
bagaikan sebuah gasing. Sesaat kemudian, ia pun ambruk dan
tak mampu bangkit lagi karena tengkorak kepalanya telah retak
akibat tendangan maut yang dilakukan Jarga Lawa.
Kini tinggal tiga orang penjaga lagi yang masih tersisa, dan
berniat melarikan diri dari tempat itu. Na-mun, wajah mereka
mendadak pucat ketika didepan mereka berjajar tujuh orang
pendekar dengan tatapan penuh ancaman. Rupanya para
kawanan pendekar itu telah pula menghabisi keenam orang
musuhnya.
Panji yang merasa bahwa Jarga Lawa dan yang lainnya tidak
membutuhkan bantuan, bergegas meninggalkan arena
pertarungan. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat di atas atap
bangunan itu. la berniat untuk mencari orang berkerudung
yang sampai saat ini belum juga muncul.
"Aaakh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan kematian yang mem-belah udara.
Parqi mendengar suara teriakan mem-percepat larinya dan
mencari dari mana asal suara teriakan itu. Alangkah terkejutnya
Pendekar Naga Putih ketika melihat rombongan yang dipimpin
Ki Palasana tengah bertarung sengit melawan orang
berkerudung yang dicari-carinya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuh Pariji meluncur dari atas atap dan lang-sung
menerjunkan dirinya ke dalam kancah pertaru-ngan.
***
DELAPAN
Dukkk!
"Uhhh...!"
Terdengar suara benturan keras ketika Panji menangkis
pukulan orang berkerudung yang meng-ancam salah seorang
anggota rombongan Ki Palasana. Penjagal Alam Akherat itu
mengeluh dan tubuhnya terjajar mundur sejauh enam langkah
kebelakang. Si orang berkerudung menggigil sesaat menahan
hawa dingin yang masuk ke dalam tubuhnya.
"Grhhh...!"
Penjagal Alam Akherat itu menggeram marah ketika melihat
kemunculan pemuda berpakaian serba putih itu. Selintas
terlihat kegentaran yang terpancar dari matanya. Sedetik
kemudian rasa gentar sudah berubah menjadi beringas!
"Nak Panji, dalam melumpuhkannya hati-hati tan-pa harus
membunuh. Siapa tahu orang berkerudung itu adalah salah
satu dari ketua perkumpulan yang hilang," bisik Ki Paiasana
mengingatkan pemuda itu akan janjinya.
"Akan kucoba, Ki!" sahut Panji cepat menenang-kan hati
ketua Perguruan Golok Sakti dan yang lainnya.
"Hm!"
Sambil mendengus gusar, tubuh si Penjagal Alam Akherat
melayang ke arah Panji dengan tangan ter-kembang, deru
angin mengiringi serangannya. Rupa-nya dalam kemarahannya
orang berkerudung itu me-ngerahkan seluruh kekuatan
tenaganya untuk meng-hadapi Pendekar Naga Putih yang
diketahui kepan-daiannya. Untunglah Panji cepat menguasai
dirinya agar kekuatan tenaga sakti liar yang meronta-ronta di
dalam tubuhnya terkendalikan. Lapisan kabut bersi-nar putih
keperakan berpendar di sekeliling tubuh-nya. Beberapa orang
pendekar segera menyingkir dari tempat itu ketika merasakan
hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka.
"Gila! Kekuatan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu
rasanya mustahil mengingat usianya yang masih demikian
muda?!" Gumam Salangi, seolah tak percaya apa yang
disaksikannya. Panji berkelebat di antara sambaran pukulan-
pukulan maut lawannya. Sampai saat itu ia masih dapat
menguasai alam pikirannya sehingga ia tidak sampai
melepaskan pukulan-puku-lan pembawa maut bagi si orang
berkerudung itu. Ia hanya mengandalkan ilmu meringankan
tubuhnya guna menghindari serangan Penjagal Alam Akherat
itu.
Sambil terus menghindari, sesekali Panji mem-balas
serangan lawan. Serangan balasannya itu di-maksudkan hanya
untuk meredam pukulan-pukulan maut lawan agar tidak sampai
terdesak. Pemuda itu masih tetap lebih banyak menghindar,
guna mencari kelemahan lawan.
"Hiaaat'"
Wuttt! Wuttt!
Dua buah pukulan yang memperdengarkan suara mencicit
tajam lewat di sisi kepala Panji. Ketika pemuda itu memiringkan
kepalanya menghindari puku-lan itu. Pada saat itu juga,
tangannya bergerak me-lakukan beberapa kali totokan kilat.
Namun, alangkah terkejutnya Panji ketika melihat lawannya
sama sekali tidak berusaha untuk menghindarkan totokannya
itu. Pendekar Naga Putih terpaksa menarik pulang toto-kan
kilatnya. Tentu saja Panji menjadi geram melihat kelicikan
lawan. Dan posisi Panji kini menjadi lebih sulit, karena setiap
kali ia melakukan totokan, si orang berkerudung sama sekali
tidak berusaha mengelak. Malah ia sengaja membarenginya
dengan pukulan yang mematikan! Sehingga dalam jurus-jurus
berikutnya, Panji dibuat sibuk oleh pukulan-pukulan yang
dilancarkan lawannya. Si orang ber-kerudung kini tidak merasa
kuatir dengan serangan-serangan pemuda itu yang
dianggapnya tidak mem-bahayakan keselamatannya. Karena si
orang berkeru-dung sudah membaca maksud yang tersembunyi
di balik pikiran pemuda itu.
"Keparat licik!" Maki Panji gusar, karena ia benar-benar
dibuat tidak berdaya oleh si orang berkerudung.
Pada jurus yang keempat puluh tujuh, sebuah pukulan si
orang berkerudung tak dapat lagi dihindari Panji. Pukulan yang
didorong tenaga yang amat kuat itu menghantam dada Panji.
Bukkk!
"Ahhh...!?"
Apa yang terjadi?! Para tokoh persilatan yang me-nyaksikan
pertarungan itu terbelalak! Para tokoh per-silatan itu
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya itu!
Aneh! Pukulan si orang berkerudung luput menghantam
dada Panji. Lapisan kabut yang melindungi tubuh Panji
berpendar menyilaukan mata! Disertai jeritan kengerian, tubuh
si orang berkerudung terpen-tal dan menghantam sebuah
tembok yang berada di belakangnya. Tembok batu yang kokoh
itu hancur be-rantakan hingga menimbulkan suara ribut!
Ki Palasana dan para tokoh yang lainnya begitu tersadar dari
keterkejutannya langsung berlari mem-buru ke arah si orang
berkerudung. Wajah mereka memucat ketika melihat tubuh si
orang berkerudung yang tergeletak tak berdaya itu tampak di
kelilingi oleh kabut yang bersinar putih keperakan seperti kabut
yang selalu menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih. Tubuh
Penjagal Alam Akherat itu mengejang kaku bagaikan mayat
yang dibekukan di dalam gum-palan es!
"Gila! Padahal kekuatan tenaga dalam orang ber-kerudung
ini sudah tak ada yang menandingi. Tapi ternyata kekuatannya
itu tak berarti banyak bagi pemuda itu! Entah kekuatan apa
yang dimiliki pemuda itu hingga sampai sedemikian
dahsyatnya!" gumam Ki Palasana tak habis mengerri dengan
keja-dian yang disaksikannya itu.
Jangankan orang lain. Sedangkan Panji sendiri sampai
terkejut ketika menyaksikan kejadian yang dialaminya itu.
Pemuda itu memang merasakan suatu kekuatan raksasa
bergolak di dalam tubuhnya. Dan kekuatan raksasa itu
membobol keluar ketika puku-lan Penjagal Alam Akherat
menghantam dadanya. Pemuda itu baru menyadari betapa
dahsyatnya kekuatan tenaga sakti liar yang tersembunyi di
dalam tubuhnya. Dan hal itu membuatnya semakin me-nyadari
betapa berbahayanya. Kemudian Panji meng-hampiri Ki Pala-
sana.
"Maafkan aku, Paman. Aku... Aku sama sekali tidak
bermaksud membunuhnya." Ujar Panji ketika ia sudah berada
di samping Pendekar Golok Kembar yang tengah
memperhatikan mayat orang berkeru-dung itu.
Ki Palasana mengangguk lemah. la pun mengetahui bahwa
kejadian itu memang bukan kehendak Pendekar Naga Putih.
Ketua Perguruan Golok Sakti itu berdiri dan menepuk-nepuk
bahu Panji pelahan agar pemuda itu tidak terlalu merasa telah
berbuat ke-salahan.
"Benar, Nak Panji. Meskipun mayat orang berkerudung ini
adalah ketua perguruan kami, namun kami sama sekali tidak
menyalahkanmu. Karena kami tahu bahwa engkau sudah
berusaha untuk tidak membunuhnya. Jadi janganlah engkau
merasa ber-salah atas kematiannya," selak laki-laki gagah ber-
pakaian merah hari dari Perguruan Kepalan Sakti kepada
pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat Panji menjadi lega,
karena orang berkerudung yang menjadi mayat itu adalah
Ketua Perguruan Kepalan Sakti itu.
"Terima kasih, Kisanak. Ucapanmu itu benar-benar telah
membuatku menjadi lega," sahut Panji, ter-senyum
menyeringai dengan rasa nyeri pada dirinya.
"Hm... entah apa yang tengah diderita pemuda ini.
Tampaknya ia begitu tertekan sekali," kata Ki Pala-sana dalam
hati melihat senyum yang aneh di wajah pemuda yang
dikaguminya itu. Sebagai seorang pen-dekar yang telah
memiliki pengalaman yang luas, pendekar itu dapat mengetahui
bahwa anak muda yang dikaguminya itu tengah mengalami
suatu teka-nan batin yang cukup hebat.
"Setan belang! Siapa pula yang telah berani mati membuat
keonaran ditempatku ini?" Tiba-tiba terdengar bentakan yang
menggeledek. Dan belum suara gema itu lenyap. Sesosok
tubuh kurus telah melayang turun.
Panji dan para tokoh persilatan yang berada di tempat itu
terkejut di hadapan mereka berdiri sesosok tubuh tinggi kurus
yang berambut panjang. Orang itu berdiri dalam jarak lima
tombak. Sinar matanya liar menyapu wajah para tokoh
persilatan yang berada di hadapannya itu.
Sesaat orang tinggi kurus itu termangu ketika me-lihat sosok
tubuh berpakaian hitam yang telah men-jadi mayat itu.
Sepasang matanya bergerak menye-lidik seolah ia ingin
mencari siapa gerangan yang telah membunuh orang
berpakaian hitam itu.
Sebelum orang tinggi kurus yang menyeramkan itu
membuka suaranya, tiba-tiba beberapa sosok tu-buh melayang
dan mendarat ringan di dekat Panji dan yang lainnya. Mereka
tidak lain adalah Jarga Lawa, Suraga dan para tokoh lainnya
yang telah selesai membunuh para penjaga.
"Ke mana yang lainnya, Jarga?" Tanya Ki Palasana ketika
melihat kedatangan Jarga Lawa yang hanya di-iringi enam
orang itu.
"Mereka telah tewas, Ki," sahut Jarga Lawa lesu. Setelah
berkata demikian, pendekar itu menolehkan wajahnya ke arah
laki-laki tinggi kurus yang kebe-tulan saat itu juga menatap
tajam ke arahnya. Sesaat kening pendekar itu berkerut seolah
sedang meng-ingat-ingat sesuatu.
"Ki Kalianjar...!?" Gumam Pendekar Tapak Maut agak
terkejut.
"Kau mengenai kakek tinggi kurus itu, Paman?" Tanya Panji
yang mendengar gumam Jarga Lawa ingin tahu.
"He he he... rupanya kau masih ingat kepadaku, Jarga
Lawa," ujar kakek tinggi kuais itu sambil mem-permainkan
jenggotnya yang panjang dan berwarna putih itu.
"Dia adalah kakak seperguruan guruku yang telah
menyeleweng dari perguruan. Dia telah diusir oleh kakek
guruku sepuluh tahun yang lalu karena tertang-kap basah
ketika hendak menodai istri guruku. Entah apa keperluannya ia
muncul di tempat ini?" Tutur Jarga Lawa dengan suara rendah.
"Sepertinya dialah orang di belakang layar yang tengah
mempengaruhi ketua-ketua perguruan dan membentuknya
menjadi Penjagat-Penjagal Alam A-kherat. Mungkin tujuannya
adalah untuk membalas sakit hatinya itu," jelas Panji menduga-
duga.
"He he he... Tidak salah apa yang kau katakan itu, Anak
Muda. Memang aku yang telah melakukan pen-culikan-
penculikan terhadap beberapa ketua pergu-ruan di daerah
Selatan ini pada beberapa bulan yang lalu. Kemudian kuberi
minuman sejenis ramuan kepada mereka hingga mereka tak
ubahnya sesosok mayat hidup yang selalu mematuhi
perintahku. Lalu aku perintahkan kepada mereka untuk
membunuh siapa saja yang mereka jumpai terutama
membinasa-kan seluruh perguruan yang ada di daerah Selatan
ini." Tutur kakek itu terkekeh gembira karena usaha-nya telah
berhasil dengan baik.
"Keparat! Kau sembunyikan di mana guruku seka-rang?"
Teriak Pendekar Tapak Maut menggeram marah ketika
mendengar pengakuan Ki Kalianjar. la benar-benar tidak
menduga sama sekali bahwa biang keladi dari bencana yang
terjadi selama ini adalah eyang gurunya yang sesat itu.
"He he he... dia hanya tinggal menunggu kemati-annya saja
karena telah dilukai oleh seorang yang berkepandaian lebih
tinggi darinya," sahut kakek tua yang bernama Ki Kalianjar itu
terkekeh.
"Tapi mengapa para Penjagal Alam Akherat yang kau
perintah itu tidak mempergunakan ilmu aslinya?" Desak Ki
Palasana penasaran.
"Tentu saja aku tidak sebodoh itu membiarkan mereka
mempergunakan ilmunya sendiri. Kalau begitu caranya bisa
berantakan rencanaku karena kalian tidak mungkin mau untuk
menghadapi guru kalian sendiri. Karena itu aku sengaja
memasukkan ke dalam tubuh mereka sejenis ramuan dari tum-
buhan yang dapat melipat gandakan kekuatan tenaga dalam
mereka. Juga kulatih mereka dengan ilmu baru yang kuciptakan
selama sepuluh tahun. Dengan de-mikian, maka rencanaku pun
berjalan mulus. He he he...!" Kakek itu membuka rahasia yang
selama ini disimpannya, karena ia begitu yakin para tokoh per-
silatan itu tidak akan berumur panjang.
"Keparat kau manusia sesat! Terimalah pembala-sanku!
Hiaaat..!" Sambil berteriak keras, Jarga Lawa melompat dan
menerjang dengan menggunakan ilmu andalannya.
"He he he. Kau ingin memamerkan ilmu 'Tapak Pembeku
Darah' itu kepadaku, Jarga Lawa. Nah, kau lihat baik-baik
bahwa ilmu andalanmu itu tak lebih dari sekadar permainan
anak-anak," seru Ki Kalianjar mengejek sambil menggeser kaki
kanannya hingga hantaman telapak tangan Jarga Lawa
mengenai tempat kosong. Begitu pula dengan dua buah
serangan lainnya. Kedua serangan itu pun dapat dielakkannya
dengan mudah. Tentu saja hal itu membuat Jarga Lawa
penasaran. Dengan mengempos semangatnya pendekar itu
kembali menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga
dalamnya.
"Hm!"
Sambil mendengus gusar, Ki KaBanjar mengang-kat
lengannya memapak pukulan telapak tangan yang dilancarkan
Jarga Lawa. Dan....
Plakkk! Plakkk! Desss!
"Hukkk...!"
Tubuh Jarga Lawa terlempar mundur akibat tang-kisan yang
luar biasa kuatnya. Sebelum ia sempat bertindak, tahu-tahu
saja kepalan lawan telah ber-sarang di perutnya. Pendekar
Tapak Maut terlempar keras. Darah segar menyembur dari
mulutnya. Untunglah pada saat itu Panji melompat dan
menang-kap tubuh pendekar itu. Kalau tidak, tubuh pendekar
itu past akan membentur tembok di belakangnya.
"Berisrirahatlah, Paman. Biar aku yang akan men-coba untuk
menghadapi kakek itu," ujar Pendekar Naga Putih sambil
menyerahkan tubuh Pendekar Tapak Maut kepada tokoh yang
lainnya. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar muda itu
melompat ke-hadapan Ki KaBanjar.
"Siapa kau, Anak Muda? Rasanya aku belum per-nah
mengenalmu?" Tanya kakek itu sambil menatap seluruh tubuh
Panji penuh selidik. Tiba-tiba sepasang mata kakek itu
tertumbuk pada gagang pedang yang melingkar di pinggang
pemuda itu. "Hm... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, Anak Muda?"
"Benar! Akulah Pendekar Naga Putih yang akan mengakhiri
segala kejahatanmu, Kakek lblis!" Jawab Panji yang membuat
sepasang mata kakek itu terbe-lalak.
"He he he... Orang lain boleh takut mendengar nama
julukanmu, Pendekar Naga Putih. Tapi kali ini aku akan
membuatmu jatuh berlutut dan mencium telapak kakiku," ujar
Ki KaBanjar bersumbar.
"Hm... kalau begitu bersiaplah, Kakek Tua!" Seru Panji
memperingatkan. Darah Panji mendidih di be-naknya terbayang
mayat-mayat penduduk desa yang ditemuinya dl dalam
perjalanan. "Orang seperti kakek ini tidak pantas untuk
dibiarkan hidup lebih lama. Karena la hanya akan menimbulkan
bencana di muka bumi Ini," kata Panji daiam hati.
Tenaga sakti yang mengendap di dalam tubuh pe-muda itu
seketika bergolak. Ia menarik napas dalam-dalam seraya
menggerakkan tangan membentuk ca-kar naga. Sesaat
kemudian, tubuh pemuda itu pun meluncur ke arah lawan.
Kedua tangannya menyam-bar-nyambar laksana seekor naga
yang sedang mur-ka!
Sadar bahwa ia berhadapan dengan Pendekar Naga Putih
yang terkenal itu, Ki Kalianjar segera menge-luarkan ilmu
andalannya. Sesaat kemudian tubuh kakek itu berputar cepat
bagaikan baling-baling, se-hingga tubuhnya hanya merupakan
bayang-bayang samar yang meluncur ke tubuh lawan. Sesekali
jari-jari tangannya muncul memapaki ke tubuh lawan. Sesekali
jari-jari tangannya muncul secara tak ter-duga, siap
mengancam tubuh lawannya. Begitu baya-ngan kakek itu
hampir di dekat Panji, tiba-tiba saja bayangan tubuh orang itu
terpecah menjadi tujuh bagian. Itu salah satu keistimewaan
ilmunya yang bernama 'Tujuh Bayangan Iblis'. Namun, daya
tang-kap sepasang mata Panji tentu tidak bisa disamakan
dengan daya tangkap orang lain. Hingga di mata orang lain
bayangan kakek itu tampak terpecah-pecah, tapi bagi Panji hal
itu tidak berlaku. Oleh karena itu me-ngapa Panji dapat
menghindari cengkeraman lawan-nya demikian mudah.
Wuttt! Wuttt!
Kembali dua kali cengkeraman kakek itu berhasil dielakkan
Panji. Dan pemuda itu pun langsung mem-balasnya dengan
tidak kalah cepat. Jari-jari tangan Panji yang membentuk cakar
naga menyambar sece-pat kilat ke arah tenggorokan lawan.
Wrrrt!
"Hm!"
Ki Kalianjar mendengus sambil memiringkan ke-palanya
sehingga serangan pemuda itu menyambar angin. Sambil
memiringkan kepalanya, kakek itu me-lepaskan tendangan kilat
ke lambung Panji. Namun dengan cepat tangan yang mencakar
itu menepis tendangan Ki Kalianjar.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Tubuh kedua orang sakti itu terpental mundur. Wajah Ki
Kalianjar menyeringai menahan rasa sakit Tulang keringnya
terhantam lengan Panji. Ia merasa-kan tulang kakinya seperti
baru saja bertemu dengan gumpalan salju yang sekeras bagai
baja. Kakek itu terlihat agak terpincang-pincang.
"Uh, Bangsat Keparat! Rasakan pembalasanku!" Teriak Ki
Kalianjar menggeram marah. Di tangannya telah tergenggam
sebatang tongkat berkepala ular.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh si kakek melesat
sambil memutar tongkatnya hingga menim-bulkan deru angin
dahsyat. Debu, daun-daun kerihg dan batu kerikil beterbangan
bagaikan dilanda angin topan yang hebat!
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan dari
jarak jauh, terpaksa berlari menghindari, karena batu-batu kecil
yang beterbangan mengenai tubuh mereka. Hingga para tokoh
persilatan terpaksa harus bersembunyi.
"Mudah-mudahan saja Pendekar Naga Putih dapat mengatasi
kakek iblis itu," desah Jarga Lawa yang ter-lihat cemas, melihat
kepandaian yang dimiliki eyang gurunya yang sesat itu. Setelah
menghilang sepuluh tahun.
"Aku rasa pemuda itu mampu menundukkan si kakek itu,"
kata Ki Palasana yakin. Ia sudah melihat bagaimana Panji
menghadapi Penjagal Alam Akherat yang akhirnya tewas begitu
pukulannya mengenai tubuh pemuda itu. Hal ini membuat
pendekar itu merasa yakin.
Saat itu pertarungan sudah memasuki pada jurus yang ke
sembilan puluh tujuh. Tubuh Ki Kalianjar melesat ke arah Panji
sambil mengayunkan tongkat ularnya. Tongkat itu meluncur
mengancam kepala Panji. Panji merendahkan tubuhnya sedikit
dalam menghadapi sambaran tongkat lawan. Dan secepat kilat
tangan kanannya meluncur menghantam tepat di tengah-
tengah tongkat itu.
Wuuut! Krakkk!
"Aaakh...!"
Ki Kalianjar menjerit kaget! Tubuhnya terjajar mundur
beberapa langkah. Dari sela-sela bibirnya tampak menetes
darah segar. Sedangkan tongkat kepala ularnya telah patah
menjadi dua bagian. Wajah kakek itu pucat bagaikan tak dialiri
darah. Ia sama sekali tidak menyangka kecepatan Panji
melebihi kecepatan geraknya sendiri. Dan hal itu benar-benar di
luar perhitungannya!
"Keparaaat!" Geram Ki Kalianjar sambil menyeka darah yang
menetes dari sela-seta bibirnya. Tangkisan pemuda itu rupanya
juga telah membuat dadanya sesak. Kedua tangannya cepat
melakukan gerakan untuk mengusir hawa dingin yang merasuk
ke tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuhnya kembali meluncur
sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya.
"Yeaaat..!"
Angin keras menderu menyertai dorongan sepasang telapak
tangan kakek sakti itu. Rupanya kali ini ia benar-benar hendak
mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih.
"Hiaaat..!"
Melihat lawannya melompat sambil mendorongkan sepasang
telapak tangannya, Panji pun berseru keras. Detik itu juga
tubuhnya meluncur dengan dorongan telapak tangannya. Kabut
bersinar putih keperakan berpendar disertai hawa dingin yang
menusuk tulang.
Beberapa orang pendekar yang tenaga dalamnya kurang
kuat, jatuh melorot ketika mendengar teriakan Panji yang
melebihi ledakan guntur. Sedang yang lainnya cepat
mengerahkan tenaga batin guna melin-dungi dada mereka agar
tidak terguncang.
Blarrr!
"Aaa...!"
Luar biasa! Benturan dua gelombang tenaga sakti yang
dahsyat telah menggetarkan bangunan tua di sekitarnya.
Beberapa bagian runtuh karena pengaruh getaran yang
ditimbulkan benturan itu.
Tubuh Ki Kalianjar melayang bagaikan sehelai daun kering
yang diterbangkan angin. Tubuh tua renta itu terus meluncur
menabrak dinding bangunan hingga jebol! Darah segar seketika
muncrat dari mulut kakek tua itu. Setelah menjebol dinding,
tubuh orang tua itu pun jatuh berdebuk di atas runtuhan
tembok itu. Darah terus mengalir menggenang di bagian
kepalanya karena pembuluh darah kepala orang tua itu telah
pecah akibat benturan yang sangat dahsyat itu! Ki Kalianjar
tewas seketika itu juga.
Sedangkan Panji masih jungkir balik di udara. Guna
mematahkan akibat benturan yang hebat itu. Pemuda itu
benar-benar kagum akan kekuatan tenaga dalam kakek tua itu
yang benar-benar hampir men-capai titik kesempurnaan. Panji
mendarat ringan di tanah. Wajahnya tetap dingin dan kaku.
"Nak Panji! Kau tidak apa-apa?" Tanya Jarga Lawa setelah
mendatangi pemuda itu. Wajah Jarga Lawa itu tampak cemas.
Sepertinya ia mengkhawatirkan ke-adaan pemuda itu.
"Terima kasih, Paman, aku tidak apa-apa," jawab Panji
cepat. Setelah berkata demikian, Panji segera mohon pamit
kepada Jarga Lawa, yang berjuluk Pen-dekar Tapak Maut itu.
"Maaf, Paman, aku harus per-gi," pamit Panji. Tanpa menunggu
jawaban Pendekar Tapak Maut, tubuh pemuda itu sudah
melesat me-ninggalkan tempat itu.
Jarga Lawa tak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah
kepergian Panji. Lalu ia menghampiri ka-wan-kawannya yang
tengah berkerumun di dekat mayat Ki Kalianjar.
Sang Matahari sudah naik semakin tinggi. Tak lama
kemudian, kegelapan pun mulai nampak di per-mukaan bumi.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar