ALTAR SETAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A.Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Altar Setan
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Pemuda tampan bertubuh sedang melangkah rin-
gan melintasi jalan setapak. Jubah putihnya yang pan-
jang tampak berkibar perlahan dipermainkan angin.
Rambutnya yang panjang dan hitam, diikat sehelai
kain putih.
Saat itu cahaya matahari belum merata di seluruh
permukaan bumi. Namun sinarnya terasa hangat me-
nyegarkan tubuh. Sementara kicau burung di pepoho-
nan menambah suasana nyaman di pagi yang bening
dan sejuk itu.
Pemuda tampan berjubah putih itu tampak mema-
suki sebuah hutan. Namun, tiba-tiba langkahnya ter-
henti. Sepasang matanya yang tajam menyapu sekeli-
lingnya. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak wajar.
Kendati hanya nalurinya yang berbicara. Hal itu me-
mang tak terlalu berlebihan, karena dilihat dari gerak-
geriknya, dapat diperkirakan kalau pemuda tampan
itu bukan orang sembarangan. Sosoknya jelas meng-
gambarkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi.
Atau setidak-tidaknya seorang ahli silat yang terlatih
baik.
Setelah beberapa saat memperhatikan dan tak me-
nemukan sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu
pun kembali mengayun langkahnya. Namun kelihatan
jelas sekali kalau kewaspadaannya mulai ditingkatkan.
Rupanya kecurigaan itu tidak begitu saja lenyap, tetap
bergayut di hatinya.
Namun baru saja kakinya melangkah sekitar dua
tombak dari tempat berhenti, mendadak....
Bresss...!
“Haits! Hih...!”
Tanah yang dipijak tiba-tiba amblas. Namun, kare-
na sebelumnya telah meningkatkan kewaspadaan, pe-
muda itu langsung menghentak cepat. Seketika tu-
buhnya melompat ke atas dan bersalto beberapa kali di
udara. Namun....
Srat! Srat...!
“Heh?! Haits....!
Ketika tubuh pemuda itu tengah berputaran di uda-
ra, tiba-tiba dari lubang di bawahnya meluncur benda-
benda panjang berujung runcing. Dengan suara desi-
ngan-nya yang menyakitkan telinga, benda-benda itu
melesat memburu tubuhnya.
Sing! Sing!
“Hih...!”
Dengan sebuah dengusan jengkel, pemuda tampan
itu mengibaskan kedua lengannya. Segumpal angin
kencang seketika berhembus. Sehingga....
Trak, trak...!
Delapan batang tombak yang memburu tubuhnya,
patah dan berpentalan ke tanah. Empat lainnya berha-
sil ditangkapnya. Sebuah gerakan yang sulit diikuti
penglihatan mata. Begitu berhasil mengatasi serangan
rahasia itu tubuh berpakaian putih itu meluncur tu-
run.
“Hai..., keluarlah, sebelum aku bertindak...!” ancam
pemuda itu sambil mengawasi sekelilingnya. Hatinya
dapat mengetahui kalau ada orang yang tengah men-
gintai.
Beberapa saat pemuda itu menunggu dengan berdi-
ri tegak dan sorot mata tajam menggetarkan. Namun
sejauh itu, sama sekali tak terdengar jawaban. Hingga
hilanglah kesabaran hatinya.
“Rupanya kalian harus dipaksa...!” teriak pemuda
itu dengan suara lantang. “Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan....”
Whuuut! Whuuut...!
Sebuah gerakan yang sangat cepat dilakukan pe-
muda tampan berjubah putih itu. Keempat tombak di
tangannya seketika melesat begitu cepat, hingga me-
nimbulkan deru angin dan suara berdesing nyaring
mematahkan kesunyian. Daya luncurnya demikian ce-
pat. Bahkan melebihi kecepatan anak panah yang le-
pas dari busur. Dari sini dapat diperhitungkan betapa
hebat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda
itu.
Para pengintai yang bersembunyi di balik rimbun
pepohonan, tampaknya tak mau menanggung bahaya
yang datang mengancam itu.
“Haiiit...!”
“Yeaaa...!”
Seketika itu pula terdengar teriakan-teriakan keras
yang disusul sosok-sosok tubuh berlompatan keluar
dari semak-semak dan pepohonan. Gerakan mereka
yang demikian gesit dan cepat menandakan ketinggian
ilmu meringankan tubuh masing-masing. Tampaknya
mereka tak ingin menanggung ancaman bahaya yang
dilancarkan pemuda berjubah putih itu.
Tapi....
Ziiit! Ziiit...!
“Kurang ajar...!”
Pemuda tampan itu menggeram. Karena sosok- so-
sok bayangan merah yang berjumpalitan itu masih
sempat melepaskan senjata rahasia untuk menyerang-
nya.
Sadar kalau sosok-sosok bayangan merah itu men-
ginginkan kematiannya, pemuda berjubah putih itu
tak tinggal diam. Sambil menggeram jengkel, dengan
cepat sepasang tangannya digerakkan, memasang kuda-kuda dengan merendahkan tubuh. Kemudian....
“Haaat...!”
Disertai sebuah lengkingan panjang yang mengge-
tarkan jantung, pemuda tampan itu melesat ke depan.
Bukan bergerak menghindar, melainkan dengan sen-
gaja menyambut datangnya serangan gelap lawan. Je-
las apa yang dilakukan pemuda tampan itu merupa-
kan perbuatan nekat.
Namun, apa yang dilakukan ternyata telah diperhi-
tungkan secara matang. Karena, saat melesatkan tu-
buh ke depan, sepasang tangannya dihentakkan keras
dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
Whusss...!
Sebentuk kekuatan tenaga dalam yang tak tertang-
kap di mata terlontar. Seketika kilatan cahaya keme-
rahan yang mengancam pemuda itu berbalik. Bahkan
luncuran senjata-senjata itu dua kali lebih cepat dari
semula. Sehingga....
Slats! Slatas!
Jrab! Jrab...!
“Aaakh...!”
“Hukh...!”
Empat sosok bayangan merah yang masih melayang
seketika berpentalan dan terbanting ke semak-semak
diiringi jeritan kesakitan.
Srak! Bruk...!
Rupanya senjata-senjata rahasia yang dilancarkan
justru menghunjam di tubuh mereka.
Melihat keempat penyerang gelap itu terjatuh, den-
gan cepat pemuda tampan berjubah putih itu bergerak
mengejar. Hatinya merasa penasaran dan marah men-
dapat serangan gelap tanpa alasan yang jelas. Apalagi
nyata-nyata mereka menghendaki nyawanya. Dan dia
ingin mendapatkan jawaban dari semua itu. Namun....
“Haaat...!”
“Yeaaa...!”
Saat pemuda tampan itu hampir mencapai tempat
keempat lawannya terjatuh, mendadak terdengar te-
riakan keras susul-menyusul. Sosok-sosok bayangan
merah lain berlompatan dari kiri dan kanannya dengan
senjata terhunus. Deru angin dari gerakan cepat pe-
dang-pedang lawan terdengar, diiringi cahaya berkele-
batan. Tampaknya mereka hendak mencegah apa yang
akan dilakukan pemuda tampan itu.
Wut! Wut...!
Dua mata pedang dari kiri dan kanannya datang
mengancam dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan
cepat pula pemuda tampan berambut gondrong itu
bergerak mengelakkan serangan. Bahkan bersamaan
dengan gerakan menghindar kedua tangannya sempat
melancarkan serangan balasan. Kecepatan geraknya
sulit diikuti mata.
“Hiaaa...!
Dukkk!
“Aaakh...!”
Kedua sosok berpakaian merah itu terpekik kesaki-
tan. Kecepatan gerak pemuda itu membuat mereka tak
sempat menghindar. Akibatnya, tubuh kedua penye-
rang itu terjungkal ke tanah. Pukulan telak yang berisi
tenaga dalam kuat itu mendarat telak di dada dan pe-
rut.
“Hukh...!”
Tampak salah seorang dari kedua sosok berpakaian
merah yang terjungkal itu muntah darah.
Melihat kawan mereka terjungkal roboh, dua sosok
berpakaian merah yang lain tak tinggal diam. Mereka
tampak mengambil sesuatu dari balik pakaian. Kemu-
dian....
“Heaaah...!”
Darrr! Darrr...!
Dua buah ledakan keras seketika terdengar meme-
kakkan telinga.
“Heh...! Asap beracun...?!”
Pemuda tampan itu melompat mundur ketika meli-
hat gumpalan asap merah menghalangi pandang ma-
tanya. Ketika mengetahui asap beracun itu sangat ber-
bahaya, pemuda tampan itu bergegas menjauhi arena
pertempuran. Kemudian dengan cepat kedua tangan-
nya didorongkan dengan maksud untuk mengusir asap
kemerahan itu.
Whuuusss...!
Apa yang dilakukan pemuda itu memang berhasil
baik. Gumpalan asap kemerahan berhembus dan
buyar akibat pukulan jarak jauhnya. Sehingga tempat
itu pun kembali bersih seperti semula. Tapi....
“Heh...! Kurang ajar! Pergi ke mana keparat- keparat
itu...?!” desisnya dengan wajah geram. Ternyata sosok-
sosok berpakaian merah yang menyerangnya telah le-
nyap dari tempat itu. Dengan cepat pemuda berpa-
kaian putih itu melesat menuju semak-semak tempat
keempat lawannya tadi terjatuh.
Namun di tempat itu pun tak ditemukan apa- apa,
kecuali bercak-bercak darah yang tercecer di rerumpu-
tan.
“Hhh...! Siapa mereka? Tapi dilihat dari gerakannya,
jelas mereka bukan orang sembarangan. Kepandaian
mereka cukup tinggi dan berbahaya. Terutama sekali
kepandaian dalam hal racun. Sayang, aku tak berhasil
menangkap salah seorang dari mereka. Sehingga, aku
belum bisa mengetahui siapa mereka, dan mengapa
menghendaki nyawaku tanpa alasan?” gumam pemuda
tampan berjubah putih yang ternyata Panji atau yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih masih berdiri termenung, ken-
dati lawan-lawannya telah kabur secara licik. Mereka
menggunakan kesempatan ketika dirinya sibuk men-
gusir asap beracun yang menggumpal pekat menyeli-
muti tempat itu.
Meskipun memiliki ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’,
Pendekar Naga Putih tak ingin bertindak ceroboh. Be-
nar, asap beracun itu tak akan membuatnya tewas.
Namun, jika telanjur merasuk ke tubuh, untuk me-
musnahkannya terlebih dahulu harus mengerahkan
tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit. Dan itu
cukup memakan waktu. Apalagi dirinya belum bisa
mengetahui secara pasti seberapa hebat pengaruh ra-
cun dari asap merah itu.
“Hm..., mungkinkah mereka sengaja menghalangiku
agar tak meneruskan perjalanan ke Kadipaten Tuma-
pel...?” gumam Panji menduga-duga. “Kalau benar de-
mikian, berarti Kenanga tengah menghadapi lawan-
lawan tangguh dan berbahaya? Hhh..., aku harus ce-
pat sampai di kadipaten itu. Siapa tahu Kenanga san-
gat mengharapkan kedatanganku....”
Panji segera melesat dengan menggunakan ilmu lari
cepatnya. Halangan yang baru saja dihadapi sama se-
kali tidak membuatnya gentar. Bahkan hatinya sema-
kin terdorong untuk segera sampai di Kadipaten Tu-
mapel. Pendekar Naga Putih sangat mengkhawatirkan
keselamatan Kenanga, kekasihnya.
***
Begitu tiba di Kota Kadipaten Tumapel, Pendekar
Naga Putih langsung saja menemui penjaga gerbang is-
tana. Kemudian mengutarakan keperluannya, untuk
menemui Senapati Jata Logaya, yang menjadi panglima tinggi di kadipaten itu.
“Sampaikan kepada beliau kalau yang ingin men-
jumpainya bernama Panji...,” jelas Panji ketika penjaga
gerbang istana kadipaten itu kelihatan ragu-ragu.
Sementara penjaga gerbang istana itu melaporkan,
Panji berdiri menunggu. Dan itu tidak berlangsung la-
ma. Sebuah panggilan bernada penuh kegembiraan,
membuat pemuda berjubah putih itu menoleh dan ter-
senyum. Dilihatnya seorang dara jelita berpakaian ser-
ba hijau berlari menghampiri.
“Kakang...!”
Dara jelita yang tak lain Kenanga itu langsung men-
gembangkan lengannya. Wajahnya yang jelita tampak
demikian segar, kendati dari kedua matanya terlihat
kelelahan yang sangat. Pendekar muda itu segera
menduga kalau kekasihnya kurang tidur.
“Kenanga...!” desis Panji penuh kerinduan. Kalau
saja tak melihat adanya penjaga-penjaga gerbang yang
menyaksikan pertemuan itu, ingin rasanya Panji me-
meluk tubuh Kenanga. Akhirnya pemuda itu hanya
menggenggam jemari tangan Kenanga seraya menekan
kerinduan yang bergelora menyesakkan dada.
“Mengapa demikian lama, Kakang...?” tanya Kenan-
ga yang mengerti mengapa Panji tidak memeluknya.
Dara jelita itu pun berusaha menahan gejolak kerin-
duan yang telah cukup lama menyiksanya. Kalau saja
pertemuan itu tak disaksikan orang lain, pasti Kenan-
ga akan memeluk tubuh pemuda pujaannya. Namun,
keadaan tak memungkinkan. Dan keduanya tahu, ha-
rus menjaga batas.
“Panjang sekali ceritanya, Kenanga. Tapi, yang pent-
ing aku sekarang telah berdiri di hadapanmu,” ujar
Panji tersenyum seraya menatap wajah jelita yang di-
rindukannya itu.
“Mari kita temui paman dan bibiku. Mereka pasti
sangat gembira melihat kedatanganmu...,” ajak Kenan-
ga yang langsung saja membimbing tangan Panji me-
masuki pekarangan istana kadipaten yang luas itu.
“Kulihat kau seperti kurang istirahat, Kenanga? Apa
ada sesuatu yang gawat tengah terjadi di Kadipaten
Tumapel ini?” tanya Panji saat melangkah bersama ke-
kasihnya.
“Kalau kuceritakan sekarang, tentu akan memakan
waktu cukup lama, Kakang. Sebaiknya istirahatlah du-
lu! Setelah membersihkan tubuh, nanti kita mengha-
dap paman dan bibiku...,” sahut Kenanga sambil me-
noleh dan tersenyum manis. Nampak jelas bias keba-
hagiaan di mata dara jelita itu.
Pendekar Naga Putih tidak menyahut. Pemuda itu
hanya tersenyum menyadari besarnya perhatian dara
jelita itu terhadapnya. Padahal Kenanga sendiri jelas
kurang istirahat. Panji tahu itu. Tapi, Kenanga ternya-
ta lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya
sendiri. Semua itu semakin mempertebal kasih sayang
Panji terhadapnya.
“Di sinilah aku tinggal selama berada di kadipaten,
Kakang. Sedangkan paman dan bibiku tinggal di ban-
gunan yang terletak di samping kanan bangunan kadi-
paten,” ujar Kenanga menjelaskan, setelah mereka tiba
di sebuah bangunan yang cukup besar dan megah.
“Hm..., tempat yang cukup mewah dan menyenang-
kan...!” gumam Panji sembari menatap tempat tinggal
kekasihnya. Dua orang penjaga yang menyambut ke-
datangan mereka serta-merta membungkukkan kepala
dengan sikap hormat.
Tiba di dalam bangunan, Pendekar Naga Putih sege-
ra minta diri kepada Kenanga untuk membersihkan
tubuh. Dara jelita itu duduk menunggu di ruang tengah, setelah menyiapkan salinan pakaian kekasihnya.
Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih
muncul dengan wajah segar. Kenanga berdiri me-
nyambutnya. Senyum manisnya seperti tak pernah
meninggalkan wajah jelita dara itu.
“Sebaiknya kita langsung saja menghadap paman
dan bibimu, Kenanga!” usul Panji sembari memegang
kedua bahu dara jelita itu.
“Nanti saja, Kakang. Rinduku belum lagi terobati...,”
kilah Kenanga yang langsung saja merebahkan kepa-
lanya di dada bidang pemuda itu. Kali ini dara jelita itu
tidak bisa menahan kerinduan hatinya. Karena di da-
lam ruangan itu hanya ada mereka berdua.
“Masih banyak waktu untuk kita berdua, Kenan-
ga....”
Kendati mulutnya berkata demikian, tak urung
Pendekar Naga Putih melingkarkan tangan merangkul
tubuh indah Kenanga. Didekapnya Kenanga erat-erat.
Seolah-olah ingin menyatukan tubuh dara itu ke da-
lam tubuhnya.
Kenanga tak menyahut lagi. Kepalanya ditengadah-
kan dengan bibir setengah terbuka. Sadar apa yang di-
inginkan kekasihnya, Pendekar Naga Putih membung-
kuk dan mengecup lembut bibir merah merekah itu.
“Kau tak merasa rindu kepadaku, Kakang...?” tanya
Kenanga ketika merasakan pelukan kekasihnya me-
renggang.
“Hanya orang bodoh yang tak merasa rindu kepada
wanita secantik kau, Kenanga. Aku hanya khawatir ka-
lau paman dan bibimu sudah menunggu kedatangan
kita. Dan aku tak ingin keburu ada utusan yang da-
tang memanggil kita...,” tukas Panji tersenyum melihat
sepasang mata dara itu berbinar bagai bintang pagi.
“Baiklah...,” sahut Kenanga sambil menghela napas.
Kemudian mengajak Pendekar Naga Putih untuk me-
nemui paman dan bibinya.
Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih tidak
meleset. Dia dan Kenanga langsung disambut sepa-
sang suami istri, ketika memasuki bangunan tempat
tinggal Senapati Jata Logaya.
“Selamat datang di Kadipaten Tumapel, Pendekar
Naga Putih!” sambut lelaki gagah berusia sekitar lima
puluh tahun yang berdiri di ambang pintu. Wajah lela-
ki tinggi tegap itu tampak cerah. Kelihatan sekali kalau
sambutannya tak dibuat-buat.
“Terima kasih, Paman, Bibi...,” sambut Panji lalu
membungkuk hormat kepada suami istri, paman dan
bibi Kenanga. Pemuda tampan itu melangkah masuk
mengikuti sepasang suami istri yang tampaknya sudah
menunggu sejak tadi.
“Maaf, kalau kedatanganku agak terlambat! Karena
sepanjang perjalanan banyak hambatan....”
Panji membuka percakapan saat mereka telah du-
duk di ruang tengah. Kemudian langsung mencerita-
kan kejadian yang dialami di sepanjang perjalanan.
Termasuk orang-orang berjubah merah yang hendak
membunuhnya di dalam sebuah hutan.
“Orang-orang berseragam merah...?” tanya Senapati
Jata Logaya dengan kening berkerut. Ada perasaan
keheranan di wajah lelaki gagah itu.
“Benar, Paman. Apa Paman tahu mereka dari per-
guruan mana?” tanya Panji yang melihat keheranan
Senapati Jata Logaya. Bahkan dia melihat ketidakper-
cayaan dalam sinar mata lelaki setengah baya itu.
“Justru karena aku kenal siapa mereka, Panji. Dan
kalau bukan kau yang menceritakannya, mungkin aku
tak akan percaya,” tukas Senapati Jata Logaya yang
membuat Panji semakin heran. Lalu melemparkan
pandangan ke wajah Kenanga yang duduk di samping-
nya.
“Sebentar paman akan menjelaskannya kepadamu,
Kakang,” ujar Kenanga menyerahkan jawabannya ke-
pada Senapati Jata Logaya.
“Jika yang menghadangmu orang-orang dari Pergu-
ruan Beruang Merah, tak mungkin mereka mengguna-
kan racun. Karena sepanjang pengetahuanku, mereka
sama sekali tak pernah mempelajari ilmu tentang ra-
cun. Bahkan Perguruan Beruang Merah telah banyak
membantu kami. Mereka sebenarnya perkumpulan
orang-orang gagah yang pantang berbuat curang, Pan-
ji,” jelas Senapati Jata Logaya.
“Maksud, Paman. Ada sekumpulan orang yang sen-
gaja menyamar sebagai orang-orang Perguruan Be-
ruang Merah...?” tanya Panji menegasi.
“Hm..., kurasa begitu. Karena aku percaya kalau
orang-orang Perguruan Beruang Merah merupakan
pendekar-pendekar yang berhati bersih. Jadi..., kurasa
mereka orang-orang Darmanggala yang hendak men-
gadu domba antara pihak kadipaten dengan Perguruan
Beruang Merah!” jelas Senapati Jata Logaya lagi yang
membuat kening Pendekar Naga Putih semakin berke-
rut. Karena dia belum mendapat penjelasan tentang
keadaan Kadipaten Tumapel saat itu.
Sadar bahwa Pendekar Naga Putih belum mengerti
duduk persoalannya, Senapati Jata Logaya segera
menjelaskan persoalan yang tengah melanda Kadipa-
ten Tumapel. Semua diceritakan dengan jelas, sehing-
ga Panji mulai mengerti apa yang tengah dihadapi pa-
man Kenanga sebagai seorang yang menjabat senapati.
“Apa selama ini belum diperoleh keterangan tentang
letak persembunyian para pemberontak yang dipimpin
Darmanggala itu, Paman?” tanya Panji setelah mendapatkan keterangan tentang tokoh yang bernama Dar-
manggala.
“Orang itu sangat licik, Panji. Selain itu markas me-
reka selalu berpindah. Sehingga, pihak kami selalu da-
pat dikecoh dan hanya menemui bekas-bekas jejak
mereka. Sehingga, aku menduga ada orang dalam yang
berpihak kepada pemberontak Darmanggala itu. Kare-
na setiap kali pasukanku bergerak, mereka telah lebih
dulu menghindar. Rupanya ada yang memberitahukan
kepada Darmanggala tentang penyergapan kami,” tu-
tur Senapati Jata Logaya yang terdengar bernada ge-
ram.
“Untuk itulah kami bermaksud meminta bantuan-
mu, Panji,” kali ini yang berbicara istri Senapati Jata
Logaya.
Pendekar Naga Putih mengalihkan perhatiannya ke-
pada sosok perempuan cantik berusia sekitar empat
puluh tahun. Ada sedikit persamaan antara perem-
puan itu dengan Kenanga. Hal itu tak mengherankan,
karena istri Senapati Jata Logaya itu merupakan adik
dari ibu Kenanga.
‘Tentu saja aku siap membantu dengan sekuat te-
naga, Bibi,” sahut Panji melegakan hati perempuan
cantik itu.
“Gembira sekali mendengar ucapanmu, Panji. Dan
karena kau baru saja tiba, sebaiknya persoalan ini kita
tangguhkan dulu! Bibimu sudah menyiapkan hidangan
untuk kita bersama. Kau tak perlu sungkan-sungkan.
Anggaplah tempat ini sebagai rumahmu sendiri!” ujar
Senapati Jata Logaya yang bergegas bangkit dari du-
duknya. Kemudian mempersilakan Pendekar Naga Pu-
tih dan Kenanga untuk mengikutinya.
Tanpa basa-basi lagi, pendekar muda itu segera
bangkit menuju meja tempat hidangan disediakan. Kenanga sendiri telah lebih dulu melangkah, dan mena-
rik kursi untuk kekasihnya. Sebentar kemudian, sua-
sana berubah hening. Mereka menikmati hidangan
tanpa berbicara sepatah pun.
***
DUA
“Hiii...!”
Suara lengkingan panjang itu bergema membuat
bulu kuduk berdiri. Sosok-sosok berjubah hitam tam-
pak menari-nari dengan gerak berirama, mengelilingi
sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya me-
reka tengah melakukan suatu upacara di tengah ma-
lam di bawah sinar bulan purnama itu.
Di tengah-tengah batu besar pipih itu tampak ter-
baring sesosok tubuh wanita muda. Di bawah jilatan
cahaya api obor yang ditancapkan di sekeliling batu
itu, terlihat jelas betapa tubuh perempuan muda itu
demikian polos tanpa sehelai benang pun yang menu-
tupi tubuhnya.
Setelah untuk kesekian kalinya sosok-sosok berju-
bah hitam itu mengelilingi batu pipih, gerakan mereka
terhenti dengan tiba-tiba. Salah seorang dari mereka
keluar dari lingkaran dan melangkah perlahan meng-
hampiri perempuan muda yang terbaring di atas batu.
“Hiii...!”
Tampak sesosok tubuh tinggi kurus mengangkat
kedua belah tangan, seiring dengan suara pekikan
nyaring dari mulutnya. Tangan kanannya menggeng-
gam sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia.
Suara pekikannya disambut serentak sosok-sosok lain
yang mengeliling batu pipih itu.
Setelah beberapa saat terdiam seperti tengah meng-
heningkan cipta, sosok lelaki tinggi kurus berjubah hi-
tam itu memberikan isyarat dengan gerakan tangan ki-
rinya.
Salah seorang berjubah hitam melangkah ke depan
menghampiri sosok tinggi kurus yang menjadi pemim-
pin upacara itu. Kemudian menyerahkan sebilah pisau
pendek yang tampak berkilatan tertimpa cahaya obor.
Sosok tinggi kurus yang memimpin upacara me-
mindahkan tongkat ke tangan kiri. Dan menyambut
pisau tajam itu dengan tangan kanannya. Kemudian
kakinya melangkah mendekati batu. Setelah menatapi
tubuh perempuan muda itu dari ujung kaki sampai ke
kepala, diangkatnya tinggi- tinggi pisau yang tergeng-
gam di tangan kanan.
Perempuan muda yang terbujur di atas batu pipih
besar itu terbelalak lalu memejamkan matanya rapat-
rapat. Dan....
Wut!
Jrabs!
Tidak terdengar teriakan sedikit pun saat mata pi-
sau menancap perut berkulit halus itu. Darah segar
muncrat keluar, ketika sosok tinggi kurus itu menca-
but pisaunya. Kemudian, dengan rakus mulutnya
menghirup darah yang membanjir keluar dari luka di
perut perempuan muda itu.
Setelah puas menghirup darah perempuan muda
itu, sosok tinggi kurus melangkah mundur beberapa
tindak. Kemudian memberikan isyarat kepada anggo-
tanya untuk maju satu persatu. Mereka pun tampak
melakukan hal serupa dengan yang diperbuat pimpi-
nan mereka. Demikian rakus sosok- sosok berpakaian
hitam itu menghirup darah dari dalam tubuh perempuan malang itu, tak ubahnya binatang buas yang
haus darah.
Upacara biadab itu kembali dilanjutkan setelah da-
rah dalam tubuh perempuan yang menjadi korban itu
telah kering. Pemimpin upacara maju ke depan. Se-
dangkan para anggotanya tampak duduk bersila men-
gelilingi tempat itu.
“Wahai Penguasa Alam Kegelapan...!” seru lelaki
tinggi kurus itu dengan suara menggeletar penuh per-
bawa gaib. “Malam ini kami kembali mempersembah-
kan seorang gadis suci. Semoga persembahan ini tidak
mengecewakan. Dan kekuatan kami semakin berlipat
ganda...!”
Selesai mengucapkan kata-kata demikian, pemim-
pin upacara persembahan itu kembali memekik, yang
kemudian disambut seluruh anggotanya. Lalu kakinya
melangkah tenang menghampiri tubuh gadis yang ter-
kapar di atas batu. Tongkat panjang yang di ujungnya
terpancang tengkorak kepala digetarkan menyapu ba-
gian atas tubuh polos yang telah pucat itu. Kemudian
tangan kanannya mengusap luka di perut perempuan
itu. Dan..., luar biasa sekali apa yang terjadi kemu-
dian! Luka akibat tikaman pisau itu lenyap tanpa be-
kas. Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal!
Sambil menatap bekas luka, lelaki tinggi kurus itu
tampak tersenyum puas. Kemudian melangkah meng-
hampiri para anak buahnya yang saat itu tengah ber-
lutut.
“Untuk purnama ini, upacara selesai...!” ujar pe-
mimpin upacara itu yang disusul suara lengkingan
nyaring dari mulutnya. Sesaat kemudian sosok tubuh
kurus itu melangkah meninggalkan tempat upacara
setelah memerintahkan para anak buahnya agar men-
cabut obor-obor yang terpancang di sekeliling tempat
persembahan.
Sebentar kemudian, suasana di tempat itu kembali
dicekam keheningan dan kebisuan. Sosok-sosok ber-
jubah hitam telah pergi meninggalkan mayat korban
yang mereka persembahkan kepada Penguasa Alam
Kegelapan.
Dari kegiatan yang mereka lakukan, gerombolan
berjubah hitam itu merupakan penganut ilmu hitam.
Dengan mengorbankan seorang gadis muda yang ma-
sih suci, mereka mengharapkan dapat memperoleh ke-
kuatan. Dan menilik dari ucapan terakhir pimpinan
upacara aneh itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa me-
reka melakukan persembahan korban seperti itu setiap
malam bulan purnama.
***
Pada malam yang sama saat upacara berlangsung,
di Kadipaten Tumapel terjadi kekacauan. Sebuah ban-
gunan yang terletak di dalam lingkungan kadipaten,
tahu-tahu terbakar tanpa sebab yang jelas. Untunglah
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang saat itu belum
tidur sempat melihatnya. Sehingga, api segera dapat
dipadamkan sebelum menjalar ke bangunan yang lain.
“Kejadian ini jelas sangat mengherankan,” ujar Panji
ketika sudah berkumpul bersama Senapati Jata Lo-
gaya. Ucapan itu diutarakan, karena dia tak melihat
adanya orang yang mencurigakan. Bahkan dari mana
api berasal pun tak ada yang tahu.
“Kau tak perlu merasa heran, Kakang! Semenjak
aku berada di sini, sudah dua kali terjadi hal seperti
ini. Dan itu terjadi setiap bulan purnama...,” Kenanga
menjelaskan, karena melihat pamannya hanya meng-
hela napas tanpa tanggapan.
“Dan pasti pada keesokan harinya akan ditemukan
seorang gadis muda terbujur kaku di atas Altar Se-
tan...,” Senapati Jata Logaya menyambung ucapan Ke-
nanga. Seolah dia ingin melengkapi penjelasan keme-
nakannya itu.
“Altar Setan...?” tanya Panji dengan suara bergu-
mam. Hatinya tersentak mendengar ucapan Senapati
Jata Logaya.
“Hhh...! Aku memang belum menceritakan hal ini
kepadamu, Panji. Sebenarnya kejadian ini sudah ber-
langsung sejak empat purnama yang lalu. Dan, sampai
saat ini semuanya masih merupakan teka-teki bagi
kami,” lanjut Senapati Jata Logaya setelah menghela
napas panjang dan berat.
“Apa Paman belum mencoba mengadakan penyeli-
dikan terhadap kematian gadis-gadis muda itu?” tanya
Panji yang tentu saja merasa heran mendengar peris-
tiwa itu sudah berlangsung cukup lama.
“Itulah yang membuatku penasaran, Panji. Karena
bersamaan dengan itu selalu saja timbul kekacauan di
lingkungan kadipaten. Sehingga, terpaksa para prajurit
diharuskan berada di tempat untuk berjaga-jaga. Tapi
anehnya, selalu saja kecolongan.
Bahkan aku pernah mengirim sepasukan prajurit
untuk mencegah korban di Altar Setan itu. Hasilnya,
pasukan yang kukirim tewas. Sampai sekarang korban
terus saja berjatuhan tanpa bisa ku cegah...,” jawab
Senapati Jata Logaya dengan suara rendah. Seakan
mengandung penyesalan yang dalam.
“Di mana letak Altar Setan itu, Paman...?” tanya
Panji yang ingin sekali membuktikan ucapan Senapati
Jata Logaya. Karena dia merasa berkewajiban untuk
menghentikan tindak keangkaramurkaan itu.
“Kalau Paman mengizinkan, biar aku menyertai Ka-
kang Panji ke tempat itu...,” pinta Kenanga seraya menatap wajah pamannya.
“Hm..., pergilah. Mudah-mudahan kalian berdua
dapat menyingkap tabir gelap ini...!” ujar Senapati Jata
Logaya. Dari ucapan dan raut wajahnya tersirat suatu
harapan kepada Pendekar Naga Putih, untuk dapat
menyingkap tabir gelap Altar Setan itu.
Tanpa membuang-buang waktu, malam itu juga
Kenanga segera mengajak kekasihnya melihat korban
Altar Setan. Keduanya bergerak dengan menggunakan
ilmu lari cepat. Sehingga, tidak terlalu lama kedua
pendekar muda itu telah berada di luar kota kadipa-
ten.
“Hm..., rupanya tempat itu cukup jauh...,” gumam
Panji tanpa menghentikan larinya.
“Altar Setan terletak di sebelah utara kota kadipa-
ten, Kakang. Tepatnya di tengah Hutan Rawandaka...,”
jelas Kenanga.
Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh itu tidak
memakan waktu terlalu lama bagi mereka.
Menjelang fajar, Pendekar Naga Putih dan Kenanga
telah tiba di mulut Hutan Rawandaka.
“Di sinilah pasukan yang dikirim Paman Jata Lo-
gaya menemui kematian. Menurut paman, mereka te-
was tanpa segores luka pun di tubuh. Aku sendiri
hanya mendengar ceritanya. Kejadian itu sudah dua
purnama yang lalu...,” ujar Kenanga menunjukkan
tempat mayat-mayat pasukan yang dikirim pamannya
untuk mencegah korban Altar Setan.
“Hm..., apa kau pernah menyelidiki tempat itu...?”
tanya Panji seraya menoleh kepada kekasihnya.
Kenanga balas menoleh lalu mengangguk.
“Bahkan seluruh pelosok Hutan Rawandaka telah
kujelajahi. Tapi, tak kutemukan adanya tempat yang
kira-kira menjadi persembunyian penganut aliran sesat itu. Aku sendiri belum pernah melihat dengan mata
kepala, korban di atas Altar Setan. Karena belum ada
satu purnama aku tinggal di Kadipaten Tumapel. Pa-
dahal aku ingin sekali membuktikan kebenaran cerita
pamanku itu,” jelas Kenanga yang membuat Panji
menganggukkan kepalanya, memaklumi. Karena me-
mang belum ada satu purnama kekasihnya tinggal di
kadipaten itu.
Pembicaraan mereka terhenti saat memasuki kawa-
san Hutan Rawandaka. Keduanya pun segera memper-
lambat langkah. Kewaspadaan ditingkatkan. Sebab,
bukan tak mungkin kalau dalam keremangan itu me-
reka tengah diawasi lawan.
Namun, sampai di dekat batu pipih tempat persem-
bahan dilaksanakan, Pendekar Naga Putih tak mene-
mui halangan sedikit pun. Hal itu membuat keduanya
merasa agak lega, kendati tak melupakan kewaspa-
daan.
“Itulah yang dinamakan Altar Setan, Kakang,” bisik
Kenanga mengarahkan jari telunjuk ke sebuah batu
pipih, yang berjarak sekitar delapan tombak dari me-
reka.
“Hm..., kelihatannya memang ada sesosok tubuh
terbaring di atas Altar Setan itu. Ada baiknya kalau ki-
ta berhati-hati. Siapa tahu mereka masih berada di se-
kitar tempat ini dan tengah mengawasi kita...,” ujar
Panji seraya menghentikan larinya lalu mengawasi ba-
tu pipih tempat persembahan itu. Pendengarannya di-
kerahkan untuk menangkap suara-suara mencuriga-
kan. Namun, hanya desau angin malam dan gemerisik
dedaunan yang tertangkap pendengarannya.
“Kau mendengar sesuatu, Kakang...?” tanya Kenan-
ga. Dia merasa kalau daya pendengaran Pendekar Na-
ga Putih jauh lebih baik dari dirinya.
Pendekar Naga Putih hanya menggeleng perlahan.
Kemudian mengajak Kenanga untuk menghampiri Al-
tar Setan. Keduanya bergerak hati-hati sambil tetap
memasang indera pendengaran.
“Sebaiknya kau jangan terlalu dekat, Kakang....”
Tiba-tiba saja Kenanga mencekal lengan kekasih-
nya. Karena dilihatnya sosok tubuh wanita dalam kea-
daan polos tanpa penutup, berada di atas batu itu. Se-
bagai seorang wanita, tentu saja dia tak ingin kekasih-
nya menyaksikan tubuh polos itu dari dekat.
Pendekar Naga Putih terpaksa berhenti. Kepalanya
menoleh dan menatap tajam wajah kekasihnya. Karena
baginya sangat penting untuk melihat bagaimana kea-
daan mayat korban persembahan itu. Dari situ dia ba-
ru dapat mengambil kesimpulan. Hal itulah yang
membuat pendekar muda itu harus menolak maksud
Kenanga.
“Kurasa tak ada salahnya kalau aku melihat lebih
dekat, Kenanga. Hal itu sangat penting bagi penyelidi-
kan kita. Karena untuk dapat menyingkap keanehan
ini, kita harus tahu bagaimana cara korban itu te-
was...,” jelas Panji mengemukakan alasannya.
“Tapi... tubuh perempuan di atas Altar Setan itu
tanpa pakaian, Kakang. itu sebabnya aku melarangmu
melihatnya dari dekat,” sanggah Kenanga bersikeras.
Karena dia merasa risih jika kekasihnya melihat kea-
daan korban yang terbujur tanpa pakaian itu.
“Kenanga, dalam hal ini kita harus bisa menjauh-
kan pikiran yang tidak-tidak. Selain itu, kalaupun aku
ingin melihat tubuh wanita muda tanpa pakaian, ra-
sanya tak perlu susah-susah. Tubuhmu sendiri jauh
lebih sempurna ketimbang perempuan mana pun! Dan
aku percaya akan dapat menikmati sepuas-puasnya.
Bukankah kau sudah menyerahkan dirimu bulat-bulat
kepadaku...?” kilah Panji yang membuat wajah Kenan-
ga berubah kemerahan.
Terhadap bantahan itu, Kenanga tak memberi tang-
gapan. Dia merasa apa yang dikatakan Pendekar Naga
Putih tidak berlebihan. Gadis itu memang sudah siap
menyerahkan dirinya untuk kekasihnya. Mungkin,
seandainya pendekar muda itu menginginkan dirinya,
Kenanga tak akan mampu menolak. Mereka belum
resmi menjadi suami istri, tapi Kenanga telah men-
ganggap bahwa dirinya istri Panji. Dan setiap saat Ke-
nanga siap untuk melayani pemuda pujaan hatinya
itu.
“Baiklah, Kakang...,” akhirnya Kenanga mengalah.
‘Tapi kau jangan terlalu lama melihatnya, ya...?”
“Akan ku usahakan secepat mungkin. Tapi, tentu
saja harus memeriksanya dengan teliti. Dan untuk itu
rasanya memang perlu waktu yang cukup...,” tukas
Panji seraya tersenyum menggoda.
‘Tuh, kan...,” gerutu Kenanga. Wajahnya langsung
berubah cemberut dengan mata melotot menatap ke-
kasihnya.
“Sudahlah! Hal itu tak perlu kita persoalkan. Kalau
kau merasa cemburu, nanti kau boleh tunjukkan tu-
buh indahmu di hadapanku, bagaimana? Kau setu-
ju...?” usul Panji dengan wajah sungguh-sungguh. Pa-
dahal tentu saja ucapan itu hanya sekadar menggoda.
“Huh, enak di Kakang tak enak bagiku!” tukas Ke-
nanga seraya mencibir. Kemudian melangkah lebar
menghampiri Altar Setan.
Panji tertawa kecil. Kemudian mengikuti langkah
kekasihnya mendekati tempat mayat perempuan muda
itu terbaring kaku. Kenanga melangkah lebih cepat.
Sedangkan Panji perlahan saja tanpa terburu-buru.
Tiba di dekat altar, Pendekar Naga Putih segera
memeriksa dengan teliti sekujur tubuh telanjang yang
tampak pucat itu. Hatinya merasa heran ketika tak
menemukan luka sedikit pun di tubuh mayat itu. Bah-
kan tidak terdapat tanda-tanda bekas pukulan. Suatu
kematian yang aneh dan sulit untuk diketahui penye-
babnya.
“Cukup, Kakang!” sentak Kenanga seraya menarik
lengan Panji menjauhi Altar Setan. Kemudian dimin-
tanya Panji agar melepaskan jubah luarnya untuk me-
nutupi tubuh mayat wanita muda itu.
“Sebaiknya langsung saja kita kuburkan di tempat
ini, Kenanga! Kita tak perlu memperlihatkan mayat ini
kepada Paman Jata Logaya! Beliau pasti sudah bebe-
rapa kali melihatnya...,” usul Panji setelah Kenanga
membungkus mayat itu dengan jubah putih.
“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Aku setuju
dengan usulmu,” sahut Kenanga.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih se-
gera mencari tempat yang kira-kira cukup baik untuk
mengubur mayat itu. Dibuatnya sebuah lubang yang
agak dalam. Kemudian dikuburkannya mayat itu.
“Aku masih belum percaya kalau di sekitar Hutan
Rawandaka ini tidak ada tempat yang menjadi markas
orang-orang sesat itu. Sebaiknya kita selidiki lagi seca-
ra lebih teliti...,” usul Panji setelah selesai mengubur
mayat perempuan muda yang malang itu.
“Aku pun masih penasaran, Kakang. Kendati telah
menyelidiki tiap jengkal wilayah hutan ini...,” timpal
Kenanga yang langsung saja menyetujui usul kekasih-
nya.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu
sudah melangkah menyelusuri seluruh pelosok Hutan
Rawandaka. Boleh dibilang hampir setiap jengkal ta-
nah mereka teliti dengan cermat. Namun, sampai pagi
menjelang, mereka tetap tak memperoleh hasil yang di-
inginkan. Sampai akhirnya mereka menghentikan pen-
carian itu.
“Aku tak yakin kalau mereka tinggal jauh dari Hu-
tan Rawandaka ini...,” gumam Panji yang tampak ma-
sih penasaran. Karena nalurinya mengatakan bahwa
markas penganut ilmu hitam itu berada di sekitar Hu-
tan Rawandaka.
“Hm..., bagaimana kalau kita menyelidiki desa-desa
di sekitar Kadipaten Tumapel ini, Kakang. Kita cari ke-
terangan desa mana yang telah kehilangan warganya.
Mungkin dengan begitu kita bisa memperoleh gamba-
ran tentang para pelaku kebiadaban ini...,” usul Ke-
nanga yang tampak bersikeras untuk mampu me-
nyingkap rahasia Altar Setan itu.
“Begitu pun bagus!” sahut Panji. “Tapi, untuk itu ki-
ta harus berbicara dulu kepada paman dan bibimu.
Aku tak ingin mereka menjadi khawatir, kalau kita
bertindak tanpa sepengetahuan mereka....”
“Memang sebaiknya begitu, Kakang. Dan kalau per-
lu hanya paman dan bibi saja yang tahu. Seperti apa
yang pernah paman katakan, beliau curiga kalau-
kalau ada orang dalam yang berpihak kepada pembe-
rontak yang dipimpin Darmanggala. Dan kemungkinan
penyelidikan kita akan menemui kegagalan, kalau
sampai tersebar di lingkungan kadipaten...,” ujar Ke-
nanga. Gadis berpakaian hijau itu memang sangat ha-
ti-hati dalam bertindak.
Pendekar Naga Putih tersenyum mendengar ucapan
kekasihnya. Diam-diam dia merasa bangga. Kenanga
sekarang tampak lebih matang dalam berpikir dan
berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan.
“Hm..., gagasanmu itu memperlihatkan sikap kema-
tanganmu, Kenanga. Aku senang dengan orang yang
lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Artinya tidak
gegabah. Hhh..., rupanya kau sudah belajar banyak
dari pengalamanmu selama ini...,” ujar Panji seraya
menatap kekasihnya tanpa menyembunyikan rasa ke-
kagumannya.
‘Terima kasih atas pujianmu, Kakang.”
Hanya itu yang diucapkan Kenanga. Meskipun se-
sungguhnya di wajah cantik jelita itu tampak rasa
bangga yang bergayut di hatinya. Gadis mana yang tak
merasa bangga dipuji pemuda pujiannya. Kenanga pun
tak terlepas dari perasaan itu.
***
TIGA
Adanya sekelompok orang yang mengorbankan ga-
dis-gadis muda pada setiap malam purnama di Altar
Setan, ternyata tak hanya menjadi perhatian pihak
penguasa Kadipaten Tumapel. Namun, telah mengusik
pula hati kaum rimba persilatan. Banyak tokoh yang
mengaku sebagai pendekar pembela keadilan, merasa
berkewajiban untuk menghentikan upacara persemba-
han biadab itu.
Tidak hanya tokoh-tokoh perorangan yang tertarik
untuk menghentikan kegiatan kelompok beraliran se-
sat itu. Beberapa perguruan yang mendengar berita itu
pun mengutus murid-murid andalannya. Jelas per-
sembahan terkutuk di Altar Setan telah membuat
kaum persilatan merasa marah.
“Kegiatan biadab itu pasti didalangi seorang tokoh
sesat yang berjiwa iblis. Entah apa yang diharapkan-
nya dari persembahan itu. Yang pasti perbuatan mereka harus kita hentikan!”
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh
lima tahun, berkata kepada kawannya dengan nada
berapi-api. Sepasang matanya mencorong tajam saat
mengucapkan kata-kata itu. Dari tatapan mata itu da-
pat ditebak kalau lelaki gagah ini merupakan tokoh
rimba persilatan. Tatapan matanya yang tajam itu
memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya
telah mencapai tingkat tinggi.
Lelaki bertubuh tinggi dan kurus yang berdiri di
sampingnya tampak mengangguk-anggukkan kepala,
seakan-akan cocok dengan pikirannya. Saat itu kedu-
anya hampir tiba di perbatasan sebuah desa. Dari
langkahnya yang ringan dan mantap dapat diketahui
kalau lelaki tinggi kurus ini pun bukan orang semba-
rangan. Setidak-tidaknya pasti menguasai ilmu silat
yang tak dapat diremehkan.
“Sepak terjang kaum golongan sesat memang aneh-
aneh saja. Tampaknya mereka sengaja membuat keka-
cauan selagi perhatian pihak Kadipaten Tumapel ten-
gah terpusat kepada para pemberontak yang dipimpin
Darmanggala. Dengan begitu, mereka dapat terlepas
dari perhatian pihak Kadipaten Tumapel. Kekacauan
ini mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk suatu
kepentingan yang merugikan orang banyak. Hhh...,
sangat licik sekali manusia-manusia keji itu! Bagi kita,
jelas ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipi-
kul. Kita harus menghentikan...!” sambut lelaki tinggi
kurus tak kalah semangat dengan kawannya.
“Hm....”
Lelaki gagah di sebelahnya bergumam perlahan.
Keningnya tampak berkerut setelah mendengar ucapan
kawannya. Kelihatannya dia tengah berpikir keras.
“Gontara...,” ujarnya memanggil kawan di samping
nya. Matanya yang tajam menatap lelaki bernama Gon-
tara yang berusia lebih muda sepuluh tahun darinya.
“Kau sepertinya hendak menyampaikan sesuatu,
Kakang Pegantar? Katakanlah!” sahut Gontara ketika
melihat kerutan pada kening kawannya.
“Menurutmu, mungkinkah kedua kelompok itu
mempunyai hubungan satu sama lain...?” tanya Ki Pe-
gantar sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pi-
kirannya saat itu.
“Maksudmu...?” Gontara balik bertanya. Kendati
sudah mulai menduga, dia ingin ketegasan lebih dulu
dari Ki Pegantar.
“Begini, Gontara,” ujar Ki Pegantar kembali menga-
lihkan perhatiannya ke depan. “Setelah mendengar ke-
teranganmu tadi, timbul kecurigaan dalam hatiku. Se-
bab, antara pemberontak Darmanggala dan kelompok
sesat itu seakan-akan ada kesepakatan. Secara tak
langsung mereka telah sama-sama membuat kewala-
han Penguasa Kadipaten Tumapel. Jadi, bukan tak
mungkin kalau di antara kedua kelompok itu ada hu-
bungan satu sama lain. Dan kalau aku boleh mendu-
ga..., kelompok sesat itu merupakan orang-orang su-
ruhan Darmanggala. Tujuannya jelas untuk menga-
caukan perhatian penguasa kadipaten.”
“Wah, kalau benar demikian, tugas kita jelas tak
ringan, Kang. Hhh...!” tukas Gontara yang kemudian
menghela napas berat. Tapi, ucapan itu tentu saja bu-
kan karena dia merasa gentar. Ki Pegantar tahu hal
itu.
“Karena itu, kupikir kita mesti lebih berhati-hati
dan selalu berwaspada. Jangan gegabah dalam bertin-
dak!” Ki Pegantar mengingatkan.
“Ya...,” desah Gontara singkat. Kepalanya tampak
mengangguk-angguk pelan.
Pembicaraan kedua lelaki itu sementara terhenti.
Karena saat itu keduanya sudah memasuki perbatasan
Desa Gending. Khawatir kalau-kalau pihak lawan me-
miliki banyak mata-mata, mereka mulai bertindak ha-
ti-hati. Dan tidak sembarangan berbicara.
Saat itu matahari sudah tinggi. Perjalanan yang cu-
kup jauh, membuat perut mereka terasa perih. Se-
hingga, begitu memasuki Desa Gending, keduanya
langsung bersepakat untuk singgah di sebuah kedai
makan yang tak jauh dari mulut desa itu.
Ki Pegantar dan Gontara langsung mengambil tem-
pat kosong setelah memasuki kedai. Siang itu pengun-
jung tampak tak terlalu ramai. Sehingga mereka bisa
memilih tempat duduk yang agak terpisah dari pen-
gunjung lain. Ki Pegantar langsung memesan makanan
kepada pelayan yang menghampiri mereka: Kemudian
duduk menunggu sambil sesekali mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling ruangan kedai.
“Ah, kiranya sahabat-sahabat dari Perguruan Tan-
gan Kilat telah tiba di desa ini...!”
Seruan lantang dan berat itu membuat Ki Pegantar
dan Gontara tersentak kaget. Keduanya langsung saja
mencari pemilik suara yang mengenali mereka berdua.
Kening keduanya yang semula berkerut, dan hati ber-
debar tegang, kembali tenang ketika melihat seorang
lelaki tinggi besar berpakaian serba merah melangkah
menghampiri mereka.
“Orang Perguruan Beruang Merah...,” desis Ki Pe-
gantar dan Gontara hampir bersamaan, seraya bangkit
berdiri menyambut kedatangan lelaki berpakaian serba
merah yang menyapa mereka.
“Orang-orang Perguruan Beruang Merah memang
hebat sekali. Begitu melihat langsung dapat mengenali
kami berdua. Benar-benar mengagumkan...!” ujar KiPegantar sembari membungkukkan tubuh kepada le-
laki tinggi besar itu.
Hal serupa dilakukan Gontara. Kendati tahu siapa
sebenarnya lelaki tinggi besar itu, Gontara merasa se-
dikit kurang senang, karena ucapan lelaki berpakaian
serba merah itu seolah-olah hendak memperkenalkan
mereka berdua kepada semua pengunjung kedai. Aki-
batnya mereka berdua jadi perhatian, meski hanya un-
tuk beberapa saat.
“Kisanak terlalu memuji,” tukas lelaki tinggi besar
itu tanpa mengurangi tekanan suaranya. “Siapa orang
yang tak kenal dengan pendekar-pendekar dari Pergu-
ruan Tangan Kilat? Sungguh merupakan suatu ke-
hormatan besar dapat bertemu dengan pendekar-
pendekar gagah seperti kalian berdua....”
Ki Pegantar yang lebih tua dari Gontara dan lebih
berpengalaman, dapat menyembunyikan perasaan tak
sukanya terhadap lelaki tinggi besar itu. Senyumnya
tetap mengembang. Dan sinar matanya tetap ramah
menyambut ucapan lelaki berpakaian serba merah itu.
“Kalau aku tak salah, bukankah Kisanak yang ber-
juluk Beruang Cakar Baja dan merupakan orang ke-
dua di Perguruan Beruang Merah? Sungguh suatu ke-
hormatan besar dapat berkenalan dengan tokoh besar
seperti Kisanak!” sambut Ki Pegantar yang segera da-
pat mengenali lelaki tinggi besar itu.
‘Tidak salah..., tidak salah! Tapi nama itu hanya se-
kadar julukan tak berarti. Mana bisa disejajarkan den-
gan orang-orang Perguruan Tangan Kilat yang telah
terkenal kegagahannya?” tukas lelaki yang mengakui
julukannya sebagai Beruang Cakar Baja. Ucapannya
seakan-akan merendahkan diri. Namun, sikap dan
pandangannya sungguh bertolak belakang. Tekanan
suaranya pun terkesan menyombongkan diri.
Ki Pegantar sama sekali tidak peduli dengan sikap
sombong Beruang Cakar Baja. Bahkan dengan ramah
segera mempersilakan tokoh kedua dalam Perguruan
Beruang Merah itu untuk bergabung. Lain halnya den-
gan Gontara yang merasa panas hatinya. Lelaki tinggi
kurus ini mendengus sambil memalingkan wajahnya.
Takut kalau-kalau tidak mampu menahan diri melihat
sikap Beruang Cakar Baja yang terlalu sombong dan
meremehkan mereka berdua.
“Rasanya aku sudah bisa menebak apa maksud dan
tujuan kalian berdua berada di desa ini,” Beruang Ca-
kar Baja kembali berkata, setelah menarik kursi dan
duduk berhadapan dengan kedua tokoh Perguruan
Tangan Kilat itu. ‘Tentu kalian berdua ingin menyelidi-
ki tentang korban Altar Setan, bukan?”
Mendengar ucapan itu, Ki Pegantar dan Gontara
tersentak kaget. Wajah keduanya berubah pucat, ke-
mudian berganti merah. Mereka merasa bahwa Be-
ruang Cakar Baja sepertinya sengaja mencari-cari per-
kara. Kalau tidak, mana mungkin dia akan mengum-
bar ucapan di depan orang banyak seperti itu. Dan
ucapan itu membuat Gontara menggereng. Karena si-
kap Beruang Cakar Baja dianggapnya sudah keterla-
luan.
“Hm..., tak kusangka kalau tokoh Perguruan Be-
ruang Merah yang terkenal begitu sombong dan kasar!
Tidak sepantasnya sikap seperti itu dimiliki seorang
tokoh besar yang kesohor! Benar-benar membuat ke-
cewa...!” desis Gontara kehilangan kesabaran. Sepa-
sang matanya menatap tajam wajah Beruang Cakar
Baja tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati nama be-
sar Beruang Cakar Baja telah didengarnya.
Ki Pegantar sendiri tak berusaha mencegah Gonta-
ra, karena dia pun sudah merasa jengkel melihat sikap
sombong dan keterlaluan lelaki tinggi besar itu. Ki Pe-
gantar ingin melihat bagaimana tanggapan Beruang
Cakar Baja terhadap ucapan Gontara yang jelas telah
kehilangan kesabarannya.
“Ha ha ha...!”
Beruang Cakar Baja malah tertawa terbahak- bahak
demi mendengar sindiran Gontara. Membuat kedua
orang lelaki gagah itu saling bertukar pandang dengan
wajah heran.
“Kisanak,” ujar Beruang Cakar Baja, setelah meng-
hentikan tawanya. Matanya menatap tajam wajah Gon-
tara. “Apa yang kukatakan tadi sudah bukan rahasia
lagi. Sebelum kalian datang, sudah cukup banyak to-
koh persilatan singgah di desa ini. Dan mereka pun
punya tujuan sama dengan kalian berdua. Mengapa
kalian masih hendak berpura-pura? Apa merasa takut,
kalau maksud kalian sampai terdengar kelompok yang
hendak kalian basmi itu? Kalau takut, mengapa harus
susah-susah datang ke tempat ini?”
Brakkk!
“Beruang Cakar Baja! Rupanya kau tak memandang
sebelah mata pun terhadap kami berdua!” geram Gon-
tara dengan tubuh bergetar menahan marah. “Nama
besarmu itu telah membuat kau sombong dan me-
mandang rendah orang lain! Perlu kau ketahui kalau
aku, Gontara tak pernah merasa gentar mendengar ju-
lukan-julukan kosong sepertimu! Dan aku tidak bisa
terima hinaan ini!” tandas Gontara yang sudah bangkit
sambil menggebrak meja.
Gelagat tidak baik itu membuat pengunjung kedai
merasa cemas. Satu persatu mereka bangkit dan ber-
gegas meninggalkan ruangan kedai. Takut kalau-kalau
terjadi keributan yang dapat mencelakakan mereka.
Apa yang ditakutkan pengunjung kedai itu ternyata
tidak berlebihan. Karena Beruang Cakar Baja sudah
bangkit dari kursinya ketika mendengar ucapan Gon-
tara. Wajah lelaki tinggi besar yang dipenuhi brewok
itu tampak merah padam. Sepasang matanya menatap
bengis wajah Gontara.
“Hm.... Lalu apa maumu, Cacing Kurus?!” tantang
Beruang Cakar Baja yang sepertinya sengaja meng-
hendaki keributan.
“Manusia sombong!” bentak Gontara tak dapat
mengendalikan dirinya lagi. “Sambut pukulanku....!
Hih!”
Whuuut!
“Hm...!”
Sambil mengucapkan makian itu Gontara langsung
melancarkan sebuah pukulan keras ke wajah lawan.
Namun serangan itu disambut dengusan dari mulut
Beruang Cakar Baja. Seakan-akan mengejek kemam-
puan lawan. Meskipun tak urung lelaki brewok itu
memiringkan kepala menghindarkan pukulan cepat
Gontara.
Pukulan keras Gontara dapat dihindarkan. Bahkan
dengan tak kalah cepat, Beruang Cakar Baja langsung
mengirimkan serangan balasan.
“Heaaa...!”
Whuuut!
Jari-jari tangan kokoh yang membentuk cakar be-
ruang itu meluncur deras hendak menyambar tenggo-
rokan Gontara. Dari angin sambaran yang menderu
keras dapat diperkirakan betapa hebatnya kekuatan
yang tersembunyi dalam cakar maut itu. Sehingga,
Gontara sendiri sempat tersentak kaget merasakannya.
Mengetahui kalau serangan itu mengancam nyawa
Gontara, tentu saja Ki Pegantar tak tinggal diam. Lela-
ki gagah itu dengan cepat mengayunkan tangan guna
memapak serangan Beruang Cakar Baja.
“Hih!”
Plak!
Dua kekuatan yang sama-sama tersalur lewat tan-
gan saling beradu. Untung Ki Pegantar mengetahui ke-
hebatan serangan Beruang Cakar Baja. Sehingga, lela-
ki gagah itu mengerahkan hampir seluruh tenaga da-
lamnya untuk menangkis sambaran cakar maut itu.
Kendati tubuhnya terdorong mundur dua langkah, jiwa
Gontara berhasil diselamatkan.
Beruang Cakar Baja kelihatan tidak terlalu kaget
ketika merasakan tangannya bergetar. Seakan dia cu-
kup maklum kemampuan yang dimiliki Ki Pegantar.
Kendati cengkeramannya gagal terpapak tangan lawan,
Beruang Cakar Baja tak kehabisan akal. Tangkisan te-
naga lawan dipergunakan untuk menyusuli dengan se-
rangan berikutnya. Lengan yang besar dan kuat itu
berputar dengan kecepatan tinggi. Bahkan kali ini tan-
gan kirinya ikut bergerak disertai sambaran angin ke-
ras.
“Heaaa...!”
Wuttt! Wuttt!
Serangan Beruang Cakar Baja datang dengan kece-
patan yang lebih hebat. Kali ini sasarannya Ki Pegan-
tar. Dan ternyata lelaki gagah itu sudah siap menyam-
butnya dengan jurus kebanggaan Perguruan Tangan
Kilat.
“Heaaa...!”
Bwettt! Bwettt...!
“Haits...!”
Dengan gerakan kaki yang lincah dan mantap, Ki
Pegantar berhasil menghindari serangkaian cakaran
jemari lawan yang datang begitu cepat dan beruntun.
Dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan
jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’.
Tidak percuma Ki Pegantar menjadi orang keper-
cayaan Ketua Perguruan Tangan Kilat Serangan bala-
sannya demikian cepat dan kuat. Terlebih perubahan
gerak jemari tangannya yang sulit ditebak. Terkadang
jari-jari tangan lelaki gagah itu meluncur datang den-
gan bentuk kepalan. Di saat yang lain telah berubah
menusuk-nusuk dengan telapak terbuka. Bahkan, tak
jarang serangannya menyerupai cengkeraman-
cengkeraman kuat yang mendatangkan angin berkesi-
utan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja pertarun-
gan itu telah berubah seru dan sangat menegangkan.
Beruang Cakar Baja agak kaget juga, ketika mera-
sakan kehebatan serangan balasan lawan. Beberapa
kali terdengar mulutnya mendengus gusar, ketika se-
pasang tangan Ki Pegantar mencecar dengan kecepa-
tan yang luar biasa. Walaupun sampai sejauh itu tu-
buhnya belum tersentuh pukulan lawan, Beruang Ca-
kar Baja tampak telah terdesak dengan jurus-jurus
awal. Hal itu, karena Ki Pegantar seolah-olah tak ingin
memberi kesempatan lawannya untuk menyerang. Di-
desaknya terus kedudukan lawan dengan jurus-jurus
ampuh yang dimiliki.
“Heaaa...!”
Lewat sepuluh jurus kemudian, Beruang Cakar Ba-
ja terdengar membentak keras. Tubuhnya melompat ke
belakang dengan lesatan panjang. Maksudnya untuk
menjauhi lawan agar dapat mempersiapkan jurus-
jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Ki Pe-
gantar. Jurus ‘Tangan Kilat Membelah Gunung’ yang
merupakan salah satu jurus ampuh dari Perguruan
Tangan Kilat, dirasakan cukup hebat.
Tapi Ki Pegantar tampaknya tak mau memberi ke-
sempatan sedikit pun bagi lawannya untuk mempersiapkan serangan balasan. Ketika tubuh Beruang Ca-
kar Baja melesat ke belakang, lelaki gagah itu mem-
bentak keras. Dan tubuhnya meluncur dengan kecepa-
tan tinggi mengejar lawannya seraya melancarkan han-
taman telapak tangannya yang mendatangkan samba-
ran angin menderu.
“Heaaat...!”
Wuttt...!
Bukkk!
“Hukh...!”
Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Be-
ruang Cakar Baja ketika serangan cepat Ki Pegantar
mendarat telak di dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya
yang gagah dan besar terdorong ke belakang. Hanta-
man telapak tangan Ki Pegantar tampaknya dilancar-
kan dengan tenaga dalam yang kuat Tubuh Beruang
Cakar Baja akhirnya menerjang sebuah meja kedai
yang ada di belakangnya.
Brakkk!
“Hukh! Huh..., Keparat!”
Beruang Cakar Baja ternyata memiliki kekuatan tu-
buh yang luar biasa. Kendati serangan itu demikian
keras menghantam dadanya, hingga terbanting dan
menabrak meja, dengan cepat tubuhnya langsung me-
lompat bangkit. Wajahnya tampak memerah dengan
sorot mata tajam penuh kemarahan. Seakan-akan le-
laki bertubuh besar ini tak merasakan sakit akibat pu-
kulan tenaga dalam lawan. Buktinya pukulan Ki Pe-
gantar tak membuat luka dalam di tubuhnya. Bahkan
justru membuatnya semakin berbahaya.
“Hmh...!”
Disertai sebuah dengusan panjang, Beruang Cakar
Baja mempersiapkan jurus andalan. Sepasang tangan-
nya bergerak dengan jemari membentuk cakar. Terdengar suara angin berkesiutan menandakan betapa
kuatnya tenaga yang kali ini dikerahkan lelaki bertu-
buh besar bagaikan raksasa itu.
Ki Pegantar menunda serangan lanjutan, ketika ta-
hu lawan telah siap dengan jurus andalannya. Lelaki
gagah itu pun sadar akan kehebatan jurus ‘Cakar Be-
ruang’ yang dipergunakan lawannya. Dengan cepat se-
gera dipersiapkannya jurus andalan, disertai mengatur
gerak langkahnya ke kanan. Bersiap untuk mengha-
dapi pertarungan selanjutnya.
“Yeaaat.”
Dibarengi pekikan keras menggelegar, Beruang Ca-
kar Baja bergerak melakukan serangan. Suara telapak
kakinya yang menginjak tanah, membuat kedai makan
itu bergetar bagai diguncang gempa. Jari-jari tangan-
nya yang membentuk cakar beruang, bergerak susul-
menyusul dengan kecepatan yang sulit diikuti mata bi-
asa.
“Hih...!”
Whuuut! Whuuut...!
“Heaaa...!”
Ki Pegantar sama sekali tidak merasa gentar. Sepa-
sang tangannya berputaran di depan dada dengan ke-
cepatan tinggi. Dan diiringi teriakan yang nyaring, le-
laki gagah itu bergerak cepat menyambut serbuan la-
wan.
Pertempuran kali ini terlihat jauh lebih hebat dan
seru dari sebelumnya. Kedua tokoh sakti itu sama-
sama mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimiliki.
Sehingga, ruangan kedai yang semula tertata rapi be-
rubah porak-poranda bagaikan diamuk gajah liar. Meja
dan kursi beterbangan terkena tendangan ataupun an-
gin pukulan yang nyasar. Sehingga, hampir semua
benda di dalam ruangan itu dibuat hancur berantakan.
Setelah lewat dua puluh jurus, terlihat Beruang Ca-
kar Baja mulai dapat menekan lawannya. Gerakannya
yang jauh lebih kuat membuat Ki Pegantar tampak
kewalahan. Tubuhnya terhuyung mundur setiap kali
lengan mereka berbenturan. Bahkan kedua lengan to-
koh Perguruan Tangan Kilat itu mulai terlihat memar
dan bengkak di beberapa bagian. Jelas dalam hal ke-
kuatan tenaga dalam Ki Pegantar harus mengakui
keunggulan lawannya. Sampai akhirnya....
“Hiaaa!”
Breeet! Desss...!
“Aaakh...!”
Ki Pegantar terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar
ketika sambaran cakar dan tendangan lawan mendarat
telak di dada dan perutnya. Lelaki gagah itu tak mam-
pu mempertahankan kuda-kudanya. Sehingga terlem-
par menjebol dinding papan di belakangnya.
Brakkk...!
Melihat tubuh lawannya terlempar menjebol dinding
kedai, Beruang Cakar Baja melesat mengejar. Wajah-
nya kian beringas menggambarkan nafsu membunuh.
Jelas dia hendak menghabisi nyawa Ki Pegantar.
“Bangsat...!” geram Gontara yang melihat kakak se-
perguruannya terancam maut. Tangannya langsung
melolos pedang di pinggang. Kemudian melesat dengan
sebuah bentakan keras. Pedang di tangannya melun-
cur cepat dengan tusukan maut mengancam perut Be-
ruang Cakar Baja yang saat itu tengah melesat menge-
jar Ki Pegantar di luar kedai.
***
EMPAT
“Heaaat...!”
Whuuut!
Ujung pedang Gontara berkelebat cepat disertai de-
ru angin keras. Sebuah serangan yang tak kepalang
tanggung. Tampaknya Gontara telah mengerahkan se-
luruh tenaga dalamnya.
Namun, Beruang Cakar Baja hanya mendengus pe-
nuh ejekan. Kemudian, menyampok pedang Gontara
dengan tangan kanannya yang telah terlindung tenaga
dalam. Tampaknya lelaki tinggi besar itu demikian ya-
kin akan kekebalan tangannya. Terbukti tanpa ragu-
ragu disampoknya pedang itu hanya dengan tangan te-
lanjang! Dan....
Whuuut!
Trakkk!
Suara keras mirip benturan dua buah logam ter-
dengar, ketika tangan kanan Beruang Cakar Baja ber-
hasil menyampok pedang lawan. Melihat kejadian ini,
jelas kalau julukan yang disandangnya sebagai Be-
ruang Cakar Baja bukan sekadar nama kosong. Ter-
bukti sekali sampok saja pedang Gontara langsung pa-
tah menjadi dua bagian. Bahkan tubuh lelaki kurus
bermata sipit itu terhuyung mundur dengan wajah
menyeringai menahan sakit. Gontara merasakan per-
gelangan tangannya bagaikan remuk akibat kekuatan
tenaga di tangan lelaki tinggi besar itu.
“Mampuslah kau...! Hih!”
Dengan wajah beringas penuh amarah, Beruang
Cakar Baja melesat memburu tubuh Gontara yang ma-
sih terhuyung-huyung. Sehingga....
Breeet! Breee
Gontara tak sempat melihat serangan jari-jari tan-
gan sekuat baja itu telah merobek tenggorokan dan
dadanya. Darah segar menyembur seiring robohnya
tubuh lelaki kurus bermata sipit itu. Sesaat tubuhnya
berkelojotan, tapi kemudian tak berkutik lagi.
Kematian Gontara tampaknya belum membuat Be-
ruang Cakar Baja puas. Setelah melihat tubuh lawan-
nya tewas terkapar berlumuran darah, lelaki tinggi be-
sar itu melesat menghampiri Ki Pegantar yang saat itu
sudah bangkit dengan gerakan limbung. Pakaiannya
tampak telah basah berlumur darah yang mengalir da-
ri luka di dadanya akibat cakaran lawan.
Kendati keadaannya cukup parah, Ki Pegantar sem-
pat melihat tubuh adik seperguruannya yang terkapar
tewas. Wajahnya memucat. Dirasakan sekujur tubuh-
nya gemetaran sehingga terhuyung beberapa langkah
ke belakang. Kematian Gontara telah membuat jiwanya
terguncang hebat. Itu terlihat dari kerut-kerut di wa-
jahnya.
“He he he...! Itulah akibatnya bagi orang yang bera-
ni sesumbar di hadapan Beruang Cakar Baja...!” ujar
lelaki tinggi besar itu mengejek sambil tertawa terke-
keh-kekeh.
“Mengapa kau memusuhi kami, Beruang Cakar Ba-
ja? Bukankah di antara kita tak pernah ada persoalan?
Kau..., kau telah menanam bibit permusuhan dengan
Perguruan Tangan Kilat...,” desis Ki Pegantar yang be-
lum mengerti mengapa Beruang Cakar Baja memusuhi
mereka berdua.
Selama ini Ki Pegantar mendengar bahwa Beruang
Cakar Baja merupakan tokoh yang memiliki kegaga-
han. Bahkan dia tahu persis kalau Perguruan Beruang
Merah merupakan sebuah perkumpulan beraliran pu-
tih. Mengapa sekarang menyimpang jauh dari kebenaran? Bahkan membunuh rekan segolongan? Ki Pegan-
tar benar-benar merasa tak habis pikir.
“Benar, di antara kita tak ada persoalan secara pri-
badi, Ki Pegantar. Tapi, karena kalian melakukan tin-
dakan bodoh, ingin menyelidiki korban Altar Setan,
maka beginilah akibatnya. Siapa pun yang hendak
mencoba menyelidikinya, akan menemui kematian!
Nah, sekarang bersiaplah untuk menghadap Malaikat
Maut..!” ujar Beruang Cakar Raja mempersiapkan se-
rangan mautnya untuk menghabisi Ki Pegantar.
“Mengapa..., mengapa kau bertindak demikian, Be-
ruang Cakar Baja...?” Ki Pegantar masih belum men-
gerti secara keseluruhan, dan meminta keterangan da-
ri tokoh bertubuh tinggi besar itu.
“Kau tak perlu tahu. Karena aku memang ingin
membuatmu mati penasaran...!”
Setelah berkata demikian, Beruang Cakar Baja ter-
tawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya melesat ce-
pat disertai ayunan cakar mautnya.
“Hiaaa...!”
Whuuut!
Kendati keadaannya sudah cukup parah, Ki Pegan-
tar masih berusaha untuk menyelamatkan diri dari se-
rangan lawan. Sebisa mungkin lelaki gagah itu menge-
lak dan masih berusaha membalas serangan lawan.
Namun, jangankan dalam keadaan terluka seperti itu.
Dalam keadaan biasa pun Ki Pegantar bukan tandin-
gan Beruang Cakar Baja. Dan perlawanannya kali ini
tidak berarti bagi tokoh tinggi besar itu. Terbukti da-
lam tiga jurus saja tubuh Ki Pegantar telah terkena ca-
kar sekeras baja lawannya.
“Hiaaa...!”
Whuuut!
Bret! Bret!
“Aaakh...!”
Serangan cakar maut yang secepat kilat mendarat
di beberapa bagian tubuh Ki Pegantar. Seketika darah
muncrat dari tenggorokan, mulut, dan dadanya yang
tercabik cakar lawan. Setelah mengerang keras dan
berkelojotan, Ki Pegantar tewas terkapar di depan ke-
dai.
“Ha ha ha...!”
Tawa keras menggelegar terdengar dari mulut Be-
ruang Cakar Baja yang merasa bangga atas kemenan-
gannya. Lelaki brewok bertubuh besar itu lalu melesat
masuk ke kedai, memanggil pemilik kedai dan para pe-
layan. Mereka tadi bersembunyi, ketika pertarungan
itu berlangsung.
“Bereskan mayat mereka...!”
***
Pendekar Naga Putih mengayunkan langkahnya
memasuki batas Desa Gending. Di sebelahnya berjalan
seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Siapa lagi
dara jelita itu kalau bukan Kenanga, kekasihnya.
Hari telah senja ketika langkah pasangan pendekar
muda itu memasuki mulut desa. Cuaca mulai terseli-
mut keremangan. Semburat merah di kaki langit sebe-
lah barat sebagai pertanda matahari telah merasuk ke
peraduannya. Sebentar lagi malam akan datang meng-
gantikan tugas sang Mentari. Tampak pula bulan pu-
cat mulai menggantung di langit temaram.
“Hm..., malam sudah mulai jatuh. Sebaiknya kita
bergegas untuk mencari tempat bermalam...!” ujar
Panji seraya menoleh kepada Kenanga di sebelahnya.
Langkahnya dipercepat melintasi jalan utama Desa
Gending yang kering dan berdebu.
Kenanga hanya mengangguk perlahan seraya terus
mengikuti langkah Panji untuk mencari penginapan.
Keduanya bergerak memasuki sebuah kedai yang di
depannya mulai diterangi lampu minyak. Di dalam
ruangan kedai itu hanya ada beberapa orang yang se-
pertinya merupakan pendatang-pendatang seperti me-
reka berdua. Baik Pendekar Naga Putih maupun Ke-
nanga mengetahui hal itu dari wajah-wajah lelah yang
tengah menikmati hidangan di meja makan.
Panji menganggukkan kepala ketika beberapa pa-
sang mata serentak menoleh saat mereka memasuki
kedai. Kemudian bergerak masuk menghampiri pemilik
kedai.
“Paman, kami berdua pelancong. Karena kebetulan
sampai di desa ini kemalaman, kami ingin bermalam di
Desa Ganding ini. Apa kedai Paman juga menyediakan
kamar untuk menginap...?” tanya Panji dengan suara
rendah penuh keramahan.
“Wah, sayang sekali, Kisanak! Kamar yang kami se-
diakan sudah diisi orang. Harap Kisanak berdua men-
cari tempat lain. Kami benar-benar menyesal tidak bisa
memenuhi permintaan Kisanak berdua,” jawab pemilik
kedai dengan wajah menyesal.
“Tidak adakah persediaan kamar lain, Paman? Ti-
dak perlu bagus, yang penting kami dapat beristirahat
untuk malam ini saja,” ujar Panji agak memaksa. Ka-
rena saat itu hari sudah mulai gelap. Dan untuk men-
cari penginapan lain tentu agak sukar.
“Kami benar-benar mohon maaf, Kisanak. Kalau sa-
ja masih ada tempat, tentu kami akan suka sekali un-
tuk menolong. Tapi, dengan sangat menyesal sekali
kami tidak bisa menyediakannya. Harap Kisanak ber-
dua tidak merasa kecewa...,” jawab pemilik kedai den-
gan memperlihatkan wajah sungguh-sungguh menyes-
al karena tidak bisa menolong kedua orang tamunya.
“Tolonglah, Paman! Berapa pun harga yang Paman
minta akan kami bayar sekarang juga...,” timpal Ke-
nanga. Seperti halnya Panji, dia pun tak ingin mencari
tempat lain yang tentu tidak mudah. Karena biasanya
di sebuah desa hanya ada satu penginapan. Maka, Ke-
nanga mencoba dengan cara seperti itu untuk menda-
patkan tempat bermalam.
“Menyesal sekali, Nisanak...,” jawab pemilik kedai
bertubuh kurus itu sambil membungkuk-bungkukkan
tubuhnya sebagai ungkapan menyesal tak dapat me-
menuhi permintaan Kenanga.
“Baiklah, Paman. Kalau memang tidak ada, kami
tak bisa memaksa. Terima kasih atas keramahan Pa-
man...,” ujar Panji, yang mulai menyadari tidak baik
memaksa. Kalau masih ada kamar, tentu pemilik kedai
tak mungkin menolaknya. Sebab, mana ada orang
yang tidak ingin mendapatkan keuntungan besar. Se-
dangkan tawaran Kenanga jelas sangat menggiurkan.
Pendekar Naga Putih meminta maaf telah meng-
ganggu pemilik kedai itu. Kemudian melangkah keluar
diikuti Kenanga. Terpaksa mereka harus menyusuri
keremangan malam yang diterangi sinar pelita yang
bergantungan di depan rumah penduduk. Keduanya
melangkah di jalan utama Desa Gending. Jalan dan
desa itu tampak sepi sekali, karena penduduk Desa
Gending kebanyakan telah masuk dan menutup pintu
rumahnya. Padahal malam belum lama jatuh.
“Mudah-mudahan kita mendapatkan penginapan
lain yang belum terisi penuh...,” gumam Kenanga pe-
nuh harap. “Rupanya desa ini cukup banyak disingga-
hi pendatang dari luar....”
“Hal itu tidak aneh, Kenanga. Kurasa, kabar tentang
persembahan korban di Altar Setan itu telah memanc-
ing rasa penasaran dan marah di hati para tokoh persilatan. Bukankah selama perjalanan kita telah banyak
mendengar tentang tokoh-tokoh persilatan yang hen-
dak menghentikan upacara biadab itu? Bahkan tak
sedikit perguruan-perguruan di sekitar wilayah Kadi-
paten Tumapel yang mengutus muridnya untuk me-
nyelidiki secara lebih jelas. Itu sebabnya mengapa pen-
ginapan tadi telah terisi penuh, tidak seperti biasanya,”
ujar Panji mengingatkan kekasihnya tentang apa yang
membuat penginapan tadi tidak dapat menampung
mereka.
“Hm.... Kalau begitu, bagaimana jika kita menginap
di rumah penduduk? Kita beri mereka imbalan yang
pantas,” usul Kenanga, karena khawatir kalau tak ada
lagi penginapan lain di Desa Gending itu.
“Kita lihat saja dulu! Desa ini cukup besar dan ba-
nyak disinggahi pedagang. Jadi ada kemungkinan ter-
dapat beberapa penginapan ataupun kedai makan. Ka-
lau memang tidak ada, nanti kita cari rumah pendu-
duk yang kira-kira mau menampung kita untuk ber-
malam,” ujar Panji, mencoba menyabarkan hati Ke-
nanga. Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa eng-
gan kalau harus mengganggu penduduk. Dilihatnya
sepanjang jalan yang dilalui, rumah-rumah tampak
sudah tertutup rapat.
Kenanga menyetujui ucapan kekasihnya. Keduanya
terus berjalan menyusuri keremangan malam. Namun,
tiba-tiba ada seorang lelaki bertubuh kurus dengan
wajah terhias kumis jarang, menghadang perjalanan
mereka.
“Kisanak berdua membutuhkan tempat untuk men-
ginap?” tanya lelaki itu dengan sikap ragu-ragu dan
penuh hormat. Pandangan matanya terlihat agak sayu
menatap pasangan pendekar muda itu dengan penuhi
harap.
Pendekar Naga Putih maupun Kenanga tak lang-
sung menjawab. Mereka saling bertukar pandang seje-
nak. Kemudian meneliti sosok lelaki kurus yang keli-
hatannya sangat miskin itu. Karena pakaian yang di-
kenakannya kelihatan penuh tambalan. Dan wajahnya
tampak seperti orang kurang makan. Pendekar muda
itu menduga orang yang menghadangnya hendak me-
nawarkan jasa dengan mengharapkan sedikit imbalan.
“Hm.... Kisanak dapat menunjukkan tempat pengi-
napan untuk kami berdua?” tanya Panji yang sekaligus
sebagai jawaban atas pertanyaan lelaki kurus berku-
mis jarang itu.
“Di desa ini hanya ada satu penginapan yang letak-
nya di dekat mulut desa. Selain penginapan itu, tak
ada penginapan yang lain,” jawab lelaki kurus itu se-
raya menatap wajah pemuda berjubah putih di hada-
pannya.
“Lalu, penginapan mana yang hendak kau tawarkan
kepada kami?” tanya Kenanga.
“Kalau kisanak berdua benar-benar memerlukan-
nya, aku bisa mencarikan. Tapi..., tempatnya tidak ba-
gus dan besar. Lagi pula hanya ada satu kamar...,” ja-
wab orang itu. Wajahnya kelihatan gelisah dan malu-
malu.
“Besar atau kecil bukan soal bagi kami. Lagi pula
kami hanya membutuhkan untuk satu malam. Kalau
begitu, antarkan kami ke tempat yang kau sebutkan
itu...!” ajak Kenanga tak sabar.
“Baik... baik...,” sahut lelaki kurus itu, lalu melang-
kah mendahului.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga saling bertukar
pandang, ketika lelaki yang belum dikenal itu memba-
wa mereka melewati jalan di samping rumah penduduk
yang terletak di tepi jalan. Kemudian melintasi kebun
yang gelap. Setelah itu baru mereka tiba di depan se-
buah rumah atau lebih tepat kalau dikatakan sebuah
gubuk keluarga miskin. Letaknya pun agak terpencil
dan dikelilingi pepohonan liar.
“Hm..., apakah rumah ini tempat tinggalmu...?”
tanya Panji yang langsung dapat menduga karena lela-
ki itu kelihatan malu-malu dan takut.
“Be... benar, Kisanak...,” sahut lelaki kurus itu
mengangguk namun tak berani menatap wajah pemu-
da tampan berjubah putih di sampingnya.
“Kalau kau hanya memiliki satu kamar, lalu di ma-
na anak dan istrimu tidur jika kami menginap?” tanya
Panji yang tentu saja hanya menduga-duga kalau
orang itu punya keluarga.
“Kami bisa tidur di ruang depan. Dan aku akan me-
nyediakan dua tempat tidur. Karena di dalam kamar
hanya ada satu tempat tidur. Maklumlah kami orang
miskin...!” sahut lelaki kurus itu semakin dalam me-
nyembunyikan wajahnya.
Iba juga hati Kenanga maupun Panji melihat kehi-
dupan lelaki kurus berkumis jarang itu. Kalau tadi ke-
duanya berharap benar dapat memperoleh sebuah
kamar penginapan, kini hatinya jatuh kasihan ingin
menolong lelaki itu. Terlebih melihat wajah lelaki itu
tampak menggambarkan harapan yang besar agar me-
reka berdua menerima tawarannya.
“Kami terima tawaranmu, Kisanak. Dan ini sekadar
imbalan untuk kami berdua menginap....”
Kenanga langsung memberikan beberapa keping
uang perak kepada lelaki kurus itu. Namun mata lelaki
itu terbelalak kaget dan seakan tidak percaya dengan
penglihatannya.
“Ambillah...,” ujar Panji tersenyum sambil men-
ganggukkan kepalanya.
“Tapi... tapi uang ini terlalu banyak....”
Kendati mulutnya berkata demikian, kepingan uang
perak itu diterimanya, lalu digenggamnya erat-erat. Ke-
lihatan sekali betapa lelaki kurus itu merasa bingung.
Matanya menatap Kenanga dan Panji berganti-ganti,
masih memperlihatkan perasaan tak percaya.
Panji hanya tersenyum. Kemudian memerintahkan
lelaki kurus itu untuk membawa mereka berdua ke da-
lam rumah. Sambil terbungkuk-bungkuk, lelaki kurus
itu mempersilakan kedua tamunya agar masuk. Ke-
mudian dia terburu-buru memasuki kamar yang
hanya sebuah itu, lalu segera membenahi barang-
barang di dalam dengan napas terengah-engah. Tam-
paknya lelaki kurus itu ingin memberikan pelayanan
kepada Panji dan Kenanga dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnya Panji tak tega ketika melihat lelaki ku-
rus itu membangunkan istri dan anaknya yang masih
kecil, dan memindahkan mereka ke ruang tengah. Ke-
tika lelaki itu hendak membawa balai-balai yang ada di
ruangan itu, Panji mencegahnya. Dan dikatakannya,
bahwa satu pembaringan pun sudah cukup untuk me-
reka berdua menginap. Sehingga, lelaki kurus itu tak
perlu menyuruh anak dan istrinya tidur di atas sehelai
tikar butut.
“Terima kasih... terima kasih...!”
Berkali-kali lelaki kurus itu mengucapkan terima
kasih sambil terbungkuk-bungkuk. Panji sendiri hanya
tersenyum dan membawa Kenanga masuk ke kamar
yang sempit itu.
‘Tidak perlu bingung, Kisanak. Kami berdua cukup
merasa senang dapat bermalam di rumahmu. Dan kau
tak perlu ragu-ragu untuk menggunakan uang itu. Ka-
rena uang itu sebagai tanda terima kasih kami ber-
dua,” ujar Panji ketika melihat lelaki kurus itu seperti
kebingungan. Takut kalau-kalau kedua tamunya
membatalkan untuk menginap.
Mata lelaki kurus itu berbinar-binar. Tubuhnya
kembali terbungkuk-bungkuk kepada Panji. Sedang-
kan Kenanga sendiri sudah memasuki kamar yang
sempit itu, bahkan merebahkan tubuhnya di atas ba-
lai-balai bambu yang sudah tua. Itulah yang dikatakan
lelaki kurus itu sebagai tempat tidur. Namun, Kenanga
sama sekali tidak mencela.
Panji pun tidak berkata apa-apa, ketika melihat
keadaan kamar itu. Dan segera merebahkan tubuh di
samping Kenanga. Panji tak merasa khawatir akan ter-
goda, kendati mereka berdua harus tidur satu pemba-
ringan. Tentu saja pemuda berjubah putih itu terlebih
dahulu berpesan kepada kekasihnya agar jangan ber-
pikir yang bukan-bukan.
“Hi hi hi...! Kau takut tergoda ya, Kakang...?” tukas
Kenanga seraya tersenyum ketika mendengar ucapan
kekasihnya.
Panji hanya tersenyum. Kemudian merebahkan tu-
buhnya menghadap langit-langit. Kedua matanya lang-
sung terpejam dan memusatkan pikirannya dengan
menekan segala bayangan yang menari-nari di benak-
nya.
Kenanga pun tampaknya tak ingin menggodanya.
Dara jelita itu ikut memejamkan mata. Tak lama ke-
mudian, terdengarlah dengkur yang halus, pertanda
mereka telah terlelap.
Malam semakin larut. Tiupan angin di luar semakin
dingin. Suara binatang-binatang malam bagai tak per-
nah lelah menemani kegelapan yang hanya diterangi
bulan pucat.
***
LIMA
“Hhh...!”
Pendekar Naga Putih yang semula telah terlelap ti-
ba-tiba menggeliat resah. Dinginnya udara malam ba-
gaikan tak dirasa. Tubuhnya berpeluh. Kegelisahan
aneh yang mengganggu tidurnya, memaksanya terban-
gun. Hatinya merasa heran sekali, ketika merasakan
panas sekujur tubuhnya. Bahkan peluh terus saja
mengalir tanpa diketahui apa penyebabnya. Keheranan
itu semakin meningkat ketika dirasakannya ada sesua-
tu yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya.
“Aneh? Mengapa ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ ti-
ba-tiba bangkit tanpa sebab...?” gumam Panji yang ba-
ru menyadari apa penyebab hawa panas yang dirasa-
kannya. Semua itu ternyata berasal dari kekuatan
mukjizat yang ada dalam tubuhnya. Namun, hal itu te-
tap saja sangat mengherankan baginya. Karena kekua-
tan mukjizat itu tidak pernah bangkit, kecuali dipang-
gilnya.
Dengan penuh keheranan Pendekar Naga Putih me-
natap sekujur tubuhnya. Dan hatinya semakin terkejut
ketika mendapat sinar kuning keemasan telah mem-
bungkus sekujur tubuh. Keadaan itu membuatnya
menarik suatu kesimpulan bahwa ‘Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’ tengah bekerja melindungi dirinya. Itu be-
rarti ada sesuatu yang mengancam dirinya. Namun
Panji tak tahu apa yang membuat tenaga mukjizat itu
bangkit untuk melindunginya.
Setelah memutar otak tapi tidak juga mendapatkan
jawaban, Panji menoleh ke samping. Keningnya berke-
rut ketika melihat Kenanga sama sekali tak terganggu
hawa panas yang keluar dari tubuhnya. Padahal gadis
jelita itu berada di sebelahnya. Kenanga tetap terlelap.
Seolah hawa panas itu sama sekali tak mempengaru-
hinya. Anehnya, pakaian dara jelita itu tampak telah
dibasahi peluh? Jelas hawa panas yang keluar dari tu-
buh Pendekar Naga Putih juga dialami Kenanga. Na-
mun, Kenanga tetap saja tertidur lelap? Tentu saja
Panji semakin tak mengerti.
“Hm..., ini jelas ada yang tak beres...!” gumam Panji
seraya melompat turun dari pembaringan. Gejolak ha-
wa mukjizat itu tiba-tiba membuat dirinya tanpa sadar
mulai menggerak-gerakkan kedua tangan. Keanehan
pun semakin terasa. Tenaga mukjizatnya langsung
mengalir deras seolah hendak menolakkan sesuatu.
Setelah beberapa saat hal itu dialaminya, tiba-tiba
Kenanga menggeliat bangkit. Dara jelita itu tentu saja
merasa bingung melihat pakaiannya telah dibasahi pe-
luh. Dan lebih heran lagi ketika melihat Panji tengah
melakukan gerakan-gerakan tangannya secara perla-
han. Namun kelihatan jelas betapa gerakan itu men-
gandung kekuatan tersembunyi yang sangat hebat.
“Kakang..., ada apa...?” tanya Kenanga keheranan
dengan keadaan yang dirasakannya. Terlebih melihat
kekasihnya yang seperti tengah bertempur dengan se-
suatu.
Pendekar Naga Putih tak menjawab. Hanya wajah-
nya yang menoleh dan tersenyum kepada Kenanga.
Saat itu dia merasa ada sesuatu kekuatan aneh yang
menyerangnya. Panji menyadari mengapa tenaga muk-
jizatnya bergerak melindungi dirinya tanpa dipanggil.
“Ada orang yang menyerang kita dengan mengguna-
kan kekuatan gaib...,” jelas Panji setelah merasakan
serangan itu mengendor untuk kemudian hilang sama
sekali. Dan itu suatu tanda kalau si penyerang kalah
olehnya.
“Apa yang dikehendaki manusia usil itu, Kakang...?”
tanya Kenanga tak mengerti. Kendati barusan dirasa-
kannya ada suatu hawa ganjil yang membuat pelupuk
matanya terasa berat. Seolah dipaksa menutup.
“Mereka hendak membuat kita tertidur pulas,” sa-
hut Panji yang segera dapat menebak, setelah memu-
tar otak mengingat segala apa yang barusan menimpa
mereka berdua. “Jelas ada orang yang bermaksud ti-
dak baik terhadap kita berdua....”
Sebelum Kenanga bertanya lagi, Panji sudah berge-
rak keluar dari dalam kamar. Ingatannya kepada pemi-
lik rumah, membuat hatinya cemas. Tentu saja dia
khawatir kalau-kalau tuan rumah pun mengalami hal
seperti yang mereka berdua rasakan.
Tapi....
“Hei, ke mana lelaki kurus tadi...?” desis Panji ter-
kejut ketika melihat ruangan depan sudah kosong. Pa-
dahal sebelumnya pemilik rumah itu tidur bersama ke-
luarganya di ruang depan. Kini ruangan itu ternyata
telah kosong.
“Celaka! Jangan-jangan mereka dibawa pergi atau
dibunuh orang jahat yang menyerang kita secara gaib,
Kakang!” sahut Kenanga yang juga terkejut melihat
ruang depan yang telah kosong itu.
Kenyataan itu tentu saja membuat Pendekar Naga
Putih cemas. Hatinya khawatir kalau lelaki kurus pe-
milik rumah itu telah tertimpa musibah gara-gara
memberi tempat menginap untuk mereka berdua. Dan
Panji merasa bertanggung jawab atas keselamatan ke-
luarga pemilik rumah yang miskin dan baik hati itu.
“Ayo kita cari...!” ujar Panji yang sudah bergerak
dan mengulurkan tangannya untuk membuka pintu.
Namun, tiba-tiba Panji menarik tangannya, tak jadi
menyentuh daun pintu. Bahkan bergegas melompat
mundur, karena saat itu telinganya menangkap suara
desingan dari luar gubuk.
Kenanga semula merasa heran melihat sikap keka-
sihnya. Tapi, ketika dia membuka mulut hendak ber-
tanya....
Sing, sing, sing...!
Krakkk! Krakkk...!
Brakkk!
Daun pintu yang semula tertutup rapat itu menda-
dak patah dan cerai-berai. Disusul kemudian dengan
meluncurnya benda-benda berkilat tertimpa cahaya
lampu minyak.
“Kurang ajar...!”
Bukan main marahnya hati Kenanga melihat seran-
gan gelap itu. Dengan cepat pedangnya dicabut. Seke-
tika tampak cahaya keperakan dari pedang tipis itu.
Kemudian mengelebatkannya menyambut senjata-
senjata gelap itu.
Trang! Trang! Trang...!
Dalam beberapa kali putaran pedang Kenanga ber-
hasil memapak senjata-senjata rahasia yang mengan-
camnya. Seketika suara berdentangan terdengar me-
mecah keheningan malam, diikuti terpentalnya senja-
ta-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya memba-
lik dan menancap tiang di depan rumah.
Hal serupa juga dilakukan Panji. Namun, tentu saja
hanya menggunakan tangan kosong. Sekali mengi-
baskan tangan kanannya, benda-benda berkilat itu
mencelat balik keluar pintu dengan kecepatan berlipat
ganda.
Sing! Sing...!
“Aaa...!”
Terdengar pekik kematian memecah keheningan
malam. Rupanya penyerang-penyerang gelap itu termakan senjata yang berbalik menyerangnya.
“Kenanga, tinggalkan tempat ini...!” seru Panji keti-
ka menyadari bahwa tempat mereka berada sangat
mudah untuk dijadikan sasaran gelap ataupun jeba-
kan-jebakan lainnya. Dengan cepat tubuhnya melesat
menerobos kepingan pintu dan terus berlari ke luar.
Kenanga tentu saja maklum mengapa Panji menga-
jaknya keluar dari tempat itu. Maka, tanpa banyak
membantah lagi, tubuhnya langsung melesat mengiku-
ti kekasihnya. Pedang tetap tergenggam di tangan un-
tuk menghalau serangan gelap yang mungkin akan
menyerbu tubuhnya.
Namun, bukan main kagetnya hati dara jelita itu
ketika melihat sekelilingnya telah terkepung puluhan
orang. Bahkan mungkin mencapai seratus orang lebih.
Dan kelihatannya para pengepung itu merupakan
orang-orang terlatih.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga terkurung dalam
lingkaran yang cukup luas. Puluhan pasang mata itu
menatap penuh kebencian terhadap mereka berdua.
Sekilas saja Kenanga langsung dapat menebak siapa
adanya orang-orang itu.
“Mereka merupakan kaum pemberontak di bawah
pimpinan Darmanggala yang hendak merebut Kadipa-
ten Tumapel dari tangan penguasa yang sah!” bisik
Kenanga di telinga kekasihnya. Sedangkan Pedang Si-
nar Bulan tetap melintang di depan dada. Siap meng-
hadapi serbuan para pengepung.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Namun kepa-
lanya mengangguk sebagai isyarat bahwa bisikan dara
jelita itu didengarnya. Karena saat itu sepasang ma-
tanya tengah menyapu sosok-sosok pengepung. Ha-
tinya tersentak ketika dilihatnya orang-orang berpa-
kaian merah di antara mereka. Jumlahnya pun cukup
banyak. Hampir sepertiga dari para pengepung itu.
“Hm..., coba kau perhatikan baik-baik, Kenanga!
Bukankah di antara mereka banyak orang- orang ber-
pakaian serba merah? Apa mereka anggota Perguruan
Beruang Merah, atau sengaja hendak memfitnah per-
guruan itu...?” ujar Panji, memberitahukan Kenanga
yang juga tengah menatap orang-orang berseragam
serba merah itu.
“Hhh...! Mereka pasti hendak memfitnah orang-
orang Perguruan Beruang Merah. Karena pamanku
kenal baik dengan tokoh-tokohnya. Bahkan tak sedikit
jago-jago dari perguruan itu yang mengabdikan dirinya
di kadipaten...!” ujar Kenanga, terdengar menahan ke-
geraman hatinya. Karena dianggapnya para pemberon-
tak itu sengaja hendak mengadu domba pihak kadipa-
ten dengan Perguruan Beruang Merah.
“He he he...! Dengarlah, Pendekar Naga Putih! Ma-
lam ini kau dan kekasihmu akan menemui ke- matian
di sini...! Aku tahu, sebenarnya di antara kita tak per-
nah ada permusuhan, tapi karena kau berpihak pada
Kadipaten Tumapel, maka kami dengan sangat terpak-
sa harus melenyapkan kalian berdua! Tapi, tentu saja
kami tak menutup kemungkinan untuk berdamai...!”
Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun
tampil ke depan. Dan mencoba berbicara dengan Panji
yang telah mereka kenal sebagai Pendekar Naga Putih.
“Hm...! Apa maksudmu dengan jalan damai itu, Ki?
Coba kau jelaskan secara lebih rinci...?” ujar Panji me-
nimpali ucapan lelaki tua itu. Sambil berkata demi-
kian, matanya menatap tajam wajah lawan bicaranya.
Dia mencoba untuk mengenali siapa sebenarnya tokoh
tua itu.
“He he he...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Pen-
dekar Naga Putih,” ujar orang tua itu seraya tertawa
perlahan. ‘Tinggalkan Kadipaten Tumapel dan jangan
campuri urusan kami!”
“Hm..., bagaimana jika aku tak mau...?” tanya Panji
dengan sikap yang tetap tenang. Kendati tak mampu
mengenali lawan bicaranya, dia tahu kalau lelaki tua
itu bukan orang sembarangan.
“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kematianlah
yang akan kau dapatkan!” tandas lelaki tua itu dengan
sorot mata mengancam. Bahkan jari-jari tangannya
mulai meraba gagang pedang yang tersampir di ping-
gang.
Pendekar Naga Putih tidak menyahuti lagi. Dia tetap
diam, walaupun lelaki tua itu telah mengisyaratkan
pengikut-pengikutnya untuk maju. Pemuda berjubah
putih itu menyapu gerak langkah pengepungnya den-
gan pandang mata. Kenanga pun tetap berdiri tegak
kendati pihak lawan sudah semakin dekat.
“Serbuuu...!”
“Heaaa...!”
“Yeaaat...!”
Seiring dengan seruan keras lelaki tua itu, para
pengepung terdepan langsung merangsek maju. Mere-
ka berteriak-teriak dengan senjata teracung. Siap me-
rencah tubuh kedua pendekar muda itu.
Ketika jarak di antara mereka tinggal satu setengah
tombak, dengan cepat Pendekar Naga Putih memper-
siapkan tenaga saktinya. Kemudian, dengan kedua
tangan telanjang dihalaunya setiap senjata yang me-
luncur menyerang.
“Heaaa...!”
Wusss!
“Aaakh...!”
Seketika hawa dingin yang menggigilkan tulang
berhembus kencang dari tangan Pendekar Naga Putih.
Dalam sekali kibas saja delapan orang penyerangnya
terpental karena tak mampu menahan hawa dingin
yang menjalar di tubuh mereka.
Kenanga pun tak tinggal diam. Pedang Sinar Bulan
di tangannya bergerak cepat menyambut senjata-
senjata lawan yang meluncur ke tubuhnya. Sekali di-
kibaskan, senjata-senjata lawan langsung terpapas pu-
tus. Sedangkan para pemiliknya terlempar ke kiri dan
kanan, tak sanggup menghadapi kekuatan sambaran
pedang dara jelita itu.
Para pengeroyok tersentak kaget melihat kecepatan
serangan dara jelita itu. Hanya dalam dua atau tiga
gebrakan saja belasan pengepung telah terjungkal dan
pingsan. Mereka sama sekali tak menduga kemam-
puan kedua pendekar muda itu. Namun tetap saja pa-
ra pengepung tak merasa gentar. Dengan teriakan-
teriakan keras mereka terus merangsek lawan. Sehing-
ga, sebentar saja Panji dan Kenanga telah menghadapi
serbuan puluhan orang.
“Heaaa...!”
“Hiaaa...!”
“Kenanga, jangan sembarangan membunuh
orang...!” teriak Panji memperingatkan kekasihnya, ke-
tika gadis itu tampak demikian marah dan mengamuk
bagaikan singa betina luka. Hati kecilnya tak setuju
kalau Kenanga harus melakukan pembantaian terha-
dap orang-orang yang hanya mengikuti perintah pim-
pinannya itu.
“Baik, Kakang...!” Kenanga tak ingin membantah,
meskipun sebenarnya dia sangat ingin menghabisi la-
wan-lawannya. Karena mereka inilah yang menurutnya
telah membuat susah paman dan bibinya. Pikiran itu
yang membuat Kenanga demikian ganas dalam meng-
hadapi lawan-lawannya.
Setelah mendengar peringatan kekasihnya, gerakan
pedang Kenanga tidak seganas semula. Kalau tadi dia
membabat habis setiap lawan yang maju mendekat,
kini hanya melukainya. Namun, itu pun membuat la-
wan-lawannya tak berani lagi maju terlalu dekat. Bah-
kan setiap kali gagal dalam melancarkan serangan
langsung melompat mundur. Mereka takut menghada-
pi serangan balasan pedang Kenanga yang kecepatan
sambarannya hampir-hampir tak tertangkap pengliha-
tan mereka. Meskipun demikian kepungan mereka te-
tap tidak kendor. Sehingga Kenanga tetap terkurung
puluhan orang lawan.
***
Dalam menghadapi keroyokan puluhan orang, Pen-
dekar Naga Putih berusaha untuk tidak menewaskan
lawan-lawannya. Sementara itu tak satu pun senjata
lawan yang dapat menyentuh tubuhnya. Setiap kali
senjata lawan berkelebat memburunya, selalu saja ter-
pental balik. Tentu saja hal itu tidak aneh, karena te-
naga dalam yang dimiliki Panji telah mencapai tingkat
yang sulit diukur. Itu sebabnya mengapa pedang lawan
selalu terpental balik sebelum menyentuh tubuh yang
terlindung lapisan kabut tipis berwarna keperakan itu.
Bahkan dorongan kedua tangannya mampu membuat
tubuh lawannya terhumbalang bagaikan dilanda angin
topan salju. Itu sebabnya mengapa kepungan mereka
terpecah. Di samping itu, mereka tampak mulai mera-
sa gentar setelah melihat kehebatan pemuda tampan
berjubah putih itu.
“Hmh...!”
Melihat keadaan pengikutnya, lelaki tua pimpinan
pemberontak itu menggeram gusar. Sejauh ini dia
memang belum turun ke arena, masih menyaksikan
pertarungan dari luar. Kini perasaan marah menggele-
gak di hatinya, menyaksikan keadaan yang tak men-
guntungkan pihaknya.
“Kalian berdua hadapi perempuan liar itu...,” perin-
tah lelaki tua itu kepada dua orang lelaki botak yang
semenjak tadi berdiri di kiri dan kanannya. “Aku sen-
diri akan menghadapi Pendekar Naga Putih....”
Setelah kedua orang tangan kanannya itu melesat
memburu Kenanga, lelaki tua itu menjejak tanah. Se-
ketika tubuhnya melesat cepat memburu Pendekar
Naga Putih yang tengah sibuk menghadapi lawan-
lawannya. Secepat kilat lelaki tua itu melancarkan se-
rangan. Kedahsyatan serangannya dapat dilihat dari
angin keras yang ditimbulkan.
“Haaat...!”
Meskipun tengah sibuk menghadapi keroyokan dan
desingan-desingan senjata, Pendekar Naga Putih sem-
pat menangkap adanya suara sambaran angin yang
jauh lebih kuat berada di belakangnya. Dia segera tahu
kalau penyerangnya kali ini jelas memiliki tenaga da-
lam sangat tinggi. Dengan cepat wajahnya menoleh
sambil menggeser tubuhnya setelah melepaskan do-
rongan telapak tangan kanan yang mampu menghem-
paskan tubuh para pengeroyoknya.
“Heaaa...!”
Bweeet! Bweeet...!
Dua buah pukulan yang mengandung tenaga dalam
kuat datang mengancam kepala dan badan Pendekar
Naga Putih. Dengan cepat pemuda berjubah putih itu
menggeser kaki kanannya ke belakang sambil memu-
tar tubuh. Bersamaan dengan itu kedua tangannya di-
kibaskan cepat ke atas dan ke bawah.
“Hiaaa...!”
Plakkk! Plakkk!
“Hah...?!”
Lelaki tua pemimpin gerombolan itu tersentak ka-
get. Kedua matanya terbelalak lebar, menatap kedua
belah tangannya yang terasa bagaikan lumpuh setelah
berbenturan dengan tangan lawan. Hawa dingin yang
berasal dari tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih
menjalar hingga sebatas sikunya.
“Hih...!”
Wuttt!
Seakan-akan tak ingin memberi kesempatan pada
lawan, Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan
kedua telapak tangan lurus ke dada lelaki tua itu.
“Celaka...!” pekik pemimpin gerombolan itu dalam
hati. Seketika wajahnya berubah pucat ketika melihat
datangnya serangan lawan. Hal itu karena disadari ka-
lau kedudukannya sangat tidak memungkinkan untuk
mengelak. Sedangkan kedua telapak tangan lawan su-
dah semakin dekat dengan sasaran.
Sehingga....
“Hiaaa...!”
Deggg!
“Hukkkh....!”
Tak ampun lagi! Pemimpin gerombolan itu terpekik
keras, ketika telapak tangan Panji mendarat telak di
dadanya. Meskipun sebelumnya telah dikerahkan te-
naga dalam untuk menahan serangan itu, tak urung
tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya
tersembur darah kental, sebelum tubuhnya terbanting
keras di tanah.
Pukulan Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dilan-
carkan Pendekar Naga Putih ternyata lebih hebat dari
kekuatan tenaga dalam lawan. Tampaknya pemuda
berjubah putih itu tepat dalam perhitungannya. Den-
gan pengerahan setengah dari kemampuan tenaga dalamnya, lawan sudah tak mampu mengatasinya.
“Serbuuu...!”
“Hiaaa...!”
Meskipun lawannya terluka dalam, Pendekar Naga
Putih tidak mempunyai kesempatan untuk melum-
puhkannya. Karena tiba-tiba pengeroyoknya telah me-
nerjang maju. Maksud mereka jelas, hendak mencegah
apa yang hendak dilakukan pemuda tampan berjubah
putih itu. Dan mereka memang berhasil. Karena pen-
dekar muda itu memutar tubuh untuk menghalau se-
rangan para pengikut lelaki tua itu.
Melihat tindakan para pengeroyok itu, Pendekar Na-
ga Putih dilanda kejengkelan. Terbukti pemuda itu tak
lagi mempedulikan tajamnya ujung senjata lawan, ke-
mudian dengan tamparan serta tendangannya, meng-
gebrak lawan yang datang mendekat. Seketika, belasan
lawan terjungkal tanpa ampun. Tubuh-tubuh berpa-
kaian hitam dan merah itu terkapar pingsan akibat
amukannya. Kenyataan itu membuat lawan-lawannya
berlompatan mundur. Tampaknya mereka merasa ta-
kut untuk mendekati pemuda itu.
Ketika lawan-lawannya tampak bingung, digunakan
Pendekar Naga Putih untuk melesat mendekati Kenan-
ga. Tubuhnya melenting ke udara dengan tiga kali pu-
taran. Kemudian melayang turun ke tempat Kenanga
yang tengah sibuk menghadapi puluhan orang penge-
royoknya.
Di antara mereka tampak dua orang lelaki botak
yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Meskipun tidak terdesak, kelihatan jelas betapa da-
ra jelita itu kewalahan dalam menghadapi serbuan la-
wan-lawannya. Hal itu karena tenaga sabetan pedang-
nya harus dikurangi agar tak menewaskan lawan. Ka-
lau tidak, belum tentu Kenanga akan serepot itu.
Sementara itu Pendekar Naga Putih yang melenting
di udara langsung melancarkan serangan sebelum ke-
dua kakinya menginjak tanah. Sehingga, dua orang le-
laki botak yang tengah berusaha mendesak Kenanga
terkejut dengan adanya sambaran angin dingin yang
berkesiutan. Lebih kaget lagi ketika menoleh dan meli-
hat sesosok bayangan putih yang melancarkan seran-
gan terhadap mereka berdua.
“Heaaa....!”
Wuttt! Wuttt!
“Aaah...!”
Sadar bahwa serangan angin berhawa dingin meng-
gigit itu sangat kuat, kedua lelaki botak itu tak berani
bertindak ceroboh untuk memapakinya. Mereka den-
gan cepat berlompatan mundur menghindari serangan
lawan. Tentu saja keadaan kedua orang itu membuat
Kenanga sedikit lega. Karena tekanan terhadap dirinya
seketika berkurang.
Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang le-
laki botak itu berlompatan menghindar, segera mena-
han gerakannya, kemudian mencekal pergelangan Ke-
nanga. Sebelum Kenanga sadar, pemuda berjubah pu-
tih itu segera membawa Kenanga pergi meninggalkan
tempat itu.
“Kita harus meninggalkan tempat ini...!” ujar Panji
ketika sempat menangkap gambaran keheranan di wa-
jah kekasihnya. Sambil berkata demikian, tubuhnya
melesat cepat di atas kepala lawan-lawannya yang ter-
kesima. Mereka hanya merasakan sambaran angin
dingin dan sosok bayangan putih yang samar-samar
melintas di atas kepala mereka.
“Mengapa harus pergi, Kakang? Aku yakin kita
mampu melumpuhkan mereka...?” tanya Kenanga ka-
rena merasa penasaran.
“Kita tak perlu melayani mereka. Yang harus kita
cari adalah pimpinannya. Mereka hanya menuruti pe-
rintah, Kenanga. Kalau pimpinannya sudah dilumpuh-
kan, tentu para pengikutnya tak bisa berbuat apa-apa
lagi...!” jawab Panji tanpa menghentikan larinya. Dan
karena ilmu lari cepatnya sulit dicari tandingan, seben-
tar saja tempat itu telah tertinggal jauh. Sehingga, ge-
rombolan itu tidak dapat menyusulnya. Apalagi mere-
ka tak tahu ke arah mana pasangan pendekar muda
itu berlari. Keduanya begitu cepat menghilang ditelan
kegelapan malam.
“Keparat! Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih
lihai dari perkiraanku! Kita harus melaporkan hal ini
kepada Ki Darmanggala...!” geram lelaki tua pimpinan
pemberontak itu dengan penuh rasa penasaran. Se-
dangkan dua lelaki botak yang mengapitnya tak me-
nanggapi dengan kata-kata. Keduanya terdiam. Namun
tampak kepala mereka mengangguk-angguk.
Setelah menyadari tak mungkin dapat menyusul
Pendekar Naga Putih dan Kenanga, lelaki tua itu sege-
ra memerintahkan para anak buahnya agar segera
meninggalkan tempat itu. Semuanya berpencar ke se-
gala arah dengan membawa tubuh kawan mereka yang
belum sadarkan diri. Sebentar saja tempat itu kembali
sepi. Hanya desau angin dan gemerisik dedaunan yang
terdengar.
***
ENAM
Sambil tetap mencekal lengan kekasihnya Pendekar
Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam.
Ketika telah berada jauh dari perbatasan Desa Gending, baru tangan Kenanga dilepaskan. Kendati demi-
kian, mereka tetap mengerahkan ilmu lari cepat.
“Kita harus segera kembali ke kadipaten...,” ujar
Panji sambil terus berlari.
“Mengapa, Kakang? Bukankah mereka tak mungkin
dapat mengejar kita?” tanya Kenanga agak heran men-
dengar ucapan kekasihnya. Karena untuk dapat men-
capai kota kadipaten mereka memerlukan waktu yang
cukup lama. Paling tidak saat pagi menjelang mereka
baru bisa tiba di Kadipaten Tumapel. Dan menurut
Kenanga hal itu tak perlu dilakukan.
“Kejadian tadi membuatku curiga. Apalagi aku me-
rasa yakin kalau lelaki tua pimpinan gerombolan tadi
pasti bukan Ki Darmanggala. Selain itu, pasukan tadi
tak terlalu besar jumlahnya...,” tukas Panji menggan-
tung ucapannya yang jelas memang belum selesai.
“Maksud Kakang...?” tanya Kenanga seraya menge-
rutkan kening dan menatap wajah kekasihnya. Kebe-
tulan saat itu Panji pun tengah menoleh. Sehingga,
mereka saling bertukar pandang untuk sesaat.
“Aku khawatir kalau-kalau Ki Darmanggala saat ini
tengah menggempur kota kadipaten bersama pasukan
yang lebih besar jumlahnya...,” jawab Panji menguta-
rakan kecurigaannya.
Karuan saja Kenanga terkejut, karena tidak berpikir
sampai sejauh itu. Sehingga kekhawatirannya seketika
mencuat dalam hati. Bahkan seketika wajahnya beru-
bah merah padam, tak mampu menyembunyikan ke-
cemasannya.
“Kalau begitu, kita harus bergegas, Kakang....”
Tanpa menunggu jawaban Pendekar Naga Putih,
Kenanga langsung saja menambah kecepatan larinya.
Tubuhnya melesat mendahului Panji. Rasa cemas
akan nasib paman dan bibinya, membuat Kenanga ingin segera tiba di kota kadipaten.
Melihat Kenanga sudah melesat mendahului, Pen-
dekar Naga Putih segera menyusulnya dengan tak ka-
lah cepat. Bagaikan seekor burung raksasa, tubuh
pemuda berjubah putih itu melayang di udara menge-
jar kekasihnya. Dengan dua kali lesatan saja dia sudah
menjajari langkah Kenanga. Dan melihat betapa wajah
dara jelita itu tampak membayangkan kegelisahan, dia
tidak berkata apa-apa.
Kedua pendekar muda itu terus melesat cepat, tak
mempedulikan suasana malam yang dingin mence-
kam. Menjelang pagi, mereka telah sampai di depan
gerbang selatan kota kadipaten.
Tanpa mempedulikan penjaga gerbang istana, ke-
duanya berkelebat cepat melewati gardu penjagaan.
Penjaga-penjaga itu sempat tertegun sesaat ketika me-
rasakan sambaran angin dingin yang cukup keras, dan
seperti melihat ada bayangan yang melewati gerbang
istana. Namun, karena gerakan Kenanga dan Pendekar
Naga Putih terlalu cepat, sebentar saja bayangan ke-
duanya lenyap. Para penjaga itu hanya bisa mengge-
leng dan menganggap semua itu merupakan tipuan
mata saja.
Ketika sampai di dalam lingkungan kadipaten, Pen-
dekar Naga Putih dan Kenanga sama-sama tersentak
kaget. Mereka menemukan bekas-bekas pertempuran
sengit. Bau amis yang semerbak menusuk hidung ser-
ta lumuran darah di beberapa tempat, menunjukkan
bahwa pertempuran itu belum lama berselang. Selain
itu di sekitar tempat itu tampak beberapa bangunan
yang sepertinya baru saja dirusak orang.
Meskipun melihat beberapa orang prajurit yang ten-
gah membereskan tempat yang tampak berserakan itu,
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tak peduli. Kedua
nya langsung menemui Senapati Jata Logaya.
“Paman...!”
Kenanga langsung berseru ketika melihat seorang
lelaki gagah berpakaian senapati tengah mengawasi
para prajurit yang membereskan semua bekas-bekas
pertempuran, termasuk mayat-mayat yang bergelim-
pangan di halaman kadipaten.
Lelaki setengah baya yang terlihat masih gagah dan
penuh wibawa itu langsung menoleh, ketika menden-
gar panggilan yang dikenalnya. Wajahnya terhias se-
nyum begitu melihat Panji dan Kenanga berlari meng-
hampirinya.
“Apa yang telah terjadi, Paman...?” tanya Kenanga
sebelum Senapati Jata Logaya sempat membuka mulut
Senapati Jata Logaya tidak segera menjawab. Sete-
lah menghela napas panjang yang menggambarkan ra-
sa penasaran di hatinya, lelaki separo baya itu me-
langkah meninggalkan tempat itu. Pendekar Naga Pu-
tih dan Kenanga bergegas mengikuti dari belakang.
“Saat menjelang tengah malam tadi, keparat Dar-
manggala bersama pasukannya datang menyerbu. Me-
reka mendobrak gerbang di sebelah utara, setelah me-
lumpuhkan semua penjaga yang berada di tempat itu.
Kemudian menyerbu masuk. Maksudnya sudah pasti
hendak menguasai kadipaten. Untung saja para penja-
ga di dalam lingkungan kadipaten bertindak sigap dan
memukul tanda bahaya. Sehingga, meskipun harus
kehilangan banyak prajurit, mereka dapat kami usir
meninggalkan tempat ini. Padahal sebenarnya mereka
belum kelihatan terdesak. Sehingga, aku menduga ka-
lau mereka tengah bersiasat. Tapi, biar bagaimanapun,
hal ini membuat aku merasa lega dan bisa memper-
siapkan pasukan, apabila mereka kembali datang me-
nyerbu...,” jelas Senapati Jata Logaya sambil melangkah menuju bangunan tempat tinggalnya.
‘Tapi..., seharusnya penjaga-penjaga di gerbang uta-
ra sudah memberi tanda sebelum Darmanggala beserta
pasukannya dapat menjebol pintu? Apakah tak ada
yang mendengar tanda dari mereka?” tanya Panji ka-
rena merasa ada kejanggalan dalam cerita yang dipa-
parkan Senapati Jata Logaya.
Mendengar pertanyaan itu, Senapati Jata Logaya
kelihatan berpikir keras. Seakan-akan dirinya baru
menyadari hal itu. Dan memang terasa agak aneh ka-
lau sampai tanda dari gerbang utara tak terdengar.
Padahal, seharusnya mereka sudah memberi tanda se-
belum pihak musuh memasuki kota.
“Suranggala...!”
Senapati Jata Logaya mengulapkan tangan seraya
memanggil seorang perwira bertubuh tinggi besar dan
bercambang bauk. Perwira itulah yang ditugaskan
menjadi komandan jaga semalam. Dan dia ingin ber-
tanya sehubungan dengan pertanyaan Panji.
“Hamba, Kanjeng Senapati...,” ujar Suranggala se-
raya menghaturkan sembah kepada atasannya. Lelaki
gagah itu berdiri tegak menunggu perintah dari ata-
sannya.
“Suranggala, saat pasukan pemberontak belum
menjebol gerbang utara, apakah kau tidak mendengar
bunyi tanda bahaya dari penjaga di tempat itu?” tanya
Senapati Jata Logaya seraya menatap tajam wajah
perwira gagah di depannya.
“Hamba tidak mendengarnya, Kanjeng Senapati.
Mungkin penjaga gerbang utara tak sempat membu-
nyikannya. Kalau mereka sempat, sudah pasti para
pemberontak itu tak akan bisa menjebol gerbang,” jelas
perwira gagah itu tanpa pikir panjang lagi. Dan keliha-
tannya Suranggala begitu yakin dengan jawabannya.
“Kau yakin...?” tanya Senapati Jata Logaya menega-
si.
‘Yakin sekali, Kanjeng Senapati!” sahut Suranggala
tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan dia berani me-
nentang tatapan mata Senapati Jata Logaya. Sehingga
senapati itu tidak meragukannya.
Setelah mendengar jawaban Suranggala, Senapati
Jata Logaya kembali memerintah perwira itu untuk
melanjutkan pekerjaannya. Kemudian melemparkan
pandang pada Pendekar Naga Putih. Kelihatannya se-
napati Kadipaten Tumapel itu ingin melihat tanggapan
Panji setelah mendengar jawaban yang tak diragukan
lagi kebenarannya itu.
Tanpa banyak membuang waktu, Pendekar Naga
Putih langsung saja menceritakan apa yang telah di-
alami ketika dirinya dan Kenanga menginap di Desa
Gending. Juga mengutarakan kecurigaannya terhadap
Perguruan Beruang Merah, yang muncul di antara
pengeroyoknya.
“Hm...,” Senapati Jata Logaya bergumam dan berpi-
kir keras setelah mendengar penjelasan Panji.
Tampaknya senapati Kadipaten Tumapel itu tak bi-
sa menerima kecurigaan Pendekar Naga Putih terha-
dap perguruan yang sudah dikenalnya itu. Namun, ha-
tinya pun berjanji akan mempertimbangkannya.
“Kalau perlu aku sendiri yang akan menemui Ki Ka-
la Herang dan menceritakan hal ini,” ujar Senapati Ja-
ta Logaya yang tak ingin mengecilkan laporan Panji.
Karena diketahuinya kalau pemuda itu tak mungkin
berdusta.
“Menurutku, sebaiknya Paman jangan melakukan
hal itu dulu. Awasi saja murid-murid Perguruan Be-
ruang Merah yang mengabdi di kadipaten ini. Penyer-
buan semalam membuatku curiga kalau di dalam lingkungan kadipaten ada pihak musuh. Untuk itu kita
harus lebih berhati-hati. Mengenai Perguruan Beruang
Merah, biarlah aku dan Kenanga yang mencari tahu,”
ujar Panji mengutarakan pendapatnya. Dan Senapati
Jata Logaya menerima usul itu dengan senang hati.
Karena batuan Pendekar Naga Putih tentu akan sangat
banyak sekali gunanya.
Setelah menyetujui usul itu, Senapati Jata Logaya
berpamitan kepada pasangan pendekar muda itu. De-
mikian pula dengan Panji dan Kenanga yang mening-
galkan tempat itu menuju gedung yang menjadi tempat
tinggal Kenanga selama berada di Kadipaten Tumapel.
***
Malam bulan purnama. Sebelum menjelang tengah
malam, Pendekar Naga Putih sudah bergerak mening-
galkan kota kadipaten. Dia sengaja tidak mengambil
jalan melewati gerbang, melainkan melompati pagar
tembok setinggi satu setengah tombak. Kemudian me-
lesat dengan menggunakan ilmu lari cepat menuju se-
belah utara kota.
Tidak berapa lama kemudian, pendekar muda itu
telah tiba di mulut Hutan Rawandaka. Tanpa ragu-
ragu lagi dia langsung memasuki hutan itu. kebetulan
bulan bersinar terang. Maksud Pendekar Naga Putih
mendatangi tempat persembahan yang bernama Altar
Setan. Dia tahu pada malam purnama seperti itu per-
sembahan korban berlangsung. Hatinya telah bertekad
akan menggagalkan persembahan malam purnama ini.
Karena sudah pernah mendatangi tempat itu, tak
ada kesulitan lagi bagi Pendekar Naga Putih menemu-
kan Altar Setan. Dengan menyembunyikan diri dibalik
semak belukar, matanya mengawasi Altar Setan dalam
jarak sekitar lima belas tombak.
Malam semakin larut. Pendekar Naga Putih tetap
bersabar menunggu waktu tengah malam. Pendenga-
rannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada gerakan di
sekeliling tempat itu. Semula Panji mengira kalau sua-
ra langkah itu pastilah berasal dari para pengikut ali-
ran sesat yang hendak melakukan upacara persemba-
han. Namun, kecurigaannya bangkit ketika menyadari
bahwa suara langkah itu seperti mengepung tempat-
nya berada.
“Hm..., mungkinkah mereka sudah mengetahui ke-
hadiranku...?” gumam Panji dalam hati. Mendadak se-
kujur tubuhnya mengejang. Dan sepasang matanya
menyapu sekeliling tempat itu.
Mendadak....
Siiing! Siiing...!
Suara berdesingan nyaring terdengar. Pendekar Na-
ga Putih terkejut, karena suara berdesingan itu datang
dari segala penjuru, seakan-akan hendak menutup
semua jalan.
“Kurang ajar...!” geram Panji.
Sadar kalau dirinya berada dalam incaran maut,
dengan cepat Pendekar Naga Putih mengerahkan tena-
ga mukjizatnya untuk melindungi seluruh tubuh. Se-
ketika itu juga kabut bersinar putih keperakan menye-
limuti sekujur tubuhnya. Sambil mengibaskan kedua
tangannya dengan gerak berputar, pemuda berjubah
putih itu melesat ke udara. Setelah bersalto beberapa
kali putaran, tubuhnya mendarat ringan di atas tanah.
Tampak tempat persembunyiannya tadi telah porak
poranda terhantam puluhan batang anak panah.
Siiing! Siiing...!
Baru saja Panji menjejakkan kedua kakinya di ta-
nah, telinganya kembali menangkap suara desingan
yang jauh lebih tajam. Kilatan sinar kemerahan tampak meluncur ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau dirinya
diserang secara curang dengan menggunakan pisau-
pisau terbang beracun. Karena hal seperti itu pernah
dialami sebelumnya. Semua itu semakin membuat ha-
tinya geram.
“Heaaat...!”
Teriakan keras menggelegar yang diliputi kegeraman
seketika terdengar dari mulut Pendekar Naga Putih.
Dengan cepat diputarnya kedua belah tangan dengan
pengerahan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.
Wusss!
Sambaran angin dingin laksana topan salju, mem-
buat pisau-pisau terbang yang meluncur memburu tu-
buh Pendekar Naga Putih langsung terpental balik.
Dengan mengatur tenaganya, pemuda berjubah putih
itu mampu membalikkan serangan gelap itu kepada
pemiliknya. Dan....
“Aaa...!”
“Aaakh...!”
Sesaat kemudian, terdengar jerit kematian susul-
menyusul dari sekeliling tempat itu. Kalau didengar
dari suara pekikannya, Pendekar Naga Putih berhasil
merobohkan lebih dari sepuluh orang. Lesatan pisau-
pisau beracun itu ternyata beberapa kali lipat dari ke-
cepatan semula. Sehingga sulit untuk dapat dihindari.
“Itulah hukuman bagi manusia-manusia curang
dan pengecut!” seru Pendekar Naga Putih dengan men-
gerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, gema suaranya
bergaung memenuhi tempat itu. “Keluarlah...! Ayo, ha-
dapi aku secara ksatria...!”
Panji tidak perlu menunggu lama untuk melihat pa-
ra penyerang gelap itu. Namun dia terkejut bukan
main, ketika dilihatnya hutan yang semula gelap itu
mendadak terang-benderang tak ubahnya di waktu
siang. Obor-obor bermunculan di sekeliling tempat itu.
Dan diperkirakan kurang lebih seratus obor. Belum la-
gi mereka yang muncul tanpa memegang obor. Sedi-
kitnya orang yang mengepung tempat itu berjumlah ti-
ga ratus orang. Tentu saja Panji terperanjat menyaksi-
kan kejadian yang sungguh di luar dugaannya itu.
“Gila...! Kalau begitu mereka sudah menunggu ke-
datanganku! Keparat...!” geram Panji yang meskipun
tak merasa gentar, hatinya sempat bergetar. Karena
jumlah lawan demikian banyak. Jelas tidak mungkin
dirinya sanggup menghadapi lawan sebanyak itu. Be-
lum lagi kemungkinan adanya orang-orang berkepan-
daian tinggi di antara mereka. Satu-satunya jalan, dia
harus berusaha untuk lolos dan pergi meninggalkan
Hutan Rawandaka. Untuk itu dirinya harus membuka
jalan darah.
Setelah pasukan yang jumlahnya ratusan orang itu
bergerak semakin dekat, Pendekar Naga Putih segera
mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Ha-
tinya yang sempat kaget sudah mulai tenang. Karena
dia teringat akan rencana yang telah diatur bersama
Senapati Jata Logaya, Kenanga, dan juga Perwira Su-
ranggala. Ingatan itu membuatnya merubah maksud
semula. Kalau tadi Panji sudah mengambil keputusan
untuk mencari jalan keluar, kini justru hendak beru-
saha untuk mengulur waktu, dengan melakukan per-
lawanan terhadap gerombolan itu.
“Ha ha ha...! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos
dari kematian, Pendekar Naga Putih! Meskipun kesak-
tianmu sangat tinggi, sebagai manusia tenagamu pasti
terbatas. Dan itulah saatnya kematianmu...!”
Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun
tampil ke depan menghadapi Panji. Kelihatannya dia
begitu yakin kalau malam ini akan berhasil mele-
nyapkan Pendekar Naga Putih yang dianggapnya me-
rupakan penghalang besar bagi cita- citanya. Itulah
sebabnya mengapa dia tidak berputus asa dan berusa-
ha keras untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih menatap tajam lelaki tua yang
pernah dirobohkannya di Desa Gending itu. Kali ini le-
laki tua itu bukan hanya ditemani dua orang berkepala
botak Masih ada seorang lelaki tinggi besar berpakaian
merah, yang tak lain Beruang Cakar Baja, serta seo-
rang lelaki kurus yang membuat wajah Panji merah
menyimpan kemarahan. Karena lelaki kurus itu adalah
orang yang pernah menawarkan rumahnya untuk di-
pakai bermalam oleh Panji dan Kenanga. Baru disadari
sekarang, bahwa peristiwa di Desa Gending telah di-
atur sebelumnya.
“He he he...! Kau masih ingat padaku, Pendekar Na-
ga Putih?!” tegur lelaki kurus itu menyiratkan ejekan
yang membuat Pendekar Naga Putih semakin geram.
“Hm.... Rupanya waktu itu kau memang sengaja
hendak mencelakakan kami berdua. Keparat! Dasar
manusia licik yang tak kenal budi!” desis Panji penuh
kemarahan. Sama sekali tak disangka kalau lelaki
yang saat pertama kali bertemu mendatangkan pera-
saan kasihan itu ternyata menjebaknya. Tentu saja ka-
lau ingat peristiwa itu dia menjadi geram.
“He he he...! Makilah sepuasmu sebelum kematian
datang menjemputmu, Pendekar Naga Putih...!” ejek le-
laki kurus itu yang ternyata termasuk salah seorang
pentolan pemberontak. Bahkan lelaki kurus itu pasti
berkepandaian tinggi. Hal itu bisa dilihat dari orang-
orang di kiri dan kanannya, yang merupakan pentolan-
pentolan pemberontak. Mereka berlima memang meru-
pakan kaki tangan utama Darmanggala, pimpinan
pemberontak.
Pendekar Naga Putih menggertakkan gigi menahan
kemarahannya. Ditekannya segala kejengkelan dan ke-
geraman dalam hati. Karena disadari perasaan itu
hanya akan membuatnya lengah. Tentu saja hal itu
akan sangat berbahaya mengingat banyaknya jumlah
lawan. Dia berusaha untuk tidak mempedulikan lelaki
kurus itu. Dan siap untuk menghadapi serbuan lawan.
“Hmh...!”
Beruang Cakar Baja melompat maju, setelah men-
dapat isyarat dari lelaki tua yang menjadi pimpinan-
nya. Demikian pula dengan lelaki kurus yang berjuluk
Ular Hitam, serta dua orang berkepala botak yang
menjadi pembantunya.
Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ketika
melihat empat orang lawan sudah berlompatan men-
gepungnya. Sepasang matanya bergerak mengikuti
langkah kaki keempat pengepungnya. Sekali pandang
saja dia langsung dapat menilai kalau lelaki tinggi be-
sar dan lelaki kurus itulah yang lebih berbahaya. Se-
dang dua orang berkepala botak itu tak begitu diperha-
tikan. Karena pendekar muda itu sudah tahu sampai
di mana kehebatan kedua orang lelaki botak.
“Heaaah...!”
Teriakan keras menggelegar terdengar ketika Be-
ruang Cakar Baja melompat seraya mengayunkan ke-
dua cakarnya yang siap mencabik tubuh lawan. Tokoh
tinggi besar itu sudah mengerahkan seluruh kekua-
tannya. Karena disadari bahwa lawannya kali ini seo-
rang pendekar besar yang berkepandaian sangat tinggi.
Dan Beruang Cakar Baja tak ingin bertindak gegabah.
“Heaaa...!”
Ular Hitam menyusul gerak kawannya. Tubuhnya
yang kurus melesat ringan ke depan. Kedua tangannya
membentuk paruh ular. Gerakannya demikian gesit.
Terutama kedua telapak tangannya yang meliuk lincah
dan memagut-magut disertai sambaran angin berkesi-
utan. Jelas serangan lelaki kurus itu tak kalah hebat
dengan serangan Beruang Cakar Baja.
“Hiaaa.,.!”
Ketika serangan kedua lawannya mendekat, Pende-
kar Naga Putih melompat ke samping sambil mengi-
baskan tangan kanan untuk memapaki sambaran ca-
kar Beruang Cakar Baja. Kemudian segera melontar-
kan serangan balasan dengan tak kalah hebatnya.
“Yeaaah...!”
Wret! Wuuut..!
Dengan cakar naganya, Pendekar Naga Putih senga-
ja mencecar Ular Hitam. Karena hatinya sangat geram
terhadap lelaki kurus yang pernah menjebaknya itu.
Tentu saja Ular Hitam kelabakan, lalu berusaha meng-
hindari serangan lawan sambil sesekali mengirimkan
serangan balasan.
“Heaaa...!”
Wret!
“Heaaah...!”
Dua orang lelaki botak yang semula masih menung-
gu kesempatan, langsung menerjang maju ketika meli-
hat Ular Hitam terdesak dan beberapa kali hampir ter-
sambar cakar lawan. Pendekar Naga Putih terpaksa
menunda serangan dan menarik mundur tubuhnya.
Kemudian mengirimkan bacokan sisi telapak tangan-
nya ke salah seorang lelaki botak itu.
“Heaaa...!”
Kreeekh...!
“Akh!”
Terdengar bunyi seperti tulang patah ketika tebasan
tangan Pendekar Naga Putih menghajar tengkuk lawannya. Karuan saja lelaki berkepala botak itu ter-
sungkur, dan tewas seketika.
***
TUJUH
“Kurang ajar...!” geram lelaki tua, pemimpin rom-
bongan itu. Hatinya marah ketika melihat salah seo-
rang tangan kanannya tewas di tangan Pendekar Naga
Putih. “Mundur...! Mundur kalian semua...!”
Serentak para tangan kanannya yang tengah mela-
kukan serangan terhadap Pendekar Naga Putih segera
berhamburan mundur, menjauhi lawan.
“Hujani dengan anak panah...!” perintahnya dengan
suara menggelegar. Sesaat kemudian....
Wuuung! Wuuung...!
Seketika itu juga terdengarlah suara mengaung ta-
jam laksana ribuan lebah marah. Dan ratusan anak
panah meluncur begitu cepat memburu tubuh Pende-
kar Naga Putih.
“Haits...! Heaaa...!”
Sadar bahwa ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ tak
mungkin dapat menahan anak panah sebanyak itu,
bergegas Pendekar Naga Putih mengerahkan tenaga
gabungannya. Sehingga, tubuhnya terselimut sinar
kuning keemasan dan sinar putih keperakan.
Hawa dingin dan panas menyebar sejauh dua tom-
bak lebih dari tempat pendekar muda itu berdiri. Gem-
bong-gembong pemberontak itu berlompatan mundur
dengan wajah pucat. Mereka terkejut bukan main keti-
ka melihat keadaan tubuh lawan yang dengan hawa
gabungannya mampu menggetarkan kekuatan tenaga
dalam lawan.
Dengan kekuatan tenaga gabungan yang luar biasa
itu, Pendekar Naga Putih tidak gentar untuk menerima
serbuan hujan anak panah. Sedikit pun tubuhnya tak
bergeser dari tempatnya.
Wuing! Wuing...!
Trak! Trak...!
Puluhan anak panah yang hampir mendarat pada
sasaran tiba-tiba berpentalan jatuh ke tanah. Belasan
anak panah patah. Ada pula yang melesat berbalik.
Benda-benda tajam itu seakan tertahan oleh dinding
baja yang tak tampak. Bahkan hampir separo di anta-
ranya runtuh dalam keadaan hangus bagaikan terba-
kar. Gelombang cahaya yang membungkus tubuh Pen-
dekar Naga Putih, seakan tak mampu ditembus senjata
apa pun.
“Gila!? Sepantasnya pemuda itu adalah jelmaan ib-
lis neraka!” desis lelaki tua pimpinan pasukan itu. Dia
benar-benar hampir tak percaya dengan apa yang ter-
jadi di depan mata. Bahkan sempat tertegun untuk se-
saat lamanya.
“Serbuuu...!”
Begitu sadar, lelaki tua itu kembali memberikan pe-
rintah agar menyerbu Pendekar Naga Putih. Tapi....
“Hiii...!”
Sebelum ratusan pasukan itu menyerbu Pendekar
Naga Putih, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang
yang menggetarkan jantung. Disusul dengan muncul-
nya sosok-sosok tubuh berjubah dan berselubung ke-
pala hitam. Mereka langsung melayang turun di dekat
pendekar muda itu dan melontarkan serangan hebat
secara beramai-ramai.
“Hiii...!”
Whuuut! Whuuut...!
“Hah...?!”
Sosok tinggi kurus yang tiba lebih dulu, langsung
melepaskan serangkaian serangan maut. Terdengar
deru angin yang keras dan tajam, pertanda bahwa pe-
nyerangnya memiliki tenaga dalam yang tinggi dan su-
lit diukur. Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut
dengan serangan dahsyat yang begitu cepat dan tiba-
tiba itu.
Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya me-
mapaki. Sadar kalau kekuatan tenaga serangan itu
sangat hebat, dia pun telah mengerahkan separo lebih
dari tenaga gabungannya. Namun, rupanya serangan
itu menebarkan hawa aneh yang membuat dirinya
sempat tersihir. Hatinya segera menyadari kalau se-
rangan itu juga menggunakan kekuatan gaib, yang bi-
sa membuat lawan merasa tak sadar akan datangnya
ancaman maut. Namun, hal itu tak berlaku bagi Panji.
Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terdengar ketika dua
gelombang kekuatan saling beradu. Pendekar muda itu
pun sempat tergetar. Tubuhnya terdorong beberapa
langkah. Sedang wajahnya berubah seketika. Sama
sekali tidak disangka kalau sosok berjubah hitam itu
ternyata mampu mengimbangi kedahsyatan tenaga ga-
bungannya. Padahal jarang tokoh yang akan mampu
menghadapi gabungan tenaga mukjizatnya itu. Bahkan
meski sempat terdorong mundur, sosok berjubah hi-
tam itu masih mampu melancarkan serangan berikut-
nya. Mengetahui gerak cepat lawan, Pendekar Naga Pu-
tih segera melompat mundur menghindari serangan
lawan.
Plak! Glarrr...!
Kedua pasang tangan yang berisikan hawa mukjizat
itu saling bentur, menimbulkan ledakan yang meme-
kakkan telinga. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah. Kemudian saling meneliti gerak lang-
kah masing-masing. Seperti dua ekor ayam jago yang
tengah mengukur kekuatan lawan.
“Hiii...!”
Kembali Panji dikejutkan lengkingan panjang yang
memekakkan telinga. Cepat langkahnya digeser ketika
melihat belasan orang yang mengenakan jubah hitam
berlompatan ke tengah arena, dan langsung menye-
rangnya dengan pukulan-pukulan berhawa maut.
“Gila...! Baru seorang saja sudah sedemikian sak-
tinya? Sekarang malah belasan orang yang datang me-
nyerang! Mungkinkah malam ini akhir dari hi-
dupku...?” desis Panji yang tentu saja sempat tergetar
hatinya melihat datangnya belasan orang memakai ju-
bah hitam sepanjang mata kaki.
Whuuut! Whuuut...!
Meski tidak sedahsyat tokoh yang pertama kali di-
hadapi, bagi Pendekar Naga Putih serangan belasan
orang lawan itu tetap sangat berbahaya. Sehingga, un-
tuk beberapa saat Panji dibuat sibuk oleh serangan
yang datang laksana air bah itu. Tubuhnya melompat
ke sana kemari untuk menghindar sambil sesekali me-
lepaskan serangan balasan. “Haaat...!”
Suara pekikan keras menggelegar terdengar meme-
kakkan telinga ketika Pendekar Naga Putih tiba-tiba
berteriak dengan ilmu ‘Pekikan Naga Marah’. Kemu-
dian beberapa kali kedua lengannya yang telah terisi
tenaga gabungan, dikibaskan dan didorongkan untuk
menyerang lawan-lawannya.
Bukkk! Desss...!
Dua orang pengeroyok tak sempat menghindarkan
pukulan maut yang dilancarkan Pendekar Naga Putih.
Akibatnya tubuh mereka terlempar deras sampai bebe-
rapa tombak jauhnya. Darah segar seketika muncrat
dari mulut mereka. Keduanya terbanting jatuh ke ta-
nah dengan keras. Kemudian diam tak bergerak sete-
lah kembali memuntahkan darah segar.
Sedangkan pengeroyok yang lainnya berloncatan
mundur. Karena dalam kemarahannya, Pendekar Naga
Putih mengerahkan hampir seluruh tenaga gabungan-
nya. Dan tentu saja tak ada yang sanggup menahan
gempuran dahsyat itu. Sehingga Pendekar Naga Putih
dapat menarik napas lega kendati hanya untuk sesaat
lamanya.
“Bedebah...!” geram sosok tinggi kurus yang perta-
ma kali menggempur Pendekar Naga Putih. Wajahnya
tampak murka sekali. Rupanya orang inilah pimpinan
sosok-sosok berjubah hitam. Karena kepandaiannya
memang paling tinggi di antara sosok-sosok berjubah
hitam lainnya.
Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya dengan
menyiapkan jurus andalannya. Sekarang dia baru da-
pat menduga siapa sebenarnya sosok- sosok berjubah
hitam itu. Karena dari bentuk dan warna pakaiannya,
mereka memang tak ubahnya kaum pemuja setan.
“Hm..., mereka inilah rupanya yang selalu memper-
sembahkan gadis-gadis di atas Altar Setan pada setiap
purnama. Sudah kuduga kalau mereka mempunyai
hubungan dengan gerombolan pemberontak yang di-
pimpin Darmanggala...,” gumam Panji sambil tetap
menatap sosok-sosok berjubah hitam yang mengelilin-
ginya. Dan kembali menggeser langkah ketika para
pengepungnya mulai bergerak merapat.
Baru saja sosok-sosok berjubah hitam itu siap me-
nerjang Pendekar Naga Putih, tiba-tiba terdengar suara
terompet dari kejauhan. Ditingkahi suara derap kaki
kuda yang bergemuruh. Tentu saja hal itu membuat
lawan-lawan Panji mengurungkan serangan. Bahkan
pimpinan pasukan pemberontak itu tampak berubah
parasnya. Jelas sekali kalau lelaki tua bertubuh gagah
itu sangat terkejut.
Lain halnya dengan Pendekar Naga Putih. Menden-
gar suara terompet di kejauhan, wajahnya berubah ce-
rah. Dia memang telah berpesan kepada Senapati Jata
Logaya agar mengirim pasukan ke Hutan Rawandaka
untuk menyusulnya. Karena pendekar muda itu telah
bertekad ingin menangkap penyebab korban Altar Se-
tan. Sama sekali tidak disangka kalau akhirnya terje-
bak ke dalam perangkap gerombolan Darmanggala.
Untung saja Pendekar Naga Putih telah menyuruh pa-
sukan untuk menyusul. Kalau tidak, kemungkinan be-
sar dirinya akan terbunuh. Setidaknya tertawan mu-
suh.
Jumlah pasukan yang dikirim Senapati Jata Logaya
jauh dari perkiraan Panji. Semula dia menyangka pa-
sukan yang dikirim paling banyak sekitar seratus
orang, ternyata pasukan yang dipimpin Perwira Su-
ranggala berjumlah seribu orang. Rupanya Senapati
Jata Logaya khawatir kalau Pendekar Naga Putih akan
menghadapi halangan dari pihak pemberontak, seperti
pada waktu menyelidik di Desa Gending. Itu sebabnya
Senapati Jata Logaya mengirim pasukan tidak kurang
dari seribu orang untuk menyusul ke Hutan Rawanda-
ka.
“Celaka, Ki Lawaleng! Kali ini kita sendiri yang ter-
jebak!” desis Beruang Cakar Baja yang wajahnya keli-
hatan pucat.
Tidak berapa lama kemudian, dari sekeliling tempat
itu telah bermunculan prajurit-prajurit Kadipaten Tu-
mapel. Rupanya mereka datang dengan jalan menye-
bar. Sehingga, pasukan pemberontak terkepung dari
segala penjuru.
“Serbuuu...!”
Suranggala sendiri tidak banyak cakap lagi. Melihat
banyaknya pasukan pemberontak yang berada di hu-
tan itu, dia langsung memerintahkan pasukannya agar
menyerbu.
Ki Lawaleng, lelaki tua bertubuh gagah yang menja-
di pimpinan gerombolan pun tak tinggal diam. Karena
sudah tak ada jalan untuk lolos, dia pun memberikan
perintah untuk menyambut serbuan pasukan pemerin-
tah. Dan perang besar pun tak terhindari lagi.
Hutan Rawandaka yang biasanya sunyi dan menye-
ramkan, malam itu berubah ramai oleh dentang senja-
ta dan jerit kematian. Pasukan Kadipaten Tumapel
yang jumlahnya hampir empat kali lipat dari pasukan
pemberontak, menggasak musuh-musuhnya tanpa
ampun. Darah pun mengalir membasahi tanah be-
rumput. Mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih
dengan tubuh bersimbah darah segar. Hutan Rawan-
daka berubah menjadi lautan darah.
“Hei, mau lari ke mana kalian...?! Heaaa...!”
Pendekar Naga Putih yang melihat sosok-sosok ber-
jubah hitam itu berlompatan pergi meninggalkan are-
na, bergegas menghadang. Tubuhnya langsung berke-
lebat menyambar dua orang yang berlari paling bela-
kang. Sekali mengibaskan tangan, tubuh kedua orang
itu terjungkal mencium tanah. Meskipun mereka beru-
saha mengelak dan menangkis, tak urung sambaran
tangan pendekar berjubah putih itu mendarat di tubuh
mereka. Tanpa ampun lagi, nyawa kedua orang itu pun
langsung melayang.
“Hiii...!”
Tiba-tiba pemimpin gerombolan berpakaian hitam
itu mengeluarkan suara melengking yang keras dan
memekakkan telinga. Seketika itu pula tubuhnya lenyap menjadi gumpalan asap putih yang kemudian
sirna ditiup angin malam.
“Hah...! Kurang ajar...!” Panji menggeram marah
melihat hal itu. Dia tidak bisa mencegah, karena saat
itu sisa gerombolan manusia sesat telah mengeroyok-
nya. Sehingga pemuda berjubah putih itu terpaksa me-
layani dengan mengamuk agar dapat merobohkan la-
wan.
***
Sementara itu, pasukan kadipaten pun sudah ber-
hasil mendesak lawan mereka. Karena jumlah pasukan
Suranggala jauh lebih banyak, dalam waktu yang
singkat, gerombolan pemberontak sudah lebih dari se-
paronya yang tewas. Dan dapat dipastikan kalau pihak
Kadipaten Tumapel segera memperoleh kemenangan.
Di tempat lain, Perwira Suranggala tengah berjuang
untuk merobohkan Ki Lawaleng dan pembantu-
pembantunya. Bersama delapan orang perwira dan pu-
luhan prajurit, Suranggala mendesak gembong-
gembong pemberontak itu. Kendati telah kehilangan
belasan orang prajurit dan dua orang perwira, perwira
tinggi itu tidak mundur setapak pun. Dengan sikap
ksatria, Suranggala memimpin kawan-kawannya un-
tuk menghabisi pentolan-pentolan pemberontak itu.
Namun, Ki Lawaleng, Beruang Cakar Baja, Ular Hi-
tam, dan laki-laki berkepala botak yang berperawakan
kekar itu tak mau menyerah begitu saja. Mereka men-
gamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan un-
tuk dapat melepaskan diri dari kepungan lawan. Tentu
saja menghadapi lawan yang berkemampuan tinggi,
pihak Kadipaten Tumapel tidak sedikit yang menemui
kematian. Namun dengan gigih dan semangat membela
kadipaten para pasukan yang dipimpin Suranggala terus berusaha menggempur pertahanan lawan.
Sementara itu Pendekar Naga Putih yang telah me-
nyelesaikan pertarungan terhadap belasan gerombolan
yang hendak kabur, segera menoleh ke pertarungan
pihak Suranggala. Menyadari keadaan yang mengkha-
watirkan dari amukan lawan yang hebat, pendekar
muda itu langsung melesat untuk membantu. Dengan
cepat langsung dilancarkannya serangan dahsyat ke
tubuh Ki Lawaleng yang merupakan pimpinan gerom-
bolan itu.
“Pendekar Naga Putih, harap orang tua itu ditang-
kap hidup-hidup! Kita masih memerlukannya untuk
mengetahui persembunyian Darmanggala dan pasu-
kannya yang lain...!” Suranggala langsung saja berse-
ru, ketika melihat Pendekar Naga Putih telah memasu-
ki arena pertempuran.
“Baik, Paman Suranggala...!” sahut Panji yang tentu
saja maklum betapa pentingnya lelaki tua yang ber-
nama Ki Lawaleng itu. Karena pihak Kadipaten Tuma-
pel belum menemukan di mana markas pemberontak
Darmanggala.
Ki Lawaleng sendiri merasa geram bukan main keti-
ka mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi dan ga-
gah itu. Dan amukannya semakin bertambah hebat.
Seolah dia lebih baik mati di medan pertempuran dari-
pada tertawan musuh.
Namun tampaknya Pendekar Naga Putih tak ingin
membiarkan amukan Ki Lawaleng semakin merajalela.
“Heaaa...!”
“Hiaaa...!” Wuttt!
Dengan serangan cepat dan beruntun, Pendekar
Naga Putih terus melancarkan serangan guna mence-
gah jatuhnya korban yang terlalu banyak pada pihak
Kadipaten Tumapel. Sehingga pada jurus kedua belas
lelaki tua yang memimpin gerombolan berpakaian hi-
tam itu tampak mulai terdesak. Bahkan akhirnya....
“Hih...!”
Tuk! Tuk...!
“Akh...!”
Ki Lawaleng terpekik pelan ketika totokan Pendekar
Naga Putih mendarat di beberapa bagian tubuhnya.
Lelaki tua kurus itu tampaknya tak sempat melihat ge-
rakan cepat lawan. Tubuhnya yang tinggi dan berjubah
hitam seketika terkulai lemas.
“Heaaat...!”
Teriakan keras menggelegar terdengar ketika seso-
sok tubuh berpakaian merah melesat cepat memburu
Pendekar Naga Putih. Sosok itu ternyata Beruang Ca-
kar Baja, yang murka melihat kawannya roboh tertotok
serangan lawan. Sesaat kemudian Ular Hitam pun me-
nyusul dengan serangan dahsyat. Kedua pentolan ge-
rombolan itu dengan cepat dan ganas menggempur
Pendekar Naga Putih.
“Hih...! Ini untukmu, Bajingan Busuk!” dengus Panji
seraya melancarkan serangan, mendahului kecepatan
kedua lawannya.
Wuttt! Wuttt!
“Hah...!”
Gerakan yang sangat cepat dilakukan pendekar ber-
jubah putih itu tak mampu dielakkan kedua lawannya.
Beruang Cakar Baja dan Ular Hitam tersentak kaget.
Mata keduanya terbelalak heran. Akhirnya mereka
hanya mampu menggerakkan tangan untuk menang-
kis serangan secepat kilat Pendekar Naga Putih.
Plakkk!
“Aaakh...!”
Ular Hitam terpekik kesakitan ketika tangannya
membentur cengkeraman tangan kanan Pendekar Naga Putih. Hawa panas yang mengalir dari cakar naga
Panji membuat kulit lengannya langsung melepuh ba-
gaikan tersentuh api. Tubuhnya terjengkang dan ter-
banting ke tanah.
Brukkk!
Gerakan Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai
di situ. Tangan kirinya sudah berputar dan meluncur
dengan kecepatan tinggi memburu tubuh Beruang Ca-
kar Baja, yang merupakan tokoh kedua di Perguruan
Beruang Merah.
Wuttt!
“Ahhh...?!”
Lelaki tinggi besar itu terpekik kaget ketika melihat
cengkeraman lawan mengejarnya. Dengan cepat tokoh
bertubuh tinggi besar itu melemparkan tubuhnya ke
belakang, lalu bergulingan menyelamatkan diri di ta-
nah. Namun....
“Hiaaa...!”
Deggg!
“Aaakh...!”
Baru saja Beruang Cakar Baja melompat bangkit,
hantaman telapak tangan Panji melesat dan mendarat
telak di tubuhnya. Akibatnya, tokoh tinggi besar yang
tangguh itu terlempar deras sejauh dua tombak lebih.
Darah segar seketika muncrat dari mulutnya. Tubuh-
nya terbanting ke tanah dan menggigil hebat bagaikan
terserang demam tinggi. Sebentar kemudian diam tak
bergerak. Tubuhnya yang terbungkus pakaian merah
terkapar kaku. Beruang Cakar Baja menghembuskan
napas terakhir, tak sanggup menahan hantaman tan-
gan kiri Pendekar Naga Putih yang berisikan ‘Tenaga
Sakti Gerhana Bulan’.
Melihat Beruang Cakar Baja tewas, Ular Hitam me-
lompat mendekati Ki Lawaleng yang rebah tak bergerak
karena masih dalam pengaruh totokan Pendekar Naga
Putih. Kemudian mengayunkan telapak tangannya ke
batok kepala lelaki tua itu.
“Hih!”
Prakkk!
“Aaakh...!”
Ki Lawaleng mengeluh tertahan. Batok kepalanya
langsung retak terkena hantaman Ular Hitam. Nafas-
nya pun langsung putus saat itu juga. Rupanya Ular
Hitam tak rela kalau pimpinannya sampai tertawan
musuh.
“Heh! Keparat!” dengus Suranggala yang marah bu-
kan main melihat tindakan Ular Hitam. Kemudian
dengan geram perwira itu mengayunkan pedang mem-
buru tubuh lelaki berjubah hitam itu.
“Heaaa...!”
Crakkk!
Pedang Suranggala menebas leher Ular Hitam yang
tak sempat menghindar. Kepala lelaki berpakaian hi-
tam itu terpental dan menggelinding di samping tu-
buhnya yang ambruk berlumuran darah.
Rupanya setelah merobohkan lelaki botak yang
menjadi pembantu Ki Lawaleng, Suranggala sempat
melihat perbuatan Ular Hitam. Sehingga dia lupa kalau
tokoh kurus itu pun sama pentingnya dengan Ki Lawa-
leng. Perwira bertubuh gagah itu baru menyesal sete-
lah melihat Ular Hitam tewas dengan kepala terpisah
dari badan.
“Sudahlah, Paman. Semua ini tidak perlu disesa-
li...,” ujar Panji ketika melihat Suranggala masih ter-
paku menatapi mayat Ular Hitam dan Ki Lawaleng.
“Hhh.... Aku benar-benar lupa diri, Pendekar Naga
Putih...,” ujar Suranggala dengan disertai helaan napas
beratnya. Disesali dirinya yang telah membunuh tokoh
penting. Hal itu karena sampai saat ini tempat sem-
bunyi gembong pemberontak belum diketahui pihak
kadipaten.
“Kita bisa menyelidikinya lewat Perguruan Beruang
Merah. Karena kalau tak salah lelaki berpakaian me-
rah itu salah seorang tokoh Perguruan Beruang Me-
rah...,” ujar Panji seraya menunjuk mayat Beruang
Cakar Baja. Pendekar Naga Putih mengetahui ciri-ciri
Beruang Cakar Baja dari Senapati Jata Logaya. Bah-
kan juga mengenal nama ketua perguruan itu berikut
ciri-cirinya.
“Benar, Pendekar Naga Putih. Dia Beruang Cakar
Baja yang dikenal sebagai tokoh kedua di Perguruan
Beruang Merah. Dia pula yang diserahi tugas untuk
mengurus perguruan. Karena Ki Kala Herang jarang
menampakkan diri. Dia lebih banyak mengurung diri
di kamar semadinya. Maklumlah usianya sudah tujuh
puluh tahun lebih...,” tutur Suranggala yang kemudian
mengalihkan perhatiannya ke sekitar tempat itu. Ter-
nyata pertempuran telah usai. Kemenangan berada di
pihaknya.
“Jadi, ada kemungkinan Ki Kala Herang tak menge-
tahui tindakan murid utamanya itu...!” tukas Panji se-
telah mendengar ucapan perwira bertubuh tinggi besar
itu.
‘Ya..., kemungkinan besar begitu. Apalagi belakan-
gan ini dia nyaris tidak pernah keluar dari ruang se-
madinya...,” jelas Suranggala, menjawab pertanyaan
Pendekar Naga Putih.
“Kalau begitu, Beruang Cakar Baja mengajak mu-
rid-muridnya untuk berpihak kepada pemberontak,
tanpa setahu Ki Kala Herang?” tanya Panji lagi memin-
ta ketegasan.
“Kemungkinan besar begitu. Tapi aku tidak bisa
memastikannya,” jawab Suranggala ragu.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Dia tahu Suranggala
tidak berbohong. Kemudian melangkah mengikuti per-
wira bertubuh tinggi besar itu yang tengah mengum-
pulkan seluruh pasukannya. Dalam pertempuran be-
sar itu, pihaknya kehilangan tak kurang dari seratus
lima puluh orang prajurit Meskipun demikian, Surang-
gala merasa puas. Karena pihak pemberontak yang be-
rada di Hutan Rawandaka dapat disapu habis, tidak
terkecuali semua pimpinannya. Jelas, kemenangan itu
cukup besar artinya bagi Suranggala.
“Paman, sebaiknya kita segera kembali ke kadipa-
ten...,” usul Panji setelah seluruh prajurit berkumpul.
Suranggala hanya mengangguk tanpa kata. Kemu-
dian perwira itu segera memberikan perintah kepada
pasukannya untuk meninggalkan Hutan Rawandaka
yang telah bau amis darah itu. Setelah itu dengan ce-
pat tubuhnya melompat ke atas punggung kuda. Keti-
ka Suranggala menoleh pada Pendekar Naga Putih un-
tuk menawarkan seekor kuda, hatinya terperanjat.
Pendekar berjubah putih itu sudah tak berada di tem-
patnya, sudah lebih dahulu melesat menuju Kadipaten
Tumapel.
***
DELAPAN
Setelah peristiwa di Hutan Rawandaka, yang telah
menewaskan ratusan pasukan pemberontak berikut
beberapa gembongnya, keadaan mulai agak tenang.
Tidak terdengar lagi adanya gangguan di desa-desa di
wilayah Kadipaten Tumapel. Kenyataan itu sempat
membuat Senapati Jata Logaya menduga kalau kepala
pemberontak yang bernama Darmanggala telah patah
semangat sehingga membubarkan pasukannya. Terle-
bih setelah orang-orang Perguruan Beruang Merah
yang mengabdi pada Kadipaten Tumapel ditangkap.
Semua itu atas usul Panji yang telah menyelidiki Per-
guruan Beruang Merah, dan mendapati bangunan per-
guruan itu telah kosong. Bahkan menemukan ruang
rahasia yang menembus ke tengah Hutan Rawandaka.
Semua itu merupakan bukti kuat bahwa Perguruan
Beruang Merah bukanlah perkumpulan beraliran lu-
rus.
“Padahal selama ini mereka menunjukkan sikap se-
bagaimana layaknya para pendekar pembela keadilan.
Sungguh tak kusangka kalau mereka ternyata sama
dengan sekumpulan serigala berbulu domba! Jelas ka-
lau mereka orang-orang golongan sesat yang selalu
menyerahkan korban pada setiap malam purnama.
Benar-benar tak masuk di akal!” ujar Senapati Jata
Logaya setelah mendengar keterangan Panji yang baru
kembali dari penyelidikannya. Sehingga, semua murid
Perguruan Beruang Merah yang berada di lingkungan
kadipaten ditangkapi.
Hasil penyelidikan Pendekar Naga Putih membuat
semua rahasia nyaris terbongkar. Siapa lagi yang me-
lakukan pembakaran di dalam lingkungan kadipaten
saat upacara di Altar Setan berlangsung? Dan siapa
lagi yang membukakan gerbang utara saat pasukan
Darmanggala datang menyerbu. Semua itu ternyata
perbuatan murid-murid Perguruan Beruang Merah
yang membantu dari dalam. Sehingga Senapati Jata
Logaya menjatuhkan hukum gantung kepada para
pemberontak yang berhasil menyelundup.
“Sudah berapa lama perguruan itu berada di dalam
kota kadipaten ini, Paman?” tanya Panji ketika bersama Kenanga diundang ke tempat kediaman senapati
gagah itu.
“Belum terlalu lama. Ada kira-kira tiga tahun. Se-
dangkan peristiwa Altar Setan baru sekitar satu seten-
gah tahun. Mengapa kau bertanya demikian, Panji?”
Senapati Jata Logaya balik bertanya.
“Hanya ingin tahu saja, Paman,” sahut Panji seraya
tersenyum. “Apa Paman tahu dari mana mereka sebe-
lumnya...?”
“Aku tak tahu secara jelas. Tapi, kalau tak salah
dengar, mereka berasal dari selatan. Sebuah wilayah
terpencil yang bisa memakan waktu setengah purnama
dari tempat ini...,” jelas Senapati Jata Logaya. Hatinya
merasa heran mendengar pertanyaan Pendekar Naga
Putih, tapi tetap memberikan penjelasan seperti yang
diketahuinya.
Setelah mendengar jawaban dari Senapati Jata Lo-
gaya, Pendekar Naga Putih tak berkata apa-apa lagi.
Pemuda itu melanjutkan makan dan minumnya den-
gan tenang. Namun, suasana gembira itu tiba-tiba ter-
ganggu oleh datangnya seorang prajurit yang minta
bertemu dengan Senapati Jata Logaya.
“Ada apa...?” tanya Senapati Jata Logaya kelihatan
kurang senang, karena merasa terganggu ketenangan-
nya. Sementara Panji dan Kenanga yang berdiri men-
gapit Senapati Jata Logaya hanya mendengarkan.
“Ampun, Kanjeng Senapati,” ujar prajurit itu setelah
menjura hormat.
“Hm...!” sambut Senapati Jata Logaya seraya men-
gangguk. Matanya menatap tajam pada prajurit itu.
“Kami melihat pasukan dalam jumlah besar tengah
bergerak dari segala penjuru. Mereka menuju kota ka-
dipaten....’”
“Apa...?!” Senapati Jata Logaya tersentak kaget
mendengar laporan prajuritnya. Wajahnya seketika be-
rubah merah padam.
Tampak Pendekar Naga Putih dan Kenanga pun ter-
peranjat mendengar laporan itu.
“Hm.... Apakah Perwira Suranggala sudah mengeta-
huinya?” tanya Senapati Jata Logaya setengah mem-
bentak.
“Sudah, Kanjeng. Bahkan beliau telah mengerahkan
seluruh prajurit untuk bersiaga. Dan hamba diperin-
tah agar melapor kepada Kanjeng Senapati,” jawab
prajurit itu terbata-bata dengan wajah berubah pucat.
Tanpa banyak bicara lagi, Senapati Jata Logaya
memerintahkan prajurit itu untuk kembali ke induk
pasukannya. Setelah itu tampak panglima perang Tu-
mapel itu mengenakan pakaian kebesarannya, lalu
menyambar pedangnya. Kemudian bersama Pendekar
Naga Putih dan Kenanga, bergegas pergi untuk me-
mimpin pasukannya dalam menghadapi serbuan mu-
suh, yang kali ini sepertinya mengadakan serangan be-
sar-besaran.
Tiba di alun-alun kadipaten, Senapati Jata Logaya
melihat pasukannya telah berbaris rapi. Dia segera
memerintahkan para prajurit menyebar memperkuat
penjagaan di empat gerbang kota. Senapati Jata Lo-
gaya sendiri memimpin lima ratus prajurit menuju
gerbang timur. Karena tempat itulah yang paling mu-
dah dimasuki musuh.
Kenanga mendampingi pasukan yang dipimpin em-
pat orang perwira gagah, menuju gerbang sebelah ba-
rat. Suranggala bersama tiga orang perwira lainnya
menuju gerbang selatan. Masing-masing membawa li-
ma ratus orang prajurit.
Pendekar Naga Putih pun tidak ketinggalan. Bersa-
ma dua orang perwira yang membawa lima ratus orang
prajurit, bergerak untuk memperkuat pertahanan di
gerbang utara. Genderang perang tak henti-hentinya
ditabuh guna membakar semangat pasukan. Seluruh
tentara Kadipaten Tumapel telah siap menghadapi mu-
suh yang menyerbu kota.
***
Sementara itu, pihak musuh semakin mendekati
kota kadipaten. Mereka langsung berada di bawah
pimpinan Darmanggala. Lelaki tinggi besar berusia
empat puluh tahun itu tampak gagah duduk di atas
punggung kuda hitamnya. Di belakangnya berbaris ra-
pi sekitar lima ratus orang. Kendati mereka tak men-
genakan seragam, namun terlihat gagah dan penuh
semangat. Tampaknya mereka telah benar-benar siap
untuk menghadapi pertempuran besar.
Seperti telah diatur sebelumnya, Darmanggala
membawa tentara menuju gerbang timur. Tentu saja
mereka akan bertemu dengan pasukan yang dipimpin
langsung Senapati Jata Logaya.
“Serbu...!”
“Heaaa...!”
Dalam jarak tiga tombak dari gerbang timur, Dar-
manggala, lelaki tinggi besar berwajah tampan itu,
langsung memberi perintah kepada pasukannya untuk
menyerbu.
Bagaikan sekumpulan hewan lapar yang menemu-
kan mangsa, ratusan orang bersenjata itu meluruk
maju. Namun, Senapati Jata Logaya telah siap bersa-
ma pasukannya. Ketika pihak lawan bergerak, pangli-
ma bertubuh gagah itu langsung memerintahkan pa-
sukan panahnya untuk menyerang.
“Seraaang...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika ratusan batang anak panah meluncur dan merenggut
nyawa puluhan orang pasukan Darmanggala. Sehing-
ga, pemimpin pemberontakan itu memerintah pasu-
kannya untuk mundur.
“Hujani dengan panah api...!” teriaknya lantang dan
penuh wibawa.
Seketika itu juga, meluncurlah panah-panah berapi
yang membuat pasukan Senapati Jata Logaya kalang
kabut. Apalagi ketika panah-panah itu jatuh di atas
rumah-rumah penduduk. Kebakaran pun mulai men-
jalar. Sang Jago Merah dengan perkasanya melahap
segala yang ada di dekatnya. Dan, pada saat itu juga,
Darmanggala memerintahkan pasukannya untuk me-
nyerbu kota.
“Heaaa...!”
“Yeaaat...!”
Disertai pekikan-pekikan gegap-gempita, ratusan
tentara Darmanggala berlarian dengan senjata di tan-
gan. Kali ini tak ada lagi anak panah yang menghalangi
gerak mereka. Sehingga, pasukan Darmanggala berha-
sil mendekati gerbang. Pertempuran pun pecah! Suara
denting senjata dan jerit kematian meningkahi pertem-
puran besar itu. Mayat-mayat mulai berjatuhan dari
kedua belah pihak. Sedangkan kedua orang pemimpin
pasukan masih berdiri di atas punggung kuda me-
nyaksikan jalannya pertarungan.
Darmanggala yang masih tegak di atas punggung
kuda, tampak mengerutkan keningnya. Prajurit-
prajurit kadipaten yang memang terlatih baik, tampak
mulai mendesak pasukannya. Hal itu tidak aneh, ka-
rena pasukan Darmanggala terdiri dari orang-orang
liar yang tak terlatih dalam berperang. Menyaksikan
itu Darmanggala tak tinggal diam.
“Heaaa...!”
Dengan pedang terhunus, Darmanggala menggebah
kudanya memasuki kancah pertempuran.
Dengan gerakan yang cepat dan kuat, pedang di
tangannya mulai memangsa korban. Sebentar saja, be-
lasan orang prajurit terpental roboh tersambar pedang
lelaki gagah itu. Amukannya benar-benar mengiriskan.
Sehingga, dalam waktu singkat, telah dua puluh orang
lebih yang menjadi korban sambaran pedangnya.
“Hmh...!”
Senapati Jata Logaya menggeram gusar. Panglima
Perang Kadipaten Tumapel ini pun tidak tinggal diam.
Melihat pasukannya banyak yang roboh di tangan
Darmanggala, langsung saja kudanya digebah mema-
suki kancah pertempuran.
Seperti berlomba, Senapati Jata Logaya pun men-
gamuk hebat. Pedang di tangannya laksana tangan
malaikat maut yang merenggut nyawa lawannya. Sam-
pai akhirnya dia langsung berhadapan dengan Dar-
manggala.
“Terimalah kematianmu, Pemberontak Keparat...!”
Dengan sebuah teriakan keras, Senapati Jata Lo-
gaya menyabetkan pedangnya mengancam tubuh la-
wan. Diiringi suara berdesing tajam, senjata di tan-
gannya meluncur secepat kilat. Darmanggala tentu sa-
ja tidak sudi dijadikan sasaran pedang lawan. Cepat
dipapaknya serangan itu dengan tebasan dan ayunan
kuat
“Heaaa...!”
Trang! Trang...!
“Hiaaat...!”
Bunga api berpijar saat kedua batang pedang itu
saling berbenturan. Keduanya sama-sama terkejut ke-
tika merasakan telapak tangan mereka panas. Dan
sama-sama mengagumi kekuatan masing-masing.
“Yeaaat...!”
Kali ini Darmanggala yang lebih dulu membuka se-
rangan. Pedang di tangannya lenyap membentuk se-
gunduk sinar putih yang berkeredepan menyilaukan
mata. Jelas, kalau kali ini Darmanggala telah menge-
rahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk me-
robohkan lawan.
Namun Senapati Jata Logaya pun bukan orang
sembarangan. Dengan tak kalah ganas, pedang di tan-
gannya diputar sedemikian rupa mengimbangi seran-
gan lawan. Sebentar saja kedua pemimpin itu saling
terjang dengan sengitnya. Masing-masing berusaha ke-
ras untuk dapat merobohkan lawan secepatnya.
***
Di gerbang barat, utara, dan selatan pun telah pula
terjadi peperangan. Nampaknya kali ini Darmanggala
melakukan penyerbuan besar-besaran. Sepertinya in-
gin membalas apa yang telah di lakukan pasukan ka-
dipaten terhadap pengikut-pengikutnya pada beberapa
hari lalu di Hutan Rawandaka. Namun, tentu saja hal
itu tidaklah semudah apa yang dibayangkan, karena
pihak kadipaten demikian gigih dan bertempur dengan
penuh semangat. Terlebih di bawah pimpinan perwira-
perwira gagah berani, yang masih dibantu pasangan
tokoh muda, Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
Pasukan kadipaten yang menghadang musuh di
gerbang utara, bertempur bagaikan singa terluka.
Adanya Pendekar Naga Putih di antara mereka, jelas
berpengaruh besar. Namun, pendekar muda itu sendiri
tak dapat berbuat banyak. Karena di pihak musuh ter-
dapat seorang tokoh sakti bertubuh tinggi kurus yang
sangat mengiriskan. Sehingga, Panji tak tinggal diam
ketika melihat amukan tokoh itu. Tubuhnya langsung
melesat ke tempat tokoh tinggi besar itu mengamuk
membantai prajurit-prajurit kadipaten.
Ketika tiba di dekat tokoh tinggi kurus itu, Pendekar
Naga Putih langsung mengirimkan serangan kilat. Se-
pasang tangannya yang membentuk cakar naga berke-
lebatan cepat disertai suara angin mencicit tajam. Se-
hingga, tokoh tinggi kurus itu mengalihkan perhatian-
nya pada pendekar muda itu. Dengan cepat langsung
dipapaknya serangan Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak...!
Benturan sepasang lengan kedua tokoh itu menim-
bulkan ledakan keras yang memekakkan telinga. Ke-
duanya sama-sama terdorong mundur. Karena dalam
pertemuan pertama itu kekuatan mereka berimbang!
Pendekar Naga Putih menatap wajah lawan dengan
kening berkerut. Sepasang matanya mencorong tajam
meneliti sosok dan wajah tokoh tinggi kurus itu. Sea-
kan-akan dia tengah menduga siapa sebenarnya tokoh
itu.
“Orang tua,” ujar Panji tetap tak melepaskan pan-
dang dari wajah lawan. “Kalau aku tak salah menerka,
kau pastilah Ketua Perguruan Beruang Merah yang
bernama Ki Kala Herang....”
Tokoh tinggi kurus berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun itu tampak sedikit kaget. Namun, akhirnya men-
jawab juga pertanyaan pemuda berjubah putih itu.
“Matamu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih....”
“Dan kau jugalah tokoh berjubah hitam yang men-
jadi pimpinan upacara biadab di Hutan Rawandaka.
Aku mengenali gerakanmu...,” desak Panji lagi dengan
sorot mata tajam menusuk jantung.
“Ha ha ha...! Kau benar-benar hebat, Pendekar Naga
Putih! Sayang, hari ini kau harus menerima kematian
di tanganku...!” ujar lelaki tinggi kurus itu seraya tertawa, ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih.
Dia benar-benar merasa kagum atas ketajaman mata
pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Kepandaianmu memang sangat tinggi, Ki.
Aku tak akan menyesal jika sampai tewas di tangan-
mu. Tapi, sebelum kau membunuhku, katakanlah,
mengapa kau begitu merendahkan diri dengan menjadi
antek pemberontak seperti Darmanggala. Padahal ka-
lau kau menginginkan jabatan, rasanya Kadipaten
Tumapel akan menerimamu dengan tangan terbuka...,”
tanya Panji yang ingin mengetahui alasan tokoh sakti
itu membantu pemberontak.
“Agar kau mati tanpa membawa rasa penasaran,
baiklah ku jelaskan,” sahut kakek itu. seraya terse-
nyum mengejek. “Darmanggala adalah adik seperguru-
anku. Selain itu, kami masih ada hubungan keluarga,
meskipun cukup jauh. Dan pemberontakan ini sudah
lama kami rencanakan, jauh sebelum aku datang dan
membuka perguruan di Kadipaten Tumapel ini. Setelah
berhasil menarik simpati pihak kadipaten yang mengi-
ra Perguruan Beruang Merah sebagai perkumpulan be-
raliran lurus, maka tak sulit untuk memasukkan mu-
rid-muridku ke kadipaten dengan berpura-pura men-
gabdi. Selain itu, aku pun mulai menciptakan keka-
cuan dengan mengadakan persembahan pada setiap
malam purnama. Dengan berbagai cara aku berusaha
merongrong pihak kadipaten. Sayang, usaha yang nya-
ris berhasil dengan baik mulai mendapat tantangan
dengan kehadiranmu, Pendekar Naga Putih. Itu sebab-
nya kami berusaha keras untuk melenyapkan dirimu.
Nah, apa kau sudah puas...?”
Kakek bertubuh tinggi kurus itu menutup penjela-
sannya, dan bersiap untuk menggempur Pendekar Na-
ga Putih.
“Tunggu dulu, Ki Kala Herang...!” cegah Panji seraya
mengangkat kedua tangannya. Sehingga kakek itu
menunda gerakannya.
“Hm..., apa kau masih menyimpan pertanyaan? Ka-
takanlah!” tukas Ki Kala Herang mulai tak sabar.
“Satu pertanyaan lagi, Ki. Apa keuntungan yang
kau dapatkan dari persembahan gila itu?” tanya Panji.
“Selain untuk membuat pusing pihak kadipaten,
darah perawan membuat kekuatanku semakin ber-
tambah!” jawab Ki Kala Herang agak jengkel.
“Rasanya tak ada lagi yang perlu ku jelaskan kepa-
damu, Pendekar Naga Putih! Nah, bersiaplah...!”
Belum lagi gema suara kakek itu lenyap, tahu-tahu
tubuhnya sudah melayang memburu Pendekar Naga
Putih dengan serangkaian serangan maut. Sepasang
tangannya berputaran cepat sekali hingga menimbul-
kan deruan angin keras laksana amukan badai. Bah-
kan serangan itu masih dicampur dengan pengerahan
ilmu sihir yang membuat kecepatan dan kedahsyatan
serangannya berlipat ganda.
Namun, Ki Kala Herang salah alamat kalau hendak
mempergunakan sihirnya untuk merobohkan pemuda
berjubah putih itu. Pendekar Naga Putih yang sadar
akan kesaktian lawan, telah mengerahkan tenaga ga-
bungannya. Sehingga, hawa menggetarkan jantung
yang mengiringi datangnya serangan sama sekali tidak
tampak di matanya.
“Heaaa...!”
Plak! Plak! Plak!
Tiga serangan beruntun berhasil digagalkan Pende-
kar Naga Putih. Meskipun kuda-kudanya sempat ter-
gempur, tubuh pemuda itu sudah melesat dengan se-
rangkaian serangan maut.
“Haaat...!”
“Hih!”
Ki Kala Herang bergeser ke kiri saat cengkeraman
cakar naga lawan hampir menyambar tubuhnya. Ber-
samaan dengan itu langsung jari-jari tangannya men-
geluarkan asap tipis kemerahan. Bau harum mema-
bukkan tercium, tanda bahwa asap tipis itu mengan-
dung racun yang mematikan.
Namun, semua itu sama sekali tidak membuat Pen-
dekar Naga Putih gentar. Dengan pengerahan tenaga
gabungannya, hawa beracun itu sama sekali tak berar-
ti baginya. Tanpa ragu-ragu segera disambutnya tusu-
kan jari-jari tangan lawan yang mengeluarkan asap be-
racun itu. Bahkan masih sanggup melancarkan seran-
gan balasan kendati tidak terlalu gencar.
Merasakan kehebatan lawannya yang masih sangat
muda itu, Ki Kala Herang tampak sangat cemas. Se-
rangan yang dilakukannya semakin ganas dan dah-
syat. Bahkan telah dikerahkan seluruh kecepatannya.
Sehingga, sepasang tangannya berputaran laksana
baling-baling dan sukar menentukan arah mana yang
menjadi sasaran serangannya. Dan serangan tokoh
mengiriskan itu ternyata tak sia-sia. Pendekar Naga
Putih yang sempat terdesak oleh gencarnya serangan
lawan, tak sempat menghindari sebuah tusukan jari-
jari tangan lawan yang mengincar dadanya.
“Hih...!”
Bukkk!
Pada saat terakhir Pendekar Naga Putih masih sem-
pat memiringkan tubuh hingga tusukan itu tak terlalu
telak menghantam dada. Tetap saja kuda- kudanya
tergempur. Dan tubuhnya terhuyung sampai enam
langkah ke belakang. Pemuda tampan itu merasakan
dadanya panas. Bahkan pada sudut bibirnya tampak
cairan merah merembes ke luar. Jelas serangan itu
sempat membuat bagian dalam dadanya terguncang.
“Yeaaah...!”
Ki Kala Herang tak mau menyia-nyiakan kesempa-
tan emas itu. Tubuhnya langsung melesat dengan se-
rangan maut, siap menghabisi nyawa Pendekar Naga
Putih. Tapi...,
“Haiiit...!”
Disertai ‘Pekikan Naga Marah’, tiba-tiba tubuh Pen-
dekar Naga Putih melenting ke udara. Dengan jurus
‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’, tubuhnya me-
luncur turun menyambar secepat kilat. Sinar putih
keperakan dan kuning keemasan berpendar menyeli-
muti tubuhnya. Sehingga sukar bagi Ki Kala Herang
untuk menentukan arah serangan lawannya.
Dan...
Breeet! Desss!
“Aaarghhh...!”
Ki Kala Herang terpekik parau. Sambaran cakar na-
ga dan hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
membuat tubuh tinggi kurus itu terlempar bagaikan
terhempas badai. Darah segar membanjir keluar dari
luka menganga di bagian lambungnya, yang tercabik
cakar naga pendekar muda berjubah putih.
Pendekar Naga Putih tak berhenti sampai di situ.
Sadar kalau dibiarkan hidup kakek itu merupakan an-
caman bagi orang banyak, pemuda itu pun menyusuli
dengan tendangan maut untuk menghabisi lawannya.
Blukkk!
“Aaa...!”
Bagai dihantam palu godam, tubuh yang tengah
melayang di udara itu kembali terhempas dengan ke-
ras, lalu membentur dinding hingga menimbulkan sua-
ra berderak, tanda bahwa tulang-tulang di tubuh ka-
kek itu remuk.
Setelah menewaskan Ki Kala Herang, Pendekar Na-
ga Putih memandang pertempuran. Setelah melihat pi-
hak pemberontak tampak mulai terdesak oleh pasukan
kadipaten, tubuhnya melesat menuju gerbang timur.
Hatinya menduga kalau Darmanggala pasti memimpin
penyerbuan dari gerbang utama kota.
***
Ketika sampai di dekat gerbang timur, Pendekar
Naga Putih melihat Senapati Jata Logaya tengah berta-
rung sengit melawan seorang lelaki bertubuh gagah.
Sekilas saja dia tahu kalau Senapati Jata Logaya dapat
mengatasi lawannya. Lalu kepalanya berpaling mena-
tap pertempuran kedua pasukan. Hatinya merasa lega
ketika mendapat kenyataan bahwa pihak kadipaten
berada di atas angin.
“Aaa...!”
Ketika mendengar lengking kematian yang panjang
merobek suasana tegang itu, Pendekar Naga Putih me-
noleh. Dilihatnya tubuh lelaki gagah, lawan Senapati
Jata Logaya terbanting roboh bermandikan darah. Du-
gaannya tidak meleset. Senapati Jata Logaya berhasil
membunuh Darmanggala yang menjadi pemimpin
pemberontakan.
Kematian Darmanggala, membuat semangat pasu-
kannya kian mengendur. Mereka semakin kacau dan
terdesak hebat dari pihak kadipaten. Bahkan tak sedi-
kit yang kabur meninggalkan medan pertempuran,
menyelamatkan diri. Sehingga tak lama kemudian,
pemberontakan besar itu dapat dilumpuhkan. Karena
sisanya yang masih hidup langsung membuang senjata
dan menyatakan menyerah kalah.
“Ampun..., ampun Kanjeng Senapati! Ampunkanlah
perbuatan kami...!”
“Ampun, Kanjeng Adipati! Ampunkan hamba, Kan-
jeng Adipati...!”
Teriakan-teriakan memohon ampunan terdengar
bersahutan dari segala arah. Para pasukan pemberon-
tak itu serta-merta berlutut dan membuang senjata
mereka ke tanah. Di antara para pemberontak, ternya-
ta ada pula yang tak tahu kalau Adipati Tumapel tidak
berada di tempat itu, sehingga Jata Logaya dikira sang
Adipati.
Bukan hanya di gerbang utama saja musuh dapat
dilumpuhkan. Di tiga gerbang lainnya pun pihak kadi-
paten memperoleh kemenangan yang gemilang. Pembe-
rontakan dapat dipatahkan. Dan Senapati Jata Logaya
benar-benar merasa puas. Saat itu, tampak dari arah
utara, selatan, dan barat berdatangan Pendekar Naga
Putih, Kenanga, Suranggala dan pasukannya.
“Rasanya selama berada di sini aku belum pernah
melihat Kanjeng Adipati? Ke manakah beliau, Pa-
man...?” tanya Panji saat melangkah bersama Senapati
Jata Logaya dan Kenanga, meninggalkan prajurit-
prajurit kadipaten yang tengah membereskan bekas-
bekas pertempuran.
“Beliau sedang mengalami sakit yang cukup parah,
Panji. Keadaan Kanjeng Adipati sengaja ku rahasiakan,
agar pasukanku tak kehilangan semangat. Marilah kita
jenguk beliau! Aku sudah mendengar kalau kau pun
memiliki ilmu pengobatan yang tinggi...,” ujar Senapati
Jata Logaya yang langsung membawa pasangan pen-
dekar muda itu untuk menjenguk Adipati Tumapel
yang tengah menderita sakit.
Pendekar Naga Putih sama sekali tak berusaha me-
nolak. Karena tugas menyembuhkan orang sakit, juga
merupakan kewajibannya. Bersama dengan Kenanga,
pemuda berjubah putih itu melangkah mengikuti Senapati Jata Logaya menuju bangunan utama Kadipaten Tumapel.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar