MISTERI SELENDANG BIRU
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Misteri Selendang Biru
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Angin pagi bersilir lembut, membawa hawa dingin
yang menggigilkan tubuh. Tampak lapisan kabut ma-
sih menyelimuti sekeliling Hutan Welang. Dan hawa
yang memang sudah dingin itu semakin bertambah
dingin. Jarak pandang pun, tak lebih dari satu seten-
gah tombak. Selebihnya kabur karena lapisan kabut.
Keadaan itu tentu saja bisa mendatangkan bahaya ba-
gi orang yang melintas di dalam hutan itu. Rasanya
hanya orang gila saja yang mau berjalan dalam suasa-
na seperti itu.
Tapi, siapa sangka kalau dalam cuaca seperti itu,
masih saja ada sosok-sosok tubuh yang berani melin-
tasi daerah Hutan Welang. Tampak tiga sosok tubuh
samar-samar bergerak perlahan menerobos semak be-
lukar dan masuk ke dalam hutan.
“Tuan..., saya mau dibawa ke mana...?” ujar seo-
rang di antara ketiga sosok itu menghentikan langkah,
dan bertanya dengan suara memelas, mengandung
isak tertahan.
“Jangan cerewet!” pertanyaan yang diajukan dengan
suara memelas dan mengandung keputusasaan itu,
ternyata mendapat sambutan yang tidak ramah. Bah-
kan disertai pula dengan sentakan keras, yang
membuat tubuh si penanya terjerunuk ke depan, dan
hampir tersungkur jatuh. Untunglah tangan sosok di
sebelahnya sempat menahan. Kalau tidak, pastilah so-
sok yang bertanya dengan suara memelas itu akan ter-
jatuh karena sentakan tadi sangat keras.
“Janganlah terlalu banyak bertanya, Nyai. Ikut saja
ke mana kami melangkah. Hal itu akan jauh lebih
baik, daripada kau selalu melontarkan pertanyaan
yang itu-itu saja...,” terdengar sosok ketiga menasehati
dengan nada menyiratkan kejengkelan hatinya.
Ditilik dari suaranya jelas sosok itu seorang lelaki.
Tapi, sosok bersuara memelas, yang ternyata seorang
wanita itu, rupanya tidak merasa takut sama sekali.
Kali ini ia malah semakin berani terhadap kedua sosok
lelaki tegap yang jelas-jelas membawanya secara paksa
itu. Terbukti sosok ramping itu tiba-tiba menghentikan
langkahnya, dan menyentakkan tangannya dengan ke-
ras.
“Kalian benar-benar manusia yang tidak mempu-
nyai perasaan! Sejak kemarin pagi kalian paksa aku
berjalan, tanpa istirahat sedikit pun! Sadarkah kalian,
kalau saat ini, aku tengah hamil muda? Atau kalian
sengaja mau membunuhku dengan cara seperti ini...!”
teriak sosok tubuh ramping itu dengan suara meleng-
king, pertanda hatinya marah dan jengkel.
“Keparat kau!” bentak sosok tegap berbahu lebar
yang sejak tadi memegang tangannya, sambil me-
lepaskan sebuah tamparan ke arah wajah wanita itu.
Plakkk!
“Ouggghhh...!”
Tamparan keras itu mendarat telak di wajah sasa-
rannya. Dan, tanpa ampun lagi, tubuh wanita malang
itu pun terjerembab mencium tanah!
“Binatang...! Mengapa kalian tidak bunuh saja aku!
Lebih baik aku mati daripada kalian siksa seperti
ini...!” pekik wanita itu dengan suara parau yang me-
ngandung isak. Dibiarkannya lelehan darah mengalir
di sela-sela bibir, yang pecah akibat tamparan keras di
wajahnya tadi.
“Hm..., sebenarnya aku merasa kasihan padamu,
Nyi Wintarsih. Tapi, kalau kau memang menginginkan
kematian, aku tentu saja tidak keberatan untuk mem
bantumu. Hhh..., sayang kalau bayi dalam kandu-
nganmu harus mati sebelum sempat melihat dunia
yang indah ini...,” desis lelaki berbahu lebar itu. Uca-
pannya seolah hendak mengingatkan wanita ber-nama
Wintarsih itu dengan bayi yang sedang di kandungnya.
“Ooohhh...!”
Rupanya Nyai Wintarsih menyadari kembali akan
keadaan dirinya, setelah lelaki berbahu lebar itu me-
nyebut-nyebut bayi dalam kandungannya. Hal itu ten-
tu saja semakin menambah kesedihan hati wanita ma-
lang itu, maka menangislah ia dengan suara pilu.
“Sebenarnya apa yang kalian inginkan terhadap di-
riku? Mengapa kalian tidak tinggalkan saja aku di
tempat ini?” terdengar rintihan Nyai Wintarsih di sela-
sela isak tangisnya.
Mendengar ucapan Nyai Wintarsih, kedua lelaki te-
gap itu saling bertukar pandang sejenak. Samar-samar
terlihat seringai iblis di wajah kedua lelaki itu. Bagai
telah mendapatkan pikiran serupa, tampak keduanya
mengangguk puas.
“Nyai. Sebenarnya kami tidak sampai hati melaku-
kan semua ini kepadamu. Dan, kami berjanji akan
membawamu ke tempat aman, asalkan kau mau melu-
luskan permintaan kami berdua...,” ucapan yang agak
lembut dan seperti menyimpan niat busuk itu terlontar
dari mulut lelaki tegap yang wajahnya terhias kumis
tebal. Kata-kata itu masih diiringi dengan kerlingan
mata liar yang menyapu sekujur wajah dan tubuh wa-
nita di depanya.
Nyai Wintarsih pun sadar akan bahaya yang men-
gancamnya. Terbukti wanita malang itu kelihatan mu-
lai gelisah. “Apa„. apa maksud kalian...?” tanya Nyai
Wintarsih dengan suara kering.
Tapi, kedua orang lelaki tegap itu tidak mem
pedulikan sama sekali ucapan Nyai Wintarsih. Mereka
lebih tertarik memperhatikan paha Nyai Wintarsih
yang mulus dan menantang yang terlihat ketika kain-
nya tersibak saat wanita itu bergerak bangkit.
Nyai Wintarsih pun sadar apa yang diinginkan ke-
dua orang lelaki tegap itu. Wanita cantik berkulit putih
yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, segera
membenahi kain yang dikenakannya. Kemudian berge-
rak mundur dengan wajah diliputi kecemasan.
“Hm....”
Terdengar suara bergumam yang diiringi dengus
napas memburu. Dan, seperti orang yang kerasukan
setan, kedua lelaki tegap itu bergerak cepat menang-
kap kedua tangan Nyai Wintarsih. Dan wanita malang
itu pun tidak dapat menghindar lagi.
“Lepaskan...! Lepaskan...! Binatang kalian...!” Nyai
Wintarsih berteriak sambil meronta-ronta. Tapi, kedua
orang lelaki tegap itu tidak mau sama sekali mele-
paskan lengan wanita itu dari cekalannya.
“Hm..., kau menyingkirlah dulu, Adi. Biar aku yang
akan menundukkan wanita ini lebih dulu...,” ujar lela-
ki tegap berbahu lebar, yang berusia sekitar tiga puluh
tahun. Lelaki berkumis tebal itu langsung menerkam
tubuh Nyai Wintarsih dengan buas. Sedang lelaki yang
satunya lagi telah bergerak menyingkir sambil tertawa
tergelak-gelak.
Apalah daya bagi seorang wanita lemah seperti Nyai
Wintarsih. Lelaki tegap yang jelas jauh lebih kuat da-
rinya itu, segera saja melampiaskan nafsu binatang-
nya dengan leluasa. Hati lelaki berbahu lebar itu sama
sekali tidak tergerak, meskipun wanita di bawahnya
merintih dengan suara serak yang memilukan. Seperti-
nya, yang terpikir saat itu hanyalah bagaimana memu-
askan nafsu yang menggelora dalam dadanya.
Tidak lama kemudian, lelaki tegap berbahu lebar itu
bangkit dengan senyum puas di wajahnya. Sambil
mengenakan pakaiannya, ia bergerak meninggalkan
Nyai Wintarsih, yang tampak menggeletak dengan pa-
kaian tidak karuan. Lapat-lapat terdengar tangisan pi-
lu dari kerongkongan wanita malang itu.
“Giliranmu, Adi...,” ujar lelaki tegap berbahu lebar
itu kepada kawannya, yang memang sudah tidak sabar
menunggu giliran. Tanpa banyak cakap lagi, lelaki te-
gap berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu, segera
menerkam dan menggeluti tubuh Nyai Wintarsih, tan-
pa rasa kasihan sedikit pun.
Nyai Wintarsih hanya bisa merintih dan menangis
menerima perlakuan biadab dari kedua orang lelaki
itu. Wanita malang itu hanya bisa mengutuk dan me-
nyumpah dengan suara serak dan lemah. Karena ia
sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan.
***
“Heh heh heh..., rupanya pertunjukan menarik baru
saja usai. Sayang kedatanganku sedikit terlambat..,”
tiba-tiba saja terdengar suara kekeh parau yang meng-
getarkan jantung.
Lelaki tegap bertubuh jangkung, yang baru saja
menyelesaikan perbuatan terkutuknya itu, segera me-
lompat ke belakang. Dengan sigap ia bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan lelaki
berbahu lebar sudah meraba gagang pedangnya den-
gan wajah berubah. Jelas kedua lelaki biadab itu san-
gat terkejut. Mereka tidak menyangka kalau dalam hu-
tan yang sepi dan jauh dari pedesaan itu, masih ada
orang lain selain mereka bertiga.
“Hm...,siapa pun kau. Tunjukkan wujudmu kalau
memang mengaku seorang jantan...!” terdengar lelaki
tegap berbahu lebar itu membentak seraya menarik
senjata di pinggangnya. Jelas ia sadar kalau orang
yang mengeluarkan suara tawa terkekeh tadi tentu
berniat tidak baik.
Rupanya kedua orang lelaki tegap itu tidak perlu
menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian,
muncullah sesosok tubuh tinggi kurus sambil me-
megang sebatang tongkat kayu sepanjang satu tom-
bak. Sosok itu bergerak mendekati tubuh Nyai Wintar-
sih yang tergeletak pingsan.
“Haiii..., pantas kalian begitu terburu-buru me-
nikmatinya. Rupanya selain wanita ini berwajah can-
tik, juga memiliki kulit putih dengan bentuk tubuh
menggiurkan. Aaahhh..., kalian tidak salah... kalian ti-
dak salah...,” desis bibir yang tampak basah oleh air
liur itu sembari meraba dan mengelus tubuh Nyai Win-
tarsih yang tengah pingsan itu. Menilik dari gerak-
gerik serta sikapnya, dapat ditebak kalau sosok tinggi
kurus itu memiliki otak yang tidak normal.
“Siapa kau, Orang gila! Dan, apa yang kau kerjakan
di tempat ini...?” kembali lelaki tegap berbahu lebar itu
mengeluarkan bentakan keras. Rupanya ia sangat ter-
singgung dengan sosok bertubuh tinggi kurus itu, ka-
rena tidak mempedulikan keberadaan mereka berdua.
“Heh heh heh...! Seharusnya akulah yang bertanya
kepada kalian berdua. Karena Hutan Welang merupa-
kan daerah kekuasaanku. Dan, keberadaan kalian
berdua di tempat ini, jelas telah melanggar daerah ke-
kuasaanku. Tapi, kalian akan kubebaskan dari huku-
man, karena telah mengantarkan wanita cantik ini ke-
padaku. Sekarang pergilah, dan tinggalkan wanita Ini
untukku...,” sahut sosok tinggi kurus itu yang kembali
mengalihkan perhatiannya kepada Nyai Wintarsih.
Kemudian bersiap hendak mengangkat tubuh wanita
cantik itu untuk dibawanya pergi.
Tapi, kedua orang lelaki tegap yang semula mem-
bawa Nyai Wintarsih itu rupanya merasa keberatan.
Terbukti keduanya telah bergerak mengurung lelaki
bertubuh tinggi kurus itu dari kiri kanan. Di tangan
mereka sudah tergenggam pedang telanjang!
“Tidak semudah itu, Orang gila! Wanita itu tidak
akan kami biarkan hidup! Bisa-bisa ia menyusahkan
kami dikemudian hari nanti. Kalaupun kami harus
pergi, wanita itu harus mati terlebih dahulu!” ucapan
yang jelas-jelas menyiratkan kecemasan itu terlontar
dari mulut lelaki tegap jangkung, yang rupanya tidak
setuju dengan keinginan lelaki tinggi kurus itu.
“Keparat! Mengapa kalian begitu serakah? Aku su-
dah bermurah hati membiarkan kalian keluar dari Hu-
tan Welang dalam keadaan hidup! Tapi, kalian ternyata
semakin bertambah kurang ajar! Untuk itu, hukuman
kembali kuberlakukan, karena kalian sendiri yang
menginginkannya!” terdengar suara lelaki gila bertu-
buh tinggi kurus itu penuh dengan ancaman maut. Se-
telah berkata demikian, ia bergerak bangkit dengan
sepasang mata mencorong tajam.
“Huh! Jangan kau kira kami takut dengan gertak
sambalmu itu, Orang gila! Sebaiknya bersiaplah untuk
melayat ke akherat!” suara menggetar penuh kemara-
han itu, jelas berasal dari lelaki tegap berbahu lebar.
Sepertinya ia merasa tersinggung mendengar ancaman
lelaki tinggi kurus berotak miring itu.
“Hm..., sebaiknya segera saja kita habisi orang gila
itu, Kakang. Untuk apa meladeni ucapan-ucapannya.
..,” ujar lelaki tegap jangkung yang rupanya sudah hi-
lang kesabaran itu. Usai berkata demikian, tubuhnya
langsung melesat diiringi putaran pedangnya yang
menderu tajam!
“Yeaaattt...!”
Whuuuttt...!
Rupanya lelaki jangkung tegap itu bukan hanya be-
sar mulut saja. Menilik dari suara sambaran senja-
tanya, jelas ia memiliki kekuatan tenaga dalam yang
tidak rendah. Bahkan kecepatan geraknya pun mem-
buktikan bahwa lelaki yang jangkung tegap itu bukan-
lah tokoh rendahan. Sehingga, serangannya pun tentu
saja sangat berbahaya!
Tapi, lelaki tinggi kurus berotak miring itu, ternyata
bukan orang sembarangan! Meskipun gerak langkah-
nya terlihat aneh dan tidak beraturan, namun sera-
ngan lawan sangat mudah dihindarinya. Bahkan, ia
dapat melontarkan serangan balasan yang tidak kalah
cepat dan berbahaya daripada serangan lawan!
Beuuuttt..!
Tongkat kuning gading di tangan lelaki berotak mir-
ing itu meluncur deras, mengarah leher lawan. Dari
suara sambaran angin yang mencicit tajam, jelas tena-
ga sakti yang dimiliki sosok tinggi kurus itu sangat
tinggi. Kepandaiannya itu membuat lawannya tersen-
tak kaget!
“Aaaiiihhh...!?”
Lelaki jangkung tegap itu terkejut bukan main, ke-
tika ujung tongkat lawan nyaris menghajar batang le-
hernya. Untung ia masih sempat menghindar, meski-
pun dengan jalan melempar tubuh dan bergulingan di
atas rumput Lalu, bergerak bangkit setelah jaraknya
agak jauh dari lawan.
“Gila...!? Kepandaian lelaki berotak miring itu ter-
nyata hebat sekali, kakang Wantara...!” desis lelaki
jangkung tegap itu dengan wajah agak pucat dan na-
pas memburu. Tampaknya ia sangat terkejut dengan
kesaktian lawan, yang sama sekali tidak diduganya.
Lelaki gagah berbahu lebar yang dipanggil dengan
nama Wantara itu bukan tidak tahu dengan kejadian
yang baru saja dialami kawannya. Ia pun terkejut juga
menyaksikan kesaktian orang gila yang mengaku Pen-
guasa Hutan Welang itu.
“Siapa kau sebenarnya, Orang gila? Mengapa kau
hendak bermusuhan dengan kami?” tanya Wantara
dengan suara kering, karena lelaki berbahu lebar itu
belum dapat meredakan rasa kagetnya ketika menge-
tahui kesaktian lawan. Dari nada ucapannya ter sirat
nada kegentaran dan kecemasan.
“Hm..., kaulah yang lebih dulu membangkitkan ke-
marahan Ular Welang Tongkat Sakti! Dan, kemara-
hanku tidak dapat ditarik kembali, sebelum tongkatku
ini menghirup darah kalian berdua. Untuk itu, kalian
berdua harus mati!” tandas sosok tinggi kurus yang
mengaku berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti dengan
sorotan mata tajam menusuk jantung.
“Ahhh...!”
Mendengar nama Ular Welang Tongkat Sakti, Wan-
tara dan rekannya tersentak mundur, dan wajah me-
reka berubah pucat! Tentu saja sebagai orang-orang
yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, nama
itu sudah mereka kenal.
Di kalangan orang-orang golongan hitam, nama
Ular Welang Tongkat Sakti dikenal sebagai tokoh pun-
cak yang dapat disejajarkan dengan para datuk. Ka-
ruan saja kedua lelaki itu menjadi cemas ketika men-
getahui siapa sebenarnya sosok tinggi kurus berotak
miring yang tengah mereka hadapi itu. Hal itu mem-
buat mereka sadar kalau jalan untuk menyelamatkan
diri sudah tertutup sama sekali. Karena Ular Welang
Tongkat Sakti tidak akan berhenti sebelum korbannya
menggelepar tewas di ujung tongkatnya.
“Celaka kita, Adi...,” desis Wantara dengan suara
bisik bergetar. Tampak lelaki tegap berbahu lebar itu
merasa gentar setelah mengetahui lawan yang bakal
mereka hadapi.
“Tidak ada jalan lain, Kakang. Kita tidak mem-
punyai pilihan lain, kecuali menghadapi iblis gila itu
sampai titik darah terakhir. Sebab, sudah pasti ia ti-
dak akan melepaskan kita hidup-hidup,” sahut lelaki
tegap jangkung dengan suara bergetar penuh rasa ta-
kut. Kendati demikian, terlihat ia mencoba me-
nenangkan hatinya karena menyadari bahwa apapun
yang mereka katakan, tidak bakal dapat menye-
lamatkan nyawa mereka dari kematian. Dan, jalan sa-
tu-satunya hanyalah melawan mati-matian!
“Bersiaplah! Waktu kalian sudah habis...,” kembali
terdengar ucapan bernada dingin dari Ular Welang
Tongkat Sakti. Kata-kata itu merupakan peringatan
bahwa kematian akan segera menjemput mereka.
Dan....
“Heaaattt...!”
Dibarengi pekik mengguntur yang menggetarkan
jantung, tubuh tinggi kurus itu bergerak secepat kilat
ke arah Wantara dan kawannya.
Bweeettt...!
“Awaaasss...!”
Wantara cepat memperingati kawannya seraya me-
lesat mundur. Kemudian, ia bersalto ke udara. Setelah
berputar beberapa kali, barulah tubuh Wan-tara me-
luncur turun disertai kibasan pedangnya guna melin-
dungi diri dari serangan lawan.
Namun, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali ti-
dak mengejar Wantara. Justru kawannya yang menjadi
sasaran serangannya.
“Aiiihhh...!”
Lelaki tegap jangkung berusia dua puluh tujuh ta-
hun itu, tentu saja menjadi kelabakan menghadapi se-
rangan gencar Ular Welang Tongkat Sakti. Dalam dua
jurus saja keringat dingin sudah mengucur membasahi
pakaiannya. Ke mana pun ia mengelak, ujung tongkat
lawan selalu mengincar dengan suara bercicitan. Hing-
ga akhirnya....
“Shaaa...!”
Bukkk!
“Huakkkhhh...!”
Sebuah pukulan melintang mengarah ke iga lawan,
mendarat telak! Akibatnya, tubuh tegap yang jangkung
itu terbanting keras disertai darah segar muncrat dari
mulutnya! Sedangkan tongkat sosok tinggi kurus itu
kembali berkelebat, siap menghabisi nyawa lawan.
“Pergilah kau bersenang-senang ke akherat, Monyet
buduk!” desis Ular Welang Tongkat Sakti seraya meng-
ayunkan tongkatnya ke arah batok kepala lawan yang
sudah tidak berdaya itu!
“Adi...!”
Wantara tentu saja menjadi pucat menyaksikan
nyawa kawannya yang bagaikan telur di ujung tanduk
itu. Cepat ia berkelebat semampunya mencegah tong-
kat hitam yang siap mencabut nyawa rekannya itu.
“Tranggg...!
“Aaakkkhhh...!?”
Usaha yang dilakukan Wantara memang tidak sia-
sia. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, maka pedang
di tangannya pun berhasil membentur tongkat lawan.
Namun, tindakan itu menyebabkan lengan kanannya
menderita kelumpuhan sementara. Bahkan senjatanya
sendiri terlepas dan terpental entah ke mana. Hal itu
mencerminkan tenaga sakti Ular Welang memang jauh
berada di atas lawannya.
Bruuuggg!
Ngggkkk!
Tubuh Wantara jatuh mencium tanah dengan
punggung terlebih dahulu. Beberapa saat lamanya le-
laki tegap berbahu lebar itu tidak dapat bangkit lagi.
Karena selain lengan kanannya terasa lumpuh, da-
danya pun terasa sesak, akibat benturan keras tadi.
Sedangkan Ular Welang Tongkat Sakti tidak terpen-
garuh sama sekali. Meskipun tongkatnya sempat me-
lenceng akibat benturan pedang Wantara. Tapi, ia ma-
sih tetap tegar, dan siap melontarkan serangan maut
berikutnya.
“Hm....”
Ular Welang Tongkat Sakti menggeram sambil me-
langkah menghampiri kedua orang lawannya yang ma-
sih menggeletak di tanah. Sedangkan kedua orang le-
laki tegap itu hanya bisa pasrah menanti datangnya
malaikat maut!
***
DUA
“Ooouhhh....”
Ular Welang Tongkat Sakti menahan langkahnya
ketika mendengar suara keluhan yang lirih itu. Lelaki
bertubuh kurus itu menoleh ke arah Nyai Wintarsih
yang tampak mulai sadar dari pingsannya. Terlihat si-
nar keraguan di matanya ketika menyaksikan tubuh
wanita cantik bernasib malang itu bergerak lemah.
“Hmmm....”
Untuk kesekian kalinya, sosok lelaki yang berusa
sekitar lima puluh tahun itu kembali menggeram pe-
nuh kegusaran. Sejurus kemudian, terlihat ia ber-balik
dan melangkah mendekati Nyai Wintarsih. Tampak
Ular Welang Tongkat Sakti lebih tertarik menghampiri
wanita cantik itu ketimbang kedua orang lawannya.
Wantara yang melihat ada peluang untuk menye-
lamatkan diri, segera bergerak bangkit, dan buru-buru
ia menyeret tubuh kawannya. Ketika mereka agak jauh
dari tempat Ular Welang, segera saja Wantara bersama
rekannya mengambil langkah seribu. Sebentar kemu-
dian kedua sosok itu pun lenyap ditelan kelebatan pe-
pohonan hutan.
Ular Welang Tongkat Sakti sepertinya telah me-
lupakan kedua lawannya. Lelaki tua bertubuh tinggi
kurus itu tampak demikian khusyuk memijat dan
mengelus tubuh Nyai Wintarsih. Terlihat kilatan aneh
yang menyiratkan kesedihan pada sepasang matanya.
“Kau akan segera sembuh, manisku. Bangkitlah,
Nyai. Sejak lama, aku memang yakin kalau kau pada
akhirnya akan kembali kepadaku...,” suara Ular We-
lang Tongkat Sakti mengandung perasaan kasih yang
mendalam. Entah, apa yang membuat tokoh sesat be-
rotak miring itu berujar demikian. Mungkin latar bela-
kang ucapan itulah yang membuat lelaki tua bertubuh
kurus itu lebih tertarik untuk menghampiri Nyai Win-
tarsih ketimbang kedua orang lawannya, yang hampir
saja tidak dapat melihat sinar matahari esok pagi.
“Aaahhh!?”
Nyai Wintarsih yang baru saja kesadarannya pulih,
tersentak seperti disengat kalajengking. Wanita muda
berparas cantik itu beringsut menjauhi sosok yang ber-
jongkok di sisi tubuhnya. Telapak tangan yang digeng-
gam Ular Welang Tongkat Sakti segera ditarik-nya ce-
pat-cepat.
“Pergi...! Pergi...! Manusia biadab kau...!” maki Nyai
Wintarsih yang belum mengenali sosok setengah baya
itu bukanlah orang yang menodainya secara biadab.
“Aaahhh...!?” Ular Welang Tongkat Sakti bergumam.
Rupanya ia cukup terkejut mendengar makian Nyai
Wintarsih. Dengan raut wajah berkerut-kerut yang
mencerminkan perasaannya yang sakit, sosok tinggi
kurus itu bergerak bangkit, dan menatap wanita itu
penuh penasaran. Sepertinya tokoh sesat berotak mir-
ing itu menuntut penjelasan atas ucapan Nyai Wintar-
sih.
Nyai Wintarsih rupanya baru dapat mengenali seca-
ra jelas sosok tinggi kurus di depannya itu. Wanita
cantik bernasib malang itu tampak mengerjap-ngerjap-
kan kedua matanya dengan perasaan heran.
“Siapakah, Tuan? Ke mana perginya kedua manusia
terkutuk itu...?” tanya Nyai Wintarsih seraya meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Ketika
ia tidak menemukan kedua orang yang telah berbuat
keji terhadapnya, sepasang mata bening itu pun kem-
bali meneliti sosok Ular Welang Tongkat Sakti.
Ular Welang Tongkat Sakti sendiri tampak berusaha
tersenyum ketika menyadari kalau sepasang mata ben-
ing itu tengah meneliti dirinya. Sayang, senyumnya itu
lebih menyerupai seringai. Sehingga, hati Nyai Wintar-
sih menjadi ciut.
“Kedua orang itu telah kuusir pergi dari tempat ini.
Sayang aku belum sempat mencabut nyawa mereka.
Karena aku mengkhawatirkan dirimu ketimbang mo-
nyet-monyet buduk itu. Sekarang engkau telah menja-
di milikku, dan harus ikut bersamaku,” ucap Ular We-
lang Tongkat Sakti dengan suara tegas. Sepertinya to-
koh sesat yang sangat ditakuti lawan dan disegani ka-
wan itu lenyap kemiringan otaknya. Bukti-nya ia su-
dah bisa mengenali kalau Nyai Wintarsih bukanlah
wanita yang dimaksudkannya.
Sebenarnya, sebelum kejadian pahit yang menimpa
dirinya, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali tidak
sinting. Pikirannya terganggu setahun silam ketika is-
trinya pergi bersama seorang tokoh sesat yang lebih
muda dan tampan. Meskipun ia telah dapat menemu-
kan dan membunuh keduanya, namun peristiwa itu
membuat jiwanya terguncang. Sejak kejadian itulah,
nama Ular Welang Tongkat Sakti tidak terdengar lagi.
Ia lebih banyak menyembunyikan diri di dalam Hutan
Welang. Tidak aneh kalau Wantara dan kawannya ti-
dak mengenali wajah tokoh sesat yang terkenal kejam
itu.
Kembali kepada Nyai Wintarsih yang tentu saja
menjadi terkejut ketika mendengar ucapan lelaki tinggi
kurus itu. Melihat dari raut wajah dan penampilan
Ular Welang Tongkat Sakti, sadarlah wanita cantik itu
kalau lelaki setengah tua yang berdiri dihadapinya ti-
dak jauh berbeda dengan kedua orang lelaki yang telah
menggagahinya secara biadab tadi. Ia merasa terbebas
dari mulut ular berbisa, dan masuk ke sarang harimau
buas.
“Hm..., mengapa kau tidak menjawab? Apakah kau
lebih suka kubawa pergi secara paksa?” tanya Ular
Welang Tongkat Sakti seraya meneliti wajah Nyai Win-
tarsih yang tampak ketakutan.
“Tuan, kasihanilah aku. Biarkanlah aku pergi dari
tempat ini. Aku akan berterima kasih sekali bila Tuan
tidak mengangguku, dan membiarkan aku pergi sendi-
ri,” Nyai Wintarsih mencoba membujuk Ular Welang
Tongkat Sakti dengan suara memelas sambil merang-
kapkan ke dua tangannya dan menyembah kepada to-
koh sesat itu.
“Tidak bisa! Aku sudah merebutmu dari orang-
orang tak berguna tadi. Oleh karena itu, kau harus
menemaniku tinggal di dalam Hutan Welang ini. Sudah
cukup lama aku kesepian. Kini engkau datang seolah
Peri Hutan Welang sengaja mengirimkan dirimu untuk
menemaniku. Untuk itu, kau harus menjadi istriku,
dan tinggal di tempat ini!” tandas Ular Welang Tongkat
Sakti. Lelaki tua bertubuh kurus itu sepertinya tidak
ingin mendengar bantahan wanita cantik itu. Tentu sa-
ja ucapan itu membuat Nyai Wintarsih semakin keta-
kutan. Wanita itu merasa ngeri membayangkan dirinya
menemani lelaki tua berwajah buruk itu.
Namun, Nyai Wintarsih bukanlah orang bodoh. Se-
telah kepahitan dan penderitaan yang dialaminya, wa-
nita cantik itu tidak sudi untuk mati, sebelum melam-
piaskan dendamnya terhadap orang-orang yang telah
menghina dan menyengsarakan dirinya. Ia pun sadar
kalau sosok tinggi kurus di depannya itu merupakan
orang sakti. Terbukti dua orang lelaki yang dikenalnya
memiliki kepandaian silat tinggi dapat diusir pergi oleh
lelaki setengah baya itu. Merasa kehidupannya telah
hancur, Nyai Wintarsih pun mulai memikirkan anak
yang ada dalam kandungannya. Maka, mulailah ia
mengatur siasat.
“Tuan. Kalau aku suka menyerahkan diri secara
sukarela untuk menjadi istrimu, maukah kau meme-
nuhi persyaratan yang akan kuajukan?” tanya Nyai
Wintarsih mulai menjalankan siasatnya. Semua itu di-
lakukan semata-mata demi membalas perbuatan
orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.
“Katakan, apa syaratmu itu?” sambut Ular Welang
Tongkat Sakti yang kali ini tidak kelihatan sama sekali
kalau dirinya berotak miring. Bahkan terlihat sepasang
matanya bersinar-sinar mendengar jawaban yang
menggembirakan hatinya itu.
“Aku bisa menduga kalau Tuan pastilah seorang
yang memiliki ilmu silat tinggi. Untuk itu, aku bersedia
menjadi istrimu dengan syarat anakku harus lahir ter-
lebih dahulu. Selain itu, Tuan pun harus menurun-
kan semua ilmu kepandaian Tuan kepada anakku. Ka-
lau persyaratan ini disetujui, barulah aku rela menjadi
istri Tuan,” ujar Nyai Wintarsih dengan suara tegas.
“Hua hak hak...!”
Mendengar permintaan Nyai Wintarsih, meledaklah
tawa Ular Welang Tongkat Sakti. Sebab, syarat wanita
cantik itu sama sekali tidak terasa berat baginya. Se-
lain itu, ia pun tentu saja akan suka menurunkan ke-
pandaiannya kepada anak yang kelak akan lahir dari
rahim Nyai Wintarsih.
Nyai Wintarsih terlihat agak cemas ketika sosok tu-
buh tinggi kurus itu tertawa tergelak di hadapannya.
Wanita cantik itu meremas-remas jemari tangannya
sendiri. Kelihatan sekali kalau ia sangat tegang menan-
ti jawaban Ular Welang Tongkat Sakti.
“Ayo, ikut aku...,” ujar Ular Welang Tongkat Sakti
begitu tawanya berhenti.
“Tidak, sebelum kau menyetujui syaratku...!” ban-
tah Nyai Wintarsih menuntut kepastian seraya meron-
ta melepaskan pergelangan tangannya yang dicekal to-
koh sesat itu.
“Ah, bodoh sekali kau, Manis. Aku sudah setuju
dan senang sekali dengan persyaratanmu itu...,” sahut
Ular Welang Tongkat Sakti cepat. Dan, sebelum Nyai
Wintarsih sadar, tokoh sesat itu sudah bergerak men-
gangkat tubuh wanita cantik itu ke atas bahunya. Ke-
mudian, melesat dengan kecepatan kilat menembus
kelebatan Hutan Welang. Sebentar saja sosok mereka
pun lenyap ditelan kelebatan pepohonan hutan itu.
***
Gadis remaja itu melangkah ringan menyusuri jalan
utama sebuah desa. Wajah yang bulat telur itu tampak
cantik dan menarik. Membuat orang-orang bila berpa-
pasan dengan gadis itu tidak akan melewatkan kesem-
patan untuk menikmati kecantikannya. Namun, gadis
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Sikapnya te-
tap tenang dengan matanya menatap lurus ke depan.
Sinar berkilat pada sepasang mata bening itu demikian
berpengaruh, sehingga membuat orang merasa segan
untuk menggodanya.
Setelah cukup jauh melewati mulut desa, mendadak
dara remaja itu membelokkan langkahnya ke arah kiri.
Kemudian, melangkah masuk ke dalam kedai yang
tampak ramai oleh pengunjung. Langkah dara remaja
itu terhenti sejenak di ambang pintu. Sepasang ma-
tanya menyapu ruangan dalam kedai, mencari tempat
kosong.
“Hhh...,” gadis cantik itu menghela napas kecewa
ketika melihat tidak ada lagi meja kosong yang terse-
dia. Dengan desahan berat, ia membalikkan tubuhnya
hendak meninggalkan kedai itu.
“Nisanak, tunggu dulu...!” tiba-tiba terdengar se-
ruan perlahan yang membuat dara remaja itu menun-
da langkah, dan berbalik hendak melihat siapa yang
telah memanggilnya.
“Hm...,” gadis cantik itu hanya bergumam perlahan
ketika melihat seorang lelaki setengah baya datang ter-
gopoh-gopoh menghampirinya. Menilik dari sikap dan
pakaiannya, mudah ditebak kalau lelaki setengah baya
itu pastilah seorang pelayan kedai.
“Nisanak hendak mencicipi hidangan di kedai ka-
mi...?” tanya pelayan itu dengan tubuh agak dibung-
kukkan. Senyum ramahnya pun tampak terkembang
seiring dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.
“Hm...,” dara remaja itu bergumam seraya meng-
anggukkan kepala dengan perlahan. “Sayang, di sini
sudah tidak ada meja lagi yang tersedia untukku. Ka-
rena itu aku bermaksud mencari kedai lain saja,” lan-
jutnya dengan suara lembut meski terkesan agak din-
gin dan angkuh.
“Mmm..., kalau Nisanak bersedia, di sudut sana ada
sebuah meja kosong yang hanya ditempati seorang
pemuda. Tapi, kalau Nisanak merasa keberatan, kami
mohon maaf karena kami tidak bisa menyediakan
tempat untukmu...,” ujar pelayan itu sambil melurus-
kan jari telunjuknya ke arah sudut sebelah kiri kedai
itu.
“Hm...,” lagi-lagi dara remaja berwajah cantik itu
bergumam tak jelas. Sepasang mata beningnya, tam-
pak menyipit seperti hendak menegasi sosok pemuda
tampan berpakaian putih itu. Sedangkan pemuda itu
seperti tidak mengetahuinya. Mungkin karena ia teria-
lu acuh terhadap lingkungan sekelilingnya.
“Bagaimana, Nisanak...?” tanya pelayan setengah
baya itu dengan penuh harap.
“Mmm..., baiklah...,” ujar dara cantik itu sembari
menyebutkan pesanannya, dan meminta agar disedia-
kan agak cepat. Kemudian ia melangkah menuju ke
arah sudut kiri kedai itu. Sedangkan si pelayan seten-
gah baya itu sudah terbungkuk-bungkuk dan bergegas
hendak menyiapkan pesanan dara cantik itu.
Setiba di dekat meja yang dituju, dara cantik itu ti-
dak segera menarik kursi. Ia berdiri mengamati pemu-
da yang tengah asyik menikmati hidangannya.
“Ehhhmmm...,” dara remaja itu berdehem seolah
ingin menyatakan kehadirannya, dan menuntut perha-
tian.
“Ooohhh...! Maaf,” ucap pemuda tampan itu yang
segera mengangkat kepalanya, dan menatap sekilas ke
arah dara remaja di depannya. “Mmm, ada yang bisa
aku bantu...?” lanjut pemuda itu menawarkan diri.
“Meja yang lain sudah terisi penuh. Seorang pe-
layan menawarkan meja ini untukku,” ujar dara cantik
itu dengan suara ketus. Sepertinya ia tidak mau kalau
pemuda tampan itu beranggapan bahwa ia sengaja
memilih tempat itu. Ucapan itu menunjukkan betapa
angkuhnya hati gadis cantik itu. Setelah berkata demi-
kian, ia menarik kursi di depannya dan menghenyak-
kan pantatnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Tapi, pemuda tampan itu tidak peduli sama sekali
dengan kehadiran gadis cantik itu. Ia kembali menik-
mati hidangannya dan acuh tak acuh dengan gadis
yang duduk di hadapannya.
Sikap pemuda itu menimbulkan rasa penasaran di
hati si gadis. Sebab, biasanya di mana ia hadir, selalu
saja menjadi pusat perhatian kaum lelaki. Jangankan
yang masih muda, kakek-kakek pun, biasanya tidak
akan melewatkan kesempatan meski sekedar untuk
menikmati kecantikan wajahnya. Tapi..., pemuda di
depannya itu acuh tak acuh saja. Hal itu membuat
harga dirinya tersinggung!
“Eeehhhmmm...!”
Dara remaja itu kembali berdehem. Ia berpura-pura
tenggorokannya gatal. Bahkan kali ini suara berdehem
terdengar lebih keras dari yang pertama tadi.
Pemuda tampan di depannya itu sadar, seraya
mengangkat wajahnya, dan mengangguk menawarkan
dara remaja itu.
“Terima kasih...,” ujar dara remaja itu sambil me-
lemparkan senyum manis yang dimilikinya. Tapi, wa-
jahnya kembali masam. Karena pemuda di depan-nya
itu telah kembali menikmati hidangannya. Seolah hidangan di atas meja itu jauh lebih menarik ketimbang
wajahnya. Lagi-lagi dara remaja yang sadar akan ke-
cantikannya itu menjadi tersinggung.
Kejengkelan hati dara cantik itu terlihat jelas mem-
bayang di wajahnya. Sayang ia tidak bisa berbuat apa-
apa. Karena pemuda itu memang tidak berbuat kesa-
lahan apapun terhadapnya. Gadis cantik itu hanya bi-
sa meremas-remas jemari tangannya sendiri dengan
wajah geram.
“Kisanak...,” panggil dara cantik itu lagi. Pemuda di
depannya kembali mengangkat wajah, dan menatap ke
arah gadis cantik itu. Dan, secara tak sengaja, dua pa-
sang mata itu saling bertumbukan. Wajah pemuda
tampan itu tampak agak kaget melihat ada kilatan ma-
rah pada sepasang mata bening milik gadis cantik di
depannya itu. Tapi, ia berpura-pura bodoh, seolah ti-
dak mengetahui hal itu.
“Ada apa, Nisanak? Kau hendak menanyakan sesu-
atu...?” ucap pemuda tampan itu dengan suara tenang
dan menyembunyikan suatu perbawa di dalamnya.
Dara cantik itu semula bermaksud memamerkan
wajahnya, tapi justru ia sendirilah yang tertegun, sete-
lah melihat secara jelas wajah pemuda yang duduk di
hadapannya. Tanpa sadar gadis itu malah meng-amati
wajah pemuda itu secara teliti.
Namun, raut wajah pemuda itu tetap tenang. Perla-
han sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh
itu kembali merunduk. Pemuda itu sadar kalau gadis
di depannya itu tengah mengamati wajahnya. Seulas
senyumnya, menandakan kalau pemuda itu mulai da-
pat menduga akan pikiran yang ada dalam kepala dara
cantik itu.
“Mengapa... kau tersenyum...?” tegur dara cantik itu
dengan selebar wajah memerah. Rupanya ia menduga
bahwa pemuda itu menertawakan perbuatannya baru-
san. Tentu saja dara cantik itu menjadi jengah, terin-
gat betapa ia memperhatikan wajah pemuda itu sam-
pai lama.
Pemuda yang berwajah tampan, bersih dan menarik
itu, tampak tersenyum. Kening dara di depannya terli-
hat berkerut tak senang.
“Maaf,” ucap pemuda tampan itu dengan sikap dan
nada yang sopan. Sehingga, dara cantik itu kembali
kaget. “Aku sama sekali tidak bermaksud menertawa-
kanmu. Hanya saja aku merasa lucu. Karena, kau
memanggilku tanpa sebab...,” ujar pemuda itu dengan
suara lembut, membuat hati dara remaja itu menjadi
lega.
“Ooouhhh...,” sergah dara cantik itu sambil me-
nutupi mulutnya dengan jemari kanannya. Sebentar
kemudian, meledaklah tawa dari bibir merah yang tipis
dan mempesona itu.
Kini pemuda itu pula yang tertegun. Baru ia me-
nyadari betapa cantik raut wajah yang tengah tertawa
di hadapannya itu. Tapi, hal itu hanya berlangsung se-
kilas. Sebelum dara cantik itu menyadarinya, ia sudah
kembali bersikap seperti biasa, tenang dan penuh ke-
matangan.
“Maksudku tadi hanya ingin bertanya tentang nama
desa ini kepadamu...,” ujar dara cantik itu setelah ta-
wanya lenyap. Sikapnya kali ini tampak bebas. Tidak
seperti semula dingin dan angkuh. Entah, apa yang te-
lah merubah sikap dara cantik itu. Mungkin karena ia
mulai tertarik dengan pemuda tampan itu.
“Desa ini bernama Keranggan. Aku pun baru saja
mengetahuinya dari tiang batu pembatas desa yang
berada sekitar beberapa puluh tombak di dekat mulut
desa ini,” jelas pemuda tampan itu.
Dara cantik itu hanya mengangguk-anggukkan ke-
palanya. Percakapan mereka yang semula hendak di-
lanjutkannya itu, mendadak terhenti. Karena pesanan
yang diminta gadis itu sudah diantarkan seorang pe-
layan kedai yang lain.
Tapi, baru saja pelayan itu meninggalkan meja,
mendadak terdengar suara berat bernada kurang ajar.
Sehingga, dara cantik itu menunda niatnya untuk
mencicipi makanan yang telah terhidang.
“Heh heh heh..., boleh aku menemanimu, manis...?”
tegur seorang lelaki jangkung bertubuh kekar. Wajah-
nya yang brewok dan tak sedap dilihat itu, menyeringai
menampakkan gigi-giginya yang kotor dan jarang di-
bersihkan itu. Karuan saja pemandangan itu mem-
buat selera makan gadis cantik itu hilang.
Rupanya laki-laki brewok itu tidak hanya sendirian.
Di sebelah kiri dan kanannya, tampak tiga orang laki-
laki yang juga cengengesan dengan tingkah menyebal-
kan.
“Jangan lupakan kami bertiga, Kakang. Kalau dapat
rejeki, bagi-bagilah kawan-kawanmu ini...,” salah seo-
rang dari ketiga lelaki itu menimpali. Dua orang lain-
nya menyambut dengan gelak tawa keras.
Beberapa pengunjung kedai yang mendengar suara
tawa itu, menolehkan kepalanya. Mereka seperti telah
menduga bakal ada keributan, segera saja menyelesai-
kan hidangan, kemudian cepat-cepat berlalu mening-
galkan kedai.
Sedangkan pemilik kedai dan tiga orang pelayan-
nya, tampak berkumpul dengan wajah cemas. Jelas
mereka telah mengenal baik keempat orang lelaki ga-
gah bertingkah laku kasar itu.
Dara cantik yang semula hendak menikmati hida-
ngan yang dipesannya itu menjadi jengkel. Wajah yang
semula cerah itu mendadak suram. Senyum manisnya
lenyap. Sepasang matanya menyiratkan sinar berkilat
penuh nafsu membunuh. Tentu saja pemandangan itu
membuat pemuda di depannya terkejut
“Tikus-tikus busuk menjemukan! Kalian rupanya
memang sengaja hendak mencari keributan!” bentak
dara cantik itu yang bergerak bangkit merayapi wajah-
wajah orang-orang itu.
Namun, keempat orang laki-laki itu mana mau ber-
henti. Bahkan salah seorang di antaranya meng-
ulurkan tangan ke arah dada dara cantik itu. Tentu
saja perbuatan itu sudah sangat keterlaluan. Sehing-
ga....
“Bedebah! Kalian semua berjiwa kotor!” maki dara
cantik itu yang segera menggeser tubuhnya ke kanan.
Gerakan itu masih dibarengi pula dengan uluran tan-
gannya yang langsung menangkap pergelangan tangan
lelaki kurang ajar itu.
Kreeeppp!
Gerakan dara cantik itu ternyata sangat gesit. Seka-
li jambret saja lengan yang bermaksud kurang ajar itu
telah tercekal jemari tangannya yang mungil. Kemu-
dian, membetotnya kuat-kuat sembari melontar-kan
pukulan telapak tangan kanannya, yang langsung
mengarah ke dada lelaki itu. Dan....
Buuukkk!
“Huakkkhhh...!”
Hebat sekali serangan yang dilancarkan dara cantik
itu. Hantaman telapak tangannya telak mengenai sasa-
ran! Akibatnya, tubuh lelaki tinggi kurus yang bermak-
sud kurang ajar terhadap dirinya itu, terjungkal mun-
tah darah!
Tentu saja kenyataan itu membuat tiga orang lain-
nya tersentak mundur dengan wajah berubah! Mereka
sama sekali tidak menyangka kalau dara cantik itu
dapat merobohkan kawan mereka hanya dengan sekali
gebrak! Ketiganya cepat-cepat meraba pinggang.
Terdengar suara berdesingan yang disertai sinar pu-
tih berkeredepan. Sebentar saja ketiganya telah meng-
genggam senjata telanjang!
***
TIGA
“Hmmm....”
Gadis cantik yang mengenakan pakaian serba putih
itu bergumam penuh kemarahan! Sinar matanya yang
selalu berkilat menakutkan itu, kini semakin bertam-
bah tajam. Bahkan tersirat nafsu membunuh di da-
lamnya!
“Tahan! Hentikan perkelahian...!” tiba-tiba saja, se-
belum perkelahian berlanjut, dan mungkin akan me-
nimbulkan korban nyawa, terdengar seruan nyaring
menggetarkan. Tahu-tahu saja, di antara kedua pihak
yang sedang bertikai itu, berdiri tegak seorang pemuda
tampan berjubah putih yang hendak melerai per-
kelahian itu.
“Hmmm, kau...,” desis bibir merah tipis yang mem-
pesona itu dengan nada dingin dan kecewa. “Rupanya
kau berpihak kepada mereka. Bagus! Tapi, jangan kau
kira aku takut meskipun kau berada di pihak orang-
orang kurang ajar itu...!”
“Nisanak, jangan salah paham. Aku tidak memihak
siapapun. Kalau pun mereka bersalah, maafkanlah.
Perkelahian hanya akan menimbulkan kerugian dan
mungkin korban jiwa. Untuk itu, pikirlah baik-baik sebelum bertindak...,” bujuk pemuda tampan berjubah
putih itu yang merupakan teman semeja dara cantik
itu.
“Sebaiknya kau tidak usah ikut campur, Kisanak!
Kuntilanak itu harus mendapat balasan yang setimpal
atas tindakannya tadi...,” niat baik pemuda itu seper-
tinya tidak mendapat sambutan dari lelaki brewok itu.
Bahkan lelaki brewok bertubuh kekar dan berotot itu
mengulurkan tangannya, kemudian membetotnya den-
gan maksud untuk melemparkan tubuh pemuda ber-
jubah putih itu ke tepi. Tapi....
“Uuuhhh...!”
Bukan main terkejutnya hati lelaki brewok itu keti-
ka tubuh pemuda yang punggung bajunya diceng-
keram tidak terlempar sama sekali. Bahkan tidak ber-
geming sedikit pun dari tempatnya! Tentu saja kenya-
taan itu membuatnya marah dan penasaran!
“Bangsat! Heeeaaa...!”
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki bre-
wok itu membentak dan kembali membetot tangannya.
Kali ini ia mengerahkan segenap kekuatan tenaga da-
lamnya. Lelaki brewok itu tidak peduli kalau tubuh
pemuda berjubah putih itu akan patah tulang-
tulangnya bila terbanting menghantam meja.
Tapi, lagi-lagi perbuatan lelaki brewok itu hanya
sia-sia belaka. Meskipun ia telah mengerahkan seluruh
kekuatannya, tapi tubuh pemuda berjubah putih itu
tidak bergeming sama sekali!
“Uuuhhh...!?”
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali
mencoba membetot tubuh pemuda itu. Namun, tetap
saja gagal! Dan ia pun terpaksa menyerah dengan na-
pas hampir putus, dan tubuh basah oleh keringat!
“Bangsat sombong!” maki lelaki brewok itu yang kali
ini menggunakan pedangnya secara mendatar!
Siiinggg...!
Sinar putih berkeredep disertai suara berdesing ta-
jam! Senjata itu bergerak cepat ke arah pinggang pe-
muda berjubah putih yang berdiri membelakanginya
itu!
Namun, sebelum senjata tajam itu menyentuh sasa-
rannya. Tubuh pemuda itu berbalik dengan kecepatan
yang tidak bisa ditangkap mata biasa. Berbarengan
dengan itu, tangannya tampak terulur menyambut
sambaran pedang. Dan....
Tappp!
Aaahhh...!?”
“Gila...!?”
Terdengar seruan-seruan kaget, termasuk dara re-
maja berwajah cantik yang juga menyaksikan tindakan
berbahaya dari pemuda berjubah putih itu.
Tapi seruan-seruan kaget itu berubah menjadi pe-
kik ketidakpercayaan, saat menyaksikan tindakan le-
bih lanjut dari pemuda itu. Karena pedang lelaki bre-
wok itu tiba-tiba saja terjepit di antara dua buah jari
pemuda berjubah putih itu!
“Hebat! Pemuda tampan itu ternyata memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu
berani melakukannya, meskipun mungkin bisa...,” Da-
ra cantik berpakaian putih itu bergumam lirih. Ia se-
makin bertambah kagum dengan pemuda itu. Selain
tampan dan menarik, juga memiliki kepandaian yang
sangat tinggi!
Demikian pula dengan lelaki brewok dan kawan-
kawannya. Empat pasang mata mereka membelalak
seperti hampir keluar dari tempatnya. Karena tindakan
pemuda berjubah putih itu merupakan sesuatu yang
mustahil bagi mereka.
“Heaaahhh...!”
Si lelaki brewok rupanya tidak berputus asa. Den-
gan sebuah bentakan nyaring, ia berusaha menarik
senjatanya yang terjepit di antara jari tengah dan te-
lunjuk pemuda itu.
“Sahabat, aku sama sekali tidak bermaksud untuk
bermusuhan. Hanya saja aku tidak bisa tinggal diam
melihat kejadian yang mungkin dapat membawa kor-
ban. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini sebelum se-
muanya terlambat...,” ujar pemuda tampan berjubah
putih itu. Seolah-olah ia tidak mengerahkan tenaga
sama sekali untuk menahan lawan. Bahkan wajahnya
tetap tenang, tanpa perubahan sedikit pun. Hal itu je-
las menandakan betapa kekuatan lelaki brewok itu
masih jauh berada di bawah pemuda berjubah putih.
Lelaki brewok itu cukup lama berkutat mencoba
membebaskan pedangnya. Pemuda tampan itu akhir-
nya mengendurkan jepitan jari tangannya yang mirip
capit baja itu. Akibatnya....
“Aaahhh...!?”
Lelaki brewok itu tidak menyangka kalau pemuda
itu akan mengendurkan jepitan tangannya, maka tak
ayal lagi tubuh lelaki itu terpental ke belakang akibat
tenaga yang dikerahkan untuk mencabut pedangnya
itu.
Braaakkk...!
Tubuh kekar berotot itu terhumbalang melanggar
sebuah meja di belakangnya, dan hancur berantakan!
Sedangkan lelaki brewok itu masih terus meluncur dan
jatuh berdebuk.
“Bangsat..!” lagi-lagi lelaki brewok itu memaki ka-
lang kabut. Dengan susah payah, ia berusaha bangkit
dan berdiri. Ketiga orang kawannya buru-buru mem-
bantunya.
Sepertinya keempat orang itu sadar kalau kepan-
daian pemuda itu tidak mungkin dapat mereka tandin-
gi. Dan segera saja keempat lelaki itu mengambil lang-
kah seribu. Kabur!
“Haaaiiittt...!”
Namun, gadis cantik berpakaian putih itu rupanya
belum puas. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
tubuh ramping itu melambung dan berputar di udara.
Kemudian mendaratkan kakinya tepat beberapa lang-
kah di hadapan keempat lelaki kurang ajar itu.
“Hm..., jangan kalian kira akan begitu mudah me-
ninggalkan tempat ini! Apa yang kalian lakukan pa-
daku, hanya kematian yang patut kalian dapatkan...!”
ujar dara remaja berwajah cantik itu dengan nada dan
wajah dingin. Terlihat pancaran sinar kebencian pada
sepasang mata yang sebenarnya sangat indah itu.
“Bangsat! Jangan kau kira kami takut kepadamu,
Kuntilanak! Kalau saja pemuda setan itu tidak ikut
campur, kau pasti sudah bertekuk lutut di bawah tela-
pak kakiku,” balas lelaki brewok itu seperti men-
dapatkan tempat untuk menumpahkan kemarahan
dan rasa penasarannya.
“Hmmm...,” dara remaja yang sepertinya memiliki
hati penuh kebencian itu, bergumam tak jelas. Sejurus
kemudian, tubuh ramping itu sudah melesat dengan
kecepatan kilat!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Melihat datangnya serangan yang jelas-jelas sangat
berbahaya dan bisa mematikan itu, keempat lelaki itu
segera berpencar dengan senjata terhunus! Sehingga,
serangan pertama dara cantik berpakaian serba putih
itu mengenai tempat kosong!
Serangan yang dilancarkan gadis cantik itu rupanya
berkesinambungan. Sepasang tangan yang membentuk
paruh ular itu bergerak meliuk-liuk dan mematuk-
matuk dengan suara angin yang bercuitan. Jelas tena-
ga yang terkandung di dalamnya sangat tinggi sekali.
Sasarannya adalah lelaki brewok yang diduga-nya se-
bagai pimpinan keempat orang lelaki itu.
Zebbb! Zeeebbb!
“Aiiihhh...!”
Dua buah serangan yang meluncur cepat dan me-
matuk tanpa terduga itu, membuat lawan menjadi ka-
lap! Sadar kalau serangan itu tidak mungkin dapat di-
lawan dengan mengelak saja, maka lelaki brewok itu
bergegas membabatkan pedangnya. Ia ingin membabat
putus jari-jari tangan gadis yang membentuk paruh
ular yang mengincar tubuhnya itu.
“Hiaaahhh!”
Whuuuttt...!
Namun, dengan gerakan yang indah dan menak-
jubkan, gadis cantik itu memutar pergelangan lengan-
nya. Sehingga, mata pedang lawan lewat setengah
jengkal di depan pergelangannya. Bahkan pada saat
yang bersamaan, dari sebelah kiri dan kanannya da-
tang menyambar senjata lain. Gadis cantik itu cepat
merendahkan tubuhnya dengan setengah berjongkok,
tapi kedua tangannya bergerak cepat mematuk ke kiri
dan ke kanan.
Crabbb! Crabbb!
“Aaakkkhhh...!”
“Aaa...!”
Dua orang pengeroyok bernasib sial itu tidak sem-
pat lagi menghindar. Akibatnya, jari-jari tangan lentik
itu amblas melukai lambung dan dada kedua orang
lawannya! Darah segar mengalir saat dara remaja itu
mengeluarkan bentakan seraya mencabut ke luar jari-
jari tangannya dari tubuh lawan. Akibat-nya, kedua
orang itu terjungkal ke belakang, dan ambruk men-
cium tanah. Keduanya tampak merintih sambil meme-
gangi luka yang terasa panas itu.
Sepak terjang gadis cantik itu memang benar-benar
menggetarkan lawan-lawannya. Bahkan setelah melu-
kai kedua orang lawannya, ia masih sempat melompat
berputar seraya mengirimkan tendangan keras, dan
bersarang telak di dada lelaki brewok di depannya.
Desss!
“Huakkkhhh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu terjung-
kal keras, hingga menghancurkan sebuah meja di be-
lakangnya. Darah segar muncrat dari mulutnya. Jelas
tendangan keras itu telah mendatangkan luka di ba-
gian dalam tubuhnya. Sehingga, ia tidak dapat lagi
bangkit berdiri.
“Hmmm...,” dara cantik yang berusia sekitar dela-
pan belas tahun itu menoleh ke arah seorang lawan
yang berdiri dengan wajah seputih kertas. Sedangkan
ketiga lawannya yang lain masih tampak merintih,
menahan rasa sakit akibat gempuran dara cantik itu.
“Tahan...!”
Langkah gadis cantik itu tertahan ketika mendengar
suara bentakan nyaring yang menggetarkan dadanya.
Entah bagaimana tiba-tiba saja sesosok tubuh ber-
jubah putih itu telah berdiri menghadang jalan gadis
itu. Lagi-lagi pemuda tampan berjubah putih itu meng-
halangi niatnya untuk melenyapkan lawan.
“Hm..., kau lagi. Rupanya kau menjadi sombong
dengan kepandaian yang kau miliki itu. Meskipun ke-
saktianmu seperti malaikat, Wintari tidak akan pernah
merasa takut!” desis gadis cantik berpakain serba pu-
tih itu dengan wajah gusar. Usai berkata demikian ga-
dis cantik itu meraba pinggangnya. Tiba-tiba saja sehelai selendang berwarna biru tua telah tergenggam di
tangan kanannya.
Jtarrr! Ctarrr!
“Mari, tunjukkanlah kesaktianmu kepadaku, pemu-
da sombong...,” ujar dara remaja yang mengaku ber-
nama Wintari itu sambil memainkan selendang bi-
runya yang meledak-ledak memekakkan telinga.
“Maaf, aku tidak bermaksud untuk bertarung den-
ganmu. Dan, aku pun tidak bermaksud sama sekali
untuk menyombongkan kepandaianku yang rendah ini
di hadapanmu. Semua itu kulakukan demi untuk
mencegah pertumpahan darah yang kuduga pasti akan
terjadi. Kepandaianmu memang hebat, Nisanak.
Sayang sifatmu terlalu ganas dan cepat memberi hu-
kuman,” sahut pemuda tampan berjubah putih itu
dengan wajah yang tetap tenang. Sedikit pun emosinya
sama sekali tidak terpancing oleh ucapan Wintari. Pe-
muda itu benar-benar matang seperti telah memiliki
banyak pengalaman.
“Apapun alasanmu, aku tidak mau tahu! Yang pas-
ti, kau telah berpihak kepada mereka! Itu sama artinya
dengan kau memusuhi aku!” ujar Wintari dengan wa-
jah geram. Pemuda itu tampak terkejut ketika melihat
sinar kebencian pada sepasang mata gadis cantik itu.
“Hm..., mau lari ke mana kalian...? Haaattt...!” ben-
tak Wintari dengan suara keras ketika melihat keem-
pat lawannya hendak melarikan diri. Seiring dengan
bentakan itu, selendang biru terlontar dengan kecepa-
tan kilat!
Whuuuttt...!
Namun, gerakan pemuda tampan berjubah putih
itu ternyata jauh lebih cepat. Hantaman ujung selen-
dang yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi
itu, cepat dipapaki dengan kibasan telapak tangannya,
sehingga mengeluarkan sinar putih keperakan.
Plaaarrr...! Plaaarrr...!
“Haaaiii...!?”
Terdengar seruan tertahan dari mulut Wintari. Han-
taman telapak tangan pemuda itu mampu membuat
ujung selendangnya membalik! Bahkan lengan kanan-
nya sempat tergetar akibat pertemuan tenaga itu. Ke-
nyataan itu membuat Wintari semakin bertambah ma-
rah!
“Kurang ajar! Kau memang sengaja hendak mencari
permusuhan denganku! Kalau begitu, kita harus ber-
tarung sampai mati...!” desis Wintari menyiratkan ke-
geraman dan sakit hati. Gadis cantik itu tampak kece-
wa sekali dengan sikap pemuda tampan yang sempat
membuatnya terpesona itu. Sambil menggigit bibirnya
menahan kekecewaan, Wintari bergerak ke kiri seolah
hendak mencari peluang untuk melontar-kan seran-
gan.
Namun, pemuda tampan berjubah putih itu seperti-
nya merasa enggan untuk bertarung dengan Wintari.
Begitu ia melihat keempat orang yang diincar dara re-
maja itu sudah tidak kelihatan batang hidungnya, pe-
muda itu pun melesat keluar dari dalam kedai. Sebe-
lum pergi, ia sempat melemparkan belasan keping
uang yang langsung tertancap di atas meja. Sepertinya
pemuda itu bermaksud hendak mengganti kerugian
yang diderita pemilik kedai.
“Hei, jangan lari...!” cegah Wintari ketika melihat
pemuda iti melesat meninggalkan kedai. Gadis cantik
itu cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk melakukan pengejaran.
***
“Pengecut! Jangan harap kau dapat lolos dari tanganku...!” bentak gadis cantik itu dengan hati diliputi
kemarahan. Sambil melompat, Wintari melepaskan se-
rangan dengan selendang birunya.
Whuuittt...! Jdaaarrr...!
“Haaaiittt...!”
Hampir saja ujung selendang yang suaranya me-
mekakkan telinga itu mengenai sasaran! Untung gera-
kan pemuda tampan berjubah putih masih jauh lebih
cepat dari «erangan lawannya. Dan sambaran selen-
dang biru itu pun hanya mengenai angin kosong.
Namun, kepandaian dara remaja itu dalam memain-
kan senjatanya benar-benar mengagumkan sekali. Wa-
laupun serangan pertamanya berhasil dielakkan la-
wan, Wintari sama sekali tidak putus asa. Dengan di-
iringi sebuah bentakan nyaring, diputarnya senjata
lemas itu, dan kembali meliuk dan mematuk ke arah
tubuh lawan yang saat itu masih berada di udara!
“Heaaa.!”
Jdaaarrr! Jdaaarrr!
Serangan selendang biru gadis cantik itu benar-
benar maut! Kalau saja pemuda tampan berjubah pu-
tih itu tidak memiliki kepandaian tinggi, dapat dipasti-
kan tubuhnya akan tergeletak dihantam sera-ngan la-
wan. Untung ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pemuda itu terlihat demikian sempurna. Meskipun se-
rangan lawan sangat gencar mengejarnya, tapi pemuda
itu dapat mengelakkan semua serangan ujung selen-
dang lawan yang mematuk-matuk dengan ledakan ke-
ras itu.
“Gila! Kepandaian dara remaja itu sangat hebat se-
kali! Kalau saja ia merupakan seorang murid tokoh se-
sat, akan celakalah orang-orang yang bermusuhan
dengannya,” gumam pemuda itu sambil menghindar-
kan lecutan selendang lawan. Kemudian pemuda itu
meluncur turun sejauh satu setengah tombak dari
tempat Wintari berada.
Baru saja kedua kaki pemuda itu menginjak tanah,
Wintari kembali membentak keras! Ujung selendang-
nya meluncur dengan kecepatan menggetarkan, dan
siap meremukkan tubuh lawan!
Syuuuttt...!
“Hmmm....”
Pemuda tampan berjubah putih itu kali ini tidak ke-
lihatan berusaha menghindar. Dengan kedua kaki ter-
pentang, ia menanti datangnya serangan lawan.
“Heaaahhh!”
Begitu ujung selendang biru lawan hampir men-
capai tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan
bentakan nyaring. Berbarengan dengan tibanya ujung
selendang yang mengincar batok kepalanya, pemuda
berjubah putih itu menggeser tubuh dengan kedudu-
kan kuda-kuda miring. Tangan kirinya bergerak sigap
menangkap ujung selendang lawan!
Wreeettt...!
Wintari yang sama sekali tidak menduga kalau la-
wan akan berbuat nekat, mencoba menarik kembali
senjatanya. Sayang gerakannya masih kalah cepat.
Akibatnya, ujung selendang biru itu berhasil ditangkap
lawan. Kendati demikian, dara remaja itu tidak kehi-
langan akal sama sekali. Ia cepat membetot seraya
mengerahkan segenap tenaga saktinya.
“Heaaahhh...!”
Terjadilah tarik-menarik dengan kekuatan tenaga
dalam yang tinggi. Wajah dara remaja yang cantik itu
tampak kemerahan. Agaknya gadis cantik itu telah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Se-
dangkan pemuda berjubah putih itu sendiri, tampak
sekujur tubuhnya terselimut kabut putih keperakan.
Wrrrttt!
Selendang biru yang menjadi tumpuan adu kekua-
tan tenaga sakti itu, terlihat semakin menegang! Bah-
kan pada ubun-ubun Wintari tampak mengeluarkan
kepulan asap tipis. Hal itu menandakan Wintari telah
menggunakan tenaga hingga ke puncaknya.
“Yeaaahhh...!”
Setelah agak lama adu kekuatan tarik-menarik itu
berlangsung, pemuda tampan berjubah putih itu tiba-
tiba membentak nyaring. Seiring dengan bentakan
yang menggelegar itu, ia menyentakkan selendang
sambil menambah kekuatannya. Akibatnya....
“Aaahhh...!?”
Tubuh gadis cantik itu tampak terangkat naik aki-
bat sentakan keras lawannya. Kendati demikian, Win-
tari tidak kehilangan akal. Dengan memanfaatkan
daya luncur akibat sentakan lawan, gadis cantik itu
meluncur ke arah lawan seraya menyiapkan serangan
mautnya!
Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain ada-
lah Panji itu, tentu dapat menduga apa yang akan di-
lakukan Wintari. Begitu tubuh gadis cantik itu melun-
cur turun, ia segera melontarkan tusukan jari-jari tan-
gannya yang berbentuk paruh ular itu. Panji cepat
berkelit sambil mengirimkan tamparan ke arah bahu
lawan.
Whuuuttt!
Plakkk!
Wintari yang belum mengetahui pemuda berjubah
putih itu, menjadi terkejut bukan main! Ia tidak me-
nyangka sama sekali kalau pemuda itu sanggup me-
lontarkan serangan yang memiliki kecepatan kilat!
Akibatnya, gadis cantik itu tidak sempat mengelak!
“Aaakkkhhh...!?”
Wintari terpekik. Tubuhnya kembali terpental balik.
Untung Panji tidak berniat mencelakai gadis itu. Kalau
tidak, mungkin akibatnya akan lebih parah, dan bu-
kan sekedar luka ringan!
“Heaaahhh...!”
Dara remaja itu kembali menunjukkan kebolehan-
nya. Dengan sebuah seruan nyaring, dara itu berhasil
mematahkan daya luncur tubuhnya. Kemudian ia
mendaratkan kedua kakinya di atas tanah, setelah
bersalto di udara. Meski kedudukannya terlihat agak
goyah, namun gadis remaja itu tidak mengalami luka
yang mengkhawatirkan.
“Hmmm..., jangan kau pikir aku akan menyerah be-
gitu saja, pemuda sombong! Sejak semula sudah kuka-
takan bahwa kita akan bertarung sampai mati! Dan,
ucapan itu akan kubuktikan...!” geram Wintari sambil
bersiap kembali untuk melanjutkan pertarungan den-
gan tangan kosong!
“Celaka...!” desis Panji yang mulai kehilangan akal
menghadapi dara remaja yang keras hati itu. Karena
Panji tidak ingin mencelakai gadis itu, maka pemuda
berjubah putih itu berniat untuk tidak melanjutkan
pertarungan.
“Hei, mau ke mana kau, pemuda pengecut!” bentak
Wintari ketika melihat pemuda itu hendak meninggal-
kannya. Cepat ia memungut selendangnya dan berge-
rak mengejar pemuda itu.
Melihat gadis cantik itu mengejarnya, timbul niat
lain dalam hati Panji. Pemuda itu sudah merasakan
betapa berbahayanya kepandaian yang dimiliki Win-
tari. Bila gadis itu ditinggalkannya di Desa Keranggan,
bukan tidak mungkin Wintari akan mencari keempat
orang yang mengganggunya di kedai tadi. Untuk itu
Panji berniat membawa Wintari sejauh-jauhnya dari
Desa Keranggan.
Pendekar Naga Putih memang sengaja tidak ingin
melarikan diri secara sungguh-sungguh. Itu sebabnya
gadis cantik itu tidak kehilangan buruannya. Setelah
jauh meninggalkan Desa Keranggan, Panji segera men-
gerahkan ilmu larinya lebih cepat. Dan Wintari pun
kehilangan jejak pemuda tampan berjubah putih yang
dikejarnya itu.
“Setan...!” maki Wintari sembari membanting-
bantingkan kaki kanannya ke tanah. Hati dara remaja
itu benar-benar jengkel ketika buruannya tiba-tiba le-
nyap. Kini, tinggallah ia sendiri di tengah kelebatan
hutan.
Saat itu hari mulai gelap. Angin senja berhembus
keras menerbangkan dedaunan kering. Wintari ter-
paksa harus melewatkan malam di dalam hutan. Ka-
rena untuk mencari tempat menginap jelas sudah ti-
dak keburu.
“Kurang ajar...! Kalau lain kali aku bertemu lagi
dengannya, tidak akan kubiarkan ia lolos...!” Wintari
berjanji dalam hati seraya mengepalkan tinjunya yang
mungil itu erat-erat.
***
EMPAT
Malam baru saja berganti pagi. Di ufuk sebelah Ti-
mur, tampak cahaya matahari bersinar kemerahan.
Kendati demikian, jalan utama di Desa Keranggan ter-
lihat dipenuhi oleh orang-orang yang berlalu lalang.
Mereka umumnya para petani yang siap menggarap
sawah ladangnya.
Ketika cahaya matahari mulai merata menyinari
permukaan tanah desa itu, jalan pun kembali agak
sunyi. Hanya ada beberapa orang yang tampak hilir
mudik di jalan utama desa itu. Kedai-kedai makan pun
terlihat masih sepi. Hanya satu dua orang pengunjung
yang terlihat tengah menikmati hidangan. Itu pun ke-
banyakan para pedagang keliling yang tengah mele-
paskan lelah sambil mengisi perut.
Saat matahari mulai naik semakin tinggi, terlihat
sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba pu-
tih melenggang, menyusuri jalan utama Desa Kerang-
gan. Tidak lama kemudian, gadis cantik yang di bagian
pinggangnya terbelit selendang berwarna biru tua itu,
berbelok dan memasuki sebuah kedai yang paling be-
sar di desa tersebut.
“Aiiih, Nisanak!” sambut seorang pelayan setengah
baya ketika sosok tubuh ramping itu tiba di ambang
pintu kedai. Wajah gadis cantik itu, tampak menyirat-
kan sinar kebengisan. Jelas hati dara yang tidak lain
dari Wintari itu tengah tidak senang.
“Aku kemari bukan untuk menikmati makananmu!”
sungut Wintari dengan nada ketus dan galak. Men-
dengar ucapan itu, hati pelayan setengah baya itu
menjadi ciut ketakutan. Lelaki itu memang mengenali
wanita muda itu sebagai orang yang memiliki kepan-
daian silat tinggi.
“Kejadian kemarin bukanlah salah kami, Nisanak,”
ujar pelayan setengah baya itu berusaha membela diri.
Ia merasa khawatir kalau-kalau dara gadis cantik itu
akan mengamuk dan memporak-porandakan kedainya.
“Jelaskan siapa keempat orang lelaki yang kemarin
menggangguku? Tunjukkan di mana mereka ting-
gal...?” kata Wintari dengan suara ketus dan wajah pe-
nuh kegeraman. Sepertinya gadis itu sangat mendendam atas kejadian kemarin yang membuatnya ter-
paksa menerima kenyataan pahit, dan hampir dipe-
cundangi seorang pemuda tampan yang sempat mena-
rik hatinya. Dan, gadis cantik itu menuduh keempat
orang itulah yang menyebabkan ia harus bermusuhan
dengan pemuda itu. Kalau tidak, tentu ia bisa bersa-
habat dengan pemuda berjubah, putih yang tidak lain
Panji si Pendekar Naga Putih.
“Oh, itu... itu akan kujelaskan, Nisanak...,” sahut
pelayan setengah baya itu dengan tubuh gemetar. Be-
berapa orang pedagang keliling yang sempat melirik ke
arah pelayan itu merasa heran. Sesaat kemudian me-
reka kembali menikmati hidangannya dengan sikap
masa bodoh.
“Cepat katakan! Jangan coba-coba berdusta! Kalau
tidak, kepalamu akan kupuntir!” ancam Wintari. Hati
gadis cantik itu tidak merasa iba sama sekali meski pe-
layan itu sudah tampak ketakutan sekali.
“Mereka... mereka tinggal di sebuah rumah besar
yang terletak di ujung desa ini. Aku... pun tidak me-
nyukai mereka. Karena keempat orang itu seringkali
memeras uang kami,” tutur pelayan setengah baya itu
mencoba berpihak kepada Wintari. Namun, dara cantik
itu sama sekali tidak peduli. Setelah mendengar penje-
lasan itu, gadis cantik itu segera mengayunkan lang-
kah menuju rumah yang dimaksud.
Dengan agak tergesa, dara remaja itu melangkah
menyusuri jalan utama Desa Keranggan. Wintari tidak
peduli sama sekali dengan tatapan heran dari bebera-
pa orang wanita yang melihat gadis cantik itu berjalan
terburu-buru. Namun, belum lagi ia tiba di tempat
yang ditujunya, dari kejauhan terlihat enam orang le-
laki berjalan ke arahnya.
Wintari segera mengenali empat orang di antaranya.
Ia pun menunda langkahnya. Gadis cantik itu tidak
peduli sama sekali ketika seorang lelaki brewok menu-
dingkan jari telunjuk ke arahnya. Jelas keempat orang
itu membawa kawannya untuk mencari Wintari.
“Hm..., gadis muda itukah yang telah mempe-
cundangi kalian...?” ujar lelaki tegap berbahu kekar
itu.
Ucapannya terdengar bernada meremehkan. Jelas
lelaki yang berusia sekitar empat puluh delapan tahun
itu menganggap enteng sosok Wintari.
Wintari menyipitkan sepasang mata beningnya se-
perti hendak menegasi sosok tegap berbahu lebar itu.
Gadis remaja yang cantik itu tetap berdiri tenang se-
raya menanti kedatangan calon lawan-lawannya.
“Benar, Ki Wantara. Gadis setan itulah yang telah
mencelakakan kami. Hati-hati, Ki. Kepandaiannya
sangat tinggi sekali...,” ujar lelaki brewok bertubuh ke-
kar itu mengingatkan.
“Wantara...,” desis bibir merah yang menantang itu
sambil mengernyitkan dahinya. Nama itu diucapkan
dengan nada penuh rasa dendam yang dalam.
Ki Wantara dan rombongannya berhenti dalam ja-
rak satu tombak dari sosok Wintari. Dirayapinya wajah
gadis cantik itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Hm..., Benarkah kau yang bernama Wantara...?”
tanya Wintari minta kepastian dari lelaki tegap berba-
hu lebar yang tengah mengamati wajahnya itu.
“Benar. Akulah Ki Wantara. Siapakah kau, Nisa-
nak? Mengapa kau melukai orang-orangku tanpa se-
bab?” tanya Ki Wantara bernada teguran. Tapi, Wintari
sama sekali tidak peduli, meskipun jelas-jelas keempat
orang lelaki yang kemarin berkelahi dengannya mem-
berikan laporan palsu kepada Ki Wantara.
“Mana kawanmu yang bernama Galangsa itu...?”
tanya Wintari tanpa mempedulikan pertanyaan lawan
bicaranya. Tampak sepasang matanya mengawasi so-
sok tegap yang lebih jangkung dari Ki Wantara. Ru-
panya Wintari menduga kalau lelaki tegap jangkung itu
bernama Galangsa. Sebab, empat orang lainnya telah
diketahui kepandaiannya. Dan, Wintari yakin kalau di
antara keempat orang lelaki yang pernah dihajarnya
itu, tidak ada yang bernama Galangsa. Itu sebabnya ia
menduga kalau lelaki tegap jangkung yang berusia se-
kitar empat puluh lima tahun itu yang mungkin ber-
nama Galangsa.
Ki Wantara sendiri sempat terkejut mendengar per-
tanyaan yang tidak disangkanya itu. Ucapan itu mem-
buatnya mencoba mengenali siapa adanya gadis rema-
ja di hadapannya. Tapi, meski telah berusaha keras
memutar otak, lelaki setengah baya itu tetap saja tidak
mengenali Wintari. Bahkan Ki Wantara yakin ia belum
pernah berjumpa dengan dara remaja yang cantik itu.
“Siapa kau, Nisanak? Dan, ada keperluan apa kau
menanyakan kawanku itu?” tanya Ki Wantara tanpa
menjawab pertanyaan Wintari. Lelaki tua itu seper-
tinya ingin mengetahui lebih dulu tentang siapa se-
sungguhnya gadis cantik berpakaian serba putih itu,
sebelum menjawab pertanyaan Wintari.
“Hm..., tidak perlu kau jelaskan, aku sebenarnya
sudah bisa menduga yang mana bangsat Galangsa
itu!” kata Wintari geram seraya melemparkan pandan-
gan tajam ke arah lelaki tegap jangkung yang sempat
membuatnya terkejut. Ternyata gadis cantik yang tidak
dikenalnya sama sekali itu dapat menebak secara tepat
dirinya.
“Kurang ajar...! Sepertinya kau tidak pernah diajar
tata kesopanan oleh orangtua mu! Laporan Barga ru-
panya tidak salah. Kau memang sengaja datang ke desa ini untuk mencari perkara. Sampai-sampai kau be-
rani melukai orang-orangku yang tidak bersalah,” ujar
Ki Wantara geram karena gadis cantik itu sama sekali
tidak pernah menjawab pertanyaannya satu pun. Hal
itu sudah cukup baginya untuk memberi pelajaran.
“Hm..., anjing-anjing rakus! Aku datang mewakili
ibuku untuk mencabut nyawa kalian berdua!” ujar
Wintari sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah
Ki Wantara dan Galangsa. Tampak wajah kedua orang
itu menjadi pucat seperti kertas.
“Apa... apa maksudmu, Gadis Gila... ?”Ki Wantara
mencoba mengelak meski suaranya terdengar gagap.
Jelas Ki Wantara belum bisa menduga apa yang di-
maksudkan gadis cantik itu. Sedangkan lelaki tegap
jangkung yang bernama Galangsa sudah menggeram
marah. Sebab, ucapan gadis remaja itu merupakan se-
buah penghinaan besar! Selama hidupnya, baru dara
remaja itulah yang berani memakinya sebagai anjing-
anjing rakus. Penghinaan itu sudah cukup membakar
kemarahan di dalam dadanya.
“Bedebah! Dasar kau kuntilanak kesasar! Kau be-
rani mati menghina kami dengan perumpamaan kotor
itu! Ucapanmu sama dengan mencelakakan dirimu!
Kau memang pantas untuk dihajar adat!” bentak Ga-
langsa yang segera melompat, dan mengayunkan pu-
kulannya ke arah Wintari!
“Whuuuttt...!”
“Hmmm....”
Wintari hanya bergumam mengejek. Tubuhnya ber-
gerak ke kiri menghindari serangan itu. Kemudian
dengan gerak secepat kilat, telapak tangannya ber-
gerak hendak menggedor dada lawan.
Tapi, kepandaian Galangsa tentu saja tidak dapat
disamakan dengan lelaki brewok yang dipanggil dengan nama Barga itu. Dengan menarik pulang kaki de-
pannya, maka hantaman telapak tangan Wintari pun
hanya mengenai daerah kosong!
“Bagus! Ternyata kau memiliki kepandaian yang
lumayan manusia busuk! Tapi, jangan merasa lega du-
lu. Sebentar lagi, nyawamu akan segera keluar dari ra-
ga busukmu itu!” ejek Wintari yang rupanya merasa
yakin kalau ia dapat menundukkan lawannya itu.
“Bedebah! Mulutmu jahat sekali, Nisanak! Kau me-
mang harus diberi pelajaran agar lain kali lebih sopan
bila berhadapan dengan orang tua. Dan, kau harus
mempertanggungjawabkan ucapanmu yang tidak bera-
lasan itu,” ujar Ki Wantara geram. Lelaki itu rupanya
sudah tidak dapat menahan kesabarannya mendengar
ucapan-ucapan Wintari yang sangat keterlaluan itu.
“Hm..., jangan kalian berpura-pura bodoh, anjing-
anjing rakus! Perbuatan kalian di Hutan Welang pada
sembilan belas tahun yang lalu, hanya dapat dicuci
bersih dengan darah kotor kalian!” ujar Wintari lagi,
yang membuat Ki Wantara dan Galangsa sama-sama
terdongak dengan wajah pucat seputih kertas!
“Apa maksudmu...?” Ki Wantara berusaha mem-
bantah dengan maksud untuk mendapatkan ketera-
ngan secara lebih jelas dari mulut Wintari.
“Hm..., kalian ingat! Waktu itu seorang wanita mu-
da yang tengah hamil dan tidak berdaya, telah kalian
nodai secara keji! Perbuatan kalian berdua tidak lebih
dari anjing-anjing buduk dan biadab yang tidak memi-
liki rasa belas kasihan. Untuk itu, bersiaplah kalian
menemui malaikat maut!” Wintari akhirnya mengata-
kan secara jelas tentang persoalan apa yang membuat
ia sangat memusuhi dan mendendam terhadap kedua
orang itu.
“Benarkah itu, Ki...?” ujar Barga yang selama ini
menganggap Ki Wantara dan Galangsa merupakan
seorang jagoan tulen yang tidak pernah berbuat ke-
salahan, tentu saja mereka belum percaya sepenuhnya
dengan tuduhan itu.
“Semua itu hanya fitnah, Barga! Aku sama sekali ti-
dak mengerti apa yang dituduhkan kuntilanak itu. Se-
baiknya kau pergilah, perketat penjagaan. Biar aku
dan Galangsa yang mengurusi kuntilanak ini,” perin-
tah Ki Wantara yang rupanya tidak ingin belangnya di-
ketahui bawahannya.
“Hik hik hik...! Mengapa aku harus berbohong. Buk-
tinya wajahmu pucat ketakutan. Hm..., rupanya kau
takut kalau perbuatanmu diketahui orang lain,” ejek
Wintari yang membuat Barga menjadi ragu dengan
bantahan Ki Wantara. Meski demikian, Barga telah
melangkah pergi mematuhi perintah lelaki tua itu.
“Bedebah! Mulutmu benar-benar jahat, perempuan
setan! Kucincang tubuhmu!” bentak Ki Wantara den-
gan suara menggelegar. Usai berkata demikian, lelaki
setengah baya itu menghunus senjatanya, dan mener-
jang Wintari dengan serangan-serangan maut yang
mematikan!
Beeettt! Beeet! Beeet!
Serangkaian serangan Ki Wantara sempat membuat
dara remaja itu terpaksa melangkah mundur. Kilatan
sinar pedang yang berkeredepan, membuat Wintari ha-
rus menggunakan kelincahannya guna menyelamat-
kan diri. Nyata sekali kalau dalam jurus-jurus pertama
dara remaja itu belum berniat untuk melontarkan se-
rangan balasan. Ia seperti tengah menguji kelinca-
hannya dalam menghadapi serangan pedang lawan
yang demikian gencar itu.
Galangsa yang juga telah menghunus senjatanya,
segera melompat ke kancah pertempuran. Rupanya ia
Tidak sabar melihat serangan kawannya yang belum
mampu menundukkan gadis remaja itu. Dengan di-
awali lengking panjang, tubuh lelaki tegap jangkung
itu bergerak menerjang!
“Yeaaa...!”
Whuuuttt..!
Sadar kalau gadis muda itu memiliki kepandaian
yang tidak rendah, Galangsa langsung menggunakan
jurus-jurus andalannya dalam serangan pertama itu.
Dari suara desingan senjatanya dapat ditebak bila le-
laki jangkung itu telah mengerahkan tenaga sepenuh-
nya.
Wintari yang saat itu tengah melompat menghindari
sambaran pedang Ki Wantara, tentu saja menangkap
desingan tajam dari arah belakangnya. Dara remaja itu
pun tahu kalau serangan lawan mengarah pada teng-
kuknya.
Beeeuttt..!
“Haiiittt..!”
Dengan sebuah pekikan nyaring yang menggetarkan
jantung, Wintari melambung dan bersalto di udara.
Dalam posisi seperti itu, ia masih sempat melepaskan
tendangan kilat ke arah punggung Galangsa yang saat
itu berada di depannya.
Lelaki tegap jangkung itu sama sekali tidak ber-
usaha menghindar. Pedang yang semula menusuk ke
depan itu diputar sedemikian rupa guna menyambut
tendangan lawan.
Siiinggg...!
Tendangan yang hanya merupakan gerak tipu itu,
cepat ditarik pulang Wintari. Tubuhnya kembali berpu-
tar. Kali ini, kedua tangannyalah yang digunakan un-
tuk menyambut serangan pedang lawan, dan sekali-
gus melontarkan serangan dengan jari-jari membentuk
paruh ular.
Plakkk!
“Aaakhhh...!?”
Galangsa memekik kesakitan ketika pergelangan
tangannya terkena tamparan lawan. Dan, babatan pe-
dangnya melenceng dari sasaran. Jari-jari tangan kiri
gadis remaja itu meluncur cepat, dan langsung menda-
rat tepat di dada sebelah kiri Galangsa.
Tuggg!
“Hukhhh!”
Lelaki jangkung bertubuh tegap itu terbatuk ketika
merasakan dada kirinya seperti ditotok sebatang besi
panas! Karuan saja tubuh lelaki itu terjajar limbung!
Untunglah sebelum Wintari mengirim sebuah tenda-
ngan, Ki Wantara langsung memotong gerak serangan
dara remaja itu!
Whuuuttt...!
Sambaran mata pedang yang berkilat ditimpa ca-
haya matahari siang itu, lewat sejengkal di bagian de-
pan tubuh Wintari. Gerak serangan balasan dara re-
maja itu langsung saja terlontar. Sambil memutar tu-
buhnya, gadis cantik itu langsung melepaskan totokan
kilat ke leher lawan. Dan, ketika Ki Wantara berkelit,
tahu-tahu saja telapak tangan kanan Wintari mengha-
jar dadanya!
Bukkk!
“Huakkk...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah berbahu le-
bar itu terjungkal sambil memuntahkan darah segar!
Belum lagi Ki Wantara sempat bangkit, telapak kaki
kanan Wintari yang mungil telah menghantam dada
lawan!
“Hukkkhhh!”
Ki Wantara terbeliak matanya ketika merasakan
tendangan seperti palu godam menghantam dadanya.
Darah segar kembali menyembur dari mulutnya.
“Hihhh!”
Wintari menambah tekanan pada telapak kakinya.
Tanpa ampun lagi, Ki Wantara terpaksa merelakan
nyawanya meninggalkan raga! Lelaki gagah itu tewas
dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.
“Bangsat! Pembunuh biadab! Kucincang tubuhmu!”
teriak Galangsa bagaikan orang kesurupan menyaksi-
kan kematian Ki Wantara. Tanpa mempedulikan kese-
lamatan dirinya, lelaki jangkung itu menerjang mem-
babi buta!
“Huh! Kematianmu akan segera datang, Galang-
sa...,” desis Wintari tanpa merasa gentar sedikit pun,
meski serangan lawan terlihat sangat berbahaya. Sam-
bil tetap berdiri dengan sebelah kaki berada di atas
mayat Ki Wantara, Wintari melolos selendang biru di
pinggangnya.
“Yeaaahhh...!”
Dibarengi dengan teriakan nyaring, gadis cantik itu
melontarkan selendangnya dengan menimbulkan sua-
ra berdesing! Akibatnya....
Jdaaarrr...!
“Wuaaa...!”
Galangsa menjerit ngeri ketika ujung cambuk Win-
tari meledak keras! Lelaki jangkung itu terhuyung
sambi memegangi lengan kanannya yang putus seba-
tas pergelangan. Darah segar tampak mengucur deras
membasahi tanah! Rupanya tangan yang memegang
pedang itulah sasaran selendang biru Wintari. Sung-
guh mengerikan sekali akibat yang ditimbulkan senjata
gadis cantik itu.
“Hik hik hik...! Kali ini bukan hanya tanganmu yang
kubuntungi. Tapi, batang lehermu pun akan kupatah
kan seperti pohon itu,” ejek Wintari sambil melontar-
kan selendangnya ke arah sebatang pohon di sebelah
kiri lawan. Dan....
Jdeeerrr...!
Krakghhh...!
“Aaahhh...!?”
Galangsa terjajar mundur ketika menyaksikan po-
hon sebesar pelukan orang dewasa itu patah, dan
tumbang dengan suara berderak ribut! Tepat pada ba-
gian batang yang terkena sambaran ujung selendang
Wintari, tampak masih mengepulkan asap tipis. Ka-
ruan saja kala menjing lelaki jangkung itu turun naik.
Dengan susah payah, Galangsa menelan air liurnya
yang terasa kering!
“Nah, seperti itulah akan kubuat batang lehermu,
manusia biadab...!” ejek Wintari sembari melangkah
perlahan mendekati lawannya. Sedangkan Galangsa
melangkah mundur dengan tubuh basah oleh keringat
sebesar biji jagung. Jelas lelaki gagah itu tengah men-
galami rasa takut yang sangat hebat!
“Heaaa.!”
Tiba-tiba saja, Wintari membentak nyaring. Seiring
dengan itu, selendang birunya meluncur ke depan!
Jdaaarrr...!
“Aaa...!”
Galangsa menjerit ketakutan sambil memegangi ke-
palanya dengan tangan kiri. Lelaki gagah yang telah
lenyap keberaniannya itu membuka mata perlahan ke-
tika serangan lawan tidak kunjung datang. Namun,
sepasang mata itu tampak terbeliak matanya ketika
menyaksikan tanah di sebelah kirinya tampak ber-
lubang. Rupanya Wintari sengaja hendak memper-
mainkan lawannya.
“Hik hik hik...!”
Wintari tertawa menyaksikan wajah Galangsa yang
pucat dan jiwanya tersiksa dengan perlakuannya.
Sambil tertawa, gadis cantik itu terus saja memper-
mainkan Galangsa dengan mengarahkan ujung selen-
dangnya ke tanah di kiri dan kanan lelaki gagah itu.
Galangsa akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh le-
mas. Rasa takut akibat perlakuan Wintari, membuat
lelaki gagah itu tak mampu berdiri.
“Hai, mengapa kau, Galangsa. Ke mana keganasan-
mu saat menghancurkan kehidupan ibuku? Hayo, tun-
jukkan kejantananmu!” ejek Wintari seperti belum
puas mempermainkan korbannya.
“Perempuan setan! Kalau mau bunuh, bunuhlah!
Tidak perlu kau menyiksaku seperti ini!” teriak Ga-
langsa dengan suara parau. Lelaki yang pernah meno-
dai ibu gadis cantik itu, terlihat pasrah dan siap tewas
di tangan gadis cantik itu.
“Hm..., kalau begitu, bersiaplah...,” desis Wintari
sambil memainkan selendang birunya. Kemudian,
dengan dibarengi suara keras, Wintari melontarkan se-
lendang birunya ke arah sasaran.
Wrrrttt...!
Selendang biru Wintari meluncur dan langsung me-
libat leher Galangsa. Dan....
“Hahhh!”
Dengan sebuah bentakan keras, Wintari membetot
selendangnya! Darah segar langsung menyembur seir-
ing dengan menggelindingnya kepala Galangsa yang
putus akibat sentakan gadis cantik itu.
“Ibu, dua orang musuhmu telah kukirim ke akhe-
rat. Sekarang tinggal mencari biang keladi dari keseng-
saraanmu...,” desah Wintari berbisik lirih sambil me-
nundukkan kepalanya dalam-dalam.
Beberapa orang penduduk yang sempat menyaksikan pembunuhan itu, langsung masuk ke dalam ru-
mah dan menutup pintu rapat-rapat. Sedangkan Win-
tari sudah melenggang pergi meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Pemuda tampan yang pesolek itu berlari cepat me-
nyusuri jalan utama Desa Keranggan. Menilik dari ca-
ranya berlari, dapat ditebak kalau ia bukanlah seorang
pemuda sembarangan. Tubuhnya yang meluncur cepat
dengan telapak kaki seperti tidak menyentuh permu-
kaan tanah, mencerminkan kalau pemuda itu memiliki
ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Beberapa tombak di belakang pemuda itu, tampak
empat sosok tubuh menyertainya. Meskipun mereka
terlihat berusaha keras untuk mengimbangi lari pe-
muda itu, tetap saja mereka tertinggal jauh. Hal itu
menandakan kalau ilmu lari keempat sosok tubuh itu
masih jauh berada di bawah pemuda tampan pesolek
di depannya.
“Ehhhh!?”
Mendadak pemuda tampan yang mengenakan pa-
kaian berwarna biru tua itu merandek. Kemudian, ia
merunduk dan memeriksa cairan merah yang memba-
sahi tanah. Setelah memeriksa sekelilingnya, pemuda
itu berdiri menanti kedatangan keempat orang lelaki di
belakangnya.
“Di sinikah pertempuran itu terjadi, Barga...?” tanya
pemuda tampan itu kepada seorang lelaki brewok ber-
tubuh kekar dan berotot.
“Benar, Tuan Muda. Di tempat inilah hamba meninggalkan Ki Wantara dan Kakang Galangsa. Mereka
sudah pasti telah menggempur perempuan setan itu,”
jelas Barga menjawab pertanyaan pemuda tampan pe-
solek itu. Ia sendiri memandangi sekeliling-nya seolah
mencari sosok Ki Wantara dan Galangsa.
“Hm..., ke mana Ki Wantara dan Galangsa pergi?
Apakah perempuan yang kau maksudkan itu telah me-
larikan diri, lalu mereka berdua melakukan pengeja-
ran...?” desah pemuda berpakaian biru tua itu dengan
kening berkerut dalam.
“Hm..., sebaiknya kita tanyakan saja kepada pen-
duduk di sekitar tempat ini, Tuan Muda. Aku yakin
mereka pasti ada yang mengetahuinya,” usul Barga
yang rupanya tidak bisa memberikan keterangan yang
pasti mengenai pertanyaan pemuda itu.
“Hm..., kalau begitu, cepat kau panggil penghuni
rumah di sekitar tempat kejadian ini...,” perintah pe-
muda itu dengan suara berwibawa. Nada ucapannya
jelas menunjukkan bahwa pemuda itu sudah terbiasa
memerintah, dan tidak ingin dibantah.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok bernama
Barga itu segera mendatangi tiga buah rumah yang
ada di sekitar tempat itu. Lalu, membawa penghuninya
untuk menghadap tuan mudanya.
“Tuan Muda Pungga Rasa...,” ucap enam orang
penduduk itu sembari mengangguk hormat. Mereka
terdiri dari tiga orang wanita setengah baya, seorang
kakek, dan dua wanita tanggung berusia sekitar dua
belas tahun.
Pemuda tampan pesolek yang bernama Pungga Ra-
sa itu hanya bergumam dengan kepala tegak. Sikap
pemuda itu jelas menunjukkan bahwa Pungga Rasa
memiliki sifat yang angkuh.
“Hm..., aku ingin bertanya kepada kalian tentang
pertempuran yang mungkin terjadi di tempat ini. Kalau
ada yang mengetahui, segeralah buka mulut,” ujar
Pungga Rasa tanpa memandang sebelah mata pun ke-
pada enam orang penduduk itu. Ucapannya lebih
terkesan memberi perintah ketimbang bertanya.
“Kalau yang Tuan Muda maksudkan adalah Ki
Wantara dan Galangsa, keduanya telah tewas di tan-
gan seorang gadis muda berwajah cantik yang sangat
kejam. Kemudian, ia membawa pergi kedua mayat itu
entah ke mana. Yang pasti, ia pergi meninggalkan desa
ini,” tutur seorang kakek yang berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Jawabannya demikian jelas dan tegas
tanpa keraguan sedikitpun, sehingga Pungga Rasa
cenderung mempercayainya.
“Kau tidak tahu ke arah mana perempuan kejam itu
pergi?” tanya Pungga Rasa lagi dengan wajah gelap. Je-
las kalau pemuda pesolek itu menyimpan kemara-han
ketika mendengar kedua orang pembantunya telah te-
was terbunuh.
“Ke arah Selatan...,” sahut kakek itu lagi sembari
menudingkan jari telunjuknya ke sebelah belakang
Pungga Rasa.
“Hm..., kalian kembalilah, dan laporkan kejadian
ini kepada ayah. Aku akan mencoba mengejar pem-
bunuh itu. Siapa tahu ia belum pergi jauh,” perintah
Pungga Rasa kepada Barga dan kawan-kawannya.
Tanpa menunggu jawaban dari pembantunya, pemuda
itu sudah melesat menuju ke arah Selatan. Sebentar
saja, tubuhnya terlihat seperti bayang-bayang samar
yang akhirnya lenyap di kejauhan.
Barga segera mengajak ketiga kawannya untuk
mematuhi perintah pemuda pesolek itu. Ditinggal-
kannya keenam orang penduduk itu tanpa ucapan te-
rima kasih sedikit pun, meski hanya basa-basi kepada
penduduk itu.
***
Pungga Rasa berlari cepat dengan mengerahkan ke-
pandaiannya agar bisa segera menemukan pem-bunuh
kedua orang pembantunya itu. Ilmu larinya yang me-
mang tidak rendah, membuat pemuda itu bergerak ce-
pat Sebentar saja ia telah meninggalkan perbatasan
Desa Keranggan. Lalu, menyusuri daerah hutan kecil
dan menyeberangi sungai kecil yang melintang.
Tanpa merasa lelah sedikit pun, Pungga Rasa men-
gaduk-aduk hutan kecil itu untuk mencari buruannya.
Hingga, akhirnya pemuda itu menghentikan usahanya.
Karena tidak satu pun makhluk bernama manusia da-
pat ditemuinya di tempat itu.
“Hm..., ke mana perginya perempuan setan itu...?
Mungkinkah aku telah mengambil jalan yang salah...?”
gumam Pungga Rasa seraya menyandarkan tubuhnya
pada sebatang pohon besar.
Tiba-tiba saja, pemuda yang tengah termenung
memikirkan langkah selanjutnya, menangkap suara
langkah kaki ringan. Cepat ia melayang naik ke atas
pohon, dan mengedarkan pandangan matanya di seke-
liling.
“Hm...,” Pungga Rasa bergumam saat melihat seso-
sok tubuh yang tengah menyusuri hutan kecil itu. Ce-
pat ia melayang turun dan berlari ke arah sosok tubuh
yang hanya berjarak beberapa belas tombak dari tem-
patnya semula.
“Berhenti...!” bentak Pungga Rasa yang langsung
melompat dan berdiri tegak menghalangi jalan orang
itu.
Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki setengah
baya dan nampak gagah itu tertegun sejenak. Ditatap
nya wajah Pungga Rasa lekat-lekat, seolah ingin me-
nerka apa maksud pemuda itu menghadang perjala-
nannya.
“Siapa kau? Mengapa kau berkeliaran di dalam hu-
tan ini?” tanya Pungga Rasa. Ia lupa kalau hutan kecil
itu bukanlah milik nenek moyangnya.
“Heh he he...! Kau lucu sekali Anak Muda,” sosok
tubuh gagah yang tampak menyandang sebilah pedang
di punggungnya itu, malah terkekeh mendengar perta-
nyaan Pungga Rasa. Dan, pemuda pesolek itu menjadi
jengkel dibuatnya.
“Diam! Aku tidak menyuruhmu tertawa! Jawab saja
pertanyaanku, atau aku akan memaksa dengan kepa-
lan tangan ini,” ujar Pungga Rasa sambil membalas ta-
tapan mata lelaki gagah setengah baya itu dengan ma-
ta mencorong tajam.
“Hm..., siapa adanya aku, itu bukanlah persoalan
penting. Tapi, sejak kapan ada larangan orang berjalan
di dalam hutan? Apakah hutan kecil ini telah kau beli,
hingga tidak boleh orang lain berkeliaran di tempat ini
selain dirimu? Nah, ayo jawablah pertanyaanku, Anak
Muda?” ujar lelaki gagah itu tersenyum ketika melihat
wajah pemuda yang berdiri di hadapannya tampak ke-
bingungan.
“Bangsat! Kau ternyata pintar bersilat lidah, Orang
Tua! Aku terpaksa menggunakan kepalan ini, agar kau
bisa berbicara denganku...!” geram Pungga Rasa yang
merasa kalah bicara. Begitu ucapannya selesai, pemu-
da pesolek itu segera bersiap melontarkan serangan.
Adanya gagang pedang di punggung lelaki tua itu,
membuat Pungga Rasa sadar kalau lawannya juga be-
rasal dari kalangan rimba persilatan. Sehingga, dengan
cerdik pemuda itu melangkah dan berputar tanpa ter-
buru-buru menyerang.
“Heh heh heh..., mengapa kau tidak langsung me-
lontarkan kepalanmu, Anak Muda? Kau begitu kaya
akan kata-kata makian, hingga aku merasa penasaran
dan ingin merasakan apakah kepalamu setajam li-
dahmu,” ujar lelaki setengah baya itu memancing ke-
marahan pemuda tampan itu.
“Bedebah! Kalau itu maumu, rasakanlah...!” hardik
Pungga Rasa yang segera melompat dengan disertai se-
rangan yang cepat dan kuat. Dan lelaki setengah baya
itu mau tidak mau melontarkan pujian tanda kekagu-
man hatinya.
“Bagus... bagus...! Kepandaianmu ternyata cukup
hebat, Anak Muda...,” puji lelaki setengah baya itu
sambil melompat dan menggeser tubuhnya guna
menghindari pukulan lawan.
Setelah dua jurus Pungga Rasa melancarkan seran-
gan, lelaki gagah itu mengangkat telapak tangannya
saat pukulan datang ke arah wajahnya.
Plakkk!
“Uhhh...!”
“Hei...?!”
Meskipun tubuh Pungga Rasa sempat terjajar mun-
dur akibat benturan keras itu, namun dari mulut la-
wannya terdengar suara berseru kaget. Jelas ketika
terjadi benturan lelaki tua itu merasakan kekuatan la-
wannya yang masih muda itu.
“Hm..., Anak Muda. Katakan, apa hubunganmu
dengan Ki Panda Rasa si Jari Pedang itu...?” tanya le-
laki setengah baya itu seraya menatap lekat-lekat wa-
jah lawannya. Tentu saja lelaki tua itu bukan tokoh
rendahan. Terbukti dalam beberapa gebrak saja ia te-
lah dapat mengenali ilmu silat lawan.
Melihat lawannya berdiri tegak dan melontarkan
pertanyaan demikian, Pungga Rasa tersentak kaget
Namun, keangkuhannya tetap tidak tergoyahkan. Ja-
waban yang ke luar dari mulutnya pun tidak enak ter-
dengar di telinga.
“Mengapa, Orang Tua? Apakah kau akan lari terbi-
rit-birit seandainya aku mengakui kalau orang yang
kau sebutkan itu adalah ayahku?” sahut Pungga Rasa
dengan suara bernada mengejek dan melecehkan lelaki
gagah yang menjadi lawannya itu.
“Heh heh heh...! Bukan main! Aku benar-benar ka-
gum terhadap si tua itu yang mampu mendidik pu-
tranya dengan baik. Meskipun kata-katamu ter-dengar
pedas dan menyiratkan keangkuhan, tapi aku bisa
memaafkanmu. Perlu kau tahu, aku adalah sahabat
ayahmu. Dan aku berniat singgah ke tempat-nya,” ujar
lelaki gagah berusia separuh baya itu dengan sorot
mata kagum, meski ada pancaran kecewa. Lelaki se-
tengah baya itu kagum atas kepandaian Pungga Rasa,
dan agak kecewa melihat sikap putra sahabatnya yang
angkuh itu.
“Sebutkan namamu! Jangan kau kira aku akan per-
caya dengan bualanmu itu!” bentak Pungga Rasa yang
masih curiga dan tidak mau mempercayai ucapan la-
wannya begitu saja. Pungga Rasa mengira kalau lelaki
gagah itu merasa gentar, setelah berbenturan dengan
tenaganya tadi.
“Mengenai nama, aku sudah lama melupakannya.
Tapi, orang-orang memanggilku sebagai Pendekar Tan-
gan Kilat. Dan, kau pastilah Pungga Rasa. Aku pernah
berkunjung saat kau baru berusia kurang lebih dua
tahun. Tentu saja aku tidak bisa mengenali dirimu.
Karena kau telah menjelma menjadi seorang pemuda
gagah dan hebat,” sahut lelaki setengah baya itu men-
gakhiri keterangannya dengan sebuah pujian, hingga
membuat kepala Pungga Rasa makin bertambah besar.
Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa tertegun bim-
bang. Ditelitinya wajah orang yang bernama Pen-dekar
Tangan Kilat itu. Kendati ia pernah mendengar nama
itu dari ayahnya, namun karena sifat angkuhnya
membuat pemuda itu tidak sudi minta maaf.
Sikap Pungga Rasa itu sebenarnya wajar saja. Se-
menjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal oleh
ibunya. Kematian sang ibu yang diakibatkan oleh pe-
nyakit tak tersembuhkan itu, membuat Ki Panda Rasa
mendidik putranya dengan manja. Itulah sebab-nya
mengapa Pungga Rasa tumbuh sebagai seorang pemu-
da yang angkuh dan cenderung memandang rendah
orang lain. Apalagi, setelah ayahnya yang kaya raya
dan cukup disegani kalangan rimba persilatan itu di-
angkat sebagai Kepala Desa Keranggan. Maka, sifat
angkuh pemuda pesolek itu semakin menjadi-jadi. Dan
semua itu bisa dilihat oleh Pendekar Tangan Kilat Tapi,
ia sadar bahwa pemuda itu belum begitu mengenalnya,
dan lelaki gagah itu pun memaklumi diri pemuda peso-
lek itu.
“Mengapa kau malah termenung, Pungga Rasa? Se-
karang aku bukan lagi seorang musuh. Tapi, seorang
sahabat yang hendak bertamu. Untuk itu, bawalah
aku ke tempat tinggalmu,” ujar Pendekar Tangan Kilat
itu ketawa melihat pemuda yang ia yakin bernama
Pungga Rasa itu termenung.
“Hm..., ikuti aku...,” sahut Pungga Rasa singkat
tanpa rasa hormat sedikit pun. Pemuda itu pun segera
melesat dengan menggunakan ilmu larinya. Pendekar
Tangan Kilat itu pun berusaha mengimbangi. Karena
ia tahu kalau pemuda itu masih mengujinya. Mereka
pun seperti berkejaran menuju Desa Keranggan.
***
“Kurang ajar! Ini benar-benar keterlaluan! Perem-
puan setan itu sama sekali tidak memandang muka-
ku!” umpat lelaki gagah berkumis tebal itu dengan wa-
jah merah padam. Seraya bangkit berdiri, ia mengge-
brak meja bulat di sampingnya.
Brakkk...!
Meja bulat berukir yang terbuat dari kayu jati tebal
pilihan itu, berderak patah! Kemudian ia melangkah ke
arah dua buah kepala yang terbungkus kain putih
bernoda darah itu.
“Di mana kalian menemukan kepala Ki Wantara
dan Galangsa ini? Apakah tidak ada pesan dari perem-
puan setan itu?” tanya lelaki gagah berpakaian mewah
itu sambil memandang seorang lelaki brewok bertubuh
kekar, yang tidak lain bernama Barga itu. Sedangkan
yang ditanya menunduk tanpa berani mengangkat wa-
jahnya.
“Di depan pintu gerbang, Tuan Besar. Kedua kepala
itu digantung di atasnya...,” jelas Barga dengan suara
yang agak parau. Jelas lelaki brewok itu sangat takut
terhadap lelaki gagah berkumis tebal yang tengah1 di-
landa kemarahan besar itu.
“Bedebah...!” lagi-lagi lelaki gagah itu menyumpah
dengan tangan terkepal erat. Bagaimana ia tidak men-
jadi marah? Sebab, pagi itu para pembantunya telah
menemukan dua buah kepala yang digantung di atas
pintu gerbang. Dan, kepala itu adalah milik Ki Wantara
dan Galangsa, yang tewas terbunuh oleh seorang gadis
muda berkepandaian tinggi. Yang lebih membuat lelaki
itu marah, karena perempuan muda itu dengan senga-
ja mengirimkan kepala korbannya ke rumah Kepala
Desa Keranggan. Tentu saja hal itu membuat Ki Panda
Rasa menjadi murka bukan main.
“Kakang Panda Rasa..,” panggil lelaki gagah berusia
lima puluh tahun itu ikut bicara. Tampak di punggung
lelaki itu tergantung pedang berkilat. Dan lelaki seten-
gah baya itu tidak lain adalah Pendekar Tangan Kilat
yang bermaksud bertamu di tempat itu. Ia adalah sa-
habat lama Ki Punda Rasa.
Ki Panda Rasa menoleh ke arah asal suara. Lelaki
berkumis tebal itu tersenyum sambil menatap ke arah
Pendekar Tangan Kilat.
“Sebenarnya apa yang telah terjadi di Desa Kerang-
gan ini? Mengapa kedua orang pembantu setiamu itu
sampai dibunuh orang secara kejam? Apakah mereka
memang mempunyai musuh? Lalu ia dijebak dan di-
bunuh secara licik?” tanya Pendekar Tangan Kilat itu.
Tokoh itu memang tidak mengetahui sama sekali du-
duk persoalannya.
“Hm..., entahlah, Adi. Aku sendiri sama sekali be-
lum jelas. Menurut laporan orang-orangku, kemarin
mereka dihajar habis-habisan orang seorang gadis
muda yang sakti. Hal itu pun baru aku ketahui sema-
lam dari laporan Barga,” jelas Ki Panda Rasa sambil
menunjuk ke arah lelaki brewok yang duduk bersila
beberapa langkah di depannya, “Lalu mereka melapor
kepada Wantara dan Galangsa. Aku tidak habis pikir,
mengapa gadis muda itu membunuh mereka demikian
kejam, dan mengirimkan kedua kepala pembantuku
itu ke tempat ini. Seolah-olah ia sengaja hendak men-
teror rumah ini. Menurut Barga, gadis muda itu sangat
dendam terhadap Ki Wantara dan Galangsa. Entah,
apa yang telah dilakukan kedua orang pembantuku itu
pada waktu-waktu yang lalu. Tapi, biar bagaimanapun,
perbuatan gadis muda itu tidak bisa kubiarkan begitu
saja! Ia harus diberi pelajaran!” ujar Ki Panda Rasa ge-
ram mengingat tindakan perempuan muda yang misterius itu.
“Hm..., kalau begitu Kakang tidak perlu bersusah-
susah dulu. Mumpung aku kebetulan berada di sini,
biarlah aku mencoba membantu untuk membekuk ga-
dis muda itu,” Pendekar Tangan Kilat menawarkan
bantuannya untuk mencari si pembunuh itu.
“Ah, kau tidak usah repot-repot, Adi...,” Ki Panda
Rasa berusaha menolak karena ia tidak ingin menyu-
sahkan tamunya. Tapi, Pendekar Tangan Kilat terse-
nyum dan menoleh ke arah Barga.
“Coba kau sebutkan ciri-ciri pembunuh itu, Bar-
ga...?” ucap Pendekar Tangan Kilat meminta pen-
jelasan.
“Ia seorang gadis muda berusia sekitar delapan be-
las tahun. Wajahnya cantik, dan mengenakan pakaian
serba putih,” jelas Barga memberikan gambaran ten-
tang sosok pembunuh itu.
“Hm..., kalau begitu, aku berangkat sekarang, Ka-
kang. Kalau dalam tiga hari aku belum kembali, ang-
gaplah usahaku telah gagal,” ujar Pendekar Tangan Ki-
lat sambil berkemas untuk mencari pembunuh K Wan-
tara dan Galangsa.
“Ayah, biarlah aku menyertai Pendekar Tangan Ki-
lat, hitung-hitung mencari pengalaman. Rasanya tidak
adil kalau kita sebagai orang yang bersangkutan hanya
duduk-duduk saja. Sedangkan tamu kita sibuk men-
cari biang keladi dari pembunuhan ini,” seorang pe-
muda tampan pesolek bergerak bangkit dari kursinya.
Dengan pandainya ia mengemukakan alasan agar di-
izinkan untuk pergi menyertai Pendekar Tangan Kilat
Sehingga, lelaki setengah baya itu tersenyum menden-
gar permintaan putranya itu.
“Hmmm...,” Ki Panda Rasa sendiri menggeleng-
gelengkan kepalanya tanda tak berdaya. Sebab, alasan
yang dikemukakan oleh putranya itu benar-benar sulit
untuk dibantah.
“Ayolah, Paman. Ayah sudah mengizinkan...,” ujar
Pungga Rasa sambil menarik lengan Pendekar Tangan
Kilat itu agar segera meninggalkan ruang pertemuan
itu.
“Heh he he...!” Pendekar Tangan Kilat terkekeh ber-
kepanjangan. Keduanya beranjak diiringi tatapan Ki
Panda Rasa yang hanya mengangguk ketika sahabat-
nya itu berpamitan bersama putranya.
***
ENAM
“Ke arah mana kita, Paman...?” tanya pemuda tam-
pan pesolek berpakaian biru tua itu. Ia menoleh ke
arah lelaki yang berjalan di sebelah kanannya. Saat itu
mereka tengah menyusuri jalan utama Desa Kerang-
gan.
“Hrr..., aku pun belum bisa memastikannya, Pung-
ga Rasa. Tapi, dengan mengirimkan kepala itu ke ru-
mahmu, bisa jadi ia masih berada di sekitar Desa Ke-
ranggan ini. Bukan mustahil kalau saat ini ia tengah
mengawasi kita berdua. Untuk itu, ada baiknya kita
menuju ke daerah yang sepi. Jika dugaanku tidak me-
leset, ia pasti akan menghadang kita,” ujar lelaki se-
tengah baya itu yang tidak lain adalah Pendekar Tan-
gan Kilat.
Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa mengedarkan
pandangannya berkeliling. Maksudnya hendak mencari
sosok yang tengah mereka buru itu. Namun, yang ter-
lihat hanya penduduk desa. Sedangkan sosok gadis
muda berpakaian putih yang dicarinya itu, tidak ada
sama sekali tanda-tandanya.
“Jangan bertindak bodoh, Pungga Rasa. Perbuatan-
mu itu bisa mendatangkan kerugian bagi kita. Sebab,
kalau sampai ia mengetahui kita curiga, bisa-bisa gag-
al apa yang telah kuperhitungkan. Sebaiknya ber-
sikaplah tenang, seolah tidak tahu apa-apa. Dengan
demikian, besar kemungkinan dugaanku tidak me-
leset..,” bisik Pendekar Tangan Kilat tanpa mengalih-
kan pandang matanya yang tertuju lurus ke depan.
Pungga Rasa segera menyadari sikapnya yang terla-
lu terburu-buru itu. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda
yang biasanya sombong dan tidak mau kalah itu, men-
gikuti anjuran Pendekar Tangan Kilat. Hal itu bukan
berarti ia mau saja menurut setiap anjuran sahabat
ayahnya itu. Keinginannya untuk segera berjumpa
dengan pembunuh itulah yang membuatnya menuruti
nasihat Pendekar Tangan Kilat
Kedua orang gagah yang sama-sama memiliki ke-
pandaian tinggi itu bergerak terus ke arah Selatan.
Hanya jalan di bagian Selatan itulah yang jarang dile-
wati orang. Selain itu, di bagian Selatan Desa Kerang-
gan itu masih banyak terdapat hutan-hutan kecil. Itu
sebabnya Pendekar Tangan Kilat cenderung memilih
jalan itu. Dengan melalui jalan yang jarang dilewati
orang itu, ia berharap pembunuh yang dicarinya akan
muncul seperti apa yang diperhitungkannya.
“Ingat, Pungga Rasa. Tetaplah berjalan dengan tata-
pan lurus ke depan. Jangan sekali-kali bersikap geli-
sah. Sebab, kalau pembunuh itu memang tengah men-
gincar kita, mungkin dia tidak akan muncul apabila
sikap dan gerak-gerikmu menunjukkan tanda-tanda
yang mencurigakan. Tetaplah bersikap tenang dan
berpura-pura bodoh,” Pendekar Tangan Kilat kembali
mengingatkan putra sahabatnya itu, ketika mereka te
lah melewati batas Desa Keranggan.
Pungga Rasa sama sekali tidak menyahut. Bisikan
lirih itu dijawabnya dengan anggukan kepala saja.
Meski telah diingatkan, hati pemuda itu tetap tegang.
Bukan dikarenakan rasa takut, melainkan ia ingin se-
gera melihat dan berjumpa dengan pembunuh itu. Se-
hingga, agak sulit bagi pemuda tampan pesolek itu un-
tuk menenangkan perasaannya.
Serrr... seeerrr...!
Mendadak, pada saat keduanya mulai memasuki
daerah hutan kecil yang banyak ditumbuhi pepohonan
dan semak belukar, tiba-tiba saja mereka mendengar
suara berdesir tajam. Sebagai orang-orang yang telah
terlatih dengan baik, tentu saja mereka dapat menang-
kap suara yang mencurigakan itu.
“Awaaasss...!”
Meskipun sadar kalau Pungga Rasa mendengar su-
ara yang mencurigakan, tak urung Pendekar Tangan
Kilat itu berseru memperingatkan. Sedangkan tubuh
lelaki gagah setengah baya itu sudah melenting ke
udara. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah ber-
salto di udara.
Demikian pula halnya dengan Pungga Rasa. Pemu-
da tampan pesolek itu pun sudah menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Tapi, apa yang dilakukan pemuda itu
sangat berlawanan sekali dengan Pendekar Tangan Ki-
lat. Kalau lelaki gagah setengah baya itu melompat
jauh untuk menghindari serangan gelap, Pungga Rasa
hanya berputar ke atas. Kemudian, kedua tangannya
terulur menangkap benda-benda pipih yang menye-
rang mereka.
“Haiiittt..!”
Tappp! Tappp!
Gerakan yang dilakukan pemuda itu memang sangat mengagumkan! Sekali sambar saja, ia telah berha-
sil menangkap beberapa benda pipih yang digunakan
untuk menyerang secara gelap. Kemudian ia berputar,
dan meluncur turun dengan gerakan yang indah.
“Gila! Yang digunakan sebagai senjata rahasia itu
ternyata hanya daun pohon...?!” desis Pungga Rasa
yang terkejut bukan main ketika mengenali benda apa
yang berada di tangannya itu.
“Dedaunan pohon...?!” gumam Pendekar Tangan Ki-
lat yang juga terkejut melihat senjata rahasia itu. Se-
bab, hal itu membuktikan bahwa si penyerang memili-
ki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hal itulah yang
membuat mereka terkejut bukan kepalang.
Pungga Rasa melangkah maju memandang ke seke-
liling. Pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar.
Bahkan ia merasa penasaran!
“Hei, manusia pengecut keluarlah! Aku tahu kau
menguntit kami sejak dari desa! Aku memang sengaja
datang untuk mencarimu!” seru Pungga Rasa dengan
mengerahkan kekuatan tenaga dalam melalui suara-
nya. Sehingga kata-katanya bergema hingga belasan
tombak jauhnya.
“Hik hik hik...!” seman Pungga Rasa disambut suara
tawa nyaring berkepanjangan. Bahkan suara tawa itu
pun mengandung kekuatan tenaga dalam yang meng-
getarkan jantung. Pungga Rasa dan Pendekar Tangan
Kilat mengerahkan pula tenaga dalamnya guna melin-
dungi isi dada dari guncangan tersebut
“Bagus kalau kalian telah mengetahui kehadiranku.
Aku sengaja melepaskan senjata rahasia itu guna me-
mancing ucapan yang bakal keluar dari mulut kalian!
Rupanya aku tidak salah terka, kepergian kalian me-
mang sengaja mencariku. Hal itu sudah cukup sebagai
alasan untuk melenyapkan kalian berdua!” terdengar
suara melengking nyaring. Seiring dengan melayang-
nya sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian
serba putih. Sosok itu tidak lain adalah Wintari!
Pungga Rasa yang memang sudah tidak sabar un-
tuk segera bertemu dengan pembunuh misterius itu,
segera saja melangkah maju beberapa tindak. Lang-
kahnya sempat terhenti ketika melihat kecantikan wa-
jah dara remaja itu. Selintas ada pikiran menya-
yangkan betapa sosok cantik itu hams menjadi pem-
bunuh para pembantunya, sehingga harus ber-
musuhan dengannya. Namun, pikiran itu segera dibu-
angnya jauh-jauh. Ketika ia teringat betapa kejamnya
tindakan gadis cantik itu.
“Hm..., kami memang sengaja mencarimu, pem-
bunuh keji! Entah setan apa yang telah membujukmu
bertindak demikian. Tapi, apapun alasanmu kau tetap
akan kubawa ke hadapan ayahku...!” geram Pungga
Rasa yang segera bersiap untuk melontarkan seran-
gannya.
“Hik hik hik...! Dengarlah pemuda pesolek. Jangan-
kan hanya kalian berdua. Ditambah dengan ayahmu,
kakekmu, dan buyutmu pun, aku sama sekali tidak
gentar! Mari, majulah...!” tantang Wintari tersenyum
mengejek. Hati Pungga Rasa semakin bertambah ge-
ram dibuatnya.
“Pungga Rasa, sabarlah...,” Pendekar Tangan Kilat
mencoba untuk mencegah putra sahabatnya itu. Lelaki
gagah itu bermaksud hendak mengorek keterangan le-
bih dulu dari mulut dara remaja itu. Ia ingin mengeta-
hui apa penyebab gadis muda itu melakukan pembu-
nuhan itu. Sayang Pungga Rasa tidak mau peduli sa-
ma sekali. Pemuda tampan pesolek itu sudah melesat
mengirimkan serangannya.
“Haaattt...!”
Sesuai dengan julukan orang tuanya yang bergelar
Jari Pedang, maka ilmu silat Pungga Rasa pun lebih
mengandalkan tangan kosong. Namun, tentu saja se-
rangan-serangan pemuda itu tidak bisa dipandang rin-
gan. Sebagai putra seorang pendekar terkenal, Pungga
Rasa telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang tentu saja ja-
rang dimiliki pemuda seusianya.
“Haiiittt...!”
Wintari pun tidak tinggal diam. Gadis muda itu
langsung melesat begitu melihat lawannya telah mulai
membuka serangan. Jari-jari tangannya yang halus
sudah membentuk paruh ular, yang segera meliuk-liuk
dan mematuk bagian-bagian terlemah di tubuh lawan.
Bweeettt...!
Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, kepalan
tangan Pungga Rasa pun lewat setengah jengkal di de-
kat tubuh Wintari. Kemudian, langsung membalas
dengan patukan jari-jari tangannya.
Zeeebbb...!
Jari-jari tangan dara remaja itu meluncur deras
mengancam tenggorokan Pungga Rasa dengan menim-
bulkan suara bercuitan tajam. Jelas serangan gadis
cantik itu sangat berbahaya dan bisa men-datangkan
kematian bagi lawan.
Pungga Rasa sama sekali tidak gugup. Dengan te-
nang pemuda itu merendahkan tubuhnya. Begitu se-
rangan lawan luput, tubuhnya langsung berputar dan
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah dada la-
wan.
Plakkk!
“Aaahhh...?!”
Gerakan yang dilakukan Wintari ternyata jauh lebih
cepat!
Dengan telapak tangan kanan, dipapakinya tenda
ngan Pungga Rasa. Pemuda itu terpekik kaget! Tubuh-
nya terhuyung mundur! Karena tenaga dalam dara re-
maja itu ternyata lebih kuat ketimbang tenaga dalam
Pungga Rasa.
“Bersiaplah untuk melayat ke neraka...!” seru Win-
tari yang melesat dengan totokan jari-jari tangannya
ketika Pungga Rasa terhuyung! Sepasang tangan dara
cantik itu meliuk dan meluncur ke arah dua bagian
terlemah di tubuh lawan!
Melihat datangnya hujan serangan selagi kedudu-
kannya tidak memungkinkan mengelak, tentu saja
Pungga Rasa terkejut bukan main! Tidak ada jalan lain
baginya, kecuali mengerahkan seluruh tenaga dalam-
nya guna melindungi tubuh agar tidak meng-alami lu-
ka terlalu parah. Karena untuk menghindar jelas tidak
mungkin lagi.
Whuuut...! Whuuut!
Plakkk! Plakkk!
“Aaaiiihhh...?!”
Terdengar suara benturan keras ketika serangan
Wintari bertumbukan dengan sepasang lengan Pende-
kar Tangan Kilat. Namun, justru lelaki gagah itu terpe-
kik kaget! Tubuhnya terdorong balik! Tentu saja hati
pendekar tua itu terkejut bukan main! Ia sama sekali
tidak menyangka kalau tenaga dalam gadis muda itu
jauh lebih kuat
Pungga Rasa tidak peduli sama sekali dengan apa
yang terjadi barusan. Yang ia tahu, nyawanya telah
diselamatkan oleh Pendekar Tangan Kilat. Rupanya
pendekar itu pun tahu kalau putra sahabatnya tengah
terancam. Langsung saja ia turun tangan menyambut
serangan Wintari. Usahanya berhasil baik. Pungga Ra-
sa telah selamat, tapi Pendekar Tangan Kilat harus
mengakui kehebatan lawan, meskipun hanya seorang
gadis muda.
“Hm..., rasanya kita harus menghadapinya ber-
sama-sama, Pungga Rasa. Kesaktian gadis muda itu
benar-benar hampir tidak bisa kupercaya. Rasanya
aku sudah mulai bisa meraba kalau gadis cantik itu
murid dari tokoh sesat. Sayang aku belum bisa me-
ngenali ilmu silatnya. Untuk itu diperlukan beberapa
puluh jurus agar bisa mengetahui siapa guru gadis ke-
jam itu...,” bisik Pendekar Tangan Kilat mendekati
Pungga Rasa.
Pemuda pesolek itu tampak menganggukkan kepa-
la. Sepertinya ia sadar kalau kepandaian gadis muda
itu bukan tandingannya. Pungga Rasa memang tidak
gentar. Tapi, ia lebih setuju untuk menggempur lawan
secara bersama-sama.
Wintari sama sekali tidak merasa gentar sedikit
pun, ketika ia melihat kedua orang lawannya telah siap
untuk mengeroyok. Perlahan ia meloloskan selendang
biru yang membelit pinggangnya, dan bersiap melan-
jutkan pertarungan.
***
“Haiiittt...!”
Wintari membuka serangan terlebih dahulu. Tubuh
ramping terbungkus pakaian serba putih itu melesat
ke arah lawan-lawannya. Selendang birunya meliuk
dan mematuk-matuk cepat.
Jdaaarrr...! Jtaaarrr...!
“Heeeaaattt...!”
“Yeaaa...!”
Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat berseru
nyaring. Secara bersamaan, keduanya melenting dan
bersalto ke udara. Kemudian, mereka mendaratkan
kakinya sejauh dua tombak dari tempat lawan berada.
“Gila...!” Pendekar Tangan Kilat berdesis takjub saat
melihat tanah tempat mereka semula berpijak, telah
berlubang besar dan masih mengepulkan asap tipis.
Sadarlah tokoh tua itu kalau gadis muda yang dihada-
pinya benar-benar memiliki kesaktian yang mengge-
tarkan jantung!
Pungga Rasa sendiri sampai meleletkan lidahnya
dengan wajah membayangkan perasaan ngeri. Ternya-
ta dara remaja itu memiliki kepandaian sangat tinggi,
membuat pemuda itu mengubah gerakan dan me-
mainkan ‘Ilmu Jari Pedang’ yang menjadi andalan ke-
luarganya.
Demikian pula dengan Pendekar Tangan Kilat Pe-
dang di punggungnya berdesing, dan secepat kilat te-
lah tergenggam di tangan kirinya. Jelas tokoh tua itu
hendak menggabungkan ilmu tangan kosong dengan
ilmu pedang untuk menghadapi Wintari. Kendatipun ia
lebih dikenal dengan ‘Ilmu Tangan Malaikat’. Namun
pedang di tangan kirinya hanya digunakan untuk
menghadapi serangan selendang biru lawan.
“Yeeeaaa...!”
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh kedua le-
laki gagah itu melesat ke arah lawan. Kemudian, lang-
sung melontarkan serangan yang susul-menyusul dan
mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh dara re-
maja itu. Tentu saja pertarungan pun semakin ber-
tambah seru dan mendebarkan!
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa tera-
sa, pertarungan telah menginjak pada jurus yang keti-
ga puluh dua. Kendati demikian, Pungga Rasa dan
Pendekar Tangan Kilat tetap saja belum bisa menun-
dukkan lawannya. Bahkan untuk mendesak lawan
pun keduanya tidak mampu berbuat banyak. Karena
selendang biru lawan benar-benar sangat ampuh sekali. Senjata gadis cantik itu seolah-olah sebuah benteng
yang amat kuat. Bahkan seringkali membuat kedua-
nya menjadi repot. Senjata Wintari merupakan benteng
pertahanan yang sukar ditembus, dan tak jarang pula
senjata itu melesat cepat dan mengarah pada titik-titik
jalan darah besar di tubuh kedua orang lawannya. Ke-
tika pertarungan hampir mencapai jurus yang keempat
puluh, justru Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat
dibuat repot oleh lawannya.
“Haaaiiittt...!”
Lagi-lagi Wintari berseru nyaring seraya melontar-
kan senjata ampuhnya. Selendang biru di tangan ka-
nan gadis cantik itu meliuk bagaikan seekor ular hi-
dup! Kemudian, meluncur cepat dan mematuk-matuk
dengan suara mencicit tajam!
Deeerrr...!
Kraaakkkghhh...!
Sebatang pohon besar yang berada di belakang
Pendekar Tangan Kilat, langsung berderak tumbang
dihantam selendang biru Wintari! Untunglah tokoh tua
itu sempat menundukkan kepalanya dengan kuda-
kuda rendah. Kalau tidak, bukan tidak mungkin kepa-
lanya lepas dari tubuhnya dan menggelinding ke ta-
nah.
Setelah gagal dari sasaran, selendang biru yang
menebarkan hawa maut itu berputar dan meliuk-liuk
dengan kecepatan yang menggiriskan! Kali ini yang
menjadi sasarannya adalah Pungga Rasa yang tentu
saja menjadi kelabakan bukan main!
Jtaaarrr...! Taaarrr...!
Pungga Rasa berlompatan ke kiri dan ke kanan gu-
na menghindari selendang yang mematuk-matuk den-
gan suara memekakkan telinga itu. Ia benar-benar ti-
dak diberi kesempatan untuk membalas serangan Wintari. Akhirnya Pungga Rasa harus menelan kenyataan
pahit!
Daaarrr...!
“Huaaakkkhhh...!”
Sebuah hantaman keras ujung selendang lawan,
berhasil mengenai bagian dada Pungga Rasa. Tak ayal
lagi, tubuh pemuda pesolek itu terlempar sejauh dua
tombak lebih! Dan darah segar pun muncrat dari mu-
lurnya!
Bruuuggg!
Tubuh pemuda pesolek itu terbanting keras di atas
tanah! Saat itu juga, selendang biru Wintari kembali
meluncur hendak menghabisi nyawa lawannya!
Jdaaarrr...!
“Aaahhh...!”
Rerumputan tempat Pungga Rasa tergeletak, ber-
hamburan disertai bongkahan tanah sebesar kepalan.
Untunglah pemuda pesolek itu masih sempat berguli-
ngan menghindarinya. Sehingga, ia selamat dari leda-
kan maut itu!
“Haaattt...!”
Wintari yang tengah memburu Pungga Rasa dengan
sambaran senjatanya, tiba-tiba berbalik dengan kece-
patan yang mengagumkan, gadis cantik itu segera me-
lontarkan selendang birunya ke arah Pendekar Tangan
Kilat yang rupanya hendak menyelamatkan putra sa-
habatnya dari kematian. Pedang di tangan kiri tokoh
tua itu berkeredepan dengan suara mendesing-desing.
Sedang tangan kanannya terlihat bergerak, seolah be-
rubah menjadi banyak! Itulah ‘Jurus Ilmu Tangan Ki-
lat’ yang membuat namanya dikenal oleh tokoh-tokoh
rimba persilatan!
Melihat ilmu lawan yang cukup tinggi itu, tidaklah
membuat Wintari menjadi gugup. Gadis muda berwajah cantik itu mampu membendung serangan gen-
car lawannya. Bahkan, ia mulai melontarkan serangan
gencar. Sehingga Pendekar Tangan Kilat terdesak he-
bat!
Daaarrr...! Deeerrr...!
Pendekar Tangan Kilat melenting ke udara, guna
menghindari ledakan maut senjata lawan. Namun, ke-
pandaian Wintari dalam memainkan selendang bi-
runya, benar-benar sukar ditebak. Saat lawannya me-
lenting ke udara, senjata dara cantik itu telah melun-
cur dan mengejar tubuh lawannya! Dan....
Daaarrr...!
“Aaakkkhhh...!”
Tokoh tua itu memekik kesakitan! Tanpa ampun la-
gi, tubuhnya terpental deras! Darah segar muntah dari
mulutnya! Sedangkan tubuh Pendekar Tangan Kilat
terbanting jatuh, dan kembali memuntahkan darah se-
gar! Jelas hantaman yang diterima tokoh tua itu masih
jauh lebih kuat dari apa yang dirasakan Pungga Rasa.
“Hm..., sekarang mampuslah kau, Orang Tua
usil...!” desis Wintari dengan suara dingin dan meng-
getarkan jantung. Usai berkata demikian, ia kembali
melontarkan senjatanya yang siap merenggut nyawa
Pendekar Tangan Kilat!
Nasib baik rupanya masih berpihak kepada Pen-
dekar Tangan Kilat. Saat senjata berhawa maut itu me-
luncur ke arah tubuhnya yang menggeletak di tanah,
terdengar seruan nyaring, yang disusul melayangnya
sesosok bayangan putih! Kemudian, langsung mema-
paki selendang biru Wintari!
Plaaarrr...!
“Uuuhhh...?!”
Wintari memekik tertahan! Ujung selendangnya ba-
gaikan bertemu dengan sebuah benda kenyal! Sehingga senjata yang meluncur deras itu berbalik mengan-
cam pemiliknya!
“Haaahhh!”
Namun, dara cantik itu tidak kehilangan akal. Den-
gan sebuah bentakan nyaring, tangannya menyentak
kuat! Dan, ujung selendang itu pun kembali me-liuk,
dan dapat ditarik pulang tanpa membahayakan di-
rinya.
“Keparat! Lagi-lagi kau...!” desis Wintari setelah
mengenali orang yang telah memukul balik senjatanya
itu.
“Hmmm...,” pemuda tampan yang mengenakan ju-
bah putih itu hanya bergumam perlahan. Sepasang
matanya menatap tajam sosok Wintari. Hati dara re-
maja yang cantik itu sempat bergetar dibuatnya.
“Huhhh!” Wintari mendengus dan mengalihkan
pandangannya. Jelas ia tidak mampu menentang pan-
dangan mata pemuda tampan itu. Karena tatapan pe-
muda itu mampu membuat aliran darahnya mengalir
lebih cepat dari biasa. Selain itu, Wintari pun merasa-
kan perbawa yang amat kuat terpancar dari sepasang
bola mata pemuda berjubah putih itu.
“Pendekar Naga Putih...?!” seru Pendekar Tangan
Kilat dengan nada gembira. Jelas ia telah mengenal so-
sok tubuh berjubah putih itu. Karena, di sekeliling tu-
buh pemuda yang membelakanginya itu terdapat lapi-
san kabut bersinar putih keperakan. Siapa lagi orang
yang memiliki ciri-ciri khas seperti itu kalau bukan
Panji atau lebih dikenal Pendekar Naga Putih.
Pungga Rasa tentu saja menjadi terkejut ketika
mendengar nama pendekar besar itu. Sebab, ayahnya
seringkali menyebut dan memuji Pendekar Naga Putih.
Meski sambil mendekap dadanya yang masih terasa
sakit, pemuda pesolek itu melangkah mendekati Panji
dan Pendekar Tangan Kilat
Panji cepat menyodorkan dua buah pil berwarna
putih seperti salju. Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar
Tangan Kilat langsung mengambilnya sebuah. Karena
ia pun telah mendengar tentang keahlian Pendekar
Naga Putih dalam hal pengobatan. Melihat itu, Pungga
Rasa pun segera mengambil sisanya. Tanpa keraguan
sedikit pun, mereka langsung menelan pil berwarna
putih seperti salju itu.
***
TUJUH
“Hm..., mengapa kau selalu mencampuri urusanku,
Pemuda Usil?” tegur Wintari sambil menatap tajam
Pendekar Naga Putih dengan sorot mata menyiratkan
kemarahan.
“Nisanak. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk
mencampuri urusanmu. Tapi, aku mengenal salah seo-
rang dari calon korbanmu ini sebagai tokoh golongan
putih, yang selalu menyebarkan kebaikan. Jadi, yang
kulakukan hanyalah sekedar menyelamat-kan nyawa
orang tak berdosa dari kejahatanmu. Selain itu, aku
pun telah menyelamatkan dirimu dari perbuatan dosa.
Seharusnya engkau bersyukur, dan bukannya marah-
marah...,” sergah Panji dengan suara tenang tanpa te-
kanan emosi sedikit pun. Bahkan wajah pemuda tam-
pan itu terhias senyum sabar dan penuh kelembutan.
Dan Wintari pun tidak mampu menyanggahnya.
“Hm..., apapun alasanmu, aku tidak peduli! Yang je-
las, kau sengaja ingin bermusuhan denganku! Kalau
memang itu yang kau inginkan, aku tidak akan meng
hindar! Sekarang bersiaplah...,” karena tidak ingin
berdebat dengan pemuda tampan itu lebih jauh, Win-
tari langsung bersiap melontarkan serangan.
“Jangan terlalu memaksaku, Nisanak. Kau telah
tersesat jauh. Sebaiknya sadarilah sejak dini, agar kau
tidak menyesal di kemudian hari...,” Panji masih men-
coba membujuk Wintari dan menghindari per-
kelahian. Sepertinya pemuda tampan itu masih merasa
sayang kalau dara remaja seusia Wintari harus terlibat
kejahatan.
“Tidak perlu banyak bicara! Hadapilah seranganku,
atau aku terpaksa membunuhmu, meski tanpa per-
lawanan...,” ancam Wintari yang sudah bergerak ke ki-
ri seraya menggerakkan selendang birunya.
“Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Selendang biru di
tangan perempuan liar itu sangat berbahaya sekali...,”
ujar Pendekar Tangan Kilat yang tidak tahu kalau Pan-
ji pernah bertarung dengan Wintari. Panji sendiri
hanya mengangguk dengan melepaskan senyum.
“Gadis itu memang sulit untuk diajak berdamai.
Wataknya sangat keras. Selain itu, yang lebih berba-
haya justru kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi.
Aku akan ingat pesan Paman itu. Mudah-mudahan ia
berbaik hati, dan tidak melukaiku. Apalagi sampai
membuatku tewas,” ujar Panji merendah. Meskipun ia
tahu akan kesaktian dara remaja yang akan dihada-
pinya itu, namun ia tidak meremehkan peringatan
Pendekar Tangan Kilat.
“Sambut seranganku! Haaattt...!”
Wintari langsung membuka serangannya dengan
menggunakan senjata andalannya, yang memang san-
gat ampuh dan berbahaya itu. Panji sendiri sudah
menggeser kakinya menjauhi Pendekar Tangan Kilat
dan Pungga Rasa. Hal itu dilakukannya agar kedua
orang itu tidak menjadi sasaran serangan Wintari.
Daaarrr...! Jdeeerrr...!
“Heaaahhh...!”
Pendekar Naga Putih melesat ke samping meng-
hindari dua buah serangan lawan yang mengincar ke-
pala dan dadanya. Kemudian, terus bergerak maju
dengan langkah menyilang. Kecepatan geraknya sem-
pat membuat Wintari kehilangan buruannya.
Kendati demikian, dara remaja itu sama sekali tidak
kehilangan akal. Cepat senjatanya ditarik pulang sam-
bil menggeser langkahnya beberapa tindak ke bela-
kang. Dan, segera melontarkan kembali senjatanya ke
arah bayangan putih yang tengah bergerak di sebelah
kanannya.
Wreeettt...!
Dengan kecepatan yang mengagumkan, selendang
biru di tangan Wintari kembali meliuk dan mematuk-
matuk bagaikan seekor ular hidup! Panji sendiri berge-
rak terus menghindar dengan menggunakan kecepatan
geraknya. Sesekali tangannya bergerak menepiskan
senjata lawan dengan mengerahkan ‘Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan’nya. Hal itu membuat Wintari berkali-kali
memekik tertahan. Karena setiap kali senjatanya ber-
temu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya tergetar
mundur! Bahkan lengan kanannya terasa kesemutan.
Kenyataan itu membuat Wintari sadar kalau tenaganya
masih kalah beberapa tingkat dari pemuda tampan
berjubah putih itu.
“Gila! Demikian tinggikah kepandaian pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih?” gumam Wintari yang
memang belum pernah mendengar nama besar Panji.
Hal itu dikarenakan ia belum begitu lama bertualang
di rimba persilatan. Apalagi, sejak terjun ke dunia ra-
mai ia tidak pernah bergaul dengan tokoh-tokoh persi
latan di dua golongan. Wajar kalau Wintari sama sekali
tidak tahu kalau yang tengah dihadapinya itu adalah
seorang pendekar besar yang telah meng-guncang rim-
ba persilatan.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama ma-
sih muda itu, terlihat semakin seru. Terlihat jelas Win-
tari berusaha mati-matian untuk menundukkan la-
wannya. Sayang, setiap kali senjatanya bergerak men-
gancam tubuh Pendekar Naga Putih, selalu saja mem-
balik. Kalau tidak telapak tangan pemuda itu yang
membuat senjata andalan gadis cantik itu ber-balik.
Tentu lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
melindungi sekujur tubuh Panji, yang membuat senja-
ta Wintari membalik. Sehingga, betapapun dara remaja
itu berusaha mendesak lawan, tetap saja sia-sia.
“Nisanak, aku datang membantumu...!”
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
dua puluh, tiba-tiba terdengar seruan nyaring mem-
bahana. Sesaat kemudian, sebelum gema suara itu le-
nyap, sesosok bayangan merah melayang dan lang-
sung terjun ke kancah pertarungan!
“Yeaaahhh...!”
Begitu tiba, sosok bayangan merah itu langsung
melontarkan serangan-serangan mautnya ke tubuh
Pendekar Naga Putih.
Whuuut...!
Datangnya serangan yang mengancam lambung ka-
nannya, membuat Panji mengulurkan tangan dan me-
nyambut datangnya pukulan itu. Dan....
Plakkk!
“Aaakhhh...!”
Terdengar sosok bayangan merah itu memekik ke-
sakitan! Belum lagi ia sempat memperbaiki kuda-
kudanya yang tergempur itu, Panji sudah menyusuli
dengan sebuah dorongan telapak tangan kirinya!
“Yeaaahhh...!”
Serangan yang cepatnya bagaikan sambaran kilat
itu, tentu saja membuat si bayangan merah terkejut!
Cepat tangan kirinya bergerak menyilang dari atas ke
bawah, dan langsung membentur lengan Panji!
Plakkk!
Untuk kedua kalinya sepasang lengan yang terisi
tenaga dalam itu kembali saling berbenturan. Kali ini
rupanya Panji menambah kekuatannya. Terbukti
bayangan merah itu memekik kesakitan! Bahkan tu-
buhnya bukan lagi terhuyung. Malah lebih parah lagi,
karena tangkisannya itu justru membuat tubuh-nya
terjengkang hingga satu tombak jauhnya!
“Heaaahhh...!”
Kendati demikian, sosok bayangan merah itu ter-
nyata tidak kehilangan akal. Dengan menghentakkan
kedua tangannya ke tanah, tubuhnya melambung ber-
jungkir balik. Sehingga, tidak sampai terbanting ke ta-
nah!
“Bagus...!” puji Pendekar Naga Putih melihat ke-
lincahan sosok bayangan merah itu. Memang, apa
yang dilakukan lawannya sangat mengagumkan sekali.
“Hmmm..., terdengar sosok bayangan merah itu
menggeram gusar. Ia kembali mengatur kedudukan-
nya, dan siap melontarkan serangan berikutnya.
Hadirnya sosok bayangan merah itu ternyata sama
sekali tidak membuat Wintari senang. Buktinya, dara
remaja itu malah menarik kembali serangannya, dan
melompat mundur ke belakang, seperti yang dilakukan
Panji.
“Ehhh?!”
“Hm..., rupanya kau ingin memanfaatkan pertaru-
ngan ini untuk keuntunganmu, Ular Merah?” tegur
Panji kepada sosok bayangan merah yang tampak ce-
lingukan, dan merasa heran melihat perkelahian ter-
henti.
“Hm..., Pendekar Naga Putih! Biar sampai kapan
pun, aku tidak akan pernah bisa melupakan per-
buatanmu! Kematian adik seperguruanku, harus dite-
bus oleh nyawamu!” bentak sosok berpakaian merah
yang berjuluk Ular Merah itu. Pada bola matanya tam-
pak jelas sorot dendam yang membara.
“Ular Merah! Soka Lengkang adalah manusia jahat
yang pantas untuk dilenyapkan. Aku terpaksa men-
cabut nyawanya, karena ia tidak mau merubah jalan
hidupnya yang kotor itu. Sebagai seorang kakak seper-
guruan yang baik, seharusnya kau tidak menuruti je-
jak manusia sesat itu. Sebaiknya kau pergilah, dan lu-
pakan tentang kejadian itu...,” sahut Panji dengan si-
kap tenang. Dan tidak tampak sedikit pun kemarahan
dalam sinar matanya. Panji memang tidak menghenti-
kan pertarungan yang disebabkan oleh dendam itu.
“Bedebah!” Ular Merah memaki gusar. Tokoh sesat
itu sudah mencabut keluar senjata berbentuk pedang
yang berkelok-kelok seperti keris. Warna merah darah
pada badan pedang, menandakan senjata itu telah di-
lumuri racun jahat.
“Orang Tua, kalau kau memang mempunyai den-
dam dengan Pendekar Naga Putih, silakan urus sendi-
ri, dan jangan ajak aku mencampurinya!” ujar Wintari
yang semula hanya diam, mulai angkat bicara. Ucapan
itu jelas dimaksudkan bahwa ia tidak sudi untuk ber-
sama-sama mengeroyok Panji. “Dan, kau pendekar
sombong. Biarlah kali ini aku membebaskan nyawa
kedua anjing kurap itu. Tapi, ingat! Lain kali aku akan
datang lagi untuk mengambil nyawa mereka,” lanjut
Wintari yang jelas-jelas bukan sekedar ancaman kosong. Setelah berkata demikian, dara remaja itu pun
melesat meninggalkan tempat itu.
“Hei...?!”
Ular Merah yang memang semula mengandalkan
dara remaja itu untuk mengeroyok Pendekar Naga Pu-
tih, tentu saja menjadi terkejut bukan main. Wajahnya
tampak gelisah, dan memandang berganti-ganti ke
arah Panji serta bayangan sosok Wintari yang kian
menjauh.
“Bagaimana, Ular Merah? Apakah kau masih ingin
melanjutkan perkelahian...?” tanya Panji yang memang
tahu kalau tokoh sesat itu memiliki hati licik. Sebab,
telah beberapa kali Ular Merah hendak mencelakainya
secara curang. Untuk menghadapi Panji secara lang-
sung ia tidak berani. Kalaupun tadi ia berani menye-
rang, hal itu dikarenakan Ular Merah melihat kepan-
daian Wintari yang tinggi. Ia bermaksud meman-
faatkan dara remaja itu untuk sama-sama menge-
royok. Tapi ia kini malah menjadi bingung ketika meli-
hat Wintari pergi.
“Bedebah!” lagi-lagi Ular Merah memaki gusar. Sete-
lah berkata demikian, ia bergerak meninggalkan tem-
pat itu. »
“Hua ha ha...!”
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tergelak
melihat tingkah laku Ular Merah yang lari terbirit-birit
Sedangkan Panji sendiri hanya tersenyum melihat to-
koh sesat itu melarikan diri. Kendati demikian, pemu-
da itu yakin kalau Ular Merah tidak akan pernah ber-
henti memburunya, sebelum dendamnya terlam-
piaskan.
“Nah, sekarang akulah yang mohon diri. Dara rema-
ja itu sangat berbahaya sekali. Aku harus mem-
buntutinya, dan menyadarkannya. Kalau tidak, ia
akan terus menyebar bencana. Entah apa yang mem-
buat kalian berdua sampai bermusuhan dengan-
nya...?” ujar Panji yang siap hendak meninggalkan
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa.
“Kami pun belum mengetahuinya, Pendekar Naga
Putih. Tapi, melihat sikapnya, jelas ia tidak akan ber-
henti sebelum kami terbunuh. Bahkan, kemarin ia te-
lah membunuh dan mengirimkan kepala dua orang
pembantu setia Ki Panda Rasa. Hhh..., benar-benar
membuat hati penasaran...,” gumam Pendekar Tangan
Kilat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sung-
guh tidak mengerti dengan sikap gadis muda itu.
“Ki Panda Rasa...? Maksudmu, Ki Panda Rasa si Ja-
ri Pedang itu?” tanya Panji meminta ketegasan. Jelas
pemuda itu telah pula mendengar tokoh yang berjuluk
Jari Pedang. Karena memang nama itu cukup tersohor
di kalangan persilatan.
“Benar. Memang tokoh itulah yang kumaksudkan-
kan...,” sahut Pendekar Tangan Kilat, terlihat wajahnya
cerah ketika mendengar Pendekar Naga Putih menye-
but nama besar sahabatnya itu.
“Aneh...? Apakah dara remaja itu memusuhinya?
Mengapa sampai demikian...?” tanya Panji menjadi ter-
tarik, dan menunda langkahnya.
“Hm..., mengenai siapa yang dimusuhinya, aku
sendiri belum jelas. Tapi, dengan mengirimkan dua ke-
pala korbannya ke rumah Ki Panda Rasa, tentunya ga-
dis muda itu berniat tidak baik. Atau bisa jadi, gadis
itu masih dendam terhadap Barga dan ketiga kawan-
nya. Menurut apa yang kudengar, keempat orang itu
sempat dihajar habis-habisan oleh gadis itu di sebuah
kedai makan di Desa Keranggan,” jelas Pendekar Tan-
gan Kilat yang membuat Pendekar Naga Putih semakin
tertarik.
“Hmmm..., apakah di antara keempat orang itu ada
yang berwajah brewok dan bertubuh kekar berotot..?”
tanya Pendekar Naga Putih yang teringat dengan keja-
dian di kedai beberapa waktu lalu. Sebab, ia pun bera-
da di kedai itu juga, dan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri. Di kedai itu pula ia pertama kali
berjumpa dengan dara remaja berpakaian serba putih
itu.
“Dialah yang bernama Barga!” sahut Pungga Rasa,
karena pemuda tampan pesolek itu merasa heran
mendengar Panji mengetahui ciri-ciri pembantunya.
Pungga Rasa menduga kalau Pendekar Naga Putih itu
mengetahui lebih jelas kejadian itu.
“Bagaimana kau bisa menebak demikian tepat men-
genai ciri-ciri Barga, Pendekar Naga Putih...?” Pende-
kar Tangan Kilat tidak bisa menahan pertanyaan yang
sudah berada di ujung lidahnya itu. Pungga Rasa yang
juga memiliki pertanyaan serupa, ikut menunggu ja-
waban dari mulut pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Aku memang berada di tempat kejadian itu.
Dan, kesalahan memang terletak pada Barga dan ka-
wan-kawannya. Mereka ingin berbuat kurang ajar ter-
hadap diri gadis cantik itu. Tapi, kalau hanya itu per-
soalannya, rasanya terlalu remeh alasan gadis itu un-
tuk membunuh. Entah kalau gadis itu merasa sakit
hati dan belum puas dengan apa yang dilakukannya
terhadap keempat lelaki itu,” ujar Panji yang membuat
Pungga Rasa mengerutkan keningnya.
“Tapi, menurut keterangan Barga, justru perem-
puan setan itu yang menghajar mereka tanpa sebab.
Itu sebabnya Ki Wantara dan Galangsa menjadi tidak
senang ketika menerima laporan dari Barga. Dan me-
reka ingin memberi pelajaran terhadap gadis itu. Tapi,
justru mereka berdualah yang menjadi korban kekejaman gadis liar itu,” sanggah Pungga Rasa menje-
laskan apa yang diketahuinya dari laporan Barga.
“Hm..., kalau begitu, orang-orang kamu sendiri yang
salah, Pungga Rasa. Aku lebih condong mempercayai
keterangan Pendekar Naga Putih. Apalagi ia menyaksi-
kan dengan mata kepalanya sendiri. Aku yakin kalau
Barga dan ketiga kawannya tidak mungkin dapat se-
lamat, kalau tidak ada yang menolongnya. Bukan begi-
tu, Pendekar Naga Putih...?” ujar Pendekar Tangan Ki-
lat. Lelaki setengah tua ini tidak percaya kalau kawan-
kawannya dapat selamat dari tangan maut gadis itu!
Sedangkan ia sendiri yang dibantu Pungga Rasa, tidak
sanggup menandingi kesaktian dara berpakaian serba
putih itu. Andaikata Pendekar Naga Putih tidak keburu
muncul, mungkin mereka berdua sudah tidak bisa me-
lihat matahari esok pagi. Karena itu Pendekar Tangan
Kilat tahu siapa yang membantu Barga dan kawan-
kawannya.
Pungga Rasa yang juga telah merasakan kesaktian
gadis berpakaian serba putih itu mengangguk-angguk-
kan kepalanya. Ia memang sering mendengar suara-
suara sumbang dari penduduk desa tentang sikap
Barga dan kawan-kawannya. Tapi, ia belum melihat
dengan mata kepala sendiri, juga belum pernah men-
dapat laporan dari penduduk. Karena itu suara-suara
sumbang tidak begitu dipedulikannya. Tapi, ucapan
itu sekarang justru datang dari seorang pendekar be-
sar, yang tidak mungkin berbohong.
“Kalau begitu, aku akan memberi pelajaran kepada
para pembantu ayahku itu,” geram Pungga Rasa.
Meskipun pemuda tampan pesolek itu memiliki sifat
angkuh, namun tidak menyukai kejahatan. Biar jelek
bagaimanapun sifat pemuda itu, jiwa kependekaran
ayahnya tetap menurun kepadanya.
“Ada baiknya kau ikut serta dengan kami, Pendekar
Naga Putih. Rasanya gadis itu tidak perlu kau cari. Ia
pasti akan menyatroni kediaman Ki Panda Rasa,” usul
Pendekar Tangan Kilat yang segera disetujui oleh
Pungga Rasa.
“Hm..., baiklah. Aku pun ingin mencari keterangan
mengenai persoalan ini. Siapa tahu Ki Panda Rasa
pernah bermusuhan dengan keluarga atau pun guru
dari gadis itu...,” sahut Panji yang teringat dengan Ular
Merah yang selalu dendam atas kematian saudara se-
perguruannya di tangan pemuda itu.
Tidak berapa lama kemudian, berangkatlah ketiga
orang gagah itu menuju tempat kediaman Ki Panda
Rasa, yang menjadi Kepala Desa Keranggan.
***
DELAPAN
Matahari saat itu makin bergeser ke arah Barat Dua
sosok tubuh tampak bergerak menuju tempat kedia-
man Kepala Desa Keranggan. Mereka adalah seorang
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun sambil me-
megang sebatang tongkat hitam, dan seorang wanita
berusia empat puluh tahun lebih. Namun, wajah wani-
ta itu terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Meski demikian, sisa-sisa kecantikan masih jelas
membayang di wajahnya.
“Hei, berhenti...!”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring ketika
kedua sosok tubuh itu hendak melewati pintu gerbang
depan. Bersamaan dengan itu, muncullah lelaki bre-
wok bertubuh kekar bersama tiga orang lainnya. Mereka adalah Barga dan kawan-kawannya. Kemudian,
berturut-turut muncul pula belasan lelaki berpakaian
hitam, yang merupakan keamanan Desa Keranggan.
“Heh heh heh...!” kakek bertubuh tinggi kurus itu
terkekeh memperlihatkan giginya yang hanya tinggal
beberapa buah. Tanpa mempedulikan bentakan itu, ia
terus saja melangkah masuk disertai wanita di sebe-
lahnya.
“Kepung mereka...!” Barga segera memberi perintah
ketika melihat kedua orang itu sama sekali tidak
mempedulikan seruannya.
Sebentar saja, kedua sosok tubuh itu telah ter-
kepung rapat Belasan sinar pedang berkeredep, bagai-
kan iblis-iblis haus darah!
“Hm..., tikus-tikus busuk, kalian hanya mencari
mampus...!” gumam kakek itu sambil melesat berputa-
ran. Tongkat di tangan kanannya bergerak cepat, me-
nimbulkan suara berdesing tajam! Dan....
Breeettt! Breeet! Breeet!
“Arrrghhh...!”
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul yang dis-
ertai semburan darah segar membasahi bumi. Sekali
gebrak saja, delapan orang keamanan Desa Keranggan
tersungkur tewas!
“Iblisss...!” desis Barga terkejut bukan kepalang
menyaksikan kejadian itu. Wajahnya yang semula ga-
rang, berubah pucat! Sekilas pandang saja, lelaki bre-
wok itu sadar kalau kakek itu sama sekali bukan tan-
dingan mereka.
“Mundur...!” kembali Barga memberi perintah kepa-
da kawan-kawannya yang tinggal tujuh orang itu.
“Heh heh heh...! Mengapa harus lari? Bukankah ka-
lian ingin segera menjenguk neraka?” ejek kakek tinggi
kurus itu sambil berkelebat disertai sambaran tong-
katnya!
“Haiiittt..!”
Namun, sebelum tongkat berhawa maut itu men-
cabut nyawa lawannya, tiba-tiba terdengar seruan
nyaring. Disusul kemudian, dengan meluncurnya se-
buah bayangan yang langsung menyambut tongkat
kakek itu.
Whuuut!
Hantaman telapak tangan lelaki tua yang bertubuh
tinggi gagah itu luput. Tongkat yang semula mengarah
pada perut lawan, malah berbalik mengincar lambung
kirinya!
Bweeettt!
“Aaaiiihhh...!” sosok lelaki gagah itu memekik terta-
han! Jelas kalau ia tidak menyangka kalau tongkat itu
bergerak dengan cepat! Untunglah ia masih bisa men-
gelak dengan menjatuhkan tubuhnya, dan terus ber-
gulingan menjauh.
“Ular Welang, tahan...!” tiba-tiba terdengar suara
wanita teman perjalanan lelaki tua itu berteriak men-
cegah, tepat pada saat kakek tinggi kurus itu hendak
mengirimkan serangan susulan. Dan, seketika itu pula
kakek yang berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti itu se-
gera menghentikan serangannya.
Teriakan wanita berpakaian serba hitam itu, tentu
saja membuat sosok lelaki gagah itu bisa menarik na-
pas lega. Seraya melenting bangkit, dan menatap ke-
dua tamu yang tak diundangnya itu lekat-lekat.
“Kau... Win... tarsih...?!” seru lelaki gagah yang tak
lain dari Ki Panda Rasa itu dengan wajah pucat! Bah-
kan suaranya terdengar gemetar penuh ketegangan
dan ketidakpercayaan.
“Hm..., kau ternyata masih mengingatku, lelaki
bangsat! Mana Wantara dan Galangsa? Suruh mereka
keluar untuk menerima hukuman!” bentak wanita
berpakaian hitam itu dengan sorot mata penuh keben-
cian dan dendam.
“Mengapa... kau mencari mereka...?” tanya Ki Panda
Rasa seperti orang bodoh.
“Hm..., akibat perbuatan terkutukmu, aku masih
harus menerima penghinaan oleh kedua orang pem-
bantumu itu. Mereka yang kau suruh membuang aku
jauh-jauh, telah memperkosaku secara biadab...!” jelas
wanita yang ternyata Wintarsih itu dengan suara pa-
rau.
“Aaahhh...?!” Ki Panda Rasa terpekik dengan wajah
semakin pucat. Tubuh lelaki gagah yang selama hi-
dupnya tidak pernah mengenal takut itu, tampak ge-
metar hebat!
“Satu hal lagi. Anak yang ku kandung itu kini telah
besar dan sangat cantik, apakah ia belum datang un-
tuk mengambil nyawamu?” lanjut Nyai Wintarsih tan-
pa mempedulikan keterkejutan Ki Panda Rasa.
“Aaahhh...?!” untuk kesekian kalinya, Ki Panda Ra-
sa hanya bisa terpekik kaget. Kini ia baru mengerti
mengapa Ki Wantara dan Galangsa dibunuh secara ke-
jam deh seorang gadis muda misterius itu. Rupanya
gadis itu adalah putri Nyai Wintarsih yang telah mem-
balaskan dendam ibunya.
“Lelaki keparat! Mengapa sekarang kau hanya bisa
ber ah-uh saja? Mana kegagahanmu?” ejek Nyai Win-
tarsih dengan senyum sinis. Wanita itu segera menoleh
ke arah Ular Welang Tongkat Sakti yang ada di sebelah
kirinya, “Hajar lelaki bangsat itu! Siksa sebelum dibu-
nuh!” ujar Nyai Wintarsih dengan nada memerintah.
“Baik, istriku...,” sahut kakek tinggi kurus itu yang
langsung melangkah maju mendekati Ki Panda Rasa.
“Ular Welang Tongkat Sakti...?!” desis Ki Panda Ra-
sa yang semakin terkejut melihat tokoh sesat yang
menggiriskan itu. Sebagai tokoh yang berpengalaman
luas, tentu saja ia mengenal dan mengetahui kesaktian
tokoh sesat itu. Tanpa banyak cakap lagi, Ki Panda
Rasa segera mempersiapkan ilmu andalannya.
“Terimalah kematianmu...!” geram Ular Welang
Tongkat Sakti sambil menerjang dengan putaran tong-
katnya.
Bweeet! Bweeet!
Hebat sekali serangan yang dilancarkan kakek itu.
Putaran tongkat hitam di tangannya seolah men-
ciptakan angin topan yang keras. Senjata itu sendiri
terus bergerak dengan diiringi suara bercicitan nyar-
ing!
“Haaaiii...?!”
Berkali-kali Ki Panda Rasa berseru tertahan. Un-
tunglah ia masih dapat menyelamatkan dirinya dari
incaran senjata berhawa maut itu. Meski demikian, hal
itu bukan berarti Ki Panda Rasa bisa bernapas lega.
Sebab, ujung tongkat lawan mendesaknya tenis. Kalau
saja lelaki gagah itu tidak memiliki kepandaian tinggi,
ia pasti sudah tergeletak sejak jurus-jurus pertama ta-
di.
“Kena...!”
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
tiga puluh enam, tiba-tiba saja Ular Welang Tongkat
Sakti berseru mengejutkan! Dan, tahu-tahu saja Ki
Panda Rasa memekik kesakitan! Tampak lambung ki-
rinya terkena hantaman tongkat lawan!
Buggg!
“Aaakkkhhh...!”
Darah segar memercik dari mulut Ki Panda Rasa.
Sedangkan tubuhnya yang tinggi gagah itu terjajar
limbung! Sementara, tongkat lawan siap mengirim se-
rangan susulan.
Whuuuttt...!
Kali ini, selagi tubuh Ki Panda Rasa terhuyung lim-
bung, ujung tongkat lawan meluncur dan meng-
hantam keras pada dada kanan lawan!
Plakkk!
“Haaaiii...!”
Dalam keadaan yang berbahaya itu mendadak,
muncul sesosok bayangan yang mengeluarkan sinar
putih keperakan. Sosok putih itu langsung memapaki
ujung tongkat kakek tinggi kurus itu. Dan Ular Welang
Tongkat Sakti terpekik kaget! Kuda-kudanya tergem-
pur mundur beberapa langkah!
“Pendekar Naga Putih...?!”
Terdengar seruan berbeda yang ke luar dari mulut
Ki Panda Rasa dan Ular Welang Tongkat Sakti. Ki Pan-
da Rasa merasa lega melihat kehadiran pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Sebaliknya, Ular Welang Tong-
kat Sakti terlihat geram dengan kemunculan pendekar
besar itu.
Setelah kemunculan Pendekar Naga Putih, berturut-
turut muncullah Pungga Rasa dan Pendekar Tangan
Kilat
“Ayah...?!” seru pemuda pesolek itu langsung meng-
hambur ke arah ayahnya yang terlihat mengalami lu-
ka.
“Ibu...?!” tiba-tiba terdengar seruan lain yang di-
susul munculnya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian berwarna putih. Siapa lagi wanita cantik itu
kalau bukan Wintari, “Mengapa ibu berada di sini?”
tanya dara remaja itu heran.
“Aku merasa cemas, karena kau pergi cukup lama,
Anakku,” sahut Wintarsih yang langsung memeluk dan
menciumi putrinya itu.
“Hm..., lelaki keparat itukah yang telah membuat
hidupmu sengsara, ibu...?” tanya Wintari sambil mele-
paskan pandang matanya ke arah Ki Panda Rasa. Be-
gitu melihat ibunya mengangguk, Wintari langsung
melepaskan pelukan, dan menghampiri Ki Panda Rasa
yang saat itu bersama Pungga Rasa dan Pendekar
Tangan Kilat
“Kau harus menebus kesengsaraan ibuku dengan
nyawamu lelaki keparat...!” bentak Wintari yang lang-
sung meloloskan selendang birunya. Kemudian, gadis
cantik itu segera menerjang Ki Panda Rasa dengan se-
rangan-serangan maut.
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tentu saja
tidak tinggal diam. Meskipun sadar bahwa mereka
berdua bukan tandingan gadis cantik itu. Tapi, demi
menyelamatkan Ki Panda Rasa, keduanya bergerak
menyambut serangan Wintari. Sebentar saja, pertaru-
ngan sengitpun berlangsung!
Ki Panda Rasa sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Wajah lelaki gagah itu terlihat penuh dengan rasa ses-
al. Ia hanya menunduk dan berdiri di tepi arena perta-
rungan itu.
***
“Hm... mau ke mana kau, Pendekar Naga Putih...?”
tegur Ular Welang Tongkat Sakti ketika melihat Panji
hendak memasuki kancah pertempuran di sebelahnya.
Bahkan, kakek itu sudah melesat disertai putaran
tongkat hitamnya.
Bweeeet! Bweeet!
“Haaaiiittt...!”
Panji menjejak tanah dengan kedua kakinya. Seke-
tika itu juga, tubuhnya melambung dan bersalto di
udara. Ketika meluncur turun, sepasang tangannya
yang telah membentuk cakar naga, langsung meng-
ancam kepala lawan!
Whuuut! Whuuut!
“Hm...,” Ular Welang Tongkat Sakti bergumam tak
jelas. Sambil menggeser tubuhnya beberapa langkah,
tongkat di tangannya diputar untuk menyambut ter-
jangan Pendekar Naga Putih!
Plakkk! Plakkk!
“Uuuhhh...?!”
Lagi-lagi Ular Welang Tongkat Sakti mengeluh pen-
dek. Benturan tongkatnya dengan telapak tangan pe-
muda itu membuat tubuhnya terjajar limbung. Tenaga
saktinya jauh beberapa tingkat di bawah lawannya.
“Ular Welang, aku datang membantu...!”
Saat Panji hendak menyusuli serangannya, tiba-tiba
terdengar seruan nyaring. Sosok bayangan merah ber-
kelebat dan langsung mengirim serangan, membuat
pemuda itu terpaksa menunda gerakan, dan melang-
kah ke samping.
Beeeuuuttt...!
Selarik sinar merah yang diiringi bau busuk, berke-
lebat di depan tubuh Panji. Begitu serangan lawan lu-
put, pemuda itu langsung mengegos ke kanan, dan
mengirimkan pukulan kilat ke arah dada sosok bayan-
gan merah itu!
Whuuuk...!
“Haiiittt...!”
Pukulan Panji lewat di atas bahu lawannya yang
merunduk dengan kuda-kuda rendah! Ketika ia hen-
dak menyusuli dengan hantaman tangan kiri, tahu-
tahu saja terdengar suara berdesing tajam dari sebelah
belakangnya. Cepat pemuda itu menggeser kakinya ke
samping dengan gerakan bersilang dan memutar!
Namun, suara berdesing tajam yang datangnya dari
tongkat Ular Welang, cepat bergerak melingkar, dan
mengancam pelipis Pendekar Naga Putih. Panji pun se-
gera mengangkat tangannya guna memapaki tebasan
tongkat lawan.
Ular Welang Tongkat Sakti yang sadar akan ke-
kuatan lawannya, tidak mau lagi berbenturan. Tong-
katnya kembali diputar melingkar dengan kecepatan
kilat! Bersamaan dengan itu, dari sebelah belakangnya
datang seberkas sinar merah berbau busuk! Dan Panji
terpaksa harus melesat ke udara dan bersalto sebelum
mendaratkan kedua kakinya dengan ringan.
“Heeeaaattt...!”
“Yeeeaaa...!”
Sosok bayangan merah yang tidak lain Ular Merah
itu segera menyerbu bersama-sama dengan Ular We-
lang Tongkat Sakti. Senjata keduanya bergerak cepat
mengancam tubuh lawan. Pertarungan pun kembali
berlanjut lebih seru dari semula!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertarungan
mulai menginjak jurus keempat puluh, Panji berhasil
mendesak lawannya dengan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’.
Bahkan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya mulai
membawa pengaruh bagi gerakan kedua orang lawan-
nya. Sehingga, kedua tokoh sesat itu semakin terde-
sak, dan kian sulit untuk melancarkan serangan bala-
san! Akibatnya....
Deeesss...!
“Aaarrrghhh...!”
Ular Merah yang kepandaiannya lebih rendah, me-
mekik ngeri! Sebuah hantaman cakar Panji me-
nyambar telak dadanya! Tanpa dapat dicegah lagi, tu-
buh tokoh sesat itu terpental dan membentur dinding
pekarangan rumah Ki Panda Rasa!
Deeerrr...!
“Huuukhhh!”
Dinding batu yang kokoh itu jebol dengan suara
berderak ribut! Sedangkan tubuh Ular Merah tampak
menggelepar dan tewas dengan tulang-tulang remuk!
Berakhirlah dendam kesumat di dalam dadanya. Kare-
na nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Ular Welang Tongkat Sakti pun tidak luput dari
gempuran hebat Pendekar Naga Putih. Terbukti setelah
lewat tiga puluh jurus Ular Merah menemui ajal, kakek
itu pun harus merasakan dahsyatnya tenaga berhawa
dingin dari pemuda berjubah putih itu.
“Yeaaahhh.”
Bressshhh...!
Disertai bentakan mengguntur, Panji mendorong-
kan sepasang telapak tangannya dan langsung meng-
gedor dada Ular Welang. Akibatnya, tentu saja sangat
mengerikan! Diiringi pekik kematian, tubuh Ular We-
lang Tongkat Sakti terlempar deras hingga tiga tombak
jauhnya! Darah segar berceceran dari mulut kakek tua
itu!
“Ular Welang...!?” Wintarsih memekik dan meng-
hambur ke arah tubuh suaminya yang menggelepar
bagaikan ayam disembelih itu. Namun, tokoh sesat
yang menggiriskan itu telah menghembuskan napas-
nya. Karena tulang dadanya remuk akibat hantaman
dahsyat barusan. Dari mulutnya masih terlihat darah
segar meleleh. Jelas bagian dalam dadanya pun han-
cur akibat gempuran dahsyat itu.
Sedangkan Pendekar Naga Putih telah menoleh ke
arah pertempuran di sebelah kanannya. Tubuh pemu-
da itu segera melesat ketika melihat Pendekar Tangan
Kilat dan Pungga Rasa menjadi bulan-bulanan selen-
dang biru Wintari.
“Haiiittt...!”
Plaaarrr...!
“Uuuhhh...!”
Wintari terpelanting ke belakang akibat telapak tan-
gan Panji yang memapaki senjatanya. Hal itu terjadi
karena tenaga yang dikerahkan Panji hampir mencapai
puncaknya.
Kendati demikian, Wintari segera bergerak bangkit,
dan siap bertarung mati-matian. Sementara Pungga
Rasa dan Pendekar Tangan Kilat telah bergerak ke tepi.
Sepertinya kedua orang gagah itu menyerahkan sega-
lanya kepada Pendekar Naga Putih.
“Tahan...!”
Saat Wintari dan Panji telah siap saling gempur, ti-
ba-tiba melayang sesosok tubuh yang langsung men-
darat di antara ke duanya. Dia adalah Ki Panda Rasa.
“Pertarungan ini tidak perlu dilanjutkan! Akulah
yang menjadi biang keladinya. Biarlah aku yang akan
menerima hukuman atas kekhilafanku di masa lalu...,”
ujar Ki Panda Rasa dengan suara lantang. Ia berdiri te-
gak dan siap menerima hantaman selendang Wintari.
“Tunggu...!”
Wintari yang siap akan menghabisi nyawa lelaki ga-
gah itu, menahan gerakannya.
“Ibu...?!” seru dara remaja itu kelihatan bingung
melihat raut wajah ibunya.
“Panda Rasa! Kalau kau memang benar-benar siap
menerima hukuman, ceritakanlah kepada semua orang
di sini mengenai apa yang telah kau perbuat atas diri-
ku!” suara Wintarsih terdengar masih mengandung
isak tertahan. Jelas hati wanita berpakaian hitam itu
tersentuh melihat kepasrahan Ki Panda Rasa.
“Wintarsih. Aku memang telah melakukan keja-
hatan yang tidak bisa diampuni olehmu. Sejak lama
aku telah siap menantikan datangnya kematian. Keta-
huilah, aku pun sangat tersiksa dengan apa yang telah
kulakukan itu. Kalau pun sekarang aku harus mem-
beberkan apa yang telah kulakukan di depan orang
banyak, semua itu tidak akan bisa mengurangi rasa
bersalah di hatiku. Karena kau meminta, maka aku
akan segera mengatakannya...,” ucap Ki Panda Rasa
sambil menatap lekat ke wajah wanita itu. Hati Win-
tarsih sempat tergetar melihat tatapan penuh cinta ka-
sih itu.
“Tunggu...!” sebelum Ki Panda Rasa mengucapkan
apa yang pernah dilakukannya, Panji berseru seraya
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Kemudian
pemuda berjubah putih itu melangkah maju beberapa
tindak.
“Nyai Wintarsih,” ucap Panji yang mengenal nama
wanita itu dari ucapan Ki Panda Rasa, “Rasanya apa-
pun yang akan diucapkan Ki Panda Rasa, hanya akan
membuka aib kalian berdua. Apabila kejadian ini sam-
pai terdengar orang lain, bukan hanya kau dan Ki
Panda Rasa yang akan tersiksa. Tapi, putrimu pun
akan merasa rendah diri dan dilecehkan orang lain.
Itukah yang kau kehendaki...?” ujar Panji yang mem-
buat Wintarsih bingung. Tentu saja baginya tidak men-
jadi masalah. Tapi, sebagai seorang ibu, ia tidak rela
kalau putrinya kelak dicemooh orang banyak. Sehing-
ga, wanita itu tidak bisa membantah ucapan Pendekar
Naga Putih.
“Karena Ki Panda Rasa sudah siap menerima apa
pun hukuman yang akan kau jatuhkan, sebaiknya
persoalan ini kita bicarakan di dalam. Aku pun ingin
mendengar persoalan yang sebenarnya. Setelah itu,
barulah Nyai memutuskan. Aku akan menjadi saksi,
dan siap menegakkan keadilan yang Nyai pinta...,”
usul Panji yang membuat Ki Panda Rasa mengangguk
setuju.
“Apa yang dikatakan pemuda ini benar, Wintarsih.
Aku pun sangat menyesal, dan siap menerima hukum-
an,” ujar Ki Panda Rasa yang membuat Wintarsih ter-
paksa menganggukkan kepala. Maka, ia pun meng-
ikuti langkah Panji, Ki Panda Rasa, Pungga Rasa, Pen-
dekar Tangan Kilat, juga Wintari yang sepertinya
hanya mengikuti kemauan ibunya.
“Sembilan belas tahun yang lalu, saat Pungga Rasa
berumur empat tahun, terjadilah peristiwa terkutuk
itu,” Ki Panda Rasa memulai ceritanya, saat mereka te-
lah duduk mengelilingi sebuah meja bulat “Semenjak
istriku tewas karena penyakit menular berjangkit di
desa ini, aku merawat Pungga Rasa dengan dibantu
oleh Wintarsih. Dia, begitu tekun melayani segala ke-
perluanku, juga putraku. Karena kami selalu ber-
dekatan setiap hari, timbullah rasa cintaku terhadap
Wintarsih. Uluran tanganku mendapat sambutan da-
rinya. Suatu malam, kami berhubungan sebagai-mana
layaknya suami istri. Beberapa bulan kemudian, Win-
tarsih mengatakan kepadaku bahwa ia hamil. Timbul-
lah sifat pengecutku. Karena tidak ingin pandangan
orang dan tokoh-tokoh persilatan melecehkan-ku, ka-
rena telah menghamili seorang pembantu, diam-diam
aku menyuruh Wantara dan Galangsa mem-buang
Wintarsih jauh-jauh. Tidak kusangka sama sekali ka-
lau mereka telah berbuat keji terhadapnya...,” tutur Ki
Panda Rasa dengan wajah menunduk dan penuh rasa
sesal yang dalam. Wintarsih pun ikut menangis teri-
sak-isak. Karena biar bagaimanapun ia masih mencin-
tai Ki Panda Rasa.
Panji, Ki Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat
mengangguk-angguk kepalanya mendengar penjelasan
lelaki gagah itu.
“Ki Panda Rasa,” panggil Panji setelah agak lama le-
laki gagah itu terdiam, “Andaikata kau diberi kesem-
patan untuk menebus dosamu dengan memelihara
mereka berdua, apakah kau masih merasa malu kepa-
da orang-orang di sekelilingmu, dan sahabat-
sahabatmu?” tanya Panji dengan hati-hati.
“Terserah kepada Wintarsih. Asalkan mereka mau
mengampuni dan menerimaku. Aku bersedia melaku-
kan apa saja yang mereka inginkan,” sahut Ki Panda
Rasa mantap, tanpa keraguan sedikitpun. Untuk me-
nunjukkan rasa penyesalannya, lelaki gagah itu bang-
kit dan menghampiri Wintarsih yang juga bangkit dari
kursinya,
Wintari yang masih merasa curiga, segera beranjak
bangkit dan siap melindungi ibunya. Meskipun Wintari
sempat tersentuh hatinya setelah mendengar penga-
kuan lelaki gagah itu. Tetapi ia belum percaya sepe-
nuhnya dengan lelaki itu.
Kedua insan berlainan jenis itu saling berdiri ber-
hadapan dalam jarak dua langkah. Secara tak terduga,
Ki Panda Rasa menjatuhkan dirinya seraya memeluk
kaki Nyai Wintarsih.
“Ampuni aku, Wintarsih. Aku benar-benar menye-
sal. Dan, kalau kau memang menghendaki kematian-
ku, aku pasrah...,” desis Ki Panda Rasa yang melaku-
kan semua itu karena rasa penyesalan yang menda-
lam, bukan karena ia takut terhadap pem-balasan wa-
nita itu.
Wintarsih terdiam dengan air mata berlinang. Hati
wanita itu yang semula beku dan dipenuhi dendam,
perlahan pudar menyaksikan perbuatan lelaki gagah,
pendekar terkenal, dan seorang kepala desa, mau me-
rendahkan dirinya. Pertahanan wanita itu pun luluh.
“Kakang...,” tubuh Nyai Wintarsih melorot jatuh.
Dipeluknya tubuh Ki Panda Rasa dengan segenap rasa
cintanya. Tanpa ragu lagi, Ki Panda Rasa pun meme-
luk tubuh Nyai Wintarsih erat-erat. Tinggallah Wintari
dan Ki Pungga Rasa terbengong-bengong, dan saling
melempar pandang.
Melihat persoalan itu telah selesai dengan baik, di-
am-diam Panji menyelinap pergi. Ia teringat dengan
Kenanga yang tinggal bersama bibinya yang akan me-
lahirkan putranya itu. Dan Panji berniat menjenguk kekasihnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar