Serial Pendekar Naga Putih
PUSAKA BERNODA DARAH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Heaaat..!"
Suasana pagi yang bening dan sunyi, tiba-tiba saja pecah
oleh teriakan-teriakan nyaring mem-bahana. Beberapa ekor
burung yang bertengger di atas dahan serentak beterbangan
karena terkejut mendengar teriakan itu.
Tampak sesosok tubuh tegap berloncatan sam-bil sesekali
melontarkan pukulan dan tendangan. Suara sambaran angin
tajam yang mengiringi se-tiap pukulan dan tendangannya
menandakan kalau tenaga dalam sosok tubuh itu sangat tinggi.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut..!
Kembali sosok tubuh itu berteriak nyaring. Dibarengi
teriakannya, tubuhnya melesat ke depan. Jari-jari tangannya
tampak bergetar ketika melaku-kan tusukan pada sebatang
pohon.
Crab! Crab!
Hebat sekali. Jari-jari tangan yang kelihatan lunak itu
ternyata mampu menembus batang pohon yang besarnya dua
kali pelukan orang dewasa. Benar-benar sebuah kekuatan
tenaga dalam yang dahsyat.
Secepat jari-jari tangannya menusuk ke batang pohon,
secepat itu pula sosok tubuh itu menarik pulang lengannya.
Tubuhnya melambung ke udara. Setelah beberapa kali
berputaran di udara, kedua kakinya melayang turun ke atas
permukaan tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Ternyata bukan hanya tenaga dalamnya saja yang hebat!
Bahkan ilmu meringankan tubuhnya pun tidak bisa dipandang
rendah!
"Bagus, Sanjaya...!"
Terdengar suara pujian dari mulut seorang ka-kek tua yang
tengah duduk bersila di atas sebuah batu yang cukup besar.
Kakek itu tersenyum puas sambil mengelus elus jenggotnya
yang panjang.
"Terima kasih, Eyang. Tapi, sepertinya ilmu pu-kulanku
belum sehebat yang Eyang contohkan," ujar sosok tubuh yang
dipanggil Sanjaya itu me-rendah.
Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda yang kira-kira
berusia dua puluh tahun. Wajahnya me-nyiratkan kejantanan,
karena kelihatan kokoh dan keras. Ditambah lagi bentuk
tubuhnya yang tinggi tegap. Benar-benar seorang pemuda
yang menarik.
"Hm.... Kau terlalu merendahkan dirimu, San-jaya. Ilmu
pukulan yang kau tunjukkan tadi jelas sudah sangat baik. Nah,
sekarang tunjukkanlah ilmu pedang yang telah kau pelajari itu!"
Perintah si kakek yang berjuluk Dewa Jubah Putih itu, lembut.
Setelah berkata demikian, Dewa Jubah Putih melemparkan
sebatang pedang ke arah Sanjaya yang memang muridnya.
Lemparan pedang yang dilakukan kakek itu bu-kanlah
sekadar lemparan biasa. Kalau orang yang menerima lemparan
itu tidak memiliki kepandaian yang cukup, pasti akan termakan
oleh mata pedang yang meluncur pesat bagaikan anak panah
lepas dari busur.
"Hiaaat..!"
Sanjaya berseru keras sambil menjejakkan ka-kinya ke atas
tanah. Tubuh pemuda itu melenting ke atas disertai putaran
indah. Sambil berputaran, diulurkan tangannya menangkap
gagang pedang yang berada beberapa jengkal di bawah
tubuhnya.
Singngng! Singngng...!
Begitu gagang pedang tergenggam erat di tangan pemuda
itu, segera diputar pedang itu dengan pengerahan tenaga
dalam. Seluruh badan pedang sudah tak tampak lagi. Kini yang
terlihat hanyalah sinar putih yang membungkus seluruh
tubuhnya.
Sanjaya terus melompat dan berputar dengan gerakan yang
cepat dan kuat. Kalau dilihat dari ge-rakannya, tampak jelas
kalau ilmu pedang yang di-mainkannya terpusat pada kekuatan
tenaga. Mes-kipun demikian, bukan berarti kalau ilmu pedang
yang dimainkan pemuda itu tidak mempunyai unsur keluwesan
dan kelincahan. Kedua unsur itu pun te-tap terlihat Hanya saja
keluwesan dan kelincahan-nya sekadar pelengkap dan tidak
terlalu dipusatkan.
Wet! Wet...!
Pemuda tinggi tegap itu menutup gerakannya dengan ujung
pedang melintang didepan mata. Ta-ngan kirinya terjulur ke
depan bagaikan orang yang tengah menyembah. Sedangkan
kuda-kudanya membentuk kuda-kuda rajawali, yaitu kaki kiri
ber-ada didepan dalam keadaan jinjit.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus...! Kau hanya perlu sedikit
penyempurnaan lagi, Muridku. Setelah itu, silakan terjun ke
dunia ramai untuk meluaskan pe-ngalaman. Karena biarpun
memiliki kepandaian tinggi, jika tanpa pengalaman kau akan
dapat di-robohkan oleh orang yang berkepandaian berada di
bawahmu," jelas Dewa Jubah Putih.
"Ah! Rasanya, aku sudah tidak sabar lagi untuk turun
gunung, Eyang. Kapankah kira-kira keingi-nanku itu bisa
terlaksana, Eyang! Tapi.... Kalau aku pergi, lalu bagaimana
dengan Eyang?" Tanya San-jaya sambil menatap wajah
gurunya yang sudah berusia lanjut itu.
Pemuda itu berkata lirih setelah menyadari kalau Dewa
Jubah Putih sudah sangat tua. Dan hal itu membuatnya merasa
berat untuk meninggalkan gurunya sendirian di pertapaan yang
sunyi dan jauh dari keramaian itu.
"Hm.... Kau tidak perlu merisaukan aku, San-jaya. Aku
memang sudah bertekad untuk meng-habiskan sisa hidupku di
Puncak Gunung Kalaban ini. Kau harus mempunyai jiwa kuat,
Sanjaya. Se-tiap ada perjumpaan, pasti ada perpisahan," orang
tua itu menghentikan kata-katanya sejenak untuk menarik
napas dalam-dalam.
Sementara itu Sanjaya hanya mengangguk-anggukkan
kepala saja. Pemuda itu memang murid yang sangat berbaka.
"Nah, sekarang marilah kita berlatih untuk menyempurnakan
ilmu-ilmu yang telah kau pelajari. Ingat! Jangan kau anggap
aku sebagai gurumu. Tapi anggaplah aku sebagai musuhmu,
mengerti?"
"Mengerti, Eyang," sahut Sanjaya sambil meng-anggukkan
kepalanya.
"Bersiaplah!" ujar Dewa Jubah Putih dengan suara yang
berwibawa.
Kemudian sepasang kaki kakek itu bergerak membentuk
kuda-kuda silang dalam posisi meren-dah. Tangan kanannya
dengan telapak tangan ter-buka berada di atas kepala.
Sedangkan tangan kiri-nya juga dengan telapak tangan terbuka
berada di bawah pusat seperti tengah menekan bumi.
"Heaaat..!"
Kakek itu mulai membuka serangan dengan teriakan yang
melengking. Tubuhnya berkelebat cepat disertai tamparan-
tamparan tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan.
Bet! Bet!
Bergegas Sanjaya menggeser kuda-kudanya sambil
memiringkan kepala. Tamparan kakek itu pun lewat setengah
jengkal di atas kepalanya. Ke-mudian, jari-jari tangannya
bergerak cepat melaku-kan tusukan bertubi-tubi ke arah kedua
lutut guru-nya.
Tentu saja Dewa Jubah Putih tidak ingin lutut-nya dijadikan
sasaran jari-jari tangan yang sekeras baja itu. Cepat digeser
kedua kakinya bergantian menghindari ancaman jari-jari tangan
muridnya.
Tiba-tiba kakek itu melompat ke atas dan ber-putar sekaligus
mengirimkan sebuah tendangan yang mengancam punggung
Sanjaya.
Zebbb!
"Aaah...!"
Sanjaya yang sama sekali tidak menduga gera-kan gurunya,
serapat terkejut. Cepat-cepat dilempar tubuhnya, bergulingan
menyelamatkan diri dari ten-dangan yang amat kuat itu.
Dengan sebuah gerakan yang tak terduga, tubuh pemuda itu
melenting bangkit dan langsung meluruk deras ke arah guru-
nya. Sepasang tangannya terjulur kedepan meng-ancam
tenggorokan si kakek.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat kegesitan muridnya.
Bergegas diangkat kedua tangannya, me-mapak tusukan jari-
jari tangan muridnya yang diga-bungkan itu.
Plak! Plak!
"Uhhh...!"
Terdengar ledakan yang cukup keras ketika se-pasang
tangan mereka saling bertumbukan. Tubuh keduanya terpental
balik dengan keras. Keduanya cepat melakukan beberapa kali
putaran salto di udara, sebelum mendaratkan kakinya di atas
tanah.
"Uhukkk... Uhukkk...!" kakek itu terbatuk-batuk sambil
menekap dadanya.
"Eyang.... Kau..., kau terluka?" Tanya Sanjaya khawatir
ketika melihat gurunya terbatuk-batuk sambil menekap dada.
Cepat pemuda itu bangkit, lalu meng-hampirinya.
"Aku tidak apa-apa, Muridku. Ternyata latihan-mu selama ini
tidak sia-sia. Ilmu yang kau miliki sekarang, rasanya sudah
cukup untuk bekalmu ter-jun ke dunia ramai Tapi Ingat! Jangan
sekali-kali merasa takabur dengan kepandaian yang kau miliki
itu. Karena, di dunia ini sangat banyak orang sakti. Oleh
karenanya, kau harus berhati-hati membawa dirimu," ujar
Dewa Jubah Putih. Mulutnya masih meringis menahan sakit,
akibat waktu latihan tadi dadanya terpukul oleh Sanjaya.
"Baik, Eyang. Segala nasihat Eyang akan selalu kuingat,"
sahut pemuda itu sambil mengikuti lang-kah kaki gurunya.
Wajah pemuda itu nampak berseri karena se-bentar lagi
akan segera terjun ke dunia ramai. Na-mun di balik itu, hatinya
juga cemas terhadap ke-adaan gurunya.
"Duduklah, Sanjaya. Ada sesuatu yang ingin ku-ceritakan
padamu. Sebenarnya, hal ini akan ku-katakan apabila kau telah
kembali dari pengemba-raanmu. Tapi aku mempunyai firasat
yang tidak baik Sehingga kuputuskan untuk menceritakannya
kepadamu hari ini juga," jelas Dewa Jubah Putih.
Kakek tua itu menatap wajah muridnya lekat-Iekat Sesaat
kemudian, sepasang mata tua itu ber-alih ke arah langit yang
biru dan nampak jernih itu.
"Apakah yang ingin Eyang sampaikan?" Tanya Sanjaya.
Hatinya mendadak berdebar mendengar ucapan gurunya yang
masih mengandung teka-teki itu.
"Muridku Sebenarnya aku masih menyimpan sebuah kitab
dan sebuah senjata pusaka. Kitab itu berisikan ilmu
menggunakan senjata pusaka itu. Kedua buah pusaka itu
diberikan guruku secara turun-temurun. Namun sayang, sampai
saat ini belum ada seorang pun dari keturunannya yang mampu
mempelajari isi kitab itu secara sempurna, termasuk aku.
Karena di antara semua keturunan belum ada seorang pun
yang memiliki bakat yang baik. Ketika aku mengambilmu
sebagai murid, ba-kat untuk mempelajari ilmu tersebut sudah
dapat kulihat. Walaupun kau masih harus meluaskan
pengalamanmu, tapi aku tetap akan menyerahkan kedua buah
pusaka itu kepadamu. Karena, aku merasa ada sesuatu yang
akan terjadi."
Kakek tua itu kembali menarik napas dalam-dalam,
kemudian menghembuskannya kuat-kuat Seolah-olah dia ingin
melepaskan ganjalan yang se-lama ini menyesakkan dadanya.
Sanjaya hanya terdiam menanti kelanjutan ce-rita gurunya.
Pemuda itu sama sekali tidak ber-usaha mendesak orang tua
itu agar cepat-cepat me-nyerahkan kedua pusaka yang
disebutkan tadi. Memang, dia bukan jenis orang yang serakah
atau-pun berambisi untuk hal-hal seperti itu.
"Perlu juga kau ketahui, Muridku. Aku masih mempunyai
beberapa orang adik dan seorang kakak seperguruan. Sengaja
aku menyembunyikan diri di tempat ini karena untuk
menghindari mereka. Se-lama ini aku memang masih selamat
dari penge-jaran. Tapi siapa tahu suatu hari nanti mereka
akhirnya akan mengetahui tempat persembunyian-ku ini"
Kakek itu sebentar menghentikan ceritanya. Matanya terus
menerawang jauh, membayangkan saat-saat dikejar-kejar oleh
saudara seperguruan-nya.
"Dan sebelum mereka sempat mengetahuinya, aku ingin
menyerahkan kedua pusaka itu kepada-mu. Terserah kau,
apakah ingin dibawa dalam perantauanmu atau ingin
disembunyikan di satu tempat. Karena, firasatku mengatakan
kalau tempat ini sudah tidak aman untuk menyembunyikan ke-
dua pusaka itu. Kalau mereka datang setelah kau pergi sambil
membawa dua pusaka itu, maka kedua pusaka itu akan
selamat. Karena mereka tidak mengetahui kalau aku
mempunyai seorang murid. Nah! Bersediakah kau menerima
kedua pusaka itu dengan menanggung segala akibatnya?"
Tanya sang Guru menutup ceritanya.
"Eyang. Apapun yang diperintahkan akan ku-jalankan
meskipun harus berkorban nyawa karena-nya. Dan rasanya
semua itu masih belum cukup untuk membalas budi Eyang
yang telah bertumpuk-tumpuk," sahut Sanjaya, menekan
keharuan dalam hatinya.
"Hm.... Kalau kesediaanmu menerima kedua pusaka itu
hanya karena budi, aku tidak suka, San-jaya," tegas Dewa
Jubah Putih sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dari
nada suaranya, jelas sekali kalau dia merasa tak senang
dengan jawaban muridnya.
"Maafkan aku, Eyang," ucap Sanjaya lirih dan mengandung
penyesalan yang dalam.
"Jangan sekali-kali kau libatkan dirimu dengan persoalan
hutang budi, Muridku. Karena hal itu ke-lak akan
mendatangkan celaka. Kedua pusaka itu kuserahkan kepadamu
dengan tujuan agar kau da-pat melanjutkan pengorbanan
pendahulu-penda-hulu kita dalam menentang segala bentuk
kejaha-tan. Jelasnya, aku tidak ingin ilmu-ilmu perguruan yang
telah turun temurun ini akan lenyap karena tak ada yang bisa
mempelajarinya. Tapi ingat, aku tidak memaksamu untuk
menerimanya begitu saja, Sanjaya. Kalau tidak sudi
menerimanya, katakana-lah! Jangan ragu-ragu."
"Aku bersedia menerimanya, Eyang. Dan aku pun berjanji
untuk mempelajarinya dengan sung-guh-sungguh!" jawab
Sanjaya mantap. Sedikit pun tidak terlihat keraguan dalam
nada suaranya.
"Hm.... Kalau kau bersedia menerimanya, mari-lah
kutunjukkan kedua pusaka warisan perguruan kita itu," ajak
Dewa Jubah Putih sambil bangkit dari duduknya dan melangkah
meninggalkan tempat itu.
Tanpa berkata sepatah pun, Sanjaya bergegas mengikuti
gurunya yang berjalan memasuki hutan yang cukup lebat Saat
itu matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya pun telah
merata ke seluruh permukaan bumi.
***
"Lihatlah bukit itu, Muridku. Di balik bukit itu-lah kedua
benda pusaka warisan leluhur perguruan kita tersimpan," jelas
Dewa Jubah Putih sambil me-ngarahkan jari telunjuknya ke
arah sebuah bukit cadas yang terletak tidak jauh dari mulut
hutan.
"Mengapa Eyang tidak menyembunyikannya di dalam pondok
saja?" Tanya Sanjaya.
Pemuda itu merasa heran melihat tempat per-sembunyian
kedua pusaka itu. Karena, tempat itu cukup sulit untuk
didatangi.
"Hm.... Aku tidak mengatakan kalau pusaka itu disimpan di
atas puncak bukit, Sanjaya. Aku hanya ingin mengatakan kalau
aku menyembunyikannya di balik bukit. Jadi kita tidak perlu
mendaki bukit itu untuk mengambilnya," sahut Dewa Jubah
Putih seraya tersenyum mendengar perranyaan muridnya.
Karena, hal itu berarti orang tentu akan mengira kalau kedua
benda pusaka itu disembunyikan di puncak bukit.
Tanpa berkata-kata lagi, orang tua itu melesat cepat menuju
ke balik bukit. Ilmu meringankan tu-buhnya sudah demikian
tinggi. Tidak heran kalau dalam sekejap saja sudah bergerak
jauh. Dan San-jaya tidak mau ketinggalan. Sekuat tenaga,
dikejar gurunya itu.
Setelah mengitari bukit kecil itu, tidak berapa lama kemudian
mereka tiba didepan sebuah mulut gua yang tidak terlalu besar.
Paling-paling hanya seukuran tubuh orang dewasa.
"Di situkah Eyang menyimpannya?" Tanya Sanjaya lagi
sambil menunjuk mulut gua kecil itu.
Dewa Jubah Putih hanya tersenyum mendengar pertanyaan
muridnya. Kemudian kakinya melang-kah lambat-lambat ke
arah mulut gua itu. Diangkat-nya sebuah batu sebesar kepala
kerbau yang berada satu tombak dari mulut gua. Setelah
menggali bebe-rapa saat dengan menggunakan tangannya, dia
mengangkat keluar sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati.
Baru saja kakek itu hendak meletakkan kotak itu di atas
tanah, tiba-tiba....
Slap!
Dua bayangan berkelebat cepat menyambamya.
Berbarengan dengan itu, terdengar suara bentakan nyaring.
"Serahkan kotak itu kepadaku, Dewa Jubah Pu-tih!"
Kakek tua itu pun bergegas menarik kotak di tangannya ke
belakang. Sehingga terkaman dua so-sok tubuh itu hanya
menyambar angin kosong.
Dewa Jubah Putih terus melempar tubuhnya berjumpalitan
ke belakang. Manis sekali kakinya menjejak tanah, bahkan
tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Sanjaya, lari...!" Teriak kakek itu yang segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Dewa Jubah Putih melarikan diri bukan karena takut,
melainkan tempat itu tidak cocok untuk ber-tarung. Sedangkan
kawan-kawan dua sosok baya-ngan tadi sudah pula
bermunculan dari balik se-mak-semak.
Tanpa membantah lagi, Sanjaya bergegas me-lompat
mengikuti gurunya. Pemuda itu sempat ter-tegun melihat
kejadian yang tak disangka-sangka. Untunglah gurunya sempat
memperingatkan. Kalau tidak, mungkin Sanjaya masih tetap
berdiri bingung di tempatnya.
"Hm.... Mau lari ke mana kau, Manusia Sera-kah?!" Bentak
salah seorang, sambil melesat menge-jar guru dan murid itu.
Sementara itu enam orang lainnya ikut pula ber-lompatan
mengejar. Menilik gerakan yang rata-rata gesit dan lincah,
dapat dipasrJkan kalau orang-orang itu bukanlah tokoh
sembarangan.
Setelah agak lama berkejaran, mereka tiba ditempat yang
agak lapang tempat Sanjaya biasa berlatih ilmu-ilmu yang
diajarkan gurunya yang berjuluk Dewa Jubah Putih.
"Sanjaya, kau cepat pergi! Tinggalkan tempat ini Dan
sembunyikanlah benda pusaka ini!" Perintah Dewa Jubah Putih
sambil menyerahkan kotak yang berisi benda-benda pusaka
warisan gurunya.
"Eyang! Mengapa tidak kita hadapi saja mereka. Bukankah
kita belum tentu kalah?" Bantah Sanjaya yang merasa terheran-
heran melihat sikap gurunya yang tampak begitu khawatir.
"Ah! Kau tidak tahu, Sanjaya. Mereka bukanlah orang
sembarangan. Dan bukan tidak mungkin ka-lau di antara
mereka terdapat adik ataupun kakak seperguruanku yang telah
lama mencari-cari benda pusaka ini! Cepatlah sebelum mereka
sampai me-lihatmu!" desak Dewa Jubah Putih sambil mendo-
rong tubuh muridnya hingga jatuh terguling-guling.
***
DUA
"Heaaat..!"
Dua sosok tubuh yang baru tiba langsung me-lesat
menerjang Sanjaya yang tengah terguling-guling. Dua pasang
tangan tampak terulur saling berebutan menyambar benda di
tangan pemuda itu.
Dewa Jubah Putih terkejut melihat keadaan ini. Cepat bagai
kilat tubuhnya melesat memapak gera-kan mereka. Sepasang
tangannya bergerak berputa-ran dan menyerang beberapa kali
saling susul.
Plak! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Ledakan keras terdengar begitu tiga pasang tangan bertemu,
mengadu tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh masing-masing
terjajar mundur bagai dilontarkan oleh tenaga kuat yang tak
tampak oleh mata.
"Kakang Aji Barga...! Adi Bukaran...! Apa yang kalian
lakukan?!" Seru Dewa Jubah Putih ketika mengenali kedua
orang itu.
Mereka tak lain adalah kakak dan adik sepergu-ruan laki-laki
tua yang berjuluk Dewa Jubah Putih. Kekhawatiran kakek itu
memang beralasan. Dan fi-rasatnya ternyata benar.
"Hm.... Adi Shindupala, mengapa kau masih ber-pura-pura
bertanya. Kau pasti sudah bisa menduga maksud kedatangan
kami ke sini. Ayo! Serahkan ke-dua pusaka itu kepadaku! Sudah
terlalu lama kau menyimpannya. Apakah kau ingin
mengangkangi kedua pusaka perguruan kita itu sendirian?!"
Ben-tak orang yang bemama Aji Barga geram. Sepasang
matanya merah, memancarkan ancaman kematian.
"Benar, Kakang Shindupala. Sudah terlalu lama kedua
pusaka warisan guru kita itu berada di ta-nganmu. Dan
sekarang kami datang untuk me-mintanya. Bukankah kedua
pusaka itu memang untuk kita bertiga? Nah! Sekarang,
serahkanlah ke-pada kami. Kelak kami akan mengembalikannya
lagi kepadamu apabila sudah selesai mempelajarinya," timpal
orang yang bernama Bukaran. Laki-laki ini adik seperguruan
Dewa Jubah Putih.
"He he he...! Aku pun sudah tidak sabar lagi ingin segera
melihat kedua pusaka warisan guru kita itu. Harap kau berbaik
hati untuk meminjam-kannya kepadaku barang satu dua tahun,
Kakang Shindupala," terdengar suara lain.
Rupanya di situ juga telah hadir sosok orang yang secara
langsung mengaku sebagai saudara se-perguruan mereka.
Orang itu melangkah lebar menghampiri ketiga orang
saudara seperguruan yang tengah bersitegang itu.
"Hm.... Adi Paksaka pun rupanya menginginkan juga benda
itu," sindir Aji Barga.
Aji Barga memang orang tertua di antara ke-empat orang
saudara seperguruan itu. Walaupun usianya sudah lebih
delapan puluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih
terlihat gagah dan kuat.
"Tentu saja, Kakang Aji Barga. Apakah kau pikir hanya kau
saja yang ingin mempelajari kitab pusaka peninggalan guru
kita?" Sahut Palwaka sambil mem-periihatkan senyum sinisnya.
Tidak berapa lama setelah kedatangan Palwaka, berturut-
turut muncul delapan orang lainnya. Na-mun kedelapan orang
yang baru datang itu berusia lebih muda dari keempat tokoh
sakti itu. Usia me-reka sekitar dua sampai tiga puluh tahun.
"Hm.... Siapa lagi mereka itu?" Tanya Ki Shindupala atau
yang berjuluk Dewa Jubah Putih dengan suara lirih, namun
agak jelas terdengar.
. "Mereka adalah muridku, Adi Shindupala. Dan untuk
kepentingan merekalah sehingga aku datang ke sini.
Ketahuilah, Shindupala. Mereka bertiga ini-lah yang akan
melanjutkan kejayaan perguruan kita," sahut Aji Barga
memperkenalkan tiga pemuda yang kini sudah berdiri di
belakangnya. Sementara lima orang lainnya agak ke belakang
lagi.
Temyata lima orang muda itu adalah murid Ki Bukaran dan
Ki Palwaka yang kemudian sudah ber-diri di belakang gurunya
masing-masing.
"Apakah kau tidak berniat memperkenalkan mu-ridmu itu,
Shindupala? Ataukah sengaja disembu-nyikan agar ia dapat
mempelajari ilmu itu sendi-rian?" Sindir Ki Bukaran dengan
nada sinis.
"Ya. Anak ini memang muridku satu-satunya. Dan hanya
dialah yang berhak untuk mempelajari kitab pusaka
peninggalan guru kita. Ingat, Kakang Aji Barga, Adi Bukaran
dan Adi Palwaka. Guru telah menyerahkan kedua pusaka ini
hanya untukku. Dan kalian masing-masing telah mendapatkan
se-buah pusaka. Nah, mengapa sekarang kalian men-jadi
serakah?"
Ki Shindupala atau Dewa Jubah Putih berhenti sebentar.
Matanya merayapi kakak dan adik seper-guruannya dengan
pandangan penuh kekecewaan.
"Apakah kalian tidak takut dikutuk arwah guru kita? Apa
sebenarnya yang telah terjadi pada kalian? Mengapa setelah
guru meninggal lalu kalian ber-ubah menjadi orang serakah dan
selalu ingin me-miliki kepunyaan orang lain? Bukankah pusaka-
pu-saka yang diberikan kepada kalian juga tidak kalah
ampuhnya?" tegas Ki Shindupala. Suaranya terde-ngar
bergetar. Jelas sekali kalau orang tua yang ber-juluk Dewa
Jubah Putih itu merasa terpukul me-lihat sikap saudara-saudara
seperguruannya itu.
Ketiga orang itu terdiam ketika mendengar uca-pan Ki
Shindupala yang terasa menusuk hati. Un-tuk beberapa saat
lamanya suasana jadi hening, tak ubahnya di pekuburan. Tak
seorang pun yang me-ngeluarkan kata-kata. Sehingga yang
terdengar hanya suara napas mereka.
Aji Barga orang tertua di antara keempat tokoh itu cepat
menekan perasaannya. Diakui kalau hati-nya sangat lemah.
Namun keinginannya untuk me-miliki kedua pusaka itu rupanya
telah membuatnya jadi gelap mata. Sehingga, dia berusaha
melupakan hubungan saudara seperguruan yang sangat erat
itu. Setelah menarik napas berulang-ulang, Ki Aji Barga
mengangkat kepalanya.
"Dengar, Adi Shindupala. Kami tidak akan melu-pakan
hubungan di antara kita. Dan aku pun juga tidak melupakan
jasa-jasa guru kepadakk. Tapi, sudikah kau meminjamkan
pusaka itu kepadaku barang satu dua tahun? Aku berjanji akan
mengem-balikannya setelah waktu yang ditentukan itu, Adi
Shindupala. Apakah sikapku yang demikian masih dikatakan
jahat? Aku hanya ingin meminjam dan bukan merampas!" tegas
Ki Aji Barga.
Suara laki-laki tua itu lebih lembut dari semula. Wajahnya
pun terlihat tidak lagi tegang. Bahkan sepasang sinar matanya
seperti memancarkan keha-ngatan dan persaudaraaan.
Tentu saja Ki Shindupala menjadi terkejut mendengar
ucapan kakak seperguruannya itu. Sejenak hatinya tersentuh
mendengar kata-kata maupun sinar mata saudara
seperguruannya itu. Namun de-mikian Shindupala sadar kalau
kakak seperguru-annya itu tengah bersiasat dan berupaya
membu-juknya dengan kata-kata manis. Karena, di antara
keempat orang saudara seperguruan itu hanya diri-nyalah yang
memiliki perasaan welas asih. Sedang-kan yang lainnya rata-
rata memiliki sifat serakah dan licik. Dan rupanya, Ki Aji Barga
sengaja melon-tarkan bujukan yang dapat melemahkan
hatinya. Sebab, dia telah mengetahui segala sifat yang di-
milikinya itu.
"Maaf, Kakang Aji Barga. Bukan maksudku un-tuk
menyerakahi kedua pusaka itu sendiri saja. Tapi, kita semua
sama-sama tahu kalau aku telah bersumpah didepan guru
untuk menjaga kedua pusaka ini sampai akhir hayat. Dan kalian
pun telah pula mengetahui pesan guru sebelum beliau wafat.
Ingatkah kau, Adi Palwaka? Apa yang dikatakan guru?" jelas Ki
Shindupala.
Dewa Jubah Putih mencoba menggugah kesa-daran saudara-
saudara seperguruannya. Sengaja melontarkan pertanyaan
kepada Ki Palwaka, karena hanya adik seperguruannya itulah
yang paling dekat dengannya.
"Hhh.... Aku masih mengingatnya, Kakang Shindupala,"
sahut Ki Palwaka.
Laki-laki kurus adik seperguruan Ki Shindupala itu
menundukkan wajahnya yang agak pucat. Dia memang teringat
akan wejangan dan nasihat guru-nya sebelum meninggalkan
mereka untuk selama-lamanya. Temyata ingatan itu
membuatnya lemah dan tak bersemangat. Justru memang hal
itulah yang diharapkan Ki Shindupala. Hanya dengan jalan
mengingatkan akan guru mereka, diharapkan dapat
menyadarkan saudara-saudara seperguruannya yang khilaf itu.
"Katakanlah. Apa yang dipesankan guru waktu itu, Adi
Palwaka," pinta Ki Shindupala dengan suara bergetar lembut
Hingga seolah-olah suara itu mene-lusup ke dalam relung hati
dan menggetarkan jiwa.
"Yah.... Kita harus menjaga apa-apa yang telah diwariskan
guru, dan tidak boleh menyerahkan pemberian itu kepada
orang lain. Meskipun, orang itu adalah saudara seperguruan
sendiri. Hanya ke-pada murid-murid yang berbakatlah warisan
itu baru bias diturunkan," Ki Palwaka menuturkan. Dia memang
tidak bisa berbohong pada yang lain. Apa-lagi untuk
mengingkari pesan gurunya.
Setelah berkata demikian, kepala laki-laki kurus itu kembali
tertunduk. Seolah-olah wajahnya ingin disembunyikan karena
merasa malu terhadap apa yang akan dilakukannya tadi.
"Bodoh kau, Palwaka! Kata-kata itu hanya ber-laku selagi
guru kita masih hidup. Dan setelah beliau pergi, maka segala
aturan aku yang menentu-kannya. Karena aku adalah murid
yang paling tua. Ingat itu!"
Ki Aji Barga yang rupanya tidak ingin mendengar kata-kata
itu menjadi marah. Bentakan itu dituju-kan jelas buat Ki
Palwaka dengan penuh kegera-man. Wajahnya tampak
memerah menahan amarah yang meledak-ledak dalam dada.
"Benar! Aku setuju dengan Kakang Aji Barga. Sebagai orang
tertua di antara kita, maka dialah seka-rang yang berhak
mengatur kita!" tegas Ki Bukaran mendukung ucapan kakak
seperguruan-nya itu.
"Jangan bodoh, Adi Bukaran! Bukankah pesan terakhir beliau
menyuruh kita untuk menempuh jalan masing-masing dan
mengamalkan apa-apa yang telah diterima dari beliau!" bantah
Ki Shindu-pala kembali, tetap berpegang ucapan terakhir guru-
nya. Dan itu memang satu-satunya senjata yang paling ampuh
untuk menundukkan hati saudara-saudara seperguruannya itu.
Sanjaya hanya terdiam tidak berusaha untuk mencampuri
urusan itu. Karena, pemuda itu me-mang tidak mengetahui
persoalan yang tengah diperdebatkan gurunya dengan
saudara-saudara seperguruannya itu. Dia hanya dapat
memandang dengan wajah cemas. Sebab disadari kalau kesela-
matan dirinya serta gurunya tengah terancam! Dan tentu saja
hal itu membuatnya gelisah!
"Sudahlah! Kalau kau memang keras kepala
mempertahankan dan menyerakahi pusaka itu, ter-paksa jalan
kekerasan yang akan kuambil!" Kembali Ki Aji Barga yang
sudah tidak dapat menahan ke-sabarannya. SeperHnya
pertempuran berdarah an-tara saudara seperguruan itu tak
mungkin dapat dicegah lagi.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa harus melawanmu demi
mempertahankan apa yang telah menjadi hak-ku!" Sahut Ki
Shindupala, dingin. Dia segera bersiap untuk menghadapi
serangan kakak seperguruan-nya. Dewa Jubah Putih telah
bertekad untuk mem-pertahankan pusaka peninggalan gurunya
yang di-amanatkan kepadanya itu.
"Kalian rebutlah peti yang berada di tangan pemuda itu!"
Perintah Ki Aji Barga kepada tiga orang muridnya.
Setelah berkata demikian, kakek itu segera melesat ke arah
Ki Shindupala.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Ki Aji Barga mulai
membuka serangannya.
Wut! Wut!
Sepasang tangan Ki Aji Barga bergerak cepat menimbulkan
sambaran angin dahsyat. Sepertinya dia sudah tidak
memandang Ki Shindupala sebagai adik seperguruannya lagi,
melainkan sebagai musuh yang harus dimusnahkan!
Ki Shindupala atau yang lebih dikenal dalam dunia persilatan
berjuluk Dewa Jubah Putih ber-gegas menggeser tubuhnya
sambil melontarkan se-rangan balasan yang tidak kalah
dahsyat. Sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka
melakukan tam-paran dan bacokan susul-menyusul.
Bet! Bet..!
Jari-jari tangan Dewa Jubah Putih menusuk dan membacok
menimbulkan suara meneieit tajam membelah udara.
Serangannya benar-benar dahsyat dan berbahaya. Bahkan bila
dialiri tenaga dalam kuat, sanggup menembus dan
memecahkan batu sebesar perut kerbau bunting!
Ki Aji Barga tentu saja telah mengetahui akan kehebatan
ilmu yang digunakan adik seperguruan-nya, karena mereka
memang seperguruan. Maka, biarpun Ki Shindupala menerjang
cepat dan ganas, lawannya tetap saja dapat mengelak. Ki Aji
Barga memang telah mengetahui arah sasaran pukulan adik
seperguruannya itu. Hanya saja yang perlu di-perhitungkan,
kecepatan gerak lawan. Memang se-menjak muda, Ki
Shindupala memiliki kelebihan itu dibanding dengan saudara-
saudaranya yang lain. Itulah satu-sarunya keuntungan yang
dimiliki Dewa Jubah Putih.
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang saudara
seperguruan berkepandaian tinggi itu, be-nar-benar
mengerikan. Sehingga di tempat pertem-puran tak ubahnya
seperti dilanda angin topan.
Pepohonan yang berada dekat kedua tokoh sake itu
berderak-derak ribut dipermainkan angin puku-lan masing-
masing yang menyambar-nyambar. Bah-kan beberapa di
antaranya telah rebah akibat terlanggar pukulan nyasar.
Sehingga tempat kedua orang tokoh sakti itu bertarung bagai
diamuk ribuan gajah yang sedang marah.
Sementara itu, Sanjaya yang tengah menggen-dong erat peti
berisi benda pusaka peninggalan ka-kek gurunya, berusaha
meloloskan diri dari serga-pan tiga orang murid Ki Aji Barga.
Pemuda itu tentu saja menjadi kalang kabut, karena
kepandaian tiga orang pengeroyoknya boleh dibilang setingkat
de-ngannya. Apalagi kini harus menghadapi tiga orang
sekaligus!
"He he he...! Lebih baik serahkan peti itu sebelum kami
memutuskan untuk membunuhmu. Pemuda Tolol! Aku berjanji
akan membebaskan apabila kau mau menyerahkan peti itu
kepadaku," bujuk salah seorang dari pengeroyok itu. Sambil
berkata demikian, sepasang tangan dan kakinya terus saja
melakukan serangan-serangan gencar.
"Huh! Apakah kalian pikir aku takut mati?! Ja-ngan coba-
coba membujukku. Karena sampai mati pun peti ini tidak akan
sudi kuserahkan kepada kalian!" Bentak Sanjaya tanpa
mengenal rasa takut sedikit pula.
"Bangsat, mampuslah!" Teriak salah seorang dari
pengeroyok.
Belum juga hilang gema suaranya, dia melontarkan sebuah
pukulan yang menimbulkan deruan angin keras. Nampaknya
orang itu ingin membunuh Sanjaya dengan sekali pukul.
Zebbb!
"Aaah...!"
Sanjaya sebisanya menggeser tubuh untuk menghindari
pukulan yang memankan itu. Kemu-dian tubuhnya dilempar ke
belakang, karena pada saat itu datang serangan lainnya.
Tubuh pemuda itu melambung dan bersalto beberapa kali di
udara. Tapi, baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dua
buah pukulan dan tendangan segera menyambutnya. Cepat
Sanjaya bergulingan ke kiri sambil tetap memegang erat peti
mati di tangannya.
"Heaaat..!"
Salah seorang murid Ki Aji Barga melompat tinggi, kemudian
meluruk disertai sebuah pukulan yang siap meremukkan tubuh
Sanjaya.
Brak!
Sebatang pohon yang berada di belakang pemuda tinggi
tegap itu kontan roboh menimbulkan suara gemuruh.
Untunglah Sanjaya telah lebih da-hulu menggulingkan
tubuhnya ke samping. Kalau tidak, tentu tubuhnya yang
terkena sasaran puku-lan lawan.
Cring!
Sadar kalau tidak mungkin dapat menyelamat-kan diri dari
ketiga orang itu, Sanjaya mencabut senjatanya di pinggang.
Went! Went...!
Pedang di tangan pemuda itu langsung berke-lebat
membentuk segunduk sinar yang menyelimuti tubuhnya.
Rupanya Sanjaya berniat membentuk benteng pertahanan
untuk menghalau serangan ke-tiga orang pengeroyoknya.
"Yeaaat..!"
Meskipun Sanjaya telah menggunakan pedang, namun
ketiga orang pengeroyok itu sama sekali tidak kelihatan gentar.
Salah seorang dari mereka kembali menerjang. Serangannya
terlihat menderu-deru.
Bet! Bet..!
Wut...!
"Aaah...!"
Orang itu berseru kaget dan bergegas melempar tubuhnya
ke belakang. Karena pada saat melakukan serangan, tahu-tahu
saja dari dalam gundukan si-nar putih itu menyembul ujung-
ujung pedang yang siap menghunjam tubuh. Tentu saja ia
tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran ujung-ujung pedang
lawan. Maka tubuhnya segera dilempar ke belakang.
"Setan...! Rupanya ilmu pedang si tolol ini hebat juga!" Puji
orang itu sambil mengumpat marah dan penasaran.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau di dalam gundukan
sinar putih itu tersembunyi ancaman maut. Hal itu semakin
membuatnya penasaran. Me-nurut pikirannya, seharusnya
kepandaian pemuda tinggi tegap itu masih di bawahnya. Sebab
pemuda itu adalah murid Ki Shindupala, yang berarti adik
seperguruan Ki Aji Barga, guru mereka. Tapi sayang dugaannya
itu keliru. Biarpun guru pemuda itu masih terhitung adik
seperguruan Ki Aji Barga, na-mun kepandaian kedua guru
mereka boleh dibilang seimbang. Bahkan bisa jadi Ki
Shindupala lebih unggul daripada kakak seperguruannya.
Karena, Dewa Jubah Putih lebih tenang, lebih bersih hati dan
tenaga batinnya.
"Sudahlah! Jangan hanya mengumpat saja bisa-mu, Adi
Lebih baik cabut senjatamu agar kita dapat meringkusnya lebih
cepat'" usul saudara seper-guruannya yang lebih tua beberapa
tahun darinya.
"Baiklah, Kakang. Aku pun sudah tidak sabar ingin
menghancurkan batok kepala pemuda tolol itu!" Sahutnya
sambil mencabut keluar pedang yang tergantung di punggung.
Cring! Cring! Cring!
Tiga batang pedang berdesingan ketika tercabut keluar dari
sarungnya Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga
orang itu pun segera melompat sambil mengayunkan pedang.
"Heaaat..!"
Sanjaya semakin mempercepat putaran pedang-nya. Dan
kini sinar putih itu semakin melebar me-lindungi dirinya.
Rupanya ia benar-benar bertekad untuk mempertahankan peti
itu sampai titik darah yang penghabisan.
Wut! Wut..!
Biar bagaimanapun rapatnya pertahanan pedang pemuda
tinggi tegap itu, tetap saja tak akan mampu untuk menghalau
tiga batang pedang pengeroyok-nya. Memang, tenaga dalam
yang mereka miliki boleh dikatakan rata-rata seimbang. Dan
kini San-jaya terpaksa harus bergulingan untuk menyelamat-
kan diri dari tusukan tiga batang pedang yang terus
mencecarnya.
Memasuki jurus yang kelima puluh, Sanjaya tak dapat lagi
menghindari sebuah sabetan yang meng-ancam punggung,
karena kedudukannya benar-benar tidak menguntungkan.
Wut..!
Bret!
"Aaah...!"
Tubuh tinggi tegap itu tedempar ke samping ke-tika ujung
pedang salah seorang pengeroyok ber-hasil melukai
punggungnya Meskipun luka itu tidak begitu dalam, namun
cukup menimbulkan rasa perih. Darah segar pun mulai menetes
membasahi rerumputan hijau.
"Huh! Sekarang terimalah kematianmu, Pemuda Tolol!"
Teriak salah seorang pengeroyok yang ber-nafsu sekali untuk
melenyapkan nyawa Sanjaya.
Singngng!
Tampak mata pedang lawan berkilatan tertimpa cahaya
matahari. Sepertinya Sanjaya sudah tidak mungkin lagi bisa
menyelamatkan setembar nyawa-nya dari kematian!
***
Bret!
"Aaargh...!"
Sanjaya menjerit kesakitan ketika ujung pedang itu
membabat kulit perutnya. Untung ia masih sempat sedikit
berkelit, sehingga luka yang diderita tidak terlalu parah. Begitu
lolos dari kematian, pemuda tinggi tegap itu menggulingkan
tubuhnya menghindari bacokan lawan yang berikut.
"Sanjaya...!" sentak Ki Shindupala.
Laki-laki tua yang tengah bertempur sengit itu terpecah
perhatiannya ketika mendengar jeritan mu-ridnya. Mau tak mau
Dewa Jubah Putih harus membayar mahal akibat kekhawatiran
pada murid-nya itu. Sebuah pukulan telapak tangan Ki Aji Barga
tak pelak lagi menghantam dadanya.
Desss!
"Ugh...!"
Tubuh kurus itu terbanting keras beberapa tombak disertai
semburan darah segar dari mulut-nya. Namun Dewa Jubah
Putih bergegas bangkit meskipun agak timbung. Sambil
menekap dadanya, tubuh laki-laki tua itu melesat ke arah
muridnya yang sedang bertarung.
"Jahanam kalian!" teriak kakek itu parau.
Meskipun telah menderita luka yang cukup parah namun
Dewa Jubah Putih masih juga ber-usaha untuk menyelamatkan
muridnya. Tubuhnya terus meluncur dengan kedua tangan
terkembang ke kiri-kanan.
Desss! Desss!
"Aaahk..!"
Dua orang pengeroyok yang siap merejam tubuh Sanjaya
terlempar akibat hantaman sisi telapak tangan Dewa Jubah
Putih. Kedua orang itu ter-jungkal ke tanah. Untung saja kakek
itu dalam ke-adaan terluka sehingga tenaga pukulannya pun
tidak sekuat semula. Namun demikian, cukup mem-buat dua
orang itu meringis kesakitan.
"Keparat kau, Shindupala! Kubunuh kau!" teriak Ki Aji Barga
yang murka melihat kedua orang mu-ridnya jatuh terjerembab
akibat pukulan Ki Shindu-pala.
"Sanjaya, bagaimana keadaanmu?" Tanya Dewa Jubah Putih
cemas.
"Aku... aku tidak apa-apa, Eyang. Hanya luka sedikit dan
tidak terlalu mengkhawatirkan," sahut Sanjaya sambil berusaha
bangkit berdiri.
Dengan berpegangan pada pedang, pemuda itu bangkit dari
duduknya. Sedangkan tangan kirinya tetap mengempit peti
yang berisikan kitab dan sen-jata pusaka pemberian gurunya.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Muridku. Blarlah Eyang yang
akan mencegah mereka. Jangan mem-bantah. Karena hanya
kaulah satu-satunya yang akan meneruskan kelanjutan
perguruan kita," tegas Ki Shindupala yang tidak ingin dibantah
perintah-nya. Baru saja ucapannya selesai, sesosok bayangan
melesat menerjang ke arah mereka.
"Heaaat..!"
Wut! Wut!
Dewa Jubah Putih mendorong tubuh muridnya agar
terhindar dari pukulan sosok tubuh itu. Sedangkan dirinya
sendiri bergegas melempar tubuh ke samping dan terus
bergulingan. Setelah terpisah agak jauh, tubuh kakek itu cepat
melenting bangkit. Tapi belum lagi sempat berdiri tegak,
sebuah tenda-ngan keras telah menghantam punggungnya.
Buk!
"Huakkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Shindupala tersuruk
kedepan. Darah segar muncrat dari mulut-nya, sehingga luka
yang dideritanya semakin ber-tambah parah.
"Uhhh...!" Sambil mengerang menahan sakit, kakek itu
susah-payah berusaha bangkit berdiri. Darah masih saja
mengalir dari sudut bibimya.
"Eyang...!"
Melihat keadaan gurunya yang tampak terluka parah itu,
Sanjaya tak sampai hati meninggalkan-nya. Bergegas pemuda
itu kembali dan membantu gurunya bangkit.
"Eyang.... Aku tidak bisa meninggalkanmu da-lam keadaan
seperti ini. Aku tidak bisa...!" Tegas pemuda tinggi tegap itu
dengan suara parau. San-jaya menarik napas berulang-ulang
untuk mengusir rasa sesak di dadanya.
"Sanjaya. Kalau kau memang ingin berbakti kepada gurumu
ini, turutilah perintahku. Pergilah! Tinggalkan tempat ini dan
selamatkan pusaka yang kuamanatkan kepadamu itu," ujar Ki
Shindupala dengan suara terputus-putus. Wajah kakek itu
nampak semakin pucat, karena sudah cukup ba-nyak
kehilangan darah.
"Hm.... Shindupala! Apakah kau masih bersi-keras hendak
mempertahankan benda itu? Ayo, serahkan padaku sebelum
kesabaranku habis!" Ben-tak Ki Aji Barga yang sudah berdiri
tegak beberapa tombak di hadapan Dewa Jubah Putih.
Rupanya kakek Itulah yang telah melepaskan tendangan keras
tadi.
Ki Shindupala memandangi sosok-sosok yang
mengelilinginya dan Sanjaya. Ketiga orang saudara
seperguruan dan murid-muridnya itu tampak te-ngah menatap
penuh ancaman. Bergegas kakek itu mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya.
"Tidak! Aku akan mempertahankannya sampai tetes darah
yang penghabisan!" Tegas Ki Shindupala sambil melintangkan
pedang didepan dada. Sedikit pun tidak terlihat kegentaran dari
pancaran mata-nya.
"Keras kepala!" Umpat Ki Aji Barga yang segera melompat
sambil membacok dengan stsi telapak tangan ke arah leher Ki
Shindupala.
Kali ini bukan hanya Ki Aji Barga saja yang menerjang Dewa
Jubah Putih. Tapi Ki Bukaran dan Ki Palwaka beserta murid-
muridnya pun ikut pula menyerbu. Rupanya, nasihat yang
diberikan Ki Shindupala terhadap Ki Palwaka tidak berarti sama-
sekali. Buktinya, dia pun ikut menyerang.
"Lari, Sanjaya..," bisik Ki Shindupala seraya mendorong
tubuh muridnya keluar arena pertem-puran.
Sesaat kemudian, tubuhnya segera melesat di-sertai putaran
pedangnya yang bergulung-gulung menebarkan angin keras.
Bagaikan seekor harimau luka, Ki Shindupala mengamuk
dengan hebatnya.
Wut! Wut..!
Sambaran pedang yang bagaikan angin topan itu sempat
membuat para pengeroyoknya melompat mundur. Ki
Shindupala benar-benar kalap, sehingga serangannya begitu
menggiriskan. Tanpa mempe-dulikan dirinya lagi, kakek itu
terus saja menerjang bertubi-tubi.
Bret! Bret!
"Aaahk...!"
Dua orang murid lawannya langsung terguling mandi darah
tersambar pedang di tangan Ki Shin-dupala. Dua orang itu
kontan tewas seketika dengan leher hampir putus!
Bukan main marahnya Ki Bukaran dan Ki Aji Barga melihat
murid mereka tewas termakan amu-kan Dewa Jubah Putih.
Hampir meledak dada mereka menahankan kemarahan yang
memuncak.
"Keparat, kubunuh kau...!" Pekik Ki Bukaran yang segera
meloloskan pedangnya.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, kakek yang berusia
sekitar enam puluh lima tahun itu menerjang dahsyat.
Ki Shindupala yang sudah tidak mempedulikan keselamatan
dirinya, bergegas memapak ayunan pedang adik
seperguruannya. Seluruh sisa-sisa tena-ganya dikerahkan untuk
menyambut serangan itu.
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Bunga api memercik disertai dentang senjata beradu yang
memekakkan telinga. Tubuh Dewa Ju-bah Putih yang memang
sudah sangat lemah ter-jajar mundur dan jatuh terguling-
guling. Saat itu dua orang murid yang ikut mengeroyoknya
mem-babatkan pedang ke tubuh Ki Shindupala yang tengah
bergulingan.
Crag! Crag!
"Aaakh...!"
Meskipun keadaannya sudah sangat payah, namun kakek itu
temyata masih mampu melepaskan diri dari ancaman dua bilah
senjata itu. Seketika tubuhnya melenting ke atas.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di-tolak. Pada
saat tubuh Ki Shindupala tengah me-ngapung di udara, Ki Aji
Barga cepat bagai kilat melompat menyusulinya disertai
tebasan ke arah pinggang kakek itu. Berbarengan dengan itu,
Ki Bu-karan pun melesat sambil menusukkan pedangnya ke
arah jantung Dewa Jubah Putih.
Desss!
Crap!
"Aaargh...!"
Darah segar kembali muncrat disertai jeritan yang menyayat
keluar dari mulut Ki Shindupala. Tubuhnya terbanfing keras di
atas tanah berumput Dan selagi tubuhnya menggelepar
meregang nyawa, telapak kaki Ki Aji Barga mendarat di atas
dadanya.
Krek!
"Hukkk..!"
Ki Aji Barga baru mengangkat kakinya dari dada adik
seperguruannya ketika yakin kalau tubuh tua itu sudah tidak
bergerak lagi.
"Rasakanlah akibat sikap kepala batumu itu, Shindupala!"
Desis Ki Aji Barga seraya menendang tubuh adik
seperguruannya yang telah tewas de-ngan dada remuk dan
tubuh berlubang itu. "Biar-pun muridmu lari ke neraka, aku
akan tetap me-ngejarnya!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu melesat cepat
mengejar Sanjaya yang melarikan diri dengan membawa benda
pusaka yang diperebutkan itu. Ilmu meringankan tubuhnya
memang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tak heran dalam
sekejap saja, tubuhnya telah lenyap meninggalkan tempat itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, yang lain pun ikut pula
mengejar. Hanya Ki Palwaka yang tidak terlihat di antara
mereka. Rupanya dia telah mengambil kesempatan lebih dulu
untuk mengejar Sanjaya.
Tinggallah kini mayat Ki Shindupala dan dua orang lainnya
tergolek kaku. Angin pegunungan bersilir lembut menebarkan
bau anyir darah!
***
Sanjaya berlari terseok-seok menuruni Lereng Gunung
Kalaban. Tangan kirinya masih tetap me-ngempit peti yang
berisi pusaka yang mulai bemoda darah. Pedang di tangan
kanannya masih tetap ter-genggam erat.
Dug!
"Aaah...I"
Tubuh pemuda tinggi tegap itu jatuh terguling-guling ketika
langkah kakinya yang lelah itu ter-sandung sebuah batu yang
menonjol menghalangi jalan. Darah pun tampak mengalir
membasahi pa-kaiannya. Di beberapa bagian tubuhnya
terdapat luka-luka akibat batu-batu bertonjolan yang tertin-das
tubuhnya selagi jatuh bergulingan.
Meskipun seluruh tubuhnya terasa amat sakit, namun
pemuda itu terus berusaha bertahan. Kedua tangannya
menggapai-gapai mencari peti dan pe-dang yang terlepas dari
tangannya tadi. Setelah berhasil mendapatkan kedua benda itu,
Sanjaya bergegas bangkit dan kembali beriari menuruni lereng
gunung.
"Eyang.... Ahhh...."
Sambil terus berlari tersaruk-saruk, mulutnya tak henti-
hentinya memanggil-manggil gurunya. Suaranya demikian lirih
dan menyayat. Meskipun berusaha untuk tidak menangis, tak
urung dua titik air bening mengalir dari sepasang matanya yang
memerah.
Dengan menahan keharuan dan kesedihan, San-jaya terus
saja berlari tanpa berani berhenti sekejap pun. Rasa marah,
dendam, kesedihan, dan pena-saran berbaur menjadi satu
dalam hatinya. Masih tergambar jelas di pelupuk matanya,
betapa orang tua yang telah mengasuh dan mendidiknya
semen-jak kecil itu bertarung mati-matian demi keselama-tan
dirinya. Ingatan itu membuat kerongkongannya bagai
tersumbat. Seringai kesedihan tergambar di wajahnya mewakili
perasaan hatinya yang tersayat-sayat.
Setelah melewati aliran sungai yang memisah-kan Gunung
Kalaban dengan dunia luar. Sanjaya terus berlari memasuki
mulut hutan yang terletak di sebelah Barat Kald Gunung
Kalaban.
Pemuda tinggi tegap yang telah lelah lahir dan batin itu terus
saja menerobos semak-semak. Sudah tidak dipedulikan lagi,
apakah di hutan itu terdapat binatang buas atau tidak. Saat itu
yang ada dalam pikirannya hanyalah berlari dan berlari sejauh-
jauh-nya untuk menghindari kejaran orang-orang tamak itu.
Bruk!
Kembali tubuh pemuda itu jauh tersuruk untuk yang kedua
kalinya. Kali ini yang menjadi penyebab adalah akar pohon
besar yang menyembul di atas permukaan tanah.
"Hhh.... Hhh...."
Sanjaya tidak berusaha bangkit. Dibiarkan saja tubuhnya
yang lelah itu rebah di atas rerumputan tebal yang menghijau.
Dengan napasnya demikian keras tak ubahnya seekor kuda
yang habis dipacu kencang. Ketika bayangan gurunya melintas
di pelupuk matanya, pemuda tinggi tegap itu berusaha untuk
bangkit. Setelah meletakkan peti dan pedang-nya di bawah
sebatang pohon, Sanjaya bergegas bersemadi untuk
memulihkan kekuatannya.
"Ha ha ha...! Mau lari ke mana kau, Pemuda Tolol!" Tiba-tiba
terdengar suara yang membuat Sanjaya terlompat dari
semadinya.
Sanjaya menatap tajam wajah kakek berusia enam puluh
tahun yang tahu-tahu telah berdiri be-berapa langkah di
depannya. Pemuda itu terkejut begitu mengenali kalau orang
itu tak lain adalah Ki Palwaka, adik seperguruan gurunya yang
juga ikut memperebutkan benda pusaka yang kini dibawanya
itu. Sepasang mata pemuda itu merayapi sekeliling-nya, seolah
olah ingin mencari yang lainnya. Hati-nya agak sedikit lega
ketika tidak melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu.
"Ha ha ha.... Jangan khawatir, Anak Muda. Aku sengaja
mendahului mereka yang masih sibuk me-ngeroyok gurumu
yang keras kepala itu. Ayo, serah-kan benda itu!" Bentak Ki
Palwaka sambil mengulur tangannya ke arah benda berbentuk
peti yang telah kembali dikempit pemuda itu.
Tentu saja Sanjaya tidak membiarkan benda itu terampas.
Maka cepat-cepat tangannya yang meng-genggam pedang itu
digerakkan.
"Heaaah...!"
Wut! Wut!
"Eh!"
Ki Palwaka cepat menarik pulang tangannya, karena tidak
ingin tangannya putus oleh tebasan pedang pemuda itu. Wajah
kakek itu berubah merah karena kemarahan yang amat sangat.
Begitu pedangnya tidak mengenai sasaran, Sanjaya bergegas
melompat mundur. Meskipun tenaga-nya belum benar-benar
pulih, pemuda itu bertekad mempertahankan benda warisan
gurunya mati-matian. Pedangnya ditudingkan ke arah kakek itu
lurus-lurus. Sementara kedua kakinya terus me-langkah
mundur perlahan-lahan.
"Hiaaat..!"
Diiringi teriakan nyaring, tubuh Ki Palwaka me-layang ke
arah Sanjaya. Kedua tangannya bergerak cepat melancarkan
tamparan-tamparan yang me-nimbulkan suara menderu keras.
Wuk! Wuk...!
Susah payah Sanjaya mengelakkan serangan laki-laki tua
yang bertubi-tubi itu. Tubuh pemuda itu berloncatan sambil
sesekali membalas lewat tusukan dan tebasan pedangnya.
Namun apalah artinya perlawanan pemuda tinggi tegap yang
masih lemah itu. Dalam lima jurus saja, dia sudah dibuat tak
berdaya, sehingga tak mampu lagi untuk melindungi tubuhnya
dari puku-lan-pukulan lawan.
Bugk! Desss!
"Ughk...!"
Tubuh pemuda tinggi tegap itu terlempar keras ketika dua
buah pukulan Ki Palwaka singgah di lambung dan perutnya.
Seketika peti yang berada dalam kempitannya terlempar. Dan
secepat kilat, Ki Palwaka melesat menyambarnya. Dengan
gerakan lambat, Sanjaya berusaha bangkit berdiri. Di sudut
bibirnya tampak cairan merah mengalir. Rupanya pukulan
lawan telah melukai bagian dalam tubuh-nya.
"Ha ha ha...! Akhirnya benda pusaka ini menjadi milikku
juga!" Ki Palwaka tertawa sambil meng-angkat peti yang telah
berada di tangannya tinggi-tinggi.
Suara tawa itu mendadak terhenti, karena peti yang tengah
diangkat di atas kepalanya tahu-tahu saja telah direbut sesosok
bayangan putih yang ber-kelebat bagaikan bayangan hantu.
"Keparat! Siapa kau?! Cepat kembalikan peti milikku itu!"
bentak Ki Palwaka dengan suara meng-gelegar penuh
kemarahan.
Dengan sepasang matanya yang mengancam, di-rayapinya
sekujur tubuh pemuda berjubah putih yang telah berdiri dalam
jarak dua tombak di depan-nya.
Pemuda berjubah putih itu hanya memperlihat-kan
senyumnya sebagai jawaban. Dan tanpa mem-pedulikan kakek
itu, ia pun melangkahkan kakinya mendekati Sanjaya.
"Apakah benda ini milikmu?" Tanya pemuda tampan
berjubah putih itu kepada Sanjaya.
Meskipun mulutnya bertanya demikian, namun tangannya
terulur menyerahkan peti kepada pemu-da tinggi tegap itu.
Sanjaya memandang ragu ke arah pemuda tampan berjubah
putih itu. Kemudian pandang matanya berpindah pada seraut
wajah jelita yang tadi meno-longnya bangkit. Wajah murid
Dewa Jubah Putih itu tampak memancarkan keheranan yang
amat sangat. Sepertinya masih belum bisa dipercaya kalau pe-
muda tampan berjubah putih itu benar-benar me-nyerahkan
petinya kembali.
Wajar kalau Sanjaya masih belum mempercayai apa yang
dialaminya sekarang ini. Sebab selama ini dia memang belum
pernah bertemu orang lain selain gurunya. Begitu gurunya
mengizinkan untuk turun gunung, tiba-tiba datang orang-orang
yang menurut Ki Shindupala adalah saudara seperguruannya.
Tapi sikap mereka temyata sangat telengas dan ingin me-rebut
benda yang menjadi hak gurunya. Lalu, me-ngapa sekarang
pemuda berjubah putih itu malah hendak mengembalikan
benda itu kepadanya? Mungkinkah pemuda itu adalah orang
yang disebut-sebut gurunya sebagai pendekar?
"Kisanak, apakah benda ini milikmu? Atau ben-da ini
memang milik kakek itu?" Kembali si pemuda berjubah putih
melontarkan pertanyaan kepada Sanjaya.
Sanjaya tersentak dari lamunannya ketika mendengar
pemuda berjubah putih itu mengulang per-tanyaannya.
"Ya... Ya, benda itu memang kepunyaanku," Jawab Sanjaya
cepat-cepat, bernada gugup. Sambil berkata demikian,
tangannya terulur menerima peti itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang tak lain adalah Panji
atau berjuluk Pendekar Naga Putih itu bergegas menyerahkan
peti ke tangan pemliknya. Sebenarnya Panji memang
mengetahui kalau peti itu milik pemuda yang kini terluka.
Pendekar Naga Pu-tih dan Kenanga memang telah sempat
mendengar dan melihat perdebatan yang terjadi antara
pemuda itu dengan si kakek. Itulah sebabnya, mengapa dapat
dipastikan kalau peti itu adalah kepunyaan pemuda tinggi tegap
yang tubuhnya penuh luka itu.
Ki Palwaka yang sama sekali tidak dipandang sebelah mata
oleh pemuda berjubah putih itu, menjadi marah sekali. Gigi-
geliginya terdengar bergemeretak pertanda amarahnya benar-
benar memuncak Wa-jahnya yang kian mengelam itu tampak
menakut-kan.
"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Anak Setan! Yeaaat..!" Ki
Palwaka yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya itu
berteriak keras sambil melompat menerjang Panji.
"Kakang, awas...!" Kenanga yang saat itu ber-pakaian serba
hijau berteriak memperingatkan Panji.
Sebenarnya Kenanga tidak perlu berteriak se-perti itu.
Karena, saat itu juga tubuh Panji telah berbalik menghadap ke
arah si kakek yang tengah meluncur untuk melancarkan
serangan berbahaya.
Melihat hal itu Panji segera menggeser tubuhnya ke samping
dan membiarkan serangan iawan lewat setengah jengkal di sisi
tubuhnya. Saat itu juga, kaki kirinya mencelat melakukan
tendangan kilat menuju dagu Ki Palwaka.
Zebbb!
"Hmh...!"
Ki Palwaka mendengus kasar melihat tendangan lawan.
Tubuh orang tua itu meliuk menggunakan tenaga pinggang.
Begitu tendangan itu lewat, tangan kanannya terulur ke depan
ke arah leher Panji.
***
EMPAT
Wut!
Sambaran angin kuat mengiringi cengkeraman tangan Ki
Palwaka. Seperfinya kakek itu berniat menghancurkan tulang
leher lawan dengan sekali remas.
Sadar kalau kekuatan lawan begitu tinggi, Panji bergegas
mengangkat tangan kanannya memapak cengkeraman itu.
Dikerahkannya sebagian besar tenaga dalam karena tidak ingin
menganggap remeh lawan.
Plak!
"Hei...!"
Benturan dua gelombang tenaga dalam tinggi itu
menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Ki Palwaka
berteriak kaget ketika tangkisan pemuda itu membuat
tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Lengan yang
tertangkis itu terasa sangat nyeri. Hal ini benar-benar tak
masuk akal. Ki Pal-waka menggelengkan kepalanya setengah
tidak per-caya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Palwaka.
Keterkejutan kakek itu semakin bertambah ke-tika melihat
selapis kabut bersinar putih keperakan menyelimuti tubuh
pemuda yang menjadi lawannya itu.
"Pendekar Naga Putih...?!" Seru Sanjaya yang tak kalah
kaget.
Sementara itu, Ki Aji Barga dan Ki Bukaran baru saja tiba
bersama dengan enam orang lainnya. Me-reka langsung
terkesiap melihat kehadiran Pendekar Naga Putih sehingga
tanpa sadar menyebut julukan Panji.
Sanjaya meskipun belum pernah turun gunung, namun
pemah mendengar tentang sepak terjang se-orang pemuda
yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Cerita itu didapat dari
gurunya, Ki Shindupala. Be-gitu mengetahui kalau pemuda
tampan yang meno-longnya itu adalah pendekar yang sering
dipuji-puji gurunya, maka Sanjaya semakin mempercayai mak-
sud baik Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Itukah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersohor
itu?" Gumam Ki Aji Barga dengan nada meremehkan.
Panji yang mendengar gumaman itu sama-sekali tidak
merasa marah. Senyumnya tetap terkembang menghiasi
wajahnya yang tampan. Kemudian, pemuda itu melangkah
mendekati Sanjaya dan Kenanga.
"Kisanak, pergilah. Selamatkan dirimu, dan biar aku yang
akan menahan mereka di sini," bisik Panji ke telinga Sanjaya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga Putih.
Tapi, maaf. Aku terpaksa tidak dapat me-menuhi permintaanmu
itu, karena tidak ingin ada orang yang menjadi korban lagi
karena membelaku. Jadi, biarlah aku tetap di sini untuk ikut
meng-hadapi mereka," tegas Sanjaya, mantap.
Sepasang mata pemuda itu tampak memancar-kan sinar
berkilat ketika bayangan gurunya kembali melintas di pelupuk
matanya. Sebab, dengan hadir-nya orang yang mengeroyok Ki
Shindupala, sudah dapat dipastikan kalau gurunya telah tewas
di tangan mereka. Pikiran itu membuat semangat dan
kemarahan pemuda itu kian berkobar-kobar.
"Bukaran! Hadapilah murid si keparat Shindu-pala. Rebut
peti yang berada di tangannya. Bunuh dia sekalian!" Bisik Ki Aji
Barga kepada Ki Bukaran di sebelahnya.
Ki Bukaran mengangguk cepat Tubuhnya yang agak gemuk
itu langsung melompat dan menerjang dengan serangan
bertubi-tubi.
Bet! Bet..!
Empat buah pukulan yang dilancarkannya ber-turut-turut
berhasil dielakkan Sanjaya. Pemuda itu berlompatan sambil
menyabetkan pedang ke ping-gang Ki Bukaran. Kenanga yang
berniat membantu Sanjaya segera dicegah Ki Palwaka.
Sedangkan Panji kini sudah bertarung melawan Ki Aji Barga.
Enam orang murid ketiga kakek sakti itu pun ikut pula terjun
dalam kancah pertempuran. Mereka segera berloncatan
mengeroyok Sanjaya. Tentu saja pemuda tinggi tegap itu
menjadi keiabakan dibuat-nya.
Sanjaya terus bertahan sambil mundur tanpa menyadari
kalau di belakangnya menganga sebuah jurang yang dalam.
Serangan para pengeroyok yang susul-menyusul itu
membuatnya kian terdesak dan terus bergerak mundur.
"Hiyaaat...!"
Ki Bukaran yang melihat keadaan itu tentu saja menjadi
gembira. Sambil berteriak keras, tubuhnya berkelebat dari
samping Sanjaya. Tangan kanannya terayun ke leher,
sedangkan kaki kanannya menen-dang ke arah peti yang
dihimpit di tangan kiri pe-muda itu.
Melihat adanya serangan dari samping kiri, tan-pa sadar
pemuda tinggi tegap itu melompat ke bela-kang untuk
menyelamatkan dirinya. Tapi sayang! Sanjaya tidak mengetahui
kalau di belakangnya ter-dapat sebuah jurang yang siap
menelan tubuhnya.
"Aaa...!"
Pemuda tinggi tegap itu menjerit ngeri ketika tubuhnya
melayang ke dalam jurang yang kedala-mannya tidak diketahui
pasti. Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu pun sudah tak
kelihatan lagi, namun gema suaranya masih terdengar. Dan
kini, sayup-sayup mulai hilang.
Ki Bukaran menjengukkan kepalanya ke dalam mulut jurang.
Wajah kakek itu tampak membayang-kan perasaan kecewa
yang amat dalam, karena tidak berhasil menyelamatkan peti
yang berisi benda pusaka yang diperebutkan itu. Memang peti
itu ikut tertelan di jurang bersama tubuh Sanjaya.
Ki Aji Barga yang tengah bertarung melawan Panji, sempat
melihat kejadian itu. Dia pun begitu terkejut. Maka cepat
tubuhnya berkelebat menuju tempat itu. Demikian pula Ki
Palwaka. Tubuhnya yang kurus itu cepat melesat ke arah Ki
Bukaran berada.
"Adi Bukaran, mana peti itu?" Tanya Ki Aji Barga meskipun
sudah dapat menduga apa yang telah ter-jadi ketika melihat di
tangan Ki Bukaran tidak ada peti itu.
"Peti itu..., ikut tercebur ke dalam jurang, Kakang," sahut Ki
Bukaran lesu.
"Hhh.... Bodoh!" Maki Ki Aji Barga gusar.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Aji Barga segera mengajak
kedua orang muridnya untuk meninggal-kan tempat itu. Mereka
kini berkelebat menyelinap di antara pepohonan hutan yang
tumbuh rapat.
Ki Bukaran dan Ki Palwaka pun segera meng-ajak murid-
muridnya untuk meninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!" Seru Panji menahan langkah mereka yang
herdak meninggalkan tempat itu. Tubuh pemuda itu melompat
dan berputar di udara, kemudian kedua kakinya mendarat
ringan di hada-pan keenam orang itu.
"Hm.... Minggirlah, Anak Muda. Kami tidak mempunyai
urusan denganmu!" Bentak Ki Bukaran gusar melihat pemuda
tampan yang berjuluk Pende-kar Naga Putih itu menghadang
jalannya.
"Huh! Tidak ada urusan katamu?! Apakah sete-lah kau
membunuh pemuda tak berdosa itu dapat bebas begitu saja?!"
Kata Panji dengan sinar mata mencorong tajam.
"Keparat! Sudah kubilang aku tidak mempunyai urusan
denganmu! Hihhh...!" Dengan gusar, Ki Bukaran menggerakkan
tangan kanannya ke arah Panji.
Serrr! Serrr!
Seketika pukthan batang jarum halus melesat cepat bagai
kilat Begitu jarum-jarumnya terlontar, keertam orang itu pun
melompat ke arah gerum-bulan semak yang banyak terdapat di
tempat itu.
Panji bergegas mengebutkan tangannya untuk meruntuhkan
jarum-jarum halus yang mengancam tubuhnya itu.
"Bangsat licik!" Teriak Panji marah, setelah ber-hasil
merontokkan senjata rahasia itu.
Cepat bagai kilat tubuh pemuda itu mengejar keenam orang
itu. Kenanga pun bergegas menyertai-nya. Namun mereka
menjadi kecewa ketika tak me-nemukan mereka. Memang,
pepohonan yang tum-buh di hutan itu begitu rapat, sehingga
Pendekar Naga Putih sulit untuk menemukan mereka.
Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, Panji dan
Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu.
***
Tubuh Sanjaya meluncur deras menuju dasar jurang.
Pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar
tubuhnya terlindungi dari benturan-benturan. Namun tak urung
beberapa kali mulutnya mengaduh ketika batang pohon yang
menjulur dari dinding jurang terlanggar tubuhnya. Pemuda itu
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan rasa sakit yang
mendera tubuhnya.
Meskipun dalam keadaan seperti itu, namun Sanjaya tetap
menggenggam erat batang pedang dan mengempit peti
pemberian gurunya. Tekad pemuda itu sudah bulat. Hancur
bersama pusaka pening-galan perguruannya, atau selamat juga
bersama-sama pusaka itu.
Byurrr!
Air seketika berdebur tinggi saat tubuh Sanjaya menimpa
permukaannya. Untunglah pemuda itu masih bertahan untuk
tidak pingsan, selama tubuh-nya meluncur tadi. Kalau tidak,
mungkin sudah tewas tenggelam di dasar sungai yang
membelah tebing tinggi itu.
Meskipun sekujur tubuhnya terasa pedih, pe-muda yang
tekadnya telah bulat itu berusaha be-renang ke tepi. Air sungai
yang bening dan sejuk itu sempat membuat pemuda itu merasa
segar karena-nya.
Dengan dengusan napas memburu, Sanjaya me-rangkak
naik. Tepian sungai yang tidak terlalu tinggi itu membuatnya
tak mengalami kesulitan untuk menjangkaunya.
Sanjaya membiarkan tubuhnya yang lelah itu re-bah
telentang di atas tanah berumput kering. Pe-dang dan peti
pemberian gurunya tetap berada di sampingnya. Rasa lelah
yang amat sangat mem-buatnya langsung tertidur pulas tanpa
sadar.
"Uhhh...!"
Entah berapa lama sudah pemuda itu terlelap. Yang jelas
begitu terbangun, hari sudah menjadi gelap. Bergegas ia
bangkit dan melangkah tertatih-tatih mencari tempat yang lebih
aman untuk ber-malam.
"Hm.... Biariah untuk malam ini aku beristirahat di bawah
dinding yang menonjol ini. Besok, baru aku akan mencari jalan
keluar dari tempat ini," gu-mam Sanjaya sambil menyandarkan
tubuhnya pada lekukan dinding batu yang menonjol
menaunginya.
Sejenak pemuda itu melepaskan pandangan ke atas, seolah-
olah ingin memastikan berapa tingginya dinding jurang.
Murid tunggal Ki Shindupala itu menarik napas dalam-dalam.
Wajahnya yang gagah tampak mu-rung saat melihat berapa
tingginya dinding jurang itu. Sepertinya Sanjaya tak mungkin
dapat keluar dari lembah itu.
Tubuh Sanjaya menggelinjang ketika angin dingin
berhembus menyusup ke tulang sumsumnya. Bergegas
dikumpulkannya ranting kering yang banyak berserakan di
sekitamya. Tak berapa lama kemudian, api unggun pun mulai
berkobar meng-hangatkan tubuhnya.
Pemuda tinggi tegap itu termenung memikirkan kejadian-
kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Sepertinya
masih belum bisa dipercayai kalau kejadian itu telah menimpa
dirinya. Karena, segalanya terjadi demikian singkat hingga tak
ubah-nya sebuah mimpi buruk yang mengerikan.
"Eyang.... Aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu
terhadap saudara-saudara seperguru-anmu yang berhati busuk
itu! Hatiku tidak akan pemah bisa tenteram selagi orang-orang
biadab itu masih berada di muka bumi ini. Tenangkanlah
hatimu, Eyang. Berilah aku kekuatan untuk mak-sudku itu,"
desis Sanjaya.
Kembali dada pemuda itu terasa sesak ketika teringat akan
gurunya. Buku-buku jarinya berkero-tokan ketika telapaknya
mengepal kuat-kuat. Sepasang matanya tampak mencorong
menyiratkan den-dam yang amat sangat.
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu tersen-tak bagai
disengat kalajengking, dan kedua tangan-nya tampak gemetar
ketika memegang pemberian gurunya yang berjuluk Dewa
Jubah Putih.
Diangkatnya peti itu di atas kepala untuk meng-hormati si
pemilik ataupun si pembuat kedua benda yang berada di
dalamnya. Setelah agak lama pemuda itu bersujud sambil
mengangkat peti di atas kepalanya, lalu perlahan-lahan bangkit
dan duduk bersila.
Jari-jari tangan Sanjaya tampak gemetar ketika membuka
tutup peti yang panjangnya tak lebih dari dua jengkal itu.
Serangkum hawa harum seketika menyebar menyergap hidung
pemuda itu pada saat penutup peti terbuka.
"Hm.... Benda apa ini...?" gumam Sanjaya.
Pemuda itu terheran-heran ketika di dalam peti itu terdapat
tiga butir benda bulat sebesar anggur, berwarna merah dan
telah kering. Sanjaya semula berniat mengambil benda bulat
itu. Namun seketika niatnya diurungkan ketika melihat goresan-
goresan huruf yang tertera di bagian dalam penutup peti.
Tulisan itu berbunyi,
Siapa pun yang ingin mempelajari isi kitab.
Dan memiliki senjata pusaka ini.
Maka dia harus menelan buah pertama.
Yang berjodoh akan selamat...!
Sanjaya tertegun setelah membaca kalimat yang tertera itu.
Hatinya berdebar ketika membaca baris terakhir. Sepertinya, di
situ terkandung sebuah an-caman yang berbau maut.
"Yang berjodoh akan selamat....'" Sanjaya me-ngulang baris
terakhir dari goresan itu.
Kening pemuda itu berkerut, mencari arti dari tulisan baris
terakhir itu. Dirapatkannya penutup peti. Lalu dilangkahkan
kakinya perlahan-lahan sambil memikirkan makna dari baris
terakhir tuli-san tadi.
"Ah! Kalau saja eyang berada di sini, tentu aku tidak perlu
susah-susah menanyakannya. Sebab, aku yakin kalau eyang
pasti mengetahui makna ter-sembunyi di balik tulisan itu,"
gumam Sanjaya lirih.
Kedua kaki pemuda itu terus saja melangkah bolak-balik di
sekttar tempat itu. Rupanya sebelum mendapatkan arti kata-
kata pada baris terakhir, Sanjaya tidak mau bertindak gegabah.
Karena sampai lama belum juga dapat ditemu-kan
jawabannya, akhirnya Sanjaya merebahkan tubuhnya. Sisa-sisa
kelelahan yang masih terasa, membuatnya cepat terlelap.
***
Kehangatan sinar mentari dan kicauan burung pagi
membangunkan Sanjaya dari tidurnya. Pemuda itu bangkit
sambil menggosok-gosok kedua matanya yang silau oleh
semburat sinar matahari.
"Uhhh...!"
Sanjaya mengeluh ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri dan
linu. Dengan tertatih-tatih kakinya melangkah menuju ke
sungai yang hanya terpisah beberapa tombak di depannya.
Setelah melepas se-luruh pakaiannya, pemuda tinggi tegap itu
bergegas terjun ke dalam sungai yang berair jernih.
Byurrr!
Permukaan air sungai menyibak ketika tubuh pemuda itu
jatuh menimpanya. Sambil menggigit bibir menahankan rasa
perih akibat luka-luka luar-nya, Sanjaya membersihkan seluruh
tubuh agar luka-lukanya itu tidak membengkak.
Tak lama kemudian, pemuda itu kembali naik ke darat
Wajahnya sudah mulai nampak kemerahan. Kini perut Sanjaya
terasa lapar. Untung tadi dia telah menangkap beberapa ekor
ikan yang banyak di sungai ini. Dan kini, dia telah duduk dekat
api unggun sambil menikmati ikan bakar.
Sanjaya kini merasa tubuhnya lebih segar. Se-lesai
menjemur pakaiannya yang telah dicuci bersih-bersih, dia
duduk bersila di atas sebuah batu besar yang permukaannya
lebar dan pipih sehingga tidak menyakitkan. Sesaat kemudian,
Sanjaya telah teng-gelam dalam semadinya.
Sanjaya bangkit dari semadinya ketika tenaga dalamnya
terasa mulai pulih. Bergegas pemuda itu mengenakan
pakaiannya yang telah kering.
"Haiiit...!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda itu
melambung ke udara. Setelah melakukan bebe-rapa kali
putaran di udara, kedua kakinya mendarat empuk di atas
permukaan tanah berumput.
”Yeaaa...!"
Wut! Wut..!
Sanjaya mulai menggerak-gerakkan tangan me-latih ilmu
silatnya. Meskipun tenaganya belum selu-ruhnya pulih, namun
angin pukulan yang menyam-bar dari kedua tangannya sudah
dahsyat Sanjaya terus memainkan jurus-jurus silatnya. Setelah
me-rasa agak lelah, gerakannya pun dihentikan Di-hirupnya
udara banyak-banyak, kemudian dihem-buskannya kuat-kuat.
"Hm.... Rasanya kesehatanku sudah hampir pulih. Sekarang
tinggal memikirkan, apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Tinggal di tempat ini, atau mencari jalan untuk keluar," gumam
pemuda tinggi tegap itu seperfi ditujukan pada dirinya sendiri.
Sepasang mata Sanjaya berputar merayapi da-erah di sekitar
tempat itu. Dilangkahkan kakinya perlahan ke tempat ia
semalam beristirahat.
Wajahnya yang semula cerah, kembali murung begitu
matanya tertumbuk pada peti pemberian gurunya. Sepasang
alisnya bertaut memikirkan apa yang harus dilakukannya
terhadap benda di dalam peti itu. Sejenak hatinya meragu
ketika teringat kata-kata pada baris terakhir yang masih
menjadi teka-teki.
Sanjaya membalikkan tubuhnya menghadap ke sungai.
Dipandanginya permukaan air sungai yang tampak tenang
mengalir dan penuh kedamaian. Pemuda itu tersentak ketika di
atas permukaan air sungai, tampak bayangan gurunya yang
tengah dikeroyok Seluruh tubuh Ki Shindupala tampak dipenuhi
luka. Pakaian yang dikenakan orang tua itu pun telah penuh
ternoda darah.
"Eyang..., maafkan aku...," bisik pemuda tinggi tegap itu
dengan suara bergetar.
Sanjaya menggelengkan kepala mengusir pergi bayangan
yang mengganggunya itu. Kembali dihi-rupnya udara banyak-
banyak untuk melonggarkan rongga dadanya yang terasa
sesak. Sekujur tubuh pemuda itu gemetar teringat akan nasib
gurunya.
"Eyang pasti sudah tewas di tangan orang-orang biadab dan
serakah itu! Aku harus membalasnya! Harus!" Desis pemuda itu
dengan wajah geram. Sepasang matanya memancarkan api
dendam yang berkobar-kobar.
Begitu teringat akan kematian gurunya, tanpa berpikir
panjang lagi diraihnya peti yang berisi benda pusaka itu.
"Aku tidak peduli, apa yang akan kualami nanti!" Desis
Sanjaya sambil membuka penutup peti.
Sepasang mata pemuda itu kembali terbentur pada tulisan
yang terdapat di dalam penutup peti. Tanpa ragu-ragu lagi,
diambilnya buah pertama yang disebutkan dalam tulisan tadi.
Sepasang mata Sanjaya membelalak seperti hen-dak
melompat keluar. Seluruh permukaan kulit tubuhnya tampak
memerah bagai kepiting rebus. Bukan main ngeri hatinya ketika
merasakan ada hawa panas yang menyebar ke seluruh
tubuhnya.
Hawa panas itu seperti melonjak-lonjak, dan akan menjebol
seluruh jalan darahnya. Uap tipis berwarna putih pun tampak
mengepul dari ubun-ubun kepala. Dari hidung, mulut, dan
telinganya tampak cairan merah mengalir. Tapi meskipun
demikian, pemuda itu sama sekali tidak merasa sakit.
Tidak berapa lama kemudian, keadaan pemuda itu mulai
kembali seperti sediakala. Permukaan kulit tubuhnya tidak lagi
merah. Hawa panas yang melonjak-lonjak pun hilang entah ke
mana.
"Aneh! Mengapa tubuhku terasa lebih segar dari biasa?
Apakah ini pengaruh buah kering berwarna merah yang kutelan
tadi? Lalu, apa pula keguna-annya? Mungkinkah buah itu dapat
menambah tenaga?"
Berbagai macam pertanyaan memenuhi benak Sanjaya. Tapi,
tak satu pun yang dapat dijawab.
"Ahhh, biarlah. Yang penting tidak apa-apa pada tubuhku!"
gumam pemuda itu sambil menggeleng-kan kepala mengusir
bayangan-bayangan buruk yang jelas mengganggu.
Kini rasa keraguan semakin tipis. Perlahan di-ulurkan
tangannya untuk menyentuh kitab yang terdapat di dalam peti
itu Dengan jari-jari gemetar, diangkatnya kitab itu dari
tempatnya.
"Kitab ilmu silat 'Penakluk Sukma'...," mulut pemuda itu
bergerak-gerak membaca baris kalimat yang tertera pada
sampul kitab. Kemudian, dibuka-nya lembar pertama. Sanjaya
mengangguk-angguk-kan kepala begitu membaca baris-baris
kalimat yang berbunyi,
Kitab ini hanya dapat dipelajari orang berjiwa bersih, dan
menurut apa yang tertulis di balik penutup peti ini:
Bagi mereka yang hanya memikirkan kepen-tingan pribadi
saja, tidak akan bisa mempelajari isi kitab.
Sebab sampul kitab ini dilumuri racun yang hanya bisa
ditangkal dengan buah berwarna merah.
"Ahhh..., syukurlah. Aku telah menuruti pesan yang tertera
di balik penutup peti ini. Kalau tidak, pasti aku sudah tewas
oleh racun ganas yang melapisi sampul kitab ini," desah
Sanjaya dengan wajah agak memucat Diam-diam hatinya
merasa bersyukur karena tidak langsung menyentuh kitab itu
tadi.
Hati pemuda itu berdebar penuh kegembiraan ketika
mengetahui kalau kitab itu berisikan pelaja-ran ilmu silat tingkat
tinggi. Setelah puas melihat-lihat seluruh isi kitab, Sanjaya
kembali menutup-nya. Diletakkannya kitab itu di tempat
semula, ke-mudian diambilnya senjata yang terdapat di sebelah
kitab.
Sanjaya memandangi senjata yang terbuat dari perak dalam
genggamannya. Senjata itu berupa sebuah lempengan-
lempengan perak yang bersam-bung satu sama lain. Pada tiap-
tiap lubang sambun-gan, diikat oleh kawat baja yang
menghubungkan lempengan satu sama Iain. Sedangkan pada
bagian gagangnya tak bedanya dengan gagang pedang.
Sebuah senjata yang aneh dan jarang terdapat dalam dunia
persilatan.
"Hm.... Entah apa nama senjata yang berbentuk aneh ini?
Rasanya baru kali ini aku melihat senjata macam ini?" gumam
Sanjaya samba tak puas-puasnya menatapi senjata yang
berkilauan tertimpa cahaya matahari itu.
***
LIMA
Pagi ini, suasana begitu cerah. Angin bertiup semilir
membawa kabut yang bergerak perlahan-lahan. Hart ini, sudah
memasuki tiga butan Sanjaya berada di dasar jurang. Hanya
karena kemurahan Yang Maha Kuasa saja pemuda itu bisa
selamat sewaktu terjerumus ke dalam jurang. Untunglah, daya
tahan tubuhnya juga cukup hebat, sehingga dia tidak
mengalami luka yang berarti.
Dan semenjak tenaganya pulih, Sanjaya mulai melatih ilmu-
ilmu yang tertera pada kitab itu, tanpa mengenal lelah dan
tidak mempedulikan waktu. Se-tiap waktu luang selalu
dipergunakan untuk melatih ilmu 'Penakluk Sukma'.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk...!
Senjata berwarna perak yang panjangnya tiga jengkal
tangan orang dewasa itu menderu dahsyat menimbulkan
sambaran angin kuat. Sesekali terde-ngar suara gemerincing
ketika senjata itu digetar-kan. Kalau saja ada orang lain di
sekitar tempat itu, barulah akan dapat diketahui kegunaan
bunyi itu. Sebab bunyi itu demikian kuat dan dapat meng-
getarkan udara di sekitarnya.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun menghentikan
gerakannya. Tubuhnya yang ber-telanjang dada itu tampak
tegap dan kuat. Kejan-tanannya semakin nyata tatkala
tubuhnya dihiasi butiran-butiran keringat, sehingga tampak
berkilat tertimpa cahaya matahari.
Setelah menutup gerakannya, Sanjaya berdiri tegak
mengatur jalan napasnya. Dadanya yang bidang itu
bergelombang turun naik secara teratur. Wajahnya tampak
segar pertanda telah benar-benar sehat.
"Hm.... Telah hampir tiga bulan aku berada di sini. Meskipun
yang kupelajari belum ada separuh-nya, namun nyata sekali
kalau ilmu silat 'Penakluk Sukma' ini benar-benar langka.
Pantaslah kalau orang-orang seperti Ki Aji Barga, Ki Bukaran
dan yang Iain-lain menginginkan kedua pusaka ini," gumam
Sanjaya sambil melangkahkan kakinya. Diambilnya kitab 'Pe-
nakluk Sukma', lalu diselipkan di balik bajunya. Sementara,
senjatanya telah diling-karkan di pinggang.
Sanjaya memandangi tebing jurang yang hampir tak terlihat
tepinya. Tekadnya hanya satu. Keluar dari dalam jurang ini.
Sebentar kemudian, pemuda itu mengempos tenaganya.
Kemudian tubuhnya me-lenting, berputaran beberapa kali di
udara. Dengan gerak tangkas, tangannya meraih dahan pohon
yang menjulur keluar dari dinding tebing.
Setahap demi setahap, Sanjaya melompat naik dari satu
pohon, ke pohon lain yang banyak terda-pat di dinding tebing.
Gerakannya demikian ringan, hingga tak terasa pemuda itu
telah sampai di bibir jurang.
Dengan sekali lentingan dan putaran beberapa kali di udara,
Sanjaya telah berdiri tegak membela-kangi jurang. Pemuda itu
berdiri kokoh, menatap mulut sebuah hutan yang menghadang
di depannya.
Pemuda tinggi tegap itu terus melangkahkan kakinya
memasuki hutan lebat itu. Pohon-pohon besar yang tumbuh
rapat bukan merupakan hala-ngan baginya untuk meneruskan
langkah kakinya. Hingga tidak berapa lama kemudian, Sanjaya
pun tiba di sebuah tempat yang agak lapang.
Di tempat yang jarang terdapat pohon besar itu, tampak
berdiri sebuah pondok yang sederhana, ber-dindingkan kayu.
Entah siapa yang membuatnya. Yang jelas, tempat itu cocok
untuk beristirahat. Sanjaya memang harus memiliki pondok
untuk dijadikan tempat tinggal. Di situ dia akan menyerap
seluruh ilmu yang berada di dalam kitab itu.
***
Hari demi hari terus berlalu. Sang surya terus berputar
mengikuti peredaran masa. Hingga tanpa terasa, telah genap
satu tahun Sanjaya tinggal di pondok itu.
Seperti biasanya, pada setiap pagi pemuda itu tak pernah
lupa untuk berlatih. Demikian juga dengan pagi hari ini.
"Hiyaaa...! Heyaaat..!"
Diselingi teriakan-teriakan nyaring, tubuh pe-muda itu
berloncatan ke kiri dan ke kanan dengan gerakan lincah.
Senjata di tangannya berkelebatan cepat membentuk gulungan
sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sesekali senjata itu
bergerak meliuk bagaikan seekor ular yang tengah merayap di
atas permukaan tanah.
"Haiiit..!"
Suatu ketika tubuh pemuda itu melambung di-sertai
bentakan yang menggetarkan jantung. Sambil bersalto
beberapa kali, Sanjaya menggetarkan senjatanya hingga
memperdengarkan suara hiruk-pikuk.
Angin bertiup keras ketika senjata itu bergetar. Pohon-pohon
yang berada beberapa tombak dari pemuda itu, berderak-derak
ribut bagai hendak roboh. Beberapa pohon kecil bahkan sempat
tercabut sam-pai ke akar-akarnya karena kerasnya tiupan angin
yang diciptakan getaran senjata di tangan Sanjaya.
Setelah beberapa kali melakukan putaran, tu-buh pemuda itu
melayang turun ke atas permukaan tanah. Begitu kakinya
menyentuh tanah, tubuhnya kembali melambung, lalu
berjungldr balik menuju ke arah sebuah batu besar yang
terpisah enam tombak dari tempatnya.
"Yiaaat...!"
Dibarengi bentakan nyaring, senjata di tangan pemuda itu
tiba-tiba bergulung melipat. Sesaat kemudian, kembali
menyentak membuka.
Darrr!
Terdengar ledakan keras ketika senjata di tangan Sanjaya
menghantam batu sebesar perut kerbau. Debu mengepul tinggi
disertai batu-batu kecil yang beterbangan ke udara. Batu besar
itu langsung pecah terkena ujung senjata pemuda itu.
Tubuh Sanjaya kembali melenting balik meng-hindari
terpaan batu kecil yang berpentalan ke segala arah.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sepa-sang kaki
pemuda itu menjejak permukaan bumi. Senyum puas tampak
membayang di wajahnya. Meskipun napasnya terlihat agak
memburu, namun jelas sekali kalau dia merasa gembira dengan
hasil yang dicapainya selama ini.
Sambil tetap memandang kepulan debu yang mulai menipis,
Sanjaya mengelus-elus senjatanya yang tampak agak kotor itu.
Kemudian dengan gera-kan perlahan, dilibatkannya senjata itu
ke pinggang. Ternyata, senjata itu dapat pula dipergunakan se-
bagai sabuk!
Setelah menyimpan senjatanya, pemuda tinggi tegap itu
menjatuhkan kedua lututnya di atas tanah. Wajahnya langsung
ditengadahkan meman-dang langit biru jernih.
"Eyang.... Hari ini aku telah berhasil menamat-kan kitab
'Penakluk Sukma'. Tenanglah arwahmu di sisi-Nya, Eyang. Aku
akan mencari manusia-manu-sia keparat itu untuk meminta
pertanggung-jawa-ban mereka. Berilah restumu, Eyang," desah
San-jaya dengan suara lirih yang menggeletar.
Berbagai perasaan berbaur menjadi satu dalam hati pemuda
gagah itu. Agak lama dia tertunduk dengan mata terpejam,
seolah-olah tengah menunggu jawaban dan restu Ki
Shindupala, atau Dewa Jubah Putih.
Tidak berapa lama kemudian, Sanjaya bangkit perlahan-
lahan. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan tampat itu.
Pemuda tinggi tegap itu kembali menuju ke pondoknya yang
berada di dalam hutan.
Begitu berada di dalam pondoknya, Sanjaya mengambil kitab
pusaka yang berada di dalam peti. Diambilnya pemantik api,
lalu dinyalakan. Beberapa saat kemudian, api pun mulai
menggerogoti permu-kaan sampul kitab itu. Sanjaya memang
membakar kitab yang berisikan ilmu 'Penakluk Sukma' seba-
gaimana yang dipesankan di halaman terakhir.
Sanjaya duduk bersila memandangi lidah-lidah api yang
berkobar memusnahkan kitab itu. Pemuda itu baru bangkit
setelah kitab itu hanya tinggal arang hitam yang tak berarti.
Kini, Sanjaya bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu untuk
mencari orang-orang yang telah membunuh gurunya.
***
Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya yang kuning
keemasan menerobos sela-sela rimbu-nan dedaunan, membias
membentuk lingkaran yang memecah menyilaukan mata. Saat
itu matahari sudah mulai condong ke Barat.
Tiupan angin yang silir-silir mengiringi langkah seorang
pemuda tinggi tegap. Rambutnya yang pan-jang melewati bahu
itu berkibaran lembut. Langkah-nya ringan dan mantap
menerobos semak-semak yang menghalangi jalannya. Sama
sekali teriknya sinar matahari siang itu bukan halangan
baginya.
Sesekali pemuda gagah itu menghentikan lang-kahnya.
Kepalanya menengadah merayapi awan-awan biru yang
berarak. Sepertinya, ingin memasti-kan ke mana arah
tujuannya. Sesaat kemudian, kakinya kembali terayun, dan
tangannya bergerak menyibak dedaunan.
Pemuda gagah yang tak lain adalah Sanjaya itu terus
melangkah menuju sebuah tempat yang agak tinggi. Diedarkan
pandangannya ketika telah berada di atas sebuah batu besar.
Lama juga pemuda itu meneliti dan memandang jauh sambil
memayungi matanya dengan telapak tangan.
"Hm.... Kalau aku tidak salah, Gunung Kalaban tempat dulu
aku tinggal, terletak di daerah Barat. Ada baiknya kalau aku
menuju daerah itu dulu. Siapa tahu aku dapat meminta
petunjuk penduduk di sana," gumam Sanjaya.
Setelah berpikir demikian, pemuda gagah itu melesat turun
dari atas puncak bukit kecil itu. Gerakannya demikian cepat dan
ringan. Seolah-olah kedua kakinya tidak lagi menginjak tanah.
Dari sini saja sudah dapat dilihat kalau pemuda itu sekarang
telah memiliki kepandaian yang jauh lebih hebat di-banding
setahun yang lalu. Semua itu diperolehnya setelah berhasil
menguras seluruh isi kitab 'Pe-nakluk Sukma'.
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, San-jaya bergerak
menuju daerah Barat Tubuhnya ber-kelebat di antara
pepohonan hingga tak ubahnya seekor bulling yang tengah
melayang-layang bebas di angkasa raya.
Sanjaya yang tengah berlari cepat itu, tiba-tiba menahan
gerakannya. Telinganya yang tajam, sa-mar-samar mendengar
suara seperti orang bertem-pur. Namun suara itu terdengar
sangat jauh, se-hingga hatinya menjadi ragu.
Sambil terus mempertajam indra pendengaran-nya, pemuda
gagah itu melangkahkan kakinya mencari sumber suara orang
bertempur itu. Sanjaya semakin mempercapat langkahnya
manakala sema-kin jelas mendengar suara-suara teriakan dan
den tang senjata yang mengusik telinganya.
"Hm.... Siapakah yang tengah bertempur di da-lam hutan
yang lebat ini?" Dengan hati penuh tanda tanya, Sanjaya
semakin mempercepat langkahnya.
Tidak berapa lama kemudian, dari kejauhan ter-lihat belasan
orang tengah bertempur. Sanjaya me-nyelinap di antara semak
belukar agar tidak terlihat. Merasa terlalu jauh untuk melihat
lebih jelas, maka pemuda itu mengendap-endap mendekati
arena per-tempuran.
Bruk!
"Aaah...!"
Sanjaya semakin merendahkan tubuhnya ketika salah
seorang dari mereka tiba-tiba terlempar bebe-rapa tombak di
dekat persembunyiannya.
Laki-laki tinggi kurus itu merangkak bangkit sambil mengeluh
dan mendekap lambung kirinya. Darah tampak merembes dari
sela-sela jari tangan-nya. Dengan gerakan limbung, orang itu
berusaha untuk dapat berdiri tegak.
"Aaa...!"
Terdengar jeritan kematian yang berturut-turut Bersamaan
dengan itu, empat sosok tubuh ber-pakaian serba hitam
terjungkal roboh mandi darah. Sesaat kemudian, mati.
"Biadab!" Maki si lelaki kurus dengan wajah yang semakin
pucat "Ayo, kalian bunuh saja aku sekalian!"
Seorang laki-laki gemuk berwajah hitam dan berperut buncit
melangkah maju menghampiri orang itu. Wajahnya yang buruk
dan hitam itu memperlihatkan seringai kejam.
"He he he...! Dengar, Gayana! Sengaja kau tidak kubunuh
agar dapat melaporkan kepada kepala sukumu. Katakan
padanya kalau aku tidak akan membuat kekacauan lagi apabila
ia bersedia meng-angkat kepala suku kami sebagai
menantunya!" Ancam orang gendut bermuka hitam itu galak.
"Huh! Jangan mimpi kau, Manusia Buruk! Bagaimana
mungkin kepala sukumu yang tua renta itu bisa disejajarkan
dengan putri kepala suku kami yang masih muda dan cantik.
Apalagi, kepala suku-mu telah memiliki empat orang istri,"
sahut lelaki kurus yang dipanggil Gayana itu, sambil menyem-
burkan ludah berkali-kali sebagai tanda tak gentar terhadap
ancaman itu.
"Keparat! Apakah kau sudah bosan hidup se-hingga berani
menghina kepala suku kami?! Hih...!"
Setelah memaki dengan penuh kemarahan, lelaki gendut
bermuka hitam itu melayangkan kaki-nya.
Buk!
"Hukh...!"
Gayana yang sudah terluka itu tidak mampu lagi untuk
menghindari tendangan si muka hitam. Tubuhnya terlempar
sejauh satu tombak. Darah segar langsung mengalir dari sudut
bibirnya. Lelaki kurus itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa
mual akibat tendangan keras tadi.
"Baiklah, kalau kau memang lebih memilih mati daripada
melaporkan permintaanku kepada kepala sukumu itu!"
Setelah berkata dengan penuh kegeraman, laki-laki bermuka
hitam itu mencabut pedangnya yang pan-jang dan besar.
Pedang yang melengkung pada bagian tengahnya itu berkilau
tertimpa cahaya matahari yang memantul.
Lelaki tinggi kurus itu merapatkan giginya kuat-kuat, seperti
memang lebih memilih mati ketimbang menyampaikan ucapan
si muka buruk itu. Dengan pandangan tidak berkedip, ia
menanri datangnya kematian.
Sanjaya yang hanya empat tombak berada di belakang lelaki
kurus itu menjadi kagum dibuatnya.
"Hebat! Orang yang setia dan tak takut ber-korban nyawa
demi kepentingan orang yang disebut sebagai kepala suku oleh
si muka hitam itu," gu-mam Sanjaya sambil menggeleng-
gelengkan kepala sebagai tanda kekagumannya.
Pemuda tinggi tegap yang berada di balik semak-semak itu
sebenarnya merasa terkejut sekali mendengar ucapan 'kepala
suku' yang disebut orang-orang itu. Dari perkataan dan sebutan
mereka, dapat diduga kalau dirinya tengah berada di daerah
suku-suku pedalaman yang jauh dari kota maupun desa.
Saat itu si muka hitam sudah tiba di hadapan Gayana.
Senjatanya yang mirip pedang itu teracung ke alas, siap
membelah tubuh laki-laki tinggi kurus itu. Wajah si muka hitam
tampak menyeringai gem-bira, seolah-olah pekerjaan
membunuh adalah salah satu kesenangannya.
Namun lelaki tinggi kurus yang tengah terduduk itu sama
sekali tidak merasa gentar. Dengan berani, ditatapnya mata si
muka hitam lekat lekat Meskipun wajahnya pucat, namun
sepasang matanya tetap terbuka lebar. Bahkan mulutnya
menyunggingkan senyum sinis yang membuat si muka hitam
sema-kin mengkelap marah.
Wuttt..!
Senjata yang bentuknya perpaduan antara pe-dang dan
golok itu meluruk ke arah si tinggi kurus. Dan belum lagi
senjata itu sempat mengenai sasa-rannya, tiba-tiba sebentuk
sinar hitam melesat bagai anak parah.
Trak...!
"Aduhhh...!"
Si muka hitam menjerit kesakitan ketika benda hitam
sebesar kerikil itu tepat menghantam pergola-ngan tangannya.
Tubuhnya terjajar mundur bebe-rapa langkah ke belakang.
Sedangkan senjatanya terpental dari tangannya.
Lelaki gendut bermuka hitam itu memijat-mijat
pergelangannya yang terasa bagaikan remuk. Bibir-nya yang
tebal dan juga berwarna hitam itu men-desis-desis persis
seperti orang yang habis makan sambal pedas.
Sementara itu, di samping laki-laki yang ber-nama Gayana
telah berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tinggi tegap.
Wajahnya yang kokoh tam-pak menyiratkan kejantanan.
Sedangkan sepasang matanya mencorong tajam, menatap si
muka hitam dan kawan-kawannya. Pemuda itu tak lain adalah
Sanjaya, yang telah turun tangan menolong Gayana.
"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau anggota Suku
Gandas?!" Bentak si muka hitam galak. Suaranya terdengar
berat dan parau. Sepasang matanya yang lebar dan besar itu
bagaikan hendak melompat keluar merayapi wajah Sanjaya.
Sedangkan delapan orang kawan si muka hitam sudah
bergerak mengepung kedua orang itu. Wajah mereka tampak
buas menyiratkan nafsu mem-bunuh. Senjata mereka yang
berbentuk tombak, teracung lurus ke arah Sanjaya dan Gayana.
"Hm.... Aku adalah Sanjaya. Dan aku sama-sekali tidak
mengenal Suku Gandas. Tapi, aku ada-lah orang yang paling
tidak suka melihat kekejaman bertangsung di depan mataku,"
sahut Sanjaya yang menjadi marah melihat kekejaman orang-
orang itu.
"Bunuh mereka!" Perintah si muka hitam yang sudah
kehilangan kesabaran itu.
Setelah berkata demikian, si muka hitam memu-ngut
senjatanya yang tidak jauh dari tempatnya ber-diri itu.
"Yaaa...!"
Dengan sebuah teriakan parau, delapan orang laki-laki
berwajah menyeramkan itu melompat dan menari-nari
mengettlingi kedua orang itu. Mereka terus berlarian mengitari
Sanjaya dan Gayana sam-bil mengeluarkan teriakan-teriakan
parau.
Sanjaya terkejut melihat gerakan yang masih asing baginya
itu. Sehingga tanpa sadar tubuhnya berputar mengikuti arah
putaran ke delapan orang itu. Pemuda itu semakin terkejut
ketika kepalanya terasa pusing melihat gerakan-gerakan
delapan orang itu.
Sementara itu gerak melingkar yang dibuat delapan orang
suku liar itu tampak semakin mengecil. Gerakan berputar
mereka semakin cepat dan ber-ubah-ubah arah.
"Hm.... Gerakan-gerakan yang mereka lakukan sepertinya
sengaja mengaburkan pandangan lawan," gumam Sanjaya
mulai mengerti.
Kini Sanjaya tidak lagi berputar seperti semula, dan hanya
berdiri tegak sambil memejamkan mata-nya. Sepertinya dia
ingin menggunakan indra pen-dengaran untuk menghadapi
kedelapan orang suku liar itu.
Wut! Wut...!
"Heaaa...!"
Sambil terus berteriak-teriak ribut, delapan orang itu mulai
menusuk-nusukkan ujung tongkat-nya. Sehingga keadaan dl
tempat itu semakin ribut Tapi sampai sejauh itu, mereka hanya
menggerak-gerakkan tombak tanpa berniat menyerang.
Sanjaya cukup terkejut juga melihat gaya penyerangan suku
liar itu. Teriakan-teriakan dan tusukan tombak membuat
pemuda gagah itu memutar tubuhnya sambil tetap
memejamkan mata, namun kemudian indra pendengarannya
semakin dipertajam.
"Heaaa...!"
Wut!
Sebatang tombak meluncur dari sebelah kanannya. Pemuda
itu mengelak sambil memutar langkah kaki mendekati lawan.
Tangan kanannya terayun deras mencari sasaran.
Bukkk.,1
"Aaah...!"
Kepalan tangan kanan Sanjaya tepat menghan-tam lambung
salah seorang, sehingga sampai ber-teriak kesakitan. Seketika
tubuhnya terpental ke belakang. Orang yang menyerang itu
langsung jatuh pingsan tanpa ingat apa-apa lagi, karena
pukulan yang dilancarkan Sanjaya memang sangat dahsyat
mengandung tenaga dalam tinggi.
Setelah menjatuhkan salah seorang lawannya, tubuh
Sanjaya berkelebat cepat ke arah dua orang di sebelah kirinya.
Plak! Plak!
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, dua orang itu lang-sung
terpelanting akibat tamparan telapak tangan pemuda itu. Darah
seketika mengucur dari mulut mereka yang menjadi bengkak-
bengkak.
Wut! Wut..!
Tubuh Sanjaya melenting ketika empat batang tombak
mengincar dari belakang. Cepat bagai kilat, pemuda itu
menukik turun tak ubahnya seekor elang menyambar anak
ayam.
Desss! Bukkk! Desss...!
Keempat orang suku Bar itu langsung berjatu-han akibat
tamparan dan tendangan Sanjaya. Amu-kan pemuda gagah itu
benar-benar membuat lawan-lawan terkejut.
Lawannya yang tinggal seorang hanya berdiri tanpa berani
menyerang. Wajahnya terlihat pucat bagai melihat hantu di
siang bolong.
"Keparat! Kubunuh kau...!" Si muka hitam ma-rah bukan
main melihat anak buahnya berjatuhan hanya beberapa
gebrakan saja. Kalau saja tidak disaksikan dengan mata kepala
sendiri, mungkin ia tidak akan mempercayainya.
***
ENAM
"Yeaaat..!"
Disertai teriakan parau, tubuh gemuk dan ber-perut buncit
itu melesat sambil mengibaskan senjata di tangannya.
Meskipun gerakannya terlihat aneh, namun sambaran angin
pedangnya cukup kuat dan berbahaya.
"Hm.... Sepertinya orang bermuka hitam ini mempunyai
tenaga dalam tinggi," gumam Sanjaya begitu melihat gerakan-
gerakan si muka hitam yang aneh dan kaku.
Wut! Wut..!
Sanjaya hanya meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindari
serangan si muka hitam. Gerakan-gerakannya diartjkan si muka
hitam bagai tengah mengejeknya. Tentu saja kemarahannya
semakin berkobar.
Bet!
Pukulan Sanjaya berhasil dielakkan si muka hitam dengan
menarik mundur wajahnya. Tapi sa-yang, gerakannya kalah
cepat. Dia tidak sempat lagi melihat ayunan kaki Sanjaya
menjegal kakinya.
"Aaa...!"
Brug!
Tubuh tambun itu kontan terbanting jatuh ke-tika kedua
kakinya tersepak kaki pemuda itu. Na-mun, ternyata si gendut
itu cukup gesit. Tubuhnya langsung melenting bangkit seketika
itu juga, tapi lagi-lagi harus menelan pil pahit. Karena saat itu
juga telapak kaki Sanjaya telah mendarat di dada-nya.
Bukkk!
"Hughk...!"
Tendangan telapak kaki Sanjaya yang dialiri tenaga dalam
yang tinggi itu membuat tubuh gendut itu terpental beberapa
tombak ke belakang. Darah segar langsung memercik dari
mulutnya. Debu me-ngepul ketika tubuh gendut itu terbanting
keras di atas.tanah.
"Uhhh...!"
Sambil mendekap dadanya yang terasa remuk, si muka
hitam merangkak bangkit Wajahnya yang hitam tampak
semakin gelap.
"Lari...!" Seru si muka hitam sambil berbalik meninggalkan
tempat itu.
"Eh, oh...!"
Kawannya yang tinggal seorang itu kebingungan melihat
pemimpinnya melarikan diri. Sejenak kepa-lanya menoleh ke
arah Sanjaya dan Gayana. Begitu melihat kedua orang itu sama
sekali tidak bergerak, maka ia pun segera mengambil langkah
seribu.
"Marilah kau kuantar pulang, Paman," ajak Sanjaya sambil
menolong Gayana bangkit.
"Terima kasih, Kisanak. Nanti pun suku mereka akan datang
untuk mengurusnya," ucap Gayana ketika melihat pemuda
penolongnya merasa bingung dengan tujuh sosok tubuh yang
bergeletakan itu.
"Hm..., baiklah. Mari, Paman," ajak Sanjaya sambil memapah
tubuh tinggi kurus itu. Keduanya kini segera meninggalkan
tempat itu.
***
Kedatangan Gayana dan Sanjaya langsung disambut hangat
oleh Kepala Suku Gandas. Apalagi setelah Gayana menceritakan
bagaimana sepak ter-jang pemuda penolongnya itu. Maka,
semakin ber-tambah kagumlah orang-orang yang
mendengarnya.
"Ha ha ha...! Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Perkenalkan. Aku, Galira yang menjadi Kepala Suku Gandas,"
jelas kakek tinggi besar yang bercambang bauk lebat itu.
Suaranya yang besar dan berat menggema ke sekitar tempat
itu.
"Namaku Sanjaya. Dan aku hanya kebetulan le-wat saja
ketika melihat Paman Gayana dikeroyok orang-orang liar itu,"
sahut Sanjaya memperkenal-kan diri. Memang, pemuda itu
sudah pula ber-kenalan dengan Gayana selagi dalam
perjalanan.
"Ha ha ha...! Ini, Anakku. Namanya Garlih. Dia hendak
diambil oleh orang tua gila Suku Mogula itu. Kau lihatlah, Anak
Muda. Siapa orangnya yang sudi menyerahkan anak gadisnya
yang secantik ini kepada tua bangka Mogul yang sudah dekat
liang kubur itu?" Tegas Galira lalu sambil wajahnya diarahkan
ke wajah anak gadisnya yang canfik itu.
Wajah anak Kepala Suku Gandas yang bernama Garlih itu
tampak memerah karena malu mendengar perkataan ayahnya.
Namun meskipun demikian, hatinya merasa bangga dipuji-puji
didepan seorang pemuda gagah seperti Sanjaya. Sepasang
matanya tampak mengerling penuh arti. Namun hanya se-kilas,
tidak ada yang sempat memperhatikannya.
Terus terang, Sanjaya sebenarnya sempat ter-getar hatinya
melihat kecantikan putri Kepala Suku Gandas itu. Namun,
cepat-cepat dibuangnya pikiran itu jauh-jauh ketika teringat
akan tujuannya semula.
Dan kini Kepala Suku Gandas mengajak Sanjaya masuk ke
dalam rumahnya yang hanya terbuat dari atap rumbia itu.
Kakek tinggi besar itu masih saja tertawa-tawa gembira.
"Sanjaya. Kalau kau memang berniat untuk me-nolong kami,
janganlah tanggung-tanggung," ujar Galira setelah mereka
duduk mengitari sebuah meja dari kayu pohon jari hitam. Tawa
kakek itu Ienyap ketika mengucapkan kata-kata itu.
"Apa maksud Kepala Suku?" Tanya Sanjaya yang belum
mengerti, ke mana arah pembicaraan orang tua itu.
"Hm.... Begini, Anak Muda. Meskipun kami adalah suku-suku
liar, tapi kami memegang teguh pera-turan nenek moyang.
Mogul, sang Kepala Suku Mogula adalah orang terkuat di antara
suku yang banyak di daerah ini. la menginginkan putriku untuk
dijadikan istrinya yang kelima. Dan terus terang, aku sendiri
tidak mungkin mampu menyela-matkan putriku apabila dia
datang menyerbu suku kami yang kecil ini. Tapi, ada satu
peraturan yang tidak bisa dibantah suku-suku mana pun di
dunia ini. Yaitu, apabila anakku mempunyai seorang Ksatria
yang dapat melindunginya, maka Kepala Su-ku Moguta akan
mengalah. Tentu saja, setelah sang Ksatria itu dapat
mengalahkannya. Nah! Bagaimana pendapatmu, Anak Muda?"
Tanya Galira menutup keterangannya.
Pucat wajah Sanjaya ketika mendengar ketera-ngan Kepala
Suku Gandas itu. Tentu saja pemuda itu tahu, apa yang
dimaksudkan sebagai pelindung. Sanjaya bukan tidak tertarik
dengan putri kepala suku yang memang cantik itu, tapi
memang benar-benar tidak berpikir sampai di situ.
Kepala Suku Gandas pun berubah wajahnya. Tawanya tidak
lagi terdengar. Dan senyumnya pun hilang seketika. Ditatapnya
wajah pemuda di depan-nya yang belum dapat menghilangkan
keterkejutan-nya.
"Anak muda. Apakah putriku kurang cantik! Ataukah kau
lebih suka kalau putriku itu kuberikan kepada bandot tua gila
itu?" Tanya Galira yang membuat Sanjaya semakin
kebingungan.
"Bukan begitu maksudku. Tapi... Tapi masih ba-nyak tugas
yang harus kulaksanakan. Dan.... Dan aku belum berpikir ke
arah itu," akhirnya Sanjaya dapat juga mengeluarkan suaranya
meskipun agak tersendat
"Hm.... Baiklah. Sekarang kau boleh pilih. Bersedia menjadi
pelindung putriku, atau tinggalkan kami. Biarlah kalau memang
sudah demikian nasib putriku," Galira mengakhiri penjelasannya
dengan helaan napas berat.
'Tapi, aku benar-benar belum bisa menjawab-nya, Ki," sahut
Sanjaya dengan suara perlahan Bah-kan nyaris tak terdengar.
Tiba-tiba saja telinga Sanjaya menangkap suara isak yang
ditahan. Hati pemuda itu menjadi tere-nyuh karena tahu, siapa
yang mengeluarkan isak tangis itu. Siapa lagi kalau bukan isak
tangis Garlih yang rupanya ikut mendengarkan pembicaraan
me-reka dari kamarnya.
"Ibu..., aku ingin mati saja...!" Ratap suara mer-du itu lirih
dan sangat menyentuh perasaan.
"Garlih, mau ke mana kau?!" Seru suara seorang wanita lain
agak keras. Terdengar suara dua orang yang tengah berlari.
Sanjaya terpukul hatinya mendengar isak tangis dan ucapan
yang menyentuh perasaan itu. Tanpa berpikir panjang lagi,
tubuhnya segera berkelebat mengejar Garlih yang pasti tengah
berlari menuju hutan.
"Garlih, tunggu...!" teriak Sanjaya.
Pemuda itu tiba di belakang rumah dan melhat sesosok
tubuh ramping berlari sambil menutup wa-jahnya. Kemudian,
tubuhnya melompat dan ber-putar tiga kali di udara.
"Ohhh...!" Garlih menutup mulutnya menahan seruan ketika
tahu-tahu saja pemuda gagah itu telah berdiri tegak di
hadapannya.
"Garlih. Aku akan suka menjadi pelindungmu. Tapi, tugasku
harus dilaksanakan lebih dulu. Bagaimana?" Tegas Sanjaya
yang merasa tak tega untuk membiarkan wanita cantik itu
menderita.
"Sungguh...?" Tanya suara merdu itu dengan pandangan
ragu. Sepasang mata itu demikian jernih dan lembut sehingga
membuat darah Sanjaya ber-desir seketika.
'Tentu..," sahut Sanjaya. Suara pemuda itu agak serak
karena perasaan terguncang melihat kecanti-kan putri kepala
suku itu.
Dengan lembut, Sanjaya menyentuh bahu gadis itu, lalu
membawanya kembali kepada orang tua-nya. Mereka
melangkah perlahan-lahan tanpa ada yang bersuara lagi.
Kini mereka telah kembali duduk di dalam rua-ngan rumah
itu. Kemudian Sanjaya segera meng-utarakan syaratnya. Dan
ternyata, Kepala Suku Gandas itu menyetujui usul yang
diajukan Sanjaya.
Sejenak suasana menjadi hening, namun isak tangis Garlih
sesekali masih terdengar. Dan belum lagi mereka bersuara,
mendadak di luar terdengar suara ribut-ribut, seperti ada orang
bertengkar mulut.
Tiba-tiba salah seorang anak buah Galira me-langkah masuk
tergesa-gesa dan melaporkan kalau Mogul telah datang
bersama seluruh prajuritnya. Galira, Sanjaya, dan yang lainnya
langsung tersen-tak kaget Tanpa banyak cakap lagi, mereka
bergegas berlari keluar.
Tampak didepan halaman rumah Kepala Desa Gandas,
puluhan orang Suku Mogula telah berbaris rapi, dan bersenjata
lengkap. Berada palingdepan, tampak Mogul dengan pakaian
kebesarannya di atas punggung kuda.
"Hei, Galira! Serahkan putrimu atau kubumihanguskan
seluruh perkampungan Suku Gandas ini!" ancam Mogul dengan
suara lantang.
Tidak bisa, Mogul! Putriku telah mempunyai seorang
pelindung. Jadi kalau kau ingin memliki-nya, kau harus
mengalahkan pelindung putriku dulu!" sahut Galira, tak kalah
keras.
Tidak terdengar sahutan ketika Galira mengata-kan hal itu.
Terlihat Mogul melompat turun dari atas punggung kuda,
kemudian kakinya melangkah lebar menghampiri.
Mogul menghentikan langkahnya beberapa tombak di
hadapan Galira. Wajahnya yang buruk dan dipenuhi cambang
bauk itu tampak menyiratkan kekejaman.
"Aku menantang orang yang menjadi pelindung putrimu itu
untuk bertarung secara ksatria. Seka-rang, mana orangnya?!
Ingin segera kuhirup darah-nya!" kata Mogul dengan suara
berat.
"Akulah orangnya! Aku siap menerima tanta-nganmu,
Mogul," sahut Sanjaya sambil melangkah ke tengah arena,
dengan sikap tenang.
"Hm.... Kaukah yang telah melukai anak buah-ku, Anak
Muda?" Tanya Mogul, sinis. Namun sepa-sang matanya
menatap tajam ke arah Sanjaya.
"Benar! Akulah yang telah melukai orang-orang-mu," jawab
Sanjaya tenang tanpa kegentaran sedikit pun.
"Hm.... Kalau begitu, bersiaplah!" desis Mogul geram.
Setelah berkata demikian, senjatanya dicabut. Pedang
panjang dan lebar itu kini telah disilangkan di depan dada.
"Aku sudah siap!" sahut Sanjaya sambil melolos-kan
senjatanya yang membelit pinggang.
Sanjaya terpaksa mengeluarkan senjatanya ka-rena telah
diberi tahu Galira kalau lawannya benar-benar tangguh. Karena
kalau dilawan dengan ta-ngan kosong, akan berarti penghinaan
bagi Mogul.
"Saaat..!"
Mogul berteriak keras sambil mengayunkan sen-jatanya
hingga menimbulkan suara angin menderu.
WuH Wut..!
Sanjaya menggeser kaki sambil mengibaskan senjatanya
dengan kecepatan kilat Pemuda itu juga sudah diberi tahu
kalau harus memberi perlawanan pada Mogul dan tidak boleh
selalu mengelak. Maka Sanjaya segera mengerahkan senjata
untuk menye-rang Mogul. Lebih cepat menjatuhkan lawan,
akan lebih terhormat. Itulah yang dikatakan Galira.
Trang!
"Uhhh...!"
Mogul terjajar mundur dengan wajah pucat ketika senjata
mereka bertumbukan keras. Hampir saja Mogul tidak
mempercayai dengan apa yang di-alaminya itu. la yang terkenal
sebagai orang terkuat di antara para kepala suku, ternyata
dapat diimba-ngi pemuda asing itu.
"Gila!" umpat kakek bertubuh tinggi besar itu penasaran.
Wajahnya yang hitam tampak semakin gelap. Ia benar-benar
merasa dipermalukan di hada-pan rakyatnya.
"Grrrh...!"
Sambil menggereng keras, Mogul kembali me-lompat
menerjang. Senjatanya terayun deras karena seluruh tenaga
dalamnya langsung dikerahkan. Sementara itu, semua orang
yang hadir di situ hanya bisa menahan napas dan menyangka
kalau tubuh pemuda gagah itu akan hancur oleh sabetan
pedang Kepala Suku Mogula itu.
"Ohhh...!"
Garlih yang tak kuasa melihat, langsung me-nutup wajahnya
sambil menahan jerit. Wajah gadis cantik itu seketika pucat
melihat pemuda yang telah mencuri sekeping hatinya terancam
bahaya. Hampir saja ia berlari ke tengah arena kalau tidak
keburu dicegah ayahnya.
Sanjaya yang sudah dapat menebak kalau ke-pala suku liar
itu hanya mempunyai tenaga luar yang besar, tidak menjadi
gentar karenanya. Sera-ngan Mogul yang terlihat cepat dan
ganas, masih terlalu lambat baginya. Pemuda itu hanya
menekuk lutut sambil merendahkan kepala ketika serangan
lawan tiba. Kemudian, secepat kilat kakinya men-celat
menghantam dagu lawan.
Dug!
"Aaargh...!"
Mogul mengerang kesakitan. Tubuhnya yang tinggi besar itu
langsung ambruk begitu dagunya terkena tendangan Sanjaya.
Meskipun bibimya tam-pak mengeluarkan darah, namun ia
bergegas bang-kit dan kembali menyerang. Kali ini kakek itu
meng-gunakan kepalannya yang sebesar kepala bayi untuk
menyerang. Karena, senjatanya telah terjatuh pada waktu
terkena tendangan tadi. Dan memang, sudah menjadi adat
suku-suku liar kalau tidak di-perbolehkan mengambil senjata
apabila telah ter-jatuh. Apabila diambil juga, maka sama saja
meng-hina dirinya sendiri.
Wut! Wut!
Dua buah pukulan yang keras melayang meng-ancam tubuh
Sanjaya Pemuda itu temyata juga mengetahui kalau tubuh
Mogul sangat kuat Maka segera tenaga dalamnya dikempos.
Dan dengan sebuah gerakan yang hampir tidak terlihat, tangan
kiri Sanjaya bergerak menangkis.
Plak! Plak!
"Uhhh...!"
Mogul terjajar mundur sambil menahan rasa nyeri pada jari-
jari tangan yang terkena tangkisan pemuda itu. Dan sebelum
dirinya sempat terkuasai, tahu-tahu sebuah tendangan keras
dan pukulan telapak tangan lawan telak menghantam dada dan
perutnya!
Bug! Des!
"Hughk...!"
Darah segar seketika menyembur dari mulut ka-kek raksasa
itu. Tubuhnya jatuh berdebum hingga menimbulkan kepulan
debu yang cukup tinggi. Kali ini Kepala Suku Mogula itu tak
mampu untuk bangkit kembali.
"Horeee...!"
Galira dan para pengikutnya berteriak gembira sambil
bertepuk tangan. Bukan main bangganya hati orang-orang
Suku Gandas menyaksikan keme-nangan Sanjaya yang tidak
disangka-sangka.
Tanpa malu-malu lagi, putri Kepala Suku Gan-das itu segera
berlari dan memeluk tubuh Sanjaya. Diciuminya wajah pemuda
itu karena kegembiraan yang meluap-luap. Sepertinya dia tidak
peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Tampak air mata
bahagia mengalir membasahi pipi yang halus itu.
Sementara para anggota Suku Mogula bergegas mengangkat
tubuh kepala sukunya dan membawa-nya pergi. Pertarungan
tadi sama sekali tidak me-nimbulkan dendam di hati mereka,
sebab berlang-sung jujur dan sangat dijunjung tinggi
Galira, Sanjaya, Garlih dan para anggota Suku Gandas pun
masuk kembali ke rumah besar milik kepala suku itu. Sebab
mulai saat ini, suku mereka-lah yang paling dihormati oleh
suku-suku lain. Dan sekaligus, Suku Gandas menjadi penguasa
bagi suku-suku liar lainnya.
"Karena tugasku telah selesai di tempat ini, maka mohon
pamit sekarang, Paman," kata Sanjaya ketika telah berada di
tengah-tengah keluarga Ga-lira.
Dan ia pun telah memanggjl kakek itu dengan paman.
"Mengapa begitu terburu-buru, Sanjaya? Tidakkah sebaiknya
kau mendampingi anakku dahulu?" pinta Galira, agak berat
melepas kepergian pemuda gagah itu.
"Maaf, Paman Sebelum hutang nyawa guruku terbalas,
apakah patut kalau aku bersenang-senang? Percayalah, Paman.
Begitu tugasku selesai, aku akan segera kembali ke sini," janji
Sanjaya, mantap.
Karena memang sudah berjanji sebelumnya, maka meskipun
dengan berat hati, akhimya mereka melepaskan kepergian
pemuda itu. Sementara itu Galira membekalinya seekor kuda
yang indah dan kuat untuk mempercepat perjalanan pemuda
itu. Sanjaya kini siap berangkat setelah mendapatkan sedikit
petunjuk dari Kepala Suku Gandas.
***
TUJUH
Seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita tengah
mengayunkan langkah memasuki mulut sebuah desa. Beberapa
pasang mata menatap penuh kagum ke arah pasangan yang
serasi itu. Bahkan beberapa pemuda menatap penuh iri kepada
pe-muda tampan itu.
"Ah! Kalau aku mempunyai istri secantik dia, tentu tidak
akan kubiarkan tertidur," desah seorang pemuda berwajah
kehitaman karena terlalu sering terkena sinar matahari.
"Eh, mengapa begitu?" Tanya temannya sete-ngah berbisik,
seraya memandang heran wajah kawannya.
'Tentu saja, agar aku dapat mencumbunya se-panjang
malam," sahut pemuda berwajah kehitaman sambil tersenyum
memperlihatkan giginya yang ke-hitaman.
"Ah, dasar otak kotor!" Maki kawannya juga tersenyum.
"Lagi pula, mana mungkin orang sepertimu bisa mendapat istri
cantik seperti bidadari itu?"
Sementara dua orang yang mereka bicarakan terus saja
mengayun langkahnya tanpa mempeduli-kan pandangan
penduduk desa itu. Mereka terus melangkah mendekati sebuah
kedai makan.
Brukkk!
"Aduhhh...!"
Pemuda berjubah putih dan gadis jelita berpa-kaian serba
hijau itu menahan langkahnya. Karena, dari dalam sebuah
rumah yang akan dilewati, tiba-tiba sesosok tubuh terlempar
keluar dan tersuruk persis di depan kaki mereka.
Sambil mengaduh kesakitan, orang itu bergegas bangkit.
Tanpa melihat kanan-kiri, orang itu kem-bali melangkah masuk.
"Kembalikan anakku! Akan kubayar seluruh hu-tang-
hutangku!" Teriak laki-laki setengah baya itu serak. Ia berusaha
melangkah masuk meskipun ter-pincang-pincang.
"Hm.... Dengan apa kau akan membayar hutang-hutangmu,
Lengga? Seluruh sawahmu sudah habis tergadai. Lalu, dari
mana akan mendapatkan uang, hah?!" Sahut seorang laki-laki
berwajah kasar dan bopeng. Bergegas orang itu menghadang
didepan pintu untuk menghalangi jalan orang yang dipanggil
Lengga itu.
"Aku berjanji akan melunasinya dalam minggu ini juga,
asalkan anak gadisku kau kembalikan!" Pinta Lengga tetap
hendak memaksa masuk.
"Hei! Dengar, Orang Gila Judi! Kau boleh meng-ambil anak
gadismu setelah seluruh hutangmu dilu-nasi. Nah, sekarang
pergilah sebelum aku meng-gunakan kekerasan," sahut laki-laki
bopeng itu pe-lan namun mengandung ancaman yang tidak
main-main.
"Huh! Bagaimana bisa kupercayai kalau anakku berada
dalam tangan majikanmu yang mata keran-jang itu?" Bantah
Lengga yang masih juga bersi-keras hendak mengambil
anaknya.
"He he he.... Jangan khawatir. Majikanku tentu akan suka
mengembalikannya setelah.... He he he...! Sayang kan kalau
anak gadismu yang manis itu di-diamkan begitu saja," sahut si
bopeng seraya ter-kekeh serak.
"Bajingan!" maki Lengga marah.
Tentu saja laki-laki itu mengerti apa yang dimak-sudkan si
muka bopeng. Tanpa mempedulikan orang itu, Lengga pun
menerobos masuk.
"Heit! Mau ke mana kau...?" Ejek si bopeng sam-bil
menangkap lengan Lengga dan menyeretnya ke luar. "Lebih
baik pergilah, Lengga. Jangan sampai aku berbuat kejam
kepadamu!"
Nampaknya kesabaran orang bopeng itu sudah mulai hilang.
Dengan gerakan kasar, didorongnya tubuh Lengga hingga
kembali terjerembab ke tanah.
"Bangsat!" Maki Lengga dengan wajah merah.
Begitu bangkit, Lengga langsung mengayunkan tinjunya ke
wajah si bopeng. Rupanya laki-laki setengah baya itu cukup
mengerti tentang ilmu silat. Ini terlihat dari pukulannya yang
tampak terarah dan cukup berisi.
"Uts!"
Si muka bopeng memiringkan wajahnya sehingga serangan
itu pun tidak mengenai sasaran. Dan dengan cepat tangannya
terayun menampar wajah Lengga.
Plak!
"Aaah...!"
Rupanya kepandaian si muka bopeng itu jauh lebih tinggi
dari Lengga. Akibatnya tubuh laki-laki setengah baya itu
melintir. Untunglah sepasang ta-ngan kokoh telah menahan
tubuhnya sehingga tidak kembali terbanting.
Lengga menoleh melihat orang yang telah meno-longnya itu.
Temyata dia adalah seorang pemuda tampan berjubah putih
yang kemudian tersenyum tenang kepadanya. Di sampingnya,
tampak seorang gadis jelita.
"Sabarlah, Paman. Apa sebenarnya yang ter-jadi?" Tanya
pemuda tampan itu tanpa melepaskan senyumnya.
Lelaki setengah baya yang bernama Lengga me-lepaskan
pegangan pemuda jubah putih itu. Tanpa menjawab sepatah
kata pun, Lengga kembali mener-jang si muka bopeng. Kali ini
golok yang tergantung di pinggangnya telah dicabut.
"Heaaat..!"
Wuk! Wuk..!
Si muka bopeng menggeser tubuhnya menghin-dari bacokan
yang bertubi-tubi itu. Begitu melihat pertahanan lawannya
terbuka, tangan dan kakinya langsung bergerak menghantam
tubuh Lengga.
Buk! Des!
"Hukkkh...!"
Tubuh Lengga kontan terbungkuk menerima hantaman pada
perutnya, dan langsung terjungkal ketika tendangan lawan
mendarat di tubuhnya. Darah segar muncrat membasahi
permukaan tanah.
"Hm...," kembali sepasang tangan pemuda berjubah putih itu
menyambar tubuh Lengga hingga tidak sempat terjatuh.
"Lepaskan penjudi tua tak tahu adat itu, Ki-sanak. Biar
kuhajar dia sampai kapok!" Pinta si muka bopeng yang sudah
melangkah maju meng-hampiri Lengga.
"Hm.... Berapa banyak hutang bapak ini, Kisanak?" Tanya
pemuda berjubah putih itu tanpa mem-pedulikan seruan si
muka bopeng.
"He he he...! Apakah kau akan membayarkan hutang-
hutangnya?" Tanya si muka bopeng menye-ringai.
Laki-laki itu kemudian menyebutkan sejumlah uang yang
membuat beberapa penduduk yang me-nyaksikan kejadian itu
menggelengkan kepalanya. Karena, jumlah yang disebutkan si
bopeng sangat besar bagi ukuran para petani.
"Hm.... Ambillah uang ini. Dan, kembalikan anak gadis bapak
ini," kata pemuda berjubah putih itu sambil melemparkan
sekantung uang yang jumlah-nya melebihi hutang-hutang
Lengga.
"He he he...! Tidak semudah itu, Kisanak. Kau harus
menebus gadis itu dengan dua kantung uang," sahut si muka
bopeng sambil tersenyum licik. Ditimang-timangnya uang
pemberian pemuda itu.
"Keparat! Kalau itu kemauanmu, terimalah ini!" Bentak gadis
jelita berpakaian serba hijau yang ber-diri di samping pemuda
itu.
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu segera melesat
sambil melakukan tamparan yang menim-bulkan angin
menderu.
Wut!
"Eh!"
Si muka bopeng terkejut melihat serangan itu. Cepat-cepat
tubuhnya dilempar ke belakang karena tamparan itu demikian
cepat datangnya. Setelah berputar sebanyak tiga kali di udara,
tubuhnya pun melayang turun sejauh dua tombak didepan
gadis jelita itu.
Namun sayang si muka bopeng terlalu memandang ringan
lawan yang hanya seorang gadis muda. Dan ketika gadis itu
melesat cepat, sama sekali tak disadari. Sehingga ia terpaksa
harus menerima sebuah tamparan yang keras pada wajahnya,
ketika tangan gadis Itu bergerak cepat tak terhindari.
Plak!
"Aduhhh...!"
Si muka bopeng menjerit kesakitan ketika tela-pak tangan
yang halus itu hinggap di wajahnya. Tubuhnya langsung
terpelanting ke belakang dan bibirnya pecah mengeluarkan
darah. Sinar matanya memancarkan kebingungan, seolah-olah
tidak per-caya dengan apa yang dialaminya itu. Si muka
bopeng benar-benar tak habis mengerti, bagaimana tahu-tahu
gadis itu telah berada di depannya.
"Jawablah. Apakah bayaran itu masih kurang?!" Tanya gadis
jelita berpakalan hijau itu dengan pan-dangan galak.
"Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Apakah dikira aku
sudah kalah? Lihatlah, apakah kau ma-sih bisa menamparku
sekeras tadi! Atau sebaliknya, malah akan mengelus-elus mesra
wajahku!" Tan-tang si bopeng yang rupanya belum menyadari
kelihaian gadis berpakaian serba hijau itu. Orang itu rupanya
merasa kalau tamparan tadi bukanlah karena kelihaian si gadis,
melainkan karena dirinya terlalu menganggap remeh.
"Kurang ajar! Kurobek mulutmu, Manusia Ko-tor!" Bentak
gadis itu marah. Tapi sebelum sempat menyerang, sebuah
tangan menahan gerakannya.
"Sabarlah, Kenanga. Kita cari jalan damai saja," bujuk si
pemuda berjubah putih.
Gadis jelita yang memang Kenanga itu memandang pemuda
berjubah putih dengan wajah cem-berut. Pemuda itu memang
tak lain dari Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
'Tidak, Kakang. Orang itu telah berani mengeluarkan kata-
kata yang menghinaku. Maaf, Kakang. Biarlah kali ini aku
menyelesaikannya terlebih da-hulu," bantah Kenanga Gadis itu
segera melepaskan tangannya dan melangkah menghampiri si
bopeng.
"He he he...!" Si muka bopeng terkekeh mem-besarkan
hatinya.
"Nah! Kau terima hukuman atas kekurang-ajaranmu itu!"
tegas Kenanga ketus. Sesaat kemu-dian, tubuh ramping itu pun
melesat dengan kece-patan yang sulit ditangkap mata biasa.
Orang bermuka bopeng yang telah siap mengha-dapi gadis
itu, segera menggeser tubuhnya ke sam-ping. Sepasang
tangannya bergerak cepat untuk me-mapak serangan itu.
Namun, kali ini pun ia harus kembali menelan pil pahit. Sebab
begitu melancar-kan serangan balasan, tahu-tahu tubuh lawan
telah berpindah ke sebelah kirinya. Dan....
Plak! Buk!
"Aaahk...!"
Sebuah tamparan keras menghantam pipi si muka bopeng.
Dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, sebuah
pukulan telak telah ber-sarang di lambungnya. Tubuh orang itu
pun terpen-tal keras tanpa ampun, dan langsung tersuruk di
tanah.
SI muka bopeng merangkak bangkit sambil mering-s
kesakitan. Wajahnya tampak berlumuran darah, karena
beberapa buah giginya telah tanggal akibat tamparan yang
sangat keras itu.
"Hei, ada apa ini...?!" Tiba-tiba terdengar seru seseorang.
Seorang laki-laki kurus tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari
Kenanga sambil memandang dengan alis berkerut. Beberapa
orang laki-laki bertampang galak tampak menyertainya.
Rupanya ketika mende-ngar ribut-ribut tadi, para tukang pukul
rumah judi itu segera menghambur keluar. Dan semuanya
men-jadi terkejut melihat kawan mereka yang bermuka bopeng
itu tampak tengah merintih sambil menekap wajahnya.
Tanpa mempedulikan orang-orang yang baru datang itu,
Kenanga segera memasukkan kantung uang yang telah
dirampasnya dari si muka bopeng. Kemudian, pandangannya
kembali terarah kepada si muka bopeng yang telah dikerumuni
kawan-kawan-nya itu. Kenanga melihat si muka bopeng
menun-juk-nunjuk dirinya.
Orang bertubuh kurus itu segera melangkah mendekati
Kenanga. Sepasang matanya tampak me-mancarkan
kemarahan. Buku-buku jari tangannya terdengar bergemeletuk
ketika tangannya dikepal-kan.
"Siapa dirimu, Nisanak? Mengapa melukai temanku?" Tanya
si kurus, datar.
"Mengapa harus bertanya padaku? Tanyakanlah kepada
temanmu itu?" Sahut Kenanga ketus. Mata gadis jelita itu
berkilat menantang pandang mata lawan bicaranya itu.
Bulu kuduk laki-laki kurus itu seketika mere-mang saat
melihat sinar mata gadis jelita itu yang berkilat tajam. Diam-
diam ia menjadi terkejut. Apa-kah mungkin gadis di
hadapannya ini memiliki tenaga dalam tinggi hingga mampu
menyalurkannya melalui mata?
Panji yang melihat kalau keadaan akan semakin bertambah
runyam, segera melangkah mendekati Kenanga. Wajah
Pendekar Naga Putih tetap me-nyunggingkan senyum sabar.
Kemudian, dengan suara jelas, diterangkannya duduk persoalan
ke-pada lelaki kurus itu.
"Hm.... Lebih baik tinggalkan desa ini, Anak Muda. Sebab
aku tidak akan segan-segan bertindak kasar terhadap orang
yang usilan sepertimu dan gadis itu!" Ancam orang bertubuh
kurus.
"Dengar, Kisanak, Aku akan membayar hutang-hutang orang
tua itu asalkan kau bersedia mem-bebaskan anak gadisnya
yang kalian tawan," kata Panji masih mencoba untuk bersabar.
"Huh! Tidak semudah itu, Kisanak. Selain harus menebus
gadis yang kami tawan dengan dua kan-tung uang, kau pun
harus membayar kerugian aki-bat luka-luka yang diderita
kawan kami itu. Bagai-mana?" Sikap sabar Panji ternyata
semakin mem-buat orang bertubuh kurus itu besar kepala dan
menekannya.
"Keparat kau, Tikus Kering! Kau sengaja hendak memeras
orang muda ini. Dasar tidak tahu malu!" Maki Lengga yang
menjadi geram mendengar per-mintaan yang diajukan orang
bertubuh kurus itu.
"Bedebah kau, Tua Bangka! Rasakan kepalan-ku!" Bentak
orang itu marah mendengar makian Lengga.
Setelah berkata demikian, tangan kanannya me-layang ke
wajah Lengga.
Plak!
"Uhhh...!"
Orang bertubuh kurus itu terjajar beberapa langkah ke
belakang ketika tamparannya ditepis oleh telapak tangan
pemuda berjubah putih. Wajah-nya tampak menyeringai
kesakitan, karena merasa-kan tangannya tak ubahnya
membentur besi baja yang keras dan kuat.
"Keparat! Rupanya kau memang sengaja hendak mencari
keributan, Anak Muda! Kepung dia!" Perintah si kurus kepada
lima orang anak buahnya. Seketika kelima orang tukang pukul
rumah judi itu mencabut senjata masing-masing.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kelima orang
tukang pukul itu langsung melompat sambil mengayunkan
senjatanya.
"Kenanga, mundurlah!" ujar Panji sambil meng-gerakkan
kakinya ke samping sambil memiringkan tubuhnya.
Kenanga yang semula bemiat menuruti per-kataan Panji,
terpaksa menahan geraknya. Karena pada saat itu, golok di
tangan lelaki kurus itu berkelebat mengancam tubuhnya. Cepat
gadis itu meliukkan tubuhnya sehingga serangan lawan lewat di
atas kepala. Kemudian, Kenanga menggeser kaki kirinya ke
samping sambil melepaskan sebuah pu-kulan keras ke lambung
lawan.
Wut!
Orang bertubuh kurus itu bergegas menarik tubuhnya ke
belakang sehingga pukulan gadis itu tidak mengenai sasaran.
Namun, begitu pukulannya berhasil dielakkan lawan, tahu-tahu
kaki kanannya mencelat melakukan tendangan kilat ke arah
tangan yang me-megang golok.
Plak!
"Aaah...!"
Golok di tangan laki-laki kurus itu langsung terlempar ketika
tendangan Kenanga tepat menghan-tam pergelangan tangan.
Belum lagi sempat menya-dari apa yang terjadi, sebuah
hantaman sisi telapak tangan telah mengenai lambungnya.
Desss!
"Hughk...!"
Terdengar keluhan tertahan yang keluar dari mulut laki-laki
kurus itu. Tubuhnya kontan terpe-lanting sejauh dua tombak
Ketika ia tengah ber-usaha bangkit, kembali sebuah tendangan
meng-hantam wajahnya. Dengan napas satu-satu dan wajah
berlumur darah, laki-laki kurus itu kini telentang tak berdaya.
Berbarengan dengan jatuhnya tubuh si kurus, lima orang
yang menyerang pemuda berjubah putih itu langsung terkejut.
Mereka yang tengah me-lancarkan serangan bertubi-tubi, tahu
tahu saja ke-hilangan lawannya. Dan sebelum mereka sempat
menyadarinya, pemuda berjubah putih itu telah ber-diri tegak
sambil menggenggam lima batang golok.
"Hah...?!"
Kelima orang tukang pukul rumah judi itu ter-belalak dengan
wajah pucat. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana
senjata-senjata mereka kini telah berada di tangan pemuda itu.
Mereka hanya sempat melihat bayangan putih itu melayang
cepat mengintari mereka.
"Bedebah! Apa kau pikir kami akan gentar dengan ilmu sihir
pasaranmu itu! Sambutlah ini. Heaaat..!" Teriak salah seorang
tukang pukul rumah judi itu.
Tubuh orang itu melangkah ke depan dibarengi pukulan
yang mengancam tubuh Panji. Rupanya ia belum juga mau
menyadari kalau pemuda itu telah berbuat baik karena tidak
melukai mereka.
Melihat kawannya sudah mulai menyerang, maka keempat
orang lainnya bergegas menerjang pemuda berjubah putih itu.
Mereka berteriak-teriak sambil melancarkan pukulan dan
tendangan.
Agak kesal juga hati Panji melihat kebandelan para tukang
pukul itu. Karena, mereka ternyata be-lum juga jera dengan
apa yang ditunjukkannya itu.
"Hm.... Aku harus memberi sedikit pelajaran agar mereka
benar-benar kapok!" Gumam Pendekar Naga Putih perlahan.
Bet! Bet..!
Panji menggeser kedua kakinya bergantian un-tuk
menghindari serangan lima orang pengeroyok-nya itu. Lewat
dua jurus kemudian, tiba-tiba tubuh pemuda itu berputar dan
langsung melontarkan tamparan-tamparan yang menimbulkan
deruan angin keras.
Plak! Plak..!
"Aduhhh...!"
"Aaah...!"
Dibarengi teriakan-teriakan kesakitan, kelima orang itu
berjatuhan satu persatu. Setelah pipi me-reka masing-masing
telah membengkak akibat tam-paran Panji.
"Hm.... Bagaimana? Apakah kalian masih akan meneruskan
pertarungan ini?" Tanya Panji dengan suara tenang.
"Ampun.... Kisanak Kami menyerah...!" Ratap sa-lah seorang
di antara lima tukang pukul itu sambil mengusap-usap
wajahnya yang membengkak.
"Nah! Sekarang, tunjukkan di mana anak gadis bapak ini
ditahan?" Ujar Panji selanjutnya.
Tanpa berani menentang tatapan Pendekar Naga Putih,
maka laki-laki itu pun memberitahu di mana putri Lengga
berada.
"Kenanga, kau tinggallah di sini. Biar aku dan Ki Lengga yang
akan mencarinya," kata Panji.
Setelah berkata demikian, kedua orang itu pun bergegas
memasuki rumah judi.
Kenanga hanya mengangguk mendengar permin-taan Panji,
kemudian memandang kepergian kedua orang itu yang telah
menghilang di balik pintu rumah judi.
Tidak berapa lama kemudian, Panji dan Ki Lengga telah
kembali membawa seorang gadis manis berambut panjang.
Panji dan Kenanga segera me-ngantarkan kedua orang itu
kembali ke rumahnya. Kepergian mereka diiringi oleh
pandangan mata penuh dendam dari para tukang pukul rumah
judi.
***
DELAPAN
"Hei, Lengga, keluar kau! Di mana kau sembu-nyikan
pemuda sombong itu?! Hayo keluar atau ku-bakar habis
gubukmu ini!" teriak seseorang. Suara-nya terdengar berat dan
kasar.
Panji dan Kenanga yang dipaksa untuk singgah di rumah
Lengga menjadi terkejut mendengarnya. Pendekar Naga Putih
bergegas bangkit meninggal-kan hidangan yang tengan
dinikmatinya. Dia me-langkah ke luar setelah menyuruh yang
lainnya untuk tetap di tempat.
“Kalian mencari aku?” Tanya Panji tenang, se-telah berada di
ambang pintu.
Sambil menuruni anak tangga yang terdapat di bawah pintu
rumah, pemuda tampan itu mengerut-kan alisnya ketika
melihat beberapa orang yang per-nah dicundanginya didepan
rumah judi.
“Hm…. Itukah pemuda yang telah mengacau rumah
judimu?” Tanya salah seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun. Jelas sekali terpancar sinar kesombongan
pada wajahnya.
“Betul, Kakang. Itulah pemuda yang telah meru-sak rumah
judiku,” sahut laki-laki bertubuh kurus yang wajahnya tampak
dibalut kain berwama putih.
“Hm…. Jadi dia masih belum kapok Dan kali ini bahkan
mengundang beberapa orang jagoan,” gu-mam Panji dalam
hati.
“Hei, Kisanak! Siapa kau sebenarnya?! Dan apa maksudmu
merusak rumah judi milik laki-laki ini?” Tanya pemuda sombong
itu dengan suara lantang ke arah_s.
“Aku tidak mempunyai maksud apa-apa selain menolong
bisa_a yang tengah mengalami kesusa-han. Itu saja,” sahut
Panji dengan wajah tetap tenang.
“Hm…. Hebat sekali kata-katamu itu. Sadarkah kau kalau
akibat perbuatanmu itu berarti telah mencari kesulitan dengan
kami?” Kembali si pemuda sombong itu berkata keras. Bahkan
kali ini nada suaranya seperti mengandung ancaman.
“Oh?! Jadi kalian adalah anjing-anjing peliha-raan cacing
kurus itu. Berapa kalian dibayar untuk melakukan penyiksaan
kepada penduduk yang tidak sanggup membayar hutang-
hutang judinya? Tidak-kah kalian sadar kalau perbuatan kalian
itu sama saja dengan menjerat leher penduduk desa!” Tegas
Panji tak kalah garang sambil melangkah maju beberapa tindak
kearah orang-orang itu.
“Ahhh, tunggu apa lagi! Sumbat saja mulutnya dengan
kepalan, kan beres!” Pancing salah seorang anak buah pemuda
sombong itu, seperti tak sabar mendengar mereka saling
berbantahan.
‘Ya, tunggu apa lagi?! Tanganku rasanya sudah tidak bisa
ditahan lagi?” Yang lain ikut menimpali sambil memandang
Panji dengan mata melotot.
“Hm…. Coba kalian urus dia!” Sahut si pemuda sombong itu
sambil mengulapkan tangannya tanda tak peduli.
Begitu mendapat persetujuan dari pemuda sombong itu,
empat orang kawannya segera melangkah mendekati Panji.
Dari cara mendekat, jelas sekali kalau mereka sangat
menganggap remeh Pendekar Naga Putih. Keempat orang itu
mendekati Panji dengan lagak menakut-nakuti.
“Hm…. Kau rasailah bogem mentahku ini, Kisanak!”
Sambil berkata demikian, salah seorang dari mereka
mengulur tangannya dengan gerakan yang terfihat
dilambatkan. Dia seolah-olah sengaja ber-buat demikian untuk
melihat tanggapan pemuda itu. Padahal, laki-laki kurus yang
memiliki rumah judi itu sudah memperingatkan, namun jelas
sekali kalau mereka belum mempercayai kelihaian pemuda itu.
Jelas, mereka terlihat masih memandang remeh pemuda
berjubah putih itu.
Went!
Panji menggeser kaki kanan ke belakang sambil memiringkan
tubuhnya sedikit Kepalan orang itu lewat beberapa jari didepan
tubuh Panji. Dengan gerakan yang terlihat sembarangan,
telapak tangan pemuda itu bergerak ke wajah lawannya.
Plak!
“Aduhhh…!”
Orang itu menjerit kesakitan ketika tangan Panji hinggap di
wajahnya. Ia benar-benar heran, bagai-mana mungkin
tamparan itu masih juga mengenai-nya. Karena, saat itu
wajahnya telah ditarik untuk menghindari tamparan pemuda
berjubah putih itu.
“Keparat! Kubunuh kau…!” Pekik orang itu marah sambil
mencabut keluar goloknya. Kemudian dengan kalap Panji mulai
diterjang dengan samba-ran-sambaran senjatanya itu.
Wut Wut..!
Panji menggeser kakinya bergantian sambil meli-ukkan tubuh
untuk menghindari sabetan golok lawan. Tiga orang lainnya
sudah pula mencabut senjata masing-masing. Setelah melihat
seorang telah menerjang kalang-kabut, ketiga orang itu pun
bergegas mengeroyok Panji.
Plak!
“Aaakh…!”
Salah seorang pengeroyok itu terjungkal akibat hantaman
telapak tangan Pendekar Naga Putih yang telah menghajar
lambungnya. Orang itu kontan ter-jengkang pingsan seketika
itu juga. Rupanya hanta-man pemuda itu terlalu keras baginya.
Wuk! Wuk!
Panji merundukkan wajahnya sehingga dua serangan golok
lawan lewat setengah jengkal di atas kepalanya. Dan saat itu
juga kaki kanannya ber-gerak menyabet kaki lawan. Namun
lawan yang satu ini ter-nyata cukup lihai. Maka cepat-cepat ia
me-lompat sambil melakukan tendangan ke wajah Panji.
Zebbb!
“Uhhh…!”
Tendangan orang itu hanya menerpa tempat kosong, karena
Panji telah lebih cepat mengegoskan wajahnya ke kiri. Secepat
kilat tubuh Panji berputar sambil mengirimkan sebuah
tendangan ke perut lawannya.
Desss!
“Hukkk…!”
Darah menyemprot keluar ketika tendangan Panji telak
menghajar perut bagian atas lawan. Tu-buh orang itu kontan
terpental ke belakang hingga beberapa tombak jauhnya, dan
langsung mengge-letak pingsan tanpa mampu bangkit lagi.
Lawannya yang tinggal dua orang itu melangkah mundur
dengan wajah agak memucat. Mereka be-nar-benar tidak
menyangka kalau pemuda itu dapat merobohkan dua orang
teman mereka hanya dalam beberapa jurus saja. Padahal,
kepandaian kedua orang itu tidak bisa dibilang rendah. Tapi,
pemuda berjubah putih itu ternyata enak saja menjatuh-
kannya. Seolah-olah, kedua orang itu memang tidak memiliki
kepandaian yang berarti!
Wajah si pemuda sombong nampak berubah be-gitu melihat
kedua orang kawannya dapat dijatuh-kan pemuda berjubah
putih dengan mudahnya. Sesaat kemudian, tubuhnya pun
melayang ke arah Panji.
“Jangan merasa bangga dulu, Kisanak Sambut-lah
seranganku ini!”
Setelah berkata demikian, pemuda sombong itu segera
melancarkan serangan yang menimbulkan deru angin keras.
Wut! Wut..!
Panji melompat mundur menghindari serangan itu. Pendekar
Naga Putih sempat terkejut melihat kehebatan kecepatan gerak
lawan.
“Hm…. Pantas ia begitu memandang rendah orang lain.
Rupanya ilmu kepandaiannya lumayan juga,” gumam Panji
sambil mengelak dari tendangan lawan yang mengincar
perutnya. Secepat kilat dibalasnya serangan lawan dengan
pukulan telapak tangan bertubi-tubi.
Bet! Bet..!
Mendapat serangan yang cepat dan bertubi-tubi, pemuda
sombong itu berlompatan menghindarinya. Cepat tubuhnya
dilempar ke belakang ketika baru saja dadanya terhantam
telapak tangan pemuda berjubah putih itu.
“Hm…. Ternyata kepandaianmu boleh juga, Kisanak!” Puji
pemuda sombong itu. Namun, dia masih juga menganggap
kepandaiannya lebih tinggi dari lawannya. “Sekarang tahanlah
serangan pedangku ini! Haaat..!”
Wut! Wuk..!
Pendekar Naga Putih berjungkir balik ke bela-kang ketika
mendapat serangan beruntun dari lawannya. Diam-diam
pemuda itu harus mengakui kehebatan ilmu pedang lawan.
“Hm…!”
Begitu kakinya menjejak tanah, Panji menyedot udara
sebanyak-banyaknya. Sesaat kemudian, se-lapis kabut bersinar
putih keperakan pun mulai me-nyelimuti tubuhnya.
Wusss!
Serangkum angin yang sangat dingin berhembus keras
mengiringi tarikan napas pemuda itu. Dua anak buah pemuda
sombong dan lelaki kurus yang menyaksikan pertarungan itu
bergegas menjauh. Mereka memang tak sanggup menahan
sergapan hawa dingin yang terasa membekukan seluruh urat-
urat tubuh.
“Pendekar Naga Putih…!” Desis si pemuda sombong dengan
wajah berubah tegang.
Kali ini kesombongannya langsung lenyap, ke-tika melihat
kabut bersinar putih yang menyelimuti tubuh Panji. Ternyata
lawan yang semula dianggap remeh itu adalah seorang
pendekar besar yang telah mengguncangkan dunia persilatan
pada masa ini. Tentu saja hal itu membuatnya bungkam
beberapa saat lamanya.
“Aaah…!” Si pemuda sombong menggelengkan kepalanya
seperti berusaha hendak mengusir kegen-taran yang
menguasai hatinya.
“Heaaat..!”
Merasa sudah kepalang tanggung, maka si pemuda sombong
itu segera menerjang Pendekar Naga Putih. Begitu mengetahui
kalau lawannya bu-kanlah orang sembarangan, maka seluruh
kemam-puannya dikerahkan dalam penyerangan kali ini.
Panji yang sudah tidak ingin memperpanjang waktu lagi,
bergegas melompat memapak serangan lawan. Sepasang
tangannya yang berbentuk cakar naga itu bergerak berputaran
mengaburkan panda-ngan lawan. Sehingga, dalam lima jurus
saja pe-muda sombong itu pun dibuat kalang-kabut.
“Yeaaat…!”
Memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-tiba Panji berteriak
nyaring. Saat itu juga tubuhnya bergerak cepat sambil
melontarkan serangan-serangan yang datangnya bagai air bah.
Wut! Wut..!
“Aaah…!”
Pemuda sombong itu terkejut bukan main me-lihat
kecepatan gerak lawannya. Susah payah ia berusaha
menyelamatkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu. Namun
dua buah pukulan tetap saja bersarang telak di dada dan
perutnya.
Buk! Desss!
“Aaah…!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda som-bong itu pun
tedempar keras diiringi semburan darahnya. Tubuhnya
terbanting keras di atas per-mukaan tanah.
“Hm…. Pergilah, sebelum pikiranku berubah!” Ancam
Pendekar Naga Putih dengan tatapan tajam.
Dengan langkah tertatih-tatih, pemuda sombong itu pun
melangkah meninggalkan tempat itu. Dua orang kawannya
yang tergeletak pingsan dibawa dua orang kawannya.
Sedangkan si pemilik rumah judi menggandeng tangan pemuda
sombong itu.
“Wah! Orang-orang seperti mereka semestinya tidak usah
diberi ampun, Nak Panji. Aku yakin tidak lama lagi mereka akan
datang dengan jumlah yang lebih besar dan membawa jagoan-
jagoannya,” tegas Lengga yang sudah melangkah mendekati
Pendekar Naga Putih.
“Benar, Kakang Panji. Mereka tidak akan pernah jera
sebelum menjadi mayat!” Gadis putri laki-laki setengah baya itu
ikut menimpali.
“Bagaimana menurutmu, Kenanga?” Panji me-malingkan
wajah ke arah kekasihnya. Ingin didengarnya sendiri, apa
pendapat kekasihnya tentang hal itu.
“Menurutku, sebaiknya kita datangi saja tempat mereka.
Karena kalau mereka sampai datang ke tempat ini, bukan tidak
mungkin penduduk akan menjadi korban,” sahut Kenanga.
Panji mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar usul
gadis jelita itu. Segera disetujuinya usul yang diajukan
Kenanga. Tak lama kemudian, kedua-nya pun segera
berpamitan setelah terlebih dahulu menanyakan di mana letak
kediaman orang-orang itu.
Kenanga dan Pendekar Naga Putih terkejut ketika tiba di
sebuah bangunan yang dikelilingi tembok kokoh, terdengar
teriakan orang bertempur. Keduanya cepat-cepat berlari ke
arah samping ba-ngunan, lalu bergerak naik ke atas sebatang
pohon yang tumbuh di dekat tembok itu.
“Eh, siapa orang berambut meriap itu? Tampak-nya ia
tengah terdesak oleh keroyokan ketiga orang kakek itu,
Kakang,” bisik Kenanga terkejut.
“Nanti dulu, Kenanga!” Cegah Panji begitu me-lihat
kekasihnya hendak melompat turun untuk me-nolong orang
berambut meriap, “Kita belum menge-tahui secara pasti, siapa
adanya orang berambut meriap itu dan siapa ketiga kakek itu?”
“Mari kita lihat lebih dekat, Kakang!” Ajak gadis jelita itu
yang segera melayang turun dan menye-linap di balik tembok.
Panji bergegas melayang turun mengikuti ke-kasihnya.
Gerakan mereka ringan sekali, pertanda telah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang begitu tinggi. Keduanya segera
bergerak dan berindap-indap mendekati arena pertarungan.
“Lihat, Kakang. Senjata yang digunakan orang berambut
riap-riapan itu aneh sekali bentuknya!” jelas Kenanga, heran
melihat senjata yang diguna-kan orang berambut meriap itu.
“Hm…. Tapi kehebatan gerak serta keampuhan senjatanya
tampak jelas sekali. Kalau saja mereka berhadapan satu
persatu, ada kemungkinan orang berambut meriap itu akan
dapat mengatasi lawan-nya,” duga Panji setelah mengamati
pertarungan itu beberapa saat iamanya.
“Lihat, Kakang! Nampaknya orang itu tidak akan dapat
bertahan lebih lama lagi!” seru Kenanga lirih.
Wajah gadis itu terlihat agak cemas. Sepertinya meskipun
belum mengetahui duduk persoalannya, namun gadis itu telah
berpihak kepada orang yang berambut meriap.
Tubuh Panji segera melesat ketika tubuh orang berambut
meriap terguling akibat tendangan salah seorang lawannya.
Dan sebelum sempat bangkit, salah seorang lainnya bergegas
mengayunkan pedangnya siap membelah tubuh orang itu.
Wut..! Plak!
“Aaah…!”
Pada saat yang berbahaya, tubuh Panji melesat bagal anak
panah. Langsung tangannya diulurkan untuk memapak
serangan orang itu. Tubuh kakek itu terjajar mundur diiringi
seruan kagetnya.
“Hm…. Lagi-lagi kau, Pendekar Naga Putih!” Ujar salah
seorang kakek yang berusia paling tua di antara ketiganya.
Wajah kakek itu nampak geram melihat sesosok tubuh yang
terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan telah
menggagalkan serangan kawannya.
Panji mengerutkan keningnya, berusaha mengi-ngat kakek
itu. Hatinya benar-benar terkejut dan juga gembira ketika
melihat wajah kakek itu.
“Hm…. Kalau tidak salah, kalian bertiga pernah membunuh
seorang pemuda di Kaki Gunung Kala-ban.” Panji seolah-olah
meminta ketegasan dari ketiga orang kakek yang memang tak
lain adalah Ki Aji Barga, Ki Bukaran, dan Ki Palwaka yang tahun
lalu telah mengeroyok Ki Shindupala dan muridnya.
“Benar! Dan akulah pemuda itu, Kisanak!” Sahut sosok tegap
berambut meriap, seraya bergerak bangkit
Panji langsung menoleh ke arah suara tadi. Keningnya agak
berkerut ketika mengenali pemuda itu.
“Untuk kedua kalinya kau kembali menolongku, Pendekar
Naga Putih. Entah bagaimana caranya aku harus membalas
kebaikanmu itu?” Orang berambut riap-riapan itu ternyata
Sanjaya. Rupanya ia telah berhasil menemukan orang-orang
yang telah mem-bunuh gurunya.
“Ah! Syukurlah kau selamat, Kisanak,” sahut Panji cukup
terkejut dibuatnya.
Memang waktu itu dia melihat jelas kalau pe-muda itu telah
jatuh ke dalam jurang. Entah apa yang telah dialami pemuda
itu sehingga dapat se-lamat. Dan kepandaiannya pun telah jauh
lebih lihai menurut penglihatan Panji.
“Mengapa kau bisa berada di tempat ini, Pen-dekar Naga
Putih. Sepertinya kau bagai seorang malaikat saja?” Tanya
Sanjaya yang merasa heran melihat kedatangan pemuda yang
dulu pernah me-nolongnya itu.
Panji lalu menceritakan secara singkat apa se-babnya
sehingga bisa berada di tempat ini.
“Hm… Rupanya kau benar-benar telah berubah jauh Ki Aji
Barga. Kini kau pun telah pula berse-kongkol dengan para
bajingan pemilik rumah judi dan pelacuran! Tidak kusangka kau
akan sebejat itu!” Ucap Sanjaya sinis.
“Tak perlu kau mencampuri urusanku, Murid Murtad! Kami
sengaja menunggumu. Karena kami yakin kau belum tewas di
dalam jurang itu,” sahut Ki Bukaran ikut menimpali.
“Hm…. Bagaimana kalian tahu kalau aku selamat?” Tanya
Sanjaya heran.
“Firasat kami yang mengatakannya. Nah! Sekarang,
bersiaplah untuk menyusul arwah gurumu!” Ki Aji Barga
kembali menyahuti.
Setelah berkata demikian, ketiga kakek itu pun kembali
bersiap untuk menghadapi Sanjaya dan Pendekar Naga Putih.
Sanjaya dan Pendekar Naga Putih merenggang untuk
menghadapi lawan masing-masing. Kedua pemuda itu
nampaknya telah bersiap menghadapi ke-tiga tokoh sakti itu.
“Haaat..!”
Sambil berseru keras, Sanjaya memutar senjatanya
menerjang Ki Aji Barga yang menjadi sasa-ran utamanya.
Karena orang tua itulah yang telah menga-kibatkan kematian
gurunya.
Ki Aji Barga pun bukanlah orang bodoh. La tahu kalau
pemuda itu pasti telah berhasil menguasai ilmu pusaka warisan
perguruannya. Makanya ia tidak ragu-ragu lagi untuk
menggunakan senjata dalam menghadapi pemuda gagah
berambut riap-riapan itu.
Wut..!
Trang!
Terdengar dentingan yang memekakkan telinga ketika kedua
senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh keduanya
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Ki Aji Barga
sempat terkejut ketika merasakan kalau tenaga pemuda itu
temyata lebih tinggi sedikit.
***
SEMBILAN
Sanjaya yang hatinya telah diracuni dendam kembali
menerjang dahsyat. Senjata di tangannya berputar sedemikian
rupa hingga menimbulkan deruan angin keras. Seluruh
kekuatannya dikerah-kan dalam melancarkan serangan kali ini.
Ki Aji Barga pun tktek mau kalah. Pedang di tangannya
diputar hingga membentuk gulungan sinar yang membungkus
tubuhnya. Sesaat kemudian, ke-duanya kembali saling
menerjang hebat.
Pertarungan yang berlangsung antara dua orang yang masih
satu aliran itu benar-benar hebat. Batu-batu dan pasir
beterbangan tersepak kaki-kaki me-reka. Keduanya menguras
seluruh kepandaian masing-masing untuk segera saling
menjatuhkan!
Di tempat lain, Panji sudah pula berhadapan dengan Ki
Bukaran dan Ki Palwaka. Kedua orang to-koh itu juga telah
menggunakan senjata masing-masing, sehingga serangan-
serangan mereka tidak bisa dibuat main-main!
Wut! Wut..!
Panji melempar tubuhnya ke belakang. Setelah berjungkir
balik sebanyak tiga kali, tubuhnya men-darat ringan di atas
permukaan tanah. Sadar kalau kedua orang lawannya bukan
tokoh sembarangan, maka pemuda itu bergegas mencabut
keluar Pedang Naga Langit yang tersampir di punggungnya.
Wuk! Wuk..!
Angin dingin bertiup kencang ketika Pendekar Naga Putih
mulai menggerakkan senjata pusakanya. Suaranya mengaung
dahsyat bagai raungan seekor naga yang marah!
Dua orang kakek itu bergegas melompat mundur sambil
menyiapkan jurus-jurus andalan. Mereka maklum kalau pemuda
yang dihadapinya adalah se-orang pendekar ternama yang
telah banyak mero-bohkan tokoh sakti dari berbagai aliran.
Maka kini mereka harus berhati-hati dalam menghadapinya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi pekikan keras, tubuh Pendekar Naga Putih
meluncur dengan jurus andalannya. Pedang di tangannya
berputar menimbulkan terpaan angin dingin yang kuat.
Sehingga, kedua orang lawannya harus mengerahkan seluruh
kepandaian untuk menghadapinya.
Pertarungan berlangsung seru dan mendebar-kan. Gulungan
sinar pedang ketiga tokoh sakti itu saling libat dan saling
mendorong hebat. Dalam waktu yang singkat saja, ketiga orang
tokoh itu telah bertempur selama kurang lebih enam puluh
jurus. Namun sampai sejauh itu belum terlihat siapa yang akan
keluar sebagai pemenang.
Pada jurus yang ketujuh puluh lima, Panji ber-seru nyaring
mengejutkan lawan-lawannya. Saat itu juga tubuhnya meluruk
setelah terlebih dahulu me-lambung ke atas.
Werrr!
Terpaan angin dingin semakin kuat dan mem-belenggu
tubuh kedua orang kakek itu. Jurus 'Naga Sakti Meluruk ke
Dalam Bumi' yang merupakan jurus pamungkas Pendekar Naga
Putih menampak-kan kehebatannya. Sinar pedang yang
membentuk lingkaran itu berpendar menyilaukan pendangan
kedua orang lawan. Mereka pun tak sempat lagi untuk
menghindar ketika senjata di tangan pemuda itu membeset
tubuh mereka.
Bret! Bret..!
"Aaargh...!"
Ki Bukaran dan Ki Palwaka meraung keras ketika Pedang
Naga Langit membeset bahu dan lam-bungnya. Tubuh kedua
tokoh sakti itu terjungkal keras. Darah langsung menyembur
dari luka me-manjang pada tubuh mereka.
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih!" Teriak
seorang laki-laki gagah yang berusia sekitar empat puluh
tahun. Lima orang lainnya berturut-turut mengikuti gerakan
orang itu, untuk menge-pung Panji.
"Haiiit..!"
Tiba-tiba sesosok tubuh ramping berjungkir balik memasuki
arena pertempuran. Kedua kakinya mendarat ringan di tengah-
tengah kepungan lima orang murid kesayangan tiga orang
kakek sakti itu.
"Kau jangan serakah, Kakang...!" ujar gadis jelita yang tak
lain Kenanga sambil tersenyum. Di tangan gadis itu
tergenggam sebatang pedang bersinar putih keperakan.
"Heaaat..!"
Dua orang di antara pengepung itu melesat me-nerjang
Kenanga. Sedangkan empat orang lainnya bergerak menyerbu
Pendekar Naga Putih.
Sepasang pendekar muda itu segera mehggerak-kan
senjatanya menyambut serangan lawan. Sesaat kemudian,
pertarungan segera berkecamuk.
Dua orang pengeroyok Kenanga yang merupakan murid Ki
Bukaran, menyerang ganas dan cepat Kepandaian kedua orang
itu tidak bisa dipandang rendah, karena mereka murid-murid
kesayangan kakek sakti itu. Sehingga, pertarungan pun
semakin seru dan sengit.
Sedangkan Panji yang menghadapi empat orang lawan,
berkelebat cepat bagai bayangan hantu. Sesekali Pedang Naga
Langitnya menusuk tiba-tiba dan mengejutkan para
pengeroyoknya. Pemuda Itu rupanya tidak berniat membunuh
lawan-lawannya. Buktinya, terlihat serangan serangan
pedangnya tidak terlalu ganas. Bahkan jarang sekali melakukan
serangan secara beruntun.
Namun hal itu dianggap sebagai suatu peng-hinaan oleh
empat orang lawannya itu. Sehingga, mereka menyerang
semakin ganas dan berbahaya.
"Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Apakah kau pikir
kepandaianmu sudah setinggi langjt hingga menganggap
remeh kepada kami!"
Sambil berteriak marah, orang itu menyabetkan pedangnya
secara mendatar. Suaranya mengaung tajam, karena seluruh
tenaganya telah dikerahkan.
Wuuut!
Tubuh Panji menyelinap di antara sambaran pedang lainnya.
Pendekar itu kemudian metompat jauh ke belakang, sehingga
membuat keempat orang lawannya semakin penasaran.
"Maaf, Kisanak. Aku hanya tidak ingin kalian mengikuti jejak
guru kalian yang sesat itu!" Sahut Panji sambil mengibaskan
senjatanya menghalau pedang lawan.
"Tak perlu menggurui kami! Kalau memang mampu,
hadapilah pedang kami! Jangan hanya ber-kelit saja!" Ejek
salah seorang yang mengenakan ikat kepala putih.
Setelah berkata demikian, ia pun segera me-lompat sambil
membacokkan goloknya untuk mem-belah tubuh pemuda itu.
"Hm.... Kalian memang harus diberi pelajaran biar kapok!"
tegas Panji agak kesal. Dan begitu uca-pannya selesai, tubuh
pemuda itu bergerak cepat melakukan serangan hebat!
Trang! Trang!
"Uhhh...!"
Dua orang lawannya terjajar mundur ketika me-nangkis
pedang Panji. Dan sebelum mereka sempat mengatur
serangan, kaki pemuda itu telah melaku-kan tendangan dua
kali berturut-turut.
Desss! Desss!
"Ughhh...!"
Dua orang pengeroyok itu kontan terjungkal ke belakang.
Dada dan perut mereka telak terkena tendangan Pendekar
Naga Putih. Darah pun lang-sung menyembur dari mulut
keduanya Saat itu juga keduanya menggeletak pingsan.
"Keparat! Ciaaat..!"
Dibarengi sebuah pekik kemarahan, tubuh salah seorang
lawannya meluncur ke arah Panji disertai ayunan senjatanya.
Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi menyabetkan
senjatanya dari atas ke bawah.
"Hmh...!"
Sambil mendengus kasar, pedang di tangan Panji berkelebat
dua kali berturut-turut.
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Kedua orang itu terpekik kaget. Seketika itu juga senjata
mereka terlepas dari genggaman. Kembali pedang Pendekar
Naga Putih berkelebat menyilau-kan mata.
Breti Bret!
"Aaargh...!"
Darah segar menyembur ketika mata pedang itu membeset
dada kedua orang itu. Tubuh keduanya terjajar ke belakang
sejauh dua tombak. Panji kembali melompat dan menendang
dengan kedua kakinya. Tak ayal lagi, kedua orang itu langsung
ambruk dan tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
Sedangkan di arena yang lain, Sanjaya sudah pula berhasil
mendesak Ki Aji Barga. Senjata di tangan pemuda gagah itu
benar-benar membuatnya mati langkah. Beberapa kali
tubuhnya nyaris ter-makan senjata yang berbentuk aneh itu.
Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Sehingga,
hanya pakaiannya saja yang telah robek di sana sini.
Pada jurus yang keseratus lima, Sanjaya tiba-tiba
menggetarkan senjatanya. Terdengar suara ber-denting yang
menyakitkan telinga. Ki Aji Barga cepat melompat ke belakang
sambil memejamkan mata-nya untuk menahan serangan suara
yang meng-getarkan rongga dadanya.
Sanjaya yang memang telah menunggu-nunggu kesempatan
baik itu, tidak ingin menyia-nyiakan-nya. Saat itu juga tubuhnya
berkelebat disertai ayu-nan senjatanya secara mendatar.
Wuttt!
Senjata berbentuk pedang yang disambung-sam-bung itu,
berkelebat dengan kecepatan kilat Sasa-rannya adalah batang
leher Ki Aji Barga!
Crakl
Ki Aji Barga yang tengah berusaha menenang-kan debaran
dalam dadanya tak sempat lagi meng-hindar. Kepalanya
langsung terpisah dari badan ketika senjata di tangan Sanjaya
tepat membacok batang lehemya. Darah segar kontan
menyemprot dari leher yang terpapas buntung itu.
Melihat tubuh lawannya masih juga berdiri goyah, pemuda
itu kembali mengayunkan senjata-nya. Kali ini sasarannya
adalah perut lawan.
Creb...!
Darah segar kembali menyembur dari luka lebar yang
menganga di tubuh Ki Aji Barga. Tubuh tanpa kepala itu kini
terjerembab dan diam tak berkutik lagi.
"Guru..,. Muridmu telah dapat membalaskan sa-kit hatjmu.
Semoga arwahmu menjadi tenang," ucap Sanjaya dengan
suara berbisik. Setelah mengucap-kan kata-kata demikian,
pemuda tinggi tegap itu pun bergegas bangkit berdiri.
Sanjaya menolehkan kepalanya ketika mende-ngar jeritan
menyayat. Jeritan itu dibarengi jatuh-nya dua sosok tubuh yang
berlumuran darah.
Kenanga melangkah menghampiri dua orang lawannya yang
telah terluka itu. Sepasang matanya tampak menyiratkan
ancaman yang mengerikan.
"Ampun, Nisanak.... Kami menyerah!" Ratap orang itu sambil
menekap dadanya yang terluka. Sedangkan yang seorang lagi
telah tewas karena pedang gadis itu terlalu dalam melukai
perutnya.
"Kenanga! Biarkan orang itu!" Seru Panji yang samar-samar
mendengar ratapan orang itu. Setelah berkata demikian,
Pendekar Naga Putih melangkah menghampiri kekasihnya.
Saat itu Ki Bukaran dan Ki Palwaka yang terluka parah oleh
Panji, tampak bergerak bangkit Kedua kakek itu merintih sambil
menekap lukanya.
"Keparat, rupanya kalian masih belum mampus!" Bentak
Sanjaya ketika melihat tubuh dua orang kakek itu tengah
berusaha untuk bangkit berdiri. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, tubuh pemuda itu kembali melompat disertai ayunan
senjatanya.
"Sanjaya, jangann..!" Cegah Panji ketika menge-tahui apa
yang akan diperbuat oleh pemuda itu. Namun sayang, teriakan
Panji sudah terlambat. Karena dua orang kakek itu telah
menjerit ngeri.
Sanjaya menghela napas berulang-ulang sambil menatap
tubuh dua orang kakek yang telah menjadi mayat itu. Senjata
pemuda itu tampak masih me-neteskan cairan kental berwarna
merah.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku khilaf," ucap
Sanjaya dengan wajah tertunduk.
"Hm.... Semuanya telah terjadi. Tak perlu dise-sali," sahut
Panji sambil menepuk perlahan bahu pemuda itu.
"Dendamku sudah terbalas. Aku tidak mem-punyai urusan
lagi di tempat ini. Aku mohon diri, Pendekar Naga Putih,
Kenanga," ujar Sanjaya sambil melangkah meninggalkan
tempat itu. Sanjaya telah memutuskan untuk kembali ke
tempat Suku Gan-das di mana calon istrinya menunggu.
"Selamat jalan, Sahabat...," ucap Panji lirih sam-bil
melambaikan tangannya. Sedangkan Kenanga telah berdiri di
samping kekasihnya sambil meng-genggam tangan pemuda itu.
Setelah mengobati orang-orang yang terluka, Panji dan
Kenanga bergegas meninggalkan tempat itu. Tak lupa pemuda
itu berpesan agar mereka tidak mengikuti jejak guru mereka
yang sesat.
Sinar matahari semakin naik tinggi. Sinarnya mulai
memudar, karena sebentar lagi akan menye-lesaikan tugasnya
untuk hari ini.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah perlahan
sambil berpegangan tangan. Sang mentari pun ikut tersenyum
menyaksikan kemesraan sepa-sang kekasih itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar