DEWI BAJU MERAH
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Dewi Baju Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari baru saja menampakkan
kekuasaannya di muka bumi. Dari cakra-
wala Timur, sinarnya yang hangat men-
jilati pucuk-pucuk dedaunan yang ber-
goyang-goyang lembut tertiup angin pa-
gi. Seorang bocah lelaki berusia seki-
tar sepuluh tahun lebih, tengah me-
langkahkan kakinya yang kecil kurus di
atas tanah berumput. Sesekali kepa-
lanya mendongak memandang cakrawala
yang jernih.
Setelah berhenti sejenak, bocah
laki-laki itu melanjutkan langkahnya
ke arah jalan utama yang menuju Desa
Tunjung. Meskipun kakinya kurus, namun
langkahnya nampak gesit dan kokoh. Se-
pertinya, dia memang sudah terbiasa
berjalan jauh. Wajahnya yang berkulit
agak gelap itu telah dibasahi keringat
yang mengalir turun ke leher dan pa-
kaian kumalnya.
Begitu memasuki desa, dihampi-
rinya sebuah kedai makan yang cukup
ramai. Bocah itu berdiri di depan pin-
tu kedai, memperhatikan orang-orang
yang sedang menikmati hidangan. Tampak
lehernya seperti turun naik karena me-
neguk air liur ketika melihat orang-
orang yang demikian nikmatnya melahap
hidangan. Sepasang matanya menatap
sayu membayangkan nikmatnya bila men-
cicipi hidangan itu.
Seorang pelayan yang berusia se-
kitar tiga puluh tahun, bergegas meng-
hampiri bocah itu. Wajahnya tampak ma-
sam dan keningnya berkerut dalam.
"Hei! Kalau hendak mengemis,
nanti saja. Hayo pergi sana! Bikin
orang kehilangan selera saja!" bentak
pelayan itu sambil mendorong tubuh si
bocah.
"Paman, aku bersedia mengerjakan
apa saja asalkan diberi makan. Aku la-
par sekali, Paman," ratap bocah laki-
laki itu memandang dengan penuh permo-
honan.
"Huh! Anak sekecil kau bisa
apa?!" hardik pelayan itu, sinis. Ha-
tinya sama sekali tidak tergerak meli-
hat tatapan memelas bocah bertubuh
kumal itu.
"Aku bisa mengerjakan apa saja,
Paman. Sungguh!" sahut bocah itu ber-
semangat. Sepasang matanya bersinar
penuh harap.
"Sudah, sudah! Pergi sana! Baumu
sudah tidak sedap!" maki si pelayan
seraya menggerakkan tangannya mengu-
sir.
Bocah itu tetap tak bergeming
sedikit pun. Hal ini membuat pelayan
itu naik darah. Maka....
"Hayo, pergi! Atau kau kupukul!"
Bocah itu sama sekali tidak ber-
gerak. Bahkan menatap tajam tanpa gen-
tar.
Plakkk!
Pelayan itu menampar wajah si
bocah hingga terpelanting jatuh ke ta-
nah. Namun tanpa mengeluh sedikit pun,
bocah itu langsung bangkit sambil men-
gusap darah pada bibirnya. Sepasang
matanya yang bening berkilat, menatap
penuh dendam.
"Bocah setan! Apa minta kupukul
lagi?" pelayan itu semakin naik pitam
melihat pancaran tantangan pada mata
si bocah. Tangan kanannya kembali te-
rangkat, siap melakukan tamparan yang
kedua.
Tanpa berkata sepatah kata pun,
bocah kurus bertubuh kumal itu berba-
lik dan melangkah meninggalkan kedai
makan. Sesekali kepalanya menoleh me-
mandangi si pelayan yang masih menata-
pi kepergiannya.
"Bocah sial! Pagi-pagi sudah
membikin orang marah," pelayan itu me-
langkah masuk sambil bersungut-sungut
tak puas. Kemudian pekerjaannya kemba-
li diteruskan.
Bocah laki-laki itu meneruskan
langkahnya menyusuri jalan utama Desa
Tunjung. Bibirnya digigit kuat-kuat
menahan rasa perih pada perutnya yang
sudah beberapa hari tidak dimasuki ma-
kanan. Sepanjang perjalanan sebelum
memasuki Desa Tunjung, ia hanya makan
dedaunan muda dan minum air sungai
yang ditemui.
***
"Hei, Teman-Teman! Lihat, ada
anak jembel gila!" teriak seorang bo-
cah laki-laki berumur sekitar tiga be-
las tahun. Tubuhnya lebih jangkung da-
ripada si bocah kurus berpakaian kumal
yang terus saja melangkah tanpa mempe-
dulikan teriakan itu.
"Hayo, kita lempari batu!" sam-
but bocah yang lain sambil berlari
mendekati anak lelaki jangkung yang
menjadi teman sepermainannya. Lima
orang lainnya langsung bersorak sambil
berlarian mengitari si bocah jembel.
"Heh, Anak Jembel! Siapa namamu?
Mau apa kau datang ke desa ini?" tanya
seorang bocah gemuk sambil mendorong
bocah jembel kurus itu.
"Mungkin hendak mencari sisa-
sisa makanan. Lihat saja, tubuhnya be-
gitu kurus. Ia pasti tengah kelapa-
ran," timpal anak jangkung itu, yang
kemudian tertawa keras.
Teman-temannya yang berjumlah
enam orang itu serentak tertawa-tawa.
Telunjuk mereka ditudingkan ke arah si
bocah jembel yang hanya terpaku mena-
tap anak-anak nakal itu.
"Heh! Mengapa kau melotot pada-
ku? Marah, ya? Mau menantang berkela-
hi?" bentak anak jangkung itu sambil
mendorong-dorong tubuh bocah jembel ke
belakang. Sementara seorang anak lain
nya sudah berjongkok di belakang tubuh
bocah jembel kurus itu. Akibatnya, tu-
buh bocah itu terjatuh karena kakinya
terlanggar anak gemuk yang berjongkok
di belakangnya.
"Ha ha ha...!"
Ketujuh orang anak nakal itu
tertawa terpingkal-pingkal sambil me-
megangi perut yang mendadak mules me-
lihat adegan yang dianggap sangat
menggelikan itu.
Si bocah jembel bangkit dan ber-
diri tegak memandang anak-anak yang
mengganggunya itu. Sinar matanya ber-
kilat memancarkan amarah yang masih
ditahan. Rupanya dia sama sekali tidak
merasa gentar meskipun anak-anak yang
mengganggunya itu berjumlah banyak.
"Mengapa kalian menggangguku?
Apa salahku kepada kalian?" tegur bo-
cah jembel itu, bernada menuntut.
Mendengar teguran si bocah jem-
bel, ketujuh orang anak nakal itu
menghentikan tawanya. Kemudian si
jangkung melangkah, mendekatinya den-
gan mata melotot marah.
"Salahmu karena lewat di depan
kami tanpa permisi! Apa kau kira kami
ini patung?" jawab anak jangkung itu
sambil mendorong hingga tubuh kurus
itu terhuyung ke belakang dan hampir
jatuh.
"Hm.... Apakah orang-orang yang
lewat di jalan ini harus meminta izin
mu dulu? Memangnya kau raja?" bantah
bocah jembel itu tanpa rasa takut se-
dikit pun. Padahal lawannya jauh lebih
besar darinya.
"Kurang ajar! Kau berani menan-
tangku, ya!" bentak anak jangkung itu
marah. Tangan kanannya langsung melan-
carkan pukulan ke wajah bocah jembel.
Digkh!
Si bocah jembel mengaduh kesaki-
tan. Tubuhnya terjerembab ke atas ta-
nah. Cepat ia bergerak bangkit dan
bersiap melawan.
"Ayo, pukul lagi! Jangan dikasi-
hani anak jembel gila itu!" teriak sa-
lah seorang anak memberi semangat ke-
pada kawannya yang segera disambut so-
rak-sorai oleh yang lainnya.
Anak jangkung itu kembali memu-
kul dan menendang sekuat tenaganya.
Rupanya semangatnya benar-benar ter-
bangkit setelah mendapat dukungan te-
man-temannya. Namun bocah jembel itu
melakukan perlawanan tanpa merasa ta-
kut sedikit pun. Meskipun tubuhnya le-
bih kecil, namun tampak kokoh dan ke-
kar. Apalagi dia terbiasa hidup liar
dan keras, sehingga membentuk anak la-
ki-laki yang kuat dan tabah.
Pukulan dan tendangan lawannya
yang bertubuh lebih besar itu berkali-
kali mendarat di tubuh dan wajahnya.
Tapi setiap kali terjatuh, ia langsung
bangkit dan melakukan perlawanan sen
git. Sepertinya, bocah jembel itu ti-
dak pernah jera dan tidak merasa le-
lah. Ini karena semangat dan ketaba-
hannya yang tinggi. Dan lama kelamaan
pukulan dan tendangannya mulai menda-
rat di tubuh dan wajah lawannya.
Ketika mendapat pukulan di wa-
jahnya sebanyak tiga kali, anak jang-
kung itu pun terjatuh sambil menjerit
kesakitan. Sebelum anak jangkung itu
sempat berdiri, si bocah jembel sudah
melompat dan menduduki perutnya. Bah-
kan kedua tangannya memukul berganti-
ganti ke wajah anak jangkung itu hing-
ga matang biru.
Melihat perkembangan yang mende-
barkan itu, enam orang lainnya seren-
tak berlari dan menyerang si bocah
jembel. Pukulan-pukulan dan tendangan
keenam anak nakal itu langsung menda-
rat di wajah dan seluruh tubuhnya.
Akibatnya tubuh dan wajah bocah jembel
itu kini bengkak-bengkak.
"Curang! Pengecut! Kalian bera-
ninya main keroyok!" teriak bocah jem-
bel itu sambil berlari menghindar.
Otaknya yang cerdik berputar ce-
pat untuk menghadapi keroyokan itu. Ia
memang tidak mau melarikan diri. Dia
yakin lawan-lawannya pasti akan terus
mengejar. Dan kalau tertangkap, pasti
akan dipukuli habis-habisan.
Bocah jembel yang tabah dan cer-
dik karena kepahitan hidup yang dija
laninya itu, bergegas mengambil sepo-
tong kayu yang tergeletak di tepi ja-
lan. Kemudian tubuhnya berbalik meng-
hadapi anak-anak nakal itu sambil
menggenggam kayu erat-erat
Wajah ketujuh orang anak itu me-
mucat ketika melihat lawannya telah
menggenggam sepotong kayu sebesar len-
gan. Mereka pun segera menghambur ber-
pencar meninggalkan tempat itu ketika
si bocah jembel maju sambil mengayun-
ayunkan kayu di tangannya.
"He he he...! Dasar laki-laki
pengecut! Baru melihat sepotong kayu
saja sudah terbirit-birit"
Luar biasa sekali bocah jembel
itu. Dalam keadaan tubuh dan wajah
yang bengkak-bengkak, ia masih dapat
tertawa melihat tingkah lawan-lawan
yang terbirit-birit meninggalkannya.
Sambil tetap menggenggam kayu,
si bocah jembel melangkah meninggalkan
tempat itu, menuju luar desa. Ia mera-
sa kalau desa itu tidak sudi menerima
kehadirannya. Dan untuk itu ia harus
pergi. Dan apabila masih tetap berada
di desa itu, sudah pasti cemoohan dan
gangguanlah yang bakal didapat
***
"Itu orang gila itu, Ayah!" seru
seorang bocah yang bertubuh gemuk sam-
bil menudingkan jari telunjuk ke arah
si bocah jembel. Di sampingnya berdiri
seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun dengan wajah marah.
"Hei, Anak Jembel! Mau ke mana
kau?!" teriak laki-laki berkumis tebal
itu sambil berlari menyusul si bocah
jembel.
Si bocah kurus itu tertegun ke-
tika melihat ketujuh anak nakal yang
tadi mengeroyoknya kini telah kembali
sambil membawa orang tua masing-
masing. Karena merasa tidak bersalah,
maka ia pun berdiri menunggu dengan
hati tabah.
"Bocah gila! Mengapa kau memuku-
li anak kami!" bentak lelaki berkumis
lebat itu, geram.
Rupanya ketujuh anak-anak nakal
itu telah mengadu kepada orang tuanya
masing-masing. Entah apa yang dikata-
kannya, sehingga para orang tua itu
mau saja dibawa menemui si bocah jem-
bel.
"Aku tidak berbuat apa-apa, Pa-
man. Merekalah yang telah mengganggu
dan mengeroyokku. Paman semua bisa li-
hat buktinya di sekujur tubuhku," sa-
hut bocah jembel itu mengatakan keja-
dian yang sesungguhnya.
"Dia bohong, Ayah! Ketika kami
bertujuh tengah bermain-main, tiba-
tiba saja dia datang dan mengganggu
kami. Lalu, kami pun segera melawan-
nya. Tapi kemudian ia mengambil kayu,
lalu memukuliku," kilah anak bertubuh
jangkung sambil memperlihatkan bukti
berupa bengkak-bengkak di wajahnya.
Jelas dia berdusta.
"Keparat! sudah membuat keona-
ran, masih juga berdusta!" bentak la-
ki-laki berkumis tebal itu sambil me-
layangkan tangannya menampar kepala si
bocah jembel.
Plakkk!
Bocah jembel itu langsung menga-
duh kesakitan. Tubuhnya terpelanting
dan jatuh berdebuk. Bibirnya kembali
pecah dan mengeluarkan darah. Namun
tanpa mengeluh sedikit pun, ia merang-
kak bangkit. Belum lagi tubuhnya sem-
pat berdiri tegak, tamparan lainnya
sudah datang menyusul
Wuuut! Plakkk!
Tamparan yang meluncur ke arah
kepala bocah jembel itu tiba-tiba ter-
pental balik diiringi teriakan laki-
laki berkumis tebal. Ternyata tubuhnya
terlempar sejauh dua batang tombak.
Sesaat orang itu menggelepar, kemudian
diam tak bergerak lagi dengan wajah
hitam. Rupanya laki-laki itu tewas se-
ketika itu juga!
"He he he...! Anak baik, lihat-
lah. Orang yang hendak memukulimu itu
sudah kukirim ke neraka!"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu di samping bocah jembel itu sudah
berdiri seorang kakek-kakek. Jenggot
nya panjang hingga melewati dadanya.
Tangannya tak henti-henti mengelus
jenggot putihnya itu. Sikapnya demi-
kian tenang, tanpa merasa telah mela-
kukan pembunuhan. Tentu saja hat itu
membuat orang-orang yang ada di situ
terkejut. Mereka benar-benar ngeri,
sehingga tanpa sadar mundur beberapa
langkah.
Bocah jembel itu memandangi wa-
jah kakek tua di sebelahnya dengan wa-
jah bingung. Sama sekali sulit dimen-
gerti, mengapa laki-laki berkumis le-
bat yang kembali hendak menamparnya
itu tahu-tahu telah terbanting roboh
dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Hahhh! Pembunuh...!"
Salah seorang dari keenam orang
laki-laki lainnya berteriak keras ke-
tika melihat kawannya telah menjadi
mayat
"Pasti kakek itu yang melakukan-
nya! Buktinya, tidak ada orang lain
lagi di tempat ini!" tuduh yang lain
sambil menuding. Namun kakek itu hanya
terkekeh tanpa mempedulikan teriakan-
teriakan ribut dari keenam orang laki-
laki berpakaian petani itu.
"He he he...! Rupanya kalian in-
gin mendapat bagian juga! Nih, terima-
lah!"
Belum lagi gema suaranya lenyap,
tahu-tahu saja tubuh kakek itu telah
melesat cepat seraya mengibaskan tan
gannya. Terdengar teriakan-teriakan
kesakitan yang disusul robohnya keenam
orang tua anak-anak nakal itu. Mereka
tewas seketika dengan kepala retak.
Seketika kepala mereka mengeluarkan
darah, bercampur cairan putih kental.
Sementara itu si kakek telah me-
lesat semakin jauh sambil membawa tu-
buh bocah jembel. Sedangkan di bela-
kangnya para penduduk yang sejak tadi
menyaksikan kejadian itu tampak berte-
riak-teriak marah sambil berusaha men-
gejar.
***
Si bocah jembel benar-benar ter-
kejut Karena tahu-tahu saja tubuhnya
telah seperti terbang meninggalkan
tempat itu. Sepasang matanya terbela-
lak kaget melihat pepohonan di seki-
tarnya terasa berlarian. Ketika meno-
leh, ia semakin kaget. Ternyata di-
rinya berada dalam pondongan kakek
yang tadi berada di sampingnya. Kakek
itu memang berlari sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang telah be-
gitu sempurna.
Setelah cukup jauh, kakek itu
pun menghentikan larinya. Mereka kini
telah tiba di sebuah mulut hutan yang
cukup lebat, di sebelah Timur Desa
Tunjung. Segera diturunkannya bocah
yang berada dalam pondongan. Dengan
sepasang mata berbinar, tangan kakek
itu meraba-raba sekujur tubuh si bo-
cah.
"Hei! Apa yang kau lakukan kepa-
daku, Kakek?" tanya bocah jembel itu,
bingung.
Dia berusaha melepaskan tubuhnya
dari cengkeraman kakek itu. Namun bo-
cah itu menjadi heran ketika tubuhnya
terasa bagai patung, tak bisa digerak-
kan. Akhirnya ia hanya bisa memandang
terbelalak.
"He he he.... Dugaanku ternyata
tidak meleset!" ujar kakek itu seraya
terkekeh-kekeh. "Susunan tulang bocah
ini ternyata sangat baik dan sempur-
na!"
Kakek itu kemudian melepaskan
tubuh si bocah, lalu menari-nari ba-
gaikan orang kurang ingatan.
Bocah jembel itu semakin kehera-
nan ketika menyadari kalau seluruh lu-
ka memar di tubuh dan wajahnya sudah
tidak terasa sakit lagi. Bahkan warna
biru kehitaman bekas pukulan anak-anak
nakal tadi sudah mulai memudar war-
nanya. Matanya merayapi seluruh badan
yang mulai pulih itu. Tentu saja ia
merasa bersyukur dan gembira sekali.
Lalu pandangannya kembali dialihkan
kepada kakek yang masih menari-nari
gembira.
"Aku sangat berterima kasih se-
kali atas pertolonganmu, Kek. Mudah
mudahan suatu saat nanti kita bisa
bertemu lagi agar aku dapat membayar
hutangku ini. Sekarang aku harus pergi
untuk meneruskan perjalananku," pamit
bocah jembel itu.
Dia segera mengayunkan langkah
meninggalkan si kakek yang menjadi
terkejut dan menghentikan tariannya.
"Hei, hei.... Tunggu dulu! Enak
saja pergi. Kalau memang merasa berhu-
tang, sekarang juga aku minta diluna-
si," tegas si kakek. Kemudian dia ber-
kelebat, dan tahu-tahu sudah berdiri
menghadang jalan si bocah.
"Maaf, Kek. Aku tidak bisa melu-
nasinya sekarang. Aku tidak punya apa-
apa sebagai pembayar hutangku," jawab
si bocah sambil memandang wajah si ka-
kek penuh selidik.
Kini bocah itu semakin yakin ka-
lau kakek berjenggot panjang itu me-
mang kurang waras. Hal itu terlihat
jelas dari tingkah laku dan kata-
katanya yang seenak perutnya sendiri.
"Kau punya, Bocah. Jika ingin
membayar hutangmu itu, ikutlah bersa-
maku untuk menjadi muridku selama se-
puluh tahun. Bagaimana, kau bersedia?"
tanya si kakek seraya terkekeh gembi-
ra.
"Kau ingin mengambilku sebagai
murid? Apa yang akan kau ajarkan pada-
ku, Kek? Kalau hanya menari-nari se-
perti yang kau lakukan tadi, aku tidak
sudi! Tanpa diajarkan pun aku bisa me-
lakukannya," tolak bocah jembel itu.
"Eh, apa betul kau bisa? Coba,
ayo tirukan aku," ujar kakek itu den-
gan wajah gembira.
Lalu, kakek berjenggot putih
yang panjangnya melewati dada itu
menggerak-gerakkan tubuh. Pantatnya
lenggak-lenggok seperti bebek berja-
lan. Kakek itu terus berputar-putar
sambil tak henti-hentinya terkekeh.
Aneh sekali! Meskipun hatinya
tidak bersedia mengikuti gerakan si
kakek, tapi secara tiba-tiba tubuh bo-
cah itu sudah bergerak-gerak mengikuti
tarian yang aneh dan lucu. Si bocah
berusaha sekuat tenaga menahan. Namun,
tetap saja tidak mampu menghentikan
lenggak-lenggok tubuhnya. Dia terus
saja berputar mengikuti gerakan kakek
gila itu.
"Hei? Kakek gila! Kau apakan
aku? Mengapa aku tidak bisa menghenti-
kan gerakan tubuhku?" si bocah berte-
riak-teriak ngeri melihat tubuhnya
bergerak semakin cepat mengikuti ta-
rian kakek gila itu.
"He he he.... Bukankah kau sen-
diri yang mengatakan kalau bisa meniru
tarianku? Nah, itu sudah bagus dan su-
dah betul!" sahut si kakek sambil ter-
kekeh semakin gembira.
"Sudah, Kek. Hentikan! Aku sudah
tidak tahan!" pinta bocah jembel itu.
Meskipun hatinya diam-diam mera-
sa ngeri, namun bocah jembel yang ke-
ras hati dan angkuh itu sama sekali
tidak mau memperlihatkannya di hadapan
kakek gila itu.
Ketika kakek yang aneh itu meng-
hentikan gerakannya, secara aneh pula
gerakan tubuh si bocah berhenti. Kare-
na tidak menduga tarian itu akan ber-
henti secara mendadak, tentu saja si
bocah menjadi hilang keseimbangan tu-
buhnya. Akibatnya dia terjatuh.
"He he he...!"
Melihat tubuh bocah jembel itu
terhuyung-huyung dan terjatuh, si ka-
kek gila tertawa terpingkal-pingkal
sambil memegangi perutnya. Sedang tan-
gan yang satunya lagi menuding-nuding
ke arah si bocah.
"Huh! Dasar kakek sinting!" maki
si bocah bergumam, lalu bergerak bang-
kit berdiri dengan wajah berang. "Aku
mau pergi!"
Bocah jembel itu lalu melangkah
hendak pergi dari situ. Tapi, bukan
main terkejut hatinya ketika seluruh
tubuh terasa kejang hingga tidak bisa
digerakkan. Sedangkan saat itu si ka-
kek masih saja terpingkal-pingkal.
Bahkan tubuhnya yang tinggi ku-
rus itu jadi terbungkuk-bungkuk. Namun
tiba-tiba, kakek itu menghentikan ta-
wanya secara mendadak.
"Bagaimana? Apakah kau suka men
jadi muridku?" tanya kakek itu sambil
melangkah menghampiri tubuh si bocah
yang tahu-tahu sudah bisa bergerak se-
perti biasa kembali.
"Hei, Kakek Gila! Apa sih, kehe-
batanmu? Mengapa kau begitu berseman-
gat hendak mengambilku sebagai murid?
Dan mengapa tidak mencari anak-anak
yang lain saja? Mungkin mereka akan
suka menjadi muridmu."
"He he he.... Hei, Bocah Jembel!
Tahukah, kau. Beribu-ribu bocah lain
akan berlutut selama tiga hari tiga
malam agar dapat menjadi muridku. Tapi
aku tidak mau menerima mereka. Dan ki-
ni aku telah jatuhkan pilihan kepada-
mu. Perlu diketahui, kalau orang yang
akan menjadi gurumu ini adalah tokoh
besar dalam dunia persilatan. Aku ber-
juluk Dewa Gila Jenggot Putih. Aku me-
milihmu, karena kulihat adanya bakat
yang amat baik dalam dirimu. Dan apa-
bila kau menjadi muridku, kujamin da-
lam jangka waktu sepuluh tahun, kau
akan menjadi seorang pendekar hebat
yang sulit dari tandingannya. Nah!
Apakah kau bersedia?" kata kakek ber-
tubuh kurus itu.
Ternyata kakek itu merupakan
seorang tokoh besar yang berjuluk Dewa
Gila Jenggot Putih. Diam-diam kakek
itu pun merasa heran kepada dirinya
sendiri. Mengapa ia begitu suka kepada
bocah jembel itu? Bahkan sampai-sampai
harus menyebutkan nama besarnya untuk
dapat mengambil bocah itu sebagai mu-
rid. Benar-benar kejadian yang sulit
dimengerti walau oleh kakek itu sendi-
ri.
Bocah jembel yang memiliki ke-
cerdikan luar biasa itu memutar otak-
nya begitu mendengar ucapan kakek yang
berjuluk Dewa Gila Jenggot Putih itu.
Bibirnya yang kecil namun memiliki ta-
rikan keras itu tersenyum tipis. Se-
pertinya, hatinya merasa tertarik men-
dengar kata-kata 'pendekar' yang dis-
ebut-sebut kakek berjenggot putih itu.
Meskipun usianya baru sepuluh
tahun, namun dari pengalaman-
pengalaman hidupnya yang selalu ber-
pindah-pindah, bocah itu sudah dapat
mengerti apa yang disebut sebagai pen-
dekar. Kata-kata itulah yang membuat-
nya tertarik.
"Benarkah kau bisa menjadikan
diriku sebagai seorang pendekar yang
hebat, Kek? Aku pernah melihat seorang
laki-laki kekar mampu memukul roboh
sebatang pohon yang sangat besar hanya
dengan telapak tangannya. Kalau kau
bisa melakukannya seperti itu, mungkin
aku akan mempertimbangkan tawaranmu,"
kata bocah jembel itu seraya tersenyum
cerdik
"Ha ha ha...!"
Meledak tawa si kakek setelah
mendengar ucapan si bocah jembel. Ke
kagumannya terhadap bocah itu semakin
bertambah. Bagaimana tidak geli? Sebab
biasanya seorang gurulah yang akan
menguji calon muridnya. Tapi kali ini
justru sebaliknya. Dewa Gila Jenggot
Putih dalam dunia persilatan sudah
sangat terkenal dan ditakuti. Tapi ki-
ni malah akan diuji calon muridnya.
Maka hal itu membuat kakek berjenggot
putih itu semakin bertambah rasa kein-
ginannya untuk mengambil bocah itu se-
bagai murid.
"Hm.... Perhatikanlah pohon be-
sar di depanmu itu. Aku bukan saja me-
robohkannya seperti orang yang pernah
kau lihat. Bahkan akan merobohkan po-
hon itu tanpa harus menyentuhnya,"
ujar Dewa Gila Jenggot Putih seraya
tersenyum gembira.
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkah mundur sejauh empat ba-
tang tombak lebih. Dan bersiap melan-
carkan pukulan.
Bocah jembel itu menatap si ka-
kek tanpa berkedip sekejap pun. Ke-
ningnya berkerut melihat kedua tangan
kakek itu berputar bagai baling-
baling. Si bocah membelalakkan mata
ketika serangkum angin keras menerpa
tubuhnya. Padahal tempatnya berdiri
sudah terpisah sejauh lima batang tom-
bak dari kakek itu. Dan...
Wusss! Brakkk!
Dengan gerakan yang seperti ter
lihat perlahan, kakek itu mendorongkan
tangan kiri dengan telapak tangan ter-
buka. Akibatnya hebat sekali! Pohon
besar itu langsung tumbang sehingga
menimbulkan suara berderak keras.
DUA
"Wah! Kau hebat sekali, Kakek!"
seru bocah kurus dan kumal itu dengan
wajah berseri-seri.
Ia benar-benar merasa puas sete-
lah menyaksikan kehebatan kakek yang
dianggapnya gila itu. Dia mampu memu-
kul roboh sebatang pohon besar tanpa
menyentuhnya.
"Huh! Apa sih, hebatnya pukulan
seperti itu! Anak-anak kecil pun tentu
bisa melakukannya!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara
berat, bernada mengejek. Berbarengan
dengan itu, muncul seorang kakek jang-
kung berpakaian serba putih. Dia kini
melangkah lebar mendekati mereka. Wa-
jahnya yang berkeriput itu melemparkan
senyum sinis dan memandang rendah. Se-
kali melihat saja, orang sudah dapat
menilai kalau kakek itu memiliki sifat
sombong dan jumawa.
"He he he.... Pendekar Pedang
Kembar, apa maksudmu mengganggu kese-
nangan orang? Pergilah. Jangan campuri
urusan kami," ujar Dewa Gila Jenggot
Putih lembut, namun mengandung ancaman.
Rupanya Dewa Gila Jenggot Putih
tidak suka dengan kedatangan orang
yang mengganggunya. Kemudian kepalanya
menoleh ke arah si bocah.
"Ayo, kita tinggalkan tempat
ini," ajak Dewa Gila Jenggot Putih
sambil mencekal tangan si bocah dan
siap meninggalkan tempat itu.
Kakek jangkung berusia sekitar
tujuh puluh tahun yang mengenakan pa-
kaian mewah dari sutra putih itu ter-
tegun mendengar orang telah mengetahui
julukannya. Sepasang matanya menatap
tajam penuh selidik pada kakek ber-
jenggot putih itu. Diperhatikannya
orang di depannya dari kaki sampai ke-
pala. Keningnya tampak berkerut seolah
tengah mengerahkan ingatan untuk men-
genali kakek itu,
"Hm... Kalau tak salah, kau Dewa
Gila Jenggot Putih...!" tebak orang
yang dipanggil Pendekar Pedang Kembar
itu agak terkejut ketika melihat pe-
nampilan kakek gila yang terkekeh me-
mandangnya.
"Hm.... Ternyata ingatanmu belum
pikun, Pendekar Pedang Kembar. Mengapa
kau tinggalkan rumah mewahmu? Apakah
sudah bosan dengan kehidupan yang kau
jalani selama ini?" ejek Dewa Gila
Jenggot Putih.
Dia tidak jadi pergi karena ka-
kek jangkung itu mengenalinya. Sepa
sang matanya menatap tajam, seolah-
olah ingin mengetahui maksud pendekar
jangkung itu mendatangi mereka.
"Ha ha ha.... Meskipun sudah
hampir sepuluh tahun kita tidak ber-
jumpa, ternyata ingatanmu masih sangat
kuat, Dewa Gila. Aku benar-benar kagum
kepadamu. Tapi, apa maksudmu memamer-
kan ilmu pukulan jelek tadi?" tanya
Pendekar Pedang Kembar dengan nada
menghina.
"He he he.... Semula aku merasa
kasihan untuk memukul roboh pohon yang
tidak berdosa itu. Tapi hal itu ter-
paksa kulakukan untuk memancing keluar
monyet buruk yang semenjak tadi men-
gintai kelakuanku. Apakah itu salah?"
ejek Dewa Gila Jenggot Putih yang ru-
panya sudah kumat kegilaannya.
Merah seluruh wajah Pendekar Pe-
dang Kembar mendengar jawaban itu. Se-
kilas terlihat sinar berkilat pada se-
pasang bola matanya yang tajam itu.
"Jangan berlagak bodoh, Dewa Gi-
la! Aku tahu, pukulan itu sengaja kau
pamerkan di hadapan bocah yang tidak
suka menjadi muridmu itu," balas kakek
jangkung itu, tak mau kalah.
Pendekar Pedang Kembar kemudian
memandang bocah laki-laki yang berdiri
di sebelah kakek gila itu. Dia berpi-
kir, kalau Dewa Gila Jenggot Putih
sampai bersedia memamerkan ilmunya di
depan si bocah, pastilah anak laki
laki kecil kurus itu memiliki kelebi-
han. Maka Pendekar Pedang Kembar sema-
kin menatap bocah itu tajam-tajam,
seolah-olah hendak menilai bocah itu
dengan pandang matanya.
"Anak baik. Maukah kau ikut ber-
samaku? Kau akan kubawa ke tempat
tinggalku, dan akan kulatih ilmu silat
tingkat tinggi. Kau akan kujadikan
seorang pendekar digdaya. Ayolah. Ke-
timbang, kau ikut kakek miskin itu
yang untuk makan saja harus mengemis,"
bujuk Pendekar Pedang Kembar sambil
menatap wajah si bocah, lembut
"Kurang ajar kau, Pedang Kembar!
Sadarkah, kalau ucapanmu itu bisa men-
gakibatkan kematianmu?!" ancam Dewa
Gila Jenggot Putih, geram.
Sudah susah-susah dia membujuk
bocah itu dengan berbagai cara agar
mau menjadi muridnya, kini tahu-tahu
ada orang datang hendak merebut. Tentu
saja hati kakek gila itu menjadi be-
rang bukan kepalang. Dewa Gila Jenggot
Putih langsung membanting-banting kaki
kanannya dengan gerakan tangan mencak-
mencak.
"Hei? Kenapa kau jadi marah-
marah, Dewa Gila? Aku kan hanya mena-
warkan? Kalau memang ia lebih suka
ikut aku, bukankah hidupnya akan lebih
terjamin?" sahut Pendekar Pedang Kem-
bar yang merasa girang karena telah
berhasil memancing kemarahan Dewa Gila
Jenggot Putih. Lalu, kembali dipandan-
ginya bocah itu. "Ayo jawab, Bocah.
Kau lebih suka ikut denganku atau den-
gan kakek gila yang tidak menentu hi-
dupnya itu?"
Bocah jembel bertubuh kurus itu
tidak segera menjawab. Otaknya yang
cerdik kembali berputar mencari jawa-
ban. Kalau melihat Dewa Gila Jenggot
Putih yang sepertinya tidak berani
bersikap sembarangan terhadap kakek
jangkung itu, sudah jelas kalau orang
itu memiliki ilmu yang hebat juga. Su-
lit rasanya untuk mengetahui, siapa
yang lebih lihai di antara kedua kakek
sakti itu. Maka satu-satunya jalan
adalah bertarung. Berarti mereka ber-
dua harus diadu.
"Hm.... Aku tidak tahu, siapa
yang lebih sakti di antara Kakek ber-
dua. Tapi aku sudah mengambil keputu-
san. Aku hanya suka menjadi murid
orang yang paling sakti. Dan untuk
itu, kalian harus membuktikannya," sa-
hut bocah jembel itu dengan sepasang
mata bersinar cerdik,
Dewa Gila Jenggot Putih dan Pen-
dekar Pedang Kembar langsung tersentak
mendengar jawaban yang keluar dari mu-
lut bocah laki-laki berusia sepuluh
tahun itu. Mereka semakin bertambah
kagum dengan kecerdikannya. Hal itu
justru semakin membuat hasrat mereka
bertambah untuk memiliki bocah yang
cerdik luar biasa itu. Bocah seperti
itulah yang akan dapat mengangkat nama
besar mereka kelak.
"He he he.... Betul sekali uca-
panmu itu, Bocah. Ayo, Pedang Kembar.
Kita bertarung untuk memperebutkan bo-
cah yang luar biasa ini!" tantang Dewa
Gila Jenggot Putih yang sudah melompat
maju dan terkekeh gembira. "Aku pun
ingin melihat, sampai di mana kemajuan
yang kau peroleh selama kurang lebih
sepuluh tahun kau mendekam di gedung
mewahmu itu!"
***
Dewa Gila Jenggot Putih telah
melintangkan tongkat bambu kuning di
depan dadanya. Tongkat bambu itu tidak
dapat disamakan dengan tongkat lain-
nya, karena telah direndam dalam ra-
muan obat selama bertahun-tahun. Se-
hingga, kekuatannya tak ubahnya seba-
tang besi. Apalagi tongkat itu berada
di dalam genggaman tokoh sakti seperti
Dewa Gila Jenggot Putih. Sudah pasti,
kehebatannya menjadi berlipat-lipat
Pendekar Pedang Kembar yang be-
rasal dari keluarga bangsawan memang
jarang sekali keluar meninggalkan ru-
mahnya. Tidak heran kalau tidak begitu
mengenal tokoh-tokoh persilatan. Namun
terhadap kakek gila, ia cukup menge-
nalnya. Pada pertemuan pertama tadi,
ia tidak begitu mengenalinya. Sebab
sepuluh tahun yang lalu, tubuh Dewa
Gila Jenggot Putih itu gemuk dan te-
gap. Sedangkan sekarang yang tampak
adalah seorang kakek kurus berjenggot
panjang hingga melewati dada. Tentu
saja ia agak pangling. Meskipun kakek
gila itu pada beberapa tahun yang lalu
pernah mengalahkan 'Ilmu Pedang Kem-
bar'nya, namun ia tidak menjadi gen-
tar. Ilmu pedangnya sekarang sudah me-
ningkat jauh. Sehingga, ia merasa ya-
kin akan dapat menundukkan Dewa Gila
Jenggot Putih.
Setelah termenung beberapa saat
lamanya, Pendekar Pedang Kembar men-
gangkat kepala menatap Dewa Gila Jeng-
got Putih. Sambil mengedikkan kepala,
kakek itu menjawab tantangan musuh la-
manya.
"Hm.... Jangan merasa gembira
dulu, Dewa Gila. Jangan harap 'Ilmu
Tongkat Delapan Penjuru'mu sekarang
mampu menghadapi 'Ilmu Pedang Kembar'
yang telah kusempurnakan," sahut kakek
jangkung itu, sombong.
Meskipun kakek itu seorang pen-
dekar, namun jiwa kebangsawanannya
yang selalu memandang rendah orang
lain tidak pernah hilang. Sehingga,
jarang sekali orang yang menyukainya.
"Menyingkirlah jauh-jauh, Bocah.
Akan kuhancurkan kesombongan pendekar
bangsawan ini," ujar Dewa Gila Jenggot
Putih seraya mengulapkan tangannya
mengusir si bocah jembel.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah
jembel itu segera melangkah kan ka-
kinya menjauhi tempat yang akan dija-
dikan arena pertarungan. Sepasang mata
bocah itu kini berbinar-binar. Karena
dengan kecerdikannya, ia akan menonton
pertarungan mengasyikkan. Sekaligus
dia bisa mengetahui, siapa di antara
kedua orang kakek itu yang lebih ting-
gi kepandaiannya. Bocah itu duduk me-
nonton di atas sebongkah batu besar
yang cukup jauh dari arena pertarun-
gan.
"He he he.... Bersiaplah, Pende-
kar Pedang Kembar!" ancam Dewa Gila
Jenggot Putih seraya terkekeh.
Selesai berkata demikian, kakek
itu memutar tongkat bambu kuningnya
dengan gerakan cepat dan kuat
Wuuuk! Wuuuk!
Bentuk tongkat bambu kuning di
tangan kakek gila itu lenyap, dan kini
menjadi gulungan sinar kuning yang me-
nimbulkan deru angin keras.
Sring! Sring!
Sinar putih menyilaukan mata
berpendar ketika sepasang pedang yang
tergantung di punggung kakek itu ter-
cabut keluar.
"Yeaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyar-
ing, tubuh Pendekar Pedang Kembar me
lesat disertai ayunan pedang yang men-
gaung dahsyat. Sepasang pedang kembar-
nya yang membentuk gulungan sinar pu-
tih itu menyambar-nyambar bagai cahaya
kilat di angkasa.
Hebat dan ganas sekali serangan
kakek jangkung itu, seperti hendak
menghabisi lawan dengan sekali serang.
Dengan sebuah gerakan aneh dan
lucu, tubuh kakek gila itu bergerak ke
samping menghindari sebuah tusukan pe-
dang yang mengarah leher. Sambil me-
lompat berputar, tongkat bambu di tan-
gan kanannya menyambar ke kepala la-
wan. Gerakannya demikian cepat tak
terduga, sehingga kakek jangkung itu
menjadi terkejut melihat serangan ba-
lasan yang hebat itu.
Namun Pendekar Pedang Kembar bu-
kanlah tokoh kemarin sore. Meskipun
serangan lawan sempat membuatnya ter-
kejut, tidak menjadikannya gugup. Ce-
pat kaki kanannya bergeser sambil me-
rendahkan kuda-kuda dan memiringkan
kepalanya. Begitu serangan itu lewat,
pedang di tangan kirinya bergerak me-
nyilang dari bawah ke atas, menyambar
tubuh lawan.
Wuuut!
Dewa Gila Jenggot Putih melompat
ke belakang menghindari sambaran pe-
dang yang membawa hawa maut itu. Tapi
dia menjadi terkejut, ketika pedang
itu tiba-tiba berputar dan menyambar
pinggangnya. Tanpa membuang-buang wak-
tu lagi, bambu kuning di tangannya di-
putar untuk menyambut sambaran pedang
lawan.
Trakkk!
Bertemunya dua senjata itu seke-
tika menimbulkan suara berdentang
nyaring bagai dua batang besi yang di-
benturkan. Tubuh Pendekar Pedang Kem-
bar terjajar mundur sejauh setengah
tombak. Hatinya terkejut bukan main
ketika telapak tangan kirinya terasa
panas dan kesemutan. Tahulah kakek
jangkung itu kalau dalam hal tenaga
dalam masih berada di bawah lawannya.
Maka ia harus mencari cara lain untuk
menutupi kekalahannya itu. Tubuhnya
kembali berkelebat menerjang lawan.
"Hm.... Ia benar-benar telah
memperoleh kemajuan pesat!" gumam Dewa
Gila Jenggot Putih ketika sempat tan-
gannya bergetar akibat menangkis pe-
dang lawan tadi.
Dan memang pada sepuluh tahun
yang lalu, kakek jangkung itu tidak
mampu menahan hantaman tongkatnya. Ta-
pi kali ini ia hanya terjajar mundur
tanpa mengalami luka sedikit pun. Je-
las, hal itu membuktikan kalau musuh
lamanya itu telah berlatih keras untuk
menyempurnakan ilmu-ilmunya. Rupanya
kesombongannya kali ini cukup berala-
san.
Pada saat itu, sepasang pedang
kembar di tangan kakek jangkung sudah
menyambar-nyambar hebat Dewa Gila
Jenggot Putih yang tidak mau tubuhnya
dijadikan sasaran pedang lawan, cepat
menyambut dengan putaran tongkat bambu
kuningnya. Maka pertarungan pun ber-
langsung semakin sengit.
Ilmu 'Pedang Kembar' yang di-
mainkan Pendekar Pedang Kembar benar-
benar hebat. Sepasang pedang di tan-
gannya menyambar ganas mengincar ti-
tik-titik kelemahan di tubuh lawan.
Setiap kali senjata itu menyambar,
terdengar suara mengaung tajam yang
memekakkan telinga. Maka lawannya ha-
rus semakin berhati-hati dalam menang-
gulanginya.
Selama lima puluh jurus, kedua
tokoh sakti itu masih terlihat berim-
bang. Meskipun Dewa Gila Jenggot Putih
hanya bersenjatakan sebatang bambu,
namun serangan-serangan balasannya ti-
dak bisa dianggap ringan. Tongkat di
tangannya berputar dan bergerak aneh
sehingga membuat lawannya kebingungan.
Jurus 'Tongkat Delapan Penjuru' yang
digunakannya memang mengandung banyak
sekali perubahan yang tidak terduga.
Bahkan terkadang aneh dan lucu.
Wuuut! Wuuut..!
Memasuki jurus yang keenam pu-
luh, Pendekar Pedang Kembar melancar-
kan serangan dengan gerakan menggunt-
ing. Sepasang pedangnya meluncur cepat
ke arah leher lawan. Sudah dapat di-
pastikan, apabila serangannya itu ber-
hasil, maka kepala lawan pasti akan
menggelinding putus. Sebuah serangan
yang keji dan ganas.
Menghadapi serangan lawannya
kali ini, Dewa Gila Jenggot Putih kem-
bali membuat gerakan yang lucu dan
mengejutkan. Begitu sepasang pedang
lawan menggunting leher, mendadak tu-
buhnya berjongkok sambil menyodokkan
ujung senjatanya ke ulu hati Pendekar
Pedang Kembar. Tentu saja hal itu mem-
buat lawan terkejut dan terpaksa me-
lempar tubuhnya ke belakang.
Sepasang mata Pendekar Pedang
Kembar membelalak dengan wajah pucat.
Karena pada saat kedua kakinya baru
saja menjejak tanah, ujung tongkat la-
wan masih saja mengincarnya. Dan ha-
tinya semakin terkejut melihat gerakan
lawan yang terlihat asing dan aneh.
Tampak tubuh lawan yang masih dalam
keadaan berjongkok, melompat-lompat
bagai seekor katak. Sedangkan tongkat
bambu di tangan kakek gila itu melaku-
kan totokan-totokan menyerang bagian
tubuhnya yang lemah.
Jelas kalau untuk menghindar,
sudah tidak mungkin lagi. Maka kakek
jangkung itu segera menggerakkan pe-
dang untuk memapak serangan tongkat
yang membingungkan itu. Pendekar Pe-
dang Kembar semakin tercekat hatinya.
Karena setiap kali pedangnya menyam-
bar, selalu saja tongkat bambu itu
berkelit bagaikan memiliki mata. Bah-
kan gerakan tongkat itu semakin liar
dan cepat. Akibatnya, ketika tongkat
bambu itu kembali menyambar untuk yang
kesekian kalinya, Pendekar Pedang Kem-
bar tidak mampu lagi menghindar.
Tukkk! Bukkk!
Kakek jangkung itu menjerit ke-
ras. Seketika tubuhnya terlempar aki-
bat totokan dan hantaman tongkat yang
mengenai paha dan dada. Meskipun tera-
sa sesak, pendekar itu bergerak bang-
kit. Dari sudut bibirnya terlihat cai-
ran merah mengalir. Itu menandakan ka-
lau tubuhnya telah terluka dalam aki-
bat pukulan lawan.
"He he he...! Kau masih harus
belajar selama tiga puluh tahun lagi
untuk dapat mengalahkanku, Pedang Bun-
tung," ejek Dewa Gila Jenggot Putih
seraya terkekeh gembira.
"Jangan tertawa dulu, Dewa Gila!
Aku belum mengaku kalah!" geram Pende-
kar Pedang Kembar yang kembali sudah
bersiap hendak menyerang.
"Hm..., apakah aku harus membu-
nuhmu, baru kau mengaku kalah?"
Dewa Gila Jenggot Putih berkerut
keningnya melihat lawan sudah bersiap
hendak melanjutkan pertarungan. Sepa-
sang matanya berkilat menyiratkan naf-
su membunuh.
"Kalau memang mampu, lakukan-
lah!" sahut kakek jangkung itu yang
masih saja menunjukkan ketinggian ha-
tinya meskipun sudah terluka dalam.
"Hm.... Jangan salahkan aku jika
tubuhmu akan tergeletak tanpa nyawa!"
ancam Dewa Gila Jenggot Putih.
Ternyata di balik kegilaannya,
kakek berjenggot putih itu memang me-
nyimpan sifat kejam. Sehingga dalam
dunia persilatan ia tidak diakui go-
longan putih. Padahal dia juga bukan
dari golongan hitam. Kali ini sifat
kejamnya pun kembali muncul setelah
melihat kebandelan lawan yang tidak
mau mengaku kalah.
"Hmh...!"
Pendekar Pedang Kembar sama se-
kali tidak menyahut. Terdengar gera-
mannya yang disertai gerakan sepasang
senjata yang bergerak di kiri-kanan
tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, tu-
buhnya segera meluncur menerjang la-
wan.
Dewa Gila Jenggot Putih mengges-
er tubuhnya ke kiri-kanan untuk meng-
hindari sambaran pedang lawan. Seseka-
li tongkat bambunya bergerak menang-
kis, apa bila serangan itu sudah tidak
bisa dielakkan. Dan setiap kali me-
nangkis, selalu saja senjata lawan di-
buat terpental balik. Lalu, disusu-
linya dengan totokan ujung tongkat ke
jalan darah kematian di tubuh lawan.
Serangan-serangan balasan yang
dilancarkan kakek gila itu benar-benar
membuat kewalahan Pendekar Pedang Kem-
bar. Apalagi keadaan tubuhnya memang
sudah terluka. Sehingga setiap kali
pedangnya membentur tongkat lawan. Da-
danya terasa semakin sesak dan nyeri.
Dan hal itu membuatnya semakin terde-
sak hebat
"Hiaaat...!"
Pada jurus keempat puluh, tiba-
tiba Dewa Gila Jenggot Putih berteriak
nyaring. Akibatnya, tubuh lawan lang-
sung bergetar. Saat itu juga ujung
tongkatnya meluncur, menotok pelipis
lawan sebanyak dua kali.
Tukkk! Tukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
kakek jangkung itu terbanting ke ta-
nah. Setelah berkelojotan sesaat tubuh
itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Mati. Pada kedua pelipisnya terdapat
tanda kebiruan bekas totokan ujung
tongkat bambu Dewa Gila Jenggot Putih.
"Huh! Salahmu sendiri yang sen-
gaja mencari kematian!" sambil bersun-
gut-sungut, Dewa Gila Jenggot Putih
melangkah meninggalkan mayat lawannya.
"Wah! Kau hebat sekali, Kek!"
sorak si bocah sambil berlari mengham-
piri Dewa Gila Jenggot Putih, Meskipun
bocah itu tidak memperhatikan jalannya
pertarungan secara keseluruhan, tapi
melihat tubuh Pendekar Pedang Kembar
telah roboh dan tak bergerak lagi. Ma-
ka dia berlari menyambut kakek gila
itu.
"He he he.... Apalah, hebatnya
si Pedang Kembar itu? Ia hanya besar
mulut saja. Tapi kepandaiannya, nih,"
sahut Dewa Gila Jenggot Putih seraya
menjentikkan ibu jarinya ke jari ke-
lingking.
"Tapi, mengapa dia tidak bangun
lagi, Kek? Apakah dia telah mati?"
tanya bocah jembel itu ketika melihat
tubuh Pendekar Pedang Kembar tidak
bergerak-gerak lagi.
"Sudahlah. Jangan kau pikirkan
manusia sombong itu. Biar dia bawa ke-
sombongannya itu ke akhirat. Ayo, kita
pergi," ajak Dewa Gila Jenggot Putih
sambil menarik tangan si bocah untuk
dibawa meninggalkan tempat itu.
"Kalau dia sudah mati, mengapa
tidak dikuburkan?" tanya bocah itu
sambil memandang wajah si kakek gila
dengan kening berkerut
"Ah, biarkan saja. Nanti kalau
ada orang yang melihat pasti mayatnya
akan dikuburkan," sahut Dewa Gila
Jenggot Putih. Tanpa berkata apa-apa
lagi, kakek itu langsung membawa si
bocah pergi. Namun baru beberapa lang-
kah berjalan, kakek gila itu menoleh
ke arah si bocah.
"Oh, ya. Siapa namamu, Bocah?"
"Pandu. Itulah namaku, Kek."
"Nah! Kalau begitu, mulai saat
ini kau harus memanggilku eyang, men-
gerti?"
"Baik, Kek... eh, Eyang," sahut
bocah yang ternyata bernama Pandu.
TIGA
"Hiaaat..!"
Terdengar teriakan-teriakan
nyaring memecahkan kesunyian pagi di
atas puncak Gunung Pancar. Teriakan
itu berasal dari mulut seorang pemuda
bertubuh sedang, namun nampak sehat
dan kuat. Dadanya yang bidang sudah
dibanjiri peluh. Itu terlihat jelas
karena tubuh bagian atasnya tidak ter-
tutup pakaian.
Pemuda itu memainkan jurus yang
gerakan-gerakannya aneh, namun terli-
hat cepat dan mengandung tenaga dalam
kuat. Kedua kakinya bergerak lincah
dengan langkah-langkah yang terlihat
aneh dan lucu. Tapi jelas kalau itu
gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang
jarang ada duanya.
Wuuut! Wuuut!
Pukulan dan tendangannya melun-
cur deras membelah udara hingga menim-
bulkan angin berkesiutan. Dari langkah
kaki dan sambaran pukulannya, jelas
sekali kalau pemuda berwajah tampan
itu telah menguasai baik ilmu-ilmunya.
"Cukup, Pandu. Sekarang aku in-
gin melihat kau memainkan 'Ilmu Tong-
kat Delapan Penjuru' yang merupakan
ilmu inti perguruan kita," ujar seo-
rang kakek yang usianya kurang lebih
sekitar delapan puluh tahun.
Kakek itu cepat melemparkan se-
batang bambu yang berwarna kuning
mengkilat dan terlihat sangat kuat Ke-
mudian, kakek yang tak lain dari Dewa
Gila Jenggot Putih, mengelus-elus
jenggot putihnya yang sudah semakin
panjang.
Pemuda tampan berdada bidang itu
ternyata Pandu, yang sepuluh tahun la-
lu dibawa Dewa Gila Jenggot Putih. Bo-
cah jembel berpakaian kumal itu kini
telah menjelma menjadi seorang pemuda
tampan. Sepasang matanya tampak meman-
carkan kecerdikan. Wajahnya yang bulat
telur dan beralis tebal hitam itu,
membuatnya semakin gagah dan jantan.
Pandu benar-benar telah menjelma men-
jadi seorang pemuda hebat.
Begitu mendengar perintah gu-
runya, pemuda itu segera menghentikan
gerakan. Tubuhnya melambung ke atas
setinggi dua tombak ketika mendengar
suara berdesing dari belakangnya. Den-
gan sebuah gerakan indah, tubuh pemuda
itu berputar sambil mengulur tangan
menangkap tongkat yang dilemparkan gu-
runya. Kemudian, ia kembali berputar
sebanyak dua kali sebelum kakinya men
darat di tanah.
"Haiiit..!"
Begitu kedua kakinya menyentuh
tanah, pemuda itu berseru nyaring sam-
bil memutar bambu yang sudah tergeng-
gam erat di tangan.
Wuuut! Wuuut!
Bambu kuning yang panjangnya
hampir mencapai satu batang tombak itu
lenyap, karena telah membentuk sinar
kuning hingga menimbulkan deruan angin
tajam. Dari gulungan sinar itu kadang-
kadang ujung bambu menyembul, melaku-
kan totokan-totokan yang menimbulkan
suara mencicit nyaring. Ini menandakan
kalau tenaga dalam yang dimiliki pemu-
da tampan itu cukup tinggi. Dan me-
mang, hanya orang-orang yang memiliki
tenaga dalam tinggi sajalah yang mampu
menimbulkan suara itu.
"Cukup!" perintah Dewa Gila
Jenggot Putih yang tersenyum-senyum
puas melihat betapa hasil didikannya
selama ini tidak mengecewakan.
Pandu menutup gerakannya ketika
mendengar seruan gurunya. Kemudian tu-
buhnya berbalik, lalu melangkah meng-
hampiri tempat gurunya berada. Meski-
pun telah berlatih cukup lama, namun
sama sekali pemuda itu tidak nampak
lelah. Hanya keringatnya saja yang
mengalir turun, menandakan kalau telah
cukup lama berlatih. Kulitnya yang ke-
coklatan tampak berkilatan, karena ke
ringatnya terjilat pantulan cahaya ma-
tahari.
"Duduklah, Cucuku," ujar Dewa
Gila Jenggot Putih sambil menepuk batu
pipih di sebelahnya.
"Bagaimana latihanku tadi,
Eyang? Apakah sudah terlihat baik?"
tanya Pandu setelah duduk di sebelah
gurunya.
Setiap kali habis berlatih, Pan-
du selalu meminta pendapat gurunya.
Kali ini pun demikian.
"Hm.... Kau selalu menanyakan
pendapatku setelah selesai berlatih.
Apakah kau sendiri tidak mengeta-
huinya?" tanya Dewa Gila Jenggot Pu-
tih.
Dia kemudian memandang wajah mu-
ridnya sambil terkekeh gembira. Diam-
diam kakek itu merasa kagum melihat
wajah muridnya yang gagah dan tampan
itu.
Sama sekali tidak dikira kalau
bocah kurus dan kumal yang dulu diba-
wanya itu ternyata telah menjadi seo-
rang pemuda berwajah jantan dan bertu-
buh tegap. Tersirat rasa bangga di ma-
tanya, melihat keadaan muridnya yang
telah jauh berubah itu. Dan ia lang-
sung tersenyum bila mengingat hal itu.
"Sebenarnya aku juga mengetahui
dan merasakan kemajuan yang kuperoleh,
Eyang. Tapi rasanya masih belum merasa
puas kalau belum mendengar pendapat
Eyang," sahut Pandu sambil menyusut
peluh yang membasahi wajah dengan pa-
kaiannya. Ketika berlatih tadi, pa-
kaian itu diletakkan di atas batu yang
sekarang didudukinya.
"Hm.... Kau harus percaya kepada
dirimu sendiri, Cucuku. Sekarang ba-
gaimana kalau kau meminta pendapat ke-
pada orang lain, sedangkan orang itu
justru mencela permainanmu? Lalu, apa-
kah penilaiannya akan kau percayai?
Padahal kau sendiri tahu kalau permai-
nanmu itu sudah baik dan sempurna.
Nah, apa yang akan kau perbuat?" tanya
Dewa Gila Jenggot Putih seraya terse-
nyum lucu.
"Yah, kutinju saja wajahnya. Se-
bab apa yang dikatakannya itu bohong.
Dan orang berbohong harus dihukum,"
sahut Pandu seenaknya.
Mendengar jawaban muridnya yang
sembarangan itu, Dewa Gila Jenggot Pu-
tih tertawa terbahak-bahak. Kakek sak-
ti itu merasa harus tertawa mendengar
jawaban lucu muridnya yang memang ber-
watak gembira dan bicara seenaknya
itu. Tapi di balik semua sifat itu, ia
tahu kalau muridnya cerdik dan penuh
perhitungan dalam menghadapi sesuatu.
Dan semua itu sudah dibuktikan Pandu
dengan melatih secara sempurna semua
ilmu-ilmu yang telah diturunkan.
Sebentar kemudian, suara tawa
kakek itu pun lenyap. Lalu ditatapnya
Pandu dengan wajah sungguh-sungguh.
"Pandu! Tahukah kau, sudah bera-
pa lama kau tinggal di tempat ini?"
tanya Dewa Gila Jenggot Putih tanpa
senyum di wajahnya.
"Hm... Kurang lebih sepuluh ta-
hun, Eyang. Memangnya ada apa, Eyang?"
tanya Pandu.
Pemuda itu merasa aneh melihat
kesungguhan di wajah gurunya, sehingga
menimbulkan rasa heran dalam dirinya.
Dan memang, tidak biasanya kakek itu
bersikap demikian sungguh-sungguh. Pa-
dahal dalam menurunkan ilmu kepadanya
pun, dia tidak pernah kelihatan sung-
guh-sungguh seperti sekarang.
"Selama ini aku tidak pernah me-
nanyakan riwayatmu, karena merasa be-
lum menemukan waktu yang cocok. Tapi
sekarang setelah pelajaranmu tamat,
kuminta agar kau sudi menceritakan-
nya," pinta kakek itu seraya menatap
wajah muridnya lekat-lekat
"Jadi ilmu-ilmu yang kupelajari
sudah sempurna, Eyang?" tanya Pandu.
"Bukan sempurna, Cucuku. Tapi
sudah cukup sempurna. Karena tidak ada
satu pun di dunia ini yang sempurna.
Dan, jangan sekali-kali menganggap il-
mu yang kau miliki itu paling tinggi
di dunia."
Dewa Gila Jenggot Putih selan-
jutnya memberi nasihat pada Pandu jika
nanti terjun dalam rimba persilatan.
Pemuda itu kelihatan sungguh-sungguh
mendengarnya.
"Oh, ya. Sekarang ceritakanlah
riwayatmu. Apakah kau sudah tidak mem-
punyai orang tua lagi?" tanya Dewa Gi-
la Jenggot Putih, menutup nasihatnya.
Pandu tercenung sejenak. Matanya
menerawang jauh ke masa silam.
***
Kadipaten Panjalu yang semula
damai dan tenteram, tiba-tiba berubah
kacau oleh adanya perang saudara. Pe-
rang yang memakan banyak korban jiwa
itu merembet sampai ke Desa Surungan.
Suasana yang kacau itu membuat
orang tidak tahu, mana lawan dan mana
kawan. Demikian pula di Desa Surungan.
Setiap orang saling bunuh, bila satu
sama lain saling mencurigai. Rumah-
rumah penduduk dibakar. Demikian pula
rumah Kepala Desa Surungan. Bahkan Ki
Sumareja yang menjadi kepala desa di
situ harus kehilangan rumahnya.
Orang-orang berbondong-bondong
mengungsi. Di antaranya ada Ki Sumare-
ja dan keluarganya.
"Ayah, aku takut..," ratap seo-
rang bocah perempuan berusia sekitar
tujuh tahun.
"Tenanglah, Ratih. Aku ada ber-
samamu," hibur seorang bocah laki-laki
berusia sembilan tahun. Dia adalah ka
kak dari bocah perempuan itu.
"Cepat sedikit, Pandu! Gerombo-
lan pemberontak itu sebentar lagi akan
datang!" ujar Ki Sumareja kepada bocah
laki-laki yang bernama Pandu.
Sementara itu, istri Ki Sumareja
berjalan cepat tersuruk-suruk mengiku-
ti suami dan dua anaknya. Sedangkan,
penduduk yang mengungsi semakin ramai
saja. Masalahnya, ketika sampai di ja-
lan utama, mereka bercampur baur den-
gan penduduk desa-desa lain.
Dan belum lagi seluruh pengungsi
itu sampai di tempat tujuan, gerombo-
lan pemberontak telah datang lagi. Me-
reka datang menggunakan kuda sambil
mengacung-acungkan senjata. Maka seke-
tika seluruh pengungsi semakin berce-
rai-berai. Mereka kocar-kacir, tak ta-
hu harus berbuat apa.
"Ayah!" teriak Pandu, ketika pe-
gangannya terlepas dari tangan ayahnya
karena terdorong oleh orang-orang yang
berlarian bingung.
"Pandu!"
Ki Sumareja berusaha meraih
anaknya, tapi tak berhasil karena ter-
dorong oleh orang lain. Sementara Ra-
tih masih dalam genggaman tangan sa-
tunya. Sedangkan istrinya juga entah
berada di mana.
Makin lama, jarak mereka semakin
jauh. Apalagi para pemberontak telah
membantai satu persatu para penduduk.
***
Perang saudara telah usai. Pihak
pemberontak telah berhasil dipadamkan.
Namun Ki Sumareja masih berada di tem-
pat pengungsian bersama anak perem-
puannya, Ratih.
"Ayah, di mana Kakang Pandu?"
tanya Ratih, sedih.
"Entahlah, Anakku. Ayah telah
memerintahkan pamanmu untuk menca-
rinya. Tapi, tak berhasil. Kalau dia
mati, tapi mayatnya tidak ditemukan,"
desah Ki Sumareja.
Laki-laki berusia empat puluh
tahun itu tampak tabah menghadapi ben-
cana yang menimpa keluarga dan de-
sanya. Bahkan istrinya yang terpisah
saat mengungsi, telah ditemukan tewas.
Dan kini, mayatnya telah dikuburkan
"Oh, Tuhan! Selamatkanlah Pandu.
Biarlah dia berpisah denganku, asalkan
tetap hidup. Suatu saat nanti, pasti
dia akan mencariku."
***
"Hm.... Jadi waktu aku menolong-
mu di Desa Tunjung itu, kau dalam per-
jalanan mencari keluargamu?" tanya De-
wa Gila Jenggot Putih ketika Pandu te-
lah menyelesaikan ceritanya.
Kakek itu tampak terharu menden-
gar cerita muridnya. Itulah sebabnya,
mengapa Pandu demikian tabah dan keras
hati. Rupanya jiwanya telah terbentuk
oleh penderitaan hidup yang dijalani.
Betapa kagum hati kakek berjenggot pu-
tih itu terhadap Pandu. Bocah jembel
dan kurus itu telah melakukan perjala-
nan dari satu desa ke desa lain untuk
mencari keluarganya. Pantas saja tu-
buhnya demikian kuat meskipun kurus.
"Benar, Eyang. Aku bertanya ke
sana kemari, namun tidak ada satu pun
yang mengenal ayahku. Lalu, aku sing-
gah di sebuah kedai. Di sana tenagaku
kutawarkan dengan harapan akan mempe-
roleh imbalan makanan untuk mengisi
perutku yang lapar. Tapi, yang kudapat
dari mereka hanyalah hinaan dan puku-
lan," teringat akan kejadian itu, tim-
bul rasa geram di hati Pandu.
"Hm.... Lalu, apakah sekarang
kau masih ingin mencari kedua orang
tua dan adik perempuanmu itu?" tanya
Dewa Gila Jenggot Putih lagi.
"Kalau Eyang mengizinkan, aku
masih akan berusaha mencari. Aku harus
mengetahui nasib mereka, Eyang."
"Tidak ada lagi yang dapat kau
pelajari dariku. Semua ilmu yang kumi-
liki sudah kuturunkan kepadamu. Dan
sudah waktunya kau turun gunung untuk
mencari pengalaman, sekaligus mema-
tangkan ilmu-ilmu yang telah kau pela-
jari di sini," jelas Dewa Gila Jenggot
Putih tersenyum melihat wajah muridnya
yang berseri gembira mendengar ucapan-
nya.
"Terima kasih.... Terima kasih,
Eyang. Tapi.., bagaimana dengan Eyang?
Siapa yang akan melayani segala keper-
luan Eyang selama aku pergi nanti?"
Wajah Pandu yang semula berseri
mendadak muram begitu teringat keadaan
gurunya yang sudah sangat tua. Tentu
setelah kepergiannya nanti, kakek itu
akan merasa kesepian karena tidak ada
lagi yang menemaninya. Mengingat hal
itu, hati Pandu terasa berat mening-
galkan gurunya.
"Jangan pikirkan aku, Pandu.
Apakah kau kira aku sudah sedemikian
lemah hingga harus selalu diurusi!
Huh! Seperti anak kecil saja! Sudah-
lah. Besok pagi-pagi sekali kau boleh
berangkat untuk menambah pengalaman
dan mencari kedua orang tua dan adik-
mu," tegas kakek itu yang dari nada
suaranya jelas tidak ingin mendengar
bantahan muridnya.
Lalu Dewa Gila Jenggot Putih itu
pun memberi wejangan-wejangan yang di-
anggap perlu. Setelah matahari sudah
naik tinggi, barulah mereka beranjak
meninggalkan tempat itu dan menuju
pondoknya.
***
EMPAT
Pada saat cahaya kemerahan mulai
nampak di kaki langit sebelah Timur,
Pandu berpamitan kepada gurunya. Kini
dia telah berjalan agak jauh mening-
galkan pondok. Pemuda tampan berkulit
kecoklatan itu bergegas berlari-lari
kecil menuruni lereng gunung. Sesekali
ia melompat dengan wajah riang melewa-
ti sebongkah batu cukup besar yang
menghalangi jalan.
Sudah cukup jauh juga Pandu ber-
lari-lari kecil sambil mengerahkan il-
mu meringankan tubuh. Dan kini dia su-
dah berada di sebelah Barat kaki Gu-
nung Pancar. Pemuda itu terus berlom-
patan melewati aliran sungai yang mem-
bentang di depannya. Kemudian perjala-
nannya dilanjutkan dengan menggunakan
ilmu lari cepat, sekaligus untuk men-
guji ilmu yang diturunkan gurunya. Tu-
buh pemuda itu berkelebat cepat bagai-
kan bayang-bayang, untuk kemudian le-
nyap di mulut sebuah hutan.
Ketika matahari sudah berada di
atas kepalanya, Pandu sudah jauh me-
ninggalkan tempat kediaman gurunya.
Kepalanya menoleh ke belakang meman-
dangi puncak Gunung Pancar yang terli-
hat samar karena tertutup kabut. Hati
pemuda tampan itu sempat terharu keti-
ka teringat gurunya kini hanya tinggal
seorang diri
Pandu melangkahkan kakinya me-
nyusuri tepian sungai. Ketika melihat
betapa jernihnya aliran sungai yang
bergemericik, timbul niatnya untuk
mandi.
"Hm.... Segar rasanya bila dapat
merendam tubuh di air yang jernih dan
sejuk itu," gumam Pandu.
Pemuda itu segera melangkahkan
kakinya menuju tepian sungai. Ia me-
nyusuri tepian sungai dan mencari tem-
pat yang kira-kira mudah untuk turun
ke bawah.
Mata Pandu merayapi sekitarnya,
mencari tempat yang baik. Pemuda tam-
pan itu kemudian melangkahkan kakinya
ke tempat yang dimaksud. Karena letak
tempatnya berdiri lebih tinggi dari
aliran sungai itu, maka wajah pemuda
itu menunduk karena jalan ke arah itu
sangat becek dan licin.
"Hei, kurang ajar kau! Mau men-
gintip orang mandi, ya! Keparat, kubu-
nuh kau!"
Bukan main terkejutnya hati Pan-
du ketika mendengar suara bernada san-
gat marah. Matanya masih sempat meli-
hat sesosok bayangan yang berkelebat
ke balik batu besar yang berada di
tengah sungai. Pemuda itu menengok ke
sekitarnya, seolah-olah ingin mencari
orang yang membuat gadis itu marah.
Sudah dapat diterka kalau si empunya
suara itu pasti seorang gadis, karena
terdengar nyaring dan kecil.
"Hei, siapa yang kau cari?! Da-
sar pemuda kurang ajar! Mata keran-
jang! Hayo, cepat pergi!" teriak gadis
itu.
Dia memang bersembunyi di balik
batu besar. Sepasang matanya yang men-
gintai dari balik batu itu tampak me-
nyiratkan kemarahan yang ditujukan ke-
pada Pandu.
"Aku...?" gumam Pandu sambil me-
nunjuk dadanya karena memang benar-
benar tidak tahu, siapa yang dimaki
gadis itu.
"Ya! Kau, pemuda tidak tahu so-
pan! Memangnya kau pikir siapa lagi
yang berada di tempat ini selain kau
dan aku!" bentak gadis itu.
Tampaknya dia semakin gemas me-
lihat tingkah Pandu yang seperti ber-
pura-pura tolol. Padahal, memang se-
sungguhnya pemuda itu sama sekali ti-
dak tahu kalau makian itu ditujukan
kepada dirinya.
Dengan wajah masih dilanda ke-
bingungan, akhirnya Pandu kembali naik
ke atas. Selebar wajahnya merah mena-
han malu karena dikira mengintip orang
mandi.
"Kurang ajar! Memangnya dikira
aku ini apanya? Enak saja memaki-maki
orang! Huh...! Siapa yang sudi mengin-
tip-intip orang mandi! Dasar perempuan
binal!" sambil melangkah naik, Pandu
tak henti-hentinya mengomel.
Pemuda itu benar-benar merasa
tersinggung mendengar dirinya dimaki-
maki seperti itu. Karena dia merasa
tidak berbuat apa-apa. Ingin rasanya
membalas memaki-maki gadis itu.
Pandu melangkahkan kakinya men-
jauhi sungai. Hilang sudah keinginan-
nya untuk berendam di air sungai yang
jernih itu.
"Huh, harus kubalas makian gadis
binal itu! Enak saja memaki orang!"
umpat Pandu tanpa disadari kalau uca-
panya keluar agak keras.
"Apa?! Siapa yang ingin kau ba-
las?! Siapa yang binal? Hayo, jawab?"
Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu saja di depan Pandu telah berdiri
seorang gadis cantik mengenakan baju
warna merah. Wajahnya tampak segar ke-
merahan dengan rambut masih agak ba-
sah. Jelas kalau gadis itu baru turun
dari sungai
Kaget bukan main Pandu ketika
mendengar suara ketus gadis itu. Semua
makian yang semula sudah berada di
ujung lidahnya terbang entah ke mana.
Pemuda tampan itu berdiri bengong me-
mandangi seraut wajah cantik di hada-
pannya. Cantik sekali! Sepasang ma-
tanya yang membelalak lebar itu demi-
kian indah bagaikan bintang pagi. Ke-
dua pipinya yang halus dan berwarna
kemerahan membuatnya semakin cantik.
Hidungnya yang kecil mancung membuat
orang gemas untuk mencubitnya. Benar-
benar gadis yang mempesona.
"Hei! Kau tuli, ya! Kau bisu,
ya! Hayo! Bukankah kau ingin membalas
makianku? Kenapa kau diam saja?" gadis
cantik yang galak itu kembali melon-
tarkan kata-kata makian kepada Pandu.
Bukannya menjawab, Pandu malah
semakin melongo bagai orang yang hi-
lang ingatan. Sepasang matanya terpaku
menatap bibir tipis berbentuk indah
dan segar kemerahan itu. Hati pemuda
itu bagai diaduk-aduk melihat bibir
yang merah basah bergerak-gerak membe-
tot-betot jiwanya. Begitu terpesonanya
hati Pandu sehingga sama sekali tidak
mendengar makian yang meluncur dari
bibir gadis jelita itu.
Gadis berbaju merah itu menjadi
semakin berang melihat sikap pemuda
itu yang seperti orang tolol. Kemara-
hannya pun semakin memuncak, dan tahu-
tahu saja tangan kanannya bergerak me-
nampar wajah Pandu.
Plakkk!
Tamparan telapak tangan halus
itu membuat Pandu tersadar dari rasa
terpesona yang membuatnya terlena. Pi-
pi kiri pemuda itu memerah akibat tam-
paran tangan cukup keras dari gadis
galak itu. Meskipun memiliki sifat ga-
lak, namun ia ternyata bukan orang
yang kejam. Sebab tamparan itu sama
sekali tidak mengandung tenaga dalam.
Padahal menilik dari gerakannya, jelas
dia memiliki kepandaian yang tidak
rendah.
"Oh! Eh! Apa..., apa...?" kata
Pandu gugup dengan wajah yang semakin
ketakutan.
Hampir saja gadis itu tertawa
geli melihat sikap pemuda yang semakin
linglung. Itu terlihat jelas dari ta-
rikan bibirnya yang turun naik. Namun
gadis itu berusaha untuk tidak terta-
wa, setelah mengingat perbuatan pemuda
tampan yang mengintipnya ketika sedang
membersihkan tubuh di sungai
"Kau..., kau pemuda tolol! Ku-
rang ajar! Mengapa hanya memandangku?
Bukankah kau hendak membalas makian-
ku?" bentak gadis jelita itu berusaha
menutupi kegelian hatinya.
"Ahhh! Kau..., kau pasti seorang
dewi!" desah Pandu melihat kecantikan
gadis berbaju merah itu.
Pandu berpikir, bagaimana mung-
kin ia bisa berada di tempat sepi se-
perti itu. Sedangkan tempat itu sangat
jauh dari pedesaan. Dan lagi, mana
mungkin seorang gadis yang demikian
cantik jelita seperti itu bisa terbe-
bas dari laki-laki jahil? Rasanya ti-
dak mungkin kalau gadis itu hanya seo-
rang wanita desa biasa?
***
Pandu yang sudah merasa yakin
kalau gadis jelita berbaju merah itu
adalah seorang dewi dari kahyangan,
langsung menjatuhkan dirinya berlutut
di depan gadis itu.
"Ampunkan aku, Dewi. Aku sama
sekali tidak bermaksud berbuat buruk
terhadap Dewi. Dan sama sekali tidak
mengetahui kalau saat itu Dewi tengah
membersihkan diri. Sekali lagi, aku
mohon ampun," ucap Pandu sambil men-
gangguk-anggukkan kepala, takut akan
kemarahan gadis jelita yang dianggap
sebagai dewi dari kahyangan.
Mula-mula gadis jelita itu mera-
sa terkejut dan heran melihat betapa
tiba-tiba pemuda itu berlutut di de-
pannya. Hampir saja kakinya bergerak
menendang karena menyangka pemuda itu
hendak berbuat kurang ajar lagi. Cepat
gerakannya ditahan begitu mendengar
ucapan pemuda itu yang terlihat sung-
guh-sungguh.
Gadis jelita berbaju merah itu
tak dapat lagi menahan kegelian ha-
tinya, melihat sikap pemuda yang di-
anggapnya sangat lucu. Terdengarlah
suara tawanya yang merdu dan berkepan-
jangan. Kalau saja si gadis tidak te-
ringat akan perbuatan kurang ajar pe-
muda itu, mau rasanya ia tertawa se-
puas-puasnya. Maka seketika timbul
niatnya untuk mempermainkan pemuda
yang nampak tolol itu.
"Hm.... Tahukah kau, kesalahanmu
itu sangat besar dan tidak mungkin
mendapat ampunan!" kata gadis jelita
itu.
Dia sengaja menyembunyikan se-
nyumnya dengan mengeluarkan suara yang
terdengar halus dan mengandung perbawa
kuat. Untunglah pemuda itu sedang ber-
lutut sambil menundukkan wajah, se-
hingga tidak dapat melihat roman wa-
jahnya yang mati-matian menahan ta-
wanya.
"Ampun, Dewi. Aku sama sekali
tidak bermaksud buruk. Dan aku... aku
pun belum sempat melihatnya," sahut
Pandu sambil tetap menundukkan wajah-
nya dalam-dalam.
Terbersit harapan di hati pemuda
itu ketika mendengar suara sang Dewi
yang sudah tidak segalak pada waktu
pertama tadi. Meskipun demikian, wa-
jahnya sama sekali tidak berani diang-
kat. Karena menurut apa yang didengar
dari ayahnya dulu, adalah dosa besar
dan tidak terampuni apabila berani me-
natap wajah seorang dewi secara lang-
sung. Rupanya cerita-cerita ayahnya
semasa kecillah yang membuat Pandu be-
gitu yakin kalau gadis jelita yang
saat itu berada di hadapannya adalah
seorang dewi.
"Hm.... Meskipun hal itu dilaku-
kan tanpa sengaja, kau harus tetap
mendapat hukuman!" bentak gadis jelita
itu berusaha sekuat tenaga agar ta-
wanya tidak meledak
"Ampun, Dewi. Hukuman apa pun,
aku akan rela menerimanya. Aku...,
bersedia menebus dosa," sahut Pandu
kembali mengangguk-anggukkan kepalanya
penuh hormat
Pemuda itu mau menerima hukuman
yang akan dijatuhkan sang Dewi, karena
merasa yakin kalau hukuman itu tidak
sampai membuatnya terluka parah. Apa-
lagi sampai tewas. Sebab, seorang dewi
pasti memiliki hati yang bijak dan
lembut. Sudah pasti hukuman yang akan
dijatuhkan hanya sekadar membuatnya
jera, namun tidak akan sampai menya-
kitkan.
"Bagus! Sekarang kau harus me-
nampar kedua pipimu sendiri sebanyak
masing-masing lima kali. Nah, lakukan-
lah!" perintah gadis jelita itu seraya
tersenyum penuh kemenangan melihat be-
tapa dengan mudah kekurangajaran pemu-
da itu dapat dibalasnya.
"Tapi... Tapi, Dewi..."
Pandu hendak membantah demi men-
dengar hukuman yang aneh itu. Sebab
menurut cerita yang di dengarnya, hu-
kuman yang dijatuhkan sang Dewi selalu
yang baik-baik. Seperti nasihat atau-
pun berupa pekerjaan. Tapi mengapa hu-
kuman yang dijatuhkan kepadanya agak
lain? Mungkin karena kesalahan yang
dilakukan terlalu berat!
"Hm... Kau ingin membantah?"
bentak sang Dewi lagi dengan suara
yang terdengar marah.
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku
berani membantah perintah Dewi," sahut
Pandu tanpa berani mengangkat kepa-
lanya.
Setelah berkata demikian, kedua
tangannya digerakkan untuk menampar
mukanya sendiri berkali-kali. Hal itu
dilakukannya sambil tetap merunduk.
"Hi hi hi... Dasar pemuda bodoh
berotak kerbau," gumam gadis jelita
berbaju merah itu yang segera melesat
cepat meninggalkan Pandu yang tengah
menampari mukanya.
Setelah memukuli wajahnya seba-
nyak lima kali, Pandu masih tetap me-
nunduk. Pemuda itu baru berani men-
gangkat kepala setelah merasa yakin
kalau dewi berbaju merah itu sudah
pergi jauh dan tidak mungkin terlihat
lagi. Wajah pemuda itu terlihat agak
sedikit membengkak, karena tamparannya
yang cukup keras tadi.
Pandu bangkit berdiri memandang
ke arah perginya gadis jelita berbaju
merah yang dianggapnya seorang dewi
itu. Sampai saat itu ia memang masih
belum sadar kalau dirinya telah diper-
mainkan gadis galak yang cerdik itu.
"Dewi... Ah, betapa cantiknya
wajahmu. Betapa beruntungnya aku kare
na telah sempat berlama-lama memandang
dan mengagumi wajahmu. Untunglah aku
terlambat menyadari kalau kau sebenar-
nya adalah seorang dewi. Kalau tidak,
tentu aku tidak pernah akan dapat me-
lihat kecantikan yang demikian agung
dan mempesona," gumam Pandu yang piki-
rannya jadi melantur tidak karuan.
Tiba-tiba di pikirannya timbul
untuk memberontak terhadap peraturan-
peraturan dari cerita yang tersebar
tentang seorang dewi. Bukankah setiap
orang bisa saja menikahi seorang dewi,
apabila memang saling menyukai? Biar-
pun belum pernah ada cerita tentang
seorang manusia yang menikah dengan
seorang dewi, tapi itu belum tentu be-
rarti tidak boleh! Jadi, mengapa hal
itu tidak dicoba? Segala hukuman akan
diterimanya, asal dapat mempersunting
dewi yang jelita itu.
Setelah berpikir demikian, pemu-
da itu pun kembali melangkahkan ka-
kinya menuju aliran sungai
***
Tak lama kemudian, Pandu pun su-
dah melangkahkan kakinya meninggalkan
tempat itu. Matahari sudah mulai naik.
Sinarnya yang kuning keemasan terasa
hangat menyentuh tubuh.
Mendadak, baru saja beberapa
langkah berjalan, pendengarannya yang
tajam menangkap denting senjata bera-
du. Sejenak pemuda itu menghentikan
langkah dan semakin mempertajam pen-
dengarannya. Pandu langsung melesat
setelah memastikan kalau suara itu
pasti berasal dari suatu pertempuran
yang cukup seru. Karena selain denting
senjata berada juga tertangkap teria-
kan-teriakan nyaring. Sudah pasti sua-
ra itu bukan berasal dari seseorang
yang tengah berlatih silat. Jelas itu
sebuah pertempuran sengit.
Tubuh pemuda tampan itu terus
melesat menuju asal suara pertempuran
yang semakin jelas terdengar. Begitu
tiba di dekat pertempuran, dada pemuda
itu berdebar keras. Sepasang matanya
membelalak lebar bagaikan tidak mem-
percayai penglihatannya! Betapa tidak!
Sebab yang dilihatnya kini adalah seo-
rang gadis berbaju merah yang tengah
dikeroyok belasan orang laki-laki ber-
seragam biru gelap.
"Mungkinkah dia si dewi jelita?
Tapi mengapa berada di tempat ini?
Dan, mengapa pula dikeroyok? Ah, mus-
tahil! Gadis itu sudah pasti orang
lain yang kebetulan mengenakan pakaian
sama. Tapi, siapa pun gadis berbaju
merah itu, yang jelas aku harus meno-
longnya!"
Setelah mengambil keputusan de-
mikian, tubuh pemuda itu pun segera
melesat ke arah pertarungan. Dia hanya
menggunakan sepotong ranting sebagai
senjata.
"Hiaaat..!"
Disertai sebuah lengkingan nyar-
ing, Pandu langsung mengayunkan poton-
gan ranting itu ke arah salah seorang
laki-laki berwajah brewok yang tampak
tengah mendesak gadis itu.
Wuuut! Wuuut!
Ranting kayu di tangan Pandu
berputar cepat dan bergerak mematuk-
matuk mengincar jalan darah pada tubuh
laki-laki berwajah brewok itu. Tentu
saja serangan yang hebat dan cepat itu
membuat si brewok terkejut. Cepat tu-
buhnya melompat mundur, meninggalkan
gadis berbaju merah yang hampir dapat
ditaklukkannya. Tubuhnya terus berpu-
tar beberapa kali di udara sebelum
mendarat di atas tanah.
Pandu tidak berusaha mengejar si
brewok. Ranting kayunya kembali melun-
cur mematuk ke arah seorang lawan lain
yang tengah menyerang gadis berbaju
merah itu. Sedangkan yang seorang lagi
sudah melompat mundur begitu melihat
seorang pemuda bersenjatakan sebatang
ranting kayu ikut-ikutan menyerang.
Rupanya ia merasa gentar melihat se-
rangan ujung ranting kayu yang meno-
tok-notok menimbulkan suara berkesi-
utan.
Sedangkan pengeroyok lainnya,
menjadi tersentak ketika merasakan
sambaran angin tajam dari arah bela-
kangnya. Cepat kakinya bergeser dan
melangkah ke samping sebanyak dua
langkah. Namun sebuah tendangan kilat
pemuda itu yang sama sekali tidak di-
duga oleh seorang pengeroyok. Akibat-
nya tubuhnya terlempar dan terbanting
keras.
Desss!
Tubuh kurus berwajah pucat itu
terus bergulingan hingga dua tombak
jauhnya. Namun, ternyata kekuatan tu-
buh orang tinggi kurus itu hebat seka-
li. Dia langsung melenting bangkit,
seolah-olah tendangan yang cukup keras
tadi sama sekali tidak ada artinya.
Tapi dari seringainya yang ngeri, je-
las kalau tendangan Pandu telah mem-
buatnya sedikit menderita.
Si gadis berbaju merah ternyata
juga merasa terkejut atas kehadiran
seorang pemuda yang menggunakan rant-
ing sebagai senjatanya. Begitu menge-
nali wajah si pemuda, matanya terbela-
lak lebar bagai melihat hantu. Namun
hal itu hanya berlangsung sesaat dan
wajah wanita itu kembali seperti bi-
asa. Bahkan pura-pura tidak mengena-
linya.
Pandu yang sempat beradu pandang
dengan gadis itu, terbelalak kaget.
Sesaat kemudian wajah pemuda itu men-
jadi cerah bagaikan seorang anak kecil
yang telah menemukan mainannya kemba
li.
"Kau... kau, Dewi...!" sebut
Pandu dengan suara bergetar.
Ingin rasanya pemuda itu melom-
pat memeluk untuk menyatakan betapa
besar rasa rindu yang dipendamnya. Un-
tung saja ia bisa menahan dirinya. Ka-
lau tidak, bisa-bisa ia dimaki-maki
kembali oleh gadis jelita berbaju me-
rah itu.
Baik Pandu maupun si gadis, tak
sempat bercakap meskipun sekejap. Ka-
rena pada saat itu, belasan orang ber-
seragam biru gelap yang dipimpin tiga
orang tokohnya, telah bergerak menge-
pung. Beberapa orang di antaranya bah-
kan sudah melompat menerjang dengan
senjata terhunus.
"Hiaaat..!"
Wuuut! Wuuut..!
Si gadis berbaju merah dan Pandu
bergerak menghindari serangan enam ba-
tang senjata yang berkelebat ke arah
mereka. Pemuda tampan berwajah jantan
itu marah bukan main ketika teringat
kalau gadis baju merah itu hampir di-
buat celaka oleh para pengeroyoknya
tadi. Tanpa tanggung-tanggung lagi,
ranting kayunya segera diputar hingga
menimbulkan angin menderu tajam.
"Manusia pengecut! Rasakan ke-
rasnya tongkatku ini!" bentak Pandu
gusar.
Bettt! Bukkk! Tukkk!
Dua orang di antara mereka ter-
jengkang akibat hantaman dan totokan
ujung ranting kayu di tangan Pandu.
Mereka langsung ambruk tak berkutik
lagi!
Rupanya dalam kemarahannya, Pan-
du telah mengerahkan hampir sepertiga
tenaganya dalam melancarkan serangan.
Empat orang lainnya meloncat
mundur dengan wajah pucat. Benar-benar
tidak disangka kalau pemuda itu dapat
menjatuhkan dua orang kawan mereka
hanya sekali serang. Benar-benar se-
buah kepandaian yang tidak bisa dipan-
dang ringan.
Namun keempat orang itu tidak
sempat berpikir lebih jauh. Karena pa-
da saat itu juga, ranting kayu di tan-
gan Pandu telah menyambar dengan kece-
patan menggetarkan.
Bukkk! Bekkk!
Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika tubuh keempat orang itu ter-
kena hantaman ranting kayu di tangan
Pandu. Mereka langsung bertumbangan
karena hantaman ranting kayu itu tepat
mengenai jalan darah kematian.
"Bangsat! Kubunuh kau...!" te-
riak lelaki brewok yang merupakan sa-
lah satu pimpinan belasan orang itu
Disertai teriakan murka, tubuh
laki-laki brewok itu melesat menerjang
Pandu dengan ayunan senjatanya. Pemuda
bertubuh sedang itu hanya perlu meng
geser kaki kanannya sedikit, maka se-
rangan lawan hanya menyambar tempat
kosong. Sebelum orang itu sempat mena-
rik pulang pedangnya, ranting kayu di
tangan Pandu bergerak cepat ke arah
ubun-ubun lawan.
Namun Pandu cepat mengurungkan
serangan karena pada saat yang sama
telinganya mendengar suara berdesing
tajam dari arah samping kiri. Secara
tak terduga, ranting kayu itu berputar
setengah lingkaran dan langsung meno-
tok pergelangan tangan si kurus pucat
yang memegang golok besar.
Laki-laki tinggi kurus berwajah
pucat seperti mayat itu, terlihat se-
makin pucat wajahnya. Cepat-cepat per-
gelangan tangannya diputar ke atas.
Dan kini golok besar itu berputar me-
nyambar leher Pandu. Benar-benar se-
buah gerakan yang lihai dan berbahaya.
Namun Pandu bukanlah pemuda sem-
barangan. Sebagai murid kesayangan to-
koh sakti yang berjuluk Dewa Gila
Jenggot Putih, ia pun telah dibekali
ilmu-ilmu tinggi. Maka menghadapi se-
rangan yang tak terduga itu, ia pun
bersikap tenang. Kaki kanannya segera
bergeser melebar dengan kuda-kuda ren-
dah. Pada saat golok besar itu menyam-
bar leher, kepala pemuda tampan itu
sudah meliuk dan berputar menggunakan
jurus 'Harimau Keluar Gua' yang telah
dipelajarinya secara sempurna. Dan ta
hu-tahu saja, tangan kiri pemuda itu
bergerak naik melakukan tusukan ke
arah tenggorokan lawan.
Cuiiit..!
"Aaah...!"
Dua buah jari tangan yang keras
bagai batang besi itu meluncur deras
tak terduga. Orang berwajah pucat itu
menjerit tertahan, dan sebisa-bisanya
tubuhnya mengegos ke kiri untuk meng-
hindari tusukan yang bisa menamatkan
jiwanya. Namun sayang, gerakannya ma-
sih kalah cepat dibanding gerakan la-
wan. Sehingga tusukan jari-jari seke-
ras besi itu sempat pula mengenai pun-
dak kanannya, meskipun tidak terlalu
telak
Brettt!
Tubuh tinggi kurus itu terjajar
mundur beberapa langkah ke belakang.
Baju pada bagian bahunya robek, dan
kulit dagingnya sedikit mengelupas
akibat tusukan jari-jari Pandu. Orang
itu meringis sambil menekap luka yang
terasa panas dan nyeri. Diam-diam ha-
tinya merasa terkejut melihat keheba-
tan lawan yang entah muncul dari mana.
Sedangkan gadis berbaju merah
itu sudah terlibat pertarungan sengit
melawan lima orang yang dipimpin seo-
rang laki-laki bertubuh gemuk. Namun,
laki-laki gemuk itu memiliki kecepatan
yang tidak terduga.
***
Lima orang berseragam biru gelap
itu terus mendesak gadis berbaju merah
dengan serangan-serangan cepat dan ga-
nas.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tiba-
tiba tubuh gadis itu melompat ke samp-
ing kiri sambil menyabetkan pedangnya.
Salah seorang pengeroyok yang berada
di samping kiri tersentak kaget, se-
hingga wajahnya berubah pucat. Karena
pada saat pedangnya tengah ditarik pu-
lang, pedang di tangan gadis itu telah
berkelebat menyambar tubuhnya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, orang
yang malang itu melintir akibat samba-
ran pedang lawan. Tubuhnya terbanting
di atas tanah disertai semburan darah
segar dari luka menganga di perutnya.
Setelah berkelojotan meregang nyawa,
tubuh lelaki malang itu pun diam tak
bergerak. Mati.
"Setan betina keparat! Kubunuh
kau...!" teriak laki-laki pendek gemuk
yang langsung memutar pedangnya hingga
membentuk gulungan sinar yang meluncur
mengincar tubuh si gadis.
Wuttt!
Namun gadis itu tidak gugup.
Dengan gerakan indah, tubuhnya melom
pat ke kanan dan pedang di tangannya
kembali berkelebat menyambar penge-
royoknya yang lain.
Hebat sekali perhitungan gadis
berbaju merah itu! Dengan cerdiknya,
serangan si gemuk berhasil dihindari
dan kini malah mengancam yang lainnya.
Kembali terdengar teriakan ngeri
ketika pedang di tangan gadis itu kem-
bali menelan korban. Tubuh salah seo-
rang pengeroyok itu kembali terjungkal
mandi darah, dan langsung tewas dengan
leher berlubang. Tentu saja hal itu
semakin menambah kemarahan laki-laki
gemuk itu.
"Hi hi hi...! Jangan terlalu
sering mengumbar kemarahan, Paman Gen-
dut. Aku khawatir nanti perutmu jadi
kempes, dan tubuhmu terbang ke neraka.
Kalau sudah begitu, bukankah kau akan
menjadi susah sendiri?" ejek gadis je-
lita itu seraya tertawa lucu.
Hampir meledak rasanya dada le-
laki gemuk itu ketika mendengar ejekan
lawan. Dengan tatapan bagaikan hendak
menelan gadis itu bulat-bulat, pedang-
nya langsung digerakkan secara bersi-
langan dengan seluruh tenaganya.
"Hm.... Kalau tadi kau dapat
mendesakku, itu karena kalian melaku-
kan pengeroyokan secara curang! Tapi,
kali ini jangan harap akan dapat me-
nyentuh tubuhku!" geram gadis berbaju
merah itu yang sama sekali tidak mera
sa gentar melihat kemurkaan lawan.
Lelaki gemuk pendek yang sudah
tidak dapat menahan amarahnya, lang-
sung melesat cepat disertai tusukan
pedangnya. Senjata di tangannya yang
berupa pedang itu berkelebat cepat
mengancam titik-titik kelemahan di tu-
buh lawan.
Namun, si gadis jelita itu pun
sudah mempersiapkan ilmu pedang untuk
menghadapinya. Meskipun tiga orang
berseragam biru gelap lainnya ikut
mengeroyok, namun dia sama sekali ti-
dak nampak terdesak. Sinar pedangnya
tampak bergulung-gulung melindungi se-
kujur tubuhnya. Dan setiap kali pedang
di tangannya menangkis, seketika sen-
jata lawan terpental balik. Hal ini
membuktikan kalau tenaga dalam yang
dimiliki gadis itu masih di atas para
pengeroyoknya. Sehingga meskipun per-
tarungan sudah melewati dua puluh ju-
rus, namun belum ada tanda-tanda yang
mampu mendesak gadis jelita berbaju
merah yang memang sangat lihai itu.
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang kedua puluh
lima, tiba-tiba gadis itu berseru
nyaring hingga membuat pengeroyoknya
terkejut. Berbarengan dengan itu, pe-
dang di tangannya menyambar cepat ke
arah dua orang pengeroyok yang menda-
dak pucat
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Dua orang berseragam biru gelap
yang menjadi anak buah si gemuk pen-
dek, terlempar ke kiri dan ke kanan
akibat sambaran pedang yang didorong
kekuatan hebat itu. Keduanya langsung
ambruk dan menggelepar bagai ayam dis-
embelih. Darah segar memancur keluar
dari luka menganga di perut mereka.
Gerakan pedang si gadis, ternya-
ta tidak hanya sampai di situ saja.
Pedang yang telah dibasahi darah itu
berputar dan menyambar pengeroyok yang
kini tinggal dua orang lagi.
Sadar kalau sambaran pedang itu
tidak mungkin dapat dielakkan, lelaki
gemuk itu tak punya pilihan lain lagi.
Dia langsung berbuat nekat memapak
dengan pedangnya.
Trangngng!
Terdengar benturan keras yang
menimbulkan pijaran api di udara. Tu-
buh laki-laki gemuk itu terjajar mun-
dur, dan matanya membelalak lebar. Pe-
dang di tangannya ternyata hanya ting-
gal separuh akibat terpapas pedang ga-
dis berbaju merah itu. Sadar kalau ti-
dak mungkin akan menang melawan gadis
itu, ia pun berteriak dan melompat
jauh meninggalkan arena pertempuran.
"Lari...!"
Melihat sang Pemimpin melarikan
diri, anak buahnya yang hanya tinggal
seorang itu pun bergegas meninggalkan
tempat itu. Sedangkan si gadis berbaju
merah hanya berdiri memandang sambil
tersenyum mengejek.
Pada saat yang hampir bersamaan,
terdengar teriakan ngeri yang disusul
terlemparnya tiga sosok tubuh yang
berlumuran darah. Dua di antaranya
langsung diam tak berkutik lagi. Mati.
Sedangkan seorang lagi yang wajahnya
ditumbuhi brewok, merintih dan berke-
lojotan sesaat, sebelum akhirnya meng-
hembuskan napas yang terakhir. Ketiga
orang itu tewas akibat totokan ranting
kayu di tangan Pandu yang tepat menge-
nai di tengah-tengah kedua alis mere-
ka. Dan kini di tempat itu hanya ting-
gal seorang pengeroyok yang bertubuh
tinggi kurus.
"Gila!" teriak si tinggi kurus
berwajah pucat membelalak ngeri.
Keberanian orang itu kontan le-
nyap melihat kehebatan pemuda yang
menjadi lawannya itu. Ranting kayu di
tangan pemuda itu benar-benar menjadi
senjata ampuh, sehingga dapat meluban-
gi tengkorak kepala ketiga orang ka-
wannya. Merasa tidak akan mampu untuk
menghadapi lawannya, laki-laki tinggi
kurus itu segera melompat jauh ke be-
lakang.
"Anak muda! Hari ini kau boleh
tertawa karena telah mengalahkan kami!
Tapi, ingat! Di lain kesempatan, hu-
tang ini akan kami balas!" ancam si
tinggi kurus sambil melesat pergi.
LIMA
"Kau... tidak apa-apa, Dewi?"
tanya Pandu yang tetap menyebut gadis
berbaju merah itu sebagai dewi. Seka-
rang pemuda itu memang telah tahu ka-
lau gadis itu bukanlah seorang dewi,
melainkan seorang pendekar wanita yang
lihai."
"Hm... Apa maksudmu mencampuri-
urusanku?! Apakah dikiranya aku tidak
mampu mengalahkan mereka?!" dengus ga-
dis itu ketus sambil bertolak ping-
gang,
Tidak sedikit pun rasa terima
kasih terlihat di wajah gadis itu.
Meskipun hati kecilnya mengakui kalau
pemuda itu telah menyelamatkan nya-
wanya, namun sepertinya ia tidak mau
mengakuinya. Benar-benar seorang gadis
cantik yang angkuh.
"Aku... aku sama sekali tidak
bermaksud apa-apa. Aku hanya tidak su-
ka melihat belasan orang laki-laki itu
mengeroyok seorang gadis sepertimu"
sahut Pandu, agak gugup melihat sambu-
tan tak menyenangkan dari gadis itu.
Diakui, sejak melihat gadis itu ha-
tinya sudah berbunga-bunga. Dan hara-
pannya untuk memiliki gadis jelita itu
pun kembali muncul.
Namun bukan main sedihnya hati
Pandu ketika melihat kenyataan kalau
gadis itu justru tidak menyukainya.
Pandu menarik napas panjang, menahan
kenyerian dalam dadanya yang seperti
ditusuk-tusuk duri tajam.
"Betul, kau tidak bermaksud apa-
apa? Hm... Sulit dipercaya kalau kau
melakukannya tanpa pamrih tersembunyi?
Bagaimana kalau orang lain yang menga-
laminya? Apakah kau akan menolongnya?"
tanya si gadis sinis. Pandangan ma-
tanya yang mengandung cemooh itu, be-
nar-benar membuat jiwa Pandu terpukul.
"Aku pasti akan menolongnya, se-
kalipun tidak kukenal. Ah! Mengapa ki-
ta harus meributkan hal yang tidak ada
artinya itu? Mengapa pertemuan kita
selalu diwarnai pertengkaran?" keluh
Pandu lirih dan hampir tak terdengar.
"Ooo.... Jadi kau ingin kita
berpegangan tangan atau bermesraan?
Begitu?" ejek gadis berbaju merah itu
mencibir.
"Oh, tidak. Sama sekali aku ti-
dak ada pikiran begitu!" sentak Pandu
dengan wajah agak pucat. Benar-benar
tidak disangka kalau gadis itu akan
berkata-kata demikian.
"Lalu, apa maumu? Apakah aku ha-
rus menyembah-nyembah karena telah kau
tolong? Atau aku harus mengucapkan te-
rima kasih sebanyak-banyaknya sampai
bibirku dower? Begitu maumu?" ujar ga-
dis itu dengan nada yang makin tinggi.
"Ahhh...!"
Lagi-lagi Pandu harus menahan
rasa nyeri di dalam dadanya. Hatinya
benar-benar terpukul mendapat kenya-
taan kalau gadis yang diam-diam dicin-
tainya ternyata demikian angkuh dan
tidak mempunyai perasaan sedikit pun.
Pandu menunduk dalam-dalam, me-
nyembunyikan luka hati yang terpancar
di matanya. Seperti inikah gadis yang
telah merenggut seluruh perasaan cin-
tanya? Benarkah gadis yang cantik se-
perti dewi itu memiliki sifat angkuh
dan tak berperasaan? Apa yang telah
menyebabkannya sehingga bersikap begi-
tu?
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Disadari kalau perasaan
cintanyalah yang membuatnya tidak tega
untuk menyakiti gadis jelita itu. Dan
perasaan itu pulalah yang telah mem-
buatnya harus menerima perlakuan gadis
itu.
"Hei? Mengapa diam saja? Apakah
mulutmu sudah tidak bisa dipakai bica-
ra lagi?" bentak gadis jelita itu.
Seketika Pandu tersadar kalau
masih berhadapan dengan si jelita yang
galak dan angkuh. Dalam dunia persila-
tan, gadis itu dijuluki sebagai Dewi
Baju Merah. Sepak terjangnya cukup
membuat tokoh persilatan berpikir dua
kali dalam menghadapinya.
Dewi Baju Merah tertegun ketika
melihat si pemuda mengangkat kepa-
lanya. Hatinya sangat tergetar melihat
sinar mata Pandu yang terlihat sayu
dan menyiratkan luka hati.
"Dewi.... Mengapa kau begitu
membenciku? Apakah kesalahan yang tak
pernah kulakukan itu, tak dapat diam-
puni?" tanya Pandu berdesah dan berge-
tar mewakili jiwanya yang terpukul.
Dewi Baju Merah melengos meng-
hindari tatapan yang membuat pikiran-
nya kacau. Nampaknya, gadis itu baru
menyadari sikapnya yang telah melewati
batas. Meskipun demikian,, ia sama se-
kali tidak sudi menunjukkan perasaan
hatinya. Bahkan tetap saja memasang
wajah galak.
"Sudahlah. Terima kasih atas
pertolonganmu! Aku pergi...!" ujar ga-
dis jelita itu agak lunak. Tubuhnya
pun segera berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Pandu hanya berdiri terpaku,
tanpa tahu harus berbuat apa. Tangan-
nya sudah siap menggapai tergantung
diudara. Kata-kata cegahan yang sudah
berada di ujung lidahnya, terpaksa di-
telan kembali. Karena, ia tidak ingin
mendapat makian lagi dari gadis galak
itu.
"Hhh...."
Pandu menghembuskan napasnya
kuat-kuat. Tubuhnya disandarkan di se
batang pohon dengan tatapan mata ko-
song. Tiba-tiba pemuda itu merasakan
dunia begitu sunyi dan kosong. Seman-
gat hidupnya mendadak lenyap bersama
kepergian Dewi Baju Merah. Hatinya te-
rasa sangat sakit mengingat, betapa
gadis yang telah membetot seluruh jiwa
dan perasaan cintanya justru memben-
cinya. Mampukah ia menjalani hidup ini
tanpa kehadiran si jelita di sisinya?
Dan apa yang harus dilakukannya seka-
rang?
"Ohhh...," desah pemuda tampan
itu, lirih. Perasaan hatinya yang pa-
tah semakin terungkap. Sepintas ter-
bayang kedua orang tua dan adik perem-
puannya. Semakin berdarahlah luka di
hati pemuda yang biasanya keras dan
tabah dalam menjalani hidup itu.
Tanpa disadari, rasa cinta telah
membuatnya menjadi lemah dan cengeng.
Pada saat senja mulai menapak,
Pandu bangkit dengan satu keputusan
yang telah diambil. Ia bertekad untuk
mencari kedua orang tua dan adiknya.
Setelah itu, mungkin akan menyepi me-
nemani gurunya di puncak Gunung Pan-
car.
Pandu melangkah gontai mening-
galkan tempat itu. Hembusan angin sen-
ja yang sejuk mengiringi langkah ka-
kinya.
***
"Kita singgah dulu di desa itu,
Kakang. Rasanya perutku sudah minta
diisi," pinta seorang gadis jelita
berpakaian serba hijau. Wajahnya yang
putih, nampak segar dengan sepasang
pipi kemerahan. Mau tak mau, orang se-
perti tak puas-puasnya menikmati keje-
litaannya itu.
Pemuda tampan berjubah putih
yang berjalan di sebelahnya, menoleh
sambil tersenyum lembut. Dari sepasang
matanya, terpancar jelas sinar kasih
yang dalam.
"Ha ha ha.... Aku juga. Sejak
tadi malam, perut kita memang belum
kemasukan apa-apa," sahut pemuda ber-
jubah putih itu tertawa ketika menden-
gar suara berkeruyuk dari perut gadis
di sampingnya.
"Ih, tidak tahu malu!" omel ga-
dis berbaju serba hijau itu sambil me-
nepuk perutnya perlahan.
Bibir gadis itu tampak segar ke-
merahan, namun seketika cemberut sete-
lah mendengar tawa pemuda tampan yang
semakin keras. Dicubitnya pangkal len-
gan pemuda itu dengan lagak manja.
Pemuda tampan itu bergegas meng-
hindar dan berlari menjauhi. Namun ke-
tika si gadis tidak mengejar, ia pun
menghentikan larinya. Lalu, dihampi-
rinya gadis jelita yang tengah mem-
banting-banting kakinya karena kesal.
"Ampun, Tuan Putri. Hamba menga-
ku salah. Dan hamba berjanji tidak
akan mengulanginya lagi," ujar pemuda
itu dengan mimik wajah yang lucu.
Sambil berkata demikian, pemuda
itu membuat gerakan sebagaimana seo-
rang abdi yang menghadap junjungannya.
Tentu saja gadis itu menjadi geli di-
buatnya. Namun, ia berusaha menahan
ketawanya.
"Baiklah. Kesalahanmu kuampuni.
Tapi kau harus menebusnya dengan mem-
bawaku ke kedai makan. Nah, laksana-
kan!" perintah gadis jelita itu dengan
nada dibuat sungguh-sungguh.
"Baik, Tuan Putri."
Setelah berkata demikian, si pe-
muda berjubah putih yang tak lain Pan-
ji itu, berkelebat cepat menyambar tu-
buh si gadis jelita.
"Ihhh...!"
Gadis jelita yang sudah pasti
Kenanga itu terpekik halus. Sepasang
tangannya segera merangkul leher Pan-
ji. Karena saat itu juga tubuh pemuda
yang berjuluk Pendekar Naga Putih su-
dah melesat cepat menuju mulut desa.
Beberapa puluh tombak sebelum
mencapai mulut desa, Panji menghenti-
kan larinya. Lalu, diturunkannya tubuh
Kenanga sebelum mereka terlihat pendu-
duk.
"Kau jahat, Kakang. Hampir saja
jantungku copot," rengek Kenanga sam
bil memonyongkan mulutnya yang indah
itu. Namun sinar matanya jelas meman-
carkan kebahagiaan yang dalam.
Panji tertawa lembut melihat wa-
jah kekasihnya yang terlihat agak pu-
cat. Mungkin gadis itu terkejut, kare-
na gerakannya demikian cepat dan tak
terduga. Tanpa berkata apa-apa lagi,
diajaknya Kenanga memasuki desa.
***
Pendekar Naga Putih dan Kenanga
sudah duduk di sebuah kedai dan meme-
san makanan. Panji mengedarkan pandan-
gan ke sekitar ruangan yang hanya ter-
dapat beberapa pengunjung. Saat itu
pelayan sudah datang membawa pesanan
mereka.
"Aden berdua bukan penduduk se-
kitar sini, rupanya," sapa si pelayan
setengah berbisik sambil mengatur ma-
kanan di atas meja. "Sebaiknya selesai
makan nanti, cepat-cepatlah meninggal-
kan desa ini."
"Eh! Mengapa, Paman?" tanya Pan-
ji seraya mengerutkan keningnya men-
dengar ucapan pelayan setengah baya
yang terlihat agak pucat itu.
Pemuda itu bertanya dengan suara
rendah, sehingga tidak sampai terden-
gar orang lain. Karena dari suara pe-
layan itu, jelas tertangkap sesuatu
yang tidak wajar.
Belum lagi pelayan itu sempat
menjawab pertanyaan Panji, tiba-tiba
terdengar suara yang berat dan kasar.
Suara itu berasal dari seorang laki-
laki tinggi besar berperut buncit.
"Cepat sediakan makanan yang
paling enak dan dua guci arak!"
Sambil berkata demikian, pandan-
gannya beredar ke seluruh ruangan ke-
dai. Sepasang mata galak itu menyipit
ketika melihat seraut wajah cantik je-
lita milik Kenanga. Kakinya yang sudah
hendak melangkah, tampak meragu ketika
melihat gadis jelita itu ditemani seo-
rang pemuda berjubah putih.
Sementara itu, pemilik kedai ma-
kan dan pelayannya tengah sibuk me-
nyiapkan pesanan lelaki tinggi besar
berperut gendut itu. Wajah mereka nam-
pak pucat dan agak gemetar. Sepertinya
mereka sudah mengenal lelaki tinggi
besar yang diiringi enam orang berse-
ragam biru gelap itu.
Lelaki tinggi besar berperut
gendut itu sudah melangkah ke meja
yang berdekatan dengan Panji dan Ke-
nanga. Enam orang lelaki berseragam
biru gelap itu juga mengiringinya. Ma-
ta mereka bagai hendak melompat keluar
ketika melihat wajah Kenanga. Tampak
jakun mereka turun naik, menelan air
liur ketika melihat wajah yang demi-
kian cantik dan mempesona.
"Mana pesananku?! Cepat..!" te
riak lelaki tinggi besar itu sambil
menggebrak meja kuat-kuat
Brakkk!
Meja yang terbuat dari kayu mu-
rahan itu berderak dan bergetar keras.
Untung orang itu memang tidak berniat
mematahkannya. Kalau tidak, pasti su-
dah hancur berantakan dibuatnya.
Seorang pelayan datang tergopoh-
gopoh membawakan pesanan lelaki tinggi
besar itu. Setelah meletakkan hidangan
di atas meja, ia kembali masuk untuk
mengambil dua guci arak yang diminta.
"Mari minum, Ni sanak."
Sambil terkekeh menyebalkan, le-
laki tinggi-besar itu menoleh ke arah
Kenanga. Sedikit pun Panji tidak dili-
riknya. Padahal pemuda itu tepat bera-
da di sampingnya.
Namun Panji bersikap tenang,
seolah-olah tidak mendengar ucapan
orang itu. Pemuda itu tetap menikmati
hidangannya tanpa merasa terganggu se-
dikit pun.
***
Kenanga yang memang sudah mendu-
ga kalau orang itu pasti akan mencari
gara-gara, terpaksa menoleh dan mene-
kan perasaannya.
"Terima kasih. Aku tidak biasa
minum arak," sahut Kenanga mencoba
tersenyum ramah.
Gadis jelita itu cepat-cepat me-
malingkan wajah, dan kembali mene-
ruskan makannya. Hidangannya dinikmati
lambat-lambat karena selera makannya
telah lenyap atas kehadiran orang-
orang kasar itu.
Lelaki tinggi besar berperut
gendut itu menoleh ke arah enam orang
kawannya yang tertawa terbahak-bahak.
Selebar wajahnya menjadi merah karena
merasa dipermalukan di depan mereka.
"Kakang, aku yakin gadis jelita
itu sebenarnya bersedia menerima tawa-
ranmu. Hanya saja cara kau menawarkan
tadi salah," salah seorang kawannya
yang berwajah bopeng memanas-manasi.
"Hm.... Apa maksudmu?" tanya le-
laki tinggi besar itu menahan kegera-
mannya.
"Seharusnya Kakang tarik saja.
Aku rasa gadis jelita itu pasti tidak
akan menolak. Dan soal kawannya, biar-
lah kami yang akan mengurusnya," sahut
orang berwajah bopeng itu setengah
berbisik sambil menggerak-gerakkan
alis matanya.
Meskipun pembicaraan orang-orang
kasar itu tidak terlepas dan pendenga-
ran Panji, namun pemuda berjubah putih
itu tetap tenang saja meneruskan ma-
kannya. Karena sekali pandang saja, ia
tahu kalau orang-orang itu tidak dapat
berbuat banyak terhadap kekasihnya.
Sehingga, nasib Kenanga rasanya tidak
perlu dikhawatirkan lagi.
Saat itu si lelaki tinggi besar
sudah bangkit dan menghampiri Kenanga.
Dengan lagak menyebalkan, tangannya
diulurkan dengan maksud mengelus pipi
Kenanga.
"Ayolah, Manis. Tidak usah malu-
malu," ucapnya seraya terkekeh.
Kenanga yang melihat gerakan
orang itu melalui sudut mata, menjadi
marah bukan main. Selebar wajahnya
menjadi merah melihat sikap kurang
ajar orang itu. Dengan gerakan yang
hampir tidak terlihat mata, tangan ki-
ri gadis itu melayang ke arah pipi si
lelaki tinggi besar yang tidak sempat
menghindar.
Plakkk!
Lelaki tinggi besar itu menjerit
keras. Tubuhnya langsung terpelanting,
jatuh menimpa meja tempat keenam orang
kawannya berada. Meja itu hancur be-
rantakan. Sedangkan keenam lelaki ber-
seragam biru gelap sudah melompat ber-
pencar.
"Bangsat! Perempuan sundal! Kau
harus membayar mahal perbuatanmu ini!"
bentak lelaki tinggi besar itu kalap.
Wajahnya yang hitam dan berkulit kasar
tampak membengkak. Tangan kanannya
berkelebat mencabut golok besar yang
terselip di pinggangnya.
Demikian pula dengan keenam
orang lainnya. Mereka sudah bergerak
mengepung Kenanga dengan senjata ter-
hunus. Meskipun demikian, wajah mereka
tampak bingung. Mereka memang tidak
tahu, apa sebenarnya yang dilakukan
gadis itu terhadap lelaki tinggi besar
yang memang pemimpin mereka. Namun me-
lihat sikap dan wajah pemimpinnya yang
bengkak, jelas kalau gadis jelita itu
telah menyerangnya.
"Kenanga, mari kita keluar!" se-
ru Panji.
Pendekar Naga Putih langsung me-
lompat melalui jendela di sebelah ki-
rinya yang terbuka lebar. Perbuatan
pemuda itu diikuti Kenanga. Mereka me-
mang sadar, kalau pertarungan yang
akan terjadi bisa merusak seluruh isi
ruangan kedai itu.
"Mau lari ke mana kau, Perempuan
Liar!" bentak lelaki tinggi besar itu
sambil melompat mengejar.
"Hati-hati, Kakang Wangga! Nam-
paknya mereka bukan orang sembaran-
gan," salah seorang dan keenam lelaki
berpakaian biru gelap itu memperin-
gatkan pemimpinnya. Tubuhnya sudah me-
lesat, diikuti lima orang lainnya.
Begitu tiba di luar, ketujuh la-
ki-laki telengas itu tertegun. Gadis
jelita yang diduga hendak melarikan
diri, ternyata telah berdiri bertolak
pinggang seperti menanti kedatangan
mereka. Sedangkan pemuda berjubah pu-
tih itu nampak berdiri tenang dekat
sebatang pohon. Wajahnya sama sekali
tidak menampakkan kekhawatiran meski-
pun Kenanga sudah dikepung lawan-
lawannya.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki
tinggi besar itu sudah melompat diser-
tai ayunan goloknya mengancam leher
Kenanga. Rupanya ia benar-benar marah
karena dipermalukan di depan kawan-
kawannya. Tekadnya, leher gadis itu
harus putus dengan sekali serang
Enam orang kawannya pun sudah
menerjang dari segala arah. Senjata-
senjata mereka terayun dan menusuk ke
seluruh bagian tubuh Kenanga. Dua
orang di antaranya, telah mengayunkan
pedang disertai cengkeraman ke arah
dada gadis berpakaian serba hijau itu.
Namun sayang, yang kali ini me-
reka hadapi bukan seorang gadis semba-
rangan. Dia adalah seorang dara dig-
daya, murid Raja Pedang Pemutus Urat.
Hampir seluruh kepandaian tokoh sakti
itu telah dikuasainya. Apalagi setelah
melakukan perjalanan bersama Panji,
yang tidak pernah bosan memberi petun-
juk-petunjuk untuk menyempurnakan ke-
pandaiannya. Maka sudah pasti kemajuan
yang didapat sangatlah pesat
Maka dalam menghadapi keroyokan
tujuh orang laki-laki kasar itu, Ke-
nanga sama sekali tidak gugup. Gadis
jelita itu berdiri tenang sambil ter
senyum manis. Sedikit pun tidak ada
hasrat untuk menggunakan pedangnya.
Karena gerakan orang-orang itu sudah
dapat diukur, sampai di mana kepan-
daian yang dimiliki lawan-lawannya.
Ketika sambaran golok lelaki
tinggi besar itu tiba, Kenanga melang-
kah ke kanan. Maka, sambaran golok
yang mengarah lehernya itu pun luput.
Kemudian, tubuhnya direndahkan meng-
hindari dua buah sambaran pedang lain.
Berbarengan dengan gerakan itu, kedua
tangannya bergerak melakukan sodokan
siku ke arah dua orang yang membacok
dari belakang.
Wuuut! Wuuut!
Dugkh! Bughk!
Dua orang pembokong itu berte-
riak keras. Tubuh mereka terpental ke
belakang, lalu terbanting jatuh dengan
dada serasa remuk akibat sodokan siku
gadis itu. Dari sudut bibir mereka
tampak mengalir cairan merah. Jelas
sekali kalau hantaman itu sangat ke-
ras. Akibatnya untuk beberapa saat ke-
dua orang itu tidak mampu bangkit
Sedangkan dua pengeroyok lain
yang melancarkan bacokan sambil ber-
maksud meremas buah dada Kenanga, di-
hadapinya dengan egosan ke arah kiri.
Kemudian secara berbarengan kaki dan
tangannya bergerak melancarkan pukulan
dan tendangan. Gerakan yang demikian
cepat dan tak terduga itu, membuat ke
dua lawan. Kenanga tercekat dan tak
sempat mengelak.
Desss! Jrottt!
Keduanya terbanting roboh akibat
pukulan dan tendangan yang sangat ke-
ras itu. Yang seorang merintih kesaki-
tan sambil menekap wajahnya yang ber-
darah akibat pukulan keras gadis itu.
Ketika meludah, yang keluar adalah
cairan merah, disertai beberapa buah
giginya yang tanggal.
Sedangkan yang seorang lagi,
bergulingan sambil memegangi perutnya
yang terkena tendangan Kenanga. Orang
itu merintih-rintih tanpa mampu bang-
kit kembali.
Wuuut! Wuuut!
Kenanga menggeser kakinya tiga
langkah ke belakang menghindari samba-
ran senjata dua orang lainnya. Tangan
dan kakinya kembali melancarkan seran-
gan balasan, namun cepat ditarik pu-
lang kembali. Karena saat itu, golok
si tinggi besar kembali menyambar ke
arah perut
Wuuuk!
Gadis jelita itu melompat ke
atas, lalu berputaran menghindari sam-
baran golok lawan. Selagi tubuhnya
berputar, kedua tangannya melancarkan
tamparan ke pelipis dua orang berpa-
kaian biru gelap yang berada di bawah.
Tubuh kedua orang itu pun terbanting
pingsan diiringi jerit kesakitan.
"Bangsat! Kubunuh kau, Setan Be-
tina!" maki lelaki tinggi besar itu.
Dia benar-benar murka melihat
enam orang kawannya sudah tergeletak
tak berdaya. Golok di tangannya me-
nyambar dan menusuk berkali-kali. Ke-
murkaannya semakin menjadi-jadi, kare-
na serangan goloknya selalu saja dapat
dielakkan gadis itu secara mudah.
"Haiiit..!"
Setelah lewat lima jurus, Kenan-
ga berteriak nyaring disertai gerakan
tubuhnya yang menyelinap di antara se-
rangan golok lawan. Kedua tangannya
langsung melancarkan pukulan dan tam-
paran. Tamparan tangan kanannya melun-
cur deras mengarah pelipis, sedangkan
tangan kirinya memukul dada lawan.
Plakkk! Bugkh!
Tamparan dan pukulan keras itu
tepat menghantam sasarannya. Tanpa da-
pat dicegah lagi, tubuh lelaki tinggi
besar itu melintir dan langsung ambruk
ke tanah. Pingsan. Dari mulutnya, men-
galir darah segar. Sedangkan pelipis-
nya tampak membengkak. Kenanga memang
tidak berniat membunuh lawan-lawannya,
sehingga tidak mengeluarkan tenaga se-
penuhnya saat bertarung.
Kenanga berdiri tegak menatapi
lawan-lawannya. Tiga orang, termasuk
lelaki tinggi besar itu tergeletak
pingsan. Sedangkan empat orang lainnya
menatap gadis jelita itu dengan wajah
pucat. Sesekali masih terdengar suara
rintihan dari mulut mereka.
Panji melangkah tenang mengham-
piri orang-orang itu. Terlebih dahulu,
diperiksanya tiga orang yang pingsan.
Kemudian didekatinya empat orang lain-
nya yang masih merintih kesakitan.
"Hm..„ Siapa sebenarnya kalian?
Dan apa yang kalian lakukan di desa
ini?" tanya Pendekar Naga Putih dengan
sorot mata tajam.
Pemuda tampan ini mulai curiga.
Dan memang, mungkin saja ketujuh orang
itu ada hubungannya dengan nasihat pe-
layan kedai yang menyuruhnya cepat-
cepat meninggalkan desa itu. Jiwa ke-
pendekaran Panji seketika tergerak un-
tuk menyelidiki, apa sebenarnya yang
tengah terjadi di desa ini.
"Ampunkan kami, Tuan Pende-
kar.... Kami..., kami tidak tahu apa-
apa..," sahut salah seorang dari mere-
ka dengan wajah yang semakin pucat.
Sedangkan tiga orang lainnya menunduk-
kan kepala, seolah-olah takut dengan
pertanyaan pemuda tampan itu.
"Kalian akan kubebaskan, asal
menceritakan siapa sebenarnya kalian?
Dan apa yang tengah terjadi di desa
ini? Kalau tidak, maka terpaksa kalian
akan kukirim ke akhirat!" ancam Panji
yang menjadi semakin curiga.
Jelas, rasa takut mereka bukan
ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
Mungkin ada sesuatu yang lebih hebat
dan sangat mereka takuti. Tentu saja
hal itu membuat Panji semakin ingin
mencari jawabnya.
Mendengar ancaman pemuda itu
yang sepertinya tidak main-main, wajah
keempat orang itu terlihat semakin pu-
cat dan gelisah. Beberapa kali mereka
menoleh ke kiri-kanan, seperti ada
yang ditakuti.
"Hm.... Rupanya kalian lebih su-
ka mati daripada menjawab pertanyaan-
ku! Baiklah kalau itu yang kalian in-
ginkan!" ujar Pendekar Naga Putih,
siap membuktikan kata-katanya.
"Ampunkan kami..... Ampunkan ka-
mi..., kami akan menga...."
Belum lagi kata-kata orang itu
selesai, terdengar suara berdesing ha-
lus. Pendekar Naga Putih, yang penden-
garannya sudah sangat tajam, cepat
bergerak. Sambil berbalik, tangan ka-
nannya dikibaskan dengan pengerahan
tenaga dalam.
Terdengar suara berdenting keti-
ka senjata rahasia yang berupa paku-
paku berwarna hitam berjatuhan ke ta-
nah. Panji yang berhasil menyampok
runtuh paku-paku itu langsung tersen-
tak kaget ketika mendengar teriakan
ngeri di belakangnya.
"Biadab!" maki Panji gusar.
Hati Pendekar Naga Putih menjadi
marah melihat empat orang berseragam
biru gelap itu sudah tergeletak tak
bernyawa. Pada kening mereka masing-
masing tertancap dua batang paku bera-
cun.
"Kakang!" teriak Kenanga.
Saat itu, Kenanga melihat tubuh
kekasihnya sudah berkelebat ke depan.
Samar-samar gadis jelita itu sempat
menangkap tiga sosok bayangan yang me-
larikan diri ke arah semak-semak. Ha-
tinya merasa khawatir mengingat orang-
orang itu menggunakan senjata rahasia
yang mengandung racun ganas.
Kenanga berpaling kepada tiga
sosok tubuh yang semula tergeletak
pingsan. Gadis jelita itu menghela na-
pas kecewa karena tubuh orang-orang
itu mulai kehitaman. Jelas, mereka te-
lah tewas. Dan pada kening masing-
masing telah menancap dua batang paku
beracun. Dengan perasaan geram, disim-
pannya pedang yang tadi digunakan un-
tuk menghalau paku-paku beracun. Ru-
panya bukan hanya Panji yang mendapat
serangan gelap itu. Kenanga pun menga-
lami hal serupa.
"Uruslah ketujuh mayat ini baik-
baik. Jangan takut. Aku yang akan ber-
tanggung jawab atas kejadian ini,"
ujar Kenanga kepada penduduk desa yang
berkerumun di tempat itu.
Meskipun agak takut-takut, para
penduduk desa segera melaksanakan pe-
rintah gadis jelita itu.
Tak berapa lama kemudian, Panji
pun muncul seorang diri. Pemuda itu
melangkah lesu dengan wajah kecewa.
"Bagaimana, Kakang? Kau tidak
berhasil menangkap ketiga orang pembu-
nuh itu?" tanya Kenanga, menyongsong
kedatangan Panji.
"Tidak. Selain gerakan mereka
cukup cepat, kebun itu pun banyak di-
tumbuhi semak-semak liar. Sehingga aku
kehilangan jejak," sahut Panji sambil
menggerakkan bahunya. "Hei? Apakah ke-
tiga orang yang pingsan itu juga te-
was?"
Pemuda itu mengerutkan kening-
nya. Pendekar Naga Putih memang curiga
ketika melihat para penduduk sibuk
mengangkat tubuh ketujuh orang itu.
"Begitulah, Kakang. Salah seo-
rang dari penyerang gelap itu melem-
parkan senjata rahasia kepadaku dan
juga kepada ketiga orang yang tengah
tergeletak pingsan itu. Meskipun aku
berhasil menyelamatkan diri, namun ke-
tiga orang itu dapat mereka bunuh,"
jawab Kenanga, singkat.
Sepertinya, gadis itu merasa me-
nyesal atas tewasnya ketiga orang yang
mungkin akan dapat memberikan keteran-
gan. Dan kini, mereka terpaksa harus
menyelidikinya sendiri.
"Tapi, bagaimana mereka tahu ka-
lau ketiga orang itu hanya pingsan?"
tanya Panji heran.
"Aku yakin, mereka tidak tahu
tentang hal itu, Kakang. Mungkin hanya
berjaga-jaga saja. Sepertinya, para
penyerang gelap itu takut kalau raha-
sia mereka terbongkar," jelas Kenanga
yang membuat pemuda berjubah putih itu
mengangguk-anggukkan kepala.
"Hm.... Kita harus menyelidiki
hal ini, Kenanga. Kita harus tahu, apa
yang menyebabkan penyerang gelap itu
membunuhi mereka. Sayang, ketujuh
orang itu keburu tewas sebelum bisa
kita korek keterangannya. Entah dari
mana kita harus memulainya?" ujar Pan-
ji, seolah-olah berkata kepada dirinya
sendiri.
Kematian ketujuh orang itu, mem-
buat pemuda ini semakin penasaran.
Pendekar Naga Putih bertekad akan me-
nyelidiki rahasia di balik semua keja-
dian yang bam saja dialaminya itu.
Kenanga termenung dan melangkah
bolak-balik untuk mencari keputusan
memulai penyelidikan. Ternyata bukan
hanya Panji saja yang merasa tertarik
atas kejadian aneh penuh rahasia itu.
Hati gadis jelita ini rupanya sudah
tergerak untuk mengungkapnya.
"Hai!"
Tiba-tiba saja gadis jelita ber-
pakaian serba hijau itu menjentikkan
jarinya dengan wajah berseri. Langkah-
nya berhenti, lalu menatap Panji den-
gan sepasang mata berbinar.
"Ada apa? Kau sudah mendapat ja-
wabannya?" tanya Panji memandangi wa-
jah kekasihnya penuh harap.
Tentu saja Pendekar Naga Putih
menjadi gembira melihat Kenanga. Wa-
jahnya jelas-jelas menggambarkan kalau
gadis itu telah menemukan jawaban
"Bagaimana kalau kita kembali ke
kedai tadi, Kakang? Perutku masih te-
rasa lapar. Aku tidak sempat menikmati
hidanganku, karena ketujuh orang tadi
telah membuat selera makanku hilang.
Ayolah kita kembali ke sana, Kakang,"
ajak gadis jelita itu sambil menarik
tangan Panji dengan manja.
"Ah! Kau ini ada-ada saja, Ke-
nanga. Kukira kau sudah menemukan ja-
waban agar penyelidikan kita dimulai.
Eh, tak tahunya hanya soal perut," ke-
luh Panji sambil tersenyum melihat ke-
gembiraan kekasihnya. Meskipun agak
kecewa, tapi hatinya merasa senang me-
lihat kegembiraan yang terpancar di
wajah jelita itu.
"Tenang saja, Kakang. Kujamin
kita pasti segera dapat memulai penye-
lidikan ini. Dan bukan tidak mungkin
kalau akan langsung menemukan jawaban-
nya tanpa harus melakukan penyelidikan
terlebih dahulu," sahut gadis jelita
itu tersenyum penuh rahasia.
"Hei? Jadi kau benar-benar sudah
mendapatkan jawabannya? Tapi, mengapa
tidak segera kau katakan padaku?" hati
Panji semakin penasaran terhadap ting-
kah kekasihnya yang seperti sengaja
menggoda.
"Hi hi hi..! Kau tidak sabar
amat, sih?" ledek Kenanga malah mener-
tawakan kekasihnya.
"Ah! Kau nakal, Kenanga. Senang
ya, melihat aku kebingungan seperti
orang tolol?" Sambil berkata demikian,
Panji mencubit pipi kekasihnya yang
halus dan lembut bagai sutra. Hati pe-
muda itu menjadi gemas karena Kenanga
belum juga mau memberitahukan apa yang
telah didapatnya itu.
"Ihhh! Kakang genit, ah! Tidak
malu ya, dilihat orang banyak?"
Meskipun berkata demikian, tapi
jelas gadis itu sangat gembira. Kare-
na, cubitan Panji sama sekali tidak
menimbulkan rasa sakit. Bahkan terasa
kalau bukan dicubit, melainkan malah
lebih tepat dikatakan sebagai belaian.
Hal itu tentu saja mendatangkan pera-
saan tersendiri yang tak dapat diukur
nikmatnya.
"Biar saja," sahut Panji memban-
del. "Mereka pasti merasa iri dengan-
ku, sebab hanya dapat mencubit wajahmu
dalam mimpi. Sedangkan aku dapat men-
cubit, bahkan membelainya secara nya-
ta. Malah aku yakin, kau akan minta
tambah."
"Uh, enak saja! Siapa yang sudi
minta tambah cubitan. Kau pikir aku
sudah tidak waras?" rungut gadis jeli-
ta itu seraya memonyongkan bibirnya
berpura-pura marah.
"Justru karena masih waras, maka
kau minta dicubit lagi. Tapi, aku juga
tidak akan menolak bila diminta?" sa-
hut Panji tersenyum.
Kenanga tidak menanggapi ucapan
Panji. Tanpa berkata apa-apa, tangan
gadis itu sudah bergerak mencubit
pinggang kekasihnya hingga pemuda itu
agak meringis juga. Tentu saja Kenanga
tahu kalau itu hanya pura-pura. Sebab
cubitannya memang tidak menyakitkan.
Canda keduanya terhenti ketika
tiba di depan pintu kedai. Mereka ber-
gegas masuk. Kenanga langsung mengu-
lapkan tangannya memanggil pelayan.
Gadis jelita itu hanya memesan teh
hangat dan penganan kecil, karena me-
mang tidak sungguh-sungguh untuk ma-
kan.
Tak berapa lama kemudian, pe-
layan itu pun sudah kembali membawa
pesanan Kenanga.
"Sebentar, Paman!" cegah Kenanga
ketika pelayan itu hendak melangkah
meninggalkan mereka.
"Ada apa, Ni sanak?" tanya pe-
layan berusia setengah baya itu seraya
mengerutkan keningnya.
Dia memang mengenali kalau kedua
orang muda itu adalah tamu yang datang
ke kedainya tadi. Dia memang sempat
menyaksikan sewaktu Kenanga dan Panji
berkelahi, sehingga mampu mengalahkan
ketujuh orang lelaki kasar yang meng-
ganggu gadis itu.
"Duduklah bersama kami, Paman.
Kami ingin menanyakan sesuatu," ujar
Kenanga lagi.
Setelah menoleh ke sekitar ruan-
gan yang sepi karena tidak ada pengun-
jung lain, barulah lelaki setengah
baya itu menuruti ajakan Kenanga.
"Apa yang ingin Ni sanak tanya-
kan? Apa tidak sebaiknya Ni sanak dan
Kisanak meninggalkan Desa Kemang ini?
Apalagi setelah terjadinya keributan
tadi, tentu kawan-kawan mereka tadi
akan mencari kalian berdua. Dan itu
sangat berbahaya," kata pelayan seten-
gah baya ini merendahkan suaranya
hingga terdengar agak berbisik.
"Justru itulah yang menyebabkan
kami kembali ke kedai ini, Paman. Se-
pertinya Paman telah mengenal mereka?
Dapatkah kami minta keterangan tentang
mereka?"
Tanpa basa-basi lagi, Kenanga
langsung saja menanyakan ke pokok ma-
salahnya. Sedangkan Panji hanya men-
gangguk-angguk, karena baru mengerti
mengapa Kenanga mengajaknya ke kedai
tempat mereka pertama kali singgah ta-
di.
"Tapi..., berbahaya sekali, Ni
sanak. Aku... aku...."
"Ceritakan saja, Paman. Dan kami
akan menjamin keselamatanmu," Panji
buru-buru memotong ucapan pelayan itu
ketika melihat wajah lelaki setengah
baya itu nampak pucat dan ketakutan.
"Benar. Ceritakanlah, Paman.
Jangan takut Kami berjanji akan melin-
dungi Paman sekeluarga," timpal Kenan-
ga, untuk meyakinkan orang tua itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakan-
nya," sahut laki-laki setengah baya
itu seraya menarik napas dalam-dalam
sebelum memulai ceritanya. Sedangkan
kedua orang muda itu me nanti dengan
sabar.
Setelah terlebih dahulu memper-
hatikan keadaan sekeliling kedai, maka
pelayan itu pun mulai bercerita.
***
"Pada mulanya Desa Kemang ini
merupakan desa yang aman dan tente-
ram," pelayan setengah baya yang men-
gaku bernama Ki Dampit itu memulai ce-
ritanya. "Tapi, semenjak enam bulan
yang lalu, keadaan berubah total. Para
penduduk tidak lagi dapat menikmati
hasil panennya, karena hampir seluruh
hasil panen dirampas gerombolan penda-
tang yang rata-rata berkepandaian si-
lat dan bertampang bengis. Kepala desa
kami, Ki Dawur Soka, mencoba melakukan
perlawanan. Sayang, orang-orang yang
dipimpin Ki Jampala itu terlampau
kuat. Sehingga Ki Dawur Soka dan para
pembantunya tidak mampu untuk mengusir
orang-orang jahat itu, sehingga mereka
tewas di tangan tiga orang kepercayaan
Ki Jampala, yang belakangan kami keta-
hui sebagai Tiga Setan Muara Gandul."
Sebentar Ki Dampit yang sebenar-
nya pemilik kedai makan itu, menghen-
tikan ceritanya. Sedangkan Kenanga dan
Panji mendengarkan penuh perhatian.
Sesekali terdengar helaan napas mere-
ka, seperti menahan kegeraman. Namun
mereka tidak mau memotong cerita laki-
laki setengah baya itu.
"Setelah kepala desa kami tewas,
Ki Jampala mengangkat dirinya sebagai
Kepala Desa Kemang ini. Sedangkan ke-
tujuh orang yang berkelahi dengan ka-
lian tadi, adalah para pengikutnya
yang bertugas memunguti pajak dari pa-
ra penduduk desa. Apalah daya kami
yang hanya orang-orang lemah ini? Kami
hanya bisa pasrah kepada nasib," Ki
Dampit mengakhiri ceritanya dengan he-
laan napas sedih.
Panji dan Kenanga saling bertu-
kar pandang sejenak. Kedua pendekar
digdaya itu turut merasakan penderi-
taan yang dialami Ki Dampit dan para
penduduk lainnya. Dari pertukaran pan-
dang yang hanya sekejap itu, mereka
seperti telah bersepakat untuk menye-
lamatkan penduduk Desa Kemang dari
penderitaan yang selama ini dialami
mereka.
"Hm.... Berapa banyakkah kira-
kira para pengikut Ki Jampala itu, Pa-
man?" tanya Panji yang sudah memu-
tuskan untuk menumpas kejahatan di De-
sa Kemang ini.
"Sebenarnya para pengikut Ki
Jampala ini tidak terlalu banyak. Se-
lain Ki Jampala dan Tiga Setan Muara
Gandul, masih ada lagi sekitar dua pu-
luh orang anak buahnya. Tapi, kudengar
Ki Jampala masih mempunyai pimpinan
lain yang kabarnya memiliki kesaktian
seperti iblis. Bahkan Gusti Adipati
Kerta Lungga pun tidak berani mengu-
siknya. Sehingga hampir seluruh desa
yang berada di bawah kekuasaan adipati
itu, jatuh ke tangan orang yang kalau
tidak salah berjuluk Biang Iblis Tan-
gan Hitam. Jadi, kalau boleh aku nasi-
hatkan, sebaiknya tinggalkanlah desa
ini. Sebab aku yakin sebentar lagi,
orang-orang Ki Jampala akan datang un-
tuk mencari kalian berdua," pesan Ki
Dampit mengakhiri jawabannya. Rupanya
lelaki setengah baya itu tidak tega
kalau sampai kedua orang yang telah
menimbulkan rasa suka di hatinya akan
mendapat celaka.
Panji dan Kenanga merasa terharu
atas perhatian orang tua itu. Dan hal
itu justru membuat tekad mereka sema-
kin kuat untuk membela penduduk Desa
Kemang dengan taruhan nyawa. Sebab se-
bagai pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran, mereka berkewajiban
untuk menumpas segala bentuk kejahatan
di muka bumi ini.
Setelah mendapat keterangan ten-
tang letak kediaman Ki Jampala, Panji
dan Kenanga segera berpamitan kepada
orang tua itu.
"Terima kasih atas nasihat yang
Paman berikan kepada kami berdua. Tapi
biar bagaimanapun, kami akan mencoba
untuk membebaskan penduduk Desa Kemang
ini dari tekanan Ki Jampala dan para
begundalnya itu. Kami mohon pamit, Pa-
man," pamit Panji setelah terlebih da-
hulu membayar harga makanan.
Ki Dampit memandangi kepergian
kedua orang muda itu dengan pandangan
haru. Hatinya benar-benar tersentuh
melihat keikhlasan Panji dan Kenanga
yang rela berkorban demi kepentingan
penduduk Desa Kemang. Diam-diam orang
tua itu berdoa agar kedua anak muda
yang digdaya itu dilindungi Yang Maha
Kuasa.
Orang tua itu mengerjap-
ngerjapkan matanya yang mendadak ba-
sah. Keharuan dan kekhawatiran telah
membuat Ki Dampit menjadi cengeng. Di-
hapusnya air mata itu dengan punggung
tangan, kemudian melangkah masuk sete-
lah kedua anak muda itu lenyap dari
pandangannya.
ENAM
Ketika matahari sudah semakin
bergeser ke Barat, Panji dan Kenanga
telah tiba di depan sebuah bangunan
besar dan cukup megah.
"Hm.... Belum pernah kutemukan
seorang kepala desa yang memiliki ke-
diaman sebesar dan sebagus ini. Ki
Jampala tak ubahnya seorang raja kecil
yang bergelimang kemewahan dari hasil
memeras keringat rakyatnya," desah
Panji yang menjadi geram melihat kea-
daan Ki Jampala yang sangat bertolak
belakang dengan kehidupan penduduk De-
sa Kemang.
"Ya! Orang-orang seperti Ki Jam-
pala itu harus kita basmi, Kakang. Mu-
dah-mudahan penduduk Desa Kemang kem-
bali dapat merasakan ketenteraman dan
kehidupan yang lebih layak," sahut Ke-
nanga dengan nada yang bercampur teka-
nan amarah.
Hati kewanitaannya benar-benar
tersentuh melihat kehidupan penduduk
Desa Kemang yang rata-rata miskin aki-
bat kekejaman orang yang bernama Ki
Jampala itu.
"Hei?! Siapa kalian? Mau apa
berdiri di situ?" tegur salah seorang
penjaga.
Penjaga itu memang sejak tadi
curiga melihat kedua orang muda itu
berdiri memandangi rumah kepala de
sanya. Kemudian, dihampirinya Panji
dan Kenanga.
Seorang penjaga lain tampak ikut
menyertai pula.
Belum lagi kedua orang penjaga
ini sempat mendekat, tiba-tiba terden-
gar bentakan yang disusul berlompatan-
nya belasan sosok tubuh berpakaian bi-
ru gelap.
"Tangkap kedua orang pengacau
itu!"
Baik Panji maupun Kenanga, men-
jadi terkejut mendengar bentakan yang
mengandung tenaga dalam kuat itu. Ke-
duanya bergerak saling membelakangi
dan mengedarkan pandangan ke arah para
pengepung yang dipimpin tiga orang
berseragam hitam.
Salah seorang dari ketiga orang
berseragam hitam itu melangkah maju
sambil menudingkan telunjuknya ke wa-
jah Panji.
"Hm.... Rupanya kau benar-benar
hendak mencari penyakit, Anak Muda!"
ujar orang itu dengan suara mengandung
ancaman. Sepasang matanya menyiratkan
hawa membunuh.
"Hm.... Kalian rupanya yang me-
lemparkan paku-paku beracun tadi!" ka-
ta Panji begitu mengenali pakaian yang
dikenakan orang itu
Saat itu juga, Pendekar Naga Pu-
tih langsung dapat menduga kalau mere-
ka pasti Tiga Setan Muara Gandul, se
perti yang diceritakan Ki Dampit.
"Benar! Aku dan kedua orang sau-
daraku itulah yang telah memberi pe-
ringatan kepada kalian. Tapi, kalau
kedatanganmu kemari hendak menyerahkan
bidadari jelita itu, mungkin kami akan
mempertimbangkannya. Bahkan mungkin Ki
Jampala bisa mengampuni perbuatanmu
tadi," kata salah seorang dari Tiga
Setan Muara Gandul itu sambil menatapi
sekujur tubuh Kenanga.
Mendengar kata-kata yang dilon-
tarkan orang itu, seketika merah sele-
bar wajah Kenanga. Kata-kata yang su-
dah jelas mengandung niat kotor itu,
membuat gadis jelita ini segera melo-
los pedangnya.
Srettt!
"Hei! Setan jelek! Sadarkah ka-
lau ucapanmu itu telah cukup mengan-
tarmu ke akhirat!" bentak Kenanga be-
rang.
Setelah berkata demikian, ter-
dengar suara mengaung dahsyat yang di-
timbulkan putaran Pedang Sinar Rembu-
lan di tangan gadis jelita itu.
"Haiiit..!"
Disertai bentakan nyaring, tubuh
gadis jelita berpakaian hijau itu su-
dah melompat dan menerjang orang itu.
Wuuut!
Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul, melompat jauh menghindari
sambaran pedang Kenanga. Dan tahu-tahu
saja, di tangannya telah tergenggam
sebatang pedang yang pada kedua si-
sinya bergerigi. Dari badan pedang
yang nampak mengkilat itu, bisa dite-
bak kalau pedang itu mengandung racun
jahat. Hal itu bukanlah sesuatu yang
aneh. Sebab Tiga Setan Muara Gandul
dikenal sebagai tokoh sesat yang ahli
menggunakan berbagai jenis racun. Itu
pula yang membuat ketiga orang itu
sangat ditakuti tokoh rimba persila-
tan.
Namun hal itu sama sekali tidak
membuat Kenanga gentar. Meskipun bukan
seorang ahli dalam soal racun, namun
sedikit banyak ia sudah mengenai je-
nis-jenis racun. Memang hal itu tidak
mengherankan. Sebab Pendekar Naga Pu-
tih adalah seorang yang cukup pandai
dalam hal pengobatan. Apalagi sejak
dibimbing Raja Obat. Tentu saja pemuda
berjubah putih itu semakin bertambah
kemajuannya dalam soal pengobatan dan
racun. Dalam perantauannya, pemuda itu
tak lupa memberi bimbingan kepada Ke-
nanga, gadis yang dicintainya itu. Hal
itu pulalah yang menyebabkan Kenanga
tidak merasa gentar meskipun lawannya
adalah seorang ahli racun.
"Kakang Badra, biar aku yang
menghadapi gadis itu," pinta orang
termuda dari Tiga Setan Muara Gandul
yang segera mencabut senjatanya. Ben-
tuk senjatanya sama dengan yang dipe
gang orang yang dipanggil Badra itu.
"Hm.... Hati-hatilah, Adi Sugra.
Nampaknya gadis jelita itu memiliki
kepandaian lumayan," ujar Badra mena-
sihati Sugra yang merupakan orang ter-
muda di antara mereka bertiga.
"Jangan khawatir, Kakang, Aku
pasti dapat menundukkan gadis jelita
itu," sahut Sugra sombong.
Sambil melangkah maju, lelaki
muda berusia tiga puluh tahun itu me-
nyeringai. Otaknya membayangkan kalau-
kalau akan dapat mengelus-elus kulit
yang putih halus itu.
Sugra tidak menunggu lama. Saat
itu juga tubuhnya sudah melompat ke
arah Kenanga dan langsung melancarkan
serangan
Wuuut!
Pedang yang pada kedua sisinya
terdapat gerigi itu berkelebat menyam-
bar tubuh Kenanga. Sedangkan tangan
kirinya bergerak hendak mencengkeram
buah dada gadis itu.
Kenanga marah bukan main melihat
serangan yang dilakukan Sugra. Selebar
wajahnya memerah menahan malu dan ge-
ram. Saat itu juga pedang di tangannya
berkelebat, memapak serangan lawan.
Dalam kemarahannya, gadis jelita itu
sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga'.
Wuuut! Wuuut!
Sebentuk sinar putih keperakan
bergulung-gulung menimbulkan deru an-
gin keras. Sinar pedang gadis jelita
itu bergerak menukik dengan kecepatan
menggiriskan.
Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua batang pedang yang digerak-
kan tenaga dalam kuat saling berbentu-
ran menimbulkan percikan bunga api di
udara. Akibatnya, Sugra terjajar mun-
dur disertai pekikan kagetnya. Ternya-
ta benturan itu membuat lengannya te-
rasa linu dan nyeri. Tokoh termuda Ti-
ga Setan Muara Gandul itu benar-benar
dibuat terkejut oleh kekuatan tenaga
dalam lawan
Saat itu Pedang Sinar Rembulan
yang sempat tertahan benturan pedang
lawan, sudah bergerak berputar menyam-
bar leher Sugra. Tentu saja tokoh se-
sat berusia tiga puluh tahun itu sema-
kin terkejut. Cepat tubuhnya dilempar
ke belakang, lalu bersalto di udara.
Wuuut!
"Ahhh...!"
Sugra hampir tidak mempercayai
pandang matanya. Karena meskipun sudah
melompat jauh ke belakang, ternyata
sinar putih keperakan itu masih saja
mengejarnya. Terpaksa tubuhnya harus
bergulingan untuk menyelamatkan nya-
wanya dari kejaran pedang gadis itu.
Wuuut!
Brettt!
Tokoh sesat berusia tiga puluh
tahun itu berusaha mati-matian menye-
lamatkan dirinya dari incaran pedang
Kenanga. Namun akhirnya dia tak kuasa
lagi menghindar. Meskipun masih bisa
menyelamatkan lehernya, namun tak
urung bahu kanannya terserempet mata
pedang lawan.
Diiringi jerit kesakitan, Sugra
melempar tubuhnya dan terus bergulin-
gan. Untunglah saat itu, lima orang
berseragam biru gelap telah melompat
dan menyelamatkan nyawanya dari keja-
ran sinar putih keperakan.
Trangngng! Trangngng!
Dua prang pengeroyok yang pe-
dangnya tertangkis gadis jelita itu
langsung terdorong dengan wajah pucat.
Gerakan Kenanga yang demikian kuat dan
cepat itu, telah membuat dua orang
pengeroyok terbelalak. Ternyata senja-
ta di tangan mereka telah patah menja-
di dua bagian.
Sedangkan sambaran tiga batang
pedang lainnya, berhasil dihindari
dengan merendahkan tubuhnya. Begitu
sambaran pedang ketiga orang penge-
royok itu lewat mendadak tubuh gadis
jelita itu melenting dan berputar me-
lewati kepala tiga orang pengeroyok-
nya.
Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika sinar putih keperakan berke-
lebat menyambar punggung tiga orang
pengeroyok itu. Mereka langsung am-
bruk, dan tewas seketika.
"Gila!" teriak Sugra yang ma-
tanya semakin terbuka lebar.
Sama sekali tak disangka kalau
gadis jelita itu ternyata memiliki ke-
pandaian tinggi. Diam-diam kegentaran
mulai menyelimuti hati orang termuda
dari Tiga Setan Muara Gandul ini
"Hei?! Ayo, kepung gadis setan
itu!" teriak Sugra kalap.
Mendengar teriakan pemimpinnya,
delapan orang berseragam biru gelap
itu segera berlompatan mengurung Ke-
nanga. Dan tanpa menunggu perintah la-
gi, langsung diterjangnya gadis jelita
itu. Maka Kenanga juga segera menyam-
but serangan lawan-lawannya.
Pertarungan pun berlangsung se-
makin seru. Kenanga yang dikeroyok
sembilan orang lawan semakin mengamuk
hebat Pedang Sinar Rembulannya bergu-
lung dan menyambar-nyambar menggi-
riskan. Sehingga meskipun dikeroyok
banyak lawan, namun gadis jelita itu
malah dapat berada di atas angin.
Saat itu pertarungan di tempat
lain pun sudah berlangsung sengit Pan-
ji yang menghadapi keroyokan dua di
antara Tiga Setan Muara Gandul, dan
ditambah tujuh orang berseragam biru
gelap, bergerak bagaikan bayangan han-
tu. Tubuhnya berkelebatan cepat di an-
tara sambaran-sambaran senjata lawan.
Dan setiap kali tangan dan kakinya
bergerak, selalu saja ada tubuh lawan
yang terpental tanpa mampu bangkit la-
gi. Tentu saja hal itu membuat para
pengeroyoknya menjadi kaget dan seka-
ligus gentar.
Bukkk! Desss!
Kembali dua orang pengeroyok
menjerit ngeri. Tubuh mereka jatuh
berdebuk dan pingsan seketika itu ju-
ga. Untunglah pemuda itu tidak semba-
rangan menjatuhkan tangan kejam. Puku-
lan dan tendangannya memang tidak sam-
pai menewaskan lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Dua orang dari Tiga Setan Muara
Gandul menjadi kalap ketika melihat
anak buahnya dijatuhkan pemuda itu
dengan mudah. Dibarengi teriakan nyar-
ing, keduanya melompat sambil memba-
cokkan pedang ke leher dan perut Pan-
ji.
Wuuut! Wuuuk!
Panji menggeser tubuh ke kanan
menghindari bacokan pada lehernya. Se-
dangkan bacokan pada perut ditepis
oleh telapak tangan terbuka hingga
senjata itu menyeleweng dan hampir
membentur senjata Badra yang masih
mengapung di udara. Tentu saja kedua
orang itu menjadi terkejut dan berusa-
ha menarik pulang senjatanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut
mereka, saat itu kaki Pendekar Naga
Putih mencelat naik menghantam rusuk
salah seorang dari kedua Tiga Setan
Muara Gandul.
Bugkh!
"Hugkh...!"
Tubuh Longgata, orang kedua dari
Tiga Setan Muara Gandul, terpelanting
keras hingga menabrak tubuh Badra yang
berada di sebelah kirinya. Tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh kedua orang itu
pun tersuruk jatuh saling tindih.
Pemandangan yang dapat menggeli-
tik perut itu tidak sempat dinikmati
Pendekar Naga Putih. Karena saat itu,
empat orang berseragam biru gelap te-
lah mengayunkan senjata dari empat
penjuru.
Melihat serangan itu Panji sama
sekali tidak bergerak menghindar. Kaki
kanannya bergerak ke depan membentuk
kuda-kuda serong, dan sangat rendah.
Berbarengan dengan itu, sepasang tan-
gannya yang terbuka bergerak ke kiri
dan ke kanan, langsung menghantam dada
dua orang penyerangnya. Kedua orang
itu langsung terpelanting diiringi je-
rit kesakitan.
Gerakan yang dilakukan Pendekar
Naga Putih tidak berhenti di situ sa-
ja. Tubuh pemuda itu meliuk mundur,
dan langsung memutar tangan menjepit
dua bilah senjata yang menyambar dari
kiri-kanannya. Kedua orang itu tidak
menyangka kalau lawannya akan menjepit
senjata mereka di ketiak. Dan selagi
mereka tertegun, tahu-tahu saja sepa-
sang tangan Pendekar Naga Putih me-
nyambar cepat ke arah wajah mereka.
Kedua orang itu langsung mengge-
lepar akibat hantaman kuat yang menge-
nai pelipis. Beberapa saat kemudian,
tubuh keduanya diam tak bergerak lagi.
Pingsan.
Badra dan Longgata yang sudah
bangkit berdiri menjadi terkejut meli-
hat pengikutnya telah tergeletak ping-
san. Cepat-cepat keduanya merogoh kan-
tung kain yang tergantung di pinggang.
Werrr! Werrr...!
Terdengar suara berdesingan
nyaring ketika kedua orang itu mengge-
rakkan tangan untuk menebarkan senja-
ta-senjata gelap yang mengandung racun
ganas.
"Hmh...!"
Panji yang sudah membalikkan tu-
buhnya ketika mendengar suara berdes-
ing, hanya menggeram lirih. Pendekar
muda itu menarik kedua tangannya ke
sisi pinggang. Kemudian, didorongkan-
nya dengan telapak tangan terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang
menggigit tulang berhembus dari sepa-
sang telapak tangan pemuda itu, dan
langsung memukul runtuh senjata-
senjata beracun kedua orang lawannya.
Sebelum rasa terkejut kedua la
wannya itu lenyap, tubuh Pendekar Naga
Putih sudah melesat lurus bagaikan se-
batang bambu ke arah Badra dan Longga-
ta. Sepasang tangan pemuda itu berpu-
tar cepat bagai baling-baling. Malahan
kedua orang lawannya itu tidak lagi
dapat melihat bentuk tangan Panji. Dan
hal itu cukup membuat mereka hanya bi-
sa berdiri tertegun bagaikan terkena
pengaruh sihir.
Pada saat yang gawat itu, tiba-
tiba sesosok bayangan hitam melesat
memotong serangan Panji. Bayangan hi-
tam itu langsung mendorongkan sepasang
telapak tangannya menyambut serangan
pemuda itu.
Bresss!
Terdengar ledakan keras yang
mengguncangkan udara di sekitar tempat
itu. Pertemuan tenaga yang amat kuat
tadi membuat bayangan hitam terpental
balik. Setelah berputar beberapa kali
di udara, barulah sepasang kakinya da-
pat didaratkan dengan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru
sosok tubuh itu bergetar.
Tubuh orang itu nampak ber-
goyang-goyang dan agak limbung. Kedua
tangannya menekan dada. Bahkan napas-
nya terlihat agak memburu. Sosok tubuh
itu sepertinya telah mengalami luka
dalam. Hal itu terlihat dari cairan
merah yang merembes di sudut bibirnya.
Badra dan Longgata terkejut se
telah mendengar nama Pendekar Naga Pu-
tih disebut-disebut oleh sosok tubuh
itu. Kini mata mereka baru terbuka le-
bar. Pantas saja pemuda itu demikian
hebat sehingga hampir membuat mereka
tewas.
"Bunuh pendekar usilan itu!" pe-
rintah sosok tubuh yang tak lain dari
Ki Jampala itu.
Siapa lagi orang yang berani me-
merintah Tiga Setan Muara Gandul kalau
bukan Ki Jampala sendiri. Setelah ber-
kata demikian, lelaki berusia lima pu-
luh tahun itu melompat ke arah Panji
yang masih berdiri tegak menatapi ke-
tiga orang lawannya.
Namun, sebelum pertarungan itu
terjadi, terdengar jerit kematian yang
merobek angkasa.
"Adi Sugra...! Keparat! Kubunuh
kau...!" teriak Badra yang menjadi ka-
lap ketika melihat tubuh Sugra terlem-
par disertai semburan darah yang mem-
basahi tubuhnya.
Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul itu langsung menerjang Ke-
nanga dengan ganas. Sedangkan Longgata
menubruk tubuh adik seperguruannya
yang sudah tewas dengan luka menganga
di tubuhnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga
yang telah menamatkan nyawa lawan-
lawannya segera menyambut serangan Ba-
dra dengan pedangnya. Dalam waktu
singkat, keduanya sudah terlibat per-
tarungan sengit
Longgata pun sudah melompat me-
nerjang Kenanga. Dalam kemarahannya,
tokoh sesat itu telah mengerahkan se-
luruh tenaga untuk menyerang. Sehingga
serangan-serangannya semakin ganas dan
dahsyat.
Panji yang semula berniat mem-
bantu kekasihnya, segera membatalkan
niatnya begitu melihat orang yang me-
mapak serangannya tadi hendak melari-
kan diri. Cepat pemuda itu melesat dan
menghadang orang itu.
"Hm.... Hendak lari ke mana kau,
Ki Jampala?" ujar Panji menduga-duga.
Sebab, menurutnya siapa lagi
orang itu kalau bukan Ki Jampala. Hal
itu dapat dilihat dari sikap dua orang
dari Tiga Setan Muara Gandul yang ter-
lihat sangat hormat terhadap orang
itu.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pu-
tih! Apa sebenarnya yang kau inginkan
dari kami?" tanya Ki Jampala yang ti-
dak dapat menyembunyikan rasa gentar-
nya.
Memang, dari pertemuan tenaga
tadi, ia dapat menilai kalau tenaga
dalam pemuda itu pasti sangat hebat.
Dan itu telah dibuktikan ketika me-
nangkis serangan pemuda itu yang ditu-
jukan kepada dua orang dari Tiga Setan
Muara Gandul tadi.
"Hm.... Kau ingin tahu? Pergilah
dan tinggalkan Desa Kemang ini. Hanya
itulah yang kuinginkan. Sederhana se-
kali, bukan?" sahut Panji seraya ter-
senyum tenang. Diam-diam pendekar itu
mengharapkan Ki Jampala mau menuruti
permintaannya.
"Ooo, hanya itu. Nah, terimalah
ini!" sahut Ki Jampala yang segera me-
lontarkan pukulan maut ke tenggorokan
dan dada Panji.
Melihat serangan maut itu, tubuh
Panji bergeser ke kiri dan sekaligus
melontarkan pukulan balasan yang tidak
kalah berbahayanya. Namun lawannya
ternyata cukup gesit dan mampu meng-
hindari sambaran tangannya yang menga-
rah ke belakang leher Ki Jampala. Bah-
kan sambil menghindar, orang tua itu
masih sempat melepaskan sebuah tendan-
gan kilat ke perut Pendekar Naga Pu-
tih.
Zebbb!
Tendangan kilat itu berhasil di-
hindari Panji dengan merendahkan kuda-
kuda sambil meliukkan tubuh ke samping
lawan. Tangan kanannya langsung berge-
rak melepaskan tamparan ke dada Ki
Jampala. Laki-laki tua itu merasa ter-
kejut melihat kecepatan gerak lawan-
nya.
Bugkh!
"Hegkh...!"
Tubuh lelaki tua itu terjengkang
akibat tamparan yang kuat di dada ki-
rinya. Meskipun demikian, ia masih ju-
ga berhasil melompat dan bersalto
hingga tubuhnya tidak sampai terjatuh
ke tanah.
Namun sayang, sebelum Ki Jampala
berhasil mengatur kedudukannya, tahu-
tahu saja telapak kaki Pendekar Naga
Putih telah hinggap di dadanya. Tubuh
orang tua itu pun langsung terbanting
ke tanah hingga menimbulkan suara ber-
debuk nyaring.
Sebelum Ki Jampala sempat bang-
kit berdiri, telapak kaki Pendekar Na-
ga Putih telah menekan dadanya.
"Kalau kau ingin selamat, cepat
katakan! Siapa dan di mana pemimpinmu
berada? Kalau tidak, terpaksa aku akan
membunuhmu," ancam Panji sambil mena-
han tekanan kakinya hingga Ki Jampala
terbatuk-batuk. Darah pun semakin ba-
nyak mengalir dari mulutnya.
"Apa... apa maksudmu? Aku tidak
tahu apa yang kau bicarakan itu?" ban-
tah Ki Jampala mencoba mengelabui pe-
muda itu.
"Baiklah! Aku tidak akan memak-
samu," ujar Panji seraya tersenyum.
Setelah berkata demikian, tan-
gannya bergerak melakukan totokan yang
dapat menimbulkan rasa sakit yang he-
bat.
Ki Jampala menjerit-jerit ketika
merasakan rasa nyeri di seluruh bagian
tubuhnya. Tubuhnya berguling-guling
karena Panji telah melepaskan kakinya
yang semula menekan dada Ki Jampala.
Panji baru membebaskan Ki Jampa-
la dari penderitaan ketika orang tua
itu berteriak-teriak. Dia akhirnya
bersedia memberitahukan, apa yang di-
inginkan pemuda berjubah putih itu.
Setelah mendapatkan keterangan
dari Ki Jampala, pemuda itu pun segera
meninggalkan orang tua itu setelah
terlebih dahulu menotok lumpuh Ki Jam-
pala. Hal itu dimaksudkan agar tidak
membahayakan para penduduk apabila me-
nahannya. Dan memang, rupanya para
penduduk telah berkumpul di situ kare-
na Ki Dampit telah menceritakan keha-
diran dua orang pendekar kepada mere-
ka. Jadi itu semua memang berkat pemi-
lik kedai itu yang berhasil menghimpun
penduduk.
Namun, baru beberapa langkah
Panji meninggalkan tubuh lawannya, pa-
ra penduduk yang merasa marah telah
mencincang tubuh Ki Jampala beramai-
ramai. Pendekar Naga Putih hanya dapat
menarik napas melihat kemarahan para
penduduk yang tengah melampiaskan den-
damnya kepada orang tua itu.
Pendekar Naga Putih meneruskan
langkahnya mendekati pertempuran lain
yang tampaknya juga akan segera berak-
hir. Panji hanya berdiri memandangi
kekasihnya yang tengah mendesak dua
orang lawannya.
"Haiiit..!"
Badra dan Longgata benar-benar
telah terjepit oleh lingkaran sinar
pedang gadis jelita itu. Mereka hanya
dapat menangkis tanpa mempunyai kesem-
patan untuk membalas. Dan ketika Ke-
nanga melompat disertai teriakan dan
ayunan pedang, kedua orang tokoh sesat
itu tidak mampu lagi menghindar.
Wuuut!
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Kedua orang tokoh sesat itu men-
jerit ngeri ketika pedang di tangan
Kenanga berkelebat dan membeset pang-
kal lengan dan paha mereka.
Dan selagi tubuh keduanya terja-
jar mundur dengan gerakan limbung, Ke-
nanga sudah melompat. Kedua kakinya
langsung menghantam telak dada kedua
orang lawannya.
Bukkk! Desss!
Badra dan Longgata yang merupa-
kan dua di antara Tiga Setan Muara
Gandul, jatuh berdebuk dan langsung
pingsan seketika itu juga. Darah segar
tampak mengalir dari sela-sela bibir
kedua tokoh sesat itu.
Kenanga menghampiri Panji yang
melemparkan senyum kepadanya. Wajah
gadis jelita itu tampak kemerahan den-
gan bintik-bintik keringat yang meng-
hiasi wajahnya. Dalam keadaan seperti
itu, Kenanga terlihat semakin menonjol
kecantikannya.
"Bagaimana, Kakang? Apakah kau
sudah menemukan Ki Jampala?" tanya ga-
dis jelita itu seraya tersenyum manis.
"Sudah. Bahkan aku berhasil men-
gorek keterangan tentang pimpinannya.
Tapi sayang, aku tidak berhasil mence-
gah orang-orang desa yang menghukum
orang tua itu dengan cara mereka sen-
diri," sahut Panji agak sedikit kece-
wa.
"Hm.... Lalu, bagaimana dengan
kedua orang tokoh sesat ini? Bukankah
mereka dapat membahayakan nyawa pendu-
duk apabila tidak dibunuh?" tanya Ke-
nanga yang masih mengkhawatirkan nasib
penduduk Desa Kemang apabila kedua to-
koh sesat itu dibiarkan begitu saja.
"Mereka telah terluka parah dan
tidak mungkin sembuh dalam waktu sing-
kat."
Setelah berkata demikian, Panji
mengulapkan tangannya memanggil salah
seorang penduduk yang nampaknya cukup
berpengaruh.
Setelah berpesan agar kedua to-
koh sesat itu dilepaskan setelah mere-
ka tersadar dari pingsannya nanti,
Panji dan Kenanga segera meninggalkan
Desa Kemang untuk mencari Biang Iblis
Tangan Hitam yang menjadi sumber keru-
suhan di desa itu.
TUJUH
Siang itu, matahari memancar te-
rik. Tampak sesosok tubuh ramping ber-
baju merah tengah berlari cepat sambil
menekap bahu kirinya yang tergantung
lemah. Dari sela-sela jari tangan ka-
nannya, nampak cairan merah merembes
keluar. Jelas, gadis jelita berbaju
merah itu tengah menderita luka.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau
melarikan diri, Dewi Baju Merah! Biar
sampai ke ujung langit pun, akan tetap
kukejar!" teriak seorang lelaki seten-
gah baya sambil berlari mengejar gadis
jelita berbaju merah itu. Sedang di
belakang lelaki itu, terlihat beberapa
sosok tubuh lain yang ikut pula menge-
jar.
"Ohhh...!"
Gadis jelita berbaju merah itu
mengeluh sambil memijat lukanya yang
semakin terasa panas dan perih. Rasa
sakit yang semakin menyiksanya itu
membuat gadis itu menggigit bibirnya
kuat-kuat
Tak berapa lama kemudian, gadis
yang dipanggil Dewi Baju Merah itu mu-
lai memasuki daerah perbukitan. Jalan
yang dipenuhi batu dan menanjak itu,
membuat kedua kakinya terasa berat un-
tuk melangkah. Meskipun beberapa kali
hampir terjatuh, ia terus saja berusa-
ha untuk melepaskan diri dari kejaran
orang-orang yang semakin dekat di be-
lakangnya.
Karena kedua kakinya sudah tidak
kuat lagi berlari, akhirnya setelah
melewati jalan menanjak dan berbatu,
Dewi Baju Merah terjatuh di atas tanah
berumput kering yang merupakan tanah
lapang cukup luas.
Di saat gadis jelita itu berusa-
ha bangkit, tahu-tahu saja para penge-
jarnya telah tiba pula di tempat itu.
"Ha ha ha...! Sudah kubilang,
kau pasti akan dapat kutangkap. Nah!
Lihatlah sendiri!" ujar laki-laki se-
tengah baya yang memiliki kening lebar
itu.
"Keparat kau, Setan Hitam! Kalau
ingin membunuhku, bunuhlah! Aku tidak
takut menghadapi kematian!" bentak ga-
dis jelita itu tanpa rasa gentar sedi-
kit pun. Sepasang matanya yang bulat
menatap galak.
"Ha ha ha..,! Tidak semudah itu,
Dewi Baju Merah! Kau kira aku tidak
tahu, siapa kau sebenarnya? Dengan
adanya kau di tangan kami, Adipati
Kerta Lungga akan menuruti semua per-
mintaan kami."
Setelah berkata demikian, mele-
daklah tawa lelaki berkepala separuh
botak itu. Tawanya segera disambut ka-
wan-kawannya.
"Jangan coba-coba menggertakku,
Langgawe! Sebelum sempat memberitahu
kan ayahku, tubuhku hanya akan menjadi
mayat yang tak berarti!" teriak Dewi
Baju Merah
Ternyata dia adalah seorang pu-
tri adipati. Setelah berkata demikian,
gadis jelita itu mengayunkan belati
yang sudah dicabut ke dadanya sendiri.
Tring!
Belum lagi belati itu sempat
terhunjam di dada Dewi Baju Merah, se-
berkas sinar putih berkelebat dan te-
pat mengenai belati yang siap dihun-
jamkan. Gadis jelita itu memekik ter-
tahan melihat belatinya terpental aki-
bat hantaman batu kerikil sebesar ibu
jari kaki.
"Hm.... Gadis inikah yang telah
berani mati menyelidiki tempat kita,
Langgawe? Benarkah dia putri Adipati
Kerta Lungga?" tegur sebuah suara se-
rak menggetarkan.
Wajah laki-laki yang keningnya
lebar hingga ke ubun-ubun, berubah pu-
cat ketika mendengar suara berat itu.
Cepat tubuhnya berbalik, dan langsung
berlutut begitu melihat seorang kakek
berusia sekitar delapan puluh tahun
telah berdiri di situ.
"Ampun, Ketua. Gadis inilah yang
telah menyatroni tempat kita," sahut
Langgawe sambil tetap bersujud dan me-
nundukkan wajahnya dalam-dalam. Gera-
kan Langgawe itu diikuti kawan-
kawannya yang lain.
"Hm.... Biang Iblis Tangan Hi-
tam! Perlu kau ketahui! Semua perbua-
tanku, sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan ayahku! Kalau ingin
menghukumku, hukumlah! Aku, Serimpi,
pantang takut menghadapi kematian!"
tantang Dewi Baju Merah yang ternyata
bernama Serimpi.
Serentak gadis itu berdiri, lalu
menatap tajam ke arah kakek yang ber-
juluk Biang Iblis Tangan Hitam. Sama
sekali tidak diperlihatkan rasa takut
maupun gentar.
"He he he.... Seperti yang Lang-
gawe katakan tadi, dengan adanya kau,
maka kami akan memaksakan kehendak ka-
mi kepada ayahmu," tegas kakek itu se-
raya terkekeh serak.
"Bangsat! Hiaaat...!"
Dewi Baju Merah yang sudah tidak
dapat menahan amarah langsung melompat
dengan pukulan tangan kanan yang me-
luncur deras ke dada kakek itu.
Biang Iblis Tangan Hitam sama
sekali tidak bergerak dari tempatnya.
Dengan sikap tenang, tangannya diulur-
kan menyambut pukulan gadis itu. Se-
rangkum hawa yang amat kuat membentur
tubuh Dewi Baju Merah.
Bukkk!
Gadis jelita itu mengeluh terta-
han ketika tubuhnya terbanting kembali
ke atas tanah berumput kering.
"He he he...! Anak nakal, kau
harus diberi pelajaran terlebih dahu-
lu!"
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkahkan kakinya, mendekati
Dewi Baju Merah. Tangan kanannya teru-
lur hendak menjambret lengan gadis
itu.
"Jangan sakiti gadis itu...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan ke-
ras yang disusul berkelebatnya sesosok
tubuh tegap. Begitu tiba, sosok tubuh
itu langsung melepaskan pukulan ke pe-
lipis Biang Iblis Tangan Hitam.
Wuuut! Plakkk!
"Uhhh...!"
Sosok tubuh itu mengeluh terta-
han ketika tangan Biang Iblis Tangan
Hitam yang semula hendak menjamah tu-
buh Dewi Baju Merah digunakan untuk
menangkis serangan. Dan akibatnya, so-
sok tubuh itu terpental balik.
Namun orang itu ternyata sangat
gesit! Dengan beberapa kali salto, ke-
dua kakinya mendarat kokoh di atas ta-
nah berumput.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu den-
gan Serimpi?" bentak Biang Iblis Tan-
gan Hitam.
"Kau tidak perlu tahu hubunganku
dengan Serimpi! Yang penting, bila kau
ingin menyakiti gadis itu, langkahi
dulu mayatku!" tegas sosok tubuh itu
lantang.
Dewi Baju Merah menahan seruan
nya begitu mengenali sosok tubuh yang
menolongnya itu. Sepasang matanya yang
bulat dan indah, nampak menyiratkan
kekhawatiran yang dalam.
Lelaki muda yang datang itu ada-
lah Pandu. Pemuda tampan berkulit ke-
coklatan itu sempat mengerling dengan
sudut mata ke arah Dewi Baju Merah.
"Kau... kau pergilah. Mereka
akan membunuhmu nanti," ujar Dewi Baju
Merah yang bernama asli Serimpi sambil
memandang wajah Pandu dengan cemas.
"Tidak, Serimpi. Untuk menyela-
matkanmu, aku rela mengorbankan selem-
bar nyawaku," sahut Pandu memanggil
Dewi Baju Merah dengan nama yang baru
dikenalinya dari Biang Iblis Tangan
Hitam tadi.
"Kami akan membantumu, Kisanak."
Tiba-tiba terdengar suara halus
yang menggetar karena dikerahkan lewat
tenaga dalam yang amat kuat
Orang-orang yang berada di seki-
tar tempat itu serentak menolehkan ke-
pala ke arah suara itu. Mereka terke-
jut ketika melihat dua sosok tubuh
berpakaian hijau dan putih tengah me-
langkah mendatangi tempat itu. Diam-
diam orang-orang itu menjadi heran.
Karena suara yang terdengar dekat ta-
di, ternyata datang dari orang yang
masih terpisah beberapa belas batang
tombak dari tempat itu.
Dua sosok tubuh yang tak lain
adalah Kenanga dan Panji itu memandang
tajam orang-orang di sekitarnya. Wajah
yang bersih dan tampan itu, tampak
terhias senyum cerah.
"Kaukah yang berjuluk Biang Ib-
lis Tangan Hitam? Tadi aku mendengar
ada orang yang menyebutkan julukan
itu. Itulah yang menyebabkan langkahku
tiba di tempat ini," ujar Panji sambil
meneliti kakek yang berambut panjang
itu.
"Hm.... Kau pasti Pendekar Naga
Putih. Aku telah mengenalmu karena me-
lihat dandanan dan gagang Pedang Naga
Langit yang tergantung di pundakmu,"
sahut kakek itu yang sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan pemuda berju-
bah putih tadi. Sepasang matanya mena-
tap tajam, meneliti sekujur tubuh Pan-
ji.
"Biang Iblis! Kedatanganku kema-
ri untuk menghentikan semua sepak ter-
jangmu. Bukankah sebaiknya kepandaian-
mu itu dipergunakan untuk kebaikan?"
ujar Panji dengan sikap tetap tenang.
"He he he...! Untuk menghentikan
perbuatanku, kau harus dapat mengalah-
kanku, Pendekar Naga Putih. Sekarang
bersiaplah menerima kematianmu," sahut
Biang Iblis Tangan Hitam.
"Heaaat..!"
Tanpa menunggu lawannya bersiap
terlebih dahulu, Biang Iblis Tangan
Hitam sudah melompat sambil mendorong
kan sepasang telapak tangannya ke de-
pan. Serangkum angin dahsyat bergulung
menerjang tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau lawannya
bukanlah tokoh sembarangan, mengerah-
kan seluruh tenaga dalamnya. Kedua
tangannya langsung didorongkan menyam-
but sepasang lengan kakek itu.
Blarrr!
Hebat sekali pertemuan dua ge-
lombang tenaga dalam dahsyat itu. Be-
berapa orang pengikut Biang Iblis Tan-
gan Hitam bahkan sampai terpelanting
roboh dan pingsan seketika. Sedangkan
yang lainnya berlompatan mundur men-
jauhi pertarungan itu.
Baik Panji maupun Biang Iblis
Tangan Hitam, sama-sama terpental be-
berapa tombak ke belakang. Namun, ke-
duanya dapat mendaratkan kakinya di
tanah tanpa menderita luka yang berar-
ti. Hanya saja, tubuh mereka masing-
masing terlihat limbung.
"Kau hebat, Pendekar Naga Putih.
Selama puluhan tahun, baru kali inilah
kutemukan lawan tangguh dan masih mu-
da. Tapi kau jangan berbangga dulu.
Kita lihat saja, apakah kau akan mampu
menahan seranganku selanjutnya," kata
Biang Iblis Tangan Hitam.
Setelah berkata demikian, tubuh
kakek itu kembali melesat dan langsung
melancarkan serangan maut.
Melihat serangan-serangan yang
dahsyat dan menimbulkan deruan angin
keras itu, kedua kaki Panji bergeser
secara bergantian untuk mengelakkan
serangan-serangan lawan. Sesekali Pen-
dekar Naga Putih menangkis dan memba-
las dengan pukulan dan tendangan yang
tidak kalah dahsyat Sehingga pertarun-
gan pun semakin seru dan mendebarkan.
Sementara di tempat lain, Pandu
dan Kenanga telah pula terlibat dalam
sebuah pertarungan sengit. Sedangkan
Dewi Baju Merah hanya dapat menonton
pertarungan itu dengan hati tegang.
Rupanya, gadis jelita itu telah menga-
lami luka dalam yang cukup parah aki-
bat pukulan yang dilancarkan Biang Ib-
lis Tangan Hitam tadi. Sehingga, ia
hanya dapat meremas-remas tangan den-
gan hati cemas.
Pertarungan Panji dan Biang Ib-
lis Tangan Hitam, berlangsung semakin
mendebarkan! Kedua tokoh sakti itu te-
lah sama-sama mengeluarkan ilmu anda-
lan masing-masing.
"Haiiit..!"
Pada jurus kelima puluh enam,
Biang Iblis Tangan Hitam menghantamkan
telapak tangan kirinya ke dada Panji.
Wusss!
Dari telapak tangan kiri kakek
itu, bergulung asap hitam yang mene-
barkan bau amis yang memualkan perut.
Panji bergegas melompat ke samping
sambil melepaskan tamparan ke pelipis
lawan. Namun, telapak tangan kiri ka-
kek itu tahu-tahu saja bergerak berpu-
tar, dan langsung mendarat di perut
Panji.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Pendekar Naga Putih mengeluh
pendek. Tubuhnya terlempar mundur
hingga dua batang tombak jauhnya. Pen-
dekar muda itu mampu menguasai keseim-
bangan tubuhnya dengan baik, sehingga
tidak sampai terjatuh karena pukulan
yang amat kuat itu. Dari sela-sela bi-
birnya, terlihat cairan merah merembes
keluar. Pukulan 'Asap Hitam' yang men-
gandung racun itu ternyata telah melu-
kai bagian dalam tubuhnya.
Bergegas Panji mencabut Pedang
Naga Langit, dan menorehkan ujungnya
pada luka di perutnya. Dalam sekejap
saja, racun di tubuh pemuda itu telah
lenyap terhisap pedang pusaka itu. Dan
kulit perutnya yang semula kehitaman
kembali berubah seperti sediakala
"He he he...! Pedang hebat itu
tidak pantas menjadi milikmu, Pendekar
Naga Putih! Serahkan saja padaku!"
bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
Laki-laki tua itu begitu terpu-
kau melihat perbawa dan kemukjizatan
Pedang Naga Langit yang berada di tan-
gan Panji. Dan sebentar kemudian, tu-
buh kakek itu langsung melompat dengan
cengkeraman kedua tangannya. Cengkera
man kiri mengarah ubun-ubun dan ceng-
keraman kanannya meluncur, hendak me-
rebut pedang di tangan kanan Pendekar
Naga Putih.
Wuuut! Wuuut!
Panji melangkah mundur menghin-
dari cengkeraman maut itu. Berbarengan
dengan itu, tangan kanannya bergerak
menyabetkan pedang ke tangan kanan la-
wan yang mencengkeram ubun-ubun
Gulungan sinar kuning keemasan
itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam
tersentak kaget. Dicobanya untuk mena-
rik pulang tangan kirinya. Namun
sayang, kakek itu kalah cepat. Dia ti-
dak sempat lagi menyelamatkan tangan
kirinya dari sambaran pedang.
Wuuut! Crakkk!
"Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam menje-
rit parau ketika mata pedang membabat
buntung tangan kirinya hingga sebatas
pergelangan. Cepat tubuhnya dilempar
ke belakang sejauh empat batang tombak
untuk menghindari sambaran pedang yang
masih terus berkelanjutan.
Wuuut! Wuuut...!
Seluruh wajah Biang Iblis Tangan
Hitam pucat. Karena pada saat kedua
kakinya baru menjejak tanah, tubuh
Panji sudah melesat menerjang. Dalam
kemarahannya, pemuda perkasa itu telah
mengeluarkan jurus pamungkas 'Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Hebat bukan main jurus terakhir
'Silat Naga Sakti' itu. Sebentuk sinar
kekuningan bagai bulatan itu berpendar
menyilaukan pandangan lawan. Dari bu-
latan sinar pedang itu, kadang-kadang
menyembul ujung pedang yang bagaikan
puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu
membuat Biang Iblis Tangan Hitam men-
jadi buram pandangannya, sehingga ti-
dak mengetahui ujung pedang yang meru-
pakan aslinya. Maka...
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam meraung
dahsyat menggetarkan sekitarnya. Darah
segar langsung memercik membasahi re-
rumputan kering ketika mata pedang
Pendekar Naga Putih merobek tubuhnya
beberapa kali. Tanpa dapat dicegah la-
gi, tubuh tua itu ambruk dan tewas
bermandikan darahnya sendiri.
"Kakang! Kau tidak apa-apa?"
tanya Kenanga khawatir.
Gadis jelita yang sudah menyele-
saikan pertarungannya bersama Pandu
semenjak tadi, cepat memeriksa perut
Panji. Baju pada bagian perut pemuda
itu terlihat hangus bagaikan terbakar
api. Dan luka akibat goresan Pedang
Naga Langit tampak mengeluarkan darah,
meskipun tidak banyak. Tapi hal ini
telah membuat hati dara jelita itu ce-
mas karenanya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga,"
sahut Panji seraya tersenyum lembut.
Dibelainya rambut kepala gadis jelita
itu penuh kasih.
"Syukurlah, Kakang," desah Ke-
nanga seraya memeluk tubuh pemuda pu-
jaannya itu.
"Kami berdua mengucapkan terima
kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Ta-
pi, urusan ini belum selesai seluruh-
nya. Sebab menurut Serimpi, di tempat
kediaman Biang Iblis Tangan Hitam ba-
nyak terdapat tawanan yang harus dibe-
baskan," jelas Pandu sambil membungkuk
hormat kepada Panji.
Sementara itu, Serimpi yang lu-
ka-lukanya sudah disembuhkan Kenanga,
berdiri di belakang Pandu. Wajah gadis
itu tampak segar, pertanda telah be-
nar-benar sembuh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayolah
kita ke sana," sahut Panji.
"Mari, ikuti aku!" ujar Serimpi yang
menjadi penunjuk jalan.
Pandu, Kenanga, dan Panji segera mele-
sat mengi-kuti gadis jelita berbaju
merah itu.
***
DELAPAN
"Hm..., Rupanya di sinilah sa-
rang Biang Iblis itu," gumam Panji be-
gitu mereka tiba di depan sebuah bangunan besar di dalam Hutan Kemang.
Keempat orang pendekar muda itu berge-
gas memasuki halaman bangunan be-
sar.itu. Belasan orang anak buah Biang
Iblis Tangan Hitam yang mencoba meng-
halangi, satu persatu ambruk dihajar
keempat biang itu.. Setelah semua
penghalang tak berkuak, mereka berge-
gas menuju tempat tawanan disimpan.
Panji, Kenanga, Pandu, dan Serimpi
bergegas membuka pintu-pintu berjeruji
yang mengurung puluh-an orang wanita.
Mereka berumur sekitar enam betas sam-
pai dua puluh tahun dan nampak pucat
serta basah oleh air mata. Mereka ada-
lah gadis-gadis desa yang diculik oleh
begundal-begundal Biang Iblis Tangan
Hitam sebagai pemuas nafsu pemimpin-
pemimpin mereka.
Pandu yang ikut membebaskan ga-
dis-gadis itu terpaku ketika menatap
seorang gadis berwajah bulat telur dan
sangat manis. Setitik tahi lalat, tam-
pak menghias sudut bibir sebelah ki-
rinya.
"Kau... kau. Siapakah namamu,
dan di mana tinggalmu?" tanya Pandu
agak gugup.
Sejenak dalam benak pemuda itu
terlintas wajah kedua orang tua dan
adik perempuannya yang telah lama di-
carinya. Dan tentu saja wajah adiknya
masih jelas tergambar dalam benak.
Gadis berwajah bulat telur yang manis
itu, menunduk malu karena sepasang ma-
ta Pandu seperti menjelajahi seluruh
wajahnya.
"Namaku Ratih, dan tempat ting-
galku di Desa Surungan," sahut gadis
itu tersipu.
"Hei? Untuk apa kau tanya-tanya
nama orang? Kau suka, ya?" tegur Se-
rimpi.
Gadis yang berjuluk Dewi Baju
Merah itu tahu-tahu saja sudah berada
di samping Pandu. Nada suaranya ter-
dengar ketus dan galak. Sehingga Pandu
sempat terkejut karenanya. Namun, pe-
muda itu seperti tidak mempedulikan.
"Ratih.... Kau..., apakah ayahmu
bernama Ki Sumareja dan ibumu bernama
Wilarsih?" tanya Pandu.
Tubuh pemuda itu menggigil karena te-
gang. Sehingga, ia tidak lagi mempedu-
likan sepasang mata yang menatap galak
ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan ma-
ta Serimpi.
"Bagaimana Kakang dapat mengeta-
huinya?" tanya Ratih, bingung.
Gadis itu merasa heran mendengar
nama orang tuanya diketahui pemuda
itu. Seketika wajahnya di angkat penuh
menyelidik.
"Ah! Ratih, Adikku. Apakah...
apakah kau sudah tidak mengenali ka-
kangmu?" sahut Pandu yang sudah tidak
tahan untuk memeluk tubuh adik perem-
puannya itu. Kedua tangan pemuda itu
tampak bergetar bagaikan menderita ke-
jang.
Ratih semakin heran ketika men-
dengar pertanyaan pemuda tampan berku-
lit kecoklatan itu. Sepasang matanya
yang bening memandang wajah pemuda itu
sambil mengerutkan keningnya dalam-
dalam.
"Kau..., kau. Benarkah kau Ka-
kang Pandu?" tanya Ratih dengan bibir
bergetar menahan keharuan yang dalam.
Sepasang matanya tampak mulai digenan-
gi air mata.
"Ratih, Adikku...!" sebut pemuda
itu.
Pandu yang benar-benar sudah me-
rasa yakin kalau gadis itu adalah
adiknya, langsung mengem-bangkan tan-
gan lebar-lebar. Direngkuhnya tubuh
gadis itu dalam pelukannya. Sepasang
matanya sudah basah oleh air mata yang
meluncur turun dengan derasnya.
"Kakang...," desah gadis itu se-
rak di antara isak tangisnya yang me-
milukan.
"Ahhh! Ratih, Adikku. Kau sudah
besar dan can-tik," desah Pandu seraya
melepaskan pelukan dan menatapi wajah
adiknya penuh kasih.
Serimpi, Kenanga, dan Panji me-
malingkan wajah-nya karena tak tahan
menyaksikan pertemuan yang mengharukan
itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita antar
kan saja dulu gadis-gadis ini. Peluk
cium kalian bisa dilanjutkan nanti!"
ujar Serimpi yang membuat Pandu dan
Ratih tersadar kalau perbuatan mereka
dilihat banyak orang.
Dengan wajah tersipu, Pandu dan Ratih
melepaskan pelukannya meskipun tetap
berpegangan tangan Kemudian, mereka
bergegas mengikuti Serimpi dan para
gadis-gadis tawanan yang sudah berja-
lan lebih dahulu.
"Maaf, Pandu, Serimpi. Aku ter-
paksa tidak bisa menemani kalian. Aku
dan Kenanga harus melanjut-kan perja-
lanan. Nah, sampai jumpa," pamit Panji
yang tanpa menunggu jawaban sudah me-
lesat meninggalkan tempat itu bersama
Kenanga.
Pandu, Serimpi, Ratih dan yang
lainnya hanya dapat memandangi keper-
gian kedua orang pendekar itu dengan
penuh rasa terima kasih. Tak lama ke-
mudian, mereka segera meninggalkan
bangunan besar itu untuk mengantarkan
gadis-gadis tawanan ke kampung hala-
mannya.
"Bagaimana kabar ayah, Adikku?
Apakah baik-baik saja?" tanya Pandu
yang sudah tidak sabar ingin mengeta-
hui nasib orang tuanya.
"Ayah baik-baik saja, Kakang.
Namun, ibu telah tewas di tangan orang
yang baru kuketahui sebagai pemberon-
tak. Berbulan-bulan kami mencarimu se
menjak kita terpisah. Namun sayang ka-
mi tidak berhasil menemukanmu. Hingga
ayah putus asa. Ahhh, ayah pasti akan
sangat gembira melihat dirimu selamat,
Kakang," sahut Ratih seraya tersenyum
bahagia.
Pandu tidak terkejut lagi men-
dengar kematian ibunya. Kabar itu me-
mang pernah didengar ketika dia menca-
ri-cari keluarganya.
Pandu mengelus rambut kepala
adiknya penuh kasih sayang. Sekilas
diliriknya Serimpi yang me-langkah ti-
dak jauh dari mereka berdua. Melihat
wajah gadis berbaju merah itu agak
cemberut, pemuda itu pamit kepada
adiknya sebentar dan memberanikan diri
mendekati Serimpi.
"Serimpi, bolehkah aku bicara
denganmu sebentar?" pinta Pandu dengan
hati berdebar tegang. Wajah pemuda itu
tampak agak memucat karena terbawa pe-
rasaannya.
"Hm.... Apa yang ingin kau bica-
rakan, katakan-lah," sahut gadis jeli-
ta itu. Suaranya masih tetap ketus.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara
berdua saja?" tanya Pandu semakin ber-
tambah berani.
Memang, pemuda itu merasa harus
mendapat keputusan dari gadis jelita
itu sekarang juga. Sebab kesempatan
seperti itu mungkin tidak akan dite-
muinya lagi.
"Hm...."
Meskipun Serimpi tidak menyahut,
gadis itu melangkah juga mengikuti
Pandu yang berjalan ke tepi.
"Serimpi. Aku..., aku ingin ber-
terus terang kepadamu. Semenjak perte-
muan kita pertama dulu, aku..., aku
telah jatuh cinta kepadamu. Apakah,
apakah aku bertepuk sebelah tangan?"
tanya Pandu dengan wajah semakin pucat
Bibir gadis jelita itu tampak
menyunggingkan senyum meskipun hanya
sekejap. Dan wajah gadis itu berubah
kembali seperti semula, galak dan ang-
kuh.
"Hm.... Datang saja ke Istana
Kadipaten Bangkalan. Di sana kau bisa
mengetahui jawabannya," sahut gadis
yang berjuluk Dewi Baju Merah itu
singkat
"Hahhh! Kau... kau...."
"Benar! Kau takut?" potong Se-
rimpi cepat. Gadis itu sudah menduga
kalau Pandu akan terkejut mendengar
jawabannya tadi. Sengaja gaun dirinya
dibuka untuk menguji sampai di mana
dalamnya perasaan cinta pemuda itu
terhadapnya.
"Ah! Bukan begitu, aku...,” Pan-
du semakin gugup mendengar pertanyaan
yang terdengar agak sinis itu.
“Apa sih' yang ingin kau kata-
kan?” Sejak tadi bisamu cuma aku..,
aku saja!" bentak Serimpi tak sabar,
sehingga membuat beberapa orang gadis
menoleh ke arah mereka dan tersenyum
geli.
"Hmm... Serimpi, aku hanyalah
seorang rakyat biasa, dan rasanya me-
mang tidak pantas mengharapkan balasan
cintamu. Melihat kau tidak marah men-
dengar pernyataanku tadi pun, sebenar-
nya sudah merupakan anugerah bagiku.
Maafkanlah kelancanganku. Aku tidak
tahu kalau kau adalah Gusti Ayu Serim-
pi yang seharusnya kuhormati," jelas
Pandu.
Hati pemuda itu merasa rendah di-
ri begitu mengetahui kalau gadis jeli-
ta itu adalah seorang putri adipati.
Sebentar kemudian, pemuda itu melang-
kah lesu meninggalkan Serimpi yang
menjadi tertegun dibuatnya.
"Kalau memang tidak suka memper-
sunting ku, ya sudah! Sana pergi! Tan-
gisi saja nasibmu!" bentak Serimpi di
antara isak tangisnya yang lirih.
Pandu menghentikan langkahnya,
seolah-olah tidak percaya dengan pen-
dengarannya. Tapi ketika melihat Se-
rimpi membalikkan wajahnya, pemuda itu
bergegas menjatuhkan tubuhnya. Lang-
sung diambil-nya tangan kanan gadis
jelita itu, lalu tanpa ragu dike-
cupnya dengan mesra.
"Gusti Ayu Serimpi. Apakah Gusti
sudah menerima cinta dari rakyat
miskin seperti hamba?" tanya Pandu se
raya menengadahkan kepalanya menatap
wajah yang nampak basah oleh air mata
itu.
Serimpi tidak menyahut. Tangan-
nya ditarik perlahan-lahan dari geng-
gaman pemuda itu. Kemudian, dia mele-
sat meninggalkan tempat itu.
"Awas kau, Pemuda Bodoh! Kalau
tidak datang ke kadipaten, maka aku
akan menyusulmu ke Desa Surungan!" ti-
ba-tiba terdengar suara Serimpi dari
kejauhan
Pandu tersenyum lebar mendengar
suara gadis jelita pujaan hatinya itu.
"Benar-benar seorang gadis aneh
dan galak," gumam Pandu sambil melang-
kah mendekati adiknya.
Angin senja berhembus lembut se-
makin menyegarkan perasaan Pandu yang
tengah berbahagia itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar