..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 17 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE RASE PERAK

Matjenuh khairil


RASE PERAK
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Rase Perak
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU


Jilatan lidah api bergoyang pelan dipermainkan 
hembusan angin lembut. Sesekali terdengar bunyi ge-
meretak suara ranting terbakar. Nyala api itu memang 
tidak terlalu besar. Namun, cukup untuk menerangi 
tempat sekitarnya dari kegelapan malam yang menye-
limuti. Bahkan, sanggup mengusir nyamuk-nyamuk 
yang beterbangan mencari mangsa.
Di sekeliling jilatan api unggun itu tampak empat 
sosok tubuh duduk bersila. Mereka terdiam menatap 
kobaran api di depannya. Salah seorang dari mereka 
menjulurkan ranting, menarik keluar benda berbentuk 
bulat panjang yang bagian luarnya telah hangus ter-
bakar.
“Hm.... Singkong bakar ini memang nikmat seka-
li...,” gumam orang itu, yang wajahnya terhias kumis 
tipis. Lelaki itu tengah mengunyah singkong bakar 
yang baru saja dikeluarkan dari kobaran api. Terden-
gar suara berkecipak dari mulutnya. Kendati mulutnya 
membuat gerakan lucu ke kiri kanan karena kepana-
san, namun terlihat jelas betapa ia sangat menikmati 
kehangatan dan kenikmatan singkong bakar itu.
Kenikmatan yang diperlihatkan lelaki berkumis ti-
pis, mengundang kawan-kawannya untuk ikut menci-
cipi. Mereka menjulurkan ranting, menarik keluar 
singkong lainnya. Kemudian mencicipinya setelah 
membelahnya terlebih dulu. Mereka pun mengangguk-
kan kepala. Agaknya, yang dikatakan lelaki berkumis 
tipis itu bukan bualan belaka.
“Berapa lama lagi kita akan menempuh perjala-
nan...?” sambil menikmati makanan sederhana itu, sa-
lah satu dari mereka mengeluarkan pertanyaan. Dari 
tatapan matanya yang tertuju ke wajah lelaki berkumis

tipis, jelas pertanyaan itu ditujukan kepada kawan di 
depannya itu.
“Menurut perkiraanku, kita masih akan berjalan 
kurang lebih setengah hari lagi. Itu pun kalau kita ti-
dak mendapat halangan di perjalanan...,” sahut lelaki 
berkumis tipis, yang rupanya pimpinan rombongan ke-
cil itu.
“Hm.... Kelihatannya Kakang Danaya mengkhawa-
tirkan sesuatu...?” gumam lelaki lainnya, yang berwa-
jah kurus dan memiliki sinar mata setajam burung 
elang. Sikap dan pandangannya menunjukkan ia bu-
kan orang sembarangan. Sinar mata itu menyimpan 
suatu kekuatan besar yang tersembunyi di dalam di-
rinya.
“He he he....” Lelaki berkumis tipis bernama Danaya 
memperdengarkan tawa perlahan. Setelah memperha-
tikan wajah ketiga orang di sekelilingnya, kemudian ia 
menjawab.
“Apa kalian kira cuma perkumpulan kita yang men-
dengar berita itu? Tidak demikian ringan tugas yang 
kita lakukan kali ini, kawan-kawan. Bahkan, bukan ti-
dak mungkin kita telah kedahuluan orang lain. Itu se-
babnya, mengapa aku sering mengingatkan kalian agar 
selalu waspada! Telinga dan penciuman orang-orang 
kaum rimba persilatan tidak ubahnya binatang buas. 
Menurutku, berita ini pasti sudah didengar setengah 
dari tokoh-tokoh persilatan. Dan bukan mustahil da-
rah akan tumpah. Karena apa yang akan kita cari san-
gat diidamkan oleh orang-orang persilatan. Baik itu 
dari golongan putih maupun golongan hitam...,” jelas 
Danaya seraya memperhatikan wajah kawan-
kawannya.
“Wah.... Kalau benar demikian, alangkah beratnya 
tugas yang kita emban ini, Kakang...,” tukas salah satu 
dari ketiga lelaki itu. Wajahnya menampakkan ketegangan setelah mendengar penjelasan Danaya. Bah-
kan, sepasang matanya mengerling ke sekitar tempat 
itu. Ucapan Danaya telah menimbulkan kecurigaan 
terhadap sekitarnya.
“Hm..., jangan terlalu tegang, Adi Kumbara. Justru 
karena tugas kali ini sangat berat, maka guru telah 
mempersiapkan kita dari jauh-jauh hari. Kita telah di-
latih dengan ilmu khusus, yang sangat sulit dan tang-
guh. Untuk itu, kita tidak boleh merasa kecil hati. Wa-
laupun akan banyak muncul saingan- saingan berat. 
Dengan ilmu yang telah kita miliki, tidak mudah bagi 
lawan untuk merobohkan kita....”
Danaya yang melihat kecemasan dan ketegangan di 
wajah kawannya mencoba menghibur. Tapi, bukan be-
rarti yang dikatakannya cuma omong kosong saja. Me-
reka memang telah dibekali sebuah ilmu tangguh un-
tuk melakukan tugas berat itu.
“Kau benar, Kakang!” sahut Kumbara mulai tenang. 
Keyakinannya pun timbul setelah mendengar perka-
taan Danaya. Terdengar tarikan nafasnya yang pan-
jang, pertanda kelegaan hatinya.
Dua orang lainnya ikut menganggukkan kepala. Ke-
lihatannya mereka baru sadar setelah mendengar pen-
jelasan Danaya. Kini mereka merasa tenang. Ilmu yang 
mereka miliki adalah ilmu tangguh yang baru akan 
mereka peroleh lima tahun kemudian. Hanya karena 
tugas berat itulah mereka mendapat keistimewaan un-
tuk mempelajarinya.
“Hhh.... Malam sudah semakin larut. Sebaiknya kita 
beristirahat Aku akan membangunkan kawan-kawan 
kita yang lain untuk ganti berjaga,” suara Danaya me-
mecah kebisuan yang hanya beberapa saat Kemudian, 
lelaki berkumis tipis itu bergerak bangkit dan meng-
hampiri empat sosok tubuh lainnya yang tengah terle-
lap dibuai mimpi. Rupanya, mereka bukan cuma berempat. Ada empat orang kawan mereka yang lain.
Kumbara dan dua kawannya segera beranjak bang-
kit. Mereka merebahkan diri di atas rerumputan den-
gan berbantalan buntalan pakaian. Karena empat ka-
wan mereka yang lain sudah terbangun dari tidurnya. 
Siap menggantikan mereka untuk berjaga-jaga.
“Oaaahm....”
Salah satu dari keempat lelaki itu menguap lebar 
sambil menggeliat. Tubuhnya dijatuhkan di depan api 
unggun. Lelaki itu menggosok-gosokkan kedua tan-
gannya di dekat jilatan api. Udara menjelang dini hari 
memang terasa semakin dingin menggigit. Apalagi, me-
reka bermalam di tempat terbuka di tepi sebuah hu-
tan.
“Sebentar lagi fajar akan terbit...,” gumam lelaki 
bertubuh kekar dengan sepasang mata besar. Sejenak 
kepalanya tengadah menatap langit yang dihiasi ge-
mintang dan bulan sabit.
Tiga orang lainnya hanya mengangkat kepala mena-
tap langit. Tak satu pun dari mereka yang memberikan 
tanggapan. Karena ucapan barusan memang tidak 
memerlukan jawaban.
Tapi, baru saja ketiga lelaki itu menjatuhkan tu-
buhnya di atas rerumputan di depan api unggun, tiba-
tiba datang tiupan angin besar! Api unggun berkobar 
cepat dan nyaris padam. Tentu saja hal itu menge-
jutkan mereka. Keempat orang itu saling melempar 
pandang satu sama lain. Dan belum lagi salah satu da-
ri mereka sempat berkata, tiba-tiba....
“Hua ha ha...!”
Terdengar tawa berkumandang menggetarkan jan-
tung! Suara tawa itu bagai datang dari delapan penju-
ru. Sehingga, sulit ditentukan dari mana sebenarnya 
suara tawa itu datang.
‘Tikus-tikus tak berguna! Kalian datang hanya untuk mengantarkan nyawa...!” suara tawa itu tiba-tiba 
lenyap. Berganti dengan gumaman kasar, namun ter-
dengar jelas. Keempat lelaki itu tersentak bangkit dan 
meraba gagang pedang!
Danaya dan ketiga kawannya yang baru saja mere-
bahkan diri langsung berlompatan bangkit Mereka
bergabung dengan kawan-kawannya yang masih bera-
da di dekat api unggun. Dan, ikut memperhatikan se-
kitar tempat itu dengan sikap tegang!
“Hm.... Siapa pun kau, kalau memang bukan seo-
rang pengecut segera tunjukkan dirimu...!”
Danaya berseru dengan mengerahkan tenaga da-
lam. Sehingga, suaranya bergema sampai beberapa 
tombak ke sekitar tepi hutan. Sepertinya, lelaki ber-
kumis tipis itu ingin menunjukkan bahwa ia dan ka-
wan-kawannya bukan orang sembarangan, dan tidak 
mudah digertak!
Seruan yang jelas-jelas bernada tantangan itu, 
membuat suasana menjadi hening. Suara tawa mau-
pun ucapan bernada menghina lenyap. Suasana sepi 
dan menegangkan. Danaya maupun kawan- kawannya 
yakin pemilik suara tanpa wujud itu pasti belum pergi 
dari tempat ini. Namun, mereka tidak tahu di mana dia 
bersembunyi. Dan mereka hanya bisa menunggu den-
gan sikap penuh waspada. Tiba-tiba....
Whusss...!
Serangkum angin keras berhembus. Danaya dan 
kawan-kawannya berlompatan mundur dengan tangan 
menggenggam gagang pedang, meski belum tercabut 
dari sarungnya. Hembusan angin dingin yang keras 
membuat mereka semakin tegang. Itu terlihat jelas pa-
da wajah-wajah mereka dalam pantulan cahaya api 
unggun.
“Hua ha ha...! Dasar, Tikus-tikus Tolol! Coba tengok 
ke belakang. Aku sudah menunggu kalian...!”

Kaget bukan main kedelapan lelaki gagah itu. Da-
naya segera membalikkan tubuh dengan secepat kilat 
Pedang di pinggangnya langsung dicabut keluar. Ia su-
dah siap berhadapan lebih dulu dengan sosok yang di-
tantangnya.
“Siapa kau, Kisanak...? Apa maksudmu menggang-
gu kami...?” tegur Danaya. Ditatapnya tajam- tajam 
sosok bayangan hitam yang bersembunyi di balik 
bayangan pohon. Danaya tidak bisa melihat wajah so-
sok tinggi besar itu dengan jelas.
“Kau ingin mengetahui siapa aku...?” tukas sosok 
tinggi besar menyiratkan ejekan. “Dengar baik-baik. 
Aku adalah Malaikat Maut yang datang untuk men-
gambil nyawa tikus-tikus busuk seperti kalian!” lan-
jutnya dengan suara berat dan parau.
Ucapan itu terdengar tidak main-main. Ada nada 
kesungguhan di dalamnya, membuat Danaya dan ka-
wan-kawannya tersentak kaget.
“Keparat! Berani kau menghina murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih!” geram salah seorang kawan Da-
naya. Kemudian, menyeruak maju dengan senjata ter-
hunus. Dia tidak lain Kumbara. Lelaki itu tampaknya 
tidak bisa menerima penghinaan sosok tinggi besar.
“Heh he he...! Bagiku kalian tak ubahnya bangau-
bangau mau mati!” tandas sosok tinggi besar yang ke-
lihatan sedikit pun tidak merasa gentar mendengar 
nama Perguruan Bangau Putih. Bahkan, kekurangaja-
rannya semakin menjadi-jadi.
“Keparat...!” gemetar sekujur tubuh Kumbara men-
dengar hinaan itu. “Kurobek mulutmu...!” bentaknya. 
Serta-merta pedangnya diputar. Kumbara melesat 
dengan serangan-serangan yang mematikan!
“Haaat...!”
“Adi Kumbara, hati-hati...!” Danaya yang terkejut 
melihat tindakan gegabah kawannya segera berseru

memperingatkan. Bahkan, ia melesat menyusul Kum-
bara.
Sosok tinggi besar yang tersembunyi di balik kege-
lapan bayang pepohonan hanya memperdengarkan 
dengusan mengejek. Sambaran pedang Kumbara yang 
datang bertubi-tubi tidak dapat melukainya. Bahkan, 
menyentuh ujung pakaiannya pun tidak. Jelas, betapa 
hebat ilmu sosok tinggi besar itu. Bahkan....
“Minggat kau ke neraka...!”
Diiringi bentakan yang mengejutkan, sosok tinggi 
besar melontarkan hantaman telapak tangan dengan 
mendadak. Serangkum angin keras berhembus mengi-
ringi datangnya serangan itu. Dan....
Desss...!
“Aaakh...?!”
Kumbara terpekik ngeri! Darah segar termuntah da-
ri mulutnya saat telapak tangan lawan singgah di dada 
kiri. Tubuh gemuk Kumbara pun terlempar deras dan 
jatuh ke tanah dengan nyawa putus!
“Iblis...! Kau harus menukarnya dengan nyawa-
mu...!”
Danaya yang melihat hebatnya pukulan sosok tinggi 
besar dapat menduga bahwa kawannya tidak bakal se-
lamat. Maka, dengan kemarahan yang meluap, Danaya 
langsung melancarkan serangkaian bacokan dan tu-
sukan dengan kecepatan penuh!
Whuttt, bettt...!
Namun, semua serangan Danaya hanya disambut 
dengan kelitan tubuh yang indah. Semua serangannya 
kandas. Ketika ia nekat menyusuli dengan serangan 
berputar, sosok tinggi besar itu memapakinya dengan
tepisan telapak tangan.
Plaggg!
“Uuuh...?!”
Kaget bukan main lelaki berkumis tipis itu. Setengah lengannya terasa lumpuh untuk sesaat Kuda-
kudanya tergempur dan tubuhnya terhuyung mundur 
beberapa langkah. Sadarlah Danaya bahwa sosok ting-
gi besar itu bukan orang sembarangan. Kekuatannya 
berada jauh di atas dirinya. Kenyataan itu membuat 
Danaya diliputi kecemasan!
“Seraaang...!”
Setelah sadar akan kekuatan dan ketangguhan la-
wan, Danaya segera memerintahkan kawan-kawannya 
untuk maju menggempur. Mereka menggunakan ilmu 
pedang yang baru diturunkan, dan telah mereka sem-
purnakan dengan baik.
“Yeaaat...!”
“Haaat...!”
Disertai pekikan yang menggegap, Danaya memim-
pin enam orang kawannya menggempur maju. Cahaya 
putih keperakan membersit menerangi kegelapan ma-
lam. Suara berdesingan membuat suasana yang semu-
la hening berubah hiruk-pikuk. Ditingkahi dengan 
bentakan dan seruan yang mengejutkan.
Tapi, sosok tinggi besar itu ternyata memang tang-
guh. Ia masih mampu mengimbangi serangan Danaya 
dan kawan-kawannya. Padahal, orang- orang Pergu-
ruan Bangau Putih telah menggunakan
‘Ilmu Pedang Membelah Kabut’, yang ketangguhan-
nya sudah dikenal oleh kalangan persilatan.
“Sekarang giliranku untuk mengambil nyawa tikus 
kalian...!”
Di tengah kilatan cahaya pedang, sosok tinggi besar 
tiba-tiba berseru perlahan. Suaranya terdengar jelas di 
telinga ketujuh orang lawannya. Dan....
“Haiiit...!”
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, sosok 
tinggi besar bergerak menyelinap di antara sambaran 
mata pedang. Kemudian, mengibaskan kedua tangan

nya ke kiri kanan menyambut serangan dua batang 
pedang yang mengancam tubuhnya.
Takkk, takkk!
Dua orang kawan Danaya tersentak kaget! Mata pe-
dang mereka bagai bertemu dengan sepotong besi baja. 
Mereka menjadi kehilangan kewaspadaan. Dan....
Bukkk, desss...!
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian berkumandang membelah 
malam. Dua orang murid Perguruan Bangau Putih ter-
jungkal memuntahkan darah segar. Pukulan telapak 
tangan sosok tinggi besar telah melepaskan nyawa me-
reka yang hanya satu-satunya.
“Keparat...!” Danaya benar-benar dibuat kalap den-
gan kematian kawan-kawannya. Tubuhnya melayang 
ke udara. Danaya berlaku nekat, menerjang maju sela-
gi lawan siap melepaskan pukulan maut!
“Pergilah ke neraka...!” disertai suara mendesis per-
lahan, sosok tinggi besar mendorong tangan kanannya 
dengan telapak terbuka. Serangkum angin mencicit 
keras menyambut datangnya tubuh Danaya. Sehing-
ga....
Bresh...!
“Aaargh...!”
Danaya meraung bagai binatang luka. Tubuhnya 
terpental keras dan membentur batang pohon di bela-
kangnya. Sudah dapat dipastikan pukulan keras itu 
menewaskan murid Perguruan Bangau Putih itu.
Apa yang kemudian terjadi membuat keempat ka-
wan Danaya terbelalak. Tubuh yang remuk akibat 
membentur pohon besar itu meregang sesaat. Kemu-
dian diam tak bergerak dengan mata terbelalak dan 
wajah menyeringai. Lelehan darah mengalir dari mu-
lutnya.
“Heh heh heh...! Tidak usah kaget, Tikus-tikus Tak

Berguna! Sebentar lagi kalian akan menyusulnya. Me-
mang tidak pantas orang-orang seperti kalian mempe-
rebutkan Rase Perak...!” ujar sosok tinggi besar seraya 
bergerak menghampiri dengan langkah perlahan. Se-
pertinya, ia sengaja hendak membuat sisa-sisa lawan-
nya mati ketakutan sebelum disentuh.
“Keparat! Jangan kau kira kami takut menghadapi 
kematian...!” salah seorang dari empat murid Pergu-
ruan Bangau Putih, menggeram marah. Rasa takut da-
lam hatinya dibuang jauh-jauh. Ia sadar cepat atau 
lambat sosok tinggi besar itu pasti akan membunuh-
nya.
“Haaat..!”
Dengan teriakan keras, lelaki itu menerjang maju. 
Sambaran pedangnya terdengar berdesingan. Tiga ka-
wannya segera berlompatan menyusul. Rupanya, me-
reka hendak bertarung sampai titik darah penghabi-
san!
Sosok tinggi besar itu sendiri hanya terkekeh. Tu-
buhnya sedikit pun tidak bergerak menghindar saat 
empat senjata itu datang mengancam. Kelihatannya, ia 
begitu yakin akan kekuatan tenaga dalamnya yang 
mampu menahan bacokan mata pedang.
Dan saat keempat mata pedang menghujani tubuh-
nya, sosok tinggi besar hanya mendengus kasar. Apa 
yang diyakininya memang benar-benar terjadi. Empat 
batang pedang itu terpental lepas dari genggaman pe-
miliknya. Kemudian....
Desss, bukkk, prakkk...!
Empat sosok tubuh itu terlempar ke kiri kanan. 
Hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam 
tingkat tinggi itu membuat mereka berkelojotan tewas. 
Satu di antaranya menggeletak tak bernyawa dengan
batok kepala remuk. Jelas sudah betapa hebat kekua-
tan tenaga dalam sosok tinggi besar. Padahal, lawan

lawannya bukanlah orang lemah. Danaya dan kawan-
kawannya merupakan murid-murid utama Perguruan 
Bangau Putih. Kehebatan perguruan itu pun cukup 
terkenal di kalangan persilatan. Tapi, bagi sosok tinggi 
besar itu mereka sedikit pun tidak berarti. Demikian 
mudahnya ia menghabisi delapan orang murid utama 
Perguruan Bangau Putih.
“Heh heh heh...! Ketua Perguruan Bangau Putih be-
nar-benar tolol. Ia sama saja dengan bermimpi kalau 
hendak mendapatkan binatang keramat itu...,” gumam 
sosok tinggi besar seraya mengawasi mayat korban ke-
ganasannya.
Malam mulai berganti fajar saat sosok tinggi besar 
bergerak meninggalkan tubuh-tubuh korbannya. Ko-
kok ayam hutan mengiringi lenyapnya sosok bayangan 
hitam berperawakan tinggi besar yang misterius itu.
***
DUA


“Heaaa... heaaa...!”
Suara bentakan yang diselingi lecutan cambuk 
mengiringi derap seekor kuda berbulu putih. Sosok 
berperawakan sedang yang duduk di atas binatang 
tunggangannya itu memasuki perbatasan sebuah desa. 
Dan baru memperlambat lari kudanya begitu melintas 
di atas jalan utama desa.
Suasana desa cukup ramai. Rumah-rumah berjajar 
di kiri kanan jalan. Tampaknya, kehadiran penung-
gang kuda itu tidak banyak menarik perhatian. Hanya 
ada beberapa orang penduduk yang menoleh. Itu pun 
hanya sekilas. Selanjutnya, mereka kembali disibuk-
kan oleh pekerjaan masing-masing. Kelihatannya me-
reka tidak aneh dengan para pendatang. Desa itu memang sering dilalui atau pun disinggahi orang-orang 
luar. Itu sebabnya, kehadiran sosok bertubuh sedang 
yang menunggang kuda berbulu putih itu tidak diper-
hatikan.
Penunggang kuda itu sendiri merasa lega melihat 
ketidakpedulian penduduk desa. Sikap itu membuat-
nya bisa lebih tenang melintasi jalan utama desa. Dan 
baru membelokkan kudanya saat melihat sebuah ke-
dai makan di sebelah kiri jalan.
Segera ia menambatkan binatang tunggangannya. 
Dan melangkah lebar memasuki kedai makan itu.
Beberapa pasang mata sempat menoleh dan mem-
perhatikan sosok bertubuh sedang. Tampaknya, pa-
kaian petani yang dikenakan sosok itu tidak membuat 
mereka tertarik. Sehingga, beberapa pasang mata itu 
kembali berpaling dan melanjutkan makan serta mi-
num mereka.
Sosok bertubuh sedang yang jelas bukan penduduk 
setempat itu kelihatan ingin menampilkan sikap wajar. 
Langkahnya terayun menghampiri sebuah meja ko-
song. Sambil melangkah, sepasang matanya bergerak 
meneliti orang-orang yang ada di dalam ruangan. 
Agaknya, sosok berpakaian petani itu tengah mencari-
cari sesuatu.
Saat langkahnya tiba di depan meja kosong, lelaki 
bertubuh sedang itu berniat menghempaskan tubuh-
nya di kursi. Sambil berpegangan pada bagian bela-
kang kursi, sepasang matanya kembali mengawasi se-
kitar.
Mendadak. Lelaki bertubuh sedang itu menghenti-
kan gerakannya dalam kedudukan membungkuk. Se-
pasang matanya membelalak lebar! Terlihat jelas beta-
pa sorot mata itu memancarkan perasaan gembira dan 
lega. Namun, keraguan membuatnya terpaku beberapa 
saat, seperti terkena sihir.

“Tidak salahkan penglihatanku...?!” desis lelaki ber-
tubuh sedang. Punggung tangannya digosok-gosokkan 
ke kedua matanya. Seolah ia belum yakin dengan apa 
yang dilihatnya.
Entah apa yang menjadi penyebabnya. Tiba-tiba le-
laki bertubuh sedang itu kelihatan tegang. Jalan na-
fasnya mulai tidak beraturan. Hingga akhirnya, dengan 
menghela napas berat langkahnya terayun perlahan. 
Sepasang matanya tak lepas memandang ke depan.
Suara langkah terseret dengan detak jantung yang 
bekerja lebih cepat, rupanya telah membuat sosok ber-
jubah putih di depannya agak terganggu. Sosok itu 
berpaling dengan gerak perlahan, namun jelas menyi-
ratkan kewaspadaan. Sepasang mata tajam berpenga-
ruh dari seraut wajah tampan itu ternyata merupakan 
awal kegaduhan yang kemudian terjadi. Karena....
“Pendekar Naga Putih...?!” bagai orang menang lo-
tre, lelaki bertubuh sedang dan berpakaian petani itu 
berseru mengejutkan seisi kedai. Tarikan wajahnya 
menunjukkan ia sangat gembira tak terkira.
Setengah dari pengunjung kedai serentak menoleh 
ke arah sosok sedang berpakaian petani. Sebab, lelaki 
itulah sumber suara seruan keras barusan. Kemudian, 
mata mereka mengikuti arah pandang lelaki bertubuh 
sedang.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Terdengar desis keheranan di sana-sini. Ulah lelaki
berpakaian petani itu membuat pemuda tampan ber-
jubah putih menjadi pusat perhatian dari setengah 
pengunjung kedai. Tatapan mereka menyiratkan keka-
guman dan keheranan. Kagum dengan sorot mata ta-
jam berpengaruh dari pemuda tampan itu. Dan heran 
melihat kehadiran pendekar ternama itu di antara me-
reka, tanpa seorang pun yang menyadarinya.
Sadar bahwa dirinya tengah ditatap belasan pasang

mata, pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum 
seraya menganggukkan kepala. Lalu, menoleh ke arah 
sosok berpakaian serba hijau yang duduk di sebelah-
nya.
“Dana Ruksa...?!” gumam sosok berpakaian serba 
hijau ketika mengenali lelaki berpakaian petani. Keru-
tan pada kening wajah jelita laksana bidadari itu me-
nandakan hati sang Dara tengah diliputi keheranan.
“Kenanga...?!”
Lelaki yang dipanggil dengan Dana Ruksa itu berse-
ru gembira. Tampak jelas ia sangat mengharapkan per-
temuan itu. Sekarang dapat ditebak mengapa saat 
memasuki kedai, Dana Ruksa mengedarkan pandan-
gan. Rupanya, pasangan pendekar muda itu yang dica-
rinya.
Pasangan muda yang memang tidak lain Panji dan 
Kenanga saling bertukar pandang sesaat. Namun, se-
belum mereka sempat mengambil suatu tindakan, ti-
ba-tiba suasana menjadi gaduh! Setengah dari pen-
gunjung kedai berdiri satu persatu. Mereka melangkah 
ke arah Panji dan Kenanga. Dari sikap dan penampi-
lannya, agaknya mereka kaum rimba persilatan.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga tidak kelihatan 
terkejut. Sepertinya, mereka sudah tahu sebelumnya 
kalau di dalam kedai itu banyak terdapat kaum rimba 
persilatan. Pasangan pendekar muda itu segera bang-
kit dari duduknya. Siap menyambut tokoh-tokoh persi-
latan yang datang menghampiri.
Panji menyambut salam kaum rimba persilatan itu 
dengan bibir tersenyum dan sapa ramah penuh persa-
habatan. Demikian pula yang dilakukan Kenanga. Ga-
dis jelita itu tidak merasa terkucil. Meski ia tahu salam 
dan sapa tokoh-tokoh persilatan itu kepadanya hanya 
sekadar basa-basi. Karena mereka lebih memperhati-
kan Panji. Malah Kenanga merasa bangga. Panji ada

lah bagian dari dirinya. Baginya, sanjungan untuk 
Panji sama dengan menyanjung dirinya. Sehingga, Ke-
nanga tidak merasa tersisih oleh sikap tokoh-tokoh 
persilatan itu.
“Maaf, sahabat-sahabat yang gagah. Aku mohon 
pamit. Ada sesuatu yang harus segera kuurus...,” pinta 
Panji setelah berbasa-basi beberapa saat. Pemuda itu 
kemudian meninggalkan ruangan kedai, setelah me-
ninggalkan beberapa keping uang seharga makanan 
yang ia pesan.
Para tokoh persilatan itu tidak berani mencegah ke-
pergian Panji. Kelihatannya mereka cukup puas den-
gan sambutan ramah dari pendekar muda itu. Saat 
Panji berpamitan, mereka segera menyingkir memberi 
jalan.
“Terima kasih...,” ucap Panji beberapa kali seraya 
memberi isyarat kepada Kenanga untuk mengikutinya. 
Kenanga segera bergerak tanpa banyak tanya. Gadis 
itu sudah tahu mengenai sesuatu yang hendak diurus 
kekasihnya.
“Ikuti kami, Dana Ruksa...,” bisik Panji saat mele-
wati lelaki berpakaian petani, yang tidak mendapat ke-
sempatan untuk menghampiri pasangan pendekar 
muda itu. Dana Ruksa kelihatan menyadari kesala-
hannya yang telah membuat gaduh seisi kedai.
Dana Ruksa mengangguk meski ia tahu Panji dan 
Kenanga tidak melihat anggukannya. Lelaki itu berge-
gas mengikuti. Lalu, melompat ke atas punggung ku-
da. Dan mengikuti pasangan pendekar muda itu yang 
nampak melangkah agak cepat keluar desa.
Tinggallah tokoh-tokoh rimba persilatan bergerom-
bol di depan kedai. Mereka menatap sosok Panji dan 
dara jelita berpakaian serba hijau yang semakin jauh. 
Beberapa di antara mereka menggeleng-geleng takjub. 
Meski hanya melangkah, tubuh Panji dan Kenanga ce

pat sekali menjauh. Padahal, mereka melihat jelas 
langkah pasangan pendekar muda itu. Yang membuat 
mereka takjub, hanya dengan melangkah agak cepat 
sosok pasangan pendekar muda itu sudah jauh me-
ninggalkan kedai. Itu jelas membuktikan kepandaian 
Panji memang sangat hebat, sebagaimana kabar yang 
tersiar di kalangan rimba persilatan.
“Hm.... Mungkinkah kehadiran Pendekar Naga Putih 
di desa ini juga tertarik dengan kabar adanya binatang 
keramat itu...?” gumam seorang tokoh persilatan se-
raya memegang dagu dengan kening berkerut Terasa 
ada suatu perasaan tersisih dalam ucapannya.
“Sepanjang yang kudengar, Pendekar Naga Putih 
bukanlah orang yang tamak. Baik oleh senjata pusaka 
dan bertuah, maupun binatang keramat yang kini beri-
tanya telah tersebar luas di kalangan persilatan. Jadi, 
menurutku pendekar muda itu tidak perlu dikhawatir-
kan....” Tokoh lainnya pun yang pernah mendengar si-
fat-sifat Panji langsung menukas.
Hampir semua dari tokoh persilatan yang berdiri di 
tempat itu menganggukkan kepala. Mereka kelihatan-
nya lebih setuju dengan perkataan yang terakhir. Tan-
pa sadar, mereka menarik napas lega ketika teringat 
bagaimana sikap Panji.
Saat sosok Panji dan Kenanga lenyap, satu persatu 
kaum persilatan itu memasuki kedai. Hanya ada bebe-
rapa dari mereka yang beranjak pergi. Sehingga, se-
bentar saja bagian depan kedai makan itu kembali se-
pi.
***
“Kau mempunyai suatu keperluan yang menyang-
kut paman dan bibiku, Dana Ruksa...?” Kenanga sege-
ra melontarkan pertanyaan kepada lelaki berpakaian 
petani yang sudah melompat turun dewi punggung

kuda. Saat itu mereka sudah berada jauh di luar desa.
Dana Ruksa tidak segera menjawab. Ia membung-
kuk hormat kepada Panji yang berdiri di samping Ke-
nanga. Kelihatan sekali Dana Ruksa merasa menyesal 
dengan kejadian di kedai tadi. Ia sungguh tidak me-
nyangka kehadirannya telah membuat sosok Panji 
menjadi pusat perhatian.
“Tidak ada yang perlu kau sesali, Dana Ruksa...,” 
ujar Panji tersenyum. Tampaknya, Panji sedikit pun ti-
dak menganggap semua itu merupakan kesalahan. 
Ucapan Panji membuat Dana Ruksa merasa lega.
“Paman dan bibimu mengharapkan kalian berdua 
datang ke Kadipaten Tumapel secepatnya. Hanya itu 
pesan yang kubawa dari beliau. Mengenai kepentin-
gannya, aku tidak bisa menjelaskan...,” Dana Ruksa 
mengutarakan maksudnya kepada Kenanga dan Panji.
“Hm....” Kenanga hanya bergumam pelan. Gadis jeli-
ta itu kemudian berpaling menatap wajah Panji. Seje-
nak mereka saling bertukar pandang.
“Menempuh perjalanan jauh untuk mencari kami 
benar-benar perbuatan nekat, Dana Ruksa. Untunglah 
Tuhan mempertemukan kita. Entah sudah berapa la-
ma waktu kau habiskan untuk mencari kami?” ujar 
Panji menatap Dana Ruksa penuh kagum.
Karena untuk mencari mereka memang bukan pe-
kerjaan mudah. Tapi, Dana Ruksa telah melakukan-
nya, meski dalam waktu yang tak pasti. Sebab, Panji 
dan Kenanga tidak mempunyai tempat tinggal tetap. 
Mereka adalah petualang-petualang yang selalu men-
gamalkan ilmunya untuk kepentingan orang banyak.
“Demi kepentingan Kadipaten Tumapel yang kucin-
tai, tugas seberat apa pun akan kujalankan. Termasuk 
mencari kalian berdua yang kusadari memang bukan-
lah pekerjaan mudah. Hingga, aku sampai tidak bisa 
mengendalikan kegembiraan saat melihat kalian di kedai. Perjalanan panjang yang memakan waktu sebulan 
lebih, lenyap tanpa rasa lelah tersisa. Apa yang sangat 
kuharapkan kini menjadi kenyataan...,” sahut Dana 
Ruksa melebarkan senyumnya. Kelihatan sekali lelaki 
itu tidak berpura-pura.
“Hm.... Jadi kau tidak tahu alasan paman dan bibi-
ku mengharapkan kedatangan kami selekasnya...?” 
Kenanga bertanya menimpali pembicaraan Panji dan 
Dana Ruksa. Dara jelita itu tidak percaya kalau Dana 
Ruksa tidak mengetahui maksud pencarian itu.
“Mmm.... Tentu saja aku tahu, Kenanga. Tapi, kare-
na paman maupun bibimu berpesan demikian, ku-
sampaikan apa adanya. Aku tidak berani membantah. 
Yang jelas, kami sangat membutuhkan kehadiran ka-
lian di Kadipaten Tumapel...,” sahut Dana Ruksa tetap 
tidak mengatakan kepentingannya.
“Baiklah, Dana Ruksa. Kami pun tidak ingin men-
desakmu...,” desah Kenanga. Benaknya mulai dipenuhi 
pertanyaan. Gadis itu menoleh ke arah Panji. “Bagai-
mana ini, Kakang...?” tanya dara jelita itu meminta 
pendapat kekasihnya.
Panji tak segera menjawab. Pemuda itu mengang-
guk beberapa kali disertai tarikan napas panjang. Dita-
tapnya Kenanga sesaat. Lalu berpaling kepada Dana 
Ruksa. Dan kembali pada kekasihnya.
“Perjalanan menuju Kadipaten Tumapel sangat jauh 
dan memakan waktu cukup lama. Aku khawatir saat 
kita tiba di kadipaten, darah sudah tumpah di Bukit 
Ular Emas. Menurut hematku, sebaiknya kita membagi 
tugas. Itu kalau kau tidak merasa keberatan...,” ujar 
Panji menanggapi pertanyaan kekasihnya.
Mereka memang hendak menuju ke Bukit Ular 
Emas, yang kabarnya menjadi tempat binatang langka. 
Kabar itu sudah tersebar luas di kalangan persilatan. 
Itu sebabnya, saat di kedai Panji banyak melihat tokoh-tokoh rimba persilatan.
“Kakang,” ujar Kenanga. “Aku tidak ingin dianggap 
mementingkan diri sendiri. Kakang pun pasti tahu ja-
wabanku. Aku sadar kalau kita telah dibebani kewaji-
ban untuk menegakkan keadilan. Jadi, silakan utara-
kan apa yang menjadi keputusan Kakang. Aku tidak 
akan membantahnya....”
“Baiklah, Kenanga. Meski ada rasa berat di dalam 
hati, namun memang sebaiknya kita membagi tugas. 
Aku akan melanjutkan perjalanan ke Bukit Ular Emas. 
Sementara kau ikut bersama Dana Ruksa untuk me-
nemui paman dan bibimu. Aku percaya kau bisa me-
laksanakan apa pun keinginan mereka. Tapi, kalau 
kau mempunyai pendapat lain, silakan katakan pada-
ku...,” jelas Panji mengutarakan pikirannya setelah 
mendengar penuturan Kenanga.
“Lalu..., bagaimana kita dapat bertemu lagi, Ka-
kang...?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ke-
nanga. Berawal dari rasa cemas berjauhan dengan pe-
muda pujaannya. Pertanyaan itu jelas menunjukkan 
betapa Kenanga merasa takut melalui hari-hari tanpa 
sang Kekasih menyertai. Sehingga, tercetus begitu saja 
dari mulutnya.
Melihat sikap dan pandang mata pasangan pende-
kar muda itu, Dana Ruksa tahu diri. Ia tidak ingin 
mengganggu mereka. “Maaf,” ucap Dana Ruksa pelan. 
“Sementara kalian berunding, aku hendak mencari 
rumput untuk kudaku...,” pamit Dana Ruksa yang 
memutar binatang tunggangannya, hendak menjauhi 
tempat itu.
Panji dan Kenanga tentu saja merasa akan lebih le-
luasa jika bicara berdua. Maka, mereka pun tidak 
mencegah kepergian Dana Ruksa. Keduanya segera 
mengangguk dan tersenyum kepada lelaki yang penuh

pengertian itu.
Sepeninggal Dana Ruksa, Panji melingkarkan tan-
gannya ke bahu Kenanga. Mereka melangkah perlahan 
menuju tepian sungai yang gemericik airnya terdengar 
dari tempat itu. Kelihatannya, mereka merasa berat 
untuk berpisah.
“Aku akan rindu sekali kepadamu, Kakang...,” de-
sah Kenanga menyandarkan kepalanya di bahu Panji. 
Ia tidak menolak saat pemuda itu membawanya menu-
ju tepi sungai.
“Demikian pula denganku, Kenanga. Jangankan un-
tuk berpisah dalam waktu lama. Sehari pun rasanya 
akan sangat menyiksa. Sulit aku membayangkan hari-
hari tanpa senyum dan tatapanmu yang penuh kasih. 
Rasanya..., saat ini pun aku sudah merasa rindu ke-
padamu. Tapi, demi kepentingan orang banyak dan 
demi keadilan aku akan berusaha menekan semua pe-
rasaan yang menyiksa itu. Aku akan segera menemui-
mu di Kadipaten Tumapel setelah persoalan di Bukit 
Ular Emas tuntas....”
Panji meremas dengan lembut bahu yang hangat 
dan lunak itu. Hatinya sempat bergetar saat merasa-
kan betapa dalam tubuh kekasihnya ada kepasrahan 
yang dalam. Panji menarik napas panjang dan mele-
pasnya bersama gemuruh yang bergelora di dalam da-
da. Ditekannya semua perasaan yang bergejolak itu.
Kenanga bukan tidak tahu mengapa kekasihnya 
menghela napas panjang. Ia pun merasakan hal yang 
sama. Tetapi, berbeda dengan Panji yang mencoba un-
tuk menekannya. Kenanga malah melepaskan begitu 
saja semua gejolak yang ada dalam hatinya. Gadis itu 
menumpahkannya melalui perbuatan.
“Peluklah aku erat-erat, Kakang...,” desah dara jelita 
itu yang sudah menggayutkan kedua lengannya di leh-
er Panji. Sehingga mereka saling berhadapan dan lekat

satu sama lain.
“Kenanga...,” desis Panji melingkarkan kedua len-
gannya ke pinggang dara jelita itu. Diremasnya pung-
gung Kenanga sebagai curahan rasa cintanya yang be-
sar.
Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda itu sal-
ing berpelukan erat. Dan, menumpahkan rasa kasih 
mereka melalui kecupan lembut. Terdengar erangan li-
rih dari kerongkongan dara jelita itu. Pelukan lengan-
nya pun semakin erat. Seolah ia hendak menyatukan 
tubuh Panji ke dalam tubuhnya. Agar mereka tidak la-
gi berpisah dan menyatu selamanya.
Saat bermesraan seperti itulah mereka baru merasa 
lelah dengan petualangan-petualangan yang penuh 
ancaman maut dan taruhan nyawa. Terbersit pikiran 
untuk mencari kedamaian dan ketenangan, untuk me-
nyirami cinta kasih mereka yang memang hampir tidak 
sempat terpikirkan. Sehingga, tidak aneh kalau keme-
sraan itu membuat mereka berdua terlelap bagai mu-
safir haus di tengah gurun pasir yang luas.
Kenanga yang semakin terhanyut membalas dengan 
panas ciuman kekasihnya. Bahkan, kemudian menarik 
tubuh Panji hingga jatuh di atas rerumputan. Kendati 
demikian, Kenanga tidak melepaskan pelukannya. Se-
pertinya dara jelita itu tidak pernah merasa puas. Dan 
kesempatan itu membuatnya ingin mereguk sepuas-
puasnya curahan cinta Panji.
Sebagai manusia biasa yang berdarah muda, Panji 
dapat saja terseret oleh perasaan. Apalagi Kenanga 
memang gadis satu-satunya yang sangat ia sayangi 
dan cintai. Panji pun membalas cumbuan Kenanga 
dengan tidak kalah hangatnya. Sampai akhirnya, Panji 
tersentak ketika mendengar desah dara jelita itu.
“Lakukanlah, Kakang.... Aku tidak akan menyesa-
linya.... Biarlah hari ini menjadi kenangan terindah

yang akan menemani hari-hari ku esok...,” desah Ke-
nanga di antara gemuruh dada dan deru nafasnya. 
Wajah jelita yang kemerahan itu menatap sayu, pasrah 
akan apa yang dilakukan pemuda itu selanjutnya.
Meski peperangan dalam batinnya demikian hebat, 
Panji masih bisa berpikir jernih. Cepat ia menarik wa-
jahnya agak menjauh. Walaupun wajahnya telah ke-
merahan, pemuda itu masih merasa pantang untuk 
memenuhi permintaan kekasihnya. Setelah menatap 
tubuh Kenanga yang pakaiannya sudah tidak karuan 
lagi, Panji menarik tubuhnya. Siap untuk bangkit ber-
diri. Namun, pemuda itu tidak ingin melepaskan len-
gan Kenanga dengan kasar. Panji takut dara jelita itu 
tersinggung. Digenggamnya lengan Kenanga dengan 
lunak, mencoba untuk melepaskan pegangan pada le-
hernya.
“Mengapa, Kakang...?” tegur Kenanga dengan mata 
berkabut. Ditatapnya bola mata pemuda itu lekat-
lekat.
“Untuk yang satu ini, ku mohon jangan sampai ter-
jadi pada saat-saat sekarang...,” ujar Panji dengan sua-
ra perlahan, berusaha mengingatkan. Karena perjala-
nan mereka masih panjang dan masih banyak yang 
harus diselesaikan.
Tapi Kenanga tidak menyahuti. Butir-butir air mata 
meluncur turun membasahi kedua pipinya yang halus. 
Panji tentu saja terkejut. Apalagi, ketika Kenanga me-
narik kedua lengannya dan menutupi wajah. Terden-
gar isak yang berusaha ditahan. Betapa tersiksanya 
hati Panji melihat kesedihan kekasihnya.
“Aku tahu sekarang...,” ucap dara jelita itu seraya 
tersedu-sedu, “Kakang tidak pernah mau melakukan-
nya karena merasa jijik dengan tubuhku...” lanjutnya 
tetap menutup wajah dengan telapak tangan.
“Aaah.... Kenanga..., mengapa kau berprasangka
seperti itu...,” keluh Panji melihat kekasihnya menan-
gis sangat sedih.
Padahal, apa yang dilakukannya karena Panji terla-
lu mencintai gadis jelita itu. Kalau saja tidak ingat 
akan tugas-tugasnya, Panji pasti tidak akan menolak-
nya. Bahkan, akan melakukannya tanpa diminta. Se-
bagai lelaki normal tentu saja ia menginginkan hubun-
gan yang lebih jauh. Tapi, penolakan itu ternyata di-
tanggapi lain oleh Kenanga. Gadis itu merasa terhina 
karena Panji tidak mau melakukannya. Jelas, pemiki-
ran gadis itu terbalik. Tapi juga tidak bisa disalahkan. 
Kenanga terlalu mencintai Panji dan tidak ingin kehi-
langan pemuda pujaannya itu. Sedangkan Panji meno-
lak karena begitu menghormati dan menyayanginya 
dengan tulus.
***
TIGA


Panji benar-benar kehilangan kata-kata untuk men-
jelaskan semua itu. Pemuda itu menggeleng berkali-
kali. Panji berusaha melepaskan telapak tangan yang 
menyembunyikan wajah jelita Kenanga. Namun, Ke-
nanga mempertahankannya. Gadis itu tetap menyem-
bunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata. Itu 
terlihat dari lelehan di sela-sela jari tangannya. Hingga, 
hati Panji semakin tak karuan.
“Kenanga..., kalau saja kau tahu betapa sangat in-
gin aku melakukannya.... Tapi tidak sekarang, Adikku. 
Pada saatnya nanti, tanpa kau minta pun aku akan 
melakukannya. Jangan kau berkata seperti itu, Ke-
nanga. Sadarlah akan kewajiban kita untuk menga-
malkan kebajikan bagi orang banyak...,” bujuk Panji 
seraya membelai rambut dara jelita itu dengan penuh

kasih.
“Kalau kau benar-benar mencintai ku dan tidak in-
gin melihat hatiku hancur, sekaranglah saatnya, Ka-
kang. Tidak perlu menunggu waktu yang tidak pas-
ti...,” tukas Kenanga di sela isaknya.
“Kau tidak akan menyesal...?” karena tidak bisa di-
bujuk, akhirnya Panji mengalah.
“Aku malah akan sangat berbahagia, Kakang...,” 
sahut Kenanga dengan sedikit terisak. Kali ini ia mele-
paskan telapak tangannya dari wajah. Ada binar keba-
hagiaan dalam sinar mata yang masih basah itu.
Terdorong oleh rasa kasih dan tidak ingin melihat 
kekasihnya sedih, Panji melucuti pakaian dara jelita 
itu dengan jari-jari gemetar. Tubuh bagian atas dara 
jelita itu telah polos, memperlihatkan kulit yang halus 
tak tercela. Wajah Panji tampak memerah. Iblis sema-
kin mencengkeram erat hati dan pikiran pemuda per-
kasa itu. Namun, sebelum segalanya terjadi, tiba-tiba 
Panji menyentakkan tubuhnya dan melenting bangkit
“Tidak, Kenanga...! Aku tidak bisa...!” desis Panji 
dengan suara gemetar. “Kau membuatku hampir gi-
la...!”
Pemuda perkasa itu merintih dan menjatuhkan tu-
buhnya di atas rumput dengan bertelekan kedua lutut. 
Wajahnya ditutupi dengan kedua telapak tangan. Panji 
berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman ib-
lis-iblis yang menggodanya. Panji benar-benar menda-
pat ujian batin yang sangat berat
Semula Kenanga merasa kaget dan sangat kecewa. 
Tapi, begitu ia melihat betapa kekasihnya sangat ter-
siksa, kekecewaan itu pun tersapu lenyap. Berganti 
dengan rasa iba yang dalam. Kenanga segera merapi-
kan pakaiannya., Kemudian, bergerak menghampiri 
Panji dengan menyeret kedua lututnya di atas rumput. 
Dipeluknya tubuh Panji dengan mata yang kembali basah.
“Maafkan aku, Kakang.... Aku sungguh tidak me-
nyangka kau akan tersiksa seperti ini...,” desah dara 
jelita itu merangkul erat tubuh kekasihnya. Aneh be-
nar sikap gadis itu. Belum lama ia yang dibujuk seten-
gah mati. Tapi sekarang malah balik membujuk dan 
meminta maaf kepada Panji.
“Kau tidak salah, Adikku. Akulah yang salah dan te-
lah menyiksa perasaanmu selama ini. Padahal, aku in-
gin selalu membuatmu bahagia. Tapi, yang kuberikan 
hanya petualangan penuh bahaya dan taruhan nyawa. 
Tidak seharusnya kau menjalani kehidupan seperti ini. 
Maafkan aku...,” tukas Panji menatap wajah yang ba-
sah oleh air mata. Di kecupnya bibir indah itu dengan 
penuh rasa cinta.
Kali ini Kenanga yang lebih dulu menarik diri. Ke-
cupan Panji membuatnya tersenyum sangat manis! 
Sepasang matanya berbinar penuh kekaguman. Se-
hingga, Panji ganti menjadi heran.
“Sudahlah, Kakang. Kalau dilanjutkan bisa-bisa 
aku terseret lagi,” ujar Kenanga dengan menggenggam 
jemari Panji.
Tampaknya, dara jelita itu telah menyadari kekeli-
ruannya yang nyaris mendatangkan penyesalan di hati 
Panji. Kalau semua itu sampai terjadi, mereka telah 
melanggar pesan guru-guru mereka. Mereka berdua te-
lah dipesankan agar mendahulukan kepentingan orang 
banyak daripada kepentingan pribadi. Selain itu, sete-
lah melakukannya sekali, bukan mustahil akan men-
jadi dua kali, tiga kali dan seterusnya. Semua itu akan 
membuat tugas mereka terhambat. 
“Hhh....”
Panji menghela napas lega. Ia benar-benar gembira 
melihat Kenanga telah sadar dari kekeliruannya. Se-
nyum pemuda itu melebar dan menatap bangga wajah

yang kelihatan semakin jelita itu. Tapi, tindakan Panji 
selanjutnya membuat Kenanga terpekik kecil. Kare-
na....
“Biarlah kau terseret lagi. Sekarang aku benar- be-
nar ingin melakukannya...,” sambil berkata demikian, 
Panji melesat menerkam tubuh kekasihnya. Sehingga, 
keduanya jatuh di atas rerumputan.
Namun Kenanga sudah dapat meraba. Ia tahu ke-
kasihnya tidak bersungguh-sungguh. Sehingga mem-
biarkan saja perlakuan Panji terhadapnya. Bahkan, 
malah menunjukkan sikap menantang.
“He, mengapa berhenti...?” tegur Kenanga terse-
nyum tanpa berusaha bangkit Karena Panji yang me-
rasakan tidak adanya perlawanan dari gadis jelita itu 
segera menghentikan gerakannya.
Panji memang sengaja hendak memancing sambu-
tan Kenanga. Pemuda itu tertawa keras dan bangkit 
berdiri. Tubuh molek yang masih rebah telentang itu 
langsung disambarnya. Lalu, dipondongnya dengan 
kedua tangan.
“Kau benar-benar membuat aku gemas, Kenanga. 
Untung saja gemblengan batin yang diberikan guruku 
cukup kuat. Kalau tidak, kau sudah ku lalap habis-
habisan!” ujar Panji tertawa sambil menciumi wajah je-
lita itu.
“Memangnya aku ayam panggang...,” sahut Kenan-
ga tertawa kecil penuh kebahagiaan. Saat seperti itu 
mereka tidak berbeda dengan orang lain. Kegarangan 
serta perbawa mereka sedikit pun tidak terlihat. Yang 
tampak hanyalah dua anak manusia berlainan jenis 
yang tengah terbuai indahnya cinta.
“Sekarang mari kita temui Dana Ruksa. Kasihan. 
Mungkin ia sudah tidak sabar mendengar hasil pembi-
caraan kita...,” ujar Panji, tiba-tiba teringat bahwa ada 
orang yang tengah menanti keputusan mereka. Tubuh

dara jelita dalam pondongannya itu diturunkan. Mere-
ka pun melangkah perlahan menuju tempat semula, di 
mana Dana Ruksa menunggu dengan sabar.
“Kalau sudah selesai dengan persoalanmu, cepatlah 
datang menemuiku di kadipaten, Kakang...,” ujar Ke-
nanga dengan tangan yang tak lepas dari jemari keka-
sihnya.
“Secepatnya aku akan datang setelah segalanya da-
pat kuselesaikan,” janji Panji mantap.
“Di sana kita akan meminta paman dan bibi un-
tuk...,” Kenanga tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia 
tersenyum malu-malu mengerling ke arah Panji.
“Untuk apa...?” tanya Panji berpaling ketika Kenan-
ga tidak menyelesaikan ucapannya.
“Untuk mengawiniku...,” jawab Kenanga yang kali 
ini menatap wajah kekasihnya penuh harap.
“Kalau hanya untuk itu mengapa harus jauh- jauh 
ke Kadipaten Tumapel...?” tukas Panji tersenyum 
membuat Kenanga menaikkan sebelah alisnya yang 
tebal dan indah. Sepasang mata beningnya menatap 
Panji tak mengerti.
“Maksud Kakang bagaimana...?” tanya Kenanga in-
gin tahu. Ia menduga kekasihnya telah mempunyai 
rencana lain. Gadis itu menunggu dengan hati berde-
bar.
“Maksudku, kalau hanya sekadar mengawinimu se-
karang pun bisa kulakukan...,” sahut Panji yang tentu 
saja menggoda kekasihnya.
“Iiih.... Kakang jorok...,” sergah Kenanga menger-
nyit, tapi mata dan wajahnya jelas memancarkan ke-
bahagiaan.
“Mmm.... Barusan kau memaksaku sampai nangis-
nangis. Kok sekarang malah mengatakan aku jorok?” 
kilah Panji tertawa kecil.
“Biarin! Itu kan tadi! Tapi sekarang..., nggak janji

deh!” bantah Kenanga tak mau kalah, membuat tawa 
Panji berkepanjangan.
Sementara beberapa belas tombak di depan pasan-
gan pendekar muda yang tengah bercanda itu, Dana 
Ruksa mengawasi dengan bibir tersenyum. Nampak-
nya, ia ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar 
pada wajah mereka. Dana Ruksa bergegas menyambut 
sambil menuntun kudanya, saat pasangan pendekar 
muda itu semakin dekat.
“Kami sudah mengambil keputusan bersama, Dana 
Ruksa. Berhubung aku masih harus menyelesaikan 
suatu masalah besar, biarlah nanti aku menyusul. Kau 
bersama Kenanga berangkatlah lebih dulu ke kadipa-
ten. Sampaikan salam dan maafku kepada paman dan 
bibi Kenanga,” Panji segera menjelaskan keputusan 
yang telah diambilnya bersama Kenanga.
“Begitu pun baik, Panji. Kami akan menunggu keda-
tanganmu...,” ujar Dana Ruksa menyetujui usul Panji.
“Kalau begitu, marilah kita segera berangkat...,” tu-
kas Kenanga melepaskan jemari tangan Panji dari 
genggamannya. Ditatapnya wajah tampan kekasihnya 
untuk beberapa saat, “Susullah aku secepatnya, Ka-
kang...,” pinta dara jelita itu memandang penuh kerin-
duan. Padahal, mereka belum lagi berpisah.
“Segera aku akan menyusulmu untuk...,” Panji ti-
dak melanjutkan kalimatnya, la mengedipkan sebelah 
matanya kepada dara jelita itu.
Kenanga hanya mencibirkan bibir. Gadis itu melesat 
menyusul Dana Ruksa yang menjalankan kudanya 
dengan perlahan. Panji tetap diam di tempatnya mena-
tap sosok gadis pujaannya yang semakin jauh dan sa-
mar. Kemudian lenyap di kejauhan.
Setelah bayangan kedua orang itu lenyap dari batas 
pandangan mata, Panji menghela napas panjang dan 
berat. Tiba-tiba ia merasa sepi sekali. Kepergian Kenanga seolah telah membawa sebagian dari semangat-
nya. Alam sekitar yang semula indah dipandang kini 
terasa gersang dan tandus. Saat itu ia baru menyadari 
betapa cintanya sangat besar terhadap dara jelita itu.
“Tunggulah, Kenanga. Aku akan segera menyusul-
mu...,” janji Panji pada diri sendiri. Kemudian berbalik 
dan melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
***
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 
mencapai taraf sempurna, Panji melakukan perjalanan 
menuju Bukit Ular Emas. Tempat itu diduganya akan 
menjadi ajang pertumpahan darah. Karena berita yang 
telah tersebar luas di kalangan persilatan, sudah pasti 
akan membuat bukit yang biasanya tidak pernah diin-
jak manusia itu akan dibanjiri tokoh-tokoh rimba per-
silatan. Hal itulah yang ingin dicegahnya, meski ia be-
lum tahu dengan cara bagaimana.
Saat itu hari baru menjelang sore. Panji yang semu-
la menempuh perjalanan dengan mengandalkan kece-
patan larinya kini mengurangi kecepatan gerak tubuh-
nya. Sepasang matanya menyorot tajam ke depan. Ke-
ningnya berkerut ketika semakin melihat jelas benda-
benda yang berserakan di tepi sebuah hutan. Sesaat 
kemudian, pemuda itu tampak terkejut.
“Hm.... Rupanya korban sudah mulai berjatuhan? 
Siapa yang melakukan kekejaman ini...?” gumam Panji 
berdiri tegak memperhatikan delapan sosok mayat 
yang bergeletakan.
Kendati sudah menduga mayat-mayat itu adalah 
kaum rimba persilatan yang hendak menuju Bukit 
Ular Emas, Panji ingin tahu lebih jelas siapa dan dari 
mana orang-orang yang menjadi korban pertama dari 
berita celaka itu.
Setelah memperhatikan delapan sosok mayat itu satu persatu, Panji menemukan sesuatu yang cukup 
mengejutkan. Ia dapat mengenali kalau mayat-mayat 
itu berasal dari Perguruan Bangau Putih.
“Gila! Pendekar Bangau Sakti tentu tidak akan ting-
gal diam bila sampai mengetahui kejadian ini.
Ini pasti perbuatan tokoh-tokoh golongan hitam. 
Mereka mungkin hendak membuat suasana menjadi 
rusuh dan panas...,” gumam Panji khawatir jika ke-
murkaan Pendekar Bangau Sakti akan membuat Bukit 
Ular Emas menjadi kubangan darah.
Kekhawatiran Panji memang beralasan. Siapa tokoh 
yang tidak mengenal Pendekar Bangau Sakti. Ketua 
perguruan yang terkenal berwatak keras dan beringa-
san itu cukup disegani oleh kawan dan ditakuti lawan. 
Kematian murid-muridnya tentu akan membuat pen-
dekar itu marah besar. Dan akan melabrak siapa saja 
tanpa pandang bulu. Kendati dari golongan sendiri. 
Sudah pasti kalau pendekar itu sampai mengetahui 
tentang kematian murid-muridnya, ia akan membuat 
gaduh di Bukit Ular Emas. Dan bisa jadi melabrak 
penghuni bukit itu tanpa banyak bicara lagi. Sepak-
terjang ketua perguruan itulah yang dikhawatirkan 
Panji.
“Hm.... Tapi bisa saja semua ini perbuatan tokoh 
segolongan yang tidak ingin mendapat banyak saingan. 
Jika benar demikian, besar kemungkinan perjalanan 
tokoh-tokoh persilatan yang lain pun dibayangi bahaya 
maut. Kalau sudah begini, sulit aku mengatasinya...,” 
gumam Panji bergerak bangkit dan bermaksud men-
guburkan mayat-mayat itu.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Panji yang baru saja membuat sebuah lubang besar 
dan telah menurunkan dua dari delapan mayat itu 
menoleh terkejut ke arah asal suara. Dari nada sua-
ranya Panji tahu ia akan terlibat dalam kesulitan. Tapi,

Panji berusaha tetap tenang. Meskipun tiga sosok tu-
buh yang tengah menghampirinya menyaksikan per-
buatannya.
“Apa yang kau lakukan, Pendekar Naga Putih...?” 
tegur salah satu dari ketiga lelaki gagah itu curiga. 
Bahkan, keningnya berkerut menuntut jawaban.
“Aku hendak memakamkan mereka dengan 
layak...,” sahut Panji dengan perasaan yang mulai ti-
dak enak. Ia sadar ketiga tokoh itu menaruh curiga 
terhadap dirinya.
“Hei, lihat baik-baik, Kakang Baswara! Bukankah 
mereka murid-murid Perguruan Bangau Putih...?!” 
orang kedua yang berkening lebar berseru kaget Ru-
panya, ia mengenali ciri-ciri enam sosok mayat yang 
belum sempat diturunkan Panji ke dalam lubang.
“Benar! Mereka adalah murid-murid Pendekar Ban-
gau Sakti!” seru lelaki ketiga yang tubuhnya tinggi ku-
rus dan kelihatan seperti orang penyakitan. Sepasang 
matanya yang semula redup terbelalak lebar. Jelas, ia 
pun terkejut ketika mengetahui siapa mayat-mayat itu.
Orang pertama yang bernama Baswara bergegas 
meneliti enam sosok mayat di dekat kakinya.
Kemudian ganti menatap Panji dengan sinar mata 
minta penjelasan. Kelihatannya, ia semakin bertambah 
curiga terhadap Panji.
“Siapa yang telah berani membunuh mereka, Pen-
dekar Naga Putih...?” tanya Baswara mengamati wajah 
Panji. Seolah ia ingin tahu apakah wajah tampan itu 
akan menggambarkan dusta sewaktu menjawab perta-
nyaannya.
“Aku tidak tahu, Baswara. Kalau saja aku sempat 
menyaksikannya, tentu tidak akan kubiarkan pembu-
nuh itu pergi dari hadapanku dalam keadaan sela-
mat...,” sahut Panji sejujurnya seraya menentang pan-
dang mata lelaki botak berwajah berewok itu. Sehingga, Baswara memalingkan pandangannya. Tak sang-
gup melawan tatapan tajam penuh perbawa dari seo-
rang pendekar yang memiliki tingkat kedigdayaan ting-
gi.
“Hm....” Baswara bergumam pelan. Kemudian ber-
paling ke arah kawan-kawannya. Dan saling bertukar 
pandang sesaat. Lalu, kembali menatap Panji.
Baswara dan dua orang kawannya bukanlah orang-
orang sembarangan. Panji tahu siapa mereka. Ketiga 
lelaki gagah itu mendapat julukan Tiga Harimau Besi. 
Nama ketiganya telah bergaung menggetarkan rimba 
persilatan. Jarang ada orang yang berani mencari per-
kara dengan tiga tokoh itu. Bahkan, di kalangan go-
longan hitam nama Tiga Harimau Besi sanggup mem-
buat para perampok tunggang-langgang bila berjumpa 
dengan ketiga tokoh itu. Nampaknya, mereka pun ter-
tarik dengan kabar yang tersebar di kalangan persila-
tan. Dan kini mereka telah ada di hadapan Panji.
“Jadi, maksudmu kau menemukan mereka dalam 
keadaan sudah tidak bernyawa, begitu...?” Baswara 
kembali bertanya menegasi setelah terdiam agak lama.
“Tepatnya memang begitu...,” sahut Panji berpura-
pura bodoh. Meski ia sadar Baswara telah nyata-nyata 
menunjukkan sikap curiga.
“Hm.... Aku tidak percaya, Kakang!” tiba-tiba lelaki 
yang bertubuh kurus dengan wajah pucat dan mata 
sayu menukas tajam. “Kalau benar demikian, mengapa 
harus susah-susah menguburkan mayat mereka? Ten-
tu maksudnya hendak menghilangkan jejak. Agar per-
buatannya tidak diketahui orang lain...,”
Tajam benar tuduhan yang dilontarkan orang ketiga 
dari Tiga Harimau Besi. Panji pun sampai menarik na-
pas panjang untuk menekan gemuruh dalam dadanya. 
Tuduhan itu jelas tanpa dasar yang kuat Dan merupa-
kan fitnah keji yang bisa menyulitkan Panji di kemudian hari.
“Jiranta,” ucap Panji yang memang sudah mengenal 
nama maupun julukan ketiga tokoh itu. “Untuk apa
aku membunuh mereka? Sedangkan di antara aku dan 
orang-orang Perguruan Bangau Putih tidak ada per-
musuhan. Jelas tuduhan itu tidak berdasar. Seharus-
nya kau sadar kalau tuduhan itu bisa menjadi perpe-
cahan di antara sesama golongan.
Tenang sekali Panji berkata mengingatkan tokoh 
itu. Sehingga, wajah kurus Jiranta menjadi kemera-
han. Rupanya, ia merasa tersinggung dengan jawaban 
Panji. Panji sendiri tetap tenang dan siap menghadapi 
segala kemungkinan yang bisa terjadi.
***
EMPAT


Jiranta, Baswara, dan Kunda Lawing menatap Panji 
dengan pandangan tak senang. Kemudian, Baswara 
orang tertua dari Tiga Harimau Besi, melangkah bebe-
rapa tindak mendekati Panji.
“Pendekar Naga Putih...,” ujar Baswara. Ditatapnya 
wajah pendekar muda di depannya lekat-lekat “Kepen-
tingan apa yang membuatmu berada di tempat ini?” 
tanya Baswara dengan sikap yang tidak enak dilihat.
Mendengar pertanyaan itu, Panji malah tersenyum. 
Seolah pemuda itu menganggapnya sebagai sesuatu 
yang lucu. Panji melangkah menjauhi lubang kubur 
yang dibuatnya.
“Baswara,” sahut Panji dengan tersenyum sabar. 
“Adakah larangan bagi seseorang untuk berada di 
tempat ini? Ataukah kalian bertiga telah sedemikian 
kaya dan membeli seluruh tanah di hutan ini? Jika 
memang demikian, tentu wajar kalian marah kepadaku

yang telah melanggar tempat ini tanpa seizin kalian 
bertiga. Biarlah sekarang juga aku meminta maaf ke-
pada Tiga Harimau Besi yang gagah perkasa dan ber-
hati bijak...,” lanjut Panji. Perkataannya jelas menun-
jukkan pemuda itu merasa tersinggung dengan sikap 
dan pertanyaan-pertanyaan Tiga Harimau Besi.
“Hm.... Jangan main-main, Pendekar Naga Putih! 
Kendati nama besarmu menjulang tinggi menggetarkan 
rimba persilatan, tapi kami Tiga Harimau Besi sedikit 
pun tidak merasa gentar. Kami tidak segan-segan un-
tuk bertindak kasar kepadamu!” Baswara menyahuti 
gusar. Wajahnya dijalari warna merah. Kelihatan sekali 
lelaki berewok itu tengah menahan kegeraman hatinya.
“Tiga Harimau Besi, dengarlah baik-baik,” tiba-tiba 
Panji merubah sikapnya. Kalau tadi ia masih terse-
nyum dan menjawab sekenanya, kini tidak lagi. Wa-
jahnya mengeras. Sepasang matanya menyorot tajam 
merayapi wajah ketiga tokoh itu dengan penuh perba-
wa. “Sebenarnya apa yang kalian kehendaki dari diri-
ku? Jawablah, dan jangan berbelit-belit!” lanjut Panji 
mengejutkan Tiga Harimau Besi.
Perubahan sikap Panji memang terasa sekali. Mere-
ka tergetar juga melihat kuatnya perbawa yang menye-
limuti sosok pemuda tampan berjubah putih itu. Se-
hingga, tanpa sadar Baswara yang berada paling dekat 
dengan pemuda itu bergerak mundur. Bahkan, wajah-
nya terlihat agak pucat. Terasa benar betapa hebatnya 
pengaruh sosok Panji.
“Kau tidak melihat pembunuh murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih karena mereka semua tewas di 
tanganmu, Pendekar Naga Putih! Dan aku yakin kau 
pun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka. 
Bukit Ular Emas! Nah, salahkah dugaanku?” kali ini 
yang menyahuti Jiranta. Lelaki tinggi kurus berwajah 
pucat itu kelihatan paling kuat melemparkan tuduhan

kepada Panji. Kini kembali menyerang Panji dengan 
kata-kata tajam dan jelas-jelas merupakan tuduhan 
berat.
“Hm.... Dugaanmu yang pertama kujawab sejujur-
nya bahwa itu tidak benar, Jiranta. Tujuanku memang 
benar hendak ke Bukit Ular Emas. Lalu, apakah ada 
larangan bagiku untuk pergi ke Bukit Ular Emas?” tu-
kas Panji tegas dan penuh perbawa. Pemuda itu men-
ganggap Tiga Harimau Besi bukan lagi sekadar curiga. 
Mereka terang-terangan menuduhnya sebagai pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih. Jelas, ka-
lau sampai tersebar di luaran Panji akan menghadapi 
kesulitan.
“Tidak salah lagi! Maksudmu mendatangi Bukit Ular 
Emas tentu mempunyai satu kepentingan, bukan?” 
Kunda Lawing, orang termuda dari Tiga Harimau Besi
ikut menimpali. Sama seperti kedua saudaranya, ia 
pun menuduh Panji sebagai pelaku pembunuhan itu.
“Tiga Harimau Besi! Bukan hanya kalian saja yang 
berhak datang ke Bukit Ular Emas, dan berniat memi-
liki Rase Perak yang mukjizat itu! Aku pun memiliki 
hak yang sama dengan kalian bertiga. Bedanya, aku 
tidak berniat untuk memiliki Rase Perak. Bukan tidak 
memerlukannya. Tapi aku bukanlah manusia-manusia 
tamak yang haus akan kekuatan. Selamat tinggal...!”
Setelah berkata demikian, yang membuat Tiga Ha-
rimau Besi tertegun, Panji melesat meninggalkan tem-
pat itu. Karena menurutnya tidak ada gunanya mela-
deni orang-orang yang tengah dipengaruhi rasa curiga 
dan iri. Panji tidak menyalahkan ketiga lelaki gagah itu 
kalau mereka merasa iri pada dirinya. Kemunculan 
Panji memang telah membuat nama besar Tiga Hari-
mau Besi tergeser, dan hampir tidak pernah disebut-
sebut orang lagi. Sebagai manusia biasa, wajar saja ka-
lau mereka merasa iri.

Tapi, Tiga Harimau Besi tidak mau membiarkan 
Panji pergi begitu saja dari hadapan mereka. Cepat ba-
gai kilat ketiganya melesat. Maksudnya, untuk mence-
gah kepergian Panji!
“Berhenti...!”
Baswara yang melejit paling depan segera mengelu-
arkan bentakan keras disertai pengerahan tenaga da-
lam. Sehingga, gema suaranya menggeletar ke segenap 
pelosok hutan. Dari sini dapat dilihat betapa hebat te-
naga dalam Baswara.
Panji rupanya tidak mau lagi meladeni mereka. Pe-
muda itu terus melesat tanpa mempedulikan peringa-
tan Baswara. Sehingga, tokoh pertama dari Tiga Hari-
mau Besi itu kian bertambah gusar. Hingga...
“Haaat..!”
Baswara membentak keras. Kemudian, melepaskan 
pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya bergan-
tian. Lelaki berewok itu melakukannya tanpa meng-
hentikan pengejaran.
Whusss...!
Angin keras menderu mengancam tubuh bagian be-
lakang Pendekar Naga Putih. Tampaknya, Baswara ti-
dak main-main lagi. Ia memang hendak mencelakakan 
pendekar muda itu. Tapi....
Duarrr...!
Panji yang tentu saja sadar akan datangnya bahaya 
bergegas melambung ke udara menghindarinya. Aki-
batnya, semak belukar di depan pemuda itu berham-
buran disertai ledakan keras yang menggetarkan tanah 
di sekitarnya. Sedangkan tubuh Panji yang menjadi 
sasaran meluncur turun beberapa tombak dari semak 
belukar yang malang itu. Kemudian, kembali melesat 
tanpa mempedulikan Tiga Harimau Besi yang semakin 
bertambah dekat.
“Yeaaa...!”

Untuk kesekian kalinya Baswara memperdengarkan 
bentakan mengguntur. Kedua tangannya bergerak su-
sul-menyusul melepaskan pukulan-pukulan jarak 
jauh.
“Haiiit...!”
Dan kembali pula Pendekar Naga Putih meluncur ke 
udara. Tapi, kali ini keselamatan Panji tidak bisa dija-
min. Saat tubuhnya berputaran di udara terdengar su-
ara angin keras susul-menyusul mengancam tubuh-
nya.
“Gila...! Mereka benar-benar tidak main-main...?!” 
gumam Panji yang tahu betul kalau pukulan jarak 
jauh itu dapat membunuh lawan. Meski belum tentu 
dapat membuatnya terluka. Maka....
“Haaahhh...!”
Sadar bahwa perbuatan Tiga Harimau Besi tidak bi-
sa didiamkan terus-menerus, Panji pun mengambil 
tindakan. Tubuhnya berputar seiring dengan benta-
kannya yang mengguntur. Kemudian, dengan menge-
rahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang mukjizat, 
Panji mengibaskan lengan kanannya menyambut se-
rangan itu. Dan....
Bresh...!
Tidak tanggung-tanggung lagi, Panji mengerahkan 
sepertiga bagian dari kekuatannya untuk menyambut 
serangan jarak jauh itu. Karena selain penyerangnya 
bukan orang sembarangan, pukulan jarak jauh itu di-
lakukan Jiranta dan Kunda Lawing secara serempak. 
Sehingga, kehebatannya tidak bisa diragukan lagi.
Kedahsyatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ kembali 
menunjukkan keunggulannya. Tubuh Jiranta dan 
Kunda Lawing terjajar mundur. Mereka tampak tidak 
terlalu kaget. Kehebatan Pendekar Naga Putih memang 
telah lama terdengar di telinga mereka.
Tapi, kenyataan yang dialami Panji cukup mengejutkan! Benturan tadi membuat lengannya tergetar. Itu 
merupakan tanda bahwa tenaga dalam lawan memang 
tidak bisa dibilang rendah. Panji pun cukup maklum. 
Nama besar Tiga Harimau Besi memang telah tersebar. 
Dan kehebatan tenaga dalam mereka membuat Panji 
tertarik. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja ia tidak 
ingin melewatkan kesempatan itu. Keputusan yang di-
ambilnya, membuat Panji tidak lagi berniat melarikan 
diri. Pemuda itu berdiri tegak menunggu Tiga Harimau 
Besi tiba.
“Kabar tentang dirimu ternyata bukan sekadar bua-
lan saja, Pendekar Naga Putih! Sayang, tanganmu ter-
lalu ringan untuk mencelakai murid-murid Perguruan 
Bangau Putih. Untuk itu, kau harus menanggung aki-
batnya...,” Kunda Lawing yang merasa penasaran ber-
kata memuji sekaligus menekankan kembali tuduhan-
nya.
‘Terima kasih atas pujianmu, Kunda Lawing. 
Sayangnya aku sama sekali tidak melakukan perbua-
tan yang kau tuduhkan itu. Mau percaya atau tidak, 
itu terserah kepada kalian...,” tegas Panji seraya mena-
tap tajam Kunda Lawing.
Panji benar-benar menyayangkan tindakan orang-
orang gagah itu yang main tuduh tanpa mau menden-
gar penjelasannya. Rupanya, kebaikan Panji yang hen-
dak menguburkan mayat-mayat murid Perguruan 
Bangau Putih telah ditafsirkan lain oleh ketiga tokoh 
itu.
“Kami tetap belum bisa percaya! Bukti-bukti telah 
jelas menunjukkan bahwa kaulah pelaku pembunuhan 
itu....” Baswara menimpali bantahan Panji.
“Sudah kubilang terserah kepada kalian. Mau per-
caya atau tidak, yang jelas aku bukanlah pembu-
nuh...,” bantah Panji lagi, tetap tidak bergeming dari 
pendiriannya. Karena ia memang tidak melakukan apa

yang dituduhkan mereka.
“Hm....”
Baswara bergumam tak peduli. Kemudian bergerak
maju dari sebelah depan. Kelihatannya, pertarungan 
memang tidak bisa dihindarkan lagi. Baswara telah 
mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Pende-
kar Naga Putih.
Jiranta dan Kunda Lawing bergerak dari kiri dan 
kanan mengurung Pendekar Naga Putih. Mereka pun 
telah membuka jurus andalannya masing- masing. Ka-
rena sadar bahwa lawan yang kini mereka hadapi bu-
kanlah orang sembarangan. Mereka berdua telah me-
rasakan betapa hebatnya tenaga dalam pendekar mu-
da itu.
“Jangan kau anggap kami pengecut kalau harus 
melakukan keroyokan terhadapmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kami bertiga memang selalu bersama dalam 
menghadapi setiap pertarungan. Bagi kami, satu atau 
pun seribu orang sama saja. Kami tetap maju bersa-
ma-sama...,” ujar Baswara yang kelihatannya agak ri-
sih untuk mengeroyok pendekar muda yang pantas 
menjadi putranya itu. Tapi, karena ia terbiasa berta-
rung bertiga, maka Baswara pun mengusir rasa tidak 
enak itu. Dan siap melancarkan serangan.
Panji menggeser langkahnya saat ketiga lawannya 
serentak bergerak maju dari tiga jurusan. Sadar kalau 
lawan yang dihadapinya merupakan tokoh- tokoh ting-
kat tinggi, Panji langsung membuka jurus ‘Ilmu Silat 
Naga Sakti’ yang menjadi andalannya.
“Heaaat..!”
Baswara membuka serangan dengan sebuah teria-
kan keras. Tubuh lelaki kekar itu meluncur dengan 
disertai sambaran angin keras berkesiutan. Tampak-
nya, Baswara tidak ingin berlama-lama. Dalam seran-
gan pertama, ia telah menggunakan hampir seluruh

tenaganya. Hal itu dapat ditebak Panji dari sambaran 
angin pukulan yang menderu tajam.
“Yeaaat...!”
Sebelum serangan Baswara tiba, Jiranta sudah me-
luncur dengan cakar-cakar mautnya. Serangannya ti-
dak kalah hebat dengan Baswara. Bahkan, dari angin 
pukulannya Panji tahu Jiranta memiliki ilmu tenaga 
dalam yang lebih tinggi dari dua saudaranya.
Bettt, bettt!
Sepasang tangan kurus itu datang susul-menyusul 
disertai sambaran angin mencicit tajam. Rupanya, Ji-
ranta pun ingin segera merobohkan Panji. Ia telah 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Kunda Lawing pun tidak mau ketinggalan. Dibaren-
gi lengkingan panjang menggetarkan jantung tubuh le-
laki berkening lebar itu meluruk maju. Gaya seran-
gannya tampak agak kaku dan lebih lambat. Tapi, ju-
stru Panji melihat betapa serangan Kunda Lawing-lah 
yang paling berbahaya. Gerakan sepasang lengan to-
koh ketiga dari Tiga Harimau Besi itu lebih rumit dan 
banyak perubahan yang mengejutkan! Sehingga, Panji 
lebih memperhitungkan serangan Kunda Lawing dari-
pada Baswara maupun Jiranta.
“Haiiit...!”
Panji berkelit saat serangan Baswara mengancam 
tubuhnya. Sehingga, tiga buah serangan beruntun 
yang dilancarkan lelaki berewok itu kandas tanpa ha-
sil. Bahkan, Panji langsung membalas dengan dua 
buah tamparan yang cepat bukan main.
Bwettt, bwettt..!
Sayang, serangan balasan Panji menemui kegaga-
lan. Baswara sudah bergerak mundur ketika serangan 
pertamanya gagal. Dan Jiranta-lah yang menggantikan 
tempatnya. Lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu 
mengirimkan cakaran-cakaran maut yang bercuitan

tajam.
“Haaah...!”
Kali ini Panji tidak berusaha mengelak. Disambut-
nya serangan Jiranta dengan dua kali tamparan keras. 
Sehingga, benturan pun tidak bisa dihindarkan lagi!
Plakkk, plakkk!
“Aaah...!”
Tangkisan Panji membuat Jiranta terjajar mundur. 
Sepasang mata sayu itu sedikit terbelalak. Nampak-
nya, Jiranta terlalu yakin akan kekuatan tenaganya. 
Sehingga ketika merasakan lengannya tergetar keras 
dan kuda-kudanya tergempur mundur, ia tidak bisa 
menerima begitu saja.
Semula Panji berniat menyusuli tangkisannya den-
gan sambaran cakar naga yang memang telah diper-
siapkannya sejak tadi. Tapi, niat itu segera ditunda ke-
tika melihat serangan Kunda Lawing datang. Cepat 
Panji berkelit dan mengimbangi serangan yang datang 
beruntun itu.
Bwettt, bwettt!
Apa yang diduga Panji tentang kehebatan gerak 
Kunda Lawing memang tidak berlebihan. Kendati dua 
buah serangan pertama lelaki berkening lebar itu da-
pat dielakkannya, serangan itu malah berubah arah! 
Kali ini dengan gerak menyamping membentuk baco-
kan-bacokan. Bahkan, sepasang lengan itu mampu 
menggunakan tenaga tangkisan lawan untuk kembali 
menyerang. Kenyataan itu membuat Panji merasa ka-
gum bukan main kepada orang ketiga dari Tiga Hari-
mau Besi.
“Hebat...!” puji Panji seraya mengelakkan dua buah 
serangan lawan. Kemudian, melancarkan serangkaian 
serangan balasan yang membuat Kunda Lawing kela-
bakan. 
“Aiiih...?!

” Whuttt..!
Kunda Lawing mencoba menepis cengkeraman Pen-
dekar Naga Putih dengan bacokan lengan. Namun, 
tangan itu telah bergerak setengah lingkaran ke dalam. 
Dan langsung mengincar dada lawan. Karuan saja 
Kunda Lawing kaget bukan main!
Tapi, nasib baik masih menyertai Kunda Lawing. 
Saat dirinya terancam bahaya, Baswara dan Jiranta 
datang membantu. Sehingga, lelaki berkening lebar itu 
dapat menarik napas lega. Meski keningnya dibasahi 
titik-titik keringat Dan wajahnya terlihat agak pucat. Ia 
nyaris celaka di tangan Pendekar Naga Putih.
Pertarungan berjalan semakin seru. Tiga Harimau 
Besi yang ternyata memiliki kerja sama yang sangat 
baik, sempat membuat Panji berkali-kali mengeluarkan 
pujian. Ketiga lawannya dapat saling melindungi den-
gan baik. Sehingga, kesempatan menyerang bagi Panji 
mereka tutup sebaik-baiknya.
“Hattt...!”
Setelah lewat enam puluh jurus, tiba-tiba Pendekar 
Naga Putih mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Tu-
buhnya melambung ke udara secepat sambaran kilat. 
Dari atas Panji membagi-bagikan serangannya.
Whuttt, whuttt!
Kali ini mata Tiga Harimau Besi benar-benar dibuka 
lebar-lebar! Kecepatan yang diperlihatkan Pendekar 
Naga Putih membuat pandangan mereka menjadi ka-
bur. Dan sulit untuk menangkap ke mana arah seran-
gan yang diincar lawan. Sergapan hawa dingin yang 
memenuhi arena pertarungan membuat ketiga orang 
itu gelagapan, hingga gerak mereka terhambat.
“Celaka...?!” desis Baswara menyadari bahaya yang 
mengancam.
“Kurang ajar...?!” lain halnya dengan Jiranta. Lelaki 
kurus itu mengeluarkan sumpah serapah. Ia benar

benar tidak berdaya menghadapi balutan hawa dingin 
menggigit tulang. Dan....
Bukkk, desss...!
Tanpa, dapat dicegah lagi, dua buah pukulan yang 
dilancarkan Pendekar Naga Putih telak mengenai sasa-
ran. Tubuh Baswara dan Jiranta terlempar dari arena 
pertarungan.
Kerasnya pukulan yang mengenai tubuh mereka 
membuat kedua tokoh itu terjerembab ke tanah. Darah 
segar termuntah dari mulut mereka. Agaknya, pukulan 
itu telah mendatangkan luka dalam.
“Bangsat...!”
Kunda Lawing marah besar melihat dua saudaranya 
dirobohkan Pendekar Naga Putih. Dengan kemarahan 
yang menggelegak, lelaki berkening lebar itu mendesak 
maju dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kece-
patannya. Tapi....
“Yeaaah...!”
Mempergunakan kelitan manis, tubuh Pendekar 
Naga Putih berputar melingkar menghindari dua puku-
lan yang mengancam kepala dan dadanya. Dan lang-
sung mengirimkan tendangan kilat ke tubuh Kunda 
Lawing yang doyong ke depan.
Desss...!
“Huakh...!”
Darah segar langsung termuntah keluar dari mulut 
Kunda Lawing. Tubuh lelaki itu terpental ke belakang 
sejauh satu setengah tombak. Untunglah pada saat te-
rakhir telapak kakinya menyentuh tubuh lawan, Panji 
telah mengurangi tenaga tendangannya. Kalau tidak, 
bukan mustahil Kunda Lawing seketika akan menemui 
ajalnya. Tapi, bukan itu maksud Panji meladeni mere-
ka.
Kunda Lawing terbanting jatuh dan tak sadarkan 
diri setelah kembali memuntahkan darah segar. Kenyataan itu sangat mengejutkan Baswara dan Jiranta. 
Mereka menatap penuh dendam kepada Pendekar 
Bangau Sakti.
Panji yang sadar semua ini akan terus berkelanju-
tan segera membalikkan tubuh. Sebelumnya ia berpa-
mitan dan meminta maaf.
“Aku tidak ingin melanjutkan perkelahian tak ber-
guna ini. Cukuplah pelajaran yang telah kalian berikan 
padaku. Untuk itu aku minta maaf. Sekali lagi kukata-
kan aku bukanlah pembunuh murid-murid Perguruan 
Bangau Putih. Nah, selamat tinggal....”
***
Baswara dan Jiranta hanya bisa menggeram mena-
tap kepergian Pendekar Naga Putih. Mereka tidak 
mungkin dapat mengejar pemuda itu. Keadaan tubuh 
mereka tidak mengizinkan.
Tapi, belum lagi tubuh Panji bergerak jauh, menda-
dak berkelebat sesosok bayangan. Terdengar seruan-
nya yang mengguntur mencegah kepergian Pendekar 
Naga Putih.
“Pendekar Naga Putih, tunggu...!”
Seiring dengan suara seruannya, sosok bayangan 
itu berputaran di udara. Kemudian meluncur turun 
satu tombak di hadapan Pendekar Naga Putih. Melihat 
sosok bayangan itu sanggup mengejar Panji, dapat di-
tebak betapa hebat ilmu lari cepat sosok bayangan itu.
“Perlahan sedikit, Pendekar Naga Putih...!” ujar so-
sok tinggi besar itu, berdiri tegak menghadang jalan. 
Sepasang matanya menatap tajam sosok Pendekar Na-
ga Putih di depannya.
Panji bergegas menghentikan langkah. Ditatapnya 
sosok di hadapannya dengan penuh selidik. Kening 
pemuda itu berkerut berusaha mengenali sosok tinggi 
besar itu.

“Pertapa Goa Kelelawar...?!” desis Panji terkejut ke-
tika mengenali siapa sosok tinggi besar yang berdiri 
menghadang jalan.
“Benar. Aku adalah Pertapa Goa Kelelawar...,” sahut 
sosok tinggi besar yang berusia sekitar enam puluh li-
ma tahun.
Kendati usianya terbilang tua, namun air muka Per-
tapa Goa Kelelawar tampak segar kemerahan. Sepa-
sang matanya demikian bening. Seolah Panji melihat 
lautan yang tidak berdasar dalam bola mata tokoh 
tingkat tinggi itu. Perbawa yang terpancar dari wajah 
kakek itu pun demikian kuat, membuat hati Panji ber-
getar.
“Maaf, kalau aku telah bersikap kurang hormat ke-
pada Eyang. Itu karena aku belum tahu siapa 
Eyang...,” ujar Panji seraya membungkuk hormat.
Nada suaranya terdengar demikian halus. Menun-
jukkan budi pekerti yang sopan.
“Hm....”
Pertapa Goa Kelelawar bergumam. Dan tersenyum 
sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai hingga ke 
dada. Kepalanya terangguk-angguk merasa terkesan
dengan sikap santun pemuda tampan berjubah putih 
itu.
“Malaikat Petir benar-benar boleh berbangga hati 
melihat pewarisnya demikian sopan dan perkasa. 
Hhh.... Betapa aku merasa iri dengan gurumu, Pende-
kar Naga Putih...,” ujar Pertapa Goa Kelelawar terse-
nyum arif. Sikapnya mencerminkan hati yang bijak 
dan penuh kasih. Gambaran seorang pertapa tulen ter-
lihat jelas dalam sosok kakek itu.
‘Terima kasih atas pujian Eyang. Kalau boleh aku 
bertanya, adakah sesuatu yang Eyang perlukan dari-
ku...?” tanya Panji yang semakin tunduk melihat sikap 
kakek itu demikian bijak dan mencerminkan sikap penuh kasih.
‘Tidak ada sesuatu yang penting, Pendekar Naga Pu-
tih. Aku hanya merasa heran melihat kau bertarung 
dengan Tiga Harimau Besi. Persoalan apa yang mem-
buat kalian saling adu otot?” ujar Pertapa Goa Kelela-
war. Tidak terlihat gambaran rasa curiga atau tidak 
suka pada wajahnya. Malah, kakek itu terkesan mena-
ruh kekaguman yang dalam kepada Panji. Dan perta-
nyaan itu demikian wajar tanpa kesan buruk.
Panji yang menyadari Pertapa Goa Kelelawar hanya 
sekadar ingin tahu menghela napas panjang. Ditatap-
nya sosok kakek itu dengan sorot mata penuh hormat 
dan segan. Kemudian, diceritakannya persoalannya 
dengan singkat dan jelas.
“Demikianlah, Eyang. Mereka tetap menuduhku se-
bagai pembunuhnya...,” Panji menutup ceritanya den-
gan wajah tenang. Kendati dari helaan nafasnya mem-
bersit perasaan sesal atas sikap dan tindakan Tiga Ha-
rimau Besi.
Pertapa Goa Kelelawar terdiam sesaat. Pandangan-
nya dilemparkan ke arah dua orang dari Tiga Harimau 
Besi. Tidak sepatah pun ucapan keluar dari mulutnya. 
Sehingga, Panji agak gelisah menunggu ucapan kakek 
itu.
***
LIMA

Baswara dan Jiranta terlihat agak gelisah ketika di-
tatap tajam oleh Pertapa Goa Kelelawar. Mereka tentu 
saja kenal betul siapa kakek bertubuh tinggi besar itu. 
Kalau tokoh itu sampai berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, celakalah mereka. Meski belum pernah meli-
hat kakek itu bertarung, namun kebesaran namanya

telah bergema ke pelosok-pelosok negeri. Baswara dan 
Jiranta sadar kalau Pertapa Goa Kelelawar tidak bisa 
dibuat main-main.
“Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi 
kejujuran dan keadilan, aku ingin bertanya kepada ka-
lian berdua. Apakah benar yang barusan disampaikan 
Pendekar Naga Putih kepadaku?” setelah beberapa 
saat terdiam, pertanyaan itu pun meluncur dari mulut 
Pertapa Goa Kelelawar.
Mendengar ucapan kakek itu, Panji merasa lega. 
Ucapan itu berarti Pertapa Goa Kelelawar tidak memi-
hak kepada siapa pun dan mengutamakan keadilan. 
Sikap itu semakin membuat Panji kagum.
Tidak demikian halnya dengan Baswara dan Jiran-
ta. Orang pertama dan kedua dari Tiga Harimau Besi 
itu kelihatan agak gelisah. Mereka memang tidak 
mempunyai bukti yang kuat ketika menuduh Pendekar 
Naga Putih. Sehingga, mereka mulai meragukan tudu-
hannya.
“Pertapa Goa Kelelawar,” ucap Baswara setelah 
memutar otaknya mencari kata-kata yang tepat “Kami 
melihat sendiri ia hendak menguburkan mayat-mayat 
murid Perguruan Bangau Putih. Dan kami menduga ia 
sengaja hendak menghilangkan jejak dari perbuatan-
nya...,” lanjut Baswara tidak langsung menjawab per-
tanyaan Pertapa Goa Kelelawar.
“Hm.... Bukan itu yang kutanyakan kepada kalian? 
Aku hanya bertanya tentang benar tidaknya cerita 
Pendekar Naga Putih. Bukankah pertanyaan itu jelas 
dan tidak sulit untuk menjawabnya?” kilah Pertapa 
Goa Kelelawar yang tampaknya tidak menerima uca-
pan Baswara. Dan mengulang kembali pertanyaannya.
“Benar. Apa yang diceritakan Pendekar Naga Putih 
memang tidak berlebihan.” Akhirnya Baswara terpaksa 
menjawab, walau terasa sangat berat

“Bagus! Itu berarti kalian masih menjunjung tinggi 
kegagahan dan kejujuran,” tukas Pertapa Goa Kelela-
war tersenyum puas atas jawaban Baswara. Kemudian, 
terdiam sesaat dan berpaling ke arah Panji. Dan, kem-
bali menatap Baswara dan Jiranta bergantian. Perta-
nyaannya kembali terlontar.
“Jadi, kalian bertiga menuduh secara paksa tanpa 
mau mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih?”
Baswara dan Jiranta saling bertatapan sesaat Ke-
duanya seperti tengah berembuk untuk menjawab per-
tanyaan itu. Dan Jiranta tetap menyerahkan jawaban-
nya kepada Baswara. Karena lelaki tinggi kurus berwa-
jah pucat itu tidak berani menjawabnya.
“Kami tetap menuduh Pendekar Naga Putih sebagai 
pelaku pembunuhan itu!” tegas Baswara bersikeras. 
Karena sudah telanjur basah. “Kalau kau hendak ber-
pihak kepada pendekar muda yang sombong itu, aku 
sedikit pun tidak keberatan! Yang jelas, keputusan 
kami tidak berubah!” tandas Baswara mengejutkan.
“Hm....”
Pertapa Goa Kelelawar pun bergumam sambil men-
gelus jenggot putihnya yang panjang. Sepasang ma-
tanya agak meredup. Sepertinya, kakek itu dapat men-
duga mengapa Baswara berkata demikian.
“Baswara,” ujar Pertapa Goa Kelelawar dengan lem-
but penuh kearifan. “Aku tahu kau tidak berkata jujur. 
Ketahuilah. Sebagai orang-orang yang menjunjung ke-
gagahan, tidak ada kata terlambat untuk mengakui 
suatu kesalahan. Setiap manusia bisa berbuat khilaf. 
Karena itu, sebaiknya kau pikirkanlah kembali uca-
panmu. Aku percaya Pendekar Naga Putih tidak 
mungkin melakukan perbuatan tercela itu. Apa pun 
alasannya!”
‘Tapi dia melakukannya karena tidak ingin menda-
pat saingan untuk memperoleh Rase Perak! Itu sebab

nya, Pendekar Naga Putih sampai berbuat sekeji itu!” 
Jiranta rupanya tidak sabar juga untuk berdiam diri. 
Sekali berbicara, ucapannya terdengar keras penuh ra-
sa tidak suka. Bahkan, nyata-nyata melemparkan tu-
duhannya kembali kepada Panji.
“Hm.... Mungkin benar Pendekar Naga Putih tengah 
menuju Bukit Ular Emas, seperti tujuan banyak tokoh 
yang saat ini tengah berlomba untuk mencapai tempat 
itu. Tapi, menurutku tidak semua tokoh datang untuk 
mendapatkan Rase Perak. Tidak sedikit di antara me-
reka yang hanya ingin membuktikan kebenaran 
adanya Rase Perak. Salah satunya adalah aku. Dan 
mungkin Pendekar Naga Putih pun mempunyai niat 
sama denganku. Jadi, tuduhan kalian sama sekali ti-
dak berdasar!” tandas Pertapa Goa Kelelawar, kendati 
suaranya tetap lembut dan tidak menyiratkan kemara-
han.
“Pertapa Goa Kelelawar!” Baswara menimpali agak 
keras. “Kalau kau memang hendak memihak Pendekar 
Naga Putih, kami tidak merasa keberatan. Tapi, jangan 
coba-coba menyuruh kami percaya dengan kebersihan 
pendekar muda itu. Siapa tahu dalam hatinya tersim-
pan suatu niat busuk yang orang lain tidak tahu. Ter-
masuk kita semua!”
“Hm.... Kelak aku akan membuktikan bahwa aku 
bukanlah orang yang tamak dan buta hati. Untuk kali 
ini kalian boleh berpuas hati dengan menuduhku se-
maunya. Aku memang tidak mempunyai bukti atau 
saksi yang dapat membuktikan bahwa aku bukan 
pembunuh!” tak sabar Panji menyelak. Sikap kedua 
orang itu dianggapnya sudah keterlaluan dan sangat 
keras kepala.
Pertapa Goa Kelelawar mengangkat kedua tangan-
nya ketika melihat Baswara dan Jiranta masih hendak 
membantah. Sehingga, kedua belah pihak terdiam dan

tidak lagi mengeluarkan suara.
“Persoalan ini tidak akan pernah selesai jika kalian 
dikuasai amarah. Untuk itu, biarlah ku putuskan. 
Tentunya jika kalian masih sudi memandangku seba-
gai orang tua. Sebaiknya, kita tunda saja persoalan ini. 
Siapa tahu waktu akan segera mengungkapkannya....” 
Akhirnya Pertapa Goa Kelelawar memutuskan. Ia tidak 
melihat adanya sisi yang dapat digunakan untuk me-
nyelesaikan masalah itu.
Panji tampak tidak merasa keberatan dengan kepu-
tusan Pertapa Goa Kelelawar. Karena ia pun ingin 
membuktikan bahwa pelaku pembunuhan itu bukan-
lah dirinya. Untuk itu, ia memerlukan waktu.
“Baiklah. Kami bisa menerima keputusan itu. Tapi 
kami tidak bisa menjamin kalau Pendekar Bangau 
Sakti mencarimu, Pendekar Naga Putih!” ujar Baswara 
yang secara tidak langsung telah mengancam Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ancaman Bas-
wara. Dan menatap kepergian Tiga Harimau Besi yang 
membawa salah seorang rekannya, Kunda Lawing. To-
koh ketiga itu masih belum sadar dari pingsannya.
Pertapa Goa Kelelawar tidak berusaha mencegah-
nya. Sepertinya, kakek itu maklum kalau Tiga Hari-
mau Besi merasa malu untuk menarik kembali tudu-
hannya. Ia pun hanya bisa berharap agar sang Waktu 
dapat melunakkan kekeraskepalaan ketiga tokoh itu.
***
“Bagaimana, Pendekar Naga Putih? Apakah kau 
masih akan melanjutkan perjalananmu ke Bukit Ular 
Emas?” tanya Pertapa Goa Kelelawar setelah kepergian 
Tiga Harimau Besi. Mereka berdua masih belum beran-
jak dari tempat itu.
“Aku tetap akan menuju ke Bukit Ular Emas, 
Eyang. Karena aku khawatir ada pihak ketiga yang

membuat kerusuhan di tempat itu,” sahut Panji tidak 
mengubah rencananya.
“Jadi, kau tidak tertarik dengan kabar tentang Rase 
Perak yang langka itu?” tanya Pertapa Goa Kelelawar 
meminta ketegasan.
Padahal, tadi Pertapa Goa Kelelawar menduga pe-
muda itu hendak ikut menyaksikan bagaimana rupa 
Rase Perak. Tapi, dugaannya ternyata meleset Dan ka-
kek itu semakin kagum akan keluhuran budi Pendekar 
Naga Putih. Maksud kedatangan pemuda itu ternyata 
hanya untuk melihat suasana, agar tidak terjadi keri-
butan yang menimbulkan bencana bagi tokoh-tokoh 
persilatan.
“Tidak, Eyang. Meskipun kabarnya Rase Perak me-
rupakan binatang langka, tapi aku sedikit pun tidak 
tertarik untuk memperebutkannya...,” jawab Panji se-
jujurnya. Niatnya memang bukan tertuju pada kabar 
tentang akan munculnya Rase Perak. Panji hanya ingin 
agar pertemuan itu tidak menimbulkan pertumpahan 
darah.
“Hm.... Padahal binatang itu sangat langka. Sulit 
sekali untuk mencari jejaknya. Kemunculannya sendiri 
hanya pada waktu-waktu tertentu,” gumam Pertapa 
Goa Kelelawar yang rupanya tahu banyak tentang Rase 
Perak yang menghebohkan itu.
“Apakah binatang langka itu tidak ada yang meme-
liharanya, Eyang?” tanya Panji ingin tahu. Sebab, bi-
asanya benda atau binatang langka adalah peliharaan 
orang-orang sakti.
“Ada. Tokoh itu berjuluk Pendekar Rase Perak. Tapi, 
namanya sudah lama menghilang dari dunia persila-
tan. Itu sebabnya aku merasa tertarik dan meninggal-
kan tempat pertapaanku. Sebab, kalau benar Rase Pe-
rak yang menghebohkan itu binatang peliharaan saha-
batku, bisa lain persoalannya. Ia akan murka kalau
binatang kesayangannya itu diburu tokoh-tokoh persi-
latan. Binatang langka itu telah berumur seratus ta-
hun lebih. Selain darahnya dapat membuat tubuh kita 
menjadi kebal terhadap segala jenis racun, juga bisa 
menambah kekuatan tenaga dalam menjadi berlipat 
ganda. Kabar tentang binatang itu telah mengheboh-
kan dunia persilatan!” jelas Pertapa Goa Kelelawar.
Kini Panji semakin mengerti tokoh-tokoh persilatan 
seperti berlomba untuk mendapatkan binatang itu. Ki-
ranya, demikian besar khasiatnya.
“Kalau begitu, siapa yang membawa kabar tentang 
adanya binatang langka yang sangat berkhasiat itu, 
Eyang?” tanya Panji kalau-kalau Pertapa Goa Kelela-
war mengetahui orang pertama yang membawa kabar 
menghebohkan itu.
“Aku tidak tahu pasti, Pendekar Naga Putih. Ke-
mungkinan besar pemburu tua yang dahulu sempat 
bertemu dengan binatang langka itu. Karena tidak ada 
lagi dugaan lain dalam kepalaku. Mungkin pemburu 
tua itu menceritakan kepada keturunannya. Yang ke-
mudian menceritakan lagi kepada orang lain, dan terus 
sampai menyebar luas di kalangan persilatan. Tapi, 
siapa pun orang itu yang jelas kita harus mencegah-
nya. Aku khawatir Pendekar Rase Perak tidak dapat 
menahan diri bila tokoh-tokoh persilatan memburu bi-
natang kesayangannya. Bisa saja pendekar itu tewas di 
tangan tokoh-tokoh persilatan yang banyak jumlah-
nya...,” urai Pertapa Goa Kelelawar.
“Hm.... Kalau begitu, kita harus secepatnya tiba dan 
mengabarkan kepada Pendekar Rase Perak. Jika sam-
pai terlambat, bisa-bisa tempat itu akan menjadi ajang 
pertumpahan darah...,” ujar Panji yang terlihat sangat 
khawatir kalau dugaannya sampai terjadi.
“Aku pun mengkhawatirkan hal itu, Pendekar Naga 
Putih. Tapi, sebaiknya kita berpisah di sini saja. Kau

masih mempunyai kewajiban untuk mencari pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih,” timpal 
Pertapa Goa Kelelawar mengingatkan Panji akan tudu-
han Tiga Harimau Besi.
“Memang sebaiknya begitu, Eyang. Selain hendak 
menyelidiki pembunuh biadab itu, aku pun ingin men-
cari apakah masih ada tokoh-tokoh lain yang menjadi 
korban pembunuhan gelap itu,” ujar Panji menyetujui 
usul Pertapa Goa Kelelawar. Ia sendiri sebenarnya in-
gin mengajukan usul itu. Tapi merasa enggan. Takut 
dituduh sombong. Untung, Pertapa Goa Kelelawar ke-
buru mengajukan usul itu. Sehingga, Panji merasa le-
ga.
“Nah, selamat berpisah, Pendekar Naga Putih. Kita 
berjumpa di Bukit Ular Emas...,” usai berkata, Pertapa 
Goa Kelelawar melesat meninggalkan tempat itu. Se-
bentar saja sosok kakek tinggi besar itu sudah berada 
jauh dan lenyap ditelan lebatnya dedaunan.
Panji berdiri mematung. Sesaat kemudian, melan-
jutkan pekerjaannya yang tertunda. Dihampiri- nya 
mayat-mayat murid Perguruan Bangau Putih. Dan 
menguburkannya menjadi satu dalam sebuah lubang 
besar. Setelah selesai, Panji segera melesat pergi.
Arah yang diambil Panji berlawanan dengan Pertapa 
Goa Kelelawar. Panji memang berniat untuk menyeli-
diki pelaku pembunuhan itu lebih dahulu. Untuk itu, 
perjalanannya ke Bukit Ular Emas ditunda. Jalan sa-
tu-satunya untuk menemukan jejak pembunuh itu 
adalah dengan mengikuti perjalanan tokoh-tokoh per-
silatan. Panji yakin kejadian itu masih akan berlanjut.
***
Dengan langkah tenang, Panji menyusuri jalan 
utama sebuah desa. Menurutnya, desa itu akan men-
jadi tempat persinggahan kaum rimba persilatan. Untuk menuju ke Bukit Ular Emas, orang harus melalui 
desa itu terlebih dulu. Karena, Panji berniat akan 
menginap di Desa Eretan ini. Dan berharap dapat me-
nemukan tokoh-tokoh persilatan yang akan mengun-
jungi Bukit Ular Emas. Panji juga berharap agar pem-
bunuh misterius muncul untuk mencari korban beri-
kutnya.
Setelah menemukan beberapa kelompok tokoh-
tokoh persilatan yang tengah beristirahat, Panji segera 
mencari penginapan untuk bermalam. Di dalam kamar 
tempatnya menginap, Panji bersemadi untuk meng-
himpun tenaga agar saat bergerak malam nanti tu-
buhnya terasa segar. Panji tidak keluar dari dalam 
kamarnya sampai malam datang menyapa persada.
Saat malam semakin larut dalam keheningan den-
gan ditemani nyanyian satwa, Panji menyelinap keluar 
melalui jendela kamarnya. Lalu, bergerak meninggal-
kan penginapan setelah menutup jendela rapat-rapat 
Pemuda itu melesat berlarian di atas atap rumah-
rumah penduduk Desa Eretan.
Cahaya bulan redup yang muncul setengah meng-
gantung di langit kelam, menemani gerak Pendekar 
Naga Putih yang berharap dapat menemukan pembu-
nuh misterius. Meski di bawah sana peronda-peronda 
desa berkeliling memeriksa keamanan desa, namun 
tak seorang pun yang tahu malam itu mereka dibantu 
oleh seorang pemuda perkasa. Walau kepentingan 
Panji dan peronda- peronda desa itu berlainan, pada 
dasarnya tetap sama. Karena secara tidak langsung 
Panji telah ikut meronda desa. Kendati niatnya hendak 
memergoki pembunuh misterius yang telah membuat-
nya dimusuhi Tiga Harimau Besi.
Waktu itu belum lagi tengah malam. Panji yang me-
ronda desa dari atas atap rumah-rumah penduduk 
melihat sosok-sosok bayangan hitam mengendap

endap. Jumlah mereka kurang lebih tujuh orang. So-
sok-sosok itu bergerak hati-hati mendekati sebuah 
rumah penginapan, yang diketahui Panji sebagai tem-
pat menginap sekelompok tokoh-tokoh persilatan. Ka-
rena sebelum mencari tempat untuk menginap, Panji 
telah mengikuti orang-orang rimba persilatan. Sehing-
ga, ia dapat mengetahui di mana tokoh-tokoh persila-
tan itu bermalam.
“Hm.... Mungkinkah mereka pembunuh-pembunuh 
yang telah membantai delapan murid Perguruan Ban-
gau Putih? Tapi, kalau melihat gerakan mereka ra-
sanya tidak mungkin. Kepandaian tujuh orang itu ter-
lalu rendah untuk mencelakakan murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih. Aku tahu betul orang-orang yang 
dikirim Perguruan Bangau Putih telah melalui pilihan 
yang ketat. Sehingga, baru dipercaya untuk melaku-
kan tugas itu setelah dipersiapkan dengan matang. 
Aku meragukan kemampuan ketujuh orang itu...,” 
gumam Panji yang bergerak hati-hati mengikuti sosok-
sosok bayangan hitam yang saat itu sudah memasuki 
rumah penginapan melalui jalan belakang.
Karena percaya akan kemampuan tokoh-tokoh per-
silatan yang bermalam di dalam rumah penginapan 
itu, Panji tidak mengikuti ketujuh sosok itu sampai ke 
dalam, la menunggu kelanjutan perbuatan mereka. 
Dan hanya mendekam di atas atap rumah salah seo-
rang penduduk yang agak berdekatan dengan pengi-
napan.
“Hm.... Sepertinya ketujuh orang itu tertangkap ba-
sah oleh tokoh-tokoh persilatan...,” gumam Panji keti-
ka mendengar suara bentakan dan dentang senjata be-
radu. Panji dapat memastikan kalau di dalam rumah 
penginapan telah terjadi perkelahian. Semua itu dike-
tahui dari pendengarannya. Tapi, itu cukup jelas dan 
sedikit sekali kemungkinannya meleset.

“Hei, jangan lari kau, Pengecut Busuk...!” tiba-tiba 
terdengar bentakan. Panji menatap lebih teliti ke arah 
bagian belakang penginapan.
Dari bagian belakang tempat itu tampak lima sosok 
tubuh bergerak ke luar. Disusul dengan dua orang 
lainnya yang rupanya bertindak untuk menahan se-
rangan, sementara kawan-kawannya bergerak pergi. 
Semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Karena pada 
bagian belakang rumah penginapan terdapat obor yang 
menerangi tempat itu.
“Haaat...!”
Satu dari dua orang yang melindungi kawan-
kawannya melarikan diri tiba-tiba memekik keras. 
Dan, mempergencar putaran pedangnya hingga me-
nimbulkan deruan angin tajam. Empat orang yang se-
mula mendesaknya segera berlompatan mundur. Me-
reka tidak ingin mendapat luka.
“Cepat pergi...!” teriak sosok tinggi kekar kepada 
kawan-kawannya. Ia jelas tidak mungkin dapat mela-
kukan hal itu lebih lama lagi. Dan perbuatan itu pun 
dilakukannya dengan nekat demi keselamatan kawan-
kawannya.
Enam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu sege-
ra melesat tanpa banyak cakap lagi. Kendati ilmu me-
ringankan tubuh mereka tidak terlalu tinggi, namun 
suasana malam yang gelap membantu usaha mereka 
untuk melarikan diri.
“Hm.... Kau tidak akan kubiarkan pergi, Keparat 
Busuk...!” bentak salah satu dari empat lelaki gagah 
yang marah karena istirahatnya diganggu orang-orang 
misterius. Wajah mereka ditutup oleh penutup wajah 
berwarna hitam, sehingga tidak bisa dikenali. Tapi....
Syuttt, syuttt syuttt...!
Terdengar sambaran angin berkesiutan. Diterangi 
sinar obor, terlihat belasan benda berkilau meluncur

ke arah arena pertarungan. Tampaknya, serangan itu 
memberi kesempatan kepada lelaki tinggi kekar untuk 
melarikan diri.
Lelaki kekar berpakaian serba hitam itu rupanya 
tahu maksud kawan-kawannya. Ia segera melesat ke 
kanan sambil mengibaskan pedangnya menyambut 
sambaran pedang salah seorang lawan.
Trangngng!
Seiring dengan benturan keras itu, tubuh lelaki 
tinggi kekar terdorong beberapa langkah. Dengan san-
gat liciknya, lelaki itu membantu daya dorong bentu-
ran dengan lompatan panjang. Kemudian, melesat per-
gi meninggalkan penginapan.
“Keparat, jangan harap dapat lepas dari tangan-
ku...!” salah seorang berteriak marah. Ia tidak sempat 
melakukan pengejaran. Karena saat itu ia dan tiga ka-
wannya disibukkan oleh datangnya pisau-pisau ter-
bang yang mengancam mereka.
Pisau-pisau terbang itu memang dapat dilumpuh-
kan. Tapi, mereka telah kehilangan buruannya. Tokoh-
tokoh persilatan itu tidak berani bertindak gegabah 
untuk melakukan pengejaran. Dalam kegelapan malam 
seperti itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka. 
Sehingga, mereka hanya dapat membanting kaki den-
gan jengkel. Dan membiarkan musuh-musuhnya be-
bas meninggalkan tempat itu.
***
ENAM


Tujuh orang lelaki berpakaian serba hitam yang 
menutup wajahnya dengan kain hitam itu melesat me-
nerobos kegelapan malam. Wajah mereka dibasahi ke-
ringat yang turun membasahi pakaian. Suara deru nafasnya yang memburu menandakan ketujuh orang itu 
tengah didera rasa lelah. Tiba-tiba langkah mereka 
terhenti seketika. Di depan mereka, dalam jarak dua 
tombak lebih, tampak sesosok bayangan putih berdiri 
tegak menghadang jalan.
“Hah?!”
Lelaki terdepan yang memimpin enam orang ka-
wannya terperangah! Sepasang matanya terbelalak le-
bar. Sosok serba putih di depannya benar-benar mem-
buat hatinya tergetar untuk beberapa saat.
“Sssetankah... itu...?” desis orang kedua yang berdi-
ri pucat dua langkah di belakang lelaki pertama. Jelas 
terlihat lelaki itu pun dilanda ketakutan.
Tak satu pun yang menjawab pertanyaan itu. Mere-
ka semua merasa takut dan tegang. Apalagi, ketika 
melihat sosok serba putih itu bergerak maju dengan 
perlahan. Mereka menunggu dengan hati berdebar ke-
ras.
“Tidak! Ia pasti manusia seperti kita. Lihat! Ia me-
langkah tak bedanya dengan manusia. Jelas, sosok 
serba putih itu bukan hantu atau sebangsanya.” Lelaki 
tinggi besar yang menjadi pemimpin berkata keras-
keras kepada yang lainnya. Ucapan itu sekaligus di-
maksudkan untuk mengusir rasa takut dalam da-
danya.
“Aku memang bukan sebangsa makhluk halus. Ta-
pi, sama seperti kalian semua....” Sosok serba putih itu 
menyahuti dengan tenang. Sementara langkahnya te-
rus mendekat
“Siapa kau? Katakan, apa maksudmu menghadang 
perjalanan kami?” kegarangan lelaki tinggi kekar itu 
muncul kembali. Rupanya, pengakuan sosok serba pu-
tih telah memupus rasa takut di hatinya. Keberanian 
serta kegalakannya pun kembali muncul.
“Mengenai siapa aku, rasanya tidak begitu penting.

Yang jelas, maksud kehadiranku di tempat ini adalah 
untuk meminta penjelasan tentang perbuatan kalian 
yang memasuki penginapan. Apa yang akan kalian la-
kukan sebenarnya? Kulihat kalian telah menemui ke-
gagalan tadi...,” ujar sosok serba putih yang tidak lain 
Panji. Ia sengaja menghadang ketujuh lelaki berpa-
kaian serba hitam itu untuk mencari keterangan dari 
mereka.
“Hm.... Sama seperti tidak pentingnya namamu bagi 
kami, apa yang kami lakukan juga tidak penting bagi-
mu! Kami minta kau segera menyingkir dan membiar-
kan kami lewat,” tukas lelaki tinggi kekar. Sepasang 
matanya tampak menyiratkan kemarahan dan anca-
man. Bahkan, jari-jari tangan kanannya sudah meraba 
gagang pedang. Agaknya, ia hendak menggertak Panji 
agar segera meninggalkan tempat itu.
Panji menggeleng dan menghentikan langkahnya 
dalam jarak satu tombak. Sepasang matanya menatap 
tajam wajah tujuh lelaki yang sebagian tertutup kain 
hitam.
“Gerak-gerik kalian terlalu mencurigakan. Selain 
itu, untuk apa kalian menyembunyikan wajah? Hanya 
orang-orang yang hendak melakukan kejahatan yang 
tidak berani menampakkan diri. Jadi, jangan harap 
kalian dapat meninggalkan tempat ini sebelum mem-
beri penjelasan atas pertanyaanku tadi,” tegas Panji 
tandas. Ia bertekad tidak akan melepaskan ketujuh 
orang itu, yang mungkin saja dapat membawanya ke 
hadapan pembunuh yang dicarinya.
“Kurang ajar! Kau benar-benar tidak bisa diberi ha-
ti!” geram lelaki tinggi kekar. Digenggamnya gagang 
pedang, kendati belum tercabut keluar. “Sekali lagi 
kuperingatkan kepadamu, Kisanak! Pergilah! Jangan 
campuri urusan kami. Atau kau akan menyesal seumur hidup!”


‘Terima kasih atas peringatanmu, Kisanak yang ga-
gah. Tapi maaf, aku tidak akan pergi sebelum kalian 
menjawab pertanyaanku,” tandas Panji bersikeras pa-
da pendiriannya.
“Keparat..!”
Salah satu dari enam lelaki yang berada agak di be-
lakang terdengar memaki gusar. Kemudian, melangkah 
lebar mendekati Panji dengan pedang terhunus. “Kau 
memang pantas dibunuh!”
Usai berkata, lelaki berperawakan gemuk dengan 
pakaian terbuka di bagian depannya mengangkat pe-
dang tinggi-tinggi. Dan....
“Haaah...!”
Sambil membentak geram, lelaki gemuk itu men-
gayunkan senjatanya ke batok kepala Pendekar Naga 
Putih. Agaknya, ia hendak membuat pemuda itu tewas 
seketika dengan tubuh terbelah. Senjata yang diayun-
kannya mengincar bagian tengah kepala Panji!
Whukkk...!
Terdengar suara berdesing ketika pedang itu te-
rayun deras, siap membelah tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Tapi Panji tidak berusaha menghindarinya. Pemu-
da itu mengerahkan tenaga mukjizatnya yang mem-
buat sekujur tubuhnya terbungkus lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan.
Krakkk...!
“Aaah...?!”
Lelaki gemuk itu terpekik kaget! Pedang yang telak 
membacok bagian tengah kepala pemuda itu patah 
menjadi dua. Sedangkan kepala pemuda itu tetap utuh 
tanpa cacat sedikit pun. Bahkan, tubuh lelaki gemuk 
itu terangkat ke atas. Lalu, jatuh terbanting dengan 
kerasnya. Ia tidak bisa segera bangkit Karena tangan 
kanannya teras linu.
“Kurang ajar! Kepung pemuda keparat itu...!” melihat kenyataan yang mengejutkan itu, lelaki tinggi ke-
kar segera memberi perintah pada kawan- kawannya.
Tanpa banyak cakap, enam lelaki berpakaian serba 
hitam bergerak maju menerjang Pendekar Naga Putih. 
Suara desingan pedang terdengar susul-menyusul. Ke-
lima batang senjata itu siap mencincang tubuh Panji 
yang kelihatannya tidak akan memberikan perlawa-
nan. Tapi....
Trakkk, trakkk, krakkk...!
Terdengar teriakan-teriakan kaget dari lima lelaki 
berpakaian serba hitam. Senjata mereka satu pun ti-
dak ada yang utuh. Semua berpatahan ketika bertemu 
dengan tubuh Pendekar Naga Putih. Padahal, ketaja-
man pedang-pedang itu sudah tidak diragukan lagi. 
Tapi, ternyata tidak mampu melukai tubuh Pendekar 
Naga Putih yang terdiri dari tulang dan daging. Kenya-
taan itu sangat sukar dipercaya.
Melihat kenyataan itu, lelaki tinggi kekar menjadi 
kalap dan cemas. Ia baru sadar kalau sosok pemuda 
tampan berjubah putih itu ternyata bukan orang sem-
barangan. Tapi, karena belum merasakannya sendiri, 
ia masih juga belum percaya. Maka, dengan bentakan 
keras lelaki kekar itu merangsek maju.
“Jaga seranganku...!” seru lelaki kekar menya-
betkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Panji hanya bergumam pelan. Pemuda itu masih ti-
dak bergeser dari tempatnya. Kelihatannya, Panji sen-
gaja hendak melumpuhkan lawan-lawannya dengan 
mengandalkan kekebalan tubuh.
Trakkk!
Tenaga ‘Sakti Gerhana Bulan’ kembali menunjuk-
kan keampuhannya. Bacokan pedang lelaki berewok 
tidak membuat Panji terluka. Malah, pedang itu patah 
tiga. Dan ketika Panji menghentakkan tubuh, lelaki 
tinggi kekar itu terpekik ngeri! Tubuhnya terlempar deras ke belakang.
Brukkk!
Tubuh tinggi kekar itu jatuh berdebuk di tanah 
yang mulai dibasahi embun. Sesaat lelaki itu menge-
rang kesakitan. Dan berusaha merangkak bangkit
“Sekarang katakan sejujurnya! Apa maksud kalian 
menyatroni penginapan tokoh-tokoh persilatan itu?” 
tanya Panji dengan berwibawa.
“Kisanak, tahukah kau siapa kami sebenarnya. Sa-
darkah kau kalau bentrok dengan kami berarti kau te-
lah bosan hidup?” tukas lelaki tinggi kekar yang meng-
gunakan cara lain untuk mengusir pemuda tampan 
yang ternyata memiliki kepandaian menggetarkan itu.
“Hm.... Kau hendak mengancamku rupanya...?” sa-
hut Panji yang tentu saja tidak takut dengan gertakan 
lelaki tinggi besar. Malah, sengaja memancing ucapan 
selanjutnya dari lelaki tinggi kekar itu.
“Kisanak, perlu kau ketahui kami adalah orang-
orang Partai Serigala Hitam! Siapa saja yang berani 
mencampuri urusan kami berarti mati! Dan kau akan 
menerima kematian itu!” lanjut lelaki tinggi kekar den-
gan penuh kebanggaan saat menyebutkan nama par-
tainya yang kedengaran seram.
“Partai Serigala Hitam...?!” desis Panji mengulang 
nama perkumpulan lelaki berpakaian serba hitam.
Bagi kaum rimba persilatan, nama Partai Serigala 
Hitam bukan merupakan nama baru. Nama itu sudah 
sangat terkenal dan ditakuti orang. Selain banyak ter-
dapat tokoh tingkat tinggi tergabung di dalamnya, Par-
tai Serigala Hitam tidak mempunyai golongan.
Sepak-terjang anggota maupun tokoh-tokoh partai 
itu tidak bisa dijadikan ukuran. Suatu ketika partai itu 
seperti memihak golongan putih. Karena suka membe-
rikan pertolongan pada orang-orang lemah dan tera-
niaya. Tapi, anehnya mereka meminta bayaran atas

pertolongan yang telah diberikan. Juga tidak jarang 
anggota partai yang besar itu melakukan aksi kejaha-
tan sampai membunuh orang. Kendati orang itu hanya 
mempunyai perselisihan pendapat dengan Partai Seri-
gala Hitam. Hingga, tak seorang pun yang tahu di go-
longan mana sebenarnya partai itu berdiri.
“Hm.... Kalau begitu, aku bisa menebak apa yang 
baru saja kalian perbuat terhadap tokoh-tokoh persila-
tan di rumah penginapan itu. Kalian hendak mele-
nyapkan mereka agar tidak mendapat banyak saingan 
dalam melakukan perburuan di Bukit Ular Emas. Nah, 
kalian tentu tidak bisa membantah lagi sekarang!” ujar 
Panji setelah terdiam beberapa saat
Lelaki tinggi kekar itu kelihatan agak kaget ketika 
mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih. 
Dari ucapan itu ia bisa menebak kalau pemuda itu ti-
dak merasa gentar saat ia menyebutkan nama per-
kumpulannya. Kenyataan itu tentu saja menimbulkan 
keheranan besar di hatinya.
“Rupanya kau memang hendak mencari mati, Kisa-
nak! Biasanya, jangankan seorang bocah seusiamu, 
tokoh-tokoh terkemuka rimba persilatan pun tidak be-
rani bersikap kurang ajar setelah mengetahui siapa 
kami. Kau benar-benar memiliki nyali naga, Kisa-
nak...,” tukas lelaki tinggi kekar yang kini sadar bahwa 
ia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat lolos da-
ri pemuda tampan itu. Karena pemuda itu sedikit pun
tidak gentar ketika mendengar nama partainya.
“Aku bukan tengah mencari kematian. Tapi hendak 
mencari pelaku pembunuhan terhadap murid-murid
Perguruan Bangau Putih. Dan tuduhanku jatuh kepa-
da kalian semua...,” Panji melanjutkan ucapannya 
yang sangat mengejutkan lawan-lawannya.
“Kurang ajar! Jangan sembarangan menuduh 
orang, Kisanak. Rupanya, kau sengaja mencari-cari

alasan untuk memusuhi orang-orang Partai Serigala 
Hitam. Itu tidak akan membuat hidupmu tenang. Me-
musuhi partai kami berarti mati!” geram lelaki tinggi 
kekar tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan 
Panji.
“Hm.... Sudah tertangkap basah masih juga hendak 
mengelak. Orang-orang seperti kalian memang semes-
tinya diberi pelajaran...!” tandas Panji. Kemudian me-
langkah maju dengan sikap mengancam. Sorot mata 
pemuda itu demikian tajam mengiriskan.
Tujuh lelaki berpakaian serba hitam itu terkejut dan 
tampak gentar. Mereka bergerak mundur dengan wa-
jah gelisah. Pemuda itu telah membuktikan keheba-
tannya dengan menerima begitu saja bacokan pedang 
mereka. Kini ia melangkah maju dengan sikap men-
gancam. Sadarlah mereka bahaya akan datang dari 
pemuda tampan berjubah putih.
Ucapan Panji memang bukan sekadar gertakan. 
Meski lawan-lawannya bergerak mundur dengan hati 
tegang, tangan pemuda itu tetap terulur menyambar 
salah seorang yang terdepan. Dan yang menjadi sasa-
ran pertamanya adalah lelaki tinggi kekar!
“Aaakh...?!”
Lelaki tinggi kekar itu kaget bukan main. Tangan 
dengan jari-jari terbuka yang siap menerkam tubuhnya 
itu sebisa mungkin dielakkan. Kedua tangannya digu-
nakan sebagai pelindung. Tampak jelas lelaki itu kalap 
menghadapi serangan Panji. Dan....
Kreppp!
Meskipun lelaki tinggi kekar berusaha menghindar 
dan menangkis, leher baju bagian depannya tetap ter-
kena cengkeraman Panji.
“Huppp!”
Dengan sedikit menyentakkan tangan, tubuh lelaki 
tinggi kekar terangkat naik dari tanah. Kemudian, Panji melemparkannya hingga tubuh itu melambung se-
tinggi tiga tombak!
“Aaa...!”
Rasa takut yang muncul seketika membuat lelaki 
tinggi besar menjerit ketakutan. Dan seperti orang 
yang tidak memiliki kepandaian silat, lelaki tinggi be-
sar meluruk turun dengan kepala lebih dulu. Ngeri 
bukan main hatinya ketika merasakan hal itu. Wajah-
nya berubah pucat bagai tidak teraliri darah. Butir-
butir keringat sebesar biji jagung membasahi wajah-
nya.
Tapi, perbuatan itu hanya sekadar gertakan. Panji 
mengulurkan tangannya menyambut tubuh tinggi be-
sar yang siap terbanting ke tanah. Dan....
Apa yang kemudian dilakukan Pendekar Naga Putih 
benar-benar membuat lawan-lawannya terbelalak tak-
jub. Meskipun tangan pemuda itu belum menyentuh 
tubuh pimpinan mereka, lelaki tinggi besar itu kembali 
terlempar ke udara. Rupanya, Panji hendak memper-
mainkan lelaki itu dengan menggunakan kekuatan te-
naga dalam. Ia melemparkan tubuh itu ke udara setiap 
kali meluncur turun. Padahal, telapak tangannya tidak 
menyentuh tubuh lawan. Panji mempergunakan tena-
ga angin pukulannya.
Tidak bisa dibayangkan lagi betapa takutnya lelaki 
tinggi kekar. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat. 
Teriakan-teriakan ngeri terdengar setiap kali tubuhnya 
meluncur ke bawah. Untuk kemudian dilambungkan 
lagi ke udara oleh dorongan angin pukulan Panji. Per-
buatan pemuda itu membuat lawannya benar-benar 
tersiksa. “
“Hm.... Jangan pertontonkan permainan anak kecil 
itu di depan kami, Pendekar Naga Putih...!”
Ucapan yang perlahan namun menggeletar dan me-
nyusup ke dalam dada itu membuat Panji terkejut. Ada

orang yang tengah menghampiri tempat itu! Panji ber-
gegas menyudahi permainannya.
Saat itu, tubuh lelaki tinggi kekar tengah meluncur 
deras ke bawah. Panji berniat menyambutnya agar tu-
buh itu tidak sampai terbanting di tanah. Tapi....
Panji sempat tertegun ketika melihat daya luncur 
tubuh itu tiba-tiba tertahan oleh suatu kekuatan he-
bat. Sehingga, tubuh tinggi kekar itu bergantung di 
udara dengan kepala di bawah. Kemudian tubuh itu 
berputar, dipaksa oleh suatu kekuatan yang tak tam-
pak, sehingga kepalanya berada di atas. Lelaki tinggi 
kekar itu seperti tengah berdiri mengambang di udara.
Sadar kalau ada orang yang sengaja hendak me-
nunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, Panji merasa 
tertantang. Sepasang tangannya berputaran sesaat, 
kemudian terulur ke atas. Dengan menggunakan ke-
kuatan tenaga dalamnya yang tinggi, Panji kembali 
memutar tubuh lelaki yang tergantung di udara itu 
hingga terbalik seperti semula. 
“Hm....”
Panji yang sekujur tubuhnya telah dilapisi kabut 
putih keperakan ‘mengerahkan tenaga dalamnya. Pe-
muda itu menunjukkan kalau ia pun sanggup memu-
tar tubuh yang mengambang itu menjadi terbalik.
“Hebat...!”
Terdengar seruan memuji. Kemudian, lelaki tinggi 
kekar yang tergantung itu kembali berputar. Ia kembali 
berdiri di udara dengan kepala di atas. Tapi, Panji se-
gera memutarnya kembali. Sehingga, lelaki tinggi kekar 
yang tubuhnya dijadikan ajang pertarungan tenaga da-
lam tingkat tinggi itu tersiksa sekali. Tubuhnya terasa 
dihimpit dua tangan raksasa yang tak terlihat Dan itu 
membuatnya sukar bernapas.

TUJUH

Panji yang melihat wajah lelaki tinggi kekar itu telah 
menjadi merah dengan mata terbelalak bagai hendak 
melompat keluar dari tempatnya, menjadi tidak tega. 
Cepat pemuda itu menarik pulang kekuatan tenaga da-
lamnya. Dan melompat ke belakang satu setengah 
tombak untuk menghindari kekuatan tersembunyi 
yang menyerangnya.
Sikap mengalah Panji rupanya disalahtafsirkan la-
wan. Terdengar suara tawa bergema bernada keme-
nangan. Sesaat kemudian, suara berat dan parau ber-
gaung disertai hembusan angin keras.
‘Ternyata, orang yang di dewa-dewakan kaum rimba 
persilatan hanya begitu saja kepandaiannya...!”
Panji sedikit pun tidak marah kendati ucapan itu je-
las-jelas menghina dan merendahkan dirinya. Pemuda 
itu merasa belum kalah. Panji hanya tidak merasa per-
lu untuk meributkan soal itu. Satu keinginannya yang 
diharapkan segera terwujud, melihat rupa tokoh ter-
sembunyi yang telah bertarung dengannya.
“Sahabat yang gagah! Jika memang wajahmu tidak 
cacat, mengapa harus malu untuk menunjukkan ru-
pamu? Aku tentu akan senang sekali dapat berjumpa 
dan berkenalan denganmu...!” ujar Panji mengerahkan 
tenaga dalam. Sehingga, gema suaranya menyebar ke 
seluruh pelosok tempat itu.
Panji berdiri tegak dengan sikap waspada. Pandan-
gannya beredar ke sekitar tempat itu. Ditunggunya 
dengan sabar kemunculan tokoh yang belum juga me-
nampakkan diri itu. Tiba-tiba....
“Hua ha ha...!”
Suara tawa menggelegar terdengar berkumandang. 
Angin bertiup keras membuat dahan-dahan pohon
berderak ribut. Agaknya, tokoh tersembunyi itu hen-
dak memamerkan kekuatan tenaga dalamnya melalui 
getaran suara tawa.
Terkejut bukan main hati Panji ketika melihat aki-
bat yang ditimbulkan. Tujuh lelaki berpakaian serba 
hitam yang kepandaiannya masih terlalu rendah bagi 
Panji terpaksa harus merasakan akibatnya. Mereka 
bergulingan sambil mendekap dada dan kedua telinga. 
Suara tawa itu membuat mereka tersiksa. Kalau saja 
masih terus berlanjut, bukan tidak mungkin mereka 
akan tewas dengan bagian dalam tubuh hancur!
Panji tidak sampai hati melihat penderitaan mereka 
yang semula menjadi lawan-lawannya. Kendati ia sen-
diri harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawan 
pengaruh suara tawa itu. Panji berniat memberikan 
perlawanan. Karena tokoh tersembunyi itu seperti sen-
gaja hendak menguji kekuatan tenaga dalamnya yang 
memang terkenal di kalangan persilatan. Tapi....
“Hia ha ha...!”
Lengkingan panjang yang semula siap meluncur da-
ri kerongkongan Panji segera tertunda. Saat itu terden-
gar suara tawa lain yang tidak kalah hebatnya. Dan 
semakin membuat ketujuh lelaki berpakaian hitam 
meraung menahan sakit yang bagai hendak meledak-
kan dada mereka. Panji kelihatan sangat terkejut
“Hebat...! Rupanya, berita tentang Rase Perak be-
nar-benar telah memaksa tokoh-tokoh tingkat tinggi 
keluar dari sarangnya. Tawa itu jelas menunjukkan 
kalau kepandaian kedua tokoh tersembunyi ini benar-
benar luar biasa. Rasanya mereka tidak kalah hebat 
dengan Pertapa Goa Kelelawar, yang juga terpaksa me-
ninggalkan tempat pertapaannya untuk melihat kebe-
naran berita mengenai binatang langka yang bernama 
Rase Perak itu...,” gumam Panji. Pemuda itu merasa 
bahwa tugasnya kali ini sangat berat Apalagi, ia belum

mengetahui di pihak mana kedua tokoh tersembunyi 
itu berdiri.
Suara tawa dua orang tanpa wujud itu membuat 
Panji harus menambah kekuatan tenaga dalamnya un-
tuk melindungi isi dada. Kalau tidak, besar kemungki-
nan Panji akan mengalami luka dalam. Tentu saja hal 
itu tidak diinginkannya.
“Hm....”
Panji berdiri tegak mengatur jalan napas. Wajahnya 
tampak agak pucat. Tekanan dari dua suara tawa yang 
terus berkumandang itu membuat dadanya bergun-
cang semakin keras. Panji harus bertindak cepat jika 
tidak ingin celaka. Maka....
“Yeaaa...!”
Setelah menggabungkan dua kekuatan mukjizat-
nya, Panji mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Aki-
batnya sungguh hebat bukan main! Karena Panji men-
gerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ dan Tenaga 
Sakti Inti Panas Bumi’ sekaligus. Sehingga, timbullah 
badai yang bagaikan hendak merobohkan semua pe-
pohonan di tempat itu.
Suara tawa yang semula berkumandang mengge-
tarkan jantung tertindih lengkingan panjang Pendekar 
Naga Putih. Sampai akhirnya, suara tawa itu lenyap. 
Agaknya, kedua orang itu harus memusatkan perha-
tian untuk melindungi bagian dalam tubuhnya yang 
terguncang akibat ‘Pekikan Naga Marah’, yang keheba-
tannya luar biasa karena dikerahkan dengan tenaga 
gabungan.
Ketika menyadari kedua suara tawa itu telah le-
nyap, Panji segera menghentikan lengkingannya. Se-
hingga, angin ribut yang laksana topan prahara itu 
terhenti seketika. Alam pun kembali tenang. Bekas-
bekas kehebatan Jengkingan dahsyat Panji terlihat je-
las dengan tumbangnya beberapa batang pohon hingga

tercabut sampai ke akar-akarnya. Tempat itu seperti 
baru saja diamuk badai hebat.
Panji kemudian berdiri tegak sambil mengatur na-
pas. Pemuda itu tampak lelah sekali. Ia masih me-
nunggu kemunculan dua tokoh yang bersembunyi itu.
Panji memang tidak perlu menunggu lama. Bebera-
pa saat kemudian, tampak dua sosok tubuh keluar da-
ri semak-semak. Keduanya memiliki perbedaan yang 
cukup menyolok. Satu bertubuh tinggi besar dengan 
wajah dipenuhi cambang bauk tak terurus. Sepasang 
alis mata lebat melindungi mata setajam burung elang.
Sedang sosok yang satunya lagi bertubuh lebih 
pendek, hanya setinggi pinggang kawannya. Wajah le-
laki kerdil itu pun dihiasi cambang bauk lebat Kedua-
nya berusia sekitar lima puluh lima tahun.
Panji memperhatikan kedua sosok tubuh itu dengan 
penuh selidik. Yang menarik perhatiannya adalah se-
buah lingkaran pada kepala mereka, yang berupa ikat 
kepala berwarna hitam. Sedangkan lingkaran di kening 
berwarna putih menyolok. Dalam lingkaran putih itu 
Panji melihat gambar seekor binatang dengan taring 
dan moncong runcing. Kini, tahulah Panji siapa kedua 
tokoh berpenampilan ganjil itu.
“Kepandaianmu benar-benar hebat, Pendekar Naga 
Putih! Tapi jangan sombong dulu. Kami berdua belum 
mengaku kalah. Permainan tadi baru pemanasan sa-
ja...!” terdengar suara parau dan berat mengusik telin-
ga Panji. Panji merasa heran karena suara parau dan 
berat itu justru datang dari sosok lelaki kerdil. Bukan-
nya sosok tinggi besar yang menyeramkan. Tampak-
nya, hal itu merupakan ciri lain dari keanehan mereka.
‘Tentu saja kita belum kalah...!” lelaki tinggi besar 
yang menyeramkan itu menimpali. Suaranya terdengar 
melengking seperti suara perempuan. Sungguh jauh 
berbeda dengan penampilannya yang sanggup membuat anak kecil pingsan bila berjumpa dengannya. 
Panji mengerutkan kening, heran.
“Maaf, saat ini aku tidak bisa meladeni kalian...,” 
Panji segera berkata. Ia tidak ingin bertarung dengan 
kedua tokoh itu tanpa alasan yang jelas. Apalagi, saat 
itu Panji masih mempunyai urusan lain.
“Siapa bertanding melawan siapa? Jangan dulu 
berkata begitu, Pendekar Naga Putih! Kami berdua be-
lum mengambil keputusan untuk bertarung dengan-
mu...,” kilah sosok kerdil yang kini sudah berada satu 
tombak di hadapan Panji.
. “Kami pun tahu apa yang tengah kau lakukan di 
desa ini, Pendekar Naga Putih. Kunasihatkan agar kau 
lupakan saja persoalan itu. Kau tidak akan pernah 
bertemu dengannya di desa ini atau pun disekitarnya. 
Kecuali tentu saja di Bukit Ular Emas...,” sosok tinggi 
besar berwajah menyeramkan menimpali dengan sua-
ranya yang melengking kecil.
Kening Panji berkerut ketika mendengar ucapan ke-
dua tokoh aneh itu. Ia tahu kedua orang itu adalah to-
koh-tokoh puncak Partai Serigala Hitam. Yang tidak 
dimengerti Panji, dari mana kedua tokoh itu mengeta-
hui kepentingannya berada di Desa Eretan? Selain itu, 
mengapa mereka tega membunuh tujuh orang anggo-
tanya? Tentu ada sesuatu yang tersembunyi dan hen-
dak ditutupi. Namun, Panji tidak mengutarakan apa 
yang ada dalam pikirannya. Karena semua itu masih 
samar. Kalau sudah mendapatkan bukti yang jelas, 
Panji tidak akan segan-segan lagi untuk menggempur 
kedua tokoh itu.
‘Terima kasih atas nasihat kalian. Kalau memang 
tidak ada keperluan denganku, aku hendak pamit..,” 
ujar Panji terpaksa mengalah. Padahal, ia merasa curi-
ga dengan kedua tokoh puncak Partai Serigala Hitam 
itu. Tapi karena tidak ada bukti-bukti yang menunjuk

kan mereka bersalah, Panji tidak bisa berbuat banyak. 
Bahkan, berniat untuk meninggalkan tempat itu. Panji 
hendak melihat tanggapan mereka atas kepergiannya.
‘Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih...!”
Panji yang sudah berbalik dan hendak meninggal-
kan tempat itu terpaksa menahan langkah.
Suara berat dan parau yang mencegah kepergian-
nya membuat Panji kembali berpaling. Pandangannya 
tertuju kepada sosok kerdil.
“Kau memanggilku, Datuk Serigala Hitam...?” Panji 
langsung menegur tanpa basa-basi.
Lelaki kerdil yang kulit tubuhnya tampak pucat itu 
terkekeh parau. Sehingga, tubuhnya terguncang- gun-
cang. Kelihatannya ia sangat senang mendengar Panji 
menyebut julukannya.
“Hm.... Kupikir kau tidak tahu sedang berhadapan 
dengan siapa, Pendekar Naga Putih. Ternyata, matamu 
cukup awas untuk mengenali kami berdua...,” ujar Da-
tuk Serigala Hitam bangga.
‘Tentu saja aku mengenali kalian. Aku pun sudah 
dapat menduga apa yang memaksa kalian meninggal-
kan perguruan. Kiranya, makhluk yang bernama Rase 
Perak itu benar-benar luar biasa. Sampai dapat me-
maksa kalian keluar dari sarang. Nah, Datuk Serigala 
Putih dan Datuk Serigala Hitam, aku mohon pamit...,” 
usai berkata, Panji membalikkan tubuh. Ketika kedua 
tokoh itu tidak didengarnya mencegah, Panji melesat 
pergi meninggalkan tempat itu.
Dua tokoh aneh yang menjadi dedengkot Partai Se-
rigala Hitam hanya menatap kepergian Pendekar Naga 
Putih. Tawa mereka terdengar perlahan mengiringi ke-
pergian pemuda tampan itu. Dan, mereka baru beran-
jak pergi setelah sosok Pendekar Naga Putih benar-
benar lenyap dari pandangan.
“Hm.... Bukit Ular Emas pasti akan ramai sekali...,”


gumam lelaki berkulit pucat yang mengenakan pa-
kaian serba hitam sambil melangkah perlahan.
“Itu justru membuatku semakin tertarik, Kakang...,” 
timpal lelaki berperawakan tinggi besar yang berkulit 
gelap bagai arang. Mungkin inilah sebabnya yang 
membuat dirinya dijuluki Datuk Serigala Hitam.
Setelah itu mereka terdiam. Hanya tiupan angin 
lembut yang terdengar mengiringi langkah mereka ber-
dua. Sebentar kemudian, kedua tokoh mengiriskan da-
ri Partai Serigala Hitam itu lenyap di kejauhan.
***
Pagi-pagi sekali Panji sudah meninggalkan rumah 
penginapan. Langkahnya terayun lambat menyusuri 
jalan utama Desa Eretan. Pemuda itu baru mengerah-
kan ilmu lari cepatnya setelah melewati batas desa. 
Sebentar saja, sosoknya telah jauh meninggalkan Desa 
Eretan.
Kali ini Panji berniat langsung menuju ke Bukit Ular 
Emas. Pertemuannya dengan dua tokoh Partai Serigala 
Hitam membuatnya terpaksa harus merubah rencana. 
Kalau semula ia hendak menyelidiki pembunuh miste-
rius itu, kini rencananya berubah. Munculnya kedua 
tokoh yang ia tahu memiliki kepandaian mengiriskan
itu membuat hati Panji diliputi kekhawatiran.
Niat Panji yang semula hanya ingin mengamankan 
Bukit Ular Emas dari pertumpahan darah nyaris tak 
terpikirkan lagi. Sekarang yang lebih penting baginya 
adalah menyelamatkan binatang langka yang bernama 
Rase Perak. Sebab, kalau binatang itu sampai jatuh ke 
tangan tokoh-tokoh sesat, hancurlah dunia persilatan. 
Khasiat binatang langka itu pasti akan membuat tokoh 
sesat yang mendapatkannya bagai harimau yang tum-
buh sayap. Sudah pasti rimba persilatan akan geger 
dengan ulah tokoh itu. Inilah yang sekarang menjadi

beban pikiran Panji. Dan hal itu pula yang membuat-
nya harus melupakan pembunuh misterius untuk se-
mentara waktu.
Rasa khawatir akan keselamatan orang banyak 
membuat Panji menempuh perjalanan tanpa mengenal 
lelah. Pemuda itu ingin secepatnya tiba di Bukit Ular 
Emas. Ia berharap bisa tiba lebih dulu di sana, sebe-
lum tokoh-tokoh persilatan. Kegelapan malam yang 
hanya diterangi sinar bulan sabit tidak menjadi halan-
gan baginya. Walau perjalanannya agak terhambat, 
Panji tidak merasa perlu untuk beristirahat. Dan terus 
bergerak dengan menggunakan ketajaman pengliha-
tannya agar tidak kehilangan arah.
Saat menjelang fajar, Panji tiba di sebuah sungai 
yang membentang lebar. Melihat arusnya yang tenang, 
Panji dapat menduga dasar sungai itu lebih dari dua 
tombak dalamnya. Sedangkan lebarnya kurang lebih 
tiga sampai empat tombak. Hingga, tidak mungkin da-
pat dijangkaunya dengan loncatan. Untuk menyebe-
ranginya, Panji memerlukan dua kali lompatan. Itu be-
rarti ia harus menggunakan landasan untuk tiba di 
seberang sungai.
Sementara itu, di kaki langit sebelah timur tampak 
cahaya kemerahan menyemburat. Sebentar lagi mata-
hari akan menampakkan kekuasaannya. Pagi akan da-
tang menggantikan tugas sang Malam.
Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya, 
Panji melemparkan pandangan lurus ke depan. Tam-
paklah sebuah gundukan tanah yang menjadi tempat 
tujuannya. Bukit Ular Emas sudah terbentang di ha-
dapan Panji. Untuk bisa tiba di tempat itu ia harus 
menyeberangi sungai yang mengalir di depannya.
Setelah berpikir sesaat, Panji mematahkan dahan 
pohon. Kemudian melemparkannya ke tengah sungai. 
Tapi, baru saja tubuhnya siap melesat, tiba-tiba telinganya menangkap suara-suara orang bertempur. Panji 
segera menunda gerakannya.
“Hm.... Kedengarannya suara itu berasal dari sebe-
lah timur. Kemungkinan besar bukan dari seberang...,” 
gumam Panji mengedarkan pandangan seraya menge-
rahkan indera pendengarannya untuk mencari sumber 
suara itu.
Setelah termenung sesaat, Panji melesat ke sebelah 
kiri. Ia merasa pasti suara pertempuran itu berasal da-
ri kiri tempatnya berdiri. Tubuhnya pun melayang 
dengan kecepatan tinggi.
Sebentar kemudian, tibalah Panji di tempat itu. 
Sayang, kedatangannya agak terlambat Panji melihat 
sesosok tubuh tinggi besar tengah menghabisi sisa la-
wannya. Pertempuran telah usai. Dan sosok tubuh 
tinggi besar yang memenangkan pertarungan siap me-
ninggalkan tempat itu.
“Hei, tunggu...!”
Panji segera melesat dengan kecepatan tinggi. Tu-
buhnya melayang cepat di udara. Setelah berjumpali-
tan beberapa kali, Panji meluncur turun di tempat be-
kas terjadinya pertempuran. Tapi, sosok tinggi besar 
itu telah melayang pergi.
“Hei...!”
Sekali lagi Panji berseru mencegah kepergian sosok 
tinggi besar. Tapi, orang misterius itu tetap tidak pedu-
li. Ia terus melesat pergi tanpa menghiraukan teriakan 
Panji.
Kembali Panji melayang dengan kecepatan bagai 
sambaran kilat. Saat itu sebuah pikiran tentang pem-
bunuh yang melibatkannya melintas dalam benak. 
Dan pikiran itu membuat Panji bersikeras tidak akan 
membiarkan orang itu pergi.
“Haiiit...!”
Dengan bentakan keras tubuh Panji melayang dan

berputaran di udara. Lalu, meluncur turun satu tom-
bak dari tubuh buruannya.
“Harap berhenti sebentar, Kisanak...!” pinta Panji 
sedikit keras, dan berdiri menghadang jalan sosok 
tinggi besar.
Bukannya mematuhi permintaan Panji, sosok tinggi 
besar itu malah melesat maju mengirimkan pukulan 
deras ke tubuh Panji. Tentu saja pemuda itu terkejut 
bukan main! Apalagi, dari sambaran angin pukulannya 
terdengar suara mencicit tajam. Jelas, pukulan itu bisa 
mengakibatkan kematian!
Syuttt...!
Sadar bahwa sosok tinggi besar bermaksud mem-
bunuhnya, Panji pun tidak tinggal diam. Disertai ge-
raman lirih tenaga dalamnya dikerahkan untuk me-
nyambut pukulan lawan. Dengan menggeser tubuhnya 
ke samping kanan, Panji melepaskan tangkisan den-
gan lengan.
Dukkk!
Kekuatan pukulan lawan ternyata jauh lebih hebat 
dari perkiraannya. Ketika sepasang lengan mereka ber-
temu, Panji merasakan tubuhnya bergetar! Bahkan 
kedua kakinya terseret mundur empat langkah! Pa-
dahal sewaktu menangkis, ia telah mengerahkan tiga
perempat bagian dari tenaga dalamnya. Kenyataan itu 
tentu sangat mengejutkan!
Demikian pula dengan sosok tinggi besar, ia menge-
luarkan seruan kaget. Dalam keremangan cuaca, se-
pasang matanya berkilat tajam seperti hendak menge-
nali siapa orang yang telah menghadangnya. Terlihat 
jelas pancaran kegeraman dalam bola mata itu.
Panji yang telah menguasai kuda-kudanya berdiri 
tegak menatap sosok tinggi besar dalam jarak hampir 
dua tombak. Pemuda itu pun berusaha menembus ke-
remangan untuk mengenali siapa sosok tinggi besar
yang memiliki kepandaian hebat itu. Sehingga, sesaat
keduanya saling meneliti untuk mengenali lawan mas-
ing-masing.
***
DELAPAN


“Kisanak, harap kau jelaskan mengapa mereka kau 
bunuh? Apa kesalahan mereka kepadamu...?” tanya 
Panji yang belum juga bisa melihat jelas raut wajah so-
sok tinggi besar. Sehingga, ia belum bisa memastikan 
siapa orang itu.
“Hm.... Mereka adalah orang-orang tamak yang pan-
tas mampus!” jawab sosok tinggi besar menyiratkan 
kebencian yang dalam. Dan begitu ucapannya selesai, 
tubuhnya melayang ke arah Panji dengan serangan 
dahsyat!
“Haaat..!”
Whusss...!
Serangkum angin pukulan berdesingan datang 
mengancam tubuh Panji. Diam-diam pemuda itu terke-
jut. Serangan yang mengandalkan bacokan sisi telapak 
tangan itu dapat menimbulkan suara seperti ayunan 
pedang. Itu jelas membuktikan bahwa tenaga dalam
yang dipergunakan lawan benar-benar berbahaya! Dan 
serangan itu pasti dapat mematikan!
Berpikir demikian, Panji bergegas mengerahkan ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’. Sebentar saja, terciptalah 
lapisan kabut bersinar putih keperakan membungkus 
sekujur tubuhnya. Seiring dengan munculnya lapisan 
kabut, hawa dingin menggigit pun menyebar memenu-
hi arena.
Bwettt..!
Satu sambaran sisi telapak tangan sosok tinggi besar datang mengancam batang leher Pendekar Naga 
Putih. Pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya ke ki-
ri. Kemudian, membalas dengan sebuah cengkeraman 
ke arah tenggorokan lawan.
“Hebat...!”
Terdengar sosok tinggi besar memuji tindakan la-
wannya. Ia menarik mundur tubuhnya dengan kaki 
depan menekuk lutut ke dalam. Cengkeraman cakar 
naga Panji hanya mengenai angin kosong. Dan, saat 
itu kaki depan sosok tinggi besar melesat naik men-
gancam dagu.
Plakkk!
Cepat bukan main Panji memutar tangannya dan 
langsung menekan tendangan itu dengan telapak tan-
gan. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Ke-
duanya terdorong mundur, membuktikan bahwa ‘ke-
kuatan mereka seimbang.
“Yeaaah...!”
Sosok tinggi besar yang terdorong mundur kembali 
melesat ke depan dengan serangkaian serangan maut. 
Tindakan itu membuat Panji semakin kagum. Pemuda 
itu bertambah yakin lawannya memang bukan orang 
sembarangan. Sehingga, Panji merasa ragu kalau ia 
dapat merobohkan lawan dalam seratus jurus. Karena 
tingkat kepandaian lawan memang sulit diukur.
“Hmmm...!”
Sadar kalau ia tidak boleh main-main dalam meng-
hadapi serangan lawan, Panji mempersiapkan ‘Ilmu Si-
lat Naga Sakti’. Kemudian menerjang maju menyambut 
serangan lawan.
“Heaaat..!”
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu kembali terli-
bat perkelahian sengit. Dan Panji semakin kagum keti-
ka mendapat kenyataan kepandaian lawan memang 
benar-benar hebat! Selain itu, ia pun merasa heran.

Ilmu silat lawan tidak memiliki banyak unsur-unsur 
sesat! Bahkan, lebih condong mengarah pada ilmu pu-
tih. Itu terbukti dari cara lawan melancarkan seran-
gan. Kenyataan itu membuat Panji menduga kalau la-
wannya bukanlah seorang tokoh sesat Kendati demi-
kian, terselip pertanyaan dalam benak Panji. Mengapa 
tokoh tinggi besar itu melakukan pembunuhan dengan 
cara yang kejam?
Tapi, Panji tidak bisa berpikir terus sambil mengha-
dapi gempuran lawan yang semakin lama kian bertam-
bah hebat dan berbahaya. Untuk itu, ia harus lebih 
memusatkan pikiran. Kalau tidak, bukan mustahil la-
wan dapat menciderainya.
“Yeaaat..!”
Namun, sebelum Panji sempat memusatkan piki-
rannya, sosok tinggi besar itu tiba-tiba memekik nyar-
ing. Seiring dengan itu, sebuah tusukan jari-jari tan-
gan datang dan menerobos pertahanan Panji. Sehing-
ga.... Tuggg!
“Aaakh...!”
Panji terpekik kesakitan. Tusukan jari-jari tangan 
yang telak itu menghempaskan tubuhnya ke belakang. 
Dada kanannya yang menjadi sasaran pukulan jari-jari 
tangan sekeras besi itu terasa nyeri dan panas. Un-
tung, ia memiliki tenaga mukjizat yang selalu melapisi 
sekujur tubuhnya. Sehingga, meskipun tusukan jari-
jari tangan lawan telak mengena hal itu tidak akan 
sampai membuatnya menderita luka dalam yang pa-
rah.
Tapi sosok tinggi besar tidak mau menyia-nyiakan 
kesempatan emas yang terbentang di depan matanya. 
Maka, saat tubuh Panji melayang di udara sosok tinggi 
besar melesat menyusuli lawan. Sepasang tangannya 
bergerak cepat dengan sambaran angin keras berkesiutan.

Panji yang saat itu belum sempat menyiapkan diri 
kelihatan terkejut. Sadar bahwa serangan lawan kali 
ini dapat membunuhnya, maka begitu kedua kakinya 
menyentuh tanah sepasang tangannya bergerak cepat 
melindungi tubuh.
Plakkk! Plakkk!
Dua kali tusukan jari tangan lawan berhasil dipa-
paki. Tapi, kedudukannya yang tidak begitu kuat 
membuat tubuh pemuda itu terjajar mundur. Dan saat 
itulah lawan mempergunakannya....
Desss, blaggg!
“Huaaakh...!”
Dua buah pukulan hebat tidak sempat lagi dihin-
darkan Panji. Tubuhnya tersentak ke udara dengan 
keras. Darah segar menyembur keluar dari mulut pe-
muda itu. Pukulan hebat itu telah mengguncangkan 
bagian dalam dadanya!
Telak dan kerasnya pukulan lawan membuat Panji 
tidak mampu menguasai keseimbangan tubuh. Pemu-
da itu terbanting jatuh ke tanah. Tapi, Panji bergegas 
bangkit secepatnya. Kendati pandangannya masih na-
nar. Dan....
“Heiii...?!”
Sosok tinggi besar yang semula siap melepaskan 
pukulan susulannya terpekik kaget. Tubuh lawan 
tampak berpijar bagai diselimuti kobaran api. Hawa 
panas pun menyebar membuat sosok tinggi besar ber-
gerak mundur beberapa langkah. Sepasang matanya 
membelalak tak percaya dengan pemandangan yang 
terpampang di depan matanya!
Apa yang disaksikan sosok tinggi besar memang 
bukan khayalan. Pukulan-pukulan telak yang meng-
guncang bagian dalam tubuh Panji telah membuat ‘Te-
naga Sakti Inti Panas Bumi’ bangkit dan menyebar ke 
seluruh anggota tubuhnya. Dan langsung membakar

musnah pengaruh pukulan yang melukai bagian da-
lam tubuh pemuda itu.
Sebagaimana diketahui, ‘Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi’ yang merupakan jelmaan Pedang Naga Langit 
demikian banyak khasiatnya. Selain mampu menolak 
dan memusnahkan segala macam jenis racun, tenaga 
mukjizat itu pun akan langsung bereaksi bila ada se-
suatu yang tidak beres dalam tubuh majikannya. Ka-
rena itu, tenaga mukjizat itu langsung bangkit untuk 
membakar semua pengaruh pukulan yang telak men-
genai tubuh Panji. Sehingga, untuk beberapa saat, ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’ tertindih dan membuat se-
kujur tubuh Panji bagai terjilat kobaran api. Peman-
dangan itulah yang disaksikan sosok tinggi besar.
“Luar biasa?! Kabar tentang kesaktian Pendekar 
Naga Putih ternyata bukan hanya omong kosong bela-
ka! Entah ilmu macam apa yang kali ini dipertunjuk-
kannya kepadaku...?!” gumam sosok tinggi besar me-
mandang takjub. Kalau saja tidak melihat sendiri, ia 
mungkin tidak akan mempercayainya. Tapi, semua itu 
terpampang jelas di depan matanya. Dan sulit untuk 
diingkari lagi.
Beberapa saat kemudian, kobaran api yang menye-
limuti sekujur tubuh Panji mulai mengecil, sampai ak-
hirnya lenyap sama sekali. Dan digantikan oleh lapisan 
kabut bersinar putih keperakan. Wajah Panji yang se-
mula pucat telah kembali bersinar cerah. Itu merupa-
kan pertanda kalau luka dalam di tubuhnya telah 
musnah terbakar kekuatan mukjizat ‘Tenaga Sakti Inti 
Panas Bumi’.
Merasakan tubuhnya kembali ringan tanpa rasa 
nyeri yang mengganggu, Panji kembali menatap sosok 
tinggi besar di depannya. Sepasang mata pemuda itu 
mencorong tajam bagai mata naga di kegelapan. Per-
bawa yang kuat terpancar mengiriskan, membuat lawannya tergetar mundur beberapa langkah. Tampak 
jelas sosok tinggi besar itu sangat terkejut melihat ta-
tapan tajam Panji yang menggetarkan jantung!
***
Saat itu, matahari mulai berpijar menampakkan 
kekuasaannya. Suasana yang semula remang-remang 
perlahan sirna tersaput kecerahan sinar matahari pagi. 
Keadaan itu membuat sosok tinggi besar tersentak ka-
get dan bergerak menjauh. Ia berusaha menyembunyi-
kan wajahnya agar tidak sampai dikenali lawan.
Panji sendiri kelihatan lega menyambut kehangatan 
matahari pagi. Karena dengan begitu ia dapat melihat 
wajah lawannya. Tapi, untuk itu ternyata tidak mudah. 
Sosok tinggi besar menjauh dan menutupi wajahnya 
dengan punggung tangan. Sehingga, yang terlihat 
hanya sorot mata setajam mata elang.
“Hei, tunggu...?!”
Panji tampak terkejut ketika ia mendekat dengan 
langkah perlahan, sosok tinggi besar itu malah melesat 
pergi meninggalkan tempat itu. Tentu saja hal itu tidak 
dibiarkannya. Cepat Panji melesat melakukan pengeja-
ran.
Sadar kalau kepandaian ilmu lari cepat tokoh itu 
setingkat dengannya, Panji menggunakan cara lain un-
tuk mencegah kepergiannya. Satu-satunya jalan ia ha-
rus menghalangi dengan melepaskan pukulan jarak 
jauh. Dan berharap pukulan itu akan membuat la-
wannya sibuk.
“Haiiit...!”
Disertai bentakan nyaring, Panji mendorongkan te-
lapak tangan kanan.
Whuttt...!
Serangkum angin dingin berhembus keras ke arah 
sosok tinggi besar yang berada hampir dua tombak di

depan. Hembusan angin dingin itu sudah pasti diketa-
hui lawan yang tentunya tidak akan membiarkan di-
rinya cidera. Tapi....
Sebelum sosok tinggi besar memutar tubuh mema-
paki pukulan jarak jauh Panji, tiba-tiba terdengar
lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Belum 
lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan berkele-
bat dan melepaskan pukulan dahsyat memapaki puku-
lan jarak jauh Pendekar Naga Putih. Akibatnya....
Blarrr...!
Ledakan keras yang menggetarkan tanah di sekitar 
tempat itu terdengar ketika dua kekuatan hebat saling 
berbenturan. Bahkan, dedaunan berguguran karena 
hebatnya getaran benturan dua gelombang tenaga ma-
ha dahsyat itu.
“Heaaah?!”
Pengaruh benturan keras itu ternyata mendorong 
balik tubuh Panji. Pemuda itu berseru keras dan me-
mutar tubuhnya tiga kali. Kemudian, meluncur turun 
dengan kedua kaki lebih dulu.
Hal serupa juga dilakukan sosok tinggi kurus yang 
menyambut pukulan jarak jauh pemuda tampan itu. 
Dengan sebuah putaran manis, sosok tinggi kurus tu-
run dengan selamat di atas tanah.
Panji menatap tajam seraut wajah lelaki tua yang 
memiliki sorot mata tajam menggetarkan jantung. Wa-
jah itu tampak kelam seperti menyimpan rasa penasa-
ran yang dalam. Dan Panji menjadi terkejut ketika 
mengenali siapa lelaki tua berperawakan tinggi kurus 
itu.
“Pendekar Bangau Sakti...?!” desis Panji berusaha 
menekan debaran dalam dadanya.
Kehadiran pendekar besar yang kosen itu membuat 
ingatan Panji melayang kepada delapan orang murid 
Perguruan Bangau Putih yang ditemukannya tewas di

pinggir sebuah hutan. Dan sikap pendekar tua itu ke-
lihatan memusuhi Panji. Sehingga, Panji menduga-
duga kemungkinan tokoh itu telah mendengar kabar 
tentang kematian murid-muridnya.
“Ah, kiranya Pendekar Bangau Sakti yang datang. 
Maaf, kalau sambutanku kurang hormat..,” ujar Panji 
menyapa sosok tinggi kurus. Pemuda itu membungkuk 
penuh hormat. Pendekar Bangau Sakti adalah salah 
satu dari sekian banyak tokoh tua golongan putih yang 
patut dihormati.
“Hm.... Jangan berpura-pura sopan di hadapanku, 
Pendekar Naga Putih! Aku sudah mendengar tentang 
kematian murid-muridku. Dan kedatanganku adalah 
untuk meminta tanggung jawab darimu sebagai pelaku 
kekejian itu!” tukas lelaki tua itu ketus.
Jawaban Pendekar Bangau Sakti benar-benar men-
gejutkan Panji. Diam-diam pemuda itu menyesali sikap 
Tiga Harimau Besi yang tidak memikirkan akibat dari 
pengaduannya. Hal itu bisa menimbulkan pertikaian di 
antara sesama golongan. Dan kenyataan itu sama se-
kali tidak diinginkan Panji.
“Pendekar Bangau Sakti,” ujar Panji berusaha ber-
sikap setenang mungkin. “Semua itu hanyalah kesa-
lahpahaman belaka. Sejujurnya kukatakan aku bu-
kanlah pembunuh seperti yang kau tuduhkan itu,” 
lanjut Panji menjelaskan.
“Kau masih ingin membantah, Pendekar Naga Putih! 
Bukti sudah jelas kulihat dengan mata kepalaku sen-
diri. Rupanya, kebesaran dan kepandaian yang kau 
miliki membuatmu menjadi takabur dan tidak mau 
memandangku sebagai tokoh yang lebih tua. Sekarang 
tidak usah banyak cakap lagi. Menyerah untuk diadili 
di hadapan anggota-anggota Perguruan Bangau Putih, 
atau terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk 
menyeretmu!” tegas Pendekar Bangau Sakti tidak

mempedulikan sanggahan Panji.
“Apa maksudmu dengan bukti yang kau lihat den-
gan mata kepalamu, Pendekar Bangau Sakti?” tanya 
Panji tidak mengerti. Pemuda itu merasa perlu untuk 
mengetahuinya.
“Hm.... Tahukah kau siapa orang yang hendak kau 
bunuh tadi?” Pendekar Bangau Sakti balik bertanya 
dengan nada menyakitkan.
‘Aku..., tidak melihat wajahnya dengan jelas. Sosok 
tinggi besar itu seperti tidak ingin dikenali...,” ujar 
Panji yang memang belum bisa menebak siapa lawan-
nya barusan.
“Hm.... Kau hendak berbohong kepadaku, Pendekar 
Naga Putih?” tukas Pendekar Bangau Sakti menggeram 
menyimpan kemarahan yang siap meledak.
“Pendekar Bangau Sakti! Seumur hidupku sebisa 
mungkin kebohongan ku hindari. Lagi pula tidak ada 
untungnya hal itu kulakukan!” Panji mulai tersinggung 
oleh ucapan-ucapan lelaki tua itu.
“Baik! Anggaplah kau tidak berdusta. Sekarang 
dengarlah baik-baik! Orang yang barusan hendak kau 
binasakan itu adalah.... Pendekar Rase Perak...!”
“Tidak mungkin!”
“Nah, kau masih ingin menyangkal juga!” tukas 
Pendekar Bangau Sakti dengan wajah terbakar. Ban-
tahan Panji semakin menambah amarah tokoh tua itu.
Kesungguhan Pendekar Bangau Sakti membuat tu-
buh Panji terjajar mundur beberapa langkah. Hatinya 
benar-benar terpukul mendengar bahwa sosok tinggi 
besar yang baru saja bertempur mati-matian dengan-
nya ternyata seorang tokoh besar rimba persilatan, 
yang telah lama menghilang dari dunia ramai. Panji 
hampir tidak mempercayainya. Namun, ucapan itu ke-
luar dari mulut seorang tokoh besar yang tidak mungkin berdusta!

“Tapi..., lelaki tinggi besar itu baru saja melakukan 
perbuatan keji dengan membunuh orang-orang tak 
berdosa. Aku menyaksikannya dengan mata kepalaku 
sendiri!” bantah Panji membela diri.
“Hm.... Tidak perlu membela diri, Pendekar Naga 
Putih! Rupanya, kau hendak berpaling dari jalan ke-
baikan. Perlu kau tahu bahwa orang-orang yang ter-
bunuh itu adalah tokoh-tokoh golongan sesat! Aku ta-
hu pasti akan hal itu!” tegas Pendekar Bangau Sakti 
membuat Panji semakin terkejut.
“Mereka orang-orang golongan sesat..?!” desis Panji 
bagai tengah mengalami mimpi buruk. Kenyataan itu 
membuat jiwa Panji semakin terguncang.
“Tapi..., bukankah Pendekar Rase Perak telah lama 
tidak menampakkan diri?” cerita yang didengarnya da-
ri Pertapa Goa Kelelawar mengingatkan Panji tentang 
tokoh itu.
“Memang benar! Dan kalau sekarang ia menampak-
kan diri, itu karena tidak ingin binatang peliharaannya 
dimiliki orang-orang yang tidak bertanggung jawab! 
Contohnya tokoh-tokoh sesat yang baru saja dibunuh-
nya itu!”
Bantahan Pendekar Bangau Sakti membuat Panji 
kehabisan kata-kata. Untuk beberapa saat pemuda itu 
terdiam. Semua peristiwa yang terjadi belakangan ini 
oleh Panji dirasakan sebagai ujian terberat selama pe-
tualangannya dalam rimba persilatan.
“Hm.... Rasanya, aku belum percaya dengan semua 
yang telah ku alami belakangan ini? Tapi, biar bagai-
manapun aku harus menyelesaikan tugas- tugasku 
sebagaimana pesan mendiang guruku. Dan untuk 
mengungkapkan semua kejadian aneh ini, aku harus 
menghindar dari Pendekar Bangau Sakti. Sebab, kalau 
sampai aku bertarung dengannya, golongan putih pasti 
akan terpecah. Sedangkan hal itu sama sekali tidak
kuinginkan...,” desah Panji dalam hati memikirkan 
tindakan apa yang harus diambilnya.
“Menyerahlah secara baik-baik, Pendekar Naga Pu-
tih! Kami akan mengadili mu dengan jujur. Sebagai 
orang gagah kau harus berani mempertanggungjawab-
kan perbuatanmu!” ujar Pendekar Bangau Sakti mem-
buat Panji tersentak dari lamunannya.
“Maaf, Pendekar Bangau Sakti. Aku merasa semua 
ini banyak keanehan dan kejanggalan. Sayang, saat ini 
aku belum bisa mengungkapkannya. Berikanlah kepa-
daku sedikit waktu. Kelak aku akan datang kepadamu 
dengan bukti-bukti yang dapat melenyapkan tuduhan 
itu terhadap diriku...,” Panji berusaha meminta kebi-
jaksanaan Pendekar Bangau Sakti. Karena pemuda itu 
merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan, ia harus 
dapat mengungkapkan ketidakberesan itu.
“Apa lagi yang hendak kau buktikan, Pendekar Naga 
Putih! Semuanya sudah jelas. Aku akan membawamu 
ke Perguruan Bangau Putih untuk diadili...,” usai ber-
kata, Pendekar Bangau Sakti bertepuk tangan tiga kali.
Panji bergerak mundur ketika dari sekeliling tempat 
itu berloncatan sosok-sosok berpakaian serba putih. 
Mereka adalah murid-murid orang tua itu. Panji tidak 
tampak terkejut. Tapi..., ada satu sosok tubuh yang 
belakangan muncul dan membuat dada pemuda itu 
berdebar keras. Sosok itu adalah....
“Pendekar Rase Perak...?!” desis Panji kaget bukan 
main.
Sosok tinggi besar itu hanya terkekeh perlahan. Dia 
memang Pendekar Rase Perak. Rupanya, tokoh tua 
yang telah lama menghilang itu bersahabat dengan 
Pendekar Bangau Sakti.
Melihat keadaan itu, sadarlah Panji kalau dirinya 
sangat sulit untuk memperoleh kemenangan. Apalagi, 
ketika ia melihat munculnya Tiga Harimau Besi ditempat itu. Jelas ia tengah terancam bahaya besar.
Karena tidak ingin bertarung dengan sesama golon-
gan, Panji mengambil keputusan untuk secepatnya 
meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian, Panji 
mengerahkan dua tenaga mukjizat yang ada dalam tu-
buhnya. Lalu....
“Eaaarkh...!”
Dengan tenaga gabungan yang maha dahsyat, Panji 
mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Dan, hasilnya 
luar biasa sekali!
Tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat. Pe-
pohonan berderak ribut seiring dengan hembusan an-
gin keras yang membuat beberapa pohon sebesar paha 
bertumbangan tercabut dari akarnya. Beberapa orang 
yang mengurungnya terlempar bagai ditiup mulut-
mulut raksasa.
Pendekar Rase Perak, Pendekar Bangau Sakti, dan 
Tiga Harimau Besi menancapkan kuda-kudanya hing-
ga kedua kaki mereka terbenam ke tanah sampai mata 
kaki. Mereka harus mengerahkan tenaga dalam untuk 
melawan pengaruh ‘Pekikan Naga Marah’ itu. Karena 
lengking panjang yang diperdengarkan Panji telah 
mengguncangkan bagian dalam dada mereka.
Saat kesibukan itu terjadi, Panji melesat pergi den-
gan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Agaknya, 
itu adalah satu-satunya jalan terbaik yang harus di-
ambil Panji. Pemuda itu merasa masih banyak tugas 
yang menanti dirinya. Ia tidak ingin menyerah begitu 
saja sebelum dapat membuktikan kalau dirinya benar-
benar tidak bersalah.
“Hm.... Pemuda itu benar-benar hebat! Tapi, biar 
bagaimanapun kita harus dapat membekuknya. Kura-
sa ia pasti pergi ke Bukit Ular Emas...,” ujar Pendekar 
Bangau Sakti yang hanya bisa menyumpah ketika ti-
dak mendapatkan sosok Pendekar Naga Putih di tempat itu.
‘Tapi, kita harus berhati-hati menghadapinya. Se-
lain itu, kita pun harus memperhitungkan campur 
tangan tokoh lain yang kemungkinan besar berpihak 
pada Pendekar Naga Putih...,” timpal Pendekar Rase 
Perak mengingatkan.
Pendekar Bangau Sakti hanya bergumam tak jelas. 
Kemudian, memberikan isyarat kepada murid- murid-
nya untuk meninggalkan tempat itu. Sebentar saja 
keadaan yang semula ramai kembali dicekam kesu-
nyian. Sementara, tiupan angin yang mempermainkan 
pucuk-pucuk dedaunan menimbulkan gemerisik lem-
but di telinga.
***
Bagaimana nasib Pendekar Naga Putih selanjutnya? 
Sanggupkah ia menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi 
yang menuduhnya sebagai pembunuh? Dapatkah Pen-
dekar Naga Putih membuktikan bahwa dirinya tidak 
bersalah? Siapa sebenarnya yang membunuh delapan 
orang murid utusan Perguruan Bangau Putih? Benar-
kah Pendekar Rase Perak yang melakukannya?
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan 
di atas, ikuti episode Pendekar Naga Putih selanjutnya 
yang merupakan lanjutan dari: Rase Perak. Semuanya 
akan terjawab dalam episode: “Misteri di Bukit Ular Emas”.



                      SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar