..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label MAHESA EDAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAHESA EDAN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 November 2024

KOLEKSI NOVEL MAHESA EDAN

  assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu

BERIKUT INI KOLEKSI NOVEL MAHESA EDAN..

silahkan dibaca

1.MAHESA EDAN EPISODE RAHASIA MAKAM MAHESA

2.MAHESA EDAN EPISODE RAHASIA LENYAPNYA MAYAT MAHESA

3.MAHESA EDAN EPISODE SIBUNGKUK BERJUBAH PUTIH

4.MAHESA EDAN EPISODE RAHASIA RANJANG SETAN

Selamat Membaca Semoga Bermanfaat

Share:

MAHESA EDAN EPISODE RAHASIA RANJANG SETAN

RAHASIA RANJANG SETAN

 MAHESA EDAN 


SATU


RAHASIA RANJANG SETAN 

KEMATIAN MISTERIUS DI RUMAH 

PERKEBUNAN TEH 


DUA PENUNGGANG kuda itu memacu kuda masing-

masing laksana dikejar setan. Dalam waktu singkat 

keduanya telah meninggalkan daerah berbukit-bukit 

yang penuh dengan pohon-pohon teh. Selewatnya sebuah 

jembatan kayu di atas sungai barair kuning mereka mem-

belok ke arah utara, memasuki hutan kecil, terus meng-

ambil jalan ke timur hingja akhirnya memasuki sebuah 

desa di pinggiran Wonosobo. 

Saat itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur. 

Udara masih terasa dingin dan embun masih bartengger di 

atas dedaunan. Kedua penunggang kuda tadi berhenti di 

halaman sebuah rumah besar menterang yang atapnya 

berbentuk joglo. 

"Kau saja yang memberi tahu pada Jeng Jumilah," kata 

salah seorang dari penunggang kuda pada kawannya. 

Ketika temannya sudah turun dari kuda, dia tetap saja 

duduk di atas kudanya. 

Sang teman gelengkan kepala. "Tak berani aku. Lebih 

baik kau saja. Gila! Kenapa bisa jadi begini urusannya!" 

"Kau hanya bisa merocos! Tapi bicara saja takut! Sudah 

pergi sana. Laporkan apa yang terjadi pada Kepala Desa. 

Tapi ingat, kejadian ini harus dirahasiakan..." 

"Gila! Mana bisa urusan ini dirahasiakan? Orang mati 

mau dirahasiakan?!" 


"Sudah! Pokoknya jangan terlalu banyak mulut! Lekas 

kau temui Kepala Desa!" Lelaki berkumis kecil, bernama 

Paiman turun dari kuda, setengah berlari menaiki tangga 

rumah besar lalu mengetuk pintu depan. 

Setelah beberapa kali mengetuk pintu terbuka dan 

muncul seorang pelayan perempuan. 

"Hai kau Paiman…" Pelayan itu menegur: Dia meman-

dang ke halaman. "Kau sendirian? Mana majikanmu? 

Rupanya kalian bermalam di kebun. Jeng Jumilah se-

malaman tak bisa tidur…." 

"Jeng Jumilah sudah bangun?" tanya Paiman. 

"Baru selesai mandi…" 

"Katakan padarrya aku mau ketemu." 

"Akan kukatakan. Tapi kau harus sabar. Perempuan itu 

kalau dandan kan lama… " 

Paiman tidak tersenyum mendengar kata-kata pelayan 

itu. Sang pelayan tampak agak heran melihat sikap Paiman 

yang tak seperti biasanya. 

"Ada apa sebenarnya Paiman? Kulihat kau seperti tidak 

sabaran. Wajahmu gelisah…" 

"Ah sudah! Lekas temui Jeng Jumilah!" ujar Paiman pula. 

Cukup lama menunggu pelayan itu muncul kembali dan 

memberi tahu agar Paiman masuk karena Jeng Jumilah 

sudah selesai dandan dan menunggunya di ruangan 

makan. 

Jeng Jumilah duduk di belakang meja. Di hadapannya 

ada secangkir teh panas. Perempuan ini berwajah lebar. 

Kulitnya yang sangat puth membuat garis-garis ketuaan 

cepat kentara di kedua sudut matanya. 

"Kalian pasti menginap di kebun teh malam tadi…" Kata-

kata itu diucapkan Jumilah begitu melihat Paiman datang. 

"Be ... benar sekali Jeng…" 

"Kalau memang mau menginap karena banyak pekerja-

an, mengapa tidak diberi tahu padaku? Semalaman aku


tak bisa tidur. Memikirkan suami. Apakah dia mendadak 

sakit atau mengalami celaka. Diserang harimau yang 

kabarnya banyak berkeliaran di kebun teh akhir-akhir ini…." 

Dalam hatinya Paiman berkata, "Akan kukatakan saja 

bahwa suaminya memang telah diserang harimau…! 

Mustahil harimau bisa menjerat leher manusia tanpa 

melukainya…" 

"Kau tak menjawab ucapanku Paiman..." 

Paiman terkejut. "Maaf Jeng Jumilah. Saya dan Rawi tak 

sempat memberi tahu. Malam tadi hujan Iebat sekali turun 

di bukit teh. Kedatangan saya pa… pa ... pagi ini…" 

Jeng Jumilah tiba-tiba memotong. 

"Kulihat kau gugup. Bicaramu gagap. Ada apa ini 

Paiman? Mana suamiku? Apakah dia masih di rumah di 

kebun teh itu .... Keterlaluan!" 

"Kedatangan saya pagi-pagi ke mari..,." Paiman menyeka 

keringat yang mnengucur di keningnya. Lalu dia mengulang 

ucapannya tadi. "Kedatangan saya pagi-pagi ke mari justru 

hendak memberi tahu,.. Memberi tahu kalau... kalau…" 

"Kalau apat?!" sentak Jumilah sangat tidak sabar sambil 

membantingkan cangkir teh ke atas tatakannya di meja. 

"Kalau Raden Bondo, suami Jeng Jumilah meninggal 

dunia pagi tadi!" Akhimya lepas juga penjelasan itu dari 

mulut Paiman. Dia merasa lega telah memberi tahu tapi 

rasa takut tetap berkepanjangan dalam dadanya. 

"Suamiku meninggal? Oh Gusti Allah!" Jumilah terpekik. 

Lantai di atas kursi di mans dia duduk tiba-tiba terasa 

seperti bergoyang. Ruangen makan itu seolah-olah ber-

putar. Sebelum tubuhnya jatuh, seorang pelayan cepat me-

nopang. Dan perempuan berusia lebih dari 42 tahun itu 

mulai menangis. Mule-mula perlahan, kemudian tangisnya 

berubah menjadi ratapan panjang, Sesaat Jumilah henti-

kan ratapnya, memandang dengan mats basah pada 

Paiman, lelaki yang sehari-hari menjadi penjaga rumah me


rangkap pengawal suaminya. "Ketika pergi mas Bondo 

sehat-sehat saja. Apa… apa yang terjadi? Mana Remo... 

Mana anakku? Beri tahu dia. Aku harus ke rumah di kebun 

teh saat ini juga. Antarkan aku ke sana Paiman ..." 

Remo adalah putera tunggal Raden Bondo yang berusia 

23 tahun. 

Mendengar kata-kata istri majikannya tadi, kembali 

Paiman tampak gugup. 

"Sebaiknya... sebaiknya Jeng Jumilah tak usah ke kebun. 

Jenazah Raden Bondo akan kami bawa ke mari. Kami 

sudah melaporkan pada Kepala Desa..." 

Dua bola mata Jumilah membesar. Dia berdiri sambil 

berpegang pada tepi meja sementara pelayan perempuan 

masih memegangi bahunya. 

"Paiman!"sentak perempuan isteri pemilik kebun teh 

yang kaya raya itu. "Kau menyembunyikan sesuatu padaku. 

Aku tahu kau menyembunyikan seasuatu! Katakan apa 

yang terjadi di rumah di kebun teh itu...!" 

"Maakan Jeng Jumilah," jawab Paiman agak ketakutan. 

"Sebenarnya kami sendiri tidak jelas apa yang terjadi. 

Kapan sebenarnya Raden Bodoo meninggal. Atau apa yang 

menyebabkan kematiannya. Hanya saja pagi tadi saya dan 

Rawi menemukannya tewas dalam kamar. Di atas ranjang. 

"Tewas?! Tewas katamu Paiman?!" ujar Jumilah hampir 

berteriak. "Berarti dia dibunuh! Benar dia dibunuh Paiman? 

Bilang! Katakan!" 

"Saya tak berani mengatakan beliau dibunuh. Kepalanya 

teklok! Lehernya dijerat…" 

"Jelas dia dibunuh! Jelas...!" pekik Jumilah. Perempuan 

ini menggerung lalu hempaskan tubuhnya ke atas kursi. 

Matanya mendelik-delik seperti orang kemasukan lalu 

tubuhnya mendadak menjadi kuyu dan tak ingat apa-apa 

lagi.


*** 

Dalam waktu singkat, pagi itu seluruh desa Watu Limo 

boleh dikatakan telah mengetahui peristiwa kematian 

Raden Bondo pemilik kebun teh yang sangat luas dan 

sangat kaya di timur Wonosobo. Bagaimana pun, kematian 

yang mendadak itu dan di rumah di kebun teh pula 

menimbulkan tanda tanya di kalangan penduduk. Banyak 

di antara mereka yang ingin tahu. Akibatnya tanpa dapat 

dicegah penduduk desa beramai-ramai pergi ke kebun teh. 

Kebun yang biasanya sunyi itu kini menjadi ramai. Mereka 

berkerumun di luar rumah di puncak bukit karena tak di-

perbolehkan masuk ke dalam. 

Rumah di puncak bukit itu hanya memiliki sebuah 

kamar. Di dalam kamar di atas ranjang besi yang besar 

tampak terbujur sesosok tubuh tertutup selimut. Sosok 

tubuh Raden Bondo. Di dalam kamar itu hanya ada tiga 

orang yakni Paiman, Kepala Desa dan Remo. Atas isyarat 

Kepala Desa Paiman menyingkapkan selimut di bagian 

kepala. Maka kelihatanlah satu pemandangan yang meng-

gidikkan. 

Raden Bondo mati dengan mata membeliak. Lidahnya 

terjulur. Di lehernya yang patah masih tergelung seutas 

tambang kuning besar. Remo, putera Raden Bondo paling-

kan muka den bersandar ke dinding ketika melihat keada-

an ayahnya itu. Kedua matanya dipajamkan dan air mata 

ke luar membasahi pipinya. 

Kepala Desa mendekati Paiman dan berkata perlahan. 

"Majikanmu ini jelas mati dibunuh orang. Hanya kau dan 

Rawi yang ada di tempat ini malam tadi. Jadi hanya kalian 

yang tahu apa sebenarnya terjadi. Dengar Paiman, jika kau 

tidak mau memberi keterangan yang benar, kau dan Rawi 

akan kutuduh sebagai pembunuh Raden Bondo!" 

Pucatlah paras Paiman. Dia melirik sekilas ke arah


Remo. 

"Bukan kami yang melakukannya! Kami tidak bersalah 

apa-apa!" 

"Jangan berdusta Paiman!" 

"Saya tidak berdusta. Kepala Desa, saya mau mengata-

kan sesuatu. Kalau bisa jangan sampai didengar oleh 

putera Raden Bondo. Ini menyangkut kehormatannya…" 

Kepala Desa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Justru kau 

harus bicara di hadapan puteranya agar tak ada yang 

disembunyikan!" 

"Kalau begitu baiklah…" 

Maka Paiman lalu menuturkan bahwa majikan mereka 

Raden Bondo sehari yang lalu telah melangsungkan 

pernikahan dengan seorang perempuan muda cantik yang 

dikenal dengan nama Surti. Pernikahan dilakukan secara 

sembunyi-sembunyi di Kaliangki. Untuk istri mudanya ini 

Raden Bondo telah membuat sebuah rumah di desa 

Surowangi. Karena belum salesai untuk sementara isteri 

mudanya itu diminta tinggal di rumah di bukit teh tersebut. 

Malam tadi adalah malam pertama atau malam pengantin 

mereka. Menjalang pagi Paiman melihat ada seeorang 

meninggalkan rumah. Karena masih gelap dia tak dapat 

mengenali siapa adanya orang itu. Karena curiga dia mem-

bangunkan Rawi. Bersama kawannya itu dia memeriksa ke 

dalam rumah. Di dalam satu-satunya kamar, mereka 

menemukan Raden Bondo telah jadi mayat di atas ranjang 

tanpa pakaian. Lehernya patah dan ada tambang kuning 

besar menjirat leher itu. Mata mencelat, lidah terjulur. 

Setelah menutupi tubuh Raden Bondo dengan sehelai 

selimut, kedua orang itu segera menuju Watu Limo guna 

memberi tahu apa yang terjadi pada isteri majikan mereka. 

"Begitu kejadiannya, Kepala Desa…" kata Paiman. "Saya 

ataupun Rawi sama sekali tidak tahu apa-apa. Apalagi 

kalau dituduh membunuh Raden Bondo."


"Ada satu hal yang tidak kau katakan," ujar Kepala 

Desas. "Di mana isteri muda majikanmu sekarang…" 

"Itu yang membuat saya dan Rawi heran. Ketika mayat 

Raden Bondo kami temui, di dalam kamar tak ada siapa-

siapa. Perempuan bernama Surti itu lenyap!" 

Kepala Desa Watu Limo memandang sejurus pada 

Remo. Terdengar kembali suara Paiman. "Saye harap soal 

perkawinan Raden Bondo dengan perempuan itu hanya 

kita saja yang tahu. Mendiang memesan benar agar me-

rahasiakan hal itu…" 

"Ayah sangat mengasihi ibu. Sulit dapatkan percaya 

kalau ayah kawin lagi…" kata Remo. 

"Paiman," kata Kepals Desa, "karena kau dan Rawi 

orang yang paling dekat dengan ayah Remo, kau pasti tahu 

darimana perempuan bernama Surti itu berasal. Di mana 

Raden Bondo menemui atau mengenalnya pertama kali. 

Atau di mana rumah orang tuanya. Kita harus menyelidik 

sampai ke sana...." 

"Harap dimaafkan Kepala Desa," kata Paiman pula. 

"Soal asal muasal perempuan itu atau di mana rumahnya 

sebelum Raden Bondo mengawininya, saya atau pun Rawi 

tidak tahu. Kami baru melihatnya pertama kali pada hari 

pernikahan di Kaliangki. Raden Bondo tidak pernah men-

ceritakan apa-apa tentang isteri mudanya itu. Dan kami 

mana berani bertanya-tanya…" 

Kepala Desa terdiam sesaat lalu berkata, "Kejadian ini 

hampir sama dengan malapetaka yang menimpa seorang 

sahabatku di Kendal. Dia ditemui mati di rumah isteri 

muda yang baru dikawininya dua bulan lalu. Sang isteri 

sendiri lenyap..." 

Seseorang masuk memberi tahu bahwa kereta kuda 

pembawa jenazah ke Watu Limo telah datang. Setelah tali 

yang menjirat lobar ditanggalkan, maka jenazah Raden 

Bondo yang dibungkus dengan selimut lalu dinaikkan ke


atas kereta. 

Ketika orang-orang,itu siap naik ke atas kuda masing-

masing untuk mengiringkan kereta pambawa jenazah, 

Paiman mendekati Kepala Desa dan berbisik, "Ada orang 

asing di antara orang banyak yang mengundang kecuriga-

an. Dia tegak di bawah cucuran atap sambil merokok. 

Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan kematian 

Raden Bondo…" 

***


DUA


PEMUDA ASING MEROKOK MENYAN


KEPALA DESA Watu Limo memutar kepalanya ke 

arah yang dikatakan Paiman. Di sana, di bawah 

cucuran atap rumah memang tampak berdiri 

seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan 

berikat kepala putih. Sikapnya tenang-santai bersidekap 

lengan di muka dada. Di sela bibirnya terselip sebatang 

rokok yang asapnya menabur bau menyan yang sangat 

menusuk. 

Sejak tadi sebenarnya orang banyak yang berkerumun di 

depan rumah itu merasa terganggu oleh rokok yang dihisap 

pemuda itu. Bukan saja karena bau menyan yang ditebar-

nya tetapi juga mendatangkan rasa mengkirik. Kematian 

dan bau menyan merupakan gabungan dua hal yang mem-

buat orang merasa angker. 

"Gila! Dia rupanya yang menghisap rokok itu! Siang-siang 

begini menghisap rokok klobot!" kata Kepala Desa dalam 

hati. Seperti orang-orang lainnya di tempat itu dia memang 

tidak mengenali siapa adanya pemuda tersebut. Jelas dia 

bukan orang Watu Limo atau diam di sekitar bukit teh. 

Mandadak air muka Kepala Desa berubah. Dia ingat 

kembali pada kematian sahabatnya di Kendal tempo hari. 

Di rumah duka saat itu telah terjadi satu kegaduhan ka-

rena munculnya seorang pemuda asing menghisap rokok 

menyan yang kemudian dituduh sebagai pembunuh 

sahabatnya itu. Apa pemuda yang tegak di bawah cucuran 

atap itu bukan orang yang sama?


"Paiman, kau dan yang lain-lain terus iringi kereta 

jenazah. Aku akan menanyai pemuda itu…" kata Kepala 

Desa. 

Ketika kereta pembawa jenazah bergerak diikuti oleh 

orang banyak, pemuda yang merokok di bawah atap segera 

pula melangkahkan kakinya. 

"Saudara... Tunggu dulu!" seru Kepala Desa. 

Pemuda yang menghisap rokok menyan hentikan 

langkahnya. 

"Aku Wenang Kulo, Kepala Desa Watu Limo," 

memperkenalkan diri sang Kepala Desa. "Aku kenal semua 

panduduk desa Watu Limo. Juga orang-orang yang tinggal 

sekitar perkebunan dan bukit teh ini. Kau bukan salah satu 

dari mereka. Apa kepentinganmu berada di tempat ini…?" 

"Tak ada kepentingan apa-apa," sahut si pemuda tanpa 

mencabut rokok menyan di mulutnya hingga suaranya ter-

dengar somber tidak enak. 

Melihat sikap menjawab seperti itu Wenang Kulo 

merasa dipandang rendah. Maka dia pun berkata dengan 

nada ketus. 

"Jika tidak ada kepentingan mengapa datang ke mari?!" 

"Aku hanya kebetulan lewat. Rumah ini satu-satunya 

bangunan di daerah kebun teh. Kulihat banyak orang di 

depan rumah. Lalu kulihat pula ada kereta membawa 

usungan jenazah tanda ada orang yang meninggal…" 

"Jelas kau ke mari karena ingin tahu!" 

"Lalu apakah itu salah?" 

"Memang tak ada salahnya orang muda! Tapi jika aku 

menaruh curiga padamu, sebagai Kepala Desa aku bisa 

menangkapmu! Lekas katakan siapa namamu dan kau 

datang dari mana!" 

"Soal dari mana aku datang, bisa saja kukatakan. Aku 

barusan dari daerah utara. Hanya siapa namaku kurasa 

tidak penting bagimu." Habis berkata begitu si pemuda


menyeringai lalu hisap rokok klobotnya dalam-dalam. 

Mendengar jawab orang seperti itu Wenang Kulo men-

jadi jengkel. "Jika kau merahasiakan namamu berarti kau 

menyembunyikan maksud tak baik..." 

Si pemuda kembali menyeringai. Dia cabut rokoknya 

dari sela bibir lalu menguap lebar-lebar. 

"Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang sinting!" 

kata Wenang Kulo dalam hati. Matanya memandangi 

pemuda di hadapannya dari rambut sampai ke kaki. Lalu 

dia cepat-cepat melompat ke atas punggung kuda untuk 

tinggalkan tempat itu menyusul rombongan pembawa 

jenazah yang saat itu sudah mencapai pertengahan lereng 

bukit teh. 

"Kepala desa, kenapa buru-buru pergi. Aku melihat ada 

sesuatu yang tak wajar terjadi di rumah itu. Jenazah siapa 

yang tadi diangkut dengan kereta...?" 

"Nah! Jadi kedatanganmu ke mari memang sengaja 

hendak menyelidik!" ujar Kepala Desa pula. 

"Terserah kau mau menduga apa. Apakah orang yang 

meninggal itu mati dibunuh...?" 

"Orang muda. Jika kau ingin tahu lebih banyak ikut aku 

ke Watu Limo!" 

"Kita sudah bertemu di sini. Kenapa aku mesti susah-

susah ikut ke Watu Limo?!" tukas si pemuda. 

"Kalau begitu tak usah kau banyak mulut!" Kata Wenang 

Kulo jadi jengkel. Dia sentakkan tali kekang kudanya. Tapi 

binatang itu tak mau bergerak. Apalagi melompat dan 

kabur. Memandang ke depan dilihatnya pemuda yang 

merokok menyan tengah memegangi salah satu bagian 

dari leher kudanya. 

"Menyingkirlah!" hardik Kepala Desa. "Atau kusuruh 

binatang ini menendangmu!" 

"Sabar Kepala Desa. Jangan cepat-cepat marah. Aku 

ingin sedikit keterangan lagi. Katakan, apakah orang-orang


yang meninggal itu mati dengan seutas tali kuning menjirat 

lehernya?" 

Kepala Desa Watu Limo terkejut mendengar pertanyaan 

si pemuda. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?!" tanyanya 

heran. 

Pertanyaan itu sudah cukup merupakan satu jawaban 

yang membenarkan bagi si pemuda. Maka dia pun berkata 

sambil geleng-geleng kepala. "Ah, anak setan itu telah 

gentayangan lagi mencari korban!" 

"Anak setan siapa maksudmu?I" tanya Kepala Desa. Dia 

jadi curiga. Jangan-jangan pemuda yang dianggapnya tidak 

waras ini tahu siapa yang telah membunuh Raden Bondo. 

Berarti ada sangkut paut dengsn peristiwa pembunuhan 

itu! Wenang Kulo merasa berkewajiban untuk menangkap 

pemuda ini. 

"Anak muda! Ulurkan kedua tanganmu!" Kepala Desa itu 

memerintah sambil tanggalkan ikat kepalanya yang terbuat 

dari kain hitam. 

"Eh, kenapa aku harus mengulurkan tangan ...?" tanya si 

pemuda terheran-heran dan tanpa mau melakukan apa 

yang diperintahkan. 

"Aku harus mengikat kedua tanganmu! Kau kutangkap!" 

Pemuda itu keluarkan suara tawa bergelak. 

"Apa salahku sampai ditangkap?!" 

"Aku menaruh curiga! Kau tersangkut dalam perristiwa 

pembunuhan Raden Bondo!" 

"Tuduhan edan!" kata si pemuda pula. 

Saat itu Wenang Kulo telah turun dari kudanya. Dengan 

kain hitam ikat kepalanya dia berusaha mengikat kedua 

pergelangan tangan pemuda itu. Tapi si pemuda tanpa 

bergerak dari tempatnya hembuskan asap rokok menyan-

nya ke wajah si Kepala Desa. Bau menyan menebar tajam, 

menusuk pernafasan. Wenang Kulo yang memang 

mengidap penyakit bengek terbatuk-batuk berulang kali


sampai mukanya menjadi merah. Di kibas-kibaskannya 

kain hitamnya sambil berteriak, "Rokok jahanam! Lekas 

kau matikan dan campakkan benda celaka itu ke tanah!" 

Namun setelah batuknya reds dan asap rokok sirna dari 

hadapannya, Kepala Desa ini jadi heran bercampur kaget. 

Pemuda yang tadi berada di depannya tahu-tahu tak ada 

lagi di situ. Lenyap! Wenang Kulo memandang berkeliling, 

meneliti ke lereng bukit. Pemuda itu sama sekali tak 

tampak. 

"Jangan jangan aku tadi berhadapan dengan setan bukit 

teh!" pikir Wenang Kulo. Tengkuknya menjadi dingin. 

Ditariknya tali kekang kudanya, Binatang itu dibedalnya 

sekencang-kencangnya menuruni bukit. 

Pemuda tadi yang ternyata sudah menyelinap masuk ke 

dalam rumah memperhatikan kepergian Wenang Kulo 

sambil menyeringai. 

Di dalam kamar di mane mayat Raden Bondo ditemu-

kan, dia membungkuk mengambil tali besar berwarna 

kuning yang tercampak di lantai. Tali inilah yang telah 

menjirat patah leher pemilik perkebunan teh itu. 

Beberapa lamanya dia menimang-nimang tali itu. Dari 

balik pakaiannya, sesaat kemudian dia keluarkan dua helai 

tambang. Dua helai tambang ini bentuknya, warna dan 

panjangnya persis sama dengan tambang yang menjirat 

leher Raden Bondo. Ketiga utas tali itu kemudian 

dimasukkannya ke balik pakaiannya. Setelah meneliti isi 

kamar itu sesaat akhirnya pemuda yang menghisap rokok 

klobot ini tinggalkan rumah tersebut. 

***


TIGA


SI CANTIK DI PASAR WLINGI


GENDU MEMBANTING topi hitamnya ke atas meja, 

mengejutkan Komang yang asyik mencabuti bulu-

bulu kasar di dagunya sambil terpejam-pejam. 

"Masih pagi lagakmu sudah seperti orang kegerahan!" 

kata Komang. 

"Aku barusan dari pasar Wlingi..." kata Gendu tanpa per-

dulikan rasa kesal kawannya. 

"Ya... ya! Seperti biasa mampir di warungnya mbok 

Suket, minum kopi, makan pagi dan tidak bayar…" 

"Semula memang itu yang hendak kulakukan. Tapi 

ketika melewati pasar sayur, sesuatu menarik perhatianku. 

Ada seorang pedagang baru. Penjual rempah-rempah. . . ." 

"Kalau cuma itu ape perlunya kau ceritakan padaku!" 

ujar Komang tak perduli lalu bangkit dari kursinya dan 

hendak pergi. 

"Eh, tunggu dulu Mang!" kata Gendu seraya memegangi 

bahu kawannya, menekannya dengan kuat hingga Komang 

kembali duduk di kursinya. "Kalau cuma penjual rempah 

biasa, tentu tak perlu kuceritakan padamu. Justru penjual 

satu ini benar-benar luar biasa. Masih sangat muda, ber-

kulit kuning langsat, berbadan montok tapi tinggi 

semampai. Dan ini yang paling penting. Berwajah cantik 

selangit tembus!" 

Mendengar kata-kata Gendu itu kini Komang berubah 

sikap dan menunjukkan perhatian penuh. Dia memutar


duduk dan menghadapi kawannya, langsung berkata: 

"Kalau perempuan itu benar-benar cantik, aku pun ingin 

melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana kalau kita 

pergi ke pasar Wlingi sekarang juga?!" 

"Aku saja! Aku pun belum puas melihat kecantikan dan 

kesintalan tubuh yang terbungkus kulit kuning langsat 

bersih itu!" sahut Gendu menyetujui. 

Maka dengan menunggang kuda kedua orang lelak yang 

sehari-harinya menjadi petugas dan pengawal gedung 

Kadipaten Tumenggung itu berangkat menuju pasar Wlingi. 

Saat itu pasar sedang ramai-ramainya dipadati oleh 

orang-orang yang berbelanja. Sebagian besar mereka 

adalah kaum ibu. Meskipun jalan sempit dan orang yang 

berbelanja padat namun begitu Gendu dan Komang 

muncul memasuki pasar, orang banyak segera menyingkir 

memberi jalan. Siapa yang tidak kenal dengan dua petugas 

Kadipaten itu? Yang kadang-kadang tak segan-segan ber-

tindak kasar dan suka memungut pajak lebih tinggi dari 

yang sudah ditentukan. 

Gendu hentikan kudanya di samping penjual sayur 

mayur laiu menunjuk ke depan seraya berkata, "Pasang 

matamu baik-baik Komang. Itu penjual rempah yang 

kuceritakan…" 

Komang memandang ke jurusan yang ditunjuk kawan-

nya. Dan lelaki yang sudah beranak tiga ini mau tak mau 

harus mengakui, belum pernah dia melihat perempuan se-

cantik penjual rempah-rempah itu. 

"Cantik sekali. Masih sangat muda. Kurasa dia masih 

gadis..." bisik Komang. Lalu dia menggerakkan kudanya 

mendekati gubuk kecil pedagang rempah. Gendu meng-

ikuti dari belakang. 

Tahu kalau ada yang mendatangi dan memperhatikan, 

perempuan pedagang rempah itu mengangkat wajahnya 

dan tersenyum. Gendu dan Komang seperti terpantek di


atas punggung kuda masing-masing saking terpesonanya. 

Komang berbisik pada Gendu, "Perempuan ini benar-benar 

tak pantas menjadi tukang jual rempah-rempah begini..." 

Komang yang sudah gatal hendak menegur, sesaat 

bingung. Bagaimana dia akan memanggil si cantik penjual 

rempah itu. Dengan sebutan jeng pasti tidak pantas. Tapi 

kalau dipanggil mbok wah, malah sangat tidak pantas. 

Lebih baik dipanggil dengan sebutan adik saja. Maka 

menegurlah Komang. 

"Adik, kulihat kau pedagang baru di sini..." 

"Betul sekali. Saya memang baru hari ini mulai ber-

dagang. Apakah di situ hendak membeli dagangan saya? 

Semua rempah-rempah yang saya jual masih baru, asli 

tidak dicampur…" 

"Hem .... Aku dan kawanku ini petugas-petugas dari 

Kadipaten," kata Komang pula. 

"Harap maafkan kalau saya tidak berlaku hormat," kata 

penjual rempah itu. 

"Sebelum mulai berjualan, apakah sudah melapor 

kepada Kepala Pasar ....?" Gendu ajukan pertanyaan. 

"Saya .... saya memang belum melapor. Saya tidak tahu 

di mana harus menemui Kepala Pasar. Juga tidak tahu 

yang mana orangnya ...." 

"Aku Komang, petugas Kadipaten Temanggung, sekali-

gus merangkap Kepala Pasar Wlingi!" 

"Aduh, benar-benar tidak disangka kalau saya ber-

hadapan dengan Kepala Pasar Wlingi. Jadi saya telah ber-

buat kesalahan karena tidak melapor ....?" Si jelita 

pedagang rempah-rempah bertanya sambil menatap 

dengan sepasang matanya yang bagus pada Komang 

"Tidak .... Tidak begitu. . . ." Komang jadi salah tingkah 

dipandang seperti itu. "Kau boleh melapor kemudian. Tapi 

untuk catatanku, aku harus tahu namamu. Lalu di mana 

tempat kediamanmu. Nanti kami berdua akan mendatangi


rumahmu untuk urusan laporan itu…" 

"Bapak-bapak ini petugas yang baik. Tapi nama saya 

jelek. Soya malu mengatakannya..." 

"Jangan bagitu…" membujuk Gehdu. "Cantik orangnya 

pasti bagus namanya... Katakan namamu dan di mana 

tempat tinggalmu...." 

"Orang tua saya memberi name jelek pada saya. 

Randini…" 

"Ah, betul kan? Itu nama yang amat bagus!" ujar Gendu 

memuji. 

"Tempat tinggalmu .... ?" tanya Komang pula. 

"Saya tinggal di rumah pak tua Tukiman, pembuat kendi 

di pinggir timur Temanggung...." 

"Apa hubungan adik dengan orang tua itu. Anaknya atau 

cucunya... ?" 

"Tidak ada hubungan apa-apa. Saya menyewa satu bilik 

di rumah orang tua itu. Rumahnya cukup besar dan dia 

hanya tinggal bersama isterinya ..,." 

Saat itu orang-orang yang berada di pasar mulai 

memperhatikan ke arah mereka hingga kedua petugas 

Kadipaten ini diam-diam merasa malu berada lebih lama di 

tempat itu. Maka Komang cepat berkata, "Kami akan 

datang ke tempat tinggalmu begitu pasar usai…" 

"Tapi siang nanti saya tidak ada di rumah, " menjelaskan 

Randini. 

"Kalau begitu kami datang menjelang sore," yang ber-

kata Gendu. Lalu dia memberi isyarat pada Komang. 

Keduanya segera meninggalkan pasar Wlingi. 

Ketika Gendu dan Komang sampai di gedung Kadipaten, 

Adipati Suryo Maget menyambut keduanya dengan 

semprotan. 

"Bogus sekali tingkah kalian! Sudah siang begini baru 

muncul! Apa kalian lupa kalau pagi ini kalian harus meng-

antar aku ke Bandongan?!"


Melihat sang Adipati marah tentu saja kedua petugas 

Kadipaten itu menjadi ketakutan. Sesaat mereka saling 

pandang dan baru menyadari kalau pagi itu memang 

mereka mempunyai tugas untuk mengawal Suryo Maget ke 

selatan. 

"Mohon maafmu, Adipati. Kami mengaku salah. Kami 

memang lupa kalau pagi ini harus mengantar Adipati ke 

Bandongan." Yang berkata adalah Gendu. Lalu dia 

menyambung. "Kami barusan dari pasar Wlingi…" 

"Hemmm ... Begitu? Kalian lebih mementingkan perut 

kalian dari pada tugas! Ape sudah tak ingin lagi bekerja di 

sini?!" 

Paras Gendu dan Komang menjadi pucat. 

"Kami... kami bukan pergi makan atau minum ke Wlingi. 

Ada suatu urusan…" jawab Gendu sementara Komang 

tertunduk kecut. 

"Ada urusan! Hebat benar kalian! Urusan apa? Lekas 

katakan. Aku mau tahu…!" 

Gendu memandang pada kawannya. Komang Iantas 

berbisik, "Katakan saja apa adanya, nDu..." 

"Sialan! Aku bertanya kalian malah kasak-kusuk!" Adipati 

Suryo Maget menjadi sangat jengkel melihat tingkah laku 

kedua bawahannya itu. 

"Be ... begini Adipati," lagi-lagi Gendu yang bicara. "Di 

pasar Wilingi pagi ini kami melihat ada seorang pedagang 

rempah-rempah. Karena dia orang baru maka kami 

menanyakan apakah dia sudah melapor dan mendapat izin 

berdagang ..." 

"Lalu apa yang kaudapati?!" 

"Pedagang baru ini memang belum melapor. Karenanya 

nanti sore kami akan ke rumahnya menyelesaikan urusan 

ini…" 

"Goblok!" sentak Suryo Maget. "Dasar goblok! Urusan itu 

seharusnya sudah kalian selesaikan di pasar! Bukan


menunggu sampai sore dan mengurusnya di rumah orang! 

Kembali ke pasar dan minta pedagang itu membayar pajak 

bulan pertama ditambah denda!" 

"Tapi Adipati…" Komang membuka mulut untuk pertama 

kalinya. "Perempuan muda itu sudah mengakui kesalahan-

nya." 

'Perempuan muda! Perempuan muda siapa maksud-

mu?!" 

"Maksud saya pedagang rempah-rempah itu. Kami telah 

ketelanjuran mengatakan akan menyelesaikan urusan di 

rumahnya nanti petang. Kami... Terus terang kami agak 

rikuh. Soalnya pedagang rempah itu seorang gadis yang 

cantik sekali..." 

"Apa katamu Komang? Coba ulangi!" ujar Suryo Maget 

sambil melangkah mendekati Komang dan betulkan letak 

sabuk besar yang melilit di pinggangnya. 

"Pedagang rempah itu seorang gadis sangat cantik 

Adipati," kata Komang pula. "Tidak pantas dia menjadi 

pedagang di pasar yang kotor itu. Belum pernah saya 

melihat perempuan secantik itu..." 

Sepasang mata Suryo Maget menyipit dan keningnya 

mengerenyit. 

"Apakah dia lebih cantik dari isteriku yang paling 

muda?!" Adipati bertanya blak-blakan. 

Ini membuat Komang maupun Gendu menjadi sulit 

menjawab. Jika mereka katakan bahwa memang benar 

isteri paling muda sang Adipati itu tidak secantik si penjual 

rempah-rempah bernama Randini mungkin mereka bakal 

kena tempeleng. Kalau mereka mengatakan bahwa isteri 

muda atasannya itu lebih cantik, jelas tidak begitu 

kenyataannya. 

Karena kedua pembantunya tidak menjawab Suryo 

Maget cukup memaklumi bahwa gadis pedagang rempah-

rempah itu pastilah lebih cantik dari pada isteri ketiganya,


yakni isterinya paling muda. Sesaat Suryo Maget berpaling 

ke dalam gedung lalu bertanya dengan suara perlahan, 

"Gendu, Komang! Katakan apakah perempuan itu juga 

lebih cantik dari Naimah, janda muda yang jadi peliharaan-

ku…" 

"Maafkan kami Adipati," akhirnya Gendu menjawab. 

"Kami berdua tak mungkin membanding-bandingkan. 

Harap Adipati maklum kalau tadi Komang mengetakan 

bahwa dia belum pernah melihat perempuan secantik pen-

jual rempah-rempah itu ...." 

"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sendiri!'' kata Suryo 

Maget pula. 

Lelaki, bilamana sudah mempunyai kedudukan atau 

pangkat tinggi serta memiliki harta dan uang berlimpah, 

biasanya cenderung akan muncul salah satu sifat jeleknya, 

yakni rakus pada perempuan-perempuan cantik. Hal inilah 

yang terjadi dengan Adipati Temanggung itu. Secara resmi 

Suryo Maget telah mempunyai tiga orang isteri. Lalu 

ditambah lagi dengan beberapa orang perempuan muda 

dan cantik yang diam-diam dipeliharanya tanpa setahu 

ketiga isterinya itu. Kini mendengar keterangan kedua 

anak buahnya maka sifat rakus perempuan itu berkobar 

kembali. Daun muda itu harus dibabat sebelum disambar 

orang lain. Bunga indah sekuntum itu harus diambil 

sebelum dipetik orang lain. Begitu yang ada dalam hati dan 

jalan pikiran sang Adipati. 

"Jika Adipati menghendaki demikian, kami siap meng-

antar ke pasar Wlingi saat ini juga..." kata Gendu. 

"Tidak, pagi ini kalian tetap harus mengantar aku ke 

Bandongari!" sahut Adipati pula. "Satu hal harus kalian 

ingat! Cara kumbang bernama Suryo Maget menghisap 

bunga tidak sama dengan cara kerkelak atau kecoak 

macam kalian! Nanti sore kau antar aku ke tempat 

kediaman gadis itu!"


"Kami siap melakukannya Adipati," jawab Gendu. 

"Sekarang izinkan kami menemui kusir, melihat apakah dia 

sudah menyiapkan kuda dan kereta." 

Kedua petugas itu pergi ke bagian belakang gedung. 

Sambil berjalan Komang berkata, "Aku punya firasat jelek, 

Gendu. Bahkan sangat jelek!" 

"Aku sudah tahu apa firasatmu itu, Mang. Kau tak akan 

mendapatkan penjual rempah-rempah itu. Adipati pasti 

akan mengambilnya sebagai tambahan perbendaharaan 

ranjang tidurnya. Entah sebagai isteri ke empat. Atau 

dipelihara seperti dua perempuan lainnya itu…" 

***


EMPAT


ISTERI KE EMPAT


TIGA PENUNGGANG KUDA itu berhenti di depan sebuah 

rumah besar berdinding gedek beratap rumbia yang 

terletak di pinggir timur Temanggung. Di halaman 

depan dan samping rumah terdapat ratusan kendi 

berbagai bentuk dan ukuran. Inilah rumah Tukiman, orang 

tua pembuat dan pedagang kendi yang terkenal itu. 

"Kalian berdua turun dan periksa ke dalam apa 

perempuan itu ada di rumah," penunggang kuda ber-

pakaian bagus berkata. Dia bukan lain adalah Suryo 

Maget, Adipati Tumenggung. 

Komang dan Gendu cepat turun dari kuda masing-

masing. Di pintu depan seorang tua berpakaian putih 

model gunting Cina dan berkain sarung tampak muncuL 

Dia segera mengenali orang berpaksian bagus yang duduk 

di punggung kuda dan cepat-cepat memberi salam serta 

hormat. Dalam hatinya dia membatin ada apakah Adipati 

Tumengung tiba-tiba saja dating ke rumahnya? Jelas tidak 

membeli atau memesan kendi. Lalu orang tua ini berpaling 

pada dua petugas Kadipaten yang menghampirinya. 

"Kami mencari seorang gadis bernama Randini. Benar-

kah dia tinggal di sini?" tanya Gendu. 

"Ah, gadis itu rupanya yang mereka cari ..." ujar Tukiman 

pak tua ahli kendi dalam hati. Diapun menjawab, "Memang 

benar. Dia menyewa satu kamar di sini. Adipati, apakah 

sudi masuk ke rumah saya yang buruk ini...?"


Karena Suryo Maget hanya menggoyangkan kepala saja 

sedikit dan tak menjawab maka Komang berkata, "Panggil 

saja gadis itu pak tua. Kalau dia sudah datang Adipati akan 

bicara padanya…" 

Make Tukiman tua pun masuk ke dalam rumahnya. Tak 

selang berapa lama orang tua ini keluar kembali diiringi 

oleh seorang gadis yang memang Randini adanya, penjual 

rempah-rempah di pasar Wlingi itu. 

Kedua mata Adipati Suryo Maget tampak membesar. 

Pandangannya tak berkedip dan tubuhnya seperti dipantek 

di atas punggung kudanya. Tidak salah kalau kedua anak 

buahnya pagi-pagi sudah nyasar ke pasar. Ternyata gadis 

itu benar-benar cantik. Tak pernah sang Adipati melihat 

dara yang begini molek sebelumnya. Rambutnya hitam 

pekat tersisir ke belakang dan membentuk sebuah sanggul 

besar. Alisnya juga hitam laksana sepasang bulan sabit 

bertengger di atas kedua matanya yang indah bening. 

Kedua pipinya tampak ke merah-merahan mengapit hidung 

yang mancung. 

Wajah yang dihias bibir merah merekah dan dagu 

laksana lebah bergantung itu tampak tersenyum. Lalu 

tubuh yang mulus montok itu merunduk memberi hormat 

pada Suryo Maget. 

"Nama saya Randini. Ada apakah sampai Adipati 

Temanggung datang berkunjung ke mari…?" 

Si gadis berpaling pada Gendu dan Komang. Segera dia 

ingat dan mengenali. "Bukankah bapak berdua yang pagi 

tadi datang ke pasar Wlingi?" Ketika dilihatnya kedua orang 

itu mengangguk maka Randini bertanya, "Jadi... bapak 

berdua hendak membicarakan soal laporan berjualan itu? 

Saya memang bersalah, berdagang tapi tidak melapor. 

Apakah Adipati hendak menangkap saya saat ini...?" 

Saat itu Suryo Maget sudah turun dari kudanya. 

Sementara Komang berbisik pada si gadis. "Lupakan soal


lapor melapor itu. Kami datang ke mari bukan untuk 

menangkapmu. Adipati Suryo Maget kepingin melihat 

wajahmu!" 

Merahlah paras Randini. 

"Bolehkah aku masuk dan bicara di dalam...?" Suryo 

Maget bertanya. 

"Tentu saja. Tentu saja Adipati," menyahut Tukiman tua. 

"Hanya mohon dimaafkan, rumah saya buruk sekali, atap 

rumbia, dinding gedek dan lantai tanah. Tak pantas Adipati 

berada di dalamnya." 

Suryo Maget tertawa kecil. Pada kedua pembantunya 

dia berkata, "Kalian berdua tunggu di sini ...." Lalu Adipati 

masuk ke dalam rumah. Ketika pemilik rumah hendak 

menyusul masuk, Gendu cepat memegang tangan orang 

tua itu dan berkata, "Kita di sini saja pak tua. Biarkan 

Adipati dan gadis itu bicara berdua di dalam..." Lalu Gendu 

berpaling pada Randini. "Masuklah. Jika Adipati ingin 

menemuimu tentu ada sesuatu yang ingin dibicarakan-

nya…" 

Randini, perempuan muda bertubuh molek dan 

berparas jelita itu tampak ragu-ragu sesaat? Namun akhir-

nya dia masuk juga ke dalam rumah. 

Sampai di dalam rumah dilihatnya Adipati Suryo Maget 

tegak memandang dengan tersenyum padanya. 

"Mohon maaf, tak ada kursi yang layak untuk duduk 

Adipati…" kata Randini. 

"Tidak apa. Aku biasa berdiri kalau bicara," jawab Suryo 

Maget. "Benarkah kau berjualan rempah-rempah di pasar 

Wlingi?" 

"Benar sekali Adipati. Baru pagi tadi saya mulai ber-

jualan. Dan saya telah membuat kesalahan. Tidak melapor 

lebih dulu pada petugas-petugas Kadipaten…" 

"Lupakan hal itu. Aku melihat, kau sangat tidak pantas 

menjadi penjual rempah-rempah. Tidak pantas berjualan


apa pun di pasar yang kotor itu…" 

"Tapi saya harus melakukan sesuatu untuk dapat 

hidup... Saya sebatang kara di Temanggung ini…" 

Suryo Maget memperhatikan kedua tangan dan kaki 

Randini. Halus sekali. Menandakan meskipun dara ini ber-

dagang di pasar tapi jelas dia tidak terbiasa melakukan 

pekerjaan kasar atau berat. 

"Di mana kedua orang tuamu?" tanya Suryo Maget. 

"Ibu meninggal waktu saya masih kecil. Ayah tewas 

waktu terjadi banjir bandang beberapa tahun lalu di 

Ambarawa . . . ." 

"Jadi di situ berasal dari Ambarawa?" 

"Bukan. Kedua orang tua saya berasal dari Jepara," 

jawab Randini. 

"Lalu bagaimana sampai terpesat di Temanggung?" 

"Panjang ceritanya Adipati. Tak mungkin saya ceritakan 

karena Adipati akan bosan mendengarnya. Apakah saya 

boleh terus berjualan di pasar Wlingi. Hanya itu tumpuan 

dan mata pencaharian saya..." 

"Aku tidak mangizinkanmu berdagang lagi di Wlingi…" 

kata Suryo Maget. 

Ucapan ini membuat Randini terkejut. Parasnya berubah 

dan wajahnya seperti hendak menangis. Tapi di hadapan-

nya dilihatnya Adipati Temanggung itu tersenyum. 

"Sukakah kau menjadi teman hidupku?" tiba-tiba sang 

Adipati bertanya. 

Ini tambah mengejutkan Randini. 

"Saya... saya tidak mengerti maksud Adipati…" katanya 

terbata-bata. 

"Makudku apakah kau suka kalau kuperisterikan?" 

Kedua mata sang dara terbelalak. Lalu dia cepat-cepat 

tundukkan kepala. Karena menunduk tengkuknya yang 

putih tampak menyembul di bawah sanggulnya yang besar, 

"Ada keringat di kudukmu! Kau tentu terkejut bukan?"


ujar Suryo Maget seraya menghampiri lebih dekat. Lalu 

dengan jari-jari tangannya disekanya percikan keringat di 

tengkuk Randini. Si gadis menggelinjang karena kegelian. 

Suryo Maget tertawa perlahan. Tangannya yang basah oleh 

keringat diciumnya beberapa kali. Lalu jari-jari yang basah 

itu dihisapnya. Rupanya sudah demikian besarnya daya 

tarik si gadis di hati sang Adipati hingga keringatnya pun 

dinikmatinya. 

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi…" kata Suryo 

Maget pula. 

"Saya tak bisa menjawab. Saya tak berani memberikan 

jawaban…" kata Randini. 

"Kenapa tak bisa? Kenapa tak berani?" 

Lama gadis itu terdiam. Akhirnya dia berkata, "Saya 

seorang miskin yang tidak sebanding dengan Adipati. Jika 

Adipati menginginkan, bukankah bisa mendapatkan 

seorang gadis lain yang lebih segala-galanya dari saya…?" 

"Justru saat ini aku sudah menemukan gadis yang iebih 

dari segala-galanya itu. Yaitu kau sendiri. Aku memang 

sudah punya tiga isteri. Tapi jika kubandingkan dirimu 

dengan ketiganya... Mereka seperti buIan redup tertutup 

awan sedang kau seolah-olah buIan purnama yang me-

mancarkan sinarnya yang indah. Nah, apakah kau sudi 

kujadikan isteriku yang keempat?" 

"Apakah Adipati tidak merasa malu dan turun derajat 

nanti karena mengambil saya gadis yang tidak ketahuan 

asal usulnya sebagai isteri...?" bertanya Randini. 

Suryo Maget tertawa lebar. "Ucapanmu itu menandakan 

bahwa kau bisa menjadi seorang isteri yang baik. Karena 

itulah sejak pertama kali tadi aku melihatmu di pintu 

rumah, aku yakin bahwa aku harus memperisterikan diri-

mu. Aku menunggu jawabanmu saat ini…" 

"Jika... jika niat Adipati memang sebaik itu, apa yang 

harus saya katakan selain bersedia mengabdi pada


Adipati…" 

Saking gembiranya, Suryo Maget sampai lupa diri. 

Sambil tertawa dirangkulnya tubuh Randini dan diciumnya 

wajah gadis itu berulang-ulang, membuat sang dara meng-

geliat coba melepaskan diri. 

"Mulai besok kau tak boleh berjualan lagi di pasar," kata 

Suryo Maget. "Untuk beberapa hari tetap saja tinggal di 

sini. Orang-orangku akan mengatur segala sesuatunya 

untukmu. Pesta perkawinan, rumah... dan sebagainya... 

dan sebagainya." 

"Kalau saya boleh meminta, tak usahlah diadakan pesta 

segela." 

"Hemm... Kalau begitu kehendakmu aku pun setuju," 

ujar Suryo Maget. Memang mana ada orang yang mau 

mengadakan pesta untuk perkawinannya yang ke empat, 

padahal tiga isterinya masih ada. 

Dari balik pakaian bagusnya Adipati Tumenggung itu 

mengeluarkn sebuah kotak kecil berwarna merah. Kotak 

itu diulurkannya pada Randini seraya berkata. "Ambil dan 

bukalah..." 

Si gadis mengambil kotak itu. Lalu membukanya. 

Ternyata di dalam kotak terdapat sebentuk cincin emas 

bermata berlian yang besar sekali. 

"Itu untukmu!" kata sang Adipati pula. 

"Saya tak berani menerimanya, Adipati..." 

"Jangan menampik. Itu pemberian seorang calon suami 

pada bakal isterinya. Kau harus mau menerimanya!" 

Suryo Maget mengeluarkan cincin itu dari dalam kotak 

lalu memasangkannya ke jari manis tangan kiri Randini. 

Ternyata cincin itu pas betul di jari sang dara. Sambil 

memegangi jari-jari tangan Randini Suryo Maget berkata: 

"Aku harus pergi sekarang. Segala sesuatunya akan segera 

diatur. Aku akan menempatkan seorang pengawal di sini. 

Bila kau memerlukan apa-apa tinggal memberitahu


padanya…" 

"Saya sangat berterima kasih Adipati. Benar-benar ber-

terima kasih ...." kata Randini pula. Lalu dia menundukkan 

tubuh memberi hormat, sekaligus menghindarkan sang 

Adipati yang hendak mencium wajahnya. 

***


LIMA


AJAL Dl MALAM PENGANTIN


RUMAH ITU terletak di aliran Kali Progo, di sebelah 

tenggara Temanggung, pada sebuah daerah yang 

subur. Di dalam rumah Adipati Suryo Maget duduk di 

meja makan berhadap-hadapan dengan istri barunya, istri 

paling muda atau istri ke empat yaitu Randini. Sang Adipati 

hanya sedikit saja menyentun makanan yang terhidang. 

Seleranya same sekali tidak ada karena dikalahkan oleh 

kobaran hasrat yang ingin cepat-cepat masuk ke dalam 

kamar, menjalani malam pertama bersama Randini. 

Sore tadi, menjelang magrib dengan disaksikan oleh dua 

orang petugas Kadipaten Temanggung yakni Gendu dan 

Komang, seorang penghulu telah datang ke tempat itu, 

menikahkan Suryo Maget yang berusia 53 tahun dengan 

Randini yang berumur 21 tahun. bararti malam ini adalah 

malam pengantin yang berbahagia bagi keduanya. 

Di luar rumah Komang dan Gendu berjaga-jaga sambil 

bercakap-cakap. 

"Nasib kita memang sial Gendu. Gadis cantik itu tidak 

jatuh ke tangan kita..." kata Komang. 

"Kalau kupikir-pikir, seandainya Adipati tidak memper-

istrikannya, belum tentu dia mau padaku atau padamu…" 

menyahuti Gendu. 

"Sedang apa mereka sekarang? Mungkin sudah masuk 

ke dalam kamar…" 

"Tadi kulihat masih di meja makan. Kalau mereka


masuk ke kamar apa kau mau mengintip...?" 

"Komang menyeringai. "Tak ada salahnya. Dari pada tak 

dapat sama sekali mencuri intip pun…" 

"Ya, sekali ketahuan oleh Adipati kita berdua bisa 

celaka!" 

Di dalam rumah Adipati Suryo Maget meneguk kopi 

hangat yang barusan diantar seorang pelayan lalu menyala-

kan sebatang rokok. Setelah beberapa kali menghisapnya 

dia memandang pada Randini dan berkata, "Mata tua ini 

cepat sekali mengantuk. Tubuh lanjut ini terasa letih. 

Bagaimana kalau kita masuk saja ke kamar untuk ber-

istirahat...?" 

Randini yang maklum apa maksud kata-kata Adipati 

yang kini telah menjadi suaminya itu menganggukkan 

kepala lalu berdiri. Dia merapikan pakaiannya sebentar 

kemudian melangkah menuju ke kamar. Tidak menunggu 

lebih lama Suryo Maget cepat berdiri dan menyusul masuk. 

Kamar itu besar sekali, dilengkapi dengan perabotan yang 

serba baru dan bagus, termasuk sebuah ranjang besar ter-

buat dari besi berlapis kuningan. 

"Tidak disangka di usia yang begini lanjut aku mendapat 

seorang isteri pendamping yang kuidam-idamkan..." kata 

Suryo Maget seraya melepas sandalnya lalu naik a,e atas 

ranjang. 

"Setelah mendapatkan saya, apakah kakanda akan 

mencari istri baru lagi...?" bertanya Randini. Dia duduk di 

tepi tempat tidur, dekat kaki Suryo Maget. 

Adipati itu tertawa. 

"Kukira tidak. Cukup kau yang terakhir. Soalnya kini aku 

sudah mendapatkan segala-galanya..." 

"Mudah-mudahan saya bisa menjadi isteri yang baik. 

Saya merasa bersyukur dari hidup terlunta-lunta sebatang 

kara hari ini saya menemui kebahagiaan, menjadi isteri 

Adipati Tumenggung."


"Kau pasti akan menjadi isteri yang baik. Aku sudah 

melihat dari raut wajahmu yang cantik, tutur katamu yang 

halus dan sikapmu yang lemah lembut. ..." kata Suryo 

Maget memuji isterinya. "Berbaringlah di sampingku. Ini 

malam pertama kita Randini. Malam pengantin yang tidak 

akan kita lupakan selama hidup…" 

"Pernahkah kakanda mendengar cerita tentang lelaki-

lelaki yang mati pada malam pengantinnya…" 

Suryo Maget menggeleng. "Tak pernah kudengar. 

Pengantin lelakinya pasti mengidap penyakit jantung!" ujar 

sang Adipati pula. "Mengapa kau bertanya begitu...? Kalau 

pun aku mati setelah bersenang-senang denganmu rasa-

nya aku akan puas..." 

"Tak baik berkata begitu. Saya tak ingin kehilangan 

kakanda. Apalagi di malam pengantin ini..." 

"Kalau begitu menggeserlah ke mari. Berbaringlah di 

sampingku…" 

"Aneh malam ini terasa panas. Tidakkah kakanda ingin 

membuka pakaian?" tanya Randini. 

Pertanyaan isterinya itu merangsang darah sang Adipati. 

Cepat-cepat dia membuka pakaiannya hingga hanya 

tinggal pakaian dalam saja. 

"Giliranmu sekarang Randini…" 

Randini menggerakkan tangannya ke pinggang hendak 

membuka gulungan angkinnya. Tapi kemudian hal itu tak 

jadi dilakukannya dan berkata, "Kakanda, saya tak mau 

membuka pakaian kalau kakanda memperhatikan. Malu... 

Berpalinglah menghadap ke dinding…" 

Suryo Mager tertawa lebar. "Isteriku ini benar-benar 

gadis tulen. Masih malu-malu ...." katanya dalam hati. Lalu 

seperti yang dikehendaki Randini dia pun memutar tubuh-

nya membelakangi sang isteri, menghadap ke dinding 

dengan dada yang bergemuruh karena membayangkan 

apa sebentar lagi yang akan dilihat dan dinikmatinya.


Setelah Suryo Maget membelakanginya, baru Randini 

kembali menggerakkan tangannya ke pinggang. Namun 

apa yang dilakukannya bukanlah membuka angkin atau 

setagennya, Dari balik angkin itu dia justru mengeluarkan 

seutas tali berwarna kuning sepanjang empat jengkal, 

memegangnya pada masing-masing ujungnya. 

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis ini men-

jiratkan tali itu ke leher Suryo Maget hingga sang Adipati 

terkejut. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu nafasnya 

telah sesak, lidah menjulur. Kedua tangan coba menggapai 

dan kedua kaki melejang-lejang. 

Kreeek…! 

Terdengar suara patahnya tulang leher ketika Randini 

membuat satu sentakan yang kuat. Tubuh Adipati Suryo 

Maget tak bergerak lagi. Nyawanya putus sudah! 

Dari mulut Randini keluar suara tertawa aneh. Hampir 

seperti kuda meringkik. 

"Lelaki keparat! Hidung belang busuk macammu pantas 

menerima mampus seperti ini! Kau tunggulah ayahku! Kau 

tunggulah guruku! Juga semua lelaki-lelaki bejat itu! Kalian 

semua pantas berkumpul di liang neraka!" 

Habis berkata begitu Randini mombuka jendela kamar. 

Sesaat kemudian dia pun lenyap dalam kegelapan malam. 

Hanya angin malam yang berdesir menyaksikan kepergian-

nya. 

Di luar rumah Komang berbisik pada kawannya. 

"Hai… Kau dengar suara tawa gadis itu... Cekikikan! 

Tubuhku jadi panas. Bagaimana kalau kita mengintip…'' 

Memang Gendu-pun tadi sempat mendengar suara tawa 

Randini. Rupanya malam pengantin sudah dimulai. Kalau 

tadi dia menolak ajakan kawannya, kini dia pun tertarik. 

Keduanya lalu mengendap-endap mendekati rumah di 

bagian mana kamar tidur terletak. Namun sebelum sampai 

di dinding bangunan, sebuah perahu kecil merapat di tepi.


Kali Progo. Dari atas perahu melompat turun seorang 

pemuda yang langsung lari ke arah rumah. 

"Hai! Siapa di sana?!" bentak Gendu ketika melihat ada 

orang yang datang dengan sikap mencurigakan. 

***


ENAM


SAKIT HATI YANG KETIGA KALI


SIANG ITU Tumbal Sakti menemui ibunya yang masih 

berbaring di atas tempat tidur. Dia adalah putera 

tertua Adipati Suryo Maget dari istri pertamanya yaitu 

Siti Resmi. 

"Sesiang ini ibu masih belum bangun. Apakah ibu sakit?" 

tanya Tumbal Sakti. 

Siti Resmi tidak menjawab. Dia memandang ke langit-

langit kamar. 

"Ibu tak mau menjawab. Ibu seperti merahasiakan 

sesuatu, . .." 

Perempuan itu coba tersenyum. "Apa pula yang harus 

kurahasiakan, Tumbal?" 

"Saya tahu ibu memang merahasiakan sesuatu. Hanya 

saja rahasia itu sudah saya ketahui. Dan saya berniat 

melakukan sesuatu!" kata Tumbal Sakti pula. 

Hal ini mengejutkan ibunya yang langsung bangkit dan 

duduk di ujung tempat tidur. 

"Apa maksud Tumbal?!" tanya perempuan itu. 

"Ayah hendak kawin lagi! Itu yang menimbulkan pikiran 

hingga ibu hanya berdiam diri dalam sakit hati yang men-

dalam. Betul kan begitu, bu…?" 

Siti Resmi terdiam. Kini dia merasa tak ada gunanya 

merahasiakan hal itu lagi. Puteranya ternyata sudah tahu. 

"Dari mana kau tahu hal itu Tumbal?


"Seseorang menceritakannya pada saya…" 

"Seseorang siapa?" 

"Ibu tak usah tahu. Yang jelas perbuatan busuk seperti 

itu mana bisa ditutup-tutup?!" 

"Itu sudah nasib kita, Tumbal. Kita tak bisa merubah 

sifat ayahmu…" 

"Sudah tiga kali dengan ini dia menyakiti ibu... Apakah 

tiga orang istri dan sekian banyak peliharaan masih tidak 

cukup bagi ayah?" 

"Jangan berkata begitu Tumball" 

"Tidak ibu. Saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu di 

mana mereka berada malam nanti!" 

Tumbal Sakti menyibakkan pakaian luarnya yang 

menyerupai jas pendek tanpa lengan. 

"Lihat, apa yang saya bawa ini, bu!" 

Ketika melihat keris yang tersisip di pinggang puteranya 

terkejutlah Siti Resmi. 

"Tumbal! Apa yang hendak kau lakukan?!" 

"Saya akan membunuh perempuan itu, bu!" 

"Kau gila!" 

"Bukan saya yang gila! Tapi perempuan itu! Juga ayah!" 

"Perempuan itu, siapa pun dia adanya tidak bersalah. 

Ayahmu yang salah. Tidak pernah puas dengen apa yang 

ada...!" 

"Kalau begitu ayah juga akan saya bunuh!" kata Tumbal 

Sekti pula dengan mata berapi-api. Sebaliknya sepasang 

mata sang ibu tampak berkaca-caca. 

"Jangan kau lakukan itu, anakku! Jangan kau tambah 

derita ibu…" 

"Ini derita ibu yang terakhir! Kalau kita tidak melakukan 

sesuatu ayah tak akan pernah bisa berubah! Lagi pula dua 

ibu yang lain merestui tindakan saya…" 

"Jadi... jadi kau sudah mengatakan maksudmu pada dua 

istri ayahmu yang lain...?"


Tumbal Sakti mengangguk. 

"Tidak Tumbal! Jangan kau lakukan itu! Jangan senekad 

itu. Berikan padaku keris ayahmu itu. Kau tak pantas mem-

bawanya. Serahkan padaku cepat...!" 

"Saya akan menyerahkannya bu. Tapi nanti. Kalau 

senjata ini sudah berlumuran darah!" 

Lalu pemuda itu membalikkan tubuh, melangkah cepat 

menuju ke pintu. Siti Resmi turun dari tempat tidur, ber-

usaha mengejar anaknya namun sia-sia saja. Akhirnya 

perempuan ini menggulingkan diri di lantai kamar dan 

hanya bisa menangis. 

Dengan sebuah perahu Tumbal Sekti mengarungi Kali 

Progo menu ju arah tenggara. dia tahu di mana ayahnya 

berada. Kesitulah dia menuju. Dia sampai di tempat itu 

pada malam hari, ketika Gendu dan Komang mengendap-

endap hendak mengintip kamar pengantin. Begitu melihat 

ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan maka 

Gendu langsung membentak. 

"Hail Siapa di sana?!" 

Orang yang dibentak hentikan langkah dan bertolak 

pinggang. 

"Aku Tumbal Sakti!" katanya menyebutkan nama. 

Terkejutlah kedua petugas Kadipaten yang berjaga-jaga 

itu. 

"Raden kiranya!" kata Gendu lalu saling pandang dengan 

Komang dengan perasaan sama tidak enak. 

'"Ada apakah Raden malam-malam datang ke mari?" 

tanya Komang. 

"Kalian sendiri mengapa berada di sini?!" membentak 

Tumbal Sakti hingga kedua orang itu tercekat diam. 

"Ayahku ada di dalam?!" 

Gendu dan Komang tak berani berdusta. "Ada Raden…" 

"Aku akan menemuinya…!" 

"Raden…" Komang berusaha menghalangi.


"Sebaiknya Raden jangan masuk. Nanti kami berdua 

bisa mendapat hajaran…" 

"Memangnya mengapa aku tak boleh masuk?!" tanya 

Tumbal Sekti melotot. 

"Kami berdua hanya bertugas di sini, Raden. Mendapat 

perintah tak boleh satu orang pun masuk ke rumah. Ayah 

Raden tak mau diganggu." 

Tumbal Sakti menyeringai. 

"Tak boleh masuk, tak mau diganggu. Karena dia 

sedang bersenang-senang dengan istri mudanya bukan?! 

Minggir kalian berdua!" 

"Maafkan kami Raden. Kami hanya menjalankan tugas!" 

"Jadi kalian berdua berani menghalangiku?!" sentak 

Tumbal Sakti. 

"Sabar Raden. Sebaiknya kembali saja ke Temanggung. 

Kalau ayah Raden pulang ke sana nanti, tentu persoalan 

ini bisa diselesaikan..." kata Gendu. 

"Justru persoalan ini harus diselesaikan di sini, saat ini 

juga!" 

"Tenang Raden. Pikirkan buruk baiknya…" 

"Gendu keparat kau! Apakah kau ada memikirkan buruk 

baiknya ayahku kawin lagi? Kau dan kawanmu ini mau 

melakukan apa saja karena dijejali uang! Bukan begitu?! 

Menyingkir kataku!" 

"Apa pun yang terjadi kami tetap menjalankan perintah!" 

Naiklah amarah Tumbal Sakti. Pemuda ini hunus keris di 

pinggangnya. "Kalau kalian tetap bersikeras, terpaksa aku 

menghabisi kalian berdua lebih dulu!" 

Sebagai seorang putera Adipati, selain mendapat pen-

didikan tulis baca Tumbal Sekti juga mendapat pelajaran 

ilmu silat dari jago-jago silat ternama. Karenanya meskipun 

dua petugas Kadipaten itu memiliki kepandaian, namun 

dibanding dengan Tumbal Sakti keduanya ketinggalan 

jauh. Ditambah pula dalam keadaan nekad maka


serangan-serangan si pemuda benar-benar membahaya-

kan jiwa Gendu dan Komang. Gendu adalah yang pertama 

terluka tangannya ketika menangkis satu tusukan deras 

keris putera Adipati itu. Hendak mecabut senjata baik 

Gendu maupun Komang tak mau melakukan karena takut 

akan mencelakai putera Adipati itu. Tidak mengeluarkan 

senjata berarti sebentar lagi mereka akan jadi bulan-bulan 

keris di tangan Tumbal Sakti! 

***



TUJUH


SAKIT HATI MASA LAMPAU DAN 

TUDUHAN KELIRU KAKEK MATA BIRU



PADA SAAT Tumbal Sekti dan dua anak buah 

Suryo Maget mulai bertengkar, dari kegelapan 

tanpa mereka ketahui muncul sesosok bayangan 

putih yang langsung masuk ke dalam rumah lewat 

jendela kamar yang terbuka. Bersamaan dengan ke-

munculannya menyeruaklah bau kemenyan di tempat itu. 

Begitu masuk ke kamar ditemuinya Adipati Tumenggung 

Suryo Maget telah jadi mayat. Menggeletak di atas ranjang, 

hanya mengenakan pakaian dalam. Matanya membeliak, 

lidah terjulur dan dilehernya ada tali kuning menjirat! 

"Lagi-lagi aku terlambat! Anak setan itu selalu lebih 

cepat!" Orang yang barusan masuk menggerendeng kesal. 

Dia melangkah mendekati ranjang lalu tangannya bergerak 

membuka jeratan tali di leher Suryo Maget. 

Sambil memutar-mutar tali itu dengan tangan kanannya 

orang ini membatin. "Mungkinkah dia ....?" Memandang 

pada tubuh Suryo Maget hati kecilnya menolak dugaan itu. 

"Jika memang dia, kebiasaannya adalah bersenang-senang 

dulu baru membunuh. Lelaki yang mati ini tampaknya 

belum sempat melakukan hal itu... Lagi pula jika memang 

dia, mengapa harus susah-susah membunuh memper-

gunakan tali segala? Aku tak yakin dia telah menjelma 

menjadi Ratu Mesum kembali. Menebar nafsu dan maut!" 

Baru saja orang ini merenung seperti itu mendadak


melesat masuk lewat jendela yang terbuka sesosok tubuh. 

Di hadapannya kini tegak seorang kakek berpakaian 

compang camping. Sepasang matanya berwarna bru dan 

memancarkan sinar dingin yang angker. 

"Ha... ha... ha! Bertahun-tahun kucari kini tertangkap 

basah berbuat kejahatan!" Kakek aneh itu umbar suara 

tawa yang disusul dengan bentakan. 

Si pemuda tersentak kaget. Dia pandangi orang tua di 

depannya dari atas sampai ke bawah. 

"Kakek Mata Biru!" seru pemuda itu ketika dia akhirnya 

mengenali siapa adanya orang tua itu. Kakek Mata Biru 

adalah salah seorang dari beberapa tokoh langka dunia 

persilatan yang merupakan adik kandung Gembel Cengeng 

Sakti Mata Buta, seorang kakek berkepandaian tinggi yang 

telah mengajarkan Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Buta 

kepadanya. (Baca Pendekar Dari Liang Kubur). 

"Hemm... Bagus! Kau masih mengenai diriku! Apakah 

juga masih ingat campur tanganmu yang menyakitkan hati 

sewaktu aku bertanding catur dengan Gembel Cengeng...?" 

"Ah, tentu saja aku ingat kek. Tapi itu sudah lama sekali. 

Mengapa harus diingat-ingat lagi…" sebut si pemuda pula. 

Si kakek menyeringai jengkel. "Kau tidak merasa sakit 

hati memang tak perlu mengingat-ingat. Tapi aku yang kau 

beri malu mana mungkin melupakan! Waktu itu aku ingin 

menggebukmu, tapi kau lolos karena ditolong oleh kakak-

ku. Aku mau lihat apakah malam ini kau masih bisa me-

loloskan diri?!" 

"Persoalan lama urusan mainan anak-anak kenapa mau 

diperpanjang. Jika kau anggap aku menyakiti hatimu, aku 

tidak sungkan minta maaf saat ini juga. Nah kau maafkan-

lah diriku yang ceroboh!" 

"Enak saja kau minta maaf. Sebelum kugebuk kau mana 

senang hatiku!" kata Kakek Mata Biru. "Lagi pula saat ini 

aku berhasil menangkapmu basah! Membunuh Adipati


Suryo Maget dari Temanggung!" 

"Bukan aku yang membunuhnya!" kata pemuda itu 

dengan suara keras dan berang. "Jangan menuduh 

sembarangan! " 

Kembali si kakek umbar suara tawa bergelak. 

"Aku sudah lama mengintai gerak gerikmu, anak muda! 

Beberapa kali terjadi pembunuhan yang korbannya tewas 

dijerat dengan tali kuning, kau selalu ada di situ. Dan saat 

ini aku lihat sendiri kau masih memegang tali kuning itu! 

Sudah terbukti jelas masih hendak mungkir?!" 

"Aku datang ke mari justru hendak menyelidiki. Tetapi 

terlambat! Si pembunuh keburu kabur…!" 

"Mahesa... Eh, Mahesa bukan...?" kata kakek Mata Biru. 

"Pada orang lain kau boleh berdusta. Tapi padaku jangan 

coba-coba!" 

"Anak setan!" maki si pemuda dalam hati yang memang 

Mahesa adanya. "Ape perlunya aku membunuh Adipati 

itu?!" 

"Soal apa perlumu itu bukan urusanku. Yang jadi 

urusanku ialah melenyapkan manusia-manusia jahat 

sepertimu saat ini juga!" 

"Edan!" maki Mahesa. 

"Kau yang edan!" balas memaki Kakek Mata Biru. 

Tangan kanannya bergerak. Gerakan ini perlahan saja. 

Namun seperti mulur tahu-tahu tangan kanan itu sudah 

berada dekat sekali dengan tubuh Mahesa dan meng-

hantam ke arah dada! 

Mahesa yang sebelumnya pernah berhadapan dengan 

kakek sakti ini, sudah tahu kelihayannya maka pagi-pagi 

sudah berjaga-jaga. Begitu si kakek terlihat gerakan tangan 

kanannya, pemuda ini tiupkan asap rokok klobot yang 

dihisapnya kuat-kuat ke depan. Asap rokok yang disertai 

tenaga dalam tinggi itu menerpa menghadang jotosan 

Kakek Mata Biru, sebagiannya lagi menderu ke arah kedua


matanya. Si kakek merasakan tangan kanannya seperti 

masuk ke dalam satu gelombang dahsyat yang membuat 

tangan itu bergetar keras serta panas dan sakit. 

Sementara itu asap yang menyerbu ke arah kedua 

matanya membuat mata itu terasa perih sekali. Mau tak 

mau Kakek Mate Biru cepat melompat mundur. 

"Pemuda edan ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi 

sekali," kata Kakek Mata Biru dalam hati. 

"Apakah kakakku juga menghadiahkan sebagian tenaga 

dalamnya? Lalu membuat asap rokok menjadi senjata 

ampuh dari mana pula dia mempelajarinya...!" Setelah 

menatap sejenak pada Mahesa, Kakek Mate Biru kembali 

lancarkan serangan. Mahesa menyambut dengan balas 

menghantam. Maka perkelahian seru pun berkecamuk 

dalam kamar besar itu. 

Seperti diketahui dari gurunya Kunti Kendil di puncak 

pegunungan lyang Mahesa telah mendapat gemblengan 

ilmu kesaktian den ilmu silat tingkat tinggi. Selama malang 

melintang dalam dunia persilatan pemuda ini telah 

menimbulkan hal-hal yang menggegerkan hingga disegani 

kawan ditakuti lawan den mendapat julukan Mahesa Edan, 

Pendekar Dari Liang Kubur. Namun sejak sang guru telah 

menjatuhkan hukuman yang sangat menyakiti hati bahkan 

sempat menggantungnya kaki ke atas kepala ke beawah, 

Mahesa mengambil keputusan, apa pun yang terjadi dia 

tidak akan mau mempergunakan lagi semua ilmu 

kepandaian yang diberikan Kunti Kendil kepadanya. 

Mahesa tahu betul ini merupakan satu hal yang membuat 

lebih dari setengah kepandaiannya akan lenyap. Dia tak 

akan lagi mau mempergunakan pukulan Sakti bernama 

pukulan Api Gledek, Menggusur Makam atau Kincir Air 

Melabrak Kuburan atau Makam Sakti Maletus, dan 

sebagainya. Dia juga tidak akan mau mengeluarkan lagi 

jurus-jurus silat dahsyat seperti Macan Gila Keluar Dari


Kuburan, Batu Karang Menghimpit Kuburan, Di atas Kubur 

Badai Mengamuk atau Tombak Sakti Menembus Lianq 

Kubur den yang lain-lainnya. Dia sudah bersumpah untuk 

tidak lagi mempergunakan semua kesaktian dan ilmu silat 

warisan gurunya itu. Bahkan senjata mustika ampuh tapi 

aneh berupa papan berbentuk nisan pemberian Kunti 

Kendil telah dikuburnya di satu tempat! 

Kini menghadapi kakek lihay seperti Kakek Mata Biru, 

Mahesa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya yang 

ada. Dengan hembusan asap rokok klobot yang disembur-

kannya berulang-ulang ke arah lawan Mahesa berhasil 

membendung serangan-serangan maut, Kakek Mata Biru. 

Namun ketika rokok yang dihisapnya habis dan dia tak 

berkesempatan lagi untuk menyalakan sebatang rokok 

baru maka gempuran Kakek Mata Biru mulai membuatnya 

terdesak. Kakek Mata Biru tertawa mengejek. 

"Bukankah kau anak murid Kunti Kendil yanig kesohor 

itu? Mana ilmu silat dan pukulan sakti yang kau pelajari 

dari dia? Dari tadi kau hanya melenggang lenggok seperti 

wayang banci!" 

Dihina seperti wayang bahkan disebut wayang banci 

Mahesa jadi penasaran. Setelah mengelakkan dua jurus 

serangan deras berupa pukulan-pukulan dahsyar yang 

sempat menyerempet pipinya hingge merah membengkak, 

Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta yang di-

ajarkan Gambol Cengeng Sakti Mata Buta. Kini pemuda itu 

pergunakan ilmu silat si kakek buta untuk menghadapi 

adik kandungnya sendiri! 

Ketika gempuran-gempurannya selama dua jurus 

kemudian tidak membawa hasil apa-apa sementara lawan 

dilihatnya membuat gerakan-gerakan aneh gerabak-

gerubuk tak keruan, Kakek Mata Biru selain heran juga 

menjadi jengkel. 

"Heh! Jadi sontoloyo mata buta itu mengajarkan ilmu


silatnya padamu!" bentak Kakek Mata Biru ketika dia mulai 

mengenali jurus-jurus silat yang dimainkan Mahesa. 

Pendekar kita ganda tertawa. "Setahuku dari dulu kau 

tak pernah menang menghadapi kakakmu. Apa kau 

sekarang takut meneruskan perkelahian ....?" 

"Keparat bermulut sombong!" teriak Kakek Mata Biru 

marah. "Siapa takut menghadapi kecoak macammu! Kau 

terima kematianmu!" Kakek Mata Biru angkat tangan 

kanannya. Mahesa melihat bagaimana tangan itu menjadi 

berwarna biru. Tanda si kakek hendak lepaskan satu 

pukulan sakti yang benar-benar sangat berbahaya! 

"Celaka! Kalau saja aku mau mengeluarkan pukulan api 

geledek, pasti aku bisa melayani pukulan saktinya itu. Tapi 

sekarang bagaimana ini..." Sesaat Mahesa merasa 

bingung. 

Pada saat itu tiba-tiba ada tiga orang melompat masuk 

lewat jendela. Mereka adalah Tumbal Sekti, Gendu dan 

Komang. 

"Ada apa di sini?!" membentak Tumbal Sakti seraya 

melintangkan keris di depan dada. Matanya memandang 

cepat ke arah Mahesa dan Kakek Mata Biru, dua manusia 

yang tak pernah dikenal atau dilihatnya sebelumnya. 

Kemudian matanya bergerak ke arah ranjang besar dan 

larpung pemuda ini terpskik. "Ayah!" 

Tumbal Sakti molompat ke atas ranjang, menggoyang 

tubuh Suryo Maget. Namun dia segera sadar kalau 

ayahnya sudah jadi mayat. 

"Raden Tumbal Sakti ...." kata Kakek Mata Biru. "Jika 

kau ingin tahu siapa pembunuh ayahmu, dialah orangnya!" 

Dan Kakek Mata Biru itu menunjuk ke arah Mahesa. 

***



DELAPAN


TERTUDUH PEMBUNUH LOLOS 

 ISTRI MUDA LENYAP


TUMBAL SEKTI heran, dia tak pernah kenal kakek 

bermata aneh itu tetapi mengapa tahu namanya. 

Sebaliknya rasa heran itu serta morta lenyap begitu 

dia mendengar ucapan si kakek bahwa pemuda berbaju 

putih di dalam kamar itu adalah orang yang telah mem-

bunuh ayahnya. Sekali lompat saja Tumbal Sekti sudah 

berdiri di hadapan Mahesa dengan keris terhunus. 

"Kakek busuk itu dusta! Tuduhannya palsu!" teriak 

Mahesa. "Ketika aku datang ayahmu sudah tewas! 

Seseorang telah menjirat lehernya dengan tali kuning 

sampai patah lalu melarikan diri!" 

"Jangan percaya mulutnya Raden. Dia pandai bicara. 

Raden menyingkirlah, biar aku yang menamatkan 

riwayatnya…" kata Kakek Mata Biru. 

"Tidak, keparat ini harus mampus di tanganku!" sahut 

Tumbal Sakti. 

"Hentikan niatmu Raden. Dia bukan tandinganmu!" 

Memperingatkan Kakek Mata Biru. 

Tapi Tumbal Sakti yang sudah mata gelap tak perdulikan 

lagi ucapan si kakek. Kalau sebelumnya dia bertekad 

hendak membunuh sang ayah atau istri mudanya, kini yang 

ingin dibunuhnya pertama sekali adalah Mahesa. 

Putera Adipati Suryo Maget itu memulai serangan 

dengan kirimkan satu tusukan ke arah dada Mahesa


sementara Gendu dan Komang tampak tertegak kaget dan 

bingung. Kaget karena melihat Adipati mereka telah jadi 

mayat di atas ranjang. Bingung sebab tidak melihat 

Randini, istri ke empat yang baru dinikahi Suryo Maget sore 

tadi. Keduanya juga merasa takut karena sebagai 

pengawal mereka telah kebobolan. Adipati dibunuh orang 

tanpa setahu mereka. 

Seperti dituturkan sebelumnya ketiga orang itu terlibat 

dalam perkelahian. Gendu dan Komang menderita luka-

luka terutama di bagian kedua tangan masing-masing. 

Meskipun tidak membahayakan jiwa mereka tetapi luka-

luka teriris yang cukup banyak itu terasa amat sakit. Masih 

untung sewaktu keduanya hampir menerima tusukan-

tusukan keris yang mematikan, dari dalam rumah, 

terdengar suara bentakan-bentakan dan suara seperti 

orang berkelahi. Tumbal Sakti hentikan serangannya lalu 

masuk ke dalam rumah lewat jendela yang terbuka. Gendu 

dan Komang ikut menyusul. 

Dua serangan Tumbal Sakti dapat dielakkan Mahesa 

dengan mudah. Tapi dari samping datang tendangan 

Kakek Mata Biru. Si kakek yang tadi sebenarnya siap 

melepaskan pukulan sakti kini tak berani melakukan hal 

itu karena takut akan menghantam Turnbal Sekti. 

Karenanya dia masuk ke dalam kalangan perkelahian 

dengan fftenjotos dan menendang. Justru ini adalah satu 

keuntungan bagi Mahesa. Dia mainkan jurus-jurus silat 

orang buta. Dimulai dengan Si buta terjatuh menggapai 

karang. Tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya 

menggapai-gapai seperti hendak jatuh. Tendangan Kakek 

Mata Biru lewat di atas punggungnya. Serentak dengan itu 

dia susul dengan jurus Si buta mencengkeram langit. 

Bret! 

Pakaian compang camping si kakek robek besar ketika 

kena dijambret. Tubuh si kakek ikut tertarik ke depan. Di


saat yang tepat Mahesa menunggu dengan dua jari me-

nusuk ke arah dada lawan. Sadar dadanya hendak ditotok 

lawan, Kakek Mata Biru membuat gerakan jungkir balik di 

atas tubuh Mahesa. Bersamaan dengan itu lututnya di-

hantamkan ke kepala pemuda itu sedang tangan kanannya 

ikut mengemplang ke arah punggung. 

Mahesa cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat 

dari hantaman lutut si kakek tetapi dia tak dapat lolos dari 

gebukan pada punggungnya. Mahesa terbanting ter-

telungkup di lantai kamar. Punggungnya serasa remuk. 

Untuk sesaat dia terkapar tak berdaya. Di sudut kamar 

dekat kaki renjang Kakek Mata Biru tergelimpang, cepat 

berusaha bangkit untuk kembali menyerang Mahesa. 

Namun disadarinya dia tak dapat menggerakkan kaki atau 

tangannya lagi. Ternyata totoken lawan berhasil bersarang 

di dadanya. Orang tua ini memaki habis-habisan lalu 

berteriak pada Tumbal Sakti. 

"Raden Tumbal! Lekas habisi pemuda keprat itu." 

Mendengar ini dan melihat memang Mahesa seperti 

lumpuh menggeletak di lantai, Tumbal Sekti memburu dan 

tusukkan kerisnya ke punggung Mahesa. Namun dalam 

kalapnya putera Adipati Tumenggung ini menyerbu tanpa 

perhitungan lagi. Tubuhnya terbanting ke lantai ketika kaki 

kanan Mahesa menebas betisnya dengan keras. Terdengar 

suara kraak. Tulang kering Tumbal Sakti patah. Pemuda ini 

roboh dan memekik kesakitan. Dia berusaha berdiri tapi 

roboh lagi. 

"Gendu! Komang! Bunuh orang itu!" teriak Tumbal Sekti. 

Yang diperintah tampak ragu-ragu sementara Mahesa 

soot itu sudah mampu berdiri kembali meskipun agak 

terhuyung-huyung. Ketika akhirnya Gendu dan Komang 

mencabut senjata masing-masing Mahesa sudah me-

lompat ke jendela dan lenyap. 

"Kejar!" teriak Tumbal Sakti.


Gendu dan Komang memburu. Tapi di luar hanya 

kegelapan malam yang mereka lihat. Mahesa lari ke arah 

kali. Di sini ditemuinya perahu milik Tumbal Sakti. Dia 

segera masuk ke dalam perahu dan mendayung mengikuti 

arus menuju ke hilir. 

Gendu dan Komang kembali ke dalam rumah, mem-

beritahu kalau pemuda yang disuruh kejar berhasil me-

loloskan diri. 

"Kalian petugas-petugas tolol! Kalian akan menerima 

hukuman berat atas apa yang terjadi di sini! Sekarang 

lekas cari kain. Topang kakiku dengan bambu atau kayu 

atau apa saja! Lalu balut dengan kain!" 

Setielah melakukan apa yang diperintahkan putera 

Adipati itu Koman dan Gendu mendudukkan Tumbal Sakti 

di sebuah kursi kayu: 

"Sialan! Apa tak ada yang berusaha menolongku!" ter-

dengar Kekek Mate Biru menggerutu. 

Rumbal Sakti memberi isyarat pada kedua petugas. 

Gendu don Komang lalu menggotong orang tua itu don 

mendudukkannya di atas kursi di samping Tumbal Sakti. 

"Bisakah kau melepaskan totokan di dadaku...?" tanya 

Kakek Mata Biru. 

Tumbal Sakti ulurkan tangan kanannya. Memijit dan 

meraba-raba dada si kakek. Tapi sampai berulang kali dia 

melakukan hal itu totokan di dada si kakek yang me-

lumpuhkan kedua tangan dan kakinya tak bisa dimusnah-

kan. 

"Sudahlah! Nanti, pun akan lepas sendiri!" kata Kakek 

Mata Biru jengkel. 

"Orang tua bermata biru, siapakah kau sebenarnya? Apa 

yang telah terjadi di tempat ini. Siapa pula pemuda yang 

kabur dan menurutmu adalah pembunuh ayahku… '' 

Sampai di situ Tumbal Sakti baru ingat akan keadaan 

ayahnya. Maka dia memberi perintah pada Komang agar


kembali ke Temanggung. "Datangkan beberapa petugas 

dan jangan lupa membawa kereta jenazah! Ayahku harus 

dibawa dari rumah celaka ini secepatnya!" 

Setelah Komang pergi Tumbal Sekti mengulangi 

pertanyaannya. 

"Siapa aku tidak penting," menyahut Kakek Mata Biru. 

"Aku memang sudah sejak lama menyelidiki kematian-

kematian aneh yang terjadi belakangan ini. Termasuk 

kematian ayahmu. Dan selalu saja aku menemui pemuda 

itu. Tadi aku berhasil menangkap basahnya ketika baru 

saja membunuh Adipati dengan seutas tambang kuning 

"Mengapa dia membunuh ayah? Dan kau belum 

menerangkan siapa pemuda itu sebenarnya . . . . " 

"Mengapa dia membunuh ayahmu, ini satu hal yang 

masih kabur bagiku. Pemuda itu bernama Mahesa. Murid 

seorang tokoh silat sinting dari pegunungan lyang. Dia ber-

juluk Pendekar Dari Liang Kubur. Setiap muncul selalu 

membekal rokok menyan, menebar baunya yang menusuk 

hidung ke mana-mana..." 

"Jauh-jauh dari Temanggung aku kemari sengaja hendak 

membuat perhitungan dengan ayah dan istri mudanya. Aku 

yakin ayah tidak sendirian di rumah ini. Ada istri mudanya 

bernama Randini. Tapi ternyata perempuan itu tak ada di 

sini. Gendu! Kau pasti bisa menerangkan ke mana 

perempuan itu?!" 

Dengan ketakutan Gendu menjawab. 

"Itulah yang membuat saya heran dan bingung Raden. 

Ketika saya dan Komang berjaga-jaga kami dengar Adipati 

bercakap-cakap dengan istri mudanya dalam kamar. Tetapi 

setelah masuk kemari kami temui Adipati telah tewas dan 

perempuan itu lenyap…! Saya tidak tahu di mana dia 

berada. Benar-benar tidak tahu…" 

"Kalau memang begitu ini adalah satu keanehan yang 

harus dipecahkan!" kata Tumbal Sekti pula Ialu mengeluh


karena kakinya yang patah terasa sakit sekali. 

"Tak ada yang aneh!" berkata Kakek Mata Biru. "Berat 

dugaanku istri ayahmu bersekongkol dengan pemuda itu. 

Dia pasti menunggu pemuda itu di satu tempat…" 

Kakek Mats Biru cobs kerahkan tenaga dalamnya lalu 

perlahan-lahan dialirkan ke arah dada guna memperlancar 

aliran darah. Bila aliran darah di bagian itu bisa pulih, 

maka totokan di dadanya akan musnah dengan sendirinya. 

Dia mencoba berulang kali. Pada kali yang ke delapan baru 

berhasil. Begitu dirinya terlepas dari totokan, orang tua ini 

cepat duduk bersila di lantai, atur jalan napas dan jalan 

darah lalu melompat tegak. 

"Malam telah larut Aku harus pergi sekarang." Tanpa 

menunggu jawaban Tumbal Sakti dia berkelebat ke arah 

jendela dan lenyap. 

***



SEMBILAN


SI BUTA SAKTI MEMBERI PETUNJUK


MENJELANG pagi perahu yang ditumpangi Mahesa 

meluncur sepembawa arus Kali Progo, 

Di sebuah tikungan akhirnya tersekat pada 

akar-akar pepohonan yang menjorok ke dalam kali dan 

terhenti di sana. Mahesa sendiri saat itu masih terbaring 

tidur di dalam perahu. Dia baru bangun, ketika sinar mata-

hari membuat matanya menjadi silau. Memandang ber-

keliling pemuda ini dapatkan dirinya terpesat di tepi kali. Di 

sebelah kanan berjejer pohon-pohon besar berdaun lebat 

berusia ratusan tahun dan rata-rata tertutup lumut mulai 

dari akar sampai ke batang dan cabang-cabangnya. 

"Di mana aku ini…" bertanya Mahesa pada diri sendiri. 

Dia membungkuk untuk menyiduk air dan membasahi 

mukanya. Saat itu dirasakannya punggungnya yang kena 

dihantam Kakek Mata Biru mendenyut sakit. Selesai 

mencuci muka Mahesa tinggalkan perahu, naik ke darat. 

Semula dia bermaksud hendak meneruskan perjalanan 

dengan jalan kaki. Namun melihat hutan belantara begitu 

lebat hatinya merasa tak enak. Mahesa memutuskan 

untuk kembali ke perahu, mengarungi sungai ke arah 

selatan. Namun baru saja dia menuruni tebing sungai, 

belum sempat menjejakkan kaki kanannya di atat lantai 

perahu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berdesing. 

Mahesa cepat jatuhkan diri. Sebuah benda melesat di


atas kepalanya dan menancap di badan perahu. Ketika 

memperhatikan benda yang menancap itu kagetlah 

pendekar kita. 

Benda yang menancap di badan perahu yang terbuat 

dari kayu keras itu temyata adalah sehelai daun sebesar 

telapak tangan! 

"Anak setan! Daun itu bisa mencelakaiku kalau sampai 

menancap di kepala atau di badan!" memaki Mahesa. Dia 

menoleh ke belakang. Tak seorang pun tampak. Keadaan 

di tempat itu sangat sunyi. Bahkan arus Kali Progo pun 

tidak terdengar. Kicau burung pagi tiba-tiba saja lenyap. 

Desir angin dan gemeresik daun-daun pepohonan juga 

tidak terdengar. Mahesa mendongak ke atas. Memperhati-

kan setiap cabang pohon satu per satu, meneliti bagian 

pohon di balik dedaunan yang lebat. Namun tetap dia tidsk 

melihat seorang pun. 

"Pembokong pengecut!" teriak Mahesa. "Perlihatkan 

tampangmu!" 

Baru saja Mahesa berteriak, mendadak terdengar suara 

berdesing keras. Dari arah depan tampak lima buah daun 

melesat ke arahnya. Bersamaan dengan itu terdengar 

suara mengiang di kedua telinganya. 

"Ayo tunjukkan kepandaianmut Perlihatkan ilmu silat 

yang kau dapat dari nenek butut Kunti Kendil! Keluarkan 

jurus silat tujuh orang katai!" 

Mahesa menghantam ke depan. Tiga daun yang datahg 

menyerang hancur dan luruh ke tanah. Sebuah dielakkan-

nya. Yang kelima menyusup di kaki celananya! 

"Anak setan keparat! Siapa orang ini! Dia kenal Kunti 

Kendil. Tahu ilmu silat tujuh orang katai…" Mahesa sulit 

menerka siapa adanya pembokongnya. Karena sudah ber-

sumpah tidak mau mengeluarkan pukulan sakti yang di-

dapatnya dari Kunti Kendil maka Mahesa berkelebat ke 

arah pohon baser dari mane tadi keluarnya lima helai daun


yang menyerang itu. 

Tapi selagi tubuhnya melayang di udara mendadak lima 

helai daun lagi tampak menderu bersiuran ke arahnya. 

Agak gugup Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta 

sambil tangannya menghantam ke depan. Kali ini dua helai 

daun berhasil dielakkan, dua lainnya hancur oleh hantam-

an tangan kosongnya. Namun lagi-lagi daun kelima sempat 

menyelusup. Kali ini menancap di bahu kanan baju putih-

nya! 

Bersamaan dengan itu kembali terdengar suara 

mengiang. 

"Cuma ilmu silat orang buta, buruk, itukah yang kau 

andalkan dalam hidupmu?!' 

Mahesa benar-benar dibikin kaget kini. Siapa pun orang 

yang menyerangnya pasti tahu banyak tentang dirinya. 

Apakah orang ini pembunuh Adipati Suryo Maget yang 

tengah dikejarnya? Atau mungkin juga Pendekar Muka 

Tongkorak, kakek sakti yang memang suka jahil itu hendak 

mengujinya? Atau mungkin gurunya sendiri Kunti Kendil? 

Tapi setahunya orang-orang itu tidak memiliki kepandaian 

mengirim suara dari jauh. Lalu siapa adanya pembokong 

ini? Main-main atau sungguhan hendak mencelakainya?! 

"Pembokong pengecut! Jangan kira aku tidak tahu kau 

sembunyi di mana!" Habis berteriak begitu Mahesa 

lepaskan dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga 

dalam tinggi. Yang satu menghantanl pohon besar di 

sebelah kanan, lainnya merobohkon pohon besar di depan 

sebelah kiri. 

Ketika pohon-pohon baser itu bertumbangan ke tanah, 

tubuh Mahesh telah berkelebat lenyap den tebing sungai. 

Kembali keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Saat 

itu Mahesa sudah berada dl atas sebuah cabang pohon 

berdaun rimbun. Dengen sangat hati-hati dia menyalakan 

sebatang rokok menyan. Rokok yang menyala ini di


selipkannya pada ranting pohon. Lalu tanpa mengeluarkan 

suara sedikit pun dia beranjak ke cabang pohon sebelah 

kanan, berpindah lagi ke sebelah kanan hinnga akhirnva 

dia berada di atas pohon yang terpisah jauh dari pohon di 

mana tadi dia meninggalkan rokok klobotnya. Bau menyan 

serta merta menghampar di dalam rimba belantara itu. 

Tiba-tiba terdengar lagi suara mengiang di telinga 

Mahesa. 

"Pemuda tolol! Jangan kira aku tidak tahu kau ber-

sembunyi di mana!" 

Mahesa menjadi tegang dan bersiap waspada. Apakah 

si pembokong benar-benar tahu di pohon mana dia berada 

saat itu? Dengan siapkan tenaga dalam terpusat di tangan 

kanan pemuda ini menunggu. Dari balik semak belukar 

yang merambat lebat pada kaki-kaki pohon-pohon besar 

yang ada di bawahnya dilihatnya melesat keluar sepuluh 

lembar daun, menggebubu ke arah pohon besar dimana 

Mahesa tadi menyelipkan rokok klobotnya. 

Pemuda ini tersenyum. "Kali ini kau tertipu pembokong!" 

lalu secepat kilat Mahesa terjun ke bawah, jungkir balik 

dua kali berturut-turut. Di lain kejap dia sudah berada di 

balik rerumpunan semak belukar lebat. Sambil berlutut 

pemuda ini lepaskan pukulan tangan kosong mengandung 

tenaga dalam tinggi. 

Wuutt! 

Semak belukar musnah bertebaran. Di kaki pepohonan 

yang kini menjadi rata itu tampak duduk bersila seorang 

kakek berpakaian rombeng dekil penuh tambalan. Kedua 

matanya buta dan dia duduk sambil tersenyum-senyum. 

Jika pukulan maut Mahesa tadi sampai menghancurkan 

semak-belukar bagaimana mungkin si kakek yang tadi 

bersembunyi di dalam semak belukar itu kini kedapatan 

masih hidup tanpa cidera suatu apa, malah sambil 

senyum-senyum!


"Anak muda! Apakah kau masih mengenaliku?!" kakek 

buta itu menegur. 

"Astaga! Kau rupanya kek! Tentu saja aku me-

ngenalimu!" sahut Mahesa. Dia buru-buru mendatangi. 

"Kek, mohon maafmu. Aku tadi telah menyerangmu. Aku 

benar-benar tidak tahu kalau kau yang ada di sini…" 

Si kakek kembali tersenyum. Namun sesaat kemudian 

wajahnya tampak murung. Dan orang tua ini mulai 

menangis sesenggukan! Inilah dia manusia nomor satu 

dalam dunia persilatan yang dikenal dengan julukan 

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. 

Kakek aneh yang pernah memberikan pelajaran tujuh 

jurus ilmu silat orang buta pada Mahesa. 

"Kek, kalau saja tadi kau tidak menyerangku, aku pun 

tak akan membalas. Apakah kau terluka...?" tanya Mahesa. 

"Aku segar-bugar. Hanya aku mendadak menjadi sedih 

setelah menyirap kabar tentang apa yang terjadi dengan 

dirimu malam tadi 

Mahesa jadi kaget. "Hai, secepat itukah kau mengetahui 

kek?!" tanyanya. 

Si kakek mengangguk dan usut air matanya. 

"Benarkah kau yang membunuh Adipati Suryo Maget?" 

"Itu tuduhan dusta! Aku datang ke sana justru untuk 

menyelidik. Beberapa kali terjadi pembunuhan dengan 

cara yang sama…" 

"Lalu apakah hasil penyelidikanmu?" 

"Aku belum mendapatkan hasil kek. Pembunuh itu ber-

laku cerdik. Selalu lenyap sebelum aku sempat me-

mergoki." 

"Menurutmu si pembunuh laki-laki atau perempuan?" 

"Dugaanku berat bahwa dia adalah seorang pe-

rampuan…" 

"Aku sependapat denganmu anak muda. Aku sudah 

punya prasangka. Bagaimana dengan kau…"


Mahesa terdiam sejenak lalu gelengkan kepala. "Sulit 

kalau hanya menduga tanpa bukti-bukti. Kalau aku boleh 

tanya siapa orang yang kau curigai itu kek?" 

"Aku tak akan menjawab. Sebaliknya mau bertanya dulu. 

Terakhir sekali ketika peresmian Partai Merapi Perkasa 

tempo hari kulihat kau berjalan seiring dengan seorang 

perempuan cantik luar biasa bernama Sari. Tanpa kau 

menerangkan aku sudah tahu bahwa perempuan itu bukan 

lain adalah betina iblis yang dikenal dengan julukan Ratu 

Mesum. Perbuatannya menebar nafsu dan membunuh di 

delapan penjuru angin membuat dunia porsilatan bergidik. 

Di mane perempuan itu sekarang?" 

"Kami berpisah beberapa bulan yang lalu. Berjanji akan 

bertemu lagi pada hari ke tujuh bulan dua belas. Kek, 

apakah kau mencurigai kawanku itu... ?" 

"Sampai aku mendapatkan kenyataan bahwa bukan dia 

yang melakukan pembunuhan-pembunuhan aneh serta 

keji belakangan ini, dia adalah manusia yang kucurigai 

pada urutan pertama…" Si kakek aneh kembali terdengar 

menangis sesenggukan. 

"Di masa lalu dia memang iblis perempuan yang 

gentayangan mengumbar nafsu dan membunuh setiap 

laki-laki yang tidur dengannya. Tetapi ketika aku mengenal-

nya, dia sudah berubah sama sekali. Seperti malam 

dengan siang. Tak mungkin dia yang melakukannya kek. 

Cara tewasnya para korban tidak seperti cara-cara pem-

bunuhan yang dilakukan kawanku itu. Jika dia memang 

ingin membunuh, kenapa susah payah menjirat dengan tali 

kuning segala? Sekali dia menghantamkan tangan seorang 

laki-laki pasti mati dibuatnya!" 

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta termenugg dengan 

wajah menunjukkan kesedihan. Sesaat kemudian dia ber-

kata, "Ada petunjuk yang bisa dijadikan pegangan." 

"Petunjuk apakah itu kek?' bertanya Mahesa.


"Setiap korban yang terbunuh rata-rata sudah beristri. 

Bahkan lebih dari satu. Aku berkesimpulan bahwa yang 

menjadi sasaran adalah lelaki-lelaki hidung belang, yang 

tak pernah puas diri…" 

Apa yang dikatakan si kakek memang benar. Tetapi 

Mahesa masih meragukan apakah hal itu memang dapat 

dijadikan petunjuk untuk menangkap si pembunuh. Dia 

yakin ada satu rahasia terkandung dalam semua kejadian 

ini. Meskipun demikian petunjuk seorang pandai seperti 

Gembel Cengeng Sakti Mata Buta ini tidak boleh diabaikan 

begitu saja. 

"Turut hematku si pembunuh masih berkeliaran di 

daerah ini. Paling jauh sampai di Ungaran di sebelah Utara 

atau Salatiga di sebeleh Timur. Banjar negara di sebelah 

Barat dan Bantul di sebelah Selatan. Tapi bukan mustahil 

sewaktu-waktu dia muncul di Kotaraja..." 

"Siapa pun pembunuh itu dia pasti bukan sahabatku 

yang pernah menyandang galar Ratu Mesum itu," kata 

Mahesa pula. 

"Sekatang ke manakah tujuanmu?" tanya kakek bute. 

"Turut petunjukmu aku lebih suka menyirap kabar ke 

Kotaraja," sahut Mahesa. 

"Bogus. Cobalah kau sirap kabar tentang seorang 

Pangeran hidung belang bemama Kuncoro Ageng. Dia lebih 

dikenal dengan nama Pangeran Ageng. Istrinya banyak. 

Gundik den peliharaannya tidak terhitung. Namun selalu 

saja masih mencari daun-daun muda. Jika kau mau ber-

laku sabar dan berada di sekitarnya beberapa lama, cepat 

atau lambat kurasa dia akan menjadi sasaran pembunuh 

aneh itu..." 

"Aku akan perhatikan petunjukmu itu kek..." 

"Sekarang ada pertanyaenku. Waktu kau kuserang 

dengan daun-daun itu kau same sekali tidak, mengeluar-

kan kepandaian silat yang kau dapat dari gurumu Kunti


Kendil. Hal ini sudah kuperhatikan sejak kejadian di Merapi 

dulu. Apa jawabmu anak muda...?" 

"Aku segan mengatakannya kek. Tapi karena kau yang 

bertanya tak apalah kuceritakan. Sampai saat ini aku tetap 

menghormati nenek itu. Namun sejak dia menggantungku 

di puncak lyang, aku sudah bersumpah tidak akan 

mempergunakan ilmu kepandaian darinya, apa pun yang 

terjadi. Bahkan senjata ampuh papan nisan hitam yang 

diberikannya telah kukubur di satu tempat…" 

"Ah, berat nian sumpahmu!" si kakek langsung saja 

unjuk tampang sedih dan kembali sesenggukan menangis! 

"Kau tahu anak muda. Orang yang hidupnya bertualang 

dalam rimba persilatan sepertimu perlu kepandaian 

banyak…" 

"Ilmu silat yang kau ajarkan padaku sangat dapat 

diandalkan kek. Yang penting aku harus lebih banyak 

melatih diri..." 

Si kakek gelengkan kepala. "Ilmu silat butut itu..." kata-

nya mengejek ilmu silatnya sendiri. "Masih kurang, anak 

muda. Masih kurang. Kau tetap memerlukan pukulan-

pukulan sakti. Tanpa itu dirimu akan mengalami 

kesusahan…" 

"Aku ada membawa Keris Naga Biru yang hebat itu!" ujar 

Mahesa. 

"Senjata itu memang hebat. Namun itu hanya senjata 

titipan. Kelak jika kau menemukan siapa pemilik sebenar-

nya kau harus mengembalikannya!" 

Mahesa terdiam. 

"Kau mendapat Kitab Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. 

Apakah sudah kau pelajari?" 

"Masih belum kek. Untuk mempelajarinya tidak bisa 

asal-asalan. Membutuhkan tempat dan waktu…" 

"Benar, kau harus menyediakan semua itu. Aku belum 

pernah melihat kitab silat itu. Juga belum pernah menyaksi


kan orang memainkannya. Tapi aku yakin itu adalah ilmu 

silat paling langka, sulit dicari tandingannya. Dan aku juga 

yakin di dalam jurus-jurus silat itu jika kau mau menggali 

Iebih dalam, kau bisa menemukan cara tertentu untuk 

menciptakan sendiri pukulan-pukulan sakti. Bukankah kau 

sudah memiliki modal tenaga dalam yang luar biasa...?" 

"Terima kasih atas petunjukmu itu kek. Aku memang 

mempunyai rencana seperti yang kau katakan itu..." 

"Apakah kau memang tak ingin lagi bertemu dengan 

gurumu si nenek perut Kunti Kendil itu...?" bertanya 

Gembel Cengeng. 

"Sebaiknya memang begitu kek…" 

"Ah, dunia ini memang sangat luas," si kakek seperti 

biasanya kembali mulai menangis sedih. "Tetapi terkadang 

sangat sempit hingga tak muat untuk dua orang. Per-

temuan bisa saja terjadi setiap saat tanpa terduga. Kau 

tahu setelah peristiwa berdarah di puncak Merapi, Kunti 

Kendil membawa suaminya yang terluka parah Lembu 

Surah memang manusia kuat luar biasa! Orang lain 

mungkin sudah mati mendapat hantaman para jago begitu 

rupa. Tapi kusirap kabar ternyata dia masih hidup. Cuma 

keadaannya sangat menyedihkan. Lumpuh sekujur badan-

nya. Kunti Kendil menemaninya dengan setia. Seperti 

merawat seorang bayi besar. Kabarnya mereka memencil-

kan diri di satu tempat. Walau demikian, seperti kataku 

tadi, pertemuan bisa saja terjadi tanpa diduga…" 

"Kek, jika pertemuan itu memang terjadi, lalu apakah 

yang akan kulakukan?' tanya Mahesa pula. 

"Kali ini aku tak bisa memberi petunjuk. Soal hubungan 

guru dan hiurid, kau dan Kunti Kendil hannya kalian berdua 

yang bisa menentukan sendiri. Nah, hari sudah tinggi. Tua 

bangka buruk dan buta ini harus melanjutkan perjalanan!" 

Orang tua buta itu lalu bangkit dari duduknya. 

"Kek, apakah kau tidak ingin mencoba rokokku? Rokok



klobot rokok enak..." 

Gembel Cengeng Sakti Mats Buts tertawa. "Tentu saja 

aku mau. Tapi kau tak usah susah-susah menyalakannya. 

Aku mengambil yang sudah ada saja!" 

"Maksudmu kek?" tanya Mahesa tak mengerti. 

Sebagai jawaban orang tua sakti itu melompat. Tubuh-

nya melesat ke pohon besar di mana tadi Mahesa ber-

sembunyi dan menyalakan sebatang rokok menyan. Saat 

itu rokok tersebut masih terjepit di sela ranting dan masih 

menyala. Rokok inilah yang disambar si kakek. Tubuhnya 

lenyap di balik kerapatan daun-daun pohon-pohon besar. 

Yang tinggal kini hanya tebaran bau menyan yang menusuk 

hidung. 

Mahesa geleng-geleng kepala. "Anak setan itu benar-

benar luar biasa! Jadi sebenarnya tadi dia tahu kalau aku 

menipunya!' 

***


SEPULUH


SI CANTIK DI TENGAH RIMBA JUWIRING


TIGA ORANG berpakaian prajurit keraron itu datang 

menemui lelaki muda yang duduk terkantuk-kantuk di 

bawah pohon bambu. "Pangeran, kuda telah kami 

siapkan. Peralatan untuk berburu sudah tersedia. Apakah 

Pangeran siap untuk berangkat sekarang?" tanya salah se-

orang dari tiga perajurit. 

Orang yang ditanya—sang Pangeran—melunjurkan kedua 

kakinya lalu menguap lebar-lebar. 

"Aku tahu kalau kalian sudah menyiapkan segala se-

suatunya. Apakah juga bekal makanan sudah kalian siap-

kan? Perburuan ini mungkin memakan waktu seminggu, 

mungkin pula sebulan!" 

"Jangan kawatir Pangeran Ageng. Bekal makanan 

sengaja kami sediakan untuk keperluan dua bulan!" jawab 

perajurit tadi. 

"Bagus! Yang paling penting apakah kalian sudah 

menyebar kabar bahwa aku Pangeran Ageng akan berburu 

rusa di hutan Juwiring?!" 

"Sudah Pangeran. Hal itu sudah kami lakukan!" 

jawabsi perajurit. 

"Dan bahwa selama aku berburu tidak satu orang pun 

boleh memasuki hutan itu! Apalagi kalau sampai meng-

ganggu perburuanku di sana!" 

"Itu pun sudah kami lakukan Pangeran."


"Semua beres. Pangeran tinggal berangkat dan berburu 

sepuasnya…!" kata perajurit satunya. 

"Rumah peristirahatan di dalam rimba, apakah juga 

sudah dibersihkan?" tanya Pangeran Ageng !agi. 

"Sudah dibersihkan luar dalam. Rumput-rumput sudah 

dibabat. Bunga-bungaan sudah ditanam. Bukankah 

Pangeran suka akan bunga-bunga..." 

"Bagus! Lalu apakah kalian sudah pula menyiapkan 

bunga harum teman tidurku di atas ranjang?!" 

"Ah, kalau yang satu, ini memang belum kami siapkan 

Pangeran. Mana berani kami mengatur Pangeran untuk 

urusan ini. Pangeran tentu lebih tahu akan selera Pangeran 

sendiri. Pangeran tinggal memberi tahu namanya, tinggal di 

mana. Kami akan datang menjemput…" 

Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak. 

"Sebelum berangkat aku ingin meneguk tuak dulu puas-

puas. Ambilan bumbung tuak itu!" 

Seorang perajurit kemudian mengambil sebuah bum-

bung bambu berisi tuak. Pangeran Ageng merteguk minum-

an itu sepuasnya lalu berdiri dengan terhuyung-huyung dan 

menyerahkan bumbung pada perajurit yang tadi menyerah-

kan. 

"Kita berangkat sekarang!" kata sang Pangeran pula. 

"Bagaimana dengan bunga peneman ranjang itu, 

Pangeran?" tanya perajurit yang di sebelah kanan. 

"Tak usah dirisaukan. Kita akan menemukannya dalam 

perjalanan!" 

Maka ke-empat orang itu naik ke atas kuda masing-

masing. Seekor kuda yang khusus membawa perbekalan 

mengikuti dari belakang. 

Setelah setengah hari menempuh perjalanan rombong-

an akhirnya sampai ke hutan Juwiring yang memang ter-

kenal sebagai padang perburuan orang-orang Keraton 

karena di sini terdapat banyak rusanya.


"Apakah kita akan langaung berburu atau beristirahat 

dulu di rumah kecil dalam rimba?" tanya seorang peraju rit. 

"Kita menuju rumah peristirahatan itu. Tapi jika di 

tengah jalan ada binatang perburuan, kenapa harus dibiar-

kan?" sahut Pangeran Ageng. Lalu setelah menguap dua 

kali berturut-turut dia minta busur dan kantong panah. 

Busur dipegangnya di tangan kiri, kantong panah di-

gantungkannya di punggung. Sebilah pedang kemudian di-

sisipkannya di pinggang. 

Dalam perjalanan menuju rumah peristirahatan di 

tengah rimba rombongan menemui tiga ekor rusa. Tanpa 

menyia-nyiakan kesempatan Pangeran Ageng dan anggota 

rombongannya segera memburu ketiga binatang ini. Dua 

ekor rusa berhasil dipanah dan ditangkap. Rusa ke tiga 

sempat meloloskan diri. 

"Rejeki besar Pangeran! Belum setengah hari di dalam 

hutan sudah dapat dua ekor rusa..." 

Pangeran Ageng menyeringai senang. Bersama 

rombongan dia masuk lebih jauh ke dalam rimba be-

lantara. Menjelang matahari tenggelam mereka sampai di 

rumah kecil itu. Di sini rombongan berhenti untuk istirahat. 

Perburuan akan dilanjutkan besok pagi. 

*** 

Kicau burung terdengar bersahut-sahutan menyambut 

terbitnya sang surya. Begitu matahari menyembul di se-

belah timur dan rimba belantara itu mulai terang, Pangeran 

Ageng dan tiga perajurit pengawalnya sudah berada di atas 

kuda masing-masing menuju bagian rimba sebelah timur di 

mana terdapat sebuah mata air.Biasanya rusa dan 

binatang hutan lainnya suka berkumpul di sekitar mata air 

ini. 

"Pangeran, apakah tidur Pangeran nyenyak malam


tadi?" tanya seorang perajurit. 

"Ah, mana bisa nyenyak kalau tak ada selimut yang 

pandai bernafas...!" sahut Pangeran Ageng lalu tertawa 

gelak-gelak. "Jauhkah mata air itu dari sini?" tanyanya 

kemudian. 

"Cukup jauh. Sekitar seperempat hari perjalanan. Itu 

kalau kita mengikuti jalan yang biasa ditempuh para pem-

buru. Jika mengambil jalan memintas akan lebih cepat 

lagi." 

"Kau tahu jalan memintas itu?" 

"Cukup hafal Pangeran." 

"Bagus. Kalau begitu kita tempuh jalan memintas. Kau 

jalan duluan…" 

Maka rombongan pun menuju mata air di tengah rimba 

melewati jalan melintas yang lebih pendek dan cepat. Jauh 

sebelum tengah hari mereka telah sampai di mata air itu. 

Namun tak seekor rusa pun yang tampak di tempat itu. 

Sesekali tampak tupai melompat turun dari pohon untuk 

minum air telaga kecil atau bengkarung muncul di balik 

daun-daun atau sela-sela batu, lalu menyelinap lenyap. 

"Bagaimana ini! Kalian bilang di mata air ini banyak rusa 

berkumpul! Seekor pun tak kulihat!" kata Pangeran Ageng 

sambil memandang berkeliling dan timang-timang busur di 

tangan kanannya. Tiba-tiba seekor tupai tampak di cabang 

tinggi sebuah pohon di sebelah kanan. Sesaat binatang ini 

memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu melayang turun 

menuju mata air. Namun nasibnya malang. Selagi tubuh-

nya melayang di udara, Pangeran Ageng dengan sigap 

mengambil sebatang anak panah, merentangkan busur. 

Panah dilepas. lepas. Melesat di udara lalu menancap 

tepat di dada tupai. Binatang ini mencicit pendek lalu jatuh 

ke tanah bersama-sama anak panah yang masih me-

nancap di tubuhnya. 

"Tupai masih lebih baik dari pada tak ada buruan sama


sekali!" ujar Pangeran Ageng sementara seorang perajurit 

turun dari kuda, memungut tupai itu dan membawanya ke 

hadapan sang pangeran. 

"Jika kau suka kau boleh panggang dan makan se-

puasmu!" kata Pangeran Ageng. 

"Terima kasih Pangeran. Tapi saya belum lapar," jawab 

si perajurit. 

"Berapa lama kita menunggu di sini sampai rusa-rusa itu 

muncul...?" Sang Pangeran rupanya masih kesal dengan 

binatang buruan yang masih belum kelihatan itu. 

"Sabar saja Pangeran. Hari masih pagi. Tentunya rusa-

rusa itu masih berkeliaran di tempat lain mencari 

makanan. Siang hari, bila mereka sudah letih dan ke-

hausan, tentu binatang-binatang itu akan datang ke telaga 

kecil ini." 

"Apakah tak ada ikan di dalam telaga itu?" bertanya 

Pangeran Ageng. 

"Rasa-rasanya tak pernah ada Pangeran." 

"Kalau begitu kita berlindung di balik jejeran pohon-

pohon besat sana. Menunggu sampai rusa-rusa itu 

muncul…" 

Menjelang tengah hari, ketika rimba belantara Juwirang 

itu mulai terasa panas oleh terpaan sinar matahari, seperti 

yang dikatakan oleh perajurit pengawal Pangeran Ageng, 

beberapa binatang hutan mulai menampakkan diri ber-

datangan ke mata air yang membentuk telaga kecil di 

tengah rimba. Mula-mula tampak dua ekor burung belibis 

hutan. Pangeran Ageng tidak begitu terlalu berminat untuk 

memanah burung-burung ini. Karena itu dia membiarkan-

nya saja. Kemudian muncul dua rusa betina. Sang 

pangeran segera menyiapkan panah dan busurnya namun 

entah mengapa—seperti dikejutkan oleh sesuatu—kedua 

binatang itu memanjangkan leher masing-masing, ber-

paling ke kiri dan ke kanan lalu melarikan diri dari tepi


telaga. 

"Sialan! Ada yang tidak beres di sekitar telaga itu. Kedua 

rusa itu seperti terkejut!" kata Pangeran Ageng kesaL 

"Mungkin ada binatang hutan lainnya yang mengusik 

hingga dua rusa tadi kaget dan melarikan diri..." ujar 

perajurit yang tegak sambil memegang bumbung bambu 

berisi tuak. "Tunggu saja. Pasti dua rusa betina tadi muncul 

lagi. Mungkin juga bersama kawan-kawannya…" 

Baru saja perajurit ini berkata demikian, mendadak dari 

balik sebatang pohorti besar muncul dua tanduk runcing. 

Perajurit yang memegang bumbung bambu cepat memberi 

isyarat pada Pangeran Ageng. Sang Pangeran pun rupanya 

sudah melihat karena saat itu busur sudah direntang dan 

anak panah siap dilepaskan. 

Dua tanduk runcing bergerak. Kini tampak moncong se-

ekor rusa, menyusul leher lalu seluruh tubuhnya. Binatang 

ini muncul seorang diri dan luar biasa besarnya. Pangeran 

Ageng tarik tali busurnya lebih ke belakang. Mata kirinya 

menyipit. Bidikannya adalah leher rusa jantan. Sesaat se-

belum dia melepaskan anak panah mendadak dari sudut 

lain telah lebih dahulu melesat sebuah anak panah ber-

warna kuning. Panah ini menancap tepat di leher rusa 

jantan di dekat pohon. Binatang itu berjingkrak lalu roboh 

ke tanah. 

Dalam terkejutnya Pangeran Ageng saja melepas anak 

panahnya. Anak panah ini hanya sempat menghantam 

salah satu tanduk rusa sebelum binatang ini roboh ke 

tanah akibat hantaman anak panah pertama! 

"Ada seorang lain melepas panah!" seru Pangeran Ageng 

marah. "Kurang ajar! Lekas kalian cari dan tangkap orang 

itu!" 

Tiga pengawal Pangeran Ageng segera melompat dari 

balik jejeran pohon, lari ke arah telaga. Seorang di antara-

nya berteriak, "Siapa yang berani memasuki hutan Juwiring


ketika Pangeran Ageng melakukan perburuan?!" 

Tak ada yang menjawab. Namun dari balik batang keladi 

hutan yang besar keluar seorang berpakaian kuning, 

mengenakan caping lebar terbuat dari anyaman bambu 

hingga kepala dan wajahnya tidak kelihatan. Orang ini lari 

menghampiri rusa yang menggeletak mati. Namun se-

belum dia sempat menyentuh tubuh binatang itu, tiga 

perajurit tadi sudah berada di sampingnya. Salah seorang 

langsung mendorongnya hingga terduduk di tanah. 

"Manusia edan! Apa kau minta mati berani mengganggu 

Pangeran Kuncoro Ageng yang sedang berburu? Siapa yang 

memberi izin memasuki rimba belantara Juwiring? Apa 

tidak tahu kalau sebelum Pangeran Ageng berburu sudah 

lebih dulu diumumkan tidak seorang pun boleh masuk ke 

rimba ini! Dan kau bukan saja masuk tanpa izin dan meng-

ganggu Pangeran Ageng, malah berani memanah rusa 

sasaran sang pangeran! Bersiaplah untuk menerima 

hukuman!" 

Saat itu Pangeran Ageng sudah berada di tempat itu. 

Dengan sebal dia menarik lepas caping bambu yang me-

nutupi kepala serta wajahnya. Begitu caping diangkat, 

kagetlah ke empat orang itu, terutama sang pangeran. 

Yang terduduk di tanah itu ternyata adalah seorang dara 

berwajah sangat cantik, berambut hitam yang disanggul di 

belakang kepala. Matanya yang bening dan raut wajahnya 

yang jelita jelas menun jukkan rasa takut. 

"Sa... saya tidak tahu kalau ada larangan memasuki 

rimba ini." kata dara itu gagap. Suaranya meskipun 

bernada ketakutan tapi tetap saja merdu terdengar di 

telinga tiga perajurit don Pangeran Ageng. "Saya tidak... 

tidak tahu kalau Pangeran Ageng tengah berburu di rimba 

ini." Sang gadis memandang sesaat pada Pangeran Ageng, 

lalu letakkan busur dan sisa anak panahnya di tanah dan 

bersujud seraya berkata, "Jelas saya telah berbuat ke


salahan. Saya bersedia menerima hukuman ....!" Waktu 

bersujud di hadapan Pangeran Ageng, sanggul rambutnya 

terlepas hingga kini tampaklah rambutnya yang hitam 

panjang tergerai sampai ke punggung. 

Pangeran Ageng don tiga pengawalnya sesaat saling 

pandang. 

"Berdirilah! Tak perlu bersujud! Bagus kalau kau sudah 

mengaku bersalah dan siap menerima hukuman!" kata 

Pangeran Ageng. 

Perlahan-lahan tubuh yang bersujud itu berdiri, Ber-

hadap-hadapan sedekat itu Pangeran Ageng dapat melihat 

jelas paras yang begitu cantik, kulit yang sangat halus serta 

sepasang payudara yang turun naik karena ketakutan. 

"Aku mengagumi kepandaianmu memanah. Siapa 

namamu dan kau datang dari mana ,...?" 

"Kepandaian saya bukan apa-apa dibanding dengan 

kepandaian Pangeran…" sahut sang dara. "Tadi hanya 

kebetulan saja saya dapat memanah leher rusa itu. Saya 

bernama Pinindi, berasal dari desa Torongrejo…" 

"Mengapa berani masuk ke dalam rimba Juwiring ini 

seorang diri?" tanya Pangeran Ageng. 

"Tadinya hanya main-main saja di pinggiran hutan 

sebelah timur. Tahu-tahu keterusan ...." 

"Tahukah kau apa hukuman seseorang yang berani 

mengusik ketenteraman seorang Pangeran?" 

"Sa… saya menerima salah. Saya siap menerima 

hukuman. Hanya saja, sebelum saya dihukum apakah bisa 

menemui ayah dulu. Kalau saya tidak kembali beliau pasti 

akan khawatir…" 

"Siapakah ayahmu?" 

"Hanya seorang petani miskin, Pangeran…" 

"Baik dan dengarlah Pinindi, hari ini kuampuni kesalah-

anmu...'' 

Paras gadis berpakaian kuning itu yang tadi pucat kini


tampak berdarah kembali. 

"Kuampuni tetapi dengan satu syarat," berkata lagi 

Pangeran Ageng. 

"Saya harap saja syarat itu tidak berat Pangeran…" kata 

Pinindi. 

"Tidak, tidak berat. Malah kehidupan masa depanmu 

akan penuh keberuntungan!" 

"Apakah syarat yang Pangeran maksudkan itu?" tanya 

Pinindi pula. 

"Aku dateng ke rimba Juwiring ini hanya ditemani tiga 

pengawal. Malam pertama tadi kulewati dengan tidur 

seorang diri berselimut udara dingin dan kesepian. Apakah 

malam nanti kau bersedia menemaniku di rumah kecil di 

tengah rimba. Lalu malam-malam selanjutnya sampai aku 

selesai berburu..." 

Sang dara tampak berubah wajahnya dan tundukkan 

kepala. Untuk beberapa lamanya dia tegak dengan mulut 

terkancing. Akhirnya mulut itu terbuka juga memberi 

jawaban. 

"Jika itu keheridak Pangeran, dan jika hal itu dijadikan 

sebagai penebus dosa serta kesalahan saya, perempuan 

desa seperti saya mana berani menolak…" 

Tiga perajurit di samping sang pangeran tampak saling 

pandang dan sama tersenyum. Pangeran Ageng sendiri 

tertawa lebar. 

"Tetapi Pangeran," terdengar suara Pinindi kembali. 

"Setelah Pangeran selesai berburu di rimba Juwiring ini, 

apakah Pangeran akan melupakan saya, lalu meninggal-

kan saya begitu saja...?" 

Pangeran Ageng berpaling pada ketiga pengawalnya. Se-

orang di antara mereka membisikkan sesuatu. Sang 

Pangeran mengangguk-angguk lalu pada gadis itu dia ber-

kata, "Tidak aku tidak akan melupakanmu. Apalagi me-

ninggalkanmu. Gadis cantik sepertimu sangat pantas men


jadi pendampingku di Kotaraja…" 

"Mohon maafmu Pangeran. Bukankah Pangeran sudah 

mempunyai beberapa orang istri dan... dan selir..." 

"Hemm... Memang betul. Tapi setelah aku melihat 

kecantikan paras wajahmu serta keelokan raut tubuhmu, 

mereka semua bukan apa-apa..." 

"Kalau begitu saya menurut apa mau Pangeran saja…" 

"Bagus... bagus!" kata Pangeran Ageng gembira sekali. 

"Perburuan hari ini cukup sampai di sini. Kita, kembali ke 

rumah peristirahatan itu.." Lalu Pangeran Ageng menolong 

Pinindi naik ke atas kudanya. Berdua mereka menunggangi 

kuda meninggalkan telaga di tengah rimba itu. 

***


SEBELAS


TERJEBAK DI ATAS RANJANG


PANGERAN KUNCORO AGENG meneguk tuak di dalam 

kendi tanah sampai sepertiga isinya lalu menyeka 

bibir dengan balik telapak tangan. Dia tersenyum 

pada Pinindi yang duduk di depannya. 

"Enak sekali panggang daging rusa yang kau panah itu." 

"Sebenarnya anak buah Pangeran yang pandai mem-

buat bumbu masakah..." jawab Pinindi. 

Sambil tak puas-puasnya memandangi wajah cantik 

jelita itu Pangeran Ageng berkata, "Tak pernah aku ber-

mimpi. Tak ada tanda-tanda kalau hari ini aku akan ber-

temu dengan seorang gadis secantik bidadari. Jika kita 

sampai di Kotaraja nanti akan kuberikan pakaian bagus, 

lengkap dengan perhiasan. Akan kusuruh para dayang 

memandikanmu di kolam air bunga dan akan kuminta para 

juru rias mendandanimu. Kau akan menjelma benar-benar 

seperti bidadari. Tidak seorang pun dapat menyaingi 

kecantikanmu. tidak permaisuri atau istri muda atau selir 

dan peliharaan Sri Baginda!" 

"Pangeran terlalu memuji saya," kata Pinindi tersipu-

sipu. 

"Aku tidak mengada-ada," kata Pangeran Ageng: 

'Terus terang saya pun tidak menyangka kalau Pangeran 

ternyata masih begini muda dan sangat gagah. Tadinya 

saya mengira yang namanya Pangeran Kuncoro Ageng itu


adalah seorang berusia lanjut dengan kumis dan janggut 

yang sudah putih…" 

Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak. Dia meneguk lagi 

tuak dalam kendi tanah lalu tegak di depan jendela rumah, 

memandang ke luar. Malam telah tiba dan segala sesuatu-

nya di luar sana mulai diselimuti kegelapan. Berbagai 

suara binatang hutan terdengar di kejauhan. 

"Saatnya bagi kita untuk masuk ke dalam Pinindi," bisik 

Pangeran Ageng. Kendi diletakkannya di atas meja. Dia 

tegak di belakang kursi yang diduduki gadis itu lalu mem-

bungkuk menciumi tengkuk Pinindi. "Mari kudukung kau..." 

bisik sang pangeran dengan nafas panas memburu. Lalu 

tubuh yang montok dibalut kulit putih halus itu didukung-

nya, dibawa masuk ke dalam kamar dan dibaringkannya di 

atas ranjang empuk. 

"Berapa lamakah kita akan bermalam di sini, 

Pangeran?" tanya Pinindi. 

"Jika kau suka lebih lama, aku akan mengikuti. Tapi jika 

kau ingin lekas-lekas kubawa ke Kotaraja, besok pun kita 

bisa berangkat. Mengapa kau bertanya begitu...?" 

"Says ingin mengenakan pakaian-pakaian bogus dan 

perhiasan yang Pangeran janjikan itu," jawab Pinindi. 

Pangeran Ageng tertawa. "Hal itu kau tak usah kawatir. 

Apa yang kujanjikan akan kupenuhi. Kau ingin aku 

mematikan lampu minyak di kamar ini atau lebih suka ber-

terang-terang?" 

"Kalau boleh saya ingin berterang-terang saja Pangeran." 

Sang Pangeran tersenyum. Hidungnya kembang kempis. 

Memang itu yang diingin-inginkannya. Di bawah penerang-

an dua buah lampu yang ada dalam kamar itu dia akan 

dapat melihat dan menikmati keindahan tubuh dan segala 

sesuatu yang dimiliki Pinindi. Baru saja dia berbaring di 

sebelah si gadis terdengar Pinindi berkata. "Aneh, di dalam 

rimba yang dingin ini saya merasa kegerahan. Bolehkah


saya membuka pakaian Pangeran...?" 

Pucuk dicinta ulam tiba! Pikir Pangeran Puger. 

"Tentu saja Pinindi. Biar kubantu membuka pakaianmu." 

"Tidak usah. Pangeran berbaring saja. Biar saya sendiri 

yang melakukannya. Tapi saya tak ingin Pangeran memper-

hatikan. Membaliklah ke arah dinding. Saya tak akan lama. 

Saya akan segera berada dalam pelukan Pangeran…" 

Bergetar tubuh Pangeran Ageng mendenger kata-kata 

yang serba merangsang itu. Maka tanpa banyak cerita lagi 

dia pun balikkan badan rnenghadap ke dinding kamar. 

"Apakah Pangeran sendiri tidak membuka pakaian..." 

terdengar oleh sang pangeran suara Pinindi bertanya justru 

di saat dia membayangkan bahwa gadis itu telah mulai 

membuka pakalan luarnya. 

"Tentu... tentu Pinindi. Tapi aku ingin kau nanti yang 

melakukannya. Kau nanti yang membukakan pakaianku. 

Kau mau... Kau mau bukan, Pinindi?" 

"Apa pun yang Pangeran pinta akan saya lakukan. 

Bukankah saya ini milik Pangeran?" 

"Ah, aku benar-benar berbahagia menemukan seorang 

gadis secantik dan sebaikmu. Kau perempuan paling 

penuh pengertian akan hasrat mendalam dari seorang laki-

laki…" 

"Betulkah begitu Pangeran…?" 

"Ya... ya…" Dan sang pangeran mendengar suara tubuh 

Pinindi membalik. "Ah, kini dia tentu sudah tak berpakaian 

lagi," membayangkan Pangeran Ageng. Lalu cepat-cepat 

dia membalikkan tubuh, siap untuk memeluk tubuh polos 

mulus Pinindi datam kedua tangannya. 

Tapi di saat itu—sebelum dia sempat membalik—sang 

pangeran merasa ada sesuatu menyelusup melewati 

kepalanya, lalu terhenti di leher. Menyusut ada satu 

kekuatan laksana setan menjerat lehernya! 

"Ranjang setan adalah yang paling bagus untuk manusia


budak nafsu semacammu Pangeran Kuncoro Ageng!" ter-

dengar suara Pinindi. 

Tali kuning yang dipakainya menjerat leher sang 

pangeran dibetot dan ditariknya kuat-kuat. 

"Mampus... mampus kau Pangeran! Mampus!" 

Tali itu ditariknya lagi kuat-kuat. 

Tapi tak ada terdengar suara kraak! Tak ada terdengar 

suara patahnya tulang leher sang pangeran. Tak ada suara 

tercekik hek! Juga tidak ada geleparan tangan atau 

lejangan kaki! Apa yang terjadi? 

Tiba-tiba bukk! 

Siku kiri Pangeran Ageng menghantam pinggul Pinindi 

dengan keras hingga gadis ini terpental dan menjerit 

saking kaget tak mengira dan juga karena sakit yang amat 

sangat. Tubuhnya terkapar di lantai. 

Di saat yang sama Pangeran Ageng melompat turun dari 

atas ranjang. Tali kuning besar masih menjirat lehernya. 

Lengan kanannya yang tadi disusupkan di bawah dagu dan 

melintang sepanjang leher masih menempel di leher itu. 

Gerakannya melindungi leher dengan lengan kanan inilah 

tadi yang menyelamatkannya dari jerat maut tali kuning 

Pinindi! Di atas lantai gadis itu dilihatnya masih mengena-

kan pakaian kuning lengkap. Tak satu bagian pun yang ter-

buka atau tersingkap. 

"Siapa kau sebenarnya?!" bertanya Pinindi lalu me-

lompat dan tegak sejauh delapan langkah dari Pangeran 

Ageng. 

Sang pangeran lepaskan tali kuning yang mengikat leher 

dan lengan kanannya lalu sambil putar-putar tali itu di 

tangan kanan dia balas bertanya, "Kau sendiri siapa? 

Namamu bukan Pinindi. Juga bukan Surti atau Randini 

atau segala macam nama yang ternyata palsu semua...?!" 

Berubahlah paras Pinindi. Tapi dia cepat berusaha 

menguasai diri sambil berkata, "Saya tidak mengerti


maksud kata-katamu!" 

"Apa kau juga tidak mengerti dengan maksud benda-

benda ini?" ujar Pangeran Ageng seraya mengeluarkan 

empat utas tali kuning yang membuat mata Pinindi jadi ter-

beliak. "Itu tali maut yang bisa kukumpulkan. Masih banyak 

lainnya yang tidak kudapatkan! Apakah kau hendak ber-

kata bahwa tali-tali itu bukan milikmu? Bahwa selama ini 

bukan kau yang malang melintang melakukan pem-

bunuhan-pembunuhan di atas ranjang? Ranjang yang 

seperti kau sebut tadi ranjang setan?!" Hari ini aku 

Pangeran Ageng membongkar rahasia perbuatan biadab-

mu!" 

"Kau bukan Pangeran Ageng!" teriak Pinindi. 

"Ha... ha... Kau memang benar. Aku bukan Pangeran 

Kuncoro Ageng...!" sahut orang di hadapan Pinindi. Lalu di-

bukanya pakaian bagus dan mewah yang dikenakannya. Di 

balik pakaian itu ternyata dia mengenakan sehelai baju 

dan celana putih. Dari balik pakaian putihnya dia 

mengeluarkan sebatang rokok. Dalam hati orang ini 

memaki. "Anak setan! Mulutku sampai asam satu harian 

tidak merokok!" Lalu rokok itu dinyalakannya. Bau menyan 

serta merta menebar di dalam kamar. 

"Pendekar Dari Liang Kubur!" teriak Pinindi dengan 

wajah pucat pasi. 

Mahesa tersenyum dan hembuskan asap rokoknya ke 

atas. 

"Bagus, kau sudah tahu siapa aku. Sekarang katakan 

siapa dirimu. Mengapa kau melakukan pembunuhan-

pembunuhan itu? Dan mengapa korban-korbanmu kau 

habisi di atas ranjang! Lekas katakan!" 

"Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Tapi kau 

tidak bisa memerintahku." 

"Kenapa begitu?!" tanya Mahesa. 

"Karena jangan kira aku takut padamu!"


"Bagus! Berani berbuat berani bertanggung jawab…" 

gertak Mahesa. 

Tiba-tiba di depannya dilihatnya Pinindi mengeluarkan 

seutas tali kuning sepanjang satu tombak. Tali ini diputar-

putarnya di atas kepala hingga mengeluarkan suara seperti 

petir. Ujung tali itu tiba-tiba melesat menghantam ke arah 

kepala Mahesa. Pemuda ini cepat merunduk. Tetapi tak 

terduga ujung tali menyambar ke arah kaki kirinya. 

Sebelum dia sempat berbuat sesuatu ujung tali telah 

menjirat pergelangan kaki kirinya. Sekali Pinindi 

menyentakkan tali itu tak ampun Mahesa jatuh 

terjengkang. Belum Iagi dia sempat bangkit kaki kanan si 

gadis sudah menderu ke arah kepalanya! 

"Anak setan keparat!" maki Mahesa. Ternyata gadis 

cantik bertubuh molek dengan sikap lemah lembut penuh 

daya tarik ini memiliki kepandaian luar biasa. Untung saja 

tadi waktu membentengi lehernya dengan lengan dia telah 

mengerahkan tenaga dalam. Kalau hanya mengandalkan 

tenaga luar tidak mustahil tulang lengannya akan patah 

dan lehernya langsung terjirat! Nasibnya akan sama 

dengan Adipati Suryo Maget atau Raden Bondo atau 

semua laki-laki lain yang telah jadi korban keganasan 

perempuan aneh itu! 

Semula Mahesa hendak lepaskan pukulan untuk me-

mukul hancur paha Pinindi. Namun tendangan datang 

begitu cepat hingga terpaksa pemuda ini keluarkan jurus si 

buta terjatuh menggapai karang. Tubuhnya dibantingkan 

ke belakang. Kedua tangannya menggapai ke atas dan ter-

dengar pekik Pinindi ketika dapatkan betis kanannya ter-

tangkap dua tangan lawan! 

Gadis ini tak kurang akal. Dia putar tangannya yang 

memegang tali kuning, yang ujungnya saat itu masih me-

lingkar di kaki kiri Mahesa. Tali ini diputarnya demikian 

rupa, maksudnya untuk menjerat kedua tangan lawan. Tapi


Mahesa berlaku lebih cerdik. Sambil lepaskan cekalannya 

di betis Pinindi pemuda ini lebih cepat menarik lepas ujung 

tali pada kaki kirinya lalu melompat melewati kepala 

Pinindi don dari atas dia putar tali kuning itu sebat sekali. 

Di lain kejap Pinindi tegak mernatung tak bisa bergerak. 

Sekujur tubuhnya, mulai dari paha sampai ke bahu telah 

dililit tali besar miliknya sendiri! 

"Aku sudah siap mati! Bunuhlah!" teriak Pinindi. Dia 

tidak berusaha meronta. Sepasang matanya yang bagus 

memandang galak pada Mahesa. 

Si pemuda justru sunggingkan senyum dan hisap 

rokoknya dalam-dalam. Die ambil potongan tali yang tadi 

dipakai Pinindi untuk menjerat lehernya dan putar-putar di 

depan hidung si gadis. 

"Tadi tali ini kau pakai untuk membunuhku, dengan tali 

ini pula sebentar lagi aku akan menjerat betang lehermu. 

Mudah saja memenuhi permintaanmu bukan...?" 

"Jangan banyak bicara! Kalau mau bunuh lakukan 

cepat!" 

"Tenang Pinindi. Pangeranmu ini hendak bertanya lebih 

dulu. Jika jawabanmu cukup masuk akal, mungkin hukum-

anmu bisa kuperingan!" 

"Pangeran keparat! Apa yang hendak kau tanya?!" 

bentak Pinindi alias Randini alias Surti dan banyak alias 

lainnya. 

"Mengapa kau membunuhi orang-orang itu. Aku tahu 

mereka memang lelaki-leleki budak nafsu. Tetapi mereka 

tidak punya kesalahan apa-apa terhadapmu... Usiamu 

masih begini muda. Mengapa menjadi setan di atas 

ranjang?!" 

"Kau sendiri mengapa menyaru menjadi Pangeran 

Ageng? Bukankah tujuanmu juga untuk memuaskan nafsu 

terkutukmu?!" 

"Jangan salah sangka! Aku berbuat begitu justru untuk


menjebakmu lalu menangkapmu basah!" sahut Mahesa 

pula. 

"Semua lelaki memang pandai memutar lidah..." 

"Apakah kau tidak mau mengatakan mengapa kau 

membunuhi orang-orang itu...?" kembali Mahesa bertanya. 

"Itu bukan urusanmu! Kalau kau mau bunuh aku, bunuh 

saja! Jangan banyak cerita, jangan banyak tanya!" 

Tiba-tiba pintu kamar dibuka orang dari luar dengan 

paksa. Sesosok tubuh masuk ke dalam sambil mengeluar-

kan seruan. 

"Memang benar itu bukan urusannya. Tapi urusanmu 

dengan aku, anakku!" 

***


DUA BELAS


AKHIR DARI KEBEJATAN


MAHESA DAN PININDI sama palingkan kepala. Di 

dalam kamar itu kini tegak seorang lelaki berusia 

sekitar setengah abad, berpakaian sangat lusuh. 

Rambut, janggut serta kumisnya sudah memutih. Dia me-

mandang pada Pinindi dengan mata berkaca-kaca. 

"Sumini anakku…" kata orang tua itu. "Lebih dari empat 

tahun mencarimu. Jika aku ingat perbuatan terkutukku 

dulu, ah sungguh aku menyesal. Ingin aku bunuh diri me-

nebus dosa dan aib besar itu. Tapi kemudian kusadari 

hanya satu orang yang patut mencabut nyawaku. Yaitu kau 

sendiri anakku. Kau... yang telah kurusak karena terhasut 

oleh nafsu bejat. Karena... karena kau sama benar dengan 

mendiang ibumu. Oh Gusti Allah... Hukumlah aku seberat-

beratnya . . . ." 

"Ayah!" seru Pinindi yang ternyata nama sebenarnya 

adalah Sumini. Suaranya tercekik dan bergetar tanda dia 

berusaha menahan luapan perasaannya. "Tak patut aku 

memanggilmu sebagai ayah. Pergi dari sini. Aku tak ingin 

melihatmu lebih lama... !" 

"Kau memang tak akan melihatku lebih lama Sumini..." 

Lelaki berambut putih yang mengaku ayah Sumini keluar-

kan sebuah clurit besar lalu dia melangkah mendekati 

gadis yang terikat gelungan tali kuning itu. Mahesa cepat 

menangkap bahu orang ini. 

"Apa yang hendak kau lakukan? Apa dia anakmu....?" 

"Dia memang anakku. Jangan kau halangi maksudku.


Lepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Akan kuberikan 

clurit ini padanya. Biar dengan senjata ini ditebasnya 

leherku…" 

"Braaak! 

Tiba-tiba jendela kamar hancur berantakan. Seorang 

berpakaian hitam molompat masuk. Gerakannya gesit dan 

pandangan matanya liar. tetapi ketika matanya membentur 

Sumini, pandangannya menjadi redup. Dia berpaling pada 

lelaki berambut putih dan berkata "Akik Demang, jika ada 

yang akan dibunuh oleh puterimu ini saat ini, akulah orang-

nya!" 

Akik Demang, ayah Sumini tampak melengak kaget. 

"Guru silat Bindi Rejo apa maksudmu?" tanyanya menyen-

tak. 

"Akik Demang, maafkan aku. Budi perangai kita ternyata 

sama. Kebejatan kita ternyata tidak berbeda. Apa yang kau 

lakukan terhadap anak kandungmu, telah kulakukan pula 

terhadapnya ketika dia kuambil jadi murid setelah melari-

kan diri dari rumah akibat perbuatanmu…" 

Akik Demang tampak menggeletar sekujur tubuhnya. 

"Jadi… jadi…! Manusia keparat! Kucincang badanmu!" 

teriak Akik Demang. Sekali lompat saja dia sudah berada di 

hadapan Bindi Rejo. Clurit besar di tangannya membabat. 

Guru silat itu terdengar mengeluh pendek. Tubuhnya ter-

huyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya menekap 

perutnya yang robek besar dimakan clurit. Darah menyem-

bur. Ketika tubuh itu terjatuh dan kedua tangannya tak lagi 

dapat menekap perut, maka dari perut yang robek keluar 

membusai usus besarnya. 

"Seharusnya... seharusnya dia yang membunuhku. 

Bukan... bukan…" Kata-kata Bindi Rejo hanya sampai di 

situ karena nyawanya keburu meninggalkan tubuh. 

Sumini tegak dengan wajah mendongak. Kedua mata-

nya terpejam. Tampak air mata membasahi pipinya. Dada-

nya turun naik menahan gelora. Tiba-tiba dari mulutnya 

keluar satu teriakan dahsyat. Bersamaan dengan itu dia 

jatuhkan tubuhnya ke lantai lalu bergulingan. Gulingan ini


membuat tali yang menggulung tubuhnya terlepas. Selagi 

Akik Demang tertegun memegangi clurit berdarah, senjata 

ini tiba-tiba dirampas oleh Sumini lalu dibabatkannya ke 

lehernya sendiri! 

"Sumini!" pek'rk Akik Demang. . 

Tapi terlambat. Tak satu orang pun yang sempat me-

nahan dan menghalangi perbuatan Sumini. Lehernya 

hampir putus. Sesaat dia tersandar ke dinding kamar lalu 

melosoh ke lantai. Dari leher yang hampir putus itu 

terdengar suara menggeros beberapa kali lalu diam. 

Seperti gila Akik Demang menubruk mayat anaknya. 

Merampas clurit yang masih tergenggam di tangan Sumini 

lalu menikamkannya dalam-dalam ke perutnya. 

Mahesa bantingkan rokoknya ke lantai. Semua terjadi 

serba tak terduga dan sangat cepat hingga tak satu pun 

yang bisa dilakukannya. Selain itu apa yang saling diucap-

kan oleh orang-orang itu membuat psemuda ini tertegun 

terkesiap. Sudah begini bejatkah dunia? Sang ayah me-

rusak kehormatan anak kandungnya sendiri? Lalu sese-

orang mengambil gadis yang malang itu menjadi muridnya. 

Untuk kemudian digagahi pula?! 

"Pangeran… Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" 

Satu suara bertanya. 

Mahesa berpaling ke pintu. Di situ tegak tiga orang 

perajurit yang selama ini bertindak menjadi pengawalnya. 

"Kentut busuk! Aku sudah bukan Pangeran lagi. Kalian 

bukan perajurit lagi. Sandiwara kita tamat sampai di sini. 

Besok pagi urus ketiga jenazah ini. Setelah itu kalian boleh 

pergi. Ini bayaran kalian... bagilah bertiga!" Dan baiik 

Pakaiannya Mahesa mengeluarkan sebuah kantong kecil 

berisi potongan-potongan perak dan melemparkannya 

pada orang di hadapannya. Lalu dia melangkah ke pintu. 

"Pangeran... eh sahabat muda, kau mau ke mana?" 

tanya orang yang menangkap kantong berisi perak. 

"Aku mau pergi tidur di luar. Siapa sudi tidur dengan 

mayat!" sahut Mahesa pula. 

"Kalau begitu kami ikut bersamamu. Bangunan ini bisa


menjadi rumah setan! Pangeran Kuncoro Ageng yang 

sebenarnya pasti akan mati ketakutan diganggu tiga setan 

penasaran . . . .!" 

Tiba-tlba ban menyan menebar di udara. Lelaki yang tadi 

bicara kembali membuka mulut. "Ah! Anak muda itu! 

Mengapa dia merokok menyan pula! Membuat suasana 

jadi semakin mengerikan!" Lalu dia mengajak kedua 

temannya meninggalkan kamar itu sebelum tengkuk 

mereka terasa tambah dingin dan merinding. 



                            T A M A T







Share: