MISTERI DI BUKIT ULAR EMAS
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Misteri di Bukit Ular Emas
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Bukit Ular Emas tampak berdiri kokoh bagai me-
nantang langit Puncaknya yang ditumbuhi pepohonan
besar tampak terselimut kabut tipis. Lereng-lerengnya
licin dan nyaris tegak lurus. Dan rasanya bukit ini
hampir mustahil untuk bisa didatangi manusia.
Tapi, rupanya masih ada pula yang mencoba-coba
untuk mendekatinya. Pada pagi hari ini, tampak seso-
sok tubuh bergerak menuju Bukit Ular Emas. Melihat
dari gerakannya yang nyaris tanpa menimbulkan sua-
ra, dapat ditebak kalau sosok tubuh itu berasal dari
rimba persilatan yang berkepandaian tinggi. Terlebih
saat mendaki lereng bukit, nyaris tanpa kesulitan se-
dikit pun!
“Hm.... Kelihatannya aku adalah orang pertama
yang tiba di tempat ini...,” gumam sosok itu saat kedua
kakinya menjejak puncak Bukit Ular Emas. Dia bertu-
buh sedang, terbalut jubah panjang berwarna putih.
Sebentar sosok berjubah putih yang ternyata seo-
rang pemuda tampan itu menghentikan langkahnya.
Sepasang matanya yang tajam dan menyiratkan per-
bawa kuat, merayapi sekelilingnya. Tapi yang didapa-
tinya hanyalah pohon-pohon raksasa menjulang ke
langit Selebihnya, sepi mencekam bagaikan suasana di
pekuburan.
Setelah puas memperhatikan sekitarnya, pemuda
tampan berjubah putih itu perlahan mengayun lang-
kahnya. Seperti menyadari kalau sekitar puncak itu
ada ancaman tersembunyi yang berbahaya, dia tampak
selalu dalam keadaan siaga penuh. Seolah, siap meng-
hadapi apa saja yang bakal ditemuinya.
Dan apa yang dikhawatirkan pemuda tampan itu
memang tidak berlebihan. Saat kakinya baru beberapa
langkah menindak, tiba-tiba berhenti. Sepasang telin-
ganya dipertajam, berusaha mendengar sesuatu yang
mencurigakan.
“Kisanak! Jika kau memang tidak bermaksud bu-
ruk, segera tunjukkan dirimu...!”
Seperti tahu akan kehadiran orang lain di sekitar
tempat ini, pemuda itu langsung saja menegur. Sua-
ranya lantang, namun menyiratkan keramahan. Pa-
dahal, dia dalam sikap waspada penuh.
“Heh heh heh...! Telingamu benar-benar tajam,
Pendekar Naga Putih! Kau membuatku yang sudah tua
ini merasa kagum...!”
Belum lagi gema jawaban itu lenyap, tahu-tahu se-
sosok bayangan putih berperawakan tinggi kurus su-
dah meluruk ringan bagaikan selembar daun yang di-
terbangkan angin. Dan bayangan putih itu mendarat
ringan di depan pemuda tampan berjubah putih yang
ternyata Panji Atau dalam rimba persilatan lebih di-
kenal sebagai Pendekar Naga Putih.
“Pertapa Goa Kelelawar...?!” desis Panji begitu men-
genali sosok tinggi kurus berjubah lebar berwarna pu-
tih itu.
Pendekar Naga Putih langsung menatap sosok ka-
kek yang julukannya pernah menggetarkan rimba per-
silatan. Ada kilatan kecurigaan yang cepat disembu-
nyikan Panji dalam tatapannya.
“Semula kukira, akulah orang pertama yang tiba di
puncak bukit ini. Tapi, ternyata ada orang tua yang te-
lah lebih dulu tiba. Entah kapan kau tiba di tempat ini,
Pertapa Goa Kelelawar...?” lanjut Panji.
Kewaspadaan Pendekar Naga Putih langsung men-
gendor, begitu mengenal betul, siapa Pertapa Goa Kele-
lawar itu. Dia adalah salah satu tokoh golongan putih
yang banyak mengenyam pahit manisnya dunia persi-
latan. Bahkan kedigdayaannya diakui oleh dunia persi-
latan sebagai datuknya golongan pendekar.
Pertapa Goa Kelelawar tertawa mengekeh menden-
gar ucapan Pendekar Naga Putih. Wajahnya yang ma-
sih segar kemerahan menengadah ke atas, kemudian
tawanya berhenti tiba-tiba. Dan langsung matanya
menatap tajam wajah pemuda di depannya. Ada kila-
tan aneh sekilas dalam bola matanya. Namun, tidak
begitu diperhatikan Panji.
Sebenarnya Panji memang tidak begitu kenal Perta-
pa Goa Kelelawar. Dan perjumpaan kali ini adalah un-
tuk yang kedua kalinya. Tapi, Pendekar Naga Putih
memang sempat melihat adanya kelainan dalam sikap
kakek tua itu. Dan sebagai pendekar yang senantiasa
terancam bahaya maut, sikapnya kembali waspada.
Langkahnya digeser dua tindak ke belakang, saat mata
kakek itu menghunjam tajam ke wajahnya.
‘Pendekar Naga Putih...,” sebut Pertapa Goa Kelela-
war perlahan.
Kemudian orang tua berjubah putih ini melangkah
maju tiga tindak, hingga jarak di antara mereka hanya
terpisah kurang dari satu tombak.
“Semua tokoh persilatan menginginkan Rase Perak.
Termasuk, aku....”
Baru saja kata-kata itu selesai, tiba-tiba Pertapa
Goa Kelelawar melancarkan sebuah serangan menda-
dak! Bahkan dalam jarak yang dekat dan terlihat san-
gat hebat, disertai tenaga dalam penuh.
Whuttt..!
“Hei..?!”
Serangan dahsyat itu tentu saja membuat Pendekar
Naga Putih terkejut bukan kepalang. Untung sikapnya
memang telah siap sejak melihat adanya keanehan pada diri tokoh tua itu. Maka tubuhnya cepat bergeser ke
kanan, sehingga serangan Pertapa Goa Kelelawar
hanya menyambar tempat kosong.
‘Pertapa Goa Kelelawar! Apa artinya seranganmu
ini...?!” tegur Panji, belum mau membalas. Ingin dike-
tahuinya dulu apa alasan tokoh tua itu melancarkan
serangan berbahaya kepadanya.
“Artinya aku menginginkan kematianmu, Pendekar
Naga Putih!” tukas Pertapa Goa Kelelawar, kembali me-
lanjutkan serangan mautnya. Bahkan kali ini terlihat
jauh lebih hebat dan berbahaya!
Panji tidak sempat lagi berpikir. Serangan Pertapa
Goa Kelelawar terlalu hebat dan berbahaya jika dibiar-
kan begitu saja. Maka ia cepat kembali menggeser ba-
dannya, dan langsung sengaja menangkis.
Plakkk! Plakkk!
Dua kali Panji memapak sambaran tangan Pertapa
Goa Kelelawar, sehingga membuat tubuhnya ter-
huyung beberapa langkah ke belakang. Memang tidak
aneh, karena Pertapa Goa Kelelawar termasuk salah
satu dari sekian banyak tokoh tingkat tinggi yang dis-
egani dan ditakuti kaum rimba persilatan. Tak heran
bila kekuatannya sangat hebat
“Haaat..!”
Sementara, Pertapa Goa Kelelawar sempat terjajar
dua langkah ke belakang. Namun, dia tidak jera. Ma-
lah dipersiapkannya jurus-jurus berbahaya yang men-
datangkan deru angin keras, menggoyangkan pepoho-
nan di sekitar puncak Bukit Ular Emas.
“Pertapa Goa Kelelawar! Tahan seranganmu! Kalau
tidak, jangan salahkan bila aku terpaksa harus mela-
wan...!” cegah Panji, masih tetap merasa segan untuk
melakukan perlawanan.
Pendekar Naga Putih menyadari kalau Pertapa Goa
Kelelawar merupakan salah seorang tokoh yang di-
hormati di kalangan persilatan. Dan ia tidak ingin me-
nanam bibit permusuhan yang hanya akan membuat
dirinya mengalami kesulitan. Tapi, tentu saja seran-
gan-serangan itu tidak bisa didiamkan, karena me-
mang bisa mematikan!
Sementara, Pertapa Goa Kelelawar sama sekali tidak
mempedulikan peringatan Panji. Serangannya tetap
datang bagikan gelombang badai yang hendak mero-
bohkan puncak bukit Sehingga, mau tidak mau, Panji
harus melakukan perlawanan, jika masih ingin sela-
mat Maka kini pertempuran hebat pun pecah.
Pertapa Goa Kelelawar tampaknya memang bukan
hanya sekadar hendak menguji kepandaian Pendekar
Naga Putih. Itu terlihat dari serangan-serangannya
yang selalu mengarah pada jalan kematian di sekujur
tubuh pemuda ini. Panji sendiri yang tidak ingin mati
konyol, terpaksa melakukan perlawanan dengan men-
gerahkan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’-nya. Tak heran kalau
pertempuran pun mulai kelihatan seru dan seimbang.
Jurus demi jurus berlalu cepat Kedua tokoh sakti
yang segolongan itu saling serang dengan hebatnya.
Hingga ketika pertempuran memasuki jurus yang ke-
lima puluh, Pertapa Goa Kelelawar yang usianya terbi-
lang sangat tua itu ternyata masih tetap tangguh dan
belum kelihatan lelah. Dan ini membuat Panji mau ti-
dak mau jadi kagum akan daya tahan tokoh tua itu
Tapi, ia juga merasa penasaran, karena diserang mati-
matian tanpa sebab yang jelas.
“Yeaaat..!”
Karena Pertapa Goa Kelelawar masih terus melan-
carkan serangan-serangan maut yang berbahaya, ke-
sabaran Panji pun mulai hilang. Maka serangan bala-
sannya kini tidak main-main lagi. Tubuhnya cepat
berkelebat disertai pendaran sinar putih keperakan
yang menebarkan hawa dingin menggigit kulit Seolah,
di puncak Bukit Ular Emas tengah terjadi badai salju.
Setelah lebih dari sepuluh jurus Panji mendesak la-
wan, mulailah Pertapa Goa Kelelawar merasakan teka-
nan yang kian menghebat Terutama, hawa dingin yang
selalu menyertai setiap sambaran tangan dan kaki pe-
muda tampan berjubah putih ini. Dan sedikit demi se-
dikit, Pertapa Goa Kelelawar terpaksa bermain mun-
dur, karena mulai terdesak oleh gempuran-gempuran
Pendekar Naga Putih.
Namun sebagai tokoh kawakan yang telah memiliki
banyak pengalaman, tentu saja Pertapa Goa Kelelawar
tidak mudah ditundukkan. Apalagi ketika kakek tua
itu mulai mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya.
Maka tekanan serangan balasan dari Panji mulai dapat
diimbanginya. Bahkan serangan- serangan balasannya
memaksa Panji kini kembali bermain mundur.
“Celaka! Apa sebenarnya yang diinginkan Pertapa
Goa Kelelawar? Mengapa sikapnya sekarang sangat
aneh. Padahal pada perjumpaan pertama, orang tua ini
sama sekali tidak menunjukkan sikap bermusuhan?
Tapi sekarang....”
Meskipun tengah menghadapi pertarungan sengit,
pikiran Panji terus saja melayang. Dicarinya sebab,
apa yang membuat sikap Pertapa Goa Kelelawar beru-
bah. (Untuk mengetahui perjumpaan Panji dengan Per-
tapa Goa Kelelawar yang pertama, silakan baca serial
Pendekar Naga Putih dalam kisah: “Rase Perak”).
Dalam menghadapi lawan tangguh, sebenarnya ti-
dak semestinya pikiran Panji terpecah. Hal ini memang
bisa berbahaya bagi keselamatannya, karena pertaha-
nan dirinya akan terbuka. Atau paling tidak, membuat
benteng pertahanannya mengendor.
Sementara Pertapa Goa Kelelawar memang seorang
tokoh kawakan yang mempunyai banyak pengalaman.
Dan begitu melihat adanya kelalaian dalam diri Panji,
langsung saja kepalan tangannya menyambar cepat.
Buggg!
“Hukh...!”
Pukulan Pertapa Goa Kelelawar bersarang telak di
iga Pendekar Naga Putih. Akibatnya, tanpa ampun lagi,
tubuh Panji terjungkal deras ke belakang.
“Haiiit..!”
Tapi sebagai seorang pendekar yang setiap kali
menghadapi bahaya maut, Panji memang masih bisa
menguasai diri. Kendati pukulan orang tua itu sempat
bersarang telak di tubuhnya, dan membuatnya ter-
jungkal, keseimbangan dirinya masih bisa terkuasai.
Maka dengan bentakan keras, tubuhnya melenting ke
udara. Setelah berjumpalitan beberapa kali, kemudian
tubuhnya meluncur turun dengan kedua kaki terlebih
dulu.
Pertapa Goa Kelelawar sendiri sadar kalau lawannya
bukanlah pemuda sembarangan. Maka meskipun telah
menyarangkan pukulan telak, tubuhnya langsung me-
lesat mengejar Panji yang masih melayang turun ke
tanah.
“Yeaaah...!”
Dibarengi sebuah bentakan mengguntur, Pertapa
Goa Kelelawar langsung menggebrak dengan dorongan
kedua telapak tangan yang terbuka.
Whusss...!
Angin keras laksana topan prahara seketika mende-
ru begitu sepasang telapak tangan Pertapa Goa Kelela-
war meluncur ke arah Panji. Dan kalau sampai puku-
lan itu mengenai sasaran, keselamatan Panji benar-
benar terancam.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan adanya
bahaya besar yang mengancam. Meski keadaan tu-
buhnya memang masih dalam keadaan tidak me-
mungkinkan, terpaksa datangnya gempuran lawan ha-
rus disambut Karena untuk mengelak, akan lebih be-
sar bahayanya.
“Heaaat..!”
Dengan sebuah bentakan nyaring, Panji mengempos
semangat dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya,
kalau tidak ingin mati penasaran di tangan Pertapa
Goa Kelelawar. Biarpun kakek itu merupakan seorang
tokoh tua yang dihormatinya, namun karena seran-
gannya terlalu berbahaya, mau tidak mau Pendekar
Naga Putih harus melupakan rasa hormatnya.
Panji memang merasakan dadanya agak nyeri aki-
bat pukulan telak yang mengenai tubuhnya tadi. Na-
mun, tenaga sakti jelmaan Pedang Naga Langit telah
bergerak sendiri dan langsung memusnahkan rasa sa-
kit akibat pukulan Pertapa Goa Kelelawar. Dan kini
Panji mampu mengerahkan seluruh Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan’-nya. Seketika kedua tangannya dihentak-
kan ke depan. Dan....
Blarrr...!
Dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat se-
ketika saling bertemu di udara. Ledakan keras yang
bagai hendak meruntuhkan puncak Bukit Ular Emas
terdengar menggelegar. Bumi tempat berpijak pun ba-
gaikan diguncang tangan raksasa, membuat pepoho-
nan berderak ribut
Akibat yang dialami kedua orang tokoh yang berta-
rung dan saling mengadu tenaga itu pun cukup men-
genaskan. Keduanya terlempar ke belakang, dan ter-
hempas sejauh tiga tombak lebih. Sampai- sampai,
mereka tidak bisa menguasai keseimbangan tubuh
masing-masing sehingga terbanting jatuh keras ke ta-
nah.
Brukkk!
Panji mengeluh ketika tubuhnya terbanting di tanah
keras dan tidak rata. Bagian belakang tubuhnya terasa
sakit dan nyeri, membuatnya merintih perlahan. Dan
dari mulutnya termuntah darah segar. Jelas, benturan
barusan” telah mendatangkan luka parah dalam tu-
buhnya.
Namun agaknya kekuatan mukjizat jelmaan Pedang
Naga Langit terlihat menunjukkan kehebatannya. Sete-
lah Panji memuntahkan darah segar, tiba-tiba muncul
sinar kuning keemasan yang membawa hawa panas
luar biasa. Sehingga, sekujur tubuh Pendekar Naga
Putih bagaikan terbakar api. Hanya Panji sendiri yang
tahu kalau sinar kuning keemasan berhawa panas
yang muncul membungkus tubuhnya, adalah pertanda
kalau ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ tengah bekerja
menyembuhkan luka dalam yang dialaminya.
Pertapa Goa Kelelawar yang juga terbanting jatuh ke
tanah, juga langsung memuntahkan darah segar yang
kental. Wajah yang biasanya segar kemerahan, tampak
pucat bagai tak dialiri darah. Dan napas kakek itu pun
terlihat tersengal. Dan tampaknya, kakek itu tidak be-
rusaha bangkit Maka dapat ditebak kalau keadaannya
saat itu memang parah, akibat benturan tadi. Bagian
dalam tubuhnya memang mengalami guncangan he-
bat, sehingga membuat luka dalam yang parah dan
membutuhkan waktu cukup lama untuk menyembuh-
kannya.
Kendati dalam keadaan, luka parah, Pertapa Goa
Kelelawar sempat menyaksikan adanya pendaran sinar
kuning keemasan yang muncul menyelimuti sekujur
tubuh Pertapa Goa Kelelawar. Dan ia tidak tahu, dari
mana asal sinar kuning keemasan itu. Namun Pertapa
Goa Kelelawar menduga, Pendekar Naga Putih juga
mengalami luka dalam yang parah seperti dirinya.
Hanya saja dia tidak tahu kalau sinar kuning keema-
san itu merupakan kekuatan mukjizat yang sanggup
menyembuhkan luka dalam maupun segala jenis ra-
cun.
Sementara Pertapa Goa Kelelawar masih duduk te-
rengah-engah, saat sinar kuning keemasan yang mem-
bungkus tubuh Pendekar Naga Putih perlahan-lahan
memudar, untuk kemudian lenyap tanpa meninggal-
kan bekas. Dan Panji sudah mulai bergerak bangkit
berdiri, begitu bagian dalam tubuhnya yang semula te-
rasa nyeri bagai tertusuk ratusan jarum telah lenyap
sama sekali. Begitu hebat kekuatan mukjizat ‘Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’, hingga sanggup memunahkan
pengaruh benturan yang menimbulkan luka dalam di
tubuh Pendekar Naga Putih.
Tapi meskipun tubuhnya terluka dalam, yang un-
tungnya tidak membahayakan, tetap saja tenaga yang
dimiliki Panji belum sepenuhnya pulih. Dan justru da-
lam keadaan tidak siap itulah muncul sosok-sosok tu-
buh yang membuat Panji terkejut dan menjadi tegang!
Karena mereka adalah....
‘Tiga Harimau Besi, Pendekar Bangau Sakti, dan
para pengikutnya...?!” desis Panji ketika mengenali be-
lasan orang yang baru datang itu.
Pendekar Naga Putih memang pernah bentrok den-
gan mereka beberapa waktu yang lalu. Pendekar Ban-
gau Sakti menuduh Pendekar Naga Putih telah mem-
bunuh murid-muridnya. Padahal, perbuatan itu tidak
pernah dilakukannya. Tapi, Pendekar Bangau Sakti te-
tap bersikeras. Dan sebenarnya yang membawa tudu-
han tidak benar itu adalah Tiga Harimau Besi, yang
kini muncul bersama Pendekar Bangau Sakti. (Untuk
lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: “Rase Perak”).
“Celaka...! Kelihatannya mereka masih tetap memu-
suhi ku...?” desis Panji, langsung bergerak mundur.
Pendekar Naga Putih melihat sorot mata penuh an-
caman dari orang-orang yang baru datang itu. Namun
sesungguhnya Panji sudah tidak berminat bertarung
melawan orang segolongan. Terlebih, setelah tadi ben-
trok melawan Pertapa Goa Kelelawar, dan membuat
kakek sakti itu terluka dalam. Maka, sebelum mereka
tiba lebih dekat, Panji memutuskan untuk segera pergi
dari tempat itu. Dan sekali berkelebat saja, tubuhnya
sudah melesat seperti bayangan yang semakin men-
jauh. Untuk kemudian, lenyap ditelan kelebatan po-
hon-pohon besar.
“Kurang ajar...! Pendekar pengecut itu telah melari-
kan diri...!”
Pendekar Bangau Sakti menggeram marah dan
mengepal tinjunya erat-erat Ia tidak berminat menge-
jar, karena jarak di antara mereka tadi terpisah cukup
jauh. Dan ia pun tahu, kehebatan ilmu meringankan
tubuh Pendekar Naga Putih.
“Sebaiknya kita tolong saja Pertapa Goa Kelelawar.
Kelihatannya ia mengalami luka dalam yang parah...,”
usul salah seorang dari Tiga Harimau Besi.
Pendekar Bangau Sakti tentu saja tahu akan kea-
daan Pertapa Goa Kelelawar. Maka langsung saja dis-
etujui usul itu. Segera diisyaratkannya agar para pen-
gikutnya segera mengangkat tubuh kakek sakti itu,
dan membawanya bergerak meninggalkan tempat itu,
bersama yang. lainnya.
***
DUA
Sang Raja Siang telah menampakkan kekuasaannya
sejak pagi, hingga tengah hari sekarang ini Sinarnya
yang garang memancar ke seluruh permukaan bumi,
disebabkan oleh hembusan angin yang juga terasa pa-
nas.
Di antara kelebatan pepohonan di atas puncak Bu-
kit Ular Emas, sesosok bayangan hitam bergerak cepat
menerobos semak belukar. Sosok itu berperawakan
kurus dengan tinggi yang tidak wajar. Kendati demi-
kian gerakannya terlihat gesit, seperti hendak mema-
merkan kepandaian ilmu lari cepat yang nyaris sem-
purna.
“Hm.... Jangan harap kau dapat meloloskan diri da-
ri kejaranku, Manusia Keparat..!”
Terdengar bentakan keras yang disusul berkelebat-
nya sesosok bayangan tinggi besar. Gerakan sosok tu-
buh ini pun terlihat sangat ringan dan gesit Bahkan
kalau dibandingkan dengan sosok tinggi kurus tadi,
rasanya ilmu lari cepatnya tidak kalah.
Jarak antara kedua sosok tubuh yang tengah kejar-
mengejar itu terlihat semakin dekat Dari sini dapat di-
ketahui kalau sosok tinggi besar yang melalaikan pen-
gejaran memiliki ilmu lari cepat yang lebih tinggi se-
tingkat, dibanding buruannya.
“Haaattt..!”
Ketika jarak di antara mereka kini kurang dari dua
tombak, tiba-tiba sosok tinggi besar yang melakukan
pengejaran membentak nyaring. Kemudian tubuhnya
melesat ke udara dan terus berjumpalitan melampaui
kepala buruannya.
Jlig!
Bagaikan seekor burung elang yang menyambar
mangsanya, sosok tinggi besar itu melayang turun ku-
rang lebih satu tombak di depan buruannya.
“Sudah kukatakan, kau bakal tidak bisa lolos dari
tanganku, Manusia Keparat!” bentak sosok tinggi besar
itu menggeram marah dengan sorot mata mengancam.
“Hm..., tidak semudah itu, Pendekar Rase Perak...!
Terimalah ini...!”
Sosok laki-laki tua bertubuh kecil kurus dan berju-
bah hitam bermuka pucat itu kelihatannya sama sekali
tidak mau menyerah. Bahkan tubuhnya langsung saja
melesat ke depan dengan sebuah pukulan maut!
Whuttt..!
Sadar akan kedahsyatan serangan itu, sosok tinggi
besar yang dipanggil Pendekar Rase Perak langsung
saja menyiapkan jurus pertahanannya. Dengan kedua
tangan tersilang di depan dada, semangatnya dikem-
pos. Kemudian dipapaknya pukulan lawan dengan len-
gan tersilang.
Dukkk!
Dua gelombang tenaga sakti yang menyertai gera-
kan masing-masing, saling berbenturan keras. Tubuh
masing-masing terjajar mundur, tanda kekuatan tena-
ga dalam mereka seimbang.
“Hmmmh...!”
Pendekar Rase Perak kembali menggeram murka.
Tubuhnya bergeser ke kanan dengan kuda-kuda kokoh
dan indah. Sepasang matanya menyorot tajam, mem-
perhatikan kaki lawannya yang juga sudah bergeser
membentuk kuda-kuda harimau. Kelihatannya kakek
kecil kurus ini pun tidak mau kalah. Ini terlihat dari
kuda-kudanya yang tidak kalah mantap. Bahkan se-
rangan berikut sudah disiapkannya.
“Haaat..!”
Disertai teriakan nyaring, kakek kecil kurus berkulit
pucat itu langsung melesat dengan serangkaian seran-
gan. Angin besar bertiup, menandai betapa hebat tena-
ga dalam yang dikerahkannya untuk serangan kali ini.
Pendekar Rase Perak pun tidak mau kalah gertak.
Sepasang tangannya yang kokoh dan berbulu halus,
bergerak ke kiri-kanan diiringi deru angin keras. Ke-
mudian tubuhnya melesat ke depan disertai teriakan
membahana.
“Yeaaat..!”
Dalam waktu singkat saja, kedua tokoh yang sama-
sama memiliki kepandaian tinggi itu telah saling
menggempur hebat Keduanya sama-sama gesit dan
tangkas. Dalam jurus-jurus pertama, pertarungan ter-
lihat masih seimbang. Dan keduanya berusaha keras
saling mendesak menggunakan jurus-jurus tangguh
yang jarang duanya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh,
Pendekar Rase Perak yang kelihatannya sangat bernaf-
su untuk segera melumpuhkan lawan, kembali mem-
perdengarkan bentakan membahana. Tubuhnya yang
tinggi besar bergerak lebih cepat, menyambar-nyambar
bagaikan seekor rajawali perkasa. Dan ia berusaha
mendesak lawannya, melepaskan serangan-serangan
yang semakin gencar dan berbahaya.
“Aiiih...?!”
Kakek kecil kurus itu terpekik kaget, ketika iganya
nyaris terkena sodokan tangan Pendekar Rase Perak.
Untung tubuhnya masih sempat dimiringkan, sehingga
pukulan itu lewat setengah jengkal di sampingnya.
Kendati demikian, kekuatan angin pukulan Pendekar
Rase Perak sempat membuat kuda- kudanya agak
goyah, sehingga terhuyung beberapa langkah.
Kesempatan itu tidak dilewatkan Pendekar Rase Perak. Pukulannya yang semula gagal, cepat diputar se-
tengah lingkaran. Sambil melompat pendek, lengan
yang kekar berbulu itu langsung dikibaskan mendatar.
Bukkk!
“Hukh...!”
Hebat dan sangat cepat perubahan gerak Pendekar
Rase Perak. Sehingga, kakek kecil kurus itu tak sem-
pat lagi menyelamatkan tubuhnya. Akibatnya pukulan
lengan yang besar dan kokoh itu singgah di tubuhnya.
Dan kakek ini kontan terlempar deras sejauh satu
tombak lebih.
“Sekarang tamatlah riwayatmu, Manusia Tengik...!”
Usai berkata demikian, Pendekar Rase Perak mele-
sat ke depan dengan sebuah pukulan lurus memati-
kan. Dari sambaran angin pukulannya, dapat diperki-
rakan kalau serangan itu mampu menghancurkan ba-
tu sebesar gajah. Jelas, nyawa kakek kecil kurus itu
tengah dalam bahaya maut
Whuttt..!
Wajah yang pucat tampak semakin pias. Kelihatan-
nya, kakek kecil kurus itu benar-benar sudah tidak
berdaya dan pasrah menerima kematian di tangan la-
wan.
Tapi....
Plakkk!
Saat nyawa kakek kecil kurus itu nyaris pindah ke
alam baka, tiba-tiba melesat sesosok bayangan tinggi
besar lain. Dan pukulan maut Pendekar Rase Perak
langsung disambut dengan satu papakan keras. Se-
hingga, terdengar benturan keras, yang membuat ta-
nah di sekitar tempat itu bergetar bagai digoyang gem-
pa.
Akibatnya, baik tubuh Pendekar Rase Perak mau-
pun sosok tinggi besar yang baru tiba, terpental balik
hingga hampir tiga tombak. Dan keduanya tak dapat
menguasai keseimbangan tubuh masing- masing, se-
hingga terpaksa harus terbanting keras di tanah.
Pendekar Rase Perak bergegas melenting bangkit.
Kendati bagian dalam dadanya terasa masih agak se-
sak, namun tokoh sakti ini terlihat masih sanggup
bangkit dengan cepat Sepasang matanya langsung
menyorot tajam, untuk mengenali siapa manusia usil
yang mencampuri urusannya.
“Datuk Serigala Hitam...?!”
Terdengar desis berbisik dari mulut Pendekar Rase
Perak saat mengenali sosok tinggi besar yang baru da-
tang dan memapaki pukulannya barusan. Ada panca-
ran rasa terkejut dalam sinar mata tokoh tinggi besar
yang selama ini tidak pernah terdengar kabar beri-
tanya.
Sosok tinggi besar berwajah hitam dengan berewok
tebal itu pun telah pula bangkit tegak. Perawakannya
memang tidak berbeda jauh dengan Pendekar Rase Pe-
rak. Mereka sama-sama tinggi besar dan gagah. Be-
danya, wajah Datuk Serigala Hitam yang hitam legam
ditumbuhi berewok yang tak teratur. Sedangkan Pen-
dekar Rase Perak berwajah bersih dengan kumis dan
jenggot tercukur rapi Kini keduanya saling menatap
untuk beberapa saat
Sementara itu, kakek kecil kurus yang telah disela-
matkan Datuk Serigala Hitam tampak menggeser tu-
buhnya. Didekatinya sosok tinggi besar yang telah me-
nyelamatkan jiwanya tadi Kakek kecil kurus ini me-
mang tak lain dari Datuk Serigala Putih, yang juga
saudara seperguruan Datuk Serigala Hitam.
Mereka datang ke puncak Bukit Ular Emas memang
untuk mencari binatang ajaib berupa rase yang ber-
warna perak. Tapi, tampaknya Datuk Serigala Putih
yang berwajah telengas, hendak mencari sendiri bina-
tang ajaib yang menjadi rebutan kaum rimba persila-
tan. Namun sebelum niat itu terlaksana, dia tertang-
kap basah, sehingga untung saja Datuk Serigala Hitam
cepat datang, dan menyelamatkannya.
“Hm.... Sudah kuduga kalian akan datang ke tem-
pat ini! Karena sebagai manusia-manusia tamak dan
jahat, tentu tidak akan pernah merasa puas dan selalu
ingin memiliki apa yang dianggap dapat menambah
kesaktian. Sayangnya sebelum menemukan apa yang
dicari, sudah harus berjumpa dengan aku. Tapi, kalian
tidak usah heran. Aku memang sudah lama menung-
gu-nunggu kedatangan manusia macam kalian ber-
dua...,” ujar Pendekar Rase Perak, seraya menatapi
dua orang gembong golongan sesat yang kini berdiri di
hadapannya dalam jarak kurang lebih dua tombak.
Kening Datuk Serigala Hitam tampak berkerut begi-
tu mendengar ucapan Pendekar Rase Perak. Kemudian
kepalanya menoleh ke arah saudaranya dengan sorot
mata mengandung pertanyaan. Ketika melihat kepala
Datuk Serigala Putih menggeleng, Datuk Serigala Hi-
tam kembali memalingkan pandangan ke arah Pende-
kar Rase Perak.
“Ucapanmu sepertinya mengandung maksud terten-
tu, Pendekar Rase Perak? Coba kau jelaskan kepada-
ku...?” pinta Datuk Serigala Hitam.
Kelihatannya, dia merasa curiga atas perkataan
Pendekar Rase Perak Diduga ada sesuatu yang disem-
bunyikan pendekar tinggi besar itu. Sayangnya, ia be-
lum bisa menduga apa yang ada dalam kepala Pende-
kar Rase Perak
“Hmh...!”
Pendekar Rase Perak hanya mendengus penuh eje-
kan, tanpa sama sekali memberi jawaban atas pertanyaan datuk sesat itu. Bahkan kelihatannya seperti
sengaja hendak membuat dua orang tokoh sesat itu
merasa penasaran.
“Grrr.... Apakah harus kuremukkan kepalamu agar
menjawab pertanyaanku itu...!” dengus Datuk Serigala
Hitam.
Tampaknya, datuk sesat ini merasa terhina melihat
sikap Pendekar Rase Perak yang menggeram gusar.
Wajahnya yang hitam semakin mengelam. Dan sepa-
sang matanya yang lebar bertambah melotot mena-
kutkan.
Melihat kemarahan Datuk Serigala Hitam, Pendekar
Rase Perak bukannya gentar. Malah diperdengarkan-
nya suara tawa yang membuat dada Datuk Serigala Hi-
tam serasa hendak meledak. Jelas sekali suara tawa
itu mengandung ejekan yang menyakitkan.
“Huh! Keparat ini sepertinya sengaja hendak menge-
labui kaum persilatan! Mungkin berita tentang bina-
tang langka itu hanya bualannya saja! Aku curiga, jan-
gan-jangan binatang itu tidak pernah ada...!”
Datuk Serigala Putih yang sejak tadi hanya diam
mendengarkan, berbisik pelan ke telinga saudaranya.
Sementara, sepasang matanya tetap terarah kepada
Pendekar Rase Perak.
“Hm.... Kalau benar berita bohong itu sengaja di se-
barkannya akan kucincang tubuhnya sampai halus!
Dan akan kuberikan kepada serigala-serigala peliha-
raan kita! Agar dia tahu rasa!” geram Datuk Serigala
Hitam dengan suara lantang. ,
Maksud gertakan itu tentu agar didengar Pendekar
Rase Perak. Tapi nyatanya, pendekar tinggi besar itu
sama sekali tidak memberi tanggapan. Bahkan malah
membuat Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala
Putih semakin bertambah penasaran. Karena pertanyaan-pertanyaan mereka tetap tanpa jawaban pasti.
“Kurang ajar! Kau benar-benar mencari mati, Pen-
dekar Rase Perak...!”
Srattt!
Seiring suara menggeram marah itu, Datuk Serigala
Hitam meloloskan sebuah senjata mengerikan berben-
tuk gada yang sekelilingnya dipenuhi duri tajam berki-
lat, berwarna kehijauan. Sekali lihat saja, Pendekar
Rase Perak sadar kalau gada di tangan lawannya men-
gandung racun jahat yang mematikan.
Pendekar Rase Perak segera menggeser langkahnya
ketika melihat kedua orang datuk sesat itu sudah me-
nyebar ke kiri kanan mengepung dirinya. Kelihatan-
nya, ia sama sekali tidak merasa gentar meskipun ha-
rus menghadapi dua orang dedengkot kaum sesat yang
terkenal kejam dan sakti. Apalagi tadi telah menjajal
kepandaian Datuk Serigala Putih, yang masih di ba-
wahnya. Maka ia pun bersiap-siap menghadapi ke-
royokan dua orang datuk sesat itu.
***
Tiga orang tokoh sakti itu sudah siap saling gempur
dengan ilmu-ilmu andalannya. Tapi belum ada seorang
pun yang menyerang lebih dulu. Dan masing-masing
masih saling meneliti gerak langkah satu sama lain.
Kendati demikian, tampaknya pertempuran sudah ti-
dak mungkin dielakkan lagi
Tapi....
“Suittt..!”
Tiba-tiba terdengar siulan nyaring memasuki telinga
ketiga orang tokoh yang siap saling gebrak itu. Karuan
saja gerakan mereka sama-sama terhenti, langsung
memiringkan kepala. Seolah, mereka hendak menden-
gar lebih jelas, dari mana asal siulan barusan.
Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala Putih
tampaknya lebih tahu dan mengenal siulan panjang
itu. Terlihat mereka berpandangan sesaat, kemudian
saling mengangguk. Seolah, mereka telah menda-
patkan kata sepakat Dan sebelum Pendekar Rase Pe-
rak mengerti akan tingkah laku kedua orang calon la-
wannya, tahu-tahu tubuh dua orang datuk sesat itu
sudah melesat pergi ke arah selatan puncak.
Pendekar Rase Perak tentu saja menjadi heran dan
menaruh curiga dengan siulan yang menurutnya mirip
sebuah isyarat untuk kedua orang’ datuk itu. Maka
tanpa banyak cakap lagi, tubuhnya langsung melesat
mengejar kedua orang lawannya.
Tapi baik Datuk Serigala Hitam maupun Datuk Se-
rigala Putih sepertinya tidak ingin diikuti Begitu mera-
sa ada orang yang mengejar, secara berbarengan ke-
duanya mengibaskan tangan ke belakang.
Siuttt, siuttt..!
Seketika terdengar suara berkesuitan menyertai
sambaran delapan sinar putih kehijauan yang mene-
barkan bau busuk Tahulah Pendekar Rase Perak kalau
kedua orang lawannya telah melepaskan senjata-
senjata rahasia beracun untuk mencegahnya.
“Keparat licik...!”
Pendekar Rase Perak tentu saja tidak mau men-
ganggap remeh serangan senjata rahasia kedua orang
lawannya. Cepat-cepat gerakannya dihentikan. Kemu-
dian tubuhnya digeser ke kanan untuk menghindari
ancaman senjata rahasia beracun kedua orang lawan-
nya.
Tapi meskipun sudah menghindar, tetap saja ada
tiga batang pisau kecil yang mengancam tenggorokan,
dada, dan perutnya. Sadar kalau senjata rahasia itu
sangat beracun, Pendekar Rase Perak cepat mengi
baskan tangan kanan disertai pengerahan tenaga da-
lam. Sehingga, tiga senjata beracun itu langsung run-
tuh ke tanah.
Pendekar tinggi besar berwajah bersih yang masih
terlihat gagah itu menggeram jengkel, begitu menyada-
ri kalau bayangan kedua orang lawannya telah lenyap
ditelan kelebatan pepohonan besar yang banyak tum-
buh di atas puncak Bukit Ular Emas. Tapi meskipun
demikian, ia sama sekali tidak patah semangat Walau-
pun tidak jelas ke mana arah pergi kedua orang datuk
sesat itu, Pendekar Rase Perak bertekad untuk mela-
caknya.
***
TIGA
Beberapa saat setelah Datuk Serigala Hitam, Datuk
Serigala Putih, dan Pendekar Rase Perak meninggalkan
tempat itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah
putih tampak bergerak keluar dari balik rimbunan po-
hon. Sosok itu tak lain dari Panji yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih.
Sebenarnya, Pendekar Naga Putih memang sudah
cukup lama bersembunyi di tempat itu, yakni sejak
terjadinya pertarungan antara Pendekar Rase Perak
dan Datuk Serigala Putih. Dan ia juga menyaksikan
munculnya Datuk Serigala Hitam, yang menyela-
matkan nyawa saudaranya.
“Rasanya pertarungan tadi tidak wajar. Menurut
penilaianku, kepandaian Datuk Serigala Putih tidak
berada di bawah Pendekar Rase Perak Anehnya, men-
gapa datuk berwajah pucat itu nyaris tewas hanya da-
lam beberapa gebrak? Sedangkan menurut perhitun-
ganku, paling tidak kepandaian mereka seimbang. Kalaupun Pendekar Rase Perak dapat mengatasi lawan-
nya, jelas akan memerlukan waktu yang tidak sedikit
Paling tidak pertarungan akan berlangsung ramai, dan
mencapai ratusan jurus? Benar-benar aneh...?” gu-
mam Panji sambil memandangi arah kepergian tokoh-
tokoh persilatan tadi.
Dan ia masih termenung sampai beberapa saat la-
manya. Diam seperti patung.
Keanehan-keanehan yang membingungkan ini me-
mang bukan baru pertama kali bagi Panji. Sejak men-
ginjakkan kakinya di puncak Bukit Ular Emas, me-
mang sudah terlihat keanehan pada diri Pendekar
Bangau Sakti. Kakek sakti itu menurut penglihatan-
nya, sedang berada dalam keadaan tidak wajar.
Sayangnya belum bisa diduga, keanehan apa yang ada
dalam diri Pendekar Bangau Sakti. Bahkan sekarang
tokoh sakti itu kelihatan sangat memusuhinya dan je-
las-jelas menginginkan kematiannya.
Semua keanehan-keanehan itu jelas membuat Panji
berpikir keras. Terlebih, sampai saat ini kematian mu-
rid-murid Perguruan Bangau Putih masih belum bisa
diungkapkannya. Tak heran, kalau Pendekar Naga Pu-
tih masih dimusuhi Pendekar Bangau Sakti dan Tiga
Harimau Besi. Padahal, mereka semua sama-sama go-
longan putih. Dan tentu saja Panji tidak bisa mengha-
dapi mereka dalam sebuah pertempuran. Dan terpaksa
sikapnya harus selalu mengalah, sebelum menemukan
bukti-bukti kalau pembunuh murid-murid Perguruan
Bangau Putih bukanlah dirinya, seperti apa yang ditu-
duhkan tokoh-tokoh persilatan. (Untuk lebih jelasnya
baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: “Rase
Perak”).
“Hm.... Aku yakin, semua ini mempunyai hubungan
erat Siapa tahu dengan mengikuti ketiga tokoh sakti
yang barusan berselisih itu, bisa membawa sedikit si-
nar terang bagi semua keanehan yang dialami tokoh-
tokoh persilatan. Termasuk keanehan yang terlihat pa-
da diri Pendekar Rase Perak...”
Berpikir demikian, Panji langsung saja berkelebat
ke arah lenyapnya bayangan tokoh-tokoh persilatan
yang barusan berselisih hingga nyaris terjadi pertum-
pahan darah tadi. Dan Pendekar Naga Putih pun juga
tahu kalau penyebab gagalnya pertarungan adalah sui-
tan nyaring yang mirip isyarat rahasia tadi. Maka ingin
diketahuinya siapa yang mengeluarkan suitan nyaring,
mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi tadi. Serta,
apa maksud dari suitan itu.
Dengan ilmu lari cepatnya yang telah mencapai titik
kesempurnaan, Panji berkelebat laksana sambaran ki-
lat Semak belukar maupun pepohonan lebat tidak
menjadi halangan baginya. Tubuhnya terus meluncur
sambil tetap memasang indera pendengaran tajam-
tajam. Karena memang harus selalu bersikap waspada.
Disadari betul kalau saat ini puncak Bukit Ular Emas
telah menjadi pusat perhatian kaum rimba persilatan,
sehingga bahaya akan selalu datang tanpa terduga.
Untuk itu, ia tidak boleh lengah sedikit pun.
Puncak Bukit Ular Emas memang merupakan tem-
pat yang cukup luas. Tidak seperti bukit-bukit lainnya,
dataran di atas puncak bukit ini berbentuk meman-
jang. Selain itu, pohon besar banyak tumbuh di atas-
nya. Jadi, tidak aneh kalau tokoh-tokoh persilatan
yang berdatangan ke tempat itu jarang saling berjumpa
satu sama lain. Terlebih Bukit Ular Emas memang bisa
didaki dari sisi mana pun, oleh mereka yang berke-
pandaian tinggi. Sedangkan bagi orang biasa, jangan
harap akan sampai di lerengnya saja. Karena, lereng
bukit ini nyaris berdiri tegak lurus!
Panji yang bergerak mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuh, tiba-tiba menahan langkahnya. Telinganya
yang memang telah dipasang tajam-tajam untuk men-
dengar suara-suara mencurigakan, menangkap adanya
bentakan-bentakan dan dentang senjata berada Dan
bisa langsung ditebak kalau tidak jauh dari tempatnya
berdiri, tengah terjadi sebuah perkelahian yang keden-
garannya cukup sengit
Tanpa membuang waktu lagi, langsung saja Pende-
kar Naga Putih bergerak mendekati asal suara pertem-
puran. Kali ini tentu saja sikapnya lebih berhati-hati.
Langkah kakinya diusahakan selunak mungkin, agar
kehadirannya tidak sampai diketahui pihak-pihak yang
sedang bertarung. Dengan demikian, ia dapat lebih le-
luasa memperhatikan jalannya pertarungan, sekaligus
mengenali orang-orang yang tengah bertarung.
Kira-kira belasan tombak kemudian, dari rimbunan
semak belukar, Panji melihat adanya pertempuran
yang tengah berlangsung sengit Dan setelah agak de-
kat, baru dikenali siapa pihak-pihak yang tengah ber-
tempur. Tentu saja kaget bukan main hati Panji ketika
mengenali, karena yang tengah bertarung itu adalah
Pendekar Bangau Sakti, Tiga Harimau Besi, dan Perta-
pa Goa Kelelawar. Mereka memang tengah menghadapi
belasan orang berpakaian serba hitam yang bersenja-
takan golok besar.
Berdebar juga hati Panji ketika melihat pertarungan
yang hebat itu. Terlebih ketika menoleh ke arah perta-
rungan lain. Tampak dua orang datuk yang dikenal
sebagai Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala Pu-
tih, tengah menggempur Pendekar Rase Perak Bahkan,
pertarungan ketiga orang sakti itu jauh lebih hebat,
ketimbang pertarungan lainnya.
Menyaksikan semua itu, Panji tidak bisa mengambil
tindakan apa-apa. Dan ia memang tidak tahu harus
memihak yang mana. Kalaupun nekat muncul, bukan
tidak mungkin Pendekar Bangau Sakti serta tokoh-
tokoh pendekar lain akan mengeroyoknya. Tentu saja
Panji tidak menginginkannya, dan hanya bisa menyak-
sikan tanpa bisa mengambil keputusan apa-apa.
Tapi pertarungan-pertarungan itu tidak berlang-
sung lama. Terlebih, ketika pihak belasan orang ber-
pakaian serba hitam yang menjadi lawan Pendekar
Bangau Sakti dan kawan-kawannya mulai roboh satu
persatu bermandikan darah. Tentu saja tidak terlalu
aneh, karena yang dihadapi belasan orang berpakaian
serba hitam itu adalah pentolan golongan putih, yang
nama besarnya telah menggetarkan rimba persilatan.
Sedangkan di arena lain, Pendekar Rase Perak tam-
pak mulai kepayahan dalam menghadapi keroyokan
gembong-gembong golongan sesat itu. Sehingga pen-
dekar gagah itu hanya bisa bertahan dan mengelak,
tanpa bisa membalas serangan. Dan kalau dibiarkan
berlarut-larut, bukan mustahil Datuk Serigala Hitam
dan Datuk Serigala Putih akan dapat menghentikan
perlawanan Pendekar Rase Perak
Untung saja Tiga Harimau Besi yang telah dapat
menghabisi lawan-lawannya, bergegas memberi ban-
tuan, sehingga melegakan hati Pendekar Rase Perak.
Dengan terjunnya Tiga Harimau Besi dalam kancah
pertempuran, maka gempuran-gempuran Datuk Seri-
gala Hitam dan Datuk Serigala Putih tak lagi membuat
Pendekar Rase Perak kalang-kabut
Apalagi kepandaian Tiga Harimau Besi memang ti-
dak bisa dianggap remeh jika maju bersama. Mereka
akan lebih kuat dan dapat memainkan jurus-jurus ga-
bungan yang saling isi dan saling melindungi. Sehing-
ga, dua orang datuk sesat itu terpaksa melupakan
Pendekar Rase Perak, dan harus mengimbangi seran-
gan-serangan Tiga Harimau Besi.
Sementara itu, Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa
Goa Kelelawar yang telah menyelesaikan pertarungan,
sejenak melirik ke arah pertarungan yang masih ber-
langsung. Sebentar kemudian, mereka telah bergerak
meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan Pende-
kar Rase Perak dan Tiga Harimau Besi yang masih ber-
tarung sengit melawan kedua orang datuk sesat itu.
“Kurang ajar...!”
Datuk Serigala Hitam meskipun dalam keadaan ber-
tarung, ternyata sempat melirik kepergian Pendekar
Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar. Dia langsung
menggeram gusar, seperti tidak akan membiarkan ke-
dua orang tokoh itu pergi begitu saja.
“Yeaaat..!”
Dengan sebuah teriakan mengguntur, tiba-tiba saja
Datuk Serigala Hitam melesat maju menggempur la-
wannya. Sepasang tangannya yang hitam dan berbulu
lebat bergerak dengan kecepatan tinggi. Kemudian di-
kirimkannya serangkaian serangan maut disertai pen-
gerahan seluruh tenaga dalam.
Whuttt, whuttt..!
Tentu saja hebat bukan main gempuran yang dilan-
dasi kemarahan itu. Angin berkesiutan menyambar-
nyambar, menyertai datangnya dua pasang lengan
yang mengandung kekuatan dahsyat
Orang kedua dan ketiga dari Tiga Harimau Besi
yang kebetulan menghadapi Datuk Serigala Hitam,
tampak terkejut bukan main! Biar bagaimanapun, ke-
pandaian datuk sesat itu masih berada di atas mereka.
Sehingga, serangan yang dilakukan dengan seluruh
tenaga itu sempat membuat keduanya menjadi terke-
siap. Mereka terpaksa berloncatan mundur, tidak berani menyambut langsung gempuran dahsyat itu.
Tapi, Datuk Serigala Hitam tidak menghentikan se-
rangannya begitu saja. Melihat serangannya gagal dan
lawan berlompatan mundur ke belakang, tubuh tinggi
besar berkulit hitam legam itu melesat mengejar. Lang-
sung dilepaskannya serangan mautnya secara bertubi-
tubi. Sehingga, dua orang dari Tiga Harimau Besi men-
jadi sibuk menyelamatkan diri, mengandalkan kegesi-
tan tubuhnya. Sayangnya, Datuk Serigala Hitam me-
miliki kecepatan gerak dua tingkat di atas lawan-
lawannya. Sehingga....
Bukkk, desss...!
“Akh...!”
Dua dari ketiga orang Tiga Harimau Besi langsung
menjerit kesakitan hampir berbarengan. Tubuh mere-
ka terjengkang ke belakang, akibat hantaman kepalan
sebesar kepala bayi yang tepat mengenai tubuh mere-
ka. Darah segar langsung termuntah keluar dari mulut
keduanya, karena pukulan itu membuat bagian dalam
tubuh berguncang hebat Maka untuk beberapa saat,
kedua orang tokoh itu tidak mampu bangkit berdiri.
Ternyata bukan hanya Datuk Serigala Hitam saja
yang merasa marah melihat kepergian Pendekar Ban-
gau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar. Datuk Serigala
Putih pun tidak kalah marahnya. Maka segera diter-
jangnya Pendekar Rase Perak dan orang tertua dari Ti-
ga Harimau Besi yang menjadi lawannya dengan se-
rangkaian serangan maut mematikan.
“Heaaat...!”
Kakek kecil kurus berwajah pucat itu berkelebat
bagaikan sambaran kilat Meskipun lengannya lebih
pendek dan kecil ketimbang kedua orang lawannya,
namun serangkaian serangan yang dilancarkan Datuk
Serigala Putih tidak bisa dianggap remeh. Tak hanya
sambaran angin pukulannya yang berkesiutan, namun
juga kecepatan geraknya yang sangat menggetarkan.
Dan kini membuat Pendekar Rase Perak dan orang ter-
tua dari Tiga Harimau Besi tidak berani memandang
rendah. Mereka berusaha menghindari serangan maut
itu, dan mengirimkan serangan balasan yang tidak ka-
lah hebatnya.
Kalau serangan Datuk Serigala Hitam yang disertai
amarah itu cukup berhasil, namun tidak demikian
halnya Datuk Serigala Putih. Ternyata kedua orang la-
wan yang dihadapinya jauh lebih kuat Sehingga bukan
hanya kegagalan saja didapatnya, tapi juga berupa se-
rangan balasan yang nyaris membuatnya celaka. Ter-
paksa kakek kecil kurus itu harus menyelamatkan diri
dari gempuran-gempuran maut kedua orang lawannya.
“Yeaaa...!”
Dibarengi lengkingan panjang menggetarkan dada,
Datuk Serigala Hitam yang melihat saudaranya kela-
bakan menyelamatkan diri, segera meluruk bagaikan
seekor burung raksasa yang menyambar. Kedua len-
gannya yang panjang dan besar, membuat gerakan
yang mendatangkan hembusan angin keras menggu-
gurkan dedaunan pohon. Bahkan sempat membuat
pohon-pohon di sekitarnya berderak ribut, bagaikan
hendak tumbang. Jelas, serangan kakek tinggi besar
ini memang hebat bukan main!
Tapi, baik Pendekar Rase Perak maupun orang ter-
tua dari Tiga Harimau Besi tidak gentar. Cepat dis-
iapkan jurus untuk menyambut datangnya serangan
kakek tinggi besar itu. Dan mereka langsung men-
gayunkan tangan, memapak gempuran Datuk Serigala
Hitam yang mengancam.
“Heaaah...!”
“Haiiit..!”
Disertai teriakan susul-menyusul, Pendekar Rase
Perak dan orang tertua dari Tiga Harimau Besi lang-
sung merubah sasaran. Keduanya melesat memapak
serangan Datuk Serigala Hitam.
Plakkk, plakkk!
Terdengar suara benturan dahsyat bagaikan dua
batang besi beradu, ketika serangan Datuk Serigala Hi-
tam disambut lengan kedua orang lawannya. Akibat-
nya, tubuh satu sama lain terdorong mundur sampai
enam langkah jauhnya. Bahkan Datuk Serigala Hitam
sampai agak terhuyung, karena harus menghadapi
dua gempuran tenaga sakti sekaligus. Tentu saja keru-
gian jelas berada di pihaknya.
“Keparat busuk..!”
Datuk Serigala Hitam mengumpat kalang-kabut,
kemudian menggeser langkahnya mendekati Datuk Se-
rigala Putih. Sesaat mereka saling berpandangan, ke-
mudian sama-sama menganggukkan kepala seperti
memahami isyarat masing-masing. Sebentar kemu-
dian, kedua datuk sesat itu sudah melesat pergi me-
ninggalkan lawan-lawannya, hendak mengejar Pende-
kar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar.
Pendekar Rase Perak dan Tiga Harimau Besi ru-
panya tidak menduga kalau kedua orang datuk itu
akan meninggalkan pertarungan. Mereka sempat terte-
gun, dan seperti tidak mempunyai keinginan untuk
mengejar. Sampai kedua orang datuk itu lenyap dan
tidak terlihat lagi bayangan, mereka masih terpaku di
situ.
***
Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar
tampak berlari cepat menuju bagian selatan Bukit Ular
Emas. Keduanya seperti saling berlomba, mengejar sesosok bayangan perak yang melarikan diri dengan ke-
cepatan kilat Kalau saja kedua orang ini bukan tokoh
sakti berkepandaian tinggi, tidak mungkin dapat men-
gejar binatang yang tak lain Rase Perak. Rupanya, ke-
dua tokoh itu sudah menemukan tempat persembu-
nyian Rase Perak, yang tengah menjadi rebutan karena
memiliki khasiat luar biasa.
Cukup lama kedua tokoh itu mengejar binatang
langka berbulu perak yang menggegerkan itu. Sampai
akhirnya, binatang itu melesat naik ke atas pohon be-
sar berdaun lebat
“Ha ha ha...! Akhirnya kau menyerah juga...!” ujar
Pertapa Goa Kelelawar.
Tokoh tua ini memang tiba lebih dulu, baru kemu-
dian Pendekar Bangau Sakti. Kini keduanya berdiri di
bawah pohon memandang binatang langka ini.
Binatang mirip musang dan memiliki bulu lebat
berwarna perak itu tampak menggereng, memperli-
hatkan taringnya yang runcing. Binatang ini berdiri
dengan tubuh melengkung di atas batang pohon yang
agak tinggi. Sepasang matanya berkilat memancarkan
kemarahan terhadap kedua orang yang berada di ba-
wahnya.
“Hm...”
Pertapa Goa Kelelawar menggumam perlahan. Sete-
lah memandang ke arah tempat Rase Perak berada,
kakek berselempang kain putih lebar ini menyedot
udara banyak-banyak Kedua tangannya berputaran
lambat, memperdengarkan bunyi berkerotokan. Ru-
panya, Pertapa Goa Kelelawar tengah mengerahkan te-
naga saktinya. Kemudian....
“Hah!”
Dengan bentakan keras, Pertapa Goa Kelelawar
menghantam batang pohon sebesar dua pelukan orang
dewasa itu dengan kedua telapak tangan terbuka.
Krakh...!
Seketika terdengar suara berderak keras yang di-
iringi bergeraknya pohon besar itu. Kemudian tubuh
Pertapa Goa Kelelawar dan Pendekar Bangau Sakti
berkelebat ke arah pohon besar yang bergerak hendak
roboh.
Rase Perak yang bertengger di atas cabang pohon
kelihatan gelisah. Akhirnya, sebelum batang pohon ja-
tuh berdebum ke tanah, binatang langka ini melompat
ke tanah dengan kecepatan luar biasa.
Pertapa Goa Kelelawar dan Pendekar Bangau Sakti
tentu saja tidak mau membiarkan binatang itu lolos.
Disertai pengerahan seluruh kemampuan ilmu merin-
gankan tubuh yang dimiliki, keduanya melesat setelah
menotok bagian pohon. Kedua tangan mereka terulur
hendak menangkap Rase Perak yang tengah melayang
di udara. Tapi, binatang itu rupanya tidak tinggal di-
am. Meski dalam keadaan melayang di udara, cakar-
cakarnya langsung menyambar saat kedua pasang
tangan tokoh-tokoh sakti itu hendak menangkapnya.
Brettt, brettt!
“Akh...?!”
Baik Pertapa Goa Kelelawar maupun Pendekar Ban-
gau Sakti tentu saja tidak menduga. Mereka kontan
terpekik dan kembali meluncur turun. Beberapa jari
tangan mereka tampak mengeluarkan darah. Kedua
tokoh sakti itu menyeringai, merasakan perih dan pa-
nas pada tangan mereka.
“Binatang celaka...!”
Pertapa Goa Kelelawar mengumpat geram. Kemu-
dian, dia melompat ke arah jatuhnya Rase Perak. Lalu
langsung dilepaskannya sebuah pukulan jarak jauh.
Brash!
Semak belukar tempat jatuhnya tubuh Rase Perak
langsung berhamburan, akibat pukulan jarak jauh
Pertapa Goa Kelelawar yang amat kuat Sedangkan tu-
buh binatang langka itu melambung ke udara, kemu-
dian kembali meluncur deras ke tanah. Tampaknya,
binatang itu pun tak luput dari pukulan jarak jauh
yang sangat kuat
”Kena kau sekarang...!” seru Pertapa Goa Kelelawar
dengan wajah berseri.
Dan sebelum tubuh binatang langka itu jatuh ke
tanah, kakek sakti itu langsung melesat dengan kedua
tangan terulur, siap menangkap tubuh Rase Perak
Tapi sebelum kedua tangan Pertapa Goa Kelelawar
sempat menyentuh, tubuh Rase Perak yang berada di
udara tiba-tiba menggeliat dengan gerakan menga-
gumkan. Diiringi desisan marah, sepasang kaki bina-
tang itu langsung menyambar tangan Pertapa Goa Ke-
lelawar!
“Keparat..!” maki Pertapa Goa Kelelawar kaget Cepat
kedua tangannya diputar hingga luput dari sambaran
cakar binatang itu. Kemudian tangan kanannya me-
nampar kuat
Whuttt... bukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh binatang yang bentuknya
terdiri dari gabungan antara kucing dan musang ini
terlempar deras. Tapi, Pertapa Goa Kelelawar pun ter-
kejut ketika tamparannya terasa seperti menghantam
benda kenyal dan kuat Sehingga membuat setengah
kekuatan tamparannya membalik. Rupanya, binatang
langka yang diperebutkan itu memiliki kekuatan tubuh
yang mengagumkan, selain gerakannya cepat luar bi-
asa!
Pada saat tubuh Pertapa Goa Kelelawar berputar
untuk melenyapkan tenaga tamparannya yang berbalik, Pendekar Bangau Sakti sudah melesat ke udara.
Kedua tangannya sudah terulur, untuk menangkap
tubuh Rase Perak yang terpental akibat tamparan ka-
kek sakti dari Goa Kelelawar itu. Pendekar Bangau
Sakti merasa yakin kalau akan berhasil mendapatkan
binatang langka yang kini tengah melayang dalam
keadaan lemas. Dugaannya, binatang itu kemungkinan
mengalami luka akibat tamparan rekannya.
Tapi, rupanya Pendekar Bangau Sakti belum berjo-
doh untuk mendapatkan Rase Perak. Karena pada saat
yang bersamaan, tiba-tiba melesat sesosok bayangan
putih dengan kecepatan tinggi. Bahkan sosok bayan-
gan putih itu langsung melancarkan tamparan dengan
tangan kanan untuk menggagalkan usaha Pendekar
Bangau Sakti. Sedang tangan kirinya diulurkan, untuk
menangkap tubuh Rase Perak. Tentu saja kemunculan
sosok bayangan putih yang sangat tiba-tiba ini mem-
buat Pendekar Bangau Sakti menjadi kaget!
Plakkk!
Rasa kaget Pendekar Bangau Sakti semakin menja-
di-jadi ketika merasakan betapa kuatnya tenaga yang
terkandung dalam tamparan sosok bayangan putih ta-
di. Sehingga walau tenaganya sudah ditambah, tetap
saja tubuhnya terlempar ke samping. Dan dia memang
tidak sampai terluka dan masih dapat menguasai ke-
seimbangan. Tapi, tetap saja jadi marah bukan main!
Sedangkan sosok bayangan putih yang berhasil
menggagalkan perbuatan Pendekar Bangau Sakti, tiba-
tiba menjadi kaget! Tadi sewaktu tangan kirinya ham-
pir menyentuh tubuh Rase Perak, mendadak saja ber-
tiup angin keras, yang disusul berkelebatnya bayangan
hitam. Bahkan bayangan itu langsung melancarkan
sebuah pukulan jarak jauh ke arahnya.
“Gila...!”
Sosok bayangan putih ini mengumpat ketika mera-
sakan betapa hebat dan kuatnya sambaran angin yang
mendahului datangnya pukulan jarak jauh itu. Dari
bunyi bersuitan yang timbul, disadari kalau serangan
itu sangat berbahaya dan tidak bisa dianggap main-
main! Maka tangan kiri yang semula siap menangkap
tubuh Rase Perak, terpaksa ditarik pulang. Kemudian
tubuhnya dilempar ke belakang untuk menyelamatkan
diri dari ancaman pukulan maut itu.
Whuttt... blarrr...!
Sambaran angin pukulan berhawa maut itu lewat di
atas tubuh bayangan putih yang tengah meluncur tu-
run. Dan kesempatan itu digunakan sosok bayangan
hitam yang baru tiba, untuk mengejar Rase Perak yang
menjadi idaman setiap tokoh persilatan. Maka tanpa
mengalami kesulitan, tangan kanannya yang bebas te-
lah menangkap tubuh binatang langka itu.
“Hua ha ha...! Akhirnya binatang keramat ini berha-
sil kudapatkan...!” kata sosok tinggi besar berpakaian
serba hitam itu disertai tawa bergema. Kemudian tu-
buhnya berbalik dan melesat meninggalkan tempat itu.
“Hei, tunggu...!”
Sosok bayangan putih yang tak lain Panji ini segera
saja membentak, lalu tubuhnya melesat cepat melaku-
kan pengejaran. Memang Pendekar Naga Putih tidak
ingin kalau binatang keramat yang berupa rase ber-
warna perak itu sampai jatuh ke tangan orang-orang
tak bertanggung jawab dan mempunyai tujuan keji.
“Hm.... Jangan dikira dapat mencegah kepergianku,
Pendekar Naga Putih! Nah, sambutlah pukulanku...!”
Sambil berseru demikian, tiba-tiba saja sosok
bayangan hitam ini berbalik. Dan dengan kecepatan
sulit ditangkap mata, tangan kanannya bergerak dua
kali melepaskan pukulan jarak jauh yang menerbitkan
decit angin tajam.
“Hyaaat..!”
Kali ini Panji tidak tinggal diam. Disambutnya pu-
kulan jarak jauh lawan dengan mendorongkan kedua
telapak tangannya yang terbuka. Seketika serangkum
gelombang angin dingin menderu keluar dari sepasang
tangan Panji. Dan....
Bresh...!.
Dua gelombang kekuatan hebat saling berbenturan
di udara, membuat sekitar tempat itu bergetar. Dan
tubuh Pendekar Naga Putih kontan terpental balik.
Tentu saja kenyataan ini membuat Panji kaget, karena
tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Akibat-
nya, Panji harus menerima kenyataan pahit. Kendati
tidak mengalami luka dalam, namun bagian dalam da-
danya sempat terguncang. Dan itu membuatnya tidak
bisa melanjutkan pengejaran, karena harus mene-
nangkan guncangan itu lebih dulu. Kini Panji terpaksa
hanya bisa memandang gusar, melihat sosok bayangan
hitam itu berkelebatan cepat di antara batang-batang
pohon, kemudian lenyap dari pandangan.
“Hm.... Aku tidak akan membiarkan kau pergi begi-
tu saja, Maling Hina...!” desis Panji. Seketika Pendekar
Naga Putih langsung melesat ketika merasakan gun-
cangan dalam dadanya sudah reda.
Tapi keinginan untuk mengejar sosok bayangan hi-
tam itu terpaksa tertunda, begitu dua sosok bayangan
berkelebat menghadang jalannya. Kening Panji jadi
berkerut dengan wajah gusar. Terlebih ketika menge-
nali kedua orang yang tak lain Pendekar Bangau Sakti
dan Pertapa Goa Kelelawar!
“Menyingkirlah kalian...!” ujar Panji setengah mem-
bentak, karena khawatir akan kehilangan jejak buruannya.
“Hm.... Kaulah yang seharusnya menyingkir dan
pergi dari sini, Pendekar Naga Putih! Kalau memban-
tah, terpaksa kami berdua akan mengirimmu ke nera-
ka...!” sahut Pertapa Goa Kelelawar dengan suara din-
gin dan wajah membeku. Kelihatannya tokoh sakti ini
tidak main-main dengan ancamannya.
Mendengar ancaman itu, Panji menghela napas be-
rat dengan wajah sedih. Ditatapnya wajah kedua tokoh
yang berdiri tegak dan siap menempurnya, apabila ma-
sih berkeras melanjutkan pengejaran. Dan Panji tahu,
kedua tokoh sakti itu tidak main- main.
“Hhh.... Kalau saja kalian berdua merupakan tokoh-
tokoh dari golongan sesat, aku tidak akan merasa he-
ran! Tapi sebagai pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran serta keadilan, tidak layak rasanya
kalau kalian berdua mencegah ku yang justru hendak
mencegah perbuatan jahat di tempat ini. Terlebih ka-
lian sendiri telah melihat, bagaimana binatang langka
itu dilarikan orang yang belum jelas siapa dan di mana
tempat tinggalnya. Cobalah kalian berpikir dan pertim-
bangkan hal ini baik-baik,” ujar Panji sambil menatap
wajah kedua tokoh sakti itu bergantian.
“Kau tidak perlu menggurui kami, Pendekar Naga
Putih! Dan jangan coba menghalangi tindakan kami,
kalau tidak ingin menyesal kelak...!” tukas Pendekar
Bangau Sakti.
Kelihatannya, dia sama sekali tidak peduli pada
sindiran Panji. Bahkan dalam nada suaranya tersirat
ancaman bagi keselamatan pemuda itu.
“Ingat, Pendekar Naga Putih. Persoalan di antara ki-
ta belum selesai!” lanjut Pendekar Bangau Sakti den-
gan sorot mata penuh dendam.
“Hhh....”
Panji menghela napas sesaat. Dirayapinya wajah
kedua orang tokoh sakti yang selama ini selalu dihor-
matinya. Sayangnya, perbuatan mereka kali ini benar-
benar membuatnya kecewa. Nyatanya kedua orang
yang disegani dan dihormati kaum persilatan, masih
juga menginginkan binatang yang menjadi rebutan pa-
da saat ini.
“Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar!
Apakah dalam usia tua seperti sekarang ini, kalian
masih juga ingin menjadi jagoan tak terkalahkan se-
hingga dapat menguasai dunia persilatan? Rasanya,
aku tidak percaya kalau kalian melakukan semua ini
dalam kesadaran penuh! Pasti ada sesuatu yang tidak
beres telah menimpa kalian berdua, termasuk Pende-
kar Rase Perak dan Tiga Harimau Besi. Makanya, aku
terpaksa akan mencegah perbuatan kalian...,” tandas
Panji.
Kata-kata Pendekar Naga Putih membuat kedua
orang tokoh sakti itu bergerak merenggang. Bahkan
mereka siap untuk melayani kemauan Pendekar Naga
Putih.
“Hm.... Kau jangan hanya melihat kejelekan orang
lain, Pendekar Naga Putih! Coba katakan, apa tujuan-
mu datang ke Bukit Ular Emas?” sinis dan sangat
menghina nada kata-kata Pendekar Bangau Sakti. Ta-
pi, Panji tetap berusaha tenang dan tidak terpengaruh
oleh ucapan yang tajam itu.
“Salah satu tujuanku ke Bukit Ular Emas ini adalah
untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Tapi,
kalau kalian berpendapat lain, terserah saja. Yang je-
las, aku hanya ingin meletakkan sesuatu pada tem-
patnya. Dan itu adalah keadilan yang selalu dijunjung
tinggi kaum golongan putih !” tegas Panji.
Kembali kata-kata Pendekar Naga Putih membuat
kedua orang sakti itu menggeram marah. Jelas mereka
merasa tersindir oleh ucapan pemuda perkasa itu.
“Hm.... Kalau begitu kau memang harus segera di-
lenyapkan, Bocah Sombong!”
Sambil menggereng, Pendekar Bangau Sakti meng-
geser langkahnya. Kakinya segera memasang kuda-
kuda yang kokoh dan indah, siap melancarkan gempu-
ran terhadap Pendekar Naga Putih.
Pertapa Goa Kelelawar tidak ketinggalan. Kakek ber-
tubuh tinggi kurus itu menggeser tubuh ke kanan. Se-
pasang matanya menyorot tajam penuh kebencian.
Dan ini tentu saja terlihat aneh. Karena sebagai seo-
rang pertapa, tidak semestinya masih terkuasai nafsu
amarah dan serakah. Inilah yang membuat Panji curi-
ga.
Kali ini Panji tidak lagi hendak mengelak dari ben-
trokan. Maka Pendekar Naga Putih sudah bersiap den-
gan kuda-kuda ‘Naga Sakti Menunggang Bumi’, yang
terlihat kokoh laksana batu karang. Sepasang tangan-
nya yang telah membentuk cakar naga, saling bertemu
di depan dada siap mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’. Memang, hanya tenaga mukjizat itulah
yang menurutnya akan sanggup menyingkap keane-
han yang ada dalam diri kedua orang lawannya.
Panji memutar kedua tangannya sambil menggeser
kakinya saat kedua orang lawan telah bergerak sema-
kin melebar, seperti hendak menggencetnya dari dua
arah. Tubuhnya yang saat itu sudah terbungkus sinar
kuning keemasan, memancarkan hawa panas menyen-
gat. Sehingga, membuat kedua orang lawannya terlihat
kaget. Dan Panji sama sekali tidak peduli.
Meskipun ketiga tokoh ini sudah sama-sama siap
tempur, tapi tak seorang pun yang kelihatan hendak
memulainya lebih dulu. Karena, bila menyerang lebih
dulu berarti membuka pertahanan diri. Sehingga,
sampai beberapa saat, mereka masih hanya saling me-
natap satu sama lain.
***
EMPAT
“Hyaaat...!”
Karena Pertapa Goa Kelelawar dan Pendekar Ban-
gau Sakti masih juga belum mau memulai serangan,
maka Panji mengambil keputusan untuk memulainya.
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuhnya bergerak
cepat ke depan dengan arah menyilang. Dan saking
cepat gerakannya, seolah tubuhnya menjelma belasan
banyaknya. Tentu saja hal ini membuat kedua orang
lawannya menyalurkan tenaga dalam ke mata, agar
dapat melihat lebih jelas gerakan Panji.
Tapi meskipun kedua orang pendekar kosen itu su-
dah menajamkan pandangan mata, tetap saja kesuli-
tan untuk menebak siapa kira-kira yang menjadi sasa-
ran serangan pemuda itu. Dan mereka terpaksa harus
mengikuti gerakan tubuh Pendekar Naga Putih.
Bwettt, bwettt!
Dan tahu-tahu saja, sepasang tangan Panji yang
membentuk cakar naga meluncur deras mengancam
Pertapa Goa Kelelawar. Sekali menyerang saja, cakar-
nya mengancam dua tempat di tubuh kakek itu.
Tapi, Pertapa Goa Kelelawar yang berkepandaian
tinggi itu tentu saja tidak mudah dirobohkan. Saat dua
cakar Pendekar Naga Putih mengancam tubuhnya, ka-
kek itu langsung menggeser kakinya ke samping sam-
bil memiringkan tubuhnya. Kemudian dibalasnya den-
gan tebasan sisi telapak tangan kanan yang mengan-
cam leher Panji. Sementara tebasan itu meluncur
mencari sasaran, Pertapa Goa Kelelawar sudah mem-
persiapkan telapak tangan kirinya yang siap menyusu-
li.
Serangan balasan Pertapa Goa Kelelawar yang da-
tang laksana sambaran kilat, dielakkan Panji dengan
menarik mundur kaki kanan dan memiringkan kepa-
lanya. Sehingga tebasan yang tajamnya tak kalah den-
gan mata pedang itu lewat satu jengkal di dekat leher.
Dan ketika serangan susulan Pertapa Goa Kelelawar
datang mengincar dada, langsung disambutnya dengan
tamparan dibarengi geseran tubuhnya yang dalam
keadaan kuda-kuda rendah.
Plakkk!
Hebat sekali pertemuan dua tenaga sakti tingkat
tinggi itu. Suara keras laksana ledakan petir terdengar
menggetarkan udara sekitarnya. Dan tubuh keduanya
terjajar mundur beberapa langkah. Kendati kekuatan
mereka sepertinya seimbang, namun Pertapa Goa Kele-
lawar merasakan kelainan pada dirinya. Memang tan-
pa diketahuinya, tangkisan Panji yang berupa tampa-
ran itu sekaligus mengirimkan kekuatan Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi’ ke tubuhnya yang menjalar melalui
lengan. Tentu saja Pertapa Goa Kelelawar kaget bukan
main!
“Hmh...!”
Maka tanpa membuang waktu lagi, Pertapa Goa Ke-
lelawar langsung mengerahkan tenaga dalamnya un-
tuk mengusir keluar hawa panas yang menjalar mela-
lui lengannya. Sehingga, pengaruh itu lenyap sebelum
menyebar ke tubuh dan kepalanya.
Pendekar Naga Putih sendiri sudah tidak memper-
hatikan perbuatan kakek tinggi kurus itu, karena telah
sibuk menghadapi gempuran-gempuran dahsyat yang
dilancarkan Pendekar Bangau Sakti. Serangan
serangan gencar tokoh kosen itu membuat Panji harus
bermain mundur untuk beberapa jurus. Dan baru ke-
mudian dilancarkannya serangan balasan, setelah
membuat tubuh Pendekar Bangau Sakti terjajar mun-
dur dengan sebuah tangkisan tangan kanan yang ber-
gerak menyilang.
“Haiiit...!”
Dengan mengerahkan seluruh kecepatan geraknya,
Pendekar Naga Putih segera menggempur Pendekar
Bangau Sakti. Sehingga untuk beberapa jurus, Pende-
kar Bangau Sakti dibuat sibuk oleh sambaran-
sambaran cakar naga Panji yang memang cepat bukan
main.
Semula Pendekar Bangau Sakti mengatur siasat
dengan membiarkan Panji menghambur-hamburkan
serangannya. Dan dia berharap, tenaga pemuda itu
akan sangat berkurang jauh karena diumbar untuk
mendesaknya. Dan ketika lewat dari sepuluh jurus
namun kecepatan kekuatan serangan pemuda itu be-
lum juga terlihat mengendor, Pendekar Bangau Sakti
mau tidak mau harus mengubah siasatnya. Kalau tadi
hanya menghindar dan menangkis, maka kini mulai
membangun serangan-serangan balasan dengan jurus
‘Silat Bangau Setan’-nya. Keampuhan dan ketanggu-
han jurus inilah yang telah membuat namanya terken-
al di kalangan persilatan, sehingga dijuluki Pendekar
Bangau Sakti.
“Heaaah...!”
‘Ilmu Silat Bangau Setan’ yang menjadi jurus anda-
lan Pendekar Bangau Sakti memang hebat dan indah
sekali. Tubuh lelaki gagah itu meliuk-liuk bagaikan
seekor bangau besar yang tengah mengamuk. Samba-
ran-sambaran kedua tangannya yang membentuk pa-
ruh bangau, berkelebatan mengimbangi kecepatan gerak Pendekar Naga Putih. Maka kini kedua tokoh itu
bertarung dalam tempo cepat, sehingga sukar dikenali.
Apalagi keduanya memang sama-sama mengenakan
jubah panjang berwarna putih. Maka kini sulitlah un-
tuk ditentukan, mana Pendekar Naga Putih dan mana
Pendekar Bangau Sakti. Yang jelas, keduanya saling
serang dan berusaha segera menundukkan lawan mas-
ing-masing.
“Hyaaat..!”
Di tengah ramainya pertempuran kedua tokoh itu,
tiba-tiba Pertapa Goa Kelelawar mengeluarkan pekikan
nyaring merobek langit. Tubuhnya yang tinggi kurus
melayang ke tengah kancah pertarungan dan langsung
melancarkan serangan ke arah Pendekar Naga Putih.
Sehingga, Panji harus mengerahkan seluruh kemam-
puan untuk dapat mengimbangi kedua orang tokoh
kawakan itu.
***
Pertarungan ketiga orang tokoh sakti itu semakin
ramai dan cepat Panji berusaha keras untuk menya-
rangkan pukulan-pukulannya. Namun, dia selalu saja
menemui kegagalan, karena kedua orang lawannya
bekerja sama demikian baik dan saling melindungi.
Akibatnya, lama-kelamaan justru Panjilah yang men-
jadi terdesak oleh gempuran-gempuran lawan-
lawannya. Bahkan....
Bukkk!
“Hukh...!”
Sebuah hantaman telapak tangan Pertapa Goa Kele-
lawar bersarang telak di tubuh Panji. Akibatnya, pe-
muda itu terlempar ke belakang sejauh satu setengah
tombak lebih. Kendati demikian, Pendekar Naga Putih
masih sempat menguasai keseimbangan tubuhnya dan
berjumpalitan dua kali. Baru kemudian, kakinya men-
darat ke tanah dengan selamat, kendati kuda-kudanya
terlihat agak goyah. Pukulan telak itu jelas sempat
menggoncangkan bagian dalam tubuhnya. Tampak le-
lehan darah sudah mengalir pada sudut bibirnya.
Kesempatan emas selagi tubuh Pendekar Naga Pu-
tih baru saja menjejak tanah, tidak dilewatkan begitu
saja oleh Pendekar Bangau Sakti. Langsung dilancar-
kannya serangan maut selagi kedudukan Pendekar
Naga Putih belum lagi sempurna.
“Haaat..!”
Whuttt, whuttt!
Sepasang paruh bangau yang membawa angin ber-
kesiutan datang menyambar dengan kecepatan tinggi.
Melihat kecepatan serangan, apalagi keadaannya be-
lum sempurna, jelas sulit bagi Panji untuk dapat men-
gatasinya.
Tapi meski dalam keadaan yang sangat sulit seperti
itu, Panji tetap berusaha menyelamatkan diri. Begitu
sambaran angin pukulan lawan menerpa tubuhnya,
maka tubuhnya dibuat seringan kapas. Sehingga, pe-
muda itu jadi melayang ke belakang bagaikan selembar
daun kering yang tertiup angin. Padahal, serangan la-
wan belum lagi tiba. Tentu saja kecerdikan itu mem-
buatnya selamat dari sambaran paruh bangau pende-
kar kosen itu.
Sementara itu Pendekar Bangau Sakti yang menjadi
penasaran, kembali melanjutkan serangan bertubi-
tubi. Sedangkan Panji yang kini kedua kakinya me-
renggang agak tertekuk, langsung saja merubah kedu-
dukannya hingga menyerong. Dan saat serangan lawan
datang, langsung disambutnya dengan tangkisan ke-
dua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam kuat.
Dukkk, dukkk, plakkk!
Tiga kali berturut-turut sepasang lengan yang ba-
gaikan batang besi itu saling berbenturan keras. Keku-
atan tenaga dalam yang memang berimbang, membuat
tubuh mereka sama-sama terjajar ke belakang. Dan
keduanya menyeringai menahan nyeri pada lengan
masing-masing.
Tapi Panji yang terjajar mundur empat tindak, lang-
sung mencelat ke depan setelah menjejakkan kakinya
kuat-kuat ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya me-
layang ke depan dengan kedua telapak tangan terbuka
terjulur ke arah Pendekar Bangau Sakti.
“Heh...?!”
Tampaknya, Pendekar Bangau Sakti sama sekali ti-
dak menduga kalau Pendekar Naga Putih dapat ber-
buat seperti itu. Sehingga wajahnya terlihat berubah.
Bahkan tanpa sadar mengeluarkan seruan tertahan.
Dan....
Bresss...!
Hantaman sepasang telapak tangan Panji yang telak
menggedor dada Pendekar Bangau Sakti kali ini terli-
hat agak aneh. Kalau biasanya tubuh lawan terlempar
deras dan memuntahkan darah segar, kali ini terlem-
par dalam keadaan tetap membentuk kuda-kuda.
Bahkan ketika mendarat ke tanah, ringan sekali kedua
kakinya jatuh lebih dulu di tanah. Seolah, hantaman
sepasang telapak tangan Panji sama sekali tidak men-
gandung tenaga dalam.
Tapi, itulah salah satu keistimewaan ‘Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi’ yang mempunyai mukjizat. Dan Panji
ternyata memang telah mengaturnya sedemikian rupa,
sehingga hantaman sepasang telapak tangannya tidak
membuat Pendekar Bangau Sakti menderita luka pa-
rah. Apalagi, Panji juga hanya berniat hanya untuk
memasukkan kekuatan tenaga mukjizatnya, ke dalam
tubuh tokoh kosen ini. Dengan demikian, andai ada
sesuatu yang tidak wajar dalam diri Pendekar Bangau
Sakti, ‘Tenaga Dalam Inti Panas Bumi’ akan segera
mengusir pergi.
Memang, tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga
Langit mempunyai khasiat sanggup mengusir pergi se-
gala jenis racun di dalam tubuh. Bahkan sanggup pula
untuk menyembuhkan luka dalam, selama masih baru
dan orang yang mengalami luka tidak dalam keadaan
sekarat.
Demikian pula apa yang dirasakan Pendekar Ban-
gau Sakti. Hantaman sepasang telapak tangan Panji
membuat tubuhnya tampak terselimut sinar kuning
keemasan dan menebarkan hawa panas yang kini di-
rasakan oleh Pendekar Bangau Sakti. Terutama, pada
bagian kepala. Di situlah sinar kuning keemasan lebih
kentara terlihat.
Panji menyaksikan betapa tubuh Pendekar Bangau
Sakti tampak bergetar, kemudian bergulingan di ta-
nah. Maka segera disadari kalau dalam diri pendekar
gagah itu memang terdapat ketidakberesan. Dan Tena-
ga Sakti Inti Panas Bumi’ tengah membakar musnah
penyebab aneh itu.
Keadaan yang dialami Pendekar Bangau Sakti, ter-
nyata membuat Pertapa Goa Kelelawar menjadi terte-
gun. Kakek sakti ini berdiri bagai patung, menyaksikan
keadaan kawannya. Sehingga, ia seperti telah lupa ka-
lau di situ masih berdiri Pendekar Naga Putih yang
semula menjadi lawannya.
***
LIMA
“Aaa...!”
Tiba-tiba saja Pendekar Bangau Sakti berteriak
sambil memegangi kepala sekuatnya dengan kedua
tangan. Seolah, bagian kepalanya terasa sakit luar bi-
asa. Sesaat kemudian, tubuh lelaki gagah itu terdiam
di tanah tak sadarkan diri.
Panji masih tetap berdiri tegak, memandang roboh-
nya tubuh pendekar sakti itu. Melihat betapa sinar
kuning keemasan kini hanya tinggal di bagian kepala
saja, Panji pun mengerti kalau ‘Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi’ tengah menyelesaikan bagian akhir dari pengo-
batannya. Maka hatinya jadi lega melihat kenyataan
itu.
Lain halnya Pertapa Goa Kelelawar. Ketika melihat
rekannya roboh tak berdaya, ia menggereng bagai ha-
rimau luka. Sepasang matanya tampak memerah saga.
Kelihatan sekali betapa Pertapa Goa Kelelawar sangat
murka terhadap Pendekar Naga Putih.
“Heaaa...!”
Dibarengi teriakan melengking tinggi, tubuh tinggi
kurus itu melesat ke depan dengan sepasang tangan
membentuk cengkeraman, siap merobek-robek tubuh
Panji.
Melihat betapa Pertapa Goa Kelelawar sangat marah
dalam menerjangnya, Panji melompat mundur sejauh
setengah tombak. Kemudian langsung disiapkannya
Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Kedua tangannya telah
disilangkan, siap menyambut serangan Pertapa Goa
Kelelawar, sekaligus menyadarkannya dari kesesatan.
“Haiiit..!”
Panji memekik nyaring, kemudian melompat ke depan disertai dorongan kedua tangan. Angin panas pun
menyebar seiring dorongan tangannya, yang memang
mengandung kekuatan tenaga mukjizat sepenuhnya.
Pertapa Goa Kelelawar tampaknya telah nekat, se-
hingga sama sekali tidak menarik serangannya. Dan
tubuhnya terus melesat ke arah Panji, yang juga sudah
siap untuk saling gempur.
Bresh...!
Hebat sekali benturan dua tenaga sakti maha dah-
syat itu. Tanah di sekitarnya kontan bergetar, mem-
buat pepohonan berderak dan dedaunan berguguran
ke tanah.
Panji sendiri mengalami hal yang tidak menyenang-
kan. Tubuhnya terpental deras, bagaikan selembar
daun kering diterbangkan angin. Memang, Pertapa Goa
Kelelawar telah mengerahkan seluruh tenaga dalam
gempurannya kali ini. Tak heran kalau tubuh Panji
sampai terpental deras.
Tapi meskipun demikian, Pendekar Naga Putih tidak
kehilangan akal. Dan dengan sebuah lentingan manis,
tubuhnya berputaran, kemudian meluncur turun ke
tanah. Kendati dadanya terasa nyeri dan kuda-
kudanya tampak goyah saat mendarat di tanah, na-
mun semua itu tidak dipedulikannya. Karena, bentu-
ran itu memang telah membuat ‘Tenaga Sakti Inti Pa-
nas Bumi’ berpindah ke dalam tubuh tokoh tua itu.
Dan itulah yang diinginkan Panji Sehingga, ia merasa
puas walau harus sedikit menderita.
Sementara itu Pertapa Goa Kelelawar tampak terke-
jut, karena tubuhnya yang terpental deras, terasa rin-
gan sekali. Dan sekujur tubuhnya kini telah diselimuti
sinar kuning keemasan yang berhawa panas memba-
kar. Anehnya, tubuhnya sama sekali tidak terluka ka-
rena rasa panas itu. Bahkan pakaiannya pun sama sekali tidak terbakar. Padahal, hawa yang dirasakannya
sangat panas!
Brukkk!
Tubuh Pertapa Goa Kelelawar terbanting ke tanah
keras. Tapi lagi-lagi tokoh tua itu merasa aneh, karena
tubuhnya sama sekali tidak terasa sakit saat jatuh di
tanah. Sehingga, ia berusaha bangkit secepatnya. Ta-
pi....
“Aaakh...!”
Tiba-tiba Pertapa Goa Kelelawar memekik kesaki-
tan, kemudian berguling-guling di atas tanah. Karena
pada saat hendak bangkit, sekujur tubuhnya terasa
panas bagaikan terpanggang di atas tungku api.
Panji yang saat itu masih merasakan nyeri dalam
dadanya, menatap sosok Pertapa Goa Kelelawar den-
gan hati puas. Hatinya yakin, pengobatan yang dilaku-
kannya akan berhasil dengan baik. Apalagi ‘Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ sudah seluruhnya dipindahkan
ke tubuh lawan. Kalau Pendekar Bangau Sakti yang
hanya menerima seperempat tenaga mukjizat itu saja
sudah dapat ditolong, apalagi Pertapa Goa Kelelawar
yang menerima penuh tenaga mukjizat itu. Sehingga,
Panji hanya tinggal melihat hasilnya saja.
Ketika melihat Pertapa Goa Kelelawar sudah jatuh
pingsan, Panji menarik napas lega. Apalagi ketika sinar
kuning keemasan telah lenyap seluruhnya dari tubuh
kakek itu. Dan ketika sinar kuning keemasan itu kem-
bali ke dalam tubuhnya sendiri, semakin legalah ha-
tinya. Kini, Pendekar Naga Putih tinggal menunggu ke-
dua tokoh sakti itu siuman. Panji berharap, setelah
sadar nanti, kedua tokoh itu akan pulih dan bisa ber-
pikir secara jernih.
Tengah Pendekar Naga Putih menunggu sadarnya
kedua orang tokoh sakti itu, tiba-tiba saja telinganya
menangkap suara langkah orang berlari yang halus.
Cepat Panji bergerak bangkit dan memandang ke arah
asal suara. Dan..., sempat juga hati Panji terkejut keti-
ka mengenali dua sosok bayangan yang tengah berge-
rak cepat menghampiri tempat itu.
“Kalau aku tidak salah terka, mereka pasti dua
orang datuk dari Perkumpulan Serigala Hitam...,” desis
Panji.
Langsung saja otot-otot tubuh Pendekar Naga Putih
menegang. Karena disadari, kedua orang yang baru da-
tang itu merupakan lawan-lawan berat Dan ia pun
langsung bersiap menghadapinya.
“Hua ha ha...!”
Datuk Serigala Hitam yang bertubuh tinggi besar
dan berpakaian serba putih, tertawa bergelak ketika
melihat pemuda tampan berjubah putih itu tengah
berdiri menunggu. Terlebih, ketika melihat adanya dua
sosok tubuh yang tergeletak di atas tanah. Maka ta-
wanya pun semakin keras, karena ia kenal baik den-
gan dua sosok tubuh yang tergeletak itu.
“Luar biasa...! Siapa kira kedua orang tokoh tolol itu
dapat kau lumpuhkan, Pendekar Naga Putih! Kau be-
nar-benar membuatku kagum...!” kata Datuk Serigala
Putih, begitu datang bersama rekannya. Kata-katanya
diiringi tawa yang serak dan tidak enak didengar.
‘Tahan...!”
Ketika melihat kedua orang datuk itu mengayunkan
langkah mendekati tubuh Pendekar Bangau Sakti dan
Pertapa Goa Kelelawar, Panji langsung membentak
nyaring. Tubuhnya seketika melayang bagaikan seekor
burung elang, kemudian meluncur turun tepat di ha-
dapan kedua orang tokoh sesat itu.
“Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala Putih! Di
antara kita tidak pernah ada persoalan. Jadi sebaiknya
jangan mencampuri urusanku. Sebaiknya, lanjutkan-
lah perjalanan kalian,” ujar Panji dengan sorot mata
tajam mengandung perbawa kuat.
“Heh heh heh...! Pendekar Naga Putih! Perlu kau ke-
tahui, Pendekar Bangau Sakti tadi kulihat sedang
memperebutkan sesuatu. Nah, sekarang serahkanlah
benda itu kepada kami. Baru setelah itu kami akan
pergi dan tidak mencampuri urusanmu...,” tukas Da-
tuk Serigala Hitam menatap wajah Pendekar Naga Pu-
tih lekat-lekat Jelas, ia menuduh Panji yang telah
mengambil benda itu di tangan Pendekar Bangau Sak-
ti.
“Hm.... Kau salah kalau memintanya kepadaku, Da-
tuk Serigala Hitam. Sejujurnya kukatakan, benda tadi
telah direbut oleh sesosok bayangan hitam yang ke-
mudian pergi meninggalkan tempat ini. Aku tidak
sempat mengejar, karena tengah menghadapi mereka
berdua...!” jelas Panji.
Tapi kata-kata Panji malah disambut tawa penuh
ejekan oleh kedua orang datuk sesat itu. Jelas, mereka
sama sekali tidak percaya dengan cerita Pendekar Naga
Putih. Bahkan menganggap kalau cerita itu hanyalah
karangan pemuda itu saja.
“Hm.... Tidak kusangka kalau pendekar muda yang
dipuja tokoh persilatan setinggi langit, ternyata hanya
seorang pengecut dan pendusta! Sungguh sayang...,”
sindir Datuk Serigala Putih yang kelihatannya mulai
tak sabar.
‘Terserah kalian. Yang jelas, aku sudah berkata ju-
jur...!” tegas Panji, mantap. Dan ini membuat kedua
orang datuk itu saling berpandangan untuk sesaat.
“Kalau begitu, kami harus memaksa dengan keke-
rasan, Pendekar Naga Putih...!” dengus Datuk Serigala
Hitam menyiratkan kemarahan yang ditahan sejak tadi.
Panji tidak menyahut Hanya langkahnya digeser ke-
tika melihat kedua orang tokoh sesat itu mulai berge-
rak menyebar mengepung. Dan Pendekar Naga Putih
segera menyiapkan ilmu andalannya untuk mengha-
dapi kedua orang datuk lihai ini.
Tapi pertarungan yang sekiranya akan pecah men-
dadak tertunda, begitu terdengar suara langkah kaki
orang berlari yang mendekati tempat ini. Seketika keti-
ganya saling melempar pandang ke arah datangnya
suara langkah itu.
“Hm.... Untuk kali ini, aku terpaksa mengampuni-
mu, Pendekar Naga Putih! Tapi lain kali, pasti kami
akan mencarimu untuk merebut Rase Perak yang kau
sembunyikan...!”
Setelah mengucapkan kata-kata bernada ancaman,
Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala Putih lang-
sung melesat meninggalkan tempat itu. Dan memang,
mereka tahu siapa orang yang datang hingga langkah
kakinya terdengar itu.
Panji hanya menghela napas perlahan, dan mulai
dapat menduga mengapa kedua orang datuk itu me-
ninggalkannya. Dugaannya memang tidak meleset, ka-
rena tidak berapa lama kemudian bermunculan Pen-
dekar Rase Perak dan Tiga Harimau Besi. Mereka in-
ilah yang membuat kedua orang datuk dari Perkumpu-
lan Serigala Hitam terpaksa menghindar.
Tentu saja bukan karena kedatangan mereka yang
membuat kedua orang datuk itu pergi. Yang jelas ka-
rena adanya Pendekar Naga Putih yang telah melum-
puhkan Pendekar Bangau Sakti serta Pertapa Goa Ke-
lelawar. Dan kalau saja Pendekar Naga Putih sampai
bergabung bersama Pendekar Rase Perak serta Tiga
Harimau Besi, tentu akibatnya akan celaka.
***
“Lihat! Pendekar Naga Putih telah mencelakakan
Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar!
Pasti Rase Perak itu telah direbutnya...!”
Yang berteriak demikian adalah Baswara, orang per-
tama dari Tiga Harimau Besi. Tokoh berkepala botak
dengan wajah dipenuhi berewok ini memandang Panji
dengan sorot mata penuh kebencian. Dan telunjuknya
ditudingkan ke wajah pemuda tampan berjubah putih
itu.
“Kurang ajar! Ayo kita habisi pemuda keparat itu...!”
Jiranta yang merupakan orang kedua dari Tiga Ha-
rimau Besi juga memperlihatkan kemarahan dan ke-
benciannya. Bahkan tubuhnya sudah melesat lebih
dulu, langsung meluncur turun di hadapan Panji.
Melihat betapa ancaman kembali datang, Panji
menghela napas berat Karena, lagi-lagi harus berhada-
pan dengan tokoh-tokoh segolongan. Ini yang mem-
buat Panji merasa sedih dan menyesal Tapi karena te-
ka-teki ini yang menyelimuti Bukit Ular Emas harus
bisa diungkapkan, terpaksa mereka harus dihadapi
demi tegaknya kebenaran.
Dengan sorot mata tajam, Panji menatapi wajah
keempat orang tokoh itu satu persatu. Dan ia merasa
sedikit heran, melihat hanya pada wajah Pendekar
Rase Perak saja ditemukan semacam ketidakwajaran.
Sedangkan pada wajah Tiga Harimau Besi, Panji tidak
melihat keanehan itu. Tentu saja hal ini membuat ke-
ningnya berkerut dan otaknya berputar mencari jawa-
ban.
Tapi, keempat orang tokoh itu tidak memberi ke-
sempatan kepada Panji untuk berpikir lebih lama. Me-
reka yang sudah mengepung, langsung saja menyerbu
pemuda itu dengan serangan-serangan maut Terutama
sekali, Tiga Harimau Besi yang kelihatannya sangat
benci sekali terhadap Panji. Terbukti serangan-
serangan mereka terlihat lebih ganas dan keji.
Panji sendiri tidak tinggal diam begitu saja. Setelah
melihat kalau hanya pada Pendekar Rase Perak terda-
pat ketidakwarasan, maka segera dihindarinya seran-
gan Tiga Harimau Besi. Dan seketika tubuhnya digeser
mendekati Pendekar Rase Perak. Tokoh bertubuh ga-
gah itulah yang menjadi sasaran utamanya.
“Haaat..!”
Disertai lengkingan panjang yang menggetarkan da-
da, tubuh Panji berkelebat cepat menghindari seran-
gan gencar dari Tiga Harimau Besi. Dan dia terus
mendekati seraya melancarkan serangan balasan ke-
pada Pendekar Rase Perak yang hanya sesekali melan-
carkan serangan.
Tapi pertarungan sengit itu tidak berlangsung lama,
karena tiba-tiba saja....
“Berhenti...!”
Terdengar bentakan menggelegar yang membuat
pertarungan terhenti untuk sesaat Dan kelima tokoh
yang sedang bertarung langsung sama-sama menoleh-
kan kepala ke arah bentakan itu.
Pendekar Naga Putih tersenyum lebar, ketika meli-
hat Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar
telah berdiri tegak dengan angkernya. Melihat sinar
mata yang ditujukan ke arah Pendekar Rase Perak dan
Tiga Harimau Besi, tahulah Panji kalau kedua orang
tokoh sakti itu sudah tidak memusuhinya lagi. Dan
sekarang ia yakin kalau Pendekar Bangau Sakti dan
Pertapa Goa Kelelawar sudah tidak lagi dalam penga-
ruh aneh yang belum diketahui penyebabnya.
“Sungguh memalukan!”
Bentakan itu keluar dari mulut Pendekar Bangau
Sakti. Kelihatannya, ia merasa marah terhadap keem-
pat tokoh yang mengeroyok Pendekar Naga Putih. Dan
ini membuktikan kalau Pendekar Bangau Sakti jelas-
jelas memihak Panji.
“Benar! Sebagai orang gagah yang dihormati orang
banyak, tindakan kalian jelas sangat memalukan! Ba-
gaimana kalian bisa bertindak tidak terpuji seperti ini.
Seharusnya kalian merasa malu!” timpal Pertapa Goa
Kelelawar, ikut mencela perbuatan keempat orang to-
koh itu.
Tentu saja ini membuat Tiga Harimau Besi kebin-
gungan. Jelas, sama sekali tidak disangka kalau Pen-
dekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar akan
berkata seperti itu.
“Pendekar Bangau Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar!
Apakah kalian sadar dengan ucapan kalian ini...?” te-
gur Baswara dengan wajah merah padam. Demikian
pula kedua orang saudaranya yang terlihat sangat ma-
rah mendengar ucapan kedua orang tokoh sakti itu.
Hanya Pendekar Rase Perak yang berdiri sambil men-
gerutkan kening, dengan wajah sama sekali tidak me-
nunjukkan perasaan apa-apa.
Panji yang melihat dan mendengar apa yang di-
ucapkan kedua orang tokoh sakti itu, segera saja men-
dekat Kemudian, dibisikkannya sesuatu ke telinga
Pendekar Bangau Sakti yang lebih dekat
“Maaf, Ki. Kalau boleh mengajukan usul, sebaiknya
kalian berdua menghadapi Tiga Harimau Besi. Se-
dangkan Pendekar Rase Perak biar menjadi bagian-
ku...,” ujar Panji tanpa mengenyampingkan rasa hor-
matnya. “Aku melihat ketidakwajaran dalam diri Pen-
dekar Rase Perak. Sama seperti ketidakwajaran dalam
diri kalian berdua sebelumnya....”
Mendengar ucapan terakhir Pendekar Naga Putih,
kedua tokoh tua itu saling bertukar pandang sejenak.
Tampaknya, mereka belum begitu mengerti ucapan
pemuda itu, sehingga segera menatap Panji menuntut
penjelasan.
“Agak panjang ceritanya. Sebaiknya, selesaikan du-
lu persoalan ini. Baru nanti, akan ku jelaskan semua-
nya...,” ujar Panji ketika melihat sorot mata penuh
tuntutan dari kedua orang tokoh tua itu.
Melihat kesungguhan di wajah Pendekar Naga Putih
dan melihat adanya keanehan yang samar pada diri
Pendekar Rase Perak, maka Pertapa Goa Kelelawar dan
Pendekar Bangau Sakti akhirnya menyetujui usul Pan-
ji. Dan keduanya sudah bergerak menghampiri Tiga
Harimau Besi yang tampak semakin kebingungan.
Baswara saling bertukar pandangan dengan kedua
orang saudaranya sejenak Seolah, mereka tengah me-
rembuk tindakan apa yang bakal diambil untuk meng-
hadapi keadaan seperti ini. Dan meski hanya melalui
pandang mata saja, tampaknya mereka sudah saling
mengetahui. Ketiganya tampak sama-sama mengang-
gukkan kepala setelah beberapa saat saling berpan-
dangan satu sama lain.
“Hei...? Hendak ke mana kalian...?!”
Pendekar Bangau Sakti terkejut dan heran ketika
Tiga Harimau Besi malah hendak pergi meninggalkan
tempat itu. Sebagai orang yang telah cukup mengenal
baik Tiga Harimau Besi, tentu saja Pendekar Bangau
Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar menjadi heran bukan
main. Sehingga bukannya mengejar, mereka malah
saling bertukar pandang dan sama-sama menggeleng
bingung.
“Cegah mereka...! Jangan biarkan pergi dari tempat
ini...” seru Panji yang saat ini sudah bertarung dengan
Pendekar Rase Perak.
Mendengar teriakan Pendekar Naga Putih yang je-
las-jelas tidak menginginkan ketiga orang tokoh itu
pergi, keduanya pun segera melesat mengejar. Meski
tidak tahu jelas persoalannya, tapi mereka ingin tahu
mengapa Tiga Harimau Besi seperti ketakutan dan
memusuhi Pendekar Naga Putih. Untuk mengetahui
semua itu, mereka memang harus menahan Tiga Ha-
rimau Besi dan minta penjelasan.
***
ENAM
Panji tidak lagi mempedulikan Pendekar Bangau
Sakti dan Pertapa Goa Kelelawar yang mengejar Tiga
Harimau Besi, karena disibuki oleh serangan gencar
Pendekar Rase Perak. Dengan menggunakan jurus-
jurus andalan, Pendekar Rase Perak mampu membuat
Panji harus mengerahkan kelincahannya untuk meng-
hindari serangan.
“Heaaah...!”
Setelah lewat lima jurus, Panji mulai membangun
serangan balasannya. Tubuhnya berkelebat cepat dis-
ertai sambaran cakar naganya yang menimbulkan an-
gin berkesiutan. Sehingga dalam jurus-jurus selanjut-
nya, Pendekar Rase Perak tidak bisa lagi mendesak
Panji. Bahkan seluruh tenaga dan kecepatannya harus
dikerahkan untuk mengimbangi gerakan Panji yang
memang cepat bukan main.
Jurus demi jurus terus berlalu. Pendekar Rase Pe-
rak yang berusaha untuk segera merobohkan Panji, te-
rus saja mendesak dengan serangan-serangan dahsyat
Tapi Panji memang sudah siap menghadapi, sehingga
dapat melayani dengan baik. Bahkan dengan pengaruh
Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang membawa hawa
dingin Pendekar Rase Perak dapat didesaknya. Sehing-
ga, pendekar penghuni Bukit Ular Emas ini merasa
bagai terkurung amukan badai salju. Pengaruh hawa
dingin menggigit, membuat gerakannya mulai kacau.
Malah serangan-serangannya pun tidak lagi terarah.
Melihat keadaan lawan, Panji semakin memperhe-
bat serangan-serangannya. Bahkan telah pula meng-
ganti tenaganya dengan ‘Tenaga Dalam Inti Panas Bu-
mi’, yang tentu saja membuat lawannya terkejut Kare-
na pergantian hawa yang mendadak, membuat jurus-
jurus Pendekar Rase Perak semakin bertambah kacau.
Dan kesempatan itu dipergunakan Panji sebaik-
baiknya.
Plak, plak, desss...!
Dua kali sambaran tangan Panji memang berhasil
ditanggulangi. Namun untuk yang ketiga kali, Pende-
kar Rase Perak harus menelan kenyataan pahit, ketika
sebuah hantaman telapak tangan mendarat di da-
danya. Tubuhnya kontan terjajar mundur. Meskipun
hantaman itu tidak terlalu telak, namun cukup mem-
buat pernapasannya tersumbat sesaat Hingga pende-
kar kosen itu sempat goyah kedudukannya, saat ber-
hasil meredam daya dorong yang dialaminya.
“Haiiit..!”
Selagi Pendekar Rase Perak belum dapat memper-
baiki kuda-kudanya, Panji segera menyusuli dengan
serangan kilat Tubuhnya, segera melesat ke depan,
disertai dorongan sepasang tangannya dengan penge-
rahan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi sepenuhnya. Begi-
tu cepat gerakannya, sehingga....
Bresh...!
“Aaakh...!.”
Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Pendekar Rase Perak terlempar deras, lalu terbanting jatuh ke tanah.
Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang dipaksa masuk ke
dalam tubuh lawan, membuat tokoh kosen itu tidak
mampu lagi bangkit berdiri. Dia malah berteriak kesa-
kitan sambil berguling-guling bagai tengah menerima
azab menyakitkan.
Pada saat itu, dua bayangan berkelebat cepat dan
berhenti tepat di sebelah Panji, yang tengah mengawasi
Pendekar Rase Perak
“Apa yang kau lakukan terhadapnya, Pendekar Na-
ga Putih...?” terdengar teguran tak senang dari salah
seorang yang baru datang ini.
Panji menoleh dan mendapati Pertapa Goa Kelela-
war serta Pendekar Bangau Sakti tengah menatapnya
dengan sorot mata mengancam. Rupanya, kedua orang
tokoh itu tidak tahu apa yang tengah terjadi terhadap
Pendekar Rase Perak Dikira, Pendekar Naga Putih te-
lah menyakiti.
Sebelum menjawab pertanyaan kedua orang tokoh
itu, Panji kembali berpaling menatap sosok Pendekar
Rase Perak Dan ketika melihat penghuni Bukit Ular
Emas itu sudah tergeletak tak sadarkan diri, barulah
tatapannya kembali ke arah kedua tokoh itu.
“Hhh...! Syukurlah, sebagian kabut yang menyeli-
muti Bukit Ular Emas telah dapat kuusir...,” ujar Panji
disertai helaan napas penuh kelegaan.
“Apa maksud ucapanmu, Pendekar Naga Putih...?”
tanya Pendekar Bangau Sakti.
“Sebelum menjelaskan semua yang terjadi, sebaik-
nya aku yang bertanya lebih dulu kepada kalian ber-
dua,” tukas Panji, membuat kedua orang itu saling
bertukar pandang sejenak.
“Katakan, apa yang ingin kau ketahui...?” tanya
Pendekar Bangau Sakti cepat
‘Tolong ceritakan pengalaman kalian, sebelum atau
sesudah berada di Bukit Ular Emas. Baru setelah itu,
bisa kuberi penjelasan kepada kalian...,” pinta Panji.
Mendengar permintaan Pendekar Naga Putih, kedua
orang tokoh sakti itu tidak buru-buru menjawab. Me-
reka termenung beberapa saat untuk mengingat se-
mua apa yang telah dialami.
Panji sendiri tidak terburu-buru. Dibiarkannya ke-
dua orang tokoh itu untuk mengingat peristiwa- peris-
tiwa yang belakangan ini dialami.
“Hm.... Setelah kita berjumpa pada saat kau berse-
lisih dengan Tiga Harimau Besi, aku mendahuluimu
pergi menuju Bukit Ular Emas untuk berjumpa Pende-
kar Rase Perak yang menjadi sahabat lamaku. Saat itu
memang kulihat adanya keanehan pada diri sahabatku
ini. Sayangnya, aku tidak begitu peduli. Bahkan sama
sekali tidak curiga ketika Pendekar Rase Perak menja-
muku di tempat kediamannya. Setelah itu....”
Pertapa Goa Kelelawar menghentikan ceritanya. Ke-
ningnya berkerut dalam seperti tengah berusaha men-
guras ingatannya. Tapi kemudian hanya helaan napas
disertai keluhan penuh sesal yang keluar dari mulut-
nya.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku tidak tahu apa-
apa lagi setelah itu...,” lanjut Pertapa Goa Kelelawar.
Melihat keadaan lelaki tua itu yang seperti berusaha
keras mengingat, Panji pun tersenyum maklum. Dapat
diduga, bahwa ada sesuatu yang terjadi setelah Perta-
pa Goa Kelelawar dijamu Pendekar Rase Perak.
“Apakah saat itu kau melihat ada orang lain di tem-
pat kediaman Pendekar Rase Perak?” tanya Panji, sete-
lah terdiam sesaat
Dan begitu melihat Pertapa Goa Kelelawar mengge-
leng, Panji segera mengalihkan perhatian kepada Pendekar Bangau Sakti.
“Pengalamanku tentu saja sangat berbeda jauh
dengan Pertapa Goa Kelelawar.”
Pendekar Bangau Sakti mulai bercerita ketika meli-
hat Pendekar Naga Putih berpaling menatapnya.
“Saat itu, aku memang tengah dalam perjalanan un-
tuk menyusul murid-muridku, yang lebih dulu ku tu-
gaskan untuk menyelidiki keadaan di Bukit Ular Emas.
Tak lama kemudian, datang Tiga Harimau Besi men-
gunjungi tempatku. Mereka menceritakan kalau mu-
rid-murid yang kutugaskan untuk menyelidik, telah
tewas terbunuh olehmu, Pendekar Naga Putih. Bersa-
ma Tiga Harimau Besi sebagai penunjuk jalan, dan
disertai beberapa orang muridku yang lain, kami pun
menuju tempat kejadian. Tapi sebelum tiba di tempat
tujuan, sesosok tubuh tinggi besar telah menghadang
perjalanan kami. Tentu saja aku marah, karena tanpa
bicara lagi sosok tinggi besar itu langsung menyerang
dengan jurus-jurus maut Anehnya, di saat pertarun-
gan berlangsung, tiba-tiba saja ada seseorang yang
membokongku dari belakang. Kemudian..., aku tidak
ingat apa-apa lagi. Karena, aku telah roboh tak sadar-
kan diri....”
Pendekar Bangau Sakti mengakhiri ceritanya. Ken-
dati demikian, wajahnya tampak merah padam. Seper-
tinya hatinya penasaran dan marah apabila mengingat
kejadian yang baginya sangat memalukan.
“Ah...! Aku ingat sekarang...!” seru Pertapa Goa Ke-
lelawar tiba-tiba, sehingga mengejutkan Panji dan Pen-
dekar Bangau Sakti.
Seketika Panji dan Pendekar Bangau Sakti menatap
kakek pertapa tinggi besar itu.
“Pada saat aku tengah dijamu Pendekar Rase Perak,
tiba-tiba saja Tiga Harimau Besi muncul dan bergabung bersama kami. Dan kemungkinan besar, setelah
itu aku sudah tidak sadarkan diri. Hm.... Sekarang ba-
ru ku rasakan aneh atas kehadiran Tiga Harimau Besi
yang begitu tiba-tiba. Saat itu, aku memang tidak me-
naruh curiga, karena Tiga Harimau Besi selama ini
kuanggap sebagai orang gagah yang selalu menegak-
kan keadilan. Tapi.... Rasanya sekarang aku baru me-
naruh curiga terhadap mereka...,” jelas Pertapa Goa
Kelelawar.
Rupanya orang tua itu baru teringat tentang adanya
Tiga Harimau Besi dalam perjamuan beberapa waktu
lalu. Ingatan itu tentu saja diperoleh setelah Pendekar
Bangau Sakti menyebut-nyebut tentang ketiga tokoh
itu.
“Nah, persoalan sekarang terasa semakin jelas. Dan
aku menduga orang yang membokong Pendekar Ban-
gau Sakti adalah salah satu dari Tiga Harimau Besi.
Serangan mereka tentu saja berhasil dengan baik, ka-
rena Pendekar Bangau Sakti sudah pasti tidak akan
mengira. Dan mengenai sosok tinggi besar yang meng-
hadang perjalanan, sudah jelas adalah dalang dari se-
mua kejadian ini. Menurutku, Tiga Harimau Besi telah
menjadi pembantu dari sosok tinggi besar yang terse-
lubung teka-teki itu. Dugaanku ini tentu saja bukan
tanpa alasan kuat Karena, Tiga Harimau Besi keliha-
tan demikian membenci ku. Bahkan berkeras menu-
duhku sebagai pembunuh dari murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih. Sepertinya, mereka sengaja hen-
dak mengadu domba di antara kita...,” kata Panji,
mengutarakan dugaannya setelah mendengar cerita
dari kedua orang tokoh sakti ini.
“Jadi kau benar tidak melakukan pembunuhan ter-
hadap murid-muridku...?” tanya Pendekar Bangau
Sakti, meminta ketegasan Pendekar Naga Putih.
“Percayalah, Pendekar Bangau Sakti. Kalaupun me-
reka bersalah terhadapku, belum tentu aku akan
membantai demikian kejamnya,” tegas Panji.
“Hm.... Aku percaya kepadamu, Pendekar Naga Pu-
tih. Tapi..., rasanya aku tidak yakin kalau Tiga Hari-
mau Besi begitu tega berlaku curang terhadap rekan
segolongan. Aku kenal betul, siapa mereka bertiga.
Dan selama kukenal, mereka adalah tiga laki-laki ga-
gah yang selalu menentang segala jenis kejahatan. Be-
nar-benar sulit diterima kalau sekarang mereka telah
berubah dan berpaling dari jalan kebenaran...,” desah
Pendekar Bangau Sakti. Kelihatannya, dia memang
masih tetap ragu kalau Tiga Harimau Besi telah ber-
paling dan memihak orang- orang jahat
“Untuk itu rasanya kita perlu bukti-bukti,” timpal
Pertapa Goa Kelelawar, angkat bicara. “Sebaiknya kita
datangi saja kediaman Tiga Harimau Besi dan mena-
nyakan semua ini....”
“Usul itu rasanya cukup baik Tapi, tentu saja harus
mengikutsertakan Pendekar Rase Perak Sebab, keliha-
tannya rekan kita itu pun telah mengalami suatu keja-
dian yang mungkin akan menambah pengetahuan ki-
ta...,” Pendekar Bangau Sakti mengingatkan kawan-
kawannya terhadap penghuni Bukit Ular Emas yang
saat itu masih belum juga sadarkan diri.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga tokoh
itu bergerak menghampiri Pendekar Rase Perak Mere-
ka duduk mengelilingi penghuni Bukit Ular Emas yang
masih pingsan.
‘Tidak lama lagi pasti ia akan tersadar...,” ujar Pen-
dekar Naga Putih setelah memeriksa tubuh Pendekar
Rase Perak Dan Panji meminta agar kedua tokoh sakti
itu sabar menunggu beberapa saat lagi.
“Panji...,” panggil Pertapa Goa Kelelawar. Rupanya
dia belum mengerti, apa yang telah dilakukan pemuda
itu terhadap Pendekar Rase Perak dan juga terhadap
mereka berdua. “Kalau kau tidak terlalu pelit untuk
membagi pengetahuan kepada kami berdua, tolong je-
laskan, cara apa yang digunakan untuk melenyapkan
pengaruh yang selama ini membuat kami tak sadar
dengan segala tindakan kami....”
Mendengar pertanyaan Pertapa Goa Kelelawar, Panji
tersenyum tipis. Kemudian tanpa rasa kebanggaan se-
dikit pun terhadap kemampuannya, diceritakanlah
mengenai adanya suatu tenaga mukjizat dalam dirinya
secara lengkap. Terutama sejak Panji menemukan satu
tanaman langka yang kabarnya hanya muncul setiap
seratus tahun sekali.
“Bukan main...!” seru Pertapa Goa Kelelawar berde-
cak penuh kekaguman, “Aku memang pernah menden-
gar tentang adanya bunga mukjizat itu. Dan aku sem-
pat pula mengetahui bahwa kaulah yang telah menda-
patkannya. Tapi sama sekali tidak kusangka kalau
bunga itu ada yang menjaganya. Jadi, meskipun bun-
ga abadi itu telah diberikan kepada orang lain, kau te-
tap memperoleh keuntungan karena kejujuran dan
kemuliaan hatimu. Aku turut bangga, karena Pedang
Naga Langit yang menjadi penjaga bunga abadi jatuh
ke tanganmu. Tidak bisa kubayangkan, apa yang akan
terjadi seandainya pedang mukjizat itu sampai jatuh
ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Pasti-
lah malapetaka besar yang akan menimpa penghuni
alam dunia ini....”
“Yaaah.... Kami turut bersyukur kalau pedang muk-
jizat itu jatuh ke tanganmu. Dan aku juga merasa ka-
gum, karena kau tidak lupa diri, meski telah memili-
kinya. Terlebih kau adalah penerus dari kami yang su-
dah tua-tua ini. Selamat untukmu, Panji...,” ucap Pendekar Bangau Sakti berkata sejujurnya tanpa rasa iri
sedikit pun dalam hati. (Tentang asal mula Pedang Na-
ga Langit, silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih da-
lam kisah: “Bunga Abadi di Gunung Kembar”).
Pembicaraan ketiga pentolan kaum golongan putih
itu terhenti, begitu mendengar keluhan ringan dari
Pendekar Rase Perak Mereka serentak berpaling ke so-
sok lelaki gagah yang menjadi penghuni Bukit Ular
Emas. Terlihat dia mulai bergerak sadar dari pingsan-
nya.
Sepasang mata Pendekar Rase Perak terbuka perla-
han. Ada keheranan dalam kedua matanya, ketika me-
lihat tiga sosok tubuh yang mengelilinginya. Dan tokoh
ini merasa kaget ketika dapat mengenali dua di antara
tiga orang yang duduk mengelilinginya.
“Pertapa Goa Kelelawar, Pendekar Bangau Sakti!”
seru Pendekar Rase Perak bergegas bangkit dan mena-
tap heran dua orang tokoh yang telah dikenalnya. “Apa
yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di sini...?”
Pendekar Rase Perak kemudian menoleh ke arah
Panji. Ditatapnya wajah pemuda tampan itu dengan
kening berkerut, menyiratkan keheranan.
“Sahabat! Pemuda ini adalah pendekar muda yang
menjadi buah bibir seluruh kaum golongan putih, yang
saat ini namanya semakin dikenal dan ditakuti kaum
golongan hitam...,” jelas Pertapa Goa Kelelawar mem-
perkenalkan Panji dengan nada bangga.
“Maksudmu..., dia Pendekar Naga Putih...?!” terka
Pendekar Rase Perak sambil meneliti sosok Panji dari
kaki sampai ke kepala.
“Benar, sahabat..,” kali ini Pendekar Bangau Sakti
yang menyahuti.
Kemudian Ketua Perguruan Bangau Putih ini men-
ceritakan serba singkat mengenai peristiwa yang di
alami Pendekar Rase Perak. Termasuk, cerita tentang
dirinya dan Pertapa Goa Kelelawar. Lalu, Pendekar
Bangau Sakti meminta agar penghuni Bukit Ular Emas
itu menceritakan pengalamannya.
Kendati masih agak heran, Pendekar Rase Perak ti-
dak menolak untuk menceritakan kejadian-kejadian
yang dialaminya. Dengan serba singkat, tokoh ini me-
nuturkan apa yang diingatnya sampai bertarung den-
gan Pendekar Naga Putih.
“Hm.... Sekarang aku semakin curiga pada Tiga Ha-
rimau Besi...,” gumam Pendekar Bangau Sakti setelah
mendengar penuturan penghuni Bulat Ular Emas,
yang juga melibatkan Tiga Harimau Besi.
‘Tiga Harimau Besi datang menemui Pendekar Rase
Perak, dan mengatakan akan membantu untuk meng-
hadapi tokoh-tokoh yang memperebutkan binatang
langka miliknya. Setelah itu, muncul tokoh aneh ber-
tubuh tinggi besar yang kemudian sempat bertarung
dengan Pendekar Rase Perak Namun ternyata Pende-
kar Rase Perak roboh tak sadarkan diri, karena dibo-
kong secara licik!” kata Panji mengulang cerita Pende-
kar Rase Perak, sekadar untuk mengingatkan dan
membuka tabir yang membuat tokoh-tokoh sakti dari
golongan putih ini bersikap aneh dan memusuhinya.
“Maksudmu Tiga Harimau Besi yang telah membo-
kong Pendekar Rase Perak secara licik Begitu, bukan?”
Pendekar Bangau Sakti melanjutkan dugaan Panji,
karena apa yang dialami Pendekar Rase Perak hampir
mirip dengan pengalamannya.
“Benar!” tegas Panji, kali ini bukan lagi hanya seka-
dar menduga. ‘Tiga Harimau Besi muncul menemui
Pendekar Bangau Sakti. Kemudian muncul tokoh ber-
tubuh tinggi besar yang menyerang tanpa alasan. Sete-
lah itu, Pendekar Bangau Sakti dibokong secara licik!
Begitu pula yang dialami Pendekar Rase Perak Nah!
Bukankah dari kedua peristiwa ini sudah jelas kalau
Tiga Harimau Besi perlu diselidiki! Menurutku, mere-
kalah kunci dari semua kejadian yang menimpa kalian
bertiga. Juga, terbunuhnya murid-murid Perguruan
Bangau Sakti, dan jatuhnya Rase Perak ke tangan to-
koh aneh itu. Dia memang merebutnya dari tangan
Pendekar Bangau Sakti yang pada saat itu masih da-
lam pengaruh aneh, sehingga membuatnya tidak sadar
akan semua yang dilakukannya....”
“Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Sebaliknya,
segera saja kita datangi kediaman Tiga Harimau Besi
untuk meminta penjelasan atas semua perbuatannya?”
Setelah berkata demikian, Pendekar Bangau Sakti
bangkit berdiri. Kelihatannya, ia telah siap mendatangi
Tiga Harimau Besi yang diduga menjadi sumber dari
semua keanehan yang dialami ini.
“Nanti dulu, Sahabat..!” cegah Pendekar Rase Perak,
seraya berdiri. “Sebaiknya aku ingin meminta penjela-
san dulu dari Pendekar Naga Putih tentang kebenaran
jatuhnya Rase Perak ke tangan tokoh aneh yang belum
diketahui asal-usulnya itu.”
“Benar, Ki. Binatang peliharaan mu itu telah jatuh
ke tangan orang aneh yang menjadi dalang dari semua
kejadian ini...!” jelas Panji tanpa ragu sedikit pun.
“Kalau benar begitu, sungguh celaka! Dan kalau
Rase Perak sampai disembelihnya, berarti kita akan
menghadapi sebuah tugas yang sangat berat dan ber-
bahaya. Karena apabila darah Rase Perak diminum, la-
lu dagingnya dimakan, sulit rasanya bagi kita untuk
dapat menundukkannya. Ia akan menjadi kebal, serta
memiliki tenaga sakti yang berlipat ganda! Benar-benar
berbahaya...!” keluh Pendekar Rase Perak Wajahnya
nampak memperlihatkan kecemasan. Karena sebagai
pemilik binatang langka itu, ia tahu betul segala kha-
siat dan kemukjizatan binatang peliharaannya.
Mendengar ucapan Pendekar Rase Perak, mau tidak
mau ketiga tokoh yang berada di tempat ini sama-
sama menjadi tegang dan cemas. Tentu saja mereka
sadar, betapa berbahayanya apabila tokoh aneh yang
belum diketahui nama dan asal-usulnya itu telah
mendapat binatang langka yang menjadi rebutan to-
koh-tokoh persilatan. Dan tentunya, akan sangat ber-
bahaya apabila apa yang diucapkan Pendekar Rase Pe-
rak benar-benar terjadi. Jangankan setelah menda-
patkan binatang langka itu. Bahkan sebelum mempe-
roleh binatang itu pun, tokoh aneh yang membuat ke-
kacauan telah sedemikian saktinya. Buktinya, sampai
saat ini para tokoh golongan putih itu sama sekali be-
lum mengetahui, siapa tokoh yang menjadi biang kela-
di dari semua kejadian ini.
“Sebaiknya mengenai tokoh aneh itu, kita pikirkan
belakangan. Sekarang yang terpenting, Tiga Harimau
Besi harus ditemukan untuk minta pertanggungjawa-
bannya...!” ucap Pendekar Bangau Sakti, menyadarkan
semuanya.
Panji serta dua tokoh lainnya sama mengangguk se-
tuju.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat
orang tokoh sakti itu pun bergegas meninggalkan tem-
pat ini. Tujuan mereka adalah Bukit Harimau Kembar,
yang menjadi tempat tinggal Tiga Harimau Besi. Untuk
mencapai tempat itu dari Bukit Ular Emas, bisa me-
makan waktu kurang lebih dua hari. Tapi soal itu tidak
menjadi pemikiran, yang penting mereka ingin sele-
kasnya tiba di tempat kediaman Tiga Harimau Besi.
***
TUJUH
Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh ting-
kat tinggi dan hanya berhenti jika perut lapar, setelah
dua hari dua malam tibalah keempat tokoh sakti itu di
kaki Bukit Harimau Kembar. Mereka berhenti sejenak,
menatapi bukit yang memang terlihat indah dan me-
nyenangkan untuk ditinggali.
Bukit Harimau Kembar ternyata bukan hanya nama
saja, karena memang berupa dua bukit yang berben-
tuk kepala dua ekor harimau saling berhadapan. Dan
di tempat inilah Tiga Harimau Besi membangun tem-
pat tinggalnya.
Puas menatapi bentuk bukit yang memang sangat
langka, Panji dan tiga tokoh tingkat tinggi lain bergegas
mendaki puncaknya. Tidak seperti Bukit Ular Emas,
lereng bukit yang menjadi tempat tinggal Tiga Harimau
Besi tidaklah sulit didaki. Terlebih, oleh keempat orang
tokoh sakti seperti mereka. Maka dalam waktu singkat
saja, mereka telah tiba di puncak. Kini mereka berdiri
menatap sebuah bangunan besar yang hanya satu-
satunya di puncak Bukit Harimau Kembar.
Tempat kediaman Tiga Harimau Besi memang cu-
kup megah. Sayangnya, tidak kelihatan terawat den-
gan baik. Bahkan menimbulkan kesan jorok bagi yang
melihat Malah lebih tepat, bangunan kokoh yang dike-
lilingi tembok kokoh itu sepertinya tidak pernah dihuni
orang. Tentu saja keadaan bangunan itu membuat
keempatnya saling berpandangan.
“Heran? Bagaimana Tiga Harimau Besi bisa kerasan
tinggal di dalam bangunan yang kelihatan tidak teru-
rus ini? Atau mungkin tempat ini telah lama ditinggal-
kan...?” gumam Pendekar Bangau Sakti.
Tampaknya Pendekar Bangau Sakti termasuk pal-
ing mengenal baik pemilik tempat itu. Karena, tempat
tinggalnya sendiri memang tidak terlalu berjauhan.
Hanya terpisah setengah hari perjalanan.
Kini mereka bergerak hati-hati mendekati bangunan
itu. Tidak adanya halangan dan tanda-tanda kehidu-
pan, membuat mereka semakin waspada bercampur
heran. Apalagi melihat pintu gerbang bagian dalam
tampak terbuka lebar. Sementara beberapa bagian,
bangunan itu telah dipenuhi sarang laba-laba.
“Kurang ajar! Tempat ini jelas-jelas sudah lama ti-
dak ditinggali...!” geram Pendekar Rase Perak begitu
memasuki bagian dalam tempat tinggal Tiga Harimau
Besi. Dia menyaksikan peralatan di dalamnya sudah
dipenuhi kotoran.
Sedangkan Panji, Pertapa Goa Kelelawar, dan Pen-
dekar Rase Perak sudah bergerak memeriksa seluruh
ruangan bangunan. Dan mereka mendapati kalau
tempat itu memang sudah tidak layak untuk dihuni.
Tapi Pendekar Naga Putih masih juga belum merasa
puas. Tidak dipedulikan ketiga kawannya yang sudah
merasa tidak perlu memeriksa lebih jauh.
Panji terus memeriksa sekeliling bangunan sampai
ke bagian belakang. Baru setelah tidak menemukan
adanya manusia di seluruh tempat ini, ia pun kembali
menemui kawan-kawannya.
‘Tiga Harimau Besi jelas sudah tidak tinggal di tem-
pat ini lagi...!” jelas Pendekar Naga Putih setelah ber-
kumpul bersama.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan...?” tanya
Pendekar Bangau Sakti meminta pendapat
‘Tokoh aneh bertubuh tinggi besar itulah yang ha-
rus kita lacak sekarang. Dan aku yakin, Tiga Harimau
Besi pun pasti berada bersama tokoh itu...,” tukas
Panji.
Kata-kata Pendekar Naga Putih langsung disetujui
ketiga tokoh sakti itu. Dan keempatnya langsung me-
ninggalkan puncak Bukit Harimau Kembar, untuk
mencari tokoh aneh yang telah membuat kekacauan.
***
“Ki Sugandi! Apakah semua warga desamu telah
berkumpul di tempat ini...?” tanya seorang lelaki botak
berwajah berewok, seraya menatap tajam lelaki berusia
lima puluh lima tahun yang berdiri terbungkuk-
bungkuk di sebelahnya.
“Sudah, Tuan,” sahut laki-laki yang dipanggil Ki Su-
gandi. “Mereka semua ada di depan.”
Lelaki botak tidak lain Baswara dan merupakan
orang pertama dari Tiga Harimau Besi, mendengus se-
telah mendapat jawaban memuaskan dari Ki Sugandi.
Kemudian Baswara bangkit berdiri, lalu berjalan ke
depan dengan dada membusung. Begitu sampai, sepa-
sang matanya yang tajam menyapu wajah-wajah di
hadapannya.
“Kalian semua dengar baik-baik...!” ujar Baswara
disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga gema sua-
ranya terdengar jelas di telinga warga Desa Warutan.
“Aku tahu, selama ini kalian hidup kurang berkecuku-
pan. Hasil panen kalian tidak begitu memuaskan. Ter-
lebih, oleh adanya pajak yang cukup besar dari peme-
rintah. Nah! Kedatanganku ke desa ini untuk membuat
kehidupan kalian menjadi lebih baik daripada seka-
rang. Tapi untuk mendapatkan kehidupan layak, ka-
lian semua harus patuh terhadap segala perintahku.
Mengerti...?!”
“Mengerti...!” sahut penduduk Desa Warutan.
Tentu saja mereka menjadi gembira mendengar janji
Baswara. Kalaupun ada yang tidak menyahut, itu
hanya beberapa orang saja. Dan mereka ini cukup cer-
dik untuk tidak menyatakan persetujuannya begitu sa-
ja, karena apa yang diinginkan lelaki botak itu belum
jelas.
“Maaf, Tuan. Boleh bertanya sedikit...?” kata salah
seorang penduduk.
Kelihatannya, penduduk ini agak terpelajar. Dan dia
segera tampil ke depan untuk mengutarakan apa yang
ada dalam pikirannya.
Melihat lelaki bertubuh sedang yang usianya tidak
lebih dari tiga puluh tahun itu maju, Baswara men-
dengus jengkel. Kemudian diberikan isyarat dengan
kepala kepada salah seorang saudaranya yang juga be-
rada di tempat itu.
Lelaki tinggi kurus berwajah pucat dan bermata
sayu yang tak lain dari Jiranta atau orang kedua dari
Tiga Harimau Besi, tentu saja mengerti isyarat kakak-
nya. Dan tanpa banyak cakap lagi, kakinya melangkah
menghampiri lelaki yang hendak bertanya. Kemu-
dian....
Jtarrr...!
“Akh...!”
Tanpa bicara sepatah pun, Jiranta langsung saja
melecutkan cambuk di tangannya ke tubuh lelaki sial
itu. Tentu saja cambukan seorang tokoh seperti Jiran-
ta berakibat mengiriskan. Lelaki bertubuh sedang itu
langsung terpental dan ambruk di tanah. Tubuhnya
langsung menggelepar dengan batok kepala retak. Ke-
mudian, dia tewas tanpa sempat mengucapkan sepa-
tah kata pun!
Karuan saja tindakan Jiranta membuat keadaan
menjadi gempar! Seketika terdengar teriakan pendu-
duk bernada mencela. Bahkan Ki Sugandi yang merasa
bertanggung jawab atas keselamatan warganya, berge-
gas tampil ke depan. Dia langsung menyatakan kebe-
ratannya atas perbuatan orang kedua dari Tiga Hari-
mau Besi itu.
“Hm.... Sudah kukatakan dari semula, aku paling
tidak suka dibantah! Siapa saja yang merasa tidak se-
nang dan tidak mau menurut, maka kematianlah yang
bakal diterima...!” tandas Baswara. Sama sekali tidak
dipedulikan sikap Ki Sugandi yang terlihat ingin me-
nentangnya.
Apa yang dikatakan Baswara kembali dibuktikan Ji-
ranta dan Kunda Lawing. Dua orang adik seperguruan
Baswara itu langsung saja bertindak menyiksa siapa
saja yang menunjukkan sikap menentang. Sebentar
saja, telah ada delapan orang warga Desa Warutan
yang tergeletak tanpa nyawa. Dan akhirnya, perbuatan
itu membuat puluhan warga desa menjadi ketakutan.
Dengan wajah pucat, mereka berkumpul duduk di atas
tanah. Karena, memang sudah disaksikan sendiri aki-
batnya bagi mereka yang berani menentang Tiga Hari-
mau Besi.
“Bagaimana, Ki Sugandi? Apakah kau masih tidak
mau mendengarkan kata-kata kami...?” tanya Baswara
dengan senyum mengejek.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami, Ki-
sanak?”
Merasa tidak mungkin dapat melakukan perlawa-
nan terhadap Tiga Harimau Besi, Ki Sugandi akhirnya
hanya bisa pasrah.
“Penguasa negeri sekarang telah bertindak tidak
adil! Untuk itu, aku membutuhkan tenaga warga de-
samu. Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Tapi suatu
saat nanti, kalian kuperintahkan untuk ikut berperang
menumbangkan penguasa lalim yang sekarang ini.
Dan kalian tidak boleh membantah! Ingat! Siapa saja
yang membantah, kematianlah yang akan didapat’” te-
gas Baswara.
Tentu saja kata-kata Baswara membuat Ki Sugandi
terkejut Tapi lelaki tua itu tidak membantah lagi, ka-
rena tahu kalau Baswara tidak akan segan-segan me-
nurunkan tangan jahatnya kepada siapa saja yang
membantah.
“Baik! Kami akan siap menanti perintah...,” sahut Ki
Sugandi tanpa keraguan sedikit pun, meski dalam hati
merasa tidak setuju melihat tindakan Tiga Harimau
Besi yang hendak mengajak untuk mengadakan pem-
berontakan itu.
Ki Sugandi menyetujui karena sadar kalau berani
membantah, sudah pasti ketiga orang tokoh yang dike-
tahuinya berkepandaian tinggi itu akan membantai
semua penduduk Desa Warutan. Dan ia tidak ingin hal
itu sampai terjadi.
“Bagus!” sahut Baswara disertai tawa bergelak
mendengar jawaban memuaskan dari Ki Sugandi. “Dan
kau harus mempersiapkan warga desamu, serta mela-
tihnya agar bisa berperang. Ajarkan apa yang kau bisa
kepada mereka semua. Kelak, aku akan datang lagi ke
tempat ini....”
Setelah berkata demikian, Baswara bergerak me-
ninggalkan Ki Sugandi yang masih berdiri termangu,
diikuti dua orang saudaranya. Hampir bersamaan, me-
reka meloncat ke atas punggung kuda masing-masing,
siap meninggalkan Desa Warutan.
‘Tunggu...!”
Baswara dan kedua orang saudaranya yang siap
hendak pergi, segera mengurungkan niatnya. Benta-
kan yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu,
membuat kepalanya menoleh ke arah asal suara.
“Hm..., orang-orang Perguruan Pedang Buntung...,”
gumam Baswara, segera meloncat turun dari atas ku-
danya.
Baswara melangkah menghampiri seorang lelaki be-
rusia empat puluh tahun, yang datang bersama bela-
san orang pengikutnya.
“Selama ini, kudengar Tiga Harimau Besi adalah
orang-orang gagah yang selalu menentang kejahatan!
Tapi, siapa sangka kalau sekarang ini tak lebih dari
perampok rendah!” ujar lelaki itu dengan suara tegas
dan tarikan bibir penuh ejekan.
“Lalu apa yang kau inginkan, Kisanak...?” tukas
Baswara dingin dan memandang rendah lawan bica-
ranya. Sedang di kiri dan kanannya telah berdiri Jiran-
ta dan Kunda Lawing. Keduanya siap memberi pelaja-
ran kepada orang yang kurang ajar itu.
“Hm.... Meskipun nama besar Tiga Harimau Besi
sudah sangat terkenal dan ditakuti, tapi kami orang-
orang dari Perguruan Pedang Buntung tidak akan
tinggal diam melihat ketidakadilan berlangsung di de-
pan mata! Sebagai orang yang berada di jalan lurus,
kami siap mempertaruhkan nyawa demi menegakkan
keadilan!” tegas lelaki bertubuh sedang, seraya menca-
but pedang buntungnya dari pinggang.
“Kalau begitu, kau sengaja mencari mati...!” ejek
Baswara. Segera saja kakinya melangkah maju, diikuti
kedua orang saudaranya.
“Kami bukanlah orang-orang yang takut dengan
kematian...!
Haaat..!”
Disertai teriakan keras, lelaki bertubuh sedang ber-
pakaian berwarna coklat tua itu langsung melompat
sambil mengibaskan pedang buntungnya.
Bwettt..!
Baswara yang menjadi sasaran pedang buntung itu,
bergegas menggeser tubuhnya ke kanan. Kemudian
langsung dikirimkannya serangan balasan berupa ten-
dangan kilat.
Plakkk!
Tendangan Baswara memang berhasil dipatahkan
laki-laki bertubuh sedang itu dengan tangisan tangan
kiri. Tapi, tangkisan itu malah membuat murid Pergu-
ruan Pedang Buntung ini terjajar mundur. Jelas, tena-
ga dalam Baswara jauh di atas murid ini.
Baswara tertawa mengejek, kemudian mengirimkan
serangan gencar dan ganas. Sepasang tangannya yang
membentuk cakar harimau dan mengandung tenaga
dalam kuat, menyambar-nyambar mencari sasaran.
Hingga akhirnya....
Brettt, brettt..!
“Waaa...!”
Tokoh Perguruan Pedang Buntung itu meraung ke-
sakitan begitu dua sambaran cakar Baswara telah
mengoyak tubuhnya sehingga mengalirkan darah se-
gar. Dan ketika Baswara menyusulinya dengan sebuah
tendangan keras, lelaki itu jatuh terjengkang mencium
tanah. Sesaat kemudian, tubuh itu diam tak bergerak
setelah nyawanya berpindah ke alam baka.
Hanya berselisih sedikit waktu, Jiranta dan Kunda
Lawing pun sudah pula mengakhiri perlawanan murid-
murid Perguruan Pedang Buntung yang lain. Sehingga
dalam waktu yang singkat, Tiga Harimau Besi kembali
menunjukkan kehebatan dan keganasannya di mata
penduduk Desa Warutan.
Begitu telah menyelesaikan seluruh pertarungan,
Baswara memberi isyarat pada kedua adiknya. Mereka
segera naik ke punggung kuda masing-ma- sing, lalu
bergerak meninggalkan Desa Warutan.
***
DELAPAN
Dalam perjalanan mencari tokoh yang dianggap se-
bagai biang keladi dari semua kejadian di puncak Bu-
kit Ular Emas, Panji dan tiga orang tokoh lain merasa
terkejut dan geram bukan main. Karena dari beberapa
desa yang dilalui, mereka mendengar kalau Tiga Hari-
mau Besi telah mengganas membunuhi puluhan pen-
duduk. Bahkan dari keterangan yang diperoleh secara
rahasia, Tiga Harimau Besi tengah menyusun kekua-
tan untuk menumbangkan penguasa negeri. Tentu sa-
ja berita itu membuat ketiganya terkejut
“Hm.... Jika demikian, jelaslah sudah kalau Tiga
Harimau Besi telah meninggalkan jalan kebenaran!
Dan menurutku, mereka pasti tidak akan berani mela-
kukan rencana pemberontakan ini, tanpa dukungan
orang kuat Jelasnya, mereka pasti mempunyai hubun-
gan dengan salah seorang pembesar istana!” dengus
Pertapa Goa Kelelawar.
“Aku pun berpikiran demikian. Dan jangan-jangan,
tokoh itulah yang menjadi dalang rencana pemberon-
takan ini,” sambut Pendekar Rase Perak menimpali.
“Apakah yang kau maksudkan tokoh itu adalah seo-
rang pembesar istana...?” tanya Pendekar Bangau Sak-
ti, ketika mendengar perkataan Pendekar Rase Perak.
“Aku yakin bukan!” Panji yang menyahuti. “Mung-
kin bisa saja ada pembesar istana yang hendak mem-
berontak. Kemudian tokoh itu mengajukan diri untuk
membantu. Lalu diperintahkannya Tiga Harimau Besi
untuk menyusun kekuatan dari arah luar. Sementara,
si tokoh dan pembesar itu menyiapkan pasukan dari
dalam. Dengan demikian, Tiga Harimau Besi yang ter-
kenal di kalangan persilatan sebagai pembela keadilan,
akan menimbulkan keresahan dan pertentangan di an-
tara tokoh-tokoh golongan putih. Hal ini jelas sangat
berbahaya, dan tidak bisa dibiarkan begitu saja!”
“Gila...! Ini berarti tugas kita semakin berat! Kalau
si tokoh itu berada di dalam kotaraja, jelas sangat sulit
untuk meringkusnya. Bisa-bisa, kitalah yang dituduh
sebagai pemberontak!” ujar Pendekar Bangau Sakti,
sama sekali tidak menyangka kalau persoalan akan
berkembang sedemikian besarnya.
“Memang tugas kita akan bertambah sulit Dan un-
tuk itu, kita terpaksa harus ke kotaraja. Maka satu-
satunya jalan, kita harus mencari serta menghubungi
pembesar yang benar-benar jujur. Lalu, semua perbua-
tan Tiga Harimau Besi kita laporkan. Nah! Dengan
mengandalkan pembesar jujur ini, kita bisa tahu siapa
pengkhianat dalam istana. Serta, si tokoh yang kurasa
selalu mendampingi pembesar pemberontak itu...,” pa-
par Panji.
Tentu saja dugaan pemuda itu berdasarkan penga-
laman-pengalamannya selama ini. Karena sudah bebe-
rapa kali persoalan seperti ini ditemuinya. Dan
umumnya, tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi se-
lalu memburu kedudukan atau pun kesenangan. Jalan
pintas untuk menuju ke situ, tentu saja dengan ber-
hubungan baik pada pejabat-pejabat kerajaan yang cu-
las dan tidak pernah merasa puas.
“Hm.... Apa yang kau utarakan itu memang cukup
masuk akal. Tapi bagaimana caranya agar kita dapat
masuk ke kotaraja tanpa dicurigai...?” tanya Pendekar
Rase Perak sedikit bimbang.
‘Terpaksa kita harus mencari jalan sendiri-sendiri
untuk masuk ke kotaraja. Dan kita akan bertemu di
sebuah kedai makan yang terletak paling dekat dengan
istana. Bagaimana? Apakah kalian setuju?” Panji men-
gajukan usul.
Pertapa Goa Kelelawar, Pendekar Bangau Sakti, dan
Pendekar Rase Perak langsung menyatakan persetu-
juannya.
“Kalau begitu, kita berangkat sekarang,” ujar Panji.
Mereka pun berpisah, meninggalkan tempat ini.
***
Kotaraja Bengkalan ternyata aman-aman saja. Ru-
panya rencana pemberontakan belum terdengar sam-
pai ke dalam kota. Bisa jadi, ini karena kecerdikan to-
koh yang memberi perintah kepada Tiga Harimau Besi.
Desa-desa taklukan ketiga tokoh itu terletak jauh dari
kotaraja. Sehingga, kabar tentang bakal adanya pem-
berontakan belum memasuki kotaraja.
Meskipun agak mencemaskan, namun ketenangan
suasana Kotaraja Bengkalan telah memudahkan Panji
dan tiga orang rekannya untuk melewati gerbang pen-
jagaan. Mereka masuk melalui gerbang yang berlainan,
sehingga dapat berkumpul kembali di sebuah kedai
makan yang agak besar. Tentu saja pertemuan itu ber-
langsung, setelah masing-masing dari mereka telah
terlebih dulu mencari keterangan tentang pejabat yang
benar-benar jujur. Sehingga, dalam pertemuan itu me-
reka bisa saling bertukar pendapat.
Pada saat kotaraja dalam keadaan tenang dan aman
seperti itu, tentu saja tidak menimbulkan kecurigaan
orang apabila ada yang mencari keterangan tentang
pejabat yang benar-benar jujur. Itu sebabnya, baik
Panji maupun ketiga orang tokoh lain dapat mencari
keterangan tanpa kesulitan. Dan pada saat bertemu di
kedai makan, mereka saling mengutarakan keterangan
yang didapat Yang paling menggembirakan dalam per-
temuan itu adalah, adanya persamaan nama pejabat
jujur yang disebutkan.
“Ketenangan suasana kotaraja inilah yang telah
membuat kita mudah memperoleh keterangan. Dapat
kubayangkan, betapa sukarnya memperoleh keteran-
gan seperti ini, apabila rencana pemberontakan telah
sampai terdengar di sini. Rupanya, kita benar-benar
beruntung...!” ujar Panji menyatakan kegembiraan ha-
tinya.
Untuk menyatakan kegembiraan itu, mereka lalu
memesan penganan cukup banyak, dan mengadakan
makan-makan kecil yang menggembirakan.
“Sekarang tinggal mencari kesempatan untuk dapat
berjumpa Senapati Kuntawang...,” ujar Pendekar Rase
Perak dengan suara rendah. Karena biar bagaimana-
pun, mereka tidak ingin hal itu sampai diketahui orang
lain.
“Bagi orang lain mungkin agak sulit Tapi bagi kita
berempat, rasanya akan mudah melakukan. Sebab,
Senapati Kuntawang kabarnya adalah seorang pangli-
ma yang suka ilmu silat, dan banyak mempunyai sa-
habat di kalangan persilatan. Jadi, bukan mustahil ka-
lau dia telah mendengar nama besar kita berempat!”
Meskipun terdengar agak menyombongkan diri,
namun ucapan Pendekar Bangau Sakti memang harus
diakui kebenarannya. Bahkan secara tidak langsung,
telah melegakan hati tiga orang tokoh lain.
“Biarpun demikian, kita tetap harus hati-hati. Dan
kita akan mendatangi Senapati Kuntawang secara
sembunyi. Malam nanti, kita bergerak...,” kata Pertapa
Goa Kelelawar penuh semangat Tentu saja tetap den-
gan suara rendah, dan hanya didengar mereka sendiri.
Panji dan dua orang tokoh lain menyatakan setuju.
Karena biar bagaimanapun, mereka memang harus da-
tang secara sembunyi. Siapa tahu, di dalam kotaraja
banyak mata-mata pemberontak, yang mungkin bisa
mendatangkan kesulitan.
***
Malam mulai memperlihatkan kekuasaannya. Rem-
bulan muncul setengah dengan sinarnya yang tema-
ram. Sehingga, langit di atas kotaraja tampak terseli-
mut kegelapan. Dan saat malam semakin merangkak
jauh, terlihat empat sosok yang bergerak cepat seperti
setan, tengah melintas di atas rumah- rumah pendu-
duk yang mulai terbuai mimpi. Sesekali terdengar ken-
tongan para prajurit kerajaan yang melakukan peron-
daan.
Keempat sosok itu terus bergerak menuju selatan
kota. Siapa lagi keempat sosok itu kalau bukan Pende-
kar Naga Putih dan tiga orang tokoh sakti yang malam
ini hendak mengunjungi Senapati Kuntawang. Bagi
mereka yang memiliki kepandaian tinggi, tidak sulit
bergerak dalam suasana remang-remang seperti ini.
Bahkan dengan kecepatan tinggi, sehingga membuat
sosok mereka sulit ditangkap mata.
Panji dan kawan-kawannya memang telah lebih du-
lu mencari keterangan tentang letak kediaman Senapa-
ti Kuntawang. Tentu saja untuk memperoleh keteran-
gan itu tidak sulit, karena Senapati Kuntawang sudah
pasti dikenal seluruh penduduk kotaraja.
Tapi sebelum sampai di tempat tujuan, di dekat se-
buah bangunan besar yang kokoh dan pantas jadi
tempat tinggal pembesar kerajaan, mereka melihat
adanya dua sosok bayangan yang berkelebat cepat Me-
lihat adanya dua sosok bayangan itu, Panji dan ka-
wan-kawannya bergegas menghentikan lari. Dan mereka langsung bersembunyi di kegelapan bayang-bayang
pepohonan.
“Entah siapa kedua sosok bayangan itu. Yang jelas,
mereka pasti berkepandaian tinggi. Dan rasanya ilmu
lari cepat mereka tidak berada di bawah kepandaian-
ku...,” gumam Panji, lirih seperti bertanya.
“Sebaiknya, tunda saja niat kita semula. Aku curiga
terhadap dua bayangan itu. Menurutku, ada baiknya
kalau kita mengikuti mereka....”
Pendekar Bangau Sakti yang berusaha mengenali
kedua sosok bayangan itu merasa penasaran sekali.
Karena, dua sosok bayangan itu seperti hendak me-
ninggalkan kotaraja pada malam hari. Tidak aneh ka-
lau Ketua Perguruan Bangau Putih ini merasa curiga.
Tapi bukan hanya Pendekar Bangau Sakti saja yang
curiga. Baik Panji, Pertapa Goa Kelelawar, maupun
Pendekar Rase Perak juga berpikiran serupa. Maka
hanya saling pandang saja, mereka telah mendapat ka-
ta sepakat Dan seketika mereka melesat mengejar da-
lam jarak yang agak jauh, agar tidak sampai diketahui
kedua sosok bayangan itu.
Dugaan keempat orang tokoh sakti itu memang ti-
dak meleset Dua sosok bayangan tadi terus berlari dan
melompati tembok yang mengelilingi kotaraja. Jelas
mereka hendak meninggalkan kotaraja dengan cara
yang tidak wajar, seperti tidak ingin diketahui orang
lain.
Panji dan kawan-kawan baru memperpendek jarak,
ketika telah cukup jauh meninggalkan kotaraja. Dan
mereka bergegas menyusul, ketika melihat hutan di
depan kedua sosok bayangan yang dikejar. Kemu-
dian....
“Hei, berhenti...!”
Pendekar Bangau Sakti yang seperti takut kehilangan jejak buruannya, segera membentak keras. Kemu-
dian tubuhnya melesat, dan terus berjumpalitan seba-
nyak lima kali di udara. Dan tiba-tiba saja tubuhnya
meluncur turun, kurang lebih satu tombak di belakang
kedua sosok bayangan Itu.
Panji, Pertapa Goa Kelelawar, dan Pendekar Rase
Perak, juga melakukan hal sama. Dan ketiganya nyaris
berbarengan, saat meluncur turun di dekat Pendekar
Bangau Sakti.
Bentakan yang disusul berkelebatnya empat sosok
bayangan itu, tentu saja membuat dua sosok tubuh
yang tengah berlari menjadi terkejut Terlebih, ketika
menyaksikan betapa gerakan keempat sosok bayangan
yang seperti sengaja mengejar, terlihat demikian cepat
dan ringan. Kedua orang itu pun sadar kalau tengah
dikejar oleh orang-orang berkepandaian tinggi. Tapi
meskipun demikian, mereka sama sekali tidak meng-
hindar dan malah menghentikan larinya.
Meskipun malam itu sinar bulan tidak begitu te-
rang, namun cukup jelas bagi Panji dan kawan- ka-
wannya untuk mengenali kedua orang yang dikejar se-
jak dari dalam kotaraja. Dan mereka terkejut bukan
main, setelah tahu kalau kedua orang yang dikejar
ternyata Datuk Serigala Hitam dan Datuk Serigala Pu-
tih. Dan kenyataan ini membuat Panji dan kawan-
kawan cukup heran, tak menduga.
Demikian pula Datuk Serigala Hitam dan Datuk Se-
rigala Putih. Malah kedua orang tokoh sesat ini keliha-
tannya jauh lebih kaget, begitu mengenali keempat
orang yang mengejar. Tapi rasa keterkejutan itu ditu-
tupi dengan tawa keras.
“Ha ha ha...! Tidak kusangka, ternyata pendekar-
pendekar ternama seperti kalian tidak malu untuk
mengintai orang lain! Nah! Katakan, apa maksud kalian mengejar kami?”
Datuk Serigala Hitam langsung saja melontarkan
ucapan yang memerahkan telinga.
“Hm.... Kau tidak perlu menutup-nutupi kesalahan,
Datuk Serigala Hitam!” tukas Pendekar Bangau Sakti
cepat dengan senyum mengejek. “Aku tahu, kalian ba-
ru saja meninggalkan istana seorang pembesar kera-
jaan, dan meninggalkan kotaraja di malam hari secara
diam-diam. Semua ini membuat kami curiga. Sekarang
coba jelaskan alasanmu...?”
Ucapan Pendekar Bangau Sakti tentu saja membuat
kedua orang datuk sesat itu menjadi terkejut bukan
main. Untunglah suasana malam itu agak gelap, se-
hingga pucatnya wajah kedua orang datuk itu tidak
terlihat Karena apa yang dikatakan Pendekar Bangau
Sakti membuat jantung mereka berdebar lebih cepat
dari biasa.
Pertanyaan Pendekar Bangau Sakti tidak segera
mendapat jawaban, karena kedua orang datuk itu ter-
lalu kaget dan sama sekali tidak menduga dengan per-
tanyaan itu. Sehingga, mereka mengalami kesulitan
untuk memberi jawaban secepatnya.
“Hm.... Jelas sudah bagi kami sekarang. Ternyata
kalian berdua mempunyai hubungan dengan rencana
pemberontakan yang saat ini tengah disusun Tiga Ha-
rimau Besi serta tokoh di belakang layar yang belum
kami ketahui namanya. Nah! Apakah kalian masih
hendak menyangka...?” lanjut Pendekar Bangau Sakti
kembali.
Ia sengaja langsung mendesak dan melontarkan tu-
duhan, karena ingin mendengar bagaimana sanggahan
kedua orang datuk sesat itu.
Tapi baik Datuk Serigala Hitam maupun Datuk Se-
rigala Putih sama sekali tidak bisa memberi jawaban.
Bahkan mereka tampak hendak berusaha melarikan
diri. Tentu saja karena disadari kalau keempat orang
tokoh itu tidak mungkin dapat diatasi.
***
“Hei?! Hendak lari ke mana kalian...!”
Melihat kedua orang datuk sesat itu melarikan diri,
Pendekar Bangau Sakti langsung saja melesat menge-
jar. Demikian juga Panji dan kedua orang tokoh lain.
Maka terjadilah kejar-mengejar yang seru di malam
yang gelap ini. Dan karena kepandaian mereka me-
mang tidak berselisih banyak, juga jarak di antara me-
reka tidak terlalu jauh, sebentar saja kedua orang da-
tuk itu telah dapat terkejar.
“Haiiit...!”
Dengan sebuah teriakan nyaring, Pendekar Bangau
Sakti dan ketiga tokoh lain melambung cepat dan ber-
jumpalitan beberapa kali. Kemudian mereka meluncur
turun di depan kedua orang datuk sesat itu, dalam ja-
rak kurang lebih satu setengah tombak. Kini keempat
tokoh digdaya ini berdiri menghadang kedua orang da-
tuk yang telah siap melancarkan serangan. Dan me-
mang pertempuran tidak mungkin dapat dihindari lagi.
“Haaat..!”
Sadar kalau yang dihadapi adalah tokoh-tokoh ter-
kenal berkepandaian tinggi, Datuk Serigala Hitam dan
Datuk Serigala Putih langsung saja melancarkan se-
rangan kilat menggunakan jurus-jurus andalan yang
bernama ‘Jurus Cakar Serigala Setan’.
Bwettt, bwettt..!
Hebat bukan main serangan kedua orang datuk se-
sat itu. Dan yang menjadi sasaran adalah Pendekar
Naga Putih dan Pendekar Bangau Sakti. Karena, kedua
orang tokoh itulah yang berada paling depan.
Melihat datangnya serangan berbahaya, Panji lang-
sung saja menggeser tubuhnya untuk menghindar.
Kemudian dibalasnya dengan cakar naganya. Sehing-
ga, sebentar saja pertarungan sengit pun berlangsung.
Menyadari tingkat kesaktian Datuk Serigala Hitam,
Panji pun tidak mau main-main lagi. Dengan menge-
rahkan seluruh kepandaian, ia berusaha keras mende-
sak datuk sesat itu. Sehingga dalam jurus keenam pu-
luh lima, Datuk Serigala Hitam mulai kelabakan
menghadapi serangan-serangan gencar Pendekar Naga
Putih yang demikian gencar. Seolah-olah Datuk Seriga-
la Hitam ini dikelilingi tembok salju, yang memancar-
kan hawa dingin luar biasa!
“Yeaaah...!”
Pada satu kesempatan, Panji melihat pertahanan
lawannya agak mengendur. Dan kesempatan emas itu
tidak disia-siakan begitu saja. Maka pukulan telapak
tangannya langsung diluncurkan, menggedor dada Da-
tuk Serigala Hitam.
Desss...!
“Huak...!”
Hantaman telak itu langsung membuat tubuh Da-
tuk Serigala Hitam terjungkal deras. Darah segar kon-
tan termuntah dari mulutnya. Dan sebelum sempat
bangkit untuk memperbaiki kuda-kudanya, hantaman
kaki Panji yang mengandung tenaga dalam hebat telah
singgah di tubuhnya. Maka tanpa ampun lagi, Datuk
Serigala Hitam terbanting keras, dan jatuh tak sadar-
kan diri terkena tendangan mengandung Tenaga Sakti
Gerhana Bulan’ sepenuhnya.
Pada saat itu, dalam waktu yang berbeda sedikit,
Pendekar Bangau Sakti pun telah pula dapat melum-
puhkan lawannya. Bedanya, Datuk Serigala Putih yang
menjadi lawannya, roboh tidak bernyawa lagi. Datuk
sesat bertubuh kurus dan berwajah pucat itu tewas di
tangan Pendekar Bangau Sakti.
“Hm.... Dengan adanya kedua orang datuk sesat ini,
kita mempunyai alasan kuat untuk menemui Senapati
Kuntawang. Mau tidak mau, iblis ini harus mengakui
dan menceritakan tentang persekutuannya dalam me-
nyusun rencana pemberontakan...,” ujar Pertapa Goa
Kelelawar, sehingga membuat kawan-kawannya men-
jadi lega dan puas.
Tanpa banyak membuang waktu lagi, keempat to-
koh sakti itu langsung mendatangi tempat kediaman
Senapati Kuntawang. Tak lupa, mereka membawa ser-
ta Datuk Serigala Hitam dan mayat Datuk Serigala Pu-
tih.
***
Senapati Kuntawang tentu saja merasa terkejut ke-
tika didatangi empat orang tak dikenal. Bahkan keem-
pat orang yang tak lain Pendekar Naga Putih, Pendekar
Bangau Sakti, Pertapa Goa Kelelawar, dan Pendekar
Rase Perak sudah menyandera seorang prajurit untuk
menunjukkan tempat panglima gagah itu berada.
“Siapa kalian?! Apa maksud kalian menemuiku ma-
lam-malam begini?” tegur Senapati Kuntawang menun-
jukkan perbawanya sebagai seorang panglima tinggi.
Kendati sadar kalau yang datang tentunya adalah
orang-orang pandai, tapi panglima gagah itu sama se-
kali tidak sudi menunjukkan kegentarannya.
“Maaf, Tuan Senapati....”
Yang tampil ke depan adalah Pertapa Goa Kelela-
war. Sebagai orang yang paling tua di antara kawan-
kawannya, dia merasa lebih pantas untuk menjadi pe-
nyambung lidah.
Dengan suara pelan dan tanpa melenyapkan rasa
hormatnya. Pertapa Goa Kelelawar memperkenalkan
diri dan ketiga kawannya. Kecuali, kedua orang datuk
sesat itu. Tentu saja Senapati Kuntawang kaget bukan
main, karena telah lama mendengar kebesaran nama
tokoh-tokoh yang berkunjung ini. Terlebih, nama besar
Pendekar Naga Putih yang masa itu masih hangat dibi-
carakan orang. Maka panglima gagah itu pun segera
menyambut dengan ramah.
Dengan perlahan-lahan namun cukup jelas, Pertapa
Goa Kelelawar menceritakan maksud kedatangannya.
Dan tentu saja, keterangan itu membuat Senapati
Kuntawang berkali-kali terkejut Kalau saja yang men-
ceritakannya bukan tokoh-tokoh sakti yang kegagahan
dan kebersihan hatinya telah terkenal, tentu ia tidak
akan mau percaya begitu saja.
Pendekar Bangau Sakti segera menyeret Datuk Se-
rigala Hitam yang saat itu sudah tersadar dari ping-
sannya, ke hadapan Senapati Kuntawang.
Dan ternyata, panglima gagah itu sangat cerdik.
Dengan menjanjikan hukuman seringan-ringannya,
dimintanya agar datuk sesat itu menceritakan menge-
nai rencana pemberontakan, sekaligus pembesar yang
berkhianat.
“Yang menjadi dalang semua rencana pemberonta-
kan ini adalah pejabat yang bernama Lungga Awang.
Beliau sangat sakti dan telah mendapatkan Rase Pe-
rak. Baik daging maupun darah binatang itu pasti su-
dah dilahap habis. Dengan demikian, kesaktiannya
akan berlipat ganda. Dan bisa jadi tubuhnya tidak lagi
dapat dilukai senjata tajam. Hamba sendiri ikut berga-
bung, karena dijanjikan hadiah besar serta kedudukan
layak, jika rencana ini berhasil baik...,” jelas Datuk Se-
rigala Hitam tanpa peduli kalau telah berkhianat ter-
hadap majikannya. Dia tentu saja lebih mementingkan
keselamatannya sendiri.
Senapati Kuntawang mengangguk-angguk, dan ke-
lihatannya tidak begitu kaget Memang, Lungga Awang
telah lama menaruh rasa tidak suka kepadanya. Dan
panglima gagah ini pun tahu, pejabat yang hendak
memberontak memang dipenuhi nafsu keserakahan,
sehingga tidak segan-segan menjegal kawan seiring.
“Hm.... Datuk Serigala Hitam! Tahukah kau, siapa
yang telah membunuh murid-muridku di tepi hutan
yang menuju Bukit Ular Emas? Dan, mengapa Tiga
Harimau Besi berpaling dari jalan kebenaran?”
Pendekar Bangau Sakti yang tidak bisa menahan
rasa penasaran, langsung saja bertanya. Tentu saja se-
telah terlebih dulu meminta perkenan dari Senapati
Kuntawang.
“Murid-muridmu dibunuh oleh Lungga Awang. Aku
tahu belum lama ini dari Tiga Harimau Besi palsu,
yang sebenarnya adalah pembantu-pembantu pejabat
yang hendak memberontak itu. Sedangkan Tiga Hari-
mau Besi asli telah dibunuh oleh Lungga Awang, dan
ditanam di taman belakang tempat tinggal tiga tokoh
itu...,” jelas Datuk Serigala Hitam.
Rupanya, dia tidak lagi mencoba menyembunyikan
segala apa yang diketahuinya. Karena, ia mengharap
keringanan hukuman setelah berkata jujur. Semua ini
tentu saja dilakukan bukan karena takut, melainkan
karena kelicikannya. Dia tentu saja berharap, akan
bebas dan dapat menuntut balas pada suatu saat nan-
ti.
“Hm.... Kalau begitu, sekarang juga aku akan mem-
persiapkan pasukan untuk menangkap Lungga Awang.
Dan kalian boleh menyertaiku...,” ujar Senapati Kun-
tawang.
Lalu, Senapati Kuntawang itu memerintahkan para
prajuritnya membawa Datuk Serigala Hitam ke kamar
tahanan. Datuk itu sendiri tidak bisa melakukan per-
lawanan, karena tubuhnya telah tertotok lumpuh.
***
Malam itu juga, Senapati Kuntawang mengerahkan
pasukan dalam jumlah yang cukup besar, langsung
mengepung tempat kediaman pembesar Lungga
Awang.
Para prajurit yang menjadi pengikut Lungga Awang,
tentu saja menjadi terkejut Mereka sama sekali tidak
berani melakukan perlawanan, karena pasukan Sena-
pati Kuntawang berjumlah sangat banyak. Daripada
mati konyol, mereka memutuskan untuk menyerah
tanpa melawan.
Senapati Kuntawang sendiri segera melangkah ma-
suk ke dalam istana pembesar pengkhianat itu, ber-
sama empat orang tokoh yang berjalan di kiri dan ka-
nannya. Rupanya, di dalam istana mereka mendapat
perlawanan dari jagoan-jagoan yang jadi pengikut
Lungga Awang. Tapi adanya Pendekar Naga Putih, Per-
tapa Goa Kelelawar, Pendekar Rase Perak, dan Pende-
kar Bangau Sakti, perlawanan jagoan-jagoan pembesar
pengkhianat itu sama sekali tidak berarti banyak. Se-
hingga, Senapati Kuntawang dapat terus bergerak ma-
ju tanpa halangan.
Seluruh keluarga serta pelayan yang ada dalam
bangunan istana Lungga Awang ditangkap dan dijeb-
loskan ke dalam penjara untuk sementara, sebelum
diperiksa secara teliti. Tapi sayangnya, Lungga Awang
sendiri tidak dapat ditemukan. Rupanya, pejabat yang
berkepandaian tinggi itu telah lebih dahulu pergi melo-
loskan diri dari bagian belakang istana. Bahkan dia te-
lah merobohkan kurang lebih lima puluh orang prajurit yang mengepung dari bagian belakang, sehingga
berhasil meloloskan diri dari hukuman.
“Hm.... Sayang, biang keladi dari semua ini dapat
meloloskan dari sergapan kita. Bahkan sempat pula
membantai lima puluh orang prajurit Jelas, ia memang
memiliki kepandaian tinggi sekali...,” desah Senapati
Kuntawang agak menyesal dengan lolosnya Lungga
Awang, biang keladi dari rencana pemberontakan.
Panji serta ketiga tokoh lain hanya bisa menghela
napas berat Kendati demikian, mereka merasa agak le-
ga karena pembunuh murid-murid Perguruan Bangau
Putih sudah terungkap, dan keanehan Tiga Harimau
Besi telah terjawab. Sayangnya, Tiga Harimau Besi
palsu itu telah pula lenyap, ketika Senapati Kuntawang
mengirim pasukan untuk mencari dan menangkap ke-
tiga tokoh palsu itu. Panglima gagah itu menduga,
Lungga Awang telah lebih dulu menemui Tiga Harimau
Besi palsu untuk dibawa pergi menyelamatkan diri.
Sebagai tanda rasa terima kasihnya, Senapati Kun-
tawang meminta agar para penduduk itu tidak buru-
buru meninggalkan kotaraja. Tentu saja mereka tidak
enak menolak, dan menerima keramahan panglima ga-
gah ini untuk tinggal beberapa hari di istana.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar