..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label RAJA NAGA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RAJA NAGA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Januari 2025

RAJA NAGA EPISODE PATUNG DEWA DARAH

Patung Dewa Darah

 

Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



SATU


HEMBUSAN angin malam begitu dingin. Malam 

sedemikian sunyi dan mencekam. Lain dengan malam-

malam sebelumnya. Di atas sana gumpalan awan hi-

tam merajai sebagian persada langit dan menghalangi 

sinar rembulan yang bersinar terang. Padahal saat ini 

purnama sudah datang. Tetapi awan-awan hitam itu 

telah menutupi sinar purnama. Keadaan yang jarang 

sekali terjadi.

Suasana mencekam itu pun tak luput dari hati 

seorang lelaki bernama Jaka yang berusia sekitar tiga 

puluh tahun. Sejak tadi dia tak bisa tidur. Hatinya ge-

lisah. Kedua tangannya dilipat sebagai pengganjal ke-

pala. Tubuhnya yang bertelanjang dada diselonjorkan 

lurus-lurus.

Sesekali matanya melirik istrinya yang tertidur 

pulas di samping kanannya. Dilihatnya ada senyuman 

bahagia pada bibir istrinya yang ranum.

Mereka memang masih pengantin baru, baru 

dua bulan melaksanakan upacara pernikahan. Tadi 

mereka baru saja melepaskan hajat sebagai suami-

istri. Bila biasanya selesai melepaskan hajat si lelaki 

akan lelap tidurnya, tetapi justru kali ini dia tak bisa 

tidur.

Perasaan gelisah semakin merajai hatinya.

"Aneh! Mengapa perasaanku tak tenang?" de-

sisnya pelan. Matanya menatap langit-langit kamar 

yang terbuat dari rumbia. Sunyi merajai kamar itu. 

"Ada apa ini? Aku seperti menangkap isyarat yang tak 

enak...."

Dilirik istrinya yang tersenyum dalam tidur.

Kemudian dia mendesis lagi, "Lebih baik aku


berada di luar saja. Mungkin angin malam akan bikin 

hatiku tenang kembali...."

Perlahan-lahan Jaka bangkit. Melihat istrinya 

yang menggeliat sesaat. Selimut yang menutupi tu-

buhnya bergeser, memperlihatkan bukit kembar 

mengkal sebesar kepalan tangan. Lalu ditariknya seli-

mut itu untuk menutupi tubuh istrinya.

Kemudian dia beranjak hendak keluar kamar.

Tetapi baru saja tangannya hendak mendorong 

pintu, mendadak saja terdengar suara,

"Braaakk!!"

Sangat keras hingga untuk beberapa saat Jaka 

terdiam di tempatnya. Sejurus kemudian, wajahnya 

yang gelisah berubah menjadi tegang. Cepat dia me-

lompat menyambar parang yang tersampir di dinding 

kayu kamarnya. Ditariknya napas beberapa saat sebe-

lum dengan kewaspadaan tinggi dia membuka pintu.

Jaka dilahirkan dengan keberanian tinggi. Begi-

tu pintu dibuka dia langsung melompat bersiaga. Ma-

tanya memperhatikan sekeliling dengan mulut mera-

pat.

Tak seorang pun yang berada di sana. Tetapi 

saat dia mendongak, atap rumahnya telah jebol seperti 

tertimpa batu langit!

"Gila! Apa yang terjadi?!" desisnya dengan pera-

saan tak menentu. Dia kembali melangkah dengan te-

tap menjaga kewaspadaannya.

Ruangan rumahnya tak begitu luas dan tak 

memiliki perabotan yang bagus atau besar. Hingga se-

kali lagi dia memandang sekelilingnya sampai diyakini 

betul tak seorang pun yang berada di sana kecuali di-

rinya.

Kembali ditatapnya atap yang jebol dan mem-

buat angin dingin menyergap masuk.


"Benar-benar aneh! Aku tak melihat ada orang 

lain di sini, demikian juga dengan benda keras yang 

mungkin telah menimpa atap rumahku ini! Lantas apa 

yang bikin atap itu jadi jebol?!"

Belum habis ucapannya terdengar, mendadak 

saja dipalingkan kepalanya ke samping kanan dengan 

cepat. Menyusul teriakan tertahannya meluncur, 

"Heiii!!!"

Satu sinar hitam yang entah dari mana, tiba-

tiba melesat dan melabrak dinding kamarnya.

Brooll!!!

Dinding kamar itu seketika jebol berhamburan.

Lelaki gagah yang masih menggenggam parang 

itu sesaat terdiam dengan wajah kaget. Kejap kemu-

dian dia segera bergegas menuju ke kamarnya. Tetapi 

gerakannya tertahan karena secara mendadak pintu 

kamarnya itu terbanting keras, bahkan copot dari eng-

selnya, melayang deras ke arahnya!

"Heiiii!!"

Bila saja Jaka tak buru-buru menghindar, su-

dah tentu tubuhnya akan terseret begitu terhantam 

lemparan pintu yang sedemikian keras!

Belum lagi dia dapat mengembalikan pikiran 

jernihnya, dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di 

ambang pintu yang telah copot itu. Cara berdiri sosok 

tubuh yang dilihatnya seperti sedang adakan satu tan-

tangan. Kedua tangannya bertengger pada sisi palang 

pintu, sementara kedua kakinya membuka.

Untuk beberapa saat Jaka memicingkan ma-

tanya untuk melihat sosok tubuh yang telah berdiri di 

tempatnya.

"Astaga! Marinah! Ada apa?!" serunya begitu 

mengenali siapa adanya sosok tubuh di hadapannya. 

Jaka bermaksud untuk mendekati istrinya, tetapi gerakannya tertahan begitu mendengar suara gerengan 

pelan, dingin dan dalam.

Kedua matanya seketika membelalak tatkala 

melihat tatapan tajam mengarah padanya! Dan wajah 

di hadapannya, yang biasanya selalu tersenyum diser-

tai dengan siratan manja, kini yang nampak hanyalah 

sebuah pemandangan yang mengerikan!

Marinah!" seru Jaka terkejut.

"Orang muda! Aku datang untuk menghirup 

darahmu! Kemarilah... kemarilah!"

"Astaga! Ada apa ini? Ada apa?" desis Jaka da-

lam hati berulang-ulang. Ketegangannya merambat 

perlahan-lahan. "Penyebab atap yang jebol itu belum 

kuketahui, demikian pula dengan sinar hitam yang 

mendadak menjebol dinding kamar. Sekarang tahu-

tahu istriku bersikap bukan lagi seperti Marinah yang 

kukenal!"

Sosok tubuh sintal di hadapannya menggereng 

pelan. Parasnya kaku dengan sorot mata tajam.

"Orang muda... kau adalah bagian dari hi-

dupku! Berarti... kau harus rela menerima apa yang 

akan kulakukan...."

Jaka masih memandangi apa yang dilihatnya. 

Rasa tak percaya semakin kuat mengikatnya.

"Sesuatu telah terjadi... sesuatu yang mengeri-

kan... Ah! Apakah ini disebabkan oleh sinar hitam 

yang kulihat menghajar dinding? Kalau begitu... kalau 

begitu... atap yang jebol itu bisa pula diakibatkan 

olehnya..."

"Kau adalah bagian dari hidupku... mendekat-

lah...."

Entah mengapa Jaka yang sejak tadi berusaha 

mencari jalan keluar dari urusan yang tiba-tiba, kini 

terdiam. Paras tegangnya menjadi kaku dan kini dia


bersikap laksana mayat hidup. Parang yang dipegang-

nya terlepas, menimbulkan suara yang sedikit keras 

begitu jatuh di atas lantai.

"Mendekatlah... mendekatlah...," suara Marinah 

serak. Kedua tangannya yang tadi menempel pada sisi 

kanan kiri palang pintu kini telah berada di samping 

pinggangnya. Perempuan itu masih tak mengenakan 

pakaian. Bukit kembarnya yang mengkal menggantung 

menggiurkan, seolah melambaikan tangan pada siapa 

saja yang mendekatinya.

Tetapi bila orang melihat betapa mengerikan 

paras si perempuan, sudah tentu akan urung menyen-

tuhnya!

Sementara itu Jaka sudah melangkah mende-

kati istrinya. Langkahnya kaku, sekaku parasnya.

"Kau benar-benar bagian dari hidupku, Orang 

Muda...."

Jaka tak berkata apa-apa. Sorot matanya kini 

tak menyiratkan cahaya kehidupan. Yang nampak ha-

nyalah kekosongan belaka.

Tangan mulus Marinah menjulur, menggapai 

bahunya. Lalu dengan gerakan manja tetapi parasnya 

tegang tajam, ditariknya sosok Jaka untuk masuk da-

lam dekapannya.

Kalau biasanya bila Marinah melakukan tinda-

kan seperti itu maka Jaka akan terbuai oleh gairah-

nya, kali ini seperti seorang anak kecil dia menyandar-

kan tubuhnya pada tubuh Marinah.

Tangan halus Marinah mengusap-usap pung-

gungnya, lalu perlahan-lahan menjalar naik ke leher-

nya. Disibakkan sedikit rambut gondrong Jaka. Kemu-

dian dengan sedikit berjinjit, dihujamkan ciumannya 

pada leher Jaka.

Kelembutan sikap Marinah itu tak membuat


Jaka bergeming. Kedudukannya tetap laksana mayat 

hidup yang pasrah. Dan entah bagaimana mulanya, 

mendadak saja dari mulut Marinah mencuat dua buah 

taring berkilat tajam.

Diiringi gerengan kecil, Marinah siap menghu-

jamkan kedua taring tajamnya ke leher Jaka!

Braaakkk!!

Pintu depan terbanting. Lima sosok tubuh ber-

hamburan masuk. Di tangan masing-masing orang 

terpegang golok tajam.

"Jaka! Apa yang telah terjadi?!" seru salah seo-

rang.

"Kami mendengar suara keras yang menjebol 

atapmu!" sambung salah seorang.

Dan ucapan-ucapan yang diiringi dengan suara 

ribut itu terhenti tatkala mereka melihat Jaka berada 

dalam pelukan istrinya yang menggereng.

"Astaga! Ada apa ini? Marinah! Apa yang akan 

kau lakukan?!" seru orang yang berusia sekitar enam 

puluh tahun.

Marinah menggereng lagi, kali ini cukup keras 

dan membuat bulu roma yang mendengarnya berdiri. 

Lalu dengan satu sentakan kecil, dia membanting tu-

buh suaminya yang melesat dan menabrak dinding 

rumah.

"Astaga! Ada apa ini?!" seru yang lainnya.

Mereka melihat paras jelita Marinah yang su-

dah sangat mereka kenal, berubah dari biasanya. Kaku 

dan tegang. Tatapannya laksana sembilu yang meng-

hujam jantung. Yang mengejutkan mereka, Marinah 

seperti tak memiliki rasa malu. Membiarkan dadanya 

polos tanpa tertutup sehelai benang pun!

"Marinah!" bentak yang tua tadi, yang ternyata 

adalah ayah Marinah. "Apa yang kau lakukan?!"


"Kalian adalah bagian dari hidupku.... Mende-

katlah! Aku membutuhkan darah segar kalian!"

"Gila! Gila! Apa-apaan ini?! Marinah!" bentak si 

lelaki tua sambil mendekat dengan wajah kesal.

Namun mendadak saja dia terjungkal begitu 

Marinah mengangkat tangannya.

Braakkk!!

Tubuh lelaki tua itu menabrak palang pintu 

depan. Tubuhnya segera terbanting lagi. Sesaat si lela-

ki tua menggeliat sebelum kemudian diam tak berge-

rak sementara dari mulutnya mengalir darah segar.

"Gila! Marinah sudah berubah menjadi setan!"

"Tentunya dia menganut ilmu iblis!"

"Kalian lihat, Jaka dibantingnya begitu saja! La-

lu dia bunuh ayahnya dengan kejam! Kawan-kawan! 

Kita bunuh perempuan penganut ilmu iblis itu!!"

Seruan-seruan keras penambah semangat itu 

semakin mengudara. Empat orang lelaki dengan golok 

di tangan sudah mengurung Marinah yang mendelik 

gusar.

"Tangkap dia!"

"Bunuh!!"

Bersamaan seruan-seruan itu mereka melom-

pat seraya menghunuskan golok di tangan! Marinah 

menggeram dingin. 

"Kalian mencari mati!"

Secara tiba-tiba perempuan yang mendadak be-

rubah kejam ini menggerakkan tangan kanannya ber-

keliling. Saat itu juga keempat lelaki yang siap me-

nangkapnya, berlemparan ke belakang. Terbanting 

menabrak dinding rumah yang menjadi jebol. Tiga 

orang menggeliat kesakitan, untuk kemudian diam tak 

bergerak dengan tulang punggung patah dan mulut 

yang mengeluarkan darah!


Yang seorang masih sanggup berdiri karena dia 

terhempas di atas rumput. Tetapi saat itu pula kedua 

matanya seperti hendak melompat keluar, karena Ma-

rinah tahu-tahu telah berada di hadapannya!

"Oh! Jangan... jangan... Marinah! Sadar, Mari-

nah! Ini aku... kakakmu... kakakmu...."

"Kau adalah bagian dari hidupku, jadi tak perlu 

takut...," suara dingin dan serak Marinah terdengar.

Begitu mendengar suara itu, lelaki yang ter-

hempas di atas rumput tadi mendadak berdiri. Seperti 

yang dialami oleh Jaka sebelumnya, lelaki ini pun be-

rubah menjadi mayat hidup. Dia melangkah saat Ma-

rinah menggapai-gapainya. Dan jatuh pada pelukan 

adik kandungnya sendiri.

Dua buah taring tajam mendadak mencuat dari 

mulut Marinah. Lalu dihujamkan pada leher si lelaki 

yang sejenak menggeliat dan berteriak tertahan. Terli-

hat darah segar mengalir melalui kedua taring yang 

menghujam pada leher itu. 

Lalu dengan sentakan kuat, diangkat kepalanya 

dari leher korbannya yang kemudian didorong hingga 

terbanting di atas tanah! Tubuh itu sejenak bergulin-

gan sebelum terdiam menjadi kering!

"Grrrhhh! Menyenangkan! Menyenangkan!"

Mendadak kepala Marinah berpaling ke kanan. 

Bukit kembar mengkalnya bergerak menggiurkan. So-

rot matanya bengis menyaksikan sekitar dua belas 

orang lelaki berlari ke arahnya disertai suara-suara 

ramai.

"Gila! Apa yang dilakukan Marinah terhadap 

Maruto?!" seruan itu terdengar dari mulut salah seo-

rang.

"Heiii! Kalian lihat! Teman-teman kita yang lain 

telah tewas! Juga Pakde Jurmono, ayahnya sendiri!"


"Gila! Perempuan itu telah menjadi gila!"

Suara-suara ramai yang diiringi rasa geram dan 

marah itu disambut dingin oleh Marinah.

"Kalian adalah bagian dari hidupku! Mendekat-

lah...."

"Hati-hati! Dia rupanya penganut ilmu hitam!" 

seru salah seorang.

"Hei! Mana Jaka?! Mana suaminya?!"

"Jangan-jangan dia telah dibunuh olehnya!"

"Kalau begitu... kita tangkap dia! Hati-hati!"

Dua belas lelaki gagah itu mengurung Marinah 

dengan sejuta pertanyaan di kepala. Marinah meman-

dang satu persatu orang yang mengelilinginya dengan 

sorot mata bengis.

"Kanan adalah bagian dari hidupku! Kalian 

adalah budak-budakku! Dan kau... bagian dari hi-

dupku!" desisnya sambil menunjuk lelaki berparas 

tampan.

Seperti dirasuki satu tenaga gaib, lelaki tampan 

itu mendadak berdiri kaku. Golok di tangannya terle-

pas begitu saja. Lalu dia melangkah mendekati Mari-

nah.

"Hei! Dia telah menghipnotis. Bayu! Tahan pe-

muda itu! Tahan!!"

Dua orang segera melompat menarik pemuda 

tampan bernama Bayu. Tetapi entah mengapa tahu-

tahu keduanya terlempar dan terbanting di atas tanah. 

Sejenak menggeliat dan kemudian diam tak bergerak.

Kejadian itu membuat orang-orang yang men-

gurung Marinah menjadi mulai kecut hatinya. Mereka 

memandang tak percaya dengan apa yang barusan ter-

jadi. Tetapi dua orang kemudian dengan sigapnya ber-

gerak, menghunuskan golok di tangan untuk dihujam-

kan pada tubuh Marinah yang bertelanjang dada!


Bersamaan dengan itu Marinah berbalik diiringi 

gerengan dingin seraya mengibaskan tangan kanan-

nya.

Wuuutt!! 

Des! Des!!

Kedua orang gagah itu terlempar dua tombak 

ke belakang. Yang seorang terbanting deras di atas ta-

nah dengan kepala menegak sesaat dan kemudian te-

was. Sementara yang seorang lagi menabrak sebuah 

pohon yang kemudian terbanting ke depan dengan tu-

lang dada remuk!

"Gila! Hati-hati! Dia bukan hanya sudah men-

jadi aneh, tetapi juga kejam!" seru yang kenakan pa-

kaian putih kusam.

"Mundur! Kita mundur!!"

"Ki Lurah! Bagaimana dengan Bayu?!"

Mendengar pertanyaan itu, lelaki setengah baya 

yang mengenakan pakaian putih kusam menjadi bin-

gung. Di saat lain dia sudah berseru, "Kalian coba me-

nahan Bayu! Yang lainnya bersamaku menyerang Ma-

rinah!!"

Tetapi orang-orang gagah itu hanya mengantar 

nyawanya saja, termasuk Ki Lurah. Mereka beterban-

gan seperti sehelai daun dihempas badai! Dan begitu 

terbanting keras di atas tanah, masing-masing orang 

sudah putus nyawa!

Marinah sendiri kemudian dengan bengisnya 

menghisap darah si lelaki tampan yang kemudian di-

lemparnya dengan cara menyentak dan terbanting ke-

ras di atas tanah!

"Huh! Puas! Puas aku sekarang! Kini tinggal 

mencari Kiai Gede Arum. Manusia keparat yang telah 

musnahkan ragaku dan masukkan ilmuku ke Patung 

Darah Dewa!"


"Marinah! Ada apa ini? Mengapa denganmu?! 

Apa yang terjadi?!" seruan itu terdengar keras dan bin-

gung, disusul sosok Jaka muncul keluar dengan paras 

agak pucat.

Perempuan jelita yang kini bertampang bengis 

itu berpaling.

"Orang muda... kau adalah bagian dari hi-

dupku! Mendekatlah padaku...."

"Marinah! Katakan... katakan padaku! Apa yang 

telah terjadi?!" suara Jaka tersendat, parau dan kebin-

gungan. Dia tak berani teruskan langkahnya. Matanya 

memandang tak percaya pada mayat-mayat yang ber-

geletakan di sekelilingnya. "Oh, Tuhan.. apa yang ter-

jadi dengan istriku? Mengapa dia berubah menjadi tak 

tahu malu dan sangat kejam?"

"Orang muda... mendekatlah.... Kau bagian dari 

hidupku... mendekatlah...."

Jaka berusaha mempertahankan akal pikiran-

nya. Dia tak tahu apa yang telah terjadi. Karena saat 

dia terbangun dari pingsannya, dia sudah bersandar di 

tembok. Kepalanya dirasakan pusing bukan main. Te-

tapi begitu mendengar suara teriakan di depan, dengan 

kuatkan hati Jaka berjalan ke sana. Dan dilihatnya is-

trinya yang tetap bersikap bengis!

"Marinah... katakan padaku... mengapa semua 

ini terjadi? Mengapa?!"

"Orang muda... kau adalah bagian dari hi-

dupku.... Mendekatlah...." suara serak dan dingin itu 

menyusup pada jantung Jaka yang seketika berdebar 

keras.

Kejap lain lelaki gagah itu sudah berdiri kaku 

dengan kepala tegak. Lalu dia melangkah mendekati 

Marinah yang berdiri dengan kedua kaki sedikit dibu-

ka.


Dan dia begitu pasrah saat Marinah meletak-

kan kepalanya pada dadanya. Perempuan yang beru-

bah menjadi bengis itu menggereng pelan dan taring-

taring tajam telah mencuat dari mulutnya kembali.

Dengan gerakan angker dan mencekam, dia 

siap menghujamkan kedua taring tajamnya pada leher 

suaminya yang saat ini tak dikenalinya lagi.

Mendadak kepala perempuan ini menegak. Di-

urungkan keinginannya untuk menghirup darah Jaka. 

Menyusul kepalanya dipalingkan dengan mata dis-

ipitkan bengis. Satu gelombang angin yang ditaburi 

asap merah menghambur ke arahnya!

"Keparat!!" makinya seraya mengibaskan tan-

gan kanannya. 

Wrrrr!!

Menghampar angin berwarna hitam yang mem-

perdengarkan suara menggidikkan. Menyusul.... 

Blaaaammm!!

Letupan keras terdengar tatkala gelombang an-

gin yang mendadak datang tadi dihantam oleh angin 

warna hitam yang keluar dari kibasan tangan kanan 

Marinah. Tanah di mana terjadinya letupan itu seketi-

ka muncrat ke udara yang menghalangi pandangan 

beberapa saat. Beberapa mayat yang bergeletakan se-

saat terpental dan terbanting lagi di atas tanah.

Mendadak terdengar gerengan keras dari mulut 

Marinah.

"Keparaattt!! Siapa yang berani menghalangiku, 

hah?!"

Sosok Jaka yang tadi punggungnya dipegang 

kuat-kuat olehnya, telah berpindah!

***


DUA


PEMUDA berompi ungu yang tahu-tahu telah 

muncul itu memegangi sosok Jaka yang masih berdiri 

kaku. Pemuda inilah yang tadi melepaskan serangan 

untuk menghalangi niat Marinah. Begitu dia menyada-

ri bagaimana keadaan si perempuan yang tadi siap un-

tuk menghujamkan kedua taringnya, sejenak pemuda 

ini mengerutkan keningnya. Kedua tangan si pemuda 

sebatas siku dipenuhi dengan sisik-sisik kecoklatan. 

Matanya tak berkedip ke depan. Dan... astaga! Sorot 

mata itu sedemikian angker dan mengerikan!

"Pemuda keparat! Siapa kau yang berani meng-

halangiku?!"

"Astaga! Apa yang telah terjadi? Siapa perem-

puan bertelanjang dada itu?" desis si pemuda tampan 

berambut gondrong acak-acakan ini. Sorot matanya te-

tap angker. Tajam dan menusuk.

Tetapi bagi Marinah yang telah berubah menja-

di kejam itu, apa yang dilihatnya bukanlah sesuatu 

yang menakutkan. Bahkan tatapannya bertambah 

bengis.

"Kau adalah bagian dari hidupku, Anak Muda! 

Mendekatlah...," suaranya serak.

"Gila! Ku rasakan ada tenaga yang masuk mela-

lui gelombang suara itu," desis si pemuda yang bukan 

lain Boma Paksi alias Raja Naga adanya. Hati pemuda 

dari Lembah Naga ini mendadak jadi tidak enak. Kete-

gangan merambati hatinya. "Aku seperti menangkap 

kalau suara itu bukanlah suara asli si perempuan. Ge-

rakannya kaku dan seperti digerakkan oleh satu tena-

ga gaib! Astaga! Apakah ada orang yang memperalat-

nya? Atau ada sesuatu yang masuk dan menyebab


kannya menjadi sedemikian rupa?"

"Kau adalah bagian dari hidupku! Mendekat-

lah... mendekatlah...."

Suara serak yang penuh dengan tenaga gaib itu 

membuat Raja Naga menjerengkan matanya. Detak 

jantungnya semakin keras berdebar. Perasaannya 

mengatakan sesuatu yang mengerikan telah dan akan 

terjadi lagi.

"Perempuan itu seperti sedang mencoba untuk 

menghipnotis ku! Aku harus bertahan! Aku harus ber-

tahan!" desisnya dalam hati. Tetapi dua kejapan mata 

kemudian, dia sudah melepaskan tubuh Jaka yang 

masih berdiri kaku.

Kemudian melangkah laksana mayat hidup 

mendekati Marinah yang menyeringai dan memperli-

hatkan taring yang tiba-tiba mencuat kembali.

Di pihak lain, Jaka yang begitu terbanting sege-

ra tersadar dari apa yang terjadi. Dia terkejut melihat 

seorang pemuda sedang melangkah mendekati is-

trinya. Kesadarannya saat itu juga muncul. Cepat-

cepat dia berdiri dengan seruan tertahan,

"Marinah! Apa yang akan kau lakukan?!"

Seruan itu dibalas oleh Marinah dingin, "Orang 

muda... kau adalah bagian dari hidupku! Mendekat-

lah.. .."

Kejap itu pula untuk yang ketiga kalinya Jaka 

bertindak laksana mayat hidup. Dia melangkah di be-

lakang Raja Naga. Seringaian terpampang pada wajah 

Marinah yang bengis.

"Bagus! Kalian adalah penghibur-penghibur ku

yang menyenangkan...."

Tangannya segera terangkat untuk menggapai 

tubuh Boma Paksi yang lebih dulu mendekat. Gerakan 

tangannya itu mengangkat sedikit payudaranya bagian


kanan.

Namun mendadak saja tubuh Boma Paksi ter-

huyung. Dalam keadaan kaku terkena tenaga gaib 

yang terpancar dari suara Marinah, dia tak hiraukan 

ke sekelilingnya. Bahkan tak melihat sebuah batu yang 

menyebabkannya terhuyung jatuh.

Begitu ambruk di tanah, kesadaran Boma Paksi 

terjaga kembali. Dia segera berdiri tegak. Dilihatnya 

perempuan bertelanjang dada di hadapannya meman-

dang sengit padanya.

Sebelum murid Dewa Naga ini berkata, dilihat-

nya satu sosok tubuh sedang melangkah kaku mende-

kati si perempuan.

"Heiii!!"

Boma Paksi berseru kaget setelah mengenali 

sosok yang melangkah itu. Dia segera melompat me-

nyambarnya. Bersamaan dengan itu....

Wuussss!!

Satu gelombang angin hitam menghampar ke 

arahnya.

"Gila!" desis pemuda bersisik coklat ini terkejut. 

Serta-merta dia mendehem yang cukup keras. Dan....

Blaaaammm!!

Gelombang angin hitam yang keluar dari do-

rongan kedua tangan Marinah, buyar di udara. Tetapi 

yang mengejutkan, buyaran angin yang berpencar itu 

mendadak bersatu kembali. Dan menyergap cepat ke 

arah Raja Naga yang berusaha membuat jarak dari 

tempat Marinah berdiri.

"Astaga!!" seru pemuda yang kedua lengannya 

sebatas siku ini bersisik coklat dengan mulut membu-

ka lebar. Dia cepat memutar tubuhnya hingga terden-

gar desingan cukup keras. Begitu hinggap di atas ta-

nah, kaki kanannya segera dijejakkan.


Tanah yang dijejakkan keras itu seketika berge-

rak. Membentuk gelombang laksana di lautan. Mem-

buru ke arah gelombang angin hitam yang telah me-

nyatu kembali.

Mendadak tanah bergelombang itu meletup ke 

udara. Tenaga kuat menggebrak ke atas, menghantam 

gelombang angin hitam. 

Jlegaaarrr!!

Tempat itu seperti bergetar. Mayat-mayat yang 

bergeletakan terjingkat ke atas. Tanah membuyar di 

udara dan menutupi pandangan. Gelombang angin hi-

tam yang pecah berantakan itu berhamburan meng-

hantam apa saja yang dikenainya, yang seketika 

menghangus hitam legam!

"Perempuan itu memiliki ilmu yang mengeri-

kan...," desis Raja Naga sambil melirik Jaka yang kem-

bali pingsan dan tergolek pada bahu kanannya. "Teta-

pi... tetapi... aku tak percaya kalau dia memang memi-

liki ilmu yang mengerikan itu! Aku lebih merasa pasti 

kalau perempuan itu diperalat oleh seseorang yang en-

tah siapa adanya!"

"Anak muda... kau telah berbuat lancang den-

gan berani mengganggu kesenanganku! Kau adalah 

bagian dari hidupku! Mendekatlah!!"

Tatapan angker Raja Naga menghujam tepat ke 

sepasang mata yang menatap bengis. Sisik-sisik coklat 

yang terdapat pada tangan sebatas sikunya bersinar 

lebih terang, menandakan kalau pemuda itu telah dili-

puti amarah.

"Perempuan kejam! Apa sebenarnya yang se-

dang kau lakukan?! Kau telah mencabut nyawa manu-

sia-manusia yang tak berdosa!" serunya dingin.

"Kau adalah bagian dari hidupku!"

"Astaga! Dia seperti tak mengetahui siapa di


rinya kecuali berucap kalimat itu terus menerus! Aku 

semakin yakin kalau dia telah diperalat seseorang! Te-

tapi... siapakah yang memperalatnya?!" desis Raja Na-

ga dengan perasaan tak menentu. "Aku bisa saja me-

nyerangnya, hanya saja aku tak mau sembarangan, 

melakukan sebelum kudapatkan kejelasan...."

Baru saja habis kata batin murid Dewa Naga 

ini, mendadak saja perempuan jelita bertelanjang dada 

itu sudah menerjang ke depan. Tangan kanan kirinya 

digerakkan membentuk jotosan.

Melihat datangnya serangan, Raja Naga segera 

menggebrak pula.

Buk! Buk!

Kedua tangan Boma Paksi yang mulai dari jari 

jemarinya hingga batas siku dipenuhi sisik coklat se-

benarnya memiliki kekuatan yang luar biasa. Bahkan 

kedua tangannya yang bersisik itu memiliki kekebalan 

menghadapi senjata apa pun. Berarti, benturan tangan 

yang mengandung tenaga dalam tinggi pun dapat di-

atasi. Bahkan langsung dapat dibuat remuk bila diin-

gininya.

Namun yang terjadi sekarang, justru sosok pe-

muda tampan itu yang terseret ke belakang. Kedua 

tangannya terasa ngilu. Di seberang, kendati surut tiga 

langkah, tetapi perempuan bertelanjang dada itu tak 

kurang suatu apa.

"Kurang ajar!!" geramnya dingin dan serta-

merta dia menepuk kedua tangannya. Selembut apa 

pun tepukan tangan, tetap akan mengeluarkan bunyi. 

Tetapi apa yang dilakukan si perempuan sama sekali 

tak mengeluarkan bunyi apa-apa.

Namun kejap kemudian, menderu gelombang 

angin hitam yang bergerak berputar-putar lima lang-

kah di hadapannya. Putaran angin hitam itu semakin


lama semakin membesar. Menyeret tanah bahkan tiga 

sosok mayat yang bergeletakan di sana masuk dalam 

putaran angin itu yang kemudian terlempar deras ke 

beberapa tempat!

Raja Naga yang masih merasakan ngilu pada 

kedua tangannya terbelalak. Sorot matanya tetap ang-

ker. Begitu putaran angin hitam tadi bergerak ke 

arahnya, anak muda dari Lembah Naga ini segera 

menjejakkan kaki kanannya untuk melepaskan ilmu 

'Barisan Naga Penghancur Karang' yang segera disusul 

dengan kaki kirinya yang seketika tanah susul menyu-

sul bergelombang ke depan. Suara bergemuruh dari 

ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang' itu luar biasa 

mengerikan!

Gelombang-gelombang tanah yang bergerak ta-

di tertelan oleh putaran angin hitam yang keluar dari 

tepukan kedua tangan perempuan bertelanjang dada. 

Dan lenyap begitu saja!

"Astaga!!" seruan tertahan terdengar dari mulut 

Raja Naga, terutama tatkala putaran angin tadi mende-

ru ke arahnya.

Cepat anak muda ini menghindar ke samping 

kanan. Lalu tangan kanannya didorong melepaskan 

ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'! Seketika 

menggebrak gelombang angin dahsyat yang memper-

dengarkan suara letupan berkali-kali. Kemudian... 

Jlegaaarrr!!

Gelombang angin tadi menabrak putaran angin 

hitam yang terus memburu ke arahnya! Sesaat terlihat 

gelombang angin itu masuk pada putaran angin hitam. 

Terdengar suara letupan susul menyusul yang sangat 

keras!

Kejap lain terdengar letupan membahana! 

Blaaaarrr!!



Putaran angin hitam itu berpentalan ke sana 

kemari! Atap rumah Jaka terpental terseret menjauh. 

Dindingnya bergetar hebat untuk kemudian rumah itu 

ambruk!

Berhamburannya angin hitam disertai muncra-

tan tanah menambah kepekatan tempat itu hingga 

sangat sukar ditembus oleh pandangan! Suara geren-

gan dari mulut Marinah terdengar sangat keras disusul 

dengan tanah yang bergetar-getar hebat!

Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su-

dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa-

ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya me-

layang ke depan. Jotosannya meluncur cepat. Tetapi 

yang terhantam hanyalah tempat yang kosong!

Untuk sesaat seperti orang kebingungan pe-

rempuan yang menjadi kejam akibat masuknya sinar 

hitam yang sebelumnya menghajar dinding kamar ru-

mahnya tadi ini memutar kepalanya ke kanan kiri. Se-

pasang matanya kian bersinar bengis.

Lamat-lamat terdengar suaranya dingin dan 

bergetar, "Kau adalah bagian dari hidupku! Kau akan 

datang kepadaku untuk menerima kematian!!"

Di saat lain perempuan yang telah hilang kesa-

daran aslinya ini sudah melesat meninggalkan tempat 

itu. Mulutnya mengeluarkan suara geraman, "Kiai 

Gede Arum! Aku datang untuk mencabut nyawamu!!"

Hamparan matahari pagi telah mencapai bumi 

kembali. Entah yang kali berapa dilakukan oleh mata-

hari yang tak pernah bosan dan lelah pada tugasnya. 

Kokokan ayam jantan di kejauhan terdengar sahut 

bersahutan.

Di balik ranggasan semak belukar di mana di-

naungi oleh rindangnya pohon trembesi, Raja Naga 

duduk bersemadi. Anak muda berompi ungu ini mera


patkan kedua matanya. Mulutnya pun diam tak berge-

rak. Kedua tangannya merangkap di depan dada.

Begitu muncratan tanah menghalangi pandan-

gan, Raja Naga memutuskan untuk menghindari dulu 

perempuan yang sedang mengganas itu. Pertimbangan 

yang dilakukannya matang kendati dia hanya memer-

lukan waktu beberapa saat untuk menentukan kepu-

tusannya. Dengan cara meninggalkan seperti itu, dia 

menghindari korban yang kemungkinan akan berjatu-

han lagi. Bisa dirinya, bisa diri Jaka, bisa pula diri 

orang lain.

Raja Naga yakin sepeninggalnya, perempuan 

kejam itu akan segera mencarinya. Paling tidak me-

ninggalkan desa itu.

Satu sosok tubuh yang tergolek lemah bersan-

dar pada batang pohon trembesi membuka kedua ma-

tanya. Sesaat orang ini memejamkan kembali kedua 

matanya karena rasa pusing yang menyengat. Tetapi di 

saat lain dia sudah membelalakkan matanya.

"Marinah! Marinah!" serunya seraya berdiri, te-

tapi langsung terhuyung dan menimpa tubuh Raja Na-

ga yang sudah selesai bersemadi. Dengan cekatan pe-

muda bersisik coklat pada kedua tangannya sebatas 

siku itu menahan jatuhnya tubuh Jaka.

"Jangan bergerak dulu!" desisnya. "Kau banyak 

kehilangan tenaga...."

Jaka membuka kedua matanya. Memperhati-

kan orang yang telah menahan tubuhnya. Sejenak dia 

terkejut melihat sorot mata yang sedemikian angker. 

Tetapi begitu teringat kembali pada istrinya, lelaki ini 

berseru pelan,

"Istriku... Marinah.... Di mana istriku? Di mana 

dia?"

Raja Naga menghela napas masygul.


"Dari ucapannya, lelaki ini jelas-jelas tak men-

getahui penyebab istrinya menjadi begitu kejam. Ah, 

semakin kuat dugaanku kalau ada yang memperalat 

istrinya dengan memasukkan ilmu hitam yang sangat 

kejam," katanya dalam hati.

Lalu pelan-pelan dia berucap, "Jangan kau pi-

kirkan dulu tentang istrimu. Hemm... maaf, siapakah 

namamu?"

"Namaku Jaka...," sahut Jaka sambil menutup 

kedua matanya. Seraya membukanya kembali dia ber-

tanya, "Anak muda... siapakah kau adanya?"

"Namaku Boma Paksi... Kakang Jaka, coba kau 

ceritakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Istrimu 

seperti kehilangan kendali pikirannya...."

Bukannya segera menjawab apa yang diminta 

Raja Naga, lelaki yang masih bertelanjang dada itu ju-

stru menundukkan kepalanya. Desahan nafasnya pe-

nuh kerisauan dan kesedihan, mengundang rasa iba 

bagi siapa saja yang mendengarnya.

Raja Naga mendiamkan dulu. Dia tak mau me-

maksa lelaki yang masih dirundung kesedihan. Setelah 

beberapa lama suasana hening, perlahan-lahan Jaka 

mengangkat kepalanya.

"Boma... aku tidak tahu apa yang telah terjadi 

dengan istriku.... Tahu-tahu dia menjadi sedemikian 

kejam. Padahal... padahal istriku... adalah seorang ga-

dis yang penuh kelembutan dan selalu menjunjung 

tinggi kehormatan. Kecuali di hadapanku, dia tak akan 

pernah mau memperlihatkan tubuhnya. Tetapi dia... 

dia... justru muncul dengan memperlihatkan payuda-

ranya...," ucapnya pelan. Lalu sambungnya penuh ke-

luhan, "Ah... apa yang sebenarnya terjadi?"

Raja Naga mengangguk pelan.

"Aku percaya apa yang kau katakan. Kakang


Jaka... ceritakanlah...."

Setelah terdiam beberapa lama disertai beru-

lang kali menghela dan mengeluarkan napas, penuh 

kesedihan sekaligus rasa bingung yang kentara, Jaka 

menceritakan apa yang telah terjadi. Suaranya sesekali 

terputus-putus.

"Sinar hitam?" ulang Raja Naga dengan kening 

berkerut.

"Ya! Setelah sinar hitam yang entah dari mana 

datangnya menabrak jebol dinding kamarku, tahu-

tahu istriku muncul dalam keadaan yang benar-benar 

mengerikan...."

Raja Naga tak membuka mulut. Otaknya berpi-

kir keras untuk menentukan jawaban dari keanehan 

ini.

"Jangan-jangan... sinar hitam itu memang dile-

paskan oleh seseorang yang memiliki ilmu hitam. Sa-

sarannya memang hendak memperalat istri lelaki ini 

yang bernama Marinah. Ah, siapa orangnya yang me-

lakukan tindakan sekeji itu?" desisnya dalam hati. La-

lu dipandanginya lagi lelaki yang sedang menunduk-

kan kepalanya. Kemudian katanya, "Kang Jaka... se-

baiknya Kang Jaka segera kembali ke rumah...."

Kepala Jaka terangkat.

"Tidak! Aku akan mencari istriku! Aku akan 

menyelamatkannya! Akan kubunuh orang yang telah 

menjahatinya!"

"Sampai saat ini kita tidak bisa menentukan 

apakah memang ada orang yang memperalat istrimu 

dengan mempergunakan ilmu hitam yang dimilikinya. 

Tetapi dugaan itu selalu ada, demikian pula dengan 

apa yang kuduga. Dan urusan ini ku yakini tidaklah 

mudah...." 

"Apa maksudmu tidak mudah?"


"Kang Jaka... dari ceritamu tadi, aku yakin is-

trimu tak pernah belajar ilmu kanuragan, apalagi ilmu 

hitam yang mengerikan. Tetapi dia kini seperti memili-

ki ilmu sakti yang sulit untuk ditandingi. Jadi mak-

sudku... biarlah aku yang menggantikan mu untuk 

menemukan kembali istrimu, sekaligus menemukan 

siapakah orang yang telah memperalatnya...."

Kepala Jaka menggeleng-geleng tegas. "Boma... 

apa yang kau katakan sungguh menyenangkan hatiku, 

karena kini aku tahu ada orang yang berpihak padaku 

dan hendak menolongku penuh ketulusan. Tapi biar 

bagaimanapun juga, Marinah adalah istriku. Dan aku 

ingin melihat keadaannya...."

Raja Naga tak segera menjawab. Dipandanginya 

Jaka dengan tatapannya yang angker.

"Kau memang berhak untuk mencari istrimu. 

Tetapi ada yang sedikit ku khawatirkan...."

"Aku tak peduli dengan keadaanku!!" sahut Ja-

ka tegas. "Aku harus mencari istriku!"

Raja Naga menggeleng. "Bukan itu maksudku." 

"Lantas apa yang hendak kau katakan?!" 

"Semalam... kalau tak salah menghitung, sudah 

tujuh belas nyawa yang dicabut oleh istrimu yang ten-

tunya bukan berada pada kesadarannya. Untuk saat 

ini kita berkeyakinan kalau istrimu telah diperalat se-

seorang dengan mempergunakan ilmu hitam melalui 

sinar hitam yang kau lihat. Tetapi apakah orang-orang 

di desamu dapat memahaminya? Maksudku... bila kau 

tiba-tiba menghilang, akan semakin luas tuduhan yang 

akan menimpamu dan istrimu. Kau mengerti apa yang 

kumaksudkan?"

"Aku tak mengerti...," sahut Jaka jujur. "Bisa 

jadi orang-orang di desamu menganggap kalau kau 

dan istrimu menganut sebuah ilmu hitam yang memin



ta korban. Karena mereka selama ini mengenal kau 

dan istrimu sebagai orang baik-baik. Kakang Jaka... 

pikirkanlah hal itu...."

Kata-kata yang diucapkan oleh Boma Paksi 

membuat Jaka terdiam. Dari cahaya matanya dia ma-

sih punya keinginan untuk tetap mencari Istrinya. Te-

tapi alasan yang dikemukakan pemuda di hadapannya 

sungguh masuk akal.

Setelah terdiam beberapa saat, lelaki itu men-

ganggukkan kepala.

"Ya! Kau memang benar! Pikiran itu harus dile-

nyapkan dari pikiran orang-orang desa ku. Boma... 

aku akan kembali ke desa ku untuk menjelaskan du-

duk perkaranya dan kuharap mereka mau mengerti...."

"Bila kau menjelaskannya secara sopan, rinci 

dan jujur, aku yakin mereka akan mengerti...."

Jaka mengangsurkan tangan kanannya dan 

menggenggam erat-erat tangan kanan pemuda di ha-

dapannya.

"Kini aku bersandar dan berharap padamu, 

Boma. Tolong kau kembalikan istriku padaku...."

Boma Paksi hanya mengangguk.

"Aku akan mengusahakannya...."

Mendengar jawaban itu, wajah Jaka berubah 

lega. Kemudian dia berdiri. Ditatapnya pemuda tam-

pan berompi ungu yang juga sudah berdiri. Lalu tanpa 

berkata apa-apa, Jaka segera berlari meninggalkan 

tempat itu.

Sepeninggal Jaka, Boma Paksi menarik napas 

panjang.

"Aku belum juga mendapatkan ketenangan se-

lama perjalananku berkelana," desisnya. "Satu urusan 

berhasil ku tuntaskan, kini sudah menghadang lagi 

urusan lain. Ah, apakah selamanya aku akan mampu


menghadapi urusan yang membentang ini?"

Cukup lama murid Dewa Naga ini terdiam sebe-

lum kemudian mengangkat kepalanya kembali me-

mandangi sekitarnya. Kejap kemudian, dia sudah me-

langkah, mengambil arah ke timur

***

TIGA



PERGESERAN waktu memang begitu cepat. Pa-

gi telah berubah menjadi siang dan siang menjelma 

menjadi senja. Di senja yang sejuk ini, satu sosok tu-

buh tua berpakaian putih panjang ini sedang berdiri di 

sebuah persimpangan. Wajah sosok tubuh ini dipenuhi 

keriput. Tak memiliki kumis tetapi jenggot putihnya 

menjulai panjang hingga perut. Rambut putihnya di-

kuncir ekor kuda.

Si kakek yang nampaknya selalu mengusap-

usap jenggot panjangnya ini mendadak menarik napas 

panjang. Mata tuanya diarahkan ke kejauhan, terlihat 

bayang-bayang perbukitan yang berjarak ratusan tom-

bak dari tempatnya.

"Aku telah berpisah dengan Ki Dundung Kali, 

yang memutuskan untuk mencari murid murtadnya 

yang berjuluk Pengemis Pincang. Ah, apa yang akan 

dilakukannya memang tak menyenangkan. Karena di 

usia yang semakin menua ini seharusnya dia sudah 

berada di tempat yang tenang tanpa adanya usikan da-

ri mana pun juga," desis si kakek pelan.

Setelah menghela napas dia berkata lagi, "Tak 

seharusnya tadi kukatakan kalau aku akan kembali ke 

tempatku untuk menghabisi sisa umurku, padahal


masih ada yang harus kulakukan...."

Kakek ini mengusap-usap jenggotnya lagi.

"Patung Darah Dewa? Ah! Patung itu menyim-

pan rahasia yang kini hanya kuketahui seorang. Kiai 

Gede Arum telah tewas diracuni oleh Ratu Dayang-

dayang yang kini telah tewas di tangan Raja Naga. Adik 

seperguruanku itu sejak lama ingin tahu ada rahasia 

apa di balik Patung Darah Dewa. Tetapi Kiai Gede 

Arum selalu tak mau mengatakannya, justru dia men-

gatakan rahasia itu kepadaku. Bahkan... ah, bahkan 

dia juga mengatakan bagaimana caranya aku meme-

cahkan rahasia itu...."

Si kakek yang bukan lain Peramal Sakti adanya 

ini mengusap-usap jenggot putih panjangnya lagi. 

Otaknya semakin dipenuhi pikiran-pikiran yang jelas-

jelas menggelisahkannya.

"Bila saja Ratu Dayang-dayang tahu rahasia 

apa yang ada pada Patung Darah Dewa, apakah dia 

akan tetap bersikeras memaksa untuk tahu? Bahkan 

untuk mendapatkannya? Ah, aku sendiri tak pernah 

berusaha untuk mengetahuinya kendati aku tahu se-

cara pasti dari mulut Kiai Gede Arum...."

Peramal Sakti tiba-tiba terdiam. Kepalanya se-

dikit ditegakkan. Mulutnya nampak berkemak-kemik 

dengan tangan kanan tetap asyik mengusap-usap 

jenggotnya.

"Hemm... ramalanku mengatakan akan terjadi 

sesuatu yang mengejutkan kembali, sesuatu yang lebih 

mengerikan dari urusan Kain Pusaka Setan. Sebelum 

aku pergi bersama Ki Dundung Kali, Raja Naga yang 

telah berhasil merebut Kain Pusaka Setan bermaksud 

menyerahkannya kembali kepada kami. Tetapi... tetapi 

satu tenaga gaib telah menyentak Kain Pusaka Setan 

dan tertarik masuk melalui wajah Patung Darah Dewa


yang berdiri tegak tak jauh dari tempat kami sebelum-

nya. Hanya saja...."

Memutus kata-katanya sendiri, si kakek ter-

diam lagi. Keningnya sesekali berkerut pertanda dia 

sedang memikirkan segala kemungkinan. Kemudian 

melanjutkan kata-katanya,

"Kiai Gede Arum pernah bercerita, kalau dia te-

lah mengalahkan seorang manusia durjana yang me-

miliki ilmu hitam yang sangat tinggi. Bahkan setelah 

orang itu tewas, sebuah sinar hitam yang merupakan 

kumpulan dari ilmu hitamnya melesat dari kepalanya. 

Untungnya Kiai Gede Arum berhasil menangkapnya. 

Hanya yang membuatnya bingung, ke mana dia harus 

membuang sinar hitam itu yang kemungkinan besar 

dapat menitis pada seseorang. Lalu dipikirkannya un-

tuk membuat sebuah patung yang diberi nama Patung 

Darah Dewa. Pada patung itulah dia memasukkan se-

kaligus mengunci sinar hitam yang merupakan kum-

pulan dari ilmu hitam orang sesat itu."

Peramal Sakti menarik napas panjang.

"Dan sinar hitam itu akan keluar lagi bila satu 

benda yang memiliki kesaktian tinggi masuk ke da-

lamnya. Sampai kemudian aku berurusan dengan 

Durjana Kayangan yang memiliki Kain Pusaka Setan. 

Dari mulut Kiai Gede Arum jugalah yang mengatakan 

kalau Kain Pusaka Setan dapat membuat sinar hitam 

itu keluar. Tapi... ah, aku tak mengerti. Aku tak men-

gerti...."

Peramal Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya 

dengan keresahan yang jelas-jelas kelihatan.

"Kain Pusaka Setan yang hendak diberikan Ra-

ja Naga padaku mendadak tersedot masuk ke Patung 

Darah Dewa. Tetapi tak ada sesuatu yang terjadi. Apa-

kah Kiai Gede Arum salah berucap? Telah kutunggu


beberapa saat untuk melihat perubahan yang terjadi. 

Namun pada kenyataannya Patung Darah Dewa tetap 

berdiri kokoh. Hanya saja... hanya saja... mengapa aku 

meramalkan sesuatu yang mengerikan telah terjadi? 

Ah... kepalaku jadi semakin bertambah pusing...."

(Untuk mengetahui tentang kejadian masuknya 

Kain Pusaka Setan ke wajah Patung Darah Dewa, sila-

kan baca episode : "Kain Pusaka Setan").

Kali ini si kakek yang selalu mengusap-usap 

jenggot putihnya terdiam cukup lama. Otaknya terus 

diperas memikirkan kemungkinan demi kemungkinan 

yang dihadapinya. Sampai kemudian dia mengangkat 

wajahnya. Diperhatikan lagi sekitarnya.

"Ketimbang aku dipenuhi pikiran tak menentu, 

sebaiknya aku kembali ke tempat Ratu Dayang-

dayang...."

Memutuskan demikian, Peramal Sakti segera 

melangkah. Saat melangkah, terlihat dia menyeret kaki 

kirinya yang tulangnya telah patah akibat dihantam 

Setan Gemolong (Baca : "Kain Pusaka Setan"). 

* * *

Malam telah tiba dan terus diseret sang waktu 

untuk melintasi kehidupan menuju pagi. Malam yang 

cerah dengan sinar rembulan yang cukup terang ini, 

menaungi pula sebuah tempat yang cukup besar dan 

megah. Dari dalam bangunan besar itu terdengar sua-

ra musik dan tawa yang sangat keras. Rupanya sang 

pemilik rumah sedang mengadakan pesta besar-

besaran, terlihat dari banyaknya orang yang hilir mu-

dik menuju ke tempat itu yang melangkah disertai ta-

wa keras.

Tepat tengah malam, para pengunjung sudah



berangsur-angsur tinggal sedikit. Sekarang di dalam 

bangunan itu, di sebuah ruangan yang cukup besar, 

tinggal lima orang saja termasuk si pemilik rumah. Me-

reka sedang tertawa-tawa keras. Gelas-gelas berisi 

arak merah tumpah ruah di atas meja. Bahkan ada 

yang pecah di lantai. Kendi-kendi berisi tuak hanya 

tinggal beberapa saja yang masih berisi.

Suara gamelan keras masih terdengar.

Lelaki setengah baya berparas tampan yang 

mengenakan pakaian hijau dipenuhi perak itu men-

gangkat gelas minumannya tinggi-tinggi. Dipandan-

ginya dulu empat orang tamunya yang masih tinggal di 

sana sebelum berseru,

"Ayo, Kawan-kawan! Kita habiskan malam ini 

dengan segala kesenangan!! Jangan lagi kita dibodoh-

kan dengan segala urusan! Kita tinggalkan semuanya 

untuk malam ini dan menggantikannya dengan kese-

nangan tiada banding!"

Seruannya disambut dengan tawa keras dan 

suara-suara meracau oleh empat orang yang masih 

tinggal di sana, yang sudah tentu adalah sahabat-

sahabatnya.

"Setan Pemetik Bunga! Kau benar-benar berun-

tung memiliki segala kekayaan ini!" seru lelaki berke-

pala botak dengan tubuh sedikit gempal sambil terba-

hak-bahak. Arak sudah mempengaruhi otaknya. Dia 

menunggingkan lagi gelas araknya ke mulutnya. Se-

raya mengusap dengan punggung tangan kirinya yang 

gempal itu dia berseru, "Dan kami sebagai sahabat-

sahabatmu pada akhirnya juga turut dapat merasakan 

kesenangan ini!"

Lelaki tampan yang dipanggil dengan julukan 

Setan Pemetik Bunga tertawa.

"Itulah gunanya seorang sahabat!" senyumnya.


"Tetapi... pesta arak seperti ini rasanya belum lengkap, 

bila belum ada wanita-wanita bertubuh montok yang 

bisa bikin birahi pada puncak gunung tertinggi!" seru 

lelaki yang memiliki paras sangat buruk. Dia menge-

nakan pakaian biru muda dengan dilapisi rompi hitam.

"Kalian akan mendapatkan suguhan yang me-

narik!" serunya sambil meletakkan gelas araknya. Lalu 

dia bertepuk tangan tiga kali.

Bersamaan dengan itu suara gamelan semakin 

keras dan berkesan mesum. Suasana malam yang din-

gin telah dipanaskan dengan arak-arak merah yang 

mengisi perut. Dan kini dipanaskan oleh sesuatu yang 

lain.

Empat orang gadis bermunculan dari balik se-

buah pintu yang terdapat di samping kanan. Gadis-

gadis itu rata-rata memiliki wajah yang sangat cantik. 

Rambut mereka panjang tergerai dan mengeluarkan 

aroma yang memabukkan. Seiring dengan semakin 

kencangnya suara gamelan, empat gadis itu meliuk-

liukkan tubuhnya dengan gerakan erotis.

Saat ini mereka masih mengenakan semua pe-

nutup pakaian yang berwarna merah. Tarian yang me-

reka suguhkan segera disambut oleh tepukan tangan 

para tamu Setan Pemetik Bunga yang melotot dan be-

rucap mesum.

"Gila! Gila! Setan Pemetik Bunga! Kau benar-

benar sangat tahu apa yang dibutuhkan sahabat-

sahabatmu ini!" seru seorang lelaki tua yang mengena-

kan pakaian hitam dengan jubah biru. Paras si kakek 

dipenuhi keriput. Sepasang matanya sudah memerah 

kena pengaruh arak.

"Junjung Tala! Aku sangat tahu apa yang kau 

gemari! Atau... tak ada yang kau minati dari keempat 

gadis itu?!"


"Gila! Aku justru ingin meniduri semuanya! 

Bukan hanya seorang saja!"

"Junjung Tala! Apakah kau tak memikirkan ba-

gian kami?!" seru lelaki yang mengenakan pakaian 

Jingga terbuka di bahu kanan. Di atas meja di hada-

pannya tergeletak sebuah gada.

Junjung Tala melirik, lalu terbahak-bahak.

"Bukan hanya kau saja yang akan menda-

patkan bagian, Gada Iblis! Setan Gempal dan Resi Ka-

wula pun akan mendapatkan bagian!" Lalu serunya 

pada Setan Pemetik Bunga, "Bukankah itu yang kau 

maksudkan?!"

Setan Pemetik Bunga mengangguk-anggukkan 

kepala. Lalu bertepuk tangan sebanyak dua kali. Ga-

dis-gadis dengan pakaian minim muncul membawa 

kendi-kendi arak.

Junjung Tala sudah menarik seorang gadis ber-

tubuh bahenol yang karena pakaiannya begitu minim, 

memperlihatkan bungkahan payudaranya yang padat. 

Si gadis justru tertawa manja dan membiarkan tangan 

nakal si kakek menyusup pada bukit kembarnya. Bah-

kan membiarkan pula saat si kakek meraba paha ha-

lusnya untuk kemudian merambat ke atas.

Apa yang dilakukan oleh Junjung Tala, dilaku-

kan pula yang lainnya. Gelas-gelas arak sudah ter-

banting. Masing-masing orang disibukkan dengan apa 

yang ada di hadapan mereka.

Sementara itu empat orang gadis berpakaian

merah semakin liar menari. Perlahan-lahan mereka 

membuka pakaian yang mereka kenakan satu persatu 

dengan gerakan yang sangat merangsang. Saat pa-

kaian atasnya dibuka, terlihat sebuah pakaian tipis di 

dalam yang tak mampu menutupi indahnya bukit 

kembar yang masing-masing orang miliki.


Orang-orang liar yang sedang sibuk dengan ga-

dis-gadis yang pasrah dalam pangkuan masing-masing 

berseru, "Ayo, lepaskan semua pakaian kalian! Le-

paskan!"

Lelaki setengah baya berparas bukan main bu-

ruknya berseru pula, "Benar-benar menyenangkan! 

Ayo, aku sudah tak sabar untuk melihat apa yang ka-

lian miliki?!"

Sementara itu Setan Pemetik Bunga diam-diam 

tersenyum.

"Hemm... kalian sudah masuk perangkapku. 

Biar bagaimanapun juga, aku tetap menginginkan ke-

kuasaan dan kalian anggap aku sebagai orang yang 

tak bisa dikalahkan. Biarlah... untuk saat ini mereka 

mabuk dalam arak dan birahi. Setelah itu gadis-

gadisku akan memasukkan pil racun ke gelas masing-

masing yang akan membuat mereka mau tak mau 

tunduk pada perintahku bila masih ingin hidup dan 

kuberikan pemusnah racun...."

Dari keempat orang yang telah mabuk arak dan 

birahi itu, tak seorang pun yang mengetahui maksud 

busuk dari Setan Pemetik Bunga yang mengundang 

mereka menghadiri pestanya. Mereka sekarang tak bi-

sa lagi berpikir dengan jernih.

Suasana liar dan mesum semakin menjadi-jadi 

tatkala empat gadis yang meliuk-liukkan tubuh itu 

mulai membuka kain panjang yang mereka kenakan. 

Sorakan keras terdengar dari mulut keempat lelaki itu. 

Dan masing-masing orang menahan napas tatkala ga-

dis-gadis itu mulai membuka pakaian dalam tipis me-

reka yang segera bercuatan bukit-bukit kembar yang 

menggiurkan. Semakin merangsang penuh tantangan 

karena bergerak-gerak laksana bandul jam.

Pada puncaknya, tatkala masing-masing gadis



melepaskan penutup yang tinggal satu-satunya.

"Huaaaa!!"

Seruan itu terdengar secara bersamaan tatkala 

para penari itu sudah dalam keadaan polos. Pesta gila 

itu bertambah liar. Keempat lelaki yang telah masuk 

perangkap Setan Pemetik Bunga semakin tertawa-tawa 

tatkala gadis-gadis yang telah polos itu mendekatinya. 

Lalu ganti mencumbu mereka sementara gadis-gadis 

yang sebelumnya membawa kendi-kendi arak masuk 

kembali ke tempat semula.

"Ayo, ayo kalian nikmati kesenangan ini!!" seru 

Setan Pemetik Bunga. Kemudian dia melangkah den-

gan agak sedikit sempoyongan, masuk ke tempat ga-

dis-gadis pengantar arak tadi.

Di tempat itu, keempat gadis yang sebelumnya 

berpakaian minim itu telah mengenakan pakaian serba 

merah dengan celana pangsi merah.

Setan Pemetik Bunga mendesis, "Bagus! Aku 

menyukai kerja kalian! Sekarang kalian berjaga-jaga di 

depan! Jangan izinkan seorang pun masuk ke tempat 

ini! Siapa pun juga walaupun kalian mengenalnya se-

bagai teman baikku!"

Keempat gadis itu menganggukkan kepala. "Ka-

lian sudah mempersiapkan kamar untuk manusia-

manusia celaka itu?"

"Kami sudah melakukan perintah, Ketua! Ter-

masuk pil-pil racun yang telah kami masukkan ke da-

lam kendi arak!"

"Bagus! Sekarang kalian keluar lewat pintu be-

lakang! Jaga jangan sampai siapa pun sampai masuk 

ke tempat ini!"

Keempat gadis itu segera menjalankan perintah 

Setan Pemetik Bunga dengan patuh. Mereka kini ber-

siaga di empat penjuru bangunan megah itu.



Setan Pemetik Bunga tersenyum. Lalu dia kem-

bali ke tempat semula. Pemandangan yang dilihatnya 

sudah benar-benar menggila dan ini membuatnya se-

makin tersenyum lebar.

"Untuk apa kalian menikmatinya di tempat se-

perti ini? Aku telah menyiapkan kamar untuk kalian 

bersenang-senang!"

"Aku ingin di sini!" seru Setan Gempal meracau. 

Tangan gempalnya meremas-remas bukit kembar gadis 

di pangkuannya.

"Jangan ganggu kesenanganku, Setan Pemetik 

Bunga!" seru Junjung Tala sambil terus menyusupkan 

mulutnya ke dada gadis pilihannya.

Ucapan-ucapan meracau itu semakin membuat 

Setan Pemetik Bunga tersenyum kesenangan. Dia se-

gera memberi isyarat dengan satu tepukan tangan pa-

da keempat gadis yang telah polos tanpa sehelai be-

nang pun.

Keempat gadis itu telah mengerti apa maksud-

nya. Lalu dengan segala bujuk rayu mereka membawa 

keempat lelaki yang terbahak-bahak. Pengaruh arak 

dan birahi telah membutakan mereka hingga seperti 

kerbau dicocok hidung mereka menurut saja. 

Resi Kawula mendesis seraya merangkul gadis 

yang memeluk pinggangnya, "Kau memang benar-

benar sahabat yang baik, Setan Pemetik Bunga!"

Lelaki berparas tampan yang mengenakan pa-

kaian hijau dihiasi pernik perak itu mengangguk-

anggukkan kepala.

"Yah... inilah pesta yang sesungguhnya.... Ka-

lian nikmatilah sepuas-puasnya...."

Menyusul kemudian terdengar empat buah pin-

tu ditutup dengan cara disentakkan. Di lain saat sua-

ra-suara cekikikan diiringi napas terengah yang cukup


keras terdengar.

Di tempatnya Setan Pemetik Bunga tersenyum 

sambil mengusap-usap dagunya yang kelimis.

"Setelah kalian minum arak yang telah dimasu-

ki pil-pil beracun itu, kalian akan tertidur sampai ma-

lam kembali datang. Dan kalian akan terkejut dengan 

apa yang terjadi kemudian...," desisnya puas.

Lalu tawa kerasnya terdengar, menggema di 

tempat yang telah dipenuhi dengan aroma arak dan 

kemesuman.

Suara gamelan tetap terdengar.

***

EMPAT



MENJELANG pagi tiba, Raja Naga yang sedang 

mencoba mencari Marinah tiba di sebuah perkampun-

gan. Dan anak muda dari Lembah Naga ini langsung 

tersentak tatkala melihat betapa tempat itu telah porak 

poranda.

"Astaga! Apakah semalam telah datang sege-

rombolan gajah liar ke tempat ini?" desisnya dengan 

perasaan tak menentu. Ditelitinya mayat-mayat yang 

berserakan yang rata-rata patah punggungnya, kemu-

dian dicobanya untuk menemukan apakah memang 

masih ada orang yang masih hidup.

Tetapi sampai matahari sepenggalah, murid 

Dewa Naga ini tak menemukan ada orang yang masih 

hidup di perkampungan kecil itu. Seketika dia merasa-

kan kemasygulan dan kepedihan yang dalam.

"Siapa orang yang telah dengan kejinya mem-

bunuhi orang-orang ini...," desisnya dalam hati. "Ah,



betapa banyaknya kekejian yang terpampang di muka 

bumi ini...."

Baru saja habis ucapannya, tiba-tiba didengar-

nya satu suara dari belakangnya, "Oh! Ternyata aku 

salah! Ternyata masih ada yang hidup di sini!"

Seruan itu seketika membuat Raja Naga mem-

balikkan tubuh. Dilihatnya satu sosok tubuh berkeru-

dung warna jingga telah berdiri di hadapannya.

Di pihak lain, perempuan berwajah cantik yang 

diperkirakan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu 

urung untuk bersuara lagi begitu melihat paras dan ta-

tapan si pemuda.

"Astaga!" desis perempuan berpakaian serba 

jingga ini dengan mulut sedikit menganga. Lorong in-

dah membuka dan memperlihatkan warna merah jam-

bu di dalamnya. "Parasnya... parasnya begitu tampan. 

Tetapi tatapan itu... gila! Tatapan itu sangat mengeri-

kan! Dan... ah, kedua tangannya sebatas siku bersisik 

coklat!"

Raja Naga tahu arti dari tatapan si perempuan 

yang tentunya terkejut melihat sorot angker dari sepa-

sang matanya. Lamat-lamat dia tersenyum.

"Perempuan berkerudung jingga! Kau tadi be-

rucap kalau masih ada yang hidup di sini, dan ten-

tunya yang kau maksudkan adalah aku! Apakah itu 

artinya sebelumnya kau telah tiba di tempat ini?"

Masih dengan sorot mata tercengang si perem-

puan berkerudung mengangguk-anggukkan kepala.

"Apakah kau mengetahui siapa atau makhluk 

apa yang telah bertindak sedemikian kejam seperti 

yang kita lihat ini?"

Kembali perempuan berkerudung itu mengang-

guk.

"Oh! Siapakah orang itu?" Kali ini perempuan


berkerudung jingga menarik napas lebih dulu. Kemu-

dian diedarkan pandangannya untuk menatap mayat-

mayat yang bergeletakan.

"Sesungguhnya, aku datang pada saat yang ti-

dak tepat...."

"Apa maksudmu dengan saat yang tidak tepat?" 

Perempuan berparas cantik berkerudung jingga itu 

mengangkat kepalanya.

"Anak muda... sebelum ini aku melangkah tak 

jauh dari perkampungan ini. Tatkala terdengar suara 

letupan dan teriakan kematian, aku segera mendatangi 

tempat ini. Dan yang kulihat kemudian hanyalah seo-

rang perempuan yang berusia sekitar dua puluh tahun 

yang sedang melempar seorang lelaki yang seketika 

mati. Aku segera memburu gadis itu yang sejenak ber-

balik padaku dengan tatapan tajam. Karena melihat 

keganasannya, aku mencoba untuk menahannya. Te-

tapi tahu-tahu gadis itu sudah berkelebat meninggal-

kan tempat ini. Aku pun segera mengejarnya, tetapi 

gadis itu lebih dulu lenyap...." 

Raja Naga mengerutkan keningnya.

"Kau katakan seorang gadis? Apakah kau men-

genal gadis itu?"

"Tidak! Nampaknya dia seorang gadis yang ma-

sih muda, tetapi sudah memiliki ilmu yang sedemikian 

mengerikan. Dan satu hal yang membuatku menduga 

kalau gadis itu memiliki ilmu hitam, karena dia tak 

mengenakan pakaian. Membiarkan payudaranya ter-

buka lebar...."

Mendengar kata-kata terakhir si perempuan 

berkerudung, kepala Raja Naga menegak.

"Tak mengenakan pakaian katamu?!"

Perempuan di hadapannya memandang sejenak 

sebelum menganggukkan kepala.


"Ya! Anak muda... apakah kau mengenalnya?"

Raja Naga menarik napas panjang.

"Siapa lagi orangnya yang lakukan tindakan ke-

jam ini kalau bukan Marinah? Perempuan yang tiba-

tiba mengamuk dan kuduga sedang diperalat oleh se-

seorang dengan masuknya sinar hitam pada tubuh-

nya...," katanya dalam hati.

Sadar kalau perempuan berkerudung jingga se-

dang menunggu jawabannya. Raja Naga segera mence-

ritakan apa yang dialaminya sebelumnya.

"Astaga! Sungguh kejam sekali orang yang telah 

memperalatnya!" 

"Ya!"

"Jadi kemampuan dan kekejaman yang dilaku-

kannya itu bukan karena kehendaknya sendiri?"

"Aku lebih mempercayai kata-kata suaminya."

Tak ada yang keluarkan suara. Sehelai daun 

gugur dan jatuh menimpa seorang lelaki tua yang telah 

menjadi mayat.

Perempuan berkerudung Jingga berkata, "Anak 

muda... sejak tadi kita sudah bicara banyak, tetapi 

masing-masing orang belum memperkenalkan diri. 

Siapakah namamu, Anak Muda?"

Raja Naga tersenyum, tetap dengan sorot ma-

tanya yang angker.

"Namaku Boma Paksi. Aku datang dari Lembah 

Naga dan julukanku Raja Naga...."

"Raja Naga?" ulang si perempuan terkejut.

Raja Naga mengangguk.

"Oh! Jadi... kau orangnya yang berjuluk Raja 

Naga, Anak Muda? Pemuda yang kini ramai dibicara-

kan orang karena telah berhasil membunuh Hantu 

Menara Berkabut beberapa waktu lalu?"

Raja Naga hanya tersenyum.



"Kau terlalu melebih-lebihkan diriku. O ya, aku 

belum mengetahui siapa kau adanya...."

"Hemm... kau boleh memanggilku dengan sebu-

tan Dewi Kerudung Jingga."

Raja Naga tersenyum lagi.

"Baiklah kalau begitu. Dewi Kerudung Jingga, 

sebaiknya kita kuburkan dulu mayat-mayat ini sebe-

lum burung-burung bangkai menjadikan mereka seba-

gai sasaran."

Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepala.

Lalu keduanya segera bekerja keras menggali 

beberapa tanah di tempat itu. Empat sosok mayat di-

makamkan pada satu lubang. Hampir sepenanakan 

nasi pekerjaan itu baru mereka selesaikan. Kini yang 

nampak gundukan tanah di sana-sini. Perkampungan 

itu telah berubah menjadi tempat pemakaman yang 

angker.

Raja Naga memandang Dewi Kerudung Jingga 

yang sedang mengusap keringatnya.

"Dewi Kerudung Jingga, aku telah berjanji pada 

suami Marinah, perempuan yang telah diperalat seseo-

rang dengan memasukkan sinar hitam untuk men-

gembalikan padanya. Aku juga tak ingin perempuan 

yang telah hilang kesadarannya itu akan semakin me-

nimbulkan keonaran hingga memancing kemarahan 

para tokoh rimba persilatan. Sebaiknya... kita berpisah 

saja di sini...."

Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepa-

lanya.

"Raja Naga... mendengar penjelasan mu aku 

menjadi kasihan atas nasib perempuan bernama Mari-

nah itu. Walaupun semula aku menjadi gusar akan 

tindakannya. Yah... aku akan mencari perempuan itu 

sebelum bermunculan orang-orang yang hendak


menghentikan sepak terjangnya...."

Raja Naga tersenyum.

"Terima kasih atas kesediaanmu. Bukan ber-

maksud mengajarimu, yang harus kita cari adalah 

orang yang telah memperalatnya. Juga dengan maksud 

apa orang itu memperalatnya...."

Dewi Kerudung Jingga mengangguk.

"Ya. Senang berjumpa denganmu...."

"Demikian pula denganku...."

Habis berkata demikian, murid Dewa Naga ini 

segera melangkah meninggalkan Dewi Kerudung Jing-

ga. Perempuan cantik berkerudung Jingga itu mem-

perhatikannya sampai sosok pemuda bersisik hijau itu 

menghilang di balik ranggasan semak.

Kemudian dia sendiri segera bergerak ke tempat 

yang berlawanan arah.

* * *

Sampai senja datang kembali, Raja Naga belum 

menemukan jejak-jejak berarti dari orang yang dica-

rinya. Perasaan pemuda ini semakin tak enak saja 

memikirkan kemungkinan demi kemungkinan yang 

akan timbul. Dia dapat membayangkan bila orang-

orang rimba persilatan sudah bermunculan dan men-

ganggap perempuan tak berdosa itu adalah sebagai 

musuh besar mereka.

"Orang yang telah memperalat istri Kakang Ja-

ka itulah yang harus kucari. Karena kupikir, akan sulit 

membuang ilmu yang dimasukkannya ke tubuh Mari-

nah. Tetapi... siapa orang yang telah memperalatnya?"

Perasaan bingung lamat-lamat mulai melanda 

hati murid Dewa Naga. Dia memandang ke depan, 

memperhatikan jalan setapak yang tumpang tindih


dan di sana-sini dipenuhi semak belukar.

"Urusan ini memang lebih membingungkan ka-

rena aku belum mengetahui siapa lawanku yang se-

sungguhnya. Bisa jadi orang itu akan muncul dan 

membokongku atau bersikap laksana malaikat...."

Bersamaan habis ucapannya, Raja Naga meno-

leh ke kanan. Sepasang matanya yang tetap bersorot

angker dan berkesan bengis itu memandang tajam ke 

balik ranggasan semak.

"Hemm... kutangkap langkah terseret yang 

mengarah padaku...," desisnya dalam hati. "Tentunya 

orang ini sudah melihatku. Kalau begitu, biar kutung-

gu saja...."

Tiga tarikan napas berikut, semak berjarak se-

puluh langkah dari hadapan Boma Paksi menguak. Sa-

tu sosok tubuh berpakaian putih panjang muncul den-

gan kaki kiri diseret.

"Peramal Sakti!" seru Boma Paksi setelah men-

genali siapa adanya orang.

Orang yang melangkah itu tersenyum, lalu 

menghentikan langkahnya sejarak lima langkah dari 

hadapan Raja Naga.

"Hemmm... apa kabarmu, Anak Muda? Nam-

paknya dunia ini begitu sempit. Belum lama kita ber-

pisah, kini sudah berjumpa kembali...."

Raja Naga merangkapkan kedua tangannya di 

depan dada.

"Kabar ku baik-baik saja. Bagaimana dengan-

mu sendiri, Orang Tua?"

"Seperti yang kau lihat! Keadaanku baik-baik 

saja...."

Raja Naga melirik kaki kiri si kakek yang keli-

hatan tak berfungsi sama sekali. Diam-diam anak mu-

da dari Lembah Naga ini menarik napas pendek.


"Hemm... hantaman mendiang Setan Gemolong 

telah mengakibatkannya cacat seumur hidup...," de-

sisnya dalam hati.

Peramal Sakti tersenyum melihat tatapan si 

pemuda mengarah pada kaki kirinya. Dia mengusap-

usap Jenggot putihnya.

"Melihat keadaanmu, nampaknya kau sedang 

dibingungkan oleh sesuatu. Benarkah apa yang kuka-

takan?"

Raja Naga mengenal Peramal Sakti sebagai 

orang golongan lurus. Bahkan pernah bersama-sama 

dengannya menuntaskan urusan Kain Pusaka Setan. 

Lalu tanpa menutupi apa yang diketahuinya, murid 

Dewa Naga ini segera menceritakan urusan yang me-

musingkan kepalanya. 

Lamat-lamat dilihatnya perubahan pada wajah 

Peramal Sakti. Tetapi Raja Naga tak segera melontar-

kan keheranannya.

Dia justru mendengar kata-kata Peramal Sakti 

kemudian yang tetap sambil mengusap-usap jenggot 

putihnya,

"Ternyata... ramalanku memang benar. Ah, se-

buah kenyataan yang sebenarnya ingin ku pungkiri

sendiri...."

Walaupun keheranannya semakin besar, Raja 

Naga tetap menutup mulut.

Peramal Sakti menatapnya.

"Anak muda... ingatkah kau pada Kain Pusaka 

Setan yang telah lenyap masuk ke Patung Darah De-

wa?"

"Sudah tentu aku mengingatnya, Orang Tua."

"Dari sanalah petaka yang menimpa perempuan 

bernama Marinah itu terjadi...."

Kali ini Raja Naga mengerutkan keningnya.


"Hemmm... ketika Kain Pusaka Setan tersedot 

masuk melalui wajah Patung Darah Dewa, aku sempat 

melihat ketegangan yang terpancar pada wajah kakek 

ini, yang kemudian kelihatan tenang kembali. Tetapi 

tetap saja kala itu aku berkeyakinan kalau dia menge-

tahui sesuatu."

Habis membatin demikian, Raja Naga berkata, 

"Aku belum dapat memahami apa yang kau maksud-

kan, Orang Tua."

Peramal Sakti tak segera menjawab. Dibawa 

pandangannya ke kejauhan sementara tangan kanan-

nya tetap mengusap-usap jenggot putih panjangnya.

Lalu terdengar kata-katanya. "Belum lama ini 

aku baru saja kembali dari tempat Patung Darah Dewa 

berada. Menurut ramalanku, akan terjadi sesuatu 

yang mengerikan. Patung Darah Dewa telah berubah. 

Ada tetesan darah yang telah mengering pada sekujur 

patung itu, yang membuatku bertambah pasti kalau 

sesuatu memang telah terjadi. Dan nampaknya, ilmu 

manusia durjana yang telah tewas di tangan Kiai Gede 

Arum, guruku itu, yang berupa sinar hitam telah ke-

luar dari Patung Darah Dewa...."

"Astaga! Orang tua... apakah yang kau mak-

sudkan sinar hitam itulah yang menyebabkan perem-

puan bernama Marinah menjadi sedemikian kejam?" 

potong Raja Naga membeliak.

Peramal Sakti mengangguk. "Ya... aku merasa 

pasti akan hal itu. Perempuan bernama Marinah ber-

nasib sangat malang. Dialah orang yang dipilih ilmu 

hitam itu sebagai wadah." 

"Orang tua... mengapa justru dia yang dipilih?" 

"Aku tak pernah mengerti. Aku juga tak men-

gerti mengapa orang yang telah mati ilmunya dapat 

berkumpul menjadi satu sinar hitam. Tetapi di muka



bumi ini, tak ada sesuatu yang aneh lagi. Semuanya 

dapat saja terjadi...."

Raja Naga tak membuka mulut lagi. Otaknya 

semakin dipenuhi pikiran demi pikiran yang tak me-

nentu.

Kemudian dilihatnya Peramal Sakti menarik 

napas panjang.

"Anak muda... usiaku sudah semakin bertam-

bah. Kekuatanku juga sudah semakin berkurang. Te-

tapi tak kusangka kalau di usiaku yang semakin me-

masuki ambang malam ini urusan sudah terbentang 

luas...."

"Orang tua... biarlah aku yang akan menangani 

urusan Patung Darah Dewa...."

"Kau tak tahu apa yang sedang kau hadapi."

"Aku telah memahaminya."

"Tetapi hanya sebagian kecil yang dapat kau 

pahami, karena aku sendiri tak memahaminya. Satu 

satunya orang yang memahami urusan ini adalah Kiai 

Gede Arum. Tetapi dia telah tewas akibat racun yang 

dilakukan oleh Ratu Dayang-dayang yang merupakan 

muridnya dan juga adik seperguruanku...."

Raja Naga tersenyum.

"Biarlah aku yang menangani urusan ini. Bila 

aku tak mampu melakukannya, aku akan mencarimu 

untuk meminta bantuan...."

Mendengar kata-kata itu Peramal Sakti terse-

nyum.

"Anak muda ini memiliki sorot mata angker 

mengerikan, tetapi hatinya sedemikian lembut," desis-

nya dalam hati. Kemudian berkata, "Kurasa... begitu 

lebih baik. Raja Naga, kau lihat keadaanku sekarang. 

Kaki kiriku sudah tak berfungsi dan ini membuat kea-

daanku serasa tak berdaya walaupun aku tetap memiliki semangat besar untuk menuntaskan urusan Pa-

tung Darah Dewa."

Raja Naga tersenyum.

"Biarlah aku yang menanganinya. Kau memang 

patut untuk berada di tempat yang tenang, Orang Tua. 

Oya, ke manakah Ki Dundung Kali?"

"Dia sedang mencari murid murtadnya yang 

menjadi pangkal petaka urusan Kain Pusaka Setan. 

Mudah-mudahan dia tak akan mengalami kesulitan 

untuk menemukannya...," sahut Peramal Sakti sambil 

menarik napas pendek. Lalu berkata, "Kuucapkan te-

rima kasih atas kesediaanmu, Anak Muda...."

Raja Naga cuma mengangguk. Lalu diperhati-

kannya Peramal Sakti yang kemudian melangkah den-

gan menyeret kaki kirinya sampai sosok kakek berpa-

kaian putih panjang itu lenyap dari pandangan.

"Kini aku sudah mendapatkan kejelasan dari 

urusan ini. Ternyata sinar hitam itu bukanlah milik 

seseorang yang memperalat Marinah, melainkan kum-

pulan dari ilmu hitam yang telah berbentuk sebuah si-

nar dari orang yang telah tewas di tangan Kiai Gede 

Arum. Hemm... malam sebentar lagi datang, sebaiknya 

aku segera teruskan langkah...."

Dua tarikan napas berikut, Raja Naga sudah 

meninggalkan tempat itu.

***

LIMA



BANGUNAN besar yang di dalamnya masih ter-

cium aroma arak dan kemesuman kini telah sunyi. 

Gamelan yang sebelumnya terdengar keras mengiringi


tarian erotis kemarin malam, tak terdengar sama seka-

li.

Di tengah-tengah ruangan itu, duduk Setan 

Pemetik Bunga dengan kaki terangkat di pegangan 

kursi sebelah kiri. Sejak tadi bibirnya selalu terse-

nyum. Matanya memandang beberapa orang lelaki 

yang mengenakan blangkon dan pakaian lurik yang 

bergeletakan menjadi mayat.

Astaga! Rupanya gamelan liar yang terdengar 

sejak kemarin malam itu terhenti dikarenakan para 

pemainnya telah tewas dengan dada bolong dibunuh 

oleh Setan Pemetik Bunga sendiri!

Suara lelaki berparas dingin yang mengenakan 

pakaian hijau dihiasi pernik perak ini terdengar, 

"Hemmm... kalian adalah manusia-manusia bodoh 

yang mau datang ke pestaku untuk mengiringi tarian 

dengan gamelan. Yah... aku telah cukup membayar 

pekerjaan kalian dengan nyawa kalian sendiri...."

Baru habis ucapannya terdengar, mendadak 

terdengar teriakan dari salah satu kamar yang terdapat 

di sana. Menyusul pintu terdorong copot dari engsel-

nya terhantam sesuatu. Dan bersamaan pintu itu ter-

banting di atas tanah, satu sosok tubuh jelita yang tak

mengenakan selembar pakaian pun telah tergolek den-

gan leher patah!

Seketika Setan Pemetik Bunga berdiri.

Satu sosok tubuh tua berpakaian hitam dengan 

jubah biru muncul dari kamar itu dengan langkah 

sempoyongan. Mulutnya mengeluarkan makian-

makian kasar,

"Manusia jahanam! Setan Pemetik Bunga! Di 

mana kau?!"

Setan Pemetik Bunga menyeringai.

"Aku berada di sini, Junjung Tala!"


Si kakek segera mengarahkan pandangannya 

pada lelaki tampan yang sedang menyeringai itu. Ma-

tanya yang memerah mendelik gusar.

"Manusia terkutuk! Apa yang kau lakukan se-

benarnya, hah?!"

Setan Pemetik Bunga melipat kedua tangannya 

di depan dada. Dia berkata tenang, "Apa yang kulaku-

kan? Astaga! Bukankah aku mengadakan satu pesta 

yang tak akan pernah kau lupakan seumur hidupmu? 

Kau telah bergelimang dengan arak, dan mendapatkan 

pelayanan yang paling memuaskan dari gadis yang 

tentunya tewas karena kau bunuh itu!"

"Terkutuk! Aku bukan hanya akan membu-

nuhnya, tetapi juga membunuhmu!!"

Habis ucapannya, mendadak Junjung Tala me-

lompat ke depan. Kaki kanannya segera mencuat yang 

didahului oleh gelombang angin deras ke arah Setan 

Pemetik Bunga. Tetapi baru setengah jalan saja, dia 

sudah ambruk di atas lantai.

Setan Pemetik Bunga sedikit memiringkan tu-

buhnya untuk menghindari deru angin itu.

Blaaarr!!

Gelombang angin yang berasal dari cuatan Jun-

jung Tala melabrak dinding yang sedikit gompal.

"Hemmm... bila dia tidak dalam keadaan terke-

na racun, dinding itu bukan hanya gompal, tetapi juga 

jebol berantakan...," desis Setan Pemetik Bunga dalam 

hati.

"Manusia keparat! Kau telah meracuni ku!" se-

ru Junjung Tala sambil berusaha mengangkat tubuh-

nya. Darah mengalir melalui sela-sela bibirnya.

"Bukankah setimpal dengan apa yang telah ku-

lakukan padamu? Kau telah mendapatkan kesenangan 

dan pelayanan dari gadis-gadisku! Mengapa kau...."


Braaakkk!!

Pintu salah sebuah kamar jebol ditendang dari 

dalam. Menyusul munculnya satu sosok gempal den-

gan agak sempoyongan. Di bahu orang gempal itu ter-

golek sosok tubuh tanpa sehelai benang pun yang te-

lah menjadi mayat.

Lalu dengan kegusaran tinggi dilemparnya so-

sok tubuh itu di atas lantai dan serta-merta dia me-

nuding dengan agak sempoyongan pada Setan Pemetik 

Bunga,

"Manusia terkutuk! Kau telah meracuni ku! 

Kubunuh kau!!"

Orang yang bukan lain Setan Gempal adanya 

ini sudah melesat ke depan. Tetapi seperti yang dialami 

oleh Junjung Tala yang sedang menahan rasa sakit tak 

terkira pada sekujur tubuhnya, orang gempal ini ter-

banting pula di atas lantai. Kepalanya sedikit menegak 

sebelum terlihat mulutnya menggembung. Lalu....

"Huaaak!"

Dia muntah darah.

"Dua orang telah terkena perangkapku!" seru 

Setan Pemetik Bunga sambil tertawa.

Menyusul kemudian pintu terbuka dan satu 

sosok tubuh berpakaian Jingga terbuka di bahu kanan 

muncul dan langsung terjungkal di atas lantai. Dari 

mulut dan hidungnya mengalir darah segar.

"Tiga orang telah masuk perangkapku! Hemm... 

tentunya Resi Kawula pun akan mengalami hal yang 

sama!" seru Setan Pemetik Bunga sambil memandang 

Gada Iblis yang langsung terjungkal tadi.

Kembali terdengar pintu didobrak yang meng-

hempas ke dinding. Resi Kawula muncul dengan tubuh 

sempoyongan. Tangannya menuding ke arah Setan 

Pemetik Bunga.


"Tak kusangka... kalau kau punya niatan bu-

suk seperti ini, Manusia keparat!!"

"Lengkap sudah! Kini empat orang yang masuk 

perangkapku dan akan menjadi budak-budakku!"

"Manusia celaka! Mengapa... mengapa kau me-

lakukan hal ini, hah?!"

"Resi Kawula! Ucapanmu itu sungguh buruk 

sekali, sama buruknya dengan wajahmu yang tak lebih 

dari setan kuburan! Ini adalah balasan dari tindakan 

yang telah kalian lakukan?!"

Lelaki berparas buruk itu menekap dadanya 

dengan tangan kanannya.

"Kita telah lama malang melintang di dunia ke-

jahatan, tak ada yang kita sembunyikan satu sama 

lain! Tetapi pada kenyataannya kau telah berlaku bu-

suk seperti itu! Apa yang telah kami lakukan?!"

"Ingatkah kalian dengan apa yang kuminta se-

minggu yang lalu?!" 

"Huh! Siapa yang dapat melupakan hal itu?! 

Kau meminta bantuan kami untuk membunuh Raja 

Naga! Orang yang telah membunuh Hantu Menara 

Berkabut yang boleh dikatakan adalah kakekmu!"

"Kau betul! Kematian kakekku itu baru kuden-

gar dari mulut ibuku sebelum dia tewas! Dan kalian 

menolak di saat aku meminta bantuan kalian untuk 

membunuh Raja Naga!"

"Gila! Siapa yang bilang menolak, hah?!"

"Saat ku kemukakan keinginanku, kalian 

hanya tertawa-tawa dan tak mempedulikannya! Apa-

kah itu bukan satu penolakan?!"

"Keparat!!" tangan kanan Resi Kawula menud-

ing. "Kau seperti orang bodoh! Kau tahu kebiasaan kita 

semua! Dan sebagai sahabat sudah tentu kami akan 

membantumu untuk membunuh Raja Naga!"


"Dan kalian tidak tahu kalau aku sangat mera-

sa terhina dengan sikap kalian yang tak mempedulikan 

apa yang kukatakan! Dendam di hatiku pun mulai 

timbul untuk mencelakakan kalian! Sekarang... kalian 

telah sekarat! Akulah satu-satunya orang yang memili-

ki pil pemunah racun yang dimasukkan pada arak 

yang telah kalian minum! Sekarang... ada dua pilihan 

yang bisa kalian tentukan!"

Setan Pemetik Bunga tak segera meneruskan 

ucapannya. Dipandanginya keempat orang itu yang da-

lam keadaan kesakitan dengan kepuasan tinggi.

"Pertama... bila kalian tak mau membantuku, 

kalian akan mampus secara mengerikan! Kedua, bila 

kalian membantuku, maka akan kuberikan obat pe-

munah dari pil racun yang telah kalian minum! Ba-

gaimana?"

Sepasang mata lelaki bertampang sangat buruk 

dengan pipi dipenuhi bisul itu mendelik gusar. "Kau 

benar-benar bangsat!" 

"Tapi kau melupakan satu hal, bangsat ini telah 

menguasaimu dan yang lainnya!"

Tiba-tiba tubuh sempoyongan Resi Kawula me-

lemah. Kemudian tubuhnya tegak kaku dengan mata 

mencorong tajam.

"Kau atau aku yang telah melupakan satu hal!" 

desisnya dingin, suaranya tidak bergetar seperti tadi.

Perubahan yang terjadi itu sesaat membuat pe-

rasaan Setan Pemetik Bunga menjadi tidak enak. Dia 

memandangi Resi Kawula dengan seksama.

"Kau kelihatan tegang sekarang, Manusia cela-

ka!" seru Resi Kawula gusar. Sorot matanya tetap ta-

jam, tetapi bibirnya memperlihatkan seringaian.

"Gila! Nampaknya... nampaknya dia tak kera-

cunan. Tapi... tidak, tidak mungkin! Dia...."


"Kau bukan hanya menjadi tegang sekarang, te-

tapi juga kebingungan!" seru Resi Kawula dingin. Di-

pandanginya sesaat Junjung Tala, Gada Iblis, dan Se-

tan Gempal yang masih berada di lantai. Wajah mas-

ing-masing orang yang ditatapnya yang tadi memperli-

hatkan seringaian kesakitan, kini tersenyum lebar. 

Bahkan bersama-sama mereka tertawa serempak. Resi 

Kawula memandang lagi Setan Pemetik Bunga yang 

berdiri kaku. "Manusia dajal! Kau seperti melupakan 

satu hal, kalau kecerdikan selalu membawa hasil! Se-

jak masuk ke kamar itu aku sudah merasa heran, 

mengapa gadis yang kau suguhkan kepadaku terus 

menerus memaksaku untuk meminum arak yang su-

dah tersedia di sana? Hahaha... baru kemudian aku 

menyadari kalau kau tidak masuk pula ke salah satu 

kamar dengan membawa gadis lain! Huh! Dengan ber-

lagak menikmati pelayanan gadis yang kau pasok agar 

aku terlena, akhirnya aku berhasil memaksa si gadis 

untuk meminum arak itu! Kau tahu apa yang terjadi? 

Hahaha... dia begitu ketakutan! Dan semakin mem-

perkuat dugaanku kalau minuman itu telah diracuni! 

Tetapi yang sangat ku sayangkan, gadis itu telah 

mampus kubunuh sebelum aku menikmatinya!"

"Keparaaattt!!" bergetar suara Setan Pemetik 

Bunga penuh amarah. Senyumannya yang sejak tadi 

tak putus kini menghilang.

"Bukan kau yang seharusnya menjadi gusar! 

Tetapi aku yang akan menghabisi mu! Lalu kutunggu 

apa yang kemudian terjadi dengan bermacam pikiran! 

Mengapa kau tega hendak meracuni ku? Apakah kau 

juga hendak melakukan yang sama pada Junjung Ta-

la, Gada iblis maupun Setan Gempal? Dan suara Jun-

jung Tala sudah membulatkan keyakinanku dengan 

apa yang kau lakukan!!"


Setan Pemetik Bunga menggeram.

"Terkutuk! Gadis itu begitu bodoh! Dia tak bisa 

melakukan tugasnya dengan sempurna!" makinya da-

lam hati.

"Hebat! Kau memang hebat!" terdengar seruan 

Junjung Tala pada Resi Kawula. "Bunuh manusia ce-

laka itu!"

"Balaskan perbuatan terkutuknya ini!" sam-

bung Setan Gempal.

"Resi Kawula! Bila kau berhasil membunuhnya, 

aku mengaku berhutang nyawa padamu!" seru Gada 

Iblis dengan mata mendelik gusar pada Setan Pemetik 

Bunga.

Resi Kawula melirik sejenak. Lalu sambil me-

mandang lagi pada Setan Pemetik Bunga dia mengges-

er kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya agak sedikit 

ditundukkan.

"Kau telah berlaku bodoh! Kau bersikap tak 

mempercayai kami, padahal kami sangat memper-

cayaimu! Sekarang, apa yang kau lakukan bukanlah 

urusan kami! Demikian pula dengan apa yang akan 

kulakukan terhadapmu sekarang! Huh! Matinya Hantu 

Menara Berkabut di tangan Raja Naga, bukan lagi uru-

san kami!" bentaknya dengan wajah mengeras. Tangan 

kanannya diangkat di depan dada, sementara tangan 

kirinya membuka. Menyusul terdengar bentakannya 

yang menggema di ruangan itu, "Manusia keparat! Te-

rimalah kematianmu!!"

Kejap berikutnya, dia sudah menerjang ke arah 

Setan Pemetik Bunga yang sudah menggeser pula kaki 

kanannya dan bersamaan terjangan Resi Kawula, dia 

juga melesat ke depan sambil dorong tangan kanan kirinya!



ENAM


BERTEMUNYA dua jotosan yang sama-sama 

dialiri tenaga dalam itu menimbulkan suara yang cu-

kup keras. Menyusul masing-masing orang mundur 

beberapa langkah ke belakang. Tetapi Resi Kawula tak 

mau membuang waktu. Amarahnya sudah membludak 

mengetahui lelaki berpakaian hijau dipenuhi pernik 

perak itu hendak membunuh mereka. Begitu tubuhnya 

tegak kembali, dia sudah menerjang ke depan. 

Gelombang angin menghampar diiringi suara 

bergemuruh!

"Keparat! Urusan bisa jadi kapiran!" maki Setan 

Pemetik Bunga sambil meliukkan tubuhnya. Menyusul 

dia memutar tubuh dan melepaskan tendangan kaki 

kanan.

Wuuuttt!!

Hamparan angin mendahului cepat. Bila saja 

Resi Kawula tidak segera menarik kepalanya ke samp-

ing, sudah dapat dipastikan kepalanya akan terhantam 

pecah.

Serangan yang dilakukan Setan Pemetik Bunga 

semakin menambah kemarahan Resi Kawula. Menda-

dak saja tubuhnya sudah berputar laksana baling-

baling, melompat-lompat dengan hentakkan kedua ka-

ki yang memukul-mukul.

Wajah Setan Pemetik Bunga sedikit memucat 

melihat serangan aneh yang dilancarkan Resi Kawula. 

Tetapi di lain saat dia sudah kembali melancarkan se-

rangannya. Biar bagaimanapun juga, masing-masing 

orang mengetahui kehebatan satu sama lain. Mengeta-

hui pula kelemahan satu sama lain. Hingga pertarun-

gan yang terjadi kemudian tak bisa mempergunakan


kelicikan!

"Mana tawa kurang ajar mu seperti tadi, hah?! 

Apakah sudah kering tenggorokan mu hingga kau su-

dah kehabisan tawa?!" seru Resi Kawula sambil melu-

ruk dengan dua jotosan siap dihajarkan pada dada la-

wan.

Setan Pemetik Bunga mundur beberapa tindak 

dengan gerakan cepat. Dua jotosan yang dilancarkan 

sekaligus oleh Resi Kawula luput dari sasarannya. 

Namun saat itulah Resi Kawula melakukan tindakan 

yang sama sekali tak diduga oleh Setan Pemetik Bun-

ga.

Begitu dua jotosannya luput dari sasaran, tu-

buh Resi Kawula mendadak berjungkir balik! Kedua 

kakinya berputar dan....

Des! Des!!

Tepat bersarang di dada Setan Pemetik Bunga 

yang tergontai-gontai ke belakang.

"Bagus! Bunuh dia! Bunuh!"

"Jangan beri ampun pada manusia terkutuk 

itu!"

"Resi Kawula! Aku berhutang nyawa dua kali li-

pat padamu!!"

Setan Pemetik Bunga sendiri saat ini sudah 

merunduk dan berguling di atas lantai, ketika dua jo-

tosan yang dilancarkan Resi Kawula menggebrak kem-

bali. Dia berhasil menghindarinya, tetapi tendangan 

kaki kanan kiri yang dilancarkan Resi Kawula dengan 

cara berputar dengan mencuatkan kaki ke atas itu, 

kembali menghantam dadanya. 

Buk! Buk!

Kali ini Setan Pemetik Bunga bukan hanya ter-

gontai-gontai, tetapi dia ambruk di atas lantai!

"Kau tak patut menjadi salah seorang di antara


kami!!" seru Resi Kawula dingin seraya menyerbu ke 

depan. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi dan siap 

dijejakkan pada dada Setan Pemetik Bunga.

Melihat keadaan itu sepasang mata Setan Pe-

metik Bunga membeliak lebar. Dia masih bisa bergu-

lingan menghindari injakan kaki kanan Resi Kawula!

Brrolll!!

Lantai di mana kaki Resi Kawula menjejak, se-

ketika ambrol dan bermentalan ke udara. Lalu dengan 

gerakan yang sukar diikuti mata, Resi Kawula sudah 

menyeret kaki kanannya. Menyusul layaknya seorang 

pemain bola kaki kirinya disepakkan!

Bukkk!

Paha kanan Setan Pemetik Bunga terhantam 

telak. Walau rasa ngilu tak tertahankan, dia masih be-

runtung karena kakinya tidak patah.

Dan gerakan tubuhnya yang sedikit tersentak 

bergulingan itu berhenti karena lutut kiri Resi Kawula 

sudah berada di atas punggungnya. Tangan kanannya 

melipat tangan kiri Setan Pemetik Bunga dan mene-

kannya kuat-kuat hingga lelaki berparas tampan itu 

menjerit kesakitan.

"Kau akan mampus secara mengerikan, Manu-

sia keparat! Akan ku siksa kau sebelum kuhabisi!" 

"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau!" 

"Kau hanya pandai mempergunakan akal licik, 

tetapi tak memiliki kemampuan apa-apa! Kebodohan-

mu yang tak tanggap dengan apa yang akan kami la-

kukan, telah mencelakakanmu sendiri! Manusia sia-

lan! Berikan padaku obat pemusnah pil racun yang 

kau masukkan pada arak-arak yang diminum mere-

ka!!"

"Huh! Kau bunuh aku sekalipun, tak akan per-

nah kuberikan obat pemunahnya!"


"Bagus! Itu artinya kau bersiap untuk menga-

dakan perjalanan ke neraka!" seru lelaki bertampang 

buruk itu kesal. 

Tangan kiri Setan Pemetik Bunga yang diteli-

kung ke belakang itu disentaknya keras-keras.

Kontan Setan Pemetik Bunga berteriak yang 

menggema di ruangan besar itu.

"Kau akan mendapatkan siksaan yang lebih pe-

dih dari sekarang!" geram Resi Kawula sembari mem-

betot lagi tangan kiri Setan Pemetik Bunga yang lagi-

lagi menjerit keras. Wajah tampan lelaki licik itu sudah 

dihiasi rona merah akibat menahan sakit dan gusar.

Tarikan yang dirasakan pada tangan kirinya, 

ditambah lagi dengan tekanan dengkul kiri kaki Resi 

Kawula, semakin membuatnya menjerit-jerit. Jeritan-

nya itu ditingkahi oleh tawa tiga orang lainnya yang 

seolah melupakan apa yang sedang mereka alami.

"Cukup! Cukup!" teriak Setan Pemetik Bunga 

tak dapat lagi menahan rasa sakit.

"Ini belum seberapa! Kau akan...."

"Akan kuberikan obat pemunah itu!"

"Bagus! Di mana obat-obat itu?!"

"Kusimpan di kamarku!"

Dengan satu sentakan kuat, Resi Kawula me-

narik tubuh Setan Pemetik Bunga hingga berdiri tegak. 

Lalu dengan kuncian yang tak mungkin bisa dile-

paskan oleh Setan Pemetik Bunga, dia mendorong me-

nuju ke sebuah kamar. 

"Tunjukkan, di mana obat-obat pemunah itu!" 

"Manusia bertampang setan! Kau lihat lemari 

ukiran kayu itu! Di sana kusimpan obat-obat itu!!" se-

ru Setan Pemetik Bunga sambil menahan rasa sakit.

"Berani berdusta, maka kau akan mampus!!" 

dengus Resi Kawula lalu menotok Setan Pemetik Bun


ga yang seketika jatuh menggelosoh di atas lantai

"Terkutuk! Kubunuh kau! Kubunuh kau!!" se-

runya dengan tubuh tak bisa digerakkan.

Resi Kawula tak menghiraukan makian Setan 

Pemetik Bunga. Dia berjalan dan membuka lemari be-

rukir. Dilihatnya sebuah botol kecil berwarna hitam di 

sana. Diangkatnya botol itu dan diperhatikan dengan 

seksama. Begitu dilihatnya ada pil-pil warna hitam di 

sana, dia segera merasa yakin kalau dalam botol itulah 

obat pemunah racun berada.

"Kau akan menerima pembalasan yang tak per-

nah kau bayangkan!!" serunya kemudian sambil me-

nyeret tubuh Setan Pemetik Bunga yang terus mene-

rus berteriak.

Di hadapan Junjung Tala, Gada Iblis dan Setan 

Gempal, Resi Kawula membiarkan Setan Pemetik Bun-

ga berada di sana. Ketiga orang yang telah keracunan 

itu memandang sengit pada Setan Pemetik Bunga. Ma-

ta masing-masing orang sudah membiaskan rasa tak 

sabar untuk menghantamnya.

"Kalian akan mendapatkan giliran untuk mem-

bunuhnya...," kata Resi Kawula. Lalu tanpa prasangka 

apa-apa dia mulai membuka tutup botol kecil di tan-

gannya.

Begitu terbuka, mendadak...

Brusss!!

Asap hitam seketika menerpa wajahnya. Saking 

kagetnya, Resi Kawula sampai melempar botol itu 

hingga pecah berantakan. Isinya berhamburan dan 

menggebruskan asap-asap hitam seperti yang menim-

pa wajahnya tadi.

Mendadak terdengar tawa Setan Pemetik Bun-

ga.

"Hahaha... siapa yang memiliki otak cerdik, di


alah yang akan keluar sebagai pemenang!!"

"Terkutuk! Kubunuh kau!!" seru Resi Kawula 

yang tiba-tiba terhuyung. Dengan kemarahan tinggi 

dia siap menginjak pecah kepala Setan Pemetik Bunga.

Namun secara tiba-tiba pula tubuhnya tergon-

tai-gontai ke belakang. Keluhan kesakitan terdengar 

laksana erangan. Dia memegang dadanya kuat-kuat.

"Kau...."

"Resi Kawula! Siapa sudi memberikan obat pe-

munah racun itu, hah?! Aku adalah orang yang me-

rencanakan semuanya, sudah tentu aku akan berhati-

hati bila mengalami kegagalan!" 

Disertai pandangan terkejut dari tiga orang 

lainnya yang masih berada di atas lantai, sosok Resi 

Kawula mengejut-ngejut dengan tubuh semakin lim-

bung. Dari hidungnya telah mengalir darah segar. Rasa 

pusing yang tak tertahankan dirasakannya begitu me-

nusuk. Aliran darah dalam tubuhnya menjadi kacau. 

Debaran jantungnya kian menguat.

"Kau telah menghirup racun arak hitam yang 

telah kuramu! Bila obat-obat racun itu jatuh di atas 

tanah, maka akan berubah menjadi asap! Dan sudah 

tentu begitu kau membukanya, uap yang menempel te-

lah berubah menjadi asap dan menggebrus keluar! 

Mungkin kau merasa heran, tetapi itulah letak keheba-

tanku!"

"Terkutuk!" suara Resi Kawula semakin lemah. 

Gerakannya semakin tak menentu. Tiga tarikan napas 

kemudian dia terbanting di atas tanah untuk kemu-

dian diam tak bergerak.

Seketika berkumandang tawa keras Setan Pe-

metik Bunga yang masih dalam keadaan tertotok.

"Manusia bangsat! Kau akan menerima pemba-

lasan dari semua yang kau lakukan!!"


"Junjung Tala! Bagaimana caranya kalian 

membalas perbuatanku kalau kalian masih keracu-

nan? Aku bisa memberikan kalian obat pemunahnya 

bila kalian mau membantuku untuk membunuh Raja 

Naga!" ejek Setan Pemetik Bunga.

"Huh! Kau seperti sudah berada di awang-

awang, padahal kau sendiri tak lebih dari mayat hidup 

sekarang! Apakah kau melupakan totokan Resi Kawu-

la?!"

Bentakan itu disambut tawa keras oleh Setan 

Pemetik Bunga.

"Kau melupakan satu hai, Junjung Tala!" se-

runya. Kemudian dia berseru, "Gadis-gadis jelita yang 

berada di dalam kamar, keluarlah kalian!!"

Habis seruan itu terdengar, empat orang gadis 

yang berpakaian merah-merah yang bukan lain adalah 

gadis-gadis penyuguh arak yang sebelumnya diperin-

tahkan oleh Setan Pemetik Bunga untuk berjaga-jaga 

di luar, sudah bermunculan. Mereka kelihatan begitu 

gelisah melihat keadaan Setan Pemetik Bunga. Bahkan 

dua orang sudah membungkuk dengan wajah cemas.

"Kau lihat sekarang, Junjung Tala? Mereka 

akan melepaskan totokan orang jelek itu!" bisik Gada 

Iblis.

"Huh!" kegusaran Junjung Tala semakin me-

ninggi. Demikian pula yang dirasakan Gada Iblis dan 

Setan Gempal. "Mereka tak akan bisa melepaskan to-

tokan Resi Kawula!"

"Astaga! Lagi-lagi kau melupakan satu hal! Aku 

sudah bersama-sama dengannya beberapa tahun la-

manya! Aku memang tak bisa membuka totokan ini 

seorang diri! Mungkin bila orang yang belum mengeta-

hui kelemahan totokan ini pun tak akan dapat mela-

kukannya! Tetapi aku tahu kelemahannya dan sudah


tentu gadis-gadisku ini akan membebaskanku!" sahut 

Setan Pemetik Bunga sambil tertawa keras.

Lalu diperintahkannya salah seorang dari 

keempat gadis berpakaian merah itu untuk membuka 

totokan yang ada pada tubuhnya. Dengan petunjuk 

dari mulutnya, si gadis berhasil melepaskan Setan Pe-

metik Bunga dari totokan Resi Kawula.

Lelaki berpakaian hijau dipenuhi pernik perak 

itu segera berdiri dan berseru mengejek, "Kau lihat se-

karang, bukan? Aku sudah bebas! Kini, tinggal kalian 

yang harus turuti apa yang ku mau? Kalian mau me-

nurut pada setiap perintahku, maka akan kuberikan 

sedikit demi sedikit obat pemunah racun yang kalian 

minum! Tetapi bila menolak, maka kalian akan mam-

pus tertelan oleh racun itu!"

"Manusia terkutuk! Kau bunuh pun aku tak 

akan sudi mengikuti setiap perintahmu!" membentak 

Setan Gempal dengan kemarahan tinggi. Teriakannya 

itu justru menyebabkan dadanya kian terasa nyeri.

"Setan Gempal! Racun yang masuk ke tubuh-

mu dan tubuh Junjung Tala serta Gada Iblis, bukan-

lah racun sembarangan! Aku yakin racun itu mulai 

bekerja! Dan kalian akan menjadi orang sekarat sela-

ma tujuh hari tujuh malam untuk kemudian tewas 

dengan pori-pori mengalirkan darah! Tentunya kau 

sudah dapat membayangkannya, bukan?!"

"Terkutuk! Ancaman itu hanya patut kau lon-

tarkan pada anak kemarin sore!" seru Junjung Tala.

"Bagus! Ingin kulihat sampai berapa lama ka-

lian, terutama dirimu, dapat bertahan menghadapi ra-

cun-racunku itu!" sahut Setan Pemetik Bunga sambil 

merangkul salah seorang gadis yang berada di dekat-

nya. Lalu diciumnya mulut si gadis yang nampak pa-

srah. Bahkan membiarkan tangan kanan Setan Pemetik Bunga menyusup pada sepasang bukit kembarnya.

Melihat hal itu, ketiga lelaki yang telah keracu-

nan sama-sama mendengus.

Justru dengusan itu semakin membuat Setan 

Pemetik Bunga mengeraskan tawanya.

"Kalian kuberi kesempatan berpikir sampai be-

sok pagi! Bila kalian tetap bersikeras, maka kalian 

akan menikmati kematian yang tak pernah kalian 

bayangkan!"

"Manusia celaka! Aku bersumpah, akan ku ke-

rat tubuhmu dan ku makan jantungmu!!" bentak Gada 

Iblis dengan wajah menahan sakit.

"Tetapi sayangnya, kau tak akan mampu mela-

kukannya! Ah, memang sungguh sayang sekali...."

Gada Iblis berusaha untuk mengangkat tubuh-

nya dan melakukan satu serangan. Tetapi degup jan-

tungnya yang semakin mengeras membuatnya terbant-

ing kembali. Darah segar semakin banyak keluar dari 

mulutnya.

"Kau tak akan bisa melakukan apa-apa sebe-

lum mendapatkan obat pemunahnya!" 

"Keparat!" 

Setan Pemetik Bunga terbahak-bahak. Lalu di-

gandengnya dua orang dari empat orang gadis yang be-

rada di dekatnya.

Tetapi baru saja dia melangkah, mendadak ter-

dengar suara letupan yang sangat keras disusul den-

gan berhamburannya batu-batu ke arah mereka.

"Menunduk!!" seru Setan Pemetik Bunga cepat.

Batu-batu itu menimbulkan suara yang lu-

mayan keras tatkala menghantam dinding.

Prang! Prang!!

Beberapa buah batu-batu itu menghantami pu-

la gelas-gelas yang masih berada di sana. Saat itu pula


terasa hawa dingin merayapi ruangan itu. Samar-

samar di kejauhan terdengar suara ayam jantan ber-

kokok.

Setan Pemetik Bunga segera berdiri dan lang-

sung membentak, "Keparat! Siapa orangnya yang be-

rani menghantam jebol dinding rumahku ini!!"

Belum habis ucapannya, satu sosok tubuh te-

lah berdiri berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. 

Orang-orang yang berada di sana segera memandang-

nya.

Setan Pemetik Bunga seketika tertawa keras 

begitu melihat siapa adanya orang yang berdiri di ha-

dapannya. Orang itu ternyata seorang perempuan ber-

paras jelita. Berambut indah tergerai. Dan yang mem-

buatnya tertawa, karena perempuan itu tak mengena-

kan pakaian ataupun penutup dada, hingga memperli-

hatkan bukit kembar mengkal yang menggiurkan.

Namun tawa kesenangan Setan Pemetik Bunga 

terputus tatkala melihat betapa bengisnya pancaran 

sepasang mata si perempuan, yang kemudian lamat-

lamat berucap, "Kalian adalah bagian dari hidupku...."


TUJUH



PADA saat yang bersamaan, Raja Naga meng-

hentikan larinya tatkala mendengar suara ribut-ribut 

tak jauh dari tempatnya. Didengarnya pula suara te-

riakan seorang perempuan yang ketakutan diiringi 

dengan tawa kasar.

“Perempuan! Mau lari ke mana kau?!” Seketika 

Raja Naga berkelebat untuk mencari sumber keributan 

itu. Dia segera melihat seorang gadis belia yang diper


kirakan berusia sekitar tujuh belas tahun sedang be-

ringsut mundur dengan wajah ketakutan. Di hadapan-

nya tiga lelaki tinggi besar dipenuhi cambang bauk 

mendekatinya dengan tatapan seliar serigala.

“Kau telah membunuhi orang-orang di kam-

pung seberang…,” desis yang berhidung bulat sambil 

menyeringai. “Perbuatanmu itu harus dibayar dengan 

nyawamu…. Tetapi, hahaha… kau memiliki tubuh in-

dah… sudah tentu kami akan menikmatinya lebih du-

lu….”

“Tidak! Jangan! Jangan! Kalian salah menilai 

orang! Kalian salah menganggapku adalah perempuan 

yang telah banyak membunuh orang!” seru si gadis 

dengan suara bergetar dan wajah pucat. Dia terus be-

ringsut mundur. Kakinya terantuk akar pohon yang 

melintang keluar, hingga dia seketika ambruk telen-

tang.

Melihat hal itu, tiga lelaki tinggi besar itu ber-

pandangan dan tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar pasrah rupanya! Biar aku 

yang lebih dulu ambil bagian!”

Si gadis cepat-cepat berdiri. Dia tak menghi-

raukan kalau kedua sikunya telah berdarah. Tubuh-

nya sudah sangat letih, tetapi dipaksakan juga untuk 

berdiri.

“Ampuni aku… ampuni aku… kalian salah…

kalian salah…,” desisnya penuh ratapan.

“Huh! Perempuan kejam yang banyak membu-

nuh orang itu bertelanjang dada, seperti kau sekarang 

ini!”

“Tapi… tapi… itu karena… kalian… merobek 

pakaianku…,” seru si gadis tersendat. Suaranya begitu 

mengibakan sekali.

“Hahaha… bukankah itu menjadi ciri dari pe


rempuan yang telah banyak membunuh orang? Dan 

perempuan itu adalah kau!”

“Gumilar! Mengapa kau masih banyak bacot ju-

ga! Sudah! Kau garap gadis itu sekarang! Aku sudah 

tak sabar menunggu giliran!!”

Lelaki berhidung bulat itu menyeringai, lalu 

mengusap-usap kedua tangannya sambil melangkah.

Melihat bahaya yang mengancamnya, si gadis 

bertelanjang dada itu mundur kembali. Dia tak meng-

hiraukan keadaannya yang seperti sekarang, yang di-

inginkan hanyalah melarikan diri sejauh-jauhnya.

“Ku mohon… jangan… jangan kau lakukan 

itu….”

“Hahaha… aku akan memberimu kenikmatan, 

Gadis Manis! Seharusnya kau bersyukur karena kau 

akan merasakan kenikmatan yang tentunya belum 

pernah kau rasakan!”

“Aku paling muak dengan tindakan seperti ini! 

Beraninya hanya menghadapi orang yang lemah!” satu 

suara dingin terdengar cukup keras, disusul dengan 

satu sosok tubuh telah berdiri di tengah-tengah Gumi-

lar dan si gadis yang telah terjatuh kembali.

Kali ini si gadis malang itu langsung pingsan 

karena kepalanya terantuk pada batu sebesar lima kali 

kepalan tangan.

Melihat kemunculan orang, Gumilar mengge-

ram seraya tajam-tajam memandang orang di hada-

pannya. Namun begitu pandangannya berbenturan 

dengan sepasang mata yang sedang menatapnya, dia 

tersentak kaget. Mulutnya sedikit membuka sebelum 

kemudian dia memalingkan kepalanya.

“Gila! Jantungku seperti direjam tangan kasar 

melihat tatapannya!!” desisnya dalam hati.

Di pihak lain, lelaki yang mata sebelah kirinya



turun ke bawah sudah membentak, “Pemuda berompi! 

Berani-beraninya kau muncul dan menghalangi apa 

yang kami inginkan! Sebaiknya menyingkir dari sini 

sebelum mampus kami bunuh!”

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja 

Naga adanya tak segera menjawab. Mata angkernya 

menatap tiga lelaki bercambang bauk satu persatu.

Lalu dia merandek dingin, “Aku yakin… kalian 

tahu kalau bukan gadis ini yang telah menimbulkan 

keonaran! Tetapi… kalian mencoba mendapatkan satu 

kesempatan dengan menuduh gadis itu adalah gadis 

yang telah membunuh banyak orang!”

Mendengar kata-kata itu, masing-masing orang 

berpandangan. Gumilar yang tadi jengkel sudah naik 

kembali kejengkelannya.

“Dari ucapanmu, kayaknya kau mengenal pe-

rempuan yang telah membunuh banyak orang! Pemu-

da keparat… menyingkir dari sini adalah sebuah cara 

yang baik buatmu!!”

“Aku akan menyingkir dari sini dengan mem-

bawa gadis itu! Tetapi ingat, bila kujumpai lagi kalian 

melakukan tindakan keparat seperti ini, jangan me-

nyalahkan aku berbuat lebih!”

Habis ucapannya Raja Naga berbalik untuk 

mengangkat si gadis yang pingsan. Tetapi tiba-tiba saja 

dirasakan satu deruan angin keras mengarah padanya.

“Keras kepala!!” desisnya dalam hati. Lalu tan-

pa membalikkan tubuh dia mendehem kecil.

“Heehmmm!”

Blaaarrr!!

Deruan angin yang siap menghantamnya men-

dadak saja putus di tengah jalan. Gumilar yang tadi 

melancarkan satu serangan membeliak terkejut. Dia 

bukan hanya terkejut karena serangannya dipatahkan


dengan mudah, tetapi juga terkejut karena tubuhnya 

seperti tersentak ke belakang.

Raja Naga mendesis tanpa membalikkan tubuh, 

“Aku paling benci dengan orang yang suka meman-

faatkan kesempatan! Aku juga muak dengan orang 

yang tak pernah puas berbuat kejahatan! Menyingkir 

dari sini, adalah satu tindakan yang lebih baik kalian 

lakukan!”

“Pemuda celaka! Kau ingin mengenal siapa ka-

mi rupanya!” bentak lelaki bercambang bauk yang tak 

memiliki daun telinga sebelah kanan. Tangannya su-

dah menuding dengan kegusaran tinggi.

“Aku tak perlu mengenal kalian! Bahkan aku 

tak butuh mengenal kalian!” desis Raja Naga tetap tak 

membalikkan tubuh. Lalu dia menyambung dalam ha-

ti, “Ah, apa yang dilakukan Marinah setelah dirasuki 

sinar hitam yang merupakan kumpulan dari ilmu hi-

tam, sudah membuat keadaan menjadi kacau balau. 

Tentunya bukan hanya ketiga orang ini yang meman-

faatkan kesempatan untuk memburu gadis-gadis yang 

dituduh sebagai Marinah. Keadaan ini memang sangat 

menyedihkan. Karena Marinah tak tahu apa yang dila-

kukannya….”

Lelaki berkuping sebelah itu sudah menggeram 

keras. Kedua tangannya tiba-tiba diputar di atas kepa-

la. Kejap berikutnya dia sudah menerjang dengan ga-

nas.

Raja Naga mendengus. Lalu dengan cepatnya 

diangkat tangan kanan kirinya yang dipenuhi sisik 

coklat sebatas siku.

Buk! Buk!

Benturan itu terjadi dua kali berturut-turut. 

“Heiii!!” terdengar jeritan lelaki berkuping sebe-

lah sambil mundur ke belakang. Dipandanginya kedua


tangannya yang seketika membiru. Tulangnya seperti 

direjam satu kekuatan yang membuatnya meringis. 

“Gila! Tangan kanan kirinya sungguh kuat sekali!”

Raja Naga mendesis.

“Kalian terlalu dibutakan oleh keinginan busuk! 

Lebih baik menyingkir dari sini sebelum urusan men-

jadi panjang! Dan satu hal, aku tak mau membuat 

urusan ini berlarut-larut!”

“Huh! Jangan kau pikir kami akan mundur!”

bentak si lelaki berkuping sebelah. Saat lain diangkat 

kedua tangannya di atas kepala, lalu dipertemukannya 

kedua pergelangan tangannya. Begitu kedua pergelan-

gannya bertemu, seketika terdengar suara yang cukup 

keras disusul dengan menggebraknya gelombang angin 

menyilang yang disaput dengan cahaya hitam!

Raja Naga mendelik.

“Rasanya aku memang harus memberinya pela-

jaran! Manusia-manusia seperti ini yang mengotori se-

gala urusan!”

Memutuskan demikian, Raja Naga mendehem. 

Seketika gelombang angin menyilang yang disaput ca-

haya hitam itu putus di tengah jalan. Menimbulkan le-

tupan yang cukup keras. Si lelaki berkuping sebelah 

yang bernama Galang Pitu sesaat terkejut. Tapi di saat 

lain dia sudah meluruk diiringi teriakan,

“Bunuh pemuda itu!!”

Buk! Buk!

Jotosannya terpapaki lagi oleh jotosan tangan 

kanan kiri Boma Paksi yang bersisik coklat sebatas si-

ku.

Seketika terdengar teriakan menggema di tem-

pat itu. Galang Pitu mundur sambil memegangi tangan 

kirinya yang terkilir menyakitkan! Bila saja Raja Naga 

mau, tangan itu bukan hanya dapat dibuat terkilir



atau patah, tetapi dapat dihancurkannya!

Melihat hal itu, Gumilar dan Gerda Polong su-

dah menyerbu ke depan. Gelombang-gelombang angin 

yang disaput cahaya hitam melabrak ke arah Raja Na-

ga.

Lagi-lagi Raja Naga mendehem dan memu-

tuskan serangan keduanya yang datang bersamaan. 

Kejap lain dia meluruk ke depan. Kaki kanannya 

menghantam kaki kiri Gumilar yang seketika menjerit 

karena terkilir dan sosoknya ambruk disertai lolongan 

di atas tanah. Di pihak lain tangan kirinya memapaki 

jotosan Gerda Polong yang bergerak cepat.

Buk!

Gerda Polong terseret ke belakang. Dan menga-

lami hal yang sama dengan Galang Pitu. Rasa ngilu 

yang tak terkira menyengat tangan kanannya. Bahkan 

saking ngilunya dia sampai terbanting di atas tanah 

untuk kemudian jatuh pingsan!

Raja Naga menarik napas pendek.

“Kalian adalah orang-orang yang tak tahu diun-

tung! Bila saja kalian mau mempergunakan otak dan 

menahan birahi, tentunya kalian akan berada pada ja-

lan kebenaran….”

Galang Pitu yang tengah kelojotan sambil me-

megangi tangan kirinya yang patah berseru, “Pemuda 

celaka! Aku akan mengadu jiwa denganmu!”

“Kau sungguh keterlaluan!” desis Raja Naga 

dengan sorot matanya yang angker.

Galang Pitu berusaha berdiri dengan menge-

rahkan tenaga dalamnya. Tetapi rasa sakit yang me-

nimpa tangan kirinya membuatnya tak mampu untuk 

melaksanakan niatnya.

Raja Naga menghampiri Galang Pitu.

“Mau apa kau?!” bentak Galang Pitu keras.



Raja Naga tak pedulikan bentakan itu. Dia me-

notok tangan kiri Galang Pitu yang sesaat mengejut 

dan perlahan-lahan mulai tidak lagi merasa sakit se-

perti tadi.

“Maafkan aku….”

“Terkutuk! Terkutuk!” geram Galang Pitu yang 

tak dipedulikan oleh Raja Naga.

Pemuda tampan berompi ungu itu sudah me-

langkah mendekati Gumilar. Dia juga melakukan hal 

yang sama seperti yang dilakukannya pada Galang Pi-

tu. Lalu dilakukan pula pada Gerda Polong yang ping-

san.

Setelah itu dia berkata, “Sebaiknya… kalian lu-

pakan semua ini dan menghentikan tindakan makar 

kalian….”

Habis berkata demikian, Raja Naga mengham-

piri tubuh si gadis yang pingsan. Kemudian dibalikkan 

tubuhnya seraya berkata lagi, “Sekali lagi… maafkan 

apa yang kulakukan tadi! Oya… totokan yang kulaku-

kan itu akan terlepas dengan sendirinya….”

“Pemuda bersisik! Kau akan menyesal kelak! 

Kau akan menyesali semua tindakanmu ini!!” bentak 

Galang Pitu dengan wajah memerah.

Raja Naga tak mempedulikannya. Bersamaan 

dia bersiap untuk mengangkat si gadis yang pingsan, 

terdengar suara-suara ramai di belakangnya.

“Ayu Murti!!” teriakan itu terdengar keras.

Raja Naga berbalik. Dilihatnya lima orang lelaki 

gagah dengan parang di tangan telah berdiri di sana.

“Hei! Bukankah manusia-manusia bercambang 

itu yang mengejarnya?!”

“Bunuh mereka! Bunuh!”

Teriakan membahana itu terdengar diiringi

dengan kelima lelaki itu menyerbu Galang Pitu, Gumi



lar, dan Gerda Polong yang masih pingsan.

“Tahan!!”

Teriakan keras itu menyentak dan membuat 

masing-masing orang tanpa sadar menghentikan gera-

kannya. Mereka melihat pemuda berompi ungu me-

mandang mereka satu persatu. Dan tanpa sadar pula 

wajah masing-masing orang menjadi kecut begitu me-

lihat tatapan angker si pemuda yang kedua lengannya 

sebatas siku dipenuhi sisik coklat.

“Mereka telah mendapatkan balasan atas per-

buatannya! Jadi… kalian tak perlu melakukan tinda-

kan lebih!”

“Anak muda! Mereka adalah orang-orang busuk 

yang hendak mencelakakan Ayu Murti!”

“Aku tahu! Tetapi… yang sudah berlalu, biar-

kan berlalu. Sebaiknya kalian kembali saja ke desa ka-

lian dan membawa gadis ini!”

Kelima orang itu berpandangan. Tak lama ke-

mudian masing-masing orang menurunkan tangan 

yang terangkat. Kegarangan di wajah mereka pun le-

nyap.

“Anak muda… kami hampir saja menjadi pem-

bunuh…,” seru salah seorang

“Beruntung karena kalian masih bisa memper-

gunakan akal pikiran! O ya, aku berharap kau mau 

membuka pakaianmu untuk ku pakaikan pada gadis 

yang pingsan ini! Karena dia….”

Raja Naga tak meneruskan ucapannya. Lelaki 

yang dimaksud itu sudah membuka pakaiannya dan 

melemparkannya ke arah Raja Naga. Si pemuda segera 

mengenakan pakaian itu pada Ayu Murti yang pa-

kaiannya telah dirobek-robek oleh tiga lelaki bercam-

bang

Kemudian diangkatnya tubuh Ayu Murti yang



pingsan dan menyerahkannya pada si lelaki yang kini 

bertelanjang dada.

“Kembalilah kalian ke tempat tinggal kalian….”

“Anak muda… terima kasih atas bantuanmu. 

Ayu Murti adalah adikku. Sebelum kami meninggalkan 

tempat ini, dapatkah kami mengetahui siapakah kau 

adanya, agar kami dapat mengenang orang baik seper-

timu?”

Raja Naga tersenyum.

“Namaku Boma Paksi. Berhati-hatilah dalam

perjalanan kembali ke tempat tinggal kalian….”

Setelah mengucapkan terima kasih berulang-

ulang, kelima lelaki itu segera meninggalkan tempat itu 

dengan membawa Ayu Murti yang pingsan.

Galang Pitu dan Gumilar yang tadi membeliak 

pias begitu melihat kemunculan kelima orang yang 

siap membunuh mereka, diam-diam menarik napas 

panjang. Diam-diam mereka menyadari kalau saat ini 

mereka masih hidup dikarenakan kebaikan si pemuda 

bersisik coklat pada kedua tangannya sebatas siku.

Masing-masing orang tak ada yang buka suara.

Raja Naga sendiri tak berkata apa-apa. Dia su-

dah meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Galang 

Pitu dan Gumilar yang tiba-tiba menjadi tidak enak pe-

rasaannya.

Setelah merasakan totokan yang dilakukan pemuda 

berompi ungu lenyap, tanpa membuka suara masing-

masing orang membawa tubuh Gerda Polong yang ma-

sih pingsan.

***


DELAPAN


KEHADIRAN perempuan bertelanjang dada 

dengan wajah bengis itu, mengejutkan Setan Pemetik 

Bunga. Lelaki berpakaian keperakan yang sebelumnya 

tertawa senang begitu melihat payudara indah yang 

terpampang terbuka, kini memandang dengan wajah 

agak kecut.

Demikian pula dengan Junjung Tala, Gada Iblis 

dan Setan Gempal. Untuk beberapa saat mereka seo-

lah melupakan kalau saat ini masing-masing orang se-

dang keracunan.

"Kalian adalah bagian dari hidupku...," desisan 

itu terdengar lagi. Wajah jelita perempuan bertelanjang 

dada yang sebenarnya sangat menggiurkan itu, sema-

kin dingin.

Tiba-tiba, salah seorang dari keempat gadis 

berpakaian merah yang berada di sana sudah melang-

kah mendekati si perempuan yang bukan lain Mari-

nah. Istri Jaka yang bernasib malang karena kini telah 

dikuasai oleh ilmu hitam milik orang yang telah dika-

lahkan Kiai Gede Arum puluhan tahun lalu.

Tindakan tiba-tiba yang dilakukan salah seo-

rang gadis itu mengejutkan yang lain. Langkah si gadis 

kaku, seperti terhipnotis. Parasnya seolah tak menun-

jukkan tanda-tanda kehidupan.

Belum lagi orang-orang yang berada di sana 

menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja si perem-

puan bertelanjang dada sudah menggapai bahu si ga-

dis. Lalu dengan gerakan yang cepat menghujamkan 

kedua taringnya yang tiba-tiba mencuat pada leher si 

gadis. 

Craapp!


Kedua taring itu menghujam, disusul dengan 

satu pemandangan yang mengerikan. Karena terlihat 

darah tertarik melalui kedua taring Marinah.

"Gila!!" seru Setan Pemetik Bunga tersadar dari 

keterkesimaannya. Cepat dia menerjang ke depan, be-

rusaha membebaskan gadis yang sedang dihisap da-

rahnya oleh perempuan bertelanjang dada.

Tetapi... 

Wuuttt!!

Tiba-tiba saja si perempuan menyentak tubuh 

si gadis ke arah Setan Pemetik Bunga. Lelaki berparas 

tampan berhati licik itu tersentak dan cepat menepak.

Plaaak!

Tubuh si gadis yang sudah menjadi mayat ter-

lempar ke dinding akibat tepakannya.

"Kalian adalah bagian dari hidupku!" terdengar 

desisan si perempuan dingin dan mengerikan.

"Iblis!!" terdengar seruan Setan Gempal keras. 

Lelaki bertubuh gemuk ini tersentak sendiri akibat se-

ruannya. Tubuhnya sesaat naik, sebelum rebah kem-

bali di atas tanah.

"Kau adalah bagian dari hidupku! Dan aku 

menghendaki kematianmu!!" seruan dingin itu terden-

gar bersamaan tangan kanan yang digerakkan ke de-

pan.

Entah apa yang kemudian terjadi, Setan Gem-

pal berteriak setinggi langit, menggema di ruangan itu. 

Menyusul darah berhamburan dari mulutnya! Bila saja 

saat ini Setan Gempal tidak sedang keracunan, ke-

mungkinan besar dia dapat menahan serangan tiba-

tiba itu.

Di lain saat, Setan Gempal sudah pergi ke ne-

raka!

"Gila! Kubunuh kau?!" terdengar seruan mulut


Junjung Tala keras. Wajah si kakek yang sudah pucat 

akibat racun yang mulai bekerja di seluruh aliran da-

rahnya, mendadak menegang. Tetapi di lain saat dia 

sudah terbatuk-batuk. Rasa sakit pada tubuhnya se-

makin dirasakan. Lamat-lamat perasaannya mengata-

kan sesuatu akan terjadi.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Setan Peme-

tik Bunga. Lelaki berhati licik yang telah melakukan 

kelicikannya terhadap teman-temannya sendiri ini pun 

mulai tidak tenang.

"Aku tidak tahu siapa perempuan ini. Tetapi 

kesaktiannya sudah dapat kubayangkan. Huh! Aku tak 

ingin mendapat celaka sekarang! Aku masih harus 

mencari Raja Naga yang telah membunuh kakekku, si 

Hantu Menara Berkabut," desisnya dalam hati. "Dan 

kalau sudah begini, aku jelas-jelas gagal memperalat 

manusia-manusia celaka yang pernah meremehkanku 

itu! Huh! Peduli setan! Masih ada dia yang jelas-jelas 

mau membantuku! Kalau begitu... aku harus mencari 

kesempatan untuk meninggalkan tempat ini!"

Habis membatin demikian, Setan Pemetik Bun-

ga membentak, "Perempuan! Siapakah kau adanya?! 

Wajahmu begitu jelita dan buah dadamu sungguh 

menggiurkan untuk dihisap! Tak seharusnya kau me-

nunjukkan tindakan keji! Ayo, kemarilah! Kau akan 

kuberikan kenikmatan yang tak pernah kau bayang-

kan sebelumnya!"

Perempuan bertelanjang dada itu memandang 

tajam pada Setan Pemetik Bunga. Seperti menangkap 

satu getaran kuat, Setan Pemetik Bunga segera mema-

lingkan kepalanya.

Tiba-tiba salah seorang dari gadis berpakaian 

merah sudah membentak, "Perempuan itu telah mem-

bunuh Murtini! Kita bunuh dia!!"


Di lain saat dia sudah menerjang ke depan, 

disusul oleh kedua gadis lainnya. Tiga serangan seke-

tika menderu ke arah Marinah yang dikuasai Ilmu hi-

tam. Namun saat itu pula tiga serangan itu putus di 

tengah jalan dengan terdengar suara letupan cukup 

keras.

Disusul dengan teriakan bersamaan dari tiga 

sosok tubuh yang terlempar deras ke belakang. Dan 

terbanting secara bersamaan di lantai dengan kepala 

pecah!

Melihat apa yang terjadi, kengerian Setan Pe-

metik Bunga semakin menjadi-jadi.

"Perempuan ini tak bergeming mendengar uca-

pan apa pun. Jelas kalau dia tak akan bisa dibujuk. 

Dan menghadapinya, justru akan... hemmm! Aku 

punya pikiran tersendiri!!"

Habis mendesis demikian. Setan Pemetik Bun-

ga berseru, "Perempuan celaka! Kau akan merasakan 

akibat dari perbuatanmu!!"

Kejap lain dia sudah menerjang ke depan. Dan 

begitu dilihatnya tangan kanan si perempuan sudah 

bergerak, dia cepat membuang tubuh ke samping kiri, 

tepat berada tak jauh dari hadapan Junjung Tala. Tu-

buhnya segera dibuat sedikit terhuyung. Sesuatu terja-

tuh dari balik bajunya, menggelinding ke dekat Jun-

jung Tala.

Melihat ada botol kecil yang menggelinding ke 

arahnya, Junjung Tala cepat menyambarnya.

Saat itu Setan Pemetik Bunga sedang berseru 

keras 

"Perempuan tak tahu diuntung! Kau akan me-

nyesali tindakanmu ini!!"

Pada saat yang bersamaan pula, Junjung Tala 

sedang membuka botol kecil yang menggelinding ke


arahnya. Menuang isinya ke telapak tangan kanannya. 

Dipandanginya pil-pil warna hitam yang kini ada di 

tangannya.

"Pil-pil yang terdapat dalam botol ini jatuh dari 

balik baju manusia licik Setan Pemetik Bunga! Dari 

balik bajunya? Hemm... jangan-jangan... pil-pil ini ada-

lah obat pemunah dari racun yang kuminum."

Tanpa curiga sedikit pun juga. Junjung Tala 

segera menelan pil-pil hitam yang berada di telapak 

tangannya. Matanya dipejamkan karena khawatir ka-

lau dia salah menduga. Tetapi tiga tarikan napas beri-

kutnya dirasakan aliran darahnya yang kacau tadi mu-

lai normal kembali. Nafasnya tidak panas lagi, bahkan 

tubuhnya mulai dirasakan agak lebih enak.

"Gada iblis! Cepat kau telan pil-pil ini!" serunya 

pada Gada Iblis seraya melempar botol pil yang tadi 

disambar dan isinya langsung ditelan.

Sementara Gada Iblis segera menelan pil itu, 

Junjung Tala telah berdiri dalam keadaan segar bugar. 

Di pihak lain Setan Pemetik Bunga sudah melancarkan 

serangannya pada perempuan bertelanjang dada.

Dan kejap itu pula dia menghindari serangan 

yang datang dari depan. Begitu kedua kakinya mengin-

jak tanah, dia segera melesat melalui dinding yang je-

bol. Berlari sejauh-jauhnya.

Memang itulah yang direncanakan oleh Setan 

Pemetik Bunga. Dia dengan sengaja menjatuhkan botol 

berisi pil-pil pemunah racun di dekat Junjung Tala, 

dengan harapan si kakek akan segera menelan pil-pil 

itu. Dia akan tetap berada di sana sampai Gada Iblis 

pun menelan pil-pil itu.

Begitu dilihatnya Gada Iblis sudah menelan pil-

pil itu, dia segera melancarkan serangannya pada pe-

rempuan bertelanjang dada yang sebenarnya mencari


kesempatan untuk meloloskan diri. Dengan pulihnya 

keadaan Junjung Tala dan Gada Iblis, Setan Pemetik 

Bunga berharap dapat mengalihkan perhatian perem-

puan bertelanjang dada yang memiliki kekejaman dan 

kesaktian tinggi!

Sambil berlari, lelaki berpakaian perak ini ter-

tawa penuh kepuasan. Sebenarnya bila dia tidak ter-

tawa, tak akan menarik perhatian pemuda berompi 

ungu yang berjalan tak jauh dari tempatnya berlari.

Pemuda itu segera menghentikan langkahnya. 

Dipandanginya kelebatan tubuh dengan sorot matanya 

yang angker.

"Hemm... siapakah orang itu?" desisnya dalam 

hati. Lalu tanpa pikir panjang lagi, si pemuda yang 

bukan lain Raja Naga adanya sudah berkelebat me-

nyusul.

Sementara itu di rumah besar yang telah jebol 

dinding bagian depannya, Junjung Tala menggeram 

dingin begitu menyadari apa maksud dari Setan Peme-

tik Bunga sesungguhnya.

"Terkutuk! Tentunya dia dengan sengaja menja-

tuhkan botol pil-pil pemunah racun itu! Keparat!" de-

sisnya dingin dengan pandangan tak berkedip pada pe-

rempuan bertelanjang dada yang semakin memperli-

hatkan kebengisan pada wajahnya.

Gada Iblis juga tahu apa yang dimaksudkan 

oleh Setan Pemetik Bunga. Tetapi dia tidak memper-

soalkannya sekarang, karena bahaya sudah mengha-

dang.

"Junjung Tala... apakah kau sebelumnya per-

nah mengenai perempuan bertubuh menggiurkan itu?" 

tanyanya pelan.

Junjung Tala menggelengkan kepalanya.

"Baru kali ini aku melihat perempuan itu! Huh!


Bila saja dia tidak sekejam dan menampakkan permu-

suhan seperti ini, aku sudah tak sabar untuk menik-

mati keindahan tubuhnya! Kau lihat, betapa menggi-

urkan buah dadanya itu!"

"Bukan hanya kau yang menginginkannya, aku 

pun tak sabar untuk menikmatinya! Tetapi... dia bu-

kan hanya patut dinikmati, tetapi juga dibunuh!" Jun-

jung Tala melirik.

"Apakah kita akan menyerangnya sekarang?" 

Gada Iblis tak segera menjawab. Dipandanginya dulu 

perempuan yang sedang memandang tak berkedip itu 

sebelum menyahut, "Junjung Tala... kendati perem-

puan ini muncul dengan sikap penuh permusuhan, 

aku tak mempedulikan keadaan! Keinginanku hanya-

lah untuk membunuh manusia keparat berjuluk Setan 

Pemetik Bunga!"

"Dendam ku padanya sudah setinggi langit! Dia 

telah membunuh Resi Kawula dan secara tidak lang-

sung penyebab dari kematian Setan Gempal! Tetapi... 

apakah kita akan dengan mudah keluar dari tempat 

ini?!"

"Huh! Kesaktian perempuan itu memang tak 

disangsikan lagi! Tetapi aku tak peduli! Junjung Tala! 

Kita sudahi dulu perempuan itu sebelum kita mencari 

Setan Pemetik Bunga!"

Kata-kata Gada Iblis disambut dengan anggu-

kan oleh Junjung Tala. Kejap berikutnya, kakek itu 

sudah menerjang ke depan. Tangan kanan kirinya di-

gerakkan yang serta merta menggebrak gelombang an-

gin mengerikan ke arah perempuan bertelanjang dada. 

Bersamaan dengan melesatnya Junjung Tala, Gada Ib-

lis bergulingan menyambar gada besarnya yang sejak 

kemarin malam tergeletak di atas meja.

Begitu gada besar itu disambar, dia sudah melesat cepat menyusul serangan Junjung Tala!

Wuunggg!! 

Begitu gadanya digerakkan, menggebah gelom-

bang angin yang luar biasa kerasnya. Bergelombang 

dengan gulungan besar.

Perempuan bertelanjang dada itu kertakkan ra-

hangnya. Sikapnya dingin dengan sorot mata tajam. 

Kejap berikutnya dia menghindar ke belakang disusul 

dengan tepukkan tangannya!

Blaaamm! Blaaammm!

Terdengar letupan keras yang menggetarkan 

ruangan itu. Sosok Junjung Tala terseret ke belakang. 

Demikian pula halnya dengan Gada iblis, tetapi Gada 

Iblis masih dapat menguasai keseimbangannya dengan 

memutar gada besarnya sebagai penjaga keseimban-

gan.

Dan menggebrak gelombang angin hitam diser-

tai seruan dingin, "Kalian adalah bagian dari hidupku! 

Jadi... mati dan hidup kalian aku yang menghendaki! 

Malam ini, aku menghendaki kematian kalian!!"

Menggebraknya gelombang angin hitam susul 

menyusul yang sangat ganas, membuat keduanya ber-

teriak tertahan. Dan masing-masing orang berusaha 

menghindarinya dengan jalan memutar tubuh.

Broool! Brooolll!

Dinding di belakang masing-masing orang am-

brol dan bebatuannya berpentalan.

Junjung Tala terjerunuk jatuh karena kaki ka-

nannya terhantam pecahan bebatuan itu. Gada Iblis 

lagi-lagi masih beruntung karena dia dapat menahan 

sekaligus memukul pecahan bebatuan yang mengarah 

padanya.

Tetapi bencana tak hanya sampai di sana. Ma-

rinah yang telah dikuasai oleh ilmu hitam yang menitis


padanya menggeram setinggi langit. Suaranya me-

raung laksana harimau terluka. Kalau sebelumnya dia 

melancarkan serangan tanpa bergeser dari tempatnya, 

kali ini dia sudah melesat ke depan seraya mendorong 

tangan kanan kirinya.

Bahkan dengan memutar tubuh dia mencecar 

Junjung Tala yang sedang berusaha bangkit dengan 

tendangannya yang keluarkan angin bergemuruh ting-

gi!

"Awaasss!!" seru Gada Iblis sambil melesat ke 

arah Junjung Tala. Sesungguhnya dia sendiri dalam 

keadaan terkurung oleh serangan yang berbahaya, te-

tapi demi melihat Junjung Tala dalam keadaan tak 

berdaya, dia memutuskan untuk menolongnya.

Dengan kibasan gada besarnya yang seketika 

menimbulkan angin bergemuruh yang mendorong tu-

buh Junjung Tala sekaligus menyelamatkannya, Gada 

Iblis segera membuang tubuh ke samping. Tetapi naas 

baginya!

Karena saat itu perempuan yang bertelanjang 

dada hingga saat dia bergerak sepasang bukit kembar-

nya bergoyang-goyang, sudah masuk menyerbu!

Kaki kanannya diayunkan yang telak menghan-

tam dada Gada Iblis!

Desss!!

Tubuh Gada Iblis terpental ke belakang. "Pe-

rempuan keparat! Kubunuh kauuuu!!" terdengar se-

ruan Junjung Tala yang terkejut melihat maut yang 

sedang memburu sahabatnya. Kakek ini cepat melom-

pat ke depan untuk menghalangi niat si perempuan 

yang sedang memburu Gada Iblis.

Tetapi satu dorongan telah membuatnya ter-

banting kembali. Lalu dengan mata terbeliak dan ama-

rah bercampur dengan kengerian, dilihatnya bagaima


na tangan kanan si perempuan menghantam panggung 

Gada Iblis.

Terdengar suara berderak yang sangat keras. 

Disusul....

Praaakk!

Kepala Gada Iblis telah pecah terkena tendan-

gan yang sangat keras. Tubuhnya melayang ke samp-

ing dan ambruk dengan darah yang keluar dari kepa-

lanya untuk kemudian tewas!

Melihat hal itu, ketakutan mulai merajai hati 

Junjung Tala. Kakek ini untuk beberapa saat diam tak 

bergerak. Tetapi begitu melihat kepala si perempuan 

mendadak berpaling ke arahnya, kembali ketakutan 

merajai hatinya.

"Celaka! Aku bisa celaka! Gada Iblis dan Setan 

Gempal sudah mampus! Resi Kawula telah mendahu-

lui tewas akibat perbuatan Setan Pemetik Bunga! Ke-

parat! Laknat! Ini semua gara-gara manusia terkutuk 

itu! Dia harus kucari! Dia harus membayar semua 

perbuatannya!!"

"Manusia... kau adalah bagian dari hidupku! 

Mendekatlah!" 

Ucapan dingin itu membuat Junjung Tala me-

negakkan kepalanya. Rasa kecut kian menjalari di-

rinya.

"Bersama Gada Iblis saja aku tak mampu 

menghadapi perempuan berilmu tinggi ini! Kalau begi-

tu...."

Desisan Junjung Tala terputus karena dia me-

rasakan adanya satu tenaga kuat yang mencoba me-

nyedotnya.

"Astaga! Ku rasakan sesuatu memasuki otakku! 

Ada apa ini? Ada... gila! Lebih baik aku kabur saja!!"

Memutuskan demikian, dengan mengerahkan


segenap keberanian dan sisa-sisa tenaga dalamnya, 

Junjung Tala mendorong kedua tangannya ke arah si 

perempuan. Serangannya itu putus di tengah jalan. 

Bersamaan letupan yang terdengar, Junjung Tala su-

dah melarikan diri dari tempat itu.

Si perempuan menggereng mengerikan, "Kau 

adalah bagian dari hidupku! Kau akan mampus di 

tanganku!!"

Lalu dia berteriak-teriak kalap setinggi langit!

***

SEMBILAN



RAJA NAGA yang mengikuti perginya Setan 

Pemetik Bunga, harus kehilangan jejak lelaki berpa-

kaian perak itu tatkala memasuki sebuah hutan. Saat 

ini hari sudah menjadi pagi kembali. Sinar matahari 

hanya sedikit yang dapat menerangi tempat itu, karena 

tingginya pepohonan yang berdaun rimbun mengha-

langi terobosan sinarnya.

Untuk beberapa lama pemuda tampan dari 

Lembah Naga ini terdiam di tempatnya sekarang. 

Rambutnya yang gondrong tergerai dipermainkan an-

gin pagi. Sepasang matanya yang memiliki sorot ang-

ker mengerikan diedarkan untuk meneliti sekeliling-

nya. Lalu ditariknya napas dalam-dalam. Dan seraya 

menghembuskannya dia mendesis,

"Aneh! Tak ada tempat yang tersembunyi di si-

ni, tetapi aku tak lagi melihat lelaki berpakaian kepe-

rakan itu. Benar-benar aneh! Ke mana dia pergi?!"

Semakin dia memicingkan mata untuk mem-

perhatikan sekelilingnya, semakin besar keheranan


nya.

"Ah, mengapa aku harus mengikuti lelaki ber-

pakaian keperakan itu?" desisnya lagi. "Tetapi... ah, 

apa yang harus kulakukan sekarang? Lelaki berpa-

kaian keperakan itu tentunya tahu kalau aku mengi-

kutinya...."

Sementara itu, di saat pemuda yang dari jemari 

hingga batas sikunya bersisik coklat ini kebingungan, 

di sebuah tempat yang tersembunyi, yang berada di 

balik ranggasan semak tinggi, lelaki berpakaian perak 

yang dikejarnya telah duduk di hadapan satu sosok 

tubuh.

Setan Pemetik Bunga baru saja menceritakan 

apa yang telah dialaminya pada orang di hadapannya. 

Orang itu mendehem.

"Bagus! Kau telah melakukan tugas yang baik!" 

Setan Pemetik Bunga memandang orang di hadapan-

nya dengan seksama.

"Sebenarnya, ada yang mengherankan ku." 

"Katakan!"

"Mengapa kau meminta ku untuk membunuh 

mereka, dengan rencana yang kau katakan?" Orang itu 

menyeringai.

"Karena nama besarku tertutup oleh orang-

orang itu!"

"Tetapi, kau memiliki ilmu lebih tinggi dari me-

reka? Kau bisa membunuhnya!"

"Sebuah pekerjaan tentunya ada imbalan!" sa-

hut orang itu masih menyeringai. "Setan Pemetik Bun-

ga! Kau telah meminta bantuanku untuk membunuh 

Raja Naga yang telah membunuh kakekmu! Dan sudah 

tentu aku mau melakukannya yang tentu saja dengan 

syarat! Dan syarat telah ku keluarkan, yang juga telah 

kau jalankan...."


"Lantas, apakah kau mengenal perempuan ber-

telanjang dada yang tiba-tiba muncul?"

Orang itu menggelengkan kepalanya.

"Kita tak perlu memikirkan tentang perempuan 

yang mengganas itu! Katamu tadi, Setan Gempal telah 

mampus! Dan dengan kelicikanmu itu, kau justru 

mendapatkan kesempatan melarikan diri sementara 

kau biarkan Junjung Tala dan Gada Iblis menghadapi 

perempuan itu! Otakmu benar-benar diisi dengan ke-

busukan, Setan Pemetik Bunga!" 

Setan Pemetik Bunga hanya mendengus. Dia 

menangkap kata-kata yang diucapkan oleh orang di 

hadapannya justru berbau ejekan. Beberapa lama di-

pandanginya orang di hadapannya yang sedang me-

nyeringai.

Lalu sambil menindih kegeramannya dia berka-

ta, "Lantas... apa yang akan kita lakukan sekarang? 

Aku telah berhasil menjalankan rencana busuk itu un-

tuk membunuh mereka! Dan tentunya, kau akan sege-

ra menjalankan perintah yang kuberikan...."

Orang di hadapannya tertawa pelan.

"Tak perlu gusar dan tak perlu tergesa-gesa! 

Sudah tentu aku akan membantumu untuk membu-

nuh Raja Naga!" sahutnya masih tertawa. Kemudian 

sambungnya, "Dan perlu kau ketahui, kalau sebelum 

ini aku telah bertemu dengan pemuda itu!"

Kepala Setan Pemetik Bunga terangkat. Untuk 

beberapa lama dia tak bersuara sebelum terdengar ka-

ta-katanya cepat dan beruntun, "Kapan? Di mana? Apa 

yang kau lakukan? Kau telah membunuhnya?!"

Orang di hadapannya menggeleng.

"Tidak! Aku belum membunuh!"

"Oh! Mengapa... mengapa kau...."

Orang di hadapannya menyeringai.


"Karena aku belum tahu apakah kau telah ber-

hasil membunuh manusia-manusia itu atau tidak!"

Setan Pemetik Bunga mendengus.

"Manusia satu ini memang menjengkelkan! Te-

tapi... dialah yang bersedia membantuku sementara 

orang-orang keparat itu justru menertawakan ku! Huh! 

Bagusnya rasa sakit hatiku tertolong dengan kehadi-

rannya!"

Dengan penuh tidak sabar dia berkata, "Kita 

akan memburunya sekarang juga!"

"Jangan terlalu bernafsu! Setan Pemetik Bunga, 

dari pembicaraan ku sekilas dengan pemuda itu, dia 

juga sedang mencari perempuan bertelanjang dada 

yang muncul di hadapanmu! Kala itu aku juga sedang 

mencari perempuan itu yang kebetulan ketika aku me-

lewati sebuah perkampungan, para penduduknya telah 

menjadi mayat!"

"Oh! Jadi... perempuan itukah yang telah mela-

kukannya?"

"Ya! Bila kau tadi bertanya apakah aku menge-

nalnya, tidak sama sekali! Tetapi aku telah melihat ha-

sil dari tindakan kejinya! Dan saat ini, Raja Naga se-

dang mencarinya!"

"Ini akan menjadi satu peristiwa yang menarik! 

Tahukah dia kalau kau sebenarnya sedang membu-

runya?"

"Sudah tentu tidak! Dan ini akan menjadikan 

sebuah teka-teki kematian yang sangat besar pa-

danya!"

Setan Pemetik Bunga tertawa pelan.

"Aku sudah tidak sabar untuk membunuh pe-

muda itu, yang telah membunuh kakekku, si Hantu 

Menara Berkabut!"

"Keinginanmu itu tak akan lama lagi akan ter


laksana! Dan akan lebih menguntungkan bila kita ber-

hasil mengajak perempuan bertelanjang dada untuk 

bersatu! Kesaktian perempuan itu tentunya sangat 

tinggi! Aku bisa membayangkannya dari apa yang kau 

ceritakan!"

Setan Pemetik Bunga mengangguk-anggukkan 

kepalanya sambil tersenyum puas.

"Ya! Kita akan berusaha untuk mengajaknya 

bergabung!"

"Dan satu hal yang belum kuceritakan kepa-

damu!" 

"Katakan!"

"Apakah kau tidak menyadari kalau seseorang 

sedang mengikutimu?"

Mendengar pertanyaan itu, kepala Setan Peme-

tik Bunga menegak. Matanya memandang tak berkedip 

pada orang di hadapannya. Perlahan-lahan dia mema-

lingkan kepalanya ke belakang, seolah mencoba me-

nembusi ranggasan semak belukar.

"Tak perlu tegang maupun gusar! Orang yang 

mengikutimu cukup jauh berada di sini!"

Kembali lelaki tampan namun memiliki keke-

jian tinggi itu memandang orang di hadapannya.

"Hemm... kalau dia mengetahui ada orang yang 

mengikutiku, berarti dia memang sudah tahu ketika 

aku hendak mendatanginya. Dari apa yang diketa-

huinya ini sudah menunjukkan tingkatan ilmunya," 

desisnya dalam hati. Masih memandang orang di ha-

dapannya, Setan Pemetik Bunga berkata, "Kau tahu 

siapakah orang itu?"

Orang di hadapannya menganggukkan kepala. 

Seringaian lebar terpampang di bibir merahnya.

"Orang itu adalah... pemuda yang hendak kau 

bunuh!"


* * *

Pada saat yang bersamaan, pemuda dari Lem-

bah Naga itu masih belum dapat memutuskan tinda-

kan apa yang harus dilakukannya. Dia masih memi-

cingkan matanya yang bersorot angker. Keningnya se-

sekali berkerut.

"Benar-benar mengherankan! Ke mana perginya 

lelaki berpakaian perak itu?" desisnya lagi sambil me-

narik napas panjang. "Hemmm... di sekeliling ku tak 

begitu banyak ranggasan semak belukar. Tetapi di ke-

jauhan sana banyak tumbuh semak-semak yang san-

gat rimbun. Bisa jadi kalau orang yang kuikuti itu ma-

suk ke salah satu dari semak semak itu."

Kembali untuk beberapa lama pemuda yang 

mulai jari-jemarinya hingga, batas siku terdapat sisik-

sisik coklat terdiam. Lalu diputuskan untuk terus 

mencari orang berpakaian keperakan.

Baru saja Boma Paksi melangkah lima tindak, 

satu bayangan jingga berkelebat dari samping kanan-

nya. Serta-merta pemuda tampan ini memalingkan ke-

pala.

Begitu dikenalinya orang yang berkelebat itu, 

dia segera berseru, "Dewi Kerudung Jingga!!"

Bayangan Jingga yang berkelebat tadi meng-

hentikan kelebatannya. Lalu menoleh. Seketika se-

nyuman terpampang pada wajah jelitanya. Kemudian 

dia berjalan mendekati Raja Naga. 

"Boma Paksi...," desisnya. "Apa yang sedang 

kau lakukan di sini?"

Mendengar pertanyaan perempuan berkeru-

dung Jingga itu, Boma Paksi tersenyum.

"Aku masih mencari perempuan bertelanjang 

dada yang telah menurunkan banyak kematian! Dan


dalam pencarian ku aku melihat seorang lelaki berpa-

kaian keperakan! Entah mengapa aku kemudian me-

mutuskan untuk mengikutinya, tetapi aku harus kehi-

langan jejaknya sekarang!"

"Lelaki berpakaian keperakan?"

"Ya! Apakah kau mengenalnya?"

Dewi Kerudung Jingga menggelengkan kepala.

"Tidak! Aku tidak tahu siapakah orang yang 

kau maksudkan!" sahutnya kemudian menyambung, 

"Tatapannya sungguh-sungguh sangat angker dan 

menghujam jantung!"

"Dewi Kerudung Jingga, hingga saat ini aku be-

lum juga menemukan perempuan bertelanjang dada 

yang sedang kita buru! Bagaimana dengan kau sendi-

ri?"

Perempuan cantik berkerudung Jingga itu 

menggeleng.

"Sama seperti yang kau alami. Sulit untuk me-

nemukan perempuan yang memiliki ilmu iblis itu."

"O ya! Ternyata aku salah menduga! Kalau pe-

rempuan itu ternyata bukanlah diperalat oleh seseo-

rang!"

Kening perempuan cantik di hadapannya men-

gerut.

"Apa yang kau maksudkan?"

Raja Naga menarik napas dulu sebelum berka-

ta, "Setelah perjumpaan kita sebelumnya, aku berjum-

pa dengan seorang kakek berjuluk Peramal Sakti! Dari 

kakek itulah kuketahui apa yang telah terjadi! Ternya-

ta berubahnya Marinah menjadi perempuan kejam di-

mulai dengan masuknya sinar kehitaman, yang meru-

pakan kumpulan ilmu hitam yang berasal dari Patung 

Darah Dewa!"

"Patung Darah Dewa? Patung apakah itu?"



"Patung itu berbentuk wujud seorang lelaki ber-

tampang kejam! Sinar hitam yang masuk ke tubuh 

Marinah itu berasal darinya, kumpulan dari ilmu hi-

tam seorang durjana yang pernah dikalahkan oleh Kiai 

Gede Arum!"

"Aku semakin bingung."

"Di dunia ini, tak ada lagi yang patut dibin-

gungkan, karena kemustahilan selalu saja menjadi se-

buah kenyataan yang bisa-bisa sangat mudah diper-

cayai!"

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan 

kepala.

"Kalau begitu... apakah cara yang termudah 

untuk menghentikan sepak terjang perempuan berna-

ma Marinah?"

"Aku memikirkan satu kemungkinan! Barang-

kali dengan cara menghancurkan Patung Darah Dewa, 

semua urusan dapat terselesaikan! Tetapi tak menutup 

kemungkinan kalau kita akan mendapatkan kesuli-

tan!" 

"Bagaimana bila kita mencobanya?" 

"Aku memang bermaksud demikian! Tetapi, aku 

masih berkeinginan untuk menemukan perempuan itu 

terlebih dulu!"

"Kalau begitu... kita berangkat sekarang!" Raja 

Naga tersenyum.

"Aku beruntung berjumpa dengan seorang pe-

rempuan yang memiliki naluri yang sama denganku 

untuk menghentikan setiap kejahatan yang terjadi. 

Dewi Kerudung Jingga, kita tetap mengambil arah 

yang berlainan! Dengan cara seperti itu kemungkinan 

kita untuk menemukan perempuan itu akan lebih ce-

pat!" katanya.

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan


kepalanya.

"Bagaimana dengan lelaki berpakaian kepera-

kan itu?"

"Aku akan mengeyampingkannya lebih dulu, 

karena aku sendiri tidak tahu mengapa harus mengi-

kutinya. Saat itu aku hanya berpikir, barangkali dia 

dapat kujadikan sebagai tempat bertanya tentang pe-

rempuan bertelanjang dada yang sedang mengganas."

Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepala.

"Kalau begitu... kita berpisah sekarang...."

"Berhati-hatilah...."

Dewi Kerudung Jingga tersenyum.

"Kau pun harus berhati-hati, Raja Naga. Terus 

terang, aku senang berjumpa denganmu...."

"Demikian pula denganku...."

Di saat lain perempuan berkerudung Jingga itu 

sudah melangkah meninggalkan tempat itu, diantar 

oleh pandangan Raja Naga sampai si perempuan can-

tik itu menghilang tertelan banyaknya pepohonan.

Raja Naga menarik napas pendek.

"Masalah yang kuhadapi ini sungguh pelik. Un-

tuk saat ini yang kuketahui kalau lawanku adalah seo-

rang perempuan bernasib malang. Perempuan yang 

seharusnya sebagai seorang istri dari lelaki yang men-

cintainya. Tetapi nasib malang menimpanya. Ah, dia 

kemasukan titisan ilmu hitam dari orang yang pernah 

dikalahkan oleh Kiai Gede Arum. Sayangnya, Kiai Gede 

Arum telah tewas akibat kejahatan muridnya sendiri si 

Ratu Dayang-dayang...."

Kembali murid Dewa Naga ini menarik napas 

panjang. Lalu seraya mengedarkan pandangannya ke 

sekeliling dia mendesis, "Yah... seharusnya aku tetap 

mencari Marinah saja. Aku telah berjanji pada Kang 

Jaka untuk menyelamatkan istrinya...."


Habis membatin demikian, pemuda tampan be-

rompi ungu ini sudah meninggalkan tempat itu, ke 

arah yang berlainan dengan yang ditempuh oleh Dewi 

Kerudung Jingga.

Dan sepasang mata yang memperhatikan dari 

balik ranggasan semak, menggeram dingin.

"Terkutuk! Seharusnya dia kubunuh sekarang 

juga!!" desisnya dengan kedua tangan mengepal. Kejap 

lain orang ini sudah berlari ke arah yang ditempuh 

Dewi Kerudung Jingga.


                 SELESAI


Ikuti kelanjutan serial ini :

SELUBUNG TABIR HITAM



Share: