..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE DEWI BAJU MERAH

matjenuh


DEWI BAJU MERAH
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Dewi Baju Merah
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari baru saja menampakkan 
kekuasaannya di muka bumi. Dari cakra-
wala Timur, sinarnya yang hangat men-
jilati pucuk-pucuk dedaunan yang ber-
goyang-goyang lembut tertiup angin pa-
gi. Seorang bocah lelaki berusia seki-
tar sepuluh tahun lebih, tengah me-
langkahkan kakinya yang kecil kurus di 
atas tanah berumput. Sesekali kepa-
lanya mendongak memandang cakrawala 
yang jernih.
Setelah berhenti sejenak, bocah 
laki-laki itu melanjutkan langkahnya
ke arah jalan utama yang menuju Desa 
Tunjung. Meskipun kakinya kurus, namun 
langkahnya nampak gesit dan kokoh. Se-
pertinya, dia memang sudah terbiasa 
berjalan jauh. Wajahnya yang berkulit 
agak gelap itu telah dibasahi keringat 
yang mengalir turun ke leher dan pa-
kaian kumalnya.
Begitu memasuki desa, dihampi-
rinya sebuah kedai makan yang cukup 
ramai. Bocah itu berdiri di depan pin-
tu kedai, memperhatikan orang-orang 
yang sedang menikmati hidangan. Tampak 
lehernya seperti turun naik karena me-
neguk air liur ketika melihat orang-
orang yang demikian nikmatnya melahap 
hidangan. Sepasang matanya menatap 
sayu membayangkan nikmatnya bila men-
cicipi hidangan itu.

Seorang pelayan yang berusia se-
kitar tiga puluh tahun, bergegas meng-
hampiri bocah itu. Wajahnya tampak ma-
sam dan keningnya berkerut dalam.
"Hei! Kalau hendak mengemis, 
nanti saja. Hayo pergi sana! Bikin 
orang kehilangan selera saja!" bentak 
pelayan itu sambil mendorong tubuh si 
bocah.
"Paman, aku bersedia mengerjakan 
apa saja asalkan diberi makan. Aku la-
par sekali, Paman," ratap bocah laki-
laki itu memandang dengan penuh permo-
honan.
"Huh! Anak sekecil kau bisa 
apa?!" hardik pelayan itu, sinis. Ha-
tinya sama sekali tidak tergerak meli-
hat tatapan memelas bocah bertubuh 
kumal itu.
"Aku bisa mengerjakan apa saja, 
Paman. Sungguh!" sahut bocah itu ber-
semangat. Sepasang matanya bersinar 
penuh harap.
"Sudah, sudah! Pergi sana! Baumu 
sudah tidak sedap!" maki si pelayan 
seraya menggerakkan tangannya mengu-
sir.
Bocah itu tetap tak bergeming 
sedikit pun. Hal ini membuat pelayan 
itu naik darah. Maka....
"Hayo, pergi! Atau kau kupukul!"
Bocah itu sama sekali tidak ber-
gerak. Bahkan menatap tajam tanpa gen-
tar.

Plakkk!
Pelayan itu menampar wajah si 
bocah hingga terpelanting jatuh ke ta-
nah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun, 
bocah itu langsung bangkit sambil men-
gusap darah pada bibirnya. Sepasang 
matanya yang bening berkilat, menatap 
penuh dendam.
"Bocah setan! Apa minta kupukul 
lagi?" pelayan itu semakin naik pitam 
melihat pancaran tantangan pada mata 
si bocah. Tangan kanannya kembali te-
rangkat, siap melakukan tamparan yang 
kedua.
Tanpa berkata sepatah kata pun, 
bocah kurus bertubuh kumal itu berba-
lik dan melangkah meninggalkan kedai 
makan. Sesekali kepalanya menoleh me-
mandangi si pelayan yang masih menata-
pi kepergiannya.
"Bocah sial! Pagi-pagi sudah 
membikin orang marah," pelayan itu me-
langkah masuk sambil bersungut-sungut 
tak puas. Kemudian pekerjaannya kemba-
li diteruskan.
Bocah laki-laki itu meneruskan 
langkahnya menyusuri jalan utama Desa 
Tunjung. Bibirnya digigit kuat-kuat 
menahan rasa perih pada perutnya yang 
sudah beberapa hari tidak dimasuki ma-
kanan. Sepanjang perjalanan sebelum 
memasuki Desa Tunjung, ia hanya makan 
dedaunan muda dan minum air sungai 
yang ditemui.

***
"Hei, Teman-Teman! Lihat, ada 
anak jembel gila!" teriak seorang bo-
cah laki-laki berumur sekitar tiga be-
las tahun. Tubuhnya lebih jangkung da-
ripada si bocah kurus berpakaian kumal 
yang terus saja melangkah tanpa mempe-
dulikan teriakan itu.
"Hayo, kita lempari batu!" sam-
but bocah yang lain sambil berlari 
mendekati anak lelaki jangkung yang 
menjadi teman sepermainannya. Lima 
orang lainnya langsung bersorak sambil 
berlarian mengitari si bocah jembel.
"Heh, Anak Jembel! Siapa namamu? 
Mau apa kau datang ke desa ini?" tanya 
seorang bocah gemuk sambil mendorong 
bocah jembel kurus itu.
"Mungkin hendak mencari sisa-
sisa makanan. Lihat saja, tubuhnya be-
gitu kurus. Ia pasti tengah kelapa-
ran," timpal anak jangkung itu, yang 
kemudian tertawa keras.
Teman-temannya yang berjumlah 
enam orang itu serentak tertawa-tawa. 
Telunjuk mereka ditudingkan ke arah si 
bocah jembel yang hanya terpaku mena-
tap anak-anak nakal itu.
"Heh! Mengapa kau melotot pada-
ku? Marah, ya? Mau menantang berkela-
hi?" bentak anak jangkung itu sambil 
mendorong-dorong tubuh bocah jembel ke 
belakang. Sementara seorang anak lain

nya sudah berjongkok di belakang tubuh 
bocah jembel kurus itu. Akibatnya, tu-
buh bocah itu terjatuh karena kakinya 
terlanggar anak gemuk yang berjongkok 
di belakangnya.
"Ha ha ha...!"
Ketujuh orang anak nakal itu 
tertawa terpingkal-pingkal sambil me-
megangi perut yang mendadak mules me-
lihat adegan yang dianggap sangat 
menggelikan itu.
Si bocah jembel bangkit dan ber-
diri tegak memandang anak-anak yang 
mengganggunya itu. Sinar matanya ber-
kilat memancarkan amarah yang masih 
ditahan. Rupanya dia sama sekali tidak 
merasa gentar meskipun anak-anak yang 
mengganggunya itu berjumlah banyak.
"Mengapa kalian menggangguku? 
Apa salahku kepada kalian?" tegur bo-
cah jembel itu, bernada menuntut.
Mendengar teguran si bocah jem-
bel, ketujuh orang anak nakal itu 
menghentikan tawanya. Kemudian si 
jangkung melangkah, mendekatinya den-
gan mata melotot marah.
"Salahmu karena lewat di depan 
kami tanpa permisi! Apa kau kira kami 
ini patung?" jawab anak jangkung itu 
sambil mendorong hingga tubuh kurus 
itu terhuyung ke belakang dan hampir 
jatuh.
"Hm.... Apakah orang-orang yang 
lewat di jalan ini harus meminta izin

mu dulu? Memangnya kau raja?" bantah 
bocah jembel itu tanpa rasa takut se-
dikit pun. Padahal lawannya jauh lebih 
besar darinya.
"Kurang ajar! Kau berani menan-
tangku, ya!" bentak anak jangkung itu 
marah. Tangan kanannya langsung melan-
carkan pukulan ke wajah bocah jembel.
Digkh!
Si bocah jembel mengaduh kesaki-
tan. Tubuhnya terjerembab ke atas ta-
nah. Cepat ia bergerak bangkit dan 
bersiap melawan.
"Ayo, pukul lagi! Jangan dikasi-
hani anak jembel gila itu!" teriak sa-
lah seorang anak memberi semangat ke-
pada kawannya yang segera disambut so-
rak-sorai oleh yang lainnya.
Anak jangkung itu kembali memu-
kul dan menendang sekuat tenaganya. 
Rupanya semangatnya benar-benar ter-
bangkit setelah mendapat dukungan te-
man-temannya. Namun bocah jembel itu 
melakukan perlawanan tanpa merasa ta-
kut sedikit pun. Meskipun tubuhnya le-
bih kecil, namun tampak kokoh dan ke-
kar. Apalagi dia terbiasa hidup liar 
dan keras, sehingga membentuk anak la-
ki-laki yang kuat dan tabah.
Pukulan dan tendangan lawannya 
yang bertubuh lebih besar itu berkali-
kali mendarat di tubuh dan wajahnya. 
Tapi setiap kali terjatuh, ia langsung 
bangkit dan melakukan perlawanan sen

git. Sepertinya, bocah jembel itu ti-
dak pernah jera dan tidak merasa le-
lah. Ini karena semangat dan ketaba-
hannya yang tinggi. Dan lama kelamaan 
pukulan dan tendangannya mulai menda-
rat di tubuh dan wajah lawannya.
Ketika mendapat pukulan di wa-
jahnya sebanyak tiga kali, anak jang-
kung itu pun terjatuh sambil menjerit 
kesakitan. Sebelum anak jangkung itu 
sempat berdiri, si bocah jembel sudah 
melompat dan menduduki perutnya. Bah-
kan kedua tangannya memukul berganti-
ganti ke wajah anak jangkung itu hing-
ga matang biru.
Melihat perkembangan yang mende-
barkan itu, enam orang lainnya seren-
tak berlari dan menyerang si bocah 
jembel. Pukulan-pukulan dan tendangan 
keenam anak nakal itu langsung menda-
rat di wajah dan seluruh tubuhnya. 
Akibatnya tubuh dan wajah bocah jembel 
itu kini bengkak-bengkak.
"Curang! Pengecut! Kalian bera-
ninya main keroyok!" teriak bocah jem-
bel itu sambil berlari menghindar.
Otaknya yang cerdik berputar ce-
pat untuk menghadapi keroyokan itu. Ia 
memang tidak mau melarikan diri. Dia 
yakin lawan-lawannya pasti akan terus 
mengejar. Dan kalau tertangkap, pasti 
akan dipukuli habis-habisan.
Bocah jembel yang tabah dan cer-
dik karena kepahitan hidup yang dija

laninya itu, bergegas mengambil sepo-
tong kayu yang tergeletak di tepi ja-
lan. Kemudian tubuhnya berbalik meng-
hadapi anak-anak nakal itu sambil 
menggenggam kayu erat-erat
Wajah ketujuh orang anak itu me-
mucat ketika melihat lawannya telah 
menggenggam sepotong kayu sebesar len-
gan. Mereka pun segera menghambur ber-
pencar meninggalkan tempat itu ketika 
si bocah jembel maju sambil mengayun-
ayunkan kayu di tangannya.
"He he he...! Dasar laki-laki 
pengecut! Baru melihat sepotong kayu 
saja sudah terbirit-birit"
Luar biasa sekali bocah jembel 
itu. Dalam keadaan tubuh dan wajah 
yang bengkak-bengkak, ia masih dapat 
tertawa melihat tingkah lawan-lawan 
yang terbirit-birit meninggalkannya.
Sambil tetap menggenggam kayu, 
si bocah jembel melangkah meninggalkan 
tempat itu, menuju luar desa. Ia mera-
sa kalau desa itu tidak sudi menerima 
kehadirannya. Dan untuk itu ia harus 
pergi. Dan apabila masih tetap berada 
di desa itu, sudah pasti cemoohan dan 
gangguanlah yang bakal didapat
***
"Itu orang gila itu, Ayah!" seru 
seorang bocah yang bertubuh gemuk sam-
bil menudingkan jari telunjuk ke arah

si bocah jembel. Di sampingnya berdiri 
seorang laki-laki berusia tiga puluh 
tahun dengan wajah marah.
"Hei, Anak Jembel! Mau ke mana 
kau?!" teriak laki-laki berkumis tebal 
itu sambil berlari menyusul si bocah 
jembel.
Si bocah kurus itu tertegun ke-
tika melihat ketujuh anak nakal yang 
tadi mengeroyoknya kini telah kembali 
sambil membawa orang tua masing-
masing. Karena merasa tidak bersalah, 
maka ia pun berdiri menunggu dengan 
hati tabah.
"Bocah gila! Mengapa kau memuku-
li anak kami!" bentak lelaki berkumis 
lebat itu, geram.
Rupanya ketujuh anak-anak nakal 
itu telah mengadu kepada orang tuanya 
masing-masing. Entah apa yang dikata-
kannya, sehingga para orang tua itu 
mau saja dibawa menemui si bocah jem-
bel.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Pa-
man. Merekalah yang telah mengganggu 
dan mengeroyokku. Paman semua bisa li-
hat buktinya di sekujur tubuhku," sa-
hut bocah jembel itu mengatakan keja-
dian yang sesungguhnya.
"Dia bohong, Ayah! Ketika kami 
bertujuh tengah bermain-main, tiba-
tiba saja dia datang dan mengganggu 
kami. Lalu, kami pun segera melawan-
nya. Tapi kemudian ia mengambil kayu,

lalu memukuliku," kilah anak bertubuh 
jangkung sambil memperlihatkan bukti 
berupa bengkak-bengkak di wajahnya. 
Jelas dia berdusta.
"Keparat! sudah membuat keona-
ran, masih juga berdusta!" bentak la-
ki-laki berkumis tebal itu sambil me-
layangkan tangannya menampar kepala si 
bocah jembel.
Plakkk!
Bocah jembel itu langsung menga-
duh kesakitan. Tubuhnya terpelanting 
dan jatuh berdebuk. Bibirnya kembali 
pecah dan mengeluarkan darah. Namun 
tanpa mengeluh sedikit pun, ia merang-
kak bangkit. Belum lagi tubuhnya sem-
pat berdiri tegak, tamparan lainnya 
sudah datang menyusul
Wuuut! Plakkk!
Tamparan yang meluncur ke arah 
kepala bocah jembel itu tiba-tiba ter-
pental balik diiringi teriakan laki-
laki berkumis tebal. Ternyata tubuhnya 
terlempar sejauh dua batang tombak. 
Sesaat orang itu menggelepar, kemudian 
diam tak bergerak lagi dengan wajah 
hitam. Rupanya laki-laki itu tewas se-
ketika itu juga!
"He he he...! Anak baik, lihat-
lah. Orang yang hendak memukulimu itu 
sudah kukirim ke neraka!"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu di samping bocah jembel itu sudah 
berdiri seorang kakek-kakek. Jenggot

nya panjang hingga melewati dadanya. 
Tangannya tak henti-henti mengelus 
jenggot putihnya itu. Sikapnya demi-
kian tenang, tanpa merasa telah mela-
kukan pembunuhan. Tentu saja hat itu 
membuat orang-orang yang ada di situ 
terkejut. Mereka benar-benar ngeri, 
sehingga tanpa sadar mundur beberapa 
langkah.
Bocah jembel itu memandangi wa-
jah kakek tua di sebelahnya dengan wa-
jah bingung. Sama sekali sulit dimen-
gerti, mengapa laki-laki berkumis le-
bat yang kembali hendak menamparnya 
itu tahu-tahu telah terbanting roboh 
dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Hahhh! Pembunuh...!"
Salah seorang dari keenam orang 
laki-laki lainnya berteriak keras ke-
tika melihat kawannya telah menjadi 
mayat
"Pasti kakek itu yang melakukan-
nya! Buktinya, tidak ada orang lain 
lagi di tempat ini!" tuduh yang lain 
sambil menuding. Namun kakek itu hanya 
terkekeh tanpa mempedulikan teriakan-
teriakan ribut dari keenam orang laki-
laki berpakaian petani itu.
"He he he...! Rupanya kalian in-
gin mendapat bagian juga! Nih, terima-
lah!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, 
tahu-tahu saja tubuh kakek itu telah 
melesat cepat seraya mengibaskan tan

gannya. Terdengar teriakan-teriakan 
kesakitan yang disusul robohnya keenam 
orang tua anak-anak nakal itu. Mereka 
tewas seketika dengan kepala retak. 
Seketika kepala mereka mengeluarkan 
darah, bercampur cairan putih kental.
Sementara itu si kakek telah me-
lesat semakin jauh sambil membawa tu-
buh bocah jembel. Sedangkan di bela-
kangnya para penduduk yang sejak tadi 
menyaksikan kejadian itu tampak berte-
riak-teriak marah sambil berusaha men-
gejar.
***
Si bocah jembel benar-benar ter-
kejut Karena tahu-tahu saja tubuhnya 
telah seperti terbang meninggalkan 
tempat itu. Sepasang matanya terbela-
lak kaget melihat pepohonan di seki-
tarnya terasa berlarian. Ketika meno-
leh, ia semakin kaget. Ternyata di-
rinya berada dalam pondongan kakek 
yang tadi berada di sampingnya. Kakek 
itu memang berlari sambil mengerahkan 
ilmu meringankan tubuh yang telah be-
gitu sempurna.
Setelah cukup jauh, kakek itu 
pun menghentikan larinya. Mereka kini 
telah tiba di sebuah mulut hutan yang 
cukup lebat, di sebelah Timur Desa 
Tunjung. Segera diturunkannya bocah 
yang berada dalam pondongan. Dengan

sepasang mata berbinar, tangan kakek 
itu meraba-raba sekujur tubuh si bo-
cah.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepa-
daku, Kakek?" tanya bocah jembel itu, 
bingung.
Dia berusaha melepaskan tubuhnya 
dari cengkeraman kakek itu. Namun bo-
cah itu menjadi heran ketika tubuhnya 
terasa bagai patung, tak bisa digerak-
kan. Akhirnya ia hanya bisa memandang 
terbelalak.
"He he he.... Dugaanku ternyata 
tidak meleset!" ujar kakek itu seraya 
terkekeh-kekeh. "Susunan tulang bocah 
ini ternyata sangat baik dan sempur-
na!"
Kakek itu kemudian melepaskan 
tubuh si bocah, lalu menari-nari ba-
gaikan orang kurang ingatan.
Bocah jembel itu semakin kehera-
nan ketika menyadari kalau seluruh lu-
ka memar di tubuh dan wajahnya sudah 
tidak terasa sakit lagi. Bahkan warna 
biru kehitaman bekas pukulan anak-anak 
nakal tadi sudah mulai memudar war-
nanya. Matanya merayapi seluruh badan 
yang mulai pulih itu. Tentu saja ia 
merasa bersyukur dan gembira sekali. 
Lalu pandangannya kembali dialihkan 
kepada kakek yang masih menari-nari 
gembira.
"Aku sangat berterima kasih se-
kali atas pertolonganmu, Kek. Mudah

mudahan suatu saat nanti kita bisa 
bertemu lagi agar aku dapat membayar 
hutangku ini. Sekarang aku harus pergi 
untuk meneruskan perjalananku," pamit 
bocah jembel itu.
Dia segera mengayunkan langkah 
meninggalkan si kakek yang menjadi 
terkejut dan menghentikan tariannya.
"Hei, hei.... Tunggu dulu! Enak 
saja pergi. Kalau memang merasa berhu-
tang, sekarang juga aku minta diluna-
si," tegas si kakek. Kemudian dia ber-
kelebat, dan tahu-tahu sudah berdiri 
menghadang jalan si bocah.
"Maaf, Kek. Aku tidak bisa melu-
nasinya sekarang. Aku tidak punya apa-
apa sebagai pembayar hutangku," jawab 
si bocah sambil memandang wajah si ka-
kek penuh selidik.
Kini bocah itu semakin yakin ka-
lau kakek berjenggot panjang itu me-
mang kurang waras. Hal itu terlihat 
jelas dari tingkah laku dan kata-
katanya yang seenak perutnya sendiri.
"Kau punya, Bocah. Jika ingin 
membayar hutangmu itu, ikutlah bersa-
maku untuk menjadi muridku selama se-
puluh tahun. Bagaimana, kau bersedia?" 
tanya si kakek seraya terkekeh gembi-
ra.
"Kau ingin mengambilku sebagai 
murid? Apa yang akan kau ajarkan pada-
ku, Kek? Kalau hanya menari-nari se-
perti yang kau lakukan tadi, aku tidak

sudi! Tanpa diajarkan pun aku bisa me-
lakukannya," tolak bocah jembel itu.
"Eh, apa betul kau bisa? Coba, 
ayo tirukan aku," ujar kakek itu den-
gan wajah gembira.
Lalu, kakek berjenggot putih 
yang panjangnya melewati dada itu 
menggerak-gerakkan tubuh. Pantatnya 
lenggak-lenggok seperti bebek berja-
lan. Kakek itu terus berputar-putar 
sambil tak henti-hentinya terkekeh.
Aneh sekali! Meskipun hatinya 
tidak bersedia mengikuti gerakan si 
kakek, tapi secara tiba-tiba tubuh bo-
cah itu sudah bergerak-gerak mengikuti 
tarian yang aneh dan lucu. Si bocah 
berusaha sekuat tenaga menahan. Namun, 
tetap saja tidak mampu menghentikan 
lenggak-lenggok tubuhnya. Dia terus 
saja berputar mengikuti gerakan kakek 
gila itu.
"Hei? Kakek gila! Kau apakan 
aku? Mengapa aku tidak bisa menghenti-
kan gerakan tubuhku?" si bocah berte-
riak-teriak ngeri melihat tubuhnya 
bergerak semakin cepat mengikuti ta-
rian kakek gila itu.
"He he he.... Bukankah kau sen-
diri yang mengatakan kalau bisa meniru 
tarianku? Nah, itu sudah bagus dan su-
dah betul!" sahut si kakek sambil ter-
kekeh semakin gembira.
"Sudah, Kek. Hentikan! Aku sudah 
tidak tahan!" pinta bocah jembel itu.

Meskipun hatinya diam-diam mera-
sa ngeri, namun bocah jembel yang ke-
ras hati dan angkuh itu sama sekali 
tidak mau memperlihatkannya di hadapan 
kakek gila itu.
Ketika kakek yang aneh itu meng-
hentikan gerakannya, secara aneh pula 
gerakan tubuh si bocah berhenti. Kare-
na tidak menduga tarian itu akan ber-
henti secara mendadak, tentu saja si 
bocah menjadi hilang keseimbangan tu-
buhnya. Akibatnya dia terjatuh.
"He he he...!"
Melihat tubuh bocah jembel itu 
terhuyung-huyung dan terjatuh, si ka-
kek gila tertawa terpingkal-pingkal 
sambil memegangi perutnya. Sedang tan-
gan yang satunya lagi menuding-nuding 
ke arah si bocah.
"Huh! Dasar kakek sinting!" maki 
si bocah bergumam, lalu bergerak bang-
kit berdiri dengan wajah berang. "Aku 
mau pergi!"
Bocah jembel itu lalu melangkah 
hendak pergi dari situ. Tapi, bukan 
main terkejut hatinya ketika seluruh 
tubuh terasa kejang hingga tidak bisa 
digerakkan. Sedangkan saat itu si ka-
kek masih saja terpingkal-pingkal.
Bahkan tubuhnya yang tinggi ku-
rus itu jadi terbungkuk-bungkuk. Namun 
tiba-tiba, kakek itu menghentikan ta-
wanya secara mendadak.
"Bagaimana? Apakah kau suka men

jadi muridku?" tanya kakek itu sambil 
melangkah menghampiri tubuh si bocah 
yang tahu-tahu sudah bisa bergerak se-
perti biasa kembali.
"Hei, Kakek Gila! Apa sih, kehe-
batanmu? Mengapa kau begitu berseman-
gat hendak mengambilku sebagai murid? 
Dan mengapa tidak mencari anak-anak 
yang lain saja? Mungkin mereka akan 
suka menjadi muridmu."
"He he he.... Hei, Bocah Jembel! 
Tahukah, kau. Beribu-ribu bocah lain 
akan berlutut selama tiga hari tiga 
malam agar dapat menjadi muridku. Tapi 
aku tidak mau menerima mereka. Dan ki-
ni aku telah jatuhkan pilihan kepada-
mu. Perlu diketahui, kalau orang yang 
akan menjadi gurumu ini adalah tokoh 
besar dalam dunia persilatan. Aku ber-
juluk Dewa Gila Jenggot Putih. Aku me-
milihmu, karena kulihat adanya bakat 
yang amat baik dalam dirimu. Dan apa-
bila kau menjadi muridku, kujamin da-
lam jangka waktu sepuluh tahun, kau 
akan menjadi seorang pendekar hebat 
yang sulit dari tandingannya. Nah! 
Apakah kau bersedia?" kata kakek ber-
tubuh kurus itu.
Ternyata kakek itu merupakan 
seorang tokoh besar yang berjuluk Dewa 
Gila Jenggot Putih. Diam-diam kakek 
itu pun merasa heran kepada dirinya 
sendiri. Mengapa ia begitu suka kepada 
bocah jembel itu? Bahkan sampai-sampai

harus menyebutkan nama besarnya untuk 
dapat mengambil bocah itu sebagai mu-
rid. Benar-benar kejadian yang sulit 
dimengerti walau oleh kakek itu sendi-
ri.
Bocah jembel yang memiliki ke-
cerdikan luar biasa itu memutar otak-
nya begitu mendengar ucapan kakek yang 
berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih itu. 
Bibirnya yang kecil namun memiliki ta-
rikan keras itu tersenyum tipis. Se-
pertinya, hatinya merasa tertarik men-
dengar kata-kata 'pendekar' yang dis-
ebut-sebut kakek berjenggot putih itu.
Meskipun usianya baru sepuluh 
tahun, namun dari pengalaman-
pengalaman hidupnya yang selalu ber-
pindah-pindah, bocah itu sudah dapat 
mengerti apa yang disebut sebagai pen-
dekar. Kata-kata itulah yang membuat-
nya tertarik.
"Benarkah kau bisa menjadikan 
diriku sebagai seorang pendekar yang 
hebat, Kek? Aku pernah melihat seorang 
laki-laki kekar mampu memukul roboh 
sebatang pohon yang sangat besar hanya 
dengan telapak tangannya. Kalau kau 
bisa melakukannya seperti itu, mungkin 
aku akan mempertimbangkan tawaranmu," 
kata bocah jembel itu seraya tersenyum 
cerdik
"Ha ha ha...!"
Meledak tawa si kakek setelah 
mendengar ucapan si bocah jembel. Ke

kagumannya terhadap bocah itu semakin 
bertambah. Bagaimana tidak geli? Sebab 
biasanya seorang gurulah yang akan 
menguji calon muridnya. Tapi kali ini 
justru sebaliknya. Dewa Gila Jenggot 
Putih dalam dunia persilatan sudah 
sangat terkenal dan ditakuti. Tapi ki-
ni malah akan diuji calon muridnya. 
Maka hal itu membuat kakek berjenggot 
putih itu semakin bertambah rasa kein-
ginannya untuk mengambil bocah itu se-
bagai murid.
"Hm.... Perhatikanlah pohon be-
sar di depanmu itu. Aku bukan saja me-
robohkannya seperti orang yang pernah 
kau lihat. Bahkan akan merobohkan po-
hon itu tanpa harus menyentuhnya," 
ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya 
tersenyum gembira.
Setelah berkata demikian, kakek 
itu melangkah mundur sejauh empat ba-
tang tombak lebih. Dan bersiap melan-
carkan pukulan.
Bocah jembel itu menatap si ka-
kek tanpa berkedip sekejap pun. Ke-
ningnya berkerut melihat kedua tangan 
kakek itu berputar bagai baling-
baling. Si bocah membelalakkan mata 
ketika serangkum angin keras menerpa 
tubuhnya. Padahal tempatnya berdiri 
sudah terpisah sejauh lima batang tom-
bak dari kakek itu. Dan...
Wusss! Brakkk!
Dengan gerakan yang seperti ter

lihat perlahan, kakek itu mendorongkan 
tangan kiri dengan telapak tangan ter-
buka. Akibatnya hebat sekali! Pohon 
besar itu langsung tumbang sehingga 
menimbulkan suara berderak keras.

DUA


"Wah! Kau hebat sekali, Kakek!" 
seru bocah kurus dan kumal itu dengan 
wajah berseri-seri.
Ia benar-benar merasa puas sete-
lah menyaksikan kehebatan kakek yang 
dianggapnya gila itu. Dia mampu memu-
kul roboh sebatang pohon besar tanpa 
menyentuhnya.
"Huh! Apa sih, hebatnya pukulan 
seperti itu! Anak-anak kecil pun tentu 
bisa melakukannya!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara 
berat, bernada mengejek. Berbarengan 
dengan itu, muncul seorang kakek jang-
kung berpakaian serba putih. Dia kini 
melangkah lebar mendekati mereka. Wa-
jahnya yang berkeriput itu melemparkan 
senyum sinis dan memandang rendah. Se-
kali melihat saja, orang sudah dapat 
menilai kalau kakek itu memiliki sifat 
sombong dan jumawa.
"He he he.... Pendekar Pedang 
Kembar, apa maksudmu mengganggu kese-
nangan orang? Pergilah. Jangan campuri 
urusan kami," ujar Dewa Gila Jenggot 
Putih lembut, namun mengandung ancaman.
Rupanya Dewa Gila Jenggot Putih 
tidak suka dengan kedatangan orang 
yang mengganggunya. Kemudian kepalanya 
menoleh ke arah si bocah.
"Ayo, kita tinggalkan tempat 
ini," ajak Dewa Gila Jenggot Putih 
sambil mencekal tangan si bocah dan 
siap meninggalkan tempat itu.
Kakek jangkung berusia sekitar 
tujuh puluh tahun yang mengenakan pa-
kaian mewah dari sutra putih itu ter-
tegun mendengar orang telah mengetahui 
julukannya. Sepasang matanya menatap 
tajam penuh selidik pada kakek ber-
jenggot putih itu. Diperhatikannya 
orang di depannya dari kaki sampai ke-
pala. Keningnya tampak berkerut seolah 
tengah mengerahkan ingatan untuk men-
genali kakek itu,
"Hm... Kalau tak salah, kau Dewa 
Gila Jenggot Putih...!" tebak orang 
yang dipanggil Pendekar Pedang Kembar 
itu agak terkejut ketika melihat pe-
nampilan kakek gila yang terkekeh me-
mandangnya.
"Hm.... Ternyata ingatanmu belum 
pikun, Pendekar Pedang Kembar. Mengapa 
kau tinggalkan rumah mewahmu? Apakah 
sudah bosan dengan kehidupan yang kau 
jalani selama ini?" ejek Dewa Gila 
Jenggot Putih.
Dia tidak jadi pergi karena ka-
kek jangkung itu mengenalinya. Sepa

sang matanya menatap tajam, seolah-
olah ingin mengetahui maksud pendekar 
jangkung itu mendatangi mereka.
"Ha ha ha.... Meskipun sudah 
hampir sepuluh tahun kita tidak ber-
jumpa, ternyata ingatanmu masih sangat 
kuat, Dewa Gila. Aku benar-benar kagum 
kepadamu. Tapi, apa maksudmu memamer-
kan ilmu pukulan jelek tadi?" tanya 
Pendekar Pedang Kembar dengan nada 
menghina.
"He he he.... Semula aku merasa 
kasihan untuk memukul roboh pohon yang 
tidak berdosa itu. Tapi hal itu ter-
paksa kulakukan untuk memancing keluar 
monyet buruk yang semenjak tadi men-
gintai kelakuanku. Apakah itu salah?" 
ejek Dewa Gila Jenggot Putih yang ru-
panya sudah kumat kegilaannya.
Merah seluruh wajah Pendekar Pe-
dang Kembar mendengar jawaban itu. Se-
kilas terlihat sinar berkilat pada se-
pasang bola matanya yang tajam itu.
"Jangan berlagak bodoh, Dewa Gi-
la! Aku tahu, pukulan itu sengaja kau 
pamerkan di hadapan bocah yang tidak 
suka menjadi muridmu itu," balas kakek 
jangkung itu, tak mau kalah.
Pendekar Pedang Kembar kemudian 
memandang bocah laki-laki yang berdiri 
di sebelah kakek gila itu. Dia berpi-
kir, kalau Dewa Gila Jenggot Putih 
sampai bersedia memamerkan ilmunya di 
depan si bocah, pastilah anak laki


laki kecil kurus itu memiliki kelebi-
han. Maka Pendekar Pedang Kembar sema-
kin menatap bocah itu tajam-tajam, 
seolah-olah hendak menilai bocah itu 
dengan pandang matanya.
"Anak baik. Maukah kau ikut ber-
samaku? Kau akan kubawa ke tempat 
tinggalku, dan akan kulatih ilmu silat 
tingkat tinggi. Kau akan kujadikan 
seorang pendekar digdaya. Ayolah. Ke-
timbang, kau ikut kakek miskin itu 
yang untuk makan saja harus mengemis," 
bujuk Pendekar Pedang Kembar sambil 
menatap wajah si bocah, lembut
"Kurang ajar kau, Pedang Kembar! 
Sadarkah, kalau ucapanmu itu bisa men-
gakibatkan kematianmu?!" ancam Dewa 
Gila Jenggot Putih, geram.
Sudah susah-susah dia membujuk 
bocah itu dengan berbagai cara agar 
mau menjadi muridnya, kini tahu-tahu 
ada orang datang hendak merebut. Tentu 
saja hati kakek gila itu menjadi be-
rang bukan kepalang. Dewa Gila Jenggot 
Putih langsung membanting-banting kaki 
kanannya dengan gerakan tangan mencak-
mencak.
"Hei? Kenapa kau jadi marah-
marah, Dewa Gila? Aku kan hanya mena-
warkan? Kalau memang ia lebih suka 
ikut aku, bukankah hidupnya akan lebih 
terjamin?" sahut Pendekar Pedang Kem-
bar yang merasa girang karena telah 
berhasil memancing kemarahan Dewa Gila

Jenggot Putih. Lalu, kembali dipandan-
ginya bocah itu. "Ayo jawab, Bocah. 
Kau lebih suka ikut denganku atau den-
gan kakek gila yang tidak menentu hi-
dupnya itu?"
Bocah jembel bertubuh kurus itu 
tidak segera menjawab. Otaknya yang 
cerdik kembali berputar mencari jawa-
ban. Kalau melihat Dewa Gila Jenggot
Putih yang sepertinya tidak berani 
bersikap sembarangan terhadap kakek 
jangkung itu, sudah jelas kalau orang 
itu memiliki ilmu yang hebat juga. Su-
lit rasanya untuk mengetahui, siapa 
yang lebih lihai di antara kedua kakek 
sakti itu. Maka satu-satunya jalan
adalah bertarung. Berarti mereka ber-
dua harus diadu.
"Hm.... Aku tidak tahu, siapa 
yang lebih sakti di antara Kakek ber-
dua. Tapi aku sudah mengambil keputu-
san. Aku hanya suka menjadi murid 
orang yang paling sakti. Dan untuk 
itu, kalian harus membuktikannya," sa-
hut bocah jembel itu dengan sepasang 
mata bersinar cerdik,
Dewa Gila Jenggot Putih dan Pen-
dekar Pedang Kembar langsung tersentak 
mendengar jawaban yang keluar dari mu-
lut bocah laki-laki berusia sepuluh 
tahun itu. Mereka semakin bertambah 
kagum dengan kecerdikannya. Hal itu 
justru semakin membuat hasrat mereka 
bertambah untuk memiliki bocah yang

cerdik luar biasa itu. Bocah seperti 
itulah yang akan dapat mengangkat nama 
besar mereka kelak.
"He he he.... Betul sekali uca-
panmu itu, Bocah. Ayo, Pedang Kembar. 
Kita bertarung untuk memperebutkan bo-
cah yang luar biasa ini!" tantang Dewa 
Gila Jenggot Putih yang sudah melompat 
maju dan terkekeh gembira. "Aku pun 
ingin melihat, sampai di mana kemajuan 
yang kau peroleh selama kurang lebih 
sepuluh tahun kau mendekam di gedung 
mewahmu itu!"
***
Dewa Gila Jenggot Putih telah 
melintangkan tongkat bambu kuning di 
depan dadanya. Tongkat bambu itu tidak 
dapat disamakan dengan tongkat lain-
nya, karena telah direndam dalam ra-
muan obat selama bertahun-tahun. Se-
hingga, kekuatannya tak ubahnya seba-
tang besi. Apalagi tongkat itu berada 
di dalam genggaman tokoh sakti seperti 
Dewa Gila Jenggot Putih. Sudah pasti, 
kehebatannya menjadi berlipat-lipat
Pendekar Pedang Kembar yang be-
rasal dari keluarga bangsawan memang 
jarang sekali keluar meninggalkan ru-
mahnya. Tidak heran kalau tidak begitu 
mengenal tokoh-tokoh persilatan. Namun 
terhadap kakek gila, ia cukup menge-
nalnya. Pada pertemuan pertama tadi,

ia tidak begitu mengenalinya. Sebab 
sepuluh tahun yang lalu, tubuh Dewa 
Gila Jenggot Putih itu gemuk dan te-
gap. Sedangkan sekarang yang tampak 
adalah seorang kakek kurus berjenggot 
panjang hingga melewati dada. Tentu 
saja ia agak pangling. Meskipun kakek 
gila itu pada beberapa tahun yang lalu 
pernah mengalahkan 'Ilmu Pedang Kem-
bar'nya, namun ia tidak menjadi gen-
tar. Ilmu pedangnya sekarang sudah me-
ningkat jauh. Sehingga, ia merasa ya-
kin akan dapat menundukkan Dewa Gila 
Jenggot Putih.
Setelah termenung beberapa saat 
lamanya, Pendekar Pedang Kembar men-
gangkat kepala menatap Dewa Gila Jeng-
got Putih. Sambil mengedikkan kepala, 
kakek itu menjawab tantangan musuh la-
manya.
"Hm.... Jangan merasa gembira 
dulu, Dewa Gila. Jangan harap 'Ilmu 
Tongkat Delapan Penjuru'mu sekarang 
mampu menghadapi 'Ilmu Pedang Kembar' 
yang telah kusempurnakan," sahut kakek 
jangkung itu, sombong.
Meskipun kakek itu seorang pen-
dekar, namun jiwa kebangsawanannya 
yang selalu memandang rendah orang 
lain tidak pernah hilang. Sehingga, 
jarang sekali orang yang menyukainya.
"Menyingkirlah jauh-jauh, Bocah. 
Akan kuhancurkan kesombongan pendekar 
bangsawan ini," ujar Dewa Gila Jenggot

Putih seraya mengulapkan tangannya 
mengusir si bocah jembel.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah 
jembel itu segera melangkah kan ka-
kinya menjauhi tempat yang akan dija-
dikan arena pertarungan. Sepasang mata 
bocah itu kini berbinar-binar. Karena 
dengan kecerdikannya, ia akan menonton 
pertarungan mengasyikkan. Sekaligus 
dia bisa mengetahui, siapa di antara 
kedua orang kakek itu yang lebih ting-
gi kepandaiannya. Bocah itu duduk me-
nonton di atas sebongkah batu besar 
yang cukup jauh dari arena pertarun-
gan.
"He he he.... Bersiaplah, Pende-
kar Pedang Kembar!" ancam Dewa Gila 
Jenggot Putih seraya terkekeh.
Selesai berkata demikian, kakek 
itu memutar tongkat bambu kuningnya 
dengan gerakan cepat dan kuat
Wuuuk! Wuuuk!
Bentuk tongkat bambu kuning di 
tangan kakek gila itu lenyap, dan kini 
menjadi gulungan sinar kuning yang me-
nimbulkan deru angin keras.
Sring! Sring!
Sinar putih menyilaukan mata 
berpendar ketika sepasang pedang yang 
tergantung di punggung kakek itu ter-
cabut keluar.
"Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyar-
ing, tubuh Pendekar Pedang Kembar me

lesat disertai ayunan pedang yang men-
gaung dahsyat. Sepasang pedang kembar-
nya yang membentuk gulungan sinar pu-
tih itu menyambar-nyambar bagai cahaya 
kilat di angkasa.
Hebat dan ganas sekali serangan 
kakek jangkung itu, seperti hendak 
menghabisi lawan dengan sekali serang.
Dengan sebuah gerakan aneh dan 
lucu, tubuh kakek gila itu bergerak ke 
samping menghindari sebuah tusukan pe-
dang yang mengarah leher. Sambil me-
lompat berputar, tongkat bambu di tan-
gan kanannya menyambar ke kepala la-
wan. Gerakannya demikian cepat tak 
terduga, sehingga kakek jangkung itu 
menjadi terkejut melihat serangan ba-
lasan yang hebat itu.
Namun Pendekar Pedang Kembar bu-
kanlah tokoh kemarin sore. Meskipun 
serangan lawan sempat membuatnya ter-
kejut, tidak menjadikannya gugup. Ce-
pat kaki kanannya bergeser sambil me-
rendahkan kuda-kuda dan memiringkan 
kepalanya. Begitu serangan itu lewat, 
pedang di tangan kirinya bergerak me-
nyilang dari bawah ke atas, menyambar 
tubuh lawan.
Wuuut!
Dewa Gila Jenggot Putih melompat 
ke belakang menghindari sambaran pe-
dang yang membawa hawa maut itu. Tapi 
dia menjadi terkejut, ketika pedang 
itu tiba-tiba berputar dan menyambar

pinggangnya. Tanpa membuang-buang wak-
tu lagi, bambu kuning di tangannya di-
putar untuk menyambut sambaran pedang 
lawan.
Trakkk!
Bertemunya dua senjata itu seke-
tika menimbulkan suara berdentang 
nyaring bagai dua batang besi yang di-
benturkan. Tubuh Pendekar Pedang Kem-
bar terjajar mundur sejauh setengah 
tombak. Hatinya terkejut bukan main 
ketika telapak tangan kirinya terasa 
panas dan kesemutan. Tahulah kakek 
jangkung itu kalau dalam hal tenaga 
dalam masih berada di bawah lawannya. 
Maka ia harus mencari cara lain untuk 
menutupi kekalahannya itu. Tubuhnya 
kembali berkelebat menerjang lawan.
"Hm.... Ia benar-benar telah 
memperoleh kemajuan pesat!" gumam Dewa 
Gila Jenggot Putih ketika sempat tan-
gannya bergetar akibat menangkis pe-
dang lawan tadi.
Dan memang pada sepuluh tahun 
yang lalu, kakek jangkung itu tidak 
mampu menahan hantaman tongkatnya. Ta-
pi kali ini ia hanya terjajar mundur 
tanpa mengalami luka sedikit pun. Je-
las, hal itu membuktikan kalau musuh 
lamanya itu telah berlatih keras untuk 
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Rupanya 
kesombongannya kali ini cukup berala-
san.
Pada saat itu, sepasang pedang

kembar di tangan kakek jangkung sudah 
menyambar-nyambar hebat Dewa Gila 
Jenggot Putih yang tidak mau tubuhnya 
dijadikan sasaran pedang lawan, cepat 
menyambut dengan putaran tongkat bambu 
kuningnya. Maka pertarungan pun ber-
langsung semakin sengit.
Ilmu 'Pedang Kembar' yang di-
mainkan Pendekar Pedang Kembar benar-
benar hebat. Sepasang pedang di tan-
gannya menyambar ganas mengincar ti-
tik-titik kelemahan di tubuh lawan. 
Setiap kali senjata itu menyambar, 
terdengar suara mengaung tajam yang 
memekakkan telinga. Maka lawannya ha-
rus semakin berhati-hati dalam menang-
gulanginya.
Selama lima puluh jurus, kedua 
tokoh sakti itu masih terlihat berim-
bang. Meskipun Dewa Gila Jenggot Putih 
hanya bersenjatakan sebatang bambu, 
namun serangan-serangan balasannya ti-
dak bisa dianggap ringan. Tongkat di 
tangannya berputar dan bergerak aneh 
sehingga membuat lawannya kebingungan. 
Jurus 'Tongkat Delapan Penjuru' yang 
digunakannya memang mengandung banyak 
sekali perubahan yang tidak terduga. 
Bahkan terkadang aneh dan lucu.
Wuuut! Wuuut..!
Memasuki jurus yang keenam pu-
luh, Pendekar Pedang Kembar melancar-
kan serangan dengan gerakan menggunt-
ing. Sepasang pedangnya meluncur cepat

ke arah leher lawan. Sudah dapat di-
pastikan, apabila serangannya itu ber-
hasil, maka kepala lawan pasti akan 
menggelinding putus. Sebuah serangan 
yang keji dan ganas.
Menghadapi serangan lawannya 
kali ini, Dewa Gila Jenggot Putih kem-
bali membuat gerakan yang lucu dan 
mengejutkan. Begitu sepasang pedang 
lawan menggunting leher, mendadak tu-
buhnya berjongkok sambil menyodokkan 
ujung senjatanya ke ulu hati Pendekar 
Pedang Kembar. Tentu saja hal itu mem-
buat lawan terkejut dan terpaksa me-
lempar tubuhnya ke belakang.
Sepasang mata Pendekar Pedang 
Kembar membelalak dengan wajah pucat. 
Karena pada saat kedua kakinya baru 
saja menjejak tanah, ujung tongkat la-
wan masih saja mengincarnya. Dan ha-
tinya semakin terkejut melihat gerakan 
lawan yang terlihat asing dan aneh. 
Tampak tubuh lawan yang masih dalam 
keadaan berjongkok, melompat-lompat 
bagai seekor katak. Sedangkan tongkat 
bambu di tangan kakek gila itu melaku-
kan totokan-totokan menyerang bagian 
tubuhnya yang lemah.
Jelas kalau untuk menghindar, 
sudah tidak mungkin lagi. Maka kakek 
jangkung itu segera menggerakkan pe-
dang untuk memapak serangan tongkat 
yang membingungkan itu. Pendekar Pe-
dang Kembar semakin tercekat hatinya.

Karena setiap kali pedangnya menyam-
bar, selalu saja tongkat bambu itu 
berkelit bagaikan memiliki mata. Bah-
kan gerakan tongkat itu semakin liar 
dan cepat. Akibatnya, ketika tongkat 
bambu itu kembali menyambar untuk yang 
kesekian kalinya, Pendekar Pedang Kem-
bar tidak mampu lagi menghindar.
Tukkk! Bukkk!
Kakek jangkung itu menjerit ke-
ras. Seketika tubuhnya terlempar aki-
bat totokan dan hantaman tongkat yang 
mengenai paha dan dada. Meskipun tera-
sa sesak, pendekar itu bergerak bang-
kit. Dari sudut bibirnya terlihat cai-
ran merah mengalir. Itu menandakan ka-
lau tubuhnya telah terluka dalam aki-
bat pukulan lawan.
"He he he...! Kau masih harus 
belajar selama tiga puluh tahun lagi 
untuk dapat mengalahkanku, Pedang Bun-
tung," ejek Dewa Gila Jenggot Putih 
seraya terkekeh gembira.
"Jangan tertawa dulu, Dewa Gila! 
Aku belum mengaku kalah!" geram Pende-
kar Pedang Kembar yang kembali sudah 
bersiap hendak menyerang.
"Hm..., apakah aku harus membu-
nuhmu, baru kau mengaku kalah?"
Dewa Gila Jenggot Putih berkerut 
keningnya melihat lawan sudah bersiap 
hendak melanjutkan pertarungan. Sepa-
sang matanya berkilat menyiratkan naf-
su membunuh.

"Kalau memang mampu, lakukan-
lah!" sahut kakek jangkung itu yang 
masih saja menunjukkan ketinggian ha-
tinya meskipun sudah terluka dalam.
"Hm.... Jangan salahkan aku jika 
tubuhmu akan tergeletak tanpa nyawa!" 
ancam Dewa Gila Jenggot Putih.
Ternyata di balik kegilaannya, 
kakek berjenggot putih itu memang me-
nyimpan sifat kejam. Sehingga dalam 
dunia persilatan ia tidak diakui go-
longan putih. Padahal dia juga bukan 
dari golongan hitam. Kali ini sifat 
kejamnya pun kembali muncul setelah 
melihat kebandelan lawan yang tidak 
mau mengaku kalah.
"Hmh...!"
Pendekar Pedang Kembar sama se-
kali tidak menyahut. Terdengar gera-
mannya yang disertai gerakan sepasang 
senjata yang bergerak di kiri-kanan 
tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, tu-
buhnya segera meluncur menerjang la-
wan.
Dewa Gila Jenggot Putih mengges-
er tubuhnya ke kiri-kanan untuk meng-
hindari sambaran pedang lawan. Seseka-
li tongkat bambunya bergerak menang-
kis, apa bila serangan itu sudah tidak 
bisa dielakkan. Dan setiap kali me-
nangkis, selalu saja senjata lawan di-
buat terpental balik. Lalu, disusu-
linya dengan totokan ujung tongkat ke 
jalan darah kematian di tubuh lawan.

Serangan-serangan balasan yang 
dilancarkan kakek gila itu benar-benar 
membuat kewalahan Pendekar Pedang Kem-
bar. Apalagi keadaan tubuhnya memang 
sudah terluka. Sehingga setiap kali 
pedangnya membentur tongkat lawan. Da-
danya terasa semakin sesak dan nyeri. 
Dan hal itu membuatnya semakin terde-
sak hebat
"Hiaaat...!"
Pada jurus keempat puluh, tiba-
tiba Dewa Gila Jenggot Putih berteriak 
nyaring. Akibatnya, tubuh lawan lang-
sung bergetar. Saat itu juga ujung 
tongkatnya meluncur, menotok pelipis 
lawan sebanyak dua kali.
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh 
kakek jangkung itu terbanting ke ta-
nah. Setelah berkelojotan sesaat tubuh 
itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. 
Mati. Pada kedua pelipisnya terdapat 
tanda kebiruan bekas totokan ujung 
tongkat bambu Dewa Gila Jenggot Putih.
"Huh! Salahmu sendiri yang sen-
gaja mencari kematian!" sambil bersun-
gut-sungut, Dewa Gila Jenggot Putih 
melangkah meninggalkan mayat lawannya.
"Wah! Kau hebat sekali, Kek!" 
sorak si bocah sambil berlari mengham-
piri Dewa Gila Jenggot Putih, Meskipun 
bocah itu tidak memperhatikan jalannya 
pertarungan secara keseluruhan, tapi
melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar 
telah roboh dan tak bergerak lagi. Ma-
ka dia berlari menyambut kakek gila 
itu.
"He he he.... Apalah, hebatnya 
si Pedang Kembar itu? Ia hanya besar 
mulut saja. Tapi kepandaiannya, nih," 
sahut Dewa Gila Jenggot Putih seraya 
menjentikkan ibu jarinya ke jari ke-
lingking.
"Tapi, mengapa dia tidak bangun 
lagi, Kek? Apakah dia telah mati?" 
tanya bocah jembel itu ketika melihat 
tubuh Pendekar Pedang Kembar tidak 
bergerak-gerak lagi.
"Sudahlah. Jangan kau pikirkan 
manusia sombong itu. Biar dia bawa ke-
sombongannya itu ke akhirat. Ayo, kita 
pergi," ajak Dewa Gila Jenggot Putih 
sambil menarik tangan si bocah untuk 
dibawa meninggalkan tempat itu.
"Kalau dia sudah mati, mengapa 
tidak dikuburkan?" tanya bocah itu 
sambil memandang wajah si kakek gila 
dengan kening berkerut
"Ah, biarkan saja. Nanti kalau 
ada orang yang melihat pasti mayatnya 
akan dikuburkan," sahut Dewa Gila 
Jenggot Putih. Tanpa berkata apa-apa 
lagi, kakek itu langsung membawa si 
bocah pergi. Namun baru beberapa lang-
kah berjalan, kakek gila itu menoleh 
ke arah si bocah.
"Oh, ya. Siapa namamu, Bocah?"

"Pandu. Itulah namaku, Kek."
"Nah! Kalau begitu, mulai saat 
ini kau harus memanggilku eyang, men-
gerti?"
"Baik, Kek... eh, Eyang," sahut 
bocah yang ternyata bernama Pandu.


TIGA


"Hiaaat..!"
Terdengar teriakan-teriakan 
nyaring memecahkan kesunyian pagi di 
atas puncak Gunung Pancar. Teriakan 
itu berasal dari mulut seorang pemuda 
bertubuh sedang, namun nampak sehat 
dan kuat. Dadanya yang bidang sudah 
dibanjiri peluh. Itu terlihat jelas 
karena tubuh bagian atasnya tidak ter-
tutup pakaian.
Pemuda itu memainkan jurus yang 
gerakan-gerakannya aneh, namun terli-
hat cepat dan mengandung tenaga dalam 
kuat. Kedua kakinya bergerak lincah 
dengan langkah-langkah yang terlihat
aneh dan lucu. Tapi jelas kalau itu 
gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang 
jarang ada duanya.
Wuuut! Wuuut!
Pukulan dan tendangannya melun-
cur deras membelah udara hingga menim-
bulkan angin berkesiutan. Dari langkah 
kaki dan sambaran pukulannya, jelas 
sekali kalau pemuda berwajah tampan 
itu telah menguasai baik ilmu-ilmunya.

"Cukup, Pandu. Sekarang aku in-
gin melihat kau memainkan 'Ilmu Tong-
kat Delapan Penjuru' yang merupakan 
ilmu inti perguruan kita," ujar seo-
rang kakek yang usianya kurang lebih 
sekitar delapan puluh tahun.
Kakek itu cepat melemparkan se-
batang bambu yang berwarna kuning 
mengkilat dan terlihat sangat kuat Ke-
mudian, kakek yang tak lain dari Dewa 
Gila Jenggot Putih, mengelus-elus 
jenggot putihnya yang sudah semakin 
panjang.
Pemuda tampan berdada bidang itu 
ternyata Pandu, yang sepuluh tahun la-
lu dibawa Dewa Gila Jenggot Putih. Bo-
cah jembel berpakaian kumal itu kini 
telah menjelma menjadi seorang pemuda 
tampan. Sepasang matanya tampak meman-
carkan kecerdikan. Wajahnya yang bulat 
telur dan beralis tebal hitam itu, 
membuatnya semakin gagah dan jantan. 
Pandu benar-benar telah menjelma men-
jadi seorang pemuda hebat.
Begitu mendengar perintah gu-
runya, pemuda itu segera menghentikan 
gerakan. Tubuhnya melambung ke atas 
setinggi dua tombak ketika mendengar 
suara berdesing dari belakangnya. Den-
gan sebuah gerakan indah, tubuh pemuda 
itu berputar sambil mengulur tangan 
menangkap tongkat yang dilemparkan gu-
runya. Kemudian, ia kembali berputar 
sebanyak dua kali sebelum kakinya men

darat di tanah.
"Haiiit..!"
Begitu kedua kakinya menyentuh 
tanah, pemuda itu berseru nyaring sam-
bil memutar bambu yang sudah tergeng-
gam erat di tangan.
Wuuut! Wuuut!
Bambu kuning yang panjangnya 
hampir mencapai satu batang tombak itu 
lenyap, karena telah membentuk sinar 
kuning hingga menimbulkan deruan angin 
tajam. Dari gulungan sinar itu kadang-
kadang ujung bambu menyembul, melaku-
kan totokan-totokan yang menimbulkan 
suara mencicit nyaring. Ini menandakan 
kalau tenaga dalam yang dimiliki pemu-
da tampan itu cukup tinggi. Dan me-
mang, hanya orang-orang yang memiliki 
tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu 
menimbulkan suara itu.
"Cukup!" perintah Dewa Gila 
Jenggot Putih yang tersenyum-senyum 
puas melihat betapa hasil didikannya 
selama ini tidak mengecewakan.
Pandu menutup gerakannya ketika 
mendengar seruan gurunya. Kemudian tu-
buhnya berbalik, lalu melangkah meng-
hampiri tempat gurunya berada. Meski-
pun telah berlatih cukup lama, namun 
sama sekali pemuda itu tidak nampak 
lelah. Hanya keringatnya saja yang 
mengalir turun, menandakan kalau telah 
cukup lama berlatih. Kulitnya yang ke-
coklatan tampak berkilatan, karena ke

ringatnya terjilat pantulan cahaya ma-
tahari.
"Duduklah, Cucuku," ujar Dewa 
Gila Jenggot Putih sambil menepuk batu 
pipih di sebelahnya.
"Bagaimana latihanku tadi, 
Eyang? Apakah sudah terlihat baik?" 
tanya Pandu setelah duduk di sebelah 
gurunya.
Setiap kali habis berlatih, Pan-
du selalu meminta pendapat gurunya. 
Kali ini pun demikian.
"Hm.... Kau selalu menanyakan 
pendapatku setelah selesai berlatih. 
Apakah kau sendiri tidak mengeta-
huinya?" tanya Dewa Gila Jenggot Pu-
tih.
Dia kemudian memandang wajah mu-
ridnya sambil terkekeh gembira. Diam-
diam kakek itu merasa kagum melihat 
wajah muridnya yang gagah dan tampan 
itu.
Sama sekali tidak dikira kalau 
bocah kurus dan kumal yang dulu diba-
wanya itu ternyata telah menjadi seo-
rang pemuda berwajah jantan dan bertu-
buh tegap. Tersirat rasa bangga di ma-
tanya, melihat keadaan muridnya yang 
telah jauh berubah itu. Dan ia lang-
sung tersenyum bila mengingat hal itu.
"Sebenarnya aku juga mengetahui 
dan merasakan kemajuan yang kuperoleh, 
Eyang. Tapi rasanya masih belum merasa 
puas kalau belum mendengar pendapat

Eyang," sahut Pandu sambil menyusut 
peluh yang membasahi wajah dengan pa-
kaiannya. Ketika berlatih tadi, pa-
kaian itu diletakkan di atas batu yang 
sekarang didudukinya.
"Hm.... Kau harus percaya kepada 
dirimu sendiri, Cucuku. Sekarang ba-
gaimana kalau kau meminta pendapat ke-
pada orang lain, sedangkan orang itu 
justru mencela permainanmu? Lalu, apa-
kah penilaiannya akan kau percayai? 
Padahal kau sendiri tahu kalau permai-
nanmu itu sudah baik dan sempurna. 
Nah, apa yang akan kau perbuat?" tanya 
Dewa Gila Jenggot Putih seraya terse-
nyum lucu.
"Yah, kutinju saja wajahnya. Se-
bab apa yang dikatakannya itu bohong. 
Dan orang berbohong harus dihukum," 
sahut Pandu seenaknya.
Mendengar jawaban muridnya yang 
sembarangan itu, Dewa Gila Jenggot Pu-
tih tertawa terbahak-bahak. Kakek sak-
ti itu merasa harus tertawa mendengar 
jawaban lucu muridnya yang memang ber-
watak gembira dan bicara seenaknya 
itu. Tapi di balik semua sifat itu, ia 
tahu kalau muridnya cerdik dan penuh 
perhitungan dalam menghadapi sesuatu. 
Dan semua itu sudah dibuktikan Pandu 
dengan melatih secara sempurna semua 
ilmu-ilmu yang telah diturunkan.
Sebentar kemudian, suara tawa 
kakek itu pun lenyap. Lalu ditatapnya

Pandu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pandu! Tahukah kau, sudah bera-
pa lama kau tinggal di tempat ini?" 
tanya Dewa Gila Jenggot Putih tanpa 
senyum di wajahnya.
"Hm... Kurang lebih sepuluh ta-
hun, Eyang. Memangnya ada apa, Eyang?" 
tanya Pandu.
Pemuda itu merasa aneh melihat 
kesungguhan di wajah gurunya, sehingga 
menimbulkan rasa heran dalam dirinya. 
Dan memang, tidak biasanya kakek itu 
bersikap demikian sungguh-sungguh. Pa-
dahal dalam menurunkan ilmu kepadanya 
pun, dia tidak pernah kelihatan sung-
guh-sungguh seperti sekarang.
"Selama ini aku tidak pernah me-
nanyakan riwayatmu, karena merasa be-
lum menemukan waktu yang cocok. Tapi 
sekarang setelah pelajaranmu tamat, 
kuminta agar kau sudi menceritakan-
nya," pinta kakek itu seraya menatap 
wajah muridnya lekat-lekat
"Jadi ilmu-ilmu yang kupelajari 
sudah sempurna, Eyang?" tanya Pandu.
"Bukan sempurna, Cucuku. Tapi 
sudah cukup sempurna. Karena tidak ada 
satu pun di dunia ini yang sempurna. 
Dan, jangan sekali-kali menganggap il-
mu yang kau miliki itu paling tinggi 
di dunia."
Dewa Gila Jenggot Putih selan-
jutnya memberi nasihat pada Pandu jika 
nanti terjun dalam rimba persilatan.

Pemuda itu kelihatan sungguh-sungguh 
mendengarnya.
"Oh, ya. Sekarang ceritakanlah 
riwayatmu. Apakah kau sudah tidak mem-
punyai orang tua lagi?" tanya Dewa Gi-
la Jenggot Putih, menutup nasihatnya.
Pandu tercenung sejenak. Matanya 
menerawang jauh ke masa silam.
***
Kadipaten Panjalu yang semula 
damai dan tenteram, tiba-tiba berubah 
kacau oleh adanya perang saudara. Pe-
rang yang memakan banyak korban jiwa 
itu merembet sampai ke Desa Surungan.
Suasana yang kacau itu membuat 
orang tidak tahu, mana lawan dan mana 
kawan. Demikian pula di Desa Surungan. 
Setiap orang saling bunuh, bila satu 
sama lain saling mencurigai. Rumah-
rumah penduduk dibakar. Demikian pula 
rumah Kepala Desa Surungan. Bahkan Ki 
Sumareja yang menjadi kepala desa di 
situ harus kehilangan rumahnya.
Orang-orang berbondong-bondong 
mengungsi. Di antaranya ada Ki Sumare-
ja dan keluarganya.
"Ayah, aku takut..," ratap seo-
rang bocah perempuan berusia sekitar 
tujuh tahun.
"Tenanglah, Ratih. Aku ada ber-
samamu," hibur seorang bocah laki-laki 
berusia sembilan tahun. Dia adalah ka

kak dari bocah perempuan itu.
"Cepat sedikit, Pandu! Gerombo-
lan pemberontak itu sebentar lagi akan 
datang!" ujar Ki Sumareja kepada bocah 
laki-laki yang bernama Pandu.
Sementara itu, istri Ki Sumareja 
berjalan cepat tersuruk-suruk mengiku-
ti suami dan dua anaknya. Sedangkan, 
penduduk yang mengungsi semakin ramai 
saja. Masalahnya, ketika sampai di ja-
lan utama, mereka bercampur baur den-
gan penduduk desa-desa lain.
Dan belum lagi seluruh pengungsi 
itu sampai di tempat tujuan, gerombo-
lan pemberontak telah datang lagi. Me-
reka datang menggunakan kuda sambil 
mengacung-acungkan senjata. Maka seke-
tika seluruh pengungsi semakin berce-
rai-berai. Mereka kocar-kacir, tak ta-
hu harus berbuat apa.
"Ayah!" teriak Pandu, ketika pe-
gangannya terlepas dari tangan ayahnya 
karena terdorong oleh orang-orang yang 
berlarian bingung. 
"Pandu!"
Ki Sumareja berusaha meraih 
anaknya, tapi tak berhasil karena ter-
dorong oleh orang lain. Sementara Ra-
tih masih dalam genggaman tangan sa-
tunya. Sedangkan istrinya juga entah 
berada di mana.
Makin lama, jarak mereka semakin 
jauh. Apalagi para pemberontak telah 
membantai satu persatu para penduduk.

***
Perang saudara telah usai. Pihak 
pemberontak telah berhasil dipadamkan. 
Namun Ki Sumareja masih berada di tem-
pat pengungsian bersama anak perem-
puannya, Ratih.
"Ayah, di mana Kakang Pandu?" 
tanya Ratih, sedih.
"Entahlah, Anakku. Ayah telah 
memerintahkan pamanmu untuk menca-
rinya. Tapi, tak berhasil. Kalau dia 
mati, tapi mayatnya tidak ditemukan," 
desah Ki Sumareja.
Laki-laki berusia empat puluh 
tahun itu tampak tabah menghadapi ben-
cana yang menimpa keluarga dan de-
sanya. Bahkan istrinya yang terpisah 
saat mengungsi, telah ditemukan tewas. 
Dan kini, mayatnya telah dikuburkan
"Oh, Tuhan! Selamatkanlah Pandu. 
Biarlah dia berpisah denganku, asalkan 
tetap hidup. Suatu saat nanti, pasti 
dia akan mencariku."
***
"Hm.... Jadi waktu aku menolong-
mu di Desa Tunjung itu, kau dalam per-
jalanan mencari keluargamu?" tanya De-
wa Gila Jenggot Putih ketika Pandu te-
lah menyelesaikan ceritanya.
Kakek itu tampak terharu menden-
gar cerita muridnya. Itulah sebabnya,

mengapa Pandu demikian tabah dan keras 
hati. Rupanya jiwanya telah terbentuk 
oleh penderitaan hidup yang dijalani. 
Betapa kagum hati kakek berjenggot pu-
tih itu terhadap Pandu. Bocah jembel 
dan kurus itu telah melakukan perjala-
nan dari satu desa ke desa lain untuk 
mencari keluarganya. Pantas saja tu-
buhnya demikian kuat meskipun kurus.
"Benar, Eyang. Aku bertanya ke 
sana kemari, namun tidak ada satu pun 
yang mengenal ayahku. Lalu, aku sing-
gah di sebuah kedai. Di sana tenagaku 
kutawarkan dengan harapan akan mempe-
roleh imbalan makanan untuk mengisi 
perutku yang lapar. Tapi, yang kudapat 
dari mereka hanyalah hinaan dan puku-
lan," teringat akan kejadian itu, tim-
bul rasa geram di hati Pandu.
"Hm.... Lalu, apakah sekarang 
kau masih ingin mencari kedua orang 
tua dan adik perempuanmu itu?" tanya 
Dewa Gila Jenggot Putih lagi.
"Kalau Eyang mengizinkan, aku 
masih akan berusaha mencari. Aku harus 
mengetahui nasib mereka, Eyang."
"Tidak ada lagi yang dapat kau 
pelajari dariku. Semua ilmu yang kumi-
liki sudah kuturunkan kepadamu. Dan 
sudah waktunya kau turun gunung untuk 
mencari pengalaman, sekaligus mema-
tangkan ilmu-ilmu yang telah kau pela-
jari di sini," jelas Dewa Gila Jenggot 
Putih tersenyum melihat wajah muridnya

yang berseri gembira mendengar ucapan-
nya.
"Terima kasih.... Terima kasih, 
Eyang. Tapi.., bagaimana dengan Eyang? 
Siapa yang akan melayani segala keper-
luan Eyang selama aku pergi nanti?"
Wajah Pandu yang semula berseri 
mendadak muram begitu teringat keadaan 
gurunya yang sudah sangat tua. Tentu 
setelah kepergiannya nanti, kakek itu 
akan merasa kesepian karena tidak ada 
lagi yang menemaninya. Mengingat hal 
itu, hati Pandu terasa berat mening-
galkan gurunya.
"Jangan pikirkan aku, Pandu. 
Apakah kau kira aku sudah sedemikian 
lemah hingga harus selalu diurusi! 
Huh! Seperti anak kecil saja! Sudah-
lah. Besok pagi-pagi sekali kau boleh 
berangkat untuk menambah pengalaman 
dan mencari kedua orang tua dan adik-
mu," tegas kakek itu yang dari nada 
suaranya jelas tidak ingin mendengar 
bantahan muridnya.
Lalu Dewa Gila Jenggot Putih itu 
pun memberi wejangan-wejangan yang di-
anggap perlu. Setelah matahari sudah
naik tinggi, barulah mereka beranjak 
meninggalkan tempat itu dan menuju 
pondoknya.
***
EMPAT

Pada saat cahaya kemerahan mulai 
nampak di kaki langit sebelah Timur, 
Pandu berpamitan kepada gurunya. Kini 
dia telah berjalan agak jauh mening-
galkan pondok. Pemuda tampan berkulit 
kecoklatan itu bergegas berlari-lari 
kecil menuruni lereng gunung. Sesekali 
ia melompat dengan wajah riang melewa-
ti sebongkah batu cukup besar yang 
menghalangi jalan.
Sudah cukup jauh juga Pandu ber-
lari-lari kecil sambil mengerahkan il-
mu meringankan tubuh. Dan kini dia su-
dah berada di sebelah Barat kaki Gu-
nung Pancar. Pemuda itu terus berlom-
patan melewati aliran sungai yang mem-
bentang di depannya. Kemudian perjala-
nannya dilanjutkan dengan menggunakan 
ilmu lari cepat, sekaligus untuk men-
guji ilmu yang diturunkan gurunya. Tu-
buh pemuda itu berkelebat cepat bagai-
kan bayang-bayang, untuk kemudian le-
nyap di mulut sebuah hutan.
Ketika matahari sudah berada di 
atas kepalanya, Pandu sudah jauh me-
ninggalkan tempat kediaman gurunya. 
Kepalanya menoleh ke belakang meman-
dangi puncak Gunung Pancar yang terli-
hat samar karena tertutup kabut. Hati 
pemuda tampan itu sempat terharu keti-
ka teringat gurunya kini hanya tinggal
seorang diri

Pandu melangkahkan kakinya me-
nyusuri tepian sungai. Ketika melihat 
betapa jernihnya aliran sungai yang 
bergemericik, timbul niatnya untuk 
mandi.
"Hm.... Segar rasanya bila dapat 
merendam tubuh di air yang jernih dan 
sejuk itu," gumam Pandu.
Pemuda itu segera melangkahkan 
kakinya menuju tepian sungai. Ia me-
nyusuri tepian sungai dan mencari tem-
pat yang kira-kira mudah untuk turun 
ke bawah.
Mata Pandu merayapi sekitarnya, 
mencari tempat yang baik. Pemuda tam-
pan itu kemudian melangkahkan kakinya 
ke tempat yang dimaksud. Karena letak 
tempatnya berdiri lebih tinggi dari 
aliran sungai itu, maka wajah pemuda 
itu menunduk karena jalan ke arah itu 
sangat becek dan licin.
"Hei, kurang ajar kau! Mau men-
gintip orang mandi, ya! Keparat, kubu-
nuh kau!"
Bukan main terkejutnya hati Pan-
du ketika mendengar suara bernada san-
gat marah. Matanya masih sempat meli-
hat sesosok bayangan yang berkelebat 
ke balik batu besar yang berada di 
tengah sungai. Pemuda itu menengok ke 
sekitarnya, seolah-olah ingin mencari 
orang yang membuat gadis itu marah. 
Sudah dapat diterka kalau si empunya 
suara itu pasti seorang gadis, karena

terdengar nyaring dan kecil.
"Hei, siapa yang kau cari?! Da-
sar pemuda kurang ajar! Mata keran-
jang! Hayo, cepat pergi!" teriak gadis 
itu.
Dia memang bersembunyi di balik 
batu besar. Sepasang matanya yang men-
gintai dari balik batu itu tampak me-
nyiratkan kemarahan yang ditujukan ke-
pada Pandu.
"Aku...?" gumam Pandu sambil me-
nunjuk dadanya karena memang benar-
benar tidak tahu, siapa yang dimaki 
gadis itu.
"Ya! Kau, pemuda tidak tahu so-
pan! Memangnya kau pikir siapa lagi 
yang berada di tempat ini selain kau 
dan aku!" bentak gadis itu.
Tampaknya dia semakin gemas me-
lihat tingkah Pandu yang seperti ber-
pura-pura tolol. Padahal, memang se-
sungguhnya pemuda itu sama sekali ti-
dak tahu kalau makian itu ditujukan 
kepada dirinya.
Dengan wajah masih dilanda ke-
bingungan, akhirnya Pandu kembali naik 
ke atas. Selebar wajahnya merah mena-
han malu karena dikira mengintip orang 
mandi.
"Kurang ajar! Memangnya dikira 
aku ini apanya? Enak saja memaki-maki 
orang! Huh...! Siapa yang sudi mengin-
tip-intip orang mandi! Dasar perempuan 
binal!" sambil melangkah naik, Pandu

tak henti-hentinya mengomel.
Pemuda itu benar-benar merasa 
tersinggung mendengar dirinya dimaki-
maki seperti itu. Karena dia merasa 
tidak berbuat apa-apa. Ingin rasanya 
membalas memaki-maki gadis itu.
Pandu melangkahkan kakinya men-
jauhi sungai. Hilang sudah keinginan-
nya untuk berendam di air sungai yang 
jernih itu.
"Huh, harus kubalas makian gadis 
binal itu! Enak saja memaki orang!" 
umpat Pandu tanpa disadari kalau uca-
panya keluar agak keras.
"Apa?! Siapa yang ingin kau ba-
las?! Siapa yang binal? Hayo, jawab?"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu saja di depan Pandu telah berdiri 
seorang gadis cantik mengenakan baju 
warna merah. Wajahnya tampak segar ke-
merahan dengan rambut masih agak ba-
sah. Jelas kalau gadis itu baru turun 
dari sungai
Kaget bukan main Pandu ketika 
mendengar suara ketus gadis itu. Semua 
makian yang semula sudah berada di 
ujung lidahnya terbang entah ke mana. 
Pemuda tampan itu berdiri bengong me-
mandangi seraut wajah cantik di hada-
pannya. Cantik sekali! Sepasang ma-
tanya yang membelalak lebar itu demi-
kian indah bagaikan bintang pagi. Ke-
dua pipinya yang halus dan berwarna 
kemerahan membuatnya semakin cantik.

Hidungnya yang kecil mancung membuat 
orang gemas untuk mencubitnya. Benar-
benar gadis yang mempesona.
"Hei! Kau tuli, ya! Kau bisu, 
ya! Hayo! Bukankah kau ingin membalas 
makianku? Kenapa kau diam saja?" gadis 
cantik yang galak itu kembali melon-
tarkan kata-kata makian kepada Pandu.
Bukannya menjawab, Pandu malah 
semakin melongo bagai orang yang hi-
lang ingatan. Sepasang matanya terpaku 
menatap bibir tipis berbentuk indah 
dan segar kemerahan itu. Hati pemuda 
itu bagai diaduk-aduk melihat bibir 
yang merah basah bergerak-gerak membe-
tot-betot jiwanya. Begitu terpesonanya 
hati Pandu sehingga sama sekali tidak 
mendengar makian yang meluncur dari 
bibir gadis jelita itu.
Gadis berbaju merah itu menjadi 
semakin berang melihat sikap pemuda 
itu yang seperti orang tolol. Kemara-
hannya pun semakin memuncak, dan tahu-
tahu saja tangan kanannya bergerak me-
nampar wajah Pandu.
Plakkk!
Tamparan telapak tangan halus 
itu membuat Pandu tersadar dari rasa 
terpesona yang membuatnya terlena. Pi-
pi kiri pemuda itu memerah akibat tam-
paran tangan cukup keras dari gadis 
galak itu. Meskipun memiliki sifat ga-
lak, namun ia ternyata bukan orang 
yang kejam. Sebab tamparan itu sama

sekali tidak mengandung tenaga dalam. 
Padahal menilik dari gerakannya, jelas 
dia memiliki kepandaian yang tidak 
rendah. 
"Oh! Eh! Apa..., apa...?" kata 
Pandu gugup dengan wajah yang semakin 
ketakutan.
Hampir saja gadis itu tertawa 
geli melihat sikap pemuda yang semakin 
linglung. Itu terlihat jelas dari ta-
rikan bibirnya yang turun naik. Namun 
gadis itu berusaha untuk tidak terta-
wa, setelah mengingat perbuatan pemuda 
tampan yang mengintipnya ketika sedang 
membersihkan tubuh di sungai
"Kau..., kau pemuda tolol! Ku-
rang ajar! Mengapa hanya memandangku? 
Bukankah kau hendak membalas makian-
ku?" bentak gadis jelita itu berusaha 
menutupi kegelian hatinya.
"Ahhh! Kau..., kau pasti seorang 
dewi!" desah Pandu melihat kecantikan 
gadis berbaju merah itu.
Pandu berpikir, bagaimana mung-
kin ia bisa berada di tempat sepi se-
perti itu. Sedangkan tempat itu sangat 
jauh dari pedesaan. Dan lagi, mana 
mungkin seorang gadis yang demikian
cantik jelita seperti itu bisa terbe-
bas dari laki-laki jahil? Rasanya ti-
dak mungkin kalau gadis itu hanya seo-
rang wanita desa biasa?
***
Pandu yang sudah merasa yakin 
kalau gadis jelita berbaju merah itu 
adalah seorang dewi dari kahyangan, 
langsung menjatuhkan dirinya berlutut 
di depan gadis itu.
"Ampunkan aku, Dewi. Aku sama 
sekali tidak bermaksud berbuat buruk 
terhadap Dewi. Dan sama sekali tidak 
mengetahui kalau saat itu Dewi tengah 
membersihkan diri. Sekali lagi, aku 
mohon ampun," ucap Pandu sambil men-
gangguk-anggukkan kepala, takut akan 
kemarahan gadis jelita yang dianggap 
sebagai dewi dari kahyangan.
Mula-mula gadis jelita itu mera-
sa terkejut dan heran melihat betapa 
tiba-tiba pemuda itu berlutut di de-
pannya. Hampir saja kakinya bergerak 
menendang karena menyangka pemuda itu 
hendak berbuat kurang ajar lagi. Cepat 
gerakannya ditahan begitu mendengar 
ucapan pemuda itu yang terlihat sung-
guh-sungguh.
Gadis jelita berbaju merah itu 
tak dapat lagi menahan kegelian ha-
tinya, melihat sikap pemuda yang di-
anggapnya sangat lucu. Terdengarlah 
suara tawanya yang merdu dan berkepan-
jangan. Kalau saja si gadis tidak te-
ringat akan perbuatan kurang ajar pe-
muda itu, mau rasanya ia tertawa se-
puas-puasnya. Maka seketika timbul 
niatnya untuk mempermainkan pemuda

yang nampak tolol itu.
"Hm.... Tahukah kau, kesalahanmu 
itu sangat besar dan tidak mungkin 
mendapat ampunan!" kata gadis jelita 
itu.
Dia sengaja menyembunyikan se-
nyumnya dengan mengeluarkan suara yang 
terdengar halus dan mengandung perbawa 
kuat. Untunglah pemuda itu sedang ber-
lutut sambil menundukkan wajah, se-
hingga tidak dapat melihat roman wa-
jahnya yang mati-matian menahan ta-
wanya.
"Ampun, Dewi. Aku sama sekali 
tidak bermaksud buruk. Dan aku... aku 
pun belum sempat melihatnya," sahut 
Pandu sambil tetap menundukkan wajah-
nya dalam-dalam.
Terbersit harapan di hati pemuda 
itu ketika mendengar suara sang Dewi 
yang sudah tidak segalak pada waktu 
pertama tadi. Meskipun demikian, wa-
jahnya sama sekali tidak berani diang-
kat. Karena menurut apa yang didengar 
dari ayahnya dulu, adalah dosa besar 
dan tidak terampuni apabila berani me-
natap wajah seorang dewi secara lang-
sung. Rupanya cerita-cerita ayahnya 
semasa kecillah yang membuat Pandu be-
gitu yakin kalau gadis jelita yang 
saat itu berada di hadapannya adalah 
seorang dewi.
"Hm.... Meskipun hal itu dilaku-
kan tanpa sengaja, kau harus tetap


mendapat hukuman!" bentak gadis jelita 
itu berusaha sekuat tenaga agar ta-
wanya tidak meledak
"Ampun, Dewi. Hukuman apa pun, 
aku akan rela menerimanya. Aku..., 
bersedia menebus dosa," sahut Pandu 
kembali mengangguk-anggukkan kepalanya 
penuh hormat
Pemuda itu mau menerima hukuman 
yang akan dijatuhkan sang Dewi, karena 
merasa yakin kalau hukuman itu tidak 
sampai membuatnya terluka parah. Apa-
lagi sampai tewas. Sebab, seorang dewi 
pasti memiliki hati yang bijak dan 
lembut. Sudah pasti hukuman yang akan 
dijatuhkan hanya sekadar membuatnya 
jera, namun tidak akan sampai menya-
kitkan.
"Bagus! Sekarang kau harus me-
nampar kedua pipimu sendiri sebanyak 
masing-masing lima kali. Nah, lakukan-
lah!" perintah gadis jelita itu seraya 
tersenyum penuh kemenangan melihat be-
tapa dengan mudah kekurangajaran pemu-
da itu dapat dibalasnya.
"Tapi... Tapi, Dewi..."
Pandu hendak membantah demi men-
dengar hukuman yang aneh itu. Sebab 
menurut cerita yang di dengarnya, hu-
kuman yang dijatuhkan sang Dewi selalu 
yang baik-baik. Seperti nasihat atau-
pun berupa pekerjaan. Tapi mengapa hu-
kuman yang dijatuhkan kepadanya agak 
lain? Mungkin karena kesalahan yang

dilakukan terlalu berat!
"Hm... Kau ingin membantah?" 
bentak sang Dewi lagi dengan suara 
yang terdengar marah.
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku 
berani membantah perintah Dewi," sahut 
Pandu tanpa berani mengangkat kepa-
lanya.
Setelah berkata demikian, kedua 
tangannya digerakkan untuk menampar 
mukanya sendiri berkali-kali. Hal itu 
dilakukannya sambil tetap merunduk.
"Hi hi hi... Dasar pemuda bodoh 
berotak kerbau," gumam gadis jelita 
berbaju merah itu yang segera melesat 
cepat meninggalkan Pandu yang tengah 
menampari mukanya.
Setelah memukuli wajahnya seba-
nyak lima kali, Pandu masih tetap me-
nunduk. Pemuda itu baru berani men-
gangkat kepala setelah merasa yakin 
kalau dewi berbaju merah itu sudah 
pergi jauh dan tidak mungkin terlihat
lagi. Wajah pemuda itu terlihat agak 
sedikit membengkak, karena tamparannya 
yang cukup keras tadi.
Pandu bangkit berdiri memandang 
ke arah perginya gadis jelita berbaju 
merah yang dianggapnya seorang dewi 
itu. Sampai saat itu ia memang masih 
belum sadar kalau dirinya telah diper-
mainkan gadis galak yang cerdik itu.
"Dewi... Ah, betapa cantiknya 
wajahmu. Betapa beruntungnya aku kare

na telah sempat berlama-lama memandang 
dan mengagumi wajahmu. Untunglah aku 
terlambat menyadari kalau kau sebenar-
nya adalah seorang dewi. Kalau tidak, 
tentu aku tidak pernah akan dapat me-
lihat kecantikan yang demikian agung 
dan mempesona," gumam Pandu yang piki-
rannya jadi melantur tidak karuan.
Tiba-tiba di pikirannya timbul 
untuk memberontak terhadap peraturan-
peraturan dari cerita yang tersebar 
tentang seorang dewi. Bukankah setiap 
orang bisa saja menikahi seorang dewi, 
apabila memang saling menyukai? Biar-
pun belum pernah ada cerita tentang 
seorang manusia yang menikah dengan 
seorang dewi, tapi itu belum tentu be-
rarti tidak boleh! Jadi, mengapa hal 
itu tidak dicoba? Segala hukuman akan 
diterimanya, asal dapat mempersunting 
dewi yang jelita itu.
Setelah berpikir demikian, pemu-
da itu pun kembali melangkahkan ka-
kinya menuju aliran sungai
***
Tak lama kemudian, Pandu pun su-
dah melangkahkan kakinya meninggalkan 
tempat itu. Matahari sudah mulai naik. 
Sinarnya yang kuning keemasan terasa 
hangat menyentuh tubuh.
Mendadak, baru saja beberapa 
langkah berjalan, pendengarannya yang

tajam menangkap denting senjata bera-
du. Sejenak pemuda itu menghentikan 
langkah dan semakin mempertajam pen-
dengarannya. Pandu langsung melesat 
setelah memastikan kalau suara itu 
pasti berasal dari suatu pertempuran 
yang cukup seru. Karena selain denting 
senjata berada juga tertangkap teria-
kan-teriakan nyaring. Sudah pasti sua-
ra itu bukan berasal dari seseorang 
yang tengah berlatih silat. Jelas itu 
sebuah pertempuran sengit.
Tubuh pemuda tampan itu terus 
melesat menuju asal suara pertempuran 
yang semakin jelas terdengar. Begitu 
tiba di dekat pertempuran, dada pemuda 
itu berdebar keras. Sepasang matanya 
membelalak lebar bagaikan tidak mem-
percayai penglihatannya! Betapa tidak! 
Sebab yang dilihatnya kini adalah seo-
rang gadis berbaju merah yang tengah 
dikeroyok belasan orang laki-laki ber-
seragam biru gelap.
"Mungkinkah dia si dewi jelita? 
Tapi mengapa berada di tempat ini? 
Dan, mengapa pula dikeroyok? Ah, mus-
tahil! Gadis itu sudah pasti orang 
lain yang kebetulan mengenakan pakaian 
sama. Tapi, siapa pun gadis berbaju 
merah itu, yang jelas aku harus meno-
longnya!"
Setelah mengambil keputusan de-
mikian, tubuh pemuda itu pun segera 
melesat ke arah pertarungan. Dia hanya

menggunakan sepotong ranting sebagai 
senjata.
"Hiaaat..!"
Disertai sebuah lengkingan nyar-
ing, Pandu langsung mengayunkan poton-
gan ranting itu ke arah salah seorang 
laki-laki berwajah brewok yang tampak 
tengah mendesak gadis itu.
Wuuut! Wuuut!
Ranting kayu di tangan Pandu 
berputar cepat dan bergerak mematuk-
matuk mengincar jalan darah pada tubuh 
laki-laki berwajah brewok itu. Tentu 
saja serangan yang hebat dan cepat itu 
membuat si brewok terkejut. Cepat tu-
buhnya melompat mundur, meninggalkan 
gadis berbaju merah yang hampir dapat 
ditaklukkannya. Tubuhnya terus berpu-
tar beberapa kali di udara sebelum 
mendarat di atas tanah.
Pandu tidak berusaha mengejar si 
brewok. Ranting kayunya kembali melun-
cur mematuk ke arah seorang lawan lain 
yang tengah menyerang gadis berbaju 
merah itu. Sedangkan yang seorang lagi 
sudah melompat mundur begitu melihat 
seorang pemuda bersenjatakan sebatang 
ranting kayu ikut-ikutan menyerang. 
Rupanya ia merasa gentar melihat se-
rangan ujung ranting kayu yang meno-
tok-notok menimbulkan suara berkesi-
utan.
Sedangkan pengeroyok lainnya, 
menjadi tersentak ketika merasakan

sambaran angin tajam dari arah bela-
kangnya. Cepat kakinya bergeser dan 
melangkah ke samping sebanyak dua 
langkah. Namun sebuah tendangan kilat 
pemuda itu yang sama sekali tidak di-
duga oleh seorang pengeroyok. Akibat-
nya tubuhnya terlempar dan terbanting 
keras.
Desss!
Tubuh kurus berwajah pucat itu 
terus bergulingan hingga dua tombak 
jauhnya. Namun, ternyata kekuatan tu-
buh orang tinggi kurus itu hebat seka-
li. Dia langsung melenting bangkit, 
seolah-olah tendangan yang cukup keras 
tadi sama sekali tidak ada artinya. 
Tapi dari seringainya yang ngeri, je-
las kalau tendangan Pandu telah mem-
buatnya sedikit menderita.
Si gadis berbaju merah ternyata 
juga merasa terkejut atas kehadiran 
seorang pemuda yang menggunakan rant-
ing sebagai senjatanya. Begitu menge-
nali wajah si pemuda, matanya terbela-
lak lebar bagai melihat hantu. Namun 
hal itu hanya berlangsung sesaat dan 
wajah wanita itu kembali seperti bi-
asa. Bahkan pura-pura tidak mengena-
linya.
Pandu yang sempat beradu pandang 
dengan gadis itu, terbelalak kaget. 
Sesaat kemudian wajah pemuda itu men-
jadi cerah bagaikan seorang anak kecil 
yang telah menemukan mainannya kemba

li.
"Kau... kau, Dewi...!" sebut 
Pandu dengan suara bergetar.
Ingin rasanya pemuda itu melom-
pat memeluk untuk menyatakan betapa 
besar rasa rindu yang dipendamnya. Un-
tung saja ia bisa menahan dirinya. Ka-
lau tidak, bisa-bisa ia dimaki-maki 
kembali oleh gadis jelita berbaju me-
rah itu.
Baik Pandu maupun si gadis, tak 
sempat bercakap meskipun sekejap. Ka-
rena pada saat itu, belasan orang ber-
seragam biru gelap yang dipimpin tiga 
orang tokohnya, telah bergerak menge-
pung. Beberapa orang di antaranya bah-
kan sudah melompat menerjang dengan 
senjata terhunus.
"Hiaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Si gadis berbaju merah dan Pandu 
bergerak menghindari serangan enam ba-
tang senjata yang berkelebat ke arah 
mereka. Pemuda tampan berwajah jantan 
itu marah bukan main ketika teringat 
kalau gadis baju merah itu hampir di-
buat celaka oleh para pengeroyoknya 
tadi. Tanpa tanggung-tanggung lagi, 
ranting kayunya segera diputar hingga 
menimbulkan angin menderu tajam.
"Manusia pengecut! Rasakan ke-
rasnya tongkatku ini!" bentak Pandu 
gusar.
Bettt! Bukkk! Tukkk!

Dua orang di antara mereka ter-
jengkang akibat hantaman dan totokan 
ujung ranting kayu di tangan Pandu. 
Mereka langsung ambruk tak berkutik 
lagi!
Rupanya dalam kemarahannya, Pan-
du telah mengerahkan hampir sepertiga 
tenaganya dalam melancarkan serangan.
Empat orang lainnya meloncat 
mundur dengan wajah pucat. Benar-benar 
tidak disangka kalau pemuda itu dapat 
menjatuhkan dua orang kawan mereka 
hanya sekali serang. Benar-benar se-
buah kepandaian yang tidak bisa dipan-
dang ringan.
Namun keempat orang itu tidak 
sempat berpikir lebih jauh. Karena pa-
da saat itu juga, ranting kayu di tan-
gan Pandu telah menyambar dengan kece-
patan menggetarkan.
Bukkk! Bekkk!
Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika tubuh keempat orang itu ter-
kena hantaman ranting kayu di tangan 
Pandu. Mereka langsung bertumbangan 
karena hantaman ranting kayu itu tepat 
mengenai jalan darah kematian.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" te-
riak lelaki brewok yang merupakan sa-
lah satu pimpinan belasan orang itu
Disertai teriakan murka, tubuh 
laki-laki brewok itu melesat menerjang 
Pandu dengan ayunan senjatanya. Pemuda 
bertubuh sedang itu hanya perlu meng

geser kaki kanannya sedikit, maka se-
rangan lawan hanya menyambar tempat 
kosong. Sebelum orang itu sempat mena-
rik pulang pedangnya, ranting kayu di 
tangan Pandu bergerak cepat ke arah 
ubun-ubun lawan.
Namun Pandu cepat mengurungkan 
serangan karena pada saat yang sama 
telinganya mendengar suara berdesing 
tajam dari arah samping kiri. Secara 
tak terduga, ranting kayu itu berputar 
setengah lingkaran dan langsung meno-
tok pergelangan tangan si kurus pucat 
yang memegang golok besar.
Laki-laki tinggi kurus berwajah 
pucat seperti mayat itu, terlihat se-
makin pucat wajahnya. Cepat-cepat per-
gelangan tangannya diputar ke atas. 
Dan kini golok besar itu berputar me-
nyambar leher Pandu. Benar-benar se-
buah gerakan yang lihai dan berbahaya.
Namun Pandu bukanlah pemuda sem-
barangan. Sebagai murid kesayangan to-
koh sakti yang berjuluk Dewa Gila 
Jenggot Putih, ia pun telah dibekali 
ilmu-ilmu tinggi. Maka menghadapi se-
rangan yang tak terduga itu, ia pun 
bersikap tenang. Kaki kanannya segera 
bergeser melebar dengan kuda-kuda ren-
dah. Pada saat golok besar itu menyam-
bar leher, kepala pemuda tampan itu 
sudah meliuk dan berputar menggunakan 
jurus 'Harimau Keluar Gua' yang telah 
dipelajarinya secara sempurna. Dan ta

hu-tahu saja, tangan kiri pemuda itu 
bergerak naik melakukan tusukan ke 
arah tenggorokan lawan.
Cuiiit..!
"Aaah...!"
Dua buah jari tangan yang keras 
bagai batang besi itu meluncur deras 
tak terduga. Orang berwajah pucat itu 
menjerit tertahan, dan sebisa-bisanya 
tubuhnya mengegos ke kiri untuk meng-
hindari tusukan yang bisa menamatkan 
jiwanya. Namun sayang, gerakannya ma-
sih kalah cepat dibanding gerakan la-
wan. Sehingga tusukan jari-jari seke-
ras besi itu sempat pula mengenai pun-
dak kanannya, meskipun tidak terlalu
telak 
Brettt!
Tubuh tinggi kurus itu terjajar 
mundur beberapa langkah ke belakang. 
Baju pada bagian bahunya robek, dan 
kulit dagingnya sedikit mengelupas 
akibat tusukan jari-jari Pandu. Orang 
itu meringis sambil menekap luka yang 
terasa panas dan nyeri. Diam-diam ha-
tinya merasa terkejut melihat keheba-
tan lawan yang entah muncul dari mana.
Sedangkan gadis berbaju merah 
itu sudah terlibat pertarungan sengit 
melawan lima orang yang dipimpin seo-
rang laki-laki bertubuh gemuk. Namun, 
laki-laki gemuk itu memiliki kecepatan 
yang tidak terduga.

***
Lima orang berseragam biru gelap 
itu terus mendesak gadis berbaju merah 
dengan serangan-serangan cepat dan ga-
nas.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tiba-
tiba tubuh gadis itu melompat ke samp-
ing kiri sambil menyabetkan pedangnya. 
Salah seorang pengeroyok yang berada 
di samping kiri tersentak kaget, se-
hingga wajahnya berubah pucat. Karena 
pada saat pedangnya tengah ditarik pu-
lang, pedang di tangan gadis itu telah 
berkelebat menyambar tubuhnya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, orang 
yang malang itu melintir akibat samba-
ran pedang lawan. Tubuhnya terbanting 
di atas tanah disertai semburan darah 
segar dari luka menganga di perutnya. 
Setelah berkelojotan meregang nyawa, 
tubuh lelaki malang itu pun diam tak 
bergerak. Mati.
"Setan betina keparat! Kubunuh 
kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk 
yang langsung memutar pedangnya hingga 
membentuk gulungan sinar yang meluncur 
mengincar tubuh si gadis.
Wuttt!
Namun gadis itu tidak gugup. 
Dengan gerakan indah, tubuhnya melom

pat ke kanan dan pedang di tangannya 
kembali berkelebat menyambar penge-
royoknya yang lain.
Hebat sekali perhitungan gadis 
berbaju merah itu! Dengan cerdiknya, 
serangan si gemuk berhasil dihindari 
dan kini malah mengancam yang lainnya.
Kembali terdengar teriakan ngeri 
ketika pedang di tangan gadis itu kem-
bali menelan korban. Tubuh salah seo-
rang pengeroyok itu kembali terjungkal 
mandi darah, dan langsung tewas dengan 
leher berlubang. Tentu saja hal itu 
semakin menambah kemarahan laki-laki 
gemuk itu.
"Hi hi hi...! Jangan terlalu 
sering mengumbar kemarahan, Paman Gen-
dut. Aku khawatir nanti perutmu jadi 
kempes, dan tubuhmu terbang ke neraka. 
Kalau sudah begitu, bukankah kau akan 
menjadi susah sendiri?" ejek gadis je-
lita itu seraya tertawa lucu.
Hampir meledak rasanya dada le-
laki gemuk itu ketika mendengar ejekan 
lawan. Dengan tatapan bagaikan hendak 
menelan gadis itu bulat-bulat, pedang-
nya langsung digerakkan secara bersi-
langan dengan seluruh tenaganya.
"Hm.... Kalau tadi kau dapat 
mendesakku, itu karena kalian melaku-
kan pengeroyokan secara curang! Tapi, 
kali ini jangan harap akan dapat me-
nyentuh tubuhku!" geram gadis berbaju 
merah itu yang sama sekali tidak mera

sa gentar melihat kemurkaan lawan.
Lelaki gemuk pendek yang sudah 
tidak dapat menahan amarahnya, lang-
sung melesat cepat disertai tusukan 
pedangnya. Senjata di tangannya yang 
berupa pedang itu berkelebat cepat 
mengancam titik-titik kelemahan di tu-
buh lawan.
Namun, si gadis jelita itu pun 
sudah mempersiapkan ilmu pedang untuk 
menghadapinya. Meskipun tiga orang 
berseragam biru gelap lainnya ikut 
mengeroyok, namun dia sama sekali ti-
dak nampak terdesak. Sinar pedangnya 
tampak bergulung-gulung melindungi se-
kujur tubuhnya. Dan setiap kali pedang 
di tangannya menangkis, seketika sen-
jata lawan terpental balik. Hal ini 
membuktikan kalau tenaga dalam yang 
dimiliki gadis itu masih di atas para 
pengeroyoknya. Sehingga meskipun per-
tarungan sudah melewati dua puluh ju-
rus, namun belum ada tanda-tanda yang 
mampu mendesak gadis jelita berbaju 
merah yang memang sangat lihai itu.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh 
lima, tiba-tiba gadis itu berseru 
nyaring hingga membuat pengeroyoknya 
terkejut. Berbarengan dengan itu, pe-
dang di tangannya menyambar cepat ke 
arah dua orang pengeroyok yang menda-
dak pucat 
Brettt! Brettt!

"Aaargh...!"
Dua orang berseragam biru gelap 
yang menjadi anak buah si gemuk pen-
dek, terlempar ke kiri dan ke kanan 
akibat sambaran pedang yang didorong 
kekuatan hebat itu. Keduanya langsung 
ambruk dan menggelepar bagai ayam dis-
embelih. Darah segar memancur keluar 
dari luka menganga di perut mereka.
Gerakan pedang si gadis, ternya-
ta tidak hanya sampai di situ saja. 
Pedang yang telah dibasahi darah itu 
berputar dan menyambar pengeroyok yang 
kini tinggal dua orang lagi.
Sadar kalau sambaran pedang itu 
tidak mungkin dapat dielakkan, lelaki 
gemuk itu tak punya pilihan lain lagi. 
Dia langsung berbuat nekat memapak 
dengan pedangnya.
Trangngng!
Terdengar benturan keras yang 
menimbulkan pijaran api di udara. Tu-
buh laki-laki gemuk itu terjajar mun-
dur, dan matanya membelalak lebar. Pe-
dang di tangannya ternyata hanya ting-
gal separuh akibat terpapas pedang ga-
dis berbaju merah itu. Sadar kalau ti-
dak mungkin akan menang melawan gadis 
itu, ia pun berteriak dan melompat 
jauh meninggalkan arena pertempuran.
"Lari...!"
Melihat sang Pemimpin melarikan 
diri, anak buahnya yang hanya tinggal 
seorang itu pun bergegas meninggalkan

tempat itu. Sedangkan si gadis berbaju 
merah hanya berdiri memandang sambil 
tersenyum mengejek.
Pada saat yang hampir bersamaan, 
terdengar teriakan ngeri yang disusul 
terlemparnya tiga sosok tubuh yang 
berlumuran darah. Dua di antaranya
langsung diam tak berkutik lagi. Mati. 
Sedangkan seorang lagi yang wajahnya 
ditumbuhi brewok, merintih dan berke-
lojotan sesaat, sebelum akhirnya meng-
hembuskan napas yang terakhir. Ketiga 
orang itu tewas akibat totokan ranting 
kayu di tangan Pandu yang tepat menge-
nai di tengah-tengah kedua alis mere-
ka. Dan kini di tempat itu hanya ting-
gal seorang pengeroyok yang bertubuh 
tinggi kurus.
"Gila!" teriak si tinggi kurus 
berwajah pucat membelalak ngeri.
Keberanian orang itu kontan le-
nyap melihat kehebatan pemuda yang 
menjadi lawannya itu. Ranting kayu di 
tangan pemuda itu benar-benar menjadi 
senjata ampuh, sehingga dapat meluban-
gi tengkorak kepala ketiga orang ka-
wannya. Merasa tidak akan mampu untuk 
menghadapi lawannya, laki-laki tinggi 
kurus itu segera melompat jauh ke be-
lakang.
"Anak muda! Hari ini kau boleh 
tertawa karena telah mengalahkan kami! 
Tapi, ingat! Di lain kesempatan, hu-
tang ini akan kami balas!" ancam si
tinggi kurus sambil melesat pergi.


LIMA


"Kau... tidak apa-apa, Dewi?" 
tanya Pandu yang tetap menyebut gadis 
berbaju merah itu sebagai dewi. Seka-
rang pemuda itu memang telah tahu ka-
lau gadis itu bukanlah seorang dewi, 
melainkan seorang pendekar wanita yang
lihai."
"Hm... Apa maksudmu mencampuri-
urusanku?! Apakah dikiranya aku tidak 
mampu mengalahkan mereka?!" dengus ga-
dis itu ketus sambil bertolak ping-
gang, 
Tidak sedikit pun rasa terima 
kasih terlihat di wajah gadis itu. 
Meskipun hati kecilnya mengakui kalau 
pemuda itu telah menyelamatkan nya-
wanya, namun sepertinya ia tidak mau 
mengakuinya. Benar-benar seorang gadis 
cantik yang angkuh. 
"Aku... aku sama sekali tidak 
bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak su-
ka melihat belasan orang laki-laki itu 
mengeroyok seorang gadis sepertimu" 
sahut Pandu, agak gugup melihat sambu-
tan tak menyenangkan dari gadis itu. 
Diakui, sejak melihat gadis itu ha-
tinya sudah berbunga-bunga. Dan hara-
pannya untuk memiliki gadis jelita itu 
pun kembali muncul. 
Namun bukan main sedihnya hati

Pandu ketika melihat kenyataan kalau 
gadis itu justru tidak menyukainya. 
Pandu menarik napas panjang, menahan 
kenyerian dalam dadanya yang seperti 
ditusuk-tusuk duri tajam.
"Betul, kau tidak bermaksud apa-
apa? Hm... Sulit dipercaya kalau kau 
melakukannya tanpa pamrih tersembunyi? 
Bagaimana kalau orang lain yang menga-
laminya? Apakah kau akan menolongnya?" 
tanya si gadis sinis. Pandangan ma-
tanya yang mengandung cemooh itu, be-
nar-benar membuat jiwa Pandu terpukul.
"Aku pasti akan menolongnya, se-
kalipun tidak kukenal. Ah! Mengapa ki-
ta harus meributkan hal yang tidak ada 
artinya itu? Mengapa pertemuan kita 
selalu diwarnai pertengkaran?" keluh 
Pandu lirih dan hampir tak terdengar.
"Ooo.... Jadi kau ingin kita 
berpegangan tangan atau bermesraan? 
Begitu?" ejek gadis berbaju merah itu 
mencibir.
"Oh, tidak. Sama sekali aku ti-
dak ada pikiran begitu!" sentak Pandu 
dengan wajah agak pucat. Benar-benar 
tidak disangka kalau gadis itu akan 
berkata-kata demikian.
"Lalu, apa maumu? Apakah aku ha-
rus menyembah-nyembah karena telah kau 
tolong? Atau aku harus mengucapkan te-
rima kasih sebanyak-banyaknya sampai 
bibirku dower? Begitu maumu?" ujar ga-
dis itu dengan nada yang makin tinggi.

"Ahhh...!"
Lagi-lagi Pandu harus menahan 
rasa nyeri di dalam dadanya. Hatinya 
benar-benar terpukul mendapat kenya-
taan kalau gadis yang diam-diam dicin-
tainya ternyata demikian angkuh dan 
tidak mempunyai perasaan sedikit pun.
Pandu menunduk dalam-dalam, me-
nyembunyikan luka hati yang terpancar 
di matanya. Seperti inikah gadis yang 
telah merenggut seluruh perasaan cin-
tanya? Benarkah gadis yang cantik se-
perti dewi itu memiliki sifat angkuh 
dan tak berperasaan? Apa yang telah 
menyebabkannya sehingga bersikap begi-
tu?
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya 
kuat-kuat. Disadari kalau perasaan 
cintanyalah yang membuatnya tidak tega 
untuk menyakiti gadis jelita itu. Dan 
perasaan itu pulalah yang telah mem-
buatnya harus menerima perlakuan gadis 
itu.
"Hei? Mengapa diam saja? Apakah 
mulutmu sudah tidak bisa dipakai bica-
ra lagi?" bentak gadis jelita itu.
Seketika Pandu tersadar kalau 
masih berhadapan dengan si jelita yang 
galak dan angkuh. Dalam dunia persila-
tan, gadis itu dijuluki sebagai Dewi 
Baju Merah. Sepak terjangnya cukup 
membuat tokoh persilatan berpikir dua 
kali dalam menghadapinya.

Dewi Baju Merah tertegun ketika 
melihat si pemuda mengangkat kepa-
lanya. Hatinya sangat tergetar melihat 
sinar mata Pandu yang terlihat sayu 
dan menyiratkan luka hati.
"Dewi.... Mengapa kau begitu 
membenciku? Apakah kesalahan yang tak 
pernah kulakukan itu, tak dapat diam-
puni?" tanya Pandu berdesah dan berge-
tar mewakili jiwanya yang terpukul.
Dewi Baju Merah melengos meng-
hindari tatapan yang membuat pikiran-
nya kacau. Nampaknya, gadis itu baru 
menyadari sikapnya yang telah melewati 
batas. Meskipun demikian,, ia sama se-
kali tidak sudi menunjukkan perasaan 
hatinya. Bahkan tetap saja memasang 
wajah galak.
"Sudahlah. Terima kasih atas 
pertolonganmu! Aku pergi...!" ujar ga-
dis jelita itu agak lunak. Tubuhnya 
pun segera berkelebat meninggalkan 
tempat itu.
Pandu hanya berdiri terpaku, 
tanpa tahu harus berbuat apa. Tangan-
nya sudah siap menggapai tergantung 
diudara. Kata-kata cegahan yang sudah 
berada di ujung lidahnya, terpaksa di-
telan kembali. Karena, ia tidak ingin 
mendapat makian lagi dari gadis galak 
itu.
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya 
kuat-kuat. Tubuhnya disandarkan di se


batang pohon dengan tatapan mata ko-
song. Tiba-tiba pemuda itu merasakan 
dunia begitu sunyi dan kosong. Seman-
gat hidupnya mendadak lenyap bersama 
kepergian Dewi Baju Merah. Hatinya te-
rasa sangat sakit mengingat, betapa 
gadis yang telah membetot seluruh jiwa 
dan perasaan cintanya justru memben-
cinya. Mampukah ia menjalani hidup ini 
tanpa kehadiran si jelita di sisinya? 
Dan apa yang harus dilakukannya seka-
rang?
"Ohhh...," desah pemuda tampan 
itu, lirih. Perasaan hatinya yang pa-
tah semakin terungkap. Sepintas ter-
bayang kedua orang tua dan adik perem-
puannya. Semakin berdarahlah luka di 
hati pemuda yang biasanya keras dan 
tabah dalam menjalani hidup itu.
Tanpa disadari, rasa cinta telah 
membuatnya menjadi lemah dan cengeng.
Pada saat senja mulai menapak, 
Pandu bangkit dengan satu keputusan 
yang telah diambil. Ia bertekad untuk 
mencari kedua orang tua dan adiknya. 
Setelah itu, mungkin akan menyepi me-
nemani gurunya di puncak Gunung Pan-
car.
Pandu melangkah gontai mening-
galkan tempat itu. Hembusan angin sen-
ja yang sejuk mengiringi langkah ka-
kinya.
***

"Kita singgah dulu di desa itu, 
Kakang. Rasanya perutku sudah minta 
diisi," pinta seorang gadis jelita 
berpakaian serba hijau. Wajahnya yang 
putih, nampak segar dengan sepasang 
pipi kemerahan. Mau tak mau, orang se-
perti tak puas-puasnya menikmati keje-
litaannya itu.
Pemuda tampan berjubah putih 
yang berjalan di sebelahnya, menoleh 
sambil tersenyum lembut. Dari sepasang 
matanya, terpancar jelas sinar kasih 
yang dalam.
"Ha ha ha.... Aku juga. Sejak 
tadi malam, perut kita memang belum 
kemasukan apa-apa," sahut pemuda ber-
jubah putih itu tertawa ketika menden-
gar suara berkeruyuk dari perut gadis 
di sampingnya.
"Ih, tidak tahu malu!" omel ga-
dis berbaju serba hijau itu sambil me-
nepuk perutnya perlahan.
Bibir gadis itu tampak segar ke-
merahan, namun seketika cemberut sete-
lah mendengar tawa pemuda tampan yang 
semakin keras. Dicubitnya pangkal len-
gan pemuda itu dengan lagak manja.
Pemuda tampan itu bergegas meng-
hindar dan berlari menjauhi. Namun ke-
tika si gadis tidak mengejar, ia pun 
menghentikan larinya. Lalu, dihampi-
rinya gadis jelita yang tengah mem-
banting-banting kakinya karena kesal.


"Ampun, Tuan Putri. Hamba menga-
ku salah. Dan hamba berjanji tidak 
akan mengulanginya lagi," ujar pemuda 
itu dengan mimik wajah yang lucu.
Sambil berkata demikian, pemuda 
itu membuat gerakan sebagaimana seo-
rang abdi yang menghadap junjungannya. 
Tentu saja gadis itu menjadi geli di-
buatnya. Namun, ia berusaha menahan 
ketawanya.
"Baiklah. Kesalahanmu kuampuni. 
Tapi kau harus menebusnya dengan mem-
bawaku ke kedai makan. Nah, laksana-
kan!" perintah gadis jelita itu dengan 
nada dibuat sungguh-sungguh.
"Baik, Tuan Putri."
Setelah berkata demikian, si pe-
muda berjubah putih yang tak lain Pan-
ji itu, berkelebat cepat menyambar tu-
buh si gadis jelita.
"Ihhh...!"
Gadis jelita yang sudah pasti 
Kenanga itu terpekik halus. Sepasang 
tangannya segera merangkul leher Pan-
ji. Karena saat itu juga tubuh pemuda 
yang berjuluk Pendekar Naga Putih su-
dah melesat cepat menuju mulut desa. 
Beberapa puluh tombak sebelum 
mencapai mulut desa, Panji menghenti-
kan larinya. Lalu, diturunkannya tubuh 
Kenanga sebelum mereka terlihat pendu-
duk.
"Kau jahat, Kakang. Hampir saja 
jantungku copot," rengek Kenanga sam

bil memonyongkan mulutnya yang indah 
itu. Namun sinar matanya jelas meman-
carkan kebahagiaan yang dalam.
Panji tertawa lembut melihat wa-
jah kekasihnya yang terlihat agak pu-
cat. Mungkin gadis itu terkejut, kare-
na gerakannya demikian cepat dan tak 
terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi, 
diajaknya Kenanga memasuki desa.
***
Pendekar Naga Putih dan Kenanga 
sudah duduk di sebuah kedai dan meme-
san makanan. Panji mengedarkan pandan-
gan ke sekitar ruangan yang hanya ter-
dapat beberapa pengunjung. Saat itu 
pelayan sudah datang membawa pesanan 
mereka.
"Aden berdua bukan penduduk se-
kitar sini, rupanya," sapa si pelayan 
setengah berbisik sambil mengatur ma-
kanan di atas meja. "Sebaiknya selesai 
makan nanti, cepat-cepatlah meninggal-
kan desa ini."
"Eh! Mengapa, Paman?" tanya Pan-
ji seraya mengerutkan keningnya men-
dengar ucapan pelayan setengah baya 
yang terlihat agak pucat itu.
Pemuda itu bertanya dengan suara 
rendah, sehingga tidak sampai terden-
gar orang lain. Karena dari suara pe-
layan itu, jelas tertangkap sesuatu 
yang tidak wajar.

Belum lagi pelayan itu sempat 
menjawab pertanyaan Panji, tiba-tiba 
terdengar suara yang berat dan kasar. 
Suara itu berasal dari seorang laki-
laki tinggi besar berperut buncit.
"Cepat sediakan makanan yang 
paling enak dan dua guci arak!"
Sambil berkata demikian, pandan-
gannya beredar ke seluruh ruangan ke-
dai. Sepasang mata galak itu menyipit 
ketika melihat seraut wajah cantik je-
lita milik Kenanga. Kakinya yang sudah 
hendak melangkah, tampak meragu ketika 
melihat gadis jelita itu ditemani seo-
rang pemuda berjubah putih.
Sementara itu, pemilik kedai ma-
kan dan pelayannya tengah sibuk me-
nyiapkan pesanan lelaki tinggi besar 
berperut gendut itu. Wajah mereka nam-
pak pucat dan agak gemetar. Sepertinya 
mereka sudah mengenal lelaki tinggi 
besar yang diiringi enam orang berse-
ragam biru gelap itu.
Lelaki tinggi besar berperut 
gendut itu sudah melangkah ke meja 
yang berdekatan dengan Panji dan Ke-
nanga. Enam orang lelaki berseragam 
biru gelap itu juga mengiringinya. Ma-
ta mereka bagai hendak melompat keluar 
ketika melihat wajah Kenanga. Tampak 
jakun mereka turun naik, menelan air 
liur ketika melihat wajah yang demi-
kian cantik dan mempesona.
"Mana pesananku?! Cepat..!" te

riak lelaki tinggi besar itu sambil 
menggebrak meja kuat-kuat
Brakkk!
Meja yang terbuat dari kayu mu-
rahan itu berderak dan bergetar keras. 
Untung orang itu memang tidak berniat 
mematahkannya. Kalau tidak, pasti su-
dah hancur berantakan dibuatnya.
Seorang pelayan datang tergopoh-
gopoh membawakan pesanan lelaki tinggi 
besar itu. Setelah meletakkan hidangan 
di atas meja, ia kembali masuk untuk 
mengambil dua guci arak yang diminta. 
"Mari minum, Ni sanak."
Sambil terkekeh menyebalkan, le-
laki tinggi-besar itu menoleh ke arah 
Kenanga. Sedikit pun Panji tidak dili-
riknya. Padahal pemuda itu tepat bera-
da di sampingnya.
Namun Panji bersikap tenang, 
seolah-olah tidak mendengar ucapan 
orang itu. Pemuda itu tetap menikmati 
hidangannya tanpa merasa terganggu se-
dikit pun.
***
Kenanga yang memang sudah mendu-
ga kalau orang itu pasti akan mencari 
gara-gara, terpaksa menoleh dan mene-
kan perasaannya.
"Terima kasih. Aku tidak biasa 
minum arak," sahut Kenanga mencoba 
tersenyum ramah.


Gadis jelita itu cepat-cepat me-
malingkan wajah, dan kembali mene-
ruskan makannya. Hidangannya dinikmati 
lambat-lambat karena selera makannya 
telah lenyap atas kehadiran orang-
orang kasar itu.
Lelaki tinggi besar berperut 
gendut itu menoleh ke arah enam orang 
kawannya yang tertawa terbahak-bahak. 
Selebar wajahnya menjadi merah karena 
merasa dipermalukan di depan mereka.
"Kakang, aku yakin gadis jelita 
itu sebenarnya bersedia menerima tawa-
ranmu. Hanya saja cara kau menawarkan 
tadi salah," salah seorang kawannya 
yang berwajah bopeng memanas-manasi.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya le-
laki tinggi besar itu menahan kegera-
mannya.
"Seharusnya Kakang tarik saja. 
Aku rasa gadis jelita itu pasti tidak 
akan menolak. Dan soal kawannya, biar-
lah kami yang akan mengurusnya," sahut 
orang berwajah bopeng itu setengah 
berbisik sambil menggerak-gerakkan 
alis matanya.
Meskipun pembicaraan orang-orang 
kasar itu tidak terlepas dan pendenga-
ran Panji, namun pemuda berjubah putih 
itu tetap tenang saja meneruskan ma-
kannya. Karena sekali pandang saja, ia 
tahu kalau orang-orang itu tidak dapat 
berbuat banyak terhadap kekasihnya. 
Sehingga, nasib Kenanga rasanya tidak

perlu dikhawatirkan lagi.
Saat itu si lelaki tinggi besar 
sudah bangkit dan menghampiri Kenanga. 
Dengan lagak menyebalkan, tangannya 
diulurkan dengan maksud mengelus pipi 
Kenanga.
"Ayolah, Manis. Tidak usah malu-
malu," ucapnya seraya terkekeh.
Kenanga yang melihat gerakan 
orang itu melalui sudut mata, menjadi 
marah bukan main. Selebar wajahnya 
menjadi merah melihat sikap kurang 
ajar orang itu. Dengan gerakan yang 
hampir tidak terlihat mata, tangan ki-
ri gadis itu melayang ke arah pipi si 
lelaki tinggi besar yang tidak sempat 
menghindar.
Plakkk!
Lelaki tinggi besar itu menjerit 
keras. Tubuhnya langsung terpelanting, 
jatuh menimpa meja tempat keenam orang 
kawannya berada. Meja itu hancur be-
rantakan. Sedangkan keenam lelaki ber-
seragam biru gelap sudah melompat ber-
pencar.
"Bangsat! Perempuan sundal! Kau 
harus membayar mahal perbuatanmu ini!" 
bentak lelaki tinggi besar itu kalap. 
Wajahnya yang hitam dan berkulit kasar 
tampak membengkak. Tangan kanannya 
berkelebat mencabut golok besar yang 
terselip di pinggangnya.
Demikian pula dengan keenam 
orang lainnya. Mereka sudah bergerak

mengepung Kenanga dengan senjata ter-
hunus. Meskipun demikian, wajah mereka 
tampak bingung. Mereka memang tidak 
tahu, apa sebenarnya yang dilakukan 
gadis itu terhadap lelaki tinggi besar 
yang memang pemimpin mereka. Namun me-
lihat sikap dan wajah pemimpinnya yang 
bengkak, jelas kalau gadis jelita itu 
telah menyerangnya.
"Kenanga, mari kita keluar!" se-
ru Panji.
Pendekar Naga Putih langsung me-
lompat melalui jendela di sebelah ki-
rinya yang terbuka lebar. Perbuatan 
pemuda itu diikuti Kenanga. Mereka me-
mang sadar, kalau pertarungan yang 
akan terjadi bisa merusak seluruh isi 
ruangan kedai itu.
"Mau lari ke mana kau, Perempuan 
Liar!" bentak lelaki tinggi besar itu 
sambil melompat mengejar.
"Hati-hati, Kakang Wangga! Nam-
paknya mereka bukan orang sembaran-
gan," salah seorang dan keenam lelaki 
berpakaian biru gelap itu memperin-
gatkan pemimpinnya. Tubuhnya sudah me-
lesat, diikuti lima orang lainnya.
Begitu tiba di luar, ketujuh la-
ki-laki telengas itu tertegun. Gadis 
jelita yang diduga hendak melarikan 
diri, ternyata telah berdiri bertolak 
pinggang seperti menanti kedatangan 
mereka. Sedangkan pemuda berjubah pu-
tih itu nampak berdiri tenang dekat

sebatang pohon. Wajahnya sama sekali 
tidak menampakkan kekhawatiran meski-
pun Kenanga sudah dikepung lawan-
lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki 
tinggi besar itu sudah melompat diser-
tai ayunan goloknya mengancam leher 
Kenanga. Rupanya ia benar-benar marah 
karena dipermalukan di depan kawan-
kawannya. Tekadnya, leher gadis itu 
harus putus dengan sekali serang
Enam orang kawannya pun sudah 
menerjang dari segala arah. Senjata-
senjata mereka terayun dan menusuk ke 
seluruh bagian tubuh Kenanga. Dua 
orang di antaranya, telah mengayunkan 
pedang disertai cengkeraman ke arah 
dada gadis berpakaian serba hijau itu.
Namun sayang, yang kali ini me-
reka hadapi bukan seorang gadis semba-
rangan. Dia adalah seorang dara dig-
daya, murid Raja Pedang Pemutus Urat. 
Hampir seluruh kepandaian tokoh sakti 
itu telah dikuasainya. Apalagi setelah 
melakukan perjalanan bersama Panji, 
yang tidak pernah bosan memberi petun-
juk-petunjuk untuk menyempurnakan ke-
pandaiannya. Maka sudah pasti kemajuan 
yang didapat sangatlah pesat
Maka dalam menghadapi keroyokan 
tujuh orang laki-laki kasar itu, Ke-
nanga sama sekali tidak gugup. Gadis 
jelita itu berdiri tenang sambil ter

senyum manis. Sedikit pun tidak ada 
hasrat untuk menggunakan pedangnya. 
Karena gerakan orang-orang itu sudah 
dapat diukur, sampai di mana kepan-
daian yang dimiliki lawan-lawannya.
Ketika sambaran golok lelaki 
tinggi besar itu tiba, Kenanga melang-
kah ke kanan. Maka, sambaran golok 
yang mengarah lehernya itu pun luput. 
Kemudian, tubuhnya direndahkan meng-
hindari dua buah sambaran pedang lain. 
Berbarengan dengan gerakan itu, kedua 
tangannya bergerak melakukan sodokan 
siku ke arah dua orang yang membacok 
dari belakang.
Wuuut! Wuuut!
Dugkh! Bughk!
Dua orang pembokong itu berte-
riak keras. Tubuh mereka terpental ke 
belakang, lalu terbanting jatuh dengan 
dada serasa remuk akibat sodokan siku 
gadis itu. Dari sudut bibir mereka 
tampak mengalir cairan merah. Jelas 
sekali kalau hantaman itu sangat ke-
ras. Akibatnya untuk beberapa saat ke-
dua orang itu tidak mampu bangkit
Sedangkan dua pengeroyok lain 
yang melancarkan bacokan sambil ber-
maksud meremas buah dada Kenanga, di-
hadapinya dengan egosan ke arah kiri. 
Kemudian secara berbarengan kaki dan 
tangannya bergerak melancarkan pukulan 
dan tendangan. Gerakan yang demikian 
cepat dan tak terduga itu, membuat ke

dua lawan. Kenanga tercekat dan tak 
sempat mengelak.
Desss! Jrottt!
Keduanya terbanting roboh akibat 
pukulan dan tendangan yang sangat ke-
ras itu. Yang seorang merintih kesaki-
tan sambil menekap wajahnya yang ber-
darah akibat pukulan keras gadis itu. 
Ketika meludah, yang keluar adalah 
cairan merah, disertai beberapa buah 
giginya yang tanggal.
Sedangkan yang seorang lagi, 
bergulingan sambil memegangi perutnya 
yang terkena tendangan Kenanga. Orang 
itu merintih-rintih tanpa mampu bang-
kit kembali.
Wuuut! Wuuut!
Kenanga menggeser kakinya tiga 
langkah ke belakang menghindari samba-
ran senjata dua orang lainnya. Tangan 
dan kakinya kembali melancarkan seran-
gan balasan, namun cepat ditarik pu-
lang kembali. Karena saat itu, golok 
si tinggi besar kembali menyambar ke 
arah perut
Wuuuk!
Gadis jelita itu melompat ke 
atas, lalu berputaran menghindari sam-
baran golok lawan. Selagi tubuhnya 
berputar, kedua tangannya melancarkan 
tamparan ke pelipis dua orang berpa-
kaian biru gelap yang berada di bawah. 
Tubuh kedua orang itu pun terbanting 
pingsan diiringi jerit kesakitan.


"Bangsat! Kubunuh kau, Setan Be-
tina!" maki lelaki tinggi besar itu.
Dia benar-benar murka melihat 
enam orang kawannya sudah tergeletak 
tak berdaya. Golok di tangannya me-
nyambar dan menusuk berkali-kali. Ke-
murkaannya semakin menjadi-jadi, kare-
na serangan goloknya selalu saja dapat 
dielakkan gadis itu secara mudah.
"Haiiit..!"
Setelah lewat lima jurus, Kenan-
ga berteriak nyaring disertai gerakan 
tubuhnya yang menyelinap di antara se-
rangan golok lawan. Kedua tangannya 
langsung melancarkan pukulan dan tam-
paran. Tamparan tangan kanannya melun-
cur deras mengarah pelipis, sedangkan 
tangan kirinya memukul dada lawan.
Plakkk! Bugkh!
Tamparan dan pukulan keras itu 
tepat menghantam sasarannya. Tanpa da-
pat dicegah lagi, tubuh lelaki tinggi 
besar itu melintir dan langsung ambruk 
ke tanah. Pingsan. Dari mulutnya, men-
galir darah segar. Sedangkan pelipis-
nya tampak membengkak. Kenanga memang 
tidak berniat membunuh lawan-lawannya, 
sehingga tidak mengeluarkan tenaga se-
penuhnya saat bertarung.
Kenanga berdiri tegak menatapi 
lawan-lawannya. Tiga orang, termasuk 
lelaki tinggi besar itu tergeletak 
pingsan. Sedangkan empat orang lainnya 
menatap gadis jelita itu dengan wajah

pucat. Sesekali masih terdengar suara 
rintihan dari mulut mereka.
Panji melangkah tenang mengham-
piri orang-orang itu. Terlebih dahulu, 
diperiksanya tiga orang yang pingsan. 
Kemudian didekatinya empat orang lain-
nya yang masih merintih kesakitan.
"Hm..„ Siapa sebenarnya kalian? 
Dan apa yang kalian lakukan di desa 
ini?" tanya Pendekar Naga Putih dengan 
sorot mata tajam.
Pemuda tampan ini mulai curiga. 
Dan memang, mungkin saja ketujuh orang 
itu ada hubungannya dengan nasihat pe-
layan kedai yang menyuruhnya cepat-
cepat meninggalkan desa itu. Jiwa ke-
pendekaran Panji seketika tergerak un-
tuk menyelidiki, apa sebenarnya yang 
tengah terjadi di desa ini.
"Ampunkan kami, Tuan Pende-
kar.... Kami..., kami tidak tahu apa-
apa..," sahut salah seorang dari mere-
ka dengan wajah yang semakin pucat. 
Sedangkan tiga orang lainnya menunduk-
kan kepala, seolah-olah takut dengan 
pertanyaan pemuda tampan itu.
"Kalian akan kubebaskan, asal 
menceritakan siapa sebenarnya kalian? 
Dan apa yang tengah terjadi di desa 
ini? Kalau tidak, maka terpaksa kalian 
akan kukirim ke akhirat!" ancam Panji
yang menjadi semakin curiga.
Jelas, rasa takut mereka bukan 
ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.

Mungkin ada sesuatu yang lebih hebat 
dan sangat mereka takuti. Tentu saja 
hal itu membuat Panji semakin ingin
mencari jawabnya.
Mendengar ancaman pemuda itu 
yang sepertinya tidak main-main, wajah 
keempat orang itu terlihat semakin pu-
cat dan gelisah. Beberapa kali mereka 
menoleh ke kiri-kanan, seperti ada 
yang ditakuti.
"Hm.... Rupanya kalian lebih su-
ka mati daripada menjawab pertanyaan-
ku! Baiklah kalau itu yang kalian in-
ginkan!" ujar Pendekar Naga Putih, 
siap membuktikan kata-katanya.
"Ampunkan kami..... Ampunkan ka-
mi..., kami akan menga...."
Belum lagi kata-kata orang itu 
selesai, terdengar suara berdesing ha-
lus. Pendekar Naga Putih, yang penden-
garannya sudah sangat tajam, cepat 
bergerak. Sambil berbalik, tangan ka-
nannya dikibaskan dengan pengerahan 
tenaga dalam.
Terdengar suara berdenting keti-
ka senjata rahasia yang berupa paku-
paku berwarna hitam berjatuhan ke ta-
nah. Panji yang berhasil menyampok 
runtuh paku-paku itu langsung tersen-
tak kaget ketika mendengar teriakan 
ngeri di belakangnya.
"Biadab!" maki Panji gusar.
Hati Pendekar Naga Putih menjadi 
marah melihat empat orang berseragam

biru gelap itu sudah tergeletak tak 
bernyawa. Pada kening mereka masing-
masing tertancap dua batang paku bera-
cun.
"Kakang!" teriak Kenanga.
Saat itu, Kenanga melihat tubuh 
kekasihnya sudah berkelebat ke depan. 
Samar-samar gadis jelita itu sempat 
menangkap tiga sosok bayangan yang me-
larikan diri ke arah semak-semak. Ha-
tinya merasa khawatir mengingat orang-
orang itu menggunakan senjata rahasia 
yang mengandung racun ganas.
Kenanga berpaling kepada tiga 
sosok tubuh yang semula tergeletak 
pingsan. Gadis jelita itu menghela na-
pas kecewa karena tubuh orang-orang 
itu mulai kehitaman. Jelas, mereka te-
lah tewas. Dan pada kening masing-
masing telah menancap dua batang paku 
beracun. Dengan perasaan geram, disim-
pannya pedang yang tadi digunakan un-
tuk menghalau paku-paku beracun. Ru-
panya bukan hanya Panji yang mendapat 
serangan gelap itu. Kenanga pun menga-
lami hal serupa.
"Uruslah ketujuh mayat ini baik-
baik. Jangan takut. Aku yang akan ber-
tanggung jawab atas kejadian ini," 
ujar Kenanga kepada penduduk desa yang 
berkerumun di tempat itu.
Meskipun agak takut-takut, para 
penduduk desa segera melaksanakan pe-
rintah gadis jelita itu.


Tak berapa lama kemudian, Panji 
pun muncul seorang diri. Pemuda itu 
melangkah lesu dengan wajah kecewa.
"Bagaimana, Kakang? Kau tidak 
berhasil menangkap ketiga orang pembu-
nuh itu?" tanya Kenanga, menyongsong 
kedatangan Panji.
"Tidak. Selain gerakan mereka 
cukup cepat, kebun itu pun banyak di-
tumbuhi semak-semak liar. Sehingga aku 
kehilangan jejak," sahut Panji sambil 
menggerakkan bahunya. "Hei? Apakah ke-
tiga orang yang pingsan itu juga te-
was?"
Pemuda itu mengerutkan kening-
nya. Pendekar Naga Putih memang curiga 
ketika melihat para penduduk sibuk 
mengangkat tubuh ketujuh orang itu.
"Begitulah, Kakang. Salah seo-
rang dari penyerang gelap itu melem-
parkan senjata rahasia kepadaku dan 
juga kepada ketiga orang yang tengah 
tergeletak pingsan itu. Meskipun aku 
berhasil menyelamatkan diri, namun ke-
tiga orang itu dapat mereka bunuh," 
jawab Kenanga, singkat.
Sepertinya, gadis itu merasa me-
nyesal atas tewasnya ketiga orang yang 
mungkin akan dapat memberikan keteran-
gan. Dan kini, mereka terpaksa harus 
menyelidikinya sendiri.
"Tapi, bagaimana mereka tahu ka-
lau ketiga orang itu hanya pingsan?" 
tanya Panji heran.

"Aku yakin, mereka tidak tahu 
tentang hal itu, Kakang. Mungkin hanya 
berjaga-jaga saja. Sepertinya, para 
penyerang gelap itu takut kalau raha-
sia mereka terbongkar," jelas Kenanga 
yang membuat pemuda berjubah putih itu 
mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Kita harus menyelidiki 
hal ini, Kenanga. Kita harus tahu, apa 
yang menyebabkan penyerang gelap itu 
membunuhi mereka. Sayang, ketujuh 
orang itu keburu tewas sebelum bisa 
kita korek keterangannya. Entah dari 
mana kita harus memulainya?" ujar Pan-
ji, seolah-olah berkata kepada dirinya 
sendiri.
Kematian ketujuh orang itu, mem-
buat pemuda ini semakin penasaran. 
Pendekar Naga Putih bertekad akan me-
nyelidiki rahasia di balik semua keja-
dian yang bam saja dialaminya itu.
Kenanga termenung dan melangkah 
bolak-balik untuk mencari keputusan 
memulai penyelidikan. Ternyata bukan 
hanya Panji saja yang merasa tertarik 
atas kejadian aneh penuh rahasia itu. 
Hati gadis jelita ini rupanya sudah 
tergerak untuk mengungkapnya.
"Hai!"
Tiba-tiba saja gadis jelita ber-
pakaian serba hijau itu menjentikkan 
jarinya dengan wajah berseri. Langkah-
nya berhenti, lalu menatap Panji den-
gan sepasang mata berbinar.

"Ada apa? Kau sudah mendapat ja-
wabannya?" tanya Panji memandangi wa-
jah kekasihnya penuh harap. 
Tentu saja Pendekar Naga Putih 
menjadi gembira melihat Kenanga. Wa-
jahnya jelas-jelas menggambarkan kalau 
gadis itu telah menemukan jawaban 
"Bagaimana kalau kita kembali ke 
kedai tadi, Kakang? Perutku masih te-
rasa lapar. Aku tidak sempat menikmati 
hidanganku, karena ketujuh orang tadi 
telah membuat selera makanku hilang. 
Ayolah kita kembali ke sana, Kakang," 
ajak gadis jelita itu sambil menarik 
tangan Panji dengan manja.
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Ke-
nanga. Kukira kau sudah menemukan ja-
waban agar penyelidikan kita dimulai. 
Eh, tak tahunya hanya soal perut," ke-
luh Panji sambil tersenyum melihat ke-
gembiraan kekasihnya. Meskipun agak 
kecewa, tapi hatinya merasa senang me-
lihat kegembiraan yang terpancar di 
wajah jelita itu.
"Tenang saja, Kakang. Kujamin 
kita pasti segera dapat memulai penye-
lidikan ini. Dan bukan tidak mungkin 
kalau akan langsung menemukan jawaban-
nya tanpa harus melakukan penyelidikan 
terlebih dahulu," sahut gadis jelita 
itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei? Jadi kau benar-benar sudah 
mendapatkan jawabannya? Tapi, mengapa 
tidak segera kau katakan padaku?" hati


Panji semakin penasaran terhadap ting-
kah kekasihnya yang seperti sengaja 
menggoda.
"Hi hi hi..! Kau tidak sabar 
amat, sih?" ledek Kenanga malah mener-
tawakan kekasihnya.
"Ah! Kau nakal, Kenanga. Senang 
ya, melihat aku kebingungan seperti 
orang tolol?" Sambil berkata demikian, 
Panji mencubit pipi kekasihnya yang 
halus dan lembut bagai sutra. Hati pe-
muda itu menjadi gemas karena Kenanga 
belum juga mau memberitahukan apa yang 
telah didapatnya itu.
"Ihhh! Kakang genit, ah! Tidak 
malu ya, dilihat orang banyak?"
Meskipun berkata demikian, tapi 
jelas gadis itu sangat gembira. Kare-
na, cubitan Panji sama sekali tidak 
menimbulkan rasa sakit. Bahkan terasa 
kalau bukan dicubit, melainkan malah 
lebih tepat dikatakan sebagai belaian. 
Hal itu tentu saja mendatangkan pera-
saan tersendiri yang tak dapat diukur 
nikmatnya.
"Biar saja," sahut Panji memban-
del. "Mereka pasti merasa iri dengan-
ku, sebab hanya dapat mencubit wajahmu 
dalam mimpi. Sedangkan aku dapat men-
cubit, bahkan membelainya secara nya-
ta. Malah aku yakin, kau akan minta 
tambah."
"Uh, enak saja! Siapa yang sudi 
minta tambah cubitan. Kau pikir aku

sudah tidak waras?" rungut gadis jeli-
ta itu seraya memonyongkan bibirnya 
berpura-pura marah.
"Justru karena masih waras, maka 
kau minta dicubit lagi. Tapi, aku juga 
tidak akan menolak bila diminta?" sa-
hut Panji tersenyum.
Kenanga tidak menanggapi ucapan 
Panji. Tanpa berkata apa-apa, tangan 
gadis itu sudah bergerak mencubit 
pinggang kekasihnya hingga pemuda itu 
agak meringis juga. Tentu saja Kenanga 
tahu kalau itu hanya pura-pura. Sebab 
cubitannya memang tidak menyakitkan.
Canda keduanya terhenti ketika 
tiba di depan pintu kedai. Mereka ber-
gegas masuk. Kenanga langsung mengu-
lapkan tangannya memanggil pelayan. 
Gadis jelita itu hanya memesan teh 
hangat dan penganan kecil, karena me-
mang tidak sungguh-sungguh untuk ma-
kan.
Tak berapa lama kemudian, pe-
layan itu pun sudah kembali membawa 
pesanan Kenanga.
"Sebentar, Paman!" cegah Kenanga 
ketika pelayan itu hendak melangkah 
meninggalkan mereka.
"Ada apa, Ni sanak?" tanya pe-
layan berusia setengah baya itu seraya 
mengerutkan keningnya.
Dia memang mengenali kalau kedua 
orang muda itu adalah tamu yang datang 
ke kedainya tadi. Dia memang sempat

menyaksikan sewaktu Kenanga dan Panji 
berkelahi, sehingga mampu mengalahkan 
ketujuh orang lelaki kasar yang meng-
ganggu gadis itu.
"Duduklah bersama kami, Paman. 
Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar 
Kenanga lagi.
Setelah menoleh ke sekitar ruan-
gan yang sepi karena tidak ada pengun-
jung lain, barulah lelaki setengah 
baya itu menuruti ajakan Kenanga.
"Apa yang ingin Ni sanak tanya-
kan? Apa tidak sebaiknya Ni sanak dan 
Kisanak meninggalkan Desa Kemang ini? 
Apalagi setelah terjadinya keributan 
tadi, tentu kawan-kawan mereka tadi 
akan mencari kalian berdua. Dan itu 
sangat berbahaya," kata pelayan seten-
gah baya ini merendahkan suaranya 
hingga terdengar agak berbisik.
"Justru itulah yang menyebabkan 
kami kembali ke kedai ini, Paman. Se-
pertinya Paman telah mengenal mereka? 
Dapatkah kami minta keterangan tentang 
mereka?"
Tanpa basa-basi lagi, Kenanga 
langsung saja menanyakan ke pokok ma-
salahnya. Sedangkan Panji hanya men-
gangguk-angguk, karena baru mengerti 
mengapa Kenanga mengajaknya ke kedai 
tempat mereka pertama kali singgah ta-
di.
"Tapi..., berbahaya sekali, Ni 
sanak. Aku... aku...."
"Ceritakan saja, Paman. Dan kami 
akan menjamin keselamatanmu," Panji 
buru-buru memotong ucapan pelayan itu 
ketika melihat wajah lelaki setengah 
baya itu nampak pucat dan ketakutan.
"Benar. Ceritakanlah, Paman. 
Jangan takut Kami berjanji akan melin-
dungi Paman sekeluarga," timpal Kenan-
ga, untuk meyakinkan orang tua itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakan-
nya," sahut laki-laki setengah baya 
itu seraya menarik napas dalam-dalam 
sebelum memulai ceritanya. Sedangkan 
kedua orang muda itu me nanti dengan 
sabar.
Setelah terlebih dahulu memper-
hatikan keadaan sekeliling kedai, maka 
pelayan itu pun mulai bercerita.
***
"Pada mulanya Desa Kemang ini 
merupakan desa yang aman dan tente-
ram," pelayan setengah baya yang men-
gaku bernama Ki Dampit itu memulai ce-
ritanya. "Tapi, semenjak enam bulan 
yang lalu, keadaan berubah total. Para 
penduduk tidak lagi dapat menikmati 
hasil panennya, karena hampir seluruh 
hasil panen dirampas gerombolan penda-
tang yang rata-rata berkepandaian si-
lat dan bertampang bengis. Kepala desa 
kami, Ki Dawur Soka, mencoba melakukan 
perlawanan. Sayang, orang-orang yang

dipimpin Ki Jampala itu terlampau 
kuat. Sehingga Ki Dawur Soka dan para 
pembantunya tidak mampu untuk mengusir 
orang-orang jahat itu, sehingga mereka 
tewas di tangan tiga orang kepercayaan 
Ki Jampala, yang belakangan kami keta-
hui sebagai Tiga Setan Muara Gandul."
Sebentar Ki Dampit yang sebenar-
nya pemilik kedai makan itu, menghen-
tikan ceritanya. Sedangkan Kenanga dan 
Panji mendengarkan penuh perhatian. 
Sesekali terdengar helaan napas mere-
ka, seperti menahan kegeraman. Namun 
mereka tidak mau memotong cerita laki-
laki setengah baya itu.
"Setelah kepala desa kami tewas, 
Ki Jampala mengangkat dirinya sebagai 
Kepala Desa Kemang ini. Sedangkan ke-
tujuh orang yang berkelahi dengan ka-
lian tadi, adalah para pengikutnya 
yang bertugas memunguti pajak dari pa-
ra penduduk desa. Apalah daya kami 
yang hanya orang-orang lemah ini? Kami 
hanya bisa pasrah kepada nasib," Ki 
Dampit mengakhiri ceritanya dengan he-
laan napas sedih.
Panji dan Kenanga saling bertu-
kar pandang sejenak. Kedua pendekar 
digdaya itu turut merasakan penderi-
taan yang dialami Ki Dampit dan para 
penduduk lainnya. Dari pertukaran pan-
dang yang hanya sekejap itu, mereka 
seperti telah bersepakat untuk menye-
lamatkan penduduk Desa Kemang dari

penderitaan yang selama ini dialami 
mereka.
"Hm.... Berapa banyakkah kira-
kira para pengikut Ki Jampala itu, Pa-
man?" tanya Panji yang sudah memu-
tuskan untuk menumpas kejahatan di De-
sa Kemang ini. 
"Sebenarnya para pengikut Ki 
Jampala ini tidak terlalu banyak. Se-
lain Ki Jampala dan Tiga Setan Muara 
Gandul, masih ada lagi sekitar dua pu-
luh orang anak buahnya. Tapi, kudengar 
Ki Jampala masih mempunyai pimpinan 
lain yang kabarnya memiliki kesaktian 
seperti iblis. Bahkan Gusti Adipati 
Kerta Lungga pun tidak berani mengu-
siknya. Sehingga hampir seluruh desa 
yang berada di bawah kekuasaan adipati 
itu, jatuh ke tangan orang yang kalau 
tidak salah berjuluk Biang Iblis Tan-
gan Hitam. Jadi, kalau boleh aku nasi-
hatkan, sebaiknya tinggalkanlah desa 
ini. Sebab aku yakin sebentar lagi, 
orang-orang Ki Jampala akan datang un-
tuk mencari kalian berdua," pesan Ki 
Dampit mengakhiri jawabannya. Rupanya 
lelaki setengah baya itu tidak tega 
kalau sampai kedua orang yang telah 
menimbulkan rasa suka di hatinya akan 
mendapat celaka.
Panji dan Kenanga merasa terharu 
atas perhatian orang tua itu. Dan hal 
itu justru membuat tekad mereka sema-
kin kuat untuk membela penduduk Desa

Kemang dengan taruhan nyawa. Sebab se-
bagai pendekar yang selalu menjunjung 
tinggi kebenaran, mereka berkewajiban 
untuk menumpas segala bentuk kejahatan 
di muka bumi ini.
Setelah mendapat keterangan ten-
tang letak kediaman Ki Jampala, Panji 
dan Kenanga segera berpamitan kepada 
orang tua itu.
"Terima kasih atas nasihat yang 
Paman berikan kepada kami berdua. Tapi 
biar bagaimanapun, kami akan mencoba 
untuk membebaskan penduduk Desa Kemang 
ini dari tekanan Ki Jampala dan para 
begundalnya itu. Kami mohon pamit, Pa-
man," pamit Panji setelah terlebih da-
hulu membayar harga makanan.
Ki Dampit memandangi kepergian 
kedua orang muda itu dengan pandangan 
haru. Hatinya benar-benar tersentuh 
melihat keikhlasan Panji dan Kenanga 
yang rela berkorban demi kepentingan 
penduduk Desa Kemang. Diam-diam orang 
tua itu berdoa agar kedua anak muda 
yang digdaya itu dilindungi Yang Maha 
Kuasa.
Orang tua itu mengerjap-
ngerjapkan matanya yang mendadak ba-
sah. Keharuan dan kekhawatiran telah 
membuat Ki Dampit menjadi cengeng. Di-
hapusnya air mata itu dengan punggung 
tangan, kemudian melangkah masuk sete-
lah kedua anak muda itu lenyap dari 
pandangannya.

ENAM

Ketika matahari sudah semakin 
bergeser ke Barat, Panji dan Kenanga 
telah tiba di depan sebuah bangunan 
besar dan cukup megah.
"Hm.... Belum pernah kutemukan 
seorang kepala desa yang memiliki ke-
diaman sebesar dan sebagus ini. Ki 
Jampala tak ubahnya seorang raja kecil 
yang bergelimang kemewahan dari hasil 
memeras keringat rakyatnya," desah 
Panji yang menjadi geram melihat kea-
daan Ki Jampala yang sangat bertolak 
belakang dengan kehidupan penduduk De-
sa Kemang.
"Ya! Orang-orang seperti Ki Jam-
pala itu harus kita basmi, Kakang. Mu-
dah-mudahan penduduk Desa Kemang kem-
bali dapat merasakan ketenteraman dan 
kehidupan yang lebih layak," sahut Ke-
nanga dengan nada yang bercampur teka-
nan amarah.
Hati kewanitaannya benar-benar 
tersentuh melihat kehidupan penduduk 
Desa Kemang yang rata-rata miskin aki-
bat kekejaman orang yang bernama Ki 
Jampala itu.
"Hei?! Siapa kalian? Mau apa 
berdiri di situ?" tegur salah seorang 
penjaga.
Penjaga itu memang sejak tadi 
curiga melihat kedua orang muda itu 
berdiri memandangi rumah kepala de

sanya. Kemudian, dihampirinya Panji 
dan Kenanga.
Seorang penjaga lain tampak ikut 
menyertai pula.
Belum lagi kedua orang penjaga 
ini sempat mendekat, tiba-tiba terden-
gar bentakan yang disusul berlompatan-
nya belasan sosok tubuh berpakaian bi-
ru gelap.
"Tangkap kedua orang pengacau 
itu!" 
Baik Panji maupun Kenanga, men-
jadi terkejut mendengar bentakan yang 
mengandung tenaga dalam kuat itu. Ke-
duanya bergerak saling membelakangi 
dan mengedarkan pandangan ke arah para 
pengepung yang dipimpin tiga orang 
berseragam hitam.
Salah seorang dari ketiga orang 
berseragam hitam itu melangkah maju 
sambil menudingkan telunjuknya ke wa-
jah Panji. 
"Hm.... Rupanya kau benar-benar 
hendak mencari penyakit, Anak Muda!" 
ujar orang itu dengan suara mengandung
ancaman. Sepasang matanya menyiratkan 
hawa membunuh.
"Hm.... Kalian rupanya yang me-
lemparkan paku-paku beracun tadi!" ka-
ta Panji begitu mengenali pakaian yang 
dikenakan orang itu
Saat itu juga, Pendekar Naga Pu-
tih langsung dapat menduga kalau mere-
ka pasti Tiga Setan Muara Gandul, se

perti yang diceritakan Ki Dampit.
"Benar! Aku dan kedua orang sau-
daraku itulah yang telah memberi pe-
ringatan kepada kalian. Tapi, kalau 
kedatanganmu kemari hendak menyerahkan 
bidadari jelita itu, mungkin kami akan 
mempertimbangkannya. Bahkan mungkin Ki 
Jampala bisa mengampuni perbuatanmu 
tadi," kata salah seorang dari Tiga 
Setan Muara Gandul itu sambil menatapi 
sekujur tubuh Kenanga.
Mendengar kata-kata yang dilon-
tarkan orang itu, seketika merah sele-
bar wajah Kenanga. Kata-kata yang su-
dah jelas mengandung niat kotor itu, 
membuat gadis jelita ini segera melo-
los pedangnya.
Srettt!
"Hei! Setan jelek! Sadarkah ka-
lau ucapanmu itu telah cukup mengan-
tarmu ke akhirat!" bentak Kenanga be-
rang.
Setelah berkata demikian, ter-
dengar suara mengaung dahsyat yang di-
timbulkan putaran Pedang Sinar Rembu-
lan di tangan gadis jelita itu.
"Haiiit..!"
Disertai bentakan nyaring, tubuh 
gadis jelita berpakaian hijau itu su-
dah melompat dan menerjang orang itu.
Wuuut!
Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul, melompat jauh menghindari 
sambaran pedang Kenanga. Dan tahu-tahu

saja, di tangannya telah tergenggam 
sebatang pedang yang pada kedua si-
sinya bergerigi. Dari badan pedang 
yang nampak mengkilat itu, bisa dite-
bak kalau pedang itu mengandung racun 
jahat. Hal itu bukanlah sesuatu yang 
aneh. Sebab Tiga Setan Muara Gandul 
dikenal sebagai tokoh sesat yang ahli 
menggunakan berbagai jenis racun. Itu 
pula yang membuat ketiga orang itu 
sangat ditakuti tokoh rimba persila-
tan.
Namun hal itu sama sekali tidak 
membuat Kenanga gentar. Meskipun bukan 
seorang ahli dalam soal racun, namun 
sedikit banyak ia sudah mengenai je-
nis-jenis racun. Memang hal itu tidak 
mengherankan. Sebab Pendekar Naga Pu-
tih adalah seorang yang cukup pandai 
dalam hal pengobatan. Apalagi sejak 
dibimbing Raja Obat. Tentu saja pemuda 
berjubah putih itu semakin bertambah 
kemajuannya dalam soal pengobatan dan 
racun. Dalam perantauannya, pemuda itu 
tak lupa memberi bimbingan kepada Ke-
nanga, gadis yang dicintainya itu. Hal 
itu pulalah yang menyebabkan Kenanga 
tidak merasa gentar meskipun lawannya 
adalah seorang ahli racun.
"Kakang Badra, biar aku yang 
menghadapi gadis itu," pinta orang 
termuda dari Tiga Setan Muara Gandul 
yang segera mencabut senjatanya. Ben-
tuk senjatanya sama dengan yang dipe

gang orang yang dipanggil Badra itu.
"Hm.... Hati-hatilah, Adi Sugra. 
Nampaknya gadis jelita itu memiliki 
kepandaian lumayan," ujar Badra mena-
sihati Sugra yang merupakan orang ter-
muda di antara mereka bertiga.
"Jangan khawatir, Kakang, Aku 
pasti dapat menundukkan gadis jelita 
itu," sahut Sugra sombong.
Sambil melangkah maju, lelaki 
muda berusia tiga puluh tahun itu me-
nyeringai. Otaknya membayangkan kalau-
kalau akan dapat mengelus-elus kulit 
yang putih halus itu.
Sugra tidak menunggu lama. Saat 
itu juga tubuhnya sudah melompat ke 
arah Kenanga dan langsung melancarkan 
serangan
Wuuut!
Pedang yang pada kedua sisinya 
terdapat gerigi itu berkelebat menyam-
bar tubuh Kenanga. Sedangkan tangan 
kirinya bergerak hendak mencengkeram
buah dada gadis itu.
Kenanga marah bukan main melihat 
serangan yang dilakukan Sugra. Selebar 
wajahnya memerah menahan malu dan ge-
ram. Saat itu juga pedang di tangannya 
berkelebat, memapak serangan lawan. 
Dalam kemarahannya, gadis jelita itu 
sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 
'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga'.
Wuuut! Wuuut!
Sebentuk sinar putih keperakan

bergulung-gulung menimbulkan deru an-
gin keras. Sinar pedang gadis jelita 
itu bergerak menukik dengan kecepatan 
menggiriskan.
Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua batang pedang yang digerak-
kan tenaga dalam kuat saling berbentu-
ran menimbulkan percikan bunga api di 
udara. Akibatnya, Sugra terjajar mun-
dur disertai pekikan kagetnya. Ternya-
ta benturan itu membuat lengannya te-
rasa linu dan nyeri. Tokoh termuda Ti-
ga Setan Muara Gandul itu benar-benar 
dibuat terkejut oleh kekuatan tenaga 
dalam lawan
Saat itu Pedang Sinar Rembulan 
yang sempat tertahan benturan pedang 
lawan, sudah bergerak berputar menyam-
bar leher Sugra. Tentu saja tokoh se-
sat berusia tiga puluh tahun itu sema-
kin terkejut. Cepat tubuhnya dilempar 
ke belakang, lalu bersalto di udara. 
Wuuut! 
"Ahhh...!"
Sugra hampir tidak mempercayai 
pandang matanya. Karena meskipun sudah 
melompat jauh ke belakang, ternyata 
sinar putih keperakan itu masih saja 
mengejarnya. Terpaksa tubuhnya harus 
bergulingan untuk menyelamatkan nya-
wanya dari kejaran pedang gadis itu.
Wuuut! 
Brettt!

Tokoh sesat berusia tiga puluh 
tahun itu berusaha mati-matian menye-
lamatkan dirinya dari incaran pedang 
Kenanga. Namun akhirnya dia tak kuasa 
lagi menghindar. Meskipun masih bisa 
menyelamatkan lehernya, namun tak 
urung bahu kanannya terserempet mata 
pedang lawan.
Diiringi jerit kesakitan, Sugra 
melempar tubuhnya dan terus bergulin-
gan. Untunglah saat itu, lima orang 
berseragam biru gelap telah melompat 
dan menyelamatkan nyawanya dari keja-
ran sinar putih keperakan.
Trangngng! Trangngng!
Dua prang pengeroyok yang pe-
dangnya tertangkis gadis jelita itu 
langsung terdorong dengan wajah pucat. 
Gerakan Kenanga yang demikian kuat dan 
cepat itu, telah membuat dua orang 
pengeroyok terbelalak. Ternyata senja-
ta di tangan mereka telah patah menja-
di dua bagian.
Sedangkan sambaran tiga batang 
pedang lainnya, berhasil dihindari 
dengan merendahkan tubuhnya. Begitu 
sambaran pedang ketiga orang penge-
royok itu lewat mendadak tubuh gadis 
jelita itu melenting dan berputar me-
lewati kepala tiga orang pengeroyok-
nya.
Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika sinar putih keperakan berke-
lebat menyambar punggung tiga orang

pengeroyok itu. Mereka langsung am-
bruk, dan tewas seketika.
"Gila!" teriak Sugra yang ma-
tanya semakin terbuka lebar.
Sama sekali tak disangka kalau 
gadis jelita itu ternyata memiliki ke-
pandaian tinggi. Diam-diam kegentaran 
mulai menyelimuti hati orang termuda 
dari Tiga Setan Muara Gandul ini
"Hei?! Ayo, kepung gadis setan 
itu!" teriak Sugra kalap.
Mendengar teriakan pemimpinnya, 
delapan orang berseragam biru gelap 
itu segera berlompatan mengurung Ke-
nanga. Dan tanpa menunggu perintah la-
gi, langsung diterjangnya gadis jelita 
itu. Maka Kenanga juga segera menyam-
but serangan lawan-lawannya.
Pertarungan pun berlangsung se-
makin seru. Kenanga yang dikeroyok 
sembilan orang lawan semakin mengamuk 
hebat Pedang Sinar Rembulannya bergu-
lung dan menyambar-nyambar menggi-
riskan. Sehingga meskipun dikeroyok 
banyak lawan, namun gadis jelita itu 
malah dapat berada di atas angin.
Saat itu pertarungan di tempat 
lain pun sudah berlangsung sengit Pan-
ji yang menghadapi keroyokan dua di 
antara Tiga Setan Muara Gandul, dan 
ditambah tujuh orang berseragam biru 
gelap, bergerak bagaikan bayangan han-
tu. Tubuhnya berkelebatan cepat di an-
tara sambaran-sambaran senjata lawan.

Dan setiap kali tangan dan kakinya 
bergerak, selalu saja ada tubuh lawan 
yang terpental tanpa mampu bangkit la-
gi. Tentu saja hal itu membuat para 
pengeroyoknya menjadi kaget dan seka-
ligus gentar. 
Bukkk! Desss!
Kembali dua orang pengeroyok 
menjerit ngeri. Tubuh mereka jatuh 
berdebuk dan pingsan seketika itu ju-
ga. Untunglah pemuda itu tidak semba-
rangan menjatuhkan tangan kejam. Puku-
lan dan tendangannya memang tidak sam-
pai menewaskan lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Dua orang dari Tiga Setan Muara 
Gandul menjadi kalap ketika melihat 
anak buahnya dijatuhkan pemuda itu 
dengan mudah. Dibarengi teriakan nyar-
ing, keduanya melompat sambil memba-
cokkan pedang ke leher dan perut Pan-
ji.
Wuuut! Wuuuk!
Panji menggeser tubuh ke kanan 
menghindari bacokan pada lehernya. Se-
dangkan bacokan pada perut ditepis 
oleh telapak tangan terbuka hingga 
senjata itu menyeleweng dan hampir 
membentur senjata Badra yang masih 
mengapung di udara. Tentu saja kedua 
orang itu menjadi terkejut dan berusa-
ha menarik pulang senjatanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut 
mereka, saat itu kaki Pendekar Naga

Putih mencelat naik menghantam rusuk 
salah seorang dari kedua Tiga Setan 
Muara Gandul.
Bugkh! 
"Hugkh...!"
Tubuh Longgata, orang kedua dari 
Tiga Setan Muara Gandul, terpelanting 
keras hingga menabrak tubuh Badra yang 
berada di sebelah kirinya. Tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuh kedua orang itu 
pun tersuruk jatuh saling tindih.
Pemandangan yang dapat menggeli-
tik perut itu tidak sempat dinikmati 
Pendekar Naga Putih. Karena saat itu, 
empat orang berseragam biru gelap te-
lah mengayunkan senjata dari empat 
penjuru.
Melihat serangan itu Panji sama 
sekali tidak bergerak menghindar. Kaki 
kanannya bergerak ke depan membentuk 
kuda-kuda serong, dan sangat rendah. 
Berbarengan dengan itu, sepasang tan-
gannya yang terbuka bergerak ke kiri 
dan ke kanan, langsung menghantam dada 
dua orang penyerangnya. Kedua orang 
itu langsung terpelanting diiringi je-
rit kesakitan.
Gerakan yang dilakukan Pendekar 
Naga Putih tidak berhenti di situ sa-
ja. Tubuh pemuda itu meliuk mundur, 
dan langsung memutar tangan menjepit 
dua bilah senjata yang menyambar dari 
kiri-kanannya. Kedua orang itu tidak 
menyangka kalau lawannya akan menjepit

senjata mereka di ketiak. Dan selagi 
mereka tertegun, tahu-tahu saja sepa-
sang tangan Pendekar Naga Putih me-
nyambar cepat ke arah wajah mereka.
Kedua orang itu langsung mengge-
lepar akibat hantaman kuat yang menge-
nai pelipis. Beberapa saat kemudian, 
tubuh keduanya diam tak bergerak lagi. 
Pingsan.
Badra dan Longgata yang sudah 
bangkit berdiri menjadi terkejut meli-
hat pengikutnya telah tergeletak ping-
san. Cepat-cepat keduanya merogoh kan-
tung kain yang tergantung di pinggang.
Werrr! Werrr...!
Terdengar suara berdesingan 
nyaring ketika kedua orang itu mengge-
rakkan tangan untuk menebarkan senja-
ta-senjata gelap yang mengandung racun 
ganas.
"Hmh...!"
Panji yang sudah membalikkan tu-
buhnya ketika mendengar suara berdes-
ing, hanya menggeram lirih. Pendekar 
muda itu menarik kedua tangannya ke 
sisi pinggang. Kemudian, didorongkan-
nya dengan telapak tangan terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang 
menggigit tulang berhembus dari sepa-
sang telapak tangan pemuda itu, dan 
langsung memukul runtuh senjata-
senjata beracun kedua orang lawannya.
Sebelum rasa terkejut kedua la


wannya itu lenyap, tubuh Pendekar Naga 
Putih sudah melesat lurus bagaikan se-
batang bambu ke arah Badra dan Longga-
ta. Sepasang tangan pemuda itu berpu-
tar cepat bagai baling-baling. Malahan 
kedua orang lawannya itu tidak lagi 
dapat melihat bentuk tangan Panji. Dan 
hal itu cukup membuat mereka hanya bi-
sa berdiri tertegun bagaikan terkena 
pengaruh sihir.
Pada saat yang gawat itu, tiba-
tiba sesosok bayangan hitam melesat 
memotong serangan Panji. Bayangan hi-
tam itu langsung mendorongkan sepasang 
telapak tangannya menyambut serangan 
pemuda itu. 
Bresss!
Terdengar ledakan keras yang 
mengguncangkan udara di sekitar tempat 
itu. Pertemuan tenaga yang amat kuat 
tadi membuat bayangan hitam terpental 
balik. Setelah berputar beberapa kali 
di udara, barulah sepasang kakinya da-
pat didaratkan dengan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru 
sosok tubuh itu bergetar. 
Tubuh orang itu nampak ber-
goyang-goyang dan agak limbung. Kedua 
tangannya menekan dada. Bahkan napas-
nya terlihat agak memburu. Sosok tubuh 
itu sepertinya telah mengalami luka 
dalam. Hal itu terlihat dari cairan 
merah yang merembes di sudut bibirnya.
Badra dan Longgata terkejut se

telah mendengar nama Pendekar Naga Pu-
tih disebut-disebut oleh sosok tubuh 
itu. Kini mata mereka baru terbuka le-
bar. Pantas saja pemuda itu demikian 
hebat sehingga hampir membuat mereka 
tewas.
"Bunuh pendekar usilan itu!" pe-
rintah sosok tubuh yang tak lain dari 
Ki Jampala itu.
Siapa lagi orang yang berani me-
merintah Tiga Setan Muara Gandul kalau 
bukan Ki Jampala sendiri. Setelah ber-
kata demikian, lelaki berusia lima pu-
luh tahun itu melompat ke arah Panji 
yang masih berdiri tegak menatapi ke-
tiga orang lawannya.
Namun, sebelum pertarungan itu 
terjadi, terdengar jerit kematian yang 
merobek angkasa.
"Adi Sugra...! Keparat! Kubunuh 
kau...!" teriak Badra yang menjadi ka-
lap ketika melihat tubuh Sugra terlem-
par disertai semburan darah yang mem-
basahi tubuhnya.
Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul itu langsung menerjang Ke-
nanga dengan ganas. Sedangkan Longgata 
menubruk tubuh adik seperguruannya 
yang sudah tewas dengan luka menganga 
di tubuhnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga 
yang telah menamatkan nyawa lawan-
lawannya segera menyambut serangan Ba-
dra dengan pedangnya. Dalam waktu

singkat, keduanya sudah terlibat per-
tarungan sengit
Longgata pun sudah melompat me-
nerjang Kenanga. Dalam kemarahannya, 
tokoh sesat itu telah mengerahkan se-
luruh tenaga untuk menyerang. Sehingga 
serangan-serangannya semakin ganas dan 
dahsyat.
Panji yang semula berniat mem-
bantu kekasihnya, segera membatalkan 
niatnya begitu melihat orang yang me-
mapak serangannya tadi hendak melari-
kan diri. Cepat pemuda itu melesat dan 
menghadang orang itu.
"Hm.... Hendak lari ke mana kau, 
Ki Jampala?" ujar Panji menduga-duga.
Sebab, menurutnya siapa lagi 
orang itu kalau bukan Ki Jampala. Hal 
itu dapat dilihat dari sikap dua orang 
dari Tiga Setan Muara Gandul yang ter-
lihat sangat hormat terhadap orang 
itu.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pu-
tih! Apa sebenarnya yang kau inginkan 
dari kami?" tanya Ki Jampala yang ti-
dak dapat menyembunyikan rasa gentar-
nya.
Memang, dari pertemuan tenaga 
tadi, ia dapat menilai kalau tenaga 
dalam pemuda itu pasti sangat hebat. 
Dan itu telah dibuktikan ketika me-
nangkis serangan pemuda itu yang ditu-
jukan kepada dua orang dari Tiga Setan 
Muara Gandul tadi.

"Hm.... Kau ingin tahu? Pergilah 
dan tinggalkan Desa Kemang ini. Hanya 
itulah yang kuinginkan. Sederhana se-
kali, bukan?" sahut Panji seraya ter-
senyum tenang. Diam-diam pendekar itu 
mengharapkan Ki Jampala mau menuruti 
permintaannya.
"Ooo, hanya itu. Nah, terimalah 
ini!" sahut Ki Jampala yang segera me-
lontarkan pukulan maut ke tenggorokan 
dan dada Panji.
Melihat serangan maut itu, tubuh 
Panji bergeser ke kiri dan sekaligus 
melontarkan pukulan balasan yang tidak 
kalah berbahayanya. Namun lawannya 
ternyata cukup gesit dan mampu meng-
hindari sambaran tangannya yang menga-
rah ke belakang leher Ki Jampala. Bah-
kan sambil menghindar, orang tua itu 
masih sempat melepaskan sebuah tendan-
gan kilat ke perut Pendekar Naga Pu-
tih.
Zebbb!
Tendangan kilat itu berhasil di-
hindari Panji dengan merendahkan kuda-
kuda sambil meliukkan tubuh ke samping 
lawan. Tangan kanannya langsung berge-
rak melepaskan tamparan ke dada Ki 
Jampala. Laki-laki tua itu merasa ter-
kejut melihat kecepatan gerak lawan-
nya.
Bugkh!
"Hegkh...!"
Tubuh lelaki tua itu terjengkang

akibat tamparan yang kuat di dada ki-
rinya. Meskipun demikian, ia masih ju-
ga berhasil melompat dan bersalto 
hingga tubuhnya tidak sampai terjatuh 
ke tanah.
Namun sayang, sebelum Ki Jampala 
berhasil mengatur kedudukannya, tahu-
tahu saja telapak kaki Pendekar Naga 
Putih telah hinggap di dadanya. Tubuh 
orang tua itu pun langsung terbanting 
ke tanah hingga menimbulkan suara ber-
debuk nyaring.
Sebelum Ki Jampala sempat bang-
kit berdiri, telapak kaki Pendekar Na-
ga Putih telah menekan dadanya.
"Kalau kau ingin selamat, cepat 
katakan! Siapa dan di mana pemimpinmu 
berada? Kalau tidak, terpaksa aku akan 
membunuhmu," ancam Panji sambil mena-
han tekanan kakinya hingga Ki Jampala 
terbatuk-batuk. Darah pun semakin ba-
nyak mengalir dari mulutnya.
"Apa... apa maksudmu? Aku tidak 
tahu apa yang kau bicarakan itu?" ban-
tah Ki Jampala mencoba mengelabui pe-
muda itu.
"Baiklah! Aku tidak akan memak-
samu," ujar Panji seraya tersenyum.
Setelah berkata demikian, tan-
gannya bergerak melakukan totokan yang 
dapat menimbulkan rasa sakit yang he-
bat.
Ki Jampala menjerit-jerit ketika 
merasakan rasa nyeri di seluruh bagian

tubuhnya. Tubuhnya berguling-guling 
karena Panji telah melepaskan kakinya 
yang semula menekan dada Ki Jampala.
Panji baru membebaskan Ki Jampa-
la dari penderitaan ketika orang tua 
itu berteriak-teriak. Dia akhirnya 
bersedia memberitahukan, apa yang di-
inginkan pemuda berjubah putih itu.
Setelah mendapatkan keterangan 
dari Ki Jampala, pemuda itu pun segera 
meninggalkan orang tua itu setelah 
terlebih dahulu menotok lumpuh Ki Jam-
pala. Hal itu dimaksudkan agar tidak 
membahayakan para penduduk apabila me-
nahannya. Dan memang, rupanya para 
penduduk telah berkumpul di situ kare-
na Ki Dampit telah menceritakan keha-
diran dua orang pendekar kepada mere-
ka. Jadi itu semua memang berkat pemi-
lik kedai itu yang berhasil menghimpun 
penduduk.
Namun, baru beberapa langkah 
Panji meninggalkan tubuh lawannya, pa-
ra penduduk yang merasa marah telah 
mencincang tubuh Ki Jampala beramai-
ramai. Pendekar Naga Putih hanya dapat 
menarik napas melihat kemarahan para 
penduduk yang tengah melampiaskan den-
damnya kepada orang tua itu.
Pendekar Naga Putih meneruskan 
langkahnya mendekati pertempuran lain 
yang tampaknya juga akan segera berak-
hir. Panji hanya berdiri memandangi 
kekasihnya yang tengah mendesak dua

orang lawannya.
"Haiiit..!"
Badra dan Longgata benar-benar 
telah terjepit oleh lingkaran sinar 
pedang gadis jelita itu. Mereka hanya 
dapat menangkis tanpa mempunyai kesem-
patan untuk membalas. Dan ketika Ke-
nanga melompat disertai teriakan dan 
ayunan pedang, kedua orang tokoh sesat 
itu tidak mampu lagi menghindar.
Wuuut!
Brettt! Brettt! 
"Aaargh...!"
Kedua orang tokoh sesat itu men-
jerit ngeri ketika pedang di tangan 
Kenanga berkelebat dan membeset pang-
kal lengan dan paha mereka.
Dan selagi tubuh keduanya terja-
jar mundur dengan gerakan limbung, Ke-
nanga sudah melompat. Kedua kakinya 
langsung menghantam telak dada kedua 
orang lawannya.
Bukkk! Desss!
Badra dan Longgata yang merupa-
kan dua di antara Tiga Setan Muara 
Gandul, jatuh berdebuk dan langsung 
pingsan seketika itu juga. Darah segar 
tampak mengalir dari sela-sela bibir 
kedua tokoh sesat itu.
Kenanga menghampiri Panji yang 
melemparkan senyum kepadanya. Wajah 
gadis jelita itu tampak kemerahan den-
gan bintik-bintik keringat yang meng-
hiasi wajahnya. Dalam keadaan seperti

itu, Kenanga terlihat semakin menonjol 
kecantikannya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau 
sudah menemukan Ki Jampala?" tanya ga-
dis jelita itu seraya tersenyum manis.
"Sudah. Bahkan aku berhasil men-
gorek keterangan tentang pimpinannya. 
Tapi sayang, aku tidak berhasil mence-
gah orang-orang desa yang menghukum 
orang tua itu dengan cara mereka sen-
diri," sahut Panji agak sedikit kece-
wa.
"Hm.... Lalu, bagaimana dengan 
kedua orang tokoh sesat ini? Bukankah 
mereka dapat membahayakan nyawa pendu-
duk apabila tidak dibunuh?" tanya Ke-
nanga yang masih mengkhawatirkan nasib 
penduduk Desa Kemang apabila kedua to-
koh sesat itu dibiarkan begitu saja.
"Mereka telah terluka parah dan 
tidak mungkin sembuh dalam waktu sing-
kat."
Setelah berkata demikian, Panji 
mengulapkan tangannya memanggil salah 
seorang penduduk yang nampaknya cukup 
berpengaruh.
Setelah berpesan agar kedua to-
koh sesat itu dilepaskan setelah mere-
ka tersadar dari pingsannya nanti, 
Panji dan Kenanga segera meninggalkan 
Desa Kemang untuk mencari Biang Iblis 
Tangan Hitam yang menjadi sumber keru-
suhan di desa itu.

TUJUH

Siang itu, matahari memancar te-
rik. Tampak sesosok tubuh ramping ber-
baju merah tengah berlari cepat sambil 
menekap bahu kirinya yang tergantung 
lemah. Dari sela-sela jari tangan ka-
nannya, nampak cairan merah merembes 
keluar. Jelas, gadis jelita berbaju 
merah itu tengah menderita luka.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau 
melarikan diri, Dewi Baju Merah! Biar 
sampai ke ujung langit pun, akan tetap 
kukejar!" teriak seorang lelaki seten-
gah baya sambil berlari mengejar gadis 
jelita berbaju merah itu. Sedang di 
belakang lelaki itu, terlihat beberapa 
sosok tubuh lain yang ikut pula menge-
jar.
"Ohhh...!"
Gadis jelita berbaju merah itu 
mengeluh sambil memijat lukanya yang 
semakin terasa panas dan perih. Rasa 
sakit yang semakin menyiksanya itu 
membuat gadis itu menggigit bibirnya 
kuat-kuat
Tak berapa lama kemudian, gadis 
yang dipanggil Dewi Baju Merah itu mu-
lai memasuki daerah perbukitan. Jalan 
yang dipenuhi batu dan menanjak itu, 
membuat kedua kakinya terasa berat un-
tuk melangkah. Meskipun beberapa kali 
hampir terjatuh, ia terus saja berusa-
ha untuk melepaskan diri dari kejaran

orang-orang yang semakin dekat di be-
lakangnya.
Karena kedua kakinya sudah tidak 
kuat lagi berlari, akhirnya setelah 
melewati jalan menanjak dan berbatu, 
Dewi Baju Merah terjatuh di atas tanah 
berumput kering yang merupakan tanah 
lapang cukup luas.
Di saat gadis jelita itu berusa-
ha bangkit, tahu-tahu saja para penge-
jarnya telah tiba pula di tempat itu.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang, 
kau pasti akan dapat kutangkap. Nah! 
Lihatlah sendiri!" ujar laki-laki se-
tengah baya yang memiliki kening lebar 
itu.
"Keparat kau, Setan Hitam! Kalau 
ingin membunuhku, bunuhlah! Aku tidak 
takut menghadapi kematian!" bentak ga-
dis jelita itu tanpa rasa gentar sedi-
kit pun. Sepasang matanya yang bulat 
menatap galak. 
"Ha ha ha..,! Tidak semudah itu, 
Dewi Baju Merah! Kau kira aku tidak 
tahu, siapa kau sebenarnya? Dengan 
adanya kau di tangan kami, Adipati 
Kerta Lungga akan menuruti semua per-
mintaan kami."
Setelah berkata demikian, mele-
daklah tawa lelaki berkepala separuh 
botak itu. Tawanya segera disambut ka-
wan-kawannya.
"Jangan coba-coba menggertakku, 
Langgawe! Sebelum sempat memberitahu

kan ayahku, tubuhku hanya akan menjadi 
mayat yang tak berarti!" teriak Dewi 
Baju Merah
Ternyata dia adalah seorang pu-
tri adipati. Setelah berkata demikian, 
gadis jelita itu mengayunkan belati 
yang sudah dicabut ke dadanya sendiri.
Tring!
Belum lagi belati itu sempat 
terhunjam di dada Dewi Baju Merah, se-
berkas sinar putih berkelebat dan te-
pat mengenai belati yang siap dihun-
jamkan. Gadis jelita itu memekik ter-
tahan melihat belatinya terpental aki-
bat hantaman batu kerikil sebesar ibu 
jari kaki.
"Hm.... Gadis inikah yang telah 
berani mati menyelidiki tempat kita, 
Langgawe? Benarkah dia putri Adipati 
Kerta Lungga?" tegur sebuah suara se-
rak menggetarkan.
Wajah laki-laki yang keningnya 
lebar hingga ke ubun-ubun, berubah pu-
cat ketika mendengar suara berat itu. 
Cepat tubuhnya berbalik, dan langsung 
berlutut begitu melihat seorang kakek 
berusia sekitar delapan puluh tahun 
telah berdiri di situ.
"Ampun, Ketua. Gadis inilah yang 
telah menyatroni tempat kita," sahut 
Langgawe sambil tetap bersujud dan me-
nundukkan wajahnya dalam-dalam. Gera-
kan Langgawe itu diikuti kawan-
kawannya yang lain.

"Hm.... Biang Iblis Tangan Hi-
tam! Perlu kau ketahui! Semua perbua-
tanku, sama sekali tidak ada sangkut 
pautnya dengan ayahku! Kalau ingin 
menghukumku, hukumlah! Aku, Serimpi, 
pantang takut menghadapi kematian!" 
tantang Dewi Baju Merah yang ternyata 
bernama Serimpi.
Serentak gadis itu berdiri, lalu 
menatap tajam ke arah kakek yang ber-
juluk Biang Iblis Tangan Hitam. Sama 
sekali tidak diperlihatkan rasa takut 
maupun gentar.
"He he he.... Seperti yang Lang-
gawe katakan tadi, dengan adanya kau, 
maka kami akan memaksakan kehendak ka-
mi kepada ayahmu," tegas kakek itu se-
raya terkekeh serak.
"Bangsat! Hiaaat...!"
Dewi Baju Merah yang sudah tidak 
dapat menahan amarah langsung melompat 
dengan pukulan tangan kanan yang me-
luncur deras ke dada kakek itu.
Biang Iblis Tangan Hitam sama 
sekali tidak bergerak dari tempatnya. 
Dengan sikap tenang, tangannya diulur-
kan menyambut pukulan gadis itu. Se-
rangkum hawa yang amat kuat membentur 
tubuh Dewi Baju Merah.
Bukkk!
Gadis jelita itu mengeluh terta-
han ketika tubuhnya terbanting kembali 
ke atas tanah berumput kering.
"He he he...! Anak nakal, kau

harus diberi pelajaran terlebih dahu-
lu!"
Setelah berkata demikian, kakek 
itu melangkahkan kakinya, mendekati 
Dewi Baju Merah. Tangan kanannya teru-
lur hendak menjambret lengan gadis 
itu. 
"Jangan sakiti gadis itu...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan ke-
ras yang disusul berkelebatnya sesosok 
tubuh tegap. Begitu tiba, sosok tubuh 
itu langsung melepaskan pukulan ke pe-
lipis Biang Iblis Tangan Hitam.
Wuuut! Plakkk!
"Uhhh...!"
Sosok tubuh itu mengeluh terta-
han ketika tangan Biang Iblis Tangan 
Hitam yang semula hendak menjamah tu-
buh Dewi Baju Merah digunakan untuk 
menangkis serangan. Dan akibatnya, so-
sok tubuh itu terpental balik.
Namun orang itu ternyata sangat 
gesit! Dengan beberapa kali salto, ke-
dua kakinya mendarat kokoh di atas ta-
nah berumput.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu den-
gan Serimpi?" bentak Biang Iblis Tan-
gan Hitam.
"Kau tidak perlu tahu hubunganku 
dengan Serimpi! Yang penting, bila kau 
ingin menyakiti gadis itu, langkahi 
dulu mayatku!" tegas sosok tubuh itu 
lantang.
Dewi Baju Merah menahan seruan

nya begitu mengenali sosok tubuh yang 
menolongnya itu. Sepasang matanya yang 
bulat dan indah, nampak menyiratkan 
kekhawatiran yang dalam.
Lelaki muda yang datang itu ada-
lah Pandu. Pemuda tampan berkulit ke-
coklatan itu sempat mengerling dengan 
sudut mata ke arah Dewi Baju Merah.
"Kau... kau pergilah. Mereka 
akan membunuhmu nanti," ujar Dewi Baju 
Merah yang bernama asli Serimpi sambil 
memandang wajah Pandu dengan cemas.
"Tidak, Serimpi. Untuk menyela-
matkanmu, aku rela mengorbankan selem-
bar nyawaku," sahut Pandu memanggil 
Dewi Baju Merah dengan nama yang baru 
dikenalinya dari Biang Iblis Tangan 
Hitam tadi.
"Kami akan membantumu, Kisanak."
Tiba-tiba terdengar suara halus 
yang menggetar karena dikerahkan lewat 
tenaga dalam yang amat kuat
Orang-orang yang berada di seki-
tar tempat itu serentak menolehkan ke-
pala ke arah suara itu. Mereka terke-
jut ketika melihat dua sosok tubuh 
berpakaian hijau dan putih tengah me-
langkah mendatangi tempat itu. Diam-
diam orang-orang itu menjadi heran. 
Karena suara yang terdengar dekat ta-
di, ternyata datang dari orang yang 
masih terpisah beberapa belas batang 
tombak dari tempat itu.
Dua sosok tubuh yang tak lain

adalah Kenanga dan Panji itu memandang 
tajam orang-orang di sekitarnya. Wajah 
yang bersih dan tampan itu, tampak 
terhias senyum cerah.
"Kaukah yang berjuluk Biang Ib-
lis Tangan Hitam? Tadi aku mendengar 
ada orang yang menyebutkan julukan 
itu. Itulah yang menyebabkan langkahku 
tiba di tempat ini," ujar Panji sambil 
meneliti kakek yang berambut panjang 
itu.
"Hm.... Kau pasti Pendekar Naga 
Putih. Aku telah mengenalmu karena me-
lihat dandanan dan gagang Pedang Naga 
Langit yang tergantung di pundakmu," 
sahut kakek itu yang sama sekali tidak 
mempedulikan pertanyaan pemuda berju-
bah putih tadi. Sepasang matanya mena-
tap tajam, meneliti sekujur tubuh Pan-
ji.
"Biang Iblis! Kedatanganku kema-
ri untuk menghentikan semua sepak ter-
jangmu. Bukankah sebaiknya kepandaian-
mu itu dipergunakan untuk kebaikan?" 
ujar Panji dengan sikap tetap tenang.
"He he he...! Untuk menghentikan 
perbuatanku, kau harus dapat mengalah-
kanku, Pendekar Naga Putih. Sekarang 
bersiaplah menerima kematianmu," sahut 
Biang Iblis Tangan Hitam. 
"Heaaat..!"
Tanpa menunggu lawannya bersiap 
terlebih dahulu, Biang Iblis Tangan 
Hitam sudah melompat sambil mendorong

kan sepasang telapak tangannya ke de-
pan. Serangkum angin dahsyat bergulung 
menerjang tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau lawannya 
bukanlah tokoh sembarangan, mengerah-
kan seluruh tenaga dalamnya. Kedua 
tangannya langsung didorongkan menyam-
but sepasang lengan kakek itu.
Blarrr!
Hebat sekali pertemuan dua ge-
lombang tenaga dalam dahsyat itu. Be-
berapa orang pengikut Biang Iblis Tan-
gan Hitam bahkan sampai terpelanting 
roboh dan pingsan seketika. Sedangkan 
yang lainnya berlompatan mundur men-
jauhi pertarungan itu.
Baik Panji maupun Biang Iblis 
Tangan Hitam, sama-sama terpental be-
berapa tombak ke belakang. Namun, ke-
duanya dapat mendaratkan kakinya di 
tanah tanpa menderita luka yang berar-
ti. Hanya saja, tubuh mereka masing-
masing terlihat limbung.
"Kau hebat, Pendekar Naga Putih. 
Selama puluhan tahun, baru kali inilah 
kutemukan lawan tangguh dan masih mu-
da. Tapi kau jangan berbangga dulu. 
Kita lihat saja, apakah kau akan mampu 
menahan seranganku selanjutnya," kata 
Biang Iblis Tangan Hitam.
Setelah berkata demikian, tubuh 
kakek itu kembali melesat dan langsung 
melancarkan serangan maut.
Melihat serangan-serangan yang

dahsyat dan menimbulkan deruan angin 
keras itu, kedua kaki Panji bergeser 
secara bergantian untuk mengelakkan 
serangan-serangan lawan. Sesekali Pen-
dekar Naga Putih menangkis dan memba-
las dengan pukulan dan tendangan yang 
tidak kalah dahsyat Sehingga pertarun-
gan pun semakin seru dan mendebarkan.
Sementara di tempat lain, Pandu 
dan Kenanga telah pula terlibat dalam 
sebuah pertarungan sengit. Sedangkan 
Dewi Baju Merah hanya dapat menonton 
pertarungan itu dengan hati tegang. 
Rupanya, gadis jelita itu telah menga-
lami luka dalam yang cukup parah aki-
bat pukulan yang dilancarkan Biang Ib-
lis Tangan Hitam tadi. Sehingga, ia 
hanya dapat meremas-remas tangan den-
gan hati cemas.
Pertarungan Panji dan Biang Ib-
lis Tangan Hitam, berlangsung semakin 
mendebarkan! Kedua tokoh sakti itu te-
lah sama-sama mengeluarkan ilmu anda-
lan masing-masing.
"Haiiit..!"
Pada jurus kelima puluh enam, 
Biang Iblis Tangan Hitam menghantamkan 
telapak tangan kirinya ke dada Panji.
Wusss!
Dari telapak tangan kiri kakek 
itu, bergulung asap hitam yang mene-
barkan bau amis yang memualkan perut. 
Panji bergegas melompat ke samping 
sambil melepaskan tamparan ke pelipis

lawan. Namun, telapak tangan kiri ka-
kek itu tahu-tahu saja bergerak berpu-
tar, dan langsung mendarat di perut 
Panji.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Pendekar Naga Putih mengeluh 
pendek. Tubuhnya terlempar mundur 
hingga dua batang tombak jauhnya. Pen-
dekar muda itu mampu menguasai keseim-
bangan tubuhnya dengan baik, sehingga 
tidak sampai terjatuh karena pukulan 
yang amat kuat itu. Dari sela-sela bi-
birnya, terlihat cairan merah merembes 
keluar. Pukulan 'Asap Hitam' yang men-
gandung racun itu ternyata telah melu-
kai bagian dalam tubuhnya.
Bergegas Panji mencabut Pedang 
Naga Langit, dan menorehkan ujungnya 
pada luka di perutnya. Dalam sekejap 
saja, racun di tubuh pemuda itu telah 
lenyap terhisap pedang pusaka itu. Dan 
kulit perutnya yang semula kehitaman 
kembali berubah seperti sediakala
"He he he...! Pedang hebat itu 
tidak pantas menjadi milikmu, Pendekar 
Naga Putih! Serahkan saja padaku!" 
bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
Laki-laki tua itu begitu terpu-
kau melihat perbawa dan kemukjizatan 
Pedang Naga Langit yang berada di tan-
gan Panji. Dan sebentar kemudian, tu-
buh kakek itu langsung melompat dengan 
cengkeraman kedua tangannya. Cengkera

man kiri mengarah ubun-ubun dan ceng-
keraman kanannya meluncur, hendak me-
rebut pedang di tangan kanan Pendekar 
Naga Putih.
Wuuut! Wuuut!
Panji melangkah mundur menghin-
dari cengkeraman maut itu. Berbarengan 
dengan itu, tangan kanannya bergerak 
menyabetkan pedang ke tangan kanan la-
wan yang mencengkeram ubun-ubun
Gulungan sinar kuning keemasan 
itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam 
tersentak kaget. Dicobanya untuk mena-
rik pulang tangan kirinya. Namun 
sayang, kakek itu kalah cepat. Dia ti-
dak sempat lagi menyelamatkan tangan 
kirinya dari sambaran pedang.
Wuuut! Crakkk!
"Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam menje-
rit parau ketika mata pedang membabat 
buntung tangan kirinya hingga sebatas 
pergelangan. Cepat tubuhnya dilempar 
ke belakang sejauh empat batang tombak 
untuk menghindari sambaran pedang yang 
masih terus berkelanjutan.
Wuuut! Wuuut...!
Seluruh wajah Biang Iblis Tangan 
Hitam pucat. Karena pada saat kedua 
kakinya baru menjejak tanah, tubuh 
Panji sudah melesat menerjang. Dalam 
kemarahannya, pemuda perkasa itu telah 
mengeluarkan jurus pamungkas 'Naga 
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.

Hebat bukan main jurus terakhir 
'Silat Naga Sakti' itu. Sebentuk sinar 
kekuningan bagai bulatan itu berpendar 
menyilaukan pandangan lawan. Dari bu-
latan sinar pedang itu, kadang-kadang 
menyembul ujung pedang yang bagaikan 
puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu 
membuat Biang Iblis Tangan Hitam men-
jadi buram pandangannya, sehingga ti-
dak mengetahui ujung pedang yang meru-
pakan aslinya. Maka...
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam meraung 
dahsyat menggetarkan sekitarnya. Darah 
segar langsung memercik membasahi re-
rumputan kering ketika mata pedang 
Pendekar Naga Putih merobek tubuhnya 
beberapa kali. Tanpa dapat dicegah la-
gi, tubuh tua itu ambruk dan tewas 
bermandikan darahnya sendiri.
"Kakang! Kau tidak apa-apa?" 
tanya Kenanga khawatir.
Gadis jelita yang sudah menyele-
saikan pertarungannya bersama Pandu 
semenjak tadi, cepat memeriksa perut 
Panji. Baju pada bagian perut pemuda 
itu terlihat hangus bagaikan terbakar 
api. Dan luka akibat goresan Pedang 
Naga Langit tampak mengeluarkan darah, 
meskipun tidak banyak. Tapi hal ini 
telah membuat hati dara jelita itu ce-
mas karenanya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga,"

sahut Panji seraya tersenyum lembut. 
Dibelainya rambut kepala gadis jelita
itu penuh kasih.
"Syukurlah, Kakang," desah Ke-
nanga seraya memeluk tubuh pemuda pu-
jaannya itu.
"Kami berdua mengucapkan terima 
kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Ta-
pi, urusan ini belum selesai seluruh-
nya. Sebab menurut Serimpi, di tempat 
kediaman Biang Iblis Tangan Hitam ba-
nyak terdapat tawanan yang harus dibe-
baskan," jelas Pandu sambil membungkuk 
hormat kepada Panji.
Sementara itu, Serimpi yang lu-
ka-lukanya sudah disembuhkan Kenanga, 
berdiri di belakang Pandu. Wajah gadis 
itu tampak segar, pertanda telah be-
nar-benar sembuh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayolah 
kita ke sana," sahut Panji.
"Mari, ikuti aku!" ujar Serimpi yang 
menjadi penunjuk jalan.
Pandu, Kenanga, dan Panji segera mele-
sat mengi-kuti gadis jelita berbaju 
merah itu.
***
DELAPAN


"Hm..., Rupanya di sinilah sa-
rang Biang Iblis itu," gumam Panji be-
gitu mereka tiba di depan sebuah bangunan besar di dalam Hutan Kemang.
Keempat orang pendekar muda itu berge-
gas memasuki halaman bangunan be-
sar.itu. Belasan orang anak buah Biang 
Iblis Tangan Hitam yang mencoba meng-
halangi, satu persatu ambruk dihajar 
keempat biang itu.. Setelah semua 
penghalang tak berkuak, mereka berge-
gas menuju tempat tawanan disimpan.
Panji, Kenanga, Pandu, dan Serimpi 
bergegas membuka pintu-pintu berjeruji 
yang mengurung puluh-an orang wanita. 
Mereka berumur sekitar enam betas sam-
pai dua puluh tahun dan nampak pucat 
serta basah oleh air mata. Mereka ada-
lah gadis-gadis desa yang diculik oleh 
begundal-begundal Biang Iblis Tangan 
Hitam sebagai pemuas nafsu pemimpin-
pemimpin mereka.
Pandu yang ikut membebaskan ga-
dis-gadis itu terpaku ketika menatap 
seorang gadis berwajah bulat telur dan 
sangat manis. Setitik tahi lalat, tam-
pak menghias sudut bibir sebelah ki-
rinya.
"Kau... kau. Siapakah namamu, 
dan di mana tinggalmu?" tanya Pandu 
agak gugup.
Sejenak dalam benak pemuda itu 
terlintas wajah kedua orang tua dan 
adik perempuannya yang telah lama di-
carinya. Dan tentu saja wajah adiknya 
masih jelas tergambar dalam benak.
Gadis berwajah bulat telur yang manis

itu, menunduk malu karena sepasang ma-
ta Pandu seperti menjelajahi seluruh 
wajahnya.
"Namaku Ratih, dan tempat ting-
galku di Desa Surungan," sahut gadis 
itu tersipu.
"Hei? Untuk apa kau tanya-tanya 
nama orang? Kau suka, ya?" tegur Se-
rimpi.
Gadis yang berjuluk Dewi Baju
Merah itu tahu-tahu saja sudah berada 
di samping Pandu. Nada suaranya ter-
dengar ketus dan galak. Sehingga Pandu 
sempat terkejut karenanya. Namun, pe-
muda itu seperti tidak mempedulikan.
"Ratih.... Kau..., apakah ayahmu 
bernama Ki Sumareja dan ibumu bernama
Wilarsih?" tanya Pandu.
Tubuh pemuda itu menggigil karena te-
gang. Sehingga, ia tidak lagi mempedu-
likan sepasang mata yang menatap galak 
ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan ma-
ta Serimpi.
"Bagaimana Kakang dapat mengeta-
huinya?" tanya Ratih, bingung.
Gadis itu merasa heran mendengar 
nama orang tuanya diketahui pemuda 
itu. Seketika wajahnya di angkat penuh 
menyelidik.
"Ah! Ratih, Adikku. Apakah... 
apakah kau sudah tidak mengenali ka-
kangmu?" sahut Pandu yang sudah tidak 
tahan untuk memeluk tubuh adik perem-
puannya itu. Kedua tangan pemuda itu

tampak bergetar bagaikan menderita ke-
jang.
Ratih semakin heran ketika men-
dengar pertanyaan pemuda tampan berku-
lit kecoklatan itu. Sepasang matanya 
yang bening memandang wajah pemuda itu 
sambil mengerutkan keningnya dalam-
dalam.
"Kau..., kau. Benarkah kau Ka-
kang Pandu?" tanya Ratih dengan bibir 
bergetar menahan keharuan yang dalam. 
Sepasang matanya tampak mulai digenan-
gi air mata.
"Ratih, Adikku...!" sebut pemuda 
itu.
Pandu yang benar-benar sudah me-
rasa yakin kalau gadis itu adalah 
adiknya, langsung mengem-bangkan tan-
gan lebar-lebar. Direngkuhnya tubuh 
gadis itu dalam pelukannya. Sepasang 
matanya sudah basah oleh air mata yang 
meluncur turun dengan derasnya.
"Kakang...," desah gadis itu se-
rak di antara isak tangisnya yang me-
milukan.
"Ahhh! Ratih, Adikku. Kau sudah 
besar dan can-tik," desah Pandu seraya 
melepaskan pelukan dan menatapi wajah 
adiknya penuh kasih.
Serimpi, Kenanga, dan Panji me-
malingkan wajah-nya karena tak tahan 
menyaksikan pertemuan yang mengharukan 
itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita antar

kan saja dulu gadis-gadis ini. Peluk 
cium kalian bisa dilanjutkan nanti!" 
ujar Serimpi yang membuat Pandu dan 
Ratih tersadar kalau perbuatan mereka 
dilihat banyak orang.
Dengan wajah tersipu, Pandu dan Ratih 
melepaskan pelukannya meskipun tetap 
berpegangan tangan Kemudian, mereka 
bergegas mengikuti Serimpi dan para 
gadis-gadis tawanan yang sudah berja-
lan lebih dahulu.
"Maaf, Pandu, Serimpi. Aku ter-
paksa tidak bisa menemani kalian. Aku 
dan Kenanga harus melanjut-kan perja-
lanan. Nah, sampai jumpa," pamit Panji 
yang tanpa menunggu jawaban sudah me-
lesat meninggalkan tempat itu bersama 
Kenanga.
Pandu, Serimpi, Ratih dan yang 
lainnya hanya dapat memandangi keper-
gian kedua orang pendekar itu dengan 
penuh rasa terima kasih. Tak lama ke-
mudian, mereka segera meninggalkan 
bangunan besar itu untuk mengantarkan 
gadis-gadis tawanan ke kampung hala-
mannya.
"Bagaimana kabar ayah, Adikku? 
Apakah baik-baik saja?" tanya Pandu 
yang sudah tidak sabar ingin mengeta-
hui nasib orang tuanya.
"Ayah baik-baik saja, Kakang. 
Namun, ibu telah tewas di tangan orang 
yang baru kuketahui sebagai pemberon-
tak. Berbulan-bulan kami mencarimu se

menjak kita terpisah. Namun sayang ka-
mi tidak berhasil menemukanmu. Hingga 
ayah putus asa. Ahhh, ayah pasti akan 
sangat gembira melihat dirimu selamat, 
Kakang," sahut Ratih seraya tersenyum 
bahagia.
Pandu tidak terkejut lagi men-
dengar kematian ibunya. Kabar itu me-
mang pernah didengar ketika dia menca-
ri-cari keluarganya.
Pandu mengelus rambut kepala 
adiknya penuh kasih sayang. Sekilas 
diliriknya Serimpi yang me-langkah ti-
dak jauh dari mereka berdua. Melihat 
wajah gadis berbaju merah itu agak 
cemberut, pemuda itu pamit kepada 
adiknya sebentar dan memberanikan diri 
mendekati Serimpi.
"Serimpi, bolehkah aku bicara 
denganmu sebentar?" pinta Pandu dengan 
hati berdebar tegang. Wajah pemuda itu 
tampak agak memucat karena terbawa pe-
rasaannya.
"Hm.... Apa yang ingin kau bica-
rakan, katakan-lah," sahut gadis jeli-
ta itu. Suaranya masih tetap ketus.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara 
berdua saja?" tanya Pandu semakin ber-
tambah berani.
Memang, pemuda itu merasa harus 
mendapat keputusan dari gadis jelita 
itu sekarang juga. Sebab kesempatan 
seperti itu mungkin tidak akan dite-
muinya lagi.

"Hm...."
Meskipun Serimpi tidak menyahut, 
gadis itu melangkah juga mengikuti 
Pandu yang berjalan ke tepi.
"Serimpi. Aku..., aku ingin ber-
terus terang kepadamu. Semenjak perte-
muan kita pertama dulu, aku..., aku 
telah jatuh cinta kepadamu. Apakah, 
apakah aku bertepuk sebelah tangan?" 
tanya Pandu dengan wajah semakin pucat
Bibir gadis jelita itu tampak 
menyunggingkan senyum meskipun hanya 
sekejap. Dan wajah gadis itu berubah 
kembali seperti semula, galak dan ang-
kuh.
"Hm.... Datang saja ke Istana 
Kadipaten Bangkalan. Di sana kau bisa 
mengetahui jawabannya," sahut gadis 
yang berjuluk Dewi Baju Merah itu 
singkat
"Hahhh! Kau... kau...."
"Benar! Kau takut?" potong Se-
rimpi cepat. Gadis itu sudah menduga 
kalau Pandu akan terkejut mendengar 
jawabannya tadi. Sengaja gaun dirinya 
dibuka untuk menguji sampai di mana 
dalamnya perasaan cinta pemuda itu 
terhadapnya.
"Ah! Bukan begitu, aku...,” Pan-
du semakin gugup mendengar pertanyaan 
yang terdengar agak sinis itu.
“Apa sih' yang ingin kau kata-
kan?” Sejak tadi bisamu cuma aku.., 
aku saja!" bentak Serimpi tak sabar,

sehingga membuat beberapa orang gadis 
menoleh ke arah mereka dan tersenyum 
geli.
"Hmm... Serimpi, aku hanyalah 
seorang rakyat biasa, dan rasanya me-
mang tidak pantas mengharapkan balasan 
cintamu. Melihat kau tidak marah men-
dengar pernyataanku tadi pun, sebenar-
nya sudah merupakan anugerah bagiku. 
Maafkanlah kelancanganku. Aku tidak 
tahu kalau kau adalah Gusti Ayu Serim-
pi yang seharusnya kuhormati," jelas 
Pandu.
Hati pemuda itu merasa rendah di-
ri begitu mengetahui kalau gadis jeli-
ta itu adalah seorang putri adipati. 
Sebentar kemudian, pemuda itu melang-
kah lesu meninggalkan Serimpi yang 
menjadi tertegun dibuatnya.
"Kalau memang tidak suka memper-
sunting ku, ya sudah! Sana pergi! Tan-
gisi saja nasibmu!" bentak Serimpi di 
antara isak tangisnya yang lirih.
Pandu menghentikan langkahnya, 
seolah-olah tidak percaya dengan pen-
dengarannya. Tapi ketika melihat Se-
rimpi membalikkan wajahnya, pemuda itu 
bergegas menjatuhkan tubuhnya. Lang-
sung diambil-nya tangan kanan gadis 
jelita itu, lalu tanpa ragu dike-
cupnya dengan mesra.
"Gusti Ayu Serimpi. Apakah Gusti 
sudah menerima cinta dari rakyat 
miskin seperti hamba?" tanya Pandu se

raya menengadahkan kepalanya menatap 
wajah yang nampak basah oleh air mata 
itu.
Serimpi tidak menyahut. Tangan-
nya ditarik perlahan-lahan dari geng-
gaman pemuda itu. Kemudian, dia mele-
sat meninggalkan tempat itu.
"Awas kau, Pemuda Bodoh! Kalau 
tidak datang ke kadipaten, maka aku 
akan menyusulmu ke Desa Surungan!" ti-
ba-tiba terdengar suara Serimpi dari 
kejauhan
Pandu tersenyum lebar mendengar 
suara gadis jelita pujaan hatinya itu.
"Benar-benar seorang gadis aneh 
dan galak," gumam Pandu sambil melang-
kah mendekati adiknya.
Angin senja berhembus lembut se-
makin menyegarkan perasaan Pandu yang 
tengah berbahagia itu.


                             SELESAI







 

Share:

0 comments:

Posting Komentar