..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE WARISAN TERKUTUK

Matjenuh khairil

 

WARISAN TERKUTUK
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Warisan Terkutuk 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
Kuda berbulu hitam mengkilat itu melesat bagai 
anak panah lepas dari busur. Kaki-kakinya yang ko-
koh berderap melintasi jalan lebar. Kendati demikian, 
penunggang kuda bertubuh gemuk itu masih belum 
puas. Bentakannya terus terdengar mengiringi derap 
kaki kuda. Agaknya lelaki gemuk itu tengah terburu-
buru.
Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda itu 
tiba di sebuah rumah besar yang agak terpencil. Begitu 
memasuki halaman, tubuhnya langsung melompat tu-
run dengan lincah. Rupanya lelaki gemuk itu bukan 
orang sembarangan. Terbukti ia dapat mendarat den-
gan baik saat kuda belum lagi berhenti.
Seorang laki-laki kurus berusia sekitar empat puluh 
tahun bergegas menyambut penunggang kuda itu. Se-
telah membungkuk hormat, tangannya segera me-
nyambut tali kekang yang diangsurkan ke arahnya.
“Kelihatannya aku orang pertama yang tiba di tem-
pat ini...,” gumam lelaki gemuk itu, setelah mengedar-
kan pandangannya ke sekeliling halaman.
“Benar, Tuan Yudha Pasa...,” sahut lelaki kurus. 
Kemudian bergegas menambatkan kuda lelaki gemuk 
yang bernama Yudha Pasa itu di tempat yang telah 
disediakan.
“Begitu mendapat kabar, aku langsung ke sini,” ujar 
Yudha Pasa. “Benarkah ayahku sudah wafat, Ra-
min...?”
Lelaki kurus bernama Ramin itu kelihatan agak gu-
gup. Hingga kening Yudha Pasa berkerut Sikap lelaki 
kurus itu membuat Yudha Pasa heran.

“Ramin...!” panggil Yudha Pasa dengan nada agak 
tinggi. Sebab Ramin belum juga menjawab perta-
nyaannya.
“Ya, Tuan....”
“Kau tidak mendengar pertanyaanku...?”
Yudha Pasa mengulang pertanyaannya. Kali ini na-
danya agak menyelidik. Itu karena sikap Ramin yang 
aneh.
“De... dengar, Tuan...,” sahut Ramin terbungkuk-
bungkuk dengan kepala. Kepala lelaki kurus itu me-
runduk. Tidak berani menentang pandang mata Yudha 
Pasa.
“Angkat kepalamu, Ramin. Dan jawab pertanyaanku 
tadi...!” bentak Yudha Pasa, kesal karena sikap lelaki 
kurus itu. Sehingga wajah Ramin menjadi agak pucat.
“Tuan Besar Ganda Pasa memang telah wafat sema-
lam. Nyai Narasumi segera mengirim orang untuk 
mengabarkannya kepada Tuan Yudha Pasa. Juga pada 
kedua putra Tuan Besar lainnya...,” jelas Ramin sedikit 
gugup. Kemudian kembali menundukkan wajahnya 
dalam-dalam. Terlihat bayang kedukaan pada wajah 
lelaki kurus itu.
“Hhh.... Kira-kira apa yang menyebabkan kematian 
ayahku, Ramin? Seingatku beliau tidak pernah mengi-
dap penyakit yang berbahaya...?” tanya Yudha Pasa la-
gi. Penasaran ingin mengetahui penyebab kematian Ki 
Ganda Pasa, ayahnya. Yudha Pasa merupakan anak 
tertua Ki Ganda Pasa. Lelaki gemuk itu sudah berpisah 
dari orang-tuanya. Ia tinggal di selatan bersama anak-
istrinya. Begitu mendapat kabar ia langsung bergegas 
menuju tempat ini.
“Aku sendiri tidak tahu, Tuan. Mungkin Nyai Nara-
sumi lebih tahu. Dialah yang merawat Tuan Besar ke-
tika mendadak sakit...,” jawab Ramin lancar. Kemudian melangkah perlahan mempersilakan Yudha Pasa 
memasuki rumah besar itu.
“Hm.... Jadi sebelumnya ayahku mendadak sakit 
Lalu meninggal karena serangan penyakit itu. Begitu 
maksudmu...?” tanya Yudha Pasa seraya melangkah 
perlahan mengikuti Ramin.
“Kira-kira begitulah, Tuan Yudha...,” sahut Ramin 
yang memang tidak tahu penyebab kematian tuan be-
sarnya.
Karena meskipun telah lama mengabdikan diri se-
bagai pelayan, tapi tidak semua persoalan di rumah itu 
diketahuinya. Terlebih perihal kematian Ki Ganda Pasa 
yang sangat mendadak. Hingga ia tidak bisa memberi-
kan jawaban pasti kepada putra sulung majikannya.
Belum juga Yudha Pasa dan Ramin masuk ke dalam
rumah, terdengar suara berderap,. Cepat keduanya 
menoleh ke asal suara. Tampak seekor kuda berbulu 
coklat berlari cepat memasuki halaman.
Yudha Pasa yang pandangannya lebih tajam dari 
Ramin, kelihatan mengerutkan kening. Ia melihat pe-
nunggang kuda itu terluka pada bahu kanannya. Yang 
membuatnya kaget, luka itu masih baru dan mengelu-
arkan darah. Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki ge-
muk itu bergegas memburu penunggang kuda itu.
“Apa yang terjadi, Adi Rengga...?!” tanya Yudha Pasa 
yang dengan sigap menahan lari kuda coklat itu. Meli-
hat caranya menghentikan lari kuda, agaknya Yudha 
Pasa memiliki kekuatan tenaga dalam yang tangguh.
“Entahlah, Kakang. Dalam perjalanan ke sini, aku 
dihadang dua orang lelaki kasar yang mengenakan ca-
dar untuk melindungi wajahnya. Tanpa banyak cakap 
mereka langsung menyerangku. Untunglah aku dapat 
mengusir mereka. Kendati harus mengalami luka di 
bahu...,” jelas lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh

tahun itu. Lalu melompat turun dari punggung kuda. 
Dan menyerahkan kuda itu kepada Ramin untuk di-
tambatkan.
“Kau tidak berusaha mengejar mereka, Adi Reng-
ga...?” tanya Yudha Pasa sangat penasaran dengan ke-
jadian yang dialami lelaki tegap itu.
“Hhh...,” lelaki tegap itu menghela napas.
Rengga Pasa adalah putra kedua Ki Ganda Pasa. 
Seperti juga Yudha Pasa, ia pun mendapat kabar ten-
tang kematian ayahnya. Dan meninggalkan keluar-
ganya untuk menjenguk orangtuanya.
“Mereka sangat tangguh, Kakang. Kelihatannya me-
reka menghendaki kematianku! Tidakkah Kakang me-
rasakan ada keanehan dengan kejadian itu...?” ujar 
Rengga Pasa, seraya melangkah perlahan.
“Hm.... Kematian ayah sudah membuatku merasa 
aneh. Apalagi dengan adanya kejadian yang kau alami. 
Jelas ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian 
ayah...,” timpal Yudha Pasa seraya menatap wajah 
adiknya. Ia langsung mengutarakan kecurigaannya 
mengenai kematian Ki Ganda Pasa yang menurutnya 
tidak wajar.
Rengga Pasa tidak menimpali ucapan kakaknya. 
Keningnya berkerut. Lelaki tegap itu tengah memikir-
kan ucapan Yudha Pasa.
“Kematian adalah sesuatu yang wajar...!”
Tiba-tiba terdengar suara halus namun jelas di te-
linga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Sehingga kedua-
nya menoleh.
“Sumi...!”
Hampir berbarengan kedua lelaki itu berseru perla-
han ketika melihat seorang gadis berusia dua puluh 
dua tahun berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tu-
buhnya bersandar pada tiang pintu. Gadis cantik itu

adalah Narasumi, putri bungsu Ki Ganda Pasa. Dialah 
yang menemani dan merawat ayahnya dalam menjala-
ni sisa-sisa hidupnya.
Narasumi melangkah perlahan dengan tangan ma-
sih terlipat di dada. Sepasang matanya yang bulat dan 
jernih menatap kedua kakaknya berganti-ganti. Na-
mun sepasang mata itu agak membengkak. Gadis can-
tik itu rupanya terlalu banyak mengeluarkan air mata. 
Dan itu kelihatan jelas oleh kedua kakaknya.
“Katakan, apa penyebab kematian ayah, Sumi...?” 
tanya Yudha Pasa setelah gadis itu tiba di dekat mere-
ka berdua. Lelaki gemuk itu belum dapat menerima 
kematian ayahnya begitu saja, tanpa keterangan yang 
jelas dan memuaskan hati.
“Duduklah dulu, Kakang,” ujar Narasumi kepada 
kedua kakaknya.
Nada ucapan gadis itu sedikit pun tidak menunjuk-
kan keakraban. Narasumi memang tidak begitu dekat 
dengan kedua kakaknya. Terlebih setelah keduanya 
berkeluarga dan mereka bertiga jarang sekali berkum-
pul.
Yudha dan Rengga tidak membantah. Keduanya 
menjatuhkan tubuh di kursi di ruang depan. Begitu 
juga Narasumi. Lalu mereka saling berpandangan se-
saat
“Kemarin ayah berpamitan padaku. Beliau tidak 
mengatakan hendak ke mana dan melakukan apa. Ta-
pi, pada saat kembali aku baru dapat menebak apa 
yang sudah terjadi. Sebab ayah mengalami luka dalam 
yang cukup parah. Jelas beliau telah bertarung dengan 
lawan tangguh. Sayangnya beliau tidak mengatakan 
apa-apa, meski telah ku desak,” jelas Narasumi meng-
hilangkan keheningan di antara mereka. Wajah cantik 
itu terlihat memendam rasa penasaran yang dalam.

“Jadi, luka itukah yang menyebabkan kematian 
ayah...?” tanya Yudha Pasa sambil menatap wajah adik 
perempuannya lekat-lekat. 
“Yahhh...!”
Narasumi menjawab dengan desahan lirih. Gadis itu 
membuang pandangannya ke luar jendela. Tampak se-
pasang matanya merebak. Rupanya ingatan itu mem-
buat kesedihannya bangkit kembali.
“Apa kau tidak dapat menebak, siapa kira-kira 
orang yang telah bertarung dengan ayah?”
Rengga Pasa yang sejak tadi termenung, melontar-
kan pertanyaan. Kilatan dendam terpancar pada sepa-
sang matanya yang tajam. Tampak sekali kalau Rengga 
Pasa tidak bisa menerima begitu saja kematian orang-
tuanya.
“Tidak. Sepanjang pengetahuanku, ayah tidak 
mempunyai musuh. Itu sebabnya aku sangat penasa-
ran! Sampai kematian datang menjemput, ayah tidak 
mau bercerita mengenai lawan yang telah melukainya. 
Tampaknya beliau tidak ingin kita mendendam pada 
orang itu...,” jawab Narasumi dengan penasaran. 
Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga hanya 
bisa memendam rasa penasarannya dalam-dalam.
Pembicaraan mereka terputus oleh suara langkah 
yang menuju ke tempat itu. Tidak berapa lama kemu-
dian, muncullah sesosok tubuh tinggi besar. Wajahnya 
menunjukkan kekerasan hatinya. Pakaiannya agak ke-
tat hingga memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang 
bersembulan. Lelaki tinggi besar itu sejenak berdiri di 
ambang pintu, dan tersenyum pada ketiganya.
“Rupanya aku datang terlambat....”
Lelaki tinggi besar itu membuka suaranya yang be-
sar dan berat. Kemudian menarik kursi yang masih 
kosong dan menjatuhkan tubuhnya disertai helaan

napas.
“Kupikir kau tidak akan sempat datang, Bangga. 
Ternyata dugaanku keliru,” ucap Rengga Pasa. Keliha-
tannya sambutan yang diberikan lelaki tegap itu cukup 
hangat. Membuat lelaki tinggi besar yang bernama 
Bangga tersenyum lebar.
“Meski tugas-tugasku sebagai perwira kerajaan cu-
kup banyak, tapi aku tetap menyempatkan diri untuk 
datang menghadiri pemakaman ayah. Bagiku ini jauh 
lebih penting dari tugas-tugasku...,” timpal Bangga, 
yang juga mempunyai nama belakang Pasa, seperti 
halnya Yudha dan Rengga. Sebab lelaki tinggi besar itu 
merupakan putra ketiga Ki Ganda Pasa.
“Bagus kalau kau mempunyai pemikiran demi-
kian...,” tukas Yudha Pasa agak dingin. Sikapnya me-
nunjukkan bahwa hubungan mereka tidak terlalu de-
kat
Mendengar ucapan agak sinis itu, Bangga Pasa 
mengalihkan pandangannya dari wajah Rengga. Dita-
tapnya wajah Yudha Pasa, kakak tertuanya, dengan 
sorot mata tajam. Sikap itu membuat suasana di anta-
ra mereka menjadi tegang.
“Kakang Bangga,” Narasumi berusaha mengalihkan 
perhatian lelaki tinggi besar itu. “Biasanya seorang 
perwira akan membawa beberapa prajuritnya bila hen-
dak bepergian. Apa kau tidak dikawal prajurit-
prajuritmu...?”
“Tentu saja ada beberapa prajurit yang menyertai-
ku, Sumi. Mereka ku tinggalkan di luar. Aku tidak in-
gin pertemuan di antara kita terganggu...,” meski agak 
segan, Bangga Pasa menyahuti pertanyaan adiknya. 
Sehingga usaha Narasumi untuk menghilangkan kete-
gangan di antara mereka tidak sia-sia.
“Eh! Bahumu kenapa, Kakang Rengga...?” Bangga

Pasa yang baru menyadari ada luka di bahu Rengga 
Pasa langsung melontarkan pertanyaan.
“Tidak apa-apa, Adi. Hanya sedikit goresan pedang. 
Ketika aku lewat di Hutan Klaren, dua orang bercadar 
hitam menghadang jalanku. Untunglah mereka dapat 
kuusir pergi, kendati bahu ku sempat tergores pedang 
salah seorang dari mereka...,” ujar Rengga Pasa menje-
laskan sebab luka di bahunya.
“Hm.... Mungkin mereka hendak merampokmu, Ka-
kang. Karena dandananmu memang cukup mewah...,” 
tukas Bangga Pasa menduga.
“Entahlah. Tapi, sepertinya mereka menghendaki 
kematianku...,” lanjut Rengga Pasa sedikit memban-
tah. Sebab ia sendiri belum tahu pasti maksud peng-
hadang-penghadang itu.
Bangga Pasa baru saja hendak menimpali. Namun 
ditahannya ketika dari luar terdengar suara lantang 
yang membuat mereka berempat terkejut!
“Ganda Pasa, keluarlah! Kali ini kau tidak akan bisa 
lari dari kami...!”
Keempat putra dan putri Ki Ganda Pasa terkejut 
bukan main. Teriakan lantang yang dikeluarkan mela-
lui pengerahan tenaga dalam itu membuat mereka sal-
ing berpandangan sejenak. Baru setelah Bangga Pasa 
bergerak keluar ruangan, yang lainnya bergegas me-
nyusul.
***
Hampir bersamaan keempatnya mendaratkan kaki 
di halaman depan. Mereka melihat tiga orang lelaki 
tengah dikepung enam orang prajurit kerajaan. Kenda-
ti demikian, tidak terlihat kegentaran di wajah ketiga

lelaki bertampang kasar itu. Usia mereka tidak muda 
lagi, rata-rata berumur sekitar lima puluh tahun. Je-
las, ketiga orang itulah yang mencari Ki Ganda Pasa.
Bangga Pasa melangkah maju dengan wajah garang. 
Dan memerintahkan keenam prajuritnya untuk mun-
dur. Lelaki tinggi besar yang kelihatan sangat kuat itu 
berhadapan dengan tiga orang tamu tidak diundang 
itu.
Yudha, Rengga, dan Narasumi juga tidak tinggal di-
am. Ketiganya mendampingi Bangga. Mereka pun me-
rasa penasaran melihat ada orang mencari ayahnya. 
Apalagi dari suara teriakan tadi jelas terkandung mak-
sud yang tidak baik. Mereka ingin tahu maksud orang-
orang itu mencari ayah mereka.
“Kisanak. Siapakah kalian bertiga? Ada keperluan 
apa hendak bertemu dengan ayahku...?” tanya Bangga 
Pasa dengan berwibawa. Rupanya kebiasaan sikapnya 
sebagai seorang perwira telah menyatu dengan dirinya. 
Melihat itu, ketiga tamunya mengerutkan kening da-
lam-dalam.
“Kau putra Ganda Pasa...? Apa aku tidak salah 
dengar?” tegas salah seorang dari tiga lelaki bertam-
pang kasar itu. Wajahnya dipenuhi cambang bauk le-
bat Sepasang matanya menyipit, seolah ingin memper-
jelas pandangannya.
“Kau tidak salah dengar, Kisanak. Kami berempat 
adalah putra-putri Ki Ganda Pasa. Kalau kalian ada 
keperluan, silakan sampaikan kepada kami. Kami be-
rempat merupakan wakil-wakil beliau...,” kali ini Yud-
ha Pasa yang berbicara. Lelaki gemuk itu berdiri di 
samping Bangga Pasa. Dan menatap ketiga orang asing 
itu dengan pandangan curiga.
Tapi lelaki bercambang bauk itu tidak mempeduli-
kan Yudha Pasa. Sepasang matanya tetap mengawasi

sosok lelaki tinggi besar berpakaian perwira. Di antara 
keempat anak-anak Ki Ganda Pasa, rupanya hanya 
Bangga Pasa yang menarik perhatiannya. Terbukti, 
hanya perwira itulah yang sejak tadi diperhatikannya.
“He he he...! Benar-benar sulit dipercaya kalau ke-
turunan Ki Ganda Pasa menjadi abdi kerajaan....”
Tiba-tiba lelaki brewok itu tertawa mengejek. Jelas, 
ejekan itu bukan ditujukan kepada Bangga Pasa, tetap 
kepada orangtuanya. Dan Bangga Pasa tahu akan hal 
itu.
“Hm.... Tampaknya kau cukup mengenal baik ayah-
ku, Kisanak!” suara Bangga Pasa menyimpan kegera-
man. “Katakan, apa keperluanmu? Atau sebaiknya kau 
minggat saja dari tempat ini sebelum kuusir seperti 
anjing kurap...!”
“Ha ha ha...! Hebat... hebat...! Betapa gagahnya pu-
tra Ganda Pasa ini. Kelihatannya orang tua itu telah 
berhasil mendidik putra-putrinya dengan baik. Sam-
pai-sampai salah seorang keturunannya menjadi per-
wira kerajaan. Sungguh menarik sekali...!”
Tawa lelaki brewok itu terdengar lantang. Agaknya 
ia tidak mengindahkan ancaman Bangga Pasa. Dan si-
kap itu membuat wajah perwira kerajaan itu menjadi 
gelap.
“Orang tua!” geram Bangga Pasa lantang. “Sekali la-
gi kuperingatkan agar kau segera angkat kaki dari 
tempat ini! Kalau tidak, jangan salahkan jika aku ber-
tindak kasar...!”
Untuk kedua kalinya Bangga Pasa mengeluarkan 
ancaman. Dan, itu bukan sekadar ancaman kosong. 
Sehingga tawa laki-laki bercambang bauk itu lenyap. 
Dan wajahnya berubah menjadi sungguh-sungguh.
“Hm.... Sebenarnya kedatanganku kemari ingin ber-
temu ayahmu, Perwira Gagah. Tapi kelihatannya kein

ginanku tidak akan mudah terlaksana. Dan itu mem-
buatku kecewa...,” gumam lelaki brewok dengan sorot 
bola mata tajam menentang pandang mata Bangga Pa-
sa. Tampak jelas sepasang mata itu menyimpan rasa 
penasaran yang dalam.
“Keparat! Masih juga kau banyak bicara...!”
Rengga Pasa yang sejak tadi hanya diam menden-
garkan, tiba-tiba membentak marah. Tahu-tahu saja 
tubuhnya melayang dengan pukulan lurus ke arah le-
laki brewok itu.
Bet!
Meskipun serangan yang dilancarkan Rengga Pasa 
cukup mendadak, namun lelaki brewok itu sanggup 
menghindar. Dengan hanya menggeser kaki kanannya 
ke samping, pukulan kuat itu lewat di sampingnya.
“Sambut ini...!”
Rengga Pasa semakin penasaran. Cepat lengannya 
diputar, dan langsung dibabatkan ke leher lawan den-
gan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lelaki brewok 
itu sempat mengeluarkan pujian. Kali ini ia tidak beru-
saha mengelak. Diangkatnya tangan kanan ke atas 
dengan kedudukan berdiri tegak. Sehingga....
Dukkk! 
“Uhhh...?!”
Keluhan lirih terdengar dari mulut Rengga Pasa. 
Tubuh lelaki tegap itu terjajar mundur empat langkah. 
Sedangkan tubuh lawan hanya tergetar sesaat. Itu je-
las membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga 
dalam, Rengga Pasa masih kalah setingkat dari lelaki 
brewok itu.
“Setan...!”
Kenyataan itu tidak membuat Rengga Pasa menjadi 
gentar. Malah ia semakin penasaran dan marah. Lelaki 
tegap itu kembali membuka jurus untuk bertarung

mati-matian!
“Rengga, tahan...!”
Sebelum Rengga Pasa memulai serangannya, tiba-
tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul dengan me-
layangnya sesosok tubuh gemuk yang langsung berdiri 
di hadapan lelaki tegap itu. Dia adalah Yudha Pasa, 
putra sulung Ki Ganda Pasa.
“Kisanak. Harap maafkan tindakan adikku. Mak-
lum, saat ini kami tengah berkabung. Jadi kuminta 
dengan hormat kalian segera meninggalkan tempat ini. 
Kalaupun ada keperluan, lain kali saja kalian datang 
ke sini...,” ujar Yudha Pasa yang tidak ingin terjadi 
perkelahian. Dan meminta ketiga orang itu untuk sege-
ra pergi.
“Berkabung? Apa maksudmu? Apa kau hendak 
mengelabui kami...?” tanya lelaki brewok. Rupanya ia 
belum mendengar mengenai kematian Ki Ganda Pasa. 
Hingga terkejut mendengar ucapan Yudha Pasa.
“Benar. Kami tengah berkabung atas kematian ayah 
kami...,” sahut Yudha Pasa dengan suara lirih, berha-
rap agak ketiga orang itu mau mengerti keadaan mere-
ka.
“Maksudmu.... Ki Ganda Pasa telah tiada...?” tanya 
lelaki brewok itu menegasi.
Wajahnya menyiratkan kekagetan yang sangat. Tapi 
itu hanya berlangsung sesaat. Sebentar kemudian, ta-
wanya kembali terdengar. Bahkan kali ini jauh lebih 
keras.
“Hm.... Baiklah, kami akan pergi,” ujar lelaki bre-
wok menghentikan tawanya. “Tapi, jangan kira kami 
percaya begitu saja dengan kematian Ki Ganda Pasa. 
Kalian harus ingat itu...!”
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu menga-
jak kedua temannya untuk meninggalkan tempat ini.

Yudha Pasa dan saudara-saudaranya saling bertu-
kar pandang. Setelah ketiga sosok tubuh itu lenyap, 
baru mereka berbalik meninggalkan tempat itu. Ada 
gambaran penasaran di wajah putra-putri Ki Ganda 
Pasa ini.
***
DUA


Narasumi duduk termenung menghadap jendela 
kamarnya. Angin malam yang dingin dibiarkan ber-
hembus masuk melalui jendela yang terbuka lebar. 
Wajahnya yang cantik tampak muram. Agaknya musi-
bah yang menimpa keluarganya masih membebani pi-
kiran gadis itu. Kejadian itu masih menjadi tanda 
tanya baginya.
Ketiga kakaknya telah kembali ke tempat tinggal 
masing-masing begitu penguburan ayah mereka sele-
sai. Narasumi tidak bisa berbuat apa-apa untuk me-
nahan mereka agar tinggal lebih lama di rumah ini. 
Gadis itu maklum bahwa ketiga saudaranya sibuk 
dengan tugas-tugas mereka. Narasumi menerima ke-
sendiriannya itu dengan hati ikhlas.
Di dalam rumah yang besar itu Narasumi hanya di-
temani tiga orang pelayan. Satu laki-laki dan dua 
orang perempuan. Tapi mereka tidak bisa diajak bica-
ra. Sebab ketiga pelayan itu sedikit pun tidak mengerti 
ilmu silat. Narasumi sendiri tidak mengerti, mengapa 
ayahnya tidak menurunkan ilmu silat pada ketiga pe-
layan itu. Padahal kalau mereka menguasai ilmu silat, 
tentu akan lebih membantu dalam keadaan seperti itu.
“Hhh...!”

Helaan napas berat yang meluncur menandakan 
hati gadis cantik itu tengah dilanda keresahan. Karena 
kematian ayahnya yang mendadak tanpa diketahui 
siapa pembunuhnya. Dan kedatangan tiga orang lelaki 
kasar yang tidak dikenalnya. Mereka mencari ayahnya 
justru pada saat orang tua itu sudah pergi untuk se-
lama-lamanya. Yang membuat Narasumi tak habis pi-
kir, mengapa mereka tidak datang sebelumnya. Selagi 
ayahnya masih hidup. Ke mana saja orang-orang kasar 
itu selama ini? Mengapa mereka datang justru pada 
saat ayahnya telah meninggal?
Semua itu menjadi pertanyaan yang tidak pernah 
lenyap dari benak Narasumi. Pikiran itu membuatnya 
tidak bisa tertidur. Kebisuan dan keheningan malam 
setia menemaninya. 
“Hhh...!”
Untuk kesekian kalinya Narasumi menghela napas 
berat. Dengan malas ia bangkit dari duduknya dan me-
langkah gontai menghampiri jendela. Kemudian menu-
tupnya rapat-rapat. Dan tubuhnya dihempaskan ke 
atas pembaringan dengan disertai helaan napas berat 
yang berkepanjangan.
Dalam keheningan itu Narasumi membiarkan piki-
rannya menerawang jauh ke masa silam. Saat-saat ia 
hidup bahagia bersama ayahnya. Lelaki tua yang ia 
kenal sangat tertutup dan lebih banyak berdiam diri. 
Ayahnya tidak pernah menceritakan masa lalunya ke-
padanya. Kendati demikian, Narasumi dapat memak-
lumi. Ia tahu ayahnya merasa kehilangan dengan ke-
matian ibunya. Ia sendiri hampir tidak pernah men-
genal wanita yang melahirkannya itu. Perempuan itu 
telah tiada sewaktu ia berusia lima tahun. Semenjak 
itulah ayahnya lebih banyak diam dan mengurung diri 
di kamar. Satu hal yang tidak pernah dilupakannya

adalah tidak tetapnya tempat tinggal mereka. Ayahnya 
tidak pernah betah tinggal lama di satu tempat atau 
desa. Di tempat yang sekarang pun mereka baru ting-
gal kurang dari setahun. Selain itu, tempatnya sangat 
terpencil dan jauh dari rumah-rumah penduduk.
“Aku tidak menyukai keramaian yang hanya men-
datangkan keributan.”
Demikian yang selalu dikatakan ayahnya bila Nara-
sumi bertanya kepada orang tua itu. Dan, jawaban itu 
tidak bisa dibantahnya.
“Ayah...,” desah Narasumi resah. “Mengapa hidup-
mu penuh dengan teka-teki? Mengapa kau tidak per-
nah bercerita kepada kami? Sehingga di antara kita ti-
dak terjalin keakraban. Ada apa sebenarnya dengan 
masa lalumu...?”
Pertanyaan itu kembali memenuhi benak Narasumi. 
Pernah suatu kali ia memberanikan diri mengajukan 
pertanyaan itu kepada ayahnya. Tapi hanya kemara-
han yang didapat. Sehingga gadis itu tidak berani lagi 
menanyakan masalah itu. Hanya pernah terpikir di 
benaknya bahwa masa lalu ayahnya mungkin sangat 
pahit. Walau ia tidak pernah tahu apa sebenarnya 
yang dialami orang tua itu di masa mudanya.
Tiba-tiba lamunan gadis cantik itu buyar. Telin-
ganya yang tajam menangkap suara langkah kaki di 
atas atap rumah. Meskipun tahu kalau orang yang be-
rada di atas atap itu telah berusaha tidak menimbul-
kan bunyi, namun sempat juga tertangkap telinga Na-
rasumi saat lewat di atas kamarnya. Hingga gadis itu 
menjadi curiga. Dan ingin mengetahui siapa yang ma-
lam-malam mendatangi rumahnya selagi semua orang 
terbuai mimpi indah.
Merasa akan terjadi sesuatu yang tidak baik, gadis 
cantik itu melompat bangkit dari atas pembaringan.

Setelah mengenakan pakaian ringkas, Narasumi mem-
buka jendela kamarnya dengan hati-hati dan tanpa 
menimbulkan bunyi. Dengan terlebih dahulu memati-
kan penerangan di dalam kamarnya. Gadis itu melom-
pat keluar dan melesat hati-hati setelah menutup jen-
dela.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang pucat, 
Narasumi bergerak perlahan dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh. Kemudian melesat naik ke 
atas wuwungan rumah. Dan merunduk beberapa saat 
memperhatikan sekitarnya.
“Hm.... Melihat bentuk tubuh dan jumlah mereka, 
kelihatannya tiga orang yang pagi tadi hendak mem-
buat keributan. Rupanya mereka penasaran hendak 
bertemu dengan ayah. Tadi pagi mereka tidak berani 
bertingkah macam-macam. Karena ada Kakang Bang-
ga yang menjadi abdi kerajaan berpangkat perwira. 
Tentu ketiga orang itu tidak ingin mencari susah den-
gan menyerang abdi kerajaan. Bisa-bisa mereka ditu-
duh pemberontak dan menjadi buronan...,” gumam 
Narasumi yang agaknya dapat menduga siapa yang 
mendatangi rumahnya.
Meskipun hanya sekilas, Narasumi sempat melihat 
bayangan ketiga orang itu. Mereka adalah laki-laki. 
Narasumi dapat membedakan gerakan mereka saat 
melompat turun dari atas atap ke dinding rumah.
Narasumi menyadari ketiga orang itu bukan tokoh 
sembarangan. Tapi gadis cantik ini tidak merasa gen-
tar. Ia tetap membuntuti mereka dengan mengandal-
kan ilmu meringankan tubuh warisan ayahnya.
“Berlatihlah dengan sungguh-sungguh, agar kelak 
kalian bisa menjaga diri dengan baik....”
Nasihat yang selalu didengungkan ayahnya pada 
saat melatih dirinya dan ketiga kakaknya kembali ber

gaung di telinga. Dan mereka berempat kini merasakan 
hasil didikan keras itu. Kakaknya yang ketiga dapat lo-
los dari ujian calon perwira kerajaan. Padahal sain-
gannya sangat banyak. Itu membuat Narasumi merasa 
bangga. Sayang saudara yang paling dekat dengannya 
itu selalu disibukkan oleh tugas-tugas negara. Sehing-
ga, Narasumi terkadang merasa rindu pada Bangga 
Pasa.
Narasumi pun merasakan hasil didikan keras ayah-
nya. Ia menjadi seorang gadis yang tangguh, dan tidak 
mudah dijatuhkan lawan. Bahkan kepandaiannya bo-
leh dibilang hampir mengalahkan ketiga kakaknya. Na-
rasumi mendapat sebuah ilmu khusus yang tidak di-
dapat kakak-kakaknya. Ia maklum mengapa ayahnya 
berbuat demikian. Sebab ia merupakan satu-satunya 
wanita dalam keluarga itu. Sehingga, ayahnya menu-
runkan sebuah ilmu khusus untuk putrinya itu. Den-
gan demikian, Narasumi tidak kalah dengan ketiga 
saudaranya.
Narasumi masih membuntuti ketiga sosok laki-laki 
itu. Gadis itu melompat turun ke halaman samping, 
setelah yakin kalau ketiga tamu tak diundang itu tidak 
menyadari kalau mereka dibuntuti. Sayang gadis can-
tik putri bungsu Ki Ganda Pasa ini terlalu hati-hati. 
Sehingga ia kehilangan jejak buruannya.
“Hm.... Kalau mereka ketiga lelaki kasar yang da-
tang pagi tadi, pasti kamar ayah yang menjadi tujuan-
nya. Tidak ada salahnya bila aku pergi menyelidiki 
kamar itu...!” gumam Narasumi perlahan. Kemudian 
melesat menuju kamar ayahnya.
Berbeda dengan kamar kepala keluarga pada 
umumnya, Ki Ganda Pasa tidak tinggal dekat dengan 
kamar putra-putrinya. Lelaki tua yang selalu menyen-
diri itu membuat kamar khusus untuk dirinya. Yang

terletak agak berjauhan dengan rumah induk. Dan 
anak-anaknya tak pernah membantah keinginan orang 
tua itu. Ke tempat itulah sekarang Narasumi pergi.
Perkiraan gadis cantik itu ternyata cukup jitu. Dari 
kejauhan, di balik bayang hitam dinding rumah, ia me-
lihat ketiga tamu tak diundang itu tengah mengendap-
endap menuju kamar ayahnya. Dari sikap mereka, Na-
rasumi dapat menebak kalau ketiga orang? itu belum 
percaya ayahnya sudah meninggal. Hingga Narasumi 
menjadi heran. Tapi itu tidak dipikirkannya lebih jauh. 
Hendak diketahuinya, apa yang diinginkan orang-
orang itu dari ayahnya. Dan Narasumi ingin segera 
mendapat kepastian. Maka ia tidak berusaha mence-
gah mereka mendekati kamar ayahnya.
Ketika orang-orang itu mendobrak pintu kamar dan 
berkelebat masuk, Narasumi melesat cepat Lalu mera-
patkan tubuhnya ke dinding. Dari tempat persembu-
nyiannya, ia melihat ketiga lelaki itu menyalakan peli-
ta. Dan memeriksa seluruh perabotan kamar itu. Per-
buatan mereka membuat Narasumi mengerutkan ken-
ing dalam-dalam.
Jelas ada sesuatu yang mereka kehendaki dari 
ayahku.... Entah apa yang mereka cari...? Gumam ga-
dis cantik itu dalam hati. Karena tidak sabar, akhirnya 
Narasumi melompat dari tempat persembunyiannya 
dan membentak keras!
“Maling-maling hina! Apa yang kalian kehendaki da-
ri ayahku...?!” bentak Narasumi tanpa rasa gentar se-
dikit pun. Gadis cantik itu berdiri dengan kedua kaki 
terentang. Tangan kanannya menggenggam sebilah 
pedang telanjang.
Karena tidak menduga bakal dipergoki, ketiga orang 
itu sempat terkejut oleh bentakan Narasumi yang 
mengandung tenaga dalam. Serentak mereka berlompatan keluar menghadapi gadis cantik yang sedang di-
landa kemarahan besar itu.
“Hm.... Kau kiranya...,” desis salah seorang dari ke-
tiga lelaki kasar itu dengan nada meremehkan. Karena 
yang memergoki mereka hanya seorang gadis muda 
yang tidak perlu ditakuti.
Melihat kemunculan Narasumi, ketiga orang itu 
mengedarkan pandangan. Agaknya mereka kurang ya-
kin kalau gadis itu datang seorang diri. Tapi ketika 
hanya mendapatkan kesunyian di sekitarnya, mereka 
pun merasa yakin kalau gadis cantik itu memang 
hanya seorang diri.
“Kau benar-benar membuatku kagum, Gadis Can-
tik! Tentu kau salah seorang keturunan Ki Ganda Pa-
sa, bukan? Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang kami 
inginkan dari ayahmu yang pengkhianat itu...?”
Lelaki bercambang bauk mewakili kawan-
kawannya. Sepasang matanya yang menyorot tajam 
merayapi wajah cantik Narasumi. Ada kilatan bernada 
kurang ajar pada sepasang mata lelaki berusia lima 
puluh tahun itu.
“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Orang 
Tua! Sebaiknya kalian minggat dari sini sebelum aku 
benar-benar marah...!” ujar Narasumi setengah men-
gancam. Pedang di tangannya melintang di depan da-
da. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap memperta-
ruhkan nyawa demi kehormatan keluarganya.
“He he he...! Kau pikir kami percaya begitu saja 
dengan jawabanmu, Gadis Cantik! Kami yakin ayahmu 
pernah bercerita tentang masa mudanya. Nah, untuk 
itulah kami datang kemari...,” ujar lelaki brewok tidak 
percaya.
Sikapnya tampak semakin kurang ajar. Bukan 
hanya wajah gadis itu yang dijilati pandangan matanya. Tubuh ramping dan padat gadis itu pun dila-
hapnya habis-habisan. Hingga Narasumi menjadi jen-
gah dan bertambah marah.
“Hm.... Rupanya kau sejenis bandot tua kurang 
ajar! Kau memang harus diberi pelajaran agar lain kali 
tidak bersikap seperti serigala lapar...!”
Setelah berkata demikian, Narasumi mengkele-
batkan pedang di tangannya. Hingga terdengar suara 
berciutan tajam.
“Hm.... Gerakan bagus dan indah!” puji lelaki tua 
itu tanpa bermaksud meremehkan. “Dan itu merupa-
kan jawaban bahwa kau mengetahui maksud kedatan-
gan kami. Untuk membantu ingatanmu, kami akan 
memperkenalkan diri. Namaku Ki Sutra. Kedua orang 
yang berada di kanan dan kiriku ini Ki Wargana dan Ki 
Rayoang. Nah, bukankah ayahmu sudah menceritakan 
tentang kami bertiga...?”
“Aku tidak pernah mengenal nama kalian sebelum-
nya! Jadi percuma saja kalian berharap dapat mem-
bantu ingatanku...!” tukas Narasumi ketus, membuat 
ketiga lelaki yang sudah cukup berumur itu menjadi 
kaget.
“Bocah keras kepala!” bentak Ki Sutra dengan suara 
menggelegar.
Lelaki tua itu kelihatan sangat marah karena Nara-
sumi bersikap tidak mau menceritakan apa yang di-
mintanya. Ia tidak percaya kalau Narasumi menjawab 
dengan jujur dan apa adanya.
“Lalu apa yang hendak kalian lakukan terhadapku, 
Orang-Orang Tak Tahu Sopan? Jangan dikira aku ta-
kut menghadapi keroyokan badut-badut seperti ka-
lian...!” tantang Narasumi tenang. Sedikit pun tidak 
tampak kegentaran di wajahnya.
“Hm.... Hendak kulihat sampai di mana kekerasan

hatimu, Gadis Cantik...!”
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Sutra sudah 
melayang ringan ke arah Narasumi. Kendati tidak 
menggunakan senjata, angin pukulannya terdengar 
menyambar kuat Hingga gadis cantik itu segera meng-
geser kakinya.
Whuuut, whuuut...!
Dua kali serangan lawan hanya mengenai tempat 
kosong. Dan tanpa ragu-ragu, Narasumi melancarkan 
serangan balasan dengan sambaran pedang. Ki Sutra 
kelihatan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan ga-
dis cantik itu.
“Bagus...!” puji lelaki tua itu sambil melompat 
menghindar.
Kemudian Ki Sutra melancarkan serangan balasan 
dengan menambah kekuatan. Tampaknya ia tidak lagi 
memandang rendah kepandaian gadis cantik itu. Ke-
duanya pun segera terlibat dalam sebuah perkelahian 
seru.
“Tidak perlu diberi hati, Kakang Sutra! Kepalamu 
akan diinjaknya kalau kau bersikap lunak...I” Ki War-
gana tidak sabar melihat jalannya perkelahian yang 
menurutnya terlalu lamban. Maka begitu ucapannya 
selesai, tubuhnya melayang ke tengah arena pertem-
puran.
“Heaaat...!”
Begitu memasuki kancah pertempuran, Ki Wargana 
langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya 
ke tubuh gadis cantik itu. Tidak seperti Ki Sutra yang 
kelihatan masih merasa ragu, Ki Wargana tampak de-
mikian bersungguh-sungguh. Serangannya sangat 
gencar dan bisa mencelakakan gadis cantik itu.
Terjunnya Ki Wargana ke tengah arena membuat 
Narasumi agak kerepotan. Apalagi serangan orang tu
itu sangat gencar, dan tidak memberinya kesempatan 
untuk membalas. Kendati demikian, Narasumi beru-
saha keras mengimbangi keroyokan kedua lawannya. 
Gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk 
menyelamatkan diri dari ancaman serangan lawan 
yang ternyata sangat tangguh.
“Hiaaa...!”
Narasumi bagai singa betina yang pantang mundur! 
Sinar pedangnya tetap bergulung-gulung, meskipun 
ruang geraknya semakin dipersempit kedua penge-
royoknya. Dan masih mencoba membalas kendati ke-
sempatan untuk itu hampir tidak pernah ada.
Tapi biarpun Narasumi telah menguasai seluruh il-
mu yang diturunkan ayahnya, tetap saja ia kerepotan 
menghadapi kedua lelaki tua itu. Ki Ganda Pasa sendi-
ri pun jika masih hidup belum tentu sanggup mengha-
dapi keroyokan Ki Sutra dan Ki Wargana. Apalagi wa-
nita muda seperti Narasumi yang miskin pengalaman 
bertempur dan masih belum sempurna ilmu silatnya. 
Sehingga tidak aneh bila gadis cantik itu mulai terde-
sak setelah bertahan tidak kurang dari tiga puluh ju-
rus.
Melihat gadis cantik itu semakin lemah pertaha-
nannya, Ki Sutra dan Ki Wargana makin bertambah 
ganas! Serangan-serangan mereka makin gencar! Se-
hingga, kedudukan Narasumi tambah terjepit Ruang 
gerak gadis cantik itu sudah tidak memungkinkan lagi 
untuk membalas serangan. Sampai akhirnya ia harus 
mengakui kehebatan lawan.
Bukkk!
Tubuh gadis cantik itu terkena pukulan lawan. 
Tanpa ampun lagi Narasumi terguling. Namun demi-
kian, gadis cantik itu berusaha tetap bertahan dan me-
lakukan perlawanan.

“Kau akan merasakan akibat kebandelanmu, Pe-
rempuan Liar...!” geram Ki Wargana yang memang le-
bih berangasan dibanding Ki Sutra yang masih merasa 
sayang untuk melukai gadis cantik itu.
Dengan sebuah tendangan terbang, tubuh Ki War-
gana melayang ke arah Narasumi yang saat itu belum 
lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya. Gadis cantik 
itu hanya bisa terbelalak melihat datangnya tendangan 
lawan.
Plak!
“Uhhh...?!”
Yang terjadi kemudian benar-benar membuat Ki 
Wargana dan kawannya-kawannya kaget bukan main. 
Sebab bukan tubuh Narasumi yang terpental, tapi Ki 
Wargana-lah yang terjungkal dan terbanting ke tanah! 
Kenyataan itu membuat Narasumi terbelalak.
***
TIGA


“Ahhh...?!”
Ki Sutra dan kawan-kawannya berseru kaget Tanpa 
sadar tubuh mereka terjajar mundur. Tampak di de-
pan gadis cantik yang hampir dapat mereka tunduk-
kan itu, telah muncul sesosok tubuh yang di sekeli-
lingnya memancar sinar putih keperakan. Rupanya so-
sok itu yang telah menyelamatkan Narasumi. Tak seo-
rang pun tahu bagaimana cara sosok itu menyela-
matkannya. Mereka hanya melihat kelebatan sinar pu-
tih yang memotong serangan Ki Wargana. Kini sosok 
itu tampak berdiri angker, membuat nyali ketiga lelaki tua itu ciut.


“Si... siapa kau...?”
Dengan gemetar karena menahan hawa dingin 
menggigit yang menyerang tubuhnya, Ki Wargana ber-
tanya parau. Lelaki tua itu kelihatan agak menderita 
akibat tangkisan sosok tubuh terbungkus kabut putih 
keperakan itu.
Belum lagi pertanyaan Ki Wargana terjawab, tiba-
tiba muncul sesosok tubuh lain yang tidak kalah pen-
garuhnya dengan sosok tubuh berjubah putih.
Di bawah terpaan cahaya bulan yang pucat, sosok 
tubuh ramping padat dengan seri wajah gilang-
gemilang melangkah tenang menghampiri sosok tubuh 
berjubah putih. Wajah jelita terhias senyum manis 
mempesona itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya ternganga heran.
“Apakah mereka seorang dewa dan dewi yang turun 
dari langit dan menyelamatkan gadis cantik itu...?” de-
sis Ki Sutra.
Memang, sosok pemuda yang tubuhnya terbungkus 
kabut bersinar putih keperakan dan dara jelita berpa-
kaian serba hijau itu terlalu mempesona hati mereka. 
Apalagi pemuda tampan berjubah putih itu hampir 
mempecundangi Ki Wargana dalam satu gebrakan sa-
ja. Padahal kepandaian Ki Wargana tidak bisa dibilang 
rendah. Meskipun jauh dari kepandaian tokoh-tokoh 
terkenal dunia persilatan. Semua itu membuat mereka 
sulit percaya kalau kedua sosok tubuh itu manusia bi-
asa seperti mereka.
“Apakah kalian benar-benar ingin mengetahui siapa 
pemuda itu?” tanya gadis jelita berpakaian serba hijau 
seraya melangkah menghampiri Ki Sutra dan kawan-
kawannya.
“Kalau kalian berdua memang manusia biasa seper-
ti kami, sebutkan nama atau julukan kalian...?” Ki Sutra yang kelihatan lebih bisa bersikap tenang, mewakili 
teman-temannya.
“Sebenarnya aku tidak perlu memperkenalkan pe-
muda berjubah putih itu. Karena kalian pasti tahu 
siapa pendekar muda yang membuat geger dunia per-
silatan sekarang ini...,” ujar dara jelita itu berteka-teki. 
Dan membiarkan Ki Sutra bersama kawan-kawannya 
mencari jawaban sendiri.
“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis Ki 
Sutra. Wajahnya menjadi pucat ketika teringat seorang 
tokoh muda yang mengguncang rimba persilatan den-
gan ilmu-ilmu mukjizatnya. Tentu saja ia tahu siapa 
yang dimaksud dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Seratus untukmu, Orang Tua...,” tukas dara jelita 
berpakaian serba hijau, yang tak lain Kenanga. Siapa 
lagi yang selalu bersama Pendekar Naga Putih kalau 
bukan Kenanga, kekasih pendekar muda tersohor itu.
Mendengar jawaban Kenanga, Ki Sutra dan kawan-
kawannya saling bertukar pandang. Mereka sadar ka-
lau untuk menghadapi Pendekar Naga Putih tidak 
akan mampu, walaupun jumlah mereka ditambah se-
puluh kali lipat Keadaan itu membuat mereka berse-
pakat untuk mengambil jalan pintas. Kabur!
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sutra segera memba-
likkan tubuh dan melesat pergi meninggalkan tempat 
itu. Demikian pula Ki Wargana dan Ki Rayoang. Kedua 
lelaki tua itu ikut mengambil langkah seribu.
Panji dan Kenanga tidak berusaha mengejar. Mere-
ka berdiri memandangi kepergian ketiga lelaki itu. 
Dan, baru mengalihkan perhatian setelah Ki Sutra dan 
kedua kawannya lenyap ditelan kegelapan malam.
“Kau tidak apa-apa, Nisanak...?” tanya Panji sambil 
menatap wajah Narasumi di bawah bayangan sinar bulan.

Narasumi menggeleng dengan wajah menyeringai. 
Agaknya gadis cantik itu belum hilang dari rasa kaget-
nya melihat kemunculan kedua orang ini. Terlebih ke-
tika Ki Sutra menyebut pemuda tampan yang meno-
longnya dengan julukan Pendekar Naga Putih. Meski-
pun belum pernah mendengarnya, Narasumi yakin ka-
lau pemuda tampan itu merupakan tokoh yang sangat 
ditakuti orang-orang jahat. Terbukti dari sikap yang di-
tunjukkan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Tidak 
mungkin mereka melarikan diri jika merasa mampu 
menghadapi pendekar muda itu.
“Apakah kau terluka, Adik Manis?”
Kenanga yang belum merasa yakin gadis cantik itu 
tidak terluka, melangkah mendekat dan menyentuh 
lembut bahu Narasumi. Sikapnya membuat Narasumi 
merasa terhibur dan langsung menyukai dara jelita 
berpakaian serba hijau itu. Bahkan ia langsung per-
caya kalau kedua orang itu bukan orang-orang jahat 
yang ingin mengganggunya.
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Pukulan salah 
seorang dari mereka sempat mengenai tubuhku...,” ja-
wab Narasumi yang entah kenapa mempercayai Ke-
nanga. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi berterus-terang 
mengenai kejadian yang menimpanya.
“Syukurlah kalau begitu...,” tukas Kenanga seraya 
membimbing gadis cantik itu. Narasumi tidak berusa-
ha menolak budi baik dara jelita itu.
“Di mana kau tinggal...?” tanya Kenanga lagi tanpa 
melepaskan tangannya pada bahu Narasumi.
Sikap yang ditunjukkannya demikian akrab. Seolah 
mereka sudah lama saling mengenal. Padahal nama 
masing-masing pun mereka belum tahu. Perhatian da-
ra jelita itu membuat Narasumi terharu. Apalagi ia 
memang belum pernah merasakan perhatian yang begitu besar selama hidupnya. Gadis cantik itu merasa 
mempunyai tempat untuk berbicara dan menumpah-
kan segala yang mengganjal pikirannya.
Kelihatannya dara jelita secantik bidadari ini dapat 
menjadi teman bicara yang baik. Siapa tahu ia bisa 
mengurangi beban yang selama ini membuat hidupku 
tidak bisa tenang...? Gumam batin Narasumi sambil 
memperhatikan wajah Kenanga dengan sudut ekor 
matanya.
Panji tidak ingin mengganggu keakraban kekasih-
nya dengan gadis cantik itu. Pemuda itu sengaja mem-
perlambat langkahnya, dan mengikuti keduanya dari 
belakang. Diam-diam terselip kekaguman di hatinya 
melihat Kenanga bersikap demikian lembut dan penuh 
perhatian terhadap gadis yang malang itu.
“Siapakah namamu, Nisanak? Mengapa kau begini 
baik terhadapku? Padahal kita belum pernah berjumpa 
sebelumnya...,” Narasumi mengutarakan pertanyaan 
dalam hatinya. Meski agak ragu, takut kalau dara jelita 
itu tersinggung.
“Namaku Kenanga. Dan untuk berbuat baik kurasa 
tidak harus dengan orang yang kita kenal saja. Cukup 
bila hati kecil kita merasa yakin orang yang kita bantu 
memiliki sifat-sifat baik. Dan aku percaya kau orang 
yang memiliki sifat baik. Mmm.... Siapa namamu, Adik 
Manis...?” tanya Kenanga setelah menjelaskan secara 
singkat tentang perbuatannya.
“Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu, Kenanga. 
Namaku Narasumi. Mmm.... Kalau aku meminta sesu-
atu darimu, apakah kau tidak keberatan?” tanya Nara-
sumi seraya menatap wajah Kenanga. Kebetulan saat 
itu Kenanga tengah menoleh dan menatap ke arahnya. 
Sehingga untuk beberapa saat kedua gadis itu saling 
berpandangan dengan bibir tersenyum manis.

“Katakanlah, Sumi. Jika masih dalam batas ke-
mampuanku, tentu aku akan bersedia membantu-
mu...,” sahut Kenanga yang belum juga mengalihkan 
pandangan dari wajah Narasumi.
“Hhh.... Aku merasa tidak enak telah merepotkan-
mu. Padahal kita baru saja berkenalan...,” desah Nara-
sumi gundah. Kelihatan sekali gadis cantik itu ragu 
untuk mengutarakan permintaannya. Narasumi kha-
watir Kenanga akan menolaknya.
“Katakanlah, Sumi. Mengapa kau bingung...?” de-
sak Kenanga sambil mengusap lembut punggung gadis 
cantik yang tengah dilanda kebimbangan itu.
Narasumi membisu. Pandangannya dialihkan ke 
depan menatapi kegelapan malam. Sedangkan kakinya 
tetap melangkah menuju rumah besar tempat ia dan 
ketiga pelayan keluarganya tinggal.
Kenanga tahu gadis cantik itu masih dilanda ke-
bimbangan, maka ia tidak berusaha mendesak lagi. Ia 
akan sabar menunggu sampai Narasumi mengatakan 
permintaannya. Kedua gadis itu terdiam. Sampai ke-
duanya tiba di ruang utama rumah besar itu, mereka 
tidak juga membuka suara.
“Terima kasih. Aku telah merepotkan kalian berdua. 
Budi baik ini tidak akan kulupakan seumur hidup....”
Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Narasumi 
saat mereka telah duduk di kursi di ruangan utama 
rumah besar itu. Sinar pelita yang temaram menyem-
bunyikan raut wajah mereka. Sehingga, sulit bagi Ke-
nanga untuk membaca perasaan yang tengah dirasa-
kan Narasumi. Wajah gadis cantik itu tidak terlihat je-
las.
“Hm.... Tidak perlu merasa berhutang budi kepada 
kami, Sumi. Bukankah memang sudah menjadi kewa-
jiban kita untuk saling tolong-menolong. Jadi tidak

perlu dibesar-besarkan hal yang sepele itu,” sahut Ke-
nanga seraya menatap wajah Narasumi lekat-lekat Da-
ra jelita itu masih menunggu permintaan Narasumi 
yang belum juga diutarakan.
Sementara Panji hanya duduk diam tidak mencam-
puri pembicaraan kedua gadis itu. Pemuda ini menye-
rahkan segala sesuatunya kepada Kenanga.
Narasumi mengangguk mendengar ucapan Kenan-
ga. Ucapan seperti itu tidak pernah didengarnya, bah-
kan dari ayahnya sendiri. Sehingga, Narasumi me-
nyimpan ucapan dara jelita itu di dalam hatinya. Sete-
lah itu ia tenggelam dalam lamunan, mengingat Ki Su-
tra dan kawan-kawannya. Apa yang dikehendaki ketiga 
orang yang tidak dikenalnya itu belum jelas. Dan ma-
sih menjadi misteri baginya.
“Sumi....”
Melihat gadis cantik itu termenung, Kenanga men-
coba menyadarkannya. Meskipun suaranya tidak terla-
lu keras, namun sanggup menyelusup ke dalam telinga 
Narasumi, hingga gadis itu tersentak perlahan.
“Ya...,” sahut Narasumi yang belum sadar sepenuh-
nya. Suara sahutannya terdengar mengambang dan 
sengau.
“Kalau sekiranya kau tidak keberatan, bolehkah 
kami mengetahui persoalanmu dengan ketiga orang 
tua tadi...?” tanya Kenanga hati-hati. Ia tahu masalah 
yang tengah dihadapi Narasumi kemungkinan persoa-
lan pribadi. Maka ia menggunakan kata ‘kalau boleh’ 
dalam pertanyaannya.
“Maaf, Kenanga, Kakang Panji...,” ucap Narasumi 
sebelum menjawab pertanyaan dara jelita itu. “Sebe-
narnya aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan 
Ki Sutra dan kawan-kawannya mendatangi rumah ini. 
Yang jelas, mereka tidak percaya dengan keterangan

ku. Padahal aku sungguh tidak tahu apa yang mereka 
cari di sini....”
Kenanga maupun Panji memaklumi jawaban Nara-
sumi. Mereka dapat melihat jelas gadis cantik itu men-
jawab dengan sejujurnya. Mereka percaya Narasumi 
tidak sedang menyembunyikan sesuatu.
“Apa kau pernah melihat atau mengenal mereka se-
belumnya?” tanya Kenanga. Kali ini pertanyaannya 
terkesan agak menyelidik, meskipun masih dalam ba-
tas-batas kewajaran. Sehingga Narasumi tidak merasa 
keberatan menjawabnya.
“Sebelumnya aku tidak pernah mengenal atau meli-
hat ketiga orang tua itu. Baru kemarin, saat pengubu-
ran ayah hendak dilaksanakan, mereka muncul dan 
hendak berjumpa dengan ayahku. Yang membuatku 
heran, mereka tidak percaya ketika diberi tahu ayah 
sudah meninggal. Bahkan Ki Sutra sempat menterta-
wakannya,” jelas Narasumi menceritakan perjumpaan 
pertamanya dengan ketiga lelaki tua itu.
“Jadi..., malam ini kedatangan mereka ingin menye-
lidiki, begitu...?” tanya Kenanga menegasi, la agak ter-
kejut ketika mendengar kematian ayah Narasumi.
“Semula aku menduga demikian. Tapi ternyata ti-
dak. Sepertinya ada sesuatu yang mereka kehendaki 
dari ayahku. Itu kuketahui ketika Ki Sutra bertanya 
padaku. Sayang aku tidak tahu apa yang mereka ca-
ri...,” jawab Narasumi disertai helaan napas panjang. 
Gadis itu sangat kecewa dengan ketidaktahuannya.
“Aneh...?” desis Kenanga heran. “Apakah ayahmu 
tidak pernah bercerita tentang sesuatu atau musuh-
musuhnya?” tanya dara jelita itu setelah terdiam se-
saat.
“Sama sekali tidak! Selama hidupnya ayah jarang 
berbicara dengan anak-anaknya...,” jawab Narasumi

tanpa perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan Ke-
nanga.
Dan Kenanga percaya Narasumi tidak berdusta. Wa-
laupun merasa heran ada seorang ayah yang selama 
hidupnya jarang berbicara dengan anak-anaknya, Ke-
nanga tidak berkata apa-apa. Semua keheranan itu 
disimpannya dalam hati.
Bukan hanya Kenanga yang merasa heran. Panji 
pun merasakan ada kejanggalan dalam sikap ayah ga-
dis cantik itu. Tapi, ia tidak bisa menebak apa yang 
membuat Ki Ganda Pasa berbuat demikian. Apalagi, 
sampai akhir hayatnya tidak meninggalkan pesan apa-
apa.
“Hm.... Jika memang demikian, satu-satunya jalan 
kita harus mengorek keterangan dari Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya. Merekalah kunci rahasia ini...,” Panji 
membuka suara setelah mereka terdiam agak lama.
Kenanga mengangguk menyetujui ucapan Panji. Ta-
pi tidak demikian dengan Narasumi. Gadis cantik itu 
kelihatan tidak bernafsu untuk memperpanjang per-
soalan. Guncangan batin akibat kematian ayahnya dan 
gangguan yang datang berturut-turut membuat Nara-
sumi merasa lelah lahir batin. Gadis itu merasa terte-
kan. Sehingga ingin menjalani hidup dengan tenang 
tanpa mempedulikan persoalan yang sudah berlalu itu.
“Bagaimana, Sumi? Apa kau tidak ingin mengung-
kap misteri yang menyelimuti keluargamu...?” Kenanga 
bertanya ketika melihat Narasumi hanya tersenyum ti-
dak menanggapi ucapan Panji.
“Entahlah, Kenanga. Aku merasa lelah sekali. Ra-
sanya lebih baik kita tidak memperpanjang urusan ini. 
Apalagi Ki Sutra dan kawan-kawannya belum tentu 
akan datang lagi...,” desah Narasumi sedikit pun tidak 
bersemangat

Kenanga tidak berkata-kata lagi. Ia maklum pera-
saan yang melanda hati gadis cantik itu. Kalau saja 
benar gangguan tidak akan datang lagi, rasanya ia pun 
sependapat dengan Narasumi. Sayangnya menurut 
Kenanga persoalan itu tidak akan berakhir begitu saja. 
Ia yakin Ki Sutra akan terus membayangi Narasumi, 
sebelum yang mereka cari dapat dimiliki.
Sementara itu fajar sudah datang. Kokok ayam jan-
tan terdengar bersahut-sahutan. Sebentar lagi mata-
hari muncul menggantikan tugas sang Dewi Malam.
“Hm.... Sebentar lagi pagi akan datang. Kau pasti 
sangat lelah, Sumi. Sebaiknya pergilah beristirahat 
Kami berdua mohon pamit untuk melanjutkan perja-
lanan. Di samping itu kami akan berusaha mencari Ki 
Sutra dan kawan-kawannya. Tentu saja kalau kau ti-
dak keberatan...,” ujar Kenanga segera bangkit dari 
duduknya.
“Kurasa tidak perlu, Kenanga. Mereka pasti tidak 
akan berani datang ke tempat ini...,” sahut Narasumi 
sesal. Karena jawaban itu pasti akan membuat kedua 
penolongnya kecewa.
“Baiklah jika memang demikian keputusanmu...,” 
tukas Kenanga kecewa. Ia memang merasa kasihan 
dan ingin meringankan beban gadis cantik itu. Tapi ji-
ka orang yang ingin ditolongnya tidak menghendaki, ia 
pun tidak memaksa.
Kenanga dan Panji berpamitan. Sepasang pendekar 
muda itu meninggalkan rumah besar Ki Ganda Pasa 
dengan diiringi lambaian tangan Narasumi yang men-
gantar sampai halaman depan.
Narasumi berdiri mematung menatap bayangan 
Panji dan Kenanga yang semakin jauh. Gadis cantik 
itu baru melangkah masuk ketika sosok kedua peno-
longnya lenyap di keremangan fajar.


EMPAT


“Tuan Muda Yudha Pasa...!”
Lelaki bertubuh kurus yang tengah menyapu hala-
man rumah besar itu berlari tergopoh-gopoh menyam-
but kedatangan seorang penunggang kuda. Sedangkan 
penunggang kuda bertubuh gemuk itu tidak menggu-
brisnya. Ia langsung melompat turun dari atas pung-
gung kuda. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan. 
Bahkan terkesan tengah memendam kemarahan.
“Ramin! Katakan kepada Narasumi aku ingin me-
nemuinya...,” ujar lelaki gemuk yang tidak lain Yudha 
Pasa, tanpa senyum sedikit pun. Suaranya terdengar 
kaku, tidak seperti biasanya. Hingga membuat Ramin 
agak takut.
“Baik, Tuan Muda...,” sahut Ramin cepat Lalu berla-
ri-lari memasuki bangunan besar itu.
Yudha Pasa sendiri melangkah lebar memasuki 
ruang utama rumah besar itu. Kemudian menghem-
paskan tubuhnya ke kursi. Terdengar helaan napas 
panjangnya. Wajah Yudha Pasa tetap keruh. Jelas ter-
lihat kalau lelaki gemuk berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun ini sedang tidak senang hatinya.
Tidak berapa lama kemudian Narasumi muncul. 
Gadis cantik itu kelihatan sangat heran dengan keda-
tangan kakak tertuanya. Apalagi ketika mendapati wa-
jah Yudha Pasa seperti memendam kemarahan. Hingga 
kening Narasumi berkerut dalam.
“Ada keperluan apa, Kakang? Kelihatannya kau 
tengah memendam sesuatu...?” tegur Narasumi yang 
segera menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah depan 
Yudha Pasa. Sehingga mereka saling berhadapan satu 
sama lain.

“Hm.... Jujurlah, Sumi! Apakah ayah meninggalkan 
pesan sebelum kepergiannya?” nada pertanyaan Yudha 
Pasa terdengar datar dan berbau kecurigaan, membuat 
Narasumi agak tersentak.
“Apa maksudmu, Kakang...?” tanya Narasumi pena-
saran. Gadis itu tidak mengerti tujuan pertanyaan ka-
kak tertuanya.
“Jangan berpura-pura dungu, Sumi! Sebelum me-
ninggal, ayah pasti meninggalkan pesan kepadamu. 
Karena menurut Ramin, kaulah yang menung-
guinya...!”
Suara Yudha Pasa semakin meninggi. Bahkan ia 
sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya wajah Nara-
sumi lekat-lekat, seperti hendak menegasi kalau-kalau 
adiknya berdusta.
Melihat sikap kakaknya yang semakin aneh, Nara-
sumi terdiam. Gadis itu tengah mengingat-ingat saat 
terakhir kehidupan ayahnya.
“Yahhh.... Sebelum menghembuskan nafasnya yang 
terakhir, ayah memang mengatakan sesuatu kepada-
ku...,” desah Narasumi perlahan. Tapi terdengar cukup 
jelas di telinga Yudha Pasa.
“Hm.... Apa yang dikatakannya...?” desak Yudha Pa-
sa bernafsu sekali.
“Ayah meminta agar aku segera pergi meninggalkan 
tempat ini setelah penguburannya. Beliau menyuruh-
ku supaya menjual rumah ini. Lalu aku mencari kehi-
dupan di tempat lain...,” ujar Narasumi mengulang pe-
san terakhir ayahnya.
“Hanya itu...?”
“Ya. Hanya itu....”
“Hm.... Kau pasti berdusta, Sumi! Aku tidak percaya 
hanya itu yang dipesankan ayah sebelum kematian-
nya! Pasti masih ada pesan-pesan yang lain...,” tukas
Yudha Pasa tidak percaya dengan keterangan adiknya.
“Hm.... Rupanya kau lebih tahu dariku, Kakang! 
Coba katakan, apa lagi yang dipesankan ayah kepada-
ku?” sinis sekali ucapan yang dikeluarkan Narasumi. 
Gadis itu rupanya benar-benar jengkel melihat sikap 
kakak sulungnya.
Yudha Pasa tidak berkata-kata lagi. Dikeluarkannya 
sehelai surat dari dalam pakaiannya. Lalu diletakkan 
dengan kasar di atas meja.
“Coba kau baca surat ini!”
Kening Narasumi berkerut semakin dalam, heran 
melihat kakak tertuanya meletakkan sehelai surat di 
hadapannya. Gadis cantik itu mulai curiga ada sesua-
tu yang telah terjadi pada diri Yudha Pasa. Karena se-
waktu meninggalkan rumah ini, setelah selesai men-
guburkan jenazah ayahnya, Yudha Pasa tidak berkata 
apa-apa. Apalagi menyinggung mengenai pesan terak-
hir ayah mereka. Maka aneh sekali jika hari ini kakak 
tertuanya datang hanya untuk bertanya mengenai hal 
itu.
“Bacalah...!” ujar Yudha Pasa melihat Narasumi be-
lum juga menyentuh surat yang diberikannya.
“Dari mana kau dapatkan surat itu, Kakang?” tanya 
Narasumi, tanpa mempedulikan ucapan kakaknya.
“Aku sendiri tidak tahu. Surat itu telah ada di atas 
meja sewaktu aku baru pulang dari membeli rempah-
rempah di kadipaten. Tidak seorang pun yang menge-
tahui siapa pengantar surat itu!” sahut Yudha Pasa 
dengan jengkel.
Mendengar jawaban kakaknya, Narasumi terdiam. 
Lalu dibacanya isi surat itu. Wajah gadis itu berubah 
seketika. Isi surat itu benar-benar membuatnya terke-
jut.
“Hm.... Aku sudah bisa menebak siapa yang mengirimkan surat ini kepadamu, Kakang...,” desis Narasu-
mi seraya menatap wajah kakaknya dengan sorot mata 
tajam. “Bodoh sekali kalau kau mempercayainya begitu 
saja....”
Yudha Pasa tentu saja kaget mendengar ucapan 
adiknya. Bagaimana mungkin gadis cantik itu bisa 
menebak siapa pengirim suara itu. Sedangkan ia sen-
diri tidak bisa menduga.
“Apa maksudmu, Sumi...?” tanya Yudha Pasa se-
raya kembali duduk di hadapan adiknya. Ditatapnya 
wajah cantik itu lekat-lekat.
“Kau ingat tiga lelaki tua yang datang ke sini sebe-
lum penguburan ayah?” tanya Narasumi sebelum men-
jawab pertanyaan kakaknya.
Yudha Pasa mengangguk. Kemudian, Narasumi pun 
menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.
“Hm....”
Yudha Pasa bergumam setelah mendengar cerita 
adiknya. Lelaki gemuk itu bangkit dari duduknya dan 
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di bela-
kang tubuh.
“Pantas ayah hampir tidak pernah berbicara kepada 
kita. Rupanya ia menyimpan sesuatu yang sangat ber-
harga. Jika demikian, aku akan memeriksa kamar-
nya....”
Setelah berkata demikian, Yudha Pasa melangkah 
lebar meninggalkan Narasumi. Dan terus menuju be-
lakang bangunan tempat ayahnya tinggal.
“Kakang, tunggu...!”
Narasumi yang tidak menyangka kakaknya berpikir 
demikian, berusaha mencegah. Gadis itu melompat 
dan menghadang lelaki gemuk itu.
“Jangan halangi aku, Sumi! Kalau benda-benda itu 
ada, aku harus mendapatkannya. Ingat! Aku adalah

anak tertua keluarga ini. Aku mempunyai hak untuk 
memiliki benda-benda itu...!” tegas Yudha Pasa yang 
kelihatan sudah tidak bisa menahan keinginannya un-
tuk memiliki peninggalan orangtuanya.
“Tidak, Kakang! Kalau ayah sampai merahasiakan-
nya kepada kita, jelas beliau tidak menghendaki wari-
san itu jatuh ke tangan putra-putrinya! Meskipun kita 
tidak tahu alasannya, tapi kita harus menghormatinya, 
Kakang!”
Narasumi berusaha mencegah niat kakak tertua-
nya. Gadis cantik itu percaya ayahnya mempunyai ala-
san kuat untuk merahasiakan semua itu kepada anak-
anaknya. Narasumi merasa harus menghormati sikap 
orang tua itu.
“Hm.... Aku tidak peduli dengan segala alasan ayah! 
Pokoknya aku harus mendapatkan benda-benda itu. 
Titik!” tukas Yudha Pasa yang kelihatan sudah tidak 
bisa dicegah lagi. Kemudian lelaki gemuk itu melang-
kah maju, dan mengibaskan lengannya hendak me-
nyingkirkan adiknya yang menghalangi jalan.
Plak!
“Eh...?!”
Tapi Narasumi bertahan. Gadis cantik itu mene-
piskan lengan kakaknya. Hingga Yudha Pasa tersentak 
kaget. Tangkisan adiknya mengandung kekuatan tena-
ga dalam. Jelas Narasumi tidak akan membiarkannya 
mendapatkan benda-benda warisan itu.
“Menyingkirlah, Sumi! Kalau tidak, aku tidak akan 
peduli kau adalah adikku...!” ancam Yudha Pasa, san-
gat marah dengan tindakan Narasumi yang berani me-
nentangnya.
“Tidak, Kakang! Biar bagaimanapun aku tidak akan 
membiarkanmu mengusik kamar ayah. Aku tidak pe-
duli apa yang akan kau lakukan terhadapku. Dan lagi

kita masih mempunyai dua orang saudara, yang harus 
mengetahui persoalan ini...!” bantah Narasumi bersike-
ras. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap untuk me-
lawan segala tindakan Yudha Pasa.
“Hm.... Aku sudah tahu apa yang kalian pere-
butkan! Dan aku setuju dengan tindakan Kakang 
Yudha...!”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan 
Yudha Pasa dan Narasumi. Cepat keduanya menoleh. 
Dan....
“Rengga...?!”
Hampir bersamaan mereka berseru kaget ketika 
mengenali lelaki tegap yang bersandar di palang pintu. 
Di tangan lelaki tegap yang tidak lain Rengga Pasa itu 
terlihat sepucuk surat yang sama persis dengan surat 
Yudha Pasa. Agaknya Rengga Pasa telah menerima su-
rat serupa.
“Hm.... Kalian sama saja!” geram Narasumi begitu 
mendengar ucapan Rengga Pasa, kakaknya yang ke-
dua. Lelaki tegap itu pun menghendaki warisan ayah 
mereka. Rupanya Ki Sutra telah menempuh cara lain 
untuk mendapatkan apa yang dicarinya. Dan, sasa-
rannya putra-putra Ki Ganda Pasa.
“Hm.... Apa kau hendak menguasai sendiri warisan 
itu, Sumi?” tukas Rengga Pasa sinis. Hingga wajah Na-
rasumi menjadi gelap. Gadis cantik itu merasa tersing-
gung dengan ucapan kakaknya itu.
“Kalian berdua keliru! Sadarkah kalian kalau pengi-
rim surat itu jelas hendak mengadu domba! Manusia-
manusia licik itu akan bersorak bila usaha mereka 
berhasil!”
Narasumi berusaha mengingatkan kedua kakaknya 
tentang orang ketiga. Sayang usahanya tidak berhasil. 
Yudha Pasa dan Rengga Pasa tidak menggubris ucapan

adiknya. Bahkan keduanya hendak melanjutkan niat 
mereka.
“Berhenti...! Kalau tidak, terpaksa aku menghadapi 
kalian berdua...!” bentak Narasumi yang langsung 
membuka jurus, siap menghadapi kedua kakak kan-
dungnya.
“Kau benar-benar serakah, Sumi! Kami tentu saja 
tidak akan mengambil semua warisan ayah. Tapi 
hanya sebagian. Kau pun akan mendapatkan ba-
gian...,” bujuk Rengga Pasa, karena tidak ingin terjadi 
perkelahian di antara mereka.
“Tidak! Sekali lagi tidak! Walaupun warisan itu milik 
orangtua kita, tapi tak seorang pun boleh menyentuh-
nya! Beliau jelas-jelas tidak menghendaki! Karena tak 
satu pesan pun yang ditinggalkannya...,” tegas Nara-
sumi tetap mempertahankan pendapatnya. Kelihatan-
nya pendirian Narasumi memang tidak bisa dirubah 
lagi.
“Hm....”
Yudha Pasa marah sekali melihat kekerasan sikap 
adiknya. Ia melangkah maju tanpa mempedulikan si-
kap Narasumi.
“Maaf, Kakang....”
Sambil berkata demikian, Narasumi melontarkan 
pukulan untuk mencegah langkah Yudha Pasa. Ru-
panya ancaman gadis cantik itu hendak dibuktikan-
nya.
Whuuut..!
Pukulan Narasumi menyambar lewat di samping 
tubuh Yudha Pasa. sebab lelaki gemuk itu sudah ke-
buru memiringkan tubuhnya dengan geseran langkah 
ke kanan.
“Jangan memaksaku, Sumi...!” seru Yudha Pasa se-
raya melompat pendek ketika Narasumi menyusuli serangannya yang gagal. Lelaki gemuk itu tampaknya 
sudah kehilangan kesabaran.
“Kaulah yang memaksaku, Kakang! Sampai mati 
pun aku tidak akan rela kalian merusak kamar 
ayah...!” teriak Narasumi kembali menyiapkan seran-
gan berikutnya. Agaknya gadis cantik itu tidak lagi 
memandang Yudha Pasa sebagai kakak kandungnya. 
Tapi seorang musuh yang harus dihadapi.
“Hm.... Jangan salahkan aku bila terpaksa menya-
kitimu...!” geram Yudha Pasa melihat kebandelan 
adiknya. Setelah berkata demikian, lelaki gemuk itu 
menyiapkan jurus-jurus untuk menghadapi Narasumi.
“Hahhh...!”
Dibarengi sebuah bentakan yang mengejutkan, 
Yudha Pasa bergerak ke depan. Kedua tangannya ber-
putar cepat dengan gerakan mantap, hingga mener-
bitkan deruan angin keras. Yudha Pasa sudah tidak 
lagi mengingat pertalian darah di antara mereka.
Menyadari kakaknya bersungguh-sungguh, Nara-
sumi segera menyambut serangan itu. Dengan langkah 
menyilang, gadis cantik itu bergerak maju. Sehingga 
dalam waktu singkat kedua saudara kandung itu telah 
saling gempur dengan hebatnya.
Melihat kedua saudaranya sudah saling gempur, 
Rengga Pasa segera mengambil keuntungan. Tubuhnya 
bergerak menjauhi arena perkelahian. Kemudian me-
nyelinap diam-diam menuju kamar ayahnya. Betapa li-
ciknya putra kedua Ki Ganda Pasa itu.
“Haiiit..!”
Narasumi tidak tinggal diam. Meskipun saat itu 
tengah bertarung dengan kakak tertuanya, mata gadis 
itu sempat melirik ke arah sosok Rengga Pasa yang 
berkelebat Narasumi langsung meninggalkan arena 
dan mencegah lelaki tegap itu.

Whuuut..!
“Haiiit..!”
Rengga Pasa segera menarik mundur tubuhnya tiga 
langkah ketika mendengar deru angin pukulan dari 
arah samping. Dan ketika Narasumi melanjutkan se-
rangan, ia pun tidak tinggal diam. Rengga Pasa melon-
tarkan serangan balasan yang cepat dan kuat.
Whuuut, plak...! 
“Aihhh...?!”
Benturan kedua lengan itu membuat Narasumi ter-
pekik. Tubuhnya terjajar limbung. Dalam hal kekuatan 
tenaga dalam, Rengga Pasa memang paling unggul di 
antara saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Yudha 
Pasa pun tidak akan menang melawannya. Jadi tidak 
terlalu aneh bila benturan itu merugikan Narasumi.
Kali ini Yudha Pasa yang mengambil kesempatan, 
ketika melihat tubuh adik perempuannya terjajar lim-
bung. Telapak tangannya terayun deras ke arah Nara-
sumi. Akibatnya....
Plak!
“Ugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gadis itu terhuyung 
berputaran. Walaupun tamparan keras itu tidak mem-
buatnya jatuh, namun cukup menyakitkan dan terasa 
nyeri sampai ke tulang.
Tapi bukan tamparan itu yang membuat Narasumi 
meringis. Hatinya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. 
Kalau saja tamparan itu bukan datang dari saudara 
kandungnya, tentu ia tidak akan sesakit itu. Tapi ke-
nyataannya saudara kandungnya sendiri yang mela-
kukan. Maka....
Srat!
Seketika memancar secercah sinar putih berkilat. 
Dan di tangan gadis cantik itu tergenggam sebatang

pedang!
“Sumi! Kau gila...?!”
Yudha Pasa tidak menyangka kalau Narasumi akan 
menggunakan pedang dalam perkelahian itu. Lelaki 
gemuk itu terbelalak dan melangkah mundur dengan 
wajah tegang! Jelas, perkelahian itu sudah bukan 
main-main lagi.
“Kalian berdualah yang gila! Meskipun kalian ting-
gal jauh, jangan dikira aku tidak tahu kebiasaan jelek 
kalian! Jika benar warisan ayah berupa harta, pasti 
akan kalian pergunakan untuk membayar hutang dan 
berjudi! Nah. Kalian tidak membantahnya, bukan...?” 
ujar Narasumi berapi-api seraya menudingkan ujung 
pedangnya ke wajah Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Se-
hingga, wajah kedua kakaknya merah padam.
“Perempuan sundal! Apa hakmu mengurusi kehidu-
panku! Apa pun yang akan kulakukan dengan harta 
warisan itu tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Le-
bih baik urus dirimu, dan jangan pedulikan kami!” 
bentak Yudha Pasa marah mendengar Narasumi me-
nyinggung kehidupan pribadinya.
“Benar! Sebaiknya kau menyingkir! Kau akan men-
dapat bagian dari warisan ayah...!” Rengga Pasa me-
nimpali dengan suara yang sama kerasnya.
Tampaknya perselisihan mereka tidak mungkin da-
pat dilerai lagi.
“Baik! Kalau demikian, jangan salahkan aku yang 
terpaksa melawan kalian berdua!” tandas Narasumi te-
gas.
Pedang di tangannya berputar menimbulkan deruan 
angin tajam. Gadis cantik itu lebih rela mati daripada 
membiarkan perbuatan kedua kakak kandungnya.
“Keras kepala...!” bentak Yudha Pasa semakin kalap

Begitu ucapannya selesai, tubuhnya langsung me-
layang menerjang Narasumi. Serangannya tidak main-
main lagi. Terbukti dari kuatnya sambaran angin pu-
kulan yang dikerahkan Yudha Pasa.
“Perempuan tolol...!”
Rengga Pasa pun tidak tinggal diam. Tubuhnya me-
lesat ke depan dengan serangan-serangan berbahaya. 
Ia tidak peduli lagi serangan itu dapat membahayakan 
keselamatan adik kandungnya.
***
“Haiiit..!”
Meskipun dikeroyok dua kakaknya, pendirian Nara-
sumi tidak berubah. Serangan-serangannya terlihat 
ganas dan mematikan.
Begitu juga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Kedua le-
laki itu tidak lagi main-main dalam melancarkan se-
rangan. Bahkan telah mengeluarkan jurus-jurus anda-
lan yang berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian. 
Tampaknya ketiga saudara kandung itu sudah dirasu-
ki setan.
Perkelahian semakin seru dan bergeser ke halaman 
depan. Sampai sejauh itu, Narasumi masih bisa berta-
han dengan gulungan sinar pedangnya. Tapi ketika 
pertarungan menginjak jurus kedua puluh, gadis can-
tik itu mulai terdesak dan semakin sulit mengembang-
kan permainan pedangnya. Bahkan pada jurus-jurus 
selanjutnya Narasumi tidak mampu lagi melancarkan 
serangan balasan, dan hanya mampu bertahan.
“Hahhh...!”
Pada satu kesempatan, Yudha Pasa membentak ke-
ras! Dan melepaskan sebuah tendangan cepat ke ping

gul Narasumi. Padahal saat itu Narasumi tengah ter-
huyung oleh desakan kedua kakaknya. Sehingga....
Desss...!
“Akh...!?”
Tendangan keras Yudha Pasa telak mengenai sasa-
ran. Akibatnya, tubuh gadis cantik itu jatuh terguling-
guling. Dan bangkit terpincang-pincang.
“Haaat..!”
Rengga Pasa tidak mau melewatkan kesempatan 
baik itu. Tubuhnya langsung melesat ke depan dengan 
dorongan kedua telapak tangan. Dan....
Bresssh!
“Akh...!”
Tubuh Narasumi yang belum berdiri kokoh, terpen-
tal keras memuntahkan darah segar! Wajah gadis can-
tik itu tampak pucat ketika mencoba bangkit berdiri. 
Dorongan telapak tangan Rengga Pasa telah menyum-
bat jalan nafasnya untuk beberapa saat.
Tapi, penderitaan gadis cantik itu tidak membuat 
kedua kakaknya iba. Bahkan Yudha Pasa melompat 
hendak menghabisi nyawa adik perempuannya itu.
“Yeaaat...!”
Yudha Pasa meluncur deras dengan tendangan ter-
bang yang sangat berbahaya. Bayangan warisan ayah-
nya membuat lelaki gemuk itu tidak peduli lagi terha-
dap adik kandungnya. Dan....
“Haaat..!”
Pada saat nyawa Narasumi bagai telur di ujung tan-
duk, mendadak melayang sesosok bayangan yang 
langsung memapaki tendangan Yudha Pasa. Sehing-
ga....
Prattt..!
Tak ayal lagi, benturan pun terjadi! Yudha Pasa 
maupun penolong Narasumi terpental balik. Kendati

demikian, keduanya dapat meluncur turun dengan 
baik Itu membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam 
mereka seimbang!
“Bangga...?!”
Ketiga saudara yang bertarung itu berteriak kaget 
bercampur heran. Sosok tinggi besar yang menyela-
matkan Narasumi adalah putra ketiga Ki Ganda Pasa. 
Ia adalah Bangga Pasa! Saat kemunculan perwira itu 
sangat tepat Sebab terlambat sedikit saja sulit dapat 
dipastikan Narasumi masih hidup.
“Apa kalian sudah gila...?!” bentak Bangga Pasa se-
raya menatap ketiga saudaranya dengan mata merah. 
Rupanya ia sangat marah melihat perkelahian itu. 
“Apa sebenarnya yang terjadi sampai kalian hendak 
saling berbunuhan dengan saudara sendiri? Kalian 
semua benar-benar tersesat!”
Ucapan Bangga Pasa membuat ketiga saudaranya 
terdiam. Mereka masih terkejut dengan kedatangan le-
laki tinggi besar itu. Suasana hening seketika. Tidak 
satu pun dari ketiga orang itu berbicara atau memban-
tah perkataan Bangga Pasa.
“Hm.... Mengapa diam? Apa kalian bisu...?”
Bangga Pasa kembali melanjutkan ucapannya keti-
ka tak seorang pun menyahuti. Sepasang matanya 
yang tajam dan berpengaruh menatap wajah saudara-
saudaranya.
“Sebenarnya semua ini tidak perlu terjadi kalau saja 
Sumi tidak memulainya...,” akhirnya Yudha Pasa 
membuka suara. Lelaki gemuk itu menyalahkan Nara-
sumi.
“Benar. Narasumi-lah yang memulai semua ini...,” 
timpal Rengga Pasa.
“Pengecut! Mengapa kalian menyalahkan aku? Men-
gapa tidak kalian katakan penyebab yang sebenarnya?

Dasar busuk!” kecam Narasumi, yang tentu saja tidak 
ingin dirinya disalahkan.
Bangga Pasa menghela napas panjang. Lelaki tinggi 
besar itu terdiam sesaat seraya tetap mengawasi ketiga 
saudaranya. Tampaknya ia tidak berpihak kepada sia-
pa pun.
“Coba jelaskan padaku, apa sebenarnya yang mem-
buat kalian bertarung mati-matian? Tapi jangan kata-
kan kalau semua ini disebabkan oleh sepucuk surat 
gelap yang membuatku menyempatkan diri datang ke 
tempat ini...,” ujar Bangga Pasa, membuat ketiga sau-
daranya terkejut.
“Jadi..., kau pun menerima surat gelap itu...?” tanya 
Yudha Pasa seraya menatap wajah adiknya. Ia sung-
guh tidak menduga kalau Bangga Pasa mendapat su-
rat serupa dengannya, mengingat adik ketiganya itu 
seorang perwira kerajaan yang tentu saja tempat ting-
galnya dijaga siang malam.
“Hm.... Pertanyaanmu merupakan jawaban kalau 
pertumpahan darah yang nyaris terjadi disebabkan su-
rat gelap ini...,” ujar Bangga Pasa sambil menunjukkan 
surat yang diterimanya. Ia tidak perlu lagi menjawab 
pertanyaan kakak tertuanya.
“Sebenarnya kami hanya ingin mengambil bagian 
dari warisan ayah. Tapi Sumi berkehendak lain. Ia le-
bih suka ada perkelahian di antara kita daripada 
memberitahukan di mana warisan ayah disimpan,” ja-
wab Yudha Pasa, membuat Bangga Pasa semakin 
mengerti penyebab pertarungan ketiga saudaranya itu.
“Benar begitu, Sumi...?” tanya Bangga Pasa pada 
adiknya.
“Aku hanya tidak ingin mereka berbuat semaunya 
dengan mengaduk-aduk kamar ayah. Selain itu, aku 
tidak rela warisan ayah dipergunakan untuk jalan sesat Itu saja...,” jawab Narasumi sejujurnya. Sehingga 
Bangga Pasa mengangguk Ia sudah mengerti apa yang 
menimpa saudara-saudaranya.
“Sikap Sumi tidak salah, walaupun tidak bisa ku 
benarkan. Ayah kita belum lagi tenang di alam sana, 
lalu mengapa kita sudah meributkan warisannya? Bu-
kankah itu tidak pantas? Sebaiknya kita berkumpul 
dan merundingkan hal ini. Mengenai warisan itu, aku 
kira belum tentu benar. Kita harus menyelidikinya le-
bih dulu. Siapa tahu pengirim surat ini hanya mengin-
ginkan perpecahan di antara kita...,” ujar Bangga Pasa 
bijaksana, membuat saudara-saudaranya terdiam. Ka-
rena ucapan itu tidak bisa dibantah kebenarannya.
Melihat ketiga saudaranya seperti menyetujui uca-
pannya, Bangga Pasa mengangguk puas. Ia merasa 
bersyukur kemunculannya belum tertambat Sehingga 
pertumpahan darah di antara mereka tidak sampai ter-
jadi.
“Kelihatannya kau tidak yakin ayah menyimpan wa-
risan seperti yang disebutkan surat gelap itu, Bang-
ga...?” tanya Yudha Pasa dengan pandang mata mere-
dup. Sikapnya menunjukkan kecurigaan. Putra tertua 
Ki Ganda Pasa itu khawatir adiknya hanya berpura-
pura, karena ingin memiliki warisan itu seorang diri.
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. 
Kedatanganku kemari bukan karena menginginkan 
warisan itu. Tapi hanya ingin menyelidiki dan menge-
tahui kebenarannya. Sebab mengenai kebutuhan hi-
dup, aku tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Sebagai 
seorang perwira, aku sudah bisa hidup berkecukupan 
tanpa harus memikirkan warisan mendiang ayah kita. 
Kuharap, kau tidak berpikiran buruk mengenai kebe-
radaanku di sini...,” sahut Bangga Pasa tanpa maksud 
menyombongkan kedudukannya. Sehingga Yudha Pasa

menjadi malu sendiri.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya...?” 
Rengga Pasa segera menyelak karena tidak sabar men-
dengar pembicaraan saudara-saudaranya.
“Hm.... Sebaiknya kita bicarakan persoalan ini di 
dalam...,” sahut Bangga Pasa, dan langsung disetujui 
saudara-saudaranya. Kemudian lelaki tinggi besar itu 
melangkah masuk diikuti yang lainnya.
***
LIMA


“Isi surat ini belum pasti kebenarannya. Mungkin 
benar yang dikatakan Sumi, kalau pengirim surat ini 
ketiga orang tua yang datang saat ayah kita akan di-
kuburkan. Rupanya mereka menempuh cara lain un-
tuk mendapatkan apa yang mereka cari. Aku yakin Ki 
Sutra dan kawan-kawannya akan muncul kembali. 
Tapi yang jelas, aku masih ragu akan kebenaran wari-
san itu...,” ujar Bangga Pasa yang rupanya telah men-
dengar cerita Narasumi. Baru kemudian ia dapat me-
nyimpulkan persoalan yang tengah mereka hadapi.
“Kau salah, Bangga. Aku yakin warisan itu pasti 
ada. Kalau tidak, untuk apa mereka mempertaruhkan 
nyawa mencarinya ke rumah ini?” bantah Yudha Pasa 
yang memang merasa yakin akan kebenaran isi surat 
gelap itu. Alasan yang dikemukakannya sangat masuk 
akal.
“Kalau benar begitu, mengapa selama ini ayah me-
rahasiakannya? Bahkan sampai akhir hidupnya beliau 
tidak berpesan apa-apa. Malah menyuruh Sumi me-
ninggalkan tempat ini dan mencari kehidupan di tempat lain. Apa sebenarnya tujuan ayah...?” Rengga Pasa 
ikut menimpali pembicaraan itu. Ucapannya membuat 
saudara-saudaranya terdiam memikirkan keanehan 
sikap mendiang ayah mereka.
“Hhh.... Entah apa yang sudah diperbuat ayah se-
masa mudanya dulu. Beliau pasti mempunyai alasan 
kuat. Sayang yang disembunyikan selama hidup malah 
diketahui orang lain. Menurutku, Ki Sutra dan kawan-
kawannya pasti mempunyai hubungan erat dengan 
masa lalu ayah. Ini yang perlu kita ketahui...,” ujar 
Bangga Pasa, setelah mendengar pendapat saudara-
saudaranya.
“Hm.... Sebenarnya aku lebih cenderung untuk 
mencari warisan itu lebih dulu. Baru kemudian kita 
pikirkan langkah selanjutnya. Bagaimana...?” usul 
Yudha Pasa setelah mereka terdiam beberapa saat.
Narasumi langsung menoleh ke arah Bangga Pasa. 
Kelihatannya ia menyerahkan keputusan kepada ka-
kaknya yang menjadi perwira kerajaan itu. Gadis can-
tik ini memang lebih dekat dan lebih percaya kepada 
kakaknya yang ketiga daripada yang lainnya.
“Hm...!”
Bangga Pasa tidak segera memutuskan. Lelaki ting-
gi besar ini terdiam beberapa saat memikirkan jalan 
terbaik untuk semuanya.
“Bagaimana, Sumi...?” Bangga Pasa menoleh kepa-
da adiknya, dan menanyakan pendapat gadis itu.
“Aku menyerahkan keputusan padamu, Kakang. 
Kalau saja sejak semula kita bicara seperti ini, rasanya 
perkelahian yang hampir menewaskanku tadi tidak 
perlu terjadi...,” jawab Narasumi sambil menyindir ka-
kak tertuanya.
Tadi Yudha Pasa memang menjumpainya dalam 
keadaan marah dan berwajah masam. Sehingga gadis

itu tidak senang dan merah kepada kakak tertuanya 
itu. Kalau sekarang ia setuju, itu karena mereka mem-
bicarakannya dengan baik-baik dan secara kekeluar-
gaan. Itu sebenarnya yang diinginkannya.
“Nah! Jika demikian, mari sekarang kita periksa 
kamar ayah....”
Bangga Pasa menyetujui usul kakaknya. Karena 
Narasumi telah menyerahkan persoalan ini kepadanya. 
Sementara ia sendiri memang ingin menyelidiki kebe-
naran isi surat gelap itu.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka bergegas bangkit 
dan melangkah lebar meninggalkan ruang tengah ini. 
Tidak ada lagi ketegangan di antara mereka. Walau 
masih terselip sedikit ganjalan di hati Narasumi. Tapi, 
gadis cantik itu tidak berkata apa-apa.
Bangga Pasa menghentikan langkah tepat di depan 
kamar ayahnya. Kendati sudah diceritakan Narasumi, 
tetap saja ia menggeleng-gelengkan kepala melihat isi 
kamar berantakan. Kemudian lelaki tinggi besar itu 
melangkah masuk dengan hati-hati, diikuti yang lain-
nya.
“Mari kita periksa seluruh isi kamar ini. Tapi ingat, 
kita harus merapikannya kembali...,” ujar Bangga Pasa 
memimpin saudara-saudaranya.
Mulailah mereka memeriksa seluruh isi kamar. Se-
tiap jengkal tidak mereka lewati. Bahkan dinding-
dinding kamar mereka periksa seluruhnya. Sebab, 
mungkin saja masih ada kamar lain di balik dinding-
dinding itu.
“Tidak ada...,” desis Yudha Pasa setelah memeriksa 
hampir seluruh isi kamar, dan tidak menemukan apa 
yang dibayangkannya. Jangankan tumpukan harta, 
sebutir permata pun tidak. Lelaki gemuk itu merasa 
kecewa sekali.

“Ayah tidak bodoh...,” gumam Bangga Pasa yang ju-
ga tidak menemukan sesuatu yang berharga di kamar 
itu. Ucapan itu membuat yang lainnya menoleh dan 
menatap lelaki tinggi besar itu meminta penjelasan.
“Apa maksudmu, Bangga...?” tanya Yudha Pasa pe-
nasaran. Sebab adiknya itu sudah melangkah keluar 
kamar. Ia pun bergegas mengikuti.
“Mengapa kita begitu tolol! Sudah pasti ayah akan 
menyembunyikannya di tempat lain, yang tidak diduga 
siapa pun!” jawab Bangga Pasa tanpa menghentikan 
langkahnya. Lelaki itu kembali ke ruang tengah rumah 
besar ini.
“Lalu di mana...?” tanpa sadar Yudha Pasa melon-
tarkan pertanyaan bodoh itu. Karena ia benar-benar 
merasa kecewa.
“Aku tidak tahu. Sebaiknya malam ini kita mengi-
nap. Besok baru kita mengadakan pencarian besar-
besaran. Kita geledah seluruh ruangan dan setiap 
jengkal tanah di sekitar bangunan ini. Kalau benar wa-
risan itu ada, aku yakin kita pasti menemukannya...,” 
jawab Bangga Pasa bersemangat
“Kalau begitu, sebaiknya aku segera beristirahat...,” 
ujar Yudha Pasa dan bergegas meninggalkan tempat 
itu.
Lelaki gemuk itu menuju kamarnya tempat dahulu 
ia tinggal. Kamar itu memang dibiarkan kosong seperti 
kamar-kamar lainnya. Walaupun selalu dibersihkan 
pelayan keluarga itu.
Sepeninggal Yudha Pasa, Rengga pun minta diri un-
tuk beristirahat Kemudian Bangga Pasa menyusul. Na-
rasumi segera bangkit dan melangkah ke kamarnya. 
Sehingga, ruangan itu kembali sunyi seperti biasa.
***

Malam semakin larut Udara di luar terasa dingin 
menyentuh kulit Angin sesekali berhembus keras 
membawa titik-titik air. Meskipun begitu, hujan tidak 
juga turun. Mendung memang tidak begitu tebal.
Dalam cuaca seperti itu ternyata masih ada juga 
orang yang berkeliaran di luar rumah. Meskipun gera-
kan mereka cukup cepat dan sulit dikenali, tapi jelas 
ketiga sosok tubuh yang berlari itu adalah manusia, 
bukan hantu atau sebangsanya. Tujuan mereka ada-
lah rumah besar milik Ki Ganda Pasa yang terpencil 
dan tersembunyi.
Dengan ringan dan hampir tidak mengeluarkan 
bunyi, ketiga sosok itu bergerak mendekati jendela 
kamar salah seorang putra Ki Ganda Pasa. Ketiganya 
berhenti sebentar mengawasi sekeliling. Merasa aman, 
lelaki pertama mencoba membuka jendela kamar itu 
secara paksa, meski tetap menimbulkan kesan hati-
hati sekali.
Tapi penghuni kamar itu bukan orang sembaran-
gan. Yudha Pasa yang semula tertidur lelap tersentak 
bangkit ketika mendengar suara yang mencurigakan. 
Dan....
“Kurang ajar...!” desis lelaki gemuk itu geram ketika 
melihat daun jendela kamarnya perlahan membuka. 
Baru saja ia hendak melompat turun dari atas pemba-
ringan, tiba-tiba melesat sebentuk benda kecil panjang 
ke arahnya.
“Haiiit..!”
Dengan sigap Yudha Pasa mengelak sambil mengu-
lurkan tangannya yang terlindung lilitan pakaian. Se-
kali sambar, benda kecil panjang itu terjatuh ke lantai. 
Ternyata benda itu hanya sebatang ranting sebesar jari 
kelingking!
Yudha Pasa semula hendak mengejar penyerang gelap itu, tapi gerakannya ditunda, la melihat ada benda 
putih yang digunakan untuk membungkus ranting po-
hon itu. Langsung saja disambarnya ranting itu.
Kening lelaki gemuk itu berkerut ketika mendapati 
kain putih bertuliskan beberapa baris kalimat Cepat 
dibukanya gulungan kain itu. Dan dibacanya perlahan.
Kalau kau menginginkan bagian yang lebih besar 
dari warisan Ki Ganda Pasa, temui kami di batas Desa 
Koneng....
“Hm....”
Yudha Pasa meremas kain di tangannya. Pesan da-
lam kain itu sangat singkat, dan tanpa nama pengirim. 
Hingga lelaki gemuk itu penasaran. Apalagi tulisan itu 
menyebutkan tentang warisan. Maka tanpa banyak 
cakap lagi, Yudha Pasa segera berkemas untuk meme-
nuhi pesan itu. Bayangan warisan yang memenuhi pi-
kirannya membuat Yudha Pasa langsung menyelinap 
keluar tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Se-
bentar saja lelaki gemuk itu sudah melesat menuju 
tempat yang tertulis di dalam sobekan kain yang masih 
berada dalam genggaman tangannya.
Perbatasan Desa Koneng tidak terlalu jauh. Dalam 
waktu singkat, Yudha Pasa sudah tiba di tempat yang 
dituju. Ia menghentikan langkah dan memandang ber-
keliling. Tak ada seorang pun di tempat itu.
“Hm.... Kau benar-benar bernyali naga, Yudha Pasa! 
Aku kagum kepadamu. Itu sebabnya aku memilihmu 
untuk bergabung....”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat. Yudha Pasa 
segera menoleh dengan sikap waspada. Jari-jari tan-
gannya meraba gagang pedang di pinggangnya.
“Siapa kau...?” bentak Yudha Pasa ketika melihat

tiga sosok bayangan muncul dari balik semak-semak 
di kanannya.
“Tidak perlu setegang itu, Yudha Pasa. Kami men-
gundangmu dengan niat baik....”
Kembali suara berat itu terdengar. Dan ketika keti-
ga orang itu sudah dekat, Yudha Pasa segera mengena-
li mereka sebagai orang-orang yang datang mencari 
ayahnya. Dari cerita adik perempuannya, ia tahu salah 
satu dari mereka bernama Ki Sutra. Tapi ia tidak bisa 
menebak yang mana orang itu.
“Hm.... Kalian rupanya...,” desis Yudha Pasa tanpa 
rasa gentar sedikit pun.
Lelaki gemuk itu sangat membanggakan kepan-
daiannya. la merasa yakin dapat mengatasi ketiga lela-
ki tua itu. Keyakinan itu pulalah yang menjadi salah 
satu alasan ia datang memenuhi undangan mereka.
“Bagus kalau kau mengenali kami, Yudha Pasa. 
Dengan demikian kita bisa membicarakan urusan den-
gan baik-baik...,” sahut lelaki berusia sekitar lima pu-
luh tahun, yang tidak lain Ki Sutra. Lelaki itu selalu 
mewakili kedua kawannya untuk berbicara.
“Hm.... Apa maksud pesanmu...?” tanya Yudha Pasa 
dengan sikap tetap waspada. Sebab bukan tidak 
mungkin mereka hendak mencelakakannya.
“Kami ingin menawarkan kerja sama yang akan 
menguntungkanmu, Yudha Pasa. Kami jamin kau ti-
dak akan kecewa...,” jawab Ki Sutra seraya tertawa 
perlahan.
Yudha Pasa tidak segera menanggapi. Ia menggeser 
langkahnya sambil tetap mengawasi ketiga orang itu. 
Tatapan matanya demikian tajam. Seolah hendak me-
nilai Ki Sutra dan kawan-kawannya.
“Kerja sama bagaimana...?” tanya Yudha Pasa sete-
lah puas meneliti ketiga lelaki tua itu. Walau sudah

dapat menduga tujuan ketiga orang itu, Yudha Pasa 
masih ingin mendengar penjelasan yang lebih terperin-
ci.
“Ketahuilah, Yudha Pasa. Warisan ayahmu tidak 
akan habis walaupun kau hambur-hamburkan seu-
mur hidup. Karena itu kami menawarkan kerja sama 
kepadamu. Kami yakin kau pasti akan bersedia...,” ja-
wab Ki Sutra yang rupanya tidak meragukan peni-
laiannya terhadap Yudha Pasa. Tentu saja untuk itu ia 
tidak bertindak ceroboh. Jauh-jauh hari ia telah me-
nyelidiki kehidupan serta sifat putra sulung Ki Ganda 
Pasa itu. Tanpa setahu Yudha Pasa, Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya selalu membayangi lelaki gemuk itu.
Mendengar keterangan warisan ayahnya, dada Yud-
ha Pasa berdebar. Ia sungguh tidak menyangka kalau 
peninggalan ayahnya demikian banyak. Terbayang di 
benaknya kemewahan dan kesenangan hidup. Tapi 
Yudha Pasa mencoba menahan diri, dan pura-pura ti-
dak peduli.
“Dari mana kau mengetahuinya? Aku sendiri seba-
gai putra sulungnya tidak pernah mengetahui warisan 
yang demikian banyak itu. Bahkan aku masih mera-
gukan keberadaan warisan ayah,” tukas Yudha Pasa 
dengan liciknya, sekaligus hendak mencari keterangan 
lebih pasti dari ketiga lelaki tua itu.
“Kau tidak perlu mengetahuinya. Yang jelas, berita 
harta melimpah itu bukan karangan kami. Untuk apa 
kami berbohong dan bersusah-payah mencari ayahmu 
sampai bertahun-tahun. Sebaiknya kau putuskan sa-
ja, apakah tawaran kami diterima?” tanya Ki Suta me-
minta kepastian.
“Hm.... Mengapa kalian tidak ambil sendiri? Dengan 
kepandaian kalian, rasanya tidak akan ada sesuatu 
yang dapat menghalangi tindakan kalian.,.?” ujar Yudha Pasa yang sebenarnya merasa heran dengan tawa-
ran itu.
“Karena kami tidak ingin berurusan dengan pihak 
kerajaan. Kau pasti tahu apa yang kami maksud?” ja-
wab Ki Sutra yang kelihatan benar-benar menghendaki 
Yudha Pasa berada di pihaknya.
“Maksudmu, kau takut berhadapan dengan adikku 
yang menjadi perwira kerajaan...?” tanya Yudha Pasa 
agak heran.
Tapi, ia segera dapat memaklumi kekhawatiran ke-
tiga lelaki tua itu. Sebab kalau sampai berurusan den-
gan adiknya, mereka bertiga bisa menjadi buruan ke-
rajaan. Itu jelas tidak mereka inginkan.
“Benar...,” sahut Ki Sutra tanpa ragu-ragu.
“Ketahuilah, Yudha Pasa. Bila harta itu sampai di-
temukan adikmu yang perwira, kemungkinan besar 
warisan ayahmu akan diserahkan untuk kerajaan. Itu 
berarti kau akan mendapatkan bagian yang tidak sebe-
rapa. Lain halnya jika kau bergabung dengan kami. Ki-
ta hanya berempat Sedangkan seandainya dipecah 
menjadi sepuluh bagian pun, tidak akan habis sampai 
tujuh turunan. Nah, bagaimana pendapatmu...?” kali 
ini yang berbicara Ki Wargana. Lelaki tua itu tidak sa-
bar dengan bantahan-bantahan maupun pertanyaan 
lelaki gemuk itu. Sehingga nada ucapannya tidak enak 
di telinga.
Mendengar perkataan Ki Wargana, Yudha Pasa ter-
menung. Apa yang dikhawatirkan lelaki tua itu men-
dekati kebenaran. Jika warisan ayahnya sampai demi-
kian banyak, bukan tidak mungkin Bangga Pasa me-
nyerahkannya ke kerajaan. Dan ia akan mendapat se-
kadarnya saja. Yudha Pasa tidak menginginkan hal itu 
terjadi.
“Jika aku memutuskan untuk bekerja sama dengan

kalian, apa yang harus kulakukan...?” tanya Yudha 
Pasa masih belum memutuskan akan menerima usul 
Ki Sutra atau tidak.
“Tidak sulit Jauhkan adikmu dari rumah itu. Kau 
bisa membohongi mereka dengan mengatakan warisan 
itu hanya omong kosong. Atau kalau kau ingin lebih 
aman, bunuh saja ketiga saudaramu itu. Dengan begi-
tu, kita akan lebih aman untuk mencari warisan men-
diang ayahmu...,” ujar Ki Sutra.
Yudha Pasa tersentak kaget.
“Itu kalau kau ingin bagian seperti yang kami ta-
warkan. Jika keberatan, kami pun tidak akan memak-
sa...,” Ki Wargana menimpali, membuat Yudha Pasa 
semakin bingung.
“Apakah tidak ada cara lain yang lebih aman...?” 
Yudha Pasa agaknya keberatan untuk melenyapkan 
saudara-saudaranya. Lelaki gemuk ini masih ragu me-
nerima tawaran yang menggiurkan itu.
“Tidak. Sekarang kau harus memutuskan! Ikut ber-
gabung dengan kami dan memperoleh segala impian-
mu, atau tidak sama sekali!” tandas Ki Sutra tidak sa-
bar melihat sikap Yudha Pasa.
“Tapi....”
“Cukup! Sekali lagi kami beri kesempatan! Kami 
akan melakukannya walaupun tanpamu...!” tegas Ki 
Sutra tidak bisa ditawar lagi. Yudha Pasa dipaksa 
mengambil keputusan saat itu juga.
“Baik! Aku bersedia.”
Akhirnya Yudha Pasa menyanggupi untuk berga-
bung dengan Ki Sutra dan kawan-kawannya. Ia me-
mang tidak mempunyai pilihan lain. Apa yang selama 
ini menjadi impiannya akan segera terwujud bila ia 
bergabung dengan ketiga lelaki tua itu.
“Bagus! Sekarang kembalilah, dan laksanakan tu

gasmu dengan baik,” perintah Ki Sutra, seraya terse-
nyum penuh kemenangan.
“Bagaimana caranya aku melenyapkan mereka...?” 
tanya Yudha Pasa, sebelum beranjak pergi dari tempat 
itu.
“Mudah saja. Beri saudara-saudaramu racun yang 
dapat melenyapkan kekuatan tenaga dalam mereka. 
Dengan begitu, tugasmu tidak akan menjadi berat 
Nah, terimalah....”
Ki Sutra melemparkan kantung kain yang berisi 
bubuk beracun. Dan Yudha Pasa menyambutnya tan-
pa ragu.
“Semoga kau berhasil, Yudha Pasa....”
Selesai berkata demikian, ketiga lelaki itu berkele-
bat dan lenyap ditelan kegelapan malam. Sedang Yud-
ha Pasa pun kembali ke tempat kediaman ayahnya.
***
ENAM


Tiba di kamarnya, Yudha Pasa tidak dapat lagi me-
mejamkan mata. Walaupun sudah merebahkan tu-
buhnya di atas pembaringan, matanya tidak juga mau 
terpejam. Pikirannya tidak bisa tenang. Otaknya beker-
ja keras mencari cara seperti yang telah disepakati 
bersama Ki Sutra dan kawan-kawannya. Bayangan hi-
dup mewah rupanya lebih kuat menguasai hati Yudha 
Pasa. Sehingga, ia menyanggupi untuk melenyapkan 
adik-adik kandungnya.
Dengan perasaan gelisah, lelaki gemuk itu bangkit 
dan duduk termenung di atas pembaringan. Dikelua-
rkannya kantung berisi racun yang didapat dari Ki Sutra. Dan menimang-nimangnya dengan pikiran mene-
rawang.
“Hm.... Terlalu mencurigakan bila ketiga saudaraku 
tewas keracunan dalam waktu bersamaan. Tidak! Aku 
tidak akan menggunakan racun ini. Lebih baik aku 
mencari jalan lain yang tidak terlalu menyolok...,” gu-
mam Yudha Pasa berbicara sendiri.
Setelah mengambil keputusan, Yudha Pasa turun 
dari pembaringan. Dibukanya daun jendela lebar-
lebar. Merasa yakin tak seorang pun mengetahui per-
buatannya, dilemparkannya kantung berisi racun itu 
sekuat tenaga. Lalu kembali merebahkan diri sambil 
memikirkan cara lain untuk melenyapkan saudara-
saudaranya.
Sampai fajar datang menjelang, Yudha Pasa tetap 
tidak bisa memejamkan mata sedikit pun. Tapi ia su-
dah bisa bernapas lega. Jalan yang dicarinya sudah di-
temukan. Tinggal pengaturan pelaksanaannya yang te-
rasa masih agak berat
Saat matahari menampakkan sinarnya, Yudha Pasa 
bergegas meninggalkan kamar. Lalu membersihkan 
tubuh dan menuju ruang tengah. Lelaki gemuk itu du-
duk menunggu saudara-saudaranya sambil menikmati 
hidangan yang disediakan pelayan keluarga mereka.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga saudaranya 
muncul. Wajah mereka kelihatan segar dan cerah. Ti-
dak sedikit pun nampak sisa-sisa perselisihan di anta-
ra mereka.
“Wah! Kelihatannya kau sudah cukup lama me-
nunggu kami, Kakang...,” sapa Bangga Pasa dan Reng-
ga Pasa. Keduanya langsung mengambil tempat duduk 
di kiri dan kanan kakak tertua mereka.
Narasumi hanya mengangguk dan tersenyum kecil 
ketika Yudha Pasa melempar pandang ke arahnya. Seperti juga Bangga dan Rengga, gadis itu langsung me-
narik kursi di sebelah kakaknya yang nomor tiga.
“Dengan sangat menyesal aku terpaksa tidak bisa 
ikut bersama kalian mencari warisan itu. Aku baru in-
gat kalau hari ini ada janji dengan teman dagangku. 
Kuharap kalian dapat memaklumi....”
Yudha Pasa membuka suara setelah mereka berem-
pat berkumpul di ruang tengah. Dengan pandainya ia 
memasang wajah penuh sesal, membuat yang lainnya 
saling bertukar pandang.
“Tidak mengapa, Kakang Yudha. Dan sebaiknya kau 
ditemani Kakang Rengga. Aku khawatir musuh-musuh 
kita mengintai gerak-gerik kita semua. Dengan berdua 
kita akan lebih kuat menghadapi lawan...,” ujar Bang-
ga Pasa yang dapat memaklumi kepentingan kakak su-
lungnya.
Mendengar usul Bangga Pasa, tentu saja Yudha Pa-
sa sangat senang. Ia langsung menoleh ke arah Rengga 
Pasa, seolah hendak melihat tanggapan adiknya.
“Bagaimana, Rengga...?” tanya Yudha Pasa meminta 
jawaban.
“Tentu aku bersedia menemanimu, Kakang,” sahut 
Rengga Pasa cepat Kemudian berpaling menatap Bang-
ga Pasa dan Narasumi. “Tapi kuingatkan kepada kalian 
untuk menyisihkan bagianku bila warisan itu kalian 
temukan....”
Bangga Pasa dan Narasumi hanya tersenyum sam-
bil menggelengkan kepala. Tapi akhirnya mereka men-
gangguk, menyetujui permintaan kakak keduanya itu.
“Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang ju-
ga...,” pamit Yudha Pasa. Lalu melangkah keluar dan 
melompat ke atas punggung kuda.
Rengga Pasa melakukan hal yang sama. Dan tak 
lama kemudian, keduanya bergerak memacu kuda

masing-masing meninggalkan Bangga Pasa dan Nara-
sumi, yang menatap kepergian mereka sampai lenyap 
di kejauhan.
***
“Mengapa mengambil jalan ini, Kakang? Bukankah 
akan memakan waktu lebih lama untuk tiba di ru-
mahmu...?” tanya Rengga Pasa mengingatkan kakak-
nya mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Lelaki 
tegap itu mengira kakaknya mungkin keliru.
“Aku harus menemui kawan dagangku dulu, Reng-
ga. Setelah itu, baru kita ke rumahku...!” seru Yudha 
Pasa menyahuti tanpa menghentikan lari kudanya 
yang menerobos semak belukar. Saat itu mereka me-
lewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditum-
buhi pepohonan dan rumput liar.
Mendengar jawaban itu, Rengga Pasa tidak berkata 
lagi. Itu berarti kakaknya tidak lupa. Tapi memang dis-
engaja. Maka ia segera membedal kudanya agar tidak 
tertinggal terlalu jauh.
Yudha Pasa membedal kudanya dengan kecepatan 
tinggi. Tidak peduli jalan yang dilaluinya terlalu sempit
Ketika menoleh ke belakang dan adiknya tidak terlihat, 
ia segera membelokkan kudanya menerobos semak-
semak. Dan lenyap dalam kelebatan pepohonan.
Perbuatan Yudha Pasa itu tidak diketahui Rengga. 
Sehingga, ia terus melarikan kudanya menyusuri jalan 
kecil itu. Lelaki tegap ini baru merasa heran ketika tiba 
di sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Bayan-
gan kakaknya tidak terlihat Cepat Rengga menarik tali 
kekang kudanya. Binatang itu meringkik keras sebe-
lum berhenti berlari.

“Aneh! Ke mana perginya Kakang Yudha Pasa...? 
Meskipun ia melarikan kudanya secepat angin, seha-
rusnya masih tampak bayangannya di depan sana. Ka-
rena tempat ini cukup terbuka...,” desis Rengga Pasa, 
memutar binatang tunggangannya sambil memandang 
berkeliling. Tapi tetap saja ia tidak menemukan seso-
sok makhluk pun di sekitar tempat itu.
“Haaat...!”
Belum lagi Rengga Pasa terbebas dari rasa heran, 
tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan 
melayangnya sesosok tubuh dengan pedang di tangan. 
Maksudnya sudah jelas hendak mencelakakan lelaki 
tegap itu.
Bwettt...!
“Haiiit..!”
Sadar kalau dirinya terancam maut, Rengga Pasa 
tidak tinggal diam. Cepat ia melompat dari atas pung-
gung kuda, dan berputaran beberapa kali di udara se-
belum meluncur turun.
Usaha itu ternyata belum juga bisa membebaskan-
nya dari incaran maut Sinar pedang penyerang gelap 
itu terus mengejar ke mana tubuhnya pergi. Lelaki te-
gap itu kelabakan menyelamatkan diri dari serangan 
pedang lawan. Hingga....
Bret..!
“Aaakh...?!”
Sebuah tebasan menyilang yang dilancarkan penye-
rang gelap itu tidak sempat dielakkan Rengga Pasa. 
Tubuh lelaki tegap itu melintir dan terhuyung ke bela-
kang. Darah segar memercik membasahi rerumputan. 
Pada bagian iga lelaki itu terdapat luka memanjang 
yang cukup dalam.
“Keparat busuk...!” desis Rengga Pasa tidak dapat 
menahan rasa geramnya. Tangan kanannya bergerak
cepat meloloskan pedang di pinggangnya dan menyi-
langkannya di depan dada. Siap menghadapi lawan.
“Mampus...!”
Sosok yang sebagian wajahnya terlindung kain hi-
tam itu kembali menerjang dengan ganasnya. Tam-
paknya ia memang hendak melenyapkan nyawa Reng-
ga Pasa.
“Hei...?!”
Rengga Pasa berseru heran melihat gerakan lawan. 
Jurus-jurus yang dipergunakan telah dikenalnya den-
gan baik. Sayang ia tidak diberi kesempatan untuk 
berbicara. Serangan-serangan yang demikian gencar 
itu membuat Rengga Pasa menelan rasa penasaran-
nya, dan mulai mengadakan perlawanan.
Terjadilah perkelahian seru yang cukup menegang-
kan. Keduanya saling gempur dengan hebat untuk 
menundukkan lawan. Kelebatan sinar pedang mereka 
terkadang diselingi benturan keras yang menimbulkan 
percikan bunga api. Walaupun pada setiap benturan 
Rengga Pasa lebih kuat, namun gerakan lawan ternya-
ta jauh lebih cepat Sehingga ia tetap saja terdesak oleh 
gempuran-gempuran lawan yang memang tidak main-
main.
Cappp...!
Ketika pertempuran memasuki jurus keempat pu-
luh tiga, Rengga Pasa kecolongan! Luka yang dideri-
tanya sangat membahayakan nyawa. Ujung pedang 
lawan menancap dalam di sebelah kiri dadanya dan 
langsung menembus jantung!
“Aaargh...!”
Rengga Pasa meraung keras saat lawan menarik pu-
lang senjatanya. Darah segar membanjir keluar dari 
luka di tubuh lelaki tegap itu. Belum lagi menyadari 
keadaannya, pedang lawan kembali berkelebat Kali ini

merobek perutnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh 
Rengga Pasa ambruk berkelojotan bagai ayam disem-
belih. Sebentar kemudian, diam tak bergerak lagi. Ma-
ti!
Sosok bercadar hitam itu tertawa dingin melihat 
mayat lawannya. Kaki kirinya bergerak perlahan mem-
balikkan tubuh yang menelungkup itu.
“Kau adalah korban pertamaku, Rengga Pasa...,” 
desis sosok itu kembali memperdengarkan tawa din-
ginnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melesat 
pergi meninggalkan mayat Rengga Pasa.
***
“Hhh.... Mungkin warisan itu tidak pernah ada, Ka-
kang,” desah Narasumi seraya menghela napas pan-
jang.
Wajah cantiknya kelihatan lelah. Tampak sekali ka-
lau gadis cantik itu merasa kecewa. Warisan yang dica-
rinya belum juga ditemukan. Meskipun sudah hampir 
separo tempat itu mereka jelajahi, tapi hasilnya tetap 
nol!
“Sabarlah, Sumi! Bukankah belum seluruhnya tem-
pat ini kita periksa. Aku yakin warisan itu kemungki-
nan besar ada. Hanya kita belum menemukan tempat-
nya saja...,” sahut lelaki tinggi besar yang tidak lain 
Bangga Pasa. Ia menghibur adiknya yang kelihatan 
mulai putus asa.
Narasumi yang semula hendak menyahuti ucapan 
kakaknya, mendadak berdiri sambil menengadahkan 
kepala. Gadis cantik itu tengah memasang indera pen-
dengarannya. Ternyata bukan hanya Narasumi saja 
yang berbuat demikian. Bangga Pasa pun menghenti-
kan pekerjaannya, karena telinganya menangkap sesuatu.
“Suara derap kaki kuda...?!” desis Bangga Pasa se-
raya menoleh ke arah Narasumi. Kebetulan gadis can-
tik itu pun tengah memandang kakaknya. Sehingga, 
mereka saling berpandangan sesaat
Bangga Pasa mendahului adiknya melesat ke hala-
man depan. Saat itu mereka tengah berada di bagian 
belakang rumah. Di belakang lelaki tinggi besar itu Na-
rasumi menyusul. Keduanya seperti berlomba untuk 
segera tiba di halaman depan.
“Kakang Yudha...?!” seru Bangga Pasa ketika meli-
hat seorang penunggang kuda melesat memasuki ha-
laman rumah besar itu. Cepat ia memburu. Karena di-
lihatnya wajah kakak sulungnya itu agak pucat dan 
pakaiannya lusuh. Tentu saja ia merasa heran.
Narasumi yang tiba belakangan juga terheran-heran 
melihat kemunculan Yudha Pasa. Menurut perhitun-
gan, kakak sulungnya itu baru akan kembali sore nan-
ti. Tapi ternyata Yudha Pasa sudah kembali. Dan da-
lam keadaan yang mengherankan.
“Ada apa, Kakang? Dan..., ke mana Kakang Reng-
ga...?” tanya Bangga Pasa begitu kakaknya melompat 
turun dari punggung kuda. Kening lelaki tinggi besar 
itu berkerut dalam ketika melihat tubuh Yudha Pasa 
limbung saat menjejakkan kaki di tanah. Jelas, kakak 
sulungnya itu sedang dalam keadaan tidak sehat
“Celaka, Adi Bangga...! Adi Rengga tewas...! Musuh-
musuh kita ternyata membayangi dan mengawasi ge-
rak-gerik kita. Mereka menghadang di tengah hutan. 
Aku berhasil meloloskan diri. Sedangkan Adi Rengga...”
Yudha Pasa tidak melanjutkan kalimatnya. Nafas-
nya terdengar memburu. Lelaki gemuk itu menjatuh-
kan tubuhnya dan bersandar pada sebatang pohon. 
Yudha Pasa kelihatan sangat lelah.
“Keparat..! Sudah kuduga kalau mereka masih te-
rus mengincar kita...!” geram Bangga Pasa sangat ma-
rah mendengar kematian Rengga Pasa. Sepasang ma-
tanya berkilat penuh dendam kesumat
Lain halnya dengan Narasumi. Gadis cantik itu ti-
dak berkata apa-apa. Hatinya sempat terpukul men-
dengar keterangan kakak sulungnya. Walaupun ia ti-
dak menyukai Rengga, namun tetap saja ada rasa se-
dih saat mendengar kematiannya.
“Hm.... Aku akan mencari mereka! Akan kubunuh 
manusia-manusia jahat itu...!” desis Bangga Pasa yang 
belum juga reda kemarahannya. Lelaki tinggi besar itu 
tampaknya akan segera membuktikan ucapannya. 
Langkahnya terayun menghampiri kuda Yudha Pasa.
“Jangan bertindak bodoh, Bangga! Mereka cukup 
banyak, dan rata-rata berilmu silat setingkat dengan 
kita. Bahkan beberapa di antaranya berkepandaian 
tinggi...!” cegah Yudha Pasa menghadang langkah 
adiknya.
“Kau tidak boleh meninggalkan tempat ini, Kakang 
Bangga! Mereka pasti akan menghadang dan membu-
nuhmu, seperti yang dilakukan terhadap Kakang 
Rengga! Sebaiknya kita tetap bergabung di rumah ini 
dan menghadapi segala sesuatunya bersama-sama...,” 
Narasumi pun berusaha mencegah kepergian Bangga 
Pasa. Sehingga lelaki tinggi besar itu menahan keper-
giannya.
Bangga Pasa terdiam beberapa saat seperti tengah 
merenungkan sesuatu. Kemudian menatap kedua sau-
daranya berganti-ganti. Kelihatannya ia sudah menda-
pat jalan keluar yang cukup baik.
“Mmm.... Begini saja. Kalian berdua tetap tinggal di 
sini. Aku akan pergi ke kotaraja untuk mengambil be-
berapa orang pasukanku. Dengan begitu, kita akan lebih kuat menghadapi mereka...,” ujar Bangga Pasa 
mengusulkan.
“Tapi..., bagaimana kalau mereka menghadang-
mu...?” bantah Narasumi, tidak begitu setuju dengan 
usul Bangga Pasa.
“Jangan khawatir, Sumi. Aku bisa menjaga diri...,” 
jawab Bangga Pasa pasti. Lelaki tinggi besar itu meng-
hampiri kuda Yudha Pasa yang ditambatkan di pohon. 
Kemudian melompat naik ke atas punggung kuda hi-
tam itu.
“Kakang....”
Narasumi masih berusaha mencegah kepergian 
Bangga Pasa. Gadis cantik itu berlari menghampiri ka-
kaknya yang sudah siap untuk berangkat
Bangga Pasa menatap Narasumi sesaat Kemudian 
membedal kudanya setelah melempar senyum kepada 
gadis cantik itu. Sebentar saja binatang itu telah mele-
sat meninggalkan Narasumi dan Yudha Pasa yang 
hanya bisa menatap kepergian saudaranya.
Setelah kuda hitam itu hilang dari pandangan, Na-
rasumi bergerak dari tempatnya. Ia langsung melang-
kah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh kepada 
kakak sulungnya. Yudha Pasa sendiri tidak mempedu-
likan sikap gadis itu. Ia bergerak menuju belakang ru-
mah setelah sosok Narasumi lenyap di balik pintu.
Beberapa saat kemudian, muncul tiga sosok tubuh 
yang langsung melangkah masuk ke halaman rumah 
besar itu. Mereka adalah Ki Sutra dan kawan kawan-
nya. Rupanya mereka sudah cukup lama mengintai 
dari tempat tersembunyi. Dan baru keluar begitu 
Bangga Pasa pergi meninggalkan kedua saudaranya.
Brakkk!
Tanpa basa-basi lagi, Ki Sutra menendang hancur 
pintu rumah besar itu. Kemudian ketiga orang itu berloncatan masuk ke dalam rumah. Tampaknya mereka 
tidak main sembunyi lagi. Karena Bangga Pasa yang 
mereka segani sudah pergi dari rumah itu.
“Hei! Siapa kalian...?! Mengapa merusak pintu ru-
mah ini...?!” seorang lelaki kurus yang tidak lain Ra-
min, berteriak menyongsong kedatangan Ki Sutra dan 
kawan-kawannya.
Ki Sutra rupanya merasa tidak perlu menjawab 
dengan mulut Tangannya langsung bergerak cepat
Dan....
Breeet..!
Tanpa ampun lagi, tubuh Ramin terjungkal mandi 
darah. Lehernya hampir putus terkena sambaran pe-
dang Ki Sutra. Ramin tewas seketika itu juta.
“Bangsat kejam...!”
Narasumi bergegas keluar dari kamar ketika men-
dengar jerit kematian tukang kebunnya. Betapa terke-
jutnya gadis itu menyaksikan tubuh Ramin tergeletak 
tewas. Dan ia sangat marah ketika melihat pelaku 
pembunuhan itu.
“He he he...! Kau pun akan mengalami nasib serupa 
setelah tubuh molekmu kami nikmati bersama-sama. 
Semua ini kami lakukan sebagai pembalasan atas 
pengkhianatan ayahmu kepada kami...,” ujar Ki Sutra
seraya menatap wajah dan tubuh Narasumi dengan 
liar. Kemudian bergerak maju, diikuti kawan-
kawannya.
Srat..!
Tanpa banyak cakap lagi, Narasumi mencabut pe-
dang di pinggangnya. Semula ia ingin mengetahui 
maksud ucapan Ki Sutra. Tapi melihat mereka berge-
rak maju, Narasumi membatalkan niatnya. Pedangnya 
melintang di depan dada, siap menghadapi keroyokan 
ketiga lelaki tua itu

Sebetulnya Narasumi bisa saja berteriak memanggil 
Yudha Pasa. Namun itu tidak dilakukannya. Sebab 
menurutnya suara teriakan Ramin pasti terdengar ka-
kak sulungnya. Ia yakin Yudha Pasa akan segera tiba 
sebelum ia roboh di tangan lawan-lawannya. Hingga 
Narasumi tidak berteriak meminta bantuan kakaknya 
untuk menghadapi Ki Sutra dan kawan-kawannya.
***
TUJUH


“Heaaa...!”
Ki Sutra memulai serangan dengan serangkaian 
pukulan tangan kosong yang menimbulkan deruan an-
gin keras. Serangannya jelas tidak main-main. Ki Sutra 
langsung mengerahkan seluruh tenaganya dalam se-
rangan pertama itu.
Narasumi sadar kepandaiannya masih berada di 
bawah Ki Sutra. Gadis itu segera menggeser tubuhnya 
sambil mengibaskan pedang untuk bertahan. Sehing-
ga, serangan lawan dapat terbendung dan tidak terlalu 
mendesaknya. Bahkan gadis itu sempat melancarkan 
serangan balasan dengan kecepatan yang mengagum-
kan.
Namun betapapun hebatnya gadis cantik itu mem-
buat pertahanan, tetap saja ia kewalahan menghadapi 
keroyokan tiga lawan tangguh seperti Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya. Ketika pertarungan berjalan beberapa 
belas jurus, Narasumi tidak mampu lagi melakukan 
serangan balasan. Gadis itu terus terdesak mundur ke 
sudut ruangan.
Sadar dirinya terancam bahaya maut, akhirnya Narasumi berteriak memanggil kakak sulungnya. Karena 
sampai saat itu Yudha Pasa tidak muncul memban-
tunya. Padahal menurut perhitungannya perkelahian 
itu sudah pasti terdengar kakak sulungnya.
“Kakang Yudha...! Bantu aku...!” teriak Narasumi 
sekuat tenaga. Gadis itu benar-benar sudah tidak ber-
daya menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Tapi harapan Narasumi tidak terkabul. Yudha Pasa 
tidak juga muncul, meskipun ia sudah berteriak berka-
li-kali. Gadis cantik itu pun mulai gelisah. Dan itu 
membuatnya lengah. Sehingga....
Desss....!
Sebuah tendangan keras membuat tubuh Narasumi 
terguling. Gadis itu berusaha bangkit meskipun lam-
bungnya terasa nyeri. Tapi....
Plak!
Tamparan keras pada bahu kanannya membuat Na-
rasumi terhuyung limbung. Pedangnya terlepas dari 
genggaman. Dara cantik itu pun tidak mempunyai per-
tahanan lagi untuk menghadapi serangan lawan. Se-
dangkan saat itu Ki Sutra sudah meluncur datang 
dengan totokan melumpuhkan. 
“Ahhh...?!”
Gadis cantik itu menahan jeritannya. Ia tahu Ki Su-
tra bermaksud melumpuhkannya. Dan ia sudah mem-
bayangkan yang akan menimpa dirinya bila sampai 
tertawan ketiga musuh ayahnya itu. Tapi karena kea-
daan tubuhnya tidak mungkin mengadakan perlawa-
nan, Narasumi hanya bisa memejamkan mata saat se-
rangan Ki Sutra datang.
Maka....
“Haiiit..!”
Pada saat yang menegangkan itu, mendadak berke-
lebat sesosok bayangan putih memapaki serangan KiSutra. Demikian cepatnya gerakan sosok bayangan pu-
tih itu berkelebat, sehingga tidak tertangkap mata Ki 
Sutra dan kawan-kawannya. Dan....
Plak, desss...!
“Hugkh...!”
Hebat dan cepat bukan main gerakan sosok bayan-
gan putih itu. Ia bukan hanya mampu menggagalkan 
serangan Ki Sutra. Bahkan masih sempat menyarang-
kan hantaman telapak tangan kanannya ke dada lelaki 
tua itu. Akibatnya tubuh Ki Sutra terjengkang ke bela-
kang, dan jatuh membentur kedua kawannya yang be-
rada di belakangnya. Tak ayal lagi, tubuh ketiga lelaki 
tua itu jatuh saling tumpang tindih!
Kejadian yang sangat tidak disangka-sangka itu 
tentu saja membuat Ki Sutra dan kawan-kawannya 
terkejut bukan main. Cepat mereka berloncatan bang-
kit untuk melihat siapa yang telah berani menggagal-
kan perbuatan mereka.
Alangkah kagetnya hati ketiga orang itu ketika me-
lihat sosok pemuda tampan berjubah putih yang berdi-
ri tegak di depan Narasumi. Wajah ketiganya menjadi 
pucat bagai kertas! Mereka kenal betul siapa pemuda 
tampan berjubah putih itu.
“Pendekar Naga Putih...!” desis Ki Sutra hampir 
berbarengan dengan kawan-kawannya. Tanpa sadar 
ketiganya melangkah mundur. Jelas mereka merasa 
gentar pada Pendekar Naga Putih.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Narasumi pun terkejut dan heran ketika mendengar 
seruan kaget Ki Sutra dan kawan-kawannya. Senyum-
nya terlukis ketika ia membuka matanya dan menjum-
pai sesosok tubuh terbungkus jubah panjang putih 
berdiri tegak membelakanginya. Narasumi tahu peno-
longnya adalah Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
Kemunculan pemuda tampan itu membuat Nara-
sumi mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. 
Ia tahu pasti Panji tidak akan datang seorang diri. Du-
gaannya memang tidak meleset. Beberapa langkah dari 
tempatnya, tampak seorang dara jelita berpakaian ser-
ba hijau tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada 
tiang pintu.
“Kenanga...!” seru Narasumi dengan suara haru 
bercampur gembira. Gadis cantik itu melebarkan se-
nyumnya ketika melihat Kenanga tersenyum manis 
kepadanya.
“Hm.... Dugaanku ternyata tidak meleset. Kalian 
pasti kembali ke tempat ini. Setelah aku mencari-cari 
dan tidak menemukan jejak kalian, aku yakin kalian 
pasti masih berada di sekitar daerah ini. Itu sebabnya 
aku kembali ke tempat ini. Syukurlah kedatanganku 
belum terlambat...,” ujar Panji dengan suara dan sikap 
yang tenang. Walaupun begitu, sikap maupun sorot 
mata pemuda itu memancarkan perbawa yang sangat
kuat. Hingga Ki Sutra dan kedua kawannya bertambah 
gentar.
“Mengapa kau selalu mencampuri urusan kami, 
Pendekar Naga Putih? Bukankah di antara kita tidak 
ada persoalan...?” tegur Ki Sutra yang merasa penasa-
ran dengan campur tangan pendekar muda itu.
“Hm.... Setiap kejahatan adalah persoalanku. Suka 
atau tidak, aku akan selalu menentang setiap tindak 
kejahatan. Itu sebabnya aku mencampuri urusan 
ini...,” sahut Panji, membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya kembali melangkah mundur beberapa tin-
dak.
“Keparat! Kalau begitu, terimalah hadiah kami...!” 
sambil berkata demikian, Ki Sutra mengibaskan tangan kanannya ke arah Panji.
Whusss...!
Kibasan tangan lelaki setengah baya itu bukan 
sembarangan. Begitu tangan Ki Sutra mengibas, bu-
buk-bubuk kuning berbau harum menyengat hidung 
bertebaran di sekitar ruangan itu.
“Lari...!” perintah Ki Sutra kepada kawan-
kawannya.
Kesempatan itu dipergunakan mereka untuk mela-
rikan diri. Sebab saat itu Panji tengah sibuk mengusir 
bubuk beracun yang memenuhi hampir seluruh ruan-
gan.
“Mau lari ke mana kalian...?! Jangan harap kali ini 
aku akan melepaskan begitu saja...!” seru Panji-
Pendekar Naga Putih menerobos bubuk beracun 
yang berupa asap itu, sambil mengibaskan lengannya 
ke kanan dan kiri. Tapi....
“Kakang, Narasumi...!”
Melihat Panji hendak mengejar Ki Sutra dan kawan-
kawannya, Kenanga segera berseru. Kenanga melihat 
gadis cantik itu tersengal-sengal dan berdiri ter-
huyung. Jelas, Narasumi telah menghisap bubuk bera-
cun yang ditebarkan Ki Sutra.
Teriakan Kenanga memaksa Panji menahan langkah 
dan menunda niatnya mengejar Ki Sutra. Pemuda itu 
segera berbalik. Ia lupa kalau di dalam ruangan itu 
ada Narasumi yang tentu saja menghisap racun yang 
ditebarkan Ki Sutra.
Panji agak khawatir melihat Narasumi terhuyung 
limbung seperti orang mabuk. Cepat disambarnya tu-
buh gadis cantik itu. Dan dibawanya keluar dari ruan-
gan yang telah dipenuhi racun. Sebab Panji belum bisa 
memastikan jenis racun yang digunakan Ki Sutra.
Kenanga bergegas mengikuti langkah kekasihnya.

Walaupun cukup mengerti tentang racun, tapi ia be-
lum mengenal jenis racun yang terhisap Narasumi. 
Maka Kenanga tidak berani bertindak ceroboh yang bi-
sa mengakibatkan kematian gadis cantik itu. Itu se-
babnya Kenanga memanggil kekasihnya, agar melupa-
kan Ki Sutra dan mengurusi Narasumi lebih dulu.
“Bagaimana keadaannya, Kakang...? Apa racun itu 
bisa mengakibatkan kematian segera...?” tanya Kenan-
ga, menemani mengobati Narasumi.
Wajah Narasumi kelihatan sudah berubah pucat. 
Racun itu ternyata menyebar cukup cepat ke seluruh 
tubuh korbannya. Gadis cantik itu sudah tidak sadar-
kan diri saat Panji merebahkannya di atas rerumputan 
di halaman depan rumah besar itu.
“Racun ini memang cukup berbahaya. Ia akan me-
munahkan tenaga dalam secara perlahan. Kemudian 
membuat korbannya menderita sesak napas yang ber-
kepanjangan. Hingga akhirnya membawa pada kema-
tian...,” jawab Panji setelah memeriksa keadaan Nara-
sumi. Pemuda itu sudah menotok beberapa bagian tu-
buh Narasumi untuk mencegah penyebaran racun.
“Apa masih bisa diselamatkan...?” tanya Kenanga 
lagi. Diam-diam gadis ini ngeri juga mendengar cara 
kerja racun itu.
“Meskipun agak parah, aku yakin Narasumi masih 
bisa ditolong dan sembuh seperti sediakala. Tapi gadis 
ini harus beristirahat beberapa hari. Tenaga dalamnya 
tidak bisa langsung pulih...,” jelas Panji. Kenanga 
mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Berapa lama ia baru akan sadar dari pingsannya, 
Kakang...?” tanya Kenanga setelah terdiam beberapa 
saat memandangi wajah cantik yang malang itu. Ke-
nanga kelihatan sangat prihatin dengan nasib gadis cantik itu.

“Hanya beberapa jam saja. Sebaiknya kau bawa ga-
dis ini ke kamarnya. Rebahkan tubuhnya di atas pem-
baringan. Tidak lama lagi ia pasti sadar. Aku telah 
memasukkan pil penawar racun ke dalam mulut-
nya...,” jawab Panji. Kemudian bangkit untuk memberi 
kesempatan kepada Kenanga membawa Narasumi ke 
kamarnya.
“Kenanga...,” panggil Panji saat gadis jelita itu hen-
dak membawa masuk tubuh Narasumi yang ada dalam 
gendongannya.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga, menoleh ke 
arah kekasihnya.
“Keadaan Narasumi sudah tidak terlalu mengkha-
watirkan lagi. Kuminta kau menjaganya sampai ia sa-
dar. Kemudian berikan pil ini yang harus segera ia te-
lan setelah sadar dari pingsannya. Aku hendak menge-
jar Ki Sutra dan kawan-kawannya. Mereka perlu diberi 
pelajaran agar jera...,” ujar Panji seraya menyerahkan 
dua butir pil berwarna putih, yang merupakan obat lu-
ka dalam sekaligus penawar racun.
“Baik, Kakang. Hati-hati! Ki Sutra dan kawan-
kawannya sangat licik...,” ujar dara jelita itu mengin-
gatkan kekasihnya agar tidak bertindak ceroboh.
“Jangan khawatir. Aku akan ingat pesanmu. Nah! 
Aku pergi dulu,” ujar Panji. Kemudian berkelebat men-
gejar ketiga musuh keluarga Ki Ganda Pasa.
Sepeninggal Panji, Kenanga melangkah masuk ke 
dalam rumah besar itu. Dua pelayan wanita menyam-
but kedatangan Kenanga dengan wajah cemas dan ke-
lihatan pucat. Mereka tidak berkata apa-apa. Hanya 
menunjukkan kamar majikannya ketika Kenanga 
mengatakan hendak membawa Narasumi ke kamar-
nya.
***
Rombongan berkuda itu bergerak cepat melintasi ja-
lanan lebar. Lalu menyeberangi sungai. Penunggang 
kuda terdepan seorang lelaki tinggi besar berwajah ke-
ras dan mengenakan pakaian perwira. Sikapnya tam-
pak berwibawa. Lelaki tinggi besar itu adalah Bangga 
Pasa.
Di belakang perwira tinggi itu terlihat selusin pe-
nunggang kuda berpakaian prajurit Rupanya Bangga 
Pasa berhasil tiba di kotaraja dan membawa selusin 
anak buahnya untuk ikut membantu menghadapi mu-
suh-musuh keluarganya.
Ketika tiba di pertigaan jalan, Bangga Pasa memba-
wa pasukannya mengambil jalan ke kanan. Namun 
perwira itu membatalkan niatnya ketika melihat empat 
sosok bayangan berlari di belakangnya. Merasa curiga, 
lelaki tinggi besar itu memutar kudanya, dan memerin-
tahkan para prajuritnya mengambil jalan ke kiri untuk 
mengejar keempat sosok tubuh itu.
Kecurigaan Bangga Pasa semakin besar ketika me-
lihat keempat sosok tubuh itu menambah kecepatan 
larinya. Sepertinya mereka tahu ia bersama pasukan-
nya hendak mengejar. Maka Bangga Pasa pun me-
nambah kecepatan lari binatang tunggangannya.
“Heaaa, heaaa...!”
Bangga Pasa mencambuk kudanya berkali-kali. 
Hingga binatang itu melesat secepat terbang. Dan ken-
ing perwira tinggi besar itu agak berkerut, ketika jarak 
di antara mereka semakin bertambah dekat, ia seperti 
mengenal salah satu dari keempat orang di depannya 
itu.
Apakah penglihatanku tidak salah?! Yang berlari di 
sebelah kiri seperti Kakang Yudha Pasa. Lalu, siapa ke-
tiga orang itu? Mengapa mereka menghindariku...? Bi-
sik batin Bangga Pasa heran dengan sikap keempat sosok tubuh mencurigakan itu.
“Kakang Yudha...!”
Setelah jarak di antara mereka hanya tinggal bebe-
rapa tombak lagi, Bangga Pasa merasa yakin kalau sa-
lah seorang dari mereka adalah kakak sulungnya. Ma-
ka ia segera berseru memanggil.
Hei...! Bukankah ketiga orang itu musuh-musuh ke-
luargaku? Tidak salah lagi! Mereka pasti Ki Sutra dan 
kawan-kawannya. Tapi, mengapa Kakang Yudha ber-
sama mereka...? Tersentak hati Bangga Pasa saat 
mengenali tiga orang lainnya. Kenyataan itu semakin 
membuatnya penasaran.
“Berhenti...!”
Lelaki bertubuh gemuk yang berlari di sebelah kiri 
dan agak tertinggal dari tiga orang lainnya berteriak-
teriak memaki sambil mencabut pedangnya. Lelaki 
gemuk yang memang Yudha Pasa itu ternyata sedang 
mengejar tiga orang itu. Ia terus berteriak-teriak sam-
bil berlari.
Kerutan di kening Bangga Pasa mengendur. Teria-
kan itu ia kenal betul. Ia merasa pasti kalau lelaki ge-
muk itu kakak sulungnya, la baru mengerti, mengapa 
kakaknya berada di antara mereka. Rupanya Yudha 
Pasa tengah mengejar Ki Sutra dan kawan-kawannya 
yang melarikan diri.
“Kakang, jangan biarkan mereka lolos...!” seru 
Bangga Pasa.
Lelaki tinggi besar ini akhirnya berhasil menyusul 
keempat orang itu dan melewatinya. Bangga Pasa me-
mutar binatang tunggangannya untuk menghadang Ki 
Sutra dan kawan-kawannya.
“Hm.... Sekarang kalian tidak mungkin dapat lari 
dariku...,” ujar Bangga Pasa, setelah melompat turun 
dari punggung kuda seraya menghunus senjata.

Ki Sutra, Ki Wargana, dan Ki Rayoang terpaksa 
menghentikan larinya. Mereka berdiri tegak di antara 
Bangga Pasa dan Yudha Pasa. Kedua kakak beradik 
itu telah menghunus senjata dan siap bertarung.
“Adi Bangga! Mereka baru saja mendatangi rumah 
kita. Untung aku berhasil mengejar mereka. Hayo, kita 
habisi mereka...!” seru Yudha Pasa segera bergerak 
menggeser langkahnya, melihat lawan-lawannya telah 
meloloskan senjata.
Bangga Pasa menganggukkan kepala. Kemudian 
memerintahkan pasukannya yang baru tiba untuk 
mengepung ketiga musuh keluarganya. Jalan untuk 
lolos bagi Ki Sutra dan kawan-kawannya benar-benar 
telah tertutup.
“Hm.... Kalian kira dapat menundukkanku begitu 
saja! Jangan gembira dulu, Putra-putra Pengkhianat! 
Justru kalianlah yang mengantarkan nyawa kepada 
kami...!” ejek Ki Sutra yang tidak merasa gentar meski 
harus menghadapi belasan orang lawan. Lelaki seten-
gah baya itu merasa yakin dapat mengalahkan lawan-
lawannya.
Ki Sutra memberikan isyarat kepada kawan-
kawannya untuk saling beradu punggung. Mereka 
tampaknya telah siap menghadapi Bangga Pasa dan 
yang lainnya.
***
DELAPAN


“Haaat..!”
Ki Sutra langsung melancarkan serangan. Lelaki 
tua berperawakan gagah itu melesat dengan disertai 
tebasan pedang yang menimbulkan suara berdesing

tajam.
Bangga Pasa yang merasa geram pada Ki Sutra, ju-
ga tidak mau main-main. Tubuhnya langsung bergerak 
ke depan menyambut serangan lawan. Sehingga dalam 
waktu singkat, keduanya telah bertarung sengit
Dalam jurus-jurus awal, Ki Sutra langsung mende-
sak lawan dengan serangan gencar. Sinar pedangnya 
berkelebatan menyilaukan mata. Disertai desingan 
yang menusuk telinga. Agaknya lelaki tua itu tidak in-
gin memberikan kesempatan kepada lawan untuk 
mengembangkan permainan.
Apa yang dilakukan Ki Sutra menampakkan hasil. 
Dalam beberapa jurus saja, Bangga Pasa terdesak oleh 
kurungan sinar pedang lawan. Lelaki tinggi besar itu 
hanya bisa bertahan dengan memutar senjatanya 
mengelilingi tubuh, dan bermain mundur. Semakin 
lama tekanan lawan semakin berat
“Yeaaah...!”
Memasuki jurus kesepuluh, Ki Sutra kembali mem-
bentak dengan disertai tusukan ujung pedang yang 
mencoba membongkar benteng pertahanan lawan.
Bweeet...!
Disertai kilatan cahaya putih yang menyilaukan ma-
ta, ujung pedang Ki Sutra meluncur lurus ke arah da-
da Bangga Pasa. Dari suara desingannya, dapat dike-
tahui kalau Ki Sutra mengerahkan hampir seluruh ke-
kuatan tenaga dalamnya. Jelas serangan itu sangat 
berbahaya.
Tapi kali ini Bangga Pasa berbuat nekat Karena me-
rasa tertekan oleh serangan lawan yang laksana air 
bah, ia pun membentak sambil mengibaskan pedang-
nya dari atas ke bawah. Bangga Pasa sengaja mema-
paki tusukan pedang lawan dengan sekuat tenaga.
Whuuut.., trang...!

Tangkisan yang dilakukan Bangga Pasa berhasil 
dengan baik. Ia bukan hanya berhasil mematahkan se-
rangan maut itu. Bahkan sanggup membuat pedang 
lawan terpental balik. Hingga ia merasa lega. Sebab 
kekuatan lawan ternyata masih berada di bawahnya. 
Tapi....
Swiiit...!
Apa yang diduga Bangga Pasa ternyata meleset Pe-
dang yang terpental balik itu tiba-tiba berputar. Ke-
mudian bergerak menyilang mengancam tenggorokan-
nya. Lelaki tinggi besar itu kaget bukan main.
“Akh...?!”
Bangga Pasa memekik tertahan ketika mata pedang 
lawan datang menyambar. Untunglah pada saat yang 
gawat itu ia sempat melempar tubuhnya ke belakang. 
Kemudian berputaran di udara beberapa kali. Dan me-
luncur turun dalam jarak yang cukup jauh dari tempat 
lawannya berada.
Ki Sutra yang merasa yakin kepandaiannya berada 
di atas Bangga Pasa, kembali menerjang maju. Dan te-
tap melancarkan serangan gencar ketika perwira tinggi 
besar itu melakukan perlawanan. Pertarungan pun 
kembali berlanjut
Sementara itu, Ki Wargana dan Ki Rayoang berta-
rung menghadapi pengawal-pengawal Bangga Pasa. 
Kedua lelaki tua yang masih terlihat gagah itu menga-
muk hebat dengan sambaran senjatanya yang mem-
bawa hawa maut. Sehingga, kedua belas prajurit itu ti-
dak mau bertindak ceroboh menghadapi kedua lawan 
mereka.
Tidak jauh dari arena pertempuran Yudha Pasa 
berdiri memperhatikan pertarungan-pertarungan maut 
itu. Terkadang ia memperhatikan jalannya perkelahian 
Ki Sutra dan Bangga Pasa. Di saat lain sepasang matanya tertuju ke arah perkelahian Ki Wargana dan Ki 
Rayoang yang tengah berjuang menghadapi keroyokan 
dua belas prajurit kerajaan. Sampai sejauh itu, ia be-
lum melakukan sesuatu untuk membantu adiknya.
Sementara Bangga Pasa semakin terdesak hebat 
oleh gempuran lawan. Meskipun sesekali melepaskan 
serangan balasan, namun tetap saja perwira itu harus 
bermain mundur kalau tidak ingin celaka di ujung sen-
jata lawan.
Desss...!
“Aaakh...!”
Entah untuk yang ke berapa kali, tendangan Ki Su-
tra membuat Bangga Pasa terguling. Walaupun begitu, 
perwira tinggi besar itu berusaha bangkit dengan 
menggigit bibir menahan nyeri. Secara kebetulan, ia ja-
tuh tidak jauh dari tempat Yudha Pasa berdiri menon-
ton perkelahian lain. Tentu saja Bangga Pasa heran 
melihat sikap kakaknya.
“Kakang Yudha! Mengapa kau diam saja? Ayo. Ban-
tu aku menghadapi manusia jahat itu...!” seru Bangga 
Pasa jengkel. Sambil berseru, perwira itu menggeser 
langkahnya ke arah Yudha Pasa.
Namun apa yang dilakukan Yudha Pasa sebagai ja-
wabannya sungguh sangat mengejutkan! Pada saat tu-
buh Bangga Pasa tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba 
tangan kanan lelaki gemuk itu mengibas dengan gera-
kan menyilang. Jelas, lelaki itu hendak mencelakakan 
adik kandungnya sendiri!
“Kakang...?!”
Bangga Pasa terbelalak bagai melihat hantu di siang 
bolong. Untuk sesaat perwira itu hanya bisa terpaku. 
Apa yang dialaminya seperti mimpi yang paling buruk 
dalam hidupnya.
Crattt...!

“Aaakh...!?”
Tanpa ampun lagi, tubuh Bangga Pasa melintir 
dengan dada bagian atas terobek pedang Yudha Pasa. 
Darah segar mengalir turun. Disertai rasa perih yang 
membuat perwira tinggi besar itu menggigit bibir kuat-
kuat. Untung luka itu tidak terlalu dalam. Sebab pada 
saat-saat terakhir ujung pedang itu menyambar, Bang-
ga Pasa masih sempat memiringkan tubuhnya sedikit. 
Kalau tidak, kemungkinan besar perwira itu langsung 
tewas. Karena, serangan itu dilancarkan dengan sepe-
nuh tenaga oleh Yudha Pasa.
“Kakang...?! Kau...?!”
Dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, 
Bangga Pasa memandang wajah kakaknya yang terse-
nyum mengejek. Sadarlah perwira tinggi besar itu ka-
lau Yudha Pasa tidak lagi berdiri di pihaknya. Jelas, le-
laki gemuk itu telah memusuhi saudara-saudaranya 
sendiri karena menginginkan kesenangan hidup.
“Bagus, Yudha...! Kau benar-benar tidak membuat 
kami merasa menyesal telah mengajakmu bekerja sa-
ma...!” terdengar pujian bernada parau yang ditujukan 
kepada Yudha Pasa.
Mendengar ucapan itu, Bangga Pasa menoleh ke be-
lakang. Wajahnya semakin merah padam karena ma-
rah yang menggelora di dalam dada. Ucapan yang dike-
luarkan Ki Sutra merupakan bukti kalau kakak su-
lungnya telah berpihak kepada lawan. Ia pun sadar 
semua itu dilakukan Yudha Pasa karena hati yang se-
rakah. Sikap Yudha Pasa membuat hati perwira tinggi 
besar itu terasa nyeri. Benar-benar sebuah kenyataan 
pahit yang harus ditelannya.
“Hm.... Aku mengerti sekarang...,” desis Bangga Pa-
sa, menatap kakak sulungnya dengan sinar mata pe-
nuh kebencian. “Ceritamu mengenai Rengga pasti

hanya bualan kosong. Aku yakin kaulah yang telah 
membunuhnya, Yudha Pasa...!”
Bangga Pasa baru mengerti sekarang. Ia yakin ke-
matian Rengga karena dibunuh Yudha Pasa. Semua 
itu dapat ditebaknya setelah melihat kakak sulungnya 
itu memihak kepada musuh. Hingga Bangga Pasa me-
rasa benci.
“He he he...! Sayang kau terlambat mengetahuinya, 
Adi Bangga. Sebentar lagi kau akan kuantarkan me-
nyusul Rengga ke alam baka...,” Yudha Pasa memper-
dengarkan tawa iblisnya tanpa terbersit rasa penyesa-
lan sedikit pun. “Kau benar-benar iblis, Yudha...!” ge-
ram Bangga Pasa. Ia tidak mau menyebut ‘kakang’ ke-
pada Yudha Pasa. Lelaki gemuk yang serakah itu tidak 
pantas menjadi saudara kandungnya.
“Hm.... Apa lagi yang kau tunggu, Yudha? Ayo. Ha-
bisi saudaramu yang sombong itu...,” Ki Sutra mema-
nas-manasi Yudha Pasa agar segera melenyapkan adik 
kandungnya.
Ki Sutra memang tidak perlu mengulangi ucapan-
nya. Begitu mendengar perkataan Ki Sutra, Yudha Pa-
sa menggerakkan pedangnya, siap menerjang Bangga 
Pasa. Bayangan kesenangan hidup telah membuat ma-
ta dan hati Yudha Pasa buta. 
“Haaat..!”
Disertai pekikan keras, tubuh Yudha Pasa melayang 
ke arah adik kandungnya. Pedang di tangannya berke-
lebatan dengan serangkaian serangan maut yang me-
matikan. Yudha Pasa telah bertindak menjadi iblis ke-
jam. Ia rela disuruh melenyapkan saudaranya oleh 
musuh-musuh keluarganya sendiri.
Melihat kakak sulungnya sudah tidak bisa disadar-
kan lagi, Bangga Pasa segera menggerakkan pedang-
nya menyambut serangan kakak kandungnya. Dalam

waktu singkat kedua kakak beradik itu telah saling 
gempur bagai dua orang musuh bebuyutan!
Ki Sutra tertawa tergelak menyaksikan jalannya 
pertarungan. Dan ketika melihat kedua kawannya mu-
lai dapat menguasai arena, tawanya semakin keras 
dan berkepanjangan. Ia yakin sebentar lagi Bangga Pa-
sa bersama sisa prajuritnya akan segera lenyap dari 
muka bumi.
Perkiraan Ki Sutra ternyata tidak meleset. Setelah 
beberapa saat tawanya lenyap, enam orang sisa praju-
rit Bangga Pasa melolong ngeri. Tubuh mereka berkelo-
jotan mandi darah. Di tengah arena tampak Ki Warga-
na dan Ki Rayoang tertawa tergelak. Kemenangan telah 
mereka capai dengan baik
Sementara Bangga Pasa yang bertarung melawan 
Yudha Pasa kelihatan mulai kewalahan melawan ka-
kak kandungnya. Tapi bukan pekerjaan mudah bagi 
Yudha Pasa untuk segera menundukkan perwira itu. 
Kepandaian mereka tidak berselisih jauh. Kalaupun 
dalam beberapa belas jurus ia dapat mendesak adik-
nya. Itu terjadi karena Bangga Pasa telah lelah dan da-
lam keadaan kurang baik. Dan sebelumnya telah ber-
tarung mati-matian melawan Ki Sutra.
Berbeda dengan Yudha Pasa. Lelaki gemuk itu da-
lam keadaan tubuh yang masih segar. Sehingga den-
gan kekuatan yang utuh ia dapat melancarkan seran-
gan yang membuat Bangga Pasa terdesak hebat.
“Mampus...!”
Sambil membentak, Yudha Pasa menyabetkan pe-
dangnya dengan gerakan miring. Senjata itu meluncur 
berdesing mengincar tubuh Bangga Pasa.
Crattt...!
“Aaakh...!”
Bangga Pasa memekik ketika pedang lawan merobek lambung. Meskipun sudah berusaha mengelak, 
tapi senjata Yudha Pasa masih melukai nya. Gerakan
Bangga Pasa memang menjadi lambat karena lelah dan 
luka-luka yang dideritanya.
Melihat tubuh adiknya terjatuh, Yudha Pasa tetap 
tidak tergerak hatinya. Bahkan ia melompat setinggi 
bahu sambil membacokkan pedangnya dengan sepe-
nuh tenaga. 
Bwettt..!
Disertai kilatan cahaya putih, suara mengaung ta-
jam itu datang siap membelah tubuh Bangga
Pasa!
“Haaat..!”
Pada saat yang sangat gawat bagi keselamatan 
Bangga Pasa, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring yang 
menggetarkan jantung! Kemudian....
Plak!
“Akh...?!”
Yudha Pasa menjerit tertahan. Mendadak sesosok 
bayangan putih menangkis sambaran pedangnya. Tu-
buh lelaki gemuk itu terjengkang ke belakang. Sedang-
kan pedangnya terlepas dari genggaman dan terpental 
entah ke mana.
Sosok berjubah putih yang meluncur dengan kece-
patan laksana sambaran kilat itu menjejakkan kedua 
kakinya di tanah. Gerakannya demikian ringan dan 
nyaris tanpa suara. Sosok itu berdiri tegak di depan 
Bangga Pasa yang tergeletak lemas karena terlalu ba-
nyak kehilangan darah.
“Hm.... Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih...!” ge-
ram Ki Sutra ketika mengenali orang yang telah meng-
gagalkan serangan Yudha Pasa. Kembali lelaki tua itu 
terkejut melihat kemunculan pendekar muda yang tersohor itu.

“Dan lagi-lagi kau masih juga belum jera, Ki Sutra! 
Sayang setelah hari ini petualanganmu akan berak-
hir...,” tukas sosok berjubah putih yang memang Panji. 
Ditatapnya wajah Ki Sutra dengan sinar mata tajam, 
hingga dada lelaki tua itu berdebar lebih kuat dari bi-
asanya.
“Kepung dan bunuh pendekar usilan itu...!” perin-
tah Ki Sutra kepada kawan-kawannya termasuk Yudha 
Pasa.
Tanpa diperintah dua kali, ketiga lelaki itu langsung 
bergerak menyebar. Mereka menggenggam senjata, 
termasuk Yudha Pasa yang telah menemukan senja-
tanya kembali.
Panji tersenyum tipis melihat keempat lawannya 
mulai membentuk kepungan. Tubuh pemuda itu sedi-
kit pun tidak bergeser dari tempatnya. Tapi ia telah 
siap menghadapi keroyokan empat orang lawannya.
“Yeaaah...!”
Ki Sutra memulai serangan dengan bacokan pe-
dang. Disertai suara berdesing tajam, senjata itu ber-
kelebat cepat mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Belum lagi serangan Ki Sutra tiba pada sasaran, ti-
ga orang lainnya sudah berlompatan menyerang Panji. 
Mereka hendak mencincang tubuh pendekar muda itu 
dalam serangan pertama.
“Hm....”
Panji memperdengarkan gumaman tak jelas. Kemu-
dian menggeser langkahnya saat tebasan pedang Ki 
Sutra datang. Dan terus bergerak ke kiri dan kanan 
dengan geseran kuda-kuda mantap untuk menghinda-
ri serangan tiga pengeroyok lainnya.
“Heaaah...!”
Setelah memberi kesempatan menyerang beberapa 
jurus kepada lawannya, Panji mulai melancarkan serangan balasan dengan kecepatan yang sulit diikuti 
mata. Keempat pengeroyok itu kalang-kabut menyela-
matkan diri dari hujan serangan Pendekar Naga Putih.
Melihat kepandaian pemuda berjubah putih itu, Ki 
Sutra sadar ia tidak mungkin dapat menang. Meskipun 
mengeroyok bersama-sama kawannya. Pikiran itu 
membuat Ki Sutra mulai menggunakan keahliannya 
dalam hal racun.
“Terimalah kematianmu, Pendekar Naga Putih...!” 
bentak Ki Sutra seraya mengibaskan lengan kirinya. 
Dan....
Whusss...!
Asap kekuningan menghalangi pandangan Panji ke-
tika Ki Sutra mengibaskan sehelai kain hitam yang ta-
hu-tahu telah tergenggam di tangan kirinya.
“Manusia keji...!” desis Panji sambil melompat mun-
dur dan mengibaskan kedua tangannya. Asap keku-
ningan itu membuat kedua matanya terasa panas dan 
pandangannya menjadi kabur. Racun itu memang di-
maksudkan untuk mengaburkan pandangan lawan. 
Sehingga Panji menjadi agak sibuk.
Dengan kedua mata terpejam, Pendekar Naga Putih 
berlompatan mundur menghindari sambaran senjata 
lawan. Walaupun hanya menggunakan pendengaran, 
ternyata Panji masih tetap tangguh dan tidak mudah 
dilukai. Kenyataan itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya penasaran.
“Kali ini kau pasti mampus, Pendekar Naga Pu-
tih...!”
Karena penasaran, Ki Sutra kembali merogoh kan-
tung kain di pinggang kirinya. Kemudian mengibaskan 
lengannya dengan sekuat tenaga ke arah Panji.
Serrr, serrr...!
Puluhan jarum-jarum hitam yang halus berdesingan mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Kali ini 
Ki Sutra yakin pemuda tampan berjubah putih itu pas-
ti tidak akan selamat. Selain senjata rahasia itu dile-
paskan dalam jumlah banyak dan menutup semua ja-
lan keluar, suara jarum-jarum beracun itu pun sangat 
halus. Nyaris ditelan desingan senjata mereka.
Tapi Ki Sutra terlalu menganggap enteng pendekar 
muda itu. Lelaki tua itu agaknya belum banyak men-
dengar tentang kehebatan Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, ia merasa sangat yakin akan dapat meroboh-
kan Panji dengan mengandalkan senjata rahasianya.
“Hm....”
Panji hanya bergumam ketika mendengar desiran 
lembut di antara desingan pedang lawan-lawannya. 
Pemuda itu langsung dapat menebak kalau Ki Sutra 
telah menggunakan senjata rahasia yang sangat kecil 
bentuknya. Sadar akan bahaya yang mengancam kese-
lamatan dirinya, Pendekar Naga Putih mengerahkan 
‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi selu-
ruh tubuhnya.
Seketika itu juga, tampaklah kabut bersinar putih 
keperakan menyebar dan melindungi sekujur tubuh 
Panji dalam jarak beberapa jengkal. Munculnya sinar 
putih keperakan itu disertai dengan hembusan hawa 
dingin menusuk tulang dan getaran gelombang tenaga 
dalam yang amat kuat! Sehingga....
“Aaah...?!”
Ki Sutra hampir tidak percaya dengan kejadian 
yang disaksikannya. Jarum-jarum beracun yang dile-
paskan dengan sekuat tenaga itu langsung berjatuhan 
ke tanah ketika menyentuh kabut bersinar putih kepe-
rakan yang berpendar mengelilingi sekujur tubuh Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan gelombang hawa dingin 
yang menyebar membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Semua itu benar-benar di luar perhitungan-
nya. Sampai-sampai Ki Sutra terpaku dibuatnya.
“Haiiit..!”
Setelah jarum-jarum beracun itu runtuh ke tanah, 
Panji memekik nyaring, membuat lawan-lawannya ter-
jajar mundur dengan wajah menyeringai. Pekikan itu 
membuat dada mereka terasa nyeri. Sebelum keempat 
orang itu menyadari keadaannya, tahu-tahu....
Plak, desss...!
Ki Wargana dan Ki Rayoang terjengkang keras me-
muntahkan darah segar. Telapak tangan Panji telah 
menggedor dada mereka. Karuan saja nyawa mereka 
melayang seketika itu juga!
Tinggallah Ki Sutra dan Yudha Pasa yang kaget bu-
kan main menyaksikan kejadian itu. Sebab, Pendekar 
Naga Putih hanya menggunakan pendengarannya saja 
dalam melancarkan serangannya. Sampai saat itu ke-
dua matanya masih tetap terpejam rapat
Bukkk!
“Hugkh...!”
Kali ini tubuh Yudha Pasa yang terbanting keras ke 
tanah. Tendangan yang dilontarkan Panji membuat le-
laki gemuk itu terbatuk hebat memuntahkan darah 
segar. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian diam ti-
dak bergerak lagi. Mati!
“Sekarang terimalah bagianmu, Ki Sutra...!” seru 
Panji seraya bergerak maju ke arah Ki Sutra.
Sebisanya Ki Sutra melompat menghindari serangan 
pemuda itu. Tapi...
Desss...!
Hantaman telapak tangan kiri Panji tetap saja ber-
hasil mengenai tubuh lawan. Akibatnya, tubuh Ki Su-
tra terlempar ke belakang dan terjatuh memuntahkan 
darah segar.

“Hm....”
Panji mendaratkan kedua kakinya tepat di depan 
tubuh Ki Sutra yang tengah terbungkuk menahan se-
sak di dada. Tampaknya Pendekar Naga Putih tidak 
langsung membunuh lelaki tua itu. Terbukti Ki Sutra 
tidak tewas seperti dua orang kawannya.
“Kau... memang hebat, Pendekar Naga Putih...,” de-
sis Ki Sutra ketika merasa pendekar muda itu berada 
di depannya. Setelah menengadah, Ki Sutra kembali 
merunduk sambil menyeringai menahan rasa nyeri di 
dada.
“Ki Sutra. Sebelum kau tewas, katakanlah apa yang 
menyebabkan kau memusuhi keluarga Ki Ganda Pasa? 
Mengapa kau tidak percaya orang tua itu sudah me-
ninggal...?”
Rupanya Panji sengaja tidak membunuh Ki Sutra, 
karena ingin mendengar alasan lelaki tua itu memusu-
hi keluarga Ki Ganda Pasa.
“Ganda Pasa itu pengkhianat busuk!” umpat Ki Su-
tra. “Kira-kira dua puluh lima tahun yang lalu, semasa 
kami masih berkawan, kami membawa lari banyak 
emas permata dari kerajaan. Semua itu terjadi ketika 
negeri ini sedang kacau dan tengah terjadi peperangan 
besar. Ganda Pasa yang saat itu mendapat tugas un-
tuk mengawal keluarga raja mengungsi, melarikan ke-
reta berisi benda-benda berharga. Sedangkan kami 
yang menyamar sebagai perampok bertarung dengan 
pengawal-pengawal sang Prabu. Setelah yakin Ganda 
Pasa telah membawa lari kereta itu jauh-jauh, kami 
meninggalkan pertarungan. Ternyata Ganda Pasa 
mengkhianati kami karena keserakahannya. Ia tidak 
menemui kami di tempat yang telah disepakati bersa-
ma....”
Ki Sutra menghentikan ceritanya untuk menghela

nafasnya yang sesak. Beberapa kali ia terbatuk keras.
“Lalu, kalian bertiga mencarinya selama puluhan 
tahun...?” tanya Panji setelah batuk lelaki tua itu reda.
“Ya. Dan baru sekarang ini kami mengetahui tempat 
tinggalnya. Mungkin selama kami melakukan penca-
rian, Ganda Pasa hidup berpindah-pindah. Sehingga 
kami sulit sekali mengikuti jejaknya. Keberadaan Gan-
da Pasa, kami ketahui beberapa hari yang lalu. Guru 
kami datang dengan luka yang parah hingga mem-
buatnya tewas. Rupanya Guru kami telah bertarung 
dengannya. Tapi beliau sama sekali tidak memberi ta-
hu kalau Ganda Pasa pun mendapat luka, yang mem-
bawanya ke liang kubur,” jawab Ki Sutra dengan suara 
yang semakin lemah.
Panji mengangguk setelah mendengar penuturan Ki 
Sutra. Terungkaplah rahasia kematian Ki Ganda Pasa 
yang selama ini menjadi teka-teki.
“Hm.... Apakah keluarga kerajaan tidak berusaha 
melacak harta yang dilarikan Ki Ganda Pasa...?” tanya 
Panji yang merasa pasti kalau pihak kerajaan akan 
mencari Ki Ganda Pasa yang melarikan kereta berisi 
harta tak ternilai itu.
“Tidak. Mereka mengira semua itu perbuatan para 
perampok. Selain itu, raja yang berkuasa sekarang ti-
dak tahu-menahu perihal kereta harta itu. Sedangkan 
semua keluarga kerajaan yang berhasil ditawan telah 
dibunuh...,” jelas Ki Sutra. Lelaki tua itu merebahkan 
tubuhnya. Nafasnya terdengar satu-satu.
Melihat penderitaan orang tua itu, Panji merasa ka-
sihan juga. Ia berjongkok dan memeriksa tubuh Ki Su-
tra yang sudah tinggal menunggu ajal.
Bertahanlah, Ki. Aku akan mencoba mengobati-
mu...,” ujar Panji tidak tega melihat keadaan lelaki tua 
itu.

Ki Sutra tersenyum ngeri sambil menggelengkan 
kepala. Sebentar kemudian terbatuk hebat dengan 
memuntahkan darah segar. Lalu kepalanya terkulai 
lemas. Napas orang tua itu telah putus karena luka 
dalam yang dideritanya.
Panji menghela napas panjang. Kemudian meng-
hampiri Bangga Pasa yang tengah terbaring di tanah. 
Pemuda itu memberikan obat luka dalam. Dan tanpa 
berkata apa-apa, dibawanya tubuh Bangga Pasa me-
ninggalkan tempat itu.
***
“Apa yang terjadi, Pendekar Naga Putih...?”
Kedatangan Panji di tempat kediaman Ki Ganda Pa-
sa langsung disambut dengan pertanyaan oleh Nara-
sumi. Gadis cantik itu kelihatan sangat cemas melihat 
keadaan kakaknya.
“Tenanglah, Sumi...,” sambut Panji. Dan melangkah 
masuk. Lalu merebahkan tubuh Bangga Pasa di atas 
balai-balai terbuat dari bambu.
Bangga Pasa mencoba tersenyum untuk menenang-
kan hati adiknya. Walaupun tubuhnya terasa sudah 
agak segar, perwira tinggi besar itu tidak berani bang-
kit Panji menyuruh agar tidak boleh bergerak dulu.
“Kakang Yudha ternyata telah berkhianat dan ber-
pihak kepada musuh-musuh kita, Sumi,” desah Bang-
ga Pasa perlahan. “Harta warisan yang belum jelas itu 
sepertinya telah kena kutuk.”
Ucapan lelaki tinggi besar itu terdengar penuh pe-
nyesalan. Sebab warisan itu telah membuat mereka, 
saudara sekandung, saling bermusuhan. Bahkan sam-
pai ada yang terbunuh.
“Hm.... Jadi kalian belum menemukan warisan itu?”

tanya Panji.
“Mungkin warisan terkutuk itu tidak pernah ada...,” 
desis Narasumi dengan wajah murung.
“Tidak. Harta itu benar-benar ada. Aku telah men-
dengar kisahnya dari Ki Sutra...,” bantah Panji. Lalu 
menceritakan pembicaraannya dengan Ki Sutra sebe-
lum orang tua itu tewas.
Bukan main terkejutnya Narasumi dan Bangga Pa-
sa. Mereka sungguh tidak menyangka kalau warisan 
yang dicari Ki Sutra dan kawan-kawannya itu merupa-
kan hasil curian. Dan, ayah mereka terlibat di dalam-
nya. Bahkan memegang peranan yang sangat penting. 
Tahulah mereka mengapa orang tua itu tidak pernah 
bercerita mengenai warisan itu.
“Tapi..., di mana ayah menyembunyikannya...?” de-
sah Bangga Pasa, membuat mereka semua termenung.
“Di mana biasanya ayah kalian menyepi...?” tanya 
Panji setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Ayah tidak pernah pergi ke mana-mana. Beliau le-
bih sering bersemadi di dalam kamar...,” ujar Narasu-
mi.
“Ikut aku....”
Mendengar jawaban gadis cantik itu, Panji segera 
mengajak Narasumi dan Kenanga ke kamar Ki Ganda 
Pasa. Tanpa banyak cakap lagi, kedua gadis itu segera 
mengikuti langkah Panji. Walaupun sebelumnya telah 
memeriksa seluruh kamar ayahnya, Narasumi tidak 
membantah. Sebab bisa saja ada yang luput dari me-
reka. Dan mungkin Pendekar Naga Putih lebih teliti 
melacak tempat penyimpanan harta warisan itu.
“Setiap sudut di kamar ini sudah kami periksa...,” 
ujar Narasumi ketika melihat Panji mulai menggeledah 
kamar ayahnya.
“Hm...!” Panji menghentikan gerakannya, dan bangkit menatap sekeliling ruangan. “Apakah dinding-
dinding ini sudah ada pada saat kalian menempati 
rumah ini...?”
Narasumi menggeleng perlahan. Kamar itu memang 
tidak ada sebelumnya. Ayahnya sendiri yang mem-
buatnya. Hal itu kemudian diceritakan kepada Panji.
Panji mengangguk-angguk. Lalu melangkah meng-
hampiri dinding kamar ini. Dengan jari-jari tangannya 
yang mengandung tenaga dalam, pemuda itu menge-
tuk-ngetuk dinding. Kemudian menampar perlahan. 
Dinding itu pun retak dan terkelupas. Maka.... 
“Ahhh...?!”
Narasumi dan Kenanga terbelalak melihat bagian 
dalam dinding yang berwarna kuning keemasan. Lapi-
san bagian dalam dinding kamar itu terdiri dari emas! 
Rupanya Ki Ganda Pasa menyembunyikan harta cu-
riannya di dalam dinding. Pantas Narasumi dan sauda-
ra-saudaranya tidak menemukan tempat penyimpanan 
warisan itu.
“Aku yakin semua lapisan dinding kamar ini terbuat 
dari emas mumi...,” ujar Panji setelah melakukan hal 
yang sama pada tiga dinding lainnya. Lapisan bagian 
dalam dinding sekeliling ruangan itu memang terdiri 
dari emas mumi!
“Hebat sekali cara orangtua mu menyembunyikan 
warisannya, Sumi,” ujar Kenanga. Gadis itu benar-
benar kagum dengan kecerdikan Ki Ganda Pasa. Se-
bab, tidak akan ada seorang pun yang menyangkanya.
Bagai orang kehilangan akal, Narasumi meraba-
raba lapisan emas yang ada di sekeliling dinding kamar 
ayahnya. Sampai-sampai gadis itu tidak sadar kalau 
Pendekar Naga Putih dan kekasihnya telah pergi diam-
diam. Kedua pendekar muda itu merasa warisan itu 
bukan urusan mereka.

Narasumi hanya bisa menghela napas ketika me-
nyadari di kamar itu hanya tinggal dia seorang. Gadis 
cantik itu baru sadar kalau Panji dan Kenanga telah 
pergi. Diam-diam Narasumi merasa kagum akan kete-
guhan hati pasangan pendekar muda itu, yang tidak 
tergoda oleh harta yang demikian melimpah. Narasumi 
sadar kalau Pendekar Naga Putih dan Kenanga bukan 
orang-orang serakah yang silau dengan harta. Bahkan 
meminta bagian pun tidak!
“Mereka benar-benar orang gagah yang menolong 
tanpa pamrih...!” hanya itu yang bisa diucapkan Nara-
sumi dengan menghela napas panjang.





                             SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar