..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 20 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE SETAN PANTAI TIMUR

Matjenuh

 SATU


Malam semakin larut. Sang Dewi Malam yang semula 
bersinar cerah, tampak mulai redup. Sebagian 
wajahnya tertutup awan kelabu. Hembusan angin 
bertambah kencang membawa hawa dingin menusuk 
tulang. Kendati demikian, suasana itu sama sekali 
tidak membuat binatang malam menghentikan 
senandungnya. 
Sesosok tubuh tinggi kurus menghentikan larinya 
di mulut sebuah hutan kecil. Ia berdiri tegak 
memandang berkeliling. Namun sejauh mata 
memandang, hanya kepekatan yang dilihatnya. 
Terdengar helaan napasnya. Kedua kakinya 
melangkah lambat-lambat sambil tetap mengawasi 
sekitar tempat itu. 
"Bagus, Sagotra! Aku senang kau mau datang...." 
Suara parau yang mirip sebuah desahan berat itu 
membuat Sogatra memutar tubuhnya. Sepasang 
matanya berkilat tajam, menatap sosok yang agak 
tersembunyi di kegelapan bayang pepohonan. 
"Hua ha ha haaahhh...!" 
iba-tiba saja sosok bertubuh pendek itu tertawa 
keras hingga tubuhnya yang gemuk terguncang-
guncang. 
"Hm..., mengapa kau masih menggangguku, 
Harimau Gila? Apa lagi yang kau inginkan dariku?" 
tegur lelaki kurus bernama Sagotra, menyembunyikan 
kemarahan.

"Sagotra... Sagotra, tahan dulu amarahmu! Apakah 
di antara sahabat tidak boleh saling mengunjungi...?" 
sahut lelaki pendek gemuk yang disebut dengan 
julukan Harimau Gila. 
"Kita tidak lagi bersahabat, Harimau Gila!" tegas 
Sagotra dengan tatapan semakin mencorong. "Masa 
lalu yang bergelimang dosa sudah kulupakan! Dan 
sekarang kau tidak akan bisa lagi memaksaku untuk 
melakukan kesalahan kembali!" 
Sosok gemuk pendek di kegelapan bayang 
pepohonan kembali memperdengarkan gelak tawa-
nya yang aneh. Kemudian mengayunkan langkah 
mendekati tempat Sagotra berdiri. Kurang lebih satu 
tombak, langkahnya terhenti. 
"Sagotra," ujar Harimau Gila dengan menentang 
mata Sagotra, "Untuk kedua kalinya, aku terpaksa 
mengganggu kehidupanmu. Kuharap kau tidak 
menolak permintaanku ini. Ingat, aku bukan saja bisa 
membuka kebusukanmu di depan anak dan istrimu! 
Tapi, aku juga bisa melibatkan namamu dalam 
kematian Kakek Jubah Hitam!" 
"Bangsat licik..! Kau... benar-benar iblis, Harimau 
Gila!" 
Bukan main murkanya Sagotra demi mendengar 
ancaman Harimau Gila. Peristiwa terbunuhnya tokoh 
golongan putih berjuluk Kakek Jubah Hitam, melintas 
sesaat dalam benaknya. Secara langsung ia memang 
terlibat dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Hal itu 
dilakukannya dengan sangat terpaksa, karena 
ancaman Harimau Gila. Namun, Harimau Gila yang 
berjanji tidak akan mengganggunya lagi setelah itu, 
ternyata mengingkarinya. Harimau Gila kembali 
mengirimkan sepucuk surat kepadanya, minta untuk 
bertemu di mulut hutan kecil di luar Desa Kranggan.

"Terpaksa kulakukan, Sagotra. Mulanya aku 
memang berjanji untuk tidak akan mengganggumu 
lagi, setelah kau menolongku melenyapkan Kakek 
Jubah Hitam, beberapa hari lalu. Tapi..., kali ini aku 
bersungguh-sungguh! Jika kau mau membantuku, 
aku tak akan mengusikmu lagi. Aku membutuhkan 
bantuanmu, Sagotra...," ujar Harimau Gila yang 
kemudian menundukkan kepalanya. Seolah ia 
merasa bersalah telah mengingkari janjinya. 
"Tidak!" tandas Sagotra. "Cukup sekali saja kau 
menipuku! Seharusnya sejak semula aku sadar, 
bahwa janji sama sekali tidak berarti bagi orang 
sepertimu! Dan jika kali ini aku masih menuruti 
kehendakmu, sudah pasti kau akan terus meminta 
dengan ancaman yang serupa!" 
Setelah berkata demikian, Sagotra memutar 
tubuhnya, hendak meninggalkan tempat itu. 
"Tunggu, Sagotra...!" cegah Harimau Gila mem-
bentak. 
Sagotra terpaksa menghentikan langkahnya. Tapi 
ia tidak berbalik, tetap membelakangi Harimau Gila. 
"Dengar, Sagotra!" lanjut Harimau Gila, "Jika kau 
berkeras hendak pergi dan menolak permintaanku, 
berarti kau harus siap menerima kehancuran dalam 
hidupmu! Kau akan dikutuk dan dimusuhi oleh anak 
dan istrimu! Sementara, tokoh-tokoh persilatan 
golongan putih akan memburumu, menuntut tang-
gung jawabmu atas kematian Kakek Jubah Hitam. 
Kau bukan cuma akan kehilangan kebahagiaan, 
Sagotra, tapi hidupmu pun akan hancur! Pikirkanlah, 
betapa sempitnya dunia ini jika apa yang kukatakan 
itu benar-benar terjadi..." 
Sagotra terpaksa memutar tubuh, menghadapi 
Harimau Gila. Apa yang dikatakan Harimau Gila,

memang harus diakui kebenarannya. Ngeri hatinya 
membayangkan kehidupan seperti yang digambarkan 
Harimau Gila. Terlebih bayangan tentang anak dan 
istrinya, yang akan berbalik memusuhinya. Bayangan 
hari-hari mengerikan itu, membuat wajahnya menjadi 
pucat! 
"Tapi, jika kau bersedia membantuku lagi, 
kehidupan yang mengerikan itu tidak akan pernah 
terjadi..." Harimau Gila melanjutkan ucapannya, se-
waktu melihat Sagotra mulai terpengaruh. 
Tidak terdengar tanggapan dari Sagotra. Lelaki 
tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun ini 
tampak menggeleng perlahan, disertai helaan napas 
berat yang berkepanjangan. Kedudukannya memang 
serba salah. Menuruti kehendak Harimau Gila, berarti 
mengingkari janji pada dirinya sendiri. Dirinya telah 
bertekad meninggalkan kesesatan untuk selama-
lamanya. Namun, jika ia menolak, bayangan hari-hari 
mengerikan yang digambarkan Harimau Gila, 
kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Karena 
rahasia masa lalunya diketahui Harimau Gila. 
Sehingga Sagotra menjadi bingung tak tahu harus 
memilih yang mana. 
"Mengapa kau sampai hati melakukan semua ini 
terhadap diriku, Harimau Gila? Bukankah aku tak 
pernah mengganggu ataupun menyakitimu? Bahkan 
sampai saat ini pun aku masih tetap meng-
ganggapmu sebagai seorang sahabat baik..." Ucapan 
lemah Sagotra terdengar memecah kesunyian di 
antara mereka. Dalam ucapannya tergambar jelas 
nada keputusasaan. 
"Hmmm, mengapa kau menjadi cengeng, 
Sagotra?" ejek Harimau Gila. Hatinya sama sekali tak 
tersentuh melihat wajah Sagotra yang terselimut
kedukaan. "Padahal aku sama sekali belum me-
lakukan apa-apa terhadapmu? Kebahagiaanmu 
masih utuh. Istri dan anakmu masih tetap men-
dampingimu dan menyayangimu. Dan aku cuma 
meminta sedikit bantuan darimu! Itu saja, tidak 
lebih!" 
"Tapi bantuan yang kau inginkan itu membuat 
diriku kembali terseret ke dalam lumpur kenistaan!" 
tukas Sagotra menggeram marah. Tubuhnya gemetar 
dengan mata melotot. Dadanya bergelombang me-
nahan amarah. 
Harimau Gila mendengus kasar. Kakinya me-
langkah mundur sewaktu melihat sikap Sagotra 
seperti hendak menerkam tubuhnya. Namun, Sagotra 
sendiri sudah mengurungkan niatnya. Munculnya 
empat sosok tubuh dari kiri-kanan dan langsung 
mengapit tubuh Harimau Gila, membuat Sagotra 
sadar kalau dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. 
"Bagaimana, Sagotra?" desak Harimau Gila 
menuntut jawaban Sagotra. Sagotra berdiri me-
matung. Ia tidak menjawab, tidak menggeleng 
ataupun mengangguk. Namun sikap itu dianggap 
Harimau Gila sebagai sikap menerima. Maka bibir 
lelaki pendek gemuk ini pun mengulas senyum 
kemenangan. 
"Siapa tokoh yang menjadi musuhmu kali ini...?" 
tanya Sagotra sekadar ingin tahu. 
"Pendekar Clurit Perak. Ia sudah terlalu banyak 
menewaskan golongan kita. Orang seperti tokoh itu 
harus segera dilenyapkan...!" sahut Harimau Gila, 
membuat Sagotra kelihatan agak kaget. 
"Pendekar Clurit Perak...!?" desisnya dengan 
kening berkerut Namun, sewaktu Sagotra meng-
angkat kepala, Harimau Gila dan keempat kawannya

sudah melesat meninggalkan tempat itu. Pikirannya 
menerawang, terkenang pada awal kemunculan 
Harimau Gila, yang mengusik kebahagiaannya. 
*** 
Seperti biasanya, setiap pagi Sagotra duduk di 
taman belakang rumahnya. Namun pada pagi itu 
ketenangannya terusik oleh suara bergegas yang 
mendatanginya. Dia yang sudah siap mendamprat 
pemilik langkah suara itu, terpaksa harus menelan 
kembali kata-kata yang sudah berada di ujung 
lidahnya. Karena pemilik suara langkah kaki itu 
ternyata putrinya sendiri. Karuan saja wajah masam 
Sagotra berganti senyum. 
"Ayah..." 
Andari, putri tunggal Sagotra, berlari-lari kecil 
mendatangi. Gadis belia berusia sekitar enam belas 
tahun ini tampak begitu riang. 
"Ada apa, Andari...?" tanya Sagotra tersenyum 
membiarkan Andari menggayuti tubuhnya. Gadis 
remaja nan cantik rupawan ini memang sangat 
manja. Sagotra sendiri memakluminya. Karena ia 
memang sangat sayang dan memanjakan putri 
tunggalnya itu. 
"Di luar ada tamu, yang katanya sahabat lama 
Ayah," jawab Andari dengan tubuh terus bergerak-
gerak membuat tubuh ayahnya yang duduk di atas 
kursi ikut terguncang. "Tapi aku tidak begitu suka 
melihatnya, Ayah. Apalagi caranya memandangiku. 
Seperti harimau kelaparan!" lanjutnya sambil 
memonyongkan mulut, memperlihatkan ketidak-
sukaannya. 
"Sahabat lama Ayah...?!" desis Sagotra agak heran.

Karena selama belasan tahun ia tidak lagi ber-
hubungan dengan dunia luar, selain warga desa yang 
dipimpinnya. Sagotra adalah Kepala Desa Kranggan. 
Datangnya tamu yang mengaku sebagai sahabat 
lamanya, membuat kening Sagotra berkerut "Apakah 
orang itu tidak menyebutkan namanya...?" tanyanya. 
"Tidak, Ayah. Cuma, orang itu bilang kalau Ayah 
pasti akan segera tahu apabila melihatnya..." 
"Hm...," Sagotra menggumam perlahan. Kemudian 
bangkit dan melangkah menuju ruang tamu. Sedang 
Andari menggantikan duduk memandangi tanaman 
bunga kesukaannya yang sedang bermekaran. 
Tiba di ruang tamu, Sagotra mendapati seorang 
lelaki pendek gemuk yang pada pipi sebelah kirinya 
terdapat luka memanjang. Sehingga sudut bibir 
sebelah kirinya agak menjungkat. "Memang tidak 
salah penilaian Andari," pikirnya. Wajah tamu itu 
membuat orang merasa kurang suka. Terlebih 
sepasang matanya yang selalu jelalatan dan menyem-
bunyikan kelicikan. 
"Harimau Gila...?!" terka Sagotra setelah mem-
perhatikan tamunya beberapa saat. Kerutan ke-
heranan pada wajahnya mendadak lenyap, berganti 
dengan kekagetan, yang kemudian segera ditekan-
nya. 
"Kaget melihatku, Sagotra...?" tegur suara serak 
lelaki pendek gemuk itu. Mulutnya tersenyum tipis. 
Rupanya gambaran kekagetan yang hanya sekilas di 
wajah Sagotra dapat ditangkapnya. 
Begitu mengenali siapa tamunya, ingatan Sagotra 
langsung menerawang ke masa belasan tahun silam. 
Waktu itu Harimau Gila memang merupakan sahabat-
nya yang cukup dekat. Bahkan pernah dirinya be-
berapa kali membantu Harimau Gila, yang merupakan

kepala rampok dengan pengikut yang cukup banyak. 
Sagotra sendiri bukan orang baik-baik. Dia me-
rupakan seorang tokoh sesat tunggal, yang malang 
melintang mengandalkan kepandaiannya. Tidak me-
miliki pengikut seorang pun, karena memang lebih 
suka bekerja sendiri. Sagotra paling tidak suka terikat 
oleh siapa pun atau perkumpulan sesat apa pun. 
Namun tetap tidak menutup kemungkinan apabila 
ada rekan segolongan yang meminta bantuannya. 
Tentu dengan imbalan yang diajukannya. Harimau 
Gila selalu menghubunginya apabila mangsa yang 
diincar memiliki pengawalan yang kuat. Dan dengan 
perjanjian membagi dua hasil rampokan, Sagotra pun 
sesekali bergabung. Setelah itu pergi dengan mem-
bawa harta rampokan yang menjadi bagiannya. 
Itulah yang membuat Sagotra mengenal Harimau 
Gila cukup dekat. Harimau Gila sendiri sangat 
menyanjung dan memandang tinggi terhadap 
Sagotra. Bahkan menganggap sebagai pelindungnya, 
kendati Sagotra sendiri tak menghendaki pengakuan 
itu. Namun ia tetap datang jika Harimau Gila mem-
butuhkannya untuk melakukan pekerjaan besar. 
"Kau sengaja mencariku...?" tanya Sagotra, setelah 
mempersilakan Harimau Gila duduk. 
"Benar, Sagotra," jawab lelaki gemuk itu masih 
tersenyum dan tetap memperlihatkan rasa segannya. 
"Kau menghilang begitu saja, membuat aku sempat 
kalang-kabut, tak tahu ke mana harus meng-
hubungimu. Tidak adanya kau di antara kami, mem-
buat pekerjaanku berantakan! Sekitar sebelas tahun 
silam, ada iring-iringan kereta barang, yang dikawal 
jago-jago silat tangguh. Karena tidak berhasil meng-
hubungimu, aku dan kawan-kawan nekat untuk tetap 
melakukannya. tapi, siapa sangka kalau orang-orang

yang mengawal iring-iringan kereta barang itu rata-
rata berkepandaian tinggi. Hingga, bukan saja kami 
menemui kegagalan, bahkan separo pengikutku 
terpaksa harus menerima kematian di tangan 
mereka!" 
Harimau Gila menghentikan ceritanya, menunggu 
tanggapan dari Sagotra. Namun Sagotra terlihat tetap 
tenang, tidak menunjukkan perasaan apa pun! Sikap 
ini membuat wajah Harimau Gila berkerut. 
"Belakangan baru kami tahu, dan ini membuat 
kami menyesal telah berlaku ceroboh! Karena iring-
iringan kereta yang kami rampok itu ternyata milik 
seorang pembesar kerajaan! Orangku, yang bertugas 
sebagai penyelidik, tidak lengkap dalam memberikan 
keterangan. Pembesar kerajaan itu murka, lalu 
mengirimkan dua lusin pasukan terlatih. Tempat 
persembunyian kami diobrak-abrik! Menyadari kalau 
pihakku akan kalah, maka aku pun mengambil 
keputusan untuk lari menyelamatkan diri. Sebagai 
orang buronan, aku pun tidak bisa tinggal di satu 
tempat lama-lama. Maka, aku melakukan pengem-
baraan tanpa tujuan, yang sekaligus menghindari 
kejaran mereka. Baru setelah kurang lebih lima tahun 
hidup sebagai pelarian, aku mulai dilupakan. Teringat 
akan dirimu, aku pun tidak menghentikan perjalanan. 
Tapi bukan lagi sebagai orang buronan, melainkan 
untuk mencari tahu tentang dirimu, mengapa kau 
mendadak lenyap tanpa berita? Sampai akhirnya aku 
tiba di desa ini, dan mendengar bahwa kepala desa-
nya bernama Sagotra." 
"Apakah cuma aku seorang yang bernama Sagotra 
di dunia ini?" potong Sagotra tak sabar. Karena ia 
memang tidak tertarik dengan cerita Harimau Gila. 
"Sebelum datang ke rumah ini, aku sudah banyak

bertanya kepada penduduk tentang gambaran kepala 
desanya. Baru kemudian aku merasa pasti kalau 
Sagotra Kepala Desa Kranggan adalah Sagotra 
sahabatku!" jelas Harimau Gila, kemudian memper-
dengarkan suara tawa sebagai pelampiasan kegem-
biraan hatinya, karena kembali bertemu orang yang 
dulu dianggap sebagai pelindungnya itu. 
"Hm..., lalu, apa maksudmu datang menemuiku? 
apakah cuma sekadar ingin berjumpa dengan kawan 
lama, atau kau mempunyai kepentingan lain...?" 
tanya Sagotra tanpa senyum sedikit pun, membuat 
Harimau Gila menghentikan tawanya. "Perlu kau 
ketahui, Harimau Gila, bahwa Sagotra yang sekarang 
tidak sama dengan Sagotra yang dulu. Sudah kurang 
lebih sebelas tahun aku meninggalkan semua yang 
pernah kuperbuat. Aku tidak lagi berhubungan 
dengan kekerasan. Di desa ini dan di samping anak-
istriku, kudapatkan ketenangan. Jadi, kalau ke-
datanganmu mempunyai maksud seperti dulu, 
sebaiknya lupakan saja! Tapi, selama kau datang 
dengan maksud baik, pintuku selalu terbuka untuk-
mu. Kau mengerti maksudku, Harimau Gila...?" 
Harimau Gila tidak menjawab. Meski pandang 
matanya tertuju ke wajah Sagotra, namun kosong. 
Karena ia merasa kaget mendengar penjelasan 
Sagotra. 
"Dengan sikap yang kau ambil itu, tidakkah merasa 
bahwa dirimu telah berkhianat...?" tanya Harimau Gila 
setelah dapat menguasai perasaannya. Dan sikapnya 
berubah seketika. Tidak lagi ada nada hormat dalan 
ucapannya. Namun Sagotra tidak peduli dengan per-
ubahan itu. 
"Berkhianat...?!" desis Sagotra menegaskan, 
khawatir salah mendengar ucapan tamunya. "Terhadap siapa aku berkhianat? Kau tahu sendiri kalau 
selamanya aku tak pernah terlibat oleh orang atau 
komplotan apa pun!" 
"Tapi, biar bagaimanapun kau tetap merupakan 
tokoh golongan sesat! Dan dengan menarik diri dari 
dunia sesat, berarti kau telah berkhianat, pada 
golonganmu, golongan kita!" ujar Harimau Gila, jelas-
jelas menunjukkan ketidaksenangannya atas sikap 
Sagotra. 
"Lalu, siapa yang akan menuntutku...?" tanya 
Sagotra tersenyum sinis, tahu kalau Harimau Gila 
cuma mencari-cari alasan. 
"Aku yang akan menuntutmu, juga tokoh-tokoh 
golongan sesat lainnya!" tukas Harimau Gila, 
menakut-nakuti Sagotra dengan maksud agar bekas 
pelindungnya itu kembali merubah sikap. 
"Hm..., kalau memang begitu, apa boleh buat..." 
Jengkel bukan main Harimau Gila mendengar 
ucapan Sagotra, yang sama artinya dengan me-
nantang dirinya. Namun, ia pun bukan orang bodoh, 
dia sadar bahwa kepandaiannya berada jauh di 
bawah Sagotra. 
"Hm...." Tiba-tiba wajah keruh Harimau Gila 
kembali cerah. Senyum liciknya terukir, membuat 
Sagotra agak heran. "Ada sesuatu yang lupa ku-
ceritakan kepadamu, sewaktu aku masih seorang 
buronan, Sagotra...," lanjutnya berteka-teki. 
Kepala desa itu menanggapi. Dirinya tahu Harimau 
Gila tidak senang dengan sikap yang diambilnya. 
Bahkan tahu kalau bekas kepala rampok itu tengah 
mencari-cari alasan yang mungkin akan bisa merubah 
pendiriannya. 
"Waktu itu, aku baru saja lari menyelamatkan diri 
meninggalkan tempat dan pengikutku yang dihancur

kan prajurit kerajaan. Aku berlari tanpa tujuan. 
Sampai akhirnya tiba di kaki Gunung Dampit, yang 
merupakan dua buah pegunungan berhimpit satu 
sama lain..." 
Harimau Gila menghentikan ceritanya, hendak 
melihat tanggapan Sagotra. Namun, lelaki tinggi agak 
kurus itu masih tetap membisu, kendati ada sedikit 
kerutan di keningnya. Dan itu sudah cukup menim-
bulkan senyum dingin di bibir Harimau Gila. 
"Tidak disangka, aku tiba bertepatan dengan 
serombongan orang, yang hendak menuju ke suatu 
tempat. Kau tahu siapa rombongan itu, Sagotra...?" 
tanya Harimau Gila menyunggingkan senyum 
misterius. 
"Aku bukan saja tidak tahu siapa rombongan itu, 
Harimau Gila. Tapi aku juga tidak mengerti apa 
sebenarnya yang tengah kau ceritakan ini...?" jawab 
Sagotra tetap tenang. 
Lagi-lagi Harimau Gila menanggapi dengan 
senyum. Karena sempat melihat kilatan aneh pada 
mata Sagotra. Ia tahu kalau Sagotra mulai dapat 
menebak ceritanya. Namun berusaha disembunyikan 
dan tetap menunjukkan sikap tenang. 
"Sebagai seorang kepala rampok, tentu saja aku 
tahu dan kenal perampok-perampok di hampir separo 
negeri ini. Jelasnya, rombongan itu adalah para 
perampok dari Hutan Pagar Jurang! Dan Ki Tambak 
Raja, pimpinan mereka merupakan salah seorang 
kenalan lamaku. Sewaktu kutanya apa tujuan mereka 
datang ke kaki Gunung Dampit, Ki Tambak Raja 
memberikan jawaban yang sangat jelas!" 
Harimau Gila kembali menghentikan ceritanya. 
Matanya tak lepas dari wajah Sagotra. 
Kali ini Sagotra tak dapat lagi menguasai dirinya.
Dengan wajah agak memucat, dia bangkit dari 
kursinya. Sepasang matanya membelalak lebar. Deru 
napasnya memburu. Menandakan ketegangan dan 
kegelisahan hatinya. Sepasang tangannya sudah 
terulur, hendak menjambret leher Harimau Gila. 
Namun lelaki pendek gemuk itu, yang memang sejak 
tadi sudah waspada, bergegas melompat mundur, 
menghindari cengkeraman Sagotra. Kursi yang 
didudukinya terlempar, menimbulkan suara ribut! 
Tubuh Harimau Gila sudah berada di ambang pintu, 
terpisah satu tombak lebih dari tempat Sagotra 
berdiri. 
"Rahasiamu ada di tanganku, Sagotra! Dan itu 
berarti mulai saat ini kau harus menuruti kehendak-
ku. Jika tidak, akan kubongkar semua kebusukanmu! 
Kebahagiaan yang selama belasan tahun kau rasa-
kan, dapat kuhancurkan hanya dalam beberapa 
kalimat saja...!" ujar Harimau Gila tertawa penuh 
kemenangan. 
"Keparat, jangan lari kau, Manusia Busuk!" bentak 
Sagotra kalap. Kemudian menggenjot tubuhnya, 
melesat mengejar Harimau Gila yang sudah 
melarikan diri, meninggalkan rumah besar itu. 
"Tangkap! Jangan biarkan manusia jahat itu lolos...!" 
Teriakan Sagotra membuat empat orang pengawal-
nya bergegas menghadang di tengah pintu gerbang. 
Heran juga mereka sewaktu melihat orang yang 
mereka kenali sebagai tamu dan sahabat kepala 
desa mereka, tengah berlari dengan kecepatan tinggi. 
Bahkan dikejar-kejar Ki Lurah Sagotra! 
"Minggir kalian...!" seru Harimau Gila, yang sambil 
berlari melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dua dari 
empat penjaga tempat tinggal kepala desa itu ter-
jungkal muntah darah! Keduanya meregang lalu

tewas seketika dengan mata mendelik! 
"Pembunuh keji, serahkan dirimu...!" teriak salah 
satu penjaga, yang langsung saja menusukkan mata 
tombaknya ke tubuh Harimau Gila. Hal serupa juga 
dilakukan kawannya. 
Namun, dengan sebuah pekikan keras, tubuh 
Harimau Gila melenting berputar ke udara. Sewaktu 
meluncur turun di belakang kedua penyerangnya, 
kedua tangannya melancarkan hantaman ke arah 
punggung, dan telak mengenai sasarannya. Akibat-
nya, dua penjaga yang tersisa itu, terlempar ke 
depan, memuntahkan darah segar. Keduanya 
langsung tewas dengan tulang punggung remuk! 
Kaget juga Sagotra melihat kepandaian Harimau 
Gila. Kenyataan itu membuat ia sadar kalau ilmu silat 
bekas kepala rampok itu telah berkembang pesat. 
Namun, hatinya sama sekali tidak gentar, terus 
melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak, 
menyuruh Harimau Gila berhenti. Tentu saja lelaki 
gemuk pendek yang otaknya masih waras itu, tidak 
mau berhenti. Malah semakin menambah kecepatan-
nya. Hingga, mereka saling berkejaran, melintasi jalan 
utama Desa Kranggan. 
Teriakan-teriakan Ki Lurah Sagotra, membuat 
belasan orang keamanan desa ikut melakukan 
pengejaran Namun, mereka tertinggal beberapa 
tombak, dan semakin lama semakin jauh tertinggal. 
Kendati demikian mereka tetap tidak berhenti, terus 
mengejar! 
***

DUA

Di dekat sebuah hutan kecil, yang terletak di luar 
batas wilayah Desa Kranggan, Harimau Gila tampak 
menghentikan larinya. Kemudian berbalik, seperti 
sengaja menunggu kedatangan Sagotra yang 
mengejarnya. 
Sagotra yang saat itu sudah tinggal dua tombak di 
belakang buruannya, mengerutkan kening melihat 
sikap Harimau Gila. Namun kemarahan yang bagai 
menghanguskan dadanya, membuat Sagotra tidak 
mau ambil pusing. Tubuhnya tetap meluncur, bahkan 
ia langsung melancarkan pukulan lurus ke depan, 
mengarah dada Harimau Gila. 
Whuttt...! 
Kepalan Sagotra menerpa angin kosong. Karena 
Harimau Gila sudah menggeser tubuhnya ke samping. 
Bahkan langsung mengirimkan tendangan kilat, 
mengancam lambung lawannya. 
Plakkk! 
Kibasan tangan Sagotra membentur kaki Harimau 
Gila, membuat tendangan itu terpental balik. Dan 
tubuh Harimau Gila sendiri sampai berputar, saking 
kerasnya tenaga kibasan itu. Wajah lelaki pendek 
gemuk ini terlihat menyeringai. Karena kakinya 
bagaikan membentur sebatang besi! 
"Tamat riwayatmu, Manusia Berhati Busuk!" geram 
Sagotra menyusuli tangkisannya dengan sebuah 
bacokan sisi telapak tangan miring ke leher Harimau 
Gila. Dan sewaktu lelaki gemuk pendek itu 
merendahkan tubuh mengelak, Sagotra segera

menyusul lagi dengan gedoran telapak tangan ke 
dada lawannya. 
Desss ..! 
"Hukkhhh..!" 
Tanpa ampun lagi, gedoran telak itu membuat 
tubuh Harimau Gila terjengkang keras! Selebar 
wajahnya memerah, menahan rasa sesak. Dari sudut 
bibirnya tampak cairan merah merembes turun. 
Keadaan lawan sama sekali tidak membuat 
Sagotra berhenti. Tampaknya ia benar-benar hendak 
menghabisi nyawa Harimau Gila. Serangan berikutnya 
meluncur cepat sekali. Menilik dari sambaran angin 
pukulannya, dapat diketahui kalau Sagotra telah 
mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan 
yang dimaksudkan sebagai pamungkas itu. 
Sewaktu pukulan Sagotra tinggal setengah tombak 
lagi dari tubuh Harimau Gila, tiba-tiba terdengar 
teriakan-teriakan teras dari kanan-kirinya. Disusul 
dengan bermunculannya empat sosok bayangan, 
yang langsung melontarkan serangan ke arahnya. 
Sagotra terpaksa harus menunda serangannya, dan 
melompat mundur. Karena keempat sosok bayangan 
itu menggunakan senjata. Selain itu, dari suara 
sambaran anginnya, Sagotra dapat mengetahui 
bahwa tenaga keempat penyerang itu rata-rata cukup 
kuat. Dan ia pun tidak ingin bertindak ceroboh. 
Melihat Sagotra sudah melompat mundur, 
keempat sosok bayangan itu tidak melanjutkan 
serangannya. Mereka bergerak menghampiri Harimau 
Gila. Lalu berdiri mengapit lelaki pendek gemuk itu 
dari kiri-kanan. Siap melindungi Harimau Gila apabila 
Sagotra masih melanjutkan serangannya. 
"Hm..., rupanya semua ini sudah kau atur sedemi-
kian rupa, Harimau Gila?" desis Sagotra geram

sewaktu mendapat kenyataan bahwa keempat sosok 
bayangan itu ternyata kawan-kawan Harimau Gila. 
Sekarang baru ia mengerti, mengapa Harimau Gila 
tidak terus berusaha lolos dari kejarannya. Malah 
sengaja berhenti dan menunggu kedatangannya. 
Rupanya Harimau Gila sudah mempersiapkan kawan-
kawannya yang baru akan muncul apabila dirinya 
terancam. 
"Bagus kalau kau sudah mengetahuinya, Sagotra," 
tukas Harimau Gila. Meski wajahnya terlihat masih 
seperti orang menahan sakit, namun dia berusaha 
menyunggingkan senyum sinis. "Terus terang 
kukatakan, saat ini aku membutuhkan bantuanmu. 
Dan kau tulak mempunyai pilihan kecuali menerima-
nya. Kalau tidak, akan kuhancurkan kebahagiaanmu 
dengan membeberkan kebusukanmu di depan 
keluargamu!" 
Ancaman Harimau Gila membuat Sagotra meng-
gereng keras. Wajahnya sebentar merah sebentar 
pucat! Kelihatan sekali kalau saat itu tengah terjadi 
peperangan di dalam hatinya. Beberapa saat 
kemudian, sewaktu Sagotra hendak mengatakan 
sesuatu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang 
banyak mendatangi tempat itu. Sagotra menoleh 
sekilas ke belakang. 
Dia menunda ucapannya begitu melihat ke-
munculan belasan orang keamanan desa, yang juga 
merupakan pengawal-pengawalnya. 
"Ki Lurah?! Kau tidak apa-apa...?!"'tanya salah 
seorang yang merupakan kepala keamanan desa, 
menghampiri Sagotra. 
Sagotra cuma mengangguk sedikit sebagai 
jawaban atas pertanyaan bernada cemas itu. Sedang 
pandangan matanya tetap tertuju lurus ke arah

Harimau Gila dan empat orang kawannya. 
"Hm..., sebaiknya kau cepat-cepat perintahkan 
orang-orangmu agar kembali ke desa, Sagotra! Atau 
kau menghendaki agar aku mem...." 
"Cukup! Tutup mulutmu, Harimau Gila!" Sagotra 
langsung memotong ucapan Harimau Gila. Karena ia 
tahu apa kelanjutan ucapan itu. 
Harimau Gila sama sekali tidak tersinggung. 
Bahkan terdengar suara kekehnya berkepanjangan. 
"Kalian kembalilah! Tidak perlu khawatir, aku bisa 
menjaga diri. Selain itu, mereka pun tidak bermaksud 
mencelakakan aku...," ujar Sagotra kepada kepala 
keamanan desa, agar membawa yang lainnya 
meninggalkan tempat itu. 
"Cepatlah!" lanjut Sagotra setengah membentak, 
karena melihat kepala keamanan desa itu masih 
berdiri di tempatnya. 
"Baik... baik, Ki...," sahut lelaki, yang merupakan 
tangan kanan kepala desa itu. Meski terlihat masih 
ragu, akhirnya dia menuruti juga perintah Sagotra. 
"Bagaimana, Sagotra? Kau bersedia memenuhi 
permintaanku...?" tanya Harimau Gila setengah 
mendesak, setelah belasan keamanan desa sudah 
tidak terlihat lagi batang hidungnya. 
"Apa yang kau kehendaki dariku, Harimau Gila...?" 
geram Sagotra, terpaksa mengalah. Karena dirinya 
tak ingin kehilangan kebahagiaan yang telah dibina-
nya selama belasan tahun. 
"He he he..., seperti pada belasan tahun silam 
yang sering kita lakukan, Sagotra...," sahut Harimau 
Gila. 
"Tidak perlu bertele-tele, katakan saja apa mau-
mu?" sergah Sagotra tak sabar, karena tak men-
dengar jawaban itu.

"Aku mempunyai seorang musuh yang sangat 
tangguh dan membuat pekerjaanku menjadi sulit. Aku 
memerlukan bantuanmu untuk melenyapkan 
penyakit itu. Sekarang, marilah kau ikut dengan 
kami...!" 
"Tunggu, Harimau Gila...!" seru Sagotra mencegah 
langkah Harimau Gila dan kawan-kawannya, yang 
berbalik hendak meninggalkan tempat itu. 
Harimau Gila menunda langkahnya, berbalik 
menatap wajah Sagotra lekat-lekat. 
"Aku bersedia membantumu. Tapi hanya untuk 
sekali ini saja! Setelah itu, aku tak ingin melihat wajah 
busukmu muncul di Desa Kranggan lagi." 
"Baik. Aku berjanji, hanya sekali ini saja meminta 
bantuanmu. Setelah itu, aku akan pergi dari ke-
hidupanmu untuk selama-lamanya," sahut Harimau 
Gila tanpa perlu berpikir lagi. Lelaki gemuk itu 
kembali memutar tubuh dan melangkah pergi, 
setelah memberikan isyarat kepada Sagotra untuk 
mengikutinya. 
"Ke mana? Dan apa yang akan kita kerjakan...?!" 
seru Sagotra yang belum tahu jelas maksud dan 
tujuan Harimau Gila. 
Namun Harimau Gila dan keempat kawannya tidak 
lagi mempedulikan. Mereka sudah melesat pergi 
mempergunakan ilmu lari meninggalkan tempat itu. 
Sagotra termenung sesaat, tapi akhirnya mengayun 
langkah, berlari mengikuti mereka. 
*** 
"Inilah tempat yang kita tuju...," jelas Harimau Gila, 
setelah tiba di depan sebuah bangunan yang cukup 
besar. Sebelum Sagotra sempat berkata sesuatu, ia

sudah melangkah dan memukul hancur pintu 
gerbang bangunan yang tertutup rapat itu. 
"Harimau Gila...?! Bukankah bangunan ini...," ucap 
Sagotra yang berpada kaget dan heran terhenti. 
Hatinya kaget, melihat Harimau Gila tengah memukul 
tewas dua orang lelaki berpakaian tukang kebun, 
yang berteriak dan datang menghadang. Perbuatan 
Harimau Gila membuat selebar wajah Sagotra 
menjadi pucat! Terlebih ketika seorang pelayan 
wanita muncul dari dalam bangunan, lalu kembali 
berlari masuk sambil berteriak-teriak ketakutan. 
"Ada pembunuh... ada pembunuh...!" 
"Celaka! Kau benar-benar sinting, Harimau Gila! 
Kalau sejak mula kutahu musuhmu adalah majikan 
tempat ini, tentu aku tidak sudi untuk membantumu!" 
geram Sagotra yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk 
mencegah tindakan kejam Harimau Gila terhadap 
dua orang tukang kebun itu. 
"Bagus...! Jadi kau tahu siapa pemilik rumah besar 
ini...," desis Harimau Gila, tak peduli dengan 
kecemasan yang diperlihatkan Sagotra. 
"Tentu saja aku tahu. Ia adalah..." 
"Hm..., siapa yang berani mengacau di tempat 
ini...?" 
Suara parau dan berat serta mengandung getaran 
perbawa kuat itu, membuat ucapan Sagotra terhenti. 
Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, yang 
tubuhnya terbungkus jubah panjang berwarna hitam, 
tampak berdiri di ambang pintu dengan kaki ter-
pentang. Sorot matanya yang tajam menyapu wajah 
lima orang tamu yang tak diundangnya itu. 
"Kakek Jubah Hitam...?!" desis Sagotra mengenali 
sosok lelaki tua itu. Pandangan kakek itu yang juga 
sudah menyapu wajahnya, membuat Sagotra sadar

kalau ia tidak mungkin mundur lagi. Karena ia berada 
di antara orang-orang yang telah membunuh dua 
orang tukang kebun Kakek Jubah Hitam. 
Kakek Jubah Hitam memang merupakan satu dari 
sekian banyak tokoh berilmu tinggi yang memiliki 
watak aneh. Usia tua membuat ia menghentikan 
petualangannya di rimba persilatan. Kemudian mem-
bangun sebuah tempat tinggal, yang letaknya agak 
terpencil, jauh dari pedesaan. Kakek Jubah Hitam 
tidak memelihara seorang murid pun. Ia hanya 
memelihara beberapa orang pembantu laki-laki dan 
pelayan perempuan, yang usianya tidak muda lagi, 
untuk melayani segala keperluannya. Namun, meski 
telah menjalani hidup layaknya seorang hartawan, ia 
tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai 
penentang segala bentuk kejahatan. Sikap ini yang 
membuat Harimau Gila mendendam kepadanya. 
Tindak kejahatan yang dilakukan Harimau Gila telah 
digagalkannya, sewaktu hendak menjarah sebuah 
desa, yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat 
tinggalnya. Demikian pula dengan beberapa 
perampokan yang terjadi di desa-desa sekitar tempat 
tinggal tokoh tua itu. Begitu mendengar, Kakek Jubah 
Hitam langsung bertindak, menghajar mereka. 
Namun, kakek ini tidak membunuh, hanya mem-
berikan hajaran, berharap agar para penjahat sadar 
dari kesesatannya. 
Siapa sangka Harimau Gila dan para perampok 
yang pernah dihajarnya malah bergabung untuk 
membalas dendam. Sampai akhirnya Harimau Gila 
teringat kepada Sagotra dan meminta bantuan. 
Karena kepandaian Kakek Jubah Hitam tidak dapat 
ditandinginya, meski dengan mengandalkan 
keroyokan.

Ketika melihat Kakek Jubah Hitam telah muncul, 
Harimau Gila langsung saja bergerak menghampiri. 
"Kami datang untuk menuntut balas kepadamu, 
Kakek Bau Tanah! Dan kali ini kami yakin akan 
berhasil membunuhmu. Karena kami membawa 
seorang jago sebagai tandinganmu," ujar Harimau 
Gila, yang kemudian berpaling ke arah Sagotra. "Inilah 
jago kami. belasan tahun silam sepak terjangnya 
sudah terkenal di kalangan persilatan. Sampai ia 
mendapat julukan Setan Pantai Timur! Kau tentu 
pernah mendengar namanya, bukan?" lanjut Harimau 
Gila yang kemudian memperdengarkan suara kekeh 
berkepanjangan. 
"Setan Pantai Timur...?!" desis Kakek Jubah Hitam, 
mengulang nama julukan Sagotra yang memang 
terkenal pada belasan tahun silam. "Ya, aku memang 
pernah mendengarnya. Hm..., rupanya setelah sekian 
lama menghilang, kini kau muncul lagi untuk 
melanjutkan kesesatan?" lanjutnya sambil menatap 
wajah Sagotra lekat-Iekat. 
Sagotra hanya bisa menggelengkan kepalanya 
dengan wajah penuh sesal. Ia tidak berusaha mem-
bantah. Karena ucapan Harimau Gila yang me-
munculkan kembali nama yang telah lama dilupa-
kannya, sudah pasti tidak akan merubah pandangan 
Kakek Jubah Hitam terhadapnya, apa pun yang 
dikatakannya! Terlebih Harimau Gila dan empat orang 
kawannya sudah mencabut senjata, dan mengeroyok 
kakek itu. Sagotra pun terpaksa ikut maju menge-
royok, karena Harimau Gila berteriak-teriak meminta-
nya untuk terjun ke arena. 
Majunya Sagotra membuat kedudukan berubah 
seketika. Kalau semula Kakek Jubah Hitam masih 
dapat membuat Harimau Gila dan empat kawannya

kewalahan, kini justru ia yang menjadi kelabakan! 
Lontaran serangan Sagotra yang menimbulkan 
sambaran angin tajam, membuat Kakek Jubah Hitam 
terpaksa harus lebih banyak berkelit dan bermain 
mundur. Sehingga kian lama kedudukannya kian 
terdesak! 
Desakan-desakan yang terutama dilakukan 
Sagotra, membuat Kakek Jubah Hitam menjadi 
geram! Hingga, sewaktu dua pukulan beruntun 
Sagotra datang mengancam tubuhnya, kakek ini 
terpaksa berlaku nekat, memapaki serangan itu. 
Plakk, plakkk! 
Kedua pasang lengan yang sama-sama berisi 
tenaga dalam kuat saling berbenturan keras, 
membuat keduanya terjajar mundur sampai sejauh 
satu setengah tombak. Hal itu menandakan bahwa 
kemampuan tenaga dalam Kakek Jubah Hitam dan 
Setan Pantai Timur berimbang. 
Harimau Gila dan keempat kawannya tidak mau 
menyia-nyiakan kesempatan. Selagi tubuh Kakek 
Jubah Hitam terjajar mundur, kelimanya langsung 
membabatkan senjata masing-masing ke tubuh 
kakek itu. 
Brettt! Capp! 
"Aaakkhh...!" 
Dua di antara lima sambaran senjata itu tidak 
dapat lagi dielakkan Kakek Jubah Hitam. Tubuhnya 
kembali terhuyung mundur. Pada dada kirinya 
terdapat luka memanjang, yang merupakan sayatan 
ujung pedang Harimau Gila. Masih ditambah dengan 
luka di lambungnya yang mengalirkan banyak darah. 
Karena luka pada bagian ini cukup dalam, membuat 
kedua kaki Kakek Jubah Hitam agak gemetar, 
sewaktu dapat menguasai kuda-kudanya.

Melihat Kakek Jubah Hitam sudah terluka, dan 
terlihat agak lemah, Harimau Gila kembali memekik 
keras. Tubuhnya melesat disertai tebasan pedang 
dari atas ke bawah. 
Bweettt….! 
Meski agak payah, Kakek Jubah Hitam masih 
sempat menyeret tubuhnya ke samping. Hingga 
bacokan pedang Harimau Gila, yang nyaris membelah 
tubuhnya, dapat dihindarkan. Namun, dua serangan 
yang datang kemudian dari kawan-kawan Harimau 
Gila, tak dapat lagi dielakkannya. Karuan saja tubuh 
renta ini melintir disertai percikan darah dari luka 
yang kembali merobek tubuhnya. 
"Habisi...!" 
Harimau Gila kembali membentak. Pedang di 
tangannya terayun deras ke tubuh yang tengah 
melintir itu. 
Crakkk...! 
Kakek Jubah Hitam tidak sempat berteriak lagi. 
Sambaran pedang lawan membuat kepalanya 
terpisah dari badan, jatuh menggelinding di atas 
tanah. Sedang tubuhnya yang tanpa kepala, masih 
bergoyang-goyang beberapa saat, dengan semburan 
darah segar dari leher yang terpenggal. Kemudian 
ambruk dan berkelojotan sesaat. Lalu diam tak 
bergerak-gerak lagi. 
Kematian Kakek Jubah Hitam membuat Harimau 
Gila tertawa terbahak-bahak bersama empat orang 
kawannya. Kemudian kelimanya pergi meninggalkan 
tempat itu tanpa mempedulikan Sagotra, yang masih 
berdiri mematung, memandangi mayat Kakek Jubah 
Hitam. 
***

TIGA

"Hhuuff...!" 
Hembusan angin malam yang semakin dingin, 
nenyadarkan Sagotra dari lamunannya. Sesaat ia 
menengadahkan kepalanya disertai hembusan napas 
panjang. Kematian Kakek Jubah Hitam membuatnya 
nenyesal berkepanjangan. Belum lagi hilang 
bayangan mayat yang terpisah dari kepalanya itu, 
Harimau Gila telah muncul lagi dan mengancamnya. 
"Hhh..., seharusnya aku tahu kalau janji orang 
seperti Harimau Gila tidak dapat dipercaya...!" desis 
Sagotra masih menyesali perbuatannya. Meski yang 
membunuh Kakek Jubah Hitam adalah Harimau Gila, 
namun secara tidak langsung dialah yang jadi 
penyebabnya. Sebab, tanpa bantuannya belum tentu 
kakek itu sampai dapat terbunuh. 
Dalam balutan rasa sesal, Sagotra mengayun 
langkahnya meninggalkan tempat itu. Dirinya sudah 
mengambil keputusan untuk tidak mengulangi per-
buatan seperti itu. Apa pun yang bakal terjadi, 
Sagotra tak lagi peduli. Biarlah anak dan istrinya 
mengetahui kebusukan yang pernah dilakukannya di 
masa lalu. Biarlah orang-orang yang dicintainya itu 
berbalik membenci dirinya. Mengutuk dan menjauhi-
nya. Baginya itu lebih baik daripada terus tersiksa di 
bawah ancaman Harimau Gila, yang ia tahu pasti 
akan terus berkelanjutan. 
Sagotra yang melangkah dengan pikiran kalut, 
sama sekali tidak sadar kalau saat itu malam telah 
berganti siang. Bahkan ia tidak tahu kalau langkah

kakinya telah membawanya meninggalkan Desa 
Kranggan yang menjadi tempat tinggalnya. Begitu 
dalam Sagotra terhanyut arus sesal dan kedukaan. 
Kesadaran itu baru didapatkannya kembali sewaktu 
kepalanya menengadah disertai tarikan napas 
panjang. Pancaran sinar matahari membuat Sagotra 
lekas-lekas kembali menunduk. Kemudian kembali 
mengangkat kepala, memperhatikan sekitarnya. 
Tatkala menyadari dirinya berada di daerah sebuah 
kaki bukit, keheranan besar tergambar di wajahnya. 
Membuat ia memutar tubuh, memandang arah dari 
mana tadi ia datang. 
"Sahabat, harap tunggu sebentar...!" Langkah 
Sagotra yang hendak kembali ke desanya, tertahan 
oleh sebuah teguran halus. Namun, sebelum ia 
sempat mernbalikkan tubuh, tahu-tahu sesosok 
tubuh melayang lewat di atas kepalanya. Kaget bukan 
kepalang hati Sagotra menyaksikan kepandaian ilmu 
meringankan tubuh yang demikian tinggi. Sehingga 
gerakan sosok itu hampir tidak tertangkap pen-
dengarannya. 
"Maaf, kalau aku telah membuat kau terkejut...!" 
ujar sosok yang telah berdiri tegak di hadapannya. 
Setelah berkata demikian, sosok yang berupa 
seorang lelaki setengah baya berdahi lebar ini 
langsung mengulur tangannya dengan jari-jari 
terkembang ke arah leher Sagotra! 
"Hei...?!" 
Sagotra berseru heran sambil menarik tubuhnya 
mundur dua langkah ke belakang. Namun, ceng-
keraman yang luput itu masih terus mengejarnya, 
membuat Sagotra semakin kaget. Jengkel dengan 
sikap orang yang tidak sopan itu, Sagotra meng-
angkat tangan untuk menyambut tangan yang hendak
mencengkeram lehernya. Namun lagi-lagi ia dibuat 
kaget. Karena cengkeraman itu meliuk dengan 
gerakan cepat bukan main, membuat tangkisannya 
luput! 
"Gila...?!" desis Sagotra memaki dalam ke-
jengkelan yang berubah menjadi kemarahan. Ber-
gegas ia berkelit sambil melepaskan sebuah pukulan 
jarak jauh ke tubuh lelaki berdahi lebar itu. 
Debbb! 
Hampir Sagotra tidak bisa menahan jeritan kaget-
nya. Pukulan yang dilancarkan laksana menghantam 
sebuah benda kenyal, saat lelaki berdahi lebar itu 
merubah cengkeramannya menjadi kibasan yang 
menerbitkan sambaran angin kuat. Tenaga yang 
saling berbenturan membuat tubuh kepala desa itu 
terjajar mundur sampai enam langkah. 
"Siapa kau? Mengapa datang-datang langsung 
menyerangku?! Padahal rasanya kita baru sekali ini 
berjumpa...?" hardik Sagotra begitu mendapatkan 
kesempatan untuk menumpahkan kejengkelan dan 
rasa penasaran di hatinya. 
Lelaki berdahi lebar, yang wajahnya terhias kumis 
tebal bercampur uban ini sama sekali tidak menyahut 
Sebaliknya ia malah menatap wajah Sagotra lekat-
lekat. Beberapa kali keningnya terlihat berkerut-kerut 
seperti tengah berpikir keras, mengingat-ingat wajah 
Sagotra. Sagotra pun balas menatap dan meneliti 
wajah serta sosok lelaki itu. 
"Kau... tidak salahkah penglihatanku...?! Bukan-
kah kau yang dikenal dengan julukan Pendekar 
Bayangan Setan...?" desis Sagotra. Dia terkejut bukan 
main sewaktu mengenali siapa adanya lelaki ber-
kening lebar, yang mengenakan pakaian kedodoran 
itu.

Sosok orang itu tampak lucu, karena ujung lengan 
bajunya terlalu panjang, sampai menutupi jari-jari 
tangannya. Kecuali itu, pakaiannya pun terbuat dari 
bahan kembang-kembang, yang tidak lumrah bagi 
laki-laki. Karena yang biasanya menggunakan bahan 
seperti itu hanyalah orang-orang perempuan! Se-
hingga, keseluruhan penampilan lelaki berdahi lebar 
ini terlihat sangat lucu. 
"He he he..., bagus kau dapat mengenaliku, 
Sahabat. Dan rasa-rasanya aku pun pernah melihat 
rupa seperti rupamu yang jelek dan lucu itu. 
Sayangnya aku lupa di mana dan kapan pernah 
melihatmu...?" ujar lelaki berdahi lebar ini mem-
benarkan terkaan Sagotra sambil memiringkan 
kepalanya ke kiri-kanan, seperti tengah berusaha 
untuk dapat mengenali Sagotra. 
Namun tingkah Pendekar Bayangan Setan yang 
sesungguhnya sangat lucu itu, sama sekali tidak 
membuat Sagotra tertawa. Bahkan tersenyum pun 
tidak. Karena hati Sagotra sudah diliputi ketegangan, 
begitu mengenali siapa adanya lelaki berpenampilan 
aneh dan lucu itu. Dan ia tidak berusaha membantu 
ingatan Pendekar Bayangan Setan. Meski Sagotra 
sudah dapat mengingat kapan dan di mana pertama 
kali berjumpa dengan tokoh berpenampilan seperti 
orang kurang waras itu. 
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Pendekar 
Bayangan Setan memang cukup terkenal. Tapi, 
karena tokoh ini jarang menampakkan diri, nama dan 
keberadaannya pun tidak terlalu sering dibicarakan 
orang. Bahkan banyak tokoh tingkat pertengahan 
yang lupa dengan nama Pendekar Bayangan Setan. 
Terlebih setelah pendekar bertingkah laku aneh itu 
tidak muncul-muncul sampai beberapa tahun lama

nya. Membuat namanya semakin tenggelam. Kecuali 
beberapa orang tokoh tua, yang memang meng-
anggap Pendekar Bayangan Setan sebagai tokoh 
seangkatan. 
"Aha, aku ingat sekarang...!" Tiba-tiba saja 
Pendekar Bayangan Setan berseru mengejutkan, 
membuat Sagotra sampai terlompat saking kagetnya! 
Karena tokoh yang oleh sebagian orang dianggap 
agak sinting ini, seperti tak sengaja, telah mengerah-
kan tenaga dalam sewaktu berseru. 
Sagotra sudah melangkah mundur dengan urat-
urat tubuh menegang! Jantungnya berdebar keras, 
dan merasa tegang menunggu kelanjutan ucapan 
tokoh setengah sinting itu. 
"Ahh..., siiial...!" seru Pendekar Bayangan Setan 
sembari menelengkan keningnya perlahan, "Baru saja 
aku ingat, eh, sudah lupa lagi! Haiih..., dasar otakku 
memang sudah kurang beres...!" 
Pengakuan Pendekar Bayangan Setan membuat 
Sagotra menghembuskan napas panjang tanda 
kelegaan hatinya. Namun ucapan itu juga membuat 
sekujur tubuhnya lemas. Sagotra merasa dirinya tak 
ubahnya seperti sebuah balon yang ditiup sebesar-
besarnya, lalu dikempeskan dengan tiba-tiba. 
"Aha...!" Lagi-lagi Pendekar Bayangan Setan ber-
seru gembira, "Kau tunggulah sebentar, sahabat yang 
baik! Aku sudah mulai ingat lagi sedikit-sedikit. Harap 
kau jangan terlalu banyak bergerak, biar aku lebih 
mudah untuk mengingat di mana dan kapan pernah 
melihat rupa jelekmu itu...," lanjutnya yang kemudian 
bergerak mendekat, lalu mengitari tubuh Sagotra. 
"Maaf, aku tidak punya banyak waktu untuk 
meladenimu, Pendekar Bayangan Setan. Aku harus 
pergi..."

Sagotra yang kembali dibuat tegang oleh ucapan-
ucapan Pendekar Bayangan Setan, bergegas me-
langkah hendak meninggalkannya. Khawatir kalau 
lama-lama diperhatikan, bisa-bisa tokoh aneh itu 
akan mengenali dan mengingat siapa dirinya. Maka, 
sebelum terlambat, Sagotra memutuskan untuk 
angkat kaki dari tempat itu. 
"Hei, kau ini tuli atau sengaja hendak bikin aku 
marah, hah?" tiba-tiba saja Pendekar Bayangan Setan 
menghardik marah. Hingga, langkah Sagotra terpaksa 
tertunda. 
"Apa maksudmu, Pendekar Bayangan Setan...?" 
tanya Sagotra tak mengerti mengapa tokoh agak 
sinting itu mendadak marah-marah. 
"Masih pura-pura bertanya lagi...!" tukas Pendekar 
Bayangan Setan mengomel. "Tadi sudah kukatakan 
kalau kau jangan bergerak-gerak, karena aku sedang 
berusaha mengingat di mana pernah melihat wajah 
jelekmu. Eh, kau malah bukan cuma bergerak, tapi 
hendak pergi dari tempat ini! Hm..., kau sengaja ya, 
hendak membuat aku marah? Senang ya, melihat 
orang marah-marah?" 
"Maaf, Orang Tua, tapi aku benar-benar tidak bisa 
menemanimu lebih lama...." 
"Bisa! Kau bisa menemaniku sampai kapan pun! 
Karena, kalaupun benar tidak bisa, aku akan 
memaksamu untuk terus menemaniku. Dan itu sudah 
merupakan satu keharusan!" tandas Pendekar 
Bayangan Setan, bersikeras memaksakan kehendak-
nya. 
"Sinting...!" desis Sagotra tak lagi ambil peduli. 
Kemudian melangkah hendak meninggalkan tempat 
itu. 
"Kurang ajar...!"

Pendekar Bayangan Setan menghentakkan kaki-
nya ke tanah. Hatinya benar-benar gusar melihat 
kebandelan Sagotra. Tanpa banyak cakap lagi, tubuh-
nya langsung melesat dengan sebuah cengkeraman. 
Melihat serangan yang cepat dan kuat itu, Sagotra 
tidak bisa lagi menahan diri. Dengan menggeser 
tubuhnya, Sagotra mengelakkan serangar itu. Ke-
mudian langsung mengirimkan sebuah tendangan 
kilat sebagai balasannya. 
"Gerakan yang bagus...!" puji Pendekar Bayangan 
Setan tertawa-tawa, tidak berusaha menghindari 
tendangan. 
Bukkk! 
Telapak kaki Sagotra menghantam telak dada 
kanan lawannya. Namun bukan main kagetnya ketika 
merasakan betapa tendangannya bagaikan meng-
hantam sebuah benda kenyal yang membuat 
tenaganya membalik. Bahkan tubuhnya nyaris ter-
pelanting! 
Pendekar Bayangan Setan tertawa geli melihat 
Sagotra berdiri terheran-heran. 
"Tidak kusangka kalau kau memiliki perasaan 
halus, Sahabat. Aku senang kau tidak tega untuk 
menyakitiku...," ujar Pendekar Bayangan Setan, yang 
jelas-jelas sengaja hendak mengejek Sagotra. 
Ejekan itu membuat wajah Sagotra seketika merah 
padam. Terdengar gerengan kemarahannya. 
"Pendekar Bayangan Setan...," ujar Sagotra masih 
menahan diri. "Rupanya kau memang sengaja hendak 
menghinaku! Tapi jangan kau kira aku takut meng-
hadapimu! Kalau kau memang menantangku ber-
tarung, marilah! Akan kuhadapi walau sampai seribu 
jurus sekalipun!" 
"Ck ck ck...," Pendekar Bayangan Setan berdecak

decak sambil menggelengkan kepala, memperlihat-
kan rasa kagumnya terhadap sikap Sagotra, "Bukan 
main...! Aku sendiri mungkin tidak akan sanggup 
melakukan pertarungan sampai seribu jurus, seperti 
yang kau inginkan itu. Tapi..., tentu saja aku tak 
menolak tantanganmu...." 
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar 
Bayangan Setan sudah melesat menerjang Sagotra. 
Kali ini ia menggunakan sepasang tangannya, 
melakukan serangkaian serangan yang mendatang-
kan deruan angin keras! 
"Haiiittt...!" 
Sagotra yang tidak sudi dihina orang, segera mem-
bentak nyaring. Disambutnya serangan Pendekar 
Bayangan Setan, dengan tidak kalah garangnya. 
Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah 
perkelahian sengit! 
Namun tidak sampai tiga puluh jurus, Sagotra 
sudah dipaksa untuk bermain mundur. Serangan 
Pendekar Bayangan Setan yang datang bertubi-tubi 
disertai sambaran angin keras, membuat setiap 
pukulan yang dilontarkannya selalu terpental balik. 
Akibatnya, Sagotra terpaksa harus memperkuat 
pertahanan dirinya. Dan ini membuatnya semakin 
terdesak! 
Degk...! 
Lewat dari dua puluh jurus Sagotra tak dapat lagi 
menghalangi gempuran telapak tangan lawan, yang 
telak bersarang di dadanya. Tanpa ampun lagi, 
tubuhnya terjengkang deras. Meski ia masih sanggup 
mempertahankan kuda-kudanya, namun pada sudut 
bibirnya terlihat ada cairan merah yang merembes 
turun. 
"Heh heh heh..., gerakanmu memang cukup hebat,

Sahabat. Dan aku bisa menduga kalau ilmu yang kau 
miliki berasal dari golongan sesat. Jurus-jurus 
seranganmu sangat keji dan tak pantas dilakukan 
oleh orang gagah." Terdengar ucapan Pendekar 
Bayangan Setan, yang tidak melanjutkan serangan-
nya. Ia berdiri sambil tertawa-tawa memandang 
lawannya. 
"Apa pedulimu, Pendekar Bayangan Setan! Tanpa 
sebab kau menyerang dan melukaiku. Padahal di 
antara kita tidak pernah ada permusuhan...," sahut 
Sagotra dengan nada geram bercampur penasaran. 
"Heh, siapa bilang aku menyerangmu tanpa se-
bab? Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah bisa 
menebak kalau kau pastilah bukan orang baik-baik. 
Sedangkan aku paling benci dengan orang jahat! 
Terlebih setelah sahabatku Kakek Jubah Hitam, 
kutemui tewas di tempat kediamannya, membuatku 
semakin benci kepada orang-orang jahat. Dan aku 
bersumpah untuk membunuh siapa saja orang yang 
kutemui. Tentunya yang menurut pikiranku bukan dari 
kalangan orang baik-baik. Dan kau termasuk di 
antaranya!" ujar Pendekar Bayangan Setan dengan 
wajah yang tiba-tiba berubah beringas! Sepasang 
matanya bergerak-gerak liar, tanda tokoh ini sedang 
dalam puncak kegilaannya. Sikap ini memang selalu 
muncul jika Pendekar Bayangan Setan tengah dilanda 
kemarahan ataupun kesedihan. Itu memang sudah 
menjadi cirinya, meski tidak terlalu banyak tokoh yang 
mengetahui. 
Agak kecut juga hati Sagotra ketika mendengar 
perkataan Pendekar Bayangan Setan. Ia memang 
sudah tahu kalau tokoh setengah gila yang kini 
dihadapinya adalah sahabat Kakek Jubah Hitam. 
Sewaktu masih malang-melintang sebagai Setan

Pantai Timur, Sagotra pernah berjumpa dengan 
kedua orang tokoh itu. Dan ia pun langsung bisa 
menduga apa maksud kemunculan Pendekar 
Bayangan Setan di tempat itu. Dugaannya ternyata 
tidak meleset. Kemunculan tokoh setengah gila yang 
jarang terlihat itu, ternyata ada kaitannya dengan 
kematian Kakek Jubah Hitam. Hanya sama sekali 
tidak disangkanya kalau kematian Kakek Jubah 
Hitam membuat Pendekar Bayangan Setan terpukul, 
hingga bersumpah untuk membuhuh setiap orang 
yang dianggapnya sebagai tokoh sesat. Ucapan itu 
membuat Sagotra sadar kalau nyawanya berada 
dalam ancaman maut! 
"Sekarang, sebelum aku mencabut nyawamu, 
jawablah pertanyaanku," ujar Pendekar Bayangan 
Sean lagi, "Apakah kau tahu siapa pembunuh sahabat 
yang juga adik seperguruanku itu?" 
Pertanyaan itu membuat Sagotra kaget bukan 
main. Kini semakin jelaslah baginya, mengapa 
Pendekar Bayangan Setan sangat terpukul atas 
kematian Kakek Jubah Hitam. Mau tidak mau, miris 
juga hati Sagotra mengingat dirinya ikut terlibat 
dalam pembunuhan itu. 
"Mengapa hal itu kau tanyakan kepadaku? Aku 
cuma orang desa, yang tidak tahu-menahu tentang 
urusan orang-orang persilatan. Sebaiknya kau 
tanyakan saja soal itu kepada orang lain," jawab 
Sagotra, mencoba mengelabui Pendekar Bayangan 
Setan. Kendati saat itu hatinya semakin tegang, 
khawatir kalau-kalau tokoh setengah gila itu keburu 
mengenalinya. 
"Heh heh heh..., kau ingin membodohiku, ya? 
Mataku cukup awas untuk mengetahui sampai di 
mana tingkat kepandaianmu. Dan menurutku, kau

termasuk salah satu orang yang pantas untuk 
kucurigai. Dan meski kau tidak tahu-menahu tentang 
kematian saudara seperguruanku itu, tetap aku tidak 
akan melepaskanmu sebelum tubuhmu menggeletak 
tanpa nyawa...!" tukas Pendekar Bayangan Setan, 
yang membuat Sagotra lagi-lagi harus menyembunyi-
kan kekagetannya. 
Sagotra bergegas melangkah mundur ketika 
dilihatnya Pendekar Bayangan Setan sudah siap 
untuk bergerak. Ia terpaksa harus mempertahankan 
diri dengan menggunakan ilmu tangan kosong. 
Karena setelah bertekad untuk meninggalkan 
kesesatan, Sagotra tidak pernah lagi membawa-bawa 
senjata. Padahal ia merupakan seorang ahli pedang 
yang boleh dikatakan jarang tandingannya. Dengan 
kepandaiannya bermain pedang itu pula sebutan 
Setan Pantai Timur melekat dalam dirinya pada 
belasan tahun silam. Meski demikian, diam-diam 
Sagotra merasa bersyukur karena tidak membawa 
senjata. Sebab, jika ia menggunakan senjata sewaktu 
bertempur tadi, sudah pasti Pendekar Bayangan 
Setan akan segera ingat siapa dirinya. 
"Hm..., sekarang bersiaplah! Kuberi waktu kau 
sepuluh jurus untuk membela diri...," ujar Pendekar 
Bayangan Setan yang kemudian melangkah maju 
empat tindak. Dan, begitu langkah yang keempat 
menginjak tanah, tubuhnya langsung melesat dengan 
kecepatan menggetarkan! 
Bergegas Sagotra melompat ke samping. Lalu 
mengirimkan dua pukulan dan satu tendangan 
sekaligus. Dan karena kali ini Sagotra telah menge-
rahkan seluruh tenaganya, sambaran angin pukulan-
nya pun menderu keras, dengan kecepatan yang 
tinggi. Namun serangan itu sama sekali tidak

membawa hasil seperti yang diharapkan. Lontaran 
pukulan dan tendangannya dapat dielakkan dengan 
baik oleh Pendekar Bayangan Setan. Demikian pula 
dengan serangan-serangan selanjutnya. Sehingga, 
sampai jurus yang ketiga puluh berakhir, belum satu 
pun serangan Sagotra yang mengenai sasarannya. 
Jangankan mengenai tubuh, untuk menyentuh ujung 
jubah tokoh itu saja, tak dapat dilakukan Sagotra. 
Karena gerakan Pendekar Bayangan Setan memang 
harus diakui, sangat cepat! Membuat serangannya 
selalu mengenai tempat kosong! 
"Waktumu sudah habis, dan sekarang giliranku! 
Kersiaplah...!" 
Begitu ucapannya selesai, serangan Pendekar 
Bayangan Setan langsung datang mencari sasaran di 
tubuh Sagotra. Membuat bekas tokoh sesat ini 
menjadi kelabakan untuk menyelamatkan dirinya. 
Plakkk! Bukkk! 
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Sagotra ber-
tindak nekat memapaki serangan lawan. Akibatnya, 
tubuhnya terdorong mundur. Saat itu sebuah 
hantaman keras, yang merupakan serangan susulan 
lawan, menghantam telak dada kanannya. Hingga, 
tanpa ampun lagi, tubuh kepala desa itu terbanting 
ke tanah. 
Pendekar Bayangan Setan kembali memper-
dengarkan kekehnya. Kemudian melangkah perlahan 
menghampiri Sagotra, yang tengah berusaha bangkit 
berdiri. 
"Manusia jahat, kau apakan ayahku...!" 
Sewaktu langkah Pendekar Bayangan Setan 
tinggal empat tindak lagi dari Sagotra, tiba-tiba 
terdengar sebuah bentakan nyaring, yang bernada 
marah. Disusul kemudian dengan kelebatan sinar

putih yang berdesingan datang mengancam tubuh 
Pendekar Bayangan Setan! 
"Aaahh..., celaka...?!" 
Pendekar Bayangan Setan yang menolehkan 
kepala sewaktu mendengar bentakan itu, memekik 
kaget. Wajahnya kontan memucat. Sepasang 
matanya membelalak lebar, bagaikan melihat hantu 
di siang bolong. 
Whukkk...! 
Sambaran angin berdesing itu lewat di atas kepala, 
karena Pendekar Bayangan Setan sudah merendah-
kan kepala dan kuda-kudanya. Kemudian dilanjutkan 
dengan sebuah lompatan panjang ke samping kanan. 
"Hm..., jangan harap kau bisa lolos dari pedangku, 
Setan Gundul...!" sosok bayangan merah, bertubuh 
ramping yang memegang sebatang pedang itu 
kembali membentak. Serangannya berkelebat lagi 
mengancam Pendekar Bayangan Setan. 
Sementara, wajah pucat Pendekar Bayangan 
Setan tampak mulai dibanjiri peluh. Terlebih setelah 
dapat melihat tegas sosok dan wajah penyerangnya. 
Ketakutannya semakin tampak jelas! 
"Waaa..., ada setaaannn...!" 
Belum lagi ujung pedang sosok bayangan merah 
ini meluncur ke tubuhnya, Pendekar Bayangan Setan 
sudah melesat pergi, lari terbirit-birit sambil berteriak 
teriak ketakutan! 
"Jangan lari kau, Setan Gundul...!" maki bayangan 
merah ini yang melesat hendak mengejar. 
"Andari, jangan kejar...! Biarkan ia pergi...!" 
Sosok ramping terbungkus pakaian serba merah 
ini bergegas menghentikan larinya. Kemudian 
menoleh ke arah Sagotra, ayahnya, yang tampak 
mengulapkan tangan kepadanya. Bergegas dara

remaja yang manis dan manja ini berlari meng-
hampiri. 
Sagotra masih termanggu dengan wajah dilanda 
keheranan besar, sewaktu putrinya datang. Hatinya 
masih belum mengerti kenapa Pendekar Bayangan 
Setan sampai sedemikian takutnya menghadapi 
serangan Andari. Padahal kepandaian tokoh setengah 
gila itu, ia tahu berada jauh di atas putrinya. Sagotra 
benar-benar tidak habis pikir dengan keanehan yang 
baru saja terjadi di depan matanya itu. 
"Ayah..., kau tidak apa-apa...?" tanya Andari ce-mas 
sambil memapah tubuh Sagotra, "Siapa setan gundul 
itu, Ayah? Mengapa ia ingin membunuhmu?" 
"Cuma orang sinting...," jawab Sagotra singkat, 
Mari, kita pulang...!" lanjutnya membuat Andari cuma 
bisa mengangkat bahu, tak banyak bertanya lagi. 
Kemudian dipapahnya sang Ayah pergi meninggalkan 
tempat itu. 
***

EMPAT

Kuda hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari 
busur, meninggalkan kepulan debu di atas jalanan 
yang dilewatinya. Setelah menerobos kelebatan 
hutan, sampailah di depan sebuah rumah panggung 
yang cukup besar. Penunggangnya bergegas me-
lompat turun kemudian melangkah masuk dengan 
agak tergesa. Sedang kuda hitam itu sudah diurus 
oleh seorang lelaki yang menyambut kedatangannya. 
"Kali ini kita benar-benar celaka, Penjagal...!" 
ucapnya cemas, kepada seorang lelaki gemuk ber-
telanjang dada, hingga menampakkan bulu-bulu lebat 
yan tumbuh di dadanya. 
"Kau ini kenapa, Ronggawu?! Datang-datang, 
membuat orang kebingungan? Coba tenang dulu, dan 
ceritakan yang jelas...!" sambut lelaki gemuk yang 
dikenal sebagai Penjagal Kepala, seorang kepala 
rampok yang bengis dan kejam tak kenal ampun. 
Setiap lawan yang dihadapinya harus tewas dengan 
kepala putus. Kebengisan inilah yang membuat 
julukan Penjagal Kepala melekat pada dirinya. 
"Kematian Kakek Jubah Hitam ternyata malah 
membuat diri kita terancam bahaya! Bahkan jauh 
lebih hebat ketimbang sewaktu kakek celaka itu 
masih hidup! Kalau dulu cuma dia seorang yang 
selalu menggagalkan usaha kita, sekarang justru 
semakin banyak. Kematiannya membuat orang-orang 
golongan putih menjadi marah! Mereka hendak 
mencari pembunuhnya. Menurutku, sebaiknya kita 
menyingkir dulu jauh-jauh sampai keadaan kembali

tenang. Sebab, kalau sampai golongan putih tahu, 
mereka pasti akan mendatangi kita. Bukankah ini 
celaka namanya...?" jelas Ronggawu, yang membuat 
paras Penjagal Kepala berubah seketika. 
"Dari mana kali dapatkan berita itu? Apakah itu 
bukan cuma desas-desus saja?" tanya Penjagal 
Kepala, yang kelihatan belum yakin benar akan 
ucapan kawannya. 
"Orang-orangku yang bekerja sebagai pencari 
berita tentang mangsa yang bakal lewat di daerahku, 
datang dan melaporkan semua itu kepadaku," jawab 
Ronggawu, yang juga merupakan kepala rampok, dan 
mempunyai hubungan dekat dengan Penjagal Kepala. 
Hubungan antara kedua kepala rampok ini semakin 
dekat semenjak sepak terjang Kakek Jubah Hitam 
mengacaukan pekerjaan mereka. 
Mendengar penjelasan rekannya, Penjagal Kepala 
menjadi termenung. Keningnya berkerut. Sepertinya 
tokoh ini tengah berpikir keras untuk mencari jalan 
keluarnya. 
"Apakah hal ini sudah kau beritahukan kepada 
Harimau Gila?" tanya Penjagal Kepala tiba-tiba. 
"Aku tidak tahu ke mana harus mencarinya. 
Karena selama ini ia tidak pernah memberitahukan 
tempat tinggalnya kepada kita. Harimau Gila hanya 
muncul menemui kita jika memerlukan bantuan! 
Hhh... itulah yang membuatku kurang suka kepada-
nya. Sebaiknya kau tak perlu memikirkannya, 
Penjagal. Yang penting kita harus segera menyingkir. 
Jangan sampai mereka keburu mengetahui pelaku 
pembunuhan itu, lalu mendatangi tempat ini," jawab 
Ronggawu setengah mendesak. 
"Pengikutmu sendiri bagaimana...?" 
"Mereka sudah kusuruh menyingkir lebih dulu, dan
menunggu di sekitar Lembah Sungai Gerong. Di sana 
ada tempat yang cukup baik dan tersembunyi. 
Rasanya, untuk sementara tempat itu bisa kita guna-
kan bersama-sama," jawab Ronggawu menerangkan 
tempat yang bakal mereka gunakan sebagai per-
sembunyian sementara. 
"Hm..., kalau begitu kau tunggulah sebentar. Aku 
akan berkemas...," ujar Penjagal Kepala, mengambil 
keputusan untuk mengikuti anjuran rekannya. 
Namun, baru saja Penjaglal Kepala memutar tubuh 
hendak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba dari luar 
rumah terdengar bentakan dan suara benturan 
senjata tajam. Penjagal Kepala menjadi kaget. Lalu 
menoleh dan bertukar pandang dengan Ronggawu. 
Seperti telah mendapat kata sepakat, kedua 
gembong perampok ini sama melesat keluar. 
"Berhenti, tahan senjata...!" 
Begitu tiba di luar dan menyaksikan adanya dua 
orang lelaki berseragam biru muda, tengah dikeroyok 
belasan orang anggota perampok, Penjagal Kepala 
langsung membentak. Disusul kemudian dengan 
tubuh gemuknya yang melayang ke tengah arena dan 
mendarat tepat di hadapan dua orang lelaki gagah 
itu. 
"Hm..., siapa kalian, dan mau apa datang ke 
tempat ini?" tegur Penjagal Kepala dengan sorot mata 
bengis mengandung ancaman maut. Di sebelah 
kanannya, sudah berdiri Ronggawu, yang juga 
meneliti kedua orang lelaki gagah berseragam biru 
muda itu. 
"Namaku Banadri, sedangkan saudaraku ini ada-
lah Sandrila. Kami berdua datang dari daerah Pantai 
Utara, dan dijuluki sebagai Sepasang Elang Laut 
Utara. Mengenai tujuan kami datang ke tempat ini,

adalah untuk mencari kepala rampok yang berjuluk 
Penjagal Kepala. Siapakah di antara kalian berdua 
yang memiliki julukan itu?" tanya salah satu dari 
kedua orang lelaki gagah yang berwajah agak mirip 
dengan kawannya. Keduanya terlihat masih berusia 
muda, sekitar tiga puluh tahun. Kendati demikian, 
sorot wajah dan sinar mata mereka terlihat tajam dan 
berpengaruh. Hingga, sempat membuat hati Penjagal 
Kepala dan Ronggawu tergetar. 
"Hm..., keperluan apa yang membuat kalian 
berdua ingin bertemu dengan Penjagal Kepala?" kali 
ini yang melontarkan pertanyaan adalah Ronggawu. 
"Ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan 
kepadanya, sehubungan dengan terbunuhnya Kakek 
Jubah Hitam, yang merupakan sahabat guru kami. 
Dan kami berdua mendapat tugas untuk menyelidiki 
serta membekuk pelaku laknat itu...!" Sandrila yang 
menjawab pertanyaan Ronggawu. Sambil berkata 
demikian, sepasang matanya tak pernah lepas dari 
wajah Penjagal Kepala. Sepertinya ia sudah dapat 
menebak siapa di antara kedua orang itu yang 
berjuluk Penjagal Kepala. 
"Kalau begitu, kalian berdua salah alamat. Karena 
di sini tidak ada yang berjuluk Penjagal Kepala. Se-
baiknya kalian cari di tempat lain...!" Lagi-lagi 
Ronggawu berkata mendahului rekannya. Sedang 
Penjagal Kepala masih diam, belum bisa mengambil 
keputusan harus bagaimana. 
"Hmhh...!" 
Banadri mendengus dan tersenyum sinis ketika 
mendengar jawaban Ronggawu. Demikian pula 
dengan Sandrila. Kemudian keduanya saling bertukar 
pandang. 
"Ternyata kabar tentang kebengisan dan ke

kejaman Penjagal Kepala cuma isapan jempol 
belaka," ujar Sandrila kepada Banadri. 
"Benar. Sejak semula aku memang sudah dapat 
menebak kalau kepala rampok yang berjuluk Penjagal 
Kepala itu tak lebih dari seorang pengecut besar!" 
Banadri menimpali dengan suara lantang sambil 
mengerling ke arah Penjagal Kepala. "Sekarang 
terbukti bahwa dugaanku itu benar..." 
"Keparat...!" Penjagal Kepala menggeram dengan 
wajah terbakar. Dadanya serasa hendak meledak 
menahan gejolak amarah. Dia tidak bisa menerima 
penghinaan itu. "Bocah-bocah sombong! Perhatikan-
lah baik-baik! Akulah yang berjuluk Penjagal Kepala, 
yang akan segera membuat kalian berdua menjadi 
mayat-mayat tanpa kepala!" 
Usai berkata demikian, Penjagal Kepala melolos-
kan sebatang golok besar yang matanya bergerigi. 
Kemudian memutarnya hingga menerbitkan deru 
angin keras. Dan dibarengi dengan sebuah teriakan 
mengguntur, golok di tangannya menyambar begitu 
cepat ke arah Banadri, orang yang telah berani mati 
menghinanya. 
Trang...! 
Bunga api berpijar seiring dengan suara benturan 
keras dua batang senjata. Entah kapan meng-
gerakkan tangannya, tahu-tahu dalam genggaman 
Banadri ada sebilah pedang, yang digunakan untuk 
menyambut sambaran golok Penjagal Kepala. 
Gembong perampok dari Hutan Gagak ini menjadi 
kaget bukan main, sewaktu merasakan lengan 
kanannya bergetar keras, nyaris membuat goloknya 
terlepas dari pegangan! Selain itu, tubuhnya pun 
sampai terjajar mundur beberapa langkah. Padahal 
lawannya sendiri seperti tidak terpengaruh oleh

benturan keras itu. Kenyataan ini membuat Penjagal 
Kepala sadar kalau tenaganya kalah dua tingkat dari 
lawannya. 
"Hm..., pantas kau berani membuka mulut besar! 
Rupanya kepandaianmu boleh juga...!" dengus Pen-
jagal Kepala mengakui kelebihan lawannya. 
Banadri tidak menanggapi. Tokoh muda yang ber-
juluk Elang Laut Utara ini cuma tersenyum tipis. 
Kemudian menggeser langkahnya ke kanan sambil 
memutar pedang. 
Wuttt! 
Sambaran angin panas menderu sewaktu pedang 
di tangan Banadri menyambar. Penjagal Kepala pun 
tidak mau kalah. Golok besarnya datang menyambut 
disertai deruan angin yang bergulung-gulung. 
Sebentar saja kedua tokoh ini sudah saling serang 
dengan hebatnya! 
"Tunggu, Sahabat...!" seru Sandrila mencegah 
Ronggawu yang hendak campur tangan ke dalam 
arena pertarungan itu. "Akulah yang bakal menjadi 
lawanmu...." 
"Hmmhh...!" 
Ronggawu menggereng bagai binatang buas 
terluka. Sebatang tongkat pendek berantai, yang 
pada bagian ujungnya terdapat bola berduri, diputar 
hingga menimbulkan suara berdengung-dengung. 
Dan, tanpa banyak cakap lagi, senjata itu langsung 
diayunkan ke kepala Sandrila, yang langsung 
menyambut dengan pedangnya. 
Tingkat kepandaian Ronggawu tampaknya masih 
berada jauh di bawah lawannya. Serangan-serangan 
tongkat bola berdurinya yang datang menderu-deru, 
selalu gagal menemui sasarannya. Bahkan beberapa 
kali ujung pedang lawan, yang menerobos masuk,

nyaris melukai tubuhnya. Sehingga, setelah per-
tarungan berjalan tiga puluh jurus, Ronggawu sudah 
kelabakan oleh sambaran pedang lawan, yang 
memiliki kecepatan mengagumkan itu. Ia tidak lagi 
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Karena 
sambaran pedang lawan demikian gencar, membuat 
Ronggawu sibuk melindungi tubuhnya dari incaran 
mata pedang Sandrila. 
"Yeaaattt...!" 
Setelah selama kurang lebih sepuluh jurus 
mencecar lawan yang semakin tak berdaya itu, tiba-
tiba Sandrila berteriak mengejutkan. Gerakan-
gerakan kakinya berubah, membuat kepala Rong-
gawu menjadi pening. Karena tubuh lawannya selalu 
bergerak ke kiri-kanan dengan lompatan-lompatan 
yang cepat dan sulit diikuti pandangan matanya. 
Breettt...! 
Ronggawu menjerit kesakitan sewaktu pedang 
lawan merobek lambung kanannya. Tubuhnya ter-
huyung mundur disertai ceceran darah segar, yang 
mengucur dari luka di lambungnya. 
Pada waktu yang hampir bersamaan, Penjagal 
Kepala pun harus mengakui keunggulan lawannya. 
Sebuah tendangan keras dan tusukan pada dada 
kanannya, membuat tubuh kepala rampok ini 
terlempar dan terbanting keras. 
Penjagal Kepala menyeret tubuhnya sewaktu 
Banadri melangkah menghampiri dengan sorot mata 
nengancam. Sementara Ronggawu yang hatinya 
sudah merasa gentar, juga bergerak mundur, dan 
memberikan isyarat kepada para pengikut Penjagal 
Kepala untuk maju mengeroyok. 
Banadri dan Sandrila terpaksa bergerak mundur 
ketika kurang lebih tiga puluh orang anggota

perampok bergerak menghadang langkah mereka. 
Namun sepasang Elang Laut Utara ini sama sekali 
tidak terlihat gentar. Mereka memutar senjata, dan 
merobohkan beberapa orang perampok yang 
menerjang maju. Sekali bergerak saja keduanya telah 
membuat enam orang perampok berkelojotan mandi 
darah! Hingga, perampok yang lainnya merasa gentar 
dan ragu-ragu untuk maju menyerang. 
"Bodoh, ayo habisi kedua manusia celaka itu...!" 
Penjagal Kepala membentak marah ketika melihat 
sikap gentar anak buahnya. Sehingga, meski agak 
takut-takut, akhirnya mereka pun menyerbu dua 
orang saudara kembar yang berjuluk Sepasang Elang 
Laut Utara itu. 
Serbuan anggota perampok itu disambut sam-
baran pedang Banadri dan Sandrila. Deruan angin 
panas yang timbul dari sambaran pedang kedua 
tokoh ini, membuat para pengeroyoknya tak berani 
terlalu dekat Sehingga, pedang di tangan Elang Laut 
Utara kembali merenggut empat orang korban. 
Membuat yang lainnya kembali bergerak mundur 
dengan wajah agak pucat! 
"Hih hih hih...!" 
Banadri dan Sandrila menahan gerakannya dan 
melompat mundur ketika mendadak terdengar suara 
tawa mengikik, yang membuat telinga mereka 
berdenging kesakitan. Cepat keduanya mengerahkan 
tenaga untuk melawan pengaruh suara tawa itu. 
Pertempuran pun terhenti seketika. 
Beberapa saat kemudian, suara tawa mengikik itu 
lenyap. Digantikan oleh munculnya sesosok tubuh 
kurus seorang perempuan tua. Kemunculan sosok 
perempuan tua ini, membuat semua orang yang 
berada di tempat itu sama membelalakkan mata!

Karena tubuh perempuan tua ini sama sekali tidak 
terbungkus pakaian, kecuali celana hitam setinggi 
betis, yang pada bagian bawahnya compang-camping. 
Rambutnya yang putih dan tipis, digelung di atas, dan 
terdapat hiasan berupa tulang, yang digunakan 
sebagai tusuk konde. Sedang buah dadanya yang 
keriput dan panjang, menjuntai hingga ke perut, 
dibiarkan terbuka begitu saja. Tentu saja penampilan 
yang menunjukkan ketadakwarasan ini membuat 
heran siapa saja yang menyaksikannya. 
Banadri dan Sandrila yang semula sempat merasa 
risih melihat penampilan nenek itu, kini menjadi 
kaget bukan main. Sekali melihat saja, keduanya 
langsung bisa mengenali siapa adanya nenek ber-
penampilan sangat 'berani' itu. 
"Kalong Wewe...?!" desis Banadri yang tanpa sadar 
melangkah mundur. Pada wajahnya terlihat gam-
baran kegentaran. 
"Tidak salah lagi! Ciri-ciri nenek itu sama persis 
dengan yang digambarkan ayah kita!" desis Sandrila 
yang juga tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan 
gentarnya. Karena dari apa yang mereka dengar, 
Kalong Wewe merupakan seorang tokoh wanita tua 
yang kepandaiannya sukar diukur. Dan merupakan 
tokoh gila, yang memiliki kebiasaan tidak lumrah. 
Kabarnya Kalong Wewe gila anak, dan kadang suka 
menculik laki-laki muda untuk diteteki. Namun 
kemudian dibunuhnya setelah nenek itu merasa 
bosan. 
"Hih hih hih...! Orang-orang muda cakap dan 
gagah, kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian 
putra Pendekar Elang Bulu Emas, yang tinggal di 
daerah Pantai Utara?" tanya nenek berpenampilan 
aneh itu sambil memperdengarkan tawa mengikik

nya, lalu gerak maju mendekati Banadri dan Sandrila. 
"Benar, beliau memang ayah kami," Banadri men-
jawab sambil menggeser mundur kakinya dengan 
gerakan perlahan dan tidak terlalu kentara. Meski 
berusaha disembunyikan, rasa ngeri tetap saja ter-
lihat pada wajahnya. 
"Kuharap Nenek suka memandang ayah kami, dan 
tidak mencampuri urusan ini...!" timpal Sandrila yang 
mencoba mengusir Kalong Wewe dengan meng-
andalkan nama besar ayahnya. Karena, seperti 
halnya Banadri, Sandrila pun merasa agak ngeri jika 
mengingat nenek itu mempunyai penyakit gila anak. 
Jika pikirannya terganggu atau kumat, perempuan itu 
melakukan perbuatan menakutkan sekaligus men-
jijikkan. 
"Hih hih hih...! Tanpa memandang nama besar 
ayah kalian pun, aku memang tidak bermaksud 
mencampuri urusan ini. Bahkan kalau kalian 
menghendaki, aku akan suka sekali untuk 
membantu. Karena begitu melihat, aku langsung 
merasa suka dengan kegagahan dan ketampanan 
kalian...," ujar Kalong Wewe dengan suara lembut dan 
pandang mata menggambarkan perasaan sayang 
kepada Banadri dan Sandrila. 
"Celaka...?!" desis Banadri, kaget mendengar 
ucapan Kalong Wewe? 
"Sebaiknya kita tunda saja urusan dengan 
Penjagal Kepala, Kakang...!" bisik Sandrila, yang 
menjadi tegang ketika mendengar pengakuan nenek 
sinting itu. Sandrila menggelengkan kepala, ketika di 
depan matanya melintas bayangan dirinya yang 
tengah dipeluk dan dipaksa untuk menetek. 
Bayangan itu membuat perutnya tiba-tiba menjadi 
mual.

Banadri yang juga ngeri terhadap nenek sinting itu, 
langsung saja mengangguk setuju. Kemudian ber-
paling memandang Kalong Wewe. 
"Maaf, Nek. Kami terpaksa harus pergi. Karena 
masih ada yang harus segera kami kerjakan di 
tempat lain...," ujar Banadri, yang kemudian menoleh 
kepada Sandrila. Setelah memberikan isyarat dengan 
anggukkan kepala, Banadri segera memutar tubuh, 
lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sandrila 
bergegas mengikuti. 
"Hih hih hih...! Apa kalian kira bisa pergi begitu 
mudah setelah berhadapan dengan Kalong Wewe?!" 
ujar Kalong Wewe dengan sorot mata berkilat. Dan 
dibarengi dengan suara tawa mengikik, tubuh nenek 
ini sudah melayang mengejar Sepasang Elang Laut 
Utara. 
Banadri dan Sandrila bukan tidak tahu kalau 
mereka berdua dikejar. Suara tawa mengikik dan 
sambaran angin kuat yang semakin dekat, membuat 
keduanya bergegas membungkuk. Sehingga, ceng-
keraman kedua jari-jari tangan Kalong Wewe tidak 
mengenai sasarannya. 
Namun tubuh kurus yang terus meluncur ke depan 
itu, mendadak terhenti di udara. Kemudian kedua 
kakinya bergerak menendang-nendang di udara. 
Bukan main kagetnya hati Sepasang Elang Laut Utara 
ketika menyaksikan tubuh Kalong Wewe dapat 
berputar balik! Padahal kedua kakinya sama sekali 
belum menginjak tanah! 
"Gila...! Ilmu meringankan tubuh nenek itu hebat 
sekali...?!" desis Banadri kaget dan takjub. 
Sandrila, meski tidak berkata apa-apa, tubuhnya 
tegak terpaku dengan sepasang mata masih mem-
belalak. Sebab, apa yang dilakukan Kalong Wewe

memang merupakan sesuatu yang hampir mustahil. 
Hanya tokoh persilatan yang telah mencapai tingkat 
tinggi sajalah, yang kiranya akan mampu melakukan 
perbuatan itu. Ilmu meringankan tubuh milik 
keluarganya sendiri sudah cukup terkenal di kalangan 
persilatan. Namun Sandrila sangsi apakah ayahnya 
sanggup melakukan yang seperti ditunjukkan Kalong 
Wewe itu. 
"Sandrila, awaaaass...! " 
Banadri berteriak memperingatkan adiknya, yang 
masih berdiri terpaku. Karena saat itu tubuh Kalong 
Wewe sudah kembali meluncur dengan kedua tangan 
terulur ke depan. 
Sandrila tersadar begitu mendengar teriakan 
kakaknya. Tapi, ia menjadi gugup sewaktu melihat 
bayangan tubuh Kalong Wewe sudah demikian dekat 
di depannya. Tahu kalau untuk mengelak jelas tidak 
mungkin keburu, Sandrila mengambil keputusan 
nekat. Dengan mengempos seluruh kekuatan yang 
ada, kedua tangannya memukul ke depan memapaki 
uluran tangan Kalong Wewe, yang berkuku runcing 
itu. 
Bedd, beddd! 
Namun, tokoh wanita sinting yang dijuluki Kalong 
Wewe ini, ternyata merubah gerakannya. Kedua 
tangannya yang semula siap mencengkeram, men-
dadak meliuk berputar. Sehingga kedua pukulan 
Sandrila hanya mengenai tempat kosong. Dan, tahu-
tahu kuku-kuku runcing Kalong Wewe sudah berada 
dekat lehernya. Karuan saja Sandrila menjadi pucat! 
Cusss...! 
Sandrila tak dapat lagi menghindar sewaktu ujung 
kuku runcing Kalong Wewe menusuk jalan darah di 
lehernya. Akibatnya, tubuh pemuda itu langsung

melorot ke tanah bagai sehelai karung basah Dan, 
tergeletak pingsan seketika. 
"Sandrila...?!" 
Banadri merasa kaget dan juga heran melihat 
adiknya langsung roboh begitu tersentuh kuku 
runcing Kalong Wewe. Sepintas saja, Banadri 
langsung bisa menebak kalau kuku perempuan tua 
itu mengandung racun pembius, yang bisa membuat 
lawan roboh seketika, apabila tertusuk. 
"Kalong Wewe...!" ujar Banadri. Dia semakin ber-
tambah tegang bukan main, karena sadar kalau 
adiknya berada dalam cengkeraman seorang aneh 
yang wataknya tidak lumrah manusia. "Lepaskan 
adikku, atau kau sengaja ingin menanam per-
musuhan dengan keluarga kami? Kalau kau tidak 
mau membebaskannya, ayahku pasti akan marah, 
dan menghajarmu sampai babak belur...!" Banadri 
terus menggunakan nama besar ayahnya untuk 
menggertak Kalong Wewe. 
"Hih hih hih...! Jangankan cuma ayahmu, Bocah 
Bagus! Kakek dan buyutmu pun boleh kau panggil 
dari kuburnya untuk menghadapiku. Sebaiknya kau 
tinggallah dulu di sini bersama keroc-keroco itu! Kelak 
kalau adikmu dapat membuat hatiku senang, akan 
kukembalikan dia kepadamu. Nah, apakah kau masih 
juga menganggap aku jahat?" sahut Kalong Wewe, 
yang sama sekali tidak gentar dengan ancaman 
Banadri. 
Setelah berkata demikian, disambarnya tubuh 
Sandrila yang terkulai menelungkup di tanah. Sekali 
cungkil dengan ujung kakinya, tubuh yang rebah itu 
melayang naik, kemudian diterima dengan bahunya. 
Lagi-lagi Banadri dibuat kagum oleh pertunjukan 
tenaga dalam Kalong Wewe.

"Hei..., mau kau bawa ke mana adikku...? Kalong 
Wewe, tunggu...!" 
Wajah Banadri semakin pucat, melihat Kalong 
Wewe memutar tubuhnya dan melesat pergi 
meninggalkannya. Ia berteriak-teriak mencegah, 
namun perempuan tua renta itu sama sekali tidak 
peduli. Sehingga Banadri nekat mengejar dengan 
mengerahkan seluruh kemampuan yang ada pada 
dirinya. 
"Nenek Iblis, kembalikan adikku...!" 
Kalong Wewe sendiri hanya memperdengarkan 
suara tawa mengikiknya yang panjang. Dan tampak-
nya ia tidak berlari sungguh-sungguh, karena sampai 
sejauh itu Banadri tetap cuma tertinggal sekitar tiga 
tombak. Itu sebabnya, mengapa Banadri masih nekat 
terus mengejar. 
***

LIMA

"Berhenti...!" 
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang disusul 
dengan berkelebatnya sesosok bayangan putih meng-
hadang sekitar satu setengah tombak di hadapan 
Kalong Wewe. Namun perempuan tua yang tidak 
lumrah manusia itu seperti tidak mendengar ataupun 
melihat sosok yang berdiri menghadang di depannya. 
Tubuhnya terus meluncur ke depan, membuat sosok 
bayangan putih yang melakukan penghadangan 
menjadi tertegun. Sedangkan saat itu, Kalong Wewe 
yang sudah begitu dekat, tahu-tahu menjulurkan 
tangan kirinya dengan sebuah cengkeraman. 
Whuttt! Plakkk! 
Sepasang lengan berbenturan keras sewaktu 
sosok bayangan putih mengangkat tangan kirinya 
sambil memiringkan tubuh. Akibatnya, justru Kalong 
Wewe sendiri yang terpekik tak dapat menahan rasa 
terkejutnya. Bahkan tubuh tua renta keriput itu ter-
huyung ke tepi jalan, menabrak semak-semak! 
"Cuh, cuhh, cuhhh...!" 
Setelah dapat menguasai keseimbangan tubuh-
nya, beberapa kali Kalong Wewe menyemburkan 
ludah sebagai tanda kegusaran hatinya. Baru 
kemudian mengangkat wajah, didahului sambaran 
matanya yang memancarkan sinar berapi. Ketika 
pandangannya matanya berubah melembut. Bahkan 
mulutnya menyeringai, membentuk seuntai senyum, 
menampakkan gigi-giginya yang hitam. 
Sementara Banadri sudah tiba di tempat itu. Ia

yang dari kejauhan telah melihat sosok bayangan 
putih yang menghadang jalan Kalong Wewe, kini 
menatap dengan kening berkerut agak heran. Dia pun 
tadi sempat melihat ketika sosok bayangan putih itu 
menyambut cengkeraman Kalong Wewe, yang 
membuat nenek itu terhuyung. Rasa heran ketika 
mendapati sosok bayangan putih itu ternyata seorang 
pemuda berwajah tampan, membuat Banadri 
menelitinya beberapa saat 
"Kalau aku tidak salah mengenali orang, kau 
pastilah yang berjuluk Pendekar Naga Putih, 
Sobat...?" ujar Banadri langsung menduga setelah 
meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Begitulah orang memberikan julukan kepadaku...," 
sahut pemuda tampan yang ternyata memang Panji. 
Pendekar Naga Putih tersenyum merangkapkan 
kedua tangannya ke arah Banadri. "Secara kebetulan 
aku sedang menuju ke daerah sekitar sini, dan men-
dengar suara tawa mengikik serta teriakanmu," lanjut-
nya menjelaskan keberadaannya di tempat itu. 
Sementara, Kalong Wewe yang mendengar pem-
bicaraan itu, menghentikan langkahnya. Karena ter-
tarik begitu melihat wajah penghadangnya, dan 
langsung merasa suka, dia bermaksud menukar 
pemuda yang dibawanya dengan Panji. Namun 
setelah mendengar pemuda tampan itu berjuluk 
Pendekar Naga Putih, nenek menggiriskan ini menjadi 
ragu sejenak. 
"Hih hih hih...! Siapa kira hari ini aku ternyata 
sangat beruntung bisa berjumpa dengan Pendekar 
Naga Putih! Aih..., sudah lama sekali aku merindu-
kanmu, Bocah Bagus! Sekarang, setelah melihatmu, 
rasanya aku tak memerlukan lagi pemuda ini...," ujar 
Kalong Wewe. Keraguannya seketika lenyap, berganti

kegembiraan yang meluap-luap. Sambil berkata 
begitu tubuh Sandrila yang semula dipanggulnya, 
dilemparkan begitu saja ke arah Banadri. 
Banadri bertindak cepat melesat ke udara, me-
nangkap tubuh adiknya. Sekali mengulur tangan saja, 
tubuh Sandrila dapat diselamatkannya. Kemudian 
meluncur turun dengan gerakan yang ringan sekali. 
Lalu menoleh kepada Panji. 
"Hati-hati, Pendekar Naga, Putih! Nenek itu adalah 
tokoh wanita sakti berotak sinting, yang terkenal 
dengan julukan Kalong Wewe. Tampaknya, nenek 
yang dikabarkan gila anak itu menaruh rasa suka 
kepadamu...," bisik Banadri mengingatkan Pendekar 
Naga Putih. 
"Kalong Wewe...!" desis Panji yang merasa agak 
kaget mendengar ucapan Banadri. Dirinya memang 
pernah mendengar tentang tokoh wanita tua yang 
sakti dan tidak lumrah manusia itu. Juga tahu tentang 
kebiasaan Kalong Wewe, yang gila mengangkat anak, 
dan memperlakukannya dengan cara yang meng-
gelikan sekaligus membuat hati bergidik. 
"Hih hih hih..., marilah ikut bersamaku, Pendekar 
Naga Putih...!" bujuk Kalong Wewe dengan suara 
lembut dan penuh kasih. Tak ubahnya seorang ibu 
yand menyayangi anaknya. 
Panji masih berdiri tegak, tanpa sepatah kata pun. 
Karena ia merasa bingung bagaimana harus bersikap 
menghadapi perempuan sinting seperti Kalong Wewe. 
Jika ia menolak, nenek itu sudah pasti akan marah 
dan memaksanya. Tapi, ia pun tidak sudi ikut 
bersamanya. 
Kalong Wewe tidak dapat menahan kesabaran 
ketika melihat Pendekar Naga Putih masih berdiri 
diam. Tubuhnya langsung melesat dengan kedua

tangan terjulur ke depan, siap meringkus Pendekar 
Naga Putih. 
"Pendekar Naga Putih, awaaasss...!" 
Banadri yang menjadi cemas ketika melihat Panji 
masih diam tak bergerak, berseru memperingatkan. 
Namun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan 
Banadri. Karena meski Panji kelihatan seperti orang 
linglung, sambaran angin keras yang terbit dari kedua 
cengkeraman Kalong Wewe, sudah membangkitkan 
kesadarannya. Tepat pada saat cengkeraman itu 
hampir merenggutnya, Panji langsung melompat 
mundur. Sehingga, cengkeraman Kalong Wewe me-
nemui kegagalan. 
"Kalong Wewe, tahan serangan...!" seru Panji yang 
sudah melompat agak jauh, berdiri tegak mengangkat 
tangannya mencegah kelanjutan serangan nenek itu. 
Seruan yang dilakukan Panji dengan pengerahan 
tenaga dalam itu, membuat langkah Kalong Wewe 
terhenti. Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih itu 
dengan mulut menyeringai. 
"Kau harus ikut bersamaku, Pendekar Naga 
Putih..!" desak Kalong Wewe memecah keheningan, 
yang beberapa saat menyelimuti mereka. Kemudian 
kakinya kembali bergerak mau mendekati Panji. 
"Celaka...! Aku tidak tahu bagaimana harus 
bersikap menghadapi nenek gila ini...!" gumam Panji, 
yang mau tidak mau ikut menggeser langkahnya. 
Hingga keduanya saling berhadapan dalam jarak 
sekitar dua tombak. Kalong Wewe siap untuk 
menerjang. Sedangkan Pendekar Naga Putih siap 
untuk membela diri. 
***

Sosok pemuda tampan terbungkus jubah putih, 
duduk menikmati makannya di sebuah kedai yang 
memiliki ruangan cukup besar. Melihat dari cara 
makannya yang lambat-lambat dan seringkali terhenti 
terlalu lama, serta ada kerutan pada keningnya, 
seolah ia tengah memikirkan sesuatu. 
"Paman...," ujar pemuda tampan itu setelah 
menyudahi makannya. Dia memanggil pelayan, yang 
segera datang menghampiri. "Apakah kau pernah 
dengar tentang seorang tua yang disebut sebagai 
Kakek Jubah Hitam...?" tanyanya dengan suara agak 
direndahkan. 
"Kalau nama itu, hampir seluruh penduduk desa 
sekitar kaki Bukit Bantaran ini pernah mendengar 
dan mengenalnya, Tuan. Karena, secara tidak 
langung, beliau merupakan pelindung kami semua," 
jawab pelayan kedai, yang kemudian duduk di depan 
pemuda tampan ini. Lalu dia bercerita panjang lebar 
tentang sepak terjang Kakek Jubah Hitam. Pelayan ini 
tampak semakin bersemangat sewaktu ceritanya di-
dengarkan dengan sungguh-sungguh. "Sayang beliau 
sekarang sudah tewas dibunuh orang jahat yang 
kemungkinan besar menaruh dendam kepadanya...," 
sesalnya pada akhir cerita. 
Pemuda berjubah putih yang tak lain si Pendekar 
Naga Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Cerita 
itu baginya tidak terlalu aneh, dan hampir sama 
dengan yang dituturkan beberapa penduduk desa 
sekitar Bukit Bantaran, yang pernah ditanyainya. Panji 
yang memang kebetulan lewat di sekitar Bukit 
Bantaran dan mendengar tentang kematian Kakek 
Jubah Hitam, langsung mengambil keputusan untuk 
menyelidik dan mencari pembunuhnya. Dan karena 
hal itu masih sangat gelap baginya, maka ia pun

mulai mencari keterangan dari penduduk desa sekitar 
tempat tinggal Kakek Jubah Hitam. 
"Apakah kira-kira Paman bisa menduga siapa yang 
melakukan pembunuhan itu...?" tanya Panji setelah 
terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan ketika 
dilihatnya pelayan itu menggelengkan kepala, 
"Bagaimana dengan orang-orang jahat yang pernah 
diusirnya, apakah Paman mengenai beberapa di 
antara mereka...?" 
"Terlalu banyak orang jahat yang pernah dihajar 
Kakek Jubah Hitam, dan aku tak dapat mengenali 
mereka satu persatu," jawab si Pelayan Kedai dengan 
suara lambat-lambat, sambil mengerahkan ingatan-
nya. 
"Tapi...." 
"Tapi apa, Paman...?" tanya Panji mendekatkan 
wajahnya, mengerti akan kekhawatiran pelayan 
kedai, yang menghentikan ucapannya dan menoleh 
ke kiri-kanan dengan wajah cemas. Takut kalau-kalau 
ucapannya didengar orang lain. 
"Salah satu dari sekian banyak orang yang pernah 
dihajar Kakek Jubah Hitam adalah gerombolan 
perampok. Kalau aku tidak salah ingat, pemimpinnya 
dijuluki sebagai Penjagal Kepala...!" jelasnya. Lagi-lagi 
ucapannya terhenti, dan menoleh ke sana kemari 
dengan takut-takut, "Kepala rampok itu sangat 
terkenal kekejaman dan kebuasannya...," lanjutnya 
dengan suara yang lebih rendah. Kemudian bergerak 
bangkit dan meninggalkan Panji setelah membersih-
kan meja. Namun, langkahnya terhenti. Karena Panji 
sudah menangkap lengannya. 
"Di mana markas Penjagal Kepala itu, Paman...?" 
tanya Panji setengah berbisik. 
"Apa... apa yang akan kau lakukan, Tuan...?!"

pelayan kedai tampak terkejut mendengar per-
tanyaan itu. 
"Tidak, Paman. Cuma sekadar ingir tahu saja...," 
jawab Pendekar Naga Putih berdusta, khawatir 
pelayan kedai itu akan bertanya macam-macam. 
"Sepanjang yang kudengar, Penjagal Kepala sering 
melakukan penghadangan terhadap kereta-kereta 
barang di sekitar Hutan Gagak. Kira-kira setengah 
hari perjalanan dari desa ini...," jelas pelayan kedai, 
yang kemudian memutar tubuhnya setelah merasa-
kan pegangan pada pergelangan tangannya dilepas-
kan. 
Setelah mendapat keterangan dan membayar 
makanannya, Pendekar Naga Putih meninggalkan 
kedai. Ia sudah mendapat keterangan tentang letak 
Hutan Gagak, dan bermaksud mendatangi tempat itu. 
Maka, begitu berada di luar desa, dan jalanan agak 
sepi, Panji melanjutkan perjalanan dengan meng-
gunakan ilmu lari cepatnya. 
Ketika hampir tiba di Hutan Gagak, mendadak 
langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara 
tawa mengikik yang membuat bulu kuduknya berdiri. 
Selain itu, ia juga mendengar adanya suara orang 
berteriak, seperti tengah mengejar seseorang yang 
melarikan diri. Bergegas Panji melesat ke arah asal 
suara. Dilihatnya seorang nenek berpenampilan aneh 
sedang berlari cepat memanggul sesosok tubuh di 
bahu kanannya. Di belakang si Nenek tampak se-
orang lelaki muda tengah mengejar-ngejar. Segera 
saja Panji mengambil keputusan untuk menghadang 
nenek yang diduganya telah melakukan penculikan 
itu. Sampai akhirnya ia terpaksa harus bertarung 
melawan nenek itu. Perempuan aneh itu ternyata 
suka kepadanya, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak. Tentu saja Panji tidak sudi ikut bersama 
nenek yang otaknya tidak waras itu. 
*** 
Wrrettt! 
Kalong Wewe membuka serangan lebih dulu, 
memulai perkelahian itu. Sepasang tangannya yang 
berkuku runcing dan hitam, menyambar disertai deru 
angin keras. Namun, Panji yang sudah siap meng-
hadapi serangan nenek gila itu, dengan cepat ber-
gerak mengelak. Sehingga, serangan Kalong Wewe 
tidak mengenai sasarannya. Bahkan Pendekar Naga 
Putih langsung mengirimkan serangan balasan 
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya. 
Gelombang angin keras berhawa dingin ber-
hembus menyertai datangnya serangan balasan 
Panji, yang terus berlanjut ketika nenek itu dapat 
menghindarinya. Dalam jurus-jurus pertama, Panji 
langsung melakukan desakan, karena ia ingin meng-
akhiri pertarungan secepatnya. 
Namun untuk mewujudkan niat itu ternyata bukan 
suatu hal yang mudah! Karena Kalong Wewe merupa-
kan salah satu gembong golongan sesat, yang tingkat 
kepandaiannya sulit diukur. Sehingga, untuk meng-
hadapinya Pendekar Naga Putih harus bekerja keras, 
mengerahkan seluruh kemampuan yang di-milikinya. 
Termasuk 'Ilmu Silat Naga Sakti', yang sangat jarang 
digunakan. 
Selama kurang lebih dua puluh jurus, Kalong 
Wewe terus mengambil sikap bertahan, mengguna-
kan kedua tangannya sebagai benteng, yang sukar 
ditembus. Bahkan ketika pertarungan menginjak

pada jurus yang keempat puluh, perempuan tua renta 
itu mulai melakukan serangan balik, sambil tetap 
memperkuat pertahanannya. Gelombang pukulannya 
menderu tajam, mengandung kekuatan tenaga dalam 
yang hebat, membuat serangan Panji mulai mengen-
dur. Sampai akhirnya giliran pendekar muda itu yang 
harus bertahan dari serangan gencar lawannya. 
Plakkk...! 
Untuk kesekian kalinya, benturan kedua lenganB 
mereka kembali terjadi. Kali ini Panji benar-benar 
dibuat kaget! Tenaga pukulan lawan yang semakin 
bertambah kuat itu, membuat tubuhnya terhuyung 
beberapa langkah. Sedangkan Kalong Wewe, yang 
cuma merasakan getaran pada tubuhnya, sudah 
kembali menyusuli serangannya. 
Blakkk! 
"Hukkhh...!" 
Sebuah hantaman telapak tangan Kalong Wewe 
yang berhasil menjebol benteng pertahanan Panji, 
membuat tubuh pendekar muda itu terdorong ke 
belakang dengan tubuh terbungkuk. Hantaman keras 
yang telak mengenai perutnya membuat Panji merasa 
mual seketika. Namun, meski dalam keadaan demiki 
an, pemuda itu masih juga sempat menyelamatkan 
diri dari incaran kuku-kuku runcing lawan yang 
mengirimkan serangan susulan. Tindakan itu sempat 
membuat kedudukannya semakin tidak seimbang, 
dan terus terhuyung. Sampai akhirnya ia bisa 
menguasai diri, setelah melompat jauh. ke belakang 
dengan berputaran beberapa kali di udara. 
Dengan kuda-kuda yang kokoh laksana tertanam 
di tanah, Pendekar Naga Putih mengumpulkan tenaga 
dalam, berusaha menekan rasa mual yang membuat 
gerakannya agak terganggu itu. Saat serangan lawan

yang terus mengejarnya datang, Panji menepiskan 
rasa ibanya terhadap sosok nenek berwajah mengeri-
kan itu. Disambutnya serangan lawan dengan tidak 
kalah ganasnya. Sehingga, pertempuran semakin ber-
tambah sengit! 
Tiga puluh jurus lebih, setelah pertempuran -, 
Pendekar Naga Putih tiba-tiba memekik keras. 
Tubuhnya melenting dan melayang-layang di udara. 
Sepasang cakar naganya berputaran menerbit-kan 
pendaran sinar putih keperakan yang menyilau-kan 
mata. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', 
yang merupakan salah satu jurus pamungkas, 
sempat membuat Kalong Wewe kelabakan, dan tak 
mampu lagi melindungi dirinya. 
Plakk! Bukk! Blukkk! 
Tiga hantaman berturut-turut bersarang di tubuh 
Kalong Wewe, membuat nenek gila ini terhumbalang 
ke kiri-kanan, dan akhirnya terbanting ke tanah. 
Namun, Panji benar-benar dibuat terbelalak kagum 
oleh kekuatan tubuh kurus yang kulitnya sudah ber-
keriput itu. Meski kelihatan telah menderita luka 
dalam, nenek ini masih sanggup untuk langsung 
bangkit berdiri, meski kuda-kudanya terlihat goyah. 
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" aku 
Kalong Wewe, yang kali ini bicaranya lancar, dan tidak 
tampak tanda-tanda bahwa dirinya berotak miing. 
"Untuk kali ini aku mengaku kalah. Tapi, kelak aku 
akan menebus sekaligus dengan bunganya...," lanjut-
nya menyiratkan ancaman dan dendam. Setelah ber-
kata demikian, dengan tertatih-tatih, Kalong Wewe 
bergerak meninggalkan tempat itu. 
Panji hanya bisa menghela napas. Ia tidak berkata 
apa-apa. Dibiarkan saja nenek gila itu pergi mem-
bawa luka di dalam tubuhnya. Meski agak menyesal

telah menanam bibit permusuhan baru dengan 
seorang tokoh gila yang berbahaya, namun Panji 
merasa lega telah dapat mengusir pergi Kalong 
Wewe. 
"Terima kasih, kau sudah menyelamatkan adikku, 
Pendekar Naga Putih. Kami berdua tentu tak akan 
melupakan jasamu...." 
Ucapan Banadri membuat Panji memutar tubuh 
menghadapi tokoh muda dari Pantai Utara itu. 
"Pertolongan sesama manusia adalah satu 
kewajiban. Jadi, janganlah kau anggap sebagai 
hutang, Sobat..!" sahut Panji yang tanpa diminta 
segera memeriksa keadaan Sandrila. Lalu menotok di 
beberapa bagian tubuhnya untuk memulihkan ke-
sadaran orang kedua dari Sepasang Elang Pantai 
Utara itu. Kemudian memberikan sebutir pil berwarna 
putih salju yang berkhasiat untuk mengusir racun dari 
dalam tubuh. 
"Sebenarnya siapa kalian berdua ini, dan berasal 
dari mana? Mengapa sampai bisa bentrok dengan 
Kalong Wewe?" tanya Panji setelah keadaan Sandrila 
sudah tidak mengkhawatirkan lagi. Ketiganya duduk 
saling berhadapan. 
Setelah memperkenalkan diri dan tempat asalnya, 
Banadri menceritakan secara singkat tentang tujuan-
nya, juga pertemuannya dengan Kalong Wewe. 
Sementara Sandrila hanya diam, ikut mendengarkan. 
"Hm..., tidak aneh kalau Elang Bulu Emas sampai 
mengirimkan kalian berdua sebagai putra-putranya 
untuk menyelidiki dan mencari pembunuh Kakek 
Jubah Hitam. Kematiannya memang membuat tokoh-
tokoh golongan putih menjadi marah. Mereka ber-
tekad untuk membekuk si Pembunuh Keji itu. Aku 
pun mempunyai tujuan yang sama dengan kalian ber

dua. Dan hendak nendatangi Penjagal Kepala guna 
mencari keterangan. Karena kepala rampok itu 
merupakan salah seorang musuh Kakek Jubah Hitam, 
yang menaruh dendam. Begitulah keterangan be-
berapa penduduk sekitar Bukit Bantaran, sewaktu 
kutanya...," ujar Panji menatap kagum dua orang 
tokoh muda di hadapannya. Karena ia juga sudah 
mendengar akan nama besar Elang Bulu Emas, yang 
juga dijuluki sebagai Majikan Pantai Utara itu. 
"Bagaimana kalau sekarang kita datangi lagi 
Penjagal Kepala itu. Karena kami berdua pun men-
dapatkan keterangan yang sama denganmu, Pen-
dekar Naga Putih," ujar Sandrila mulai menimpali 
pembicaraan. 
"Ayolah, mudah-mudahan kepala rampok itu bisa 
memberikan keterangan yang memuaskan...," sambut 
Panji yang segera bangkit berdiri. Lalu ketiganya me-
langkah, kembali menuju perkampungan peram-pok 
yang dipimpin Penjagal Kepala. 
Tiba di tempat tujuan, ketiganya mendapati per-
kampungan itu sudah kosong! Tak satu pun anggota 
perampok yang masih berada di sana. 
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah meninggal-
kan tempat ini...!" geram Banadri, yang tak menemu-
kan sepotong manusia pun, meski ia telah memeriksa 
semua rumah dengan teliti. 
"Mungkin mereka sudah mendengar tentang ke-
marahan tokoh-tokoh golongan putih. Lalu meng-
hindar dan menyembunyikan diri di tempat yang 
mereka anggap cukup aman...," timpal Panji dengan 
nada agak kecewa. Dia berdiri menatapi rumah-
rumah yang telah ditinggal pergi penghuninya itu. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang...?" 
tanya Sandrila, yang pikirannya mendadak buntu

karena rasa kecewa. 
"Kurasa mereka belum terlalu jauh. Ada baiknya 
kita melakukan pengejaran dengan berpencar. 
Dengan begitu, ada kemungkinan salah satu dari kita 
dapat menemukan Penjagal Kepala dan para 
pengikutnya itu...," jawab Panji mengajukan usul, yang 
disambut anggukan kepala Banadri dan Sandrila. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji dan 
Sepasang Elang Pantai Utara melesat meninggalkan 
tempat itu ke arah yang berbeda. 
***

ENAM

"Maaf, Nyi Lurah...!" 
Andari dan ibunya mengerutkan kening menatap 
penjaga yang menghadap tanpa dipanggil itu. Kedua-
nya mengangguk, sebagai isyarat agar penjaga itu 
segera mengatakan keperluannya. 
"Seseorang tak dikenal, memberikan surat yang 
minta disampaikan kepada Nyi Lurah...," lanjut pen-
jaga ini sambil mengangsurkan surat yang dimaksud. 
Setelah itu ia membungkuk hormat, lalu beranjak 
meninggalkan ruangan di rumah Kepala Desa 
Kranggan. 
Wanita cantik berusia sekitar empat puluh tahun, 
yang tubuhnya masih terlihat ramping ini, segera 
membuka gulungan daun lontar itu dan membaca 
isinya. Mula-mula wajahnya tampak berkerut, lalu 
berubah pucat. Sekujur tubuhnya gemetar, sehingga 
surat yang dipegangnya ikut bergetar. 
"Dusta! Ini pasti fitnah...!" desisnya berkeras 
menyangkal isi surat yang dibacanya. Meski demikian 
dalam nada suaranya terkandung keraguan atas 
bantahan itu. 
"Ada apa, Ibu? Apa isi surat itu, dan siapa yang 
nengirimnya?" tanya Andari yang tentu saja menjadi 
bingung dan cemas ketika melihat keadaan ibunya. 
Namun sang Ibu tidak berkata apa-apa, dan 
menyerahkan surat itu kepadanya. Andari semakin 
kaget tak mengerti ketika melihat wajah ibunya 
dibasahi mata. Buru-buru dibacanya isi surat itu 
dengan penuh rasa ingin tah

Seperti halnya yang dialami ibunya, paras Andari 
pun berubah pucat setelah membaca isi surat itu. 
Setelah selesai, gadis itu menoleh kepada ibunya, 
yang duduk lemas di atas kursi sambil menekap 
wajah dengan kedua tangan. 
"Ibu..., apakah benar apa yang tertera dalam surat 
ini? Benarkah aku bukan anak Ayah? Benarkah aku 
sebenarnya putri seorang pendekar yang berjuluk 
Garuda Kuku Baja?!" tanya Andari dengan wajah 
pucat dan bibir gemetar menahan jatuhnya air mata. 
Ketika tidak mendengar adanya jawaban, Andari 
mengguncang tubuh ibunya dengan keras, "Jawablah, 
Ibu? Katakan kalau semua ini tidak benar!" 
Guncangan Andari membuat ibunya mengangkat 
kepala, memandang wajah putrinya dengan air mata 
berlinang. Lalu mengangguk perlahan. Kemudian 
kembali menangis, menutupi wajahnya. 
Jawaban ibunya membuat Andari merasakan 
tanah tempat kaki berpijak bergoyang. Tubuh gadis 
remaja ini terjajar mundur. Air mata yang kini tak bisa 
lagi ditahannya, mengalir di pipinya yang bertambah 
pucat. Kenyataan itu membuat Andari terguncang 
hatinya. 
"Lalu..., apakah semua isi surat ini benar, Ibu...?", 
desis Andari setengah berbisik. Seperti takut kalau 
ibunya kembali membenarkan pertanyaan itu. 
"Tidak seluruhnya, Anakku. Hanya sebagian saja 
yang benar. Selebihnya hanyalah fitnahan keji 
Harimau Gila, si Pengirim Surat itu," jawabnya sambil 
menghapus air mata, "Sebelum menjadi istri ayahmu 
yang sekarang, Ibu adalah seorang janda, Anakku. 
semula Ibu pun menolak lamaran Sagotra. Saat itu 
kau baru berusia kurang lebih lima tahun. Sagotralah 
yang menyelamatkan kita berdua dari ancaman

kematian, sewaktu rumah kita diserbu gerombolan 
perampok. Sebenarnya, kalau saja para perampok itu 
tidak berbuat curang, kemungkinan besar mereka 
akan dapat dikalahkan ayahmu. Tapi mereka berlaku 
licik dengan membakar tempat kediaman kita. 
Ayahmu menjadi sibuk dan kewalahan waktu itu. 
Sebab, selain harus menyelamatkan kita berdua, 
beliau masih harus berusaha memadamkan api, dan 
serbuan manusia-manusia biadab itu. Hingga, akhir-
nya beliau tewas tertembus belasan senjata. Saat kita 
berdua dalam bahaya itulah, Sagotra muncul, 
mengamuk menerobos kepungan, lalu membawa lari 
kita berdua. Budinya yang sangat besar, membuat Ibu 
akhirnya menerima lamarannya, sewaktu usiamu 
mencapai tujuh tahun. Tak tega hati Ibu untuk 
mengecewakan lelaki yang demikian baik dan sabar 
menunggu sampai sedemikian lama...." 
Cerita ibunya membuat Andari termenung masih 
dengan wajah pucat. Ia percaya akan cerita sang Ibu, 
yang menurutnya tidak mungkin tega membohongi 
anaknya. Namun di sisi lain, dirinya juga ragu akan isi 
surat itu. Karena apa yang tertera di dalamnya 
demikian jelas, dan sama persis kejadiannya. Hanya 
saja ada beberapa tambahan, yang merupakan 
tuduhan keji terhadap ayahnya yang sekarang. Hal ini 
membuat Andari tidak puas dengan cerita Ibunya. 
"Belakangan ini kuperhatikan sikap Ayah sangat 
aneh...?" gumamnya perlahan seperti berbicara pada 
dirinya sendiri, "Itu terjadi setelah Ayah kedatangan 
seorang sahabat lamanya. Dan..., kalau tidak salah 
orang itu juga berjuluk Harimau Gila! Aku sempat 
mendengar Ayah menyebutnya sewaktu mereka 
bertengkar mulut, sampai kemudian orang itu lari 
dikejar-kejar Ayah...?!" Sampai di sini Andari

menghentikan. ucapannya. Keningnya berkerut, 
seakan tengah berpikir keras. 
"Kau bicara apa, Andari?" tegur ibunya setengah 
membentak, "Tidak pantas kau mencurigai orang 
yang telah begitu besar budinya terhadap kita berdua! 
Apa lagi ia adalah orang yang telah merawatmu 
sampai besar, dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu 
silat tinggi Sebaiknya hentikan ocehanmu itu, dan 
segera kita tinggalkan tempat ini untuk mencari 
ayahmu itu... " 
"Itulah, Ibu...!" seru Andari mengejutkan, seperti 
baru teringat sesuatu. "Belakangan setelah ke-
datangan Harimau Gila, Ayah beberapa kali mening-
galkan rumah pada waktu malam. Bahkan beberapa 
malam yang lalu, Ayah sampai tidak pulang. Dan aku 
menemukannya jauh di luar desa ini. Ibu masih ingat 
dengan ceritaku itu, bukan?" 
Istri Sagotra mengangguk lemah, melihat tatapan 
putrinya, yang menunggu jawabannya. 
"Setelah itu, Ayah lebih sering termenung dan 
mengurung dirinya di kamar semadi. Dan akhirnya.., 
Ayah lenyap tanpa kita tahu kapan dan ke mana 
perginya. Padahal seluruh keamanan desa sudah kita 
kerahkan untuk mencari. Namun, Ayah lenyap seperti 
ditelan bumi! Nah, tidakkah tindakan Ayah ini sangat 
mencurigakan?" lanjut Andari mengutarakan semua 
apa yang dilihat dan didengar tentang ayahnya 
belakangan ini. Kini dalam sorot mata dan nada 
ucapannya, menimbulkan kesan bahwa gadis remaja 
ini semakin menaruh kecurigaan kepada sang Ayah 
yang juga seorang kepala desa. 
"Tapi itu semua tidaklah dapat dijadian alasan 
bagimu untuk mencurigai ayahmu, Andari! Sudahlah! 
Sebaiknya kita segera berangkat untuk mencari

nya...!" tukas ibunya tetap berkeras membantah 
tuduhan Andari. Perempuan ini memang terlihat 
sudah mengenakan pakaian ringkas. Dan pada waktu 
penjaga datang memberikan surat kepadanya, 
mereka berdua memang sudah bersiap untuk pergi 
mencari suami dan ayah mereka, yang tiba-tiba 
lenyap tanpa diketahui ke mana dan kapan perginya. 
"Tunggu dulu, Ibu...!" ujar Andari, yang kelihatannya 
masih belum puas, "Coba Ibu katakan, apakah benar 
gerombolan perampok yang menyerbu tempat tinggal 
kita dulu dipimpin seorang yang bernama Ki Tambak 
Rejo?" 
"Itu memang benar...," jawab ibunya membenar-
kan apa yang juga tertera di dalam surat itu. 
"Lalu, bagaimana Harimau Gila bisa mengetahui-
nya dengan pasti?! Padahal peristiwa itu sudah lama 
sekali terjadinya? Jangan-jangan..., ia memang benar-
benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri, 
tentang peristiwa belasan tahun silam itu? Kalau 
tidak, bagaimana mungkin ia dapat menuliskannya 
sama persis baik tempat maupun waktunya?" gumam 
Andari sambil tak lepas menatap wajah ibunya. 
"Hanya ayahmu yang bisa menjelaskannya. Itu 
sebabnya kita harus pergi mencarinya...," tukas ibu-
nya, yang kali ini tidak dibantah Andari. Lalu melang-
kah keluar dari dalam rumah, menemui dan berpesan 
kepada penjaga. 
"Kami berdua akan pergi untuk beberapa waktu. 
Harap kalian urus segala sesuatunya di rumah ini. 
Dan apabila suamiku sudah kembali, katakan kepada 
beliau agar tidak perlu mencari kami. Karena se-
cepatnya kami berdua akan kembali ke sini...," pesan 
ibunya Andari kepada empat orang keamanan desa, 
yang bertugas menjaga tempat kediaman Ki Sagotra,

kepala desanya. 
*** 
Seorang lelaki tinggi kurus tengah melangkah 
lambat-lambat menyusuri tanah berlumpur, yang 
sekitarnya banyak ditumbuhi tanaman bunga, sedang 
bermekaran. Ayunan langkahnya mendadak terhenti 
ketika telinganya menangkap suara tawa kecil dan 
riang. Merasa tertarik dan penasaran, langkahnya 
pun diputar mendatangi sumber suara yang meng-
gelitik keingintahuannya. 
Tidak berapa lama kemudian, lelaki tinggi kurus ini 
menemukan sumber suara itu. Dari balik sebatang 
pohon, tempatnya bersembunyi, lelaki ini melihat se-
orang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun. 
Melihat tingkah lucu bocah perempuan yang berlari 
tertatih-tatih mengejar seekor kupu-kupu, lelaki 
setengah tua itu tersenyum. Menyaksikan tingkah 
bocah perempuan itu, seketika timbul rasa suka dan 
sayangnya. Suatu perasaan asing, yang nyaris tidak 
pernah dialaminya. Selama ini hidupnya dipenuhi 
dengan kekerasan dan bau darah! Lelaki ini bernama 
Sagotra, yang juga dikenal dengan julukan Setan 
Pantai Timur. Sepak terjangnya sebagai seorang 
penjahat tunggal, yang kadang juga menerima tugas 
untuk membunuh seseorang dengan imbalan cukup 
besar, membuat nama Setan Pantai Timur semakin 
terkenal. Kali ini, secara tak sengaja, langkahnya 
membawanya ke daerah sekitar kaki Gunung Dampit. 
Dia sempat termenung memikirkan perasaan yang 
tiba-tiba menyeruak di sudut hatinya. 
Suara jeritan bocah perempuan yang lucu itu 
membuyarkan lamunan Setan Pantai Timur. Tubuh

nya langsung melesat ke luar dari tempat per-
sembunyian ketika melihat bocah perempuan itu 
terjerembab jatuh. Ia yang biasanya tidak pernah 
mempedulikan nasib orang, kini mendadak tergerak 
untuk menolong bocah perempuan itu. Sikap dan 
kata-kata yang diucapkannya terdengar asing bagi 
telinganya. Demikian lembut dan penuh kasih, se-
waktu menghibur bocah yang kini telah berada dalam 
gendongannya itu. 
Selagi sibuk menghibur bocah perempuan itu, tiba-
tiba terdengar suara langkah kaki lembut mendatangi 
dari arah belakangnya. Bergegas Setan Pantai Timur 
memutar tubuh. Dan..., sepasang matanya sekilas 
membelalak lebar, melihat seorang wanita berparas 
cantik dengan kulit wajah segar kemerahan. Perem-
puan itu berlari mendatangi. Rambutnya yang 
panjang dan tergerai lepas, terayun lembut mengikuti 
langkah kakinya. Dada Setan Pantai Timur berdebur 
keras sewaktu sosok perempuan yang membuatnya 
terpaku bagai patung itu, semakin dekat. 
"Maaf, kalau putriku telah mengganggu Tuan...!" 
Suara lembut dan merdu bagaikan nyanyian 
bidadari itu, menyelusup masuk melalui telinga Setan 
Pantai Timur, membuat tokoh sesat ini memejamkan 
mata, seakan ingin suara itu buru-buru lenyap dari 
pendengarnya. Hal itu membuat dirinya terlena untuk 
beberapa saat, dan baru tersadar ketika suara merdu 
itu kembali terdengar, meminta agar ia menyerahkan 
anak dalam pondongannya. 
"Kau... kau cantik sekali, Nyi...," puji Setan Pantai 
Timur berterus terang, sambil menyerahkan bocah 
perempuan itu. "Maaf kalau aku telah berkata 
lancang...," lanjutnya sewaktu melihat kedua belah 
pipi wanita cantik itu merona. Permintaan maafnya

membuat kilatan marah dalam sorot mata perem-
puan itu lenyap seketika. 
"Terima kasih, aku harus segera pergi...," ujar 
perempuan cantik yang telah membuat hati Setan 
Pantai Timur serasa jungkir balik. Setelah menerima 
putrinya, bergegas memutar tubuh hendak mening-
galkan tempat itu. 
"Nyi... tunggu...!" Setan Pantai Timur berseru 
mencegah. Tapi, ia tidak bergerak dari tempatnya 
semula. Membuat wanita cantik itu menunda langkah 
dan memutar tubuhnya, berbalik. 
"Ada apa, Tuan...?!" tanya perempuan cantik ini 
mengerutkan kening, menatap lekat-lekat wajah lelaki 
di depannya. 
"Aku sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap 
putrimu. Kebetulan aku sedang lewat ketika melihat 
putrimu yang tengah mengejar seekor kupu-kupu, 
terjatuh. Lalu aku membantunya berdiri...," jelas 
Setan Pantai Timur, yang lagi-lagi merasa asing 
dengan ucapannya. Karena perkataannya demikian 
lembut dan sopan. Padahal ia sudah banyak bergaul 
dengan perempuan cantik. Namun perempuan yang 
satu ini, benar-benar harus diakui memiliki pesona 
yang membuat dirinya seperti Iumpuh. Sehingga, ia 
ingin agar perempuan itu memandangnya sebagai 
orang baik-baik. Karena saat itu juga Setan Pantai 
Timur sadar kalau dirinya telah jatuh cinta kepada 
perempuan itu. Hal ini dapat diketahui, karena 
terhadap perempuan lain, yang pernah digaulinya, 
tidak pernah hatinya merasakan seperti apa yang 
dialami kali ini. 
"Aku tahu, Tuan. Karena aku juga melihatnya. 
Kebetulan Tuan lebih dulu menolongnya. Itu 
sebabnya aku mengucapkan terima kasih kepada

Tuan, yang telah menolong putriku," tukas perempuan 
cantik itu dengan suaranya yang bagi Setan Pantai 
Timur terdengar sangat nikmat. Bahkan membuatnya 
ingin agar perempuan itu berbicara lebih banyak. 
Sayang harapannya tidak terkabul. Karena perem-
puan itu sudah tidak berkata apa-apa lagi. 
"Mmm..., kalau tidak dianggap terlalu lancang, 
bolehkah aku mengetahui nama dan suamimu...? 
Dan apakah tempat tinggal Nyai berada di sekitar 
kaki Gunung Dampit ini...?" tanya Setan Pantai Timur 
setengah memohon dengan wajah harap-harap 
cemas. Khawatir kalau perempuan cantik itu menjadi 
marah karena pertanyaannya. 
"Maaf, tanpa setahu suamiku, rasanya kurang 
pantas kalau aku memperkenalkan nama kepadamu, 
Tuan. Cukup kau ketahui nama suamiku saja, yang 
disebut orang dengan julukan Garuda Kuku Baja. Dan 
tempat tinggal kami memang sekitar kaki Gunung 
Dampit ini. Nah, jika Tuan ingin singgah, silakan. 
Suamiku selalu membuka pintu kepada siapa saja 
yang datang dengan maksud baik...," ujar perempuan 
cantik ini, yang kemudian berlari-lari kecil mening-
galkannya. 
Sagotra si Setan Pantai Timur hanya bisa meng-
hela napas, memandangi bayangan perempuan 
cantik itu yang semakin jauh. Entah mengapa, hatinya 
tiba-tiba merasa kosong. Serasa semangatnya ikut 
pergi bersama perempuan itu. Baru kali ini Sagotra 
merasa hatinya merasa begitu nelangsa. Dan untuk 
pertama kalinya, Sagotra merasa bahwa kehidupan-
nya selama ini tidaklah lengkap. Dirinya tidak mem-
punyai istri dan anak. Pertemuan yang hanya terjadi 
beberapa saat itu, membuat Sagotra jatuh cinta! 
Sebuah perasaan yangselama ini tak pernah di

kenalnya. 
"Aku harus memiliki mereka...!" desis Sagotra 
dengan sorot mata tajam, menunjukkan kebulatan 
tekadnya. 
Setelah mengambil keputusan demikian, Sagotra 
pun mulai menyelidiki tempat kediaman Garuda Kuku 
Baja. Sebenarnya bisa saja ia merampas perempuan 
itu dengan kekerasan dan memaksa untuk menjadi 
istrinya. Namun bukan itu yang diinginkannya. Ia ingin 
agar perempuan itu menjadi istrinya dengan suka 
rela. Keinginan ini membuat Sagotra berpikir keras, 
mencari cara untuk dapat memiliki perempuan itu. 
Sampai akhirnya muncul sebuah rencana di kepala-
nya, yang dianggap akan dapat mewujudkan ke-
inginan itu. Dan untuk menjalankan rencana itu, 
Sagotra membutuhkan bantuan orang lain. 
"Aahh..., selamat datang di tempatku, Setan Pantai 
Timur...?!" seru seorang lelaki setengah baya, yang 
bertubuh kekar, dan wajahnya terhias kumis tebal. 
Lelaki ini tampak gembira menyambut kedatangan 
Sagotra. 
Sagotra cuma tersenyum tipis. Dan tidak menolak 
sewaktu lelaki itu mengajaknya masuk ke dalam 
sebuah rumah yang cukup besar dan bagus. 
"Aku memerlukan bantuanmu, Ki Tambak Rejo," 
Begitu duduk, Sagotra langsung saja mengutarakan 
maksud kedatangannya. 
Ki Tambak Rejo, seorang kepala rampok yang 
menganggap dirinya sebagai penguasa daerah Hutan 
Pagar Jurang, tertawa kecil sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Ada kebanggaan terselip di 
hatinya sewaktu mendengar Setan Pantai Timur mem-
butuhkan bantuannya. Karena selama ini ia men-
dengar dan mengetahui bahwa orang-orang seperti

dirinyalah yang justru lebih banyak meminta bantuan 
kepada Setan Pantai Timur. Tentu saja permintaan 
yang baginya merupakan suatu kehormatan itu, 
langsung diterimanya. Kendati belum tahu apa jenis 
bantuan yang diminta Setan Pantai Timur kepadanya. 
"Kau tidak usah khawatir, Ki Tambak Rejo," lanjut 
Sagotra sewaktu melihat Ki Tambak Rejo tersenyum-
senyum, "Sebagian harta yang kukumpulkan selama 
ini, akan kuberikan kepadamu. Tapi dengan syarat, 
kau harus melaksanakan semua apa yang ku-
perintahkan! Dan tidak perlu bertanya apa-apa! Kau 
paham...?" 
Ki Tambak Rejo mengangguk senang. Karena biar 
bagaimanapun orang seperti dirinya tak lepas dari 
keinginan untuk mendapatkan imbalan. Sekalipun 
yang meminta bantuan rekan segolongan, dan mem-
punyai nama besar seperti Setan Pantai Timur. 
Perlahan-lahan, Sagotra mengutarakan rencana 
yang sudah diatur dalam otaknya. Sedang Ki Tambak 
Rejo cuma mengangguk dan mengiyakan saja. 
"Aku ingin kau lakukan pada hari ini juga...!" tegas 
Sagotra setelah membeberkan rencananya. 
"Baik!" tukas Ki Tambak Rejo, kemudian bangkit 
dan mengumpulkan orang-orangnya, yang jumlahnya 
tidak kurang dari lima puluh orang. Setelah menjelas-
kan tentang apa yang disebutnya sebagai 'pekerjaan 
besar' dan 'terhormat' itu, Ki Tambak Rejo pun 
berangkat bersama anak buahnya, menuju Gunung 
Dampit, yang letaknya kira-kira setengah hari per-
jalanan dari Hutan Pagar Jurang. 
Lewat tengah hari, Ki Tambak Rejo dan rom-
bongannya sudah mulai menginjak daerah kaki 
Gunung Dampit. Setelah berhenti sebentar, meneliti 
sekitar, ia kembali membawa rombongannya

menuruni sebuah lembah, yang terletak di sebelah 
timur kaki gunung itu. 
"Ki Tambak Rejo...!" 
Suara panggilan itu membuat Ki Tambak Rejo 
menarik tali kekang kudanya, menoleh ke arah asal 
suara. Wajahnya yang semula agak berkerut, tampak 
bersinar cerah sewaktu ia mengenali siapa orang 
yang memanggilnya itu. 
"Harimau Gila, kaukah itu, Sahabatku...?!" Tanya-
nya memastikan sosok pendek gemuk, yang me-
langkah menghampirinya. Dan tawanya terdengar 
berkepanjangan sewaktu lelaki pendek gemuk itu 
semakin dekat dan jelas. 
Lelaki pendek gemuk, yang berjuluk Harimau Gila 
ini, juga tertawa gembira. Kendati demikian, ia tidak 
bisa menyembunyikan keheranannya melihat Ki 
Tambak Rejo diiringi para pengikutnya dalam jumlah 
yang cukup besar. Rasa heran itu langsung 
diungkapkannya melalui pertanyaan. 
"Sebaiknya kau jelaskan dulu tentang keberadaan-
mu di daerah ini, Harimau Gila. Kelibatannya 
keadaanmu tidak begitu menyenangkan? Mana 
pengikut-pengikutmu, apakah mereka tidak menyer-
taimu...?" tanya Ki Tambak Rejo, sebelum mem-
berikan jawaban atas pertanyaan Harimau Gila. 
Karena keadaan Harimau Gila yang kusut dan ter-
dapat noda darah pada pakaiannya yang koyak di 
beberapa tempat, membuat hati Ki Tambak Rejo 
menjadi ingin tahu. 
"Beginilah keadaanku sekarang...," ujar Harimau 
Gila, yang kemudian menceritakan tentang penyer-
buan tentara kerajaan, hingga markasnya hancur 
berantakan. Harimau Gila juga menjelaskan bahwa 
selain dirinya, tak ada lagi yang selamat. Dan ia

sendiri saat itu sedang dalam pelarian. 
"Wah, nasibmu benar-benar sedang sial, Sobat..." 
Ki Tambak Rejo menghela napas panjang, seperti ikut 
merasa berduka atas apa yang telah menimpa 
gerombolan sahabatnya itu, "Sebaliknya denganku. 
Aku kini sedang dalam tugas untuk menyelesaikan 
suatu pekerjaan besar! Sebab imbalannya tidak akan 
habis meski dimakan sampai ke anak cucuku dan 
seluruh pengikutku! Nah, karena kulihat kau sedang 
susah, maka aku menawarkanmu untuk bekerja 
sama," lanjut Ki Tambak Rejo, yang kemudian 
menjelaskan tentang pekerjaan besar yang dikata-
kannya itu. 
Kening Harimau Gila tampak berkerut. Wajahnya 
jelas menggambarkan keheranan besar sewaktu 
mendengar penjelasan Ki Tambak Rejo. Karena ia 
tentu saja kenal baik dengan Setan Pantai Timur, dan 
tahu kalau tokoh sesat yang juga merupakan kawan 
dekatnya itu, paling tidak suka membagi-bagikan 
hartanya kepada orang lain. Namun semua itu tidak 
diceritakannya kepada Ki Tambak Rejo. Harimau Gila 
cuma mengangguk-angguk, meski pikirannya ber-
putar dan ingin tahu apa tujuan Setan Pantai Timur 
sampai menyewa Ki Tambak Rejo untuk melakukan 
tugas itu. 
"Sebenarnya aku ingin sekali dapat ikut dengan-
mu, Ki Tambak Rejo. Tapi, karena aku sedang dalam 
kejaran musuh-musuhku, terpaksa menolak ke-
baikanmu. Aku tidak ingin kau ikut susah nantinya. 
Nah, lanjutkanlah perjalananmu, Sobat...! Semoga 
pekerjaan besar ini dapat kau selesaikan dengan 
baik!" tolak Harimau Gila, yang kemudian bergerak 
mundur memberikan jalan kepada Ki Tambak Rejo 
dan rombongan.

Ki Tambak Rejo mengerti akan keadaan sahabat-
nya itu. Maka ia tidak berusaha memaksa. Sambil 
menggelengkan kepala mengingat nasib sial yang 
menimpa sahabatnya, ia membawa rombongan 
melanjutkan perjalanan. Kepala rampok dan para 
pengikutnya ini sama sekali tidak menduga kalau 
Harimau Gila mengikuti perjalanan mereka dengan 
menjaga jarak, agar perbuatannya tidak sampai 
diketahui. 
***

TUJUH

"Kakang…" 
Panggilan lembut yang menelusup masuk ke 
dalam telinganya, membuat lelaki gagah ini terbangkit 
kesadarannya. Perlahan ia menolehkan kepala, 
setelah terlebih dulu menarik napas panjang-panjang. 
"Beberapa hari belakangan ini aku sering men-
jumpai Kakang sedang termenung. Adakah sesuatu 
yang mengganggu pikiran Kakang? Tidakkah se-
baiknya Kakang berbagi beban itu denganku? Siapa 
tahu dengan menceritakannya kepadaku, beban itu 
akan terasa lebih ringan...," lanjut sosok perempuan 
cantik ini, yang kemudian ikut duduk di samping lelaki 
gagah itu. 
"Ke mana Andari...?" tanya lelaki ini mengalihkan 
pembicaraan itu. 
"Dia baru saja tidur, Kakang...," sahut perempuan 
cantik ini seraya memandang bola mata suaminya, 
seakan menunggu jawaban permintaannya tadi. 
"Ceritamu tentang laki-laki yang menolong putri 
kita itulah, yang membuat ketenanganku agak 
terganggu." Lelaki gagah ini mulai mengungkapkan 
apa yang menjadi beban pikirannya. "Dari ciri-ciri yang 
kau gambarkan, rasanya aku dapat menduga siapa 
adanya lelaki itu...," mendadak ucapannya terhenti. 
Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, membuat 
istrinya tersentak kaget. 
"Ada apa, Kakang..?!" 
"Aku mendengar suara derap kaki kuda dalam 
jumlah yang cukup banyak...," jawab lelaki gagah yang

dalam dunia persilatan dujuluki sebagai Garuda Kuku 
Baja ini, dengan kening berkerut. Karena sebagai 
seorang tokoh silat berpengalaman luas, nalurinya 
mengisyaratkan ada ancaman bahaya bagi keluarga-
nya. Perasaan seperti ini memang sulit dijabarkan. 
Namun, hampir setiap tokoh silat berpengalaman 
memilikinya. Dan, baru saja ia selesai bicara, tiba-tiba 
terdengar sebuah seruan keras yang mengandung 
tenaga dalam kuat. 
"Garuda Kuku Baja, keluar kau! Aku Ki Tambak 
Rejo datang untuk mengirimmu ke akherat...!" 
"Kurang ajar...! Mengapa tiba-tiba perampok busuk 
itu mendatangi tempat ini...?!" desis Garuda Kuku 
Baja, yang menjadi geram bukan main. Lalu menoleh 
ke arah istrinya. "Kau masuklah ke kamar, dan jaga 
anak kita...!" Sebelum istrinya menjawab, tubuh 
Garuda Kuku Baja sudah melesat ke luar dengan 
gejakan yang mengagumkan. 
Whuukkk, whuuukkk! 
Baru saja tubuhnya melewati pintu, empat benda 
runcing, yang merupakan mata tombak, langsung 
menyambut kemunculannya. Namun Garuda Kuku 
Baja tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan luar 
bisa, sepasang tangannya mengibas dengan jurus 
'Garuda Sakti Membuka Sayap'. Karuan saja empat 
penyerang itu terlempar ke kiri-kanan. Sedang senjata 
mereka telah patah menjadi tiga bagian! 
"Sebagian kepung rumah ini, yang lainnya habisi 
pendekar sombong itu...!" 
Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Tambak Rejo 
segera memberi perintah. Ia sendiri sudah melayang 
turun dari atas kudanya. Dengan senjata berupa 
sepasang trisula perak, kepala rampok itu menerjang 
Garuda Kuku Baja.

"Keparat kau, Ki Tambak Rejo...! Akan kuhabisi 
kalian semua...! Heaaattt...!" 
Dengan kemarahan yang meledak-ledak, Garuda 
Kuku Baja melesat ke depan menyambut serangan Ki 
Tambak Rejo dan para pengikutnya. Kedua tangannya 
yang membentuk cakar garuda, menyambar-nyambar 
disertai suara angin berkesiutan. Sekali dua lengan-
nya bergerak, terdengar suara jerit kesakitan, yang 
disusul dengan robohnya dua orang pengeroyoknya. 
Mereka tewas seketika dengan tenggorokan terkoyak 
jari-jari sekeras baja itu. 
Siuuttt! Cwittt...! 
Sepasang trisula perak Ki Tambak Rejo menyam-
bar dengan kecepatan tinggi. Namun dua serangan 
itu tidak mengenai sasaran. Karena Garuda Kuku 
Baja telah menggeser langkahnya ke kanan. Sembari 
menghindar, cakar garudanya kembali beraksi me-
robohkan seorang pengeroyok, hingga terbanting 
tewas dengan luka menganga pada bagian Iambung-
nya. Kemudian disusul dengan beberapa orang lawan 
lagi, yang tak sempat menghindari sambaran kuku 
sekeras baja lelaki gagah ini. Sehingga amukannya 
sempat membuat kepungan merenggang. 
"Pengecut, ayo maju...!" Ki Tambak Rejo kembali 
berteriak-teriak memberi perintah kepada para 
pengikutnya. Kemudian mengayunkan sepasang 
trisulanya ke tubuh Garuda Kuku Baja. 
"Hmmhh...!" 
Garuda Kuku Baja benar-benar marah sekali 
kepada Ki Tambak Rejo. Namun ia tidak sempat 
untuk mencecar kepala rampok itu dengan serangan-
nya. Karena para pengikut Ki Tambak Rejo meng-
hambur maju dengan sambaran senjatanya masing-
masing. Hal itu membuat Garuda Kuku Baja harus

membagi perhatiannya, tak bisa cuma mengurusi 
seorang saja. 
Selagi mengamuk dengan keampuhan cakarnya, 
tiba-tiba saja wajah Garuda Kuku Baja berubah pucat! 
Bayangan para pengikut Ki Tambak Rejo yang tengah 
berusaha untuk memasuki rumahnya, membuat 
Garuda Kuku Baja melenting ke udara, meninggalkan 
lawan-lawannya. Sambil membagi-bagi sambaran jari-
jari bajanya, lelaki gagah itu menerobos masuk ke 
rumah. Karena ia merasa khawatir akan keselamatan 
anak dan istrinya. 
Cappp! Crabbb! 
Garuda Kuku Baja terpekik ketika dua ujung 
tombak menancap di tubuh bagian belakangnya, 
ketika dia berusaha masuk ke rumah. Secepat kilat 
tubuhnya berputar disertai suara menggereng yang 
menggetarkan jantung. Sepasang cakarnya meluncur 
deras, dan mencekal tenggorokan dua orang penye-
rangnya. Kedua orang itu mendelik, karena jalan 
napasnya tercekik! 
"Jiaaahhh...!" 
Sembari membentak, Garuda Kuku Baja membetot 
jari-jarinya yang terbenam di tenggorokan lawan. 
Hingga, kedua lengannya berlumuran darah. Dan pa-
da tiga buah jari kedua tangannya, yang membentuk 
cakar garuda, terdapat serpihan kulit dan daging 
kedua orang lawannya, yang telah tersungkur dengan 
napas putus! 
Ki Tambak Rejo tidak menyia-nyiakan kesempatan 
selagi tubuh Garuda Kuku Baja menegang, sehabis 
mencabut nyawa kedua orang pengikutnya. Sepasang 
trisulanya bekerja cepat menusuk kedua lambung 
yang terbuka itu. Karena saat itu Garuda Kuku Baja 
tengah berdiri dengan kedua tangan dikembangkan.

Tanpa ampun lagi, senjata bermata tiga itu 
langsung menembus sasarannya. Seketika Garuda 
Kuku Baja menjerit setinggi langit Tubuhnya limbung 
disertai semburan darah ketika Ki Tambak Rejo 
mencabut senjatanya yang menancap cukup dalam. 
"Kakang...?!" 
Istri Garuda Kuku Baja, yang berdiri di depan pintu 
kamarnya, menjerit, menyaksikan tubuh suaminya 
terhuyung dengan percikan darah yang membasahi 
lantai. Perempuan cantik ini sudah mengikat tubuh 
putrinya di punggung dengan sehelai kain. Dia 
bergegas menyambut tubuh suaminya, dan melepas-
kan pedang yang dipegangnya. Namun, ia tak sempat 
lagi untuk mengurusi sang Suami, karena tiga orang 
perampok menerobos masuk dengan senjata di 
tangan. Cepat wanita cantik ini menyambar pedang-
nya yang tergeletak di lantai. 
"Pergilah kalian ke neraka, manusia-manusia 
busuk...!" pekik istri Garuda Kuku Baja sambil 
menyabetkan pedangnya mengarah perut ketiga 
perampok itu. 
Terdengar jeritan kematian susul menyusul ketika 
pedang itu merobek sasarannya. Darah pun seketika 
muncrat membanjiri lantai rumahnya. 
Namun robohnya ketiga perampok itu bukan 
berarti istri Garuda Kuku Baja sudah bisa bernapas 
lega, karena enam perampok menyusul masuk ke 
dalam rumah. Sehingga, wanita cantik yang meng-
gendong putrinya di punggung ini, harus berjuang 
keras menghadapi enam orang perampok yang 
menyerangnya. Sebagai istri seorang tokoh kenama-
an, tentu saja dirinya bukanlah perempuan lemah. 
Kendati ilmunya berada jauh di bawah Garuda Kuku 
Baja, namun serangan enam orang perampok itu

masih dapat ditanggulanginya. Sayangnya lawan yang 
harus dihadapi bukan cuma enam orang itu. 
Beberapa orang perampok yang telah menerobos 
masuk, ikut bergabung mengeroyok. Sehingga wanita 
ini mulai kewalahan dan terdesak ke sudut ruangan. 
"Manusia-manusia keji, tak tahu malu melakukan 
pengeroyokan terhadap seorang wanita...!" 
Tiba-tiba saja terdengar bentakan marah, yang 
disusul dengan melayangnya sesosok tubuh, me-
nerobos atap rumah. Belum lagi kakinya menginjak 
tanah, sebatang pedang yang tergenggam di 
tangannya, telah datang menyambar para pengeroyok 
istri Garuda Kuku Baja. Seketika itu pula empat orang 
perampok terlempar mandi darah! 
"Pergilah, selamatkan dirimu dan anakmu! Biar 
aku yang akan menghadapi perampok-perampok 
busuk itu...!" ujar sosok tubuh berpakaian serba hitam 
yang sebagian wajahnya juga tertutup selembar kain 
hitam. 
"Tapi..., suamiku...," wanita cantik itu masih juga 
belum bergerak dari tempatnya. Sepasang matanya 
yang basah menatap sayu tubuh sang Suami yang 
tampak sudah tidak bergerak. 
"Percuma, Nyi, suamimu sudah tewas...," tukas 
sosok berpakaian serba hitam seraya menghela 
napas penuh sesal melihat sosok Garuda Kuku Baja, 
yang sudah tidak bernapas lagi. 
Wanita cantik ini mengeluh dengan air mata yang 
kembali meluncur membasahi wajahnya. Kepalanya 
menggeleng perlahan, seolah tak dapat menerima 
kematian suaminya. Jiwanya mengalami guncangan 
hebat, membuat tubuhnya terhuyung mundur. Seolah 
bumi yang dipijaknya ikut berguncang. Untung lelaki 
berpakaian serba hitam yang barusan menyelamat
kan dirinya sempat melihat dan langsung 
menyambar. Sehingga tubuh wanita itu tidak sampai 
terbanting roboh. 
"Nyi, jumlah mereka terlampau banyak. Kurasa 
aku pun tidak akan sanggup menghadapinya. Kita 
harus cepat tinggalkan tempat ini...!" bisik sosok 
berpakaian serba hitam sambil menahan tubuh 
wanita malang itu agar tidak jatuh. 
Namun lagi-lagi istri Garuda Kuku Baja meng-
gelengkan kepala disertai isak tangis yang me-
milukan. Hatinya masih berat meninggalkan tubuh 
sang suami meski sudah tidak bernyawa lagi itu. 
"Pikirkanlah keselamatan putrimu, Nyi...! Apakah 
kau menghendaki ia dibantai perampok-perampok 
biadab itu...?!" lanjut lelaki berpakaian serba hitam, 
sambil menusukkan pedangnya dua kali ke tubuh dua 
orang perampok yang datang menyerang. Korban pun 
kembali jatuh terkapar berlumur darah. 
Ucapan penolongnya membuat istri Garuda Kuku 
Baja baru sadar kalau saat itu ia masih menggendong 
putrinya. Ia pun mengangguk setuju, setelah kembali 
menatap mayat suaminya. Wanita ini tidak berusaha 
memberontak sewaktu tubuhnya dibawa melayang 
naik, menerobos atap rumah. Kemudian terus dibawa 
pergi oleh penolongnya ke arah selatan. 
Matahari sudah naik semakin tinggi, sewaktu lelaki 
berpakaian serba hitam yang membawa istri dan putri 
Garuda Kuku Baja tiba di sebuah desa. Dia langsung 
membawa kedua orang yang ditolongnya ke sebuah 
rumah penginapan, yang dianggapnya cukup aman 
untuk sementara waktu. 
"Mengapa kau menolongku, Tuan...?" tanya istri 
Garuda Kuku Baja, setelah mengenali penolongnya. 
Dia ternyata lelaki yang pernah dijumpainya, sewaktu

ia sedang bermain-main dengan putrinya. Lelaki 
berpakaian serba hitam ini memang tak lain Sagotra. 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong 
sesama, selama pertolongan yang kita berikan 
bukanlah untuk berbuat jahat..." jawab Sagotra 
sambil tersenyum tipis, "Untuk sementara waktu, 
tempat ini cukup aman. Aku akan pergi sebentar 
untuk melihat keadaan di sana. Siapa tahu masih ada 
harta yang tersisa, yang aku yakin akan berguna 
banyak untuk kalian berdua. Tunggulah di tempat ini, 
dan jangan sekali-kali keluar sebelum aku kembali!" 
lanjutnya, berpesan kepada kedua ibu dan anak itu. 
"Tuan..., hati-hatilah...!" ujar wanita cantik ini 
dengan suara menggambarkan kecemasan hatinya. 
Sagotra menunda langkah dan menoleh ke 
belakang. Dia tersenyum untuk menenangkan hati 
wanita cantik itu. Kemudian mengangguk dan 
melesat pergi meninggalkan rumah penginapan. 
*** 
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Sagotra 
melesat menuju Hutan Pagar Jurang. Hatinya benar-
benar gembira karena rencana yang diaturnya 
berjalan lancar. Kini tidak ada halangan lagi baginya 
untuk selalu dekat dengan perempuan cantik yang 
membuatnya tergila-gila itu. Membayangkan wajah 
cantik dengan tubuh molek itu berada dalam 
pelukannya, hati Sagotra berdebar nikmat. Rasanya ia 
tak sabar untuk segera kembali bertemu dan 
berkumpul dengan wanita cantik itu. Bayangan wajah 
cantik itu membuat Sagotra semakin mempercepat 
larinya. Hingga akhirnya ia tiba di Hutan Pagar Jurang, 
markas gerombolan perampok yang disewanya untuk

membunuh Garuda Kuku Baja. 
Ki Tambak Rejo yang sudah menunggu-nunggu 
kedatangan Setan Pantai Timur, bergegas menyam-
but begitu melihat sosok bayangan hitam berlari 
mendatangi markasnya. Mulutnya tersenyum dan 
memperdengarkan kekeh senang. Karena Setan 
Pantai Timur tampak membawa buntalan besar dan 
terlihat sangat berat 
Pimpinan Perampok Hutan Pagar Jurang itu meng-
gosok kedua telapak tangan seraya membayangkan 
imbalan yang bakal diterimanya. Meski untuk itu telah 
kehilangan beberapa orang pengikutnya, Ki Tambak 
Rejo sama sekali tidak terlihat menyesal. Yang 
penting dirinya selamat. Mengenai pengikutnya ia 
tidak mau ambil pusing. Sebab, semua itu memang 
sudah menjadi resiko pekerjaan. 
"Pekerjaanmu membuat aku bangga dan gembira, 
Ki Tambak Rejo...," ujar Setan Pantai Timur 
memperlihatkan wajah berseri. "Garuda Kuku Baja 
tewas dalam penyerbuan itu. Dan aku pun sudah 
mendapatkan istrinya yang cantik. Sekarang kau 
boleh menerima imbalannya...," berkata demikian, 
Setan Pantai Timur segera membuka buntalan, 
memperlihatkan kepingan emas, dalam jumlah 
banyak. 
Ki Tambak Rejo terkekeh dengan mata berkilat-
kitat. Bersama para pengikutnya, kepala rampok ini 
mengelilingi Setan Pantai Timur. 
"Ini hanya untuk membuktikan janjiku. Selain ini, 
masih ada sepuluh kotak besar penuh emas permata 
yang akan membuat kalian semua hidup senang. 
Oleh karena ini merupakan permulaan, maka aku 
akan membagikannya kepada kalian semua," lanjut 
Setan Pantai Timur, yang memang telah banyak

mengumpulkan harta selama belasan tahun malang 
melintang melakukan perbuatan jahatnya. Ucapannya 
disambut sorak-sorai para pengikut Ki Tambak Rejo. 
"Kau tidak perlu khawatir, Ki Tambak! Kau akan 
mendapat dua puluh kali lipat dari pengikut-
pengikutmu." 
Ki Tambak Rejo yang semula mengerutkan kening 
mendengar Setan Pantai Timur akan membagi-
bagikan kepingan emas itu, kini tersenyum lebar. 
Kepalanya mengangguk-angguk mendengar tentang 
bagian yang akan diperolehnya. 
Setan Pantai Timur mempersilakan Ki Tambak 
Rejo lebih dulu untuk mengambil kepingan emas 
dalam kantong besar itu. Sambil terkekeh-kekeh, 
kepala rampok ini meraup kepingan emas sebanyak-
banyaknya dengan kedua tangan. Baru kemudian 
para pengikutnya bergantian maju meraup hanya 
dengan satu tangan, seperti yang diperintahkan 
Setan Pantai Timur. Sampai akhirnya seluruh isi 
kantong ludes tanpa sisa. 
Dengan bibir menyunggingkan senyum licik, 
Sagotra alias Setan Pantai Timur bergerak mundur 
menjauhi Ki Tambak Rejo dan pengikutnya yang 
tengah menari-nari sambil tertawa-tawa seperti orang 
gila. 
"Aakhh...?!" 
Tiba-tiba saja, Ki Tambak Rejo yang tengah 
tertawa-tawa menatap kepingan emas kedua telapak 
tangannya, memekik keras. Tubuhnya terhuyung 
dengan wajah pucat! Kepingan emas di kedua 
tangannya dilemparkan ke tanah. Mulutnya menjerit-
jerit ketika melihat kedua telapak tangannya telah 
berubah kehitaman. Ki Tambak Rejo memutar 
tubuhnya ke tempat Setan Pantai Timur berada.

"Kau... keparat...! Emas-emas ini telah kau lumuri 
racun jahat...!" desis Ki Tambak Rejo, yang wajahnya 
juga mulai berwarna kehitaman. 
Setan Pantai Timur tertawa berkakakan. Ia sama 
sekali tidak khawatir meski Ki Tambak Rejo sudah 
bergerak maju dengan sepasang trisulanya. Karena 
sebelum tiba dekat, kepala rampok ini sudah roboh 
ke tanah, tak sanggup melangkah lebih jauh. 
"Hua ha ha...! Apa kau kira aku rela membagi-
bagikan harta hasil jerih payahku kepadamu, Ki 
Tambak Rejo? Dan apa kau pikir aku percaya kau 
bisa menjaga rahasiaku? Tidak, Ki Tambak! Semua 
yang tahu rahasiaku harus mampus! Aku tak ingin 
kau akan mendatangkan kesulitan kepadaku di 
kemudian hari nanti...!" ujar Setan Pantai Timur 
sambil tertawa terbahak-bahak. Tawanya semakin 
keras ketika Ki Tambak Rejo berkelojotan hingga 
akhirnya tewas dengan tubuh mengejang. 
Kemalangan yang menimpa Ki Tambak Rejo juga 
dialami semua pengikutnya. Puluhan anggota 
perampok itu roboh bergelimpangan dengan mulut 
berbusa dan kulit kehitaman. Dalam beberapa saat 
saja, Ki Tambak Rejo dan seluruh pengikutnya telah 
tewas oleh kelicikan dan kekejaman Setan Pantai 
Timur. 
Setelah agak lama, dan yakin kalau semuanya 
sudah tewas, Setan Pantai Timur melangkah 
perlahan, mengumpulkan kepingan uang yang 
berserakan di tanah. Kemudian dimasukkan kembali 
ke kantong yang masih dipegangnya. Tokoh sesat 
yang licik dan kejam ini tentu saja tidak terpengaruh 
oleh racun itu. Karena ia telah menelan obat 
penangkal, selain melumuri kedua belah telapak 
tangannya dengan bubuk putih, yang merupakan obat
penawar racun. 
Setelah semua keping emas terkumpul, Setan 
Pantai Timur melesat pergi sambil memperdengarkan 
tawa iblisnya. Sebentar saja sosoknya telah jauh dan 
merupakan bayangan samar, sampai akhirnya lenyap 
ditelan kelebatan pohon Hutan Pagar Jurang. 
Tidak berapa lama sepeninggal Setan Pantai 
Timur, muncullah sesosok tubuh pendek gemuk dari 
balik rimbunan semak. Sosok itu tak lain Harimau 
Gila, yang telah menyaksikan semua kejadian tadi 
sejak awal. 
"Hm..., sejak semula aku memang sudah menaruh 
curiga kepada manusia satu itu. Sebab, setahuku ia 
sangat sayang terhadap harta hasil jerih-payahnya. 
Sekarang terbukti apa yang membuatku penasaran. 
Hm... hati-hati, Sagotra! Rahasia kebusukanmu ada di 
tanganku...!" setelah berkata demikian, Harimau Gila 
pun meninggalkan tempat yang mengerikan itu. 
*** 
"Mengapa begitu lama Tuan pergi? Membuat aku 
cemas memikirkannya…," ujar wanita cantik bekas 
istri Garuda Kuku Baja, menyambut kedatangan 
Sagotra. Kecemasan pada wajahnya perlahan lenyap 
saat melihat penolongnya kembali dengan selamat. 
Hampir dua hari ia menunggu-nunggu kedatangan 
penolongnya itu. 
"Maaf, aku harus mengurus mayat suamimu dulu. 
Kemudian mencari-cari kalau-kalau ada yang 
terlewatkan dari perampok-perampok busuk itu. 
Sayang aku tidak menemukan satu pun benda 
berharga yang masih tersisa. Sedangkan aku cuma 
memiliki ini saja...," jawab Sagotra menjelaskan.

Kemudian memperlihatkan sekantong uang yang 
dibawanya sebagai bekal. Sedang selebihnya ia 
sembunyikan di tempat tinggalnya. Itu yang 
menyebabkan Sagotra sampai hampir dua hari baru 
kembali. 
"Tuan begitu baik kepada kami. Entah bagaimana 
aku bisa membalasnya...," ujar wanita cantik ini 
seraya menundukkan wajahnya. Karena Sagotra, 
yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan 
tertariknya, terus menatapnya tak berkedip. Kendati 
demikian, istri Garuda Kuku Baja tidak marah, karena 
penolongnya itu tidak berbuat kurang ajar, selain 
memandangnya dengan sorot mata kagum. Selebih-
nya sikap Sagotra memang terlihat sopan, membuat 
wanita ini tidak merasa khawatir. 
"Aku tidak mengharapkan balasan darimu, Nyai." 
"Namaku Nilam, Tuan. Panggil saja dengan nama 
itu. Tidak enak rasanya mendengar Tuan terus-
menerus menyebutkan Nyai...," sela wanita cantik ini 
menyebutkan namanya. 
"Nilam...," desis Sagotra beberapa kali, seperti 
hendak mengukir nama itu di dalam hatinya. Hal itu 
membuat wajah istri Garuda Kuku Baja kemerahan 
karena jengah. "Sebuah nama yang indah. Aku suka 
mengucapkannya. Sangat cocok sekali dengan 
parasmu yang laksana dewi, Nyai... eh, Nilam. Dan 
kau boleh panggil aku dengan nama Sagotra, tanpa 
embel-embel Tuan seperti yang sering kau ucapkan," 
lanjut Sagotra tersenyum lembut, bagai tak pernah 
puas menikmati wajah cantik di hadapannya. 
"Terima kasih, Sagotra. Mmm..., malam sudah 
semakin larut Aku ingin beristirahat...," ucap Nilam 
mengangkat wajah dan mengangguk kepada Sagotra. 
"Baiklah, Nilam. Dan besok pagi-pagi sekali kita

harus segera meninggalkan desa ini. Aku khawatir 
para perampok itu masih akan mengincarmu. 
Terlebih putrimu. Menurut dugaanku, mereka akan 
membunuhnya. Khawatir kalau-kalau ia akan menjadi 
penyakit di kemudian hari...," ujar Sagotra meng-
ingatkan Nilam dalam bahaya yang masih akan terus 
membayangi. 
Agak kaget juga hati Nilam mendengar ucapan 
Sagotra. Membuat langkahnya terhenti, dan memutar 
tubuh menghadapi penolongnya itu. Sebagai seorang 
istri tokoh silat, tentu saja Nilam mengerti bahwa 
ancaman itu ada kemungkinan akan datang lagi. 
"Ke mana tujuan kita selanjutnya. ..?" tanya Nilam 
yang tidak tahu harus bagaimana, dan menyerahkan 
keputusannya kepada Sagotra. Karena ia tidak mem-
punyai tempat lagi untuk berlindung kecuali kepada 
lelaki penolongnya itu. 
"Ke mana saja yang kira-kira aman untuk kau dan 
putrimu, Nilam. Dan kau tidak perlu khawatir karena 
aku akan melindungi kalian berdua dengan taruhan 
nyawa," janji Sagotra untuk menenangkan hati Nilam. 
"Mengapa... mengapa kau sampai mau berkorban 
nyawa untuk kami berdua, Sagotra? Sedangkan kita 
baru saling mengenal...?" Agak kaget juga hati Nilam 
telanjur melontarkan pertanyaan itu. Namun untuk 
menariknya sudah terlambat. Terpaksa ia menunggu 
jawaban Sagotra dengan hati berdebar. Sebagai 
wanita, terlebih sudah pernah bersuami, tentu saja 
Nilam menangkap getaran perasaan dan pancaran 
mata Sagotra. 
"Karena... terus terang sejak pertama kali 
berjumpa, aku merasa kagum dan tertarik kepadamu, 
Nilam. Tapi, bukan berarti aku merasa senang 
melihat kau kehilangan suamimu. Aku pun turut

menyesal mengapa aku datang terlambat waktu itu. 
Kalau saja aku tiba lebih cepat, kemungkinan besar 
kau masih akan bersama-sama suamimu..." 
Nilam menghela napas perlahan, menenangkan 
gemuruh di dalam dadanya. 
"Aku baru saja kehilangan suamiku, Sagotra...," 
ucapnya lemah, teringat kembali akan kematian 
suaminya. 
"Maafkan aku, Nilam...." 
Nilam tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa saat 
keheningan menyelimuti mereka berdua, sampai 
akhirnya Nilam minta diri untuk istirahat. 
Sagotra hanya mengangguk lemah. Setelah sosok 
Nilam lenyap di balik pintu, Sagotra pun melangkah 
memasuki kamarnya, yang bersebelahan letaknya 
dengan kamar wanita cantik itu. 
*** 
Bayangan kejadian masa lalu yang melintas jelas 
dalam benak Sagotra, membuat wajahnya menye-
ringai menahan rasa nyeri di dadanya. Langkah 
kakinya terhuyung seperti tak dapat menapak dengan 
baik. 
"Nilam... Andari... ampuni dosa-dosaku...!" rintih 
suara parau Sagotra mengungkapkan kedukaan 
hatinya. Kakinya terus melangkah lambat-lambat 
melintasi jalan setapak. 
Sudah dua hari dua malam Sagotra menempuh 
perjalanan tanpa mempedulikan keadaan dirinya, 
yang kini tak ubahnya dengan seorang gembel. 
Pakaiannya kotor dan koyak di beberapa tempat. 
Demikian pula dengan rambut dan wajahnya. Kotor 
dan dipenuhi debu. Sepasang matanya sayu, memandang kosong ke depan. Keadaan ini menunjuk-
kan betapa hati Sagotra tengah dilanda kedukaan 
hebat! Bayangan anak dan istri yang akan membenci 
dan memusuhi dirinya, membuat hatinya tidak bisa 
tenang tinggal di rumah. Akhirnya ia memutuskan 
untuk pergi meninggalkan anak istrinya. Karena 
menurutnya lebih baik meninggalkan daripada 
ditinggalkan. 
Tanpa disadari, langkahnya telah membawa 
Sagotra jauh meninggalkan Desa Kranggan. Kini 
langkahnya terhenti. Di hadapannya membentang 
sebatang sungai berair deras berwarna keruh 
kecoklatan. Lebar sungai kurang lebih sekitar tiga 
tombak lebih. Di sini Sagotra termenung. Terdengar 
tarikan napasnya yang panjang dan berat. 
"Hua ha ha...! Sagotra... Sagotra...! Kau tak 
ubahnya seekor ular yang menghampiri peng-
gebuk...!" 
Sebuah suara yang besar dan berat membuat 
Sagotra tersadar dari lamunannya. Bergegas ia 
memutar tubuh. Didapatinya sesosok tubuh pendek 
gemuk berdiri sekitar dua tombak di hadapannya. 
Selain lelaki itu, juga masih terdapat empat lelaki lain. 
"Harimau Gila...?!" desis Sagotra terkejut dan juga 
heran, "Rupanya kau masih juga belum puas hingga 
terus membayangi langkahku...!" lanjutnya dengan 
nada geram! 
"Hmmhh...! Kau telah mengingkari janjimu, 
Sagotra. Sehingga, niat untuk membunuh Pendekar 
Clurit Perak terpaksa batal! Dan kaulah yang menjadi 
penyebab utamanya!" ujar Harimau Gila tanpa 
mempedulikan perkataan Sagotra, "Aku telah menulis 
surat kepada istri dan anakmu. Dan melihat 
keadaanmu, aku bisa menebak kalau kau pasti

melarikan diri, karena mereka hendak membunuhmu! 
Itu akibatnya, karena kau tidak mau membantuku!" 
"Hm..., lalu apa lagi yang kau kehendaki dariku 
sekarang?" tukas Sagotra menatap wajah Harimau 
Gila dengan penuh kebencian. 
"Mengajakmu untuk bergabung. Dan kau tidak 
punya pilihan lain. Saat ini tokoh-tokoh golongan putih 
sedang mencari-cari pembunuh Kakek Jubah Hitam! 
Itu sebabnya kami berkumpul di tempat ini. Karena 
kami harus menyembunyikan diri di tempat yang 
aman sampai keadaan kembali tenang. Dan perlu 
kau ketahui, Sagotra! Kami telah menyebar berita 
bahwa yang membunuh Kakek Jubah Hitam adalah 
Setan Pantai Timur! Tapi, karena tanpa sengaja kau 
telah menginjak daerah persembunyian kami, dan 
mengingat hubungan lama kita, aku merasa kasihan 
kepadamu. Jawabannya terserah kepadamu. Kami 
tak aka memaksa...," Harimau Gila yang mengakhiri 
ucapannya dengan tawa bergelak. 
"Tidak! Lebih baik mati daripada bergabung 
dengan manusia licik dan kejam sepertimu, Harimau 
Gila! Malah aku akan membawamu untuk bergabung 
dengan malaikat maut!" usai berkata demikian, 
Sagotra menghunus pedangnya. Ia menjadi nekat, 
karena merasa hidupnya sekarang tak ubahnya orang 
yang telah mati. Sagotra merasa kematian jauh lebih 
baik ketimbang menjalani hidup dengan beban yang 
baginya terasa sangat berat. 
"Hm..., sebenarnya aku sudah tidak berminat 
untuk membunuhmu, Sagotra. Aku lebih suka melihat 
keadaanmu sekarang, yang tak ubahnya mayat 
berjalan. Hatimu akan terus digerogoti penderitaan, 
yang kelak akan menghantarmu ke akherat. Tapi, 
karena tanpa sengaja kau telah mengetahui tempat

persembunyian ini, terpaksa aku harus membunuh-
mu...!" sahut Harimau Gila, lalu segera memberi 
isyarat kepada empat orang kawannya, yang dua di 
antaranya ternyata Penjagal Kepala dan Ronggawu. 
Mereka telah bergabung di tempat persembunyian 
itu. 
Sagotra memutar pedang di sekeliling tubuhnya 
membentuk gulungan sinar menderu-deru. Dan 
dengan diiringi sebuah teriakan panjang, tubuhnya 
melesat menerjang Harimau Gila, yang memang 
sangat dibencinya. 
Harimau Gila dan empat kawannya pun tidak 
tinggal diam. Dengan senjata di tangan, mereka 
mengeroyok Setan Pantai Timur. Hingga, sebentar 
saja pertempuran seru pun berlangsung! 
Namun setelah pertarungan lewat dari tiga puluh 
jurus, terlihat Sagotra mulai kewalahan. Hal itu 
disebabkan keadaannya yang memang tidak 
memungkinkan. Rasa lelah lahir dan batin, membuat 
ketangkasannya jauh berkurang. Kini dirinya harus 
bertahan mati-matian dari desakan lima orang 
pengeroyoknya itu. 
"Haiiittt...!" 
Di saat keadaan Sagotra semakin payah, tiba-tiba 
terdengar lengkingan panjang, yang disusul dengan 
melayangnya sesosok bayangan hijau ke tengah 
arena. Begitu tiba, sosok bayangan hijau itu langsung 
membuat desakan Harimau Gila dan kawan-
kawannya terhadap Sagotra menjadi berantakan! 
Sambaran sinar putih keperakan yang disertai 
gelombang angin dingin menusuk tulang, membuat 
lima orang kepala rampok itu berlompatan. Mereka 
mundur meninggalkan Sagotra yang tampak 
kepayahan dengan sekujur tubuh dibanjiri peluh.

Kini sosok bayangan hijau yang menyelamatkan 
nyawa Sagotra, telah berdiri dengan kedua kaki 
terpentang. Di tangannya tergenggam sebatang 
pedang bersinar putih keperakan yang menyebarkan 
hawa dingin. Sosok itu ternyata seorang wanita muda 
berparas jetita, yang mengenakan pakaian serba 
hijau. Siapa lagi dara jelita ini kalau bukan Kenanga. 
***

DELAPAN

Melihat paras cantik jelita dengan bentuk tubuh 
mengundang selera itu, Harimau Gila dan keempat 
kawannya sama terbelalak menelan air liur. Mereka 
tak jadi marah. Bahkan kelimanya kemudian menye-
ringai, sambil menjilati wajah dan tubuh Kenanga 
dengan pandang matanya. 
"Aku kebetulan lewat di tempat ini dan mendengar 
semua pembicaraan kalian. Aku memang belum 
mendengar tentang kematian Kakek Jubah Hitam. 
Tapi, mendengar pembicaraan kalian, yang mengata-
kan bahwa tokoh-tokoh golongan putih tengah men-
cari-cari si Pelaku Pembunuhan, hatiku pun tergerak. 
Aku terpaksa turun tangan membela lelaki yang 
kalian sebut sebagai Setan Pantai Timur ini. Karena ia 
ikut terlibat dan menjadi saksi pembunuhan itu. 
Selain itu, aku membelanya karena mendengar 
sikapnya yang menentang kalian semua. Aku pernah 
dengar nama besar Setan Pantai Timur. Tapi, melihat 
keadaan dan perkataannya sekarang, aku bisa men-
duga kalau ia telah sadar dari kesesatannya. Dan 
orang yang telah sadar patut dibela!" ujar Kenanga 
tidak mempedulikan pandangan kelima orang kepala 
rampok itu. 
"Celaka...!" desis Harimau Gila setelah mendengar 
ucapan dara jelita itu. Seleranya langsung lenyap 
seketika, berganti dengan kecemasan. Kini ia tidak 
lagi memandang Kenanga sebagai sosok yang meng-
giurkan, melainkan orang berbahaya yang juga harus 
dilenyapkan! Maka, Harimau Gila kembali memberi

isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok 
dan membunuh Kenanga serta Setan. Pantai Timur! 
Kenanga dan Sagotra seolah sudah saling sepakat 
untuk maju bersama. Maka, mereka pun bergerak 
maju untuk menghadapi keroyokan lima orang lawan 
itu. 
"Hih hih hih...!" 
Kedua belah pihak yang sudah siap saling terjang 
ini sama tertegun, ketika mendadak terdengar suara 
tawa mengikik, yang bagaikan datang dari delapan 
penjuru angin. 
"Bibi Guru...?!" 
Tiba-tiba saja Harimau Gila berseru dengan wajah 
berseri. Kemudian bergegas lari menyambut ketika 
melihat adanya sesosok bayangan yang mendatangi 
tempat itu. 
"Hih hih hih...! Kau rupanya, Harimau Gila!" seru 
seorang nenek bertelanjang dada. Perempuan tua 
renta itu tak lain Kalong Wewe. "Sedang apa kau di 
sini?" tanyanya kepada Harimau Gila, yang rupanya 
dikenal baik oleh nenek sinting ini. 
Harimau Gila, yang menjatuhkan diri di depan 
Kalong Wewe, bergegas bangkit. Mereka berdua 
memang memiliki hubungan yang cukup dekat. 
Karena guru dari Harimau Gila adalah adik 
seperguruan Kalong Wewe. Itu sebabnya mengapa 
mereka berdua saling kenal satu sama lain. Dan 
Harimau Gila tentu saja sangat gembira dengan 
kemunculan bibi gurunya itu. Karena dengan adanya 
nenek sinting ini, pihaknya jelas bertambah kuat 
"Aku sedang mendapat kesulitan, Bibi Guru," jawab 
Harimau Gila separo melapor, "Dan aku terpaksa 
bersembunyi karena tengah dicari-cari tokoh-tokoh 
golongan putih. Mereka berdua termasuk di antara

orang-orang yang memburuku..." 
"Aiihh..., kalau begitu, kaulah yang telah mem-
bunuh tua bangka Kakek Jubah Hitam?!" tukas 
Kalong Wewe memperlihatkan seringai senang. 
Tawanya terdengar berkepanjangan ketika melihat 
Harimau Gila mengangguk pasti. "Bagus... bagus...! 
Orang-orang seperti tua bangka sombong itu memang 
sudah seharus-nya dilenyapkan. Karena mereka 
hanya membuat susah gerakan kita saja. Kalau 
begitu, biar kedua orang itu menjadi bagianku...!" 
lanjutnya yang kemudian menghampiri Kenanga dan 
Sagotra. 
Kemunculan Kalong Wewe, tentu saja membuat 
Kenanga merasa terkejut. Terlebih Sagotra yang telah 
mendengar kesaktian nenek sinting itu. Hatinya 
menjadi tegang. Wajahnya agak pucat. Meski ia tidak 
takut menghadapi kematian, namun menghadapi 
nenek yang tidak lumrah manusia itu, hatinya merasa 
gentar juga. 
"Kalian berdua bersiaplah untuk meninggalkan 
dunia ini...!" ujar Kalong Wewe. Begitu ucapan itu 
selesai, dia langsung menyerang Kenanga dan 
Sagotra dengan menggunakan kuku-kukunya yang 
panjang dan runcing. Kuku-kuku sekeras besi ini 
meluncur disertai suara angin berkesiutan. 
Kenanga dan Sagotra bergerak menyebar ke kiri 
dan kanan. Sambaran kuku-kuku runcing itu langsung 
dipapaki Kenanga dengan sambaran Pedang Sinar 
Bulannya. Namun, betapa terkejut Kenanga ketika 
pedangnya berbenturan dengan kuku nenek sinting 
itu, lengannya bergetar keras. Bahkan tubuhnya 
terjajar beberapa langkah ke belakang. Sedangkan 
tubuh Kalong Wewe terlihat cuma bergetar dan masih 
tetap di tempatnya. Kuku-kuku jari tangan nenek

sinting itu terlihat tetap utuh, menandakan bahwa 
tenaga dalam yang melindunginya sangatlah kuat. 
Sesaat setelah benturan itu terjadi, Sagotra 
memekik keras sambil menusukkan pedangnya ke 
tubuh Kalong Wewe. Namun, nenek tanpa baju itu 
sudah memiringkan tubuh, membuat ujung pedang 
Sagotra lewat di depannya. Dan sebelum Sagotra 
sempat menarik senjatanya tangan kanan Kalong 
Wewe sudah terulur hendak merampas pedang itu. 
Sedang tangan kirinya menusuk ke arah ulu hati 
Sagotra. Gerakan nenek ini sangat cepat bukan main, 
membuat Sagotra sadar bahwa kalau mau selamat, ia 
harus merelakan senjatanya dirampas. Sayang 
gerakannya kalah cepat. Sebelum ia bergerak 
melempar tubuh ke belakang, pedangnya telah 
tercengkeram jari-jari tangan lawan. Untung saja ia 
masih sempat memiringkan tubuh saat jari-jari yang 
mengandung racun pelumpuh itu menyambar ulu 
hatinya. Sehingga, meski ia tidak berhasil meng-
hindar, namun tusukan itu meleset dari sasaran, dan 
hanya menggores iga kanannya. 
Namun, alangkah terkejut hati Sagotra ketika 
merasakan tenaganya mendadak lenyap. Sekeliling-
nya terasa berputaran, membuat ia tak sanggup lagi 
mempertahankan dirinya. Sagotra pun roboh tak 
sadarkan diri! 
Melihat kenyataan itu, Kenanga tentu saja menjadi 
kaget bukan main. Tak disangkanya kalau nenek 
sinting itu ternyata mampu merobohkan Setan Pantai 
Timur, yang menurut penglihatannya memiliki ilmu 
cukup tangguh. Hal itu membuat hatinya geram. 
Maka, pedang di tangannya kembali diputar, mem-
bentuk gundukan sinar putih keperakan berhawa 
dingin. Serangan datang bertubi-tubi mengancam

bagian-bagian terlemah di tubuh Kalong Wewe. 
Namun sampai lima belas jurus lebih ia mencecar, 
pedangnya sama sekali tidak mampu mengenai 
sasaran. Ternyata Kalong Wewe selalu dapat meng-
hindar dengan mempergunakan ilmu meringankan 
tubuhnya, yang memang mengagumkan sekali. 
Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus yang 
keempat puluh, serangan-serangan Kalong Wewe 
membuat Kenanga tak sempat lagi untuk mem-
bangun serangan. Kenanga terdesak dan hanya bisa 
melindungi tubuhnya dengan sinar pedang. 
"Hiiihhh...!" 
Kalong Wewe yang merasakan penasaran karena 
benteng pertahanan lawannya sangat sukar untuk 
diterobos, tiba-tiba mengeluarkan pekikan nyaring 
menyakitkan telinga. Seketika Kenanga tersentak 
mundur, karena ia harus membagi tenaga untuk 
melindungi telinganya. Perbuatan ini tentu saja 
membuat pertahanannya menjadi kendor. Dia baru 
sadar ketika melihat kuku-kuku jari tangan lawan 
meluncur pada saat putaran pedangnya melambat. 
Whuuuttt...! Plakkk! 
Mendadak Kalong Wewe terpekik kesakitan! 
Karena pada saat serangannya hampir merenggut 
tubuh Kenanga, tahu-tahu ada sesosok bayangan 
putih yang datang dan memapaki serangannya. 
Seketika itu pula benturan keras pun tak dapat 
dihindarkan. Tubuh Kalong Wewe terdorong mundur 
sejauh satu setengah tombak. Meski masih dapat 
menguasai keseimbangan tubuhnya, namun paras 
nenek sinting itu tampak memucat. Mulutnya 
menyeringai, menahan rasa sakit pada lengannya 
yang untuk beberapa saat bagaikan lumpuh, tak bisa 
digerakkan.

"Kau... Pendekar Naga Putih...?!" desis Kalong 
Wewe dengan mata terbelalak. Dilihatnya sosok 
pemuda tampan berjubah putih telah berdiri di 
sebelah Kenanga. Rasa jerih tampak jelas pada 
sepasang matanya. Hingga, mendadak ia memutar 
tubuhnya dan melesat pergi meninggalkan tempat itu 
diiringi lengkingan panjang yang mirip suara tangisan. 
"Kakang...!" Begitu mengenali penolongnya, 
Kenanga langsung saja menghambur ke dalam 
pelukan Pendekar Naga Putih. Karena penolongnya 
ternyata Panji, kekasihnya. 
"Kenanga...," desah Panji tak dapat menahan 
gejolak kerinduan di hatinya. Dipeluknya tubuh dara 
jelita itu erat-erat. "Senang sekali melihatmu kembali. 
Aku sendiri hendak menyusulmu. Sayang per-
jalananku selalu terhambat oleh persoalan-persoalan 
yang kutemui," lanjut Panji, yang kemudian 
menanyakan tentang pertemuan tokoh-tokoh silat 
yang dihadiri Kenanga. 
"Nanti saja, Kakang. Waktu untuk itu masih 
banyak. Sedangkan sekarang kita tengah meng-
hadapi pembunuh-pembunuh Kakek Jubah Hitam...," 
ujar Kenanga mengingatkan Panji, bahwa mereka 
tidak cuma berdua di tempat itu. 
Harimau Gila dan keempat kawannya menjadi 
pucat, melihat Pendekar Naga Putih menoleh ke arah 
mereka. 
"Berhenti...!" bentak Panji ketika melihat kelima 
orang itu hendak melarikan diri. Sambil berseru 
demikian, tubuhnya langsung melayang berputaran di 
udara. Kemudian meluncur turun di hadapan 
Harimau Gila dan kawan-kawannya. 
Harimau Gila dan kawan-kawannya yang sadar 
bahwa mereka tidak mungkin dapat menghindar dari

Pendekar Naga Putih, langsung menerjang maju 
dengan senjata terhunus. Mereka merasa lebih baik 
mati ketimbang tertawan dan diadili di hadapan 
tokoh-tokoh persilatan golongan putih. 
Wuttt! 
Tusukan pedang Harimau Gila, yang dibarengi dua 
kawannya tak menemui sasaran. Dengan menggeser 
mundur kakinya Pendekar Naga Putih dapat 
mengelakkan serangan yang mengarah ketiga tempat 
di tubuhnya. Kemudian dikibaskan kedua tangannya 
dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
Bressshh...! 
Terdengar jerita kesakitan susul-menyusul. 
Kibasan yang sangat kuat itu membuat tubuh 
Harimau Gila dan dua orang kawannya terhumbalang 
ke kiri dan kanan. Berturut-turut tubuh ketiganya 
terbanting keras ke tanah. Mereka tak sanggup 
langsung bangkit. Karena hantaman itu membuat 
tubuh mereka menggigil bagaikan terserang demam 
tinggi. 
Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah 
menghadapi sisa pengeroyoknya. Tubuhnya ber-
lompatan menghindari sambaran pedang kedua 
orang lawannya. Lewat sepuluh jurus kemudian, Panji 
yang melihat adanya peluang, langsung mengirimkan 
hantaman dua kali berturut-turut Tanpa ampun lagi, 
tubuh kedua orang pengeroyok itu pun terlempar 
deras dengan memuntahkan darah segar. Keduanya 
jatuh terduduk dengan senjata terlepas dari 
genggaman, tergeletak di samping tubuh mereka. 
"Pendekar Naga Putih, jangan bunuh mereka...!" 
Saat Panji melangkah mendekati tubuh lawan-
lawannya yang tergeletak di tanah, terdengar sebuah 
seruan. Panji menoleh, menunggu kedatangan dua

orang yang dikenalinya sebagai Sepasang Elang Laut 
Utara. 
"Sebaiknya kita bawa mereka untuk diadili di 
hadapan tokoh-tokoh persilatan...!" Begitu tiba, 
Banadri langsung saja mengusulkan. 
"Aku setuju," jawab Panji, "Penjahat-penjahat itu 
aku serahkan kepada kalian...." 
Harimau Gila dan dua orang kawannya yang masih 
sadar, tentu saja menjadi pucat. Mereka menoleh ke 
arah Sagotra yang masih tergeletak pingsan. Namun, 
sebelum ketiga orang kepala rampok ini membuka 
suara, totokan Kenanga telah tiba lebih dulu, 
membuat lidah mereka kaku. Karena Kenanga telah 
menotok urat gagu mereka. 
"Bawalah mereka pergi...!" ujar Kenanga ter-
senyum kepada Sepasang Elang Laut Utara. 
Meski agak sedikit heran dengan perbuatan dara 
jelita berpakaian serba hijau itu, Banadri maupun 
Sandrila tidak berkata apa-apa. Mereka langsung 
membawa pergi Harimau Gila dan empat orang 
kepala rampok itu, setelah berpamit kepada 
Pendekar Naga Putih. 
Beberapa saat setelah Sepasang Elang Laut Utara 
pergi, Panji dan Kenanga yang tengah menyadarkan 
Sagotra sama menolehkan kepalanya ke arah yang 
sama. Tiba-tiba mereka mendengar adanya suara 
langkah kaki mendatangi tempat itu. Ketika melihat 
sosok dua orang perempuan yang kelihatannya 
hendak menghampiri mereka, Kenanga dan Panji pun 
bangkit berdiri. 
Sagotra yang saat itu baru tersadar dari pingsan-
nya, mendadak pucat! Ia langsung saja melompat 
bangkit dan berlari ke arah dua orang perempuan 
yang tak lain istri dan putrinya. Karuan saja sikap

Sagotra membuat Panji dan Kenanga saling bertukar 
pandang dengan wajah heran. 
"Nilam... Andari..., ampuni aku...!" Begitu tiba, 
Sagotra langsung saja menjatuhkan tubuhnya di 
hadapan istri dan putrinya. 
"Hm..., jadi isi surat yang dikirimkan Harimau Gila 
kepada kami bukan cuma fitnahan belaka...," desis 
Nilam menarik napas panjang dan menengadahkan 
wajahnya menatap langit. "Ahh..., betapa besar dosa-
ku terhadap mendiang suamiku. Ternyata selama ini 
aku hidup bersama seorang pembunuh biadab...!" 
Andari sendiri tidak bisa berkata apa-apa. 
Kenyataannya itu terlalu mengejutkan baginya. 
Karena orang yang selama ini menjadi tempatnya 
bermanja, ternyata orang yang telah membunuh ayah 
kandungnya. 
"Aku... aku terlalu mencintaimu, Nilam. Dan karena 
ingin memilikimu aku pun menjadi mata gelap...," aku 
Sagotra menundukkan wajahnya dalam-dalam. 
"Sekarang terserah kalian. Aku siap menerima 
hukuman dari kalian berdua...," lanjutnya dengan 
suara parau dan bergetar. 
"Keparat busuk kau, Sagotra...!" 
Tiba-tiba saja, Andari yang sejak tadi hanya diam 
dengan air mata bercucuran, mendesis tajam. 
Secepal kilat, tahu-tahu di tangannya telah ter-
genggam sebatang pedang. 
"Tahan...!" 
Melihat pedang yang sudah siap memenggal 
kepala Sagotra, Panji berseru mencegah. Sekali 
berkelebat, ia telah berdiri di dekat ketiga orang itu. 
"Jangan ikut campur dengan urusan kami! Kau 
tidak tahu duduk persoalannya...!" hardik Andari, 
menatap Panji dengan sorot mata tajam me
mancarkan ketidaksenangan hatinya. 
"Dik...," ujar Panji tenang "Apa pun bentuk per-
soalannya, sebaiknya dicari penyelesaian yang paling 
baik." 
"Hm..., kau tahu, lelaki jahat ini adalah pembunuh 
Ayah kandungku! Dan dia melakukannya dengan 
menggunakan kelicikan! Lalu berpura-pura menjadi 
penolong kami. Hingga kami menganggapnya sebagai 
dewa penolong, yang mempunyai budi besar dan 
tidak mungkin dapat kami balas. Sampai akhirnya ia 
melamar ibuku untuk menjadi istrinya. Karena 
hendak membalas jasa, Ibu terpaksa menerima 
lamarannya. Sayang, perbuatan busuknya ada yang 
menyaksikan tanpa sepengetahuannya. Nah, apa 
jawabmu sekarang setelah mengetahui persoalan-
nya?" ujar Andari setelah menjelaskan persoalannya 
kepada Panji dan Kenanga. 
"Benar ia telah melakukan suatu kejahatan yang 
sangat besar," jawab Kenanga, yang telah melihat 
sendiri bagaimana sikap Sagotra sewaktu meng-
hadapi Harimau Gila. "Tapi, setahuku ia telah sadar 
akan kesesatannya. Bahkan sewaktu Harimau Gila 
mengajaknya untuk bergabung, ia lebih memilih mati. 
Jadi, sebaiknya pikirkanlah apa yang bakal kalian 
perbuat, sebelum menyesal di belakang hari!" 
Mendengar ucapan Kenanga, Andari menghela 
napas panjang. Kemudian menoleh kepada ibunya, 
yang kebetulan juga tengah memandangnya. 
"Pergilah! Aku tak ingin melihat wajahmu lagi, 
Sagotra!" Akhirnya Nilam memutuskan, setelah 
berpikir agak lama. Lalu dia berpaling kepada 
putrinya. "Mari, kita tinggalkan tempat ini, Andari...!" 
"Nilam...!" Sagotra berteriak parau. Ia langsung 
melompat dan memeluk kedua kaki istrinya.

Terdengar suara tangis penyesalannya. "Aku tak 
mungkin dapat hidup tanpa kalian. Berilah aku 
kesempatan untuk menebus dosa-dosaku di masa 
lalu. Meski jadi pelayan sekalipun, aku bersedia 
asalkan tetap berada dekat dengan kalian...." 
Sekeras apa pun hati Nilam, dan bagaimanapun 
bencinya kepada Sagotra saat itu, akhirnya luluh juga. 
Masa belasan tahun yang dilewati bersama-sama, 
telah menimbulkan rasa cinta di hatinya. Apalagi 
selama menjadi suami dan ayah dari putrinya, 
Sagotra memperlihatkan rasa tanggung jawab dan 
kasih sayang yang sangat besar. Kalau saja sejak 
dulu ia mengetahui bahwa Sagotra ternyata 
pembunuh suaminya, mungkin akan jadi lain 
persoalannya. Bahkan kemungkinan besar akan 
dibunuhnya Sagotra. Namun, peristiwa itu sudah 
sangat lama berlalu. Hingga, dendam dan kebencian 
yang dirasakannya tidak terlalu dalam. 
"Aku belum bisa memaafkan kesalahanmu se-
penuhnya, Sagotra. Sebaiknya, untuk sementara 
waktu, kau pergilah menjauh! Aku tidak tahu kapan 
bisa menerima kehadiranmu kembali...," ujar Nilam, 
yang kemudian melepaskan pelukan Sagotra pada 
kedua kakinya. Lalu bergerak meninggalkan tempat 
itu. 
"Ibu..." 
Panggilan Andari membuat langkah Nilam kembali 
terhenti. Perempuan cantik ini menoleh ke arah 
putrinya. Sekali pandang saja dirinya tahu kalau 
Andira telah memaafkan perbuatan Sagotra di masa 
silam. Baginya hal itu tidak aneh, karena Andari 
hampir tidak pernah mengenal ayah kandungnya 
sendiri. Dia tahu kalau putrinya sudah terlalu dekat

kepada Sagotra. Hingga, sosok seorang ayah, bagi 
Andari lebih jelas adalah Sagotra, yang semenjak dia 
masih kecil telah memberikan kasih sayang dan 
kenangan yang tidak mudah untuk dihapusnya. Hal 
inilah yang membuat sosok ayah kandungnya sendiri 
hanya merupakan bayang-bayang yang tak jelas. 
Nilam maklum dengan apa yang ada dalam hati dan 
pikiran putrinya. 
"Maafkanlah Ayah, Ibu...!" pintanya setengah 
memohon, "Berilah ia kesempatan untuk menebus 
dosa-dosanya di masa lalu...!" 
Nilam menghela napas beberapa saat Lalu meng-
angguk dan tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa 
lagi, ia mengayun langkah mendahului Andari. 
"Mari, Ayah...!" ajak Andari sambil mengangkat 
tubuh Sagotra. Kemudian membawanya menyusul 
langkah ibunya. 
Panji dan Kenanga memandangi kepergian ketiga 
sosok tubuh itu, hingga lenyap di kejauhan. Keduanya 
saling berpandangan sebentar dan tersenyum lega. 
Dan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, tahu-tahu 
saja keduanya telah berpelukan erat. 
"Kau belum menceritakan tentang pertemuan para 
pendekar yang kau hadiri itu, Kenanga...," Panji 
menagih janji Kenanga tanpa melepaskan pelukan-
nya. 
"Tidak ada yang terlalu penting, Kakang. Singkat-
nya, pertemuan yang semula dimaksudkan untuk 
memilih seorang pemimpin bagi seluruh golongan 
putih, belum bisa diputuskan. Karena banyak tokoh 
tua yang belum hadir. Akhirnya pertemuan ditunda 
sampai purnama depan." 
Meskipun semua ucapan itu terdengar jelas, mata 
Panji lebih terpaku pada bibir kekasihnya sewaktu

berbicara. Melihat tantangan terbentang di depan 
mata dan begitu dekat, Panji tak bisa lagi menahan 
diri. Seolah kerinduan di hati mereka masih belum terpuaskan! 



                              SELESAI 
 
 

Share:

0 comments:

Posting Komentar