..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PUSAKA BERNODA DARAH

Pusaka Bernoda Darah

 

Serial Pendekar Naga Putih 
PUSAKA BERNODA DARAH 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Pro's 
128 hal ; 12 x 18 cm 

SATU


"Heaaat..!" 
Suasana pagi yang bening dan sunyi, tiba-tiba saja pecah 
oleh teriakan-teriakan nyaring mem-bahana. Beberapa ekor 
burung yang bertengger di atas dahan serentak beterbangan 
karena terkejut mendengar teriakan itu. 
Tampak sesosok tubuh tegap berloncatan sam-bil sesekali 
melontarkan pukulan dan tendangan. Suara sambaran angin 
tajam yang mengiringi se-tiap pukulan dan tendangannya 
menandakan kalau tenaga dalam sosok tubuh itu sangat tinggi. 
"Yeaaa...!" 
Wut! Wut..! 
Kembali sosok tubuh itu berteriak nyaring. Dibarengi 
teriakannya, tubuhnya melesat ke depan. Jari-jari tangannya

tampak bergetar ketika melaku-kan tusukan pada sebatang 
pohon. 
Crab! Crab! 
Hebat sekali. Jari-jari tangan yang kelihatan lunak itu 
ternyata mampu menembus batang pohon yang besarnya dua 
kali pelukan orang dewasa. Benar-benar sebuah kekuatan 
tenaga dalam yang dahsyat. 
Secepat jari-jari tangannya menusuk ke batang pohon, 
secepat itu pula sosok tubuh itu menarik pulang lengannya. 
Tubuhnya melambung ke udara. Setelah beberapa kali 
berputaran di udara, kedua kakinya melayang turun ke atas 
permukaan tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun. 
Ternyata bukan hanya tenaga dalamnya saja yang hebat! 
Bahkan ilmu meringankan tubuhnya pun tidak bisa dipandang 
rendah! 
"Bagus, Sanjaya...!" 
Terdengar suara pujian dari mulut seorang ka-kek tua yang 
tengah duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar. 
Kakek itu tersenyum puas sambil mengelus elus jenggotnya 
yang panjang. 
"Terima kasih, Eyang. Tapi, sepertinya ilmu pu-kulanku 
belum sehebat yang Eyang contohkan," ujar sosok tubuh yang 
dipanggil Sanjaya itu me-rendah. 
Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda yang kira-kira 
berusia dua puluh tahun. Wajahnya me-nyiratkan kejantanan, 
karena kelihatan kokoh dan keras. Ditambah lagi bentuk 
tubuhnya yang tinggi tegap. Benar-benar seorang pemuda 
yang menarik. 
"Hm.... Kau terlalu merendahkan dirimu, San-jaya. Ilmu 
pukulan yang kau tunjukkan tadi jelas sudah sangat baik. Nah,


sekarang tunjukkanlah ilmu pedang yang telah kau pelajari itu!" 
Perintah si kakek yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu, lembut. 
Setelah berkata demikian, Dewa Jubah Putih melemparkan 
sebatang pedang ke arah Sanjaya yang memang muridnya. 
Lemparan pedang yang dilakukan kakek itu bu-kanlah 
sekadar lemparan biasa. Kalau orang yang menerima lemparan 
itu tidak memiliki kepandaian yang cukup, pasti akan termakan 
oleh mata pedang yang meluncur pesat bagaikan anak panah 
lepas dari busur. 
"Hiaaat..!" 
Sanjaya berseru keras sambil menjejakkan ka-kinya ke atas 
tanah. Tubuh pemuda itu melenting ke atas disertai putaran 
indah. Sambil berputaran, diulurkan tangannya menangkap 
gagang pedang yang berada beberapa jengkal di bawah 
tubuhnya. 
Singngng! Singngng...! 
Begitu gagang pedang tergenggam erat di tangan pemuda 
itu, segera diputar pedang itu dengan pengerahan tenaga 
dalam. Seluruh badan pedang sudah tak tampak lagi. Kini yang 
terlihat hanyalah sinar putih yang membungkus seluruh 
tubuhnya. 
Sanjaya terus melompat dan berputar dengan gerakan yang 
cepat dan kuat. Kalau dilihat dari ge-rakannya, tampak jelas 
kalau ilmu pedang yang di-mainkannya terpusat pada kekuatan 
tenaga. Mes-kipun demikian, bukan berarti kalau ilmu pedang 
yang dimainkan pemuda itu tidak mempunyai unsur keluwesan 
dan kelincahan. Kedua unsur itu pun te-tap terlihat Hanya saja 
keluwesan dan kelincahan-nya sekadar pelengkap dan tidak 
terlalu dipusatkan. 
Wet! Wet...!

Pemuda tinggi tegap itu menutup gerakannya dengan ujung 
pedang melintang didepan mata. Ta-ngan kirinya terjulur ke 
depan bagaikan orang yang tengah menyembah. Sedangkan 
kuda-kudanya membentuk kuda-kuda rajawali, yaitu kaki kiri 
ber-ada didepan dalam keadaan jinjit. 
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus...! Kau hanya perlu sedikit 
penyempurnaan lagi, Muridku. Setelah itu, silakan terjun ke 
dunia ramai untuk meluaskan pe-ngalaman. Karena biarpun 
memiliki kepandaian tinggi, jika tanpa pengalaman kau akan 
dapat di-robohkan oleh orang yang berkepandaian berada di 
bawahmu," jelas Dewa Jubah Putih. 
"Ah! Rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk turun 
gunung, Eyang. Kapankah kira-kira keingi-nanku itu bisa 
terlaksana, Eyang! Tapi.... Kalau aku pergi, lalu bagaimana 
dengan Eyang?" Tanya San-jaya sambil menatap wajah 
gurunya yang sudah berusia lanjut itu. 
Pemuda itu berkata lirih setelah menyadari kalau Dewa 
Jubah Putih sudah sangat tua. Dan hal itu membuatnya merasa 
berat untuk meninggalkan gurunya sendirian di pertapaan yang 
sunyi dan jauh dari keramaian itu. 
"Hm.... Kau tidak perlu merisaukan aku, San-jaya. Aku 
memang sudah bertekad untuk meng-habiskan sisa hidupku di 
Puncak Gunung Kalaban ini. Kau harus mempunyai jiwa kuat, 
Sanjaya. Se-tiap ada perjumpaan, pasti ada perpisahan," orang 
tua itu menghentikan kata-katanya sejenak untuk menarik 
napas dalam-dalam. 
Sementara itu Sanjaya hanya mengangguk-anggukkan 
kepala saja. Pemuda itu memang murid yang sangat berbaka. 
"Nah, sekarang marilah kita berlatih untuk menyempurnakan 
ilmu-ilmu yang telah kau pelajari. Ingat! Jangan kau anggap


aku sebagai gurumu. Tapi anggaplah aku sebagai musuhmu, 
mengerti?" 
"Mengerti, Eyang," sahut Sanjaya sambil meng-anggukkan 
kepalanya. 
"Bersiaplah!" ujar Dewa Jubah Putih dengan suara yang 
berwibawa. 
Kemudian sepasang kaki kakek itu bergerak membentuk 
kuda-kuda silang dalam posisi meren-dah. Tangan kanannya 
dengan telapak tangan ter-buka berada di atas kepala. 
Sedangkan tangan kiri-nya juga dengan telapak tangan terbuka 
berada di bawah pusat seperti tengah menekan bumi. 
"Heaaat..!" 
Kakek itu mulai membuka serangan dengan teriakan yang 
melengking. Tubuhnya berkelebat cepat disertai tamparan-
tamparan tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan. 
Bet! Bet! 
Bergegas Sanjaya menggeser kuda-kudanya sambil 
memiringkan kepala. Tamparan kakek itu pun lewat setengah 
jengkal di atas kepalanya. Ke-mudian, jari-jari tangannya 
bergerak cepat melaku-kan tusukan bertubi-tubi ke arah kedua 
lutut guru-nya. 
Tentu saja Dewa Jubah Putih tidak ingin lutut-nya dijadikan 
sasaran jari-jari tangan yang sekeras baja itu. Cepat digeser 
kedua kakinya bergantian menghindari ancaman jari-jari tangan 
muridnya. 
Tiba-tiba kakek itu melompat ke atas dan ber-putar sekaligus 
mengirimkan sebuah tendangan yang mengancam punggung 
Sanjaya. 
Zebbb!

"Aaah...!" 
Sanjaya yang sama sekali tidak menduga gera-kan gurunya, 
serapat terkejut. Cepat-cepat dilempar tubuhnya, bergulingan 
menyelamatkan diri dari ten-dangan yang amat kuat itu. 
Dengan sebuah gerakan yang tak terduga, tubuh pemuda itu 
melenting bangkit dan langsung meluruk deras ke arah guru-
nya. Sepasang tangannya terjulur kedepan meng-ancam 
tenggorokan si kakek. 
Dewa Jubah Putih terkejut melihat kegesitan muridnya. 
Bergegas diangkat kedua tangannya, me-mapak tusukan jari-
jari tangan muridnya yang diga-bungkan itu. 
Plak! Plak! 
"Uhhh...!" 
Terdengar ledakan yang cukup keras ketika se-pasang 
tangan mereka saling bertumbukan. Tubuh keduanya terpental 
balik dengan keras. Keduanya cepat melakukan beberapa kali 
putaran salto di udara, sebelum mendaratkan kakinya di atas 
tanah. 
"Uhukkk... Uhukkk...!" kakek itu terbatuk-batuk sambil 
menekap dadanya. 
"Eyang.... Kau..., kau terluka?" Tanya Sanjaya khawatir 
ketika melihat gurunya terbatuk-batuk sambil menekap dada. 
Cepat pemuda itu bangkit, lalu meng-hampirinya. 
"Aku tidak apa-apa, Muridku. Ternyata latihan-mu selama ini 
tidak sia-sia. Ilmu yang kau miliki sekarang, rasanya sudah 
cukup untuk bekalmu ter-jun ke dunia ramai Tapi Ingat! Jangan 
sekali-kali merasa takabur dengan kepandaian yang kau miliki 
itu. Karena, di dunia ini sangat banyak orang sakti. Oleh 
karenanya, kau harus berhati-hati membawa dirimu," ujar


Dewa Jubah Putih. Mulutnya masih meringis menahan sakit, 
akibat waktu latihan tadi dadanya terpukul oleh Sanjaya. 
"Baik, Eyang. Segala nasihat Eyang akan selalu kuingat," 
sahut pemuda itu sambil mengikuti lang-kah kaki gurunya. 
Wajah pemuda itu nampak berseri karena se-bentar lagi 
akan segera terjun ke dunia ramai. Na-mun di balik itu, hatinya 
juga cemas terhadap ke-adaan gurunya. 
"Duduklah, Sanjaya. Ada sesuatu yang ingin ku-ceritakan 
padamu. Sebenarnya, hal ini akan ku-katakan apabila kau telah 
kembali dari pengemba-raanmu. Tapi aku mempunyai firasat 
yang tidak baik Sehingga kuputuskan untuk menceritakannya 
kepadamu hari ini juga," jelas Dewa Jubah Putih. 
Kakek tua itu menatap wajah muridnya lekat-Iekat Sesaat 
kemudian, sepasang mata tua itu ber-alih ke arah langit yang 
biru dan nampak jernih itu. 
"Apakah yang ingin Eyang sampaikan?" Tanya Sanjaya. 
Hatinya mendadak berdebar mendengar ucapan gurunya yang 
masih mengandung teka-teki itu. 
"Muridku Sebenarnya aku masih menyimpan sebuah kitab 
dan sebuah senjata pusaka. Kitab itu berisikan ilmu 
menggunakan senjata pusaka itu. Kedua buah pusaka itu 
diberikan guruku secara turun-temurun. Namun sayang, sampai 
saat ini belum ada seorang pun dari keturunannya yang mampu 
mempelajari isi kitab itu secara sempurna, termasuk aku. 
Karena di antara semua keturunan belum ada seorang pun 
yang memiliki bakat yang baik. Ketika aku mengambilmu 
sebagai murid, ba-kat untuk mempelajari ilmu tersebut sudah 
dapat kulihat. Walaupun kau masih harus meluaskan 
pengalamanmu, tapi aku tetap akan menyerahkan kedua buah 
pusaka itu kepadamu. Karena, aku merasa ada sesuatu yang 
akan terjadi."

Kakek tua itu kembali menarik napas dalam-dalam, 
kemudian menghembuskannya kuat-kuat Seolah-olah dia ingin 
melepaskan ganjalan yang se-lama ini menyesakkan dadanya. 
Sanjaya hanya terdiam menanti kelanjutan ce-rita gurunya. 
Pemuda itu sama sekali tidak ber-usaha mendesak orang tua 
itu agar cepat-cepat me-nyerahkan kedua pusaka yang 
disebutkan tadi. Memang, dia bukan jenis orang yang serakah 
atau-pun berambisi untuk hal-hal seperti itu. 
"Perlu juga kau ketahui, Muridku. Aku masih mempunyai 
beberapa orang adik dan seorang kakak seperguruan. Sengaja 
aku menyembunyikan diri di tempat ini karena untuk 
menghindari mereka. Se-lama ini aku memang masih selamat 
dari penge-jaran. Tapi siapa tahu suatu hari nanti mereka 
akhirnya akan mengetahui tempat persembunyian-ku ini" 
Kakek itu sebentar menghentikan ceritanya. Matanya terus 
menerawang jauh, membayangkan saat-saat dikejar-kejar oleh 
saudara seperguruan-nya. 
"Dan sebelum mereka sempat mengetahuinya, aku ingin 
menyerahkan kedua pusaka itu kepada-mu. Terserah kau, 
apakah ingin dibawa dalam perantauanmu atau ingin 
disembunyikan di satu tempat. Karena, firasatku mengatakan 
kalau tempat ini sudah tidak aman untuk menyembunyikan ke-
dua pusaka itu. Kalau mereka datang setelah kau pergi sambil 
membawa dua pusaka itu, maka kedua pusaka itu akan 
selamat. Karena mereka tidak mengetahui kalau aku 
mempunyai seorang murid. Nah! Bersediakah kau menerima 
kedua pusaka itu dengan menanggung segala akibatnya?" 
Tanya sang Guru menutup ceritanya. 
"Eyang. Apapun yang diperintahkan akan ku-jalankan 
meskipun harus berkorban nyawa karena-nya. Dan rasanya 
semua itu masih belum cukup untuk membalas budi Eyang

yang telah bertumpuk-tumpuk," sahut Sanjaya, menekan 
keharuan dalam hatinya. 
"Hm.... Kalau kesediaanmu menerima kedua pusaka itu 
hanya karena budi, aku tidak suka, San-jaya," tegas Dewa 
Jubah Putih sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dari 
nada suaranya, jelas sekali kalau dia merasa tak senang 
dengan jawaban muridnya. 
"Maafkan aku, Eyang," ucap Sanjaya lirih dan mengandung 
penyesalan yang dalam. 
"Jangan sekali-kali kau libatkan dirimu dengan persoalan 
hutang budi, Muridku. Karena hal itu ke-lak akan 
mendatangkan celaka. Kedua pusaka itu kuserahkan kepadamu 
dengan tujuan agar kau da-pat melanjutkan pengorbanan 
pendahulu-penda-hulu kita dalam menentang segala bentuk 
kejaha-tan. Jelasnya, aku tidak ingin ilmu-ilmu perguruan yang 
telah turun temurun ini akan lenyap karena tak ada yang bisa 
mempelajarinya. Tapi ingat, aku tidak memaksamu untuk 
menerimanya begitu saja, Sanjaya. Kalau tidak sudi 
menerimanya, katakana-lah! Jangan ragu-ragu." 
"Aku bersedia menerimanya, Eyang. Dan aku pun berjanji 
untuk mempelajarinya dengan sung-guh-sungguh!" jawab 
Sanjaya mantap. Sedikit pun tidak terlihat keraguan dalam 
nada suaranya. 
"Hm.... Kalau kau bersedia menerimanya, mari-lah 
kutunjukkan kedua pusaka warisan perguruan kita itu," ajak 
Dewa Jubah Putih sambil bangkit dari duduknya dan melangkah 
meninggalkan tempat itu. 
Tanpa berkata sepatah pun, Sanjaya bergegas mengikuti 
gurunya yang berjalan memasuki hutan yang cukup lebat Saat 
itu matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya pun telah 
merata ke seluruh permukaan bumi.

*** 
"Lihatlah bukit itu, Muridku. Di balik bukit itu-lah kedua 
benda pusaka warisan leluhur perguruan kita tersimpan," jelas 
Dewa Jubah Putih sambil me-ngarahkan jari telunjuknya ke 
arah sebuah bukit cadas yang terletak tidak jauh dari mulut 
hutan. 
"Mengapa Eyang tidak menyembunyikannya di dalam pondok 
saja?" Tanya Sanjaya. 
Pemuda itu merasa heran melihat tempat per-sembunyian 
kedua pusaka itu. Karena, tempat itu cukup sulit untuk 
didatangi. 
"Hm.... Aku tidak mengatakan kalau pusaka itu disimpan di 
atas puncak bukit, Sanjaya. Aku hanya ingin mengatakan kalau 
aku menyembunyikannya di balik bukit. Jadi kita tidak perlu 
mendaki bukit itu untuk mengambilnya," sahut Dewa Jubah 
Putih seraya tersenyum mendengar perranyaan muridnya. 
Karena, hal itu berarti orang tentu akan mengira kalau kedua 
benda pusaka itu disembunyikan di puncak bukit. 
Tanpa berkata-kata lagi, orang tua itu melesat cepat menuju 
ke balik bukit. Ilmu meringankan tu-buhnya sudah demikian 
tinggi. Tidak heran kalau dalam sekejap saja sudah bergerak 
jauh. Dan San-jaya tidak mau ketinggalan. Sekuat tenaga, 
dikejar gurunya itu. 
Setelah mengitari bukit kecil itu, tidak berapa lama kemudian 
mereka tiba didepan sebuah mulut gua yang tidak terlalu besar. 
Paling-paling hanya seukuran tubuh orang dewasa.

"Di situkah Eyang menyimpannya?" Tanya Sanjaya lagi 
sambil menunjuk mulut gua kecil itu. 
Dewa Jubah Putih hanya tersenyum mendengar pertanyaan 
muridnya. Kemudian kakinya melang-kah lambat-lambat ke 
arah mulut gua itu. Diangkat-nya sebuah batu sebesar kepala 
kerbau yang berada satu tombak dari mulut gua. Setelah 
menggali bebe-rapa saat dengan menggunakan tangannya, dia 
mengangkat keluar sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. 
Baru saja kakek itu hendak meletakkan kotak itu di atas 
tanah, tiba-tiba.... 
Slap! 
Dua bayangan berkelebat cepat menyambamya. 
Berbarengan dengan itu, terdengar suara bentakan nyaring. 
"Serahkan kotak itu kepadaku, Dewa Jubah Pu-tih!" 
Kakek tua itu pun bergegas menarik kotak di tangannya ke 
belakang. Sehingga terkaman dua so-sok tubuh itu hanya 
menyambar angin kosong. 
Dewa Jubah Putih terus melempar tubuhnya berjumpalitan 
ke belakang. Manis sekali kakinya menjejak tanah, bahkan 
tanpa menimbulkan suara sedikit pun. 
"Sanjaya, lari...!" Teriak kakek itu yang segera melesat 
meninggalkan tempat itu. 
Dewa Jubah Putih melarikan diri bukan karena takut, 
melainkan tempat itu tidak cocok untuk ber-tarung. Sedangkan 
kawan-kawan dua sosok baya-ngan tadi sudah pula 
bermunculan dari balik se-mak-semak. 
Tanpa membantah lagi, Sanjaya bergegas me-lompat 
mengikuti gurunya. Pemuda itu sempat ter-tegun melihat 
kejadian yang tak disangka-sangka. Untunglah gurunya sempat

memperingatkan. Kalau tidak, mungkin Sanjaya masih tetap 
berdiri bingung di tempatnya. 
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Manusia Sera-kah?!" Bentak 
salah seorang, sambil melesat menge-jar guru dan murid itu. 
Sementara itu enam orang lainnya ikut pula ber-lompatan 
mengejar. Menilik gerakan yang rata-rata gesit dan lincah, 
dapat dipasrJkan kalau orang-orang itu bukanlah tokoh 
sembarangan. 
Setelah agak lama berkejaran, mereka tiba ditempat yang 
agak lapang tempat Sanjaya biasa berlatih ilmu-ilmu yang 
diajarkan gurunya yang berjuluk Dewa Jubah Putih. 
"Sanjaya, kau cepat pergi! Tinggalkan tempat ini Dan 
sembunyikanlah benda pusaka ini!" Perintah Dewa Jubah Putih 
sambil menyerahkan kotak yang berisi benda-benda pusaka 
warisan gurunya. 
"Eyang! Mengapa tidak kita hadapi saja mereka. Bukankah 
kita belum tentu kalah?" Bantah Sanjaya yang merasa terheran-
heran melihat sikap gurunya yang tampak begitu khawatir. 
"Ah! Kau tidak tahu, Sanjaya. Mereka bukanlah orang 
sembarangan. Dan bukan tidak mungkin ka-lau di antara 
mereka terdapat adik ataupun kakak seperguruanku yang telah 
lama mencari-cari benda pusaka ini! Cepatlah sebelum mereka 
sampai me-lihatmu!" desak Dewa Jubah Putih sambil mendo-
rong tubuh muridnya hingga jatuh terguling-guling. 
***
DUA

"Heaaat..!" 
Dua sosok tubuh yang baru tiba langsung me-lesat 
menerjang Sanjaya yang tengah terguling-guling. Dua pasang 
tangan tampak terulur saling berebutan menyambar benda di 
tangan pemuda itu. 
Dewa Jubah Putih terkejut melihat keadaan ini. Cepat bagai 
kilat tubuhnya melesat memapak gera-kan mereka. Sepasang 
tangannya bergerak berputa-ran dan menyerang beberapa kali 
saling susul. 
Plak! Plak! Plak! 
"Aaah...!" 
Ledakan keras terdengar begitu tiga pasang tangan bertemu, 
mengadu tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh masing-masing 
terjajar mundur bagai dilontarkan oleh tenaga kuat yang tak 
tampak oleh mata. 
"Kakang Aji Barga...! Adi Bukaran...! Apa yang kalian 
lakukan?!" Seru Dewa Jubah Putih ketika mengenali kedua 
orang itu. 
Mereka tak lain adalah kakak dan adik sepergu-ruan laki-laki 
tua yang berjuluk Dewa Jubah Putih. Kekhawatiran kakek itu 
memang beralasan. Dan fi-rasatnya ternyata benar. 
"Hm.... Adi Shindupala, mengapa kau masih ber-pura-pura 
bertanya. Kau pasti sudah bisa menduga maksud kedatangan 
kami ke sini. Ayo! Serahkan ke-dua pusaka itu kepadaku! Sudah 
terlalu lama kau menyimpannya. Apakah kau ingin 
mengangkangi kedua pusaka perguruan kita itu sendirian?!"

Ben-tak orang yang bemama Aji Barga geram. Sepasang 
matanya merah, memancarkan ancaman kematian. 
"Benar, Kakang Shindupala. Sudah terlalu lama kedua 
pusaka warisan guru kita itu berada di ta-nganmu. Dan 
sekarang kami datang untuk me-mintanya. Bukankah kedua 
pusaka itu memang untuk kita bertiga? Nah! Sekarang, 
serahkanlah ke-pada kami. Kelak kami akan mengembalikannya 
lagi kepadamu apabila sudah selesai mempelajarinya," timpal 
orang yang bernama Bukaran. Laki-laki ini adik seperguruan 
Dewa Jubah Putih. 
"He he he...! Aku pun sudah tidak sabar lagi ingin segera 
melihat kedua pusaka warisan guru kita itu. Harap kau berbaik 
hati untuk meminjam-kannya kepadaku barang satu dua tahun, 
Kakang Shindupala," terdengar suara lain. 
Rupanya di situ juga telah hadir sosok orang yang secara 
langsung mengaku sebagai saudara se-perguruan mereka. 
Orang itu melangkah lebar menghampiri ketiga orang 
saudara seperguruan yang tengah bersitegang itu. 
"Hm.... Adi Paksaka pun rupanya menginginkan juga benda 
itu," sindir Aji Barga. 
Aji Barga memang orang tertua di antara ke-empat orang 
saudara seperguruan itu. Walaupun usianya sudah lebih 
delapan puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih 
terlihat gagah dan kuat. 
"Tentu saja, Kakang Aji Barga. Apakah kau pikir hanya kau 
saja yang ingin mempelajari kitab pusaka peninggalan guru 
kita?" Sahut Palwaka sambil mem-periihatkan senyum sinisnya. 
Tidak berapa lama setelah kedatangan Palwaka, berturut-
turut muncul delapan orang lainnya. Na-mun kedelapan orang

yang baru datang itu berusia lebih muda dari keempat tokoh 
sakti itu. Usia me-reka sekitar dua sampai tiga puluh tahun. 
"Hm.... Siapa lagi mereka itu?" Tanya Ki Shindupala atau 
yang berjuluk Dewa Jubah Putih dengan suara lirih, namun 
agak jelas terdengar. 
. "Mereka adalah muridku, Adi Shindupala. Dan untuk 
kepentingan merekalah sehingga aku datang ke sini. 
Ketahuilah, Shindupala. Mereka bertiga ini-lah yang akan 
melanjutkan kejayaan perguruan kita," sahut Aji Barga 
memperkenalkan tiga pemuda yang kini sudah berdiri di 
belakangnya. Sementara lima orang lainnya agak ke belakang 
lagi. 
Temyata lima orang muda itu adalah murid Ki Bukaran dan 
Ki Palwaka yang kemudian sudah ber-diri di belakang gurunya 
masing-masing. 
"Apakah kau tidak berniat memperkenalkan mu-ridmu itu, 
Shindupala? Ataukah sengaja disembu-nyikan agar ia dapat 
mempelajari ilmu itu sendi-rian?" Sindir Ki Bukaran dengan 
nada sinis. 
"Ya. Anak ini memang muridku satu-satunya. Dan hanya 
dialah yang berhak untuk mempelajari kitab pusaka 
peninggalan guru kita. Ingat, Kakang Aji Barga, Adi Bukaran 
dan Adi Palwaka. Guru telah menyerahkan kedua pusaka ini 
hanya untukku. Dan kalian masing-masing telah mendapatkan 
se-buah pusaka. Nah, mengapa sekarang kalian men-jadi 
serakah?" 
Ki Shindupala atau Dewa Jubah Putih berhenti sebentar. 
Matanya merayapi kakak dan adik seper-guruannya dengan 
pandangan penuh kekecewaan.

"Apakah kalian tidak takut dikutuk arwah guru kita? Apa 
sebenarnya yang telah terjadi pada kalian? Mengapa setelah 
guru meninggal lalu kalian ber-ubah menjadi orang serakah dan 
selalu ingin me-miliki kepunyaan orang lain? Bukankah pusaka-
pu-saka yang diberikan kepada kalian juga tidak kalah 
ampuhnya?" tegas Ki Shindupala. Suaranya terde-ngar 
bergetar. Jelas sekali kalau orang tua yang ber-juluk Dewa 
Jubah Putih itu merasa terpukul me-lihat sikap saudara-saudara 
seperguruannya itu. 
Ketiga orang itu terdiam ketika mendengar uca-pan Ki 
Shindupala yang terasa menusuk hati. Un-tuk beberapa saat 
lamanya suasana jadi hening, tak ubahnya di pekuburan. Tak 
seorang pun yang me-ngeluarkan kata-kata. Sehingga yang 
terdengar hanya suara napas mereka. 
Aji Barga orang tertua di antara keempat tokoh itu cepat 
menekan perasaannya. Diakui kalau hati-nya sangat lemah. 
Namun keinginannya untuk me-miliki kedua pusaka itu rupanya 
telah membuatnya jadi gelap mata. Sehingga, dia berusaha 
melupakan hubungan saudara seperguruan yang sangat erat 
itu. Setelah menarik napas berulang-ulang, Ki Aji Barga 
mengangkat kepalanya. 
"Dengar, Adi Shindupala. Kami tidak akan melu-pakan 
hubungan di antara kita. Dan aku pun juga tidak melupakan 
jasa-jasa guru kepadakk. Tapi, sudikah kau meminjamkan 
pusaka itu kepadaku barang satu dua tahun? Aku berjanji akan 
mengem-balikannya setelah waktu yang ditentukan itu, Adi 
Shindupala. Apakah sikapku yang demikian masih dikatakan 
jahat? Aku hanya ingin meminjam dan bukan merampas!" tegas 
Ki Aji Barga. 
Suara laki-laki tua itu lebih lembut dari semula. Wajahnya 
pun terlihat tidak lagi tegang. Bahkan sepasang sinar matanya 
seperti memancarkan keha-ngatan dan persaudaraaan.

Tentu saja Ki Shindupala menjadi terkejut mendengar 
ucapan kakak seperguruannya itu. Sejenak hatinya tersentuh 
mendengar kata-kata maupun sinar mata saudara 
seperguruannya itu. Namun de-mikian Shindupala sadar kalau 
kakak seperguru-annya itu tengah bersiasat dan berupaya 
membu-juknya dengan kata-kata manis. Karena, di antara 
keempat orang saudara seperguruan itu hanya diri-nyalah yang 
memiliki perasaan welas asih. Sedang-kan yang lainnya rata-
rata memiliki sifat serakah dan licik. Dan rupanya, Ki Aji Barga 
sengaja melon-tarkan bujukan yang dapat melemahkan 
hatinya. Sebab, dia telah mengetahui segala sifat yang di-
milikinya itu. 
"Maaf, Kakang Aji Barga. Bukan maksudku un-tuk 
menyerakahi kedua pusaka itu sendiri saja. Tapi, kita semua 
sama-sama tahu kalau aku telah bersumpah didepan guru 
untuk menjaga kedua pusaka ini sampai akhir hayat. Dan kalian 
pun telah pula mengetahui pesan guru sebelum beliau wafat. 
Ingatkah kau, Adi Palwaka? Apa yang dikatakan guru?" jelas Ki 
Shindupala. 
Dewa Jubah Putih mencoba menggugah kesa-daran saudara-
saudara seperguruannya. Sengaja melontarkan pertanyaan 
kepada Ki Palwaka, karena hanya adik seperguruannya itulah 
yang paling dekat dengannya. 
"Hhh.... Aku masih mengingatnya, Kakang Shindupala," 
sahut Ki Palwaka. 
Laki-laki kurus adik seperguruan Ki Shindupala itu 
menundukkan wajahnya yang agak pucat. Dia memang teringat 
akan wejangan dan nasihat guru-nya sebelum meninggalkan 
mereka untuk selama-lamanya. Temyata ingatan itu 
membuatnya lemah dan tak bersemangat. Justru memang hal 
itulah yang diharapkan Ki Shindupala. Hanya dengan jalan

mengingatkan akan guru mereka, diharapkan dapat 
menyadarkan saudara-saudara seperguruannya yang khilaf itu. 
"Katakanlah. Apa yang dipesankan guru waktu itu, Adi 
Palwaka," pinta Ki Shindupala dengan suara bergetar lembut 
Hingga seolah-olah suara itu mene-lusup ke dalam relung hati 
dan menggetarkan jiwa. 
"Yah.... Kita harus menjaga apa-apa yang telah diwariskan 
guru, dan tidak boleh menyerahkan pemberian itu kepada 
orang lain. Meskipun, orang itu adalah saudara seperguruan 
sendiri. Hanya ke-pada murid-murid yang berbakatlah warisan 
itu baru bias diturunkan," Ki Palwaka menuturkan. Dia memang 
tidak bisa berbohong pada yang lain. Apa-lagi untuk 
mengingkari pesan gurunya. 
Setelah berkata demikian, kepala laki-laki kurus itu kembali 
tertunduk. Seolah-olah wajahnya ingin disembunyikan karena 
merasa malu terhadap apa yang akan dilakukannya tadi. 
"Bodoh kau, Palwaka! Kata-kata itu hanya ber-laku selagi 
guru kita masih hidup. Dan setelah beliau pergi, maka segala 
aturan aku yang menentu-kannya. Karena aku adalah murid 
yang paling tua. Ingat itu!" 
Ki Aji Barga yang rupanya tidak ingin mendengar kata-kata 
itu menjadi marah. Bentakan itu dituju-kan jelas buat Ki 
Palwaka dengan penuh kegera-man. Wajahnya tampak 
memerah menahan amarah yang meledak-ledak dalam dada. 
"Benar! Aku setuju dengan Kakang Aji Barga. Sebagai orang 
tertua di antara kita, maka dialah seka-rang yang berhak 
mengatur kita!" tegas Ki Bukaran mendukung ucapan kakak 
seperguruan-nya itu. 
"Jangan bodoh, Adi Bukaran! Bukankah pesan terakhir beliau 
menyuruh kita untuk menempuh jalan masing-masing dan

mengamalkan apa-apa yang telah diterima dari beliau!" bantah 
Ki Shindu-pala kembali, tetap berpegang ucapan terakhir guru-
nya. Dan itu memang satu-satunya senjata yang paling ampuh 
untuk menundukkan hati saudara-saudara seperguruannya itu. 
Sanjaya hanya terdiam tidak berusaha untuk mencampuri 
urusan itu. Karena, pemuda itu me-mang tidak mengetahui 
persoalan yang tengah diperdebatkan gurunya dengan 
saudara-saudara seperguruannya itu. Dia hanya dapat 
memandang dengan wajah cemas. Sebab disadari kalau kesela-
matan dirinya serta gurunya tengah terancam! Dan tentu saja 
hal itu membuatnya gelisah! 
"Sudahlah! Kalau kau memang keras kepala 
mempertahankan dan menyerakahi pusaka itu, ter-paksa jalan 
kekerasan yang akan kuambil!" Kembali Ki Aji Barga yang 
sudah tidak dapat menahan ke-sabarannya. SeperHnya 
pertempuran berdarah an-tara saudara seperguruan itu tak 
mungkin dapat dicegah lagi. 
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa harus melawanmu demi 
mempertahankan apa yang telah menjadi hak-ku!" Sahut Ki 
Shindupala, dingin. Dia segera bersiap untuk menghadapi 
serangan kakak seperguruan-nya. Dewa Jubah Putih telah 
bertekad untuk mem-pertahankan pusaka peninggalan gurunya 
yang di-amanatkan kepadanya itu. 
"Kalian rebutlah peti yang berada di tangan pemuda itu!" 
Perintah Ki Aji Barga kepada tiga orang muridnya. 
Setelah berkata demikian, kakek itu segera melesat ke arah 
Ki Shindupala. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Ki Aji Barga mulai 
membuka serangannya.

Wut! Wut! 
Sepasang tangan Ki Aji Barga bergerak cepat menimbulkan 
sambaran angin dahsyat. Sepertinya dia sudah tidak 
memandang Ki Shindupala sebagai adik seperguruannya lagi, 
melainkan sebagai musuh yang harus dimusnahkan! 
Ki Shindupala atau yang lebih dikenal dalam dunia persilatan 
berjuluk Dewa Jubah Putih ber-gegas menggeser tubuhnya 
sambil melontarkan se-rangan balasan yang tidak kalah 
dahsyat. Sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka 
melakukan tam-paran dan bacokan susul-menyusul. 
Bet! Bet..! 
Jari-jari tangan Dewa Jubah Putih menusuk dan membacok 
menimbulkan suara meneieit tajam membelah udara. 
Serangannya benar-benar dahsyat dan berbahaya. Bahkan bila 
dialiri tenaga dalam kuat, sanggup menembus dan 
memecahkan batu sebesar perut kerbau bunting! 
Ki Aji Barga tentu saja telah mengetahui akan kehebatan 
ilmu yang digunakan adik seperguruan-nya, karena mereka 
memang seperguruan. Maka, biarpun Ki Shindupala menerjang 
cepat dan ganas, lawannya tetap saja dapat mengelak. Ki Aji 
Barga memang telah mengetahui arah sasaran pukulan adik 
seperguruannya itu. Hanya saja yang perlu di-perhitungkan, 
kecepatan gerak lawan. Memang se-menjak muda, Ki 
Shindupala memiliki kelebihan itu dibanding dengan saudara-
saudaranya yang lain. Itulah satu-sarunya keuntungan yang 
dimiliki Dewa Jubah Putih. 
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang saudara 
seperguruan berkepandaian tinggi itu, be-nar-benar 
mengerikan. Sehingga di tempat pertem-puran tak ubahnya 
seperti dilanda angin topan.

Pepohonan yang berada dekat kedua tokoh sake itu 
berderak-derak ribut dipermainkan angin puku-lan masing-
masing yang menyambar-nyambar. Bah-kan beberapa di 
antaranya telah rebah akibat terlanggar pukulan nyasar. 
Sehingga tempat kedua orang tokoh sakti itu bertarung bagai 
diamuk ribuan gajah yang sedang marah. 
Sementara itu, Sanjaya yang tengah menggen-dong erat peti 
berisi benda pusaka peninggalan ka-kek gurunya, berusaha 
meloloskan diri dari serga-pan tiga orang murid Ki Aji Barga. 
Pemuda itu tentu saja menjadi kalang kabut, karena 
kepandaian tiga orang pengeroyoknya boleh dibilang setingkat 
de-ngannya. Apalagi kini harus menghadapi tiga orang 
sekaligus! 
"He he he...! Lebih baik serahkan peti itu sebelum kami 
memutuskan untuk membunuhmu. Pemuda Tolol! Aku berjanji 
akan membebaskan apabila kau mau menyerahkan peti itu 
kepadaku," bujuk salah seorang dari pengeroyok itu. Sambil 
berkata demikian, sepasang tangan dan kakinya terus saja 
melakukan serangan-serangan gencar. 
"Huh! Apakah kalian pikir aku takut mati?! Ja-ngan coba-
coba membujukku. Karena sampai mati pun peti ini tidak akan 
sudi kuserahkan kepada kalian!" Bentak Sanjaya tanpa 
mengenal rasa takut sedikit pula. 
"Bangsat, mampuslah!" Teriak salah seorang dari 
pengeroyok. 
Belum juga hilang gema suaranya, dia melontarkan sebuah 
pukulan yang menimbulkan deruan angin keras. Nampaknya 
orang itu ingin membunuh Sanjaya dengan sekali pukul. 
Zebbb! 
"Aaah...!"

Sanjaya sebisanya menggeser tubuh untuk menghindari 
pukulan yang memankan itu. Kemu-dian tubuhnya dilempar ke 
belakang, karena pada saat itu datang serangan lainnya. 
Tubuh pemuda itu melambung dan bersalto beberapa kali di 
udara. Tapi, baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dua 
buah pukulan dan tendangan segera menyambutnya. Cepat 
Sanjaya bergulingan ke kiri sambil tetap memegang erat peti 
mati di tangannya. 
"Heaaat..!" 
Salah seorang murid Ki Aji Barga melompat tinggi, kemudian 
meluruk disertai sebuah pukulan yang siap meremukkan tubuh 
Sanjaya. 
Brak! 
Sebatang pohon yang berada di belakang pemuda tinggi 
tegap itu kontan roboh menimbulkan suara gemuruh. 
Untunglah Sanjaya telah lebih da-hulu menggulingkan 
tubuhnya ke samping. Kalau tidak, tentu tubuhnya yang 
terkena sasaran puku-lan lawan. 
Cring! 
Sadar kalau tidak mungkin dapat menyelamat-kan diri dari 
ketiga orang itu, Sanjaya mencabut senjatanya di pinggang. 
Went! Went...! 
Pedang di tangan pemuda itu langsung berke-lebat 
membentuk segunduk sinar yang menyelimuti tubuhnya. 
Rupanya Sanjaya berniat membentuk benteng pertahanan 
untuk menghalau serangan ke-tiga orang pengeroyoknya. 
"Yeaaat..!" 
Meskipun Sanjaya telah menggunakan pedang, namun 
ketiga orang pengeroyok itu sama sekali tidak kelihatan gentar.

Salah seorang dari mereka kembali menerjang. Serangannya 
terlihat menderu-deru. 
Bet! Bet..! 
Wut...! 
"Aaah...!" 
Orang itu berseru kaget dan bergegas melempar tubuhnya 
ke belakang. Karena pada saat melakukan serangan, tahu-tahu 
saja dari dalam gundukan si-nar putih itu menyembul ujung-
ujung pedang yang siap menghunjam tubuh. Tentu saja ia 
tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran ujung-ujung pedang 
lawan. Maka tubuhnya segera dilempar ke belakang. 
"Setan...! Rupanya ilmu pedang si tolol ini hebat juga!" Puji 
orang itu sambil mengumpat marah dan penasaran. 
Dia sama sekali tidak menyangka kalau di dalam gundukan 
sinar putih itu tersembunyi ancaman maut. Hal itu semakin 
membuatnya penasaran. Me-nurut pikirannya, seharusnya 
kepandaian pemuda tinggi tegap itu masih di bawahnya. Sebab 
pemuda itu adalah murid Ki Shindupala, yang berarti adik 
seperguruan Ki Aji Barga, guru mereka. Tapi sayang dugaannya 
itu keliru. Biarpun guru pemuda itu masih terhitung adik 
seperguruan Ki Aji Barga, na-mun kepandaian kedua guru 
mereka boleh dibilang seimbang. Bahkan bisa jadi Ki 
Shindupala lebih unggul daripada kakak seperguruannya. 
Karena, Dewa Jubah Putih lebih tenang, lebih bersih hati dan 
tenaga batinnya. 
"Sudahlah! Jangan hanya mengumpat saja bisa-mu, Adi 
Lebih baik cabut senjatamu agar kita dapat meringkusnya lebih 
cepat'" usul saudara seper-guruannya yang lebih tua beberapa 
tahun darinya.

"Baiklah, Kakang. Aku pun sudah tidak sabar ingin 
menghancurkan batok kepala pemuda tolol itu!" Sahutnya 
sambil mencabut keluar pedang yang tergantung di punggung. 
Cring! Cring! Cring! 
Tiga batang pedang berdesingan ketika tercabut keluar dari 
sarungnya Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga 
orang itu pun segera melompat sambil mengayunkan pedang. 
"Heaaat..!" 
Sanjaya semakin mempercepat putaran pedang-nya. Dan 
kini sinar putih itu semakin melebar me-lindungi dirinya. 
Rupanya ia benar-benar bertekad untuk mempertahankan peti 
itu sampai titik darah yang penghabisan. 
Wut! Wut..! 
Biar bagaimanapun rapatnya pertahanan pedang pemuda 
tinggi tegap itu, tetap saja tak akan mampu untuk menghalau 
tiga batang pedang pengeroyok-nya. Memang, tenaga dalam 
yang mereka miliki boleh dikatakan rata-rata seimbang. Dan 
kini San-jaya terpaksa harus bergulingan untuk menyelamat-
kan diri dari tusukan tiga batang pedang yang terus 
mencecarnya. 
Memasuki jurus yang kelima puluh, Sanjaya tak dapat lagi 
menghindari sebuah sabetan yang meng-ancam punggung, 
karena kedudukannya benar-benar tidak menguntungkan. 
Wut..! 
Bret! 
"Aaah...!" 
Tubuh tinggi tegap itu tedempar ke samping ke-tika ujung 
pedang salah seorang pengeroyok ber-hasil melukai 
punggungnya Meskipun luka itu tidak begitu dalam, namun

cukup menimbulkan rasa perih. Darah segar pun mulai menetes 
membasahi rerumputan hijau. 
"Huh! Sekarang terimalah kematianmu, Pemuda Tolol!" 
Teriak salah seorang pengeroyok yang ber-nafsu sekali untuk 
melenyapkan nyawa Sanjaya. 
Singngng! 
Tampak mata pedang lawan berkilatan tertimpa cahaya 
matahari. Sepertinya Sanjaya sudah tidak mungkin lagi bisa 
menyelamatkan setembar nyawa-nya dari kematian! 
*** 
Bret! 
"Aaargh...!" 
Sanjaya menjerit kesakitan ketika ujung pedang itu 
membabat kulit perutnya. Untung ia masih sempat sedikit 
berkelit, sehingga luka yang diderita tidak terlalu parah. Begitu 
lolos dari kematian, pemuda tinggi tegap itu menggulingkan 
tubuhnya menghindari bacokan lawan yang berikut. 
"Sanjaya...!" sentak Ki Shindupala. 
Laki-laki tua yang tengah bertempur sengit itu terpecah 
perhatiannya ketika mendengar jeritan mu-ridnya. Mau tak mau 
Dewa Jubah Putih harus membayar mahal akibat kekhawatiran 
pada murid-nya itu. Sebuah pukulan telapak tangan Ki Aji Barga 
tak pelak lagi menghantam dadanya. 
Desss! 
"Ugh...!"

Tubuh kurus itu terbanting keras beberapa tombak disertai 
semburan darah segar dari mulut-nya. Namun Dewa Jubah 
Putih bergegas bangkit meskipun agak timbung. Sambil 
menekap dadanya, tubuh laki-laki tua itu melesat ke arah 
muridnya yang sedang bertarung. 
"Jahanam kalian!" teriak kakek itu parau. 
Meskipun telah menderita luka yang cukup parah namun 
Dewa Jubah Putih masih juga ber-usaha untuk menyelamatkan 
muridnya. Tubuhnya terus meluncur dengan kedua tangan 
terkembang ke kiri-kanan. 
Desss! Desss! 
"Aaahk..!" 
Dua orang pengeroyok yang siap merejam tubuh Sanjaya 
terlempar akibat hantaman sisi telapak tangan Dewa Jubah 
Putih. Kedua orang itu ter-jungkal ke tanah. Untung saja kakek 
itu dalam ke-adaan terluka sehingga tenaga pukulannya pun 
tidak sekuat semula. Namun demikian, cukup mem-buat dua 
orang itu meringis kesakitan. 
"Keparat kau, Shindupala! Kubunuh kau!" teriak Ki Aji Barga 
yang murka melihat kedua orang mu-ridnya jatuh terjerembab 
akibat pukulan Ki Shindu-pala. 
"Sanjaya, bagaimana keadaanmu?" Tanya Dewa Jubah Putih 
cemas. 
"Aku... aku tidak apa-apa, Eyang. Hanya luka sedikit dan 
tidak terlalu mengkhawatirkan," sahut Sanjaya sambil berusaha 
bangkit berdiri. 
Dengan berpegangan pada pedang, pemuda itu bangkit dari 
duduknya. Sedangkan tangan kirinya tetap mengempit peti 
yang berisikan kitab dan sen-jata pusaka pemberian gurunya.

"Cepat tinggalkan tempat ini, Muridku. Blarlah Eyang yang 
akan mencegah mereka. Jangan mem-bantah. Karena hanya 
kaulah satu-satunya yang akan meneruskan kelanjutan 
perguruan kita," tegas Ki Shindupala yang tidak ingin dibantah 
perintah-nya. Baru saja ucapannya selesai, sesosok bayangan 
melesat menerjang ke arah mereka. 
"Heaaat..!" 
Wut! Wut! 
Dewa Jubah Putih mendorong tubuh muridnya agar 
terhindar dari pukulan sosok tubuh itu. Sedangkan dirinya 
sendiri bergegas melempar tubuh ke samping dan terus 
bergulingan. Setelah terpisah agak jauh, tubuh kakek itu cepat 
melenting bangkit. Tapi belum lagi sempat berdiri tegak, 
sebuah tenda-ngan keras telah menghantam punggungnya. 
Buk! 
"Huakkk...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Shindupala tersuruk 
kedepan. Darah segar muncrat dari mulut-nya, sehingga luka 
yang dideritanya semakin ber-tambah parah. 
"Uhhh...!" Sambil mengerang menahan sakit, kakek itu 
susah-payah berusaha bangkit berdiri. Darah masih saja 
mengalir dari sudut bibimya. 
"Eyang...!" 
Melihat keadaan gurunya yang tampak terluka parah itu, 
Sanjaya tak sampai hati meninggalkan-nya. Bergegas pemuda 
itu kembali dan membantu gurunya bangkit. 
"Eyang.... Aku tidak bisa meninggalkanmu da-lam keadaan 
seperti ini. Aku tidak bisa...!" Tegas pemuda tinggi tegap itu

dengan suara parau. San-jaya menarik napas berulang-ulang 
untuk mengusir rasa sesak di dadanya. 
"Sanjaya. Kalau kau memang ingin berbakti kepada gurumu 
ini, turutilah perintahku. Pergilah! Tinggalkan tempat ini dan 
selamatkan pusaka yang kuamanatkan kepadamu itu," ujar Ki 
Shindupala dengan suara terputus-putus. Wajah kakek itu 
nampak semakin pucat, karena sudah cukup ba-nyak 
kehilangan darah. 
"Hm.... Shindupala! Apakah kau masih bersi-keras hendak 
mempertahankan benda itu? Ayo, serahkan padaku sebelum 
kesabaranku habis!" Ben-tak Ki Aji Barga yang sudah berdiri 
tegak beberapa tombak di hadapan Dewa Jubah Putih. 
Rupanya kakek Itulah yang telah melepaskan tendangan keras 
tadi. 
Ki Shindupala memandangi sosok-sosok yang 
mengelilinginya dan Sanjaya. Ketiga orang saudara 
seperguruan dan murid-muridnya itu tampak te-ngah menatap 
penuh ancaman. Bergegas kakek itu mencabut pedang yang 
tergantung di pinggangnya. 
"Tidak! Aku akan mempertahankannya sampai tetes darah 
yang penghabisan!" Tegas Ki Shindupala sambil melintangkan 
pedang didepan dada. Sedikit pun tidak terlihat kegentaran dari 
pancaran mata-nya. 
"Keras kepala!" Umpat Ki Aji Barga yang segera melompat 
sambil membacok dengan stsi telapak tangan ke arah leher Ki 
Shindupala. 
Kali ini bukan hanya Ki Aji Barga saja yang menerjang Dewa 
Jubah Putih. Tapi Ki Bukaran dan Ki Palwaka beserta murid-
muridnya pun ikut pula menyerbu. Rupanya, nasihat yang 
diberikan Ki Shindupala terhadap Ki Palwaka tidak berarti sama-
sekali. Buktinya, dia pun ikut menyerang.

"Lari, Sanjaya..," bisik Ki Shindupala seraya mendorong 
tubuh muridnya keluar arena pertem-puran. 
Sesaat kemudian, tubuhnya segera melesat di-sertai putaran 
pedangnya yang bergulung-gulung menebarkan angin keras. 
Bagaikan seekor harimau luka, Ki Shindupala mengamuk 
dengan hebatnya. 
Wut! Wut..! 
Sambaran pedang yang bagaikan angin topan itu sempat 
membuat para pengeroyoknya melompat mundur. Ki 
Shindupala benar-benar kalap, sehingga serangannya begitu 
menggiriskan. Tanpa mempe-dulikan dirinya lagi, kakek itu 
terus saja menerjang bertubi-tubi. 
Bret! Bret! 
"Aaahk...!" 
Dua orang murid lawannya langsung terguling mandi darah 
tersambar pedang di tangan Ki Shin-dupala. Dua orang itu 
kontan tewas seketika dengan leher hampir putus! 
Bukan main marahnya Ki Bukaran dan Ki Aji Barga melihat 
murid mereka tewas termakan amu-kan Dewa Jubah Putih. 
Hampir meledak dada mereka menahankan kemarahan yang 
memuncak. 
"Keparat, kubunuh kau...!" Pekik Ki Bukaran yang segera 
meloloskan pedangnya. 
Dengan kemarahan yang meluap-luap, kakek yang berusia 
sekitar enam puluh lima tahun itu menerjang dahsyat. 
Ki Shindupala yang sudah tidak mempedulikan keselamatan 
dirinya, bergegas memapak ayunan pedang adik 
seperguruannya. Seluruh sisa-sisa tena-ganya dikerahkan untuk 
menyambut serangan itu.

Trang! Trang! 
"Aaah...!" 
Bunga api memercik disertai dentang senjata beradu yang 
memekakkan telinga. Tubuh Dewa Ju-bah Putih yang memang 
sudah sangat lemah ter-jajar mundur dan jatuh terguling-
guling. Saat itu dua orang murid yang ikut mengeroyoknya 
mem-babatkan pedang ke tubuh Ki Shindupala yang tengah 
bergulingan. 
Crag! Crag! 
"Aaakh...!" 
Meskipun keadaannya sudah sangat payah, namun kakek itu 
temyata masih mampu melepaskan diri dari ancaman dua bilah 
senjata itu. Seketika tubuhnya melenting ke atas. 
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di-tolak. Pada 
saat tubuh Ki Shindupala tengah me-ngapung di udara, Ki Aji 
Barga cepat bagai kilat melompat menyusulinya disertai 
tebasan ke arah pinggang kakek itu. Berbarengan dengan itu, 
Ki Bu-karan pun melesat sambil menusukkan pedangnya ke 
arah jantung Dewa Jubah Putih. 
Desss! 
Crap! 
"Aaargh...!" 
Darah segar kembali muncrat disertai jeritan yang menyayat 
keluar dari mulut Ki Shindupala. Tubuhnya terbanfing keras di 
atas tanah berumput Dan selagi tubuhnya menggelepar 
meregang nyawa, telapak kaki Ki Aji Barga mendarat di atas 
dadanya. 
Krek!

"Hukkk..!" 
Ki Aji Barga baru mengangkat kakinya dari dada adik 
seperguruannya ketika yakin kalau tubuh tua itu sudah tidak 
bergerak lagi. 
"Rasakanlah akibat sikap kepala batumu itu, Shindupala!" 
Desis Ki Aji Barga seraya menendang tubuh adik 
seperguruannya yang telah tewas de-ngan dada remuk dan 
tubuh berlubang itu. "Biar-pun muridmu lari ke neraka, aku 
akan tetap me-ngejarnya!" 
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat cepat 
mengejar Sanjaya yang melarikan diri dengan membawa benda 
pusaka yang diperebutkan itu. Ilmu meringankan tubuhnya 
memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tak heran dalam 
sekejap saja, tubuhnya telah lenyap meninggalkan tempat itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, yang lain pun ikut pula 
mengejar. Hanya Ki Palwaka yang tidak terlihat di antara 
mereka. Rupanya dia telah mengambil kesempatan lebih dulu 
untuk mengejar Sanjaya. 
Tinggallah kini mayat Ki Shindupala dan dua orang lainnya 
tergolek kaku. Angin pegunungan bersilir lembut menebarkan 
bau anyir darah! 
*** 
Sanjaya berlari terseok-seok menuruni Lereng Gunung 
Kalaban. Tangan kirinya masih tetap me-ngempit peti yang 
berisi pusaka yang mulai bemoda darah. Pedang di tangan 
kanannya masih tetap ter-genggam erat. 
Dug!

"Aaah...I" 
Tubuh pemuda tinggi tegap itu jatuh terguling-guling ketika 
langkah kakinya yang lelah itu ter-sandung sebuah batu yang 
menonjol menghalangi jalan. Darah pun tampak mengalir 
membasahi pa-kaiannya. Di beberapa bagian tubuhnya 
terdapat luka-luka akibat batu-batu bertonjolan yang tertin-das 
tubuhnya selagi jatuh bergulingan. 
Meskipun seluruh tubuhnya terasa amat sakit, namun 
pemuda itu terus berusaha bertahan. Kedua tangannya 
menggapai-gapai mencari peti dan pe-dang yang terlepas dari 
tangannya tadi. Setelah berhasil mendapatkan kedua benda itu, 
Sanjaya bergegas bangkit dan kembali beriari menuruni lereng 
gunung. 
"Eyang.... Ahhh...." 
Sambil terus berlari tersaruk-saruk, mulutnya tak henti-
hentinya memanggil-manggil gurunya. Suaranya demikian lirih 
dan menyayat. Meskipun berusaha untuk tidak menangis, tak 
urung dua titik air bening mengalir dari sepasang matanya yang 
memerah. 
Dengan menahan keharuan dan kesedihan, San-jaya terus 
saja berlari tanpa berani berhenti sekejap pun. Rasa marah, 
dendam, kesedihan, dan pena-saran berbaur menjadi satu 
dalam hatinya. Masih tergambar jelas di pelupuk matanya, 
betapa orang tua yang telah mengasuh dan mendidiknya 
semen-jak kecil itu bertarung mati-matian demi keselama-tan 
dirinya. Ingatan itu membuat kerongkongannya bagai 
tersumbat. Seringai kesedihan tergambar di wajahnya mewakili 
perasaan hatinya yang tersayat-sayat. 
Setelah melewati aliran sungai yang memisah-kan Gunung 
Kalaban dengan dunia luar. Sanjaya terus berlari memasuki

mulut hutan yang terletak di sebelah Barat Kald Gunung 
Kalaban. 
Pemuda tinggi tegap yang telah lelah lahir dan batin itu terus 
saja menerobos semak-semak. Sudah tidak dipedulikan lagi, 
apakah di hutan itu terdapat binatang buas atau tidak. Saat itu 
yang ada dalam pikirannya hanyalah berlari dan berlari sejauh-
jauh-nya untuk menghindari kejaran orang-orang tamak itu. 
Bruk! 
Kembali tubuh pemuda itu jauh tersuruk untuk yang kedua 
kalinya. Kali ini yang menjadi penyebab adalah akar pohon 
besar yang menyembul di atas permukaan tanah. 
"Hhh.... Hhh...." 
Sanjaya tidak berusaha bangkit. Dibiarkan saja tubuhnya 
yang lelah itu rebah di atas rerumputan tebal yang menghijau. 
Dengan napasnya demikian keras tak ubahnya seekor kuda 
yang habis dipacu kencang. Ketika bayangan gurunya melintas 
di pelupuk matanya, pemuda tinggi tegap itu berusaha untuk 
bangkit. Setelah meletakkan peti dan pedang-nya di bawah 
sebatang pohon, Sanjaya bergegas bersemadi untuk 
memulihkan kekuatannya. 
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Pemuda Tolol!" Tiba-tiba 
terdengar suara yang membuat Sanjaya terlompat dari 
semadinya. 
Sanjaya menatap tajam wajah kakek berusia enam puluh 
tahun yang tahu-tahu telah berdiri be-berapa langkah di 
depannya. Pemuda itu terkejut begitu mengenali kalau orang 
itu tak lain adalah Ki Palwaka, adik seperguruan gurunya yang 
juga ikut memperebutkan benda pusaka yang kini dibawanya 
itu. Sepasang mata pemuda itu merayapi sekeliling-nya, seolah

olah ingin mencari yang lainnya. Hati-nya agak sedikit lega 
ketika tidak melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu. 
"Ha ha ha.... Jangan khawatir, Anak Muda. Aku sengaja 
mendahului mereka yang masih sibuk me-ngeroyok gurumu 
yang keras kepala itu. Ayo, serah-kan benda itu!" Bentak Ki 
Palwaka sambil mengulur tangannya ke arah benda berbentuk 
peti yang telah kembali dikempit pemuda itu. 
Tentu saja Sanjaya tidak membiarkan benda itu terampas. 
Maka cepat-cepat tangannya yang meng-genggam pedang itu 
digerakkan. 
"Heaaah...!" 
Wut! Wut! 
"Eh!" 
Ki Palwaka cepat menarik pulang tangannya, karena tidak 
ingin tangannya putus oleh tebasan pedang pemuda itu. Wajah 
kakek itu berubah merah karena kemarahan yang amat sangat. 
Begitu pedangnya tidak mengenai sasaran, Sanjaya bergegas 
melompat mundur. Meskipun tenaga-nya belum benar-benar 
pulih, pemuda itu bertekad mempertahankan benda warisan 
gurunya mati-matian. Pedangnya ditudingkan ke arah kakek itu 
lurus-lurus. Sementara kedua kakinya terus me-langkah 
mundur perlahan-lahan. 
"Hiaaat..!" 
Diiringi teriakan nyaring, tubuh Ki Palwaka me-layang ke 
arah Sanjaya. Kedua tangannya bergerak cepat melancarkan 
tamparan-tamparan yang me-nimbulkan suara menderu keras. 
Wuk! Wuk...!

Susah payah Sanjaya mengelakkan serangan laki-laki tua 
yang bertubi-tubi itu. Tubuh pemuda itu berloncatan sambil 
sesekali membalas lewat tusukan dan tebasan pedangnya. 
Namun apalah artinya perlawanan pemuda tinggi tegap yang 
masih lemah itu. Dalam lima jurus saja, dia sudah dibuat tak 
berdaya, sehingga tak mampu lagi untuk melindungi tubuhnya 
dari puku-lan-pukulan lawan. 
Bugk! Desss! 
"Ughk...!" 
Tubuh pemuda tinggi tegap itu terlempar keras ketika dua 
buah pukulan Ki Palwaka singgah di lambung dan perutnya. 
Seketika peti yang berada dalam kempitannya terlempar. Dan 
secepat kilat, Ki Palwaka melesat menyambarnya. Dengan 
gerakan lambat, Sanjaya berusaha bangkit berdiri. Di sudut 
bibirnya tampak cairan merah mengalir. Rupanya pukulan 
lawan telah melukai bagian dalam tubuh-nya. 
"Ha ha ha...! Akhirnya benda pusaka ini menjadi milikku 
juga!" Ki Palwaka tertawa sambil meng-angkat peti yang telah 
berada di tangannya tinggi-tinggi. 
Suara tawa itu mendadak terhenti, karena peti yang tengah 
diangkat di atas kepalanya tahu-tahu saja telah direbut sesosok 
bayangan putih yang ber-kelebat bagaikan bayangan hantu. 
"Keparat! Siapa kau?! Cepat kembalikan peti milikku itu!" 
bentak Ki Palwaka dengan suara meng-gelegar penuh 
kemarahan. 
Dengan sepasang matanya yang mengancam, di-rayapinya 
sekujur tubuh pemuda berjubah putih yang telah berdiri dalam 
jarak dua tombak di depan-nya.

Pemuda berjubah putih itu hanya memperlihat-kan 
senyumnya sebagai jawaban. Dan tanpa mem-pedulikan kakek 
itu, ia pun melangkahkan kakinya mendekati Sanjaya. 
"Apakah benda ini milikmu?" Tanya pemuda tampan 
berjubah putih itu kepada Sanjaya. 
Meskipun mulutnya bertanya demikian, namun tangannya 
terulur menyerahkan peti kepada pemu-da tinggi tegap itu. 
Sanjaya memandang ragu ke arah pemuda tampan berjubah 
putih itu. Kemudian pandang matanya berpindah pada seraut 
wajah jelita yang tadi meno-longnya bangkit. Wajah murid 
Dewa Jubah Putih itu tampak memancarkan keheranan yang 
amat sangat. Sepertinya masih belum bisa dipercaya kalau pe-
muda tampan berjubah putih itu benar-benar me-nyerahkan 
petinya kembali. 
Wajar kalau Sanjaya masih belum mempercayai apa yang 
dialaminya sekarang ini. Sebab selama ini dia memang belum 
pernah bertemu orang lain selain gurunya. Begitu gurunya 
mengizinkan untuk turun gunung, tiba-tiba datang orang-orang 
yang menurut Ki Shindupala adalah saudara seperguruannya. 
Tapi sikap mereka temyata sangat telengas dan ingin me-rebut 
benda yang menjadi hak gurunya. Lalu, me-ngapa sekarang 
pemuda berjubah putih itu malah hendak mengembalikan 
benda itu kepadanya? Mungkinkah pemuda itu adalah orang 
yang disebut-sebut gurunya sebagai pendekar? 
"Kisanak, apakah benda ini milikmu? Atau ben-da ini 
memang milik kakek itu?" Kembali si pemuda berjubah putih 
melontarkan pertanyaan kepada Sanjaya. 
Sanjaya tersentak dari lamunannya ketika mendengar 
pemuda berjubah putih itu mengulang per-tanyaannya.

"Ya... Ya, benda itu memang kepunyaanku," Jawab Sanjaya 
cepat-cepat, bernada gugup. Sambil berkata demikian, 
tangannya terulur menerima peti itu. 
Pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji 
atau berjuluk Pendekar Naga Putih itu bergegas menyerahkan 
peti ke tangan pemliknya. Sebenarnya Panji memang 
mengetahui kalau peti itu milik pemuda yang kini terluka. 
Pendekar Naga Pu-tih dan Kenanga memang telah sempat 
mendengar dan melihat perdebatan yang terjadi antara 
pemuda itu dengan si kakek. Itulah sebabnya, mengapa dapat 
dipastikan kalau peti itu adalah kepunyaan pemuda tinggi tegap 
yang tubuhnya penuh luka itu. 
Ki Palwaka yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata 
oleh pemuda berjubah putih itu, menjadi marah sekali. Gigi-
geliginya terdengar bergemeretak pertanda amarahnya benar-
benar memuncak Wa-jahnya yang kian mengelam itu tampak 
menakut-kan. 
"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Anak Setan! Yeaaat..!" Ki 
Palwaka yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya itu 
berteriak keras sambil melompat menerjang Panji. 
"Kakang, awas...!" Kenanga yang saat itu ber-pakaian serba 
hijau berteriak memperingatkan Panji. 
Sebenarnya Kenanga tidak perlu berteriak se-perti itu. 
Karena, saat itu juga tubuh Panji telah berbalik menghadap ke 
arah si kakek yang tengah meluncur untuk melancarkan 
serangan berbahaya. 
Melihat hal itu Panji segera menggeser tubuhnya ke samping 
dan membiarkan serangan iawan lewat setengah jengkal di sisi 
tubuhnya. Saat itu juga, kaki kirinya mencelat melakukan 
tendangan kilat menuju dagu Ki Palwaka.

Zebbb! 
"Hmh...!" 
Ki Palwaka mendengus kasar melihat tendangan lawan. 
Tubuh orang tua itu meliuk menggunakan tenaga pinggang. 
Begitu tendangan itu lewat, tangan kanannya terulur ke depan 
ke arah leher Panji. 
*** 
EMPAT


Wut! 
Sambaran angin kuat mengiringi cengkeraman tangan Ki 
Palwaka. Seperfinya kakek itu berniat menghancurkan tulang 
leher lawan dengan sekali remas. 
Sadar kalau kekuatan lawan begitu tinggi, Panji bergegas 
mengangkat tangan kanannya memapak cengkeraman itu. 
Dikerahkannya sebagian besar tenaga dalam karena tidak ingin 
menganggap remeh lawan. 
Plak! 
"Hei...!" 
Benturan dua gelombang tenaga dalam tinggi itu 
menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Ki Palwaka 
berteriak kaget ketika tangkisan pemuda itu membuat 
tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Lengan yang

tertangkis itu terasa sangat nyeri. Hal ini benar-benar tak 
masuk akal. Ki Pal-waka menggelengkan kepalanya setengah 
tidak per-caya. 
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Palwaka. 
Keterkejutan kakek itu semakin bertambah ke-tika melihat 
selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti tubuh 
pemuda yang menjadi lawannya itu. 
"Pendekar Naga Putih...?!" Seru Sanjaya yang tak kalah 
kaget. 
Sementara itu, Ki Aji Barga dan Ki Bukaran baru saja tiba 
bersama dengan enam orang lainnya. Me-reka langsung 
terkesiap melihat kehadiran Pendekar Naga Putih sehingga 
tanpa sadar menyebut julukan Panji. 
Sanjaya meskipun belum pernah turun gunung, namun 
pemah mendengar tentang sepak terjang se-orang pemuda 
yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Cerita itu didapat dari 
gurunya, Ki Shindupala. Be-gitu mengetahui kalau pemuda 
tampan yang meno-longnya itu adalah pendekar yang sering 
dipuji-puji gurunya, maka Sanjaya semakin mempercayai mak-
sud baik Pendekar Naga Putih. 
"Hm.... Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor 
itu?" Gumam Ki Aji Barga dengan nada meremehkan. 
Panji yang mendengar gumaman itu sama-sekali tidak 
merasa marah. Senyumnya tetap terkembang menghiasi 
wajahnya yang tampan. Kemudian, pemuda itu melangkah 
mendekati Sanjaya dan Kenanga. 
"Kisanak, pergilah. Selamatkan dirimu, dan biar aku yang 
akan menahan mereka di sini," bisik Panji ke telinga Sanjaya.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih. 
Tapi, maaf. Aku terpaksa tidak dapat me-menuhi permintaanmu 
itu, karena tidak ingin ada orang yang menjadi korban lagi 
karena membelaku. Jadi, biarlah aku tetap di sini untuk ikut 
meng-hadapi mereka," tegas Sanjaya, mantap. 
Sepasang mata pemuda itu tampak memancar-kan sinar 
berkilat ketika bayangan gurunya kembali melintas di pelupuk 
matanya. Sebab, dengan hadir-nya orang yang mengeroyok Ki 
Shindupala, sudah dapat dipastikan kalau gurunya telah tewas 
di tangan mereka. Pikiran itu membuat semangat dan 
kemarahan pemuda itu kian berkobar-kobar. 
"Bukaran! Hadapilah murid si keparat Shindu-pala. Rebut 
peti yang berada di tangannya. Bunuh dia sekalian!" Bisik Ki Aji 
Barga kepada Ki Bukaran di sebelahnya. 
Ki Bukaran mengangguk cepat Tubuhnya yang agak gemuk 
itu langsung melompat dan menerjang dengan serangan 
bertubi-tubi. 
Bet! Bet..! 
Empat buah pukulan yang dilancarkannya ber-turut-turut 
berhasil dielakkan Sanjaya. Pemuda itu berlompatan sambil 
menyabetkan pedang ke ping-gang Ki Bukaran. Kenanga yang 
berniat membantu Sanjaya segera dicegah Ki Palwaka. 
Sedangkan Panji kini sudah bertarung melawan Ki Aji Barga. 
Enam orang murid ketiga kakek sakti itu pun ikut pula terjun 
dalam kancah pertempuran. Mereka segera berloncatan 
mengeroyok Sanjaya. Tentu saja pemuda tinggi tegap itu 
menjadi keiabakan dibuat-nya. 
Sanjaya terus bertahan sambil mundur tanpa menyadari 
kalau di belakangnya menganga sebuah jurang yang dalam.

Serangan para pengeroyok yang susul-menyusul itu 
membuatnya kian terdesak dan terus bergerak mundur. 
"Hiyaaat...!" 
Ki Bukaran yang melihat keadaan itu tentu saja menjadi 
gembira. Sambil berteriak keras, tubuhnya berkelebat dari 
samping Sanjaya. Tangan kanannya terayun ke leher, 
sedangkan kaki kanannya menen-dang ke arah peti yang 
dihimpit di tangan kiri pe-muda itu. 
Melihat adanya serangan dari samping kiri, tan-pa sadar 
pemuda tinggi tegap itu melompat ke bela-kang untuk 
menyelamatkan dirinya. Tapi sayang! Sanjaya tidak mengetahui 
kalau di belakangnya ter-dapat sebuah jurang yang siap 
menelan tubuhnya. 
"Aaa...!" 
Pemuda tinggi tegap itu menjerit ngeri ketika tubuhnya 
melayang ke dalam jurang yang kedala-mannya tidak diketahui 
pasti. Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun sudah tak 
kelihatan lagi, namun gema suaranya masih terdengar. Dan 
kini, sayup-sayup mulai hilang. 
Ki Bukaran menjengukkan kepalanya ke dalam mulut jurang. 
Wajah kakek itu tampak membayang-kan perasaan kecewa 
yang amat dalam, karena tidak berhasil menyelamatkan peti 
yang berisi benda pusaka yang diperebutkan itu. Memang peti 
itu ikut tertelan di jurang bersama tubuh Sanjaya. 
Ki Aji Barga yang tengah bertarung melawan Panji, sempat 
melihat kejadian itu. Dia pun begitu terkejut. Maka cepat 
tubuhnya berkelebat menuju tempat itu. Demikian pula Ki 
Palwaka. Tubuhnya yang kurus itu cepat melesat ke arah Ki 
Bukaran berada.

"Adi Bukaran, mana peti itu?" Tanya Ki Aji Barga meskipun 
sudah dapat menduga apa yang telah ter-jadi ketika melihat di 
tangan Ki Bukaran tidak ada peti itu. 
"Peti itu..., ikut tercebur ke dalam jurang, Kakang," sahut Ki 
Bukaran lesu. 
"Hhh.... Bodoh!" Maki Ki Aji Barga gusar. 
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Aji Barga segera mengajak 
kedua orang muridnya untuk meninggal-kan tempat itu. Mereka 
kini berkelebat menyelinap di antara pepohonan hutan yang 
tumbuh rapat. 
Ki Bukaran dan Ki Palwaka pun segera meng-ajak murid-
muridnya untuk meninggalkan tempat itu. 
"Hei, tunggu...!" Seru Panji menahan langkah mereka yang 
herdak meninggalkan tempat itu. Tubuh pemuda itu melompat 
dan berputar di udara, kemudian kedua kakinya mendarat 
ringan di hada-pan keenam orang itu. 
"Hm.... Minggirlah, Anak Muda. Kami tidak mempunyai 
urusan denganmu!" Bentak Ki Bukaran gusar melihat pemuda 
tampan yang berjuluk Pende-kar Naga Putih itu menghadang 
jalannya. 
"Huh! Tidak ada urusan katamu?! Apakah sete-lah kau 
membunuh pemuda tak berdosa itu dapat bebas begitu saja?!" 
Kata Panji dengan sinar mata mencorong tajam. 
"Keparat! Sudah kubilang aku tidak mempunyai urusan 
denganmu! Hihhh...!" Dengan gusar, Ki Bukaran menggerakkan 
tangan kanannya ke arah Panji. 
Serrr! Serrr! 
Seketika pukthan batang jarum halus melesat cepat bagai 
kilat Begitu jarum-jarumnya terlontar, keertam orang itu pun

melompat ke arah gerum-bulan semak yang banyak terdapat di 
tempat itu. 
Panji bergegas mengebutkan tangannya untuk meruntuhkan 
jarum-jarum halus yang mengancam tubuhnya itu. 
"Bangsat licik!" Teriak Panji marah, setelah ber-hasil 
merontokkan senjata rahasia itu. 
Cepat bagai kilat tubuh pemuda itu mengejar keenam orang 
itu. Kenanga pun bergegas menyertai-nya. Namun mereka 
menjadi kecewa ketika tak me-nemukan mereka. Memang, 
pepohonan yang tum-buh di hutan itu begitu rapat, sehingga 
Pendekar Naga Putih sulit untuk menemukan mereka. 
Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, Panji dan 
Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. 
*** 
Tubuh Sanjaya meluncur deras menuju dasar jurang. 
Pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar 
tubuhnya terlindungi dari benturan-benturan. Namun tak urung 
beberapa kali mulutnya mengaduh ketika batang pohon yang 
menjulur dari dinding jurang terlanggar tubuhnya. Pemuda itu 
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan rasa sakit yang 
mendera tubuhnya. 
Meskipun dalam keadaan seperti itu, namun Sanjaya tetap 
menggenggam erat batang pedang dan mengempit peti 
pemberian gurunya. Tekad pemuda itu sudah bulat. Hancur 
bersama pusaka pening-galan perguruannya, atau selamat juga 
bersama-sama pusaka itu. 
Byurrr!

Air seketika berdebur tinggi saat tubuh Sanjaya menimpa 
permukaannya. Untunglah pemuda itu masih bertahan untuk 
tidak pingsan, selama tubuh-nya meluncur tadi. Kalau tidak, 
mungkin sudah tewas tenggelam di dasar sungai yang 
membelah tebing tinggi itu. 
Meskipun sekujur tubuhnya terasa pedih, pe-muda yang 
tekadnya telah bulat itu berusaha be-renang ke tepi. Air sungai 
yang bening dan sejuk itu sempat membuat pemuda itu merasa 
segar karena-nya. 
Dengan dengusan napas memburu, Sanjaya me-rangkak 
naik. Tepian sungai yang tidak terlalu tinggi itu membuatnya 
tak mengalami kesulitan untuk menjangkaunya. 
Sanjaya membiarkan tubuhnya yang lelah itu re-bah 
telentang di atas tanah berumput kering. Pe-dang dan peti 
pemberian gurunya tetap berada di sampingnya. Rasa lelah 
yang amat sangat mem-buatnya langsung tertidur pulas tanpa 
sadar. 
"Uhhh...!" 
Entah berapa lama sudah pemuda itu terlelap. Yang jelas 
begitu terbangun, hari sudah menjadi gelap. Bergegas ia 
bangkit dan melangkah tertatih-tatih mencari tempat yang lebih 
aman untuk ber-malam. 
"Hm.... Biariah untuk malam ini aku beristirahat di bawah 
dinding yang menonjol ini. Besok, baru aku akan mencari jalan 
keluar dari tempat ini," gu-mam Sanjaya sambil menyandarkan 
tubuhnya pada lekukan dinding batu yang menonjol 
menaunginya. 
Sejenak pemuda itu melepaskan pandangan ke atas, seolah-
olah ingin memastikan berapa tingginya dinding jurang.

Murid tunggal Ki Shindupala itu menarik napas dalam-dalam. 
Wajahnya yang gagah tampak mu-rung saat melihat berapa 
tingginya dinding jurang itu. Sepertinya Sanjaya tak mungkin 
dapat keluar dari lembah itu. 
Tubuh Sanjaya menggelinjang ketika angin dingin 
berhembus menyusup ke tulang sumsumnya. Bergegas 
dikumpulkannya ranting kering yang banyak berserakan di 
sekitamya. Tak berapa lama kemudian, api unggun pun mulai 
berkobar meng-hangatkan tubuhnya. 
Pemuda tinggi tegap itu termenung memikirkan kejadian-
kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Sepertinya 
masih belum bisa dipercayai kalau kejadian itu telah menimpa 
dirinya. Karena, segalanya terjadi demikian singkat hingga tak 
ubah-nya sebuah mimpi buruk yang mengerikan. 
"Eyang.... Aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu 
terhadap saudara-saudara seperguru-anmu yang berhati busuk 
itu! Hatiku tidak akan pemah bisa tenteram selagi orang-orang 
biadab itu masih berada di muka bumi ini. Tenangkanlah 
hatimu, Eyang. Berilah aku kekuatan untuk mak-sudku itu," 
desis Sanjaya. 
Kembali dada pemuda itu terasa sesak ketika teringat akan 
gurunya. Buku-buku jarinya berkero-tokan ketika telapaknya 
mengepal kuat-kuat. Sepasang matanya tampak mencorong 
menyiratkan den-dam yang amat sangat. 
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu tersen-tak bagai 
disengat kalajengking, dan kedua tangan-nya tampak gemetar 
ketika memegang pemberian gurunya yang berjuluk Dewa 
Jubah Putih. 
Diangkatnya peti itu di atas kepala untuk meng-hormati si 
pemilik ataupun si pembuat kedua benda yang berada di 
dalamnya. Setelah agak lama pemuda itu bersujud sambil

mengangkat peti di atas kepalanya, lalu perlahan-lahan bangkit 
dan duduk bersila. 
Jari-jari tangan Sanjaya tampak gemetar ketika membuka 
tutup peti yang panjangnya tak lebih dari dua jengkal itu. 
Serangkum hawa harum seketika menyebar menyergap hidung 
pemuda itu pada saat penutup peti terbuka. 
"Hm.... Benda apa ini...?" gumam Sanjaya. 
Pemuda itu terheran-heran ketika di dalam peti itu terdapat 
tiga butir benda bulat sebesar anggur, berwarna merah dan 
telah kering. Sanjaya semula berniat mengambil benda bulat 
itu. Namun seketika niatnya diurungkan ketika melihat goresan-
goresan huruf yang tertera di bagian dalam penutup peti. 
Tulisan itu berbunyi, 
Siapa pun yang ingin mempelajari isi kitab. 
Dan memiliki senjata pusaka ini. 
Maka dia harus menelan buah pertama. 
Yang berjodoh akan selamat...! 
Sanjaya tertegun setelah membaca kalimat yang tertera itu. 
Hatinya berdebar ketika membaca baris terakhir. Sepertinya, di 
situ terkandung sebuah an-caman yang berbau maut. 
"Yang berjodoh akan selamat....'" Sanjaya me-ngulang baris 
terakhir dari goresan itu. 
Kening pemuda itu berkerut, mencari arti dari tulisan baris 
terakhir itu. Dirapatkannya penutup peti. Lalu dilangkahkan 
kakinya perlahan-lahan sambil memikirkan makna dari baris 
terakhir tuli-san tadi. 
"Ah! Kalau saja eyang berada di sini, tentu aku tidak perlu 
susah-susah menanyakannya. Sebab, aku yakin kalau eyang

pasti mengetahui makna ter-sembunyi di balik tulisan itu," 
gumam Sanjaya lirih. 
Kedua kaki pemuda itu terus saja melangkah bolak-balik di 
sekttar tempat itu. Rupanya sebelum mendapatkan arti kata-
kata pada baris terakhir, Sanjaya tidak mau bertindak gegabah. 
Karena sampai lama belum juga dapat ditemu-kan 
jawabannya, akhirnya Sanjaya merebahkan tubuhnya. Sisa-sisa 
kelelahan yang masih terasa, membuatnya cepat terlelap. 
*** 
Kehangatan sinar mentari dan kicauan burung pagi 
membangunkan Sanjaya dari tidurnya. Pemuda itu bangkit 
sambil menggosok-gosok kedua matanya yang silau oleh 
semburat sinar matahari. 
"Uhhh...!" 
Sanjaya mengeluh ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri dan 
linu. Dengan tertatih-tatih kakinya melangkah menuju ke 
sungai yang hanya terpisah beberapa tombak di depannya. 
Setelah melepas se-luruh pakaiannya, pemuda tinggi tegap itu 
bergegas terjun ke dalam sungai yang berair jernih. 
Byurrr! 
Permukaan air sungai menyibak ketika tubuh pemuda itu 
jatuh menimpanya. Sambil menggigit bibir menahankan rasa 
perih akibat luka-luka luar-nya, Sanjaya membersihkan seluruh 
tubuh agar luka-lukanya itu tidak membengkak. 
Tak lama kemudian, pemuda itu kembali naik ke darat 
Wajahnya sudah mulai nampak kemerahan. Kini perut Sanjaya 
terasa lapar. Untung tadi dia telah menangkap beberapa ekor

ikan yang banyak di sungai ini. Dan kini, dia telah duduk dekat 
api unggun sambil menikmati ikan bakar. 
Sanjaya kini merasa tubuhnya lebih segar. Se-lesai 
menjemur pakaiannya yang telah dicuci bersih-bersih, dia 
duduk bersila di atas sebuah batu besar yang permukaannya 
lebar dan pipih sehingga tidak menyakitkan. Sesaat kemudian, 
Sanjaya telah teng-gelam dalam semadinya. 
Sanjaya bangkit dari semadinya ketika tenaga dalamnya 
terasa mulai pulih. Bergegas pemuda itu mengenakan 
pakaiannya yang telah kering. 
"Haiiit...!" 
Diiringi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda itu 
melambung ke udara. Setelah melakukan bebe-rapa kali 
putaran di udara, kedua kakinya mendarat empuk di atas 
permukaan tanah berumput. 
”Yeaaa...!" 
Wut! Wut..! 
Sanjaya mulai menggerak-gerakkan tangan me-latih ilmu 
silatnya. Meskipun tenaganya belum selu-ruhnya pulih, namun 
angin pukulan yang menyam-bar dari kedua tangannya sudah 
dahsyat Sanjaya terus memainkan jurus-jurus silatnya. Setelah 
me-rasa agak lelah, gerakannya pun dihentikan Di-hirupnya 
udara banyak-banyak, kemudian dihem-buskannya kuat-kuat. 
"Hm.... Rasanya kesehatanku sudah hampir pulih. Sekarang 
tinggal memikirkan, apa yang harus kulakukan selanjutnya. 
Tinggal di tempat ini, atau mencari jalan untuk keluar," gumam 
pemuda tinggi tegap itu seperfi ditujukan pada dirinya sendiri.

Sepasang mata Sanjaya berputar merayapi da-erah di sekitar 
tempat itu. Dilangkahkan kakinya perlahan ke tempat ia 
semalam beristirahat. 
Wajahnya yang semula cerah, kembali murung begitu 
matanya tertumbuk pada peti pemberian gurunya. Sepasang 
alisnya bertaut memikirkan apa yang harus dilakukannya 
terhadap benda di dalam peti itu. Sejenak hatinya meragu 
ketika teringat kata-kata pada baris terakhir yang masih 
menjadi teka-teki. 
Sanjaya membalikkan tubuhnya menghadap ke sungai. 
Dipandanginya permukaan air sungai yang tampak tenang 
mengalir dan penuh kedamaian. Pemuda itu tersentak ketika di 
atas permukaan air sungai, tampak bayangan gurunya yang 
tengah dikeroyok Seluruh tubuh Ki Shindupala tampak dipenuhi 
luka. Pakaian yang dikenakan orang tua itu pun telah penuh 
ternoda darah. 
"Eyang..., maafkan aku...," bisik pemuda tinggi tegap itu 
dengan suara bergetar. 
Sanjaya menggelengkan kepala mengusir pergi bayangan 
yang mengganggunya itu. Kembali dihi-rupnya udara banyak-
banyak untuk melonggarkan rongga dadanya yang terasa 
sesak. Sekujur tubuh pemuda itu gemetar teringat akan nasib 
gurunya. 
"Eyang pasti sudah tewas di tangan orang-orang biadab dan 
serakah itu! Aku harus membalasnya! Harus!" Desis pemuda itu 
dengan wajah geram. Sepasang matanya memancarkan api 
dendam yang berkobar-kobar. 
Begitu teringat akan kematian gurunya, tanpa berpikir 
panjang lagi diraihnya peti yang berisi benda pusaka itu.

"Aku tidak peduli, apa yang akan kualami nanti!" Desis 
Sanjaya sambil membuka penutup peti. 
Sepasang mata pemuda itu kembali terbentur pada tulisan 
yang terdapat di dalam penutup peti. Tanpa ragu-ragu lagi, 
diambilnya buah pertama yang disebutkan dalam tulisan tadi. 
Sepasang mata Sanjaya membelalak seperti hen-dak 
melompat keluar. Seluruh permukaan kulit tubuhnya tampak 
memerah bagai kepiting rebus. Bukan main ngeri hatinya ketika 
merasakan ada hawa panas yang menyebar ke seluruh 
tubuhnya. 
Hawa panas itu seperti melonjak-lonjak, dan akan menjebol 
seluruh jalan darahnya. Uap tipis berwarna putih pun tampak 
mengepul dari ubun-ubun kepala. Dari hidung, mulut, dan 
telinganya tampak cairan merah mengalir. Tapi meskipun 
demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa sakit. 
Tidak berapa lama kemudian, keadaan pemuda itu mulai 
kembali seperti sediakala. Permukaan kulit tubuhnya tidak lagi 
merah. Hawa panas yang melonjak-lonjak pun hilang entah ke 
mana. 
"Aneh! Mengapa tubuhku terasa lebih segar dari biasa? 
Apakah ini pengaruh buah kering berwarna merah yang kutelan 
tadi? Lalu, apa pula keguna-annya? Mungkinkah buah itu dapat 
menambah tenaga?" 
Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak Sanjaya. Tapi, 
tak satu pun yang dapat dijawab. 
"Ahhh, biarlah. Yang penting tidak apa-apa pada tubuhku!" 
gumam pemuda itu sambil menggeleng-kan kepala mengusir 
bayangan-bayangan buruk yang jelas mengganggu. 
Kini rasa keraguan semakin tipis. Perlahan di-ulurkan 
tangannya untuk menyentuh kitab yang terdapat di dalam peti

itu Dengan jari-jari gemetar, diangkatnya kitab itu dari 
tempatnya. 
"Kitab ilmu silat 'Penakluk Sukma'...," mulut pemuda itu 
bergerak-gerak membaca baris kalimat yang tertera pada 
sampul kitab. Kemudian, dibuka-nya lembar pertama. Sanjaya 
mengangguk-angguk-kan kepala begitu membaca baris-baris 
kalimat yang berbunyi, 
Kitab ini hanya dapat dipelajari orang berjiwa bersih, dan 
menurut apa yang tertulis di balik penutup peti ini: 
Bagi mereka yang hanya memikirkan kepen-tingan pribadi 
saja, tidak akan bisa mempelajari isi kitab. 
Sebab sampul kitab ini dilumuri racun yang hanya bisa 
ditangkal dengan buah berwarna merah. 
"Ahhh..., syukurlah. Aku telah menuruti pesan yang tertera 
di balik penutup peti ini. Kalau tidak, pasti aku sudah tewas 
oleh racun ganas yang melapisi sampul kitab ini," desah 
Sanjaya dengan wajah agak memucat Diam-diam hatinya 
merasa bersyukur karena tidak langsung menyentuh kitab itu 
tadi. 
Hati pemuda itu berdebar penuh kegembiraan ketika 
mengetahui kalau kitab itu berisikan pelaja-ran ilmu silat tingkat 
tinggi. Setelah puas melihat-lihat seluruh isi kitab, Sanjaya 
kembali menutup-nya. Diletakkannya kitab itu di tempat 
semula, ke-mudian diambilnya senjata yang terdapat di sebelah 
kitab. 
Sanjaya memandangi senjata yang terbuat dari perak dalam 
genggamannya. Senjata itu berupa sebuah lempengan-
lempengan perak yang bersam-bung satu sama lain. Pada tiap-
tiap lubang sambun-gan, diikat oleh kawat baja yang 
menghubungkan lempengan satu sama Iain. Sedangkan pada
bagian gagangnya tak bedanya dengan gagang pedang. 
Sebuah senjata yang aneh dan jarang terdapat dalam dunia 
persilatan. 
"Hm.... Entah apa nama senjata yang berbentuk aneh ini? 
Rasanya baru kali ini aku melihat senjata macam ini?" gumam 
Sanjaya samba tak puas-puasnya menatapi senjata yang 
berkilauan tertimpa cahaya matahari itu. 
*** 
LIMA

 
Pagi ini, suasana begitu cerah. Angin bertiup semilir 
membawa kabut yang bergerak perlahan-lahan. Hart ini, sudah 
memasuki tiga butan Sanjaya berada di dasar jurang. Hanya 
karena kemurahan Yang Maha Kuasa saja pemuda itu bisa 
selamat sewaktu terjerumus ke dalam jurang. Untunglah, daya 
tahan tubuhnya juga cukup hebat, sehingga dia tidak 
mengalami luka yang berarti. 
Dan semenjak tenaganya pulih, Sanjaya mulai melatih ilmu-
ilmu yang tertera pada kitab itu, tanpa mengenal lelah dan 
tidak mempedulikan waktu. Se-tiap waktu luang selalu 
dipergunakan untuk melatih ilmu 'Penakluk Sukma'. 
"Heaaat..!" 
Wuk! Wuk...! 
Senjata berwarna perak yang panjangnya tiga jengkal 
tangan orang dewasa itu menderu dahsyat menimbulkan

sambaran angin kuat. Sesekali terde-ngar suara gemerincing 
ketika senjata itu digetar-kan. Kalau saja ada orang lain di 
sekitar tempat itu, barulah akan dapat diketahui kegunaan 
bunyi itu. Sebab bunyi itu demikian kuat dan dapat meng-
getarkan udara di sekitarnya. 
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun menghentikan 
gerakannya. Tubuhnya yang ber-telanjang dada itu tampak 
tegap dan kuat. Kejan-tanannya semakin nyata tatkala 
tubuhnya dihiasi butiran-butiran keringat, sehingga tampak 
berkilat tertimpa cahaya matahari. 
Setelah menutup gerakannya, Sanjaya berdiri tegak 
mengatur jalan napasnya. Dadanya yang bidang itu 
bergelombang turun naik secara teratur. Wajahnya tampak 
segar pertanda telah benar-benar sehat. 
"Hm.... Telah hampir tiga bulan aku berada di sini. Meskipun 
yang kupelajari belum ada separuh-nya, namun nyata sekali 
kalau ilmu silat 'Penakluk Sukma' ini benar-benar langka. 
Pantaslah kalau orang-orang seperti Ki Aji Barga, Ki Bukaran 
dan yang Iain-lain menginginkan kedua pusaka ini," gumam 
Sanjaya sambil melangkahkan kakinya. Diambilnya kitab 'Pe-
nakluk Sukma', lalu diselipkan di balik bajunya. Sementara, 
senjatanya telah diling-karkan di pinggang. 
Sanjaya memandangi tebing jurang yang hampir tak terlihat 
tepinya. Tekadnya hanya satu. Keluar dari dalam jurang ini. 
Sebentar kemudian, pemuda itu mengempos tenaganya. 
Kemudian tubuhnya me-lenting, berputaran beberapa kali di 
udara. Dengan gerak tangkas, tangannya meraih dahan pohon 
yang menjulur keluar dari dinding tebing. 
Setahap demi setahap, Sanjaya melompat naik dari satu 
pohon, ke pohon lain yang banyak terda-pat di dinding tebing.

Gerakannya demikian ringan, hingga tak terasa pemuda itu 
telah sampai di bibir jurang. 
Dengan sekali lentingan dan putaran beberapa kali di udara, 
Sanjaya telah berdiri tegak membela-kangi jurang. Pemuda itu 
berdiri kokoh, menatap mulut sebuah hutan yang menghadang 
di depannya. 
Pemuda tinggi tegap itu terus melangkahkan kakinya 
memasuki hutan lebat itu. Pohon-pohon besar yang tumbuh 
rapat bukan merupakan hala-ngan baginya untuk meneruskan 
langkah kakinya. Hingga tidak berapa lama kemudian, Sanjaya 
pun tiba di sebuah tempat yang agak lapang. 
Di tempat yang jarang terdapat pohon besar itu, tampak 
berdiri sebuah pondok yang sederhana, ber-dindingkan kayu. 
Entah siapa yang membuatnya. Yang jelas, tempat itu cocok 
untuk beristirahat. Sanjaya memang harus memiliki pondok 
untuk dijadikan tempat tinggal. Di situ dia akan menyerap 
seluruh ilmu yang berada di dalam kitab itu. 
*** 
Hari demi hari terus berlalu. Sang surya terus berputar 
mengikuti peredaran masa. Hingga tanpa terasa, telah genap 
satu tahun Sanjaya tinggal di pondok itu. 
Seperti biasanya, pada setiap pagi pemuda itu tak pernah 
lupa untuk berlatih. Demikian juga dengan pagi hari ini. 
"Hiyaaa...! Heyaaat..!" 
Diselingi teriakan-teriakan nyaring, tubuh pe-muda itu 
berloncatan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan lincah. 
Senjata di tangannya berkelebatan cepat membentuk gulungan

sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sesekali senjata itu 
bergerak meliuk bagaikan seekor ular yang tengah merayap di 
atas permukaan tanah. 
"Haiiit..!" 
Suatu ketika tubuh pemuda itu melambung di-sertai 
bentakan yang menggetarkan jantung. Sambil bersalto 
beberapa kali, Sanjaya menggetarkan senjatanya hingga 
memperdengarkan suara hiruk-pikuk. 
Angin bertiup keras ketika senjata itu bergetar. Pohon-pohon 
yang berada beberapa tombak dari pemuda itu, berderak-derak 
ribut bagai hendak roboh. Beberapa pohon kecil bahkan sempat 
tercabut sam-pai ke akar-akarnya karena kerasnya tiupan angin 
yang diciptakan getaran senjata di tangan Sanjaya. 
Setelah beberapa kali melakukan putaran, tu-buh pemuda itu 
melayang turun ke atas permukaan tanah. Begitu kakinya 
menyentuh tanah, tubuhnya kembali melambung, lalu 
berjungldr balik menuju ke arah sebuah batu besar yang 
terpisah enam tombak dari tempatnya. 
"Yiaaat...!" 
Dibarengi bentakan nyaring, senjata di tangan pemuda itu 
tiba-tiba bergulung melipat. Sesaat kemudian, kembali 
menyentak membuka. 
Darrr! 
Terdengar ledakan keras ketika senjata di tangan Sanjaya 
menghantam batu sebesar perut kerbau. Debu mengepul tinggi 
disertai batu-batu kecil yang beterbangan ke udara. Batu besar 
itu langsung pecah terkena ujung senjata pemuda itu. 
Tubuh Sanjaya kembali melenting balik meng-hindari 
terpaan batu kecil yang berpentalan ke segala arah.

Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepa-sang kaki 
pemuda itu menjejak permukaan bumi. Senyum puas tampak 
membayang di wajahnya. Meskipun napasnya terlihat agak 
memburu, namun jelas sekali kalau dia merasa gembira dengan 
hasil yang dicapainya selama ini. 
Sambil tetap memandang kepulan debu yang mulai menipis, 
Sanjaya mengelus-elus senjatanya yang tampak agak kotor itu. 
Kemudian dengan gera-kan perlahan, dilibatkannya senjata itu 
ke pinggang. Ternyata, senjata itu dapat pula dipergunakan se-
bagai sabuk! 
Setelah menyimpan senjatanya, pemuda tinggi tegap itu 
menjatuhkan kedua lututnya di atas tanah. Wajahnya langsung 
ditengadahkan meman-dang langit biru jernih. 
"Eyang.... Hari ini aku telah berhasil menamat-kan kitab 
'Penakluk Sukma'. Tenanglah arwahmu di sisi-Nya, Eyang. Aku 
akan mencari manusia-manu-sia keparat itu untuk meminta 
pertanggung-jawa-ban mereka. Berilah restumu, Eyang," desah 
San-jaya dengan suara lirih yang menggeletar. 
Berbagai perasaan berbaur menjadi satu dalam hati pemuda 
gagah itu. Agak lama dia tertunduk dengan mata terpejam, 
seolah-olah tengah menunggu jawaban dan restu Ki 
Shindupala, atau Dewa Jubah Putih. 
Tidak berapa lama kemudian, Sanjaya bangkit perlahan-
lahan. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tampat itu. 
Pemuda tinggi tegap itu kembali menuju ke pondoknya yang 
berada di dalam hutan. 
Begitu berada di dalam pondoknya, Sanjaya mengambil kitab 
pusaka yang berada di dalam peti. Diambilnya pemantik api, 
lalu dinyalakan. Beberapa saat kemudian, api pun mulai 
menggerogoti permu-kaan sampul kitab itu. Sanjaya memang

membakar kitab yang berisikan ilmu 'Penakluk Sukma' seba-
gaimana yang dipesankan di halaman terakhir. 
Sanjaya duduk bersila memandangi lidah-lidah api yang 
berkobar memusnahkan kitab itu. Pemuda itu baru bangkit 
setelah kitab itu hanya tinggal arang hitam yang tak berarti. 
Kini, Sanjaya bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu untuk 
mencari orang-orang yang telah membunuh gurunya. 
*** 
Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning 
keemasan menerobos sela-sela rimbu-nan dedaunan, membias 
membentuk lingkaran yang memecah menyilaukan mata. Saat 
itu matahari sudah mulai condong ke Barat. 
Tiupan angin yang silir-silir mengiringi langkah seorang 
pemuda tinggi tegap. Rambutnya yang pan-jang melewati bahu 
itu berkibaran lembut. Langkah-nya ringan dan mantap 
menerobos semak-semak yang menghalangi jalannya. Sama 
sekali teriknya sinar matahari siang itu bukan halangan 
baginya. 
Sesekali pemuda gagah itu menghentikan lang-kahnya. 
Kepalanya menengadah merayapi awan-awan biru yang 
berarak. Sepertinya, ingin memasti-kan ke mana arah 
tujuannya. Sesaat kemudian, kakinya kembali terayun, dan 
tangannya bergerak menyibak dedaunan. 
Pemuda gagah yang tak lain adalah Sanjaya itu terus 
melangkah menuju sebuah tempat yang agak tinggi. Diedarkan 
pandangannya ketika telah berada di atas sebuah batu besar. 
Lama juga pemuda itu meneliti dan memandang jauh sambil 
memayungi matanya dengan telapak tangan.


"Hm.... Kalau aku tidak salah, Gunung Kalaban tempat dulu 
aku tinggal, terletak di daerah Barat. Ada baiknya kalau aku 
menuju daerah itu dulu. Siapa tahu aku dapat meminta 
petunjuk penduduk di sana," gumam Sanjaya. 
Setelah berpikir demikian, pemuda gagah itu melesat turun 
dari atas puncak bukit kecil itu. Gerakannya demikian cepat dan 
ringan. Seolah-olah kedua kakinya tidak lagi menginjak tanah. 
Dari sini saja sudah dapat dilihat kalau pemuda itu sekarang 
telah memiliki kepandaian yang jauh lebih hebat di-banding 
setahun yang lalu. Semua itu diperolehnya setelah berhasil 
menguras seluruh isi kitab 'Pe-nakluk Sukma'. 
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, San-jaya bergerak 
menuju daerah Barat Tubuhnya ber-kelebat di antara 
pepohonan hingga tak ubahnya seekor bulling yang tengah 
melayang-layang bebas di angkasa raya. 
Sanjaya yang tengah berlari cepat itu, tiba-tiba menahan 
gerakannya. Telinganya yang tajam, sa-mar-samar mendengar 
suara seperti orang bertem-pur. Namun suara itu terdengar 
sangat jauh, se-hingga hatinya menjadi ragu. 
Sambil terus mempertajam indra pendengaran-nya, pemuda 
gagah itu melangkahkan kakinya mencari sumber suara orang 
bertempur itu. Sanjaya semakin mempercapat langkahnya 
manakala sema-kin jelas mendengar suara-suara teriakan dan 
den tang senjata yang mengusik telinganya. 
"Hm.... Siapakah yang tengah bertempur di da-lam hutan 
yang lebat ini?" Dengan hati penuh tanda tanya, Sanjaya 
semakin mempercepat langkahnya. 
Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan ter-lihat belasan 
orang tengah bertempur. Sanjaya me-nyelinap di antara semak 
belukar agar tidak terlihat. Merasa terlalu jauh untuk melihat


lebih jelas, maka pemuda itu mengendap-endap mendekati 
arena per-tempuran. 
Bruk! 
"Aaah...!" 
Sanjaya semakin merendahkan tubuhnya ketika salah 
seorang dari mereka tiba-tiba terlempar bebe-rapa tombak di 
dekat persembunyiannya. 
Laki-laki tinggi kurus itu merangkak bangkit sambil mengeluh 
dan mendekap lambung kirinya. Darah tampak merembes dari 
sela-sela jari tangan-nya. Dengan gerakan limbung, orang itu 
berusaha untuk dapat berdiri tegak. 
"Aaa...!" 
Terdengar jeritan kematian yang berturut-turut Bersamaan 
dengan itu, empat sosok tubuh ber-pakaian serba hitam 
terjungkal roboh mandi darah. Sesaat kemudian, mati. 
"Biadab!" Maki si lelaki kurus dengan wajah yang semakin 
pucat "Ayo, kalian bunuh saja aku sekalian!" 
Seorang laki-laki gemuk berwajah hitam dan berperut buncit 
melangkah maju menghampiri orang itu. Wajahnya yang buruk 
dan hitam itu memperlihatkan seringai kejam. 
"He he he...! Dengar, Gayana! Sengaja kau tidak kubunuh 
agar dapat melaporkan kepada kepala sukumu. Katakan 
padanya kalau aku tidak akan membuat kekacauan lagi apabila 
ia bersedia meng-angkat kepala suku kami sebagai 
menantunya!" Ancam orang gendut bermuka hitam itu galak. 
"Huh! Jangan mimpi kau, Manusia Buruk! Bagaimana 
mungkin kepala sukumu yang tua renta itu bisa disejajarkan 
dengan putri kepala suku kami yang masih muda dan cantik. 
Apalagi, kepala suku-mu telah memiliki empat orang istri,"

sahut lelaki kurus yang dipanggil Gayana itu, sambil menyem-
burkan ludah berkali-kali sebagai tanda tak gentar terhadap 
ancaman itu. 
"Keparat! Apakah kau sudah bosan hidup se-hingga berani 
menghina kepala suku kami?! Hih...!" 
Setelah memaki dengan penuh kemarahan, lelaki gendut 
bermuka hitam itu melayangkan kaki-nya. 
Buk! 
"Hukh...!" 
Gayana yang sudah terluka itu tidak mampu lagi untuk 
menghindari tendangan si muka hitam. Tubuhnya terlempar 
sejauh satu tombak. Darah segar langsung mengalir dari sudut 
bibirnya. Lelaki kurus itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa 
mual akibat tendangan keras tadi. 
"Baiklah, kalau kau memang lebih memilih mati daripada 
melaporkan permintaanku kepada kepala sukumu itu!" 
Setelah berkata dengan penuh kegeraman, laki-laki bermuka 
hitam itu mencabut pedangnya yang pan-jang dan besar. 
Pedang yang melengkung pada bagian tengahnya itu berkilau 
tertimpa cahaya matahari yang memantul. 
Lelaki tinggi kurus itu merapatkan giginya kuat-kuat, seperti 
memang lebih memilih mati ketimbang menyampaikan ucapan 
si muka buruk itu. Dengan pandangan tidak berkedip, ia 
menanri datangnya kematian. 
Sanjaya yang hanya empat tombak berada di belakang lelaki 
kurus itu menjadi kagum dibuatnya. 
"Hebat! Orang yang setia dan tak takut ber-korban nyawa 
demi kepentingan orang yang disebut sebagai kepala suku oleh

si muka hitam itu," gu-mam Sanjaya sambil menggeleng-
gelengkan kepala sebagai tanda kekagumannya. 
Pemuda tinggi tegap yang berada di balik semak-semak itu 
sebenarnya merasa terkejut sekali mendengar ucapan 'kepala 
suku' yang disebut orang-orang itu. Dari perkataan dan sebutan 
mereka, dapat diduga kalau dirinya tengah berada di daerah 
suku-suku pedalaman yang jauh dari kota maupun desa. 
Saat itu si muka hitam sudah tiba di hadapan Gayana. 
Senjatanya yang mirip pedang itu teracung ke alas, siap 
membelah tubuh laki-laki tinggi kurus itu. Wajah si muka hitam 
tampak menyeringai gem-bira, seolah-olah pekerjaan 
membunuh adalah salah satu kesenangannya. 
Namun lelaki tinggi kurus yang tengah terduduk itu sama 
sekali tidak merasa gentar. Dengan berani, ditatapnya mata si 
muka hitam lekat lekat Meskipun wajahnya pucat, namun 
sepasang matanya tetap terbuka lebar. Bahkan mulutnya 
menyunggingkan senyum sinis yang membuat si muka hitam 
sema-kin mengkelap marah. 
Wuttt..! 
Senjata yang bentuknya perpaduan antara pe-dang dan 
golok itu meluruk ke arah si tinggi kurus. Dan belum lagi 
senjata itu sempat mengenai sasa-rannya, tiba-tiba sebentuk 
sinar hitam melesat bagai anak parah. 
Trak...! 
"Aduhhh...!" 
Si muka hitam menjerit kesakitan ketika benda hitam 
sebesar kerikil itu tepat menghantam pergola-ngan tangannya. 
Tubuhnya terjajar mundur bebe-rapa langkah ke belakang. 
Sedangkan senjatanya terpental dari tangannya.

Lelaki gendut bermuka hitam itu memijat-mijat 
pergelangannya yang terasa bagaikan remuk. Bibir-nya yang 
tebal dan juga berwarna hitam itu men-desis-desis persis 
seperti orang yang habis makan sambal pedas. 
Sementara itu, di samping laki-laki yang ber-nama Gayana 
telah berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tinggi tegap. 
Wajahnya yang kokoh tam-pak menyiratkan kejantanan. 
Sedangkan sepasang matanya mencorong tajam, menatap si 
muka hitam dan kawan-kawannya. Pemuda itu tak lain adalah 
Sanjaya, yang telah turun tangan menolong Gayana. 
"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau anggota Suku 
Gandas?!" Bentak si muka hitam galak. Suaranya terdengar 
berat dan parau. Sepasang matanya yang lebar dan besar itu 
bagaikan hendak melompat keluar merayapi wajah Sanjaya. 
Sedangkan delapan orang kawan si muka hitam sudah 
bergerak mengepung kedua orang itu. Wajah mereka tampak 
buas menyiratkan nafsu mem-bunuh. Senjata mereka yang 
berbentuk tombak, teracung lurus ke arah Sanjaya dan Gayana. 
"Hm.... Aku adalah Sanjaya. Dan aku sama-sekali tidak 
mengenal Suku Gandas. Tapi, aku ada-lah orang yang paling 
tidak suka melihat kekejaman bertangsung di depan mataku," 
sahut Sanjaya yang menjadi marah melihat kekejaman orang-
orang itu. 
"Bunuh mereka!" Perintah si muka hitam yang sudah 
kehilangan kesabaran itu. 
Setelah berkata demikian, si muka hitam memu-ngut 
senjatanya yang tidak jauh dari tempatnya ber-diri itu. 
"Yaaa...!" 
Dengan sebuah teriakan parau, delapan orang laki-laki 
berwajah menyeramkan itu melompat dan menari-nari

mengettlingi kedua orang itu. Mereka terus berlarian mengitari 
Sanjaya dan Gayana sam-bil mengeluarkan teriakan-teriakan 
parau. 
Sanjaya terkejut melihat gerakan yang masih asing baginya 
itu. Sehingga tanpa sadar tubuhnya berputar mengikuti arah 
putaran ke delapan orang itu. Pemuda itu semakin terkejut 
ketika kepalanya terasa pusing melihat gerakan-gerakan 
delapan orang itu. 
Sementara itu gerak melingkar yang dibuat delapan orang 
suku liar itu tampak semakin mengecil. Gerakan berputar 
mereka semakin cepat dan ber-ubah-ubah arah. 
"Hm.... Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sepertinya 
sengaja mengaburkan pandangan lawan," gumam Sanjaya 
mulai mengerti. 
Kini Sanjaya tidak lagi berputar seperti semula, dan hanya 
berdiri tegak sambil memejamkan mata-nya. Sepertinya dia 
ingin menggunakan indra pen-dengaran untuk menghadapi 
kedelapan orang suku liar itu. 
Wut! Wut...! 
"Heaaa...!" 
Sambil terus berteriak-teriak ribut, delapan orang itu mulai 
menusuk-nusukkan ujung tongkat-nya. Sehingga keadaan dl 
tempat itu semakin ribut Tapi sampai sejauh itu, mereka hanya 
menggerak-gerakkan tombak tanpa berniat menyerang. 
Sanjaya cukup terkejut juga melihat gaya penyerangan suku 
liar itu. Teriakan-teriakan dan tusukan tombak membuat 
pemuda gagah itu memutar tubuhnya sambil tetap 
memejamkan mata, namun kemudian indra pendengarannya 
semakin dipertajam.

"Heaaa...!" 
Wut! 
Sebatang tombak meluncur dari sebelah kanannya. Pemuda 
itu mengelak sambil memutar langkah kaki mendekati lawan. 
Tangan kanannya terayun deras mencari sasaran. 
Bukkk.,1 
"Aaah...!" 
Kepalan tangan kanan Sanjaya tepat menghan-tam lambung 
salah seorang, sehingga sampai ber-teriak kesakitan. Seketika 
tubuhnya terpental ke belakang. Orang yang menyerang itu 
langsung jatuh pingsan tanpa ingat apa-apa lagi, karena 
pukulan yang dilancarkan Sanjaya memang sangat dahsyat 
mengandung tenaga dalam tinggi. 
Setelah menjatuhkan salah seorang lawannya, tubuh 
Sanjaya berkelebat cepat ke arah dua orang di sebelah kirinya. 
Plak! Plak! 
"Aaa...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang itu lang-sung 
terpelanting akibat tamparan telapak tangan pemuda itu. Darah 
seketika mengucur dari mulut mereka yang menjadi bengkak-
bengkak. 
Wut! Wut..! 
Tubuh Sanjaya melenting ketika empat batang tombak 
mengincar dari belakang. Cepat bagai kilat, pemuda itu 
menukik turun tak ubahnya seekor elang menyambar anak 
ayam. 
Desss! Bukkk! Desss...!

Keempat orang suku Bar itu langsung berjatu-han akibat 
tamparan dan tendangan Sanjaya. Amu-kan pemuda gagah itu 
benar-benar membuat lawan-lawan terkejut. 
Lawannya yang tinggal seorang hanya berdiri tanpa berani 
menyerang. Wajahnya terlihat pucat bagai melihat hantu di 
siang bolong. 
"Keparat! Kubunuh kau...!" Si muka hitam ma-rah bukan 
main melihat anak buahnya berjatuhan hanya beberapa 
gebrakan saja. Kalau saja tidak disaksikan dengan mata kepala 
sendiri, mungkin ia tidak akan mempercayainya. 
*** 
ENAM


"Yeaaat..!" 
Disertai teriakan parau, tubuh gemuk dan ber-perut buncit 
itu melesat sambil mengibaskan senjata di tangannya. 
Meskipun gerakannya terlihat aneh, namun sambaran angin 
pedangnya cukup kuat dan berbahaya. 
"Hm.... Sepertinya orang bermuka hitam ini mempunyai 
tenaga dalam tinggi," gumam Sanjaya begitu melihat gerakan-
gerakan si muka hitam yang aneh dan kaku. 
Wut! Wut..! 
Sanjaya hanya meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari 
serangan si muka hitam. Gerakan-gerakannya diartjkan si muka

hitam bagai tengah mengejeknya. Tentu saja kemarahannya 
semakin berkobar. 
Bet! 
Pukulan Sanjaya berhasil dielakkan si muka hitam dengan 
menarik mundur wajahnya. Tapi sa-yang, gerakannya kalah 
cepat. Dia tidak sempat lagi melihat ayunan kaki Sanjaya 
menjegal kakinya. 
"Aaa...!" 
Brug! 
Tubuh tambun itu kontan terbanting jatuh ke-tika kedua 
kakinya tersepak kaki pemuda itu. Na-mun, ternyata si gendut 
itu cukup gesit. Tubuhnya langsung melenting bangkit seketika 
itu juga, tapi lagi-lagi harus menelan pil pahit. Karena saat itu 
juga telapak kaki Sanjaya telah mendarat di dada-nya. 
Bukkk! 
"Hughk...!" 
Tendangan telapak kaki Sanjaya yang dialiri tenaga dalam 
yang tinggi itu membuat tubuh gendut itu terpental beberapa 
tombak ke belakang. Darah segar langsung memercik dari 
mulutnya. Debu me-ngepul ketika tubuh gendut itu terbanting 
keras di atas.tanah. 
"Uhhh...!" 
Sambil mendekap dadanya yang terasa remuk, si muka 
hitam merangkak bangkit Wajahnya yang hitam tampak 
semakin gelap. 
"Lari...!" Seru si muka hitam sambil berbalik meninggalkan 
tempat itu. 
"Eh, oh...!"

Kawannya yang tinggal seorang itu kebingungan melihat 
pemimpinnya melarikan diri. Sejenak kepa-lanya menoleh ke 
arah Sanjaya dan Gayana. Begitu melihat kedua orang itu sama 
sekali tidak bergerak, maka ia pun segera mengambil langkah 
seribu. 
"Marilah kau kuantar pulang, Paman," ajak Sanjaya sambil 
menolong Gayana bangkit. 
"Terima kasih, Kisanak. Nanti pun suku mereka akan datang 
untuk mengurusnya," ucap Gayana ketika melihat pemuda 
penolongnya merasa bingung dengan tujuh sosok tubuh yang 
bergeletakan itu. 
"Hm..., baiklah. Mari, Paman," ajak Sanjaya sambil memapah 
tubuh tinggi kurus itu. Keduanya kini segera meninggalkan 
tempat itu. 
*** 
Kedatangan Gayana dan Sanjaya langsung disambut hangat 
oleh Kepala Suku Gandas. Apalagi setelah Gayana menceritakan 
bagaimana sepak ter-jang pemuda penolongnya itu. Maka, 
semakin ber-tambah kagumlah orang-orang yang 
mendengarnya. 
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. 
Perkenalkan. Aku, Galira yang menjadi Kepala Suku Gandas," 
jelas kakek tinggi besar yang bercambang bauk lebat itu. 
Suaranya yang besar dan berat menggema ke sekitar tempat 
itu. 
"Namaku Sanjaya. Dan aku hanya kebetulan le-wat saja 
ketika melihat Paman Gayana dikeroyok orang-orang liar itu,"

sahut Sanjaya memperkenal-kan diri. Memang, pemuda itu 
sudah pula ber-kenalan dengan Gayana selagi dalam 
perjalanan. 
"Ha ha ha...! Ini, Anakku. Namanya Garlih. Dia hendak 
diambil oleh orang tua gila Suku Mogula itu. Kau lihatlah, Anak 
Muda. Siapa orangnya yang sudi menyerahkan anak gadisnya 
yang secantik ini kepada tua bangka Mogul yang sudah dekat 
liang kubur itu?" Tegas Galira lalu sambil wajahnya diarahkan 
ke wajah anak gadisnya yang canfik itu. 
Wajah anak Kepala Suku Gandas yang bernama Garlih itu 
tampak memerah karena malu mendengar perkataan ayahnya. 
Namun meskipun demikian, hatinya merasa bangga dipuji-puji 
didepan seorang pemuda gagah seperti Sanjaya. Sepasang 
matanya tampak mengerling penuh arti. Namun hanya se-kilas, 
tidak ada yang sempat memperhatikannya. 
Terus terang, Sanjaya sebenarnya sempat ter-getar hatinya 
melihat kecantikan putri Kepala Suku Gandas itu. Namun, 
cepat-cepat dibuangnya pikiran itu jauh-jauh ketika teringat 
akan tujuannya semula. 
Dan kini Kepala Suku Gandas mengajak Sanjaya masuk ke 
dalam rumahnya yang hanya terbuat dari atap rumbia itu. 
Kakek tinggi besar itu masih saja tertawa-tawa gembira. 
"Sanjaya. Kalau kau memang berniat untuk me-nolong kami, 
janganlah tanggung-tanggung," ujar Galira setelah mereka 
duduk mengitari sebuah meja dari kayu pohon jari hitam. Tawa 
kakek itu Ienyap ketika mengucapkan kata-kata itu. 
"Apa maksud Kepala Suku?" Tanya Sanjaya yang belum 
mengerti, ke mana arah pembicaraan orang tua itu. 
"Hm.... Begini, Anak Muda. Meskipun kami adalah suku-suku 
liar, tapi kami memegang teguh pera-turan nenek moyang.

Mogul, sang Kepala Suku Mogula adalah orang terkuat di antara 
suku yang banyak di daerah ini. la menginginkan putriku untuk 
dijadikan istrinya yang kelima. Dan terus terang, aku sendiri 
tidak mungkin mampu menyela-matkan putriku apabila dia 
datang menyerbu suku kami yang kecil ini. Tapi, ada satu 
peraturan yang tidak bisa dibantah suku-suku mana pun di 
dunia ini. Yaitu, apabila anakku mempunyai seorang Ksatria 
yang dapat melindunginya, maka Kepala Su-ku Moguta akan 
mengalah. Tentu saja, setelah sang Ksatria itu dapat 
mengalahkannya. Nah! Bagaimana pendapatmu, Anak Muda?" 
Tanya Galira menutup keterangannya. 
Pucat wajah Sanjaya ketika mendengar ketera-ngan Kepala 
Suku Gandas itu. Tentu saja pemuda itu tahu, apa yang 
dimaksudkan sebagai pelindung. Sanjaya bukan tidak tertarik 
dengan putri kepala suku yang memang cantik itu, tapi 
memang benar-benar tidak berpikir sampai di situ. 
Kepala Suku Gandas pun berubah wajahnya. Tawanya tidak 
lagi terdengar. Dan senyumnya pun hilang seketika. Ditatapnya 
wajah pemuda di depan-nya yang belum dapat menghilangkan 
keterkejutan-nya. 
"Anak muda. Apakah putriku kurang cantik! Ataukah kau 
lebih suka kalau putriku itu kuberikan kepada bandot tua gila 
itu?" Tanya Galira yang membuat Sanjaya semakin 
kebingungan. 
"Bukan begitu maksudku. Tapi... Tapi masih ba-nyak tugas 
yang harus kulaksanakan. Dan.... Dan aku belum berpikir ke 
arah itu," akhirnya Sanjaya dapat juga mengeluarkan suaranya 
meskipun agak tersendat 
"Hm.... Baiklah. Sekarang kau boleh pilih. Bersedia menjadi 
pelindung putriku, atau tinggalkan kami. Biarlah kalau memang

sudah demikian nasib putriku," Galira mengakhiri penjelasannya 
dengan helaan napas berat. 
'Tapi, aku benar-benar belum bisa menjawab-nya, Ki," sahut 
Sanjaya dengan suara perlahan Bah-kan nyaris tak terdengar. 
Tiba-tiba saja telinga Sanjaya menangkap suara isak yang 
ditahan. Hati pemuda itu menjadi tere-nyuh karena tahu, siapa 
yang mengeluarkan isak tangis itu. Siapa lagi kalau bukan isak 
tangis Garlih yang rupanya ikut mendengarkan pembicaraan 
me-reka dari kamarnya. 
"Ibu..., aku ingin mati saja...!" Ratap suara mer-du itu lirih 
dan sangat menyentuh perasaan. 
"Garlih, mau ke mana kau?!" Seru suara seorang wanita lain 
agak keras. Terdengar suara dua orang yang tengah berlari. 
Sanjaya terpukul hatinya mendengar isak tangis dan ucapan 
yang menyentuh perasaan itu. Tanpa berpikir panjang lagi, 
tubuhnya segera berkelebat mengejar Garlih yang pasti tengah 
berlari menuju hutan. 
"Garlih, tunggu...!" teriak Sanjaya. 
Pemuda itu tiba di belakang rumah dan melhat sesosok 
tubuh ramping berlari sambil menutup wa-jahnya. Kemudian, 
tubuhnya melompat dan ber-putar tiga kali di udara. 
"Ohhh...!" Garlih menutup mulutnya menahan seruan ketika 
tahu-tahu saja pemuda gagah itu telah berdiri tegak di 
hadapannya. 
"Garlih. Aku akan suka menjadi pelindungmu. Tapi, tugasku 
harus dilaksanakan lebih dulu. Bagaimana?" Tegas Sanjaya 
yang merasa tak tega untuk membiarkan wanita cantik itu 
menderita.

"Sungguh...?" Tanya suara merdu itu dengan pandangan 
ragu. Sepasang mata itu demikian jernih dan lembut sehingga 
membuat darah Sanjaya ber-desir seketika. 
'Tentu..," sahut Sanjaya. Suara pemuda itu agak serak 
karena perasaan terguncang melihat kecanti-kan putri kepala 
suku itu. 
Dengan lembut, Sanjaya menyentuh bahu gadis itu, lalu 
membawanya kembali kepada orang tua-nya. Mereka 
melangkah perlahan-lahan tanpa ada yang bersuara lagi. 
Kini mereka telah kembali duduk di dalam rua-ngan rumah 
itu. Kemudian Sanjaya segera meng-utarakan syaratnya. Dan 
ternyata, Kepala Suku Gandas itu menyetujui usul yang 
diajukan Sanjaya. 
Sejenak suasana menjadi hening, namun isak tangis Garlih 
sesekali masih terdengar. Dan belum lagi mereka bersuara, 
mendadak di luar terdengar suara ribut-ribut, seperti ada orang 
bertengkar mulut. 
Tiba-tiba salah seorang anak buah Galira me-langkah masuk 
tergesa-gesa dan melaporkan kalau Mogul telah datang 
bersama seluruh prajuritnya. Galira, Sanjaya, dan yang lainnya 
langsung tersen-tak kaget Tanpa banyak cakap lagi, mereka 
bergegas berlari keluar. 
Tampak didepan halaman rumah Kepala Desa Gandas, 
puluhan orang Suku Mogula telah berbaris rapi, dan bersenjata 
lengkap. Berada palingdepan, tampak Mogul dengan pakaian 
kebesarannya di atas punggung kuda. 
"Hei, Galira! Serahkan putrimu atau kubumihanguskan 
seluruh perkampungan Suku Gandas ini!" ancam Mogul dengan 
suara lantang.

Tidak bisa, Mogul! Putriku telah mempunyai seorang 
pelindung. Jadi kalau kau ingin memliki-nya, kau harus 
mengalahkan pelindung putriku dulu!" sahut Galira, tak kalah 
keras. 
Tidak terdengar sahutan ketika Galira mengata-kan hal itu. 
Terlihat Mogul melompat turun dari atas punggung kuda, 
kemudian kakinya melangkah lebar menghampiri. 
Mogul menghentikan langkahnya beberapa tombak di 
hadapan Galira. Wajahnya yang buruk dan dipenuhi cambang 
bauk itu tampak menyiratkan kekejaman. 
"Aku menantang orang yang menjadi pelindung putrimu itu 
untuk bertarung secara ksatria. Seka-rang, mana orangnya?! 
Ingin segera kuhirup darah-nya!" kata Mogul dengan suara 
berat. 
"Akulah orangnya! Aku siap menerima tanta-nganmu, 
Mogul," sahut Sanjaya sambil melangkah ke tengah arena, 
dengan sikap tenang. 
"Hm.... Kaukah yang telah melukai anak buah-ku, Anak 
Muda?" Tanya Mogul, sinis. Namun sepa-sang matanya 
menatap tajam ke arah Sanjaya. 
"Benar! Akulah yang telah melukai orang-orang-mu," jawab 
Sanjaya tenang tanpa kegentaran sedikit pun. 
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah!" desis Mogul geram. 
Setelah berkata demikian, senjatanya dicabut. Pedang 
panjang dan lebar itu kini telah disilangkan di depan dada. 
"Aku sudah siap!" sahut Sanjaya sambil melolos-kan 
senjatanya yang membelit pinggang. 
Sanjaya terpaksa mengeluarkan senjatanya ka-rena telah 
diberi tahu Galira kalau lawannya benar-benar tangguh. Karena

kalau dilawan dengan ta-ngan kosong, akan berarti penghinaan 
bagi Mogul. 
"Saaat..!" 
Mogul berteriak keras sambil mengayunkan sen-jatanya 
hingga menimbulkan suara angin menderu. 
 WuH Wut..! 
Sanjaya menggeser kaki sambil mengibaskan senjatanya 
dengan kecepatan kilat Pemuda itu juga sudah diberi tahu 
kalau harus memberi perlawanan pada Mogul dan tidak boleh 
selalu mengelak. Maka Sanjaya segera mengerahkan senjata 
untuk menye-rang Mogul. Lebih cepat menjatuhkan lawan, 
akan lebih terhormat. Itulah yang dikatakan Galira. 
Trang! 
"Uhhh...!" 
Mogul terjajar mundur dengan wajah pucat ketika senjata 
mereka bertumbukan keras. Hampir saja Mogul tidak 
mempercayai dengan apa yang di-alaminya itu. la yang terkenal 
sebagai orang terkuat di antara para kepala suku, ternyata 
dapat diimba-ngi pemuda asing itu. 
"Gila!" umpat kakek bertubuh tinggi besar itu penasaran. 
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap. Ia benar-benar 
merasa dipermalukan di hada-pan rakyatnya. 
"Grrrh...!" 
Sambil menggereng keras, Mogul kembali me-lompat 
menerjang. Senjatanya terayun deras karena seluruh tenaga 
dalamnya langsung dikerahkan. Sementara itu, semua orang 
yang hadir di situ hanya bisa menahan napas dan menyangka 
kalau tubuh pemuda gagah itu akan hancur oleh sabetan 
pedang Kepala Suku Mogula itu.

"Ohhh...!" 
Garlih yang tak kuasa melihat, langsung me-nutup wajahnya 
sambil menahan jerit. Wajah gadis cantik itu seketika pucat 
melihat pemuda yang telah mencuri sekeping hatinya terancam 
bahaya. Hampir saja ia berlari ke tengah arena kalau tidak 
keburu dicegah ayahnya. 
Sanjaya yang sudah dapat menebak kalau ke-pala suku liar 
itu hanya mempunyai tenaga luar yang besar, tidak menjadi 
gentar karenanya. Sera-ngan Mogul yang terlihat cepat dan 
ganas, masih terlalu lambat baginya. Pemuda itu hanya 
menekuk lutut sambil merendahkan kepala ketika serangan 
lawan tiba. Kemudian, secepat kilat kakinya men-celat 
menghantam dagu lawan. 
Dug! 
"Aaargh...!" 
Mogul mengerang kesakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu 
langsung ambruk begitu dagunya terkena tendangan Sanjaya. 
Meskipun bibimya tam-pak mengeluarkan darah, namun ia 
bergegas bang-kit dan kembali menyerang. Kali ini kakek itu 
meng-gunakan kepalannya yang sebesar kepala bayi untuk 
menyerang. Karena, senjatanya telah terjatuh pada waktu 
terkena tendangan tadi. Dan memang, sudah menjadi adat 
suku-suku liar kalau tidak di-perbolehkan mengambil senjata 
apabila telah ter-jatuh. Apabila diambil juga, maka sama saja 
meng-hina dirinya sendiri. 
Wut! Wut! 
Dua buah pukulan yang keras melayang meng-ancam tubuh 
Sanjaya Pemuda itu temyata juga mengetahui kalau tubuh 
Mogul sangat kuat Maka segera tenaga dalamnya dikempos.

Dan dengan sebuah gerakan yang hampir tidak terlihat, tangan 
kiri Sanjaya bergerak menangkis. 
Plak! Plak! 
"Uhhh...!" 
Mogul terjajar mundur sambil menahan rasa nyeri pada jari-
jari tangan yang terkena tangkisan pemuda itu. Dan sebelum 
dirinya sempat terkuasai, tahu-tahu sebuah tendangan keras 
dan pukulan telapak tangan lawan telak menghantam dada dan 
perutnya! 
Bug! Des! 
"Hughk...!" 
Darah segar seketika menyembur dari mulut ka-kek raksasa 
itu. Tubuhnya jatuh berdebum hingga menimbulkan kepulan 
debu yang cukup tinggi. Kali ini Kepala Suku Mogula itu tak 
mampu untuk bangkit kembali. 
"Horeee...!" 
Galira dan para pengikutnya berteriak gembira sambil 
bertepuk tangan. Bukan main bangganya hati orang-orang 
Suku Gandas menyaksikan keme-nangan Sanjaya yang tidak 
disangka-sangka. 
Tanpa malu-malu lagi, putri Kepala Suku Gan-das itu segera 
berlari dan memeluk tubuh Sanjaya. Diciuminya wajah pemuda 
itu karena kegembiraan yang meluap-luap. Sepertinya dia tidak 
peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Tampak air mata 
bahagia mengalir membasahi pipi yang halus itu. 
Sementara para anggota Suku Mogula bergegas mengangkat 
tubuh kepala sukunya dan membawa-nya pergi. Pertarungan 
tadi sama sekali tidak me-nimbulkan dendam di hati mereka, 
sebab berlang-sung jujur dan sangat dijunjung tinggi

Galira, Sanjaya, Garlih dan para anggota Suku Gandas pun 
masuk kembali ke rumah besar milik kepala suku itu. Sebab 
mulai saat ini, suku mereka-lah yang paling dihormati oleh 
suku-suku lain. Dan sekaligus, Suku Gandas menjadi penguasa 
bagi suku-suku liar lainnya. 
"Karena tugasku telah selesai di tempat ini, maka mohon 
pamit sekarang, Paman," kata Sanjaya ketika telah berada di 
tengah-tengah keluarga Ga-lira. 
Dan ia pun telah memanggjl kakek itu dengan paman. 
"Mengapa begitu terburu-buru, Sanjaya? Tidakkah sebaiknya 
kau mendampingi anakku dahulu?" pinta Galira, agak berat 
melepas kepergian pemuda gagah itu. 
"Maaf, Paman Sebelum hutang nyawa guruku terbalas, 
apakah patut kalau aku bersenang-senang? Percayalah, Paman. 
Begitu tugasku selesai, aku akan segera kembali ke sini," janji 
Sanjaya, mantap. 
Karena memang sudah berjanji sebelumnya, maka meskipun 
dengan berat hati, akhimya mereka melepaskan kepergian 
pemuda itu. Sementara itu Galira membekalinya seekor kuda 
yang indah dan kuat untuk mempercepat perjalanan pemuda 
itu. Sanjaya kini siap berangkat setelah mendapatkan sedikit 
petunjuk dari Kepala Suku Gandas. 
*** 
TUJUH


Seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita tengah 
mengayunkan langkah memasuki mulut sebuah desa. Beberapa
pasang mata menatap penuh kagum ke arah pasangan yang 
serasi itu. Bahkan beberapa pemuda menatap penuh iri kepada 
pe-muda tampan itu. 
"Ah! Kalau aku mempunyai istri secantik dia, tentu tidak 
akan kubiarkan tertidur," desah seorang pemuda berwajah 
kehitaman karena terlalu sering terkena sinar matahari. 
"Eh, mengapa begitu?" Tanya temannya sete-ngah berbisik, 
seraya memandang heran wajah kawannya. 
'Tentu saja, agar aku dapat mencumbunya se-panjang 
malam," sahut pemuda berwajah kehitaman sambil tersenyum 
memperlihatkan giginya yang ke-hitaman. 
"Ah, dasar otak kotor!" Maki kawannya juga tersenyum. 
"Lagi pula, mana mungkin orang sepertimu bisa mendapat istri 
cantik seperti bidadari itu?" 
Sementara dua orang yang mereka bicarakan terus saja 
mengayun langkahnya tanpa mempeduli-kan pandangan 
penduduk desa itu. Mereka terus melangkah mendekati sebuah 
kedai makan. 
Brukkk! 
"Aduhhh...!" 
Pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpa-kaian serba 
hijau itu menahan langkahnya. Karena, dari dalam sebuah 
rumah yang akan dilewati, tiba-tiba sesosok tubuh terlempar 
keluar dan tersuruk persis di depan kaki mereka. 
Sambil mengaduh kesakitan, orang itu bergegas bangkit. 
Tanpa melihat kanan-kiri, orang itu kem-bali melangkah masuk. 
"Kembalikan anakku! Akan kubayar seluruh hu-tang-
hutangku!" Teriak laki-laki setengah baya itu serak. Ia berusaha 
melangkah masuk meskipun ter-pincang-pincang.

"Hm.... Dengan apa kau akan membayar hutang-hutangmu, 
Lengga? Seluruh sawahmu sudah habis tergadai. Lalu, dari 
mana akan mendapatkan uang, hah?!" Sahut seorang laki-laki 
berwajah kasar dan bopeng. Bergegas orang itu menghadang 
didepan pintu untuk menghalangi jalan orang yang dipanggil 
Lengga itu. 
"Aku berjanji akan melunasinya dalam minggu ini juga, 
asalkan anak gadisku kau kembalikan!" Pinta Lengga tetap 
hendak memaksa masuk. 
"Hei! Dengar, Orang Gila Judi! Kau boleh meng-ambil anak 
gadismu setelah seluruh hutangmu dilu-nasi. Nah, sekarang 
pergilah sebelum aku meng-gunakan kekerasan," sahut laki-laki 
bopeng itu pe-lan namun mengandung ancaman yang tidak 
main-main. 
"Huh! Bagaimana bisa kupercayai kalau anakku berada 
dalam tangan majikanmu yang mata keran-jang itu?" Bantah 
Lengga yang masih juga bersi-keras hendak mengambil 
anaknya. 
"He he he.... Jangan khawatir. Majikanku tentu akan suka 
mengembalikannya setelah.... He he he...! Sayang kan kalau 
anak gadismu yang manis itu di-diamkan begitu saja," sahut si 
bopeng seraya ter-kekeh serak. 
"Bajingan!" maki Lengga marah. 
Tentu saja laki-laki itu mengerti apa yang dimak-sudkan si 
muka bopeng. Tanpa mempedulikan orang itu, Lengga pun 
menerobos masuk. 
"Heit! Mau ke mana kau...?" Ejek si bopeng sam-bil 
menangkap lengan Lengga dan menyeretnya ke luar. "Lebih 
baik pergilah, Lengga. Jangan sampai aku berbuat kejam 
kepadamu!"

Nampaknya kesabaran orang bopeng itu sudah mulai hilang. 
Dengan gerakan kasar, didorongnya tubuh Lengga hingga 
kembali terjerembab ke tanah. 
"Bangsat!" Maki Lengga dengan wajah merah. 
Begitu bangkit, Lengga langsung mengayunkan tinjunya ke 
wajah si bopeng. Rupanya laki-laki setengah baya itu cukup 
mengerti tentang ilmu silat. Ini terlihat dari pukulannya yang 
tampak terarah dan cukup berisi. 
"Uts!" 
Si muka bopeng memiringkan wajahnya sehingga serangan 
itu pun tidak mengenai sasaran. Dan dengan cepat tangannya 
terayun menampar wajah Lengga. 
Plak! 
"Aaah...!" 
Rupanya kepandaian si muka bopeng itu jauh lebih tinggi 
dari Lengga. Akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu 
melintir. Untunglah sepasang ta-ngan kokoh telah menahan 
tubuhnya sehingga tidak kembali terbanting. 
Lengga menoleh melihat orang yang telah meno-longnya itu. 
Temyata dia adalah seorang pemuda tampan berjubah putih 
yang kemudian tersenyum tenang kepadanya. Di sampingnya, 
tampak seorang gadis jelita. 
"Sabarlah, Paman. Apa sebenarnya yang ter-jadi?" Tanya 
pemuda tampan itu tanpa melepaskan senyumnya. 
Lelaki setengah baya yang bernama Lengga me-lepaskan 
pegangan pemuda jubah putih itu. Tanpa menjawab sepatah 
kata pun, Lengga kembali mener-jang si muka bopeng. Kali ini 
golok yang tergantung di pinggangnya telah dicabut. 
"Heaaat..!"


Wuk! Wuk..! 
Si muka bopeng menggeser tubuhnya menghin-dari bacokan 
yang bertubi-tubi itu. Begitu melihat pertahanan lawannya 
terbuka, tangan dan kakinya langsung bergerak menghantam 
tubuh Lengga. 
Buk! Des! 
"Hukkkh...!" 
Tubuh Lengga kontan terbungkuk menerima hantaman pada 
perutnya, dan langsung terjungkal ketika tendangan lawan 
mendarat di tubuhnya. Darah segar muncrat membasahi 
permukaan tanah. 
"Hm...," kembali sepasang tangan pemuda berjubah putih itu 
menyambar tubuh Lengga hingga tidak sempat terjatuh. 
"Lepaskan penjudi tua tak tahu adat itu, Ki-sanak. Biar 
kuhajar dia sampai kapok!" Pinta si muka bopeng yang sudah 
melangkah maju meng-hampiri Lengga. 
"Hm.... Berapa banyak hutang bapak ini, Kisanak?" Tanya 
pemuda berjubah putih itu tanpa mem-pedulikan seruan si 
muka bopeng. 
"He he he...! Apakah kau akan membayarkan hutang-
hutangnya?" Tanya si muka bopeng menye-ringai. 
Laki-laki itu kemudian menyebutkan sejumlah uang yang 
membuat beberapa penduduk yang me-nyaksikan kejadian itu 
menggelengkan kepalanya. Karena, jumlah yang disebutkan si 
bopeng sangat besar bagi ukuran para petani. 
"Hm.... Ambillah uang ini. Dan, kembalikan anak gadis bapak 
ini," kata pemuda berjubah putih itu sambil melemparkan 
sekantung uang yang jumlah-nya melebihi hutang-hutang 
Lengga.

"He he he...! Tidak semudah itu, Kisanak. Kau harus 
menebus gadis itu dengan dua kantung uang," sahut si muka 
bopeng sambil tersenyum licik. Ditimang-timangnya uang 
pemberian pemuda itu. 
"Keparat! Kalau itu kemauanmu, terimalah ini!" Bentak gadis 
jelita berpakaian serba hijau yang ber-diri di samping pemuda 
itu. 
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu segera melesat 
sambil melakukan tamparan yang menim-bulkan angin 
menderu. 
Wut! 
"Eh!" 
Si muka bopeng terkejut melihat serangan itu. Cepat-cepat 
tubuhnya dilempar ke belakang karena tamparan itu demikian 
cepat datangnya. Setelah berputar sebanyak tiga kali di udara, 
tubuhnya pun melayang turun sejauh dua tombak didepan 
gadis jelita itu. 
Namun sayang si muka bopeng terlalu memandang ringan 
lawan yang hanya seorang gadis muda. Dan ketika gadis itu 
melesat cepat, sama sekali tak disadari. Sehingga ia terpaksa 
harus menerima sebuah tamparan yang keras pada wajahnya, 
ketika tangan gadis Itu bergerak cepat tak terhindari. 
Plak! 
"Aduhhh...!" 
Si muka bopeng menjerit kesakitan ketika tela-pak tangan 
yang halus itu hinggap di wajahnya. Tubuhnya langsung 
terpelanting ke belakang dan bibirnya pecah mengeluarkan 
darah. Sinar matanya memancarkan kebingungan, seolah-olah 
tidak per-caya dengan apa yang dialaminya itu. Si muka

bopeng benar-benar tak habis mengerti, bagaimana tahu-tahu 
gadis itu telah berada di depannya. 
"Jawablah. Apakah bayaran itu masih kurang?!" Tanya gadis 
jelita berpakalan hijau itu dengan pan-dangan galak. 
"Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Apakah dikira aku 
sudah kalah? Lihatlah, apakah kau ma-sih bisa menamparku 
sekeras tadi! Atau sebaliknya, malah akan mengelus-elus mesra 
wajahku!" Tan-tang si bopeng yang rupanya belum menyadari 
kelihaian gadis berpakaian serba hijau itu. Orang itu rupanya 
merasa kalau tamparan tadi bukanlah karena kelihaian si gadis, 
melainkan karena dirinya terlalu menganggap remeh. 
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Ko-tor!" Bentak 
gadis itu marah. Tapi sebelum sempat menyerang, sebuah 
tangan menahan gerakannya. 
"Sabarlah, Kenanga. Kita cari jalan damai saja," bujuk si 
pemuda berjubah putih. 
Gadis jelita yang memang Kenanga itu memandang pemuda 
berjubah putih dengan wajah cem-berut. Pemuda itu memang 
tak lain dari Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih. 
'Tidak, Kakang. Orang itu telah berani mengeluarkan kata-
kata yang menghinaku. Maaf, Kakang. Biarlah kali ini aku 
menyelesaikannya terlebih da-hulu," bantah Kenanga Gadis itu 
segera melepaskan tangannya dan melangkah menghampiri si 
bopeng. 
"He he he...!" Si muka bopeng terkekeh mem-besarkan 
hatinya. 
"Nah! Kau terima hukuman atas kekurang-ajaranmu itu!" 
tegas Kenanga ketus. Sesaat kemu-dian, tubuh ramping itu pun 
melesat dengan kece-patan yang sulit ditangkap mata biasa.

Orang bermuka bopeng yang telah siap mengha-dapi gadis 
itu, segera menggeser tubuhnya ke sam-ping. Sepasang 
tangannya bergerak cepat untuk me-mapak serangan itu. 
Namun, kali ini pun ia harus kembali menelan pil pahit. Sebab 
begitu melancar-kan serangan balasan, tahu-tahu tubuh lawan 
telah berpindah ke sebelah kirinya. Dan.... 
Plak! Buk! 
"Aaahk...!" 
Sebuah tamparan keras menghantam pipi si muka bopeng. 
Dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, sebuah 
pukulan telak telah ber-sarang di lambungnya. Tubuh orang itu 
pun terpen-tal keras tanpa ampun, dan langsung tersuruk di 
tanah. 
SI muka bopeng merangkak bangkit sambil mering-s 
kesakitan. Wajahnya tampak berlumuran darah, karena 
beberapa buah giginya telah tanggal akibat tamparan yang 
sangat keras itu. 
"Hei, ada apa ini...?!" Tiba-tiba terdengar seru seseorang. 
Seorang laki-laki kurus tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari 
Kenanga sambil memandang dengan alis berkerut. Beberapa 
orang laki-laki bertampang galak tampak menyertainya. 
Rupanya ketika mende-ngar ribut-ribut tadi, para tukang pukul 
rumah judi itu segera menghambur keluar. Dan semuanya 
men-jadi terkejut melihat kawan mereka yang bermuka bopeng 
itu tampak tengah merintih sambil menekap wajahnya. 
Tanpa mempedulikan orang-orang yang baru datang itu, 
Kenanga segera memasukkan kantung uang yang telah 
dirampasnya dari si muka bopeng. Kemudian, pandangannya 
kembali terarah kepada si muka bopeng yang telah dikerumuni

kawan-kawan-nya itu. Kenanga melihat si muka bopeng 
menun-juk-nunjuk dirinya. 
Orang bertubuh kurus itu segera melangkah mendekati 
Kenanga. Sepasang matanya tampak me-mancarkan 
kemarahan. Buku-buku jari tangannya terdengar bergemeletuk 
ketika tangannya dikepal-kan. 
"Siapa dirimu, Nisanak? Mengapa melukai temanku?" Tanya 
si kurus, datar. 
"Mengapa harus bertanya padaku? Tanyakanlah kepada 
temanmu itu?" Sahut Kenanga ketus. Mata gadis jelita itu 
berkilat menantang pandang mata lawan bicaranya itu. 
Bulu kuduk laki-laki kurus itu seketika mere-mang saat 
melihat sinar mata gadis jelita itu yang berkilat tajam. Diam-
diam ia menjadi terkejut. Apa-kah mungkin gadis di 
hadapannya ini memiliki tenaga dalam tinggi hingga mampu 
menyalurkannya melalui mata? 
Panji yang melihat kalau keadaan akan semakin bertambah 
runyam, segera melangkah mendekati Kenanga. Wajah 
Pendekar Naga Putih tetap me-nyunggingkan senyum sabar. 
Kemudian, dengan suara jelas, diterangkannya duduk persoalan 
ke-pada lelaki kurus itu. 
"Hm.... Lebih baik tinggalkan desa ini, Anak Muda. Sebab 
aku tidak akan segan-segan bertindak kasar terhadap orang 
yang usilan sepertimu dan gadis itu!" Ancam orang bertubuh 
kurus. 
"Dengar, Kisanak, Aku akan membayar hutang-hutang orang 
tua itu asalkan kau bersedia mem-bebaskan anak gadisnya 
yang kalian tawan," kata Panji masih mencoba untuk bersabar. 
"Huh! Tidak semudah itu, Kisanak. Selain harus menebus 
gadis yang kami tawan dengan dua kan-tung uang, kau pun

harus membayar kerugian aki-bat luka-luka yang diderita 
kawan kami itu. Bagai-mana?" Sikap sabar Panji ternyata 
semakin mem-buat orang bertubuh kurus itu besar kepala dan 
menekannya. 
"Keparat kau, Tikus Kering! Kau sengaja hendak memeras 
orang muda ini. Dasar tidak tahu malu!" Maki Lengga yang 
menjadi geram mendengar per-mintaan yang diajukan orang 
bertubuh kurus itu. 
"Bedebah kau, Tua Bangka! Rasakan kepalan-ku!" Bentak 
orang itu marah mendengar makian Lengga. 
Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-layang ke 
wajah Lengga. 
Plak! 
"Uhhh...!" 
Orang bertubuh kurus itu terjajar beberapa langkah ke 
belakang ketika tamparannya ditepis oleh telapak tangan 
pemuda berjubah putih. Wajah-nya tampak menyeringai 
kesakitan, karena merasa-kan tangannya tak ubahnya 
membentur besi baja yang keras dan kuat. 
"Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari 
keributan, Anak Muda! Kepung dia!" Perintah si kurus kepada 
lima orang anak buahnya. Seketika kelima orang tukang pukul 
rumah judi itu mencabut senjata masing-masing. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kelima orang 
tukang pukul itu langsung melompat sambil mengayunkan 
senjatanya. 
"Kenanga, mundurlah!" ujar Panji sambil meng-gerakkan 
kakinya ke samping sambil memiringkan tubuhnya.

Kenanga yang semula bemiat menuruti per-kataan Panji, 
terpaksa menahan geraknya. Karena pada saat itu, golok di 
tangan lelaki kurus itu berkelebat mengancam tubuhnya. Cepat 
gadis itu meliukkan tubuhnya sehingga serangan lawan lewat di 
atas kepala. Kemudian, Kenanga menggeser kaki kirinya ke 
samping sambil melepaskan sebuah pu-kulan keras ke lambung 
lawan. 
Wut! 
Orang bertubuh kurus itu bergegas menarik tubuhnya ke 
belakang sehingga pukulan gadis itu tidak mengenai sasaran. 
Namun, begitu pukulannya berhasil dielakkan lawan, tahu-tahu 
kaki kanannya mencelat melakukan tendangan kilat ke arah 
tangan yang me-megang golok. 
Plak! 
"Aaah...!" 
Golok di tangan laki-laki kurus itu langsung terlempar ketika 
tendangan Kenanga tepat menghan-tam pergelangan tangan. 
Belum lagi sempat menya-dari apa yang terjadi, sebuah 
hantaman sisi telapak tangan telah mengenai lambungnya. 
Desss! 
"Hughk...!" 
Terdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut laki-laki 
kurus itu. Tubuhnya kontan terpe-lanting sejauh dua tombak 
Ketika ia tengah ber-usaha bangkit, kembali sebuah tendangan 
meng-hantam wajahnya. Dengan napas satu-satu dan wajah 
berlumur darah, laki-laki kurus itu kini telentang tak berdaya. 
Berbarengan dengan jatuhnya tubuh si kurus, lima orang 
yang menyerang pemuda berjubah putih itu langsung terkejut. 
Mereka yang tengah me-lancarkan serangan bertubi-tubi, tahu
tahu saja ke-hilangan lawannya. Dan sebelum mereka sempat 
menyadarinya, pemuda berjubah putih itu telah ber-diri tegak 
sambil menggenggam lima batang golok. 
"Hah...?!" 
Kelima orang tukang pukul rumah judi itu ter-belalak dengan 
wajah pucat. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana 
senjata-senjata mereka kini telah berada di tangan pemuda itu. 
Mereka hanya sempat melihat bayangan putih itu melayang 
cepat mengintari mereka. 
"Bedebah! Apa kau pikir kami akan gentar dengan ilmu sihir 
pasaranmu itu! Sambutlah ini. Heaaat..!" Teriak salah seorang 
tukang pukul rumah judi itu. 
Tubuh orang itu melangkah ke depan dibarengi pukulan 
yang mengancam tubuh Panji. Rupanya ia belum juga mau 
menyadari kalau pemuda itu telah berbuat baik karena tidak 
melukai mereka. 
Melihat kawannya sudah mulai menyerang, maka keempat 
orang lainnya bergegas menerjang pemuda berjubah putih itu. 
Mereka berteriak-teriak sambil melancarkan pukulan dan 
tendangan. 
Agak kesal juga hati Panji melihat kebandelan para tukang 
pukul itu. Karena, mereka ternyata be-lum juga jera dengan 
apa yang ditunjukkannya itu. 
"Hm.... Aku harus memberi sedikit pelajaran agar mereka 
benar-benar kapok!" Gumam Pendekar Naga Putih perlahan. 
Bet! Bet..! 
Panji menggeser kedua kakinya bergantian un-tuk 
menghindari serangan lima orang pengeroyok-nya itu. Lewat 
dua jurus kemudian, tiba-tiba tubuh pemuda itu berputar dan

langsung melontarkan tamparan-tamparan yang menimbulkan 
deruan angin keras. 
Plak! Plak..! 
"Aduhhh...!" 
"Aaah...!" 
Dibarengi teriakan-teriakan kesakitan, kelima orang itu 
berjatuhan satu persatu. Setelah pipi me-reka masing-masing 
telah membengkak akibat tam-paran Panji. 
"Hm.... Bagaimana? Apakah kalian masih akan meneruskan 
pertarungan ini?" Tanya Panji dengan suara tenang. 
"Ampun.... Kisanak Kami menyerah...!" Ratap sa-lah seorang 
di antara lima tukang pukul itu sambil mengusap-usap 
wajahnya yang membengkak. 
"Nah! Sekarang, tunjukkan di mana anak gadis bapak ini 
ditahan?" Ujar Panji selanjutnya. 
Tanpa berani menentang tatapan Pendekar Naga Putih, 
maka laki-laki itu pun memberitahu di mana putri Lengga 
berada. 
"Kenanga, kau tinggallah di sini. Biar aku dan Ki Lengga yang 
akan mencarinya," kata Panji. 
Setelah berkata demikian, kedua orang itu pun bergegas 
memasuki rumah judi. 
Kenanga hanya mengangguk mendengar permin-taan Panji, 
kemudian memandang kepergian kedua orang itu yang telah 
menghilang di balik pintu rumah judi. 
Tidak berapa lama kemudian, Panji dan Ki Lengga telah 
kembali membawa seorang gadis manis berambut panjang. 
Panji dan Kenanga segera me-ngantarkan kedua orang itu
kembali ke rumahnya. Kepergian mereka diiringi oleh 
pandangan mata penuh dendam dari para tukang pukul rumah 
judi. 
*** 
DELAPAN


"Hei, Lengga, keluar kau! Di mana kau sembu-nyikan 
pemuda sombong itu?! Hayo keluar atau ku-bakar habis 
gubukmu ini!" teriak seseorang. Suara-nya terdengar berat dan 
kasar. 
Panji dan Kenanga yang dipaksa untuk singgah di rumah 
Lengga menjadi terkejut mendengarnya. Pendekar Naga Putih 
bergegas bangkit meninggal-kan hidangan yang tengan 
dinikmatinya. Dia me-langkah ke luar setelah menyuruh yang 
lainnya untuk tetap di tempat. 
“Kalian mencari aku?” Tanya Panji tenang, se-telah berada di 
ambang pintu. 
Sambil menuruni anak tangga yang terdapat di bawah pintu 
rumah, pemuda tampan itu mengerut-kan alisnya ketika 
melihat beberapa orang yang per-nah dicundanginya didepan 
rumah judi. 
“Hm…. Itukah pemuda yang telah mengacau rumah 
judimu?” Tanya salah seorang pemuda berusia sekitar dua 
puluh satu tahun. Jelas sekali terpancar sinar kesombongan 
pada wajahnya.


“Betul, Kakang. Itulah pemuda yang telah meru-sak rumah 
judiku,” sahut laki-laki bertubuh kurus yang wajahnya tampak 
dibalut kain berwama putih. 
“Hm…. Jadi dia masih belum kapok Dan kali ini bahkan 
mengundang beberapa orang jagoan,” gu-mam Panji dalam 
hati. 
“Hei, Kisanak! Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu 
merusak rumah judi milik laki-laki ini?” Tanya pemuda sombong 
itu dengan suara lantang ke arah_s. 
“Aku tidak mempunyai maksud apa-apa selain menolong 
bisa_a yang tengah mengalami kesusa-han. Itu saja,” sahut 
Panji dengan wajah tetap tenang. 
“Hm…. Hebat sekali kata-katamu itu. Sadarkah kau kalau 
akibat perbuatanmu itu berarti telah mencari kesulitan dengan 
kami?” Kembali si pemuda sombong itu berkata keras. Bahkan 
kali ini nada suaranya seperti mengandung ancaman. 
“Oh?! Jadi kalian adalah anjing-anjing peliha-raan cacing 
kurus itu. Berapa kalian dibayar untuk melakukan penyiksaan 
kepada penduduk yang tidak sanggup membayar hutang-
hutang judinya? Tidak-kah kalian sadar kalau perbuatan kalian 
itu sama saja dengan menjerat leher penduduk desa!” Tegas 
Panji tak kalah garang sambil melangkah maju beberapa tindak 
kearah orang-orang itu. 
“Ahhh, tunggu apa lagi! Sumbat saja mulutnya dengan 
kepalan, kan beres!” Pancing salah seorang anak buah pemuda 
sombong itu, seperti tak sabar mendengar mereka saling 
berbantahan. 
‘Ya, tunggu apa lagi?! Tanganku rasanya sudah tidak bisa 
ditahan lagi?” Yang lain ikut menimpali sambil memandang 
Panji dengan mata melotot.

“Hm…. Coba kalian urus dia!” Sahut si pemuda sombong itu 
sambil mengulapkan tangannya tanda tak peduli. 
Begitu mendapat persetujuan dari pemuda sombong itu, 
empat orang kawannya segera melangkah mendekati Panji. 
Dari cara mendekat, jelas sekali kalau mereka sangat 
menganggap remeh Pendekar Naga Putih. Keempat orang itu 
mendekati Panji dengan lagak menakut-nakuti. 
“Hm…. Kau rasailah bogem mentahku ini, Kisanak!” 
Sambil berkata demikian, salah seorang dari mereka 
mengulur tangannya dengan gerakan yang terfihat 
dilambatkan. Dia seolah-olah sengaja ber-buat demikian untuk 
melihat tanggapan pemuda itu. Padahal, laki-laki kurus yang 
memiliki rumah judi itu sudah memperingatkan, namun jelas 
sekali kalau mereka belum mempercayai kelihaian pemuda itu. 
Jelas, mereka terlihat masih memandang remeh pemuda 
berjubah putih itu. 
Went! 
Panji menggeser kaki kanan ke belakang sambil memiringkan 
tubuhnya sedikit Kepalan orang itu lewat beberapa jari didepan 
tubuh Panji. Dengan gerakan yang terlihat sembarangan, 
telapak tangan pemuda itu bergerak ke wajah lawannya. 
Plak! 
“Aduhhh…!” 
Orang itu menjerit kesakitan ketika tangan Panji hinggap di 
wajahnya. Ia benar-benar heran, bagai-mana mungkin 
tamparan itu masih juga mengenai-nya. Karena, saat itu 
wajahnya telah ditarik untuk menghindari tamparan pemuda 
berjubah putih itu.

“Keparat! Kubunuh kau…!” Pekik orang itu marah sambil 
mencabut keluar goloknya. Kemudian dengan kalap Panji mulai 
diterjang dengan samba-ran-sambaran senjatanya itu. 
Wut Wut..! 
Panji menggeser kakinya bergantian sambil meli-ukkan tubuh 
untuk menghindari sabetan golok lawan. Tiga orang lainnya 
sudah pula mencabut senjata masing-masing. Setelah melihat 
seorang telah menerjang kalang-kabut, ketiga orang itu pun 
bergegas mengeroyok Panji. 
Plak! 
“Aaakh…!” 
Salah seorang pengeroyok itu terjungkal akibat hantaman 
telapak tangan Pendekar Naga Putih yang telah menghajar 
lambungnya. Orang itu kontan ter-jengkang pingsan seketika 
itu juga. Rupanya hanta-man pemuda itu terlalu keras baginya. 
Wuk! Wuk! 
Panji merundukkan wajahnya sehingga dua serangan golok 
lawan lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Dan saat itu 
juga kaki kanannya ber-gerak menyabet kaki lawan. Namun 
lawan yang satu ini ter-nyata cukup lihai. Maka cepat-cepat ia 
me-lompat sambil melakukan tendangan ke wajah Panji. 
Zebbb! 
“Uhhh…!” 
Tendangan orang itu hanya menerpa tempat kosong, karena 
Panji telah lebih cepat mengegoskan wajahnya ke kiri. Secepat 
kilat tubuh Panji berputar sambil mengirimkan sebuah 
tendangan ke perut lawannya. 
Desss!

“Hukkk…!” 
Darah menyemprot keluar ketika tendangan Panji telak 
menghajar perut bagian atas lawan. Tu-buh orang itu kontan 
terpental ke belakang hingga beberapa tombak jauhnya, dan 
langsung mengge-letak pingsan tanpa mampu bangkit lagi. 
Lawannya yang tinggal dua orang itu melangkah mundur 
dengan wajah agak memucat. Mereka be-nar-benar tidak 
menyangka kalau pemuda itu dapat merobohkan dua orang 
teman mereka hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal, 
kepandaian kedua orang itu tidak bisa dibilang rendah. Tapi, 
pemuda berjubah putih itu ternyata enak saja menjatuh-
kannya. Seolah-olah, kedua orang itu memang tidak memiliki 
kepandaian yang berarti! 
Wajah si pemuda sombong nampak berubah be-gitu melihat 
kedua orang kawannya dapat dijatuh-kan pemuda berjubah 
putih dengan mudahnya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun 
melayang ke arah Panji. 
“Jangan merasa bangga dulu, Kisanak Sambut-lah 
seranganku ini!” 
Setelah berkata demikian, pemuda sombong itu segera 
melancarkan serangan yang menimbulkan deru angin keras. 
Wut! Wut..! 
Panji melompat mundur menghindari serangan itu. Pendekar 
Naga Putih sempat terkejut melihat kehebatan kecepatan gerak 
lawan. 
“Hm…. Pantas ia begitu memandang rendah orang lain. 
Rupanya ilmu kepandaiannya lumayan juga,” gumam Panji 
sambil mengelak dari tendangan lawan yang mengincar 
perutnya. Secepat kilat dibalasnya serangan lawan dengan 
pukulan telapak tangan bertubi-tubi.

Bet! Bet..! 
Mendapat serangan yang cepat dan bertubi-tubi, pemuda 
sombong itu berlompatan menghindarinya. Cepat tubuhnya 
dilempar ke belakang ketika baru saja dadanya terhantam 
telapak tangan pemuda berjubah putih itu. 
“Hm…. Ternyata kepandaianmu boleh juga, Kisanak!” Puji 
pemuda sombong itu. Namun, dia masih juga menganggap 
kepandaiannya lebih tinggi dari lawannya. “Sekarang tahanlah 
serangan pedangku ini! Haaat..!” 
Wut! Wuk..! 
Pendekar Naga Putih berjungkir balik ke bela-kang ketika 
mendapat serangan beruntun dari lawannya. Diam-diam 
pemuda itu harus mengakui kehebatan ilmu pedang lawan. 
“Hm…!” 
Begitu kakinya menjejak tanah, Panji menyedot udara 
sebanyak-banyaknya. Sesaat kemudian, se-lapis kabut bersinar 
putih keperakan pun mulai me-nyelimuti tubuhnya. 
Wusss! 
Serangkum angin yang sangat dingin berhembus keras 
mengiringi tarikan napas pemuda itu. Dua anak buah pemuda 
sombong dan lelaki kurus yang menyaksikan pertarungan itu 
bergegas menjauh. Mereka memang tak sanggup menahan 
sergapan hawa dingin yang terasa membekukan seluruh urat-
urat tubuh. 
“Pendekar Naga Putih…!” Desis si pemuda sombong dengan 
wajah berubah tegang. 
Kali ini kesombongannya langsung lenyap, ke-tika melihat 
kabut bersinar putih yang menyelimuti tubuh Panji. Ternyata 
lawan yang semula dianggap remeh itu adalah seorang

pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia persilatan 
pada masa ini. Tentu saja hal itu membuatnya bungkam 
beberapa saat lamanya. 
“Aaah…!” Si pemuda sombong menggelengkan kepalanya 
seperti berusaha hendak mengusir kegen-taran yang 
menguasai hatinya. 
“Heaaat..!” 
Merasa sudah kepalang tanggung, maka si pemuda sombong 
itu segera menerjang Pendekar Naga Putih. Begitu mengetahui 
kalau lawannya bu-kanlah orang sembarangan, maka seluruh 
kemam-puannya dikerahkan dalam penyerangan kali ini. 
Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang waktu lagi, 
bergegas melompat memapak serangan lawan. Sepasang 
tangannya yang berbentuk cakar naga itu bergerak berputaran 
mengaburkan panda-ngan lawan. Sehingga, dalam lima jurus 
saja pe-muda sombong itu pun dibuat kalang-kabut. 
“Yeaaat…!” 
Memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-tiba Panji berteriak 
nyaring. Saat itu juga tubuhnya bergerak cepat sambil 
melontarkan serangan-serangan yang datangnya bagai air bah. 
Wut! Wut..! 
“Aaah…!” 
Pemuda sombong itu terkejut bukan main me-lihat 
kecepatan gerak lawannya. Susah payah ia berusaha 
menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu. Namun 
dua buah pukulan tetap saja bersarang telak di dada dan 
perutnya. 
Buk! Desss! 
“Aaah…!”

Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda som-bong itu pun 
tedempar keras diiringi semburan darahnya. Tubuhnya 
terbanting keras di atas per-mukaan tanah. 
“Hm…. Pergilah, sebelum pikiranku berubah!” Ancam 
Pendekar Naga Putih dengan tatapan tajam. 
Dengan langkah tertatih-tatih, pemuda sombong itu pun 
melangkah meninggalkan tempat itu. Dua orang kawannya 
yang tergeletak pingsan dibawa dua orang kawannya. 
Sedangkan si pemilik rumah judi menggandeng tangan pemuda 
sombong itu. 
“Wah! Orang-orang seperti mereka semestinya tidak usah 
diberi ampun, Nak Panji. Aku yakin tidak lama lagi mereka akan 
datang dengan jumlah yang lebih besar dan membawa jagoan-
jagoannya,” tegas Lengga yang sudah melangkah mendekati 
Pendekar Naga Putih. 
“Benar, Kakang Panji. Mereka tidak akan pernah jera 
sebelum menjadi mayat!” Gadis putri laki-laki setengah baya itu 
ikut menimpali. 
“Bagaimana menurutmu, Kenanga?” Panji me-malingkan 
wajah ke arah kekasihnya. Ingin didengarnya sendiri, apa 
pendapat kekasihnya tentang hal itu. 
“Menurutku, sebaiknya kita datangi saja tempat mereka. 
Karena kalau mereka sampai datang ke tempat ini, bukan tidak 
mungkin penduduk akan menjadi korban,” sahut Kenanga. 
Panji mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar usul 
gadis jelita itu. Segera disetujuinya usul yang diajukan 
Kenanga. Tak lama kemudian, kedua-nya pun segera 
berpamitan setelah terlebih dahulu menanyakan di mana letak 
kediaman orang-orang itu.

Kenanga dan Pendekar Naga Putih terkejut ketika tiba di 
sebuah bangunan yang dikelilingi tembok kokoh, terdengar 
teriakan orang bertempur. Keduanya cepat-cepat berlari ke 
arah samping ba-ngunan, lalu bergerak naik ke atas sebatang 
pohon yang tumbuh di dekat tembok itu. 
“Eh, siapa orang berambut meriap itu? Tampak-nya ia 
tengah terdesak oleh keroyokan ketiga orang kakek itu, 
Kakang,” bisik Kenanga terkejut. 
“Nanti dulu, Kenanga!” Cegah Panji begitu me-lihat 
kekasihnya hendak melompat turun untuk me-nolong orang 
berambut meriap, “Kita belum menge-tahui secara pasti, siapa 
adanya orang berambut meriap itu dan siapa ketiga kakek itu?” 
“Mari kita lihat lebih dekat, Kakang!” Ajak gadis jelita itu 
yang segera melayang turun dan menye-linap di balik tembok. 
Panji bergegas melayang turun mengikuti ke-kasihnya. 
Gerakan mereka ringan sekali, pertanda telah memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang begitu tinggi. Keduanya segera 
bergerak dan berindap-indap mendekati arena pertarungan. 
“Lihat, Kakang. Senjata yang digunakan orang berambut 
riap-riapan itu aneh sekali bentuknya!” jelas Kenanga, heran 
melihat senjata yang diguna-kan orang berambut meriap itu. 
“Hm…. Tapi kehebatan gerak serta keampuhan senjatanya 
tampak jelas sekali. Kalau saja mereka berhadapan satu 
persatu, ada kemungkinan orang berambut meriap itu akan 
dapat mengatasi lawan-nya,” duga Panji setelah mengamati 
pertarungan itu beberapa saat iamanya. 
“Lihat, Kakang! Nampaknya orang itu tidak akan dapat 
bertahan lebih lama lagi!” seru Kenanga lirih.

Wajah gadis itu terlihat agak cemas. Sepertinya meskipun 
belum mengetahui duduk persoalannya, namun gadis itu telah 
berpihak kepada orang yang berambut meriap. 
Tubuh Panji segera melesat ketika tubuh orang berambut 
meriap terguling akibat tendangan salah seorang lawannya. 
Dan sebelum sempat bangkit, salah seorang lainnya bergegas 
mengayunkan pedangnya siap membelah tubuh orang itu. 
Wut..! Plak! 
“Aaah…!” 
Pada saat yang berbahaya, tubuh Panji melesat bagal anak 
panah. Langsung tangannya diulurkan untuk memapak 
serangan orang itu. Tubuh kakek itu terjajar mundur diiringi 
seruan kagetnya. 
“Hm…. Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih!” Ujar salah 
seorang kakek yang berusia paling tua di antara ketiganya. 
Wajah kakek itu nampak geram melihat sesosok tubuh yang 
terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan telah 
menggagalkan serangan kawannya. 
Panji mengerutkan keningnya, berusaha mengi-ngat kakek 
itu. Hatinya benar-benar terkejut dan juga gembira ketika 
melihat wajah kakek itu. 
“Hm…. Kalau tidak salah, kalian bertiga pernah membunuh 
seorang pemuda di Kaki Gunung Kala-ban.” Panji seolah-olah 
meminta ketegasan dari ketiga orang kakek yang memang tak 
lain adalah Ki Aji Barga, Ki Bukaran, dan Ki Palwaka yang tahun 
lalu telah mengeroyok Ki Shindupala dan muridnya. 
“Benar! Dan akulah pemuda itu, Kisanak!” Sahut sosok tegap 
berambut meriap, seraya bergerak bangkit

Panji langsung menoleh ke arah suara tadi. Keningnya agak 
berkerut ketika mengenali pemuda itu. 
“Untuk kedua kalinya kau kembali menolongku, Pendekar 
Naga Putih. Entah bagaimana caranya aku harus membalas 
kebaikanmu itu?” Orang berambut riap-riapan itu ternyata 
Sanjaya. Rupanya ia telah berhasil menemukan orang-orang 
yang telah mem-bunuh gurunya. 
“Ah! Syukurlah kau selamat, Kisanak,” sahut Panji cukup 
terkejut dibuatnya. 
Memang waktu itu dia melihat jelas kalau pe-muda itu telah 
jatuh ke dalam jurang. Entah apa yang telah dialami pemuda 
itu sehingga dapat se-lamat. Dan kepandaiannya pun telah jauh 
lebih lihai menurut penglihatan Panji. 
“Mengapa kau bisa berada di tempat ini, Pen-dekar Naga 
Putih. Sepertinya kau bagai seorang malaikat saja?” Tanya 
Sanjaya yang merasa heran melihat kedatangan pemuda yang 
dulu pernah me-nolongnya itu. 
Panji lalu menceritakan secara singkat apa se-babnya 
sehingga bisa berada di tempat ini. 
“Hm… Rupanya kau benar-benar telah berubah jauh Ki Aji 
Barga. Kini kau pun telah pula berse-kongkol dengan para 
bajingan pemilik rumah judi dan pelacuran! Tidak kusangka kau 
akan sebejat itu!” Ucap Sanjaya sinis. 
“Tak perlu kau mencampuri urusanku, Murid Murtad! Kami 
sengaja menunggumu. Karena kami yakin kau belum tewas di 
dalam jurang itu,” sahut Ki Bukaran ikut menimpali. 
“Hm…. Bagaimana kalian tahu kalau aku selamat?” Tanya 
Sanjaya heran.

“Firasat kami yang mengatakannya. Nah! Sekarang, 
bersiaplah untuk menyusul arwah gurumu!” Ki Aji Barga 
kembali menyahuti. 
Setelah berkata demikian, ketiga kakek itu pun kembali 
bersiap untuk menghadapi Sanjaya dan Pendekar Naga Putih. 
Sanjaya dan Pendekar Naga Putih merenggang untuk 
menghadapi lawan masing-masing. Kedua pemuda itu 
nampaknya telah bersiap menghadapi ke-tiga tokoh sakti itu. 
“Haaat..!” 
Sambil berseru keras, Sanjaya memutar senjatanya 
menerjang Ki Aji Barga yang menjadi sasa-ran utamanya. 
Karena orang tua itulah yang telah menga-kibatkan kematian 
gurunya. 
Ki Aji Barga pun bukanlah orang bodoh. La tahu kalau 
pemuda itu pasti telah berhasil menguasai ilmu pusaka warisan 
perguruannya. Makanya ia tidak ragu-ragu lagi untuk 
menggunakan senjata dalam menghadapi pemuda gagah 
berambut riap-riapan itu. 
Wut..! 
Trang! 
Terdengar dentingan yang memekakkan telinga ketika kedua 
senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh keduanya 
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Ki Aji Barga 
sempat terkejut ketika merasakan kalau tenaga pemuda itu 
temyata lebih tinggi sedikit. 
***

SEMBILAN


Sanjaya yang hatinya telah diracuni dendam kembali 
menerjang dahsyat. Senjata di tangannya berputar sedemikian 
rupa hingga menimbulkan deruan angin keras. Seluruh 
kekuatannya dikerah-kan dalam melancarkan serangan kali ini. 
Ki Aji Barga pun tktek mau kalah. Pedang di tangannya 
diputar hingga membentuk gulungan sinar yang membungkus 
tubuhnya. Sesaat kemudian, ke-duanya kembali saling 
menerjang hebat. 
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang yang masih 
satu aliran itu benar-benar hebat. Batu-batu dan pasir 
beterbangan tersepak kaki-kaki me-reka. Keduanya menguras 
seluruh kepandaian masing-masing untuk segera saling 
menjatuhkan! 
Di tempat lain, Panji sudah pula berhadapan dengan Ki 
Bukaran dan Ki Palwaka. Kedua orang to-koh itu juga telah 
menggunakan senjata masing-masing, sehingga serangan-
serangan mereka tidak bisa dibuat main-main! 
Wut! Wut..! 
Panji melempar tubuhnya ke belakang. Setelah berjungkir 
balik sebanyak tiga kali, tubuhnya men-darat ringan di atas 
permukaan tanah. Sadar kalau kedua orang lawannya bukan 
tokoh sembarangan, maka pemuda itu bergegas mencabut 
keluar Pedang Naga Langit yang tersampir di punggungnya. 
Wuk! Wuk..!

Angin dingin bertiup kencang ketika Pendekar Naga Putih 
mulai menggerakkan senjata pusakanya. Suaranya mengaung 
dahsyat bagai raungan seekor naga yang marah! 
Dua orang kakek itu bergegas melompat mundur sambil 
menyiapkan jurus-jurus andalan. Mereka maklum kalau pemuda 
yang dihadapinya adalah se-orang pendekar ternama yang 
telah banyak mero-bohkan tokoh sakti dari berbagai aliran. 
Maka kini mereka harus berhati-hati dalam menghadapinya. 
"Yeaaat...!" 
Dibarengi pekikan keras, tubuh Pendekar Naga Putih 
meluncur dengan jurus andalannya. Pedang di tangannya 
berputar menimbulkan terpaan angin dingin yang kuat. 
Sehingga, kedua orang lawannya harus mengerahkan seluruh 
kepandaian untuk menghadapinya. 
Pertarungan berlangsung seru dan mendebar-kan. Gulungan 
sinar pedang ketiga tokoh sakti itu saling libat dan saling 
mendorong hebat. Dalam waktu yang singkat saja, ketiga orang 
tokoh itu telah bertempur selama kurang lebih enam puluh 
jurus. Namun sampai sejauh itu belum terlihat siapa yang akan 
keluar sebagai pemenang. 
Pada jurus yang ketujuh puluh lima, Panji ber-seru nyaring 
mengejutkan lawan-lawannya. Saat itu juga tubuhnya meluruk 
setelah terlebih dahulu me-lambung ke atas. 
Werrr! 
Terpaan angin dingin semakin kuat dan mem-belenggu 
tubuh kedua orang kakek itu. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke 
Dalam Bumi' yang merupakan jurus pamungkas Pendekar Naga 
Putih menampak-kan kehebatannya. Sinar pedang yang 
membentuk lingkaran itu berpendar menyilaukan pendangan 
kedua orang lawan. Mereka pun tak sempat lagi untuk

menghindar ketika senjata di tangan pemuda itu membeset 
tubuh mereka. 
Bret! Bret..! 
"Aaargh...!" 
Ki Bukaran dan Ki Palwaka meraung keras ketika Pedang 
Naga Langit membeset bahu dan lam-bungnya. Tubuh kedua 
tokoh sakti itu terjungkal keras. Darah langsung menyembur 
dari luka me-manjang pada tubuh mereka. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih!" Teriak 
seorang laki-laki gagah yang berusia sekitar empat puluh 
tahun. Lima orang lainnya berturut-turut mengikuti gerakan 
orang itu, untuk menge-pung Panji. 
"Haiiit..!" 
Tiba-tiba sesosok tubuh ramping berjungkir balik memasuki 
arena pertempuran. Kedua kakinya mendarat ringan di tengah-
tengah kepungan lima orang murid kesayangan tiga orang 
kakek sakti itu. 
"Kau jangan serakah, Kakang...!" ujar gadis jelita yang tak 
lain Kenanga sambil tersenyum. Di tangan gadis itu 
tergenggam sebatang pedang bersinar putih keperakan. 
"Heaaat..!" 
Dua orang di antara pengepung itu melesat me-nerjang 
Kenanga. Sedangkan empat orang lainnya bergerak menyerbu 
Pendekar Naga Putih. 
Sepasang pendekar muda itu segera mehggerak-kan 
senjatanya menyambut serangan lawan. Sesaat kemudian, 
pertarungan segera berkecamuk. 
Dua orang pengeroyok Kenanga yang merupakan murid Ki 
Bukaran, menyerang ganas dan cepat Kepandaian kedua orang

itu tidak bisa dipandang rendah, karena mereka murid-murid 
kesayangan kakek sakti itu. Sehingga, pertarungan pun 
semakin seru dan sengit. 
Sedangkan Panji yang menghadapi empat orang lawan, 
berkelebat cepat bagai bayangan hantu. Sesekali Pedang Naga 
Langitnya menusuk tiba-tiba dan mengejutkan para 
pengeroyoknya. Pemuda Itu rupanya tidak berniat membunuh 
lawan-lawannya. Buktinya, terlihat serangan serangan 
pedangnya tidak terlalu ganas. Bahkan jarang sekali melakukan 
serangan secara beruntun. 
Namun hal itu dianggap sebagai suatu peng-hinaan oleh 
empat orang lawannya itu. Sehingga, mereka menyerang 
semakin ganas dan berbahaya. 
"Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Apakah kau pikir 
kepandaianmu sudah setinggi langjt hingga menganggap 
remeh kepada kami!" 
Sambil berteriak marah, orang itu menyabetkan pedangnya 
secara mendatar. Suaranya mengaung tajam, karena seluruh 
tenaganya telah dikerahkan. 
Wuuut! 
Tubuh Panji menyelinap di antara sambaran pedang lainnya. 
Pendekar itu kemudian metompat jauh ke belakang, sehingga 
membuat keempat orang lawannya semakin penasaran. 
"Maaf, Kisanak. Aku hanya tidak ingin kalian mengikuti jejak 
guru kalian yang sesat itu!" Sahut Panji sambil mengibaskan 
senjatanya menghalau pedang lawan. 
"Tak perlu menggurui kami! Kalau memang mampu, 
hadapilah pedang kami! Jangan hanya ber-kelit saja!" Ejek 
salah seorang yang mengenakan ikat kepala putih.

Setelah berkata demikian, ia pun segera me-lompat sambil 
membacokkan goloknya untuk mem-belah tubuh pemuda itu. 
"Hm.... Kalian memang harus diberi pelajaran biar kapok!" 
tegas Panji agak kesal. Dan begitu uca-pannya selesai, tubuh 
pemuda itu bergerak cepat melakukan serangan hebat! 
Trang! Trang! 
"Uhhh...!" 
Dua orang lawannya terjajar mundur ketika me-nangkis 
pedang Panji. Dan sebelum mereka sempat mengatur 
serangan, kaki pemuda itu telah melaku-kan tendangan dua 
kali berturut-turut. 
Desss! Desss! 
"Ughhh...!" 
Dua orang pengeroyok itu kontan terjungkal ke belakang. 
Dada dan perut mereka telak terkena tendangan Pendekar 
Naga Putih. Darah pun lang-sung menyembur dari mulut 
keduanya Saat itu juga keduanya menggeletak pingsan. 
"Keparat! Ciaaat..!" 
Dibarengi sebuah pekik kemarahan, tubuh salah seorang 
lawannya meluncur ke arah Panji disertai ayunan senjatanya. 
Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi menyabetkan 
senjatanya dari atas ke bawah. 
"Hmh...!" 
Sambil mendengus kasar, pedang di tangan Panji berkelebat 
dua kali berturut-turut. 
Trang! Trang! 
"Aaah...!"

Kedua orang itu terpekik kaget. Seketika itu juga senjata 
mereka terlepas dari genggaman. Kembali pedang Pendekar 
Naga Putih berkelebat menyilau-kan mata. 
Breti Bret! 
"Aaargh...!" 
Darah segar menyembur ketika mata pedang itu membeset 
dada kedua orang itu. Tubuh keduanya terjajar ke belakang 
sejauh dua tombak. Panji kembali melompat dan menendang 
dengan kedua kakinya. Tak ayal lagi, kedua orang itu langsung 
ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan. 
Sedangkan di arena yang lain, Sanjaya sudah pula berhasil 
mendesak Ki Aji Barga. Senjata di tangan pemuda gagah itu 
benar-benar membuatnya mati langkah. Beberapa kali 
tubuhnya nyaris ter-makan senjata yang berbentuk aneh itu. 
Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga, 
hanya pakaiannya saja yang telah robek di sana sini. 
Pada jurus yang keseratus lima, Sanjaya tiba-tiba 
menggetarkan senjatanya. Terdengar suara ber-denting yang 
menyakitkan telinga. Ki Aji Barga cepat melompat ke belakang 
sambil memejamkan mata-nya untuk menahan serangan suara 
yang meng-getarkan rongga dadanya. 
Sanjaya yang memang telah menunggu-nunggu kesempatan 
baik itu, tidak ingin menyia-nyiakan-nya. Saat itu juga tubuhnya 
berkelebat disertai ayu-nan senjatanya secara mendatar. 
Wuttt! 
Senjata berbentuk pedang yang disambung-sam-bung itu, 
berkelebat dengan kecepatan kilat Sasa-rannya adalah batang 
leher Ki Aji Barga! 
Crakl

Ki Aji Barga yang tengah berusaha menenang-kan debaran 
dalam dadanya tak sempat lagi meng-hindar. Kepalanya 
langsung terpisah dari badan ketika senjata di tangan Sanjaya 
tepat membacok batang lehemya. Darah segar kontan 
menyemprot dari leher yang terpapas buntung itu. 
Melihat tubuh lawannya masih juga berdiri goyah, pemuda 
itu kembali mengayunkan senjata-nya. Kali ini sasarannya 
adalah perut lawan. 
Creb...! 
Darah segar kembali menyembur dari luka lebar yang 
menganga di tubuh Ki Aji Barga. Tubuh tanpa kepala itu kini 
terjerembab dan diam tak berkutik lagi. 
"Guru..,. Muridmu telah dapat membalaskan sa-kit hatjmu. 
Semoga arwahmu menjadi tenang," ucap Sanjaya dengan 
suara berbisik. Setelah mengucap-kan kata-kata demikian, 
pemuda tinggi tegap itu pun bergegas bangkit berdiri. 
Sanjaya menolehkan kepalanya ketika mende-ngar jeritan 
menyayat. Jeritan itu dibarengi jatuh-nya dua sosok tubuh yang 
berlumuran darah. 
Kenanga melangkah menghampiri dua orang lawannya yang 
telah terluka itu. Sepasang matanya tampak menyiratkan 
ancaman yang mengerikan. 
"Ampun, Nisanak.... Kami menyerah!" Ratap orang itu sambil 
menekap dadanya yang terluka. Sedangkan yang seorang lagi 
telah tewas karena pedang gadis itu terlalu dalam melukai 
perutnya. 
"Kenanga! Biarkan orang itu!" Seru Panji yang samar-samar 
mendengar ratapan orang itu. Setelah berkata demikian, 
Pendekar Naga Putih melangkah menghampiri kekasihnya.

Saat itu Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang terluka parah oleh 
Panji, tampak bergerak bangkit Kedua kakek itu merintih sambil 
menekap lukanya. 
"Keparat, rupanya kalian masih belum mampus!" Bentak 
Sanjaya ketika melihat tubuh dua orang kakek itu tengah 
berusaha untuk bangkit berdiri. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, tubuh pemuda itu kembali melompat disertai ayunan 
senjatanya. 
"Sanjaya, jangann..!" Cegah Panji ketika menge-tahui apa 
yang akan diperbuat oleh pemuda itu. Namun sayang, teriakan 
Panji sudah terlambat. Karena dua orang kakek itu telah 
menjerit ngeri. 
Sanjaya menghela napas berulang-ulang sambil menatap 
tubuh dua orang kakek yang telah menjadi mayat itu. Senjata 
pemuda itu tampak masih me-neteskan cairan kental berwarna 
merah. 
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku khilaf," ucap 
Sanjaya dengan wajah tertunduk. 
"Hm.... Semuanya telah terjadi. Tak perlu dise-sali," sahut 
Panji sambil menepuk perlahan bahu pemuda itu. 
"Dendamku sudah terbalas. Aku tidak mem-punyai urusan 
lagi di tempat ini. Aku mohon diri, Pendekar Naga Putih, 
Kenanga," ujar Sanjaya sambil melangkah meninggalkan 
tempat itu. Sanjaya telah memutuskan untuk kembali ke 
tempat Suku Gan-das di mana calon istrinya menunggu. 
"Selamat jalan, Sahabat...," ucap Panji lirih sam-bil 
melambaikan tangannya. Sedangkan Kenanga telah berdiri di 
samping kekasihnya sambil meng-genggam tangan pemuda itu. 
Setelah mengobati orang-orang yang terluka, Panji dan 
Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. Tak lupa pemuda

itu berpesan agar mereka tidak mengikuti jejak guru mereka 
yang sesat. 
Sinar matahari semakin naik tinggi. Sinarnya mulai 
memudar, karena sebentar lagi akan menye-lesaikan tugasnya 
untuk hari ini. 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah perlahan 
sambil berpegangan tangan. Sang mentari pun ikut tersenyum 
menyaksikan kemesraan sepa-sang kekasih itu. 


                               SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar