SATU
Malam semakin larut. Sang Dewi Malam yang semula
bersinar cerah, tampak mulai redup. Sebagian
wajahnya tertutup awan kelabu. Hembusan angin
bertambah kencang membawa hawa dingin menusuk
tulang. Kendati demikian, suasana itu sama sekali
tidak membuat binatang malam menghentikan
senandungnya.
Sesosok tubuh tinggi kurus menghentikan larinya
di mulut sebuah hutan kecil. Ia berdiri tegak
memandang berkeliling. Namun sejauh mata
memandang, hanya kepekatan yang dilihatnya.
Terdengar helaan napasnya. Kedua kakinya
melangkah lambat-lambat sambil tetap mengawasi
sekitar tempat itu.
"Bagus, Sagotra! Aku senang kau mau datang...."
Suara parau yang mirip sebuah desahan berat itu
membuat Sogatra memutar tubuhnya. Sepasang
matanya berkilat tajam, menatap sosok yang agak
tersembunyi di kegelapan bayang pepohonan.
"Hua ha ha haaahhh...!"
iba-tiba saja sosok bertubuh pendek itu tertawa
keras hingga tubuhnya yang gemuk terguncang-
guncang.
"Hm..., mengapa kau masih menggangguku,
Harimau Gila? Apa lagi yang kau inginkan dariku?"
tegur lelaki kurus bernama Sagotra, menyembunyikan
kemarahan.
"Sagotra... Sagotra, tahan dulu amarahmu! Apakah
di antara sahabat tidak boleh saling mengunjungi...?"
sahut lelaki pendek gemuk yang disebut dengan
julukan Harimau Gila.
"Kita tidak lagi bersahabat, Harimau Gila!" tegas
Sagotra dengan tatapan semakin mencorong. "Masa
lalu yang bergelimang dosa sudah kulupakan! Dan
sekarang kau tidak akan bisa lagi memaksaku untuk
melakukan kesalahan kembali!"
Sosok gemuk pendek di kegelapan bayang
pepohonan kembali memperdengarkan gelak tawa-
nya yang aneh. Kemudian mengayunkan langkah
mendekati tempat Sagotra berdiri. Kurang lebih satu
tombak, langkahnya terhenti.
"Sagotra," ujar Harimau Gila dengan menentang
mata Sagotra, "Untuk kedua kalinya, aku terpaksa
mengganggu kehidupanmu. Kuharap kau tidak
menolak permintaanku ini. Ingat, aku bukan saja bisa
membuka kebusukanmu di depan anak dan istrimu!
Tapi, aku juga bisa melibatkan namamu dalam
kematian Kakek Jubah Hitam!"
"Bangsat licik..! Kau... benar-benar iblis, Harimau
Gila!"
Bukan main murkanya Sagotra demi mendengar
ancaman Harimau Gila. Peristiwa terbunuhnya tokoh
golongan putih berjuluk Kakek Jubah Hitam, melintas
sesaat dalam benaknya. Secara langsung ia memang
terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Hal itu
dilakukannya dengan sangat terpaksa, karena
ancaman Harimau Gila. Namun, Harimau Gila yang
berjanji tidak akan mengganggunya lagi setelah itu,
ternyata mengingkarinya. Harimau Gila kembali
mengirimkan sepucuk surat kepadanya, minta untuk
bertemu di mulut hutan kecil di luar Desa Kranggan.
"Terpaksa kulakukan, Sagotra. Mulanya aku
memang berjanji untuk tidak akan mengganggumu
lagi, setelah kau menolongku melenyapkan Kakek
Jubah Hitam, beberapa hari lalu. Tapi..., kali ini aku
bersungguh-sungguh! Jika kau mau membantuku,
aku tak akan mengusikmu lagi. Aku membutuhkan
bantuanmu, Sagotra...," ujar Harimau Gila yang
kemudian menundukkan kepalanya. Seolah ia
merasa bersalah telah mengingkari janjinya.
"Tidak!" tandas Sagotra. "Cukup sekali saja kau
menipuku! Seharusnya sejak semula aku sadar,
bahwa janji sama sekali tidak berarti bagi orang
sepertimu! Dan jika kali ini aku masih menuruti
kehendakmu, sudah pasti kau akan terus meminta
dengan ancaman yang serupa!"
Setelah berkata demikian, Sagotra memutar
tubuhnya, hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu, Sagotra...!" cegah Harimau Gila mem-
bentak.
Sagotra terpaksa menghentikan langkahnya. Tapi
ia tidak berbalik, tetap membelakangi Harimau Gila.
"Dengar, Sagotra!" lanjut Harimau Gila, "Jika kau
berkeras hendak pergi dan menolak permintaanku,
berarti kau harus siap menerima kehancuran dalam
hidupmu! Kau akan dikutuk dan dimusuhi oleh anak
dan istrimu! Sementara, tokoh-tokoh persilatan
golongan putih akan memburumu, menuntut tang-
gung jawabmu atas kematian Kakek Jubah Hitam.
Kau bukan cuma akan kehilangan kebahagiaan,
Sagotra, tapi hidupmu pun akan hancur! Pikirkanlah,
betapa sempitnya dunia ini jika apa yang kukatakan
itu benar-benar terjadi..."
Sagotra terpaksa memutar tubuh, menghadapi
Harimau Gila. Apa yang dikatakan Harimau Gila,
memang harus diakui kebenarannya. Ngeri hatinya
membayangkan kehidupan seperti yang digambarkan
Harimau Gila. Terlebih bayangan tentang anak dan
istrinya, yang akan berbalik memusuhinya. Bayangan
hari-hari mengerikan itu, membuat wajahnya menjadi
pucat!
"Tapi, jika kau bersedia membantuku lagi,
kehidupan yang mengerikan itu tidak akan pernah
terjadi..." Harimau Gila melanjutkan ucapannya, se-
waktu melihat Sagotra mulai terpengaruh.
Tidak terdengar tanggapan dari Sagotra. Lelaki
tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun ini
tampak menggeleng perlahan, disertai helaan napas
berat yang berkepanjangan. Kedudukannya memang
serba salah. Menuruti kehendak Harimau Gila, berarti
mengingkari janji pada dirinya sendiri. Dirinya telah
bertekad meninggalkan kesesatan untuk selama-
lamanya. Namun, jika ia menolak, bayangan hari-hari
mengerikan yang digambarkan Harimau Gila,
kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Karena
rahasia masa lalunya diketahui Harimau Gila.
Sehingga Sagotra menjadi bingung tak tahu harus
memilih yang mana.
"Mengapa kau sampai hati melakukan semua ini
terhadap diriku, Harimau Gila? Bukankah aku tak
pernah mengganggu ataupun menyakitimu? Bahkan
sampai saat ini pun aku masih tetap meng-
ganggapmu sebagai seorang sahabat baik..." Ucapan
lemah Sagotra terdengar memecah kesunyian di
antara mereka. Dalam ucapannya tergambar jelas
nada keputusasaan.
"Hmmm, mengapa kau menjadi cengeng,
Sagotra?" ejek Harimau Gila. Hatinya sama sekali tak
tersentuh melihat wajah Sagotra yang terselimut
kedukaan. "Padahal aku sama sekali belum me-
lakukan apa-apa terhadapmu? Kebahagiaanmu
masih utuh. Istri dan anakmu masih tetap men-
dampingimu dan menyayangimu. Dan aku cuma
meminta sedikit bantuan darimu! Itu saja, tidak
lebih!"
"Tapi bantuan yang kau inginkan itu membuat
diriku kembali terseret ke dalam lumpur kenistaan!"
tukas Sagotra menggeram marah. Tubuhnya gemetar
dengan mata melotot. Dadanya bergelombang me-
nahan amarah.
Harimau Gila mendengus kasar. Kakinya me-
langkah mundur sewaktu melihat sikap Sagotra
seperti hendak menerkam tubuhnya. Namun, Sagotra
sendiri sudah mengurungkan niatnya. Munculnya
empat sosok tubuh dari kiri-kanan dan langsung
mengapit tubuh Harimau Gila, membuat Sagotra
sadar kalau dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Bagaimana, Sagotra?" desak Harimau Gila
menuntut jawaban Sagotra. Sagotra berdiri me-
matung. Ia tidak menjawab, tidak menggeleng
ataupun mengangguk. Namun sikap itu dianggap
Harimau Gila sebagai sikap menerima. Maka bibir
lelaki pendek gemuk ini pun mengulas senyum
kemenangan.
"Siapa tokoh yang menjadi musuhmu kali ini...?"
tanya Sagotra sekadar ingin tahu.
"Pendekar Clurit Perak. Ia sudah terlalu banyak
menewaskan golongan kita. Orang seperti tokoh itu
harus segera dilenyapkan...!" sahut Harimau Gila,
membuat Sagotra kelihatan agak kaget.
"Pendekar Clurit Perak...!?" desisnya dengan
kening berkerut Namun, sewaktu Sagotra meng-
angkat kepala, Harimau Gila dan keempat kawannya
sudah melesat meninggalkan tempat itu. Pikirannya
menerawang, terkenang pada awal kemunculan
Harimau Gila, yang mengusik kebahagiaannya.
***
Seperti biasanya, setiap pagi Sagotra duduk di
taman belakang rumahnya. Namun pada pagi itu
ketenangannya terusik oleh suara bergegas yang
mendatanginya. Dia yang sudah siap mendamprat
pemilik langkah suara itu, terpaksa harus menelan
kembali kata-kata yang sudah berada di ujung
lidahnya. Karena pemilik suara langkah kaki itu
ternyata putrinya sendiri. Karuan saja wajah masam
Sagotra berganti senyum.
"Ayah..."
Andari, putri tunggal Sagotra, berlari-lari kecil
mendatangi. Gadis belia berusia sekitar enam belas
tahun ini tampak begitu riang.
"Ada apa, Andari...?" tanya Sagotra tersenyum
membiarkan Andari menggayuti tubuhnya. Gadis
remaja nan cantik rupawan ini memang sangat
manja. Sagotra sendiri memakluminya. Karena ia
memang sangat sayang dan memanjakan putri
tunggalnya itu.
"Di luar ada tamu, yang katanya sahabat lama
Ayah," jawab Andari dengan tubuh terus bergerak-
gerak membuat tubuh ayahnya yang duduk di atas
kursi ikut terguncang. "Tapi aku tidak begitu suka
melihatnya, Ayah. Apalagi caranya memandangiku.
Seperti harimau kelaparan!" lanjutnya sambil
memonyongkan mulut, memperlihatkan ketidak-
sukaannya.
"Sahabat lama Ayah...?!" desis Sagotra agak heran.
Karena selama belasan tahun ia tidak lagi ber-
hubungan dengan dunia luar, selain warga desa yang
dipimpinnya. Sagotra adalah Kepala Desa Kranggan.
Datangnya tamu yang mengaku sebagai sahabat
lamanya, membuat kening Sagotra berkerut "Apakah
orang itu tidak menyebutkan namanya...?" tanyanya.
"Tidak, Ayah. Cuma, orang itu bilang kalau Ayah
pasti akan segera tahu apabila melihatnya..."
"Hm...," Sagotra menggumam perlahan. Kemudian
bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Sedang
Andari menggantikan duduk memandangi tanaman
bunga kesukaannya yang sedang bermekaran.
Tiba di ruang tamu, Sagotra mendapati seorang
lelaki pendek gemuk yang pada pipi sebelah kirinya
terdapat luka memanjang. Sehingga sudut bibir
sebelah kirinya agak menjungkat. "Memang tidak
salah penilaian Andari," pikirnya. Wajah tamu itu
membuat orang merasa kurang suka. Terlebih
sepasang matanya yang selalu jelalatan dan menyem-
bunyikan kelicikan.
"Harimau Gila...?!" terka Sagotra setelah mem-
perhatikan tamunya beberapa saat. Kerutan ke-
heranan pada wajahnya mendadak lenyap, berganti
dengan kekagetan, yang kemudian segera ditekan-
nya.
"Kaget melihatku, Sagotra...?" tegur suara serak
lelaki pendek gemuk itu. Mulutnya tersenyum tipis.
Rupanya gambaran kekagetan yang hanya sekilas di
wajah Sagotra dapat ditangkapnya.
Begitu mengenali siapa tamunya, ingatan Sagotra
langsung menerawang ke masa belasan tahun silam.
Waktu itu Harimau Gila memang merupakan sahabat-
nya yang cukup dekat. Bahkan pernah dirinya be-
berapa kali membantu Harimau Gila, yang merupakan
kepala rampok dengan pengikut yang cukup banyak.
Sagotra sendiri bukan orang baik-baik. Dia me-
rupakan seorang tokoh sesat tunggal, yang malang
melintang mengandalkan kepandaiannya. Tidak me-
miliki pengikut seorang pun, karena memang lebih
suka bekerja sendiri. Sagotra paling tidak suka terikat
oleh siapa pun atau perkumpulan sesat apa pun.
Namun tetap tidak menutup kemungkinan apabila
ada rekan segolongan yang meminta bantuannya.
Tentu dengan imbalan yang diajukannya. Harimau
Gila selalu menghubunginya apabila mangsa yang
diincar memiliki pengawalan yang kuat. Dan dengan
perjanjian membagi dua hasil rampokan, Sagotra pun
sesekali bergabung. Setelah itu pergi dengan mem-
bawa harta rampokan yang menjadi bagiannya.
Itulah yang membuat Sagotra mengenal Harimau
Gila cukup dekat. Harimau Gila sendiri sangat
menyanjung dan memandang tinggi terhadap
Sagotra. Bahkan menganggap sebagai pelindungnya,
kendati Sagotra sendiri tak menghendaki pengakuan
itu. Namun ia tetap datang jika Harimau Gila mem-
butuhkannya untuk melakukan pekerjaan besar.
"Kau sengaja mencariku...?" tanya Sagotra, setelah
mempersilakan Harimau Gila duduk.
"Benar, Sagotra," jawab lelaki gemuk itu masih
tersenyum dan tetap memperlihatkan rasa segannya.
"Kau menghilang begitu saja, membuat aku sempat
kalang-kabut, tak tahu ke mana harus meng-
hubungimu. Tidak adanya kau di antara kami, mem-
buat pekerjaanku berantakan! Sekitar sebelas tahun
silam, ada iring-iringan kereta barang, yang dikawal
jago-jago silat tangguh. Karena tidak berhasil meng-
hubungimu, aku dan kawan-kawan nekat untuk tetap
melakukannya. tapi, siapa sangka kalau orang-orang
yang mengawal iring-iringan kereta barang itu rata-
rata berkepandaian tinggi. Hingga, bukan saja kami
menemui kegagalan, bahkan separo pengikutku
terpaksa harus menerima kematian di tangan
mereka!"
Harimau Gila menghentikan ceritanya, menunggu
tanggapan dari Sagotra. Namun Sagotra terlihat tetap
tenang, tidak menunjukkan perasaan apa pun! Sikap
ini membuat wajah Harimau Gila berkerut.
"Belakangan baru kami tahu, dan ini membuat
kami menyesal telah berlaku ceroboh! Karena iring-
iringan kereta yang kami rampok itu ternyata milik
seorang pembesar kerajaan! Orangku, yang bertugas
sebagai penyelidik, tidak lengkap dalam memberikan
keterangan. Pembesar kerajaan itu murka, lalu
mengirimkan dua lusin pasukan terlatih. Tempat
persembunyian kami diobrak-abrik! Menyadari kalau
pihakku akan kalah, maka aku pun mengambil
keputusan untuk lari menyelamatkan diri. Sebagai
orang buronan, aku pun tidak bisa tinggal di satu
tempat lama-lama. Maka, aku melakukan pengem-
baraan tanpa tujuan, yang sekaligus menghindari
kejaran mereka. Baru setelah kurang lebih lima tahun
hidup sebagai pelarian, aku mulai dilupakan. Teringat
akan dirimu, aku pun tidak menghentikan perjalanan.
Tapi bukan lagi sebagai orang buronan, melainkan
untuk mencari tahu tentang dirimu, mengapa kau
mendadak lenyap tanpa berita? Sampai akhirnya aku
tiba di desa ini, dan mendengar bahwa kepala desa-
nya bernama Sagotra."
"Apakah cuma aku seorang yang bernama Sagotra
di dunia ini?" potong Sagotra tak sabar. Karena ia
memang tidak tertarik dengan cerita Harimau Gila.
"Sebelum datang ke rumah ini, aku sudah banyak
bertanya kepada penduduk tentang gambaran kepala
desanya. Baru kemudian aku merasa pasti kalau
Sagotra Kepala Desa Kranggan adalah Sagotra
sahabatku!" jelas Harimau Gila, kemudian memper-
dengarkan suara tawa sebagai pelampiasan kegem-
biraan hatinya, karena kembali bertemu orang yang
dulu dianggap sebagai pelindungnya itu.
"Hm..., lalu, apa maksudmu datang menemuiku?
apakah cuma sekadar ingin berjumpa dengan kawan
lama, atau kau mempunyai kepentingan lain...?"
tanya Sagotra tanpa senyum sedikit pun, membuat
Harimau Gila menghentikan tawanya. "Perlu kau
ketahui, Harimau Gila, bahwa Sagotra yang sekarang
tidak sama dengan Sagotra yang dulu. Sudah kurang
lebih sebelas tahun aku meninggalkan semua yang
pernah kuperbuat. Aku tidak lagi berhubungan
dengan kekerasan. Di desa ini dan di samping anak-
istriku, kudapatkan ketenangan. Jadi, kalau ke-
datanganmu mempunyai maksud seperti dulu,
sebaiknya lupakan saja! Tapi, selama kau datang
dengan maksud baik, pintuku selalu terbuka untuk-
mu. Kau mengerti maksudku, Harimau Gila...?"
Harimau Gila tidak menjawab. Meski pandang
matanya tertuju ke wajah Sagotra, namun kosong.
Karena ia merasa kaget mendengar penjelasan
Sagotra.
"Dengan sikap yang kau ambil itu, tidakkah merasa
bahwa dirimu telah berkhianat...?" tanya Harimau Gila
setelah dapat menguasai perasaannya. Dan sikapnya
berubah seketika. Tidak lagi ada nada hormat dalan
ucapannya. Namun Sagotra tidak peduli dengan per-
ubahan itu.
"Berkhianat...?!" desis Sagotra menegaskan,
khawatir salah mendengar ucapan tamunya. "Terhadap siapa aku berkhianat? Kau tahu sendiri kalau
selamanya aku tak pernah terlibat oleh orang atau
komplotan apa pun!"
"Tapi, biar bagaimanapun kau tetap merupakan
tokoh golongan sesat! Dan dengan menarik diri dari
dunia sesat, berarti kau telah berkhianat, pada
golonganmu, golongan kita!" ujar Harimau Gila, jelas-
jelas menunjukkan ketidaksenangannya atas sikap
Sagotra.
"Lalu, siapa yang akan menuntutku...?" tanya
Sagotra tersenyum sinis, tahu kalau Harimau Gila
cuma mencari-cari alasan.
"Aku yang akan menuntutmu, juga tokoh-tokoh
golongan sesat lainnya!" tukas Harimau Gila,
menakut-nakuti Sagotra dengan maksud agar bekas
pelindungnya itu kembali merubah sikap.
"Hm..., kalau memang begitu, apa boleh buat..."
Jengkel bukan main Harimau Gila mendengar
ucapan Sagotra, yang sama artinya dengan me-
nantang dirinya. Namun, ia pun bukan orang bodoh,
dia sadar bahwa kepandaiannya berada jauh di
bawah Sagotra.
"Hm...." Tiba-tiba wajah keruh Harimau Gila
kembali cerah. Senyum liciknya terukir, membuat
Sagotra agak heran. "Ada sesuatu yang lupa ku-
ceritakan kepadamu, sewaktu aku masih seorang
buronan, Sagotra...," lanjutnya berteka-teki.
Kepala desa itu menanggapi. Dirinya tahu Harimau
Gila tidak senang dengan sikap yang diambilnya.
Bahkan tahu kalau bekas kepala rampok itu tengah
mencari-cari alasan yang mungkin akan bisa merubah
pendiriannya.
"Waktu itu, aku baru saja lari menyelamatkan diri
meninggalkan tempat dan pengikutku yang dihancur
kan prajurit kerajaan. Aku berlari tanpa tujuan.
Sampai akhirnya tiba di kaki Gunung Dampit, yang
merupakan dua buah pegunungan berhimpit satu
sama lain..."
Harimau Gila menghentikan ceritanya, hendak
melihat tanggapan Sagotra. Namun, lelaki tinggi agak
kurus itu masih tetap membisu, kendati ada sedikit
kerutan di keningnya. Dan itu sudah cukup menim-
bulkan senyum dingin di bibir Harimau Gila.
"Tidak disangka, aku tiba bertepatan dengan
serombongan orang, yang hendak menuju ke suatu
tempat. Kau tahu siapa rombongan itu, Sagotra...?"
tanya Harimau Gila menyunggingkan senyum
misterius.
"Aku bukan saja tidak tahu siapa rombongan itu,
Harimau Gila. Tapi aku juga tidak mengerti apa
sebenarnya yang tengah kau ceritakan ini...?" jawab
Sagotra tetap tenang.
Lagi-lagi Harimau Gila menanggapi dengan
senyum. Karena sempat melihat kilatan aneh pada
mata Sagotra. Ia tahu kalau Sagotra mulai dapat
menebak ceritanya. Namun berusaha disembunyikan
dan tetap menunjukkan sikap tenang.
"Sebagai seorang kepala rampok, tentu saja aku
tahu dan kenal perampok-perampok di hampir separo
negeri ini. Jelasnya, rombongan itu adalah para
perampok dari Hutan Pagar Jurang! Dan Ki Tambak
Raja, pimpinan mereka merupakan salah seorang
kenalan lamaku. Sewaktu kutanya apa tujuan mereka
datang ke kaki Gunung Dampit, Ki Tambak Raja
memberikan jawaban yang sangat jelas!"
Harimau Gila kembali menghentikan ceritanya.
Matanya tak lepas dari wajah Sagotra.
Kali ini Sagotra tak dapat lagi menguasai dirinya.
Dengan wajah agak memucat, dia bangkit dari
kursinya. Sepasang matanya membelalak lebar. Deru
napasnya memburu. Menandakan ketegangan dan
kegelisahan hatinya. Sepasang tangannya sudah
terulur, hendak menjambret leher Harimau Gila.
Namun lelaki pendek gemuk itu, yang memang sejak
tadi sudah waspada, bergegas melompat mundur,
menghindari cengkeraman Sagotra. Kursi yang
didudukinya terlempar, menimbulkan suara ribut!
Tubuh Harimau Gila sudah berada di ambang pintu,
terpisah satu tombak lebih dari tempat Sagotra
berdiri.
"Rahasiamu ada di tanganku, Sagotra! Dan itu
berarti mulai saat ini kau harus menuruti kehendak-
ku. Jika tidak, akan kubongkar semua kebusukanmu!
Kebahagiaan yang selama belasan tahun kau rasa-
kan, dapat kuhancurkan hanya dalam beberapa
kalimat saja...!" ujar Harimau Gila tertawa penuh
kemenangan.
"Keparat, jangan lari kau, Manusia Busuk!" bentak
Sagotra kalap. Kemudian menggenjot tubuhnya,
melesat mengejar Harimau Gila yang sudah
melarikan diri, meninggalkan rumah besar itu.
"Tangkap! Jangan biarkan manusia jahat itu lolos...!"
Teriakan Sagotra membuat empat orang pengawal-
nya bergegas menghadang di tengah pintu gerbang.
Heran juga mereka sewaktu melihat orang yang
mereka kenali sebagai tamu dan sahabat kepala
desa mereka, tengah berlari dengan kecepatan tinggi.
Bahkan dikejar-kejar Ki Lurah Sagotra!
"Minggir kalian...!" seru Harimau Gila, yang sambil
berlari melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dua dari
empat penjaga tempat tinggal kepala desa itu ter-
jungkal muntah darah! Keduanya meregang lalu
tewas seketika dengan mata mendelik!
"Pembunuh keji, serahkan dirimu...!" teriak salah
satu penjaga, yang langsung saja menusukkan mata
tombaknya ke tubuh Harimau Gila. Hal serupa juga
dilakukan kawannya.
Namun, dengan sebuah pekikan keras, tubuh
Harimau Gila melenting berputar ke udara. Sewaktu
meluncur turun di belakang kedua penyerangnya,
kedua tangannya melancarkan hantaman ke arah
punggung, dan telak mengenai sasarannya. Akibat-
nya, dua penjaga yang tersisa itu, terlempar ke
depan, memuntahkan darah segar. Keduanya
langsung tewas dengan tulang punggung remuk!
Kaget juga Sagotra melihat kepandaian Harimau
Gila. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau ilmu silat
bekas kepala rampok itu telah berkembang pesat.
Namun, hatinya sama sekali tidak gentar, terus
melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak,
menyuruh Harimau Gila berhenti. Tentu saja lelaki
gemuk pendek yang otaknya masih waras itu, tidak
mau berhenti. Malah semakin menambah kecepatan-
nya. Hingga, mereka saling berkejaran, melintasi jalan
utama Desa Kranggan.
Teriakan-teriakan Ki Lurah Sagotra, membuat
belasan orang keamanan desa ikut melakukan
pengejaran Namun, mereka tertinggal beberapa
tombak, dan semakin lama semakin jauh tertinggal.
Kendati demikian mereka tetap tidak berhenti, terus
mengejar!
***
DUA
Di dekat sebuah hutan kecil, yang terletak di luar
batas wilayah Desa Kranggan, Harimau Gila tampak
menghentikan larinya. Kemudian berbalik, seperti
sengaja menunggu kedatangan Sagotra yang
mengejarnya.
Sagotra yang saat itu sudah tinggal dua tombak di
belakang buruannya, mengerutkan kening melihat
sikap Harimau Gila. Namun kemarahan yang bagai
menghanguskan dadanya, membuat Sagotra tidak
mau ambil pusing. Tubuhnya tetap meluncur, bahkan
ia langsung melancarkan pukulan lurus ke depan,
mengarah dada Harimau Gila.
Whuttt...!
Kepalan Sagotra menerpa angin kosong. Karena
Harimau Gila sudah menggeser tubuhnya ke samping.
Bahkan langsung mengirimkan tendangan kilat,
mengancam lambung lawannya.
Plakkk!
Kibasan tangan Sagotra membentur kaki Harimau
Gila, membuat tendangan itu terpental balik. Dan
tubuh Harimau Gila sendiri sampai berputar, saking
kerasnya tenaga kibasan itu. Wajah lelaki pendek
gemuk ini terlihat menyeringai. Karena kakinya
bagaikan membentur sebatang besi!
"Tamat riwayatmu, Manusia Berhati Busuk!" geram
Sagotra menyusuli tangkisannya dengan sebuah
bacokan sisi telapak tangan miring ke leher Harimau
Gila. Dan sewaktu lelaki gemuk pendek itu
merendahkan tubuh mengelak, Sagotra segera
menyusul lagi dengan gedoran telapak tangan ke
dada lawannya.
Desss ..!
"Hukkhhh..!"
Tanpa ampun lagi, gedoran telak itu membuat
tubuh Harimau Gila terjengkang keras! Selebar
wajahnya memerah, menahan rasa sesak. Dari sudut
bibirnya tampak cairan merah merembes turun.
Keadaan lawan sama sekali tidak membuat
Sagotra berhenti. Tampaknya ia benar-benar hendak
menghabisi nyawa Harimau Gila. Serangan berikutnya
meluncur cepat sekali. Menilik dari sambaran angin
pukulannya, dapat diketahui kalau Sagotra telah
mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan
yang dimaksudkan sebagai pamungkas itu.
Sewaktu pukulan Sagotra tinggal setengah tombak
lagi dari tubuh Harimau Gila, tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan teras dari kanan-kirinya. Disusul
dengan bermunculannya empat sosok bayangan,
yang langsung melontarkan serangan ke arahnya.
Sagotra terpaksa harus menunda serangannya, dan
melompat mundur. Karena keempat sosok bayangan
itu menggunakan senjata. Selain itu, dari suara
sambaran anginnya, Sagotra dapat mengetahui
bahwa tenaga keempat penyerang itu rata-rata cukup
kuat. Dan ia pun tidak ingin bertindak ceroboh.
Melihat Sagotra sudah melompat mundur,
keempat sosok bayangan itu tidak melanjutkan
serangannya. Mereka bergerak menghampiri Harimau
Gila. Lalu berdiri mengapit lelaki pendek gemuk itu
dari kiri-kanan. Siap melindungi Harimau Gila apabila
Sagotra masih melanjutkan serangannya.
"Hm..., rupanya semua ini sudah kau atur sedemi-
kian rupa, Harimau Gila?" desis Sagotra geram
sewaktu mendapat kenyataan bahwa keempat sosok
bayangan itu ternyata kawan-kawan Harimau Gila.
Sekarang baru ia mengerti, mengapa Harimau Gila
tidak terus berusaha lolos dari kejarannya. Malah
sengaja berhenti dan menunggu kedatangannya.
Rupanya Harimau Gila sudah mempersiapkan kawan-
kawannya yang baru akan muncul apabila dirinya
terancam.
"Bagus kalau kau sudah mengetahuinya, Sagotra,"
tukas Harimau Gila. Meski wajahnya terlihat masih
seperti orang menahan sakit, namun dia berusaha
menyunggingkan senyum sinis. "Terus terang
kukatakan, saat ini aku membutuhkan bantuanmu.
Dan kau tulak mempunyai pilihan kecuali menerima-
nya. Kalau tidak, akan kuhancurkan kebahagiaanmu
dengan membeberkan kebusukanmu di depan
keluargamu!"
Ancaman Harimau Gila membuat Sagotra meng-
gereng keras. Wajahnya sebentar merah sebentar
pucat! Kelihatan sekali kalau saat itu tengah terjadi
peperangan di dalam hatinya. Beberapa saat
kemudian, sewaktu Sagotra hendak mengatakan
sesuatu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang
banyak mendatangi tempat itu. Sagotra menoleh
sekilas ke belakang.
Dia menunda ucapannya begitu melihat ke-
munculan belasan orang keamanan desa, yang juga
merupakan pengawal-pengawalnya.
"Ki Lurah?! Kau tidak apa-apa...?!"'tanya salah
seorang yang merupakan kepala keamanan desa,
menghampiri Sagotra.
Sagotra cuma mengangguk sedikit sebagai
jawaban atas pertanyaan bernada cemas itu. Sedang
pandangan matanya tetap tertuju lurus ke arah
Harimau Gila dan empat orang kawannya.
"Hm..., sebaiknya kau cepat-cepat perintahkan
orang-orangmu agar kembali ke desa, Sagotra! Atau
kau menghendaki agar aku mem...."
"Cukup! Tutup mulutmu, Harimau Gila!" Sagotra
langsung memotong ucapan Harimau Gila. Karena ia
tahu apa kelanjutan ucapan itu.
Harimau Gila sama sekali tidak tersinggung.
Bahkan terdengar suara kekehnya berkepanjangan.
"Kalian kembalilah! Tidak perlu khawatir, aku bisa
menjaga diri. Selain itu, mereka pun tidak bermaksud
mencelakakan aku...," ujar Sagotra kepada kepala
keamanan desa, agar membawa yang lainnya
meninggalkan tempat itu.
"Cepatlah!" lanjut Sagotra setengah membentak,
karena melihat kepala keamanan desa itu masih
berdiri di tempatnya.
"Baik... baik, Ki...," sahut lelaki, yang merupakan
tangan kanan kepala desa itu. Meski terlihat masih
ragu, akhirnya dia menuruti juga perintah Sagotra.
"Bagaimana, Sagotra? Kau bersedia memenuhi
permintaanku...?" tanya Harimau Gila setengah
mendesak, setelah belasan keamanan desa sudah
tidak terlihat lagi batang hidungnya.
"Apa yang kau kehendaki dariku, Harimau Gila...?"
geram Sagotra, terpaksa mengalah. Karena dirinya
tak ingin kehilangan kebahagiaan yang telah dibina-
nya selama belasan tahun.
"He he he..., seperti pada belasan tahun silam
yang sering kita lakukan, Sagotra...," sahut Harimau
Gila.
"Tidak perlu bertele-tele, katakan saja apa mau-
mu?" sergah Sagotra tak sabar, karena tak men-
dengar jawaban itu.
"Aku mempunyai seorang musuh yang sangat
tangguh dan membuat pekerjaanku menjadi sulit. Aku
memerlukan bantuanmu untuk melenyapkan
penyakit itu. Sekarang, marilah kau ikut dengan
kami...!"
"Tunggu, Harimau Gila...!" seru Sagotra mencegah
langkah Harimau Gila dan kawan-kawannya, yang
berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
Harimau Gila menunda langkahnya, berbalik
menatap wajah Sagotra lekat-lekat.
"Aku bersedia membantumu. Tapi hanya untuk
sekali ini saja! Setelah itu, aku tak ingin melihat wajah
busukmu muncul di Desa Kranggan lagi."
"Baik. Aku berjanji, hanya sekali ini saja meminta
bantuanmu. Setelah itu, aku akan pergi dari ke-
hidupanmu untuk selama-lamanya," sahut Harimau
Gila tanpa perlu berpikir lagi. Lelaki gemuk itu
kembali memutar tubuh dan melangkah pergi,
setelah memberikan isyarat kepada Sagotra untuk
mengikutinya.
"Ke mana? Dan apa yang akan kita kerjakan...?!"
seru Sagotra yang belum tahu jelas maksud dan
tujuan Harimau Gila.
Namun Harimau Gila dan keempat kawannya tidak
lagi mempedulikan. Mereka sudah melesat pergi
mempergunakan ilmu lari meninggalkan tempat itu.
Sagotra termenung sesaat, tapi akhirnya mengayun
langkah, berlari mengikuti mereka.
***
"Inilah tempat yang kita tuju...," jelas Harimau Gila,
setelah tiba di depan sebuah bangunan yang cukup
besar. Sebelum Sagotra sempat berkata sesuatu, ia
sudah melangkah dan memukul hancur pintu
gerbang bangunan yang tertutup rapat itu.
"Harimau Gila...?! Bukankah bangunan ini...," ucap
Sagotra yang berpada kaget dan heran terhenti.
Hatinya kaget, melihat Harimau Gila tengah memukul
tewas dua orang lelaki berpakaian tukang kebun,
yang berteriak dan datang menghadang. Perbuatan
Harimau Gila membuat selebar wajah Sagotra
menjadi pucat! Terlebih ketika seorang pelayan
wanita muncul dari dalam bangunan, lalu kembali
berlari masuk sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Ada pembunuh... ada pembunuh...!"
"Celaka! Kau benar-benar sinting, Harimau Gila!
Kalau sejak mula kutahu musuhmu adalah majikan
tempat ini, tentu aku tidak sudi untuk membantumu!"
geram Sagotra yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mencegah tindakan kejam Harimau Gila terhadap
dua orang tukang kebun itu.
"Bagus...! Jadi kau tahu siapa pemilik rumah besar
ini...," desis Harimau Gila, tak peduli dengan
kecemasan yang diperlihatkan Sagotra.
"Tentu saja aku tahu. Ia adalah..."
"Hm..., siapa yang berani mengacau di tempat
ini...?"
Suara parau dan berat serta mengandung getaran
perbawa kuat itu, membuat ucapan Sagotra terhenti.
Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, yang
tubuhnya terbungkus jubah panjang berwarna hitam,
tampak berdiri di ambang pintu dengan kaki ter-
pentang. Sorot matanya yang tajam menyapu wajah
lima orang tamu yang tak diundangnya itu.
"Kakek Jubah Hitam...?!" desis Sagotra mengenali
sosok lelaki tua itu. Pandangan kakek itu yang juga
sudah menyapu wajahnya, membuat Sagotra sadar
kalau ia tidak mungkin mundur lagi. Karena ia berada
di antara orang-orang yang telah membunuh dua
orang tukang kebun Kakek Jubah Hitam.
Kakek Jubah Hitam memang merupakan satu dari
sekian banyak tokoh berilmu tinggi yang memiliki
watak aneh. Usia tua membuat ia menghentikan
petualangannya di rimba persilatan. Kemudian mem-
bangun sebuah tempat tinggal, yang letaknya agak
terpencil, jauh dari pedesaan. Kakek Jubah Hitam
tidak memelihara seorang murid pun. Ia hanya
memelihara beberapa orang pembantu laki-laki dan
pelayan perempuan, yang usianya tidak muda lagi,
untuk melayani segala keperluannya. Namun, meski
telah menjalani hidup layaknya seorang hartawan, ia
tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai
penentang segala bentuk kejahatan. Sikap ini yang
membuat Harimau Gila mendendam kepadanya.
Tindak kejahatan yang dilakukan Harimau Gila telah
digagalkannya, sewaktu hendak menjarah sebuah
desa, yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat
tinggalnya. Demikian pula dengan beberapa
perampokan yang terjadi di desa-desa sekitar tempat
tinggal tokoh tua itu. Begitu mendengar, Kakek Jubah
Hitam langsung bertindak, menghajar mereka.
Namun, kakek ini tidak membunuh, hanya mem-
berikan hajaran, berharap agar para penjahat sadar
dari kesesatannya.
Siapa sangka Harimau Gila dan para perampok
yang pernah dihajarnya malah bergabung untuk
membalas dendam. Sampai akhirnya Harimau Gila
teringat kepada Sagotra dan meminta bantuan.
Karena kepandaian Kakek Jubah Hitam tidak dapat
ditandinginya, meski dengan mengandalkan
keroyokan.
Ketika melihat Kakek Jubah Hitam telah muncul,
Harimau Gila langsung saja bergerak menghampiri.
"Kami datang untuk menuntut balas kepadamu,
Kakek Bau Tanah! Dan kali ini kami yakin akan
berhasil membunuhmu. Karena kami membawa
seorang jago sebagai tandinganmu," ujar Harimau
Gila, yang kemudian berpaling ke arah Sagotra. "Inilah
jago kami. belasan tahun silam sepak terjangnya
sudah terkenal di kalangan persilatan. Sampai ia
mendapat julukan Setan Pantai Timur! Kau tentu
pernah mendengar namanya, bukan?" lanjut Harimau
Gila yang kemudian memperdengarkan suara kekeh
berkepanjangan.
"Setan Pantai Timur...?!" desis Kakek Jubah Hitam,
mengulang nama julukan Sagotra yang memang
terkenal pada belasan tahun silam. "Ya, aku memang
pernah mendengarnya. Hm..., rupanya setelah sekian
lama menghilang, kini kau muncul lagi untuk
melanjutkan kesesatan?" lanjutnya sambil menatap
wajah Sagotra lekat-Iekat.
Sagotra hanya bisa menggelengkan kepalanya
dengan wajah penuh sesal. Ia tidak berusaha mem-
bantah. Karena ucapan Harimau Gila yang me-
munculkan kembali nama yang telah lama dilupa-
kannya, sudah pasti tidak akan merubah pandangan
Kakek Jubah Hitam terhadapnya, apa pun yang
dikatakannya! Terlebih Harimau Gila dan empat orang
kawannya sudah mencabut senjata, dan mengeroyok
kakek itu. Sagotra pun terpaksa ikut maju menge-
royok, karena Harimau Gila berteriak-teriak meminta-
nya untuk terjun ke arena.
Majunya Sagotra membuat kedudukan berubah
seketika. Kalau semula Kakek Jubah Hitam masih
dapat membuat Harimau Gila dan empat kawannya
kewalahan, kini justru ia yang menjadi kelabakan!
Lontaran serangan Sagotra yang menimbulkan
sambaran angin tajam, membuat Kakek Jubah Hitam
terpaksa harus lebih banyak berkelit dan bermain
mundur. Sehingga kian lama kedudukannya kian
terdesak!
Desakan-desakan yang terutama dilakukan
Sagotra, membuat Kakek Jubah Hitam menjadi
geram! Hingga, sewaktu dua pukulan beruntun
Sagotra datang mengancam tubuhnya, kakek ini
terpaksa berlaku nekat, memapaki serangan itu.
Plakk, plakkk!
Kedua pasang lengan yang sama-sama berisi
tenaga dalam kuat saling berbenturan keras,
membuat keduanya terjajar mundur sampai sejauh
satu setengah tombak. Hal itu menandakan bahwa
kemampuan tenaga dalam Kakek Jubah Hitam dan
Setan Pantai Timur berimbang.
Harimau Gila dan keempat kawannya tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Selagi tubuh Kakek
Jubah Hitam terjajar mundur, kelimanya langsung
membabatkan senjata masing-masing ke tubuh
kakek itu.
Brettt! Capp!
"Aaakkhh...!"
Dua di antara lima sambaran senjata itu tidak
dapat lagi dielakkan Kakek Jubah Hitam. Tubuhnya
kembali terhuyung mundur. Pada dada kirinya
terdapat luka memanjang, yang merupakan sayatan
ujung pedang Harimau Gila. Masih ditambah dengan
luka di lambungnya yang mengalirkan banyak darah.
Karena luka pada bagian ini cukup dalam, membuat
kedua kaki Kakek Jubah Hitam agak gemetar,
sewaktu dapat menguasai kuda-kudanya.
Melihat Kakek Jubah Hitam sudah terluka, dan
terlihat agak lemah, Harimau Gila kembali memekik
keras. Tubuhnya melesat disertai tebasan pedang
dari atas ke bawah.
Bweettt….!
Meski agak payah, Kakek Jubah Hitam masih
sempat menyeret tubuhnya ke samping. Hingga
bacokan pedang Harimau Gila, yang nyaris membelah
tubuhnya, dapat dihindarkan. Namun, dua serangan
yang datang kemudian dari kawan-kawan Harimau
Gila, tak dapat lagi dielakkannya. Karuan saja tubuh
renta ini melintir disertai percikan darah dari luka
yang kembali merobek tubuhnya.
"Habisi...!"
Harimau Gila kembali membentak. Pedang di
tangannya terayun deras ke tubuh yang tengah
melintir itu.
Crakkk...!
Kakek Jubah Hitam tidak sempat berteriak lagi.
Sambaran pedang lawan membuat kepalanya
terpisah dari badan, jatuh menggelinding di atas
tanah. Sedang tubuhnya yang tanpa kepala, masih
bergoyang-goyang beberapa saat, dengan semburan
darah segar dari leher yang terpenggal. Kemudian
ambruk dan berkelojotan sesaat. Lalu diam tak
bergerak-gerak lagi.
Kematian Kakek Jubah Hitam membuat Harimau
Gila tertawa terbahak-bahak bersama empat orang
kawannya. Kemudian kelimanya pergi meninggalkan
tempat itu tanpa mempedulikan Sagotra, yang masih
berdiri mematung, memandangi mayat Kakek Jubah
Hitam.
***
TIGA
"Hhuuff...!"
Hembusan angin malam yang semakin dingin,
nenyadarkan Sagotra dari lamunannya. Sesaat ia
menengadahkan kepalanya disertai hembusan napas
panjang. Kematian Kakek Jubah Hitam membuatnya
nenyesal berkepanjangan. Belum lagi hilang
bayangan mayat yang terpisah dari kepalanya itu,
Harimau Gila telah muncul lagi dan mengancamnya.
"Hhh..., seharusnya aku tahu kalau janji orang
seperti Harimau Gila tidak dapat dipercaya...!" desis
Sagotra masih menyesali perbuatannya. Meski yang
membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Harimau Gila,
namun secara tidak langsung dialah yang jadi
penyebabnya. Sebab, tanpa bantuannya belum tentu
kakek itu sampai dapat terbunuh.
Dalam balutan rasa sesal, Sagotra mengayun
langkahnya meninggalkan tempat itu. Dirinya sudah
mengambil keputusan untuk tidak mengulangi per-
buatan seperti itu. Apa pun yang bakal terjadi,
Sagotra tak lagi peduli. Biarlah anak dan istrinya
mengetahui kebusukan yang pernah dilakukannya di
masa lalu. Biarlah orang-orang yang dicintainya itu
berbalik membenci dirinya. Mengutuk dan menjauhi-
nya. Baginya itu lebih baik daripada terus tersiksa di
bawah ancaman Harimau Gila, yang ia tahu pasti
akan terus berkelanjutan.
Sagotra yang melangkah dengan pikiran kalut,
sama sekali tidak sadar kalau saat itu malam telah
berganti siang. Bahkan ia tidak tahu kalau langkah
kakinya telah membawanya meninggalkan Desa
Kranggan yang menjadi tempat tinggalnya. Begitu
dalam Sagotra terhanyut arus sesal dan kedukaan.
Kesadaran itu baru didapatkannya kembali sewaktu
kepalanya menengadah disertai tarikan napas
panjang. Pancaran sinar matahari membuat Sagotra
lekas-lekas kembali menunduk. Kemudian kembali
mengangkat kepala, memperhatikan sekitarnya.
Tatkala menyadari dirinya berada di daerah sebuah
kaki bukit, keheranan besar tergambar di wajahnya.
Membuat ia memutar tubuh, memandang arah dari
mana tadi ia datang.
"Sahabat, harap tunggu sebentar...!" Langkah
Sagotra yang hendak kembali ke desanya, tertahan
oleh sebuah teguran halus. Namun, sebelum ia
sempat mernbalikkan tubuh, tahu-tahu sesosok
tubuh melayang lewat di atas kepalanya. Kaget bukan
kepalang hati Sagotra menyaksikan kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang demikian tinggi. Sehingga
gerakan sosok itu hampir tidak tertangkap pen-
dengarannya.
"Maaf, kalau aku telah membuat kau terkejut...!"
ujar sosok yang telah berdiri tegak di hadapannya.
Setelah berkata demikian, sosok yang berupa
seorang lelaki setengah baya berdahi lebar ini
langsung mengulur tangannya dengan jari-jari
terkembang ke arah leher Sagotra!
"Hei...?!"
Sagotra berseru heran sambil menarik tubuhnya
mundur dua langkah ke belakang. Namun, ceng-
keraman yang luput itu masih terus mengejarnya,
membuat Sagotra semakin kaget. Jengkel dengan
sikap orang yang tidak sopan itu, Sagotra meng-
angkat tangan untuk menyambut tangan yang hendak
mencengkeram lehernya. Namun lagi-lagi ia dibuat
kaget. Karena cengkeraman itu meliuk dengan
gerakan cepat bukan main, membuat tangkisannya
luput!
"Gila...?!" desis Sagotra memaki dalam ke-
jengkelan yang berubah menjadi kemarahan. Ber-
gegas ia berkelit sambil melepaskan sebuah pukulan
jarak jauh ke tubuh lelaki berdahi lebar itu.
Debbb!
Hampir Sagotra tidak bisa menahan jeritan kaget-
nya. Pukulan yang dilancarkan laksana menghantam
sebuah benda kenyal, saat lelaki berdahi lebar itu
merubah cengkeramannya menjadi kibasan yang
menerbitkan sambaran angin kuat. Tenaga yang
saling berbenturan membuat tubuh kepala desa itu
terjajar mundur sampai enam langkah.
"Siapa kau? Mengapa datang-datang langsung
menyerangku?! Padahal rasanya kita baru sekali ini
berjumpa...?" hardik Sagotra begitu mendapatkan
kesempatan untuk menumpahkan kejengkelan dan
rasa penasaran di hatinya.
Lelaki berdahi lebar, yang wajahnya terhias kumis
tebal bercampur uban ini sama sekali tidak menyahut
Sebaliknya ia malah menatap wajah Sagotra lekat-
lekat. Beberapa kali keningnya terlihat berkerut-kerut
seperti tengah berpikir keras, mengingat-ingat wajah
Sagotra. Sagotra pun balas menatap dan meneliti
wajah serta sosok lelaki itu.
"Kau... tidak salahkah penglihatanku...?! Bukan-
kah kau yang dikenal dengan julukan Pendekar
Bayangan Setan...?" desis Sagotra. Dia terkejut bukan
main sewaktu mengenali siapa adanya lelaki ber-
kening lebar, yang mengenakan pakaian kedodoran
itu.
Sosok orang itu tampak lucu, karena ujung lengan
bajunya terlalu panjang, sampai menutupi jari-jari
tangannya. Kecuali itu, pakaiannya pun terbuat dari
bahan kembang-kembang, yang tidak lumrah bagi
laki-laki. Karena yang biasanya menggunakan bahan
seperti itu hanyalah orang-orang perempuan! Se-
hingga, keseluruhan penampilan lelaki berdahi lebar
ini terlihat sangat lucu.
"He he he..., bagus kau dapat mengenaliku,
Sahabat. Dan rasa-rasanya aku pun pernah melihat
rupa seperti rupamu yang jelek dan lucu itu.
Sayangnya aku lupa di mana dan kapan pernah
melihatmu...?" ujar lelaki berdahi lebar ini mem-
benarkan terkaan Sagotra sambil memiringkan
kepalanya ke kiri-kanan, seperti tengah berusaha
untuk dapat mengenali Sagotra.
Namun tingkah Pendekar Bayangan Setan yang
sesungguhnya sangat lucu itu, sama sekali tidak
membuat Sagotra tertawa. Bahkan tersenyum pun
tidak. Karena hati Sagotra sudah diliputi ketegangan,
begitu mengenali siapa adanya lelaki berpenampilan
aneh dan lucu itu. Dan ia tidak berusaha membantu
ingatan Pendekar Bayangan Setan. Meski Sagotra
sudah dapat mengingat kapan dan di mana pertama
kali berjumpa dengan tokoh berpenampilan seperti
orang kurang waras itu.
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Pendekar
Bayangan Setan memang cukup terkenal. Tapi,
karena tokoh ini jarang menampakkan diri, nama dan
keberadaannya pun tidak terlalu sering dibicarakan
orang. Bahkan banyak tokoh tingkat pertengahan
yang lupa dengan nama Pendekar Bayangan Setan.
Terlebih setelah pendekar bertingkah laku aneh itu
tidak muncul-muncul sampai beberapa tahun lama
nya. Membuat namanya semakin tenggelam. Kecuali
beberapa orang tokoh tua, yang memang meng-
anggap Pendekar Bayangan Setan sebagai tokoh
seangkatan.
"Aha, aku ingat sekarang...!" Tiba-tiba saja
Pendekar Bayangan Setan berseru mengejutkan,
membuat Sagotra sampai terlompat saking kagetnya!
Karena tokoh yang oleh sebagian orang dianggap
agak sinting ini, seperti tak sengaja, telah mengerah-
kan tenaga dalam sewaktu berseru.
Sagotra sudah melangkah mundur dengan urat-
urat tubuh menegang! Jantungnya berdebar keras,
dan merasa tegang menunggu kelanjutan ucapan
tokoh setengah sinting itu.
"Ahh..., siiial...!" seru Pendekar Bayangan Setan
sembari menelengkan keningnya perlahan, "Baru saja
aku ingat, eh, sudah lupa lagi! Haiih..., dasar otakku
memang sudah kurang beres...!"
Pengakuan Pendekar Bayangan Setan membuat
Sagotra menghembuskan napas panjang tanda
kelegaan hatinya. Namun ucapan itu juga membuat
sekujur tubuhnya lemas. Sagotra merasa dirinya tak
ubahnya seperti sebuah balon yang ditiup sebesar-
besarnya, lalu dikempeskan dengan tiba-tiba.
"Aha...!" Lagi-lagi Pendekar Bayangan Setan ber-
seru gembira, "Kau tunggulah sebentar, sahabat yang
baik! Aku sudah mulai ingat lagi sedikit-sedikit. Harap
kau jangan terlalu banyak bergerak, biar aku lebih
mudah untuk mengingat di mana dan kapan pernah
melihat rupa jelekmu itu...," lanjutnya yang kemudian
bergerak mendekat, lalu mengitari tubuh Sagotra.
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu untuk
meladenimu, Pendekar Bayangan Setan. Aku harus
pergi..."
Sagotra yang kembali dibuat tegang oleh ucapan-
ucapan Pendekar Bayangan Setan, bergegas me-
langkah hendak meninggalkannya. Khawatir kalau
lama-lama diperhatikan, bisa-bisa tokoh aneh itu
akan mengenali dan mengingat siapa dirinya. Maka,
sebelum terlambat, Sagotra memutuskan untuk
angkat kaki dari tempat itu.
"Hei, kau ini tuli atau sengaja hendak bikin aku
marah, hah?" tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan
menghardik marah. Hingga, langkah Sagotra terpaksa
tertunda.
"Apa maksudmu, Pendekar Bayangan Setan...?"
tanya Sagotra tak mengerti mengapa tokoh agak
sinting itu mendadak marah-marah.
"Masih pura-pura bertanya lagi...!" tukas Pendekar
Bayangan Setan mengomel. "Tadi sudah kukatakan
kalau kau jangan bergerak-gerak, karena aku sedang
berusaha mengingat di mana pernah melihat wajah
jelekmu. Eh, kau malah bukan cuma bergerak, tapi
hendak pergi dari tempat ini! Hm..., kau sengaja ya,
hendak membuat aku marah? Senang ya, melihat
orang marah-marah?"
"Maaf, Orang Tua, tapi aku benar-benar tidak bisa
menemanimu lebih lama...."
"Bisa! Kau bisa menemaniku sampai kapan pun!
Karena, kalaupun benar tidak bisa, aku akan
memaksamu untuk terus menemaniku. Dan itu sudah
merupakan satu keharusan!" tandas Pendekar
Bayangan Setan, bersikeras memaksakan kehendak-
nya.
"Sinting...!" desis Sagotra tak lagi ambil peduli.
Kemudian melangkah hendak meninggalkan tempat
itu.
"Kurang ajar...!"
Pendekar Bayangan Setan menghentakkan kaki-
nya ke tanah. Hatinya benar-benar gusar melihat
kebandelan Sagotra. Tanpa banyak cakap lagi, tubuh-
nya langsung melesat dengan sebuah cengkeraman.
Melihat serangan yang cepat dan kuat itu, Sagotra
tidak bisa lagi menahan diri. Dengan menggeser
tubuhnya, Sagotra mengelakkan serangar itu. Ke-
mudian langsung mengirimkan sebuah tendangan
kilat sebagai balasannya.
"Gerakan yang bagus...!" puji Pendekar Bayangan
Setan tertawa-tawa, tidak berusaha menghindari
tendangan.
Bukkk!
Telapak kaki Sagotra menghantam telak dada
kanan lawannya. Namun bukan main kagetnya ketika
merasakan betapa tendangannya bagaikan meng-
hantam sebuah benda kenyal yang membuat
tenaganya membalik. Bahkan tubuhnya nyaris ter-
pelanting!
Pendekar Bayangan Setan tertawa geli melihat
Sagotra berdiri terheran-heran.
"Tidak kusangka kalau kau memiliki perasaan
halus, Sahabat. Aku senang kau tidak tega untuk
menyakitiku...," ujar Pendekar Bayangan Setan, yang
jelas-jelas sengaja hendak mengejek Sagotra.
Ejekan itu membuat wajah Sagotra seketika merah
padam. Terdengar gerengan kemarahannya.
"Pendekar Bayangan Setan...," ujar Sagotra masih
menahan diri. "Rupanya kau memang sengaja hendak
menghinaku! Tapi jangan kau kira aku takut meng-
hadapimu! Kalau kau memang menantangku ber-
tarung, marilah! Akan kuhadapi walau sampai seribu
jurus sekalipun!"
"Ck ck ck...," Pendekar Bayangan Setan berdecak
decak sambil menggelengkan kepala, memperlihat-
kan rasa kagumnya terhadap sikap Sagotra, "Bukan
main...! Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup
melakukan pertarungan sampai seribu jurus, seperti
yang kau inginkan itu. Tapi..., tentu saja aku tak
menolak tantanganmu...."
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar
Bayangan Setan sudah melesat menerjang Sagotra.
Kali ini ia menggunakan sepasang tangannya,
melakukan serangkaian serangan yang mendatang-
kan deruan angin keras!
"Haiiittt...!"
Sagotra yang tidak sudi dihina orang, segera mem-
bentak nyaring. Disambutnya serangan Pendekar
Bayangan Setan, dengan tidak kalah garangnya.
Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah
perkelahian sengit!
Namun tidak sampai tiga puluh jurus, Sagotra
sudah dipaksa untuk bermain mundur. Serangan
Pendekar Bayangan Setan yang datang bertubi-tubi
disertai sambaran angin keras, membuat setiap
pukulan yang dilontarkannya selalu terpental balik.
Akibatnya, Sagotra terpaksa harus memperkuat
pertahanan dirinya. Dan ini membuatnya semakin
terdesak!
Degk...!
Lewat dari dua puluh jurus Sagotra tak dapat lagi
menghalangi gempuran telapak tangan lawan, yang
telak bersarang di dadanya. Tanpa ampun lagi,
tubuhnya terjengkang deras. Meski ia masih sanggup
mempertahankan kuda-kudanya, namun pada sudut
bibirnya terlihat ada cairan merah yang merembes
turun.
"Heh heh heh..., gerakanmu memang cukup hebat,
Sahabat. Dan aku bisa menduga kalau ilmu yang kau
miliki berasal dari golongan sesat. Jurus-jurus
seranganmu sangat keji dan tak pantas dilakukan
oleh orang gagah." Terdengar ucapan Pendekar
Bayangan Setan, yang tidak melanjutkan serangan-
nya. Ia berdiri sambil tertawa-tawa memandang
lawannya.
"Apa pedulimu, Pendekar Bayangan Setan! Tanpa
sebab kau menyerang dan melukaiku. Padahal di
antara kita tidak pernah ada permusuhan...," sahut
Sagotra dengan nada geram bercampur penasaran.
"Heh, siapa bilang aku menyerangmu tanpa se-
bab? Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah bisa
menebak kalau kau pastilah bukan orang baik-baik.
Sedangkan aku paling benci dengan orang jahat!
Terlebih setelah sahabatku Kakek Jubah Hitam,
kutemui tewas di tempat kediamannya, membuatku
semakin benci kepada orang-orang jahat. Dan aku
bersumpah untuk membunuh siapa saja orang yang
kutemui. Tentunya yang menurut pikiranku bukan dari
kalangan orang baik-baik. Dan kau termasuk di
antaranya!" ujar Pendekar Bayangan Setan dengan
wajah yang tiba-tiba berubah beringas! Sepasang
matanya bergerak-gerak liar, tanda tokoh ini sedang
dalam puncak kegilaannya. Sikap ini memang selalu
muncul jika Pendekar Bayangan Setan tengah dilanda
kemarahan ataupun kesedihan. Itu memang sudah
menjadi cirinya, meski tidak terlalu banyak tokoh yang
mengetahui.
Agak kecut juga hati Sagotra ketika mendengar
perkataan Pendekar Bayangan Setan. Ia memang
sudah tahu kalau tokoh setengah gila yang kini
dihadapinya adalah sahabat Kakek Jubah Hitam.
Sewaktu masih malang-melintang sebagai Setan
Pantai Timur, Sagotra pernah berjumpa dengan
kedua orang tokoh itu. Dan ia pun langsung bisa
menduga apa maksud kemunculan Pendekar
Bayangan Setan di tempat itu. Dugaannya ternyata
tidak meleset. Kemunculan tokoh setengah gila yang
jarang terlihat itu, ternyata ada kaitannya dengan
kematian Kakek Jubah Hitam. Hanya sama sekali
tidak disangkanya kalau kematian Kakek Jubah
Hitam membuat Pendekar Bayangan Setan terpukul,
hingga bersumpah untuk membuhuh setiap orang
yang dianggapnya sebagai tokoh sesat. Ucapan itu
membuat Sagotra sadar kalau nyawanya berada
dalam ancaman maut!
"Sekarang, sebelum aku mencabut nyawamu,
jawablah pertanyaanku," ujar Pendekar Bayangan
Sean lagi, "Apakah kau tahu siapa pembunuh sahabat
yang juga adik seperguruanku itu?"
Pertanyaan itu membuat Sagotra kaget bukan
main. Kini semakin jelaslah baginya, mengapa
Pendekar Bayangan Setan sangat terpukul atas
kematian Kakek Jubah Hitam. Mau tidak mau, miris
juga hati Sagotra mengingat dirinya ikut terlibat
dalam pembunuhan itu.
"Mengapa hal itu kau tanyakan kepadaku? Aku
cuma orang desa, yang tidak tahu-menahu tentang
urusan orang-orang persilatan. Sebaiknya kau
tanyakan saja soal itu kepada orang lain," jawab
Sagotra, mencoba mengelabui Pendekar Bayangan
Setan. Kendati saat itu hatinya semakin tegang,
khawatir kalau-kalau tokoh setengah gila itu keburu
mengenalinya.
"Heh heh heh..., kau ingin membodohiku, ya?
Mataku cukup awas untuk mengetahui sampai di
mana tingkat kepandaianmu. Dan menurutku, kau
termasuk salah satu orang yang pantas untuk
kucurigai. Dan meski kau tidak tahu-menahu tentang
kematian saudara seperguruanku itu, tetap aku tidak
akan melepaskanmu sebelum tubuhmu menggeletak
tanpa nyawa...!" tukas Pendekar Bayangan Setan,
yang membuat Sagotra lagi-lagi harus menyembunyi-
kan kekagetannya.
Sagotra bergegas melangkah mundur ketika
dilihatnya Pendekar Bayangan Setan sudah siap
untuk bergerak. Ia terpaksa harus mempertahankan
diri dengan menggunakan ilmu tangan kosong.
Karena setelah bertekad untuk meninggalkan
kesesatan, Sagotra tidak pernah lagi membawa-bawa
senjata. Padahal ia merupakan seorang ahli pedang
yang boleh dikatakan jarang tandingannya. Dengan
kepandaiannya bermain pedang itu pula sebutan
Setan Pantai Timur melekat dalam dirinya pada
belasan tahun silam. Meski demikian, diam-diam
Sagotra merasa bersyukur karena tidak membawa
senjata. Sebab, jika ia menggunakan senjata sewaktu
bertempur tadi, sudah pasti Pendekar Bayangan
Setan akan segera ingat siapa dirinya.
"Hm..., sekarang bersiaplah! Kuberi waktu kau
sepuluh jurus untuk membela diri...," ujar Pendekar
Bayangan Setan yang kemudian melangkah maju
empat tindak. Dan, begitu langkah yang keempat
menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat dengan
kecepatan menggetarkan!
Bergegas Sagotra melompat ke samping. Lalu
mengirimkan dua pukulan dan satu tendangan
sekaligus. Dan karena kali ini Sagotra telah menge-
rahkan seluruh tenaganya, sambaran angin pukulan-
nya pun menderu keras, dengan kecepatan yang
tinggi. Namun serangan itu sama sekali tidak
membawa hasil seperti yang diharapkan. Lontaran
pukulan dan tendangannya dapat dielakkan dengan
baik oleh Pendekar Bayangan Setan. Demikian pula
dengan serangan-serangan selanjutnya. Sehingga,
sampai jurus yang ketiga puluh berakhir, belum satu
pun serangan Sagotra yang mengenai sasarannya.
Jangankan mengenai tubuh, untuk menyentuh ujung
jubah tokoh itu saja, tak dapat dilakukan Sagotra.
Karena gerakan Pendekar Bayangan Setan memang
harus diakui, sangat cepat! Membuat serangannya
selalu mengenai tempat kosong!
"Waktumu sudah habis, dan sekarang giliranku!
Kersiaplah...!"
Begitu ucapannya selesai, serangan Pendekar
Bayangan Setan langsung datang mencari sasaran di
tubuh Sagotra. Membuat bekas tokoh sesat ini
menjadi kelabakan untuk menyelamatkan dirinya.
Plakkk! Bukkk!
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Sagotra ber-
tindak nekat memapaki serangan lawan. Akibatnya,
tubuhnya terdorong mundur. Saat itu sebuah
hantaman keras, yang merupakan serangan susulan
lawan, menghantam telak dada kanannya. Hingga,
tanpa ampun lagi, tubuh kepala desa itu terbanting
ke tanah.
Pendekar Bayangan Setan kembali memper-
dengarkan kekehnya. Kemudian melangkah perlahan
menghampiri Sagotra, yang tengah berusaha bangkit
berdiri.
"Manusia jahat, kau apakan ayahku...!"
Sewaktu langkah Pendekar Bayangan Setan
tinggal empat tindak lagi dari Sagotra, tiba-tiba
terdengar sebuah bentakan nyaring, yang bernada
marah. Disusul kemudian dengan kelebatan sinar
putih yang berdesingan datang mengancam tubuh
Pendekar Bayangan Setan!
"Aaahh..., celaka...?!"
Pendekar Bayangan Setan yang menolehkan
kepala sewaktu mendengar bentakan itu, memekik
kaget. Wajahnya kontan memucat. Sepasang
matanya membelalak lebar, bagaikan melihat hantu
di siang bolong.
Whukkk...!
Sambaran angin berdesing itu lewat di atas kepala,
karena Pendekar Bayangan Setan sudah merendah-
kan kepala dan kuda-kudanya. Kemudian dilanjutkan
dengan sebuah lompatan panjang ke samping kanan.
"Hm..., jangan harap kau bisa lolos dari pedangku,
Setan Gundul...!" sosok bayangan merah, bertubuh
ramping yang memegang sebatang pedang itu
kembali membentak. Serangannya berkelebat lagi
mengancam Pendekar Bayangan Setan.
Sementara, wajah pucat Pendekar Bayangan
Setan tampak mulai dibanjiri peluh. Terlebih setelah
dapat melihat tegas sosok dan wajah penyerangnya.
Ketakutannya semakin tampak jelas!
"Waaa..., ada setaaannn...!"
Belum lagi ujung pedang sosok bayangan merah
ini meluncur ke tubuhnya, Pendekar Bayangan Setan
sudah melesat pergi, lari terbirit-birit sambil berteriak
teriak ketakutan!
"Jangan lari kau, Setan Gundul...!" maki bayangan
merah ini yang melesat hendak mengejar.
"Andari, jangan kejar...! Biarkan ia pergi...!"
Sosok ramping terbungkus pakaian serba merah
ini bergegas menghentikan larinya. Kemudian
menoleh ke arah Sagotra, ayahnya, yang tampak
mengulapkan tangan kepadanya. Bergegas dara
remaja yang manis dan manja ini berlari meng-
hampiri.
Sagotra masih termanggu dengan wajah dilanda
keheranan besar, sewaktu putrinya datang. Hatinya
masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan
Setan sampai sedemikian takutnya menghadapi
serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh setengah
gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra
benar-benar tidak habis pikir dengan keanehan yang
baru saja terjadi di depan matanya itu.
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari ce-mas
sambil memapah tubuh Sagotra, "Siapa setan gundul
itu, Ayah? Mengapa ia ingin membunuhmu?"
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat,
Mari, kita pulang...!" lanjutnya membuat Andari cuma
bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi.
Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan
tempat itu.
***
EMPAT
Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari
busur, meninggalkan kepulan debu di atas jalanan
yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan
hutan, sampailah di depan sebuah rumah panggung
yang cukup besar. Penunggangnya bergegas me-
lompat turun kemudian melangkah masuk dengan
agak tergesa. Sedang kuda hitam itu sudah diurus
oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya.
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!"
ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk ber-
telanjang dada, hingga menampakkan bulu-bulu lebat
yan tumbuh di dadanya.
"Kau ini kenapa, Ronggawu?! Datang-datang,
membuat orang kebingungan? Coba tenang dulu, dan
ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang
dikenal sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala
rampok yang bengis dan kejam tak kenal ampun.
Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan
kepala putus. Kebengisan inilah yang membuat
julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya.
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah
membuat diri kita terancam bahaya! Bahkan jauh
lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu
masih hidup! Kalau dulu cuma dia seorang yang
selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru
semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang
golongan putih menjadi marah! Mereka hendak
mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita
menyingkir dulu jauh-jauh sampai keadaan kembali
tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu,
mereka pasti akan mendatangi kita. Bukankah ini
celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat
paras Penjagal Kepala berubah seketika.
"Dari mana kali dapatkan berita itu? Apakah itu
bukan cuma desas-desus saja?" tanya Penjagal
Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan
ucapan kawannya.
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari
berita tentang mangsa yang bakal lewat di daerahku,
datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab
Ronggawu, yang juga merupakan kepala rampok, dan
mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal Kepala.
Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin
dekat semenjak sepak terjang Kakek Jubah Hitam
mengacaukan pekerjaan mereka.
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala
menjadi termenung. Keningnya berkerut. Sepertinya
tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan
keluarnya.
"Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada
Harimau Gila?" tanya Penjagal Kepala tiba-tiba.
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya.
Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan
tempat tinggalnya kepada kita. Harimau Gila hanya
muncul menemui kita jika memerlukan bantuan!
Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepada-
nya. Sebaiknya kau tak perlu memikirkannya,
Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir.
Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku
pembunuhan itu, lalu mendatangi tempat ini," jawab
Ronggawu setengah mendesak.
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?"
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan
menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana
ada tempat yang cukup baik dan tersembunyi.
Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita guna-
kan bersama-sama," jawab Ronggawu menerangkan
tempat yang bakal mereka gunakan sebagai per-
sembunyian sementara.
"Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku
akan berkemas...," ujar Penjagal Kepala, mengambil
keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya.
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutar tubuh
hendak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba dari luar
rumah terdengar bentakan dan suara benturan
senjata tajam. Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu
menoleh dan bertukar pandang dengan Ronggawu.
Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua
gembong perampok ini sama melesat keluar.
"Berhenti, tahan senjata...!"
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua
orang lelaki berseragam biru muda, tengah dikeroyok
belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala
langsung membentak. Disusul kemudian dengan
tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena dan
mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah
itu.
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke
tempat ini?" tegur Penjagal Kepala dengan sorot mata
bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah
kanannya, sudah berdiri Ronggawu, yang juga
meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru
muda itu.
"Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini ada-
lah Sandrila. Kami berdua datang dari daerah Pantai
Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut
Utara. Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini,
adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk
Penjagal Kepala. Siapakah di antara kalian berdua
yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari
kedua orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip
dengan kawannya. Keduanya terlihat masih berusia
muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian,
sorot wajah dan sinar mata mereka terlihat tajam dan
berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati Penjagal
Kepala dan Ronggawu tergetar.
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian
berdua ingin bertemu dengan Penjagal Kepala?" kali
ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu.
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan
kepadanya, sehubungan dengan terbunuhnya Kakek
Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami.
Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki
serta membekuk pelaku laknat itu...!" Sandrila yang
menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata
demikian, sepasang matanya tak pernah lepas dari
wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia sudah dapat
menebak siapa di antara kedua orang itu yang
berjuluk Penjagal Kepala.
"Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena
di sini tidak ada yang berjuluk Penjagal Kepala. Se-
baiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi
Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang
Penjagal Kepala masih diam, belum bisa mengambil
keputusan harus bagaimana.
"Hmhh...!"
Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika
mendengar jawaban Ronggawu. Demikian pula
dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar
pandang.
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan ke
kejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol
belaka," ujar Sandrila kepada Banadri.
"Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat
menebak kalau kepala rampok yang berjuluk Penjagal
Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!"
Banadri menimpali dengan suara lantang sambil
mengerling ke arah Penjagal Kepala. "Sekarang
terbukti bahwa dugaanku itu benar..."
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan
wajah terbakar. Dadanya serasa hendak meledak
menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima
penghinaan itu. "Bocah-bocah sombong! Perhatikan-
lah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal Kepala,
yang akan segera membuat kalian berdua menjadi
mayat-mayat tanpa kepala!"
Usai berkata demikian, Penjagal Kepala melolos-
kan sebatang golok besar yang matanya bergerigi.
Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru
angin keras. Dan dibarengi dengan sebuah teriakan
mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu
cepat ke arah Banadri, orang yang telah berani mati
menghinanya.
Trang...!
Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan
keras dua batang senjata. Entah kapan meng-
gerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman
Banadri ada sebilah pedang, yang digunakan untuk
menyambut sambaran golok Penjagal Kepala.
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi
kaget bukan main, sewaktu merasakan lengan
kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya
terlepas dari pegangan! Selain itu, tubuhnya pun
sampai terjajar mundur beberapa langkah. Padahal
lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh
benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal
Kepala sadar kalau tenaganya kalah dua tingkat dari
lawannya.
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar!
Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Pen-
jagal Kepala mengakui kelebihan lawannya.
Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang ber-
juluk Elang Laut Utara ini cuma tersenyum tipis.
Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil
memutar pedang.
Wuttt!
Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang
di tangan Banadri menyambar. Penjagal Kepala pun
tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut
disertai deruan angin yang bergulung-gulung.
Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang
dengan hebatnya!
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah
Ronggawu yang hendak campur tangan ke dalam
arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi
lawanmu...."
"Hmmhh...!"
Ronggawu menggereng bagai binatang buas
terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang
pada bagian ujungnya terdapat bola berduri, diputar
hingga menimbulkan suara berdengung-dengung.
Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung
diayunkan ke kepala Sandrila, yang langsung
menyambut dengan pedangnya.
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih
berada jauh di bawah lawannya. Serangan-serangan
tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru,
selalu gagal menemui sasarannya. Bahkan beberapa
kali ujung pedang lawan, yang menerobos masuk,
nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah per-
tarungan berjalan tiga puluh jurus, Ronggawu sudah
kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang
memiliki kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Karena
sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat
Ronggawu sibuk melindungi tubuhnya dari incaran
mata pedang Sandrila.
"Yeaaattt...!"
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus
mencecar lawan yang semakin tak berdaya itu, tiba-
tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-
gerakan kakinya berubah, membuat kepala Rong-
gawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu
bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan
yang cepat dan sulit diikuti pandangan matanya.
Breettt...!
Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang
lawan merobek lambung kanannya. Tubuhnya ter-
huyung mundur disertai ceceran darah segar, yang
mengucur dari luka di lambungnya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal
Kepala pun harus mengakui keunggulan lawannya.
Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada
kanannya, membuat tubuh kepala rampok ini
terlempar dan terbanting keras.
Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu
Banadri melangkah menghampiri dengan sorot mata
nengancam. Sementara Ronggawu yang hatinya
sudah merasa gentar, juga bergerak mundur, dan
memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal
Kepala untuk maju mengeroyok.
Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur
ketika kurang lebih tiga puluh orang anggota
perampok bergerak menghadang langkah mereka.
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali
tidak terlihat gentar. Mereka memutar senjata, dan
merobohkan beberapa orang perampok yang
menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah
membuat enam orang perampok berkelojotan mandi
darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar
dan ragu-ragu untuk maju menyerang.
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!"
Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat
sikap gentar anak buahnya. Sehingga, meski agak
takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua
orang saudara kembar yang berjuluk Sepasang Elang
Laut Utara itu.
Serbuan anggota perampok itu disambut sam-
baran pedang Banadri dan Sandrila. Deruan angin
panas yang timbul dari sambaran pedang kedua
tokoh ini, membuat para pengeroyoknya tak berani
terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang Laut
Utara kembali merenggut empat orang korban.
Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur
dengan wajah agak pucat!
"Hih hih hih...!"
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan
melompat mundur ketika mendadak terdengar suara
tawa mengikik, yang membuat telinga mereka
berdenging kesakitan. Cepat keduanya mengerahkan
tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu.
Pertempuran pun terhenti seketika.
Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu
lenyap. Digantikan oleh munculnya sesosok tubuh
kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok
perempuan tua ini, membuat semua orang yang
berada di tempat itu sama membelalakkan mata!
Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak
terbungkus pakaian, kecuali celana hitam setinggi
betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping.
Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan
terdapat hiasan berupa tulang, yang digunakan
sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang
keriput dan panjang, menjuntai hingga ke perut,
dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja penampilan
yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat
heran siapa saja yang menyaksikannya.
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa
risih melihat penampilan nenek itu, kini menjadi
kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya
langsung bisa mengenali siapa adanya nenek ber-
penampilan sangat 'berani' itu.
"Kalong Wewe...?!" desis Banadri yang tanpa sadar
melangkah mundur. Pada wajahnya terlihat gam-
baran kegentaran.
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis
dengan yang digambarkan ayah kita!" desis Sandrila
yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan
gentarnya. Karena dari apa yang mereka dengar,
Kalong Wewe merupakan seorang tokoh wanita tua
yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan
tokoh gila, yang memiliki kebiasaan tidak lumrah.
Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka
menculik laki-laki muda untuk diteteki. Namun
kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa
bosan.
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan
gagah, kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian
putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di
daerah Pantai Utara?" tanya nenek berpenampilan
aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikik
nya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila.
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri men-
jawab sambil menggeser mundur kakinya dengan
gerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski
berusaha disembunyikan, rasa ngeri tetap saja ter-
lihat pada wajahnya.
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan
tidak mencampuri urusan ini...!" timpal Sandrila yang
mencoba mengusir Kalong Wewe dengan meng-
andalkan nama besar ayahnya. Karena, seperti
halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika
mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak.
Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu
melakukan perbuatan menakutkan sekaligus men-
jijikkan.
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar
ayah kalian pun, aku memang tidak bermaksud
mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian
menghendaki, aku akan suka sekali untuk
membantu. Karena begitu melihat, aku langsung
merasa suka dengan kegagahan dan ketampanan
kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan
pandang mata menggambarkan perasaan sayang
kepada Banadri dan Sandrila.
"Celaka...?!" desis Banadri, kaget mendengar
ucapan Kalong Wewe?
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan
Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik Sandrila, yang
menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek
sinting itu. Sandrila menggelengkan kepala, ketika di
depan matanya melintas bayangan dirinya yang
tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek.
Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi
mual.
Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu,
langsung saja mengangguk setuju. Kemudian ber-
paling memandang Kalong Wewe.
"Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena
masih ada yang harus segera kami kerjakan di
tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh
kepada Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan
anggukkan kepala, Banadri segera memutar tubuh,
lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila
bergegas mengikuti.
"Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu
mudah setelah berhadapan dengan Kalong Wewe?!"
ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan
dibarengi dengan suara tawa mengikik, tubuh nenek
ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut
Utara.
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau
mereka berdua dikejar. Suara tawa mengikik dan
sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat
keduanya bergegas membungkuk. Sehingga, ceng-
keraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak
mengenai sasarannya.
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan
itu, mendadak terhenti di udara. Kemudian kedua
kakinya bergerak menendang-nendang di udara.
Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara
ketika menyaksikan tubuh Kalong Wewe dapat
berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali
belum menginjak tanah!
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat
sekali...?!" desis Banadri kaget dan takjub.
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya
tegak terpaku dengan sepasang mata masih mem-
belalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe
memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat
tinggi sajalah, yang kiranya akan mampu melakukan
perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik
keluarganya sendiri sudah cukup terkenal di kalangan
persilatan. Namun Sandrila sangsi apakah ayahnya
sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong
Wewe itu.
"Sandrila, awaaaass...! "
Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang
masih berdiri terpaku. Karena saat itu tubuh Kalong
Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan
terulur ke depan.
Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan
kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup sewaktu melihat
bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat
di depannya. Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak
mungkin keburu, Sandrila mengambil keputusan
nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang
ada, kedua tangannya memukul ke depan memapaki
uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing
itu.
Bedd, beddd!
Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong
Wewe ini, ternyata merubah gerakannya. Kedua
tangannya yang semula siap mencengkeram, men-
dadak meliuk berputar. Sehingga kedua pukulan
Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan, tahu-
tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada
dekat lehernya. Karuan saja Sandrila menjadi pucat!
Cusss...!
Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung
kuku runcing Kalong Wewe menusuk jalan darah di
lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung
melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan,
tergeletak pingsan seketika.
"Sandrila...?!"
Banadri merasa kaget dan juga heran melihat
adiknya langsung roboh begitu tersentuh kuku
runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri
langsung bisa menebak kalau kuku perempuan tua
itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat
lawan roboh seketika, apabila tertusuk.
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin ber-
tambah tegang bukan main, karena sadar kalau
adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh
yang wataknya tidak lumrah manusia. "Lepaskan
adikku, atau kau sengaja ingin menanam per-
musuhan dengan keluarga kami? Kalau kau tidak
mau membebaskannya, ayahku pasti akan marah,
dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri
terus menggunakan nama besar ayahnya untuk
menggertak Kalong Wewe.
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah
Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh kau panggil
dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau
tinggallah dulu di sini bersama keroc-keroco itu! Kelak
kalau adikmu dapat membuat hatiku senang, akan
kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih
juga menganggap aku jahat?" sahut Kalong Wewe,
yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman
Banadri.
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh
Sandrila yang terkulai menelungkup di tanah. Sekali
cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu
melayang naik, kemudian diterima dengan bahunya.
Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan
tenaga dalam Kalong Wewe.
"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku...? Kalong
Wewe, tunggu...!"
Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong
Wewe memutar tubuhnya dan melesat pergi
meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah,
namun perempuan tua renta itu sama sekali tidak
peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan
mengerahkan seluruh kemampuan yang ada pada
dirinya.
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!"
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan
suara tawa mengikiknya yang panjang. Dan tampak-
nya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai
sejauh itu Banadri tetap cuma tertinggal sekitar tiga
tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih nekat
terus mengejar.
***
LIMA
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul
dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih meng-
hadang sekitar satu setengah tombak di hadapan
Kalong Wewe. Namun perempuan tua yang tidak
lumrah manusia itu seperti tidak mendengar ataupun
melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya.
Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok
bayangan putih yang melakukan penghadangan
menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe
yang sudah begitu dekat, tahu-tahu menjulurkan
tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman.
Whuttt! Plakkk!
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu
sosok bayangan putih mengangkat tangan kirinya
sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong
Wewe sendiri yang terpekik tak dapat menahan rasa
terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu ter-
huyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak!
"Cuh, cuhh, cuhhh...!"
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuh-
nya, beberapa kali Kalong Wewe menyemburkan
ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru
kemudian mengangkat wajah, didahului sambaran
matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika
pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan
mulutnya menyeringai, membentuk seuntai senyum,
menampakkan gigi-giginya yang hitam.
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia
yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan
putih yang menghadang jalan Kalong Wewe, kini
menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun
tadi sempat melihat ketika sosok bayangan putih itu
menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang
membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika
mendapati sosok bayangan putih itu ternyata seorang
pemuda berwajah tampan, membuat Banadri
menelitinya beberapa saat
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau
pastilah yang berjuluk Pendekar Naga Putih,
Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah
meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...,"
sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan
kedua tangannya ke arah Banadri. "Secara kebetulan
aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan men-
dengar suara tawa mengikik serta teriakanmu," lanjut-
nya menjelaskan keberadaannya di tempat itu.
Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pem-
bicaraan itu, menghentikan langkahnya. Karena ter-
tarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan
langsung merasa suka, dia bermaksud menukar
pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun
setelah mendengar pemuda tampan itu berjuluk
Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini menjadi
ragu sejenak.
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata
sangat beruntung bisa berjumpa dengan Pendekar
Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindu-
kanmu, Bocah Bagus! Sekarang, setelah melihatmu,
rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda ini...," ujar
Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti
kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata
begitu tubuh Sandrila yang semula dipanggulnya,
dilemparkan begitu saja ke arah Banadri.
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, me-
nangkap tubuh adiknya. Sekali mengulur tangan saja,
tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian
meluncur turun dengan gerakan yang ringan sekali.
Lalu menoleh kepada Panji.
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah
tokoh wanita sakti berotak sinting, yang terkenal
dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek
yang dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka
kepadamu...," bisik Banadri mengingatkan Pendekar
Naga Putih.
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak
kaget mendengar ucapan Banadri. Dirinya memang
pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang
sakti dan tidak lumrah manusia itu. Juga tahu tentang
kebiasaan Kalong Wewe, yang gila mengangkat anak,
dan memperlakukannya dengan cara yang meng-
gelikan sekaligus membuat hati bergidik.
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar
Naga Putih...!" bujuk Kalong Wewe dengan suara
lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu
yand menyayangi anaknya.
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun.
Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap
menghadapi perempuan sinting seperti Kalong Wewe.
Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah
dan memaksanya. Tapi, ia pun tidak sudi ikut
bersamanya.
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran
ketika melihat Pendekar Naga Putih masih berdiri
diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua
tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar
Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!"
Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji
masih diam tak bergerak, berseru memperingatkan.
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan
Banadri. Karena meski Panji kelihatan seperti orang
linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua
cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan
kesadarannya. Tepat pada saat cengkeraman itu
hampir merenggutnya, Panji langsung melompat
mundur. Sehingga, cengkeraman Kalong Wewe me-
nemui kegagalan.
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang
sudah melompat agak jauh, berdiri tegak mengangkat
tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu.
Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan
tenaga dalam itu, membuat langkah Kalong Wewe
terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu
dengan mulut menyeringai.
"Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga
Putih..!" desak Kalong Wewe memecah keheningan,
yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian
kakinya kembali bergerak mau mendekati Panji.
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus
bersikap menghadapi nenek gila ini...!" gumam Panji,
yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya.
Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak
sekitar dua tombak. Kalong Wewe siap untuk
menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap
untuk membela diri.
***
Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih,
duduk menikmati makannya di sebuah kedai yang
memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara
makannya yang lambat-lambat dan seringkali terhenti
terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya,
seolah ia tengah memikirkan sesuatu.
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah
menyudahi makannya. Dia memanggil pelayan, yang
segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah
dengar tentang seorang tua yang disebut sebagai
Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara agak
direndahkan.
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa
sekitar kaki Bukit Bantaran ini pernah mendengar
dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak
langung, beliau merupakan pelindung kami semua,"
jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan
pemuda tampan ini. Lalu dia bercerita panjang lebar
tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini
tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya di-
dengarkan dengan sungguh-sungguh. "Sayang beliau
sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang
kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...,"
sesalnya pada akhir cerita.
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar
Naga Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Cerita
itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama
dengan yang dituturkan beberapa penduduk desa
sekitar Bukit Bantaran, yang pernah ditanyainya. Panji
yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit
Bantaran dan mendengar tentang kematian Kakek
Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk
menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena
hal itu masih sangat gelap baginya, maka ia pun
mulai mencari keterangan dari penduduk desa sekitar
tempat tinggal Kakek Jubah Hitam.
"Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang
melakukan pembunuhan itu...?" tanya Panji setelah
terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika
dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala,
"Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah
diusirnya, apakah Paman mengenai beberapa di
antara mereka...?"
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar
Kakek Jubah Hitam, dan aku tak dapat mengenali
mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan
suara lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatan-
nya.
"Tapi...."
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan
wajahnya, mengerti akan kekhawatiran pelayan
kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh
ke kiri-kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau
ucapannya didengar orang lain.
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah
dihajar Kakek Jubah Hitam adalah gerombolan
perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya
dijuluki sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi
ucapannya terhenti, dan menoleh ke sana kemari
dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat
terkenal kekejaman dan kebuasannya...," lanjutnya
dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak
bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-
kan meja. Namun, langkahnya terhenti. Karena Panji
sudah menangkap lengannya.
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?"
tanya Panji setengah berbisik.
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan...?!"
pelayan kedai tampak terkejut mendengar per-
tanyaan itu.
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...,"
jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir
pelayan kedai itu akan bertanya macam-macam.
"Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering
melakukan penghadangan terhadap kereta-kereta
barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah
hari perjalanan dari desa ini...," jelas pelayan kedai,
yang kemudian memutar tubuhnya setelah merasa-
kan pegangan pada pergelangan tangannya dilepas-
kan.
Setelah mendapat keterangan dan membayar
makanannya, Pendekar Naga Putih meninggalkan
kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak
Hutan Gagak, dan bermaksud mendatangi tempat itu.
Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak
sepi, Panji melanjutkan perjalanan dengan meng-
gunakan ilmu lari cepatnya.
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak
langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara
tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang
berteriak, seperti tengah mengejar seseorang yang
melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal
suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh
sedang berlari cepat memanggul sesosok tubuh di
bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak se-
orang lelaki muda tengah mengejar-ngejar. Segera
saja Panji mengambil keputusan untuk menghadang
nenek yang diduganya telah melakukan penculikan
itu. Sampai akhirnya ia terpaksa harus bertarung
melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata
suka kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama
nenek yang otaknya tidak waras itu.
***
Wrrettt!
Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu,
memulai perkelahian itu. Sepasang tangannya yang
berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru
angin keras. Namun, Panji yang sudah siap meng-
hadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat ber-
gerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe
tidak mengenai sasarannya. Bahkan Pendekar Naga
Putih langsung mengirimkan serangan balasan
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya.
Gelombang angin keras berhawa dingin ber-
hembus menyertai datangnya serangan balasan
Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat
menghindarinya. Dalam jurus-jurus pertama, Panji
langsung melakukan desakan, karena ia ingin meng-
akhiri pertarungan secepatnya.
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan
suatu hal yang mudah! Karena Kalong Wewe merupa-
kan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat
kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk meng-
hadapinya Pendekar Naga Putih harus bekerja keras,
mengerahkan seluruh kemampuan yang di-milikinya.
Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang
digunakan.
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong
Wewe terus mengambil sikap bertahan, mengguna-
kan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar
ditembus. Bahkan ketika pertarungan menginjak
pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta
itu mulai melakukan serangan balik, sambil tetap
memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya
menderu tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam
yang hebat, membuat serangan Panji mulai mengen-
dur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang
harus bertahan dari serangan gencar lawannya.
Plakkk...!
Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lenganB
mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar
dibuat kaget! Tenaga pukulan lawan yang semakin
bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung
beberapa langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang
cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah
kembali menyusuli serangannya.
Blakkk!
"Hukkhh...!"
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe
yang berhasil menjebol benteng pertahanan Panji,
membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke
belakang dengan tubuh terbungkuk. Hantaman keras
yang telak mengenai perutnya membuat Panji merasa
mual seketika. Namun, meski dalam keadaan demiki
an, pemuda itu masih juga sempat menyelamatkan
diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang
mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat
membuat kedudukannya semakin tidak seimbang,
dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa
menguasai diri, setelah melompat jauh. ke belakang
dengan berputaran beberapa kali di udara.
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam
di tanah, Pendekar Naga Putih mengumpulkan tenaga
dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat
gerakannya agak terganggu itu. Saat serangan lawan
yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan
rasa ibanya terhadap sosok nenek berwajah mengeri-
kan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak
kalah ganasnya. Sehingga, pertempuran semakin ber-
tambah sengit!
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran -,
Pendekar Naga Putih tiba-tiba memekik keras.
Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara.
Sepasang cakar naganya berputaran menerbit-kan
pendaran sinar putih keperakan yang menyilau-kan
mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi',
yang merupakan salah satu jurus pamungkas,
sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak
mampu lagi melindungi dirinya.
Plakk! Bukk! Blukkk!
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh
Kalong Wewe, membuat nenek gila ini terhumbalang
ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah.
Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum
oleh kekuatan tubuh kurus yang kulitnya sudah ber-
keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka
dalam, nenek ini masih sanggup untuk langsung
bangkit berdiri, meski kuda-kudanya terlihat goyah.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku
Kalong Wewe, yang kali ini bicaranya lancar, dan tidak
tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miing.
"Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku
akan menebus sekaligus dengan bunganya...," lanjut-
nya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah ber-
kata demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe
bergerak meninggalkan tempat itu.
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata
apa-apa. Dibiarkan saja nenek gila itu pergi mem-
bawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal
telah menanam bibit permusuhan baru dengan
seorang tokoh gila yang berbahaya, namun Panji
merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong
Wewe.
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku,
Pendekar Naga Putih. Kami berdua tentu tak akan
melupakan jasamu...."
Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh
menghadapi tokoh muda dari Pantai Utara itu.
"Pertolongan sesama manusia adalah satu
kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap sebagai
hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta
segera memeriksa keadaan Sandrila. Lalu menotok di
beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan ke-
sadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai
Utara itu. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna
putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari
dalam tubuh.
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal
dari mana? Mengapa sampai bisa bentrok dengan
Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila
sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Ketiganya duduk
saling berhadapan.
Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya,
Banadri menceritakan secara singkat tentang tujuan-
nya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe.
Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan.
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai
mengirimkan kalian berdua sebagai putra-putranya
untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek
Jubah Hitam. Kematiannya memang membuat tokoh-
tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka ber-
tekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku
pun mempunyai tujuan yang sama dengan kalian ber
dua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna
mencari keterangan. Karena kepala rampok itu
merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam,
yang menaruh dendam. Begitulah keterangan be-
berapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu
kutanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang
tokoh muda di hadapannya. Karena ia juga sudah
mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang
juga dijuluki sebagai Majikan Pantai Utara itu.
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi
Penjagal Kepala itu. Karena kami berdua pun men-
dapatkan keterangan yang sama denganmu, Pen-
dekar Naga Putih," ujar Sandrila mulai menimpali
pembicaraan.
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa
memberikan keterangan yang memuaskan...," sambut
Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya me-
langkah, kembali menuju perkampungan peram-pok
yang dipimpin Penjagal Kepala.
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati per-
kampungan itu sudah kosong! Tak satu pun anggota
perampok yang masih berada di sana.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggal-
kan tempat ini...!" geram Banadri, yang tak menemu-
kan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa
semua rumah dengan teliti.
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang ke-
marahan tokoh-tokoh golongan putih. Lalu meng-
hindar dan menyembunyikan diri di tempat yang
mereka anggap cukup aman...," timpal Panji dengan
nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-
rumah yang telah ditinggal pergi penghuninya itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?"
tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu
karena rasa kecewa.
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya
kita melakukan pengejaran dengan berpencar.
Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita
dapat menemukan Penjagal Kepala dan para
pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang
disambut anggukan kepala Banadri dan Sandrila.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan
Sepasang Elang Pantai Utara melesat meninggalkan
tempat itu ke arah yang berbeda.
***
ENAM
"Maaf, Nyi Lurah...!"
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap
penjaga yang menghadap tanpa dipanggil itu. Kedua-
nya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu
segera mengatakan keperluannya.
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang
minta disampaikan kepada Nyi Lurah...," lanjut pen-
jaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud.
Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak
meninggalkan ruangan di rumah Kepala Desa
Kranggan.
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun,
yang tubuhnya masih terlihat ramping ini, segera
membuka gulungan daun lontar itu dan membaca
isinya. Mula-mula wajahnya tampak berkerut, lalu
berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar, sehingga
surat yang dipegangnya ikut bergetar.
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras
menyangkal isi surat yang dibacanya. Meski demikian
dalam nada suaranya terkandung keraguan atas
bantahan itu.
"Ada apa, Ibu? Apa isi surat itu, dan siapa yang
nengirimnya?" tanya Andari yang tentu saja menjadi
bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya.
Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan
menyerahkan surat itu kepadanya. Andari semakin
kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya
dibasahi mata. Buru-buru dibacanya isi surat itu
dengan penuh rasa ingin tah
Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari
pun berubah pucat setelah membaca isi surat itu.
Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya,
yang duduk lemas di atas kursi sambil menekap
wajah dengan kedua tangan.
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat
ini? Benarkah aku bukan anak Ayah? Benarkah aku
sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk
Garuda Kuku Baja?!" tanya Andari dengan wajah
pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air mata.
Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari
mengguncang tubuh ibunya dengan keras, "Jawablah,
Ibu? Katakan kalau semua ini tidak benar!"
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat
kepala, memandang wajah putrinya dengan air mata
berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian
kembali menangis, menutupi wajahnya.
Jawaban ibunya membuat Andari merasakan
tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis
remaja ini terjajar mundur. Air mata yang kini tak bisa
lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah
pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang
hatinya.
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?",
desis Andari setengah berbisik. Seperti takut kalau
ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu.
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja
yang benar. Selebihnya hanyalah fitnahan keji
Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil
menghapus air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu
yang sekarang, Ibu adalah seorang janda, Anakku.
semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu
kau baru berusia kurang lebih lima tahun. Sagotralah
yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman
kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan
perampok. Sebenarnya, kalau saja para perampok itu
tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka
akan dapat dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku
licik dengan membakar tempat kediaman kita.
Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu.
Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua,
beliau masih harus berusaha memadamkan api, dan
serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhir-
nya beliau tewas tertembus belasan senjata. Saat kita
berdua dalam bahaya itulah, Sagotra muncul,
mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari
kita berdua. Budinya yang sangat besar, membuat Ibu
akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu
mencapai tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk
mengecewakan lelaki yang demikian baik dan sabar
menunggu sampai sedemikian lama...."
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih
dengan wajah pucat. Ia percaya akan cerita sang Ibu,
yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi
anaknya. Namun di sisi lain, dirinya juga ragu akan isi
surat itu. Karena apa yang tertera di dalamnya
demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya
saja ada beberapa tambahan, yang merupakan
tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini
membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya.
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat
aneh...?" gumamnya perlahan seperti berbicara pada
dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan
seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah
orang itu juga berjuluk Harimau Gila! Aku sempat
mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka
bertengkar mulut, sampai kemudian orang itu lari
dikejar-kejar Ayah...?!" Sampai di sini Andari
menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut,
seakan tengah berpikir keras.
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah
membentak, "Tidak pantas kau mencurigai orang
yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua!
Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu
sampai besar, dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu
silat tinggi Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan
segera kita tinggalkan tempat ini untuk mencari
ayahmu itu... "
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti
baru teringat sesuatu. "Belakangan setelah ke-
datangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali mening-
galkan rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa
malam yang lalu, Ayah sampai tidak pulang. Dan aku
menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat
dengan ceritaku itu, bukan?"
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan
putrinya, yang menunggu jawabannya.
"Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan
mengurung dirinya di kamar semadi. Dan akhirnya..,
Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana
perginya. Padahal seluruh keamanan desa sudah kita
kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap seperti
ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat
mencurigakan?" lanjut Andari mengutarakan semua
apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya
belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada
ucapannya, menimbulkan kesan bahwa gadis remaja
ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah
yang juga seorang kepala desa.
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan
bagimu untuk mencurigai ayahmu, Andari! Sudahlah!
Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencari
nya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah
tuduhan Andari. Perempuan ini memang terlihat
sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu
penjaga datang memberikan surat kepadanya,
mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi
mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba
lenyap tanpa diketahui ke mana dan kapan perginya.
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya
masih belum puas, "Coba Ibu katakan, apakah benar
gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal
kita dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak
Rejo?"
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenar-
kan apa yang juga tertera di dalam surat itu.
"Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahui-
nya dengan pasti?! Padahal peristiwa itu sudah lama
sekali terjadinya? Jangan-jangan..., ia memang benar-
benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
tentang peristiwa belasan tahun silam itu? Kalau
tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya
sama persis baik tempat maupun waktunya?" gumam
Andari sambil tak lepas menatap wajah ibunya.
"Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu
sebabnya kita harus pergi mencarinya...," tukas ibu-
nya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu melang-
kah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan
kepada penjaga.
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu.
Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini.
Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada
beliau agar tidak perlu mencari kami. Karena se-
cepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan
ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa,
yang bertugas menjaga tempat kediaman Ki Sagotra,
kepala desanya.
***
Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah
lambat-lambat menyusuri tanah berlumpur, yang
sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang
bermekaran. Ayunan langkahnya mendadak terhenti
ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dan
riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya
pun diputar mendatangi sumber suara yang meng-
gelitik keingintahuannya.
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini
menemukan sumber suara itu. Dari balik sebatang
pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat se-
orang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun.
Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari
tertatih-tatih mengejar seekor kupu-kupu, lelaki
setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah
bocah perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan
sayangnya. Suatu perasaan asing, yang nyaris tidak
pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi
dengan kekerasan dan bau darah! Lelaki ini bernama
Sagotra, yang juga dikenal dengan julukan Setan
Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang
penjahat tunggal, yang kadang juga menerima tugas
untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup
besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin
terkenal. Kali ini, secara tak sengaja, langkahnya
membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit.
Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang
tiba-tiba menyeruak di sudut hatinya.
Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu
membuyarkan lamunan Setan Pantai Timur. Tubuh
nya langsung melesat ke luar dari tempat per-
sembunyian ketika melihat bocah perempuan itu
terjerembab jatuh. Ia yang biasanya tidak pernah
mempedulikan nasib orang, kini mendadak tergerak
untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap dan
kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi
telinganya. Demikian lembut dan penuh kasih, se-
waktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam
gendongannya itu.
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-
tiba terdengar suara langkah kaki lembut mendatangi
dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur
memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas
membelalak lebar, melihat seorang wanita berparas
cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perem-
puan itu berlari mendatangi. Rambutnya yang
panjang dan tergerai lepas, terayun lembut mengikuti
langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur
keras sewaktu sosok perempuan yang membuatnya
terpaku bagai patung itu, semakin dekat.
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!"
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian
bidadari itu, menyelusup masuk melalui telinga Setan
Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan
mata, seakan ingin suara itu buru-buru lenyap dari
pendengarnya. Hal itu membuat dirinya terlena untuk
beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu
itu kembali terdengar, meminta agar ia menyerahkan
anak dalam pondongannya.
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai
Timur berterus terang, sambil menyerahkan bocah
perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata
lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah
pipi wanita cantik itu merona. Permintaan maafnya
membuat kilatan marah dalam sorot mata perem-
puan itu lenyap seketika.
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar
perempuan cantik yang telah membuat hati Setan
Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima
putrinya, bergegas memutar tubuh hendak mening-
galkan tempat itu.
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru
mencegah. Tapi, ia tidak bergerak dari tempatnya
semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah
dan memutar tubuhnya, berbalik.
"Ada apa, Tuan...?!" tanya perempuan cantik ini
mengerutkan kening, menatap lekat-lekat wajah lelaki
di depannya.
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap
putrimu. Kebetulan aku sedang lewat ketika melihat
putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu,
terjatuh. Lalu aku membantunya berdiri...," jelas
Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi merasa asing
dengan ucapannya. Karena perkataannya demikian
lembut dan sopan. Padahal ia sudah banyak bergaul
dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang
satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona
yang membuat dirinya seperti Iumpuh. Sehingga, ia
ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai
orang baik-baik. Karena saat itu juga Setan Pantai
Timur sadar kalau dirinya telah jatuh cinta kepada
perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena
terhadap perempuan lain, yang pernah digaulinya,
tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang
dialami kali ini.
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya.
Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu
sebabnya aku mengucapkan terima kasih kepada
Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan
cantik itu dengan suaranya yang bagi Setan Pantai
Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya
ingin agar perempuan itu berbicara lebih banyak.
Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perem-
puan itu sudah tidak berkata apa-apa lagi.
"Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang,
bolehkah aku mengetahui nama dan suamimu...?
Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar
kaki Gunung Dampit ini...?" tanya Setan Pantai Timur
setengah memohon dengan wajah harap-harap
cemas. Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi
marah karena pertanyaannya.
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang
pantas kalau aku memperkenalkan nama kepadamu,
Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang
disebut orang dengan julukan Garuda Kuku Baja. Dan
tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung
Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan.
Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja
yang datang dengan maksud baik...," ujar perempuan
cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil mening-
galkannya.
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa meng-
hela napas, memandangi bayangan perempuan
cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya
tiba-tiba merasa kosong. Serasa semangatnya ikut
pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini Sagotra
merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk
pertama kalinya, Sagotra merasa bahwa kehidupan-
nya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak mem-
punyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi
beberapa saat itu, membuat Sagotra jatuh cinta!
Sebuah perasaan yangselama ini tak pernah di
kenalnya.
"Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra
dengan sorot mata tajam, menunjukkan kebulatan
tekadnya.
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra
pun mulai menyelidiki tempat kediaman Garuda Kuku
Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan
itu dengan kekerasan dan memaksa untuk menjadi
istrinya. Namun bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin
agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka
rela. Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras,
mencari cara untuk dapat memiliki perempuan itu.
Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepala-
nya, yang dianggap akan dapat mewujudkan ke-
inginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu,
Sagotra membutuhkan bantuan orang lain.
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai
Timur...?!" seru seorang lelaki setengah baya, yang
bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal.
Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan
Sagotra.
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak
sewaktu lelaki itu mengajaknya masuk ke dalam
sebuah rumah yang cukup besar dan bagus.
"Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo,"
Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan
maksud kedatangannya.
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang
menganggap dirinya sebagai penguasa daerah Hutan
Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Ada kebanggaan terselip di
hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur mem-
butuhkan bantuannya. Karena selama ini ia men-
dengar dan mengetahui bahwa orang-orang seperti
dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan
kepada Setan Pantai Timur. Tentu saja permintaan
yang baginya merupakan suatu kehormatan itu,
langsung diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis
bantuan yang diminta Setan Pantai Timur kepadanya.
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut
Sagotra sewaktu melihat Ki Tambak Rejo tersenyum-
senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama
ini, akan kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat,
kau harus melaksanakan semua apa yang ku-
perintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau
paham...?"
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar
bagaimanapun orang seperti dirinya tak lepas dari
keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun
yang meminta bantuan rekan segolongan, dan mem-
punyai nama besar seperti Setan Pantai Timur.
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana
yang sudah diatur dalam otaknya. Sedang Ki Tambak
Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja.
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas
Sagotra setelah membeberkan rencananya.
"Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit
dan mengumpulkan orang-orangnya, yang jumlahnya
tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelas-
kan tentang apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan
besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak Rejo pun
berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung
Dampit, yang letaknya kira-kira setengah hari per-
jalanan dari Hutan Pagar Jurang.
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rom-
bongannya sudah mulai menginjak daerah kaki
Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti
sekitar, ia kembali membawa rombongannya
menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah
timur kaki gunung itu.
"Ki Tambak Rejo...!"
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo
menarik tali kekang kudanya, menoleh ke arah asal
suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak
bersinar cerah sewaktu ia mengenali siapa orang
yang memanggilnya itu.
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku...?!" Tanya-
nya memastikan sosok pendek gemuk, yang me-
langkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar
berkepanjangan sewaktu lelaki pendek gemuk itu
semakin dekat dan jelas.
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila
ini, juga tertawa gembira. Kendati demikian, ia tidak
bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki
Tambak Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah
yang cukup besar. Rasa heran itu langsung
diungkapkannya melalui pertanyaan.
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaan-
mu di daerah ini, Harimau Gila. Kelibatannya
keadaanmu tidak begitu menyenangkan? Mana
pengikut-pengikutmu, apakah mereka tidak menyer-
taimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum mem-
berikan jawaban atas pertanyaan Harimau Gila.
Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan ter-
dapat noda darah pada pakaiannya yang koyak di
beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo
menjadi ingin tahu.
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau
Gila, yang kemudian menceritakan tentang penyer-
buan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur
berantakan. Harimau Gila juga menjelaskan bahwa
selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia
sendiri saat itu sedang dalam pelarian.
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..."
Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut
merasa berduka atas apa yang telah menimpa
gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku.
Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan besar! Sebab imbalannya tidak akan
habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan
seluruh pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang
susah, maka aku menawarkanmu untuk bekerja
sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian
menjelaskan tentang pekerjaan besar yang dikata-
kannya itu.
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya
jelas menggambarkan keheranan besar sewaktu
mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia
tentu saja kenal baik dengan Setan Pantai Timur, dan
tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan kawan
dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan
hartanya kepada orang lain. Namun semua itu tidak
diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila
cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya ber-
putar dan ingin tahu apa tujuan Setan Pantai Timur
sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan
tugas itu.
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut dengan-
mu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena aku sedang dalam
kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak ke-
baikanmu. Aku tidak ingin kau ikut susah nantinya.
Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga
pekerjaan besar ini dapat kau selesaikan dengan
baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak
mundur memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo
dan rombongan.
Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabat-
nya itu. Maka ia tidak berusaha memaksa. Sambil
menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang
menimpa sahabatnya, ia membawa rombongan
melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para
pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau
Harimau Gila mengikuti perjalanan mereka dengan
menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai
diketahui.
***
TUJUH
"Kakang…"
Panggilan lembut yang menelusup masuk ke
dalam telinganya, membuat lelaki gagah ini terbangkit
kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala,
setelah terlebih dulu menarik napas panjang-panjang.
"Beberapa hari belakangan ini aku sering men-
jumpai Kakang sedang termenung. Adakah sesuatu
yang mengganggu pikiran Kakang? Tidakkah se-
baiknya Kakang berbagi beban itu denganku? Siapa
tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu
akan terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan
cantik ini, yang kemudian ikut duduk di samping lelaki
gagah itu.
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan
pembicaraan itu.
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan
cantik ini seraya memandang bola mata suaminya,
seakan menunggu jawaban permintaannya tadi.
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri
kita itulah, yang membuat ketenanganku agak
terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan
apa yang menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang
kau gambarkan, rasanya aku dapat menduga siapa
adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti.
Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat
istrinya tersentak kaget.
"Ada apa, Kakang..?!"
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam
jumlah yang cukup banyak...," jawab lelaki gagah yang
dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku
Baja ini, dengan kening berkerut. Karena sebagai
seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya
mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarga-
nya. Perasaan seperti ini memang sulit dijabarkan.
Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman
memilikinya. Dan, baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba
terdengar sebuah seruan keras yang mengandung
tenaga dalam kuat.
"Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak
Rejo datang untuk mengirimmu ke akherat...!"
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk
itu mendatangi tempat ini...?!" desis Garuda Kuku
Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh
ke arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga
anak kita...!" Sebelum istrinya menjawab, tubuh
Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan
gejakan yang mengagumkan.
Whuukkk, whuuukkk!
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda
runcing, yang merupakan mata tombak, langsung
menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku
Baja tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan luar
bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus
'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat
penyerang itu terlempar ke kiri-kanan. Sedang senjata
mereka telah patah menjadi tiga bagian!
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi
pendekar sombong itu...!"
Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo
segera memberi perintah. Ia sendiri sudah melayang
turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa
sepasang trisula perak, kepala rampok itu menerjang
Garuda Kuku Baja.
"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi
kalian semua...! Heaaattt...!"
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda
Kuku Baja melesat ke depan menyambut serangan Ki
Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya
yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar
disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua lengan-
nya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang
disusul dengan robohnya dua orang pengeroyoknya.
Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak
jari-jari sekeras baja itu.
Siuuttt! Cwittt...!
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyam-
bar dengan kecepatan tinggi. Namun dua serangan
itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku
Baja telah menggeser langkahnya ke kanan. Sembari
menghindar, cakar garudanya kembali beraksi me-
robohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting
tewas dengan luka menganga pada bagian Iambung-
nya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan
lagi, yang tak sempat menghindari sambaran kuku
sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga amukannya
sempat membuat kepungan merenggang.
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali
berteriak-teriak memberi perintah kepada para
pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang
trisulanya ke tubuh Garuda Kuku Baja.
"Hmmhh...!"
Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali
kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak sempat
untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangan-
nya. Karena para pengikut Ki Tambak Rejo meng-
hambur maju dengan sambaran senjatanya masing-
masing. Hal itu membuat Garuda Kuku Baja harus
membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi
seorang saja.
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya,
tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja berubah pucat!
Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah
berusaha untuk memasuki rumahnya, membuat
Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan
lawan-lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-
jari bajanya, lelaki gagah itu menerobos masuk ke
rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan
anak dan istrinya.
Cappp! Crabbb!
Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung
tombak menancap di tubuh bagian belakangnya,
ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat
tubuhnya berputar disertai suara menggereng yang
menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur
deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penye-
rangnya. Kedua orang itu mendelik, karena jalan
napasnya tercekik!
"Jiaaahhh...!"
Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot
jari-jarinya yang terbenam di tenggorokan lawan.
Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pa-
da tiga buah jari kedua tangannya, yang membentuk
cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging
kedua orang lawannya, yang telah tersungkur dengan
napas putus!
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan
selagi tubuh Garuda Kuku Baja menegang, sehabis
mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang
trisulanya bekerja cepat menusuk kedua lambung
yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda Kuku Baja
tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.
Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu
langsung menembus sasarannya. Seketika Garuda
Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung
disertai semburan darah ketika Ki Tambak Rejo
mencabut senjatanya yang menancap cukup dalam.
"Kakang...?!"
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu
kamarnya, menjerit, menyaksikan tubuh suaminya
terhuyung dengan percikan darah yang membasahi
lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh
putrinya di punggung dengan sehelai kain. Dia
bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepas-
kan pedang yang dipegangnya. Namun, ia tak sempat
lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga orang
perampok menerobos masuk dengan senjata di
tangan. Cepat wanita cantik ini menyambar pedang-
nya yang tergeletak di lantai.
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia
busuk...!" pekik istri Garuda Kuku Baja sambil
menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga
perampok itu.
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika
pedang itu merobek sasarannya. Darah pun seketika
muncrat membanjiri lantai rumahnya.
Namun robohnya ketiga perampok itu bukan
berarti istri Garuda Kuku Baja sudah bisa bernapas
lega, karena enam perampok menyusul masuk ke
dalam rumah. Sehingga, wanita cantik yang meng-
gendong putrinya di punggung ini, harus berjuang
keras menghadapi enam orang perampok yang
menyerangnya. Sebagai istri seorang tokoh kenama-
an, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah.
Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku
Baja, namun serangan enam orang perampok itu
masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang
harus dihadapi bukan cuma enam orang itu.
Beberapa orang perampok yang telah menerobos
masuk, ikut bergabung mengeroyok. Sehingga wanita
ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan.
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan
pengeroyokan terhadap seorang wanita...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang
disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, me-
nerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak
tanah, sebatang pedang yang tergenggam di
tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok
istri Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang
perampok terlempar mandi darah!
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar
aku yang akan menghadapi perampok-perampok
busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam
yang sebagian wajahnya juga tertutup selembar kain
hitam.
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga
belum bergerak dari tempatnya. Sepasang matanya
yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang
tampak sudah tidak bergerak.
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas
sosok berpakaian serba hitam seraya menghela
napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja,
yang sudah tidak bernapas lagi.
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang
kembali meluncur membasahi wajahnya. Kepalanya
menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima
kematian suaminya. Jiwanya mengalami guncangan
hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur. Seolah
bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki
berpakaian serba hitam yang barusan menyelamat
kan dirinya sempat melihat dan langsung
menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai
terbanting roboh.
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa
aku pun tidak akan sanggup menghadapinya. Kita
harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok
berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh
wanita malang itu agar tidak jatuh.
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja meng-
gelengkan kepala disertai isak tangis yang me-
milukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh
sang suami meski sudah tidak bernyawa lagi itu.
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah
kau menghendaki ia dibantai perampok-perampok
biadab itu...?!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam,
sambil menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua
orang perampok yang datang menyerang. Korban pun
kembali jatuh terkapar berlumur darah.
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku
Baja baru sadar kalau saat itu ia masih menggendong
putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali
menatap mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha
memberontak sewaktu tubuhnya dibawa melayang
naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa
pergi oleh penolongnya ke arah selatan.
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki
berpakaian serba hitam yang membawa istri dan putri
Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung
membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah
rumah penginapan, yang dianggapnya cukup aman
untuk sementara waktu.
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri
Garuda Kuku Baja, setelah mengenali penolongnya.
Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu
ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki
berpakaian serba hitam ini memang tak lain Sagotra.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong
sesama, selama pertolongan yang kita berikan
bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra
sambil tersenyum tipis, "Untuk sementara waktu,
tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar
untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada
harta yang tersisa, yang aku yakin akan berguna
banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini,
dan jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!"
lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu.
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini
dengan suara menggambarkan kecemasan hatinya.
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke
belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati
wanita cantik itu. Kemudian mengangguk dan
melesat pergi meninggalkan rumah penginapan.
***
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra
melesat menuju Hutan Pagar Jurang. Hatinya benar-
benar gembira karena rencana yang diaturnya
berjalan lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya
untuk selalu dekat dengan perempuan cantik yang
membuatnya tergila-gila itu. Membayangkan wajah
cantik dengan tubuh molek itu berada dalam
pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia
tak sabar untuk segera kembali bertemu dan
berkumpul dengan wanita cantik itu. Bayangan wajah
cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat
larinya. Hingga akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang,
markas gerombolan perampok yang disewanya untuk
membunuh Garuda Kuku Baja.
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu
kedatangan Setan Pantai Timur, bergegas menyam-
but begitu melihat sosok bayangan hitam berlari
mendatangi markasnya. Mulutnya tersenyum dan
memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan
Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan
terlihat sangat berat
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu meng-
gosok kedua telapak tangan seraya membayangkan
imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah
kehilangan beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak
Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal. Yang
penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia
tidak mau ambil pusing. Sebab, semua itu memang
sudah menjadi resiko pekerjaan.
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira,
Ki Tambak Rejo...," ujar Setan Pantai Timur
memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja
tewas dalam penyerbuan itu. Dan aku pun sudah
mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau
boleh menerima imbalannya...," berkata demikian,
Setan Pantai Timur segera membuka buntalan,
memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah
banyak.
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-
kitat. Bersama para pengikutnya, kepala rampok ini
mengelilingi Setan Pantai Timur.
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini,
masih ada sepuluh kotak besar penuh emas permata
yang akan membuat kalian semua hidup senang.
Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku
akan membagikannya kepada kalian semua," lanjut
Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak
mengumpulkan harta selama belasan tahun malang
melintang melakukan perbuatan jahatnya. Ucapannya
disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo.
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan
mendapat dua puluh kali lipat dari pengikut-
pengikutmu."
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening
mendengar Setan Pantai Timur akan membagi-
bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar.
Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang
bagian yang akan diperolehnya.
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak
Rejo lebih dulu untuk mengambil kepingan emas
dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh,
kepala rampok ini meraup kepingan emas sebanyak-
banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian
para pengikutnya bergantian maju meraup hanya
dengan satu tangan, seperti yang diperintahkan
Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi
kantong ludes tanpa sisa.
Dengan bibir menyunggingkan senyum licik,
Sagotra alias Setan Pantai Timur bergerak mundur
menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang
tengah menari-nari sambil tertawa-tawa seperti orang
gila.
"Aakhh...?!"
Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah
tertawa-tawa menatap kepingan emas kedua telapak
tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung
dengan wajah pucat! Kepingan emas di kedua
tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit-
jerit ketika melihat kedua telapak tangannya telah
berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo memutar
tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.
"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri
racun jahat...!" desis Ki Tambak Rejo, yang wajahnya
juga mulai berwarna kehitaman.
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama
sekali tidak khawatir meski Ki Tambak Rejo sudah
bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena
sebelum tiba dekat, kepala rampok ini sudah roboh
ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh.
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-
bagikan harta hasil jerih payahku kepadamu, Ki
Tambak Rejo? Dan apa kau pikir aku percaya kau
bisa menjaga rahasiaku? Tidak, Ki Tambak! Semua
yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak ingin
kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di
kemudian hari nanti...!" ujar Setan Pantai Timur
sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin
keras ketika Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga
akhirnya tewas dengan tubuh mengejang.
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga
dialami semua pengikutnya. Puluhan anggota
perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut
berbusa dan kulit kehitaman. Dalam beberapa saat
saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya telah
tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai
Timur.
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya
sudah tewas, Setan Pantai Timur melangkah
perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang
berserakan di tanah. Kemudian dimasukkan kembali
ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat
yang licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh
oleh racun itu. Karena ia telah menelan obat
penangkal, selain melumuri kedua belah telapak
tangannya dengan bubuk putih, yang merupakan obat
penawar racun.
Setelah semua keping emas terkumpul, Setan
Pantai Timur melesat pergi sambil memperdengarkan
tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan
merupakan bayangan samar, sampai akhirnya lenyap
ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar Jurang.
Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai
Timur, muncullah sesosok tubuh pendek gemuk dari
balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau
Gila, yang telah menyaksikan semua kejadian tadi
sejak awal.
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh
curiga kepada manusia satu itu. Sebab, setahuku ia
sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya.
Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran.
Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di
tanganku...!" setelah berkata demikian, Harimau Gila
pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
***
"Mengapa begitu lama Tuan pergi? Membuat aku
cemas memikirkannya…," ujar wanita cantik bekas
istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan
Sagotra. Kecemasan pada wajahnya perlahan lenyap
saat melihat penolongnya kembali dengan selamat.
Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan
penolongnya itu.
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu.
Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang
terlewatkan dari perampok-perampok busuk itu.
Sayang aku tidak menemukan satu pun benda
berharga yang masih tersisa. Sedangkan aku cuma
memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan.
Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang
dibawanya sebagai bekal. Sedang selebihnya ia
sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang
menyebabkan Sagotra sampai hampir dua hari baru
kembali.
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana
aku bisa membalasnya...," ujar wanita cantik ini
seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra,
yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan
tertariknya, terus menatapnya tak berkedip. Kendati
demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena
penolongnya itu tidak berbuat kurang ajar, selain
memandangnya dengan sorot mata kagum. Selebih-
nya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat
wanita ini tidak merasa khawatir.
"Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai."
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama
itu. Tidak enak rasanya mendengar Tuan terus-
menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini
menyebutkan namanya.
"Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti
hendak mengukir nama itu di dalam hatinya. Hal itu
membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan
karena jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka
mengucapkannya. Sangat cocok sekali dengan
parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan
kau boleh panggil aku dengan nama Sagotra, tanpa
embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan,"
lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah
puas menikmati wajah cantik di hadapannya.
"Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah
semakin larut Aku ingin beristirahat...," ucap Nilam
mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra.
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita
harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir
para perampok itu masih akan mengincarmu.
Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan
membunuhnya. Khawatir kalau-kalau ia akan menjadi
penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra meng-
ingatkan Nilam dalam bahaya yang masih akan terus
membayangi.
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan
Sagotra. Membuat langkahnya terhenti, dan memutar
tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang
istri tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa
ancaman itu ada kemungkinan akan datang lagi.
"Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam
yang tidak tahu harus bagaimana, dan menyerahkan
keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak mem-
punyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada
lelaki penolongnya itu.
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan
putrimu, Nilam. Dan kau tidak perlu khawatir karena
aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan
nyawa," janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam.
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban
nyawa untuk kami berdua, Sagotra? Sedangkan kita
baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam
telanjur melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk
menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia menunggu
jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai
wanita, terlebih sudah pernah bersuami, tentu saja
Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran
mata Sagotra.
"Karena... terus terang sejak pertama kali
berjumpa, aku merasa kagum dan tertarik kepadamu,
Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang
melihat kau kehilangan suamimu. Aku pun turut
menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu.
Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar
kau masih akan bersama-sama suamimu..."
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan
gemuruh di dalam dadanya.
"Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...,"
ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian
suaminya.
"Maafkan aku, Nilam...."
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat
keheningan menyelimuti mereka berdua, sampai
akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat.
Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok
Nilam lenyap di balik pintu, Sagotra pun melangkah
memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya
dengan kamar wanita cantik itu.
***
Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas
dalam benak Sagotra, membuat wajahnya menye-
ringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah
kakinya terhuyung seperti tak dapat menapak dengan
baik.
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih
suara parau Sagotra mengungkapkan kedukaan
hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat
melintasi jalan setapak.
Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh
perjalanan tanpa mempedulikan keadaan dirinya,
yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel.
Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat.
Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor
dan dipenuhi debu. Sepasang matanya sayu, memandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjuk-
kan betapa hati Sagotra tengah dilanda kedukaan
hebat! Bayangan anak dan istri yang akan membenci
dan memusuhi dirinya, membuat hatinya tidak bisa
tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia memutuskan
untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena
menurutnya lebih baik meninggalkan daripada
ditinggalkan.
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa
Sagotra jauh meninggalkan Desa Kranggan. Kini
langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang
sebatang sungai berair deras berwarna keruh
kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga
tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar
tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak
ubahnya seekor ular yang menghampiri peng-
gebuk...!"
Sebuah suara yang besar dan berat membuat
Sagotra tersadar dari lamunannya. Bergegas ia
memutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendek
gemuk berdiri sekitar dua tombak di hadapannya.
Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain.
"Harimau Gila...?!" desis Sagotra terkejut dan juga
heran, "Rupanya kau masih juga belum puas hingga
terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan
nada geram!
"Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu,
Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh Pendekar
Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi
penyebab utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa
mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah menulis
surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat
keadaanmu, aku bisa menebak kalau kau pasti
melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu!
Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!"
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku
sekarang?" tukas Sagotra menatap wajah Harimau
Gila dengan penuh kebencian.
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak
punya pilihan lain. Saat ini tokoh-tokoh golongan putih
sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam!
Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena
kami harus menyembunyikan diri di tempat yang
aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu
kau ketahui, Sagotra! Kami telah menyebar berita
bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah
Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau
telah menginjak daerah persembunyian kami, dan
mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan
kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami
tak aka memaksa...," Harimau Gila yang mengakhiri
ucapannya dengan tawa bergelak.
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung
dengan manusia licik dan kejam sepertimu, Harimau
Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung
dengan malaikat maut!" usai berkata demikian,
Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi nekat,
karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang
yang telah mati. Sagotra merasa kematian jauh lebih
baik ketimbang menjalani hidup dengan beban yang
baginya terasa sangat berat.
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat
untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih suka melihat
keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat
berjalan. Hatimu akan terus digerogoti penderitaan,
yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi,
karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat
persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuh-
mu...!" sahut Harimau Gila, lalu segera memberi
isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di
antaranya ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu.
Mereka telah bergabung di tempat persembunyian
itu.
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya
membentuk gulungan sinar menderu-deru. Dan
dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya
melesat menerjang Harimau Gila, yang memang
sangat dibencinya.
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak
tinggal diam. Dengan senjata di tangan, mereka
mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar
saja pertempuran seru pun berlangsung!
Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh
jurus, terlihat Sagotra mulai kewalahan. Hal itu
disebabkan keadaannya yang memang tidak
memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat
ketangkasannya jauh berkurang. Kini dirinya harus
bertahan mati-matian dari desakan lima orang
pengeroyoknya itu.
"Haiiittt...!"
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba
terdengar lengkingan panjang, yang disusul dengan
melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah
arena. Begitu tiba, sosok bayangan hijau itu langsung
membuat desakan Harimau Gila dan kawan-
kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan!
Sambaran sinar putih keperakan yang disertai
gelombang angin dingin menusuk tulang, membuat
lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka
mundur meninggalkan Sagotra yang tampak
kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.
Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan
nyawa Sagotra, telah berdiri dengan kedua kaki
terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang
pedang bersinar putih keperakan yang menyebarkan
hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda
berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba
hijau. Siapa lagi dara jelita ini kalau bukan Kenanga.
***
DELAPAN
Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh
mengundang selera itu, Harimau Gila dan keempat
kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka
tak jadi marah. Bahkan kelimanya kemudian menye-
ringai, sambil menjilati wajah dan tubuh Kenanga
dengan pandang matanya.
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar
semua pembicaraan kalian. Aku memang belum
mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam.
Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengata-
kan bahwa tokoh-tokoh golongan putih tengah men-
cari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak.
Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang
kalian sebut sebagai Setan Pantai Timur ini. Karena ia
ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu.
Selain itu, aku membelanya karena mendengar
sikapnya yang menentang kalian semua. Aku pernah
dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat
keadaan dan perkataannya sekarang, aku bisa men-
duga kalau ia telah sadar dari kesesatannya. Dan
orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga
tidak mempedulikan pandangan kelima orang kepala
rampok itu.
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar
ucapan dara jelita itu. Seleranya langsung lenyap
seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak
lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang meng-
giurkan, melainkan orang berbahaya yang juga harus
dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi
isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok
dan membunuh Kenanga serta Setan. Pantai Timur!
Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat
untuk maju bersama. Maka, mereka pun bergerak
maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan
itu.
"Hih hih hih...!"
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang
ini sama tertegun, ketika mendadak terdengar suara
tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan
penjuru angin.
"Bibi Guru...?!"
Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah
berseri. Kemudian bergegas lari menyambut ketika
melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi
tempat itu.
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru
seorang nenek bertelanjang dada. Perempuan tua
renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di
sini?" tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya
dikenal baik oleh nenek sinting ini.
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan
Kalong Wewe, bergegas bangkit. Mereka berdua
memang memiliki hubungan yang cukup dekat.
Karena guru dari Harimau Gila adalah adik
seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya mengapa
mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan
Harimau Gila tentu saja sangat gembira dengan
kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya
nenek sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab
Harimau Gila separo melapor, "Dan aku terpaksa
bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh
golongan putih. Mereka berdua termasuk di antara
orang-orang yang memburuku..."
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah mem-
bunuh tua bangka Kakek Jubah Hitam?!" tukas
Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang.
Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat
Harimau Gila mengangguk pasti. "Bagus... bagus...!
Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang
sudah seharus-nya dilenyapkan. Karena mereka
hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau
begitu, biar kedua orang itu menjadi bagianku...!"
lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan
Sagotra.
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat
Kenanga merasa terkejut. Terlebih Sagotra yang telah
mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya
menjadi tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak
takut menghadapi kematian, namun menghadapi
nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa
gentar juga.
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan
dunia ini...!" ujar Kalong Wewe. Begitu ucapan itu
selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan
Sagotra dengan menggunakan kuku-kukunya yang
panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini
meluncur disertai suara angin berkesiutan.
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri
dan kanan. Sambaran kuku-kuku runcing itu langsung
dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar
Bulannya. Namun, betapa terkejut Kenanga ketika
pedangnya berbenturan dengan kuku nenek sinting
itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya
terjajar beberapa langkah ke belakang. Sedangkan
tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih
tetap di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek
sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa
tenaga dalam yang melindunginya sangatlah kuat.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra
memekik keras sambil menusukkan pedangnya ke
tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu
sudah memiringkan tubuh, membuat ujung pedang
Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra
sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong
Wewe sudah terulur hendak merampas pedang itu.
Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati
Sagotra. Gerakan nenek ini sangat cepat bukan main,
membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia
harus merelakan senjatanya dirampas. Sayang
gerakannya kalah cepat. Sebelum ia bergerak
melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah
tercengkeram jari-jari tangan lawan. Untung saja ia
masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang
mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu
hatinya. Sehingga, meski ia tidak berhasil meng-
hindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan
hanya menggores iga kanannya.
Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika
merasakan tenaganya mendadak lenyap. Sekeliling-
nya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi
mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak
sadarkan diri!
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi
kaget bukan main. Tak disangkanya kalau nenek
sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai
Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu
cukup tangguh. Hal itu membuat hatinya geram.
Maka, pedang di tangannya kembali diputar, mem-
bentuk gundukan sinar putih keperakan berhawa
dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam
bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe.
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar,
pedangnya sama sekali tidak mampu mengenai
sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat meng-
hindar dengan mempergunakan ilmu meringankan
tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali.
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang
keempat puluh, serangan-serangan Kalong Wewe
membuat Kenanga tak sempat lagi untuk mem-
bangun serangan. Kenanga terdesak dan hanya bisa
melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
"Hiiihhh...!"
Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena
benteng pertahanan lawannya sangat sukar untuk
diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring
menyakitkan telinga. Seketika Kenanga tersentak
mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk
melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja
membuat pertahanannya menjadi kendor. Dia baru
sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan
meluncur pada saat putaran pedangnya melambat.
Whuuuttt...! Plakkk!
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan!
Karena pada saat serangannya hampir merenggut
tubuh Kenanga, tahu-tahu ada sesosok bayangan
putih yang datang dan memapaki serangannya.
Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat
dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe terdorong mundur
sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya, namun paras
nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya
menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya
yang untuk beberapa saat bagaikan lumpuh, tak bisa
digerakkan.
"Kau... Pendekar Naga Putih...?!" desis Kalong
Wewe dengan mata terbelalak. Dilihatnya sosok
pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di
sebelah Kenanga. Rasa jerih tampak jelas pada
sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar
tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu
diiringi lengkingan panjang yang mirip suara tangisan.
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya,
Kenanga langsung saja menghambur ke dalam
pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya
ternyata Panji, kekasihnya.
"Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan
gejolak kerinduan di hatinya. Dipeluknya tubuh dara
jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali.
Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang per-
jalananku selalu terhambat oleh persoalan-persoalan
yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian
menanyakan tentang pertemuan tokoh-tokoh silat
yang dihadiri Kenanga.
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih
banyak. Sedangkan sekarang kita tengah meng-
hadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...,"
ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka
tidak cuma berdua di tempat itu.
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi
pucat, melihat Pendekar Naga Putih menoleh ke arah
mereka.
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima
orang itu hendak melarikan diri. Sambil berseru
demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di
udara. Kemudian meluncur turun di hadapan
Harimau Gila dan kawan-kawannya.
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar
bahwa mereka tidak mungkin dapat menghindar dari
Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju
dengan senjata terhunus. Mereka merasa lebih baik
mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan
tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
Wuttt!
Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua
kawannya tak menemui sasaran. Dengan menggeser
mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat
mengelakkan serangan yang mengarah ketiga tempat
di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Bressshh...!
Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul.
Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh
Harimau Gila dan dua orang kawannya terhumbalang
ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya
terbanting keras ke tanah. Mereka tak sanggup
langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat
tubuh mereka menggigil bagaikan terserang demam
tinggi.
Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah
menghadapi sisa pengeroyoknya. Tubuhnya ber-
lompatan menghindari sambaran pedang kedua
orang lawannya. Lewat sepuluh jurus kemudian, Panji
yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan
hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi,
tubuh kedua orang pengeroyok itu pun terlempar
deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya
jatuh terduduk dengan senjata terlepas dari
genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka.
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!"
Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-
lawannya yang tergeletak di tanah, terdengar sebuah
seruan. Panji menoleh, menunggu kedatangan dua
orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut
Utara.
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di
hadapan tokoh-tokoh persilatan...!" Begitu tiba,
Banadri langsung saja mengusulkan.
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu
aku serahkan kepada kalian...."
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih
sadar, tentu saja menjadi pucat. Mereka menoleh ke
arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun,
sebelum ketiga orang kepala rampok ini membuka
suara, totokan Kenanga telah tiba lebih dulu,
membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah
menotok urat gagu mereka.
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga ter-
senyum kepada Sepasang Elang Laut Utara.
Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara
jelita berpakaian serba hijau itu, Banadri maupun
Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung
membawa pergi Harimau Gila dan empat orang
kepala rampok itu, setelah berpamit kepada
Pendekar Naga Putih.
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara
pergi, Panji dan Kenanga yang tengah menyadarkan
Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang
sama. Tiba-tiba mereka mendengar adanya suara
langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika melihat
sosok dua orang perempuan yang kelihatannya
hendak menghampiri mereka, Kenanga dan Panji pun
bangkit berdiri.
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsan-
nya, mendadak pucat! Ia langsung saja melompat
bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan
yang tak lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap
Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar
pandang dengan wajah heran.
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba,
Sagotra langsung saja menjatuhkan tubuhnya di
hadapan istri dan putrinya.
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila
kepada kami bukan cuma fitnahan belaka...," desis
Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan
wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosa-
ku terhadap mendiang suamiku. Ternyata selama ini
aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!"
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa.
Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya.
Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya
bermanja, ternyata orang yang telah membunuh ayah
kandungnya.
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena
ingin memilikimu aku pun menjadi mata gelap...," aku
Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima
hukuman dari kalian berdua...," lanjutnya dengan
suara parau dan bergetar.
"Keparat busuk kau, Sagotra...!"
Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam
dengan air mata bercucuran, mendesis tajam.
Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah ter-
genggam sebatang pedang.
"Tahan...!"
Melihat pedang yang sudah siap memenggal
kepala Sagotra, Panji berseru mencegah. Sekali
berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu.
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau
tidak tahu duduk persoalannya...!" hardik Andari,
menatap Panji dengan sorot mata tajam me
mancarkan ketidaksenangan hatinya.
"Dik...," ujar Panji tenang "Apa pun bentuk per-
soalannya, sebaiknya dicari penyelesaian yang paling
baik."
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh
Ayah kandungku! Dan dia melakukannya dengan
menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi
penolong kami. Hingga kami menganggapnya sebagai
dewa penolong, yang mempunyai budi besar dan
tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia
melamar ibuku untuk menjadi istrinya. Karena
hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima
lamarannya. Sayang, perbuatan busuknya ada yang
menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa
jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalan-
nya?" ujar Andari setelah menjelaskan persoalannya
kepada Panji dan Kenanga.
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang
sangat besar," jawab Kenanga, yang telah melihat
sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu meng-
hadapi Harimau Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar
akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau Gila
mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati.
Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian
perbuat, sebelum menyesal di belakang hari!"
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela
napas panjang. Kemudian menoleh kepada ibunya,
yang kebetulan juga tengah memandangnya.
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi,
Sagotra!" Akhirnya Nilam memutuskan, setelah
berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada
putrinya. "Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!"
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung
melompat dan memeluk kedua kaki istrinya.
Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak
mungkin dapat hidup tanpa kalian. Berilah aku
kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa
lalu. Meski jadi pelayan sekalipun, aku bersedia
asalkan tetap berada dekat dengan kalian...."
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun
bencinya kepada Sagotra saat itu, akhirnya luluh juga.
Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama,
telah menimbulkan rasa cinta di hatinya. Apalagi
selama menjadi suami dan ayah dari putrinya,
Sagotra memperlihatkan rasa tanggung jawab dan
kasih sayang yang sangat besar. Kalau saja sejak
dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata
pembunuh suaminya, mungkin akan jadi lain
persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan
dibunuhnya Sagotra. Namun, peristiwa itu sudah
sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian
yang dirasakannya tidak terlalu dalam.
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu se-
penuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk sementara
waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan
bisa menerima kehadiranmu kembali...," ujar Nilam,
yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra pada
kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat
itu.
"Ibu..."
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali
terhenti. Perempuan cantik ini menoleh ke arah
putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau
Andira telah memaafkan perbuatan Sagotra di masa
silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena Andari
hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya
sendiri. Dia tahu kalau putrinya sudah terlalu dekat
kepada Sagotra. Hingga, sosok seorang ayah, bagi
Andari lebih jelas adalah Sagotra, yang semenjak dia
masih kecil telah memberikan kasih sayang dan
kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal
inilah yang membuat sosok ayah kandungnya sendiri
hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas.
Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan
pikiran putrinya.
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah
memohon, "Berilah ia kesempatan untuk menebus
dosa-dosanya di masa lalu...!"
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu meng-
angguk dan tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa
lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari.
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat
tubuh Sagotra. Kemudian membawanya menyusul
langkah ibunya.
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga
sosok tubuh itu, hingga lenyap di kejauhan. Keduanya
saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega.
Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu
saja keduanya telah berpelukan erat.
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para
pendekar yang kau hadiri itu, Kenanga...," Panji
menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukan-
nya.
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkat-
nya, pertemuan yang semula dimaksudkan untuk
memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan
putih, belum bisa diputuskan. Karena banyak tokoh
tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan ditunda
sampai purnama depan."
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata
Panji lebih terpaku pada bibir kekasihnya sewaktu
berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan
mata dan begitu dekat, Panji tak bisa lagi menahan
diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum terpuaskan!
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar