SEPASANG PEDANG IBLIS
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Sepasang Pedang Iblis
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Pagi baru saja datang menggantikan sang malam.
Hembusan angin masih terasa sejuk membelai tubuh.
Dan, matahari belum menampakkan kegarangannya.
Sinarnya yang redup menyapa bumi serta dedaunan.
Suara jangkrik pun sesekali masih terdengar.
Di sebuah bangunan perguruan yang dikelilingi pa-
gar terbuat dari kayu bulat terlihat kesibukan. Bebera-
pa murid perguruan tengah berlatih dengan bertelan-
jang dada. Butir-butir keringat mengalir turun memba-
sahi tubuh mereka.
“Sarpala, kau sudah menyelesaikan pekerjaan-
mu...?” tegur seorang lelaki bertubuh gagah pada seo-
rang pemuda berusia sekitar dua puluh sembilan ta-
hun, yang memegang sapu pada tangan kanannya.
Pemuda itu tengah berdiri menyaksikan murid-murid
yang sedang berlatih. Sehingga tidak menyadari ada
orang yang menghampirinya.
“Guru...,” ucap pemuda itu segera membungkukkan
tubuh dengan sikap hormat.
“Hm..„ Apa yang kau pikirkan, Sarpala? Hingga aku
harus menegur mu berkali-kali. Apa kau tidak men-
dengar pertanyaanku?” tanya lelaki bertubuh gagah
seraya menatap wajah Sarpala dengan penuh selidik.
“Ampun, Guru. Aku..., aku...,” Sarpala mendadak
gugup ketika menyadari kesalahannya. Apalagi, nada
teguran itu jelas menyiratkan ketidaksenangan. Tentu
saja Sarpala makin merasa bersalah.
“Sudahlah! Lanjutkan pekerjaanmu!” lelaki bertu-
buh gagah menyela tak sabar.
“Baik..., baik, Guru...,” sahut Sarpala kemudian
meninggalkan tempat itu untuk menyelesaikan peker
jaannya.
“Hhh...,” lelaki gagah itu menghela napas panjang
sambil menggeleng-geleng kepala. Setelah bayangan
Sarpala lenyap, perhatiannya kembali tertuju ke arah
murid-murid yang tengah berlatih.
Ki Baginta, lelaki bertubuh gagah itu bukanlah to-
koh rendahan dalam Perguruan Harimau Sakti. Ia me-
rupakan orang ketiga setelah guru dan kakak sepergu-
ruannya. Tapi, semua murid Perguruan Harimau Sakti
memanggil tokoh-tokoh perguruannya dengan panggi-
lan guru. Kecuali, ketua perguruan yang dipanggil
guru besar.
Sementara itu, Sarpala yang bertugas menjaga ke-
bersihan bagian dalam perguruan telah melanjutkan
tugasnya kembali. Pemuda bertubuh tegap itu tidak
lagi mempedulikan keadaan sekelilingnya. Teguran Ki
Baginta membuat pemuda itu semakin tekun menja-
lankan tugasnya. Sehingga, tanpa sadar Sarpala me-
masuki ruangan perpustakaan. Seolah-olah tidak me-
nyadari kesalahannya karena, ruangan itu tidak boleh
dimasuki murid-murid perguruan termasuk dirinya,
Sarpala terus membersihkan ruangan itu.
“Sarpala...!” tiba-tiba terdengar bentakan keras yang
membuat Sarpala hampir jatuh terduduk. Wajah pe-
muda itu berubah pucat ketika melihat seraut wajah di
belakangnya.
“Ada apa, Ki...?” tanya pemuda itu seperti orang bo-
doh, membuat wajah lelaki tua yang berdiri di ambang
pintu makin bertambah gelap.
“Hm.... Kau sengaja berpura-pura bodoh atau me-
mang ingin mempermainkan aku, Sarpala...?” geram
lelaki tua itu seraya melangkah maju mendekati Sarpa-
la. Jelas, terlihat kemarahan tersirat pada sepasang
matanya.
Sarpala tidak menjawab. Matanya menatap wajah
orang tua itu dengan pandangan tak mengerti. Ru-
panya, pemuda itu belum menyadari kesalahannya.
“Hm...,” Ki Kumbaranta, penjaga ruang perpusta-
kaan Perguruan Harimau Sakti menggeram jengkel,
“Sudah berapa lama kau bekerja di tempat ini?” tanya
lelaki tua itu membuat Sarpala merasa heran. Itu terli-
hat dari pancaran matanya.
“Setengah tahun, Ki...,” jawab Sarpala tidak menge-
tahui ke mana arah pertanyaan Ki Kumbaranta.
“Sudah cukup lama untuk mengetahui semua pera-
turan di perguruan ini, bukan?” desak Ki Kumbaranta.
“I…, ya, Ki....”
“Kau tahu tempat apa yang kau masuki ini...?”
tanya Ki Kumbaranta dengan pandangan yang sema-
kin tajam, membuat dada Sarpala bergetar dan pemu-
da itu menatap berkeliling.
“Ahhh...?!” Sarpala berseru dengan wajah pucat
Rupanya, pemuda itu baru menyadari kesalahan yang
telah diperbuatnya. Tanpa banyak bicara lagi, pemuda
itu langsung menjatuhkan tubuhnya berlutut di depan
Ki Kumbaranta.
“Ampun, Ki. Aku sungguh tidak sengaja...,” ucap
Sarpala setengah merintih.
“Hm.... Kau tahu hukuman apa yang akan dijatuh-
kan guru besar kita bila mengetahui perbuatanmu
ini...?” ujar Ki Kumbaranta membuat tubuh Sarpala
semakin menggigil ketakutan, “Guru besar kita mela-
rang keras setiap murid-murid dan penghuni pergu-
ruan masuk ke dalam ruangan perpustakaan, kecuali
aku yang diberi wewenang untuk menjaganya. “
“Ampun, Ki. Aku mengaku bersalah. Tapi..., aku
benar-benar tidak sengaja melakukannya...,” rintih
Sarpala dengan suara gemetar ketakutan. Sebab, KiSawung yang menjadi Ketua Perguruan Harimau Sakti,
akan menjatuhi hukuman bagi siapa saja yang me-
langgar peraturan itu. Itu sebabnya, Sarpala ketakutan
setengah mati.
Ki Kumbaranta terdiam beberapa saat seraya mem-
perhatikan tubuh menggigil di dekat kakinya. Ru-
panya, hati orang tua berusia sekitar enam puluh lima
tahun itu tergerak melihat wajah Sarpala yang pucat
bagai mayat Setelah menghela napas panjang, terden-
gar Ki Kumbaranta berkata perlahan.
“Kali ini kuampuni perbuatanmu, dan tidak akan
melaporkannya pada guru besar. Tapi ingat! Sekali lagi
kau memasuki ruangan ini, kau akan digantung di ha-
laman depan, mengerti...,” ujar Ki Kumbaranta.
“Terima kasih, Ki. aku bersumpah tidak akan men-
gulangi lagi...,” sahut Sarpala cepat. Hatinya merasa
lega bukan main ketika mendengar ucapan Ki Kumba-
ranta. Berkali-kali pemuda itu membenturkan kening-
nya ke lantai sebagai ungkapan kelegaan hatinya.
“Pergilah, selesaikan tugasmu di tempat lain...,” ujar
Ki Kumbaranta melambaikan tangan pada pemuda itu
yang kemudian setengah berlari meninggalkan ruan-
gan perpustakaan.
Ki Kumbaranta hanya menggeleng-geleng menatap
kepergian Sarpala. Kemudian, memeriksa seluruh ki-
tab-kitab yang berjajar rapi di ruangan itu. Setelah
memastikan kitab-kitab itu masih utuh tanpa ada yang
lenyap atau berpindah tempat, Ki Kumbaranta menu-
tup pintu ruang perpustakaan dan beranjak pergi.
***
Malam sudah lama jatuh. Kegelapan yang menyeli-
muti permukaan bumi, terkuak oleh bias sinar rembu
lan yang malam itu muncul penuh. Suara binatang-
binatang malam terdengar bersahutan menyemarak-
kan suasana malam.
Dalam keremangan cahaya rembulan tampak seso-
sok bayangan hitam berkelebat cepat mendekati ban-
gunan Perguruan Harimau Sakti. Melihat caranya ber-
lari dapat dipastikan ilmu lari cepat sosok itu cukup
tinggi.
Dengan melalui bagian samping bangunan, sosok
berpakaian hitam melejit ke atas. Bagai seekor burung
besar, tubuhnya melayang dan lenyap di sebatang po-
hon yang tumbuh dekat pagar. Kemudian, meluncur
turun setelah memastikan keadaan di sekitar tempat
itu aman.
“Hup!”
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, sosok ber-
pakaian hitam itu berjumpalitan beberapa kali, dan
menyelinap di balik tembok bagian dalam bangunan
induk. Sepasang matanya bergerak liar menembus ke-
gelapan. Sesaat kemudian, sosok itu kembali bergerak
menuju sebuah bangunan yang lebih kecil dari bangu-
nan induk.
Seperti sudah hafal akan letak tempat yang ditu-
junya, sosok berpakaian hitam langsung mendekati
sebuah pintu yang di atasnya bertuliskan ‘Ruang Per-
pustakaan’. Dengan sekali menekankan telapak tan-
gannya pada daun pintu, terdengar suara derit perla-
han. Dari sini kembali terlihat kekuatan yang tersem-
bunyi di dalam tubuh sosok terbalut pakaian serba hi-
tam itu. Sebab, pintu ruang perpustakaan dapat dibu-
kanya dengan mudah. Padahal, sebelumnya pintu itu
terkunci rapat!
Setelah menyelinap masuk dan menutup pintu, so-
sok berpakaian hitam itu menggeledah setiap sudut
ruangan. Telapak tangannya bergerak menekan dind-
ing batu tanpa mengganggu rak-rak buku yang berja-
jar rapi.
“Hm...,” sosok bayangan hitam bergumam perlahan.
Kemudian, mengalihkan perhatiannya ke rak-rak buku
di sekeliling ruangan, Kelihatannya ia tidak menemu-
kan apa yang dicarinya pada setiap sisi dinding batu
ruangan itu.
“Setan! Di mana manusia keparat itu menyembu-
nyikannya? Padahal, menurut guruku benda pusaka
itu berada di dalam ruangan ini,” gumam sosok berpa-
kaian hitam itu seraya menyapu seluruh ruangan den-
gan pandang matanya yang tajam.
Cukup lama sosok bayangan hitam berdiri mema-
tung di tengah ruangan. Kemudian melangkah menuju
sebuah rak buku yang berada di samping kanan. Dan
dengan mengerahkan tenaga dalam, ditekannya bagian
tepi rak. Maka....
Grrrg...!
“Nah?!”
Sosok bayangan hitam tersenyum tipis dengan mata
berbinar. Rak buku yang ditekannya bergerak perla-
han seolah-olah masuk ke dalam dinding. Sedangkan
bagian tepi lainnya bergerak keluar. Menunjukkan di
belakang rak terdapat sebuah ruang kosong yang ter-
sembunyi.
“Heh heh heh.... Rupanya usahaku tidak sia-sia...,”
desis sosok berpakaian serba hitam, melihat di depan-
nya menganga sebuah ruangan gelap. Tapi, baru saja
kaki kanannya melewati ambang pintu ruangan raha-
sia itu, tiba-tiba....
Wuuut! Wuuut!
“Haiiit..!”
Terkejut bukan main hati sosok berpakaian hitam.
Untunglah ia telah waspada sejak memasuki tempat
itu. Sehingga, ketika telinganya menangkap suara ber-
desing tajam, tubuhnya langsung melenting ke udara.
Akibatnya....
Cappp! Cappp!
“Hhh...,” terdengar helaan napas lega sosok itu. Dua
batang anak panah yang mengancam tubuhnya me-
luncur lewat, dan tertancap pada tiang di belakangnya.
“Hm.... Anak panah itu pasti telah dilumuri racun
yang mematikan. Untung aku selalu waspada. Kalau
tidak, mungkin aku telah tewas...,” desisnya kembali
melangkah masuk.
Sosok berpakaian hitam kelihatan sangat tegang
saat memasuki ruang rahasia. Nampaknya ia telah
siap menghadapi semua kemungkinan yang akan ter-
jadi. Urat-urat tubuhnya mulai mengendur ketika tiba
di tengah ruangan ternyata bahaya tidak muncul lagi.
“Aaah...?!”
Tiba-tiba sosok itu berseru perlahan. Di depannya
tampak sebuah benda bersinar menyilaukan mata.
“Pedang Iblis...?!” desisnya bergetar. Agaknya, sosok
berpakaian hitam itu tengah dilanda kegembiraan yang
sangat. Terlihat langkahnya bergegas mendekati sebi-
lah pedang sepanjang lengan yang tertancap di sebuah
batu besar.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, sosok
itu mengulurkan tangannya mencabut pedang bersinar
menyilaukan itu. Wajah dan tubuhnya tampak berge-
tar saat pedang diacungkan di dekat wajahnya. Seolah-
olah ada suatu kekuatan aneh merasuk ke dalam tu-
buhnya melalui pedang di tangannya. Dan, sosok ber-
pakaian hitam menyadari apa yang terjadi pada di-
rinya.
Setelah puas menatap Pedang Iblis di tangannya,
sosok itu pun mengalihkan perhatiannya. Dan, sepa-
sang matanya kembali bercahaya ketika menemukan
warangka pedang tergeletak di bawah batu. Cepat Pe-
dang Iblis dimasukkan ke dalam warangkanya.
“Hm.... Menurut guru, Pedang Iblis ada sepasang?
Tapi, aku tidak melihatnya di ruangan ini. Ki Sawung
hanya memiliki sebuah? Kalau begitu, ke mana yang
satunya lagi...?” gumam sosok berpakaian hitam yang
rupanya cukup mengetahui sejarah Pedang Iblis. Tapi,
karena di dalam ruangan ia tidak menemukan pedang
yang satunya lagi, sosok berpakaian hitam yang bertu-
buh tegap itu pun bermaksud meninggalkan ruangan.
Baru saja ia menggeser rak yang merupakan pintu
kamar rahasia, terdengar suara orang dari luar ruan-
gan perpustakaan. Cepat ia menyelinap di balik rak
itu.
Krettt..!
“Hei, mengapa pintu ruangan ini tidak terkunci?
Apakah Ki Kumbaranta lupa menguncinya?” terdengar
suara agak berat bernada terkejut. Agaknya itu suara
peronda yang tengah berkeliling.
“Tidak mungkin Ki Kumbaranta lupa menguncinya.
Sebab, ruangan ini merupakan tempat terlarang. Aku
rasa ada yang tidak beres di dalam...,” timpal suara
kedua dengan agak berbisik.
“Maksudmu..., pencuri...?” ujar suara pertama tak
percaya, “Hm.... Hanya pencuri gila yang berani mema-
suki kandang macan....”
“Tidak perlu berdebat. Sebaiknya kita periksa ruan-
gan perpustakaan ini untuk memastikannya...,” kata
suara ketiga menengahi ucapan kedua orang kawan-
nya yang kelihatannya tidak akan selesai bila tidak di-
lerai.
“Hm.... Bukankah ruangan ini terlarang bagi kita?
Bagaimana jika guru besar tahu? Bisa-bisa kita yang
jadi tertuduh. Dan..., hukuman gantung menanti ki-
ta...,” bantah orang pertama. Agaknya, lelaki itu mera-
sa takut akan ancaman hukuman bagi orang yang be-
rani memasuki ruangan perpustakaan.
“Jangan lupa. Kita bertiga pun akan mendapat hu-
kuman serupa bila ada pencuri yang benar-benar da-
tang dan sekarang tengah menggeledah seisi ruan-
gan...,” desak orang ketiga dengan nada agak tinggi.
“Hm.... Benar juga. Sebaiknya memang kita periksa
saja ruangan ini. Kemudian segera melaporkannya pa-
da Ki Kumbaranta...,” ujar suara pertama mengambil
keputusan. Setelah menemukan kata sepakat tangan-
nya terulur mendorong daun pintu.
Tapi, ketika pintu sudah terkuak seluruhnya, men-
dadak sosok bayangan hitam meluncur ke arah mere-
ka dengan pedang bersinar di tangannya!
Bwettt...!
“Aaah...?!”
Ketiga peronda itu terpekik kaget. Mereka seperti
tersihir oleh pancaran sinar yang keluar dari pedang
lawan. Akibatnya....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pe-
dang Iblis di tangan sosok berpakaian serba hitam
menghirup darah korbannya yang pertama.
“Ha ha ha...! Benar-benar sebuah pedang yang san-
gat luar biasa! Sekali keluar dari warangkanya, tiga
nyawa langsung melayang ke akhirat..!”
Sosok berpakaian hitam sepertinya lupa di mana
saat itu ia berada. Sehingga, tawanya tanpa sadar ber-
kumandang mengiringi jerit kematian ketiga peronda.
Akibatnya, tentu dapat ditebak. Sebentar saja, terdengar suara langkah-langkah orang mendatangi tempat
itu.
“Ada pembunuh...!”
Seorang murid perguruan yang melihat tiga sosok
tubuh bersimbah darah, tergeletak di dekat kaki orang
berpakaian serba hitam langsung berteriak. Kemudian,
bersama belasan orang kawannya segera mengepung
sosok terbalut pakaian serba hitam, yang berdiri tegak
dengan sinar mata mencorong penuh kebuasan.
“Aaah...?!”
Belasan murid Perguruan Harimau Sakti yang men-
gepung sosok berpakaian serba hitam langsung berge-
rak mundur dengan wajah tegang. Rupanya, mereka
merasa gentar ketika sepasang mata yang mencorong
buas itu merayapi wajah-wajah mereka. Bahkan, bebe-
rapa orang di antaranya mengusap leher bagian bela-
kang. Karena bulu kuduk mereka mendadak berdiri
ketika bentrok dengan sinar mata yang mengerikan
itu.
“Pembunuh laknat! Apa yang kau cari di tempat ini?
Mengapa kau bunuh ketiga kawan kami...?” salah seo-
rang murid yang berusaha menekan rasa takutnya
mencoba menegur. Meski demikian, ucapannya tetap
menyiratkan kegentaran hatinya.
“Hm.... Kalian ingin menyusul mereka rupanya...?”
desis sosok berpakaian serba hitam sambil mengelua-
rkan pedang di pinggangnya. Kembali terdengar se-
ruan-seruan kaget saat Pedang Iblis keluar dari sa-
rungnya. Karena, sinar yang memancar dari badan pe-
dang mengandung kekuatan aneh yang membuat la-
wan seperti terkena sihir.
“Kau..., siapa...? Apa..., apa yang kau cari di tempat
ini..?” meskipun dengan suara gemetar, murid pembe-
rani bertubuh sedang yang tadi menegur kembali mengajukan pertanyaan. Tangannya yang juga gemetar
meraba gagang pedang di pinggangnya.
“Hm.... Panggil aku sebagai si Pedang Iblis yang
akan mengirim kalian ke neraka...,” desis sosok berpa-
kaian serba hitam datar dan dingin.
“Keparat!” terdengar makian salah seorang murid
Perguruan Harimau Sakti yang mengepung sosok ber-
pakaian serba hitam, “Ayo, tangkap dan bunuh manu-
sia jahat itu...! Heaaat..!”
Tanpa menunggu kawan-kawannya yang lain, orang
itu pun langsung melompat disertai kelebatan pedang-
nya yang menimbulkan suara berdesing!
“Yeaaah...!”
Sosok berpakaian serba hitam yang mengaku si Pe-
dang Iblis membentak keras. Pedang bersinar mengge-
tarkan di tangannya segera berkelebat membelah ke-
pekatan malam. Dan....
Brettt!
“Akh...!”
Sekali bergerak saja, tubuh murid Perguruan Hari-
mau Sakti itu terpental balik. Darah segar menyembur
dari luka menganga di tenggorokannya.
Kejadian yang hanya sekejap mata itu, membuat
murid-murid lainnya terkejut setengah mati. Rasa gen-
tar semakin kuat membelenggu hati mereka. Sehingga,
tak satu pun yang berani bergerak. Mereka seperti pa-
tung-patung bisu.
“Haaat..!”
Si Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar untuk
menambah jumlah korbannya. Saat itu juga tubuhnya
bergerak diiringi kelebatan sinar pedangnya yang men-
gandung hawa maut!
Kembali terdengar jerit kematian susul-menyusul.
Empat orang murid menggelepar bagai ayam disembelih. Darah segar menyembur keluar dari luka di tubuh
mereka. Pedang Iblis benar-benar haus darah!
“Haaat..!”
Saat Pedang Iblis kembali datang untuk mengambil
korban berikutnya, tiba-tiba terdengar teriakan me-
lengking nyaring, kemudian disusul berkelebatnya se-
sosok bayangan yang langsung memapaki serangan
Pedang Iblis!
Plakkk!
Benturan telapak tangan yang mengandung tenaga
dalam kuat itu, sempat menyelewengkan arah samba-
ran Pedang Iblis. Sehingga, sembilan murid Perguruan
Harimau Sakti lolos dari kematian.
“Hmh...?!”
Si Pedang Iblis mendengus tak senang. Sepasang
matanya menyorot tajam, menatap wajah lelaki tua
bertubuh gagah yang tadi menggagalkan serangannya.
Sosok orang tua gagah yang ternyata Ki Kumbaran-
ta itu kelihatan terkejut ketika merasakan kekuatan
tenaga dalam sosok berpakaian serba hitam. Terlebih
lagi ketika melihat dan mengenali pedang berhawa
maut di tangan lawan.
“Kau..., mencuri Pedang Iblis...?!” desis Ki Kumba-
ranta sambil bergerak mundur setelah mengetahui
senjata yang tergenggam di tangan sosok berpakaian
serba hitam. Jelas, terlihat sinar kegentaran mem-
bayang di mata Ki Kumbaranta. Kelihatannya, orang
tua itu telah mengetahui kedahsyatan Pedang Iblis.
“Heh heh heh...! Kau rupanya mengenali senjata
maut ini, Orang Tua. Kalau begitu, kau pun pasti tahu
di mana pedang yang satunya lagi. Ayo, tunjukkan pa-
daku...!” ujar sosok berpakaian serba hitam terkekeh
parau. Sikapnya berubah liar dan penuh nafsu mem-
bunuh.
“Pencuri laknat...!” geram Ki Kumbaranta melupa-
kan kegentaran hatinya. Sebab, Pedang Iblis yang di-
curi sosok berpakaian serba hitam itu adalah tanggung
jawabnya. Jika gagal merebut benda keramat itu, su-
dah pasti Ki Sawung akan menjatuhkan hukuman ma-
ti padanya. Untuk itu, Ki Kumbaranta harus bisa me-
rebut Pedang Iblis dengan taruhan nyawanya!
***
DUA
“Haaat...!”
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Kumbaranta segera
menerjang dengan sambaran pedangnya. Dalam ge-
brakan pertama lelaki tua itu langsung menggunakan
jurus pedang andalan perguruannya, yang bernama
ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’.
Ilmu pedang yang diciptakan pendiri Perguruan Ha-
rimau Sakti ternyata tidak bisa dianggap enteng. Se-
lain gerakannya sukar ditebak, benteng pertahanan
ilmu pedang itu pun sangat kokoh dan sukar ditembus
serangan lawan. Tentu saja itu tidak aneh. Sebab, Per-
guruan Harimau Sakti memang terkenal dengan kehe-
batan ilmu pedang dan ilmu tangan kosongnya. Sejak
pendiri pertama perguruan itu, yang merupakan kakek
buyut dari Ki Sawung sampai turun-temurun hingga
kini. Dan, pencuri yang kini memakai julukan Pedang
Iblis itu agaknya mengetahui.
Bwettt..!
Pedang Iblis menarik mundur tubuhnya. Sambaran
mata pedang Ki Kumbaranta yang dilakukan bersilan-
gan, sangat sukar untuk ditangkis. Sehingga, ia memutuskan untuk menghindar sambil mempersiapkan
jurus-jurus baru menghadapi ilmu ‘Pedang Harimau
Mabuk’ yang sudah sangat terkenal ketangguhannya.
Wettt...! Wettt...!
Pedang Iblis berputaran mengaung tajam, ketika
majikan barunya menggerakkan pedang pusaka itu
untuk membentengi dirinya dari incaran mata pedang
lawan. Kemudian, balas menusuk dengan kecepatan
kilat.
Sebenarnya tusukan pedang itu tidak terlalu berba-
haya, dan akan dapat ditanggulangi dengan mudah
oleh Ki Kumbaranta. Tapi, karena senjata yang digu-
nakan lawan bukan pusaka sembarangan, maka se-
rangan sederhana itu berubah menjadi hebat dan
membahayakan nyawa lawan. Terutama pancaran si-
nar Pedang Iblis yang mengandung hawa mukjizat, dan
sanggup melumpuhkan semangat lawan tidak memiliki
tenaga dalam kuat!
Wuttt...!
“Aiiih...?!”
Ki Kumbaranta terpekik kaget ketika mendadak
ujung pedang berhawa maut itu tiba di dekat ulu ha-
tinya. Untunglah pada saat-saat terakhir, Ki Kumba-
ranta tersadar dari pesona mukjizat yang memancar
dari badan Pedang Iblis. Secepat kilat lelaki tua bertu-
buh tegap itu melempar tubuhnya ke belakang. Dan
terus berputaran menjauhi lawan.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis yang gagal menyerang ke tubuh Ki
Kumbaranta memekik nyaring. Tubuhnya berputaran
bagai sebuah baling-baling, dan terus menyabetkan
pedangnya ke arah murid-murid Perguruan Harimau
Sakti yang hendak mengeroyoknya.
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika Pedang Iblis kembali meminta korban. Darah segar me-
mercik membasahi permukaan tanah, diiringi roboh-
nya lima murid Perguruan Harimau Sakti dengan leher
hampir putus!
“Biadab...!” Ki Kumbaranta menggeram gusar ketika
menyaksikan kejadian itu.
Rasa bersalah di hatinya semakin membesar. Kare-
na pedang yang telah puluhan tahun dijaganya, kini
berada dalam genggaman orang yang tak bertanggung
jawab dan berhati kejam. Sifat si pemegang dan pe-
dang pusaka itu seperti telah menyatu. Sudah pasti ini
akan mendatangkan malapetaka bagi orang banyak.
Bila pencuri itu berhasil lolos dari tangannya. Sebab
itu Ki Kumbaranta harus bisa merebutnya.
Sebelum Ki Kumbaranta menerjang Pedang Iblis,
mendadak melayang sesosok bayangan yang langsung
menjejakkan kakinya di samping lelaki tua itu.
“Kakang Kumbaranta, apa yang terjadi...?” belum
lagi sosok itu mendarat dengan sempurna terdengar
tegurannya. Ki Kumbaranta kelihatan menarik napas
lega ketika mengetahui siapa orang yang baru datang.
Lelaki tua itu telah mengenal dengan baik suara itu.
“Adi Baginta! Syukur kau datang tepat pada wak-
tunya! Orang berpakaian serba hitam itu telah mencuri
senjata dari kamar rahasia. Kita harus menangkapnya
untuk merebut kembali Pedang Iblis dari tangannya.
Kalau tidak, celakalah kita semua...,” sahut Ki Kumba-
ranta cepat.
Lelaki tua itu merasa gembira karena yang datang
Ki Baginta, yang merupakan salah seorang tokoh pun-
cak Perguruan Harimau Sakti. Malah dalam hal ke-
pandaian, Ki Kumbaranta masih berada setingkat di
bawah kepandaian Ki Baginta. Maka bantuan Ki Ba-
ginta sangat diharapkan untuk merebut kembali senja
ta keramat berhawa jahat itu.
“Celaka! Kalau begitu, kita harus berusaha untuk
mendapatkannya kembali, Kakang..,” sergah Ki Bagin-
ta yang tampak sangat terkejut mendengar pusaka ke-
ramat perguruan mereka dicuri orang. Maka, tanpa
banyak cakap lagi, lelaki bertubuh gagah itu langsung
melayang ke arah Pedang Iblis yang tengah menyebar
maut dengan membantai murid-muridnya.
“Aaat..!”
Ki Baginta yang telah mengetahui keampuhan Pe-
dang Iblis, tidak mau bertele-tele. Begitu menyerang,
lelaki gagah itu langsung menggunakan senjatanya.
Sebab, Pedang Iblis bukan pusaka sembarangan dan
tidak mungkin sanggup dilawannya dengan jurus-
jurus tangan kosong. Itu sebabnya begitu menerjang,
Ki Baginta langsung menggunakan senjata dan menge-
luarkan jurus-jurus pedang andalan perguruannya.
“Hmh...!”
Pedang Iblis hanya mendengus melihat serangan Ki
Baginta. Seperti telah mendapatkan kekuatan baru, le-
laki berpakaian serba hitam langsung .bergerak maju
memapaki serangan lawan. Pedang di tangannya ber-
kelebat cepat disertai hawa maut yang mendirikan bu-
lu roma!
Trang! Trang!
“Aiiih...?!”
Ki Baginta terpekik kaget ketika Pedang Iblis dengan
sengaja membenturkan pedangnya, membuat tubuh Ki
Baginta terhuyung mundur beberapa langkah. Bah-
kan, pedang di tangan tokoh ketiga Perguruan Hari-
mau Sakti itu terpapas buntung! Senjata itu tak ubah-
nya benda lunak ketika berbenturan dengan Pedang
Iblis. Pusaka keramat berhawa jahat itu mulai menun-
jukkan keampuhannya.
“Aaa...!“
Lelaki berpakaian serba hitam agaknya mulai me-
nyadari kelebihan yang didapatnya setelah memegang
pusaka keramat itu. Tambahan tenaga yang diperoleh-
nya dari Pedang Iblis, membuat sosok itu semakin ya-
kin dan tidak ragu-ragu lagi menghadapi Ki Baginta
serta Ki Kumbaranta. Tampaknya, pedang keramat
berhawa jahat itu telah menyatu dengan majikan ba-
runya setelah menghirup darah korbannya. Kenyataan
itu semakin membuatnya beringas, dan penuh nafsu
membunuh!
“Celaka! Tampaknya Pedang Iblis mulai menunjuk-
kan kehebatannya. Bukan mustahil kekuatan jahat
yang tersembunyi di dalamnya telah menular ke dalam
tubuh pencuri laknat itu!” desis Ki Kumbaranta yang
rupanya mengetahui banyak riwayat Pedang Iblis. Wa-
jah tuanya tampak dibayangi kecemasan yang tidak
bisa disembunyikan. Bahkan, ada gambaran duka
membayang pada sepasang matanya. Sepertinya ia
merasa ikut menanggung dosa setiap Pedang Iblis me-
minta korban.
“Hmh...!”
Kesadaran bahwa semua itu merupakan tanggung
jawabnya, membuat Ki Kumbaranta berlaku nekat!
Dengan sebuah gerengan keras lelaki tua itu melesat
ke depan disertai putaran pedangnya.
“Kakang! Tahan! Jangan berlaku bodoh...!”
Ki Baginta terkejut ketika melihat perbuatan Ki
Kumbaranta. Melihat orang tua itu berlaku nekat, Ki
Baginta segera menyusuli untuk melindungi orang tua
itu dari kematian.
“Yeaaah...!”
Pedang Iblis tampak semakin bertambah buas. Rasa
haus akan darah segar yang membuat keampuhannya
terpendam kini mulai bangkit Sehingga, baik pancaran
cahaya mautnya maupun kekuatan jahat yang tersem-
bunyi di dalamnya hidup kembali.
Bahkan menguasai majikan barunya.
Maka, ketika tubuh Ki Kumbaranta melayang ke
arahnya, Pedang Iblis langsung bergerak menyambut
tanpa mengenal rasa takut sedikit pun! Padahal, se-
rangan yang dilancarkan Ki Kumbaranta bukan seran-
gan biasa. Maka....
Brettt! Brettt!
“Aaa...!”
Ki Kumbaranta meraung setinggi langit ketika mata
pedang lawan merobek tubuhnya dua kali. Darah se-
gar menyembur keluar dari luka menganga di perut-
nya! Bahkan, lelaki tua itu tidak mengetahui bagaima-
na cara pedang keramat itu melukai dirinya.
“Kakang...!” Ki Baginta berteriak kaget! la terlambat
mencegah malapetaka itu. Tubuh Ki Kumbaranta telah
roboh bermandikan darah dengan napas putus!
“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia persilatan akan
kubuat gempar! Pedang Iblis akan menguasai seluruh
negeri ini...!” lelaki berpakaian serba hitam terbahak-
bahak berkepanjangan. Tawanya demikian menyeram-
kan, membuat Ki Baginta bergidik pucat Sepertinya,
suara itu bukan datang dari kerongkongan manusia.
Melainkan iblis jahat yang kini bersemayam di dalam
tubuh majikan baru Pedang Iblis.
Ki Baginta tidak bisa berbuat apa-apa ketika sosok
berpakaian serba hitam melesat meninggalkan Pergu-
ruan Harimau Sakti. Wajah pencuri pedang keramat
itu terlihat demikian menyeramkan, menyiratkan per-
bawa yang sangat kuat Sehingga, orang-orang di seki-
tar termasuk Ki Baginta tersihir, hingga tidak bisa ber-
buat apa-apa untuk mencegah kepergiannya.
“Hhh....”
Ki Baginta menyapu wajahnya dengan kedua tela-
pak tangan, seperti orang yang baru tersadar dari
mimpi. Kesadarannya baru kembali setelah sosok ber-
pakaian hitam lenyap bersama gema suara tawanya.
Majikan baru Pedang Iblis itu rupanya telah benar-
benar berusaha menjadi iblis jahat yang akan menye-
bar malapetaka bagi orang banyak!
“Aku harus segera melaporkan kejadian ini pada
guru besar,” desis Ki Baginta seraya bergerak bangkit
dan meninggalkan tempat itu, setelah memerintahkan
sisa-sisa murid perguruan untuk membereskan tempat
itu dan mengurus mayat kawan mereka.
***
Brakkk!
Meja kayu bulat yang tebal dan sangat kuat itu
hancur berkeping-keping, terkena hantaman telapak
tangan seorang lelaki kurus berusia sekitar enam pu-
luh tahun. Wajah lelaki itu tampak merah seperti ter-
bakar. Jelas, ia tengah dilanda kemarahan yang hebat!
“Bagaimana hal ini bisa terjadi, Baginta? Dari mana
pencuri laknat itu tahu kita menyembunyikan sebuah
pedang keramat dalam ruang perpustakaan? Sadarkah
kau bahwa dengan tercurinya senjata yang memiliki
pengaruh jahat itu, orang banyak akan terancam ba-
haya besar! Dan, kita harus bertanggung jawab atas
semua dosa yang dilakukan pencuri kurang ajar itu!”
bentak lelaki kurus dengan suara bergetar menahan
marah yang meledak-ledak di dalam dadanya.
“Ampun, Guru. Aku memang bodoh dan tidak
mempunyai kemampuan untuk mencegah kejadian itu.
Bahkan, Ki Kumbaranta telah mengorbankan nya
wanya untuk merebut pedang itu. Kami telah lalai,
Guru, dan siap menerima hukuman...,” ujar Ki Baginta
pasrah kalau memang ia akan dihukum karena kebo-
dohannya itu. Lelaki gagah itu tertunduk tidak berani
memandang wajah guru besarnya.
“Hmh...!” Ki Sawung, Guru Besar Perguruan Hari-
mau Sakti menggeram kesal. Jari-jari tangannya men-
gepal memperdengarkan suara berderak, membuat ha-
ti Ki Baginta semakin ciut.
Tapi, lelaki kurus itu tidak bisa menyalahkan mu-
ridnya. Karena ia sendiri sadar akan keampuhan Pe-
dang Iblis. Apalagi, setelah senjata pusaka itu memi-
num darah korbannya. Kekuatan dan pengaruh jahat-
nya akan bangkit dan sukar untuk dilawan. Jangan-
kan Ki Baginta atau Ki Kumbaranta. Biarpun dirinya
yang maju, belum tentu sanggup menghadapi keam-
puhan Pedang Iblis. Kesadaran itu membuat Ki Sa-
wung terdiam dengan wajah berduka.
“Guru...,” tiba-tiba lelaki yang berada di sebelah Ki
Baginta membuka suara. Semenjak tadi lelaki itu
hanya terdiam tidak berani mengemukakan perasaan
hatinya. Baru ketika Ki Sawung cukup lama membisu
ia menggunakan kesempatan itu.
“Hm.... Apa yang ingin kau katakan, Kandala...?”
ujar Ki Sawung mengalihkan pandangannya ke arah
lelaki kekar bernama Kandala. Meskipun wajahnya
masih terlihat gelap, namun sinar matanya sudah ti-
dak segarang tadi. Rupanya, Ki Sawung sudah bisa
menekan kemarahan yang dianggapnya tidak banyak
membantu untuk memecahkan persoalan besar itu.
Kandala bertubuh kekar dan berusia sekitar tiga
puluh tahun. Meskipun usianya lebih muda dari Ki
Baginta, namun pemuda berwajah simpatik itu meru-
pakan murid utama Ki Sawung. Dan, kepandaiannya
tidak berselisih jauh dengan Ketua Perguruan Harimau
Sakti. Karena hampir semua ilmu yang dimiliki Ki Sa-
wung telah diturunkannya.
Pemuda berwajah keras itu terdiam beberapa saat
seolah ingin merangkai kata-kata yang akan disampai-
kannya. Melihat sikapnya, jelas Kandala merupakan
seorang pemuda yang selalu berhati-hati dalam bersi-
kap maupun berbicara. Kandala memang seorang pe-
muda pendiam dan jarang berbicara jika tidak merasa
perlu sekali.
“Guru, meskipun Pedang Iblis merupakan pusaka
perguruan kita secara turun-temurun, mengapa tidak
dimusnahkan saja mengingat pedang itu memiliki ke-
kuatan jahat yang dapat merubah sifat pemegangnya.
Sebenarnya hal ini sudah lama ingin kusampaikan.
Tapi, aku takut kalau Guru akan marah. Dan dengan
terjadinya peristiwa ini, membuat aku memberanikan
diri untuk mengatakannya...,” Kandala kembali me-
nundukkan wajah setelah mengemukakan pendapat-
nya. Dirinya memang belum pernah melihat bentuk
Pedang Iblis, dan hanya mendengar dari cerita gu-
runya.
“Kandala..., pikiran semacam itu sudah ada dalam
benakku jauh sebelum aku menjabat sebagai Ketua
Perguruan Harimau Sakti, untuk menggantikan ayah-
ku yang telah wafat Berbagai usaha telah kulakukan,
seperti juga yang dilakukan ayahku. Tapi, baik kakek
guru kalian maupun aku sendiri, tak sanggup untuk
menghancurkan senjata keramat itu. Entah terbuat
dari bahan apa Pedang Iblis itu, sehingga tidak dapat
dilebur dengan api sepanas apa pun. Bahkan, pedang
itu tidak dapat dipatahkan kecuali mungkin oleh orang
yang memiliki tenaga sakti luar biasa. Dan kekuatan
seperti itu hanya ada dalam dongeng,” jelas Ki Sawung
yang rupanya juga memiliki pikiran sama dengan Kan-
dala. Malah jauh sebelum pemuda itu menjadi murid-
nya.
“Guru, selama ini kami hanya mendengar keheba-
tan Pedang Iblis tanpa tahu riwayat selengkapnya. Da-
patkan guru menceritakan pada kami bagaimana asal
mula senjata itu tercipta. Dan, siapa pembuat pedang
keramat itu?” merasa mendapat angin, Kandala terus
mengungkapkan segala perasaan yang ada di dalam
hatinya.
Ki Baginta pun mengangguk-anggukkan kepala. Se-
bab, selama ini Ki Sawung memang belum mencerita-
kan riwayat Pedang Iblis. Lelaki tua itu hanya menceri-
takan tentang kekuatan jahat yang ada dalam senjata
keramat itu, yang akan semakin kuat bila telah memi-
num darah manusia.
Ki Sawung tidak segera menjawab pertanyaan mu-
rid utamanya. Lelaki tua itu menghela napas panjang,
dan bangkit dari kursinya. Kemudian melangkah per-
lahan sambil menggendong kedua tangannya di bela-
kang.
Ki Baginta dan Kandala tahu guru besar mereka
tengah berusaha mengingat sejarah Pedang Iblis. Ma-
ka, mereka menunggu dengan sabar untuk mengeta-
hui secara jelas riwayat pedang keramat itu.
“Sebenarnya aku ingin mengubur sejarah Pedang
Iblis itu. Tapi, dengan adanya malapetaka semalam,
membuat aku berpikir lain. Mungkin ada baiknya ka-
lian mengetahui riwayat Sepasang Pedang Iblis itu...,”
ujar Ki Sawung setelah terdiam beberapa saat
“Jadi, senjata keramat itu ada sepasang...?” Ki Ba-
ginta dan Kandala berseru tertahan hampir berbaren-
gan. Jelas, mereka tidak mengetahui bahwa Pedang Ib-
lis ada sepasang. Sebab, kecuali Ki Sawung dan KiKumbaranta memang tidak ada lagi yang mengetahui
hal itu.
“Benar. Pedang Iblis berjumlah dua bilah, Pedang
Iblis Jantan dan Pedang Iblis Betina,” jelas Ki Sawung
lagi membuat Ki Baginta dan Kandala kembali terpe-
ranjat
“Ahhh...?!”
“Pedang yang kusimpan di dalam ruangan perpus-
takaan adalah Jantan,” Ki Sawung melanjutkan ceri-
tanya tanpa peduli akan rasa terkejut kedua muridnya,
“Sedang Pedang Iblis Betina telah lenyap sejak ayahku
atau kakek guru kalian menjabat sebagai Ketua Pergu-
ruan Harimau Sakti. Tidak seorang pun yang tahu ka-
pan Pedang Iblis Betina lenyap, dan siapa yang mencu-
rinya. Sebab, sampai ayahku wafat kabar tentang Pe-
dang Iblis Betina tidak pernah terdengar di kalangan
persilatan. Untung senjata keramat itu tidak dapat
berbuat banyak tanpa Pedang Iblis Jantan. Tapi, tidak
demikian dengan Pedang Iblis Jantan. Senjata keramat
itu akan mencari mangsanya bila telah keluar dari
tempatnya berada selama puluhan tahun. Itu sebab-
nya, mengapa ketika Pedang Iblis Betina lenyap tidak
pernah terdengar kabarnya. Rupanya pencuri itu tahu
pedang curiannya tidak akan berguna banyak tanpa
Pedang Iblis Jantan. Sedangkan jalan satu-satunya
untuk melenyapkan Pedang Iblis adalah dengan men-
jauhkannya dari darah manusia. Bila sampai seratus
tahun pedang itu tidak mendapatkan korban, maka
kekuatan jahat yang ada dalam tubuhnya akan lenyap
secara perlahan-lahan. Baru setelah itu Sepasang Pe-
dang Iblis dapat dilebur. Cara itu kudapatkan setelah
bersemadi selama satu tahun di sebuah ruangan ge-
lap. Itu sebabnya, mengapa aku menyembunyikan Pe-
dang Iblis Jantan demikian rapi. Hanya aku dan Ki Kumbaranta yang mengetahui tempat penyimpanan
pedang keramat itu. Siapa sangka ada orang luar yang
tahu tempat penyimpanan Pedang Iblis Jantan, dan
berhasil mencurinya...,” Ki Sawung mengakhiri ceri-
tanya dengan desahan napas panjang. Ketika teringat
pedang keramat itu telah lenyap, bias kedukaan kem-
bali membayang di wajah lelaki tua bertubuh kurus
itu.
Ki Baginta dan Kandala diam terpaku mendengar
penjelasan gurunya tentang riwayat Pedang Iblis yang
ternyata ada sepasang. Keduanya terdengar menghela
napas setelah cukup lama terdiam bagai terkena sihir.
“Lalu, siapa yang menciptakan Sepasang Pedang Ib-
lis, Guru? Bukankah pusaka itu merupakan warisan
turun-temurun perguruan kita?” Kandala masih pena-
saran karena Ki Sawung belum menyinggung pembuat
Sepasang Pedang Iblis dalam ceritanya tadi. Sehingga,
Kandala yang menyimak cerita gurunya dengan baik
segera menanyakan.
“Pembuat Sepasang Pedang Iblis adalah kakek dari
kakek buyut ku. Beliau pun tidak tahu logam berca-
haya yang ditemukannya di sebuah sungai ternyata
memiliki kekuatan yang demikian ampuh. Kendati
membuatnya tidak mudah dan harus menjalani tapa
hampir setahun lebih, akhirnya beliau berhasil mem-
buat sepasang pedang dari logam bercahaya itu.
Sayang sebelum sepasang pedang itu sempurna pem-
buatannya, sepasang tokoh sesat telah mencuri senja-
ta itu, setelah melalui pertempuran yang lama dan
sengit. Itu sebabnya, badan Sepasang Pedang Iblis ma-
sih sangat kasar karena belum sempat diperhalus. Ta-
pi, kakek dari kakek buyut ku berusaha menyembuh-
kan lukanya dan memperdalam ilmu. Setelah merasa
cukup, beliau mengembara untuk mendapatkan Sepasang Pedang Iblis. Usaha beliau memang tidak sia-sia,
dan berhasil merebut kembali pedang itu. Tapi beliau
terkejut bukan main ketika mengetahui ada hawa ja-
hat yang bersemayam di dalam badan pedang. Maka,
beliau berusaha untuk meleburnya kembali. Sayang,
pedang yang telah banyak menghirup darah itu tidak
bisa dilebur lagi. Sehingga, terpaksa disembunyikan di
sebuah tempat yang sekarang menjadi bangunan Per-
guruan Harimau Sakti. Dan jika sekarang Pedang Iblis
Jantan lenyap, besar kemungkinan pencurinya meru-
pakan murid atau keturunan suami istri sesat yang te-
lah merebut Sepasang Pedang Iblis dari kakek buyut
ku,” jelas Ki Sawung yang tampak demikian bangga
saat menceritakan kakek dari kakek buyutnya. Karena
cerita itu kembali mengingatkan bahwa dirinya ketu-
runan orang-orang hebat yang berbudi luhur, dan ti-
dak pernah mengenal takut. Ingatan itu membuat se-
mangatnya bangkit untuk mencari Pedang Iblis Jantan
yang lenyap tercuri semalam.
Kandala dan Ki Baginta mengangguk-angguk puas
setelah mendengar riwayat Sepasang Pedang Iblis. Me-
reka pun tampak merasa bangga setelah mengetahui
mereka murid dari keturunan tokoh-tokoh hebat pada
masa lampau. Cerita itu tanpa sadar semakin mena-
namkan jiwa kependekaran dalam diri Ki Baginta dan
Kandala.
“Sekarang pedang keramat itu lenyap kembali kare-
na kelalaianku. Untuk itu, aku harus mempertang-
gungjawabkannya. Kau jaga dan pimpin saudara-
saudaramu sebaik-baiknya, Baginta. Aku dan Kandala
akan meninggalkan perguruan untuk mencari Pedang
Iblis Jantan. Dan, jika mungkin mencari Pedang Iblis
Betina. Karena bila Pedang Iblis Jantan telah keluar
dan meminum darah, ia akan mencari pedang yang
menjadi pasangannya itu,” ujar Ki Sawung mengutara-
kan maksudnya pada Ki Baginta.
“Baik, Guru. Aku akan berusaha melaksanakan
amanat Guru dengan sebaik-baiknya...,” ujar Ki Bagin-
ta lantang. Hingga, Ki Sawung tersenyum puas.
***
TIGA
Sosok berjubah putih dengan perawakan tubuh se-
dang melangkah perlahan memasuki mulut Desa Ka-
rapan. Wajahnya tampak cerah dengan senyum yang
ramah dan sabar. Sepasang matanya bening dan ta-
jam. Membuat orang enggan menentang pandang ma-
tanya. Seorang pemuda yang tampan, menarik dan
menimbulkan rasa hormat bagi orang yang meman-
dangnya.
Di sebelah kanan pemuda tampan berjubah putih
tampak seorang dara berpakaian serba hijau. Tubuh-
nya ramping padat membentuk lekuk-lekuk tubuh
yang memikat Ditambah lagi raut wajahnya cantik jeli-
ta laksana bidadari dari kayangan. Benar-benar seo-
rang dara yang sangat menarik, membuat mata lelaki
tak melewatkan untuk memandangnya meski hanya
sekilas.
Pasangan muda yang menarik dan menimbulkan
rasa kagum serta iri bagi orang yang memandangnya
itu, terus mengayun langkah melewati mulut desa. dan
terus menyusuri jalan utama Desa Karapan dengan si-
kap tenang.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan, disertai
terlemparnya sesosok tubuh dari dalam kedai. Sosok
tubuh itu menggelepar bagai ayam disembelih. Seben-
tar kemudian, diam tak bergerak. Karena nyawanya te-
lah meninggalkan badan.
Kejadian yang cukup mengejutkan itu, membuat
langkah pemuda berjubah putih dan dara jelita berpa-
kaian serba hijau terhenti. Keduanya berbalik dengan
sikap siaga. Melihat cara mereka membalikkan tubuh,
dapat ditebak bahwa pasangan muda itu bukan orang
sembarangan. Memang, mereka tidak lain adalah Pen-
dekar Naga Putih dan kekasihnya, Kenanga.
Agar tidak menarik perhatian orang, Panji dan Ke-
nanga melangkah cepat mendekati sosok tubuh yang
telah tewas dengan leher hampir putus.
“Hm.... Kejam sekali orang yang melakukan pembu-
nuhan itu. Entah kesalahan apa yang telah diperbuat-
nya, hingga harus tewas dalam keadaan mengeri-
kan...,” desis Kenanga tak senang. Memang, keadaan
orang yang meninggal itu sangat mengerikan.
“Tampaknya korban lain akan segera menyusul...,”
gumam Panji seraya menoleh ke dalam kedai, dan me-
nyaksikan pertempuran berlangsung di dalamnya.
Dugaan Panji tidak meleset. Baru saja ucapannya
selesai, kembali terdengar teriakan kematian yang dis-
usul terlemparnya dua sosok tubuh dari dalam kedai.
Kedua orang yang malang itu tewas dalam keadaan
sama dengan orang pertama.
“Kita harus mencegahnya, Kakang. Kalau tidak kor-
ban pasti akan bertambah banyak,” ujar Kenanga tak
sabar melihat dua korban lagi datang menyusul. Tapi
sebelum mereka bergerak, muncul seorang lelaki gagah
diiringi dua belas orang berseragam hitam. Rombongan
itu langsung bergerak mendekati kedai. Sehingga, baik
Panji dan Kenanga terpaksa menahan langkahnya untuk melihat kelanjutan peristiwa itu.
“Hei, pengacau yang berada di dalam kedai, ke-
luar...!” lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun
itu membentak dengan mengerahkan tenaga sebelum-
nya. Hingga, suara itu terdengar keras menimbulkan
gema yang kuat
“Ha ha ha...!”
Terdengar suara tawa berkakakan menyambut ben-
takan lelaki tua yang tampak berwibawa itu. Tak bera-
pa lama kemudian, sesosok bayangan hitam meluncur
keluar dari dalam kedai, dengan mendobrak pintu de-
pan yang langsung hancur berkeping-keping!
Lelaki tua bertubuh gagah melangkah mundur
menjaga jarak, agar tidak terlalu dekat dengan sosok
berpakaian serba hitam. Sepasang matanya menatap
penuh selidik sosok di depannya yang telah menya-
rungkan pedang di punggung.
“Aku Ki Gulawa, Kepala Desa Karapan. Siapakah
Kisanak? Mengapa demikian kejam membunuh orang
tanpa kesalahan yang jelas?” tegur lelaki tua bertubuh
gagah yang rupanya Kepala Desa Karapan. Pantas saja
sikapnya terlihat berwibawa dan tenang.
“Hm.... Siapa bilang aku membunuh orang tanpa
kesalahan yang jelas? Dengan berbisik-bisik selagi aku
menyantap hidangan, itu sudah merupakan penghi-
naan bagi Pedang Iblis! Untuk itu mereka harus mati.
Aku keberatan, Kisanak...?” sahut lelaki berpakaian
serba hitam yang memperkenalkan nama julukannya
dengan sikap jumawa. Itu menandakan ia benar-benar
yakin akan dapat mengatasi Ki Gulawa dan para pen-
gawalnya.
“Jadi, hanya karena rasa curiga kau membunuh
mereka? Sungguh kejam sekali. Sudah pasti aku me-
rasa keberatan dengan perbuatanmu. Dan, aku harus
mempertanggungjawabkannya,” ujar Ki Gulawa den-
gan nada sedikit tinggi. Rupanya, lelaki tua sesepuh
Desa Karapan itu mulai jengkel melihat keangkuhan
tokoh yang mengaku berjuluk Pedang Iblis.
“Bagaimana cara aku harus mempertanggungja-
wabkannya, Kisanak? Tunjukkan agar aku menger-
ti...,” ucap Pedang Iblis tanpa memandang sebelah ma-
ta pada orang yang paling dihormati di Desa Karapan.
Bahkan Pedang Iblis terkesan memandang remeh la-
wannya.
“Tangkap dia..!” Ki Gulawa segera memerintahkan
kedua belas pengawalnya untuk menangkap Pedang
Iblis. Orang tua itu sendiri bergerak mundur untuk
memberi tempat bagi para pengawalnya.
“Hm.... Aneh. Mengapa kau malah ingin menambah
jumlah korban pedangku, Bapak Kepala Desa...,” ujar
Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawanya den-
gan sikap sombong. Tampak ia tidak merasa gentar
menghadapi kepungan para pengawal Kepala Desa Ka-
rapan.
Panji yang menyaksikan peristiwa itu mengerutkan
kening dalam-dalam. Apalagi, ketika mendengar dis-
ebutkannya julukan Pedang Iblis. Sepanjang ingatan-
nya, Eyang Tirta Yasa pernah bercerita tentang tokoh
bersenjatakan sepasang pedang. Tokoh itu sepasang
suami istri yang amat jahat. Tapi, cerita itu terjadi pa-
da puluhan tahun silam.
“Hm.... Mungkin orang berseragam hitam itu mem-
punyai hubungan dengan sepasang suami istri yang
berjuluk Sepasang Pedang Iblis? Atau hanya julukan-
nya saja yang sama. Melihat pedang yang tergantung
di punggungnya cuma satu, kemungkinan besar orang
ini hanya meniru-niru julukan sepasang suami istri
yang konon sangat jahat dan hebat itu...,” gumam Panji dalam hati. Sehingga, Kenanga tidak tahu apa yang
dipikirkan Panji.
Kenanga sendiri sempat tertegun ketika mendengar
julukan yang masih sangat asing di telinganya. Meski-
pun seluruh ingatannya telah dikuras, tetap saja dara
cantik itu tidak menemukan julukan Pedang Iblis da-
lam kepalanya. Kenanga menduga Pedang Iblis adalah
tokoh baru yang belum begitu dikenal dalam kalangan
rimba persilatan. Meskipun demikian, dari gerak-gerik
tokoh itu, gadis itu dapat menduga tingkat kepandaian
Pedang Iblis patut diperhitungkan. Menurutnya, kalau
tidak dihentikan, Pedang Iblis kelak akan cepat dikenal
dalam rimba persilatan.
“Kau pernah mendengar julukan itu, Kakang...?”
tanya Kenanga. Sebab, gadis itu sadar pengetahuan
kekasihnya tentang tokoh-tokoh persilatan jauh lebih
luas dibanding dirinya.
“Aku memang pernah mendengarnya dari guruku.
Tapi, Pedang Iblis yang satu ini rasanya hanya meniru-
niru saja, meskipun kepandaiannya memang tidak bi-
sa dipandang remeh. Itu dapat ku nilai dari gerak-
geriknya yang sigap...,” sahut Panji membuat Kenanga
menganggukkan kepala beberapa kali. Kelihatannya
dara jelita itu cukup puas dengan jawaban kekasihnya.
Sementara itu, tokoh yang berjuluk Pedang Iblis
masih tetap berdiri tegak. Sedangkan para pengawal
kepala desa sudah menghunus senjata. Kedua belas
orang itu berputar mengelilingi Pedang Iblis.
***
“Haiiit..!”
Dengan sebuah teriakan nyaring, dua orang pengepung yang berada di belakang menyerang dengan dis-
ertai putaran pedang. Satu membabat leher, sedang
satunya lagi menusuk lurus ke punggung lawan tepat
ke arah jantung.
Wuttt! Syuttt!
Kedua bilah pedang itu meluncur dengan kecepatan
yang cukup mengagumkan. Serangan itu jelas bukan
merupakan gerak tipu. Sebab, tenaga yang dikerahkan
terlihat demikian kuat
Pedang Iblis tetap tegak tanpa menggeser kedudu-
kannya. Seolah-olah ia hendak menyambut datangnya
serangan dengan tubuhnya. Tapi, pada saat kedua ma-
ta pedang tinggal kira-kira satu jengkal dari sasaran,
mendadak tubuh tokoh misterius itu berbalik. Gerakan
tangannya demikian cepat mencabut pedang yang ter-
sampir di punggung. Dan....
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul, ketika
kedua tubuh pengawal Kepala Desa Karapan roboh
bermandikan darah dengan tenggorokan hampir pu-
tus. Sedangkan Pedang Iblis sudah mengembalikan
senjata ke punggungnya dengan kecepatan yang sukar
diikuti mata. Sehingga, bagi orang-orang yang tidak
memiliki kepandaian tinggi, tidak akan tahu bagaima-
na caranya lelaki berpakaian serba hitam itu meroboh-
kan kedua penyerangnya.
Demikian pula dengan Panji dan Kenanga. Mereka
sangat terkejut melihat kecepatan gerak tokoh yang
berjuluk Pedang Iblis. Bahkan, dada Panji sempat ber-
getar ketika menangkap kilatan sinar yang keluar dari
badan pedang tokoh misterius itu.
“Gerakan orang itu benar-benar hebat sekali, Ka-
kang! Rasanya ia memang patut memakai julukan Pe-
dang Iblis. Sambaran pedangnya nyaris tidak tertangkap mataku. Kepandaian tokoh itu tinggi dan sangat
berbahaya jika tidak segera ditaklukkan...,” gumam
Kenanga diam-diam mengakui kecepatan gerak Pedang
Iblis. Meskipun dirinya bisa melakukan hal serupa, ta-
pi Kenanga tetap merasa kagum dengan kehebatan to-
koh itu.
“Sayang, belum waktunya kita turun-tangan..,” sa-
hut Panji membuat Kenanga menolehkan kepala dan
menatap wajah kekasihnya. Kelihatan sekali dara jelita
itu merasa heran dengan jawaban Panji.
“Mengapa, Kakang? Apa kau hendak menunggu
sampai sepuluh orang lainnya habis dibantai Pedang
Iblis?” desak Kenanga penasaran..
“Bukan itu maksudku. Kalau kita terjun ke arena
sekarang, mungkin Kepala Desa Karapan yang berna-
ma Ki Gulawa akan tersinggung dengan perbuatan ki-
ta. Itu sudah pasti akan menimbulkan ketidaksenan-
gan dalam hatinya. Karena kita telah mencampuri
urusannya. Bisa-bisa kita dituduh bersekongkol den-
gan Pedang Iblis, dengan berusaha mengacaukan ren-
cana agar tokoh kejam itu bisa lolos...,” Panji menga-
jukan alasannya agar Kenanga tidak merasa penasa-
ran atas jawabannya tadi.
Setelah mendengar penjelasan Panji, Kenanga pun
maklum. Sebab, hal seperti itu bisa saja terjadi. Jika
sudah demikian, akan sulit bagi mereka untuk tidak
bentrok dengan Ki Gulawa. Apalagi, mereka adalah
orang asing di Desa Karapan seperti halnya Pedang Ib-
lis.
“Lalu...,” Kenanga masih menduga kelanjutan uca-
pan Panji yang sebenarnya sudah selesai.
“Ya, kita tunggu sampai Ki Gulawa turun-tangan.
Pada saat lelaki tua itu terancam, baru kita terjun ke
arena. Dengan demikian, tidak akan terjadi perselisihan antara kita dengan Kepala Desa Karapan ini,” jelas
Panji terpaksa mencari jawaban atas desakan kekasih-
nya. Sehingga, Kenanga merasa puas.
Sementara itu, Pedang Iblis memperdengarkan tawa
yang panjang dan mendirikan bulu roma. Kemudian
berhenti tiba-tiba. Sepasang matanya mencorong ta-
jam, membuat sisa pengepungnya bergerak mundur.
Wajah Pedang Iblis tampak demikian menyeramkan,
tak ubahnya wajah setan penghuni neraka!
Perubahan itu membuat Ki Gulawa merasa khawa-
tir akan keselamatan para pengawalnya. Maka, dengan
menekan rasa takut yang menguasai hatinya, lelaki
gagah itu melangkah maju dengan pedang di tangan.
Kepalanya digerakkan sebagai isyarat agar para pen-
gawalnya mundur dan menyerahkan persoalan itu ke-
padanya.
“Hati-hati, Ki. Tampaknya orang itu sudah kerasu-
kan setan. Siapa saja yang mendekat pasti akan dibu-
nuhnya...,” bisik salah seorang pengawal yang keliha-
tan sangat mengkhawatirkan keselamatan ke pala de-
sanya.
Ki Gulawa hanya menggumam perlahan Lelaki ga-
gah itu terus bergerak maju dengan pedang diputar
sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara men-
gaung bagai ratusan lebah marah. Agaknya, orang tua
itu menyadari lawannya bukan orang sembarangan.
Terbukti ia langsung mengempos semangatnya, me-
mancing keluar seluruh tenaga dalam yang dimili-
kinya. Ki Gulawa telah siap untuk mempertaruhkan
nyawa demi warga Desa Karapan.
Pedang Iblis kembali memperdengarkan tawa yang
parau dan menyakitkan telinga. Tubuhnya tetap tegak,
meski Ki Gulawa telah menyiapkan jurus serangannya.
Benar-benar sombong sekali tokoh misterius itu. Padahal, kepandaian Ki Gulawa tidak bisa dipandang
ringan. Kalau tidak, mana mungkin orang tua itu da-
pat menjadi Kepala Desa Karapan.
“Hmh....”
Ki Gulawa yang merasa diremehkan menggereng
marah. Dibarengi dengan bentakan nyaring, lelaki tua
itu melesat ke depan disertai kelebatan pedangnya
yang mendesing tajam.
Bwettt...
Serangan yang hebat dan sangat mematikan itu,
hanya dihindari lawan dengan menarik mundur tu-
buhnya. Kemudian, langsung membalas dengan se-
buah tendangan lurus mengancam ulu hati Ki Gulawa.
“Yeaaah...!”
Kepala Desa Karapan tidak berusaha menghindar.
Pedangnya diputar menyilang menyambut datangnya
tendangan lawan. Rupanya, Ki Gulawa hendak mem-
babat putus kaki lawan dengan tebasan pedangnya.
Tapi, pada saat pedang Ki Gulawa hampir memba-
bat kaki lawan sebatas lutut, mendadak Pedang Iblis
menarik tendangannya dengan kecepatan yang menga-
gumkan. Kemudian, kembali menyentak ke depan
dengan telapak kaki miring ketika tebasan Ki Gulawa
luput!
Plakkk!
Ki Gulawa terpaksa menarik mundur kaki depan-
nya, kemudian mengangkat tangannya melindungi pe-
lipis dari ancaman telapak kaki lawan. Akibatnya, tu-
buh lelaki tua itu terjajar mundur hampir terpelanting
jatuh! Kenyataan itu membuatnya terkejut bukan ke-
palang!
“Gila! Tenaga manusia jahat itu! Sungguh hebat se-
kali...!” desis Ki Gulawa merasa tangannya lumpuh un-
tuk beberapa saat. Jelas, dalam hal tenaga dalam ia
masih kalah jauh oleh lawan. Kenyataan itu membuat-
nya semakin berhati-hati.
“Haiiit..!”
Pedang Iblis tidak menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Tubuhnya meluncur ke depan disertai sambaran
pedang yang entah kapan dicabut dari sarungnya.
“Yeaaah...!”
Sadar untuk menghindar jelas tidak mungkin, Ki
Gulawa terpaksa menyilangkan senjata menyambut se-
rangan lawan. Dan....
Trang!
“Aaah...?!”
Bukan main kagetnya hati Ki Gulawa ketika melihat
senjatanya putus terpapas senjata lawan. Untung saja
ia masih sempat melempar tubuhnya ke belakang. Ka-
lau tidak, ujung pedang lawan mungkin telah merobek
tenggorokannya.
Tapi, Ki Gulawa tidak bisa merasa lega dulu. Sebab,
Pedang Iblis terus menyusuli serangannya. Pedang
yang mengeluarkan hawa mengerikan itu meluncur
menuju tenggorokannya. Kali ini Ki Gulawa tidak
mungkin dapat menyelamatkan tenggorokannya dari
incaran pedang lawan!
“Haiiit...!”
Pada saat yang berbahaya itu, Panji yang memang
sudah siap untuk menyelamatkan Ki Gulawa, segera
melesat dengan tamparan yang menebarkan hawa din-
gin menusuk tulang. Rupanya, Panji langsung meng-
gunakan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ untuk menye-
lamatkan Ki Gulawa. Itu merupakan bukti Pendekar
Naga Putih tidak memandang ringan lawan.
Plakkk!
Usaha Panji untuk menyelamatkan nyawa Ki Gula-
wa berhasil dengan baik. Pedang yang memancarkan
hawa aneh menggetarkan jantung dan melenyapkan
keberanian, menyeleweng dari sasaran. Tapi, tubuh
Panji sempat terjajar mundur tiga langkah. Sedangkan
tubuh Pedang Iblis melintir bagai gasing. Kenyataan
itu membuktikan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ sulit
dicari bandingnya!
“Hmrrr...!”
Terdengar suara gerengan yang menggetarkan jan-
tung. Panji yang saat itu tengah membawa Ki Gulawa
ke tepi arena, menolehkan kepala ketika mendengar
suara desingan yang bagai hendak merontokkan jan-
tung!
Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping,
seraya mendorong tubuh Ki Gulawa yang langsung di-
tangkap Kenanga. Cahaya menggetarkan itu terus ber-
kelebatan mencecar Panji. Sehingga, pemuda tampan
itu terpaksa harus menggunakan kelincahannya untuk
menyelamatkan diri. Sebab, Pedang Iblis benar-benar
tidak memberi peluang untuk membalas!
“Yeaaah...!”
Sing...!”
Untuk kesekian kalinya, Pedang Iblis kembali me-
luncur mengancam tenggorokan Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu terkejut menyaksikan kecepatan gerak la-
wan kali ini jauh lebih hebat dibanding sewaktu meng-
hadapi Ki Galuwa. Sehingga, Panji harus mengguna-
kan kelincahannya untuk menghindari tusukan pe-
dang lawan.
“Heaaah...!”
Suatu saat, ketika pedang lawan kembali mengan-
cam tenggorokannya, Panji memiringkan tubuhnya se-
dikit sambil menepis pergelangan tangan lawan dengan
pengerahan tenaga dalam.
Plarrr...!
Tubuh Pedang Iblis terhuyung mundur sejauh satu
tombak. Sebab, Panji mengerahkan hampir sepertiga
tenaga dalamnya untuk menepis senjata lawan. Se-
dangkan tubuh Panji terjajar mundur empat langkah.
Tentu saja Panji terkejut bukan main merasakan he-
batnya tenaga dalam Pedang Iblis.
“Gila...! Tokoh ini sungguh hebat sekali! Mungkin-
kah ia keturunan Pedang Iblis terdahulu yang pernah
diceritakan eyang...?” gumam Panji mereka-reka. Se-
pasang matanya menatap tajam sosok lawan yang ten-
gah menyiapkan serangan selanjutnya.
Tapi, Pedang Iblis terkejut ketika merasakan kehe-
batan lawannya kali ini. Terbukti, ia belum juga me-
mulai serangan dan hanya menatap tajam sosok pe-
muda tampan berjubah putih. Mungkin ia tengah me-
nilai kehebatan pemuda itu, yang sanggup membuat-
nya terjajar mundur dengan lengan kesemutan.
“Hm.... Siapa kau? Sebutkan namamu...!” geram
Pedang Iblis sambil melangkah menghampiri Panji
tanpa melepaskan pandang matanya dari wajah pen-
dekar muda itu.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa hu-
bunganmu dengan Sepasang Pedang Iblis yang hidup
pada puluhan tahun silam?” tanya Panji balas mena-
tap dengan tidak kalah tajamnya. Tapi, pemuda itu
sempat tergetar mundur ketika Pedang Iblis menyi-
langkan senjatanya di depan dada. Pancaran cahaya
pedang membuat dada pendekar muda itu bergetar.
Panji tahu ada suatu kekuatan tersembunyi yang san-
gat kuat dalam tubuh pedang di tangan lelaki berpa-
kaian serba hitam.
“Dugaanmu memang tidak meleset. Aku adalah pe-
nerus Sepasang Pedang Iblis yang akan melanjutkan
cita-citanya untuk menguasai dunia persilatan!” sahut
lelaki berpakaian serba hitam dengan suara datar
menggetarkan jantung.
Panji tidak begitu memperhatikan jawaban lawan-
nya. Pemuda itu lebih tertarik dengan pedang di tan-
gannya. Itu terbukti dari pertanyaan yang dikelua-
rkannya.
“Senjatamu itu, benarkah yang bernama Pedang Ib-
lis...?” tanya Panji tanpa mengalihkan pandangannya
dari pedang di tangan lawan, yang makin lama dipan-
dang semakin mengguncangkan perasaan.
“Hm.... Senjata ini memang Pedang Iblis. Dan, aku
akan mencari pasangannya. Setelah itu, kau tahu sen-
diri kelanjutannya, bukan...?” sahut Pedang Iblis den-
gan nada tetap datar dan dingin.
Panji termenung ketika mendengar senjata di tan-
gan lawan bernama Pedang Iblis. Bahkan, tokoh itu
mengatakan akan mencari pasangannya. Yang mem-
buat Panji masih belum percaya, kabarnya Sepasang
Pedang Iblis sudah lama hilang bersama sepasang to-
koh sesat yang memilikinya. Semua itu ia ketahui dari
cerita gurunya. Tapi, melihat kekuatan aneh yang
muncul dari badan pedang, Panji bisa menilai senjata
itu merupakan pusaka yang ampuh dan berbahaya.
Semua ingatan itu membuat Panji terdiam untuk bebe-
rapa saat lamanya.
***
EMPAT
Selagi pemuda tampan berjubah putih itu terme-
nung, Pedang Iblis sudah melesat ke depan dengan se-
rangan mautnya. Tanpa peringan lebih dulu. Jelas, be-
tapa liciknya tokoh yang berjuluk Pedang Iblis itu.
Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat
gemblengan dan pengalaman cukup, Panji dapat me-
nangkap suara desingan yang bagai ratusan lebah ma-
rah itu. Meski tanpa peringatan lebih dulu Panji segera
mengetahuinya. Maka, begitu telinganya menangkap
desingan tajam, pemuda itu cepat mengangkat kepa-
lanya.
Tapi, betapa terkejutnya hati Pendekar Naga Putih
ketika merasakan tubuhnya sukar digerakkan. Bah-
kan, ia tidak bisa melihat sosok lawan kecuali kilauan
yang semakin dekat menuju ke arahnya.
“Gila! Sinar yang keluar dari badan pedang itu jelas
mengandung kekuatan sihir yang hebat..!” desis Panji
segera menghimpun semangatnya. Dan mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk membebaskan diri da-
ri pengaruh kekuatan jahat itu.
“Heaaah...!”
Panji meraung keras membuat orang-orang yang
berada di sekelilingnya terpental jatuh. Seiring dengan
teriakan itu, muncul lapisan kabut putih bersinar ke-
perakan yang menyelimuti sekujur tubuh Pendekar
Naga Putih. Kekuatan yang muncul penuh itu segera
mengusir kekuatan jahat yang menguasainya. Sehing-
ga, sewaktu pedang lawan tiba, Panji melompat ke
samping dan terus melambung berputaran beberapa
kali di udara.
Jleggg!
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Panji lang-
sung membentuk kuda-kuda ‘Naga Sakti Mencengke-
ram Bumi’, yang merupakan bagian dari rangkaian il-
mu ‘Silat Naga Sakti’ warisan Malaikat Petir.
“Hm....”
Dengan kedua tangan terkembang dan jari-jari
membentuk cakar, Panji siap menghadapi lawan yang
sudah meluncur datang dengan serangan susulan.
“Haiiit...!”
Pada saat serangan lawan tiba, Panji langsung me-
nyelinap di antara kelebatan sinar pedang lawan. Ke-
mudian, berusaha melancarkan serangan balasan
dengan jurus-jurus naga saktinya.
Tapi, bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga
Putih ketika merasakan ada hawa aneh yang meng-
ganggu jalan pikirannya. Kekuatan jahat yang menye-
bar dari badan pedang lawan ternyata mampu mem-
buat jurus-jurusnya jadi kacau. Sehingga, dalam dua
puluh jurus kemudian Panji dapat didesak. Sedangkan
ia hanya bisa menggunakan kelincahannya untuk me-
nyelamatkan diri.
“Yeaaah...!”
Rasa penasaran membuat Panji mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga dalamnya, dan langsung
mendorongkan telapak tangannya ke depan me-
nyambut serangan lawan. Akibatnya....
Breshhh...!
Hebat sekali apa yang terjadi kemudian. Benturan
yang laksana menggetarkan jagat bergema dahsyat!
Tubuh Panji terdorong mundur sejauh satu tombak.
Sedangkan lawannya terlempar ke belakang dan mem-
bentur sebatang pohon besar.
Kraaakh...!
Terdengar suara hiruk-pikuk ketika pohon yang terlanggar tubuh Pedang Iblis tumbang. Sedang tokoh
misterius itu terus meluncur sejauh satu tombak lagi.
Kenyataan itu membuktikan betapa hebatnya kekua-
tan tokoh yang berjuluk Pedang Iblis ini.
Panji menghirup udara sebanyak mungkin kemu-
dian menghembuskannya perlahan-lahan. Benturan
tadi telah membuat dadanya terasa sesak. Setelah
keadaannya pulih, pemuda itu melesat untuk melihat
keadaan lawan.
Kenanga, Ki Gulawa dan sepuluh orang pengawal
kepala desa bergerak mengikuti Panji. Demikian pula
belasan penduduk desa yang menyaksikan pertarun-
gan itu. Sedang penduduk yang masih terpengaruh te-
riakan Panji tadi masih bergeletakan pingsan di atas
tanah berumput
Kenanga yang tiba lebih dulu tampak mengerutkan
kening ketika melihat kekasihnya berdiri mematung.
Bergegas dara jelita itu menghampirinya.
“Bagaimana, Kakang? Apakah Pedang Iblis sudah
tewas...?” tanya Kenanga ragu ketika tidak menemu-
kan sosok lelaki berpakaian hitam yang berkepandaian
hebat
“Hm.... Mungkin ia sudah meninggalkan tempat ini.
Sebab, seperti yang kau lihat sendiri tidak ada sesosok
manusia pun berada di sini. Pedang Iblis telah melari-
kan diri. Kemungkinan besar ia akan muncul setelah
menemukan Pedang Iblis yang satunya lagi. Hhh....
Sungguh berbahaya sekali...,” desah Panji cemas men-
gingat betapa berbahayanya tokoh misterius itu bagi
keselamatan orang banyak.
Panji merasa berkewajiban untuk melumpuhkan
tokoh berjuluk Pedang Iblis. Hanya dirinya sedikit ragu
akan dapat menundukkan tokoh itu bila telah memiliki
Pedang Iblis yang satunya lagi. Sebab, Panji sudah merasakan betapa hebatnya tokoh itu meski hanya den-
gan sebilah pedang. Entah bagaimana kehebatan yang
dimilikinya bila Sepasang Pedang Iblis telah jatuh ke
tangannya.
“Pendekar Naga Putih...!” tiba-tiba terdengar seruan
yang membuat pasangan pendekar muda menoleh.
Mereka melihat Ki Gulawa tengah bergerak mengham-
piri. Panji agak heran ketika mendengar Kepala Desa
Karapan dapat menebak siapa dirinya.
“Pendekar Naga Putih. Aku sungguh merasa berun-
tung sekali yang menyelamatkan nyawaku dan pendu-
duk Desa Karapan adalah pendekar yang selama ini
kukagumi. Benar-benar merupakan suatu anugerah
yang tak ternilai dapat bertemu muka denganmu. Aku
mengenalimu setelah melihat ciri-ciri yang selama ini
menjadi tanda pengenalmu. Bukankah yang kau gu-
nakan tadi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’? Sungguh
luar biasa. Memang, tepat jika kekuatan itu disebut
orang sebagai mukjizat dari sang Pencipta..,” ujar Ki
Gulawa yang karena gembiranya langsung berbicara
tiada henti bagai anak bebek kehilangan induk. Se-
hingga, baik Panji maupun Kenanga hanya bisa terse-
nyum. Karena mereka tidak diberi kesempatan untuk
menanggapi ucapan Ki Gulawa.
“Ahhh, Ki Gulawa sungguh pandai membuat kepa-
laku jadi besar. Sudahlah, Ki. Semua itu sudah menja-
di kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” ujar
Panji setelah Ki Gulawa menghentikan kata-katanya.
“Hm.... Kau benar-benar patut dikagumi dan disan-
jung, Pendekar Naga Putih. Meskipun nama besarmu
sudah menjulang mengalahkan tingginya gunung, tapi
sikapmu tetap ramah dan rendah hati. Sungguh seo-
rang pendekar besar yang patut dijadikan contoh,”
kembali Ki Gulawa mengeluarkan kata-kata pujiannya.
Meskipun pujian itu tulus tanpa maksud tersembunyi,
tapi Panji tetap merasa risih.
“Sekali lagi terima kasih atas pujianmu, Ki. Dan,
karena tokoh berjuluk Pedang Iblis masih akan terus
menyebar bencana. Maka, aku harus mengejarnya un-
tuk mencegah kekejamannya,” ujar Panji sekaligus
berpamitan untuk meninggalkan Desa Karapan.
Ki Gulawa kelihatan sangat kecewa mendengar
ucapan Pendekar Naga Putih. Tapi, alasan yang diberi-
kan pemuda itu memang tidak bisa dipungkiri Meski-
pun sebenarnya Ki Gulawa ingin Pendekar Naga Putih
singgah di rumahnya, semua itu ditekannya termasuk
kekecewaan yang tampak membias di wajah tua itu.
“Maaf, jika aku telah mengecewakan hati Ki Gulawa.
Lain kali aku akan singgah ke desa ini dan menemui
Aki,” Panji tahu apa yang dipikirkan Ki Gulawa sehing-
ga pemuda itu menghibur dengan janjinya. Membuat
wajah orang tua itu berubah cerah.
“Ah, terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku akan
menunggu kedatanganmu,” sergah Ki Gulawa tanpa
berusaha menyembunyikan kegembiraan hatinya.
“Bagaimana denganku, Ki? Apa aku tidak boleh ikut
singgah nanti?” goda Kenanga, membuat Ki Gulawa
tersipu.
“Tentu saja, aku pun mengharapkan kedatangan
Nisanak beserta Pendekar Naga Putih...,” sahut Ki Gu-
lawa cepat Sehingga, Panji dan Kenanga tersenyum
melihat orang tua itu salah tingkah karena ulah Ke-
nanga.
“Kalau begitu, kami pergi dulu, Ki...,” pamit Panji
segera mengajak kekasihnya meninggalkan Desa Kara-
pan dengan diiringi pandang mata Ki Gulawa dan para
pengawalnya.
***
“Heya... heyaaa...!”
Suara teriakan-teriakan nyaring berkumandang
memecah keheningan pagi yang bening. Ditingkahi su-
ara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang menim-
bulkan kepulan debu membubung ke angkasa.
Penunggang kuda terdepan yang bertindak sebagai
pimpinan rombongan, adalah seorang gadis cantik be-
rusia sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya ramp-
ing padat dengan lekuk sempurna terbungkus sutera
merah darah. Rambut bagian atasnya diikat dengan
sehelai kain yang juga terbuat dari sutera merah. Se-
hingga, gadis itu tampak sangat menarik bagi siapa sa-
ja yang memandangnya. Hanya sayang, sinar matanya
terlihat demikian liar. Seolah membayangkan sifat
yang kejam dan genit
Di belakang dara cantik itu terlihat delapan orang
penunggang kuda yang semuanya berpakaian serba hi-
tam. Wajah mereka kelihatan garang pertanda mereka
bukan orang baik-baik.
Setelah melintasi jalan setapak yang terdapat di se-
buah hutan kecil, rombongan itu tiba pada sebuah da-
taran berbatu yang cukup luas. Sebuah bangunan
yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak
terlihat dari kejauhan.
Gadis cantik berpakaian serba hitam yang menjadi
pimpinan rombongan semakin mempercepat lari ku-
danya. Sepasang matanya tampak berkilat penuh naf-
su ingin segera tiba di bangunan terkurung pagar kayu
bulat itu.
Melihat sang Pemimpin membedal kudanya, anggo-
ta rombongan pun bergegas menyusul. Sehingga, me-
reka tetap berada setengah tombak di belakang dara
cantik berpakaian serba merah itu.
“Haiiit..!”
Begitu tiba di depan gerbang yang bertuliskan ‘Per-
guruan Harimau Sakti’, dara cantik itu langsung mele-
sat dari atas punggung kudanya. Tubuh ramping itu
berputar dua kali sebelum mendaratkan kakinya di
depan pintu gerbang.
Anggota rombongan yang berjumlah delapan orang
segera berlompatan turun dan menghunus senjata.
Perbuatan mereka jelas menunjukkan kedatangannya
tidak bermaksud baik.
“Hm....”
Dara cantik itu bergumam perlahan sambil menyi-
langkan sepasang tangannya di depan dada. Kedua
lengan berkulit halus itu tampak bergerak karena ten-
gah dialiri tenaga dalam kuat
“Hei, apa yang hendak kau lakukan...?!” teriak sa-
lah seorang dari dua penjaga yang berada di atas pintu
gerbang. Sayang, teguran itu terlambat Sebab, saat itu
terdengar bentakan nyaring melengking.
“Hiaaah...!”
Rupanya, dara cantik berpakaian serba merah men-
geluarkan bentakan sambil mendorongkan telapak
tangannya ke arah pintu gerbang. Dan....
Brakkk...!
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal lang-
sung hancur berantakan dengan suara keras! Tanpa
menunggu kepingan kayu jatuh ke tanah, dara cantik
itu menerobos masuk. Demikian pula kedelapan orang
pengikutnya.
“Berhenti...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, membuat gadis
cantik beserta rombongannya menghentikan langkah
dan menoleh ke arah sosok lelaki gagah berusia empat
puluh lima tahun. Lelaki yang tidak lain Ki Baginta
berdiri tegak menyambut kedatangan para pengacau
dengan pedang di tangan. Di belakangnya berkumpul
murid-murid perguruan yang berjumlah empat puluh
orang lebih. Melihat pedang telanjang di tangan para
murid Perguruan Harimau Sakti, jelas mereka telah
siap menghadap pertempuran.
“Hm.... Panggil Ki Sawung! Aku mempunyai keper-
luan penting dengan tua bangka itu...!” bentak dara
cantik berpakaian merah dengan sikap yang sangat
sombong. Ucapan lancang itu tentu saja membuat mu-
rid-murid perguruan menjadi marah.
Ki Baginta merentangkan lengannya mencegah mu-
rid-muridnya yang sudah tidak sabar untuk menghajar
wanita cantik itu. Sehingga, mereka terpaksa hanya
bisa menatap dengan sinar mata penuh kebencian.
“Nisanak, seharusnya aku sebagai tuan rumah yang
bertanya lebih dulu padamu. Kau siapa, dan ada ke-
perluan apa dengan guru besar kami? Kalau hanya
persoalan sepele, katakan saja padaku. Nanti aku yang
akan menyampaikannya...,” ujar Ki Baginta tenang.
Sebagai seorang yang ditugaskan untuk menjaga per-
guruan selagi Ki Sawung pergi, Ki Baginta tidak mau
bertindak ceroboh. Ia kelihatan lebih berhati-hati da-
lam menentukan sikap. Semua itu karena tanggung
jawab yang harus dipikulnya.
“Hm.... Aku tidak mau tahu dengan segala peratu-
ran yang berlaku di sini! Panggil Ki Sawung keluar
atau kalian terpaksa harus merasakan tajamnya pe-
dangku...!” ujar gadis cantik berpakaian serba merah
berbau ancaman.
Ki Baginta tidak menimpali ucapan dara cantik itu.
Dengan sikap yang tetap tenang, lelaki gagah itu me-
langkah beberapa tindak. Ditatapnya wajah gadis itu
dari atas ke bawah seperti tengah menilai seekor ayam
aduan. Kemudian, beralih ke arah delapan orang pengikut gadis itu yang rata-rata bertampang kasar dan
tidak sedap dipandang.
Gadis cantik berpakaian serba merah kelihatan ti-
dak sabar melihat sikap Ki Baginta. Kepalanya berge-
rak mengangguk sebagai isyarat bagi pengikutnya un-
tuk bergerak.
“Yeaaat..!”
Tanpa diperintah dua kali, dua orang yang tepat be-
rada di belakang gadis berpakaian serba merah segera
menerjang Ki Baginta dengan pedang di tangan.
Bettt! Wuttt!
Ki Baginta menggeser mundur langkahnya dengan
tubuh miring. Sambaran yang mengancam perut dan
lehernya luput menebas angin kosong. Begitu serangan
lawan lolos, Ki Baginta kembali menggeser kaki ka-
nannya ke depan. Sepasang tangannya bergerak mela-
kukan tamparan dan pukulan ke arah dua orang la-
wannya.
Bettt! Bettt!
Terkejut juga hati lelaki gagah itu ketika melihat ke-
gesitan lawan-lawannya. Kedua lelaki kasar itu ternya-
ta mampu menghindari serangan balasannya. Bahkan,
masih sempat membalas serangan Ki Baginta dengan
tidak kalah berbahayanya.
“Haiiit..!”
Sadar kedua orang itu cukup tangguh dan tidak bi-
sa dirobohkan dalam waktu singkat, Ki Baginta mem-
bentak sambil menggenjot tubuhnya yang langsung
membubung ke udara dan berputaran beberapa kali,
sebelum mendarat di depan murid-muridnya.
“Hmh...!”
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Ki Baginta
segera mengisyaratkan murid-muridnya untuk mulai
menyerang.
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Murid-murid Perguruan Harimau Sakti yang semen-
jak tadi sudah merasa tidak sabar, langsung meluruk
ke arah sembilan orang pengacau. Mereka tampak de-
mikian bersemangat untuk mengusir tamu-tamu tak
diundang itu.
Melihat murid-murid Perguruan Harimau Sakti da-
tang menyerang, dara cantik itu tersenyum sinis. Ke-
mudian, memerintahkan para pengikutnya untuk me-
nyambut kedatangan lawan. Sedangkan ia sendiri ber-
gerak menyingkir dari arena pertempuran kecil-kecilan
yang sudah berkobar.
Demikian pula Ki Baginta. Lelaki gagah itu bergerak
menjauhi arena pertempuran. Jelas, Ki Baginta hendak
menghadang pimpinan pengacau itu.
“Kau benar-benar keras kepala, Orang Gagah.
Rupanya, kau lebih suka mati daripada harus me-
manggil guru besarmu itu...,” dengus dara cantik ber-
pakaian serba merah yang sudah berhadapan dengan
Ki Baginta dalam jarak satu tombak. Kali ini sepasang
matanya mengerjap nakal, seolah hendak meruntuh-
kan kekerasan hati Ki Baginta dengan kecantikan dan
kerling matanya.
Ki Baginta bukan tidak tahu maksud kerjapan mata
gadis cantik itu. Namun, mengingat tanggung jawab
yang telah diberikan Ki Sawung kepadanya, sikap genit
gadis itu tidak diladeninya,
“Tidak perlu banyak cakap lagi, Nisanak. Kau hanya
bisa menemui Guru Besar kami bila telah melangkahi
mayatku...,” geram Ki Baginta menggertakkan giginya
kuat-kuat
“Hm.... Apa susahnya melakukan hal itu...,” sahut
gadis cantik itu tersenyum sinis, membuat darah Ki
Baginta menggelegak karena merasa diremehkan.
“Mengapa tidak segera kau lakukan...?” balas Ki
Baginta segera menyiapkan jurusnya.
“Kalau kau belum mati, bagaimana mungkin aku
bisa melangkahi mayatmu? Sebaiknya gorok batang
lehermu, baru aku bisa melaksanakan permintaanmu
itu...?” ejek gadis berpakaian serba merah berpura-
pura bodoh.
Ki Baginta tentu saja mengerti lawannya berpura-
pura bodoh. Ia menduga gadis cantik itu hendak mem-
permainkannya. Sayang, kali ini gadis itu bertemu
dengan Ki Baginta yang tidak mudah dipermainkan
orang dengan kata-kata maupun ejekan.
“Hm.... Tentu saja sangat mudah bagiku untuk me-
lakukannya sendiri. Tapi..., aku ragu kau mampu me-
lakukannya untukku...,” sambut Ki Baginta seraya
memperlihatkan senyum. Ucapan itu sekaligus meru-
pakan ungkapan bahwa Ki Baginta meragukan gadis
berpakaian serba merah akan sanggup melawannya.
“Iblis...!” desis gadis berbaju merah, jengkel. Ru-
panya, gadis itu tahu bahwa dalam hal bersilat lidah,
dirinya tidak akan menang menghadapi Ki Baginta
yang tampaknya pintar membalikkan kata-kata.
Senyum di bibir Ki Baginta semakin melebar ketika
melihat gadis cantik itu menyiapkan jurus untuk me-
nyerangnya. Tapi, lelaki itu tetap tenang dan mengges-
er langkahnya ke kanan, membentuk kuda-kuda se-
rong yang kokoh dan indah. Sebagai murid Perguruan
Harimau Sakti yang berintikan silat harimau, tentu sa-
ja kuda-kuda yang diajarkan mengikuti gerak-gerik ha-
rimau. Dan, semua itu telah dipelajari Ki Baginta den-
gan sempurna. Jadi, tidak aneh jika kuda-kuda yang
diperlihatkannya terlihat kokoh dan mencerminkan ke-
jantanan.
“Hm...,” dara cantik berpakaian serba merah men-
dengus saat melihat kuda-kuda Ki Baginta. Perlahan
tangannya bergerak meraba gagang pedang yang ter-
sembul di pinggang. Dan....
Srattt...!
Seberkas sinar berhawa aneh yang sanggup menga-
caukan pemusatan pikiran, berpendar ketika pedang
di pinggang gadis itu keluar dari warangkanya. Ki Ba-
ginta terkejut menyaksikan sinar pedang di tangan ga-
dis itu.
“Pedang Iblis Betina...?!” desis Ki Baginta menerka
senjata yang dipergunakan lawan.
Lelaki gagah itu langsung dapat menebak dengan
tepat Sebab, selain sudah mendengar cerita gurunya
tentang sejarah Pedang Iblis, lelaki itu telah menyaksi-
kan dan merasakannya sendiri sewaktu menghadapi
pencuri yang beberapa waktu lalu membawa lari Pe-
dang Iblis Jantan dari perguruannya. Kenyataan senja-
ta di tangan lawan adalah Pedang Iblis Betina, mem-
buat Ki Baginta segera dapat meraba maksud kedatan-
gan dara cantik itu ke perguruannya.
“Ahhh, hebat sekali! Rupanya kau sudah tahu nama
pusaka keramat di tanganku ini. Kalau begitu, kau
pasti tahu tentang pedang keramat yang satunya la-
gi...,” seru gadis cantik itu yang tampak agak kaget ke-
tika mendengar desisan Ki Baginta. Tapi, kekagetannya
bercampur kegembiraan. Sebab, tujuannya mendatan-
gi Perguruan Harimau Sakti memang untuk mencari
Pedang Iblis Jantan.
“Sebagai keturunan orang-orang gagah pendiri dan
pembuat Sepasang Pedang Iblis, tentu saja aku menge-
tahui sejarah dan keampuhan senjata itu,” sahut Ki
Baginta sengaja membanggakan diri untuk melihat si-
kap gadis cantik pemegang Pedang Iblis Betina,
“Sayang, menurut guruku keampuhan Sepasang Pe-
dang Iblis akan berkurang bila tidak bersatu dan pe-
megangnya tidak cocok.”
“Bagus, jika kau tahu banyak tentang pedang ini.
Aku memang hendak mempersatukannya. Selain itu,
aku tidak cocok memegang Pedang Iblis Betina. Karena
keampuhan senjata ini akan semakin berlipat bila pe-
megangnya seorang laki-laki. Demikian pula dengan
Pedang Iblis Jantan. Akan lebih baik jika pemegangnya
seorang wanita...,” ujar gadis itu tanpa sadar mene-
rangkan apa yang diketahuinya tentang Sepasang Pe-
dang Iblis.
Ki Baginta cukup terkejut mendengar gadis cantik
itu tahu banyak mengenai Sepasang Pedang Iblis. Se-
bab, Ki Sawung tidak bercerita tentang hal itu. Entah
gurunya terlupa atau mungkin tidak tahu. Yang jelas
Ki Baginta telah mendapat pengetahuan baru tentang
Sepasang Pedang Iblis yang ampuh dan mengerikan
itu. Maka, lelaki itu tidak berbicara lagi. Hanya men-
coba meneliti dan mencari kelemahan yang dimaksud
gadis cantik itu. Untuk memancing gadis itu menun-
jukkan kelemahan yang baru dikatakannya tentu tidak
mungkin. Satu-satunya jalan ia harus berusaha mere-
but Pedang Iblis Betina dari tangan lawan.
Agaknya, gadis cantik itu tahu jalan pikiran Ki Ba-
ginta. Terdengar tawanya yang mengejek, membuat
wajah Ki Baginta berubah merah. Lelaki itu merasa di-
telanjangi lawan.
“Kau bermimpi jika hendak merebut senjata ini dari
tanganku, Orang Gagah...,” ejek gadis cantik itu sambil
memutar senjatanya.
Melihat hal itu, Ki Baginta langsung melangkah
mundur seraya menyiapkan pedangnya di depan dada.
Apalagi mengingat keampuhan dan kehebatan Pedang
Iblis yang memiliki pancaran hawa jahat itu.
***
LIMA
“Haiiit..!”
Diiringi sebuah lengkingan panjang yang menya-
kitkan telinga, tubuh gadis cantik itu meluncur dengan
tusukan pedangnya, mengarah tenggorokan Ki Bagin-
ta.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Baginta memutar tubuhnya membentuk benteng
pertahanan dengan jurus ilmu ‘Pedang Harimau Ma-
buk’. Ilmu pedang itu sangat baik untuk menyerang
maupun bertahan. Dan, kehebatan ilmu pedang Pergu-
ruan Harimau Sakti telah terkenal sejak puluhan ta-
hun silam.
Begitu serangan pedang lawan tiba, Ki Baginta
menggeser tubuhnya tanpa berusaha menangkis. Se-
bab, selain telah mengetahui sasaran Pedang Iblis, le-
laki itu pun menyadari ketajaman senjata maut itu
yang mampu memapas putus senjatanya. Itu sebab-
nya, ia tidak berani memapaki serangan lawan.
“Yiaaah...!”
Setelah serangan lawan luput, Ki Baginta tidak in-
gin memberi peluang pada lawan untuk membangun
serangan berikutnya. Lelaki gagah itu langsung me-
nyabetkan pedangnya ke tubuh lawan dengan kecepa-
tan dan kekuatan penuh.
Tapi, gadis cantik berpakaian serba merah itu bu-
kan orang sembarangan. Sebagai pemegang Pedang Ib-
lis, tentu saja kepandaian yang dimilikinya harus tinggi. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga da-
lam kuat saja yang sanggup memegang pedang kera-
mat itu. Kalau tidak, pemegangnya akan menjadi gila
oleh pengaruh yang keluar dari senjata maut yang
mengerikan itu.
Ki Baginta yang belum mengetahui hal itu berusaha
merebut senjata lawan. Terbukti, serangan pedangnya
selalu ditujukan ke arah pergelangan tangan lawan.
Maksudnya hendak membuat pedang lawan terlepas
dari genggaman bila ujung pedangnya berhasil menge-
nai sasaran.
Gadis cantik itu kelihatan cukup kagum akan ilmu
pedang lawan. Berkali-kali terdengar ia berseru, me-
muji perubahan gerak ilmu pedang Ki Baginta. Tapi,
ketika pertempuran telah melewati jurus kesepuluh,
gadis cantik itu mulai merubah permainan pedangnya.
Bahkan, pancaran sinar dari badan Pedang Iblis mulai
menunjukkan keampuhannya. Permainan Ki Baginta
terlihat kacau dan serangan-serangannya tidak bisa
dikendalikan lagi. Meski demikian, Ki Baginta tidak ta-
hu yang membuat jurus-jurusnya kacau adalah hawa
jahat yang keluar dari badan Pedang Iblis. Kalau saja
hal itu diketahuinya, mungkin Ki Baginta tidak berani
bertempur dalam jarak dekat
“Yiaaat..!”
Lima jurus kemudian, Ki Baginta kelihatan mulai
tak berdaya menghadapi serbuan-serbuan lawan Lela-
ki gagah itu tidak mampu lagi melancarkan serangan
balasan dengan baik. Bahkan, beberapa kali nyaris
menjadi sasaran pedang lawan. Untung incaran ujung
pedang lawan selalu pada tenggorokannya. Hingga, ia
selalu dapat menghindar sampai jurus kelima belas.
Tapi, gadis cantik itu memang bukan tokoh semba-
rangan. Melihat keuletan lawan, pada jurus keenam
belas tiba-tiba gadis itu memekik nyaring. Sambaran
pedangnya meluncur dengan kecepatan tinggi, men-
gancam tenggorokan lawan.
Bettt..!
Ki Baginta melempar tubuhnya ke belakang, dan te-
rus bergulingan menjauhi lawan. Malang, begitu ia me-
lenting bangkit, mendadak tubuh lawan telah berada
di dekatnya, dan langsung menyarangkan sebuah ten-
dangan yang telah menghajar dada.
Desss!
“Huakhhh..!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Ki Baginta terjengkang
akibat tendangan keras itu. Darah segar ter muntah
keluar dari mulutnya. Lelaki gagah itu masih terus ter-
guling-guling sejauh dua tombak!
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan lawannya
yang langsung melesat mengejar tubuh Ki Baginta. Pe-
dang Iblis Betina yang berada di tangan kanannya ber-
gerak datar, siap merobek tenggorokan murid utama
Perguruan Harimau Sakti itu.
Wesss...!
Pada saat yang menentukan bagi nasib Ki Baginta,
tiba-tiba berhembus serangkum angin keras, membuat
tubuh gadis cantik berpakaian serba merah itu ter-
huyung ke samping. Dorongan angin pukulan berhawa
dingin itu telah menyelamatkan Ki Baginta dari kema-
tian yang mengerikan.
“Setan...!” gadis cantik berpakaian serba merah
mengumpat kesal. Kakinya dijejakkan ke tanah kuat-
kuat untuk meredam daya dorong yang amat kuat Tu-
buhnya terlihat agak menggigil. Karena pukulan jarak
jauh itu mengandung hawa dingin menusuk tulang.
Sementara itu, sesosok tubuh terbungkus jubah
panjang putih tampak tengah menarik bangkit Ki Baginta, dan mengangsurkan sebutir pil berwarna putih
seperti salju.
“Telanlah, agar luka dalammu tidak semakin pa-
rah...,” ujar sosok berjubah putih ketika melihat kera-
guan di mata lelaki gagah yang ditolongnya.
Ki Baginta tidak segera melaksanakan permintaan
penolongnya. Tapi, ketika melihat wajah tampan yang
tersenyum penuh persahabatan, dia tidak ragu-ragu
lagi dan langsung menelan pil itu.
Apa yang dirasakan murid utama Perguruan Hari-
mau Sakti membuatnya merasa gembira. Sebab, bebe-
rapa saat setelah obat itu masuk ke dalam perutnya,
Ki Baginta merasa suatu hawa mukjizat yang membuat
tubuhnya nyaman. Lelaki itu merasa bersyukur sekali
mendapat obat luka dalam yang sangat mujarab.
“Terima kasih, Kisanak. Obatmu sungguh luar biasa
sekali. Rasanya hanya seorang tabib sakti saja yang
memiliki obat seperti ini...,” ujar Ki Baginta menatap
sosok pemuda tampan berjubah putih dengan penuh
terima kasih.
Sosok berjubah putih yang tidak lain Panji yang
berjuluk Pendekar Naga Putih, hanya tersenyum me-
nanggapi ucapan Ki Baginta. Kemudian, mengalihkan
perhatiannya ke arah sosok gadis berpakaian serba
merah yang tengah menatapnya dengan sorot mata
penuh kejengkelan. Tapi begitu Panji berbalik, terlihat
ada sorot kekaguman dalam sinar mata gadis itu, yang
rupanya tidak bisa disembunyikan.
Kini keduanya saling berhadapan dalam jarak seki-
tar dua tombak lebih. Mata gadis cantik itu menjelajahi
sekujur tubuh Panji. Seolah hendak menilai dan men-
genali siapa pemuda berjubah putih yang memiliki te-
naga dalam kuat itu.
Sedang Panji tetap tegak dengan sikap tenang, tanpa rasa permusuhan. Kecuali meneliti pedang di tan-
gan gadis cantik yang membuat keningnya berkerut
dalam. Pedang itu mengingatkan Panji pada lelaki ber-
pakaian serba hitam yang tengah dicarinya. Sebab, pe-
dang di tangan gadis cantik berpakaian serba merah
sangat mirip dengan pedang yang dimiliki sosok miste-
rius yang pernah bertarung dengannya di Desa Kara-
pan.
***
Saat itu keadaan murid-murid Perguruan Harimau
Sakti benar-benar kacau. Lawan-lawannya yang hanya
berjumlah delapan orang ternyata memiliki kepandaian
tinggi. Sehingga, banyak murid-murid Ki Sawung te-
was di tangan mereka. Meskipun demikian, murid-
murid Perguruan Harimau Sakti tidak putus asa dan
merasa gentar. Mereka tetap bertarung dengan seman-
gat tinggi untuk mengusir para pengacau itu.
Dua orang murid Ki Sawung kembali terpelanting
roboh terkena sambaran pedang lawan. Namun, ketika
keadaan mereka semakin memburuk, tiba-tiba muncul
sesosok bayangan hijau yang langsung terjun ke dalam
kancah pertempuran!
Munculnya sosok berpakaian serba hijau yang ber-
pihak pada mereka ternyata membawa perubahan be-
sar. Karena begitu tiba, sosok itu langsung membuat
salah seorang lawan terpelanting bermandikan darah,
dan tewas seketika itu juga dengan usus terburai! Ten-
tu saja kejadian itu membuat murid-murid Perguruan
Harimau Sakti jadi bersemangat! Mereka kembali me-
nyerbu lawan-lawannya dengan semangat berlipat
ganda.
“Haiiit...!”
Gerakan sosok berpakaian hijau yang bertubuh
ramping memang sungguh hebat. Kembali tubuhnya
melesat ke depan dengan lengkingan nyaring yang
panjang. Pedang bersinar putih keperakan di tangan
kanannya berkelebat cepat, membuat salah seorang
lawan tak sempat lagi menyelamatkan diri dari samba-
ran yang cepat dan kuat itu. Sehingga....
Brettt! Brettt!
“Aaaa..!”
Pengikut gadis cantik berpakaian serba merah yang
malang itu langsung terjungkal, setelah tubuhnya di-
babat pedang lawan sebanyak dua kali. Luka yang
memanjang dan cukup dalam serta mengeluarkan ba-
nyak darah, mengakibatkan nafasnya melayang seke-
tika itu juga. Kejadian itu kembali membuat hati mu-
rid-murid Perguruan Harimau Sakti bersorak gembira!
Sebaliknya, pihak lawan yang menyaksikan kejadian
itu menjadi gentar hatinya. Sepak-terjang sosok berpa-
kaian serba hijau yang tidak lain Kenanga, membuat
mereka terkejut bukan main! Sebab, dalam beberapa
gebrakan saja dua orang dari mereka tewas terbunuh.
Peristiwa itu memaksa mereka bergerak mundur den-
gan wajah tegang. Rupanya, mereka sadar dara jelita
berpakaian serba hijau itu bukan lawan yang seband-
ing dengan mereka.
“Hm...,” Kenanga bergumam perlahan ketika meli-
hat lawan-lawannya bergerak mundur. Pedang bersi-
nar putih keperakan di tangannya menyilang di depan
dada. Dengan langkah tenang, dara jelita itu bergerak
mendekati lawan-lawannya yang tampak saling ber-
pandangan satu sama lain.
Terlihat keenam orang bertampang garang itu men-
ganggukkan kepala. Agaknya, mereka telah sepakat
untuk menghadapi dara jelita itu sampai titik darah te-
rakhir. Karena untuk meninggalkan arena pertempuran tanpa seizin gadis berpakaian merah, mereka tidak
berani. Satu-satunya pilihan bagi mereka adalah ber-
tarung mati-matian.
Kenanga tampaknya tahu apa yang disepakati la-
wan-lawannya. Terbukti dara jelita itu kembali mem-
persiapkan jurusnya untuk menghadapi keroyokan la-
wan yang kini berjumlah enam orang. Pedang sinar pu-
tih keperakan di tangannya berputar membentuk gu-
lungan sinar yang bergerak turun-naik, bagai seekor
ular raksasa yang siap menerkam mangsanya.
“Haaat...!”
“Yeaaa...!”
Keenam orang bertampang garang itu meluruk ke
arah Kenanga dengan serangan yang bertambah buas
dan ganas! Sinar enam bilah pedang itu berkelebatan
bagai tangan-tangan maut, yang siap menjemput nya-
wa dara jelita itu ke akhirat. Tapi, Kenanga telah
mempersiapkan diri dengan baik. Maka, ketika keenam
bilah pedang itu tiba, gadis itu segera menggerakkan
senjatanya menghadapi keroyokan lawan. Tubuhnya
yang ramping bergerak cepat
Keenam orang pengikut gadis berpakaian merah
benar-benar dibuat penasaran. Sebab, setiap kali pe-
dang mereka berkelebat menyambar, tubuh gadis jelita
itu selalu saja sudah berpindah tempat Bahkan, tidak
jarang tubuh ramping itu bergerak menyelinap di anta-
ra enam pedang lawan. Tampaknya, tubuh gadis jelita
itu tidak dapat tersentuh ujung pedang mereka. Ini
yang membuat keenam lawannya semakin penasaran!
“Haiiit..!”
Ketika pertempuran telah berlangsung cukup lama,
tiba-tiba dara jelita itu mengeluarkan pekikan yang
mengejutkan! Bersamaan dengan itu, pedang di tan-
gannya berkelebat laksana sambaran kilat di angkasa,
yang langsung mengancam tubuh dua pengeroyoknya.
Dan....
“Aaa...!”
Dua orang lelaki kasar meraung kesakitan! Tubuh
keduanya terpelanting jatuh terkena sabetan pedang
Kenanga. Darah segar mengucur keluar mengiringi
nyawa mereka yang melayang ke akhirat!
Sebelum empat orang lainnya tersadar dari rasa
terkejut, Kenanga sudah menerjang maju dengan kele-
batan pedang yang menggetarkan jantung. Pertempu-
ran pun berlangsung sengit Karena keempat lawannya
berusaha mati-matian untuk mempertahankan selem-
bar nyawa mereka!
Di bagian lain, Panji tengah bertarung ketat dengan
gadis cantik berpakaian serba merah. Serbuan-
serbuan yang dilancarkan lawan sempat membuat
Panji kewalahan. Apalagi, lawannya seorang gadis dan
belum sempat disaksikan kekejamannya. Sehingga
Panji merasa jengah untuk melontarkan pukulan-
pukulan mautnya. Ditambah lagi, setiap lontaran se-
rangan Panji selalu dihadapi gadis cantik itu dengan
memberikan bagian-bagian tubuhnya yang tabu bagi
Panji untuk disentuh tangannya. Sehingga, pemuda itu
selalu menarik pulang serangannya setiap kali terlon-
tar. Ini yang membuat Panji agak kewalahan mengha-
dapi lawan kali ini.
Sekali dua kali gerakan itu dilakukan Panji, mem-
buat lawannya sadar dan memanfaatkan peluang itu
untuk mencari kemenangan. Kelemahan pemuda tam-
pan berjubah putih memberi keleluasaan pada gadis
itu untuk melancarkan serangan. Sehingga, Panji ter-
paksa harus menggunakan kelincahan tubuhnya un-
tuk menghindari setiap serangan maut lawannya.
“Perempuan kotor dan licik...!” Ki Baginta yang sesekali sempat melihat kenyataan itu, memaki geram.
Lelaki itu tidak menyalahkan Panji yang selalu me-
narik pulang serangan balasannya. Karena hal itu pun
akan dilakukannya bila bertarung dengan seorang wa-
nita muda. Sebagai orang gagah, pantang bagi mereka
untuk menyentuh bagian terlarang tubuh seorang ga-
dis, meskipun itu terjadi dalam pertarungan. Jika ti-
dak terpaksa sekali, Ki Baginta pun tidak mau mela-
kukannya.
“Haiiit..!”
Untuk kesekian kalinya, gadis cantik berpakaian
serba merah kembali melancarkan sebuah serangan
maut Pedang berhawa aneh di tangannya berkelebat
cepat mengancam tenggorokan Panji.
Wuttt..!
Panji menarik mundur langkahnya menghindari sa-
betan maut itu. Kemudian, terus melakukan lompatan
pendek ke samping ketika pedang lawan berputar den-
gan babatan miring. Begitu serangan lawan luput, pe-
muda itu langsung melontarkan sebuah hantaman te-
lapak tangan ke bahu kanan lawan yang terbuka.
“Aaah...!”
Sadar bahwa dirinya terancam, gadis cantik itu
memutar tubuhnya, dan memberikan dadanya untuk
menyambut hantaman telapak tangan Panji. Tentu sa-
ja pemuda itu terkejut, dan bergegas menarik pulang
serangannya, lalu melompat jauh ke belakang. Karena
begitu serangannya ditarik pulang, pedang di tangan
gadis cantik itu menyambar ke arah perutnya dengan
kecepatan kilat!
“Hm...”
Setelah mendaratkan kakinya di tanah dalam jarak
satu setengah tombak dari lawan. Panji menyilangkan
kedua tangannya, siap menggunakan ilmu ‘Silat Naga
Sakti’ warisan Malaikat Petir. Meskipun kepandaian
gadis cantik pemegang Pedang Iblis masih berada di
bawah tingkat kepandaian lelaki berpakaian serba hi-
tam yang juga bersenjatakan Pedang Iblis, tapi kelici-
kan gadis itu yang memanfaatkan kelemahannya, me-
maksa Panji harus menggunakan ilmu silat andalan-
nya yang jarang dipergunakan kecuali menghadapi la-
wan berat
Melihat Pendekar Naga Putih tengah menyiapkan
jurus barunya, gadis cantik itu mengerutkan kening.
Rupanya, dia dapat menduga kalau jurus yang kali ini
dikeluarkan lawan pasti sangat hebat Satu hal yang
membuat gadis itu penasaran, dirinya tidak mengenal
siapa pemuda tampan berjubah putih yang memiliki
kepandaian hebat itu. Jika bukan karena kelicikannya,
mungkin sudah sejak tadi dia dirobohkan pemuda
tampan yang menarik hatinya itu.
Tapi ketika melihat Panji mempersiapkan jurus ba-
runya, gadis itu tampak terkejut bukan main. Saat itu
tubuh lawan mengeluarkan sinar putih keperakan.
“Pendekar Naga Putih...?!” desis gadis cantik berpa-
kaian serba merah terkejut Ia baru dapat menerka sia-
pa pemuda berjubah putih itu, setelah melihat lapisan
kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti tu-
buhnya. Ciri-ciri seperti itu hanya dimiliki satu orang,
yang saat itu telah mengguncangkan rimba persilatan
dengan sepak-terjangnya yang hebat dan ilmu-ilmu
andalan yang tiada bandingannya.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Ki Baginta pun tidak kalah terkejut mendengar dis-
ebutkannya nama Pendekar Naga Putih oleh gadis ber-
pakaian serba merah. Nama besar pendekar muda itu
telah didengar dari gurunya. Kenyataan itu membuat
Ki Baginta semakin lega. Sebab, kemunculan pendekar
muda yang tersohor itu pasti akan dapat menyela-
matkan perguruannya dari kemusnahan Pikiran itu
membuat dada Ki Baginta lapang.
Sedangkan wanita berpakaian serba merah tampak
mulai diliputi kecemasan. Gadis itu merasa gentar un-
tuk menghadapi pemuda berjubah putih setelah men-
getahui jati dirinya. Sepasang matanya mengerling ke
kiri dan kanan seperti hendak mencari jalan untuk
meloloskan diri. Apalagi, ketika melihat para pengikut-
nya tinggal dua orang dan tengah didesak seorang ga-
dis berpakaian serba hijau. Semakin sadarlah gadis itu
bahwa usahanya untuk mendapatkan Pedang Iblis
Jantan tidak mungkin terwujud. Sebab, penghalang
yang harus dihadapinya terlalu kuat
“Aaa...!”
Hati gadis cantik yang genit dan licik itu semakin
tegang, ketika mendengar jeritan pengikutnya yang ro-
boh di tangan gadis cantik berpakaian serba hitam.
Melihat kecepatan gerak gadis itu, sadarlah dirinya
bahwa jika ia tidak segera meninggalkan tempat itu je-
las akan dapat dikalahkan lawan Menghadapi Pende-
kar Naga Putih saja ia sudah merasa tidak mungkin
menang. Apa jadinya jika gadis berpakaian serba hijau
ikut turun tangan menghadapinya. Jelas, ia tidak
mungkin lagi bisa menggunakan kelicikannya. Dan,
sudah pasti dirinya akan kalah.
Menyadari kedudukannya berada di pihak yang le-
mah, mendadak gadis cantik itu melenting ke udara
disertai lengkingan panjang menggetarkan jantung.
“Haiiit..!”
Tubuh ramping padat terbungkus pakaian sutera
merah darah itu berputaran di udara, dan terus mele-
sat ke arah pintu gerbang begitu kedua kakinya men-
ginjak tanah.
Kenanga yang sudah menyelesaikan lawan terak-
hirnya berseru mencegah. Tubuh dara jelita itu berge-
gas mengejar gadis berpakaian serba merah yang me-
larikan diri.
Demikian pula dengan Panji. Pemuda tampan itu
bergerak cepat melakukan pengejaran dengan menge-
rahkan ilmu lari cepat Sayang, ia tidak melihat gelagat
lawan yang hendak melarikan diri. Sehingga, setelah
gadis itu tiba di dekat pintu gerbang, Panji baru men-
gejarnya.
Gadis cantik itu rupanya sadar dirinya akan dapat
terkejar jika terus melarikan diri. Maka, ketika melihat
dara berpakaian serba hijau mengejarnya, cepat ia
menghentikan langkah. Kemudian berbalik cepat sete-
lah merogoh sesuatu dari balik pakaian. Dan...
Sing! Sing! Sing...!
Empat cahaya putih berkilauan menyambut tubuh
Kenanga. Dara jelita itu pun sadar gadis yang dikejar-
nya telah melepaskan senjata-senjata rahasia untuk
mencegah dirinya. Cepat ia melenting ke udara dan
berputaran, sambil menyabetkan senjatanya ke arah
dua cahaya putih yang mengancam tubuhnya. Se-
dangkan dua cahaya lainnya meluncur di bawahnya.
Agaknya lawan sudah dapat menebak Kenanga akan
melenting ke udara untuk menghindari senjata-senjata
rahasia itu. Kenanga terpaksa harus melupakan la-
wannya sesaat untuk menghalau senjata rahasia itu.
Tring! Tring...!
Dua buah paku berkilat yang cukup besar langsung
runtuh terkena tebasan pedangnya. Melihat kilatan di
badan paku, Kenanga tahu senjata rahasia itu telah di-
lumuri racun. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah
berhasil menggagalkan serangan gelap lawan. •
Sedangkan gadis cantik berpakaian serba merah
sudah membedal kudanya bagai kesetanan. Sehingga,
Kenanga hanya bisa membanting kakinya dengan hati
geram.
“Kau tidak apa-apa, Kenanga...?” tanya Panji yang
saat itu telah tiba di dekat kekasihnya. Pemuda itu
menunda pengejarannya karena melihat kekasihnya
terancam senjata gelap yang dilepaskan gadis cantik
berpakaian sutera merah tadi.
“Untunglah aku sempat melihat gerakannya ketika
mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, Kakang. Ka-
lau tidak, rasanya sulit bagiku untuk menghindari se-
rangan gelap gadis licik itu...,” sahut Kenanga menarik
napas lega.
“Syukurlah...,” desah Panji ikut menghela napas le-
ga.
Serangan gelap yang dilakukan gadis berpakaian
merah begitu tiba-tiba datangnya. Selain itu, Kenanga
dalam keadaan berlari cepat Tentu saja itu sangat ber-
bahaya. Sehingga, Panji sempat cemas akan keselama-
tan kekasihnya. Untunglah dara jelita itu telah waspa-
da sebelumnya. Kalau tidak, kemungkinan besar se-
rangan gelap itu telah melukainya.
“Hm.... Lain kali aku tidak akan membiarkannya lo-
los. Sebab, ia memiliki pedang yang serupa dengan le-
laki berpakaian serba hitam yang kita cari. Dengan
demikian, berarti Sepasang Pedang Iblis muncul kem-
bali setelah lenyap sekian puluh tahun Dan, itu berarti
bencana bagi orang banyak...,” gumam Panji dengan
wajah membayangkan kecemasan.
Kenanga hanya menghela napas perlahan. Beberapa
saat kemudian, pasangan pendekar muda itu memba-
likkan tubuh, dan menghampiri Ki Baginta yang ten-
gah menatap keduanya dengan pandangan penuh ka-
gum dan hormat
ENAM
“Kalau boleh ku tahu, apa tujuan wanita berpa-
kaian serba merah itu mengacau perguruan ini, Pa-
man...?” tanya Panji saat mereka bertiga berkumpul di
sebuah ruangan di dalam bangunan induk Perguruan
Harimau Sakti.
Ki Baginta tidak langsung menjawab pertanyaan
pemuda tampan yang diketahuinya Pendekar Naga Pu-
tih. Baru setelah menarik napas panjang, lelaki gagah
itu menjawabnya.
“Sebenarnya, apa yang akan kusampaikan ini me-
rupakan rahasia perguruan kami. Tapi, karena kini
masalahnya sudah berkembang semakin jauh, dan
mungkin telah banyak orang yang tahu maka aku
akan menceritakannya padamu, Pendekar Naga Putih.
Selain itu, aku pun akan meminta bantuanmu untuk
menyelesaikan persoalan ini...,” ujar Ki Baginta mem-
buat Panji dan Kenanga saling bertukar pandang. Se-
bab, menilik dari ucapannya, apa yang akan disampai-
kan lelaki gagah itu kelihatan sangat rahasia.
“Tentu saja setelah tahu persoalan kami siap mem-
bantumu, Paman. Bukankah itu sudah menjadi kewa-
jiban kita sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi
kebenaran,” ujar Panji menimpali ucapan Ki Baginta
yang membuat lelaki gagah itu tersenyum lega.
“Gadis cantik berpakaian serba merah itu bermak-
sud hendak mengambil Pedang Iblis yang dimiliki seca-
ra turun-temurun oleh guru besar kami. Entah dari
mana gadis jahat itu mengetahui perguruan kami me-
nyimpan pusaka keramat yang bernama Pedang Iblis.
Mungkin gadis itu merupakan keturunan pencuri Pe-
dang Iblis Betina beberapa puluh tahun silam. Sebab,
ia memiliki Pedang Iblis Betina. Dan, kemunculannya
itu disebabkan telah lenyapnya Pedang Iblis Jantan
dari ruangan rahasia yang hanya diketahui guru besar
kami dan seorang kepercayaannya. Karena Pedang Ib-
lis Jantan telah kembali meminta korban, maka pemi-
lik Pedang Iblis Betina pun muncul. Seolah antara ke-
dua pedang keramat itu mempunyai pertalian gaib
yang sulit diterima akal sehat,” Ki Baginta menghenti-
kan ceritanya seraya menghela napas panjang. Keliha-
tan sekali lelaki gagah itu merasa berduka dengan ke-
jadian yang bertubi-tubi datang melanda perguruan-
nya.
“Paman, apakah pencuri Pedang Iblis Jantan seo-
rang lelaki berpakaian serba hitam...?” Kenanga yang
teringat akan pengacau di Desa Karapan langsung me-
nebak.
“Apa kau pernah bertemu dengan pencuri keparat
itu, Nisanak? Di mana kalian berjumpa dengannya...?”
Ki Baginta kelihatan kaget mendengar pertanyaan Ke-
nanga. Karena dapat menebak dengan tepat, lelaki itu
pun menduga Pendekar Naga Putih dan dara jelita
berpakaian serba hijau telah bertemu dengan pencuri
Pedang Iblis Jantan.
“Benar Paman. Bahkan aku sempat bentrok den-
gannya. Sayang, ia berhasil meloloskan diri dengan ca-
ra yang licik,” timpal Panji menjawab pertanyaan Ki
Baginta yang sebenarnya diajukan pada Kenanga.
“Ahhh.... Sayang sekali. Sebab, dengan munculnya
pemegang Pedang Iblis Betina keadaan akan semakin
bertambah kacau. Terlebih lagi jika Sepasang Pedang
Iblis telah bersatu. Sulit sekali untuk mengatasinya.
Kita harus mencegah hal itu terjadi, Pendekar Naga
Putih. Sebenarnya pemegang Pedang Iblis itu sama-
sama tidak cocok. Seharusnya Pedang Iblis Jantan di
pegang oleh seorang wanita, dan Pedang Iblis Betina
dipegang laki-laki. Dengan begitu, keampuhannya bisa
berlipat ganda. Kalau sampai kedau pemegang pedang
itu bertemu, rasanya dunia persilatan akan geger. Ma-
lapetaka bagi orang banyak akan datang...,” ujar Ki
Baginta dengan wajah semakin berduka. Jelas, lelaki
gagah itu sangat mengkhawatirkan keselamatan orang
banyak.
Penjelasan Ki Baginta membuat Panji dan Kenanga
ikut prihatin. Sebab, kenyataan itu merupakan tang-
gung jawab mereka sebagai orang-orang gagah yang
menegakkan kebenaran dan memberantas segala ke-
bathilan di atas muka bumi.
“Semenjak tadi aku tidak melihat ketua perguruan
ini, Paman? Apakah beliau tengah bersemadi di ruang
khusus yang tidak boleh diganggu...?” tanya Panji ke-
tika teringat sejak pengacau datang, dirinya tidak me-
lihat Ketua Perguruan Harimau Sakti. “Guru besar
kami tengah melakukan pengejaran terhadap pencuri
Pedang Iblis Jantan. Beliau pergi beberapa hari yang
lalu bersama Kandala, adik seperguruanku. Mungkin
beliau belum mendengar munculnya pemegang Pedang
Iblis Betina. Ah, beliau tentu akan semakin cemas bila
mengetahui Sepasang Pedang Iblis akan kembali me-
nebar bencana di atas muka bumi ini...,” jawab Ki Ba-
ginta membuat Panji dan Kenanga menganggukkan
kepala.
“Kalau demikian, kita harus segera bertindak cepat
sebelum kedua Pedang Iblis itu bersatu,” ujar Kenanga
sambil menatap wajah mendung Ki Baginta.
“Benar, Nisanak. Sayang, aku tidak bisa meninggal-
kan perguruan untuk menemani kalian..,” jawab Ki
Baginta agak menyesal sebab tidak bisa menemani
Pendekar Naga Putih dan Kenanga untuk menghenti
kan keganasan Pedang Iblis.
“Tak apalah, Paman. Tugas yang diberikan padamu
rasanya tidak kalah penting dengan yang akan kami
lakukan. Sebaiknya kami pergi sekarang untuk men-
cari dan mencegah bencana yang akan ditimbulkan
Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji
“Baiklah, kalau begitu. Aku hanya bisa berdoa un-
tuk keberhasilan kalian berdua...,” sahut Ki Baginta
seraya bergerak bangkit dari kursinya untuk mengan-
tarkan kepergian pasangan pendekar muda itu.
Panji dan Kenanga segera berpamitan pada lelaki
gagah itu. Keduanya menolak dengan halus ketika Ki
Baginta hendak menyiapkan kuda untuk mereka.
“Kami biasa melakukan perjalanan dengan berjalan
kaki, Paman. Rasanya itu akan lebih menguntungkan
tugas kami. Terima kasih atas kebaikan Paman...,” to-
lak Panji mengajukan alasan yang dapat dimengerti Ki
Baginta.
Lelaki gagah murid utama Ki Sawung itu mengan-
tarkan kepergian Panji dan Kenanga dengan pandang
matanya. Setelah bayangan mereka lenyap di kejau-
han, Ki Baginta memerintahkan murid-muridnya un-
tuk menutup pintu gerbang yang sudah diperbaiki se-
telah dirusak gadis berpakaian serba darah.
***
Seorang gadis cantik berpakaian sutera merah da-
rah membedal kudanya dengan kecepatan tinggi. Be-
berapa kali kepalanya menoleh ke belakang seolah-
olah takut lawan melakukan pengejaran. Setelah me-
rasa yakin tidak ada orang yang mengejarnya, gadis itu
memperlambat lari kudanya dan berhenti di dekat sebuah sungai.
“Kita istirahat di sini, Putih,” ujarnya sambil me-
lompat turun dari punggung kuda. Ditepuknya leher
binatang itu dengan lembut Kemudian, melangkah
menuruni sungai yang berair jernih.
Setelah membasuh wajahnya yang kotor dilapisi de-
bu, gadis cantik itu kembali bergerak naik ke tepi sun-
gai, dan menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang
pohon berdaun lebat yang melindungi tubuhnya dari
pancaran sinar matahari.
“Pendekar keparat! Aku terpaksa harus melakukan
perjalanan sehari penuh untuk menghindarinya. Un-
tung aku berhasil menghalangi pengejaran mereka
dengan senjata rahasiaku. Kalau tidak, mungkin pe-
dang keramat ini telah jatuh ke tangannya,” gumam
gadis cantik itu kesal.
Keinginannya untuk memperoleh Pedang Iblis Jan-
tan gagal oleh kemunculan Pendekar Naga Putih di
Perguruan Harimau Sakti. Padahal, usahanya nyaris
berhasil jika tidak ada pendekar muda itu. Gadis itu
mengeluarkan sumpah-serapah yang ditujukan pada
Panji yang telah menggagalkan rencananya.
Mendadak, gadis cantik itu bergerak bangkit dan
langsung melesat ke atas pohon. Gadis itu mendengar
ada suara langkah kaki yang menuju ke arah tempat-
nya berada. Tentu saja hatinya berdebar tegang. Se-
bab, ia khawatir langkah kaki itu milik Pendekar Naga
Putih yang mungkin mengejarnya.
Tapi, ketika melihat sosok tinggi kurus muncul dari
balik semak-semak dan melangkah di bawahnya, ter-
dengar helaan napas lega gadis itu. Bahkan, sepasang
matanya bersinar gembira. Agaknya, gadis itu menge-
nali sosok yang muncul dan berdiri tegak di bawah po-
hon tempatnya duduk tadi.
“Guru...!”
Gadis berpakaian serba merah itu meluncur turun
sambil berseru riang. Sedangkan sosok bertubuh jang-
kung yang ternyata seorang nenek berusia sekitar tu-
juh puluh tahun lebih, tersenyum ketika melihat gadis
berpakaian serba merah yang kini berdiri di hadapan-
nya dengan senyum manis.
“Dasar murid kurang ajar! Mengapa bersembunyi di
atas kepalaku, heh? Apa tidak ada tempat lain untuk
bersembunyi?” tegur nenek itu dengan wajah lucu.
Meskipun kata-katanya terdengar seperti orang marah,
tapi wajahnya kelihatan menyembunyikan senyum
yang ditahan. Jelas, nenek itu tidak sungguh-sungguh
marah.
“Bagaimana Guru bisa tahu aku bersembunyi di
atas pohon...?” tanya gadis cantik yang kelihatan kaget
mendengar ucapan gurunya. Sebab, meskipun dirinya
tahu nenek itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia su-
dah menahan napas ketika bersembunyi tadi.
“Kau benar-benar bodoh, Nila! Tentu saja aku bisa
mengetahuinya dengan mudah. Lihatlah di belakang-
mu...,” sahut nenek itu seraya menggerakkan kepa-
lanya ke depan.
“Hik hik hik...!” gadis cantik itu tertawa renyah ke-
tika melihat ke belakang. Ia baru mengerti akan kebo-
dohannya. Tentu saja nenek itu mengetahui kebera-
daannya. Sebab ia lupa menyembunyikan kuda putih
tunggangannya yang telah dikenal baik gurunya.
“Sudah! Nanti saja kau lanjutkan tawamu. Seka-
rang, coba tunjukkan hasil tugas yang kuberikan pa-
damu...,” ujar nenek itu membuat wajah gadis cantik
bernama Nila yang semula kelihatan riang kini beru-
bah mendung.
“Aku gagal, Guru...,” sahut Nila seraya memonyong-
kan bibirnya dengan sikap manja.
“Heh?! Mengapa bisa gagal? Bukankah kau sudah
kubekali Pedang Iblis yang tiada duanya itu? Apa kau
tidak mampu mengalahkan Ki Sawung yang kepan-
daiannya tidak ada seujung kuku jari kelingking
ku...?” sergah nenek itu heran mendengar laporan mu-
ridnya. Rupanya, nenek itu tidak bisa percaya murid-
nya gagal melaksanakan tugas yang menurutnya san-
gat sepele.
“Bangsat tua itu tidak keluar ketika aku datangi
perguruannya,” ujar Nila sambil menundukkan wajah-
nya yang kelihatan sedih.
“Eh?! Lalu..., mengapa kau sampai gagal...? Siapa
yang telah menghalangi mu?” desak nenek itu seraya
mengulurkan tangannya mengangkat dagu gadis can-
tik itu agar menatap ke arahnya.
“Kalau kukatakan, pasti Guru tidak akan per-
caya...,” rajuk Nila tanpa berusaha melepaskan jari-jari
tangan nenek itu dari dagunya.
“Hm.... Coba katakan padaku, siapa orang yang te-
lah menggagalkan tugasmu itu?” suara nenek itu ter-
dengar melunak. Agaknya, ia merasa iba melihat war-
na kesedihan di wajah murid tunggal yang disayan-
ginya.
“Dia seorang pemuda tampan yang mengenakan ju-
bah putih. Dan, sekujur tubuhnya dilapisi kabut ber-
sinar putih keperakan yang mengeluarkan hawa din-
gin. Guru pasti dapat menerka siapa orang itu...,” sa-
hut Nila tanpa menyebutkan nama penghalang itu ke-
cuali ciri-cirinya. Tampaknya gadis cantik itu ingin
mendengar jawaban gurunya yang menurutnya pasti
mengetahui perihal pemuda tampan itu.
“Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?” desis nenek
itu setelah terdiam beberapa saat dengan kening ber-
kerut Kelihatan sekali ia terkejut saat mendengar ciri
ciri pemuda tampan yang menghalangi tugas murid-
nya.
“Siapa lagi yang dapat menghalangiku selain pemu-
da itu. Ia benar-benar tampan sekali, Guru. Ah, andai
aku bisa mendapatkan pasangan seperti Pendekar Na-
ga Putih, alangkah bahagianya...,” desah Nila mem-
bayangkan pemuda tampan berjubah putih.
“Hm...,” nenek itu bergumam tanpa kata. Jika me-
mang pendekar muda itu yang menghalangi muridnya,
tentu saja ia tidak bisa menyalahkan murid tunggal-
nya. Karena ia sadar kepandaian muridnya bukan
tandingan pendekar besar itu.
Dari termenung dengan kepala terangguk-angguk,
tiba-tiba nenek itu mengangkat kepalanya dengan wa-
jah bersungguh-sungguh. Rupanya nenek itu tengah
mengerahkan indera pendengarannya untuk menang-
kap lebih jelas suara yang didengarnya secara samar.
“Ada orang datang....”
Sebelum Nila sempat bertanya atas sikap aneh gu-
runya, nenek itu sudah mengajaknya bersembunyi se-
telah lebih dulu menggebah kuda putih milik murid-
nya, yang langsung mencongklang pergi meninggalkan
tempat itu.
Nila tidak membantah perintah gurunya. Meskipun
gadis itu belum menangkap suara langkah orang yang
mendatangi tempat itu, tapi ia percaya dengan pen-
dengaran gurunya. Sebab, meskipun nenek itu telah
mendidiknya selama belasan tahun, tapi belum semua
ilmu nenek itu diturunkan padanya. Sehingga, kepan-
daiannya masih beberapa tingkat di bawah nenek itu.
Dugaan nenek bertubuh jangkung itu ternyata tidak
melesat Beberapa saat kemudian, Nila mulai menang-
kap suara langkah kaki lembut menghampiri tempat
mereka berada. Gadis cantik itu segera dapat menilai
orang yang datang bukan tokoh sembarangan. Karena
langkah kakinya demikian lembut, pertanda orang itu
memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, dari tempat nenek
jangkung itu muncul sesosok tubuh terbungkus pa-
kaian serba hitam hendak melintas di dekat persem-
bunyian mereka. Tapi, dalam jarak satu setengah tom-
bak dari tempat persembunyian Nila dan gurunya, so-
sok berpakaian serba hitam menahan langkahnya. Ke-
palanya tegak dengan telinga bergerak-gerak. Ru-
panya, ia merasa curiga akan keadaan di sekitarnya,
dan mengerahkan indera pendengaran untuk menang-
kap suara-suara yang mencurigakan.
Setelah cukup lama terdiam, sosok berpakaian ser-
ba hitam kembali melanjutkan langkahnya dengan ha-
ti-hati. Meskipun ia tidak mendengar suara-suara yang
mencurigakan di sekitar tempat itu, tapi sikapnya ter-
lihat sangat waspada hingga membuat Nila dan gu-
runya kagum.
Tiba-tiba wajah nenek itu berubah tegang, setelah
sosok berpakaian serba hitam lewat beberapa langkah
dari tempat persembunyiannya. Nila merasakan kete-
gangan gurunya. Aliran napas nenek itu terdengar le-
bih cepat dari biasa.
“Hei, tunggu...!” seru nenek itu langsung melesat
keluar dari tempat persembunyiannya. Tentu saja Nila
yang tidak mengetahui penyebabnya menjadi heran.
Tapi, tak urung gadis itu ikut melompat keluar dari
semak-semak.
Sedangkan sesosok berpakaian serba hitam sudah
melesat jauh ke depan. Kemudian, membalikkan tu-
buhnya dengan sikap siap tempur. Sehingga, baik Nila
maupun gurunya terpaksa menahan langkah agar ti-
dak terlalu dekat dengan sosok berpakaian serba hitam itu.
“Hm.... Sudah kuduga ada yang tidak beres di tem-
pat ini Kiranya kalian berdua sedang bermain kucing-
kucingan. Apa tidak ada pekerjaan lain yang dapat ka-
lian lakukan selain mengintip orang lewat..?” tegur so-
sok berpakaian serba hitam yang tidak lain si Pedang
Iblis.
Nila sudah siap melontarkan sumpah serapah pada
sosok itu. Tapi, gadis cantik itu menahan kedongko-
lannya ketika gurunya mencegah dengan gerakan tan-
gan. Meskipun hatinya geram, Nila tidak berani mem-
bantah isyarat gurunya.
Nenek bertubuh jangkung tidak mempedulikan ka-
ta-kata yang seharusnya dapat membuat hatinya ma-
rah. Tampaknya wanita tua itu lebih tertarik pada ga-
gang pedang yang tergantung di punggung sosok ber-
pakaian serba hitam itu. Sehingga, si Pedang Iblis ter-
kejut dan merasa curiga akan sikap nenek itu yang
mengamati punggungnya dengan sorot mata tajam dan
bersinar aneh.
***
TUJUH
“Anak muda, coba berikan pedangmu sebentar...,”
ujar nenek itu penuh minat Bersamaan dengan itu tu-
buhnya meluncur ke depan bagai tidak menginjak bu-
mi. Tangan kanannya yang panjang terulur hendak
merebut pedang yang tergantung di punggung lelaki
berpakaian serba hitam itu.
Si Pedang Iblis yang memang merasa curiga dengan
sikap aneh nenek itu segera bergerak mengelak. Tentu
saja pedang kebanggaannya tidak akan dibiarkan ter-
sentuh tangan orang lain, meski hanya untuk dilihat
Apalagi oleh orang yang tidak dikenalnya seperti nenek
itu.
Wuttt..!
Sambaran jari-jari tangan perempuan tua itu luput
dari sasaran. Tapi, itu bukan berarti usahanya berhen-
ti sampai di situ. Tangan nenek itu terus bergerak
mengejar tubuh lawan. Tujuannya tetap gagang pe-
dang yang tersembul dari balik punggung lelaki berpa-
kaian serba hitam.
Ketika beberapa kali mengelak, ternyata lengan itu
masih terus mengejar. Si Pedang Iblis kelihatan sangat
jengkel. Maka, ketika dirinya menghindar dan tangan
itu tetap mengejar, lelaki itu tidak berusaha lagi untuk
menghindar. Malah sengaja menunggu tangan nenek
itu tiba. Dan....
Wuttt..!
Dengan kecepatan yang sangat mengagumkan, Si
Pedang Iblis mencabut keluar senjatanya yang lang-
sung berputar menyambar tangan nenek itu pada ba-
gian sambungan sikunya.
“Aiiih...!”
Nenek itu terpekik kaget Cepat tangannya ditarik
pulang, dan terus melompat jauh ke belakang. Karena
sinar aneh yang keluar dari badan pedang lawan
membuat hatinya guncang. Untunglah nenek itu ber-
tindak cepat Jika tidak, bukan mustahil lengannya te-
lah terbabat putus oleh pedang lelaki itu.
“Pedang Iblis Jantan...?!”
Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut
Nila dan gurunya. Pantas nenek itu bersikeras hendak
merebut pedang di punggung lelaki berpakaian serba
hitam. Rupanya, meski hanya melihat gagangnya, ne-
nek itu tahu senjata yang dibawa orang itu adalah Pe-
dang Iblis Jantan. Hal itu tentu tidak aneh. Sebab, nenek itu memiliki pedang yang serupa dengan milik le-
laki berpakaian serba hitam.
Pedang Iblis tersurut mundur ketika mendengar ke-
dua orang itu mengenali senjata kebanggaannya. Se-
pasang matanya bergerak liar penuh nafsu membu-
nuh. Lelaki itu tidak ingin mereka merebut senjatanya.
Nenek bertubuh jangkung rupanya mengetahui ge-
lagat itu. Cepat ia memerintahkan muridnya untuk se-
gera mengeluarkan Pedang Iblis Betina yang tergan-
tung di pinggang gadis itu.
Nila pun tahu maksud isyarat gurunya, maka tanpa
banyak cakap lagi, senjata itu langsung dicabut keluar
dari sarungnya.
Srattt….!
Secercah sinar aneh yang menimbulkan hawa maut
mengerikan berpendar seiring tercabutnya Pedang Iblis
Betina dari pinggang gadis cantik itu. Sehingga....
“Pedang Iblis Betina...?!” seru sosok berpakaian ser-
ba hitam tidak kalah terkejut dengan mereka berdua
ketika melihat pedang di tangannya tadi. Kini ia baru
mengerti, mengapa nenek itu mengenali senjatanya
meski hanya melihat gagangnya saja.
Anehnya, Nila dan lelaki berpakaian serba hitam
sama melangkah maju, ketika kedua pedang keramat
itu tergenggam di tangan masing-masing. Keduanya
seperti tidak sadar akan perbuatan mereka. Sedang-
kan nenek itu tertawa berkakakan seperti orang kema-
sukan setan. Tidak ada kekhawatiran sedikit pun mu-
ridnya akan bertarung dengan pemegang Pedang Iblis
Jantan. Tampaknya, nenek itu telah menduga kelanju-
tan peristiwa itu.
Sementara Nila maupun lelaki itu terus bergerak
maju dengan pandangan lurus ke depan. Setelah jarak
antara mereka tinggal beberapa langkah lagi keduanya
berhenti. Kemudian, sama-sama mengangkat pedang-
nya ke atas. Dan...!
Trang...!
Sepasang Pedang Iblis saling berbenturan, untuk
kemudian melekat satu sama lain seolah menyatu. Se-
dangkan pemegang senjata itu masih terus berpan-
dangan. Kemudian, tangan kiri masing-masing terulur
dan bersentuhan sedikit demi sedikit Lalu, bagai dita-
rik kekuatan yang tak tampak mereka saling berpelu-
kan erat Entah siapa yang memulai lebih dulu. Yang
jelas kedua orang itu sudah berangkulan dengan ke-
tatnya.
Cukup lama dua orang muda itu saling rangkul.
Beberapa saat kemudian, senjata keduanya turun se-
cara perlahan-lahan. Lalu, tanpa malu-malu lagi mere-
ka bercumbu di depan mata nenek bertubuh jangkung
yang masih memperdengarkan tawa yang melengking
tinggi. Agaknya, nenek itu memang tidak ingin mence-
gah apa yang dilakukan muridnya dengan lelaki ber-
pakaian serba hitam. Malah ia menyaksikan dengan
mata tak berkedip.
“Bagus..., bagus! Kini, baik Sepasang Pedang Iblis
maupun pemiliknya sudah bersatu...,” ujar nenek itu
ketika melihat tubuh muridnya dan lelaki berpakaian
serba hitam sudah melepaskan rangkulan masing-
masing. Keduanya tergeletak lemas dengan peluh yang
membasahi pakaian mereka.
Tidak berapa lama kemudian, Nila dan si Pedang Ib-
lis bangkit dengan wajah cerah. Setelah saling tatap
dengan sinar mata penuh kemesraan, mereka meraih
senjata masing-masing yang tergeletak di tanah be-
rumput Lalu saling mengangsurkan pedang. Seperti te-
lah mendapat kata sepakat, mereka menukar senjata
miliknya.
“Hih hih hih...! Sekarang kalian telah resmi menjadi
suami istri. Pedang Iblis telah menyatukan pemiliknya.
Dan, mulai sekarang kalian kuberi julukan Sepasang
Pedang Iblis...!” ujar nenek yang rupanya telah menge-
tahui sejarah Pedang Iblis.
Pada awalnya Pedang Iblis adalah milik sepasang
suami istri kalangan sesat Itu sebabnya, mengapa Nila
dan lelaki berpakaian serba hitam langsung melaku-
kan perbuatan yang hanya patut dilakukan sepasang
suami istri. Rupanya, kekuatan gaib dalam pedang
yang telah menyatukan mereka berdua.
“Celaka...!”
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat ketiga
orang itu terkejut, dan memalingkan wajah ke arah da-
tangnya suara.
“Bagus kau datang, Ki Sawung...,” desis nenek ber-
tubuh jangkung parau ketika mengenali orang yang
mengeluarkan suara.
Rupanya, peristiwa aneh yang baru terjadi membuat
ketiga orang itu lengah. Hingga tidak mengetahui keda-
tangan lelaki kurus berusia sekitar enam puluh tahun
yang tidak lain Ki Sawung, Ketua Perguruan Harimau
Sakti dan keturunan langsung pembuat Sepasang Pe-
dang Iblis.
“Nini Karundeng! Rupanya, kau yang menjadi biang
keladi semua ini! Ternyata dirimu semakin tua sema-
kin bertambah jahat dan licik,” geram Ki Sawung ma-
rah ketika mengenali wanita tua bertubuh jangkung.
“Heh heh heh...! Kini Sepasang Pedang Iblis telah
bersatu kembali. Dan, tugas pertamanya adalah mem-
bunuhmu, Ki Sawung! Sebab, kau satu-satunya ketu-
runan pembuat Sepasang Pedang Iblis yang masih hi-
dup!” desis Nini Karundeng dengan suara yang mendi-
rikan bulu roma. Kemudian, beralih pada sepasang
orang muda yang telah resmi menjadi penerus Sepa-
sang Pedang Iblis, “Lakukanlah tugas pertama kalian
sebaik-baiknya....”
Ki Sawung yang didampingi Kandala, pemuda ber-
wajah simpatik murid utamanya, langsung bergerak
surut ke belakang beberapa langkah. Mereka sadar
ucapan Nini Karundeng akan segera terbukti.
Srattt..!
Hampir bersamaan Ki Sawung dan Kandala melo-
loskan pedang dari warangkanya masing-masing. Ke-
mudian menyilangkan di depan dada, siap menghadapi
Sepasang Pedang Iblis.
Ketika gadis cantik dan lelaki berpakaian serba hi-
tam melangkah semakin dekat, wajah Ki Sawung
[pb]
tampak berubah. Keningnya berkerut dalam mena-
tap sosok lelaki berpakaian serba hitam yang meme-
gang Pedang Iblis Betina di tangan. Lelaki tua itu beru-
saha mengingat-ingat wajah pemuda yang berusia se-
kitar dua puluh sembilan tahun itu. Tapi, ia lupa-lupa
ingat di mana pernah melihatnya.
“Coba perhatikan lelaki berpakaian serba hitam itu,
Kandala. Rasanya aku pernah melihatnya. Apa kau
pernah berjumpa dengan pemuda itu sebelumnya...?”
bisik Ki Sawung ternyata tidak bisa mengingat di mana
pernah melihat pemuda itu.
Kandala yang juga seperti pernah berjumpa dengan
pemuda berpakaian serba hitam berusaha mengingat-
nya. Tapi, meskipun seluruh ingatannya dikerahkan,
tetap saja ia tidak bisa mengingat dengan baik di mana
pernah melihat pemuda itu. Akhirnya Kandala hanya
bisa menjawab dengan lemah disertai gelengan kepala
perlahan.
“Aku pun tidak dapat mengenalinya, Guru. Meski
pun aku yakin pernah melihatnya...,” jawab Kandala
sambil menatap wajah pemuda berpakaian serba hi-
tam.
Ki Sawung menghela napas panjang. Meskipun ia
tidak ingat di mana dan kapan pernah melihat pemuda
itu, tapi ia yakin sosok pemuda berpakaian serba hi-
tam tidak asing baginya.
Sementara itu, Sepasang Pedang Iblis telah meng-
hentikan langkah dalam jarak kurang lebih satu tom-
bak dari guru dan murid itu. Kemudian, kedua Pedang
Iblis disatukan hingga memperdengarkan suara ber-
denting cukup nyaring.
“Aaah...?!”
Akibatnya sungguh hebat sekali. Ki Sawung dan
Kandala tergetar mundur dengan wajah pucat Sebab,
dari badan pedang yang disatukan itu muncul sinar
berkilau yang membuat dada mereka terasa sesak.
Agaknya, kekhawatiran yang selama ini dirasakan Ki
Sawung akan terwujud. Sepasang Pedang Iblis benar-
benar menunjukkan keampuhannya yang berlipat
ganda bila telah bersatu. Baru hawanya saja sudah
membuat tubuh mereka bergetar. Entah apa jadinya
bila senjata itu digunakan untuk menyerang mereka.
“Hati-hati, Kandala. Usahakan untuk tidak selalu
memandang sinar yang keluar dari badan pedang me-
reka. Selain dapat membuyarkan pemusatan pikiran
kita, sinar itu juga mengandung kekuatan sihir. Sinar-
nya mampu membuat tubuh lawan tidak bergerak saat
senjata berkelebat hendak merenggut nyawa korban-
nya...,” bisik Ki Sawung mengingatkan muridnya sebe-
lum mereka menghadapi pertempuran.
Kandala yang menyadari hal itu menganggukkan
kepala perlahan. Kemudian, memusatkan pikirannya
dengan kekuatan batin agar tidak mudah terpengaruh
sihir yang keluar dari tubuh Sepasang Pedang Iblis.
“Haiiit..!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya sudah tidak sabar
ingin segera menghirup darah mereka berdua. Diba-
rengi sebuah lengkingan panjang, tubuh keduanya me-
lesat ke depan. Satu menerjang Ki Sawung, sedang
yang satunya lagi menggempur Kandala.
Ki Sawung segera memejamkan mata dan. mengan-
dalkan indera pendengaran untuk menghadapi seran-
gan lelaki berpakaian serba hitam. Pedang di tangan-
nya diputar sedemikian rupa memainkan jurus ilmu
‘Pedang Harimau Mabuk’ yang merupakan ilmu pe-
dang turun-temurun dan tidak diragukan lagi keheba-
tannya.
Wuttt! Wuttt..!
Pedang yang tergenggam di tangan Ki Sawung pun
bukan senjata sembarangan. Pedang itu merupakan
sebuah pusaka ampuh. Meski tidak sehebat Sepasang
Pedang Iblis, tapi jarang orang yang memilikinya. Ka-
rena senjata itu merupakan lambang kebesaran Pergu-
ruan Harimau Sakti. Pedang itu selalu berpindah tan-
gan bila ketua lama wafat atau mengundurkan diri ka-
rena sudah terlalu tua. Itu sebabnya, mengapa Ki Sa-
wung tidak ragu untuk memapak! serangan lawan
dengan pedangnya. Sebab orang tua itu yakin akan
kekuatan pedangnya. Sebentar kemudian, kedua tokoh
itu telah bertarung sengit!
Dalam jurus-jurus awal kelihatan Ki Sawung dapat
mengimbangi permainan lawan. Karena orang tua itu
memiliki ilmu khusus yang telah diyakininya selama
bertahun-tahun. Ilmu itu memang dipersiapkan kakek
buyutnya bila sewaktu-waktu Sepasang Pedang Iblis
jatuh ke tangan orang jahat Jurus itu adalah gabun-
gan kekuatan lahir dan kekuatan batin. Dan merupakan bagian ilmu ‘Pedang Harimau Mabuk’. Sayang il-
mu itu belum diwariskan Ki Sawung pada Kandala.
Sebab menurutnya, murid utamanya itu belum cukup
kuat untuk menerima.
“Heaaat..!”
Ketika pertempuran, menginjak jurus kedua puluh,
terlihat lawan mulai melakukan tekanan-tekanan berat
dengan serangan bertubi-tubi. Seolah Ki Sawung tidak
diberi kesempatan untuk melancarkan serangan bala-
san. Sehingga, orang tua itu mulai terdesak hebat!
Ki Sawung mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk mempertahankan diri dari serangan gencar ba-
gai tak berkesudahan itu. Pedang di tangannya diputar
membentuk gulungan sinar yang bergerak turun naik
dengan suara mengaung tajam. Meski demikian, tetap
saja orang tua itu kecolongan sebuah tendangan lawan
saat menangkis tusukan pedang yang mengancam
tenggorokan.
Bukkk!
“Aaakh...!”
Ki Sawung terpental ke belakang sejauh satu seten-
gah tombak. Tendangan itu keras bukan main, sehing-
ga tubuh lelaki tua itu masih terus bergulingan satu
tombak lagi.
“Huakh...!”
Darah segar menyembur keluar ketika Ki Sawung
berusaha bangkit dengan bertelekan pedang. Wajah
orang tua itu nampak pucat Tendangan itu serasa
membuat isi perutnya rontok!
“Hattt..!”
Pedang Iblis Jantan kembali memekik hendak
menghabisi lawan yang sudah di ambang kematian.
Senjata di tangannya berkilau mengancam tenggoro-
kan lawan yang kelihatan sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menghindar.
“Yiaaat..!”
Tepat pada saat mata Pedang Iblis Jantan tinggal
satu jengkal lebih dari sasaran, tiba-tiba terdengar
lengkingan panjang yang menggetarkan isi dada. Ke-
mudian, disusul berkelebatnya sesosok bayangan pu-
tih yang langsung melontarkan pukulan jarak jauh
berhawa dingin menusuk tulang. Dan...
Breshhh...!”
Terdengar letupan keras menggetarkan udara di se-
kitar tempat itu. Tubuh lelaki berpakaian serba hitam
terjajar mundur. Pukulan jarak jauh itu membentur
pergelangan tangannya yang memegang pedang. Se-
hingga, Ki Sawung luput dari kematian.
“Keparat..!” umpatan itu keluar dari mulut lelaki
berpakaian serba hitam yang marah karena serangan-
nya gagal. Kemudian, kepalanya menoleh ke arah so-
sok berjubah putih yang berdiri tegak membelakangi
tubuh Ki Sawung.
“Kau...?!” desis lelaki berpakaian serba hitam yang
kini menyandang julukan Pedang Iblis Jantan. Lelaki
muda itu kelihatan agak terkejut dan gentar. Sebab,
dirinya pernah bertarung dan nyaris tewas di tangan
pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Pende-
kar Naga Putih.
“Ya, aku...,” sahut Panji tenang. Pemuda itu diam-
diam merasa bersyukur kedatangannya pada saat yang
tepat Sedikit saja terlambat, mungkin ia tidak berhasil
menyelamatkan nyawa Ketua Perguruan Harimau Sak-
ti.
“Hm.... Kali ini jangan harap kau dapat menundu-
kanku!” geram Pedang Iblis Jantan sambil menyilang-
kan senjatanya di depan dada. Kemudian diputarnya
hingga menimbulkan suara mengaung tajam.
“Haaat..!”
Seiring dengan suara bentakan nyaring, Pedang Ib-
lis Jantan meluruk ke arah Panji dengan serangan
yang jauh lebih dahsyat dan mengerikan!
Wuttt..!
Cepat Pendekar Naga Putih menarik mundur tu-
buhnya. Kemudian balas menyerang dengan jurus ‘Il-
mu Silat Naga Sakti’. Sebentar kemudian, kedua tokoh
muda itu telah saling terjang dengan hebatnya. Se-
hingga, suasana di arena pertempuran jadi agak gelap.
Karena angin pukulan mereka menggugurkan dedau-
nan dan memecahkan bebatuan. Dapat dibayangkan
betapa mengerikan pertarungan maut itu. Hingga Ki
Sawung harus menyeret langkah menjauhi arena per-
tarungan yang membuat dadanya terasa sesak.
***
DELAPAN
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung anta-
ra Pedang Iblis Betina dan Kandala, murid andalan
Perguruan Harimau Sakti, berlangsung tidak seim-
bang. Nila yang kekuatan dan kehebatannya semakin
meningkat berkat Pedang Iblis Jantan yang diguna-
kannya, mendesak Kandala sejak dari jurus pertama.
Hingga, pemuda gagah itu harus berusaha sekuat te-
naga untuk menyelamatkan diri dari setiap incaran
ujung pedang lawan yang memang sangat hebat Ber-
kali-kali pemuda itu melempar tubuhnya bergulingan
untuk menyelamatkan selembar nyawanya dari inca-
ran maut Sampai sejauh itu Kandala masih dapat me-
nyelamatkan diri meski dengan sudah payah.
“Haiiit..!”
Untuk yang kesekian kalinya, Nila kembali melan-
carkan serangan dengan teriakan yang mengguncang-
kan jantung. Sinar pedangnya yang mengandung ke-
kuatan sihir berkelebat mengancam tenggorokan la-
wan. Sungguh kasihan pemuda gagah itu. Tenaganya
benar-benar dikuras untuk menyelamatkan diri dari
kejaran maut!
Tusukan pedang yang meluncur datang laksana
sambaran kilat, membuat Kandala harus melempar
tubuhnya jauh ke belakang. Kemudian terus bergulin-
gan, dan baru melenting bangkit setelah yakin dirinya
berada cukup jauh dari incaran ujung pedang lawan.
Tapi kendati demikian, Nila yang tak ubahnya iblis
betina haus darah tidak mau membiarkan lawan sem-
pat menarik napas. Tubuhnya yang ramping padat
kembali melesat mengejar lawan. Pedang di tangannya
berputaran menimbulkan suara berdengung menya-
kitkan telinga.
“Heaaah...!”
Pemuda itu memekik sekuat-kuatnya untuk mele-
nyapkan pengaruh yang serasa memecah gendang te-
linga. Dan, pengerahan tenaga dalam itu membuatnya
lengah. Sehingga, Kandala hanya bisa membelalakkan
mata saat ujung pedang lawan meluncur semakin de-
ras!
Trang!
Bunga api berpijar disertai suara berdentang nyar-
ing yang menulikan telinga. Rupanya, pada saat yang
gawat itu seberkas cahaya putih keperakan datang
menyambut luncuran pedang Nila. Akibatnya, baik tu-
buh gadis cantik berpakaian serba merah maupun
pemilik pedang bersinar putih keperakan terpental ke
belakang. Kenyataan itu menunjukkan kekuatan mereka berimbang!
“Keparat! Manusia bosan hidup dari mana berani
mencampuri urusan Pedang Iblis Betina...?!” geram Ni-
la yang sudah memperbaiki kedudukannya dari daya
dorong yang amat kuat itu. Sepasang mata gadis can-
tik itu tampak liar dengan nafsu membunuh yang
mengerikan.
“Menyingkirlah, Kisanak. Biar aku yang menghada-
pi iblis betina ini...,” ujar sosok berpakaian serba hijau
pada Kandala yang hanya bisa menganggukkan kepala
dan menggeser tubuhnya ke tepi arena. Rupanya pe-
muda itu masih belum bisa mengeluarkan suara. Ha-
tinya masih bergetar mengingat dirinya hampir tewas
oleh ujung Pedang Iblis Jantan di tangan gadis cantik
berpakaian serba merah itu.
Sosok ramping berpakaian serba hijau itu adalah
Kenanga. Seperti halnya Panji, kedatangan gadis itu
memang sangat tepat waktunya. Sehingga, Kandala lo-
los dari ancaman maut.
Kedua wanita yang sama-sama cantik dan mempe-
sona itu saling berhadapan dalam jarak dua tombak
dengan sorot mata tajam. Meskipun akhirnya Kenanga
harus mengalah dan membuang pandangannya ke
arah lain. Dara jelita itu tak sanggup menentang pan-
dang mata Nila yang demikian tajam menusuk jan-
tung. Bahkan, Kenanga merasakan ada semacam ken-
gerian ketika menentang pandang mata yang tak
ubahnya mata iblis itu.
“Gila! Perempuan itu seperti bukan manusia! Ma-
tanya demikian tajam hingga membuat jantungku ber-
debar...,” desis Kenanga tanpa mengurangi kewaspa-
daannya. Gadis itu sadar lawan yang kali ini dihada-
pinya tidak bisa dipandang remeh. Terlebih dengan
adanya Pedang Iblis dalam genggaman wanita itu. Maka, dara jelita itu akan bersikap lebih hati-hati untuk
menghadapi lawan yang satu ini.
“Hmh...!” Nila mendengus kasar bagai banteng luka.
Pedang Iblis Jantan yang tergenggam di tangannya di-
putar menyelimuti sekujur tubuhnya. Seolah gadis
cantik itu hendak membentengi dirinya dengan kekua-
tan yang bersemayam di dalam badan pedang itu.
Melihat lawan sudah membuka jurus, Kenanga
menggeser langkahnya ke kanan beberapa tindak. Pe-
dang Sinar Rembulan yang tergenggam erat di tangan-
nya membuat hati dara jelita itu bertambah mantap.
Gadis itu yakin pedang di tangannya tidak kalah am-
puh dengan Pedang Iblis Jantan. Hanya Pedang Sinar
Rembulan tidak memiliki kekuatan jahat di dalamnya.
Meski demikian, kekuatannya tidak diragukan lagi.
“Aaat..!”
Nila langsung membuka serangan dengan teriakan
melengking tinggi yang menggetarkan tempat itu. Dis-
usul lesatan tubuhnya yang cepat laksana sambaran
kilat Pedang Iblis Jantan di tangan kanannya bergerak
bagai seekor ular yang meliuk-liuk, dengan pendaran
sinar yang membuat dada Kenanga berdebar tegang
dan gelisah..
“Hm....”
Untuk melenyapkan keresahan di dalam hatinya,
Kenanga memutar pedangnya dengan sekuat tenaga.
Sehingga, pancaran sinar putih keperakan bergulung-
gulung menyelimuti tubuh dara jelita itu. Kemudian,
langsung bergerak dengan kecepatan yang mengagum-
kan menyambut serangan pedang lawan!
Trang! Trang!
Terdengar benturan keras berturut-turut ketika
senjata mereka bertemu di udara. Percikan bunga api
menandai kerasnya benturan yang terjadi. Bahkan,
tubuh kedua gadis itu terdorong ke belakang sejauh
satu tombak.
“Haaat..!”
“Hiaaat..!”
Kembali keduanya saling gempur dengan menggu-
nakan jurus-jurus andalan yang sama cepat dan he-
batnya. Sehingga, pertarungan berlangsung semakin
seru dan mendebarkan.
***
Pada saat yang bersamaan, Panji tengah berusaha
keras untuk mengimbangi permainan lawan. Lelaki
berpakaian serba hitam yang berjuluk Pedang Iblis Be-
tina tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada
lawan untuk menarik napas. Senjata maut di tangan-
nya selalu mengarah ke bagian-bagian terlemah di tu-
buh Panji. Terlebih tenggorokan pemuda itu yang sela-
lu menjadi incaran utama. Memang sudah menjadi ciri
pemegang Sepasang Pedang Iblis. Seolah senjata ke-
ramat berhawa jahat itu hendak menghirup darah kor-
bannya melalui urat besar di tenggorokan.
Meskipun telah menggunakan ilmu ‘Silat Naga Sak-
ti’ ternyata Pendekar Naga Putih masih kerepotan
mengatasi serangan lawan. Sehingga, pemuda itu lebih
banyak menghindar daripada membalas serangan la-
wan. Akibatnya, gerakan itu membuatnya terdesak.
“Haaat..!”
Untuk kesekian kalinya dalam jurus yang kesembi-
lan puluh, si Pedang Iblis Betina kembali mengelua-
rkan pekikan yang merontokkan jantung. Pedang di
tangannya bergulung-gulung seolah hendak menekan
gerak langkah Panji. Sehingga, pendekar muda itu ha-
rus mengerahkan seluruh kelincahan dan kekuatan
nya untuk menyelamatkan diri.
Crakkk!
Sebatang pohon sepelukan orang dewasa yang be-
rada di sebelah kanan Panji langsung putus terpapas
Pedang Iblis Betina. Sedangkan Panji sudah melesat ke
udara sambil melepaskan sebuah tendangan yang
mengancam punggung lawan.
Bukkk!
Meskipun tendangan itu tidak terlalu kuat, namun
sempat membuat tubuh lawan terjerembab hampir
mencium tanah. Untunglah kuda-kuda Pedang Iblis
Betina cukup kokoh, sehingga tokoh sesat itu dapat
berbalik dan menyabetkan pedangnya dengan gerakan
berputar ke belakang.
Plakkk!
Karena tubuhnya masih berada di udara, Pendekar
Naga Putih tidak mungkin mengelakkan serangan
maut itu. Maka tangannya segera digerakkan untuk
menepis telapak tangan lawan. Kemudian tubuhnya
berputaran dan meluncur turun dengan manis.
“Grrrrg...!”
Pedang Iblis Betina kelihatan semakin murka ketika
merasakan tepisan tangan lawan yang sempat mem-
buat serangannya melenceng dari sasaran. Sepasang
mata lelaki berpakaian serba hitam itu menyorot tajam
dengan nafsu membunuh yang menggelegak. Jelas, ia
sangat penasaran melihat keuletan dan kehebatan
Pendekar Naga Putih.
Nini Karundeng yang menyaksikan pertarungan itu
dari tempat yang agak tersembunyi jadi tidak sabar.
Bahkan, kekhawatirannya timbul ketika melihat kehe-
batan Panji dan Kenanga. Maka, segera diperintah-
kannya Sepasang Pedang Iblis untuk bersatu melalui
ilmu ‘Mengirim Suara dari Jauh’.
Nila yang mendapat bisikan dari gurunya baru sa-
dar akan hal itu. Maka, serangannya makin diperhebat
hingga memaksa Kenanga harus bermain mundur.
“Yiaaah...!”
Ketika Kenanga melompat jauh ke belakang untuk
menghindari tusukan pedang lawan, Nila melejit ber-
jungkir balik di udara, dan mendarat di arena perta-
rungan Pendekar Naga Putih yang tengah berhadapan
dengan Pedang Iblis Betina. Begitu memasuki arena,
gadis itu langsung melancarkan serangan ke arah
Pendekar Naga Putih. Sehingga, pemuda itu terkejut
dan melompat ke belakang menghindari serangan ge-
lap itu.
Lelaki berpakaian serba hitam rupanya sudah men-
dapat bisikan Nini Karundeng. Terbukti, kakinya lang-
sung melangkah mundur mengikuti gerak langkah pa-
sangannya. Kemudian, kedua pedang mereka diben-
turkan.
“Aaah...?!”
Panji terpekik kaget ketika benturan Sepasang Pe-
dang Iblis terasa bagai ledakan petir. Bahkan pancaran
sinar pedang itu membuatnya tidak bisa melihat mere-
ka, kecuali pancaran sinar berhawa aneh yang mem-
buat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Ada
rasa kengerian menyergap perasaan pendekar muda
itu hingga Panji terkejut!
“Celaka! Rupanya, bila sepasang senjata itu bersa-
tu, kehebatan dan pengaruh yang ditimbulkannya se-
makin mengerikan! Entah bagaimana aku harus me-
lumpuhkannya...?” desis Panji dengan dada berdebar
tegang.
Melihat kekasihnya seperti terpengaruh oleh kekua-
tan jahat Sepasang Pedang Iblis, Kenanga menjadi ce-
mas. Cepat gadis itu melesat menghampari, dan meluncur turun di samping Panji.
“Kakang...,” panggil Kenanga seraya menyentuh tu-
buh kekasihnya. Tampaknya, dara jelita itu khawatir
Panji akan kehilangan kesadarannya karena pengaruh
sihir Sepasang Pedang Iblis.
“Kenanga...,” desis Panji dengan suara kering,
membuat dara jelita itu terkejut Kenanga menangkap
ada nada kegentaran dalam suara kekasihnya.
“Kau..., merasa gentar menghadapi mereka, Ka-
kang...?” tanya dara jelita itu.
“Tidak, Kenanga. Biarpun harus mati di tangan me-
reka, aku tidak akan pernah gentar. Tapi, perasaan itu
muncul begitu saja tanpa dapat ku cegah. Perasaan ini
timbul karena pengaruh Sepasang Pedang Iblis yang
memiliki kekuatan aneh...,” sahut Panji yang membuat
Kenanga mengangguk maklum. Gadis itu pun merasa-
kan hal yang sama saat berhadapan dan menatap si-
nar pedang gadis berpakaian serba merah.
“Aku pun sempat merasakannya, Kakang. Pedang di
tangan mereka benar-benar luar biasa, sanggup mem-
bangkitkan rasa gentar tanpa kita mampu mencegah-
nya...,” gumam Kenanga membuat Panji semakin yakin
perasaan itu muncul karena Sepasang Pedang Iblis
yang membangkitkannya. Tentu saja perasaan itu da-
pat memecah permusuhan pikiran lawan. Sehingga,
serangan-serangan lawan jadi kacau dan tak terarah.
“Kakang, Pedang Pusaka Naga Langit..,” tiba-tiba
Kenanga mengingatkan kekasihnya akan pedang muk-
jizat yang kini menyatu dalam tubuh Pendekar Naga
Putih. Bahkan, berubah menjadi suatu kekuatan hebat
berhawa panas membakar.
“Ah. Kau benar. Kenanga. Mungkin hanya pusaka
mukjizat itu yang sanggup meredam kekuatan iblis da-
lam tubuh Sepasang Pedang Iblis...,” ujar Panji baru
teringat akan pusaka yang dimilikinya. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, pemuda itu segera menyatu-
kan kekuatan batinnya dengan Pedang Naga Langit
Sesaat kemudian, Panji mengangkat tangan kanan-
nya tinggi-tinggi diiringi bentakan yang mengguntur!
“Pedang Naga Langit..!”
Hebat sekali akibat bentakan yang keluar dari mu-
lut pemuda itu. Pepohonan berderak ribut Angin keras
bertiup merontokkan dedaunan. Dan, ledakan petir
sambung-menyambung di angkasa, bersamaan dengan
terciptanya sebilah pedang yang berukuran lebih besar
dan lebih panjang dari pedang-pedang biasa. Cahaya
kuning keemasan berpendar menyilaukan mata, dan
hawa panas yang menyengat membuat dedaunan
mendadak layu!
Kenanga sendiri jatuh terduduk lemas akibat ben-
takan dahsyat itu. Untunglah dara jelita itu memiliki
tenaga dalam kuat, dan telah memperoleh dasar-dasar
ilmu ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang diajarkan ke-
kasihnya. Sehingga, bentakan itu hanya membuat ke-
dua lututnya lemas tanpa mempengaruhi isi dadanya.
Nini Karundeng kelihatan pucat Tubuhnya ter-
huyung mundur sejauh setengah tombak. Nenek itu
tampak terkejut sekali ketika mendengar bentakan
mengguntur Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya
membelalak hampir melompat keluar melihat sebilah
pedang bersinar kuning keemasan di tangan kanan
pendekar muda itu.
“Gila! Apakah pemuda setan itu memiliki kekuatan
sihir tinggi? Kalau tidak, bagaimana ia bisa mencipta-
kan sebilah pedang yang demikian hebatnya...?” desis
Nini Karundeng semakin gentar pada Pendekar Naga
Putih. Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian yang
sukar diukur. Bahkan, banyak memiliki ilmu-ilmu
langka yang tidak ada duanya.
Demikian pula dengan Sepasang Pedang Iblis. Ke-
duanya terjajar mundur meski hanya dua langkah.
Dada mereka sempat terguncang oleh bentakan meng-
guntur itu. Kendati demikian, kegarangan di wajah
mereka tidak juga pudar. Sosok Sepasang Pedang Iblis
tetap sanggup membuat nyali lawan ciut!
Setelah Pedang Naga Langit tergenggam di tangan-
nya, perlahan-lahan Panji mulai merasakan perubahan
dalam dirinya. Rasa gentar yang semula menguasai ha-
tinya perlahan lenyap. Pemuda itu semakin yakin akan
dapat mengalahkan Sepasang Pedang Iblis yang me-
mang sangat tangguh dan berbahaya.
“Hm....”
Disertai sebuah geraman lirih, Pendekar Naga Putih
memutar pedang di tangannya dengan sepenuh tena-
ga. Deruan angin keras berputaran membentuk gelom-
bang sinar kuning keemasan yang bergulung-gulung
dengan hebatnya.
“Heaaa...!”
Sepasang Pedang Iblis rupanya tidak terpengaruh
oleh kemunculan Pedang Naga Langit Mereka menyer-
bu dengan teriakan yang memekakkan telinga.
Bettt! Bettt!
Sepasang Pedang Iblis yang memancarkan hawa,
gaib itu tidak lagi dirasakan Panji. Agaknya, pancaran
cahaya gaib Pedang Naga Langit mampu meredam ke-
kuatan sihir Pedang Iblis. Sehingga, ketika sepasang
pedang lawan tiba, pemuda itu hanya menggeser tu-
buhnya ke samping. Kemudian balas menyerang den-
gan sambaran pedangnya!
Bettt..!
Bukan main terkejutnya Sepasang Pedang Iblis ke-
tika merasakan serangkum angin panas mengiringi
sambaran pedang Pendekar Naga Putih. Cepat kedua-
nya melompat mundur.
“Heaaa...!”
Panji tidak menghentikan serangannya sampai di si-
tu. Pemuda itu menerjang maju disertai sambaran pe-
dang yang mengaung tajam. Sehingga, kedua lawannya
terpaksa mengangkat senjata untuk memapak samba-
ran pedangnya. Dan....
Trakkk!
“Aaakh...!”
Sepasang Pedang Iblis memekik kaget melihat sen-
jata mereka melekat ketat tidak bisa ditarik pulang.
Bahkan, keduanya merasakan kekuatan menghisap
yang sangat kuat dari pedang lawan.
Pendekar Naga Putih sendiri sempat kaget melihat
pedangnya melekat erat dengan Sepasang Pedang Iblis.
Ketika merasakan ada daya hisap yang luar biasa dari
tubuh pedangnya, Panji pun mengerti kekuatan jahat
yang ada dalam Sepasang Pedang Iblis tengah dimus-
nahkan Pedang Naga Langit Sampai akhirnya....
Krakkkh...!
“Aaa...!
Bersamaan dengan hancurnya Sepasang Pedang Ib-
lis menjadi abu, kedua majikannya meraung setinggi
langit Kemudian terjerembab ke belakang seraya me-
muntahkan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat,
keduanya pun menghembuskan napas terakhir.
Ki Sawung, Kandala, dan Kenanga baru melangkah
mendekat setelah melihat Panji berdiri tegak di dekat
mayat lawan-lawannya. Mereka menarik napas lega ke-
tika mengetahui Sepasang Pedang Iblis telah musnah
bersama majikannya yang tewas.
“Ahhh...?! Aku ingat sekarang, Guru!” seru Kandala
membuat Ki Sawung, Kenanga, dan Panji menoleh kearahnya, “Pemuda ini adalah Sarpala yang bertugas
membersihkan bagian dalam bangunan induk!”
Ki Sawung yang memang jarang bertemu muka
dengan murid-murid dan pembantunya, teringat sa-
mar-samar pada pemuda bertubuh tegap yang menjadi
pembantu di perguruannya. Rupanya, pemuda itu ma-
suk ke dalam perguruannya dengan suatu maksud ja-
hat Terbayang dalam ingatan Ki Sawung, saat ia me-
nemukan Sarpala yang dalam keadaan terluka. Lelaki
tua itu menolongnya dengan mempekerjakan pemuda
itu di perguruannya. Ternyata semua itu hanya akal li-
cik Sarpala, yang kemungkinan besar murid Sepasang
Pedang Iblis terdahulu, semasa kakek dari kakek
buyutnya. Tapi kini semua itu sudah berakhir, dan ia
merasa lega.
Guru dan murid itu tampak tercenung menatap wa-
jah kedua sosok mayat yang menggeletak di depannya.
Sehingga, mereka tidak sadar Pendekar Naga Putih
dan kekasihnya telah pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah pasangan pendekar muda itu lenyap entah ke
mana, baru mereka mencari-cari.
“Hm.... Pendekar Naga Putih memang seorang tokoh
berhati mulia yang patut dijadikan contoh. Pemuda itu
tidak mengharapkan balasan di balik pertolongannya,
meskipun hanya ucapan terima kasih...,” gumam Ki
Sawung semakin bertambah kagum dengan pendekar
muda yang perkasa itu.
“Ke mana perginya nenek tua yang bernama Nini
Karundeng, Guru?” tanya Kandala teringat akan nenek
bertubuh jangkung yang tidak kelihatan batang hi-
dungnya.
“Hm.... Kurasa perempuan tua licik itu telah mela-
rikan diri setelah melihat Sepasang Pedang Iblis tewas
di tangan Pendekar Naga Putih. Aku yakin nenek itu
tidak akan berani muncul lagi Sebab, Sepasang Pedang
Iblis telah musnah menjadi debu. Sudahlah, sebaiknya
kita tinggalkan tempat ini...,” ajak Ki Sawung segera
melangkah meninggalkan tempat itu diikuti Kandala di sampingnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar