..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE BIDADARI IBLIS

matjenuh

 

BIDADARI IBLIS
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Bidadari Iblis
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Angin pagi bertiup silir-silir lembut, mengiringi 
langkah kaki sesosok tubuh ramping. Ayunan lang-
kahnya ringan. Tampaknya ia sudah sangat terbiasa 
melakukan perjalanan jauh. Kepalanya yang terangkat 
tegak, dan sepasang matanya yang mencorong tajam, 
membuat wajahnya menimbulkan kesan dingin.
Sosok tubuh ramping yang rupanya seorang wanita 
cantik itu sama sekali tidak mempedulikan rambutnya 
yang dipermainkan angin nakal. Langkahnya terus 
menyusuri jalan lebar, yang menghubungkan dengan 
sebuah desa. Dan tak lama kemudian, tampaklah se-
buah mulut desa membentang di depannya. Maka 
langkahnya kian dipercepat, hingga sampailah ia di 
mulut desa.
Beberapa orang lelaki muda yang tengah bergerom-
bol di gardu menatap penuh kagum ke arah sosok tu-
buh ramping itu. Tiga orang dari mereka sudah berge-
rak hendak menegur. Tapi langkah mereka tertahan, 
karena salah seorang berusaha mencegah.
"Mengapa kau mencegah kami...?" Tegur salah seo-
rang pemuda itu tak senang. Sorot matanya tampak 
menyiratkan kecurigaan.
"Kalau kau tidak berani, jangan mengganggu kese-
nangan kami. Dan kau jangan ikut campur!" Hardik 
yang satunya lagi, sambil menyingkirkan lengan yang 
menghadang jalannya.
"Wanita cantik itu bukan orang sembarangan! Apa 
kau tidak melihat pedang yang tergantung di ping-
gangnya?" Desis pemuda beralis tebal itu, memperin-
gatkan.
Mendengar peringatan itu ketiganya serentak meno

leh, seraya menatap penuh selidik. Memang apa yang 
dikatakan kawannya benar. Di pinggang kiri gadis jeli-
ta itu tampak tergantung sebilah pedang. Dari sini su-
dah bisa ditebak kalau si gadis jelita itu adalah orang 
dari kalangan persilatan.
"Ah! Siapa tahu senjata itu hanya sekadar untuk 
menakut-nakuti. Melihat dari wajahnya yang cantik 
dan penuh kelembutan itu, rasanya sukar untuk di-
percaya kalau ia memiliki ilmu silat. Untuk apa gadis 
cantik mempelajari ilmu berkelahi?" Bantah pemuda 
berbahu lebar yang raut wajahnya tampak keras.
"Kalau memang masih penasaran, ya terserah. Se-
bagai teman, aku hanya menasihati saja agar kau ti-
dak celaka karena sifat sombongmu itu," kata pemuda 
beralis tebal itu lagi, menggerakkan bahunya tanda 
menyerah.
Lelaki berbahu lebar itu hanya menyunggingkan 
senyum sinis, kemudian menoleh kepada kedua ka-
wannya.
"Kalian takut...?" Tanyanya, bernada meremehkan.
"Kami bukan takut. Tapi, apa yang dikatakan ka-
wan kita itu kurasa ada benarnya juga," tukas salah 
satu dari kedua pemuda itu. Sepertinya, dia merasa 
gentar melihat pedang yang tergantung di pinggang 
gadis itu.
"Kau sajalah, Badira. Aku juga tidak ikut," sahut 
pemuda satunya lagi, seraya kembali duduk.
"Huh! Kalian semua memang penakut! Kalian lihat 
saja nanti."
Sambil berkata demikian, lelaki berbahu lebar yang 
dipanggil Badira itu melangkah meninggalkan keenam 
orang kawannya.
"Mudah-mudahan saja ia tidak sampai cidera...," 
gumam pemuda beralis tebal itu penuh harap

Sedangkan Badira kini sudah melangkah meng-
hampiri gadis jelita yang tengah memasuki desa. Ken-
ing gadis itu tampak berkerut ketika melihat seorang 
pemuda berjalan ke arahnya. Sorot matanya yang bu-
lat tajam itu tampak memancarkan kecurigaan.
"Hai, Nisanak. Kau hendak ke mana?" Tegur Badira 
sambil memasang lagak dan senyum yang menurutnya 
paling manis dan paling ramah.
Gadis jelita berpakaian serba merah itu segera 
menghentikan langkahnya, ketika Badira menghadang 
jalannya. Cukup lama sepasang mata indah namun 
dingin itu merayapi sekujur sosok pemuda gagah di 
depannya. Sejauh itu, sama sekali tidak keluar sepa-
tah kata pun sebagai jawabannya.
Sikap gadis jelita itu tentu saja membuat Badira sa-
lah tingkah. Keningnya tampak berkerut tak senang, 
ketika gadis jelita itu kemudian menatap tepat di ke-
dua bola mata Badira. Sepertinya, dia tengah menilai 
pemuda itu.
"Ahhh, sayang! Seorang gadis yang demikian cantik, 
ter-nyata bisu dan tuli...," desis Badira, bernada 
menghina. Jelas sekali kalau ia sangat tersinggung 
terhadap sikap gadis cantik itu.
"Ternyata, apa yang dikatakan nenek sama sekali 
tidak salah. Laki-laki di dunia ini semua jahat, dan 
bermulut keji!"
Terdengar bibir mungil itu komat-kamit mengu-
capkan kata-kata itu. Dan hal ini ternyata membuat 
Badira tertegun dengan wajah berubah.
"Sial! Rupanya yang ku tegur seorang gadis gila...!"
Sambil mengumpat demikian, Badira melangkah 
berbalik, meninggalkan gadis jelita itu. 
"Hmhhh!"
Terdengar suara mendengus kasar. Badira tahu,

pasti dengusan itu berasal dari gadis cantik di bela-
kangnya. Tapi, ia sama sekali tidak peduli. Bahkan te-
rus melangkah ke arah kawan-kawannya yang mener-
tawakan kegagalannya.
Tapi, Badira yang baru melangkah beberapa tindak 
tiba-tiba memekik kaget! Dan tahu-tahu saja, tubuh-
nya terjengkang bagai terangkat ke atas!
"Tolooong...!"
Badira baru menjerit-jerit ketakutan, ketika menya-
dari kalau tubuhnya telah melambung setinggi satu se-
tengah tom-bak dari permukaan tanah! Karuan saja 
hal ini membuatnya menjadi ketakutan setengah mati!
"Lagi-lagi ucapan nenek benar. Makhluk yang ber-
nama lelaki itu selain bermulut besar dan jahat, ter-
nyata seorang penakut!" kembali terdengar ucapan 
yang aneh dari sepasang bibir indah itu.
"Hei, lepaskan kawan kami...!"
Meskipun tidak suka terhadap sifat sombong Badi-
ra, namun keenam orang kawannya itu tetap saja 
mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Maka se-
rentak mereka berlarian sambil berteriak-teriak, agar 
gadis cantik itu tidak sampai mencelakakan kawannya.
Sementara itu si gadis jelita yang berpakaian merah 
darah hanya tersenyum sinis. Ia tetap saja melam-
bung-lambungkan tubuh Badira dengan sebelah ta-
ngannya, tanpa kesukaran sedikit pun! Setiap kali tu-
buh Badira meluncur turun, telapak tangannya yang 
halus menyambut, untuk kemudian dilempar-kan 
kembali ke udara. Hal itu dilakukannya berulang-
ulang.
“Turunkan kawan kami!" bentak pemuda beralis 
tebal. Dia sepertinya merasa bertanggung jawab atas 
keselamatan Badira, hal ini terlihat dari wajahnya yang 
cemas.

"Hm.... Kau minta kawanmu kubebaskan?" Tanya 
gadis jelita itu, sambil tetap mempermainkan tubuh 
Badira.
"Maafkanlah dia.... Bukankah dia tidak mencelaka-
kan diri-mu?" Pinta lelaki beralis tebal itu lagi mengin-
gatkan.
"Baik. Nah, terimalah…!" Ujar gadis cantik itu. Sete-
lah berkata demikian, tubuh Badira dilemparkannya
ke arah kerumunan keenam orang kawannya. 
Blukkk!
"Ahhh...!"
Tentu saja keenam orang pemuda itu berteriak ka-
get! Tapi sebelum sempat menghindar, tubuh Badira 
telah menimpa mereka! Karuan saja tubuh ketujuh
orang pemuda desa itu berjatuhan saling tindih ke-
mudian mereka bangkit dan membersihkan debu yang 
mengotori pakaian mereka.
"Perempuan tak tahu adat...!" Lelaki beralis tebal itu 
pun mengumpat tak senang. Ditatapnya gadis jelita itu 
dengan wajah merah padam.
"Kalian semua adalah laki-laki keparat. Sepertinya 
makhluk seperti kalian memang harus dilenyapkan 
dari bumi ini agar tidak lagi menyakiti hati wanita?" 
Hardik gadis jelita itu tidak kalah garangnya.
Melihat dari sikapnya dan setiap ucapan yang ke-
luar dari mulutnya, jelas kalau gadis jelita itu sangat 
membenci kaum laki-laki.
Ucapan gadis jelita itu tentu saja membuat Badira 
dan kawan-kawannya terkejut setengah mati! Benar-
Benar sulit dimengerti, mengapa gadis jelita itu sangat 
membenci mereka. Padahal, apa yang dilakukannya 
tadi hanyalah masalah sepele. Tapi, sepertinya gadis 
itu menganggapnya sebagai suatu kesalahan yang tak 
terampuni.

Keterkejutan Badira dan kawan-kawannya seketika 
berubah menjadi ketegangan hebat! Wajah mereka 
masing-masing menjadi pucat bagai tak teraliri darah, 
begitu tahu-tahu saja gadis jelita itu telah berdiri bebe-
rapa langkah didepan mereka. Padahal, tadi jarak di 
antara mereka terpisah sekitar dua tombak. Tentu, sa-
ja ketujuh orang pemuda itu menjadi ketakutan! Apa-
lagi, mereka sama sekali tidak melihat gadis itu me-
lompat atau melangkah!
"Perempuan siluman...!"
Badira dan beberapa orang pemuda lainnya berde-
sis dengan tubuh gemetar, bagai orang terserang de-
mam!
"Kalianlah siluman jahat yang berujud manusia!" 
Bentak gadis jelita itu.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-
layang ke arah tiga orang terdepan, termasuk Badira!
Plakkk! Plakkk!
"Arghhh...!"
"Akhhh...!"
Terdengar suara tamparan yang keras berturut-
turut, di-iringi jerit kesakitan ketiga orang pemuda 
yang menjadi sasa-ran tamparan tangan halus si gadis 
jelita!
Empat pemuda lainnya termasuk pemuda beralis 
tebal, hanya menatap dengan mata terbelalak lebar! 
Tubuh ketiga kawannya yang terkena tamparan gadis 
jelita itu kontan ambruk. Mereka tampak berkelojotan 
bagai ayam di sembelih. Tak lama kemudian, ketiga 
pemuda itu diam tak bergerak! Dari telinga, hidung, 
dan mulut, mengalir darah segar!
"Iblisss...!" Desis lelaki beralis tebal itu.
Tubuhnya menggigil hebat! Hampir ia jatuh pingsan 
melihat Badira dan dua kawannya yang lain ternyata

telah mati akibat tamparan gadis jelita itu! Benar-
benar sulit dipercaya!
"Hm..., jangan khawatir. Kalian pun akan segera 
menyusul-nya," kata gadis jelita itu, dingin dan tajam. 
Sepertinya, ia sama sekali tidak menyesal telah mene-
waskan ketiga orang pemuda itu. 
"Tahaaan...!"
Tangan gadis jelita itu berhenti di udara, ketika ter-
dengar bentakan nyaring mencegahnya! 
"Hm...."
Terdengar gumaman lirih gadis itu ketika melihat 
datang-nya serombongan orang yang berlari ke arah 
mereka. Sinar mata yang mencorong tajam itu sekilas 
beralih, menatap rombongan lelaki berseragam yang 
mendatanginya.
"Ada apa ini?! Siapa yang membunuh mereka...?"
Mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang mata 
lelaki gagah yang tiba lebih dulu itu menatap ke arah 
si gadis. Jelas matanya seperti telah menuduh.
"Memang, akulah yang telah membunuh mereka...," 
desis gadis jelita itu menerangkan, tanpa menunggu 
pertanyaan lelaki gagah itu.
"Aaah...?!" Lelaki gagah itu memekik tertahan.
Kaki laki-laki itu melangkah mundur empat tindak. 
Jelas, keterangan gadis jelita berpakaian merah darah 
itu sangat mengejutkannya! Sepasang matanya tam-
pak menyiratkan ketidakpercayaan!
"Nisanak! Benarkah kau yang telah membunuh me-
reka...?" Tanya lelaki gagah itu setengah tak percaya.
Ditatapnya wajah lembut nan jelita itu penuh seli-
dik. Sepertinya, ia masih sukar mempercayai kalau ga-
dis sejelita itu dapat berbuat demikian kejam.
"Benar, Kakang Bonggar. Iblis itulah yang telah 
membunuh ketiga kawan kami! Meskipun wajahnya

secantik bidadari, namun jelas hatinya terselimuti ib-
lis...!" Kata pemuda beralis tebal itu, untuk meyakin-
kan lelaki gagah yang dipanggil Bonggar.
"Benar, apa yang dikatakan pemuda kurang ajar 
itu, Bong-gar. Bahkan bukan hanya mereka bertiga 
yang kubunuh. Semua lelaki di dunia ini akan kubu-
nuh! Laki-laki adalah makhluk yang tidak patut hidup 
di dunia ini...," tegas gadis jelita itu. Sorot matanya 
tampak penuh kebencian yang men-dalam.
'Tapi..., apa salah mereka...?" Bonggar yang se-
pertinya masih tidak mengerti itu, kembali minta pen-
jelasan.
"Aku tidak ada waktu untuk berbicara denganmu 
atau semua lelaki di dunia ini. Lebih baik, serahkan 
nyawa keempat laki-laki itu! Atau, kau juga ingin me-
layat ke akhirat...?" ancam gadis yang tanpa perasaan.
Melihat dari sorot matanya, sepertinya gadis jelita 
itu siap membuktikan ucapannya.
"Hm.... Kalau begitu, kau harus kutangkap. Kau ha-
rus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hada-
pan kepala desa kami," tegas Bonggar, yang mau tidak 
mau harus mempercayai ucapan gadis jelita itu.
"Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan...,” desis 
gadis itu dingin, dengan sorot mata tajam.
Dan, begitu ucapannya selesai, tubuh gadis itu te-
lah me-layang ke arah Bonggar! Serangannya tampak 
membawa hawa maut. Bonggar memang harus berha-
ti-hati menghadapinya.
"Kepung, dan tangkap gadis liar itu!"
Sambil berteriak memerintahkan kedua belas orang 
anak buahnya, Bonggar melesat ke kiri menghindari 
tamparan lawannya. Namun sayang tindakannya ju-
stru mendatangkan bencana bagi yang lainnya! Empat 
orang pemuda yang tadi masih selamat, kontan terjungkal keras diiringi jerit kematian yang susul-
menyusul! Rupanya gadis jelita itu sengaja menun-
jukkan kepada Bonggar kalau ucapannya bukanlah 
sekadar gertakan belaka. Akibatnya, keempat orang 
pemuda itu tewas oleh perubahan gerakan gadis jelita 
itu.
"Iblis...!" hardik Bonggar hampir tak percaya, "Wa-
jahmu saja yang seperti bidadari. Tapi, kekejamanmu 
tidak ubahnya iblis penghuni neraka! Kau..., Bidadari 
Iblis...!"
"Hm..., Bidadari Iblis...," gumam gadis jelita itu 
mengulang ucapan Bonggar.
Tampaknya ia sama sekali tidak keberatan dengan 
julukan yang diberikan lawan untuknya.
"Ya, akulah Bidadari Iblis yang akan menghukum 
lelaki-lelaki kurang ajar di permukaan bumi ini.... Hik 
hik hik...!"
Hati Bonggar bergidik mendengar ucapan yang ke-
luar dari mulut gadis jelita itu. Kini ia benar-benar 
percaya dengan apa yang diucapkan lawannya. Dan 
nampaknya semua perkataan gadis itu akan dibukti-
kannya. Hanya yang sulit dimengerti, mengapa seperti-
nya gadis jelita itu sangat membenci kaum laki-laki?
Sayang, Bonggar tidak bisa berpikir panjang. Me-
mang, gadis jelita yang dijuluki Bidadari Iblis itu telah 
menerjangnya kembali. Maka, lelaki gagah itu terpaksa 
harus menggunakan senjatanya untuk membela diri!
Wuuut! Wuuut!
Bonggar menggeser tubuhnya ke kiri dan kanan, 
sambil sesekali menebaskan goloknya untuk memben-
dung gencarnya gempuran gadis itu. Delapan orang 
anak buahnya yang datang membantu, membuat lelaki 
gagah itu dapat menarik napas lega, meskipun sesaat.
Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang merupakan kepala keamanan di desa itu, terkejut ketika 
mendengar jerit kematian yang susul-menyusul! Ha-
tinya geram bukan main ketika melihat tiga orang 
anak buahnya yang terjungkal disertai semburan da-
rah segar dari mulutnya.
"Jahanam keji...!" umpat Bonggar.
Laki-laki gagah itu semakin kalap menyaksikan ke-
matian anak buahnya itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, 
dia melesat disertai putaran goloknya!
Bettt! Bettt!
Sambaran golok di tangan Bonggar, sepertinya sa-
ma sekali tidak menyulitkan lawannya. Gadis jelita itu 
enak saja bergerak membagi-bagi serangan. Padahal, 
saat itu Bonggar sadar, kalau lawannya ternyata me-
miliki kepandaian tinggi!
Kejadian-kejadian yang menimpa anak buahnya be-
nar-benar membuat lelaki gagah itu terpukul! Mes-
kipun telah berusaha sekuat kemampuannya, tetap 
saja dua belas orang anak buahnya tidak dapat dis-
elamatkannya! Semuanya tewas di tangan Bidadari Ib-
lis, hanya dalam beberapa gebrakan saja! Hal itu be-
nar-benar tidak disangka sama sekali!
"Iblis keji! Kau harus membayar mahal akibat keke-
jamanmu itu!"
Bonggar benar-benar kalap menyaksikan anak 
buahnya tewas satu-persatu, tanpa mampu dicegah. 
Sehingga, lelaki gagah itu semakin kalap dibuatnya!
"Tidak perlu terburu-buru. Kau pun akan segera 
menyusul mereka," ancam gadis jelita itu tanpa rasa 
sesal sedikit pun dengan apa yang telah dilakukannya.
"Yeaaat...!"
Bonggar yang telah kalap langsung menerjang bagai 
orang kemasukan setan! Ucapan gadis jelita itu sama
sekali tidak diperdulikannya. Yang ada dalam benak

nya adalah, membu-nuh gadis itu secepatnya agar ti-
dak mendatangkan malapetaka bagi orang lain.
Sayangnya, ilmu yang dimiliki Bonggar masih terla-
lu jauh untuk dapat menghentikan lawan. Bahkan ti-
dak sampai sepuluh jurus, lelaki gagah itu sudah ter-
desak hebat.
"Susul semua kawanmu...."
Ucapan gadis itu dibarengi sebuah tamparan keras 
yang mendatangkan deruan angin tajam!
Wuttt!
Bukan main terkejutnya hati Bonggar melihat da-
tangnya tamparan lawan. Kepala lelaki gagah itu tera-
sa pening, karena tidak bisa mengikuti kecepatan ge-
rak lawannya. Sehingga...
Prakkk!
"Highhh...!"
Hanya suara itu yang keluar dari kerongkongan 
Bonggar, saat telapak tangan halus yang mengandung 
kekuatan hebat itu dan mengandung racun yang san-
gat ganas itu singgah di pelipis kirinya! Tubuh lelaki 
gagah itu langsung melintir bagai gangsing! Kemudian, 
tubuhnya terjerembab di atas tanah dengan genangan 
darah di sekitar kepalanya. Bonggar langsung tewas di 
tangan Bidadari Iblis!
Para penduduk desa yang menyaksikan peristiwa 
berdarah itu, serentak berlarian masuk ke dalam ru-
mah! Sekejap saja, desa itu telah sepi, bagaikan desa 
mati....
Bidadari Iblis hanya tersenyum dingin, kemudian 
melanjut-kan langkahnya menyusuri jalan utama de-
sa.
***

DUA

"Hm.... Ke mana perginya pemilik kedai makan ini?" 
Gumam dara jelita berpakaian serba merah itu perla-
han.
Sepasang mata gadis itu beredar ke sekeliling ruan-
gan. Senyuman sinis tampak terukir di bibirnya, ketika 
telinganya yang tajam mendengar desah napas mem-
buru.
Sejenak gadis yang dalam waktu singkat telah diju-
luki Bidadari Iblis itu termenung sambil mengerutkan 
keningnya. Sesaat kemudian, langkahnya terayun ke 
arah sebuah meja. Tidak dipedulikannya suasana ke-
dai yang kosong, tanpa satu sosok pun yang menam-
pakkan diri.
"Cepat keluar, dan sediakan makanan! Kalau tidak, 
kedai ini akan ku ratakan dengan tanah!"
Sambil berkata demikian, telapak tangan gadis itu 
menggebrak meja di depannya.
Terdengar suara keras, ketika telapak tangan halus 
itu menghancurkan meja hingga hancur menjadi bebe-
rapa keping. Benar-benar mengerikan tenaga dalam 
yang tersimpan di dalam lengan berkulit halus itu!
Gertakan Bidadari Iblis terbukti berhasil. Sesaat se-
telah itu, tampak beberapa kepala menyembul dari ba-
lik pintu ruangan tengah.
"Cepat layani aku sebaik-baiknya! Kalau tidak...," 
Bidadari Iblis mengancam sambil memamerkan kepa-
lannya yang mungil ke arah tiga kepala yang dilihatnya 
itu.
Bidadari Iblis tidak perlu menunggu lama. Begitu 
ucapan-nya selesai, muncullah tiga sosok tubuh yang 
melangkah dengan wajah pucat bagai kertas. Bahkan

dua di antara mereka sudah terkencing-kencing di ce-
lana. Hal itu dapat diketahui dari celana yang basah, 
dan bau yang tak sedap.
"Dasar laki-laki pengecut...!" Terdengar bibir mungil 
itu menggerimit tak senang.
"Apa..., apa yang kau inginkan..., Bida... eh, Nisa-
nak?" Tanya seorang lelaki setengah baya itu.
Dia benar-benar menjadi bingung harus memanggil 
apa kepada dara cantik itu. Tubuhnya tampak menggi-
gil, dengan butir-butir keringat sebesar biji jagung 
membasahi pakaiannya. Kalau saja Bidadari Iblis 
kembali membentak, rasanya lelaki tua itu pasti akan 
jatuh pingsan.
Untungnya, Bidadari Iblis hanya menyebutkan pe-
sanannya, dan meminta agar cepat disediakan. Maka 
tanpa diperintah lagi, ketiganya sudah berbalik. Mere-
ka saling mendahului meninggalkan dara cantik itu. 
Karuan saja pemandangan itu membuat si gadis terse-
nyum geli.
Sayang, sebelum Bidadari Iblis sempat melihat hi-
dangan pesanannya, tiba-tiba terdengar suara gaduh 
di luar kedai. Cepat dara jelita itu menoleh dengan wa-
jah tak senang.
"Itu dia orangnya, Ki...!"
Dara cantik yang kejam itu mengerutkan keningnya 
sambil menatap seorang lelaki kurus yang tadi menge-
luarkan suara itu. Kemudian, mata bulatnya beralih 
pada seorang lelaki gagah yang berusia lima puluh ta-
hun lebih.
Lelaki gagah yang wajahnya tampak gelap itu me-
ngerutkan keningnya, menatap wajah jelita yang ditun-
juk lelaki kurus itu. Pada sinar matanya tampak ter-
bayang sorot keraguan.
"Apa kau yakin kalau gadis yang kelihatan lembut

itu yang membunuh Bonggar dan keamanan desa lain-
nya?" Bisik lelaki gagah itu tanpa mengalihkan pan-
dangannya dari wajah jelita di depannya.
"Tidak salah, Ki. Semua orang desa melihatnya. Je-
las, perbuatannya sangat kejam! Kalau tidak salah, dia 
dijuluki Bidadari Iblis...," bisik lelaki kurus itu mene-
kankan ucapannya tanpa ragu-ragu.
"Hm.... Kalian semua tunggu di sini. Jangan ada 
yang bertindak sebelum kuperintahkan!" desis lelaki 
tua itu, tegas. Kemudian kakinya melangkah melewati 
pintu kedai.
Bidadari Iblis kembali membalikkan tubuhnya. Saat 
itu, hidangan yang dipesannya sudah datang. Dan. Se-
peninggal pelayan tua itu, hidangan yang sudah terse-
dia segera di nikmatinya. Sama sekali tidak dipeduli-
kan kehadiran lelaki gagah itu.
"Maaf, kalau aku terpaksa mengganggu makanmu, 
Nisanak," tegur lelaki tua itu.
Laki-laki yang sepertinya sangat dihormati itu me-
narik sebuah kursi tidak jauh dari tempat Bidadari Ib-
lis. Kemudian, dia duduk di situ.
Namaku Ki Sangga Watung, Kepala Desa Pe-
sanggrahan ini. Menurut keterangan salah seorang 
wargaku, kau telah berbuat keonaran. Belasan kea-
manan desa kami, telah kau bunuh termasuk ketua-
nya yang bernama Bonggar. Betulkah keterangan yang 
kudapat itu?" Tanya lelaki tua yang ternyata Kepala 
Desa Pesanggrahan ini.
Sejenak Bidadari Iblis menghentikan makannya. Di-
tatapnya lelaki tua yang mengaku bernama Ki Sangga 
Watung penuh selidik. Sekilas, ada pancaran kekagu-
man pada sepasang mata bulat dan indah namun din-
gin itu. Sepertinya, ia merasa kagum atas sikap Kepala 
Desa Pesanggrahan itu. Pikirnya, meskipun mungkin

orang tua itu sudah mengetahuinya, tapi sikap serta 
ucapannya sangat lembut. Semua itu menandakan ka-
lau Ki Sangga Watung adalah seorang bijaksana, dan 
me-miliki pandangan luas. Itu yang membuatnya me-
rasa kagum.
"Kau percaya dengan keterangan salah seorang 
wargamu itu, Orang Tua...?" Tanya Bidadari Iblis sam-
bil tersenyum manis dan memabukkan.
Senyum itu nampak demikian wajar dan mempeso-
na. Sehingga, menimbulkan keraguan di hati Ki Sang-
ga Watung.
"Aku hanya meminta penjelasanmu. Kalau kau 
memang bukan seorang pengecut, pasti perbuatan itu 
kau akui. Lain halnya jika pelakunya bukan dirimu," 
kata Ki Sangga Watung tetap menekan kemarahannya.
"Hm.... Aku bukanlah orang pengecut seperti orang-
orangmu itu! Dengarlah, Ki Sangga Watung. Orang-
orangmu memang aku yang membunuh! Dan kalau 
kau ingin membalasnya, aku tidak akan mundur!" Te-
gas Bidadari Iblis tajam. Kali ini senyumnya berubah 
sinis dan menghina.
"Kalau benar demikian, kau harus dihukum, Nisa-
nak. Perbuatanmu benar-benar sudah melewati taka-
ran!" Desis Ki Sangga Watung dengan wajah merah 
padam. Kemarahannya benar-benar terbangkit atas si-
kap gadis jelita yang jelas-jelas tidak memandangnya 
itu.
"Lalu, tunggu apa lagi?" Tukas Bidadari Iblis, sinis.
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali melan-
jutkan makannya. Sikapnya jelas merupakan hinaan 
bagi Ki Sangga Watung!
"Kau terlalu sombong, Nisanak! Maaf...," ujar Ki 
Sangga Watung mengulurkan tangannya, hendak 
mencengkeram pergelangan Bidadari Iblis.

Serangan itu menandakan kalau Kepala Desa Pe-
sanggrahan masih merasa enggan untuk berhadapan 
dengan gadis muda yang pantas menjadi anaknya itu. 
Dari sini dapat dilihat, ternyata Ki Sangga Watung ada-
lah seorang lelaki gagah yang tidak suka mengandal-
kan kepandaian untuk melawan seorang gadis muda.
Perbuatan Ki Sangga Watung itu justru disalaharti-
kan oleh Bidadari Iblis. Dara jelita itu merasa dire-
mehkan oleh sikap orang tua seperti memandang ren-
dah kepadanya.
"Keraguanmu bisa mendatangkan celaka, Orang 
Tua...," kata Bidadari Iblis.
Bidadari Iblis cepat mengangkat tangan kirinya me-
nyambut cengkeraman Ki Sangga Watung! Dan....
Plakkk!
"Ahhh...?!"
Ki Sangga Watung memekik tertahan! Tangkisan 
lengan halus itu ternyata membuatnya terjajar, hingga 
menabrak meja di belakangnya!
Brakkk...!
Meja kayu tebal serta beberapa buah kursi yang ter-
timpa tubuh orang tua itu berderak ribut, dan berpa-
tahan. Dari sini saja dapat diukur, betapa kuatnya te-
naga tangkisan Bidadari Iblis!
"Uhhh...," keluh Ki Sangga Watung. Laki-laki itu 
memijat pergelangan tangannya yang terasa linu. Ke-
nyataan itu langsung membuatnya sadar. Ternyata ga-
dis muda itu tidak bisa dipandang remeh! Meskipun 
serangan pertamanya tidak dilakukan secara sungguh-
sungguh, tapi jelas kalau lawannya memang memiliki 
tenaga dalam tinggi. Sebuah peringatan baginya untuk 
berhati-hati!
"Kutunggu kau di luar kedai, Bidadari Iblis...!" 
Sambil berkata demikian, Ki Sangga Watung melesat

menuju luar kedai.
"Sesukamulah, Orang Tua...," sahut Bidadari Iblis.
Baru saja ucapan itu ke luar dari mulutnya, tubuh 
dara jelita itu sudah melayang membumbung ke uda-
ra!
Brolll...!
Terdengar suara keras ketika bayangan merah itu 
menerobos atap kedai! Lalu, dengan gerakan yang 
memperlihatkan kelihaian ilmu meringankan tubuh-
nya, Bidadari Iblis berputar beberapa kali sebelum 
menjejakkan kakinya satu tombak di hadapan Ki 
Sangga Watung.
***
"Bidadari Iblis! Apa sebenarnya alasanmu sampai 
demikian kejam menindak mereka? Apa kesalahan 
yang mereka perbuat memang patut ditebus dengan 
nyawa? Atau, kau mempunyai alasan lain?!" Kata Ki 
Sangga Watung, meminta penjelasan atas perbuatan 
dara cantik itu.
"Aku benci laki-laki! Hukuman itu memang pantas 
didapat! Bahkan bukan hanya mereka saja, tapi selu-
ruh laki-laki yang kurang ajar di muka bumi ini! Juga 
kau, Orang Tua! Di balik sikap lembutmu, pasti ter-
sembunyi hati yang hitam! Rasanya, kau pun pantas 
dikirim ke alam akhirat!" Desis Bidadari Iblis.
Jawaban dara cantik berpakaian merah darah itu 
sempat membuat Ki Sangga Watung tersentak. Hatinya 
mulai men-duga-duga, apa sebenarnya yang telah me-
nimpa gadis jelita itu di masa lalu? Pasti ada penye-
babnya, sehingga ia membenci laki-laki. Tapi melihat 
raut wajah yang jelita serta sosok tubuh indah yang 
dimilikinya rasanya hanya lelaki gila saja yang mau


menyakiti hati gadis itu. Mana mungkin seorang laki-
laki waras mau meninggalkan ataupun menyakiti dara 
jelita di depannya itu? Kalau begitu, apa sebenarnya 
yang telah terjadi terhadapnya?
"Apa yang tengah kau pikirkan, Orang Tua?" Tanya 
Bidadari Iblis ketika melihat calon lawannya terme-
nung. Sepasang matanya tampak berkilat, sepertinya 
tengah menduga apa yang tengah dipikirkan Ki Sangga 
Watung itu.
"Nisanak! Apa yang membuatmu demikian mem-
benci kaum laki-laki? Apakah kau...."
"Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah untuk ma-
ti...!" Potong Bidadari Iblis nyaring.
Ucapan Ki Sangga Watung jelas tidak menyenang-
kan hati dari jelita itu. Maka, tanpa memberi kesempa-
tan bagi lawan-nya untuk berbicara lagi, Bidadari Iblis 
melompat menerjang!
"Ki, awasss...!"
Empat orang lelaki berseragam yang berada di kiri-
kanan Ki Sangga Watung langsung melesat melindungi 
kepala desanya, dengan empat batang pedang yang 
berkeredep menyambut tubuh Bidadari Iblis!
"Huh!"
Sambil mendengus, Bidadari Iblis merubah seran-
gannya. Tangan berkulit halus itu berputar cepat, ke-
mudian mengibas secara mengiriskan!
Wuuut...!
Serangkum angin tajam berdesing merobek udara! 
Akibat-nya, tubuh keempat orang pengawal Kepala De-
sa Pesanggrahan itu terjungkal tanpa ampun!
Bukan kepalang kagetnya Ki Sangga Watung me-
nyaksikan kehebatan Bidadari Iblis! Keempat orang 
pengawalnya ternyata langsung berkelojotan sambil 
memuntahkan darah segar dari mulutnya! Padahal, Ki

Sangga Watung tidak melihat adanya pukulan yang 
mengenai para pengawalnya! Kalau tidak menyaksikan 
dengan mata kepala sendiri, sukar rasanya untuk 
mempercayai.
"Itulah pukulan 'Perenggut Nyawa', hasil ciptaan 
Guruku yang khusus untuk melenyapkan laki-laki ku-
rang ajar di muka bumi ini," jelas Bidadari Iblis mele-
nyapkan keraguan Ki Sangga Watung.
Sepertinya dara jelita itu tahu kalau lawannya san-
gat terkejut oleh pukulannya. Tanpa menyentuh tubuh 
lawan, ternyata pukulan itu tetap bisa mendatangkan 
kematian! Itu baru angin pukulannya saja. Entah, apa 
akibatnya apabila pukulan maut itu sampai mengenai 
tubuh korban. Benar-benar sulit dibayangkan oleh Ke-
pala Desa Pesanggrahan ini.
"Siapakah gurumu yang demikian keji itu...?" Tanya 
Ki Sangga Watung lagi dengan wajah agak pucat. Je-
las, gebrakan Bidadari Iblis telah membuatnya sangat 
terkejut!
"Sudah kukatakan sejak pertama tadi, Orang Tua! 
Jangan banyak bicara! Simpan tenagamu, agar bisa 
melindungi nyawamu dari kematian!" Desis Bidadari 
Iblis dengan sorot mata sedingin es!
"Hm.... Sehebat apa pun kepandaianmu, janganlah 
lupa. Suatu saat, kau akan dikalahkan lawanmu," ujar 
Ki Sangga Watung. Rupanya ia sadar kalau dirinya 
bukan tandingan dara jelita berhati iblis itu.
Bidadari Iblis tersenyum sinis, tanpa menanggapi 
ucapan Ki Sangga Watung.
"Mulailah, Orang Tua. Atau aku yang harus memu-
lainya?" Ejek Bidadari Iblis. Wajahnya tetap dingin, 
tanpa perasaan.
"Baiklah. Jangan dikira aku takut menghadapi ke-
matian," ujar Ki Sangga Watung, menggeram jengkel.

Setelah berkata demikian, Ki Sangga Watung ber-
paling kepada salah seorang pengawalnya.
"Pergilah ke Gunung Walung. Sampaikan kejadian 
ini kepada kakekku," bisik Kepala Desa Pesanggrahan 
itu.
Lalu laki-laki tua itu melangkah maju tanpa me-
nunggu jawaban pengawalnya. Hal itu merupakan sua-
tu tanda kalau ia tidak mau perintahnya dibantah.
Lelaki bertubuh kurus itu terdiam sejenak. Bebera-
pa saat kemudian, barulah ia beranjak meninggalkan 
tempat itu. Tak lama terdengar suara derap kaki kuda 
ketika lelaki kurus itu pergi untuk menyampaikan pe-
san kepala desanya.
"Hik hik hik.... Rupanya kau cukup cerdik, dengan 
meminta bantuan. Jadi sekarang kau sadar. Ternyata 
kau tidak sanggup bermain-main sebentar denganku?"
Terdengar suara tawa dingin yang keluar dari bibir 
mungil milik Bidadari Iblis.
"Hm.... Sambutlah seranganku...!"
Tanpa mempedulikan ejekan lawannya, Ki Sangga 
Watung segera melesat membuka serangan! Senjata di 
tangannya berputar menimbulkan deru angin tajam. 
Jelas, lelaki tua itu pun memiliki tenaga dalam yang 
tidak rendah!
"Bagus! Itu baru namanya laki-laki...," ejek Bidadari 
Iblis, dingin.
Sambil berkata demikian, tubuhnya bergeser ke ka-
nan. Begitu tebasan pedang lawan lewat di samping 
tubuhnya, tangan kirinya menusuk dengan kecepatan 
kilat!
Bettt!
Ki Sangga Watung merendahkan tubuhnya. Jari-jari 
tangan lawan yang menimbulkan angin berciutan itu 
lewat di atas kepalanya. Lelaki tua itu kembali harus

menyelamatkan diri dengan lompatan jauh ke bela-
kang, ketika dengan kecepatan menggetarkan, jari-jari 
tangan lawan berputar setengah lingkaran, dan menu-
suk lehernya dari bawah ke atas!
Kepala Desa Pesanggrahan terus melompat jauh, 
dan melakukan beberapa kali salto untuk menghindari 
serangan maut lawan yang demikian gencar menghu-
jani tubuhnya!
Rupanya, Bidadari Iblis tidak kepalang tanggung 
dalam bertindak. Sedikit pun lawannya tidak diberi ke-
sempatan untuk menarik napas lega! Serangan-
serangannya demikian gencar, bagaikan gelombang 
lautan yang susul-menyusul menuju pantai! Sehingga, 
wajar saja kalau Ki Sangga Watung sampai terdesak, 
dan tidak mempunyai kesempatan membalas.
"Tamat riwayatmu, Orang Tua!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis mendo-
rongkan telapak tangan kirinya ke depan! Saat itu, ke-
dudukan Ki Sangga Watung sudah sangat berbahaya! 
Ia terus melangkah mundur menghindari serangan 
gencar lawannya!
Weees!
Serangkum angin yang terlontar dari telapak tangan 
dara jelita itu berhembus, mengancam nyawa lawan-
nya!
"Ahhh...?!"
Untunglah Ki Sangga Watung masih sempat menja-
tuhkan tubuhnya, dan terus bergulingan menjauhkan 
diri! Meskipun telah berhasil menyelamatkan diri, tapi 
bukan berarti orang tua itu dapat bernapas lega! Se-
bab, Bidadari Iblis terus mencecarnya tanpa ampun! 
"Heyaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketiga pu-
luh, Ki Sangga Watung berbuat nekat! Saat tusukan

jari-jari lentik itu meluncur mengancam dadanya, ma-
ka dipapakinya dengan tebasan pedang!
Wesss!
Sayangnya, lawan ternyata tidak sudi tangannya di-
buntungi! Begitu pedang di tangan Ki Sangga Watung 
berkeredep, cepat bagai kilat tangannya berputar ke 
bawah! Kemudian tangannya ditarik pulang, berbaren-
gan dengan tusukan jari tangan kanannya yang men-
gancam tenggorokan.
Wuuut! Jreppp!
"Arghhh...!"
Ki Sangga Watung menjerit ngeri! Jemari tangan 
lentik itu langsung melesak ke dalam tenggorokannya 
tanpa dapat dicegah lagi!
"Heaaah!"
Sambil membentak nyaring, Bidadari Iblis menca-
but jemari kanannya! Kemudian dengan kuda-kuda 
rendah, telapak tangan kirinya menyusul ke arah dada 
lawan!
Blaggg!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjeng-
kang deras ke belakang! Kemudian tubuhnya terbant-
ing di atas tanah, dengan pakaian bagian dada hangus 
bagai terbakar! Bahkan kulit dan daging yang terkena 
pukulan tampak meleleh dan berwarna kemerahan! Ki 
Sangga Watung langsung tewas di tangan Bidadari Ib-
lis dalam keadaan mengerikan!
Tewasnya Kepala Desa Pesanggrahan, membuat be-
lasan orang pengawal serta warga desa yang me-
nyaksikan berserabutan meninggalkan tempat itu! Se-
kejap saja, suasana yang semula diramaikan pendu-
duk desa, jadi sepi dalam sekejap! Kematian Ki Sangga 
Watung telah melenyapkan semangat serta keberanian mereka!

Tinggallah kini Bidadari Iblis dengan segala keang-
keran-nya. Setelah beberapa saat terdiam, dara jelita 
berhati iblis itu pun melangkah meninggalkan mayat 
korban kekejamannya.
***
TIGA


Matahari sudah semakin bergeser ke langit sebelah 
Barat. Sinarnya pun tidak garang lagi. Di bawah mega 
merah jelaga tampak sosok ramping berpakaian merah 
darah tengah melangkah tenang bergerak ringan men-
daki pegunungan.
Hembusan angin dingin pegunungan yang terasa 
menusuk tulang, tidak dipedulikannya. Bahkan lapi-
san kabut yang turun menyelimuti punggung gunung, 
tidak juga membuat langkahnya terhenti. Sorot ma-
tanya tampak demikian tajam, seperti berusaha me-
nembus lapisan kabut yang menghalangi-nya.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah sosok tubuh 
di atas puncak gunung. Di tengah lapisan kabut yang 
semakin tebal, sosok berpakaian merah itu terus ber-
gerak maju. Langkahnya baru terhenti ketika telah tiba 
didepan sebuah pondok sederhana.
Sejenak, sosok berpakaian merah itu mengedarkan 
pandangannya ke sekeliling halaman pondok. Kemu-
dian dia kembali bergerak maju beberapa langkah, dan 
terhenti kembali.
"Sahabat! Kalau kau datang hendak bertamu, ma-
suklah...!"
Terdengar teguran halus yang berasal dari dalam 
pondok. Padahal, pintu pondok itu masih tertutup rapat. Dan herannya si penghuni pondok ternyata sudah 
tahu akan kedatangan sosok berpakaian merah darah 
itu. Dari sini saja sudah dapat ditebak, si empunya 
pondok itu ternyata bukanlah orang sembarangan!
Sosok berpakaian merah darah itupun tertegun se-
jenak. Ada keheranan dan kekaguman terlintas pada 
sepasang bola matanya yang dingin. Meskipun hanya 
sekilas, tapi teguran itu membuat langkahnya agak ra-
gu."
"Begawan Cindra Putra! Kedatanganku bukan un-
tuk bertamu, tapi hendak mencabut nyawamu!" Sahut 
sosok berpakaian merah itu datar. Tubuhnya tegak 
menghadap pintu pondok, setelah maju dua tindak.
Untuk beberapa saat lamanya, tidak terdengar ja-
waban dari dalam pondok. Suasana seketika jadi hen-
ing.
Sosok tubuh berpakaian merah darah itu sepertinya 
sudah tidak sabar. Semua itu terlihat jelas dari tu-
buhnya yang kelihatan tidak bisa diam. Baru saja ka-
kinya siap melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara 
berderit seiring terbukanya pintu pondok.
Seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun 
lebih tampak muncul dari dalam pondok. Pakaiannya 
hanya berupa kain putih yang dilibatkan ke tubuhnya. 
Rambutnya putih, dan tergulung ke atas. Jenggot dan 
kumisnya panjang hingga ke dada, juga berwarna pu-
tih. Sorot matanya tampak demikian lembut, disertai 
senyum sabar yang selalu menghias wajahnya. Sosok 
kakek yang bernama Begawan Cindra Putra itu benar-
benar merupakan gambaran seorang pertapa sejati.
"Eyang Begawan! Dialah Bidadari Iblis yang mem-
bantai Bonggar serta kawan-kawan yang lain. Jangan-
jangan, Ki Sangga Watung pun telah dibunuhnya pu-
la...," kata seorang lelaki kurus berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Seraya menyembulkan kepalanya dari 
dalam pondok.
Dia bukan lain adalah salah seorang pengawal Ki 
Sangga Watung, yang mendapat tugas untuk pergi ke 
Gunung Walung ini. Rupanya dia telah di sini sejak ta-
di.
"Hm.... Tetaplah di dalam pondok. Kalau dia dapat 
men-capai tempat ini dalam waktu singkat, jelas ke-
pandaiannya tidak bisa dibuat main-main. Entah, apa 
keperluannya hingga datang mencariku? Anehnya, ia 
pun telah mengenalku?" Bisik Begawan Cindra Putra 
tanpa melepaskan pandangannya dari sosok berpa-
kaian merah darah itu.
Meskipun suasana puncak Gunung Walung saat itu 
dipenuhi kabut yang turun, tapi semua itu tidak 
menghalangi pandangan sang Begawan. Sedangkan le-
laki kurus di belakang kakek itu hanya melihat adanya
bayangan merah, meskipun sudah dapat menebak sia-
pa orangnya.
Mendengar ucapan Begawan Cindra Putra, lelaki 
kurus itu kembali menarik kepalanya, dan menutup 
pintu pondok.
"Nisanak! Benarkah kau yang berjuluk Bidadari Ib-
lis? Dan, bagaimana kau bisa menemukan tempat ini 
dalam waktu singkat? Apakah di antara kita pernah 
bertemu sebelumnya?" Tanya Begawan Cindra Putra 
sambil menatap tak berkedip ke arah sosok berpakaian 
merah darah yang memang Bidadari Iblis.
"Begawan Cindra Putra," sebut Bidadari Iblis, datar.
"Sebenarnya aku mendapat kesulitan untuk mencari 
tempat tinggalmu. Dan sebagaimana petunjuk guruku, 
dari Desa Pesanggrahan itulah satu-satunya jalan un-
tuk mengetahui keberadaanmu. Sengaja lelaki kurus 
yang ditugaskan Ki Sangga Watung itu tidak kubunuh,

agar tempat tinggalmu bisa ku-ketahui. Kalau saja le-
laki kurus itu tidak kuperlukan, apakah dikira ia bisa 
dengan selamat tiba di Gunung Walung ini?" 
"Maaf! Ada urusan apa di antara kita, sehingga kau 
membuat keonaran di Desa Pesanggrahan? Lalu, apa-
kah Ki Sangga Watung telah kau bunuh pula?" Tanya 
Begawan Cindra Putra tetap sabar, dan tersenyum 
lembut.
"Aku tidak tahu, urusan apa di antara guruku de-
ngan kalian di masa lalu. Tugasku hanyalah mencabut 
nyawa seluruh keluarga dan kerabatmu yang telah 
membuat guruku menderita seumur hidupnya. Seka-
rang bersiaplah, Kakek Tua! Aku akan mencabut nya-
wamu?"
Kembali terdengar nada dingin dan datar ancaman 
Bidadari Iblis. Kemudian sosok berwajah jelita itu me-
renggang, dan siap melontarkan serangan.
"Siapakah gurumu yang demikian mendendam ter-
hadap keluarga dan kerabatku, Nisanak? Anggaplah 
jawabanmu sebagai hadiah kematian orang tua lemah 
seperti diriku ini. Sehingga nanti aku tidak mati pena-
saran," pinta Begawan Cindra Putra tetap tanpa hawa 
amarah. Hanya gambaran penasaran terbayang di wa-
jahnya.
"Tidak perlu! Justru guruku ingin membuatmu dan 
yang lainnya mati penasaran! Dengan demikian, pen-
deritaan selama bertahun-tahun dapat berkurang," 
tandas Bidadari Iblis dengan nada tajam.
Begawan Cindra Putra menghela napas berat penuh 
sesal. Bukan kematian yang membuat kakek tua itu 
bersedih. Tapi, justru dendam yang meracuni wanita 
muda berparas jelita itulah yang membuatnya berdu-
ka.
"Hahhh.... Kasihan sekali kau, Nisanak. Dalam usia

yang demikian muda, racun dendam sudah demikian 
dalam masuk di hatimu. Entah, siapa gerangan guru-
mu yang demikian kejam menjejali bibit-bibit keben-
cian itu?" Desah Begawan Cindra Putra sambil me-
nundukkan wajahnya, menekuri rerumputan basah.
"Orang Tua! Apa pun yang kau katakan, semua itu 
tidak akan merubah keputusanku! Jadi, sebaiknya 
bersiaplah! Aku tidak mempunyai banyak waktu!" De-
sis bibir mungil dan indah itu tak sabar.
"Nisanak...."
"Cukup! Sambut seranganku...!"
Tanpa memberi kesempatan pada Begawan Cindra 
Putra untuk menyelesaikan kalimatnya, Bidadari Iblis 
sudah melesat cepat dengan tamparan-tamparan 
mautnya!
Serangan-serangan ganas dara jelita itu mau tidak 
mau memaksa Begawan Cindra Putra untuk mengada-
kan perlawanan. Biar bagaimanapun, kakek itu tentu 
saja tidak sudi menyerahkan nyawanya sia-sia. Apalagi 
ia pun belum tahu, siapa guru wanita muda jelita itu. 
Juga, mengapa guru Bidadari Iblis itu demikian men-
dendam terhadap keluarga maupun kerabatnya. Ala-
san-alasan itulah yang memaksanya harus terpaksa 
melayani lawannya. 
"Haaait...!"
Bidadari Iblis sepertinya sangat bernafsu sekali un-
tuk segera merobohkan lawannya. Serangan-serangan 
demikian ganas dan gencar! Sepasang telapak tangan-
nya menyambar-nyambar diiringi suara bercicitan. Je-
las, wanita jelita itu telah mengeluarkan tenaga dalam 
sepenuhnya untuk menamatkan riwayat lawan sece-
patnya!
Begawan Cindra Putra sendiri tentu saja harus 
mengerahkan seluruh kelincahannya untuk menghindari serangan-serangan berhawa maut dari lawannya. 
Namun sampai sejauh itu, ia belum melancarkan se-
rangan balasan yang berarti. Hanya sesekali, dibalas-
nya serangan Bidadari Iblis. Namun, itupun kalau be-
nar-benar sudah sangat terdesak. Kalau tidak, kakek 
itu hanya mengelak sambil meneliti gerak lawan. Se-
pertinya, Begawan Cindra Putra hendak mengenali je-
nis ilmu silat yang dimainkan lawannya. Dengan begi-
tu, diharapkan guru Bida-dari Iblis yang demikian ke-
jam dan tega meracuni muridnya dengan bibit-bibit 
kebencian dapat dikenali.
Tapi, usaha Begawan Cindra Putra sepertinya me-
nemui jalan buntu. Ternyata, gerak ilmu silat lawan-
nya benar-benar aneh dan sulit dikenali. Melihat dari 
ilmu-ilmu silat yang terkadang kacau tak beraturan 
itu, Begawan Cindra Putra menduga kalau lawannya 
pasti tidak hanya belajar dari satu guru. Memang, ka-
kek itu melihat banyak gerakan aneh yang kadang ti-
dak selaras dengan ilmu-ilmu lainnya yang dimainkan 
wanita lawannya.
"Nisanak! Tampaknya kau belajar dari beberapa 
guru pandai. Apakah semua gurumu mendendam ke-
pada seluruh keluarga dan kerabatku?" Tanya Bega-
wan Cindra Putra sambil menggeser tubuhnya meng-
hindari hantaman telapak maut lawan. Sepertinya, ka-
kek itu tidak bisa memendam rasa penasaran di ha-
tinya.
'Tidak! Guruku hanya seorang di dunia ini. Karena 
kebaikan hatinya, maka aku bertekad untuk memba-
laskan semua dendamnya!" Sahut Bidadari Iblis tanpa 
menghentikan serangan-serangannya. Bahkan gera-
kannya tampak semakin cepat dan ganas!
Jelas, dara jelita itu tidak mau memberikan kesem-
patan bagi lawannya untuk berbicara lebih banyak la

gi. Dan, untuk mencegah kecerewetan kakek itu, gem-
puran-gempurannya dipergencar.
Usaha Bidadari Iblis jelas berhasil baik. Begawan 
Cindra Putra tidak lagi sempat berbicara, dan semakin 
sibuk membendung gelombang serangannya yang de-
mikian gencar dan berbahaya!
"Yiaaat...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh 
puluh, tiba-tiba Bidadari Iblis berseru nyaring! Telapak 
tangannya tampak digosok-gosokkan satu sama lain! 
Gesekan-gesekan sepasang telapak tangan halus itu 
ternyata cukup menggetarkan! Seketika gumpalan 
asap tebal kebiruan muncul dari sepasang tangannya! 
Bahkan samar-samar tercium bau harum yang mema-
bukkan! Jelas ilmu yang tengah disiapkan Bidadari Ib-
lis mengandung racun ganas!
Begawan Cindra Putra melompat mundur sejauh 
satu tom-bak lebih. Jelas, kakek itu sangat terkejut 
melihat ilmu yang tengah dipersiapkan lawannya!
"Ilmu Keji...!" desis Begawan Cindra Putra, geram.
Sepertinya, kakek pertapa itu merasa kasihan me-
lihat dara jelita yang berwajah lembut itu telah diracu-
ni ilmu silat keji, yang jelas dimaksudkan untuk mem-
bunuh. Pemikiran itulah yang membuatnya geram. 
Sadar kalau ilmu yang dipersiapkan lawannya itu pas-
tilah sangat ganas dan berbahaya, maka Begawan Cin-
dra Putra pun segera menyiapkan ilmu andalan-nya!
"Hmmmh...."
Terdengar suara menggereng lirih yang keluar dari 
kerongkongan Begawan Cindra Putra. Perlahan kakek 
itu mendorongkan kedua lengannya ke atas dengan te-
lapak terbuka. Sepasang tangan itu kemudian turun 
ke sisi pinggang dalam keadaan terkepal. Lalu sambil 
membentuk kuda-kuda rendah dengan kaki bersilangan, Begawan Cindra Putra mengembang-kan kedua 
lengannya ke kin dan kanan. Sepasang lengannya 
tampak bergetar, menandakan betapa kuatnya tenaga 
yang mengalir ke dalamnya! 
"Yiaaat...!"
Bidadari Iblis berseru nyaring, diiringi lesatan tu-
buhnya yang menggetarkan! Berbarengan gerakan itu, 
sepasang telapak tangannya yang terbuka, melontar-
kan pukulan susul menyusul!
Wusss! Wusss!
Hembusan angin yang menebarkan bau harum 
memabukkan, mencicit tajam mengancam tubuh Be-
gawan Cindra Putra! Dari suaranya yang mendesing-
desing menyakitkan telinga, bisa diduga kalau tenaga 
dalam yang digunakan Bidadari Iblis sangat tinggi! Be-
lum lagi, ditambah hawa beracun yang keluar dari se-
tiap lontaran pukulannya! Tidak heran kalau wanita 
berparas jelita itu berani mati menyatroni kediaman
Begawan Cindra Putra!
Kepandaian yang dimilik Begawan Cindra Putra 
sendiri sebenarnya sudah sangat tinggi. Bahkan di ka-
langan rimba persilatan, kakek itu merupakan tokoh 
kelas atas yang sangat disegani dan dihormati. Tidak 
banyak tokoh tua yang seangkatan dengannya memili-
ki ilmu demikian tinggi. Dan kalau saja Bidadari Iblis 
berani mendatangi kakek itu beberapa tahun sebe-
lumya, mungkin tidak akan mampu untuk mengim-
bangi kesaktian Begawan Cindra Putra.
Sayangnya, usia yang semakin tua membuat Be-
gawan Cindra Putra tidak lagi segesit dan sehebat be-
berapa tahun yang lalu. Jadi wajar saja kalau dalam 
menghadapi tokoh muda yang sakti dan kejam seperti 
Bidadari Iblis, kakek itu terpaksa harus bekerja keras 
mengerahkan seluruh kekuatan-nya.
Sedangkan Bidadari Iblis sendiri merupakan lawan 
yang cukup berat. Dalam usianya yang masih sangat 
muda ternyata memiliki kesaktian ganas dan tinggi. 
Kekuatan yang dimiliki-nya tampak meningkat dan se-
makin sempurna, sehingga memiliki daya tahan yang 
jauh lebih kuat dari lawannya. Semuanya merupakan 
modal utama untuk memenangkan pertempuran ini.
Kekuatan dan kegesitan Begawan Cindra Putra ter-
lihat semakin menurun, ketika pertempuran telah ber-
langsung lebih dari seratus jurus.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keseratus 
lima puluh, Begawan Cindra Putra terlihat semakin 
payah! Beberapa pukulan maut lawannya nyaris 
menghajar tubuh kurus itu! Dan gerakan yang sema-
kin lambat itu, membuat Bidadari Iblis semakin ganas! 
Sehingga pada suatu kesempatan, wanita itu melesat 
cepat dengan sebuah tamparan keras, tanpa dapat di-
cegah Begawan Cindra Putra. Laki-laki tua itu hanya 
bisa terbelalak, melihat serangan tiba. Blaggg!
Tamparan telapak tangan halus yang disertai bau 
harum memabukkan itu telak menghantam dada ter-
bungkus tulang Begawan Cindra Putra! Akibatnya, tu-
buh kurus itu terlempar diiringi pekikan ngerinya!
Pada saat tubuh Begawan Cindra Putra masih me-
layang di udara, tokoh sesat berwajah jelita itu sudah 
kembali men-dorongkan sepasang telapak tangannya!
"Bresssh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang menyayat ketika se-
pasang telapak tangan bertenaga dahsyat itu telak 
menghajar tubuh sang Begawan! Semburan darah se-
gar mengiringi terlempar-nya tubuh tua Begawan Cin-
dra Putra, yang langsung terjatuh ke dalam jurang!

"Guru...," bisik Bidadari Iblis tengadah ke langit, 
"Kini musuhmu hanya tinggal seorang. Semoga kau 
senang karenanya."
Setelah berkata demikian, wanita jelita itu melang-
kah meninggalkan puncak Gunung Walung. Tidak di-
pedulikannya sosok lelaki kurus yang menyembulkan 
kepalanya dari balik pintu pondok. Bidadari Iblis terus 
melangkah menuruni lereng Gunung Walung yang 
kembali hening dan sunyi....
***
Sepeninggal Bidadari Iblis, lelaki kurus itu belum 
juga keluar dari dalam pondok. Sepertinya, ia merasa 
khawatir kalau-kalau wanita jelita berhati iblis itu be-
lum benar-benar meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung.
Entah, sampai berapa lama lelaki kurus pembantu 
setia Kepala Desa Pesanggrahan itu berdiam diri di da-
lam pondok. Debaran dalam dadanya belum juga le-
nyap. Bahkan wajah kurus itu demikian pucat, karena 
ketakutan yang hebat telah melanda dirinya.
Kematian Begawan Cindra Putra benar-benar sulit 
diterima. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri, rasanya memang sukar dipercaya. 
Hampir mustahil kalau orang tua yang dianggapnya 
sangat sakti dan sangat dipujanya ternyata dapat dika-
lahkan seorang gadis muda. Rasanya, ia seperti tengah 
bermimpi saja. Namun, mau tidak mau ia harus mene-
rima kenyataan mengiriskan itu.
Setelah cukup lama dan merasa yakin kalau Bi-
dadari Iblis benar-benar telah meninggalkan puncak 
Gunung Walung, barulah lelaki kurus itu berani keluar 
dari dalam pondok. Itupun dilakukannya sambil men

gendap-endap, dan melalui pintu pondok sebelah bela-
kang.
Sambil menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah ge-
lisah, lelaki kurus itu bergerak menuju tebing yang te-
lah menelan tubuh Begawan Cindra Putra. Ditelusu-
rinya ceceran darah yang masih basah itu. Lang-
kahnya baru terhenti di tepi jurang, tempat cairan da-
rah di atas rerumputan itu berakhir.
"Aaah...! Sudah dapat dipastikan, Eyang Begawan 
Cindra Putra tewas di bawah sana...," gumam lelaki 
kurus itu sambil menjengukkan kepalanya ke dalam 
jurang. Tapi, tiada satu pun yang dapat dilihatnya di 
dalam jurang yang bagai tak memiliki dasar itu. Apala-
gi hari sudah menjelang malam, tanpa ada penerangan 
sedikit pun.
Setelah agak lama meneliti dan yakin Begawan Cin-
dra Putra sudah tidak ada harapan hidup, lelaki kurus 
itu pun melangkah pergi.
"Aku harus melaporkan kejadian ini kepada Ki Dasa 
Penang. Atau jangan-jangan..., Bidadari Iblis sudah be-
rada di sana. Sebab, sempat kudengar tadi ucapannya 
yang hendak membantai seluruh keluarga dan kerabat 
Eyang Begawan. Aaah...! Apa yang harus kulakukan 
sekarang?" Desah lelaki kurus itu gelisah. '?Biarlah. 
Terlambat ataupun tidak, yang penting aku harus me-
nemui Ki Dasa Penang...."
Keputusan yang telah bulat ini membuat lelaki ku-
rus itu bergegas meninggalkan puncak Gunung Wa-
lung. Sebentar kemudian, ia sudah menuruni lereng. 
Kini di tangannya telah tergenggam sebatang obor un-
tuk menerangi jalan yang akan dilaluinya.
***

EMPAT

Dalam dunia persilatan, segala kejadian yang me-
nimpa tokoh-tokoh persilatan cepat sekali tersebar 
luas. Apalagi, kematian itu menyangkut seorang tokoh 
sakti kelas atas. Maka tidak heran kalau dalam waktu 
singkat saja, berita tentang kematian Begawan Cindra 
Putra telah tersebar di kalangan rimba persilatan.
Dalam dunia persilatan, kejadian ini sangat langka. 
Sehingga, mau tak mau telah mengundang berbagai 
pendapat tentang kematian tokoh sakti yang kabarnya 
telah lama mengasingkan diri itu. Hal itu dikaitkan pu-
la dengan terbantainya keamanan Desa Pesanggrahan, 
berikut Ki Sangga Watung yang menjadi kepala desa 
itu.
Kaum persilatan golongan putih tentu saja menjadi 
marah besar atas peristiwa berdarah itu. Sehingga ju-
lukan Bidadari Iblis pun semakin berdengung, dan 
membuat golongan putih harus bangkit. Apalagi, tokoh 
sesat berwajah jelita itu bukan hanya membunuh Be-
gawan Cindra Putra, Ki Sangga Watung, dan keama-
nan-keamanan Desa Pesanggrahan. Bahkan cukup 
banyak kejadian-kejadian sesudah itu yang dikaitkan 
dengan Bidadari Iblis!
Kebangkitan dan kemarahan golongan putih ter-
nyata juga ditanggapi oleh kaum sesat. Bahkan para 
tokoh sesat menjuluki wanita cantik berpakaian merah 
darah itu sebagai Bidadari Salju. Julukan itu diberikan 
karena sikapnya dan wajahnya yang selalu tampil din-
gin seperti salju.
Dan kemunculannya itu jelas membuat kaum go-
longan sesat menyambut gembira. Dengan terbunuh-
nya tokoh-tokoh golongan putih, berarti membuat

kaum sesat merasa yakin kalau Bidadari Salju berpi-
hak kepada mereka.
Kemunculan tokoh jelita berhati iblis itu tidak ha-
nya disambut suka ria oleh golongan sesat. Bahkan 
kini mereka semakin berani terang-terangan melaku-
kan kejahatan!
Gerombolan perampok yang selama ini bergerak
sembunyi-sembunyi karena tekanan golongan putih, 
kini berani men-jarah harta benda penduduk baik pagi 
maupun siang hari. Sehingga, keadaan semakin ber-
tambah keruh dan kacau!
Demikian pula halnya pada pagi hari ini. Serom-
bongan perampok yang menjuluki dirinya Perampok 
Jubah Merah, bergerak menuju sebuah desa. Beberapa 
orang petani yang tengah sibuk menggarap sawah la-
dang, menatap dengan wajah pucat!
"Gerombolan Perampok Jubah Merah...?!" Desis 
seorang petani berusia empat puluh tahun. Dia mena-
tap gemetar ke arah serombongan orang berkuda yang 
melintas di atas jalan lebar.
Bukan hanya petani berhidung besar itu saja yang 
menjadi ketakutan. Bahkan belasan petani lain yang 
tengah sibuk mencangkul serentak terhenti dan me-
mandang terbeliak, bagaikan melihat hantu berkelia-
ran di siang hari!
"Celaka! Apa yang harus kita lakukan...?" Desah 
seorang petani muda bertubuh tegap. Raut wajahnya 
yang terlihat keras dan telah basah oleh lumpur, tam-
pak berubah tegang dan pucat. Sedangkan tangan ka-
nannya masih menggenggam cangkul.
"Larilah ke desa! Laporkan kedatangan iblis-iblis bi-
adab itu kepada Ki Gandir!" Usul petani berhidung le-
bar yang saat itu sudah bergerombol bersama petani 
lainnya.


"Benar. Cepatlah kau pergi, sebelum mereka meng-
gondol harta benda kita. Bisa-bisa istri dan anak pe-
rempuan kita pun akan jadi sasaran mereka...," sam-
but seorang petani setengah baya dengan wajah geli-
sah.
“Tapi, apakah tidak sebaiknya kita semua kembali 
ke desa? Siapa tahu saja kehadiran kita beramai-ramai 
bisa menjadi bantuan yang berarti bagi Ki Gandir...," 
usul petani muda itu. 
"Baik. Ayolah...."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, belasan orang 
petani itu pun bergegas meninggalkan sawah-nya. Ke-
mudian mereka bergabung dengan para petani lain, 
dan beramai-ramai bergerak kembali ke desa untuk 
menyelamatkan harta dan keluarga mereka.
***
"Heyaaa... heyaaa...!"
Seorang lelaki brewok bertubuh gemuk berteriak-
teriak ketika menerobos mulut desa bersama rombon-
gannya! Jubahnya yang panjang dan berwarna merah 
darah itu berkibaran mengikuti ayunan tubuhnya di 
atas punggung kuda hitam.
"Cegah mereka...!"
Seorang lelaki gagah yang rupanya adalah kepala 
keamanan desa itu mencabut pedangnya. Dengan ga-
gah, dipimpinnya dua belas orang anak buahnya un-
tuk menghalau Perampok Jubah Merah!
Pertempuran kecil pun tidak dapat dihindari lagi! 
Lelaki brewok yang menjadi pimpinan Perampok Jubah 
Merah mengibaskan golok besarnya untuk meroboh-
kan penghadang di depannya! Seketika darah tertum-
pah membasahi bumi! Korban-korban mulai berja

tuhan saling tumpang-tindih!
Pada saat pertempuran tengah berkecamuk itu, 
muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih 
yang keluar dari da-lam kedai. Begitu tiba, pemuda 
tampan itu langsung melesat memapak tebasan golok 
besar pemimpin gerombolan perampok itu!
Plakkk!
"Aaahk...?!"
Bukan main terkejutnya lelaki brewok itu ketika go-
lok di tangannya terpental balik, akibat tepisan telapak 
tangan seorang pemuda tampan! Bahkan tubuh gemuk 
itu sampai terjatuh dari atas punggung kudanya! Be-
nar-benar sukar dipercaya kejadian yang menimpa di-
rinya.
"Siapa..., kau...!" Bentak lelaki brewok itu sambil 
menatap gentar sosok berjubah putih yang sudah ber-
diri tegak di hadapannya.
"Hm.... Siapa aku, kau tidak perlu tahu. Perintah-
kan anak buahmu untuk meninggalkan Desa Pucung 
ini, sebelum semuanya terlambat!" tegas pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Meski suaranya terdengar pe-
lan, namun ketegasannya jelas membuat lelaki brewok 
itu tersirap kaget!
"Bedebah! Kau pikir, kau siapa! Benar-benar lan-
cang mulutmu berbicara! Lebih baik, jaga lehermu 
agar tidak putus!"
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu men-
gayunkan golok besarnya ke leher lawan! Dari suara 
desingannya dapat ditebak kalau dia memiliki tenaga 
luar yang amat kuat!
Wuuuk!
Kemarahan lelaki brewok itu semakin menjadi-jadi. 
Golok besarnya ternyata hanya mengenai angin ko-
song! Sedangkan lawannya sudah lenyap entah ke ma

na!
"Hm…. Siapa yang kau cari, Kerbau Dungu! Aku be-
rada di belakangmu," terdengar suara yang menge-
jutkan dari belakang.
"Bangsat!"
Tanpa menoleh lagi, lelaki brewok itu menyabetkan 
golok besarnya ke belakang tubuhnya! Gerakannya 
cukup cepat dan kuat! Sehingga apabila golok besar 
itu sampai mengenai tubuh lawan, dapat dipastikan 
tubuh pemuda berjubah putih itu akan terbelah men-
jadi dua bagian!
Trakkk!
"Hahhh?!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat 
lelaki brewok itu terbeliak! Golok besar di tangannya 
langsung patah menjadi dua, ketika bertemu sosok 
berjubah putih yang ter-selimut lapisan kabut bersinar 
putih keperakan!
"Pendekar Naga Putih...!"
Bagaikan melihat hantu di siang hari, lelaki brewok 
itu bergetar mundur dengan wajah pucat! Sebab lang-
sung bisa dikenali, siapa adanya sosok yang sekujur 
tubuhnya mengeluarkan sinar putih keperakan itu.
Begitu mengetahui dengan siapa berhadapan, kebe-
ranian lelaki brewok itu langsung saja lenyap! Memang 
pendekar itu sudah sangat dikenalnya. Tidak sedikit 
tokoh sesat kelas atas yang tewas di tangan pemuda 
tampan itu. Karuan saja lelaki brewok itu menjatuh-
kan diri berlutut, sambil memohon ampun! Rupanya, 
kepala rampok yang terkenal ganas itu tahu kalau 
pendekar muda yang tersohor itu bukan tandingannya. 
Kalaupun nekat melawan, hanya kematianlah yang 
bakal diterimanya.
"Ampun..., Tuan Pendekar.... Ampun...," lelaki brewok yang tidak pernah mengenai takut itu memben-
turkan keningnya berkali-kali memohon ampun kepa-
da pemuda berjubah putih, yang tak lain dari Panji 
atau berjuluk Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sama sekali tidak mempedulikan, dan 
malah berpaling ke arah pertempuran. Terdengar ben-
takan yang menggelegar!
"Hentikan pertempuran...!"
Hebat luar biasa pengaruh bentakan Pendekar Naga 
Putih! Pertarungan yang ramai dan semerawut itu 
langsung saja terhenti mendadak! Memang, untuk se-
saat lamanya tubuh mereka bagaikan dialiri tenaga 
aneh hingga terasa kaku.
Beberapa saat setelah pengaruh bentakan Pendekar 
Naga Putih lenyap, orang-orang yang tadi bertarung itu 
serentak menoleh ke arah seorang pemuda tampan 
berjubah putih. Para anggota perampok tadi terbelalak 
tak percaya melihat ketua mereka tengah bersimpuh di 
bawah kaki pemuda tampan itu.
"Anak-anak, lepaskanlah senjata kalian. Hari ini ki-
ta sedang mengalami nasib sial, karena telah berjumpa 
dengan Pendekar Naga Putih," ujar lelaki brewok itu 
yang belum juga bangkit dari sujudnya.
Sambil berkata demikian, matanya melirik perlahan 
ke arah Panji yang saat itu memang tengah membela-
kanginya. Kemudian, dengan sekuat tenaga, golok be-
sarnya yang sudah buntung ditebaskan ke leher Pen-
dekar Naga Putih. Licik sekali perbuatannya.
Sayang, sepertinya kepala perampok itu belum tahu 
banyak tentang Pendekar Naga Putih. Kalau tahu, ma-
na mungkin berani berlaku sebodoh itu?! Karena pada 
saat golok besar itu berdesing, tentu saja suaranya ter-
tangkap telinga Panji yang sangat peka itu. Selanjut-
nya, terciptalah lapisan kabut putih keperakan yang

langsung menyelimuti tubuh Panji. Bahkan lapisan 
kabut itu tampak berpendar hampir, tiga jengkal dari 
tubuh pemuda itu. 
Trakkk! 
"Aaargh...?
Kepala Gerombolan Perampok Jubah Merah itu 
memekik kesakitan! Golok buntung di tangannya yang 
diambil dari atas tanah langsung terbelah lagi menjadi 
tiga bagian! Bahkan tubuh gemuk itu sendiri terjung-
kal, hingga satu setengah tombak jauhnya! Padahal, 
golok buntung masih beberapa jengkal dari sasaran!
"Rupanya, kau lebih memilih mati daripada berto-
bat..," desah Panji membalikkan tubuhnya.
Pendekar Naga Putih menatap lelaki brewok yang 
terbujur di atas tanah itu. Darah segar tampak menga-
lir tak henti-henti dari sela-sela bibirnya. Sepertinya, 
dia termakan tenaga pukulannya sendiri yang berbalik. 
Itulah salah satu keistimewaan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan', apabila dikerahkan sepenuhnya. Semua itu 
hanya bisa dilakukan Panji terhadap tokoh-tokoh per-
silatan kelas menengah ke bawah. Andai yang menye-
rangnya merupakan tokoh kelas atas, pemuda itu jelas 
bisa terluka dalam.
Tidak lama Pendekar Naga Putih menatap sosok 
brewok di depannya itu. Sebab, kepala perampok itu 
langsung saja menggelepar tewas setelah beberapa 
saat mengerang menahan sakit!
Baru saja lelaki brewok itu menghembuskan napas-
nya yang terakhir, terdengarlah derap kaki kuda men-
datangi tempat itu dari sebelah Timur desa. Sedangkan 
dari arah mulut desa, tampak puluhan orang petani 
dengan berbagai macam senjata berlarian mendatangi.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta-
hun langsung melompat turun dari atas punggung ku

danya. Keningnya sempat berkerut melihat para ang-
gota perampok tampak berlutut tanda menyerah. Lela-
ki tua itu baru mengerti setelah melihat mayat lelaki 
brewok yang memang telah lama dikenali-nya sebagai 
Pemimpin Gerombolan Perampok Jubah Merah.
"Siapa yang telah membunuhnya...?" Tanya lelaki 
tua itu dengan tarikan napas lega.
Meskipun mulutnya bertanya demikian, tapi sepa-
sang mata tua itu menatap Panji penuh selidik. Sepa-
sang matanya agak menyipit, seolah-olah ingin mene-
gasi sosok Panji.
"Pemuda itulah yang telah menyelamatkan desa ki-
ta, Ki. Dia..., Pendekar Naga Putih...," jelas lelaki gagah 
yang merupakan kepala keamanan desa itu.
"Aaah.... Sudah kuduga, kau memang pendekar 
muda yang gagah perkasa itu. Terima kasih atas perto-
longanmu, Pendekar Naga Putih. Entah bagaimana na-
sib kami, seandainya kau tidak membantu...," ucap le-
laki tua itu yang tak lain adalah Ki Gandir, Kepala De-
sa Pucung.
"Tidak perlu berlebihan, Ki. Bukankah tolong meno-
long itu sudah menjadi kewajiban kita semua. Nah! 
Karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon diri," 
pamit Panji yang berniat hendak meninggalkan Desa 
Pucung itu.
'Tapi, alangkah bahagianya hati kami bila kau sudi 
singgah di tempat kami," pinta Ki Gandir penuh harap.
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud menolak niat 
baik itu. Tapi, ada suatu tugas yang harus segera ku 
selesaikan. Jadi, harap kau maafkanlah sikapku ini," 
tolak Panji, tulus.
Ki Gandir dan para pembantunya tidak kuasa lagi 
untuk mencegah kepergian pemuda perkasa itu. Mere-
ka hanya bisa menatap sosok berjubah putih itu dengan tatapan kagum. Baru setelah sosok Panji lenyap, 
mereka sibuk membereskan para perampok yang telah 
menyerah.
Pemuda tampan berjubah putih itu melangkah me-
nyusuri jalan lebar. Makin lama jalan yang dilaluinya 
semakin menyempit. Persawahan yang sepanjang jalan 
tadi terhampar di kiri-kanannya, kini tidak tampak la-
gi. Hanya pohon-pohon dan semak belukar yang me-
menuhi tepi jalan.
Pemuda berjubah putih yang tak lain dari Panji itu 
terus saja melangkah perlahan. Terkadang kepala yang 
tertunduk menengadah, menatap langit cerah. Sesekali 
terdengar helaan napasnya yang berat. Jelas, hati Pen-
dekar Naga Putih tengah dilanda kegelisahan.
Kegelisahan yang tengah melanda hati pendekar 
muda itu dapat dimaklumi. Tidak heran, karena sudah 
cukup lama ia berpisah dengan kekasihnya yang kini 
tak tentu rimbanya. Bahkan sampai saat itu Panji ti-
dak tahu, apakah Kenanga masih hidup, atau sudah 
tewas tertelan gelombang lautan ganas. (Untuk lebih je-
lasnya silakan baca serial Pendekar Naga Putih dalam 
episode: "Terdampar di Pulau Asing" ).
Kini sebelum dapat mengetahui nasib kekasihnya, 
sebuah keguncangan telah melanda dunia persilatan. 
Tewasnya seorang tokoh kelas atas yang mengasing-
kan diri telah sampai ke telinga Panji. Bahkan kema-
tian tokoh sakti yang menurut kabar terbunuh oleh 
seorang tokoh sesat berparas cantik yang berjuluk Bi-
dadari Iblis, masih diiringi pula oleh bangkitnya para 
tokoh sesat. Hingga, ketika singgah di beberapa desa 
dalam usaha pencariannya terhadap Kenanga, Panji 
harus mengusir gerombolan-gerombolan perampok 
yang semakin mengganas. Terakhir, pemuda itu kem-
bali menyelamatkan Desa Pucung dari kehancuran.

"Hhh.... Mungkinkah Kenanga memang sudah te-
was...?" Desah Panji dengan perasaan kacau.
Pemuda sakti itu berusaha menekan kepedihan ha-
tinya dengan menarik napas dalam-dalam. Setiap kali 
teringat akan dara jelita pujaannya, hatinya merasa 
seperti ditusuk-tusuk. Hanya karena semenjak kecil 
telah menerima gemblengan gurunyalah yang mem-
buat pemuda itu tetap kelihatan tegar dan berseman-
gat.
Semenjak kehilangan kekasihnya, boleh dibilang 
semangat hidup pemuda itu telah lenyap sebagian. Ki-
ni, seringkali ia berpikir untuk mengundurkan diri dari 
dunia persilatan. Tapi kewajibannya sebagai, seorang 
pendekar, membuatnya tidak bisa memikirkan kepen-
tingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan 
orang banyak. Sehingga sambil tetap melaksanakan 
kewajibannya, tak henti-hentinya dia mencari kete-
rangan tentang Kenanga. Meskipun harapan untuk 
dapat berjumpa sangat tipis.
"Hhh...," kembali terdengar helaan napas berat pe-
muda itu sebagai tanda keresahan hatinya.
Tanpa terasa, langkah pemuda itu telah memba-
wanya ke sebuah perbukitan padas. Sejenak Pendekar 
Naga Putih menghentikan langkahnya sambil menatapi 
bebatuan yang terhampar di sekitarnya. Hembusan 
angin yang tiba-tiba bertiup keras, membuat jubahnya 
yang panjang berkibaran.
Panji yang baru saja hendak kembali melanjutkan 
perjalanan, langsung tertegun menelengkan kepalanya. 
Lapat-lapat, telinganya yang tajam menangkap adanya 
suara-suara orang bertempur.
"Hm.... Jelas, pendengaranku tidak salah. Pasti ada 
orang yang tengah bertarung di sekitar daerah ini. Me-
nilik dari suaranya, rasanya pertempuran itu cukup

ramai. Mungkinkah gerombolan perampok tengah 
menjarah di sekitar daerah perbukitan yang gersang 
ini? Atau tidak jauh dari tempat ini ada sebuah pede-
saan?" Gumam Panji sambil berusaha memastikan 
arah suara orang bertempur itu.
Namun karena suara-suara itu terkadang lenyap, 
Panji pun hanya bisa memastikan kalau tempat per-
tempuran itu cukup jauh dari dirinya.
Sebenarnya kalau bukan Pendekar Naga Putih yang 
berdiri di tempat itu, belum tentu akan dapat menang-
kap suara-suara pertempuran yang terkadang lenyap 
terbawa hembusan angin. Kalau Panji dapat menang-
kapnya, itu karena kepandaiannya yang sudah sulit
untuk diukur. Sehingga, tidak sulit bagi orang seperti 
Pendekar Naga Putih untuk menangkap suara pertem-
puran itu.
Agar dapat lebih jelas menangkap suara, Panji ber-
gerak maju ke sekeliling tempat itu, hingga tiga tombak 
jauhnya. Setelah suara itu tertangkap secara jelas, ia 
pun segera dapat menentukan, dari arah mana perta-
rungan itu berasal.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih mele-
sat ke arah Barat, yang diyakininya sebagai suara per-
tempuran itu berasal.
***
LIMA


Pendekar Naga Putih terus berlari sambil menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Tingkat kepandaiannya 
yang sudah sangat tinggi, membuat tubuh pemuda itu 
tidak dapat tertangkap mata biasa. Yang terlihat hanyalah secercah sinar putih keperakan yang berkeleba-
tan bagai tak menyentuh permukaan tanah.
Tidak berapa lama kemudian, dalam jarak sekitar 
belasan tombak, Panji sudah menyaksikan sosok 
bayangan merah yang tengah menghadapi keroyokan 
lima orang laki-laki gagah. Melihat ciri-ciri sosok ramp-
ing terbungkus pakaian merah darah, Panji tahu kalau 
orang yang tengah dikeroyok itu tak lain dari Bidadari 
Iblis, atau yang juga berjuluk Bidadari Salju. Hal itu 
dapat ditebaknya, karena telah banyak mendengar ten-
tang ciri-ciri tokoh sesat yang saat ini telah membuat 
kalangan rimba persilatan gempar!
Tanpa pikir panjang lagi, Panji pun segera mendekat 
ke arah arena pertarungan. Melihat kelima orang lelaki 
gagah yang diyakininya sebagai para pendekar telah 
mampu menguasai arena, pemuda itupun tidak ber-
niat membantu. Ia hanya berdiri menonton dalam ja-
rak tiga tombak. Meskipun begitu, Panji siap turun 
tangan apabila diperlukan. Sosok bayangan merah itu 
tampak kerepotan. Namun, dia masih mampu untuk 
melontarkan pukulan-pukulan maut sesekali. Hal itu 
membuat Panji merasa khawatir akan nasib kelima 
orang gagah itu.
Panji menjadi kagum bukan main terhadap kepan-
daian Bidadari Iblis. Melihat kesaktian tokoh wanita 
sesat itu Panji mengerti mengapa tokoh sakti seperti 
Begawan Cindra Putra sampai tewas di tangannya. Se-
lain ganas dan lincah, ternyata Bidadari Iblis pun me-
miliki pukulan beracun yang sangat berbahaya!
"Eh...?!"
Tiba-tiba Panji tersentak kaget. Ternyata beberapa 
gerakan tokoh sesat wanita itu seperti pernah dilihat-
nya. Bahkan hampir sangat dikenalinya. Meskipun ge-
rakan itu kadang di-rangkai dengan gerakan aneh dan

keji, tapi hal itu membuat-nya penasaran!
"Aneh! Sepertinya aku mengenali beberapa gerakan 
yang digunakan Bidadari Iblis itu? Tapi..., ah! Tidak 
mungkin...?!" Gumam Panji dengan kening berkerut.
"Haaait...!”
Pada suatu kesempatan Bidadari Iblis berseru nyar-
ing, disertai lesatan tubuhnya yang mengejutkan! 
Sambil berputar di udara, sosok berpakaian merah da-
rah itu melontarkan pukulan-pukulan berbau harum 
yang jelas mengandung racun!
"Aaah...!"
Untuk kedua kalinya Panji memekik tertahan! Da-
danya pun berdebar keras! Jelas teriakan Bidadari Ib-
lislah yang membuat pemuda itu terkejut!
“Tidak mungkin...!" Desis Panji kembali dengan da-
da yang kian berdentam keras, "Mungkin hanya sua-
ranya saja yang sama, atau aku telah terpengaruh 
bayang-bayang yang kubuat sendiri...?"
Merasa penasaran, Panji mengerahkan tenaga sak-
tinya ke arah pertarungan itu. Hal itu dilakukan untuk 
mempertajam pandang matanya, karena pertarungan 
itu demikian cepat sehingga tidak bisa terlihat jelas. 
Sejak tadi keenam sosok di arena itu hanya tampak 
bayang-bayangnya saja. Sehingga, Panji tidak bisa 
mengenali orang yang tengah bertarung.
Debaran dada Pendekar Naga Putih kian kuat! Bah-
kan sepasang matanya perlahan membesar. Begitu se-
telah dapat melihat lebih jelas, ternyata sosok ba-
yangan merah yang ramping itu sangat dikenalnya!
"Aaah..., tidak mungkin kalau Kenanga sampai be-
rubah demikian jauh? Apalagi tindakannya yang ku-
dengar belakangan ini, tidak ubahnya seperti iblis ke-
ji...? Tapi..., sosok itu mengapa demikian mirip Kenan-
ga...? Atau pandanganku saja yang salah...?" Desis
Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-
kuat. Seolah, pemuda itu berusaha keras mengusir 
bayangan-bayangan yang mengganggunya.
Setelah merasa hatinya agak tenang, Panji kembali 
menatap ke arah pertarungan. Kali ini, sosok bayan-
gan merah itu terlihat mulai terdesak kelima orang la-
wannya. Tokoh wanita sesat itu, terlihat tidak sempat 
lagi untuk melontarkan pukulan-pukulan balasannya. 
Meski agak berdebar, Panji sempat menarik napas lega 
melihat keadaan itu.
"Hiaaa...!"
Bidadari Iblis yang kelihatan sudah semakin terjepit 
itu tak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan 
keras salah seorang lawan! Akibatnya, tubuhnya yang 
kini membelakangi Panji jadi terjengkang, dan jatuh 
beberapa langkah di sebelah kanan pemuda itu! Dan....
"Aaah...?!"
Bagai disengat kalajengking, Panji terbeliak mundur 
beberapa langkah! Saat tubuhnya terjatuh, wajah Bi-
dadari Iblis terlihat jelas oleh Panji. Tentu saja raut 
wajah jelita sosok berpakaian merah darah itu yang 
membuatnya bergetar!
"Kenanga...?!" Desis Panji dengan wajah semakin 
memucat! Memang wajah tokoh sesat wanita jelita itu 
memang mirip sekali dengan kekasihnya yang telah hi-
lang selama ini.
Bidadari Iblis menoleh setelah bangkit berdiri. Dita-
tapnya pemuda tampan itu dengan kening berkerut. 
Tokoh sesat jelita itu tertegun ketika mendengar pe-
muda itu menyebutkan sebuah nama yang sepertinya 
tidak asing di telinganya. Sayangnya, Bidadari Iblis ti-
dak mengerti, mengapa nama yang disebutkan pemuda 
itu menimbulkan kesan mendalam jauh di relung hatinya.

"Kau..., siapakah...?"
Perlahan bibir mungil tokoh sesat yang wajahnya 
sangat mirip Kenanga itu menggerimit. Yang membuat 
Panji merasa aneh, adalah bergetarnya suara tokoh se-
sat wanita itu.
Panji sendiri yang kini dapat melihat jelas dengan 
lama wajah tokoh sesat itu, meragukan bantahan piki-
rannya. Sekarang ia merasa yakin kalau wajah itu ada-
lah wajah kekasihnya yang hilang.
"Aku..., Panji...," jawab Panji hampir berbisik. Se-
dangkan sepasang matanya tak lepas dari raut wajah 
jelita di hadapannya.
"Panji.... Panji...?" Bidadari Iblis pun sempat terte-
gun ketika Panji menyebutkan namanya.
Beberapa kali terdengar bibir mungil itu berbisik 
mengulang nama pemuda itu. Nyata sekali kalau nama 
pemuda itu mendatangkan sesuatu yang aneh dalam 
lubuk hatinya.
"Kau pernah mengenai nama itu sebelumnya, Ni-
sanak? Adakah artinya nama itu bagimu? Apakah na-
ma itu pernah dekat di hatimu...?"
Panji yang melihat Bidadari Iblis termenung sambil 
membisikkan namanya berulang-ulang, menjadi pena-
saran. Pena-saran untuk menyingkap tokoh penuh te-
ka-teki ini.
"Ya..., ya.... Sepertinya nama Panji tidak asing bagi-
ku? Tapi, aku lupa di mana pernah mendengarnya? 
Anehnya..., nama itu membuat aku merasa sedih dan 
rindu...? Sepertinya, nama itu pernah sangat dekat di 
hatiku?" Bisik Bidadari Iblis lirih. Beberapa kali kepa-
lanya ditelengkan, seolah-olah berusaha keras untuk 
menegasi wajah tampan di depannya.
Cukup lama dara jelita berpakaian merah itu ter-
menung. Sepertinya, ia tengah berusaha keras men

gingat nama itu. Sehingga, Panji semakin leluasa me-
rayapi raut wajah tokoh sesat berjuluk Bidadari Iblis 
itu. Makin lama pemuda itu meneliti, semakin yakin 
hatinya kalau tokoh sesat itu pasti kekasihnya yang te-
lah lama dicarinya. Dan Panji pun mulai menduga. 
Semenjak mereka terpisah, pasti ada sesuatu yang ter-
jadi terhadap kekasihnya.
"Panji..., Panji...," Bidadari Iblis kembali membi-
sikkan nama pemuda itu berulang-ulang.
Kali ini, bukan hanya suaranya saja yang bergetar. 
Bahkan sepasang mata indah itu mulai merebak. Ke-
luhan aneh bernada sedih terlontar lirih dari kerong-
kongannya.
"Kisanak! Dapatkah kau ceritakan tentang gadis 
yang kau sebut sebagai Kenanga? Dan..., apa hubun-
gan gadis itu denganmu...? Apakah..., ia cantik dan 
seusia denganku...?" Tanya Bidadari Iblis.
Kini mulai terdengar isak lirih wanita itu. Tidak di-
rasakannya lagi akibat tendangan lawan yang meng-
hantam perut-nya tadi. Semua rasa sakit itu lenyap te-
rendam perasaannya yang ia tidak tahu kenapa men-
jadi demikian mudah tersentuh, setelah mendengar 
nama 'Panji'.
Sayang sebelum keterangan itu dapat diperoleh, ke-
lima orang musuhnya telah kembali menerjang. Se-
hingga, Bidadari Iblis membalikkan tubuhnya meng-
hadapi kelima orang tokoh persilatan itu.
Namun kelima orang tokoh persilatan golongan pu-
tih yang sudah kembali bersiap hendak mengeroyok 
Bidadari Iblis, segera menghentikan langkahnya. Me-
reka menatap pemuda berjubah putih di samping to-
koh wanita sesat itu, dengan pandangan penuh selidik.
"Kau..., bukankah kau yang berjuluk Pendekar Na-
ga Putih...? Mengapa kau diam saja? Tidakkah kau sa

dar kalau gadis jelita yang kau ajak bicara ini adalah 
seorang iblis keji? Lenyapkanlah dia, sebelum menebar 
bencana bagi tokoh lain-nya!" Ujar seorang lelaki gagah 
berusia tiga puluh tahun melihat pendekar muda itu 
sama sekali tidak bertindak. Malah, sepertinya dia te-
lah mengenai tokoh wanita sesat itu dengan baik.
"Sahabat," panggil Panji pelan, "Benar, aku adalah 
Pendekar Naga Putih. Dan kalau kalian percaya pada-
ku, biarlah tokoh sesat ini aku yang membereskan. 
Tapi, aku mempunyai satu permintaan kepada ka-
lian...."
"Apa yang kau inginkan...?" Lelaki bertubuh kekar 
dan berkumis tebal, bertanya tak sabar.
"Tinggalkanlah tokoh ini kepadaku. Percayalah, aku 
akan membereskannya," ujar Panji yang kini semakin 
yakin kalau Bidadari Iblis adalah Kenanga, kekasihnya 
yang hilang itu.
Panji pun merasa pasti kalau ada sesuatu yang me-
nimpa kekasihnya, hingga seperti lupa akan masa la-
lunya. Keyakinan itu diperoleh setelah melihat sikap 
Bidadari Iblis yang seperti-nya ingin mengetahui latar 
belakang gadis bernama Kenanga.
'Tidak bisa, Pendekar Naga Putih! Aku dan Witarsa 
adalah murid Begawan Cindra Putra yang telah dibu-
nuh wanita iblis itu! Dan kami harus menuntut balas! 
Kalau kau memang tidak mau menangkap atau mele-
nyapkannya, kami berlima pun sanggup melaku-
kannya!" Lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu 
menolak permintaan Panji.
"Benar, apa yang dikatakan Sucipta itu, Pendekar 
Naga Putih. Kalau kau tidak tega membunuh tokoh 
yang memang berwajah mempesona ini, biar kami yang 
membereskannya! Jangan dikira kau saja yang mampu 
mencegah kejahatan!" Sindir lelaki berkumis lebat itu

dengan wajah sinis.
'Tapi, aku mengenai baik wanita berjuluk Bidadari 
Iblis ini, Sahabat. Dan aku yakin, semua ini pasti bu-
kan semata-mata karena kemauannya. Ia sendiri tidak 
tahu, apa yang dilakukannya adalah sebuah kesesa-
tan! Ia telah lupa akan masa lalunya. Jadi, aku minta 
dengan sangat agar kalian semua mengerti. Percaya-
lah, aku akan berusaha keras untuk mengembalikan 
ingatannya. Setelah itu, kejahatannya pun akan lenyap 
dengan sendirinya," jelas Pendekar Naga Putih lagi, 
memohon pengertian kelima orang pendekar itu.
Sucipta dan Witarsa yang paling mendendam kare-
na ke-matian gurunya, tentu saja tidak sudi mele-
paskan pembunuh gurunya begitu saja. Mereka yang 
saat kematian Begawan Cindra Putra tengah mengem-
bara meluaskan pengalaman, tentu saja segera kemba-
li begitu mendengar kabar tentang kematian gurunya. 
Dan kini setelah bertemu pembunuh guru-nya, tahu-
tahu saja muncul Pendekar Naga Putih yang meminta 
agar mereka mau melepaskannya. Tentu saja kedua 
orang itu menolak mentah-mentah.
"Hm.... Untuk apa banyak bicara lagi! Pendekar Na-
ga Putih jelas-jelas hendak menghalangi kita! Sekalian 
saja kita beres-kan pendekar muda yang telah menjadi 
besar kepala karena kebesaran namanya itu!" Timpal 
lelaki bertubuh kekar yang berkumis tebal, geram.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang Klaban?" 
Sambut Sucipta yang memang sudah tidak sabar un-
tuk segera membalaskan kematian gurunya.
"Maaf, aku terpaksa melawan kalian...," ucap Panji.
Tampaknya Pendekar Naga Putih telah mengambil 
keputusan untuk membela Bidadari Iblis. Karena me-
nurutnya, tokoh sesat wanita yang ternyata kekasih-
nya itu pasti diperalat tokoh keji. Dan Kenanga mungkin sengaja dibuat melupakan masa lalunya, untuk le-
bih mudah diperalat.
"Hm.... Tidak perlu banyak ribut!" Lelaki kekar ber-
nama Klaban itu segera saja membentak keras, diiringi 
sambaran pedangnya!
Plakkk!
Sambil melesat menyambut sambaran pedang itu, 
Panji memiringkan tubuhnya menghindari tebasan 
senjata Sucipta yang berdesing membabat lehernya!
Untunglah pemuda itu sempat merendahkan tu-
buhnya, sehingga pedang lawan lewat dua jengkal di 
atas kepalanya! 
"Haaait...!"
Panji yang tengah dalam keadaan hampir berjong-
kok, segera saja melompat ke belakang! Memang saat 
itu Witarsa tengah meluruk maju dengan putaran pe-
dangnya yang membentuk gundukan sinar berkilauan. 
Melihat caranya menyerang, jelas tingkat kepandaian 
lelaki itu memang tidak bisa dibuat main-main!
Sebentar saja, Panji sudah kewalahan menghadapi 
keroyokan kelima orang tokoh persilatan itu! Sehingga, 
mau tidak mau harus mengerahkan kepandaiannya 
untuk membendung gempuran mereka.
Bidadari Iblis yang menyaksikan pemuda bernama 
Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah ber-
tarung melawan lima orang yang tadi mengeroyoknya, 
sejenak berdiri bimbang. Untuk beberapa saat la-
manya, ia hanya tertegun bagai patung. Pikiran hen-
dak membantu pemuda tampan yang serasa tidak as-
ing baginya, tiba-tiba saja lenyap. Justru ia kini terin-
gat akan tugas yang harus diselesaikannya.
"Ahhh, biarlah. Setelah tugasku selesai, aku akan 
mencari pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu," 
gumam Bidadari Iblis.

Diam-diam ada sesuatu perasaan aneh yang me-
nyelinap di hati wanita itu. Dia merasa malu sendiri 
karena sempat membayangkan menjadi kekasih Pen-
dekar Naga Putih. Tentu saja ia menjadi risih. Karena 
selama ini, ia selalu membenci laki-laki seperti yang di-
tanamkan gurunya.
Setelah teringat akan tugasnya, Bidadari Iblis pun 
melesat pergi meninggalkan arena pertarungan. Tentu 
saja perbuatan-nya itu tanpa sepengetahuan Panji 
yang tengah membelakanginya.
***
"Hei! Jangan lari kau, Iblis Keji...!"
Sucipta yang sempat melihat tokoh sesat itu hendak 
melarikan diri, berusaha mengejar. Tubuhnya melam-
bung ke udara dengan kecepatan mengagumkan! Ke-
mudian, dia berputar beberapa kali sebelum menginjak 
tanah!
Panji sendiri sempat merasa terkejut mendengar te-
riakan Sucipta. Cepat-cepat ia ikut melambung dan 
berputar, dengan maksud mencegah lelaki itu melaku-
kan pengejaran terhadap Bidadari Iblis. Tentu saja 
perbuatan itu dilakukan bukan semata-mata hendak 
menyelamatkan Bidadari Iblis, tapi demi keselamatan 
Suciptalah yang dikhawatirkannya. Jelas, dengan me-
lakukan pengejaran seorang diri, itu sama artinya me-
nyerahkan nyawa! Itulah yang membuat Panji melesat 
menghadang Sucipta melakukan pengejaran.
"Setan! Kau benar-benar sudah terpikat kecantikan 
iblis betina itu rupanya!" Geram Sucipta ketika ka-
kinya mendarat di tanah.
Tubuh Pendekar Naga Putih kini telah berdiri 
menghadang jalan. Maka tentu saja lelaki gagah itu

semakin jengkel!
"Hiaaat...!"
Sucipta memutar senjatanya sedemikian rupa, 
hingga membentuk gundukan sinar yang bergerak tu-
run-naik menyelimuti sekujur tubuhnya! Dibarengi 
bentakan keras, tubuh lelaki gagah itu bergerak ke 
arah Panji dengan serangan-serangan mautnya!
Sebagai seorang murid tokoh sakti seperti Begawan 
Cindra Putra, tentu saja kepandaian Sucipta sudah 
tinggi. Apalagi, pelajarannya telah ditamatkan tiga ta-
hun yang lalu. Sehingga, dia sudah cukup banyak ma-
kan asam garam dunia persilatan. Jadi tidak heran ka-
lau serangan-serangannya sangat berbahaya!
Sayangnya, yang kali ini dihadapi Sucipta bukanlah 
pendekar kemarin sore. Dalam soal pengalaman serta 
kematangan ilmu silat, tentu saja Sucipta boleh dibi-
lang ketinggalan jauh oleh Pendekar Naga Putih. Jadi 
sehebat-hebatnya gempuran yang dilancarkan murid 
Begawan Cindra Putra itu, selalu saja dapat di imbangi 
Panji.
Bahkan kalau saja pemuda itu berniat menjatuh-
kan, rasanya tidak terlalu sulit Tapi, hal itu tidak ingin 
dilakukan. Ia hanya berusaha agar serangan lawan ti-
dak sampai mengenai tubuhnya.
Witarsa, Klaban, dan dua orang tokoh lainnya sege-
ra saja bergabung dengan Sucipta. Mereka kembali 
mengeroyok Pen-dekar Naga Putih, dan menggempur-
nya habis-habisan!
Lenyapnya Bidadari Iblis, tentu saja juga mele-
nyapkan gairah bertarung Panji. Sejak mula pun, ia 
memang hanya menghalangi kelima orang itu agar ti-
dak mencelakakan tokoh sesat jelita itu.
Maka begitu melihat kesempatan, pemuda itu sege-
ra mencelat jauh ke belakang, dan terus melarikan di

ri!
"Keparat! Jangan lari kau, Pendekar Pengecut..!"
Sambil berteriak-teriak marah, Sucipta dan Witarsa 
segera melesat mengejar! Mereka merasa penasaran 
dengan Pendekar Naga Putih yang tiba-tiba melarikan 
diri. Sementara, Klaban dan dua orang tokoh lainnya 
pun tidak mau ketinggalan. Mereka segera saja menge-
rahkan ilmu lari cepat untuk mengejar Pendekar Naga 
Putih!
***
ENAM


Pendekar Naga Putih terus melesat dengan penge-
rahan segenap kekuatan ilmu larinya untuk mengejar 
Bidadari Iblis. Meskipun telah berusaha semampunya, 
namun sosok bayangan merah itu tidak juga berhasil 
dikejarnya. Akhirnya, pemuda itu menghentikan lari-
nya sambil menghembuskan napas kecewa.
Panji melangkah perlahan sambil memikirkan per-
soalan yang ternyata semakin rumit. Bidadari Iblis 
yang telah menebar kekejaman itu, ternyata adalah 
Kenanga yang sekaligus kekasihnya. Sedangkan gadis 
jelita itu seperti tidak sadar terhadap kejahatan yang 
telah dilakukan. Bahkan sama sekali tidak mengenal-
nya. Jelas, Kenanga telah kehilangan ingatan! Dengan 
demikian, berarti Panji harus dapat menemukan orang 
yang telah begitu tega memperalat kekasihnya.
"Ah! persoalan ini telah berkembang semakin pelik. 
Selain harus mencari penyebabnya, aku pun sudah 
pasti mesti berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan 
putih yang memusuhi Kenanga. Entah, bagaimana caranya agar para tokoh persilatan yang hendak mele-
nyapkan Kenanga dapat menerima alasanku? Mungkin 
bukan hanya kelima orang tokoh itu saja yang tengah 
memburu Bidadari Iblis...," desah Panji.
Pendekar Naga Putih memang menjadi serba salah. 
Di satu pihak, ia harus membela kekasihnya. Tapi di-
lain pihak ia pun harus berhadapan dengan para to-
koh persilatan golongan putih. Alasan terakhir itulah 
yang membuatnya gelisah!
Pendekar Naga Putih yang tengah melangkah ringan 
sambil berusaha menyelesaikan masalah itu tiba-tiba 
menghentikan langkahnya. Sebuah jerit kesakitan 
membuat wajah pemuda itu menegang seketika!
"Kenanga...?!" desis Panji, gelisah.
Pemuda itu kenal betul suara melengking tadi. Dan 
yang membuat dadanya berdebar adalah, si empunya
suara pastilah tengah menderita kesakitan!
"Hiaaa...!"
Jerit kesakitan itu kini terdengar berganti dengan 
pekik kemarahan! Otak Pendekar Naga Putih pun 
langsung bekerja cepat! Merasa yakin kalau kekasih-
nya yang kini dikenal se-bagai Bidadari Iblis tengah 
menghadapi bahaya, maka tubuh-nya segera melesat 
tanpa pikir panjang lagi!
Bukan main pucatnya wajah Pendekar Naga Putih 
ketika menyaksikan apa yang terjadi di depannya. Be-
berapa belas tombak di depan pemuda tampan itu, 
tampak sesosok tubuh terbungkus pakaian merah da-
rah tengah jatuh bangun menahan gempuran seorang 
lelaki bertubuh tinggi besar. Sepertinya laki-laki itu ti-
dak memberi kesempatan kepada sosok berpakaian 
merah untuk membangun serangan!
Melihat pertarungan tak seimbang itu karuan saja 
Pendekar Naga Putih menjadi marah. Maka tubuhnya
cepat mencelat disertai pengerahan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya!
'Tahaaan...!"
Disertai bentakan menggelegar, Panji langsung 
mendarat di tengah arena! Begitu tiba, sepasang tan-
gannya langsung me-lontarkan dua buah tamparan 
untuk menyambut serangan lelaki tinggi besar itu!
Wuuut! Wuuut!
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...?!"
Karena disertai pengerahan seluruh kekuatan 'Te-
naga Sakti Gerhana Bulan'nya, tentu saja tamparan
Pendekar Naga Putih berakibat sangat dahsyat! Lelaki 
tinggi besar itu kontan terjengkang, untung saja ia se-
gera melompat tinggi ke udara, berputar dua kali se-
belum mendarat di atas tanah. Sehingga tubuhnya ti-
dak jadi terbanting di tanah.
"Bedebah! Bangsat mana yang berani membokong-
ku?" Teriak lelaki tinggi besar itu menyumpah serapah.
Kening lelaki yang wajahnya ditumbuhi brewok itu 
berkerut melihat seorang pemuda tampan berjubah 
putih tahu-tahu telah berdiri di hadapannya. Jelas, pe-
muda itulah yang telah menangkis serangannya tadi!
"Pan...,, ji...," desah Bidadari Iblis meragu, setengah 
percaya. "Mengapa kau menolongku...?"
Rasa ketidakpercayaan Bidadari Iblis tentu saja bisa 
dimaklumi. Setelah mengenal pemuda tampan berna-
ma Panji itu, ia pun sadar kalau mereka berbeda go-
longan. Kini setelah melihat pendekar muda itu meno-
longnya dari serangan lawan, tentu saja ia merasa he-
ran.
"Kenanga...," panggil Panji bergetar penuh kerin-
duan.
Ditatapnya wajah jelita itu dengan penuh kasih.

dan yang ditatap hanya membalas dengan sinar mata 
sayu, tanpa gairah hidup sama sekali. sepertinya, bi-
dadari iblis tak mengerti kenapa dirinya jadi begini. 
namun, dia susah untuk men-jawabnya.
"kau..., kekasihku. jadi..., tentu saja aku meno-
longmu. kau benar-benar tidak bisa mengingat siapa 
aku...?" tanya panji pilu. hati pemuda tampan itu me-
rasa sedih sekali melihat nasib yang menimpa dara 
yang dicintainya.
"pan..., ji. meskipun semenjak mendengar namamu 
kurasa-kan suatu kerinduan yang tidak ku mengerti, 
tapi aku belum bisa yakin dengan dugaanmu itu. an-
daikan saja aku benar-benar kekasihmu yang bernama 
kenanga, alangkah bahagianya aku...," desah bidadari 
iblis tertunduk, disertai lelehan air mata yang mulai
turun membasahi pipi halusnya.
"kenanga.... aku yakin, kau pasti kekasihku. hanya 
saja, aku tidak tahu apa yang telah terjadi denganmu. 
dan aku ingin, jelaskanlah padaku...," ujar panji sam-
bil memegang bahu bidadari iblis, yang tidak berusaha 
mengelak. karena, diam-diam ia pun sangat kagum 
dan menyukai pendekar muda itu.
"hei! kalian pikir, siapa aku ini, hah! seenaknya sa-
ja berbicara tanpa mempedulikan keberadaanku."
pembicaraan panji dan bidadari iblis terputus keti-
ka terdengar bentakan menggelegar bagaikan ledakkan 
petir di angkasa! serentak keduanya menoleh dan 
memandang ke arah lelaki tinggi besar bercambang 
bauk, yang menatap marah kepada mereka!
sedangkan lelaki brewok itu sudah melangkah be-
berapa tindak sambil menatap dan meneliti sekujur 
tubuh panji. jelas, ia tengah berusaha menduga pe-
muda berjubah putih itu.
"anak muda! jawablah pertanyaanku! apakah kau

yang dijuluki orang sebagai Pendekar Naga Putih? Hm. 
Dari akibatnya bisa ku tebak kalau tenaga yang kau 
kerahkan tadi adalah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'!" 
kata lelaki tinggi besar itu menatap tajam.
"Dugaan paman sendiri sama sekali tidak keliru. 
Orang memang memberi julukan Pendekar Naga Putih 
kepadaku, dan kalau tebakanku tidak keliru, kau pasti 
Pendekar Tangan Geledek yang sangat tersohor itu!" 
sahut Panji.
"Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku! Hm. 
Tahukah kau, siapa gadis mempesona yang kau bela 
itu? Dia adalah Bidadari Iblis! Wanita keparat itu telah 
banyak menebar bencana, termasuk membunuh Be-
gawan Cindra Putra dan Ki Sangga Watung, salah seo-
rang keluarga dekat pertapa sakti itu. Lalu, apa mak-
sudmu membelanya? Apa kau sudah tergila-gila oleh 
kecantikannya?!" Kembali lelaki tinggi besar yang ter-
nyata berjuluk Pendekar Tangan Geledek itu menghar-
dik Pendekar Naga Putih.
Lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia enam pu-
luh tahun itu memang bukan nama baru dalam dunia 
persilatan. Bahkan kabarnya kepandaiannya tidak be-
rada di bawah kepandaian Begawan Cindra Putra. To-
koh sakti ini memang sahabat lama Begawan Cindra 
Putra pertapa sakti itu. Dia langsung saja meninggal-
kan tempat kediamannya di Selatan, ketika mendengar 
sahabatnya terbunuh oleh Bidadari Iblis yang meru-
pakan tokoh baru bagi telinganya. Dan pada saat itu 
hampir berhasil menamatkan riwayat Bidadari Iblis, 
tahu-tahu saja muncul Pendekar Naga Putih menyela-
matkan wanita berhati keji itu. Maka tentu saja Pen-
dekar Tangan Geledek menjadi marah besar!
"Akupun pernah mendengarnya, Paman. Tapi kalau 
Paman percaya, gadis yang berjuluk Bidadari Iblis ini

adalah kekasihku yang telah lama lenyap, ketika kami 
berlayar. Kapal yang membawa kami pecah di hantam 
badai, sehingga kami berpisah. Dan Setelah bertemu, 
kekasihku yang bernama Kenanga itu ternyata telah 
kehilangan ingatannya. Aku menduga, ada orang telah 
memperalat dan menjejalinya dengan racun-racun ke-
bencian. Kuharap Paman mau mengerti keadaanku 
yang sulit ini," jelas Pendekar Naga Putih panjang le-
bar, kepada tokoh sakti itu. Maksudnya, memang un-
tuk menghindari pertarungan yang mungkin saja ter-
jadi.
"Hm.... Keteranganmu memang bagus dan masuk 
akal juga, Pendekar Naga Putih. Tapi, bagaimana de-
ngan wanita iblis itu? Apakah ia pun mengakui kalau 
kau sebagai kekasihnya yang hilang?" Sahut Pendekar 
Tangan Geledek, menyakitkan!
"Hm.... Aku memang sama sekali tidak tahu latar 
belakang-ku. Yang ku tahu dari guruku, aku telah di-
asuhnya semenjak kecil. Dan dia juga membekali ilmu-
ilmu tinggi agar aku kelak tidak terhina dan menderita 
seperti beliau," jawab Bidadari Iblis seadanya.
Sepertinya, Bidadari Iblis memang tidak tahu me-
nahu ten-tang apa yang diceritakan Panji. Apalagi ia 
tidak sudi dikata-kan sebagai seorang pengecut yang 
ingin berlindung di balik keperkasaan seorang pemuda 
seperti Pendekar Naga Putih.
"Nah, dengarlah sendiri apa yang dikatakan wanita 
keji itu? Jelas, kau telah mengada-ada?" ujar Pendekar 
Tangan Geledek dengan senyum menghina.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku memang wanita 
jahat yang tidak pantas berdampingan denganmu. Dan 
akupun tidak sudi dikatakan sebagai orang pengecut 
yang ingin berlindung di balik nama besarmu," tegas 
Bidadari Iblis sengaja menekankan nada bicaranya un

tuk menguatkan hatinya, sambil menghapus lelehan 
darah yang tersisa di sudut bibirnya.
"He he he.... kasihan kau, Pendekar Naga Putih. 
Cinta mu ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi biar 
bagaimanapun, aku kagum kepadamu, Bidadari Iblis. 
Karena, kau sadar akan kejahatan dirimu," sahut Pen-
dekar Tangan Geledek kembali.
Sengaja ia mengatakan kalau mengagumi Bidadari 
Iblis. Maksudnya untuk mengingatkan kalau Pendekar 
Naga Putih dan Bidadari Iblis berbeda golongan. Dan 
itu tidak bisa di-bantah.
"Sudah kuduga, kau tidak akan percaya begitu saja 
dengan keteranganku, Paman. Tapi, aku tetap pada 
pendirianku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap Panji 
tetap sopan dan hormat. Memang biar bagaimanapun, 
Pendekar Tangan Geledek merupakan angkatan yang 
lebih tua darinya.
"Hm.... Kalau begitu, Aku akan menantangmu, Pen-
dekar Naga Putih," geram Pendekar Tangan Geledek 
tak bisa ditawar lagi.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu te-
lah bersiap diri menghadapi sebuah pertarungan dah-
syat dengan memasang kuda-kudanya. Dari sini saja 
bisa ditebak kalau Pendekar Tangan Geledek sadar 
akan kepandaian lawan yang kini harus dihadapinya.
Melihat lawannya telah bersiap, Panji pun mengges-
er langkahnya. Rupanya, Pendekar Naga Putih sadar 
kalau tidak bisa menghindari pertarungan lagi!
***
"Hiaaat..!"
Pendekar Tangan Geledek berteriak nyaring sebagai 
tanda kalau ia telah memulai serangan!
Darrr.... Darrr...!
Terdengar ledakan-ledakan keras yang diiringi ki-
lauan cahaya panas yang memenuhi arena perta-
rungan. Lelaki tinggi besar itu langsung menggunakan 
ilmu andalannya dalam penyerangan pertama. Itu me-
nandakan kalau ia tidak memandang rendah Pendekar 
Naga Putih.
Panji pun tidak sungkan-sungkan lagi. Sepasang 
tangannya langsung saja membentuk cakar naga. 
Bahkan sekujur tubuh-nya pun telah terlapisi kabut 
bersinar putih keperakan.
Wuuut.... Darrr!
"Haiiih...!"
Beberapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Pen-
dekar Tangan Geledek berhasil dielakkan Panji dengan 
meliukkan tubuhnya dan menggeser kakinya dua 
langkah ke samping. Begitu serangan lawan luput, 
pemuda itu langsung membalas dengan cengkeraman-
cengkeraman maut yang diiringi samba-ran angin din-
gin menusuk tulang!
Bettt.... Whusss...!
Serangan yang dilakukan Pendekar Naga Putih be-
nar-benar mengagumkan! Tubuhnya yang meliuk-liuk 
bagaikan seekor ular raksasa itu, masih diiringi pula 
dengan lontaran pukulan dan cengkeramannya!
Tapi, Pendekar Tangan Geledek pun tidak kalah ge-
sitnya. Tubuhnya yang tinggi besar dan kelihatan berat 
itu, ternyata dapat bergerak lincah! Beberapa serangan 
Panji yang gagal, langsung dibayar kontan dengan se-
rangkaian pukulan maut disertai ledakan-ledakan 
memekakkan telinga! Sehingga, beberapa kali gerakan 
Pendekar Naga Putih terlihat agak kacau karena ter-
pengaruh ledakan yang seperti datang dari delapan 
penjuru!

Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedela-
pan puluh, Pendekar Tangan Geledek mengeluarkan 
pekikan nyaring! Berbarengan dengan itu, sepasang 
tangannya bergerak susul-menyusul mengincar tubuh 
lawan!
"Haiiit...!"
Hebat dan sangat berbahaya serangkaian serangan 
yang dilontarkan Pendekar Tangan Geledek kali ini! 
Untuk beberapa saat lamanya Panji dibuat sibuk 
menghindar sambil sesekali menangkis serangan-se-
rangan maut. Sepasang tangan lawan yang bagaikan 
mengelilingi tubuhnya, masih diiringi pula oleh leda-
kan-ledakan menyakitkan telinga!
Wuuut... Darrr!
"Uts!"
Cepat Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke 
samping kanan sambil merendahkan tubuhnya. Begitu 
hantaman telapak tangan lawan lewat di atas kepa-
lanya, langsung saja dilontarkannya sebuah hantaman 
telapak tangan ke perut lawan!
"Aaah...?!"
Terkejut bukan main Pendekar Tangan Geledek me-
lihat kesigapan serta kecepatan gerak lawannya! Maka, 
tak dapat dihindari lagi....
Desss...!
"Uhkkk...!"
Bagai disentak tangan raksasa yang tak tampak, 
tubuh tinggi besar itu terlempar tanpa ampun! Segum-
pal darah segar menyembur dari mulutnya, hingga 
percikannya menodai jubah Panji!
Namun pukulan yang telak dan keras itu rupanya 
tidak sampai membuat Pendekar Tangan Geledek te-
was! Bahkan lelaki tinggi besar itu sempat melakukan 
putaran beberapa kali di udara, sehingga tubuhnya ti

dak sampai terbanting di atas tanah!
"Hm...."
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pendekar 
Tangan Geledek menarik napas beberapa kali, disertai 
gerakan kedua tangannya. Maksudnya jelas, untuk 
meredakan guncangan dalam tubuhnya akibat hanta-
man lawan.
"Kau memang patut mendapat pujian, Pendekar Na-
ga Putih. Aku benar-benar kagum padamu. Dalam usia 
yang masih ter-bilang sangat muda, kau ternyata telah 
memiliki kepandaian tinggi. Sayangnya, tindakanmu 
kali ini salah besar. Aku benar-benar menyesal seka-
li...," ujar Pendekar Tangan Geledek dengan mimik wa-
jah berduka.
Nyata sekali kalau orang tua sakti itu merasa sedih 
melihat tindakan Panji yang membela Kenanga. Menu-
rutnya, tindakan itu adalah sebuah kesalahan besar, 
karena membela seorang tokoh sesat yang semestinya 
dilenyapkan!
"Maaf, Paman. Apa yang tadi kuceritakan kepada-
mu, bukanlah semata-mata alasan yang kucari-cari. 
Semua itu adalah benar, Paman. Itulah sebabnya, aku 
terpaksa harus mem-belanya dengan taruhan nyawa-
ku. Kalau saja Paman mau percaya, kukira pertempu-
ran ini tidak perlu terjadi," jelas Pendekar Naga Putih, 
juga dengan wajah menyesal.
Bidadari Iblis sendiri yang semenjak tadi menyaksi-
kan pertarungan kedua orang sakti itu, mulai beranjak 
perlahan. Sikapnya jelas menunjukkan kalau ia hen-
dak meninggalkan tempat itu untuk menghindar dari 
Panji dan Pendekar Tangan Geledek.
Tepat pada saat menoleh ke belakang, Pendekar Na-
ga Putih terkejut bukan main. Ternyata bayangan Bi-
dadari Iblis telah berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Kenanga, tunggu...!"
Sambil berteriak mencegah kepergian dara jelita
berpakaian merah darah itu, tubuh Panji segera me-
layang melakukan pengejaran!
Pendekar Tangan Geledek pun tidak tinggal diam. 
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya sege-
ra melambung ke udara. Dia berputaran lima kali, se-
belum turun di hadapan Panji.
'Tunggu! Persoalan di antara kita belum selesai, 
Pendekar Naga Putih!" Cegah Pendekar Tangan Gele-
dek. Laki-laki tinggi besar itu menghadang beberapa 
langkah di depan Panji. Jelas, dia masih merasa pe-
nasaran oleh pertarungan yang menurutnya belum be-
rakhir tadi.
"Ki Pringgada, tahan pemuda itu...!"
Terdengar sebuah seruan nyaring, menyebut nama 
asli Pendekar Tangan Geledek. Belum lagi gema suara 
itu lenyap, muncullah Sucipta, Witarsa, Klaban, dan 
dua orang tokoh lain yang mengejar Panji.
"Celaka...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih agak terkejut melihat kedatan-
gan lima orang tokoh persilatan yang dua di antaranya 
adalah murid Begawan Cindra Putra. Pemuda itu men-
jadi cemas, karena menyadari harus terpaksa berha-
dapan dengan orang-orang segolongan. Tapi semuanya 
demi membela kekasihnya.
***

TUJUH

"Hm.... Mau kabur ke mana kau, Pendekar Naga Pu-
tih...?" kata Sucipta.
Laki-laki itu penasaran sekali terhadap Panji. Dia 
menuduh Pendekar Naga Putih sebagai penyebab lo-
losnya Bidadari Iblis dari tangan mereka. Dan kini, le-
laki gagah berusia tiga puluh tahun itu melangkah ma-
ju beberapa tindak, setelah menyalami Pendekar Tan-
gan Geledek. Memang, tokoh tinggi besar yang berna-
ma Ki Pringgada itu adalah sahabat lama gurunya.
Melihat keenam tokoh itu sudah mengurung di-
rinya, Pendekar Naga Putih segera mengatur kedudu-
kannya. Kemudian, pandangannya beredar dengan so-
rot mata penuh sesat.
"Pendekar Naga Putih! Kalau kau bersedia berjanji 
untuk tidak mencampuri urusan kami lagi, tindakan-
mu yang telah keliru itu akan ku maafkan. Berjanji-
lah," usul Ki Pringgada.
Rupanya, Ki Pringgada tidak tega melihat sorot ma-
ta Pen-dekar Naga Putih yang penuh sesal itu karena 
Pendekar Naga Putih menyadari kesalahannya. Itulah 
sebabnya, mengapa dia mengusulkan demikian.
"Hm..... Benar! Kalau lain kali kau berjanji tidak 
akan ikut campur dalam masalah ini, aku pun tidak 
keberatan memaafkan tindakanmu tadi. Bukan begitu, 
kawan-kawan...?" Sam-bung Sucipta, seraya meminta 
pendapat keempat kawannya yang lain. Lelaki gagah 
itu tersenyum puas ketika melihat keempat kawannya 
mengangguk setuju.
"Hhh...."
Panji menghela napas berat berkepanjangan ketika 
mendengar ucapan tokoh-tokoh persilatan itu. Sorot

sesal di mata-nya terlihat semakin jelas. Tapi yang di
sesalkan Panji justru bukan tindakannya, melainkan 
sikap serta keluhuran budi tokoh-tokoh itu. Tentu sa-
ja, karena ia tidak bisa menuruti kemauan mereka.
"Sahabat sekalian," sebut Panji setelah termenung 
sejenak. "Sebenarnya, aku pun sangat menyesali keja-
dian ini. Tapi, sayangnya aku tidak bisa menerima 
usul yang sangat bijaksana itu. Aku benar-benar ha-
rapkan pengertian kalian. Percayalah! Tokoh sesat 
yang dijuluki Bidadari Iblis itu, sesungguhnya adalah 
kekasihku yang telah lama menghilang!"
Semua mata memandang Pendekar Tangan Geledek 
tanpa suara sedikit pun. Rupanya, Pendekar Naga Pu-
tih diberi kesempatan untuk membela diri. Tapi itu 
bukan berarti mereka mempercayai sepenuhnya. Dan 
kewaspadaan tetap menjadi patokan mereka, agar ti-
dak cepat percaya begitu saja kepada Pendekar Naga 
Putih.
"Dan aku yakin, semua perbuatannya pastilah dila-
kukan tanpa sadar. Bukan tidak mungkin kalau keka-
sihku itu telah diperalat seorang tokoh sesat yang 
mendendam terhadap Begawan Cindra Putra atau kor-
ban-korban lainnya. Aku kenal betul, kalau Bidadari 
Iblis sesungguhnya adalah Kenanga. Jadi tidak mung-
kin perbuatannya dilandasi oleh kesadaran penuh!" 
Sambung Pendekar Naga Putih. Masih belum ada yang 
bersuara. Bahkan keenam tokoh persilatan itu saling 
berpandangan. Sepertinya, mereka satu sama bin ingin 
meminta pendapat. Namun belum juga ada yang berbi-
cara, Pendekar Naga Putih pun membuka mulut
"Semua alasan itulah yang membuat pendirianku 
tidak dapat dirubah. Kalau saja persoalan ini menimpa 
salah seorang dari kalian, apakah yang akan kalian 
perbuat? Apakah kalian rela dengan membiarkan kekasih kalian dibunuh? Padahal kalian tahu, dia sama 
sekali tidak bersalah! Perbuatan itu hanya dilandasi 
oleh ketidakberdayaan, karena pikirannya terganggu." 
Jelas Panji, sehingga membuat keenam tokoh per-
silatan itu terdiam beberapa saat lamanya.
Pendekar Tangan Geledek sendiri mulai merasa ra-
gu ketika melihat kekerasan hati Pendekar Naga Putih. 
Memang, kalau semua itu hanya merupakan alasan 
yang dicari-cari. Maka mungkin Pendekar Naga Putih 
masih berkeras mempertahankan alasannya. Sedang-
kan saat ini, pemuda itu sudah terkurung enam orang 
berkepandaian tinggi. Lalu, mengapa nyawa-nya rela 
dikorbankan hanya untuk membela seorang tokoh se-
sat yang baru dikenalnya?
Ternyata, bukan Ki Pringgada seorang yang mulai 
berubah pendiriannya. Bahkan kelima orang tokoh 
lainnya tampak mulai ragu. Jelas, kebulatan tekad 
Pendekar Tangan Geledek telah menggoyahkan hati 
mereka.
"Sahabat sekalian! Boleh aku mengajukan sebuah 
usul, atau anggaplah sebagai usul permintaan?" pinta
Panji yang membuat keenam tokoh persilatan itu sal-
ing berpandangan sejenak.
"Hm..., katakanlah. Mungkin kami dapat memper-
timbangkannya," Ki Pringgada yang merasa lebih tua 
dari yang lain segera menyahuti.
'Terima kasih atas kesediaan kalian...," desah Panji. 
Kem0bali, hatinya dicekam keharuan melihat sikap to-
koh-tokoh persilatan itu. "Begini. Marilah kita saling 
membantu untuk menyingkap masalah ini. Andaikata 
tidak ada tokoh lain di belakang Bidadari Iblis, aku 
berjanji akan menangkap dan menyerahkannya kepa-
da kalian, termasuk juga diriku. Tapi seandainya du-
gaanku benar, aku mohon kalian memberikan kesem

patan kepadaku untuk membuktikan kalau Bida-dari 
Iblis sesungguhnya tidak sadar dengan apa yang di-
perbuatnya selama ini. Kalian boleh meminta agar dia 
bercerita tentang masa lalunya. Bagaimana?"
"Hm.... Permintaanmu cukup berat, Pendekar Naga 
Putih. Aku khawatir sebelum kita bisa menemukannya 
kembali, korban lain sudah akan berjatuhan lagi. 
Seandainya semua itu terjadi, apa kau mau bertang-
gung jawab?" Kata Sucipta, mencoba memojokkan 
Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji menjadi terdiam 
untuk mencari jawabannya.
"Mmm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, 
aku ingin bertanya sedikit. Menurut kabar yang ku-
dengar, bukankah Begawan Cindra Putra dan Ki Sang-
ga Watung memiliki hubungan yang cukup erat? Kalau 
boleh tahu, apa hubungan di antara mereka?" Tanya 
Pendekar Tangan Geledek. Sepertinya pemuda itu ten-
gah mencoba untuk memecahkan sesuatu yang men-
jadi dugaannya.
"Apa maksud pertanyaanmu, Pendekar Naga Putih?" 
Tanya Sucipta.
Laki-laki itu tak senang. Karena bukannya menja-
wab, tapi Pendekar Naga Putih malah bertanya yang 
aneh-aneh kepadanya.
"Jawab saja, Sucipta. Aku ingin tahu, apa yang ada 
dalam kepala pemuda itu," tukas Pendekar Tangan Ge-
ledek, segera. Sepertinya, orang tua itu ingin mengeta-
hui apa yang akan dikatakan Panji setelah mendengar 
jawaban Sucipta nanti.
"Hm.... Eyang Begawan Cindra Putra merupakan 
Paman Kakek Ki Sangga Watung. Jadi, Ki Sangga Wa-
tung adalah saudara jauhnya. Nah, apa kau sudah 
puas? Atau, masih ada pertanyaan lain yang hendak 
diajukan?" Jawab Sucipta, agak ketus. Tapi Panji sama

sekali tidak mengindahkannya.
"Hm.... Setelah Ki Sangga Watung, masih berapa 
orang lagi, keluarga Begawan Cindra Putra?" Tanya 
Pendekar Tangan Geledek lagi setelah termenung se-
saat lamanya.
"Masih ada seorang. Namanya, Ki Dasa Penang," ja-
wab Sucipta cepat.
Kening laki-laki gagah itu tampak berkerut. Seperti-
nya ia mulai dapat menduga, ke mana tujuan semua 
pertanyaan Panji itu.
"Pendekar Naga Putih, apakah kau menduga...,"
"Maaf. Ini hanya baru dugaanku saja, Sucipta. Bisa 
jadi aku keliru," potong Panji cepat. "Di manakah Ki 
Dasa Penang tinggal?"
Kemudian sambil melangkah maju beberapa tindak, 
Pendekar Tangan Geledek membuka suara lagi.
"Beliau tinggal di Desa Kemang...," sahut Sucipta 
dengan wajah agak tegang.
"Mudah-mudahan tidak keliru. Ayolah kita segera 
ke sana," ajak Panji yang segera melesat menggunakan 
ilmu lari cepat-nya.
Pendekar Tangan Geledek sejenak bertukar pan-
dang dengan yang lainnya. Sejurus kemudian, keenam 
orang tokoh persilatan itu pun bergegas menyusul 
Pendekar Naga Putih.
Hari masih pagi, ketika seorang penunggang kuda 
memacu tunggangannya membelah jalan lebar. Kuda 
hitam yang berlari bagai dikejar setan itu, terus mene-
robos mulut sebuah desa. Beberapa orang petani yang 
terlambat berangkat ke sawah, segera menyingkir ke 
tepi jika tidak ingin terlanggar. Terdengar sumpah-
serapah mereka yang merasa jengkel oleh si penung-
gang kuda itu.
Sedangkan penunggang kuda itu sendiri sama seka

li tidak ambil peduli. Bahkan sama sekali tidak mem-
perlambat lari kudanya, walaupun saat itu tengah me-
lintasi jalan utama desa. Lelaki kurus yang menung-
gang kuda berbulu hitam itu baru menarik tali kekang, 
setelah tiba di depan sebuah rumah besar yang letak-
nya agak terpencil.
Lelaki itu langsung saja menerobos masuk, setelah 
me-lompat turun dari atas punggung kudanya. Bah-
kan sama sekali tidak dipedulikan lagi binatang tung-
gangannya yang belum ditambatkan. Jelas, dia tengah 
terburu-buru.
"Hei, berhenti...!"
Baru saja beberapa langkah kakinya melewati pintu 
hala-man depan rumah besar itu, tiba-tiba terdengar 
bentakan keras yang membuat lelaki itu terlompat ka-
get. Dan tahu-tahu saja, dua orang lelaki bertubuh te-
gap telah berdiri menghadang jalan masuk.
"Siapa kau?! Mengapa tanpa permisi lagi berani 
memasuki tempat ini? Apa kau tidak pernah belajar 
sopan-santun?" Hardik seorang lelaki yang berkumis 
jarang.
Sepasang mata lelaki itu tampak melotot galak. 
Bahkan tangan kanannya sudah meraba gagang pe-
dang yang tersembul di balik bajunya.
"Aku ingin berjumpa Ki Dasa Penang. Tolong beri 
tahu, karena berita yang kubawa ini sangat penting 
buat majikan kalian," jawab lelaki bertubuh kurus itu 
dengan napas masih memburu.
"Kami adalah murid-muridnya. Kalau kau ada ke-
pentingan, sampaikan saja kepada kami. Nanti kami 
yang akan memberitahukannya kepada guru kami," 
ujar lelaki berkumis jarang itu lagi tanpa mempeduli-
kan bantahan lelaki kurus itu.
Tapi lelaki kurus itu sama sekali tidak mau meninggalkan tempat walau kedua murid Ki Dasa Penang 
menghardiknya. Bahkan saking jengkelnya, lelaki te-
gap yang berhidung pesek mendorong tubuhnya yang 
kurus hingga terjengkang ke belakang.
"Kalian tidak tahu, berita yang akan kusampaikan 
ini me-nyangkut mati hidupnya guru kalian! Aku ada-
lah orang kepercayaan Ki Sangga Watung yang telah 
tewas terbunuh oleh seorang wanita iblis! Bahkan 
Eyang Begawan Cindra Putra pun sudah pula dibu-
nuhnya! Nah, apa kalian masih juga tidak membawaku 
menghadap guru kalian itu?" teriak lelaki kurus itu sa-
king jengkelnya.
Disebutnya nama Eyang Begawan Cindra Putra, 
membuat wajah kedua orang murid Ki Dasa Penang 
pucat seketika. Meskipun mereka tidak kenal Ki Sang-
ga Watung, tapi nama Begawan Cindra Putra tentu sa-
ja telah mereka dengar. Karena, Ki Dasa Penang per-
nah menceritakan tentang orang tua sakti yang masih 
terhitung kakeknya itu. Sehingga, tanpa banyak cakap 
lagi, mereka pun segera membawa lelaki kurus itu 
menghadap guru mereka.
"Guru.... Mohon ampun kalau kami menghadap 
tanpa diperintah. Tapi lelaki kurus ini jelas memaksa 
kami berdua. Katanya Eyang Begawan Cindra Putra te-
lah tewas terbunuh," lapor lelaki yang berhidung pesek 
sambil membungkukkan tubuhnya dalam-dalam ke-
pada seorang lelaki gagah yang tengah membelakangi. 
Saat itu, Ki Dasa Penang tengah berada di taman bela-
kang rumahnya.
Mendengar ucapan itu, Ki Dasa Penang cepat mem-
balikkan tubuhnya. Ditatapnya ketiga orang itu lekat-
lekat. Jelas Ki Dasa Penang belum percaya sepenuh-
nya akan ucapan muridnya.
"Benar apa yang dikatakan muridku itu, Kisanak?

Lalu, kau ini siapa? Dan, dari mana berita ini kau da-
patkan?" Tanya Ki Dasa Penang dengan suara berat 
dan dalam.
"Maaf, Ki. Namaku Ganta. Aku adalah seorang 
pembantu di keluarga Ki Sangga Watung. Pada Saat 
hendak berhadapan dengan tokoh sesat bernama Bi-
dadari Iblis, beliau menyuruh-kan mengabarkan keja-
dian itu kepada Eyang Begawan Cindra Putra. Namun 
belum lama aku tiba di kediaman Eyang Begawan. 
Muncullah Bidadari Iblis. Rupanya setelah membunuh 
Ki Sangga Watung, wanita iblis itu mengikuti perjala-
nanku. Katanya dia akan membantai semua keluarga 
serta kerabat Eyang Begawan, sebelum bertempur dan 
menewaskan beliau. Aku menyaksikan dengan mata 
kepalaku sendiri, Ki," jelas lelaki kurus bernama Gan-
ta. 
"Kalau ceritamu benar, mengapa tokoh sesat itu ti-
dak membunuhmu? Apa dia sengaja melepaskanmu, 
agar bisa menceritakan semua ini kepadaku?!" Desah 
Ki Dasa Penang seperti meragukan cerita Ganta.
"Sepertinya, tokoh sesat berhati keji itu memang 
sengaja tidak membunuhku. Akupun tidak begitu je-
las, apa sebabnya? Yang jelas, ia sangat mendendam 
terhadap keluarga serta kerabat Eyang Begawan. Me-
nurut yang kudengar, tokoh itu mengatakan kalau 
Eyang Begawan dan keluarganya telah membuat gu-
runya menderita. Hanya itulah yang sempat kuketa-
hui," jelas Ganta lagi dengan wajah sungguh-sungguh.
"Hm.... Lelaki atau wanita, guru tokoh yang berju-
luk Bida-dari Iblis itu?" Tanya Ki Dasa Penang lagi. 
Kali ini keningnya tampak berkerut. Jelas, lelaki gagah 
berpakaian mewah itu mulai berpikir keras.
"Dia..., tidak menyebutkannya, Ki...," jawab Ganta 
dengan wajah menyesal.

"Hm..., baiklah kalau begitu. Terima kasih atas 
pemberitahuan mu ini. Sekarang silakan kau beristi-
rahat. Tentunya kau lelah setelah menempuh perjala-
nan panjang dan jauh," ujar Ki Dasa Penang yang se-
gera memanggil pelayannya untuk mengantarkan Gan-
ta beristirahat.
Baru saja beberapa saat Ganta meninggalkan teman 
belakang, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan merah 
yang langsung menjejakkan kakinya beberapa langkah 
di depan Ki Dasa Penang dan kedua orang muridnya. 
Karuan saja ketiga orang itu melompat mundur den-
gan kuda-kuda siap tempur.
"Siapa kau...?!" Bentak Ki Dasa Penang sambil me-
neliti sosok ramping berwajah jelita .yang terbungkus 
pakaian berwarna merah darah.
"Hik hik hik...," sosok yang tak lain Bidadari Iblis itu 
terkekeh merdu.
Kejelitaan wajah wanita itu tampak semakin mem-
pesona saat tertawa. Sepasang lesung pipit di kedua
pipinya nampak nyata.
"Kaukah yang berjuluk Bidadari Iblis...?" tegur Ki 
Dasa Penang setelah berhasil mengusir pesona yang 
menguasainya.
Lelaki gagah itu mulai dapat menebak tamunya. 
Memang, wajah wanita itu sangat cantik. Dia tak 
ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit.
"Benar. Tapi, kedatanganku pun juga hendak mem-
bawamu pergi. Bukankah kau belum pernah melayat 
ke neraka?" Desis bibir indah itu dingin dan datar. 
Bahkan sorot mata yang seharusnya menjatuhkan hati 
setiap pria, tampak berkesan mengiriskan.
Kedua orang murid Ki Dasa Penang pun tidak ting-
gal diam. Tanpa menunggu perintah gurunya lagi, ke-
dua lelaki muda bertubuh tegap itu langsung menghu

nus senjata, dan lompat menerjang!
"Haaat...!" 
"Yiaaat..!" 
Wuuut! Wuuuk!
Dua orang murid Ki Dasa Penang langsung mengke-
lebatkan pedang mereka ke arah Bidadari Iblis. Kilatan 
sinar pedang tampak saling berlomba untuk me-
lenyapkan lawan.
"Hm...!"
Bidadari Iblis hanya mendengus kasar. Berbarengan 
dengan itu, tubuhnya merendah agak membungkuk. 
Sepasang tangannya yang halus mengibas ke kiri dan 
kanan, begitu mata pedang lawan lewat di atas kepala 
dan sisi tubuhnya!
Plakkk! Plakkk!
"Ughhh...!"
"Aaakh...!"
Tubuh kedua orang murid Ki Dasa Penang langsung 
ter-jungkal ke belakang! Tamparan wanita iblis itu 
masing-masing telah menghantam bahu mereka. Aki-
batnya mereka meringis menahan nyeri yang menusuk 
sampai ke tulang!
Bidadari Iblis sendiri sempat terkejut melihat ke-
pandaian kedua orang murid Ki Dasa Penang itu. 
Sungguh tak diduga kalau kedua orang lelaki tegap itu 
ternyata memiliki kepandaian lumayan.
Keheranan tokoh wanita sesat itu sebenarnya tidak 
aneh. Memang, meskipun kedua orang itu mempunyai 
ilmu silat, Ki Dasa Penang sebenarnya tidak bersung-
guh-sungguh mengajarkan. Selain kedua orang itu ti-
dak mempunyai bakat, sebelumnya mereka juga hanya 
kacung. Hanya karena rasa kasihanlah yang membuat 
Ki Dasa Penang menurunkan beberapa jenis ilmu si-
latnya kepada kedua orang kacung itu. Sedangkan da

lam arti yang sebenarnya, Ki Dasa Penang sama sekali 
tidak mempunyai seorang murid. Jadi, wajar saja ka-
lau kedua orang itu demikian mudah terkena pukulan 
Bidadari Iblis.
"Haiiit...!"
"Heaaat...!"
Sebelum Ki Dasa Penang sempat mencegah, kedua 
orang muridnya itu kembali melompat dengan putaran 
senjatanya!
"Hahhh!"
Melihat hal ini Bidadari Iblis menjadi jengkel bukan 
main. Maka langsung saja sepasang telapak tangannya 
didorongkan ke depan! Dan....
Blagggh! Desss...!
Sambaran angin pukulan berbau harum itu lang-
sung saja membuat kacung Ki Dasa Penang terjungkal 
tanpa ampun! Setelah menggelepar dengan bagian da-
da hangus, kedua orang itu pun tewas seketika!
"Bangsat, pembunuh keji...!" umpat Ki Dasa Penang 
dengan wajah bagai terbakar! Lelaki gagah itu kini su-
dah siap menerjang Bidadari Iblis!
'Tunggu! Aku hanya disuruh guruku untuk me-
nyampaikan pesan kepadamu. Kalau tidak, tentu kau 
sudah menggeletak seperti mereka. Esok pada saat 
matahari terbit, kau sudah harus berada di kaki Gu-
nung Sindur! Aku yakin kau bukan seorang lelaki pe-
ngecut!"
Setelah berkata demikian, Bidadari Iblis melesat 
meninggal-kan Ki Dasa Penang yang masih tertegun 
tak mengerti.
'Tunggu...!"
Ki Dasa Penang terlambat mencegah. Pada saat ke-
sadaran-nya tergugah, sosok tubuh merah itu telah le-
nyap dari pandangannya. Akhirnya meski dengan wajah penasaran, hari itu juga lelaki gagah ini mening-
galkan tempat kediamannya. Tujuannya adalah ke 
Gunung Sindur.
***
DELAPAN


Sosok tubuh gagah terbungkus jubah berwarna
coklat itu berdiri tegak di atas sebuah dataran yang 
agak tinggi. Sepasang matanya menatap lurus ke arah 
puncak Gunung Sindur yang terselimuti kabut tebal. 
Sinar matahari yang baru saja menampakkan kekua-
saannya, tak mampu mengusir tebalnya kabut yang 
menyelimuti puncak gunung itu.
"Hhh...."
Dengan sebuah hembusan napas panjang, lelaki 
gagah yang tak lain Ki Dasa Penang itu mengayun 
langkahnya per-lahan. Setelah menyeberangi sebuah 
aliran sungai yang cukup lebar, langkahnya berhenti. 
Sejenak diedarkan pandangannya ke sekeliling tempat 
itu.
Belum selesai Ki Dasa Penang meneliti daerah di 
sekitarnya, tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik 
yang panjang dan menyakitkan telinga.
"Hik hik hik...!"
Meskipun gema suara tawa itu sanggup membuat 
seorang penakut lari terbirit-birit, namun Ki Dasa Pe-
nang tetap bersikap tenang. Tenaga dalamnya dike-
rahkan untuk melawan getaran tawa yang membuat 
dadanya seketika berdebar. Setelah gangguan suara 
tawa itu dapat ditanggulanginya, lelaki gagah itu me-
natap lurus ke satu tempat suara tawa diduga berasal.

"Bidadari Iblis! Keluarlah...! Bukankah kau yang 
mengundangku ke tempat ini? Mengapa mesti sem-
bunyi!" Teriak Ki Dasa Penang sambil mengerahkan 
tenaga dalam melalui suaranya. Sehingga, gemanya 
bergaung memenuhi daerah itu.
"Hi hi hi...! Ternyata kau masih tetap sombong dan 
bermulut besar Dasa Penang."
Berbarengan dengan suara jawaban itu, muncullah 
dua sosok tubuh yang membuat kening lelaki gagah 
itu berkerut dalam. Jelas, Ki Dasa Penang berusaha 
mengenali sosok yang muncul dari samping kirinya itu.
"Nyi Prihasti...?! Tidak salahkah penglihatanku...?!" 
Desis Ki Dasa Penang sambil menggosok kedua ma-
tanya, setengah tak percaya. Rupanya lelaki gagah itu 
telah mengenai sosok yang berjalan di sebelah Bidadari 
Iblis.
Wajah sosok wanita berusia lima puluh tahun itu 
tampak terlihat jauh lebih tua dibanding usianya. Ga-
ris-garis wajahnya tampak menggambarkan penderi-
taan yang panjang, bagai tak berkesudahan. Dan yang 
lebih menyedihkan lagi, nenek itu ternyata tidak memi-
liki anggota tubuh yang lengkap. Ia nampak berjalan 
menggunakan kedua tangannya, karena sepasang ka-
kinya buntung hampir mencapai pangkal paha.
"Benar. Akulah Prihasti, orang yang kau buat men-
derita dengan bantuan Begawan Cindra Putra. Kau 
terkejut Dasa Penang," Ujar wanita yang bernama Nyi 
Prihasti itu. Tekanan nada suaranya terdengar penuh 
dendam. Bahkan sorot mata-nya tampak menyiratkan 
api kebencian yang mendalam.
'Tapi aku dan Eyang Begawan sama sekali tidak 
bermaksud menyiksamu, Nyi. Aku... akupun menyesal 
atas kejadian itu," tukas Ki Dasa Penang dengan wajah 
sedih.
"Lihatlah lelaki itu baik-baik, Muridku. Tiga puluh 
tahun yang lalu, aku sangat mengagumi dan mencin-
tainya. Dan dia pun menyambut uluran cintaku. 
Sayangnya, lelaki bernama Dasa Penang itu ternyata 
seorang pengecut dan bermulut besar. Dengan alasan 
berbeda golongan, aku ditinggalkannya atas perintah 
orangtua nya. Termasuk, Begawan Cindra Putra yang 
merupakan guru sekaligus uwaknya," tutur Nyi Prihas-
ti.
Bidadari Iblis menatap orang yang bernama Ki Dasa 
Penang tajam-tajam. Kabut kebencian terhadap laki-
laki, tampak kembali menyelimuti hatinya. Dia me-
mang telah dipengaruhi racun kebencian terhadap la-
ki-laki oleh Nyi Prihasti.
Aku mendesaknya agar bertanggung jawab. Kuakui, 
kami pernah berhubungan seperti suami-istri, meski-
pun belum resmi menikah. Tapi dengan sangat licik-
nya, Dasa Penang bersama Begawan Cindra Putra 
mengajakku bertarung habis-habisan. Tubuhku terja-
tuh ke dalam jurang saat sebuah pukulan Begawan 
Cindra Putra mengenai tubuhku. Gunung Sindur in-
ilah yang menjadi saksi bisunya.
"Pertempuran itu terjadi memang di salah satu teb-
ing gunung ini," tutur perempuan tua itu.
Nyi Prihasti mengatur napasnya yang agak membu-
ru, karena terlalu bernafsu dalam menceritakan kisah 
yang baginya sangat menyakitkan itu.
"Maafkan aku atas kejadian itu, Prihasti. Aku sung-
guh menyesalinya. Seharusnya, hal itu tidak perlu ter-
jadi seandainya kau tidak mendesakku. Syukurlah kau 
selamat. Sekarang, marilah kita lupakan semua peris-
tiwa pahit itu. Biarlah kematian Ki Sangga Watung dan 
Begawan Cindra Putra kuanggap sebagai penebus dosa 
kami. Aku ikhlas, dan tidak akan menuntutmu," bujuk

Ki Dasa Penang.
Laki-laki tua itu menatap wajah wanita yang pernah
menjadi kekasihnya penuh harap. Jelas dia ingin men-
gakhiri dendam di antara mereka.
"Nah, dengarlah apa yang diucapkan lelaki gagah 
bernama Dasa Penang itu, Muridku? Meskipun telah 
tua bangka, namun sifat pengecutnya tidak juga hi-
lang. Ia sengaja membujukku untuk melupakan den-
dam. Padahal, tujuan yang sesungguhnya adalah un-
tuk menyelamatkan dirinya dari kematian. Benar-
benar manusia licik!" Geram Nyi Prihasti, dengan tari-
kan bibir sinis. Rupanya wanita cacat itu tidak mene-
rima usul Ki Dasa Penang.
'Tapi, Prihasti...."
"Diam! Tidak perlu membantah lagi!" Potong Nyi 
Prihasti sambil melotot. "Kau kira setelah menjalani 
penderitaan puluhan tahun, aku akan melupakannya 
begitu saja? Tidak, Dasa Penang. Bertahun-tahun aku 
harus hidup dengan kedua kaki lumpuh. Dan akhir-
nya, aku harus membuntunginya karena sudah tidak 
mungkin dapat disembuhkan lagi. Kau tahu, Dasa Pe-
nang? Hanya kekuatan dendam dalam tubuhku-lah 
yang membuatku mampu untuk bertahan hidup!"
Kalau Ki Dasa Penang agak dekat, pasti dia melihat 
bola mata Nyi Prihasti berkaca-kaca. Memang, setegar-
tegarnya wanita, dia tak akan lepas dari kodratnya. 
Menangis, walau hanya sedikit saja.
"Setelah menciptakan sebuah ilmu dengan susah 
payah, akhirnya dendamku mulai terwujud atas ban-
tuan muridku ini. Sekarang tinggal kau seorang yang 
harus kulenyapkan dari muka bumi ini. Setelah itu, 
matipun aku puas, Dasa Penang. Nah, sebaiknya ber-
siaplah untuk menerima hukumanmu," desis Nyi Pri-
hasti sambil menghapus air mata yang sudah mengalir

membasahi pipinya.
'Tunggu, Prihasti...!" cegah Ki Dasa Penang.
Rupanya, laki-laki tua itu menjadi lenyap kemara-
hannya setelah mengetahui siapa sebenarnya tokoh di 
balik semua kejadian yang menimpa saudara-
saudaranya.
Tapi Nyi Prihasti sudah tidak bisa dicegah lagi. Ber-
sama muridnya, nenek buntung itu menerjang Ki Dasa 
Penang tanpa ampun! Angin pukulan yang berbau ha-
rum, menebar dan menyambar-nyambar di sekeliling 
tubuh lelaki gagah itu. Karuan saja Ki Dasa Penang 
menjadi kewalahan dibuatnya.
Namun sebagai seorang pendekar kawakan, Ki Dasa 
Penang pun tidak mudah ditundukkan dalam waktu 
singkat. Lelaki gagah itu mengerahkan seluruh ke-
mampuannya untuk membendung serangan gencar 
kedua orang lawannya.
"Heaaat..!"
Ki Dasa Penang berseru nyaring sambil menggerak-
kan sepasang tangannya untuk menghalau serangan 
Nyi Prihasti dan Bidadari Iblis. Sayangnya kepandaian 
pengeroyoknya itu masih beberapa tingkat di bawah-
nya. Terutama sekali Bida-dari Iblis yang bergerak ba-
gaikan burung walet. Demikian gesit dan sulit untuk 
menentukan, dari mana wanita jelita itu me-lontarkan 
serangan! Tubuh yang terbungkus pakaian merah da-
rah itu selalu berpindah-pindah dengan kecepatan su-
kar ditangkap mata. Sehingga dalam beberapa puluh 
jurus saja, Ki Dasa Penang jadi terdesak hebat.
"Hiaaah...!"
Zebbb!
Bukan hanya sepasang tangan Bidadari Iblis itu sa-
ja yang berbahaya. Ternyata sepasang kaki wanita jeli-
ta itupun dapat bergerak cepat, melepaskan serang

kaian tendangan kilat! Akibatnya ketika Ki Dasa Pe-
nang bergerak ke samping menghindarkan hantaman 
telapak tangan Nyi Prihasti, sebuah tendangan Bidada-
ri Iblis telak menghajar tubuhnya!
Desss!
"Hukhhh!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terpental 
deras ke belakang. Darah segar menyembur dari mulut 
laki-laki itu, dan langsung membasahi tanah berum-
put. Meskipun demi-kian, secepat kilat Ki Dasa Penang 
melompat bangkit, dan segera mengatur pernapasan-
nya.
"Mampus kau, lelaki pengecut...!" 
Nyi Prihasti yang sudah tidak bisa menahan gumpa-
lan kebencian di dadanya, segera melontarkan jarum-
jarum beracun untuk segera menamatkan riwayat Ki 
Dasa Penang!
Seeeng... seeeng...!
Puluhan batang jarum halus yang mengandung ra-
cun me-matikan meluncur deras, mengancam tubuh 
Ki Dasa Penang! Untunglah lelaki gagah itu masih 
sempat melempar tubuhnya, dan terus bergulingan 
menjauhi lawan.
"Tamat riwayatmu, Orang Tua Kejam!"
Ki Dasa Penang yang baru saja melompat bangun, 
terkejut bukan main ketika mendengar bentakan nya-
ring itu! Tahu-tahu saja, sebuah tamparan telapak ta-
ngan Bidadari Iblis sudah meluncur deras mengancam 
dadanya!
Whuuut!
Tepat pada saat telapak tangan Bidadari Iblis ting-
gal satu jengkal lagi menghantam tubuh Ki Dasa Pe-
nang, mendadak saja sesosok bayangan putih me-
layang memasuki arena dengan kecepatan luar biasa!

Begitu tiba, sosok bayangan putih itu langsung mene-
piskan telapak tangan yang mengancam nyawa Ki Da-
sa Penang!
Plakkk!
"Aaah...!?"
Akibat tepisan sosok tubuh berjubah putih itu, Bi-
dadari Iblis langsung memekik tertahan! Tubuhnya 
kontan terpental ke samping, dan terhuyung hingga 
satu tombak lebih! Karuan saja Bidadari Iblis heran 
bukan main! Sebab, baru kali ini ia bertemu orang 
yang demikian hebat tenaga dalamnya!
"Kau..., Panji...!?" Desis bibir mungil itu agak berge-
tar.
Jelas, Bidadari Iblis sangat terkejut begitu menge-
nali ada-nya sosok bayangan putih yang menggagalkan 
pukulannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya 
wanita jelita itu hanya dapat berdiri terpaku.
***
"Benar, Kenanga. Aku Panji kekasihmu. Apakah 
kau masih belum dapat mengingatku?" Sahut Panji 
lembut menggambarkan kerinduan mendalam.
'Tapi..., betulkah aku Kenanga? Mengapa aku tidak 
bisa ingat sedikit pun?" Desah Bidadari Iblis sambil 
menatap Panji bingung.
"Hm.... Kalau kau bersedia, aku akan mencoba un-
tuk mengembalikan ingatanmu. Bagaimana?" Usul 
Panji yang rupanya sudah memikirkan apa yang akan 
dilakukan apabila bertemu kembali dengan kekasihnya 
yang hilang itu.
"Mmm..., baiklah. Aku bersedia...," jawab Kenanga.
Entah mengapa, Bidadari Iblis telah menaruh ke-
percayaan penuh kepada Panji. Padahal dia belum begitu ingat terhadap pemuda tampan itu.
"Berdirilah dengan tenang. Pejamkan mata, dan ko-
songkan pikiranmu. Aku akan menyatukan tenaga da-
lamku ke dalam tubuhmu," ujar Panji memberi petun-
juk.
Setelah melihat Bidadari Iblis telah siap menerima 
pemindahan tenaga saktinya, Panji segera memu-
satkan pikiran. Sesaat kemudian, terbentuklah lapisan 
sinar kuning keemasan di seluruh tubuh pemuda itu. 
Akhirnya begitu seluruh sinar yang melapisi tubuhnya 
berkumpul di telapak tangannya, Panji membentak 
nyaring!
"Hiaaah!"
Menakjubkan sekali! Gumpalan sinar keemasan 
yang se-mula berkumpul di kedua telapak tangan Pen-
dekar Naga Putih langsung meluncur seiring bentakan 
pemuda itu!
Sinar keemasan itu langsung meresap ke dalam tu-
buh Bidadari Iblis, setelah sebelumnya menyelimuti 
sekujur tubuh dara jelita itu. Rupanya, 'Tenaga Sakti 
Inti Panas Bumi' dapat menyembuhkan ingatan tokoh 
mengiriskan itu dari dalam tubuh.
"Oooh..."
Tidak berapa lama kemudian, terdengar keluhan li-
rih dari bibir dara berpakaian merah darah itu. Panji 
cepat berkelebat, menangkap tubuh Bidadari Iblis yang 
tampak hendak ter-jatuh. Dengan lembut, tubuh dara 
jelita itu direbahkan di atas rerumputan di bawah se-
batang pohon berdaun rindang. Sambil menunggui da-
ra jelita itu tersadar, Panji menatap ke arah pertem-
puran di depannya.
Saat itu, pertarungan yang kini terjadi antara Ki 
Dasa Penang dan Nyi Prihasti sudah terlihat mencapai 
puncaknya. Kelihatan sekali kalau Ki Dasa Penang sudah bisa menguasai lawannya.
Beberapa tombak di sebelah kiri arena pertarungan, 
tampak Pendekar Tangan Geledek, Sucipta, Witarsa, 
Klaban, dan dua orang tokoh lainnya tengah me-
nyaksikan penuh perhatian. Tak seorang pun dari ke-
lima tokoh itu terlihat hendak membantu. Sepertinya, 
mereka yakin kalau Ki Dasa Penang dapat menunduk-
kan Nyi Prihasti.
Sebenarnya, kepandaian Nyi Prihasti masih di ba-
wah Ki Dasa Penang. Apalagi, keadaan tubuh wanita 
sesat itu sudah tidak lengkap. Maka, sudah pasti Ki 
Dasa Penang memiliki lebih banyak kesempatan dan 
kelebihan dibanding lawannya. Tapi cara bertarung Nyi 
Prihasti yang seperti orang kemasukan setan itulah 
yang menyulitkannya untuk cepat-cepat menjatuhkan 
lawan. Selain itu, ada rasa risih di hati Ki Dasa Penang 
karena lawannya cacat.
Sedang Nyi Prihasti sendiri sama sekali tidak peduli 
dengan keengganan lawannya. Tekad untuk membu-
nuh Ki Dasa Penang dengan tangannya sendiri, mem-
buatnya terus mengumbar pukulan-pukulan maut dan 
juga senjata beracun tanpa mempedulikan keselama-
tan dirinya sendiri.
"Heaaat..!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kedela-
pan puluh, Nyi Prihasti berseru nyaring hingga menge-
jutkan lawannya! Tepat pada saat yang sama, tubuh 
wanita buntung itu me-lompat tinggi sambil mengi-
baskan kedua tangannya susul menyusul!
Siiing... siiing! 
Dengan memperdengarkan suara berdesing halus, 
jarum-jarum beracun yang dilontarkan menebar, men-
gincar beberapa bagian pada tubuh Ki Dasa Penang. 
Bahkan sebelum jarum-jarum itu tiba pada sasaran,

tokoh sesat yang hatinya sudah diselimuti dendam itu 
masih menyusulinya dengan dorongan sepasang tela-
pak tangan!
Wusss!
Serangkum angin keras berhawa panas yang mene-
barkan bau harum memabukkan, mengiringi dorongan 
sepasang telapak tangan wanita tua itu! Jelas ia me-
mang hendak mencabut nyawa Ki Dasa Penang. Pa-
dahal dalam perkelahian itu, Ki Dasa Penang terlihat 
lebih banyak mengalah.
Dua buah serangan maut yang mematikan itu tentu 
saja membuat tokoh-tokoh persilatan yang menyaksi-
kan, pertarungan menahan napas tegang. Begitu pula 
Panji. Pendekar Naga Putih pun ikut mencemaskan 
nasib Ki Dasa Penang.
"Haaait...!"
Disertai pekikan keras, tubuh Ki Dasa Penang me-
lambung ke atas. Sehingga, jarum-jarum beracun itu 
lewat dua jengkal di bawah kakinya. Sambil meluncur 
turun, lelaki gagah itu mendorong sepasang tangan ke 
depan dengan pukulan jarak jauhnya. Rupanya Ki Da-
sa Penang bermaksud menyambut pukulan beracun 
lawannya!
Wusss...!
Bresssh...!
Terdengar letupan keras yang membuat daun-daun 
pohon di sekitar pertarungan berguguran ke tanah! 
Tubuh Nyi Prihasti sendiri, terpental ke belakang diser-
tai semburan darah segar dari mulutnya! Wanita tua 
berkaki buntung itu melorot jatuh, setelah membentur 
sebatang pohon hingga berderak roboh!
Sementara Ki Dasa Penang terpental balik hingga 
sejauh dua setengah tombak! Untungnya, tubuhnya 
masih dapat diselamatkan begitu bersalto dua kali di

udara. Meski agak terhuyung, lelaki gagah itu berhasil 
mendarat selamat. Dari lelehan darah di sudut bibir-
nya, bisa ditebak kalau Ki Dasa Penang menderita luka 
dalam, meski tidak begitu parah. Sucipta dan Witarsa 
cepat menghambur ke arah Ki Dasa Penang yang ma-
sih terhitung paman gurunya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Ki...?"
"Hhh.... Tidak terlalu mengkhawatirkan. Bagaimana 
kalian tahu kalau aku berada di tempat ini?" Tanya Ki 
Dasa Penang menatap wajah Sucipta dan Witarsa ber-
ganti-ganti.
"Dari tempat kediamanmu. Kami mendapat kete-
rangan dari seorang pelayan tentang wanita berpa-
kaian merah darah yang mengundangmu ke kaki Gu-
nung Sindur. Lalu, langsung saja kami kemari," jelas 
Sucipta. Wajahnya tampak menyiratkan kelegaan, ka-
rena masalah ini boleh dibilang sudah selesai.
Setelah saling bertegur sapa dengan yang lain, Ki 
Dasa Penang bersama tokoh lain bergegas mendekati 
Nyi Prihasti yang masih terbaring lemah. Wanita tua 
berkaki buntung itu seperti tengah berada antara sa-
dar dan tidak. Hanya rintihan-nya saja yang menan-
dakan kalau tokoh itu masih hidup.
Di tempat lain, Bidadari Iblis mulai mengeluh, dan 
tersadar dari pingsannya. Dara jelita itu sejenak meng-
gosok-gosok kan kedua matanya dengan punggung 
tangan. Kemudian matanya merayapi sekitarnya de-
ngan wajah heran.
"Kau..., Kakang Panji...?!" Pekik dara jelita itu ketika 
sepasang matanya membentur seraut wajah tampan 
yang mengenakan jubah putih.
Tanpa ragu-ragu lagi, Bidadari Iblis yang memang 
Kenanga itupun langsung saja merangkul Panji erat-erat.

"Kau ke mana saja, Kakang. Lama sekali tidak ber-
temu," desah Kenanga di telinga Panji. Suaranya ter-
dengar begitu merdu dan penuh kerinduan.
"Kaulah yang harus menceritakan kepadaku lebih 
dahulu. Mengapa kau berubah menjadi tokoh sesat,” 
sergah Panji yang ingin penjelasan tentang pembunu-
han-pembunuhan yang telah dilakukan gadis itu.
'Tokoh sesat?! Apa maksudmu, Kakang? Setahuku, 
seorang wanita tua telah menyelamatkan diriku yang 
sudah hampir mati, ketika terdampar di daratan. Sete-
lah itu, ia membawaku ke tempat tinggalnya kemudian 
mengobati luka-lukaku. Dan baru sekaranglah aku 
tersadar. Lalu, mengapa Kakang mengatakan kalau 
aku berubah sesat?" Tanya Kenanga, jelas tidak men-
getahui perbuatannya selama ini.
"Hm.... Mari kita lihat, apakah nenek masih hidup. 
Mudah-mudahan saja ia mau menerangkan, apa yang 
telah dilakukannya terhadap dirimu?" Ajak Panji sam-
bil mengajak Kenanga mendekati para tokoh persilatan 
yang tengah mengerumuni Nyi Prihasti.
"Maaf...," ucap Panji sambil membawa kekasihnya 
dan duduk di samping Nyi Prihasti.
Kemudian, Pendekar Naga Putih menotok beberapa 
jalan darah penting di tubuh wanita tua itu untuk me-
lancarkan peredaran darahnya sementara waktu.
"Muridku...," terdengar suara parau Nyi Prihasti ke-
tika membuka matanya, mendapati wajah Kenanga di 
sampingnya.
"Nek. Menurut Kakang Panji, selama ini aku telah 
berbuat sesat dengan membunuh tokoh-tokoh per-
silatan. Menurutnya, hanya kau yang bisa menje-
laskan. Tolonglah jelaskan kepada-ku, Nek?" Pinta Ke-
nanga berbisik di telinga Nyi Prihasti. Memang, wanita 
tua yang tengah sekarat itu tidak lagi bisa mendengar
dengan baik.
"Nek! Sebelum kematian menjemputmu, apa salah-
nya kau berbuat baik untuk yang pertama kali dan te-
rakhir. Jelaskanlah, Nek. Kami semua sangat butuh 
keteranganmu," Panji yang melihat Nyi Prihasti kem-
bali memejamkan matanya, segera berbisik sedikit 
agak keras.
“Pada saat gadis jelita itu pingsan, aku menjejalinya 
ramuan perampas ingatan. Setelah sadar, aku menu-
runkan ilmu yang dapat mempengaruhi pikiran seseo-
rang. Betapapun baik orang itu sebelumnya, ia akan 
berubah menjadi iblis keji apabila mempelajari ilmu 
itu. Tenaga beracun yang mengalir di dalam tubuhnya 
memang bisa menyumbat jalan darah otak-nya. Lalu, 
gadis yang menjadi muridku itu kugunakan untuk me-
lampiaskan dendam kepada bajingan Dasa Penang dan 
semua orang yang membuatku menderita..., maafkan 
aku, Muridku. Sekarang aku puas. Rasanya, kematian 
memang jalan satu-satunya untuk melenyapkan den-
damku. Nah, aku harus pergi. Selamat ting... galll...!"
Kepala Nyi Prihasti langsung terkulai lemas begitu 
ucapan-nya selesai. Nyawanya telah melayang me-
ninggalkan raga. Se-buah kepuasan tampak tergambar 
pada bibirnya yang tersenyum.
"Nah! Persoalan kini sudah selesai jelas. Kuharap 
kalian semua dapat memaafkan kesalahan kekasihku 
ini," kata Pendekar Naga Putih kepada para tokoh per-
silatan itu.
Ki Dasa Penang dan yang lain hanya bisa mengang-
gukkan kepala tanda mengerti. Sehingga, hati Panji 
menjadi lega.
"Kalau begitu, aku mohon pamit. Kekasihku ini ma-
sih memerlukan beberapa kali pengobatan lagi, untuk 
melenyap-kan sisa-sisa tenaga beracun yang mengendap dalam tubuhnya," pamit Pendekar Naga Putih 
yang segera membawa Kenanga meninggalkan Gunung 
Sindur.
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki 
Dasa Penang dan tokoh persilatan lainnya melepas kepergian Pendekar Naga Putih.



                                SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar