1
Nyala api terus berkobar, menjilat habis benda
apa saja yang terdapat di sekitarnya. Tiga bangunan
rumah yang terdiri dari satu rumah induk dan dua
rumah kerabat yang letaknya berdekatan juga ikut
musnah dilahap api. Di bagian belakang dari tiga ru-
mah ini, beberapa kandang ternak juga ikut dilahap
api. Beberapa ekor kuda pilihan, sapi, kerbau juga
kambing berkaparan mati. Kematian binatang-
binatang ini bukan karena dijilat api, tapi ada sesuatu
yang lebih mengerikan terjadi pada mahluk-mahluk
ini. Benar tubuh binatang itu dalam keadaan utuh, ti-
dak ada cacat tidak ada pula luka. Tapi satu luka
menganga terdapat di bagian kepala. Pada bagian ke-
pala ternak tersebut terdapat sebuah lubang mengan-
ga. Darah mengucur dari bagian luka, termasuk juga
hidung, serta telinga. Yang mengerikan di balik tulang
kepala yang bolong tidak lagi terdapat otak sebagaima-
na yang seharusnya. Otak binatang itu, hilang lenyap
amblas entah kemana. Bagian otak seperti habis dis-
edot oleh satu mahluk ganas.
Pemandangan yang tak kalah mengerikan juga
terjadi di bagian depan rumah yang terbakar. Mayat-
mayat yang terdiri dari laki-laki, perempuan juga anak-
anak belasan tahun bergelimpangan. Keadaan mereka
juga tak jauh berbeda dengan ternak yang bergeleta-
kan di belakang rumah. Hidung, mulut serta telinga
mengucurkan darah. Bagian ubun-ubun berlubang be-
sar. Isi kepala yang terdiri dari otak dan darah juga le-
nyap tak bersisa barang sedikitpun.
Kalaupun semua ini merupakan perbuatan
manusia, pastilah orang itu memiliki kekejian yang
sangat luar biasa.
Nampaknya tak seorangpun dari mereka yang
berada di situ dapat menyelamatkan diri. Semua tewas
terbantai secara mengenaskan. Beberapa saat lamanya
suasana dicekam kesunyian. Tapi kesunyian itu ter-
nyata tak berlangsung lama, karena dari arah timur
rumah yang terbakar mendadak terdengar suara jeri-
tan melengking laksana merobek langit. Suara jeritan
disertai dengan berkelebatnya satu sosok bayangan
tubuh berpakaian kuning dengan renda-renda putih
pada setiap ujung pakaian.
Hanya dalam sekedipan mata diantara mayat-
mayat yang bergelimpangan itu berdiri tegak seorang
perempuan tua dalam rupa buruk menyeramkan se-
perti setan. Demikian buruknya hingga wajah setan
sekalipun masih kalah seram. Melihat apa yang terjadi
dan setelah meneliti salah satu dari mayat itu jerit si
nenek semakin menjadi-jadi. Dia meraung seperti
orang kesurupan.
"Setan... setan mana yang telah melakukan ke-
biadaban seperti ini. Anakku, mantuku, cucuku.... hu-
awaalah. Aku tak percaya, aku tak dapat menerima
semua kenyataan ini. Oh, tidaaak. Huk huk huk!"
Sambil menjerit seperti orang kehilangan kewarasan-
nya, kini si nenek mulai meneliti mayat-mayat itu.
Mayat sang anak yang terdiri dari pendekar-pendekar
penegak kebenaran berkaparan dalam keadaan kaku.
Yang membuatnya tak kuat melihat mayat keluar-
ganya karena kepala mereka semua bolong. Isi kepala
lenyap entah kemana.
Bergetar tubuh si nenek bermuka seangker se-
tan ini, kemarahan dan dendam kesumat memenuhi
hati fikirannya.
"Belum pernah aku melihat kekejian yang gi
lanya sehebat ini. Aku tidak percaya binatang yang te-
lah melakukannya. Tidak ada binatang buas yang
hanya khusus memakan otak mangsanya. Tidak ada
pula binatang yang dapat melakukan pembakaran.
Semua ini pasti hasil perbuatan manusia. Manusia
yang memiliki kegilaan selangit tembus dan dosa se-
luas lautan! Tidak.... tidaak...!" jerit si nenek muka se-
ram dengan tubuh terhuyung tak kuat menahan beban
hati derita batin serta guncangan melihat nasib men-
genaskan yang menimpa kaum kerabatnya sendiri.
Seperti orang kemasukan setan sepasang mata
si nenek liar menyapu pandang ke seluruh tempat itu.
Dia tidak perduli lagi dengan kuda kesayangan mau-
pun binatang ternak lainnya yang berkaparan mati di
sembarang tempat. Lelah dia memperhatikan, namun
tak seorangpun yang terlihat di tempat itu terkecuali
dirinya sendiri. Si nenek yang memiliki wajah seseram
setan neraka akhirnya menangis sesenggukan, jatuh
terduduk di antara mayat sanak keluarganya tanpa
perduli dengan teriknya matahari yang terasa panas
membakar batok kepala.
"Habis sudah keluargaku. Punah sudah anak
turun Pendekar Garuda Sakti. Apa yang harus kula-
kukan kini. Pertemuan para tokoh golongan putih
hanya tinggal satu purnama lagi. Seharusnya aku yang
memimpin pertemuan dan jalannya perundingan itu.
Tapi dengan terbunuhnya kaum kerabat ku, terlebih-
lebih putra ku Pendekar Tapak Matahari, rasanya se-
gala keinginanku untuk memimpin jalannya perundin-
gan terpaksa kubatalkan. Mungkin aku akan berka-
bung selama lebih satu purnama, mungkin pula aku
akan mengasingkan diri di Lembah Pusar Langit." fikir
si nenek. Sementara itu. air mata si orang tua tetap
bergulir dipipinya. Sejenak lamanya nenek angker ini
terdiam, berfikir lalu gelengkan kepala. "Mana mung-
kin aku bisa hidup tenang di pengasingan jika pembu-
nuh kerabat ku tidak kutemukan. Rasanya arwah me-
reka tak akan tenang di alam sana jika aku tidak me-
nuntut balas. Tapi siapa yang telah berlaku keji begini
rupa?" fikir si nenek. "Selama ini aku telah kenyang
malang melintang di dunia persilatan. Belum pernah
rasanya kudengar ada tokoh manapun yang mempu-
nyai prilaku aneh membunuh lawan kemudian mema-
kan otaknya. Rasanya tidak akan pernah ada tokoh-
tokoh dunia persilatan yang berlaku gila seperti itu.
Setan sekalipun tak mungkin tega melakukannya."
Sekali lagi nenek muka setan merenung. Dia
mencoba memacu otaknya untuk mengingat beberapa
tokoh rimba persilatan yang memiliki kebiasaan aneh.
Jumlahnya memang tak dapat dihitung dengan jari.
Tapi yang paling menonjol dengan kebiasaan anehnya
antara lain seorang tokoh pengemis bernama Ki Lunto.
Tokoh yang satu ini memiliki kebiasaan memakan sisa
makanan orang, berpakaian selalu rapi, walaupun di-
penuhi tambal-tambalan. Bila ingin makan, asal bekas
sisa orang walaupun harus dengan membayarnya dia
pasti melakukannya. Kemudian ada satu tokoh dari
golongan hitam. Tokoh sesat yang ini lain lagi kebia-
saannya. Dia selalu memakan binatang mengandung
bisa mentah-mentah. Bila tidak memakannya walau
barang satu hari maka tubuhnya akan mengalami ke-
rusakan, hancur dan meleleh. Beberapa tokoh lain
yang memiliki sifat dan tingkah laku aneh yang tak ka-
lah hebatnya si nenek lupa mengingat siapa-siapa me-
reka. Hanya orang yang memiliki kebiasaan membu-
nuh lawan, kemudian melubangi kepala dan menguras
isi otaknya baru kali ini terjadi.
"Mana mungkin aku berpangku tangan jika ke
nyataan mengenaskan ini yang harus kuterima?" kata
si nenek muka angker. Rupanya fikiran si nenek terla-
lu kalut hingga dia tak menyadari kalau sejak tadi ada
sepasang mata yang terus memperhatikan dirinya.
Orang yang berlindung di balik dinding ini ternyata ju-
ga ikut terkejut melihat apa yang terjadi di tempat itu.
"Gusti Allah, petaka apa yang kau timpakan
kepadanya. Mengapa kau biarkan kekejaman ini terja-
di? Kakak.... kasihan sekali nasib kakak Ayu Jelita. Se-
luruh kerabatnya termasuk juga Pendekar Tapak Ma-
tahari nampaknya tewas terbantai. Dia pasti merasa
sangat terpukul, batinnya terguncang. Ingin rasanya
aku menghiburnya. Tapi Puteri Pemalu seperti diriku
apa diterima bila ikut mengucapkan turut berduka ci-
ta? Hik hik hik!" kata perempuan cantik berdandan
menor itu sambil tertawa, lalu tutupkan ujung jubah
panjangnya yang berwarna biru ke bagian wajah.
Sesungguhnya tawa perempuan berdandan
menor namun itu hanya pelan saja, namun karena su-
asana di tempat itu memang sangat sunyi, jangankan
suara tawa, suara daun yang bergesekan pun terden-
gar cukup jelas. Si nenek berwajah setan cepat paling-
kan kepala, memandang ke arah datangnya suara ta-
wa, meski sekilas matanya sempat melihat ada satu
kepala tersembul lalu lenyap dari balik dinding. Dia
pun membentak. "Manusia tolol apa yang kau lakukan
di situ? Apa kau sedang buang hajat atau sengaja
mengintai diriku. Cepat keluar dan tinggalkan tempat
ini!" teriak si nenek muka setan yang memiliki nama
bagus Ayu Jelita itu sengit.
Satu sosok berpakaian berupa jubah biru ber-
kelebat tinggalkan tempat persembunyiannya. Tak ber-
selang lama di depan nenek wajah setan berdiri tegak
gadis berdandan menor bertubuh ramping berjubah
biru. Jubah itu panjang menjela menyentuh tanah,
hingga sepasang kaki si gadis tidak terlihat sama seka-
li.
"Kau perempuan gila dan bodoh, buat apa kau
datang ke tempat ini?" hardik si nenek ketus. Gadis
cantik berdandan menor pandangi orang tua didepan-
nya. Belum lama memandang dia menutup wajahnya
dengan ujung jubah yang menjuntai di bagian leher.
Malu-malu sambil tertawa dia mengintai dari balik
ujung jubah yang dipergunakan untuk menutupi wa-
jah.
Wajah cantik itu berubah sedih, sepasang mata
yang selalu mengundang rasa iba nampak basah oleh
air mata. Tapi aneh walaupun si gadis nampak sedih,
tapi mulutnya yang merah tetap mengumbar tawa.
"Kakak, aku datang tidak diundang, aku tahu
kau akan mengusirku. Karena kau malu punya adik
seperguruan sepertiku. Tapi terus terang aku turut
merasa ikut berduka atas musibah yang menimpa
kaum kerabat mu. Aku sedih kakak, hatiku terharu.
Hik hik hik." kata si gadis sambil mengumbar tawanya.
Orang yang tak mengetahui siapa adanya gadis yang
memiliki julukan Puteri Pemalu ini, tentu akan me-
nyangka bahwa ucapan turut berduka yang dikatakan
oleh Puteri Pemalu ini hanya sebagai ejekan saja, ka-
rena gadis itu malah tertawa di saat nenek muka setan
dalam suasana berduka.
"Gadis sinting, dasar otakmu miring. Aku ini
bukan kakakmu, tapi gurumu. Tapi selalu saja kau
memanggilku kakak. Dasar perempuan edan, minggat
kau dari hadapanku!" hardik nenek Ayu Jelita yang
memiliki gelar angker Si Muka Setan.
Gadis bermata kuyu memelas di depan si nenek
bukannya tersinggung tapi malah tutupi wajahnya
dengan malu-malu. Dari balik jubah tawanya kembali
terdengar.
"Siapa bilang kau guruku. Kau bukan guru tapi
kakakku. Hik hik hik. Siapa kata aku gadis bodoh, aku
tidak bodoh hanya sedikit tolol. Aku tidak sinting, tapi
hanya gila saja. Hik hik. Kakak, aku ikut sedih melihat
kejadian ini aku jadi ingin menangis saking sedihnya."
berkata begitu si gadis benar-benar kucurkan air mata.
Tapi yang anehnya dia tetap tertawa sambil sesekali
mengintai mencuri pandang ke arah Si Muka Setan
dari balik ujung jubah birunya yang dipergunakan un-
tuk menutupi wajah.
Melihat sikap Puteri Pemalu yang menjengkel-
kan dan sadar bahwa gadis itu selain daya kemam-
puan berfikirnya dangkal juga mengalami gangguan ji-
wa yang terkadang sering pula kambuh. Maka Si Wa-
jah Setan yang memang masih terhitung guru si gadis
dapat memakluminya. Tapi dia sendiri tidak suka da-
lam keadaan seperti sekarang ini. Gadis yang kehilan-
gan kewarasannya itu ada di depannya.
"Ayu Seruni," berkata Si Muka Setan sambil be-
rusaha meredam kejengkelannya. Si nenek sengaja
menyebut nama gadis itu agar Puteri Pemalu tahu ka-
lau dirinya saat itu sedang bersungguh-sungguh. "Ku-
peringatkan padamu agar cepat tinggalkan tempat ini.
Aku tak mau masa berkabung ku terganggu oleh ke-
hadiranmu!"
"Kakak, kau tidak boleh begitu. Jika kau tang-
gung sendiri semua kedukaan ini kau bisa jadi gila.
Aku datang dengan membawa maksud yang baik. Ingin
turut merasakan kesedihan mu. Tapi kesedihan dan
amarah tidak pernah menyelesaikan persoalan. Menu-
rutku alangkah baiknya kalau kakak melakukan pe-
nyelidikan. Aku yakin pembunuh gila itu bisa kakak
tangkap. Kalau sudah tertangkap, jangan nanti kau
urus sendiri serahkan dia padaku. Aku bisa memilih
hukuman apa kira-kira nanti yang harus kujatuhkan
padanya. Hik hik hik." Puteri Pemalu kembali tertawa
cekikikan, sementara wajahnya disembunyikan di ba-
lik kain jubah.
"Murid Edan, apapun saran mu aku tidak per-
duli. Kau anak malang yang tolol dan kehilangan ke-
warasan. Bagaimana mungkin aku bisa mengikuti se-
gala nasihat orang gila. Pergii....!" hardik Si Muka Se-
tan. Puteri Pemalu kembali keluarkan tawa panjang.
"Kakak mengapa aku harus pergi, mana mung-
kin aku bisa meninggalkan dirimu dalam keadaan ka-
lut begini. Bagaimana jika nanti kau bunuh diri. Aku
bisa kehilangan saudara kakak! Bukankah duka mu
duka ku juga, susah senang mu bagian dari hidupku
juga. Terkecuali utang-utang mu itu urusanmu sendiri!
Hik hik hik!" kata Puteri Pemalu.
Si Muka Setan kini hilang sudah kesabarannya.
Dia menggerung keras lalu tanpa bicara lagi langsung
lepaskan pukulan ke arah Puteri Pemalu. Si gadis ber-
dandan menor yang selalu memandang lawan bica-
ranya dengan malu-malu sambil menutupi wajah itu
terkejut. Dalam kaget, saking gilanya dia malah terta-
wa.
Cepat sekali dia membuat gerakan berputar se-
demikian rupa, lalu melompat ke samping jungkir ba-
lik selamatkan diri.
Satu ledakan menggelegar tak jauh dari tempat
Puteri Pemalu jatuhkan diri.
Debu dan asap tebal mengepul di udara menu-
tupi pandangan. Tak berselang lama setelah debu dan
pasir lenyap, maka gadis berdandan menor yang tolol
dan mengalami gangguan ingatan ini sudah tak melihat lagi Si Muka Setan ada di situ.
Puteri Pemalu menggerung merasa kehilangan.
"Kakak... tega benar kau meninggalkan diriku. Hik hik
hik!" kata si gadis sambil kucurkan air mata namun
dari mulutnya terdengar suara tawa.
Dengan perasaan sedih tapi mulut bersungut-
sungut Puteri Pemalu tinggalkan tempat itu.
2
Kuil yang berada di dalam tanah di bagian teb-
ing Karang Haur memang sudah hampir ratusan tahun
ditinggalkan bahkan sudah dilupakan orang. Akan te-
tapi biarpun begitu, tempat ini selalu diwarnai dengan
suara cericit burung karena di dalam kuil dihuni oleh
berbagai jenis burung terutama burung walet yang ko-
non air liurnya mengandung khasiat hebat.
Pagi itu matahari masih belum menampakkan
diri di ufuk timur. Kabut tipis menyelimuti tebing Ka-
rang Haur juga lembah yang terdapat di bawahnya.
Dalam suasana yang seperti itu dari bagian dalam kuil
yang gelap dan hanya diterangi oleh sebuah pelita, ti-
ba-tiba terdengar satu suara berkata. "Siapa yang telah
melukai muridmu ini adik Begawan Panji Kwalat?"
tanya satu suara. Kemudian ada suara lain yang me-
nyahuti.
"Yang melukai dadanya adalah seorang gadis,
berbadan putih seperti kristal. Namanya Dwi Kemala
Hijau, di tempat asal usulnya dia dikenal dengan nama
Bidadari Biru."
Di dalam kuil kakek berambut putih, bermata
melesak ke dalam rongga berhidung remuk gelengkan
kepala. Dia memandang ke arah sosok pemuda gon-
drong yang bagian dadanya dibalut dengan selembar
kain berwarna putih kusam. Bagian dada itu memang
terluka parah, bahkan dua tulang iganya patah terba-
bat senjata lawan.
"Seberapa hebat kesaktian yang dimiliki oleh
gadis itu?" tanya kakek berambut putih riap-riapan
sambil memandangi lawan bicaranya.
"Kurasa kesaktiannya jauh di bawah muridku,
tapi dia mempunyai senjata Bintang Penebar Petaka."
ujar kakek berkaki lumpuh berpakaian hitam yang se-
kujur tubuhnya diliputi bubuk kapur. Kemudian ka-
kek bertampang tak kalah menyeramkan dengan ka-
kek yang duduk di depannya itu menceritakan segala
sesuatunya secara gamblang dan singkat. Untuk lebih
jelasnya (baca episode Bidadari Biru). Mendengar pen-
jelasan si kakek lumpuh yang bukan lain adalah Be-
gawan Panji Kwalat ini, maka kakek berhidung remuk
yang dikenal dengan nama Ki Anjeng Laknat belalak-
kan mata, mulut ternganga. Tak percaya dia berucap.
"Bintang Penebar Bencana kalau tak salah aku
mendengar adalah sebuah senjata dari Kayangan. Sen-
jata itu adanya di Kuil Setan. Aku tidak akan heran bi-
la Lira Waktu Sasangka alias Panji Anom Penggetar
Jagad kena dilukai senjata sakti itu. Ahk.... beruntung
kau cepat membawanya kepadaku. Kalau tidak aku ti-
dak bisa menjamin keselamatannya, adik Begawan!"
kata Ki Anjeng Laknat merasa prihatin, tapi juga masih
memendam rasa penasaran karena Panji Anom yang
semasih berada dalam kandungan tidak mempan sen-
jata ini dapat dilukai orang.
"Begawan, sekarang aku ingin tahu apakah kau
sudah menurunkan semua ilmu kepandaian yang kau
miliki?" tanya Ki Anjeng Laknat setelah terdiam bebe
rapa saat lamanya.
Begawan Panji Kwalat yang seluruh wajahnya
bercelemongan kapur putih tersenyum. Dia meman-
dang ke arah Panji Anom yang masih belum siuman,
baru kemudian menjawab. "Segala ilmu yang kumiliki
telah kuturunkan padanya. Termasuk juga ilmu Suara
Penggendam Raga. Tapi diantara semua ilmu kesak-
tian yang kumiliki satu atau dua ilmu menjadi simpa-
nan ku sendiri. Karena aku melihat Panji Anom punya
jiwa muda bergelora yang mudah memberontak dan
menentang siapa saja! Sekarang yang menjadi masalah
adalah, apakah kau bersedia menurunkan ilmu yang
ada padamu pada Panji Anom atau tidak?" tanya Be-
gawan Panji Kwalat.
Ki Anjeng Laknat elus-elus jenggotnya yang
panjang memutih, lalu terdengar suara tawa memba-
hak. "Mengenai hal itu tak usah kau khawatirkan. Aku
memiliki beberapa ilmu pukulan, diantaranya adalah
Kutukan Dalam Pusara juga pukulan Bangkit Dari
Kubur! Aku yakin jika dua ilmu ku gabung bersama
ilmu yang kau miliki maka Panji Anom akan menjadi
manusia hebat yang tak terkalahkan. Apalagi kini aku
telah menciptakan ilmu baru yang kuberi nama Ulat
Kepompong, ilmu yang sangat langka ini akan mem-
buat musuh-musuhnya jadi bingung. Ha ha ha!"
"Kakang.... jika benar semua yang kau katakan
itu tentu aku sangat gembira sekali. Sebab terus te-
rang aku terkadang masih merasa khawatir akan se-
suatu....!" ujar Begawan Panji Kwalat.
"Sesuatu apakah adikku, katakan saja terus te-
rang!"
Begawan Panji Kwalat terdiam, berfikir dan co-
ba mengingat-ingat. Tak lama kemudian dia membuka
mulut. "Belakangan ini dunia persilatan digemparkan
oleh munculnya seorang pendekar muda yang konyol,
mungkin juga sinting tapi mempunyai ilmu kepan-
daian tinggi. Beberapa tokoh penting dunia persilatan
berhasil dipencundangi, mereka yang dapat melo-
loskan diri dari tangan pemuda itu menjadi jerih. Ke-
hadirannya membuat ciut nyali tokoh berbagai golon-
gan terlebih-lebih lagi dari golongan hitam seperti kita.
Lebih celaka lagi pemuda itu bahkan kulihat bersama
gurunya ketika Panji Anom mendapat serangan ganas
dari Bidadari Biru." jelas Begawan Panji Kwalat.
"Hmm, siapa nama pemuda itu? Atau mungkin
dia punya julukan, gelar?" tanya Ki Anjeng Laknat. Ada
rasa tidak senang dalam ucapannya.
"Dia adalah Pendekar Sakti Gento Guyon, mu-
rid kakek gila Gentong Ketawa!" menerangkan Bega-
wan Panji Kwalat. Jika Ki Anjeng Laknat tunjukkan
ekspresi wajar ketika mendengar Panji Anom menga-
lami cidera berat di tangan Bidadari Biru, sebaliknya
dia tak mampu menutupi rasa kagetnya ketika Bega-
wan Panji Kwalat menyebut nama Gentong Ketawa. Dia
sendiri begitu mengenal siapa adanya si kakek gendut
besar yang bernama Gentong Ketawa itu.
"Kakang sebenarnya ada apa denganmu. Kau
berjingkrak seperti disengat binatang berbisa, matamu
mendelik seperti melihat setan?" Begawan Panji Kwalat
ajukan pertanyaan.
Ki Anjeng Laknat usap wajahnya yang keringa-
tan, perasaan jadi tidak enak, namun dia tetap menja-
wab pertanyaan adiknya. "Begawan, jika Pendekar
Sakti Gento Guyon bukan murid orang yang kau se-
butkan itu aku tidak akan sekaget ini. Tapi si gila Gen-
tong Ketawa, tokoh dari gunung Merbabu itu bukan
manusia sembarangan. Dia memiliki ilmu tinggi dan
sama sekali tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Apalagi dia masih mempunyai seorang guru berge-
lar Dewa Kincir Samudera. Si manusia laut, momok
laknat yang menguasai tujuh penjuru angin lautan.
Gento Guyon.... Hemm jika tidak kita habisi dia sece-
patnya kelak pasti akan menimbulkan kesulitan seka-
ligus petaka besar bagi kita!" tegas si kakek.
Begawan Panji Kwalat tertawa tergelak-gelak
mendengar ucapan saudara tuanya. Dia tahu persis,
ilmu kesaktiannya yang dimiliki oleh Ki Anjeng Laknat
sangat tinggi. Bahkan beberapa tingkat di atas dirinya.
Di tambah dengan kesaktian yang dia miliki dan andai
kedua ilmu itu digabung lalu diturunkan pada Panji
Anom Penggetar Jagad tentu dia akan menjadi seorang
pemuda hebat yang sulit dicari tandingannya. "Kau
tertawa adikku, apakah menurutmu ada kata-kataku
yang kau anggap lucu?" Ki Anjeng Laknat merasa ter-
singgung.
Tawa Begawan Panji Kwalat makin melebar,
makin bergema hingga menusuk telinga mengetarkan
dada. Bila suara tawa si kakek lumpuh lenyap maka
dengan penuh kepongahan Begawan Panji Kwalat be-
rucap. "Kakang, segala keterangan yang kau berikan
padaku tidak membawa arti apa-apa bagiku. Aku tidak
pernah merasa takut pada siapapun, apalagi hanya
terhadap seorang tua bangka gendut berlemak seperti
Gentong Ketawa." Dengus Begawan Panji Kwalat. Dia
kemudian melanjutkan ucapannya. "Kakang, apakah
kau lupa ketika aku membawa bayi yang hendak di-
bunuh oleh Kunti Menak. Bayi yang kemudian kuberi
nama Lira Watu Sasangka itu memilik banyak keisti-
mewaan dan tanda-tanda hebat yang tak pernah dimi-
liki oleh bayi manapun yang pernah terlahir ke atas
dunia ini. Antara lain, kau harus membedah perut
ibunya, murid Kunti Menak yaitu Mawar Pelangi. Bukankah hal itu terjadi karena Panji Anom terbungkus
dalam satu wadah dalam rahim ibunya yang membatu.
Segala benda tajam kau pergunakan untuk mengelua-
rkan bayi dari kulit pembungkusnya yang membatu.
Karena tak berhasil lalu kau pergunakan kesaktianmu.
Kemudian di bagian dada bayi kita mendapati tujuh
buah sisik keras seperti sisik ular. Semua tanda ini
merupakan isyarat bahwa saat sekarang dia memang
harus mewujudkan suatu impian, impian besar untuk
menguasai dunia persilatan dan juga seluruh penghu-
ninya. Aku yakin jika kita berdua bersatu menurunkan
segala ilmu yang kita miliki, Panji Anom akan menjadi
manusia paling hebat di dunia ini, tak akan ada suatu
kekuatanpun yang mampu mengalahkannya. Jadi jika
hanya manusia seperti Pendekar Sakti Gento Guyon
dan gurunya buat apa ditakutkan?" ujar Begawan Pan-
ji Kwalat penuh keyakinan diri. Cukup lama Ki Anjeng
Laknat terdiam memikirkan semua apa yang di-
ucapkan oleh adiknya. Diapun akhirnya mengangguk
setuju.
Baru saja Ki Anjeng Laknat hendak mengata-
kan sesuatu, pada waktu bersamaan terdengar suara
erangan. Serentak baik Begawan Panji Kwalat maupun
Ki Anjeng Laknat sama palingkan kepala dan sama
memandang ke arah pemuda berbaju merah yang ter-
geletak di atas lantai beralaskan kulit harimau. Tanpa
dikomando Begawan Panji Kwalat dengan gerakan
mengambang di atas permukaan lantai bergerak men-
datangi, begitu juga halnya dengan sang kakek.
Di atas tikar kulit harimau, Panji Anom si pe-
muda tampan bertelinga kecil yang dalam keadaan ter-
luka pandang gurunya juga kakek berambut putih
riap-riapan. Dia sadar betul ketika terjadi perkelahian
antara dirinya dengan si gondrong sinting bertelanjang
dada itu, sebenarnya dia tidak dapat dikatakan kalah.
Hanya karena gadis cantik bertubuh sebening kaca itu
turun tangan dan mengeluarkan senjata sakti Bintang
Penebar Bencana, kemudian segala sesuatunya jadi
terbalik. Dia bukan saja hampir tak sanggup mengata-
si senjata aneh yang dia inginkan, tapi lebih celaka lagi
dia sempat dibuat terluka oleh senjata itu. Masih be-
runtung di saat jiwanya berada dalam ancaman ba-
haya besar muncul sang guru. Jika tidak Panji Anom
tak dapat membayangkan nasib dirinya.
"Kunyuk gondrong bernama Gento Guyon dan
gadis itu, hmm kelak aku pasti akan mencarinya. Jika
bertemu dengan gondrong sialan itu akan ku siksa dia.
Daging tubuhnya akan ku kikis, sedangkan gadis can-
tik bernama Dewi Kemala Hijau" Panji Anom tertawa
dalam hati. "Aku tidak mungkin langsung membunuh-
nya. Dia cantik, aku bisa bersenang-senang dengan-
nya. Menikmati setiap jengkal kehangatan tubuhnya,
jika aku sudah muak dan bosan baru kemudian aku
akan membunuhnya!"
"Panji Anom muridku," berkata Begawan Panji
Kwalat yang sempat terheran-heran melihat muridnya
begitu siuman langsung tersenyum, tapi sang Begawan
juga melihat ada kemarahan di wajah pemuda itu.
"Sukurlah jika kau telah sadar. Kami sangat mence-
maskan keadaanmu."
Si pemuda memandang langit-langit ruangan,
sesungging senyum tipis bermain di bibirnya. "Aku me-
rasa berterima kasih atas budi pertolonganmu guru.
Kelak aku akan membalasnya!" ujar Panji Anom juma-
wa.
"Muridku kau tidak boleh berkata begitu. Seba-
gai guru aku pantas memberikan bantuan. Tidak usah
memakai segala peradatan."
"Bagus. Pertolonganmu akan kulupakan." kata
si pemuda. Dia memandang ke arah Ki Anjeng Laknat.
Setelah memperhatikan kakek yang satu ini Panji
Anom sunggingkan senyum mengejek. "Rambut putih
panjang menutupi sebagian wajah. Mata melesak, tu-
lang pipi miring, hidung remuk. Siapakah mahluk jelek
yang ada di sampingmu ini guru. Aku merasa mau
muntah melihatnya!" dengus Panji Anom lalu cepat pa-
lingkan wajahnya ke arah lain.
Begawan Panji Kwalat sempat tercekat men-
dengar ucapan bernada menghina itu. Sebaliknya Ki
Anjeng Laknat kepalkan tinju tangan kanan. Wajah si
kakek merah padam, sepasang mata yang melesak
berkilat tajam sedangkan dadanya laksana mau mele-
dak menahan amarah.
"Panji Anom, inilah orangnya yang dulu sering
kuceritakan padamu. Dia masih terhitung saudara tu-
aku, namanya Ki Anjeng Laknat. Dia pula orang yang
selalu menjaga mu selagi kau masih berada di dalam
kandungan ibumu." Menerangkan Begawan Panji Kwa-
lat.
"Hmm, aku tidak bertanya tentang ibuku. Men-
genai asal usulku tidak penting," kata Panji Anom si-
nis. Dia lalu memandang tajam ke arah Ki Anjeng Lak-
nat. "Jadi ini orangnya yang telah membelaku mati-
matian, menjebol perut ibuku demi menyelamatkan di-
riku adalah suatu tindakan yang sangat kupuji. Kelak
akan ku carikan sepuluh gadis cantik untukmu. Jika
kau mati aku pasti akan mengubur mayatmu dengan
posisi berdiri sebagai tanda aku sangat menghormati-
mu, orang tua!" kata Panji Anom Penggetar Jagad. Ki
Anjeng Laknat diam tidak menanggapi. Sebaliknya Be-
gawan Panji Kwalat hanya mengurut dada menyabar-
kan diri. Tak lama setelah bicara seperti itu Panji
Anom memegang lalu mengurut dadanya yang terluka.
Ternyata luka itu sudah tidak sakit lagi.
"Guru.... kukira luka ini telah sembuh. Seperti
yang pernah kau katakan dulu padaku. Sekarang sete-
lah bertemu dengan kakek ini aku minta agar guru
menepati janji yang pernah guru ucapkan. Saat ini aku
butuh ilmu yang lebih hebat agar aku dapat membu-
nuh monyet gondrong Gento Guyon juga gadis keparat
yang menguasai senjata Bintang Penebar Petaka!"
Begawan Panji Kwalat melirik ke arah Ki Anjeng
Laknat lalu kedipkan matanya. Ki Anjeng Laknat tahu
betul arti kedipan mata adiknya. Jauh di dalam hati
dia sebenarnya masih memendam rasa jengkel pada
Panji Anom yang mana tadi bicara seenak perut sendiri
bahkan sampai menyinggung perasaan kakek itu. Tapi
segala perasaan yang tidak enak ini ditelannya sendiri.
Dengan suara bergetar akhirnya Ki Anjeng Laknat ber-
kata. "Pertama sekali yang perlu ku tekankan, hen-
daknya kau bisa membedakan dengan siapa kau bica-
ra. Tapi denganku harus ada sedikit aturan. Yang ke-
dua musuhmu bukan hanya pemuda gondrong Gento
Guyon saja, atau gadis yang telah mencideraimu ini.
Lebih dari itu, siapapun yang menentang keinginanmu
dan menghalang-halangi segala tindakanmu dalam
mewujudkan cita-cita besar ini adalah musuh yang ha-
rus disingkirkan. Tapi kau harus ingat, untuk mewu-
judkan suatu cita-cita besar kau harus memiliki bekal
yang sangat penting. Diantaranya kau harus menggu-
nakan kecerdikan otak, kelicikan, tipu muslihat dan
mau menempuh segala macam cara. Semua yang ku-
sebutkan itu kurasa telah ada dalam dirimu. Sekarang
aku hanya tinggal menurunkan beberapa ilmu puku-
lan sakti yang tidak ada duanya di dunia ini." ujar Ki
Anjeng Laknat.
"Aku ingin tahu, kapan kakek hendak menu-
runkan ilmu pukulan hebat itu padaku?" tanya Panji
Anom.
"Mungkin besok pagi setelah lukamu benar-
benar sembuh." janji Ki Anjeng Laknat.
"Aku tak suka menunggu. Bagaimana jika nanti
sore saja?" tanya Panji Anom tidak sabar.
Ki Anjeng Laknat geleng-geleng kepala. "Baik-
lah, nanti sore kau boleh mempelajari semua ilmu pu-
kulan sakti yang kumiliki."
Panji Anom tertawa lebar. Dia merasa senang
karena Ki Anjeng Laknat tidak membantah keinginannya.
3
Setelah memacu kuda tunggangan sekian lama,
sosok berpakaian putih yang dipunggungnya terdapat
gambar tengkorak diberi pewarna merah darah ini hen-
tikan kudanya di pinggir kawasan hutan Boyolali. Se-
kejap dia pandangi bagian perutnya yang terluka pa-
rah. Pakaian yang robek hangus disingkapkan. Ternya-
ta cukup banyak darah yang mengalir dari luka itu.
Bukan hanya terluka, tapi juga perut itu nampak ber-
lubang besar hangus menghitam. Penunggang kuda hi-
tam besar ini meringis kesakitan. Sepasang mata diba-
lik topeng kulit bergambar tengkorak menerawang ke
depan. "Aku tak mungkin bisa melanjutkan perjalanan
ke Partai Tengkorak Darah. Luka yang ku alami sangat
parah sekali. Hmmm, Mata Aneh. Kau bukan saja te-
lah menjadi pencuri tengik laknat, tapi kau juga telah
membunuh saudaraku Jaran Ketaton. Kelak jika
umurku panjang aku pasti akan mengejarmu!" geram
laki-laki itu yang bukan lain adalah pemimpin Partai
Tengkorak Darah. Sejenak lamanya sambil mendekap
bagian luka dengan tangan kiri Momok Ungaran berfi-
kir, memutar otak memikirkan jalan untuk mencari
kesembuhan. Dia lalu memandang keadaan di sekeli-
lingnya. Sekelumit harapan tersembul di dalam ha-
tinya begitu dia mengenali daerah itu.
"Kalau tak salah aku mengingat, saat itu aku
berada di pinggir kawasan hutan Boyolali. Kalau tak
salah pula bukankah juru Obat Angin Laknat juga
tinggal di sekitar kawasan ini. Seandainya saja aku bi-
sa bertemu dengan sahabatku itu. Mungkin aku bisa
minta pertolongan memohon kesembuhan. Dari pada
aku teruskan perjalanan ke partaiku, paling tidak aku
membutuhkan dua hari. Kuharap Juru Obat Angin
Laknat sekarang ada di tempat. Ukh... aku yakin pan-
caran sinar mata yang menembus perutku ini men-
gandung racun jahat. Jika aku tidak cepat menda-
patkan pertolongan nyawaku bisa amblas!" Khawatir
akan keselamatan dirinya, tanpa membuang waktu la-
gi Momok Ungaran segera memutar arah kuda siap
menembus hutan lebat yang ada di depannya. Akan te-
tapi gerakan tangannya yang hendak menarik tali ken-
dali kuda jadi tertahan karena pada waktu yang ber-
samaan dia mendengar suara langkah kaki orang yang
tengah berlari. Yang membuat Momok Ungaran jadi
terkejut setiap langkah yang terdengar disertai gerakan
hebat laksana goncangan gempa yang melanda kawa-
san hutan itu. Rasa kejut Momok Unggaran makin
menjadi-jadi karena di tengah-tengah suara langkah
yang bergemuruh itu sesekali terdengar suara jeritan
perempuan.
Belum lagi rasa kejut di hati Momok Unggaran
lenyap, mendadak semak belukar di depannya tersibak, satu sosok tubuh dengan tinggi dan besar luar bi-
asa muncul di situ. Momok Unggaran pandang orang
itu dari bawah ke atas. Sepasang mata ketua Partai
Tengkorak Darah ini membeliak besar. Bukan karena
sosok raksasa berkulit hitam legam ini memiliki wajah
angker menyeramkan, melainkan karena laki-laki ting-
gi besar itu membawa seorang gadis yang sangat dike-
nalnya. Gadis itu bukan lain adalah Sriwidari, puteri
Juru Obat Angin Laknat. Berada dalam kempitan ke-
tiak si tinggi besar Sriwidari gadis berdagu terbelah
yang memiliki kesaktian tinggi ini ternyata tidak dapat
berbuat apapun untuk menyelamatkan diri. Sebagai
orang yang telah kenyang makan garam dunia persila-
tan, hanya dengan sekali lihat Momok Unggaran segera
tahu kalau Sriwidari dalam keadaan tertotok. Sebalik-
nya si gadis begitu melihat dan mengenali siapa
adanya penunggang kuda hitam itu langsung berte-
riak. "Paman Momok Unggaran, sebaiknya pergilah se-
belum terlambat. Setan Raksasa baru saja membunuh
ayahku Juru Obat Angin Laknat!"
Teriakan Sriwidari membuat Momok Unggaran
jadi tercekat. Dia sama sekali tidak mengenali siapa
adanya orang berbadan besar seperti raksasa itu. Tapi
jika dia sampai dapat membunuh Juru Obat Angin
Laknat ini merupakan sesuatu yang cukup menge-
jutkan. Karena Momok Unggaran tahu persis sahabat-
nya itu memiliki ilmu kesaktian tinggi disamping ilmu
kekebalan. "Celaka betul nasibku hari ini. Aku berha-
rap Juru Obat Angin Laknat dapat menyembuhkan lu-
ka dan memperpanjang umurku. Siapa sangka dia
sendiri malah jadi tidak selamat!" batin Momok Ungga-
ran. Walaupun begitu mana mungkin dia mau menu-
ruti perintah Sriwidari puteri sahabatnya. Apa lagi ga-
dis itu dalam keadaan tertawan. Mengingat hubungan
baik selama ini dengan orang tuanya, mustahil dia tega
meninggalkan Sriwidari.
"Manusia bertopeng jelek, kurcaci kecil yang
dalam keadaan terluka. Sebaiknya kau segera me-
nyingkir. Aku Rajo Penitis belasan tahun kehilangan
istri kehilangan anak. Sekarang aku akan membawa
gadis cantik ini untuk kujadikan istri agar dapat mem-
beri ku anak." dengus sosok raksasa sambil sungging-
kan seringai aneh, hingga terlihatlah sepasang taring-
nya yang besar dan tajam.
"Raksasa edan salah kaprah, dari pada dia kau
jadikan istrimu lebih baik dia jadi pendamping hi-
dupku. Bukankah begitu Sriwidari?" tanya Momok Un-
ggaran.
Gadis cantik berpakaian seronok warna ungu,
saking takut dan gugupnya jadi anggukan kepala.
"Aku... aku memang lebih suka menjadi pen-
damping paman itu daripada menjadi istri raksasa gila
ini. Tubuhnya bau menyan, aku jadi mau muntah,
hoeeek!" kata Sriwidari.
Momok Unggaran meskipun terluka demi men-
dengar ucapan Sriwidari jadi bangkit kembali seman-
gatnya. Sebaliknya sosok raksasa itu menjadi sangat
marah.
"Benar kau menjadi istrinya?" tanya Rajo Peni-
tis sambil menatap ke arah si gadis yang berada dalam
jepitan ketiaknya.
"Tentu saja betul. Aku tak berdusta!" jawab si
gadis ketus.
"Kuya.... kalau begitu Mawar Pelangi ternyata
lebih setia padaku! Gadis sampah, akan kubuat am-
blas nyawa kurcaci kecil itu dulu. Setelah itu baru gili-
ranmu!" berkata begitu Rajo Penitis lalu lemparkan tu-
buh Sriwidari yang dikempitnya sejak tadi ke balik semak belukar. Dari balik semak belukar dimana ada so-
sok tubuh mendekam di sana berseru kaget.
"Ini yang namanya mimpi kejatuhan bulan!" ce-
letuknya, merasa tidak sampai hati melihat tubuh Sri-
widari terhempas membentur batu sosok pemuda gon-
drong bertelanjang dada ini langsung ulurkan tangan
menyambuti.
Sriwidari terkejut besar, dia cepat menoleh
hampir mendamprat. Tapi makian yang hendak ter-
sembur dari mulutnya mendadak ditelannya kembali
begitu melihat bahwa orang yang telah menolongnya
adalah seorang pemuda berwajah tampan. Dia merasa
senang tapi hanya sekejap karena begitu mengenali
wajah si pemuda dia jadi berseru.
"Pemuda kurang ajar. Bukankah kau orangnya
yang menjatuhkan diri di pinggir sungai di saat diriku
sedang mandi te....!" Sriwidari tidak lanjutkan ucapan-
nya. Wajah si gadis berubah memerah.
"Mandi telanjur!" si gondrong sambil tertawa-
tawa teruskan ucapan si gadis yang terputus.
"Lepaskan, turunkan aku pemuda sinting!" te-
riak Sriwidari. Dia mencoba meronta bebaskan diri da-
ri pelukan si gondrong, tapi karena tubuhnya dalam
keadaan tertotok, maka dia tak mampu berbuat apa-
pun.
Si gondrong bertelanjang dada yang bukan lain
Pendekar Sakti Gento Guyon adanya tertawa bergelak.
"Kau minta aku turunkan, baik. Aku kulakukan!" me-
nyahut Gento Guyon. Enak saja dia lepaskan kedua
tangannya yang mendukung tubuh si gadis.
Bruk! Sriwidari jatuh bergedebukan. Dia men-
geliat, mulut semburkan sumpah serapah. Si gondrong
tertawa tergelak-gelak. Mendengar suara tawa si pe-
muda, baik si raksasa Rajo Penitis maupun Momok
Unggaran berpaling ke arah Gento.
Momok Ungaran jadi delikkan mata melihat ba-
gaimana Sriwidari dipeluk dan dilepaskan oleh pemuda
itu. Sebaliknya Rajo Penitis keluarkan suara erangan
dahsyat laksana merobek langit. "Muncul lagi satu
kurcaci gondrong di tempat ini yang minta kugebuk
mampus. Heh, akan kubereskan keduanya sekalian!"
dengus Rajo Penitis. Melihat sosok raksasa itu angkat
tangan kanannya yang panjang besar luar biasa, Gento
Guyon jadi membuka mulut keluarkan tawa.
"Ha ha ha. Besarnya tubuhmu membuat aku
pantas memanggilmu Kurcaca. Hei kurcaca.... kau tak
perlu merasa iri karena aku sempat kebagian jatah
mengendong gadis itu. Aku sendiri walaupun merasa
suka tak kemaruk untuk menjadikan istri. Dia me-
mang pantas untukmu, jadi kau tak usah khawatir
aku melarikannya. Bahkan aku bisa menjaganya un-
tukmu. Nah sekarang yang menjadi sainganmu adalah
pesakitan penunggang kuda yang berkedok topeng
tengkorak, dia bisa menjadi penyakit bagi dirimu." kata
Gento tak lepas dari tawa.
Ucapan Gento ternyata termakan oleh Rajo Pe-
nitis. Sehingga kini dia kembali menghadap ke arah
Momok Unggaran.
Pentolan Partai Tengkorak Darah merutuk ha-
bis-habisan. "Jahanam gondrong itu sungguh pandai
bersilat lidah. Nampaknya dia sengaja mengail di air
keruh. Keparat.... jika bangsat besar ini dapat kuhabisi
secepatnya, dia pasti tak akan luput dari tanganku!"
geram Momok Unggaran dalam hati.
"Hei, sobat kurcaca, mengapa kau diam mela-
mun begitu. Apa kau tidak berani menghadapinya.
Atau kau ingin aku mewakili dirimu untuk mencabut
nyawanya? Aku kurcaci kecil mana takut, malah senang melakukan tugas untuk seorang sahabat. Tapi
apakah kau tidak malu pada dirimu sendiri? Ini uru-
san besar menyangkut harga diri. Cepatlah lakukan
sesuatu sebelum aku menghabisinya!" kata Gento me-
manas-manasi.
Sosok berbadan besar itu ternyata hanya ba-
dannya saja yang besar, sedangkan otaknya tumpul
mudah terpengaruh. Apalagi Gento memanggilnya so-
bat. Sehingga Rajo Penitis merasa cepat akrab. Sambil
menyeringai perlihatkan sepasang taringnya yang ta-
jam, Rajo Penitis berkata ditujukan pada Pendekar
Sakti Gento Guyon. "Kurcaci kecil. Ucapanmu ternyata
memang betul. Jika tak kuhabisi dia, boleh jadi dia
menghabisi diriku. Sekarang tolong kau jaga calon is-
triku itu. Kau boleh menonton di situ sambil duduk
uncang-uncang kaki. Kau bisa melihat bagaimana cara
sobatmu menghabisi kadal butut memakai topeng
rongsokan itu!" kata Rajo Penitis lalu tertawa tergelak-
gelak.
Gento merasakan telinganya seperti ditusuk be-
lasan batang jarum. Dia sempat terhuyung dan jatuh
duduk dengan kaki bersilangan sebagaimana yang di-
katakan Rajo Penitis. Sebaliknya Sriwidari jatuh ping-
san.
Momok Unggaran jika tidak keluarkan suara
menggembor untuk mengatasi tawa Rajo Penitis
mungkin sudah jatuh merosot dari punggung ku-
danya. Sambil menahan geram karena si gondrong
berhasil mempengaruhi Rajo Penitis, Momok Unggaran
berteriak lantang ditujukan pada Rajo Penitis.
"Manusia raksasa tolol. Mau saja dikadali bo-
cah ingusan. Apakah kau tak pernah berfikir bagaima-
na seandainya dia yang melarikan gadis itu. Kita berta-
rung mati-matian, dia hanya tinggal mendapatkan
enaknya. Ha ha ha!"
Si tinggi besar nampak bimbang sejenak men-
dengar ucapan Momok Unggaran. Tapi Gento tidak
membiarkan kebimbangan itu berlangsung lama. "So-
batku kurcaca, kau orang yang kuhormati. Kurcaci ke-
cil dan jelek sepertiku mana berani berbuat macam-
macam, apalagi sampai melarikan calon istri sobatnya
sendiri! Tapi semuanya terserah kau, mau membiar-
kan setan bertopeng itu hidup juga terserah. Paling ti-
dak nantinya kau tak bisa hidup tenang, apalagi ber-
bulan madu karena dia akan terus membayangimu.
Salah-salah baru mulai pemanasan saja dia muncul
dan minta bagian. Ha ha ha!"
"Bocah sialan tukang fitnah busuk awas kau!"
geram Momok Unggaran menjadi marah luar biasa.
"Sobatku kurcaca, lihat belum apa-apa dia su-
dah mengancamku. Apakah kau tidak merasa kasihan
dengan sobatmu yang kecil dan tidak berdaya ini? Huk
huk huk!" kata Gento sambil pura-pura menangis.
"Kurcaci terluka berkedok tengkorak. Berani
kau mengancam sahabatku. Kubunuh kau sekarang
juga!" teriak Rajo Penitis dengan suara menggembor.
4
Belum lagi suara Rajo Penitis lenyap, sosok
manusia dengan besar dan tinggi badan luar biasa ini
langsung tendangkan kaki kanannya ke arah Momok
Unggaran. Ketua Tengkorak Darah keluarkan seruan
tertahan begitu merasakan ada angin dingin laksana
puting beliung melabrak tubuhnya. Tidak tinggal diam,
meskipun dalam keadaan terluka di bagian perut akibat terkena sinar Mata Aneh beberapa hari yang lalu
dia langsung melompat tinggalkan kuda mencari sela-
mat. Sedangkan kuda tunggangan itu tidak sempat la-
gi selamatkan diri. Kuda jatuh terpelanting menabrak
kayu besar, keluarkan suara ringkikan keras, tulang
berderak dan terhempas mati.
Melihat binatang tunggangannya tewas, Momok
Unggaran menggerung marah. Tidak menunggu sebe-
lum Rajo Penitis berbalik menghadap ke arahnya dan
siap melancarkan serangan kembali, Momok Unggaran
lepaskan satu pukulan jarak pendek yang langsung te-
rarah ke bagian pinggang lawannya. Serangkum sinar
merah membersit keluar dari telapak tangan Momok
Unggaran. Hawa panas menggebu, Rajo Penitis ki-
baskan tangan besarnya ke belakang. Dari tangannya
menderu hawa dingin luar biasa. Dua pukulan saling
bertemu hingga menimbulkan suara ledakan mengge-
ledek. Momok Unggaran terdorong mundur satu tindak
ke belakang, pukulan yang dilepaskannya sebagian
berbalik hampir menghantam dirinya sendiri. Akan te-
tapi Momok Unggaran sudah melompat ke udara. Di
udara dia lakukan gerakan sedemikian rupa, tubuh
berputar kaki menghantam kepala Rajo Penitis.
Satu tendangan menggeledek menghantam ke-
pala sosok manusia raksasa ini. Rajo Penitis hampir
saja jatuh tersungkur akibat tendangan itu. Kepalanya
terasa pusing, berdenyut sakit laksana mau pecah. So-
soknya tiba-tiba saja berbalik.
Duuk! Duuk! Duuk!
Rajo Penitis melangkah lebar, mulut menyerin-
gai sedangkan matanya mencorong tajam. Setiap gera-
kan kaki yang dibuatnya selalu menimbulkan getaran-
getaran hebat laksana gempa.
Tiba-tiba tangannya terjulur.
Wuuut!
Tangan besar panjang itu menggapai lakukan
gerakan mencengkeram ke bagian kepala dan leher.
Tak mau konyol ditangan lawan dia melompat mun-
dur. Sambil mundur laksana kilat dia mencabut pe-
dang. Pedang dikibaskan ke depan menyambut samba-
ran tangan lawan, sinar putih berkiblat. Rajo Penitis
terpaksa menarik balik tangannya, sebagai ganti dia
lepaskan tendangan ke bagian perut lawan.
Wuuut!
Tendangan berhasil dielakkan oleh Momok Un-
ggaran. Meskipun sudah terluka ternyata dia memiliki
daya tahan sekaligus tenaga dalam yang luar bisa.
Dari tempat dimana Gento berada melihat Rajo
Penitis masih belum juga mampu menjatuhkan lawan-
nya murid Gentong Ketawa ini berseru memanasi. "So-
batku kurcaca, engkau dan orang itu sedang main ke-
toprak atau apa. Badanmu begitu besar, tapi sejak tadi
kulihat kau kena diledek oleh setan jelek bertopeng itu!
Bunuh... bunuh dia secepatnya!" teriak Gento.
"Main ketoprak tidak, kuda lumpingpun tidak.
Jangan khawatir sahabat kurcaci dia pasti akan ku-
bunuh!" teriak Rajo Penitis. Laki-laki tua berbadan
tinggi besar ini kemudian salurkan tenaga dalamnya
ke bagian kedua tangannya hingga tangan yang besar
itu mengeluarkan suara bergemeletakan.
Sementara itu di tempatnya Gento melirik ke
arah si gadis. Si gondrong kedipkan matanya begitu
mata Sriwidari mendelik ke arahnya.
"Kau tentu tak mau menjadi istri raksasa jelek
itu bukan? Mendengar pengakuanmu tadi kau lebih
suka menjadi istri manusia jahat Momok Unggaran.
Melihat pertarungan ini kurasa orang yang kau cintai
tak bakal berumur panjang, apalagi dia sudah terluka
sebelumnya. Nah...selamanya aku kagum pada orang
yang memiliki cinta sejati. Karenanya aku akan mem-
bebaskan totokan di tubuhmu, setelah bebas kau bo-
leh membela tikus comberan memakai topeng itu sam-
pai kalian berdua menemui ajal. Semua yang kulaku-
kan ini anggap saja sebagai penebus kesalahanku ke-
tika jatuh di pinggir sungai hingga tak sengaja aku ter-
paksa melihat kau yang sedang mandi!" kata Gento
dengan suara perlahan.
Tak pernah menyangka pemuda itu ingin mem-
bebaskan dirinya, tentu saja Sriwidari jadi terkejut dan
tidak percaya, tapi juga merasa jengkel karena si gon-
drong menyangka dia suka pada Momok Unggaran.
Sehingga sambil mendelik dia menjawab. "Gondrong
edan, siapa sudi pada Momok Unggaran. Dia pantas
menjadi ayahku. Lagipula segala ucapanku hanya se-
kedar bergurau. Mengapa harus diambil hati. Sekarang
kalau kau ingin menolongku cepat lakukan. Aku ingin
pergi dari tempat ini secepatnya, tapi bagaimana tang-
gung jawabmu nanti jika Rajo Penitis tau kau mele-
paskan diriku?" tanya Sriwidari diam-diam merasa
khawatir.
Pendekar Sakti Gento Guyon tersenyum.
"Manusia yang satu itu hanya badannya saja
yang besar, tapi isi otak sebenarnya kosong. Sudah
jangan kau fikirkan masalah itu, lain lagi kalau kau
mau menjadi kekasihku! Ha ha ha!" kata Gento lalu
tertawa tertahan-tahan. Sambil tertawa dia perhatikan
wajah dan bagian tubuh si gadis lainnya sehingga dia
dapat memperkirakan di bagian mana gadis itu ditotok
oleh Rajo Penitis.
Ternyata Sriwidari mendapat totokan di bagian
tengkuk dan punggungnya. Gento mendekat, tangan
dijulurkan. Dua usapan dilakukan berturut-turut.
Hanya pelan saja, hasilnya sungguh membuat Sriwida-
ri tercengang. Bukan hanya gadis itu saja, Gento sen-
diripun ikut tercengang. Sekarang setelah bertemu
dengan Manusia Seribu Tahun tenaga dalamnya jadi
meningkat pesat.
Begitu terbebas dari totokan Sriwidari langsung
bangkit berdiri. Setelah memandang pada Gento den-
gan perasaan kagum serta penuh rasa terima kasih
tanpa menoleh atau bicara lagi dia langsung tinggalkan
tempat itu.
"Celaka, mengapa aku melepaskannya!" fikir
Gento setelah Sriwidari meningalkannya. Sementara
itu didepannya sana Momok Unggaran telah mengelua-
rkan segala kepandaian yang dia miliki. Sayangnya
sampai sejauh itu walaupun Momok Unggaran telah
menggunakan jurus-jurus pedangnya yang hebat, dia
tetap tidak mampu merobohkan lawannya. Akibat luka
dan juga akibat pengerahan tenaga dalam yang terus
menerus. Tanpa disadari Momok Unggaran semakin
lama serangannya semakin melemah. Jika tadi Rajo
Penitis hanya mengambil posisi bertahan dalam meng-
hadapi gempuran lawan, maka kini dia balas melan-
carkan serangan. Sosok manusia raksasa itu tiba-tiba
berkelebat lenyap dari pandangan mata. Momok Un-
ggaran merasakan ada sambaran angin kencang mela-
brak dari delapan arah sekaligus. Laki-laki bertopeng
tengkorak ini tercekat, tapi dia cepat ambil tindakan
dengan babatkan pedang ke delapan penjuru arah.
Sing!
Wuut! Wuut!
Babatan pedang yang dilakukan dengan bertu-
bi-tubi itu ternyata tak dapat berbuat banyak. Malah
kini dia melihat satu bayangan berkelebat melompat di
atasnya. Melihat ini Momok Unggaran tusukkan pedangnya dengan kecepatan laksana kilat dari bawah ke
atas. Rajo Penitis tertawa bergelak, dalam keadaan ber-
jumpalitan sedemikian rupa jari tangan kanannya me-
nyambar cepat menyambut babatan senjata lawannya.
Tep!
"Hah, keparat....!" rutuk Momok Unggaran begi-
tu melihat pedangnya terjepit diantara jemari tangan
lawannya. Dengan segenap sisa tenaga yang ada dia
berusaha membetot pedangnya. Tapi apa yang dilaku-
kannya itu hanya sebagai suatu kesia-siaan. Terlebih-
lebih setelah Rajo Penitis sudah jejakkan kedua ka-
kinya di atas tanah.
Momok Unggaran walaupun merasa kaget tapi
tidak kehilangan akal untuk mengatasi lawannya.
Dengan cepat sekali dia tendangkan kakinya ke bagian
tempurung lutut Rajo Penitis. Tak menyangka menda-
pat serangan seperti itu Rajo Penitis tak sempat meng-
hindar.
Dhaaak!
Tendangan yang sangat keras membuat Rajo
Penitis meraung, dengan begitu jepitan jari tangannya
pada badan pedang mengendor. Momok Unggaran me-
narik lepas pedangnya. Selanjutnya pedang ditusuk-
kan ke bagian perut lawan. Terhuyung-huyung Rajo
Penitis berkelit, tangan terjulur lakukan gerakan begi-
tu rupa. Tahu-tahu lima jari tangannya sudah berhasil
mencengkeram hulu pedang yang tergenggam di tan-
gan Momok Unggaran. Satu sentakan yang sangat ke-
ras bukan saja membuat pedang terbetot lepas berpin-
dah tangan, tapi juga membuat tangan Momok Ungga-
ran laksana tanggal sedangkan tubuhnya ikut tertarik
ke depan. Tak menunggu, laksana Kilat Rajo Penitis
balikkan pedang begitu rupa hingga bagian ujungnya
menghadap ke arah lawan Pedang didorong ke depan.
Momok Unggaran yang tadinya terbetot ke depan tak
kuasa lagi menghindar.
Creess!
Pedang dengan telak menembus bagian dada,
masuk ke bagian dalam tubuh dan tembus hingga ke
bagian punggung belakang. Momok Unggaran mende-
lik besar, mulutnya yang ternganga semburkan darah.
Selagi ketua partai Tengkorak darah terhuyung-
huyung sambil dekap pedang yang menembus dada,
Rajo Penitis melepaskan tendangan menggeledek yang
menghantam tubuh lawannya. Momok Unggaran terpe-
lanting dan jatuh sejauh sepuluh tombak. Rajo Penitis
tertawa panjang. Selagi manusia raksasa ini tenggelam
dalam suara tawanya sendiri di saat itu pula terdengar
suara pekikan Gento.
"Celaka, sahabat kurcaca.... perempuan itu, ca-
lon istrimu melarikan diri!" kata pemuda itu dengan
tubuh terbungkuk-bungkuk seperti baru saja habis
terkena tendangan.
Tawa Rajo Penitis lenyap, dia berpaling ke arah
Gento yang jatuh berkelukuran dengan posisi me-
nungging sambil dekap bagian bawah perutnya.
5
Tertegun setengah tak percaya Rajo Penitis
memandang si pemuda dengan mata mendelik lebar.
Sepasang alisnya yang tajam terangkat naik, dia men-
jadi terheran-heran melihat Gento dalam keadaan se-
perti itu. Hanya dengan beberapa kali tindakan Rajo
Penitis sudah sampai di samping Gento yang masih
dalam keadaan posisi menungging. Salah satu tangan
Rajo Penitis berkelebat, tahu-tahu pinggang pemuda
itu sudah kena dicengkeramnya. Wuut! Sekali sentak
Gento sudah terangkat tinggi, wajahnya berhadapan
dengan wajah Rajo Penitis, hingga dia dapat merasa-
kan dengus nafas Si tinggi raksasa yang panas me-
nampar-nampar wajahnya.
Masih pura-pura kesakitan sambil memegangi
selangkangannya Gento memandang tajam ke arah Ra-
jo Penitis, saat yang sama manusia raksasa ini juga
menatapnya dengan sorot mata menyelidik. Seakan dia
ingin menjajaki akan kebenaran segala ucapan Pende-
kar Sakti Gento Guyon.
"Benar gadis itu kabur? Bagaimana bisa, se-
dangkan dia dalam keadaan tertotok?" tanya Rajo Peni-
tis. "Be... betul. Waduh sakitnya. Bukan aku yang
membebaskan totokannya. Tapi seseorang. Waktu itu
aku merasa kagum melihat jurus-jurus silatmu se-
hingga aku jadi lengah." kata Gento berbohong. "Lalu
kulihat kau meringis begitu seperti orang mau buang
hajat, apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu?"
tanya Rajo Penitis lagi. Saat bicara jarak antara mulut
si raksasa dengan telinga Gento begitu dekat sekali,
hingga murid si gendut Gentong Ketawa merasa seperti
ada halilintar yang menyambar telinganya.
"Waduh, kalau bertanya pakai kira-kira. Kau
berteriak dekat telingaku bisa membuat telinga jadi tu-
li." keluh Gento. Rajo Penitis jauhkan Gento dari mu-
lutnya. Sedangkan pemuda itu sudah melanjutkan
sambil meringis-ringis. "Seorang nenek bungkuk me-
nendang bola ku yang disini. Bukan tendangan biasa.
Kurasa dia menggunakan ajian khusus, terbukti pe-
rutku langsung mulas dan aku jadi tak bisa mengejar-
nya." kata Gento dan tentu saja semua ini merupakan
suatu kedustaan belaka.
"Orang tua itu hebat. Bola mu ditendang,
mungkin pecah, bisa jadi remuk. Coba kau lihat, biar
aku periksa. Kalau sudah tidak patut dipakai lebih
baik kau buang saja dan aku adalah orang yang paling
sanggup melakukannya!" kata Rajo Penitis siap meme-
lorotkan bagian celana depan Gento Guyon. Pemuda
itu merasa semangatnya laksana terbang, dia mati ku-
tu. Tangan kiri kini kembali didekapkan ke bawah pe-
rutnya. Akan tetapi Gento yang cerdik merasa tidak
kehabisan akal. Dia segera menanggapi. "Jangan kau
buang. Biarkan saja di situ. Lagipula anunya jelek,
agak burik juga ada panunya. Apalagi belakangan aku
jarang sekali mandi. Ha ha ha!"
"Huh pantas dari sini aku sudah mencium
baunya. Kalau begitu aku tak mau menolong. Biarkan
saja yang remuk tetap remuk. Ehh, sobatku kurcaci
siapa kiranya orang yang telah melarikan calon istriku
itu, bagaimana ciri-cirinya cepat terangkan padaku!"
desak Rajo Penitis tidak sabar.
Karena semua apa yang diucapkan Gento
hanya sebagai sesuatu yang ngawur maka pertanyaan
laki-laki raksasa itu paling tidak membuat Gento jadi
kelabakan. Dia terdiam berfikir sejenak, wajahnya di-
buat sedemikian rupa sehingga terlihat seperti ketaku-
tan sekali.
"Aku... bagaimana aku berani mengatakannya.
Orang itu sangat menakutkan sekali. Tampangnya
angker, matanya merah."
"Sobatku kurcaci sinting jangan takut. Kau
mau memberi keterangan tentang orang itu, aku yang
akan mengejar aku pula yang akan membereskannya.
Cepat katakan!" desak Rajo Penitis.
"Eh...ee. Ciri-ciri nenek itu, sudah tua. Berpa-
kaian hitam, bagian leher ada rempelannya, dia mempunyai tongkat hitam tubuh bungkuk!" jelas Gento
semakin bertambah ngawur.
Tak pernah disangka-sangka mendengar penje-
lasan Gento tak terduga Rajo Penitis berjingkrak kaget,
surut satu langkah ke belakang sedangkan matanya
memandang mendelik pada Gento.
"Aduh sobatku kurcaca, cekalan mu begini ke-
ras. Salah-salah aku bisa kau buat menjret."
Sadar akan apa yang dilakukannya Rajo Penitis
mengendurkan cekalan tangan pada bagian pinggang
Gento. Walaupun Rajo Penitis tidak bicara apa pun,
namun Gento tahu sesungguhnya sosok manusia rak-
sasa ini sedang dilanda kemarahan.
"Sobatku kurcaca, apa sebenarnya yang sedang
terjadi. Kau seperti tengah menyimpan dendam dan
amarah.?" tanya pemuda itu. Dalam hati dia berharap
semoga dia tidak menyinggung perasaan Rajo Penitis.
Sebab apapun alasannya dia tak mau menanam benih
permusuhan dengan manusia besar berotak tolol ini.
"Sobatku kurcaci tengik sialan. Ciri-ciri orang
yang kau sebutkan itu sama persis dengan orang yang
telah memisahkan diriku dengan seorang wanita yang
sangat kucintai! Rasanya tingkah nenek keparat itu
sudah melampaui batas. Akan kucari dia. Segala
penghinaan ini harus kubalas impas!" seru Rajo Peni-
tis. Ketika bicara manusia raksasa ini hantamkan ka-
kinya pada sebuah batu besar, batu itu bukan saja
amblas melesat ke dalam tanah tapi hancur menjadi
bubuk mengeluarkan asap tebal.
Gento tercekat, mendadak tengkuknya terasa
dingin bukan main. Dia tak bisa membayangkan ba-
gaimana jika dirinya yang dijadikan sasaran Rajo Peni-
tis. Bisa jadi tubuhnya medel sampai ke ampas-
ampasnya.
Akan tetapi disamping itu Gento sebenarnya
merasa jengkel karena manusia raksasa itu memang-
gilnya, "tengik sialan". Dengan mengesampingkan pe-
rasaan sendiri, sambil menyimpan rasa herannya tak
menyangka bahwa keterangannya yang ngawur itu
adalah sesuatu yang dibuat-buat, sekali lagi Gento
ajukan pertanyaan. "Sobatku kurcaca, aku melihat
matamu seperti menyimpan beban derita batin yang
hebat. Seandainya kau tidak keberatan, andai saja aku
tahu derita mu, mungkin sobat kecilmu ini dapat
memberikan sedikit bantuan yang berarti."
Rajo Penitis manggut-manggut, dari sudut pi-
pinya ada air mata yang bergulir menetes mungkin dia
merasa terharu mendengar ucapan Gento yang terke-
san tulus itu.
"Raksasa goblok ini ternyata masih juga punya
perasaan. Syukur segala keteranganku yang melantur
itu cocok dengan apa yang ada dihatinya jika tidak wa-
lah aku tidak bisa menjamin bagaimana nasibku!"
"Kurcaci baik. Huuuk huuk....!" berkata begitu
Rajo Penitis melonggarkan cekalannya pada pinggang
Gento. Dia bahkan dengan perlahan turunkan pemuda
itu. Setelah Gento menjejakkan kedua kaki ke tanah, si
raksasa mengelus-elus kepala pemuda itu tidak ubah-
nya seperti orang tua yang membelai rambut anaknya.
"Raksasa bodoh ini mungkin gilanya lagi angot."
batin Gento dalam hati.
"Kurcaci, aku tidak bisa jelaskan duduk soal-
nya denganmu saat ini. Mungkin nanti jika urusanku
dengan nenek keparat itu sudah kubereskan baru ku-
ceritakan pengalaman cinta pahit ku ini padamu. Se-
karang aku harus pergi dulu, kurcaci baik!" kata Rajo
Penitis. Dia mengusap pipi Gento, pelan saja memang
tapi akibat usapan itu membuat Gento merasa pipinya
seperti ditampar dan hampir membuatnya terpelating.
"Kurcaci baik, kasihan sekali dirimu. Kau su-
dah begini kecil, gondrong dan dekil, aku jadi ingat
dengan gelandangan di pasar!"
"Raksasa sialan. Tampang cakap begini dikata
dekil." rutuk Gento dalam hati. Tak urung dia menim-
pali ucapan Rajo Penitis. "Sobatku kurcaca, biar jelek
seperti gelandangan pasar, tapi kekasih dan calon jo-
dohku seorang puteri raja yang cantik. Dia memiliki
singgasana besar dan mewah."
"Benarkah? Kalau begitu nasibmu lebih baik
dariku. Aku ikut senang mendengarnya. Kalau aku bo-
leh tahu siapakah nama puteri itu?" tanya Rajo Penitis
penasaran.
"Namanya masih dalam angan-anganku sebab
sampai saat ini dia belum terlahir ke dunia ini! Ha ha
ha."
"Oalah kurcaci kecil sialan!" maki setinggi rak-
sasa.
Tawa Gento makin menjadi-jadi. Rajo Penitis
mendadak kernyitkan keningnya. Dia kemudian me-
nyambar telapak tangan kanan Gento lalu memperha-
tikan garis-garis tangan yang tertera di atasnya. Gento
jadi heran. Sebelum dia sempat ajukan pertanyaan
akan maksud Rajo Penitis melihat telapak tangannya
si raksasa membuat mulut berucap. "Kau ini bang-
sanya pemuda yang tidak boleh melihat perempuan
cantik. Jalan hidupmu penuh dengan liku-liku dan
tantangan yang terkadang membahayakan keselama-
tan jiwa. Sifat dan tingkahmu yang lucu terkadang
membuat orang jadi salah menduga hingga mereka be-
ranggapan kau ini orang yang kurang waras. Garis
tangan ini mengatakan kau manusia baik." Menerang-
kan Rajo Penitis dengan mata terpejam. Mendengar
semua ini Gento jadi kaget tapi juga sunggingkan se-
nyum. Rajo Penitis buka matanya.
"Kau hendak kemana kurcaci kecil?"
"Mungkin akan menghadiri pertemuan para to-
koh di Kiara Condong." sahut pemuda itu. Dia sebe-
narnya ingin mengatakan kalau saat itu tengah men-
cari gurunya juga yang lenyap ditelan pusaran angin
putih. Tapi Gento Ragu-ragu sehingga akhirnya hanya
diam saja.
"Sebelum kau pergi aku hanya bisa mengata-
kan akan ada yang tidak beres terjadi disana. Kau ha-
rus berhati-hati, karena bukan mustahil kau termasuk
salah satu yang arwahnya segera dijemput oleh malai-
kat maut. Ha ha ha!"
"Kurcaca.... apa yang tidak beres itu? Dapatkah
kau jelaskan padaku?" tanya Gento. Tak ada jawaban.
Sunyi sekali. Gento memandang ke belakangnya, dia
jadi kaget karena ternyata Rajo Penitis sudah tidak ada
lagi di situ.
Pendekar Sakti Gento Guyon golang- golengkan
kepala. "Tubuhnya besar luar biasa. Bagaimana
mungkin dia pergi sementara aku tak mengetahuinya.
Sungguh dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi sekali!" kata Gento merasa kagum. Tanpa berfi-
kir lagi pemuda ini segera pula tinggalkan tempat itu.
6
Matahari hanya tinggal berupa bayangan merah
seperti nyala unggun api besar di ufuk langit sebelah
barat. Senja itu kota kecil di daerah Karang Mulyo se-
belah selatan Kiara Condong tampak lebih ramai dari
hari-hari biasanya. Kesibukan di sebuah kedai me-
rangkap penginapan di kota itu pun nampak sangat
luar biasa sekali.
Beberapa pelayan hilir mudik para pelanggan
dan tamu yang kebanyakan terdiri dari wajah-wajah
baru itu. Tak heran bila berbagai macam hidangan
yang tersedia di kedai itu hampir habis di pesan. Pun
demikian juga hanya dengan kamar-kamar yang ter-
dapat di rumah penginapan sederhana tersebut. Ham-
pir semuanya penuh terisi di pesan orang.
Membanjirnya pengunjung di kedai penginapan
ini tentu merupakan satu keuntungan besar bagi pe-
milik kedai. Apalagi jauh sebelumnya pemilik kedai
merangkap penginapan itu telah mendengar kabar
akan ada pertemuan penting para sesepuh dan tokoh
dunia persilatan golongan putih di daerah Kiara Con-
dong. Apapun maksud dibalik pertemuan itu pak tua
berkepala botak sebagai pemilik kedai tak mau ambil
perduli. Yang jelas untuk sampai di Kiara Condong bi-
asanya orang akan memilih jalan yang melewati Ka-
rang Mulyo, karena daerah ini satu-satunya jalan yang
mudah. Memang masih ada jalan yang lain, misalnya
melewati Giri Manuk atau Pamujan. Tapi dia jalan
yang disebutkan ini sangat sulit untuk dilalui, selain
itu juga banyak mengandung resiko berupa bahaya
yang mengandung banyak jebakan.
Di tengah-tengah sibuknya para pelayan me-
nyuguhkan hidangan untuk para tamunya. Di celah
kesibukan bapak botak menghitung kepengan sambil
mengelus-elus kepalanya yang pelontos. Di salah satu
sudut ruangan terlihat dua orang duduk di situ dalam
posisi saling berhadap-hadapan. Kedua orang ini terdi-
ri dari seorang nenek renta berpakaian merah menco-
rong, rambut digelung ke atas dengan hiasan berupa
tusuk kondai berbentuk sosok burung merak. Tokoh
perempuan yang satu ini berasal dari selatan. Na-
manya tak ada yang tahu secara pasti, tapi dia memili-
ki gelaran Si Burung Merak. Sedangkan kakek yang
duduk hadapannya berpenampilan tidak karuan.
Rambutnya yang panjang di kepang di lima belas ba-
gian, sepasang alis matanya yang panjang tegak diberi
semacam pewarna merah.
Kumis menutupi mulut, janggutnya yang pan-
jang menyentuh dada juga di kepang kecil-kecil. Kakek
ini memakai pakaian hitam berkilat, tidak bersenjata,
berkuku panjang hitam. Sepuluh kuku jari inilah yang
sangat berbahaya karena selain mengandung racun
jahat juga memiliki daya bunuh yang sangat luar bi-
asa. Kalau pun lawan yang menjadi sasaran sepuluh
kuku jarinya dapat meloloskan diri maka dalam waktu
dua hari tubuhnya akan membengkak, leleh lalu han-
cur mengerikan. Tokoh yang satu ini tidak dikenal baik
nama ataupun asal-usul. Tapi dia dijuluki Malaikat
Kuku Seribu Kepang Lima Belas.
"Si Muka Setan seharusnya sudah muncul di
tempat ini!" Dalam keramaian pengunjung kedai sam-
bil edarkan pandangan si kakek beralis merah buka
suara. Si nenek tak langsung menjawab, melainkan
ikutan edarkan pandangan mata ke segenap penjuru
kedai.
Dia melihat hampir semua orang-orang yang
berada di dalam kedai adalah mereka yang juga akan
ikut ambil bagian mengamankan jalannya pertemuan.
Hal ini dikenali dari seragam putih dengan tanda pita
merah di bahu kirinya.
"Para pengawal pertemuan kulihat berkumpul
disini. Semua atas perintah Si Muka Setan. Semua pe-
rintahnya sudah berjalan dengan baik. Adalah sesuatu
yang mengherankan jika Muka Setan sampai tidak
muncul." Ujar Si Burung Merak.
"Aku jadi curiga jangan-jangan terjadi sesuatu
pada orangtua itu!" kata si kakek disaput kegelisahan.
"Sesuatu, apakah ini berarti malapetaka yang
tidak terduga?" tanya Si Burung Merak lagi. Kali ini
suaranya hampir tak terdengar.
"Bisa jadi. Dia yang mengajukan gagasan ini
agar golongan putih bersatu padu menyongsong masa
depan. Golongan hitam pasti tidak akan tinggal diam
melihat tercapainya gagasan yang gemilang ini. Karena
Muka Setan merupakan pemimpin dari jalannya per-
temuan, aku jadi khawatir banyak tokoh-tokoh kalan-
gan hitam menghendaki jiwanya agar apa yang kita
rencanakan tidak dapat terlaksana."
"Aku berharap semua khawatiranmu tidak ter-
jadi Malaikat Kuku Seribu. Jika Muka Setan sampai
terbunuh, semua tokoh golongan putih pasti tidak
akan tinggal diam. Mereka pasti bersatu padu dan
mengumumkan perang besar pada semua golongan hi-
tam. Mereka akan berfikir seribu kali untuk melaku-
kan suatu kekejian pada Muka Setan!" ujar si nenek.
Ucapannya jadi terputus karena saat itu entah dari
mana datangnya di depan pintu telah berdiri tegak
seorang gadis berdandan menor berjubah biru. Kehadi-
ran gadis itu tentu saja menarik perhatian seluruh
pengunjung kedai itu, karena disamping terus men-
gumbar tawa gadis ini sebentar-sebentar tutupkan
ujung jubahnya yang menjuntai ke bagian wajah
layaknya seorang gadis malu-malu kucing.
"Amboi, ramai betul kedai ini. Hik hik hik! Aku
senang banyak pemuda gagah tampan berada disini.
Sungguh tak kuduga, rejekiku hari ini cukup besar.
Bebas menikmati pemandangan bagus tanpa harus
membayar. Hik hik hik. Malu aku jadinya!" berkata be-
gitu gadis berjubah biru tutupi wajahnya. Para pen-
gunjung yang terdiri dari para pemuda berseragam
pengawal pertemuan yang akan dilaksanakan bebera-
pa hari lagi saling berbisik. Diantaranya ada yang ter-
tawa. Sedangkan kakek nenek yang duduk disudut
ruangan hanya saling pandang.
"Kalau tak salah penglihatanku, gadis itu ada-
lah Puteri Pemalu. Gadis sinting murid Si Muka Setan.
Agaknya dia membawa satu kabar penting tentang gu-
runya." kata Malaikat Kuku Seribu berbisik.
"Dia gadis gila. Memanggil gurunya saja dengan
sebutan kakak. Kurasa kehadirannya tidak ada kepen-
tingan atau sangkut paut apa-pun dengan Muka Se-
tan. Biarkan saja jangan hiraukan dia. Bersikap pura-
pura sibuk atau tidak mengenal. Apapun yang dilaku-
kannya di tempat ini jangan ambil perduli." kata Si Bu-
rung Merak.
Malaikat Kuku Seribu menganggukkan kepala.
Mereka kemudian sama tundukkan muka sambil me-
nikmati hidangan masing-masing. Sedangkan si gadis
berdandan menor yang memang Puteri Pemalu adanya
sekarang sudah berada di depan pemilik kedai. Melihat
penampilan gadis itu si bapak botak nampaknya tidak
berkenan sekali.
"Pak aku meminta nasi dibungkus, lauk pauk
juga ayam jantan muda yang sudah di panggang. To-
long cepat sediakan, aku tak punya waktu berdiri ber-
lama-lama di sini. Dalam ruangan ini walaupun ba-
nyak pemandangan indah, tapi panasnya bukan main.
Aku takut bedak ku serta dandanan ku yang bagus ini
jadi luntur. Hik hik hik!" kata Puteri Pemalu sambil
mengintai dari balik kain jubahnya yang ditutupkan di
bagian wajah.
"Apakah kau sanggup membayar lima kepeng
perak untuk pesananmu itu Nisanak?" tanya bapak
botak meragukan isi kantong orang.
Puteri Pemalu delikkan mata. Mulut komat-
kamit, dia marah sekali tapi sebagaimana kebiasaan-
nya dia tetap mengumbar tawanya. Tak terduga Puteri
Pemalu singkapkan ujung jubah yang menutupi wa-
jahnya. Tangan kiri entah kapan bergerak, tahu-tahu
sudah mencengkeram kepala botak pelontos bapak ke-
dai. Orang tua itu tentu saja kaget, begitu juga para te-
tamu yang sedang bersantap dalam kedai. Diantaranya
ada yang menunda untuk menyuapkan makanan atau
minumnya. Ada pula yang memandang kejadian itu
dengan mata mendelik. Tapi tak kurang yang bersikap
acuh meneruskan kesibukannya seolah tidak terjadi
sesuatu apa di tempat itu.
"Apa kau lihat tua botak kalau diriku yang can-
tik ini punya tampang seperti gembel? Sial betul diri-
mu ini. Kepala sampai botak begini mungkin rambut-
mu rontok memikirkan untung melulu sepanjang hari!"
dengus Puteri Pemalu. Lalu dia dorong kepala bapak
botak hingga membuat si orang tua hampir terjeng-
kang.
Para tetamu tak dapat menahan geli mendengar
ucapan dan tingkah si gadis. Apalagi sebelum mendo-
rong orang dia usap-usap kepala bapak kedai beberapa
kali.
Puteri Pemalu Sendiri bersikap acuh. Dia men-
gambil satu keping uang emas, uang itu dilemparkan
di atas meja. Hanya lemparan biasa tapi membuat kep-
ing emas yang dilemparkannya amblas ke dalam kayu
meja.
"Sediakan apa yang kuminta. Sekeping emas
hasil dari boleh mencuri ini bukan saja kuanggap cu
kup membeli makanan. Tapi bisa untuk membeli kedai
seisinya berikut kepala gundul mu yang apek ini!"
"Ter.... terima kasih Nisanak. Kau baik sekali,
hidangan yang terbaik segera dipersiapkan untuk ni-
sanak." ujar bapak pemilik kedai. Dengan mata men-
delik besar melihat kepingan emas itu. Cepat dia ber-
paling pada para pelayannya sambil berkata. "Pelayan
sediakan makan di bungkus lengkap dengan ayam jan-
tan muda yang paling besar!"
Tanpa banyak bicara pelayan menyediakan apa
yang diminta oleh Puteri Pemalu. Setelah menerima
pesanan, Puteri Pemalu mendadak lenyap dari hada-
pan mereka. Semua orang tentu saja dibuat kaget.
Hanya beberapa orang yang memiliki pandangan jeli
dan berilmu silat tinggi saja yang dapat melihat gera-
kan cepat Puteri Pemalu. Ternyata gadis itu tidak lang-
sung tinggalkan kedai. Dia duduk di atas cabang po-
hon terlindung yang berada di pojok kiri kedai. Duduk
dengan uncang-uncang kaki sambil menikmati maka-
nannya.
Lenyapnya Puteri Pemalu yang secepat itu ten-
tu membuat kaget si bapak botak juga para pengawal
pertemuan yang masih berada di situ. Jika bapak bo-
tak beranggapan gadis yang datang tadi adalah sema-
cam hantu baik. Sebaliknya para pemuda bersenjata
pedang dan juga beberapa tetamu lainnya merasa ya-
kin siapapun adanya gadis sinting tadi pasti adalah to-
koh muda rimba persilatan yang mempunyai penyakit
ingatan berkepandaian tinggi.
7
Belum lagi hilang rasa heran di hati mereka
hampir dalam waktu bersamaan terdengar satu suara
sayup-sayup di kejauhan.
"Makan... makan, lapar. Jangan dihabisi, sisa-
kan untukku. Semua piring bekas jangan dicuci dulu,
biar ku makan sisanya. Jika sudah ku jilati sampai
bersih silahkan berbuat apa saja."
"Hemm, sekarang muncul lagi kere pasar ku-
rang makan!" celetuk si Burung Merak.
"Tadi gadis gila sudah memberi rejeki besar pa-
da bapak botak. Sekarang Gembel kere ini hendak
memberi amal apa?" menyahuti Malaikat Kuku Seribu.
Sementara seperti si nenek perhatiannya juga tertuju
ke pintu depan. Suara tawa lenyap, tapi orangnya sa-
ma sekali belum muncul. Pertanda siapa pun dia
adanya pasti memiliki ilmu mengirimkan suara hebat
juga tenaga dalam yang sungguh luar biasa.
Tak berapa lama setelah itu terdengar suara de-
ru angin yang sangat keras luar biasa. Kain jendela
berkibaran seperti bendera, bekas peralatan makan
berpelantingan. Kursi meja yang dijadikan tempat du-
duk bergetar hebat.
Para tetamu kedai jadi tercekat mata terbelalak.
Sedangkan Si Burung Merak terkesiap. Malaikat Kuku
Seribu walaupun diam-diam terkejut namun masih sa-
ja berlaku tenang. Hanya matanya saja menatap lurus
ke depan tanpa pernah berkedip sedikitpun.
Wuuut!
Jliiik!
Di depan pintu kedai kini berdiri tegak seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh delapan tahun,
berambut hitam kelimis rapi. Berjubah kuning lebar
diwarnai tambalan. Saat berdiri orang ini masih men-
gembangkan kedua lengan jubahnya yang menjela.
Rupanya dia datang dengan tubuh berputar dan jubah
dipentang, kedua ujung lengan jubah yang menjela ini
yang membuat timbulnya angin kencang.
Malaikat Kuku Seribu Kepang Lima Belas yang
memperhatikan sejak tadi tentu jadi melengak kaget
begitu melihat siapa yang datang. Sedangkan yang
lainnya hanya mendelik dengan mulut ternganga.
Malaikat Kuku Seribu cepat berbisik. "Apakah
setan yang satu ini termasuk dalam undangan yang
akan hadir dalam pertemuan di Kiara Condong?" tanya
Malaikat Kuku Seribu, lalu melirik ke arah Si Burung
Merak.
"Bukan....dia sama sekali tidak di undang. Ke-
hadirannya di tempat ini mungkin hanya untuk men-
gemis. Atau mungkin ada keperluan lain, siapa dapat
menduga? Dia manusia angin-anginan, walau masih
dapat disejajarkan dengan kaum golongan putih. Tapi
terkadang tindak tanduknya mencurigakan. Aku ma-
lah khawatir dia hendak melakukan kekacauan. Kepa-
da manusia yang satu ini kita harus bersikap waspa-
da!" jawab Si Burung Merak.
"Berani dia mencampuri urusan penting ini aku
pasti akan mencabik-cabik tubuhnya!" kata Malaikat
Kuku Seribu sinis.
Sementara itu laki-laki berpenampilan klimis
yang dikenal dengan julukan Raja Pengemis Tangan
Akherat itu tanpa bicara lagi langsung mengumpulkan
piring-piring bekas makan dimana sisa-sisa makanan
masih terdapat disana. Semua piring yang terbuat dari
tanah itu ditumpuknya di satu tempat. Tak lupa dia
juga mengambil kendi-kendi tuak bekas minuman para tetamu kedai. Bersikap acuh dan tanpa menghirau-
kan perhatian orang yang memandangnya dengan ta-
tapan iba dia mulai menghabiskan sisa-sisa makanan
yang terdapat di semua piring.
"Sisa makanan telah habis, sebaiknya kau se-
diakan sisa makanan lain yang terdapat di dapur pe-
layan!" kata Raja Pengemis Tangan Akherat.
"Kisanak, jika engkau mau dan mampu mem-
bayar kami masih memiliki persediaan hidangan yang
cukup." jawab salah seorang pelayan.
"Kurang ajar! Aku tak butuh makanan baru,
aku mau yang sisa bekas dimakan orang kau paham?"
hardik Raja Pengemis mulai gusar.
"Kalau itu yang kisanak inginkan sudah tidak
ada. Jika pun ada sudah basi, cuma pantas diberikan
pada anjing." Menyahuti bapak botak pemilik kedai.
"Semakin lama sisa makanan itu semakin ba-
gus, kuharap kau mau membawanya kemari!" pinta
Raja Pengemis.
"Manusia kere itu selain rakus rupanya tidak
punya uang barang satu sen pun. Dia tak mau mem-
bayar, jadi yang dimintanya yang bekas melulu!" Si
Burung Merak mencemooh tapi tetap dengan berbisik.
"Hust, jangan sembarangan kau bicara. Raja
Pengemis konon kudengar punya sejenis ilmu aneh.
Menurut yang kudengar dia memakan sisa orang bu-
kan tidak punya tujuan tertentu. Raja Pengemis mem-
punyai ilmu aneh menurutnya di dalam sisa makanan
itu mengandung suatu khasiat yang bisa memperhebat
tenaga dalam juga kesaktiannya." jelas Malaikat Kuku
Seribu dengan suara nyaris tak terdengar.
Tak berapa lama pelayan yang pergi ke bela-
kang untuk mengambilkan apa yang diminta Raja Pen-
gemis telah kembali dengan membawa setumpuk makanan sisa. Ketika makanan dihidangkan di atas meja
Raja Pengemis yang berpakaian warna kuning rapi
namun dipenuhi tambal-tambalan kembang kem-
piskan hidungnya sambil mengendus-endus. Mulut la-
ki-laki itu kemudian menyunggingkan senyum.
"Baunya masih harum, ini bukan sisa makan
kemarin tapi pagi tadi. Luar biasa lezatnya makanan
ini!" Raja Pengemis memuji.
Tanpa menghiraukan tatapan orang yang me-
mandangnya penuh rasa hina dan jijik Raja Pengemis
menyantap makanan itu dengan lahap. Tapi belum lagi
makanan itu habis seluruhnya tiba-tiba saja terdengar
gelak tawa suara seseorang. Suara tawa lenyap, kemu-
dian berganti dengan ucapan bernada mencemooh. "Ku
rasakan hari telah berganti dengan malam. Sayang bu-
lan purnama tak terlihat ada dilangit. Aduh, betapa ge-
lapnya dunia ini. Dalam gelap aku sampai lupa pe-
rutku belum terisi sejak pagi. Dari sini ku cium sedap-
nya aroma makanan. Sayang di dalam kedai ada anjing
kere sedang mengais sisa makanan busuk. Oh kasihan
ada orang melaratnya tidak ketulungan. Masih berun-
tung diriku ini walau mata tidak melek sepanjang hi-
dup aku tak pernah makan nasi bekas!" kata suara
itu. Kemudian terdengar suara racau aneh yang dite-
ruskan dengan suara senandung. "Lelo-lelo perawan
tua pusere dowo. Lelo-lelo ono rondo aduse udo. Ha ha
ha."
Orang di dalam kedai diantaranya ada yang tak
dapat menahan tawa mendengar senandung orang.
Sebaliknya Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seri-
bu Kepang Lima Belas gelengkan kepala.
"Sial betul malam ini. Nampaknya kedai ini
hanya menjadi tempat berkumpulnya para orang gila
kesasar!" rutuk Si Burung Merak.
"Tak usah gegabah. Siapapun yang bicara tadi
jelas bukan ditujukan pada kita!" Malaikat Kuku Seri-
bu menimpali.
Raja Pengemis sendiri yang jelas-jelas dirinya
dihina orang bersikap acuh tak acuh. Dia bahkan seo-
lah tidak merasa terusik. Enak saja dia meneruskan
makannya menyantap sisa makanan yang campur
aduk bekas orang. Ketika Raja Pengemis selesai ma-
kan, dia langsung meneguk sisa tuak dalam kendi be-
sar.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Hmmm, betapa lezatnya." Raja Pengemis ber-
kata sambil menyeka sisa tuak yang berselemot diku-
mis dan bibirnya. Baru saja Raja Pengemis letakkan
kendi besar di atas meja disertai pandangan heran pa-
ra tetamu warung, pada saat itu muncul seorang ka-
kek tua berambut putih panjang menjela menutupi se-
bagian wajahnya. Semua mata kini memandang ke
arah kakek berpakaian serba kuning yang baru mun-
cul. Si Burung Merak yang memiliki pengalaman luas
dan mengenal berbagai tokoh baik golongan hitam
maupun golongan putih langsung mengisiki Malaikat
Kuku Seribu.
"Aku tahu siapa dia. Rambut panjang menutupi
wajah, tubuh kurus kering. Siapa lagi kalau bukan Si
Mata Aneh?"
"Dia bukan manusia baik, kehadirannya harus
kita waspadai. Mungkin dia harus kita awasi lebih ke-
tat. Gila betul, Muka Setan tidak muncul. Lain yang di-
tunggu lain pula yang datang!" gerutu si kakek dengan
mulut cemberut.
Di tengah ruangan kakek berambut panjang itu
singkapkan rambut putihnya yang menutupi wajah.
Semua orang yang ada di dalam ruangan itu jadi tercekat, mata melotot mulut tenganga. Siapapun akan
merasa seram melihat bagaimana sepasang mata si
kakek yang berlubang. Lubang berwarna hitam keme-
rahan membentuk dua buah rongga mengerikan.
Yang lebih mengejutkan lagi bagaimana kakek
ini dapat berjalan melenggang tanpa tongkat, padahal
dia sama sekali tak dapat melihat. Anehnya lagi ba-
gaimana si kakek dapat mengetahui di dalam ada
orang yang memakan nasi bekas?
"Aku mendengar suara desah nafas. Tidak satu
mungkin juga belasan orang yang berada di dalam
ruangan ini. Mengapa semuanya diam. Apakah yang
hadir disini hanya orang tuli dan bisu, tak bisa bicara
tak dapat mendengar?" Suara si kakek buta yang me-
mang bukan lain Si Mata aneh adanya lenyap. Tak ada
yang memberi tanggapan. Bahkan bapak botak pemilik
warung begitu menyadari adanya gelagat yang tidak
baik langsung pergi lewat pintu belakang untuk me-
nyelamatkan segala keuntungan yang didapatnya se-
hari ini. Di sudut ruangan Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu diam tak memberi reaksi. Sementa-
ra itu Raja Pengemis memperhatikan sosok yang da-
tang dari ujung rambut hingga ke kaki.
Rupanya dia mengenali kakek yang baru da-
tang bahkan sempat menghinanya tadi, sehingga sam-
bil berdiri dia semburkan ludahnya ke lantai. Akibat-
nya sungguh mengerikan. Semburan air ludah itu
membuat lubang besar di lantai. Asap mengepul tinggi
memenuhi ruangan disertai terdengarnya seperti suara
api yang membakar gumpalan garam. Asap lenyap, su-
ara berkertakan ikut lenyap. Di lantai lubang besar ta-
di nampak berwarna merah laksana bara.
"Jilatan Ludah Api!" desis Si Burung Merak.
Malaikat Kuku Seribu menanggapinya dengan
senyum.
Sedangkan di tengah ruangan sana Raja pen-
gemis memandang tajam ke arah Si Mata Aneh, seba-
liknya kakek angker itu juga memandang ke arah
orang di depannya dengan kedua rongga matanya.
Seolah kedua lubang mata itu dapat melihat dia berka-
ta. "Kalau tak salah penglihatanku. Bukankah saat ini
aku berhadapan dengan orang paling melarat sedu-
nia?" ucap Si Mata Aneh dengan sikap meremehkan
sekali.
Raja Pengemis yang mempunyai watak pendiam
dan tak perduli dengan urusan orang langsung me-
nyahuti. "Apapun dan siapapun diriku bagimu tidak
penting. Aku tidak punya urusan denganmu, aku
punya urusan lain yang sangat penting dibandingkan
bicara tak berguna dengan setan gila buta sepertimu!"
Si Mata Aneh tertawa tergelak-gelak. Padahal
tidak ada yang patut ditertawakan.
8
Puas tertawa Si Mata Aneh melangkah maju le-
bih mendekat lagi. Dia baru berhenti setelah jarak di-
antara mereka hanya tinggal dua tombak. Dengan se-
nyum tetap bermain di bibirnya Si Mata Aneh berkata.
"Diantara kita tidak ada persoalan? Hmm, mungkin
kau lupa beberapa tahun yang lalu kau pernah mem-
buat aku malu besar di salah satu rumah judi dengan
memasukkan bangkai tikus di dalam minuman ku.
Bukan hanya itu saja, kau melakukan satu kecuran-
gan dengan membalik mata dadu sehingga aku terpak-
sa gigit jari karena gadis taruhan yang seharusnya
menjadi milikku jadi berpindah ke tangan orang lain.
Raja Pengemis Tangan Akherat apakah otak busukmu
yang selalu dijajali makan sisa sudah dapat mengin-
gat?" tanya si kakek.
"Ha ha ha. Mata buta, ternyata hanya pengliha-
tanmu saja yang tidak melek. Sedangkan perabotan
yang lain masih berfungsi dengan baik. Menurutmu
apakah pantas manusia dijadikan barang taruhan. Ji-
ka orang tidak menyebut mu sebagai si buta gila saja
sudah bagus. Sekarang kau mau apa? Ingin menuntut
balas atas semua rasa malu yang sebenarnya memang
pantas kau terima?!" tanya Raja Pengemis disertai se-
nyum mengejek.
"Wahai raja kere, jika waktu itu kau lolos dari
tanganku bukan berarti ilmu kesaktian yang kau miliki
lebih tinggi dariku. Aku tak mengejarmu semata-mata
karena aku masih memberimu kesempatan untuk
meminta maaf. Tapi kau tak melakukannya. Sekarang
segalanya terlambat, kau harus merasakan akibat dari
perbuatanmu dulu berikut bunganya!" dengus Si Mata
Aneh.
"Musuh bagiku tidak kucari. Tapi kalau ada
pantang bagiku untuk melarikan diri!" tak kalah sinis-
nya Raja Pengemis menanggapi.
Jawaban ini membuat Si Mata Aneh tak dapat
lagi membendung kemarahannya. Dengan cepat dia
layangkan tinjunya ke depan. Gerakan tangan diba-
rengi dengan melesatnya sosok si kakek, sedangkan
salah satu kaki sambil melayang lepaskan satu ten-
dangan ke bagian perut lawan. Raja Pengemis melihat
serangan itu berlangsung sangat cepat bukan main
pertanda Si Mata Aneh bukan saja bermaksud mence-
lakai tapi juga memang ingin membunuhnya.
Sadar dengan niat keji Si Mata Aneh, maka Raja Pengemis tidak mau berlaku ayal lagi. Cepat sekali
tangannya bergerak ke arah tumpukan piring tanah.
Laksana disapu angin topan tumpukan piring tanah
berpentalan di udara. Hebatnya lagi puluhan piring ta-
di bukan hanya sekedar menyerang dari arah depan,
tapi juga menyerbu dari delapan penjuru arah dan
menghantam di sekujur tubuh si kakek pada bagian ti-
tik yang paling rawan. Si Mata Aneh mendapat seran-
gan begitu rupa sempat tercekat. Begitu juga mereka
yang berada di dalam kedai. Sambil berserabutan me-
nyingkir ke tempat yang aman mereka terus mengawa-
si jalannya perkelahian sengit.
Di tengah-tengah ruangan Si Mata Aneh yang
mendapat serangan begitu rupa langsung lesatkan tu-
buhnya ke udara hingga kepala hampir menyandak
langit-langit ruangan. Setelah itu dia pukulkan tan-
gannya ke seluruh benda-benda yang berlesatan di
bawahnya.
Praang!
Belasan piring tanah hancur berkeping-keping,
jatuh berkrontangan di seluruh penjuru arah. Baru sa-
ja benda-benda ini berhamburan, tiga buah gentong
besar melayang. Satu mengemplang kepala, satu lagi
menderu ke bagian dada dan satunya lagi menghan-
tam ke bagian perut. Si Mata Aneh walaupun tak meli-
hat tapi dapat merasakan adanya angin dingin me-
nyambar disertai deru aneh berdengung. Satu tangan
lalu dihantamkan ke depan dada dan perut sedangkan
satunya lagi dipergunakan untuk melindungi wajah-
nya. Dua gentong dapat dipukul hancur, sedangkan
yang satunya lagi entah mengapa melejit, berputar ke
samping lalu membentur keras kepada di bagian belakang.
Prak!
Gentong pecah berderak, Si Mata Aneh jejakkan
kaki dengan tubuh terhuyung-huyung. "Pengemis
bangsat!" rutuk Si Mata Aneh. Tidak perduli orang-
orang terus berdatangan menyaksikan pertarungan
itu. Si Mata Aneh mendadak lakukan gerakan cepat.
Tangan diputar sedemikian rupa, hingga menjadi
bayangan yang menghantam ke delapan penjuru arah.
Angin yang ditimbulkan akibat berkelebatnya tangan
itu memporak-porandakan meja kursi serta perabotan
lain yang terdapat di dalam kedai.
Para pemuda berseragam putih bersenjata pe-
dang mulai menyingkir. Sedangkan Si Burung Merak
dan Malaikat Kuku Seribu walaupun masih berada di
tempat duduk masing-masing nampak mulai saling
berbisik.
"Si Mata Aneh belum menggunakan jari tan-
gannya yang bermata. Bila mata yang terdapat di ba-
gian telunjuk tangan kanan terbuka, Raja Pengemis
pasti akan kerepotan." kata Si Burung Merak.
"Raja Pengemis Tangan Akherat kulihat juga
belum menggunakan ilmu andalannya. Kudengar dia
memiliki ilmu kesaktian Penyedot Raga. Tak bisa ku-
bayangkan apa jadinya bila dia menggunakan ilmu
itu." kata Malaikat Kuku Seribu.
"Sudahlah, buat apa kita urus kedua orang gila
itu. Lebih baik kita kembali ke penginapan. Jika sam-
pai besok pagi Si Muka Setan tidak muncul barangkali
kita merasa perlu untuk menyelidiki." sergah Si Bu-
rung Merak. Malaikat Kuku Seribu anggukkan kepala.
Tak berselang lama mereka sudah tinggalkan kedai
melalui jendela samping.
Di tengah ruangan itu, Raja Pengemis menjerit
keras ketika satu pukulan yang tidak terduga mela-
brak tubuhnya. Dia jatuh terhempas membentur beberapa meja. Meja hancur berantakan, tapi Raja Penge-
mis cepat bangkit berdiri. Walaupun dada yang terke-
na pukulan terasa sakit luar biasa akan tetap Raja
Pengemis tak ambil perduli. Laksana kilat dia lakukan
satu lompatan. Begitu tubuhnya melesat di udara ka-
kinya menghantam ke bagian dada. Gerakan ini se-
sungguhnya hanya tipuan saja, karena begitu Si Mata
Aneh menangkis serangannya kaki bergerak ke atas
menghantam kepala.
Dess!
Tak dapat menghindar kakek tua bermata buta
dan memakai baju warna kuning hingga sampai seba-
tas dada ini terpelanting. Sosoknya menabrak dinding
kedai, dinding hancur. Tubuh si kakek amblas dan ja-
tuh terlentang di halaman depan. Si Mata Aneh mera-
sakan kepalanya seperti berputar. Bagian belakang
kepala terasa remuk. Dengan mulut menyumpah sera-
pah dia merangkak bangkit. Terhuyung-huyung dia
berusaha tegak, sementara tangan kirinya mengusap
punggung jari telunjuk tangan kanan. Dari bagian
yang diusap mengepulkan asap tipis. Dalam gelap di-
mana di halaman itu hanya terdapat sebuah lampu
yang menerangi, Raja Pengemis yang sudah berada di
halaman dapat melihat betapa satu mata di jari telun-
juk Si Mata Aneh kini sudah terbuka.
"Kau rupanya hendak menggunakan matamu
itu kakek buta. Baik akan kulihat sampai dimana ke-
hebatannya!" dengus Raja Pengemis. Si Mata Aneh ter-
tawa lebar. Sedangkan Raja Pengemis langsung menge-
luarkan batu tiga persegi bertangkai bulat yang juga
terbuat dari batu. Senjata yang satu ini tidak jauh ber-
beda dengan cermin biasa, bening laksana kristal na-
mun mempunyai daya pantul sepuluh kali lipat dari
cermin biasa.
Di atas pohon si gadis berdandan menor yang
menyaksikan semua jadi bicara sendiri.
"Dua orang gila bertarung di malam buta entah
apa yang mereka perebutkan. Hik hik hik. Tontonan
gratis, sayang kalau dibiarkan berlalu." kata gadis itu
yang bukan lain adalah Puteri Pemalu.
Di satu sudut lain seorang gadis berpakaian
putih yang selalu membuntuti si kakek buta hanya
mampu menahan nafas tanpa memberi tanggapan
apa-apa.
"Kematian telah ditetapkan untukmu malam
ini. Kau tidak dapat mengundurkannya walau barang
sekejap. Silahkan kau menjadi raja gembel di akhirat!"
dengus Si Mata Aneh. Baru saja dia selesai berucap te-
lunjuk tangannya diangkat ke atas dalam posisi meng-
hadap ke arah Raja Pengemis. Begitu si kakek goyang-
kan tangannya, maka dari mata tunggal yang menem-
pel di punggung telunjuknya melesat tiga larik sinar
merah berturut-turut. Sinar maut itu dalam waktu
singkat hampir saja menyambar tubuh lawannya. Na-
mun Raja Pengemis cepat jatuhkan diri gulingkan ba-
dan hindari tiga sinar maut yang menghantam dirinya.
Tiga ledakan terjadi di belakangnya begitu serangan
yang tak mengenai sasaran itu menghantam tanah.
Si Mata Aneh jadi tercekat, tapi dia terus
menghujani lawan dengan lesatan sinar maut yang ke-
luar dari mata anehnya. Seperti tadi dengan gesit Raja
Pengemis terus menghindar dengan menggunakan ke-
cepatan gerak serta ilmu meringankan tubuhnya. Tak
heran jika di tempat itu diwarnai dengan pijaran bunga
api juga suara ledakan-ledakan berdentum.
"Mata Aneh, agaknya hari ini kau akan mene-
mukan suatu ganjalan, satu pelajaran yang tak akan
dapat kau lupakan seumur hidup!" kata Raja Pengemis
dalam hati.
"Raja Pengemis, kali ini kau tak akan dapat
menghindari sinar mataku. Lihat serangan!" teriak Si
Mata Aneh. Tangan kanan yang bermata itu kemudian
diputar lalu arahkan pada Raja Pengemis. Berturut-
turut dari mata telunjuk lawannya melesat sepuluh si-
nar merah yang langsung menderu mengancam sepu-
luh bagian tubuhnya. Tak menunggu lebih lama Raja
Pengemis memutar tubuh dan langsung kiblatkan
cermin batu segi tiga ditangan kirinya ke arah sepuluh
sinar tadi.
Ting! Ting!
Suara berdentingan akibat memantulnya sinar
yang membentur cermin batu segitiga terasa menya-
kitkan gendang telinga. Si Mata Aneh jadi tercekat be-
gitu merasakan adanya hawa panas yang menderu ke
arahnya. Tak tinggal diam dan menyadari serangannya
berbalik menghantam dirinya sendiri, Si Mata Aneh
dorongkan kedua tangannya ke depan.
Dia tas kerimbunan pohon terdengar satu sua-
ra menyeletuk. "Dasar buta gila. Makan tuh penca-
rian!"
Di udara terjadi ledakan keras berdentum, ta-
nah terbongkar membentuk sebuah lubang besar. Ba-
tu-batu berpentalan dikobari api. Suasana yang gelap
semakin bertambah gelap. Satu-satunya lampu yang
terdapat di halaman meliuk-liuk nyaris padam. Ketika
kegelapan dari akibat tebalnya asap sirna. Di depan
sana sosok Mata Aneh sudah tidak terlihat lagi. Se-
mentara satu bayangan putih ikut mengejar ke arah
lenyapnya Si Mata Aneh. Sedangkan Raja Pengemis
masih berada di tempatnya, tegak tergontai sambil
memandangi cermin batu segitiga yang di genggamnya.
Di bagian cermin batu itu terdapat sepuluh titik kecil
pertanda hantaman sinar yang ditangkisnya tadi men-
gandung kekuatan hebat.
"Hm, tak dapat kupercaya jika tidak mengala-
minya sendiri. Mata Aneh ilmumu maju pesat. Kelak
bila bertemu kembali aku tak akan mengampuni jiwa-
mu!" kata Raja Pengemis. Sekali dia berkelebat, maka
sosoknya langsung lenyap dari pandangan mata.
Puteri Pemalu tertawa terkikik-kikik. Seluruh
kejadian yang berlangsung tadi semuanya tak lepas
dari perhatiannya. Namun gadis berotak sinting ini
masih belum dapat memastikan siapa diantara mereka
yang memiliki ilmu lebih tinggi.
"Perkelahian tadi tak ada yang kalah tak ada
yang menang. Tapi aku merasa yakin Si Mata Aneh
pasti terluka. Terbukti dia secara pengecut melarikan
diri. Percuma saja dia jadi laki-laki." gerutu si cantik
gila berdandan menor itu.
Sebenarnya apa yang dilakukan Si Mata Aneh
bukan karena dia terluka atau terkejut melihat lawan
dapat mengembalikan semua serangannya. Akan tetapi
lebih dari semua itu, melalui mata yang menempel di
tangannya kakek ini melihat satu sosok mengerikan
mendekam dibalik kegelapan. Sosok yang memiliki ma-
ta tunggal sangat peka dan tajam dapat melihat satu
hal yang tidak wajar di salah satu bagian tubuh sosok
itu. Karena menyangka Raja Pengemis membawa te-
man yang sengaja bersembunyi untuk kemudian ikut
menghabisinya. Maka begitu tubuhnya terguncang he-
bat dan terasa luluh lantak akibat serangannya sendiri
yang membalik. Tidak mau mengambil resiko Si Mata
Aneh cepat tinggalkan tempat itu.
9
Lenyapnya kedua orang yang terlibat perkela-
hian sengit tadi membuat suasana di sekitar lingkun-
gan kedai penginapan menjadi berubah sunyi. Justru
pada saat itu pula sosok yang mendekam tadi kini
bangkit berdiri. Sementara di dalam kedai para pe-
layan yang sempat dibuat ketakutan dengan dibantu
para pengawal yang akan ikut ambil bagian dalam
mengamankan pertemuan yang berlangsung tak lama
lagi mula sibuk menata ruangan kedai yang beranta-
kan.
Di dalam gelap sosok yang seperti menjunjung
sesuatu di atas kepalanya tiba-tiba keluarkan suara
melengking yang cepat sekali berubah. Suara itu ter-
kadang mirip dengan jeritan manusia, di lain saat be-
rubah menjadi suara lengguh, ringkik kuda, juga sua-
ra lolongan anjing.
Terkecuali Puteri Pemalu yang duduk di atas
cabang pohon sambil berusaha mengenali sosok itu.
Maka orang-orang yang berada di dalam ruangan kedai
jadi tercekat. Satu sama lain saling berpandangan dan
sama pula memandang ke satu jurusan dimana suara
yang berubah-ubah itu terdengar.
Belum lagi hilang rasa kaget yang menyelimuti
diri mereka, pada saat itu terasa adanya hembusan
angin menebar bau busuk menyengat. Yang lebih
mengejutkan lagi walau hembusan angin itu tidak ter-
lalu keras tapi membuat lampu di halaman depan pa-
dam. Lampu halaman yang padam diikuti dengan pa-
damnya seluruh lampu yang terdapat di seluruh ruan-
gan kedai.
"Celaka, apa yang terjadi?" satu dari sekian banyak pengawal keluarkan seruan bernada cemas.
Tak ada yang menanggapi, semua orang diam
membisu dirayapi ketengangan. Di halaman depan da-
lam gelapnya malam yang hanya diterangi cahaya bin-
tang muncul satu sosok yang kepalanya seperti men-
junjung sesuatu yang sangat besar.
"Mahluk itu.... manusia atau apakah? Mengapa
kepalanya seperti menjunjung benda." Puteri Pemalu
yang berada di atas pohon yang sebentar menutup dan
menarik kain jubah dari wajahnya berucap. Untuk per-
tama kali Puteri Pemalu tak berani tertawa. Mungkin
inilah saat paling menakutkan bagi orang gila seperti
gadis itu. Biarpun begitu dia mencoba mengenali sosok
itu. Tapi karena suasana dalam keadaan gelap sekali.
Dia tak dapat memastikan sosok hitam itu manusia
atau hantu. Satu hal yang dapat dia yakini. Sosok
yang dilihatnya bukannya menjunjung sesuatu. Tapi
kepalanya memang besar begitu rupa. Besar di bagian
atas bahkan sepuluh kali lebih besar dari kepala ma-
nusia normal.
"Ladalah... aku seperti melihat hantu penjun-
jung kepala! Bagaimana kepala sebesar itu bisa keluar
dari perut emaknya. Hik hik hik!" Puteri Pemalu dekap
mulutnya. Sosok hitam itu kini keluarkan suara meng-
gerung. Masih dalam keadaan berdiri mendadak son-
tak dari bagian kepalanya menyembul sinar biru yang
meliuk-liuk bagaikan kawanan ular yang keluar dari
lubangnya. Sinar yang keluar dari bagian sisi kepala
sosok itu kemudian menebar ke segenap penjuru arah,
namun yang lebih banyak menyerbu ke dalam kedai.
Di dalam kedai yang gelap gulita mendadak sontak
terdengar pekik dan jerit kesakitan disertai dengan su-
ara letupan seperti suara telur busuk yang terbakar.
Dari sinar biru yang menyerbu ke berbagai penjuru
arah ini terbentuk satu cahaya merah berbentuk se-
perti otak berwarna putih kemerahan yang kemudian
langsung bergerak kebagian kepala sosok hitam di ha-
laman. Sinar biru itu ternyata bukan hanya keluar dari
sekeliling kepala sosok itu, tapi sinar itu sekaligus me-
rupakan satu kekuatan yang ternyata mampu menje-
bol kepala orang yang berada di dalam warung, me-
nyedot isinya untuk kemudian sinar itu memindahkan
cairan otak dimana ke bagian kepala dari mana sinar
itu berasal. Dari dalam kedai suara jeritan masih terus
berlangsung. Malah dari bagian kepala depan sosok itu
kini muncul sinar biru yang kemudian meliuk meman-
jang menyerbu ke arah penginapan yang terdapat di
belakang kedai.
Dari dalam penginapan itu juga terdengar suara
jeritan menyayat memilukan. Beberapa sosok tubuh
nampak berkelebat meninggalkan penginapan. Mereka
yang keluar berserabutan ini semata-mata karena me-
rasakan kepala mereka tiba-tiba berdenyut sakit, batok
kepala laksana tanggal dan mau pecah. Tak urung se-
sampainya di luar mereka jadi bingung, seperti orang
yang baru terbang semangat dan fikirannya.
Di atas cabang pohon Puteri Pemalu juga mera-
sakan hal yang sama. Ketika sinar biru itu menjilat ke
segala penjuru arah mencari sasaran otak yang pada
akhirnya otak korban berpindah ke arah sosok berke-
pala besar luar biasa itu, si gadis merasakan kepa-
lanya berdenyut sakit. Rasa sakit kian menghebat, ter-
lebih-lebih di bagian ubun-ubun. Tapi karena pada da-
sarnya gadis ini agak terganggu ingatannya, mendapat
serangan seperti itu dia hanya mengerahkan seluruh
tenaga sakti di bagian kepala, setelah itu rebahkan tu-
buhnya di bagian cabang pohon.
Dalam gelap tak dapat dihitung berapa banyak
korban yang berjatuhan. Akan tetapi yang jelas sinar
yang keluar dari sekeliling kepala sosok itu kemudian
mulai meredup bergerak meliuk kembali ke asal dari
mana puluhan sinar berasal lalu amblas ke dalam ke-
pala pemiliknya.
"Auuungg! Guk guk guk. Ha ha ha." sosok ber-
kepala besar dan semakin bertambah besar setelah
berhasil menyedot habis otak korbannya ini memijit-
mijit bagian samping kepalanya yang lembek berkere-
nyutan tak mau diam. "Aku dapat tambahan pemiki-
ran baru. Kesaktian dan kecerdikan ku bertambah.
Eh, otak yang baru ku sedot dan kini menyatu dengan
otakku rupanya punya keinginan menjadi kesatria.
Waduh yang ini lain lagi, dia mau jadi raja, dan yang
ini ...yang ini....akh......! Kacau.... fikiran ku jadi ka-
cau. Kraakh, belasan otak yang ku sedot lalu ku pin-
dahkan dalam otakku punya beragam keinginan. Ti-
dak.... akh....otak-otak yang telah berkumpul dalam
kepalaku, aku hanya ingin penyatuan pemikiran. Fiki-
ran cerdik dan pintar tanpa tandingan. Hah, kurang
ajar. Arkh....!" sosok yang kepalanya masih menggem-
bung besar begitu mendapat tambahan otak baru yang
baru berhasil disedot dari korbannya tampak seperti
bingung. Rupanya ada kekacauan dalam fikirannya.
Terbukti seperti orang mabuk dia kemudian
berlari-lari tinggalkan tempat itu. Di kejauhan sana
terdengar suara sosok berkepala besar ini. Terkadang
suaranya berubah-ubah, mungkin karena di dalam
kepalanya bukan hanya otaknya sendiri yang berfikir
melainkan sudah campur aduk dengan otak korban-
korbannya.
***
Matahari baru saja sembulkan diri di ufuk ti-
mur. Waktu terus berputar sedangkan roda kehidupan
berjalan kembali sebagaimana hari sebelumnya. Di se-
belah timur Karang Mulyo di atas jalan setapak si gon-
drong bertelanjang dada Gento Guyon nampak berja-
lan melenggang sambil bersiul dengan irama tak bera-
turan. Sampai di sebuah tikungan jalan pemuda ini
mendadak dikejutkan oleh kemunculan dua ekor kuda
yang berlari kencang melewatinya Murid si gendut
Gentong Ketawa ini tentu menjadi heran dibuatnya.
Dua kuda putih itu lari bagai dikejar-kejar setan. Se-
mentara di atas punggung kuda tak terlihat seorang
pun penunggangnya.
"Aneh, kuda lari lengkap dengan pelananya.
Tapi pemiliknya tidak terlihat ikut serta. Dimana me-
reka? Kuda-kuda bagus seperti itu mengapa dibiarkan
berkeliaran tak karuan kejuntrungannya?" fikir Gento
sambil gelengkan kepala.
Merasa heran atas segala keanehan yang terjadi
Pendekar Sakti Gento Guyon segera berkelebat ke arah
datangnya dua ekor kuda tadi. Ternyata jejak kaki ku-
da datang dari halaman belakang sebuah kedai. Gento
jadi terheran-heran melihat suasana kedai yang sunyi,
padahal bagian pintu kedai dalam keadaan terbuka.
Setelah meneliti dan memperhatikan suasana di sekeli-
lingnya pemuda itu kemudian memutuskan untuk
memeriksa bagian dalam kedai.
Saat pemuda ini jejakkan kakinya di dalam
ruangan kedai merangkap penginapan itu dia melihat
satu pemandangan yang sangat mengerikan yang
membuatnya jadi tercekat, mata terbelalak dan teng-
kuk merinding.
"Astaga! Gusti Allah kekejian apa lagi yang se-
dang terjadi di tempat ini?" desis Gento beberapa saat
kemudian. Dia kitarkan pandangan matanya ke sege-
nap penjuru ruangan. Gento kembali gelengkan kepa-
la. Dia melihat suasana ruangan kedai yang beranta-
kan. Meja dan kursi berantakan, mayat-mayat berge-
limpangan. Yang mengerikan dari sekian banyak
mayat-mayat itu hampir seluruhnya tewas dengan ke-
pala berlubang, mata mendelik, mulut ternganga. Gen-
to mencoba meneliti salah satu mayat yang tergeletak
di depannya. Bagian kaki, tangan maupun badan
mayat itu dalam keadaan utuh, hanya bagian kepa-
lanya saja yang berlubang, bolong melompong. Isi ke-
pala terkuras habis dan tidak bersisa sama sekali.
"Aneh sekali, mahluk apa sebenarnya yang te-
lah membunuh mereka. Apa mungkin ada mahluk
buas yang doyan memakan otak. Begini banyak orang
yang terbunuh, tak satupun kepalanya yang utuh!"
gumam Gento merasa tidak habis mengerti.
Masih dengan perasaan di liputi perasaan he-
ran dan tidak mengerti Gento akhirnya menuju ke ba-
gian belakang kedai, melangkah cepat menuju ke arah
penginapan lalu memeriksa deretan kamar-kamar yang
terdapat di situ. Hampir semua kamar dalam keadaan
terkunci dari bagian dalam. Hanya beberapa dianta-
ranya saja dalam keadaan terbuka. Memeriksa kamar
yang terbuka ternyata tidak berpenghuni, atau mung-
kin kamar-kamar itu ditinggalkan oleh para penye-
wanya dalam keadaan tergesa-gesa. Terbukti Gento
melihat peralatan makan minum masih terletak di me-
ja,
"Aku sungguh dibuat tak habis mengerti. Jika
memang benar penyewa kamar ini kabur melarikan di-
ri, paling tidak mereka membawa serta kantong perbe-
kalannya, bukan meninggalkan barang-barang ini. Se-
suatu telah terjadi di tempat ini, sesuatu yang sangat
hebat menggoncangkan perasaan dan fikiran. Tapi
apa? Mereka melihat mahluk, atau mungkin melihat
setan?" fikir Gento. Dia kitarkan pandang matanya.
Memperhatikan ke setiap dinding ruangan sampai ak-
hirnya dia melihat sesuatu yang terasa aneh. Dengan
perasaan dipenuhi tanda tanya dia melihat lebih sek-
sama lubang yang terdapat di dinding dekat jendela.
"Lubang hitam di dinding seperti bekas ditem-
bus api, atau mungkin sesuatu yang sangat panas.
Apa hubungan semua ini dengan perginya mereka?"
Gento terdiam, berfikir mencoba menghubungkan satu
kejadian yang di kedai dengan kejadian di penginapan.
Dia jadi teringat dengan kamar-kamar lain yang pin-
tunya dalam keadaan tertutup.
Bergegas tanpa menunggu lebih lama Gento ke-
luar kembali. Ternyata lubang kecil seperti bekas ter-
bakar terdapat diseluruh kamar yang ada. Gento jadi
penasaran. Pintu yang terkunci dari dalam di dobrak-
nya. Pintu jebol terkuak lebar. Gento melangkah ma-
suk tanpa mengurangi kewaspadaannya. Karena di da-
lam ruangan agak gelap, dia membutuhkan waktu un-
tuk menyesuaikan diri dengan keadaan di dalam ruan-
gan itu. Ketika dia dapat melihat dalam gelap, Gento
keluarkan seruan tertahan dan surut satu tindakan ke
belakang. Dia memandang lurus ke depan dimana se-
sosok tubuh terbujur kaku dengan mata mendelik, ke-
pala berlubang. Darah menggenang membasahi tempat
tidurnya. Walaupun Pendekar Sakti Gento Guyon tidak
mengenal siapa adanya laki-laki yang terbujur kaku
dengan luka menganga di bagian kepala, tapi dari pe-
nampilan serta melihat pedang yang tergantung di atas
kepala tempat tidur dia dapat memastikan, siapapun
adanya laki-laki itu jelas berasal dari dunia persilatan.
Semakin banyak keanehan yang dilihatnya,
semakin pusing juga memikirkan semua kejadian ini.
Sekarang dia mendekati lubang kecil yang terdapat di
dinding. Lubang itu jelas seperti habis ditembus satu
sinar panas yang membakar. Tapi Gento menemukan
suatu keanehan. Dia melihat di sekitar lubang kecil ti-
dak lebih besar dari ibu jari itu adanya cairan darah
juga cairan lain berwarna putih. Melihat sekilas dia
dapat memastikan cairan itu pastilah cairan otak.
Sekarang sedikitnya dia sudah menemukan su-
atu gambaran. "Orang itu terbunuh karena otaknya
tersedot lewat dinding ini. Tapi apakah mungkin di
dunia ini ada orang yang memiliki ilmu aneh itu. Me-
nyedot otak orang lain dari jarak tertentu. Aku belum
pernah mendengarnya, bahkan guruku sendiri belum
pernah bercerita tentang hal itu" batin Gento. Rasanya
pemuda itu merasa tak perlu memeriksa semua kamar
yang terkunci, karena paling tidak sudah bisa menerka
bagaimana keadaan yang terjadi di dalam sana.
Pemuda ini lalu keluar meninggalkan kamar
berbau amis itu, selanjutnya berkelebat menuju keba-
gian depan kedai. Di halaman kedai keadaan tetap te-
rasa sepi. Gento tak tahu harus bertanya pada siapa.
Dia ingat dari Karang Mulyo, untuk sampai ke Kiara
Condong jaraknya sudah tidak berapa jauh lagi. Paling
tidak dia hanya membutuhkan waktu satu malam per-
jalanan. Dia berharap dapat menemukan gurunya di
tempat pertemuan para tokoh nanti, sementara sambil
melanjutkan perjalanan dia bisa mencari tahu sekali-
gus menyelidiki siapa sebenarnya yang bertanggung
jawab dalam segala pembantaian keji itu.
"Dunia ini agaknya sudah dipenuhi dengan se-
gala kegilaan. Mengapa Gusti Allah tidak mengambil
tindakan atas segala kekejian yang terjadi?" kata pe-
muda itu seorang diri.
"Hik hik hik. Kau memang betul pemuda gagah,
dunia memang sudah dipenuhi oleh orang-orang gila.
Seperti dirimu itu yang bingung. Hik hik hik. Mengapa
kepalaku masih pusing begini?!" kata satu suara me-
nyahuti ucapan Gento.
Murid si gendut Gentong Ketawa melengak ka-
get. Dia menggaruk hidungnya yang tidak gatal, lalu
memandang ke arah datangnya suara. Gento jadi ter-
senyum begitu melihat seorang gadis berdandan menor
memakai jubah warna biru menjela duduk di atas po-
hon sambil ucang-ucang kaki. Yang membuat Gento
jadi kernyitkan alisnya, gadis itu memandangnya den-
gan malu-malu, malah terkadang dia tutupkan ujung
jubahnya di bagian dada ke wajah. Seolah dia seperti
gadis atau puteri pingitan yang sangat pemalu.
"Hei gadis cantik. Mengapa kau duduk di situ.?"
tanya Gento mulai usil.
Si gadis tertawa terkikik-kikik sambil tutupi
wajahnya. Melihat ulah gadis itu Gento jadi nyengir
sendiri.
"Gadis aneh. Ditanya bukan menjawab, tapi
malah tutup wajahnya. Aku jadi ikut malu jadinya."
batin Gento.
10
Di atas cabang pohon si gadis melakukan gera-
kan berayun bagaikan seekor kera yang pindah tem-
pat. Lalu dengan satu sentakan tubuh gadis itu me-
layang, jatuh di depan Gento dengan dua kaki menyen-
tuh tanah terlebih dulu.
"Pemuda cakep. Hik hik hik. Aku duduk disana
sudah sangat lama sekali. Malah kepalaku sempat
pusing, lalu aku tidur. Gila...gila.... aku melihat satu
kejadian dalam kegilaan yang luar biasa. Hihh...!" ga-
dis itu unjukkan mimik seperti ketakutan. Si gadis
kemudian lanjutkan ucapannya. "Aih, siapakah na-
mamu? Apakah kau sudah melihat keadaan di dalam
sana? Kau pasti melihat mayat-mayat bergelimpangan.
Hik hik hik. Kasihan sekali, mereka tewas tanpa sem-
pat mengetahui apa yang terjadi!" Habis bicara dia
kembali tutup wajahnya.
"Jadi kau sebenarnya tahu apa yang terjadi
dengan mereka?" tanya Gento, dalam hati dia memba-
tin. "Wajahnya sih lumayan cantik. Hanya dandanan-
nya begini amat. Kalau bicara wajahnya selalu ditutu-
pi, mungkin dia merasa kecakepan. Jangan-jangan dia
memang gadis sinting berpenyakit ingatan!" membatin
pemuda itu dalam hati.
"Kau bertanya aku berhak diam, terkecuali kau
mau mengatakan siapa dirimu pemuda gagah. Hik hik
hik!"
"Apa ku kata, dia memang gadis edan. Kurasa
orang gila harus dilayani dengan kegilaan pula." fikir
Gento. Lalu dengan tersenyum-senyum ia menjawab.
"Namaku ada dua, yang siang lain dan kalau malam
lain. Kau mau kenal namaku yang mana?" tanya Gen-
to.
Puteri Pemalu singkapkan kain yang menutupi
wajahnya. Sepasang matanya dikedip-kedipkan, bibir
yang dipoles pemerah warna menyala dan nampak be-
lepotan sengaja dibuat tersenyum sedemikian rupa
hingga membuat Gento tak dapat menahan tawanya.
Mengira Gento senang melihat tingkahnya itu Puteri
Pemalu berucap. "Aku ingin tahu namamu siang malam."
"Wah kalau begitu repot aku menjawabnya."
"Merasa repot akupun tak mau menjawab per-
tanyaanmu." kata Puteri Pemalu. Gento jadi garuk-
garuk batang hidungnya, pura-pura berfikir sejenak
baru kemudian menjawab. "Namaku kalau siang Ba-
gus Awan. Sedangkan kalau malam Peteng. Kau sendi-
ri siapa?" tanya Gento sengaja tak mau memberi tahu
yang sebenarnya.
Si gadis tetawa. "Jadi namamu kalau digabung
menjadi satu Bagus Awan - Peteng. Hik hik hik. Nama-
ku sendiri tidak penting. Orang sering memanggilku
Puteri Pemalu."
"Wah nama yang bagus, sesuai dengan orang-
nya berwajah cantik dan tampak malu-malu." menim-
pali Gento sambil tersenyum. "Tadi kau mengatakan
mau menjawab pertanyaanku bila aku sudah memberi
tahu siapa namaku. Sekarang katakan apa yang kau
lihat di tempat ini sebelum pembunuhan itu terjadi?"
desak Gento tidak sabar.
Puteri Pemalu tutupi wajahnya yang tiba-tiba
nampak sangat ketakutan sekali. "Aku mau saja men-
gatakannya tapi aku takut. Hik hik hik."
"Kau tak perlu takut, aku ada disini." ujar Gen-
to.
"Oh, lega hati ini jadinya." kata Puteri Pemalu.
Kening gadis ini kemudian berkerut seolah sedang be-
rusaha mengingat sesuatu. "Aduh celaka diriku ini, fi-
kiran ku mulai kusut. Tapi... tapi, waktu itu suasana
dalam keadaan gelap sekali. Aku tak dapat melihat
dengan jelas. Tapi dalam kegelapan itu aku secara sa-
mar melihat sosok mahluk hitam. Mungkin manusia
bisa jadi juga hantu. Sosok itu memiliki kepala sangat
besar. Malah sepuluh kali lebih besar dari kepala ma-
nusia bisa. Kepala itu mengeluarkan cahaya biru. Cahaya bergerak kemana-mana menyerang siapa saja, la-
lu kudengar ada jeritan, aku juga melihat puluhan
otak berpindah tempat. Aku sendiri sempat diserang
sinar itu. Mungkin karena otakku ada penyakitnya
orang itu tak mau mengambilnya. Aku hanya merasa-
kan kepalaku jadi sakit luar biasa. Rasanya seperti
mau meledak. Tapi seperti yang kau lihat sampai saat
ini kepalaku tetap utuh walaupun masih terasa agak
pusing. Hik hi hik." Kemudian secara panjang lebar
Puteri Pemalu menceritakan segala sesuatunya pada
Gento. Selesai Puteri Pemalu menuturkan segalanya.
Kini Pendekar Sakti Gento Guyon malahan merasakan
kepalanya sendiri jadi ikutan pusing.
"Gadis ini gadis edan. Tak ada yang dapat men-
jamin kewarasannya. Otaknya miring. Siapa tahu dia
bicara ngelantur tak karuan kejuntrungannya. Buat
apa aku mempercayai segala ucapannya?" fikir Gento.
Beberapa saat lamanya Gento hanyut dalam kebim-
bangan. Lalu dia teringat dengan mayat-mayat yang
bergeletakan di dalam kedai, satu mayat di pengina-
pan. Dia juga ingat dengan lubang-lubang kecil bekas
terbakar yang terdapat pada setiap dinding pengina-
pan, lalu cairan otak yang melekat didinding salah sa-
tu kamar dimana Gento mendapati sosok mayat den-
gan kepala berlubang. "Bisa jadi segala keterangan ga-
dis ini memang benar adanya. Tapi.... bagaimana sinar
bisa keluar dari kepala orang itu? Kemudian menjebol
kepala korban lalu memindahkan isi kepala orang ke
dalam kepalanya sendiri. Sungguh bagiku semua ini
merupakan kejadian langka yang sulit diterima akal"
fikir Gento.
"Apa yang kau fikirkan Bagus Awan Peteng.
Apakah kau tengah memikirkan diriku, atau gadis
lain? hik hik hik."
Gento terkesiap, dia memandang ke depannya.
Pada saat itu Puteri Pemalu dengan malu-malu me-
mandangi dirinya.
"Aku tidak memikirkan gadis manapun," jawab
si pemuda. "Semua kejadian ini membuat aku jadi bin-
gung."
"Tidak usah bingung. Buat apa kau memikir-
kan orang yang sudah mati. Biarkan saja, lebih baik
kau memikirkan diriku. Dan aku yakin sebenarnya
kau memang tertarik padaku."
"Gadis gila ini penuh rasa percaya diri. Huh
siapa yang memikirkan dirinya? Biarpun cantik kalau
otaknya gila siapa sudi. Setan sekalipun tidak sudi."
rutuk Gento. Tapi untuk menyenangkan perasaan si
gadis dia tetap menjawab. "Aku memang ada sedikit
memikirkan dirimu. Ha ha ha." kata pemuda itu. Da-
lam hati dia membatin. "Yang ku fikirkan gadis seperti
dirimu matinya kapan?"
"Oh aku merasa tersanjung. Aku senang karena
kini punya seorang kekasih. Kekasih itu adalah dirimu.
Kaulah pemuda tampan yang pertama kali menyentuh
hatiku. Oh indahnya dunia ini ku rasakan setelah aku
punya kekasih! Hatiku kini jadi ser-seran. Jantung
ndut-ndutan."
Mendengar ucapan Puteri Pemalu Gento jadi
melengak kaget. Lebih terkejut lagi ketika melihat si
gadis sakit ingatan melangkah maju kedua tangan ter-
kembang siap merangkulnya.
"Edan.... gadis gila ini siapa bilang aku keka-
sihmu? Urusan bisa jadi runyam kalau tetap ku me-
layani." Gento pun melangkah mundur dua tindak.
Melihat sikap Gento, Puteri Pemalu hentikan langkah,
wajah cemberut unjukkan sikap marah. "Kau kekasih-
ku... mengapa kau tak mau ku peluk? Bukankah semua ini merupakan suatu keberuntungan besar bagi-
mu. Banyak orang yang ingin memeluk ku, tapi semua
kutolak. Tapi kau....?!"
"Jelas saja. Yang memelukmu kakek jompo tak
bisa melihat. Kalau aku oh ruginya. Masih bagus kau
memeluk pohon." dengus Gento dalam hati. Walau ha-
tinya berkata begitu, namun karena dia takut gadis gi-
la itu jadi makin tersinggung dengan nada membujuk
dia berucap. "Aku bukan tak mau, malah ini merupa-
kan suatu keberuntungan besar. Tapi kalau mau men-
dekat sebaiknya kau pejamkan mata."
"Rupanya kau malu aku melihatmu, baiklah.
Sekarang aku akan pejamkan mata Bagus Awan Pe-
teng." ucap Puteri Pemalu. Dia kemudian pejamkan
kedua matanya. Selanjutnya dengan dua tangan tetap
terkembang dia melangkah maju. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Gento. Dengan cepat dia memutar
langkah lalu berkelebat pontang panting tinggalkan si
gadis gila. Di kejauhan sana terdengar suara si pemu-
da sambil tertawa tergelak-gelak. "Dasar edan, siapa
yang suka dipeluk. Lebih baik kau peluk angin, kalau
perlu sampai tua sampai botak ubanan. Ha ha ha."
Puteri Pemalu tersentak kaget. Dia langsung
membuka matanya, lebih terkejut lagi ketika melihat
pemuda yang dikenalnya dengan nama Bagus Awan
Peteng telah lenyap dari hadapannya.
"Pemuda tengik sialan. Dasar laki-laki, semua-
nya tidak bisa dipercaya. Olala... kekasihku pergi me-
ninggalkan diriku. Pemuda tak bertanggungjawab.
Kemanapun kau lari aku pasti akan mengejarmu!" pe-
kik Puteri Pemalu geram. Diapun kemudian berkelebat
pergi ke arah lenyapnya Gento Guyon.
***
Begawan Panji Kwalat dan Ki Anjeng Laknat
duduk berdampingan di hadapan pemuda gondrong
tampan berpakaian serba merah.
Malam itu adalah malam pertemuan terakhir
bagi si pemuda dengan kedua kakek angker yang du-
duk di depannya. Dengan sikap gagah sambil membu-
sungkan dada, si pemuda yang tidak lain adalah Panji
Anom Penggetar Jagad alias Begawan Muda meman-
dang tajam pada gurunya juga pada kakek angker
bermata melesak berhidung remuk. Senyum sinis pe-
nuh kesombongan bermain di mulutnya. "Tua bangka
muka tak karuan rupa ini telah menurunkan sedikit-
nya tiga ilmu kesaktian hebat padaku. Ilmu Kutukan
Dalam Pusara, Ilmu Pukulan Bangkit Dari Kubur, juga
Ilmu Penyelamat diri Tenggiling Putih. Aku telah men-
guasai banyak ilmu penting." membatin Panji Anom
dalam hati. Dia jadi teringat pada Bidadari Biru. Gadis
cantik yang tubuhnya sebening kaca, "Gadis itu bukan
saja tubuhnya sangat menggiurkan, tapi dia telah me-
lukai dengan senjata Bintang Penebar Petaka. Apa
yang telah dia lakukan terhadapku harus dibayarnya
dengan mahal berikut bunganya. Bila bertemu lagi,
bukan hanya senjata itu saja yang kurampas, tapi ke-
hormatannya juga akan kurenggut. Aku akan menga-
jaknya bersenang-senang sampai dia merengek minta
ampun." kata Panji Anom disertai senyum licik ber-
main dibibirnya. Teringat pada si gadis, Panji Anom ja-
di ingat pula pada Gento dan gurunya si gendut besar
Gentong Ketawa. Mendadak wajahnya berubah mene-
gang, pelipis bergerak-gerak sedangkan bibirnya terka-
tup rapat. "Untuk dua manusia edan itu aku telah me-
nyusun suatu rencana besar. Akan ku atur kematian
mereka sedemikian rupa kematian mengerikan yang
belum pernah terjadi atas manusia manapun yang
pernah mengalami penyiksaan di dunia ini!"
"Panji Anom muridku!" kata si kakek berpa-
kaian hitam yang sekujur tubuhnya dipenuhi bubuk
kapur putih. Pemuda di depannya mengangkat wajah,
memandang ke depannya dengan pongah. "Kau bukan
saja telah mewarisi semua ilmu yang ada padaku, tapi
saudaraku Ki Anjeng Laknat telah memberikan semua
ilmu andalannya padamu. Selain itu kau telah mene-
rima penggabungan tenaga sakti kami, hingga kini di-
rimu semakin menjadi hebat. Dengan segala ilmu yang
kau miliki, sekarang kau harus bisa menguasai tokoh-
tokoh penting dari berbagai golongan yang memiliki
pengaruh luas. Kau bunuh orang-orang yang menen-
tang kehendakmu. Karena untuk membangun kera-
jaan dunia baru membutuhkan biaya cukup besar,
kau harus merampas harta benda milik bangsawan,
juragan kalau perlu milik kerajaan. Setelah semua
rencana itu berjalan sebagaimana yang kau kehendaki,
baru kau layak mengumpulkan gadis-gadis cantik agar
kau dapat bersenang-senang dengannya." Ujar Bega-
wan Panji Kwalat. Ki Anjeng Laknat menambahkan.
"Dan untuk mewujudkan cita-cita besar itu, kau harus
pandai memanfaatkan kecerdikan otakmu kau harus
licik, kau harus pergunakan siasat, kau juga harus bi-
sa mengadu domba satu sama lain, kau mesti bisa
memanfaatkan situasi dan kesempatan yang ada. Pen-
dek kata segala sesuatu yang bisa mendatangkan
keuntungan besar harus bisa kau manfaatkan. Jika
semua yang kukatakan dapat kau jalankan dengan
baik. Aku percaya dunia pasti ada dalam genggaman
tanganmu." ujar si kakek.
"Ha ha ha, apa yang dikatakan saudaraku ini
benar, Panji Anom. Uwa gurumu telah memberikan sa-
tu gambaran yang apa bila kau mau menjalankannya
kau akan mendapatkan suatu keuntungan besar." Be-
gawan Panji Kwalat menimpali.
"Aku percaya dan semua yang kudengar hari ini
semuanya telah ada padaku sejak lama. Ini merupa-
kan suatu pertanda antara murid dan guru telah dica-
pai suatu kata sepakat. Aku telah mendengar apa yang
terjadi dengan dunia persilatan saat ini. Untuk itu aku
sudah tahu apa yang harus kuperbuat...!" kata Panji
Anom disertai senyum licik.
"Panji Anom, segala bekal telah pun kau da-
patkan. Apakah sekarang kau tidak hendak melaku-
kan tugas penting yang merupakan perjalanan awal
untuk mencapai segala keinginanmu?" tanya Begawan
Panji Kwalat.
"Ha ha ha. Aku tahu guru sudah tidak sabar
menunggu hasil dari tugas-tugasku. Aku memang
hendak memohon diri, lagipula aku sudah muak meli-
hat tampang kalian berdua. Aku ingin melihat suatu
pemandangan indah yang segar. Aku juga membutuh-
kan hangatnya cahaya matahari juga hangatnya tubuh
perempuan mulus. Sekarang aku mohon pamit. Sila-
kan kalian yang tua tinggal disini, kalau perlu sampai
mati. Ha ha ha."
Begawan Panji Kwalat ikut tertawa. Sebaliknya
Ki Anjeng Laknat unjukkan wajah angker. Dia memang
merasa tidak suka mendengar kata-kata kasar yang
terkadang diucapkan oleh murid adiknya itu. Tapi
sampai sejauh itu dia hanya diam saja.
"Guru dan uwa guru aku mohon pamit!" Berka-
ta begitu Panji Anom tundukkan kepala hingga me-
nyentuh lantai. Ketika keningnya menyentuh permu-
kaan lantai maka terdengar suara.
Dees!
Sosok Panji Anom serta merta lenyap dari ha
dapan kedua kakek tua ini. Begawan Panji Kwalat me-
narik nafas dalam, lalu menoleh pada Ki Anjeng Lak-
nat baru kemudian berkata. "Kakang, aku harus kem-
bali ke bukit kapur di Banyubiru. Kau sendiri apakah
memilih tinggal di kuil ini?"
"Aku bisa berada dimana saja aku suka. Jika
kau mau pergi, pergilah sekarang. Aku membutuhkan
beberapa hari lagi untuk menghimpun tenaga dalam."
jawab Ki Anjeng Laknat.
"Kalau begitu aku pergi dulu." kata Begawan
Panji Kwalat. Dua tangan si kakek lumpuh diketukkan
ke lantai, mendadak sontak tubuhnya mengapung di
udara, lalu bergerak melesat meninggalkan kuil di tebing batu.
11
Berdiri terpacak seperti patung sepanjang waktu, hawa dingin dan panas menderanya silih berganti.
Celakanya nenek berpakaian hitam memegang tongkat
hitam tak kuasa membebaskan diri dari pengaruh ke-
kuatan gaib yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Ke-
kuatan yang dikeluarkan melalui ucapan kata-kata
sakti Begawan Panji Kwalat.
Berdiri tegak selama berhari-hari bagi si nenek
tentu merupakan suatu siksaan yang terasa begitu be-
rat. Apalagi selama itu dia tak makan juga tak pernah
minum barang setetespun.
"Begawan Panji Kwalat, tua bangka murtad.
Doaku mencakup segalanya. Aku berharap Gusti Allah
menurunkan satu kekuatan, aku berharap Tuhan
mencurahkan rahmatnya pada si tua yang teraniaya
ini. Lebih dari semua itu aku berharap Gusti Allah
menjatuhkan laknat pada Begawan Panji Kwalat!" kata
si nenek. Tak lama kemudian dari mulutnya yang keri-
put terdengar suara racau tak berkeputusan, seiring
dengan itu pula di langit mendung tebal kian menghi-
tam. Membuat suasana di puncak bukit yang gelap
kian bertambah gelap.
Nenek Kunti Menak coba memandang ke langit,
namun urung karena lehernya terasa kaku tak dapat
digerakkan. Di langit mendung semakin mengelam ki-
lat menyambar petir menggelegar sambung menyam-
bung tak berkeputusan.
Hujan pun kemudian turun bagai tercurah dari
langit. Dalam keadaan seperti itu timbul satu pengha-
rapan di hati si nenek.
"Petir.. petir.... menyambarlah kau kemari. Be-
baskan diriku dari kutuk laknat dari seorang Begawan
gila." rintih si nenek. Seakan dikabulkan Tuhan, tak
berselang lama kilat menyambar dekat sekali dengan si
nenek. Sambaran kilat lenyap berganti dengan gelegar
suara petir yang sangat dekat sekali dengan telinga
Kunti Menak. Begitu petir berdentum dekat telinga
orangtua itu, dia merasakan tubuhnya laksana terbe-
lah, kuping berdengung dan Kunti Menak jatuh ter-
lempar sejauh delapan tombak.
Beberapa saat lamanya Kunti Menak tidak sa-
darkan diri sementara gemuruh suara hujan kian
menggila. Ketika Kunti Menak siuman dari pingsannya
dia merasakan sebelah telinganya menjadi tuli. Ada
darah yang menetes melalui lubang kuping, hidung
dan mulut. Sementara pakaiannya di sebelah kanan
hangus tercabik-cabik.
Kunti Menak mengerang lirih. Dia mencoba
menggerakkan tubuhnya. Sekujur tubuh sebelah kiri
dapat digerakkan sesuka hatinya, tapi yang sebelah
kanan terasa sakit bagai tercabik-cabik. Dia melirik ke
kanan dan ke kiri, matanya mencari-cari. Ketika ma-
tanya membentur sesuatu maka Kunti Menak terse-
nyum. Dia melihat tongkat pedang hitamnya tergeletak
tak jauh di sebelah kiri dekat dengan kaki.
"Petir itu tadi, sungguh membuat diriku hampir
celaka. Tubuhku di sebelah kanan seperti hancur, kini
nyaris tak dapat ku gerakkan. Pakaian hancur, telin-
gaku seperti tuli. Mungkin juga jadi tuli sungguhan.
Begawan Panji Kwalat, kesalahanmu tak mungkin da-
pat kuampuni. Kelak setelah keadaanku pulih aku
pasti akan mencarimu. Aku baru saja menemukan ke-
lemahan dari ilmu yang kau miliki." geram si nenek.
Selanjutnya dia berusaha duduk, tapi untuk hal seke-
cil itupun sulit dilakukannya. Kini akhirnya dia hanya
terbaring menelentang memandang ke langit gelap
tanpa perduli sekujur tubuhnya di dera hujan yang tak
berkeputusan
Selagi Kunti Menak dalam keadaan demikian
rupa, sekonyong-konyong dia mendengar suara gemu-
ruh hebat berasal dari lereng bukit. Semula orang tua
ini menyangka tengah terjadi gempa hebat di tempat
itu. Tapi alangkah kaget si nenek dibuatnya karena
apa yang dia sangkakan ternyata meleset. Yang ter-
dengar saat itu bukan gempa besar, melainkan suara
langkah-langkah kaki yang demikian berat, sehingga
setiap tindakan langkah selalu disertai dengan suara
berdebum seperti batu besar jatuh dari langit.
"Setan alas mana lagi yang datang ke tempat
ini!" Kunti Menak yang sedang menderita cidera akibat
hantaman petir tadi memaki dalam hati.
Belum lagi gema suara di dalam hatinya lenyap,
pada saat itu didepannya berdiri tegak sesosok tubuh
tinggi besar berkulit hitam ditumbuhi bulu. Sosok itu
tidak pantas disebut manusia karena besar tubuhnya
yang melebihi manusia normal. Dia hanya pantas dis-
ebut raksasa. Melihat kehadiran sosok besar ini Kunti
Menak jadi belalakkan mata.
"Manusia tinggi, badan seperti gajah. Bangsat
satu ini walau berpenampilan menyeramkan namun
aku tidak merasa asing. Rajo Penitis, pangkal dari se-
gala bala dan kedukaan!" mengeram si nenek sambil
memandang ke arah sosok itu dengan penuh rasa ben-
ci.
Melihat kehadiran manusia raksasa ini seketika
timbul satu kekuatan dalam diri Kunti Menak hingga
perempuan tua itu dengan cepat melompat bangkit.
Begitu dia dapat berdiri, meskipun dengan tubuh agak
terhuyung Kunti Menak sambar tongkat pedang hi-
tamnya. Rajo Penitis kibaskan rambutnya yang pan-
jang menjela dan basah oleh siraman air hujan. Kemu-
dian mulutnya terbuka hingga terdengar satu suara
keras menggeledek meningkahi suara gemuruh air hu-
jan.
"Mataku tak salah melihat, walaupun penampi-
lan dan keadaanmu tidak ubahnya seperti pengemis
gila yang kelayapan di tengah pasar, namun aku cepat
memastikan bukankah yang berada di hadapanku saat
ini adalah mertuaku, guru istriku yang tercinta Mawar
Pelangi?" bertanya Rajo Penitis dengan suara sopan.
Ditanya seperti itu bukan membuat hati nenek
Kunti Menak berubah lunak, melainkan jadi bertam-
bah marah. Apalagi bila dia teringat dengan segala ke-
jadian yang menimpa muridnya yang terkasih. Kema-
rahannya pada Begawan Panji Kwalat belum lagi surut,
apalagi kini muncul orang yang sangat dia benci, hing-
ga akhirnya segala dendam kesumat itu dia tumpah
kan pada Rajo Penitis.
"Laki-laki laknat, pembawa petaka dan segala
kesialan. Siapa sudi bermenantukan dirimu? Kau ka-
wini muridku secara diam-diam, dunia akhirat aku ti-
dak senang. Kau harus bertanggung jawab atas segala
musibah yang terjadi akibat semua ulah mu. Kau ha-
rus menanggung segala dosa yang pernah kau laku-
kan!" hardik Kunti Menak dengan suara lantang serta
tatap mata penuh kebencian.
Rajo Penitis melongo seperti orang bodoh. Seha-
rusnya dia yang mengajukan pertanyaan itu pada si
nenek. Bahkan niatnya datang menemui Kunti Menak
semata-mata karena ingin minta penjelasan dan per-
tanggung jawaban si nenek atas diri Mawar Pelangi.
Siapa nyana kini dia harus menelan segala caci maki
orang tua itu.
"Orang tua ini kalau ku lawan bisa jadi kuwa-
lat. Tapi walau bagaimana pun aku harus tahu bagai-
mana nasib Mawar Pelangi istriku. Jika pun dia waktu
itu dalam keadaan hamil saat di jemput nenek-nenek
sialan ini aku harus tahu bagaimana nasib bayi itu."
gumam Rajo Penitis. Setelah puas pandangi nenek tua
dihadapannya Rajo Penitis kemudian ajukan perta-
nyaan. "Nenek jelek berpakaian rombeng. Aku sama
sekali tak tahu apa maksudmu. Aku datang mene-
muimu justru karena ingin tahu dimana istriku bera-
da? Aku masih ingat waktu itu kau mengambil secara
diam-diam Mawar Pelangi dari rumahku!"
"Jahanam tengik, bukannya kau yang telah me-
larikan muridku. Kau tiduri dia hingga membuat pe-
rutnya masuk angin. Kini kau sengaja memutar balik-
kan fakta, apa maksudmu? Menghindar dari tanggung
jawab dan hukuman?" bentak Kunti Menak sambil delikkan mata.
"Justru aku tak menghindar tanggung jawab
hingga membuatku datang kemari. Jika kau mengata-
kan hukuman, hukuman apa? apa salah dan dosaku?"
tanya Rajo Penitis kebingungan.
"Raksasa tolol. Kau dengar, Mawar Pelangi su-
dah mati saat hendak melahirkan bayi batu. Nyawanya
amblas tak ketolongan. Jika dia tidak tidur denganmu
mana mungkin ia bunting. Jika dia tidak bunting, ma-
na mungkin dia mati. Kau sudah faham setan alas!"
Apa yang dikatakan si nenek tentu saja mem-
buat Rajo Penitis jadi tercengang. Wajah angkernya
sempat berubah pucat, sedangkan sekujur tubuhnya
nampak menggigil, menahan perasaan sedih dan duka.
"Mawar, huk huk huk. Mengapa buruk nian su-
ratan nasib ini. Kau pergi meninggalkan diriku. Ra-
sanya hidup ini semakin hampa." desis Rajo Penitis di
tegah-tengah sedu sedannya. Tapi kesedihannya beru-
bah menjadi amarah saat matanya bertemu pandang
dengan mata si nenek. "Nenek tua, katakan bagaimana
nasib anak yang dilahirkannya!" tanya Rajo Penitis
kemudian sambil memegangi dadanya yang bergemu-
ruh.
"Sangat disayangkan anaknya di didik oleh ma-
nusia salah kaprah. Mungkin sekarang dia sudah pergi
ke neraka bersama gurunya dan membangun sebuah
gedung megah disana!" Dengan ketus si nenek menja-
wab.
"Nenek, apa maksud dari semua ucapanmu
ini?"
"Raksasa tolol, maksudku agar aku segera me-
nyusulnya ke sana.!" dengus Kunti Menak.
Rajo Penitis menjadi sangat marah mendengar
kata-kata yang diucapkan oleh Kunti Menak. Dengan
suara bergetar dia berkata. "Perempuan gila pemutus
hubungan tali kasih orang. Aku tahu dirimu saat ini
dalam keadaan terluka di bagian dalam. Tapi kata-kata
yang kau ucapkan sungguh menyakitkan dan terasa
menusuk dijantungku. Mestinya aku sudah membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi mengingat kau telah mera-
wat Mawar Pelangi sejak dia masih kecil jiwa lapukmu
kuampuni. Tapi ingat, bila kelak kau bertemu dengan-
ku mungkin aku tak akan membiarkan mu hidup lebih
lama. Sekarang selagi aku belum berubah fikiran ce-
patlah menyingkir dari hadapanmu!" kata Rajo Penitis.
"Kecoa tengik, tanpa Mawar Pelangi hidup ini
bagiku sudah tidak memiliki arti sama sekali. Kau ti-
dak membunuhku? Sebaliknya aku sangat ingin mem-
bunuhmu saat ini juga. Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk menerima kematian dariku!" seru Kunti Menak
lalu silangkan tongkat pedang hitamnya di depan da-
da.
Melihat sikap si nenek, Rajo Penitis tertawa ter-
gelak-gelak. Saat itu hujan mulai menunjukkan tanda-
tanda akan mereda, tapi kabut tebal masih menyeli-
muti daerah di sekitar puncak bukit.
"Tua bangka tak tahu gelagat, jika itu memang
sudah menjadi keinginanmu, maka gayungpun ber-
sambut. Jika kau ingin mati aku akan meluluskan
permintaanmu!" jawab Rajo Penitis tak kalah sengit-
nya.
Kunti Menak tak menanggapi, dia hanya kelua-
rkan suara menggerung. Seiring dengan suara raun-
gannya, dia jejakkan kaki, tubuhnya melesat ke depan
meluruk deras ke arah lawan. Tongkat hitam yang tadi
disilangkan ke depan dada kini menderu, berkelebat di
udara. Tiga larik sinar hitam silih berganti menusuk,
membabat dan memukul ke sekujur tubuh Rajo Peni-
tis, mengurung setiap jalan gerak laki-laki itu hingga
membuat manusia raksasa itu terpaksa melompat
mundur. Akan tetapi baru saja Rajo Penitis jejakkan
kakinya di atas tanah sekonyong-konyong si nenek su-
dah babatkan tongkatnya ke bagian kaki. Serangan
ganas yang berlangsung sangat cepat ini tak sempat
lagi dihindari oleh lawan.
Plak!
Hantaman keras melabrak tulang kering Rajo
Penitis hingga membuat manusia raksasa ini jatuh
berdebum seperti pohon besar roboh.
Sring!
Si nenek keluarkan pedang dari tongkat hitam-
nya. Tanpa membuang waktu selagi lawan berusaha
bangkit berdiri dia tusukkan pedangnya ke dua bagian
tubuh Rajo Penitis. Manusia raksasa ini menggeram,
sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya dia ge-
rakkan tangannya dari samping kiri ke kanan bermak-
sud menangkap pedang lawannya.
Angin deras menyambar dari telapak tangan
Rajo Penitis, membuat tubuh si nenek terhuyung dan
serangan pedang meleset mengenai tempat kosong.
Mempergunakan kesempatan ini itu masih dalam kea-
daan terlentang lawan memutar tubuhnya begitu rupa
sehingga baik tangan ataupun kaki membabat ke tu-
buh Kunti Menak
Dia cepat cabut senjatanya yang menancap di
tanah, sambaran angin yang ditimbulkan oleh putaran
tangan lawan membuat terhuyung seperti di terpa ba-
dai. Tetapi dengan cepat sekali dia melompat menjauh
dari jangkauan serangan lawannya tapi tak urung kaki
lawan masih sempat menyambar pinggulnya.
Deees!
Sambil keluarkan sumpah serapah, si nenek
berusaha mengendalikan keseimbangan. Tendangan
kaki si raksasa Rajo Penitis membuat pinggulnya sera-
sa remuk dan menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa.
Terpincang-pincang Kunti Menak mencoba
mengatur posisi, sedangkan di depan sana lawan su-
dah berdiri tegak, memutar kedua tangannya sedemi-
kian rupa, hingga dalam pandangan si nenek sepasang
tangan itu kini seolah telah berubah menjadi sepuluh
pasang. Kunti Menak tercekat, walau apa yang dilihat-
nya sempat membuat dirinya terkejut, tapi dia kemu-
dian malah tertawa terbahak-bahak.
"Kau hendak menggunakan ilmu Sepuluh Tan-
gan Bayangan? Segala ilmu setan tak laku di depan-
ku!" Lalu Kunti Menak keluarkan suara racauan. Tan-
gan kiri yang tidak memegang pedang menggapai ke
atas. Di lain kejab dua buah rantai batu telah berada
di dalam genggaman tangannya.
Rajo Penitis yang diam-diam sempat kaget tak
menyangka lawan mengenai jurus yang dipergunakan-
nya kini jadi terkesiap begitu melihat rantai batu di
tangan lawan.
"Rantai Belenggu Neraka?" desisnya.
"Hik hik hik! Dengan rantai ini akan ku beleng-
gu tangan dan kakimu. Setelah itu baru kemudian aku
membeset tubuhmu dengan pedang ini!" kata Kunti
Menak ketus dan tetap memandang enteng lawannya.
Selesai berkata dengan kecepatan laksana kilat dia
luncurkan kedua rantai itu ke arah Rajo Penitis. Begitu
rantai menderu di udara, satu melesat ke arah tangan
si raksasa sedangkan satunya lagi meluncur ke bagian
kaki. Rajo Penitis walaupun badannya besar bukan
main cepat, lakukan gerakan aneh. Hingga rantai yang
melibat kedua tangannya tak dapat mencapai sasaran.
Sebaliknya rantai yang meluncur ke bagian kaki telah menggelung sekaligus melilit kaki Rajo Penitis.
Sret! Sreet!
Terdengar suara gemeretak sebagai tanda ran-
tai batu telah mengunci. Rajo Penitis walaupun tangan
kanannya mampu memukul rantai yang hendak meli-
bat tangannya hingga terpental tapi merasa sulit ber-
gerak karena kedua kakinya kini terbelenggu rantai
batu. Manusia raksasa ini menggerung, kakinya me-
ronta-ronta berusaha memutus rantai batu. Tapi jan-
gankan putus, bergerak pun tidak. Kunti Menak sadar
betul lawan dalam keadaan terjepit. Sambil tertawa
penuh kemenangan, si nenek lepaskan satu pukulan
ke bagian perut lawannya. Ketika tangan dihentakkan
ke depan, menderu segulung angin keras disertai ber-
kiblatnya sinar hitam berhawa panas membakar ke
arah Rajo Penitis. Laki-laki itu tak mau perutnya jebol
terhantam pukulan lawan. Maka dengan gerakan cepat
dia melompat tinggi, kedua kaki sengaja diayunkan
menyambut serangan lawan.
Wuuut!
Dari kedua kaki Rajo Penitis yang terbelenggu
rantai menderu angin dingin yang langsung menyam-
but pukulan lawan. Tapi deru angin tadi seperti am-
blas lenyap dalam gemuruh serangan lawan. Tak ayal
lagi kedua kakinya pun menjadi sasaran serangan si
nenek.
Buuum!
Satu ledakan menggelegar laksana meng-
guncang bukit. Tapi suara ledakan tenggelam dalam
jeritan Rajo Penitis. Laki-laki itu jatuh terbanting. Tan-
pa disertai akibat pukulan tadi membuat rantai yang
membelenggu kedua kakinya hancur berkeping-keping.
Padahal saat itu Kunti Menak sudah menyerbu ke arah
lawan sambil babatkan pedangnya.
Rajo Penitis yang dalam keadaan cidera kedua
kakinya sempat melihat berkiblatnya pedang dan juga
sambaran angin dingin. Sehingga dia pun bergulingan
selamatkan diri. Gerakan menghindar yang dilakukan
si raksasa membuat serangan pedang untuk yang ke-
dua kalinya jadi meleset. Ketika pedang lewat di atas
perutnya, Rajo Penitis dengan menggunakan tangan
kanan menghantam dada si nenek.
Kraaak!
Terdengar suara patahnya tulang belulang. Si
nenek terpelating sambil menjerit kesakitan, kemudian
jatuh bergedebuan sejauh delapan tombak. Terpin-
cang-pincang si raksasa yang kedua kakinya melepuh
akibat dihantam pukulan si nenek tadi langsung men-
datangi. Kunti Menak mengerang, berusaha bangkit,
namun hal itu tak pernah dapat dilakukannya. Gera-
kan tadi membuat darah menyembur dari mulut juga
hidungnya. Si nenek mengerang, mata mendelik me-
nahan sakit akibat patahnya tulang dada juga luka di
bagian dalam. Manusia raksasa memandangnya den-
gan tatapan mata kosong. Tak terduga kaki kirinya di-
angkat, lalu bergerak meluncur menghantam perut si
nenek.
Terdengar suara tulang punggung berderak pa-
tah. Tubuh si nenek amblas ke dalam tanah. Dia tewas
seketika. Rajo Penitis perhatikan kedua kakinya yang
kemerah-merahan. Kedua kaki itu mengelupas. Dia
kemudian terpaksa merobek pakaian serta membalut
luka di kedua kakinya setelah sebelumnya menabur-
kan serbuk ramuan obat.
"Istriku akh, sudah mati. Tinggal anakku yang
masih hidup. Kemana aku harus mencari?" kata si Ra-
jo Penitis. Dia diam sejenak sambil berfikir. "Saha-
batku-sahabatku kurcaci jelek itu barang kali dapat
kuminta bantuannya untuk mencarikan anakku! Kurcaci... kurcaci jelek dimana kau?" teriak si raksasa.
Gema suaranya lenyap tak terjawab. Gemuruh suara
hujan mulai mereda, air hujan membasahi tubuhnya.
Rajo Penitis kemudian balikkan tubuh lalu berlari menuruni bukit.
12
Terhuyung-huyung Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu ayunkan langkah menuju Kiara
Condong. Saat itu baik si nenek maupun si kakek sa-
ma memijit kepalanya yang terus berdenyut dan me-
nimbulkan rasa sakit yang sungguh luar biasa. Di sua-
tu tempat Malaikat Kuku Seribu yang berjalan mengi-
kuti si nenek tak jauh di belakang orang tua itu tiba-
tiba hentikan langkah, kemudian duduk mengelepak di
atas tanah sambil pejamkan matanya.
Si nenek yang sempat menoleh ke belakang jadi
tertegun. Dia sendiri saat itu merasakan hal yang sa-
ma, kepala pusing pemandangan berkunang-kunang
sedangkan isi dalam kepalanya laksana mau tanggal.
"Sahabatku Malaikat Kuku Seribu, apa yang
terjadi dengan diriku?" tanya si nenek yang kepalanya
dihiasi tusuk konde berupa sosok burung merak. Si
kakek gelengkan kepala, dia terus berusaha menghim-
pun hawa sakti dan mengerahkannya ke bagian kepala
yang sakit.
"Aku merasa kepalaku seperti mau pecah,
otakku seperti diaduk-aduk. Dan yang membuatku he-
ran, kita sudah tinggalkan penginapan dan berjalan
sejauh ini mengapa baru sekarang aku menyadarinya?
Seolah-olah aku baru saja mengalami mimpi buruk
yang sangat mengerikan." kata si kakek seperti orang
yang kebingungan.
Si Burung Merak terdiam, dia kembali memijit-
mijit kepalanya yang sakit luar biasa, sedangkan urat-
urat darah di bagian wajah dan sekujur kepalanya ber-
sembulan seperti mau meledak.
Si nenek lalu terhuyung, kemudian jatuh ter-
duduk dengan mata mendelik. Burung Merak merasa-
kan dunia ini berputar. Dia mulai menyadari ada se-
suatu yang tidak beres terjadi pada bagian otaknya.
Perlahan namun pasti Burung Merak salurkan tenaga
dalam ke bagian kepalanya. Begitu tenaga dalam sam-
pai di bagian otaknya, satu pergolakan hebat terjadi
hingga membuat si nenek menjerit kesakitan. Hal yang
sama juga terjadi pada Malaikat Kuku Seribu. Kakek
ini merasakan kepalanya seperti di jungkir balik, tapi
baik si kakek maupun si nenek tetap salurkan tenaga
ke bagian kepala. Perlahan namun pasti urat darah
yang bersembulan di bagian kepala maupun wajah be-
rangsur lenyap. Rasa sakit yang sangat luar biasa ikut
pula hilang. Si kakek membuka mata, dia menyeka wa-
jahnya yang basah bersimbah keringat. Memandang ke
depan dilihatnya nenek berpakaian merah sahabatnya
masih pejamkan mata. Dia jadi kaget ketika melihat
dari lubang hidung Si Burung Merak meneteskan da-
rah kental berwarna kehitaman.
"Burung Merak hidungmu!" seru Malaikat Kuku
Seribu kecut. Di depan sana Si Burung Merak seka da-
rah yang menetes dari hidungnya sambil membuka
matanya yang terpejam.
"Hidungku berdarah, hidungmu juga!" berkata
si nenek setelah memperhatikan sahabatnya.
Malaikat Kuku Seribu mengusap darah dengan
punggung tangannya. Kedua orang tua ini sejenak lamanya jadi saling berpandangan. Seolah seperti orang
yang baru terjaga dari tidur yang panjang Malaikat
Kuku Seribu berucap. "Burung Merak, apakah kau tak
merasakan ada sesuatu yang aneh telah terjadi dengan
kita? Cobalah ingat baik-baik. Aku merasa waktu itu
kita berada di dalam penginapan, tidur di kamar mas-
ing-masing. Mengapa sekarang kita berada di sini?"
"Kau betul, aku sendiri saat itu sudah hampir
tertidur. Mendadak aku mendengar seperti ada suara
berdengung aneh, kemudian kulihat satu sinar me-
nembus dinding kamarku. Kemudian kepalaku seperti
mengalami guncangan hebat, hingga membuatku jadi
setengah sadar. Kemudian aku berlari menghambur
keluar. Kutemukan dirimu yang telah berubah seperti
orang linglung. Ku tarik dirimu untuk melihat apa
yang terjadi. Saat itu kulihat begitu banyak sinar biru
bertaburan di udara. Beberapa orang kulihat berlarian
menyelamatkan diri. Dalam sakit yang sangat hebat
mengguncang kepala kita jadi seperti orang bodoh. Ki-
ta bukan melihat apa yang terjadi di dalam kedai, tapi
malah ikut menyelamatkan diri secara pengecut." kata
Si Burung Merak.
"Ketika itu kepalaku laksana mau meledak. Ku-
lihat keadaan disekeliling ku seperti di jungkir balik-
kan. Ketika kita melewati bagian belakang kedai, aku
melihat begitu banyak sinar biru bergentayangan men-
jebol kepala para pengawal pertemuan. Melalui sinar
itu aku melihat isi kepala yang tercabut dari dalam ba-
tok kepala para pengawal kemudian melayang entah
kemana." Malaikat Kuku Seribu memberi tanggapan.
Kedua orang tua ini saling berpandangan. Mas-
ing-masing diri tenggelam dalam fikirannya sendiri.
Sampai akhirnya Si Burung Merak kembali membuka
mulut. "Sahabatku apakah arti dari semua ini?" Malaikat Kuku Seribu terdiam, mencoba menghubungkan
satu kejadian dengan kejadian lainnya. Baru kemudian
dia menjawab. "Apa yang terjadi ini kuanggap sebagai
suatu kejadian yang sangat langka. Sampai sejauh ini
aku hanya bisa menarik kesimpulan mungkin ada satu
tokoh berilmu aneh yang dengan ilmunya itu memin-
dahkan otak seseorang ke dalam otaknya sendiri. Atau
bisa jadi orang itu memakan otak korbannya guna me-
nambah kehebatan ilmu yang dia miliki."
"Hal pertama yang kau katakan itu rasanya
sangat mustahil sekali bahkan sulit diterima akal. Aku
lebih percaya dengan yang kedua. Dulu di selatan aku
pernah melihat bagaimana seorang tokoh sesat mem-
bunuh seorang perempuan yang hamil muda, menjebol
isi perut mengambil calon bayi lalu memakannya men-
tah-mentah. Ketika kutanya katanya dengan memakan
bayi itu akan menambah kehebatan ilmu yang dia mi-
liki. Bukankah ini suatu kenyataan yang aneh. Saat
aku hendak menghabisinya karena tindakannya itu,
ternyata ilmunya selain memiliki berbagai keanehan
juga sangat tinggi. Tapi syukurlah aku dapat membu-
nuhnya!"
"Baiklah, aku lebih percaya pada kenyataan
yang kedua. Yang membuat aku menjadi heran jika
mereka semuanya terbunuh mengapa kita masih dapat
meloloskan diri. Padahal sinar maut itu seharusnya
juga menjebol kepala kita. Karena aku lihat sinar yang
sama sempat menembus dinding kamarku." Kata Ma-
laikat Kuku Seribu.
"Aku berfikir pertanyaanmu itu dapat kujawab.
Mungkin kekuatan sinar itu terbatas pada tingkatan
tertentu, karena sasaran yang dituju cukup banyak
sekali. Kita memiliki kesaktian serta tingkat tenaga da-
lam yang tinggi. Sehingga kekuatan sinar yang terbagi
bagi itu tak mampu menembus kepala kita. Kau dan
aku hanya mengalami suatu guncangan hebat yang
membuat kepala ini seperti di betot dan otak seperti
diaduk-aduk." jelas Si Burung Merak.
"Kurasa penjelasan mu itu dapat diterima akal.
Kalaupun kemudian kita seperti orang lingkung,
menghambur sampai sejauh ini tanpa sadar. Kua-
nggap itu merupakan suatu yang wajar. Karena kita
sendiri tidak dalam keadaan siap menghadapi seran-
gan yang tidak terduga itu."
"Menurutmu siapa orang yang memiliki ilmu gi-
la seperti itu?" tanya Si Burung Merak beberapa saat
kemudian. Malaikat Kuku Seribu gelengkan kepala.
"Tidak dapat kuduga. Ilmu atau cara menghan-
curkan lawan dengan cara seperti itu tergolong langka.
Bahkan aku sendiri tak pernah mendengarnya!" jawab
si kakek.
"Kita bisa menyelidikinya nanti setelah perte-
muan di Kiara Condong selesai. Aku hanya berharap
walaupun kita tak bertemu Si Muka Setan di kedai itu,
semoga dia sudah sampai di tempat tujuan dengan se-
lamat!" kata si Burung Merak.
Kedua kakek nenek ini akhirnya bangkit berdi-
ri. Setelah itu tanpa bicara apa-apa mereka melan-
jutkan perjalanan. Karena perjalanan ke tempat tujuan
masih agak jauh, Si Burung Merak dan Malaikat Kuku
Seribu akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan
pintas. Sampai di jalan mendaki berbatu licin kedua-
nya membelok ke kanan. Akan tetapi baru saja bebe-
rapa langkah mereka menelusuri jalan pintas, Si Bu-
rung Merak yang berada di bagian depan menjerit. Tu-
buhnya surut dua langkah ke belakang, mata membe-
liak lebar, mulut ternganga sedangkan wajahnya beru-
bah pucat laksana melihat setan.
Terkejut Malaikat Kuku Seribu membuatnya
cepat memandang ke depan. Sama seperti si nenek, la-
ki-laki tua ini juga keluarkan pekik tertahan. Sekujur
tubuh menggigil, namun mata tetap tertuju ke arah
sebatang pohon dimana mereka melihat sesosok tubuh
seorang perempuan berpakaian kuning dengan renda-
renda putih. Sosok yang dalam keadaan terkapar itu
berwajah angker menyeramkan seperti setan. Rambut-
nya yang memutih dilumuri darah.
"Muka Setan...!" jerit Si Burung Merak. Nenek
tua ini dengan langkah sempoyongan berlari menda-
patkan jasad kaku sosok Si Muka Setan.
"Gusti Allah, sungguh aku hampir tak percaya
melihat semua ni!" teriak Malaikat Kuku Seribu den-
gan perasaan tegang juga sedih melihat nasib menge-
naskan yang dialami oleh Si Muka Setan. Sama seperti
si nenek dia juga segera datang menghampiri. Sambil
bertangisan, kakek dan nenek itu segar memeriksa ja-
sad kaku Si Muka Setan. Mereka jadi tercengang meli-
hat bagian kepala Si Muka Setan persis di atas ubun-
ubun berlubang besar. Lubang itu dilumuri darah dan
cairan otak, tapi di dalam lubang kepala itu sendiri
isinya kosong. Bagian otaknya lenyap seperti telah dis-
edot keluar.
Dengan tubuh menggigil dilanda perasaan te-
gang dan marah Malaikat Kuku Seribu kepalkan tin-
junya. "Jahanam pembunuh itu? Ternyata dia lebih
cepat dalam melakukan segala kekejiannya. Aku ber-
sumpah disaksikan langit dan bumi, ke ujung dunia
pun pasti dia akan kucari. Bangsat itu siapapun dia
adanya pasti sengaja hendak mengacaukan jalannya
pertemuan mulia nanti. Dia bukan hanya sekedar me-
nebar teror gila, tapi rupanya dia merasa tidak senang
melihat dunia persilatan berada dalam keadaan aman
damai!"
"Aku tidak akan melupakan semua ini. Dia
membunuh tokoh penting golongan kita. Agaknya dia
memang sudah lama mengincar sahabat kita Si Muka
Setan." ujar Si Burung Merak disela-sela isak tangis-
nya.
"Kurasa memang begitu. Kejadian ini sungguh
tak pernah kuduga. Tapi walaupun Muka Setan telah
tiada, kita yang masih hidup wajib meneruskan segala
rencananya." kata Malaikat Kuku Seribu.
"Aku sependapat, lalu apakah kita akan men-
guburkan mayat Muka setan?" tanya Si Burung Merak.
"Tidak. Mayat ini harus kita bawa ke Kiara
Condong. Nanti setelah seluruh sahabat melihat
mayatnya baru kita kuburkan beramai-ramai."
"Mereka pasti akan menjadi sangat marah me-
lihat semua ini!" kata Si Burung Merak.
"Tidak menjadi apa. Kalau perlu kita bersatu
padu mencari bangsat gila penyedot otak itu nanti se-
telah pertemuan berakhir!" ujar si kakek. Dia lalu
bangkit berdiri. Kemudian mayat Muka Setan dipang-
gulnya di bahu kiri. Sedangkan Si Burung Merak me-
lakukan pengawalan di belakang untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diingini. Tak berapa lama
kemudian dengan perasaan masih dibalut duka dan
kesedihan Malaikat Kuku Seribu yang memanggul
mayat Muka Setan serta sahabatnya Si Burung Merak
segera tinggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan.
TAMAT
SEGERA TERBIT !!!
KEMELUT IBLIS