WARISAN TERKUTUK
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Warisan Terkutuk
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Kuda berbulu hitam mengkilat itu melesat bagai
anak panah lepas dari busur. Kaki-kakinya yang ko-
koh berderap melintasi jalan lebar. Kendati demikian,
penunggang kuda bertubuh gemuk itu masih belum
puas. Bentakannya terus terdengar mengiringi derap
kaki kuda. Agaknya lelaki gemuk itu tengah terburu-
buru.
Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda itu
tiba di sebuah rumah besar yang agak terpencil. Begitu
memasuki halaman, tubuhnya langsung melompat tu-
run dengan lincah. Rupanya lelaki gemuk itu bukan
orang sembarangan. Terbukti ia dapat mendarat den-
gan baik saat kuda belum lagi berhenti.
Seorang laki-laki kurus berusia sekitar empat puluh
tahun bergegas menyambut penunggang kuda itu. Se-
telah membungkuk hormat, tangannya segera me-
nyambut tali kekang yang diangsurkan ke arahnya.
“Kelihatannya aku orang pertama yang tiba di tem-
pat ini...,” gumam lelaki gemuk itu, setelah mengedar-
kan pandangannya ke sekeliling halaman.
“Benar, Tuan Yudha Pasa...,” sahut lelaki kurus.
Kemudian bergegas menambatkan kuda lelaki gemuk
yang bernama Yudha Pasa itu di tempat yang telah
disediakan.
“Begitu mendapat kabar, aku langsung ke sini,” ujar
Yudha Pasa. “Benarkah ayahku sudah wafat, Ra-
min...?”
Lelaki kurus bernama Ramin itu kelihatan agak gu-
gup. Hingga kening Yudha Pasa berkerut Sikap lelaki
kurus itu membuat Yudha Pasa heran.
“Ramin...!” panggil Yudha Pasa dengan nada agak
tinggi. Sebab Ramin belum juga menjawab perta-
nyaannya.
“Ya, Tuan....”
“Kau tidak mendengar pertanyaanku...?”
Yudha Pasa mengulang pertanyaannya. Kali ini na-
danya agak menyelidik. Itu karena sikap Ramin yang
aneh.
“De... dengar, Tuan...,” sahut Ramin terbungkuk-
bungkuk dengan kepala. Kepala lelaki kurus itu me-
runduk. Tidak berani menentang pandang mata Yudha
Pasa.
“Angkat kepalamu, Ramin. Dan jawab pertanyaanku
tadi...!” bentak Yudha Pasa, kesal karena sikap lelaki
kurus itu. Sehingga wajah Ramin menjadi agak pucat.
“Tuan Besar Ganda Pasa memang telah wafat sema-
lam. Nyai Narasumi segera mengirim orang untuk
mengabarkannya kepada Tuan Yudha Pasa. Juga pada
kedua putra Tuan Besar lainnya...,” jelas Ramin sedikit
gugup. Kemudian kembali menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Terlihat bayang kedukaan pada wajah
lelaki kurus itu.
“Hhh.... Kira-kira apa yang menyebabkan kematian
ayahku, Ramin? Seingatku beliau tidak pernah mengi-
dap penyakit yang berbahaya...?” tanya Yudha Pasa la-
gi. Penasaran ingin mengetahui penyebab kematian Ki
Ganda Pasa, ayahnya. Yudha Pasa merupakan anak
tertua Ki Ganda Pasa. Lelaki gemuk itu sudah berpisah
dari orang-tuanya. Ia tinggal di selatan bersama anak-
istrinya. Begitu mendapat kabar ia langsung bergegas
menuju tempat ini.
“Aku sendiri tidak tahu, Tuan. Mungkin Nyai Nara-
sumi lebih tahu. Dialah yang merawat Tuan Besar ke-
tika mendadak sakit...,” jawab Ramin lancar. Kemudian melangkah perlahan mempersilakan Yudha Pasa
memasuki rumah besar itu.
“Hm.... Jadi sebelumnya ayahku mendadak sakit
Lalu meninggal karena serangan penyakit itu. Begitu
maksudmu...?” tanya Yudha Pasa seraya melangkah
perlahan mengikuti Ramin.
“Kira-kira begitulah, Tuan Yudha...,” sahut Ramin
yang memang tidak tahu penyebab kematian tuan be-
sarnya.
Karena meskipun telah lama mengabdikan diri se-
bagai pelayan, tapi tidak semua persoalan di rumah itu
diketahuinya. Terlebih perihal kematian Ki Ganda Pasa
yang sangat mendadak. Hingga ia tidak bisa memberi-
kan jawaban pasti kepada putra sulung majikannya.
Belum juga Yudha Pasa dan Ramin masuk ke dalam
rumah, terdengar suara berderap,. Cepat keduanya
menoleh ke asal suara. Tampak seekor kuda berbulu
coklat berlari cepat memasuki halaman.
Yudha Pasa yang pandangannya lebih tajam dari
Ramin, kelihatan mengerutkan kening. Ia melihat pe-
nunggang kuda itu terluka pada bahu kanannya. Yang
membuatnya kaget, luka itu masih baru dan mengelu-
arkan darah. Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki ge-
muk itu bergegas memburu penunggang kuda itu.
“Apa yang terjadi, Adi Rengga...?!” tanya Yudha Pasa
yang dengan sigap menahan lari kuda coklat itu. Meli-
hat caranya menghentikan lari kuda, agaknya Yudha
Pasa memiliki kekuatan tenaga dalam yang tangguh.
“Entahlah, Kakang. Dalam perjalanan ke sini, aku
dihadang dua orang lelaki kasar yang mengenakan ca-
dar untuk melindungi wajahnya. Tanpa banyak cakap
mereka langsung menyerangku. Untunglah aku dapat
mengusir mereka. Kendati harus mengalami luka di
bahu...,” jelas lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh
tahun itu. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
Dan menyerahkan kuda itu kepada Ramin untuk di-
tambatkan.
“Kau tidak berusaha mengejar mereka, Adi Reng-
ga...?” tanya Yudha Pasa sangat penasaran dengan ke-
jadian yang dialami lelaki tegap itu.
“Hhh...,” lelaki tegap itu menghela napas.
Rengga Pasa adalah putra kedua Ki Ganda Pasa.
Seperti juga Yudha Pasa, ia pun mendapat kabar ten-
tang kematian ayahnya. Dan meninggalkan keluar-
ganya untuk menjenguk orangtuanya.
“Mereka sangat tangguh, Kakang. Kelihatannya me-
reka menghendaki kematianku! Tidakkah Kakang me-
rasakan ada keanehan dengan kejadian itu...?” ujar
Rengga Pasa, seraya melangkah perlahan.
“Hm.... Kematian ayah sudah membuatku merasa
aneh. Apalagi dengan adanya kejadian yang kau alami.
Jelas ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian
ayah...,” timpal Yudha Pasa seraya menatap wajah
adiknya. Ia langsung mengutarakan kecurigaannya
mengenai kematian Ki Ganda Pasa yang menurutnya
tidak wajar.
Rengga Pasa tidak menimpali ucapan kakaknya.
Keningnya berkerut. Lelaki tegap itu tengah memikir-
kan ucapan Yudha Pasa.
“Kematian adalah sesuatu yang wajar...!”
Tiba-tiba terdengar suara halus namun jelas di te-
linga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Sehingga kedua-
nya menoleh.
“Sumi...!”
Hampir berbarengan kedua lelaki itu berseru perla-
han ketika melihat seorang gadis berusia dua puluh
dua tahun berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tu-
buhnya bersandar pada tiang pintu. Gadis cantik itu
adalah Narasumi, putri bungsu Ki Ganda Pasa. Dialah
yang menemani dan merawat ayahnya dalam menjala-
ni sisa-sisa hidupnya.
Narasumi melangkah perlahan dengan tangan ma-
sih terlipat di dada. Sepasang matanya yang bulat dan
jernih menatap kedua kakaknya berganti-ganti. Na-
mun sepasang mata itu agak membengkak. Gadis can-
tik itu rupanya terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Dan itu kelihatan jelas oleh kedua kakaknya.
“Katakan, apa penyebab kematian ayah, Sumi...?”
tanya Yudha Pasa setelah gadis itu tiba di dekat mere-
ka berdua. Lelaki gemuk itu belum dapat menerima
kematian ayahnya begitu saja, tanpa keterangan yang
jelas dan memuaskan hati.
“Duduklah dulu, Kakang,” ujar Narasumi kepada
kedua kakaknya.
Nada ucapan gadis itu sedikit pun tidak menunjuk-
kan keakraban. Narasumi memang tidak begitu dekat
dengan kedua kakaknya. Terlebih setelah keduanya
berkeluarga dan mereka bertiga jarang sekali berkum-
pul.
Yudha dan Rengga tidak membantah. Keduanya
menjatuhkan tubuh di kursi di ruang depan. Begitu
juga Narasumi. Lalu mereka saling berpandangan se-
saat
“Kemarin ayah berpamitan padaku. Beliau tidak
mengatakan hendak ke mana dan melakukan apa. Ta-
pi, pada saat kembali aku baru dapat menebak apa
yang sudah terjadi. Sebab ayah mengalami luka dalam
yang cukup parah. Jelas beliau telah bertarung dengan
lawan tangguh. Sayangnya beliau tidak mengatakan
apa-apa, meski telah ku desak,” jelas Narasumi meng-
hilangkan keheningan di antara mereka. Wajah cantik
itu terlihat memendam rasa penasaran yang dalam.
“Jadi, luka itukah yang menyebabkan kematian
ayah...?” tanya Yudha Pasa sambil menatap wajah adik
perempuannya lekat-lekat.
“Yahhh...!”
Narasumi menjawab dengan desahan lirih. Gadis itu
membuang pandangannya ke luar jendela. Tampak se-
pasang matanya merebak. Rupanya ingatan itu mem-
buat kesedihannya bangkit kembali.
“Apa kau tidak dapat menebak, siapa kira-kira
orang yang telah bertarung dengan ayah?”
Rengga Pasa yang sejak tadi termenung, melontar-
kan pertanyaan. Kilatan dendam terpancar pada sepa-
sang matanya yang tajam. Tampak sekali kalau Rengga
Pasa tidak bisa menerima begitu saja kematian orang-
tuanya.
“Tidak. Sepanjang pengetahuanku, ayah tidak
mempunyai musuh. Itu sebabnya aku sangat penasa-
ran! Sampai kematian datang menjemput, ayah tidak
mau bercerita mengenai lawan yang telah melukainya.
Tampaknya beliau tidak ingin kita mendendam pada
orang itu...,” jawab Narasumi dengan penasaran.
Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga hanya
bisa memendam rasa penasarannya dalam-dalam.
Pembicaraan mereka terputus oleh suara langkah
yang menuju ke tempat itu. Tidak berapa lama kemu-
dian, muncullah sesosok tubuh tinggi besar. Wajahnya
menunjukkan kekerasan hatinya. Pakaiannya agak ke-
tat hingga memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang
bersembulan. Lelaki tinggi besar itu sejenak berdiri di
ambang pintu, dan tersenyum pada ketiganya.
“Rupanya aku datang terlambat....”
Lelaki tinggi besar itu membuka suaranya yang be-
sar dan berat. Kemudian menarik kursi yang masih
kosong dan menjatuhkan tubuhnya disertai helaan
napas.
“Kupikir kau tidak akan sempat datang, Bangga.
Ternyata dugaanku keliru,” ucap Rengga Pasa. Keliha-
tannya sambutan yang diberikan lelaki tegap itu cukup
hangat. Membuat lelaki tinggi besar yang bernama
Bangga tersenyum lebar.
“Meski tugas-tugasku sebagai perwira kerajaan cu-
kup banyak, tapi aku tetap menyempatkan diri untuk
datang menghadiri pemakaman ayah. Bagiku ini jauh
lebih penting dari tugas-tugasku...,” timpal Bangga,
yang juga mempunyai nama belakang Pasa, seperti
halnya Yudha dan Rengga. Sebab lelaki tinggi besar itu
merupakan putra ketiga Ki Ganda Pasa.
“Bagus kalau kau mempunyai pemikiran demi-
kian...,” tukas Yudha Pasa agak dingin. Sikapnya me-
nunjukkan bahwa hubungan mereka tidak terlalu de-
kat
Mendengar ucapan agak sinis itu, Bangga Pasa
mengalihkan pandangannya dari wajah Rengga. Dita-
tapnya wajah Yudha Pasa, kakak tertuanya, dengan
sorot mata tajam. Sikap itu membuat suasana di anta-
ra mereka menjadi tegang.
“Kakang Bangga,” Narasumi berusaha mengalihkan
perhatian lelaki tinggi besar itu. “Biasanya seorang
perwira akan membawa beberapa prajuritnya bila hen-
dak bepergian. Apa kau tidak dikawal prajurit-
prajuritmu...?”
“Tentu saja ada beberapa prajurit yang menyertai-
ku, Sumi. Mereka ku tinggalkan di luar. Aku tidak in-
gin pertemuan di antara kita terganggu...,” meski agak
segan, Bangga Pasa menyahuti pertanyaan adiknya.
Sehingga usaha Narasumi untuk menghilangkan kete-
gangan di antara mereka tidak sia-sia.
“Eh! Bahumu kenapa, Kakang Rengga...?” Bangga
Pasa yang baru menyadari ada luka di bahu Rengga
Pasa langsung melontarkan pertanyaan.
“Tidak apa-apa, Adi. Hanya sedikit goresan pedang.
Ketika aku lewat di Hutan Klaren, dua orang bercadar
hitam menghadang jalanku. Untunglah mereka dapat
kuusir pergi, kendati bahu ku sempat tergores pedang
salah seorang dari mereka...,” ujar Rengga Pasa menje-
laskan sebab luka di bahunya.
“Hm.... Mungkin mereka hendak merampokmu, Ka-
kang. Karena dandananmu memang cukup mewah...,”
tukas Bangga Pasa menduga.
“Entahlah. Tapi, sepertinya mereka menghendaki
kematianku...,” lanjut Rengga Pasa sedikit memban-
tah. Sebab ia sendiri belum tahu pasti maksud peng-
hadang-penghadang itu.
Bangga Pasa baru saja hendak menimpali. Namun
ditahannya ketika dari luar terdengar suara lantang
yang membuat mereka berempat terkejut!
“Ganda Pasa, keluarlah! Kali ini kau tidak akan bisa
lari dari kami...!”
Keempat putra dan putri Ki Ganda Pasa terkejut
bukan main. Teriakan lantang yang dikeluarkan mela-
lui pengerahan tenaga dalam itu membuat mereka sal-
ing berpandangan sejenak. Baru setelah Bangga Pasa
bergerak keluar ruangan, yang lainnya bergegas me-
nyusul.
***
Hampir bersamaan keempatnya mendaratkan kaki
di halaman depan. Mereka melihat tiga orang lelaki
tengah dikepung enam orang prajurit kerajaan. Kenda-
ti demikian, tidak terlihat kegentaran di wajah ketiga
lelaki bertampang kasar itu. Usia mereka tidak muda
lagi, rata-rata berumur sekitar lima puluh tahun. Je-
las, ketiga orang itulah yang mencari Ki Ganda Pasa.
Bangga Pasa melangkah maju dengan wajah garang.
Dan memerintahkan keenam prajuritnya untuk mun-
dur. Lelaki tinggi besar yang kelihatan sangat kuat itu
berhadapan dengan tiga orang tamu tidak diundang
itu.
Yudha, Rengga, dan Narasumi juga tidak tinggal di-
am. Ketiganya mendampingi Bangga. Mereka pun me-
rasa penasaran melihat ada orang mencari ayahnya.
Apalagi dari suara teriakan tadi jelas terkandung mak-
sud yang tidak baik. Mereka ingin tahu maksud orang-
orang itu mencari ayah mereka.
“Kisanak. Siapakah kalian bertiga? Ada keperluan
apa hendak bertemu dengan ayahku...?” tanya Bangga
Pasa dengan berwibawa. Rupanya kebiasaan sikapnya
sebagai seorang perwira telah menyatu dengan dirinya.
Melihat itu, ketiga tamunya mengerutkan kening da-
lam-dalam.
“Kau putra Ganda Pasa...? Apa aku tidak salah
dengar?” tegas salah seorang dari tiga lelaki bertam-
pang kasar itu. Wajahnya dipenuhi cambang bauk le-
bat Sepasang matanya menyipit, seolah ingin memper-
jelas pandangannya.
“Kau tidak salah dengar, Kisanak. Kami berempat
adalah putra-putri Ki Ganda Pasa. Kalau kalian ada
keperluan, silakan sampaikan kepada kami. Kami be-
rempat merupakan wakil-wakil beliau...,” kali ini Yud-
ha Pasa yang berbicara. Lelaki gemuk itu berdiri di
samping Bangga Pasa. Dan menatap ketiga orang asing
itu dengan pandangan curiga.
Tapi lelaki bercambang bauk itu tidak mempeduli-
kan Yudha Pasa. Sepasang matanya tetap mengawasi
sosok lelaki tinggi besar berpakaian perwira. Di antara
keempat anak-anak Ki Ganda Pasa, rupanya hanya
Bangga Pasa yang menarik perhatiannya. Terbukti,
hanya perwira itulah yang sejak tadi diperhatikannya.
“He he he...! Benar-benar sulit dipercaya kalau ke-
turunan Ki Ganda Pasa menjadi abdi kerajaan....”
Tiba-tiba lelaki brewok itu tertawa mengejek. Jelas,
ejekan itu bukan ditujukan kepada Bangga Pasa, tetap
kepada orangtuanya. Dan Bangga Pasa tahu akan hal
itu.
“Hm.... Tampaknya kau cukup mengenal baik ayah-
ku, Kisanak!” suara Bangga Pasa menyimpan kegera-
man. “Katakan, apa keperluanmu? Atau sebaiknya kau
minggat saja dari tempat ini sebelum kuusir seperti
anjing kurap...!”
“Ha ha ha...! Hebat... hebat...! Betapa gagahnya pu-
tra Ganda Pasa ini. Kelihatannya orang tua itu telah
berhasil mendidik putra-putrinya dengan baik. Sam-
pai-sampai salah seorang keturunannya menjadi per-
wira kerajaan. Sungguh menarik sekali...!”
Tawa lelaki brewok itu terdengar lantang. Agaknya
ia tidak mengindahkan ancaman Bangga Pasa. Dan si-
kap itu membuat wajah perwira kerajaan itu menjadi
gelap.
“Orang tua!” geram Bangga Pasa lantang. “Sekali la-
gi kuperingatkan agar kau segera angkat kaki dari
tempat ini! Kalau tidak, jangan salahkan jika aku ber-
tindak kasar...!”
Untuk kedua kalinya Bangga Pasa mengeluarkan
ancaman. Dan, itu bukan sekadar ancaman kosong.
Sehingga tawa laki-laki bercambang bauk itu lenyap.
Dan wajahnya berubah menjadi sungguh-sungguh.
“Hm.... Sebenarnya kedatanganku kemari ingin ber-
temu ayahmu, Perwira Gagah. Tapi kelihatannya kein
ginanku tidak akan mudah terlaksana. Dan itu mem-
buatku kecewa...,” gumam lelaki brewok dengan sorot
bola mata tajam menentang pandang mata Bangga Pa-
sa. Tampak jelas sepasang mata itu menyimpan rasa
penasaran yang dalam.
“Keparat! Masih juga kau banyak bicara...!”
Rengga Pasa yang sejak tadi hanya diam menden-
garkan, tiba-tiba membentak marah. Tahu-tahu saja
tubuhnya melayang dengan pukulan lurus ke arah le-
laki brewok itu.
Bet!
Meskipun serangan yang dilancarkan Rengga Pasa
cukup mendadak, namun lelaki brewok itu sanggup
menghindar. Dengan hanya menggeser kaki kanannya
ke samping, pukulan kuat itu lewat di sampingnya.
“Sambut ini...!”
Rengga Pasa semakin penasaran. Cepat lengannya
diputar, dan langsung dibabatkan ke leher lawan den-
gan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lelaki brewok
itu sempat mengeluarkan pujian. Kali ini ia tidak beru-
saha mengelak. Diangkatnya tangan kanan ke atas
dengan kedudukan berdiri tegak. Sehingga....
Dukkk!
“Uhhh...?!”
Keluhan lirih terdengar dari mulut Rengga Pasa.
Tubuh lelaki tegap itu terjajar mundur empat langkah.
Sedangkan tubuh lawan hanya tergetar sesaat. Itu je-
las membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga
dalam, Rengga Pasa masih kalah setingkat dari lelaki
brewok itu.
“Setan...!”
Kenyataan itu tidak membuat Rengga Pasa menjadi
gentar. Malah ia semakin penasaran dan marah. Lelaki
tegap itu kembali membuka jurus untuk bertarung
mati-matian!
“Rengga, tahan...!”
Sebelum Rengga Pasa memulai serangannya, tiba-
tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul dengan me-
layangnya sesosok tubuh gemuk yang langsung berdiri
di hadapan lelaki tegap itu. Dia adalah Yudha Pasa,
putra sulung Ki Ganda Pasa.
“Kisanak. Harap maafkan tindakan adikku. Mak-
lum, saat ini kami tengah berkabung. Jadi kuminta
dengan hormat kalian segera meninggalkan tempat ini.
Kalaupun ada keperluan, lain kali saja kalian datang
ke sini...,” ujar Yudha Pasa yang tidak ingin terjadi
perkelahian. Dan meminta ketiga orang itu untuk sege-
ra pergi.
“Berkabung? Apa maksudmu? Apa kau hendak
mengelabui kami...?” tanya lelaki brewok. Rupanya ia
belum mendengar mengenai kematian Ki Ganda Pasa.
Hingga terkejut mendengar ucapan Yudha Pasa.
“Benar. Kami tengah berkabung atas kematian ayah
kami...,” sahut Yudha Pasa dengan suara lirih, berha-
rap agak ketiga orang itu mau mengerti keadaan mere-
ka.
“Maksudmu.... Ki Ganda Pasa telah tiada...?” tanya
lelaki brewok itu menegasi.
Wajahnya menyiratkan kekagetan yang sangat. Tapi
itu hanya berlangsung sesaat. Sebentar kemudian, ta-
wanya kembali terdengar. Bahkan kali ini jauh lebih
keras.
“Hm.... Baiklah, kami akan pergi,” ujar lelaki bre-
wok menghentikan tawanya. “Tapi, jangan kira kami
percaya begitu saja dengan kematian Ki Ganda Pasa.
Kalian harus ingat itu...!”
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu menga-
jak kedua temannya untuk meninggalkan tempat ini.
Yudha Pasa dan saudara-saudaranya saling bertu-
kar pandang. Setelah ketiga sosok tubuh itu lenyap,
baru mereka berbalik meninggalkan tempat itu. Ada
gambaran penasaran di wajah putra-putri Ki Ganda
Pasa ini.
***
DUA
Narasumi duduk termenung menghadap jendela
kamarnya. Angin malam yang dingin dibiarkan ber-
hembus masuk melalui jendela yang terbuka lebar.
Wajahnya yang cantik tampak muram. Agaknya musi-
bah yang menimpa keluarganya masih membebani pi-
kiran gadis itu. Kejadian itu masih menjadi tanda
tanya baginya.
Ketiga kakaknya telah kembali ke tempat tinggal
masing-masing begitu penguburan ayah mereka sele-
sai. Narasumi tidak bisa berbuat apa-apa untuk me-
nahan mereka agar tinggal lebih lama di rumah ini.
Gadis itu maklum bahwa ketiga saudaranya sibuk
dengan tugas-tugas mereka. Narasumi menerima ke-
sendiriannya itu dengan hati ikhlas.
Di dalam rumah yang besar itu Narasumi hanya di-
temani tiga orang pelayan. Satu laki-laki dan dua
orang perempuan. Tapi mereka tidak bisa diajak bica-
ra. Sebab ketiga pelayan itu sedikit pun tidak mengerti
ilmu silat. Narasumi sendiri tidak mengerti, mengapa
ayahnya tidak menurunkan ilmu silat pada ketiga pe-
layan itu. Padahal kalau mereka menguasai ilmu silat,
tentu akan lebih membantu dalam keadaan seperti itu.
“Hhh...!”
Helaan napas berat yang meluncur menandakan
hati gadis cantik itu tengah dilanda keresahan. Karena
kematian ayahnya yang mendadak tanpa diketahui
siapa pembunuhnya. Dan kedatangan tiga orang lelaki
kasar yang tidak dikenalnya. Mereka mencari ayahnya
justru pada saat orang tua itu sudah pergi untuk se-
lama-lamanya. Yang membuat Narasumi tak habis pi-
kir, mengapa mereka tidak datang sebelumnya. Selagi
ayahnya masih hidup. Ke mana saja orang-orang kasar
itu selama ini? Mengapa mereka datang justru pada
saat ayahnya telah meninggal?
Semua itu menjadi pertanyaan yang tidak pernah
lenyap dari benak Narasumi. Pikiran itu membuatnya
tidak bisa tertidur. Kebisuan dan keheningan malam
setia menemaninya.
“Hhh...!”
Untuk kesekian kalinya Narasumi menghela napas
berat. Dengan malas ia bangkit dari duduknya dan me-
langkah gontai menghampiri jendela. Kemudian menu-
tupnya rapat-rapat. Dan tubuhnya dihempaskan ke
atas pembaringan dengan disertai helaan napas berat
yang berkepanjangan.
Dalam keheningan itu Narasumi membiarkan piki-
rannya menerawang jauh ke masa silam. Saat-saat ia
hidup bahagia bersama ayahnya. Lelaki tua yang ia
kenal sangat tertutup dan lebih banyak berdiam diri.
Ayahnya tidak pernah menceritakan masa lalunya ke-
padanya. Kendati demikian, Narasumi dapat memak-
lumi. Ia tahu ayahnya merasa kehilangan dengan ke-
matian ibunya. Ia sendiri hampir tidak pernah men-
genal wanita yang melahirkannya itu. Perempuan itu
telah tiada sewaktu ia berusia lima tahun. Semenjak
itulah ayahnya lebih banyak diam dan mengurung diri
di kamar. Satu hal yang tidak pernah dilupakannya
adalah tidak tetapnya tempat tinggal mereka. Ayahnya
tidak pernah betah tinggal lama di satu tempat atau
desa. Di tempat yang sekarang pun mereka baru ting-
gal kurang dari setahun. Selain itu, tempatnya sangat
terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk.
“Aku tidak menyukai keramaian yang hanya men-
datangkan keributan.”
Demikian yang selalu dikatakan ayahnya bila Nara-
sumi bertanya kepada orang tua itu. Dan, jawaban itu
tidak bisa dibantahnya.
“Ayah...,” desah Narasumi resah. “Mengapa hidup-
mu penuh dengan teka-teki? Mengapa kau tidak per-
nah bercerita kepada kami? Sehingga di antara kita ti-
dak terjalin keakraban. Ada apa sebenarnya dengan
masa lalumu...?”
Pertanyaan itu kembali memenuhi benak Narasumi.
Pernah suatu kali ia memberanikan diri mengajukan
pertanyaan itu kepada ayahnya. Tapi hanya kemara-
han yang didapat. Sehingga gadis itu tidak berani lagi
menanyakan masalah itu. Hanya pernah terpikir di
benaknya bahwa masa lalu ayahnya mungkin sangat
pahit. Walau ia tidak pernah tahu apa sebenarnya
yang dialami orang tua itu di masa mudanya.
Tiba-tiba lamunan gadis cantik itu buyar. Telin-
ganya yang tajam menangkap suara langkah kaki di
atas atap rumah. Meskipun tahu kalau orang yang be-
rada di atas atap itu telah berusaha tidak menimbul-
kan bunyi, namun sempat juga tertangkap telinga Na-
rasumi saat lewat di atas kamarnya. Hingga gadis itu
menjadi curiga. Dan ingin mengetahui siapa yang ma-
lam-malam mendatangi rumahnya selagi semua orang
terbuai mimpi indah.
Merasa akan terjadi sesuatu yang tidak baik, gadis
cantik itu melompat bangkit dari atas pembaringan.
Setelah mengenakan pakaian ringkas, Narasumi mem-
buka jendela kamarnya dengan hati-hati dan tanpa
menimbulkan bunyi. Dengan terlebih dahulu memati-
kan penerangan di dalam kamarnya. Gadis itu melom-
pat keluar dan melesat hati-hati setelah menutup jen-
dela.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang pucat,
Narasumi bergerak perlahan dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh. Kemudian melesat naik ke
atas wuwungan rumah. Dan merunduk beberapa saat
memperhatikan sekitarnya.
“Hm.... Melihat bentuk tubuh dan jumlah mereka,
kelihatannya tiga orang yang pagi tadi hendak mem-
buat keributan. Rupanya mereka penasaran hendak
bertemu dengan ayah. Tadi pagi mereka tidak berani
bertingkah macam-macam. Karena ada Kakang Bang-
ga yang menjadi abdi kerajaan berpangkat perwira.
Tentu ketiga orang itu tidak ingin mencari susah den-
gan menyerang abdi kerajaan. Bisa-bisa mereka ditu-
duh pemberontak dan menjadi buronan...,” gumam
Narasumi yang agaknya dapat menduga siapa yang
mendatangi rumahnya.
Meskipun hanya sekilas, Narasumi sempat melihat
bayangan ketiga orang itu. Mereka adalah laki-laki.
Narasumi dapat membedakan gerakan mereka saat
melompat turun dari atas atap ke dinding rumah.
Narasumi menyadari ketiga orang itu bukan tokoh
sembarangan. Tapi gadis cantik ini tidak merasa gen-
tar. Ia tetap membuntuti mereka dengan mengandal-
kan ilmu meringankan tubuh warisan ayahnya.
“Berlatihlah dengan sungguh-sungguh, agar kelak
kalian bisa menjaga diri dengan baik....”
Nasihat yang selalu didengungkan ayahnya pada
saat melatih dirinya dan ketiga kakaknya kembali ber
gaung di telinga. Dan mereka berempat kini merasakan
hasil didikan keras itu. Kakaknya yang ketiga dapat lo-
los dari ujian calon perwira kerajaan. Padahal sain-
gannya sangat banyak. Itu membuat Narasumi merasa
bangga. Sayang saudara yang paling dekat dengannya
itu selalu disibukkan oleh tugas-tugas negara. Sehing-
ga, Narasumi terkadang merasa rindu pada Bangga
Pasa.
Narasumi pun merasakan hasil didikan keras ayah-
nya. Ia menjadi seorang gadis yang tangguh, dan tidak
mudah dijatuhkan lawan. Bahkan kepandaiannya bo-
leh dibilang hampir mengalahkan ketiga kakaknya. Na-
rasumi mendapat sebuah ilmu khusus yang tidak di-
dapat kakak-kakaknya. Ia maklum mengapa ayahnya
berbuat demikian. Sebab ia merupakan satu-satunya
wanita dalam keluarga itu. Sehingga, ayahnya menu-
runkan sebuah ilmu khusus untuk putrinya itu. Den-
gan demikian, Narasumi tidak kalah dengan ketiga
saudaranya.
Narasumi masih membuntuti ketiga sosok laki-laki
itu. Gadis itu melompat turun ke halaman samping,
setelah yakin kalau ketiga tamu tak diundang itu tidak
menyadari kalau mereka dibuntuti. Sayang gadis can-
tik putri bungsu Ki Ganda Pasa ini terlalu hati-hati.
Sehingga ia kehilangan jejak buruannya.
“Hm.... Kalau mereka ketiga lelaki kasar yang da-
tang pagi tadi, pasti kamar ayah yang menjadi tujuan-
nya. Tidak ada salahnya bila aku pergi menyelidiki
kamar itu...!” gumam Narasumi perlahan. Kemudian
melesat menuju kamar ayahnya.
Berbeda dengan kamar kepala keluarga pada
umumnya, Ki Ganda Pasa tidak tinggal dekat dengan
kamar putra-putrinya. Lelaki tua yang selalu menyen-
diri itu membuat kamar khusus untuk dirinya. Yang
terletak agak berjauhan dengan rumah induk. Dan
anak-anaknya tak pernah membantah keinginan orang
tua itu. Ke tempat itulah sekarang Narasumi pergi.
Perkiraan gadis cantik itu ternyata cukup jitu. Dari
kejauhan, di balik bayang hitam dinding rumah, ia me-
lihat ketiga tamu tak diundang itu tengah mengendap-
endap menuju kamar ayahnya. Dari sikap mereka, Na-
rasumi dapat menebak kalau ketiga orang? itu belum
percaya ayahnya sudah meninggal. Hingga Narasumi
menjadi heran. Tapi itu tidak dipikirkannya lebih jauh.
Hendak diketahuinya, apa yang diinginkan orang-
orang itu dari ayahnya. Dan Narasumi ingin segera
mendapat kepastian. Maka ia tidak berusaha mence-
gah mereka mendekati kamar ayahnya.
Ketika orang-orang itu mendobrak pintu kamar dan
berkelebat masuk, Narasumi melesat cepat Lalu mera-
patkan tubuhnya ke dinding. Dari tempat persembu-
nyiannya, ia melihat ketiga lelaki itu menyalakan peli-
ta. Dan memeriksa seluruh perabotan kamar itu. Per-
buatan mereka membuat Narasumi mengerutkan ken-
ing dalam-dalam.
Jelas ada sesuatu yang mereka kehendaki dari
ayahku.... Entah apa yang mereka cari...? Gumam ga-
dis cantik itu dalam hati. Karena tidak sabar, akhirnya
Narasumi melompat dari tempat persembunyiannya
dan membentak keras!
“Maling-maling hina! Apa yang kalian kehendaki da-
ri ayahku...?!” bentak Narasumi tanpa rasa gentar se-
dikit pun. Gadis cantik itu berdiri dengan kedua kaki
terentang. Tangan kanannya menggenggam sebilah
pedang telanjang.
Karena tidak menduga bakal dipergoki, ketiga orang
itu sempat terkejut oleh bentakan Narasumi yang
mengandung tenaga dalam. Serentak mereka berlompatan keluar menghadapi gadis cantik yang sedang di-
landa kemarahan besar itu.
“Hm.... Kau kiranya...,” desis salah seorang dari ke-
tiga lelaki kasar itu dengan nada meremehkan. Karena
yang memergoki mereka hanya seorang gadis muda
yang tidak perlu ditakuti.
Melihat kemunculan Narasumi, ketiga orang itu
mengedarkan pandangan. Agaknya mereka kurang ya-
kin kalau gadis itu datang seorang diri. Tapi ketika
hanya mendapatkan kesunyian di sekitarnya, mereka
pun merasa yakin kalau gadis cantik itu memang
hanya seorang diri.
“Kau benar-benar membuatku kagum, Gadis Can-
tik! Tentu kau salah seorang keturunan Ki Ganda Pa-
sa, bukan? Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang kami
inginkan dari ayahmu yang pengkhianat itu...?”
Lelaki bercambang bauk mewakili kawan-
kawannya. Sepasang matanya yang menyorot tajam
merayapi wajah cantik Narasumi. Ada kilatan bernada
kurang ajar pada sepasang mata lelaki berusia lima
puluh tahun itu.
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Orang
Tua! Sebaiknya kalian minggat dari sini sebelum aku
benar-benar marah...!” ujar Narasumi setengah men-
gancam. Pedang di tangannya melintang di depan da-
da. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap memperta-
ruhkan nyawa demi kehormatan keluarganya.
“He he he...! Kau pikir kami percaya begitu saja
dengan jawabanmu, Gadis Cantik! Kami yakin ayahmu
pernah bercerita tentang masa mudanya. Nah, untuk
itulah kami datang kemari...,” ujar lelaki brewok tidak
percaya.
Sikapnya tampak semakin kurang ajar. Bukan
hanya wajah gadis itu yang dijilati pandangan matanya. Tubuh ramping dan padat gadis itu pun dila-
hapnya habis-habisan. Hingga Narasumi menjadi jen-
gah dan bertambah marah.
“Hm.... Rupanya kau sejenis bandot tua kurang
ajar! Kau memang harus diberi pelajaran agar lain kali
tidak bersikap seperti serigala lapar...!”
Setelah berkata demikian, Narasumi mengkele-
batkan pedang di tangannya. Hingga terdengar suara
berciutan tajam.
“Hm.... Gerakan bagus dan indah!” puji lelaki tua
itu tanpa bermaksud meremehkan. “Dan itu merupa-
kan jawaban bahwa kau mengetahui maksud kedatan-
gan kami. Untuk membantu ingatanmu, kami akan
memperkenalkan diri. Namaku Ki Sutra. Kedua orang
yang berada di kanan dan kiriku ini Ki Wargana dan Ki
Rayoang. Nah, bukankah ayahmu sudah menceritakan
tentang kami bertiga...?”
“Aku tidak pernah mengenal nama kalian sebelum-
nya! Jadi percuma saja kalian berharap dapat mem-
bantu ingatanku...!” tukas Narasumi ketus, membuat
ketiga lelaki yang sudah cukup berumur itu menjadi
kaget.
“Bocah keras kepala!” bentak Ki Sutra dengan suara
menggelegar.
Lelaki tua itu kelihatan sangat marah karena Nara-
sumi bersikap tidak mau menceritakan apa yang di-
mintanya. Ia tidak percaya kalau Narasumi menjawab
dengan jujur dan apa adanya.
“Lalu apa yang hendak kalian lakukan terhadapku,
Orang-Orang Tak Tahu Sopan? Jangan dikira aku ta-
kut menghadapi keroyokan badut-badut seperti ka-
lian...!” tantang Narasumi tenang. Sedikit pun tidak
tampak kegentaran di wajahnya.
“Hm.... Hendak kulihat sampai di mana kekerasan
hatimu, Gadis Cantik...!”
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Sutra sudah
melayang ringan ke arah Narasumi. Kendati tidak
menggunakan senjata, angin pukulannya terdengar
menyambar kuat Hingga gadis cantik itu segera meng-
geser kakinya.
Whuuut, whuuut...!
Dua kali serangan lawan hanya mengenai tempat
kosong. Dan tanpa ragu-ragu, Narasumi melancarkan
serangan balasan dengan sambaran pedang. Ki Sutra
kelihatan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan ga-
dis cantik itu.
“Bagus...!” puji lelaki tua itu sambil melompat
menghindar.
Kemudian Ki Sutra melancarkan serangan balasan
dengan menambah kekuatan. Tampaknya ia tidak lagi
memandang rendah kepandaian gadis cantik itu. Ke-
duanya pun segera terlibat dalam sebuah perkelahian
seru.
“Tidak perlu diberi hati, Kakang Sutra! Kepalamu
akan diinjaknya kalau kau bersikap lunak...I” Ki War-
gana tidak sabar melihat jalannya perkelahian yang
menurutnya terlalu lamban. Maka begitu ucapannya
selesai, tubuhnya melayang ke tengah arena pertem-
puran.
“Heaaat...!”
Begitu memasuki kancah pertempuran, Ki Wargana
langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya
ke tubuh gadis cantik itu. Tidak seperti Ki Sutra yang
kelihatan masih merasa ragu, Ki Wargana tampak de-
mikian bersungguh-sungguh. Serangannya sangat
gencar dan bisa mencelakakan gadis cantik itu.
Terjunnya Ki Wargana ke tengah arena membuat
Narasumi agak kerepotan. Apalagi serangan orang tu
itu sangat gencar, dan tidak memberinya kesempatan
untuk membalas. Kendati demikian, Narasumi beru-
saha keras mengimbangi keroyokan kedua lawannya.
Gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menyelamatkan diri dari ancaman serangan lawan
yang ternyata sangat tangguh.
“Hiaaa...!”
Narasumi bagai singa betina yang pantang mundur!
Sinar pedangnya tetap bergulung-gulung, meskipun
ruang geraknya semakin dipersempit kedua penge-
royoknya. Dan masih mencoba membalas kendati ke-
sempatan untuk itu hampir tidak pernah ada.
Tapi biarpun Narasumi telah menguasai seluruh il-
mu yang diturunkan ayahnya, tetap saja ia kerepotan
menghadapi kedua lelaki tua itu. Ki Ganda Pasa sendi-
ri pun jika masih hidup belum tentu sanggup mengha-
dapi keroyokan Ki Sutra dan Ki Wargana. Apalagi wa-
nita muda seperti Narasumi yang miskin pengalaman
bertempur dan masih belum sempurna ilmu silatnya.
Sehingga tidak aneh bila gadis cantik itu mulai terde-
sak setelah bertahan tidak kurang dari tiga puluh ju-
rus.
Melihat gadis cantik itu semakin lemah pertaha-
nannya, Ki Sutra dan Ki Wargana makin bertambah
ganas! Serangan-serangan mereka makin gencar! Se-
hingga, kedudukan Narasumi tambah terjepit Ruang
gerak gadis cantik itu sudah tidak memungkinkan lagi
untuk membalas serangan. Sampai akhirnya ia harus
mengakui kehebatan lawan.
Bukkk!
Tubuh gadis cantik itu terkena pukulan lawan.
Tanpa ampun lagi Narasumi terguling. Namun demi-
kian, gadis cantik itu berusaha tetap bertahan dan me-
lakukan perlawanan.
“Kau akan merasakan akibat kebandelanmu, Pe-
rempuan Liar...!” geram Ki Wargana yang memang le-
bih berangasan dibanding Ki Sutra yang masih merasa
sayang untuk melukai gadis cantik itu.
Dengan sebuah tendangan terbang, tubuh Ki War-
gana melayang ke arah Narasumi yang saat itu belum
lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya. Gadis cantik
itu hanya bisa terbelalak melihat datangnya tendangan
lawan.
Plak!
“Uhhh...?!”
Yang terjadi kemudian benar-benar membuat Ki
Wargana dan kawannya-kawannya kaget bukan main.
Sebab bukan tubuh Narasumi yang terpental, tapi Ki
Wargana-lah yang terjungkal dan terbanting ke tanah!
Kenyataan itu membuat Narasumi terbelalak.
***
TIGA
“Ahhh...?!”
Ki Sutra dan kawan-kawannya berseru kaget Tanpa
sadar tubuh mereka terjajar mundur. Tampak di de-
pan gadis cantik yang hampir dapat mereka tunduk-
kan itu, telah muncul sesosok tubuh yang di sekeli-
lingnya memancar sinar putih keperakan. Rupanya so-
sok itu yang telah menyelamatkan Narasumi. Tak seo-
rang pun tahu bagaimana cara sosok itu menyela-
matkannya. Mereka hanya melihat kelebatan sinar pu-
tih yang memotong serangan Ki Wargana. Kini sosok
itu tampak berdiri angker, membuat nyali ketiga lelaki tua itu ciut.
“Si... siapa kau...?”
Dengan gemetar karena menahan hawa dingin
menggigit yang menyerang tubuhnya, Ki Wargana ber-
tanya parau. Lelaki tua itu kelihatan agak menderita
akibat tangkisan sosok tubuh terbungkus kabut putih
keperakan itu.
Belum lagi pertanyaan Ki Wargana terjawab, tiba-
tiba muncul sesosok tubuh lain yang tidak kalah pen-
garuhnya dengan sosok tubuh berjubah putih.
Di bawah terpaan cahaya bulan yang pucat, sosok
tubuh ramping padat dengan seri wajah gilang-
gemilang melangkah tenang menghampiri sosok tubuh
berjubah putih. Wajah jelita terhias senyum manis
mempesona itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya ternganga heran.
“Apakah mereka seorang dewa dan dewi yang turun
dari langit dan menyelamatkan gadis cantik itu...?” de-
sis Ki Sutra.
Memang, sosok pemuda yang tubuhnya terbungkus
kabut bersinar putih keperakan dan dara jelita berpa-
kaian serba hijau itu terlalu mempesona hati mereka.
Apalagi pemuda tampan berjubah putih itu hampir
mempecundangi Ki Wargana dalam satu gebrakan sa-
ja. Padahal kepandaian Ki Wargana tidak bisa dibilang
rendah. Meskipun jauh dari kepandaian tokoh-tokoh
terkenal dunia persilatan. Semua itu membuat mereka
sulit percaya kalau kedua sosok tubuh itu manusia bi-
asa seperti mereka.
“Apakah kalian benar-benar ingin mengetahui siapa
pemuda itu?” tanya gadis jelita berpakaian serba hijau
seraya melangkah menghampiri Ki Sutra dan kawan-
kawannya.
“Kalau kalian berdua memang manusia biasa seper-
ti kami, sebutkan nama atau julukan kalian...?” Ki Sutra yang kelihatan lebih bisa bersikap tenang, mewakili
teman-temannya.
“Sebenarnya aku tidak perlu memperkenalkan pe-
muda berjubah putih itu. Karena kalian pasti tahu
siapa pendekar muda yang membuat geger dunia per-
silatan sekarang ini...,” ujar dara jelita itu berteka-teki.
Dan membiarkan Ki Sutra bersama kawan-kawannya
mencari jawaban sendiri.
“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis Ki
Sutra. Wajahnya menjadi pucat ketika teringat seorang
tokoh muda yang mengguncang rimba persilatan den-
gan ilmu-ilmu mukjizatnya. Tentu saja ia tahu siapa
yang dimaksud dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Seratus untukmu, Orang Tua...,” tukas dara jelita
berpakaian serba hijau, yang tak lain Kenanga. Siapa
lagi yang selalu bersama Pendekar Naga Putih kalau
bukan Kenanga, kekasih pendekar muda tersohor itu.
Mendengar jawaban Kenanga, Ki Sutra dan kawan-
kawannya saling bertukar pandang. Mereka sadar ka-
lau untuk menghadapi Pendekar Naga Putih tidak
akan mampu, walaupun jumlah mereka ditambah se-
puluh kali lipat Keadaan itu membuat mereka berse-
pakat untuk mengambil jalan pintas. Kabur!
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sutra segera memba-
likkan tubuh dan melesat pergi meninggalkan tempat
itu. Demikian pula Ki Wargana dan Ki Rayoang. Kedua
lelaki tua itu ikut mengambil langkah seribu.
Panji dan Kenanga tidak berusaha mengejar. Mere-
ka berdiri memandangi kepergian ketiga lelaki itu.
Dan, baru mengalihkan perhatian setelah Ki Sutra dan
kedua kawannya lenyap ditelan kegelapan malam.
“Kau tidak apa-apa, Nisanak...?” tanya Panji sambil
menatap wajah Narasumi di bawah bayangan sinar bulan.
Narasumi menggeleng dengan wajah menyeringai.
Agaknya gadis cantik itu belum hilang dari rasa kaget-
nya melihat kemunculan kedua orang ini. Terlebih ke-
tika Ki Sutra menyebut pemuda tampan yang meno-
longnya dengan julukan Pendekar Naga Putih. Meski-
pun belum pernah mendengarnya, Narasumi yakin ka-
lau pemuda tampan itu merupakan tokoh yang sangat
ditakuti orang-orang jahat. Terbukti dari sikap yang di-
tunjukkan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tidak
mungkin mereka melarikan diri jika merasa mampu
menghadapi pendekar muda itu.
“Apakah kau terluka, Adik Manis?”
Kenanga yang belum merasa yakin gadis cantik itu
tidak terluka, melangkah mendekat dan menyentuh
lembut bahu Narasumi. Sikapnya membuat Narasumi
merasa terhibur dan langsung menyukai dara jelita
berpakaian serba hijau itu. Bahkan ia langsung per-
caya kalau kedua orang itu bukan orang-orang jahat
yang ingin mengganggunya.
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Pukulan salah
seorang dari mereka sempat mengenai tubuhku...,” ja-
wab Narasumi yang entah kenapa mempercayai Ke-
nanga. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi berterus-terang
mengenai kejadian yang menimpanya.
“Syukurlah kalau begitu...,” tukas Kenanga seraya
membimbing gadis cantik itu. Narasumi tidak berusa-
ha menolak budi baik dara jelita itu.
“Di mana kau tinggal...?” tanya Kenanga lagi tanpa
melepaskan tangannya pada bahu Narasumi.
Sikap yang ditunjukkannya demikian akrab. Seolah
mereka sudah lama saling mengenal. Padahal nama
masing-masing pun mereka belum tahu. Perhatian da-
ra jelita itu membuat Narasumi terharu. Apalagi ia
memang belum pernah merasakan perhatian yang begitu besar selama hidupnya. Gadis cantik itu merasa
mempunyai tempat untuk berbicara dan menumpah-
kan segala yang mengganjal pikirannya.
Kelihatannya dara jelita secantik bidadari ini dapat
menjadi teman bicara yang baik. Siapa tahu ia bisa
mengurangi beban yang selama ini membuat hidupku
tidak bisa tenang...? Gumam batin Narasumi sambil
memperhatikan wajah Kenanga dengan sudut ekor
matanya.
Panji tidak ingin mengganggu keakraban kekasih-
nya dengan gadis cantik itu. Pemuda itu sengaja mem-
perlambat langkahnya, dan mengikuti keduanya dari
belakang. Diam-diam terselip kekaguman di hatinya
melihat Kenanga bersikap demikian lembut dan penuh
perhatian terhadap gadis yang malang itu.
“Siapakah namamu, Nisanak? Mengapa kau begini
baik terhadapku? Padahal kita belum pernah berjumpa
sebelumnya...,” Narasumi mengutarakan pertanyaan
dalam hatinya. Meski agak ragu, takut kalau dara jelita
itu tersinggung.
“Namaku Kenanga. Dan untuk berbuat baik kurasa
tidak harus dengan orang yang kita kenal saja. Cukup
bila hati kecil kita merasa yakin orang yang kita bantu
memiliki sifat-sifat baik. Dan aku percaya kau orang
yang memiliki sifat baik. Mmm.... Siapa namamu, Adik
Manis...?” tanya Kenanga setelah menjelaskan secara
singkat tentang perbuatannya.
“Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu, Kenanga.
Namaku Narasumi. Mmm.... Kalau aku meminta sesu-
atu darimu, apakah kau tidak keberatan?” tanya Nara-
sumi seraya menatap wajah Kenanga. Kebetulan saat
itu Kenanga tengah menoleh dan menatap ke arahnya.
Sehingga untuk beberapa saat kedua gadis itu saling
berpandangan dengan bibir tersenyum manis.
“Katakanlah, Sumi. Jika masih dalam batas ke-
mampuanku, tentu aku akan bersedia membantu-
mu...,” sahut Kenanga yang belum juga mengalihkan
pandangan dari wajah Narasumi.
“Hhh.... Aku merasa tidak enak telah merepotkan-
mu. Padahal kita baru saja berkenalan...,” desah Nara-
sumi gundah. Kelihatan sekali gadis cantik itu ragu
untuk mengutarakan permintaannya. Narasumi kha-
watir Kenanga akan menolaknya.
“Katakanlah, Sumi. Mengapa kau bingung...?” de-
sak Kenanga sambil mengusap lembut punggung gadis
cantik yang tengah dilanda kebimbangan itu.
Narasumi membisu. Pandangannya dialihkan ke
depan menatapi kegelapan malam. Sedangkan kakinya
tetap melangkah menuju rumah besar tempat ia dan
ketiga pelayan keluarganya tinggal.
Kenanga tahu gadis cantik itu masih dilanda ke-
bimbangan, maka ia tidak berusaha mendesak lagi. Ia
akan sabar menunggu sampai Narasumi mengatakan
permintaannya. Kedua gadis itu terdiam. Sampai ke-
duanya tiba di ruang utama rumah besar itu, mereka
tidak juga membuka suara.
“Terima kasih. Aku telah merepotkan kalian berdua.
Budi baik ini tidak akan kulupakan seumur hidup....”
Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Narasumi
saat mereka telah duduk di kursi di ruangan utama
rumah besar itu. Sinar pelita yang temaram menyem-
bunyikan raut wajah mereka. Sehingga, sulit bagi Ke-
nanga untuk membaca perasaan yang tengah dirasa-
kan Narasumi. Wajah gadis cantik itu tidak terlihat je-
las.
“Hm.... Tidak perlu merasa berhutang budi kepada
kami, Sumi. Bukankah memang sudah menjadi kewa-
jiban kita untuk saling tolong-menolong. Jadi tidak
perlu dibesar-besarkan hal yang sepele itu,” sahut Ke-
nanga seraya menatap wajah Narasumi lekat-lekat Da-
ra jelita itu masih menunggu permintaan Narasumi
yang belum juga diutarakan.
Sementara Panji hanya duduk diam tidak mencam-
puri pembicaraan kedua gadis itu. Pemuda ini menye-
rahkan segala sesuatunya kepada Kenanga.
Narasumi mengangguk mendengar ucapan Kenan-
ga. Ucapan seperti itu tidak pernah didengarnya, bah-
kan dari ayahnya sendiri. Sehingga, Narasumi me-
nyimpan ucapan dara jelita itu di dalam hatinya. Sete-
lah itu ia tenggelam dalam lamunan, mengingat Ki Su-
tra dan kawan-kawannya. Apa yang dikehendaki ketiga
orang yang tidak dikenalnya itu belum jelas. Dan ma-
sih menjadi misteri baginya.
“Sumi....”
Melihat gadis cantik itu termenung, Kenanga men-
coba menyadarkannya. Meskipun suaranya tidak terla-
lu keras, namun sanggup menyelusup ke dalam telinga
Narasumi, hingga gadis itu tersentak perlahan.
“Ya...,” sahut Narasumi yang belum sadar sepenuh-
nya. Suara sahutannya terdengar mengambang dan
sengau.
“Kalau sekiranya kau tidak keberatan, bolehkah
kami mengetahui persoalanmu dengan ketiga orang
tua tadi...?” tanya Kenanga hati-hati. Ia tahu masalah
yang tengah dihadapi Narasumi kemungkinan persoa-
lan pribadi. Maka ia menggunakan kata ‘kalau boleh’
dalam pertanyaannya.
“Maaf, Kenanga, Kakang Panji...,” ucap Narasumi
sebelum menjawab pertanyaan dara jelita itu. “Sebe-
narnya aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan
Ki Sutra dan kawan-kawannya mendatangi rumah ini.
Yang jelas, mereka tidak percaya dengan keterangan
ku. Padahal aku sungguh tidak tahu apa yang mereka
cari di sini....”
Kenanga maupun Panji memaklumi jawaban Nara-
sumi. Mereka dapat melihat jelas gadis cantik itu men-
jawab dengan sejujurnya. Mereka percaya Narasumi
tidak sedang menyembunyikan sesuatu.
“Apa kau pernah melihat atau mengenal mereka se-
belumnya?” tanya Kenanga. Kali ini pertanyaannya
terkesan agak menyelidik, meskipun masih dalam ba-
tas-batas kewajaran. Sehingga Narasumi tidak merasa
keberatan menjawabnya.
“Sebelumnya aku tidak pernah mengenal atau meli-
hat ketiga orang tua itu. Baru kemarin, saat pengubu-
ran ayah hendak dilaksanakan, mereka muncul dan
hendak berjumpa dengan ayahku. Yang membuatku
heran, mereka tidak percaya ketika diberi tahu ayah
sudah meninggal. Bahkan Ki Sutra sempat menterta-
wakannya,” jelas Narasumi menceritakan perjumpaan
pertamanya dengan ketiga lelaki tua itu.
“Jadi..., malam ini kedatangan mereka ingin menye-
lidiki, begitu...?” tanya Kenanga menegasi, la agak ter-
kejut ketika mendengar kematian ayah Narasumi.
“Semula aku menduga demikian. Tapi ternyata ti-
dak. Sepertinya ada sesuatu yang mereka kehendaki
dari ayahku. Itu kuketahui ketika Ki Sutra bertanya
padaku. Sayang aku tidak tahu apa yang mereka ca-
ri...,” jawab Narasumi disertai helaan napas panjang.
Gadis itu sangat kecewa dengan ketidaktahuannya.
“Aneh...?” desis Kenanga heran. “Apakah ayahmu
tidak pernah bercerita tentang sesuatu atau musuh-
musuhnya?” tanya dara jelita itu setelah terdiam se-
saat.
“Sama sekali tidak! Selama hidupnya ayah jarang
berbicara dengan anak-anaknya...,” jawab Narasumi
tanpa perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan Ke-
nanga.
Dan Kenanga percaya Narasumi tidak berdusta. Wa-
laupun merasa heran ada seorang ayah yang selama
hidupnya jarang berbicara dengan anak-anaknya, Ke-
nanga tidak berkata apa-apa. Semua keheranan itu
disimpannya dalam hati.
Bukan hanya Kenanga yang merasa heran. Panji
pun merasakan ada kejanggalan dalam sikap ayah ga-
dis cantik itu. Tapi, ia tidak bisa menebak apa yang
membuat Ki Ganda Pasa berbuat demikian. Apalagi,
sampai akhir hayatnya tidak meninggalkan pesan apa-
apa.
“Hm.... Jika memang demikian, satu-satunya jalan
kita harus mengorek keterangan dari Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya. Merekalah kunci rahasia ini...,” Panji
membuka suara setelah mereka terdiam agak lama.
Kenanga mengangguk menyetujui ucapan Panji. Ta-
pi tidak demikian dengan Narasumi. Gadis cantik itu
kelihatan tidak bernafsu untuk memperpanjang per-
soalan. Guncangan batin akibat kematian ayahnya dan
gangguan yang datang berturut-turut membuat Nara-
sumi merasa lelah lahir batin. Gadis itu merasa terte-
kan. Sehingga ingin menjalani hidup dengan tenang
tanpa mempedulikan persoalan yang sudah berlalu itu.
“Bagaimana, Sumi? Apa kau tidak ingin mengung-
kap misteri yang menyelimuti keluargamu...?” Kenanga
bertanya ketika melihat Narasumi hanya tersenyum ti-
dak menanggapi ucapan Panji.
“Entahlah, Kenanga. Aku merasa lelah sekali. Ra-
sanya lebih baik kita tidak memperpanjang urusan ini.
Apalagi Ki Sutra dan kawan-kawannya belum tentu
akan datang lagi...,” desah Narasumi sedikit pun tidak
bersemangat
Kenanga tidak berkata-kata lagi. Ia maklum pera-
saan yang melanda hati gadis cantik itu. Kalau saja
benar gangguan tidak akan datang lagi, rasanya ia pun
sependapat dengan Narasumi. Sayangnya menurut
Kenanga persoalan itu tidak akan berakhir begitu saja.
Ia yakin Ki Sutra akan terus membayangi Narasumi,
sebelum yang mereka cari dapat dimiliki.
Sementara itu fajar sudah datang. Kokok ayam jan-
tan terdengar bersahut-sahutan. Sebentar lagi mata-
hari muncul menggantikan tugas sang Dewi Malam.
“Hm.... Sebentar lagi pagi akan datang. Kau pasti
sangat lelah, Sumi. Sebaiknya pergilah beristirahat
Kami berdua mohon pamit untuk melanjutkan perja-
lanan. Di samping itu kami akan berusaha mencari Ki
Sutra dan kawan-kawannya. Tentu saja kalau kau ti-
dak keberatan...,” ujar Kenanga segera bangkit dari
duduknya.
“Kurasa tidak perlu, Kenanga. Mereka pasti tidak
akan berani datang ke tempat ini...,” sahut Narasumi
sesal. Karena jawaban itu pasti akan membuat kedua
penolongnya kecewa.
“Baiklah jika memang demikian keputusanmu...,”
tukas Kenanga kecewa. Ia memang merasa kasihan
dan ingin meringankan beban gadis cantik itu. Tapi ji-
ka orang yang ingin ditolongnya tidak menghendaki, ia
pun tidak memaksa.
Kenanga dan Panji berpamitan. Sepasang pendekar
muda itu meninggalkan rumah besar Ki Ganda Pasa
dengan diiringi lambaian tangan Narasumi yang men-
gantar sampai halaman depan.
Narasumi berdiri mematung menatap bayangan
Panji dan Kenanga yang semakin jauh. Gadis cantik
itu baru melangkah masuk ketika sosok kedua peno-
longnya lenyap di keremangan fajar.
EMPAT
“Tuan Muda Yudha Pasa...!”
Lelaki bertubuh kurus yang tengah menyapu hala-
man rumah besar itu berlari tergopoh-gopoh menyam-
but kedatangan seorang penunggang kuda. Sedangkan
penunggang kuda bertubuh gemuk itu tidak menggu-
brisnya. Ia langsung melompat turun dari atas pung-
gung kuda. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan.
Bahkan terkesan tengah memendam kemarahan.
“Ramin! Katakan kepada Narasumi aku ingin me-
nemuinya...,” ujar lelaki gemuk yang tidak lain Yudha
Pasa, tanpa senyum sedikit pun. Suaranya terdengar
kaku, tidak seperti biasanya. Hingga membuat Ramin
agak takut.
“Baik, Tuan Muda...,” sahut Ramin cepat Lalu berla-
ri-lari memasuki bangunan besar itu.
Yudha Pasa sendiri melangkah lebar memasuki
ruang utama rumah besar itu. Kemudian menghem-
paskan tubuhnya ke kursi. Terdengar helaan napas
panjangnya. Wajah Yudha Pasa tetap keruh. Jelas ter-
lihat kalau lelaki gemuk berusia sekitar tiga puluh lima
tahun ini sedang tidak senang hatinya.
Tidak berapa lama kemudian Narasumi muncul.
Gadis cantik itu kelihatan sangat heran dengan keda-
tangan kakak tertuanya. Apalagi ketika mendapati wa-
jah Yudha Pasa seperti memendam kemarahan. Hingga
kening Narasumi berkerut dalam.
“Ada keperluan apa, Kakang? Kelihatannya kau
tengah memendam sesuatu...?” tegur Narasumi yang
segera menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah depan
Yudha Pasa. Sehingga mereka saling berhadapan satu
sama lain.
“Hm.... Jujurlah, Sumi! Apakah ayah meninggalkan
pesan sebelum kepergiannya?” nada pertanyaan Yudha
Pasa terdengar datar dan berbau kecurigaan, membuat
Narasumi agak tersentak.
“Apa maksudmu, Kakang...?” tanya Narasumi pena-
saran. Gadis itu tidak mengerti tujuan pertanyaan ka-
kak tertuanya.
“Jangan berpura-pura dungu, Sumi! Sebelum me-
ninggal, ayah pasti meninggalkan pesan kepadamu.
Karena menurut Ramin, kaulah yang menung-
guinya...!”
Suara Yudha Pasa semakin meninggi. Bahkan ia
sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya wajah Nara-
sumi lekat-lekat, seperti hendak menegasi kalau-kalau
adiknya berdusta.
Melihat sikap kakaknya yang semakin aneh, Nara-
sumi terdiam. Gadis itu tengah mengingat-ingat saat
terakhir kehidupan ayahnya.
“Yahhh.... Sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir, ayah memang mengatakan sesuatu kepada-
ku...,” desah Narasumi perlahan. Tapi terdengar cukup
jelas di telinga Yudha Pasa.
“Hm.... Apa yang dikatakannya...?” desak Yudha Pa-
sa bernafsu sekali.
“Ayah meminta agar aku segera pergi meninggalkan
tempat ini setelah penguburannya. Beliau menyuruh-
ku supaya menjual rumah ini. Lalu aku mencari kehi-
dupan di tempat lain...,” ujar Narasumi mengulang pe-
san terakhir ayahnya.
“Hanya itu...?”
“Ya. Hanya itu....”
“Hm.... Kau pasti berdusta, Sumi! Aku tidak percaya
hanya itu yang dipesankan ayah sebelum kematian-
nya! Pasti masih ada pesan-pesan yang lain...,” tukas
Yudha Pasa tidak percaya dengan keterangan adiknya.
“Hm.... Rupanya kau lebih tahu dariku, Kakang!
Coba katakan, apa lagi yang dipesankan ayah kepada-
ku?” sinis sekali ucapan yang dikeluarkan Narasumi.
Gadis itu rupanya benar-benar jengkel melihat sikap
kakak sulungnya.
Yudha Pasa tidak berkata-kata lagi. Dikeluarkannya
sehelai surat dari dalam pakaiannya. Lalu diletakkan
dengan kasar di atas meja.
“Coba kau baca surat ini!”
Kening Narasumi berkerut semakin dalam, heran
melihat kakak tertuanya meletakkan sehelai surat di
hadapannya. Gadis cantik itu mulai curiga ada sesua-
tu yang telah terjadi pada diri Yudha Pasa. Karena se-
waktu meninggalkan rumah ini, setelah selesai men-
guburkan jenazah ayahnya, Yudha Pasa tidak berkata
apa-apa. Apalagi menyinggung mengenai pesan terak-
hir ayah mereka. Maka aneh sekali jika hari ini kakak
tertuanya datang hanya untuk bertanya mengenai hal
itu.
“Bacalah...!” ujar Yudha Pasa melihat Narasumi be-
lum juga menyentuh surat yang diberikannya.
“Dari mana kau dapatkan surat itu, Kakang?” tanya
Narasumi, tanpa mempedulikan ucapan kakaknya.
“Aku sendiri tidak tahu. Surat itu telah ada di atas
meja sewaktu aku baru pulang dari membeli rempah-
rempah di kadipaten. Tidak seorang pun yang menge-
tahui siapa pengantar surat itu!” sahut Yudha Pasa
dengan jengkel.
Mendengar jawaban kakaknya, Narasumi terdiam.
Lalu dibacanya isi surat itu. Wajah gadis itu berubah
seketika. Isi surat itu benar-benar membuatnya terke-
jut.
“Hm.... Aku sudah bisa menebak siapa yang mengirimkan surat ini kepadamu, Kakang...,” desis Narasu-
mi seraya menatap wajah kakaknya dengan sorot mata
tajam. “Bodoh sekali kalau kau mempercayainya begitu
saja....”
Yudha Pasa tentu saja kaget mendengar ucapan
adiknya. Bagaimana mungkin gadis cantik itu bisa
menebak siapa pengirim suara itu. Sedangkan ia sen-
diri tidak bisa menduga.
“Apa maksudmu, Sumi...?” tanya Yudha Pasa se-
raya kembali duduk di hadapan adiknya. Ditatapnya
wajah cantik itu lekat-lekat.
“Kau ingat tiga lelaki tua yang datang ke sini sebe-
lum penguburan ayah?” tanya Narasumi sebelum men-
jawab pertanyaan kakaknya.
Yudha Pasa mengangguk. Kemudian, Narasumi pun
menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.
“Hm....”
Yudha Pasa bergumam setelah mendengar cerita
adiknya. Lelaki gemuk itu bangkit dari duduknya dan
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di bela-
kang tubuh.
“Pantas ayah hampir tidak pernah berbicara kepada
kita. Rupanya ia menyimpan sesuatu yang sangat ber-
harga. Jika demikian, aku akan memeriksa kamar-
nya....”
Setelah berkata demikian, Yudha Pasa melangkah
lebar meninggalkan Narasumi. Dan terus menuju be-
lakang bangunan tempat ayahnya tinggal.
“Kakang, tunggu...!”
Narasumi yang tidak menyangka kakaknya berpikir
demikian, berusaha mencegah. Gadis itu melompat
dan menghadang lelaki gemuk itu.
“Jangan halangi aku, Sumi! Kalau benda-benda itu
ada, aku harus mendapatkannya. Ingat! Aku adalah
anak tertua keluarga ini. Aku mempunyai hak untuk
memiliki benda-benda itu...!” tegas Yudha Pasa yang
kelihatan sudah tidak bisa menahan keinginannya un-
tuk memiliki peninggalan orangtuanya.
“Tidak, Kakang! Kalau ayah sampai merahasiakan-
nya kepada kita, jelas beliau tidak menghendaki wari-
san itu jatuh ke tangan putra-putrinya! Meskipun kita
tidak tahu alasannya, tapi kita harus menghormatinya,
Kakang!”
Narasumi berusaha mencegah niat kakak tertua-
nya. Gadis cantik itu percaya ayahnya mempunyai ala-
san kuat untuk merahasiakan semua itu kepada anak-
anaknya. Narasumi merasa harus menghormati sikap
orang tua itu.
“Hm.... Aku tidak peduli dengan segala alasan ayah!
Pokoknya aku harus mendapatkan benda-benda itu.
Titik!” tukas Yudha Pasa yang kelihatan sudah tidak
bisa dicegah lagi. Kemudian lelaki gemuk itu melang-
kah maju, dan mengibaskan lengannya hendak me-
nyingkirkan adiknya yang menghalangi jalan.
Plak!
“Eh...?!”
Tapi Narasumi bertahan. Gadis cantik itu mene-
piskan lengan kakaknya. Hingga Yudha Pasa tersentak
kaget. Tangkisan adiknya mengandung kekuatan tena-
ga dalam. Jelas Narasumi tidak akan membiarkannya
mendapatkan benda-benda warisan itu.
“Menyingkirlah, Sumi! Kalau tidak, aku tidak akan
peduli kau adalah adikku...!” ancam Yudha Pasa, san-
gat marah dengan tindakan Narasumi yang berani me-
nentangnya.
“Tidak, Kakang! Biar bagaimanapun aku tidak akan
membiarkanmu mengusik kamar ayah. Aku tidak pe-
duli apa yang akan kau lakukan terhadapku. Dan lagi
kita masih mempunyai dua orang saudara, yang harus
mengetahui persoalan ini...!” bantah Narasumi bersike-
ras. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap untuk me-
lawan segala tindakan Yudha Pasa.
“Hm.... Aku sudah tahu apa yang kalian pere-
butkan! Dan aku setuju dengan tindakan Kakang
Yudha...!”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan
Yudha Pasa dan Narasumi. Cepat keduanya menoleh.
Dan....
“Rengga...?!”
Hampir bersamaan mereka berseru kaget ketika
mengenali lelaki tegap yang bersandar di palang pintu.
Di tangan lelaki tegap yang tidak lain Rengga Pasa itu
terlihat sepucuk surat yang sama persis dengan surat
Yudha Pasa. Agaknya Rengga Pasa telah menerima su-
rat serupa.
“Hm.... Kalian sama saja!” geram Narasumi begitu
mendengar ucapan Rengga Pasa, kakaknya yang ke-
dua. Lelaki tegap itu pun menghendaki warisan ayah
mereka. Rupanya Ki Sutra telah menempuh cara lain
untuk mendapatkan apa yang dicarinya. Dan, sasa-
rannya putra-putra Ki Ganda Pasa.
“Hm.... Apa kau hendak menguasai sendiri warisan
itu, Sumi?” tukas Rengga Pasa sinis. Hingga wajah Na-
rasumi menjadi gelap. Gadis cantik itu merasa tersing-
gung dengan ucapan kakaknya itu.
“Kalian berdua keliru! Sadarkah kalian kalau pengi-
rim surat itu jelas hendak mengadu domba! Manusia-
manusia licik itu akan bersorak bila usaha mereka
berhasil!”
Narasumi berusaha mengingatkan kedua kakaknya
tentang orang ketiga. Sayang usahanya tidak berhasil.
Yudha Pasa dan Rengga Pasa tidak menggubris ucapan
adiknya. Bahkan keduanya hendak melanjutkan niat
mereka.
“Berhenti...! Kalau tidak, terpaksa aku menghadapi
kalian berdua...!” bentak Narasumi yang langsung
membuka jurus, siap menghadapi kedua kakak kan-
dungnya.
“Kau benar-benar serakah, Sumi! Kami tentu saja
tidak akan mengambil semua warisan ayah. Tapi
hanya sebagian. Kau pun akan mendapatkan ba-
gian...,” bujuk Rengga Pasa, karena tidak ingin terjadi
perkelahian di antara mereka.
“Tidak! Sekali lagi tidak! Walaupun warisan itu milik
orangtua kita, tapi tak seorang pun boleh menyentuh-
nya! Beliau jelas-jelas tidak menghendaki! Karena tak
satu pesan pun yang ditinggalkannya...,” tegas Nara-
sumi tetap mempertahankan pendapatnya. Kelihatan-
nya pendirian Narasumi memang tidak bisa dirubah
lagi.
“Hm....”
Yudha Pasa marah sekali melihat kekerasan sikap
adiknya. Ia melangkah maju tanpa mempedulikan si-
kap Narasumi.
“Maaf, Kakang....”
Sambil berkata demikian, Narasumi melontarkan
pukulan untuk mencegah langkah Yudha Pasa. Ru-
panya ancaman gadis cantik itu hendak dibuktikan-
nya.
Whuuut..!
Pukulan Narasumi menyambar lewat di samping
tubuh Yudha Pasa. sebab lelaki gemuk itu sudah ke-
buru memiringkan tubuhnya dengan geseran langkah
ke kanan.
“Jangan memaksaku, Sumi...!” seru Yudha Pasa se-
raya melompat pendek ketika Narasumi menyusuli serangannya yang gagal. Lelaki gemuk itu tampaknya
sudah kehilangan kesabaran.
“Kaulah yang memaksaku, Kakang! Sampai mati
pun aku tidak akan rela kalian merusak kamar
ayah...!” teriak Narasumi kembali menyiapkan seran-
gan berikutnya. Agaknya gadis cantik itu tidak lagi
memandang Yudha Pasa sebagai kakak kandungnya.
Tapi seorang musuh yang harus dihadapi.
“Hm.... Jangan salahkan aku bila terpaksa menya-
kitimu...!” geram Yudha Pasa melihat kebandelan
adiknya. Setelah berkata demikian, lelaki gemuk itu
menyiapkan jurus-jurus untuk menghadapi Narasumi.
“Hahhh...!”
Dibarengi sebuah bentakan yang mengejutkan,
Yudha Pasa bergerak ke depan. Kedua tangannya ber-
putar cepat dengan gerakan mantap, hingga mener-
bitkan deruan angin keras. Yudha Pasa sudah tidak
lagi mengingat pertalian darah di antara mereka.
Menyadari kakaknya bersungguh-sungguh, Nara-
sumi segera menyambut serangan itu. Dengan langkah
menyilang, gadis cantik itu bergerak maju. Sehingga
dalam waktu singkat kedua saudara kandung itu telah
saling gempur dengan hebatnya.
Melihat kedua saudaranya sudah saling gempur,
Rengga Pasa segera mengambil keuntungan. Tubuhnya
bergerak menjauhi arena perkelahian. Kemudian me-
nyelinap diam-diam menuju kamar ayahnya. Betapa li-
ciknya putra kedua Ki Ganda Pasa itu.
“Haiiit..!”
Narasumi tidak tinggal diam. Meskipun saat itu
tengah bertarung dengan kakak tertuanya, mata gadis
itu sempat melirik ke arah sosok Rengga Pasa yang
berkelebat Narasumi langsung meninggalkan arena
dan mencegah lelaki tegap itu.
Whuuut..!
“Haiiit..!”
Rengga Pasa segera menarik mundur tubuhnya tiga
langkah ketika mendengar deru angin pukulan dari
arah samping. Dan ketika Narasumi melanjutkan se-
rangan, ia pun tidak tinggal diam. Rengga Pasa melon-
tarkan serangan balasan yang cepat dan kuat.
Whuuut, plak...!
“Aihhh...?!”
Benturan kedua lengan itu membuat Narasumi ter-
pekik. Tubuhnya terjajar limbung. Dalam hal kekuatan
tenaga dalam, Rengga Pasa memang paling unggul di
antara saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Yudha
Pasa pun tidak akan menang melawannya. Jadi tidak
terlalu aneh bila benturan itu merugikan Narasumi.
Kali ini Yudha Pasa yang mengambil kesempatan,
ketika melihat tubuh adik perempuannya terjajar lim-
bung. Telapak tangannya terayun deras ke arah Nara-
sumi. Akibatnya....
Plak!
“Ugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gadis itu terhuyung
berputaran. Walaupun tamparan keras itu tidak mem-
buatnya jatuh, namun cukup menyakitkan dan terasa
nyeri sampai ke tulang.
Tapi bukan tamparan itu yang membuat Narasumi
meringis. Hatinya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk.
Kalau saja tamparan itu bukan datang dari saudara
kandungnya, tentu ia tidak akan sesakit itu. Tapi ke-
nyataannya saudara kandungnya sendiri yang mela-
kukan. Maka....
Srat!
Seketika memancar secercah sinar putih berkilat.
Dan di tangan gadis cantik itu tergenggam sebatang
pedang!
“Sumi! Kau gila...?!”
Yudha Pasa tidak menyangka kalau Narasumi akan
menggunakan pedang dalam perkelahian itu. Lelaki
gemuk itu terbelalak dan melangkah mundur dengan
wajah tegang! Jelas, perkelahian itu sudah bukan
main-main lagi.
“Kalian berdualah yang gila! Meskipun kalian ting-
gal jauh, jangan dikira aku tidak tahu kebiasaan jelek
kalian! Jika benar warisan ayah berupa harta, pasti
akan kalian pergunakan untuk membayar hutang dan
berjudi! Nah. Kalian tidak membantahnya, bukan...?”
ujar Narasumi berapi-api seraya menudingkan ujung
pedangnya ke wajah Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Se-
hingga, wajah kedua kakaknya merah padam.
“Perempuan sundal! Apa hakmu mengurusi kehidu-
panku! Apa pun yang akan kulakukan dengan harta
warisan itu tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Le-
bih baik urus dirimu, dan jangan pedulikan kami!”
bentak Yudha Pasa marah mendengar Narasumi me-
nyinggung kehidupan pribadinya.
“Benar! Sebaiknya kau menyingkir! Kau akan men-
dapat bagian dari warisan ayah...!” Rengga Pasa me-
nimpali dengan suara yang sama kerasnya.
Tampaknya perselisihan mereka tidak mungkin da-
pat dilerai lagi.
“Baik! Kalau demikian, jangan salahkan aku yang
terpaksa melawan kalian berdua!” tandas Narasumi te-
gas.
Pedang di tangannya berputar menimbulkan deruan
angin tajam. Gadis cantik itu lebih rela mati daripada
membiarkan perbuatan kedua kakak kandungnya.
“Keras kepala...!” bentak Yudha Pasa semakin kalap
Begitu ucapannya selesai, tubuhnya langsung me-
layang menerjang Narasumi. Serangannya tidak main-
main lagi. Terbukti dari kuatnya sambaran angin pu-
kulan yang dikerahkan Yudha Pasa.
“Perempuan tolol...!”
Rengga Pasa pun tidak tinggal diam. Tubuhnya me-
lesat ke depan dengan serangan-serangan berbahaya.
Ia tidak peduli lagi serangan itu dapat membahayakan
keselamatan adik kandungnya.
***
“Haiiit..!”
Meskipun dikeroyok dua kakaknya, pendirian Nara-
sumi tidak berubah. Serangan-serangannya terlihat
ganas dan mematikan.
Begitu juga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Kedua le-
laki itu tidak lagi main-main dalam melancarkan se-
rangan. Bahkan telah mengeluarkan jurus-jurus anda-
lan yang berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian.
Tampaknya ketiga saudara kandung itu sudah dirasu-
ki setan.
Perkelahian semakin seru dan bergeser ke halaman
depan. Sampai sejauh itu, Narasumi masih bisa berta-
han dengan gulungan sinar pedangnya. Tapi ketika
pertarungan menginjak jurus kedua puluh, gadis can-
tik itu mulai terdesak dan semakin sulit mengembang-
kan permainan pedangnya. Bahkan pada jurus-jurus
selanjutnya Narasumi tidak mampu lagi melancarkan
serangan balasan, dan hanya mampu bertahan.
“Hahhh...!”
Pada satu kesempatan, Yudha Pasa membentak ke-
ras! Dan melepaskan sebuah tendangan cepat ke ping
gul Narasumi. Padahal saat itu Narasumi tengah ter-
huyung oleh desakan kedua kakaknya. Sehingga....
Desss...!
“Akh...!?”
Tendangan keras Yudha Pasa telak mengenai sasa-
ran. Akibatnya, tubuh gadis cantik itu jatuh terguling-
guling. Dan bangkit terpincang-pincang.
“Haaat..!”
Rengga Pasa tidak mau melewatkan kesempatan
baik itu. Tubuhnya langsung melesat ke depan dengan
dorongan kedua telapak tangan. Dan....
Bresssh!
“Akh...!”
Tubuh Narasumi yang belum berdiri kokoh, terpen-
tal keras memuntahkan darah segar! Wajah gadis can-
tik itu tampak pucat ketika mencoba bangkit berdiri.
Dorongan telapak tangan Rengga Pasa telah menyum-
bat jalan nafasnya untuk beberapa saat.
Tapi, penderitaan gadis cantik itu tidak membuat
kedua kakaknya iba. Bahkan Yudha Pasa melompat
hendak menghabisi nyawa adik perempuannya itu.
“Yeaaat...!”
Yudha Pasa meluncur deras dengan tendangan ter-
bang yang sangat berbahaya. Bayangan warisan ayah-
nya membuat lelaki gemuk itu tidak peduli lagi terha-
dap adik kandungnya. Dan....
“Haaat..!”
Pada saat nyawa Narasumi bagai telur di ujung tan-
duk, mendadak melayang sesosok bayangan yang
langsung memapaki tendangan Yudha Pasa. Sehing-
ga....
Prattt..!
Tak ayal lagi, benturan pun terjadi! Yudha Pasa
maupun penolong Narasumi terpental balik. Kendati
demikian, keduanya dapat meluncur turun dengan
baik Itu membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam
mereka seimbang!
“Bangga...?!”
Ketiga saudara yang bertarung itu berteriak kaget
bercampur heran. Sosok tinggi besar yang menyela-
matkan Narasumi adalah putra ketiga Ki Ganda Pasa.
Ia adalah Bangga Pasa! Saat kemunculan perwira itu
sangat tepat Sebab terlambat sedikit saja sulit dapat
dipastikan Narasumi masih hidup.
“Apa kalian sudah gila...?!” bentak Bangga Pasa se-
raya menatap ketiga saudaranya dengan mata merah.
Rupanya ia sangat marah melihat perkelahian itu.
“Apa sebenarnya yang terjadi sampai kalian hendak
saling berbunuhan dengan saudara sendiri? Kalian
semua benar-benar tersesat!”
Ucapan Bangga Pasa membuat ketiga saudaranya
terdiam. Mereka masih terkejut dengan kedatangan le-
laki tinggi besar itu. Suasana hening seketika. Tidak
satu pun dari ketiga orang itu berbicara atau memban-
tah perkataan Bangga Pasa.
“Hm.... Mengapa diam? Apa kalian bisu...?”
Bangga Pasa kembali melanjutkan ucapannya keti-
ka tak seorang pun menyahuti. Sepasang matanya
yang tajam dan berpengaruh menatap wajah saudara-
saudaranya.
“Sebenarnya semua ini tidak perlu terjadi kalau saja
Sumi tidak memulainya...,” akhirnya Yudha Pasa
membuka suara. Lelaki gemuk itu menyalahkan Nara-
sumi.
“Benar. Narasumi-lah yang memulai semua ini...,”
timpal Rengga Pasa.
“Pengecut! Mengapa kalian menyalahkan aku? Men-
gapa tidak kalian katakan penyebab yang sebenarnya?
Dasar busuk!” kecam Narasumi, yang tentu saja tidak
ingin dirinya disalahkan.
Bangga Pasa menghela napas panjang. Lelaki tinggi
besar itu terdiam sesaat seraya tetap mengawasi ketiga
saudaranya. Tampaknya ia tidak berpihak kepada sia-
pa pun.
“Coba jelaskan padaku, apa sebenarnya yang mem-
buat kalian bertarung mati-matian? Tapi jangan kata-
kan kalau semua ini disebabkan oleh sepucuk surat
gelap yang membuatku menyempatkan diri datang ke
tempat ini...,” ujar Bangga Pasa, membuat ketiga sau-
daranya terkejut.
“Jadi..., kau pun menerima surat gelap itu...?” tanya
Yudha Pasa seraya menatap wajah adiknya. Ia sung-
guh tidak menduga kalau Bangga Pasa mendapat su-
rat serupa dengannya, mengingat adik ketiganya itu
seorang perwira kerajaan yang tentu saja tempat ting-
galnya dijaga siang malam.
“Hm.... Pertanyaanmu merupakan jawaban kalau
pertumpahan darah yang nyaris terjadi disebabkan su-
rat gelap ini...,” ujar Bangga Pasa sambil menunjukkan
surat yang diterimanya. Ia tidak perlu lagi menjawab
pertanyaan kakak tertuanya.
“Sebenarnya kami hanya ingin mengambil bagian
dari warisan ayah. Tapi Sumi berkehendak lain. Ia le-
bih suka ada perkelahian di antara kita daripada
memberitahukan di mana warisan ayah disimpan,” ja-
wab Yudha Pasa, membuat Bangga Pasa semakin
mengerti penyebab pertarungan ketiga saudaranya itu.
“Benar begitu, Sumi...?” tanya Bangga Pasa pada
adiknya.
“Aku hanya tidak ingin mereka berbuat semaunya
dengan mengaduk-aduk kamar ayah. Selain itu, aku
tidak rela warisan ayah dipergunakan untuk jalan sesat Itu saja...,” jawab Narasumi sejujurnya. Sehingga
Bangga Pasa mengangguk Ia sudah mengerti apa yang
menimpa saudara-saudaranya.
“Sikap Sumi tidak salah, walaupun tidak bisa ku
benarkan. Ayah kita belum lagi tenang di alam sana,
lalu mengapa kita sudah meributkan warisannya? Bu-
kankah itu tidak pantas? Sebaiknya kita berkumpul
dan merundingkan hal ini. Mengenai warisan itu, aku
kira belum tentu benar. Kita harus menyelidikinya le-
bih dulu. Siapa tahu pengirim surat ini hanya mengin-
ginkan perpecahan di antara kita...,” ujar Bangga Pasa
bijaksana, membuat saudara-saudaranya terdiam. Ka-
rena ucapan itu tidak bisa dibantah kebenarannya.
Melihat ketiga saudaranya seperti menyetujui uca-
pannya, Bangga Pasa mengangguk puas. Ia merasa
bersyukur kemunculannya belum tertambat Sehingga
pertumpahan darah di antara mereka tidak sampai ter-
jadi.
“Kelihatannya kau tidak yakin ayah menyimpan wa-
risan seperti yang disebutkan surat gelap itu, Bang-
ga...?” tanya Yudha Pasa dengan pandang mata mere-
dup. Sikapnya menunjukkan kecurigaan. Putra tertua
Ki Ganda Pasa itu khawatir adiknya hanya berpura-
pura, karena ingin memiliki warisan itu seorang diri.
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang.
Kedatanganku kemari bukan karena menginginkan
warisan itu. Tapi hanya ingin menyelidiki dan menge-
tahui kebenarannya. Sebab mengenai kebutuhan hi-
dup, aku tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Sebagai
seorang perwira, aku sudah bisa hidup berkecukupan
tanpa harus memikirkan warisan mendiang ayah kita.
Kuharap, kau tidak berpikiran buruk mengenai kebe-
radaanku di sini...,” sahut Bangga Pasa tanpa maksud
menyombongkan kedudukannya. Sehingga Yudha Pasa
menjadi malu sendiri.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya...?”
Rengga Pasa segera menyelak karena tidak sabar men-
dengar pembicaraan saudara-saudaranya.
“Hm.... Sebaiknya kita bicarakan persoalan ini di
dalam...,” sahut Bangga Pasa, dan langsung disetujui
saudara-saudaranya. Kemudian lelaki tinggi besar itu
melangkah masuk diikuti yang lainnya.
***
LIMA
“Isi surat ini belum pasti kebenarannya. Mungkin
benar yang dikatakan Sumi, kalau pengirim surat ini
ketiga orang tua yang datang saat ayah kita akan di-
kuburkan. Rupanya mereka menempuh cara lain un-
tuk mendapatkan apa yang mereka cari. Aku yakin Ki
Sutra dan kawan-kawannya akan muncul kembali.
Tapi yang jelas, aku masih ragu akan kebenaran wari-
san itu...,” ujar Bangga Pasa yang rupanya telah men-
dengar cerita Narasumi. Baru kemudian ia dapat me-
nyimpulkan persoalan yang tengah mereka hadapi.
“Kau salah, Bangga. Aku yakin warisan itu pasti
ada. Kalau tidak, untuk apa mereka mempertaruhkan
nyawa mencarinya ke rumah ini?” bantah Yudha Pasa
yang memang merasa yakin akan kebenaran isi surat
gelap itu. Alasan yang dikemukakannya sangat masuk
akal.
“Kalau benar begitu, mengapa selama ini ayah me-
rahasiakannya? Bahkan sampai akhir hidupnya beliau
tidak berpesan apa-apa. Malah menyuruh Sumi me-
ninggalkan tempat ini dan mencari kehidupan di tempat lain. Apa sebenarnya tujuan ayah...?” Rengga Pasa
ikut menimpali pembicaraan itu. Ucapannya membuat
saudara-saudaranya terdiam memikirkan keanehan
sikap mendiang ayah mereka.
“Hhh.... Entah apa yang sudah diperbuat ayah se-
masa mudanya dulu. Beliau pasti mempunyai alasan
kuat. Sayang yang disembunyikan selama hidup malah
diketahui orang lain. Menurutku, Ki Sutra dan kawan-
kawannya pasti mempunyai hubungan erat dengan
masa lalu ayah. Ini yang perlu kita ketahui...,” ujar
Bangga Pasa, setelah mendengar pendapat saudara-
saudaranya.
“Hm.... Sebenarnya aku lebih cenderung untuk
mencari warisan itu lebih dulu. Baru kemudian kita
pikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana...?” usul
Yudha Pasa setelah mereka terdiam beberapa saat.
Narasumi langsung menoleh ke arah Bangga Pasa.
Kelihatannya ia menyerahkan keputusan kepada ka-
kaknya yang menjadi perwira kerajaan itu. Gadis can-
tik ini memang lebih dekat dan lebih percaya kepada
kakaknya yang ketiga daripada yang lainnya.
“Hm...!”
Bangga Pasa tidak segera memutuskan. Lelaki ting-
gi besar ini terdiam beberapa saat memikirkan jalan
terbaik untuk semuanya.
“Bagaimana, Sumi...?” Bangga Pasa menoleh kepa-
da adiknya, dan menanyakan pendapat gadis itu.
“Aku menyerahkan keputusan padamu, Kakang.
Kalau saja sejak semula kita bicara seperti ini, rasanya
perkelahian yang hampir menewaskanku tadi tidak
perlu terjadi...,” jawab Narasumi sambil menyindir ka-
kak tertuanya.
Tadi Yudha Pasa memang menjumpainya dalam
keadaan marah dan berwajah masam. Sehingga gadis
itu tidak senang dan merah kepada kakak tertuanya
itu. Kalau sekarang ia setuju, itu karena mereka mem-
bicarakannya dengan baik-baik dan secara kekeluar-
gaan. Itu sebenarnya yang diinginkannya.
“Nah! Jika demikian, mari sekarang kita periksa
kamar ayah....”
Bangga Pasa menyetujui usul kakaknya. Karena
Narasumi telah menyerahkan persoalan ini kepadanya.
Sementara ia sendiri memang ingin menyelidiki kebe-
naran isi surat gelap itu.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas bangkit
dan melangkah lebar meninggalkan ruang tengah ini.
Tidak ada lagi ketegangan di antara mereka. Walau
masih terselip sedikit ganjalan di hati Narasumi. Tapi,
gadis cantik itu tidak berkata apa-apa.
Bangga Pasa menghentikan langkah tepat di depan
kamar ayahnya. Kendati sudah diceritakan Narasumi,
tetap saja ia menggeleng-gelengkan kepala melihat isi
kamar berantakan. Kemudian lelaki tinggi besar itu
melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti yang lain-
nya.
“Mari kita periksa seluruh isi kamar ini. Tapi ingat,
kita harus merapikannya kembali...,” ujar Bangga Pasa
memimpin saudara-saudaranya.
Mulailah mereka memeriksa seluruh isi kamar. Se-
tiap jengkal tidak mereka lewati. Bahkan dinding-
dinding kamar mereka periksa seluruhnya. Sebab,
mungkin saja masih ada kamar lain di balik dinding-
dinding itu.
“Tidak ada...,” desis Yudha Pasa setelah memeriksa
hampir seluruh isi kamar, dan tidak menemukan apa
yang dibayangkannya. Jangankan tumpukan harta,
sebutir permata pun tidak. Lelaki gemuk itu merasa
kecewa sekali.
“Ayah tidak bodoh...,” gumam Bangga Pasa yang ju-
ga tidak menemukan sesuatu yang berharga di kamar
itu. Ucapan itu membuat yang lainnya menoleh dan
menatap lelaki tinggi besar itu meminta penjelasan.
“Apa maksudmu, Bangga...?” tanya Yudha Pasa pe-
nasaran. Sebab adiknya itu sudah melangkah keluar
kamar. Ia pun bergegas mengikuti.
“Mengapa kita begitu tolol! Sudah pasti ayah akan
menyembunyikannya di tempat lain, yang tidak diduga
siapa pun!” jawab Bangga Pasa tanpa menghentikan
langkahnya. Lelaki itu kembali ke ruang tengah rumah
besar ini.
“Lalu di mana...?” tanpa sadar Yudha Pasa melon-
tarkan pertanyaan bodoh itu. Karena ia benar-benar
merasa kecewa.
“Aku tidak tahu. Sebaiknya malam ini kita mengi-
nap. Besok baru kita mengadakan pencarian besar-
besaran. Kita geledah seluruh ruangan dan setiap
jengkal tanah di sekitar bangunan ini. Kalau benar wa-
risan itu ada, aku yakin kita pasti menemukannya...,”
jawab Bangga Pasa bersemangat
“Kalau begitu, sebaiknya aku segera beristirahat...,”
ujar Yudha Pasa dan bergegas meninggalkan tempat
itu.
Lelaki gemuk itu menuju kamarnya tempat dahulu
ia tinggal. Kamar itu memang dibiarkan kosong seperti
kamar-kamar lainnya. Walaupun selalu dibersihkan
pelayan keluarga itu.
Sepeninggal Yudha Pasa, Rengga pun minta diri un-
tuk beristirahat Kemudian Bangga Pasa menyusul. Na-
rasumi segera bangkit dan melangkah ke kamarnya.
Sehingga, ruangan itu kembali sunyi seperti biasa.
***
Malam semakin larut Udara di luar terasa dingin
menyentuh kulit Angin sesekali berhembus keras
membawa titik-titik air. Meskipun begitu, hujan tidak
juga turun. Mendung memang tidak begitu tebal.
Dalam cuaca seperti itu ternyata masih ada juga
orang yang berkeliaran di luar rumah. Meskipun gera-
kan mereka cukup cepat dan sulit dikenali, tapi jelas
ketiga sosok tubuh yang berlari itu adalah manusia,
bukan hantu atau sebangsanya. Tujuan mereka ada-
lah rumah besar milik Ki Ganda Pasa yang terpencil
dan tersembunyi.
Dengan ringan dan hampir tidak mengeluarkan
bunyi, ketiga sosok itu bergerak mendekati jendela
kamar salah seorang putra Ki Ganda Pasa. Ketiganya
berhenti sebentar mengawasi sekeliling. Merasa aman,
lelaki pertama mencoba membuka jendela kamar itu
secara paksa, meski tetap menimbulkan kesan hati-
hati sekali.
Tapi penghuni kamar itu bukan orang sembaran-
gan. Yudha Pasa yang semula tertidur lelap tersentak
bangkit ketika mendengar suara yang mencurigakan.
Dan....
“Kurang ajar...!” desis lelaki gemuk itu geram ketika
melihat daun jendela kamarnya perlahan membuka.
Baru saja ia hendak melompat turun dari atas pemba-
ringan, tiba-tiba melesat sebentuk benda kecil panjang
ke arahnya.
“Haiiit..!”
Dengan sigap Yudha Pasa mengelak sambil mengu-
lurkan tangannya yang terlindung lilitan pakaian. Se-
kali sambar, benda kecil panjang itu terjatuh ke lantai.
Ternyata benda itu hanya sebatang ranting sebesar jari
kelingking!
Yudha Pasa semula hendak mengejar penyerang gelap itu, tapi gerakannya ditunda, la melihat ada benda
putih yang digunakan untuk membungkus ranting po-
hon itu. Langsung saja disambarnya ranting itu.
Kening lelaki gemuk itu berkerut ketika mendapati
kain putih bertuliskan beberapa baris kalimat Cepat
dibukanya gulungan kain itu. Dan dibacanya perlahan.
Kalau kau menginginkan bagian yang lebih besar
dari warisan Ki Ganda Pasa, temui kami di batas Desa
Koneng....
“Hm....”
Yudha Pasa meremas kain di tangannya. Pesan da-
lam kain itu sangat singkat, dan tanpa nama pengirim.
Hingga lelaki gemuk itu penasaran. Apalagi tulisan itu
menyebutkan tentang warisan. Maka tanpa banyak
cakap lagi, Yudha Pasa segera berkemas untuk meme-
nuhi pesan itu. Bayangan warisan yang memenuhi pi-
kirannya membuat Yudha Pasa langsung menyelinap
keluar tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Se-
bentar saja lelaki gemuk itu sudah melesat menuju
tempat yang tertulis di dalam sobekan kain yang masih
berada dalam genggaman tangannya.
Perbatasan Desa Koneng tidak terlalu jauh. Dalam
waktu singkat, Yudha Pasa sudah tiba di tempat yang
dituju. Ia menghentikan langkah dan memandang ber-
keliling. Tak ada seorang pun di tempat itu.
“Hm.... Kau benar-benar bernyali naga, Yudha Pasa!
Aku kagum kepadamu. Itu sebabnya aku memilihmu
untuk bergabung....”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat. Yudha Pasa
segera menoleh dengan sikap waspada. Jari-jari tan-
gannya meraba gagang pedang di pinggangnya.
“Siapa kau...?” bentak Yudha Pasa ketika melihat
tiga sosok bayangan muncul dari balik semak-semak
di kanannya.
“Tidak perlu setegang itu, Yudha Pasa. Kami men-
gundangmu dengan niat baik....”
Kembali suara berat itu terdengar. Dan ketika keti-
ga orang itu sudah dekat, Yudha Pasa segera mengena-
li mereka sebagai orang-orang yang datang mencari
ayahnya. Dari cerita adik perempuannya, ia tahu salah
satu dari mereka bernama Ki Sutra. Tapi ia tidak bisa
menebak yang mana orang itu.
“Hm.... Kalian rupanya...,” desis Yudha Pasa tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Lelaki gemuk itu sangat membanggakan kepan-
daiannya. la merasa yakin dapat mengatasi ketiga lela-
ki tua itu. Keyakinan itu pulalah yang menjadi salah
satu alasan ia datang memenuhi undangan mereka.
“Bagus kalau kau mengenali kami, Yudha Pasa.
Dengan demikian kita bisa membicarakan urusan den-
gan baik-baik...,” sahut lelaki berusia sekitar lima pu-
luh tahun, yang tidak lain Ki Sutra. Lelaki itu selalu
mewakili kedua kawannya untuk berbicara.
“Hm.... Apa maksud pesanmu...?” tanya Yudha Pasa
dengan sikap tetap waspada. Sebab bukan tidak
mungkin mereka hendak mencelakakannya.
“Kami ingin menawarkan kerja sama yang akan
menguntungkanmu, Yudha Pasa. Kami jamin kau ti-
dak akan kecewa...,” jawab Ki Sutra seraya tertawa
perlahan.
Yudha Pasa tidak segera menanggapi. Ia menggeser
langkahnya sambil tetap mengawasi ketiga orang itu.
Tatapan matanya demikian tajam. Seolah hendak me-
nilai Ki Sutra dan kawan-kawannya.
“Kerja sama bagaimana...?” tanya Yudha Pasa sete-
lah puas meneliti ketiga lelaki tua itu. Walau sudah
dapat menduga tujuan ketiga orang itu, Yudha Pasa
masih ingin mendengar penjelasan yang lebih terperin-
ci.
“Ketahuilah, Yudha Pasa. Warisan ayahmu tidak
akan habis walaupun kau hambur-hamburkan seu-
mur hidup. Karena itu kami menawarkan kerja sama
kepadamu. Kami yakin kau pasti akan bersedia...,” ja-
wab Ki Sutra yang rupanya tidak meragukan peni-
laiannya terhadap Yudha Pasa. Tentu saja untuk itu ia
tidak bertindak ceroboh. Jauh-jauh hari ia telah me-
nyelidiki kehidupan serta sifat putra sulung Ki Ganda
Pasa itu. Tanpa setahu Yudha Pasa, Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya selalu membayangi lelaki gemuk itu.
Mendengar keterangan warisan ayahnya, dada Yud-
ha Pasa berdebar. Ia sungguh tidak menyangka kalau
peninggalan ayahnya demikian banyak. Terbayang di
benaknya kemewahan dan kesenangan hidup. Tapi
Yudha Pasa mencoba menahan diri, dan pura-pura ti-
dak peduli.
“Dari mana kau mengetahuinya? Aku sendiri seba-
gai putra sulungnya tidak pernah mengetahui warisan
yang demikian banyak itu. Bahkan aku masih mera-
gukan keberadaan warisan ayah,” tukas Yudha Pasa
dengan liciknya, sekaligus hendak mencari keterangan
lebih pasti dari ketiga lelaki tua itu.
“Kau tidak perlu mengetahuinya. Yang jelas, berita
harta melimpah itu bukan karangan kami. Untuk apa
kami berbohong dan bersusah-payah mencari ayahmu
sampai bertahun-tahun. Sebaiknya kau putuskan sa-
ja, apakah tawaran kami diterima?” tanya Ki Suta me-
minta kepastian.
“Hm.... Mengapa kalian tidak ambil sendiri? Dengan
kepandaian kalian, rasanya tidak akan ada sesuatu
yang dapat menghalangi tindakan kalian.,.?” ujar Yudha Pasa yang sebenarnya merasa heran dengan tawa-
ran itu.
“Karena kami tidak ingin berurusan dengan pihak
kerajaan. Kau pasti tahu apa yang kami maksud?” ja-
wab Ki Sutra yang kelihatan benar-benar menghendaki
Yudha Pasa berada di pihaknya.
“Maksudmu, kau takut berhadapan dengan adikku
yang menjadi perwira kerajaan...?” tanya Yudha Pasa
agak heran.
Tapi, ia segera dapat memaklumi kekhawatiran ke-
tiga lelaki tua itu. Sebab kalau sampai berurusan den-
gan adiknya, mereka bertiga bisa menjadi buruan ke-
rajaan. Itu jelas tidak mereka inginkan.
“Benar...,” sahut Ki Sutra tanpa ragu-ragu.
“Ketahuilah, Yudha Pasa. Bila harta itu sampai di-
temukan adikmu yang perwira, kemungkinan besar
warisan ayahmu akan diserahkan untuk kerajaan. Itu
berarti kau akan mendapatkan bagian yang tidak sebe-
rapa. Lain halnya jika kau bergabung dengan kami. Ki-
ta hanya berempat Sedangkan seandainya dipecah
menjadi sepuluh bagian pun, tidak akan habis sampai
tujuh turunan. Nah, bagaimana pendapatmu...?” kali
ini yang berbicara Ki Wargana. Lelaki tua itu tidak sa-
bar dengan bantahan-bantahan maupun pertanyaan
lelaki gemuk itu. Sehingga nada ucapannya tidak enak
di telinga.
Mendengar perkataan Ki Wargana, Yudha Pasa ter-
menung. Apa yang dikhawatirkan lelaki tua itu men-
dekati kebenaran. Jika warisan ayahnya sampai demi-
kian banyak, bukan tidak mungkin Bangga Pasa me-
nyerahkannya ke kerajaan. Dan ia akan mendapat se-
kadarnya saja. Yudha Pasa tidak menginginkan hal itu
terjadi.
“Jika aku memutuskan untuk bekerja sama dengan
kalian, apa yang harus kulakukan...?” tanya Yudha
Pasa masih belum memutuskan akan menerima usul
Ki Sutra atau tidak.
“Tidak sulit Jauhkan adikmu dari rumah itu. Kau
bisa membohongi mereka dengan mengatakan warisan
itu hanya omong kosong. Atau kalau kau ingin lebih
aman, bunuh saja ketiga saudaramu itu. Dengan begi-
tu, kita akan lebih aman untuk mencari warisan men-
diang ayahmu...,” ujar Ki Sutra.
Yudha Pasa tersentak kaget.
“Itu kalau kau ingin bagian seperti yang kami ta-
warkan. Jika keberatan, kami pun tidak akan memak-
sa...,” Ki Wargana menimpali, membuat Yudha Pasa
semakin bingung.
“Apakah tidak ada cara lain yang lebih aman...?”
Yudha Pasa agaknya keberatan untuk melenyapkan
saudara-saudaranya. Lelaki gemuk ini masih ragu me-
nerima tawaran yang menggiurkan itu.
“Tidak. Sekarang kau harus memutuskan! Ikut ber-
gabung dengan kami dan memperoleh segala impian-
mu, atau tidak sama sekali!” tandas Ki Sutra tidak sa-
bar melihat sikap Yudha Pasa.
“Tapi....”
“Cukup! Sekali lagi kami beri kesempatan! Kami
akan melakukannya walaupun tanpamu...!” tegas Ki
Sutra tidak bisa ditawar lagi. Yudha Pasa dipaksa
mengambil keputusan saat itu juga.
“Baik! Aku bersedia.”
Akhirnya Yudha Pasa menyanggupi untuk berga-
bung dengan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ia me-
mang tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang selama
ini menjadi impiannya akan segera terwujud bila ia
bergabung dengan ketiga lelaki tua itu.
“Bagus! Sekarang kembalilah, dan laksanakan tu
gasmu dengan baik,” perintah Ki Sutra, seraya terse-
nyum penuh kemenangan.
“Bagaimana caranya aku melenyapkan mereka...?”
tanya Yudha Pasa, sebelum beranjak pergi dari tempat
itu.
“Mudah saja. Beri saudara-saudaramu racun yang
dapat melenyapkan kekuatan tenaga dalam mereka.
Dengan begitu, tugasmu tidak akan menjadi berat
Nah, terimalah....”
Ki Sutra melemparkan kantung kain yang berisi
bubuk beracun. Dan Yudha Pasa menyambutnya tan-
pa ragu.
“Semoga kau berhasil, Yudha Pasa....”
Selesai berkata demikian, ketiga lelaki itu berkele-
bat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Sedang Yud-
ha Pasa pun kembali ke tempat kediaman ayahnya.
***
ENAM
Tiba di kamarnya, Yudha Pasa tidak dapat lagi me-
mejamkan mata. Walaupun sudah merebahkan tu-
buhnya di atas pembaringan, matanya tidak juga mau
terpejam. Pikirannya tidak bisa tenang. Otaknya beker-
ja keras mencari cara seperti yang telah disepakati
bersama Ki Sutra dan kawan-kawannya. Bayangan hi-
dup mewah rupanya lebih kuat menguasai hati Yudha
Pasa. Sehingga, ia menyanggupi untuk melenyapkan
adik-adik kandungnya.
Dengan perasaan gelisah, lelaki gemuk itu bangkit
dan duduk termenung di atas pembaringan. Dikelua-
rkannya kantung berisi racun yang didapat dari Ki Sutra. Dan menimang-nimangnya dengan pikiran mene-
rawang.
“Hm.... Terlalu mencurigakan bila ketiga saudaraku
tewas keracunan dalam waktu bersamaan. Tidak! Aku
tidak akan menggunakan racun ini. Lebih baik aku
mencari jalan lain yang tidak terlalu menyolok...,” gu-
mam Yudha Pasa berbicara sendiri.
Setelah mengambil keputusan, Yudha Pasa turun
dari pembaringan. Dibukanya daun jendela lebar-
lebar. Merasa yakin tak seorang pun mengetahui per-
buatannya, dilemparkannya kantung berisi racun itu
sekuat tenaga. Lalu kembali merebahkan diri sambil
memikirkan cara lain untuk melenyapkan saudara-
saudaranya.
Sampai fajar datang menjelang, Yudha Pasa tetap
tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Tapi ia su-
dah bisa bernapas lega. Jalan yang dicarinya sudah di-
temukan. Tinggal pengaturan pelaksanaannya yang te-
rasa masih agak berat
Saat matahari menampakkan sinarnya, Yudha Pasa
bergegas meninggalkan kamar. Lalu membersihkan
tubuh dan menuju ruang tengah. Lelaki gemuk itu du-
duk menunggu saudara-saudaranya sambil menikmati
hidangan yang disediakan pelayan keluarga mereka.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga saudaranya
muncul. Wajah mereka kelihatan segar dan cerah. Ti-
dak sedikit pun nampak sisa-sisa perselisihan di anta-
ra mereka.
“Wah! Kelihatannya kau sudah cukup lama me-
nunggu kami, Kakang...,” sapa Bangga Pasa dan Reng-
ga Pasa. Keduanya langsung mengambil tempat duduk
di kiri dan kanan kakak tertua mereka.
Narasumi hanya mengangguk dan tersenyum kecil
ketika Yudha Pasa melempar pandang ke arahnya. Seperti juga Bangga dan Rengga, gadis itu langsung me-
narik kursi di sebelah kakaknya yang nomor tiga.
“Dengan sangat menyesal aku terpaksa tidak bisa
ikut bersama kalian mencari warisan itu. Aku baru in-
gat kalau hari ini ada janji dengan teman dagangku.
Kuharap kalian dapat memaklumi....”
Yudha Pasa membuka suara setelah mereka berem-
pat berkumpul di ruang tengah. Dengan pandainya ia
memasang wajah penuh sesal, membuat yang lainnya
saling bertukar pandang.
“Tidak mengapa, Kakang Yudha. Dan sebaiknya kau
ditemani Kakang Rengga. Aku khawatir musuh-musuh
kita mengintai gerak-gerik kita semua. Dengan berdua
kita akan lebih kuat menghadapi lawan...,” ujar Bang-
ga Pasa yang dapat memaklumi kepentingan kakak su-
lungnya.
Mendengar usul Bangga Pasa, tentu saja Yudha Pa-
sa sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah Rengga
Pasa, seolah hendak melihat tanggapan adiknya.
“Bagaimana, Rengga...?” tanya Yudha Pasa meminta
jawaban.
“Tentu aku bersedia menemanimu, Kakang,” sahut
Rengga Pasa cepat Kemudian berpaling menatap Bang-
ga Pasa dan Narasumi. “Tapi kuingatkan kepada kalian
untuk menyisihkan bagianku bila warisan itu kalian
temukan....”
Bangga Pasa dan Narasumi hanya tersenyum sam-
bil menggelengkan kepala. Tapi akhirnya mereka men-
gangguk, menyetujui permintaan kakak keduanya itu.
“Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang ju-
ga...,” pamit Yudha Pasa. Lalu melangkah keluar dan
melompat ke atas punggung kuda.
Rengga Pasa melakukan hal yang sama. Dan tak
lama kemudian, keduanya bergerak memacu kuda
masing-masing meninggalkan Bangga Pasa dan Nara-
sumi, yang menatap kepergian mereka sampai lenyap
di kejauhan.
***
“Mengapa mengambil jalan ini, Kakang? Bukankah
akan memakan waktu lebih lama untuk tiba di ru-
mahmu...?” tanya Rengga Pasa mengingatkan kakak-
nya mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Lelaki
tegap itu mengira kakaknya mungkin keliru.
“Aku harus menemui kawan dagangku dulu, Reng-
ga. Setelah itu, baru kita ke rumahku...!” seru Yudha
Pasa menyahuti tanpa menghentikan lari kudanya
yang menerobos semak belukar. Saat itu mereka me-
lewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditum-
buhi pepohonan dan rumput liar.
Mendengar jawaban itu, Rengga Pasa tidak berkata
lagi. Itu berarti kakaknya tidak lupa. Tapi memang dis-
engaja. Maka ia segera membedal kudanya agar tidak
tertinggal terlalu jauh.
Yudha Pasa membedal kudanya dengan kecepatan
tinggi. Tidak peduli jalan yang dilaluinya terlalu sempit
Ketika menoleh ke belakang dan adiknya tidak terlihat,
ia segera membelokkan kudanya menerobos semak-
semak. Dan lenyap dalam kelebatan pepohonan.
Perbuatan Yudha Pasa itu tidak diketahui Rengga.
Sehingga, ia terus melarikan kudanya menyusuri jalan
kecil itu. Lelaki tegap ini baru merasa heran ketika tiba
di sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Bayan-
gan kakaknya tidak terlihat Cepat Rengga menarik tali
kekang kudanya. Binatang itu meringkik keras sebe-
lum berhenti berlari.
“Aneh! Ke mana perginya Kakang Yudha Pasa...?
Meskipun ia melarikan kudanya secepat angin, seha-
rusnya masih tampak bayangannya di depan sana. Ka-
rena tempat ini cukup terbuka...,” desis Rengga Pasa,
memutar binatang tunggangannya sambil memandang
berkeliling. Tapi tetap saja ia tidak menemukan seso-
sok makhluk pun di sekitar tempat itu.
“Haaat...!”
Belum lagi Rengga Pasa terbebas dari rasa heran,
tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan
melayangnya sesosok tubuh dengan pedang di tangan.
Maksudnya sudah jelas hendak mencelakakan lelaki
tegap itu.
Bwettt...!
“Haiiit..!”
Sadar kalau dirinya terancam maut, Rengga Pasa
tidak tinggal diam. Cepat ia melompat dari atas pung-
gung kuda, dan berputaran beberapa kali di udara se-
belum meluncur turun.
Usaha itu ternyata belum juga bisa membebaskan-
nya dari incaran maut Sinar pedang penyerang gelap
itu terus mengejar ke mana tubuhnya pergi. Lelaki te-
gap itu kelabakan menyelamatkan diri dari serangan
pedang lawan. Hingga....
Bret..!
“Aaakh...?!”
Sebuah tebasan menyilang yang dilancarkan penye-
rang gelap itu tidak sempat dielakkan Rengga Pasa.
Tubuh lelaki tegap itu melintir dan terhuyung ke bela-
kang. Darah segar memercik membasahi rerumputan.
Pada bagian iga lelaki itu terdapat luka memanjang
yang cukup dalam.
“Keparat busuk...!” desis Rengga Pasa tidak dapat
menahan rasa geramnya. Tangan kanannya bergerak
cepat meloloskan pedang di pinggangnya dan menyi-
langkannya di depan dada. Siap menghadapi lawan.
“Mampus...!”
Sosok yang sebagian wajahnya terlindung kain hi-
tam itu kembali menerjang dengan ganasnya. Tam-
paknya ia memang hendak melenyapkan nyawa Reng-
ga Pasa.
“Hei...?!”
Rengga Pasa berseru heran melihat gerakan lawan.
Jurus-jurus yang dipergunakan telah dikenalnya den-
gan baik. Sayang ia tidak diberi kesempatan untuk
berbicara. Serangan-serangan yang demikian gencar
itu membuat Rengga Pasa menelan rasa penasaran-
nya, dan mulai mengadakan perlawanan.
Terjadilah perkelahian seru yang cukup menegang-
kan. Keduanya saling gempur dengan hebat untuk
menundukkan lawan. Kelebatan sinar pedang mereka
terkadang diselingi benturan keras yang menimbulkan
percikan bunga api. Walaupun pada setiap benturan
Rengga Pasa lebih kuat, namun gerakan lawan ternya-
ta jauh lebih cepat Sehingga ia tetap saja terdesak oleh
gempuran-gempuran lawan yang memang tidak main-
main.
Cappp...!
Ketika pertempuran memasuki jurus keempat pu-
luh tiga, Rengga Pasa kecolongan! Luka yang dideri-
tanya sangat membahayakan nyawa. Ujung pedang
lawan menancap dalam di sebelah kiri dadanya dan
langsung menembus jantung!
“Aaargh...!”
Rengga Pasa meraung keras saat lawan menarik pu-
lang senjatanya. Darah segar membanjir keluar dari
luka di tubuh lelaki tegap itu. Belum lagi menyadari
keadaannya, pedang lawan kembali berkelebat Kali ini
merobek perutnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
Rengga Pasa ambruk berkelojotan bagai ayam disem-
belih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak lagi. Ma-
ti!
Sosok bercadar hitam itu tertawa dingin melihat
mayat lawannya. Kaki kirinya bergerak perlahan mem-
balikkan tubuh yang menelungkup itu.
“Kau adalah korban pertamaku, Rengga Pasa...,”
desis sosok itu kembali memperdengarkan tawa din-
ginnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melesat
pergi meninggalkan mayat Rengga Pasa.
***
“Hhh.... Mungkin warisan itu tidak pernah ada, Ka-
kang,” desah Narasumi seraya menghela napas pan-
jang.
Wajah cantiknya kelihatan lelah. Tampak sekali ka-
lau gadis cantik itu merasa kecewa. Warisan yang dica-
rinya belum juga ditemukan. Meskipun sudah hampir
separo tempat itu mereka jelajahi, tapi hasilnya tetap
nol!
“Sabarlah, Sumi! Bukankah belum seluruhnya tem-
pat ini kita periksa. Aku yakin warisan itu kemungki-
nan besar ada. Hanya kita belum menemukan tempat-
nya saja...,” sahut lelaki tinggi besar yang tidak lain
Bangga Pasa. Ia menghibur adiknya yang kelihatan
mulai putus asa.
Narasumi yang semula hendak menyahuti ucapan
kakaknya, mendadak berdiri sambil menengadahkan
kepala. Gadis cantik itu tengah memasang indera pen-
dengarannya. Ternyata bukan hanya Narasumi saja
yang berbuat demikian. Bangga Pasa pun menghenti-
kan pekerjaannya, karena telinganya menangkap sesuatu.
“Suara derap kaki kuda...?!” desis Bangga Pasa se-
raya menoleh ke arah Narasumi. Kebetulan gadis can-
tik itu pun tengah memandang kakaknya. Sehingga,
mereka saling berpandangan sesaat
Bangga Pasa mendahului adiknya melesat ke hala-
man depan. Saat itu mereka tengah berada di bagian
belakang rumah. Di belakang lelaki tinggi besar itu Na-
rasumi menyusul. Keduanya seperti berlomba untuk
segera tiba di halaman depan.
“Kakang Yudha...?!” seru Bangga Pasa ketika meli-
hat seorang penunggang kuda melesat memasuki ha-
laman rumah besar itu. Cepat ia memburu. Karena di-
lihatnya wajah kakak sulungnya itu agak pucat dan
pakaiannya lusuh. Tentu saja ia merasa heran.
Narasumi yang tiba belakangan juga terheran-heran
melihat kemunculan Yudha Pasa. Menurut perhitun-
gan, kakak sulungnya itu baru akan kembali sore nan-
ti. Tapi ternyata Yudha Pasa sudah kembali. Dan da-
lam keadaan yang mengherankan.
“Ada apa, Kakang? Dan..., ke mana Kakang Reng-
ga...?” tanya Bangga Pasa begitu kakaknya melompat
turun dari punggung kuda. Kening lelaki tinggi besar
itu berkerut dalam ketika melihat tubuh Yudha Pasa
limbung saat menjejakkan kaki di tanah. Jelas, kakak
sulungnya itu sedang dalam keadaan tidak sehat
“Celaka, Adi Bangga...! Adi Rengga tewas...! Musuh-
musuh kita ternyata membayangi dan mengawasi ge-
rak-gerik kita. Mereka menghadang di tengah hutan.
Aku berhasil meloloskan diri. Sedangkan Adi Rengga...”
Yudha Pasa tidak melanjutkan kalimatnya. Nafas-
nya terdengar memburu. Lelaki gemuk itu menjatuh-
kan tubuhnya dan bersandar pada sebatang pohon.
Yudha Pasa kelihatan sangat lelah.
“Keparat..! Sudah kuduga kalau mereka masih te-
rus mengincar kita...!” geram Bangga Pasa sangat ma-
rah mendengar kematian Rengga Pasa. Sepasang ma-
tanya berkilat penuh dendam kesumat
Lain halnya dengan Narasumi. Gadis cantik itu ti-
dak berkata apa-apa. Hatinya sempat terpukul men-
dengar keterangan kakak sulungnya. Walaupun ia ti-
dak menyukai Rengga, namun tetap saja ada rasa se-
dih saat mendengar kematiannya.
“Hm.... Aku akan mencari mereka! Akan kubunuh
manusia-manusia jahat itu...!” desis Bangga Pasa yang
belum juga reda kemarahannya. Lelaki tinggi besar itu
tampaknya akan segera membuktikan ucapannya.
Langkahnya terayun menghampiri kuda Yudha Pasa.
“Jangan bertindak bodoh, Bangga! Mereka cukup
banyak, dan rata-rata berilmu silat setingkat dengan
kita. Bahkan beberapa di antaranya berkepandaian
tinggi...!” cegah Yudha Pasa menghadang langkah
adiknya.
“Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini, Kakang
Bangga! Mereka pasti akan menghadang dan membu-
nuhmu, seperti yang dilakukan terhadap Kakang
Rengga! Sebaiknya kita tetap bergabung di rumah ini
dan menghadapi segala sesuatunya bersama-sama...,”
Narasumi pun berusaha mencegah kepergian Bangga
Pasa. Sehingga lelaki tinggi besar itu menahan keper-
giannya.
Bangga Pasa terdiam beberapa saat seperti tengah
merenungkan sesuatu. Kemudian menatap kedua sau-
daranya berganti-ganti. Kelihatannya ia sudah menda-
pat jalan keluar yang cukup baik.
“Mmm.... Begini saja. Kalian berdua tetap tinggal di
sini. Aku akan pergi ke kotaraja untuk mengambil be-
berapa orang pasukanku. Dengan begitu, kita akan lebih kuat menghadapi mereka...,” ujar Bangga Pasa
mengusulkan.
“Tapi..., bagaimana kalau mereka menghadang-
mu...?” bantah Narasumi, tidak begitu setuju dengan
usul Bangga Pasa.
“Jangan khawatir, Sumi. Aku bisa menjaga diri...,”
jawab Bangga Pasa pasti. Lelaki tinggi besar itu meng-
hampiri kuda Yudha Pasa yang ditambatkan di pohon.
Kemudian melompat naik ke atas punggung kuda hi-
tam itu.
“Kakang....”
Narasumi masih berusaha mencegah kepergian
Bangga Pasa. Gadis cantik itu berlari menghampiri ka-
kaknya yang sudah siap untuk berangkat
Bangga Pasa menatap Narasumi sesaat Kemudian
membedal kudanya setelah melempar senyum kepada
gadis cantik itu. Sebentar saja binatang itu telah mele-
sat meninggalkan Narasumi dan Yudha Pasa yang
hanya bisa menatap kepergian saudaranya.
Setelah kuda hitam itu hilang dari pandangan, Na-
rasumi bergerak dari tempatnya. Ia langsung melang-
kah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kepada
kakak sulungnya. Yudha Pasa sendiri tidak mempedu-
likan sikap gadis itu. Ia bergerak menuju belakang ru-
mah setelah sosok Narasumi lenyap di balik pintu.
Beberapa saat kemudian, muncul tiga sosok tubuh
yang langsung melangkah masuk ke halaman rumah
besar itu. Mereka adalah Ki Sutra dan kawan kawan-
nya. Rupanya mereka sudah cukup lama mengintai
dari tempat tersembunyi. Dan baru keluar begitu
Bangga Pasa pergi meninggalkan kedua saudaranya.
Brakkk!
Tanpa basa-basi lagi, Ki Sutra menendang hancur
pintu rumah besar itu. Kemudian ketiga orang itu berloncatan masuk ke dalam rumah. Tampaknya mereka
tidak main sembunyi lagi. Karena Bangga Pasa yang
mereka segani sudah pergi dari rumah itu.
“Hei! Siapa kalian...?! Mengapa merusak pintu ru-
mah ini...?!” seorang lelaki kurus yang tidak lain Ra-
min, berteriak menyongsong kedatangan Ki Sutra dan
kawan-kawannya.
Ki Sutra rupanya merasa tidak perlu menjawab
dengan mulut Tangannya langsung bergerak cepat
Dan....
Breeet..!
Tanpa ampun lagi, tubuh Ramin terjungkal mandi
darah. Lehernya hampir putus terkena sambaran pe-
dang Ki Sutra. Ramin tewas seketika itu juta.
“Bangsat kejam...!”
Narasumi bergegas keluar dari kamar ketika men-
dengar jerit kematian tukang kebunnya. Betapa terke-
jutnya gadis itu menyaksikan tubuh Ramin tergeletak
tewas. Dan ia sangat marah ketika melihat pelaku
pembunuhan itu.
“He he he...! Kau pun akan mengalami nasib serupa
setelah tubuh molekmu kami nikmati bersama-sama.
Semua ini kami lakukan sebagai pembalasan atas
pengkhianatan ayahmu kepada kami...,” ujar Ki Sutra
seraya menatap wajah dan tubuh Narasumi dengan
liar. Kemudian bergerak maju, diikuti kawan-
kawannya.
Srat..!
Tanpa banyak cakap lagi, Narasumi mencabut pe-
dang di pinggangnya. Semula ia ingin mengetahui
maksud ucapan Ki Sutra. Tapi melihat mereka berge-
rak maju, Narasumi membatalkan niatnya. Pedangnya
melintang di depan dada, siap menghadapi keroyokan
ketiga lelaki tua itu
Sebetulnya Narasumi bisa saja berteriak memanggil
Yudha Pasa. Namun itu tidak dilakukannya. Sebab
menurutnya suara teriakan Ramin pasti terdengar ka-
kak sulungnya. Ia yakin Yudha Pasa akan segera tiba
sebelum ia roboh di tangan lawan-lawannya. Hingga
Narasumi tidak berteriak meminta bantuan kakaknya
untuk menghadapi Ki Sutra dan kawan-kawannya.
***
TUJUH
“Heaaa...!”
Ki Sutra memulai serangan dengan serangkaian
pukulan tangan kosong yang menimbulkan deruan an-
gin keras. Serangannya jelas tidak main-main. Ki Sutra
langsung mengerahkan seluruh tenaganya dalam se-
rangan pertama itu.
Narasumi sadar kepandaiannya masih berada di
bawah Ki Sutra. Gadis itu segera menggeser tubuhnya
sambil mengibaskan pedang untuk bertahan. Sehing-
ga, serangan lawan dapat terbendung dan tidak terlalu
mendesaknya. Bahkan gadis itu sempat melancarkan
serangan balasan dengan kecepatan yang mengagum-
kan.
Namun betapapun hebatnya gadis cantik itu mem-
buat pertahanan, tetap saja ia kewalahan menghadapi
keroyokan tiga lawan tangguh seperti Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya. Ketika pertarungan berjalan beberapa
belas jurus, Narasumi tidak mampu lagi melakukan
serangan balasan. Gadis itu terus terdesak mundur ke
sudut ruangan.
Sadar dirinya terancam bahaya maut, akhirnya Narasumi berteriak memanggil kakak sulungnya. Karena
sampai saat itu Yudha Pasa tidak muncul memban-
tunya. Padahal menurut perhitungannya perkelahian
itu sudah pasti terdengar kakak sulungnya.
“Kakang Yudha...! Bantu aku...!” teriak Narasumi
sekuat tenaga. Gadis itu benar-benar sudah tidak ber-
daya menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Tapi harapan Narasumi tidak terkabul. Yudha Pasa
tidak juga muncul, meskipun ia sudah berteriak berka-
li-kali. Gadis cantik itu pun mulai gelisah. Dan itu
membuatnya lengah. Sehingga....
Desss....!
Sebuah tendangan keras membuat tubuh Narasumi
terguling. Gadis itu berusaha bangkit meskipun lam-
bungnya terasa nyeri. Tapi....
Plak!
Tamparan keras pada bahu kanannya membuat Na-
rasumi terhuyung limbung. Pedangnya terlepas dari
genggaman. Dara cantik itu pun tidak mempunyai per-
tahanan lagi untuk menghadapi serangan lawan. Se-
dangkan saat itu Ki Sutra sudah meluncur datang
dengan totokan melumpuhkan.
“Ahhh...?!”
Gadis cantik itu menahan jeritannya. Ia tahu Ki Su-
tra bermaksud melumpuhkannya. Dan ia sudah mem-
bayangkan yang akan menimpa dirinya bila sampai
tertawan ketiga musuh ayahnya itu. Tapi karena kea-
daan tubuhnya tidak mungkin mengadakan perlawa-
nan, Narasumi hanya bisa memejamkan mata saat se-
rangan Ki Sutra datang.
Maka....
“Haiiit..!”
Pada saat yang menegangkan itu, mendadak berke-
lebat sesosok bayangan putih memapaki serangan KiSutra. Demikian cepatnya gerakan sosok bayangan pu-
tih itu berkelebat, sehingga tidak tertangkap mata Ki
Sutra dan kawan-kawannya. Dan....
Plak, desss...!
“Hugkh...!”
Hebat dan cepat bukan main gerakan sosok bayan-
gan putih itu. Ia bukan hanya mampu menggagalkan
serangan Ki Sutra. Bahkan masih sempat menyarang-
kan hantaman telapak tangan kanannya ke dada lelaki
tua itu. Akibatnya tubuh Ki Sutra terjengkang ke bela-
kang, dan jatuh membentur kedua kawannya yang be-
rada di belakangnya. Tak ayal lagi, tubuh ketiga lelaki
tua itu jatuh saling tumpang tindih!
Kejadian yang sangat tidak disangka-sangka itu
tentu saja membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya
terkejut bukan main. Cepat mereka berloncatan bang-
kit untuk melihat siapa yang telah berani menggagal-
kan perbuatan mereka.
Alangkah kagetnya hati ketiga orang itu ketika me-
lihat sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdi-
ri tegak di depan Narasumi. Wajah ketiganya menjadi
pucat bagai kertas! Mereka kenal betul siapa pemuda
tampan berjubah putih itu.
“Pendekar Naga Putih...!” desis Ki Sutra hampir
berbarengan dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar
ketiganya melangkah mundur. Jelas mereka merasa
gentar pada Pendekar Naga Putih.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Narasumi pun terkejut dan heran ketika mendengar
seruan kaget Ki Sutra dan kawan-kawannya. Senyum-
nya terlukis ketika ia membuka matanya dan menjum-
pai sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih
berdiri tegak membelakanginya. Narasumi tahu peno-
longnya adalah Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
Kemunculan pemuda tampan itu membuat Nara-
sumi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Ia tahu pasti Panji tidak akan datang seorang diri. Du-
gaannya memang tidak meleset. Beberapa langkah dari
tempatnya, tampak seorang dara jelita berpakaian ser-
ba hijau tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada
tiang pintu.
“Kenanga...!” seru Narasumi dengan suara haru
bercampur gembira. Gadis cantik itu melebarkan se-
nyumnya ketika melihat Kenanga tersenyum manis
kepadanya.
“Hm.... Dugaanku ternyata tidak meleset. Kalian
pasti kembali ke tempat ini. Setelah aku mencari-cari
dan tidak menemukan jejak kalian, aku yakin kalian
pasti masih berada di sekitar daerah ini. Itu sebabnya
aku kembali ke tempat ini. Syukurlah kedatanganku
belum terlambat...,” ujar Panji dengan suara dan sikap
yang tenang. Walaupun begitu, sikap maupun sorot
mata pemuda itu memancarkan perbawa yang sangat
kuat. Hingga Ki Sutra dan kedua kawannya bertambah
gentar.
“Mengapa kau selalu mencampuri urusan kami,
Pendekar Naga Putih? Bukankah di antara kita tidak
ada persoalan...?” tegur Ki Sutra yang merasa penasa-
ran dengan campur tangan pendekar muda itu.
“Hm.... Setiap kejahatan adalah persoalanku. Suka
atau tidak, aku akan selalu menentang setiap tindak
kejahatan. Itu sebabnya aku mencampuri urusan
ini...,” sahut Panji, membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya kembali melangkah mundur beberapa tin-
dak.
“Keparat! Kalau begitu, terimalah hadiah kami...!”
sambil berkata demikian, Ki Sutra mengibaskan tangan kanannya ke arah Panji.
Whusss...!
Kibasan tangan lelaki setengah baya itu bukan
sembarangan. Begitu tangan Ki Sutra mengibas, bu-
buk-bubuk kuning berbau harum menyengat hidung
bertebaran di sekitar ruangan itu.
“Lari...!” perintah Ki Sutra kepada kawan-
kawannya.
Kesempatan itu dipergunakan mereka untuk mela-
rikan diri. Sebab saat itu Panji tengah sibuk mengusir
bubuk beracun yang memenuhi hampir seluruh ruan-
gan.
“Mau lari ke mana kalian...?! Jangan harap kali ini
aku akan melepaskan begitu saja...!” seru Panji-
Pendekar Naga Putih menerobos bubuk beracun
yang berupa asap itu, sambil mengibaskan lengannya
ke kanan dan kiri. Tapi....
“Kakang, Narasumi...!”
Melihat Panji hendak mengejar Ki Sutra dan kawan-
kawannya, Kenanga segera berseru. Kenanga melihat
gadis cantik itu tersengal-sengal dan berdiri ter-
huyung. Jelas, Narasumi telah menghisap bubuk bera-
cun yang ditebarkan Ki Sutra.
Teriakan Kenanga memaksa Panji menahan langkah
dan menunda niatnya mengejar Ki Sutra. Pemuda itu
segera berbalik. Ia lupa kalau di dalam ruangan itu
ada Narasumi yang tentu saja menghisap racun yang
ditebarkan Ki Sutra.
Panji agak khawatir melihat Narasumi terhuyung
limbung seperti orang mabuk. Cepat disambarnya tu-
buh gadis cantik itu. Dan dibawanya keluar dari ruan-
gan yang telah dipenuhi racun. Sebab Panji belum bisa
memastikan jenis racun yang digunakan Ki Sutra.
Kenanga bergegas mengikuti langkah kekasihnya.
Walaupun cukup mengerti tentang racun, tapi ia be-
lum mengenal jenis racun yang terhisap Narasumi.
Maka Kenanga tidak berani bertindak ceroboh yang bi-
sa mengakibatkan kematian gadis cantik itu. Itu se-
babnya Kenanga memanggil kekasihnya, agar melupa-
kan Ki Sutra dan mengurusi Narasumi lebih dulu.
“Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apa racun itu
bisa mengakibatkan kematian segera...?” tanya Kenan-
ga, menemani mengobati Narasumi.
Wajah Narasumi kelihatan sudah berubah pucat.
Racun itu ternyata menyebar cukup cepat ke seluruh
tubuh korbannya. Gadis cantik itu sudah tidak sadar-
kan diri saat Panji merebahkannya di atas rerumputan
di halaman depan rumah besar itu.
“Racun ini memang cukup berbahaya. Ia akan me-
munahkan tenaga dalam secara perlahan. Kemudian
membuat korbannya menderita sesak napas yang ber-
kepanjangan. Hingga akhirnya membawa pada kema-
tian...,” jawab Panji setelah memeriksa keadaan Nara-
sumi. Pemuda itu sudah menotok beberapa bagian tu-
buh Narasumi untuk mencegah penyebaran racun.
“Apa masih bisa diselamatkan...?” tanya Kenanga
lagi. Diam-diam gadis ini ngeri juga mendengar cara
kerja racun itu.
“Meskipun agak parah, aku yakin Narasumi masih
bisa ditolong dan sembuh seperti sediakala. Tapi gadis
ini harus beristirahat beberapa hari. Tenaga dalamnya
tidak bisa langsung pulih...,” jelas Panji. Kenanga
mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Berapa lama ia baru akan sadar dari pingsannya,
Kakang...?” tanya Kenanga setelah terdiam beberapa
saat memandangi wajah cantik yang malang itu. Ke-
nanga kelihatan sangat prihatin dengan nasib gadis cantik itu.
“Hanya beberapa jam saja. Sebaiknya kau bawa ga-
dis ini ke kamarnya. Rebahkan tubuhnya di atas pem-
baringan. Tidak lama lagi ia pasti sadar. Aku telah
memasukkan pil penawar racun ke dalam mulut-
nya...,” jawab Panji. Kemudian bangkit untuk memberi
kesempatan kepada Kenanga membawa Narasumi ke
kamarnya.
“Kenanga...,” panggil Panji saat gadis jelita itu hen-
dak membawa masuk tubuh Narasumi yang ada dalam
gendongannya.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga, menoleh ke
arah kekasihnya.
“Keadaan Narasumi sudah tidak terlalu mengkha-
watirkan lagi. Kuminta kau menjaganya sampai ia sa-
dar. Kemudian berikan pil ini yang harus segera ia te-
lan setelah sadar dari pingsannya. Aku hendak menge-
jar Ki Sutra dan kawan-kawannya. Mereka perlu diberi
pelajaran agar jera...,” ujar Panji seraya menyerahkan
dua butir pil berwarna putih, yang merupakan obat lu-
ka dalam sekaligus penawar racun.
“Baik, Kakang. Hati-hati! Ki Sutra dan kawan-
kawannya sangat licik...,” ujar dara jelita itu mengin-
gatkan kekasihnya agar tidak bertindak ceroboh.
“Jangan khawatir. Aku akan ingat pesanmu. Nah!
Aku pergi dulu,” ujar Panji. Kemudian berkelebat men-
gejar ketiga musuh keluarga Ki Ganda Pasa.
Sepeninggal Panji, Kenanga melangkah masuk ke
dalam rumah besar itu. Dua pelayan wanita menyam-
but kedatangan Kenanga dengan wajah cemas dan ke-
lihatan pucat. Mereka tidak berkata apa-apa. Hanya
menunjukkan kamar majikannya ketika Kenanga
mengatakan hendak membawa Narasumi ke kamar-
nya.
***
Rombongan berkuda itu bergerak cepat melintasi ja-
lanan lebar. Lalu menyeberangi sungai. Penunggang
kuda terdepan seorang lelaki tinggi besar berwajah ke-
ras dan mengenakan pakaian perwira. Sikapnya tam-
pak berwibawa. Lelaki tinggi besar itu adalah Bangga
Pasa.
Di belakang perwira tinggi itu terlihat selusin pe-
nunggang kuda berpakaian prajurit Rupanya Bangga
Pasa berhasil tiba di kotaraja dan membawa selusin
anak buahnya untuk ikut membantu menghadapi mu-
suh-musuh keluarganya.
Ketika tiba di pertigaan jalan, Bangga Pasa memba-
wa pasukannya mengambil jalan ke kanan. Namun
perwira itu membatalkan niatnya ketika melihat empat
sosok bayangan berlari di belakangnya. Merasa curiga,
lelaki tinggi besar itu memutar kudanya, dan memerin-
tahkan para prajuritnya mengambil jalan ke kiri untuk
mengejar keempat sosok tubuh itu.
Kecurigaan Bangga Pasa semakin besar ketika me-
lihat keempat sosok tubuh itu menambah kecepatan
larinya. Sepertinya mereka tahu ia bersama pasukan-
nya hendak mengejar. Maka Bangga Pasa pun me-
nambah kecepatan lari binatang tunggangannya.
“Heaaa, heaaa...!”
Bangga Pasa mencambuk kudanya berkali-kali.
Hingga binatang itu melesat secepat terbang. Dan ken-
ing perwira tinggi besar itu agak berkerut, ketika jarak
di antara mereka semakin bertambah dekat, ia seperti
mengenal salah satu dari keempat orang di depannya
itu.
Apakah penglihatanku tidak salah?! Yang berlari di
sebelah kiri seperti Kakang Yudha Pasa. Lalu, siapa ke-
tiga orang itu? Mengapa mereka menghindariku...? Bi-
sik batin Bangga Pasa heran dengan sikap keempat sosok tubuh mencurigakan itu.
“Kakang Yudha...!”
Setelah jarak di antara mereka hanya tinggal bebe-
rapa tombak lagi, Bangga Pasa merasa yakin kalau sa-
lah seorang dari mereka adalah kakak sulungnya. Ma-
ka ia segera berseru memanggil.
Hei...! Bukankah ketiga orang itu musuh-musuh ke-
luargaku? Tidak salah lagi! Mereka pasti Ki Sutra dan
kawan-kawannya. Tapi, mengapa Kakang Yudha ber-
sama mereka...? Tersentak hati Bangga Pasa saat
mengenali tiga orang lainnya. Kenyataan itu semakin
membuatnya penasaran.
“Berhenti...!”
Lelaki bertubuh gemuk yang berlari di sebelah kiri
dan agak tertinggal dari tiga orang lainnya berteriak-
teriak memaki sambil mencabut pedangnya. Lelaki
gemuk yang memang Yudha Pasa itu ternyata sedang
mengejar tiga orang itu. Ia terus berteriak-teriak sam-
bil berlari.
Kerutan di kening Bangga Pasa mengendur. Teria-
kan itu ia kenal betul. Ia merasa pasti kalau lelaki ge-
muk itu kakak sulungnya, la baru mengerti, mengapa
kakaknya berada di antara mereka. Rupanya Yudha
Pasa tengah mengejar Ki Sutra dan kawan-kawannya
yang melarikan diri.
“Kakang, jangan biarkan mereka lolos...!” seru
Bangga Pasa.
Lelaki tinggi besar ini akhirnya berhasil menyusul
keempat orang itu dan melewatinya. Bangga Pasa me-
mutar binatang tunggangannya untuk menghadang Ki
Sutra dan kawan-kawannya.
“Hm.... Sekarang kalian tidak mungkin dapat lari
dariku...,” ujar Bangga Pasa, setelah melompat turun
dari punggung kuda seraya menghunus senjata.
Ki Sutra, Ki Wargana, dan Ki Rayoang terpaksa
menghentikan larinya. Mereka berdiri tegak di antara
Bangga Pasa dan Yudha Pasa. Kedua kakak beradik
itu telah menghunus senjata dan siap bertarung.
“Adi Bangga! Mereka baru saja mendatangi rumah
kita. Untung aku berhasil mengejar mereka. Hayo, kita
habisi mereka...!” seru Yudha Pasa segera bergerak
menggeser langkahnya, melihat lawan-lawannya telah
meloloskan senjata.
Bangga Pasa menganggukkan kepala. Kemudian
memerintahkan pasukannya yang baru tiba untuk
mengepung ketiga musuh keluarganya. Jalan untuk
lolos bagi Ki Sutra dan kawan-kawannya benar-benar
telah tertutup.
“Hm.... Kalian kira dapat menundukkanku begitu
saja! Jangan gembira dulu, Putra-putra Pengkhianat!
Justru kalianlah yang mengantarkan nyawa kepada
kami...!” ejek Ki Sutra yang tidak merasa gentar meski
harus menghadapi belasan orang lawan. Lelaki seten-
gah baya itu merasa yakin dapat mengalahkan lawan-
lawannya.
Ki Sutra memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya untuk saling beradu punggung. Mereka
tampaknya telah siap menghadapi Bangga Pasa dan
yang lainnya.
***
DELAPAN
“Haaat..!”
Ki Sutra langsung melancarkan serangan. Lelaki
tua berperawakan gagah itu melesat dengan disertai
tebasan pedang yang menimbulkan suara berdesing
tajam.
Bangga Pasa yang merasa geram pada Ki Sutra, ju-
ga tidak mau main-main. Tubuhnya langsung bergerak
ke depan menyambut serangan lawan. Sehingga dalam
waktu singkat, keduanya telah bertarung sengit
Dalam jurus-jurus awal, Ki Sutra langsung mende-
sak lawan dengan serangan gencar. Sinar pedangnya
berkelebatan menyilaukan mata. Disertai desingan
yang menusuk telinga. Agaknya lelaki tua itu tidak in-
gin memberikan kesempatan kepada lawan untuk
mengembangkan permainan.
Apa yang dilakukan Ki Sutra menampakkan hasil.
Dalam beberapa jurus saja, Bangga Pasa terdesak oleh
kurungan sinar pedang lawan. Lelaki tinggi besar itu
hanya bisa bertahan dengan memutar senjatanya
mengelilingi tubuh, dan bermain mundur. Semakin
lama tekanan lawan semakin berat
“Yeaaah...!”
Memasuki jurus kesepuluh, Ki Sutra kembali mem-
bentak dengan disertai tusukan ujung pedang yang
mencoba membongkar benteng pertahanan lawan.
Bweeet...!
Disertai kilatan cahaya putih yang menyilaukan ma-
ta, ujung pedang Ki Sutra meluncur lurus ke arah da-
da Bangga Pasa. Dari suara desingannya, dapat dike-
tahui kalau Ki Sutra mengerahkan hampir seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya. Jelas serangan itu sangat
berbahaya.
Tapi kali ini Bangga Pasa berbuat nekat Karena me-
rasa tertekan oleh serangan lawan yang laksana air
bah, ia pun membentak sambil mengibaskan pedang-
nya dari atas ke bawah. Bangga Pasa sengaja mema-
paki tusukan pedang lawan dengan sekuat tenaga.
Whuuut.., trang...!
Tangkisan yang dilakukan Bangga Pasa berhasil
dengan baik. Ia bukan hanya berhasil mematahkan se-
rangan maut itu. Bahkan sanggup membuat pedang
lawan terpental balik. Hingga ia merasa lega. Sebab
kekuatan lawan ternyata masih berada di bawahnya.
Tapi....
Swiiit...!
Apa yang diduga Bangga Pasa ternyata meleset Pe-
dang yang terpental balik itu tiba-tiba berputar. Ke-
mudian bergerak menyilang mengancam tenggorokan-
nya. Lelaki tinggi besar itu kaget bukan main.
“Akh...?!”
Bangga Pasa memekik tertahan ketika mata pedang
lawan datang menyambar. Untunglah pada saat yang
gawat itu ia sempat melempar tubuhnya ke belakang.
Kemudian berputaran di udara beberapa kali. Dan me-
luncur turun dalam jarak yang cukup jauh dari tempat
lawannya berada.
Ki Sutra yang merasa yakin kepandaiannya berada
di atas Bangga Pasa, kembali menerjang maju. Dan te-
tap melancarkan serangan gencar ketika perwira tinggi
besar itu melakukan perlawanan. Pertarungan pun
kembali berlanjut
Sementara itu, Ki Wargana dan Ki Rayoang berta-
rung menghadapi pengawal-pengawal Bangga Pasa.
Kedua lelaki tua yang masih terlihat gagah itu menga-
muk hebat dengan sambaran senjatanya yang mem-
bawa hawa maut. Sehingga, kedua belas prajurit itu ti-
dak mau bertindak ceroboh menghadapi kedua lawan
mereka.
Tidak jauh dari arena pertempuran Yudha Pasa
berdiri memperhatikan pertarungan-pertarungan maut
itu. Terkadang ia memperhatikan jalannya perkelahian
Ki Sutra dan Bangga Pasa. Di saat lain sepasang matanya tertuju ke arah perkelahian Ki Wargana dan Ki
Rayoang yang tengah berjuang menghadapi keroyokan
dua belas prajurit kerajaan. Sampai sejauh itu, ia be-
lum melakukan sesuatu untuk membantu adiknya.
Sementara Bangga Pasa semakin terdesak hebat
oleh gempuran lawan. Meskipun sesekali melepaskan
serangan balasan, namun tetap saja perwira itu harus
bermain mundur kalau tidak ingin celaka di ujung sen-
jata lawan.
Desss...!
“Aaakh...!”
Entah untuk yang ke berapa kali, tendangan Ki Su-
tra membuat Bangga Pasa terguling. Walaupun begitu,
perwira tinggi besar itu berusaha bangkit dengan
menggigit bibir menahan nyeri. Secara kebetulan, ia ja-
tuh tidak jauh dari tempat Yudha Pasa berdiri menon-
ton perkelahian lain. Tentu saja Bangga Pasa heran
melihat sikap kakaknya.
“Kakang Yudha! Mengapa kau diam saja? Ayo. Ban-
tu aku menghadapi manusia jahat itu...!” seru Bangga
Pasa jengkel. Sambil berseru, perwira itu menggeser
langkahnya ke arah Yudha Pasa.
Namun apa yang dilakukan Yudha Pasa sebagai ja-
wabannya sungguh sangat mengejutkan! Pada saat tu-
buh Bangga Pasa tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba
tangan kanan lelaki gemuk itu mengibas dengan gera-
kan menyilang. Jelas, lelaki itu hendak mencelakakan
adik kandungnya sendiri!
“Kakang...?!”
Bangga Pasa terbelalak bagai melihat hantu di siang
bolong. Untuk sesaat perwira itu hanya bisa terpaku.
Apa yang dialaminya seperti mimpi yang paling buruk
dalam hidupnya.
Crattt...!
“Aaakh...!?”
Tanpa ampun lagi, tubuh Bangga Pasa melintir
dengan dada bagian atas terobek pedang Yudha Pasa.
Darah segar mengalir turun. Disertai rasa perih yang
membuat perwira tinggi besar itu menggigit bibir kuat-
kuat. Untung luka itu tidak terlalu dalam. Sebab pada
saat-saat terakhir ujung pedang itu menyambar, Bang-
ga Pasa masih sempat memiringkan tubuhnya sedikit.
Kalau tidak, kemungkinan besar perwira itu langsung
tewas. Karena, serangan itu dilancarkan dengan sepe-
nuh tenaga oleh Yudha Pasa.
“Kakang...?! Kau...?!”
Dengan wajah sebentar pucat sebentar merah,
Bangga Pasa memandang wajah kakaknya yang terse-
nyum mengejek. Sadarlah perwira tinggi besar itu ka-
lau Yudha Pasa tidak lagi berdiri di pihaknya. Jelas, le-
laki gemuk itu telah memusuhi saudara-saudaranya
sendiri karena menginginkan kesenangan hidup.
“Bagus, Yudha...! Kau benar-benar tidak membuat
kami merasa menyesal telah mengajakmu bekerja sa-
ma...!” terdengar pujian bernada parau yang ditujukan
kepada Yudha Pasa.
Mendengar ucapan itu, Bangga Pasa menoleh ke be-
lakang. Wajahnya semakin merah padam karena ma-
rah yang menggelora di dalam dada. Ucapan yang dike-
luarkan Ki Sutra merupakan bukti kalau kakak su-
lungnya telah berpihak kepada lawan. Ia pun sadar
semua itu dilakukan Yudha Pasa karena hati yang se-
rakah. Sikap Yudha Pasa membuat hati perwira tinggi
besar itu terasa nyeri. Benar-benar sebuah kenyataan
pahit yang harus ditelannya.
“Hm.... Aku mengerti sekarang...,” desis Bangga Pa-
sa, menatap kakak sulungnya dengan sinar mata pe-
nuh kebencian. “Ceritamu mengenai Rengga pasti
hanya bualan kosong. Aku yakin kaulah yang telah
membunuhnya, Yudha Pasa...!”
Bangga Pasa baru mengerti sekarang. Ia yakin ke-
matian Rengga karena dibunuh Yudha Pasa. Semua
itu dapat ditebaknya setelah melihat kakak sulungnya
itu memihak kepada musuh. Hingga Bangga Pasa me-
rasa benci.
“He he he...! Sayang kau terlambat mengetahuinya,
Adi Bangga. Sebentar lagi kau akan kuantarkan me-
nyusul Rengga ke alam baka...,” Yudha Pasa memper-
dengarkan tawa iblisnya tanpa terbersit rasa penyesa-
lan sedikit pun. “Kau benar-benar iblis, Yudha...!” ge-
ram Bangga Pasa. Ia tidak mau menyebut ‘kakang’ ke-
pada Yudha Pasa. Lelaki gemuk yang serakah itu tidak
pantas menjadi saudara kandungnya.
“Hm.... Apa lagi yang kau tunggu, Yudha? Ayo. Ha-
bisi saudaramu yang sombong itu...,” Ki Sutra mema-
nas-manasi Yudha Pasa agar segera melenyapkan adik
kandungnya.
Ki Sutra memang tidak perlu mengulangi ucapan-
nya. Begitu mendengar perkataan Ki Sutra, Yudha Pa-
sa menggerakkan pedangnya, siap menerjang Bangga
Pasa. Bayangan kesenangan hidup telah membuat ma-
ta dan hati Yudha Pasa buta.
“Haaat..!”
Disertai pekikan keras, tubuh Yudha Pasa melayang
ke arah adik kandungnya. Pedang di tangannya berke-
lebatan dengan serangkaian serangan maut yang me-
matikan. Yudha Pasa telah bertindak menjadi iblis ke-
jam. Ia rela disuruh melenyapkan saudaranya oleh
musuh-musuh keluarganya sendiri.
Melihat kakak sulungnya sudah tidak bisa disadar-
kan lagi, Bangga Pasa segera menggerakkan pedang-
nya menyambut serangan kakak kandungnya. Dalam
waktu singkat kedua kakak beradik itu telah saling
gempur bagai dua orang musuh bebuyutan!
Ki Sutra tertawa tergelak menyaksikan jalannya
pertarungan. Dan ketika melihat kedua kawannya mu-
lai dapat menguasai arena, tawanya semakin keras
dan berkepanjangan. Ia yakin sebentar lagi Bangga Pa-
sa bersama sisa prajuritnya akan segera lenyap dari
muka bumi.
Perkiraan Ki Sutra ternyata tidak meleset. Setelah
beberapa saat tawanya lenyap, enam orang sisa praju-
rit Bangga Pasa melolong ngeri. Tubuh mereka berkelo-
jotan mandi darah. Di tengah arena tampak Ki Warga-
na dan Ki Rayoang tertawa tergelak. Kemenangan telah
mereka capai dengan baik
Sementara Bangga Pasa yang bertarung melawan
Yudha Pasa kelihatan mulai kewalahan melawan ka-
kak kandungnya. Tapi bukan pekerjaan mudah bagi
Yudha Pasa untuk segera menundukkan perwira itu.
Kepandaian mereka tidak berselisih jauh. Kalaupun
dalam beberapa belas jurus ia dapat mendesak adik-
nya. Itu terjadi karena Bangga Pasa telah lelah dan da-
lam keadaan kurang baik. Dan sebelumnya telah ber-
tarung mati-matian melawan Ki Sutra.
Berbeda dengan Yudha Pasa. Lelaki gemuk itu da-
lam keadaan tubuh yang masih segar. Sehingga den-
gan kekuatan yang utuh ia dapat melancarkan seran-
gan yang membuat Bangga Pasa terdesak hebat.
“Mampus...!”
Sambil membentak, Yudha Pasa menyabetkan pe-
dangnya dengan gerakan miring. Senjata itu meluncur
berdesing mengincar tubuh Bangga Pasa.
Crattt...!
“Aaakh...!”
Bangga Pasa memekik ketika pedang lawan merobek lambung. Meskipun sudah berusaha mengelak,
tapi senjata Yudha Pasa masih melukai nya. Gerakan
Bangga Pasa memang menjadi lambat karena lelah dan
luka-luka yang dideritanya.
Melihat tubuh adiknya terjatuh, Yudha Pasa tetap
tidak tergerak hatinya. Bahkan ia melompat setinggi
bahu sambil membacokkan pedangnya dengan sepe-
nuh tenaga.
Bwettt..!
Disertai kilatan cahaya putih, suara mengaung ta-
jam itu datang siap membelah tubuh Bangga
Pasa!
“Haaat..!”
Pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan
Bangga Pasa, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang
menggetarkan jantung! Kemudian....
Plak!
“Akh...?!”
Yudha Pasa menjerit tertahan. Mendadak sesosok
bayangan putih menangkis sambaran pedangnya. Tu-
buh lelaki gemuk itu terjengkang ke belakang. Sedang-
kan pedangnya terlepas dari genggaman dan terpental
entah ke mana.
Sosok berjubah putih yang meluncur dengan kece-
patan laksana sambaran kilat itu menjejakkan kedua
kakinya di tanah. Gerakannya demikian ringan dan
nyaris tanpa suara. Sosok itu berdiri tegak di depan
Bangga Pasa yang tergeletak lemas karena terlalu ba-
nyak kehilangan darah.
“Hm.... Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih...!” ge-
ram Ki Sutra ketika mengenali orang yang telah meng-
gagalkan serangan Yudha Pasa. Kembali lelaki tua itu
terkejut melihat kemunculan pendekar muda yang tersohor itu.
“Dan lagi-lagi kau masih juga belum jera, Ki Sutra!
Sayang setelah hari ini petualanganmu akan berak-
hir...,” tukas sosok berjubah putih yang memang Panji.
Ditatapnya wajah Ki Sutra dengan sinar mata tajam,
hingga dada lelaki tua itu berdebar lebih kuat dari bi-
asanya.
“Kepung dan bunuh pendekar usilan itu...!” perin-
tah Ki Sutra kepada kawan-kawannya termasuk Yudha
Pasa.
Tanpa diperintah dua kali, ketiga lelaki itu langsung
bergerak menyebar. Mereka menggenggam senjata,
termasuk Yudha Pasa yang telah menemukan senja-
tanya kembali.
Panji tersenyum tipis melihat keempat lawannya
mulai membentuk kepungan. Tubuh pemuda itu sedi-
kit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tapi ia telah
siap menghadapi keroyokan empat orang lawannya.
“Yeaaah...!”
Ki Sutra memulai serangan dengan bacokan pe-
dang. Disertai suara berdesing tajam, senjata itu ber-
kelebat cepat mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Belum lagi serangan Ki Sutra tiba pada sasaran, ti-
ga orang lainnya sudah berlompatan menyerang Panji.
Mereka hendak mencincang tubuh pendekar muda itu
dalam serangan pertama.
“Hm....”
Panji memperdengarkan gumaman tak jelas. Kemu-
dian menggeser langkahnya saat tebasan pedang Ki
Sutra datang. Dan terus bergerak ke kiri dan kanan
dengan geseran kuda-kuda mantap untuk menghinda-
ri serangan tiga pengeroyok lainnya.
“Heaaah...!”
Setelah memberi kesempatan menyerang beberapa
jurus kepada lawannya, Panji mulai melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang sulit diikuti
mata. Keempat pengeroyok itu kalang-kabut menyela-
matkan diri dari hujan serangan Pendekar Naga Putih.
Melihat kepandaian pemuda berjubah putih itu, Ki
Sutra sadar ia tidak mungkin dapat menang. Meskipun
mengeroyok bersama-sama kawannya. Pikiran itu
membuat Ki Sutra mulai menggunakan keahliannya
dalam hal racun.
“Terimalah kematianmu, Pendekar Naga Putih...!”
bentak Ki Sutra seraya mengibaskan lengan kirinya.
Dan....
Whusss...!
Asap kekuningan menghalangi pandangan Panji ke-
tika Ki Sutra mengibaskan sehelai kain hitam yang ta-
hu-tahu telah tergenggam di tangan kirinya.
“Manusia keji...!” desis Panji sambil melompat mun-
dur dan mengibaskan kedua tangannya. Asap keku-
ningan itu membuat kedua matanya terasa panas dan
pandangannya menjadi kabur. Racun itu memang di-
maksudkan untuk mengaburkan pandangan lawan.
Sehingga Panji menjadi agak sibuk.
Dengan kedua mata terpejam, Pendekar Naga Putih
berlompatan mundur menghindari sambaran senjata
lawan. Walaupun hanya menggunakan pendengaran,
ternyata Panji masih tetap tangguh dan tidak mudah
dilukai. Kenyataan itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya penasaran.
“Kali ini kau pasti mampus, Pendekar Naga Pu-
tih...!”
Karena penasaran, Ki Sutra kembali merogoh kan-
tung kain di pinggang kirinya. Kemudian mengibaskan
lengannya dengan sekuat tenaga ke arah Panji.
Serrr, serrr...!
Puluhan jarum-jarum hitam yang halus berdesingan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Kali ini
Ki Sutra yakin pemuda tampan berjubah putih itu pas-
ti tidak akan selamat. Selain senjata rahasia itu dile-
paskan dalam jumlah banyak dan menutup semua ja-
lan keluar, suara jarum-jarum beracun itu pun sangat
halus. Nyaris ditelan desingan senjata mereka.
Tapi Ki Sutra terlalu menganggap enteng pendekar
muda itu. Lelaki tua itu agaknya belum banyak men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, ia merasa sangat yakin akan dapat meroboh-
kan Panji dengan mengandalkan senjata rahasianya.
“Hm....”
Panji hanya bergumam ketika mendengar desiran
lembut di antara desingan pedang lawan-lawannya.
Pemuda itu langsung dapat menebak kalau Ki Sutra
telah menggunakan senjata rahasia yang sangat kecil
bentuknya. Sadar akan bahaya yang mengancam kese-
lamatan dirinya, Pendekar Naga Putih mengerahkan
‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi selu-
ruh tubuhnya.
Seketika itu juga, tampaklah kabut bersinar putih
keperakan menyebar dan melindungi sekujur tubuh
Panji dalam jarak beberapa jengkal. Munculnya sinar
putih keperakan itu disertai dengan hembusan hawa
dingin menusuk tulang dan getaran gelombang tenaga
dalam yang amat kuat! Sehingga....
“Aaah...?!”
Ki Sutra hampir tidak percaya dengan kejadian
yang disaksikannya. Jarum-jarum beracun yang dile-
paskan dengan sekuat tenaga itu langsung berjatuhan
ke tanah ketika menyentuh kabut bersinar putih kepe-
rakan yang berpendar mengelilingi sekujur tubuh Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan gelombang hawa dingin
yang menyebar membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Semua itu benar-benar di luar perhitungan-
nya. Sampai-sampai Ki Sutra terpaku dibuatnya.
“Haiiit..!”
Setelah jarum-jarum beracun itu runtuh ke tanah,
Panji memekik nyaring, membuat lawan-lawannya ter-
jajar mundur dengan wajah menyeringai. Pekikan itu
membuat dada mereka terasa nyeri. Sebelum keempat
orang itu menyadari keadaannya, tahu-tahu....
Plak, desss...!
Ki Wargana dan Ki Rayoang terjengkang keras me-
muntahkan darah segar. Telapak tangan Panji telah
menggedor dada mereka. Karuan saja nyawa mereka
melayang seketika itu juga!
Tinggallah Ki Sutra dan Yudha Pasa yang kaget bu-
kan main menyaksikan kejadian itu. Sebab, Pendekar
Naga Putih hanya menggunakan pendengarannya saja
dalam melancarkan serangannya. Sampai saat itu ke-
dua matanya masih tetap terpejam rapat
Bukkk!
“Hugkh...!”
Kali ini tubuh Yudha Pasa yang terbanting keras ke
tanah. Tendangan yang dilontarkan Panji membuat le-
laki gemuk itu terbatuk hebat memuntahkan darah
segar. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian diam ti-
dak bergerak lagi. Mati!
“Sekarang terimalah bagianmu, Ki Sutra...!” seru
Panji seraya bergerak maju ke arah Ki Sutra.
Sebisanya Ki Sutra melompat menghindari serangan
pemuda itu. Tapi...
Desss...!
Hantaman telapak tangan kiri Panji tetap saja ber-
hasil mengenai tubuh lawan. Akibatnya, tubuh Ki Su-
tra terlempar ke belakang dan terjatuh memuntahkan
darah segar.
“Hm....”
Panji mendaratkan kedua kakinya tepat di depan
tubuh Ki Sutra yang tengah terbungkuk menahan se-
sak di dada. Tampaknya Pendekar Naga Putih tidak
langsung membunuh lelaki tua itu. Terbukti Ki Sutra
tidak tewas seperti dua orang kawannya.
“Kau... memang hebat, Pendekar Naga Putih...,” de-
sis Ki Sutra ketika merasa pendekar muda itu berada
di depannya. Setelah menengadah, Ki Sutra kembali
merunduk sambil menyeringai menahan rasa nyeri di
dada.
“Ki Sutra. Sebelum kau tewas, katakanlah apa yang
menyebabkan kau memusuhi keluarga Ki Ganda Pasa?
Mengapa kau tidak percaya orang tua itu sudah me-
ninggal...?”
Rupanya Panji sengaja tidak membunuh Ki Sutra,
karena ingin mendengar alasan lelaki tua itu memusu-
hi keluarga Ki Ganda Pasa.
“Ganda Pasa itu pengkhianat busuk!” umpat Ki Su-
tra. “Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, semasa
kami masih berkawan, kami membawa lari banyak
emas permata dari kerajaan. Semua itu terjadi ketika
negeri ini sedang kacau dan tengah terjadi peperangan
besar. Ganda Pasa yang saat itu mendapat tugas un-
tuk mengawal keluarga raja mengungsi, melarikan ke-
reta berisi benda-benda berharga. Sedangkan kami
yang menyamar sebagai perampok bertarung dengan
pengawal-pengawal sang Prabu. Setelah yakin Ganda
Pasa telah membawa lari kereta itu jauh-jauh, kami
meninggalkan pertarungan. Ternyata Ganda Pasa
mengkhianati kami karena keserakahannya. Ia tidak
menemui kami di tempat yang telah disepakati bersa-
ma....”
Ki Sutra menghentikan ceritanya untuk menghela
nafasnya yang sesak. Beberapa kali ia terbatuk keras.
“Lalu, kalian bertiga mencarinya selama puluhan
tahun...?” tanya Panji setelah batuk lelaki tua itu reda.
“Ya. Dan baru sekarang ini kami mengetahui tempat
tinggalnya. Mungkin selama kami melakukan penca-
rian, Ganda Pasa hidup berpindah-pindah. Sehingga
kami sulit sekali mengikuti jejaknya. Keberadaan Gan-
da Pasa, kami ketahui beberapa hari yang lalu. Guru
kami datang dengan luka yang parah hingga mem-
buatnya tewas. Rupanya Guru kami telah bertarung
dengannya. Tapi beliau sama sekali tidak memberi ta-
hu kalau Ganda Pasa pun mendapat luka, yang mem-
bawanya ke liang kubur,” jawab Ki Sutra dengan suara
yang semakin lemah.
Panji mengangguk setelah mendengar penuturan Ki
Sutra. Terungkaplah rahasia kematian Ki Ganda Pasa
yang selama ini menjadi teka-teki.
“Hm.... Apakah keluarga kerajaan tidak berusaha
melacak harta yang dilarikan Ki Ganda Pasa...?” tanya
Panji yang merasa pasti kalau pihak kerajaan akan
mencari Ki Ganda Pasa yang melarikan kereta berisi
harta tak ternilai itu.
“Tidak. Mereka mengira semua itu perbuatan para
perampok. Selain itu, raja yang berkuasa sekarang ti-
dak tahu-menahu perihal kereta harta itu. Sedangkan
semua keluarga kerajaan yang berhasil ditawan telah
dibunuh...,” jelas Ki Sutra. Lelaki tua itu merebahkan
tubuhnya. Nafasnya terdengar satu-satu.
Melihat penderitaan orang tua itu, Panji merasa ka-
sihan juga. Ia berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Su-
tra yang sudah tinggal menunggu ajal.
Bertahanlah, Ki. Aku akan mencoba mengobati-
mu...,” ujar Panji tidak tega melihat keadaan lelaki tua
itu.
Ki Sutra tersenyum ngeri sambil menggelengkan
kepala. Sebentar kemudian terbatuk hebat dengan
memuntahkan darah segar. Lalu kepalanya terkulai
lemas. Napas orang tua itu telah putus karena luka
dalam yang dideritanya.
Panji menghela napas panjang. Kemudian meng-
hampiri Bangga Pasa yang tengah terbaring di tanah.
Pemuda itu memberikan obat luka dalam. Dan tanpa
berkata apa-apa, dibawanya tubuh Bangga Pasa me-
ninggalkan tempat itu.
***
“Apa yang terjadi, Pendekar Naga Putih...?”
Kedatangan Panji di tempat kediaman Ki Ganda Pa-
sa langsung disambut dengan pertanyaan oleh Nara-
sumi. Gadis cantik itu kelihatan sangat cemas melihat
keadaan kakaknya.
“Tenanglah, Sumi...,” sambut Panji. Dan melangkah
masuk. Lalu merebahkan tubuh Bangga Pasa di atas
balai-balai terbuat dari bambu.
Bangga Pasa mencoba tersenyum untuk menenang-
kan hati adiknya. Walaupun tubuhnya terasa sudah
agak segar, perwira tinggi besar itu tidak berani bang-
kit Panji menyuruh agar tidak boleh bergerak dulu.
“Kakang Yudha ternyata telah berkhianat dan ber-
pihak kepada musuh-musuh kita, Sumi,” desah Bang-
ga Pasa perlahan. “Harta warisan yang belum jelas itu
sepertinya telah kena kutuk.”
Ucapan lelaki tinggi besar itu terdengar penuh pe-
nyesalan. Sebab warisan itu telah membuat mereka,
saudara sekandung, saling bermusuhan. Bahkan sam-
pai ada yang terbunuh.
“Hm.... Jadi kalian belum menemukan warisan itu?”
tanya Panji.
“Mungkin warisan terkutuk itu tidak pernah ada...,”
desis Narasumi dengan wajah murung.
“Tidak. Harta itu benar-benar ada. Aku telah men-
dengar kisahnya dari Ki Sutra...,” bantah Panji. Lalu
menceritakan pembicaraannya dengan Ki Sutra sebe-
lum orang tua itu tewas.
Bukan main terkejutnya Narasumi dan Bangga Pa-
sa. Mereka sungguh tidak menyangka kalau warisan
yang dicari Ki Sutra dan kawan-kawannya itu merupa-
kan hasil curian. Dan, ayah mereka terlibat di dalam-
nya. Bahkan memegang peranan yang sangat penting.
Tahulah mereka mengapa orang tua itu tidak pernah
bercerita mengenai warisan itu.
“Tapi..., di mana ayah menyembunyikannya...?” de-
sah Bangga Pasa, membuat mereka semua termenung.
“Di mana biasanya ayah kalian menyepi...?” tanya
Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Ayah tidak pernah pergi ke mana-mana. Beliau le-
bih sering bersemadi di dalam kamar...,” ujar Narasu-
mi.
“Ikut aku....”
Mendengar jawaban gadis cantik itu, Panji segera
mengajak Narasumi dan Kenanga ke kamar Ki Ganda
Pasa. Tanpa banyak cakap lagi, kedua gadis itu segera
mengikuti langkah Panji. Walaupun sebelumnya telah
memeriksa seluruh kamar ayahnya, Narasumi tidak
membantah. Sebab bisa saja ada yang luput dari me-
reka. Dan mungkin Pendekar Naga Putih lebih teliti
melacak tempat penyimpanan harta warisan itu.
“Setiap sudut di kamar ini sudah kami periksa...,”
ujar Narasumi ketika melihat Panji mulai menggeledah
kamar ayahnya.
“Hm...!” Panji menghentikan gerakannya, dan bangkit menatap sekeliling ruangan. “Apakah dinding-
dinding ini sudah ada pada saat kalian menempati
rumah ini...?”
Narasumi menggeleng perlahan. Kamar itu memang
tidak ada sebelumnya. Ayahnya sendiri yang mem-
buatnya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Panji.
Panji mengangguk-angguk. Lalu melangkah meng-
hampiri dinding kamar ini. Dengan jari-jari tangannya
yang mengandung tenaga dalam, pemuda itu menge-
tuk-ngetuk dinding. Kemudian menampar perlahan.
Dinding itu pun retak dan terkelupas. Maka....
“Ahhh...?!”
Narasumi dan Kenanga terbelalak melihat bagian
dalam dinding yang berwarna kuning keemasan. Lapi-
san bagian dalam dinding kamar itu terdiri dari emas!
Rupanya Ki Ganda Pasa menyembunyikan harta cu-
riannya di dalam dinding. Pantas Narasumi dan sauda-
ra-saudaranya tidak menemukan tempat penyimpanan
warisan itu.
“Aku yakin semua lapisan dinding kamar ini terbuat
dari emas mumi...,” ujar Panji setelah melakukan hal
yang sama pada tiga dinding lainnya. Lapisan bagian
dalam dinding sekeliling ruangan itu memang terdiri
dari emas mumi!
“Hebat sekali cara orangtua mu menyembunyikan
warisannya, Sumi,” ujar Kenanga. Gadis itu benar-
benar kagum dengan kecerdikan Ki Ganda Pasa. Se-
bab, tidak akan ada seorang pun yang menyangkanya.
Bagai orang kehilangan akal, Narasumi meraba-
raba lapisan emas yang ada di sekeliling dinding kamar
ayahnya. Sampai-sampai gadis itu tidak sadar kalau
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi diam-
diam. Kedua pendekar muda itu merasa warisan itu
bukan urusan mereka.
Narasumi hanya bisa menghela napas ketika me-
nyadari di kamar itu hanya tinggal dia seorang. Gadis
cantik itu baru sadar kalau Panji dan Kenanga telah
pergi. Diam-diam Narasumi merasa kagum akan kete-
guhan hati pasangan pendekar muda itu, yang tidak
tergoda oleh harta yang demikian melimpah. Narasumi
sadar kalau Pendekar Naga Putih dan Kenanga bukan
orang-orang serakah yang silau dengan harta. Bahkan
meminta bagian pun tidak!
“Mereka benar-benar orang gagah yang menolong
tanpa pamrih...!” hanya itu yang bisa diucapkan Nara-
sumi dengan menghela napas panjang.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar