MAHESA EDAN
SATU
RAHASIA RANJANG SETAN
KEMATIAN MISTERIUS DI RUMAH
PERKEBUNAN TEH
DUA PENUNGGANG kuda itu memacu kuda masing-
masing laksana dikejar setan. Dalam waktu singkat
keduanya telah meninggalkan daerah berbukit-bukit
yang penuh dengan pohon-pohon teh. Selewatnya sebuah
jembatan kayu di atas sungai barair kuning mereka mem-
belok ke arah utara, memasuki hutan kecil, terus meng-
ambil jalan ke timur hingja akhirnya memasuki sebuah
desa di pinggiran Wonosobo.
Saat itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur.
Udara masih terasa dingin dan embun masih bartengger di
atas dedaunan. Kedua penunggang kuda tadi berhenti di
halaman sebuah rumah besar menterang yang atapnya
berbentuk joglo.
"Kau saja yang memberi tahu pada Jeng Jumilah," kata
salah seorang dari penunggang kuda pada kawannya.
Ketika temannya sudah turun dari kuda, dia tetap saja
duduk di atas kudanya.
Sang teman gelengkan kepala. "Tak berani aku. Lebih
baik kau saja. Gila! Kenapa bisa jadi begini urusannya!"
"Kau hanya bisa merocos! Tapi bicara saja takut! Sudah
pergi sana. Laporkan apa yang terjadi pada Kepala Desa.
Tapi ingat, kejadian ini harus dirahasiakan..."
"Gila! Mana bisa urusan ini dirahasiakan? Orang mati
mau dirahasiakan?!"
"Sudah! Pokoknya jangan terlalu banyak mulut! Lekas
kau temui Kepala Desa!" Lelaki berkumis kecil, bernama
Paiman turun dari kuda, setengah berlari menaiki tangga
rumah besar lalu mengetuk pintu depan.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu terbuka dan
muncul seorang pelayan perempuan.
"Hai kau Paiman…" Pelayan itu menegur: Dia meman-
dang ke halaman. "Kau sendirian? Mana majikanmu?
Rupanya kalian bermalam di kebun. Jeng Jumilah se-
malaman tak bisa tidur…."
"Jeng Jumilah sudah bangun?" tanya Paiman.
"Baru selesai mandi…"
"Katakan padarrya aku mau ketemu."
"Akan kukatakan. Tapi kau harus sabar. Perempuan itu
kalau dandan kan lama… "
Paiman tidak tersenyum mendengar kata-kata pelayan
itu. Sang pelayan tampak agak heran melihat sikap Paiman
yang tak seperti biasanya.
"Ada apa sebenarnya Paiman? Kulihat kau seperti tidak
sabaran. Wajahmu gelisah…"
"Ah sudah! Lekas temui Jeng Jumilah!" ujar Paiman pula.
Cukup lama menunggu pelayan itu muncul kembali dan
memberi tahu agar Paiman masuk karena Jeng Jumilah
sudah selesai dandan dan menunggunya di ruangan
makan.
Jeng Jumilah duduk di belakang meja. Di hadapannya
ada secangkir teh panas. Perempuan ini berwajah lebar.
Kulitnya yang sangat puth membuat garis-garis ketuaan
cepat kentara di kedua sudut matanya.
"Kalian pasti menginap di kebun teh malam tadi…" Kata-
kata itu diucapkan Jumilah begitu melihat Paiman datang.
"Be ... benar sekali Jeng…"
"Kalau memang mau menginap karena banyak pekerja-
an, mengapa tidak diberi tahu padaku? Semalaman aku
tak bisa tidur. Memikirkan suami. Apakah dia mendadak
sakit atau mengalami celaka. Diserang harimau yang
kabarnya banyak berkeliaran di kebun teh akhir-akhir ini…."
Dalam hatinya Paiman berkata, "Akan kukatakan saja
bahwa suaminya memang telah diserang harimau…!
Mustahil harimau bisa menjerat leher manusia tanpa
melukainya…"
"Kau tak menjawab ucapanku Paiman..."
Paiman terkejut. "Maaf Jeng Jumilah. Saya dan Rawi tak
sempat memberi tahu. Malam tadi hujan Iebat sekali turun
di bukit teh. Kedatangan saya pa… pa ... pagi ini…"
Jeng Jumilah tiba-tiba memotong.
"Kulihat kau gugup. Bicaramu gagap. Ada apa ini
Paiman? Mana suamiku? Apakah dia masih di rumah di
kebun teh itu .... Keterlaluan!"
"Kedatangan saya pagi-pagi ke mari..,." Paiman menyeka
keringat yang mnengucur di keningnya. Lalu dia mengulang
ucapannya tadi. "Kedatangan saya pagi-pagi ke mari justru
hendak memberi tahu,.. Memberi tahu kalau... kalau…"
"Kalau apat?!" sentak Jumilah sangat tidak sabar sambil
membantingkan cangkir teh ke atas tatakannya di meja.
"Kalau Raden Bondo, suami Jeng Jumilah meninggal
dunia pagi tadi!" Akhimya lepas juga penjelasan itu dari
mulut Paiman. Dia merasa lega telah memberi tahu tapi
rasa takut tetap berkepanjangan dalam dadanya.
"Suamiku meninggal? Oh Gusti Allah!" Jumilah terpekik.
Lantai di atas kursi di mans dia duduk tiba-tiba terasa
seperti bergoyang. Ruangen makan itu seolah-olah ber-
putar. Sebelum tubuhnya jatuh, seorang pelayan cepat me-
nopang. Dan perempuan berusia lebih dari 42 tahun itu
mulai menangis. Mule-mula perlahan, kemudian tangisnya
berubah menjadi ratapan panjang, Sesaat Jumilah henti-
kan ratapnya, memandang dengan mats basah pada
Paiman, lelaki yang sehari-hari menjadi penjaga rumah me
rangkap pengawal suaminya. "Ketika pergi mas Bondo
sehat-sehat saja. Apa… apa yang terjadi? Mana Remo...
Mana anakku? Beri tahu dia. Aku harus ke rumah di kebun
teh saat ini juga. Antarkan aku ke sana Paiman ..."
Remo adalah putera tunggal Raden Bondo yang berusia
23 tahun.
Mendengar kata-kata istri majikannya tadi, kembali
Paiman tampak gugup.
"Sebaiknya... sebaiknya Jeng Jumilah tak usah ke kebun.
Jenazah Raden Bondo akan kami bawa ke mari. Kami
sudah melaporkan pada Kepala Desa..."
Dua bola mata Jumilah membesar. Dia berdiri sambil
berpegang pada tepi meja sementara pelayan perempuan
masih memegangi bahunya.
"Paiman!"sentak perempuan isteri pemilik kebun teh
yang kaya raya itu. "Kau menyembunyikan sesuatu padaku.
Aku tahu kau menyembunyikan seasuatu! Katakan apa
yang terjadi di rumah di kebun teh itu...!"
"Maakan Jeng Jumilah," jawab Paiman agak ketakutan.
"Sebenarnya kami sendiri tidak jelas apa yang terjadi.
Kapan sebenarnya Raden Bodoo meninggal. Atau apa yang
menyebabkan kematiannya. Hanya saja pagi tadi saya dan
Rawi menemukannya tewas dalam kamar. Di atas ranjang.
"Tewas?! Tewas katamu Paiman?!" ujar Jumilah hampir
berteriak. "Berarti dia dibunuh! Benar dia dibunuh Paiman?
Bilang! Katakan!"
"Saya tak berani mengatakan beliau dibunuh. Kepalanya
teklok! Lehernya dijerat…"
"Jelas dia dibunuh! Jelas...!" pekik Jumilah. Perempuan
ini menggerung lalu hempaskan tubuhnya ke atas kursi.
Matanya mendelik-delik seperti orang kemasukan lalu
tubuhnya mendadak menjadi kuyu dan tak ingat apa-apa
lagi.
***
Dalam waktu singkat, pagi itu seluruh desa Watu Limo
boleh dikatakan telah mengetahui peristiwa kematian
Raden Bondo pemilik kebun teh yang sangat luas dan
sangat kaya di timur Wonosobo. Bagaimana pun, kematian
yang mendadak itu dan di rumah di kebun teh pula
menimbulkan tanda tanya di kalangan penduduk. Banyak
di antara mereka yang ingin tahu. Akibatnya tanpa dapat
dicegah penduduk desa beramai-ramai pergi ke kebun teh.
Kebun yang biasanya sunyi itu kini menjadi ramai. Mereka
berkerumun di luar rumah di puncak bukit karena tak di-
perbolehkan masuk ke dalam.
Rumah di puncak bukit itu hanya memiliki sebuah
kamar. Di dalam kamar di atas ranjang besi yang besar
tampak terbujur sesosok tubuh tertutup selimut. Sosok
tubuh Raden Bondo. Di dalam kamar itu hanya ada tiga
orang yakni Paiman, Kepala Desa dan Remo. Atas isyarat
Kepala Desa Paiman menyingkapkan selimut di bagian
kepala. Maka kelihatanlah satu pemandangan yang meng-
gidikkan.
Raden Bondo mati dengan mata membeliak. Lidahnya
terjulur. Di lehernya yang patah masih tergelung seutas
tambang kuning besar. Remo, putera Raden Bondo paling-
kan muka den bersandar ke dinding ketika melihat keada-
an ayahnya itu. Kedua matanya dipajamkan dan air mata
ke luar membasahi pipinya.
Kepala Desa mendekati Paiman dan berkata perlahan.
"Majikanmu ini jelas mati dibunuh orang. Hanya kau dan
Rawi yang ada di tempat ini malam tadi. Jadi hanya kalian
yang tahu apa sebenarnya terjadi. Dengar Paiman, jika kau
tidak mau memberi keterangan yang benar, kau dan Rawi
akan kutuduh sebagai pembunuh Raden Bondo!"
Pucatlah paras Paiman. Dia melirik sekilas ke arah
Remo.
"Bukan kami yang melakukannya! Kami tidak bersalah
apa-apa!"
"Jangan berdusta Paiman!"
"Saya tidak berdusta. Kepala Desa, saya mau mengata-
kan sesuatu. Kalau bisa jangan sampai didengar oleh
putera Raden Bondo. Ini menyangkut kehormatannya…"
Kepala Desa gelengkan kepala. "Tidak bisa! Justru kau
harus bicara di hadapan puteranya agar tak ada yang
disembunyikan!"
"Kalau begitu baiklah…"
Maka Paiman lalu menuturkan bahwa majikan mereka
Raden Bondo sehari yang lalu telah melangsungkan
pernikahan dengan seorang perempuan muda cantik yang
dikenal dengan nama Surti. Pernikahan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi di Kaliangki. Untuk istri mudanya ini
Raden Bondo telah membuat sebuah rumah di desa
Surowangi. Karena belum salesai untuk sementara isteri
mudanya itu diminta tinggal di rumah di bukit teh tersebut.
Malam tadi adalah malam pertama atau malam pengantin
mereka. Menjalang pagi Paiman melihat ada seeorang
meninggalkan rumah. Karena masih gelap dia tak dapat
mengenali siapa adanya orang itu. Karena curiga dia mem-
bangunkan Rawi. Bersama kawannya itu dia memeriksa ke
dalam rumah. Di dalam satu-satunya kamar, mereka
menemukan Raden Bondo telah jadi mayat di atas ranjang
tanpa pakaian. Lehernya patah dan ada tambang kuning
besar menjirat leher itu. Mata mencelat, lidah terjulur.
Setelah menutupi tubuh Raden Bondo dengan sehelai
selimut, kedua orang itu segera menuju Watu Limo guna
memberi tahu apa yang terjadi pada isteri majikan mereka.
"Begitu kejadiannya, Kepala Desa…" kata Paiman. "Saya
ataupun Rawi sama sekali tidak tahu apa-apa. Apalagi
kalau dituduh membunuh Raden Bondo."
"Ada satu hal yang tidak kau katakan," ujar Kepala
Desas. "Di mana isteri muda majikanmu sekarang…"
"Itu yang membuat saya dan Rawi heran. Ketika mayat
Raden Bondo kami temui, di dalam kamar tak ada siapa-
siapa. Perempuan bernama Surti itu lenyap!"
Kepala Desa Watu Limo memandang sejurus pada
Remo. Terdengar kembali suara Paiman. "Saye harap soal
perkawinan Raden Bondo dengan perempuan itu hanya
kita saja yang tahu. Mendiang memesan benar agar me-
rahasiakan hal itu…"
"Ayah sangat mengasihi ibu. Sulit dapatkan percaya
kalau ayah kawin lagi…" kata Remo.
"Paiman," kata Kepals Desa, "karena kau dan Rawi
orang yang paling dekat dengan ayah Remo, kau pasti tahu
darimana perempuan bernama Surti itu berasal. Di mana
Raden Bondo menemui atau mengenalnya pertama kali.
Atau di mana rumah orang tuanya. Kita harus menyelidik
sampai ke sana...."
"Harap dimaafkan Kepala Desa," kata Paiman pula.
"Soal asal muasal perempuan itu atau di mana rumahnya
sebelum Raden Bondo mengawininya, saya atau pun Rawi
tidak tahu. Kami baru melihatnya pertama kali pada hari
pernikahan di Kaliangki. Raden Bondo tidak pernah men-
ceritakan apa-apa tentang isteri mudanya itu. Dan kami
mana berani bertanya-tanya…"
Kepala Desa terdiam sesaat lalu berkata, "Kejadian ini
hampir sama dengan malapetaka yang menimpa seorang
sahabatku di Kendal. Dia ditemui mati di rumah isteri
muda yang baru dikawininya dua bulan lalu. Sang isteri
sendiri lenyap..."
Seseorang masuk memberi tahu bahwa kereta kuda
pembawa jenazah ke Watu Limo telah datang. Setelah tali
yang menjirat lobar ditanggalkan, maka jenazah Raden
Bondo yang dibungkus dengan selimut lalu dinaikkan ke
atas kereta.
Ketika orang-orang,itu siap naik ke atas kuda masing-
masing untuk mengiringkan kereta pambawa jenazah,
Paiman mendekati Kepala Desa dan berbisik, "Ada orang
asing di antara orang banyak yang mengundang kecuriga-
an. Dia tegak di bawah cucuran atap sambil merokok.
Jangan-jangan dia ada sangkut paut dengan kematian
Raden Bondo…"
***
DUA
PEMUDA ASING MEROKOK MENYAN
KEPALA DESA Watu Limo memutar kepalanya ke
arah yang dikatakan Paiman. Di sana, di bawah
cucuran atap rumah memang tampak berdiri
seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian dan
berikat kepala putih. Sikapnya tenang-santai bersidekap
lengan di muka dada. Di sela bibirnya terselip sebatang
rokok yang asapnya menabur bau menyan yang sangat
menusuk.
Sejak tadi sebenarnya orang banyak yang berkerumun di
depan rumah itu merasa terganggu oleh rokok yang dihisap
pemuda itu. Bukan saja karena bau menyan yang ditebar-
nya tetapi juga mendatangkan rasa mengkirik. Kematian
dan bau menyan merupakan gabungan dua hal yang mem-
buat orang merasa angker.
"Gila! Dia rupanya yang menghisap rokok itu! Siang-siang
begini menghisap rokok klobot!" kata Kepala Desa dalam
hati. Seperti orang-orang lainnya di tempat itu dia memang
tidak mengenali siapa adanya pemuda tersebut. Jelas dia
bukan orang Watu Limo atau diam di sekitar bukit teh.
Mandadak air muka Kepala Desa berubah. Dia ingat
kembali pada kematian sahabatnya di Kendal tempo hari.
Di rumah duka saat itu telah terjadi satu kegaduhan ka-
rena munculnya seorang pemuda asing menghisap rokok
menyan yang kemudian dituduh sebagai pembunuh
sahabatnya itu. Apa pemuda yang tegak di bawah cucuran
atap itu bukan orang yang sama?
"Paiman, kau dan yang lain-lain terus iringi kereta
jenazah. Aku akan menanyai pemuda itu…" kata Kepala
Desa.
Ketika kereta pembawa jenazah bergerak diikuti oleh
orang banyak, pemuda yang merokok di bawah atap segera
pula melangkahkan kakinya.
"Saudara... Tunggu dulu!" seru Kepala Desa.
Pemuda yang menghisap rokok menyan hentikan
langkahnya.
"Aku Wenang Kulo, Kepala Desa Watu Limo,"
memperkenalkan diri sang Kepala Desa. "Aku kenal semua
panduduk desa Watu Limo. Juga orang-orang yang tinggal
sekitar perkebunan dan bukit teh ini. Kau bukan salah satu
dari mereka. Apa kepentinganmu berada di tempat ini…?"
"Tak ada kepentingan apa-apa," sahut si pemuda tanpa
mencabut rokok menyan di mulutnya hingga suaranya ter-
dengar somber tidak enak.
Melihat sikap menjawab seperti itu Wenang Kulo
merasa dipandang rendah. Maka dia pun berkata dengan
nada ketus.
"Jika tidak ada kepentingan mengapa datang ke mari?!"
"Aku hanya kebetulan lewat. Rumah ini satu-satunya
bangunan di daerah kebun teh. Kulihat banyak orang di
depan rumah. Lalu kulihat pula ada kereta membawa
usungan jenazah tanda ada orang yang meninggal…"
"Jelas kau ke mari karena ingin tahu!"
"Lalu apakah itu salah?"
"Memang tak ada salahnya orang muda! Tapi jika aku
menaruh curiga padamu, sebagai Kepala Desa aku bisa
menangkapmu! Lekas katakan siapa namamu dan kau
datang dari mana!"
"Soal dari mana aku datang, bisa saja kukatakan. Aku
barusan dari daerah utara. Hanya siapa namaku kurasa
tidak penting bagimu." Habis berkata begitu si pemuda
menyeringai lalu hisap rokok klobotnya dalam-dalam.
Mendengar jawab orang seperti itu Wenang Kulo men-
jadi jengkel. "Jika kau merahasiakan namamu berarti kau
menyembunyikan maksud tak baik..."
Si pemuda kembali menyeringai. Dia cabut rokoknya
dari sela bibir lalu menguap lebar-lebar.
"Jangan-jangan aku berhadapan dengan orang sinting!"
kata Wenang Kulo dalam hati. Matanya memandangi
pemuda di hadapannya dari rambut sampai ke kaki. Lalu
dia cepat-cepat melompat ke atas punggung kuda untuk
tinggalkan tempat itu menyusul rombongan pembawa
jenazah yang saat itu sudah mencapai pertengahan lereng
bukit teh.
"Kepala desa, kenapa buru-buru pergi. Aku melihat ada
sesuatu yang tak wajar terjadi di rumah itu. Jenazah siapa
yang tadi diangkut dengan kereta...?"
"Nah! Jadi kedatanganmu ke mari memang sengaja
hendak menyelidik!" ujar Kepala Desa pula.
"Terserah kau mau menduga apa. Apakah orang yang
meninggal itu mati dibunuh...?"
"Orang muda. Jika kau ingin tahu lebih banyak ikut aku
ke Watu Limo!"
"Kita sudah bertemu di sini. Kenapa aku mesti susah-
susah ikut ke Watu Limo?!" tukas si pemuda.
"Kalau begitu tak usah kau banyak mulut!" Kata Wenang
Kulo jadi jengkel. Dia sentakkan tali kekang kudanya. Tapi
binatang itu tak mau bergerak. Apalagi melompat dan
kabur. Memandang ke depan dilihatnya pemuda yang
merokok menyan tengah memegangi salah satu bagian
dari leher kudanya.
"Menyingkirlah!" hardik Kepala Desa. "Atau kusuruh
binatang ini menendangmu!"
"Sabar Kepala Desa. Jangan cepat-cepat marah. Aku
ingin sedikit keterangan lagi. Katakan, apakah orang-orang
yang meninggal itu mati dengan seutas tali kuning menjirat
lehernya?"
Kepala Desa Watu Limo terkejut mendengar pertanyaan
si pemuda. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?!" tanyanya
heran.
Pertanyaan itu sudah cukup merupakan satu jawaban
yang membenarkan bagi si pemuda. Maka dia pun berkata
sambil geleng-geleng kepala. "Ah, anak setan itu telah
gentayangan lagi mencari korban!"
"Anak setan siapa maksudmu?I" tanya Kepala Desa. Dia
jadi curiga. Jangan-jangan pemuda yang dianggapnya tidak
waras ini tahu siapa yang telah membunuh Raden Bondo.
Berarti ada sangkut paut dengsn peristiwa pembunuhan
itu! Wenang Kulo merasa berkewajiban untuk menangkap
pemuda ini.
"Anak muda! Ulurkan kedua tanganmu!" Kepala Desa itu
memerintah sambil tanggalkan ikat kepalanya yang terbuat
dari kain hitam.
"Eh, kenapa aku harus mengulurkan tangan ...?" tanya si
pemuda terheran-heran dan tanpa mau melakukan apa
yang diperintahkan.
"Aku harus mengikat kedua tanganmu! Kau kutangkap!"
Pemuda itu keluarkan suara tawa bergelak.
"Apa salahku sampai ditangkap?!"
"Aku menaruh curiga! Kau tersangkut dalam perristiwa
pembunuhan Raden Bondo!"
"Tuduhan edan!" kata si pemuda pula.
Saat itu Wenang Kulo telah turun dari kudanya. Dengan
kain hitam ikat kepalanya dia berusaha mengikat kedua
pergelangan tangan pemuda itu. Tapi si pemuda tanpa
bergerak dari tempatnya hembuskan asap rokok menyan-
nya ke wajah si Kepala Desa. Bau menyan menebar tajam,
menusuk pernafasan. Wenang Kulo yang memang
mengidap penyakit bengek terbatuk-batuk berulang kali
sampai mukanya menjadi merah. Di kibas-kibaskannya
kain hitamnya sambil berteriak, "Rokok jahanam! Lekas
kau matikan dan campakkan benda celaka itu ke tanah!"
Namun setelah batuknya reds dan asap rokok sirna dari
hadapannya, Kepala Desa ini jadi heran bercampur kaget.
Pemuda yang tadi berada di depannya tahu-tahu tak ada
lagi di situ. Lenyap! Wenang Kulo memandang berkeliling,
meneliti ke lereng bukit. Pemuda itu sama sekali tak
tampak.
"Jangan jangan aku tadi berhadapan dengan setan bukit
teh!" pikir Wenang Kulo. Tengkuknya menjadi dingin.
Ditariknya tali kekang kudanya, Binatang itu dibedalnya
sekencang-kencangnya menuruni bukit.
Pemuda tadi yang ternyata sudah menyelinap masuk ke
dalam rumah memperhatikan kepergian Wenang Kulo
sambil menyeringai.
Di dalam kamar di mane mayat Raden Bondo ditemu-
kan, dia membungkuk mengambil tali besar berwarna
kuning yang tercampak di lantai. Tali inilah yang telah
menjirat patah leher pemilik perkebunan teh itu.
Beberapa lamanya dia menimang-nimang tali itu. Dari
balik pakaiannya, sesaat kemudian dia keluarkan dua helai
tambang. Dua helai tambang ini bentuknya, warna dan
panjangnya persis sama dengan tambang yang menjirat
leher Raden Bondo. Ketiga utas tali itu kemudian
dimasukkannya ke balik pakaiannya. Setelah meneliti isi
kamar itu sesaat akhirnya pemuda yang menghisap rokok
klobot ini tinggalkan rumah tersebut.
***
TIGA
SI CANTIK DI PASAR WLINGI
GENDU MEMBANTING topi hitamnya ke atas meja,
mengejutkan Komang yang asyik mencabuti bulu-
bulu kasar di dagunya sambil terpejam-pejam.
"Masih pagi lagakmu sudah seperti orang kegerahan!"
kata Komang.
"Aku barusan dari pasar Wlingi..." kata Gendu tanpa per-
dulikan rasa kesal kawannya.
"Ya... ya! Seperti biasa mampir di warungnya mbok
Suket, minum kopi, makan pagi dan tidak bayar…"
"Semula memang itu yang hendak kulakukan. Tapi
ketika melewati pasar sayur, sesuatu menarik perhatianku.
Ada seorang pedagang baru. Penjual rempah-rempah. . . ."
"Kalau cuma itu ape perlunya kau ceritakan padaku!"
ujar Komang tak perduli lalu bangkit dari kursinya dan
hendak pergi.
"Eh, tunggu dulu Mang!" kata Gendu seraya memegangi
bahu kawannya, menekannya dengan kuat hingga Komang
kembali duduk di kursinya. "Kalau cuma penjual rempah
biasa, tentu tak perlu kuceritakan padamu. Justru penjual
satu ini benar-benar luar biasa. Masih sangat muda, ber-
kulit kuning langsat, berbadan montok tapi tinggi
semampai. Dan ini yang paling penting. Berwajah cantik
selangit tembus!"
Mendengar kata-kata Gendu itu kini Komang berubah
sikap dan menunjukkan perhatian penuh. Dia memutar
duduk dan menghadapi kawannya, langsung berkata:
"Kalau perempuan itu benar-benar cantik, aku pun ingin
melihat dengan mata kepala sendiri. Bagaimana kalau kita
pergi ke pasar Wlingi sekarang juga?!"
"Aku saja! Aku pun belum puas melihat kecantikan dan
kesintalan tubuh yang terbungkus kulit kuning langsat
bersih itu!" sahut Gendu menyetujui.
Maka dengan menunggang kuda kedua orang lelak yang
sehari-harinya menjadi petugas dan pengawal gedung
Kadipaten Tumenggung itu berangkat menuju pasar Wlingi.
Saat itu pasar sedang ramai-ramainya dipadati oleh
orang-orang yang berbelanja. Sebagian besar mereka
adalah kaum ibu. Meskipun jalan sempit dan orang yang
berbelanja padat namun begitu Gendu dan Komang
muncul memasuki pasar, orang banyak segera menyingkir
memberi jalan. Siapa yang tidak kenal dengan dua petugas
Kadipaten itu? Yang kadang-kadang tak segan-segan ber-
tindak kasar dan suka memungut pajak lebih tinggi dari
yang sudah ditentukan.
Gendu hentikan kudanya di samping penjual sayur
mayur laiu menunjuk ke depan seraya berkata, "Pasang
matamu baik-baik Komang. Itu penjual rempah yang
kuceritakan…"
Komang memandang ke jurusan yang ditunjuk kawan-
nya. Dan lelaki yang sudah beranak tiga ini mau tak mau
harus mengakui, belum pernah dia melihat perempuan se-
cantik penjual rempah-rempah itu.
"Cantik sekali. Masih sangat muda. Kurasa dia masih
gadis..." bisik Komang. Lalu dia menggerakkan kudanya
mendekati gubuk kecil pedagang rempah. Gendu meng-
ikuti dari belakang.
Tahu kalau ada yang mendatangi dan memperhatikan,
perempuan pedagang rempah itu mengangkat wajahnya
dan tersenyum. Gendu dan Komang seperti terpantek di
atas punggung kuda masing-masing saking terpesonanya.
Komang berbisik pada Gendu, "Perempuan ini benar-benar
tak pantas menjadi tukang jual rempah-rempah begini..."
Komang yang sudah gatal hendak menegur, sesaat
bingung. Bagaimana dia akan memanggil si cantik penjual
rempah itu. Dengan sebutan jeng pasti tidak pantas. Tapi
kalau dipanggil mbok wah, malah sangat tidak pantas.
Lebih baik dipanggil dengan sebutan adik saja. Maka
menegurlah Komang.
"Adik, kulihat kau pedagang baru di sini..."
"Betul sekali. Saya memang baru hari ini mulai ber-
dagang. Apakah di situ hendak membeli dagangan saya?
Semua rempah-rempah yang saya jual masih baru, asli
tidak dicampur…"
"Hem .... Aku dan kawanku ini petugas-petugas dari
Kadipaten," kata Komang pula.
"Harap maafkan kalau saya tidak berlaku hormat," kata
penjual rempah itu.
"Sebelum mulai berjualan, apakah sudah melapor
kepada Kepala Pasar ....?" Gendu ajukan pertanyaan.
"Saya .... saya memang belum melapor. Saya tidak tahu
di mana harus menemui Kepala Pasar. Juga tidak tahu
yang mana orangnya ...."
"Aku Komang, petugas Kadipaten Temanggung, sekali-
gus merangkap Kepala Pasar Wlingi!"
"Aduh, benar-benar tidak disangka kalau saya ber-
hadapan dengan Kepala Pasar Wlingi. Jadi saya telah ber-
buat kesalahan karena tidak melapor ....?" Si jelita
pedagang rempah-rempah bertanya sambil menatap
dengan sepasang matanya yang bagus pada Komang
"Tidak .... Tidak begitu. . . ." Komang jadi salah tingkah
dipandang seperti itu. "Kau boleh melapor kemudian. Tapi
untuk catatanku, aku harus tahu namamu. Lalu di mana
tempat kediamanmu. Nanti kami berdua akan mendatangi
rumahmu untuk urusan laporan itu…"
"Bapak-bapak ini petugas yang baik. Tapi nama saya
jelek. Soya malu mengatakannya..."
"Jangan bagitu…" membujuk Gehdu. "Cantik orangnya
pasti bagus namanya... Katakan namamu dan di mana
tempat tinggalmu...."
"Orang tua saya memberi name jelek pada saya.
Randini…"
"Ah, betul kan? Itu nama yang amat bagus!" ujar Gendu
memuji.
"Tempat tinggalmu .... ?" tanya Komang pula.
"Saya tinggal di rumah pak tua Tukiman, pembuat kendi
di pinggir timur Temanggung...."
"Apa hubungan adik dengan orang tua itu. Anaknya atau
cucunya... ?"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Saya menyewa satu bilik
di rumah orang tua itu. Rumahnya cukup besar dan dia
hanya tinggal bersama isterinya ..,."
Saat itu orang-orang yang berada di pasar mulai
memperhatikan ke arah mereka hingga kedua petugas
Kadipaten ini diam-diam merasa malu berada lebih lama di
tempat itu. Maka Komang cepat berkata, "Kami akan
datang ke tempat tinggalmu begitu pasar usai…"
"Tapi siang nanti saya tidak ada di rumah, " menjelaskan
Randini.
"Kalau begitu kami datang menjelang sore," yang ber-
kata Gendu. Lalu dia memberi isyarat pada Komang.
Keduanya segera meninggalkan pasar Wlingi.
Ketika Gendu dan Komang sampai di gedung Kadipaten,
Adipati Suryo Maget menyambut keduanya dengan
semprotan.
"Bogus sekali tingkah kalian! Sudah siang begini baru
muncul! Apa kalian lupa kalau pagi ini kalian harus meng-
antar aku ke Bandongan?!"
Melihat sang Adipati marah tentu saja kedua petugas
Kadipaten itu menjadi ketakutan. Sesaat mereka saling
pandang dan baru menyadari kalau pagi itu memang
mereka mempunyai tugas untuk mengawal Suryo Maget ke
selatan.
"Mohon maafmu, Adipati. Kami mengaku salah. Kami
memang lupa kalau pagi ini harus mengantar Adipati ke
Bandongan." Yang berkata adalah Gendu. Lalu dia
menyambung. "Kami barusan dari pasar Wlingi…"
"Hemmm ... Begitu? Kalian lebih mementingkan perut
kalian dari pada tugas! Ape sudah tak ingin lagi bekerja di
sini?!"
Paras Gendu dan Komang menjadi pucat.
"Kami... kami bukan pergi makan atau minum ke Wlingi.
Ada suatu urusan…" jawab Gendu sementara Komang
tertunduk kecut.
"Ada urusan! Hebat benar kalian! Urusan apa? Lekas
katakan. Aku mau tahu…!"
Gendu memandang pada kawannya. Komang Iantas
berbisik, "Katakan saja apa adanya, nDu..."
"Sialan! Aku bertanya kalian malah kasak-kusuk!" Adipati
Suryo Maget menjadi sangat jengkel melihat tingkah laku
kedua bawahannya itu.
"Be ... begini Adipati," lagi-lagi Gendu yang bicara. "Di
pasar Wilingi pagi ini kami melihat ada seorang pedagang
rempah-rempah. Karena dia orang baru maka kami
menanyakan apakah dia sudah melapor dan mendapat izin
berdagang ..."
"Lalu apa yang kaudapati?!"
"Pedagang baru ini memang belum melapor. Karenanya
nanti sore kami akan ke rumahnya menyelesaikan urusan
ini…"
"Goblok!" sentak Suryo Maget. "Dasar goblok! Urusan itu
seharusnya sudah kalian selesaikan di pasar! Bukan
menunggu sampai sore dan mengurusnya di rumah orang!
Kembali ke pasar dan minta pedagang itu membayar pajak
bulan pertama ditambah denda!"
"Tapi Adipati…" Komang membuka mulut untuk pertama
kalinya. "Perempuan muda itu sudah mengakui kesalahan-
nya."
'Perempuan muda! Perempuan muda siapa maksud-
mu?!"
"Maksud saya pedagang rempah-rempah itu. Kami telah
ketelanjuran mengatakan akan menyelesaikan urusan di
rumahnya nanti petang. Kami... Terus terang kami agak
rikuh. Soalnya pedagang rempah itu seorang gadis yang
cantik sekali..."
"Apa katamu Komang? Coba ulangi!" ujar Suryo Maget
sambil melangkah mendekati Komang dan betulkan letak
sabuk besar yang melilit di pinggangnya.
"Pedagang rempah itu seorang gadis sangat cantik
Adipati," kata Komang pula. "Tidak pantas dia menjadi
pedagang di pasar yang kotor itu. Belum pernah saya
melihat perempuan secantik itu..."
Sepasang mata Suryo Maget menyipit dan keningnya
mengerenyit.
"Apakah dia lebih cantik dari isteriku yang paling
muda?!" Adipati bertanya blak-blakan.
Ini membuat Komang maupun Gendu menjadi sulit
menjawab. Jika mereka katakan bahwa memang benar
isteri paling muda sang Adipati itu tidak secantik si penjual
rempah-rempah bernama Randini mungkin mereka bakal
kena tempeleng. Kalau mereka mengatakan bahwa isteri
muda atasannya itu lebih cantik, jelas tidak begitu
kenyataannya.
Karena kedua pembantunya tidak menjawab Suryo
Maget cukup memaklumi bahwa gadis pedagang rempah-
rempah itu pastilah lebih cantik dari pada isteri ketiganya,
yakni isterinya paling muda. Sesaat Suryo Maget berpaling
ke dalam gedung lalu bertanya dengan suara perlahan,
"Gendu, Komang! Katakan apakah perempuan itu juga
lebih cantik dari Naimah, janda muda yang jadi peliharaan-
ku…"
"Maafkan kami Adipati," akhirnya Gendu menjawab.
"Kami berdua tak mungkin membanding-bandingkan.
Harap Adipati maklum kalau tadi Komang mengetakan
bahwa dia belum pernah melihat perempuan secantik pen-
jual rempah-rempah itu ...."
"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sendiri!'' kata Suryo
Maget pula.
Lelaki, bilamana sudah mempunyai kedudukan atau
pangkat tinggi serta memiliki harta dan uang berlimpah,
biasanya cenderung akan muncul salah satu sifat jeleknya,
yakni rakus pada perempuan-perempuan cantik. Hal inilah
yang terjadi dengan Adipati Temanggung itu. Secara resmi
Suryo Maget telah mempunyai tiga orang isteri. Lalu
ditambah lagi dengan beberapa orang perempuan muda
dan cantik yang diam-diam dipeliharanya tanpa setahu
ketiga isterinya itu. Kini mendengar keterangan kedua
anak buahnya maka sifat rakus perempuan itu berkobar
kembali. Daun muda itu harus dibabat sebelum disambar
orang lain. Bunga indah sekuntum itu harus diambil
sebelum dipetik orang lain. Begitu yang ada dalam hati dan
jalan pikiran sang Adipati.
"Jika Adipati menghendaki demikian, kami siap meng-
antar ke pasar Wlingi saat ini juga..." kata Gendu.
"Tidak, pagi ini kalian tetap harus mengantar aku ke
Bandongari!" sahut Adipati pula. "Satu hal harus kalian
ingat! Cara kumbang bernama Suryo Maget menghisap
bunga tidak sama dengan cara kerkelak atau kecoak
macam kalian! Nanti sore kau antar aku ke tempat
kediaman gadis itu!"
"Kami siap melakukannya Adipati," jawab Gendu.
"Sekarang izinkan kami menemui kusir, melihat apakah dia
sudah menyiapkan kuda dan kereta."
Kedua petugas itu pergi ke bagian belakang gedung.
Sambil berjalan Komang berkata, "Aku punya firasat jelek,
Gendu. Bahkan sangat jelek!"
"Aku sudah tahu apa firasatmu itu, Mang. Kau tak akan
mendapatkan penjual rempah-rempah itu. Adipati pasti
akan mengambilnya sebagai tambahan perbendaharaan
ranjang tidurnya. Entah sebagai isteri ke empat. Atau
dipelihara seperti dua perempuan lainnya itu…"
***
EMPAT
ISTERI KE EMPAT
TIGA PENUNGGANG KUDA itu berhenti di depan sebuah
rumah besar berdinding gedek beratap rumbia yang
terletak di pinggir timur Temanggung. Di halaman
depan dan samping rumah terdapat ratusan kendi
berbagai bentuk dan ukuran. Inilah rumah Tukiman, orang
tua pembuat dan pedagang kendi yang terkenal itu.
"Kalian berdua turun dan periksa ke dalam apa
perempuan itu ada di rumah," penunggang kuda ber-
pakaian bagus berkata. Dia bukan lain adalah Suryo
Maget, Adipati Tumenggung.
Komang dan Gendu cepat turun dari kuda masing-
masing. Di pintu depan seorang tua berpakaian putih
model gunting Cina dan berkain sarung tampak muncuL
Dia segera mengenali orang berpaksian bagus yang duduk
di punggung kuda dan cepat-cepat memberi salam serta
hormat. Dalam hatinya dia membatin ada apakah Adipati
Tumengung tiba-tiba saja dating ke rumahnya? Jelas tidak
membeli atau memesan kendi. Lalu orang tua ini berpaling
pada dua petugas Kadipaten yang menghampirinya.
"Kami mencari seorang gadis bernama Randini. Benar-
kah dia tinggal di sini?" tanya Gendu.
"Ah, gadis itu rupanya yang mereka cari ..." ujar Tukiman
pak tua ahli kendi dalam hati. Diapun menjawab, "Memang
benar. Dia menyewa satu kamar di sini. Adipati, apakah
sudi masuk ke rumah saya yang buruk ini...?"
Karena Suryo Maget hanya menggoyangkan kepala saja
sedikit dan tak menjawab maka Komang berkata, "Panggil
saja gadis itu pak tua. Kalau dia sudah datang Adipati akan
bicara padanya…"
Make Tukiman tua pun masuk ke dalam rumahnya. Tak
selang berapa lama orang tua ini keluar kembali diiringi
oleh seorang gadis yang memang Randini adanya, penjual
rempah-rempah di pasar Wlingi itu.
Kedua mata Adipati Suryo Maget tampak membesar.
Pandangannya tak berkedip dan tubuhnya seperti dipantek
di atas punggung kudanya. Tidak salah kalau kedua anak
buahnya pagi-pagi sudah nyasar ke pasar. Ternyata gadis
itu benar-benar cantik. Tak pernah sang Adipati melihat
dara yang begini molek sebelumnya. Rambutnya hitam
pekat tersisir ke belakang dan membentuk sebuah sanggul
besar. Alisnya juga hitam laksana sepasang bulan sabit
bertengger di atas kedua matanya yang indah bening.
Kedua pipinya tampak ke merah-merahan mengapit hidung
yang mancung.
Wajah yang dihias bibir merah merekah dan dagu
laksana lebah bergantung itu tampak tersenyum. Lalu
tubuh yang mulus montok itu merunduk memberi hormat
pada Suryo Maget.
"Nama saya Randini. Ada apakah sampai Adipati
Temanggung datang berkunjung ke mari…?"
Si gadis berpaling pada Gendu dan Komang. Segera dia
ingat dan mengenali. "Bukankah bapak berdua yang pagi
tadi datang ke pasar Wlingi?" Ketika dilihatnya kedua orang
itu mengangguk maka Randini bertanya, "Jadi... bapak
berdua hendak membicarakan soal laporan berjualan itu?
Saya memang bersalah, berdagang tapi tidak melapor.
Apakah Adipati hendak menangkap saya saat ini...?"
Saat itu Suryo Maget sudah turun dari kudanya.
Sementara Komang berbisik pada si gadis. "Lupakan soal
lapor melapor itu. Kami datang ke mari bukan untuk
menangkapmu. Adipati Suryo Maget kepingin melihat
wajahmu!"
Merahlah paras Randini.
"Bolehkah aku masuk dan bicara di dalam...?" Suryo
Maget bertanya.
"Tentu saja. Tentu saja Adipati," menyahut Tukiman tua.
"Hanya mohon dimaafkan, rumah saya buruk sekali, atap
rumbia, dinding gedek dan lantai tanah. Tak pantas Adipati
berada di dalamnya."
Suryo Maget tertawa kecil. Pada kedua pembantunya
dia berkata, "Kalian berdua tunggu di sini ...." Lalu Adipati
masuk ke dalam rumah. Ketika pemilik rumah hendak
menyusul masuk, Gendu cepat memegang tangan orang
tua itu dan berkata, "Kita di sini saja pak tua. Biarkan
Adipati dan gadis itu bicara berdua di dalam..." Lalu Gendu
berpaling pada Randini. "Masuklah. Jika Adipati ingin
menemuimu tentu ada sesuatu yang ingin dibicarakan-
nya…"
Randini, perempuan muda bertubuh molek dan
berparas jelita itu tampak ragu-ragu sesaat? Namun akhir-
nya dia masuk juga ke dalam rumah.
Sampai di dalam rumah dilihatnya Adipati Suryo Maget
tegak memandang dengan tersenyum padanya.
"Mohon maaf, tak ada kursi yang layak untuk duduk
Adipati…" kata Randini.
"Tidak apa. Aku biasa berdiri kalau bicara," jawab Suryo
Maget. "Benarkah kau berjualan rempah-rempah di pasar
Wlingi?"
"Benar sekali Adipati. Baru pagi tadi saya mulai ber-
jualan. Dan saya telah membuat kesalahan. Tidak melapor
lebih dulu pada petugas-petugas Kadipaten…"
"Lupakan hal itu. Aku melihat, kau sangat tidak pantas
menjadi penjual rempah-rempah. Tidak pantas berjualan
apa pun di pasar yang kotor itu…"
"Tapi saya harus melakukan sesuatu untuk dapat
hidup... Saya sebatang kara di Temanggung ini…"
Suryo Maget memperhatikan kedua tangan dan kaki
Randini. Halus sekali. Menandakan meskipun dara ini ber-
dagang di pasar tapi jelas dia tidak terbiasa melakukan
pekerjaan kasar atau berat.
"Di mana kedua orang tuamu?" tanya Suryo Maget.
"Ibu meninggal waktu saya masih kecil. Ayah tewas
waktu terjadi banjir bandang beberapa tahun lalu di
Ambarawa . . . ."
"Jadi di situ berasal dari Ambarawa?"
"Bukan. Kedua orang tua saya berasal dari Jepara,"
jawab Randini.
"Lalu bagaimana sampai terpesat di Temanggung?"
"Panjang ceritanya Adipati. Tak mungkin saya ceritakan
karena Adipati akan bosan mendengarnya. Apakah saya
boleh terus berjualan di pasar Wlingi. Hanya itu tumpuan
dan mata pencaharian saya..."
"Aku tidak mangizinkanmu berdagang lagi di Wlingi…"
kata Suryo Maget.
Ucapan ini membuat Randini terkejut. Parasnya berubah
dan wajahnya seperti hendak menangis. Tapi di hadapan-
nya dilihatnya Adipati Temanggung itu tersenyum.
"Sukakah kau menjadi teman hidupku?" tiba-tiba sang
Adipati bertanya.
Ini tambah mengejutkan Randini.
"Saya... saya tidak mengerti maksud Adipati…" katanya
terbata-bata.
"Makudku apakah kau suka kalau kuperisterikan?"
Kedua mata sang dara terbelalak. Lalu dia cepat-cepat
tundukkan kepala. Karena menunduk tengkuknya yang
putih tampak menyembul di bawah sanggulnya yang besar,
"Ada keringat di kudukmu! Kau tentu terkejut bukan?"
ujar Suryo Maget seraya menghampiri lebih dekat. Lalu
dengan jari-jari tangannya disekanya percikan keringat di
tengkuk Randini. Si gadis menggelinjang karena kegelian.
Suryo Maget tertawa perlahan. Tangannya yang basah oleh
keringat diciumnya beberapa kali. Lalu jari-jari yang basah
itu dihisapnya. Rupanya sudah demikian besarnya daya
tarik si gadis di hati sang Adipati hingga keringatnya pun
dinikmatinya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi…" kata Suryo
Maget pula.
"Saya tak bisa menjawab. Saya tak berani memberikan
jawaban…" kata Randini.
"Kenapa tak bisa? Kenapa tak berani?"
Lama gadis itu terdiam. Akhirnya dia berkata, "Saya
seorang miskin yang tidak sebanding dengan Adipati. Jika
Adipati menginginkan, bukankah bisa mendapatkan
seorang gadis lain yang lebih segala-galanya dari saya…?"
"Justru saat ini aku sudah menemukan gadis yang iebih
dari segala-galanya itu. Yaitu kau sendiri. Aku memang
sudah punya tiga isteri. Tapi jika kubandingkan dirimu
dengan ketiganya... Mereka seperti buIan redup tertutup
awan sedang kau seolah-olah buIan purnama yang me-
mancarkan sinarnya yang indah. Nah, apakah kau sudi
kujadikan isteriku yang keempat?"
"Apakah Adipati tidak merasa malu dan turun derajat
nanti karena mengambil saya gadis yang tidak ketahuan
asal usulnya sebagai isteri...?" bertanya Randini.
Suryo Maget tertawa lebar. "Ucapanmu itu menandakan
bahwa kau bisa menjadi seorang isteri yang baik. Karena
itulah sejak pertama kali tadi aku melihatmu di pintu
rumah, aku yakin bahwa aku harus memperisterikan diri-
mu. Aku menunggu jawabanmu saat ini…"
"Jika... jika niat Adipati memang sebaik itu, apa yang
harus saya katakan selain bersedia mengabdi pada
Adipati…"
Saking gembiranya, Suryo Maget sampai lupa diri.
Sambil tertawa dirangkulnya tubuh Randini dan diciumnya
wajah gadis itu berulang-ulang, membuat sang dara meng-
geliat coba melepaskan diri.
"Mulai besok kau tak boleh berjualan lagi di pasar," kata
Suryo Maget. "Untuk beberapa hari tetap saja tinggal di
sini. Orang-orangku akan mengatur segala sesuatunya
untukmu. Pesta perkawinan, rumah... dan sebagainya...
dan sebagainya."
"Kalau saya boleh meminta, tak usahlah diadakan pesta
segela."
"Hemm... Kalau begitu kehendakmu aku pun setuju,"
ujar Suryo Maget. Memang mana ada orang yang mau
mengadakan pesta untuk perkawinannya yang ke empat,
padahal tiga isterinya masih ada.
Dari balik pakaian bagusnya Adipati Tumenggung itu
mengeluarkn sebuah kotak kecil berwarna merah. Kotak
itu diulurkannya pada Randini seraya berkata. "Ambil dan
bukalah..."
Si gadis mengambil kotak itu. Lalu membukanya.
Ternyata di dalam kotak terdapat sebentuk cincin emas
bermata berlian yang besar sekali.
"Itu untukmu!" kata sang Adipati pula.
"Saya tak berani menerimanya, Adipati..."
"Jangan menampik. Itu pemberian seorang calon suami
pada bakal isterinya. Kau harus mau menerimanya!"
Suryo Maget mengeluarkan cincin itu dari dalam kotak
lalu memasangkannya ke jari manis tangan kiri Randini.
Ternyata cincin itu pas betul di jari sang dara. Sambil
memegangi jari-jari tangan Randini Suryo Maget berkata:
"Aku harus pergi sekarang. Segala sesuatunya akan segera
diatur. Aku akan menempatkan seorang pengawal di sini.
Bila kau memerlukan apa-apa tinggal memberitahu
padanya…"
"Saya sangat berterima kasih Adipati. Benar-benar ber-
terima kasih ...." kata Randini pula. Lalu dia menundukkan
tubuh memberi hormat, sekaligus menghindarkan sang
Adipati yang hendak mencium wajahnya.
***
LIMA
AJAL Dl MALAM PENGANTIN
RUMAH ITU terletak di aliran Kali Progo, di sebelah
tenggara Temanggung, pada sebuah daerah yang
subur. Di dalam rumah Adipati Suryo Maget duduk di
meja makan berhadap-hadapan dengan istri barunya, istri
paling muda atau istri ke empat yaitu Randini. Sang Adipati
hanya sedikit saja menyentun makanan yang terhidang.
Seleranya same sekali tidak ada karena dikalahkan oleh
kobaran hasrat yang ingin cepat-cepat masuk ke dalam
kamar, menjalani malam pertama bersama Randini.
Sore tadi, menjelang magrib dengan disaksikan oleh dua
orang petugas Kadipaten Temanggung yakni Gendu dan
Komang, seorang penghulu telah datang ke tempat itu,
menikahkan Suryo Maget yang berusia 53 tahun dengan
Randini yang berumur 21 tahun. bararti malam ini adalah
malam pengantin yang berbahagia bagi keduanya.
Di luar rumah Komang dan Gendu berjaga-jaga sambil
bercakap-cakap.
"Nasib kita memang sial Gendu. Gadis cantik itu tidak
jatuh ke tangan kita..." kata Komang.
"Kalau kupikir-pikir, seandainya Adipati tidak memper-
istrikannya, belum tentu dia mau padaku atau padamu…"
menyahuti Gendu.
"Sedang apa mereka sekarang? Mungkin sudah masuk
ke dalam kamar…"
"Tadi kulihat masih di meja makan. Kalau mereka
masuk ke kamar apa kau mau mengintip...?"
"Komang menyeringai. "Tak ada salahnya. Dari pada tak
dapat sama sekali mencuri intip pun…"
"Ya, sekali ketahuan oleh Adipati kita berdua bisa
celaka!"
Di dalam rumah Adipati Suryo Maget meneguk kopi
hangat yang barusan diantar seorang pelayan lalu menyala-
kan sebatang rokok. Setelah beberapa kali menghisapnya
dia memandang pada Randini dan berkata, "Mata tua ini
cepat sekali mengantuk. Tubuh lanjut ini terasa letih.
Bagaimana kalau kita masuk saja ke kamar untuk ber-
istirahat...?"
Randini yang maklum apa maksud kata-kata Adipati
yang kini telah menjadi suaminya itu menganggukkan
kepala lalu berdiri. Dia merapikan pakaiannya sebentar
kemudian melangkah menuju ke kamar. Tidak menunggu
lebih lama Suryo Maget cepat berdiri dan menyusul masuk.
Kamar itu besar sekali, dilengkapi dengan perabotan yang
serba baru dan bagus, termasuk sebuah ranjang besar ter-
buat dari besi berlapis kuningan.
"Tidak disangka di usia yang begini lanjut aku mendapat
seorang isteri pendamping yang kuidam-idamkan..." kata
Suryo Maget seraya melepas sandalnya lalu naik a,e atas
ranjang.
"Setelah mendapatkan saya, apakah kakanda akan
mencari istri baru lagi...?" bertanya Randini. Dia duduk di
tepi tempat tidur, dekat kaki Suryo Maget.
Adipati itu tertawa.
"Kukira tidak. Cukup kau yang terakhir. Soalnya kini aku
sudah mendapatkan segala-galanya..."
"Mudah-mudahan saya bisa menjadi isteri yang baik.
Saya merasa bersyukur dari hidup terlunta-lunta sebatang
kara hari ini saya menemui kebahagiaan, menjadi isteri
Adipati Tumenggung."
"Kau pasti akan menjadi isteri yang baik. Aku sudah
melihat dari raut wajahmu yang cantik, tutur katamu yang
halus dan sikapmu yang lemah lembut. ..." kata Suryo
Maget memuji isterinya. "Berbaringlah di sampingku. Ini
malam pertama kita Randini. Malam pengantin yang tidak
akan kita lupakan selama hidup…"
"Pernahkah kakanda mendengar cerita tentang lelaki-
lelaki yang mati pada malam pengantinnya…"
Suryo Maget menggeleng. "Tak pernah kudengar.
Pengantin lelakinya pasti mengidap penyakit jantung!" ujar
sang Adipati pula. "Mengapa kau bertanya begitu...? Kalau
pun aku mati setelah bersenang-senang denganmu rasa-
nya aku akan puas..."
"Tak baik berkata begitu. Saya tak ingin kehilangan
kakanda. Apalagi di malam pengantin ini..."
"Kalau begitu menggeserlah ke mari. Berbaringlah di
sampingku…"
"Aneh malam ini terasa panas. Tidakkah kakanda ingin
membuka pakaian?" tanya Randini.
Pertanyaan isterinya itu merangsang darah sang Adipati.
Cepat-cepat dia membuka pakaiannya hingga hanya
tinggal pakaian dalam saja.
"Giliranmu sekarang Randini…"
Randini menggerakkan tangannya ke pinggang hendak
membuka gulungan angkinnya. Tapi kemudian hal itu tak
jadi dilakukannya dan berkata, "Kakanda, saya tak mau
membuka pakaian kalau kakanda memperhatikan. Malu...
Berpalinglah menghadap ke dinding…"
Suryo Mager tertawa lebar. "Isteriku ini benar-benar
gadis tulen. Masih malu-malu ...." katanya dalam hati. Lalu
seperti yang dikehendaki Randini dia pun memutar tubuh-
nya membelakangi sang isteri, menghadap ke dinding
dengan dada yang bergemuruh karena membayangkan
apa sebentar lagi yang akan dilihat dan dinikmatinya.
Setelah Suryo Maget membelakanginya, baru Randini
kembali menggerakkan tangannya ke pinggang. Namun
apa yang dilakukannya bukanlah membuka angkin atau
setagennya, Dari balik angkin itu dia justru mengeluarkan
seutas tali berwarna kuning sepanjang empat jengkal,
memegangnya pada masing-masing ujungnya.
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya gadis ini men-
jiratkan tali itu ke leher Suryo Maget hingga sang Adipati
terkejut. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu nafasnya
telah sesak, lidah menjulur. Kedua tangan coba menggapai
dan kedua kaki melejang-lejang.
Kreeek…!
Terdengar suara patahnya tulang leher ketika Randini
membuat satu sentakan yang kuat. Tubuh Adipati Suryo
Maget tak bergerak lagi. Nyawanya putus sudah!
Dari mulut Randini keluar suara tertawa aneh. Hampir
seperti kuda meringkik.
"Lelaki keparat! Hidung belang busuk macammu pantas
menerima mampus seperti ini! Kau tunggulah ayahku! Kau
tunggulah guruku! Juga semua lelaki-lelaki bejat itu! Kalian
semua pantas berkumpul di liang neraka!"
Habis berkata begitu Randini mombuka jendela kamar.
Sesaat kemudian dia pun lenyap dalam kegelapan malam.
Hanya angin malam yang berdesir menyaksikan kepergian-
nya.
Di luar rumah Komang berbisik pada kawannya.
"Hai… Kau dengar suara tawa gadis itu... Cekikikan!
Tubuhku jadi panas. Bagaimana kalau kita mengintip…''
Memang Gendu-pun tadi sempat mendengar suara tawa
Randini. Rupanya malam pengantin sudah dimulai. Kalau
tadi dia menolak ajakan kawannya, kini dia pun tertarik.
Keduanya lalu mengendap-endap mendekati rumah di
bagian mana kamar tidur terletak. Namun sebelum sampai
di dinding bangunan, sebuah perahu kecil merapat di tepi.
Kali Progo. Dari atas perahu melompat turun seorang
pemuda yang langsung lari ke arah rumah.
"Hai! Siapa di sana?!" bentak Gendu ketika melihat ada
orang yang datang dengan sikap mencurigakan.
***
ENAM
SAKIT HATI YANG KETIGA KALI
SIANG ITU Tumbal Sakti menemui ibunya yang masih
berbaring di atas tempat tidur. Dia adalah putera
tertua Adipati Suryo Maget dari istri pertamanya yaitu
Siti Resmi.
"Sesiang ini ibu masih belum bangun. Apakah ibu sakit?"
tanya Tumbal Sakti.
Siti Resmi tidak menjawab. Dia memandang ke langit-
langit kamar.
"Ibu tak mau menjawab. Ibu seperti merahasiakan
sesuatu, . .."
Perempuan itu coba tersenyum. "Apa pula yang harus
kurahasiakan, Tumbal?"
"Saya tahu ibu memang merahasiakan sesuatu. Hanya
saja rahasia itu sudah saya ketahui. Dan saya berniat
melakukan sesuatu!" kata Tumbal Sakti pula.
Hal ini mengejutkan ibunya yang langsung bangkit dan
duduk di ujung tempat tidur.
"Apa maksud Tumbal?!" tanya perempuan itu.
"Ayah hendak kawin lagi! Itu yang menimbulkan pikiran
hingga ibu hanya berdiam diri dalam sakit hati yang men-
dalam. Betul kan begitu, bu…?"
Siti Resmi terdiam. Kini dia merasa tak ada gunanya
merahasiakan hal itu lagi. Puteranya ternyata sudah tahu.
"Dari mana kau tahu hal itu Tumbal?
"Seseorang menceritakannya pada saya…"
"Seseorang siapa?"
"Ibu tak usah tahu. Yang jelas perbuatan busuk seperti
itu mana bisa ditutup-tutup?!"
"Itu sudah nasib kita, Tumbal. Kita tak bisa merubah
sifat ayahmu…"
"Sudah tiga kali dengan ini dia menyakiti ibu... Apakah
tiga orang istri dan sekian banyak peliharaan masih tidak
cukup bagi ayah?"
"Jangan berkata begitu Tumball"
"Tidak ibu. Saya harus melakukan sesuatu. Saya tahu di
mana mereka berada malam nanti!"
Tumbal Sakti menyibakkan pakaian luarnya yang
menyerupai jas pendek tanpa lengan.
"Lihat, apa yang saya bawa ini, bu!"
Ketika melihat keris yang tersisip di pinggang puteranya
terkejutlah Siti Resmi.
"Tumbal! Apa yang hendak kau lakukan?!"
"Saya akan membunuh perempuan itu, bu!"
"Kau gila!"
"Bukan saya yang gila! Tapi perempuan itu! Juga ayah!"
"Perempuan itu, siapa pun dia adanya tidak bersalah.
Ayahmu yang salah. Tidak pernah puas dengen apa yang
ada...!"
"Kalau begitu ayah juga akan saya bunuh!" kata Tumbal
Sekti pula dengan mata berapi-api. Sebaliknya sepasang
mata sang ibu tampak berkaca-caca.
"Jangan kau lakukan itu, anakku! Jangan kau tambah
derita ibu…"
"Ini derita ibu yang terakhir! Kalau kita tidak melakukan
sesuatu ayah tak akan pernah bisa berubah! Lagi pula dua
ibu yang lain merestui tindakan saya…"
"Jadi... jadi kau sudah mengatakan maksudmu pada dua
istri ayahmu yang lain...?"
Tumbal Sakti mengangguk.
"Tidak Tumbal! Jangan kau lakukan itu! Jangan senekad
itu. Berikan padaku keris ayahmu itu. Kau tak pantas mem-
bawanya. Serahkan padaku cepat...!"
"Saya akan menyerahkannya bu. Tapi nanti. Kalau
senjata ini sudah berlumuran darah!"
Lalu pemuda itu membalikkan tubuh, melangkah cepat
menuju ke pintu. Siti Resmi turun dari tempat tidur, ber-
usaha mengejar anaknya namun sia-sia saja. Akhirnya
perempuan ini menggulingkan diri di lantai kamar dan
hanya bisa menangis.
Dengan sebuah perahu Tumbal Sekti mengarungi Kali
Progo menu ju arah tenggara. dia tahu di mana ayahnya
berada. Kesitulah dia menuju. Dia sampai di tempat itu
pada malam hari, ketika Gendu dan Komang mengendap-
endap hendak mengintip kamar pengantin. Begitu melihat
ada orang yang datang dengan sikap mencurigakan maka
Gendu langsung membentak.
"Hail Siapa di sana?!"
Orang yang dibentak hentikan langkah dan bertolak
pinggang.
"Aku Tumbal Sakti!" katanya menyebutkan nama.
Terkejutlah kedua petugas Kadipaten yang berjaga-jaga
itu.
"Raden kiranya!" kata Gendu lalu saling pandang dengan
Komang dengan perasaan sama tidak enak.
'"Ada apakah Raden malam-malam datang ke mari?"
tanya Komang.
"Kalian sendiri mengapa berada di sini?!" membentak
Tumbal Sakti hingga kedua orang itu tercekat diam.
"Ayahku ada di dalam?!"
Gendu dan Komang tak berani berdusta. "Ada Raden…"
"Aku akan menemuinya…!"
"Raden…" Komang berusaha menghalangi.
"Sebaiknya Raden jangan masuk. Nanti kami berdua
bisa mendapat hajaran…"
"Memangnya mengapa aku tak boleh masuk?!" tanya
Tumbal Sekti melotot.
"Kami berdua hanya bertugas di sini, Raden. Mendapat
perintah tak boleh satu orang pun masuk ke rumah. Ayah
Raden tak mau diganggu."
Tumbal Sakti menyeringai.
"Tak boleh masuk, tak mau diganggu. Karena dia
sedang bersenang-senang dengan istri mudanya bukan?!
Minggir kalian berdua!"
"Maafkan kami Raden. Kami hanya menjalankan tugas!"
"Jadi kalian berdua berani menghalangiku?!" sentak
Tumbal Sakti.
"Sabar Raden. Sebaiknya kembali saja ke Temanggung.
Kalau ayah Raden pulang ke sana nanti, tentu persoalan
ini bisa diselesaikan..." kata Gendu.
"Justru persoalan ini harus diselesaikan di sini, saat ini
juga!"
"Tenang Raden. Pikirkan buruk baiknya…"
"Gendu keparat kau! Apakah kau ada memikirkan buruk
baiknya ayahku kawin lagi? Kau dan kawanmu ini mau
melakukan apa saja karena dijejali uang! Bukan begitu?!
Menyingkir kataku!"
"Apa pun yang terjadi kami tetap menjalankan perintah!"
Naiklah amarah Tumbal Sakti. Pemuda ini hunus keris di
pinggangnya. "Kalau kalian tetap bersikeras, terpaksa aku
menghabisi kalian berdua lebih dulu!"
Sebagai seorang putera Adipati, selain mendapat pen-
didikan tulis baca Tumbal Sekti juga mendapat pelajaran
ilmu silat dari jago-jago silat ternama. Karenanya meskipun
dua petugas Kadipaten itu memiliki kepandaian, namun
dibanding dengan Tumbal Sakti keduanya ketinggalan
jauh. Ditambah pula dalam keadaan nekad maka
serangan-serangan si pemuda benar-benar membahaya-
kan jiwa Gendu dan Komang. Gendu adalah yang pertama
terluka tangannya ketika menangkis satu tusukan deras
keris putera Adipati itu. Hendak mecabut senjata baik
Gendu maupun Komang tak mau melakukan karena takut
akan mencelakai putera Adipati itu. Tidak mengeluarkan
senjata berarti sebentar lagi mereka akan jadi bulan-bulan
keris di tangan Tumbal Sakti!
***
TUJUH
SAKIT HATI MASA LAMPAU DAN
TUDUHAN KELIRU KAKEK MATA BIRU
PADA SAAT Tumbal Sekti dan dua anak buah
Suryo Maget mulai bertengkar, dari kegelapan
tanpa mereka ketahui muncul sesosok bayangan
putih yang langsung masuk ke dalam rumah lewat
jendela kamar yang terbuka. Bersamaan dengan ke-
munculannya menyeruaklah bau kemenyan di tempat itu.
Begitu masuk ke kamar ditemuinya Adipati Tumenggung
Suryo Maget telah jadi mayat. Menggeletak di atas ranjang,
hanya mengenakan pakaian dalam. Matanya membeliak,
lidah terjulur dan dilehernya ada tali kuning menjirat!
"Lagi-lagi aku terlambat! Anak setan itu selalu lebih
cepat!" Orang yang barusan masuk menggerendeng kesal.
Dia melangkah mendekati ranjang lalu tangannya bergerak
membuka jeratan tali di leher Suryo Maget.
Sambil memutar-mutar tali itu dengan tangan kanannya
orang ini membatin. "Mungkinkah dia ....?" Memandang
pada tubuh Suryo Maget hati kecilnya menolak dugaan itu.
"Jika memang dia, kebiasaannya adalah bersenang-senang
dulu baru membunuh. Lelaki yang mati ini tampaknya
belum sempat melakukan hal itu... Lagi pula jika memang
dia, mengapa harus susah-susah membunuh memper-
gunakan tali segala? Aku tak yakin dia telah menjelma
menjadi Ratu Mesum kembali. Menebar nafsu dan maut!"
Baru saja orang ini merenung seperti itu mendadak
melesat masuk lewat jendela yang terbuka sesosok tubuh.
Di hadapannya kini tegak seorang kakek berpakaian
compang camping. Sepasang matanya berwarna bru dan
memancarkan sinar dingin yang angker.
"Ha... ha... ha! Bertahun-tahun kucari kini tertangkap
basah berbuat kejahatan!" Kakek aneh itu umbar suara
tawa yang disusul dengan bentakan.
Si pemuda tersentak kaget. Dia pandangi orang tua di
depannya dari atas sampai ke bawah.
"Kakek Mata Biru!" seru pemuda itu ketika dia akhirnya
mengenali siapa adanya orang tua itu. Kakek Mata Biru
adalah salah seorang dari beberapa tokoh langka dunia
persilatan yang merupakan adik kandung Gembel Cengeng
Sakti Mata Buta, seorang kakek berkepandaian tinggi yang
telah mengajarkan Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Buta
kepadanya. (Baca Pendekar Dari Liang Kubur).
"Hemm... Bagus! Kau masih mengenai diriku! Apakah
juga masih ingat campur tanganmu yang menyakitkan hati
sewaktu aku bertanding catur dengan Gembel Cengeng...?"
"Ah, tentu saja aku ingat kek. Tapi itu sudah lama sekali.
Mengapa harus diingat-ingat lagi…" sebut si pemuda pula.
Si kakek menyeringai jengkel. "Kau tidak merasa sakit
hati memang tak perlu mengingat-ingat. Tapi aku yang kau
beri malu mana mungkin melupakan! Waktu itu aku ingin
menggebukmu, tapi kau lolos karena ditolong oleh kakak-
ku. Aku mau lihat apakah malam ini kau masih bisa me-
loloskan diri?!"
"Persoalan lama urusan mainan anak-anak kenapa mau
diperpanjang. Jika kau anggap aku menyakiti hatimu, aku
tidak sungkan minta maaf saat ini juga. Nah kau maafkan-
lah diriku yang ceroboh!"
"Enak saja kau minta maaf. Sebelum kugebuk kau mana
senang hatiku!" kata Kakek Mata Biru. "Lagi pula saat ini
aku berhasil menangkapmu basah! Membunuh Adipati
Suryo Maget dari Temanggung!"
"Bukan aku yang membunuhnya!" kata pemuda itu
dengan suara keras dan berang. "Jangan menuduh
sembarangan! "
Kembali si kakek umbar suara tawa bergelak.
"Aku sudah lama mengintai gerak gerikmu, anak muda!
Beberapa kali terjadi pembunuhan yang korbannya tewas
dijerat dengan tali kuning, kau selalu ada di situ. Dan saat
ini aku lihat sendiri kau masih memegang tali kuning itu!
Sudah terbukti jelas masih hendak mungkir?!"
"Aku datang ke mari justru hendak menyelidiki. Tetapi
terlambat! Si pembunuh keburu kabur…!"
"Mahesa... Eh, Mahesa bukan...?" kata kakek Mata Biru.
"Pada orang lain kau boleh berdusta. Tapi padaku jangan
coba-coba!"
"Anak setan!" maki si pemuda dalam hati yang memang
Mahesa adanya. "Ape perlunya aku membunuh Adipati
itu?!"
"Soal apa perlumu itu bukan urusanku. Yang jadi
urusanku ialah melenyapkan manusia-manusia jahat
sepertimu saat ini juga!"
"Edan!" maki Mahesa.
"Kau yang edan!" balas memaki Kakek Mata Biru.
Tangan kanannya bergerak. Gerakan ini perlahan saja.
Namun seperti mulur tahu-tahu tangan kanan itu sudah
berada dekat sekali dengan tubuh Mahesa dan meng-
hantam ke arah dada!
Mahesa yang sebelumnya pernah berhadapan dengan
kakek sakti ini, sudah tahu kelihayannya maka pagi-pagi
sudah berjaga-jaga. Begitu si kakek terlihat gerakan tangan
kanannya, pemuda ini tiupkan asap rokok klobot yang
dihisapnya kuat-kuat ke depan. Asap rokok yang disertai
tenaga dalam tinggi itu menerpa menghadang jotosan
Kakek Mata Biru, sebagiannya lagi menderu ke arah kedua
matanya. Si kakek merasakan tangan kanannya seperti
masuk ke dalam satu gelombang dahsyat yang membuat
tangan itu bergetar keras serta panas dan sakit.
Sementara itu asap yang menyerbu ke arah kedua
matanya membuat mata itu terasa perih sekali. Mau tak
mau Kakek Mate Biru cepat melompat mundur.
"Pemuda edan ini ternyata memiliki tenaga dalam tinggi
sekali," kata Kakek Mata Biru dalam hati.
"Apakah kakakku juga menghadiahkan sebagian tenaga
dalamnya? Lalu membuat asap rokok menjadi senjata
ampuh dari mana pula dia mempelajarinya...!" Setelah
menatap sejenak pada Mahesa, Kakek Mate Biru kembali
lancarkan serangan. Mahesa menyambut dengan balas
menghantam. Maka perkelahian seru pun berkecamuk
dalam kamar besar itu.
Seperti diketahui dari gurunya Kunti Kendil di puncak
pegunungan lyang Mahesa telah mendapat gemblengan
ilmu kesaktian den ilmu silat tingkat tinggi. Selama malang
melintang dalam dunia persilatan pemuda ini telah
menimbulkan hal-hal yang menggegerkan hingga disegani
kawan ditakuti lawan den mendapat julukan Mahesa Edan,
Pendekar Dari Liang Kubur. Namun sejak sang guru telah
menjatuhkan hukuman yang sangat menyakiti hati bahkan
sempat menggantungnya kaki ke atas kepala ke beawah,
Mahesa mengambil keputusan, apa pun yang terjadi dia
tidak akan mau mempergunakan lagi semua ilmu
kepandaian yang diberikan Kunti Kendil kepadanya.
Mahesa tahu betul ini merupakan satu hal yang membuat
lebih dari setengah kepandaiannya akan lenyap. Dia tak
akan lagi mau mempergunakan pukulan Sakti bernama
pukulan Api Gledek, Menggusur Makam atau Kincir Air
Melabrak Kuburan atau Makam Sakti Maletus, dan
sebagainya. Dia juga tidak akan mau mengeluarkan lagi
jurus-jurus silat dahsyat seperti Macan Gila Keluar Dari
Kuburan, Batu Karang Menghimpit Kuburan, Di atas Kubur
Badai Mengamuk atau Tombak Sakti Menembus Lianq
Kubur den yang lain-lainnya. Dia sudah bersumpah untuk
tidak lagi mempergunakan semua kesaktian dan ilmu silat
warisan gurunya itu. Bahkan senjata mustika ampuh tapi
aneh berupa papan berbentuk nisan pemberian Kunti
Kendil telah dikuburnya di satu tempat!
Kini menghadapi kakek lihay seperti Kakek Mata Biru,
Mahesa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya yang
ada. Dengan hembusan asap rokok klobot yang disembur-
kannya berulang-ulang ke arah lawan Mahesa berhasil
membendung serangan-serangan maut, Kakek Mata Biru.
Namun ketika rokok yang dihisapnya habis dan dia tak
berkesempatan lagi untuk menyalakan sebatang rokok
baru maka gempuran Kakek Mata Biru mulai membuatnya
terdesak. Kakek Mata Biru tertawa mengejek.
"Bukankah kau anak murid Kunti Kendil yanig kesohor
itu? Mana ilmu silat dan pukulan sakti yang kau pelajari
dari dia? Dari tadi kau hanya melenggang lenggok seperti
wayang banci!"
Dihina seperti wayang bahkan disebut wayang banci
Mahesa jadi penasaran. Setelah mengelakkan dua jurus
serangan deras berupa pukulan-pukulan dahsyar yang
sempat menyerempet pipinya hingge merah membengkak,
Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta yang di-
ajarkan Gambol Cengeng Sakti Mata Buta. Kini pemuda itu
pergunakan ilmu silat si kakek buta untuk menghadapi
adik kandungnya sendiri!
Ketika gempuran-gempurannya selama dua jurus
kemudian tidak membawa hasil apa-apa sementara lawan
dilihatnya membuat gerakan-gerakan aneh gerabak-
gerubuk tak keruan, Kakek Mata Biru selain heran juga
menjadi jengkel.
"Heh! Jadi sontoloyo mata buta itu mengajarkan ilmu
silatnya padamu!" bentak Kakek Mata Biru ketika dia mulai
mengenali jurus-jurus silat yang dimainkan Mahesa.
Pendekar kita ganda tertawa. "Setahuku dari dulu kau
tak pernah menang menghadapi kakakmu. Apa kau
sekarang takut meneruskan perkelahian ....?"
"Keparat bermulut sombong!" teriak Kakek Mata Biru
marah. "Siapa takut menghadapi kecoak macammu! Kau
terima kematianmu!" Kakek Mata Biru angkat tangan
kanannya. Mahesa melihat bagaimana tangan itu menjadi
berwarna biru. Tanda si kakek hendak lepaskan satu
pukulan sakti yang benar-benar sangat berbahaya!
"Celaka! Kalau saja aku mau mengeluarkan pukulan api
geledek, pasti aku bisa melayani pukulan saktinya itu. Tapi
sekarang bagaimana ini..." Sesaat Mahesa merasa
bingung.
Pada saat itu tiba-tiba ada tiga orang melompat masuk
lewat jendela. Mereka adalah Tumbal Sekti, Gendu dan
Komang.
"Ada apa di sini?!" membentak Tumbal Sakti seraya
melintangkan keris di depan dada. Matanya memandang
cepat ke arah Mahesa dan Kakek Mata Biru, dua manusia
yang tak pernah dikenal atau dilihatnya sebelumnya.
Kemudian matanya bergerak ke arah ranjang besar dan
larpung pemuda ini terpskik. "Ayah!"
Tumbal Sakti molompat ke atas ranjang, menggoyang
tubuh Suryo Maget. Namun dia segera sadar kalau
ayahnya sudah jadi mayat.
"Raden Tumbal Sakti ...." kata Kakek Mata Biru. "Jika
kau ingin tahu siapa pembunuh ayahmu, dialah orangnya!"
Dan Kakek Mata Biru itu menunjuk ke arah Mahesa.
***
DELAPAN
TERTUDUH PEMBUNUH LOLOS
ISTRI MUDA LENYAP
TUMBAL SEKTI heran, dia tak pernah kenal kakek
bermata aneh itu tetapi mengapa tahu namanya.
Sebaliknya rasa heran itu serta morta lenyap begitu
dia mendengar ucapan si kakek bahwa pemuda berbaju
putih di dalam kamar itu adalah orang yang telah mem-
bunuh ayahnya. Sekali lompat saja Tumbal Sekti sudah
berdiri di hadapan Mahesa dengan keris terhunus.
"Kakek busuk itu dusta! Tuduhannya palsu!" teriak
Mahesa. "Ketika aku datang ayahmu sudah tewas!
Seseorang telah menjirat lehernya dengan tali kuning
sampai patah lalu melarikan diri!"
"Jangan percaya mulutnya Raden. Dia pandai bicara.
Raden menyingkirlah, biar aku yang menamatkan
riwayatnya…" kata Kakek Mata Biru.
"Tidak, keparat ini harus mampus di tanganku!" sahut
Tumbal Sakti.
"Hentikan niatmu Raden. Dia bukan tandinganmu!"
Memperingatkan Kakek Mata Biru.
Tapi Tumbal Sakti yang sudah mata gelap tak perdulikan
lagi ucapan si kakek. Kalau sebelumnya dia bertekad
hendak membunuh sang ayah atau istri mudanya, kini yang
ingin dibunuhnya pertama sekali adalah Mahesa.
Putera Adipati Suryo Maget itu memulai serangan
dengan kirimkan satu tusukan ke arah dada Mahesa
sementara Gendu dan Komang tampak tertegak kaget dan
bingung. Kaget karena melihat Adipati mereka telah jadi
mayat di atas ranjang. Bingung sebab tidak melihat
Randini, istri ke empat yang baru dinikahi Suryo Maget sore
tadi. Keduanya juga merasa takut karena sebagai
pengawal mereka telah kebobolan. Adipati dibunuh orang
tanpa setahu mereka.
Seperti dituturkan sebelumnya ketiga orang itu terlibat
dalam perkelahian. Gendu dan Komang menderita luka-
luka terutama di bagian kedua tangan masing-masing.
Meskipun tidak membahayakan jiwa mereka tetapi luka-
luka teriris yang cukup banyak itu terasa amat sakit. Masih
untung sewaktu keduanya hampir menerima tusukan-
tusukan keris yang mematikan, dari dalam rumah,
terdengar suara bentakan-bentakan dan suara seperti
orang berkelahi. Tumbal Sakti hentikan serangannya lalu
masuk ke dalam rumah lewat jendela yang terbuka. Gendu
dan Komang ikut menyusul.
Dua serangan Tumbal Sakti dapat dielakkan Mahesa
dengan mudah. Tapi dari samping datang tendangan
Kakek Mata Biru. Si kakek yang tadi sebenarnya siap
melepaskan pukulan sakti kini tak berani melakukan hal
itu karena takut akan menghantam Turnbal Sekti.
Karenanya dia masuk ke dalam kalangan perkelahian
dengan fftenjotos dan menendang. Justru ini adalah satu
keuntungan bagi Mahesa. Dia mainkan jurus-jurus silat
orang buta. Dimulai dengan Si buta terjatuh menggapai
karang. Tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya
menggapai-gapai seperti hendak jatuh. Tendangan Kakek
Mata Biru lewat di atas punggungnya. Serentak dengan itu
dia susul dengan jurus Si buta mencengkeram langit.
Bret!
Pakaian compang camping si kakek robek besar ketika
kena dijambret. Tubuh si kakek ikut tertarik ke depan. Di
saat yang tepat Mahesa menunggu dengan dua jari me-
nusuk ke arah dada lawan. Sadar dadanya hendak ditotok
lawan, Kakek Mata Biru membuat gerakan jungkir balik di
atas tubuh Mahesa. Bersamaan dengan itu lututnya di-
hantamkan ke kepala pemuda itu sedang tangan kanannya
ikut mengemplang ke arah punggung.
Mahesa cepat rundukkan kepala. Kepalanya selamat
dari hantaman lutut si kakek tetapi dia tak dapat lolos dari
gebukan pada punggungnya. Mahesa terbanting ter-
telungkup di lantai kamar. Punggungnya serasa remuk.
Untuk sesaat dia terkapar tak berdaya. Di sudut kamar
dekat kaki renjang Kakek Mata Biru tergelimpang, cepat
berusaha bangkit untuk kembali menyerang Mahesa.
Namun disadarinya dia tak dapat menggerakkan kaki atau
tangannya lagi. Ternyata totoken lawan berhasil bersarang
di dadanya. Orang tua ini memaki habis-habisan lalu
berteriak pada Tumbal Sakti.
"Raden Tumbal! Lekas habisi pemuda keprat itu."
Mendengar ini dan melihat memang Mahesa seperti
lumpuh menggeletak di lantai, Tumbal Sekti memburu dan
tusukkan kerisnya ke punggung Mahesa. Namun dalam
kalapnya putera Adipati Tumenggung ini menyerbu tanpa
perhitungan lagi. Tubuhnya terbanting ke lantai ketika kaki
kanan Mahesa menebas betisnya dengan keras. Terdengar
suara kraak. Tulang kering Tumbal Sakti patah. Pemuda ini
roboh dan memekik kesakitan. Dia berusaha berdiri tapi
roboh lagi.
"Gendu! Komang! Bunuh orang itu!" teriak Tumbal Sekti.
Yang diperintah tampak ragu-ragu sementara Mahesa
soot itu sudah mampu berdiri kembali meskipun agak
terhuyung-huyung. Ketika akhirnya Gendu dan Komang
mencabut senjata masing-masing Mahesa sudah me-
lompat ke jendela dan lenyap.
"Kejar!" teriak Tumbal Sakti.
Gendu dan Komang memburu. Tapi di luar hanya
kegelapan malam yang mereka lihat. Mahesa lari ke arah
kali. Di sini ditemuinya perahu milik Tumbal Sakti. Dia
segera masuk ke dalam perahu dan mendayung mengikuti
arus menuju ke hilir.
Gendu dan Komang kembali ke dalam rumah, mem-
beritahu kalau pemuda yang disuruh kejar berhasil me-
loloskan diri.
"Kalian petugas-petugas tolol! Kalian akan menerima
hukuman berat atas apa yang terjadi di sini! Sekarang
lekas cari kain. Topang kakiku dengan bambu atau kayu
atau apa saja! Lalu balut dengan kain!"
Setielah melakukan apa yang diperintahkan putera
Adipati itu Koman dan Gendu mendudukkan Tumbal Sakti
di sebuah kursi kayu:
"Sialan! Apa tak ada yang berusaha menolongku!" ter-
dengar Kekek Mate Biru menggerutu.
Rumbal Sakti memberi isyarat pada kedua petugas.
Gendu don Komang lalu menggotong orang tua itu don
mendudukkannya di atas kursi di samping Tumbal Sakti.
"Bisakah kau melepaskan totokan di dadaku...?" tanya
Kakek Mata Biru.
Tumbal Sakti ulurkan tangan kanannya. Memijit dan
meraba-raba dada si kakek. Tapi sampai berulang kali dia
melakukan hal itu totokan di dada si kakek yang me-
lumpuhkan kedua tangan dan kakinya tak bisa dimusnah-
kan.
"Sudahlah! Nanti, pun akan lepas sendiri!" kata Kakek
Mata Biru jengkel.
"Orang tua bermata biru, siapakah kau sebenarnya? Apa
yang telah terjadi di tempat ini. Siapa pula pemuda yang
kabur dan menurutmu adalah pembunuh ayahku… ''
Sampai di situ Tumbal Sakti baru ingat akan keadaan
ayahnya. Maka dia memberi perintah pada Komang agar
kembali ke Temanggung. "Datangkan beberapa petugas
dan jangan lupa membawa kereta jenazah! Ayahku harus
dibawa dari rumah celaka ini secepatnya!"
Setelah Komang pergi Tumbal Sekti mengulangi
pertanyaannya.
"Siapa aku tidak penting," menyahut Kakek Mata Biru.
"Aku memang sudah sejak lama menyelidiki kematian-
kematian aneh yang terjadi belakangan ini. Termasuk
kematian ayahmu. Dan selalu saja aku menemui pemuda
itu. Tadi aku berhasil menangkap basahnya ketika baru
saja membunuh Adipati dengan seutas tambang kuning
"Mengapa dia membunuh ayah? Dan kau belum
menerangkan siapa pemuda itu sebenarnya . . . . "
"Mengapa dia membunuh ayahmu, ini satu hal yang
masih kabur bagiku. Pemuda itu bernama Mahesa. Murid
seorang tokoh silat sinting dari pegunungan lyang. Dia ber-
juluk Pendekar Dari Liang Kubur. Setiap muncul selalu
membekal rokok menyan, menebar baunya yang menusuk
hidung ke mana-mana..."
"Jauh-jauh dari Temanggung aku kemari sengaja hendak
membuat perhitungan dengan ayah dan istri mudanya. Aku
yakin ayah tidak sendirian di rumah ini. Ada istri mudanya
bernama Randini. Tapi ternyata perempuan itu tak ada di
sini. Gendu! Kau pasti bisa menerangkan ke mana
perempuan itu?!"
Dengan ketakutan Gendu menjawab.
"Itulah yang membuat saya heran dan bingung Raden.
Ketika saya dan Komang berjaga-jaga kami dengar Adipati
bercakap-cakap dengan istri mudanya dalam kamar. Tetapi
setelah masuk kemari kami temui Adipati telah tewas dan
perempuan itu lenyap…! Saya tidak tahu di mana dia
berada. Benar-benar tidak tahu…"
"Kalau memang begitu ini adalah satu keanehan yang
harus dipecahkan!" kata Tumbal Sekti pula Ialu mengeluh
karena kakinya yang patah terasa sakit sekali.
"Tak ada yang aneh!" berkata Kakek Mata Biru. "Berat
dugaanku istri ayahmu bersekongkol dengan pemuda itu.
Dia pasti menunggu pemuda itu di satu tempat…"
Kakek Mats Biru cobs kerahkan tenaga dalamnya lalu
perlahan-lahan dialirkan ke arah dada guna memperlancar
aliran darah. Bila aliran darah di bagian itu bisa pulih,
maka totokan di dadanya akan musnah dengan sendirinya.
Dia mencoba berulang kali. Pada kali yang ke delapan baru
berhasil. Begitu dirinya terlepas dari totokan, orang tua ini
cepat duduk bersila di lantai, atur jalan napas dan jalan
darah lalu melompat tegak.
"Malam telah larut Aku harus pergi sekarang." Tanpa
menunggu jawaban Tumbal Sakti dia berkelebat ke arah
jendela dan lenyap.
***
SEMBILAN
SI BUTA SAKTI MEMBERI PETUNJUK
MENJELANG pagi perahu yang ditumpangi Mahesa
meluncur sepembawa arus Kali Progo,
Di sebuah tikungan akhirnya tersekat pada
akar-akar pepohonan yang menjorok ke dalam kali dan
terhenti di sana. Mahesa sendiri saat itu masih terbaring
tidur di dalam perahu. Dia baru bangun, ketika sinar mata-
hari membuat matanya menjadi silau. Memandang ber-
keliling pemuda ini dapatkan dirinya terpesat di tepi kali. Di
sebelah kanan berjejer pohon-pohon besar berdaun lebat
berusia ratusan tahun dan rata-rata tertutup lumut mulai
dari akar sampai ke batang dan cabang-cabangnya.
"Di mana aku ini…" bertanya Mahesa pada diri sendiri.
Dia membungkuk untuk menyiduk air dan membasahi
mukanya. Saat itu dirasakannya punggungnya yang kena
dihantam Kakek Mata Biru mendenyut sakit. Selesai
mencuci muka Mahesa tinggalkan perahu, naik ke darat.
Semula dia bermaksud hendak meneruskan perjalanan
dengan jalan kaki. Namun melihat hutan belantara begitu
lebat hatinya merasa tak enak. Mahesa memutuskan
untuk kembali ke perahu, mengarungi sungai ke arah
selatan. Namun baru saja dia menuruni tebing sungai,
belum sempat menjejakkan kaki kanannya di atat lantai
perahu tiba-tiba di belakangnya terdengar suara berdesing.
Mahesa cepat jatuhkan diri. Sebuah benda melesat di
atas kepalanya dan menancap di badan perahu. Ketika
memperhatikan benda yang menancap itu kagetlah
pendekar kita.
Benda yang menancap di badan perahu yang terbuat
dari kayu keras itu temyata adalah sehelai daun sebesar
telapak tangan!
"Anak setan! Daun itu bisa mencelakaiku kalau sampai
menancap di kepala atau di badan!" memaki Mahesa. Dia
menoleh ke belakang. Tak seorang pun tampak. Keadaan
di tempat itu sangat sunyi. Bahkan arus Kali Progo pun
tidak terdengar. Kicau burung pagi tiba-tiba saja lenyap.
Desir angin dan gemeresik daun-daun pepohonan juga
tidak terdengar. Mahesa mendongak ke atas. Memperhati-
kan setiap cabang pohon satu per satu, meneliti bagian
pohon di balik dedaunan yang lebat. Namun tetap dia tidsk
melihat seorang pun.
"Pembokong pengecut!" teriak Mahesa. "Perlihatkan
tampangmu!"
Baru saja Mahesa berteriak, mendadak terdengar suara
berdesing keras. Dari arah depan tampak lima buah daun
melesat ke arahnya. Bersamaan dengan itu terdengar
suara mengiang di kedua telinganya.
"Ayo tunjukkan kepandaianmut Perlihatkan ilmu silat
yang kau dapat dari nenek butut Kunti Kendil! Keluarkan
jurus silat tujuh orang katai!"
Mahesa menghantam ke depan. Tiga daun yang datahg
menyerang hancur dan luruh ke tanah. Sebuah dielakkan-
nya. Yang kelima menyusup di kaki celananya!
"Anak setan keparat! Siapa orang ini! Dia kenal Kunti
Kendil. Tahu ilmu silat tujuh orang katai…" Mahesa sulit
menerka siapa adanya pembokongnya. Karena sudah ber-
sumpah tidak mau mengeluarkan pukulan sakti yang di-
dapatnya dari Kunti Kendil maka Mahesa berkelebat ke
arah pohon baser dari mane tadi keluarnya lima helai daun
yang menyerang itu.
Tapi selagi tubuhnya melayang di udara mendadak lima
helai daun lagi tampak menderu bersiuran ke arahnya.
Agak gugup Mahesa keluarkan jurus-jurus silat orang buta
sambil tangannya menghantam ke depan. Kali ini dua helai
daun berhasil dielakkan, dua lainnya hancur oleh hantam-
an tangan kosongnya. Namun lagi-lagi daun kelima sempat
menyelusup. Kali ini menancap di bahu kanan baju putih-
nya!
Bersamaan dengan itu kembali terdengar suara
mengiang.
"Cuma ilmu silat orang buta, buruk, itukah yang kau
andalkan dalam hidupmu?!'
Mahesa benar-benar dibikin kaget kini. Siapa pun orang
yang menyerangnya pasti tahu banyak tentang dirinya.
Apakah orang ini pembunuh Adipati Suryo Maget yang
tengah dikejarnya? Atau mungkin juga Pendekar Muka
Tongkorak, kakek sakti yang memang suka jahil itu hendak
mengujinya? Atau mungkin gurunya sendiri Kunti Kendil?
Tapi setahunya orang-orang itu tidak memiliki kepandaian
mengirim suara dari jauh. Lalu siapa adanya pembokong
ini? Main-main atau sungguhan hendak mencelakainya?!
"Pembokong pengecut! Jangan kira aku tidak tahu kau
sembunyi di mana!" Habis berteriak begitu Mahesa
lepaskan dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Yang satu menghantanl pohon besar di
sebelah kanan, lainnya merobohkon pohon besar di depan
sebelah kiri.
Ketika pohon-pohon baser itu bertumbangan ke tanah,
tubuh Mahesh telah berkelebat lenyap den tebing sungai.
Kembali keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Saat
itu Mahesa sudah berada dl atas sebuah cabang pohon
berdaun rimbun. Dengen sangat hati-hati dia menyalakan
sebatang rokok menyan. Rokok yang menyala ini di
selipkannya pada ranting pohon. Lalu tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun dia beranjak ke cabang pohon sebelah
kanan, berpindah lagi ke sebelah kanan hinnga akhirnva
dia berada di atas pohon yang terpisah jauh dari pohon di
mana tadi dia meninggalkan rokok klobotnya. Bau menyan
serta merta menghampar di dalam rimba belantara itu.
Tiba-tiba terdengar lagi suara mengiang di telinga
Mahesa.
"Pemuda tolol! Jangan kira aku tidak tahu kau ber-
sembunyi di mana!"
Mahesa menjadi tegang dan bersiap waspada. Apakah
si pembokong benar-benar tahu di pohon mana dia berada
saat itu? Dengan siapkan tenaga dalam terpusat di tangan
kanan pemuda ini menunggu. Dari balik semak belukar
yang merambat lebat pada kaki-kaki pohon-pohon besar
yang ada di bawahnya dilihatnya melesat keluar sepuluh
lembar daun, menggebubu ke arah pohon besar dimana
Mahesa tadi menyelipkan rokok klobotnya.
Pemuda ini tersenyum. "Kali ini kau tertipu pembokong!"
lalu secepat kilat Mahesa terjun ke bawah, jungkir balik
dua kali berturut-turut. Di lain kejap dia sudah berada di
balik rerumpunan semak belukar lebat. Sambil berlutut
pemuda ini lepaskan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi.
Wuutt!
Semak belukar musnah bertebaran. Di kaki pepohonan
yang kini menjadi rata itu tampak duduk bersila seorang
kakek berpakaian rombeng dekil penuh tambalan. Kedua
matanya buta dan dia duduk sambil tersenyum-senyum.
Jika pukulan maut Mahesa tadi sampai menghancurkan
semak-belukar bagaimana mungkin si kakek yang tadi
bersembunyi di dalam semak belukar itu kini kedapatan
masih hidup tanpa cidera suatu apa, malah sambil
senyum-senyum!
"Anak muda! Apakah kau masih mengenaliku?!" kakek
buta itu menegur.
"Astaga! Kau rupanya kek! Tentu saja aku me-
ngenalimu!" sahut Mahesa. Dia buru-buru mendatangi.
"Kek, mohon maafmu. Aku tadi telah menyerangmu. Aku
benar-benar tidak tahu kalau kau yang ada di sini…"
Si kakek kembali tersenyum. Namun sesaat kemudian
wajahnya tampak murung. Dan orang tua ini mulai
menangis sesenggukan! Inilah dia manusia nomor satu
dalam dunia persilatan yang dikenal dengan julukan
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.
Kakek aneh yang pernah memberikan pelajaran tujuh
jurus ilmu silat orang buta pada Mahesa.
"Kek, kalau saja tadi kau tidak menyerangku, aku pun
tak akan membalas. Apakah kau terluka...?" tanya Mahesa.
"Aku segar-bugar. Hanya aku mendadak menjadi sedih
setelah menyirap kabar tentang apa yang terjadi dengan
dirimu malam tadi
Mahesa jadi kaget. "Hai, secepat itukah kau mengetahui
kek?!" tanyanya.
Si kakek mengangguk dan usut air matanya.
"Benarkah kau yang membunuh Adipati Suryo Maget?"
"Itu tuduhan dusta! Aku datang ke sana justru untuk
menyelidik. Beberapa kali terjadi pembunuhan dengan
cara yang sama…"
"Lalu apakah hasil penyelidikanmu?"
"Aku belum mendapatkan hasil kek. Pembunuh itu ber-
laku cerdik. Selalu lenyap sebelum aku sempat me-
mergoki."
"Menurutmu si pembunuh laki-laki atau perempuan?"
"Dugaanku berat bahwa dia adalah seorang pe-
rampuan…"
"Aku sependapat denganmu anak muda. Aku sudah
punya prasangka. Bagaimana dengan kau…"
Mahesa terdiam sejenak lalu gelengkan kepala. "Sulit
kalau hanya menduga tanpa bukti-bukti. Kalau aku boleh
tanya siapa orang yang kau curigai itu kek?"
"Aku tak akan menjawab. Sebaliknya mau bertanya dulu.
Terakhir sekali ketika peresmian Partai Merapi Perkasa
tempo hari kulihat kau berjalan seiring dengan seorang
perempuan cantik luar biasa bernama Sari. Tanpa kau
menerangkan aku sudah tahu bahwa perempuan itu bukan
lain adalah betina iblis yang dikenal dengan julukan Ratu
Mesum. Perbuatannya menebar nafsu dan membunuh di
delapan penjuru angin membuat dunia porsilatan bergidik.
Di mane perempuan itu sekarang?"
"Kami berpisah beberapa bulan yang lalu. Berjanji akan
bertemu lagi pada hari ke tujuh bulan dua belas. Kek,
apakah kau mencurigai kawanku itu... ?"
"Sampai aku mendapatkan kenyataan bahwa bukan dia
yang melakukan pembunuhan-pembunuhan aneh serta
keji belakangan ini, dia adalah manusia yang kucurigai
pada urutan pertama…" Si kakek aneh kembali terdengar
menangis sesenggukan.
"Di masa lalu dia memang iblis perempuan yang
gentayangan mengumbar nafsu dan membunuh setiap
laki-laki yang tidur dengannya. Tetapi ketika aku mengenal-
nya, dia sudah berubah sama sekali. Seperti malam
dengan siang. Tak mungkin dia yang melakukannya kek.
Cara tewasnya para korban tidak seperti cara-cara pem-
bunuhan yang dilakukan kawanku itu. Jika dia memang
ingin membunuh, kenapa susah payah menjirat dengan tali
kuning segala? Sekali dia menghantamkan tangan seorang
laki-laki pasti mati dibuatnya!"
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta termenugg dengan
wajah menunjukkan kesedihan. Sesaat kemudian dia ber-
kata, "Ada petunjuk yang bisa dijadikan pegangan."
"Petunjuk apakah itu kek?' bertanya Mahesa.
"Setiap korban yang terbunuh rata-rata sudah beristri.
Bahkan lebih dari satu. Aku berkesimpulan bahwa yang
menjadi sasaran adalah lelaki-lelaki hidung belang, yang
tak pernah puas diri…"
Apa yang dikatakan si kakek memang benar. Tetapi
Mahesa masih meragukan apakah hal itu memang dapat
dijadikan petunjuk untuk menangkap si pembunuh. Dia
yakin ada satu rahasia terkandung dalam semua kejadian
ini. Meskipun demikian petunjuk seorang pandai seperti
Gembel Cengeng Sakti Mata Buta ini tidak boleh diabaikan
begitu saja.
"Turut hematku si pembunuh masih berkeliaran di
daerah ini. Paling jauh sampai di Ungaran di sebelah Utara
atau Salatiga di sebeleh Timur. Banjar negara di sebelah
Barat dan Bantul di sebelah Selatan. Tapi bukan mustahil
sewaktu-waktu dia muncul di Kotaraja..."
"Siapa pun pembunuh itu dia pasti bukan sahabatku
yang pernah menyandang galar Ratu Mesum itu," kata
Mahesa pula.
"Sekatang ke manakah tujuanmu?" tanya kakek bute.
"Turut petunjukmu aku lebih suka menyirap kabar ke
Kotaraja," sahut Mahesa.
"Bogus. Cobalah kau sirap kabar tentang seorang
Pangeran hidung belang bemama Kuncoro Ageng. Dia lebih
dikenal dengan nama Pangeran Ageng. Istrinya banyak.
Gundik den peliharaannya tidak terhitung. Namun selalu
saja masih mencari daun-daun muda. Jika kau mau ber-
laku sabar dan berada di sekitarnya beberapa lama, cepat
atau lambat kurasa dia akan menjadi sasaran pembunuh
aneh itu..."
"Aku akan perhatikan petunjukmu itu kek..."
"Sekarang ada pertanyaenku. Waktu kau kuserang
dengan daun-daun itu kau same sekali tidak, mengeluar-
kan kepandaian silat yang kau dapat dari gurumu Kunti
Kendil. Hal ini sudah kuperhatikan sejak kejadian di Merapi
dulu. Apa jawabmu anak muda...?"
"Aku segan mengatakannya kek. Tapi karena kau yang
bertanya tak apalah kuceritakan. Sampai saat ini aku tetap
menghormati nenek itu. Namun sejak dia menggantungku
di puncak lyang, aku sudah bersumpah tidak akan
mempergunakan ilmu kepandaian darinya, apa pun yang
terjadi. Bahkan senjata ampuh papan nisan hitam yang
diberikannya telah kukubur di satu tempat…"
"Ah, berat nian sumpahmu!" si kakek langsung saja
unjuk tampang sedih dan kembali sesenggukan menangis!
"Kau tahu anak muda. Orang yang hidupnya bertualang
dalam rimba persilatan sepertimu perlu kepandaian
banyak…"
"Ilmu silat yang kau ajarkan padaku sangat dapat
diandalkan kek. Yang penting aku harus lebih banyak
melatih diri..."
Si kakek gelengkan kepala. "Ilmu silat butut itu..." kata-
nya mengejek ilmu silatnya sendiri. "Masih kurang, anak
muda. Masih kurang. Kau tetap memerlukan pukulan-
pukulan sakti. Tanpa itu dirimu akan mengalami
kesusahan…"
"Aku ada membawa Keris Naga Biru yang hebat itu!" ujar
Mahesa.
"Senjata itu memang hebat. Namun itu hanya senjata
titipan. Kelak jika kau menemukan siapa pemilik sebenar-
nya kau harus mengembalikannya!"
Mahesa terdiam.
"Kau mendapat Kitab Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai.
Apakah sudah kau pelajari?"
"Masih belum kek. Untuk mempelajarinya tidak bisa
asal-asalan. Membutuhkan tempat dan waktu…"
"Benar, kau harus menyediakan semua itu. Aku belum
pernah melihat kitab silat itu. Juga belum pernah menyaksi
kan orang memainkannya. Tapi aku yakin itu adalah ilmu
silat paling langka, sulit dicari tandingannya. Dan aku juga
yakin di dalam jurus-jurus silat itu jika kau mau menggali
Iebih dalam, kau bisa menemukan cara tertentu untuk
menciptakan sendiri pukulan-pukulan sakti. Bukankah kau
sudah memiliki modal tenaga dalam yang luar biasa...?"
"Terima kasih atas petunjukmu itu kek. Aku memang
mempunyai rencana seperti yang kau katakan itu..."
"Apakah kau memang tak ingin lagi bertemu dengan
gurumu si nenek perut Kunti Kendil itu...?" bertanya
Gembel Cengeng.
"Sebaiknya memang begitu kek…"
"Ah, dunia ini memang sangat luas," si kakek seperti
biasanya kembali mulai menangis sedih. "Tetapi terkadang
sangat sempit hingga tak muat untuk dua orang. Per-
temuan bisa saja terjadi setiap saat tanpa terduga. Kau
tahu setelah peristiwa berdarah di puncak Merapi, Kunti
Kendil membawa suaminya yang terluka parah Lembu
Surah memang manusia kuat luar biasa! Orang lain
mungkin sudah mati mendapat hantaman para jago begitu
rupa. Tapi kusirap kabar ternyata dia masih hidup. Cuma
keadaannya sangat menyedihkan. Lumpuh sekujur badan-
nya. Kunti Kendil menemaninya dengan setia. Seperti
merawat seorang bayi besar. Kabarnya mereka memencil-
kan diri di satu tempat. Walau demikian, seperti kataku
tadi, pertemuan bisa saja terjadi tanpa diduga…"
"Kek, jika pertemuan itu memang terjadi, lalu apakah
yang akan kulakukan?' tanya Mahesa pula.
"Kali ini aku tak bisa memberi petunjuk. Soal hubungan
guru dan hiurid, kau dan Kunti Kendil hannya kalian berdua
yang bisa menentukan sendiri. Nah, hari sudah tinggi. Tua
bangka buruk dan buta ini harus melanjutkan perjalanan!"
Orang tua buta itu lalu bangkit dari duduknya.
"Kek, apakah kau tidak ingin mencoba rokokku? Rokok
klobot rokok enak..."
Gembel Cengeng Sakti Mats Buts tertawa. "Tentu saja
aku mau. Tapi kau tak usah susah-susah menyalakannya.
Aku mengambil yang sudah ada saja!"
"Maksudmu kek?" tanya Mahesa tak mengerti.
Sebagai jawaban orang tua sakti itu melompat. Tubuh-
nya melesat ke pohon besar di mana tadi Mahesa ber-
sembunyi dan menyalakan sebatang rokok menyan. Saat
itu rokok tersebut masih terjepit di sela ranting dan masih
menyala. Rokok inilah yang disambar si kakek. Tubuhnya
lenyap di balik kerapatan daun-daun pohon-pohon besar.
Yang tinggal kini hanya tebaran bau menyan yang menusuk
hidung.
Mahesa geleng-geleng kepala. "Anak setan itu benar-
benar luar biasa! Jadi sebenarnya tadi dia tahu kalau aku
menipunya!'
***
SEPULUH
SI CANTIK DI TENGAH RIMBA JUWIRING
TIGA ORANG berpakaian prajurit keraron itu datang
menemui lelaki muda yang duduk terkantuk-kantuk di
bawah pohon bambu. "Pangeran, kuda telah kami
siapkan. Peralatan untuk berburu sudah tersedia. Apakah
Pangeran siap untuk berangkat sekarang?" tanya salah se-
orang dari tiga perajurit.
Orang yang ditanya—sang Pangeran—melunjurkan kedua
kakinya lalu menguap lebar-lebar.
"Aku tahu kalau kalian sudah menyiapkan segala se-
suatunya. Apakah juga bekal makanan sudah kalian siap-
kan? Perburuan ini mungkin memakan waktu seminggu,
mungkin pula sebulan!"
"Jangan kawatir Pangeran Ageng. Bekal makanan
sengaja kami sediakan untuk keperluan dua bulan!" jawab
perajurit tadi.
"Bagus! Yang paling penting apakah kalian sudah
menyebar kabar bahwa aku Pangeran Ageng akan berburu
rusa di hutan Juwiring?!"
"Sudah Pangeran. Hal itu sudah kami lakukan!"
jawabsi perajurit.
"Dan bahwa selama aku berburu tidak satu orang pun
boleh memasuki hutan itu! Apalagi kalau sampai meng-
ganggu perburuanku di sana!"
"Itu pun sudah kami lakukan Pangeran."
"Semua beres. Pangeran tinggal berangkat dan berburu
sepuasnya…!" kata perajurit satunya.
"Rumah peristirahatan di dalam rimba, apakah juga
sudah dibersihkan?" tanya Pangeran Ageng !agi.
"Sudah dibersihkan luar dalam. Rumput-rumput sudah
dibabat. Bunga-bungaan sudah ditanam. Bukankah
Pangeran suka akan bunga-bunga..."
"Bagus! Lalu apakah kalian sudah pula menyiapkan
bunga harum teman tidurku di atas ranjang?!"
"Ah, kalau yang satu, ini memang belum kami siapkan
Pangeran. Mana berani kami mengatur Pangeran untuk
urusan ini. Pangeran tentu lebih tahu akan selera Pangeran
sendiri. Pangeran tinggal memberi tahu namanya, tinggal di
mana. Kami akan datang menjemput…"
Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak.
"Sebelum berangkat aku ingin meneguk tuak dulu puas-
puas. Ambilan bumbung tuak itu!"
Seorang perajurit kemudian mengambil sebuah bum-
bung bambu berisi tuak. Pangeran Ageng merteguk minum-
an itu sepuasnya lalu berdiri dengan terhuyung-huyung dan
menyerahkan bumbung pada perajurit yang tadi menyerah-
kan.
"Kita berangkat sekarang!" kata sang Pangeran pula.
"Bagaimana dengan bunga peneman ranjang itu,
Pangeran?" tanya perajurit yang di sebelah kanan.
"Tak usah dirisaukan. Kita akan menemukannya dalam
perjalanan!"
Maka ke-empat orang itu naik ke atas kuda masing-
masing. Seekor kuda yang khusus membawa perbekalan
mengikuti dari belakang.
Setelah setengah hari menempuh perjalanan rombong-
an akhirnya sampai ke hutan Juwiring yang memang ter-
kenal sebagai padang perburuan orang-orang Keraton
karena di sini terdapat banyak rusanya.
"Apakah kita akan langaung berburu atau beristirahat
dulu di rumah kecil dalam rimba?" tanya seorang peraju rit.
"Kita menuju rumah peristirahatan itu. Tapi jika di
tengah jalan ada binatang perburuan, kenapa harus dibiar-
kan?" sahut Pangeran Ageng. Lalu setelah menguap dua
kali berturut-turut dia minta busur dan kantong panah.
Busur dipegangnya di tangan kiri, kantong panah di-
gantungkannya di punggung. Sebilah pedang kemudian di-
sisipkannya di pinggang.
Dalam perjalanan menuju rumah peristirahatan di
tengah rimba rombongan menemui tiga ekor rusa. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan Pangeran Ageng dan anggota
rombongannya segera memburu ketiga binatang ini. Dua
ekor rusa berhasil dipanah dan ditangkap. Rusa ke tiga
sempat meloloskan diri.
"Rejeki besar Pangeran! Belum setengah hari di dalam
hutan sudah dapat dua ekor rusa..."
Pangeran Ageng menyeringai senang. Bersama
rombongan dia masuk lebih jauh ke dalam rimba be-
lantara. Menjelang matahari tenggelam mereka sampai di
rumah kecil itu. Di sini rombongan berhenti untuk istirahat.
Perburuan akan dilanjutkan besok pagi.
***
Kicau burung terdengar bersahut-sahutan menyambut
terbitnya sang surya. Begitu matahari menyembul di se-
belah timur dan rimba belantara itu mulai terang, Pangeran
Ageng dan tiga perajurit pengawalnya sudah berada di atas
kuda masing-masing menuju bagian rimba sebelah timur di
mana terdapat sebuah mata air.Biasanya rusa dan
binatang hutan lainnya suka berkumpul di sekitar mata air
ini.
"Pangeran, apakah tidur Pangeran nyenyak malam
tadi?" tanya seorang perajurit.
"Ah, mana bisa nyenyak kalau tak ada selimut yang
pandai bernafas...!" sahut Pangeran Ageng lalu tertawa
gelak-gelak. "Jauhkah mata air itu dari sini?" tanyanya
kemudian.
"Cukup jauh. Sekitar seperempat hari perjalanan. Itu
kalau kita mengikuti jalan yang biasa ditempuh para pem-
buru. Jika mengambil jalan memintas akan lebih cepat
lagi."
"Kau tahu jalan memintas itu?"
"Cukup hafal Pangeran."
"Bagus. Kalau begitu kita tempuh jalan memintas. Kau
jalan duluan…"
Maka rombongan pun menuju mata air di tengah rimba
melewati jalan melintas yang lebih pendek dan cepat. Jauh
sebelum tengah hari mereka telah sampai di mata air itu.
Namun tak seekor rusa pun yang tampak di tempat itu.
Sesekali tampak tupai melompat turun dari pohon untuk
minum air telaga kecil atau bengkarung muncul di balik
daun-daun atau sela-sela batu, lalu menyelinap lenyap.
"Bagaimana ini! Kalian bilang di mata air ini banyak rusa
berkumpul! Seekor pun tak kulihat!" kata Pangeran Ageng
sambil memandang berkeliling dan timang-timang busur di
tangan kanannya. Tiba-tiba seekor tupai tampak di cabang
tinggi sebuah pohon di sebelah kanan. Sesaat binatang ini
memandang ke kiri dan ke kanan. Lalu melayang turun
menuju mata air. Namun nasibnya malang. Selagi tubuh-
nya melayang di udara, Pangeran Ageng dengan sigap
mengambil sebatang anak panah, merentangkan busur.
Panah dilepas. lepas. Melesat di udara lalu menancap
tepat di dada tupai. Binatang ini mencicit pendek lalu jatuh
ke tanah bersama-sama anak panah yang masih me-
nancap di tubuhnya.
"Tupai masih lebih baik dari pada tak ada buruan sama
sekali!" ujar Pangeran Ageng sementara seorang perajurit
turun dari kuda, memungut tupai itu dan membawanya ke
hadapan sang pangeran.
"Jika kau suka kau boleh panggang dan makan se-
puasmu!" kata Pangeran Ageng.
"Terima kasih Pangeran. Tapi saya belum lapar," jawab
si perajurit.
"Berapa lama kita menunggu di sini sampai rusa-rusa itu
muncul...?" Sang Pangeran rupanya masih kesal dengan
binatang buruan yang masih belum kelihatan itu.
"Sabar saja Pangeran. Hari masih pagi. Tentunya rusa-
rusa itu masih berkeliaran di tempat lain mencari
makanan. Siang hari, bila mereka sudah letih dan ke-
hausan, tentu binatang-binatang itu akan datang ke telaga
kecil ini."
"Apakah tak ada ikan di dalam telaga itu?" bertanya
Pangeran Ageng.
"Rasa-rasanya tak pernah ada Pangeran."
"Kalau begitu kita berlindung di balik jejeran pohon-
pohon besat sana. Menunggu sampai rusa-rusa itu
muncul…"
Menjelang tengah hari, ketika rimba belantara Juwirang
itu mulai terasa panas oleh terpaan sinar matahari, seperti
yang dikatakan oleh perajurit pengawal Pangeran Ageng,
beberapa binatang hutan mulai menampakkan diri ber-
datangan ke mata air yang membentuk telaga kecil di
tengah rimba. Mula-mula tampak dua ekor burung belibis
hutan. Pangeran Ageng tidak begitu terlalu berminat untuk
memanah burung-burung ini. Karena itu dia membiarkan-
nya saja. Kemudian muncul dua rusa betina. Sang
pangeran segera menyiapkan panah dan busurnya namun
entah mengapa—seperti dikejutkan oleh sesuatu—kedua
binatang itu memanjangkan leher masing-masing, ber-
paling ke kiri dan ke kanan lalu melarikan diri dari tepi
telaga.
"Sialan! Ada yang tidak beres di sekitar telaga itu. Kedua
rusa itu seperti terkejut!" kata Pangeran Ageng kesaL
"Mungkin ada binatang hutan lainnya yang mengusik
hingga dua rusa tadi kaget dan melarikan diri..." ujar
perajurit yang tegak sambil memegang bumbung bambu
berisi tuak. "Tunggu saja. Pasti dua rusa betina tadi muncul
lagi. Mungkin juga bersama kawan-kawannya…"
Baru saja perajurit ini berkata demikian, mendadak dari
balik sebatang pohorti besar muncul dua tanduk runcing.
Perajurit yang memegang bumbung bambu cepat memberi
isyarat pada Pangeran Ageng. Sang Pangeran pun rupanya
sudah melihat karena saat itu busur sudah direntang dan
anak panah siap dilepaskan.
Dua tanduk runcing bergerak. Kini tampak moncong se-
ekor rusa, menyusul leher lalu seluruh tubuhnya. Binatang
ini muncul seorang diri dan luar biasa besarnya. Pangeran
Ageng tarik tali busurnya lebih ke belakang. Mata kirinya
menyipit. Bidikannya adalah leher rusa jantan. Sesaat se-
belum dia melepaskan anak panah mendadak dari sudut
lain telah lebih dahulu melesat sebuah anak panah ber-
warna kuning. Panah ini menancap tepat di leher rusa
jantan di dekat pohon. Binatang itu berjingkrak lalu roboh
ke tanah.
Dalam terkejutnya Pangeran Ageng saja melepas anak
panahnya. Anak panah ini hanya sempat menghantam
salah satu tanduk rusa sebelum binatang ini roboh ke
tanah akibat hantaman anak panah pertama!
"Ada seorang lain melepas panah!" seru Pangeran Ageng
marah. "Kurang ajar! Lekas kalian cari dan tangkap orang
itu!"
Tiga pengawal Pangeran Ageng segera melompat dari
balik jejeran pohon, lari ke arah telaga. Seorang di antara-
nya berteriak, "Siapa yang berani memasuki hutan Juwiring
ketika Pangeran Ageng melakukan perburuan?!"
Tak ada yang menjawab. Namun dari balik batang keladi
hutan yang besar keluar seorang berpakaian kuning,
mengenakan caping lebar terbuat dari anyaman bambu
hingga kepala dan wajahnya tidak kelihatan. Orang ini lari
menghampiri rusa yang menggeletak mati. Namun se-
belum dia sempat menyentuh tubuh binatang itu, tiga
perajurit tadi sudah berada di sampingnya. Salah seorang
langsung mendorongnya hingga terduduk di tanah.
"Manusia edan! Apa kau minta mati berani mengganggu
Pangeran Kuncoro Ageng yang sedang berburu? Siapa yang
memberi izin memasuki rimba belantara Juwiring? Apa
tidak tahu kalau sebelum Pangeran Ageng berburu sudah
lebih dulu diumumkan tidak seorang pun boleh masuk ke
rimba ini! Dan kau bukan saja masuk tanpa izin dan meng-
ganggu Pangeran Ageng, malah berani memanah rusa
sasaran sang pangeran! Bersiaplah untuk menerima
hukuman!"
Saat itu Pangeran Ageng sudah berada di tempat itu.
Dengan sebal dia menarik lepas caping bambu yang me-
nutupi kepala serta wajahnya. Begitu caping diangkat,
kagetlah ke empat orang itu, terutama sang pangeran.
Yang terduduk di tanah itu ternyata adalah seorang dara
berwajah sangat cantik, berambut hitam yang disanggul di
belakang kepala. Matanya yang bening dan raut wajahnya
yang jelita jelas menun jukkan rasa takut.
"Sa... saya tidak tahu kalau ada larangan memasuki
rimba ini." kata dara itu gagap. Suaranya meskipun
bernada ketakutan tapi tetap saja merdu terdengar di
telinga tiga perajurit don Pangeran Ageng. "Saya tidak...
tidak tahu kalau Pangeran Ageng tengah berburu di rimba
ini." Sang gadis memandang sesaat pada Pangeran Ageng,
lalu letakkan busur dan sisa anak panahnya di tanah dan
bersujud seraya berkata, "Jelas saya telah berbuat ke
salahan. Saya bersedia menerima hukuman ....!" Waktu
bersujud di hadapan Pangeran Ageng, sanggul rambutnya
terlepas hingga kini tampaklah rambutnya yang hitam
panjang tergerai sampai ke punggung.
Pangeran Ageng don tiga pengawalnya sesaat saling
pandang.
"Berdirilah! Tak perlu bersujud! Bagus kalau kau sudah
mengaku bersalah dan siap menerima hukuman!" kata
Pangeran Ageng.
Perlahan-lahan tubuh yang bersujud itu berdiri, Ber-
hadap-hadapan sedekat itu Pangeran Ageng dapat melihat
jelas paras yang begitu cantik, kulit yang sangat halus serta
sepasang payudara yang turun naik karena ketakutan.
"Aku mengagumi kepandaianmu memanah. Siapa
namamu dan kau datang dari mana ,...?"
"Kepandaian saya bukan apa-apa dibanding dengan
kepandaian Pangeran…" sahut sang dara. "Tadi hanya
kebetulan saja saya dapat memanah leher rusa itu. Saya
bernama Pinindi, berasal dari desa Torongrejo…"
"Mengapa berani masuk ke dalam rimba Juwiring ini
seorang diri?" tanya Pangeran Ageng.
"Tadinya hanya main-main saja di pinggiran hutan
sebelah timur. Tahu-tahu keterusan ...."
"Tahukah kau apa hukuman seseorang yang berani
mengusik ketenteraman seorang Pangeran?"
"Sa… saya menerima salah. Saya siap menerima
hukuman. Hanya saja, sebelum saya dihukum apakah bisa
menemui ayah dulu. Kalau saya tidak kembali beliau pasti
akan khawatir…"
"Siapakah ayahmu?"
"Hanya seorang petani miskin, Pangeran…"
"Baik dan dengarlah Pinindi, hari ini kuampuni kesalah-
anmu...''
Paras gadis berpakaian kuning itu yang tadi pucat kini
tampak berdarah kembali.
"Kuampuni tetapi dengan satu syarat," berkata lagi
Pangeran Ageng.
"Saya harap saja syarat itu tidak berat Pangeran…" kata
Pinindi.
"Tidak, tidak berat. Malah kehidupan masa depanmu
akan penuh keberuntungan!"
"Apakah syarat yang Pangeran maksudkan itu?" tanya
Pinindi pula.
"Aku dateng ke rimba Juwiring ini hanya ditemani tiga
pengawal. Malam pertama tadi kulewati dengan tidur
seorang diri berselimut udara dingin dan kesepian. Apakah
malam nanti kau bersedia menemaniku di rumah kecil di
tengah rimba. Lalu malam-malam selanjutnya sampai aku
selesai berburu..."
Sang dara tampak berubah wajahnya dan tundukkan
kepala. Untuk beberapa lamanya dia tegak dengan mulut
terkancing. Akhirnya mulut itu terbuka juga memberi
jawaban.
"Jika itu keheridak Pangeran, dan jika hal itu dijadikan
sebagai penebus dosa serta kesalahan saya, perempuan
desa seperti saya mana berani menolak…"
Tiga perajurit di samping sang pangeran tampak saling
pandang dan sama tersenyum. Pangeran Ageng sendiri
tertawa lebar.
"Tetapi Pangeran," terdengar suara Pinindi kembali.
"Setelah Pangeran selesai berburu di rimba Juwiring ini,
apakah Pangeran akan melupakan saya, lalu meninggal-
kan saya begitu saja...?"
Pangeran Ageng berpaling pada ketiga pengawalnya. Se-
orang di antara mereka membisikkan sesuatu. Sang
Pangeran mengangguk-angguk lalu pada gadis itu dia ber-
kata, "Tidak aku tidak akan melupakanmu. Apalagi me-
ninggalkanmu. Gadis cantik sepertimu sangat pantas men
jadi pendampingku di Kotaraja…"
"Mohon maafmu Pangeran. Bukankah Pangeran sudah
mempunyai beberapa orang istri dan... dan selir..."
"Hemm... Memang betul. Tapi setelah aku melihat
kecantikan paras wajahmu serta keelokan raut tubuhmu,
mereka semua bukan apa-apa..."
"Kalau begitu saya menurut apa mau Pangeran saja…"
"Bagus... bagus!" kata Pangeran Ageng gembira sekali.
"Perburuan hari ini cukup sampai di sini. Kita, kembali ke
rumah peristirahatan itu.." Lalu Pangeran Ageng menolong
Pinindi naik ke atas kudanya. Berdua mereka menunggangi
kuda meninggalkan telaga di tengah rimba itu.
***
SEBELAS
TERJEBAK DI ATAS RANJANG
PANGERAN KUNCORO AGENG meneguk tuak di dalam
kendi tanah sampai sepertiga isinya lalu menyeka
bibir dengan balik telapak tangan. Dia tersenyum
pada Pinindi yang duduk di depannya.
"Enak sekali panggang daging rusa yang kau panah itu."
"Sebenarnya anak buah Pangeran yang pandai mem-
buat bumbu masakah..." jawab Pinindi.
Sambil tak puas-puasnya memandangi wajah cantik
jelita itu Pangeran Ageng berkata, "Tak pernah aku ber-
mimpi. Tak ada tanda-tanda kalau hari ini aku akan ber-
temu dengan seorang gadis secantik bidadari. Jika kita
sampai di Kotaraja nanti akan kuberikan pakaian bagus,
lengkap dengan perhiasan. Akan kusuruh para dayang
memandikanmu di kolam air bunga dan akan kuminta para
juru rias mendandanimu. Kau akan menjelma benar-benar
seperti bidadari. Tidak seorang pun dapat menyaingi
kecantikanmu. tidak permaisuri atau istri muda atau selir
dan peliharaan Sri Baginda!"
"Pangeran terlalu memuji saya," kata Pinindi tersipu-
sipu.
"Aku tidak mengada-ada," kata Pangeran Ageng:
'Terus terang saya pun tidak menyangka kalau Pangeran
ternyata masih begini muda dan sangat gagah. Tadinya
saya mengira yang namanya Pangeran Kuncoro Ageng itu
adalah seorang berusia lanjut dengan kumis dan janggut
yang sudah putih…"
Pangeran Ageng tertawa gelak-gelak. Dia meneguk lagi
tuak dalam kendi tanah lalu tegak di depan jendela rumah,
memandang ke luar. Malam telah tiba dan segala sesuatu-
nya di luar sana mulai diselimuti kegelapan. Berbagai
suara binatang hutan terdengar di kejauhan.
"Saatnya bagi kita untuk masuk ke dalam Pinindi," bisik
Pangeran Ageng. Kendi diletakkannya di atas meja. Dia
tegak di belakang kursi yang diduduki gadis itu lalu mem-
bungkuk menciumi tengkuk Pinindi. "Mari kudukung kau..."
bisik sang pangeran dengan nafas panas memburu. Lalu
tubuh yang montok dibalut kulit putih halus itu didukung-
nya, dibawa masuk ke dalam kamar dan dibaringkannya di
atas ranjang empuk.
"Berapa lamakah kita akan bermalam di sini,
Pangeran?" tanya Pinindi.
"Jika kau suka lebih lama, aku akan mengikuti. Tapi jika
kau ingin lekas-lekas kubawa ke Kotaraja, besok pun kita
bisa berangkat. Mengapa kau bertanya begitu...?"
"Says ingin mengenakan pakaian-pakaian bogus dan
perhiasan yang Pangeran janjikan itu," jawab Pinindi.
Pangeran Ageng tertawa. "Hal itu kau tak usah kawatir.
Apa yang kujanjikan akan kupenuhi. Kau ingin aku
mematikan lampu minyak di kamar ini atau lebih suka ber-
terang-terang?"
"Kalau boleh saya ingin berterang-terang saja Pangeran."
Sang Pangeran tersenyum. Hidungnya kembang kempis.
Memang itu yang diingin-inginkannya. Di bawah penerang-
an dua buah lampu yang ada dalam kamar itu dia akan
dapat melihat dan menikmati keindahan tubuh dan segala
sesuatu yang dimiliki Pinindi. Baru saja dia berbaring di
sebelah si gadis terdengar Pinindi berkata. "Aneh, di dalam
rimba yang dingin ini saya merasa kegerahan. Bolehkah
saya membuka pakaian Pangeran...?"
Pucuk dicinta ulam tiba! Pikir Pangeran Puger.
"Tentu saja Pinindi. Biar kubantu membuka pakaianmu."
"Tidak usah. Pangeran berbaring saja. Biar saya sendiri
yang melakukannya. Tapi saya tak ingin Pangeran memper-
hatikan. Membaliklah ke arah dinding. Saya tak akan lama.
Saya akan segera berada dalam pelukan Pangeran…"
Bergetar tubuh Pangeran Ageng mendenger kata-kata
yang serba merangsang itu. Maka tanpa banyak cerita lagi
dia pun balikkan badan rnenghadap ke dinding kamar.
"Apakah Pangeran sendiri tidak membuka pakaian..."
terdengar oleh sang pangeran suara Pinindi bertanya justru
di saat dia membayangkan bahwa gadis itu telah mulai
membuka pakalan luarnya.
"Tentu... tentu Pinindi. Tapi aku ingin kau nanti yang
melakukannya. Kau nanti yang membukakan pakaianku.
Kau mau... Kau mau bukan, Pinindi?"
"Apa pun yang Pangeran pinta akan saya lakukan.
Bukankah saya ini milik Pangeran?"
"Ah, aku benar-benar berbahagia menemukan seorang
gadis secantik dan sebaikmu. Kau perempuan paling
penuh pengertian akan hasrat mendalam dari seorang laki-
laki…"
"Betulkah begitu Pangeran…?"
"Ya... ya…" Dan sang pangeran mendengar suara tubuh
Pinindi membalik. "Ah, kini dia tentu sudah tak berpakaian
lagi," membayangkan Pangeran Ageng. Lalu cepat-cepat
dia membalikkan tubuh, siap untuk memeluk tubuh polos
mulus Pinindi datam kedua tangannya.
Tapi di saat itu—sebelum dia sempat membalik—sang
pangeran merasa ada sesuatu menyelusup melewati
kepalanya, lalu terhenti di leher. Menyusut ada satu
kekuatan laksana setan menjerat lehernya!
"Ranjang setan adalah yang paling bagus untuk manusia
budak nafsu semacammu Pangeran Kuncoro Ageng!" ter-
dengar suara Pinindi.
Tali kuning yang dipakainya menjerat leher sang
pangeran dibetot dan ditariknya kuat-kuat.
"Mampus... mampus kau Pangeran! Mampus!"
Tali itu ditariknya lagi kuat-kuat.
Tapi tak ada terdengar suara kraak! Tak ada terdengar
suara patahnya tulang leher sang pangeran. Tak ada suara
tercekik hek! Juga tidak ada geleparan tangan atau
lejangan kaki! Apa yang terjadi?
Tiba-tiba bukk!
Siku kiri Pangeran Ageng menghantam pinggul Pinindi
dengan keras hingga gadis ini terpental dan menjerit
saking kaget tak mengira dan juga karena sakit yang amat
sangat. Tubuhnya terkapar di lantai.
Di saat yang sama Pangeran Ageng melompat turun dari
atas ranjang. Tali kuning besar masih menjirat lehernya.
Lengan kanannya yang tadi disusupkan di bawah dagu dan
melintang sepanjang leher masih menempel di leher itu.
Gerakannya melindungi leher dengan lengan kanan inilah
tadi yang menyelamatkannya dari jerat maut tali kuning
Pinindi! Di atas lantai gadis itu dilihatnya masih mengena-
kan pakaian kuning lengkap. Tak satu bagian pun yang ter-
buka atau tersingkap.
"Siapa kau sebenarnya?!" bertanya Pinindi lalu me-
lompat dan tegak sejauh delapan langkah dari Pangeran
Ageng.
Sang pangeran lepaskan tali kuning yang mengikat leher
dan lengan kanannya lalu sambil putar-putar tali itu di
tangan kanan dia balas bertanya, "Kau sendiri siapa?
Namamu bukan Pinindi. Juga bukan Surti atau Randini
atau segala macam nama yang ternyata palsu semua...?!"
Berubahlah paras Pinindi. Tapi dia cepat berusaha
menguasai diri sambil berkata, "Saya tidak mengerti
maksud kata-katamu!"
"Apa kau juga tidak mengerti dengan maksud benda-
benda ini?" ujar Pangeran Ageng seraya mengeluarkan
empat utas tali kuning yang membuat mata Pinindi jadi ter-
beliak. "Itu tali maut yang bisa kukumpulkan. Masih banyak
lainnya yang tidak kudapatkan! Apakah kau hendak ber-
kata bahwa tali-tali itu bukan milikmu? Bahwa selama ini
bukan kau yang malang melintang melakukan pem-
bunuhan-pembunuhan di atas ranjang? Ranjang yang
seperti kau sebut tadi ranjang setan?!" Hari ini aku
Pangeran Ageng membongkar rahasia perbuatan biadab-
mu!"
"Kau bukan Pangeran Ageng!" teriak Pinindi.
"Ha... ha... Kau memang benar. Aku bukan Pangeran
Kuncoro Ageng...!" sahut orang di hadapan Pinindi. Lalu di-
bukanya pakaian bagus dan mewah yang dikenakannya. Di
balik pakaian itu ternyata dia mengenakan sehelai baju
dan celana putih. Dari balik pakaian putihnya dia
mengeluarkan sebatang rokok. Dalam hati orang ini
memaki. "Anak setan! Mulutku sampai asam satu harian
tidak merokok!" Lalu rokok itu dinyalakannya. Bau menyan
serta merta menebar di dalam kamar.
"Pendekar Dari Liang Kubur!" teriak Pinindi dengan
wajah pucat pasi.
Mahesa tersenyum dan hembuskan asap rokoknya ke
atas.
"Bagus, kau sudah tahu siapa aku. Sekarang katakan
siapa dirimu. Mengapa kau melakukan pembunuhan-
pembunuhan itu? Dan mengapa korban-korbanmu kau
habisi di atas ranjang! Lekas katakan!"
"Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Tapi kau
tidak bisa memerintahku."
"Kenapa begitu?!" tanya Mahesa.
"Karena jangan kira aku takut padamu!"
"Bagus! Berani berbuat berani bertanggung jawab…"
gertak Mahesa.
Tiba-tiba di depannya dilihatnya Pinindi mengeluarkan
seutas tali kuning sepanjang satu tombak. Tali ini diputar-
putarnya di atas kepala hingga mengeluarkan suara seperti
petir. Ujung tali itu tiba-tiba melesat menghantam ke arah
kepala Mahesa. Pemuda ini cepat merunduk. Tetapi tak
terduga ujung tali menyambar ke arah kaki kirinya.
Sebelum dia sempat berbuat sesuatu ujung tali telah
menjirat pergelangan kaki kirinya. Sekali Pinindi
menyentakkan tali itu tak ampun Mahesa jatuh
terjengkang. Belum Iagi dia sempat bangkit kaki kanan si
gadis sudah menderu ke arah kepalanya!
"Anak setan keparat!" maki Mahesa. Ternyata gadis
cantik bertubuh molek dengan sikap lemah lembut penuh
daya tarik ini memiliki kepandaian luar biasa. Untung saja
tadi waktu membentengi lehernya dengan lengan dia telah
mengerahkan tenaga dalam. Kalau hanya mengandalkan
tenaga luar tidak mustahil tulang lengannya akan patah
dan lehernya langsung terjirat! Nasibnya akan sama
dengan Adipati Suryo Maget atau Raden Bondo atau
semua laki-laki lain yang telah jadi korban keganasan
perempuan aneh itu!
Semula Mahesa hendak lepaskan pukulan untuk me-
mukul hancur paha Pinindi. Namun tendangan datang
begitu cepat hingga terpaksa pemuda ini keluarkan jurus si
buta terjatuh menggapai karang. Tubuhnya dibantingkan
ke belakang. Kedua tangannya menggapai ke atas dan ter-
dengar pekik Pinindi ketika dapatkan betis kanannya ter-
tangkap dua tangan lawan!
Gadis ini tak kurang akal. Dia putar tangannya yang
memegang tali kuning, yang ujungnya saat itu masih me-
lingkar di kaki kiri Mahesa. Tali ini diputarnya demikian
rupa, maksudnya untuk menjerat kedua tangan lawan. Tapi
Mahesa berlaku lebih cerdik. Sambil lepaskan cekalannya
di betis Pinindi pemuda ini lebih cepat menarik lepas ujung
tali pada kaki kirinya lalu melompat melewati kepala
Pinindi don dari atas dia putar tali kuning itu sebat sekali.
Di lain kejap Pinindi tegak mernatung tak bisa bergerak.
Sekujur tubuhnya, mulai dari paha sampai ke bahu telah
dililit tali besar miliknya sendiri!
"Aku sudah siap mati! Bunuhlah!" teriak Pinindi. Dia
tidak berusaha meronta. Sepasang matanya yang bagus
memandang galak pada Mahesa.
Si pemuda justru sunggingkan senyum dan hisap
rokoknya dalam-dalam. Die ambil potongan tali yang tadi
dipakai Pinindi untuk menjerat lehernya dan putar-putar di
depan hidung si gadis.
"Tadi tali ini kau pakai untuk membunuhku, dengan tali
ini pula sebentar lagi aku akan menjerat betang lehermu.
Mudah saja memenuhi permintaanmu bukan...?"
"Jangan banyak bicara! Kalau mau bunuh lakukan
cepat!"
"Tenang Pinindi. Pangeranmu ini hendak bertanya lebih
dulu. Jika jawabanmu cukup masuk akal, mungkin hukum-
anmu bisa kuperingan!"
"Pangeran keparat! Apa yang hendak kau tanya?!"
bentak Pinindi alias Randini alias Surti dan banyak alias
lainnya.
"Mengapa kau membunuhi orang-orang itu. Aku tahu
mereka memang lelaki-leleki budak nafsu. Tetapi mereka
tidak punya kesalahan apa-apa terhadapmu... Usiamu
masih begini muda. Mengapa menjadi setan di atas
ranjang?!"
"Kau sendiri mengapa menyaru menjadi Pangeran
Ageng? Bukankah tujuanmu juga untuk memuaskan nafsu
terkutukmu?!"
"Jangan salah sangka! Aku berbuat begitu justru untuk
menjebakmu lalu menangkapmu basah!" sahut Mahesa
pula.
"Semua lelaki memang pandai memutar lidah..."
"Apakah kau tidak mau mengatakan mengapa kau
membunuhi orang-orang itu...?" kembali Mahesa bertanya.
"Itu bukan urusanmu! Kalau kau mau bunuh aku, bunuh
saja! Jangan banyak cerita, jangan banyak tanya!"
Tiba-tiba pintu kamar dibuka orang dari luar dengan
paksa. Sesosok tubuh masuk ke dalam sambil mengeluar-
kan seruan.
"Memang benar itu bukan urusannya. Tapi urusanmu
dengan aku, anakku!"
***
DUA BELAS
AKHIR DARI KEBEJATAN
MAHESA DAN PININDI sama palingkan kepala. Di
dalam kamar itu kini tegak seorang lelaki berusia
sekitar setengah abad, berpakaian sangat lusuh.
Rambut, janggut serta kumisnya sudah memutih. Dia me-
mandang pada Pinindi dengan mata berkaca-kaca.
"Sumini anakku…" kata orang tua itu. "Lebih dari empat
tahun mencarimu. Jika aku ingat perbuatan terkutukku
dulu, ah sungguh aku menyesal. Ingin aku bunuh diri me-
nebus dosa dan aib besar itu. Tapi kemudian kusadari
hanya satu orang yang patut mencabut nyawaku. Yaitu kau
sendiri anakku. Kau... yang telah kurusak karena terhasut
oleh nafsu bejat. Karena... karena kau sama benar dengan
mendiang ibumu. Oh Gusti Allah... Hukumlah aku seberat-
beratnya . . . ."
"Ayah!" seru Pinindi yang ternyata nama sebenarnya
adalah Sumini. Suaranya tercekik dan bergetar tanda dia
berusaha menahan luapan perasaannya. "Tak patut aku
memanggilmu sebagai ayah. Pergi dari sini. Aku tak ingin
melihatmu lebih lama... !"
"Kau memang tak akan melihatku lebih lama Sumini..."
Lelaki berambut putih yang mengaku ayah Sumini keluar-
kan sebuah clurit besar lalu dia melangkah mendekati
gadis yang terikat gelungan tali kuning itu. Mahesa cepat
menangkap bahu orang ini.
"Apa yang hendak kau lakukan? Apa dia anakmu....?"
"Dia memang anakku. Jangan kau halangi maksudku.
Lepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Akan kuberikan
clurit ini padanya. Biar dengan senjata ini ditebasnya
leherku…"
"Braaak!
Tiba-tiba jendela kamar hancur berantakan. Seorang
berpakaian hitam molompat masuk. Gerakannya gesit dan
pandangan matanya liar. tetapi ketika matanya membentur
Sumini, pandangannya menjadi redup. Dia berpaling pada
lelaki berambut putih dan berkata "Akik Demang, jika ada
yang akan dibunuh oleh puterimu ini saat ini, akulah orang-
nya!"
Akik Demang, ayah Sumini tampak melengak kaget.
"Guru silat Bindi Rejo apa maksudmu?" tanyanya menyen-
tak.
"Akik Demang, maafkan aku. Budi perangai kita ternyata
sama. Kebejatan kita ternyata tidak berbeda. Apa yang kau
lakukan terhadap anak kandungmu, telah kulakukan pula
terhadapnya ketika dia kuambil jadi murid setelah melari-
kan diri dari rumah akibat perbuatanmu…"
Akik Demang tampak menggeletar sekujur tubuhnya.
"Jadi… jadi…! Manusia keparat! Kucincang badanmu!"
teriak Akik Demang. Sekali lompat saja dia sudah berada di
hadapan Bindi Rejo. Clurit besar di tangannya membabat.
Guru silat itu terdengar mengeluh pendek. Tubuhnya ter-
huyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya menekap
perutnya yang robek besar dimakan clurit. Darah menyem-
bur. Ketika tubuh itu terjatuh dan kedua tangannya tak lagi
dapat menekap perut, maka dari perut yang robek keluar
membusai usus besarnya.
"Seharusnya... seharusnya dia yang membunuhku.
Bukan... bukan…" Kata-kata Bindi Rejo hanya sampai di
situ karena nyawanya keburu meninggalkan tubuh.
Sumini tegak dengan wajah mendongak. Kedua mata-
nya terpejam. Tampak air mata membasahi pipinya. Dada-
nya turun naik menahan gelora. Tiba-tiba dari mulutnya
keluar satu teriakan dahsyat. Bersamaan dengan itu dia
jatuhkan tubuhnya ke lantai lalu bergulingan. Gulingan ini
membuat tali yang menggulung tubuhnya terlepas. Selagi
Akik Demang tertegun memegangi clurit berdarah, senjata
ini tiba-tiba dirampas oleh Sumini lalu dibabatkannya ke
lehernya sendiri!
"Sumini!" pek'rk Akik Demang. .
Tapi terlambat. Tak satu orang pun yang sempat me-
nahan dan menghalangi perbuatan Sumini. Lehernya
hampir putus. Sesaat dia tersandar ke dinding kamar lalu
melosoh ke lantai. Dari leher yang hampir putus itu
terdengar suara menggeros beberapa kali lalu diam.
Seperti gila Akik Demang menubruk mayat anaknya.
Merampas clurit yang masih tergenggam di tangan Sumini
lalu menikamkannya dalam-dalam ke perutnya.
Mahesa bantingkan rokoknya ke lantai. Semua terjadi
serba tak terduga dan sangat cepat hingga tak satu pun
yang bisa dilakukannya. Selain itu apa yang saling diucap-
kan oleh orang-orang itu membuat psemuda ini tertegun
terkesiap. Sudah begini bejatkah dunia? Sang ayah me-
rusak kehormatan anak kandungnya sendiri? Lalu sese-
orang mengambil gadis yang malang itu menjadi muridnya.
Untuk kemudian digagahi pula?!
"Pangeran… Apa yang harus kita lakukan sekarang...?"
Satu suara bertanya.
Mahesa berpaling ke pintu. Di situ tegak tiga orang
perajurit yang selama ini bertindak menjadi pengawalnya.
"Kentut busuk! Aku sudah bukan Pangeran lagi. Kalian
bukan perajurit lagi. Sandiwara kita tamat sampai di sini.
Besok pagi urus ketiga jenazah ini. Setelah itu kalian boleh
pergi. Ini bayaran kalian... bagilah bertiga!" Dan baiik
Pakaiannya Mahesa mengeluarkan sebuah kantong kecil
berisi potongan-potongan perak dan melemparkannya
pada orang di hadapannya. Lalu dia melangkah ke pintu.
"Pangeran... eh sahabat muda, kau mau ke mana?"
tanya orang yang menangkap kantong berisi perak.
"Aku mau pergi tidur di luar. Siapa sudi tidur dengan
mayat!" sahut Mahesa pula.
"Kalau begitu kami ikut bersamamu. Bangunan ini bisa
menjadi rumah setan! Pangeran Kuncoro Ageng yang
sebenarnya pasti akan mati ketakutan diganggu tiga setan
penasaran . . . .!"
Tiba-tlba ban menyan menebar di udara. Lelaki yang tadi
bicara kembali membuka mulut. "Ah! Anak muda itu!
Mengapa dia merokok menyan pula! Membuat suasana
jadi semakin mengerikan!" Lalu dia mengajak kedua
temannya meninggalkan kamar itu sebelum tengkuk
mereka terasa tambah dingin dan merinding.
T A M A T