BIDADARI IBLIS
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Bidadari Iblis
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Angin pagi bertiup silir-silir lembut, mengiringi
langkah kaki sesosok tubuh ramping. Ayunan lang-
kahnya ringan. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa
melakukan perjalanan jauh. Kepalanya yang terangkat
tegak, dan sepasang matanya yang mencorong tajam,
membuat wajahnya menimbulkan kesan dingin.
Sosok tubuh ramping yang rupanya seorang wanita
cantik itu sama sekali tidak mempedulikan rambutnya
yang dipermainkan angin nakal. Langkahnya terus
menyusuri jalan lebar, yang menghubungkan dengan
sebuah desa. Dan tak lama kemudian, tampaklah se-
buah mulut desa membentang di depannya. Maka
langkahnya kian dipercepat, hingga sampailah ia di
mulut desa.
Beberapa orang lelaki muda yang tengah bergerom-
bol di gardu menatap penuh kagum ke arah sosok tu-
buh ramping itu. Tiga orang dari mereka sudah berge-
rak hendak menegur. Tapi langkah mereka tertahan,
karena salah seorang berusaha mencegah.
"Mengapa kau mencegah kami...?" Tegur salah seo-
rang pemuda itu tak senang. Sorot matanya tampak
menyiratkan kecurigaan.
"Kalau kau tidak berani, jangan mengganggu kese-
nangan kami. Dan kau jangan ikut campur!" Hardik
yang satunya lagi, sambil menyingkirkan lengan yang
menghadang jalannya.
"Wanita cantik itu bukan orang sembarangan! Apa
kau tidak melihat pedang yang tergantung di ping-
gangnya?" Desis pemuda beralis tebal itu, memperin-
gatkan.
Mendengar peringatan itu ketiganya serentak meno
leh, seraya menatap penuh selidik. Memang apa yang
dikatakan kawannya benar. Di pinggang kiri gadis jeli-
ta itu tampak tergantung sebilah pedang. Dari sini su-
dah bisa ditebak kalau si gadis jelita itu adalah orang
dari kalangan persilatan.
"Ah! Siapa tahu senjata itu hanya sekadar untuk
menakut-nakuti. Melihat dari wajahnya yang cantik
dan penuh kelembutan itu, rasanya sukar untuk di-
percaya kalau ia memiliki ilmu silat. Untuk apa gadis
cantik mempelajari ilmu berkelahi?" Bantah pemuda
berbahu lebar yang raut wajahnya tampak keras.
"Kalau memang masih penasaran, ya terserah. Se-
bagai teman, aku hanya menasihati saja agar kau ti-
dak celaka karena sifat sombongmu itu," kata pemuda
beralis tebal itu lagi, menggerakkan bahunya tanda
menyerah.
Lelaki berbahu lebar itu hanya menyunggingkan
senyum sinis, kemudian menoleh kepada kedua ka-
wannya.
"Kalian takut...?" Tanyanya, bernada meremehkan.
"Kami bukan takut. Tapi, apa yang dikatakan ka-
wan kita itu kurasa ada benarnya juga," tukas salah
satu dari kedua pemuda itu. Sepertinya, dia merasa
gentar melihat pedang yang tergantung di pinggang
gadis itu.
"Kau sajalah, Badira. Aku juga tidak ikut," sahut
pemuda satunya lagi, seraya kembali duduk.
"Huh! Kalian semua memang penakut! Kalian lihat
saja nanti."
Sambil berkata demikian, lelaki berbahu lebar yang
dipanggil Badira itu melangkah meninggalkan keenam
orang kawannya.
"Mudah-mudahan saja ia tidak sampai cidera...,"
gumam pemuda beralis tebal itu penuh harap
Sedangkan Badira kini sudah melangkah meng-
hampiri gadis jelita yang tengah memasuki desa. Ken-
ing gadis itu tampak berkerut ketika melihat seorang
pemuda berjalan ke arahnya. Sorot matanya yang bu-
lat tajam itu tampak memancarkan kecurigaan.
"Hai, Nisanak. Kau hendak ke mana?" Tegur Badira
sambil memasang lagak dan senyum yang menurutnya
paling manis dan paling ramah.
Gadis jelita berpakaian serba merah itu segera
menghentikan langkahnya, ketika Badira menghadang
jalannya. Cukup lama sepasang mata indah namun
dingin itu merayapi sekujur sosok pemuda gagah di
depannya. Sejauh itu, sama sekali tidak keluar sepa-
tah kata pun sebagai jawabannya.
Sikap gadis jelita itu tentu saja membuat Badira sa-
lah tingkah. Keningnya tampak berkerut tak senang,
ketika gadis jelita itu kemudian menatap tepat di ke-
dua bola mata Badira. Sepertinya, dia tengah menilai
pemuda itu.
"Ahhh, sayang! Seorang gadis yang demikian cantik,
ter-nyata bisu dan tuli...," desis Badira, bernada
menghina. Jelas sekali kalau ia sangat tersinggung
terhadap sikap gadis cantik itu.
"Ternyata, apa yang dikatakan nenek sama sekali
tidak salah. Laki-laki di dunia ini semua jahat, dan
bermulut keji!"
Terdengar bibir mungil itu komat-kamit mengu-
capkan kata-kata itu. Dan hal ini ternyata membuat
Badira tertegun dengan wajah berubah.
"Sial! Rupanya yang ku tegur seorang gadis gila...!"
Sambil mengumpat demikian, Badira melangkah
berbalik, meninggalkan gadis jelita itu.
"Hmhhh!"
Terdengar suara mendengus kasar. Badira tahu,
pasti dengusan itu berasal dari gadis cantik di bela-
kangnya. Tapi, ia sama sekali tidak peduli. Bahkan te-
rus melangkah ke arah kawan-kawannya yang mener-
tawakan kegagalannya.
Tapi, Badira yang baru melangkah beberapa tindak
tiba-tiba memekik kaget! Dan tahu-tahu saja, tubuh-
nya terjengkang bagai terangkat ke atas!
"Tolooong...!"
Badira baru menjerit-jerit ketakutan, ketika menya-
dari kalau tubuhnya telah melambung setinggi satu se-
tengah tom-bak dari permukaan tanah! Karuan saja
hal ini membuatnya menjadi ketakutan setengah mati!
"Lagi-lagi ucapan nenek benar. Makhluk yang ber-
nama lelaki itu selain bermulut besar dan jahat, ter-
nyata seorang penakut!" kembali terdengar ucapan
yang aneh dari sepasang bibir indah itu.
"Hei, lepaskan kawan kami...!"
Meskipun tidak suka terhadap sifat sombong Badi-
ra, namun keenam orang kawannya itu tetap saja
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Maka se-
rentak mereka berlarian sambil berteriak-teriak, agar
gadis cantik itu tidak sampai mencelakakan kawannya.
Sementara itu si gadis jelita yang berpakaian merah
darah hanya tersenyum sinis. Ia tetap saja melam-
bung-lambungkan tubuh Badira dengan sebelah ta-
ngannya, tanpa kesukaran sedikit pun! Setiap kali tu-
buh Badira meluncur turun, telapak tangannya yang
halus menyambut, untuk kemudian dilempar-kan
kembali ke udara. Hal itu dilakukannya berulang-
ulang.
“Turunkan kawan kami!" bentak pemuda beralis
tebal. Dia sepertinya merasa bertanggung jawab atas
keselamatan Badira, hal ini terlihat dari wajahnya yang
cemas.
"Hm.... Kau minta kawanmu kubebaskan?" Tanya
gadis jelita itu, sambil tetap mempermainkan tubuh
Badira.
"Maafkanlah dia.... Bukankah dia tidak mencelaka-
kan diri-mu?" Pinta lelaki beralis tebal itu lagi mengin-
gatkan.
"Baik. Nah, terimalah…!" Ujar gadis cantik itu. Sete-
lah berkata demikian, tubuh Badira dilemparkannya
ke arah kerumunan keenam orang kawannya.
Blukkk!
"Ahhh...!"
Tentu saja keenam orang pemuda itu berteriak ka-
get! Tapi sebelum sempat menghindar, tubuh Badira
telah menimpa mereka! Karuan saja tubuh ketujuh
orang pemuda desa itu berjatuhan saling tindih ke-
mudian mereka bangkit dan membersihkan debu yang
mengotori pakaian mereka.
"Perempuan tak tahu adat...!" Lelaki beralis tebal itu
pun mengumpat tak senang. Ditatapnya gadis jelita itu
dengan wajah merah padam.
"Kalian semua adalah laki-laki keparat. Sepertinya
makhluk seperti kalian memang harus dilenyapkan
dari bumi ini agar tidak lagi menyakiti hati wanita?"
Hardik gadis jelita itu tidak kalah garangnya.
Melihat dari sikapnya dan setiap ucapan yang ke-
luar dari mulutnya, jelas kalau gadis jelita itu sangat
membenci kaum laki-laki.
Ucapan gadis jelita itu tentu saja membuat Badira
dan kawan-kawannya terkejut setengah mati! Benar-
Benar sulit dimengerti, mengapa gadis jelita itu sangat
membenci mereka. Padahal, apa yang dilakukannya
tadi hanyalah masalah sepele. Tapi, sepertinya gadis
itu menganggapnya sebagai suatu kesalahan yang tak
terampuni.
Keterkejutan Badira dan kawan-kawannya seketika
berubah menjadi ketegangan hebat! Wajah mereka
masing-masing menjadi pucat bagai tak teraliri darah,
begitu tahu-tahu saja gadis jelita itu telah berdiri bebe-
rapa langkah didepan mereka. Padahal, tadi jarak di
antara mereka terpisah sekitar dua tombak. Tentu, sa-
ja ketujuh orang pemuda itu menjadi ketakutan! Apa-
lagi, mereka sama sekali tidak melihat gadis itu me-
lompat atau melangkah!
"Perempuan siluman...!"
Badira dan beberapa orang pemuda lainnya berde-
sis dengan tubuh gemetar, bagai orang terserang de-
mam!
"Kalianlah siluman jahat yang berujud manusia!"
Bentak gadis jelita itu.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-
layang ke arah tiga orang terdepan, termasuk Badira!
Plakkk! Plakkk!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Terdengar suara tamparan yang keras berturut-
turut, di-iringi jerit kesakitan ketiga orang pemuda
yang menjadi sasa-ran tamparan tangan halus si gadis
jelita!
Empat pemuda lainnya termasuk pemuda beralis
tebal, hanya menatap dengan mata terbelalak lebar!
Tubuh ketiga kawannya yang terkena tamparan gadis
jelita itu kontan ambruk. Mereka tampak berkelojotan
bagai ayam di sembelih. Tak lama kemudian, ketiga
pemuda itu diam tak bergerak! Dari telinga, hidung,
dan mulut, mengalir darah segar!
"Iblisss...!" Desis lelaki beralis tebal itu.
Tubuhnya menggigil hebat! Hampir ia jatuh pingsan
melihat Badira dan dua kawannya yang lain ternyata
telah mati akibat tamparan gadis jelita itu! Benar-
benar sulit dipercaya!
"Hm..., jangan khawatir. Kalian pun akan segera
menyusul-nya," kata gadis jelita itu, dingin dan tajam.
Sepertinya, ia sama sekali tidak menyesal telah mene-
waskan ketiga orang pemuda itu.
"Tahaaan...!"
Tangan gadis jelita itu berhenti di udara, ketika ter-
dengar bentakan nyaring mencegahnya!
"Hm...."
Terdengar gumaman lirih gadis itu ketika melihat
datang-nya serombongan orang yang berlari ke arah
mereka. Sinar mata yang mencorong tajam itu sekilas
beralih, menatap rombongan lelaki berseragam yang
mendatanginya.
"Ada apa ini?! Siapa yang membunuh mereka...?"
Mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang mata
lelaki gagah yang tiba lebih dulu itu menatap ke arah
si gadis. Jelas matanya seperti telah menuduh.
"Memang, akulah yang telah membunuh mereka...,"
desis gadis jelita itu menerangkan, tanpa menunggu
pertanyaan lelaki gagah itu.
"Aaah...?!" Lelaki gagah itu memekik tertahan.
Kaki laki-laki itu melangkah mundur empat tindak.
Jelas, keterangan gadis jelita berpakaian merah darah
itu sangat mengejutkannya! Sepasang matanya tam-
pak menyiratkan ketidakpercayaan!
"Nisanak! Benarkah kau yang telah membunuh me-
reka...?" Tanya lelaki gagah itu setengah tak percaya.
Ditatapnya wajah lembut nan jelita itu penuh seli-
dik. Sepertinya, ia masih sukar mempercayai kalau ga-
dis sejelita itu dapat berbuat demikian kejam.
"Benar, Kakang Bonggar. Iblis itulah yang telah
membunuh ketiga kawan kami! Meskipun wajahnya
secantik bidadari, namun jelas hatinya terselimuti ib-
lis...!" Kata pemuda beralis tebal itu, untuk meyakin-
kan lelaki gagah yang dipanggil Bonggar.
"Benar, apa yang dikatakan pemuda kurang ajar
itu, Bong-gar. Bahkan bukan hanya mereka bertiga
yang kubunuh. Semua lelaki di dunia ini akan kubu-
nuh! Laki-laki adalah makhluk yang tidak patut hidup
di dunia ini...," tegas gadis jelita itu. Sorot matanya
tampak penuh kebencian yang men-dalam.
'Tapi..., apa salah mereka...?" Bonggar yang se-
pertinya masih tidak mengerti itu, kembali minta pen-
jelasan.
"Aku tidak ada waktu untuk berbicara denganmu
atau semua lelaki di dunia ini. Lebih baik, serahkan
nyawa keempat laki-laki itu! Atau, kau juga ingin me-
layat ke akhirat...?" ancam gadis yang tanpa perasaan.
Melihat dari sorot matanya, sepertinya gadis jelita
itu siap membuktikan ucapannya.
"Hm.... Kalau begitu, kau harus kutangkap. Kau ha-
rus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hada-
pan kepala desa kami," tegas Bonggar, yang mau tidak
mau harus mempercayai ucapan gadis jelita itu.
"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan...,” desis
gadis itu dingin, dengan sorot mata tajam.
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis itu te-
lah me-layang ke arah Bonggar! Serangannya tampak
membawa hawa maut. Bonggar memang harus berha-
ti-hati menghadapinya.
"Kepung, dan tangkap gadis liar itu!"
Sambil berteriak memerintahkan kedua belas orang
anak buahnya, Bonggar melesat ke kiri menghindari
tamparan lawannya. Namun sayang tindakannya ju-
stru mendatangkan bencana bagi yang lainnya! Empat
orang pemuda yang tadi masih selamat, kontan terjungkal keras diiringi jerit kematian yang susul-
menyusul! Rupanya gadis jelita itu sengaja menun-
jukkan kepada Bonggar kalau ucapannya bukanlah
sekadar gertakan belaka. Akibatnya, keempat orang
pemuda itu tewas oleh perubahan gerakan gadis jelita
itu.
"Iblis...!" hardik Bonggar hampir tak percaya, "Wa-
jahmu saja yang seperti bidadari. Tapi, kekejamanmu
tidak ubahnya iblis penghuni neraka! Kau..., Bidadari
Iblis...!"
"Hm..., Bidadari Iblis...," gumam gadis jelita itu
mengulang ucapan Bonggar.
Tampaknya ia sama sekali tidak keberatan dengan
julukan yang diberikan lawan untuknya.
"Ya, akulah Bidadari Iblis yang akan menghukum
lelaki-lelaki kurang ajar di permukaan bumi ini.... Hik
hik hik...!"
Hati Bonggar bergidik mendengar ucapan yang ke-
luar dari mulut gadis jelita itu. Kini ia benar-benar
percaya dengan apa yang diucapkan lawannya. Dan
nampaknya semua perkataan gadis itu akan dibukti-
kannya. Hanya yang sulit dimengerti, mengapa seperti-
nya gadis jelita itu sangat membenci kaum laki-laki?
Sayang, Bonggar tidak bisa berpikir panjang. Me-
mang, gadis jelita yang dijuluki Bidadari Iblis itu telah
menerjangnya kembali. Maka, lelaki gagah itu terpaksa
harus menggunakan senjatanya untuk membela diri!
Wuuut! Wuuut!
Bonggar menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan,
sambil sesekali menebaskan goloknya untuk memben-
dung gencarnya gempuran gadis itu. Delapan orang
anak buahnya yang datang membantu, membuat lelaki
gagah itu dapat menarik napas lega, meskipun sesaat.
Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang merupakan kepala keamanan di desa itu, terkejut ketika
mendengar jerit kematian yang susul-menyusul! Ha-
tinya geram bukan main ketika melihat tiga orang
anak buahnya yang terjungkal disertai semburan da-
rah segar dari mulutnya.
"Jahanam keji...!" umpat Bonggar.
Laki-laki gagah itu semakin kalap menyaksikan ke-
matian anak buahnya itu. Tanpa berpikir dua kali lagi,
dia melesat disertai putaran goloknya!
Bettt! Bettt!
Sambaran golok di tangan Bonggar, sepertinya sa-
ma sekali tidak menyulitkan lawannya. Gadis jelita itu
enak saja bergerak membagi-bagi serangan. Padahal,
saat itu Bonggar sadar, kalau lawannya ternyata me-
miliki kepandaian tinggi!
Kejadian-kejadian yang menimpa anak buahnya be-
nar-benar membuat lelaki gagah itu terpukul! Mes-
kipun telah berusaha sekuat kemampuannya, tetap
saja dua belas orang anak buahnya tidak dapat dis-
elamatkannya! Semuanya tewas di tangan Bidadari Ib-
lis, hanya dalam beberapa gebrakan saja! Hal itu be-
nar-benar tidak disangka sama sekali!
"Iblis keji! Kau harus membayar mahal akibat keke-
jamanmu itu!"
Bonggar benar-benar kalap menyaksikan anak
buahnya tewas satu-persatu, tanpa mampu dicegah.
Sehingga, lelaki gagah itu semakin kalap dibuatnya!
"Tidak perlu terburu-buru. Kau pun akan segera
menyusul mereka," ancam gadis jelita itu tanpa rasa
sesal sedikit pun dengan apa yang telah dilakukannya.
"Yeaaat...!"
Bonggar yang telah kalap langsung menerjang bagai
orang kemasukan setan! Ucapan gadis jelita itu sama
sekali tidak diperdulikannya. Yang ada dalam benak
nya adalah, membu-nuh gadis itu secepatnya agar ti-
dak mendatangkan malapetaka bagi orang lain.
Sayangnya, ilmu yang dimiliki Bonggar masih terla-
lu jauh untuk dapat menghentikan lawan. Bahkan ti-
dak sampai sepuluh jurus, lelaki gagah itu sudah ter-
desak hebat.
"Susul semua kawanmu...."
Ucapan gadis itu dibarengi sebuah tamparan keras
yang mendatangkan deruan angin tajam!
Wuttt!
Bukan main terkejutnya hati Bonggar melihat da-
tangnya tamparan lawan. Kepala lelaki gagah itu tera-
sa pening, karena tidak bisa mengikuti kecepatan ge-
rak lawannya. Sehingga...
Prakkk!
"Highhh...!"
Hanya suara itu yang keluar dari kerongkongan
Bonggar, saat telapak tangan halus yang mengandung
kekuatan hebat itu dan mengandung racun yang san-
gat ganas itu singgah di pelipis kirinya! Tubuh lelaki
gagah itu langsung melintir bagai gangsing! Kemudian,
tubuhnya terjerembab di atas tanah dengan genangan
darah di sekitar kepalanya. Bonggar langsung tewas di
tangan Bidadari Iblis!
Para penduduk desa yang menyaksikan peristiwa
berdarah itu, serentak berlarian masuk ke dalam ru-
mah! Sekejap saja, desa itu telah sepi, bagaikan desa
mati....
Bidadari Iblis hanya tersenyum dingin, kemudian
melanjut-kan langkahnya menyusuri jalan utama de-
sa.
***
DUA
"Hm.... Ke mana perginya pemilik kedai makan ini?"
Gumam dara jelita berpakaian serba merah itu perla-
han.
Sepasang mata gadis itu beredar ke sekeliling ruan-
gan. Senyuman sinis tampak terukir di bibirnya, ketika
telinganya yang tajam mendengar desah napas mem-
buru.
Sejenak gadis yang dalam waktu singkat telah diju-
luki Bidadari Iblis itu termenung sambil mengerutkan
keningnya. Sesaat kemudian, langkahnya terayun ke
arah sebuah meja. Tidak dipedulikannya suasana ke-
dai yang kosong, tanpa satu sosok pun yang menam-
pakkan diri.
"Cepat keluar, dan sediakan makanan! Kalau tidak,
kedai ini akan ku ratakan dengan tanah!"
Sambil berkata demikian, telapak tangan gadis itu
menggebrak meja di depannya.
Terdengar suara keras, ketika telapak tangan halus
itu menghancurkan meja hingga hancur menjadi bebe-
rapa keping. Benar-benar mengerikan tenaga dalam
yang tersimpan di dalam lengan berkulit halus itu!
Gertakan Bidadari Iblis terbukti berhasil. Sesaat se-
telah itu, tampak beberapa kepala menyembul dari ba-
lik pintu ruangan tengah.
"Cepat layani aku sebaik-baiknya! Kalau tidak...,"
Bidadari Iblis mengancam sambil memamerkan kepa-
lannya yang mungil ke arah tiga kepala yang dilihatnya
itu.
Bidadari Iblis tidak perlu menunggu lama. Begitu
ucapan-nya selesai, muncullah tiga sosok tubuh yang
melangkah dengan wajah pucat bagai kertas. Bahkan
dua di antara mereka sudah terkencing-kencing di ce-
lana. Hal itu dapat diketahui dari celana yang basah,
dan bau yang tak sedap.
"Dasar laki-laki pengecut...!" Terdengar bibir mungil
itu menggerimit tak senang.
"Apa..., apa yang kau inginkan..., Bida... eh, Nisa-
nak?" Tanya seorang lelaki setengah baya itu.
Dia benar-benar menjadi bingung harus memanggil
apa kepada dara cantik itu. Tubuhnya tampak menggi-
gil, dengan butir-butir keringat sebesar biji jagung
membasahi pakaiannya. Kalau saja Bidadari Iblis
kembali membentak, rasanya lelaki tua itu pasti akan
jatuh pingsan.
Untungnya, Bidadari Iblis hanya menyebutkan pe-
sanannya, dan meminta agar cepat disediakan. Maka
tanpa diperintah lagi, ketiganya sudah berbalik. Mere-
ka saling mendahului meninggalkan dara cantik itu.
Karuan saja pemandangan itu membuat si gadis terse-
nyum geli.
Sayang, sebelum Bidadari Iblis sempat melihat hi-
dangan pesanannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar kedai. Cepat dara jelita itu menoleh dengan wa-
jah tak senang.
"Itu dia orangnya, Ki...!"
Dara cantik yang kejam itu mengerutkan keningnya
sambil menatap seorang lelaki kurus yang tadi menge-
luarkan suara itu. Kemudian, mata bulatnya beralih
pada seorang lelaki gagah yang berusia lima puluh ta-
hun lebih.
Lelaki gagah yang wajahnya tampak gelap itu me-
ngerutkan keningnya, menatap wajah jelita yang ditun-
juk lelaki kurus itu. Pada sinar matanya tampak ter-
bayang sorot keraguan.
"Apa kau yakin kalau gadis yang kelihatan lembut
itu yang membunuh Bonggar dan keamanan desa lain-
nya?" Bisik lelaki gagah itu tanpa mengalihkan pan-
dangannya dari wajah jelita di depannya.
"Tidak salah, Ki. Semua orang desa melihatnya. Je-
las, perbuatannya sangat kejam! Kalau tidak salah, dia
dijuluki Bidadari Iblis...," bisik lelaki kurus itu mene-
kankan ucapannya tanpa ragu-ragu.
"Hm.... Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada
yang bertindak sebelum kuperintahkan!" desis lelaki
tua itu, tegas. Kemudian kakinya melangkah melewati
pintu kedai.
Bidadari Iblis kembali membalikkan tubuhnya. Saat
itu, hidangan yang dipesannya sudah datang. Dan. Se-
peninggal pelayan tua itu, hidangan yang sudah terse-
dia segera di nikmatinya. Sama sekali tidak dipeduli-
kan kehadiran lelaki gagah itu.
"Maaf, kalau aku terpaksa mengganggu makanmu,
Nisanak," tegur lelaki tua itu.
Laki-laki yang sepertinya sangat dihormati itu me-
narik sebuah kursi tidak jauh dari tempat Bidadari Ib-
lis. Kemudian, dia duduk di situ.
Namaku Ki Sangga Watung, Kepala Desa Pe-
sanggrahan ini. Menurut keterangan salah seorang
wargaku, kau telah berbuat keonaran. Belasan kea-
manan desa kami, telah kau bunuh termasuk ketua-
nya yang bernama Bonggar. Betulkah keterangan yang
kudapat itu?" Tanya lelaki tua yang ternyata Kepala
Desa Pesanggrahan ini.
Sejenak Bidadari Iblis menghentikan makannya. Di-
tatapnya lelaki tua yang mengaku bernama Ki Sangga
Watung penuh selidik. Sekilas, ada pancaran kekagu-
man pada sepasang mata bulat dan indah namun din-
gin itu. Sepertinya, ia merasa kagum atas sikap Kepala
Desa Pesanggrahan itu. Pikirnya, meskipun mungkin
orang tua itu sudah mengetahuinya, tapi sikap serta
ucapannya sangat lembut. Semua itu menandakan ka-
lau Ki Sangga Watung adalah seorang bijaksana, dan
me-miliki pandangan luas. Itu yang membuatnya me-
rasa kagum.
"Kau percaya dengan keterangan salah seorang
wargamu itu, Orang Tua...?" Tanya Bidadari Iblis sam-
bil tersenyum manis dan memabukkan.
Senyum itu nampak demikian wajar dan mempeso-
na. Sehingga, menimbulkan keraguan di hati Ki Sang-
ga Watung.
"Aku hanya meminta penjelasanmu. Kalau kau
memang bukan seorang pengecut, pasti perbuatan itu
kau akui. Lain halnya jika pelakunya bukan dirimu,"
kata Ki Sangga Watung tetap menekan kemarahannya.
"Hm.... Aku bukanlah orang pengecut seperti orang-
orangmu itu! Dengarlah, Ki Sangga Watung. Orang-
orangmu memang aku yang membunuh! Dan kalau
kau ingin membalasnya, aku tidak akan mundur!" Te-
gas Bidadari Iblis tajam. Kali ini senyumnya berubah
sinis dan menghina.
"Kalau benar demikian, kau harus dihukum, Nisa-
nak. Perbuatanmu benar-benar sudah melewati taka-
ran!" Desis Ki Sangga Watung dengan wajah merah
padam. Kemarahannya benar-benar terbangkit atas si-
kap gadis jelita yang jelas-jelas tidak memandangnya
itu.
"Lalu, tunggu apa lagi?" Tukas Bidadari Iblis, sinis.
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali melan-
jutkan makannya. Sikapnya jelas merupakan hinaan
bagi Ki Sangga Watung!
"Kau terlalu sombong, Nisanak! Maaf...," ujar Ki
Sangga Watung mengulurkan tangannya, hendak
mencengkeram pergelangan Bidadari Iblis.
Serangan itu menandakan kalau Kepala Desa Pe-
sanggrahan masih merasa enggan untuk berhadapan
dengan gadis muda yang pantas menjadi anaknya itu.
Dari sini dapat dilihat, ternyata Ki Sangga Watung ada-
lah seorang lelaki gagah yang tidak suka mengandal-
kan kepandaian untuk melawan seorang gadis muda.
Perbuatan Ki Sangga Watung itu justru disalaharti-
kan oleh Bidadari Iblis. Dara jelita itu merasa dire-
mehkan oleh sikap orang tua seperti memandang ren-
dah kepadanya.
"Keraguanmu bisa mendatangkan celaka, Orang
Tua...," kata Bidadari Iblis.
Bidadari Iblis cepat mengangkat tangan kirinya me-
nyambut cengkeraman Ki Sangga Watung! Dan....
Plakkk!
"Ahhh...?!"
Ki Sangga Watung memekik tertahan! Tangkisan
lengan halus itu ternyata membuatnya terjajar, hingga
menabrak meja di belakangnya!
Brakkk...!
Meja kayu tebal serta beberapa buah kursi yang ter-
timpa tubuh orang tua itu berderak ribut, dan berpa-
tahan. Dari sini saja dapat diukur, betapa kuatnya te-
naga tangkisan Bidadari Iblis!
"Uhhh...," keluh Ki Sangga Watung. Laki-laki itu
memijat pergelangan tangannya yang terasa linu. Ke-
nyataan itu langsung membuatnya sadar. Ternyata ga-
dis muda itu tidak bisa dipandang remeh! Meskipun
serangan pertamanya tidak dilakukan secara sungguh-
sungguh, tapi jelas kalau lawannya memang memiliki
tenaga dalam tinggi. Sebuah peringatan baginya untuk
berhati-hati!
"Kutunggu kau di luar kedai, Bidadari Iblis...!"
Sambil berkata demikian, Ki Sangga Watung melesat
menuju luar kedai.
"Sesukamulah, Orang Tua...," sahut Bidadari Iblis.
Baru saja ucapan itu ke luar dari mulutnya, tubuh
dara jelita itu sudah melayang membumbung ke uda-
ra!
Brolll...!
Terdengar suara keras ketika bayangan merah itu
menerobos atap kedai! Lalu, dengan gerakan yang
memperlihatkan kelihaian ilmu meringankan tubuh-
nya, Bidadari Iblis berputar beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya satu tombak di hadapan Ki
Sangga Watung.
***
"Bidadari Iblis! Apa sebenarnya alasanmu sampai
demikian kejam menindak mereka? Apa kesalahan
yang mereka perbuat memang patut ditebus dengan
nyawa? Atau, kau mempunyai alasan lain?!" Kata Ki
Sangga Watung, meminta penjelasan atas perbuatan
dara cantik itu.
"Aku benci laki-laki! Hukuman itu memang pantas
didapat! Bahkan bukan hanya mereka saja, tapi selu-
ruh laki-laki yang kurang ajar di muka bumi ini! Juga
kau, Orang Tua! Di balik sikap lembutmu, pasti ter-
sembunyi hati yang hitam! Rasanya, kau pun pantas
dikirim ke alam akhirat!" Desis Bidadari Iblis.
Jawaban dara cantik berpakaian merah darah itu
sempat membuat Ki Sangga Watung tersentak. Hatinya
mulai men-duga-duga, apa sebenarnya yang telah me-
nimpa gadis jelita itu di masa lalu? Pasti ada penye-
babnya, sehingga ia membenci laki-laki. Tapi melihat
raut wajah yang jelita serta sosok tubuh indah yang
dimilikinya rasanya hanya lelaki gila saja yang mau
menyakiti hati gadis itu. Mana mungkin seorang laki-
laki waras mau meninggalkan ataupun menyakiti dara
jelita di depannya itu? Kalau begitu, apa sebenarnya
yang telah terjadi terhadapnya?
"Apa yang tengah kau pikirkan, Orang Tua?" Tanya
Bidadari Iblis ketika melihat calon lawannya terme-
nung. Sepasang matanya tampak berkilat, sepertinya
tengah menduga apa yang tengah dipikirkan Ki Sangga
Watung itu.
"Nisanak! Apa yang membuatmu demikian mem-
benci kaum laki-laki? Apakah kau...."
"Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah untuk ma-
ti...!" Potong Bidadari Iblis nyaring.
Ucapan Ki Sangga Watung jelas tidak menyenang-
kan hati dari jelita itu. Maka, tanpa memberi kesempa-
tan bagi lawan-nya untuk berbicara lagi, Bidadari Iblis
melompat menerjang!
"Ki, awasss...!"
Empat orang lelaki berseragam yang berada di kiri-
kanan Ki Sangga Watung langsung melesat melindungi
kepala desanya, dengan empat batang pedang yang
berkeredep menyambut tubuh Bidadari Iblis!
"Huh!"
Sambil mendengus, Bidadari Iblis merubah seran-
gannya. Tangan berkulit halus itu berputar cepat, ke-
mudian mengibas secara mengiriskan!
Wuuut...!
Serangkum angin tajam berdesing merobek udara!
Akibat-nya, tubuh keempat orang pengawal Kepala De-
sa Pesanggrahan itu terjungkal tanpa ampun!
Bukan kepalang kagetnya Ki Sangga Watung me-
nyaksikan kehebatan Bidadari Iblis! Keempat orang
pengawalnya ternyata langsung berkelojotan sambil
memuntahkan darah segar dari mulutnya! Padahal, Ki
Sangga Watung tidak melihat adanya pukulan yang
mengenai para pengawalnya! Kalau tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, sukar rasanya untuk
mempercayai.
"Itulah pukulan 'Perenggut Nyawa', hasil ciptaan
Guruku yang khusus untuk melenyapkan laki-laki ku-
rang ajar di muka bumi ini," jelas Bidadari Iblis mele-
nyapkan keraguan Ki Sangga Watung.
Sepertinya dara jelita itu tahu kalau lawannya san-
gat terkejut oleh pukulannya. Tanpa menyentuh tubuh
lawan, ternyata pukulan itu tetap bisa mendatangkan
kematian! Itu baru angin pukulannya saja. Entah, apa
akibatnya apabila pukulan maut itu sampai mengenai
tubuh korban. Benar-benar sulit dibayangkan oleh Ke-
pala Desa Pesanggrahan ini.
"Siapakah gurumu yang demikian keji itu...?" Tanya
Ki Sangga Watung lagi dengan wajah agak pucat. Je-
las, gebrakan Bidadari Iblis telah membuatnya sangat
terkejut!
"Sudah kukatakan sejak pertama tadi, Orang Tua!
Jangan banyak bicara! Simpan tenagamu, agar bisa
melindungi nyawamu dari kematian!" Desis Bidadari
Iblis dengan sorot mata sedingin es!
"Hm.... Sehebat apa pun kepandaianmu, janganlah
lupa. Suatu saat, kau akan dikalahkan lawanmu," ujar
Ki Sangga Watung. Rupanya ia sadar kalau dirinya
bukan tandingan dara jelita berhati iblis itu.
Bidadari Iblis tersenyum sinis, tanpa menanggapi
ucapan Ki Sangga Watung.
"Mulailah, Orang Tua. Atau aku yang harus memu-
lainya?" Ejek Bidadari Iblis. Wajahnya tetap dingin,
tanpa perasaan.
"Baiklah. Jangan dikira aku takut menghadapi ke-
matian," ujar Ki Sangga Watung, menggeram jengkel.
Setelah berkata demikian, Ki Sangga Watung ber-
paling kepada salah seorang pengawalnya.
"Pergilah ke Gunung Walung. Sampaikan kejadian
ini kepada kakekku," bisik Kepala Desa Pesanggrahan
itu.
Lalu laki-laki tua itu melangkah maju tanpa me-
nunggu jawaban pengawalnya. Hal itu merupakan sua-
tu tanda kalau ia tidak mau perintahnya dibantah.
Lelaki bertubuh kurus itu terdiam sejenak. Bebera-
pa saat kemudian, barulah ia beranjak meninggalkan
tempat itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda
ketika lelaki kurus itu pergi untuk menyampaikan pe-
san kepala desanya.
"Hik hik hik.... Rupanya kau cukup cerdik, dengan
meminta bantuan. Jadi sekarang kau sadar. Ternyata
kau tidak sanggup bermain-main sebentar denganku?"
Terdengar suara tawa dingin yang keluar dari bibir
mungil milik Bidadari Iblis.
"Hm.... Sambutlah seranganku...!"
Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, Ki Sangga
Watung segera melesat membuka serangan! Senjata di
tangannya berputar menimbulkan deru angin tajam.
Jelas, lelaki tua itu pun memiliki tenaga dalam yang
tidak rendah!
"Bagus! Itu baru namanya laki-laki...," ejek Bidadari
Iblis, dingin.
Sambil berkata demikian, tubuhnya bergeser ke ka-
nan. Begitu tebasan pedang lawan lewat di samping
tubuhnya, tangan kirinya menusuk dengan kecepatan
kilat!
Bettt!
Ki Sangga Watung merendahkan tubuhnya. Jari-jari
tangan lawan yang menimbulkan angin berciutan itu
lewat di atas kepalanya. Lelaki tua itu kembali harus
menyelamatkan diri dengan lompatan jauh ke bela-
kang, ketika dengan kecepatan menggetarkan, jari-jari
tangan lawan berputar setengah lingkaran, dan menu-
suk lehernya dari bawah ke atas!
Kepala Desa Pesanggrahan terus melompat jauh,
dan melakukan beberapa kali salto untuk menghindari
serangan maut lawan yang demikian gencar menghu-
jani tubuhnya!
Rupanya, Bidadari Iblis tidak kepalang tanggung
dalam bertindak. Sedikit pun lawannya tidak diberi ke-
sempatan untuk menarik napas lega! Serangan-
serangannya demikian gencar, bagaikan gelombang
lautan yang susul-menyusul menuju pantai! Sehingga,
wajar saja kalau Ki Sangga Watung sampai terdesak,
dan tidak mempunyai kesempatan membalas.
"Tamat riwayatmu, Orang Tua!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis mendo-
rongkan telapak tangan kirinya ke depan! Saat itu, ke-
dudukan Ki Sangga Watung sudah sangat berbahaya!
Ia terus melangkah mundur menghindari serangan
gencar lawannya!
Weees!
Serangkum angin yang terlontar dari telapak tangan
dara jelita itu berhembus, mengancam nyawa lawan-
nya!
"Ahhh...?!"
Untunglah Ki Sangga Watung masih sempat menja-
tuhkan tubuhnya, dan terus bergulingan menjauhkan
diri! Meskipun telah berhasil menyelamatkan diri, tapi
bukan berarti orang tua itu dapat bernapas lega! Se-
bab, Bidadari Iblis terus mencecarnya tanpa ampun!
"Heyaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketiga pu-
luh, Ki Sangga Watung berbuat nekat! Saat tusukan
jari-jari lentik itu meluncur mengancam dadanya, ma-
ka dipapakinya dengan tebasan pedang!
Wesss!
Sayangnya, lawan ternyata tidak sudi tangannya di-
buntungi! Begitu pedang di tangan Ki Sangga Watung
berkeredep, cepat bagai kilat tangannya berputar ke
bawah! Kemudian tangannya ditarik pulang, berbaren-
gan dengan tusukan jari tangan kanannya yang men-
gancam tenggorokan.
Wuuut! Jreppp!
"Arghhh...!"
Ki Sangga Watung menjerit ngeri! Jemari tangan
lentik itu langsung melesak ke dalam tenggorokannya
tanpa dapat dicegah lagi!
"Heaaah!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis menca-
but jemari kanannya! Kemudian dengan kuda-kuda
rendah, telapak tangan kirinya menyusul ke arah dada
lawan!
Blaggg!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjeng-
kang deras ke belakang! Kemudian tubuhnya terbant-
ing di atas tanah, dengan pakaian bagian dada hangus
bagai terbakar! Bahkan kulit dan daging yang terkena
pukulan tampak meleleh dan berwarna kemerahan! Ki
Sangga Watung langsung tewas di tangan Bidadari Ib-
lis dalam keadaan mengerikan!
Tewasnya Kepala Desa Pesanggrahan, membuat be-
lasan orang pengawal serta warga desa yang me-
nyaksikan berserabutan meninggalkan tempat itu! Se-
kejap saja, suasana yang semula diramaikan pendu-
duk desa, jadi sepi dalam sekejap! Kematian Ki Sangga
Watung telah melenyapkan semangat serta keberanian mereka!
Tinggallah kini Bidadari Iblis dengan segala keang-
keran-nya. Setelah beberapa saat terdiam, dara jelita
berhati iblis itu pun melangkah meninggalkan mayat
korban kekejamannya.
***
TIGA
Matahari sudah semakin bergeser ke langit sebelah
Barat. Sinarnya pun tidak garang lagi. Di bawah mega
merah jelaga tampak sosok ramping berpakaian merah
darah tengah melangkah tenang bergerak ringan men-
daki pegunungan.
Hembusan angin dingin pegunungan yang terasa
menusuk tulang, tidak dipedulikannya. Bahkan lapi-
san kabut yang turun menyelimuti punggung gunung,
tidak juga membuat langkahnya terhenti. Sorot ma-
tanya tampak demikian tajam, seperti berusaha me-
nembus lapisan kabut yang menghalangi-nya.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah sosok tubuh
di atas puncak gunung. Di tengah lapisan kabut yang
semakin tebal, sosok berpakaian merah itu terus ber-
gerak maju. Langkahnya baru terhenti ketika telah tiba
didepan sebuah pondok sederhana.
Sejenak, sosok berpakaian merah itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling halaman pondok. Kemu-
dian dia kembali bergerak maju beberapa langkah, dan
terhenti kembali.
"Sahabat! Kalau kau datang hendak bertamu, ma-
suklah...!"
Terdengar teguran halus yang berasal dari dalam
pondok. Padahal, pintu pondok itu masih tertutup rapat. Dan herannya si penghuni pondok ternyata sudah
tahu akan kedatangan sosok berpakaian merah darah
itu. Dari sini saja sudah dapat ditebak, si empunya
pondok itu ternyata bukanlah orang sembarangan!
Sosok berpakaian merah darah itupun tertegun se-
jenak. Ada keheranan dan kekaguman terlintas pada
sepasang bola matanya yang dingin. Meskipun hanya
sekilas, tapi teguran itu membuat langkahnya agak ra-
gu."
"Begawan Cindra Putra! Kedatanganku bukan un-
tuk bertamu, tapi hendak mencabut nyawamu!" Sahut
sosok berpakaian merah itu datar. Tubuhnya tegak
menghadap pintu pondok, setelah maju dua tindak.
Untuk beberapa saat lamanya, tidak terdengar ja-
waban dari dalam pondok. Suasana seketika jadi hen-
ing.
Sosok tubuh berpakaian merah darah itu sepertinya
sudah tidak sabar. Semua itu terlihat jelas dari tu-
buhnya yang kelihatan tidak bisa diam. Baru saja ka-
kinya siap melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara
berderit seiring terbukanya pintu pondok.
Seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih tampak muncul dari dalam pondok. Pakaiannya
hanya berupa kain putih yang dilibatkan ke tubuhnya.
Rambutnya putih, dan tergulung ke atas. Jenggot dan
kumisnya panjang hingga ke dada, juga berwarna pu-
tih. Sorot matanya tampak demikian lembut, disertai
senyum sabar yang selalu menghias wajahnya. Sosok
kakek yang bernama Begawan Cindra Putra itu benar-
benar merupakan gambaran seorang pertapa sejati.
"Eyang Begawan! Dialah Bidadari Iblis yang mem-
bantai Bonggar serta kawan-kawan yang lain. Jangan-
jangan, Ki Sangga Watung pun telah dibunuhnya pu-
la...," kata seorang lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Seraya menyembulkan kepalanya dari
dalam pondok.
Dia bukan lain adalah salah seorang pengawal Ki
Sangga Watung, yang mendapat tugas untuk pergi ke
Gunung Walung ini. Rupanya dia telah di sini sejak ta-
di.
"Hm.... Tetaplah di dalam pondok. Kalau dia dapat
men-capai tempat ini dalam waktu singkat, jelas ke-
pandaiannya tidak bisa dibuat main-main. Entah, apa
keperluannya hingga datang mencariku? Anehnya, ia
pun telah mengenalku?" Bisik Begawan Cindra Putra
tanpa melepaskan pandangannya dari sosok berpa-
kaian merah darah itu.
Meskipun suasana puncak Gunung Walung saat itu
dipenuhi kabut yang turun, tapi semua itu tidak
menghalangi pandangan sang Begawan. Sedangkan le-
laki kurus di belakang kakek itu hanya melihat adanya
bayangan merah, meskipun sudah dapat menebak sia-
pa orangnya.
Mendengar ucapan Begawan Cindra Putra, lelaki
kurus itu kembali menarik kepalanya, dan menutup
pintu pondok.
"Nisanak! Benarkah kau yang berjuluk Bidadari Ib-
lis? Dan, bagaimana kau bisa menemukan tempat ini
dalam waktu singkat? Apakah di antara kita pernah
bertemu sebelumnya?" Tanya Begawan Cindra Putra
sambil menatap tak berkedip ke arah sosok berpakaian
merah darah yang memang Bidadari Iblis.
"Begawan Cindra Putra," sebut Bidadari Iblis, datar.
"Sebenarnya aku mendapat kesulitan untuk mencari
tempat tinggalmu. Dan sebagaimana petunjuk guruku,
dari Desa Pesanggrahan itulah satu-satunya jalan un-
tuk mengetahui keberadaanmu. Sengaja lelaki kurus
yang ditugaskan Ki Sangga Watung itu tidak kubunuh,
agar tempat tinggalmu bisa ku-ketahui. Kalau saja le-
laki kurus itu tidak kuperlukan, apakah dikira ia bisa
dengan selamat tiba di Gunung Walung ini?"
"Maaf! Ada urusan apa di antara kita, sehingga kau
membuat keonaran di Desa Pesanggrahan? Lalu, apa-
kah Ki Sangga Watung telah kau bunuh pula?" Tanya
Begawan Cindra Putra tetap sabar, dan tersenyum
lembut.
"Aku tidak tahu, urusan apa di antara guruku de-
ngan kalian di masa lalu. Tugasku hanyalah mencabut
nyawa seluruh keluarga dan kerabatmu yang telah
membuat guruku menderita seumur hidupnya. Seka-
rang bersiaplah, Kakek Tua! Aku akan mencabut nya-
wamu?"
Kembali terdengar nada dingin dan datar ancaman
Bidadari Iblis. Kemudian sosok berwajah jelita itu me-
renggang, dan siap melontarkan serangan.
"Siapakah gurumu yang demikian mendendam ter-
hadap keluarga dan kerabatku, Nisanak? Anggaplah
jawabanmu sebagai hadiah kematian orang tua lemah
seperti diriku ini. Sehingga nanti aku tidak mati pena-
saran," pinta Begawan Cindra Putra tetap tanpa hawa
amarah. Hanya gambaran penasaran terbayang di wa-
jahnya.
"Tidak perlu! Justru guruku ingin membuatmu dan
yang lainnya mati penasaran! Dengan demikian, pen-
deritaan selama bertahun-tahun dapat berkurang,"
tandas Bidadari Iblis dengan nada tajam.
Begawan Cindra Putra menghela napas berat penuh
sesal. Bukan kematian yang membuat kakek tua itu
bersedih. Tapi, justru dendam yang meracuni wanita
muda berparas jelita itulah yang membuatnya berdu-
ka.
"Hahhh.... Kasihan sekali kau, Nisanak. Dalam usia
yang demikian muda, racun dendam sudah demikian
dalam masuk di hatimu. Entah, siapa gerangan guru-
mu yang demikian kejam menjejali bibit-bibit keben-
cian itu?" Desah Begawan Cindra Putra sambil me-
nundukkan wajahnya, menekuri rerumputan basah.
"Orang Tua! Apa pun yang kau katakan, semua itu
tidak akan merubah keputusanku! Jadi, sebaiknya
bersiaplah! Aku tidak mempunyai banyak waktu!" De-
sis bibir mungil dan indah itu tak sabar.
"Nisanak...."
"Cukup! Sambut seranganku...!"
Tanpa memberi kesempatan pada Begawan Cindra
Putra untuk menyelesaikan kalimatnya, Bidadari Iblis
sudah melesat cepat dengan tamparan-tamparan
mautnya!
Serangan-serangan ganas dara jelita itu mau tidak
mau memaksa Begawan Cindra Putra untuk mengada-
kan perlawanan. Biar bagaimanapun, kakek itu tentu
saja tidak sudi menyerahkan nyawanya sia-sia. Apalagi
ia pun belum tahu, siapa guru wanita muda jelita itu.
Juga, mengapa guru Bidadari Iblis itu demikian men-
dendam terhadap keluarga maupun kerabatnya. Ala-
san-alasan itulah yang memaksanya harus terpaksa
melayani lawannya.
"Haaait...!"
Bidadari Iblis sepertinya sangat bernafsu sekali un-
tuk segera merobohkan lawannya. Serangan-serangan
demikian ganas dan gencar! Sepasang telapak tangan-
nya menyambar-nyambar diiringi suara bercicitan. Je-
las, wanita jelita itu telah mengeluarkan tenaga dalam
sepenuhnya untuk menamatkan riwayat lawan sece-
patnya!
Begawan Cindra Putra sendiri tentu saja harus
mengerahkan seluruh kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan berhawa maut dari lawannya.
Namun sampai sejauh itu, ia belum melancarkan se-
rangan balasan yang berarti. Hanya sesekali, dibalas-
nya serangan Bidadari Iblis. Namun, itupun kalau be-
nar-benar sudah sangat terdesak. Kalau tidak, kakek
itu hanya mengelak sambil meneliti gerak lawan. Se-
pertinya, Begawan Cindra Putra hendak mengenali je-
nis ilmu silat yang dimainkan lawannya. Dengan begi-
tu, diharapkan guru Bida-dari Iblis yang demikian ke-
jam dan tega meracuni muridnya dengan bibit-bibit
kebencian dapat dikenali.
Tapi, usaha Begawan Cindra Putra sepertinya me-
nemui jalan buntu. Ternyata, gerak ilmu silat lawan-
nya benar-benar aneh dan sulit dikenali. Melihat dari
ilmu-ilmu silat yang terkadang kacau tak beraturan
itu, Begawan Cindra Putra menduga kalau lawannya
pasti tidak hanya belajar dari satu guru. Memang, ka-
kek itu melihat banyak gerakan aneh yang kadang ti-
dak selaras dengan ilmu-ilmu lainnya yang dimainkan
wanita lawannya.
"Nisanak! Tampaknya kau belajar dari beberapa
guru pandai. Apakah semua gurumu mendendam ke-
pada seluruh keluarga dan kerabatku?" Tanya Bega-
wan Cindra Putra sambil menggeser tubuhnya meng-
hindari hantaman telapak maut lawan. Sepertinya, ka-
kek itu tidak bisa memendam rasa penasaran di ha-
tinya.
'Tidak! Guruku hanya seorang di dunia ini. Karena
kebaikan hatinya, maka aku bertekad untuk memba-
laskan semua dendamnya!" Sahut Bidadari Iblis tanpa
menghentikan serangan-serangannya. Bahkan gera-
kannya tampak semakin cepat dan ganas!
Jelas, dara jelita itu tidak mau memberikan kesem-
patan bagi lawannya untuk berbicara lebih banyak la
gi. Dan, untuk mencegah kecerewetan kakek itu, gem-
puran-gempurannya dipergencar.
Usaha Bidadari Iblis jelas berhasil baik. Begawan
Cindra Putra tidak lagi sempat berbicara, dan semakin
sibuk membendung gelombang serangannya yang de-
mikian gencar dan berbahaya!
"Yiaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh
puluh, tiba-tiba Bidadari Iblis berseru nyaring! Telapak
tangannya tampak digosok-gosokkan satu sama lain!
Gesekan-gesekan sepasang telapak tangan halus itu
ternyata cukup menggetarkan! Seketika gumpalan
asap tebal kebiruan muncul dari sepasang tangannya!
Bahkan samar-samar tercium bau harum yang mema-
bukkan! Jelas ilmu yang tengah disiapkan Bidadari Ib-
lis mengandung racun ganas!
Begawan Cindra Putra melompat mundur sejauh
satu tom-bak lebih. Jelas, kakek itu sangat terkejut
melihat ilmu yang tengah dipersiapkan lawannya!
"Ilmu Keji...!" desis Begawan Cindra Putra, geram.
Sepertinya, kakek pertapa itu merasa kasihan me-
lihat dara jelita yang berwajah lembut itu telah diracu-
ni ilmu silat keji, yang jelas dimaksudkan untuk mem-
bunuh. Pemikiran itulah yang membuatnya geram.
Sadar kalau ilmu yang dipersiapkan lawannya itu pas-
tilah sangat ganas dan berbahaya, maka Begawan Cin-
dra Putra pun segera menyiapkan ilmu andalan-nya!
"Hmmmh...."
Terdengar suara menggereng lirih yang keluar dari
kerongkongan Begawan Cindra Putra. Perlahan kakek
itu mendorongkan kedua lengannya ke atas dengan te-
lapak terbuka. Sepasang tangan itu kemudian turun
ke sisi pinggang dalam keadaan terkepal. Lalu sambil
membentuk kuda-kuda rendah dengan kaki bersilangan, Begawan Cindra Putra mengembang-kan kedua
lengannya ke kin dan kanan. Sepasang lengannya
tampak bergetar, menandakan betapa kuatnya tenaga
yang mengalir ke dalamnya!
"Yiaaat...!"
Bidadari Iblis berseru nyaring, diiringi lesatan tu-
buhnya yang menggetarkan! Berbarengan gerakan itu,
sepasang telapak tangannya yang terbuka, melontar-
kan pukulan susul menyusul!
Wusss! Wusss!
Hembusan angin yang menebarkan bau harum
memabukkan, mencicit tajam mengancam tubuh Be-
gawan Cindra Putra! Dari suaranya yang mendesing-
desing menyakitkan telinga, bisa diduga kalau tenaga
dalam yang digunakan Bidadari Iblis sangat tinggi! Be-
lum lagi, ditambah hawa beracun yang keluar dari se-
tiap lontaran pukulannya! Tidak heran kalau wanita
berparas jelita itu berani mati menyatroni kediaman
Begawan Cindra Putra!
Kepandaian yang dimilik Begawan Cindra Putra
sendiri sebenarnya sudah sangat tinggi. Bahkan di ka-
langan rimba persilatan, kakek itu merupakan tokoh
kelas atas yang sangat disegani dan dihormati. Tidak
banyak tokoh tua yang seangkatan dengannya memili-
ki ilmu demikian tinggi. Dan kalau saja Bidadari Iblis
berani mendatangi kakek itu beberapa tahun sebe-
lumya, mungkin tidak akan mampu untuk mengim-
bangi kesaktian Begawan Cindra Putra.
Sayangnya, usia yang semakin tua membuat Be-
gawan Cindra Putra tidak lagi segesit dan sehebat be-
berapa tahun yang lalu. Jadi wajar saja kalau dalam
menghadapi tokoh muda yang sakti dan kejam seperti
Bidadari Iblis, kakek itu terpaksa harus bekerja keras
mengerahkan seluruh kekuatan-nya.
Sedangkan Bidadari Iblis sendiri merupakan lawan
yang cukup berat. Dalam usianya yang masih sangat
muda ternyata memiliki kesaktian ganas dan tinggi.
Kekuatan yang dimiliki-nya tampak meningkat dan se-
makin sempurna, sehingga memiliki daya tahan yang
jauh lebih kuat dari lawannya. Semuanya merupakan
modal utama untuk memenangkan pertempuran ini.
Kekuatan dan kegesitan Begawan Cindra Putra ter-
lihat semakin menurun, ketika pertempuran telah ber-
langsung lebih dari seratus jurus.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keseratus
lima puluh, Begawan Cindra Putra terlihat semakin
payah! Beberapa pukulan maut lawannya nyaris
menghajar tubuh kurus itu! Dan gerakan yang sema-
kin lambat itu, membuat Bidadari Iblis semakin ganas!
Sehingga pada suatu kesempatan, wanita itu melesat
cepat dengan sebuah tamparan keras, tanpa dapat di-
cegah Begawan Cindra Putra. Laki-laki tua itu hanya
bisa terbelalak, melihat serangan tiba. Blaggg!
Tamparan telapak tangan halus yang disertai bau
harum memabukkan itu telak menghantam dada ter-
bungkus tulang Begawan Cindra Putra! Akibatnya, tu-
buh kurus itu terlempar diiringi pekikan ngerinya!
Pada saat tubuh Begawan Cindra Putra masih me-
layang di udara, tokoh sesat berwajah jelita itu sudah
kembali men-dorongkan sepasang telapak tangannya!
"Bresssh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat ketika se-
pasang telapak tangan bertenaga dahsyat itu telak
menghajar tubuh sang Begawan! Semburan darah se-
gar mengiringi terlempar-nya tubuh tua Begawan Cin-
dra Putra, yang langsung terjatuh ke dalam jurang!
"Guru...," bisik Bidadari Iblis tengadah ke langit,
"Kini musuhmu hanya tinggal seorang. Semoga kau
senang karenanya."
Setelah berkata demikian, wanita jelita itu melang-
kah meninggalkan puncak Gunung Walung. Tidak di-
pedulikannya sosok lelaki kurus yang menyembulkan
kepalanya dari balik pintu pondok. Bidadari Iblis terus
melangkah menuruni lereng Gunung Walung yang
kembali hening dan sunyi....
***
Sepeninggal Bidadari Iblis, lelaki kurus itu belum
juga keluar dari dalam pondok. Sepertinya, ia merasa
khawatir kalau-kalau wanita jelita berhati iblis itu be-
lum benar-benar meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung.
Entah, sampai berapa lama lelaki kurus pembantu
setia Kepala Desa Pesanggrahan itu berdiam diri di da-
lam pondok. Debaran dalam dadanya belum juga le-
nyap. Bahkan wajah kurus itu demikian pucat, karena
ketakutan yang hebat telah melanda dirinya.
Kematian Begawan Cindra Putra benar-benar sulit
diterima. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, rasanya memang sukar dipercaya.
Hampir mustahil kalau orang tua yang dianggapnya
sangat sakti dan sangat dipujanya ternyata dapat dika-
lahkan seorang gadis muda. Rasanya, ia seperti tengah
bermimpi saja. Namun, mau tidak mau ia harus mene-
rima kenyataan mengiriskan itu.
Setelah cukup lama dan merasa yakin kalau Bi-
dadari Iblis benar-benar telah meninggalkan puncak
Gunung Walung, barulah lelaki kurus itu berani keluar
dari dalam pondok. Itupun dilakukannya sambil men
gendap-endap, dan melalui pintu pondok sebelah bela-
kang.
Sambil menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah ge-
lisah, lelaki kurus itu bergerak menuju tebing yang te-
lah menelan tubuh Begawan Cindra Putra. Ditelusu-
rinya ceceran darah yang masih basah itu. Lang-
kahnya baru terhenti di tepi jurang, tempat cairan da-
rah di atas rerumputan itu berakhir.
"Aaah...! Sudah dapat dipastikan, Eyang Begawan
Cindra Putra tewas di bawah sana...," gumam lelaki
kurus itu sambil menjengukkan kepalanya ke dalam
jurang. Tapi, tiada satu pun yang dapat dilihatnya di
dalam jurang yang bagai tak memiliki dasar itu. Apala-
gi hari sudah menjelang malam, tanpa ada penerangan
sedikit pun.
Setelah agak lama meneliti dan yakin Begawan Cin-
dra Putra sudah tidak ada harapan hidup, lelaki kurus
itu pun melangkah pergi.
"Aku harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Dasa
Penang. Atau jangan-jangan..., Bidadari Iblis sudah be-
rada di sana. Sebab, sempat kudengar tadi ucapannya
yang hendak membantai seluruh keluarga dan kerabat
Eyang Begawan. Aaah...! Apa yang harus kulakukan
sekarang?" Desah lelaki kurus itu gelisah. '?Biarlah.
Terlambat ataupun tidak, yang penting aku harus me-
nemui Ki Dasa Penang...."
Keputusan yang telah bulat ini membuat lelaki ku-
rus itu bergegas meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung. Sebentar kemudian, ia sudah menuruni lereng.
Kini di tangannya telah tergenggam sebatang obor un-
tuk menerangi jalan yang akan dilaluinya.
***
EMPAT
Dalam dunia persilatan, segala kejadian yang me-
nimpa tokoh-tokoh persilatan cepat sekali tersebar
luas. Apalagi, kematian itu menyangkut seorang tokoh
sakti kelas atas. Maka tidak heran kalau dalam waktu
singkat saja, berita tentang kematian Begawan Cindra
Putra telah tersebar di kalangan rimba persilatan.
Dalam dunia persilatan, kejadian ini sangat langka.
Sehingga, mau tak mau telah mengundang berbagai
pendapat tentang kematian tokoh sakti yang kabarnya
telah lama mengasingkan diri itu. Hal itu dikaitkan pu-
la dengan terbantainya keamanan Desa Pesanggrahan,
berikut Ki Sangga Watung yang menjadi kepala desa
itu.
Kaum persilatan golongan putih tentu saja menjadi
marah besar atas peristiwa berdarah itu. Sehingga ju-
lukan Bidadari Iblis pun semakin berdengung, dan
membuat golongan putih harus bangkit. Apalagi, tokoh
sesat berwajah jelita itu bukan hanya membunuh Be-
gawan Cindra Putra, Ki Sangga Watung, dan keama-
nan-keamanan Desa Pesanggrahan. Bahkan cukup
banyak kejadian-kejadian sesudah itu yang dikaitkan
dengan Bidadari Iblis!
Kebangkitan dan kemarahan golongan putih ter-
nyata juga ditanggapi oleh kaum sesat. Bahkan para
tokoh sesat menjuluki wanita cantik berpakaian merah
darah itu sebagai Bidadari Salju. Julukan itu diberikan
karena sikapnya dan wajahnya yang selalu tampil din-
gin seperti salju.
Dan kemunculannya itu jelas membuat kaum go-
longan sesat menyambut gembira. Dengan terbunuh-
nya tokoh-tokoh golongan putih, berarti membuat
kaum sesat merasa yakin kalau Bidadari Salju berpi-
hak kepada mereka.
Kemunculan tokoh jelita berhati iblis itu tidak ha-
nya disambut suka ria oleh golongan sesat. Bahkan
kini mereka semakin berani terang-terangan melaku-
kan kejahatan!
Gerombolan perampok yang selama ini bergerak
sembunyi-sembunyi karena tekanan golongan putih,
kini berani men-jarah harta benda penduduk baik pagi
maupun siang hari. Sehingga, keadaan semakin ber-
tambah keruh dan kacau!
Demikian pula halnya pada pagi hari ini. Serom-
bongan perampok yang menjuluki dirinya Perampok
Jubah Merah, bergerak menuju sebuah desa. Beberapa
orang petani yang tengah sibuk menggarap sawah la-
dang, menatap dengan wajah pucat!
"Gerombolan Perampok Jubah Merah...?!" Desis
seorang petani berusia empat puluh tahun. Dia mena-
tap gemetar ke arah serombongan orang berkuda yang
melintas di atas jalan lebar.
Bukan hanya petani berhidung besar itu saja yang
menjadi ketakutan. Bahkan belasan petani lain yang
tengah sibuk mencangkul serentak terhenti dan me-
mandang terbeliak, bagaikan melihat hantu berkelia-
ran di siang hari!
"Celaka! Apa yang harus kita lakukan...?" Desah
seorang petani muda bertubuh tegap. Raut wajahnya
yang terlihat keras dan telah basah oleh lumpur, tam-
pak berubah tegang dan pucat. Sedangkan tangan ka-
nannya masih menggenggam cangkul.
"Larilah ke desa! Laporkan kedatangan iblis-iblis bi-
adab itu kepada Ki Gandir!" Usul petani berhidung le-
bar yang saat itu sudah bergerombol bersama petani
lainnya.
"Benar. Cepatlah kau pergi, sebelum mereka meng-
gondol harta benda kita. Bisa-bisa istri dan anak pe-
rempuan kita pun akan jadi sasaran mereka...," sam-
but seorang petani setengah baya dengan wajah geli-
sah.
“Tapi, apakah tidak sebaiknya kita semua kembali
ke desa? Siapa tahu saja kehadiran kita beramai-ramai
bisa menjadi bantuan yang berarti bagi Ki Gandir...,"
usul petani muda itu.
"Baik. Ayolah...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, belasan orang
petani itu pun bergegas meninggalkan sawah-nya. Ke-
mudian mereka bergabung dengan para petani lain,
dan beramai-ramai bergerak kembali ke desa untuk
menyelamatkan harta dan keluarga mereka.
***
"Heyaaa... heyaaa...!"
Seorang lelaki brewok bertubuh gemuk berteriak-
teriak ketika menerobos mulut desa bersama rombon-
gannya! Jubahnya yang panjang dan berwarna merah
darah itu berkibaran mengikuti ayunan tubuhnya di
atas punggung kuda hitam.
"Cegah mereka...!"
Seorang lelaki gagah yang rupanya adalah kepala
keamanan desa itu mencabut pedangnya. Dengan ga-
gah, dipimpinnya dua belas orang anak buahnya un-
tuk menghalau Perampok Jubah Merah!
Pertempuran kecil pun tidak dapat dihindari lagi!
Lelaki brewok yang menjadi pimpinan Perampok Jubah
Merah mengibaskan golok besarnya untuk meroboh-
kan penghadang di depannya! Seketika darah tertum-
pah membasahi bumi! Korban-korban mulai berja
tuhan saling tumpang-tindih!
Pada saat pertempuran tengah berkecamuk itu,
muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih
yang keluar dari da-lam kedai. Begitu tiba, pemuda
tampan itu langsung melesat memapak tebasan golok
besar pemimpin gerombolan perampok itu!
Plakkk!
"Aaahk...?!"
Bukan main terkejutnya lelaki brewok itu ketika go-
lok di tangannya terpental balik, akibat tepisan telapak
tangan seorang pemuda tampan! Bahkan tubuh gemuk
itu sampai terjatuh dari atas punggung kudanya! Be-
nar-benar sukar dipercaya kejadian yang menimpa di-
rinya.
"Siapa..., kau...!" Bentak lelaki brewok itu sambil
menatap gentar sosok berjubah putih yang sudah ber-
diri tegak di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Perintah-
kan anak buahmu untuk meninggalkan Desa Pucung
ini, sebelum semuanya terlambat!" tegas pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Meski suaranya terdengar pe-
lan, namun ketegasannya jelas membuat lelaki brewok
itu tersirap kaget!
"Bedebah! Kau pikir, kau siapa! Benar-benar lan-
cang mulutmu berbicara! Lebih baik, jaga lehermu
agar tidak putus!"
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu men-
gayunkan golok besarnya ke leher lawan! Dari suara
desingannya dapat ditebak kalau dia memiliki tenaga
luar yang amat kuat!
Wuuuk!
Kemarahan lelaki brewok itu semakin menjadi-jadi.
Golok besarnya ternyata hanya mengenai angin ko-
song! Sedangkan lawannya sudah lenyap entah ke ma
na!
"Hm…. Siapa yang kau cari, Kerbau Dungu! Aku be-
rada di belakangmu," terdengar suara yang menge-
jutkan dari belakang.
"Bangsat!"
Tanpa menoleh lagi, lelaki brewok itu menyabetkan
golok besarnya ke belakang tubuhnya! Gerakannya
cukup cepat dan kuat! Sehingga apabila golok besar
itu sampai mengenai tubuh lawan, dapat dipastikan
tubuh pemuda berjubah putih itu akan terbelah men-
jadi dua bagian!
Trakkk!
"Hahhh?!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat
lelaki brewok itu terbeliak! Golok besar di tangannya
langsung patah menjadi dua, ketika bertemu sosok
berjubah putih yang ter-selimut lapisan kabut bersinar
putih keperakan!
"Pendekar Naga Putih...!"
Bagaikan melihat hantu di siang hari, lelaki brewok
itu bergetar mundur dengan wajah pucat! Sebab lang-
sung bisa dikenali, siapa adanya sosok yang sekujur
tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan itu.
Begitu mengetahui dengan siapa berhadapan, kebe-
ranian lelaki brewok itu langsung saja lenyap! Memang
pendekar itu sudah sangat dikenalnya. Tidak sedikit
tokoh sesat kelas atas yang tewas di tangan pemuda
tampan itu. Karuan saja lelaki brewok itu menjatuh-
kan diri berlutut, sambil memohon ampun! Rupanya,
kepala rampok yang terkenal ganas itu tahu kalau
pendekar muda yang tersohor itu bukan tandingannya.
Kalaupun nekat melawan, hanya kematianlah yang
bakal diterimanya.
"Ampun..., Tuan Pendekar.... Ampun...," lelaki brewok yang tidak pernah mengenai takut itu memben-
turkan keningnya berkali-kali memohon ampun kepa-
da pemuda berjubah putih, yang tak lain dari Panji
atau berjuluk Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sama sekali tidak mempedulikan, dan
malah berpaling ke arah pertempuran. Terdengar ben-
takan yang menggelegar!
"Hentikan pertempuran...!"
Hebat luar biasa pengaruh bentakan Pendekar Naga
Putih! Pertarungan yang ramai dan semerawut itu
langsung saja terhenti mendadak! Memang, untuk se-
saat lamanya tubuh mereka bagaikan dialiri tenaga
aneh hingga terasa kaku.
Beberapa saat setelah pengaruh bentakan Pendekar
Naga Putih lenyap, orang-orang yang tadi bertarung itu
serentak menoleh ke arah seorang pemuda tampan
berjubah putih. Para anggota perampok tadi terbelalak
tak percaya melihat ketua mereka tengah bersimpuh di
bawah kaki pemuda tampan itu.
"Anak-anak, lepaskanlah senjata kalian. Hari ini ki-
ta sedang mengalami nasib sial, karena telah berjumpa
dengan Pendekar Naga Putih," ujar lelaki brewok itu
yang belum juga bangkit dari sujudnya.
Sambil berkata demikian, matanya melirik perlahan
ke arah Panji yang saat itu memang tengah membela-
kanginya. Kemudian, dengan sekuat tenaga, golok be-
sarnya yang sudah buntung ditebaskan ke leher Pen-
dekar Naga Putih. Licik sekali perbuatannya.
Sayang, sepertinya kepala perampok itu belum tahu
banyak tentang Pendekar Naga Putih. Kalau tahu, ma-
na mungkin berani berlaku sebodoh itu?! Karena pada
saat golok besar itu berdesing, tentu saja suaranya ter-
tangkap telinga Panji yang sangat peka itu. Selanjut-
nya, terciptalah lapisan kabut putih keperakan yang
langsung menyelimuti tubuh Panji. Bahkan lapisan
kabut itu tampak berpendar hampir, tiga jengkal dari
tubuh pemuda itu.
Trakkk!
"Aaargh...?
Kepala Gerombolan Perampok Jubah Merah itu
memekik kesakitan! Golok buntung di tangannya yang
diambil dari atas tanah langsung terbelah lagi menjadi
tiga bagian! Bahkan tubuh gemuk itu sendiri terjung-
kal, hingga satu setengah tombak jauhnya! Padahal,
golok buntung masih beberapa jengkal dari sasaran!
"Rupanya, kau lebih memilih mati daripada berto-
bat..," desah Panji membalikkan tubuhnya.
Pendekar Naga Putih menatap lelaki brewok yang
terbujur di atas tanah itu. Darah segar tampak menga-
lir tak henti-henti dari sela-sela bibirnya. Sepertinya,
dia termakan tenaga pukulannya sendiri yang berbalik.
Itulah salah satu keistimewaan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan', apabila dikerahkan sepenuhnya. Semua itu
hanya bisa dilakukan Panji terhadap tokoh-tokoh per-
silatan kelas menengah ke bawah. Andai yang menye-
rangnya merupakan tokoh kelas atas, pemuda itu jelas
bisa terluka dalam.
Tidak lama Pendekar Naga Putih menatap sosok
brewok di depannya itu. Sebab, kepala perampok itu
langsung saja menggelepar tewas setelah beberapa
saat mengerang menahan sakit!
Baru saja lelaki brewok itu menghembuskan napas-
nya yang terakhir, terdengarlah derap kaki kuda men-
datangi tempat itu dari sebelah Timur desa. Sedangkan
dari arah mulut desa, tampak puluhan orang petani
dengan berbagai macam senjata berlarian mendatangi.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta-
hun langsung melompat turun dari atas punggung ku
danya. Keningnya sempat berkerut melihat para ang-
gota perampok tampak berlutut tanda menyerah. Lela-
ki tua itu baru mengerti setelah melihat mayat lelaki
brewok yang memang telah lama dikenali-nya sebagai
Pemimpin Gerombolan Perampok Jubah Merah.
"Siapa yang telah membunuhnya...?" Tanya lelaki
tua itu dengan tarikan napas lega.
Meskipun mulutnya bertanya demikian, tapi sepa-
sang mata tua itu menatap Panji penuh selidik. Sepa-
sang matanya agak menyipit, seolah-olah ingin mene-
gasi sosok Panji.
"Pemuda itulah yang telah menyelamatkan desa ki-
ta, Ki. Dia..., Pendekar Naga Putih...," jelas lelaki gagah
yang merupakan kepala keamanan desa itu.
"Aaah.... Sudah kuduga, kau memang pendekar
muda yang gagah perkasa itu. Terima kasih atas perto-
longanmu, Pendekar Naga Putih. Entah bagaimana na-
sib kami, seandainya kau tidak membantu...," ucap le-
laki tua itu yang tak lain adalah Ki Gandir, Kepala De-
sa Pucung.
"Tidak perlu berlebihan, Ki. Bukankah tolong meno-
long itu sudah menjadi kewajiban kita semua. Nah!
Karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon diri,"
pamit Panji yang berniat hendak meninggalkan Desa
Pucung itu.
'Tapi, alangkah bahagianya hati kami bila kau sudi
singgah di tempat kami," pinta Ki Gandir penuh harap.
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud menolak niat
baik itu. Tapi, ada suatu tugas yang harus segera ku
selesaikan. Jadi, harap kau maafkanlah sikapku ini,"
tolak Panji, tulus.
Ki Gandir dan para pembantunya tidak kuasa lagi
untuk mencegah kepergian pemuda perkasa itu. Mere-
ka hanya bisa menatap sosok berjubah putih itu dengan tatapan kagum. Baru setelah sosok Panji lenyap,
mereka sibuk membereskan para perampok yang telah
menyerah.
Pemuda tampan berjubah putih itu melangkah me-
nyusuri jalan lebar. Makin lama jalan yang dilaluinya
semakin menyempit. Persawahan yang sepanjang jalan
tadi terhampar di kiri-kanannya, kini tidak tampak la-
gi. Hanya pohon-pohon dan semak belukar yang me-
menuhi tepi jalan.
Pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji itu
terus saja melangkah perlahan. Terkadang kepala yang
tertunduk menengadah, menatap langit cerah. Sesekali
terdengar helaan napasnya yang berat. Jelas, hati Pen-
dekar Naga Putih tengah dilanda kegelisahan.
Kegelisahan yang tengah melanda hati pendekar
muda itu dapat dimaklumi. Tidak heran, karena sudah
cukup lama ia berpisah dengan kekasihnya yang kini
tak tentu rimbanya. Bahkan sampai saat itu Panji ti-
dak tahu, apakah Kenanga masih hidup, atau sudah
tewas tertelan gelombang lautan ganas. (Untuk lebih je-
lasnya silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: "Terdampar di Pulau Asing" ).
Kini sebelum dapat mengetahui nasib kekasihnya,
sebuah keguncangan telah melanda dunia persilatan.
Tewasnya seorang tokoh kelas atas yang mengasing-
kan diri telah sampai ke telinga Panji. Bahkan kema-
tian tokoh sakti yang menurut kabar terbunuh oleh
seorang tokoh sesat berparas cantik yang berjuluk Bi-
dadari Iblis, masih diiringi pula oleh bangkitnya para
tokoh sesat. Hingga, ketika singgah di beberapa desa
dalam usaha pencariannya terhadap Kenanga, Panji
harus mengusir gerombolan-gerombolan perampok
yang semakin mengganas. Terakhir, pemuda itu kem-
bali menyelamatkan Desa Pucung dari kehancuran.
"Hhh.... Mungkinkah Kenanga memang sudah te-
was...?" Desah Panji dengan perasaan kacau.
Pemuda sakti itu berusaha menekan kepedihan ha-
tinya dengan menarik napas dalam-dalam. Setiap kali
teringat akan dara jelita pujaannya, hatinya merasa
seperti ditusuk-tusuk. Hanya karena semenjak kecil
telah menerima gemblengan gurunyalah yang mem-
buat pemuda itu tetap kelihatan tegar dan berseman-
gat.
Semenjak kehilangan kekasihnya, boleh dibilang
semangat hidup pemuda itu telah lenyap sebagian. Ki-
ni, seringkali ia berpikir untuk mengundurkan diri dari
dunia persilatan. Tapi kewajibannya sebagai, seorang
pendekar, membuatnya tidak bisa memikirkan kepen-
tingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan
orang banyak. Sehingga sambil tetap melaksanakan
kewajibannya, tak henti-hentinya dia mencari kete-
rangan tentang Kenanga. Meskipun harapan untuk
dapat berjumpa sangat tipis.
"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat pe-
muda itu sebagai tanda keresahan hatinya.
Tanpa terasa, langkah pemuda itu telah memba-
wanya ke sebuah perbukitan padas. Sejenak Pendekar
Naga Putih menghentikan langkahnya sambil menatapi
bebatuan yang terhampar di sekitarnya. Hembusan
angin yang tiba-tiba bertiup keras, membuat jubahnya
yang panjang berkibaran.
Panji yang baru saja hendak kembali melanjutkan
perjalanan, langsung tertegun menelengkan kepalanya.
Lapat-lapat, telinganya yang tajam menangkap adanya
suara-suara orang bertempur.
"Hm.... Jelas, pendengaranku tidak salah. Pasti ada
orang yang tengah bertarung di sekitar daerah ini. Me-
nilik dari suaranya, rasanya pertempuran itu cukup
ramai. Mungkinkah gerombolan perampok tengah
menjarah di sekitar daerah perbukitan yang gersang
ini? Atau tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pede-
saan?" Gumam Panji sambil berusaha memastikan
arah suara orang bertempur itu.
Namun karena suara-suara itu terkadang lenyap,
Panji pun hanya bisa memastikan kalau tempat per-
tempuran itu cukup jauh dari dirinya.
Sebenarnya kalau bukan Pendekar Naga Putih yang
berdiri di tempat itu, belum tentu akan dapat menang-
kap suara-suara pertempuran yang terkadang lenyap
terbawa hembusan angin. Kalau Panji dapat menang-
kapnya, itu karena kepandaiannya yang sudah sulit
untuk diukur. Sehingga, tidak sulit bagi orang seperti
Pendekar Naga Putih untuk menangkap suara pertem-
puran itu.
Agar dapat lebih jelas menangkap suara, Panji ber-
gerak maju ke sekeliling tempat itu, hingga tiga tombak
jauhnya. Setelah suara itu tertangkap secara jelas, ia
pun segera dapat menentukan, dari arah mana perta-
rungan itu berasal.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih mele-
sat ke arah Barat, yang diyakininya sebagai suara per-
tempuran itu berasal.
***
LIMA
Pendekar Naga Putih terus berlari sambil menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Tingkat kepandaiannya
yang sudah sangat tinggi, membuat tubuh pemuda itu
tidak dapat tertangkap mata biasa. Yang terlihat hanyalah secercah sinar putih keperakan yang berkeleba-
tan bagai tak menyentuh permukaan tanah.
Tidak berapa lama kemudian, dalam jarak sekitar
belasan tombak, Panji sudah menyaksikan sosok
bayangan merah yang tengah menghadapi keroyokan
lima orang laki-laki gagah. Melihat ciri-ciri sosok ramp-
ing terbungkus pakaian merah darah, Panji tahu kalau
orang yang tengah dikeroyok itu tak lain dari Bidadari
Iblis, atau yang juga berjuluk Bidadari Salju. Hal itu
dapat ditebaknya, karena telah banyak mendengar ten-
tang ciri-ciri tokoh sesat yang saat ini telah membuat
kalangan rimba persilatan gempar!
Tanpa pikir panjang lagi, Panji pun segera mendekat
ke arah arena pertarungan. Melihat kelima orang lelaki
gagah yang diyakininya sebagai para pendekar telah
mampu menguasai arena, pemuda itupun tidak ber-
niat membantu. Ia hanya berdiri menonton dalam ja-
rak tiga tombak. Meskipun begitu, Panji siap turun
tangan apabila diperlukan. Sosok bayangan merah itu
tampak kerepotan. Namun, dia masih mampu untuk
melontarkan pukulan-pukulan maut sesekali. Hal itu
membuat Panji merasa khawatir akan nasib kelima
orang gagah itu.
Panji menjadi kagum bukan main terhadap kepan-
daian Bidadari Iblis. Melihat kesaktian tokoh wanita
sesat itu Panji mengerti mengapa tokoh sakti seperti
Begawan Cindra Putra sampai tewas di tangannya. Se-
lain ganas dan lincah, ternyata Bidadari Iblis pun me-
miliki pukulan beracun yang sangat berbahaya!
"Eh...?!"
Tiba-tiba Panji tersentak kaget. Ternyata beberapa
gerakan tokoh sesat wanita itu seperti pernah dilihat-
nya. Bahkan hampir sangat dikenalinya. Meskipun ge-
rakan itu kadang di-rangkai dengan gerakan aneh dan
keji, tapi hal itu membuat-nya penasaran!
"Aneh! Sepertinya aku mengenali beberapa gerakan
yang digunakan Bidadari Iblis itu? Tapi..., ah! Tidak
mungkin...?!" Gumam Panji dengan kening berkerut.
"Haaait...!”
Pada suatu kesempatan Bidadari Iblis berseru nyar-
ing, disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan!
Sambil berputar di udara, sosok berpakaian merah da-
rah itu melontarkan pukulan-pukulan berbau harum
yang jelas mengandung racun!
"Aaah...!"
Untuk kedua kalinya Panji memekik tertahan! Da-
danya pun berdebar keras! Jelas teriakan Bidadari Ib-
lislah yang membuat pemuda itu terkejut!
“Tidak mungkin...!" Desis Panji kembali dengan da-
da yang kian berdentam keras, "Mungkin hanya sua-
ranya saja yang sama, atau aku telah terpengaruh
bayang-bayang yang kubuat sendiri...?"
Merasa penasaran, Panji mengerahkan tenaga sak-
tinya ke arah pertarungan itu. Hal itu dilakukan untuk
mempertajam pandang matanya, karena pertarungan
itu demikian cepat sehingga tidak bisa terlihat jelas.
Sejak tadi keenam sosok di arena itu hanya tampak
bayang-bayangnya saja. Sehingga, Panji tidak bisa
mengenali orang yang tengah bertarung.
Debaran dada Pendekar Naga Putih kian kuat! Bah-
kan sepasang matanya perlahan membesar. Begitu se-
telah dapat melihat lebih jelas, ternyata sosok ba-
yangan merah yang ramping itu sangat dikenalnya!
"Aaah..., tidak mungkin kalau Kenanga sampai be-
rubah demikian jauh? Apalagi tindakannya yang ku-
dengar belakangan ini, tidak ubahnya seperti iblis ke-
ji...? Tapi..., sosok itu mengapa demikian mirip Kenan-
ga...? Atau pandanganku saja yang salah...?" Desis
Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-
kuat. Seolah, pemuda itu berusaha keras mengusir
bayangan-bayangan yang mengganggunya.
Setelah merasa hatinya agak tenang, Panji kembali
menatap ke arah pertarungan. Kali ini, sosok bayan-
gan merah itu terlihat mulai terdesak kelima orang la-
wannya. Tokoh wanita sesat itu, terlihat tidak sempat
lagi untuk melontarkan pukulan-pukulan balasannya.
Meski agak berdebar, Panji sempat menarik napas lega
melihat keadaan itu.
"Hiaaa...!"
Bidadari Iblis yang kelihatan sudah semakin terjepit
itu tak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan
keras salah seorang lawan! Akibatnya, tubuhnya yang
kini membelakangi Panji jadi terjengkang, dan jatuh
beberapa langkah di sebelah kanan pemuda itu! Dan....
"Aaah...?!"
Bagai disengat kalajengking, Panji terbeliak mundur
beberapa langkah! Saat tubuhnya terjatuh, wajah Bi-
dadari Iblis terlihat jelas oleh Panji. Tentu saja raut
wajah jelita sosok berpakaian merah darah itu yang
membuatnya bergetar!
"Kenanga...?!" Desis Panji dengan wajah semakin
memucat! Memang wajah tokoh sesat wanita jelita itu
memang mirip sekali dengan kekasihnya yang telah hi-
lang selama ini.
Bidadari Iblis menoleh setelah bangkit berdiri. Dita-
tapnya pemuda tampan itu dengan kening berkerut.
Tokoh sesat jelita itu tertegun ketika mendengar pe-
muda itu menyebutkan sebuah nama yang sepertinya
tidak asing di telinganya. Sayangnya, Bidadari Iblis ti-
dak mengerti, mengapa nama yang disebutkan pemuda
itu menimbulkan kesan mendalam jauh di relung hatinya.
"Kau..., siapakah...?"
Perlahan bibir mungil tokoh sesat yang wajahnya
sangat mirip Kenanga itu menggerimit. Yang membuat
Panji merasa aneh, adalah bergetarnya suara tokoh se-
sat wanita itu.
Panji sendiri yang kini dapat melihat jelas dengan
lama wajah tokoh sesat itu, meragukan bantahan piki-
rannya. Sekarang ia merasa yakin kalau wajah itu ada-
lah wajah kekasihnya yang hilang.
"Aku..., Panji...," jawab Panji hampir berbisik. Se-
dangkan sepasang matanya tak lepas dari raut wajah
jelita di hadapannya.
"Panji.... Panji...?" Bidadari Iblis pun sempat terte-
gun ketika Panji menyebutkan namanya.
Beberapa kali terdengar bibir mungil itu berbisik
mengulang nama pemuda itu. Nyata sekali kalau nama
pemuda itu mendatangkan sesuatu yang aneh dalam
lubuk hatinya.
"Kau pernah mengenai nama itu sebelumnya, Ni-
sanak? Adakah artinya nama itu bagimu? Apakah na-
ma itu pernah dekat di hatimu...?"
Panji yang melihat Bidadari Iblis termenung sambil
membisikkan namanya berulang-ulang, menjadi pena-
saran. Pena-saran untuk menyingkap tokoh penuh te-
ka-teki ini.
"Ya..., ya.... Sepertinya nama Panji tidak asing bagi-
ku? Tapi, aku lupa di mana pernah mendengarnya?
Anehnya..., nama itu membuat aku merasa sedih dan
rindu...? Sepertinya, nama itu pernah sangat dekat di
hatiku?" Bisik Bidadari Iblis lirih. Beberapa kali kepa-
lanya ditelengkan, seolah-olah berusaha keras untuk
menegasi wajah tampan di depannya.
Cukup lama dara jelita berpakaian merah itu ter-
menung. Sepertinya, ia tengah berusaha keras men
gingat nama itu. Sehingga, Panji semakin leluasa me-
rayapi raut wajah tokoh sesat berjuluk Bidadari Iblis
itu. Makin lama pemuda itu meneliti, semakin yakin
hatinya kalau tokoh sesat itu pasti kekasihnya yang te-
lah lama dicarinya. Dan Panji pun mulai menduga.
Semenjak mereka terpisah, pasti ada sesuatu yang ter-
jadi terhadap kekasihnya.
"Panji..., Panji...," Bidadari Iblis kembali membi-
sikkan nama pemuda itu berulang-ulang.
Kali ini, bukan hanya suaranya saja yang bergetar.
Bahkan sepasang mata indah itu mulai merebak. Ke-
luhan aneh bernada sedih terlontar lirih dari kerong-
kongannya.
"Kisanak! Dapatkah kau ceritakan tentang gadis
yang kau sebut sebagai Kenanga? Dan..., apa hubun-
gan gadis itu denganmu...? Apakah..., ia cantik dan
seusia denganku...?" Tanya Bidadari Iblis.
Kini mulai terdengar isak lirih wanita itu. Tidak di-
rasakannya lagi akibat tendangan lawan yang meng-
hantam perut-nya tadi. Semua rasa sakit itu lenyap te-
rendam perasaannya yang ia tidak tahu kenapa men-
jadi demikian mudah tersentuh, setelah mendengar
nama 'Panji'.
Sayang sebelum keterangan itu dapat diperoleh, ke-
lima orang musuhnya telah kembali menerjang. Se-
hingga, Bidadari Iblis membalikkan tubuhnya meng-
hadapi kelima orang tokoh persilatan itu.
Namun kelima orang tokoh persilatan golongan pu-
tih yang sudah kembali bersiap hendak mengeroyok
Bidadari Iblis, segera menghentikan langkahnya. Me-
reka menatap pemuda berjubah putih di samping to-
koh wanita sesat itu, dengan pandangan penuh selidik.
"Kau..., bukankah kau yang berjuluk Pendekar Na-
ga Putih...? Mengapa kau diam saja? Tidakkah kau sa
dar kalau gadis jelita yang kau ajak bicara ini adalah
seorang iblis keji? Lenyapkanlah dia, sebelum menebar
bencana bagi tokoh lain-nya!" Ujar seorang lelaki gagah
berusia tiga puluh tahun melihat pendekar muda itu
sama sekali tidak bertindak. Malah, sepertinya dia te-
lah mengenai tokoh wanita sesat itu dengan baik.
"Sahabat," panggil Panji pelan, "Benar, aku adalah
Pendekar Naga Putih. Dan kalau kalian percaya pada-
ku, biarlah tokoh sesat ini aku yang membereskan.
Tapi, aku mempunyai satu permintaan kepada ka-
lian...."
"Apa yang kau inginkan...?" Lelaki bertubuh kekar
dan berkumis tebal, bertanya tak sabar.
"Tinggalkanlah tokoh ini kepadaku. Percayalah, aku
akan membereskannya," ujar Panji yang kini semakin
yakin kalau Bidadari Iblis adalah Kenanga, kekasihnya
yang hilang itu.
Panji pun merasa pasti kalau ada sesuatu yang me-
nimpa kekasihnya, hingga seperti lupa akan masa la-
lunya. Keyakinan itu diperoleh setelah melihat sikap
Bidadari Iblis yang seperti-nya ingin mengetahui latar
belakang gadis bernama Kenanga.
'Tidak bisa, Pendekar Naga Putih! Aku dan Witarsa
adalah murid Begawan Cindra Putra yang telah dibu-
nuh wanita iblis itu! Dan kami harus menuntut balas!
Kalau kau memang tidak mau menangkap atau mele-
nyapkannya, kami berlima pun sanggup melaku-
kannya!" Lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu
menolak permintaan Panji.
"Benar, apa yang dikatakan Sucipta itu, Pendekar
Naga Putih. Kalau kau tidak tega membunuh tokoh
yang memang berwajah mempesona ini, biar kami yang
membereskannya! Jangan dikira kau saja yang mampu
mencegah kejahatan!" Sindir lelaki berkumis lebat itu
dengan wajah sinis.
'Tapi, aku mengenai baik wanita berjuluk Bidadari
Iblis ini, Sahabat. Dan aku yakin, semua ini pasti bu-
kan semata-mata karena kemauannya. Ia sendiri tidak
tahu, apa yang dilakukannya adalah sebuah kesesa-
tan! Ia telah lupa akan masa lalunya. Jadi, aku minta
dengan sangat agar kalian semua mengerti. Percaya-
lah, aku akan berusaha keras untuk mengembalikan
ingatannya. Setelah itu, kejahatannya pun akan lenyap
dengan sendirinya," jelas Pendekar Naga Putih lagi,
memohon pengertian kelima orang pendekar itu.
Sucipta dan Witarsa yang paling mendendam kare-
na ke-matian gurunya, tentu saja tidak sudi mele-
paskan pembunuh gurunya begitu saja. Mereka yang
saat kematian Begawan Cindra Putra tengah mengem-
bara meluaskan pengalaman, tentu saja segera kemba-
li begitu mendengar kabar tentang kematian gurunya.
Dan kini setelah bertemu pembunuh guru-nya, tahu-
tahu saja muncul Pendekar Naga Putih yang meminta
agar mereka mau melepaskannya. Tentu saja kedua
orang itu menolak mentah-mentah.
"Hm.... Untuk apa banyak bicara lagi! Pendekar Na-
ga Putih jelas-jelas hendak menghalangi kita! Sekalian
saja kita beres-kan pendekar muda yang telah menjadi
besar kepala karena kebesaran namanya itu!" Timpal
lelaki bertubuh kekar yang berkumis tebal, geram.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang Klaban?"
Sambut Sucipta yang memang sudah tidak sabar un-
tuk segera membalaskan kematian gurunya.
"Maaf, aku terpaksa melawan kalian...," ucap Panji.
Tampaknya Pendekar Naga Putih telah mengambil
keputusan untuk membela Bidadari Iblis. Karena me-
nurutnya, tokoh sesat wanita yang ternyata kekasih-
nya itu pasti diperalat tokoh keji. Dan Kenanga mungkin sengaja dibuat melupakan masa lalunya, untuk le-
bih mudah diperalat.
"Hm.... Tidak perlu banyak ribut!" Lelaki kekar ber-
nama Klaban itu segera saja membentak keras, diiringi
sambaran pedangnya!
Plakkk!
Sambil melesat menyambut sambaran pedang itu,
Panji memiringkan tubuhnya menghindari tebasan
senjata Sucipta yang berdesing membabat lehernya!
Untunglah pemuda itu sempat merendahkan tu-
buhnya, sehingga pedang lawan lewat dua jengkal di
atas kepalanya!
"Haaait...!"
Panji yang tengah dalam keadaan hampir berjong-
kok, segera saja melompat ke belakang! Memang saat
itu Witarsa tengah meluruk maju dengan putaran pe-
dangnya yang membentuk gundukan sinar berkilauan.
Melihat caranya menyerang, jelas tingkat kepandaian
lelaki itu memang tidak bisa dibuat main-main!
Sebentar saja, Panji sudah kewalahan menghadapi
keroyokan kelima orang tokoh persilatan itu! Sehingga,
mau tidak mau harus mengerahkan kepandaiannya
untuk membendung gempuran mereka.
Bidadari Iblis yang menyaksikan pemuda bernama
Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah ber-
tarung melawan lima orang yang tadi mengeroyoknya,
sejenak berdiri bimbang. Untuk beberapa saat la-
manya, ia hanya tertegun bagai patung. Pikiran hen-
dak membantu pemuda tampan yang serasa tidak as-
ing baginya, tiba-tiba saja lenyap. Justru ia kini terin-
gat akan tugas yang harus diselesaikannya.
"Ahhh, biarlah. Setelah tugasku selesai, aku akan
mencari pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu,"
gumam Bidadari Iblis.
Diam-diam ada sesuatu perasaan aneh yang me-
nyelinap di hati wanita itu. Dia merasa malu sendiri
karena sempat membayangkan menjadi kekasih Pen-
dekar Naga Putih. Tentu saja ia menjadi risih. Karena
selama ini, ia selalu membenci laki-laki seperti yang di-
tanamkan gurunya.
Setelah teringat akan tugasnya, Bidadari Iblis pun
melesat pergi meninggalkan arena pertarungan. Tentu
saja perbuatan-nya itu tanpa sepengetahuan Panji
yang tengah membelakanginya.
***
"Hei! Jangan lari kau, Iblis Keji...!"
Sucipta yang sempat melihat tokoh sesat itu hendak
melarikan diri, berusaha mengejar. Tubuhnya melam-
bung ke udara dengan kecepatan mengagumkan! Ke-
mudian, dia berputar beberapa kali sebelum menginjak
tanah!
Panji sendiri sempat merasa terkejut mendengar te-
riakan Sucipta. Cepat-cepat ia ikut melambung dan
berputar, dengan maksud mencegah lelaki itu melaku-
kan pengejaran terhadap Bidadari Iblis. Tentu saja
perbuatan itu dilakukan bukan semata-mata hendak
menyelamatkan Bidadari Iblis, tapi demi keselamatan
Suciptalah yang dikhawatirkannya. Jelas, dengan me-
lakukan pengejaran seorang diri, itu sama artinya me-
nyerahkan nyawa! Itulah yang membuat Panji melesat
menghadang Sucipta melakukan pengejaran.
"Setan! Kau benar-benar sudah terpikat kecantikan
iblis betina itu rupanya!" Geram Sucipta ketika ka-
kinya mendarat di tanah.
Tubuh Pendekar Naga Putih kini telah berdiri
menghadang jalan. Maka tentu saja lelaki gagah itu
semakin jengkel!
"Hiaaat...!"
Sucipta memutar senjatanya sedemikian rupa,
hingga membentuk gundukan sinar yang bergerak tu-
run-naik menyelimuti sekujur tubuhnya! Dibarengi
bentakan keras, tubuh lelaki gagah itu bergerak ke
arah Panji dengan serangan-serangan mautnya!
Sebagai seorang murid tokoh sakti seperti Begawan
Cindra Putra, tentu saja kepandaian Sucipta sudah
tinggi. Apalagi, pelajarannya telah ditamatkan tiga ta-
hun yang lalu. Sehingga, dia sudah cukup banyak ma-
kan asam garam dunia persilatan. Jadi tidak heran ka-
lau serangan-serangannya sangat berbahaya!
Sayangnya, yang kali ini dihadapi Sucipta bukanlah
pendekar kemarin sore. Dalam soal pengalaman serta
kematangan ilmu silat, tentu saja Sucipta boleh dibi-
lang ketinggalan jauh oleh Pendekar Naga Putih. Jadi
sehebat-hebatnya gempuran yang dilancarkan murid
Begawan Cindra Putra itu, selalu saja dapat di imbangi
Panji.
Bahkan kalau saja pemuda itu berniat menjatuh-
kan, rasanya tidak terlalu sulit Tapi, hal itu tidak ingin
dilakukan. Ia hanya berusaha agar serangan lawan ti-
dak sampai mengenai tubuhnya.
Witarsa, Klaban, dan dua orang tokoh lainnya sege-
ra saja bergabung dengan Sucipta. Mereka kembali
mengeroyok Pen-dekar Naga Putih, dan menggempur-
nya habis-habisan!
Lenyapnya Bidadari Iblis, tentu saja juga mele-
nyapkan gairah bertarung Panji. Sejak mula pun, ia
memang hanya menghalangi kelima orang itu agar ti-
dak mencelakakan tokoh sesat jelita itu.
Maka begitu melihat kesempatan, pemuda itu sege-
ra mencelat jauh ke belakang, dan terus melarikan di
ri!
"Keparat! Jangan lari kau, Pendekar Pengecut..!"
Sambil berteriak-teriak marah, Sucipta dan Witarsa
segera melesat mengejar! Mereka merasa penasaran
dengan Pendekar Naga Putih yang tiba-tiba melarikan
diri. Sementara, Klaban dan dua orang tokoh lainnya
pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera saja menge-
rahkan ilmu lari cepat untuk mengejar Pendekar Naga
Putih!
***
ENAM
Pendekar Naga Putih terus melesat dengan penge-
rahan segenap kekuatan ilmu larinya untuk mengejar
Bidadari Iblis. Meskipun telah berusaha semampunya,
namun sosok bayangan merah itu tidak juga berhasil
dikejarnya. Akhirnya, pemuda itu menghentikan lari-
nya sambil menghembuskan napas kecewa.
Panji melangkah perlahan sambil memikirkan per-
soalan yang ternyata semakin rumit. Bidadari Iblis
yang telah menebar kekejaman itu, ternyata adalah
Kenanga yang sekaligus kekasihnya. Sedangkan gadis
jelita itu seperti tidak sadar terhadap kejahatan yang
telah dilakukan. Bahkan sama sekali tidak mengenal-
nya. Jelas, Kenanga telah kehilangan ingatan! Dengan
demikian, berarti Panji harus dapat menemukan orang
yang telah begitu tega memperalat kekasihnya.
"Ah! persoalan ini telah berkembang semakin pelik.
Selain harus mencari penyebabnya, aku pun sudah
pasti mesti berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan
putih yang memusuhi Kenanga. Entah, bagaimana caranya agar para tokoh persilatan yang hendak mele-
nyapkan Kenanga dapat menerima alasanku? Mungkin
bukan hanya kelima orang tokoh itu saja yang tengah
memburu Bidadari Iblis...," desah Panji.
Pendekar Naga Putih memang menjadi serba salah.
Di satu pihak, ia harus membela kekasihnya. Tapi di-
lain pihak ia pun harus berhadapan dengan para to-
koh persilatan golongan putih. Alasan terakhir itulah
yang membuatnya gelisah!
Pendekar Naga Putih yang tengah melangkah ringan
sambil berusaha menyelesaikan masalah itu tiba-tiba
menghentikan langkahnya. Sebuah jerit kesakitan
membuat wajah pemuda itu menegang seketika!
"Kenanga...?!" desis Panji, gelisah.
Pemuda itu kenal betul suara melengking tadi. Dan
yang membuat dadanya berdebar adalah, si empunya
suara pastilah tengah menderita kesakitan!
"Hiaaa...!"
Jerit kesakitan itu kini terdengar berganti dengan
pekik kemarahan! Otak Pendekar Naga Putih pun
langsung bekerja cepat! Merasa yakin kalau kekasih-
nya yang kini dikenal se-bagai Bidadari Iblis tengah
menghadapi bahaya, maka tubuh-nya segera melesat
tanpa pikir panjang lagi!
Bukan main pucatnya wajah Pendekar Naga Putih
ketika menyaksikan apa yang terjadi di depannya. Be-
berapa belas tombak di depan pemuda tampan itu,
tampak sesosok tubuh terbungkus pakaian merah da-
rah tengah jatuh bangun menahan gempuran seorang
lelaki bertubuh tinggi besar. Sepertinya laki-laki itu ti-
dak memberi kesempatan kepada sosok berpakaian
merah untuk membangun serangan!
Melihat pertarungan tak seimbang itu karuan saja
Pendekar Naga Putih menjadi marah. Maka tubuhnya
cepat mencelat disertai pengerahan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya!
'Tahaaan...!"
Disertai bentakan menggelegar, Panji langsung
mendarat di tengah arena! Begitu tiba, sepasang tan-
gannya langsung me-lontarkan dua buah tamparan
untuk menyambut serangan lelaki tinggi besar itu!
Wuuut! Wuuut!
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...?!"
Karena disertai pengerahan seluruh kekuatan 'Te-
naga Sakti Gerhana Bulan'nya, tentu saja tamparan
Pendekar Naga Putih berakibat sangat dahsyat! Lelaki
tinggi besar itu kontan terjengkang, untung saja ia se-
gera melompat tinggi ke udara, berputar dua kali se-
belum mendarat di atas tanah. Sehingga tubuhnya ti-
dak jadi terbanting di tanah.
"Bedebah! Bangsat mana yang berani membokong-
ku?" Teriak lelaki tinggi besar itu menyumpah serapah.
Kening lelaki yang wajahnya ditumbuhi brewok itu
berkerut melihat seorang pemuda tampan berjubah
putih tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Jelas, pe-
muda itulah yang telah menangkis serangannya tadi!
"Pan...,, ji...," desah Bidadari Iblis meragu, setengah
percaya. "Mengapa kau menolongku...?"
Rasa ketidakpercayaan Bidadari Iblis tentu saja bisa
dimaklumi. Setelah mengenal pemuda tampan berna-
ma Panji itu, ia pun sadar kalau mereka berbeda go-
longan. Kini setelah melihat pendekar muda itu meno-
longnya dari serangan lawan, tentu saja ia merasa he-
ran.
"Kenanga...," panggil Panji bergetar penuh kerin-
duan.
Ditatapnya wajah jelita itu dengan penuh kasih.
dan yang ditatap hanya membalas dengan sinar mata
sayu, tanpa gairah hidup sama sekali. sepertinya, bi-
dadari iblis tak mengerti kenapa dirinya jadi begini.
namun, dia susah untuk men-jawabnya.
"kau..., kekasihku. jadi..., tentu saja aku meno-
longmu. kau benar-benar tidak bisa mengingat siapa
aku...?" tanya panji pilu. hati pemuda tampan itu me-
rasa sedih sekali melihat nasib yang menimpa dara
yang dicintainya.
"pan..., ji. meskipun semenjak mendengar namamu
kurasa-kan suatu kerinduan yang tidak ku mengerti,
tapi aku belum bisa yakin dengan dugaanmu itu. an-
daikan saja aku benar-benar kekasihmu yang bernama
kenanga, alangkah bahagianya aku...," desah bidadari
iblis tertunduk, disertai lelehan air mata yang mulai
turun membasahi pipi halusnya.
"kenanga.... aku yakin, kau pasti kekasihku. hanya
saja, aku tidak tahu apa yang telah terjadi denganmu.
dan aku ingin, jelaskanlah padaku...," ujar panji sam-
bil memegang bahu bidadari iblis, yang tidak berusaha
mengelak. karena, diam-diam ia pun sangat kagum
dan menyukai pendekar muda itu.
"hei! kalian pikir, siapa aku ini, hah! seenaknya sa-
ja berbicara tanpa mempedulikan keberadaanku."
pembicaraan panji dan bidadari iblis terputus keti-
ka terdengar bentakan menggelegar bagaikan ledakkan
petir di angkasa! serentak keduanya menoleh dan
memandang ke arah lelaki tinggi besar bercambang
bauk, yang menatap marah kepada mereka!
sedangkan lelaki brewok itu sudah melangkah be-
berapa tindak sambil menatap dan meneliti sekujur
tubuh panji. jelas, ia tengah berusaha menduga pe-
muda berjubah putih itu.
"anak muda! jawablah pertanyaanku! apakah kau
yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih? Hm.
Dari akibatnya bisa ku tebak kalau tenaga yang kau
kerahkan tadi adalah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'!"
kata lelaki tinggi besar itu menatap tajam.
"Dugaan paman sendiri sama sekali tidak keliru.
Orang memang memberi julukan Pendekar Naga Putih
kepadaku, dan kalau tebakanku tidak keliru, kau pasti
Pendekar Tangan Geledek yang sangat tersohor itu!"
sahut Panji.
"Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku! Hm.
Tahukah kau, siapa gadis mempesona yang kau bela
itu? Dia adalah Bidadari Iblis! Wanita keparat itu telah
banyak menebar bencana, termasuk membunuh Be-
gawan Cindra Putra dan Ki Sangga Watung, salah seo-
rang keluarga dekat pertapa sakti itu. Lalu, apa mak-
sudmu membelanya? Apa kau sudah tergila-gila oleh
kecantikannya?!" Kembali lelaki tinggi besar yang ter-
nyata berjuluk Pendekar Tangan Geledek itu menghar-
dik Pendekar Naga Putih.
Lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia enam pu-
luh tahun itu memang bukan nama baru dalam dunia
persilatan. Bahkan kabarnya kepandaiannya tidak be-
rada di bawah kepandaian Begawan Cindra Putra. To-
koh sakti ini memang sahabat lama Begawan Cindra
Putra pertapa sakti itu. Dia langsung saja meninggal-
kan tempat kediamannya di Selatan, ketika mendengar
sahabatnya terbunuh oleh Bidadari Iblis yang meru-
pakan tokoh baru bagi telinganya. Dan pada saat itu
hampir berhasil menamatkan riwayat Bidadari Iblis,
tahu-tahu saja muncul Pendekar Naga Putih menyela-
matkan wanita berhati keji itu. Maka tentu saja Pen-
dekar Tangan Geledek menjadi marah besar!
"Akupun pernah mendengarnya, Paman. Tapi kalau
Paman percaya, gadis yang berjuluk Bidadari Iblis ini
adalah kekasihku yang telah lama lenyap, ketika kami
berlayar. Kapal yang membawa kami pecah di hantam
badai, sehingga kami berpisah. Dan Setelah bertemu,
kekasihku yang bernama Kenanga itu ternyata telah
kehilangan ingatannya. Aku menduga, ada orang telah
memperalat dan menjejalinya dengan racun-racun ke-
bencian. Kuharap Paman mau mengerti keadaanku
yang sulit ini," jelas Pendekar Naga Putih panjang le-
bar, kepada tokoh sakti itu. Maksudnya, memang un-
tuk menghindari pertarungan yang mungkin saja ter-
jadi.
"Hm.... Keteranganmu memang bagus dan masuk
akal juga, Pendekar Naga Putih. Tapi, bagaimana de-
ngan wanita iblis itu? Apakah ia pun mengakui kalau
kau sebagai kekasihnya yang hilang?" Sahut Pendekar
Tangan Geledek, menyakitkan!
"Hm.... Aku memang sama sekali tidak tahu latar
belakang-ku. Yang ku tahu dari guruku, aku telah di-
asuhnya semenjak kecil. Dan dia juga membekali ilmu-
ilmu tinggi agar aku kelak tidak terhina dan menderita
seperti beliau," jawab Bidadari Iblis seadanya.
Sepertinya, Bidadari Iblis memang tidak tahu me-
nahu ten-tang apa yang diceritakan Panji. Apalagi ia
tidak sudi dikata-kan sebagai seorang pengecut yang
ingin berlindung di balik keperkasaan seorang pemuda
seperti Pendekar Naga Putih.
"Nah, dengarlah sendiri apa yang dikatakan wanita
keji itu? Jelas, kau telah mengada-ada?" ujar Pendekar
Tangan Geledek dengan senyum menghina.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku memang wanita
jahat yang tidak pantas berdampingan denganmu. Dan
akupun tidak sudi dikatakan sebagai orang pengecut
yang ingin berlindung di balik nama besarmu," tegas
Bidadari Iblis sengaja menekankan nada bicaranya un
tuk menguatkan hatinya, sambil menghapus lelehan
darah yang tersisa di sudut bibirnya.
"He he he.... kasihan kau, Pendekar Naga Putih.
Cinta mu ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi biar
bagaimanapun, aku kagum kepadamu, Bidadari Iblis.
Karena, kau sadar akan kejahatan dirimu," sahut Pen-
dekar Tangan Geledek kembali.
Sengaja ia mengatakan kalau mengagumi Bidadari
Iblis. Maksudnya untuk mengingatkan kalau Pendekar
Naga Putih dan Bidadari Iblis berbeda golongan. Dan
itu tidak bisa di-bantah.
"Sudah kuduga, kau tidak akan percaya begitu saja
dengan keteranganku, Paman. Tapi, aku tetap pada
pendirianku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap Panji
tetap sopan dan hormat. Memang biar bagaimanapun,
Pendekar Tangan Geledek merupakan angkatan yang
lebih tua darinya.
"Hm.... Kalau begitu, Aku akan menantangmu, Pen-
dekar Naga Putih," geram Pendekar Tangan Geledek
tak bisa ditawar lagi.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu te-
lah bersiap diri menghadapi sebuah pertarungan dah-
syat dengan memasang kuda-kudanya. Dari sini saja
bisa ditebak kalau Pendekar Tangan Geledek sadar
akan kepandaian lawan yang kini harus dihadapinya.
Melihat lawannya telah bersiap, Panji pun mengges-
er langkahnya. Rupanya, Pendekar Naga Putih sadar
kalau tidak bisa menghindari pertarungan lagi!
***
"Hiaaat..!"
Pendekar Tangan Geledek berteriak nyaring sebagai
tanda kalau ia telah memulai serangan!
Darrr.... Darrr...!
Terdengar ledakan-ledakan keras yang diiringi ki-
lauan cahaya panas yang memenuhi arena perta-
rungan. Lelaki tinggi besar itu langsung menggunakan
ilmu andalannya dalam penyerangan pertama. Itu me-
nandakan kalau ia tidak memandang rendah Pendekar
Naga Putih.
Panji pun tidak sungkan-sungkan lagi. Sepasang
tangannya langsung saja membentuk cakar naga.
Bahkan sekujur tubuh-nya pun telah terlapisi kabut
bersinar putih keperakan.
Wuuut.... Darrr!
"Haiiih...!"
Beberapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pen-
dekar Tangan Geledek berhasil dielakkan Panji dengan
meliukkan tubuhnya dan menggeser kakinya dua
langkah ke samping. Begitu serangan lawan luput,
pemuda itu langsung membalas dengan cengkeraman-
cengkeraman maut yang diiringi samba-ran angin din-
gin menusuk tulang!
Bettt.... Whusss...!
Serangan yang dilakukan Pendekar Naga Putih be-
nar-benar mengagumkan! Tubuhnya yang meliuk-liuk
bagaikan seekor ular raksasa itu, masih diiringi pula
dengan lontaran pukulan dan cengkeramannya!
Tapi, Pendekar Tangan Geledek pun tidak kalah ge-
sitnya. Tubuhnya yang tinggi besar dan kelihatan berat
itu, ternyata dapat bergerak lincah! Beberapa serangan
Panji yang gagal, langsung dibayar kontan dengan se-
rangkaian pukulan maut disertai ledakan-ledakan
memekakkan telinga! Sehingga, beberapa kali gerakan
Pendekar Naga Putih terlihat agak kacau karena ter-
pengaruh ledakan yang seperti datang dari delapan
penjuru!
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedela-
pan puluh, Pendekar Tangan Geledek mengeluarkan
pekikan nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang
tangannya bergerak susul-menyusul mengincar tubuh
lawan!
"Haiiit...!"
Hebat dan sangat berbahaya serangkaian serangan
yang dilontarkan Pendekar Tangan Geledek kali ini!
Untuk beberapa saat lamanya Panji dibuat sibuk
menghindar sambil sesekali menangkis serangan-se-
rangan maut. Sepasang tangan lawan yang bagaikan
mengelilingi tubuhnya, masih diiringi pula oleh leda-
kan-ledakan menyakitkan telinga!
Wuuut... Darrr!
"Uts!"
Cepat Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke
samping kanan sambil merendahkan tubuhnya. Begitu
hantaman telapak tangan lawan lewat di atas kepa-
lanya, langsung saja dilontarkannya sebuah hantaman
telapak tangan ke perut lawan!
"Aaah...?!"
Terkejut bukan main Pendekar Tangan Geledek me-
lihat kesigapan serta kecepatan gerak lawannya! Maka,
tak dapat dihindari lagi....
Desss...!
"Uhkkk...!"
Bagai disentak tangan raksasa yang tak tampak,
tubuh tinggi besar itu terlempar tanpa ampun! Segum-
pal darah segar menyembur dari mulutnya, hingga
percikannya menodai jubah Panji!
Namun pukulan yang telak dan keras itu rupanya
tidak sampai membuat Pendekar Tangan Geledek te-
was! Bahkan lelaki tinggi besar itu sempat melakukan
putaran beberapa kali di udara, sehingga tubuhnya ti
dak sampai terbanting di atas tanah!
"Hm...."
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pendekar
Tangan Geledek menarik napas beberapa kali, disertai
gerakan kedua tangannya. Maksudnya jelas, untuk
meredakan guncangan dalam tubuhnya akibat hanta-
man lawan.
"Kau memang patut mendapat pujian, Pendekar Na-
ga Putih. Aku benar-benar kagum padamu. Dalam usia
yang masih ter-bilang sangat muda, kau ternyata telah
memiliki kepandaian tinggi. Sayangnya, tindakanmu
kali ini salah besar. Aku benar-benar menyesal seka-
li...," ujar Pendekar Tangan Geledek dengan mimik wa-
jah berduka.
Nyata sekali kalau orang tua sakti itu merasa sedih
melihat tindakan Panji yang membela Kenanga. Menu-
rutnya, tindakan itu adalah sebuah kesalahan besar,
karena membela seorang tokoh sesat yang semestinya
dilenyapkan!
"Maaf, Paman. Apa yang tadi kuceritakan kepada-
mu, bukanlah semata-mata alasan yang kucari-cari.
Semua itu adalah benar, Paman. Itulah sebabnya, aku
terpaksa harus mem-belanya dengan taruhan nyawa-
ku. Kalau saja Paman mau percaya, kukira pertempu-
ran ini tidak perlu terjadi," jelas Pendekar Naga Putih,
juga dengan wajah menyesal.
Bidadari Iblis sendiri yang semenjak tadi menyaksi-
kan pertarungan kedua orang sakti itu, mulai beranjak
perlahan. Sikapnya jelas menunjukkan kalau ia hen-
dak meninggalkan tempat itu untuk menghindar dari
Panji dan Pendekar Tangan Geledek.
Tepat pada saat menoleh ke belakang, Pendekar Na-
ga Putih terkejut bukan main. Ternyata bayangan Bi-
dadari Iblis telah berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Kenanga, tunggu...!"
Sambil berteriak mencegah kepergian dara jelita
berpakaian merah darah itu, tubuh Panji segera me-
layang melakukan pengejaran!
Pendekar Tangan Geledek pun tidak tinggal diam.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya sege-
ra melambung ke udara. Dia berputaran lima kali, se-
belum turun di hadapan Panji.
'Tunggu! Persoalan di antara kita belum selesai,
Pendekar Naga Putih!" Cegah Pendekar Tangan Gele-
dek. Laki-laki tinggi besar itu menghadang beberapa
langkah di depan Panji. Jelas, dia masih merasa pe-
nasaran oleh pertarungan yang menurutnya belum be-
rakhir tadi.
"Ki Pringgada, tahan pemuda itu...!"
Terdengar sebuah seruan nyaring, menyebut nama
asli Pendekar Tangan Geledek. Belum lagi gema suara
itu lenyap, muncullah Sucipta, Witarsa, Klaban, dan
dua orang tokoh lain yang mengejar Panji.
"Celaka...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih agak terkejut melihat kedatan-
gan lima orang tokoh persilatan yang dua di antaranya
adalah murid Begawan Cindra Putra. Pemuda itu men-
jadi cemas, karena menyadari harus terpaksa berha-
dapan dengan orang-orang segolongan. Tapi semuanya
demi membela kekasihnya.
***
TUJUH
"Hm.... Mau kabur ke mana kau, Pendekar Naga Pu-
tih...?" kata Sucipta.
Laki-laki itu penasaran sekali terhadap Panji. Dia
menuduh Pendekar Naga Putih sebagai penyebab lo-
losnya Bidadari Iblis dari tangan mereka. Dan kini, le-
laki gagah berusia tiga puluh tahun itu melangkah ma-
ju beberapa tindak, setelah menyalami Pendekar Tan-
gan Geledek. Memang, tokoh tinggi besar yang berna-
ma Ki Pringgada itu adalah sahabat lama gurunya.
Melihat keenam tokoh itu sudah mengurung di-
rinya, Pendekar Naga Putih segera mengatur kedudu-
kannya. Kemudian, pandangannya beredar dengan so-
rot mata penuh sesat.
"Pendekar Naga Putih! Kalau kau bersedia berjanji
untuk tidak mencampuri urusan kami lagi, tindakan-
mu yang telah keliru itu akan ku maafkan. Berjanji-
lah," usul Ki Pringgada.
Rupanya, Ki Pringgada tidak tega melihat sorot ma-
ta Pen-dekar Naga Putih yang penuh sesal itu karena
Pendekar Naga Putih menyadari kesalahannya. Itulah
sebabnya, mengapa dia mengusulkan demikian.
"Hm..... Benar! Kalau lain kali kau berjanji tidak
akan ikut campur dalam masalah ini, aku pun tidak
keberatan memaafkan tindakanmu tadi. Bukan begitu,
kawan-kawan...?" Sam-bung Sucipta, seraya meminta
pendapat keempat kawannya yang lain. Lelaki gagah
itu tersenyum puas ketika melihat keempat kawannya
mengangguk setuju.
"Hhh...."
Panji menghela napas berat berkepanjangan ketika
mendengar ucapan tokoh-tokoh persilatan itu. Sorot
sesal di mata-nya terlihat semakin jelas. Tapi yang di
sesalkan Panji justru bukan tindakannya, melainkan
sikap serta keluhuran budi tokoh-tokoh itu. Tentu sa-
ja, karena ia tidak bisa menuruti kemauan mereka.
"Sahabat sekalian," sebut Panji setelah termenung
sejenak. "Sebenarnya, aku pun sangat menyesali keja-
dian ini. Tapi, sayangnya aku tidak bisa menerima
usul yang sangat bijaksana itu. Aku benar-benar ha-
rapkan pengertian kalian. Percayalah! Tokoh sesat
yang dijuluki Bidadari Iblis itu, sesungguhnya adalah
kekasihku yang telah lama menghilang!"
Semua mata memandang Pendekar Tangan Geledek
tanpa suara sedikit pun. Rupanya, Pendekar Naga Pu-
tih diberi kesempatan untuk membela diri. Tapi itu
bukan berarti mereka mempercayai sepenuhnya. Dan
kewaspadaan tetap menjadi patokan mereka, agar ti-
dak cepat percaya begitu saja kepada Pendekar Naga
Putih.
"Dan aku yakin, semua perbuatannya pastilah dila-
kukan tanpa sadar. Bukan tidak mungkin kalau keka-
sihku itu telah diperalat seorang tokoh sesat yang
mendendam terhadap Begawan Cindra Putra atau kor-
ban-korban lainnya. Aku kenal betul, kalau Bidadari
Iblis sesungguhnya adalah Kenanga. Jadi tidak mung-
kin perbuatannya dilandasi oleh kesadaran penuh!"
Sambung Pendekar Naga Putih. Masih belum ada yang
bersuara. Bahkan keenam tokoh persilatan itu saling
berpandangan. Sepertinya, mereka satu sama bin ingin
meminta pendapat. Namun belum juga ada yang berbi-
cara, Pendekar Naga Putih pun membuka mulut
"Semua alasan itulah yang membuat pendirianku
tidak dapat dirubah. Kalau saja persoalan ini menimpa
salah seorang dari kalian, apakah yang akan kalian
perbuat? Apakah kalian rela dengan membiarkan kekasih kalian dibunuh? Padahal kalian tahu, dia sama
sekali tidak bersalah! Perbuatan itu hanya dilandasi
oleh ketidakberdayaan, karena pikirannya terganggu."
Jelas Panji, sehingga membuat keenam tokoh per-
silatan itu terdiam beberapa saat lamanya.
Pendekar Tangan Geledek sendiri mulai merasa ra-
gu ketika melihat kekerasan hati Pendekar Naga Putih.
Memang, kalau semua itu hanya merupakan alasan
yang dicari-cari. Maka mungkin Pendekar Naga Putih
masih berkeras mempertahankan alasannya. Sedang-
kan saat ini, pemuda itu sudah terkurung enam orang
berkepandaian tinggi. Lalu, mengapa nyawa-nya rela
dikorbankan hanya untuk membela seorang tokoh se-
sat yang baru dikenalnya?
Ternyata, bukan Ki Pringgada seorang yang mulai
berubah pendiriannya. Bahkan kelima orang tokoh
lainnya tampak mulai ragu. Jelas, kebulatan tekad
Pendekar Tangan Geledek telah menggoyahkan hati
mereka.
"Sahabat sekalian! Boleh aku mengajukan sebuah
usul, atau anggaplah sebagai usul permintaan?" pinta
Panji yang membuat keenam tokoh persilatan itu sal-
ing berpandangan sejenak.
"Hm..., katakanlah. Mungkin kami dapat memper-
timbangkannya," Ki Pringgada yang merasa lebih tua
dari yang lain segera menyahuti.
'Terima kasih atas kesediaan kalian...," desah Panji.
Kem0bali, hatinya dicekam keharuan melihat sikap to-
koh-tokoh persilatan itu. "Begini. Marilah kita saling
membantu untuk menyingkap masalah ini. Andaikata
tidak ada tokoh lain di belakang Bidadari Iblis, aku
berjanji akan menangkap dan menyerahkannya kepa-
da kalian, termasuk juga diriku. Tapi seandainya du-
gaanku benar, aku mohon kalian memberikan kesem
patan kepadaku untuk membuktikan kalau Bida-dari
Iblis sesungguhnya tidak sadar dengan apa yang di-
perbuatnya selama ini. Kalian boleh meminta agar dia
bercerita tentang masa lalunya. Bagaimana?"
"Hm.... Permintaanmu cukup berat, Pendekar Naga
Putih. Aku khawatir sebelum kita bisa menemukannya
kembali, korban lain sudah akan berjatuhan lagi.
Seandainya semua itu terjadi, apa kau mau bertang-
gung jawab?" Kata Sucipta, mencoba memojokkan
Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji menjadi terdiam
untuk mencari jawabannya.
"Mmm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu,
aku ingin bertanya sedikit. Menurut kabar yang ku-
dengar, bukankah Begawan Cindra Putra dan Ki Sang-
ga Watung memiliki hubungan yang cukup erat? Kalau
boleh tahu, apa hubungan di antara mereka?" Tanya
Pendekar Tangan Geledek. Sepertinya pemuda itu ten-
gah mencoba untuk memecahkan sesuatu yang men-
jadi dugaannya.
"Apa maksud pertanyaanmu, Pendekar Naga Putih?"
Tanya Sucipta.
Laki-laki itu tak senang. Karena bukannya menja-
wab, tapi Pendekar Naga Putih malah bertanya yang
aneh-aneh kepadanya.
"Jawab saja, Sucipta. Aku ingin tahu, apa yang ada
dalam kepala pemuda itu," tukas Pendekar Tangan Ge-
ledek, segera. Sepertinya, orang tua itu ingin mengeta-
hui apa yang akan dikatakan Panji setelah mendengar
jawaban Sucipta nanti.
"Hm.... Eyang Begawan Cindra Putra merupakan
Paman Kakek Ki Sangga Watung. Jadi, Ki Sangga Wa-
tung adalah saudara jauhnya. Nah, apa kau sudah
puas? Atau, masih ada pertanyaan lain yang hendak
diajukan?" Jawab Sucipta, agak ketus. Tapi Panji sama
sekali tidak mengindahkannya.
"Hm.... Setelah Ki Sangga Watung, masih berapa
orang lagi, keluarga Begawan Cindra Putra?" Tanya
Pendekar Tangan Geledek lagi setelah termenung se-
saat lamanya.
"Masih ada seorang. Namanya, Ki Dasa Penang," ja-
wab Sucipta cepat.
Kening laki-laki gagah itu tampak berkerut. Seperti-
nya ia mulai dapat menduga, ke mana tujuan semua
pertanyaan Panji itu.
"Pendekar Naga Putih, apakah kau menduga...,"
"Maaf. Ini hanya baru dugaanku saja, Sucipta. Bisa
jadi aku keliru," potong Panji cepat. "Di manakah Ki
Dasa Penang tinggal?"
Kemudian sambil melangkah maju beberapa tindak,
Pendekar Tangan Geledek membuka suara lagi.
"Beliau tinggal di Desa Kemang...," sahut Sucipta
dengan wajah agak tegang.
"Mudah-mudahan tidak keliru. Ayolah kita segera
ke sana," ajak Panji yang segera melesat menggunakan
ilmu lari cepat-nya.
Pendekar Tangan Geledek sejenak bertukar pan-
dang dengan yang lainnya. Sejurus kemudian, keenam
orang tokoh persilatan itu pun bergegas menyusul
Pendekar Naga Putih.
Hari masih pagi, ketika seorang penunggang kuda
memacu tunggangannya membelah jalan lebar. Kuda
hitam yang berlari bagai dikejar setan itu, terus mene-
robos mulut sebuah desa. Beberapa orang petani yang
terlambat berangkat ke sawah, segera menyingkir ke
tepi jika tidak ingin terlanggar. Terdengar sumpah-
serapah mereka yang merasa jengkel oleh si penung-
gang kuda itu.
Sedangkan penunggang kuda itu sendiri sama seka
li tidak ambil peduli. Bahkan sama sekali tidak mem-
perlambat lari kudanya, walaupun saat itu tengah me-
lintasi jalan utama desa. Lelaki kurus yang menung-
gang kuda berbulu hitam itu baru menarik tali kekang,
setelah tiba di depan sebuah rumah besar yang letak-
nya agak terpencil.
Lelaki itu langsung saja menerobos masuk, setelah
me-lompat turun dari atas punggung kudanya. Bah-
kan sama sekali tidak dipedulikan lagi binatang tung-
gangannya yang belum ditambatkan. Jelas, dia tengah
terburu-buru.
"Hei, berhenti...!"
Baru saja beberapa langkah kakinya melewati pintu
hala-man depan rumah besar itu, tiba-tiba terdengar
bentakan keras yang membuat lelaki itu terlompat ka-
get. Dan tahu-tahu saja, dua orang lelaki bertubuh te-
gap telah berdiri menghadang jalan masuk.
"Siapa kau?! Mengapa tanpa permisi lagi berani
memasuki tempat ini? Apa kau tidak pernah belajar
sopan-santun?" Hardik seorang lelaki yang berkumis
jarang.
Sepasang mata lelaki itu tampak melotot galak.
Bahkan tangan kanannya sudah meraba gagang pe-
dang yang tersembul di balik bajunya.
"Aku ingin berjumpa Ki Dasa Penang. Tolong beri
tahu, karena berita yang kubawa ini sangat penting
buat majikan kalian," jawab lelaki bertubuh kurus itu
dengan napas masih memburu.
"Kami adalah murid-muridnya. Kalau kau ada ke-
pentingan, sampaikan saja kepada kami. Nanti kami
yang akan memberitahukannya kepada guru kami,"
ujar lelaki berkumis jarang itu lagi tanpa mempeduli-
kan bantahan lelaki kurus itu.
Tapi lelaki kurus itu sama sekali tidak mau meninggalkan tempat walau kedua murid Ki Dasa Penang
menghardiknya. Bahkan saking jengkelnya, lelaki te-
gap yang berhidung pesek mendorong tubuhnya yang
kurus hingga terjengkang ke belakang.
"Kalian tidak tahu, berita yang akan kusampaikan
ini me-nyangkut mati hidupnya guru kalian! Aku ada-
lah orang kepercayaan Ki Sangga Watung yang telah
tewas terbunuh oleh seorang wanita iblis! Bahkan
Eyang Begawan Cindra Putra pun sudah pula dibu-
nuhnya! Nah, apa kalian masih juga tidak membawaku
menghadap guru kalian itu?" teriak lelaki kurus itu sa-
king jengkelnya.
Disebutnya nama Eyang Begawan Cindra Putra,
membuat wajah kedua orang murid Ki Dasa Penang
pucat seketika. Meskipun mereka tidak kenal Ki Sang-
ga Watung, tapi nama Begawan Cindra Putra tentu sa-
ja telah mereka dengar. Karena, Ki Dasa Penang per-
nah menceritakan tentang orang tua sakti yang masih
terhitung kakeknya itu. Sehingga, tanpa banyak cakap
lagi, mereka pun segera membawa lelaki kurus itu
menghadap guru mereka.
"Guru.... Mohon ampun kalau kami menghadap
tanpa diperintah. Tapi lelaki kurus ini jelas memaksa
kami berdua. Katanya Eyang Begawan Cindra Putra te-
lah tewas terbunuh," lapor lelaki yang berhidung pesek
sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam ke-
pada seorang lelaki gagah yang tengah membelakangi.
Saat itu, Ki Dasa Penang tengah berada di taman bela-
kang rumahnya.
Mendengar ucapan itu, Ki Dasa Penang cepat mem-
balikkan tubuhnya. Ditatapnya ketiga orang itu lekat-
lekat. Jelas Ki Dasa Penang belum percaya sepenuh-
nya akan ucapan muridnya.
"Benar apa yang dikatakan muridku itu, Kisanak?
Lalu, kau ini siapa? Dan, dari mana berita ini kau da-
patkan?" Tanya Ki Dasa Penang dengan suara berat
dan dalam.
"Maaf, Ki. Namaku Ganta. Aku adalah seorang
pembantu di keluarga Ki Sangga Watung. Pada Saat
hendak berhadapan dengan tokoh sesat bernama Bi-
dadari Iblis, beliau menyuruh-kan mengabarkan keja-
dian itu kepada Eyang Begawan Cindra Putra. Namun
belum lama aku tiba di kediaman Eyang Begawan.
Muncullah Bidadari Iblis. Rupanya setelah membunuh
Ki Sangga Watung, wanita iblis itu mengikuti perjala-
nanku. Katanya dia akan membantai semua keluarga
serta kerabat Eyang Begawan, sebelum bertempur dan
menewaskan beliau. Aku menyaksikan dengan mata
kepalaku sendiri, Ki," jelas lelaki kurus bernama Gan-
ta.
"Kalau ceritamu benar, mengapa tokoh sesat itu ti-
dak membunuhmu? Apa dia sengaja melepaskanmu,
agar bisa menceritakan semua ini kepadaku?!" Desah
Ki Dasa Penang seperti meragukan cerita Ganta.
"Sepertinya, tokoh sesat berhati keji itu memang
sengaja tidak membunuhku. Akupun tidak begitu je-
las, apa sebabnya? Yang jelas, ia sangat mendendam
terhadap keluarga serta kerabat Eyang Begawan. Me-
nurut yang kudengar, tokoh itu mengatakan kalau
Eyang Begawan dan keluarganya telah membuat gu-
runya menderita. Hanya itulah yang sempat kuketa-
hui," jelas Ganta lagi dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hm.... Lelaki atau wanita, guru tokoh yang berju-
luk Bida-dari Iblis itu?" Tanya Ki Dasa Penang lagi.
Kali ini keningnya tampak berkerut. Jelas, lelaki gagah
berpakaian mewah itu mulai berpikir keras.
"Dia..., tidak menyebutkannya, Ki...," jawab Ganta
dengan wajah menyesal.
"Hm..., baiklah kalau begitu. Terima kasih atas
pemberitahuan mu ini. Sekarang silakan kau beristi-
rahat. Tentunya kau lelah setelah menempuh perjala-
nan panjang dan jauh," ujar Ki Dasa Penang yang se-
gera memanggil pelayannya untuk mengantarkan Gan-
ta beristirahat.
Baru saja beberapa saat Ganta meninggalkan teman
belakang, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan merah
yang langsung menjejakkan kakinya beberapa langkah
di depan Ki Dasa Penang dan kedua orang muridnya.
Karuan saja ketiga orang itu melompat mundur den-
gan kuda-kuda siap tempur.
"Siapa kau...?!" Bentak Ki Dasa Penang sambil me-
neliti sosok ramping berwajah jelita .yang terbungkus
pakaian berwarna merah darah.
"Hik hik hik...," sosok yang tak lain Bidadari Iblis itu
terkekeh merdu.
Kejelitaan wajah wanita itu tampak semakin mem-
pesona saat tertawa. Sepasang lesung pipit di kedua
pipinya nampak nyata.
"Kaukah yang berjuluk Bidadari Iblis...?" tegur Ki
Dasa Penang setelah berhasil mengusir pesona yang
menguasainya.
Lelaki gagah itu mulai dapat menebak tamunya.
Memang, wajah wanita itu sangat cantik. Dia tak
ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit.
"Benar. Tapi, kedatanganku pun juga hendak mem-
bawamu pergi. Bukankah kau belum pernah melayat
ke neraka?" Desis bibir indah itu dingin dan datar.
Bahkan sorot mata yang seharusnya menjatuhkan hati
setiap pria, tampak berkesan mengiriskan.
Kedua orang murid Ki Dasa Penang pun tidak ting-
gal diam. Tanpa menunggu perintah gurunya lagi, ke-
dua lelaki muda bertubuh tegap itu langsung menghu
nus senjata, dan lompat menerjang!
"Haaat...!"
"Yiaaat..!"
Wuuut! Wuuuk!
Dua orang murid Ki Dasa Penang langsung mengke-
lebatkan pedang mereka ke arah Bidadari Iblis. Kilatan
sinar pedang tampak saling berlomba untuk me-
lenyapkan lawan.
"Hm...!"
Bidadari Iblis hanya mendengus kasar. Berbarengan
dengan itu, tubuhnya merendah agak membungkuk.
Sepasang tangannya yang halus mengibas ke kiri dan
kanan, begitu mata pedang lawan lewat di atas kepala
dan sisi tubuhnya!
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaakh...!"
Tubuh kedua orang murid Ki Dasa Penang langsung
ter-jungkal ke belakang! Tamparan wanita iblis itu
masing-masing telah menghantam bahu mereka. Aki-
batnya mereka meringis menahan nyeri yang menusuk
sampai ke tulang!
Bidadari Iblis sendiri sempat terkejut melihat ke-
pandaian kedua orang murid Ki Dasa Penang itu.
Sungguh tak diduga kalau kedua orang lelaki tegap itu
ternyata memiliki kepandaian lumayan.
Keheranan tokoh wanita sesat itu sebenarnya tidak
aneh. Memang, meskipun kedua orang itu mempunyai
ilmu silat, Ki Dasa Penang sebenarnya tidak bersung-
guh-sungguh mengajarkan. Selain kedua orang itu ti-
dak mempunyai bakat, sebelumnya mereka juga hanya
kacung. Hanya karena rasa kasihanlah yang membuat
Ki Dasa Penang menurunkan beberapa jenis ilmu si-
latnya kepada kedua orang kacung itu. Sedangkan da
lam arti yang sebenarnya, Ki Dasa Penang sama sekali
tidak mempunyai seorang murid. Jadi, wajar saja ka-
lau kedua orang itu demikian mudah terkena pukulan
Bidadari Iblis.
"Haiiit...!"
"Heaaat...!"
Sebelum Ki Dasa Penang sempat mencegah, kedua
orang muridnya itu kembali melompat dengan putaran
senjatanya!
"Hahhh!"
Melihat hal ini Bidadari Iblis menjadi jengkel bukan
main. Maka langsung saja sepasang telapak tangannya
didorongkan ke depan! Dan....
Blagggh! Desss...!
Sambaran angin pukulan berbau harum itu lang-
sung saja membuat kacung Ki Dasa Penang terjungkal
tanpa ampun! Setelah menggelepar dengan bagian da-
da hangus, kedua orang itu pun tewas seketika!
"Bangsat, pembunuh keji...!" umpat Ki Dasa Penang
dengan wajah bagai terbakar! Lelaki gagah itu kini su-
dah siap menerjang Bidadari Iblis!
'Tunggu! Aku hanya disuruh guruku untuk me-
nyampaikan pesan kepadamu. Kalau tidak, tentu kau
sudah menggeletak seperti mereka. Esok pada saat
matahari terbit, kau sudah harus berada di kaki Gu-
nung Sindur! Aku yakin kau bukan seorang lelaki pe-
ngecut!"
Setelah berkata demikian, Bidadari Iblis melesat
meninggal-kan Ki Dasa Penang yang masih tertegun
tak mengerti.
'Tunggu...!"
Ki Dasa Penang terlambat mencegah. Pada saat ke-
sadaran-nya tergugah, sosok tubuh merah itu telah le-
nyap dari pandangannya. Akhirnya meski dengan wajah penasaran, hari itu juga lelaki gagah ini mening-
galkan tempat kediamannya. Tujuannya adalah ke
Gunung Sindur.
***
DELAPAN
Sosok tubuh gagah terbungkus jubah berwarna
coklat itu berdiri tegak di atas sebuah dataran yang
agak tinggi. Sepasang matanya menatap lurus ke arah
puncak Gunung Sindur yang terselimuti kabut tebal.
Sinar matahari yang baru saja menampakkan kekua-
saannya, tak mampu mengusir tebalnya kabut yang
menyelimuti puncak gunung itu.
"Hhh...."
Dengan sebuah hembusan napas panjang, lelaki
gagah yang tak lain Ki Dasa Penang itu mengayun
langkahnya per-lahan. Setelah menyeberangi sebuah
aliran sungai yang cukup lebar, langkahnya berhenti.
Sejenak diedarkan pandangannya ke sekeliling tempat
itu.
Belum selesai Ki Dasa Penang meneliti daerah di
sekitarnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik
yang panjang dan menyakitkan telinga.
"Hik hik hik...!"
Meskipun gema suara tawa itu sanggup membuat
seorang penakut lari terbirit-birit, namun Ki Dasa Pe-
nang tetap bersikap tenang. Tenaga dalamnya dike-
rahkan untuk melawan getaran tawa yang membuat
dadanya seketika berdebar. Setelah gangguan suara
tawa itu dapat ditanggulanginya, lelaki gagah itu me-
natap lurus ke satu tempat suara tawa diduga berasal.
"Bidadari Iblis! Keluarlah...! Bukankah kau yang
mengundangku ke tempat ini? Mengapa mesti sem-
bunyi!" Teriak Ki Dasa Penang sambil mengerahkan
tenaga dalam melalui suaranya. Sehingga, gemanya
bergaung memenuhi daerah itu.
"Hi hi hi...! Ternyata kau masih tetap sombong dan
bermulut besar Dasa Penang."
Berbarengan dengan suara jawaban itu, muncullah
dua sosok tubuh yang membuat kening lelaki gagah
itu berkerut dalam. Jelas, Ki Dasa Penang berusaha
mengenali sosok yang muncul dari samping kirinya itu.
"Nyi Prihasti...?! Tidak salahkah penglihatanku...?!"
Desis Ki Dasa Penang sambil menggosok kedua ma-
tanya, setengah tak percaya. Rupanya lelaki gagah itu
telah mengenai sosok yang berjalan di sebelah Bidadari
Iblis.
Wajah sosok wanita berusia lima puluh tahun itu
tampak terlihat jauh lebih tua dibanding usianya. Ga-
ris-garis wajahnya tampak menggambarkan penderi-
taan yang panjang, bagai tak berkesudahan. Dan yang
lebih menyedihkan lagi, nenek itu ternyata tidak memi-
liki anggota tubuh yang lengkap. Ia nampak berjalan
menggunakan kedua tangannya, karena sepasang ka-
kinya buntung hampir mencapai pangkal paha.
"Benar. Akulah Prihasti, orang yang kau buat men-
derita dengan bantuan Begawan Cindra Putra. Kau
terkejut Dasa Penang," Ujar wanita yang bernama Nyi
Prihasti itu. Tekanan nada suaranya terdengar penuh
dendam. Bahkan sorot mata-nya tampak menyiratkan
api kebencian yang mendalam.
'Tapi aku dan Eyang Begawan sama sekali tidak
bermaksud menyiksamu, Nyi. Aku... akupun menyesal
atas kejadian itu," tukas Ki Dasa Penang dengan wajah
sedih.
"Lihatlah lelaki itu baik-baik, Muridku. Tiga puluh
tahun yang lalu, aku sangat mengagumi dan mencin-
tainya. Dan dia pun menyambut uluran cintaku.
Sayangnya, lelaki bernama Dasa Penang itu ternyata
seorang pengecut dan bermulut besar. Dengan alasan
berbeda golongan, aku ditinggalkannya atas perintah
orangtua nya. Termasuk, Begawan Cindra Putra yang
merupakan guru sekaligus uwaknya," tutur Nyi Prihas-
ti.
Bidadari Iblis menatap orang yang bernama Ki Dasa
Penang tajam-tajam. Kabut kebencian terhadap laki-
laki, tampak kembali menyelimuti hatinya. Dia me-
mang telah dipengaruhi racun kebencian terhadap la-
ki-laki oleh Nyi Prihasti.
Aku mendesaknya agar bertanggung jawab. Kuakui,
kami pernah berhubungan seperti suami-istri, meski-
pun belum resmi menikah. Tapi dengan sangat licik-
nya, Dasa Penang bersama Begawan Cindra Putra
mengajakku bertarung habis-habisan. Tubuhku terja-
tuh ke dalam jurang saat sebuah pukulan Begawan
Cindra Putra mengenai tubuhku. Gunung Sindur in-
ilah yang menjadi saksi bisunya.
"Pertempuran itu terjadi memang di salah satu teb-
ing gunung ini," tutur perempuan tua itu.
Nyi Prihasti mengatur napasnya yang agak membu-
ru, karena terlalu bernafsu dalam menceritakan kisah
yang baginya sangat menyakitkan itu.
"Maafkan aku atas kejadian itu, Prihasti. Aku sung-
guh menyesalinya. Seharusnya, hal itu tidak perlu ter-
jadi seandainya kau tidak mendesakku. Syukurlah kau
selamat. Sekarang, marilah kita lupakan semua peris-
tiwa pahit itu. Biarlah kematian Ki Sangga Watung dan
Begawan Cindra Putra kuanggap sebagai penebus dosa
kami. Aku ikhlas, dan tidak akan menuntutmu," bujuk
Ki Dasa Penang.
Laki-laki tua itu menatap wajah wanita yang pernah
menjadi kekasihnya penuh harap. Jelas dia ingin men-
gakhiri dendam di antara mereka.
"Nah, dengarlah apa yang diucapkan lelaki gagah
bernama Dasa Penang itu, Muridku? Meskipun telah
tua bangka, namun sifat pengecutnya tidak juga hi-
lang. Ia sengaja membujukku untuk melupakan den-
dam. Padahal, tujuan yang sesungguhnya adalah un-
tuk menyelamatkan dirinya dari kematian. Benar-
benar manusia licik!" Geram Nyi Prihasti, dengan tari-
kan bibir sinis. Rupanya wanita cacat itu tidak mene-
rima usul Ki Dasa Penang.
'Tapi, Prihasti...."
"Diam! Tidak perlu membantah lagi!" Potong Nyi
Prihasti sambil melotot. "Kau kira setelah menjalani
penderitaan puluhan tahun, aku akan melupakannya
begitu saja? Tidak, Dasa Penang. Bertahun-tahun aku
harus hidup dengan kedua kaki lumpuh. Dan akhir-
nya, aku harus membuntunginya karena sudah tidak
mungkin dapat disembuhkan lagi. Kau tahu, Dasa Pe-
nang? Hanya kekuatan dendam dalam tubuhku-lah
yang membuatku mampu untuk bertahan hidup!"
Kalau Ki Dasa Penang agak dekat, pasti dia melihat
bola mata Nyi Prihasti berkaca-kaca. Memang, setegar-
tegarnya wanita, dia tak akan lepas dari kodratnya.
Menangis, walau hanya sedikit saja.
"Setelah menciptakan sebuah ilmu dengan susah
payah, akhirnya dendamku mulai terwujud atas ban-
tuan muridku ini. Sekarang tinggal kau seorang yang
harus kulenyapkan dari muka bumi ini. Setelah itu,
matipun aku puas, Dasa Penang. Nah, sebaiknya ber-
siaplah untuk menerima hukumanmu," desis Nyi Pri-
hasti sambil menghapus air mata yang sudah mengalir
membasahi pipinya.
'Tunggu, Prihasti...!" cegah Ki Dasa Penang.
Rupanya, laki-laki tua itu menjadi lenyap kemara-
hannya setelah mengetahui siapa sebenarnya tokoh di
balik semua kejadian yang menimpa saudara-
saudaranya.
Tapi Nyi Prihasti sudah tidak bisa dicegah lagi. Ber-
sama muridnya, nenek buntung itu menerjang Ki Dasa
Penang tanpa ampun! Angin pukulan yang berbau ha-
rum, menebar dan menyambar-nyambar di sekeliling
tubuh lelaki gagah itu. Karuan saja Ki Dasa Penang
menjadi kewalahan dibuatnya.
Namun sebagai seorang pendekar kawakan, Ki Dasa
Penang pun tidak mudah ditundukkan dalam waktu
singkat. Lelaki gagah itu mengerahkan seluruh ke-
mampuannya untuk membendung serangan gencar
kedua orang lawannya.
"Heaaat..!"
Ki Dasa Penang berseru nyaring sambil menggerak-
kan sepasang tangannya untuk menghalau serangan
Nyi Prihasti dan Bidadari Iblis. Sayangnya kepandaian
pengeroyoknya itu masih beberapa tingkat di bawah-
nya. Terutama sekali Bida-dari Iblis yang bergerak ba-
gaikan burung walet. Demikian gesit dan sulit untuk
menentukan, dari mana wanita jelita itu me-lontarkan
serangan! Tubuh yang terbungkus pakaian merah da-
rah itu selalu berpindah-pindah dengan kecepatan su-
kar ditangkap mata. Sehingga dalam beberapa puluh
jurus saja, Ki Dasa Penang jadi terdesak hebat.
"Hiaaah...!"
Zebbb!
Bukan hanya sepasang tangan Bidadari Iblis itu sa-
ja yang berbahaya. Ternyata sepasang kaki wanita jeli-
ta itupun dapat bergerak cepat, melepaskan serang
kaian tendangan kilat! Akibatnya ketika Ki Dasa Pe-
nang bergerak ke samping menghindarkan hantaman
telapak tangan Nyi Prihasti, sebuah tendangan Bidada-
ri Iblis telak menghajar tubuhnya!
Desss!
"Hukhhh!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terpental
deras ke belakang. Darah segar menyembur dari mulut
laki-laki itu, dan langsung membasahi tanah berum-
put. Meskipun demi-kian, secepat kilat Ki Dasa Penang
melompat bangkit, dan segera mengatur pernapasan-
nya.
"Mampus kau, lelaki pengecut...!"
Nyi Prihasti yang sudah tidak bisa menahan gumpa-
lan kebencian di dadanya, segera melontarkan jarum-
jarum beracun untuk segera menamatkan riwayat Ki
Dasa Penang!
Seeeng... seeeng...!
Puluhan batang jarum halus yang mengandung ra-
cun me-matikan meluncur deras, mengancam tubuh
Ki Dasa Penang! Untunglah lelaki gagah itu masih
sempat melempar tubuhnya, dan terus bergulingan
menjauhi lawan.
"Tamat riwayatmu, Orang Tua Kejam!"
Ki Dasa Penang yang baru saja melompat bangun,
terkejut bukan main ketika mendengar bentakan nya-
ring itu! Tahu-tahu saja, sebuah tamparan telapak ta-
ngan Bidadari Iblis sudah meluncur deras mengancam
dadanya!
Whuuut!
Tepat pada saat telapak tangan Bidadari Iblis ting-
gal satu jengkal lagi menghantam tubuh Ki Dasa Pe-
nang, mendadak saja sesosok bayangan putih me-
layang memasuki arena dengan kecepatan luar biasa!
Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung mene-
piskan telapak tangan yang mengancam nyawa Ki Da-
sa Penang!
Plakkk!
"Aaah...!?"
Akibat tepisan sosok tubuh berjubah putih itu, Bi-
dadari Iblis langsung memekik tertahan! Tubuhnya
kontan terpental ke samping, dan terhuyung hingga
satu tombak lebih! Karuan saja Bidadari Iblis heran
bukan main! Sebab, baru kali ini ia bertemu orang
yang demikian hebat tenaga dalamnya!
"Kau..., Panji...!?" Desis bibir mungil itu agak berge-
tar.
Jelas, Bidadari Iblis sangat terkejut begitu menge-
nali ada-nya sosok bayangan putih yang menggagalkan
pukulannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya
wanita jelita itu hanya dapat berdiri terpaku.
***
"Benar, Kenanga. Aku Panji kekasihmu. Apakah
kau masih belum dapat mengingatku?" Sahut Panji
lembut menggambarkan kerinduan mendalam.
'Tapi..., betulkah aku Kenanga? Mengapa aku tidak
bisa ingat sedikit pun?" Desah Bidadari Iblis sambil
menatap Panji bingung.
"Hm.... Kalau kau bersedia, aku akan mencoba un-
tuk mengembalikan ingatanmu. Bagaimana?" Usul
Panji yang rupanya sudah memikirkan apa yang akan
dilakukan apabila bertemu kembali dengan kekasihnya
yang hilang itu.
"Mmm..., baiklah. Aku bersedia...," jawab Kenanga.
Entah mengapa, Bidadari Iblis telah menaruh ke-
percayaan penuh kepada Panji. Padahal dia belum begitu ingat terhadap pemuda tampan itu.
"Berdirilah dengan tenang. Pejamkan mata, dan ko-
songkan pikiranmu. Aku akan menyatukan tenaga da-
lamku ke dalam tubuhmu," ujar Panji memberi petun-
juk.
Setelah melihat Bidadari Iblis telah siap menerima
pemindahan tenaga saktinya, Panji segera memu-
satkan pikiran. Sesaat kemudian, terbentuklah lapisan
sinar kuning keemasan di seluruh tubuh pemuda itu.
Akhirnya begitu seluruh sinar yang melapisi tubuhnya
berkumpul di telapak tangannya, Panji membentak
nyaring!
"Hiaaah!"
Menakjubkan sekali! Gumpalan sinar keemasan
yang se-mula berkumpul di kedua telapak tangan Pen-
dekar Naga Putih langsung meluncur seiring bentakan
pemuda itu!
Sinar keemasan itu langsung meresap ke dalam tu-
buh Bidadari Iblis, setelah sebelumnya menyelimuti
sekujur tubuh dara jelita itu. Rupanya, 'Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi' dapat menyembuhkan ingatan tokoh
mengiriskan itu dari dalam tubuh.
"Oooh..."
Tidak berapa lama kemudian, terdengar keluhan li-
rih dari bibir dara berpakaian merah darah itu. Panji
cepat berkelebat, menangkap tubuh Bidadari Iblis yang
tampak hendak ter-jatuh. Dengan lembut, tubuh dara
jelita itu direbahkan di atas rerumputan di bawah se-
batang pohon berdaun rindang. Sambil menunggui da-
ra jelita itu tersadar, Panji menatap ke arah pertem-
puran di depannya.
Saat itu, pertarungan yang kini terjadi antara Ki
Dasa Penang dan Nyi Prihasti sudah terlihat mencapai
puncaknya. Kelihatan sekali kalau Ki Dasa Penang sudah bisa menguasai lawannya.
Beberapa tombak di sebelah kiri arena pertarungan,
tampak Pendekar Tangan Geledek, Sucipta, Witarsa,
Klaban, dan dua orang tokoh lainnya tengah me-
nyaksikan penuh perhatian. Tak seorang pun dari ke-
lima tokoh itu terlihat hendak membantu. Sepertinya,
mereka yakin kalau Ki Dasa Penang dapat menunduk-
kan Nyi Prihasti.
Sebenarnya, kepandaian Nyi Prihasti masih di ba-
wah Ki Dasa Penang. Apalagi, keadaan tubuh wanita
sesat itu sudah tidak lengkap. Maka, sudah pasti Ki
Dasa Penang memiliki lebih banyak kesempatan dan
kelebihan dibanding lawannya. Tapi cara bertarung Nyi
Prihasti yang seperti orang kemasukan setan itulah
yang menyulitkannya untuk cepat-cepat menjatuhkan
lawan. Selain itu, ada rasa risih di hati Ki Dasa Penang
karena lawannya cacat.
Sedang Nyi Prihasti sendiri sama sekali tidak peduli
dengan keengganan lawannya. Tekad untuk membu-
nuh Ki Dasa Penang dengan tangannya sendiri, mem-
buatnya terus mengumbar pukulan-pukulan maut dan
juga senjata beracun tanpa mempedulikan keselama-
tan dirinya sendiri.
"Heaaat..!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedela-
pan puluh, Nyi Prihasti berseru nyaring hingga menge-
jutkan lawannya! Tepat pada saat yang sama, tubuh
wanita buntung itu me-lompat tinggi sambil mengi-
baskan kedua tangannya susul menyusul!
Siiing... siiing!
Dengan memperdengarkan suara berdesing halus,
jarum-jarum beracun yang dilontarkan menebar, men-
gincar beberapa bagian pada tubuh Ki Dasa Penang.
Bahkan sebelum jarum-jarum itu tiba pada sasaran,
tokoh sesat yang hatinya sudah diselimuti dendam itu
masih menyusulinya dengan dorongan sepasang tela-
pak tangan!
Wusss!
Serangkum angin keras berhawa panas yang mene-
barkan bau harum memabukkan, mengiringi dorongan
sepasang telapak tangan wanita tua itu! Jelas ia me-
mang hendak mencabut nyawa Ki Dasa Penang. Pa-
dahal dalam perkelahian itu, Ki Dasa Penang terlihat
lebih banyak mengalah.
Dua buah serangan maut yang mematikan itu tentu
saja membuat tokoh-tokoh persilatan yang menyaksi-
kan, pertarungan menahan napas tegang. Begitu pula
Panji. Pendekar Naga Putih pun ikut mencemaskan
nasib Ki Dasa Penang.
"Haaait...!"
Disertai pekikan keras, tubuh Ki Dasa Penang me-
lambung ke atas. Sehingga, jarum-jarum beracun itu
lewat dua jengkal di bawah kakinya. Sambil meluncur
turun, lelaki gagah itu mendorong sepasang tangan ke
depan dengan pukulan jarak jauhnya. Rupanya Ki Da-
sa Penang bermaksud menyambut pukulan beracun
lawannya!
Wusss...!
Bresssh...!
Terdengar letupan keras yang membuat daun-daun
pohon di sekitar pertarungan berguguran ke tanah!
Tubuh Nyi Prihasti sendiri, terpental ke belakang diser-
tai semburan darah segar dari mulutnya! Wanita tua
berkaki buntung itu melorot jatuh, setelah membentur
sebatang pohon hingga berderak roboh!
Sementara Ki Dasa Penang terpental balik hingga
sejauh dua setengah tombak! Untungnya, tubuhnya
masih dapat diselamatkan begitu bersalto dua kali di
udara. Meski agak terhuyung, lelaki gagah itu berhasil
mendarat selamat. Dari lelehan darah di sudut bibir-
nya, bisa ditebak kalau Ki Dasa Penang menderita luka
dalam, meski tidak begitu parah. Sucipta dan Witarsa
cepat menghambur ke arah Ki Dasa Penang yang ma-
sih terhitung paman gurunya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Ki...?"
"Hhh.... Tidak terlalu mengkhawatirkan. Bagaimana
kalian tahu kalau aku berada di tempat ini?" Tanya Ki
Dasa Penang menatap wajah Sucipta dan Witarsa ber-
ganti-ganti.
"Dari tempat kediamanmu. Kami mendapat kete-
rangan dari seorang pelayan tentang wanita berpa-
kaian merah darah yang mengundangmu ke kaki Gu-
nung Sindur. Lalu, langsung saja kami kemari," jelas
Sucipta. Wajahnya tampak menyiratkan kelegaan, ka-
rena masalah ini boleh dibilang sudah selesai.
Setelah saling bertegur sapa dengan yang lain, Ki
Dasa Penang bersama tokoh lain bergegas mendekati
Nyi Prihasti yang masih terbaring lemah. Wanita tua
berkaki buntung itu seperti tengah berada antara sa-
dar dan tidak. Hanya rintihan-nya saja yang menan-
dakan kalau tokoh itu masih hidup.
Di tempat lain, Bidadari Iblis mulai mengeluh, dan
tersadar dari pingsannya. Dara jelita itu sejenak meng-
gosok-gosok kan kedua matanya dengan punggung
tangan. Kemudian matanya merayapi sekitarnya de-
ngan wajah heran.
"Kau..., Kakang Panji...?!" Pekik dara jelita itu ketika
sepasang matanya membentur seraut wajah tampan
yang mengenakan jubah putih.
Tanpa ragu-ragu lagi, Bidadari Iblis yang memang
Kenanga itupun langsung saja merangkul Panji erat-erat.
"Kau ke mana saja, Kakang. Lama sekali tidak ber-
temu," desah Kenanga di telinga Panji. Suaranya ter-
dengar begitu merdu dan penuh kerinduan.
"Kaulah yang harus menceritakan kepadaku lebih
dahulu. Mengapa kau berubah menjadi tokoh sesat,”
sergah Panji yang ingin penjelasan tentang pembunu-
han-pembunuhan yang telah dilakukan gadis itu.
'Tokoh sesat?! Apa maksudmu, Kakang? Setahuku,
seorang wanita tua telah menyelamatkan diriku yang
sudah hampir mati, ketika terdampar di daratan. Sete-
lah itu, ia membawaku ke tempat tinggalnya kemudian
mengobati luka-lukaku. Dan baru sekaranglah aku
tersadar. Lalu, mengapa Kakang mengatakan kalau
aku berubah sesat?" Tanya Kenanga, jelas tidak men-
getahui perbuatannya selama ini.
"Hm.... Mari kita lihat, apakah nenek masih hidup.
Mudah-mudahan saja ia mau menerangkan, apa yang
telah dilakukannya terhadap dirimu?" Ajak Panji sam-
bil mengajak Kenanga mendekati para tokoh persilatan
yang tengah mengerumuni Nyi Prihasti.
"Maaf...," ucap Panji sambil membawa kekasihnya
dan duduk di samping Nyi Prihasti.
Kemudian, Pendekar Naga Putih menotok beberapa
jalan darah penting di tubuh wanita tua itu untuk me-
lancarkan peredaran darahnya sementara waktu.
"Muridku...," terdengar suara parau Nyi Prihasti ke-
tika membuka matanya, mendapati wajah Kenanga di
sampingnya.
"Nek. Menurut Kakang Panji, selama ini aku telah
berbuat sesat dengan membunuh tokoh-tokoh per-
silatan. Menurutnya, hanya kau yang bisa menje-
laskan. Tolonglah jelaskan kepada-ku, Nek?" Pinta Ke-
nanga berbisik di telinga Nyi Prihasti. Memang, wanita
tua yang tengah sekarat itu tidak lagi bisa mendengar
dengan baik.
"Nek! Sebelum kematian menjemputmu, apa salah-
nya kau berbuat baik untuk yang pertama kali dan te-
rakhir. Jelaskanlah, Nek. Kami semua sangat butuh
keteranganmu," Panji yang melihat Nyi Prihasti kem-
bali memejamkan matanya, segera berbisik sedikit
agak keras.
“Pada saat gadis jelita itu pingsan, aku menjejalinya
ramuan perampas ingatan. Setelah sadar, aku menu-
runkan ilmu yang dapat mempengaruhi pikiran seseo-
rang. Betapapun baik orang itu sebelumnya, ia akan
berubah menjadi iblis keji apabila mempelajari ilmu
itu. Tenaga beracun yang mengalir di dalam tubuhnya
memang bisa menyumbat jalan darah otak-nya. Lalu,
gadis yang menjadi muridku itu kugunakan untuk me-
lampiaskan dendam kepada bajingan Dasa Penang dan
semua orang yang membuatku menderita..., maafkan
aku, Muridku. Sekarang aku puas. Rasanya, kematian
memang jalan satu-satunya untuk melenyapkan den-
damku. Nah, aku harus pergi. Selamat ting... galll...!"
Kepala Nyi Prihasti langsung terkulai lemas begitu
ucapan-nya selesai. Nyawanya telah melayang me-
ninggalkan raga. Se-buah kepuasan tampak tergambar
pada bibirnya yang tersenyum.
"Nah! Persoalan kini sudah selesai jelas. Kuharap
kalian semua dapat memaafkan kesalahan kekasihku
ini," kata Pendekar Naga Putih kepada para tokoh per-
silatan itu.
Ki Dasa Penang dan yang lain hanya bisa mengang-
gukkan kepala tanda mengerti. Sehingga, hati Panji
menjadi lega.
"Kalau begitu, aku mohon pamit. Kekasihku ini ma-
sih memerlukan beberapa kali pengobatan lagi, untuk
melenyap-kan sisa-sisa tenaga beracun yang mengendap dalam tubuhnya," pamit Pendekar Naga Putih
yang segera membawa Kenanga meninggalkan Gunung
Sindur.
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki
Dasa Penang dan tokoh persilatan lainnya melepas kepergian Pendekar Naga Putih.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar