..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label JODOH RAJAWALI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JODOH RAJAWALI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Maret 2025

KOLEKSI SERIAL SILAT JODOH RAJAWALI FULL EPISODE

ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABAROKATU 


 SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA BAGI YANG KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT YANG MENJALANKAN. 

SEMOGA AMAL IBADAH PUASA KITA DI TERIMA OLEH ALLAH SUBHANALLAH TAALA.. AAMIIN


PADA POST KALI MATJENUHKHAIRIL MAU MENSHARE LAGI SERIAL SILAT DENGAN JUDUL JODOH RAJAWALI FULL EPISODE DISINI MATJENUHKHAIRIL HANYA MEN-SHARE SAJA ADAPUN ISI CERITA NYA MURNI DARI PENGARANG NOVEL TERSEBUT.. APABILA ADA ISI DARI CERITA YANG AGAK FULGAR ITU BUKAN DARI SAYA.. SEMOGA POST INI MENGANDUNG MANFAAT DAN PAHALA BAGI YANG MENGARNG NYA..DAN BERPAHALA JUGA BAGI SAYA YANG MENSHARE NYA.. KARENA SECARA TIDAK LANGSUNG INI ADALAH KARYA KARYA YANG SANGAT LUAR BIASA DIMANA KALA ITU GADGET DAN TELEVISI BELUM SEBANYAK SEKARANG SEMOGA ALLAH MERIDHOI POST INI

 yuk langsung ke postingan 


Share:

JODOH RAJAWALI EPISODE TENGKORAK HITAM

matjenuh khairil

 

TENGKORAK HITAM
Serial Silat
JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Tengkorak Hitam
112 hal.

1

DESA Kekanjengan tak jauh dari pusat pemerin-
tahan kadipaten Tambaksari. Sebagian besar pendu-
duk Desa Kekanjengan adalah para pegawai istana, 
dari pegawai teras sampai perawat taman di kadipaten 
tersebut.
Belakangan ini Desa Kekanjengan jika malam be-
rubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Pasalnya, 
setiap malam selalu saja terjadi pembunuhan yang 
menimbulkan jerit lengking memecah sunyinya malam, 
mendirikan bulu roma siapa pun yang mendengarnya.
Bukan saja seorang lelaki yang menjadi korban 
pembunuhan, melainkan seorang perempuan pun bisa 
menjadi korban. Bahkan anak berusia remaja, atau 
gadis perawan, juga menjadi korban pembunuhan keji. 
Konon pembunuhan itu dilakukan oleh seseorang yang 
bergelar Tengkorak Hitam.
Seseorang yang pernah memergoki pelaku pembu-
nuhan itu mengetahui ciri-ciri si pelakunya; berpa-
kaian serba hitam dengan kain penutup kepala yang 
lurus sampai ke bawah, mirip pakaian yang dikenakan 
oleh El Maut. Kabarnya, orang berpakaian El Maut itu 
juga memegang tongkat berujung sabit runcing me-
lengkung tajam, yang oleh orang-orang dikenal dengan 
nama Pusaka El Maut. Orang tersebut wajahnya me-
nyeramkan, tulang-belulang tanpa daging dan kulit 
dengan mata cekungnya yang merah dan tulangnya 
yang hitam. Itulah sebabnya orang tersebut dikenal 
dengan nama Tengkorak Hitam.
Bila malam sepi tiba, seringkali penduduk tersen-
tak bangun dari tidurnya mendengar suara jeritan 
yang menggema ke mana-mana. Lalu mereka berbon-
dong-bondong datang ke rumah tersebut dan menemukan salah seorang anggota keluarga terkapar ber-
mandi darah dengan leher robek hampir putus, atau 
dada robek sampai perut atau punggung bolong ter-
tancap senjata tajam yang mengerikan.
Itulah sebabnya sebuah kedai yang terlaris di desa 
itu terpaksa tak berani buka sampai larut malam. Se-
dikit lewat petang, kedai tersebut sudah ditutup oleh 
pemiliknya, karena ia tak mau kedatangan Tengkorak 
Hitam yang siap mencabut nyawa siapa saja yang di-
temuinya pada waktu malam.
Keadaan yang menegangkan itulah yang membuat 
Ki Bantarsuko, pemilik kedai tersebut yang berusia li-
ma puluh tahun lebih terpaksa menegur seorang pen-
dekar tampan berpakaian putih dengan selempang 
kain penutup dada dari bulu beruang warna coklat. 
Pemuda tersebut hanya mempunyai satu tangan, yaitu 
tangan kanan saja. Tetapi jika orang tidak memperha-
tikan baik-baik, maka orang akan sangka pendekar 
tampan memikat hati wanita itu adalah orang bertan-
gan dua. Karena ia mengenakan pakaian berlengan
panjang, maka lengan panjang bajunya itu sering di-
anggap sebagai tangan oleh orang yang memandang-
nya sepintas.
Ki Bantarsuko terpaksa mendekati pemuda terse-
but yang tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali 
Merah, lalu KI Bantarsuko berkata,
"Tuan, hari sudah hampir petang."
"Ya. Aku tahu. Tapi aku belum selesai habiskan 
makananku. Aku pun masih ingin beristirahat bebera-
pa saat, Pak Tua."
"Tapi... tapi kami sudah mau tutup, Tuan."
"O, kalau begitu, tunggu sebentar lagi. Aku harus 
habiskan makananku ini," kata Pendekar Rajawali Me-
rah.
"Baik. Silakan dihabiskan dulu. Tapi sebelumnya

saya mohon maaf atas teguran saya ini."
"Tak apa-apa. Aku tak tersinggung, Pak Tua."
"Sebenarnya Tuan muda ingin pergi ke mana?"
"Mencari seorang sahabat lama yang bernama 
Anggita, putri Lurah Prawiba."
"O, lurah yang tewas karena bunuh diri itu?"
"Benar. Agaknya kau mengenalnya, Pak Tua?!"
"Ya, saya memang mengenalnya. Tapi Den Prawi-
ba... maksud saya keluarga almarhum Lurah Prawiba 
sudah mengungsi di Desa Kujang, di balik gunung se-
belah wetan sana, Tuan."
"Mengungsi?" Yoga mulai curiga.
"Ya. Sebab... sebab memang begitulah warga desa 
kami ini. Sudah banyak yang mengungsi menjauhi ma-
lapetaka yang sedang melanda desa kami, Tuan."
"Hmmm...," Yoga manggut-manggut. "Jauhkah de-
sa tempat keluarga Lurah Prawiba mengungsi itu?"
"Ya, kurang lebihnya setengah hari perjalanan, 
Tuan."
"Jika kau berangkat pada malam ini juga, bisakah 
aku tiba di sana esok paginya?"
"Bisa, tapi... tapi...." Ki Bantarsuko memandang 
sekeliling. Kedainya telah kosong pembeli. Hanya ada 
Pendekar Rajawali Merah yang ada di situ, mengha-
biskan sepoci teh hangat dan makanan dari bahan ke-
tan dan kelapa.
Melihat wajah Ki Bantarsuko diliputi kecemasan. 
Yoga segera bertanya dengan sikap sedikit mendesak,
"Sebenarnya ada apa, Pak Tua? Kau kelihatannya 
cemas sekali sejak tadi. Apa yang mencemaskan hati-
mu, Pak Tua? Katakanlah!"
"Anu... saya hanya ingin mengatakan agar Tuan 
jangan pergi malam hari. Sangat berbahaya pergi ma-
lam hari melintasi wilayah desa kami. Bisa-bisa Tuan 
muda menjadi korban seperti yang lain."

"Korban...? Korban bagaimana?" 
"Hmmm... eeh..., saya tidak berani menceritakan-
nya, Tuan. Sebaiknya, lekas habiskan hidangan tuan 
itu."
Ki Bantarsuko meninggalkan Yoga, ia pergi ke da-
pur dan menghilang sebentar di balik pintu dapur ke-
dainya itu. Sedangkan Yoga menghabiskan makannya 
dengan hati diliputi tanda tanya besar dan membuat-
nya sangat penasaran.
Yoga bermaksud menemui Anggita atau Walet 
Gading, karena kabarnya Anggita adalah saudara se-
pupu dari Walet Gading. Sebenarnya yang sangat ingin 
ditemui Yoga adalah Walet Gading, karena Walet Gad-
ing murid dari Ki Pamungkas yang menjadi guru dan 
ketua Perguruan Gerbang Bumi.
Kalau saja Perguruan Gerbang Bumi itu tidak di-
bubarkan, sudah tentu Yoga tidak sulit untuk mencari 
dan menemui Walet Gading. Tapi karena Perguruan 
Gerbang Bumi dibubarkan karena tidak mempunyai 
seorang ketua, di mana ketua mereka sudah meninggal 
akibat pertarungannya dengan Resi Gutama, maka 
Walet Gading pun sukar ditemuinya. Kabar terakhir 
mengatakan, bahwa Walet Gading sekarang tinggal 
bersama keluarga sepupunya, yaitu Anggita. Yoga pun 
cukup kenal baik dengan Anggita, (Dalam serial Jodoh 
Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
Sebetulnya kalau saja Tua Usil tidak menderita 
sakit aneh. Yoga tidak akan mencari Anggita atau Wa-
let Gading. Saat itu, Tua Usil sedang sakit. Badannya 
panas tanpa sebab. Pada malam hari ia sering mengi-
gau dengan suara berubah menjadi tua. Suara terse-
but belum pernah didengar baik oleh Yoga maupun Li-
li, bahkan Bocah Bodoh tidak mengenali suara terse-
but.
Dalam igauannya, Tua Usil selalu menyebut

nyebut Pusaka Hantu Jagal, yaitu sebuah pisau pusa-
ka yang diperolehnya berkat pertemuan Tua Usil den-
gan Ki Pamungkas saat Ki Pamungkas menjelang ajal. 
Dalam celoteh igauan bersuara tua, yang diduga ada-
lah suara Ki Pamungkas, Tua Usil selalu bicara ten-
tang Batu Delima Sutra yang harus ditempelkan seba-
gai penghias sarung emas Pusaka Pisau Hantu Jagal 
itu. Sedangkan mereka tidak tahu seperti apa Batu De-
lima Sutra itu dan di mana mereka bisa memperoleh-
nya. Karenanya, Yoga ditugaskan oleh Lili, yang men-
jadi guru angkat dan sekaligus kekasihnya itu, untuk 
menemui Walet Gading. Sebagai bekas murid Ki Pa-
mungkas, diharapkan Walet Gading dapat memberita-
hu apakah Batu Delima Sutra itu dan di mana bisa 
mereka temukan.
Yoga ingin ceritakan keadaan Tua Usil yang selalu 
mengigau dengan suara tuanya Ki Pamungkas terse-
but.
Untuk menghindari kegaduhan masyarakat desa, 
Yoga sengaja pergi ke desa asal Anggita dengan berja-
lan kaki, tidak menunggang burung Rajawali Merah-
nya. Sebab jika mengendarai burung besar itu, maka 
ia akan menjadi pusat perhatian masyarakat desa dan 
bisa dianggap menjadi biang kekacauan. Sebab tidak 
semua orang berani dekati burung besarnya Yoga itu. 
Pada umumnya mereka justru lari tunggang langgang 
dengan ketakutan jika burung besar itu hinggap tak 
jauh dari mereka.
Tetapi ketika Yoga sempatkan diri singgah di kedai 
itu, ia bahkan menemukan suatu masalah yang mem-
buatnya penasaran. Bukan karena pindahnya Anggita, 
melainkan istilah mengungsi, sungguh merupakan isti-
lah yang bersifat berbahaya menurut anggapan Yoga. 
Dan ternyata sikap Ki Bantarsuko pun menampakkan 
adanya bahaya yang mencemaskan hati orang tua ter

sebut. Yoga tertarik untuk selidiki sesuatu yang men-
cemaskan Ki Bantarsuko itu.
Ketika Ki Bantarsuko muncul dari dapur bersama 
anak gadisnya yang berkulit hitam manis berkebaya 
hijau itu. Yoga melambaikan tangan kepada Ki Bantar-
suko. Lelaki berambut abu-abu karena bercampur 
uban itu segera mendekati Yoga, sementara Sulastri, 
anak gadis Ki Bantarsuko yang berusia sekitar dua pu-
luh tahun itu mengemasi barang-barang, menutup 
pintu dan jendela lebar sebelah kiri kedai.
"Sudah selesai makannya, Tuan?" tanya Ki Ban-
tarsuko, bersikap sopan dan menghormat.
"Sekalipun belum, mungkin memang harus segera 
di sudahi saja. Aku ingin teruskan perjalananku men-
cari Anggita."
"Tapi... tapi hari sudah petang, Tuan."
"Memang. Habis, aku harus bermalam di mana? 
Apakah di kedaimu ini menyediakan kamar pengina-
pan? Jika ada kamar yang bisa kusewa, biarlah akan 
kusewa untuk satu malam saja!"
"Hmmm...," Ki Bantarsuko berpikir sambil meng-
gumam lirih, kejap berikutnya ia menyambung kata, 
"Ada, Tuan. Ada satu kamar yang biasanya kami se-
wakan untuk para tamu yang membutuhkan. Jika tak 
ada yang menyewa, sering kami gunakan sebagai gu-
dang penyimpanan barang-barang dapur. Jika Tuan 
menginginkannya, biar saya suruh Sulastri member-
sihkan dan menyiapkan kamar tersebut."
"Baiklah, aku akan bermalam di sini. Siapkanlah 
kamar untukku!"
Ki Bantarsuko bergegas temui Sulastri. Ia bicara 
pelan dengan anak gadisnya. Sulastri tersenyum-
senyum melirik ke arah Yoga. Rupanya gadis itu men-
jadi girang hatinya mendengar tamu tampannya ingin 
bermalam di kedainya. Maka dengan penuh semangat

Sulastri cepat-cepat membersihkan kamar tersebut.
Pada waktu itu, seorang tamu perempuan muncul 
dan langsung masuk ke kedai itu. Perempuan tersebut 
segera ditemui oleh Ki Bantarsuko. Yoga mendengar 
suara Ki Bantarsuko berkata kepada perempuan beru-
sia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Maaf, Nona... kedai kami sudah mau tutup."
"Aku hanya sebentar," jawab gadis berpakaian me-
rah dengan jubah hijau tua itu.
"Kami sudah tidak menyediakan masakan lagi, 
Nona."
"Aku hanya mau minum saja. Kau punya tuak? 
Beri aku tuak dua cangkir!"
"Hmm... anu, Nona... begini...."
"Beri aku dua cangkir tuak!" potong gadis itu den-
gan nada sedikit menyentak. Ki Bantarsuko ketakutan. 
Gadis itu selain berhidung mancung dan berwajah 
cantik dalam bentuk bulat telur, tapi mempunyai mata 
bertepian hitam dan berkesan galak. Gadis itu tampak 
menyelipkan pedang di pinggang. Ketika ia duduk, pe-
dangnya dilepas dari pinggang dan diletakkan di atas 
meja depannya.
Kini Ki Bantarsuko menyiapkan pesanan gadis itu, 
mata Yoga sempat meliriknya. Karena gadis itu secara 
tak langsung duduk berhadap-hadapan dengan Yoga, 
walaupun dalam meja berbeda dan jaraknya sekitar 
tujuh langkah kurang, mau tak mau mereka dapat sal-
ing pandang secara bebas. Agaknya gadis itu pun ta-
hu, bahwa pemuda tampan yang diperhatikan itu bu-
kan pemuda sembarangan, terbukti pedang yang dis-
andang di punggung Yoga menampakkan sebentuk pe-
dang yang sering dibicarakan para tokoh dunia persila-
tan. Pedang berwarna merah tembaga dengan gagang 
berhias dua kepala burung saling bertolak belakang itu 
diperhatikan terus.

Tiba-tiba Yoga menemukan cangkir tehnya yang 
semula berisi tinggal separo itu, sekarang menjadi ker-
ing kerontang, tanpa setetes air teh. Hal itu membuat 
Yoga kaget dan memperhatikan cangkir dengan pera-
saan heran. Gadis itu tersenyum, dan Yoga mulai curi-
ga kepada gadis tersebut.
Ki Bantarsuko memberikan apa yang dipesan ga-
dis itu, dua cangkir tuak. Tapi gadis itu masih pan-
dangi Yoga secara sembunyi-sembunyi. Dan tiba-tiba 
cangkir dari keramik kasar itu pecah secara menda-
dak. Praakkk...! Yoga terkejut, gadis itu terdengar ter-
tawa mengikik ditahan. Kemudian Yoga menarik napas 
dan bersikap tenang. Ia memberitahu kepada Ki Ban-
tarsuko bahwa cangkirnya pecah dan bersedia meng-
ganti dengan harga sesuai.
"Apakah perlu saya siapkan secangkir teh lagi, 
Tuan?"
"Ya," jawab Yoga. "Saya minta satu poci teh!" sam-
bungnya.
"Baik. Dan... hmmm... kamarnya sudah siap di-
tempati, Tuan."
"Aku akan segera ke sana! Tapi aku ingin minum 
teh dulu disini!"
"Baik. Sebentar, saya ambilkan pesanan Tuan ta-
di."
Ki Bantarsuko pergi ke dapur, sementara itu gadis 
berjubah hijau dan berambut disanggul rapi itu masih 
tersenyum-senyum sambil sesekali melirik ke arah Yo-
ga. Pemuda itu hanya berkata dalam hati,
"Dia telah menggangguku. Dia pamerkan keheba-
tan ilmunya yang bisa mengirimkan tenaga dalam le-
wat pandangan mata. Dia buktikan kemampuannya 
menyedot air teh dan memecahkan cangkirnya. 
Hmmm...! Baik. Dia mengajak adu kehebatan ilmu rupanya."

Yoga melihat gadis itu meneguk tuak dari cangkir 
pertama. Satu cangkir diteguknya habis. Setelah itu ia 
menghembuskan napas lewat mulut, melirik Yoga se-
bentar dan tersenyum tipis bernada menantang. Pen-
dekar Rajawali Merah diam saja.
Tetapi beberapa saat kemudian, gadis itu terkejut 
ketika mau meneguk cangkir yang kedua. Ia melihat 
cangkir pertama yang sudah kosong itu menjadi berisi 
kembali dengan penuh. Ia melirik Yoga, tapi Yoga ber-
lagak tidak memperhatikannya.
Tuak di cangkir kedua ditenggaknya lagi. Habis 
seketika, karena ukuran cangkirnya memang kecil. Yo-
ga masih tidak menampakkan sikap tertarik untuk 
memperhatikan gadis itu. Ketika gadis itu ingin me-
nenggak tuak yang muncul lagi di cangkir pertama. 
Yoga sempatkan melirik sebentar. Ia tersenyum disem-
bunyikan ketika gadis itu menenggak tuak di cangkir 
pertama tadi.
Gadis itu menjadi terkejut melihat kedua cangkir 
telah terisi tuak lagi. Matanya mulai menyipit dalam 
memandang Yoga. Hatinya mulai berkata dalam nada 
dongkol,
"Sial! Pemuda tampan itu pasti telah mengganggu-
ku dengan mengisi tuak ke dalam cangkir ku ini! Tak 
ada salahnya jika... jika... oh, kepalaku menjadi pusing 
sekali. Pasti gara-gara tuak pasangannya itu. Kurang 
ajar dia!"
Ki Bantarsuko datang menyerahkan pesanan Yo-
ga, menghidangkan sepoci teh panas dengan tempat 
gula batu dalam cangkir kaleng, dan satu cangkir ke-
ramik kasar yang baru. Setelah itu, Ki Bantarsuko pun 
pergi meninggalkan Yoga. Mata Yoga sempat meman-
dang gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Tan-
gannya meraba-raba cangkir di depannya.
"Kurang ajar betul dia," pikir gadis itu. "Dia buat

minuman itu membutakan mataku!"
Yoga tersenyum dengan bebas tanpa takut dilihat 
lagi, sebab gadis itu dalam keadaan buta, walau tidak 
berapa lama. Sebentar saja akan menjadi pulih, karena 
kebutaan itu hanya sekadar jurus penutup mata lawan 
yang sewaktu-waktu bisa digunakan Yoga jika ingin 
membuat lawan tak melihat dalam beberapa hitungan. 
Setelah itu pandangan mata lawan akan menjadi te-
rang kembali dan rasa pusingnya akan hilang.
Ternyata memang benar, gadis itu pun mulai bisa 
memandang dengan mata terang, kepalanya tidak te-
rasa pusing lagi, tapi tiba-tiba dia terkejut. Mulutnya 
terperangah melihat Yoga sudah duduk di depannya.
"Gila! Tak kudengar suara langkah kaki dan keda-
tangannya. Tahu-tahu si tampan itu sudah duduk di 
depanku?!" kata gadis itu dalam hati.
Senyum Yoga mekar ramah di depan gadis itu, 
membuat sang gadis kelabakan, malu, kikuk, dan ber-
debar-debar, serta dihiasi rasa dongkol, merasa diper-
mainkan dengan tuak bayangan tadi. Untuk menutupi 
kekikukan sikapnya, gadis itu pasang wajah angkuh 
dan segera bertanya dengan nada sinis.
"Siapa yang suruh kau duduk di depanku, hah?!"
"Kau yang menyuruhnya!" jawab Yoga.
"Aku tidak bicara apa-apa denganmu sejak tadi."
"Mata hatimu yang bicara dan aku mendengar-
nya."
Gadis itu semakin tersipu dan salah tingkah. Na-
mun ia berusaha melawan perasaannya itu dengan si-
kap angkuh yang ditonjolkan lagi.
"Siapa dirimu sebenarnya, sehingga berani-
beraninya duduk di depan Roro Intan, hah?"
"Kau sudah mengetahui siapa aku, mengapa kau 
menanyakannya?"
Gadis itu semakin jengkel, akhirnya menghempaskan napas dan berkata, "Ya, aku tahu, kau yang 
berjuluk Pendekar Rajawali Merah, bernama Yoga, mu-
rid dari Dewa Geledek! Ciri-cirimu sudah kuketahui 
dari cerita beberapa orang yang pernah melihatmu! 
Tapi aku tidak tahu apa keperluanmu menemuiku di 
sini!"
"Aku tidak punya keperluan apa-apa, hanya ingin 
tahu namamu saja, Roro Intan! Selamat malam!"
Yoga bergegas pergi dan menyuruh Pak Tua pemi-
lik kedai membawakan minumannya ke kamar. Tiba-
tiba Roro Intan berseru,
"Tunggu sebentar, Pendekar Rajawali Merah! Aku 
ingin bicara denganmu!" ia justru menyusul Yoga yang 
sudah bersiap ke kamarnya melalui jalan dapur. Yoga 
sengaja tidak menghampirinya, sehingga dengan begitu 
Roro Intan-lah yang seolah-olah merasa membutuhkan 
Yoga.
"Perlu kau ketahui, mungkin kau juga perlu men-
getahuinya, Pak Tua, bahwa aku disewa oleh Ki Lurah 
Wikuto Legawa untuk menjaga desa ini dan menga-
mankannya dari gangguan pembunuh keji yang berge-
lar Tengkorak Hitam!"
"Kurasa itu urusanmu, Roro Intan. Urusanku ada-
lah beristirahat di kamar sambil menikmati teh manis 
hangat ini!" kata Yoga.
"Kuharap malam ini jangan ada yang keluar ru-
mah, termasuk kau, pendekar tampan! Siapa pun yang 
berkelebat malam ini di luar rumah, jika kupergoki, 
akan kuhajar dia separah mungkin, karena kuanggap 
orangnya Tengkorak Hitam!"
"Baik, saya mengerti, Nona!" jawab Ki Bantarsuko.
"Camkan peringatanku ini, Yoga!"
"Mudah-mudahan aku tidak lupa dan memba-
wanya tidur dengan nyenyak."
Yoga segera pergi ke kamar yang sudah disiapkan.


Di sana ada Sulastri yang sedang membersihkan meja 
dari debu. Ia lupa membersihkannya tadi. Ketika Yoga 
masuk ke kamar itu, Sulastri tersipu-sipu lalu segera 
pergi dengan sikap sopan menghormat. Yoga sempat 
menyapa,
"Sulastri...."
Langkah Sulastri berhenti, tapi ia tidak berbalik 
memandang Yoga. Ia hanya berhenti dan menengok ke 
samping kiri, sedangkan Yoga pun segera berkata,
"Siapa Roro Intan itu?"
"Saya tidak tahu, Tuan."
"Siapa Tengkorak Hitam itu?"
Sulastri kaget dan menjadi takut. Ia segera mena-
tap Yoga dengan berbalik badan. Mata gadis itu tam-
pak lebar karena takut.
"Jangan takut. Aku akan melindungimu. Aku 
hanya ingin mendengar cerita tentang Tengkorak Hi-
tam. Apakah kau tahu soal itu?"
Sulastri ingin menggeleng, tapi sukar sekali ha-
tinya ditentang, akhirnya ia mengangguk dengan mu-
lut berbibir ranum itu terperangah.
"Kau mau menceritakannya sedikit tentang Teng-
korak Hitam?"
Sekali lagi Sulastri mengangguk, sehingga Yoga 
berpikir, jika Sulastri tahu banyak tentang Tengkorak 
Hitam, lantas siapa sebenarnya Sulastri itu? Apakah 
semua penduduk desa tersebut juga tahu banyak ten-
tang Tengkorak Hitam sebanyak yang diketahui Sula-
stri.
***

2

MALAM yang sepi membuat Yoga sulit tidur. Ma-
lam itu benak Yoga dibayang-bayangi cerita dari Sula-
stri tentang Tengkorak Hitam. Sebuah cerita yang me-
nyeramkan telah dituturkan oleh Sulastri, bahwa
Tengkorak Hitam adalah pembunuh berdarah dingin 
yang tak pernah mau mengenal belas kasihan. Ibunya 
Sulastri sendiri mati beberapa bulan yang lalu karena 
dibunuh oleh Tengkorak Hitam. Penduduk desa sela-
ma tiga bulan lebih habis dibunuh oleh Tengkorak Hi-
tam satu persatu.
Menurut Sulastri, Lurah Wikuto Legawa sudah 
menyewa banyak para jawara untuk mengamankan 
desanya, namun sampai detik itu, setiap orang sewaan 
Lurah Wikuto Legawa itu selalu mat! di tangan Tengko-
rak Hitam. Dengan penjelasan itu timbul pemikiran 
dalam benak Yoga.
"Kalau benar Roro Intan disewa Ki Lurah Wikuto 
Legawa untuk menjaga keamanan desa, maka sudah 
pasti Roro Intan cepat atau lambat akan menjadi kor-
ban Tengkorak Hitam! Tapi gadis itu tampaknya cukup 
berani dalam bertindak. Mungkinkah karena dia mera-
sa punya ilmu cukup tinggi hingga merasa mampu me-
lawan Tengkorak Hitam?!"
Sepinya malam tiba-tiba dirobek oleh suara jeritan 
yang menyayat hati. Jeritan itu datang dari suara seo-
rang perempuan, letaknya tak berapa jauh dari kedai 
Ki Bantarsuko. Maka, Yoga pun cepat bangkit dari re-
bahannya. Pedang disandang di punggung dan ia ke-
luar dari kamarnya. Namun ia segera dihadang oleh Ki 
Bantarsuko yang berwajah tegang dan berkata,
"Jangan keluar, Tuan! Jangan keluar!"
"Aku mendengar suara jeritan, Ki Bantarsuko!"

"Ya. Memang benar. Tapi jangan keluar sekarang. 
Tunggu beberapa saat. Sekarang Tengkorak Hitam 
pasti sedang dalam pelariannya. Jika ia memergoki 
Tuan, nanti Tuan menjadi korban berikutnya!"
Barangkali Ki Bantarsuko belum mengetahui ke-
hebatan ilmu Yoga, sehingga ia sangat mencemaskan 
tamunya jika keluar secepat itu. la tidak ingin ta-
munya kepergok oleh Tengkorak Hitam dan tak mam-
pu hadapi keganasan dan kekejaman si Tengkorak Hi-
tam itu. Karena Yoga tidak mau sombongkan ilmunya 
di depan Ki Bantarsuko, maka Yoga pun diam saja, 
kembali masuk ke kamarnya dan duduk di tepian di-
pan sambil menunggu Ki Bantarsuko memanggilnya.
Beberapa saat kemudian, Ki Bantarsuko memang 
memanggilnya. Ia mengajak Yoga keluar dari pengina-
pan dan menghampiri rumah orang yang menjadi kor-
ban. Ternyata di sana banyak orang yang telah berke-
rumun dan saling membicarakan korban malam itu.
Korban yang mati dengan dada terluka lebar per-
tanda bekas hujaman senjata tajam besar itu adalah 
seorang lelaki yang bernama Randuguno, berusia seki-
tar dua puluh tahun. Masih muda dan belum meni-
kah. Ibunya yang tadi menjerit melihat anaknya mati 
terkapar ketika membukakan pintu untuk seorang ta-
mu yang suaranya mirip dengan temannya, yaitu seo-
rang gadis yang menjadi kekasih Randuguno bernama 
Rusmini. Ibunya sendiri juga mendengar suara Rusmi-
ni, dan menyangka memang Rusmini yang datang pa-
da malam itu. Walaupun ibunya Randuguno merasa 
heran mendengar suara anak gadis malam-malam da-
tang ke rumahnya, namun ia tak berani turun dari 
tempat tidurnya karena merasa sangsi. Kesangsian itu 
akhirnya dibuktikan setelah ia mendengar pekik terta-
han dari mulut Randuguno, dan ia temukan anaknya 
sudah bermandi darah di depan pintu.

Luka lebar dan mengerikan itulah yang membuat 
orang-orang berkesimpulan, bahwa pembunuh Randu-
guno adalah orang yang sama dengan pembunuh para 
korban sebelumnya, yaitu Tengkorak Hitam. Luka le-
bar itu menunjukkan luka akibat senjata runcing dari 
tombak yang di sebut-sebut orang Pusaka El Maut. 
Sedangkan ke mana arah larinya Tengkorak Hitam, 
seorang pun tak ada yang mengetahuinya.
"Tapi bukankah Ki Lurah Wikuto Legawa sudah 
menyewa seorang penjaga malam yang bertugas men-
gamankan desa ini, Ki Bantarsuko? Kalau tak salah, 
gadis yang minum tuak di kedai kita itulah orang se-
waan Ki Lurah Wikuto Legawa."
"Memang. Tapi penduduk desa tidak pernah me-
naruh harap kepada siapa pun orang sewaan Ki Lurah, 
Tuan. Mereka yakin, orang sewaan itu tidak akan 
mampu mengamankan desa kami, karena ilmu Teng-
korak Hitam itu cukup tinggi!"
Dari kejauhan tampak beberapa orang berjalan 
sambil membawa obor. Yoga tertarik dengan peman-
dangan tersebut, sebab orang-orang pembawa obor itu 
menyelusup ke tempat-tempat sempit, seakan mencari 
sesuatu. Pendekar Rajawali Merah bertanya kepada Ki 
Bantarsuko.
"Apakah mereka sedang mencari jejak Tengkorak 
Hitam, Ki?"
"Bukan. Mereka pasti sedang mencari si orang se-
waan itu."
"Roro Intan maksudmu?"
"Benar, Tuan. Karena, biasanya Tengkorak Hitam 
setelah membunuh penduduk, selalu membunuh siapa 
saja yang memergokinya. Dan biasanya juga yang me-
mergoki gerakannya adalah orang-orang penjaga ma-
lam. Maka para penjaga malam itulah yang dibunuh-
nya. Jadi sekarang para pembawa obor itu yakin bahwa gadis yang disewa Ki Lurah untuk amankan desa 
kami ini pasti sudah menjadi mayat, hanya saja entah 
di mana letak mayat tersebut."
Yoga tertegun beberapa saat, menjauhi rumah 
Randuguno yang semakin dipenuhi orang itu. Dalam 
hatinya ia sempat bertanya,
"Benarkah Roro Intan telah terbunuh oleh Tengko-
rak Hitam? Jika benar, lantas di mana mayatnya? Jika 
tidak, di mana juga ia berada saat ini?"
Kemudian, Yoga menggunakan ilmu 'Layang Ba-
tin'-nya, yaitu ilmu penajaman firasat untuk mencari 
sesuatu yang belum diketahui dan bersifat rahasia. 
Menurut firasat Yoga, ada sesuatu yang perlu diten-
goknya di jalan menuju perbatasan desa.
Yoga tidak mau bertindak gegabah, supaya ia ti-
dak terjerat oleh perkara tersebut. Ia mencoba dekati 
orang-orang pembawa obor itu, lalu berkata kepada sa-
lah seorang dari sebelas pembawa obor.
"Apakah sudah dicari di jalan menuju perbatasan 
desa?"
Orang berusia lebih tua dari Yoga itu menjawab, 
"Belum. Tapi menurut dugaan kami, tak mungkin pen-
jaga malam itu sampai ke perbatasan desa. Setahu 
kami, tadi siang kami melihat dia bicara dengan Ki Lu-
rah, dan kami tahu dia adalah seorang perempuan. 
Tak mungkin. seorang perempuan berani lakukan pen-
jagaan malam hari sampai di perbatasan desa. Apalagi 
arah itu adalah arah menuju Jurang Ajal."
Ki Bantarsuko menambahkan kata, "Tapi tak ada 
jeleknya kalau kita coba mencarinya ke sana."
"Siapa tahu dia belum mati," kata Yoga.
"Pasti sudah," jawab salah seorang lagi. "Jika be-
lum, pasti dia sudah datang kemari, sebab jeritan 
ibunya Randuguno itu cukup menggema ke mana-
mana. Tak mungkin wanita penjaga malam itu tak

mendengar jeritan tersebut."
"Benar juga," kata Yoga dalam hati. Lalu ia berkata 
kepada para pembawa obor, "Aku ingin memeriksanya 
ke sana, adakah di antara kalian yang mau ikut ke sa-
na?"
Beberapa saat kemudian dua orang menyatakan 
bersedia ikut Yoga, ditambah lagi tiga orang menyata-
kan kesediaannya. Lima pembawa obor itu akhirnya 
pergi ke jalan menuju perbatasan desa. KI Bantarsuko 
tak lupa ikut mendampingi Pendekar Rajawali Merah.
"Apa yang dimaksud dengan Jurang Ajal itu, Ki? 
Kelihatannya orang yang tadi bicara denganku 
mengkhawatirkan tentang Jurang Ajal."
"Jurang Ajal hanya sebuah jurang curam dan da-
lam. Dikatakan Jurang Ajal, karena siapa pun yang ja-
tuh ke jurang itu pasti mati karena dalam dan dasar-
nya penuh bebatuan runcing."
"Ooo...!" Yoga manggut-manggut. Sepanjang jalan 
menuju perbatasan itu disusuri oleh para pembawa 
obor. Tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda akan 
ditemukannya sesosok mayat wanita yang bernama 
Roro Intan itu. Namun, firasat Yoga mengatakan, ada 
sesuatu yang tersembunyi di balik kebun singkong 
yang ada di samping kiri jalan menuju perbatasan. Ia 
berseru kepada kelima pembawa obor,
"Adakah yang bersedia meminjamkan obor pada-
ku? Aku ingin mencarinya ke kebun singkong itu!"
"Kita periksa saja bersama!" kata salah seorang. 
Lalu, mereka memeriksa kebun singkong yang pohon 
singkongnya sudah setinggi tubuh Yoga itu. Nyala api 
obor membuat kebun singkong menjadi terang.
Pada saat itulah, mereka segera terperanjat meli-
hat seorang wanita terkapar di tanah dalam keadaan 
bermandi darah. Wanita itu tak lain adalah Roro Intan. 
Seseorang yang melihat tiga temannya berbeda arah

itu segera berteriak,
"Dia kami temukan di sini. Hoi...! Dia ada di sini!"
Ketiga pembawa obor cepat-cepat berbalik arah 
dan merasa kaget melihat tubuh perempuan cantik itu 
berlumur darah. Salah seorang berseru dengan tegang,
"Dia masih hidup! Masih hidup! Dia masih hi-
dup...!"
Benar. Roro Intan masih hidup. Matanya terbuka 
sedikit, napasnya mulai menipis. Tapi sepertinya ia in-
gin mengatakan sesuatu kepada mereka. Yoga segera 
menyingkirkan orang-orang pembawa obor itu dan ce-
pat lakukan pertolongan kepada Roro Intan.
"Aku perlu tempat untuk mengobatinya secepat 
mungkin!" kata Yoga.
"Bawa ke kedai saja!" usul Ki Bantarsuko.
Mereka segera membawa Roro Intan ke kedai. Ke-
mudian Yoga menyuruh mereka keluar sebentar. Dia 
tak ingin pengobatannya dilihat orang lain. Dia takut 
membuat apa yang dilakukannya mengundang keirian 
bagi orang yang tidak suka. Maka, Ki Bantarsuko pun 
membantu menyingkirkan para pembawa obor. Mereka 
pergi keluar kedai, tinggal Yoga dan Roro Intan yang 
ada di dalamnya.
Yoga menggunakan ilmu pengobatan yang dina-
makan ilmu 'Tapak Serap'. Luka terkuak lebar di ba-
gian lambung Roro Intan diusapnya pelan-pelan den-
gan telapak tangannya. Tentu saja tangan itu membara 
merah dan mengepulkan asap tipis saat mengenai lu-
ka. Secara ajaib luka itu mulai mengering dan menu-
tup dengan sendirinya. Dalam waktu yang terhitung 
singkat, luka-luka di beberapa tempat itu telah lenyap 
dan pulih seperti sediakala, tanpa meninggalkan bekas 
luka. Hanya beberapa darah di bagian baju saja yang 
masih tersisa. Darah itu pun ikut menyerap ke dalam 
tangan Pendekar Rajawali Merah jika semuanya diusap

dengan gerakan pelan-pelan. Tapi Yoga sengaja tidak 
mengeringkan darah di sekitar baju, karena menurut-
nya itu tak terlalu panting untuk dilakukan. Yang ter-
penting adalah kesembuhan Roro Intan telah dica-
painya, dan gadis itu mulai bisa bernapas dengan tera-
tur.
Kejap berikutnya, Roro Intan tidak merasakan 
nyeri atau perih pada bagian lukanya. Tapi tubuhnya 
masih lemas karena banyak kehilangan darah. Sekali-
pun demikian, Roro Intan sudah mulai bisa bicara wa-
laupun dengan suara lirih.
"Dia... bukan tengkorak."
"Maksudmu?"
"Dia manusia. Aku berhasil membuka kedok yang 
dikenakannya. Dia seorang... seorang,..."
"Ssst...!" Yoga tidak ingin apa yang dikatakan Roro 
Intan didengar oleh orang banyak. Pada saat itu, Ki 
Bantarsuko masuk, sehingga Yoga memberi isyarat ke-
pada Roro Intan agar hentikan penjelasannya.
"Tolong bawa ke kamar saya, Ki. Biarkan Roro In-
tan yang menempatinya, biar dia bisa beristirahat," ka-
ta Yoga kepada Ki Bantarsuko.
Lelaki tua itu tertegun, tidak segera bertindak apa 
pun. Ia merasa heran bukan kepalang melihat keadaan 
Roro Intan sudah sesehat itu. Lukanya lenyap tak ber-
bekas, dan hal itu mengagumkan dirinya, membuat dia 
menjadi patung bernyawa untuk beberapa saat.
Esok paginya, tersiar kabar bahwa di kedai Ki 
Bantarsuko telah menginap seorang tabib tampan yang 
punya kesaktian tinggi. Ini gara-gara Ki Bantarsuko 
yang menceritakan kepada para pembeli di kedainya 
tentang keajaiban yang dilakukan Yoga. Ia mencerita-
kannya karena tak mampu menahan perasaan bangga 
terhadap apa yang telah dilakukan oleh Pendekar Ra-
jawali Merah itu.

Yoga bangun ketika hari sudah siang. Ia semala-
man tidur di lantai kamarnya dengan beralaskan tikar, 
sedangkan di dipan tempat tidurnya digunakan oleh 
Roro Intan untuk beristirahat dan memulihkan kekua-
tan tubuhnya. Ketika Yoga bangun, wanita cantik itu 
sudah tak ada di tempat. Yoga segera menanyakan ke-
pada Sulastri.
"Nona Roro Intan sedang pergi ke rumah Ki Lurah, 
Tuan. Beliau tadi berpesan kepada saya, jika Tuan 
bangun, Tuan diminta untuk tidak pergi ke mana-
mana. Nona Roro Intan ingin bicara dengan Tuan."
"Tapi aku harus segera pergi ke desa seberang gu-
nung untuk menemui sahabatku, Sulastri."
"Tahanlah dulu niat, Tuan. Kasihan Nona Roro In-
tan jika Tuan pergi sebelum bertemu dengan beliau. 
Nanti hatinya kecewa, Tuan."
Mau tak mau Yoga menunggu Roro Intan dari ru-
mah Ki Lurah Wikuto Legawa. Ia merasa risi menjadi 
bahan pembicaraan orang-orang yang singgah di kedai 
tersebut. Akibatnya ia hanya berdiam diri di dalam 
kamar menunggu Roro Intan kembali.
Gadis yang semula menampilkan wajah galaknya 
itu, sekarang sudah tidak segalak pada malam perte-
muan pertama. Gadis itu menjadi ramah dan murah 
senyum. Ketika ia tahu Yoga menunggunya, hati gadis 
itu menjadi girang dan mempunyai sebentuk keinda-
han tersendiri.
"Apa saja yang kau ceritakan kepada Ki Lurah?" 
tanya Yoga.
"Tidak banyak. Hanya kegagalan ku menangkap 
Tengkorak Hitam!"
"Selain itu tak ada lagi?"
"Hmmm... ya, aku menceritakan pertolonganmu. 
Tapi rahasia itu belum kuceritakan kepadanya."
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Rahasia apa?"

Roro Intan diam sesaat, kemudian berkata dengan 
suara pelan, agar suaranya tak mudah disadap orang 
jika memang ada yang sengaja mencuri dengar perca-
kapan mereka,
"Aku berhasil membuka topeng yang dikenakan 
orang tersebut. Topeng itu dari getah karet berbentuk 
wajah tengkorak. Mata merah di bagian rongga ma-
tanya itu adalah sepasang batu cincin yang kalau ter-
kena sinar akan memantulkan cahaya merah. Dan aku 
tahu, di balik wajah itu adalah wajah seorang perem-
puan."
"Kau kenal dengan perempuan itu?"
Roro Intan diam beberapa saat, rupanya ia sedang 
mempertimbangkan sesuatu. Karenanya, ia segera 
berkata, "Maukah kau pergi ke tepi hutan sebelah ti-
mur desa ini?"
"Untuk apa?"
"Kita bicara di sana supaya apa yang kuceritakan 
padamu tidak didengar oleh seseorang."
"Baiklah!" Yoga memahami maksud Roro Intan. 
Tapi setidaknya dalam hati Yoga sudah mempunyai 
dugaan, bahwa apa yang akan dikatakan oleh Roro In-
tan itu adalah sesuatu yang sangat rahasia. Jika tidak, 
tak mungkin sampai ingin bicara di tepi hutan yang 
sepi itu.
Sesampainya di sana. Yoga pun berkata, "Nah, se-
karang keadaan cukup aman. Katakanlah, apakah kau 
mengenal perempuan yang mengenakan topeng teng-
korak itu atau tidak sama sekali?"
"Aku mengenalnya," jawab Roro Intan. "Mulanya ia 
menyerangku dengan satu ilmu bersinar merah. Aku 
bisa menghindarinya dan sinar itu membakar setum-
puk jerami di samping kebun singkong itu. Nyala api 
yang membakar jerami itulah yang membuat aku bisa 
mengenali wajahnya. Aku terdesak dan melarikan diri,

lalu dia melukai ku dan menyangka ku sudah mati, 
sehingga ia tinggalkan pergi."
Zingng..!
Tiba-tiba sekelebat sinar membuat percakapan itu 
berhenti. Sinar putih itu ternyata sebuah senjata raha-
sia yang dilepaskan oleh seseorang dari tempat yang 
tersembunyi. Yoga terlambat menyambar senjata raha-
sia tersebut, sehingga senjata itu tepat mengenai 
punggung Roro Intan.
Jruubb...!
"Ahg...!" Roro Intan mendelik, badannya meleng-
kung ke depan. Yoga segera meraih tubuh itu. Tubuh 
Roro Intan menjadi lemas dan wajahnya mulai pucat. 
Semakin direbahkan di tanah semakin membiru. Jelas 
ia telah terkena racun ganas yang ada pada senjata 
rahasia tersebut.
Yoga segera mengejar sepintas orang yang melem-
parkan senjata rahasia itu. Tetapi ia tidak berhasil. 
Orang itu melarikan diri entah ke mana, dan Yoga ke-
hilangan jejaknya. Maka, Pendekar Rajawali Merah 
pun segera kembali ke tempat tubuh Roro Intan diba-
ringkan.
Tetapi tubuh itu ternyata telah hilang. Yoga terke-
jut dan segera memandang sekelilingnya. Ia melihat 
seorang lelaki berpakaian biru tua sedang berlari me-
manggul tubuh Roro Intan. Maka orang tersebut sege-
ra dikejar oleh Pendekar Rajawali Merah dengan meng-
gunakan jurus 'Langkah Bayu'. Wuuttt...! Zlaapp...!
Langkah orang yang memanggul tubuh Roro Intan 
itu pun terhenti seketika. Yoga telah menghadang di 
depannya. Orang tersebut memandang dengan mata 
terperangah kaget. Ia bagaikan pencuri yang kepergok 
pemilik barang yang dicurinya.
Orang tersebut sudah beruban rata. Usianya di-
perkirakan Yoga sekitar enam puluh tahun. Wajahnya

mempunyai kesan sebagai orang baik-baik, bijaksana, 
dan sabar. Ia menurunkan tubuh Roro Intan dengan 
pelan-pelan, kemudian berdiri tegak dengan wajah 
menghadap lurus ke arah Yoga. Ia kelihatan tetap te-
nang, sehingga Yoga pun menampakkan ketenangan 
dirinya. Yoga yang mengajukan pertanyaan dengan su-
ara tegas, namun tidak membentaknya.
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua?"
"Aku yang bernama Reksobumi," jawabnya dengan 
tegas juga.
"Mengapa kau bawa lari gadis yang terluka itu?" 
"Karena ia muridku."
"Betulkah?"
"Reksobumi tidak pernah berbohong kepada siapa 
pun." katanya dengan nada bijaksana dan sabar.
"Baiklah. Aku percaya. Tapi apakah kau tahu 
bahwa muridmu itu terkena senjata rahasia yang bera-
cun?"
"Justru karena aku mengetahuinya, maka aku in-
gin segera membawanya pulang dan mengobatinya."
"Dan kau pun tahu siapa orang yang menyerang-
nya?"
"Aku tidak melihat, tapi aku mengenali jenis racun 
dan bentuk senjata rahasianya."
Pendekar Rajawali Merah tetap menatap mata 
orang yang mengaku bernama Reksobumi itu. Di da-
lam hati Yoga timbul keraguan, walaupun kecil sekali 
keraguan itu dirasakannya. Untuk menghilangkan ke-
raguan tersebut. Yoga segera kerahkan tenaga dalam-
nya secara diam-diam. Dari matanya keluarkan tenaga 
bergelombang panas yang menghantam mata Rekso-
bumi. Jika bukan orang berilmu tinggi, pasti akan 
menjadi buta, karena jurus yang baru diperolehnya 
dari Lili itu sangat berbahaya untuk orang berilmu 
rendah. Jurus itu bernama jurus 'Mata Dewa'.

Tetapi ternyata Reksobumi justru melawannya 
dengan jurus dari matanya juga. Mata itu menjadi me-
rah, dan memancarkan gelombang dingin. Akibatnya, 
tanpa ada sinar dan gerakan, satu letupan kecil terjadi 
di pertengahan jarak mereka. Daarrr...! Letupan itu 
memercikkan bunga api merah dalam sekejap, lalu le-
nyap tinggalkan asap. Kedua orang itu sama-sama 
mundur satu tindak akibat letupan tadi.
"O, ternyata ia berilmu tinggi dan pantas jika men-
jadi gurunya Roro Intan," pikir Yoga. "Tapi, apakah dia 
tahu hubungan antara pemilik senjata rahasia yang 
menyerang Roro Intan dengan Tengkorak Hitam?"
***
3


ENTAH apa yang membuat keanehan itu terjadi 
beberapa waktu belakangan ini. Tua Usil mengigau, bi-
cara dengan suara tua, dan menyebut-nyebut tentang 
Batu Delima Sutera. Batunya seperti apa, ukurannya 
seberapa, warnanya apa, kegunaannya apa, khasiat-
nya bagaimana... tidak ada yang tahu. Dan ucapan-
ucapan itu tidak disadari oleh Tua Usil. Tengah malam 
jika ia mengigau selalu dengan suara keras dan mem-
bangunkan Bocah Bodoh serta si Pendekar Rajawali 
Putih.
Seperti yang dialami pada malam berikutnya, Tua 
Usil kembali mengigau di tengah malam. Suaranya se-
dikit berat, namun terdengar keras.
"Mana pesananku?! Manaaa...!" Bocah Bodoh yang 
terbangun lebih dulu. Pandu Tawa yang tidur di dekat 
pintu keluar belum terbangun. Bocah Bodoh menjadi 
takut dan ragu-ragu untuk membangunkan Pandu
Tawa.
"Mana pesananku?! Tuli semua kalian! Aku minta 
Batu Delima Sutera! Mana batu itu? Batu itu ma-
naaa...?!"
Pandu Tawa terbangun dengan sendirinya. Tak be-
rapa lama, gadis cantik berjuluk Pendekar Rajawali 
Putih itu muncul dari sebuah kamar dan ikut meman-
dang ke arah Tua Usil. Saat itu, keadaan Tua Usil 
menjadi tenang kembali. la tampak tertidur dengan pu-
las. Bahkan suara dengkurnya terdengar samar-
samar.
Lili menarik napas panjang, lalu berkata dengan 
bersungut-sungut, "Kalau tiap malam begini terus, kita 
tak akan bisa beristirahat!"
Bocah Bodoh berkata, "Yang disebut-sebut Batu 
Delima Sutera terus, Nona. Jangan-jangan dia kepin-
gin makan batu?!"
"Husy!" Pandu Tawa menghardik. Dengan rasa 
malas dan masih mengantuk, Pandu Tawa berkata ke-
pada Lili,
"Dia bicara kepada kita, tapi aku yakin bukan dia 
yang bicara! Agaknya kita harus segera menuruti per-
mintaannya itu."
"Yoga sedang hubungi bekas murid Ki Pamungkas. 
Entah kapan dia pulang. Sampai sekarang belum ada 
kabar beritanya," kata Lili dengan wajah murung kare-
na kesal hatinya mengalami gangguan seperti itu su-
dah beberapa malam.
Tiba-tiba terdengar lagi suara Tua Usil keluarkan 
igauan yang menyentak-nyentak, "Dasar bodoh semua! 
Sudah kubilang minta Batu Delima Sutera, masih saja 
belum juga dituruti. Ini demi perdamaian! Dengar...?! 
Ini demi perdamaian!"
Lili segera menjawab ucapan orang mengigau itu, 
"Kami sedang berusaha, Ki! Kami sedang mencarikan

batu yang kau minta itu!"
"Usaha, usaha...!" gerutuan suara orang mengigau 
yang menggunakan mulut Tua Usil itu. "Sampai di 
mana usaha kalian, hah? Mengapa hari ini belum ada 
juga batu itu? Cari Batu Delima Sutera saja tidak ada 
yang becus! Manusia macam apa kalian ini?!"
"Tunjukkan pada kami, di mana batu itu berada, 
Ki!" kata Pandu Tawa. "Kalau tidak ditunjukkan, kami 
tidak tahu tempatnya!"
"Cari, Goblok! Cariii...!"
"Kami sedang mencari!" sentak Lili karena jeng-
kelnya.
"Sampai di mana?" tanya suara igauan dari mulut 
Tua Usil yang tetap memejamkan mata.
"Pendekar Rajawali Merah sedang mencari bekas 
muridmu!" kata Pandu Tawa dengan sabar.
"Disuruh mencari batu, kok malah mencari bekas 
muridku! Muridku itu bukan batu, Tolol! Muridku itu 
manusia!"
Pandu Tawa menarik napas menahan kesabaran-
nya. Ia menatap Lili, dan Lili hanya diam saja meman-
dang Tua Usil yang tidurnya miring meringkuk seperti 
keong sawah.
Bocah Bodoh memberanikan diri bertanya kepada 
suara aneh itu,
"Kalau bukan batu, sebagai gantinya apa yang kau 
minta, Ki?"
"Nyawamu!" jawab suara aneh tersebut. Tentu saja 
Bocah Bodoh terkejut, Pandu Tawa dan Lili sedikit si-
pitkan matanya. Kaget juga mendengar jawaban terse-
but. Tua Usil pun kembali bicara aneh,
"Sebenarnya batu itu untuk perdamaian dan kete-
nangan. Letakkan Batu Delima Sutera pada sarung pi-
sau atau gagang pisau, maka pisau itu tidak akan 
menjadi bahan incaran orang lagi. Tidak akan menjadi
biang malapetaka dan keributan lagi. Tidak akan ada 
orang tertarik dengan pisau itu jika sudah diberikan 
Batu Delima Sutera. Apakah kalian senang melihat 
orang saling berlomba mempertaruhkan nyawanya un-
tuk merebut pisau itu? Senangkah kalian?!"
"Tidak, Ki," Pandu Tawa menjawab.
"Kalau tidak senang, lekas cari batu itu!"
"Letaknya di mana, Ki? Apakah kau sendiri tidak 
tahu?"
Sepi. Tak ada suara jawaban dari igauan Tua Usil. 
Bahkan lama-lama yang terdengar suara dengkur tipis 
si Tua Usil. Pandu Tawa memandang Lili sebentar. 
Memegang kening Tua Usil, lalu menggumam,
"Panasnya masih tinggi."
"Besok saya akan bikin kipas besar, Nona Li," kata
Bocah Bodoh.
"Untuk apa?"'
"Untuk mengipas tubuh Tua Usil biar tidak sepa-
nas itu."
Pandu Tawa tersenyum geli dan berkata, "Kau pi-
kir sepiring nasi panas? Bisa didinginkan dengan cara 
dikipas?"
"Panas badannya Itu kurasa karena kekuatan roh 
yang Ingin bicara melalui Tua Usil," kata Lili. "Sebaik-
nya, salah seorang menyusul Yoga dan membantu 
mencari Batu Delima Sutera itu. Kelihatannya apa 
yang dikatakannya tadi memang benar dan ada baik-
nya. Dengan menyematkan batu tersebut di gagang pi-
sau atau di sarungnya, maka Tua Usil akan merasa 
damai dan aman ke mana-mana, tidak menjadi bahan 
incaran beberapa tokoh yang ingin menguasai benda 
pusaka itu."
Setelah sama-sama merenung beberapa saat, Pan-
du Tawa berkata kepada Lili, "Biar aku saja yang susul 
Yoga. Kau tetap di rumah menjaga kemungkinan yang

lebih buruk terjadi pada diri Tua Usil."
"Saya bagaimana?"
"Kau tetap bantu Nona Li, Bocah Bodoh!"
Hubungan yang sudah telanjur baik dan seperti 
saudara itu membuat Pandu Tawa merasa berat jika 
harus berpisah dari Yoga, Lili, Tua Usil dan Bocah Bo-
doh. Secara tak langsung ia telah menggabungkan diri 
menjadi keluarga rajawali. Itulah sebabnya Pandu Ta-
wa tak keberatan pergi ke mana saja untuk urusan ke-
luarga pendekar rajawali itu. Bahkan ia merasa senang 
jika bisa berguna bagi kelompoknya pendekar rajawali 
itu.
Perjalanan Pandu Tawa mencari Yoga untuk 
membantu menemukan Batu Delima Sutera terpaksa 
terhenti karena sebuah pertarungan yang dilihatnya 
dari arah lereng bukit. Seorang gadis berpakaian kun-
ing dengan rambut panjang disanggul ke atas, sedang 
bertarung melawan seorang pemuda berambut panjang 
sebatas pundak, Pemuda itu kenakan ikat kepala dari 
kain biru muda, perawakannya tinggi, tegap, dan ga-
gah.
Pandu Tawa memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat! Agaknya gadis berbaju kuning yang ber-
senjatakan pedang bergagang hiasan burung walet itu 
terdesak oleh serangan lawannya. Pemuda bergelang 
kulit binatang warna hitam itu sangat gesit gerakan-
nya. Pukulannya pun mantap, seakan tak pernah me-
leset dari sasaran. Gadis yang sebenarnya adalah Wa-
let Gading, murid Ki Pamungkas itu, sempat mengelu-
arkan darah dari mulutnya ketika punggungnya ter-
hantam telapak tangan lawan dengan keras.
Gadis itu terguling-guling di tanah, pedangnya le-
pas dari tangan. Pemuda berwajah lumayan tampan 
itu tak memberi ampun sedikit pun. Ia lepaskan puku-
lan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah Walet Gad

ing. Wuuuttt...!
Dengan kekuatan batinnya, Pandu Tawa mengge-
rakkan sebutir batu berukuran seperti biji salak. Batu 
itu tahu-tahu melesat cepat menghantam pergelangan 
tangan pemuda berpakaian merah bergaris-garis putih. 
Akibatnya pukulan tenaga dalam yang keluar dari te-
lapak tangannya itu berubah arah dan tidak mengenai 
sasaran.
Hal itu merupakan kesempatan baik bagi Walet 
Gading untuk lekas bangkit dan bersiap hadapi seran-
gan lawan lagi. Pedangnya pun sempat disamber den-
gan satu tangan dan ia segera memainkan jurus pe-
dang kembangan.
Pemuda berbaju merah itu hentikan serangan. 
Matanya memandang sekeliling, karena ia yakin ada 
seseorang yang melemparkan sebutir batu ke tangan-
nya. Tapi karena keadaan Pandu Tawa berdiri di anta-
ra tiga batang pohon yang berjarak rapat itu, maka ia 
tidak terlihat dari tempat pertarungan mereka.
Wuuttt...! Tiba-tiba batu sebesar genggaman tan-
gan orang dewasa itu melesat menghantam punggung 
pemuda tersebut. Buuuhg...! Pemuda itu sempat me-
nyeringai sambil tersentak kaget. Walet Gading sendiri 
tampak kaget melihat batu yang sejak tadi diam di ta-
nah, tiba-tiba bergerak sendiri, melayang dengan ce-
patnya. Bahkan sekarang sebatang dahan kering 
menghantam kaki pemuda itu dan tepat kenal tulang 
kakinya. Taakkk...!
"Auh...!" pekik pemuda itu.
Walet Gading berkata dalam hatinya, "Hmmm..., 
ada yang membantuku rupanya? Mana dia orangnya?!" 
Walet Gading pun ikut mencari-cari Pandu Jawa, na-
mun Pandu Tawa hanya cengar-cengir dari balik po-
hon.
Sebenarnya kesempatan itu bisa digunakan oleh

Walet Gading untuk serang lawannya secepat mung-
kin. Tapi Walet Gading tidak mau lakukan atas bebe-
rapa pertimbangan, diantaranya ia sendiri penasaran 
terhadap seseorang yang membantunya itu. Dia ingin 
tahu siapa orangnya.
Pemuda itu berseru, "Siapa kau?! Tampakkan di-
rimu jika kau ingin membela perempuan Iblis itu!"
"Baik...!" seru Pandu Tawa dari persembunyian-
nya. Seruan itu menggema, sekaligus memancing per-
hatian pemuda tersebut dan Walet Gading untuk me-
mandang ke arah lereng bukit. Lalu, Pandu Tawa be-
nar-benar tampakkan diri dengan tenang. Ia berjalan 
menuruni bukit, dan di sambut dengan pukulan jarak 
jauh bergelombang panas dari pemuda berbaju merah 
itu.
Wuuuttt...!
Pandu Tawa tidak lakukan gerakan apa pun kecu-
ali tetap berjalan sambil matanya melirik ke arah batu 
besar. Bibirnya tetap tersenyum ke arah kedua orang 
di kaki bukit itu. Dan tiba-tiba batu besar itu melayang 
menghadang pertengahan jaraknya. Praakkk...! Batu 
besar itu pun pecah seketika karena menjadi perisai 
bagi diri Pandu Tawa terhadap serangan tenaga berge-
lombang cukup tinggi itu.
Tiba di antara mereka, mata Pandu Tawa meman-
dang ke arah wajah Walet Gading yang berusia sekitar 
dua puluh lima tahun itu. Gadis cantik beralis tebal, 
hidung mancung dan mata bulat indah itu menjadi ki-
kuk ketika dipandangi oleh pemuda tampan berpa-
kaian biru muda itu. Sedangkan pemuda berpakaian 
merah kian benci memandang kehadiran Pandu Tawa, 
sehingga ia berseru,
"Lancang sekali kau berani mencampuri urusan 
Palwa Dirga?! Siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Namaku Pandu Tawa!" jawab Pandu Tawa dengan

tenang, sementara Walet Gading sebentar-sebentar 
meliriknya.
"Apa pedulimu sehingga mencampuri urusanku 
dengan Tengkorak Hitam?!"
"Aku bukan Tengkorak Hitam!" sahut Walet Gad-
ing dengan kerasnya.
Palwa Dirga mencibir. "Hmm...! Tak usah menge-
lak. Aku sudah tahu siapa dirimu, gadis jalang! Kulihat 
beberapa kali kau melintas di tanah sekitar Jurang Aj-
al. Dan aku pernah memergoki Tengkorak Hitam 
menghilang di Jurang Ajal. Pasti kaulah orangnya. Jika 
malam mengenakan pakaian dan topeng tengkorak, la-
lu membantai beberapa orang, dan bila siang tiba kau 
berubah menjadi wujud aslimu seperti ini!"
Walet Gading berang dan memandang Pandu Ta-
wa, "Jangan dengarkan celotehnya itu!"
"Aku harus dengarkan, Nona Ayu! Jika tidak ku-
dengarkan lalu bagaimana aku bisa membelamu? Jika 
kau salah, aku tak mau membelamu!"
"Dia memang bersalah besar, bukan kepada pihak 
keluargaku saja, melainkan kepada orang banyak. Dia 
bukan saja membantai habis keluargaku secara satu 
persatu, hingga akulah orang yang tersisa dari keluar-
gaku. Tapi dia juga membantai keluarga lain dan dila-
kukan secara satu persatu juga! Jika kau ada di pihak 
yang benar, Pandu Tawa, maka jangan sekali-kali kau 
membela gadis pembantai itu!"
"Aku ingin dengar bukti alasanmu menuduh dia 
sebagai pembantai keluargamu! Apa buktinya jika di-
alah si Tengkorak Hitam yang kau maksudkan itu, 
Palwa Dirga?!"
"Sudah kukatakan, aku sering melihat dia melin-
tas di tanah dekat Jurang Ajal! Dan aku pernah lihat 
Tengkorak Hitam itu menghilang di sekitar Jurang Aj-
al!"

"Alasanmu tak kuat, Palwa Dirga. Karena siapa sa-
ja bisa dan boleh melewati tanah di sekitar jurang ter-
sebut. Tapi bukan berarti orang itu adalah si Tengko-
rak Hitam. Jika aku sering lewat sana, apakah kau ju-
ga menuduhku si Tengkorak Hitam?!"
"Ya!"
"O, itu alasan yang ngawur dan mencari menang-
nya sendiri, Palwa Dirga. Kau hanya dihantui oleh 
dendammu atas kematian seluruh anggota keluarga-
mu. Kau melakukan sesuatu yang berdasarkan den-
dam membuta dan hasilnya pun akan mengacaukan 
dirimu sendiri!"
"Aku tak butuh nasihatmu, Pandu Tawa! Aku 
hanya butuh nyawanya, sebagai penebus kematian pi-
hak keluarga ku!"
"Pandu Tawa," kata Walet Gading. "Minggirlah, bi-
ar kulayani dendamnya itu!"
"Atau kalian mau maju bersama, silakan!" kata 
Palwa Dirga dengan dada terbusung dan wajah berin-
gas.
Pemuda yang ditantang itu hanya perdengarkan 
suara tawanya,
"Hah, hah, hah, ha, ha, ha...!"
Palwa Dirga semula diam saja pandangan Pandu 
Tawa yang terbahak-bahak itu. Lama-lama timbul rasa 
geli di hati
Palwa Dirga. Bahkan ketika Pandu Tawa sudah 
berhenti dari terbahak-bahaknya, Palwa Dirga masih 
meneruskan tawa gelinya. Kini ia menjadi lebih geli da-
ri semula. Tawanya lebih keras, semakin lama semakin 
terpingkal-pingkal dan tawa itu tidak bisa dihentikan. 
Palwa Dirga sampai memegangi perutnya karena sakit, 
namun toh ia tetap tertawa dan terbungkuk-bungkuk. 
Kini bahkan ia terguling-guling di tanah sambil tertawa 
sekeras-kerasnya, sepuas-puasnya.

Walet Gading diam terbengong memandangi ting-
kah laku lawannya. Tentu saja ia terheran-heran kare-
na ia sadar bahwa tawanya Palwa Dirga itu adalah ta-
wa yang tak wajar. Maka ditatapnya Pandu Tawa den-
gan dahi berkerut, dan Pandu Tawa terpaksa berkata,
"Telah ku sebarkan racun tawa kepadanya. Dia ti-
dak akan berhenti tertawa sebelum jatuh pingsan."
"Luar biasa sekali ilmumu?!"
"Hanya ilmu permainan saja!" jawab Pandu Tawa 
merendahkan diri. "Kurasa sebaiknya tinggalkan saja 
orang ini. Tak perlu diapa-apakan. Silakan kau mene-
ruskan perjalananmu, aku akan meneruskan perjala-
nanku!" sambil Pandu Tawa hendak bergegas pergi. 
Tapi Walet Gading yang sudah menyarungkan pedang-
nya itu berkata,
"Tunggu! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pa-
damu," ia hampiri Pandu Tawa. Pemuda itu berhenti 
melangkah, melirik sebentar ke arah Palwa Dirga yang 
masih terbahak-bahak hingga suaranya serak. Setelah 
itu menatap lekat-lekat wajah Walet Gading yang can-
tik itu.
"Kau percaya dengan kata-katanya tadi bahwa aku 
adalah Tengkorak Hitam?" tanya Walet Gading.
"Aku justru tidak tahu-menahu tentang Tengkorak 
Hitam."
"Jujur saja kukatakan padamu, aku bukan si 
pembantai Tengkorak Hitam itu. Kalau aku sering me-
lintasi tanah di dekat Jurang Ajal itu lantaran ada be-
kas rumah saudaraku di desa itu. Aku punya teman di 
sana dan kami sering saling berkunjung."
"Jelaskan saja kepada Palwa Dirga, jangan kepa-
daku." "Kau sendiri tak punya pendapat apa-apa?" 
"Pendapatku hanya satu: kau memang cantik, Nona 
Ayu!"
Walet Gading berdesir-desir indah, sebab ia tertarik dengan ketampanan dan sikap ksatrianya Pandu 
Tawa itu. Ketika Pandu Tawa melangkah, Walet Gading 
mengiringinya dari samping dan bertanya,
"Kau mau ke mana, Pandu Tawa?"
"Mencari seorang temanku."
"Kalau begitu, bagaimana jika aku menemanimu 
dalam perjalanan?"
Pandu Tawa tersenyum, "Aku tak pernah kebera-
tan di temani gadis secantik dirimu, Nona Ayu!" Pada 
saat itu, Walet Gading segera tundukkan wajah dan 
tersipu malu, tapi hatinya mendesir kembali, penuh 
dengan keindahan yang sukar diucapkan.
Pandu Tawa akhirnya mendengar cerita tentang 
keganasan Tengkorak Hitam yang membantai banyak 
orang dan beberapa keluarga di Desa Kekanjengan. 
Melalui penuturan Walet Gading itulah Pandu Tawa 
mengetahui bahwa Desa Kekanjengan sedang dicekam 
bencana mengerikan yang muncul hampir setiap ma-
lam.
"Tetapi sampai sekarang pun belum ada yang ta-
hu, siapa orang yang tampil sebagai Tengkorak Hitam. 
Mungkin memang benar-benar tengkorak, atau benar-
benar manusia jadi-jadian. Aku sendiri tak menyangka 
kalau akhirnya aku menjadi orang yang dicurigai seba-
gai Tengkorak Hitam. Lain kali aku tak mau lewat ta-
nah sekitar Jurang Ajal itu"
"Kurasa itu hal yang lebih baik, ketimbang kau se-
lalu dicurigai sebagai Tengkorak Hitam. Kalau toh aku 
harus curiga, mungkin aku akan mencurigaimu seba-
gai Tengkorak Manis."
"Ah...!" Walet Gading mencubit lengan Pandu Ta-
wa. Yang dicubit hanya tertawa saja. Hatinya pun ber-
desir karena Pandu Tawa mengakui kecantikan yang 
dimiliki Walet Gading adalah kecantikan yang memikat 
hati. Itulah sebabnya Pandu Tawa merasa beruntung

dalam perjalanannya kini ditemani oleh Walet Gading. 
Tapi sejauh itu Pandu Tawa masih belum tahu, bahwa 
Walet Gading adalah orang yang dicari oleh Yoga, bah-
wa Walet Gading adalah bekas murid Ki Pamungkas.
"Kau sudah punya pendamping hidup, Pandu Ta-
wa?"
"Belum. Kau pasti sudah, bukan?"
"Kau memancingku untuk menjawab yang sebe-
narnya, Pandu Tawa. Apakah wajahku kelihatan tua 
dan tampak seperti perempuan yang sudah bersuami?"
Tidak."
"Kalau begitu kau pasti punya keyakinan sendiri 
apakah aku sudah punya pendamping hidup atau be-
lum." Pandu Tawa tidak bisa menjawab, hanya terse-
nyum lebar sambil hatinya memuji kepandaian bicara 
Walet Gading. Rasa-rasanya Pandu Tawa menjadi be-
tah walau harus berjalan dua hari lagi bersama gadis 
yang dipanggilnya Nona Ayu itu.
***
4


REKSOBUMI, guru dari Roro Intan itu, belum ba-
nyak bicara tentang rahasia yang dimilikinya. Ia baru 
mendengarkan pengakuan dari Yoga tentang siapa di-
rinya dan siapa gurunya. Ternyata Reksobumi menge-
nai nama guru Yoga, yaitu Dewa Geledek. Tetapi Rek-
sobumi hanya mendengar namanya saja, belum per-
nah jumpa langsung dengan guru Yoga tersebut.
"Jadi dugaan hatiku sejak tadi tidak salah, bahwa 
kau memang satu dari dua pendekar rajawali yang 
mempunyai ciri pada pedang pusakamu itu!" kata Rek-
sobumi. "Hatiku cukup senang bisa bertemu dengan

mu, Yoga. Lebih senang lagi jika aku bisa bertemu 
dengan Pendekar Rajawali Putih."
"Aku akan bawa dia mengunjungimu. Tapi terlebih
dulu aku ingin mengetahui, siapa penyerang muridmu 
itu dan kira-kira apa alasan orang tersebut. Sebelum 
aku mengetahui hal itu, hatiku masih belum bisa te-
nang, karena sangat penasaran, Ki Reksobumi!"
"Sebenarnya...," sampai di situ Reksobumi terpak-
sa hentikan kata-katanya. Dahinya berkerut dan ma-
tanya memandang aneh. Sepertinya ia merasakan ada 
sesuatu yang tak beres sedang mengancamnya.
"Ada apa, Ki Reksobumi?"
"Ada sesuatu yang ingin menyerangku!" Baru saja 
Reksobumi selesai bicara begitu, tahu-tahu dua pisau 
terbang melayang ke arahnya dari belakang. Zingng, 
zingng...! Dengan cepat Reksobumi menghindar, ba-
dannya dimiringkan ke kanan sambil menengok ke be-
lakang dan melihat datangnya dua pisau terbang ber-
gagang benang rumbai-rumbai merah itu.
Gerakan menghindarnya itu tidak disadari telah 
membuat pisau itu melayang lurus ke arah Yoga. Den-
gan cepat Pendekar Rajawali Merah kelebatkan tan-
gannya ke depan. Teeb, teeb...! Dua pisau terbang itu 
terselip di jemari Yoga. Ia segera membuangnya ke 
arah samping. Lalu, dari tempat meluncurnya dua pi-
sau tersebut, muncul dua sosok manusia berwajah 
angker. Masing-masing berusia sejajar dengan usia tua 
Reksobumi. Mereka berjalan mendekati Reksobumi 
dengan langkah tegasnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Yoga dengan mata tetap 
terarah kepada dua orang tersebut. Padahal seharus-
nya Reksobumi cepat-cepat membawa pergi muridnya 
yang terluka racun senjata rahasia tersebut. Yoga saat 
itu hanya menduga, "Mungkin salah satu dari mereka 
yang memiliki senjata rahasia tersebut?"

Reksobumi perdengarkan suara pelannya, "Mereka 
adalah si Pisau Terbang dan Tangan Maut. Keduanya 
murid Jayagati, dari Perguruan Wesi Kuning. Mereka 
musuh lama ku. Padahal... aku harus segera sembuh-
kan lukanya Roro Intan. Sial betul aku bertemu mere-
ka di sini!" "Persoalannya apa, Ki?"
"Mereka selalu memaksaku untuk serahkan Kitab 
Bintara Gada! Tapi aku tak akan pernah mau serah-
kan kitab itu, karena Jayagati bukan tokoh putih. Ki-
tab Bintara Gada tak boleh jatuh ke tangan tokoh be-
raliran hitam. Sampai titik darah penghabisan aku te-
tap akan pertahankan kitab pusaka itu."
Yoga manggut-manggut setelah memahami mak-
sud pertikaian tersebut. Sebelum si Pisau Terbang dan 
Tangan Maut lebih dekat lagi. Yoga sempat berbisik 
kepada Reksobumi,
"Carilah kesempatan untuk larikan diri. Aku akan 
pancing mereka dengan kesibukan menahan jurus-
jurusku, Ki!"
"Mereka punya ilmu cukup tinggi. Yoga. Apalagi 
gurunya, sangat tinggi. Aku khawatir kau celaka di 
tangannya."
"Pergilah, Ki. Aku bisa jaga diri!" kata Yoga meya-
kinkan sekali.
Dua orang berwajah bengis itu berhenti melang-
kah. Jaraknya dengan Reksobumi hanya tiga tindak. 
Matanya sama-sama tajam memandangi Reksobumi 
dan Yoga. Sementara dua orang yang dipandangi itu 
menampakkan sikap tenang-tenang saja.
Terdengar si Pisau Terbang berkata dengan sua-
ranya yang bulat, sesuai dengan badannya yang besar 
itu,
"Kali ini kau tak mungkin bisa pertahankan kitab 
itu lagi, Reksobumi! Sekalipun kau bersama bocah in-
gusan yang mungkin kau anggap lebih lincah dari kami, tapi kau akan bertekuk lutut di depan kami dan 
serahkan kitab pusaka tersebut!"
Reksobumi hanya berkata, "Mudah-mudahan du-
gaanmu meleset!"
"Jadi kau masih bersikeras mempertahankan ki-
tab itu, hah?!" Tangan Maut membentak dengan mata 
cekungnya yang melotot ganas.
"Apa kau sangka setelah sekian lama kita tak 
jumpa aku akan berubah pikiran? Hmmm...! Tidak, 
Tangan Maut! Reksobumi yang sekarang tetap saja 
Reksobumi yang dulu!"
"Keparat! Heaaah...!"
Wuuttt...! Tangan Maut berkelebat menerjang Rek-
sobumi dengan jurus Tangan Maut'-nya. Tetapi Rekso-
bumi melompat mundur dan Yoga melesat maju. Pu-
kulan Tangan Maut dihadapinya dengan gerakan ce-
pat, sehingga dua tangkisan berhasil dilakukan oleh 
Pendekar Rajawali Merah, lalu satu pukulan sodok ta-
pak tangan masuk kenai rusuk Tangan Maut.
Duuhg...! Kerk...l
"Uuhg...!" Tangan Maut mendelik, tubuhnya 
bungkuk ke depan dengan mulut terlongong mengala-
mi kesukaran bernapas.
Melihat temannya tampaknya terluka berat pada 
bagian dalamnya, pada saat itu juga Pisau Terbang 
sentakkan pukulan tenaga dalam yang mempunyai 
daya panas tinggi. Wuuukkk...!
Wuusss...! Seperti seekor belalang, Yoga melompat 
naik dan bersalto satu kali di udara, melewati kepala 
Pisau Terbang. Kaki menendang dalam sentakkan ma-
ju mundur. Dug, dug...!
Kepala si Pisau Terbang menjadi sasaran empuk 
dari jurus 'Sepak Ganda'. Akibatnya, tubuh besar si 
Pisau Terbang itu jatuh tersungkur. Dari lobang hi-
dung, telinga, dan mulutnya, keluarkan darah segar

yang tak bisa dibendung lagi.
Kedua orang tersebut saling mengerang dengan 
berusaha untuk bangkit kembali. Sementara itu, Yoga 
baru sadar bahwa Reksobumi telah lenyap dari sam-
pingnya bersama tubuh Roro Intan. Tentunya Rekso-
bumi pergi tinggalkan tempat sebelum kedua orang 
tersebut ditumbangkan oleh Pendekar Rajawali Merah.
Yoga sebenarnya sempat kebingungan mencari ke 
mana arah kepergian Reksobumi. Ia ingin mengejar, 
namun langkahnya tertahan oleh suatu kekuatan te-
naga dalam yang menjerat tubuh dan membuatnya su-
lit bergerak. Tenaga telah dikerahkan, tapi kaki Yoga 
bagaikan tertanam di dasar bumi. Berat sekali untuk 
menggerakkan satu anggota badannya. Yoga sempat 
cemas, merasa terkena totokan dari jarak jauh. Ia ya-
kin, bukan Tangan Maut dan si Pisau Terbang yang 
melakukannya, pasti ada pihak lain yang ikut campur 
pertarungan singkat tersebut.
Ketika Yoga merasakan ada bagian jarinya yang 
bisa digerakkan, maka ia pun membatin,
Ternyata aku bukan kena totok, melainkan ada 
yang menjeratku dengan kekuatan tenaga dalam cu-
kup tinggi! Aku harus melawannya dengan tenaga lipat 
gandaku. Uuuhhg...!"
Daasss...!
Tubuh Yoga bagaikan terlepas dari pengikat yang 
amat kuat dan alot. Ketika ia bisa terbebas, tubuhnya 
cepat melenting di udara, bersalto mundur dua kali 
dan mendarat dengan sigap. Matanya menatap sekelil-
ing penuh waspada. Sampai akhirnya ia temukan seo-
rang lelaki tua berambut putih yang usianya sekitar 
tujuh puluh tahun lebih. Lelaki itu mengenakan jubah 
merah dan pakaian bagian dalamnya warna hitam. Da-
ri raut wajahnya yang bertulang keras serta bertonjo-
lan dapat dipastikan dia adalah tokoh sakti yang

punya keserakahan pribadi serta sulit diajak kompro-
mi.
Orang itu berada dalam jarak sekitar lima belas 
tombak dari tempat Yoga. Namun dalam satu kedipan 
mata ia mampu berada dalam Jarak lima langkah dari 
depan Yoga. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak 
mungkin dapat lakukan gerakan secepat itu.
"Siapa orang tua ini?" pikir Yoga sambil memper-
hatikan dengan mata sedikit menyipit.
Orang tersebut berkata, "Kau memang bisa lum-
puhkan kedua muridku dalam waktu singkat, tapi 
Jangan harap kau bisa lepas dari cengkeraman ku, 
Anak Muda!"
Mendengar orang tua itu menyebut Tangan Maut 
dan si Pisau Terbang sebagai muridnya, maka Yoga se-
gera ingat kata-kata Reksobumi, bahwa kedua orang 
yang dilumpuhkan itu mempunyai seorang guru yang 
bernama Jayagati. Maka, Yoga pun berkata dalam ha-
tinya,
"Tak salah lagi, orang ini pasti Jayagati, guru me-
reka!"
Tanpa senyum seulas pun, tanpa keramahan se-
dikit pun, Jayagati berkata kepada Yoga dengan mata 
memancarkan sorot pandangan mata yang amat din-
gin,
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah?"
"Benar!" jawab Yoga tegas. "Rupanya kau telah 
mengenalku, Ki Jayagati."
"Ciri-cirimu banyak dibicarakan orang. Kesak-
tianmu pun menjadi buah bibir setiap orang. Tapi me-
reka tidak tahu bahwa hari ini Jayagati akan tunduk-
kan pendekar yang kesohor ketampanannya itu!"
Setiap perkataannya bagai mengandung aliran te-
naga dalam yang membuat jantung Yoga berdetak-
detak. Belum pernah Yoga hadapi lawan dengan pera

saan segelisah saat itu. Tetapi biar bagaimanapun Yo-
ga tetap berusaha untuk kuasai diri dan tenangkan ji-
wanya.
"Pendekar Rajawali Merah, aku tak bisa menerima 
begitu saja melihat kedua murid kesayanganku kau 
lumpuhkan begitu! Rupanya mereka memang bukan 
tandinganmu. Tetapi akulah orang yang bakal menan-
dingi ilmumu, Pendekar Rajawali Merah!"
"Aku minta maaf, Ki Jayagati!"
"Maaf tidak hanya sekadar maaf, kau harus mene-
busnya dengan nyawa! Huhh...!"
Tiba-tiba Jayagati sentakkan kedua tangannya lu-
rus ke bawah samping dengan tapak tangan mengem-
bang. Wuukkk...! Sentakan kedua tangan itu ternyata 
melepaskan tenaga dalam dari tengah telapakannya. 
Anehnya, mengapa menuju ke tanah?
Kejap berikutnya, barulah Yoga tahu bahwa sen-
takan tangan ke bawah itu ibarat sedang menarik selu-
ruh urat yang ada di tubuh Yoga. Urat-urat di tubuh 
Yoga bagaikan lepas dari pusatnya dan mengendor. 
Akibatnya, Yoga pun jatuh terkulai di tanah tanpa te-
naga lagi.
Bruukkk...!
"Celaka...!" sentak batin Yoga. Ia berusaha untuk
bangkit, tapi sama sekali tak memiliki kekuatan sedikit 
pun. Bahkan dengan enaknya Jayagati dapat mem-
permainkan diri Yoga.
Kedua tangan orang kurus itu menghempas ke 
depan bagai melemparkan sebatang kayu yang harus 
gunakan dua tangan. Wuuutt...! Dan pada saat itulah 
tubuh Yoga terlempar serta jatuh terguling-guling. Tak 
ada daya untuk menahan angin hempasan yang timbul 
dari gerakan kedua tangan tersebut.
Yoga terkapar di tanah, kedua tangannya terkapar 
di kanan kiri. Wajahnya menatap langit, jantungnya

terasa berdetak-detak sangat kuat. Yoga telah kecolon-
gan satu gerakan yang tak diduga-duga, dan membuat 
ia menjadi manusia tanpa tulang dan tanpa otot sedi-
kit pun.
"Haah...!" Jayagati mempermainkan kedua tan-
gannya, berkelebat ke sana-sini bagaikan membolak-
balikkan sesuatu. Ternyata tubuh Yoga yang berada 
dalam jarak delapan langkah itulah yang sedang di-
jungkir balikkan seenaknya saja. Tubuh Yoga mem-
bentur pohon, batu, dan terhempas di tanah dengan 
tanpa bisa lakukan pembalasan apa pun. Tubuh yang 
terbanting-banting itu jelas mengalami luka di bebera-
pa bagian tubuh tersebut, termasuk luka pada bibir-
nya yang beradu dengan tanah sekuat-kuatnya. Hi-
dung pun keluarkan darah yang nyaris sukar diben-
dung. Sudah tentu darah itu memerah di pakaian pu-
tihnya.
Keadaan Yoga yang seperti itu dimanfaatkan oleh 
Tangan Maut untuk memaksakan diri menyerang Yo-
ga. Sebuah tendangan menghentak kuat pada tulang 
rusuk Yoga. Buuhg...!
"Eehg...!" Yoga menyeringai menahan sakit. Tapi 
Tangan Maut sendiri segera terpelanting. Rupanya ia 
tidak mempunyai kekuatan untuk berdiri tapi karena 
dipaksakan, maka ia hanya mampu menyerang satu 
kali, setelah itu jatuh berlutut sambil mengerang kesa-
kitan pada bagian kepala dan iganya.
Suara Jayagati terdengar dari jarak sekitar tujuh 
tombak, "Bangkitlah kalau kau mampu, Bocah Ingu-
san! Bangkitlah dan lawan aku! Rupanya hanya segitu 
kecil dan rendahnya ilmumu. Percuma kau menyan-
dang gelar Pendekar Rajawali Merah. Lebih baik gelar-
mu diganti saja menjadi Pendekar Perkutut Merah!"
Panas hati Yoga mendengar seruan dan ejekan se-
perti itu. Namun panasnya hati tinggal dalam kedong

kolan yang tak terhingga. Ia tetap saja tidak dapat 
membalas hinaan Jayagati, juga tidak bisa membalas 
serangan lelaki tua itu.
Akhirnya Yoga mendapatkan peluang kecil, yaitu 
pada saat Jayagati berusaha menolong kedua murid-
nya, menyembuhkan luka kedua orang itu dengan ke-
saktiannya sendiri. Pada saat itulah, Yoga berhasil sa-
tukan pikirannya, memusat kuat pada satu tenaga 
yang tersimpan di ujung tulang ekornya, alias tulang 
punggung dekat pantat. Tenaga Kundalini digunakan 
mengembalikan kekuatannya.
Jari-jari tangannya mulai bisa digerakkan. Disusul 
dengan gerakan kecil pada pergelangan tangan. Kemu-
dian bagian siku juga bisa bergerak sedikit-sedikit, 
makin lama semakin banyak yang bisa digerakkan dan 
mempunyai tenaga tersendiri. Yoga sempat bangkit, 
namun tak bisa berdiri, hanya mampu lakukan duduk 
di tempat saja.
Begitu Yoga bisa duduk, pertama-tama yang ia la-
kukan adalah menggenggam tangannya. Tangan ter-
genggam dalam dua jari saja, sedangkan jari kelingk-
ing, jari telunjuk dan jempolnya berdiri tegak. Lalu, 
tangan itu disentakkan ke atas, dan dari ketiga jari itu 
keluar sinar merah melesat ke langit. Tiga larik sinar 
merah itu menyatu di angkasa dan menimbulkan le-
dakan kecil yang menggaung. Suara gaung itu mem-
bahana, membuat seekor burung rajawali berbulu me-
rah dan berukuran besar mendengarnya dari tempat 
jauh.
Isyarat memanggil burung berhasil dilakukan. Bu-
rung Rajawali Merah terbang dari suatu tempat ke pu-
sat suara gaung tersebut. Dari kejauhan sudah ter-
dengar suara pekikan burung besar itu, seakan men-
jawab panggilan tuannya.
"Keaakk...! Keaaak...!

Gaung itu juga membuat Jayagati terkejut dan se-
gera membatin,
"Edan bocah itu! Dia bisa kerahkan tenaga lagi?! 
Padahal aku sudah melumpuhkannya dengan jurus 
'Lepas Raga'?! Hebat sekali ia bisa menandingi jurusku 
itu?! Tapi kali ini kurasa ia tak akan mampu berdiri la-
gi, bahkan menggerakkan matanya pun tak akan bisa! 
Haap...!"
Jayagati segera melemparkan kedua tangannya ke 
depan, lalu ditarik ke belakang dengan gemulai. Pada 
saat kedua tangan menarik itulah suatu kekuatan di-
rasakan oleh Yoga telah menyedot seluruh tenaganya.
Wuuuttt...!
Brehg...! Tubuh Pendekar Rajawali Merah terkulai 
lemas kembali, Kali ini justru tak bisa menggerakkan 
bola matanya. Walau ia dalam keadaan sadar, bisa me-
lihat namun lurus saja penglihatannya, bisa menden-
gar namun tak terlalu peka, bisa merasakan dan men-
cium bebauan, namun tak sesempurna biasanya. Ia 
mengetahui gerakan Jayagati yang telah berhasil sem-
buhkan kedua muridnya dengan kekuatan gaib yang 
disebut inti kesaktian. Bahkan Yoga mendengar Tan-
gan Maut berkata,
"Izinkan kami membalas serangannya tadi. Guru!"
"Lakukan sekehendak hatimu!" kata Jayagati, ma-
ka Tangan Maut dan si Pisau Terbang segera bergerak 
hampiri Yoga untuk menyiksanya.
Tetapi tiba-tiba dari arah timur telah muncul see-
kor burung rajawali berbulu merah. Burung jantan itu 
segera terbang merendah dengan kepakan sayapnya 
menimbulkan angin badai. Wuuusss...!
Kepakan sayap itu bukan hanya sebentar, namun 
beberapa kali kepakan telah menghadirkan kekuatan 
tenaga dalam yang mampu menjadikan tempat itu di-
landa angin badai begitu besarnya. Pohon-pohon sem

pat ada yang tumbang, akarnya terdongkel naik ber-
sama hamburan tanahnya. Bebatuan yang tidak terla-
lu besar sempat ada yang menggelinding ke sana ke-
mari.
Tubuh Tangan Maut dan si Pisau Terbang pun 
terhempas tak tentu arah. Mereka berdua berguling-
guling, terjungkal ke sana-sini, membentur batang-
batang pohon atau gugusan tanah keras, bahkan be-
berapa kali mereka memekik kesakitan karena tubuh-
nya bagaikan dihantamkan pada benda keras di sekeli-
lingnya.
"Burung keparat!" teriak Jayagati yang sejak tadi 
berusaha berdiri dengan mata menyipit. Ia menahan 
kekuatan badai tersebut, dan akhirnya tak kuat. Sebe-
lum ia terjengkang jatuh, terlebih dulu ia lepaskan pu-
kulan sinar hijau dari telapak tangannya. Pukulan si-
nar hijau itu melesat ke arah burung Rajawali Merah 
itu.
Wuuttt...!
Claapp...! Dari mata burung rajawali merah keluar 
seberkas sinar merah yang segera menghantam sinar 
hijau tersebut.
Blegaarr...!
Dentuman hebat terjadi, membuat bumi sekitar-
nya menjadi guncang, pepohonan yang separo tum-
bang dan hanya miring sedikit itu kini menjadi rubuh 
dengan menimbulkan suara gemuruh yang menggema. 
Jayagati memandang heran kepada burung besar yang 
terbangnya diam di tempat sambil tetap menaburkan 
badai dari kepakan sayapnya.
Kejap berikutnya, burung yang tahu bahwa tuan-
nya dibuat lumpuh oleh ketiga lawan tersebut, segera 
melepaskan sinar merah kembali ke arah Tangan Maut 
dan Pisau Terbang. Clap, clap, clap, clap...!
Biar...! Duuaar...! Buummm...! Blaarrr...!

Buummm...!
Rupanya burung Rajawali Merah itu mengamuk. 
Ia lepaskan sinar dari matanya beberapa kali, dan tak 
peduli mengenai benda apa atau mengenai tubuh sia-
pa. Sementara itu, Jayagati merasa dihujani oleh se-
rangan dahsyat dari seekor burung besar tersebut. Ia 
mencoba melawan dan menangkisnya, namun beru-
langkali tubuh Jayagati terlempar ke sana-sini, semen-
tara kepakan sayap burung tetap menyerupai hembu-
san badai yang amat kuat.
Merasa tak mampu mengalahkan burung tersebut 
dan tidak mempunyai kesempatan untuk lakukan se-
rangan balasan, Jayagati segera perintahkan kedua 
muridnya untuk melarikan diri. Jayagati sendiri ikut 
berlari terbirit-birit, karena ia diikuti oleh Rajawali Me-
rah dan sinar merahnya yang berusaha menghantam 
tubuh Jayagati serta dua muridnya.
Burung itu ternyata bisa diajak bekerja sama da-
lam suatu pertarungan. Burung itu mampu mengamuk 
bagaikan orang marah membabi buta. Hutan di sekitar 
tempat itu menjadi rusak bagaikan habis dilanda kia-
mat kecil. Bukan hanya Tangan Maut dan Pisau Ter-
bang saja yang menjadi ketakutan, namun Jayagati 
sendiri menjadi enggan berhadapan dengan burung 
yang tidak tahu aturan pertarungan itu. Jayagati me-
rasa sia-sia melayani amukan seekor burung. Ia yakin 
bahwa Yoga akan mati, cepat atau lambat, karena ter-
kapar di sana tak berdaya. Kekuatan dan tenaga yang 
hilang itu akan menghentikan denyut jantung bebera-
pa saat kemudian. Sebab itu, Jayagati merasa lega wa-
laupun ia harus lari meninggalkan Pendekar Rajawali 
Merah.
***

5

MALAM yang sepi kembali disibukkan dengan su-
ara igauan si Tua Usil. Pendekar Rajawali Putih menge-
luh dengan hati dongkol. Yoga pergi mencari Walet 
Gading, Pandu Tawa pergi menyusul Yoga, keduanya 
kini sudah dua hari belum pulang dan tak ada kabar 
beritanya. Lili sempat menyimpan kecemasan, walau 
tidak diperlihatkan kepada Bocah Bodoh yang mem-
bantunya merawat Tua Usil. Panas badan Tua Usil 
masih tinggi, dan menurut Bocah Bodoh panas badan 
itu bisa dipakai untuk mengeringkan cucian basah.
Seperti pada malam kemarin, Tua Usil kembali 
berseru dalam igauannya, "Mana batu itu?! Dasar ma-
nusia-manusia tolol! Hanya disuruh mencari Batu De-
lima Sutera saja tak ada yang mampu! Manusia-
manusia macam apa kalian itu, hah?!"
Setiap Tua Usil mengigau dengan suara tua, Bo-
cah Bodoh selalu merasa takut. Wajah takut yang me-
mendam kecemasan itu sering digunakan untuk mena-
tap Lili. Jika Lili kelihatan tenang, Bocah Bodoh pun 
mengurangi kecemasannya. Jika Lili menjadi tegang, 
Bocah Bodoh sudah lebih dulu menjadi ketakutan.
"Sebaiknya besok saya panggilkan Tabib Perawan 
saja, Nona Li!" kata Bocah Bodoh ajukan usul. "Sebab, 
Tabib Perawan itu memang tabib ampuh. Buktinya, 
guru dari Lintang Ayu dapat disembuhkan olehnya. 
Padahal sakitnya lebih parah dari sakit yang diderita 
Tua Usil ini!"
"Sakitnya Tua Usil ini sepertinya bukan sakit 
sembarangan sakit," kata Lili. "Dia seperti orang kesu-
rupan."
"Kesurupan atau kesetanan?"
"Keduanya sama saja. Yang jelas, dia tidak sadar


dengan apa yang dikatakannya, dan itu berarti sesuatu 
telah menggerakkan mulutnya untuk bicara. Sakit se-
perti ini sulit dicari obatnya!"
Tua Usil yang sudah mendengkur pelan itu tiba-
tiba berkata dengan mata masih tetap terpejam,
"Obatnya hanya Batu Delima Sutera!"
Lili dan Bocah Bodoh kembali pandangi Tua Usil. 
Kemudian, Pendekar Rajawali Putih yang cantiknya 
melebihi bidadari itu berkata,
"Jika kau tidak tunjukkan di mana batu itu, kami 
tidak akan bisa temukan. Tunjukkan di mana batu itu, 
sehingga kami bisa menemukannya dan membawanya 
kemari sesuai permintaanmu, Ki!"
"Panggil saja gadis itu!" kata Tua Usil di luar kesa-
darannya.
"Gadis yang mana? Gadis siapa maksudmu, Ki?"
"Walet Gading itu! Cari dia dan bawa kemari. Biar 
aku bicara padanya! Paham?!"
"Ya. Aku paham," jawab Lili dengan tegas dan me-
nunjukkan sikap patuh, sehingga roh yang bicara den-
gan Tua Usil itu tidak menggerutu.
Lili memutuskan untuk berangkat mencari Walet 
Gading melalui udara. Ia akan menggunakan burung 
rajawalinya yang berwarna putih itu. Bocah Bodoh 
disuruh tunggu di rumah, dan membantu Tua Usil jika 
membutuhkan sesuatu. Pada siang hari, Tua Usil tetap 
berbadan panas, tapi tidak pernah bicara di luar kesa-
daran, tidak pernah mengigau seperti pada malam ha-
rinya.
Sebelum Lili berangkat, Bocah Bodoh sempat 
berpesan, "Kalau bisa jangan sampai malam, Nona Li! 
Saya takut kalau tinggal bersama Tua Usil malam-
malam. Soalnya Tua Usil dalam keadaan begitu."
"Kalau kau takut, jangan jadi lelaki. Jadi perem-
puan saja!"

"Ah, sama saja, Nona. Jadi perempuan kalau takut 
juga dihina dan diejek seperti saat ini," Bocah Bodoh 
bersungut-sungut.
Lili segera memanggil burung rajawalinya. Kedua 
genggaman tangannya saling menempel di dada. Dari 
pertengahan genggaman itu melesat sinar putih perak 
berbentuk gelombang-gelombang lingkaran yang me-
nuju ke langit. Di Sana gelombang sinar putih perak 
itu keluarkan suara denging memanjang dan melengk-
ing. Itulah tanpa bahwa Lili memanggil si Putih, bu-
rung rajawalinya yang berukuran besar itu.
"Kaaakk...! Keaaak...!"
Suara burung sudah terdengar, Lili merasa lega. 
Tapi kejap berikutnya ia terkejut, karena yang datang 
bukan burung Rajawali Putih, melainkan burung Ra-
jawali Merah. Dahi Lili langsung berkerut. Selama ini 
ia tak pernah mengalami peristiwa aneh seperti itu. Ji-
ka ia memanggil burung Rajawali Putih dengan suara 
denging, yang datang adalah
Rajawali Putih. Tapi mengapa sekarang Rajawali 
Merah yang mendatanginya? Apa ada dengan Yoga? Ke 
mana si Putih?
Burung Rajawali Merah mendarat ke bumi lebih 
dulu, berjarak tujuh langkah dari tempat Lili berdiri. 
Tak berapa lama, tampak sosok Rajawali Putih yang 
mengitari angkasa dan siap lakukan pendaratan. Teta-
pi kali ini Lili merasa lebih tertarik dengan kedatangan 
burung Rajawali Merah. Maka ia pun bertanya pada 
burung itu,
"Ada apa kau kemari, Merah? Apakah kau tidak 
bersama Yoga?"
"Kaakkk... kaaakkk...! Keaakkk...!"
Lili menampakkan rasa kagetnya melalui peruba-
han raut mukanya. Ia mengerti bahasa burung itu 
yang bermaksud memberitahu bahwa Yoga dalam bahaya, sekarang keadaannya terluka parah. Lili mulai 
tegang mendengar suara burung Rajawali Merah yang 
seolah-olah memberi laporan kepada Pendekar Rajawa-
li Putih itu.
"Jadi... Yoga dalam keadaan bahaya?"
"Keaakk...!"
"Dan siapa yang menyuruhmu datang kemari? 
Apakah
Yoga?"
"Keak, keaakk...!" burung itu mengangguk-angguk 
membenarkan dugaan Lili. Maka tersimpulkan kea-
daan Yoga dalam batin Lili, bahwa pemuda yang men-
jadi murid angkatnya sekaligus kekasihnya itu dalam 
keadaan yang benar-benar berbahaya. Tapi Yoga masih 
hidup, terbukti bisa menyuruh si Merah untuk mene-
muinya.
"Kkaakkk...! Keaakk...!" terdengar suara si Putih 
seakan mengatakan agar Lili lekas-lekas naik dan 
akan dibawa terbang menemui Yoga.
"Baik, baik...! Aku akan menemuinya sekarang ju-
ga!" kata Lili, kemudian mempercepat langkahnya me-
nuju Rajawali Putih, dan ia pun naik ke punggung bu-
rung itu. Sementara itu, burung rajawali berbulu me-
rah itu terbang lebih dulu dan diikuti oleh kekasihnya, 
yaitu burung rajawali berbulu putih.
Kedua burung itu bagai mengitari langit mencari 
tempat di mana Yoga tak berdaya. Rajawali Merah yang 
menjadi penunjuk jalan akhirnya berhasil temukan 
Yoga dalam keadaan terkapar tanpa tenaga sedikit 
pun.
Ketika Lili menemuinya, hati Lili menjadi hancur 
melihat kekasihnya seperti mayat hidup; bernapas tapi 
tidak bisa berbuat apa-apa. Baru sekarang Lili melihat 
Yoga menderita seperti itu. Hampir saja Lili titikkan air 
matanya karena rasa sayangnya kepada Yoga.

Dengan kekuatan dan ilmu kesaktian yang ada 
padanya. Yoga pun segera disembuhkan. Rupanya ke-
datangan Pendekar Rajawali Putih tepat pada wak-
tunya. Terlambat sedikit lagi, Yoga akan kehilangan 
denyut nadi dan jantungnya pun akan berhenti berde-
tak.
Setelah Yoga sadar dan mulai pulih kekuatannya, 
Lili mendesaknya agar mengaku siapa orang yang 
membuat Yoga seperti itu. Maka Yoga pun mencerita-
kan perjalanannya dari masalah Tengkorak Hitam 
sampai kemunculan Jayagati yang menghendaki pu-
saka sebuah kitab bernama Kitab Bintara Gada milik 
Reksobumi.
Lili pun menceritakan tentang kepergian Pandu 
Tawa dan igauan Tua Usil yang terakhir kalinya diden-
gar. Maka Yoga pun segera ajukan gagasan agar mere-
ka mencari Walet Gading bersama-sama.
"Kita cari dia melalui udara!" kata Lili yang setuju 
dengan gagasan Yoga tersebut. "Biarlah orang banyak 
memperhatikan kendaraan kita itu, yang penting kita 
tidak ganggu mereka dan kita punya kepentingan sen-
diri!"
"Aku setuju dengan gagasan mu itu. Guru!"
Maka, kedua pendekar rajawali itu segera terbang 
bersama burung mereka masing-masing untuk menca-
ri Walet Gading dari udara. Mereka melintasi Desa Ke-
kanjengan dan tanah sekitar wilayah Jurang Ajal.
Sementara itu sepasang insan muda yang sudah 
mulai bergandengan tangan itu berhenti dari perjala-
nannya. Mereka sengaja berhenti di tepi sebuah telaga 
berair bening. Di pinggiran telaga itu tumbuh pepoho-
nan rindang berdaun lebar, sejenis pohon sukun na-
mun berbuah merah. Di sana ada batu setinggi betis 
yang memandang bagaikan punggung naga. Di sanalah 
sepasang insan muda itu duduk melepas lelah dalam

bualan indah.
Mereka adalah Pandu Tawa dan Walet Gading 
yang semakin jauh melangkah semakin terasa akrab di 
hati masing-masing. Tetapi sejauh itu mereka belum 
saling mengetahui, bahwa Pandu Tawa mencari seo-
rang sahabat, yaitu Yoga, yang sedang mencari Walet 
Gading. Pandu Tawa sendiri lupa menanyakan nama 
Walet Gading, karena ia sudah terlanjur memanggil 
gadis itu dengan sebutan Nona Ayu. Padahal Walet 
Gading sudah berkata,.
"Namaku bukan Nona Ayu!"
"Biar saja. Aku suka memanggilmu dengan nama 
Nona Ayu! Karena kau memang ayu."
Walet Gading tak bisa bilang apa-apa, karena pu-
jian itu membuat hatinya berbunga-bunga. Di bawah 
naungan semilir angin yang meneduhkan bumi, hati 
Walet Gading pun semakin terasa teduh saat duduk 
merapat di sisi Pandu Tawa.
"Mendiang guruku pernah berkata, jika seorang 
pria memandang seorang wanita sebagai sesuatu yang 
menyenangkan hatinya, maka pria itu kian lama pasti 
akan jatuh cinta pada wanita tersebut," kata Walet 
Gading memancing. Sambungnya lagi.
"Tetapi Guru juga pernah berkata, ilmu setinggi 
apa pun, kesaktian sehebat apa pun, akan tunduk dan 
terkalahkan oleh cinta."
Pandu Tawa tersenyum memandangi air telaga 
yang bening.
"Gurumu memang benar. Karena guruku pun ber-
kata begitu; hati-hati dengan wanita. Ilmu setinggi apa 
pun dapat luluh di telapak kakinya."
"Gurumu terlalu berlebihan memuji wanita," kata 
Walet Gading.
"Tapi kata-kata guru yang berlebihan itu memang 
ada benarnya, sebab wanita, terutama seperti kau,

memang mempunyai sesuatu yang lebih dari wanita 
mana pun juga. Sesuatu itu makin lama akan semakin 
melumpuhkan ilmu ku, sehingga dengan mudahnya 
suatu saat kau dapat membunuhku."
Walet Gading tertawa kecil. "Jangan bicara begitu, 
Pandu Tawa. Lebih baik aku terluka parah daripada 
harus membunuhmu."
Sendang bening berair damai. Damai pula hati 
mereka yang saling menghamburkan rayuan demi 
rayuan, sehingga hati mereka saling terjerat dan terpi-
kat. Sayangnya keindahan itu harus dihentikan karena 
Pandu Tawa mendengar suara seekor burung memekik 
di angkasa.
"Keaaak...! Kaaakk...!"
"Kaaakk...! Kaaakkkk...!"
Pandu Tawa sadar, bukan hanya seekor, melain-
kan dua ekor burung yang suaranya tak asing lagi bagi 
pendengarannya. Pandu Tawa segera berdiri, meman-
dang ke langit, mencari-cari di sela dedaunan lebar 
yang rindang. Walet Gading juga memandang ke atas 
sambil berkata,
"Sepertinya aku pernah mendengar suara burung 
seperti itu!"
"Yang kutahu, itu pertanda sahabatku berada da-
lam jarak dekat dari sini. Suara burung itu adalah su-
ara burung rajawali yang menjadi tunggangannya."
"Maksudmu... Pendekar Rajawali Merah dan Pen-
dekar Rajawali Putih?"
Pandu Tawa cepat memandang Walet Gading, 
"Kau mengenai mereka?"
"Ya. Aku kenal dengan mereka. Dulu mereka per-
nah datang menjemput seorang calon ketua pergurua-
nku yang bernama Tua Usil dan...."
"Tunggu, tunggu...!" Pandu Tawa terperanjat, "Kau 
mengenai si Tua Usil juga?! Hei... siapa kau ini sebenarnya?"
"Walet Gading."
"Edan!" Pandu Tawa menghantam tangan kanan-
nya ke telapak tangan kirinya. Lalu ia tertawa geli sen-
diri memikirkan hal itu.
"Justru aku pergi untuk mencari Yoga, untuk 
membantu dia dalam mencari seorang gadis yang ber-
nama Walet Gading! Rupanya aku malah sudah sejak 
tadi bersama Walet Gading?! He he he...."
Air telaga yang bening itu berguncang kuat, kare-
na sepasang burung rajawali mendarat di tepian tela-
ga. Merusakkan beberapa dedaunan, menimbulkan 
angin besar karena kepakan sayap mereka. Yoga dan 
Lili sama-sama tersenyum geli melihat Pandu Tawa 
sudah bersama Walet Gading. Lili berkata menyindir 
kepada Yoga,
"Rupanya Pandu Tawa sekarang lebih sakti dari 
dirimu, Yo! Buktinya dia sudah lebih dulu berhasil 
menemukan Walet Gading, dan... kelihatannya sudah 
mampu menjerat hati sang walet."
Pandu Tawa dan Walet Gading tertawa. Kemudian, 
mereka mulai membicarakan masalah yang sebenar-
nya. Walet Gading tampak surutkan keceriaannya 
mendengar Tua Usil mengigau dengan suara tua yang 
diduga adalah suara Ki Pamungkas. Hati Walet Gading 
terharu mengenang almarhum gurunya.
"Kalau begitu," kata Walet Gading, "Bawalah aku 
secepatnya bertemu Tua Usil. Pasti ada sesuatu yang 
akan disampaikan oleh Guru kepadaku melalui raga 
Tua Usil."
"Kurasa hanya Batu Delima Sutera itulah yang in-
gin ditanyakan kepadamu, Walet Gading," kata Lili. 
"Sebaiknya jika kau mempunyai atau menyimpan batu 
tersebut, bawalah serta batu itu."
"Aku memang menyimpan batu itu, tapi aku harus

bicara dulu dengan Guru melalui raga Tua Usil itu. 
Sewaktu-waktu aku bisa saja mengambil batu terse-
but, jika benar batu itu yang dibutuhkan."
Lili mengetahui maksud Walet Gading. Gadis itu 
tidak mudah percaya begitu saja, dan ingin membukti-
kan kebenaran kabar tersebut. Dalam hati Lili memuji 
kewaspadaan Walet Gading yang cukup tinggi dan ti-
dak mau bertindak dengan gegabah.
Yoga segera berkata, "Kalian berangkatlah mem-
bawa Walet Gading. Aku akan mencari tempat tinggal 
Ki Reksobumi. Karena dia tahu rahasia Tengkorak Hi-
tam. Aku penasaran jika belum menyingkapkan raha-
sia tersebut."
Walet Gading menyahut, "Ki Reksobumi tinggal di 
kaki Bukit Sangga Buana. Arahnya di sebelah barat. 
Carilah dia di sana! Aku pernah datang ke tempat ting-
galnya, karena muridnya yang bernama Roro Intan itu 
adalah teman baik ku."
"Baiklah. Sekarang juga aku akan menuju Bukit 
Sangga Buana!" kata Yoga, lalu Pandu Tawa menimpa-
li,
"Aku ikut kamu, Yo! Aku lebih tertarik untuk me-
nyingkap tabir rahasia Tengkorak Hitam itu!"
Sebenarnya Walet Gading lebih setuju jika Pandu 
Tawa ikut bersamanya. Tetapi agaknya perasaan se-
perti itu harus disembunyikan dulu supaya ia tidak 
terlihat terlalu memburu hati pemuda tampan beram-
but panjang yang diikat menjadi kuncir berikat pita 
merah itu. Mereka terpaksa berpisah. Walet Gading 
ikut Lili, dan Pandu Tawa mengikuti Pendekar Rajawali 
Merah.
Di atas punggung burung Rajawali Merah, Yoga 
dan Pandu Tawa sempat membicarakan tentang keke-
jaman Tengkorak Hitam. Pandu Tawa berkata,
"Baru sekarang aku mendengar ada tokoh sesat

berjuluk Tengkorak Hitam. Mungkinkah dia anak buah 
Malaikat Gelang Emas, jika ditilik dari ciri-ciri pakaian 
dan senjatanya yang meniru penampilan sosok El 
Maut itu."
"Aku tidak bisa memastikan. Yang jelas, Tengko-
rak Hitam pasti punya maksud sendiri mengapa ia 
membantai penduduk desa tersebut secara satu persa-
tu. Mungkin...," Yoga terhenti bicaranya karena suara 
Pandu Tawa berseru,
"Hei, lihat di sebelah kanan itu...! Seseorang se-
dang bertempur melawan tokoh berpakaian hitam dan 
bersenjata pusaka El Maut!"
"Celaka! Itu yang bernama Ki Reksobumi! Rupanya
ia bertarung melawan Tengkorak Hitam!"
"Lekas turun, Yo! Bantu dia!"
Agaknya Tengkorak Hitam sengaja memburu Rek-
sobumi untuk menewaskan muridnya, yaitu Roro In-
tan. Karena Roro Intan berhasil membuka kedok Teng-
korak Hitam dan mengetahui siapa yang ada di balik 
kedok Tengkorak Hitam dan mengetahui siapa yang 
ada di balik kedok berwajah tengkorak itu. Dan ru-
panya Tengkorak Hitam sudah menemukan tempat 
tinggal Roro Intan bersama gurunya. Tetapi sudah pas-
ti sang Guru membela muridnya agar tidak sampai 
terbunuh oleh tangan Tengkorak Hitam.
Adu kesaktian terjadi beberapa kali di antara me-
reka berdua. Tengkorak Hitam ternyata bukan tokoh 
yang mudah dilumpuhkan. Bahkan Reksobumi sempat 
terdesak beberapa kali dan mengalami luka di bebera-
pa tempat. Namun Reksobumi tetap mempertahankan 
agar jangan sampai Tengkorak Hitam menemukan Ro-
ro Intan di dalam tempat kediamannya. Reksobumi te-
tap berusaha mengusir Tengkorak Hitam dengan men-
gerahkan segala kemampuannya.
Tongkat berujung sabit panjang itu melayang tepat


di atas kepala Reksobumi. Wuuuttt...! Jika Reksobumi 
tidak segera tundukkan kepalanya, maka terpenggal 
telak leher Reksobumi saat itu juga.
Tapi kibasan tongkat El Maut itu rupanya mem-
punyai gelombang tenaga dalam yang amat besar. Ke-
tika Reksobumi menundukkan kepala, ia seperti ter-
kena hantaman kuat pada kepala tersebut. Seluruh 
bagian kepala bagaikan kesemutan dan terasa berat 
didonggakkan kembali.
Tengkorak Hitam memutar tongkatnya, Wuuutt...! 
Kemudian gagang tongkat disodokkan ke punggung 
Reksobumi. Duuuhg...!
"Ahg...!" Reksobumi jatuh tersungkur dengan 
punggung terbakar dan menjadi hangus. Pakaiannya 
mengepulkan asap dan memancarkan bara api, sisa 
pembakaran.
Tengkorak Hitam masih belum puas jika belum 
membunuh Reksobumi dengan ujung sabit mautnya 
itu. Maka tongkat itu pun diayunkan dengan bagian 
sabit yang runcing mengarah ke punggung Reksobumi. 
Wuuttt...!
Blaarrr...!
Sinar merah melesat dari mata burung rajawali 
atas perintah Yoga. Sinar merah itu tepat mengenai 
ujung sabit El Maut yang berkekuatan tenaga dalam 
itu. Maka, meledaklah benturan sinar dengan benda 
tersebut. Terpental pula tongkat itu, tak jadi mengenai 
tubuh Reksobumi.
Tengkorak Hitam terkejut dan cepat memandang 
ke atas. Sebelum burung besar itu mendarat, Pandu 
Tawa sudah lebih dulu melompat dengan tangannya 
menyentak ke depan dan keluarkan cahaya biru ba-
gaikan kilatan petir di waktu mendung. Claapp...!
Reksobumi mengerang di tanah. Tengkorak Hitam 
melompatinya dalam keadaan mundur, sambil tong

katnya diputar dengan cepat bagai membentuk perisai 
bagi dirinya. Akibatnya sinar biru Pandu Tawa itu tak 
berhasil kenai tubuhnya secara telak, melainkan mele-
dak akibat terkena putaran tongkat itu. Duaaarr...!
Tubuh manusia berkerudung hitam dan menge-
nakan kedok tengkorak itu terlempar jatuh dalam ja-
rak empat tindak dari tempatnya. Yoga yang segera 
melompat dari punggung rajawali cepat-cepat lepaskan 
pukulan bergelombang tinggi. Wuukkk...! Blaabb...!
Pukulan itu sempat ditahan dengan tangan kiri 
Tengkorak Hitam yang keluarkan gelombang berkekua-
tan besar juga. Tetapi ia justru terpental dan jatuh 
bersama tongkatnya dalam jarak tujuh langkah. Teng-
korak Hitam menjadi tegang. Ia mempunyai perhitun-
gan tersendiri, sehingga ia tak segan-segan untuk ce-
pat-cepat melarikan diri, karena merasa tak cukup 
mampu bertahan menghadapi dua pemuda tampan 
itu. Pandu Tawa segera mengejar Tengkorak Hitam, 
namun tak berhasil.
Yoga buru-buru menolong Reksobumi. Tapi ia ter-
lambat. Reksobumi terluka sangat parah akibat sodo-
kan tongkat tadi. Ia hanya bisa berkata dengan suara 
lirih tertahan, Tolonglah... muridku itu...." lalu ia 
menghembuskan napas terakhir. Yoga tak mampu 
berbuat apa-apa lagi.
***
6


KEADAAN Roro Intan sungguh menyedihkan. Ra-
cun dari senjata rahasia yang mengenalnya mulai 
membusukkan bagian yang terluka. Wajah Roro Intan 
berwarna biru legam. Rupanya Reksobumi belum sempat sembuhkan muridnya, tapi harus segera berhada-
pan dengan Tengkorak Hitam. Jika Yoga dan Pandu 
Tawa tidak turut campur dalam pertarungan itu, maka 
Reksobumi dan Roro Intan sama-sama kehilangan 
nyawanya.
Untung Yoga dan Pandu Tawa cepat datang. Yoga 
segera sembuhkan luka berat yang diderita oleh Roro 
Intan. Akibatnya, gadis itu berhasil tertolong dan tidak 
ikut kehilangan nyawa seperti gurunya. Hati Roro In-
tan amat sedih setelah ia sadar dan merasa bebas dari 
derita racun ganas itu. Roro Intan sempat menangis 
ketika Pandu Tawa dan Yoga memakamkan jenazah 
Reksobumi.
"Apa pun jadinya, kekejaman ini harus kubalas! 
Tengkorak Hitam harus mati di tanganku, tak peduli ia 
punya ilmu lebih tinggi dariku. Aku tetap akan mene-
bus kematian Guru dengan caraku sendiri!" geram Ro-
ro Intan sambil mengeraskan genggaman tangannya.
Yoga mencoba membujuknya, "Cukup satu saja 
dari pihakmu yang menjadi korban Tengkorak Hitam. 
Jangan tambah satu korban lagi, Roro Intan. Mengenai 
Tengkorak Hitam dan kekejiannya, serahkan kepadaku 
dan Pandu Tawa. Kami akan menangkapnya, membu-
ka kedoknya di depan umum dan menyerahkan kepa-
da penguasa setempat sebagai tawanan yang layak di-
adili sebagaimana mestinya."
"Kau selalu menganggap ilmuku lebih rendah dari 
Tengkorak Hitam!"
"Bukan itu maksudku, Roro Intan," kata Yoga se-
tenang mungkin. "Jika gurumu saja kalah dan tewas di 
tangannya, bagaimana dengan dirimu yang hanya se-
bagai murid Ki Reksobumi?"
Pandu Tawa memberanikan diri menimbrung kata, 
"Benar apa kata Yoga, Roro Intan. Sepertinya, Tengko-
rak Hitam memang harus kami lumpuhkan dulu. Setelah itu terserah padamu. Yang jelas kami akan serah-
kan kepada penguasa setempat dan berundinglah den-
gan mereka untuk menangani nasib Tengkorak Hitam 
nantinya."
Roro Intan diam dengan kecamuk batinnya sendi-
ri. Ia merasa masih punya satu ilmu andalan yang be-
lum sempat digunakan saat bertarung dengan Tengko-
rak Hitam. Tetapi agaknya niatnya itu dihalang-halangi 
oleh dua pemuda tampan tersebut. Sekalipun demi-
kian, Roro Intan tahu apa maksud Yoga dan Pandu 
Tawa menghalangi niatnya. Bukan karena niat jahat, 
melainkan ingin menolongnya dalam membalas den-
dam kepada Tengkorak Hitam.
Ketika Roro Intan merenungkan hal itu, Pendekar 
Rajawali Merah mendekatinya dan berkata,
"Sebelum segalanya terjadi, ku mohon kau mau je-
laskan kepadaku, wajah siapa yang ada di balik kedok 
tersebut, Roro Intan."
Gadis itu menatap Yoga, diam beberapa saat den-
gan mata tak berkedip, namun memancarkan dendam 
yang tertahan. Ketika Pandu Tawa mendekat dan ber-
kata pula,
"Sebaiknya katakan saja, supaya kami bisa me-
nangkapnya secepat mungkin, Roro Intan."
Maka gadis itu pun menjawab. "Yang kulihat di 
balik kedok itu adalah wajah anak pemilik kedai."
Yoga tersentak kaget. Matanya sempat melebar. 
"Maksudmu.... Maksudmu anak Ki Bantarsuko yang 
bernama Sulastri itu?"
"Ya!" jawab Roro Intan dengan geram yang kuat. 
"Gadis itulah yang mengenakan kedok tengkorak!"
"Ap... apa... apakah kau tak salah lihat?"
"Cahaya api pada malam itu menampakkan raut 
wajahnya dengan jelas. Karena aku mengetahuinya, 
maka dia memburu ku supaya tidak mengatakannya

kepadamu, maupun kepada orang-orang Desa Kekan-
jengan. Tetapi baru kalian berdua yang mendengar 
pengakuanku ini!"
Bagai petir menyambar di depan mata saat Yoga 
mendengar jawaban Roro Intan tadi. Telinganya terasa 
rusak dan sepertinya tak yakin dengan apa yang di-
dengarnya.
"Sulastri...?!" gumam Yoga di dalam hatinya ketika 
merenungkan hal itu sambil tubuhnya bersandar pada 
batang pohon. "Sungguh sesuatu yang tak pernah ku-
bayangkan sebelumnya, bahwa Tengkorak Hitam itu 
adalah Sulastri. Gadis itu berkesan sebagai gadis desa 
yang lugu dan tak kenal dosa. Bahkan ketika ia men-
ceritakan padaku tentang kekejaman Tengkorak Hi-
tam, ia bergidik berulang kali karena merasa ngeri dan 
merinding. Benarkah gadis selembut Sulastri itu men-
jadi malaikat El Maut setiap malam tiba? Rasa-rasanya 
tak mungkin. Siapa pun tak mudah mempercayai beri-
ta ini. Tapi toh Roro Intan melihatnya dengan mata ke-
pala sendiri!"
Kepada Pandu Tawa pun Yoga mengatakan hal itu 
dengan terlebih dulu menjelaskan sikap dan tingkah 
laku yang polos dari gadis bernama Sulastri itu. Yoga 
terang-terangan mengatakan bahwa dirinya sangsi 
dengan pengakuan Roro Intan.
"Tetapi Roro Intan merasa sanggup menangkap 
dan menyeret siapa orang yang menjadi Tengkorak Hi-
tam selama ini. Sekarang juga ia merasa mampu 
membuktikannya, bahwa Sulastri mempunyai ilmu 
cukup tinggi. Bukan sekadar gadis desa yang polos, 
lugu, dan lemah," kata Pandu Tawa mengingatkan per-
timbangan Yoga. Sambungnya lagi.
"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak mung-
kin. Semua yang tidak mungkin bisa saja terjadi walau 
hanya sekali dalam sejarah kehidupan bumi. Orang
tenang bukan berarti orang pendiam, Yo. Orang lemah 
bukan berarti orang yang mudah diinjak. Orang lugu 
pun belum tentu seorang yang bersih hatinya. Ingat-
ingatlah, mungkin ada sesuatu yang janggal dan kau 
alami di sana, tapi belum kau sadari saat itu. Barang-
kali sekarang setelah tahu siapa Sulastri, kau bisa te-
mukan dan rasakan kejanggalan itu memang ada."
Cukup lama Yoga merenung dan mengingat-
ingatnya, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dapat 
menimbulkan kecurigaan pada diri Sulastri. Satu-
satunya kejanggalan yang bisa dianggap mencurigakan 
adalah sikap Ki Bantarsuko. Pemilik kedai itu mela-
rang Yoga keluar pada saat suara jeritan tengah malam 
itu terdengar. Ki Bantarsuko tidak izinkan Yoga cepat-
cepat keluar, melainkan menunggu beberapa saat du-
lu, baru mereka keluar bersama. Dan pada malam itu 
Yoga tidak sempat berpikir tentang Sulastri.
"Barangkali saja ayah Sulastri tak ingin kau me-
mergoki anaknya memakai pakaian El Maut pada saat 
gadis itu akan masuk ke dalam rumah. Setelah gadis 
itu masuk rumah dan berganti pakaian, barulah Ki 
Bantarsuko mengizinkan kau keluar dari kamar. 
Seandainya kau bertemu Sulastri, maka kau tidak 
akan curiga bahwa gadis itu adalah orang yang habis 
membunuh," tutur Pandu Tawa menjabarkan dugaan-
nya.
Yoga manggut-manggut sebentar dalam renun-
gannya, kemudian berkata kepada Pandu Tawa,
"Tapi mengapa Ki Bantarsuko juga merasa ketaku-
tan dan menutup kedainya begitu petang tiba? Bahkan 
ia mengingatkan aku agar jangan mengadakan perja-
lanan malam melintasi desa tersebut. Ia juga tak kebe-
ratan jika aku menyewa kamarnya untuk bermalam di 
situ?"
"Jika Ki Bantarsuko tidak merasa takut dan segera

menutup kedai, maka orang akan curiga padanya, dan 
dapat ketahuan rahasia itu. Jika ia tidak melarangmu 
mengadakan perjalanan malam, maka ia tidak me-
nampakkan diri di depanmu sebagai orang tak berdo-
sa. Kurasa Ki Bantarsuko mengetahui tentang sikap 
dan prilaku anak gadisnya itu! Masalahnya sekarang, 
alasan apa yang membuat ayah dan anak itu seakan 
menjadi El Maut bagi orang banyak? Apakah mereka 
sedang menuntut ilmu yang harus mempunyai tumbal 
sekian nyawa?"
"Ilmu apa itu?"
Pandu Tawa angkat pundak, "Tak tahulah. Mung-
kin saja begitu. Karena menurut ceritamu dapat ku
simpulkan bahwa Ki Bantarsuko seolah-olah mendu-
kung segala apa pun yang dilakukan oleh Sulastri."
Sungguh membingungkan masalah itu bagi Yoga. 
Hati kecilnya menyanggah tuduhan bahwa Sulastri 
adalah si Tengkorak Hitam. Tapi ia alami pula sikap 
janggal dari Sulastri dan Ki Bantarsuko. Sulastri sem-
pat berkata kepada Yoga pada waktu menceritakan 
tentang Tengkorak Hitam di dalam kamar yang disewa 
Yoga itu,
"Tengkorak Hitam punya orang kuat yang memi-
haknya. Karena itu Tengkorak Hitam tidak pernah me-
rasa takut kepada siapa pun."
Dan pada waktu itu Yoga bertanya, "Siapa yang 
kuat yang memihak Tengkorak Hitam?"
"Yaaah... tentu saja gurunya sendiri, Tuan."
"Siapa gurunya Tengkorak Hitam?"
"Entah. Mungkin gurunya adalah Tengkorak Kun-
ing atau Hijau. Saya tidak tahu tentang gurunya itu," 
jawab Sulastri dengan polosnya.
Dalam hati Yoga saat ini berkata, "Apakah kepolo-
san bicara seperti itu patut dijadikan bahan kecuri-
gaan juga? Atau... barangkali saja Sulastri adalah gadis yang pandai bermain sandiwara? Jika benar begitu, 
maka pantaslah jika ia mampu bersikap pura-pura po-
los dan lugu di depanku!"
Persoalan itu memang persoalan yang membuat 
hati Yoga penasaran. Karenanya, Yoga mengajak Pan-
du Tawa dan Roro Intan untuk berembuk lebih matang 
dalam upaya menangkap Tengkorak Hitam. Menurut 
Yoga, jika ia dan Pandu Tawa tidak segera bertindak, 
maka akan lebih banyak lagi korban tak bersalah yang 
menjadi sasaran kekejian Tengkorak Hitam tersebut.
Yoga bermaksud membawa Pandu Tawa untuk 
bermalam di desa tersebut. Roro Intan ingin ikut ber-
sama mereka, tetapi Yoga berkata,
"Jangan muncul dulu. Kau masih jadi bahan inca-
ran Tengkorak Hitam. Mungkin orang yang melempar-
kan senjata rahasia padamu itu adalah si Tengkorak 
Hitam, dan ia pikir kau mati karena racun yang menu-
rutnya tak ada yang bisa menyembuhkannya. Jadi ka-
lau kau muncul di sana, maka ia tahu bahwa kau ma-
sih hidup dan ia akan memburumu lagi!"
"Aku siap menghadapinya!" kata Roro Intan bera-
pi-api.
"Bukan soal siap atau tidak, tapi aku ingin usaha-
ku ini berjalan lancar tanpa ada gangguan dari siapa 
pun. Aku punya rencana matang dalam hal ini," kata 
Yoga. "Pandu Tawa harus bisa menemui Ki Lurah dan 
seolah-olah melamar sebagai penjaga malam. Aku 
akan menginap di kedai Ki Bantarsuko dan selalu ada 
di dekat Sulastri. Kita akan tahu, apakah selama Sula-
stri berada di dekatku si Tengkorak Hitam masih ber-
keliaran pada malam hari atau tidak. Jika Tengkorak 
Hitam berkeliaran pada malam hari, Pandu Tawa pasti 
akan tahu. Jika keadaan begitu maka Sulastri bukan 
si Tengkorak Hitam. Tapi jika selama Sulastri ada di 
dekatku, tapi Tengkorak Hitam tidak pernah muncul,

berarti Sulastri-lah si Tengkorak Hitam Itu. Tinggal 
nanti bagaimana kita mengatur jebakannya!"
Menurut Pandu Tawa, itu gagasan yang bagus. Ia 
tidak keberatan menjadi penjaga malam di desa terse-
but. Ia bahkan tak sabar segera ingin menemui Teng-
korak Hitam dalam keadaan mau melakukan kejaha-
tan. Karena dalam hati Pandu Tawa sendiri menyim-
pan kegeraman dan rasa penasaran, ingin membong-
kar kedok Tengkorak Hitam.
Rencana itu segera dilakukan, Ki Lurah Wikuto 
Legawa dengan senang hati menerima lamaran Pandu 
Tawa sebagai penjaga malam. Pada mulanya Ki Lurah 
Wikuto Legawa menyangsikan tentang upah yang 
hanya tersedia tak seberapa banyak, tapi Pandu Tawa 
menyatakan diri tidak terlalu memikirkan tentang 
upah tersebut.
Sementara itu. Yoga kembali bermalam di rumah 
kedai Ki Bantarsuko. Lelaki tua itu sangat senang dan 
tampak gembira menerima kedatangan Yoga kembali. 
Sulastri pun tersenyum-senyum ceria dan tanpa dis-
uruh telah membersihkan kamar untuk tempat berma-
lam pemuda tampan tersebut. Bahkan ketika Yoga 
berpapasan di depan kamar dengan Sulastri, gadis itu 
tersenyum malu ketika Yoga bertanya,
"Apakah kau keberatan jika aku bermalam di sini 
sampai beberapa hari, Sulastri?"
"Tidak, Tuan. Saya malah merasa senang dan me-
rasa aman jika Tuan ada di sini pada malam hari."
"Aman bagaimana?"
"Aman dari gangguan Tengkorak Hitam," jawab 
gadis itu sambil menampakkan sikap tersipu-sipu. "Ji-
ka Tuan bermalam di sini, saya tidak merasa khawatir 
mendapat giliran disambangi Tengkorak Hitam. Saya 
yakin, Tengkorak Hitam takut kepada Tuan."
"Dari mana keyakinanmu itu ada?"

"Karena... karena saya tahu, Tuan berilmu tinggi."
Dalam hati Yoga hanya berkata, "Orang yang bisa 
melihat seseorang berilmu tinggi atau rendah hanyalah 
orang yang bisa merasakan getaran tenaga seseorang 
melalui kepekaan indera berilmu tinggi. Apakah Sula-
stri mempunyai kepekaan indera berilmu tinggi?"
Maka, Yoga pun semakin penasaran dan segera 
memancingnya dengan pertanyaan, "Dari mana kau 
tahu kalau aku berilmu tinggi?"
"Dari ayah," jawab Sulastri. "Ayah menceritakan 
kehebatan Tuan pada saat mengobati luka-lukanya 
Roro Intan."
Yoga menggumam lirih, tersenyum tipis, tapi ha-
tinya sedikit menggerutu, "Sial! Rupanya berdasarkan 
itu dia menilaiku. Kupikir karena dia mempunyai ke-
pekaan indera. Tapi... tapi siapa tahu dia membelok-
kan arah kecurigaanku?"
Ki Bantarsuko pun mempunyai sikap dan angga-
pan seperti anak gadisnya, bahwa ia merasa aman jika 
Yoga ada di rumahnya. Bahkan Ki Bantarsuko tidak 
mau menerima uang penginapan dari Yoga, ia berkata,
"Setelah saya tahu siapa Tuan Yoga, silakan saja 
Tuan bermalam di sini sampai kapan pun, tanpa saya 
pungut uang penginapan. Karena Tuan telah mem-
bayarnya dengan keamanan yang saya peroleh bersa-
ma anak gadis saya itu. Nilai keamanan dan rasa ten-
teram ini jauh lebih besar daripada nilai uang sewa 
kamar untuk satu bulan."
"Tapi kau akan rugi, Ki. Penghasilanmu akan ber-
kurang."
"Ah, tidak. Penghasilan saya sudah cukup dengan 
menjual makanan dan minuman kedai. Untuk apa 
saya punya penghasilan lebih banyak jika ketentera-
man hati saya tidak terjamin?"
Percakapan itu dimanfaatkan oleh Yoga untuk

mengorek keterangan dari mulut Ki Bantarsuko dan 
memancing kebenaran sikap pemilik kedai itu. Tentu 
saja Yoga memancing berbagai pertanyaan dengan ha-
ti-hati, supaya tidak terlihat sedang melakukan penye-
lidikan tersembunyi.
"Sejak munculnya Tengkorak Hitam, apakah dia 
pernah menyambangi kedaimu ini, Ki?"
"Belum pernah, Tuan. Sama sekali belum pernah 
dan mudah-mudahan jangan sampai! Saya dan Sula-
stri masih ingin punya umur panjang," jawab lelaki tua 
itu dengan apa adanya.
"Menurutmu, apakah Tengkorak Hitam itu betul-
betul hantu dari liang kubur atau manusia berkedok 
tengkorak?"
"Wah, saya tidak bisa memastikan, Tuan. Karena 
saya belum pernah berjumpa dengannya, dan saya ju-
ga tidak ingin jumpa walau satu kali pun. Saya masih 
ingin hidup, Tuan," sambil Ki Bantarsuko tersenyum-
senyum dalam wajah tuanya.
"Kasihan warga desa ini. Tiap malam terancam 
maut. Anehnya mengapa desa ini yang dijadikan sasa-
ran oleh Tengkorak Hitam, Ki?"
"Itu yang membuat saya heran, Tuan. Padahal ada 
desa lain yang tak jauh dari sini, tapi desa itu aman-
aman saja."
"Kira-kira dari mana kemunculan Tengkorak Hi-
tam itu?"
"Ya, kalau menurut kabar-kabarnya, Tengkorak 
Hitam muncul dari Jurang Ajal dan menghilangnya di 
sekitar sana juga. Apakah di sana ada rumah atau 
tempat persembunyian, kami belum ada yang berani 
memeriksanya, Tuan. Sebab takut kalau sewaktu-
waktu kami kepergok di sana pada saat memeriksa 
tempat itu."
"Lho, apakah dia pernah muncul siang hari?"

"Ada yang pernah melihatnya, Tuan. Tapi dia tidak 
kemari, melainkan melintas di perbatasan desa saja. 
Dan hanya pada tengah malam dia datang lakukan 
pembantaian keji di desa kami ini!"
Walaupun matanya sudah merah karena menahan 
kantuk, Sulastri masih bersemangat mendengarkan 
cerita Yoga tentang petualangan asmara para tokoh 
sakti di rimba persilatan. Sampai larut malam Yoga 
masih kuat menceritakan apa yang pernah dilihat dan 
didengar dari orang-orang rimba persilatan.
Sulastri merasa mempunyai keindahan tersendiri 
dalam mendengarkan obrolan Yoga itu. Tetapi keinda-
han yang mendebar-debarkan hati itu terpaksa harus 
terputuskan karena malam yang sepi itu tiba-tiba di-
robek oleh jeritan panjang yang menyayat hati dan me-
rindingkan bulu roma.
"Aaaa...!"
Sulastri tersentak kaget dengan mata ngantuknya 
membelalak lebar. Yoga pun terperanjat dan segera 
berkata,
"Pembunuh lagi?!"
"Iiya... iya, Tuan! Pasti.. pasti Tengkorak Hitam 
yang melakukan!"
Ki Bantarsuko terbangun dari tidurnya, bergegas 
menemui Yoga dan Sulastri. Seperti tempo hari juga, Ki 
Bantarsuko melarang Yoga untuk keluar dari rumah 
dan memohonnya agar menunggu beberapa saat sete-
lah diperkirakan Tengkorak Hitam sudah pergi me-
ninggalkan desa tersebut.
Tapi kali ini Yoga nekat, ia segera melompat dan 
pergi menghambur di tengah gulita malam. Matanya 
memandang dengan tajam ke berbagai penjuru. Sam-
pai akhirnya ia temukan Pandu Tawa berlari ke arah 
utara. Yoga mengejarnya sampai ke perbatasan desa, 
dan ternyata Pandu Tawa berhenti, bermaksud menge

jar ke arah selatan, namun ia berpapasan dengan Yo-
ga.
"Bagaimana?" tanya Yoga lebih dulu.
"Kulihat kelebatan bayangan hitamnya, tapi cepat 
sekali ia menghilang. Aku kehilangan jejak!" jawab 
Pandu Tawa sedikit tegang, lalu ia bertanya, "Bagai-
mana dengan Sulastri?"
"Selalu ada di dekatku saat jeritan itu kudengar!"
"Hmmm...! Berarti memang bukan Sulastri yang 
menjadi Tengkorak Hitam. Lalu, apa maksud Roro In-
tan memfitnah Sulastri? Apakah dia punya maksud 
menyingkirkan Sulastri agar tidak memikat hatimu? 
Atau karena dia punya dendam pribadi kepada Sula-
stri?"
***
7


RORO Intan kembali ditemui oleh Pandu Tawa, 
sementara Yoga tetap bersama Sulastri di kedai itu. 
Roro Intan ngotot dan tetap mengaku melihat wajah 
Sulastri di balik kedok tengkorak warna hitam itu.
"Mataku belum buta!" katanya kepada Pandu Ta-
wa yang datang ke Bukit Sangga Buana. "Aku sangat 
mengenali wajah Sulastri, karena ketika aku singgah di 
kedai itu, Sulastri kucurigai sebagai gadis yang selain 
membantu ayahnya membuka kedai juga bisa diajak 
ke mana-mana oleh setiap pria yang punya uang un-
tuk membayar kehangatannya. Itulah sebabnya aku 
tahu persis wajahnya, karena aku punya dugaan bu-
ruk terhadapnya. Belakangan aku sadar, bahwa aku 
tak boleh punya anggapan seperti itu kepada perem-
puan yang bekerja di sebuah kedai. Aku memang salah

dalam hal itu, tapi dalam penglihatanku aku merasa 
tidak salah lihat!"
"Barangkali kau punya persoalan pribadi dengan 
Sulastri?"
"Tidak ada!" jawabnya dengan tegas. "Aku menge-
nai namanya juga dari percakapanmu dengan Yoga 
kemarin."
"Atau... atau mungkin kau merasa iri dan takut 
kalau Yoga terpikat kepada Sulastri, sehingga kau in-
gin celakai Sulastri?"
Roro Intan membentak ketus, "Picik sekali otak-
mu, Pandu Tawa! Kenapa aku lakukan tindakan sebo-
doh itu kalau aku inginkan Yoga? Aku memang punya 
rasa kagum pada ketampanannya, tapi tidak semudah 
itu hatiku terpikat olehnya! Tak mungkin dugaanmu 
itu ada padaku!"
Gadis itu memandang dengan tajam. Warna hitam 
di tepian matanya membuat ia terkesan galak bagi 
Pandu Tawa. Galak namun cantik dan menarik, se-
hingga Pandu Tawa pun berkata,
"Syukurlah kalau kau tidak terpikat oleh ketam-
panan Yoga! Aku merasa lega."
"Daripada aku terpikat padanya, lebih baik aku 
terpikat padamu!"
Pandu Tawa sunggingkan senyum geli. "Apa ala-
sanmu berkata begitu?"
"Karena aku pernah mendengar cerita dari men-
diang guruku, bahwa Pendekar Rajawali Merah adalah 
kekasih dari Pendekar Rajawali Putih. Jika aku tahu 
Yoga sudah punya kekasih, untuk apa aku merasa 
terpikat padanya? Cari penyakit saja itu namanya!"
"Tapi kau belum tahu kalau aku sudah punya ke-
kasih atau belum."
"Aku tidak berminat menanyakannya!" kata Roro 
Intan dengan ketus. Matanya melirik Pandu Tawa, tepat pada waktu Pandu Tawa memandangnya. Roro In-
tan menggeragap dan salah tingkah, akhirnya berkata,
"Sudahlah, jangan melantur! Sekarang aku akan 
ke sana dan temui Sulastri untuk mendesaknya su-
paya mengaku!"
"Tidak, Roro Intan. Kau tidak boleh begitu. Sula-
stri jelas tidak bersalah, karena waktu terjadi pembu-
nuhan Sulastri ada bersama Yoga. Jadi kau tidak bisa 
memaksa orang tak salah disuruh mengaku salah!"
Sesaat lamanya Roro Intan bersungut-sungut, lalu 
cemberut dalam renungannya. Ia seolah-olah tidak 
percaya dengan laporan Pandu Tawa mengenai hal itu. 
Tapi kemudian ia mempunyai gagasan baru yang sege-
ra dibicarakan kepada Pandu Tawa.
"Aku akan ikut bermalam di sana, untuk mem-
buktikan dengan mata kepalaku sendiri, apakah Sula-
stri ada bersamaku jika Tengkorak Hitam berkeliaran 
di tengah malam?!"
"Tapi kau janji tidak akan memusuhi Sulastri?"
"Ya. Aku akan bersikap baik padanya. Tapi kalau 
terbukti dia yang menjadi Tengkorak Hitam, kalian tak 
boleh ikut campur, aku ingin bikin perhitungan sendiri 
dengannya! Karena ia telah membunuh guruku!"
Yoga dan Pandu Tawa akhirnya saling berhubun-
gan secara bebas, dan rahasia tentang kepura-puraan 
mereka yang tidak saling kenal itu dibeberkan di depan 
Ki Bantarsuko. Roro Intan sendiri yang bicara kepada 
Ki Bantarsuko.
"Pada dasarnya saya curiga kepada anakmu itu, Ki 
Bantarsuko."
"Lho, mengapa Sulastri kau curigai, Nona?"
"Karena sewaktu aku berhasil membuka topeng 
Tengkorak Hitam, aku melihat wajah di balik topeng 
itu adalah wajah Sulastri, Pak Tua!"
"Seperti... maksudmu wajah itu seperti wajah Sulastri?"
"Betul!"
Ki Bantarsuko terbungkam dan merenung dengan 
dahi tuanya berkerut tajam. Wajah itu kian lama kian 
tampak murung dan sepertinya menyimpan kesedihan. 
Namun di depan Roro Intan dan Pandu Tawa, lelaki 
tua itu buru-buru membuang perasaan dukanya dan 
wajahnya dibuat ceria.
"Dia sepertinya menyimpan sesuatu yang diraha-
siakan," kata Roro Intan kepada Pandu Tawa dalam bi-
sikan. Pandu Tawa menganggukkan kepala pertanda ia 
sependapat dengan pikiran Roro Intan.
"Tak perlu didesak sekarang. Nanti pun ia akan 
ceritakan sendiri jika tak kuat memendam rahasia itu," 
ujar Pandu Tawa.
Kini keadaan terbalik, Pandu Tawa dan Roro Intan 
ada di rumah kedai tersebut, sedangkan Pendekar Ra-
jawali Merah berkeliling desa sebagai penjaga malam. 
Selama dua malam Yoga berjaga-jaga, namun peristiwa 
pembunuhan tidak terjadi dan Tengkorak Hitam tidak 
berkeliaran. Hal itu membuat Roro Intan menjadi se-
makin curiga kepada Sulastri. Ia berkata kepada Pan-
du Tawa,
"Kau lihat sendiri, selama Sulastri setiap malam 
ada bersama kita, Tengkorak Hitam itu tidak berkelia-
ran. Apakah itu bukan berarti bahwa Sulastri terpe-
rangkap oleh kita dan tidak bisa menjadi Tengkorak 
Hitam? Coba renungkan, Pandu Tawa."
"Ya, memang begitu kenyataannya. Tapi barangka-
li saja suasana ini terjadi karena secara kebetulan. 
Aku lebih percaya dengan pengakuan Yoga. Bukan aku 
tak percaya dengan pribadimu, Roro Intan. Tapi dalam 
hal ini, kurasa Yoga tak mungkin memberikan penga-
kuan palsu hanya untuk membela Sulastri. Toh buk-
tinya malam ini Yoga penasaran dan ingin temui Tengkorak Hitam sendiri. Sudah dua malam dia dibuat pe-
nasaran dengan keadaan yang kita hadapi ini."
Sebenarnya Roro Intan sedikit tersinggung kepada 
Pandu Tawa. Hampir saja ia menghantam Pandu Tawa 
dari samping kanan karena ia dianggap orang yang ti-
dak bisa dipercaya. Tetapi Roro Intan dapat kuasai diri 
dan kendalikan perasaannya, mengingat Pandu Tawa 
tentunya sudah banyak mengetahui kepribadian Yoga 
karena lebih lama bergaul dengan Yoga ketimbang 
dengan dirinya. Roro Intan dapat memaklumi jalan pi-
kiran Pandu Tawa.
Suatu malam ketika ia masih berada di rumah ke-
dai Ki Bantarsuko, Roro Intan nekat mau korek kete-
rangan dari Ki Bantarsuko mengenai kegelisahan lelaki 
tua itu sejak Roro Intan bermalam di situ. Tapi Pandu 
Tawa selalu melarangnya, terlebih setelah tahu bahwa 
setelah Ki Bantarsuko menutup kedainya, ia lebih ba-
nyak mengurung diri di kamar dan tak mau keluar-
keluar.
"Agaknya ia tak bersedia bicara dengan siapa pun 
pada malam ini. Kita jangan mendesaknya, nanti ma-
salahnya berubah lagi," kata Pandu Tawa kepada Roro 
Intan. Sekalipun gadis itu tampaknya keras kepala, ta-
pi terhadap saran-saran Pandu Tawa ia bisa meneri-
manya. Bahkan malam itu ia tampak terlibat percaka-
pan diselingi canda kecil bersama Sulastri.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah mengam-
bil tempat di sudut desa, tempat sepi dan gelap yang 
menurutnya enak dipakai untuk melakukan pengama-
tan dari jarak jauh. Tak satu pun orang yang tahu 
bahwa Yoga ada di bawah pohon berlapis rumput ila-
lang itu.
Pada saat malam semakin sepi dan embun mulai 
datang, Yoga sempat dikejutkan oleh datangnya hawa 
panas dari arah belakangnya. Hawa panas itu terasa

mendesak udara dingin di sekitar punggungnya, se-
hingga Yoga pun berkelebat berbalik badan sambil le-
paskan pukulan tenaga dalam dari tangan kanannya. 
Wuuuttt...! Drraab...! Terdengar suara benda padat be-
radu dengan kuat.
"Ada yang ingin membokongku!" pikir Yoga. Ia ce-
pat-cepat memancing orang tersebut ke tempat lega. 
Pada waktu itu, rembulan muncul separo bagian di ba-
lik awan putih membiru. Cahaya terang menyinari 
bumi secara samar-samar. Dengan memancing di tem-
pat lega tak berpohon. Yoga akan dapat melihat sosok 
orang yang menyerangnya itu.
Pancingan itu berhasil membuat si penyerang ge-
lap muncul dari balik persembunyiannya di atas po-
hon. Sebuah serangan kembali dilancarkan oleh orang 
tersebut. Yoga sengaja tidak menangkis dan tidak 
mengelak. Tapi lebih dulu ia persiapkan dadanya pe-
nuh dengan gelombang tenaga dalam peredam seran-
gan lawan. Buukkk...!
Pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar itu 
tepat kenai dada Yoga. Pemuda tampan itu pun segera 
roboh ke belakang dalam keadaan telentang. Hal itu 
membuat si penyerangnya mendekat dan memeriksa 
keadaan Yoga.
Pada saat itulah kaki Yoga segera berkelebat naik 
dengan punggung berputar cepat. Wuuuttt...! 
Plookkk...! Tendangan yang tak disangka-sangka da-
tangnya dan memang sulit ditangkis itu, tepat kenai 
wajah si penyerang gelap. Orang itu terpental ke bela-
kang dalam keadaan terhuyung-
huyung hendak jatuh. Yoga sendiri cepat-cepat 
sentakkan tangan ke tanah dan, wuusst...! Ia bagaikan 
belalang melenting ke atas lalu tahu-tahu kedua ka-
kinya sudah berdiri tegak di tanah. Jleegg...!
"Siapa kau?" sapanya langsung dengan suara te

gas.
Seorang lelaki beruban dengan rambut dikuncir ke 
belakang telah berdiri sigap pula memandang Pende-
kar Rajawali Merah. Lelaki itu kenakan kain selempang 
warna putih, sama dengan warna jenggotnya yang se-
panjang lewat batas leher. Kumis putihnya pun me-
lengkung ke bawah, melebihi batas dagu. Menurut 
taksiran Yoga, lelaki tua itu berusia sekitar delapan 
puluh tahun. Badannya kurus, tapi tulang dan kulit-
nya tampak keras serta alot.
"Perkenalkan, namaku Guntur Salju," kata orang 
tua itu.
Yoga mendekap telinganya kuat-kuat dan menye-
ringai kesakitan. Ucapan orang itu pelan, tapi men-
gandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi dan da-
pat memecahkan gendang telinga lawan bicaranya.
"Edan! Hanya dengan bicara sepelan itu ia mampu 
melukai gendang telingaku! Sungguh tinggi ilmu orang 
ini. Apa maunya menyerangku? Aku harus kerahkan 
tenaga perisaiku supaya tidak terlalu sakit mendengar 
kata-katanya itu!" pikir Yoga, kemudian menahan na-
pasnya beberapa saat. Ia mengembalikan keadaan di-
rinya, mengusir rasa sakit yang berdenging-denging 
dalam telinganya. Setelah itu. Yoga pun tampak tenang 
kembali dan perisai tenaga dalamnya telah dipasang.
"Apa maksudmu menyerangku, "Ki Guntur Sal-
ju?!" tanya Yoga.
"Menyangka kau kawanannya si Tengkorak Hi-
tam!" jawabnya, kali ini Yoga tidak rasakan sakit di te-
linga, walau nada suara Guntur Salju tetap sama se-
perti tadi. Hanya saja Yoga rasakan daun telinganya 
bergetar saat mendengar ucapan orang kurus itu.
"Kusangka kau mata-matanya Tengkorak Hitam 
yang memberi tahu kepadanya tentang kelemahan 
keamanan desa ini. Ternyata aku salah duga. Maafkan

aku, Pendekar Rajawali Merah."
Yoga terkejut, "Dari mana kau yakin kalau aku 
bukan mata-matanya Tengkorak Hitam? Dari mana 
kau tahu gelarku itu?"
"Pedangmu adalah milik saudara angkatku yang 
bernama Dewa Geledek. Aku yakin, kau adalah murid-
nya. Aku tahu kau pun punya jodoh dengan seseorang 
yang menjadi istri saudara angkatku itu dan mempu-
nyai nama Dewi Langit Perak. Akulah adik angkat Dewi 
Langit Perak."
Yoga langsung berlutut dan menghaturkan hormat 
kepada tokoh tua yang baru kali ini dilihatnya itu.
"Maafkan saya, Eyang. Saya tidak bermaksud ber-
sikap tidak sopan jika tadi telah membalas serangan 
Eyang Guntur Salju."
"Bangkit, Nak. Lupakan masalah itu. Aku datang 
hanya karena tertarik dengan ulah si Tengkorak Hitam 
yang di luar batas kemanusiaan. Kusangka di sini ti-
dak ada kau, Nak. Kalau ku tahu kau ada di sini aku 
tak akan turun dan mencampuri urusan ini."
Pendekar Rajawali Merah segera berdiri dengan si-
kap masih sopan menghormat. Lalu, ia berkata kepada 
Guntur Salju,
"Eyang Guntur Salju, saya bukan bermaksud lan-
cang mencampuri wilayah kekuasaan orang lain, tapi 
saya hanya ingin menghentikan kekejaman Tengkorak 
Hitam."
"Ya, aku setuju. Syukurlah jika kau sudah turun 
tangan dalam masalah ini. Sebab aku sering menden-
gar penduduk desa sini terancam kengerian setiap ma-
lam, dan ancaman itu datang dari Tengkorak Hitam. 
Dari tempat pertapaanku aku sering mendengar mere-
ka berharap agar ada orang yang mau menolong mem-
bebaskan mereka dari ancaman maut Tengkorak Hi-
tam. Sudah beberapa waktu kudengar suara mereka

dari pertapaanku, sampai aku merasa iba dan akhir-
nya merasa perlu turun tangan sendiri dalam pembe-
basan nanti."
"Jika begitu, kini segalanya saya serahkan kepada 
Eyang Guntur Salju," kata Yoga dengan rendah hati.
"Tidak. Karena ku tahu sudah ada dirimu, maka 
kuserahkan persoalan ini padamu, Nak! Kerjakan apa 
yang diajarkan oleh gurumu! Hanya saja perlu ku in-
gatkan, hati-hatilah terhadap orang di belakang Teng-
korak Hitam. Dia punya ilmu cukup tinggi."
"Siapakah orang yang ada di belakang Tengkorak 
Hitam itu, Eyang?"
"Nanti kau akan tahu kalau saatnya sudah tiba. 
Sekarang aku ingin temui keluarga Bantarsuko, kare-
na ada yang ingin kubicarakan dengannya. Tolong an-
tarkan aku ke rumah Bantarsuko!"
"Dengan senang hati, akan saya antar ke sana, 
Eyang!" tapi dalam hati Yoga bertanya-tanya,
"Sejak kapan Eyang Guntur Salju mengenai Ki 
Bantarsuko? Pembicaraan penting yang bagaimana 
yang dimaksud Eyang? Apakah Ki Bantarsuko adalah 
murid Eyang Guntur Salju? Ah, aku tak yakin."
Pandu Tawa terkejut ketika Yoga datang bersama 
tokoh tua berbadan kurus itu. Pandu Tawa segera ber-
lutut memberikan hormat,
"Menghaturkan hormat, Eyang Guntur Salju," 
ucap Pandu Tawa.
"Hmmm...! Ya, kuterima hormatku, Pandu Tawa. 
Aku merasa senang kau ada di sini dan bergabung 
dengan murid Dewa Geledek itu. Bagaimana kabar ten-
tang kakekmu; Wejang Keramat?"
"Beliau dalam keadaan baik-baik dan sehat-sehat 
saja, Eyang!"
Dalam hati Yoga berkata, "Rupanya Pandu Tawa 
juga mengenal Eyang Guntur Salju. Bahkan tampak

nya lebih dulu ia mengenai Eyang Guntur Salju sebe-
lum peristiwa malam ini ketimbang diriku."
"Senang sekali hatiku mendengar sahabatku; We-
jang Keramat dalam keadaan baik-baik saja," kata 
Eyang Guntur Salju. "Tapi aku sungguh sedih melihat 
nasibmu, Bantarsuko."
Ki Bantarsuko menunduk hikmat. Guntur Salju 
berkata lagi, "Mengapa kau tidak ikuti jejak ayahmu, 
menjadi murid ku? Seandainya waktu itu kau mau 
menjadi muridku, seperti ayahmu, kau tidak akan 
menjadi penduduk desa yang polos tanpa ilmu apa-
apa, Bantarsuko."
"Maaf, Eyang."
"Setidaknya dalam masalah yang kau hadapi seka-
rang ini, kau bisa melepaskan diri dan mengatasinya 
sendiri, Bantarsuko...!"
Tiba-tiba terdengar suara jeritan di kejauhan sana 
yang menggema ke mana-mana, "Aaaa...!"
Semua orang terkejut, kecuali Guntur Salju. Mata 
mereka menegang, terutama Roro Intan. Gadis itu 
memandang Sulastri yang berdiri di belakang bapak-
nya. Ternyata Sulastri ada di situ saat terjadi pembu-
nuhan di kejauhan sana.
Guntur Salju memandang Yoga dan berkata, "Kita 
telah kecolongan. Kejar dia dan selesaikan dengan 
baik!"
Yoga memberi hormat sebentar, kemudian melesat 
pergi penuh semangat. Pandu Tawa dan Roro Intan se-
gera mengikutinya. Mereka berpencar dalam mencari 
Tengkorak Hitam. Pandu Tawa sempat tiba di rumah 
korban dan jerit tangis memilukan memenuhi rumah 
tersebut. Setiap mulut mereka yang datang selalu 
mengucap nama Tengkorak Hitam.
Pandu Tawa tinggalkan tempat itu, kembali laku-
kan pencarian terhadap orang yang berpakaian hitam

dari kepala sampai kaki itu. Gerakan Pandu Tawa le-
bih lincah lagi. Namun ia kalah gesit dengan Pendekar 
Rajawali Merah yang malam itu menemui keberuntun-
gan besar yaitu dapat mencegat gerakan lari seseorang 
yang hendak melintasi perbatasan desa. Orang berpa-
kaian hitam itu adalah si Tengkorak Hitam.
"Berhenti!" sentak Yoga tak mau menyerang lebih 
dulu.
Tapi Tengkorak Hitam tak mau banyak bicara. Ia 
langsung kibaskan tongkat El Maut-nya. Wuungng...! 
Begitu cepatnya hingga tenaga dalam yang tersalur pa-
da tongkat itu menyebar dan menghentak mengenai 
kepala Yoga. Buuhg...! Akibatnya Yoga terlempar ke 
samping dan terguling-guling.
Wuuuttt...! Jraabb...!
Tengkorak Hitam ayunkan tongkat sabit panjang 
itu. Sasarannya adalah punggung Yoga. Tetapi Yoga 
dapat melompat lebih cepat hingga sabit panjang itu 
menancap di tanah. Kesempatan itu digunakan oleh 
Yoga untuk menghajar pinggang Tengkorak Hitam 
dengan tendangan berkekuatan tenaga dalam tinggi. 
Buuuhg...!
Yoga melihat lawannya berguling-guling. Tapi tiba-
tiba lenyap bagai ditelan bumi. Claapp...! Yoga sempat 
kebingungan mencarinya., Tahu-tahu Tengkorak Hi-
tam sudah berada di belakang Yoga dan mengayunkan 
senjatanya dari atas ke bawah. Yoga yang tak bisa di-
bokong begitu saja, segera kelebatkan badan kembali 
dan tangan menyentak kuat. Wuuttt...! Claapp...! Sinar 
merah keluar dari telapak tangan Yoga, arahnya Jurus 
menghantam sabit bergagang tongkat itu.
Blegaaarrr...!
Ledakan teramat keras sempat mengguncangkan 
bumi sekitarnya. Genteng rumah penduduk sempat 
ada yang melorot beberapa tempat. Ledakan yang

membahana itu membuat Pandu Tawa, Roro Intan, 
dan para pemuka masyarakat desa berlarian menuju 
ke arah perbatasan.
Tongkat itu patah, sabitnya hancur menjadi bebe-
rapa keping karena terkena pukulan sinar merah dari 
tangan Yoga. Hal itu membuat Tengkorak Hitam men-
jadi amat berang. Ia segera melompat menyerang Yoga 
dengan tangan siap menghantam. Tapi Yoga segera 
menyongsongnya dengan satu lompatan pula yang 
membuat kedua tangan mereka sama-sama saling ber-
temu di udara. Plak, liarrr...!
Nyala hijau kemerah-merahan terpancar dari per-
paduan telapak tangan mereka. Sampai mereka sama-
sama mendaratkan kaki ke bumi, tangan mereka ma-
sih saling beradu. Mereka mengerahkan tenaga dalam, 
sampai pertemuan tangan mereka mengepulkan asap 
putih kehitaman.
Pada saat itulah Pandu Tawa, Roro Intan dan yang 
lainnya datang ke tempat itu dan menyaksikan perta-
rungan adu tenaga dalam tersebut. Tapi Roro Intan ti-
dak tahan memendam dendamnya. Terbayang kema-
tian sang Guru yang menyedihkan hati itu. Maka, Roro 
Intan segera lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi. 
Ia melompat dan hantamkan telapak tangannya ke 
punggung Tengkorak Hitam. Blaaarr...!
Craas...! Darah menyembur dari setiap lubang tu-
buh Tengkorak Hitam, termasuk dari pori-porinya. Tu-
buh dan wajah Yoga menjadi sasaran semburan darah 
tersebut. Kejap berikutnya, tubuh Tengkorak Hitam 
tumbang bagaikan sebatang gedebong pisang. 
Buuuhg...! Nyawanya masih sempat tersendat-sendat, 
lalu lepas tinggalkan raga.
Orang banyak berkerumun saling berdesakan in-
gin melihat wajah di balik topeng tengkorak itu. Ketika 
Yoga membukanya, semua berseru dengan nada gumam,
"Widosukmi...?! Ya ampuuun....?!"
"Tidak. Tidak mungkin! Dia sudah mati!" seru Ki 
Bantarsuko.
Sulastri menangis menyayat hati. Ia geleng-geleng 
kepala sambil dekati mayat Tengkorak Hitam yang ter-
nyata bernama Widosukmi. Salah seorang penduduk 
ada yang bicara kepada Pandu Tawa,
"Widosukmi adalah kakak dari Sulastri. Tapi ia 
sudah lakukan bunuh diri dan mati di Jurang Ajal. 
Kami tidak sangka kalau Widosukmi masih hidup. Pa-
dahal dulu ia gadis biasa, artinya tidak punya ilmu si-
lat setinggi itu."
"Pantas dia punya wajah mirip Sulastri...?!" gu-
mam Pandu Tawa masih tertegun pandangi mayat Wi-
dosukmi.
Guntur Salju tampil, lalu berkata kepada Ki Ban-
tarsuko, "Bawa pulang dia. Apa pun alasannya, dia 
masih anakmu dan kau berhak merawat serta mema-
kamkan jenazahnya. Lekas, angkat dan bawa pulang, 
supaya tidak menjadi tontonan bagi masyarakat ba-
nyak!"
Tetapi hati Pandu Tawa masih diliputi pertanyaan, 
"Mengapa Widosukmi membantai penduduk Desa Ke-
kanjengan ini? Dan sejak kapan ia mempunyai ilmu 
tinggi, jika menurut pengakuan mereka, Widosukmi 
dulu bukan gadis yang punya ilmu silat sedikit pun?! 
Siapa guru Widosukmi jika begitu?!"
***

8

DENGAN sejujurnya. Ki Bantarsuko mengaku ti-
dak menduga bahwa anak sulungnya itu masih hidup. 
Ia mulai merasa curiga ketika Roro Intan mengatakan, 
wajah di balik kedok tengkorak itu diduga adalah wa-
jah Sulastri. Ki Bantarsuko lalu bertanya dalam ha-
tinya dengan kecemasan dan duka yang disembunyi-
kan,
"Apakah Widosukmi bangkit lagi dari kematian-
nya? Jika benar wajah di balik kedok itu mirip dengan 
Sulastri, maka tak ada lagi gadis desa sini yang wajah-
nya mirip Sulastri jika bukan kakaknya sendiri. Tapi 
mungkinkah Widosukmi berani lakukan kekejian se-
perti itu?"
Ki Bantarsuko sendiri mengakui, bahwa Wido-
sukmi tidak pernah belajar silat atau berguru kepada 
siapa pun. Widosukmi hanyalah gadis desa yang polos, 
cantik dan sedikit manja. Kecantikan Widosukmi me-
lebihi kecantikan Sulastri. Kulitnya pun tidak hitam 
manis seperti kulit Sulastri.
Banyak penduduk desa yang mengakui, bahwa 
Widosukmi merupakan kembang desa yang menantang 
selera setiap lelaki. Selain tubuhnya sekal, ia juga 
mempunyai senyum yang manis melenakan sukma le-
laki. Tetapi sayang Widosukmi terjebak dalam lingka-
ran kemesraan yang tabu.
Seorang pegawai istana yang berdarah bangsawan 
mengenal Widosukmi. Orang tersebut akrab dipanggil 
dengan nama Baden Panji. Usianya mencapai sekitar 
empat puluh tahun, berperawakan tinggi, tegap dan 
masih gagah. Ia orang terkaya di Desa Kekanjengan. 
Raden Panji mempunyai istri seorang keturunan nin-
grat pula yang sering dipanggil dengan nama Raden

Ayu Kumala.
Perkenalan Raden Panji dengan Widosukmi diawa-
li dari kedai juga. Rupanya kebahenolan Widosukmi 
menantang minat Raden Panji dan membuat pria itu 
mabuk kepayang. Tetapi Widosukmi sadar, bahwa Ra-
den Panji adalah suami orang. Widosukmi menolak 
hasrat Raden Panji yang ingin mengawininya.
Rasa penasaran Raden Panji membuat pria itu 
memutar otak bagaimana caranya agar dapat menang-
kap buah hatinya yang baru itu. Lalu, Raden Panji 
mengutus beberapa orang suruhannya untuk mencu-
lik Widosukmi dari sungai tempat Widosukmi mandi. 
Widosukmi dibawa oleh mereka ke pesanggrahan, 
tempat Raden Panji menikmati masa liburnya dari tu-
gas-tugas di kadipaten.
Di pesanggrahan itulah, Raden Panji berhasil me-
maksa Widosukmi untuk melayani hasratnya. Wido-
sukmi menolak, Raden Panji memaksa, akhirnya gadis 
itu dinodai oleh Raden Panji. Pada saat itu, diluar du-
gaan Raden Ayu Kumala datang ke pesanggrahan dan 
memergoki perbuatan terkutuk itu. Tentu saja Raden 
Ayu Kumala menjadi berang dan mengamuk habis-
habisan kepada Widosukmi.
"Jangan salahkan dia. Salahkanlah aku, Kumala. 
Akulah yang memaksa Widosukmi untuk melayaniku!"
Tetapi Raden Ayu Kumala tak mau mendengar su-
aminya bertindak tak senonoh. Raden Ayu Kumala ta-
kut kalau Widosukmi menyebarkan tindakan sua-
minya, maka ia pun segera menyebar fitnah,
"Widosukmi merebut suamiku, menggunakan ilmu 
pengasihan untuk memelet suamiku! Dia sungguh pe-
rempuan terkutuk yang mengganggu kebahagiaan ru-
mah tangan orang lain. Kelak bukan keluargaku saja 
yang akan diganggunya, tapi suami-suami orang lain 
juga akan diganggunya! Selama Widosukmi masih ada

di desa kita ini, hidup kita tidak akan aman karena 
suami kita akan menjadi bahan incarannya terus. Se-
dikit saja kita lengah, Widosukmi akan menyerobot su-
ami kita dan membuat suami kita lupa anak-istri...!"
Menebarlah berita tersebut, menciptakan keresa-
han bagi para istri orang-arang di Desa Kekanjengan. 
Tak satu pun yang mau dengarkan keterangan dari 
Widosukmi. Tak satu pun ada yang mau percaya bah-
wa Raden Panji telah merenggut kesucian Widosukmi 
secara paksa, dan gadis itu diculik dari tempatnya 
mandi. Mereka sudah termakan fitnah Raden Ayu Ku-
mala, akhirnya para istri Desa Kekanjengan melabrak 
Widosukmi, menuntut penguasa setempat untuk men-
gadili Widosukmi, bila mana perlu dijatuhi hukuman 
gantung.
Bukan hanya sakit saja hati Widosukmi, tapi juga 
malu dan takut. Sebagai rakyat kecil, Widosukmi tidak 
mempunyai kekuatan apa-apa, pembelaan terhadap 
dirinya sia-sia. Ditambah lagi, Ki Bantarsuko yang wa-
jahnya menjadi pucat karena malu itu melampiaskan 
amarahnya kepada Widosukmi.
Gadis itu diusir dari desa. Widosukmi tidak tahu 
harus ke mana membawa dirinya yang telah ternoda 
itu. Maka, jalan satu-satunya yang ada dalam pikiran-
nya adalah mempercepat kematiannya. Widosukmi pa-
tah semangat, lalu melompat terjun ke dalam Jurang 
Ajal yang sangat berbahaya itu. Seseorang yang saat 
itu sedang mencari kayu bakar mengetahui Widosukmi 
melompat ke jurang tersebut, dan menyebarlah kabar 
kematian Widosukmi. Tak ada orang yang mau menca-
ri ke dasar jurang yang dalam dan berbatu-batu runc-
ing itu. Widosukmi pun akhirnya dikabarkan mati tan-
pa bisa ditemukan jasadnya. Peristiwa itu terjadi tiga 
tahun yang lalu.
Ki Bantarsuko nyaris tidak percaya bahwa Tengkorak Hitam itu adalah anaknya yang mati bunuh diri 
tiga tahun yang lalu. Karena sejak peristiwa itu, Wido-
sukmi tak pernah muncul lagi. Raden Panji kebingun-
gan mencari pengganti Widosukmi. Raden Panji sangat 
mencintai Widosukmi, akhirnya setahun kemudian 
Raden Panji lakukan bunuh diri pula dengan cara 
menggantung diri di hutan dekat Jurang Ajal.
Hal yang membuat para penduduk tidak tahu ada-
lah kemunculan Widosukmi dalam wujud Tengkorak 
Hitam. Mengapa ternyata Widosukmi masih bisa sela-
mat dari jurang maut yang tak pernah gagal menelan 
korban itu? Siapa guru Widosukmi, sehingga mampu 
mempunyai ilmu tinggi dan membantai habis keluarga 
Raden Panji, dari istri, anak, keponakan, mertua, pa-
man, bibi, semua keluarga Raden Panji dibantai habis.
Untuk menyingkap tabir rahasia kehidupan Wido-
sukmi setelah dikabarkan mati bunuh diri itu, Guntur 
Salju tampil sebagai orang sakti yang mengetahui kea-
daan tersebut. Dengan ilmu teropong batinnya yang 
tinggi, dengan kepekaan indera keenamnya yang kuat, 
Guntur Salju menjelaskan kepada Yoga, Pandu Tawa, 
dan yang lainnya, termasuk Sulastri serta bapaknya,
"Jurang Ajal selama ini hanya dianggap tempat 
alam yang membawa maut. Tak ada orang yang mau 
tinggal di Sana. Tetapi dugaan kita selama ini keliru. 
Jurang Ajal ada penghuninya; seorang lelaki yang dulu 
diusir dari perguruannya dan dikejar-kejar oleh para 
murid perguruan itu, ternyata bersembunyi di Jurang 
Ajal. Orang tersebut bernama Prawira Yuda. Ketika ia 
lari diusir dari perguruannya, ia sempat mencuri se-
buah kitab pusaka milik sang guru, yang menjadi sa-
habatku sendiri. Perwira Yuda tekuni pelajaran dalam 
kitab tersebut sampai ia kuasai semua ilmu yang be-
lum dikuasai oleh gurunya sendiri. Akhirnya ia tum-
buh sebagai orang sakti dan menamakan dirinya dengan julukan: Iblis Jurang Ajal. Ia datang kembali ke 
perguruannya dan semua anggota perguruan itu di-
bantai habis olehnya."
Guntur Salju menceritakannya dengan jelas dan 
tegas, membuat semua orang yang mendengarnya tak 
ada yang berani berisik sedikit pun. Guntur Salju me-
lanjutkan ceritanya,
"Ketika Widosukmi terjun ke Jurang Ajal untuk 
mengakhiri masa hidupnya, ia disambar oleh Iblis Ju-
rang Ajal. Ia dirawat dan ingin dijadikan istri. Wido-
sukmi menolak, tapi Iblis Jurang Ajal membuat suatu 
kesepakatan, bahwa Widosukmi akan mendapatkan 
ilmu Iblis Jurang Ajal apabila melayaninya pada bulan 
purnama. Maka Widosukmi setuju. Ia melayani hasrat 
Iblis Jurang Ajal hanya pada saat malam bulan pur-
nama. Satu kali ia dilayani, satu ilmu Iblis Jurang Ajal 
mengalir dalam diri Widosukmi tanpa harus melalui la-
tihan dan bertapa. Jika selama tiga tahun lamanya 
Widosukmi melayani Iblis Jurang Ajal ditiap purnama, 
bisa dibayangkan berapa banyak ilmu yang dimiliki 
Widosukmi dari pelayanannya itu? Tak heran Wido-
sukmi menjadi berilmu tinggi, lalu melampiaskan den-
damnya. Widosukmi bukan saja menaruh dendam 
dengan keluarga Raden Panji, melainkan juga mena-
ruh dendam kepada semua penduduk desa ini, yang 
telah mengusirnya dan tidak mau mempercayai penga-
kuannya...."
Kini sudah jelas apa dan bagaimana Widosukmi. 
Gurunya adalah suaminya sendiri. Ilmunya diperoleh 
dari bercengkerama dengan sang suami pada malam 
bulan purnama. Apalagi Iblis Jurang Ajal mempunyai 
ilmu-ilmu tinggi. Hal itu membuat Widosukmi menjadi 
orang sakti dan merasa berhak bertindak semena-
mena.
Pemakaman jenazah Widosukmi dilakukan, dihadiri oleh pihak keluarga dan sahabat-sahabat Sulastri, 
seperti Yoga, Pandu Tawa, Roro Intan, dan beberapa 
orang desa tersebut. Mereka yang tidak hadir adalah 
mereka yang takut kalau-kalau jenazah Widosukmi 
bangkit lagi dan mengamuk menyerang mereka.
Kekhawatiran seperti itu ternyata dimiliki pula 
oleh Guntur Salju. Maka sebelum jenazah Widosukmi 
dimakamkan, Guntur Salju menyuruh penggali kubur 
untuk melapisi tanah liang kubur itu dengan daun-
daun pisang. Menurutnya, dengan cara dan syarat se-
perti itu, Widosukmi tidak akan bangkit lagi dari kema-
tiannya.
Tetapi tiga hari setelah pemakaman jenazah Wido-
sukmi, di tengah malam penduduk desa kembali dike-
jutkan oleh datangnya jeritan lengking yang mendiri-
kan bulu kuduk. Malam itu ternyata terjadi pembunu-
han lagi di sebuah rumah tak seberapa jauh dari ru-
mah Ki Bantarsuko. Tentu saja Yoga dan kawan-
kawan yang habis menghadiri kenduri tiga hari kema-
tian Widosukmi itu menjadi kaget serta tegang. Roro 
Intan berkata kepada Pandu Tawa,
"Bukankah dia sudah dimakamkan?"
"Ya. Bahkan sudah diberi syarat oleh Eyang Gun-
tur Salju memakai daun pisang. Tapi mengapa dia ma-
sih bisa bangkit dari kematiannya?"
Semua orang sepakat mengatakan bahwa Wido-
sukmi bangkit dari kematiannya dan melakukan pem-
bunuhan secara keji lagi. Bahkan menurut mereka, 
pembunuh itu lebih keji yang sekarang daripada yang 
dulu!
"Apa ada yang melihatnya saat dibunuh?" tanya Ki 
Lurah kepada mereka yang berkerumun di depan kor-
ban.
"Tidak ada, Ki!" jawab lelaki setengah umur. "Wak-
tu saya dan istri saya lewat sini, saya sudah temukan

dia bermandi darah dan tak bernyawa lagi, Ki Lurah. 
Istri saya kaget dan menjerit, bahkan sekarang masih 
pingsan."
Karena mereka tak ada yang memergoki gerakan si 
Tengkorak Hitam, maka mereka diliputi kesangsian, 
benarkah pelakunya masih orang yang sama? Jika me-
lihat keadaan lukanya, mereka tak sangsi lagi bahwa 
Tengkorak Hitam-lah yang melakukannya. Badan ro-
bek besar, terkapar di depan pintu rumah sendiri, itu 
merupakan ciri-ciri pembunuhan yang dilakukan oleh 
Tengkorak Hitam.
Sementara mereka sibuk mempercakapkan hal 
itu, tiba-tiba di sebelah lain terdengar jeritan yang me-
lengking tinggi dan mendirikan bulu kuduk kembali. 
Pembunuhan terjadi di sebelah barat. Mereka segera 
lari ke barat, lalu menemukan seorang perempuan 
yang menjadi korban di. depan pintu rumahnya. Lebih 
kaget lagi mereka setelah mengetahui, ternyata seisi 
rumah tersebut telah dibantai habis oleh orang yang 
berjiwa keji itu. Pembunuh tersebut tidak tinggalkan 
jejak yang bisa mencurigakan orang, juga tidak ada pi-
hak yang bisa dijadikan sumber pertanyaan; apakah 
Tengkorak Hitam yang melakukan atau orang lain? Ji-
ka orang lain, bagaimana ciri-ciri orang tersebut dan 
ke mana larinya?
Tetapi bagi Yoga, Tengkorak Hitam atau bukan pe-
lakunya, ia tetap berlari ke arah utara, karena firasat-
nya mengatakan bahwa ia harus menuju ke utara. Pa-
dahal di sebelah utara desa, Pandu Tawa sudah lebih 
dulu menjaga di sana. Pendekar Rajawali Merah sem-
pat merasa cemas dengan keberadaan Pandu Tawa di 
utara desa.
"Kali ini pasti tertangkap lagi! Mudah-mudahan 
dia bertemu Pandu dan Pandu bisa lumpuhkan Teng-
korak Hitam itu!" pikir Yoga sambil gunakan jurus

'Langkah Bayu'-nya yang mampu bergerak cepat mele-
bihi sebatang anak panah yang melesat dari busurnya. 
Wuuttt, zllaapp...!
Namun alangkah terkejutnya Yoga ketika sebelum 
terlalu jauh bergerak, ia menemukan Pandu Tawa da-
lam keadaan terkapar tanpa darah, namun sekujur 
tubuhnya menjadi biru Iegam. Napas Pandu Tawa ter-
sengal-sengal, mulutnya keluarkan busa hitam. Kedua 
biji matanya menjadi merah. Ia berkelejot-kelejot ba-
gaikan ayam disembelih. Tak ada orang lain di sana, 
kecuali Pandu Tawa sendiri.
"Pukulan beracun tinggi?!" pikir Yoga setelah ter-
tegun beberapa saat. "Terlambat sedikit, habis sudah 
riwayat hidupnya!"
Roro Intan sangat tegang ketika Yoga membawa 
pulang Pandu Tawa ke rumah kedai Ki Bantarsuko. Ia 
segera bertanya,
"Apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya? 
Tengkorak Hitam-kah pelakunya?!"
"Entahlah. Kutemukan dia dalam keadaan sudah 
separah ini!"
Bukan hanya Roro Intan yang menjadi cemas dan 
tegang melihat nasib Pandu Tawa, melainkan Ki Ban-
tarsuko pun tampak cemas sekali. Ia bahkan berkata 
kepada Yoga,
"Kalau memang Widosukmi yang melakukan, biar 
saya yang akan hadapi dia, Tuan!"
"Apa Ki Bantarsuko merasa mampu menghadapi 
ilmunya?"
"Saya memang tidak punya ilmu, Tuan. Tapi kalau 
memang Widosukmi ingin lebih puas lagi, biarlah dia 
melawan bapaknya sendiri dan menjadi pembunuh ba-
gi bapaknya!"
Agaknya Ki Bantarsuko sudah tak bisa menahan 
kesabaran lagi. Ia merasa malu dan patut korbankan

diri demi ketenangan masyarakat desa tersebut. Teta-
pi, Yoga dan yang lainnya tidak sependapat, sehingga 
Roro Intan membawa Ki Bantarsuko ke tempat lain 
bersama Sulastri, sedangkan Yoga sendirian mengobati 
Pandu Tawa.
Pukulan beracun tinggi itu memakan waktu tidak 
secepat biasanya. Tetapi keberhasilan Yoga menawar-
kan racun itu dengan jurus 'Tapak Serap' cukup mem-
buat Roro Intan terkagum-kagum dan tak bisa le-
paskan pujian lagi. Yoga tidak pedulikan pujian atau 
kekaguman, yang ia pentingkan adalah keselamatan 
jiwa sahabatnya itu. Dan Yoga sudah merasa cukup 
lega karena ia bisa selamatkan nyawa Pandu Tawa dari 
pukulan racun tinggi.
"Siapa yang melakukannya? Kau melihat orang-
nya, Pandu?!" desak Roro Intan ketika mereka berga-
bung kembali dalam keadaan Pandu Tawa sudah pulih 
keadaannya, bahkan seperti orang tak pernah mende-
rita luka separah itu.
"Apakah benar, Widosukmi yang melakukannya, 
Tuan Pandu?" tanya Sulastri dengan wajah duka.
"Bukan," jawab Pandu Tawa. "Bukan Widosukmi 
dan juga bukan Tengkorak Hitam."
"Kau melihat jelas wujud manusianya?"
"Ya," jawab Pandu Tawa. "Gerakkannya sangat ce-
pat dan mengejutkan, sehingga ia mencuri kelenga-
hanku dan menghantamnya dengan pukulan yang 
menurut takaran seharusnya aku sudah dikubur esok 
hari!"
"Bagaimana ciri-cirinya?" Roro Intan mencecar ka-
rena rasa ingin tahunya begitu besar.
"Rambutnya abu-abu bergelombang, panjang 
sampai ke pinggang, dilepas riap tanpa pengikat apa 
pun. Kumisnya juga abu-abu, tak begitu lebar. Tu-
buhnya besar, matanya lebar, tulang pipinya bertonjolan, bola matanya memancarkan cahaya hijau bening, 
jubahnya warna hitam, sama dengan warna celananya. 
Ia membawa tongkat El Maut tapi berukuran pen-
dek...."
"Kau tahu siapa tokoh itu? Maksudku, kau men-
genalinya?" tanya Yoga.
Pandu Tawa gelengkan kepala. "Yang ku tahu dia 
lari ke arah jurang, dan meninggalkan aku yang ter-
huyung-huyung tak bisa berteriak, lalu rubuh."
"Dia lari ke arah jurang? Hmm...! Apakah dia yang 
disebut-sebut Eyang Guntur Salju sebagai tokoh tua 
berjuluk Iblis Jurang Ajal?"
"Kurasa, ya!" jawab Pandu Tawa dengan tegas. 
"Karena larinya ke arah Jurang Ajal, maka aku pun 
berkesimpulan, orang tersebut adalah Iblis Jurang Ajal 
yang menuntut balas atas kematian istrinya; Wido-
sukmi itu!"
Esok paginya, berita itu cepat tersebar. Setiap 
orang yang mendengar ciri-ciri pengganti Tengkorak 
Hitam itu selalu bergidik merinding. Bahkan ada yang 
berniat mengungsi hari itu juga, karena mereka takut 
malamnya akan didatangi Iblis Jurang Ajal.
Ternyata kemunculan Iblis Jurang Ajal sengaja 
disongsong oleh kepenasaran Pendekar Rajawali Me-
rah. Siang itu, Yoga sengaja pergi sendirian tanpa pa-
mit pada siapa pun. Arah dan tujuannya tak lain ada-
lah Jurang Ajal. Firasatnya mengatakan, ia ditunggu 
oleh seseorang di hutan tepi jurang tersebut. Tentu sa-
ja kepergian Yoga yang tanpa pamit itu membuat ricuh 
suasana di kedai Ki Bantarsuko yang untuk sementara 
tidak berjualan dulu. Pandu Tawa punya dugaan, 
bahwa Yoga pasti sedang menyelidik suasana dan kea-
daan di Jurang Ajal. Pandu Tawa pun segera pergi. Ro-
ro Intan mengikutinya dari belakang.
Dugaan Yoga tepat. Ia ditunggu seseorang walau

tidak secara langsung. Iblis Jurang Ajal yang ciri-
cirinya persis seperti apa yang disebutkan Pandu Tawa 
itu muncul dari persembunyiannya di sebuah gua, le-
reng jurang itu, tepat pada waktu Yoga tiba di sana.
"Siapa kau?!" geram Iblis Jurang Ajal yang bersua-
ra besar itu. Matanya memandang lebar dan ganas. 
Kukunya yang panjang-panjang itu bergerak-gerak ba-
gaikan tak sabar menunggu mangsa.
Yoga mulai dapat merasakan bahaya yang ada di 
depannya setelah hati kecilnya mengatakan, orang itu-
lah yang bernama Iblis Jurang Ajal. Tapi Yoga masih 
bisa bersikap tenang dan menjawab, "Aku Yoga; Pen-
dekar Rajawali Merah. Apakah kau yang bernama Iblis
Jurang Ajal?"
"Tak salah lagi! Dan ternyata kaulah orang yang 
membunuh istriku menurut kabar dari mulut ke mulut 
yang sempat kudengar."
"Jika yang kau maksud adalah Widosukmi, si 
Tengkorak Hitam, memang benar! Aku yang bertarung 
dengan dia!"
"Jahanam! Terimalah pembalasanku, bangsat! 
Heaaah...!"
Dengan cepat sekali tubuh Yoga bagai ditelan oleh 
cahaya biru yang lebarnya melebihi jala ikan. 
Wooohhg...! Cahaya biru itu keluar dari seluruh tubuh 
orang bermata hijau dan dengan ganasnya menyerang 
Yoga.
Tak ada waktu bagi Yoga untuk menghindar. Ia 
pun akhirnya terbungkus cahaya biru itu. Namun ia 
segera sentakkan tangannya ke atas dan tubuhnya 
pun segera memancarkan sinar merah. Blaarr...! Ca-
haya biru yang membungkusnya itu pecah. Kemudian 
lenyap tanpa asap. Hal itu membuat Iblis Jurang Ajal 
terperanjat kaget. Ia tak menyangka ada orang yang 
mampu menandingi jurus 'Jaring Candera' andalannya

itu.
"Heaaah...!" Iblis Jurang Ajal melompat sambil ki-
baskan tongkat El Maut bergagang pendek itu. 
Wuuukkk,..!
Tongkat bersabit panjang itu berhasil dihindari 
oleh Yoga, namun dengan cepatnya Yoga segera men-
cabut pedang pusakanya yang bernama Pedang Lidah 
Guntur.
Blegaarr...! Petir di angkasa menghentak langit ba-
gai ingin meruntuhkannya. Begitulah ciri-cirinya jika 
pedang pusaka itu dicabut, maka kilat akan menyam-
bar di angkasa satu kali. Kekuatan pedang itu sampai 
bisa mendatangkan petir yang kemudian membuat pe-
dang tersebut bersinar merah dengan kelokan-kelokan 
sinar pijar merah tersendiri yang mengelilingi tepian 
pedang bolak-balik.
Iblis Jurang Ajal tak peduli. Ia cepat-cepat laku-
kan serangan dengan satu lompatan cepat. Namun 
dengan cepat pula Yoga tebaskan pedangnya ke arah 
tubuh lawannya. Wuuuttt...! Craass...! Sinar merah 
bara melompat dari ujung pedang sebelum pedang itu 
kenai tubuh lawan. Sinar itu berkelebat cepat dan 
memenggal kepala Iblis Jurang Ajal. Tokoh sesat yang 
sakti itu pun akhirnya tumbang ke tanah.
Namun suatu keanehan telah terjadi dan mem-
buat mata Yoga tercengang. Ternyata begitu mayat Ib-
lis Jurang Ajal jatuh ke tanah, ia bangkit lagi dan telah 
menjadi dua sosok yang sama dan serupa. Kini Iblis
Jurang Ajal seperti setan kembar yang dengan ganas-
nya menyerang Pendekar Rajawali Merah.
Wuuuttt, craasss...!
Yoga kembali berhasil memenggal kepala Iblis Ju-
rang Ajal yang kedua. Tapi justru sosok itu berubah 
menjadi dua lagi setelah jatuh ke tanah. Kini wujud Ib-
lis Jurang Ajal ada tiga sosok kembar. Yoga jadi bingung sendiri dan berkata dalam hati,
"Setiap mati, jatuh ke tanah, bangkit lagi dengan 
menjadi dua. Alangkah sulitnya melumpuhkan orang 
ini. Ia sepertinya tak bisa dibunuh. Semakin sering di-
bunuh jumlahnya semakin banyak?!"
Iblis Jurang Ajal yang pertama tertawa menggele-
gar, mengguncangkan pepohonan dan menghancurkan 
segunduk batu tak jauh darinya. Suaranya pun ter-
dengar menggema,
"Ha ha ha ha...! Kau tak akan bisa melawan ilmu 
'Mayat Seribu'! Kau tak akan bisa menandinginya. Yo-
ga! Hah, hah, ha ha ha...!"
Jrab...! Yoga menancapkan pedangnya ke tanah. 
Saat itu tanah menjadi guncang, membuat tiga sosok 
kembar dalam rupa Iblis Jurang Ajal menjadi limbung 
menjaga keseimbangan agar tak terjatuh. Pada saat 
itulah Yoga sentakkan tangannya ke atas, dan tiga la-
rik sinar merah keluar dari ujung-ujung ketiga jarinya.
Kejap berikutnya burung besar berbulu merah 
pun datang menghampirinya. Iblis Jurang Ajal tak hi-
raukan. Kini ketiganya maju satu persatu menyerang 
Yoga. Namun, pedang Yoga berkelebat lebih cepat dan 
menewaskan lawan. Ketika lawan hendak jatuh. Yoga 
buru-buru menadahkan kakinya hingga mayat lawan 
tak sampai terkena tanah. Mayat itu jatuh di kaki Yo-
ga, lalu kaki itu melemparkannya dan mayat tersebut 
jatuh terkulai di punggung sang Rajawali Merah.
"Jika ia kena tanah, ia akan hidup dan bertambah 
satu lagi!" pikir Yoga. Maka, begitulah akhirnya Yoga 
melakukan perlawanan terhadap lawan yang memiliki 
ilmu 'Mayat Seribu'.
Kini, tiga mayat Iblis Jurang Ajal tertumpuk di 
atas punggung burung Rajawali Merah itu. Satu pun 
tak ada yang bangkit lagi. Lalu, Yoga segera serukan 
perintah kepada burung tersebut,

"Merah, bawa mayat itu terbang dan lemparkan ke 
laut biar tak dapat hidup kembali!"
"Kaaakkk...! Kaakkk...!" maka, burung itu pun se-
gera terbang membawa ketiga mayat kembar tersebut. 
Sampai di atas lautan, burung Rajawali Merah terbang 
menukik, dan ketiga mayat Iblis Jurang Ajal itu jatuh 
tercebur di perairan laut yang biru dan bergelombang 
besar. Laut itu adalah laut ganas, karena daerah itu 
merupakan pusat kehidupan ikan-ikan besar yang ga-
nas-ganas. Tak heran jika ketiga mayat itu cepat le-
nyap begitu jatuh ke perairan laut lepas. Mayat-mayat 
itu segera disambar ikan-ikan ganas dan menjadi san-
tapan mereka. Dengan begitu, Iblis Jurang Ajal tak 
mungkin bisa hidup kembali karena jasadnya tidak 
menyentuh tanah lagi.
Tengkorak Hitam dan Iblis Jurang Ajal telah tiada. 
Yoga tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan se-
kian banyak orang dari kekejaman kedua tokoh terse-
but kecuali dengan cara seperti apa yang dilakukannya 
terhadap dua tokoh jahat tersebut. Dan kehadiran Yo-
ga yang mampu menenangkan keresahan serta keta-
kutan penduduk Desa Kekanjengan itu mendapat 
penghargaan dari sang Adipati. Tetapi, Yoga tak mau 
menerimanya. Hadiah berupa uang dan sekantong 
perhiasan itu akhirnya diserahkan kepada penduduk 
Desa Kekanjengan, lalu mereka membuat pesta syuku-
ran dengan menanggap ronggeng dari tujuh daerah. 
Sisanya digunakan untuk membangun desa tersebut.
"Bagiku, kedamaian lebih berharga daripada ke-
mewahan!" kata Yoga kepada Sulastri ketika gadis itu 
menanyakan, mengapa Yoga menolak hadiah tersebut. 
Dan Sulastri pun mengantar Yoga pulang sampai di 
batas desa. Sulastri yang sebenarnya menghendaki Yo-
ga tinggal di desa itu selamanya namun ditolak halus 
oleh Yoga itu, tetap tersenyum manis sambil lambai

kan tangan. Sementara itu, Pandu Tawa dan Roro In-
tan berjalan agak jauh, sambil berkasak-kusuk dan 
cekikikan, entah apa yang mereka bicarakan.


                              SELESAI

Share: