..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label WIRO SABLENG (TDS). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WIRO SABLENG (TDS). Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Januari 2025

WIRO SABLENG EPISODE SERIBU HAWA KEMATIAN


 

TDS (TIGA DALAM SATU) 

• WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN 

• ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU 

• KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA


WIRO SABLENG 

SERIBU HAWA KEMATIAN 1

KALUNG KEPALA SRIGALA 


DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. 

Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak 

dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto 

Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di 

depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya 

keluar suara mendengkur. 

“Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia 

enak-enakan ngorok!” Wiro mengomel sendiri dalam hati. 

Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya. 

Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang 

surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara 

sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat 

apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat 

dalam kegelapan. 

“Eyang, aku mendengar sesuatu...” Wiro berucap 

dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha 

yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam 

keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar 

Pemancung Roh tempo hari. 

“Eyang...” Karena tidak mendapat sahutan Wiro 

memanggil kembali. “Lekas bangun! Ada orang...” 

“Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau 

kukencingi tengkukmu?!” 

“Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di 

sekitar kita...” 

“Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!”



tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang 

sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang 

kurus tipis. 

“Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya 

mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari 

saat yang tepat untuk melakukan sesuatu...” 

“Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan 

mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!” kata 

Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia 

meneruskan. “Mereka berempat. Mengenakan jubah 

hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung 

hitam...” 

“Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan 

Lima Laknat Malam Kliwon!” 

“Bukan,” jawab si nenek. “Yang empat ini tidak 

mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di 

dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau 

meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau 

menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!” 

“Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku 

terancam bahaya!” Pendekar 212 jadi jengkel. 

“Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik!” Si 

nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti 

terdengar suara dengkurnya. 

Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat 

larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebat 

mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya 

kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di 

satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan 

membentak. 

“Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri! 

Jangan berani berlaku keji!” 

Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah 

kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin. 

Wiro memandang berkeliling. 

“Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut! 

Tidak berani unjukkan diri!” Pendekar 212 memaki. Dia


memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat 

apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali. 

Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang 

berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar 

mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satu 

jengkal! 

Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin 

memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip 

memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat 

keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang 

mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto 

Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanya 

dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada 

gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata 

merah mencorong. 

“Siapa kalian! Apa mau kalian?!” Wiro ajukan 

pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga 

dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas 

dukungannya. 

“Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau 

menyerahkan kalung perak kepala srigala!” Salah seorang 

dari empat pengurung membuka suara. 

Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. “Eh, kau 

perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek 

seperti yang aku dukung ini?!” 

“Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau 

memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala 

srigala terbuat dari perak itu!” 

“Benda yang kau cari tidak ada padaku!” jawab Wiro. 

Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial 

sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh 

lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang 

menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih 

yang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di 

balik pakaiannya. 

“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang 

berkerudung di sebelah kiri membentak.


“Nah, kau juga perempuan. Apa kalian berempat ini 

perempuan semua?!” tanya Wiro. 

“Seorang pendekar tidak layak berdusta!” Orang yang 

tadi berkata ulangi ucapannya. 

“Aku bukan pendekar! Aku seekor keledai tunggangan 

nenek-nenek butut ini! Kalian lihat sendiri!” kata Wiro pula 

lalu tertawa gelak-gelak. 

“Kalau kau memang ingin mati sebagai keledai betapa 

tololnya!” Orang berkerudung di samping kanan berucap. 

Dia memberi isyarat pada tiga kawannya. 

Yang pertama sekali bicara angkat tangannya. “Kami 

tahu kalung perak kepala srigala itu ada padamu. Kami 

melihat sendiri kau memasukkannya ke balik pakaian. 

Mengapa mengambil benda yang bukan milikmu?!” 

“Benda yang kau cari tidak ada padaku. Lagipula 

bagaimana aku tahu kalung itu memang milik kalian? 

Melihat cara kalian berpakaian, besar kemungkinan kalian 

adalah bangsa penjahat malam. Kalau bukan rampok, 

pasti maling!” 

“Percuma saja bicara baik-baik! Kawan-kawan! Habisi 

pemuda ini!” Orang di samping kiri hilang kesabarannya. 

Tangannya yang berbentuk cakar dan hanya satu jengkal di 

depan leher Pendekar 212 berkelebat ke depan. 

Breeeetttt! 

Pendekar 212 keluarkan seruan kaget. Kalau tidak 

lekas dia mengelak bukan leher bajunya yang robek tetapi 

tenggorokannya yang jebol! 

Empat suitan keras menggelegar di malam dingin. 

Empat tangan berbentuk cakar kemudian berkelebat. 

Wiro sentakkan dua tangannya yang memegang betis 

Sinto Gendeng. Dua kaki si nenek yang berada dalam 

keadaan lumpuh dan mati rasa mencuat ke depan. 

Wuuuuutttt! Wutttt! 

Bukkk! Bukkk! 

Dua penyerang berkerudung berseru marah sambil 

menahan sakit karena dua kaki si nenek yang digerakkan 

Wiro sebagai senjata penangkis menghantam pergelangan


mereka dengan keras. Sinto Gendeng sendiri karena 

lumpuh dan mati rasa tidak merasa apa-apa dan tetap saja 

duduk pejamkan mata di atas pundak muridnya! 

Empat tangan kembali berkelebat. Empat cakar 

menderu ganas. 

Breeeettt! 

Pendekar 212 keluarkan keringat dingin. Dada 

pakaiannya robek besar. Penuh geram Wiro lepaskan 

pukulan tangan kosong dengan tangan kiri lalu dengan 

jurus Kincir Padi Berputar dia hantamkan tendangan ke 

arah lawan paling dekat. Namun kaget murid Sinto 

Gendeng bukan kepalang ketika tahu-tahu betis dan 

pahanya yang dipakai menendang telah berada dalam 

cengkeraman dua tangan berbentuk cakar! Sedikit saja dia 

bergerak dan kalau dua lawan mau, maka daging betis dan 

pahanya akan amblas ke tulang. Selain itu, yang membuat 

nyawanya seolah terbang, dua tangan bercakar juga telah 

menempel di batang lehernya! 

“Nyawamu tidak tertolong! Apa masih belum mau 

menyerahkan kalung perak kepala srigala itu?!” Orang 

berkerudung di depan Wiro membentak. Sepasang 

matanya berkilat-kilat. 

“Tenang... Sabar...” kata Wiro dengan suara bergetar 

dan tengkuk dingin. “Kau bunuh diriku tak ada gunanya. 

Kalung itu benar-benar tidak ada padaku!” 

“Dusta besar! Bohong!” 

“Silakan kalian menggeledah! Kalau memang benda 

yang kalian cari ada padaku langsung saja bunuh! Tapi 

awas! Kalau kepala srigala itu tidak kalian temukan, jangan 

iseng mencari kepalaku yang lain! Ha... ha... ha!” 

Empat wajah di balik kerudung hitam jadi bersemu 

merah mendengar kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng 

itu. Tidak satupun dari empat orang itu bertindak hendak 

menggeledah. 

“Ayo! Kenapa kalian semua jadi pada diam?!” tanya 

Wiro. 

“Siapa sudi menggeledah tubuhmu!” teriak orang



berkerudung yang semuanya adalah perempuan dan tentu 

saja merasa jengah menggerayangi sosok Pendekar 212. 

“Panggil Ki Tawang Alu!” Salah satu dari empat orang 

berkerudung berkata. Lalu salah seorang dari mereka 

keluarkan suitan keras. 

Dari dalam gelap melesat seorang kakek berdestar 

hitam bermuka putih. Tubuhnya tinggi tapi bungkuk. 

Pandangan matanya tajam angker. 

“Ki Tawang Alu! Harap kau geledah pemuda ini! Kalung 

kepala srigala ada padanya!” 

Kakek bernama Ki Tawang Alu pelototkan matanya 

pada Wiro. Sesaat dia melirik pada sosok Sinto Gendeng 

yang ada di atas pundak Wiro. Kakek muka putih ini punya 

banyak pengalaman dan pandai menilai orang. Sesaat dia 

tampak tegak meragu. Melihat hal ini orang berkerudung di 

samping kanan membentak. 

“Lekas periksa pemuda itu! Si nenek jangan diganggu!” 

Dibentak begitu rupa kakek muka putih segera ulurkan 

dua tangannya. Caranya menggeledah Wiro aneh dan 

cepat sekali. Dalam waktu singkat dia orang mampu 

menyentuh setiap sudut sosok Pendekar 212. Empat orang 

berkerudung kecewa besar ketika si kakek kemudian 

berkata sambil mundur. 

“Kalung itu tidak ada padanya...!” 

“Mana bisa jadi!” 

“Tidak mungkin!” 

“Aku melihat sendiri benda itu disembunyikannya di 

balik pakaiannya...!” 

Ki Tawang Alu menggeleng. “Aku sudah mencari. Tak 

mungkin kelewatan. Lebih baik kita segera pergi dari sini. 

Sementara benda itu belum ditemukan kita harus mencari 

benda lain yang dapat menyembuhkan pimpinan kita dari 

sakitnya...” 

Empat orang berkerudung memandang tidak percaya 

pada Wiro. Yang dipandang menyeringai sambil garuk-

garuk kepala. Ketika kakek muka putih berkelebat pergi, 

empat orang berkerudung hitam mau tak mau akhirnya



tinggalkan pula tempat itu. 

Tak lama setelah orang-orang itu lenyap dalam 

kegelapan menjelang pagi, di atas pundak Wiro, Sinto 

Gendeng tertawa cekikikan. 

“Anak setan! Di mana kau sembunyikan kalung perak 

kepala srigala itu?!” 

Wiro melengak kaget. Lalu tertawa dan buka mulutnya. 

Dari dalam mulut Wiro julurkan keluar kalung perak 

berbentuk kepala srigala bermata merah. 

“Kalung itu besar sekali nilainya bagi empat orang 

berkerudung. Tapi aku tidak percaya pada kakek muka 

putih itu! Dari tampangnya kentara kulihat dia bangsa 

manusia yang mempergunakan kesempatan dalam 

kesempitan. Anak setan! Ayo kita lanjutkan perjalanan. 

Bukit kapur tempat kediaman tua bangka edan itu masih 

jauh dari sini! Belum lagi Teluk Akhirat!” 

***


WIRO SABLENG 

SERIBU HAWA KEMATIAN 2

KAKEK SEGALA TAHU 


BUKIT kapur itu seperti tidak berubah dari tahun ke tahun. 

Ke mana mata memandang hanya kapur putih yang 

kelihatan. Hawa panas seperti mau memanggang tubuh. Di 

salah satu puncak bukit di sebelah timur kelihatan berdiri 

sebuah teratak tanpa dinding. Atapnya yang terbuat dari 

rumbia kering penuh bolong di sana-sini, tak kuasa 

menahan sinar matahari. Anehnya di dalam teratak atau 

gubuk itu tampak seorang kakek duduk di atas gundukan 

batu kapur. Pakaiannya compang-camping penuh tam–

balan dan bau apak. Teriknya sinar matahari dan panasnya 

hawa yang keluar dari tanah bukit kapur itu seolah tidak 

terasa olehnya. 

Kakek ini memegang sebatang tongkat di tangan 

kirinya. Di ujung tongkat sebelah atas ada sebuah caping 

lebar terbuat dari bambu yang diputar-putar demikian rupa 

hingga menebar angin sejuk. Sepasang mata si kakek 

jelalatan kian kemari. Ternyata sepasang mata itu putih 

rata. Buta! 

Di atas pangkuan si kakek ada sebuah kaleng rombeng 

penyok-penyok tak karuan rupa. Dengan tangan kanannya 

kakek ini ambil kaleng itu lalu menggoyangnya. Suara 

berkerontangan menggema di seantero bukit. Si kakek 

tertawa mengekeh seolah bunyi kerontang kaleng rombeng 

itu lucu menyenangkan. Dia angkat lagi tangannya lebih 

tinggi. Ketika dia hendak menggoyang mendadak tangan 

itu terasa sangat berat, tak bisa digerakkan. Wajah orang


tua ini jadi berubah. Dua matanya yang putih bergerak 

berputar. Dicobanya kembali menggoyang kaleng. Tetap 

saja tidak bisa. Kakek mata putih itu menarik nafas dalam 

dan geleng-gelengkan kepala. 

“Ada tamu dari mana yang berlaku jahil mengganggu 

kesenanganku!” kakek itu berhenti memutar caping di 

tangan kiri. Caping bambu itu diletakkannya di atas kepala 

sementara tangan kanannya yang memegang kaleng 

masih terpentang ke atas tak bergerak. Kakek ini duduk 

tak bergerak seperti merenung. Lalu dia mendongak sambil 

menghirup siliran angin yang lewat di bawah teratak. Di 

antara bau hawa kapur yang mengambang di udara dia 

membaui sesuatu. Kakek ini menyeringai. Sesaat kemu–

dian gelak kekehnya pecah menggeletarkan puncak bukit 

kapur. Bersamaan dengan itu dirasakannya satu kekuatan 

yang sejak tadi membuat dia tak bisa menggerakkan 

tangan kanan kini lenyap. Kakek ini turunkan tangannya 

yang memegang kaleng rombeng lalu berkata. 

“Dari baunya aku sudah bisa mengira siapa tamu 

geblek yang datang! Kalau dugaanku sampai meleset biar 

berhenti aku jadi tua bangka! Ha... ha... ha...!” Lalu si kakek 

goyangkan tangannya. Suara kerontangan kaleng rombeng 

yang diisi batu-batu mengumandang di puncak bukit kapur 

itu. Begitu gema suara kaleng lenyap terdengar seruan. 

“Kakek Segala Tahu! Apa kau sudah bosan hidup 

hingga berucap mau berhenti jadi tua bangka?!” 

Kakek mata putih terkesiap. “Astaga! Ternyata bukan 

dia! Celaka! Dugaanku meleset! Tapi...” Kakek ini kembali 

menghirup udara dalam-dalam. “Tapi bau pesing itu! 

Penciumanku tak mungkin ditipu! Atau mungkin dia datang 

dengan orang lain. Tapi mengapa aku hanya mendengar 

langkah-langkah kaki satu orang saja? Aku rasa-rasa kenal 

suara orang yang barusan bicara!” 

Kakek di bawah teratak menatap ke arah utara. “Aneh, 

bagaimana mungkin ada makhluk yang namanya manusia 

setinggi itu!” Si kakek membatin. 

“Sinto Gendeng tua bangka konyol! Permainan apa


yang tengah kau lakukan?!” Kakek mata putih berteriak. 

Dari balik bukit kapur di sebelah utara terdengar tawa 

cekikikan. Sesaat kemudian muncullah si nenek sakti dari 

Gunung Gede itu, didukung di atas pundak oleh muridnya 

yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Walau dua matanya buta namun kakek di dalam 

teratak memiliki kemampuan luar biasa untuk melihat 

lewat penciuman, perasaan dan pendengarannya. 

“Sinto! Kau benar-benar gendeng! Apa-apaan ini! Siapa 

yang kau jadikan tunggangan untuk datang ke bukit kapur 

ini! Edan betul!” 

“Yang jadi tunggangan aku Kek! Keledai bernama Wiro 

Sableng!” 

“Huaaaa... ha... ha...! Guru dan murid sama sintingnya! 

Untung aku lagi ada di sini! Kalau tidak, jauh-jauh kalian 

hanya datang percuma mencari angin!” 

Tamu yang naik ke puncak bukit kapur mengunjungi 

kakek buta bercaping lebar itu bukan lain adalah Sinto 

Gendeng dan Wiro. Seperti dituturkan dalam serial terda–

hulu (Laknat Malam Kliwon) Sinto Gendeng telah kema–

sukan hawa beracun yang mematikan akibat serangan 

Kelelawar Pemancung Roh Dari Teluk Akhirat. Nyawanya 

masih tertolong karena seorang kakek kekasihnya di masa 

muda bernama Suro Ageng memberinya obat. Walau 

demikian Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan dari 

pinggang ke bawah. Itu sebabnya ke mana dia pergi Wiro 

mau tak mau terpaksa mendukungnya. 

“Sahabatku kakek peramal bau apek! Apa kau selama 

ini baik-baik saja?!” Sinto Gendeng bertanya. 

Wiro merunduk lalu turunkan si nenek dan menduduk–

kannya di atas gundukan batu kapur di hadapan Kakek 

Segala Tahu. 

Si kakek pandangi Sinto Gendeng dengan mata 

putihnya. “Kau datang didukung muridmu. Berarti kau tidak 

bisa berjalan sendiri. Kau diturunkan dan didudukkan. 

Berarti kau tidak bisa turun dan duduk sendiri! Nenek bau 

pesing, apa yang terjadi denganmu?”


“Dua kakiku lumpuh!” berkata Sinto Gendeng. 

Rahangnya menggembung. 

“Lumpuh? Kau kesambat setan di mana?!” Kakek 

Segala Tahu lalu tertawa mengekeh membuat Sinto 

Gendeng jengkel dan komat-kamit mengomel. “Tunggu!” 

Kakek Segala Tahu mendongak lalu goyangkan kaleng 

rombengnya. Sesaat kemudian meledaklah tawa Kakek 

Segala Tahu di bukit kapur itu. 

“Tua bangka geblek! Apa yang lucu!” membentak Sinto 

Gendeng. 

“Aku tahu Sinto! Aku tahu apa yang terjadi maka kau 

sampai lumpuh begini rupa! Ini akibat terlalu mengobar 

cinta di masa muda. Hingga kau kehabisan sungsum dan 

jadi lumpuh! Ha... ha... ha...!” 

“Tua bangka sinting!” maki Sinto Gendeng. “Enak saja 

kau bicara! Wiro! Ceritakan pada kakek gila ini apa yang 

telah menimpa diriku! Bukannya menolong malah menu–

duh yang bukan-bukan!” 

Wiro garuk-garuk kepala. Sesuai dengan perintah sang 

guru dia lalu tuturkan malapetaka yang menimpa Sinto 

Gendeng. Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya 

dan tarik nafas panjang berulang kali. 

“Kami berniat menuju Teluk Akhirat Kek,” kata Wiro 

memberi tahu. “Siluman berjuluk Kelelawar Pemacung Roh 

itu harus dibasmi...” 

Kakek Segala Tahu sekali lagi menghela nafas panjang. 

“Seribu Hawa Kematian. Sangat berbahaya. Tidak mudah 

menyingkirkan makhluk kelelawar itu selama dia mengua–

sai hawa beracun itu. Hawa mematikan itu merambat dari 

atas ke bawah, sulit dihindari. Satu-satunya cara, kalian 

harus menghindari tempat terbuka...” 

“Bagaimana mungkin Kek!” kata Wiro pula. 

Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Matanya yang 

putih berputar-putar. Lalu orang tua ini bertanya. “Sinto, 

apa benar kau sudah memiliki ilmu kesaktian yang disebut 

Sepasang Sinar Inti Roh?”

Si nenek tidak segera menjawab. Sebaliknya Wiro


langsung saja memberi tahu. “Eyang memang sudah 

memilikinya Kek. Justru ilmu itulah yang ingin kudapatkan 

darinya. Tapi guru menyuruh aku menunggu sampai empat 

puluh sembilan tahun!” 

Kakek Segala Tahu goyang kaleng rombengnya. 

“Kemungkinan hanya dengan ilmu kesaktian itu kau bisa 

menghancurkan Kelelawar Pemancung Roh...” 

“Nah Nek, apa kataku!” Wiro menyeletuk. “Kalau saja 

kau telah mengajarkan padaku ilmu kesaktian bernama 

Sepasang Sinar Inti Roh itu, kau tak akan susah-susah 

turun tangan mencari Kelelawar Pemancung Roh! Aku 

sendiri bisa membereskannya!” 

“Diam kau anak setan! Jangan mencari kesempatan 

dalam kesempitan! Jangan harap dalam keadaan seperti 

ini hatiku jadi leleh dan mengajarkan ilmu itu padamu. 

Apapun yang terjadi kau tetap harus menunggu empat 

puluh sembilan tahun lagi!” 

“Nasibku jelek!” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. 

“Tempat terbuka... Kalian harus menghindari tempat 

dan udara terbuka. Kalian harus dapatkan kelemahan 

Seribu Hawa Kematian itu...” 

“Kakek Segala Tahu, justru kami datang kemari untuk 

minta petunjukmu...” kata Wiro mulai jengkel melihat 

tingkah si kakek. 

“Ini memang urusan sulit! Jika dikaji dengan hati 

jengkel dan marah, urusan tidak bisa dipecahkan!” jawab 

Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kaleng bututnya. 

Saat itu langit di sebelah selatan tampak gelap. Awan 

hitam membuat udara menjadi mendung. Petir menyambar 

beberapa kali dan guntur menggelegar menggetarkan bukit 

kapur putih. Kakek Segala Tahu melompat dari duduknya 

dan goyangkan tangannya berulang kali. 

“Itu! Itu kelemahannya!” Si kakek berteriak. 

Sinto Gendeng perhatikan wajah Kakek Segala Tahu 

lalu kedipkan matanya pada Wiro. “Apa yang dikatakan tua 

bangka sinting ini...” bisik Sinto Gendeng pada muridnya. 

“Kek, kalau kau memang sudah mengetahui


kelemahan makhluk kelelawar itu mengapa tidak segera 

memberi tahu pada kami?” ujar Wiro pula. 

“Dengar... Setiap hawa yang merambat, misalnya kabut, 

tidak bisa bergerak kalau ada hujan. Begitu juga Seribu 

Hawa Kematian. Berarti kau hanya punya kesempatan 

membunuhnya pada saat hujan turun!” 

“Ini urusan gila! Bagaimana mungkin menunggu hujan 

lalu menyerang. Sebelum hujan turun aku sudah 

disekapnya dengan hawa maut itu!” Sinto Gendeng berkata 

setengah mengomel. Lalu dia berpaling pada muridnya. 

“Anak setan! Jangan cuma bisa menggaruk kepala saja! 

Kau juga harus mencari akal!” 

“Tentu Nek, aku ingin sekali menolongmu. Tapi otakku 

lagi butek!” jawab Wiro. “Kalau sulit menghadapi makhluk 

kelelawar itu mengapa tidak memusatkan perhatian pada 

hal lain saja. Misal bagaimana caranya menyembuhkan 

kelumpuhan yang kau derita.” 

“Mengenai kelumpuhanku ini, apakah sahabat kita Si 

Raja Obat sanggup menyembuhkannya?” 

“Nasibmu malang Sinto. Tidak ada satu orang pun yang 

bisa menyembuhkan. Juga tidak ada satu obat pun. 

Kecuali... Ah itu pun rasa-rasanya mustahil...” Kakek 

Segala Tahu memandang ke arah Wiro. Dia pegang tangan 

kanan pemuda ini dan usap-usap telapaknya. 

“Anak muda, aku yakin kau pernah mendapatkan satu 

petunjuk tentang obat mujarab satu-satunya yang bisa 

menyembuhkan gurumu. Harap kau ceritakan padaku...” 

“Benar-benar tua bangka sakti! Bagaimana dia bisa 

tahu hal itu!” membatin Wiro. 

“Pendekar Sableng! Kau tuli atau budek! Mengapa 

tidak menjawab ucapanku!” Kakek Segala Tahu 

membentak. Bola matanya yang putih memandang 

berputar ke langit. 

“Anu, begini Kek... Sebelum menemui ajalnya, kakek 

bernama Suro Ageng itu mengatakan. Satu-satunya obat 

yang bisa menyembuhkan kelumpuhan Eyang adalah 

sekuntum bunga matahari yang tumbuh menghadap


matahari terbit dan mekar pada saat matahari mengalami 

gerhana.” 

“Weehhhhh!” Sinto Gendeng monyongkan mulutnya 

yang perot. “Aku sudah dengar cerita itu! Bagiku itu cuma 

satu urusan gila! Mencari bunga matahari mungkin 

gampang. Yang tumbuh menghadap matahari terbit masih 

mungkin. Tapi yang mekar pada saat gerhana matahari 

dan aku harus memakannya saat itu juga! Benar-benar 

gila! Tidak masuk akal! Mungkin gerhana matahari baru 

akan terjadi seratus tahun lagi. Saat itu aku sudah jadi 

bubuk di dalam tanah! Jadi urusan bunga celaka itu buat 

apa aku pikirkan! Hik... hik... hik!” 

“Sinto,” kata Kakek Segala Tahu setelah 

menggoyangkan kalengnya dua kali. “Yang berkata adalah 

Suro Ageng. Orang yang bisa dipercaya. Ucapannya 

mungkin begitu yang terdengar namun bisa saja semua itu 

merupakan satu tamsil yang harus diselidik dan dikaji lebih 

dalam. Walau bicara, dia dalam keadaan sekarat. Lalu apa 

kau tidak ingat kalau di puncak Pegunungan Dieng pernah 

ada satu kawasan yang melulu ditumbuhi bunga 

matahari?” 

“Astaga! Kalau kau tidak mengatakan aku pasti tidak 

ingat hal itu!” kata Sinto Gendeng pula. Sesaat wajahnya 

yang pucat tampak bercahaya. Dua bola matanya 

memancarkan sinar penuh harapan. 

“Sekarang tinggal memecahkan arti kata gerhana 

matahari. Apa betul yang dimaksud gerhana matahari 

sungguhan?” 

“Mungkin memang perlu diselidiki.” kata Sinto Gendeng 

sambil manggut-manggut hingga lima tusuk konde perak 

yang menancap di kulit kepalanya bergoyang-goyang dan 

berkilauan terkena cahaya matahari. Si nenek kemudian 

berpaling pada muridnya. “Wiro, kau harus bawa aku ke 

puncak Pegunungan Dieng!” 

“Akan kulakukan Eyang. Ke mana pun asal Eyang bisa 

sembuh!” jawab Wiro namun dalam hati mengeluh, 

“Pegunungan Dieng jauhnya minta ampun dari sini! Dan


aku musti mendukung nenek bau pesing ini! Remuk aku!” 

Kakek Segala Tahu memandang tersenyum pada 

Pendekar 212. Lalu dekatkan mulutnya ke telinga Wiro dan 

berbisik. “Aku tahu omelan yang barusan kau ucapkan 

dalam hati...” 

“Kek! Jangan kau mengoceh yang bisa membuat nenek 

itu mengomel kalang kabut!” kata Wiro balas berbisik. 

“Hai! Apa yang kalian bicarakan berbisik-bisik ini?!” 

Sinto Gendeng menegur dengan suara keras. “Aku tahu 

Pegunungan Dieng jauh dari sini! Sedang Teluk Akhirat 

lebih dekat di sebelah selatan. Anak Setan, aku tahu apa 

yang ada di hatimu. Walau keinginanku untuk sembuh 

sangat besar tapi aku lebih suka menghabisi Kelelawar 

Pemancung Roh itu lebih dulu! Kita pergi ke Teluk Akhirat 

lebih dulu! Kau dengar itu anak setan?!” 

“Aku dengar nenek set...” Wiro tertawa cekikikan dan 

cepat tutup mulutnya, “Maafkan aku Nek. Karena kau 

terus-terusan memanggil aku anak setan, aku sampai latah 

ikut-ikutan memanggilmu nenek set... Ha... ha... ha!” 

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak besar 

seperti mau melompat dari rongganya. 

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. Lalu setelah 

goyangkan kaleng rombengnya dia berkata, “Aku 

merasakan ada satu benda asing di balik pakaian muridmu 

Sinto. Anak muda, benda apakah itu? Coba keluarkan, mau 

kulihat!” 

Wiro garuk-garuk kepala. Dalam hati dia tidak habis 

pikir bagaimana orang tua yang matanya buta ini mampu 

mengetahui kalau dia memang membekal sebuah benda 

asing! Orang yang sanggup melihat saja tidak mampu 

menembus pandang dan mengetahui apa yang 

disimpannya di balik baju. 

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan kalung kepala 

srigala yang terbuat dari perak. Benda itu diletakannya di 

telapak kiri Kakek Segala Tahu lalu jari-jari si kakek 

ditekuknya hingga membentuk genggaman. 

“Aku merasa ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam


tanganku! Wiro, benda apa ini. Dari mana kau dapatkan?!” 

bertanya Kakek Segala Tahu. 

Wiro terkejut mendengar ucapan si kakek, “Waktu 

pertama kali benda itu kupegang, memang ada terasa 

semacam hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhku. 

Kek, itu sebuah kalung berbentuk kepala srigala. Terbuat 

dari perak putih. Memiliki sepasang mata merah.” Lalu 

Wiro menceritakan dari mana dia mendapatkan benda itu. 

“Nasibmu bisa jelek kalau terus-terusan kau memegang 

benda ini!” kata Kakek Segala Tahu seraya mendongak ke 

langit, “Tapi juga bisa tambah buruk kalau kau sampai 

salah memberikan pada orang lain. Aku mencium bau 

penyakit, juga ada bau darah dan hawa panas pertanda 

banyak malapetaka mengelilingi kalung ini...” 

“Kalau begitu buang saja. Habis perkara! Kenapa harus 

susah memikirkan!” kata Sinto Gendeng. 

Kakek Segala Tahu gelengkan kepala, “Wiro, simpan 

benda ini baik-baik. Sampai satu ketika kau 

menyerahkannya pada orang yang berhak. Namun selama 

kalung kepala srigala itu ada padamu, kau bakal 

menghadapi cobaan berat...” 

“Mudah-mudahan aku tabah menghadapi cobaan itu 

Kek,” menyahuti Wiro. 

Kakek Segala Tahu tersenyum, “Bagaimana kau bisa 

tabah anak muda! Kalau ada beberapa gadis cantik dalam 

keadaan bugil rela menyerahkan kehormatannya asal 

kalung kepala srigala ini kau berikan pada mereka!” 

Berubahlah paras Pendekar 212. Dia melirik pada 

gurunya. Sinto Gendeng tertawa cekikikan, “Anak setan! 

Mungkin kau terpaksa harus menunggu seratus tahun 

untuk mendapatkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu! Aku 

khawatir kau tidak sanggup menghadapi cobaan sekali ini. 

Hik... hik... hik...” 

Pendekar 212 hanya bisa garuk-garuk kepala 

mendengar ucapan dan kekehan sang guru. 

***


WIRO SABLENG 

SERIBU HAWA KEMATIAN 3

EMPAT GADIS BUGIL 


SEBENTAR lagi malam akan turun. Sebaiknya kau 

menyusuri kawasan di kaki bukit sana. Biasanya di situ ada 

mata air. Tenggorokanku seperti terpanggang. Aku haus 

sekali!” 

Karena keletihan, mula-mula Wiro bermaksud diam 

saja, tidak mau menyahuti ucapan sang guru yang 

didukungnya di atas pundak itu. Wiro lelah sekali dan 

pakaiannya basah oleh keringat. Namun dasar pemuda 

konyol, iseng saja dari mulutnya meluncur ucapan, “Eyang, 

sebenarnya kau lebih baik tidak terlalu banyak minum. 

Banyak minum cuma akan membuatmu kencing terus-

terusan!” 

“Anak setan!” Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar 

dan memutar telinga kiri Wiro hingga sang pendekar 

meringis kesakitan. “Kau benar-benar murid tidak berbudi. 

Dalam keadaanku seperti ini seharusnya kau 

mengeluarkan kata-kata yang menghibur! Bukan mengejek 

mempermainkanku!” 

“Maafkan aku Eyang. Aku tidak bermaksud begitu. Aku 

sangat letih. Apa kita boleh berhenti barang sebentar?” 

Tangan kiri si nenek kembali menyambar telinga 

muridnya. Tapi sekali ini tidak terus memuntir. “Kita baru 

berhenti kalau sudah sampai di kaki bukit sana!” 

“Eyang...” 

“Jangan banyak cingcong! Mana ilmu lari Kaki Angin 

yang kuajarkan padamu. Selama perjalanan kulihat kau


tidak mengeluarkan ilmu itu. Kau sengaja memperlambat 

perjalanan! Anak setan! Apa maksudmu?!” 

“Eyang, aku tak punya maksud memperlambat 

perjalanan. Ilmu lari yang selama ini kupergunakan rasanya 

sudah cukup cepat. Kalau kupergunakan ilmu lari Kaki 

Angin aku khawatir Eyang merasa kurang sedap di atas 

pundakku. Lagipula kalau berlari terlalu kencang lalu 

hilang keseimbangan, salah-salah Eyang bisa jatuh. Kalau 

sampai begitu nanti aku lagi yang kena omelan...” 

“Kau pandai mencari dalih! Tapi aku mau kau lari 

mempergunakan ilmu lari Kaki Angin itu!” kata Sinto 

Gendeng. 

“Kalau begitu kata Eyang, aku menurut saja,” kata Wiro. 

Dalam hati dia berucap, “Nenek cerewet! Awas kau! Akan 

kukerjai kau agar tahu rasa!” 

Wiro salurkan sebagian tenaga dalamnya sampai ke 

kaki. Didahului satu suitan keras maka tubuhnya melesat 

laksana anak panah lepas dari busur. 

Ilmu lari Kaki Angin yang dikeluarkannya untuk berlari 

membuat tubuhnya dan tubuh sang guru yang didukung 

laksana kelebatan bayang-bayang di saat matahari hendak 

tenggelam itu. Wiro sengaja lari secepat yang bisa 

dilakukannya tetapi secara ugal-ugalan. Dia bukan hanya 

berlari biasa tetapi sesekali melompat atau berjingkrak 

atau menikung tak karuan hingga tubuh si nenek yang 

didukungnya terlontar-lontar malang melintang di atas 

pundaknya. Kadang-kadang dia memperlambat larinya 

dengan mendadak membuat Sinto Gendeng tersentak ke 

depan dan kalau tidak lekas menjambak rambut gondrong 

muridnya niscaya akan terlempar jatuh! 

Lebih gilanya lagi Wiro sesekali sengaja lari di bawah 

pohon-pohon bercabang rendah. Kalau Sinto Gendeng 

tidak cepat rundukkan kepala atau miringkan tubuh ke 

belakang atau ke samping niscaya kepala atau dadanya 

akan menghantam cabang pohon. Suatu kali, begitu 

cepatnya Wiro lari, ketika berkelebat di bawah sebuah 

cabang pohon besar Sinto Gendeng tidak keburu


rundukkan kepala atau miringkan tubuhnya. Si nenek 

berteriak keras. Tangan kanannya yang kurus dan hanya 

tinggal kulit membalut tulang dihantamkan ke depan. 

Braaaakkk! 

Cabang pohon sebesar paha manusia itu patah hancur 

berantakan. 

“Anak setan! Kau mau membunuh aku?!” Si nenek 

menghardik marah. Dua tangannya langsung menjambak 

rambut Wiro. 

“Nek! Aku hanya mengikuti apa perintahmu! Kau bilang 

agar aku mempergunakan ilmu lari Kaki Angin. Aku 

mengikut! Sekarang kau marah-marah, menuduh aku mau 

membunuhmu! Tadi pun sudah kubilang, berlari sambil 

mendukungmu dengan ilmu lari itu bisa berbahaya!” 

“Mulutmu bicara begitu! Tapi aku tahu kau mau 

mengerjai diriku!” kata Sinto Gendeng lalu menjitak kepala 

muridnya dua kali hingga Wiro terpekik kesakitan. “Sudah! 

Mulai sekarang kau tidak usah pergunakan ilmu lari Kaki 

Angin!” 

Wiro menyengir. Dalam hati dia berkata, “Nah sekarang 

akhirnya kau menyerah juga! Rasakan...” 

Ucapan Wiro tertahan. Dia merasakan tengkuknya 

dikucuri cairan hangat. 

“Nek! Kau kencing ya?!” teriak Wiro sambil pencongkan 

mulut dan hidungnya. 

“Anak setan! Pengalamanmu baru sejengkal! Jangan 

kira cuma kau yang bisa mengerjai orang! Aku juga bisa! 

Hik... hik... hik!” Sinto Gendeng menjawab lalu tertawa 

cekikikan. Kalau saja yang ada di atas pundaknya itu 

bukan gurunya, saat itu juga mau rasanya Wiro 

membantingkan orang itu ke tanah! 

*** 

BERSAMAAN dengan tenggelamnya sang surya dan 

malam datang membawa kegelapan, guru dan murid itu 

sampai di tepi rimba belantara yang membentang


sepanjang kaki bukit. Belum jauh memasuki hutan, Wiro 

melihat sebuah telaga kecil di antara pohon-pohon besar. 

Dia segera menuju ke sana. Begitu sampai dia akan segera 

menurunkan si nenek lalu mandi membersihkan diri. 

Tubuhnya bukan saja lengket oleh keringat, tapi juga bau 

oleh pesing kencingnya sang guru. Namun ketika sampai di 

tepi telaga sang guru tiba-tiba berucap. 

“Turunkan aku dalam telaga itu. Aku mau mandi 

menyejukkan diri...” 

“Wah, aku keduluan...” ucap Wiro dalam hati. 

“Sesudah kau turunkan aku ke dalam air, lekas kau 

menjauh dari telaga ini! Aku tidak suka mandi diintip 

orang!” 

“Nek!” kata Wiro jadi kesal, “Perawan saja yang mandi 

belum tentu aku intip. Apalagi kau yang sudah tua renta 

begini! Apa untungnya?!” 

Sinto Gendeng tertawa panjang. “Mengintip anak gadis 

mandi sudah biasa! Tapi mengintip nenek-nenek bugil 

jarang terjadi! Itu sebabnya banyak lelaki kepingin tahu 

bagaimana asyiknya mengintip nenek-nenek! Hik... hik... 

hik!” 

“Kalau aku amit-amit Nek!” jawab Wiro. 

Mereka sampai di tepi telaga. Wiro langsung 

menurunkan gurunya ke dalam air. Sebelum pergi Wiro 

berkata, “Eyang, kau boleh mandi sampai pagi. Biar aku 

bisa istirahat yang lama...” 

“Jangan berani mempermainkan aku! Kalau kupanggil 

kau harus segera datang!” 

Wiro garuk kepala lalu tinggalkan telaga. Di bawah satu 

pohon besar dia duduk bersandar dan lunjurkan kaki. 

Sekujur tubuhnya terasa capai. Dia menguap beberapa 

kali. Sesaat ketika dia hendak memejamkan mata dari atas 

pohon besar tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam 

berkelebat, melayang turun laksana empat burung 

raksasa. Wiro cepat bangkit berdiri. Memandang berkeliling 

dia jadi terkejut lalu menyeringai. 

“Kalian rupanya! Nah, nah! Kali ini kalian mau berbuat


apa lagi?! Mau membetot putus leherku atau menjebol 

jantungku dengan cakar srigala kalian?!” 

Empat orang berjubah hitam dengan kepala ditutupi 

kerudung tegak di depan Pendekar 212. Di dada jubah 

masing-masing terpampang gambar kepala srigala 

berwarna putih perak dengan mata merah menyorot. 

Seperti diketahui mereka adalah empat perempuan aneh 

yang kemarin malam sebelumnya telah mencegat 

Pendekar 212. 

Satu dari empat orang berkerudung maju dua langkah 

lalu berkata, “Kami tetap menaruh curiga! Kalung kepala 

srigala itu ada padamu! Kau sembunyikan di satu tempat 

di balik pakaianmu!” 

Orang ke dua acungkan tangannya yang saat itu telah 

berubah seperti kaki srigala lengkap dengan cakarnya. Lalu 

dia menyambung ucapan temanya, “Kemarim malam kami 

masih menaruh hormat padamu! Tapi malam ini, jika 

kalung itu tidak kau serahkan, kami akan membeset 

tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki!” 

“Kalian tidak buta! Malam kemarin kalian saksikan 

sendiri kakek muka putih kawan kalian itu menggeledah 

sekujur tubuhku! Dia tidak menemukan kalung itu! Mana 

kakek muka mayat itu? Siapa namanya?!” 

“Dia tidak ada di sini!” jawab orang berkerudung di 

ujung kiri. 

“Kita tidak memerlukan Ki Tawang Alu!” 

“Kakek itu teman kalian sendiri! Kalian seolah tidak 

mempercayai dirinya!” 

“Soal hubungan kami dengan kakek itu bukan 

urusanmu! Lekas serahkan Kalung Kepala Srigala!” 

“Bagaimana aku harus menerangkan!” kata Wiro 

sambil garuk-garuk kepala. Dia memandang berkeliling. 

“Hemm... Aku tahu. Kalian rupanya ingin menggerayangi 

sendiri menggeledah tubuhku! Silahkan saja!” Wiro lalu 

kembangkan dada pakaiannya. 

Empat pasang mata berkilat memandangi dada sang 

pendekar yang penuh otot. Orang berkerudung di sebelah


kanan yang sejak tadi diam saja maju mendekati Wiro. 

“Terus terang kami tidak bermaksud jahat terhadapmu. 

Kami berada dalam keadaan sangat terdesak. Kalung itu 

dicuri orang sepuluh hari lalu. Kami tidak tahu siapa 

pencurinya. Mungkin Lima Laknat Malam Kliwon, mungkin 

juga Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat. Kami 

tidak perlu nyawa ataupun darahmu. Kami sangat 

memerlukan kalung itu. Apapun yang kau minta sebagai 

penukarnya akan kami penuhi!” 

“Apakah kalung itu memang milik kalian?” Wiro 

bertanya. 

“Bukan milik kami, tapi milik pemimpin kami. Sekarang 

dia sedang terbaring sakit. Hanya kalung itu...” 

“Rembulan! Hal itu tidak perlu dikatakan padanya!” 

tiba-tiba orang berkerudung di sebelah kiri memotong 

ucapan temannya. 

“Namamu Rembulan...?” ujar Wiro seraya menatap 

sepasang mata bagus berkilat yang tersembul dari dua 

lobang kecil di bagian depan kerudung hitam. Wiro garuk-

garuk kepala. “Kalau saja aku bisa melihat wajahmu, pasti 

kau secantik bulan purnama empat belas hari...” 

Orang yang dijumpai keluarkan suara halus dari 

mulutnya. Dalam hati dia membatin. “Apa yang orang 

bilang benar adanya. Pemuda ini memang ceriwis. Tapi 

ah... Mengapa aku merasa tertarik padanya?” Di balik 

kerudung hitam wajah Rembulan bersemu merah. 

Orang yang tadi membentak melangkah ke hadapan 

Wiro. “Namaku Mentari Pagi...” 

“Kau Mentari Pagi. Pantas hangat tapi galak!” kata Wiro 

sambil tersenyum 

Perempuan yang mengaku bernama Mentari Pagi 

lanjutkan ucapannya, “Kalung itu bagi kami sama nilainya 

dengan jiwa kami. Kami benar-benar membutuhkan. Kami 

tidak tahu mengapa kau punya niat jahat menyembunyikan 

kalung itu dan tidak mau menyerahkannya pada kami!” 

“Mentari Pagi, dengar... Kalung itu tidak ada padaku. 

Kau dan kawan-kawanmu menyaksikan sendiri sewaktu Ki


Tawang Alu menggeledah diriku. Selain itu bagaimana aku 

tahu pasti kalung itu memang milik kalian?” 

Mentari Pagi menunjuk ke gambar kepala srigala perak 

di dada jubah hitamnya. “Kau saksikan sendiri. Gambar 

kepala srigala itu sama dengan kalung yang ada padamu!” 

“Aku juga bisa membuat jubah lengkap dengan gambar 

kepala srigala seperti itu. Bukan cuma satu. Sepuluh 

sekaligus! Lalu apa itu berarti kalung kepala srigala perak 

itu milikku!” 

Mentari Pagi menahan amarahnya mendengar kata-

kata Wiro itu. Dalam hati dia membatin, “Kalau kubunuh 

pemuda ini lalu ternyata kalung itu memang tidak ada 

padanya, berarti percuma saja. Lagipula jika diserbu tidak 

mungkin dia cuma diam saja. Ilmu larinya saja sulit dikejar. 

Tapi aku yakin kalung itu ada padanya!” Mentari Pagi 

memandang pada ketiga kawannya, memberi tanda 

dengan goyangan kepala. Tiga perempuan berkerudung 

satu persatu anggukkan kepala. 

Mentari Pagi kemudian alihkan pandangannya pada 

Pendekar 212. “Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kami 

menyirap kabar bahwa kau adalah seorang pemuda hidung 

belang...” 

“Sialan! Kenal aku saja tidak! Bagaimana bisa 

menuduh aku hidung belang?!” kata Wiro dengan suara 

keras sambil usap-usap hidungnya. “Eh! Kalian dengar 

baik-baik! Jika aku yang hidung belang berarti aku yang 

akan mengejar kalian! Sebaliknya bukankah kalian 

berempat yang sejak kemarin malam mengejar diriku? 

Nah, ayo bilang! Siapa yang hidung belang? Aku atau kalian 

berempat!” 

Empat orang berkerudung jadi kalang kabut dan 

keluarkan suara-suara marah. “Kau enak saja bicara 

ngacok!” bentak Mentari Pagi. 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

Mentari Pagi kembali membuka mulut, “Kau mau 

mengaku atau tidak, bagi kami tidak jadi masalah. Tapi jika 

kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu kami


bersedia menyerahkan diri kami padamu...” 

“Menyerahkan diri bagaimana?!” tanya Wiro setengah 

melongo. 

“Jangan berpura-pura!” jawab Mentari Pagi. “Kau boleh 

memiliki diri kami malam ini...” 

“Kalian... Empat-empatnya?!” 

Mentari Pagi mengangguk. Tiga orang berkerudung 

lainnya ikut mengangguk. Lalu Mentari Pagi melangkah ke 

balik semak belukar setinggi dada. 

“Eh! Kau mau ke mana?!” tanya Pendekar 212. 

Mentari Pagi tidak menjawab. Dia terus melangkah. Di 

balik semak-semak dia tanggalkan jubah hitamnya. 

Sepasang mata Pendekar 212 mendelik besar. Walau 

tempat itu diselimuti kegelapan, tapi karena semak belukar 

yang jadi penghalang tidak seberapa lebat lagi pula 

demikian dekatnya, Wiro dapat melihat cukup jelas sosok 

tubuh Mentari Pagi yang kini tidak terlindung apa-apa itu. 

Selagi murid Sinto Gendeng terperangah, tiga orang 

berkerudung lainnya telah melangkah pula ke balik semak 

belukar yang sama. Seperti Mentari Pagi satu persatu 

mereka menanggalkan pakaian masing-masing. Dua mata 

Wiro kini benar-benar seperti mau melompat dari 

rongganya. Sekujur tubuhnya bergeletak dan darah yang 

mengalir dalam pembuluh di sekujur badannya menjadi 

panas. Jantungnya berdegup keras. 

“Kalian... tubuh kalian memang bagus. Tapi... aku tidak 

tahu wajah kalian, jangan-jangan kalian empat nenek yang 

punya kesaktian menipu pandangan mataku...” Ucapan itu 

keluar perlahan dari mulut Wiro. Namun sempat sampai ke 

telinga empat orang berkerudung. Mentari Pagi, diikuti oleh 

tiga kawannya tiba-tiba gerakkan tangan masing-masing, 

menarik lepas kerudung hitam yang selama ini menutupi 

kepala mereka. Begitu kerudung lepas dan Wiro melihat 

wajah ke empat orang itu, Pendekar 212 langsung tersurut 

dua langkah sambil garuk-garuk kepala! 

***


WIRO SABLENG 

SERIBU HAWA KEMATIAN 4

SINTO GENDENG LENYAP 


“YA TUHAN! Hampir tak bisa kupercaya. Mereka ternyata 

empat gadis berwajah cantik!” Wiro tegak terkesiap sambil 

garuk-garuk kepala. Yang bernama Rembulan ternyata 

paling cantik dari empat gadis itu. Mentari Pagi tak kalah 

cantik, namun ada bayangan sifat angkuh serta kehendak 

memaksakan wibawa. “Ini rupanya cobaan yang dikatakan 

Kakek Segala Tahu! Celaka! Apa aku bisa tabah 

menghadapi cobaan ini? Gila! Mengapa urusan bisa jadi 

kapiran seperti ini?!” 

“Berikan kalung kepala srigala. Setelah itu kau boleh 

datang ke balik semak belukar ini!” Mentari Pagi berkata. 

“Aku... Tidak... tidak!” kata Wiro sambil goyangkan 

kepala. 

“Hemmm... Kau takut kami tipu. Kau takut kami tidak 

akan memenuhi janji, kalau begitu datanglah ke sini. Kau 

boleh menyerahkan kalung itu setelah berbuat apa saja 

pada kami...” 

Wiro kembali menggeleng. Dia malah melangkah 

mundur lalu palingkan kepala ke jurusan lain. 

“Lekas pakai kembali pakaian kalian! Kalau aku bisa 

menolong akan kulakukan! Aku bukan manusia yang 

menolong dengan mengharapkan pamrih. Apalagi 

melakukan seperti apa yang kalian katakan...!” 

Mentari Pagi saling pandang dengan tiga kawannya. 

“Pemuda itu bukan seperti yang kita sangka!” 

Rembulan tiba-tiba berkata, “Mentari, lihat! Dia


mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Astaga! Itu 

kalung kepala srigala perak yang kita cari!” 

Mentari Pagi dan dua gadis lainnya segera berpaling ke 

arah Wiro yang saat itu memang sudah mengeluarkan 

kalung perak kepala srigala dari balik pakaiannya. Saat itu 

dia masih berdiri dengan kepala mengarah ke jurusan lain, 

tak berani memandang ke arah semak belukar. 

“Lekas kenakan jubah dan kerudung!” Mentari Pagi 

berkata. Agaknya dia memang menjadi pimpinan dari 

rombongan empat gadis cantik aneh itu. Ke empatnya 

segera mengenakan jubah dan kerudung masing-masing. 

Lalu melangkah ke hadapan Wiro. 

Sesaat Pendekar 212 pandangi sosok-sosok hitam di 

hadapannya itu. Dengan agak gemetar tangannya yang 

memegang kalung kepala srigala diacungkan ke arah 

Mentari Pagi. 

“Ambillah! Mudah-mudahan aku tidak salah 

memberikan barang ini pada kalian!” 

“Demi Gusti Allah, kami bersumpah kalung ini adalah 

milik pimpinan kami dan segera akan kami sampaikan 

kepadanya!” kata Mentari Pagi pula. 

“Ah! Kalau kau bersumpah atas nama Gusti Allah, 

hatiku lega sekarang...” kata Wiro pula lalu tersenyum. 

“Terima kasih! Kau mau menyerahkan barang yang 

sangat berharga ini!” Mentari Pagi cepat-cepat 

memasukkan kalung itu ke dalam sebuah kantong kain 

yang disembunyikan di balik pinggang pakaiannya. 

“Kami akan pergi! Sebelum pergi mungkin ada sesuatu 

yang hendak kau minta dari kami?” 

“Tidak... Aku tidak minta apa-apa...” jawab Wiro. 

“Sungguh kau tidak meminta apa-apa dari kami sebagai 

imbalan?” tanya Mentari Pagi. 

“Tidak, aku tidak minta apa-apa. Kalian boleh pergi...” 

Mentari Pagi berpaling pada tiga kawannya lalu kembali 

memandang pada Pendekar 212. “Jika kau tidak meminta 

apa-apa, mungkin kau punya pertanyaan yang bisa kami 

jawab?”


“Pertanyaan...?” Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau 

pertanyaan memang banyak!” 

“Kalau begitu sebutkanlah! Kami akan menjawab satu 

persatu.” kata Mentari Pagi pula. 

“Kalian ini siapa sebenarnya. Mengapa mengenakan 

pakaian dan kerudung serba hitam seperti ini? Lalu 

gambar kepala srigala itu? Aku juga melihat tangan kalian 

bisa berubah menjadi seperti kaki srigala lengkap dengan 

cakarnya. Kata kalian kalung perak itu adalah milik 

pimpinan kalian yang sedang sakit. Siapa dia dan sedang 

menderita sakit apa?” 

“Rembulan, harap kau jawab semua pertanyaannya!” 

Mentari Pagi menyuruh gadis bernama Rembulan untuk 

menjawab. 

Tidak mengira akan diperintah seperti itu, Rembulan 

sesaat jadi kikuk. Matanya menatap wajah Pendekar 212 

sesaat. Ada getaran di dadanya yang membuat suaranya 

jadi gemetar. 

“Kami adalah orang-orang dari kelompok yang disebut 

Bumi Hitam. Kami bermukim di lereng bukit timur Gunung 

Merapi. Pimpinan kami seorang gadis bernama Pelangi 

Indah. Saat ini beliau terserang satu penyakit aneh yang 

konon hanya bisa disembuhkan dengan Kalung Perak 

Kepala Srigala. Selain itu kalung tersebut adalah pusaka 

Kelompok Bumi Hitam yang merupakan pertanda bahwa 

pemegangnya adalah yang dipercayakan sebagai 

pimpinan. Rimba persilatan penuh dengan berbagai 

bahaya tidak terduga. Kami mengenakan jubah dan 

kerudung serba hitam untuk melindungi diri dari hal-hal 

yang tidak diinginkan karena kami semua adalah 

perempuan yang rata-rata berusia muda...” 

“Dan cantik-cantik!” sambung Wiro lalu tertawa lebar. 

“Apakah kau masih ada pertanyaan lain?” ujar gadis 

bernama Mentari Pagi. 

Wiro diam sesaat. Berpikir. Dia ingat pada musibah 

yang menimpa gurunya. Hal itu diceritakannya secara 

ringkas pada empat orang gadis lalu bertanya, “Apa kalian


pernah mendengar asap beracun yang disebut Seribu 

Hawa Kematian itu? Lalu apakah kalian tahu kelemahan 

serta cara menghadapinya? Menurut seorang sahabat 

dalam menghadapi Seribu Hawa Kematian harus 

menghindari tempat terbuka dan pada saat hujan turun. 

Kalau di antara kalian ada yang tahu, apa betul keterangan 

sahabatku itu?” 

Mentari Pagi tundukkan kepala seperti merenung. 

Sesaat kemudian dia berkata berikan jawaban. “Apa yang 

dikatakan sahabatmu itu memang betul. Tetapi ada satu 

cara yang lebih mudah menghadapi ilmu jahat mematikan 

itu. Hawa atau asap berasal dari panas. Panas berasal dari 

api. Api bisa dipadamkan dengan air atau hujan. Tapi tidak 

selamanya. Api yang telah berubah menjadi asap atau 

hawa hanya bisa dibendung dan ditundukkan dengan api 

juga.” 

Wiro terdiam dan kerenyitkan kening. “Terima kasih 

Mentari Pagi. Keteranganmu sangat berguna bagiku. Kalau 

pimpinan kalian sedang sakit dan kalian sudah dapatkan 

kalung kepala srigala itu sebagai obatnya, sebaiknya kalian 

lekas-lekas menemuinya.” 

“Mentari Pagi, ada satu hal yang perlu kuberi tahu pada 

orang ini. Jika kau mengizinkan...” 

Mentari Pagi menatap ke arah Rembulan yang barusan 

bicara lalu anggukan kepala. Rembulan lalu berucap. 

“Kelelawar Pemancung Roh tinggal di Teluk Akhirat. Dia 

tidak pernah jauh dari air. Konon dia bisa dilukai tapi tak 

bisa dibunuh karena nyawanya tidak berada dalam 

jazadnya, tapi ditumpangkan pada satu makhluk hidup 

yang tidak diketahui apa dan di mana beradanya...” 

“Aneh, ada manusia yang nyawanya tidak berada dalam 

dirinya sendiri. Tapi dititipkan pada makhluk lain.” Wiro 

geleng-geleng kepala. 

“Sebelum kami pergi ada satu hal yang ingin kami 

tanyakan. Apakah benar kau adanya orang yang dalam 

rimba persilatan dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 

212 dan bernama Wiro Sableng?”


Wiro garuk-garuk kepala mendengar pertanyaan 

Mentari Pagi itu. Lalu dia tersenyum. “Apa artinya satu 

nama, apa pula artinya sebuah julukan? Aku ya manusia 

biasa, begini saja adanya seperti yang kalian lihat. Aku 

ingat sesuatu. Kalian sudah tahu bagaimana guruku Eyang 

Sinto Gendeng mengalami kelumpuhan akibat Seribu 

Hawa Kematian. Apa kalian mungkin tahu obat atau cara 

penyembuhannya?” 

“Kami tidak bisa memberikan jawaban,” kata Mentari 

Pagi. “Namun jika ada kesempatan silakan berkunjung ke 

tempat kami di lereng timur Gunung Merapi. Mungkin 

pimpinan kami bisa menolong...” 

“Terima kasih, aku suka sekali berkunjung ke tempat 

kalian...” kata Wiro pula. 

“Satu lagi pertanyaan dariku,” Rembulan kini yang 

berkata, “Apa benar kau calon menantunya Dewa Tuak? 

Yang katanya berjodoh dengan murid kakek itu yang 

bernama Anggini?” 

Wajah Pendekar 212 seperti mengkeret. Lalu dia 

tertawa gelak-gelak. “Itu tidak benar! Bagaimana kau bisa 

berkata begitu. Rembulan, dari mana kabar itu kau 

dapatkan?” 

“Sebelum pimpinan kami jatuh sakit, Dewa Tuak pernah 

diundang datang ke lereng timur Gunung Merapi. Dalam 

satu percakapan aku mendengar kakek itu menanyakan 

dirimu pada pimpinan kami, Pelangi Indah. Menurut si 

kakek sudah lama sekali dia tidak bertemu denganmu dan 

tidak mengetahui hal ihwalmu. Dia khawatir karena 

katanya dirimu sudah dijodohkan dengan muridnya yang 

bernama Anggini itu...” 

Wiro garuk kepalanya habis-habisan. “Maksud kakek itu 

baik. Tapi...” 

“Tapi apa?” tanya Mentari Pagi. “Anggini tidak suka 

padamu, atau kau yang tidak tertarik padanya?” 

“Soal jodoh bukan di tangan manusia, tapi Yang di Atas 

sana...” kata Wiro sambil menunjuk ke atas. “Siapa tahu 

Gusti Allah menentukan lain! Siapa tahu aku berjodoh


dengan salah satu dari kalian!” 

Empat gadis cantik berkerudung keluarkan pekik kecil. 

Wiro tertawa gelak-gelak. Mentari Pagi berpaling pada 

kawan-kawannya lalu berkata, “Kami pergi sekarang! 

Sekali lagi terima kasih kau telah mau mengembalikan 

Kalung Kepala Srigala...” Keempat gadis itu lalu menjura. 

Wiro balas menghormat seraya berkata, “Aku juga 

berterima kasih. Kalian semua telah memberikan 

kenangan indah malam ini. Kenangan yang tidak akan 

kulupakan seumur hidup!” 

Empat wajah di bawah kerudung hitam menjadi merah 

karena malu. Tapi Wiro cepat meneruskan ucapannya, 

“Jika kelak aku bertemu dengan pimpinan kalian, akan 

kuceritakan bagaimana hebatnya kesetiaan kalian 

padanya hingga mau berkorban demi kesembuhannya...” 

“Kami harap...” kata Mentari Pagi dengan suara agak 

gemetar, “Hal itu jangan kau ceritakan pada Pelangi Indah. 

Kami...” 

“Kalau begitu, kalian tidak usah takut. Aku berjanji tidak 

akan menceritakan apapun pada pimpinan kalian,” kata 

Wiro pula sambil tersenyum. 

“Terima kasih...” kata Mentari Pagi seraya menjura 

sekali lagi yang diikuti oleh Rembulan dan dua temannya. 

Tapi setelah menjura ke empatnya masih saja tidak 

meninggalkan tempat itu. 

“Ada apa...?” tanya Wiro agak heran. 

“Rasanya... Ucapan terima kasih kami seolah tidak ada 

artinya kalau tidak disertai satu tindakan yang tulus...” 

“Aku tidak mengerti maksudmu dan kawan-kawan, 

Mentari Pagi. Apakah...” 

Belum sempat Pendekar 212 menyelesaikan 

ucapannya empat gadis itu lepaskan kerudungnya. Lalu 

cepat sekali keempatnya berkelebat, dua dari kiri, dua dari 

kanan. 

Cup! Cup! 

Cup! Cup! 

“Hai!”


Murid Sinto Gendeng berseru dan terperangah. Dia 

melompat mundur sambil usap-usap pipinya kiri kanan 

yang barusan dicium oleh empat gadis itu. Pipi sang 

pendekar kelihatan berselomotan warna merah bekas 

gincu Mentari Pagi dan kawan-kawannya. Saat itu Wiro 

hanya bisa bertegak diam. Di kejauhan, dalam gelapnya 

malam terdengar tawa cekikikan empat gadis itu. 

*** 

DALAM gelapnya malam Mentari Pagi dan tiga gadis 

lainnya berlari cepat ke arah timur. Di satu tempat Mentari 

Pagi mendekati Rembulan dan berkata, “Sahabatku 

Rembulan, aku belum pernah melihat gadis bernama 

Anggini itu. Tapi aku punya firasat kau mendapat saingan 

keras...” 

“He, apa maksudmu Mentari Pagi?” tanya Rembulan. 

Mentari Pagi tersenyum. “Dari caramu menghadapi 

pemuda itu, dari getaran nada suaramu serta dari 

pandangan cahaya dua matamu, aku menaruh duga kau 

suka padanya...” 

Rembulan sampai hentikan larinya mendengar kata-

kata Mentari Pagi. “Kau menggodaku! Kalau dua teman 

yang lain sempat mendengar, kabar yang bukan-bukan 

pasti akan segera menebar...” 

Mentari Pagi tertawa panjang lalu tinggalkan Rembulan 

yang untuk beberapa saat lamanya masih tegak tertegun. 

“Anggini...” katanya dalam hati. “Aku juga belum pernah 

melihatmu. Secantik apakah dirimu?” 

*** 

TAK SELANG berapa lama setelah empat gadis dari 

kelompok Bumi Hitam itu berlalu, Wiro masih tegak di 

tempat itu. “Dewa Tuak... Bagaimana orang tua itu 

seenaknya menebar kabar tentang perjodohanku dengan 

muridnya?” Wiro garuk-garuk kepala. “Ah! Mengapa hal itu


harus kupikirkan! Aku harus menemui Eyang Sinto 

Gendeng walau dia masih mandi dan belum memanggilku. 

Dia pasti gembira kalau kukatakan bahwa kelemahan ilmu 

Seribu Hawa Kematian sudah kuketahui.” 

Wiro bergegas menuju telaga di mana Eyang Sinto 

Gendeng sebelumnya ditinggalkannya mandi sendirian. 

Sampai di tepi telaga yang gelap Wiro memandang 

berkeliling. Tak ada siapa-siapa dalam telaga atau di 

sekitarnya. Eyang Sinto Gendeng tidak kelihatan. 

“Ke mana perginya orang tua itu?” pikir Wiro. “Kalau 

masih mandi mengapa tak ada dalam telaga. Pakaiannya 

tidak kelihatan di sekitar sini. Kalau sudah selesai mandi 

mengapa tidak memanggil aku, memberi tahu? 

Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan nenek itu...” 

Pandangan Wiro membentur sebuah benda yang 

menancap di atas batu di tepi telaga. Dia segera mencabut 

benda itu. Ketika diperhatikan berdebarlah dada Pendekar 

212. 

“Tusuk konde Eyang Sinto Gendeng...” katanya dengan 

suara bergetar. Wiro memandang berkeliling. Hanya 

kegelapan yang kelihatan. 

“Eyang! Eyang Sinto! Kau di mana?!” Wiro berteriak 

memanggil. Jawaban yang terdengar hanya gaung 

suaranya di udara malam yang gelap dan dingin. “Nek! 

Awas kau! Kalau kau bercanda mempermainkan aku tidak 

akan kudukung lagi kau!” 

Wiro terdiam sesaat. “Tidak mungkin nenek itu 

bergurau. Kakinya lumpuh, mana bisa dia keluar dari 

dalam telaga! Setahuku sekitar kawasan ini tidak ada 

binatang buas. Jadi tak mungkin dia digondol macan! Lalu 

kalau yang melarikannya adalah manusia, apa untungnya 

menculik nenek tua bangka dan bau pesing begitu?” 

Wiro timang-timang tusuk konde perak dan berpikir lagi, 

“Tusuk konde ini adalah salah satu senjata andalan Eyang 

Sinto Gendeng. Jika sampai menancap di batu mungkin 

sekali telah dipergunakan untuk menyerang seseorang! 

Berarti sebelumnya telah terjadi pertempuran hebat di


tempat ini!” 

Tiba-tiba ada satu sambaran angin menerpa di sebelah 

belakang. Wiro cepat berpaling sambil hantamkan tangan 

kirinya. 

Bukkkk! 

Pendekar 212 terjajar dua langkah. Lengannya terasa 

perih panas. Di depan sana seorang kakek muka putih 

berdestar hitam mencelat sampai satu tombak. Walau dia 

mengalami cidera pada lengan kanannya akibat bentrokan 

tadi namun dia masih bisa keluarkan ucapan. 

“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata 

memang bukan nama kosong belaka!” 

Wiro gembungkan rahang dan pelototkan matanya. Dia 

segera mengenali kakek muka putih itu. 

“Ki Tawang Alu!” teriak Wiro geram

TAMAT 


Episode Berikutnya: SRIGALA PERAK


________________________________

BASTIAN TITO 

PENDEKAR KERIS TUJUH 

ARIO BLEDEG

PETIR DI MAHAMERU 

(BAGIAN 2) 



ARIO BLEDEG 

PETIR DI MAHAMERU 7

PERTEMPURAN DI SENJA HARI 

KI SURO Gusti Bendoro memang sudah memaklumi kalau 

nenek jahat berjuluk Si Lidah Bangkai itu akan 

menyerangnya. Karena telah berlaku waspada maka begitu 

diserang dengan satu gerakan cepat dia miringkan badan 

dan kepala ke kiri. 

Lidah merah panjang bercabang dua si nenek melesat 

ganas hanya seperempat jengkal di samping leher orang 

tua berjubah putih itu. Lalu craasss! Ujung lidah menancap 

dalam di batang pohon tempat di mana sebelumnya Ki 

Suro duduk bersandar. Ketika lidah ditarik, kelihatan satu 

lobang besar mengepulkan asap di batang pohon! 

Sepertiga bagian dari batang pohon itu berubah menjadi 

hitam gosong seperti terbakar. Si Lidah Bangkai dongakkan 

kepala tertawa lantang. Lidahnya yang panjang basah 

keluar bergulung-gulung. Lalu dia hentikan tawanya dan 

semburkan ludah berwarna merah ke tanah. 

Sepasang matanya menatap garang tak berkesip pada 

kakek di hadapannya. 

Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro telah bangkit berdiri. 

Tangan kirinya memegang Kitab “Hikayat Keraton Kuno” 

sedang di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat 

bambu berwarna kuning. Sebelumnya Ki Suro memang 

telah pernah mendengar bagaimana hebat dan ganasnya 

nenek yang ada di hadapannya itu. Namun dia tidak 

menduga kalau lidah si nenek benar-benar dahsyat 

mengerikan seperti itu. Kalau saja dia tidak cepat



mengelak, apa jadinya dengan dirinya. Batang pohon yang 

begitu kokoh bisa dibuat berlubang dan hangus laksana 

dipanggang api! Apalagi tubuh manusia! Walau hatinya 

tercekat namun Ki Suro tetap perlihatkan air muka penuh 

ketenangan. Malah dengan suara lembut dia menegur, 

“Lidah Bangkai, menginginkan barang milik orang lain 

secara tidak sah merupakan satu perbuatan tidak terpuji. 

Apalagi disertai maksud hendak mencelakai dan 

membunuh! Kuharap sampeyan segera sadar apa yang 

barusan sampeyan lakukan. Tidak ada kehidupan yang 

paling nikmat di dunia ini selain berdampingan dalam 

kebaikan dan persahabatan antara sesama kita umat 

Tuhan Yang Maha Pengasih Maha Penyayang.” 

Ditegur seperti itu Si Lidah Bangkai tertawa mengekeh. 

Suara tawanya seperti kuda meringkik. Sisik hitam 

kebiruan yang melapisi mukanya kelihatan bergerak-gerak 

hidup seperti tumbuhan laut. 

“Ki Suro! Khotbahmu pada sore menjelang senja ini 

sungguh enak didengar!” kata Si Lidah Bangkai lalu 

tertawa gelak-gelak dan kembali meludah ke tanah. 

“Aku tidak berkhotbah. Aku hanya memberitahu bahwa 

begitulah adanya kenyataan hidup. Terserah masing-

masing kita. Apakah mau hidup sengsara dalam kesesatan 

atau dalam berkah di jalan lurus yang telah disediakan 

Illahi. Saat ini aku bermohon kepada Yang Maha Kuasa 

agar sampeyan dilimpahkan berkah ditunjukkan jalan yang 

benar dan keluar dari kesesatan.” 

Si Lidah Bangkai mendengus. 

“Apa yang tadi kau katakan itu adalah jalan pikiran dan 

jalan hidupmu! Setiap manusia punya cara berpikir dan 

jalan hidup sendiri-sendiri! Aku tidak pernah merasa hidup 

dalam sengsara dan kesesatan! Kau merasa hebat sendiri 

hingga pandai mengada-ada! Kau bilang perbuatanku tidak 

terpuji! Tapi aku sendiri mengatakan perbuatanku itu justru 

sangat terpuji dan hebat luar biasa! Aku ingin 

menyelamatkan sebuah pusaka keraton yang tidak layak 

berada di tanganmu!”


“Pusaka keraton? Apa maksud sampeyan?” tanya Ki 

Suro Gusti Bendoro dengan perasaan heran mendengar 

kata-kata Si Lidah Bangkai. 

“Kitab di tangan kirimu itu!” kata Si Lidah Bangkai 

sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya, “Itu yang 

kumaksudkan dengan pusaka keraton! Serahkan kitab itu 

padaku sekarang juga! Atau kau akan kubuat seperti 

pohon itu. Mati dalam keadaan tubuh hangus gosong!” 

Ki Suro Gusti Bendoro perhatikan sesaat kitab rapuh 

daun lontar di tangan kirinya lalu gelengkan kepala. “Aku 

tidak pernah tahu kalau ini adalah pusaka keraton. 

Mungkin sampeyan mengada-ada. Bahkan membuka dan 

membaca isinya pun aku belum berkesempatan. Apapun 

kitab ini adanya tidak mungkin kuberikan pada sampeyan. 

Kitab ini diberikan seseorang padaku. Merupakan barang 

titipan. Berarti harus kujaga baik-baik.” 

“Sayang sekali! Kalau begitu aku memang harus 

mengambil kitab itu bersama nyawamu!” kata Si Lidah 

Bangkai pula. Begitu selesai berucap nenek jahat ini 

menerjang ke depan. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Cairan 

merah menyembur disusul dengan melesatnya lidah 

panjang bercabang. Laksana seekor ular, lidah bercabang 

itu mematuk. Yang jadi sasaran kali ini adalah dada Ki Suro 

Gusti Bendoro, tepat di bagian jantungnya. 

“Lidah Bangkai, otak sampeyan rupanya telah beku. 

Telinga sampeyan mungkin telah tertutup debu dan hati 

sampeyan agaknya telah menjadi batu, hingga tak mau 

mendengar apa yang aku ucapkan. Aku sedih sekali. 

Mudah-mudahan Tuhan masih mau memberi petunjuk 

pada sampeyan...” Sambil berucap Ki Suro Gusti Bendoro 

dengan cepat gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu 

kuning yang dipegangnya melesat di depan dadanya, 

menghalangi gerakan lidah lawan yang hendak menusuk. 

Desss... desss! 

Tongkat dan lidah basah merah saling beradu dua kali 

berturut-turut. Ki Suro merasakan tangan kanannya 

bergetar disertai menjalarnya hawa mencucuk. Sebaliknya


Si Lidah Bangkai kelihatan mengernyit seperti menahan 

sakit. Kemudian terjadilah satu hal yang luar biasa. Lidah si 

nenek membuat satu gerakan berputar sebat. Membelit 

tongkat bambu di tangan Ki Suro. Begitu Si Lidah Bangkai 

menyentakkan lidahnya maka tongkat itu tertarik keras. 

Bagaimanapun Ki Suro berusaha mempertahankan tetap 

saja tongkat itu masuk ke dalam mulut si nenek terus 

amblas ke dalam perut! 

Si Lidah Bangkai keluarkan tawa seperti ringkikan kuda. 

Sambil tertawa dia usap-usap perutnya seolah seorang 

yang kenyang habis menyantap makanan enak. Mulutnya 

yang terbuka lebar memperlihatkan deretan gigi-gigi besar 

berwarna merah. Air liurnya yang juga berwarna merah 

berlelehan ke dagunya. 

“Ki Suro, kini biar aku yang memohon pada Tuhanmu 

supaya matamu bisa terbuka, agar otakmu dibuat encer, 

hatimu dibuat leleh dan kau mau menyerahkan kitab itu 

padaku! Atau kau lebih suka bersatu dengan tongkatmu 

dalam perut besarku!” 

Ki Suro tersenyum mendengar kata-kata si nenek. 

Dengan tenang dia menjawab, “Memohon pada Tuhan 

adalah satu kewajaran. Tapi adalah keliru jika memohon 

untuk hal yang tidak baik dan bukan bersifat kebajikan. 

Aku kagum dengan kehebatan ilmu kesaktian sampeyan 

hingga bisa menelan tongkat bambu milikku. Hanya 

sayang, ilmu tinggi itu sampeyan pergunakan tidak pada 

tempatnya. Sampeyan keliru, bukan di dalam perut 

sampeyan tongkat itu seharusnya mendekam. Segala 

sesuatu sudah diatur bentuk dan tempatnya oleh Yang 

Maha Kuasa. Jadi harap sampeyan suka mengembalikan 

tongkatku!” 

Ki Suro tutup ucapannya dengan mengulurkan tangan 

kanan. Empat jari ditekuk ke belakang. Jari telunjuk 

diarahkan ke pusar Si Lidah Bangkai. Ketika jari itu 

digerak-gerakkan ke belakang terjadilah satu hal yang 

membuat si nenek berseru kaget. 

Breeettt!


Pakaian Si Lidah Bangkai robek di bagian pusar. Dari 

robekan itu perlahan-lahan menyembul keluar tongkat 

bambu kuning milik Ki Suro Gusti Bendoro yang tadi 

ditelannya! 

Sementara Si Lidah Bangkai tercekat kaget, Ki Suro 

gerakkan lima jari tangan kanannya ke belakang seperti 

orang memanggil. Settt! Tongkat kuning melesat dan 

kembali berada dalam genggaman tangan kanan orang tua 

itu. Dengan mata mendelik si nenek perhatikan dan 

pegang pusarnya. Kalau tongkat bambu itu bisa keluar dari 

perutnya lewat pusar, jangan-jangan pusarnya telah 

bolong! Dia merasa lega ketika dapatkan pusarnya tidak 

cidera. Tapi tengkuknya telah terlanjur dingin karena kecut. 

Walau demikian si nenek masih mampu untuk tidak 

memperlihatkan rasa takutnya di hadapan lawan. 

Sementara itu, sambil melintangkan tongkat bambu di 

atas dada Ki Suro berkata, “Cukup sudah kita berlaku 

seperti anak-anak. Sebentar lagi senja akan berakhir. Saat 

bagiku untuk menunaikan sholat Magrib. Harap sampeyan 

suka pergi dengan tenang dan hati bersih. Bagiku apa yang 

telah terjadi telah kulupakan.” Ki Suro membungkuk 

memberi hormat pada si nenek. 

Tetapi sambutan Si Lidah Bangkai justru berkebalikan. 

Setelah keluarkan suara mendengus dan meludah ke 

tanah dia berkata, “Ki Suro, jangan bertingkah sombong, 

menyuruh aku pergi! Aku tidak angkat kaki dari tempat ini 

tanpa kitab itu!” 

Si Lidah Bangkai lalu buka mulutnya lebar-lebar. Ludah 

merah menyembur disusul dengan gulungan lidahnya yang 

menjulur sampai sepanjang dua tombak. Dengan tangan 

kanannya si nenek cekal erat-erat pangkal lidah lalu sekali 

dibetot lidah itu tanggal dari mulutnya! Begitu lidah diputar 

ludah merah bermuncratan membasahi wajah dan jubah 

putih Ki Suro. Si Lidah Bangkai kembali memutar lidahnya. 

Taarrr! Taaarrr! 

Lidah panjang seolah berubah menjadi cambuk. 

Berkiblat di keremangan senja, membuntal cahaya merah,


menghantam ke arah Ki Suro Gusti Bendoro! 

“Tuhan Maha Besar, beri hambaMu kesabaran 

menghadapi manusia sesat lupa diri ini,” kata Ki Suro. Lalu 

dia cepat menghindar. 

Bummmm! 

Kraaak! 

Satu letusan keras disusul suara patahnya batang 

pohon yang kemudian menggemuruh roboh akibat 

hantaman lidah yang telah berubah seperti cambuk. 

“Luar biasa... Luar biasa!” kata Ki Suro dalam hati, 

“Sayang ilmu yang begitu tinggi dipergunakan di jalan 

sesat!” 

Cambuk lidah kembali menghantam. Karena Si Lidah 

Bangkai mengerahkan seluruh tenaga dalam yang 

dimilikinya maka cambuk lidah menyambar disertai gelegar 

suara seperti petir berkiblat. Cahaya merah bergulung-

gulung mengurung Ki Suro. Untuk menyelamatkan diri Ki 

Suro harus bergerak cepat, berkelebat kian kemari dengan 

mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah 

mencapai tingkat kesempurnaan. Selama lima jurus kakek 

ini digempur habis-habisan. Walau tidak sekalipun cambuk 

lidah di tangan lawan mengenai diri atau pakaiannya, 

namun cipratan cairan merah yang membasahi lidah itu 

tidak dapat dihindarinya. Muka dan jubah Ki Suro penuh 

noda-noda merah seperti diperciki darah. 

“Lidah Bangkai, sadarlah! Hentikan seranganmu! 

Pergilah dari sini!” Ki Suro memberi ingat. Dia masih 

berharap agar si nenek sadar dari perbuatannya. 

“Bagaimanapun jahatnya seseorang, satu kali masakan 

tidak bisa dibuat sadar...” begitu kiai berhati tulus ini 

berpikir. 

***


ARIO BLEDEG 

PETIR DI MAHAMERU 8

KALA SRENGGI 


NENEK berjuluk Si Lidah Bangkai yang inginkan kitab 

“Hikayat Keraton Kuno” mana mau perdulikan teriakan Ki 

Suro Gusti Bendoro. Malah dia lancarkan serangan lebih 

gencar. Tubuhnya yang mengenakan pakaian serba hitam 

lenyap di kegelapan senja. Yang terlihat hanya cahaya 

merah redup membuntal keluar dari cambuk lidah, laksana 

curahan hujan mengurung si kakek. Karena mengambil 

sikap bertahan dan tak sekalipun mau balas menyerang, 

lama-lama Ki Suro jadi terdesak dan jurus demi jurus 

keadaannya semakin berbahaya. 

“Aku tidak takut mati. Tapi kalau harus menemui ajal di 

tangan perempuan sesat ini bisa-bisa aku tidak akan 

tenteram di liang kubur. Tuhan, ampuni diriku jika aku 

berbuat salah mempergunakan ilmu kepandaian untuk 

menghadapinya.” Setelah berucap di dalam hati seperti itu 

Ki Suro masih belum mau turun tangan. Dia memberi 

kesempatan sampai dua jurus di muka dan berteriak 

mengingatkan lawannya agar menghentikan serangan lalu 

pergi dari situ. 

Tapi si nenek seperti orang kemasukan setan malah 

memperhebat serangan cambuk lidahnya. Ki Suro 

tenggelam lenyap dalam buntalan cahaya merah. Di 

pertengahan jurus ke dua belas terdengar suara breettt! 

Ujung cambuk lidah berhasil merobek bahu kanan 

jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro. Orang tua ini melompat 

keluar dari gulungan serangan lawan. Untung senjata


lawan tidak sampai melukai kulitnya. 

“Lidah Bangkai, aku tidak yakin kau benar-benar 

hendak berbuat jahat terhadap diriku. Kuharap kau mau 

menyudahi urusan dan pergi dari sini!” Ki Suro memberi 

ingat untuk kesekian kalinya. 

“Ki Suro, Lidah Bangkai tidak pernah menyelesaikan 

urusan tanpa membawa hasil. Aku sudah terlanjur 

menentukan minta kitab dan juga nyawamu!” menjawab Si 

Lidah Bangkai lalu didahului tawa bergelak dia kiblatkan 

kembali cambuk lidahnya. 

Taaarrr! Taarrr! Taaarrr! 

Cambuk merah mendera udara senja yang semakin 

gelap. Ujungnya mendadak berubah menjadi tiga. Satu 

menghantam ke arah kepala Ki Suro. Satu lagi menyambar 

ke perut dan ujung yang ke tiga melesat ke arah tangan kiri 

yang memegang kitab daun lontar. 

Kehebatan serangan yang dilancarkan Si Lidah Bangkai 

memang luar biasa. Ki Suro tidak tahu mana dari tiga ujung 

lidah itu yang merupakan serangan sebenarnya. Karenanya 

untuk membentengi diri dia putar tongkat bambu 

kuningnya dalam gerakan setengah lingkaran. 

Wuutttt! 

Sinar kuning bertabur dalam kegelapan senja. Dua 

cahaya merah ujung cambuk lidah langsung lenyap amblas 

karena memang bukan ujung cambuk sebenarnya. Tapi 

ujung cambuk yang ke tiga, laksana kilat tahu-tahu telah 

menyambar pergelangan tangan kiri Ki Suro, langsung 

melilit naik ke arah kitab daun lontar yang dipegangnya! 

Ki Suro terkejut besar. Dia lebih baik memilih 

tangannya cidera daripada kitab sampai kena dirampas 

orang. Begitu ujung cambuk lidah melesat ke arah kitab 

daun lontar, si kakek segera lemparkan kitab itu ke udara. 

Bersamaan dengan itu dia putar pergelangan tangan 

kirinya lalu disentakkan. Si Lidah Bangkai merasa seperti 

ada satu kekuatan raksasa menarik tangannya hingga dua 

kakinya terangkat dari tanah. Selagi tubuh lawan melayang 

di udara, Ki Suro angkat kaki kanannya. Dia tidak


menendang melainkan hanya menunggu datangnya tubuh 

lawan. Tapi apa yang terjadi seolah-olah kakek ini 

melancarkan tendangan sekuat tenaga. 

Begitu telapak kakinya menempel di dada Si Lidah 

Bangkai, tubuh nenek ini langsung mencelat mental 

sampai dua tombak. Pegangannya pada cambuk lidah 

terlepas. Selagi nenek itu jatuh jungkir balik di tanah, Ki 

Suro pergunakan kesempatan untuk menyambut dan 

menahan jatuhnya kitab daun lontar yang melayang ke 

tanah dengan ujung tongkat bambu kuningnya. Dengan 

tongkat dia memutar kitab itu demikian rupa hingga 

melayang masuk ke dalam tangan kirinya! 

“Kiai jahanam! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Si 

Lidah Bangkai. Dengan cepat dia melompat bangkit tapi 

agak terbungkuk karena rasa sesak dan sakit di dadanya 

akibat ‘tempelan’ kaki Ki Suro tadi. 

“Lidah Bangkai, aku sudah memperingatkan sampeyan 

berulang kali. Tapi sampeyan hanya mendengar suara hati 

sendiri. Sampeyan menjual, aku terpaksa membeli. 

Sampeyan yang meminta, aku terpaksa memberi. 

Sekarang nyatanya sampeyan masih menunjukkan sikap 

keras hati keras kepala...” 

“Jangan banyak bicara! Lihat serangan! Ajalmu sudah di 

depan mata!” teriak Si Lidah Bangkai. Laksana terbang 

tubuhnya melesat di udara. Dua tangannya didorongkan ke 

depan. Dari telapak tangannya kiri kanan menyembur 

keluar dua larik sinar hitam. Dua sinar hitam ini melesat 

ganas dalam keadaan saling bergerak bersilangan satu 

sama lain seperti mata gunting. 

“Gunting Iblis!” seru Ki Suro yang mengenali ilmu 

kesaktian yang dipergunakan si nenek untuk menyerang. 

Kakek ini tabahkan diri menghadapi serangan ganas. Dia 

pernah mendengar, selama malang melintang di kawasan 

timur, ilmu kesaktian Gunting Iblis itu menjadi momok 

nomor satu bagi musuh Si Lidah Bangkai. Banyak lawan 

yang tidak mampu menyelamatkan diri dari serangan ini. 

Kalaupun sanggup tubuhnya akan mengalami cacat


mengerikan seumur hidup! 

Si Lidah Bangkai sendiri sudah memastikan bahwa Ki 

Suro Gusti Bendoro tidak akan mampu menghadapi ilmu 

Gunting Iblis-nya. Tetapi betapa terkejutnya si nenek ketika 

tiba-tiba di depan sana sosok kakek berjubah putih itu 

lenyap seolah ditelan bumi. Dua larik sinar hitam pukulan 

saktinya menghantam tempat kosong lalu merambas 

serumpunan semak belukar dan sebuah batu besar. 

Semak belukar dan batu besar hancur bertaburan! 

“Kiai jahanam! Kau mau kabur ke mana! Pengecut!” 

teriak Si Lidah Bangkai. 

“Aku di sini Lidah Bangkai. Sampeyan kurang 

memasang mata!” tiba-tiba terdengar suara Ki Suro di 

belakang. Si nenek cepat membalik sambil kembali hendak 

menghantam dengan pukulan Gunting Iblis. Tapi sebelum 

dua tangannya sempat bergerak ke depan tiba-tiba dia 

melihat satu benda panjang berwarna merah berkelebat ke 

arahnya. Begitu cepatnya gerakan benda ini hingga Si 

Lidah Bangkai tidak mampu berkelit. Tahu-tahu dua 

tangannya sudah tergulung. Di lain kejap sekujur tubuhnya 

mulai dari pinggang sampai ke bahu telah terikat! 

“Celaka! Apa yang terjadi dengan diriku! Apa yang 

menjerat tubuhku hingga aku tidak mampu menggerakkan 

dua tangan! Tidak mampu melepaskan diri!” Dalam gelap 

si nenek buka matanya lebar-lebar. Mukanya yang penuh 

sisik hitam kebiruan menjadi tegang kaku ketika menyadari 

bahwa benda yang mengikat tubuhnya saat itu bukan lain 

adalah cambuk lidah miliknya sendiri! 

Saat itu Ki Suro Gusti Bendoro melangkah mendekati si 

nenek. 

“Kau mau membunuhku silakan! Jangan mengira aku 

mau menjatuhkan diri berlutut dan bersujud di 

hadapanmu, minta ampun minta dikasihani!” Ucapan si 

nenek masih keras lantang. 

Ki Suro tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Aku 

memperlakukan sampeyan seperti ini karena tidak mau 

kehilangan waktu sholat Magrib-ku. Aku bukan raja kepada


siapa kau harus berlutut. Lalu ingat satu hal ini baik-baik. 

Manusia tidak layak menyembah bersujud pada sesama 

manusia. Hanya Tuhanlah satu-satunya yang layak dan 

harus disembah! Semoga Tuhan memberi petunjuk 

padamu Lidah Bangkai. Usiamu sudah sangat lanjut. 

Bertobatlah selagi pintu tobat terbuka.” 

Si Lidah Bangkai meludah ke tanah. “Tak perlu kau 

mengajari diriku Kiai! Hari ini kau merasa menang dan 

memperhinakan diriku! Tunggu saatnya. Aku akan kembali 

melakukan pembalasan! Aku akan kembali mengambil 

kitab dan nyawamu!” 

Ki Suro menarik nafas panjang. “Lidah Bangkai, tak ada 

yang kalah tak ada yang menang di antara kita. Terserah 

padamu. Aku hanya memberitahu. Kita sesama insan wajib 

memberi ingat...” 

Si Lidah Bangkai tidak perdulikan ucapan Ki Suro. 

Nenek ini balikkan diri lalu dalam keadaan tubuh bagian 

atas masih terikat dia tinggalkan tempat itu. Sesaat setelah 

Si Lidah Bangkai lenyap dalam kegelapan, Ki Suro yang 

cukup tahu kawasan di pinggiran desa itu segera menuju 

ke sebuah mata air kecil. Selesai membersihkan diri dan 

pakaiannya dia mengambil wudhu lalu di satu tempat yang 

bersih Kiai ini melakukan sembahyang Magrib. Belum lagi 

selesai dia menunaikan sholatnya, tiba-tiba dua bayangan 

berkelebat dari samping kiri. 

*** 

WALAU dua tangannya berada dalam keadaan terikat 

dan kegelapan menyungkup di sepanjang jalan yang 

dilaluinya, namun Si Lidah Bangkai masih sanggup berlari 

cepat. Di satu tempat dia hentikan larinya ketika tiba-tiba 

ada satu bayangan berkelebat di hadapannya. Si nenek 

cepat menyelinap di balik sebatang pohon besar. 

Menunggu beberapa lama bayangan tadi tidak kelihatan 

lagi. Tapi Si Lidah Bangkai yakin siapapun adanya orang 

itu, dia pasti mendekam di satu tempat tengah


memperhatikannya. Ditunggu-tunggu orang tadi tak juga 

muncul memperlihatkan diri, akhirnya si nenek lanjutkan 

perjalanan. Tapi baru berjalan kurang dari sepuluh tombak 

tiba-tiba kembali dia melihat bayangan itu berkelebat lagi 

di hadapannya. 

“Makhluk kurang ajar!” si nenek berteriak, “Jangan 

berani mundar-mandir di hadapanku! Sekali lagi kau 

berkelebat, kuputus nyawamu!” Lalu nenek ini buka 

mulutnya, siap untuk menyemburkan hawa jahat. 

Baru saja si nenek membentak begitu, dari kepekatan 

malam di depan sana terdengar orang berseru, “Lidah 

Bangkai! Aku mengenali suaramu! Memang benar kau 

rupanya! Tadinya aku merasa ragu!” 

Semak belukar lebat di depan kiri Si Lidah Bangkai 

tersibak lebar. Muncul satu sosok tua kurus tinggi, berbaju 

kuning lengan panjang, bercelana hitam setinggi lutut. Di 

punggungnya ada satu bumbung bambu. Orang tua ini 

melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati si nenek. Si 

Lidah Bangkai buka matanya lebar-lebar. Pada jarak empat 

langkah baru dia mengenali siapa adanya orang itu. Maka 

diapun berseru, “Tumenggung Pakubumi! Kau rupanya! 

Kukira hantu dari mana yang kesasar mau jahil 

mempermainkanku!” Si nenek lalu tertawa mengikik. 

“Ssssttt! Jangan bicara keras-keras! Jangan menyebut 

nama asliku! Dalam rimba belantara ini bisa ada belasan 

mata yang melihat dan belasan telinga yang mendengar!” 

Orang tua bungkuk berbaju kuning berkata sambil 

silangkan telunjuk tangan kirinya di atas bibir. 

“Sudah! Jangan banyak bicara dulu! Lekas kau 

lepaskan ikatan yang melilit tubuhku!” kata si nenek. 

Orang yang disebut sebagai Tumenggung Pakubumi itu 

melangkah lebih dekat. “Astaga!” kejutnya, “Benda yang 

mengikatmu ini bukankah cambuk lidah milikmu sendiri? 

Senjata makan tuan! Pantas saja kau tidak mampu 

membukanya sendiri! Apa yang terjadi?” 

“Kau tolong saja melepaskan, sambil membaca 

manteranya. Kau pasti masih ingat mantera itu! Sementara


kau menolong aku akan ceritakan apa yang kualami! Aku 

berhasil menemui Kiai Suro Gusti Bendoro!” 

“Kau! Jadi kau dapatkan kitab pusaka keraton yang jadi 

bahan pembicaraan dan dicari orang sejak puluhan tahun 

itu?” 

Si Lidah Bangkai gelengkan kepala. “Mulailah 

melepaskan ikatanku! Aku akan mulai menceritakan 

kejadiannya padamu. Tumenggung, aku lupa siapa nama 

samaran yang kau pergunakan sampai saat ini?” 

“Kala Srenggi,” jawab orang tua baju kuning. 

Si nenek menyeringai. “Kala Srenggi! Nama edan! Hik... 

hik! Pantas kulihat kau masih membawa bumbung bambu 

berisi binatang-binatang celaka itu!” 

Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi mulai 

membaca mantera. Dua tangannya perlahan-lahan 

membuka lipatan cambuk lidah yang menggulung separuh 

tubuh si nenek di sebelah atas. Sementara ditolong Si 

Lidah Bangkai menuturkan pertemuan dan 

pertempurannya dengan Ki Suro Gusti Bendoro. 

“Kitab yang dicari-cari para tokoh silat dan pejabat 

kerajaan bahkan diinginkan oleh Sultan ternyata memang 

ada di tangan Kiai itu. Aku sudah siap mengadu nyawa 

untuk merebutnya. Ternyata Ki Suro memiliki kesaktian 

tinggi luar biasa. Ketika aku menelan tongkat bambunya 

dia mampu menariknya keluar dari perutku lewat pusar 

tanpa aku mengalami cidera! Sewaktu aku hendak 

menghantamnya kembali dengan pukulan Gunting Iblis, dia 

malah pergunakan cambuk lidahku untuk meringkus 

diriku! Kiai jahanam! Aku bersumpah untuk menguliti 

tubuhnya, mencincang daging dan tulang belulangnya!” 

“Cambuk lidah yang mengikatmu sudah kulepaskan! 

Mau kau apakan benda ini?” 

Mendengar ucapan Kala Srenggi dan melihat cambuk 

lidah yang mengikat tubuhnya sebelah atas memang sudah 

terlepas, dengan cepat si nenek mengambil cambuk lidah 

itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan menyedot. 

Wettt... weetttt!


Cambuk lidah sepanjang lebih dari dua tombak itu 

lenyap di dalam mulut si Lidah Bangkai. 

“Ilmu gila!” kata Kala Srenggi sambil gelengkan kepala, 

“Sekarang apa yang akan kau lakukan?” 

“Menurutmu bagaimana?” si nenek balik bertanya. 

“Sebenarnya aku masih ada satu urusan penting di 

Demak. Tapi mendengar penuturanmu tentang kitab 

Hikayat Keraton Kuno itu aku jadi tertarik. Kurasa Kiai itu 

masih ada di tempat kau sebelumnya meninggalkannya. 

Kalaupun dia sudah pergi pasti belum terlalu jauh! Kita 

datangi dia kembali!” 

“Aku setuju. Tapi ingat, Kala Srenggi. Aku bicara 

berpahit-pahit lebih dulu. Terus-terang aku tidak begitu 

percaya padamu. Kita ke sana dan kau hanya sebagai 

sahabat yang menolongku menghadapi Kiai itu. Soal kitab 

kuno itu adalah bagianku! Jangan ada pikiran kotor di 

benakmu untuk ingin memilikinya!” 

Kala Srenggi tertawa mengekeh. Dia luruskan 

tubuhnya. Ternyata dia bisa berdiri tegak tidak bungkuk. 

Rupanya membungkuk-bungkukkan diri adalah salah satu 

dari beberapa penyamaran yang tengah dilakukannya. 

Siapakah adanya Kala Srenggi ini? Seperti yang 

disebutkan si nenek, nama sebenarnya adalah Pakubumi. 

Di masa penghujung pemerintahan Pangeran Prawoto, 

putera mendiang Raden Patah penguasa di Demak, dia 

ikut bergabung dengan Si Lidah Bangkai, berserikat 

dengan Arya Penangsang dalam menghabisi Pangeran 

Prawoto dan keluarganya. Pakubumi yang saat itu sudah 

menduduki jabatan sebagai seorang Tumenggung mau 

berserikat dengan Arya Penangsang karena mengharapkan 

jabatan yang jauh lebih tinggi. Namun kekacauan yang 

kemudian terus menerus melanda Demak mengacaukan 

pula semua rencana Pakubumi. 

Di tengah-tengah kekalutan yang terjadi muncul 

seorang tokoh bernama Joko Tingkir yang merupakan salah 

seorang menantu mendiang Pangeran Prawoto dan di 

masa kekacauan melanda Demak menduduki jabatan


sebagai Adipati di Pajang. Joko Tingkir yang kemudian lebih 

dikenal dengan nama Adiwijoyo menghimpun kekuatan 

untuk membalas kematian ayah mertuanya. Karena 

didukung oleh banyak pihak maka Adiwijoyo berhasil 

membangun satu kekuatan besar. Bersama orang-

orangnya dia mencari dan membasmi mereka yang terlibat 

dalam pembunuhan Pangeran Prawoto. Salah seorang di 

antaranya adalah Tumenggung Pakubumi. Karena merasa 

dirinya diancam bahaya, Tumenggung Pakubumi kemudian 

menyembunyikan diri di satu tempat. Ketika dia muncul 

kembali dia menyamar sebagai seorang tua bungkuk 

dengan nama Kala Srenggi. 

***


ARIO BLEDEG 

PETIR DI MAHAMERU 9

BENTENG TIGA RATUS ULAR 


WALAU sudah mengetahui kehadiran dua orang itu di 

dalam gelap, namun Ki Suro Gusti Bendoro tetap khusuk 

dalam menunaikan sholat Magrib-nya. 

Di tempat gelap Si Lidah Bangkai berbisik pada Kala 

Srenggi, “Kesempatan bagus! Selagi dia sembahyang 

begitu rupa akan kuhantam dengan pukulan Gunting Iblis!

Masakan tubuhnya tidak akan terkatung-katung!” 

“Tunggu dulu sahabatku Lidah Bangkai. Harap kau mau 

bersabar sedikit dan memberi kesempatan padaku...” 

“Apa maksudmu?!” tanya Si Lidah Bangkai. 

“Binatang peliharaanku! Sudah lama dia tidak diberi 

makan!” menjawab Kala Srenggi. 

“Kau! Bukankah kau sudah berjanji tidak akan...” 

“Lidah Bangkai, aku hanya berjanji tidak akan 

berselingkuh mengambil kitab kuno itu. Tidak ada 

perjanjian siapa yang harus menghabisi Ki Suro. Bukankah 

kau telah mempercayakan diriku sebagai orang yang akan 

membantu menghadapi Kiai itu. Kau tenang-tenang saja. 

Biar aku yang mengurusi jiwanya.” 

“Kalau begitu lakukan cepat!” kata Si Lidah Bangkai 

akhirnya menyetujui. 

Kala Srenggi tertawa lebar. Dia ambil bumbung bambu 

besar yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Sambil 

mencangkung bumbung bambu itu diciumnya dua kali lalu 

selembar kain tebal yang menutupi ujung atas bumbung 

bambu dibukanya.


“Anak-anakku, makanan sudah menunggu kalian. 

Walau mungkin dagingnya agak alot karena sudah tua, tapi 

masih lebih baik daripada tidak ada makanan sama 

sekali!” Kala Srenggi menyeringai. Ujung bumbung bambu 

yang terbuka diturunkannya ke tanah. Begitu bambu 

menyentuh tanah maka pukulan kalajengking hitam dan 

besar laksana kucuran air berhamburan keluar. Binatang-

binatang ini merayap cepat di tanah. Seperti sudah tahu 

apa yang diinginkan Kala Srenggi, puluhan kalajengking itu 

langsung mendatangi Ki Suro Gusti Bendoro. 

Sang Kiai sendiri saat itu masih khusuk melakukan 

sembahyang. Duduk tahajud terakhir di tanah beralaskan 

daun-daun besar tak jauh dari sebuah mata air. Dia 

mendengar kedatangan kedua orang itu. Sayup-sayup dia 

juga mendengar pembicaraan mereka. Lalu jelas sekali 

telinganya menangkap suara puluhan kalajengking yang 

merayap di tanah mendatanginya dengan cepat. Lebih dari 

itu dia tahu juga bahwa kalajengking-kalajengking yang 

dilepas Kala Srenggi itu merupakan binatang beracun. 

Sekali kena sengat atau dijepit, jangankan manusia, 

seekor kerbau pun akan menemui ajalnya hanya dalam 

beberapa ketika! Tetapi sang Kiai seolah tidak perduli. 

Seolah dia memang sudah pasrah kalau harus menemui 

ajal dalam keadaan menghadap Tuhan. 

Hanya beberapa langkah lagi puluhan kala itu akan 

mencapai sosok Ki Suro, tiba-tiba tanah di sekitar tempat 

itu bergetar hebat. Lalu menyusul terdengar suara 

mendesis riuh sekali. 

“Apa yang terjadi?!” tanya Si Lidah Bangkai sambil 

pentang mata lebar-lebar dan memandang berkeliling. 

“Tanah bergetar. Aku mendengar suara desisan aneh,” 

menyahuti Kala Srenggi. Lalu Tumenggung dari Demak ini 

keluarkan seruan tertahan, “Lihat!” katanya seraya 

menunjuk ke depan. 

Saat itu entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul 

ratusan ular berbagai ukuran dan berbagai warna. 

Binatang-binatang ini meluncur di tanah mengeluarkan


suara menderu lalu mengelilingi sosok Ki Suro Gusti 

Bendoro. Kalau tadi mereka melata maka kini ratusan ular 

itu tegak berdiri diujung ekor masing-masing. Mereka 

bukan saja membentengi rapat sosok Ki Suro tapi dari 

mulut yang terbuka serta suara mendesis yang mereka 

keluarkan, jelas ratusan ular itu siap untuk menyerang 

puluhan kalajengking yang hendak mendatangi sang Kiai. 

“Ular... Banyak sekali!” kata Si Lidah Bangkai dengan 

tengkuk merinding. 

“Kurasa ada sekitar tiga ratusan...” berucap Kala 

Srenggi dengan suara perlahan tercekat. “Kiai satu ini 

memang sejak lama diketahui bersahabat dengan bangsa 

ular!” kata Kala Srenggi dengan rahang menggembung. 

“Lihat, puluhan kalajengkingmu seperti dipantek ke 

tanah. Tidak berani maju lebih jauh mendekati orang tua 

itu! Binatang-binatang itu agaknya tak bisa menembus 

benteng tiga ratus ekor ular!” 

“Aku harus memberi semangat pada mereka!” kata 

Kala Srenggi dengan rahang menggembung. Lalu telapak 

tangannya ditempelkan ke tanah. Saat itu juga menjalar 

getaran-getaran halus. Begitu getaran menyentuh puluhan 

kalajengking, ekor binatang-binatang ini langsung 

berjingkrak naik. Lalu laksana terbang puluhan 

kalajengking melesat, coba menembus barisan ular yang 

berdiri rapat membentengi Ki Suro. 

Saat itu Ki Suro baru saja selesai mengucapkan salam 

pertanda dia telah mengakhiri sholat Magrib-nya. Tapi lagi-

lagi orang tua ini seperti tidak acuh. Begitu selesai 

sembahyang dia tidak langsung bangkit berdiri melainkan 

terus duduk bersila dan mulai berzikir. 

Puluhan ular di barisan terdepan yang mengelilingi Ki 

Suro, begitu melihat puluhan kalajengking datang 

menyerang segera keluarkan desisan keras lalu melesat ke 

depan, menyongsong datangnya serangan. Baik Kala 

Srenggi maupun Si Lidah Bangkai tidak pernah 

menyaksikan perkelahian antara binatang dengan 

binatang. Apalagi antara ular dengan kalajengking.


Keduanya sampai leletkan lidah melihat apa yang terjadi. 

“Celaka! Kalajengkingku musnah semua!” ujar Kala 

Srenggi dengan muka memucat. Bumbung bambu yang 

sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh ke tanah. 

“Ular-ular itu, tidak seekorpun yang cidera!” menjawab 

Si Lidah Bangkai, “Biar kuhantam mereka dengan pukulan 

Gunting Iblis!” 

“Aku akan membarengi dengan pukulan Jarum Tanpa 

Bayangan,” kata Kala Srenggi pula. Lalu ketika si nenek 

angkat dua tangannya, Kala Srenggi segera pula 

mengangkat tangan kanannya. Ilmu Jarum Tanpa 

Bayangan adalah ilmu kesaktian yang bisa mengeluarkan 

lima siuran angin dari lima ujung jari. Angin tanpa cahaya 

atau sinar ini di dalamnya justru terkandung puluhan jarum 

beracun yang tidak bisa terlihat oleh pandangan mata 

biasa. Akibatnya banyak musuh yang tidak bisa 

menghindar dari serangan tersebut dan menemui ajal 

dengan tubuh penuh ditancapi jarum beracun. 

Kali ini Ki Suro Gusti Bendoro benar-benar menghadapi 

maut yang mungkin tidak dapat lagi dihindarinya. Namun, 

sementara orang tua itu tetap melakukan zikir, tiba-tiba 

sekitar dua ratus ekor ular goyangkan kepala dan 

keluarkan suara mendesis. Seratus meluncur cepat di 

tanah, seratus lagi melayang setinggi pinggang. Semua 

melesat ke arah Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai! 

Sementara itu sisa seratus ular masih tetap tegak di atas 

ekor masing-masing, mengelilingi melindungi Ki Suro. 

Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai sama-sama 

keluarkan seruan terkejut. Mereka berusaha melompat 

selamatkan diri tapi puluhan ular sudah membelit 

melingkari dan menggelayuti tubuh mereka. 

Saat itulah Ki Suro Gusti Bendoro menyudahi zikirnya, 

bergerak dari duduknya dan bangkit berdiri. 

“Sahabat-sahabatku, jangan celakai dua orang itu. 

Semua kembali ke sini!” 

Mendengar ucapan sang Kiai dua ratus ular yang ada di 

sekujur tubuh Kala Srenggi dan Si Lidah Bangkai dengan


patuh segera meluncur turun ke tanah lalu kembali 

berkumpul dengan seratus kawan-kawannya yang tegak 

mengelilingi Ki Suro. “Kalian berdua telah diselamatkan 

oleh Tuhan! Bersyukurlah padaNya. Tinggalkan tempat ini. 

Tinggalkan hidup dalam kesesatan!” 

Masih dalam keadaan ngeri atas apa yang barusan 

mereka alami, tanpa mampu berkata apa-apa lagi Kala 

Srenggi dan Si Lidah Bangkai segera tinggalkan tempat itu. 

Ki Suro memandang berkeliling pada ratusan ular yang ada 

di sekitarnya. 

“Sahabat-sahabatku, aku sangat berterima kasih atas 

pertolongan kalian. Karena hari sudah malam bukankah 

lebih baik bagi kalian kembali ke tempat masing-masing?” 

Tiga ratus ular mendesis panjang. Satu persatu mereka 

turunkan tubuh, melata di tanah. 

“Sekali lagi aku berterima kasih pada kalian,” kata Ki 

Suro lalu membungkuk memberi penghormatan. Dia baru 

meluruskan tubuhnya kembali setelah semua binatang itu 

lenyap dari tempat tersebut. 

Ki Suro menghela nafas lega. Dia merasa gembira 

karena ratusan ular itu tidak sampai menciderai Kala 

Srenggi dan Si Lidah Bangkai. Sambil memandang ke arah 

lenyapnya ke dua orang itu si kakek usap-usap dagunya 

yang ditumbuhi janggut putih. Dia coba mengingat-ingat, 

“Orangtua berbaju kuning yang datang bersama Si Lidah 

Bangkai tadi, aku seperti mengenali suaranya. Tetapi 

mengapa sosok dan wajahnya berlainan? Aku menduga 

jangan-jangan dia adalah... Ah! Di usia tua renta begini 

mungkin saja dugaanku bisa keliru. Biar aku lupakan saja 

dirinya. Aku harus menyempatkan memeriksa dan 

membaca kitab yang diberikan pengemis di pedataran 

Tengger itu.” Lalu orang tua ini naik ke satu bukit kecil. 

Dekat reruntuhan sebuah arca, Ki Suro duduk. 

Dikeluarkannya kitab daun lontar dari kempitan tangan 

kirinya dan membalik halaman pertama. 

***


ARIO BLEDEG 

PETIR DI MAHAMERU 10

SUNAN AMPEL

 

DI BAWAH penerangan bulan setengah lingkaran dan 

taburan bintang-bintang, Ki Suro Gusti Bendoro duduk di 

puncak bukit. Halaman pertama kitab daun lontar telah 

dibukanya. Agak sulit juga baginya untuk membaca karena 

selain ada beberapa bagian yang rusak, tulisan di daun 

lontar itu banyak yang tidak jelas lagi. 

Sesungguhnya sebelum manusia dilahirkan ke dunia, 

nasib perjalanan dirinya telah ditentukan oleh Sang Maha 

Pencipta, Gusti Allah Seru Sekalian Alam. Tiada beda 

antara insan satu... lainnya. Kecuali takwa dan kebajikan 

yang dibuatnya. Semua manusia dijadikan dari sumber 

dan bentuk yang sama. Karena itu mereka adalah 

bersaudara satu dengan lainnya. Tetapi di atas dunia 

mengapa mereka berbeda dalam pikiran, hati dan 

perbuatan. Mengapa tali persaudaraan mereka ubah 

menjadi api permusuhan. Mengapa insan lebih... bisikan 

setan daripada mendengarkan bisikan malaikat. Mereka 

saling berbunuhan dalam memperebutkan harta, tahta 

dan wanita. Padahal ajal manusia bukan di tangan 

manusia lainnya. Ajal manusia adalah kuasa Sang 

Pencipta. Sebelum ajal berpantang mati. Sekalipun insan 

berusaha mencari jalan kematiannya sendiri.

Sampai di sini Ki Suro hentikan bacaannya. Dia 

memandang ke arah kejauhan yang diselimuti kegelapan 

malam. Diam-diam dia menyadari betapa usianya sudah 

sangat lanjut. Namun Tuhan masih memanjangkan


umurnya. Entah sampai kapan. Dia lalu teringat pada 

mimpi yang pernah dialaminya sampai tiga kali. Ki Suro 

melanjutkan bacaannya kembali. 

Sifat dengki, iri, fitnah dan ingin berkuasa terlahir 

bersama lahirnya manusia. Janganlah heran kalau 

kemudian kutuk dan bala diturunkan Allah. Bukan hanya 

untuk menghu... ummat, tetapi agar mereka juga ingat, 

segera meninggalkan kesesatan dan kembali ke jalan yang 

lurus dan benar, jalan yang diredhoiNya.

Sayangnya manusia bersikap pura-pura. Terkadang 

malah bersikap pongah dan menantang. Ketika mereka 

berpijak di atas harta dan duduk di atas tahta kekuasaan 

mereka mengira diri merekalah yang menguasai apa yang 

ada di langit dan apa yang ada di bumi. Mereka ingkar 

pada hati nurani sendiri. Terlebih dari itu mereka ingkar 

pada Tuhan yang menciptakan mereka.

Konon malapetaka akan... menimpa negeri indah dan 

subur yang disebut Jawadwipa. Air mata lebih deras dari 

curahan hujan. Darah akan tumpah menganak sungai. Di 

dalam kekacauan yang berpusat dari keraton itu di mana 

tidak lagi diketahui mana kawan, mana lawan, mana anak 

mana saudara, maka ada seorang anak manusia yang 

akan diselamatkan oleh tangan Tuhan ke satu puncak 

tertinggi. Kepadanyalah segala harapan akan 

ditumpahkan. Kepadanyalah keraton akan banyak 

menggantungkan nasib.

Di puncak tertinggi ini pulalah konon sudah ditakdirkan 

oleh Yang Kuasa seorang insan panutan akan menemui 

hari terakhirnya. Sementara rohnya kembali ke alam 

barzah, Kuasa Tuhan akan merubah jazadnya menjadi 

sebilah... berluk tujuh yang diciptakan Tuhan dari raga suci 

dan petir sakti. Kelak senjata itu akan dikenal dengan 

nama “Ki Ageng Pitu Bledeg”. Kelak senjata itu akan 

menjadi salah satu pusaka Keraton. Namun selama negeri 

dilanda kekacauan, anak yang mendapat pertolongan 

Yang Maha Kuasa itu akan menjadi pemiliknya. Dengan 

berkah dan perlindungan Gusti Allah kelak di kemudian


hari anak itu berhak menyandang gelar “Pendekar Keris 

Tujuh Petir”. Barang siapa yang melangkah di jalan lurus 

maka Allah akan memberkatinya. Barang siapa yang 

menerima wasiat hikayat ini dan melakukan sesuatu yang 

diridhoi Allah maka kepadanya Gusti Allah menjanjikan 

tempat yang sebaik-baiknya di Negeri Akhirat. Tak ada 

ganjaran yang paling besar dan nyata selain mengerjakan 

perintahNya dan menjauhkan laranganNya.

Selesai membaca kitab daun lontar yang hanya terdiri 

dari dua halaman itu ditambah sampul depan dan sampul 

belakang, lama Ki Suro Gusti Bendoro merenung. Dia 

seolah bicara dengan dirinya sendiri. 

“Kitab ini diberikan seorang pengemis aneh padaku di 

tengah gurun pasir Tengger. Dia lenyap begitu saja seolah 

dirinya adalah seorang malaikat Allah. Jika kuhubungkan 

tiga mimpi yang kualami dengan semua kejadian serta 

kitab daun lontar ini agaknya aku telah menerima satu 

amanat, satu wasiat. Di dalam kitab disebutkan satu 

tempat tertinggi di tanah Jawa. Jika aku hubungkan dengan 

kekacauan dan peristiwa berdarah yang terjadi di Demak, 

apalagi yang dimaksudkan dengan tempat tertinggi itu 

kalau bukan puncak Gunung Mahameru?” 

Ki Suro merasakan dadanya berdebar ketika dia ingat 

pada bacaan yang berbunyi “Di puncak tertinggi itu pulalah 

konon sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa seorang 

insan akan menemui hari terakhirnya...”

“Suara hatiku membisikkan aku harus pergi ke puncak 

Mahameru. Aku mempunyai firasat di tempat itulah 

agaknya hari terakhirku di dunia ini... Pendekar Keris Tujuh 

Petir... Apakah aku akan menemuinya di sana? Ini bukan 

perkara kecil. Aku butuh petunjuk.” Ki Suro memandang ke 

langit. Cahaya bulan setengah lingkaran kelihatan begitu 

indah dan terasa sejuk. Dada sang Kiai yang tadi berdebar 

kini menjadi tenteram kembali. Ki Suro lalu pandangi kitab 

daun lontar yang ada di pangkuannya. “Kitab berharga ini 

harus kusimpan baik-baik. Mungkin tidak akan kubawa ke 

puncak Mahameru. Tetapi kepada siapa kitab sangat


berharga ini akan kuserahkan? Ya Allah, aku benar-benar 

perlu petunjukMu.” Ki Suro lalu pejamkan mata dan 

tampungkan dua tangannya ke atas, berdoa memohon 

petunjuk. Namun sampai lewat tengah malam orang tua ini 

masih belum menemukan apa-apa. Ki Suro lalu 

menghadap kiblat dan bersujud sambil kembali 

memanjatkan doa. 

Tiba-tiba Ki Suro merasakan ada getaran-getaran di 

keningnya yang menempel di tanah. Lalu sayup-sayup di 

kejauhan terdengar suara derap kaki kuda. Derapnya 

perlahan saja tapi tak selang berapa lama kemudian 

binatang itu telah berada di atas puncak bukit di hadapan 

Ki Suro. 

Perlahan-lahan Ki Suro bangkit dari sujudnya. Beberapa 

langkah di depannya berdiri gagah seekor kuda putih yang 

ekornya selalu digerak-gerakkan kian kemari. Di atas 

punggung binatang ini duduklah seorang berjubah dan 

bersorban putih. Sepasang alis matanya hitam tebal. 

Kumis dan janggutnya tampak rapi. Di tempat itu keadaan 

cukup gelap tapi anehnya Ki Suro bisa melihat keseluruhan 

wajah penunggang kuda ini dengan jelas. Satu wajah tua 

yang bersih dan tenang. Dan begitu mengenali wajah ini 

terkejutlah Ki Suro. Cepat-cepat dia bangkit berdiri, 

membungkuk dalam-dalam. Ketika dia hendak memberi 

salam, si penunggang kuda telah mendahului. 

“Salam sejahtera bagimu wahai saudaraku seiman.” 

“Salam sejahtera juga bagi sampeyan saudaraku 

seiman,” balas Ki Suro. “Maafkan saya. Jika saya boleh 

bertanya bukankah sampeyan ini Wali Allah yang dipanggil 

dengan nama Sunan Ampel? Yang saya ketahui adalah 

juga merupakan saudara sepupu mendiang Sultan Demak 

Raden Patah?” 

Orang di atas kuda tersenyum. “Malam begini gelap. 

Aku gembira kau masih bisa mengenali diriku.” 

“Allah Maha Besar. Sungguh satu kebahagiaan dan 

kehormatan dapat bertemu dengan salah seorang dari 

Sembilan Wali terkenal. Maafkan kelancangan saya kalau


saya bertanya bagaimana Wali bisa muncul di tempat ini 

dan tanpa pengiring atau pengawal sama sekali?” 

Sunan Ampel tersenyum kembali lalu turun dari 

kudanya. Ki Suro cepat menghampiri Wali ini, lalu 

menyalaminya dengan penuh khidmat 

“Allah Maha Besar yang menuntun diriku ke puncak 

bukit ini. Allah Maha Besar pula yang menjadi pelindung 

diriku dan kita semua. Hingga perlu apa aku membawa 

pengiring dan pengawal segala? Saudaraku, melihat begitu 

lama sujudmu tadi, aku menduga pastilah ada satu hal 

teramat penting yang tengah kau mohonkan padaNya.” 

“Terima kasih Wali mau memperhatikan diri saya. Wali 

benar adanya,” kata Ki Suro. Lalu meneruskan, “Saat ini 

saya tengah menghadapi satu perkara besar. Menyangkut 

mimpi saya yang ada hubungannya dengan kitab daun 

lontar ini.” 

“Kitab apakah itu adanya saudaraku?” tanya Sunan 

Ampel. 

“Kitab ini tidak berjudul. Tapi jika membaca hikayat 

yang ada di dalamnya, ada sangkut pautnya dengan 

Keraton Demak serta masa depan tanah Jawa.” Lalu Ki 

Suro menceritakan isi kitab yang baru saja dibacanya. 

“Berbahagialah engkau saudaraku. Tuhan telah 

mempercayakan kitab itu padamu...” 

“Tapi Wali, saya rasa... Saya rasa kitab ini sebaiknya 

saya serahkan saja pada Wali.” 

Sunan Ampel tersenyum. 

“Pengemis aneh di gurun Tengger itu sudah 

mengatakan. Kitab itu berjodoh padamu. Mengapa harus 

kau serahkan padaku? Bawalah kitab itu ke mana kau 

pergi. Dengan petunjuk Allah kelak kau akan menemukan 

seseorang kepada siapa kitab itu bisa kau serahkan. Tetapi 

jika kau ingin kejelasan yang lebih baik, mengapa kau tidak 

melakukan sembahyang sunnat dua rakaat. Dilanjutkan 

dengan membaca doa petunjuk, doa Istikharah?” 

“Terima kasih Wali. Saya akan lakukan apa yang Wali 

katakan.” kata Ki Suro pula.


“Aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga Tuhan 

memberkahi dan melindungi dirimu saudaraku.” 

“Terima kasih Wali. Semoga rahmat Tuhan menjadi 

bagian Wali. Selamat jalan Wali. Assalam mualaikum.” Ki 

Suro lalu membungkuk penuh hormat. 

“Wa alaikum salam.” Sunan Ampel lalu naik ke atas 

kudanya. 

Tak lama setelah Sunan Ampel meninggalkan bukit 

kecil itu, Ki Suro Gusti Bendoro segera melakukan 

sembahyang sunnat dua rakaat. Selesai sembahyang Kiai 

ini lalu duduk bersila. Dengan penuh khidmat dia 

memanjatkan doa Istikharah. 

“Ya Tuhanku. Sesungguhnya saya minta Engkau 

pilihkan yang baik dengan pengetahuanMu, dan saya 

minta Engkau memberi saya kekuatan dengan 

kekuasaanMu, dan saya minta kemurahanMu yang luas, 

karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang saya tidak 

berkuasa, Engkau mengetahui sedang saya tidak 

mengetahui, dan Engkau adalah amat mengetahui 

perkara-perkara yang ghaib. Ya Tuhanku, kalau memang 

Engkau ketahui bahwa perkara ini baik bagi saya, untuk 

agama saya, penghidupan saya dan untuk penghabisan 

saya, maka berikanlah kepada saya dan mudahkanlah 

urusan buat saya dan berkatkanlah dia bagi saya. Dan 

kalau memang Engkau sudah mengetahui bahwa perkara 

ini tidak baik untuk saya, agama saya, untuk penghidupan 

saya dan untuk penghabisan saya, maka jauhkanlah dia 

dari saya dan jauhkanlah saya dari dia, dan berikanlah 

kepada saya kebaikan dari mana saja datangnya serta 

jadikanlah saya orang yang ridho akan dia.”

Keesokan paginya, menjelang subuh ketika sang Kiai 

terbangun, secara aneh dia langsung teringat pada 

seorang sahabatnya, seorang Empu bernama Bondan 

Ciptaning. 

“Tuhan Maha Besar. Dia telah memberi petunjuk pada 

tua renta buruk ini. Aku harus menemui empu itu. Agaknya 

kepadanyalah aku harus menyerahkan kitab ini sebelum


berangkat menuju puncak Mahameru.” Begitu sang Kiai 

membatin. Lalu dia ingat pula pada ucapan Sunan Ampel 

pada pertemuan di awal malam tadi. “Dengan petunjuk 

Allah kelak kau akan menemukan seseorang kepada siapa 

kitab itu bisa kau serahkan...”

*** 

KI SURO Gusti Bendoro menatap wajah Empu Bondan 

Ciptaning yang memandang sayu padanya. Ki Suro maklum 

perasaan yang ada dalam hati sahabatnya yang sudah 

dianggapnya sebagai saudara itu. Karenanya dengan 

tersenyum dia berkata, “Saudaraku Empu Bondan 

Ciptaning, begitulah tadi kisah yang bisa aku tuturkan pada 

sampeyan. Yang Kuasa telah memberi petunjuk. Aku 

merasa bahagia dan lega dapat menyerahkan kitab itu 

pada sampeyan. Harap sampeyan mau menjaganya baik-

baik. Sekarang, selagi hari masih siang, izinkan diriku 

berangkat menuju Gunung Mahameru.” Ki Suro memegang 

bahu sahabatnya itu lalu bangkit berdiri. 

“Tunggu dulu Ki Suro,” kata Empu Bondan Ciptaning 

seraya berdiri pula. “Apakah kau tidak keliru menyerahkan 

kitab sangat berharga dan sangat keramat ini padaku?” 

“Petunjuk Gusti Allah mengatakan begitu. Mana berani 

aku melakukan hal menyimpang dari itu. Saudaraku, 

agaknya apakah ada keraguan dalam hatimu?” 

“Tidak, sama sekali tidak ada keraguan. Ki Suro, aku 

mengetahui apa arti perjalananmu ke puncak Mahameru 

itu. Agaknya hari ini adalah hari pertemuan kita yang 

terakhir...” Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning 

kelihatan mulai berkaca-kaca. 

Kembali Ki Suro Gusti Bendoro memegang bahu 

sahabatnya itu. Walau dia sebenarnya juga tidak dapat 

menahan keharuan namun dengan senyum di bibir dia 

berkata, “Hari ini begini indah, pertemuan kita penuh 

kegembiraan. Apa yang sampeyan sedihkan saudaraku? 

Apakah pertemuan, persahabatan dan persaudaraan itu


hanya terbatas di atas dunia yang serba fana ini? 

Bukankah agama kita memberi petunjuk bahwa akan ada 

satu kehidupan baru di alam akhirat, satu kehidupan yang 

kekal selama-lamanya?” 

“Kau benar saudaraku. Mungkin aku terlalu hanyut 

dalam perasaan...” kata Empu Bondan Ciptaning pula 

sambil coba mengulum senyum. 

“Sebelum kita berpisah ada sesuatu yang hendak aku 

berikan pada sampeyan,” kata Ki Suro lalu memasukkan 

tangan kirinya ke dalam saku kanan jubah putihnya. Ketika 

tangan itu dikeluarkan kelihatanlah seuntai tasbih besar 

berwarna hijau terbuat dari batu giok asli berasal dari 

daratan Tiongkok. 

Empu Bondan Ciptaning bergerak mundur satu langkah. 

“Saudaraku Ki Suro, jangan kau bermain-main.” 

“Siapa bermain-main? Tasbih ini sudah aku niatkan 

untuk kuberikan pada sampeyan,” kata Ki Suro pula. 

“Tidak saudaraku. Aku tahu betul riwayat tasbih batu 

giok yang dikenal dengan nama Ki Ageng Bela Bumi ini. 

Semasa kau muda, dengan tasbih ini kau mendampingi 

Sultan Demak untuk membangun kerajaan...” 

“Lalu apa salahnya aku berikan pada saudaraku 

sendiri?” ujar Ki Suro lalu sebelum Empu Bondan Ciptaning 

sempat membuka mulut tasbih besar itu sudah 

dikalungkannya ke leher sang Empu. 

“Ki Suro, perjalanan ke puncak Gunung Mahameru jauh 

dan banyak rintangan serta bahayanya. Kau pasti 

membutuhkan tasbih sakti itu untuk melindungi dirimu...” 

“Yang menjadi pelindungku adalah Gusti Allah Yang 

Maha Kuasa. Aku cukup membawa tongkat bambu kuning 

ini saja,” kata Ki Suro sambil melintangkan tongkat bambu 

kuningnya di atas dada. “Saudaraku, aku pergi sekarang. 

Jaga dirimu baik-baik. Keadaan akhir-akhir ini semakin 

tidak karuan. Kita tidak tahu lagi mana lawan mana 

kawan...” 

“Terima kasih atas nasihatmu Ki Suro. Aku akan jaga 

kitab ini baik-baik. Selamat jalan, semoga Tuhan


melindungimu hingga kau sampai dengan selamat ke 

tempat tujuan.” 

“Semoga Gusti Allah memberikan berkat dan 

perlindungan atas dirimu Empu Bondan,” kata Ki Suro lalu 

dua sahabat itu saling berpelukan beberapa lamanya. 

Sepasang mata Empu Bondan Ciptaning kembali berkaca-

kaca melepas kepergian Kiai Suro Gusti Bendoro hingga 

akhirnya orang tua berjubah putih itu lenyap di kejauhan. 

Empu Bondan menarik nafas panjang. Walau sudah 

mendengar langsung cerita serta isi kitab daun lontar dari 

Ki Suro Gusti Bendoro, namun sang Empu ingin membaca 

sendiri apa yang tertulis di dalam kitab daun lontar yang 

diberikan Ki Suro kepadanya itu. Maka diapun melangkah 

ke tepi telaga, maksudnya hendak duduk di atas sebuah 

batu hitam rata. Namun baru bergerak dua langkah tiba-

tiba di belakangnya terdengar derap kaki kuda. “Ada orang 

datang...” kata Empu Bondan dalam hati. Dia cepat 

menyelinapkan kitab daun lontar ke balik pakaiannya. 

Ketika dia memutar tubuh dua kuda besar sama-sama 

berwarna hitam menghambur di kiri kanannya. Kalau orang 

tua ini tidak gesit menghindar, pasti dia akan kena 

terjangan kaki atau tubuh kuda-kuda itu. Dari cara muncul 

kedua orang itu jelas mereka berniat jahat hendak 

mencelakai Empu Bondan Ciptaning. Lalu ketika dia 

memperhatikan siapa adanya para dua penunggang kuda, 

terkejutlah sang Empu. Namun dia tetap berlaku tenang, 

tak mau memperlihatkan rasa keterkejutannya, apalagi 

rasa takut. 

***


ARIO BLEDEG 

PETIR DI MAHAMERU 11

WAROK WESI GLUDUG 



PENUNGGANG kuda hitam di sebelah kanan bukan lain 

adalah nenek berjuluk Si Lidah Bangkai yang sebelumnya 

telah diceritakan oleh Ki Suro Gusti Bendoro. Di 

sampingnya juga di atas seekor kuda hitam besar duduk 

seorang lelaki bertubuh tinggi kekar, mengenakan celana 

hitam gombrong. Dadanya yang telanjang ditumbuhi bulu 

lebat. Orang ini memelihara rambut panjang dikuncir ke 

atas. Mukanya tertutup oleh kumis tebal, janggut dan 

cambang bawuk meranggas. Di lehernya ada sebuah 

kalung digantungi lima buah jimat dibungkus dengan kain 

hitam. Keangkeran manusia satu ini ditambah lagi dengan 

sepasang tangannya yang berbulu dan berwarna hitam 

sebatas siku ke bawah. 

Seperti diceritakan sebelumnya, setelah tidak mampu 

merampas Kitab Hikayat Keraton Kuno dari tangan Ki Suro 

Gusti Bendoro, bersama Kala Srenggi nenek itu melarikan 

diri. Namun di tengah jalan rasa dendam membuat Si Lidah 

Bangkai mengajak Kala Srenggi menyusun rencana untuk 

kembali mendatangi Ki Suro. Kala Srenggi menolak dengan 

alasan bahwa dia punya satu urusan penting di Demak. 

Alasannya itu memang benar, namun di samping itu Kala 

Srenggi masih ciut keberaniannya untuk menghadapi Ki 

Suro. Masih untung dalam pertempuran senja tadi Ki Suro 

tidak memerintahkan seratus ular membunuhnya, padahal 

binatang-binatang itu telah menggelung menggayuti 

dirinya.


Kecewa atas penolakan Kala Srenggi, Si Lidah Bangkai 

tinggalkan sahabatnya itu lalu memasuki kawasan hutan 

Roban. Di hutan ini dia menemui seorang gembong rampok 

yang bukan saja malang melintang berbuat kejahatan 

tetapi juga diketahuinya pernah berserikat dengan 

kelompok jahat yang menghancurkan keraton. Ternyata 

tidak mudah bagi si nenek mencari tokoh penjahat yang 

dikenal dengan nama Warok Wesi Gludug itu. Lebih dari 

satu minggu menyusuri rimba belantara lebat barulah dia 

berhasil menemui sang Warok. Ini pun setelah dia sempat 

dihadang oleh tiga orang anak buah Warok Wesi Gludug 

yang kemudian dihajarnya lalu dipaksa membawanya ke 

tempat persembunyian pimpinan mereka. 

Kepada pimpinan rampok hutan Roban itu Si Lidah 

Bangkai menceritakan tentang kitab kuno yang kini berada 

di tangan Ki Suro Gusti Bendoro lalu mengajak Warok Wesi 

Gludug untuk membantu merampasnya. 

“Aku memang pernah mendengar riwayat kitab itu sejak 

belasan tahun silam. Tapi sulit dipercaya benar atau tidak 

keberadaannya...” kata Warok Wesi Gludug. Sesuai dengan 

namanya ternyata lelaki tinggi kekar dada berbulu ini 

memiliki suara besar keras. Siapa yang bicara dengannya 

akan mengiang dan tergetar gendang-gendang telinganya. 

Bahkan orang-orang yang tidak membekal ilmu kepandaian 

bisa berdebar dadanya mendengar suara sang Warok. 

“Aku sendiri melihat kitab itu ada pada Ki Suro, apa kau 

tidak percaya?” kata Si Lidah Bangkai pula. 

“Kalaupun memang ada pada Kiai itu, apa artinya 

sebuah kitab yang sudah lapuk? Apa untungnya 

membuang waktu bercapai-capai mendapatkannya? Di sini 

bersama anak buahku dalam satu minggu aku bisa 

mendapatkan jarahan besar, tanpa bekerja keras,” kata 

sang Warok lagi tetap enggan membantu Si Lidah Bangkai. 

Tapi si nenek berlaku cerdik. “Kalau kau tidak suka 

membantu tidak jadi apa,” katanya, “Aku bisa 

mendapatkan bantuan dari para sahabat lainnya. Hanya 

saja harap di kemudian hari kau tidak merasa menyesal.”


“Merasa menyesal? Mengapa aku harus merasa 

menyesal?!” ujar Warok Wesi Gludug. 

“Kitab buruk itu diperebutkan banyak tokoh. Berarti ada 

satu rahasia besar tersimpan di dalamnya. Karena 

menyangkut keraton, bukan mustahil ada petunjuk tentang 

harta karun berupa perhiasan atau emas dalam jumlah 

luar biasa besar. Disembunyikan di satu tempat. Kurasa 

kau pernah mendengar bahwa dulu ada sebuah kapal 

besar dari Kerajaan Campa mendarat di pantai Demak 

membawa barang-barang rahasia berjumlah belasan 

gerobak besar!” Si nenek menyeringai sambil 

memperhatikan wajah kepala rampok itu. “Selamat tinggal 

Warok Wesi Gludug! Perintahkan anak buahmu 

menunjukkan jalan keluar.” Setelah berucap begitu si 

nenek putar tubuhnya dan cepat-cepat hendak melangkah 

seolah-olah dia memang benar-benar hendak tinggalkan 

tempat itu. 

Sikap Warok Wesi Gludug serta merta berubah. “Lidah 

Bangkai! Tunggu dulu! Aku ikut bersamamu!” 

Si Lidah Bangkai tertawa seperti kuda meringkik. 

“Kalau begitu suruh anak buahmu menyiapkan dua ekor 

kuda! Perjalanan kita mencari Kiai itu mungkin cukup jauh 

dan lama!” 

Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug tinggalkan 

hutan Roban menunggang dua ekor kuda hitam besar. 

Cukup lama mereka melakukan perjalanan, berbilang hari 

berbilang minggu. Ketika akhirnya mereka berhasil 

mengetahui di mana beradanya Ki Suro Gusti Bendoro, 

ternyata sang Kiai dalam perjalanan ke satu tempat 

berdiam seorang sahabatnya yakni Empu Bondan 

Ciptaning. Tanpa diketahui Ki Suro kedua orang ini terus 

menguntit. Mereka berhasil sampai di tempat pertemuan 

hanya beberapa ketika sebelum Ki Suro meninggalkan 

tepian telaga, yaitu setelah menyerahkan kitab daun lontar 

pada Empu Bondan Ciptaning. 

“Kita biarkan dulu Kiai itu pergi, baru kita mengerjai 

sang Empu,” bisik Si Lidah Bangkai yang diam-diam


rupanya merasa takut juga terhadap Ki Suro. 

Begitu Ki Suro pergi dan lenyap di kejauhan kedua 

orang itu menggebrak kuda masing-masing, langsung 

menerjang Empu Bondang Ciptaning. 

Setelah perhatikan dua orang di atas kuda itu sejenak, 

Empu Bondan segera maklum kalau orang berniat jahat 

terhadapnya. “Nenek satu ini jelas masih mencari dan 

menginginkan kitab yang ada padaku,” kata Empu Bondan 

Ciptaning dalam hati. “Kawannya ini kalau aku tidak salah 

menduga adalah pentolan kepala rampok hutan Roban 

bernama Warok Wesi Gludug, penjahat paling berbahaya 

yang dicari-cari kerajaan.” 

Walau sudah tahu orang berniat jahat tapi Empu 

Bondan Ciptaning dengan tetap tenang dan wajah polos 

menegur, “Salam bahagia dan selamat bagi kalian berdua. 

Sudah lama aku dari tempat jauh ini mendengar nama 

besar kalian berdua. Jika hari ini nenek hebat Si Lidah 

Bangkai dan orang terkenal Warok Wesi Gludug datang 

menyambangi diriku, sungguh aku mendapatkan satu 

kehormatan besar...” Setelah berucap begitu Empu Bondan 

Ciptaning lalu bungkukkan badannya memberi 

penghormatan. 

Si Lidah Bangkai menyeringai lalu kedipkan matanya 

pada Warok Wesi Gludug. Sang Warok balas kedipkan 

mata lalu tertawa bergelak. Suara tawanya menggetarkan 

seantero tempat. Apalagi karena dia mengerahkan tenaga 

dalam maka Empu Bondan merasa telinganya mengiang-

ngiang, dadanya bergejolak dan tanah di bawah kakinya 

bergetar! Cepat-cepat sang Empu kerahkan tenaga 

dalamnya untuk menolak hawa jahat tenaga dalam orang. 

“Sahabatku Lidah Bangkai!” kata Warok Wesi Gludug 

pada si nenek di sebelahnya, “Kau dengar sendiri orang 

bicara baik dan sopan pada kita. Berarti kita tidak akan 

menemui kesulitan berurusan dengan Empu ini! Ha... ha... 

ha... ha!” Suara tawa Warok Wesi Gludug membahana. Dua 

ekor kuda hitam tersentak kaget, meringkik keras seperti 

ketakutan. Si Lidah Bangkai dan Warok Wesi Gludug cepat


usap-usap leher binatang tunggangannya hingga dua ekor 

kuda ini menjadi jinak kembali. 

“Warok Wesi Gludug, jika kita memang berniat baik 

dengan siapapun kita melakukan urusan pasti tidak ada 

kesulitan. Gerangan urusan apakah yang kalian berdua 

hendak sampaikan padaku. Harap kalian mau 

memberitahu. Lalu gerangan apa pula yang bisa kulakukan 

untuk membantu kalian,” berkata Empu Bondan Ciptaning. 

Warok Wesi Gludug angguk-anggukkan kepala. “Orang 

baik... Empu baik...” katanya berulang kali lalu sepasang 

lengannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama lain. 

Luar biasanya dua tangan yang saling digosokkan itu 

mengeluarkan suara grek-grek-grek seperti suara dua 

potong besi saling digesek. Dari sini saja sudah dapat 

diketahui bagaimana kehebatan sepasang tangan sang 

Warok. Ditambah dengan keangkeran wajah dan suaranya 

maka memang dia pantas dijuluki Warok Wesi Gludug yang 

berarti “Kepala Rampok Tangan Besi Suara Guntur”. 

“Empu Bondan, tentu saja kami datang bukan untuk 

memesan keris sakti bertuah. Karena kami tahu sudah 

lama kau tidak pernah duduk di belakang tungku perapian 

menempa keris. Kami datang membekal satu maksud baik. 

Sahabatku nenek berjuluk Si Lidah Bangkai ini inginkan 

sebuah kitab yang ada padamu. Sedangkan aku, 

mengingat sikapmu yang sopan aku hanya akan meminta 

tasbih yang melingkar di lehermu!” Selesai berucap begitu 

sang Warok lalu tertawa bergelak dan kembali gosok-

gosokkan dua tangannya satu sama lain. 

Empu Bondan Ciptaning tatap wajah dua orang yang 

masih duduk di atas kuda itu sesaat. Sikap dan raut air 

mukanya tetap tenang. Tak terpengaruh oleh kata-kata 

Warok Wesi Gludug tadi padahal orang sudah jelas 

menyatakan maksud buruknya. 

“Warok Wesi Gludug, kau menyebut sebuah kitab. Bisa 

kau menerangkan kitab apa yang kau maksudkan?” 

bertanya sang Empu. 

“Biar aku yang menjawab!” kata Si Lidah Bangkai


setelah berdiam diri saja dari tadi, “Kitab yang kami 

maksudkan adalah sebuah kitab terbuat dari daun lontar. 

Berisi hikayat keraton kuno...” 

“Ah, kitab itu rupanya,” ujar Empu Bondan sambil 

mengangguk-angguk. 

Sebelum dia meneruskan Si Lidah Bangkai kembali 

membuka mulut, “Seorang Empu tidak akan berkata dusta! 

Kami melihat sendiri sebelum pergi Kiai Suro Gusti 

Bendoro menyerahkan kitab itu padamu! Jadi jangan 

berkilah kitab itu tidak ada padamu!” 

Empu Bondan tersenyum. “Kitab yang kalian 

maksudkan itu memang ada padaku. Tapi harap diketahui, 

kitab itu bukan milikku. Ki Suro hanya menitipkan padaku 

agar aku menjaganya baik-baik. Jadi harap dimaafkan 

kalau aku tidak mungkin menyerahkan kitab itu pada 

kalian...” 

“Hemmm... Begitu?” ujar Si Lidah Bangkai. Sisik hitam 

kebiruan yang menutupi wajahnya langsung kaku berdiri. 

Lidahnya yang merah bercabang menjulur menyemburkan 

percikan cairan merah. 

“Kami meminta dengan baik...” Nada suara Si Lidah 

Bangkai mengandung ancaman. 

“Akupun menolak dengan baik,” jawab Empu Bondan. 

Amarah Si Lidah Bangkai jadi menggelegak. “Empu 

tolol! Tua bangka yang sudah bau tanah! Rupanya kau 

ingin menemui ajal lebih cepat dari takdir!” 

“Kita manusia jangan menyalahi ketentuan Yang Maha 

Kuasa. Soal nyawa dan takdir adalah kuasanya Dia Yang 

Tunggal,” jawa Empu Bondan pula. 

“Bagaimana dengan kalung tasbih batu Giok yang 

tergantung di lehermu Empu?” bertanya Warok Wesi 

Gludug, “Apakah kau juga tidak mau menyerahkannya 

padaku?!” 

“Sama saja Warok. Tasbih ini juga titipan orang. Apapun 

yang terjadi aku harus menjaganya baik-baik.” Jawab Empu 

Bondan. 

Warok Wesi Gludug berpaling pada Si Lidah Bangkai.


Dua orang ini lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba tawa 

mereka lenyap. Warok Wesi Gluduk keluarkan bentakan 

garang yang membuat kawasan sekitar telaga jadi 

bergetar. Air telaga beriak keras. Daun-daun pepohonan 

bergeser bergemerisik. Si Lidah Bangkai tak mau kalah. 

Dia keluarkan satu pekik nyaring. Lidahnya bergulung 

keluar. Lalu sekali membuat gerakan, sosok sang Warok 

dan si nenek melesat ke atas, begitu turun langsung 

menyerang ke arah Empu Bondan Ciptaning. 

“Tuhan! Saya berpegang pada kekuatanMu dan 

berlindung di bawah kekuasaanMu. Tolong saya 

menghadapi manusia-manusia saat ini! Ampuni dosa saya 

kalau saya sampai menjatuhkan tangan jahat terhadap 

mereka!” Empu Bondan Ciptaning berkata dalam hati. Lalu 

dua kakinya digeserkan. 

Beettt! 

Sosok sang Empu berkelebat lenyap. Yang kelihatan 

hanya bayang-bayang biru warna pakaiannya. 

Warok Wesi Gludug dan Si Lidah Bangkai berseru kaget 

ketika dapatkan serangan ganas yang mereka lancarkan 

hanya menghantam tempat kosong. Di tanah kelihatan dua 

lobang besar. Yang satu berwarna merah akibat hantaman 

ujung lidah bercabang Si Lidah Bangkai. Satunya lagi 

lobang berwarna hitam bekas terkena pukulan tangan besi 

sang Warok! 

(BERSAMBUNG KE BAGIAN-3)


________________________________

BASTIAN TITO 

KUNGFU SABLENG

PENDEKAR PISPOT NAGA 

(THE DRAGON PISPOT) 


KUNGFU SABLENG 

PENDEKAR PISPOT NAGA 

(The Dragon Pispot) 1

PERGURUAN kungfu Ban Yak Cing Cong yang dipimpin oleh 

Tong Pes mengalami kekurangan biaya dan terancam 

gulung tikar alias tutup. Karenanya sang suhu menyuruh 

salah seorang muridnya yang terpercaya yaitu Tek Lok 

pergi ke kotaraja untuk menggadaikan seperangkat pispot 

antik. Pispot-pispot itu sangat mahal harganya karena 

konon berasal dari zaman dinasti Cong Ngek 600 abad 

silam. Maka berangkatlah Tek Lok selama beberapa hari. 

Ketika ia pulang dari kotaraja alangkah kagetnya pemuda 

bertubuh gemuk tambun itu karena mendapatkan 

perguruannya telah diobrak-abrik orang. Di halaman depan 

bergeletakan sebelas saudara seperguruannya, 

kebanyakan sudah tidak bernafas lagi. Dua tiga orang 

memang masih terdengar mengerang. Tapi tak mungkin 

ditolong karena sebentar lagi mereka pasti akan meregang 

nyawa. 

Sementara itu di serambi depan Tek Lok menyaksikan 

suhunya bersama seorang murid tingkat utama tengah 

bertempur mati-matian melawan seorang tinggi besar 

berdandan aneh. Orang ini mengenakan jubah kuning 

dengan hiasan naga hitam di bagian dada dan punggung. 

Di batok kepalanya nangkring satu topi aneh yang bukan 

lain adalah sebuah pispot putih dihiasi gambar-gambar 

naga. 

Ternyata si topi pispot lawan sang suhu memiliki kungfu 

luar biasa. Gerakannya cepat sekali, laksana bayang-

bayang dikejar setan. Ketua perguruan dan muridnya 

terdesak hebat hanya dalam beberapa jurus saja. Selain itu 

yang membuat mereka jadi kelabakan ialah karena setiap


gerakan yang dibuat lawan, dari balik jubah kuningnya 

menghambur bau tidak sedap, yakni seperti bau kotoran 

manusia. 

“Jangan-jangan ini olang habis buang ail besal belum 

cebok alias ngepet!” pikir Tek Lok yang memang cadel dari 

sononya. 

Dalam satu gebrakan hebat kepala si tinggi besar yang 

disungkup pispot tahu-tahu sudah menghantam dada 

murid utama. Lelaki kurus kerempeng ini menjerit keras 

dan terpental. Tubuhnya terbanting di tanah. Dadanya 

remuk. Tak berkutik lagi. Darah mengucur dari mulutnya. 

Mata mendelik jereng. Tit sudah! 

Sadar kalau seorang diri dan hanya mengandalkan 

tangan kosong dia tidak akan dapat menghadapi lawan 

yang begitu lihay maka ketua perguruan Ban Yak Cing Cong 

segera hunus sebilah golok panjang yang terselip di 

belakang punggungnya. 

“Manusia terkutuk!” memaki Tong Pes. “Hari ini biar 

pinceng mengadu nyawa denganmu!” 

Si topi pispot tertawa bergelak. 

“Tong Pes! Dulu aku minta kau menjual pispot-pispot 

antik itu padaku. Tapi kau menolak dengan sombong! Kau 

malah menyuruh orang menjualnya ke kotaraja! Hari ini 

kau bicara segala macam soal adu nyawa! Rupanya kau 

punya banyak nyawa serep. Aku tuan besarmu Tong Siam 

Pah akan melayani! Walau begadang sampai pagi 

sekalipun! Ha... ha... ha!” 

Tong Pes kertakkan geraham. Dengan suara 

menggembor dia putar goloknya laksana curahan hujan. 

Namun sayang, bagaimanapun hebatnya ilmu golok ketua 

perguruan kungfu Ban Yak Cing Cong itu dia bukanlah 

tandingan si topi pispot yang mengaku bernama Tong Siam 

Pah. Setengah mempermainkan lawannya, setiap Tong Pes 

membacok, menusuk atau membabatkan goloknya, Tong 

Siam Pah sengaja angsurkan kepalanya. Maka 

terdengarlah suara tring... treng... trang... kling berulang 

kali. Sesekali suara beradunya golok dengan pispot itu


diseling suara ngek! Yakni suara yang keluar dari mulut 

Tong Pes akibat jotosan atau tendangan lawan yang 

mendarat di ulu hatinya! 

Tek Lok yang sembunyi di balik sumur menyadari 

bahaya besar yang tengah mengancam suhunya. Karena 

tidak ingin dianggap sebagai murid tidak berbakti alias 

puthauw tanpa pikir panjang Tek Lok segera menyerbu ke 

tengah kalangan pertempuran guna membantu sang suhu. 

Namun baru saja dia hendak bergerak mendadak satu 

tangan yang kuat mencengkeram tengkuknya hingga 

saking kagetnya Tek Lok sampai keluarkan kentut. 

Lehernya seperti digencet japitan besar. Kepalanya tidak 

bisa digerakkan barang sedikitpun! 

“Kulang ajal!” maki Tek Lok. Tek Lok kirimkan satu 

tendangan kungfu ke belakang. Inilah jurus yang disebut 

“kuda bunting menendang jantan gatal”. Tapi apa lacur, 

orang yang hendak ditendang rupanya sudah tahu apa 

yang hendak dilakukan Tek Lok. Dengan cepat dia totok 

urat besar tepat di atas tulang tunggir murid perguruan Ban 

Yak Cing Cong yang bertubuh tambun gendut ini. Tak 

ampun Tek Lok langsung menjadi lumpuh kaku. Tapi 

mulutnya masih bisa dibuka. Maksudnya mau memaki. 

Tapi inipun gagal karena di belakang orang yang 

membokongnya dengan satu gerakan cepat menyumpal 

mulutnya dengan sebutir buah mengkudu hutan setengah 

busuk. Membuat Tek Lok bukan saja megap-megap 

mendelik sulit bernafas tapi juga mau muntah karena tidak 

tahan bau busuknya buah mengkudu yang menyangsrang 

di mulutnya itu! 

“Anak tolol!” terdengar suara orang memaki di 

belakangnya. “Apa otakmu di selangkangan dan 

selangkanganmu menempel di otak mau ikut-ikutan 

berkelahi! Apa kau buta dan gila berani menantang gunung 

Thaysan? Selusin saudara seperguruanmu sudah dibuat 

menghadap Thian alias tit semua! Apalagi kau cuma 

sendirian! Dasar toylol!”

Tek Lok hanya bisa memaki panjang pendek dalam


hati. Tapi diam-diam dia menyadari. Suhunya yang begitu 

tinggi kepandaian kungfu serta ilmu goloknya hanya 

dihadapi dengan tangan kosong oleh si jubah kuning 

bertopi pispot itu! Sedangkan dia sendiri cuma seorang 

murid perguruan tingkat menengah! 

Sementara itu di serambi sana Tek Lok melihat orang 

bertopi pispot berhasil menyeruduk perut suhunya. Tong 

Pes mencelat mental, jatuh terduduk di lantai serambi. 

Selagi dia mencoba bangkit, lawan sudah kirimkan 

tendangan keras ke kepalanya. Kepala Tong Pes tersentak 

ke belakang, tubuhnya terlempar melintir, roboh di tanah 

dan saat itu juga dia sampai pada hari apesnya. Mati! 

“Suhu!” Teriak Tek Lok. Tapi teriakannya hanya sampai 

di tenggorokan karena mulutnya masih tersumbat 

mengkudu busuk. Kedua tangannya dikepal geram. 

Mukanya merah, tubuhnya bergetar dan air mata 

mengucur jatuh ke pipinya yang rada-rada peang. 

Dengan mengeluarkan suara tertawa bergelak orang 

bertopi pispot hancurkan papan nama perguruan Ban Yak 

Cing Cong lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Sesaat 

kemudian Tek Lok merasakan pembokongnya melepaskan 

totokan di tunggirnya. Dengan cepat Tek Lok mencabut 

buah mengkudu yang mendekam di mulutnya lalu 

berpaling ke belakang seraya lancarkan satu jotosan keras 

dalam jurus bernama “monyet kondor menghajar puncak 

Thaysan”. Tapi dia hanya menghantam tempat kosong. 

Orang yang tadi membokongnya telah lenyap entah ke 

mana! 

***


KUNGFU SABLENG 

PENDEKAR PISPOT NAGA 

(The Dragon Pispot) 2


DI HADAPAN Tek Lok berdiri seorang lelaki bermata jereng. 

Rambutnya kaku jabrik, pakaiannya compang-camping, 

penuh tambalan dan bau. Pada pinggangnya 

bergelantungan berbagai macam dan ukuran kaleng-

kaleng kosong. Tangan kanannya memegang sebatang 

tongkat bambu kecil. 

“Tek Lok,” orang tak dikenal menegur. Si pemuda 

merasa heran, bagaimana orang itu tahu namanya, “Aku 

adalah gembel tua yang dijuluki Pendekar Pensiunan 

Pengemis. Adik kandung suhumu yang sudah menghadap 

Thian. Jadi terhadapku kau boleh memanggil Pak-de Guru!”

Si gendut Tek Lok yang masih bersedih atas ke matian 

suhunya memandang tak acuh pada orang itu. Lalu 

berkata seenaknya, “Manusia jabrik dekil! Aku tidak perduli 

kau Pak-de, Pak-be, Pak-ce atau Pak-zet sekalipun! Kalau 

tidak kau bokong aku dari belakang, pasti aku bisa 

menolong suhu dan suhu tidak sampai digusur ke akhirat!” 

Habis berkata begitu Tek Lok seperti kalap menyerang si 

jabrik bermata jereng yang mengaku berjuluk Pendekar 

Pensiunan Pengemis itu. 

Yang diserang ganda tertawa lalu gerakkan sedikit 

tangannya yang memegang tongkat. 

Blukkkk! 

Tek Lok jatuh terbanting ke tanah. Ketika dia mencoba 

bangkit ujung tongkat si gembel telah menindih jidatnya. 

Tek Lok merasa seolah kepalanya ditindih sebuah batu 

besar. Bagaimanapun dia berusaha tetap saja tidak 

sanggup menggerakkan kepala apalagi mencoba bangkit 

berdiri. Muka si gendut ini jadi pucat, keringat dingin


mengucur dari kepala sampai selangkangannya! Kini 

sadarlah Tek Lok kalau dia berhadapan dengan orang yang 

bukan sembarangan. Si Pak-de ini ternyata memiliki tenaga 

dalam tinggi luar biasa! 

“Tek Lok, jangankan kau dan suhumu. Aku sendiri 

belum tentu mampu menghadapi manusia berjubah kuning 

bertopi pispot itu. Dia bernama Tong Siam Pah tapi lebih 

dikenal dengan julukan The Dragon Pispot alias Pendekar 

Pispot Naga. Selama pispot putih bergambar naga itu 

masih nongkrong di kepalanya, tidak satu manusiapun bisa 

mengalahkannya. Juga tidak bangsa iblis atau setan 

pelayangan. Itulah rahasia kekuatannya!” 

“Apapun yang teljadi siapapun bangsat itu adanya, aku 

Tek Lok tetap akan menuntut balas atas kematian suhu 

dan semua suheng (kakak seperguruan) selta sute (adik 

seperguruan),” kata Tek Lok seraya kepalkan dua tinjunya 

lalu dipukul-pukulkan ke pipinya sendiri. 

“Itu namanya kau murid yang berbakti,” sahut Pendekar 

Pensiunan Pengemis. 

“Aku mohon petunjukmu. Tapi halap singkilkan 

tongkatmu dali jidatku!” kata Tek Lok pula. 

Gembel berambut jabrik itu menyeringai. Setelah 

mengangkat tongkat bambunya dari kening Tek Lok dia 

lalu berkata, “Gendut, kau dengar baik-baik apa yang 

pinceng mau ucapkan. The Dragon Pispot tidak mungkin 

dikalahkan selama pispot masih melekat di batok 

kepalanya. Adalah sangat sukar untuk menyingkirkan 

benda itu dari kepalanya. Bahkan pada saat mandi atau 

berak sekalipun, atau tidur benda itu tidak pernah lepas 

dari kepalanya!” 

“Tapi selagi dia belnama manusia pasti dia punya 

kelemahan!” kata Tek Lok pula. 

Pensiunan Pengemis tersenyum. “Kau cerdik. Memang 

betul. Dia memang punya kelemahan!” 

“Apa?!” Tek Lok langsung menyerobot dengan 

pertanyaan. 

“Perempuan! Dia selalu lemah terhadap perempuan.


Tidak perduli gadis atau yang sudah tua bangka. Tidak 

perduli si muka licin atau si muka keriputan. Pokoknya 

masih selama bernama perempuan pasti dikerjainya!” 

“Kalau begitu aku akan cali akal!” Tek Lok berpikir 

sejenak. “Pak-de Suhu. Setahuku setiap lelaki pasti punya 

selela teltentu telhadap pelempuan. Mungkin Pak-de Suhu 

tahu kila-kila pelempuan yang bagaimana selelanya si Tong 

Siam Pah itu!” 

Pendekar Pengemis Purnawirawan alias Pensiunan 

tertawa mengekeh. “Tek Lok, ternyata kau punya otak 

cerdik. Selera si Pispot Naga adalah perempuan gemuk 

buntak besar. Makin besar dan makin gemuk, makin 

banyak lemaknya apalagi putih, huah! Semakin malele 

dia!” 

“Pak-de Suhu, telima kasih atas petunjukmu! Budi 

baikmu tidak akan aku lupakan!” Tek Lok menjura dalam-

dalam lalu tinggalkan tempat itu. 

***


KUNGFU SABLENG 

PENDEKAR PISPOT NAGA 

(The Dragon Pispot) 3


SETELAH mendatangi tempat-tempat pelacuran di hampir 

setengah lusin kota akhirnya di kota Bau Tiut (d/h Bau Ken 

Tiut), Tek Lok berhasil juga menemui seorang pelacur 

berbadan luar biasa gemuk serta berkulit putih. Saking 

gemuknya mukanya yang tembam dan diberi berdandan 

tebal seronok kelihatan seperti barongsay. Genitnya minta 

ampun, sebentar-sebentar jari-jarinya mencubit ke sana-

sini sambil tertawa cekikikan seperti kuntilanak setengah 

jadi. 

Pada pertemuan pertama begitu Tek Lok masuk ke 

dalam kamarnya, pelacur gendut ini langsung saja ber-

tunabusana alias menanggalkan seluruh pakaiannya. Lalu 

dia naik ke atas ranjang, melambaikan tangan sambil 

kedip-kedipkan mata pada Tek Lok dan tentunya tak lupa 

sambil pasang kuda-kuda! Ranjang reyot itu sampai 

bergoyang berderak-derik. 

“Namamu siapa?” tanya Tek Lok tanpa bergerak dari 

kursi yang didudukinya di depan ranjang. 

“Ling Ling Dut,” jawab si gemuk, tersenyum kembali, 

ulurkan lidahnya yang merah basah dan lambaikan tangan 

memberi isyarat agar si Tek Lok yang juga gendut tambun 

ini segera naik ke atas ranjang. 

“Dengal Dut,” kata Tek Lok. “Aku akan membayalmu 

mahal. Tapi bukan untuk tidul denganmu...” 

Tentu saja Ling Ling Dut menjadi terheran-heran. 

Sebagai seorang pelacur baru hari itu ada tamu yang 

menjanjikan uang tanpa menidurinya. 

Tek Lok mendekati ranjang lalu berkata mengarang 

cerita. “Yang akan tidul denganmu bukan aku, tapi



pamanku. Dia sedang kulang enak badan. Ambeien alias 

wasilnya sedang kambuh! Jadi tidak bisa beljalan jauh. 

Selama ini dia sudah panas dingin mendengal celita olang

tentang kebagusan tubuhmu dan kecantikan kau punya 

palas.” Maksud Tek Lok dengan pamannya itu adalah si 

Pendekar Pispot Naga alias The Dragon Pispot, musuh 

besar yang telah menghabisi suhu serta saudara-

saudaranya seperguruannya. 

Ling Ling Dut tertawa cekikikan mendengar cerita sang 

paman yang sedang wasiran tapi masih berminat untuk 

bersenang-senang dengan perempuan. Sambil mengusap-

usap pusarnya yang terbenam di dalam perutnya yang 

gembrot berlemak, pelacur kota Bau Tiut ini berkata, 

“Mendengar cerita pamanmu yang sakit itu, terus terang 

aku tidak berminat melayaninya. Apalagi sakitnya sakit 

wasir! Hik... hik! Tapi kau beruntung. Hoki-ku lagi jelek. 

Sudah seminggu aku tidak menerima tamu. Tapi aku minta 

bayaran besar!” 

“Jangan khawatil! Aku akan kasih pelsenan besal. Asal 

kau jangan lupa melakukan sesuatu yang nanti akan aku 

beli-tahu padamu!” Tek Lok lalu bicara semacam memberi 

pengarahan pada pelacur gemuk itu. Ling Ling Dut 

mengangguk-angguk tanda mengerti. 

“Sebelum pergi ke tempat pamanmu, apa kau tidak 

mau bersenang-senang dulu denganku?” tanya Ling Ling 

Dut, tetapi Tek Lok goyangkan tangan gelengkan kepala. 

“Kita berdua sama-sama gendutnya. Pasti seru!” kata 

Ling Ling Dut lalu tertawa cekikikan. 

“Justlu itu yang bikin aku khawatil. Lanjang boblok itu 

bisa jebol nanti!” sahut Tek Lok. “Ayo lekas pakai bajumu 

Dut! Kita belangkat sekalang juga!” 

*** 

PENDEKAR Pispot Naga yang kerennya disebut The 

Dragon Pispot mengucak kedua matanya berulang kali 

saking tidak percaya akan pemandangan di hadapannya.


Seorang perempuan gemuk buntak berlemak tahu-tahu 

muncul di depan pintu tempat kediamannya yang terletak 

di tepi danau Xeng Gol.

“Hai yaa! Bidadari dari mana yang siang-siang begini 

turun ke bumi! Kesasar atau memang sengaja mencari 

diriku?!” menegur Tong Siam Pah sambil kedip-kedipkan 

matanya. 

Ling Ling Dut balas tersenyum dan kedip-kedipkan 

matanya pula. Dadanya yang gembrot sengaja 

dibusungkan. “Hamba bukan bidadari pulang kesiangan. 

Tapi hanya manusia biasa juga. Sudah lama hamba 

mendengar nama besar Pendekar Pispot Naga. Hamba 

ingin sekali belajar kenal. Sebagai kawan sejalan maupun 

kawan seranjang...!” 

Mendengar kata-kata perempuan gemuk itu darah 

Pendekar Pispot Naga menjadi panas menggelora. Dia 

tertawa tergelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat ke hadapan 

Ling Ling Dut. Sekali tarik saja pelacur gemuk itu segera 

dibawanya masuk ke dalam rumah. 

Ling Ling Dut tertawa cekikikan. Dekat pintu kamar 

pakaiannya tersangkut paku hingga robek besar di bagian 

perut. 

“Paku jahil!” Pendekar Pispot Naga memarahi paku 

yang merobek pakaian Ling Ling Dut. Matanya mendelik 

melihat keputihan perut gembrot perempuan itu. Lalu 

sambil memperlihatkan kehebatan tenaga dalamnya lelaki 

berjubah kuning ini pergunakan jari tangannya untuk 

menekan amblas paku besar itu hingga masuk lenyap ke 

dalam sanding pintu kayu! “Kau tak usah khawatir! Aku 

akan belikan baju baru pengganti bajumu yang robek ini!” 

kata Pendekar Pispot Naga kemudian. 

“Tidak apa-apa,” jawab Ling Ling Dut. “Bidadari benaran 

kabarnya memang tidak pakai baju! Hik... hik... hik!” 

“Kau pandai melucu! Aku suka padamu!” kata 

Pendekar Pispot Naga. Lalu membantingkan daun pintu. 

***


KUNGFU SABLENG 

PENDEKAR PISPOT NAGA 

(The Dragon Pispot) 4


SEPERTI yang telah dipesankan oleh Tek Lok, begitu masuk 

ke dalam kamar Ling Ling Dut langsung melompat ke atas 

tempat tidur besar terbuat dari besi. Lalu cepat-cepat dia 

membuka pakaian luarnya. Melihat itu tenggorokan 

Pendekar Pispot Naga jadi turun naik. Matanya berputar 

membeliak dan nafasnya kontan memburu. Tak mau kalah, 

dengan mempergunakan jurus “naga mabok menyambar 

celana dalam” dia segera pula melompat ke atas ranjang. 

Di atas ranjang Ling Ling Dut sudah pentang diri dalam 

sikap atau jurus “panda gembrot parkir di bawah pohon 

bambu”. Begitu Pendekar Pispot Naga membaringkan diri 

di sampingnya langsung dihimpit dengan pahanya yang 

besar gembrot dan bukan olah-olah beratnya! Pendekar 

Pispot Naga sampai setengah menggeliat setengah melintir 

dihimpit begitu rupa. Nafasnya seolah tertahan di 

tenggorokan. Tiba-tiba Ling Ling Dut membuat gerakan 

yang disebut “tringgiling atret ke liang naga”. Dia gulingkan 

badannya ke sudut ranjang hingga ranjang itu bergoncang 

keras. 

“Kekasihku mungil! Mengapa kau menjauhkan diri? Apa 

mulut atau ketiakku bau tong sampah?!” 

“Pendekar gagah tujuh penjuru angin!” sahut Ling Ling 

Dut. “Terus terang nafsu sudah membakar diriku mulai dari 

ubun-ubun sampai ujung jempol kaki!” 

“Lalu mengapa kau mendekam di sudut ranjang?” 

tanya Pendekar Pispot Naga heran. 

“Soalnya, bagaimana aku bisa bersenang-senang kalau 

pendekar sendiri masih belum membuka jubah kuning 

pakaian kebesaran?”


Mendengar kata Ling Ling Dut, Tong Siam Pah alias 

Pendekar Pispot Naga segera tanggalkan jubah kuningnya 

dan campakkan ke kolong ranjang. 

“Beres! Sekarang ayo kau buka pakaianmu!” Tangan 

Tong Siam Pah siap menggerayang kian kemari. 

“Tentu, untuk kau yang gagah pasti akan kubuka. Tapi 

engg... Apakah topi kebesaran yang masih bertengger di 

kepalamu tidak akan mengganggu nantinya? Apalagi aku 

ini punya kesenangan. Suka menjilati ubun-ubun orang! 

Hik... hik... hik!” 

Pendekar Pispot Naga yang sudah dibakar nafsu dan 

lupa daratan lupa pantangan segera saja menjawab, 

“Manisku sayang, untuk bidadari sepertimu apapun 

katamu akan pinceng ikuti!” 

Lalu Pendekar Pispot Naga angkat pispot putih 

bergambar naga di kepalanya dan letakkan benda itu di 

satu meja kecil di samping ranjang. Tanpa pispot itu di 

kepala, maka kesaktiannyapun ikut berpindah, tidak 

mendekam lagi di dalam tubuhnya! 

Setelah meletakkan ‘mahkotanya’ di atas meja kecil, 

Pendekar Pispot Naga yang sudah tidak sabaran langsung 

balikkan badan hendak merangkul Ling Ling Dut. Pada saat 

itulah mendadak pintu kamar didobrak orang dari luar. 

Sesosok tubuh berkelebat masuk langsung menyambar 

pispot putih di atas meja. 

“Siapa kau?!” bentak Pendekar Pispot Naga seraya 

melompat turun dari ranjang. Satu tangan dikepalkan satu 

lainnya dipakai untuk menutupi auratnya. 

Orang yang barusan masuk dan menyambar pispot 

bukan lain adalah Tek Lok, anak murid perguruan Kungfu 

Ban Yak Cing Cong yang muncul untuk membalaskan sakit 

hati dendam kesumat suhu dan saudara-saudara 

seperguruannya. 

“Aku belnama Tek Lok! Anak mulid Pelguluan Ban Yak 

Cing Cong! Bebelapa bulan lalu kau telah membunuh Tong 

Pes suhuku selta dua belas saudala sepelguluanku! Hali ini 

aku datang untuk membalas dendam kematian meleka!


Hali ini saatnya kau kukilim menghadap malaikat-malaikat 

maut Giam Lo Ong!”

“Manusia kurang ajar! Lekas kau serahkan pispot itu 

dan segera minggat dari sini!” bentak Pendekar Pispot 

Naga dengan suara lantang dan mata membeliak besar. 

Tek Lok menyeringai buruk dan melintangkan pispot di 

depan dada. “Kau inginkan pispot bau tahi ini! Silakan 

ambil!” kata Tek Lok. Lalu dengan jurus “elang juling 

menyambar kodok buntet” Tek Lok menerjang sambil 

menghantamkan pispot putih di tangan kanannya. 

Pendekar Pispot Naga keluarkan seruan tertahan. Tak 

pernah dibayangkannya kalau topi kebesarannya akan 

dipergunakan orang untuk menyerang dan menghajar 

dirinya sendiri! 

“Sobatku gendut! Kembalikan pispot itu! Apa yang kau 

orang minta pinceng pasti berikan! Kau mau seratus pispot 

seperti itu pasti pinceng penuhi! Atau kau mau perempuan 

gendut ini silakan ambil! Tapi lekas kembalikan pispot itu!” 

Pendekar Pispot Naga kelihatan ketakutan setengah mati. 

Dia meminta sambil membungkuk-bungkuk. 

Benar seperti yang dikatakan Pak-de suhunya Pendekar 

Pensiunan Pengemis, tanpa pispot di kepala Pendekar 

Pispot Naga tidak punya daya apa-apa lagi. Malah saat itu 

kelihatan dia mulai beser terkencing-kencing. Ketika Tek 

Lok tak mau memberikan pispot dia mulai menyerang. Tapi 

kungfunya morat-marit tak karuan. Jangankan tenaga 

dalam, tenaga luarnya saja sudah amblas. Nafasnya ngos-

ngosan padahal belum dua jurus menggebrak. Akibatnya 

sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki menjadi 

bulan-bulanan serangan pispot putih miliknya sendiri. 

Mukanya remuk tak karuan. Hidung melesek, mulut pecah, 

gigi bertanggalan. Bahu kiri patah, siku tangan kanan 

hancur, tulang dada amblas, tulang iga berpatahan. Darah 

membasahi hampir setiap sudut badannya. 

Dalam keadaan seperti itu Tong Siam Pah merangkak 

mendekati tempat tidur. Dari mulutnya tiada henti keluar 

suara erangan. Tangannya coba menggapai pinggiran


ranjang di mana Ling Ling Dut berada. 

“Bidadariku... peluk aku... peluk tubuhku. Antarkan aku 

ke sorga...” 

“Ihhhh!” 

Pelacur gemuk Ling Ling Dut memekik antara jijik dan 

ketakutan. Cepat dia melompat turun dari atas ranjang. 

Masih belum merapikan pakaiannya dia sudah ulurkan 

tangan pada Tek Lok. Murid Perguruan Ban Yak Cing Cong 

ini tanpa banyak cing-cong segera keluarkan lima tail perak 

lalu letakkan di atas telapak tangan Ling Ling Dut yang 

terkembang. 

Sebelum meninggalkan kamar Tek Lok memandang 

sejurus pada sosok Tong Siam Pah yang tidak berkutik lagi. 

“Masih untung kau menemui ajal! Kalau masih hidup 

julukanmu pasti diganti menjadi Pendekal Pispot Bonyok!”

Tek Lok letakkan pispot putih milik Tong Siam Pah di 

atas kepalanya. Sambil melangkah pergi tinggalkan danau 

Xeng Gol murid Perguruan Ban Yak Cing Cong ini bersiul-

siul menyanyikan lagu kesayangannya yang bernama Di 

Dadamu Ada Pinceng.


                       TAMAT



Share: