PENDEKAR MURTAD
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertuHs dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Pendekar Murtad
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Tolooong...! Lepaskan aku!
Binatang kau!"
Gadis yang berada di pondongan
lelaki tinggi kurus itu berteriak-
teriak. Sepasang tangannya yang
berjari mungil tak henti hentinya
memukuli punggung orang itu. Dia terus
meronta sambil berteriak-teriak
"He he he...! Biarpun berteriak-
teriak sampai suaramu habis, tak akan
ada orang yang menolongmu. Hutan ini
sangat lebat dan tidak ada seorang pun
yang berani mendatanginya," kata lebki
tinggi kurus itu sambil terkekeh
parau. Setelah berkata demikian,
dielusnya pinggul ramping gadis itu.
"Benar, Manis. Untuk apa
membuang-buang tenaga percuma. Lebih
baik simpan tenagamu untuk melayani
kami nanti. Tak usah takut. Kami tidak
akan melukaimu. Hanya.... He he he!"
orang yang berlari di samping si
tinggi kurus ikut membujuk. Suaranya
terdengar melengking bagaikan suara
wanita.
Orang yang satu itu penampilannya
sangat jauh berbeda dengan kawannya.
Tubuhnya pendek dan gemuk sehingga
terlihat bulat. Dan pada saat tengah
berlari seperti itu, tak ubahnya
sebuah bola yang menggelinding.
Dua orang laki-laki yang jauh
berbeda bagai langit dan bumi itu tems
berlari menerobos semak belukar.
Sepertinya mereka sama sekali tidak
merasa khawatir kalau-kalau akan
bertemu binatang buas.
Tidak berapa lama kemudian, kedua
orang itu menghentikan larinya. Di
hadapan mereka tampak membentang
lapangan berumput hijau yang cukup
luas. Sementara itu, gadis yang berada
dalam pondongan si kurus, tampaknya
sudah tak kuasa lagi untuk meronta
ronta. Sepertinya dia sudah pasrah.
Laki laki tinggi kurus itu
melangkahkan kakinya menuju sebatang
pohon besar yang berdaun lebat.
Bergegas diturunkan tubuh molek yang
berada dalam pondongannya itu, lalu
direbahkan di atas rerumputan tebal
laksana permadani. Sedangkan tubuhnya
sendiri dijatuhkan di samping gadis
itu, sambil tetap memeluk.
Gadis manis berwajah bulat telur
itu hanya menangis sambil menutupi
wajahnya. Menilik pakaian yang
dikenakan, pastilah gadis itu putri
seorang yang cukup berada. Karena
pakaiannya terbuat dari bahan surra
halus, bersulamkan benang emas. Dengan
warna kuning gading, serasi benar
dengan kulit tubuhnya yang putih
mulus. Tampak gadis itu hanya
meringkuk dengan wajah bersimbah air
mata.
"Kasihanibh aku, Tuan.
Kembalikanlah aku kepada ayahku,"
ratap gadis manis itu, di antara isak
tangisnya yang menyayat.
"He he he...! Berhentilah
menangis, Bidadariku. Beristirahatlah
agar tenagamu tetap kuat untuk rnela-
yani kami berdua," ujar si tinggi
kurus yang berwajah mirip tengkorak.
Tulang-tulang wajahnya tampak
menonjol, seolah-olah hanya merupakan
tulang yang terbungkus kulit. Kembali
dielus-elusnya pinggul gadis yang
padat berisi itu. Dan gadis itu hanya
bisa menatap.
"He he he...! Kita harus
mengundinya, Kakang. Siapa yang berhak
mencicipi tubuh molek ini terlebih
dahulu," usul si pendek gemuk, seraya
tertawa.
Sepasang matanya yang sipit
menjilari sekujur tubuh ramping
mengundang gairah. Karena meskipun
gadis itu mengenakan pakaian, jelas
sekali lekuk tubuhnya begitu indah.
"Huh! Enak saja kau bicara! Tentu
saja aku dulu yang harus mencicipinya.
Pertama aku telah susah payah
memondongnya hingga sampai ke tempat
ini. Kedua, aku adalah kakakmu. Dan
tentu saja harus didahulukan. Jadi
sudah sepantasnya kalau kau mendapat
bagian paling belakang. Bukankah itu
sudah adil?" sentak si tinggi kurus
mengajukan alasan. Sementara tangannya
masih saja sibuk mengelus tubuh si
gadis.
"Wah! Kau memang selalu ingin
menang sendiri, Kakang. Setiap kite
mendapat sesuatu, selalu kau ajukan
alasan yang sama. Lalu, kapan aku akan
mendapat bagian pertama?" sergah si
gemuk dengan wajah menyeringai sedih.
Mulutnya tampak cemberut mendengar
alasan kakaknya.
"Ah, sudahlah. Mengapa masalah
sepele ini harus dipersoalkan. Lebih
baik lihat, bagaimana aku menundukkan
bidadari liar ini. Apakah kau tidak
ingin menyaksikannya?"
"He he he...! Tentu saja aku mau.
Tapi kau harus melakukannya dengan
baik, Kakang. Nah! Dengan begitu,
mungkin aku bisa menerima alasanmu
tadi," sahut si gendut. Sepasang
matanya tampak berbinar penuh
kegembiraan. Sepertinya ia merasa
senang sekali mendengar perkataan si
tinggi kurus itu.
"Nah, lihatlah!" kata si tinggi
kurus, parau. Setelah berkata
demikian, segera disekapnya tubuh si
gadis yang maslh terisak ketakutan.
"Oh! Jangan, Tuan. Lepaskan
aku...!" si gadis kembali berteriak
Sedangkan sepasang matanya membelalak
ngeri, membayangkan apa yang yang akan
diperbuat si kurus itu.
"He he he...! Merontalah, Manis.
Gerakanmu membuatku semakin
bersemangat!" ucap orang itu sambil
mendekap mangsanya penuh gejolak.
Si gemuk pendek tertawa
kegirangan melihat perbuatan kakak
seperguruannya itu. Wajahnya yang
bulat tampak semakin merah. Sepasang
matanya dibuka lebar-lebar agar dapat
melihat jelas pemandangan di depannya.
Belum lagi laki-Iaki tinggi kurus
itu meneruskan niat kotornya, tiba-
tiba sesosok bayangan putih berkelebat
cepat ke arah mereka.
***
"Jahanam! Lepaskan gadis itu!"
bentak sosok tubuh berjubah putih itu.
Berdirinya demikian gagah, dengan
kedua kaki terpentang. Sepasang
matanya mencorong tajam memancarkan
sinar berapl
Seketika itu juga si kurus
bangkit disertai kemarahan memuncak.
Sepasang matanya yang memang sudah
melotot keiuar itu nampak semakin
menonjol.
"Bangsat! Siapa kau, Anak Muda?!
Apakah kau sudah tidak menyayangi
nyawamu?!" bentak laki-laki bermuka
mirip tengkorak itu. Suaranya cukup
meng-gelegar, memekakkan telinga.
Sepertinya sangat marah karena
kesenangannya terganggu.
"Hei, Anak Muda! Tahukah kau,
dengan siapa kau berhadapan saat
ini?!" si gendut ikut menimpali.
Suaranya yang kecil semakin
melengking, karena ia pun sudah pula
diliputi kemarahan.
Pemuda berjubah putih itu
tersenyum tenang. Wajahnya yang tampan
tampak semakin menarik. Perlahan-lahan
dilangkahkan kakinya semakin mendekati
kedua orang itu. Kira-kira berjarak
sekirar tiga tombak, pemuda itu pun
menghentikan langkahnya. Jelas sekali
kalau pemuda itu tidak merasa gentar
menghadapi dua orang yang bertampang
agak aneh itu.
"Hm.... Aku tidak peduli, siapa
kalian berdua! Lepaskan gadis itu,
maka kalian akan selamat!" sahut
pemuda tampan berjubah putih itu
setengah mengancam.
Kedua orang itu tertawa terkekeh-
kekeh ketika mendengar ancaman pemuda
itu. Kemarahan di hati mereka mendadak
lenyap, karena merasa geli dengan
ucapan pemuda itu. Keduanya
terpingkal-pingkal sambil memegangi
perut.
"He he he...! Lucu.... Lucu! Ada
anak menjangan yang coba-coba
menggertak harimau! Lucu...!" ejek si
tinggi kurus yang masih saja tertawa
terpingkal-pingkal. Bahkan air matanya
sampai keluar.
"Ha ha ha...! Ketahuilah, Anak
Muda. Saat ini kau tengah berhadapan
dengan Setan Langit dan Setan Bumi,"
si gendut memperkenalkan julukan
mereka untuk menakut-nakuti pemuda
itu.
"Hm.... Baru Setan Langit dan
Setan Bumi. Bahkan Raja Setan
sekalipun, tetap akan kutentang!"
sahut pemuda tampan itu tetap tenang
tanpa rasa gentar sedikit pun!
"Eh?!"
Kedua orang itu seketika
menghentikan tawanya, karena menjadi
terkejut mendengar jawaban pemuda itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya dapat saling pandang dengan
wajah heran.
"Hm.... Jadi kau belum pernah
mendengar julukan kami berdua?!
Ketahuilah! Kami dijuluki sebagai
Setan Langit dan Setan Bumi karena
sepak terjang kami yang sangat kejam!"
si tinggi kurus masih mencoba menakut-
nakuti pemuda tampan itu.
Tapi, kedua orang itu kembali
harus mendan kekecewaannya. Ternyata,
pemuda berjubah putih sama sekali
tidak berubah sikapnya. Malah kini
kepalanya terangkat dengan sikap agak
angkuh.
"Hm.... Sekarang giliranku untuk
memperkenalkan diri kepada kalian.
Ketahuilah! Kalangan rimba persilatan
memberikan julukan padaku. Sepak
terjangku yang telah mengguncangkan
dunia persilatan, membuat diriku
dijuluki Pendekar Naga Putih. Apakah
kalian sudah pernah mendengar julukan
itu?" kata pemuda tampan itu, tenang.
'Pendekar Naga Putih...?!" seru
Setan Langit dan Setan Bumi tersentak
kaget
Wajah mereka berubah seketika,
saat mendengar julukan pemuda berjubah
putih itu. Serentak keduanya mdangkah
mundur dengan wajah agak pucat.
"Huh! Kau kira kami akan
mempercayainya begitu saja? Jangan
coba-coba menakut-nakuti, Anak Muda!"
kilah salah seorang dari mereka sambil
mencoba menekan debaran dalam dadanya.
Meskipun sebenarnya kata-kata
anak muda itu mulai dipercayai, namun
untuk menjaga julukannya, Setan Bumi
yang bertubuh pendek itu berusaha
untuk menyembunyikan kegentarannya.
"Hm.... Biarpun kau memang benar
Pendekar Naga Putih, jangan harap kami
akan gentar! Malah kami sudah lama
ingin berhadapan denganmu. Kami ingln
mencoba kehebatan 'Ilmu Naga Sakti'
dan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu
yang terkenal itu. Nah! Marilah kita
mulai!" timpal Setan Langit yang
bertubuh jangkung dan berwajah mirip
tengkorak itu.
Sebagai tokoh gdongan hitam yang
sangat ditakuti, tentu saja Setan
Langit tidak ingin memperlihatkan rasa
gentarnya di hadapan pendekar muda
yang terkenal itu.
Sementara itu, tanpa
sepengetahuan ketiga orang sakti itu,
sesosok tubuh tegap tampak
memperhatikan mereka. Sepasang mata
yang tersembunyi di balik semak semak
itu nampak terbelalak. Untunglah
jaraknya terpisah beberapa belas
tombak, sehingga kehadirannya tidak
sampai diketahui tiga orang tokoh itu.
Laki laki berusia sekitar empat
puluh lima tahun itu berdebar hatinya.
Memang, sebentar lagi ia akan
menyaksikan sebuah pertarungan yang
sangat langka.
"Hm.... Aku harus berhati-hati
agar tidak terdengar oleh mereka.
Kalau tidak, bisa-bisa pertarungan itu
akan gagal," desah laki-laki itu dalam
hati.
Dengan menarik napas perlahan-
lahan, orang itu berusaha menekan
debaran dalam dadanya. Kembali matanya
diarahkan pada tiga orang yang saling
menggertak, untuk menjatuhkan nyali
masing-masing.
"Ha ha ha...! Kalau memang itu
sudah menjadi keputusan kalian,
baiklah. Tapi bagaimana dengan gadis
tawananmu! Apakah tidak sebaiknya kita
bertaruh?" usul si pemuda yang
kelihatannya memang Pendekar Naga
Putih itu.
Sikap Pendekar Naga Putih itu
tetap tenang, seolah-olah sama sekali
tidak merasa khawatir meskipun yang
dihadapinya adalah dua orang tokoh
hitam yang menggiriskan.
"Apa maksudmu, Pendekar Naga
Putih?" tanya Setan Bumi seraya
mengerutkan keningya. Memang sulit
dimengerti, apa yang diinginkan
pendekar itu.
"Ya! Katakanlah, tidak perlu
berbelit-belit!" timpal Setan Langit
yang sudah tidak sabar melihat sikap
pemuda yang masih saja nampak santai.
"Hm.... Begini maksudku, Setan
Berotak Udang! Kalau aku memenangkan
pertempuran ini, maka kuminta agar
gadis itu diserahkan kepadaku.
Sebaliknya, apabila kau yang
memenangkan pertarungan ini, terserah
apa yang akan kau lakukan kepadaku dan
juga kepada gadis itu. Bagaimana?
Apakah kalian berani?" tawar pemuda
tampan itu sambil tersenyum
merendahkan. Ia sengaja berbuat
demikian untuk membuat hati kedua
calon Iawannya itu menjadi panas.
"Baik!. Kuterima tantanganmu,
Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang
bersiaplah!" sahut Setan Langit,
langsung bersiap menghadapi
pertarungan.
Melihat Setan Langit telah
bersiap, Setan Bumi pun bergegas
menggeser tubuhnya merenggang.
Tampaknya mereka hendak menggencet
Pendekar Naga Putih dan dua arah.
"Ha ha ha...! Mengapa kalian
begitu terburu-buru? Sabarlah.
Bukankah perjanjian kita belum
selesai?" sergah Pendekar Naga Putih
yang langsung tertawa melihat kedua
orang calon Iawannya sudah bersiap-
siap.
"Bangsat! Apa lagi yang hendak
kau ucapkan, Pendekar Naga Putih?
Apakah kau memang sengaja hendak
mempermainkan kami?"
Setan Langit yang sudah mulai
menyiapkan ilmunya segera mengendurkan
urat-urat tubuhnya. Lelaki tinggi
kurus berusia enam puluhan tahun itu
mulai bangkit nafsu membunuhnya.
Karena, ia merasa telah dipermainkan
pendekar muda itu.
"Bedebah! Rupanya kau memang
sengaja hendak mengejek kami, Pendekar
Naga Putih! Aku tidak peduli dengan
segala macam syarat yang kau ajukan
itu! Kalau tidak segera bersiap,
jangan salahkan kami. Hati hati,
tubuhmu akan terbelah oleh pukulanku!"
ancam Setan Bumi.
Laki-laki gemuk pendek itu pun
sudah terbangkit kemarahannya. Rasanya
pendekar itu memang seperti sengaja
hendak mengulur-ulur waktu. Tentu saja
hal itu membuat hatinya jengkel.
"Wah, wah! Sabar dulu, Kisanak.
Aku sama sekali tidak bermaksud
demikian. Aku hanya ingin bertanya,
apakah kita bertarung dengan tangan
kosong, atau menggunakan senjata?"
kilah Panji sambil merentangkan kedua
tangannya ke depan dada untuk
menyabar-kan kedua orang itu.
"Tidak peduli! Kau boleh
menggunakan apa saja untuk menghadapi
kami! Aku tidak sudi terhadap segala
macam aturan pertandingan! Sekarang
kau benar-benar harus bersiap,
Pendekar Naga Putih!" geram Setan
Langit yang sudah menarik napas
berulang-ulang.
"Hmh...!"
Dengan sebuah gerengan keras,
Setan Langit mendorongkan telapak
tangannya ke depan. Hawa panas
langsung berhembus disertai bau amis
yang menusuk hidung. Tokoh sesat itu
benar-benar tidak main-main, dan
langsung saja mengeluarkan ilmunya
yang mengerikan dalam menghadapi
pendekar muda yang memang sudah
terkenal itu.
Beberapa tombak di sebelah Setan
Langit, nampak Setan Bumi juga sudah
mempersiapkan ilmu andalannya.
Sepasang tangannya dengan telapak
terbuka bergerak turun-naik
bergantian. Angin dingin bergemuruh
ketika kedua tangannya mulai
digerakkan.
"Ha ha ha...! Keluarkanlah
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'mu,
Pendekar Naga Putih. Aku ingin tahu,
apakah ilmu 'Pukulan Badai Salju'ku
dapat kau tahan!" desis Setan Bumi
yang sudah menarik kedua tangannya ke
sisi pinggang. Sedangkan kuda-kuda
kakinya tetap membentuk kuda-kuda
kokoh.
"Hmh...!"
Pemuda berjubah putih itu
menggeram perlahan. Kedua tangannya
mendorong ke atas dengan telapak
menghadap langit. Kedua kakinya yang
membentuk kuda-kuda menunggang kuda
bergerak turun dalam posisi yang amat
rendah. Kemudian, kedua tangan itu
bergerak turun menyilang. Pendekar
Naga Putih mendorong tangannya lurus-
lurus ke depan setelah menariknya ke
sisi pinggang
"Sambutlah 'Pukulan Api
Neraka'ku, Pendekar Naga Putih!
Heaaat...!" ujar Setan Langit.
Tubuh kakek tinggi kurus itu
meluncur cepat dengan serangan
dahsyat. Kedua tangannya berputaran
menimbulkan sambaran angin panas yang
menyengat kulit. Nampaknya dia tidak
ingin ayal-ayalan lagi. Begiru
serangannya dibuka, langsung digunakan
ilmu pamungkasnya yang menggiriskan
itu.
Wuttt! Wuttt...!
"Hahhh!"
Pendekar Naga Putih membentak
menggelegar. Tubuhnya langsung
melambung ke udara. Begitu serangan
Setan Langit lewat di bawah kakinya,
tangan pemuda itu bergerak menusuk ke
arah ubun-ubun lawannya.
Cuiiit...!
Angin pukulan yang keluar dari
jari-jari yang menusuk itu mencicit
tajam, sehingga mengejutkan lawan.
Setan Langit mengegoskan kepalanya
dengan gerakan berputar. Kemudian
tubuhnya bergulingan ke kiri
menghindari sambaran susulan. Setelah
berhasil menyelamatkan diri, tubuh
tokoh sesat itu langsung mencelat
melontarkan tendangan terbang!
Zebbb!
Plakkk!
Pendekar Naga Putih menapak kaki
yang melancarkan tendangan itu.
Kemudian tubuhnya berjumpalitan
melewati kepala Iawannya dengan
meminjam tenaga tepakan tadi.
Wusss!
Baru saja kaki pemuda itu
menyentuh permukaan tanah, tahu-tahu
saja serangkum angin dingin berhembus
keras ke arahnya. Cepat cepat tubuhnya
direndahkan disertai liukan. Kemudian,
kedua tangannya mendorong ke depan
menyambut serangan Setan Bumi.
Bresss!
"Ahk...!"
Sungguh hebat pertemuan dua
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Udara
di sekitarnya tampak bergetar hebat.
Daun-daun pohon di dekat mereka
langsung berguguran ke atas tanah.
Sedangkan tubuh kedua orang sakti itu
sama-sama terjajar mundur ke belakang.
Sepertinya, pada pertemuan tenaga
pertama itu keduanya berimbang!
"Ha ha ha...! Ternyata julukanmu
bukan sekadar nama kosong belaka,
Pendekar Naga Putih!" puji Setan
Langit sambil terkekeh, meskipun di
sudut bibirnya tampak cairan merah
merembes keluar.
"Kau pun hebat, Setan Langit!"
sambut Panji yang juga menekap
dadanya. Dari sudut bibir pemuda itu
juga mengalir cairan merah perlahan.
"Yeaaat...!"
Saat itu pukulan Setan Langit
meluncur datang, siap mehimatkan tubuh
Pendekar Naga Putih.
Blarrr!
Debu dan dedaunan mengepul,
beterbangan di udara ketika pukulan
Setan Langit mengenai permukaan bumi.
Hebat sekali pukulan yang dilancarkan
tokoh sesat itu. Akibatnya bumi di
sekitar tempat itu bagai digoyang
gempa! Untunglah pemuda berjubah putih
itu sempat menyelamatkan diri. Kalau
tidak, nlscaya tubuhnya pasti sudah
hancur terhantam pukulan dahsyat itu.
Pemuda itu terus bergulingan
menjauhi kedua orang Iawannya.
Sehingga tanpa sadar Setan Langit dan
Setan Bumi mengejar sehingga
meninggalkan tawanan mereka.
"He he he...! Mau lari ke mana
kau, Pendekar Naga Putih? Sebentar
lagi kematian akan segera
menjemputmu!" seru Setan Langit
terkekeh kegirangan. Tubuhnya lerus
melesat mengejar pendekar muda yang
sudah mulai terdesak.
Setan Bumi pun tidak mau
ketinggalan. Tubuhnya yang bulat itu
seperti menggelinding mengejar Iawan-
nya. Meskipun tubuhnya seperti itu,
namun nyatanya dapat pula bergerak
gesit.
***
DUA
Laki-laki berusia empat puluh
tahun yang menyak-sikan pertarungan
dari tempat tersembunyi, menjadi
cemas. Sebab biarpun tidak begitu
mengenal Pendekar Naga Putih, namun ia
adalah salah seorang pengagumnya. Dan
ketika pertarungan itu bergeser, laki-
laki itu terus membuntuti dengan
menjaga jarak.
"Ah! Bisakah pendekar muda itu
menyelamatkan diri dari ancaman kedua
orang jahat itu? Kalau sampai pendekar
itu tewas di tangan mereka, maka akan
celakalah dunia persilatan. Dengan
tewasnya Pendekar Naga Putih, berarti
mereka akan semakin merajalela
menyebarkan bencana. Mudah-mudahan
saja pendekar muda itu dapat
mengalahkan Iawannya. Atau paling
tidak bisa meloloskan diri dari
ancaman kematian," desah laki-laki itu
penuh harap.
Memasuki jurus ketujuh puluh
lima, Pendekar Naga Putih mulai tampak
bangkit. Jurus-jurus andalannya mulai
terlihat dahsyat. Sampai pada suatu
saat....
Mendadak sepasang mata di balik
semak belukar itu terbelalak heran!
Kedua matanya digosok-gosokkan,
seolah-olah tak mempercayai apa yang
dilihatnya. Karena saat itu, tampak
Setan Langit dan Setan Bumi berlutut
di depan kaki pemuda berjubah putih
itu.
Sikap kedua orang tokoh sesat itu
terlihat patuh dan takut.
"Hei! Apa yang telah terjadi
terhadap kedua tokoh sesat itu?
Bukankah tadi mereka telah berhasil
mendesak Pendekar Naga Putih? Lalu
mengapa sekarang berlutut kepada
pemuda itu? Apa yang telah dilakukan
pendekar muda itu terhadap lawan-
lawannya?" kata hati laki-laki yang
bersembunyi di balik semak-semak itu.
Dia jadi keheranan melihat kedua orang
lawan Pendekar Naga Putih itu tahu-
tahu telah menyerah begitu saja.
Keheranan dan rasa tidak percaya
semakin kuat menyelimuti benaknya.
Apalagi ketika Pendekar Naga Putih
menggerakkan tangannya seperti orang
yang mengusir anjing. Seketika kedua
orang yang cukup ditakuti kaum rimba
persilatan itu tampak beranjak bangkit
dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Sedikit pun mereka tidak menoleh, dan
terus saja berlari bagai seorang
pesuruh yang diperintah majikannya.
Sepeninggal kedua orang tokoh
sesat yang sakti itu, pemuda berjubah
putih melangkah mendekati gadis yang
masih rebah ketakutan.
***
"Jangan takut. Kedua orang setan
keparat itu sudah pergi. Bangkitiah.
Mari kuantarkan ke rumahmu," ajak
pemuda tampan itu.
Segera Pendekar Naga Putih
mengulurkan tangannya menarik tangan
si gadis untuk bangkit Senyum di wajah
pemuda tampan itu mengembang,
membuatnya tampak semakin menarik.
'Terima kasih, Tuan.... Tuan
telah menyelamatkan diriku," ucap
gadis manis itu dengan suara bergetar.
Sekujur tubuh dara itu semakin
gemetar ketika lengannya yang berkulit
kuning langsat itu digenggam Pendekar
Naga Putih. Tampak warna kemerahan
merona di kedua sisi wajahnya. Dengan
agak malu-malu, gadis manis itu
bangkit berdiri.
"Di manakah rumahmu?" tanya
Pendekar Naga Putih, lembut.
Nada suara pemuda itu tampak
bergetar karena merasakan hal yang
sama dengan gadis itu. Hanya saja
bedanya, ia tidak bersikap malu-malu.
"Jauh sekali...," sahut gadis itu
dengan tubuh gemetar karena lengannya
masih saja digenggam erat pemuda
tampan itu. Gadis itu nampak semakin
gugup saja.
"Tidak apa. Mari, kuantarkan,"
ajak Pendekar Naga Putih sambil tetap
memegang tangan dara itu.
Sesaat kemudian Pendekar Naga
Putih menyadari kelakuannya. Cepat-
cepat tangannya ditarik dari lengan
gadis itu.
"Hm.... Siapa namamu?" tanya
pemuda tampan itu sambil melangkah
menjajari di samping kaki si gadis.
"Namaku Warti. Nama Kakang
siapa?" tanya gadis manis itu.
Hatinya mulai memperoleh
ketenangan. Sikapnya pun sudah tidak
canggung lagi. Bahkan sudah berani
pula bertanya tentang nama
penolongnya.
"Namaku Panji," sahut pemuda
tampan berjubah putih itu sambil
memamerkan senyumnya.
"Dan kedua kakek bejat tadi
menyebutmu sebagai Pendekar Naga
Putin. Benarkah itu julukanmu?" tanya
gadis yang ternyata bernama Warti itu
semakin berani.
Pemuda berjubah putih yang
mengaku bernama Panji itu
menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba
saja kepala pendekar muda itu menoleh
ke arah semak-semak yang terpisah
beberapa tombak di sebelah kanannya.
Setelah bergumam tak jelas, pemuda itu
kembali mengalihkan pandangannya
kepada Warti.
Laki-laki yang masih bersembunyi
di batik semak-semak itu hampir saja
melompat keluar ketika Pendekar Naga
Putih memperhatikan semak-semak
tempatnya bersembunyi. Namun segera
niatnya diurungkan ketika pemuda itu
mengalihkan pandangannya kembali.
"Hm.... Apakah pemuda itu tahu
kalau aku bersembunyi di sini?" pikir
orang itu, bertanya kepada dirinya
sendiri.
Sepeninggal Panji dan Warti,
laki-laki itu kembali mengendap-endap
mengikuti mereka. Ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan agar tidak sampai
menimbulkan suara mencurigakan. Orang
itu juga menjaga jarak agar tidak
terlalu dekat dengan pendekar yang
dikaguminya itu.
Pendekar Naga Putih dan Warti
terlihat semakin akrab. Sesekali gadis
manis itu malah mencubit lengan Panji
sambil terkikik manja. Tampaknya Warti
sudah mulai melupakan kejadian yang
hampir merenggut kehormatannya. Dia
nampak semakin banyak memperlihatkan
senyumnya. Sikapnya pun terlihat
semakin manja kepada pemuda
penolongnya itu.
"Hm.... Kita harus mencari kuda
untuk mempercepat perjalanan," gumam
Pendekar Naga Putih di sela-sela canda
mereka.
Orang yang sudah mengenal pemuda
tampan itu pasti akan merasa heran
melihat sikapnya kali ini. Pemuda yang
biasanya pendiam itu, kini nampak
pandai sekali berseloroh, sehingga
Warti menjadi gembira dibuatnya.
Bahkan sepasang matanya terkadang
memandang gadis di sampingnya dengan
penuh hasrat. Memang aneh sekali
tingkah pemuda itu kali ini.
"Tidak apalah, Kakang. Aku pun
tidak terlalu merasa letih," sahut
Warti cepat.
Dari cara memandang dan tingkah
laku, Pendekar Naga Putih tahu kalau
gadis manis itu enggan untuk lekas-
lekas berpisah dengannya. Sepertinya
dia sudah benar-benar melupakan
keluarga dan tempat tinggalnya.
Karena, hatinya benar-benar telah
terpikat oleh ketampanan pemuda
penolongnya itu. Dan hal itu tentu
saja diketahui Pendekar Naga Putih.
"Apakah kau tidak takut kalau
kita kemalaman di tengah hutan lebat
ini?" tanya pemuda itu seperti hendak
memancing perasaan Warti.
"Di manapun, aku tidak merasa
takut kalau bersama Kakang," sahut
gadis itu tanpa basa-basi.
Warti sepertinya sudah percaya
penuh terhadap Pendekar Naga Putih.
Sehingga perasaan hatinya tidak ragu-
ragu lagi untuk diungkapkan. Karena
dari sikap serta pandang mata pemuda
itu, diyakininya kalau orang yang
mengaku bernama Panji itu juga
menyukainya. Itulah sebabnya, mengapa
Warti begitu berani mengungkapkan
perasaannya. Padahal, mereka baru
beberapa saat saling mengenal.
"Sungguh...?" tanya Panji seraya
mengelus wajah bulat telur itu dengan
telapak tangannya. Sepasang mata
pemuda itu tampak berbinar gembira.
Warti menganggukkan kepalanya
seraya menangkap tangan pemuda itu,
lalu digenggamnya penuh kehangatan.
Sepasang matanya tampak terpejam
seolah-olah ingin menikmati perasaan
bahagia yang saat itu tengah
dirasakannya.
Pemuda itu merunduk perlahan.
Lalu dikecupnya bibir mungil itu penuh
perasaan. Warti mengerang lirih
bagaikan seekor kucing yang tengah
dibelai-belai manja. Dibalasnya
kecupan pemuda itu penuh gelora.
Pelukan keduanya kini semakin rapat
saja. Sebentar-sebentar terdengar
erangan lirih penuh kenikmatan.
Laki-laki yang semenjak tadi
masih tetap mengikuti kedua anak muda
itu menjadi heran. Keningnya berkerut
dalam melihat pemandangan yang
terbentang di depan matanya. Diam-diam
hatinya mulai tidak suka kepada
Pendekar Naga Putih yang menurutnya
telah menjebak gadis itu agar jatuh ke
dalam pelukannya.
"Hm.... Tidak kusangka kalau
Pendekar Naga Putih yang tersohor itu
ternyata adalah seorang pemuda mata
keranjang," umpat laki-laki itu geram.
Dan memang, tentu saja ia tidak
dapat berbuat apa-apa karena hal itu
terjadi atas suka sama suka. Sedangkan
ia hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak.
Dan kini yang terlihat hanyalah
dua insan berlainan jenis saling
berpacu dalam birahi. Masing-masing
mulai menanggalkan pakaian, tanpa
melepas pagutan. Kemudian, mereka
sama-sama menjatuhkan diri di atas
rumput tebal.
Sementara orang yang bersembunyi
itu memejamkan mata sambil menahan
seruannya ketika menyaksikan apa yang
terjadi selanjutnya. Hatinya menjadi
bingung dan tidak tahu harus berbuat
apa. Sehingga akhirnya ia hanya dapat
mengurut dada melihat perbuatan kedua
orang muda yang tengah dipenuhi nafsu
birahi itu.
***
"Kau menyesal, Warti?" tanya
pemuda tampan itu sambil membelai
wajah Warti.
Sementara, gadis itu masih sibuk
membenahi pakaiannya yang morat-marit.
Meskipun wajahnya agak pucat, namun
jelas sekali kalau Warti merasa
bahagia. Sepertinya Warti tidak
menyesali perbuatan yang telah
dilakukannya.
"Tidak, Kakang. Sebaliknya, aku
malah bahagia," ujar gadis itu
memamerkan senyum manisnya.
Sambil berkata demikian, kedua
tangannya bergerak merapikan rambutnya
yang kusut. Wajahnya yang manis itu
tampak masih dihiasi butir-butir
keringat yang menitik. Namun di balik
itu semua, tersimpan suatu perasaan
yang sulit diungkapkan.
Pendekar Naga Putih tersenyum
lembut. Kembali dikecupnya bibir gadis
itu perlahan, kemudian bergerak
bangkit dan mengenakan pakaiannya
kembali. Wajah tampan itu pun masih
terhias butir-butir keringat.
Sementara laki-laki gagah yang
semenjak tadi menyembunyikan dirinya,
segera melompat keluar. Rupanya dia
sudah tidak kuasa lagi menahan rasa
muak melihat perbuatan pemuda yang
dikaguminya itu. Perbuatan yang jelas-
jelas menyimpang dari sepak terjangnya
selama ini.
"Huh! Inikah pemuda bejat yang
berjuluk Pendekar Naga Putih?! Sungguh
aku merasa kecewa sekali. Semula
kusangka Pendekar Naga Putih adalah
seorang laki-laki sejati yang selalu
menjunjung tinggi susila dan sopan
santun. Tapi nyatanya hanyalah seorang
pemuda bejat yang suka merayu gadis
gadis! Sungguh memuakkan!" kata laki-
laki gagah itu sambil bertolak
pinggang.
Wajah laki-laki itu nampak
memerah ketika mengingat perbuatan
Pendekar Naga Putih yang telah menodai
gadis desa lugu itu. Sedangkan
Pendekar Naga Putih dan Warti langsung
tersentak kaget melihat kehadiran
orang itu yang dengan tiba-tiba saja.
"Hm... Siapakah Kisanak ini? Dan
apa yang kau bicarakan itu?" sahut
Panji dengan alis berkerut. Meskipun
begitu, pemuda itu nampaknya berusaha
menahan kegugupannya dengan kehadiran
orang itu.
"Huh! Tidak usah berlagak bodoh,
Pendekar Cabul! Aku lihat semua yang
telah kau perbuat terhadap gadis itu!
Apakah masih mau menyangkal?" laki-
laki gagah itu semakin sinis saja
melihat sikap yang ditunjukkan
Pendekar Naga Putih.
"Ha ha ha...! Kami berbuat karena
dilandasi rasa suka sama suka. Mengapa
kau yang marah-marah? Tanyalah gadis
itu, apakah ia menyesal atau tidak?"
sahut Panji, tenang.
Sikap Panji demikian tenang
seolah-olah sama sekali tidak berbuat
kesalahan. Tentu saja hal ini sangat
mengherankan hati laki-laki gagah itu.
Orang itu bungkam begitu
mendengar kata-kata Panji. Segera
pandangannya dialihkan kepada Warti
yang saat itu sudah ketakutan. Selain
merasa malu karena perbuatannya telah
dipergoki orang lain, gadis itu takut
kalau-kalau pemuda yang dicintainya
akan tewas di tangan laki-laki yang
terlihat gagah dan bertenaga kuat itu.
"Nisanak. Apakah kau tidak sadar
kalau dirimu sudah terjebak rayuan
pemuda iblis berwajah tampan ini?
Ketahuilah, Nisanak. Pemuda ini pasti
akan segera meninggalkanmu setelah
merenggut kehormatanmu. Kau telah
dipermainkannya, Nisanak!" jelas laki-
laki gagah itu mencoba menyadarkan
Warti.
"Oh, tidak mungkin! Kakang,
katakanlah kalau kau tidak akan
meninggalkan aku! Jawablah, Kakang!"
sambil terisak ketakutan, Warti
mengguncang-guncangkan lengan Panji.
"Nah! Kau lihat sendiri, bukan?
Pemuda Iblis itu tidak akan sudi
mempertanggungjawabkan perbuatannya
terhadapmu," kembali si laki-laki
gagah mencoba menyadarkan Warti.
"Jawablah, Kakang! Kau tidak akan
meninggalkan aku, bukan? Kau akan
mengantarkan aku kepada orang tuaku,
bukan?"
Warti semakin kalap ketika pemuda
tampan itu hanya berdiri mematung
tanpa menjawab pertanyaan-nya. la
semakin keras mengguncangkan tangan
pemuda itu.
"Diam kau, Perempuan Bodoh!
Apakah kau lebih mempercayai orang itu
daripada aku?" bentak Panji sambil
menepiskan lengannya sehingga gadis
itu terjatuh keras di tanah.
"Ohhh...!"
Warti menekap wajah dengan
telapak tangannya. Hatinya benar-benar
sedih mendapat perlakuan yang demikian
kasar dari pemuda yang dicintainya
itu. Diam-diam ia pun mulai
mempercayai kata-kata lelaki gagah
itu.
"Hei, Pendekar Murtad! Sadarkah
kau kalau perbuatanmu itu telah
menghancurkan nama besarmu sendiri
yang telah dipuja tokoh-tokoh
persilatan! Maka kelak kesulitan akan
datang kepadamu apabila kejadian ini
tersebar dan diketahui kaum rimba
persilatan!" tegas laki-laki gagah itu
lagi, geram.
Ia yang semula kagum dengan
pemuda itu, berbalik menjadi
membencinya setengah mati. Sepertinya
perbuatan Pendekar Naga Putih tidak
bisa dimaafkan lagi.
"Ha ha ha...! Kejadian ini tidak
akan tersebar apabila aku
menghancurkan tubuhmu dan tubuh gadis
kampung itu! Nah! Sekarang, bersiaplah
untuk melayat ke akhirat!"
Setelah berkata demikian, tubuh
Pendekar Naga Putih melesat dengan
kecepatan kilat. Sepasang tangannya
siap melumat tubuh laki-laki gagah
itu.
Wuttt! Wuttt!
"Ahk...!"
Orang itu bergegas melempar
tubuhnya ke belakang. Serangan yang
berbahaya itu tidak mengenai sasaran.
Tubuh lelaki gagah itu terus
bergulingan menjauhkan diri dari
serangan Pendekar Naga Putih. Begitu
bangkit, tangannya telah menggenggam
sebatang pedang yang langsung
digerakkan untuk menghalau serbuan
pendekar muda yang sakti itu.
Wukkk! Wukkk!
Pendekar Naga Putih melompat ke
belakang begitu serangannya disambut
tebasan pedang. Begitu kakinya
menyentuh tanah, kembali disiapkan
serangan berikutnya.
"Nisanak! Kau larilah!" teriak
laki-laki gagah itu memperingatkan
Warti akan bahaya yang akan menimpa
diri gadis itu.
"Ohhh.... Tidaaak...!"
Warti berteriak-teriak bagaikan
kesetanan. Hatinya benar-benar
terpukul atas kejadian yang dialaminya
itu. Jiwanya begitu guncang sehingga
Warti tidak lagi mempedulikan
persoalan mati hidupnya.
Warti bergegas bangkit dengan
sepasang mata menyala. Air matanya
terus mengalir bagai anak sungai.
Terdengar isak lirih yang keluar dari
kerongkongannya. Rupanya gadis manis
itu benar-benar telah mengalami
guncangan jiwa yang hebat!
"Kubunuh kau...!" teriak Warti.
Bagaikan seekor harimau luka
tubuhnya, gadis itu segera berlari
menerjang Panji yang tengah berusaha
untuk menghabisi nyawa si lelaki
gagah.
Pendekar Naga Putih langsung
menggerakkan tangannya menghantam
batok kepala Warti yang pada saat itu
tengah memukuli punggungnya.
Akibatnya, pukulan yang bertenaga
dalam tinggi itu memang parah apabila
menghantam batok kepala wanita lemah
seperti Warti. Maka....
Wuttt!
Prakkk!
Darah segar bercampur cairan
putih memercik membasahi permukaan
bumi. Batok kepala gadis itu langsung
pecah terkena pukulan pemuda tampan
itu. Tanpa sempat berteriak lagi,
tubuh wanita desa yang malang itu
tewas seketika.
"Biadab kau, Pendekar Naga Putih!
Kau benar-benar setan! Kau sudah
berubah menjadi iblis! Bagus sekali
perbuatanmu. Setelah kau renggut
kehormatannya, kau renggut pula
jiwanya! Kalau kau masih belum puas,
ayo hirup darahku!" teriak laki-laki
gagah itu yang menjadi meledak-ledak
kemarahannya melihat kekejaman
pendekar muda yang semula dikaguminya
itu.
"Ha ha ha...! Tentu! Kau pun akan
segera mendapat bagian, Manusia Usil!"
ancam Pendekar Naga Putih. Karena
disadari kalau orang itu terlalu
berbahaya baginya. Dan sudah pasti
tidak akan membiarkannya lolos!
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan
menggeledek, tubuh pemuda berjubah
putih itu meluncur ke arah Iawannya.
Sepasang tangannya yang berbentuk
cakar, berkelebat mencari sasaran.
Bet! Bet...!
"Ah...!"
Lelaki gagah itu berlompatan
menghindari sambaran cakar Pendekar
Naga Putih yang berhawa maut.
Sekali salah langkah saja, maka
dirinya tidak mungkin dapat lolos dari
kematian. Hal itu tentu saja
disadarinya.
Walaupun lelaki gagah itu
bukanlah lawan berat bagi Pendekar
Naga Putih, namun sulit juga untuk
menundukkannya. Dia selalu bisa
menghindar sambil sesekali menusukkan
pedangnya apabila sudah sangat
terdesak.
Lelaki gagah itu mulai menyadari
kalau tidak mungkin akan menang
menghadapi Pendekar Naga Putih. Namun
ia pun tidak menginginkan pemuda itu
terbebas dari hukuman atas
perbuatannya yang keji itu. Setelah
mempertimbangkan segalanya, maka
diambilnya keputusan untuk meloloskan
diri dari tangan maut Pendekar Naga
Putih.
Mulailah dicari jalan agar dapat
meloloskan diri dari pemuda sakti itu.
Namun Pendekar Naga Putih tentu saja
tidak ingin membiarkan Iawannya lolos.
Begitu melihat gelagat kalau orang itu
hendak mencari jalan untuk lari, maka
semakin diperhebat serangan-
serangannya.
"Heaaat...!"
Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Orang itu menjerit kesakitan
ketika sebuah tusukan jari tangan
Panji mengenai bagian atas dada
kirinya. Tubuhnya langsung terlempar
sejauh dua tombak ke belakang. Darah
tampak merembes melalui lukanya yang
terasa perih itu. Ketika tampak
Pendekar Naga Putih melompat mengejar,
cepat senjatanya dilemparkan ke arah
lawan. Kemudian, secepat kilat
tubuhnya melompat ke semak-semak.
Pendekar Naga Putih cukup
terkejut melihat pedang lawan meluncur
ke arahnya. Bergegas tubuhnya
dimiringkan, sehingga senjata itu
lewat di sisinya.
"Bangsat!" geram Panji ketika
melihat Iawannya menghilang di balik
semak-semak. Cepat pemuda itu bergegas
mengejarnya. Tubuhnya melesat ke balik
semak-semak tempat Iawannya tadi
menghilang.
Kegelapan senja yang mulai
menapak, membuat pemuda itu mendapat
kesulitan untuk menemukan Iawannya.
Setelah cukup lama mencari, namun
tidak juga dapat menemukan orang itu,
maka dengan hati kesal Pendekar Naga
Putih bergegas meninggalkan tempat
itu.
Lama setelah kepergian Pendekar
Naga Putih, sesosok tubuh melayang
turun dari atas pohon yang tidak jauh
dari semak-semak. Sambil menekap luka
di bagian atas dadanya, kakinya
melangkah tertatih-tatih meninggalkan
hutan. Lelaki gagah itu mengambil
jalan yang berlawanan, agar tidak
kepergok orang yang mcngaku berjuluk
Pendekar Naga Putih itu.
Malam pun semakin merayap
menampakkan kekuasaannya. Bintang-
bintang tampak menghiasi cakrawala
yang berwarna biru gelap. Rembulan
tersenyum memancarkan cahayanya,
menerobos kegelapan malam.
***
TIGA
“Tolooong...! Ada rampok....
Pembunuh...!"
Seorang laki-laki bercaping bambu
berlari sambil berteriak-teriak.
Cangkulnya yang semula tersandang di
punggung, terlempar entah ke mana.
Beberapa orang petani yang hendak
berangkat ke sawah, tertegun sesaat.
Mereka terkejut melihat laki-laki yang
berlari bagai dikejar setan itu.
"Bukankah itu tukang kebun Tuan
Wiralaga? Mengapa berteriak-teriak
seperti itu? Di mana pula ada perampok
dan pembunuh?" bisik salah seorang
petani kepada kawannya.
Orang yang diajak bicara hanya
memandang bingung karena memang tidak
tahu harus menjawab apa. Dia hanya
memandang kawannya sambil mengangkat
bahu tanda tak mengerti.
"Hei, Karja! Ada apa? Siapa yang
dirampok? Dan siapa pula yang
dibunuh?!" desak seorang laki-laki
bertubuh sedang, menghentikan lari
orang yang bernama Karja itu.
"Ada perampok... Pembunuh....'"
kata Karja dengan napas megap-megap
bagaikan ikan yang diangkat dari
sungai. Wajahnya tampak pucat bagai
tak teraliri darah.
Sepertinya laki-laki setengah
baya yang bernama Karja itu masih
dilanda ketegangan dan keguncangan.
Dan memang, meskipun orang bertubuh
sedang itu bertanya lembut, ia hanya
menjawab dua patah kata saja. Dan itu
pun diulang-ulangnya.
"lya, siapa yang dirampok? Siapa
yang dibunuh?!" teriak laki-laki
bertubuh sedang itu sambil
mengguncang-guncangkan tubuh Karja.
Rupanya kesabarannya hilang melihat
sikap Karja yang hanya mengulang-ulang
dua kata itu saja.
"Bawa saja kepada kepala desa.
Siapa tahu Ki Banggala dapat
menyadarkannya?" usul salah seorang
penduduk kepada lelaki bertubuh sedang
yang tengah mengguncang-guncang tubuh
Karja.
Mendengar usul yang baik, orang
itu menganggukkan kepalanya. Kemudian
tanpa minta persetujuan orang yang
bersangkutan, langsung ditarik tubuh
Karja untuk menemui Ki Banggala yang
menjadi pemimpin desa itu.
"Ada apa, Kakang Dungga?" tanya
salah seorang penjaga rumah kepala
desa begitu mengenali siapa orang yang
datang itu.
"Entahlah, Adi. Aku pun masih
belum jelas. Tapi sepertinya si Karja
ini baru saja mengalami peristiwa
hebat," sahut orang bertubuh sedang
yang ternyata bernama Dungga itu.
Dungga kemudian melangkah kan kakinya,
sambil menggamit lengan Karja menuju
pintu masuk rumah kepala desa.
Sementara penjaga itu segera
mensejajarkan langkahnya di samping
Dungga.
"Jadi Kakang Dungga pun belum
tahu apa yang telah dialami orang ini?
Lalu, mengapa Kakang membawanya ke
sini? Untuk apa, Kakang? Siapa tahu ia
hanya orang gila yang kesasar," kata
si penjaga yang rupanya tidak mengenai
lelaki yang dibawa kawannya itu.
"Bodoh kau! Kalau tidak ada apa-
apa, mengapa harus bersusah-susah
membawanya ke sini? Lagi pula, aku
kenal baik orang ini. Dia sama sekali
bukan orang gila seperti yang kau
sangka itu!" sahut Dungga agak kesal.
"Sekarang, lebih baik beritahukan
kepada Ki Banggala kalau aku ingin
bertemu dengannya!"
“Tapi, Kakang Mana aku berani?
Aku juga belum tahu, apakah Ki
Banggala sudah bangun atau belum! Kau
sajalah yang membangunkannya, Kakang.
Bukankah kau orang kepercayaannya?
Jadi kalau kau yang memberitahukannya,
mungkin dia tidak terlalu marah,"
tukas si penjaga yang tidak berani
membangunkan kepala desanya.
"Ah, dasar kau!" umpat Dungga
semakin bertambah kesal mendengar
jawaban yang berbeda dengan
keinginannya.
Tanpa banyak cakap lagi, Dungga
bergegas menaiki anak tangga yang
menuju ke pintu depan. Tangan kanannya
tetap menarik Karja yang terus saja
mengoceh hingga tak ubahnya seorang
pemabuk,
Der, der, der!
"Ki...! Aku Dungga, ingin
melaporkan sesuatu yang sangat
penting!"
Sambil menggedor-gedor pintu,
Dungga berteriak-teriak membangunkan
penghuni rumah yang sepertinya masih
terlelap. Memang saat ini hari masih
terlalu pagi. Hanya para petani yang
sawahnya jauh saja yang sudah
berangkat, memulai kehidupan di
mayapada ini.
Setelah agak lama menunggu,
terdengar langkah kaki yang terseret
menghampiri pintu depan. Di situ,
Dungga menunggu tak sabar.
"Apakah Ki Banggala sudah bangun?
Cepat laporkan, Dungga ingin
menyampaikan sesuatu yang sangat
penting!" desah Dungga ketika melihat
yang membuka pintu temyata hanyalah
pembantu kepala desa.
Pembantu itu mempersilakan Dungga
dan Karja untuk masuk, kemudian
kembali ke ruangan dalam untuk
memberitahukan majikannya. Dan tak
berapa lama, tampak seorang laki-laki
gagah berusia kira-kira lima puluh
tahun muncul. Sepasang matanya nampak
segar, menandakan kalau ia telah lama
bangun dari tidur.
"Hm.... Kau rupanya, Dungga. Ada
keperluan apa sepagi ini sudah datang
menghadapku? Dan siapa pula orang kau
bawa itu?" Ki Banggala yang begitu
tiba, langsung memberi pertanyaan
beruntun. Keningnya berkerut ketika
mendengar ocehan yang keluar dari
mulut orang yang datang bersama Dungga
itu.
"Begini, Ki...," Dungga pun lalu
menceritakan kejadian yang sebenarnya.
"Hm...," Ki Banggala bergumam tak
jelas setelah mendengar penuturan
pembantu utamanya itu. Cepat-cepat
pelayannya diperintahkan untuk segera
mengambilkan air putih.
Tak lama, pelayan itu keluar
membawa air putih yang diminta
majikannya. Kemudian, segera
diserahkannya air putih itu. Ki
Banggala segera meraih dan
meminumkannya ke mulut Karja yang
hanya menerima tanpa perlawanan.
Kemudian orang tua itu memijat
beberapa bagian di pelipis dan
belakang kepala Karja.
"Karja kau dengar suaraku?
Kenalkah kau, siapa aku?" tanya Ki
Banggala begitu melihat mata Karja
kembali menunjukkan tanda-tanda
kembali seperti biasa.
"Ki.... Banggala!" seru Karja
setelah beberapa saat lamanya menegasi
wajah laki-laki setengah baya yang
duduk di depannya. Suaranya terdengar
masih mengambang.
"Ceritakan, apa yang telah
terjadi dan di mana kau melihatnya,"
desak Ki Banggala begitu mengetahui
kalau Karja benar-benar telah tenang
kembali.
Dengan terputus-putus, Karja lalu
menceritakan apa yang telah disaksikan
di rumah majikannya.
Berkali kali wajahnya ditutup
dengan kedua telapak tangannya ketika
terbayang peristiwa yang menimpa
keluarga majikannya.
"Hm.... Jadi kau sempat melihat
perampok itu, Karja?" tanya Ki
Banggala setelah mendengar penuturan
Karja sampai selesai.
"Benar, Ki. Saat itu kebetulan si
perampok berdiri di bawah sinar lampu.
Jadi aku sempat melihat wajahnya yang
masih muda dan tampan. Dia bukan saja
merampok, Ki. Tapi juga membunuh
seluruh keluarga majikanku. Bahkan
sebelum membunuh, sepertinya ia telah
memperkosa putri majikanku, Ki," tutur
Karja dengan wajah sedih. Laki-laki
setengah baya itu menutup wajahnya
seolah-olah ingin membuang semua
bayangan buruk yang sangat mengerikan
itu.
"Hm.... Bagaimana kau tahu kalau
putri majikanmu telah diperkosa
sebelum dibunuh?" tanya Ki Banggala
lagi dengan alis berkerut
Dan memang, biar bagaimanapun, Ki
Banggala boleh juga mencurigai Karja.
Sebab, hanya dialah satu-satunya orang
yang mengetahuinya. Tentu saja hal itu
bukan berarti Ki Banggala menuduh
Karja sebagai pelakunya.
"Setelah perampok biadab itu
pergi, aku lalu memeriksa seluruh
ruangan. Dan ketika memasuki kamar
putri majikanku, ternyata dia telah
tewas dalam keadaan tidak berpakaian.
Itulah sebabnya aku menduga demikian,
Ki," tutur Karja lagi.
"Baiklah. Kalau begitu, kita
harus segera berangkat untuk melihat
keadaan tempat majikanmu itu," kata Ki
Banggala, setelah jelas dengan semua
keterangan yang diperoleh dari tukang
kebun Tuan Wiralaga yang merupakan
orang terkaya di desa itu.
Setelah memerintahkan pembantunya
untuk menyiapkan beberapa ekor kuda,
Ki Banggala bergegas memasuki kamar
untuk mengganti pakaiannya.
***
Lima ekor kuda berpacu cepat
melintasi jalan utama desa. Keremangan
pagi tidak menjadi halangan bagi lima
orang untuk mempercepat lari kudanya.
Karena yang ditempuh hanyalah jalan
lurus yang biasa dipakai umum.
Ki Banggala yang berada paling
depan, segera membelokkan kudanya
menuju Timur desa. Tidak jauh di
belakangnya, tampak Karja yang juga
menunggang kuda. Sedangkan Dungga dan
dua orang lainnya berada paling
belakang.
Dan kini, kelima ekor kuda itu
berhenti di depan sebuah rumah yang
dikelilingi tembok kokoh. Ki Banggala
terus saja melompat dari atas punggung
kuda begitu telah berada di halaman
rumah besar itu.
Karja, Dungga, dan dua orang
lainnya juga bergegas turun dari atas
punggung kuda. Senjata mereka telah
terhunus untuk menjaga kemungkinan
yang akan dihadapi nanti.
"Kalian berdua tunggu di sini!
Biar aku, Karja, dan Dungga saja yang
memeriksa keadaan di dalam. Ingat!
Jika kalian melihat sesuatu yang
mencurigakan, cepat beri tanda!"
perintah Ki Banggala kepada dua orang
pengawalnya.
"Baik, Ki!" jawab salah seorang
dari kedua penjaga itu mengangguk
hormat.
Setelah mencabut senjata yang
tergantung di pinggang, Ki Banggala
melangkah memasuki rumah besar itu
melalui jalan samping. Dungga
mengikuti di belakangnya. Sedangkan
Karja berjalan di belakang Dungga.
Wajah laki-laki setengah baya itu
tampak pucat ketakutan.
Ketiga orang itu terus melangkah
memasuki setiap ruangan yang terdapat
di dalam rumah besar itu. Namun mereka
tidak menemukan sesuatu, selain mayat
keluarga Tuan Wiralaga dan beberapa
orang pembantunya. Maka ketiga orang
itu bergegas kembali ke halaman depaa
"Karja! Menurut penuturanmu tadi,
perampok itu hanya seorang diri.
Benarkah itu?" tanya Ki Banggala
kembali menegasi keterangan yang
diberikan Karja tadi.
"Betul, Ki," jawab Karja pasti.
"Dan perampok itu adalah seorang
pemuda tampan yang mengenakan jubah
putih, dan mengeluarkan kabut
keperakan pada tubuhnya. Begitu
bukan?"
"Ya! Begitulah yang kulihat, Ki,"
sahut Karja lagi. Sebenarnya hati
Karja sudah merasa tidak enak melihat
kepala desanya masih terus saja
mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan
yang serupa. Namun, karena memang
tidak bersalah, maka ia pun tidak me-
rasa takut untuk menjawabnya.
"Kau yakin, Karja? Apakah kau
tidak salah lihat?" desak Ki Banggala
kembali.
"Aku yakin, Ki. Karena aku
bersembunyi di semak-semak itu dan
pemuda tampan yang mengenakan jubah
putih tepat berdiri di sini!" jawab
Karja sambil menunjuk ke arah semak-
semak yang terpisah beberapa tombak
dari tempatnya berdiri. Sinar mata
Karja seperti memancarkan kekesalan
karena didesak terus-menerus.
"Maafkan aku, Karja. Bukan semua
keteranganmu tidak kupercayai. Tapi
ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu
rasanya pernah kudengar. Dan suatu hal
yang mustahil kalau orang itulah yang
melakukan perbuatan ini," jelas Ki
Banggala yang menjadi tidak enak
karena terlalu mendesak orang itu.
'Tidak apa-apa, Ki. Aku mengerti
apa yang kau pikirkan. Aku percaya,
semua ini demi kepentingan penduduk
desa agar kejadian semacam ini tidak
akan terulang," Karja tersenyum untuk
membuktikan kalau sama sekali tidak
merasa tersinggung atas pertanyaan-
pertanyaan kepala desanya yang seperti
menyelidik dan tidak mempercayai
keterangannya itu.
"Terima kasih, Karja," ucap Ki
Banggala juga memperlihatkan senyumnya
untuk menghilangkan ketegangan di
antara mereka.
"Ki. Siapakah pemuda tampan
berjubah putih yang pernah kau dengar
itu? Dan di manakah tinggalnya?" tanya
Dungga yang rupanya memikirkan tentang
perampok tunggal berusia muda itu.
"Hm, dalam rimba persilatan,
hanya ada satu pemuda mengenakan jubah
putih yag tubuhnya mengeluarkan kabut
keperakan. Tapi, apa mungkin kalau dia
yang melakukannya. Karena orang itu
adalah seorang pendekar besar yang
menjadi kebanggaan tokoh persilatan
golongan putih. Dia berjuluk Pendekar
Naga Putih. Kebersihan jiwanya sudah
sering ditunjukkan dengan jalan
membasmi kejahatan. Sayang pendekar
muda yang perkasa itu tidak mempunyai
tempat tinggal tetap, Dungga," papar
Ki Banggala tentang pemuda berjubah
putih yang pernah didengamya itu.
Wajah orang tua itu nampak
menyiratkan kebanggan ketika
menceritakan tentang Pendekar Naga
Putih yang memang sangat dikaguminya
itu.
"Ki, Apakah tidak mungkin kalau
ada seseorang yang sengaja hendak
mencemarkan nama besar Pendekar Naga
Putih?" tiba-tiba saja ucapan itu
terlontar dari mulut Dungga.
"Bisa saja, Dungga. Tapi yang
menjadi persoalan, siapa orang yang
melakukan perbuatan itu? Apakah kau
mempunyai dugaan?" Ki Banggala malah
balik bertanya kepada pembantu
utamanya itu.
"Sayang sekali tidak, Ki," sahut
Dungga. Wajahnya agak kecewa, karena
memang tidak mempunyai dugaan sama
sekali tentang orang yang melakukan
perbuatan keji itu.
"Yah, sudahlah. Mari kita
kembali. Biar nanti aku suruh beberapa
orang penduduk untuk mengurus jenazah
mereka," desah Ki Banggala sambil
melompat ke atas punggung kudanya.
Dihelanya kuda itu, yang segera
berjalan menuju ke luar.
Dungga dan yang lainnya segera
mengikuti kepala desa itu meninggalkan
rumah kediaman Almarhum Tuan Wiralaga.
Tidak berapa lama kemudian, kelima
penunggang kuda itu kembali menyusuri
jalan utama desa.
***
EMPAT
Siang itu matahari memancar
terik. Sinarnya yang kuning keemasan
menyirami penmukaan bumi secara
merata. Tiupan angin silir-silir
memainkan pucuk dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari,
nampak iring-iringan yang cukup
panjang tengah melintasi jalan utama.
Beberapa orang di antaranya terlihat
meng-gotong enam buah peti mati.
Sepertinya iring-iringan itu akan
melakukan penguburan.
Wajah-wajah puluhan laki-laki itu
tampak tertunduk sedih. Diduga, suatu
musibah baru saja menimpa, sehingga
menewaskan kawan-kawan mereka. Karena
pakaian yang dikenakan rata-rata
berwarna putih. Dan pada bagian
punggung terdapat bulatan yang cukup
besar. Bulatan itu ternyata adalah
sebuah lambang perguruan.
"Huh! Hal ini tidak bisa kita
biarkan, Kakang! Kita harus mencari
keparat keji itu untuk menuntut
balas!" tegas salah seorang yang
berwajah kuning dan pucat. Suaranya
ditekan serendah mungkin agar tidak
terdengar yang lain.
"Tentu saja kita harus
membalasnya, Adi. Tapi yang menjadi
pertanyaan dalam hatiku, apakah semua
ini memang hasil perbuatannya? Rasanya
aku belum dapat mempercayainya, Adi!"
sahut orang itu yang masih merasa ragu
tentang kejadian itu.
"Hm.... Jadi kau tidak
mempercayai keterangan yang diberikan
saudara seperguruan kita, Kakang?
Bukankah tidak mungkin kalau mereka
membohongj kita? Apa untungnya bagi
mereka?" bantah laki-laki berwajah
kuning pucat yang merasa tak senang
mendengar jawaban kakak seperguruannya
itu
"Bukan aku tidak mempercayai
keterangan saudara seperguruan kita
itu, Adi. Tapi rasanya mustahil kalau
ini dilakukan Pendekar Naga Putih!
Bukankah kau pun tahu, siapa Pendekar
Naga Putih itu?"
'Tapi bukemkah ia masih muda,
Kakang. Pemuda mana yang tidak akan
tertarik melihat kedua orang adik
seperguruan kita yang cantik-cantik
itu? Mungkin saja pendekar muda itu
khilaf karena melihat kecantikan
mereka. Dan karena mereka tidak
melayaninya, maka jalan kekerasanlah
yang diambilnya, lalu dibunuhnya
setelah mereka dinodai terlebih
dahulu! Dan saudara -saudara
seperguruan kita yang mencoba membela,
terpaksa harus tewas di tangannya.
Beruntung dua orang saudara kita
berhasil melarikan diri. Sehingga
mereka dapat mengadukan hal ini kepada
guru," si muka pucat masih juga
bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yahhh.... Nantilah kita
bicarakan hal ini kepada guru.
Sekarang yang harus dilakukan adalah
menasihati saudara-saudara yang lain.
Agar mereka tidak bertindak sendiri-
sendiri. Setelah penguburan ini, baru
kita rencanakan hal itu," jelas orang
itu.
***
"Hei, lihat! Bukankah itu
Pendekar Naga Putih!" tiba-tiba salah
seorang dari anggota rombongan
pengantar jenazah berteriak sambil
menunjuk ke satu arah.
Mendengar teriakan itu, yang lain
serentak menoIeh. Wajah puluhan orang
itu langsung menegang ketika sesosok
tubuh yang mengenakan jubah putih
tampak tengah berjalan ke arah mereka.
Beberapa orang yang semula menggotong
peti mati malah serentak
menurunkannya.
Pemuda tampan yang tengah
melangkah lambat itu memang Pendekar
Naga Putih. Wajahnya yang bersih dan
tampan itu memancarkan rasa keheranan
ketika melihat puluhan orang yang
mengenakan pakaian serba putih
berlarian ke arahnya. Dan rasa heran
langsung berubah terkejut ketika
puluhan orang itu langsung
mengurungnya.
"Ada apa ini, Kisanak?" tanya
Panji yang tetap memperlihatkan sikap
tenangnya. Padahal sebenarnya dadanya
berdebar tegang!
"Huh! Tidak perlu bersandiwara,
Pendekar Cabul! Lihatlah korban-
korbanmu itu!" sahut salah seorang
dari para pengepung itu galak sambil
menggerak-gerakkan pedangnya di depan
dada dengan sikap mengancam.
"Ha ha ha...! Rupanya kau sengaja
hendak melihat bagaimana korban-korban
kebiadabanmu itu akan dikuburkan.
Begitu bukan?" seru yang lainnya.
Sikapnya jelas sekali menunjukkan
kebencian yang dalam.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali
tidak mengerti pembicaraan kalian ini?
Apakah kalian bersedia
menjelaskannya?" pinta Panji tetap
tenang tanpa amarah sedikit pun.
Karena Pendekar Naga Putih tahu, kalau
mereka telah salah menuduh.
'Tidak perlu bersandiwara,
Pendekar Cabul! Pembunuhan dan
perkosaan yang telah kau lakukan ter-
hadap murid wanita perguruan kami,
hanya dapat dicuci dengan darahmu yang
hitam itu!" bentak lelaki bermuka
pucat
Laki-laki itu memang sangat
dendam terhadap Pendekar Naga Putih,
karena salah satu korban adalah
kekasihnya. Maka wajarlah kalau rasa
dendamnya demikian dalam terhadap
pendekar muda itu.
"Dengarlah, Kisanak. Kalian telah
salah menuduh orang" sahut Panji yang
menjadi pucat seketika. Suaranya pun
sedikit bergetar. Benar-benar tidak
disangka kalau dirinya akan dituduh
sedemikian kejinya oleh orang-orang
itu.
"Tidak perlu banyak bicara,
Pendekar Murtad! Hari ini kami akan
membalaskan sakit hati saudara-saudara
kami yang telah kau bunuh itu!
Terimalah hukumanmu! Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras,
salah seorang pengepung Itu segera
melompat menerjang Pendekar Naga
Putih.
Wuuuttt!
Panji melangkah mundur sambil
memiringkan tubuhnya untuk menghindari
tebasan golok orang itu, kemudian
melompat ke belakang. Maksudnya adalah
untuk menghindari terjadinya
pertempuran. Tapi anggapan orang-orang
itu ternyata lain. Mereka segera
melompat dan menerjang Pendekar Naga
Putih yang dikira akan melarikan diri.
Bet! Bet! Bet...!
Beberapa mata pedang berkelebatan
mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Cepat Panji melempar tubuhnya ke
belakang, menghindari bacokan. Dua di
antaranya segera ditepis karena tidak
mungkin lagi dielakkannya.
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh...!"
Dua orang pengeroyok yang
senjatanya tertepiskan itu terpental
hingga dua tombak jauhnya. Mereka
langsung memijat-mijat tangan yang
terasa bagaikan patah itu. Sedangkan
senjata mereka telah terpental entah
ke mana.
"Kisanak. Tidak bisakah masalah
ini diselesaikan secara baik-baik?
Percayalah! Aku benar-benar tidak
mengerti tuduhan yang kalian lontarkan
itu!" dengus Panji yang tidak
menginginkan terjadinya pertumpahan
darah. Karena, menurutnya semua itu
hanyalah kesalahpahaman saja.
"Apakatamu, Pendekar Murtad?
Bicara baik-baik? Huh! Enak saja!
Setelah kau bunuh dan kau nodai dua
saudara seperguruan kami, kau masih
ingin bicara baik-baik! Jangan mencari
alasan, Pendekar Naga Putih! Lebih
baik kau jagalah dirimu agar tidak
tersayat pedang kami!" sahut si muka
pucat yang memang sangat membenci
Panji setelah kejadian itu.
"Sudahlah. Untuk apa bicara lagi!
Ia pasti tidak akan sudi mengakui
perbuatannya itu!"
Setelah ucapannya selesai, orang
itu segera melompat sambil menyabetkan
senjatanya ke leher Panji.
"Heaaat...!"
Beberapa orang kembali bergerak
mengeroyok Sepertinya pertempuran
tidak mungkin lagi untuk dihindari.
Pendekar Naga Putih yang semula
masih mencoba bersabar, menjadi kesal
hatinya. la benar-benar dongkol
melihat sikap keras kepala orang-orang
itu. Kemarahannya pun mulai bangkit
ketika disadari kalau orang-orang yang
sama sekali tidak dikenalnya memang
benar-benar berniat membunuhnya.
"Hmh...!"
Sambil menggertakkan giginya,
Panji pun mulai menggerakkan tangannya
melancarkan serangan balasan.
Bukkk! Desss!
"Hukh...!"
Dua orang pengeroyok terjungkal
seketika begitu terkena hantaman
Pendekar Naga Putih. Mereka pingsan
seketika itu juga akibat kerasnya
pukulan yang dilontarkan Panji. Masih
untung Pendekar Naga Putih tidak
berniat mencelakai, sehingga tidak
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
"Kakang Balewa! Ayo kita hajar
pendekar sesat itu!" ajak si muka
pucat, menolehkan kepala kepada kakak
seperguruannya.
Setelah berkata demikian,
tubuhnya langsung melesat disertai
sambaran goloknya yang menimbulkan
deruan angin tajam. Dilihat dari
gerakan dan kekuatannya, pastilah si
muka pucat memiliki kepandaian yang
cukup tinggi.
Sedangkan orang yang dipanggil
Balewa termangu sejenak. Mulanya ia
masih merasa ragu-ragu untuk melakukan
pengeroyokan. Tapi begitu melihat dua
orang kawannya tergeletak akibat
terkena pukulan Pendekar Naga Putih,
maka ia segera berkelebat membantu si
muka pucat.
Wuttt!
Pedang di tangan Balewa menderu
dan menimbulkan sambaran angin yang
kencang! Bahkan gerak-annya terlihat
lebih gesit dan mantap daripada si
muka pucat
Tubuh Pendekar Naga Putih
berkelebatan menyelinap di antara
sambaran pedang para pengeroyoknya.
SesekaH dilontarkannya serangan
balasan agar tidak terlalu terdesak
Sampai sejauh ini, Panji belum juga
mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya.
Padahal keadaannya boleh dibilang
terancam.
Semarah-marahnya Panji, rupanya
masih tidak tega juga untuk menurunkan
tangan kejam kepada orang-orang itu.
Sebab disadari kalau tuduhan
terhadapnya bukanlah sekadar fltnah
yang mereka cari-cari. Pasti ada
sebab-sebab yang kuat sehingga tuduhan
itu teriempar kepadanya. Dan bukannya
tidak mungkin kalau yang melakukan
adalah orang yang mengaku-ngaku
sebagai dirinya. Jelasnya, pasti ada
orang yang memang sengaja hendak
mencemarkan namanya.
Setelah mempunyai dugaan seperti
itu, Panji berniat meloloskan diri
dari kepungan. Maka mulailah matanya
melirik jalan keluar yang akan
diterobosnya.
Wuttt..!
"Ihhh...!"
Untunglah Panji sempat
memiringkan tubuhnya ke samping. Kalau
tidak, tentu pedang di tangan Balewa
sudah merobek perutnya. Begitu tebasan
pedang Iawannya luput tangan Panji
bergerak menusuk ke arah lambung orang
itu. Gerakannya demikian cepat hlngga
hampir tidak tertangkap mata.
Balewa yang mengetahui kehebatan
ilmu Iawannya, cepat menarik mundur
tubuhnya. Namun sayang, ia tertipu!
Sebab saat itu Panji telah menarik
pulang lengannya yang merupakan
serangan tipuan itu. Mendadak tubuhnya
berputar sambil melepaskan tendangan
ke arah dada orang itu.
Desss!
"Uhg...!"
Tendangan berputar yang dilakukan
Pendekar Naga Putih tepat hinggap di
dada Balewa. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh orang itu pun terjengkang ke be-
lakang disertai semburan darah kental.
Namun sebagai seorang yang terlatih
baik, Balewa langsung melenting
bangkit. Padahal kedudukan kedua
kakinya terlihat agak goyah. Setelah
menarik napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa nyeri yang
diderita, Balewa kembali menerjang
Panji.
Sesudah berhasil menjatuhkan
Iawannya yang paling tangguh, tubuh
pendekar muda itu melesat menerobos
kepungan di sebelah kirinya. Si muka
pucat yang memang berada di sebelah
kiri menjadi terkejut Ini karena
dirinya menjadi incaran serangan
pemuda itu. Cepat goloknya
dikelebatkan untuk menahan serbuan
pendekar muda yang lihai itu.
Wuttt!
Panji hanya periu memiringkan
sedikit tubuhnya membiarkan ujung
golok lawan lewat di sisi tubuhnya.
Secepat kilat tubuhnya merendah,
disertai sebuah totokan yang mengarah
lambung si muka pucat!
Sadar akan bahaya yang mengancam,
maka si muka pucat membentak sambil
menjejak bumi kuat-kuat. Detik itu
juga tubuhnya melambung melewati
kepala Iawannya. Dan dalam keadaan
masih di udara, goloknya diayunkan,
untuk membelah kepala Pendekar Naga
Putih.
"Yeaaat..!"
Pendekar Naga Putih sempat
mengagumi kesigapan gerak Iawannya.
Namun, ia tidak ingin bertindak ayal-
ayalan. Cepat tubuhnya dijatuhkan
disertai ayunan kaki untuk menangkis
bacokan golok lawan.
Plakkk!
"Ahk...!"
Si muka pucat berseru tertahan.
Goloknya terpental akibat hantaman
telapak kaki yang tepat mengenai
pergelangan tangannya. Belum lagi
sempat menyadari keadaannya, sebuah
tendangan berikutnya telah bersarang
di dada si muka pucat.
Bukkk!
"Hegh...!"
Tubuh si muka pucat yang tengah
meluncur turun itu kembali tersentak
ke atas. Darah segar langsung
menyembur dari mulutnya hingga
membasahi jubah lawan. Meskipun
demikian, ternyata tubuhnya masih
sempat juga diselamatkan agar tidak
terbanting di atas tanah.
Setelah berjumpalitan beberapa
kali, kedua kaki si muka pucat hinggap
di atas permukaan tanah dengan
selamat. Kedua tangannya tampak
menekap bagian dada yang terasa bagai
patah tulang-tulangnya. Rupanya
tendangan Pendekar Naga Putih telah
menjadi berlipat kekuatannya karena
dibantu daya luncur tubuh si muka
pucat itu sendiri. Dan akibatnya dia
mengalami luka yang cukup parah!
Begitu kesempatan untuk
meloloskan diri terbuka, tubuh Panji
segera melesat meninggalkan tempat
itu. Lesatannya demikian cepat bagai
kilat, karena disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Sekejap kemudian,
tubuh pemuda berjubah putih itu sudah
jauh meninggalkan para pengeroyoknya.
"Keparat kau, Pendekar Naga
Putih! Sampai ke ujung dunia pun, aku
bersumpah akan tetap mengejarmu!"
teriak si muka pucat dengan napas
terengah-engah. Hatinya benar-benar
penasaran sekali melihat musuh yang
sudah di depan mata ternyata mampu
meloloskan diri.
"Sudahlah, Adi. Lebih baik
kuburkan dulu mayat-mayat itu. Sesudah
itu baru kita melaporkan kejadian ini
kepada guru," bujuk Balewa yang merasa
tidak tega melihat keadaan adik
seperguruannya yang tengah dilanda
kekecewaan dan kesedihan itu.
"Aku bersumpah akan mencarinya
nanti, Kakang. Berjanjilah bahwa kau
juga akan membantuku," pinta si muka
pucat kepada kakak seperguruannya itu.
"Aku berjanji akan membantumu,
Adi. Karena hal itu memang sudah
menjadi kewajibanku dan juga kewajiban
seluruh murid perguruan kita," jawab
Balewa menenangkan perasaan adik
seperguruannya.
Dan kini, rombongan itu kembali
bergerak ke daerah pekuburan. Saat itu
matahari sudah semakin tinggi.
Sinarnya terasa menyengat permukaan
kulit. Seolah-olah sang mentari tidak
peduli dengan kejadian yang
berlangsung di bawahnya.
***
LIMA
Pendekar Naga Putih terus berlari
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Perasaannya benar-benar kacau akibat
kejadian yang baru saja dialaminya
itu. Sudah cukup jauh juga dia
berlari. Dan kini Panji tiba di suatu
jalan setapak yang di kanan-kirinya
ditumbuhi semak belukar.
"Perlahan dulu, Anak Muda...!"
Tiba-tiba terdengar teguran halus
yang mengandung perbawa kuat. Mau tak
mau Panji yang saat itu baru saja
mengurangi kecepatan larinya menjadi
terkejut dan menghentikan larinya.
Kening Pendekar Naga Putih
berkerut dalam ketika melihat seorang
kakek tengah melambaikan tangan ke
arahnya. Usianya sekitar delapan puluh
tahun. Ketika melangkah menghampiri
Panji, jubah putihnya tertiup angin.
Empat orang lelaki gagah yang
berpakaian serba putih, ikut
menyertainya. Dua di antaranya, tampak
dalam keadaan terluka.
Melihat lambang garuda putih yang
ada di dada, Pendekar Naga Putih bisa
menduga kalau mereka berasal dari
Perguruan Garuda Putih. Dan kalau tak
salah, pemimpin perguruan itu adalah
Eyang Sancaka. Dan kini laki-laki tua
itu telah berdiri di antara mereka, di
depan Panji
"Ada keperluan apakah Kakek
menahan langkahku?" tanya Panji sopan.
Terus terang, dada Pendekar Naga
Putih berdebar tegang saat melihat
pakaian yang dikenakan mereka. Karena
pakaian itu mengingatkannya kepada
orang-orang yang tadi mengeroyoknya.
"Hm.... Maaf kalau aku
mengejutkanmu, Pendekar Naga Putih.
Bukankah demikian julukanmu?" ucap
Eyang Sancaka. Suaranya juga lembut
dan berwibawa. Tampak tangan kanannya
mengelus-elus perlahan jenggotnya yang
panjang dan berwarna putih.
"Benar, Kek. Itulah julukan yang
diberikan orang kepadaku," jawab
Panji. Perasaannya semakin tidak enak
Pikirannya kembali melayang kepada
tuduhan yang dilontarkan pada
pengeroyoknya tadi
"Hm.... Benarkah pemuda ini yang
telah melakukan perbuatan itu,
Panjala? Telitilah dulu?" Eyang San-
caka mengalihkan pandangan ke arah
salah seorang muridnya yang tampak
mengalami luka. Nada suaranya jelas
meminta penegasan.
"Benar, Eyang. Tidak salah lagi!
Pemuda inilah yang telah melakukan
perbuatan biadab itu! Aku yakin,
Eyang. Dan aku tidak akan salah!"
jawab laki-laki gagah yang bernama
Panjala itu tegas. Sepasang matanya
menatap Panji dengan sorot dendam yang
hebat
"Kau, Banawa. Benarkah pemuda
ini yang telah mehikaimu?" tanya kakek
itu lagi kepada muridnya yang lain.
Orang itu juga dalam keadaan terluka
pada bagian bahunya.
"Benar, Eyang Pemuda inilah yang
telah melukai-ku dan menodai serta
membunuh dua orang murid wanita kita,"
jawab laki-laki brewok yang dipanggil
Banawa itu tanpa keraguan sedikit pun.
Panji yang saat itu pikirannya
masih kalut, sebenarnya merasa
tersinggung juga mendengar keluhan
itu. Sepertinya mereka menganggapnya
sebagai maling tertangkap basah yang
hukumannya sedang diputuskan. Tapi
karena masih memandang orang tua itu,
maka Panji terpaksa menelan rasa
jengkelnya.
"Nah.!Kau dengar sendiri apa yang
telah dikatakan kedua orang muridku
ini, Anak Muda. Sekarang apa
pendapatmu?" kata Eyang Sancaka,
mengalihkan pertanyaannya kepada
Pendekar Naga Putih.
"Maaf, Kek. Bukan aku ingin
menyangkal apa yang dituduhkan
kepadaku. Tapi aku memang benar-benar
tidak tahu apa sebenarnya yang kalian
inginkan?" sahut Panji. Nadanya
terdengar agak keras. Namun demikian
sikap yang ditunjukkannya tetap
membayangkan ketenangan, karena ia
memang tidak merasa telah berbuat
salah terhadap orang-orang itu.
"Hm.... Perbuatanmu telah
mencoreng nama besarmu sendiri,
Pendekar Naga Putih. Dan di sini ada
dua orang saksi yang langsung
mengalami kejadian itu. Dan apa-apa
yang mereka katakan itu adalah
kebenaran yang tidak mungkin
diingkari," gumam Eyang Sancaka
lembut. Namun di balik kata-katanya,
terkandung tuntutan yang tidak mungkin
dibantah.
Panji terdiam untuk beberapa saat
lamanya. Ia mulai meragukan dirinya
sendiri. Apakah benar perbuatan
seperti yang mereka tuduhkan itu telah
dilakukannya? Kalau tidak, mengapa
tampaknya mereka begitu yakin kalau
dirinya yang telah melakukan? Ia yakin
kalau orang-orang itu tidak hanya
sekadar melemparkan fitnah belaka.
Sebab Pendekar Naga Putih kenal betul
kalau Perguruan Garuda Putih adalah
perkumpulan orang-orang gagah yang
tidak akan sembarangan menuduh.
Apalagi, perguruan itu dipimpin Eyang
Sancaka yang cukup arif dan bijaksana.
"Itu dia si Pendekar Murtad!"
Belum lagi Panji sempat menjawab
pertanyaan yang dilontarkan kakek itu,
tiba-tiba terdengar seruan keras.
Pendekar Naga Putih dan kelompok
orang dari Perguruan Garuda Putih
sama-sama menolehkan kepalanya ke arah
teriakan tadi. Kening semua orang yang
ada di situ jadi berkerut melihat
tujuh orang laki-laki gagah dengan
langkah lebar-lebar mendatangi mereka.
Dari roman wajah tujuh orang itu jelas
tei gambar kemarahan yang ditujukan
kepada Panji.
"Hei! Pendekar Murtad, apakah kau
masih ingat kepadaku?" tanya salah
seorang dari ketujuh laki-laki gagah
itu dengan suara yang sangat
menyakitkan telinga.
"Maaf, Kisanak. Aku sama sekali
belum mengenalmu. Dan rasanya kita
belum pernah berjumpa," sahut Panji.
Rasanya hati Pendekar Naga Putih
semakin tidak enak saja. Dia mulai
menduga kalau kedatangan orang itu
mungkin membawa persoalan yang akan
menambah ruwet pikirannya.
***
"O, begitu. Jadi kau tidak ingat
dengan wanita desa yang kau gauli di
dalam hutan, dan kemudian kau bunuh
secara kejam? Mungkin kalau saat itu
aku tidak berhasil meloloskan diri,
pasti tubuhku sudah hancur oleh
pukulanmu. Kenapa kau masih
menyangkalnya, Pendekar Murtad?" ejek
laki-laki bertubuh sedang itu setengah
membentak. Wajahnya tampak memerah
karena kemarahan yang menggelegak
Mendengar tuduhan itu, tubuh
Panji menggigil hebat! Wajahnya
berubah pucat bagai tak teraliri
darah. Tuduhan itu terdengar bagaikan
ledakan petir di telinga pemuda tampan
itu.
"Hm.... Ini sudah keterlaluan.
Apa sebenarnya maksud kalian
melontarkan fitnah keji itu kepadaku?
Lihatlah baik-baik. Apakah orang yang
melakukan perbuatan keji itu adalah
aku? Apakah orang itu memiliki ilmu-
ilmu sepertiku? Jawablah!" teriak
Panji dengan suara menggelegar.
Hati Pendekar Naga Putih benar-
benar merasa terpukul atas tuduhan
yang telah dilemparkan orang-orang itu
kepadanya. Kemarahan dan rasa sakit di
hatinya benar-benar sudah tidak dapat
ditahan lagi.
Lima orang dari Perguruan Garuda
Putih dan tujuh orang tokoh persilatan
itu melangkah mundur melihat sikap
yang ditunjukkan pemuda itu. Serentak
kedua belas orang itu bersiap
menghadapi segala ke mungkinan yang
bakal terjadi.
"Jangan coba untuk menyangkal,
Pendekar Murtad. Kalau seandainya kau
memiliki saudara kembar, apakah orang
itu juga mempunyai ilmu 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' seperti yang kau miliki
itu? Tidak mungkin, bukan? Nah,
sekarang lebih baik kau menyerah untuk
mempertanggungjawabkan segala
kejahatanmu!" desak laki-laki gagah
yang tak lain adalah Panjala, murid
utama Perguruan Garuda Putih dengan
suara mengejek.
"Jadi.... Jadi orang itu memiliki
ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?"
tanya Panji seperti bertanya pada
dirinya sendiri. Suaranya terdengar
bergetar hingga tak ubahnya seperti
orang berbisik Wajah pemuda itu
semakin bertambah pucat ketika
mendengar penjelasan Panjala.
"Benar! Dan orang itu juga
mengeluarkan sinar putih keperakan
dari tubuhnya. Jadi sudah pasti kalau
orang Itu adalah kau, Pendekar Naga
Putih!" bentak Banawa, keras. Rupanya
ia juga sudah tidak sabar untuk segera
membalas perlakuan pemuda itu terhadap
saudara-saudara seperguruannya.
"Keji...! Kalian telah
melemparkan fltnah keji karena tidak
suka kepadaku!" hati Panji benar-benar
terguncang mendengar tuduhan-tuduhan
yang dijatuh-kan kepadanya itu.
"Huh! Percuma saja. Apa pun yang
kita katakan, ia tetap akan
menyangkal!" timpal salah seorang dari
tujuh laki-laki gagah itu, seraya
mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya.
"Ya! Lebih baik kita seret dengan
paksa!" seru yang lain sambil
menghunus senjatanya.
Tanpa banyak cakap lagi, orang
itu langsung melompat menerjang Panji.
"Yeaaat..!"
Keenam orang tokoh lainnya
bergegas melompat menyusul kawannya.
Senjata-senjata mereka bergerak cepat
menciptakan gulungan sinar yang
menyilaukan mata.
Wuttt! Wukkk..!
Dua batang pedang menderu keras
dari sebelah ldri. Sedang yang lainnya
sudah pula menyusul mengancam tubuh
pemuda berjubah putih itu.
Meskipun hati Pendekar Naga Putih
terguncang sangat hebat, namun
nalurinya yang terlatih telah membuat
tubuhnya bergerak menghindari sambaran
pedang lawan. Cepat-cepat Panji
melempar tubuhnya ke belakang untuk
mempersiapkan jurus-jurusnya.
"Heeeaaa...!"
Terdengar pekikan laksana
binatang terluka yang keluar dari
mulut Panji. Rasa sakit hati dan
penasaran telah membangkitkan
kemarahannya. Sesaat kemudian, selapis
kabut yang bersinar putih keperakan
pun mulai bergerak menyelimuti seluruh
tubuhnya Menyadari kalau lawan
bukanlah orang-orang sembarangan, maka
Pendekar Naga Putih mulai mengeluarkan
ilmu-ilmu andalannya.
Jurus 'Naga Sakti' yang tidak
pernah digunakan secara sembarangan,
juga dikeluarkan. Hal ini dilakukan
untuk menyelamatkan diri dari ancaman
senjata dan pukulan para
pengeroyoknya.
Ketujuh orang laki-laki gagah itu
tersentak mundur ketika ada serangkum
hawa dingin yang menyergap tubuh
mereka.
"Hm.... Anak muda ini benar-benar
hebat! Sayang ia telah memilih jalan
yang salah dan tercela," ucap Eyang
Sancaka yang menjadi Ketua Perguruan
Garuda Putih, lirih.
Dari nada suaranya, jelas kalau
kakek itu merasa kecewa terhadap
Panji. Sebentar kemudian tubuh kakek
itu melesat ke tengah arena
pertempuran Tangan kanannya mengibas,
persis orang mengukir lalat
Wusss...!
Hebat sekali! Kibasan tangan si
kakek yang terlihat sembarangan itu
ternyata berhasil menguslr hawa dingin
yang keluar dari tubuh Pendekar Naga
Putih.
Dan tentu saja hal itu membuat
Pendekar Naga Putih terkejut dan
semakin bersiaga penuh. Disadari betul
kalau kakek itu satu-satunya lawan
yang terberat
Dua orang murid urama Perguruan
Garuda Putih sudah pula melompat ke
tengah arena. Mereka ma-sing-masing
telah menghunus sebatang pedang.
"Sambutlah, Anak Muda!" seru
Eyang Sancaka sambil melompat
melakukan serangkaian serangan yang
menimbulkan sambaran angin mencicit
tajam.
Wuttt..! Bettt..!
Panji memiringkan tubuhnya sambil
menggeser kaki kanannya ke belakang.
Kemudian secepat kilat dilancarkannya
serangan balasan yang tidak kalah
dahsyat Kedua tangannya yang membentuk
cakar naga tampak bergerak cepat
melakukan sambaran-sambaran yang
menebarkan hawa dingin.
Tak pelak lagi, pertarungan
sengit pun berlangsung hebat. Kedua
tokoh sakti itu saling menyerang
hebat. Ilmu-ilmu andalan yang biasanya
jarang sekali digunakan, kini
dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan.
Sedangkan para tokoh lain
bergerak mundur menjauhi pertarungan
yang mendebarkan itu. Sebab angin
pukulan yang teriontar dari tangan
kedua tokoh sakti itu menyambar-
nyambar ke segala arah. Dan kalau ti-
dak segera bergerak mundur, bisa jadi
mereka akan terkena sambaran pukulan
nyasar.
Jurus derm jurus berialu cepat.
Tak terasa, pertarungan telah memasuki
jurus yang keenam puluh.
Namun, sampai sejauh itu belum
terlihat tanda-tanda yang bakal
terdesak
"Heaaah...!"
Suatu saat, Ketua Perguruan
Garuda Putih membentak keras. Sepasang
tangannya yang membentuk cakar garuda
bergerak susul-menyusul mengancam
tubuh Panji.
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Seketika terdengar ledakan yang
memekakkan telinga ketika kedua lengan
tokoh sakti itu saling berbenturan.
Tubuh mereka masing-masing tampak
terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Baik Panji dan kakek itu
sama sama menyeringai menahan rasa
nyeri pada tulang lengan mereka. Untuk
beberapa saat keduanya saling tatap
bagaikan dua ekor ayam jago yang siap
berlaga kembali.
"Haaat..!"
Pada saat mereka tengah terdiam
sambil menehtl gerak satu sama lain,
dua orang tokoh persilatan melompat
disertai sambaran senjata yang
menimbulkan deruan angin keras.
Wuttt! Wuttt...!
Cepat Panji melempar tubuhnya ke
bclakanq. menghindari dua batang
pedang yang mengancam tubuhnya itu.
Setelah berputar di udara, tubuh
Pendekar Naga Putih melayang turun
sejauh tiga tombak dari dua orang
Iawannya itu. Namun, baru saja kedua
kakinya menyentuh pcrmukaan tanah,
serangan dari yang lain sudah meluncur
datang.
Panji melangkah mundur sejauh dua
tindak ketika dua batang pedang
menyambar perut dan lambungnya. Begitu
dua serangan itu lolos, tubuh pemuda
itu melambung ke udara disertai
sambaran cakarnya yang membawa hawa
dingin menggigit tulang.
Bet! Bet...!
"Ahk...!"
Bukan main kagetnya hati kedua
orang tokoh itu ketika mendadak tubuh
mereka bagaikan dikurung dalam sebuah
ruangan salju. Mereka kemudian cepat
cepat mengempos semangat, untuk
mengerahkan hawa murni agar rasa
dingin yang mengganggu gerakan mereka
terusir. Dan pada saat sepasang cakar
Pendekar Naga Putih hampir mencelakai,
mereka pun bergulingan menghindarkan
diri.
Ketika telah berada sejauh tiga
tombak, kedua orang itu melenting
bangkit. Namun alangkah terkejutnya
hati mereka ketika pada saat itu
Pendekar Naga Putih telah melontarkan
pukulan jarak jauh disertai pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan*.
Wusss!
Blarrr!
Untunglah kedua orang itu sempat
melempar tubuhnya dan bergulingan ke
samping. Kalau tidak, akan hancurlah
tubuh mereka. Buktinya, pohon besar
sepelukan orang dewasa yang ada di
belakang mereka langsung tumbang
menimbulkan suara berderak keras.
Wajah kedua orang tokoh
persilatan itu langsung pucat. Ciut
hati mereka membayangkan seandainya
terkena pukulan maut pendekar muda
itu.
"Sambut pukulanku, Pendekar Naga
Putih!" bentak Eyang Sancaka
memperingatkan. Saat itu juga tubuhnya
meluncur disertai dorongan telapak
tangannya yang menimbulkan terpaan
angin keras.
Mendengar teriakan itu, Panji
bergegas membalikkan tubuhnya. Tampak
tubuh Eyang Sancaka meluncur
menerjang. Maka Pendekar Naga Putih
segera mendorong sepasang telapak
tangannya untuk menyambut pukulan maut
kakek itu.
Bresss!
Bumi di sekitar arena pertarungan
bagai diguncang gempa ketika dua
tenaga dalam tinggi saling berbenturan
dahsyat. Tubuh mereka terpental ke
belakang dan jatuh menimbulkan suara
berdebuk keras.
Panji dan Eyang Sancaka bergegas
melenting bangkit. Keduanya segera
menyedot udara banyak-banyak untuk
menghilangkan rasa nyeri yang menusuk
rongga dada mereka. Dari sudut bibir
masing-masing tokoh sakti itu tampak
cairan merah mengalir.
"Haaat..!"
Empat orang tokoh persilatan yang
melihat keadaan itu cepat melompat
menerjang Panji. Mereka memang tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan emas
selagi pendekar muda itu terluka.
Senjata mereka berdesing membelah
udara.
Plak! Plak! Bret!
"Ahk..!"
Dua di antara empat batang
senjata itu berhasil dttepiskan
telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Namun dua senjata lain berhasil
merobek tubuhnya! Untunglah Panji
masih sempat memiringkan tubuhnya,
sehingga lukanya tidak terlalu parah.
Tubuh Pendekar Naga Putih
terjajar mundur sejauh enam langkah,
dan agak limbung. Tangan kirinya
menekap luka di lambung, sedangkan
tangan kanan menekap dada. Pada sela-
sela jarinya keluar darah segar dari
luka sehingga menodai jubahnya.
Meskipun kedua luka itu tidak terlalu
dalam, tapi cukup membuat wajah
pendekar muda itu meringis menahan
nyeri
Meskipun kemarahan membakar
dadanya, namun Panji sadar kalau bukan
orang-orang itulah yang menjadi
musuhnya. Maka begitu melihat lawan-
lawannya lengah, ia bergegas melompat
meninggalkan tempat itu. Gerakannya
demikian cepat, karena disertai ilmu
meringankan tubuh yang telah mencapai
taraf kesempurnaan.
"Mau lari ke mana kau, Pendekar
Murtad?!" bentak Panjala yang segera
menghadang Panji. Senjatanya melintang
di depan dada dan siap menyerang.
Banawa yang berada di samping
Panjala bertindak cepat. Tanpa basa-
basi lagi, tubuhnya segera melesat
sambil menyabetkan senjata ke tubuh
Pendekar Naga Putih.
Panjala pun berbuat hal yang
serupa. Pedang di tangannya diputar
sedemikian rupa hingga membentuk
gundukan sinar yang membungkus seluruh
tubuhnya. Dibarengi bentakan keras,
tubuhnya langsung melayang ke arah
Panji.
Kali ini Panji sudah benar-benar
marah. Melihat kedua orang murid utama
Perguruan Garuda Putih itu menghalangi
jalannya, sepasang telapak tangannya
segera didorongkan ke depan Serangkum
angin dingin berhembus keras
mengiringi dorongan tangan pemuda itu.
Rupanya dalam kemarahannya kali ini,
Pendekar Naga Putih telah menggunakan
pukulan jarak jauh disertai pengerahan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang
sangat dahsyat itu.
Bukan main terkejutnya hati kedua
orang tokoh Perguruan Garuda Putih
itu. Wajah mereka pucat seketika.
Untuk menghindar, rasanya sudah tidak
mungkin lagi, tubuh keduanya dalam
keadaan menga-pung di udara. Cepat-
cepat mereka mendorongkan telapak
tangan kiri sepenuh tenaga.
Blarrr!
"Aaargh...!"
Banawa dan Panjala berteriak
ngeri ketika tubuh mereka bagaikan
membentur sebuah kekuatan raksasa.
Tubuh mereka terlempar keras hingga
bebarapa tombak ke belakang. Tanpa
dapat dicegah lagi, tubuh keduanya
terbanting keras di atas permukaan
tanah.
"Ouhhh...!"
Kedua tokoh Perguruan Garuda
Putih itu mcrintih setelah teriebih
dahulu memuntahkan segumpal darah
kental. Mereka mengerang sambil
menekap dada yang terasa bagaikan
dihantam godam!
"Panjala...! Banawa...!"
Eyang Sancaka yang menjadi Ketua
Perguruan Garuda Putih berlari memburu
kedua orang muridnya itu dengan wajah
membayangkan kecemasan. Dia segera
berjongkok memeriksa luka yang
diderita kedua orang muridnya. Rasa
cemas terbayang di wajahnya melihat
keadaan muridnya. Hal ini membuat
kakek itu melupakan kehadiran Panji
yang berdiri tegak beberapa langkah di
sampingnya.
Melihat kesempatan baik itu,
Panji bergegas melompat meninggalkan
tempat itu. Segera dikerahkan ilmu
meringankan tubuhnya agar tidak sampai
terkejar orang-orang itu.
"Pendekar Naga Putih, tunggu...!
Persoalan di antara kita belum
selesai!" teriak Eyang Sancaka seusai
memberi obat pulung kepada kedua orang
muridnya. Suaranya dikerahkan lewat
tenaga dalam yang cukup tinggi,
sehingga menggema sampai jauh.
"Keparat! Pemuda cabul itu telah
berhasil meloloskan diri!" umpat salah
seorang tokoh persilatan, geram.
"Ayo, kita kejar pendekar biadab
itu!" ajak yang lainnya, cepat.
Setelah berkata demikian, mereka
segera melesat mengejar Pendekar Naga
Putih.
Enam orang lainnya bergegas
menyusul kawannya. Rupanya hati mereka
belum puas kalau beium dapat menghukum
pendekar muda yang kira sangat dibenci
itu.
***
ENAM
Pemuda berjubah putih itu terus
berlari menerobos semak belukar. Pada
bagian dada dan lambung terdapat noda
merah yang membasahi pakaiannya. Namun
sepertinya dia sama sekali tidak
mempedulikan luka yang dideritanya
itu, dan terus saja berlari ke dalam
lebatnya rimba.
Wajah yang bersih dan tampan itu
tampak sayu bagaikan orang kehilangan
semangat. Peluh yang membasahi seluruh
wajah dan tubuhnya sudah tidak
dihiraukannya lagi. Sepertinya jiwa
pemuda tampan berjubah putih itu
tengah mengalami pukulan berat.
Setelah agak lama berlari dan
telah jauh memasuki hutan, pemuda
tampan itu menjatuhkan tubuhnya di
atas permukaan rumput tebal.
Disandarkan punggungnya pada sebatang
pohon besar yang berada di
belakangnya. Terdengar helaan napasnya
yang berat, membayangkan kelelahan
lahir dan batin.
"Ouhhh...!"
Pemuda tampan yang tak lain
adalah Panji itu mengusap wajahnya
diseretai keluhan berat. Agak lama
pemuda itu menutupi wajahnya tanpa
mempedulikan keadaan di sekelilingnya.
Kemudian perlahan-lahan direbahkan
tubuhnya. Matanya dipejamkan seolah-
olah hendak mengusir pergi bayangan-
bayangan buruk yang mengganggunya.
"Mengapa orang-orang itu
memusuhiku? Mengapa mereka begitu
yakin kalau aku telah melakukannya?
Dan menurut keterangan mereka, orang
yang melakukan perbuatan-perbuatan
keji dan biadab itu adalah aku.
Mungkinkah ada pemuda lain di dunia
ini yang memiliki wajah serupa
denganku? Apakah orang itu pun
mempunyai Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
warisan Eyang Tirta Yasa? Aaah...,
rasanya mustahil?" desah batin
Pendekar Naga Putih yang bergelut
dengan berbagai pertanyaan yang tidak
mampu dijawabnya sendiri.
Panji kembali menghela napas
berat, melepaskan gumpalan yang terasa
mengganjal dalam rongga dadanya.
Pikirannya menerawang, mencoba
mengingat-ingat apa saja yang telah
diperbuatnya selama ini. Namun sampai
lelah, tak satu pun perbuatan jahat
yang pernah dilakukannya.
“Tapi, mengapa mereka menuduhku
pendekar murtad?!"
Ucapan itu terlontar begitu saja
dari mulut Panji, hingga sempat
tetperanjat mendengamya. Sepertinya,
suara pertanyaan itu terlontar karena
rasa penasaran dan tidak puas yang
menekan jiwanya.
Mendadak Pendekar Naga Putih
terlonjak dari duduknya, seperti baru
saja teringat akan sesuatu. Dan bisa
saja itu dapat menyingkap tabir
rahasia ini. Dengan gerakan perlahan,
sepasang mata Pendekar Naga Putih
mulai meneliti sekujur tubuhnya,
seolah-olah ingin mencari kelainan
yang akan dapat membedakan dirinya
dengan manusia culas yang mengaku-aku
sebagai dirinya.
"Ah, ini dia!" seru Pendekar Naga
Putih sambil menurunkan Pedang Naga
Langit dari punggungnya. Wajahnya
tampak berseri ketika melihat benda
pusaka yang tidak ada duanya dalam
dunia persilatan. Perlahan lahan
dicabutnya pedang itu dari sarungnya,
yang berukir seekor naga yang berwarna
kuning keemasan (Untuk jelasnya
tentang Pedang Naga Langit yang
dimiliki Panji ini, silakan pembaca
mengikuti serial Pendekar Naga Putih
dalam episode "Bunga Abadi di Gunung
Kembaran").
Srek!
Sinar kuning keemasan berpendar
ketika Pendekar Naga Putih meloloskan
pedang pusaka dari sarungnya. Sejenak
Panji menutupi mata dengan sebelah
tangannya, karena sinar pedang itu
begitu silau.
"Ya. Hanya pedang inilah yang
akan membedakan antara aku dengan
bangsat keji itu! Aku yakih kalau
orang yang telah mencemarkan namaku
pasti tidak akan memiliki pedang
pusaka yang tiada duanya ini," tegas
Panji.
Hati Pendekar Naga Putih sedikit
lega karena telah mempunyai bukti kuat
kalau dirinya bukanlah orang yang
dimaksud. Dengan Pedang Naga Langit
yang tak ada duanya dalam rimba
persilatan, jelas akan membedakan
Panji dari yang lainnya.
'Tapi, apakah mungkin orang-orang
itu akan menerima alasanku? Dapatkah
mereka mempercayainya apabila pedang
ini kutunjukkan sebagai bukti kalau
aku tidak bersalah? Hm.... Sepertinya
masalah ini belum selesai hanya dengan
menunjukkan pedang ini sebagai
alasan," gumam Panji dalam hati.
Kembali Pendekar Naga Putih
menghela napas sebagai tanda
kekecewaannya. Pikirannya menerawang
jauh hingga sampai ke wajah
kekasihnya. Tiba-tiba saja wajah
Kenanga muncul dalam benaknya.
"Ahhh.... Seandainya saja saat
ini Kenanga ada bersamaku, pastilah
akan dapat membantuku untuk memecahkan
masalah rumit ini Tapi.... Tapi,
ahhh...!" desah Panji sambil menepak
keningnya perlahan.
Pendekar Naga Putih merasa
khawatir juga apabila persoalan ini
telah sampai ke telinga Kenanga. Sulit
digambarkan, bagaimana tanggapan gadis
itu ketika mendengar tuduhan yang
telah dilimpahkan orang-orang kepada
Panji. Apakah tuduhan itu akan
dipercayainya? Ataukah akan lebih
percaya kepada Panji?
Setelah menyarungkan pedangnya
kembali, Panji duduk bersandar pada
pohon di belakangnya. Pandangannya
dilayangkan ke arah cakrawala yang
mulai tersaput keremangan senja. Hati
Pendekar Naga Putih ikut melayang dan
mengembara entah ke mana.
***
"Kakang...!"
Panji tersentak bangkit bagaikan
disengat kalajengking. Dadanya
berdebar tegang ketika mendengar suara
merdu yang sangat dikenalnya. Mulut
pemuda itu menggerimit seolah-olah
tengah berhadapan dengan hantu yang
menakutkan! Seluruh urat-urat tubuhnya
menegang! Wajahnya pun pucat, dan
keringat dinginnya mulai menitik
Pemuda itu menjadi tegang karena suara
merdu itu terdengar agak ketus.
Perlahan-lahan Pendekar Naga
Putih menolehkan pandangan ke arah
asal suara itu. Debaran dalam dadanya
terdengar semakin bergemuruh ketika
tampak sesosok tubuh ramping berparas
jelita tengah memandang tajam ke
arahnya. Dari raut wajahnya, Panji
sadar kalau gadis itu telah mengetahui
duduk persoalannya. Karena wajahnya
menyiratkan kebencian hebat!
"Kenanga, kau.... Kau mengapa ada
di tempat ini?" tanya Panji bergetar.
Pemuda itu merasa aneh ketika
mendengar suaranya demikian asing di
telinga. Seolah-olah suara itu
bukanlah suara sendiri. Karena
demikian kering dan bergetar, seperti
dari alam lain.
"Hm.... Seharusnya aku yang harus
bertanya seperti itu kepadamu?!
Mengapa kau berada di tempat ini?! Apa
yang tengah kau lakukan?!" tanya gadis
jelita itu. Suaranya terdengar tidak
enak sekali di telinga Panji.
Hati pemuda itu pun semakin tidak
enak ketika gadis itu tidak iagi
menyebutnya 'kakang’. Jelas sekali
kalau dia sudah tidak menunjukkan
sikap mesra kepadanya. Dan hal itu
membuat debaran dalam dada Panji
semakin keras.
"Aku.... Aku sama sekali tidak
melakukan apa-apa, Kenanga. Aku....
Aku hanya sedang melepaskan lelah,"
sahut Panji. Suaranya masih tetap
bergetar karena hatinya masih diliputi
ketegangan.
Diam-diam hati pemuda itu
berharap agar kekasihnya belum
mendengar berita-berita yang
menyudutkan dirinya. Siapa tahu gadis
itu hanya marah karena telah berpisah
dengannya tanpa sengaja.
"Hm.... Mengapa ada luka di
tubuhmu?" tanya Kenanga. Gadis itu
menatap tajam penuh kebencian pada
Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri lesu bagaikan
seorang pesakitan yang menunggu
keputusan hakim. Sepasang mata
kekasihnya yang biasanya selalu
menimbulkan perasaan indah itu, kini
tak lagi nampak Sebenarnya Panji lebih
suka ditodongkan ujung tombak daripada
mendapat tatapan mata kekasihnya yang
tajam dan sangat menusuk hati
“Pendekar Naga Putih! Apakah kau
memang sudah berubah menjadi seorang
pengecut yang tidak mau
mempertanggungjawabkan perbuatanmu? Ke
mana perginya kegagahan yang selama
ini kau miliki? Kau benar-benar telah
membuatku kecewa, Panji!" sindir
Kenanga. Wajahnya tampak mulai basah
oleh air mata. Kata-kata itu memang
demikian tajam. Bahkan sepertinya
Kenanga tidak menganggap Panji lagi.
Kening Panji berkerut-kerut
menahan rasa sakit hati akibat ucapan
kekasihnya itu. Kalau saja orang lain
yang mengatakannya, mungkin tidak apa-
apa. Tapi ucapan itu justru keluar
dari mulut orang yang amat
dicintainya. Tentu saja hal itu
bagaikan ujung tombak yang menikam
jantungnya.
"Kenanga. Kau pun percaya akan
tuduhan orang-orang persilatan itu
kepadaku? Kau..., kau lebih
mempercayai mereka daripada aku?
Ohhh...!"
Panji terhuyung ke belakang
dengan wajah pucat. Keningnya semakin
berkerut-kerut manahankan guncangan
hebat pada dirinya. Ucapan kekasihnya
itu bagaikan ujung pedang yang
mengiris-iris jantungnya. Bahkan
rasanya lebih baik tubuhnya diiris-
iris ujung pedang daripada harus
mendengar tuduhan itu.
"Hm.... Pada mulanya aku memang
tidak mempercayai berita yang tersebar
di kalangan persilatan itu. Karena,
aku mengenal betul siapa dirimu. Dan
rasanya keyakinanku itu tidak akan
berubah apabila tidak memergoki
perbuatanmu yang keji itu. Jangan
coba-coba membodohi aku, Pendekar Naga
Putih. Karena aku telah memergokimu
ketika kau baru saja melakukan
perampokan, pembunuhan, dan sekaligus
menodai seorang gadis anak keluarga
kaya di Desa Tirtasana. Aku tahu, kau
pasti telah melupakannya. Atau memang
sengaja berpura-pura lupa agar aku
mempercayaimu," ucap gadis itu sambil
menyusut air matanya yang mulai jatuh
dan bergulir di pipinya yang halus
itu. Kenanga segera menarik napas
untuk melonggarkan rongga dadanya yang
terasa sesak.
'Tidak mungkin...! Kau pasti
keliru, Kenanga! Aku... aku tidak
pernah melakukan apa-apa! Sungguh!"
bantah Panji.
Suara Pendekar Naga Putih
terdengar semakin lemah dan serak.
Kedua kakinya tampak gemetar.
Sepertinya ia tidak mampu lagi untuk
menahan bobot tubuhnya. Terlihat
pemuda tampan itu menyeringai menahan
sakit sambil meremas-remas dadanya.
"Kau bilang aku keliru? Huh!
Siapa lagi di dunia ini yang memiliki
ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?
Siapa lagi di dunia ini yang tubuhnya
dapat mengeluarkan sinar putih
keperakan? Dan siapa tokoh sakti di
dunia ini yang masih muda dan tampan
yang memiliki ilmu pukulan berhawa
sedingin salju?" desah Kenanga.
Suara gadis itu semakin lama
semakin tinggi. Bahkan pada akhir
kalimatnya, gadis itu berteriak
sekeras-kerasnya. Rupanya bukan hanya
Panji saja yang menerima guncangan
batin yang hebat Sepertinya gadis
jelita itu juga tidak terlepas dari
pukulan yang mendera batinnya.
"Tidak mungkin, Kenanga...! Tidak
mungkin..! Oh, Tuhan.... Dosa apa yang
telah hamba perhuat, sehingga begitu
kuat cobaan yang Kau berikan...?!"
desah Panji dengan suara yang semakin
serak dan lemah.
Pemuda itu berdiri bergoyang-
goyang bagai orang mabuk. Sepasang
matanya yang selalu menyorotkan sinar
tajam, kini nampak sayu.
"Jangan sebut-sebut nama Tuhan!
Kesalahanmu sungguh besar, Pendekar
Naga Putih. Dan kini kau masih juga
berusaha menyangkal! Padahal kita
sempat bertanding selama beberapa
jurus. Dan sebelum melarikan diri, kau
berkata agar aku segera melupakanmu
dan tidak usah mencari-carimu lagi?!
Apakah kau pun telah lupa dengan
ucapanmu itu?!" bentak Kenanga semakin
keras.
Meskipun wajah gadis itu sama
pucatnya dengan wajah Panji, namun
Kenanga tampak lebih bisa menguasai
dirinya. Itu bukan berarti dia lebih
tegar. Tapi karena gadis itu sudah
pasrah kepada nasib yang menimpa
dirinya.
"Oh, Tuhan...," Panji mengeluh
sambil menekap wajahnya.
Jari-jari tangan Pendekar Naga
Putih tampak gemetar ketika mengusap
wajahnya. Namun debaran dalam dadanya
sudah tidak lagi sehebat tadi.
Pendekar Naga Putih mulai bisa
menenangkan gejolak hatinya.
"Baiklah. Kalau kau memang sudah
tidak mempercayaiku lagi, terserah.
Aku pasrah. Namun aku bersumpah, bahwa
aku sama sekali tidak melakukan hal-
hal seperti yang kau tuduhkan itu.
Biarlah kalau memang sudah begin!
suratan nasibku, aku pasrah, Kenanga,"
kata Panji.
Suara Pendekar Naga Putih kini
lebih tenang meskipun masih tetap
bergetar, penuh perasaan kasih. Sambil
mencoba menguatkan hatinya, Panji me-
langkah mendekati kekasihnya.
"Diam di tempatmu! Kalau kau
masih juga melangkah, maka terpaksa
kau akan kubunuh, Pendekar Naga
Putih!" bentak Kenanga sambil
menodongkan ujung pedang yang
mengeluarkan sinar keperakan ke tubuh
Panji. Rupanya gadis itu masih juga
mencurigainya. Meskipun saat itu Panji
telah benar-benar pasrah.
"Aku bersumpah tidak pernah
melakukan perbuatan-perbuatan keji
itu, Kenanga. Percayalah kalau orang
yang pernah bertarung denganmu itu
bukanlah aku!" tegas Panji yang telah
mendapatkan kembali ketenangan
dirinya. Semua itu didapatkan setelah
kepasrahan dalam dirinya timbul.
Meskipun ia tetap tidak mengakui
segala apa yang telah dituduhkan
kepada dirinya itu.
"Hm.... Kalau memang kau masih
juga tidak mengakui segala perbuatan
biadabmu itu, marilah kita bertarung!
Meskipun aku harus kehilangan orang
yang paling kucintai. Ini terpaksa
kulakukan demi menegakkan keadilan!"
tegas Kenanga yang segera melintangkan
pedangnya, siap menghadapi pertarungan
mati-matian.
'Tidak! Aku tidak akan melawanmu,
Kenanga! Kalau kau memang ingin
membunuhku, silakan! Dan aku akan
ikhlas menerimanya," jawab Panji
pasrah.
Memang jelas, bagaimana mungkin
Pendekar Naga Putih akan melakukan
pertarungan dengan kekasihnya. Dan
Panji tahu betul kalau gadis jelita
itu tidak akan berani membunuhnya.
Melihat Pendekar Naga Putih
tampak berdiri pasrah, Kenanga
membanting-banting kaki kanannya
karena kesal. Hatinya bergetar
menerima tatapan lembut yang
menyiratkan perasaan kasih yang dalam
di hati pemuda itu. Hingga untuk
beberapa saat lamanya, Kenanga hanya
dapat memandang bingung.
"Lawanlah aku, Pendekar Naga
Putih! Apakah kau telah berubah
menjadi seorang pengecut?!" teriak
Kenanga yang menjadi gemas melihat
sikap yang ditunjukkan pemuda itu.
Panji hanya tersenyum getir
melihat keadaan gadis yang
dicintainya. Pemuda itu menggeleng
pelan sebagai tanda kalau tidak bisa
meluluskan permintaan kekasihnya.
"Hm.... Jangan dikira aku tidak
akan berani untuk membunuhmu, Pendekar
Naga Putih? Kalau kau masih juga tidak
akan mencabut senjatamu, terpaksa kau
akan kubunuh!" teriak Kenanga yang
menjadi gusar.
"Aku siap menerima hukuman
darimu, Kenanga," sahut Panji lembut.
Suara Pendekar Naga Putih
bergetar menahan perasaan sakit dan
kecewa. Wajahnya berkerut-kerut
menandakan betapa terpukul hatinya
melihat orang yang dicintainya sudah
tidak mempercayi dirinya lagi.
Melihat kenyataan kalau Panji
masih juga belum mencabut senjatanya,
Kenanga menggertakkan giginya menahan
geram. Biarpun pemuda itu adalah orang
satu-satunya yang dicintainya,
akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk
melenyapkan kebathilan. Gadis itu masa
bodoh apabila kehilangan orang yang
paling dicintainya.
"Kalau itu memang sudah menjadi
keputusanmu, baiklah! Bersiaplah untuk
menerima hukuman, Pendekar Naga
Putih!" ancam Kenanga yang sudah
menggerakkan senjatanya, siap
melenyapkan Pendekar Naga Putih.
***
TUJUH
Wuk! Wuk..!
"Hiaaat...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh
gadis itu pun melesat sambil
menusukkan pedangnya ke dada Panji.
Kenanga menguatkan hatinya yang sempat
bergetar melihat tatapan penuh kasih
yang terpancar di wajah pemuda itu.
Dan getaran di hatinya telah membuat
senjata di tangannya ikut pula
bergetar!
Cappp!
"Akh...!"
Panji mengeluh pendek, menahan
rasa sakit pada perutnya yang
tertembus pedang kekasihnya. Mesk-pun
wajahnya semakin memucat, namun
tatapan penuh kasih itu tetap memancar
di wajahnya.
"Ah...!"
Kenanga menahan jeritannya
melihat darah segar mulai mengucur
membasahi jubah pemuda itu. Bergegas
tubuhnya melompat mundur sambil
mencabut senjatanya dari perut Panji.
Bibir gadis jelita itu bergetar
menahankan perasaan hatinya yang
terguncang.
Kenanga berdiri terpaku melihat
tubuh kekasihnya roboh mandi darah.
Bibir Panji tampak tersenyum memandang
wajah kekasihnya. Akhimya karena tak
sanggup menerima kenyataan, Kenanga
langsung jatuh terduduk di atas
rerumputan. Wajahnya basah oleh air
mata yang mengalir deras menganak
sungai.
"Ohhh..., Kakang. Apa artinya
hidup ini bagiku! Tunggulah aku,
Kakang...."
Sambil berkata demikian, Kenanga
mengangkat pedangnya. Dan kini mata
pedangnya menempel di belahan dadanya.
Sepertinya Kenanga ingin bunuh diri
karena tidak sanggup menahan
penderitaan yang mendera jiwanya.
Dengan kedua tangan gemetar dan
wajah bersim-bah air mata, gadis
jelita itu memejamkan matanya. Pedang
Sinar Rembulan terangkat dan siap
dihunjamkan ke dada yang berisi
kehancuran. Dan ketika ujung pedang
itu hendak ditekan, mendadak...
Trang!
"Akh...!"
Kenanga terpekik kaget ketika
pedangnya yang meluncur turun itu
tiba-tiba terpental. Belum lagi gadis
itu sempat mengetahui apa yang telah
membuat senjatanya teriepas dari
genggaman, tahu-tahu saja di depannya
telah berdiri seorang kakek berusia
sekitar delapan puluh tahun. Ternyata
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi,
kakek itu menjentikkan kerikil dan
tepat memapak pedang Kenanga.
"Cucuku, kematian bukanlah sebuah
penyelesaian," kata kakek itu.
Dihampirinya Kenanga yang telah
bersimbah air mata. Begitu dekat,
dibelainya rambut kepala gadis jelita
itu penuh kasih. Wajah tua itu
berkerut ketika melihat tubuh seorang
pemuda berjubah putih tergeletak
beberapa tombak di depannya.
"Ohhh, Eyang.... Biarkanlah aku
menyusul Kakang Panji. Aku... aku
tidak sanggup untuk menahan
penderitaan ini, Eyang," Kenanga
menangis sesenggukan ketika mengenali
orang yang berdiri di depannya itu.
Kakek itu tak lain adalah Raja Obat.
"Hm.... Rupanya aku terlambat..,"
desah Raja Obat penuh sesal.
"Bangkitlah, Cucuku. Mari kita lihat
keadaan kekasihmu itu."
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkahkan kakinya menghampiri
tubuh Panji yang tergeletak berlumur
darah.
Mendengar ucapan Raja Obat,
Kenanga bangkit merintih pilu. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, gadis
jelita itu segera berlari meninggalkan
tempat itu. Isaknya masih terdengar
mengiringi langkah kakinya.
"Kenanga, tunggu...!" seru Raja
Obat mencoba menahan kepergian gadis
jelita itu.
Dan orang tua itu hanya bisa
menggelengkan kepalanya melihat gadis
itu terus mempercepat larinya
Untuk beberapa saat lamanya, Raja
Obat hanya termangu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Matanya kembali
menatap tubuh yang tergeletak itu.
Setelah agak lama terdiam, kakek
itu pun mengulurkan tangannya
memeriksa keadaan Panji. Senyum lega
membayang di wajah tua itu ketika
merasakan denyut jantung yang
terdengar lemah. Jelas kalau pemuda
itu masih mempunyai harapan hidup.
"Hhh.... Syukurlah, dia masih
bisa diselamatkan," ucap Raja Obat
lega.
Tak lama kemudian, kakek itu
melangkah meninggalkan tempat itu
dengan membawa tubuh Panji yang
ternyata belum tewas.
Kegelapan mulai merangkak
menyelimuti permukaan bumi. Tampaknya
sang malam mulai menampakkan
kekuasaannya. Tak lama kemudian,
rembulan muncul menerangi jagat raya
dengan sinarnya yang temaram.
***
Di sebuah kedai makan, tampak
tiga orang tengah berbincang-bincang
Mereka duduk dekat pintu masuk.
Sementara ada seseorang yang duduk di
pojok. Dia hanya memperhatikan saja.
Sedangkan enam orang lainnya seperti
acuh tak acuh.
"Hm.... Semakin hari sepak
terjang Pendekar Naga Putih semakin
merajalela saja. Sudah terlalu banyak
perbuatan keji yang dilakukannya. Dan
kalau kita belum juga dapat
melenyapkannya, maka akan binasalah
semua manusia di permukaan bumi ini,"
jelas seorang laki-laki bertubuh
sedang, geram. Sepasang matanya tampak
mencorong tajam menandakan kegusaran
hatinya.
"Ya! Sayangnya sampai saat ini
belum ada seorang pun yang sanggup
menghentikan keganasannya. Bahkan kini
yang menjadi korban bukan lagi orang-
orang awam, melainkan para tokoh
golongan putih," timpal seorang laki-
laki berusia setengah baya. Wajahnya
yang gagah itu tampak tertutup
mendung. Berkali-kali kepalanya
digelengkan disertai helaan napas
berat
"Dan tampaknya kita harus
menerima kenyataan pahit ini, Ki. Saat
ini para tokoh golongan hitam bersorak
gembira dan berpesta mengelu-elukan
Pendekar Naga Putih. Tampaknya
pendekar muda yang selama ini diagung-
agungkan tokoh golongan putih telah
berubah haluan. Entah apa yang telah
menyebabkannya?" orang yang lainnya
ikut menimpah dengan suara penuh
penyesalan.
"Apakah Ki Barak sudah berhasil
menghubungi Ki Ageng Mandalewa?" tanya
lelaki bertubuh sedang, yang pertama
kali membuka percakapan. Langsung
ditatapnya laki-laki setengah baya
yang dipanggilnya dengan nama Ki
Barak. Wajahnya yang lelah itu tampak
menyiratkan sebuah harapan.
"Hhh.... Sayang sekali aku tidak
berhasil, Aki Bantar. Menurut
keterangan para muridnya, orang tua
sakti itu sudah setengah bulan lebih
menyembunylkan diri di tempat
pertapaan. Kita baru dapat
menghubunginya pada lima purnama
mendatang. Hhh..., entah siapa lagi
yang harus kita hubungi untuk meminta
bantuan dalam menghadapi keganasan
Pendekar Naga Putih," sahut Ki Barak
berdesah kecewa.
"Yahhh.... Belum lagi kita harus
menghadapi tokoh golongan hitam yang
sepertinya mulai bangkit dan melakukan
kekacauan di mana-mana. Rasanya kali
ini para tokoh golongan putih tengah
menghadapi ujian berat," ujar orang
lainnya yang bertubuh gemuk dan
berkepala botak.
Tanpa sepengetahuan ketiga orang
yang tengah berbincang itu, seorang
laki-laki bertubuh sedang dan berusia
sekitar enam puluh tahun lebih tampak
ikut memasang telinganya. Sesekali
terdengar helaan napasnya yang berat.
Sepertinya dia juga tengah merasakan
apa yang dirasakan orang-orang yang
tengah berbicara itu. Kakek itu duduk
tenang di pojok kedai sambil mencicipi
hidangan di atas meja.
Saat itu suasana kedai memang
tidak terlalu ramai. Hanya ada enam
orang lagi, selain si kakek dan ketiga
orang yang tengah berbincang itu.
Untuk beberapa saat lamanya suasana
menjadi hening ketika ketiga orang
laki-laki yang semula berbincang itu
tampak berhenti dan menikmati
makanannya.
Kakek yang duduk pada meja yang
terdapat di sudut, tampak bergerak
bangkit dari bangkunya. Kemudian,
kakinya melangkah tertatih-tatih
mendekati meja ketiga orang yang
tengah menikmati hidangannya. Wajahnya
yang mulai berkeriput itu tampak pu-
cat, seolah-olah tengah mengalami
penderitaan yang berkepanjangan.
Setelah terbatuk-batuk kecil, kakek
itu menyapa Ki Barak dan dua orang
kawannya.
"Ohhh.... Maaf, Kisanak. Bolehkah
aku bergabung dengan kalian? Rasanya
tidak enak sekali kalau harus
menikmati hidangan tanpa seorang pun
teman yang dapat diajak bicara," pinta
kakek itu dengan suara lembut dan
sopan. Sepasang matanya yang menghitam
pada bagian bawahnya tampak menatap
penuh harap.
Ki Barak, Bantar, dan kawannya
yang seorang lagi sama-sama menatap ke
arah wajah yang ditumbuhi kumis dan
jenggot memutih itu.
"Oh, mari, mari, Ki. Silakan,"
sahut Ki Barak yang merupakan orang
tertua di antara ketiga orang itu.
Kemudian, laki-laki setengah baya
itu segera menarik kursi yang memang
tinggal sebuah itu. Memang dalam satu
meja, terdapat empat buah kursi.
"Ah, apakah aku tidak
mengganggu?" tanya kakek itu yang
sepertinya masih ragu, sehingga masih
saja berdiri di tempatnya.
Dipandanginya wajah ketiga orang
itu satu persatu, seolah-olah ingin
memastikan kalau ketiga orang itu
benar-benar tidak merasa keberatan
dengan keberadaannya. Setelah melihat
ketiganya mengangguk ramah, maka tanpa
rasa ragu lagi segera diambilnya kursi
yang telah diperuntukkan baginya.
Ki Barak bergegas menggapai
seorang pelayan dan minta agar
hidangan untuk mejanya ditambah. Hal
ini dimaksudkan kalau dia sama sekali
tidak merasa keberatan.
"Ah! Aku telah membuat kalian
repot," desah kakek itu yang menjadi
risih karena mendapat perlakuan yang
demikian ramah dari lelaki setengah
baya itu.
"Janganlah merasa sungkan,
Kisanak. Anggaplah kami ini sebagai
sahabat lama yang baru bertemu
kembali," Ki Bantar menyahut sambil
memperdengarkan tawanya yang lunak dan
menunjukkan kegembiraan yang tidak
dibuat-buat
'Terima kasih.... Terima kasih.
Kalian benar-benar orang-orang baik
Ah, beruntung sekali aku dapat
berkenalan dengan kalian," ucap kakek
itu lagi sambil melepaskan senyumnya.
Untuk beberapa saat lama-nya wajah-
wajah yang tertutup mendung tebal itu
tampak berseri gembira.
"Boleh kami tahu, siapakah
namamu?" tanya Ki Barak sesudah
memperkenalkan namanya dan nama kedua
orang temannya.
Meskipun tampaknya penyakitan dan
lemah, namun Ki Barak dapat menduga
kalau kakek itu bukanlah orang
sembarangan. Memang, dari sinar mata
yang sayu itu terkadang berkilat tajam
dan mengandung perbawa kuat. Diam-diam
Ki Barak memperhatikan wajah kakek itu
dengan seksama kalau-kalau saja
mengenal kakek itu.
"Namaku Ki Tungkil. Kedatanganku
ke desa ini semula hendak mengunjungi
cucuku. Aku memang sudah lama tidak
pernah mengunjunginya. Tapi sayang
kedatanganku terlambat. Sebab, cucuku
itu ternyata telah pindah beberapa
hari yang lalu. Maka aku pun singgah
di kedai ini untuk mengisi perutku
yang dari kemarin belum dimasuki apa-
apa," jelas kakek yang mengaku bernama
Ki Tungkil itu pelan. Di akhir
ucapannya, Ki Tungkil tertawa
terkekeh.
"Ah, sayang sekali! Apakah para
tetangganya tidak memberi tahu, ke
mana cucu Ki Tungkil itu pindah?"
tanya Ki Barak sekadar berbasa-basi.
Dan sebagai orang yang berpengalaman,
Ki Barak bisa menduga kalau kakek itu
menyembunyikan sesuatu.
"Sayang sekali tidak, Kisanak
Tapi biarlah. Karena, aku yakin ia
akan mengunjungiku setelah
kepindahannya selesai," sahut Ki
Tungkil menghela napas sejenak.
Pembicaraan mereka mendadak
terhenti ketika pelayan kedai datang
membawa pesanan. Sambil tertawa ramah,
laki-laki setengah baya itu segera
mempersilakan untuk segera menikmati
hidangan yang masih mengepul dan
menebarkan bau harum Itu.
"Ayolah, Selagi masih hangat,"
ajak Ki Barak yang tanpa ragu-ragu
lagi segera menyantap hidangannya.
Suasana pun kembali sunyi. Yang
terdengar hanya kunyahan mulut mereka.
"Maaf," selak Ki Tungkil setelah
mereka menyantap hidangan. 'Tadi aku
mendengar kalian membicarakan Pendekar
Naga Putih. Sepertinya aku sering
mendengar nama itu disebut-sebut orang
di desa tempat tinggalku. Bisakah
Kisanak menerangkan kepadaku, siapa
sebenarnya orang itu? Dan bagaimana
rupanya?" tanya Ki Tungkil sambil
menatap Ki Barak lembut.
Mendengar pertanyaan itu, Ki
Barak dan kedua orang temannya saling
berpandangan sejenak. Dugaan laki-laki
setengah baya itu semakin kuat kalau
kakek itu bukanlah orang biasa,
seperti orang kebanyakan. Dan sudah
bisa diraba sebelumnya, apa maksud
kakek itu bergabung dengan mereka.
Yang jelas pasti bukan hanya untuk
mencari teman untuk berbicara. Dan
tentu saja ada maksud lain yang
disembunyikan.
"Maaf. Sebelum aku menjawab
pertanyaan itu, bolehkah aku yang
rendah ini mengetahui nama besarmu, Ki
Tungkil?" tanya Ki Barak hati-hati,
karena tidak ingin kalau kakek itu
sampai tersinggung.
"He he he...!" kakek itu tertawa
sambil menutup mulutnya dengan telapak
tangan. Sepertinya Ki Tungkil merasa
geli mendengar pertanyaan Ki Barak
yang terdengar aneh di telinganya itu.
Tentu saja Ki Barak dan kedua
orang kawannya saling berpandangan tak
mengerti. Mereka merasa heran melihat
kakek itu tertawa mendengar pertanyaan
Ki Barak tadi. Karena, mereka sama
sekali tidak menemukan sesuatu yang
lucu dalam pertanyaan itu.
"Mengapa Ki Tungkil tertawa?
Apakah ada sesuatu yang lucu dalam
pertanyaanku tadi?" tanya Ki Barak
dengan kening berkerut. Hatinya agak
tersinggung juga melihat Ki Tungkil
tertawa.
"He he he.... Maaf kalau suara
tawaku telah membuatmu tersinggung,
Kisanak. Tapi aku benar-benar merasa
geli mendengarnya. Sebab, aku hanyalah
orang biasa yang tidak mempunyai
kepandaian apa-apa. Jadi, tentu saja
aku merasa lucu mendengar pertanyaan
itu," jawab Ki Tungkil yang masih saja
terkekeh sambil menyembunyikan
mulutnya karena terrutup telapak
tangan.
"Hm.... Maaf, Ki Tungkil.
Meskipun aku bukanlah seorang pendekar
besar, tapi tidak bisa tertipu. Dan
aku bisa melihat bahwa kau pastilah
memiliki ilmu silat. Buktinya tubuhmu
terlihat masih segar dan berisi. Dan
juga sinar matamu terkadang
mengeluarkan kilatan tajam. Itulah
yang membuatku yakin kalau Ki Tungkil
tentu bukan sekadar memiliki ilmu
silat. Bahkan mungkin juga seorang
pendekar yang berusaha menyembunyikan
diri. Apakah kau juga ingin mencari
Pendekar Naga Putih?" tanpa ragu-ragu
lagi Ki Barak pun langsung menyudutkan
Ki Tungkil.
Ki Tungkil tersentak juga
mendengar uraian Ki Barak yang
memiliki pandangan cukup tajam Itu.
Untuk beberapa saat lamanya, dia hanya
terdiam sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya dan menggaruk rambutnya
meskipun sama sekali tidak gatal.
'Teryata pandanganmu sangat
tajam, Ki Barak. Tapi, memang.
Sebenarnya aku tidak memiliki nama
besar seperti yang kau duga itu. Aku
memang pernah mempelajari ilmu silat,
namun hanya untuk menjaga kesehatan
tubuhku saja dan tidak ada maksud-
maksud tertentu. Maaf kalau aku
mengecewakanmu, Kisanak," kilah Ki
Tungkil dengan wajah penuh sesal.
"Yah. Kalau memang begitu,
sudahlah. Eh, masihkah Ki Tungkil
menginginkan keterangan tentang Pen-
dekar Naga Putih?" tanya Ki Barak
mencoba menghilangkan suasana kaku di
antara mereka.
Tawa Ki Barak pun sudah terdengar
kembali meskipun agak sedikit sumbang.
Tapi jelas sekali kalau lelaki
setengah baya itu berusaha
menghilangkan kekakuan yang
menyelimuti mereka.
“Tentu saja, kalau kau tidak
merasa keberatan," sahut Ki Tungkil
cepat sambil terkekeh nyaring.
"Sama sekali tidak, Ki. Justru
aku minta maaf kalau keteranganku ini
hanya serba sedikit. Kuakui, aku pun
belum pernah berjumpa dengan pendekar
muda yang kini tengah ramai
dibicarakan orang rimba persilatan,"
ujar Ki Barak sebelum memulai
ceritanya.
"Hm. Mengapa begitu? Apa yang
telah. dilakukannya?" tanya Ki Tungkil
seraya mengerutkan keningnya.
Sepertinya kabar yang menggemparkan
itu memang belum pemah didengarnya.
"Yah, karena pendekar muda yang
selama ini dipuja tokoh golongan putih
itu, telah berubah menjadi seorang
penjahat yang sangat kejam! Kejahatan
yang dilakukannya benar-benar telah
melewati takaran! Makanya, ia kini
dikenal sebagai seorang perampok,
pembunuh, dan sekaligus pemerkosa.
Kebanyakan dari gadis yang dinodainya
karena terpikat oleh ketampanan
Pendekar Naga Putih! Dan ia tidak
segan-segan membunuh gadis itu setelah
terlebih dahulu dinodainya. Memang ada
beberapa di antaranya yang dilepaskan
begitu saja. Tapi, apa bedanya hidup
dan mati bagi seorang gadis yang telah
kehilangan kehormatannya?" Ki Barak
menghentikan ceritanya sejenak.
Diteguknya sisa air di gelasnya yang
terbuat dari potongan bambu itu.
***
DELAPAN
Sesosok tubuh ramping melangkah
tersuruk-suruk menyusuri jalan
berbatu. Sesekali terdengar keluhan
lirih disertai isak tangisnya yang
memilukan. Wajah yang sebenarnya
cantik jelita itu nampak kotor tak
terurus. Sebentar-sebentar air matanya
disusut dengan punggung tangan.
Sepertinya dia tengah mengalami suatu
penderitaan yang sangat berat, hingga
tidak lagi mempedulikan keadaan
dirinya.
Siapa lagi gadis cantik yang
mengenakan pakaian serba hijau itu
kalau bukan Kenanga. Pedang Sinar
Rembulan masih tergenggam di
tangannya. Pada ujung mata pedang itu
masih terdapat darah yang telah
mengering. Dan gadis itu sama sekali
tidak berusaha membersihkan ujung
pedangnya yang ternoda itu. Tampaknya
hatinya merasa terpukul setelah mem-
bunuh Panji. Bahkan ia memutuskan
untuk menghabisi nyawanya sendiri pada
waktu itu. Untunglah Raja Obat keburu
datang mencegahnya. Kalau tidak,
mungkin saat itu ia sudah menyusul
kekasihnya.
"Oh, Kakang...," keluh gadis
jelita itu dengan hati hancur.
Kembali butiran air bening
mengalir turun membasahi wajahnya yang
tampak pucat dan agak kurus itu.
Tubuhnya melangkah limbung begitu
teringat akan Panji yang telah
dibunuhnya. Meskipun Kenanga berusaha
mengeraskan hatinya, namun tetap saja
tidak mampu menghibur hatinya yang
terguncang.
Gadis jelita itu terus berjalan
mengikuti langkah kakinya. Sepertinya
dia sudah tidak mempunyai tujuan lagi,
dan hanya membiarkan langkah kaki yang
akan membawa tubuhnya.
"Oh...?!"
Kenanga menahan jeritan dengan
menutupkan telapak tangan ke mulutnya.
Tubuhnya bergetar hebat ketika melihat
sosok tubuh terpampang di depannya.
Sepasang matanya yang semula sayu tak
bergairah, tiba-tiba terbelalak bagai
orang melihat hantu di siang bolong!
"Oh, tidaaak..!"
Gadis jelita itu mengerjap-
ngerjapkan matanya, seolah-olah ingin
mengusir bayangan yang dianggapnya
semu itu. Kepalanya menggeleng-geleng
diiringi keluhan menyayat. Tubuhnya
bergerak mundur terhuyung-huyung.
Sepertinya, penderitaan tak kunjung
lenyap dari kehidupannya.
"Kenanga...."
Sosok tubuh berjubah putih yang
membuat gadis itu terbelalak menyapa
dengan suara lembut dan bergetar.
Rupanya dialah yang telah kembali
mengguncangkan hati Kenanga.
Akibatnya, wajahnya sampai berkerut-
kerut menahankan perasaan hati yang
teraduk-aduk.
"Tidak mungkin...! Kau..., kau
sudah mati..!" Akhimya suara itu
meluncur juga dari bibir mungil yang
pucat itu. Jari-jari gadis itu gemetar
ketika mengarahkan telunjuknya ke
wajah sosok berjubah putih yang tak
lain adalah Panji.
"Mengapa, Kenanga...?" tanya
pemuda tampan berjubah putih itu agak
heran melihat sikap Kenanga. "Mengapa
kau bilang aku sudah mati?"
"Bukankah kau.... Kau telah
kubunuh di dalam hutan beberapa hari
yang lalu? Jadi... jadi tidak mungkin
kalau hidup lagi. Tidak mungkin!"
Kenanga berteriak keras sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya karena
tidak mempercayai apa yang dilihatnya
itu.
Pendekar Naga Putih tampak
tertegun sesaat ketika mendengar
ucapan gadis jelita itu Tapi sesaat
kemudian, senyumnya pun kembali
menghiasi wajahnya yang tampan itu.
"Hm.... Jadi kau telah berhasil
membunuh manusia keparat yang telah
mencemari namaku, Kenanga? Bagaimana
kau bisa menemukan manusia iblis itu?
Apakah ia benar-benar sudah tewas?''
pertanyaan itu meluncur begitu saja
dari mulut Pendekar Naga i Putih.
Wajah tampan itu mendadak berseri
gembira. Langsung kakinya melangkah
menghampiri gadis jelita itu
"Membunuhnya...? Apa... apa
maksudmu, Kakang?" tanya Kenanga yang
menjadi terkejut ketika mendengar
kata-kata pemuda tampan berjubah putih
itu.
"Ya. Orang yang telah kau bunuh
itu adalah Pendekar Naga Putih palsu
yang telah melakukan perbuatan-
perbuatan keji. Selamat, Kenanga,
"sahut Panji semakin mendekati Kenanga
sambil mengulurkan tangannya.
'Pendekar Naga Putih palsu?
Benarkah itu? Tapi, mengapa demikian
mirip? Tidak! Tidak mungkin!" desah
Kenanga seperti berkata kepada dirinya
sendiri.
Sejenak kemudian, Kenanga
memijat-mijat kepalanya yang terasa
berdenyut-denyut. Rasanya pusing
sekali memikirkan hal yang sepertinya
tidak masuk akal itu. Apalagi saat ini
kondisinya memang sangat lemah dan
tidak memungkinkan untuk berpikir
keras.
"Mengapa tidak mungkin, Kenanga.
Aku sudah pemah berjumpa sekali
dengannya. Tapi sayang, ia berhasil
meloloskan diri. Selain ilmu silatnya
tinggi, ternyata manusia keparat itu
pun memiliki ilmu sihir yang hebat!
Dan dengan mengandalkan kehebatan ilmu
sihirnya, tokoh-tokoh persilatan
berhasil dikelabuinya. Dan kini,
akulah yang terkena getahnya. Kau
mengerti, Kenanga?" jelas Panji secara
panjang lebar kepada Kenanga.
Sementara langkahnya semakin mendekati
Kenanga.
"Jadi... jadi..., ohhh!" Kenanga
tak mampu menruskan kata-katanya.
Rupanya karena kelelahan yang
amat sangat, gadis itu jadi tidak kuat
hatinya menghadapi pertemuan yang
mengejutkan. Tubuh Kenanga yang kini
tampak kurus itu melorot jatuh di atas
tanah berbatu. Pingsan!
***
"Kenanga...!"
Panji segera melompat hendak
menangkap tubuh gadis itu agar tidak
terjatuh di atas tanah berbatu. Belum
lagi tubuh Pendekar Naga Putih sampai
ke tempat Kenanga, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat cepat. Maka
Pendekar Naga Putih cepat-cepat
menarik pulang tangannya.
"Jangan sentuh gadis itu...!"
bentak bayangan itu, langsung
mendorongkan telapak tangannya ke dada
Pendekar Naga Putih.
Bergegas Pendekar Naga Putih
melempar tubuhnya ke belakang dan
berjumpalitan beberapa kali di udara.
Maka telapak tangan bayangan itu hanya
lewat di depannya, sehingga
menimbulkan angin mencicit tajam.
"Siapa kau! Mengapa mencampuri.
urusanku!" bentak Pendekar Naga Putih
geram. Seluruh wajahnya tampak memerah
karena menahan kemarahan yang meluap.
"Hm! Apakah kau sudah pikun,
Pendekar Naga Putih? Bukankah kita
pemah bertemu beberapa waktu yang
lalu? Dan aku juga telah berjanji akan
mengejarmu walau sampai ke ujung
langit sekalipun!" tegas si kakek yang
mengenakan pakaian serba putih itu
seraya tersenyum lembut. Ia tak lain
adalah Eyang Sancaka, Ketua Perguruan
Garuda Putih. Dan memang pemah
bertempur dengan Panji. Waktu itu,
Eyang Sancaka ditemani dua orang
muridnya yang juga ikut mengeroyok
Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Jangan berpura-pura
bodoh, Pendekar Murtad!" bentak salah
seorang dari murid Perguruan Garuda
Putih yang juga telah berada di tempat
itu.
"Dan hari ini kau tidak mungkin
akan lolos lagi, Manusia Bejat!"
timpal salah seorang murid utama kakek
berpakaian putih yang bernama Banawa.
"He he he...! Jangan takut,
Pendekar Naga Putih. Kami datang
membantu!" terdengar tawa terkekeh
sember yang cukup mengejutkan. Belum
lagi gema suara itu lenyap, tahu-tahu
sesosok tubuh jangkung telah berdiri
di tempat itu. Ternyata dia adalah
Setan Langit
"Ha ha ha...! Aku pun ikut,
Kakang...!" kembali terdengar suara
tawa yang menyakitkan anak telinga.
Suara tawa itu tadi dibarengi pula
dengan menggelindingnya sebuah benda
bulat yang mirip bola. Dia lebih
dikenal dengan julukan Setan Bumi.
Tujuh orang tokoh Perguruan
Garuda Putih yang berdiri dekat dengan
benda yang menggelinding itu cepat
berloncatan menghindar. Wajah mereka
nampak terkejut melihatnya. Belum lagi
rasa kaget mereka hilang, tiba-tiba
benda itu melambung setinggi satu
tombak
"Ha ha ha...!"
Kembali tokoh Perguruan Garuda
Putih itu berlompatan sambil mencabut
senjata masing-masing. Rasanya jantung
mereka hampir copot ketika tahu-tahu
saja sesosok tubuh gemuk pendek
mengejutkan mereka dengan suara
melengking
"Kaget, ya?" ledek sosok tubuh
yang berwajah bulat seperti wajah
kanak-kanak itu.
"Setan Langit dan Setan Bumi...!"
seru Eyang Sancaka yang mengenakan
pakaian serba putih, terkejut.
Dari nada suara laki-laki tua itu
jelas sekali kalau dia merasa khawatir
dengan kehadiran kedua orang aneh yang
sake itu.
"Hm.... Pantas saja kau begitu
tega menyebar maut, Pendekar Naga
Putih? Kiranya kau berteman dengan dua
setan tak tahu adat itu!" kata Eyang
Sancaka lagi. Nada suaranya terdengar
sinis.
"He he he.... Bagus kau masih
mengenaliku, Sancaka. Tanganku jadi
semakin gatal saja melihat
keberadaanmu di tempat ini!" kata
Setan Langit yang bertubuh tinggi
kurus.
Bahkan Eyang Sancaka sampai
mendongakkan kepalanya ketika
memandang wajah Setan Langit yang satu
setengah kali lebih tinggi darinya
itu.
Wajah Eyang Sancaka tampak cemas
dengan adanya kedua orang itu. Karena,
ia tahu betul akan kehebatan kedua
orang manusia telengas itu. Dan di
antara para tokoh yang terdapat di
situ, hanya dialah yang mampu
mengimbangi kesaktian kedua orang itu.
Tentu saja hal ini membuatnya
khawatir!
"He he he.... Pendekar Naga Putih
palsu, si manusia bejat! Hari ini
Malaikat Maut akan menjemputmu!"
Tiba-tiba terdengar suara
menggema yang memenuhi sekitar tempat
itu. Dan sebelum suara itu lenyap,
terlihat seorang kakek kakek bertubuh
sedang, berlari menuju ke tempat para
tokoh rimba persilatan itu. Di
belakangnya tampak Ki Barak dan dua
orang kawannya. Siapa lagi kakek itu
kalau bukan Ki Tungkil.
"Pendekar Naga Putih palsu...?"
Suara merdu yang parau itu keluar
dari mulut Kenanga yang rupanya sudah
mulai tersadar dari pingsannya. Dan
gadis jelita itu kembali mengernyitkan
kening, karena nama Pendekar Naga
Putih palsu kembali terdengar disebut-
sebut untuk yang kedua kalinya.
"Apa maksudmu dengan ucapan itu,
Kakek Tua?" tanya salah seorang murid
Perguruan Garuda Putih yang menjadi
terkejut mendengarnya.
"Hm.... Dapatkah kau
membuktikannya, Kisanak?" tanya Ketua
Perguruan Garuda Putih yang juga tidak
kalah heran.
"Hm..., Nisanak Tahukah kau,
senjata apa yang dimiliki Pendekar
Naga Putih yang asli? Dan apakah
senjata itu ada pada orang yang
mengaku sebagai Pendekar Naga Putih?"
tanya Ki Tungkil kepada Kenanga sambil
menunjuk ke arah pemuda tampan ber-
jubah putih itu.
"Oh! Mengapa aku baru teringat
sekarang!" keluh Kenanga pelan. "Ya,
aku ingat sekarang! Kakang Panji,
tunjukkan senjatamu kepadaku?"
Pemuda tampan berjubah putih itu
menjadi terkejut. Jelas sekali kalau
ia agak bingung mendengar permintaan
gadis itu. Dengan gerakan ragu-ragu,
akhimya pemuda itu pun mengeluarkan
pedangnya yang tergantung di pinggang.
"Hm.... Inilah senjataku,
Kenanga!" sahut Pendekar Naga Putih
sambil berusaha menenangkan
perasaannya yang berdebar tegang.
"Kau... kau bukan Kakang Panji!
Ohhh...!"
Gadis jelita itu menjerit tatkala
mengingat perbuatannya yang telah
membunuh Pendekar Naga Putih asli di
sebuah hutan pada beberapa hari yang
lalu.
"He he he.... Kau salah, Manusia
Keji. Inilah senjata Pendekar Naga
Putih kalau kau ingin tahu!" seru Ki
Tungkil.
Laki-laki tua itu kemudian
mengeluarkan sebatang pedang yang
tergantung di punggungnya. Selama ini,
rupanya kakek itu menyembunyikannya di
balik jubah, sehingga tidak begitu
terlihat orang lain.
"Pedang Naga Langit...!"
Seruan kaget dan kagum itu keluar
dari mulut tokoh-tokoh tua seperti
Eyang Sancaka, Setan Langit, dan Setan
Bumi. Karena hanya merekalah yang
pernah mendengar riwayat dan
keberadaan pedang mukjizat itu.
"Aku menemukan senjata ini di
sebuah hutan lebat di samping mayat
pendekar muda itu," lanjut kakek itu
menerangkan.
***
SEMBILAN
"Ohhh...!"
Kenanga kembali mengeluh ketika
mendengar ucapan terakhir kakek itu.
Gadis itu benar-benar merasa berdosa
kepada kekasihnya.
"Keparat kau, Manusia Keji!
Terimalah balasanku!" bentak gadis
jelita itu yang segera memutar
pedangnya kuat-kuat
"Nisanak, tahan! Biar aku yang
menghadapinya!" cegah Ki Tungkil yang
segera melompat ke arah pemuda
berjubah putih itu. Sepasang mata
kakek itu mencorong tajam
menggiriskan.
"Ha ha ha.... Jangan kalian kira
akan begitu mudah menangkapku! Nah!
Kalian bisa lihat baik-baik! Seekor
naga berkepala tiga akan segera
menelan kalian semua hidup-hidup!"
ancam pemuda berjubah putih itu.
Suaranya terdengar demikian keras dan
menggetarkan hati para tokoh
persilatan yang berada di tempat itu.
"Ahk...!"
Ki Tungkil, Kenanga, Eyang
Sancaka dan para tokoh persilatan
lainnya berteriak kaget dengan mata
membelalak: Tanpa sadar kaki mereka
bergerak mundur ketika menyaksikan
pemandangan yang tak masuk akal.
"Ilmu iblis...!"
"Ilmu sihir...!"
Terdengar teriakan-teriakan parau
dan bergetar. Dan memang, apa yang
diucapkan pemuda tampan itu benar-
benar menjadi kenyataan! Segumpal asap
hitam bergulung-gulung keluar dari
tangan pemuda itu, kemudian membentuk
seekor naga berkepala tiga!
"Graaaurrr...!"
Naga berkepala tiga itu meraung
keras sambil bergerak siap menelan
tubuh mereka hidup-hidup!
"Huh! Jangan kira aku takut
dengan pertunjukan murahan itu, Pemuda
Biadab! Lihatlah!"
Setelah berkata demikian, Ki
Tungkil segera mencabut keluar pedang
dari sarungnya.
Sringngng!
Sinar kuning keemasan berpendar
dari badan Pedang Naga Langit yang
telah keluar dari sarungnya.
"Heaaat..!"
Ki Tungkil segera melompat sambil
menyabetkan pedangnya ke arah naga
berkepala tiga. Sinar keemasan itu
terlihat semakin melebar ketika pedang
itu digerakkan.
Wusss...!
Blarrr!
Terdengar ledakan keras yang
mengguncangkan tanah di sekitar tempat
itu! Naga berkepalatiga ciptaan
Pendekar Naga Putih palsu itu langsung
lenyap begitu sinar kuning keemasan
yang memancar dari Pedang Naga Langit
membabat kepalanya.
"Aaahk...!"
Bersamaan dengan ledakan dan
lenyapnya wujud naga itu, terdengar
jerit kesakitan yang keluar dari mulut
Pendekar Naga Putih palsu. Tubuhnya
terjajar mundur ke belakang. Memang,
dengan lenyapnya ilmu sihir ciptaannya
itu, maka tenaga sihimya dengan
sendirinya membalik dan memukul
tubuhnya.
"Bangsat kau, Kakek Tua! Siapa
kau sebenarnya?!" bentak Pendekar Naga
Putih palsu sambil bergerak bangkit
karena tadi dia sempat terjatuh. Di
sudut bibimya tampak cairan merah
menetes. Sepertinya pemuda itu
mengalami luka dalam akibat ilmu
sihimya telah dipatahkan kakek itu.
"He he he.... Ilmu sihirmu memang
dapat kau pergunakan untuk mengelabui
orang lain. Tapi tidak berlaku
untukku. Dan aku pun akan
mengembalikan ke ujud asalmu yang kini
masih menyamar sebagai Pendekar Naga
Putih!" ancam Ki Tungkil yang sudah
bersiap melancarkan serangan berikut.
"Bedebah! Kubunuh kau, Kakek
Peot!" teriak pemuda tampan itu
Setelah berteriak keras, tubuh
pemuda itu pun melompat disertai
sabetan pedangnya. Rupanya ia sudah
tidak berniat lagi menggunakan ilmu
sihimya, karena hal itu akan percuma
saja. Sebab, kakek itu pasti akan
memunahkannya dengan menggunakan
pedang mukjizat yang tergenggam di
tangannya itu. Satu-satunya jalan
ialah pedang itu hams dapat direbut
dari tangan si kakek.
"Haaat...!"
Ki Tungkil berseru nyaring.
Tubuhnya melesat menyambut serangan
pemuda itu. Sesaat kemudian, keduanya
sudah bertarung sengit. Dua gulungan
sinar putih dan kuning saling libat
dan saling mengalahkan! Sedangkan
tubuh kedua orang yang tengah
bertarung itu sudah tidak tampak lagi.
Yang terlihat kini hanya bayangan
samar berkelebatan saling desak!
Jurus demi jurus terus berlalu.
Kedua orang itu berusaha keras untuk
segera menjatuhkan satu sama lain
secepatnya. Ilmu-ilmu andalan masing-
masing telah keluar untuk mencapai
kemenangan. Namun sampai sedemikian
jauh, keduanya tampak masih tetap
seimbang.
***
Sementara itu, pertarungan yang
lain pun sudah pula berlangsung. Eyang
Sancaka berhadapan dengan Setan
Langit. Nampaknya kakek itu menemukan
lawan yang seimbang. Buktinya,
keduanya terlihat sama-sama gesit. Dan
pukulan-pukulan mereka juga sama-sama
menimbulkan deruan angin tajam. Dan
memang pertarungan dua orang tokoh
yang berbeda golongan itu tidak kalah
serunya dibanding pertarungan Ki
Tungkil dengan Pendekar Naga Putih
palsu.
Sedangkan Setan Bumi dikeroyok
Kenanga, Ki Barak, Banawa dan Panjala,
sehingga menjadi kewalahan juga.
Apalagi keempat orang pengeroyok itu
bukanlah tokoh sembarangan. Terutama
gadis jelita berpakaian serba hijau
itu. Serangan-serangannya demikian
ganas dan menggiriskan. Mau tak mau
Setan Bumi terpaksa harus memusatkan
perhatiannya kepada gadis itu.
Di tempat lain, pertarungan yang
berlangsung antara Ki Tungkil dan
Pendekar Naga Putih palsu terlihat
semakin seru dan menegangkan. Rupanya
ilmu pedang yang dimiliki kakek itu
memang benar-benar hebat. Sehingga
semakin lama sinar putih itu pun
semakin mengecil lingkarannya.
"Heaaat..!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring,
Ki Tungkil menyabetkan pedangnya
secara mendatar, mengarah ke pinggang
lawan. Sinar kuning keemasan
berkeredep disertai sambaran angin
yang menggemuruh.
Wuttt!
Trangngng!
"Uhhh...!"
Pemuda ahli sihir itu bergegas
menggerakkan pedangnya menangkis
serangan. Maka seketika terdengar
benturan yang memekakkan telinga.
Tubuh Pendekar Naga Putih palsu
terjajar mundur diiringi keluhan
kesakitan.
Pemuda tampan berjubah putih itu
berdiri limbung sambil menyeringai
menahan sakit pada lengannya yang
digunakan untuk menangkis tadi. Jelas
sekali hatinya merasa terkejut ketika
mendapat kenyataan kalau tenaga dalam
kakek itu ternyata masih berada di
atasnya.
"Yeaaat..!"
Ketika melihat lawannya termangu
dengan seringai kesakitan, Ki Tungkil
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bergegas dia melompat dengan kecepatan
kilat Sepertinya kakek itu sudah tidak
sabar untuk segera menghabisi riwayat
pemuda itu.
Wukkk! Wukkk..!
Pendekar Naga Putih palsu buru-
buru melempar tubuhnya ke belakang
beberapa tombak, maka dua buah
serangan kakek itu mengenai angin
kosong. Begitu kakinya menjejak bumi,
tubuh pemuda itu melambung ke arah Ki
Tungkil disertai bacokan dari atas ke
bawah.
Kakek tua yang kelihatan
penyakitan itu ternyata memiliki
kegesitan hebat! Begitu serangan lawan
tiba, segera kaki kanannya digeser ke
depan dengan kuda-kuda rendah. Sesaat
setelah serangan lawan lolos, Ki
Tungkil menusukkan pedangnya ke
lambung lawan yang terbuka. Namun
Pendekar Naga Putih palsu cepat
memiringkan tubuhnya sambil
melontarkan sebuah tendangan ke
kepala.
Bret! Desss!
"Aaah...!"
"Uuuh...!"
Keduanya terjajar mundur disertai
jeritan masing masing. Pakaian yang
dikenakan pemuda itu robek. Ternyata
mata pedang kakek itu sempat melukai
kulit perutnya. Untung tubuhnya sempat
dimiringkan. Kalau tidak, mungkin
lambungnya bolong akibat tusukan
pedang kakek Hu.
Sedangkan kakek itu pun terlihat
meringis sambil mengusap bahunya yang
terkena tendangan lawan. Ki Tungkil
rupanya salah tafsir. Semula disangka
tendangan itu mengarah perutnya. Maka
ia pun mengegos sambil menarik kaki
kanan sehingga kuda-kudanya agak naik.
Dan ketika tendangan itu terus
melayang ke atas, terpaksa bahunya
dibiarkan jadi sasaran lawan. Dan
tentu saja bahunya telah terlindungr
oleh tenaga dalam.
"Keparat! Kau harus membayar
mahal akibat perbuatanmu ini, Kakek
Peot!" teriak pemuda itu marah.
Setelah berkata demikian,
pedangnya segera dilintangkan, siap
melancarkan serangan!
"He he he.... Lihatlah, Kawan-
kawan! Apakah manusia biadab ini
benar-benar Pendekar Naga Putih?" Ki
Tungkil bertanya kepada para tokoh
persilatan yang tengah menyaksikan
pertarungan itu.
"Hei! Dia ternyata Pendekar Naga
Putih palsu!" seru salah seorang
tokoh.
Tentu saja semua orang yang ada
di situ menjadi terkejut melihat wajah
pemuda itu telah berubah. Hal itu
disebabkan, tubuhnya telah tersentuh
Pedang Naga Langit yang memang dapat
melenyapkan pengaruh ilmu sihir.
"Ya! Dia bukan Pendekar Naga
Putih!" seru yang lainnya, heran.
Sedangkan pemuda berjubah putih
itu nampak kebingungan, karena ia
sendiri tidak dapat melihat bagaimana
rupa wajahnya sekarang. Padahal wajah-
nya kini memang benar-benar telah
berubah menjadi dirinya sendiri.
Ki Tungkil menatap tajam wajah
pemuda yang juga tampan dan bersih
itu. Sebaris kumis tipis tampak
menghias wajahnya. Dan di kedua sisi
wajahnya tampak tumbuh bulu-bulu halus
yang menyerupai cambang Rupanya
seperti itulah wajah asli pemuda
tukang sihir itu sebenarnya.
"Kini terimalah kematianmu,
Keparat'"
Sambil berkata demikian, tubuh
kakek itu meluncur disertai sambaran
pedang yang mengaung memekakkan
telinga.
Pemuda tukang sihir yang semula
menyamar sebagai Pendekar Naga Putih
itu terperanjat ketika melihat sinar
kuning berpendar menyilaukan mata.
Tanpa sadar telapak tangannya bergerak
melindungi matanya dari sinar kuning
menyilaukan yang berben-tuk bulat itu.
Maka....
Wukkk!
Crasss!
"Aaargh...!"
Pemuda itu menjerit setinggi
langit ketika ujung pedang di tangan
lawannya telah membeset perutnya.
Darah segar langsung menyemprot dari
goresan luka yang dalam dan memanjang
itu. Tubuh pemuda itu terhuyung mundur
disertai darah yang berceceran.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya
ambruk ke tanah dan tak mampu bangkit
lagi.
"Ough.... Bunuhlah aku, Kakek
Peot!" ratap pemuda yang rupanya belum
tewas itu. Tubuhnya bergetar dan
berkelojotan menahan rasa sakit yang
diderita.
"Hm.... Aku tidak akan
membunuhmu, Iblis Keji! Karena tanpa
kubunuh pun kau akan mati! Sekarang
jawab pertanyaanku! Siapa kau
sebenarnya? Dan apa tujuanmu
mencemarkan nama Pendekar Naga Putih?"
ujar kakek itu sambil menghembuskan
napasnya kuat kuat la hanya berdiri
menatap wajah pemuda yang tak berdaya
itu.
"Baiklah. Aku akan menjelaskannya
agar kau tidak menjadi penasaran,
Kakek Peot," sahut pemuda itu
terengah-engah. "Ketahuilah. Aku
berjuluk Raja Sihir dari Barat Dan
cita-citaku adalah menguasal dunia
persilatan. Namun rupanya Pendekar
Naga Pullh adalah satu-satunya
penghalang berat yang harus segera
kusingkirkaa Karena tidak mungkin
dapat mengalahkannya, maka aku
menyamar sebagai dirinya untuk
melakukan kejahatan. Nah! Dengan
demikian, aku dapat menghancurkan
Pendekar Naga Putih dan juga tokoh-
tokoh golongan putih lainnya. Apakah
kau puas, Kakek Peot?" tanya pemuda
yang ternyata berjuluk Raja Sihir dari
Barat itu dengan napas yang semakin
memburu.
Ki Tungkil sama sekali tidak
menjawab. Tanpa mempedulikan lawannya
yang sudah tak berdaya itu, kakinya
melangkah meninggalkan tubuh lawan
yang tak mampu bangkit lagi.
Sedangkan di arena lain, tampak
pertarungan yang berlangsung antara
Eyang Sancaka dan Setan Langit sudah
mencapai puncaknya! Tubuh keduanya
saat itu tengah melambung ke udara
sambil mendorongkan telapak tangan
masing-masing.
Blarrr!
"Aaahk...!"
Udara di sekitar arena
pertarungan bergetar ketika dua
gelombang tenaga sakti yang sama kuat
saling berbenturan di udara. Tubuh
keduanya terlempar balik diiringi
jerit kesakitan.
"Kkk.. kau... hebattth
Sancaka...!" puji Setan Langit yang
berdiri limbung.
Rupanya tokoh sesat itu tidak
sampai terbanting jatuh di tanah,
ketika kedua kakinya mendarat di
tanah. Darah segar tampak mengalir
dari mulutnya.
"Hkkk..., kau pun hebat, Setan
Langit...!" Eyang Sancaka pun memuji
kehebatan lawannya.
Kakek itu berdiri tegak sambil
menekap dadanya Sedangkan dari
mulutnya, juga mengalir tetesan darah
segar. Seperti halnya Setan Langit,
kakek itu. Juga melayang turun dengan
kedua kaki lebih dulu.
Sementara itu Setan Bumi yang
sekujur tubuhnya telah dipenuhi
goresan-goresan luka, bergegas melesat
meninggalkan lawan-lawannya begitu
melihat saudaranya terluka.
"Kakang.... Kau tidak apa-
apa...?" tanya Setan Bumi sambil
memapah tubuh Setan Langit yang masih
limbung itu.
Kenanga dan tiga orang lainnya
bergegas memburu Setan Bumi yang
tengah memapah saudaranya itu. Rupanya
mereka masih penasaran karena belum
dapat membunuh lawan.
"Biarkan mereka...!" tiba-tiba Ki
Tungkil berseru menahan gerakan
keempat orang itu.
"Mengapa mereka dilepaskan, Ki?"
tanya Ki Barak heran melihat sikap Ki
Tungkil yang melepaskan kedua tokoh
sesat itu begitu saja.
"Biarkanlah. Mudah-mudahan saja
dengan begitu mereka akan menyadari
kesalahannya. Karena orang yang
menjadi biang keladi dari semua ini
adalah pemuda itu," sahut Ki Tungkil
sambil menunjuk sosok tubuh yang
tengah tak berdaya.
Para tokoh persilatan itu
bergerak menghampiri sosok tubuh yang
berlumuran darah. Banawa dan Panjala
berpaling sejenak ke arah gurunya yang
saat itu tengah bersemadi.
"Keparat kau, Manusia Iblis! Kau
telah menghancurkan hidupku!" sambil
terisak, Kenanga mengayunkan
senjatanya ke leher pemuda yang telah
menyebabkan kesengsaraan pada dirinya
itu.
"Kenanga, tahan...!" cegah Ki
Tungkil ketika melihat apa yang
dilakukan gadis itu. Namun, terlambat!
Ternyata pedang gadis itu telah
menebas putus leher pemuda yang tengah
meregang nyawa.
Kenanga memalingkan wajahnya ke
arah Ki Tungkil. Ternyata pada saat
berteriak tadi, suara kakek itu
terdengar lain dari biasanya. Dan
suara itu sangat dikenalnya.
Sedangkan Ki Tungkil yang tanpa
sadar telah mengeluarkan suara
aslinya, hanya tersenyum melihat gadis
jelita itu menatapnya lekat lekat.
"Kau.... Siapa kau sebenarnya,
Ki?" tanya gadis jelita itu dengan
suara bergetar karena ketegangan yang
amat sangat.
"Eh! Apakah kau suka kepadaku,
Nisanak? Mengapa kau memandangiku
seperti itu?" ledek Ki Tungkil yang
tidak lagi menyembunyikan suaranya.
"Kau... kau...!"
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku
pergi sekarang!" desah Ki Tungkil lagi
sambil berpamitan kepada para tokoh
persilatan yang berada di tempat itu.
"Mari, Kenanga...."
"Kakang..., kaukah itu?" desah
Kenanga dengan wajah yang mulai basah
oleh air mata.
Ki Tungkil sama sekali tidak
mempedulikan gadis itu, dan terus saja
melangkah meninggalkan tempat itu.
Langkahnya kini nampak berbeda dengan
yang sebelumnya. Beberapa tombak
kemudian, kakek itu menghentikan
langkahnya dan melambaikan tangan
kepada Kenanga.
Gadis jelita itu semakin tertegun
melihat cara berjalan kakek itu.
Wajahnya semakin pucat karena
ketegangan. Air mata semakin banyak
menuruni pipinya yang halus itu.
"Kakaaang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga
segera berlari memburu Ki Tungkil yang
saat itu masih berdiri sambil
melambaikan tangan. Kedua tangan kakek
itu mengembang ketika Kenanga berlari
menghampirinya.
Begitu tiba, Kenanga langsung
memeluk tubuh kakek itu erat-erat.
Nalurinya begitu yakin kalau kakek itu
adalah Panji atau Pendekar Naga Putih
yang semula dikira telah tewas di
tangannya.
Kakek itu memeluk tubuh Kenanga
dengan penuh kasih. Dibelainya rambut
kepala gadis itu lembut, membuat
Kenanga semakin sesenggukan tangisnya.
"Ah! Tidak malukah kau berpelukan
dengan seorang kakek-kakek semesra
ini, Bidadariku?" goda kakek itu
sambil tersenyum.
"Kakang. Mengapa kau masih ingin
menyiksa perasaanku? Tidak tahukah kau
akan penderitaan yang kualami?" isak
Kenanga sambil mengangkat kepalanya
menatap wajah Ki Tungkil. Tiba-tiba
tangan kanannya terulur mencabut kumis
dan jenggot putih yang ternyata palsu.
"Ah, Kenanga. Apakah kau kira aku
bahagia selama ini?" tanya kakek itu
yang ternyata adalah Pendekar Naga
Putih asli.
Pemuda itu sama sekali tidak
berusaha mengelak ketika Kenanga
mencabut kumis dan jenggot palsunya.
Malah dibantunya dengan menggosok
kedua telapak tangan ke wajahnya.
Sehingga, keriput yang menghiasi
wajahnya pun lenyap. Dan Ki Tungkil
kini telah berubah menjadi Pendekar
Naga Putih.
Tanpa malu-malu lagi, Kenanga
segera menciumi wajah kekasihnya penuh
kerinduan. Beberapa saat kemudian,
Panji menjauhkan wajahnya dari wajah
gadis itu. Lalu, dihapusnya air mata
yang masih membasahi wajah kekasihnya.
"Hm.... Kau nampak kurus,
Kenanga? Kau menyiksa dirimu sendiri,"
gumam Panji ketika menyadari kalau
wajah gadis jelita itu agak kurus.
"Ampuni dosaku, Kakang.... Aku
mengaku salah," ucap gadis itu setelah
mereka sama-sama melepaskan
rangkulannya.
"Sudahlah. Jadikanlah semua itu
pelajaran. Aku yakin setelah kejadian
ini, pikiranmu akan lebih dewasa. Dan
kau tidak akan memutuskan segala
persoalan tanpa penyelidikan lebih
dahulu. Janji?"
"Aku berjanji, Kakang. Dan aku
pun menyadari kekeliruanku setelah aku
merasa kau telah tiada. Tapi,
bagaimana kau bisa selamat dan
menyamar sebagai kakek-kakek jelek
itu?" tanya Kenanga. Gadis ini sengaja
mengatakan kakek-kakek jelek untuk
menggoda Panji.
"Biar jelek tapi kau suka kan?"
"Ih, tidak sudil" sahut Kenanga
mencibir.
"Buktinya kau tidak malu memeluk
kakek-kakek jelek tadi. Apakah itu
bukan pertanda suka?" goda Panji lagi.
"Ah, sudahlah. Aku pergj saja
kalau Kakang tidak sudi menjawab
pertanyaanku tadi!" desah Kenanga,
merajuk.
"Ayolah. Nanti aku ceritakan
sambil jalan," sahut Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih
melangkah sambil memeluk tubuh
kekasihnya. Kenanga pun melingkarkan
lengannya di pinggang pemuda
pujaannya.
Sambi melangkah meninggalkan
tempat itu, Panji segera menceritakan
semuanya. Waktu itu dirinya telah
diselamatkan Raja Obat, dan diberikan
nasihat agar batinnya tidak terpukul
atas kejadian itu. Sedangkan Kenanga
mendengarkan penuturan kekasihnya itu
penuh perhatian.
"Jadi yang mendandani Kakang
menyamar sebagai kakek-kakek itu Raja
Obat?" tanya Kenanga begitu Panji
telah menyelesaikan ceritanya.
"Benar. Sungguh besar sekali budi
Raja Obat kepadaku. Dia ternyata
mempercayaiku. Sebab menurutnya, tidak
mungkin kalau aku melakukan perbuatan
keji itu. Dan sebelum pergi, dia
berpesan agar aku menggunakan Pedang
Naga Langit untuk menghadapi ilmu
sihir. Karena salah satu keistimewaan
pedang itu adalah sebagai penangkal
ilmu sihir."
"Lalu di manakah sekarang Raja
Obat berada, Kakang?" tanya Kenanga
lagi.
"Entahlah. Dia pergi begitu saja,
tanpa memberi tahu ke mana tujuannya,"
sahut Panji sambil melepaskan
pandangan ke arah cakrawala biru.
Keduanya kembali membisu. Hanya
wajah mereka sajalah yang menampakkan
kebahagiaan, karena ternyata dapat
bersatu kembali.
"Oh ya, Kakang. Dari mana
Pendekar Naga Putih palsu tahu kalau
aku kekasihmu?" tanya Kenanga yang
masih bingung karena Pendekar Naga
Putih palsu seakan-akan mengenai betul
dirinya.
"Orang yang menyamar, biasanya
akan berusaha sesempurna mungkin
meniru orang yang disamarinya. Bahkan
sampai meniru kehidupannya."
"Maksudmu?"
"Ya, tentu saja dia berusaha
mencari keterangan tentang
kehidupanku. Sampai tentang, siapa
kekasihku!" jelas Panji.
Kenanga mengangguk-anggukkan
kepalanya mulai mengerti.
Kini sepasang pendekar muda itu
melanjutkan pengembaraan kembali.
Begitulah sikap seorang pendekar
sejati yang selalu siap membela orang-
orang lemah.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar