TOKOH BURONAN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Tokoh Buronan
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Puluhan bayangan hitam bergerak perlahan mendekati kaki Bukit Hitam. Malam
yang pekat karena awan hitam menutupi sang Dewi Malam membuat sosok-sosok itu lebih
leluasa bergerak. Nampaknya alam sangat membantu. Sehingga, sosok mereka tidak
mudah dilihat orang.
Kalau melihat cara puluhan sosok tubuh itu mendatangi Bukit Hitam, tampaknya
mudah ditebak maksud kedatangan mereka. Puluhan sosok tubuh itu jelas tamu-tamu
yang tidak diinginkan kehadirannya oleh penghuni bukit. Apalagi mereka datang pada
malam hari. Saat tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit. Tapi, semua itu sepertinya
tidak menjadi halangan. Puluhan sosok tubuh itu terus bergerak dan mulai mendaki
lereng bukit.
Bukit Hitam sendiri kelihatan tidak peduli. Sosoknya tetap tegap, hitam dan
terkesan angker. Terlebih dalam cuaca segelap itu. Semakin nyatalah keangkeran Bukit
Hitam.
Setelah beberapa saat mendaki lereng, sosok terdepan yang berperawakan tinggi
besar mengangkat tangan kanannya ke atas. Langkahnya sendiri sudah berhenti.
Tubuhnya agak membungkuk, seperti khawatir kalau terlihat penghuni bukit. Kemudian
laki-laki itu melambaikan tangannya sebagai isyarat untuk berkumpul.
Bagai setan-setan kelaparan yang mencari mangsa, puluhan sosok tubuh itu
berdatangan mendekat dengan tubuh tetap merunduk. Rupanya, lelaki tinggi besar itu
pimpinan mereka.
Setelah seluruh pengikutnya berkumpul, lelaki tinggi besar itu memberi petunjuk
dengan gerakan tangannya. Tidak berapa lama kemudian, puluhan sosok tubuh itu
bergerak menyebar keempat penjuru. Kelihatannya mereka hendak mendaki bukit dengan
cara mengepung.
Puncak Bukit Hitam memang tidak terlalu sulit untuk dicapai. Selang beberapa
waktu kemudian, lelaki tinggi besar yang membawa dua puluh orang pengikut itu tiba di
puncak bukit. Lalu lelaki itu memerintahkan kawan-kawannya bergerak mendekati
bangunan kuno yang kelihatan angker dan nyaris tidak terawat baik. Itu dapat diketahui
dari tembok luarnya yang telah dilapisi lumut dan semak belukar. Bahkan di beberapa
bagian retak dan bolong-bolong. Rupanya bangunan itulah tujuan mereka.
Perhitungan lelaki tinggi besar itu memang sangat tepat. Dalam waktu yang hampir
bersamaan, dari tiga penjuru muncul kelompok-kelompok lainnya. Mereka bergerak
merapat, mengepung bangunan kuno itu dari segala penjuru. Hingga tidak ada jalan bagi
penghuni bangunan untuk meloloskan diri. Jangankan manusia, tikus pun tidak mungkin
dapat meloloskan diri dari kepungan itu. Tiba-tiba....
Byarrr...!
Dalam sekejap mata, muncul puluhan batang obor menerangi puncak Bukit Hitam.
Suasana yang semula pekat berubah terang-benderang, tak ubahnya siang hari!
"Setan Jari Api, menyerahlah! Bangunan ini sudah terkepung rapat! Tunjukkan
dirimu sebelum tempat ini kami jadikan lautan api...!"
Lelaki tinggi besar berwajah keras dengan tulang rahang kokoh menandakan
ketegasan wataknya berteriak lantang. Gema suaranya bergaung karena diteriakkan
dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Mustahil jika penghuni bangunan kuno itu tidak
mendengarnya.
Suara teriakan lelaki tinggi besar jelas terdengar oleh penghuni Bukit Hitam. Itu
terlihat dari adanya kesibukan di ruang tengah bangunan kuno. Mereka kelihatan sangat
terkejut, dan tidak menyangka tempat kediaman mereka telah terkepung musuh.
"Kurang ajar! Siapa mereka yang berani mati mengganggu ketenanganku...!"
Salah seorang dari delapan lelaki yang berada di dalam ruangan itu menggeram
penuh kemarahan. Sementara tujuh orang lainnya saling bertukar pandang sejenak.
Kemudian serentak mengalihkan perhatiannya kepada lelaki gemuk berperut buncit yang
mengenakan rompi. Sehingga, perut buncitnya menonjol keluar.
Wajah lelaki berperut buncit itu tampak bengis dan angker. Kumis dan alis
matanya tebal berbentuk golok, dan agak mencuat ke atas pada ujungnya. Bagian depan
kepalanya botak dan agak berminyak. Hanya di kedua atas telinganya yang ditumbuhi
rambut. Sosok lelaki gemuk itu kelihatan sangat menyeramkan.
"Sejak semula aku sudah menduga perbuatan Kakang pasti akan berbuntut
panjang...," ujar salah seorang dari ketujuh lelaki itu kepada lelaki berkepala separo botak
yang penampilannya sanggup membuat anak-anak lari ketakutan.
"Hm...!"
Lelaki menyeramkan itu menggeram mendengar ucapan salah seorang kawannya.
Sepasang matanya berkilat sekilas, membuat kawan-kawannya melangkah mundur
dengan wajah gentar. Mereka sangat takut pada lelaki angker itu.
Tanpa berkata sepatah kata pun, lelaki berperut buncit itu melangkah lebar
meninggalkan ruangan. Kelihatannya ia hendak mengikuti perintah tamu yang tidak
diundang itu. Agaknya, lelaki kekar itulah yang dijuluki Setan Jari Api.
Langkah Setan Jari Api diikuti ketujuh orang kawannya. Mereka sudah pasti bukan
orang baik-baik. Bahkan ketujuh orang itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat. Setan Jari
Api sendiri seorang datuk sesat yang menguasai golongan hitam di wilayah barat.
Kening Setan Jari Api berkerut, membuat kedua alisnya saling bertaut. Hatinya
yang selama ini tidak pernah mengenal arti kata takut bergetar ketika melihat di sekeliling
bangunan tampak terang-benderang. Kenyataan itu membuatnya sadar kalau ancaman
tadi bukan hanya untuk menakut-nakuti. Tapi sebentar kemudian, kegeramannya timbul.
"Hei, bukankah kalian begundal-begundal Kerajaan Bungaran? Mau apa kalian
malam-malam datang ke tempat ini..?" teriak Setan Jari Api ketika melihat para pengepung
itu berpakaian prajurit. Ia segera dapat menebak dari mana mereka datang. Satu hal yang
mengejutkan tokoh itu, para prajurit Kerajaan Bungaran bersenjata lengkap seperti
hendak berperang.
Melihat kemunculan lelaki gemuk berwajah angker, lelaki tinggi besar yang menjadi
pimpinan prajurit Kerajaan Bungaran maju beberapa tindak. Pakaian lelaki tinggi besar itu
menunjukkan ia seorang senapati kerajaan.
"Kisanak, kaukah yang berjuluk Setan Jari Api...?"
Tanpa mempedulikan pertanyaan Setan Jari Api, senapati bertubuh tinggi besar itu
mengajukan pertanyaan dengan sikap angker. Ia kelihatan tidak merasa gentar sedikit
pun, walau yang dihadapinya saat itu seorang datuk sesat yang kekejamannya melewati
iblis.
"Keparat busuk! Bukankah kau Senapati Sura Wijaya?" geram Setan Jari Api
menyimpan kemarahannya. "Katakan, apa maksudmu datang malam-malam dengan
membawa pasukan lengkap? Apa kau mempunyai kepentingan denganku...?"
"Hm.... Kau belum menjawab pertanyaanku. Jadi rasanya pertanyaanmu tidak
perlu kujawab...," tukas lelaki tinggi besar yang bernama Sura Wijaya.
Rupanya senapati itu seorang panglima kawakan. Namanya cukup terkenal di
negeri itu, juga di kalangan persilatan. Senapati tua itu banyak memiliki sahabat di
kalangan pendekar. Maka tidak aneh jika Setan Jari Api mengenalnya.
"Keparat! Berani kau berbicara demikian terhadap Setan Jari Api!"
Marah karena merasa dipermainkan, Setan Jari Api segera mengulurkan jari-jari
tangannya ke arah lawan. Seketika terdengar suara angin bercicitan tajam, pertanda
gerakan yang kelihatan biasa-biasa itu mengandung tenaga dalam yang sangat hebat.
Uluran tangan lelaki berperut buncit itu sebuah serangan maut yang sanggup mencabut
nyawa Senapati Sura Wijaya saat itu juga!
"Ahhh...?!"
Mendengar suara angin pukulan berhawa panas itu, Senapati Sura Wijaya kaget
bukan main. Cepat ia melompat mundur sambil mengibaskan lengan kirinya menangkis
serangan licik itu. Dan....
Tasss...!
"Akh...?!"
Untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya memekik kaget. Kali ini bernada
kesakitan. Karena saat lengannya dikibaskan terasa ada hawa panas yang menyengat
kulit. Tangkisannya telah menghancurkan lengan bajunya seperti bekas terbakar.
Kenyataan itu membuat senapati tinggi besar ini kaget bukan main.
"Gila...?!" desis Senapati Sura Wijaya tidak menyangka kalau Setan Jari Api
demikian hebat. Terbukti dalam segebrakan dirinya nyaris kehilangan nyawa!
Sadar kalau Setan Jari Api tidak mungkin bersedia menyerah begitu saja, Senapati
Sura Wijaya segera memerintahkan pasukannya yang memang sudah dipersiapkan dengan
baik.
"Pasukan panah, seraaang...!"
Tanpa diperintah dua kali, pasukan panah yang sejak tadi sudah siap langsung
melepaskan anak panahnya.
Zing, zing, zing...!
Puluhan batang anak panah meluncur deras mengancam tubuh Setan Jari Api.
Suasana malam yang semula hening tersentak oleh suara desingan tajam yang membelah
udara.
"Hmh...!"
Kaget juga hati Setan Jari Api melihat serangan itu. Apalagi jarak pasukan panah
dengan tempatnya berdiri hanya terpaut beberapa tombak. Sadarlah datuk sesat itu kalau
Senapati Sura Wijaya benar-benar telah siap menghadapinya.
Setan Jari Api tidak mau ceroboh menghadapi ancaman maut itu. Cepat kedua
tangannya disilangkan di depan dada. Kemudian diputar sedemikian rupa, saat puluhan
batang anak panah itu tiba semakin dekat.
"Heaaah...!"
Seketika itu juga, angin keras berhembus pertanda datuk sesat itu menggunakan
tenaga dalam untuk mematahkan serangan anak panah lawan.
Trak, trak, trak...!
Beberapa batang anak panah yang mengenai lengannya langsung runtuh dalam
keadaan patah! Sisanya terpental ke kiri dan kanan dilanda angin keras yang timbul dari
putaran kedua tangan datuk sesat itu. Gempuran pertama pasukan Kerajaan Bungaran
gagal!
"Pasukan perisai dan pedang, maju...!"
Melihat serangan pasukan panah gagal, Senapati Sura Wijaya segera
memerintahkan pasukannya yang lain untuk maju menggempur!
"Heaaat...!"
"Haaat...!"
Belum lagi gema perintah Senapati Sura Wijaya lenyap, kedua pasukan yang
diperintah sudah berlompatan maju. Jumlah mereka tidak kurang tiga puluh orang.
Sebagian menghunus pedang, dan sisanya menggunakan perisai dari rajutan akar pohon.
Jangan dipandang ringan kemampuan kedua pasukan itu. Selain merupakan
pasukan khusus, anggota pasukan juga bukan orang lemah. Kepandaian silat mereka
cukup tinggi. Terlebih dalam bentuk pasukan yang kini maju menerjang Setan Jari Api.
Kehebatannya jangan diragukan lagi. Jarang ada tokoh yang sanggup menghadapi
pasukan itu.
Setan Jari Api kelihatannya tidak mengecilkan pasukan yang tengah menyerangnya
itu. Ia telah mendengar kehebatan pasukan perisai dan pedang. Datuk sesat itu tahu
perisai dari rajutan akar pohon itu sanggup meredam pukulan yang mengandung tenaga
dalam. Sedangkan pasukan pedang, merupakan orang-orang terlatih yang menggunakan
ilmu pedang gabungan, yang bila dimainkan bersama-sama dalam jumlah cukup sangat
sulit dicari kelemahannya.
"Haiiit...!"
Dengan geseran langkah yang kokoh, Setan Jari Api bergerak mundur menghindari
sambaran pedang yang datang mengancam tubuhnya. Kemudian balas menyerang dengan
pukulan dan tamparannya yang menimbulkan suara mencicit tajam. Tapi....
"Heaaa...!"
Dua orang anggota pasukan perisai melompat maju menyambut pukulan datuk
sesat itu. Sedangkan dua orang anggota pasukan pedang yang menjadi sasaran serangan
datuk itu melompat mundur. Sehingga....
Duggg, duggg...!
"Hei...?!"
Setan Jari Api yang hanya baru mendengar kehebatan pasukan perisai tidak
menarik serangannya. Akibatnya, kedua pukulan datuk sesat itu berhasil ditangkis perisai
lawan. Setan Jari Api baru merasakan keampuhan perisai lawan, ia dapat merasakan
betapa tenaga pukulannya bagai menghantam benda kenyal yang membuat tenaganya
berbalik. Datuk itu tampak kaget, dan baru percaya akan kehebatan pasukan perisai.
Kendati demikian, Setan Jari Api tidak merasa gentar. Bahkan ia merasa
kepandaiannya seperti mendapat sebuah ujian berat Maka serangan-serangannya kembali
datang menderu-deru, membuat pertarungan berjalan seru dan mendebarkan!
Sementara itu, tujuh orang pengikut Setari Jari Api kelihatan agak terkejut
menyaksikan pemimpinnya dikeroyok puluhan orang yang menggunakan perisai dan
pedang. Tapi sebelum niat mereka untuk membantu Setan Jari Api terlaksana, tiba-tiba
terdengar teriakan keras yang membuat mereka mencabut senjata masing-masing.
"Tangkap ketujuh orang itu! Bunuh kalau mereka membandel...!"
Perintah itu datang dari seorang senapati lain yang usianya lebih muda dari
Senapati Sura Wijaya. Setelah berseru demikian, tubuhnya melayang diikuti tiga puluh
orang anggota pasukannya.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah di dekat ketujuh orang pengikut Setan Jari Api,
senapati muda itu langsung melancarkan serangan dengan pedangnya.
Bweeet, bweeet...!
Sekali bergerak pedang di tangannya melancarkan empat serangan berbahaya. Dari
sambaran angin pedangnya yang berdesing nyaring, tampaknya senapati muda itu
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Dua lawan yang menjadi sasaran serangannya
berlompatan mundur, dan membalas begitu serangan luput. Sebentar saja pertarungan
pun berlangsung sengit!
Sementara lima tokoh sesat lainnya telah pula mengamuk menghadapi keroyokan
tiga puluh prajurit pilihan yang berkepandaian cukup tinggi. Dalam beberapa jurus saja,
tokoh-tokoh sesat itu dapat didesak mundur oleh pasukan Kerajaan Bungaran!
Breeet...!
"Aaa...!"
Beberapa belas jurus kemudian, korban di pihak tokoh sesat mulai jatuh. Empat
orang temannya kelihatan terkejut bukan main. Mereka tidak mengira pasukan itu
ternyata sangat tangguh dan tidak dapat disamakan dengan pasukan biasa.
Jatuhnya korban di pihak Setan Jari Api membuat datuk sesat itu menjadi kalap.
Serangan-serangannya semakin bertambah hebat! Bahkan mulai melancarkan ilmu
andalan yang jarang dipergunakan untuk menghadapi pasukan perisai dan pasukan
pedang yang telah membuatnya kerepotan.
"Haiiit...!"
Kilatan-kilatan cahaya kemerahan yang menyebarkan hawa panas memenuhi arena
pertarungan. Tampaknya Setan Jari Api tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam
bertindak. Ketangguhan ilmunya memang nyata terlihat. Dua orang anggota pasukan
pedang terpental roboh mandi darah terkena sambaran jari-jari tangan datuk sesat itu.
"Kurang ajar...!"
Senapati Sura Wijaya tentu tidak bisa berpangku tangan melihat keganasan ilmu
Setan Jari Api. Saat itu juga tubuh lelaki tinggi besar itu melayang ke arah pertempuran.
"Haaat...!"
Cwiiit, cwiiit, cwiiit…!
Ujung pedang Senapati Sura Wijaya terpecah menjadi tiga ketika menyerang Setan
Jari Api. Tampaknya senapati tua itu telah menggunakan ilmu andalannya untuk
menghadapi datuk sesat yang hebat itu.
"Bagus...!" puji Setan Jari Api ketika melihat ujung pedang lawan langsung
mengincar tiga jalan darah kematian di tubuhnya.
Tentu saja Setan Jari Api tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran ujung pedang
lawan. Cepat-cepat tubuhnya berkelit, kemudian melancarkan serangan maut dengan
'Ilmu Jari Api'nya.
Kali ini, kendati Senapati Sura Wijaya dibantu kedua pasukannya, Setan Jari Api
tidak dapat didekati dengan mudah. Beberapa anggota pasukan yang nekat langsung
roboh terguling dengan tubuh mandi darah. Memang hebat ilmu datuk sesat itu! Sehingga,
lawan-lawannya mulai dilanda kegentaran. Setan Jari Api tidak ubahnya malaikat maut
yang siap mencabut nyawa mereka.
"Hiaaa...!"
Untuk kesekian kalinya, Setan Jari Api kembali melancarkan serangan maut.
Sehingga...
Bresss...!
"Aaa...!"
Enam orang anggota pasukan Senapati Sura Wijaya menjerit ngeri! Tubuh mereka
terpental dua tombak lebih terkena gempuran pukulan jarak jauh datuk sesat itu, yang
telah menggunakan seluruh tenaga untuk menggempur para pengeroyoknya.
"Iblis gila...!"
Senapati Sura Wijaya benar-benar dibuat kaget oleh sepak terjang datuk sesat itu,
yang memang sangat menggiriskan. Lelaki tinggi besar itu mulai ragu tugasnya bisa
berhasil. Kalau melihat kedahsyatan ilmu lawan, rasanya kecil sekali kemungkinan untuk
dapat melumpuhkan Setari Jari Api.
Tapi meskipun keyakinannya mulai goyah. Senapati Sura Wijaya tidak putus asa.
Ia lebih suka tewas di tangan datuk sesat itu daripada tugas yang dibebankan di
pundaknya gagal.
"Haaat…!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Senapati Sura Wijaya kembali
menggempur Setan Jari Api. Senapati itu dibantu enam orang perwira, dan anggota
pasukan perisai serta pasukan pedang yang masih tersisa.
Datuk sesat berwajah angker itu tampak tidak merasa gentar. Serangan-
serangannya terus mengalir bagai gelombang laut yang ganas dan mematikan! Hingga
pertarungan semakin bertambah seru.
Lewat beberapa belas jurus, Setan Jari Api melihat suatu peluang baik. Maka,
sebuah pukulan telapak tangan segera disarangkan ke tubuh Senapati Sura Wijaya.
Akibatnya....
Plak!
"Hugkh...!"
Tubuh senapati itu terpental memuntahkan darah segar. Pakaian pada bagian
dadanya menghitam dan hancur seperti terbakar. Bahkan sampai menembus kulit, hingga
dagingnya seperti luka bakar.
"Tamat riwayatmu, Panglima Tolol...!"
Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk bangkit, Setan Jari Api sudah
menyusuli dengan serangan mautnya untuk menghabisi nyawa Senapati Sura Wijaya.
Tubuh lelaki gendut itu melayang dengan serangan mematikan. Tapi....
"Yeaaat..!"
Breshhh...!
Pada saat kematian siap menjemput Senapati Sura Wijaya, tiba-tiba melayang
sesosok bayangan yang sekujur tubuhnya terbungkus lapisan kabut putih keperakan.
Benturan keras pun tidak dapat dielakkan lagi. Tubuh Setan Jari Api terjajar
mundur agak terhuyung. Jelas datuk sesat itu kalah tenaga dalam benturan tadi.
DUA
"Bangsat...!"
Setan Jari Api menggeram marah. Kendati benturan itu tidak membuatnya
terjatuh, namun cukup mengejutkannya. Dengan mata berapi-api, datuk sesat itu
memandang ke depan, setelah memperbaiki kedudukan kuda-kudanya.
Sepasang mata Setan Jari Api menyipit ketika melihat sosok tubuh terbungkus
kabut putih bersinar keperakan. Sosok itu berdiri tegak membelakangi Senapati Sura
Wijaya yang tengah bangkit berdiri. Kening senapati tua itu tampak agak berkerut melihat
sosok yang berdiri hanya beberapa langkah di depannya.
Sementara sosok yang sekujur tubuhnya dilapisi kabut putih bersinar keperakan
kelihatan demikian tenang. Ia tidak terpengaruh oleh tatapan mata Setan Jari Api yang
jelas-jelas menunjukkan kemurkaan.
"Siapa kau, Kisanak...?" tegur Setan Jari Api yang tidak berani memandang remeh
sosok berjubah putih. Suaranya mengandung keraguan. Seolah khawatir dugaan yang ada
di kepalanya benar. Sebagai tokoh ternama dalam kalangan rimba persilatan, tentu saja
Setan Jari Api cukup banyak mengenal tokoh-tokoh yang setingkat maupun di atasnya.
Ciri-ciri tokoh di depannya itu pernah sampai ke telinganya.
"Hm...."
Sosok berjubah putih itu bergumam pelan, kemudian bergerak maju beberapa
langkah. Sikapnya yang penuh kewaspadaan menunjukkan sosok itu tidak mau
meremehkan Setan Jari Api.
"Setan Jari Api...," ujar pemuda tampan berjubah putih dengan nada tenang.
"Apakah dosa-dosamu yang telah banyak masih hendak kau tambah lagi? Sadarkah kau
bahwa dengan membunuh senapati itu dosamu semakin tidak berampun? Sebaiknya kau
menyerah secara baik-baik. Dengan begitu, mungkin pihak kerajaan akan meringankan
hukumanmu...."
"Hmh...!"
Mendengar nasihat pemuda tampan itu, Setan Jari Api menggeram marah. Datuk
sesat itu merasa tersinggung, karena ucapan pemuda itu dianggapnya sebagai suatu
penghinaan, ia sungguh tidak bisa menerimanya.
Senapati Sura Wijaya yang berada di belakang pemuda tampan itu segera
mendekat, ia yakin nyawanya telah diselamatkan pemuda itu. Apalagi setelah mendengar
ucapannya. Semakin yakinlah Senapati Sura Wijaya kalau pemuda berjubah putih itu
berada di pihaknya. Maka tanpa ragu lagi, ia melanjutkan ucapan penolongnya.
"Apa yang dikatakan Kisanak ini benar, Setan Jari Api. Seandainya kau mau
menyerah tanpa melawan, aku akan memintakan keringanan hukuman pada sang Prabu.
Aku yakin beliau mau mempertimbangkannya...," ujar Senapati Sura Wijaya kemudian
melempar pandang ke arah penolongnya.
Sosok pemuda tampan berjubah putih itu pun mengalihkan pandang. Hingga
kedua pasang mata itu bertatapan sekilas. Pemuda itu tersenyum menganggukkan kepala
melihat wajah senapati gagah itu menggambarkan rasa heran yang sangat. Senapati Sura
Wijaya memandang tidak percaya.
"Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang namanya telah
menggetarkan jagat...?" ucap Senapati Sura Wijaya ragu.
Mendengar pertanyaan itu, pemuda berjubah putih yang memang Panji,
melebarkan senyum. Tampaknya ia tidak merasa heran kalau senapati gagah itu segera
bisa menebaknya. Sebagai senapati tua yang banyak pengalaman, tentu Senapati Sura
Wijaya telah mendengar julukannya. Panji pun tersenyum sebagai jawabannya, ia
menganggukkan kepala dengan penuh hormat.
"Maafkan kelancanganku. Tuan Senapati...," ujar Panji, karena telah mencampuri
urusan itu.
Senapati Sura Wijaya menggeleng dengan senyum lebar. Segera disalaminya
pemuda tampan berjubah putih itu dengan hangat
"Ternyata cerita yang tersebar selama ini memang tidak berlebihan. Kau benar-
benar seorang pendekar muda yang patut menjadi teladan tokoh-tokoh persilatan. Meski
nama besarmu bergaung menggetarkan jagat, ternyata tidak membuatmu terbius. Aku
sungguh kagum kepadamu, Pendekar Naga Putih...," kata Senapati Sura Wijaya
mendengar ucapan pemuda itu. Kerendahan hati Panji telah menumbuhkan kekaguman
dalam hati senapati tua ini.
Setan Jari Api yang merasa diremehkan menggeram marah. Kedua orang itu seperti
tidak mengindahkan keberadaannya. Pembicaraan kedua orang gagah itu pun terhenti
seketika. Dan berpaling menatap datuk sesat itu.
Namun, sebelum ketiga orang itu sempat membuka suara, mereka dikejutkan oleh
jerit kematian yang melengking nyaring. Langsung saja ketiganya menoleh ke arah asal
jeritan.
Senapati Sura Wijaya dan Setan Jari Api mengerutkan kening melihat sesosok
bayangan hijau tengah menghajar sisa pengikut datuk sesat itu. Tampaknya sosok
bayangan hijau itu berpihak kepada prajurit kerajaan yang memang tengah menggempur
tokoh-tokoh sesat itu. Peristiwa itu menimbulkan perasaan yang berlainan bagi Setan Jari
Api dan Senapati Sura Wijaya. Senapati tua yang gagah itu menarik napas lega. Sedangkan
Setan Jari Api semakin menjadi-jadi murkanya.
"Setan keparat...!" umpat Setan Jari Api menggigil saking marahnya. "Kaulah
penyebab semua ini, Pendekar Naga Putih. Kau akan menanggung akibatnya...!"
Senapati Sura Wijaya melintangkan pedangnya di atas kepala dengan kuda-kuda
rendah dan kedudukan menyamping. Karena saat itu Setan Jari Api tengah mengempos
semangatnya, siap menerjang maju. Tapi, gerakan senapati gagah itu buru-buru dicegah
Panji.
"Maaf, Tuan Senapati. Biarlah aku mencoba menghadapi Setan Jari Api...," pinta
Panji dengan sikap hormat tanpa terkesan hendak meremehkan Senapati Sura Wijaya.
Senapati Sura Wijaya pun tahu diri. Sadar kalau dirinya bukan tandingan Setan
Jari Api, senapati tua itu pun mengangguk dan bergerak mundur beberapa langkah.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Datuk sesat itu sangat berbahaya...," pesan
Senapati Sura Wijaya kepada Panji yang tentu saja tidak meremehkan nasihat itu. Panji
pun tahu kalau yang dihadapinya seorang tokoh tingkat tinggi golongan sesat.
"Terima kasih, Tuan Senapati...," kata Panji yang sudah melangkah maju, siap
menghadapi Setan Jari Api.
"Hmh...!"
Setan Jari Api menggeram melihat pemuda tampan berjubah putih itu telah siap
menghadapinya. Sadar kalau lawannya kali ini seorang pendekar muda yang nama
besarnya telah menggetarkan rimba persilatan, datuk sesat itu langsung mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya.
Akibatnya sangat hebat! Daun-daun di sekitar tempat datuk sesat itu berdiri
berguguran. Pengerahan tenaga Setan Jari Api benar-benar menggetarkan jantung. Datuk
sesat itu tengah mempersiapkan diri untuk bertarung mati-matian!
Demikian pula Pendekar Naga Putih. 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya langsung
dikerahkan untuk menghadapi gempuran datuk sesat itu. Tubuh pemuda itu telah
diselimuti lapisan kabut putih bersinar keperakan. Panji telah siap bertarung dengan
tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Haaat...!"
Setan Jari Api rupanya sudah tidak sabar untuk segera memulai pertarungan.
Dengan sebuah pekikan dahsyat, tubuh lelaki gemuk itu melayang ke arah lawan. Dalam
gebrakan pertama ia langsung melancarkan serangkaian serangan berbahaya. Sasarannya
bagian-bagian mematikan di tubuh lawan.
"Haiitt...!"
Panji pun tidak mau menunggu serangan lawan datang. Saat itu juga, tubuhnya
berkelebat dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata. Gerakannya demikian cepat,
seperti hendak mengimbangi permainan lawan. Sebentar saja, kedua tokoh itu telah
terlibat sebuah pertarungan mendebarkan.
Bweeet, bweeet…!
Dalam jurus-jurus awal, Setan Jari Api demikian gencar melancarkan serangan.
Pukulannya datang bertubi-tubi dengan diiringi hawa panas yang menyengat kulit.
Untunglah tubuh Panji dilindungi lapisan kabut yang memancarkan hawa dingin
menggigit. Kalau tidak, bukan mustahil tubuh Pendekar Naga Putih sudah melepuh oleh
hawa panas yang muncul dari setiap serangan Setan Jari Api.
Ketika pertarungan berjalan semakin jauh, Panji mulai membangun serangan.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga mulai menunjukkan keampuhan.
Sehingga, serangan balasan pemuda tampan berjubah putih itu sempat membuat Setan
Jari Api kewalahan. Datuk sesat itu terpaksa bermain mundur sambil mencari kesempatan
untuk balas menyerang.
Panji tentu saja tahu apa yang ada di pikiran lawan. Maka, ia semakin
mempergencar serangan-serangannya. Sehingga kesempatan yang ditunggu-tunggu Setan
Jari Api hampir tidak pernah ditemukan. Bahkan tokoh sesat itu semakin sibuk
menghindar dan menangkis serangan Pendekar Naga Putih.
"Bedebah! Bocah keparat…!"
Jengkel bukan main hati datuk sesat itu melihat kesempatan yang dinantinya tidak
juga terlihat. Makiannya mulai terdengar sesekali. Sebab ia terus dipaksa bermain
mundur, tanpa diberi kesempatan membangun serangan.
"Heaaah...!"
Karena peluang yang ditunggunya tidak juga terbuka, Setan Jari Api terpaksa
bertindak nekat. Saat pertarungan menginjak jurus ketujuh puluh lima, datuk sesat itu
membentak nyaring seraya melompat panjang ke belakang. Dan begitu kakinya menginjak
tanah, tubuhnya kembali melesat ke depan.
"Haaat...!"
Sambil memekik parau, datuk sesat itu mendorong kedua tangannya ke depan.
Whusss...!
Serangkum angin panas yang sanggup menghanguskan pohon besar berhembus ke
arah Pendekar Naga Putih. Dapat dibayangkan betapa mengerikan serangan yang
dilancarkan Setan Jari Api. Sehingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu setengah
tombak dari tempat itu langsung berlompatan mundur. Tubuh mereka bagai terpanggang
bara api.
Panji pun sadar akan datangnya bahaya yang mengancam. Cepat kedua tangannya
diputar bersilangan di depan dada. Saat berikutnya....
"Heaaat...!"
Pendekar Naga Putih melesat ke depan menyambut gempuran Setan Jari Api
Sepasang tangannya didorong ke depan dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan',
sampai tiga perempat bagian lebih. Itu dilakukan Panji mengingat kepandaian lawan
memang tidak bisa dianggap main-main. Dan....
Blarrr...!
Luar biasa! Ledakan yang memekakkan telinga terdengar saat dua gelombang
tenaga raksasa saling berbenturan di udara. Dua jenis tenaga yang berlainan sifat itu
membuat hawa panas dan dingin silih berganti berhembus di sekitar arena pertarungan.
Bahkan ledakan itu masih disertai kepulan asap tebal yang membuat arena pertarungan
menjadi gelap untuk beberapa saat.
"Aaa...!"
Setan Jari Api yang merasakan kedahsyatan benturan itu menjerit ngeri. Tubuh
datuk sesat itu terlempar balik sejauh empat tombak lebih. Dan terus menghajar sebatang
pohon sepelukan lelaki dewasa, hingga tumbang seketika. Sekujur tubuh datuk sesat itu
masih dipenuhi hawa tenaga andalannya.
Krakkk…!
Seiring robohnya pohon besar itu, tubuh Setan Jari Api terbanting ke tanah.
"Huagkh...!"
Darah kental kehitaman langsung termuntah keluar dari mulut Setan Jari Api.
Wajah tokoh menggiriskan itu tampak pucat. Untuk beberapa saat lamanya ia tidak
sanggup bangkit.
Sementara yang dialami Panji tidaklah separah Setan Jari Api. Meskipun benturan
itu sempat membuat tubuhnya terdorong, namun ia dapat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dengan sebuah putaran manis, daya dorong benturan itu dapat dipatahkan.
Dan Panji meluncur turun tanpa mengalami luka sedikit pun. Kecuali kuda-kudanya
terlihat agak goyah saat kedua kakinya menjejak tanah.
Ketika melihat lawannya masih belum mampu bangkit. Panji melesat ke depan
bagai seekor burung yang terbang melayang. Lalu meluncur turun tepat di hadapan Setan
Jari Api. Tanpa membuang-buang waktu, Panji langsung menotok lumpuh tubuh lawan.
Hingga datuk sesat itu lemas dan tidak mampu lagi menggerakkan anggota tubuhnya.
Melihat akhir pertarungan itu, Senapati Sura Wgaya segera memerintahkan para
prajuritnya untuk menahan Setan Jari Api. Sementara senapati tua itu mendekat Panji
dan dara jelita berpakaian serba hijau. Dara jelita itu adalah Kenanga, yang selalu
menyertai kepergian kekasihnya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Jasamu tidak kecil kepada kerajaan kami.
Kuharap kau bersedia menyertai kami ke kotaraja...."
Senapati Sura Wijaya menjabat tangan Panji erat-erat. Kemudian berpaling ke arah
Kenanga.
"Jasamu pun tidak kalah besar, Nisanak…?"
Kenanga hanya tersenyum saat senapati tua itu menjabat tangannya. Hatinya
merasa lega telah dapat membantu Senapati Sura Wijaya. Sebab gadis ini tahu senapati
tua itu seorang pembesar yang baik dan jujur.
"Tanpa bantuan Tuan Senapati beserta para prajurit yang gagah berani itu, mana
mungkin kami dapat menaklukkan Setan Jari Api dan kawan-kawannya...," tukas
Kenanga, tidak ingin jika senapati tua yang gagah itu membesar-besarkan bantuan mereka
berdua dengan melupakan pasukannya sendiri.
Senapati Sura Wijaya mengangguk-anggukkan kepala dengan kekaguman yang
semakin kental. Ucapan dara jelita itu menunjukkan kerendahan hati seorang pendekar
sejari. Kenyataan itu membuatnya semakin bangga. Memang orang-orang seperti
merekalah yang dibutuhkan orang banyak.
"Kalian berdua benar-benar pendekar sejati, yang tidak menjadi lupa karena pujian
dan sanjungan. Aku sungguh bangga terhadap kalian...," kata Senapati Sura Wijaya
kagum.
"Kuharap Tuan Senapati tidak membuat kepala kami menjadi besar. Apa yang kami
lakukan sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah. Kami yakin pendekar-pendekar lain
pun akan melakukan hal serupa...," tanggap Panji, membuat senapati tua itu tertawa
perlahan.
"Hm.... Bagaimana dengan tawaranku, Pendekar Naga Putih? Apakah kalian tidak
keberatan ikut ke kotaraja bersama kami...?" Senapati Sura Wijaya mengingatkan Panji
dan Kenanga akan ucapannya tadi.
Panji maupun Kenanga tidak segera menjawab. Keduanya saling bertukar pandang
sesaat, seperti hendak meminta pendapat satu sama lain. Kemudian kembali menatap
Senapati Sura Wijaya yang tengah menunggu jawaban mereka.
"Hm.... Sebenarnya kami tidak ingin merepotkan Tuan Senapati. Tapi, rasanya
tidak sopan kalau kami menolak usul itu. Lagi pula kami ingin menuntaskan pekerjaan
ini. Hanya saja kami mempunyai usul. Itu pun kalau Tuan Senapati tidak merasa
keberatan...," ujar Panji.
"Mmm.... Apa yang hendak kau usulkan, Pendekar Naga Putih? Tidak usah segan-
segan untuk mengatakannya...," ucap Senapati Sura Wijaya agak heran.
"Tidak banyak, Tuan Senapati. Kami hanya ingin agar setibanya di kotaraja, Tuan
Senapati memperbolehkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak ingin terlalu
merepotkan...," jawab Panji mengutarakan usulnya.
"Ha ha ha...!"
Senapati Sura Wijaya tertawa mendengar usul Pendekar Naga Putih. Kelihatan
senapati tua ini telah mempunyai rencana dengan pasangan pendekar muda itu. Ucapan
Panji membuatnya sadar kalau rencananya jelas sulit untuk terwujud.
"Pandanganmu sungguh tajam, Pendekar Naga Putih. Sebenarnya aku memang
hendak membawa kalian menghadap sang Prabu. Tapi, karena kau sudah mengatakannya
lebih dulu, baiklah, aku menerima usul itu...," Senapati Sura Wijaya terpaksa
membatalkan rencananya untuk membawa pasangan pendekar muda itu ke hadapan
penguasa negeri.
"Terima kasih atas kebaikan Tuan Senapati...," ujar Panji tersenyum.
Pendekar Naga Putih memang telah menduga apa yang akan dilakukan Senapati
Sura Wijaya, bila mereka tiba di kotaraja. Janji senapati tua itu membuat Panji merasa
lega. Ia tidak ingin mendapat pujian atau hadiah atas apa yang telah dilakukannya.
"Kalau begitu, bisakah kita segera berangkat…?" tanya Senapati Sura Wijaya
kepada pasangan pendekar muda itu, yang tersenyum lebar.
"Terserah kehendak Tuan Senapati. Kami hanya menurut bagaimana baiknya
saja...," tukas Panji yang merasa kagum atas kerendahan hati senapati tua yang gagah itu.
Sebab pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu. Sebagai seorang senapati, lelaki tua itu
bebas berbuat semaunya. Tapi, Senapati Sura Wijaya bertanya kepada mereka. Pertanyaan
itu jelas menunjukkan rasa hormat dan segannya terhadap mereka berdua.
Untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya memperdengarkan tawanya tanpa ragu.
Kali ini agak pelan dibanding tawanya yang pertama. Tampaknya senapati gagah itu sangat
gembira dengan jawaban Panji.
"Ayo kita berangkat...," Senapati Sura Wijaya segera memerintahkan pasukannya
meninggalkan tempat itu.
Sebentar kemudian, puncak Bukit Hitam kembali sunyi. Yang tinggal hanya sosok-
sosok mayat ditemani hembusan angin dingin menjelang fajar.
TIGA
Pagi belum lama datang menggantikan tugas sang Malam. Sinar matahari pun
belum menghangatkan seluruh permukaan bumi. Namun, penduduk kotaraja sudah
berduyun-duyun mendatangi alun-alun istana Kerajaan Bungaran. Kendati agak
berdesakan, namun keadaan itu tidak membuat mereka mengeluh. Hari itu akan ada
peristiwa penting yang hendak mereka saksikan.
Di tengah alun-alun tampak berdiri sebuah panggung yang cukup lebar. Di atasnya
terdapat sebuah tiang kokoh yang pada bagian atasnya terlihat tali gantungan. Di sebelah
tiang, berdiri seorang lelaki kekar bercambang bauk yang hanya mengenakan celana
panjang hitam. Bagian atas tubuhnya polos tanpa baju. Menilik sikapnya yang angker,
dapat ditebak lelaki kekar menyeramkan itu seorang algojo.
Tidak berapa lama kemudian, seorang lelaki gegah berpakaian senapati bergerak
naik ke atas panggung. Langkahnya tegap dengan wajah penuh wibawa, membuat semua
mata tertuju ke arah sosok lelaki gagah itu. Lelaki itu adalah Senapati Sura Wijaya.
Setelah membungkuk hormat ke sebelah kanan panggung, tempat para pembesar
kerajaan serta Prabu Tamanggala duduk, Senapati Sura Wijaya berbalik menghadap
penduduk kotaraja yang kelihatan sudah tidak sabar ingin segera menyaksikan peristiwa
itu.
"Wahai rakyat Kerajaan Bungaran yang tercinta...!" Senapati Sura Wijaya memulai
pengumumannya dengan suara lantang. "Pada pagi ini akan dilaksanakan hukuman
terhadap seorang penjahat besar yang memiliki dosa tak berampun. Selain telah banyak
menyusahkan orang, dia pun telah membunuh seorang senapati kerajaan serta beberapa
perwira di perbatasan. Untuk itu, kami telah memutuskan akan menghukum gantung,
agar menjadi contoh bagi penjahat-penjahat lainnya."
Sampai di situ, Senapati Sura Wijaya menghentikan ucapannya. Kemudian
menoleh ke arah Prabu Tamanggala. Setelah mendapat isyarat anggukan kepala dari
penguasa Kerajaan Bungaran, Senapati Sura Wijaya mengalihkan perhatiannya ke
belakang panggung. Dan memerintahkan prajuritnya agar membawa naik penjahat yang
hendak dihukum gantung.
Pada saat empat orang perwira naik ke atas panggung membawa seorang lelaki
gemuk berperut buncit, penduduk saling menjulurkan kepala hendak melihat penjahat itu.
Terdengar suara makian di sana-sini, hingga suasana menjadi ribut. Suara-suara itu baru
lenyap setelah Senapati Sura Wijaya mengangkat kedua tangannya ke atas.
Suasana kembali tenang. Senapati Sura Wijaya kemudian memerintahkan agar
hukuman segera dilaksanakan. Dan memberikan isyarat kepada empat orang perwira itu
untuk menyingkir ke tepi panggung.
Lelaki kekar bercambang bauk yang akan melaksanakan hukuman menyeret orang
yang tidak lain Setan Jari Api. Tokoh itu kelihatan tidak berdaya. Wajahnya pucat. Cairan
merah tampak di sudut bibirnya. Sesekali terdengar tokoh itu terbatuk. Rupanya luka
dalam yang dideritanya karena bertarung dengan Pendekar Naga Putih semakin parah.
Bahkan tubuh datuk sesat itu kelihatan lemah. Hingga Senapati Sura Wijaya tidak
khawatir jika datuk sesat itu akan mengamuk. Keadaan Setan Jari Api tidak
memungkinkan untuk bertarung. Lelaki gemuk itu tidak membantah saat tubuhnya
ditarik ke tiang gantungan.
Tali gantungan yang tebal dan kuat telah melingkari leher Setan Jari Api. Algojo
pelaksana pun sudah bergerak menyingkir dua tindak. Tangannya yang kekar
menggenggam sebatang kayu yang akan membuka lantai panggung di bawah kaki Setan
Jari Api. Dan saat algojo itu siap menarik kayu bulat yang digenggamnya, mendadak...
"Aaa...!"
Di empat penjuru terdengar jerit kematian susul-menyusul. Tubuh-tubuh
penduduk tampak beterbangan bagai diamuk angin topan. Karuan saja suasana yang
semula tegang menjadi ribut dan sukar dikendalikan. Penduduk yang semula berkerumun
berlarian kian kemari.
Tali gantungan yang tebal dan kuat telah melingkari leher Setan Jari Api. Algojo
pelaksana pun sudah bergerak menyingkir dua tindak. Tangannya yang kekar
menggenggam sebatang kayu yang akan membuka lantai panggung di bawah kaki Setan
Jari Api. Dan saat algojo itu siap menarik kayu bulat yang digenggamnya, mendadak....
"Bawa Gusti Prabu Tamanggala ke dalam istana! Kawal dengan ketat!"
Senapati Sura Wijaya langsung bertindak cepat. Lalu memerintahkan pasukan yang
telah bersiap di sekitar alun-alun untuk segera mengatasi kekacauan itu. Sadar bahwa
keributan itu perbuatan kawan-kawan Setan Jari Api, maka diperintahkannya agar
hukuman segera dilaksanakan.
"Algojo, lanjutkan hukuman! Cepat...!"
Tanpa membuang-buang waktu, algojo bercambang bauk itu segera menarik kayu
bulat yang dipegangnya dengan menekan ke bawah. Seketika itu juga, lantai di bawah
Setan Jari Api terbuka lebar. Namun sebelum tubuh datuk sesat itu terperosok ke bawah
membuat lehernya tercekik tali gantungan, tiba-tiba....
"Haiiit...!"
Sesosok bayangan hitam melesat dengan kecepatan tinggi. Dengan pedang di
tangan, tali gantungan dibabat putus! Dan tubuh Setan Jari Api disambarnya dengan
cepat. Kejadian yang hanya sekejap mata itu tidak bisa dicegah Senapati Sura Wijaya dan
algojo bercambang bauk. Sehingga Setan Jari Api lolos dari kematian!
Perbuatan sosok terbungkus pakaian hitam, yang wajahnya sebagian tertutup kain
hitam, ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sebelum semua yang berada di atas
panggung sadar akan perbuatannya, pedang sosok berpakaian serba hitam sudah
menyambar perut algojo brewok yang masih terkesima. Dan....
Breeet..!
"Aaa...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh algojo brewok itu tersungkur ke bawah panggung
bermandikan darah segar. Perutnya robek oleh sambaran pedang sccok berpakaian hitam
yang memondong Setan Jari Api di bahu kirinya.
"Keparat! Tangkap pengacau itu...!" Senapati Sura Wijaya berteriak memerintahkan
empat perwira yang masih terkesima. Sementara senapati gagah itu sudah melompat maju
dengan pedang di tangan.
Whuuut...!
Sambaran pedang Senapati Sura Wijaya dapat dielakkan lawan dengan melompat
ke bawah panggung. Cepat senapati itu melompat mengejar. Sayang ia mengalami
kesulitan. Sosok berpakaian serba hitam bergerak menyelinap di antara penduduk yang
berlarian tak tentu arah.
"Bangsat..!" maki Senapati Sura Wijaya geram bukan main.
Tentu saja Senapati Sura Wijaya tidak ingin mencelakakan penduduk dengan
pedangnya. Apalagi buruannya demikian licik. Akibatnya, tidak sedikit korban berjatuhan.
Sebab sosok berpakaian serba hitam mengibaskan pedangnya membunuhi penduduk.
Suasana yang demikian kacau dan semrawut membuat Senapati Sura Wijaya dan
pasukannya nyaris tidak berdaya. Pintu keluar yang telah diperintahkan untuk ditutup
jebol. Karena penjahat-penjahat yang jumlahnya cukup banyak itu menggunakan
penduduk untuk menerjang keluar. Hingga para prajurit terpaksa menyingkir. Mereka
tentu saja tidak ingin membunuh penduduk yang tidak berdosa. Akhirnya pengacau-
pengacau itu dapat melarikan diri dengan cara menyebar.
Bukan main geramnya hati Senapati Sura Wijaya. Kendati korban pihak pengacau
telah belasan orang, tetap saja ia gagal mencegah mereka melarikan Setan Jari Api.
Padahal tokoh itu harus mereka tangkap kembali.
Di beberapa tempat pertempuran masih berlangsung. Para pengacau yang
terkepung prajurit kerajaan lebih memilih mati daripada ditawan. Mereka bertarung seperti
orang yang hilang ingatan, hingga tidak peduli lagi dengan nyawa mereka.
Kenyataan itu membuat para prajurit kerajaan kewalahan. Sampai akhirnya
mereka terpaksa membunuh pengacau-pengacau itu.
"Gila! Entah berapa banyak orang-orang golongan sesat yang memasuki kotaraja!
Kelihatannya mereka telah merencanakan kekacauan ini dengan matang!" geram Senapati
Sura Wijaya yang merasa nyaris tidak berdaya menghadapi pengacau-pengacau itu.
Tapi Senapati Sura Wijaya tidak bisa menyalahkan penduduk yang ketakutan,
hingga membuat pihak kerajaan ragu untuk bertindak. Maka meskipun di pihak pengacau
tidak sedikit yang menjadi korban, Setan Jari Api dapat mereka selamatkan dari hukuman.
Padahal itu yang paling penting.
Senapati Sura Wijaya hanya bisa membanting kaki dengan wajah berang.
Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu untuk melapor kepada Prabu Tamanggala,
setelah memerintahkan para prajuritnya membersihkan alun-alun dari puluhan mayat
yang berserakan.
"Senapati Gunawali. Bawa seratus orang prajurit pilihan untuk mengejar pengacau-
pengacau yang berhasil melarikan Setan Jari Api. Aku akan menyusul setelah melaporkan
kejadian ini kepada Gusti Prabu...," kata Senapati Sura Wijaya sebelum pergi.
"Baik, Kakang Senapati...," tukas senapati muda yang berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Maka tanpa banyak tanya, Senapati Gunawali segera menyiapkan pasukan.
Kemudian bergegas melakukan pengejaran dengan menunggang kuda.
***
"Bagaimana semua ini bisa terjadi, Sura Wijaya? Apa kau tidak mempersiapkan
pasukan di sekeliling alun-alun untuk berjaga-jaga?" tegur Prabu Tamanggala dengan
kening berkerut. Nada suaranya jelas menggambarkan kekecewaan yang dalam.
"Ampun, Gusti Prabu...."
Senapati Sura Wijaya bersimpuh beberapa langkah di depan Prabu Tamanggala.
Senapati tua yang gagah itu kelihatan agak pucat. Kepalanya tertunduk dengan kedua
tangan menangkup di atas kepala.
"Sebenarnya semua ini sudah hamba perhitungkan. Tapi, kawan-kawan Setan Jari
Api telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mereka sengaja membuat
kekacauan dengan membunuhi penduduk yang memadati alun-alun. Karena tidak ingin
mencelakakan penduduk, hamba gagal mencegah kepergian mereka, Gusti Prabu. Hamba
mengaku salah, dan siap menerima hukuman....," Senapati Sura Wijaya tetap
menundukkan kepala, tidak berani menatap Prabu Tamanggala.
"Hmh...!"
Prabu Tamanggala mendengus kesal mendengar laporan Senapati Sura Wijaya.
Meskipun alasan itu dapat diterima akal, namun tetap saja penguasa Kerajaan Bungaran
itu merasa kecewa. Penjahat besar yang siap menjalani hukuman mati dapat diselamatkan
kawan-kawannya.
"Ampun, Gusti Prabu...."
Seorang lelaki tua yang tangan kanannya memegang tongkat, dan berdiri di sebelah
kanan Prabu Tamanggala membuka suara.
"Hm...," Prabu Tamanggala hanya bergumam, tanpa berpaling kepada lelaki tua
penasihat kerajaan itu.
"Sebenarnya penjahat besar seperti Setan Jari Api tidak perlu dihukum dengan cara
demikian. Apalagi dengan mempertontonkan di hadapan penduduk. Terbukti apa yang
menjadi kekhawatiran hamba menjadi kenyataan...," ujar orang tua berjenggot putih itu
menjelaskan.
"Hm... Mengapa tidak sejak semula kau bersikeras dengan pendirianmu itu,
Paman? Bukankah kau telah menyetujui keputusan rapat? Mengapa baru sekarang kau
berubah pikiran...?" tegur Prabu Tamanggala dengan nada tak senang.
"Ampun, Gusti Prabu. Hamba terpaksa mengalah dalam rapat. Karena sebagian
besar para pembesar setuju dengan pendapat Senapati Sura Wijaya, yang ingin
memberikan contoh kepada penjahat-penjahat lainnya. Padalah perbuatan itu jelas
mengundang bahaya yang tidak kecil," jelas lelaki tua itu lagi membela diri. Seolah hendak
menimpakan kesalahan kepada Senapati Sura Wijaya. Karena hukuman itu memang atas
usulnya.
"Ampun, Gusti Prabu.,.," Senapati Sura Wijaya tentu saja tidak bisa menerima
tuduhan yang dilemparkan penasihat kerajaan itu. Maka ia menjawab dengan lantang.
"Apa yang hamba usulkan memang merupakan jalan yang terbaik. Dengan menghukum
Setan Jari Api di hadapan rakyat kemungkinan besar kaum golongan sesat tidak akan
berani lagi meremehkan petugas-petugas kerajaan. Dan akan menjadi contoh yang baik
bagi penjahat-penjahat lainnya. Karena bila hukuman itu berhasil kita laksanakan, kaum
golongan sesat tidak akan berani lagi membantai orang-orang kita. Maaf kalau hamba
terpaksa kembali mengulangi ucapan hamba...."
"Tapi, Gusti Prabu..."
"Sudah! Tidak ada gunanya lagi kalian berbantahan!" tegas Prabu Tamanggala
memotong kalimat penasihatnya. Sehingga, lelaki tua itu tidak berani melanjutkan
ucapannya.
Prabu Tamanggala bangkit dari kursinya. Setelah mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan, terdengar ucapannya.
"Sura Wijaya. Sekarang juga bawa pasukan secukupnya! Cari dan bunuh Setan Jari
Api di tempat! Tidak perlu lagi diberi kesempatan manusia jahat itu hidup!"
Setelah berkata demikian, Prabu Tamanggala bergegas meninggalkan ruangan.
Semua pembesar kerajaan bersimpuh dengan kedua tangan ditangkupkan di atas kepala.
"Baik, Gusti Prabu. Titah Paduka akan segera hamba laksanakan...," sahut
Senapati Sura Wijaya tegas. Kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan, setelah sosok
Prabu Tamanggala lenyap di balik pintu.
Para pembesar Kerajaan Bungaran bergegas pergi. Kebanyakan dari mereka lebih
berpihak kepada Senapati Sura Wijaya daripada penasihat kerajaan. Maka tak satu pun
dari mereka menyempatkan diri mengerling kepada lelaki tua yang berdiri tegak
memandangi kepergian mereka. Tubuh lelaki tua itu baru bergerak ketika ruangan telah
sepi.
EMPAT
"Heran, belakangan ini aku sering melihat rombongan prajurit berkuda berkeliaran
ke desa-desa? Mungkinkah ada kerajaan lain yang hendak merebut negeri ini...?" desah
seorang lelaki berwajah kehitaman. Kemudian meneguk teh di hadapannya.
Lelaki tua berwajah tirus yang duduk di sebelah orang itu menoleh sekilas.
Wajahnya ikut dipalingkan ke jalan utama desa. Tapi wajah itu sedikit pun tidak
mencerminkan rasa heran. Sepertinya tidak merasa aneh dengan pemandangan itu.
"Jadi kau belum tahu penyebabnya...?" tanya lelaki tua berwajah tirus yang kumis
dan jenggotnya tumbuh tak beraturan.
"Memangnya ada apa...?"
Lelaki berwajah kehitaman menoleh pada kawannya. Kelihatannya ia memang tidak
tahu penyebab prajurit berkuda sering terlihat berkeliaran di desa-desa, seperti yang saat
itu disaksikannya.
"Hm...."
Lelaki tua berwajah tirus tidak segera menjawab. Dihirupnya teh hangat. Saat itu
mereka sedang berada di sebuah kedai minum.
Kendati lelaki berwajah kehitaman sudah tidak sabar ingin segera mendapat
jawaban, ia tidak mendesak. Ditunggunya lelaki tua berwajah tirus menghabiskan sisa teh
hangatnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Sebenarnya para prajurit berkuda itu bukan hendak berperang, atau berjaga-jaga
terhadap serangan dari luar. Mereka sedang mencari seorang penjahat besar yang selamat
dari tiang gantungan...," jelas lelaki tua berwajah tirus. Ditariknya napas dalam-dalam
seraya mengeluarkan lintingan rokok kawung dari dalam kantung bajunya.
"Merokok..?" lelaki tua berwajah tirus menawarkan lintingan rokok kawung lainnya.
"Tidak. Terima kasih...," sahut lelaki berwajah kehitaman yang berusia kira-kira
empat puluh tahun. Kepalanya menggeleng sambil tetap mengawasi lelaki tua berwajah
tirus yang sibuk dengan rokok kawungnya. Kelihatannya ia berpura-pura tidak tahu kalau
lelaki berwajah kehitaman tengah menunggu kelanjutan ceritanya.
Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam dengan sebuah tarikan panjang, lelaki tua
berwajah tirus menghembuskan asap tebal dengan helaan napas berat.
"Bagaimana penjahat besar itu bisa selamat dari tiang gantungan, Kisanak? Apa
kesalahan penjahat itu sampai harus dihukum gantung?"
Karena kelanjutan cerita yang dinantinya tak kunjung datang, lelaki berwajah
kehitaman akhirnya tidak sabar.
"Kau benar-benar tidak tahu...?" tanya lelaki tua berwajah tirus menegasi, berpura-
pura bodoh. Padahal ia sengaja menggantung ceritanya agar lebih menarik.
"Tentu saja aku tidak tahu. Kalau tahu, buat apa aku menunggu Kisanak sejak
tadi...?" tukas lelaki berwajah kehitaman penasaran. Ingin mengetahui penyebab prajurit
berkuda datang ke desa tempat tinggalnya yang terpencil dan jauh dari keramaian.
"Sebagai pedagang keliling, aku cukup tahu banyak kejadian yang terjadi di negeri
ini. Aku bisa mengetahui peristiwa yang terjadi, kendati letaknya cukup jauh dari desa
yang terpencil ini...."
"Aku tahu, Kisanak! Tapi bukan cerita itu yang ingin kudengar. Kelanjutan
ceritamu tentang penjahat besar yang berhasil lolos dari tiang gantungan yang ingin
kuketahui...," potong lelaki berwajah kehitaman. Ia kelihatan agak jengkel.
"He he he...! Sabar, Kisanak. Cerita yang menarik itu pasti akan kulanjutkan...,"
tukas lelaki tua yang mengaku pedagang keliling seraya terkekeh pelan. Kemudian kembali
menghisap rokoh kawungnya dengan nikmat. Dibiarkannya lelaki berwajah kehitaman
menunggu beberapa saat.
"Kabarnya penjahat besar itu sangat pandai. Kau tahu apa yang membawanya ke
tiang gantungan...?" lelaki tua berwajah tirus melanjutkan ceritanya.
"Tidak...," sahut lelaki berwajah kehitaman seraya menggelengkan kepala kuat-
kuat.
"Ia telah membantai seorang senapati kerajaan! Juga beberapa perwira dan
puluhan prajurit! Bayangkan betapa hebatnya kepandaian penjahat besar itu. Kalau tidak
salah, penjahat besar itu seorang tokoh sesat yang mempunyai banyak pengikut. Kendati
demikian, Senapati Sura Wijaya yang terkenal gagah perkasa berhasil melumpuhkannya.
Meskipun harus dibantu puluhan prajurit serta se-napati-senapati lainnya. Sayang pada
saat pelaksanaan hukuman kawan-kawan penjahat besar itu datang mengacau. Dan
berhasil menyelamatkan penjahat itu yang kalau tidak salah berjuluk Setan Jari Api...,"
pedagang keliling itu menghentikan ceritanya. Dan kembali menghisap rokok dengan
tarikan napas panjang.
"Maaf, Kisanak. Boleh kami bergabung dengan kalian...?"
Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh suara halus di belakang mereka. Cepat
keduanya menoleh.
Tampaklah sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang berwarna putih.
Pemilik tubuh itu seorang pemuda tampan yang tersenyum ramah.
Di sebelahnya berdiri seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang juga
tersenyum pada kedua lelaki itu.
"Boleh kami bergabung..?" pemuda tampan berjubah putih mengulangi
permintaannya. Karena kedua lelaki itu masih tertegun menatap mereka berdua.
"Oh, silakan... silakan...," sahut lelaki tua berwajah tirus menyadari sikapnya yang
ketololan.
"Terima kasih...," ucap pemuda tampan berjubah putih. Lalu menarik dua buah
kursi untuk duduk dirinya dan temannya.
"Kudengar Paman tadi menyebut-nyebut penjahat besar yang kalau tidak salah
berjuluk Setan Jari Api. Benarkah...?" pemuda tampan berjubah putih membuka
percakapan ketika melihat kedua lelaki itu langsung terdiam.
Ucapan pemuda tampan itu tidak mendapat sambutan. Bahkan lelaki tua berwajah
tirus yang tadi bercerita dengan penuh semangat kelihatan agak gelisah, ia merasa curiga
dengan pemuda tampan serta dara jelita itu.
"Tidak perlu takut, Paman," ujar pemuda tampan berjubah putih, yang agaknya
tahu perasaan lelaki tua berwajah tirus. "Kami bukan kawan Setan Jari Api. Kami justru
terkejut mendengar cerita Paman bahwa Setan Jari Api berhasil lolos dari tiang gantungan.
Padahal setahu kami, penjahat besar itu berbahaya sekali. Kalau benar berhasil
diselamatkan kawan-kawannya, berarti malapetaka bagi orang banyak...."
"Bahaya bagi orang banyak?! Apa maksudmu, Anak Muda...?" tanya lelaki berwajah
kehitaman kaget.
"Tentu saja," tukas pemuda tampan itu cepat. "Sebab bukan tidak mungkin
penjahat besar itu akan menumpahkan kemarahannya dengan melakukan kekacauan."
"Wah! Kalau benar demikian, bisa-bisa orang yang tidak bersalah akan celaka...."
Kali ini pedagang keliling yang menimpali. Rupanya ia pun sangat terkejut dan
tidak menyangka kelanjutan kejadian itu akan membahayakan nyawa orang banyak.
Namun sebelum pemuda tampan berjubah putih menimpali, tiba-tiba terdengar
jerit kematian yang ditingkahi teriakan-teriakan parau dan derap kaki kuda. Keempat
orang itu terkejut setengah mati.
"Celaka! Mungkin ini merupakan awal dari dugaanmu, Anak Muda!" desis lelaki tua
berwajah tirus ketika menyaksikan serombongan penunggang kuda datang mengacau
desa. Beberapa penduduk roboh bermandikan darah.
Kendati sempat terkejut, pemuda tampan berjubah putih kelihatan tenang.
Bersama dara jelita berpakaian serba hijau, ia melangkah ke luar kedai. Tidak seperti
pedagang keliling dan lelaki berwajah kehitaman yang menghambur dan menyembunyikan
diri. Tampaknya mereka tidak ingin menjadi korban amukan rombongan berkuda itu.
"Kita harus mencegah mereka sebelum korban jatuh semakin banyak, Kakang...,"
ucap dara jelita berpakaian serba hijau yang kelihatan tidak merasa gentar. Kendati para
penunggang kuda itu rata-rata berwajah bengis dan membunuh tanpa kenal ampun.
Pemuda tampan berjubah putih tidak menyahut. Tapi dari sikapnya jelas terlihat
kaiau ia tidak akan berpangku tangan melihat kekejaman para penunggang kuda itu.
"Hm.... Ke mana perginya rombongan prajurit berkuda yang tadi lewat di depan
kedai...?" desah pemuda tampan berjubah putih mengedarkan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Namun sepanjang jalan utama desa tidak ditemukannya bayangan prajurit
penunggang kuda.
"Mungkin rombongan prajurit itu hanya sekadar lewat Kakang. Barangkali mereka
sekarang telah jauh meninggalkan desa," dara jelita berpakaian serba hijau menimpali
ucapan kawannya.
Mendengar ucapan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji,
segera menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melayang.
"Ha ha ha...! Ayo, bunuh siapa saja yang kita temui...!"
Seorang lelaki berkumis lebat anggota rombongan penunggang kuda berteriak-
teriak sambil tertawa terbahak-bahak. Pedang di tangannya diayunkan ke kiri dan kanan,
ke arah penduduk desa yang berlarian ketakutan. Namun....
Plak!
"Akh...?!"
Suara tawa lelaki berkumis lebat langsung terputus. Tubuhnya terlempar dari
punggung kuda ketika sesosok bayangan putih melancarkan tamparan ke punggungnya.
"Bedebah...!" lelaki berkumis lebat memaki. Cepat ia melenting bangkit meski
punggungnya masih terasa ngilu bukan main. Pedang yang terjatuh segera diambilnya.
Sepasang matanya berputar dengan sorot bengis!
"Hm.... Kau harus hentikan perbuatan biadab ini, Manusia Kejam...!" desis Panji
yang telah berdiri di hadapan pimpinan gerombolan itu. Rupanya Panji yang tadi
melancarkan tamparan ke punggung lelaki berkumis lebat.
"Kurang ajar...!"
Bukannya mematuhi ucapan Panji, lelaki berkumis lebat malah bertambah marah.
Tanpa banyak cakap, langsung saja ia melompat disertai kelebatan pedangnya.
Bwettt...!
Melihat datangnya serangan yang kelihatan cukup mengandung tenaga dalam kuat,
Panji menarik kaki kanannya ke samping. Dengan tubuh miring, serangan pedang lawan
berhasil dihindarkan. Lalu Panji bergerak mundur dengan kening berkerut.
"Hm.... Kalau melihat gerakanmu, aku yakin kau bukan perampok biasa. Menurut
dugaanku, kau pasti mempunyai hubungan dengan Setan Jari Api...," ujar Panji seraya
menatap wajah lelaki berkumis lebat. Dugaan itu langsung muncul begitu melihat gerakan
lawan yang menunjukkan orang itu berilmu cukup tinggi. Bukan pasaran seperti kepala
rampok yang pernah dihadapinya.
"Kalau aku memang mempunyai hubungan dengan Setan Jari Api, kau mau
berbuat apa, Bocah Ingusan! Apa kau hendak menangkapku?" ejek lelaki berkumis lebat,
memandang remeh pemuda tampan berjubah putih itu. Ia menganggap keberhasilan
menghindar Pendekar Naga Putih hanya suatu kebetulan. Tampaknya ia belum sadar
kalau pemuda di hadapannya seorang tokoh persilatan yang telah mengguncangkan jagat
dengan ilmu-ilmu mukjizatnya.
"Hm.... Jika benar begitu, aku akan memaksamu untuk menunjukkan tempat
persembunyian datuk sesat itu...," jawab Panji dengan sorot mata tajam, membuat
lawannya mundur beberapa langkah. Sinar mata pemuda itu menggetarkan hatinya.
"Keparat! Rupanya kau ingin mencari mampus...!" geram lelaki berkumis lebat
kembali mengibaskan pedangnya bersilangan. Dan...
"Haaat...!"
Disertai sebuah teriakan panjang, pimpinan pengacau itu kembali menerjang Panji.
Serangannya kali ini tampak lebih cepat dan ganas. Lelaki berkumis lebat menghendaki
nyawa Pendekar Naga Putih!
Belum lagi serangan lelaki berkumis lebat sampai, tiba-tiba terdengar pekikan yang
susul-menyusul. Dua sosok bayangan datang dengan serangan yang tidak kalah
berbahaya dengan serangan lelaki berkumis lebat. Jelas kehadiran mereka hendak
mengeroyok Panji. Dan Panji yang sadar ketiga pengeroyoknya tokoh-tokoh sesat yang
cukup lihai, segera menyambutnya dengan hangat. Sebentar saja keempatnya telah terlibat
sebuah perkelahian yang cukup seru!
***
Di bagian lain, dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti Kenanga, tengah
bertarung dengan belasan penunggang kuda. Meskipun hanya mengandalkan tangan dan
kakinya, dara jelita itu tidak menjadi gentar. Serangan-serangannya datang laksana
sambaran kilat di angkasa, membuat beberapa lawannya terpelanting dari punggung kuda.
"Haiiit…!"
Tubuh dara jelita itu melenting ke udara saat empat batang pedang datang
mengancam tubuhnya. Dari atas ia mengirimkan tendangan ke arah dua penyerangnya.
Desss, desss...!
Tanpa ampun lagi, dua orang pengeroyok yang terkena tendangan Kenanga pada
punggungnya langsung terguling. Kendati tidak sampai tewas, namun membuat mereka
terbatuk hebat.
"Yeaaat..!"
Menyaksikan ketangguhan dara jelita berpakaian serba hijau, mereka tidak mau
main-main lagi. Disertai teriakan keras yang susul-menyusul, para pengacau itu
berloncatan turun dari atas punggung kuda. Kemudian bergerak membentuk lingkaran
mengepung Kenanga.
"Tangkap perempuan liar itu hidup-hidup untuk permainan kita nanti malam...!"
Seorang pengepung yang bertubuh kekar memberi perintah kepada kawan-
kawannya. Usai berkata demikian, tubuhnya melayang disertai kelebatan senjata yang
mendatangkan deruan angin tajam.
"Hm...."
Kenanga menyadari para pengeroyoknya memiliki kepandaian cukup tinggi, maka
gadis jelita itu pun menyiapkan jurus-jurusnya. Kenanga siap menyambut serangan para
pengeroyoknya yang datang menyerbu bagai sekelompok anjing liar.
Meskipun harus menghadapi keroyokan dalam jumlah cukup banyak, tapi semua
itu tidak membuat Kenanga kewalahan. Dengan kelincahan tubuhnya, dara jelita itu
membuat lawan-lawannya kelabakan. Karena setiap kali pedang datang menyambar,
tubuh dara jelita itu sudah lenyap begitu saja. Sehingga, serangan para pengeroyoknya
hanya mengenai angin kosong. Bahkan serangan balasan Kenanga berhasil mengenai dua
orang pengeroyoknya hingga terjungkal muntah darah. Dan tidak sadarkan diri untuk
beberapa saat lamanya. Kejadian itu membuat para pengeroyoknya tidak lagi berani
memandang remeh.
"Kurang ajar! Perempuan liar itu memang tidak boleh diberi hati!" geram seorang
pengacau yang terkejut menyaksikan sepak terjang Kenanga.
"Sebaiknya lenyapkan saja perempuan liar itu...!" timpal yang lainnya
mengingatkan. Mereka baru sadar kalau dara jelita itu sangat berbahaya.
"Hmh...."
Kenanga hanya mendengus melihat lawan-lawannya berubah pikiran. Kalau tadi ia
hanya sekadar membuat pingsan lawannya, kali ini dara jelita itu tidak lagi memberi hati.
Begitu tangannya bergerak, tahu-tahu sebilah pedang yang berhawa dingin telah
tergenggam.
"Majulah, Manusia-manusia Tengik. Kali ini aku akan mengirim kalian ke
neraka...!" desis Kenanga seraya mengibaskan pedangnya hingga menimbulkan suara
bercicitan menyakitkan gendang telinga.
Walaupun dara jelita itu telah menghunus pedang, namun para pengacau kelihatan
tidak merasa gentar. Mereka kembali menerjang dengan serangan-serangan mematikan.
Mereka hendak membuktikan kata-katanya. Tapi....
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Sekali Pedang Sinar Rembulan berkelebat, dua orang pengeroyok langsung
terjungkal roboh dengan luka memanjang. Mereka tewas seketika. Kenanga memang tidak
main-main menghadapi lawan-lawannya. Pedang yang menyebarkan hawa dingin itu terus
berkelebat mencari korban berikutnya.
Kali ini para pengacau itu baru merasa gentar. Sebab dalam beberapa jurus saja,
dara jelita itu mampu merobohkan separo dari jumlah lawan-lawannya. Ternyata dara
jelita yang kelihatan lemah lembut itu merupakan singa betina yang tidak mudah
dipermainkan.
"Lari...!"
Ketika sadar dara jelita berpakaian serba hijau itu tidak akan sanggup mereka
lawan, para pengacau itu pun segera mengambil keputusan. Sisa orang-orang sesat yang
berjumlah delapan orang itu saling berlomba meninggalkan tempat itu. Mereka mencari
selamat sendiri-sendiri tanpa mempedulikan pemimpinnya yang saat itu tengah bertarung
melawan pemuda tampan berjubah putih.
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manusia-manusia Kejam?! Jangan harap kalian dapat
lolos dari tanganku...!" bentak Kenanga tidak mau membiarkan lawan-lawannya lolos.
Tubuhnya langsung melayang melakukah pengejaran.
Jleg!
Bukan main terkejutnya para pengacau itu ketika tahu-tahu sesosok tubuh
berpakaian serba hijau telah berdiri menghadang beberapa langkah di hadapan mereka.
"Ahhh...!"
Rasa takut yang membuat mereka nekat menerjang maju. Tapi Kenanga tidak lagi
memberi hati. Pedang di tangannya mengibas berkali-kali disertai lesatan tubuhnya.
Teriakan-teriakan kematian pun terdengar susul-menyusul. Dalam waktu singkat, delapan
pengacau itu bergelimpangan mandi darah.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Panji pun telah dapat melumpuhkan lawan-
lawannya. Dua di antara para pengeroyoknya telah melayat ke akhirat. Sedangkan lelaki
berkumis lebat, yang diduga Panji pimpinan para pengacau, telah ditotok lumpuh.
Pendekar Naga Putih ingin mengorek keterangan tentang Setan Jari Api.
"Mengapa tidak kau bunuh saja manusia kejam itu, Kakang...?" tanya Kenanga,
melangkah menghampiri Panji dengan kening berkerut. Rupanya dara jelita itu sangat
geram terhadap para pengacau yang telah membunuh penduduk yang tidak berdosa.
"Kelihatannya orang ini cukup mengenal Setan Jari Api. Kemungkinan besar kita
dapat mengorek keterangan di mana datuk sesat itu berada...," jelas Panji.
Sementara itu, penduduk yang semula ketakutan satu-persatu muncul dari tempat
persembunyiannya. Mereka sangat bersyukur dan berterima kasih, pada pasangan
pendekar muda itu. Sebab tanpa Panji dan Kenanga, mungkin seluruh penghuni desa
akan dibantai orang-orang kejam itu.
"Tidak kusangka...! Pemuda tampan dan dara jelita itu ternyata pendekar-pendekar
hebat!"
Ucapan itu keluar dari mulut lelaki tua berwajah tirus yang tidak lain pedagang
keliling. Ia berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Syukurlah kebetulan mereka singgah di sini. Sehingga, malapetaka bisa
dihindari...," timpal lelaki berwajah kehitaman. Keduanya berdiri di depan pintu kedai
dengan wajah penuh kagum.
"Kenanga, mari kita pergi dari tempat ini...," Panji yang tidak mengharapkan pujian
atas apa yang dilakukannya, segera mengajak dara jelita itu pergi.
"Mari, Kakang,..," sahut Kenanga yang juga tidak ingin direpotkan ucapan-ucapan
terima kasih penduduk desa itu.
Tubuh dara jelita itu melesat mengikuti kekasihnya yang telah bergerak
meninggalkan desa. Sebentar saja tubuh keduanya hanya tinggal bayangan samar di
kejauhan.
Penduduk desa pun baru tersadar dari keterpakuannya. Satu persatu mereka
menghampiri sosok-sosok mayat yang bergelimpangan. Ketika salah seorang dari mereka
menemukan dua sosok tubuh yang masih bernapas, langsung saja penduduk
melampiaskan kemarahannya. Kedua orang yang pingsan itu pun pergi menyusul kawan-
kawannya ke akherat.
"Mampus...!" desis seorang penduduk dengan geram. Diinjaknya kepala anggota
pengacau yang bernasib sial itu berkali-kali. Padahal tanpa disiksa lagi orang itu akan
tewas juga. Tapi hal itu tetap saja dilakukan penduduk secara bergantian. Apalagi mereka
yang keluarganya dibantai pengacau-pengacau itu. Hati para penduduk baru puas setelah
kedua orang itu menghembuskan napas dengan wajah bersimbah darah.
LIMA
"Ke mana lagi kita harus mencari manusia keparat itu, Kakang Senapati? Sudah
berhari-hari kita melakukan pengejaran, dan tidak sedikit orang-orang sesat kita datangi,
tapi sejauh ini hasilnya tetap nihil. Kalau pencarian itu terus dilanjutkan, rasanya kita
tidak akan pernah kembali ke kotaraja...," keluh seorang laki-laki tegap berpakaian
senapati. Wajahnya yang gagah tampak agak lesu. Ucapan itu jelas menyiratkan rasa
putus asanya.
Orang kedua yang juga berpangkat senapati, namun usianya lebih tua dari orang
pertama, menatap kawannya dengan tajam. Kelihatan jelas ia merasa kecewa mendengar
ucapan senapati muda itu.
"Hhh...."
Setelah menghela napas berat cukup panjang, lelaki tua bertubuh gagah itu
bergerak bangkit, dan melangkah keluar tenda. Pandangannya diedarkan ke sekeliling
tempat itu. Tampak puluhan tenda yang lebih kecil dari tendanya bertebaran di tanah
berumput cukup luas yang ditumbuhi satu dua pepohonan.
"Sebagai seorang prajurit, tidak seharusnya ucapan itu keluar dari mulutmu, Adi
Gunawali. Apalagi kau seorang senapati yang memimpin ratusan prajurit. Kuakui tugas ini
sangat berat dan sangat berbahaya. Tapi, semua itu bukan alasan untuk berputus asa.
Anggap saja ini batu ujian bagi kita. Di sini kita harus menunjukkan bahwa jabatan yang
diberikan kepada kita bukan sekadar bermegah-megah. Seharusnya kau sadar akan hal
itu...," ujar senapati gagah yang tidak lain Senapati Sura Wijaya. Tubuhnya membelakangi
Senapan Gunawali, sehingga tidak melihat betapa wajah senapati muda itu menjadi
merah. Ucapan itu membuat semangatnya bangkit Senapati Gunawali tidak ingin dianggap
tidak mampu dan tidak berguna.
"Maafkan aku, Kakang Senapati. Seharusnya memang aku tidak berkata
demikian...," sesal Senapati Gunawali menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Bagus jika kau telah menyadarinya Adi Gunawali. Jangan sampai ucapan itu
melemahkan semangat pasukan kita. Kalau hal itu sampai terjadi, kemungkinan besar
tugas kita akan gagal...," lanjut Senapati Sura Wijaya Kali ini lelaki tua itu berbalik, lalu
menghampiri rekannya.
"Malam semakin larut. Adi Gunawali. Sebaiknya kau beristirahat agar besok pagi
tubuhmu kembali segar saat kita melanjutkan perjalanan...," Senapati Sura Wijaya
menepuk-nepuk bahu senapati muda itu.
"Baiklah, Kakang. Terima kasih atas nasihatmu...," sahut Senapati Gunawali segera
beranjak menuju tendanya. Mereka memang menempati tenda yang berbeda.
Dua orang prajurit yang berjaga di depan tenda Senapati Sura Wijaya cepat
memberi hormat saat Senapati Gunawali melewatinya. Senapati muda itu hanya
bergumam lirih. Kemudian melangkah lebar menuju tendanya yang sama besar dengan
tenda Senapati Sura Wijaya.
Sepeninggal rekannya. Senapati Sura Wijaya termenung, membiarkan pikirannya
melayang tak tentu tujuan, ia bersama pasukannya yang berjumlah seratus orang memang
tidak berangkat berbarengan dengan pasukan Senapati Gunawali. Senapati muda itu
berangkat lebih dulu untuk mengejar pengacau yang melarikan Setan Jari Api. Baru
kemudian ia menyusul bersama pasukannya. Dan bergabung dengan pasukan Senapati
Gunawali yang kehilangan jejak buruannya. Akhirnya mereka bersama-sama melakukan
pengejaran.
"Hhh...."
Senapati Sura Wijaya menghela napas berat ketika teringat titah Prabu
Tamanggala, yang tidak memperbolehkannya kembali ke istana sebelum berhasil
membawa Setan Jari Api ke hadapannya. Ia sadar bahwa ancaman itu tidak main-main.
Keputusan Prabu Tamanggala membuatnya harus bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan tugas berat itu.
Perjalanan jauh dan cukup lama ini membuat tubuh Senapati Sura Wijaya terasa
lelah ketika mengingatnya. Lelaki tua itu merebahkan tubuh disertai helaan napas berat.
Baru saja senapati gagah itu hendak mengendurkan otot-ototnya, tiba-ti
"Aaa...!"
Jerit kematian yang melengking nyaring merobek kesunyian malam, membuat
Senapati Sura Wijaya tersentak bangkit dari tidurnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
ia langsung melompat keluar.
"Apa yang terjadi...?" tanya Senapati Sura Wijaya kepada dua orang prajurit yang
berjaga di depan pintu tendanya. Dilihatnya kedua prajurit itu tengah merunduk dengan
pedang terhunus. Wajah mereka tampak tegang.
"Hamba tidak tahu pasti, Tuan Senapati. Jeritan itu datang dari tenda sebelah
selatan...," lapor salah seorang dari mereka dengan napas agak memburu. Mereka rupanya
cukup terkejut oleh jeritan itu.
"Hm.... Kalian tetap di sini. Jangan pergi ke mana-mana sampai aku kembali..."
Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh Senapati Sura Wijaya telah berkelebat dari
hadapan kedua prajurit itu. Dan terus bergerak ke arah selatan.
Dalam selisih waktu yang tidak lama, dari tenda besar tempat Senapati Gunawali
berada, berkelebat sesosok bayangan. Senapati Sura Wijaya langsung mengenali rekannya.
"Sepertinya suara jeritan itu datang dari anggota pasukan kita, Kakang Senapati?
Entah apa yang telah terjadi...?" ujar Senapati Gunawali agak memperlambat larinya
ketika melihat bayangan Senapati Sura Wijaya berkelebat ke arah yang sama.
Senapati Sura Wijaya tidak menjawab. Ia sendiri belum tahu apa yang telah terjadi.
Akhirnya, mereka pun tiba di tempat kejadian.
"Apa yang terjadi...?" tanya Senapati Sura Wijaya ketika tiba di tempat itu, dan
melihat para prajuritnya tengah bersiaga seperti berjaga-jaga terhadap sesuatu.
"Kami tidak tahu, Tuan Senapati. Tapi, delapan prajurit yang tengah berjaga kami
temukan tewas dengan tubuh tertembus pisau terbang. Menurut dugaan hamba, pasukan
kita telah diserang dengan curang...," lapor seorang lelaki jangkung berpangkat perwira.
Wajahnya tampak agak lega ketika dua senapati yang menjadi pimpinannya tiba di tempat
itu.
"Kurang ajar...! Jadi kita telah diintai penjahat-penjahat tengik itu...!?" geram
Senapati Sura Wijaya sangat marah.
"Bawa dua puluh orang prajurit, dan cepat ikut aku...!" Senapati Gunawali cepat
mengambil tindakan. Dengan membawa enam batang obor, senapati muda itu memimpin
dua puluh orang prajurit untuk memeriksa tempat yang dicurigai.
"Kalian berdua cepat periksa dua arah lainnya! Bawa dua puluh orang prajurit.
Ingat! Jangan bertindak gegabah. Beri tanda jika di antara kalian ada yang menemukan
sesuatu. Tentunya yang mencurigakan...!" Senapati Sura Wijaya memberi perintah kepada
dua orang perwira, yang langsung mematuhi dan bergegas melaksanakan perintah itu.
Senapati Sura Wijaya sendiri tetap berjaga-jaga di tempat itu sambil menunggu
laporan. Diperintahkannya para prajurit untuk segera menyingkirkan mayat kawan-kawan
mereka yang tewas terkena serangan gelap.
Tidak berapa lama kemudian, yang ditunggu-tunggu kembali. Namun tak satu pun
yang menemukan penyerang gelap itu. Sehingga, Senapati Sura Wijaya menjadi geram
bukan main. Ia merasa telah dipermainkan musuh-musuhnya.
"Apakah tak satu pun dari kalian yang dapat mengira-ngira ke mana perginya
manusia licik itu...?" tanya Senapati Sura Wijaya menatap dua orang perwiranya dan
Senapati Gunawali berganti-ganti.
"Kakang Senapati. Menurut dugaanku, penyerang gelap itu semula berada di
selatan. Dari jejak-jejak yang mereka tinggalkan di atas rumput, kemungkinan besar
mereka melarikan diri ke arah selatan," ujar Senapati Gunawali memberikan laporan atas
penemuannya.
"Hm.... Jika demikian, sekarang juga kita harus melakukan pengejaran. Kalau
tidak, mereka akan pergi jauh dan kita sulit menemukannya kembali!" Senapati Sura
Wijaya segera memerintahkan pasukannya untuk bersiap.
"Tapi Kakang Senapati, kita memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk
membongkar tenda-tenda ini..," tukas Senapati Gunawalil mengingatkan.
"Kita tinggalkan saja.... Mmm, tidak. Sebaiknya kalian berdua memimpin dua puluh
orang prajurit untuk membongkar semua tenda. Setelah itu kalian harus menyusul ke
selatan...."
Akhirnya Senapati Sura Wijaya menunjuk dua orang perwira untuk tinggal dan
memimpin pasukan membongkar tenda.
"Perintah siap hamba laksanakan. Tuan Senapati...!" sahut kedua perwira itu tanpa
membantah. Kemudian bergegas membawa dua puluh orang prajurit untuk segera
melaksanakan perintah Senapati Sura Wijaya.
Sementara Senapan Sura Wijaya memerintahkan seluruh pasukan untuk ikut
bersamanya melakukan pengejaran. Malam itu juga mereka bergerak ke selatan dengan
menunggang kuda. Mereka berlari di bawah penerangan obor yang dipegang rombongan
terdepan dan belakang.
***
"Aaa...!"
Lelaki berkumis lebat berteriak kesakitan sambil bergulingan di tanah berumput
yang basah oleh embun. Wajahnya berkerut-kerut menahan sakit yang luar biasa pada
sekujur tubuhnya.
"Kalau kau tetap tidak mau menunjukkan tempat persembunyian Setan Jari Api,
aku akan terus menyiksamu...," kata pemuda tampan berjubah putih yang duduk di atas
batu bersama seorang dara jelita berpakaian serba hijau. Siapa lagi pasangan muda itu
kalau bukan Panji dan Kenanga. Mereka tengah berusaha mengorek keterangan dari lelaki
berkumis lebat.
"Aku tidak tahu...! Tobaaat..!" teriak lelaki berkumis lebat terus bergulingan
kesakitan. Tapi meskipun begitu, ia masih belum juga mau menyerah dan membuka mulut
untuk mengatakan tempat persembunyian Setan Jari Api, yang merupakan datuk kaum
sesat di daerah itu.
Panji terus menyiksa lelaki berkumis lebat yang masih juga membandel. Totokan
yang mendatangkan rasa nyeri dan ngilu di sekujur tubuhnya ternyata tidak berhasil
membuka mulut tokoh sesat itu. Kalau tidak mengingat pentingnya keterangan yang harus
didapat, rasanya Panji tidak sampai hati melakukan penyiksaan seperti itu. Tapi melihat
kebandelan lelaki berkumis lebat, Panji terpaksa mendiamkannya sampai orang itu mau
memberikan keterangan.
Sayang lelaki berkumis lebat itu masih juga keras kepala. Padahal siksaan itu
sangat menyakitkan. Bahkan bisa mengakibatkan kematian yang mengerikan. Panji tentu
saja belum menginginkan tawanannya tewas. Maka ketika darah mulai keluar dari hidung
lelaki berkumis lebat itu, cepat ia melakukan totokan untuk melenyapkan penderitaan
tokoh sesat itu.
"Ouhhh...!"
Lelaki berkumis lebat menggeliat dengan helaan napas panjang yang berat. Sekujur
tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Tulang-tulangnya seperti dilolosi. Jangankan untuk
berdiri, mengangkat kepalanya pun ia tidak mampu.
"Sebaiknya kalian bunuh saja aku.... Percuma semua ini kalian lakukan. Aku tetap
tidak akan mengatakan di mana Setan Jari Api berada...," ujar lelaki berkumis lebat
terputus-putus. Tampaknya ia masih sulit mengatur napasnya yang memburu.
"Hm.... Aku tidak akan menyiksamu lagi, Kisanak. Kau akan kulepas dan boleh
pergi ke mana kau suka...," Panji rupanya telah mendapat jalan keluarnya.
Perkataan Panji membuat lelaki berkumis lebat kaget. Diliriknya wajah pemuda
tampan berjubah putih itu untuk memastikan apakah ucapan pemuda itu sungguh-
sungguh.
"Mengapa kau hendak membebaskan aku, Kisanak…?" tanyanya penasaran dan
belum yakin sepenuhnya akan keputusan yang diambil Panji.
"Sebenarnya aku yakin kau mengetahui tempat persembunyian pimpinanmu itu.
Tapi karena kau takut terhadap hukuman Setan Jari Api, maka kau tetap bersikeras,
meskipun siksaan yang kuberikan sangat menyakitkan. Terpaksa aku harus mencari
sendiri manusia jahat itu...," jelas Panji tersenyum seraya memberikan sebutir pil untuk
melenyapkan rasa sakit, dan memulihkan tenaga.
"Tapi mengapa kau membebaskan aku...?"
Kembali lelaki berkumis lebat itu mendesak, meski tidak menolak pil pemberian
Pendekar Naga Putih. Karena ia yakin obat itu tidak akan mencelakakannya.
"Ketahuilah, Kisanak. Bila kami berhasil menemukan tempat persembunyian Setan
Jari Api, akan kukatakan kau yang memberitahukannya..," Panji menjelaskan jalan keluar
yang baru diperolehnya.
"Ah...?!"
Jawaban Panji membuat wajah lelaki berkumis lebat menjadi pucat. Bahkan
sampai mengeluarkan keringat dingin. Jelas lelaki berkumis lebat itu sangat takut kepada
Setan Jari Api yang merupakan datuk sesat paling kejam dan tidak kenal ampun.
"Selamat tinggal, Kisanak...," pamit Panji tanpa mempedulikan betapa lelaki
berkumis lebat sangat ketakutan.
"Tunggu...!"
Karena takutnya, lelaki berkumis lebat melupakan rasa lelahnya, ia bergegas
bangkit dan mengejar Panji dengan langkah terseok-seok.
"Hm.... Mengapa mengejarku, Kisanak? Bukankah aku telah membebaskanmu?
Kau boleh pergi ke mana kau suka...," Panji membalikkan tubuh. Pemuda itu berpura-
pura bodoh. Padahal ia merasa gembira pancingannya berhasil.
"Mengapa kau tidak bunuh saja aku...? Untuk apa kebebasan ini kalau jiwaku
terancam maut..?"
Lelaki berkumis lebat menjatuhkan tubuhnya, memeluk kedua kaki Panji.
Suaranya sangat memelas. Kegarangannya lenyap tanpa bekas. Sekarang tak ubahnya
searang perempuan lemah yang merengek minta dikasihani. Dia lupa akan kekejamannya
pada orang banyak.
"Maaf, aku tidak bisa meluluskan permintaanmu...," ujar Panji. Lalu melepaskan
kedua kakinya dari pelukan lelaki berkumis lebat. Dan kembali melangkah bersama
Kenanga.
Lagi-lagi lelaki berkumis lebat itu mengejar. Kali ini ia terpaksa mengalah kepada
pasangan pendekar muda itu.
"Baiklah. Aku akan memberitahukan di mana Setan Jari Api berada. Percuma
kalian memberikan kebebasan padaku, kalau jiwaku terancam maut..," ujar lelaki
berkumis lebat terpaksa menyerah. Karena bebas pun percuma. Setan Jari Api pasti akan
mencarinya setelah pemuda berjubah putih itu menemukan tempat persembunyian datuk
sesat itu.
"Hm.... Kalau sejak tadi kau mengatakan, tentu penderitaan yang menyakitkan itu
tidak akan kau terima...," ujar Panji seraya tersenyum penuh kemenangan. "Nah! Sekarang
katakan, di mana tempat persembunyian Setan Jari Api...?"
"Setan Jari Api berada di...," ucapan lelaki berkumis lebat itu terputus. Karena....
Siuuut, siuuut...!
Suara sambaran angin tajam yang bercuitan menyentakkan ketiga orang itu.
Benda-benda bersinar putih meluncur datang mengancam mereka.
"Awasss...!"
Panji yang tahu mereka diserang secara licik, cepat mengingatkan. Pendekar Naga
Putih menghindari dua pisau terbang yang mengarah jalan darah kematian di tubuhnya.
Demikian pula Kenanga. Dara jelita itu menepiskan dua batang pisau yang
mengancam leher dan kepalanya. Sedangkan dua lainnya dihindari dengan melompat
tinggi ke udara. Sehingga baik Panji maupun Kenanga dapat terhindar dari serangan maut
itu. Tapi....
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kematian lelaki berkumis lebat. Tubuh kekar itu terjungkal ke
belakang. Empat batang pisau terbang menancap di tubuh dan tenggorokannya. Tanpa
ampun lagi, lelaki itu tewas seketika!
"Kurang ajar...!"
Panji marah melihat lelaki berkumis lebat tidak bernyawa lagi. Cepat tubuhnya
melesat dengan kecepatan tinggi menuju arah datangnya pisau-pisau terbang yang
diduganya mengandung racun mematikan. Tapi....
Siuuut, siuuut...!
Suara berkesiutan kembali datang mencegah perbuatan Panji. Enam buah cahaya
putih meluncur mengancam enam jalan darah kematian Pendekar Naga Putih.
"Licik...!" umpat Panji seraya mengibaskan lengannya dengan pengerahan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'.
Siuuut, siuuut...! Suara sambaran angin tajam yang berciutan, mengiringi pisau-
pisau terbang yang mengancam Pendekar Naga Putih, Kenanga dan lelaki berkumis tebal.
"Awaaas...!" Pendekar Naga Putih yang tahu mereka diserang secara licik, cepat
memperingatkan. Mereka bergerak cepat menghindar.
Dari suara desingannya, Pendekar Naga Putih tahu kalau senjata beracun itu
digerakkan oleh kekuatan tenaga dalam hebat la tidak meremehkannya begitu saja.
Trak, trak...!
Terdengar suara benda berpatahan. Disusul runtuhnya keenam batang pisau
terbang. Lengan Panji yang berubah sekeras baja telah membuat senjata maut itu gagal
menunaikan tugas majikannya.
Setelah berhasil meruntuhkan senjata lawan, Panji kembali melesat ke arah semak-
semak di depannya. Lapisan kabut putih bersinar keperakan berpendar melindungi
sekujur tubuhnya. Itu dilakukannya untuk berjaga-jaga jika penyerang gelap itu hendak
menyambutnya dengan lemparan pisau-pisau beracun.
Ternyata pisau-pisau terbang itu tidak datang lagi. Bahkan pemilik pisau tidak
nampak batang hidungnya. Padahal baru beberapa saat yang laki pisau-pisaunya masih
datang menyambut tubuh Panji.
"Hei…"!
Telinga Panji yang tajam menangkap gerakan halus beberapa tombak di depannya.
Sayang Pendekar Naga Putih hanya melihat sosok bayangan samar yang semakin jauh.
Pemuda tampan itu menghela napas kecewa. Ia sadar mengejar sosok itu hanya pekerjaan
sia-sia. Selain cukup jauh, pemilik pisau terbang beracun itu pun tampaknya seorang
tokoh yang ahli ilmu meringankan tubuh. Maka Pendekar Naga Putih memutuskan tidak
melakukan pengejaran.
ENAM
"Bagaimana, Kakang...?" sambut Kenanga ketika kekasihnya datang menghampiri.
"Hhh.... Entahlah. Tampaknya pemilik pisau terbang beracun itu bukan tokoh
sembarangan. Selain memiliki kepandaian melempar pisau, ia pun dapat bergerak secepat
terbang...," sahut Panji menghela napas panjang.
"Sayang sekali, Kakang. Orang ini pun tidak bisa kita harapkan lagi...," lanjut
Kenanga seraya menatap mayat lelaki berkumis tebal yang wajahnya berubah kehitaman.
"Racun Ular Tanah...," desis Panji melihat keadaan mayat lelaki berkumis lebat
Pemuda itu termenung, berusaha mengingat tokoh sesat yang menggunakan racun itu.
"Mungkinkah yang melakukan serangan barusan...."
"Raja Pisau Terbang...," tukas Panji memotong. Tampaknya mereka mempunyai
dugaan yang sama.
"Bukankah Raja Pisau Terbang seorang datuk sesat di empat penjuru? Kalau benar
tokoh itu yang melakukan serangan, berarti tokoh-tokoh sesat di empat penjuru telah
bergabung...," ujar Kenanga yang kelihatan agak kaget dengan dugaannya itu. Sebab jika
perkiraan itu benar, berarti mereka akan berhadapan dengan lawan-lawan berat.
"Hm...."
Panji bergerak bangkit dan berdiri tegak dengan tatapan jauh ke depan. Dugaan itu
mencemaskan hatinya. Kalau benar datuk-datuk sesat itu telah saling bantu, tentu
prajurit Kerajaan Bungaran akan menghadapi bahaya besar. Bukan mustahil para prajurit
yang tengah memburu Setan Jari Api akan menemui celaka di tangan tokoh-tokoh sesat
yang kejam dan licik. Apalagi mereka belum tahu keadaan Setan Jari Api saat ini.
"Untuk membuktikaan dugaan itu, bagaimana kalau kita mendatangi tempat
kediaman Raja Pisau Terbang...?" usul Kenanga ketika melihat kekasihnya termenung.
Dara jelita itu tidak tahu kalau Panji bukan sedang memikirkan bahaya yang akan
dihadapinya, tapi nasib tentara Kerajaan Bungaran.
"Aku pun sudah memikirkan tindakan itu. Tapi, yang saat ini tengah kupikirkan
adalah bahaya yang akan menimpa tentara Kerajaan Bungaran. Kalau sampai kedua tokoh
sesat itu bersatu, celakalah mereka!" tukas Panji, membuat Kenanga mengerutkan kening.
Dara jelita itu tampak sedikit terkejut.
"Kalau begitu, kita harus segera menemui Senapati Sura Wijaya, Kakang. Hal ini
harus kita beritahukan kepada beliau...."
Kembali Kenanga mengajukan usul. Rupanya dara jelita itu pun tidak hanya
memikirkan keselamatan diri sendiri. Buktinya ia masih memikirkan bahaya yang
mengancam tentara Kerajaan Bungaran.
"Benar. Kita harus mengingatkan Senapati Sura Wijaya Tapi, ada baiknya kita
buktikan dahulu semua ini. Baru kemudian kita menemui beliau...," ujar Panji tidak
berani melaporkan sesuatu yang belum dibuktikan kebenarannya.
"Itu lebih baik, Kakang...," Kenanga sangat setuju dengan ucapan kekasihnya "Mari
kita segera berangkat..."
"Tapi ingat! Kita hanya sekadar membuktikan, bukan hendak menyerang...," Panji
mengingatkan sebelum mereka menyatroni tempat kediaman Raja Pisau Terbang.
"Aku akan ingat nasihatmu, Kakang...," sahut Kenanga. Hingga Panji tidak lagi
khawatir kekasihnya akan melakukan tindakan di luar rencana. Karena dara jelita itu
terkadang tidak bisa mengendalikan perasaannya bila melihat kekejaman atau
ketidakadilan berlangsung di depan matanya. Dan itu seringkali terjadi.
Setelah merasa yakin Kenanga akan dapat menahan diri, pasangan pendekar muda
itu bergerak menuju selatan. Raja Pisau Terbang tinggal di sekitar wilayah itu.
Baru beberapa saat mereka berlari, tiba-tiba Panji menahan langkahnya.
Pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dalam jumlah banyak,
arahnya dari belakang mereka.
Kenanga yang belum mendengar sesuatu ikut menahan langkahnya, dan menoleh
ke arah Panji dengan kening berkerut. Belum lagi mulurnya terbuka untuk bertanya,
telinganya menangkap suara derap kaki kuda di kejauhan. Sehingga dara jelita itu tahu
apa yang menyebabkan langkah kekasihnya terhenti.
"Siapa mereka, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya melempar pandang ke arah
yang dituju Pan
"Mungkin para prajurit Kerajaan Bungaran. Atau, siapa tahu Setan Jari Api telah
bergabung dengan Raja Pisau Terbang dan mengundang seluruh golongan hitam untuk
bergabung. Sebaiknya kita menunggu rombongan penunggang kuda itu dari tempat
tersembunyi...," ujar Panji menyahuti ucapan kekasihnya. Setelah berkata demikian,
matanya beredar ke sekeliling tempat itu.
Dan begitu menemukan tempat persembunyian yang cukup baik, Panji segera
mengajak Kenanga. Keduanya berlindung di balik batu besar, menanti pasukan berkuda
yang derapnya telah sampai ke telinga.
Tidak berapa lama kemudian, yang mereka tunggu-tunggu kelihatan. Diiringi derap
bergemuruh, muncullah serombongan besar penunggang kuda. Dari bendera yang
berkibar di kiri dan kanan pimpinan rombongan, Panji dan Kenanga segera mengenali
rombongan itu. Apalagi setelah melihat wajah pimpinan rombongan yang berjalan paling
depan. Keduanya segera melompat keluar dari tempat persembunyian.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Kepala rombongan pasukan berkuda yang tidak lain Senapati Sura Wijaya berseru
setengah tak percaya. Wajahnya cerah seketika, ia telah mengenal baik kedua pendekar
muda itu.
"Selamat bertemu lagi, Tuan Senapati...," Panji membungkukkan tubuh memberi
hormat.
Senapati Sura Wijaya langsung menghentikan pasukannya, dan melompat turun
dari punggung kuda. Kemudian bergegas menghampiri pasangan pendekar muda itu, yang
berdiri di tepi jalan. Dipeluknya Panji erat-erat sebagai tanda kegembiraan hatinya.
Sehingga, para prajurit yang belum mengenal pemuda tampan berjubah putih itu
memandang heran pada sikap pimpinannya yang kelihatan begitu akrab.
"Senang sekali aku dapat bertemu lagi denganmu. Pendekar Naga Putih," ujar
Senapati Sura Wijaya kemudian menyalami Kenanga. Tentu saja senapati gagah itu tidak
melupakan dara jelita itu. Berkat bantuan mereka berdualah Setan Jari Api dapat ditawan.
Dan itu tidak dilaporkan kepada Prabu Tamanggala karena permintaan Panji dan Kenanga.
Sehingga, para prajurit yang tidak ikut menyerbu Bukit Hitam tidak tahu.
"Aku pun senang dapat berjumpa lagi dengan Tuan Senapati. Tapi, hendak ke
manakah Tuanku dengan membawa pasukan cukup besar seperti ini...?" tanya Panji
mengalihkan perhatian ke barisan prajurit yang masih berada di atas punggung kuda.
Sadar kalau bantuan pendekar muda itu memang sangat diharapkan, Senapati
Sura Wijaya segera menceritakan peristiwa yang menewaskan delapan prajuritnya. Juga
mengenai tujuan perjalanannya.
"Hm...."
Panji bergumam perlahan mendengar penuturan Senapati Sura Wijaya. Ia menduga
pelaku pembunuhan itu kemungkinan besar Raja Pisau Terbang. Karena senjata yang
dipergunakan juga berupa pisau terbang.
"Kau mempunyai dugaan siapa kira-kira pelaku pembunuhan itu, Pendekar Naga
Putih...?" tanya Senapati Sura Wijaya ketika melihat pemuda tampan berjubah putih itu
termenung setelah mendengar ceritanya. Dalam pertanyaan senapati tua yang gagah itu
terkandung harapan. Sebab ia yakin pemuda itu banyak mengenal orang-orang persilatan.
"Aku memang mempunyai dugaan, Tuan Senapati. Tapi, aku belum bisa
memastikannya...," sahut Panji.
"Siapa, Pendekar Naga Putih? Meskipun baru perkiraan, tapi aku akan
menyelidikinya. Sebab, bukan mustahil dugaanmu tidak keliru...," desak Senapati Sura
Wijaya. Kelihatannya senapati gagah itu menaruh kepercayaan penuh kepada Pendekar
Naga Putih.
"Besar kemungkinan pelaku pembunuhan itu seorang datuk tokoh sesat. Tokoh itu
berjuluk Raja Pisau Terbang. Kami berdua pun hendak menyelidikinya. Karena menurut
kabar yang tersiar di luaran. Setan Jari Api telah diselamatkan kawan-kawannya dari tiang
gantungan. Benarkah demikian, Tuan Senapati...?" jelas Panji sekaligus hendak
mengetahui kebenaran berita itu.
"Berita itu memang benar. Pendekar Naga Putih. Sekarang ini pun aku tengah
memburu Setan Jari Api dan kawan-kawannya. Celakanya iblis itu sangat pandai dan licin
seperti belut. Hingga, sampai saat ini kami belum juga berhasil menemukan tempat
persembunyiannya. Padahal Gusti Prabu Tamanggala telah memberikan ancaman kepada
kami agar jangan kembali sebelum menemukan Setan Jari Api hidup atau mati.
Tampaknya beliau murka dengan kejadian di alun-alun," papar Senapati Sura Wijaya
tanpa bermaksud mengadu. Kalau semua itu diceritakannya, karena ia ingin menceritakan
kebenaran berita yang didengar pemuda itu.
"Jika demikian, jelas Tuan Senapati bersama pasukan tengah dalam tugas yang
berat. Kalau diperkenankan, ingin rasanya hamba ikut menyumbangkan tenaga dan
pikiran untuk ketenteraman negeri dan orang banyak..," tukas Panji menawarkan diri
untuk menolong. Senapati gagah itu tersenyum gembira menyambut uluran tangan
Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, mari kita bersama-sama mendatangi tempat kediaman Raja Pisau
Terbang...," ajak Senapati Sura Wijaya.
"Maaf. Bukannya aku tidak suka melakukan perjalanan bersama-sama, tapi
menurut hamba sebaiknya Tuan Senapati berangkat lebih dulu. Biar hamba berdua
menyusul. Ini hanya untuk berjaga-jaga kalau perjalanan kita diikuti musuh," kata Panji
dengan terpaksa menolak. Sebab baru beberapa saat yang lalu ia diserang orang yang
kemungkinan besar telah cukup lama mengikutinya.
"Baiklah...!"
Senapati Sura Wijaya tidak memaksa. Senapati gagah itu segera melompat ke atas
punggung kuda. Dan rombongan pasukan itu bergerak melewati Panji dan Kenanga yang
mengiringi dengan pandang mata.
Setelah rombongan Senapati Sura Wijaya lewat, pasangan pendekar itu bergerak ke
arah yang berlawanan. Mereka hendak mengambil jalan memutar. Pikiran itu baru didapat
Panji setelah berjumpa dengan rombongan pasukan Senapati Sura Wijaya.
***
Rumah besar yang terletak di tengah hutan kecil itu tampak sepi seperti tidak
berpenghuni. Pagar kayu bulat yang berdiri tegak di sekelilingnya terlihat lapuk di
beberapa bagian. Kelihatan sekali penghuni bangunan itu tidak mempedulikan kebersihan.
Apalagi keindahan. Malah seakan ingin menampilkan keangkeran. Pemilik rumah besar itu
memang bukan orang baik-baik. Namanya sangat ditakuti kalangan rimba persilatan.
Kekejaman serta kepandaian penghuni rumah besar itu sudah sangat terkenal. Dengan
'Ilmu Pisau Maut'nya, nama tokoh itu semakin melambung. Tidak sedikit orang yang telah
kehilangan nyawa di tangan sosok sesat itu. Sampai orang memberikan julukan Raja Pisau
Terbang kepada pemilik rumah besar besar yang kotor itu. Nama itu sejajar dengan datuk
sesat di empat penjuru.
Kendati rumah besar itu tempat tinggal seorang datuk golongan hitam, namun
tidak terlihat pengikut tokoh sesat itu berjaga-jaga. Para pengikut Raja Pisau Terbang
ditempatkan secara tersembunyi untuk berjaga-jaga di sekeliling bangunan. Boleh dibilang
tidak satu pun orang yang akan luput dari pengawasan penjaga-penjaga rumah besar itu.
Siapa saja yang datang, kecil kemungkinan lolos dari pengawasan mereka.
Biasanya tempat tinggal Raja Pisau Terbang hampir tidak pernah didatangi orang.
Tapi kali ini ada kekecualian. Pada hari itu tampak serombongan orang bergerak
memasuki kawasan hutan kecil tempat bangunan itu berdiri. Mereka menambatkan
binatang tunggangannya di pepohonan. Kemudian bergerak memasuki hutan.
Ternyata bukan hanya dari arah barat saja mereka datang. Dari tiga arah mata
angin lainnya pun rombongan-rombongan lain bergerak memasuki hutan. Mereka rupanya
hendak mengurung tempat itu. Dugaan itu memang tidak salah. Rombongan itu adalah
pasukan Senapati Sura Wijaya yang dipecah untuk mengepung hutan kecil itu.
Tempat kediaman seorang datuk sesat seperti Raja Pisau Terbang memang tidak
sulit ditemukan. Nama tokoh itu demikian terkenal. Hingga banyak kaum persilatan
mengetahui tempat tinggalnya. Maka Senapati Sura Wijaya pun dapat dengan mudah
menemukannya.
Dalam waktu singkat, bangunan tua itu telah terkepung dari empat penjuru. Tapi
meskipun begitu, suasananya tetap tidak berubah. Padahal tidak mungkin penghuni
bangunan itu tidak mengetahui kedatangan tamu-tamu tak diundang itu. Jadi sungguh
aneh jika tidak terlihat kesibukan di dalamnya.
"Raja Pisau Terbang...!" Senapati Sura Wijaya berteriak lantang memanggil datuk
sesat itu. "Kuminta kau segera keluar! Kalau tidak, tempat ini akan kami jadikan lautan
api...!"
Dengan gagah, Senapati Sura Wijaya berdiri menunggu kemunculan datuk sesat
itu. Sepasang matanya menatap pintu gerbang dari kayu bulat. Tapi sampai beberapa saat,
seruan senapati gagah itu tidak mendapat sambutan. Suasana tetap sepi dan mati.
"Bagaimana kalau Raja Pisau Terbang ternyata tidak berada di tempatnya, Kakang
Senapati?" ujar seorang lelaki tegap yang berpakaian sama dengannya. Lelaki tegap itu
adalah Senapati Gunawali yang selalu mendampingi rekannya itu dalam banyak tugas.
"Hm.... Jika benar demikian, kita ratakan saja tempat ini. Tapi menurut dugaanku,
datuk sesat itu berada di dalam bangunan. Siapa tahu mereka tengah menyusun siasat
licik...," tukas Senapati Sura Wijaya.
Mendengar jawaban rekannya, Senapati Gunawali tidak berkata apa-apa.
Pandangannya kembali beralih ke pintu gerbang yang sampai saat itu belum juga
membuka. Dan kelihatannya memang tidak akan pernah terbuka untuk mereka.
"Raja Pisau Terbang! Sekali lagi kuperlngatkan! Tempat ini sudah terkepung
ratusan prajurit kerajaan! Kalau kau tidak ingin tempat ini menjadi abu, segeralah
keluar...!" untuk kedua kalinya Senapati Sura Wijaya berseru lantang. Kemudian
menunggu datuk sesat itu mematuhi perintahnya.
Tapi, untuk kedua kalinya pula teriakan Senapati Sura Wijaya tidak mendapat
tanggapan. Sehingga, kemarahan senapati gagah itu bangkit. Dan ia membuktikan
ancamannya.
"Hancurkan pintu gerbang itu...!" perintah Senapati Sura Wijaya setengah
membentak. Langkahnya digeser agak menjauh dari pintu gerbang. Dan....
Brakkk!
Pintu gerbang itu ternyata tidak terkunci. Enam orang prajurit terkuat
mendobraknya dengan menggunakan batang pohon, dan pintu gerbang itu langsung
terbuka lebar. Tapi....
Ziiing… ziiing...!
"Aaa...!"
Belasan prajurit yang berdiri beberapa tombak dari pintu gerbang menjerit ngeri.
Tubuh mereka terpelanting roboh dengan tubuh tertembus anak panah. Rupanya pintu itu
dipasangi jebakan yang langsung bekerja begitu pintu dibuka secara paksa. Hasilnya
memang tidak mengecewakan. Belasan prajurit menjadi korban.
"Kurang ajar...!"
Kejadian itu benar-benar membuat darah Senapati Sura Wijaya mendidih. Karena
baik dirinya maupun Senapati Gunawali tidak terlepas dari ancaman anak panah lawan.
Untung mereka masih dapat menyelamatkan diri dengan meruntuhkan masing-masing tiga
batang anak panah yang datang mengancam.
"Serbuuu...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Senapati Sura Wijaya memerintahkan pasukannya
menyerbu. Dan tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit pilihan itu menyerbu masuk ke
dalam bangunan.
Penyerbuan itu bukan hanya datang dari bagian depan bangunan. Dari belakang,
yang juga terdapat pintu gerbang, juga telah dimasuki tentara Kerajaan Bungaran. Tapi
seperti juga di bagian depan, di belakang bangunan itu pun telah jatuh korban akibat
jebakan-jebakan yang dipasang pengikut Raja Pisau Terbang. Semua jebakan itu
mendapatkan hasil memuaskan!
Tapi, bahaya-bahaya maut itu ternyata masih berkelanjutan. Saat pasukan
kerajaan memasuki pekarangan, kembali terdengar jerit kematian menyayat. Banyak di
antara prajurit yang terjebak lubang-lubang maut dengan benda-benda runcing di
dasarnya. Selain itu, masih terdapat serangan ular-ular beracun. Kenyataan itu di luar
perhitungan Senapati Sura Wijaya.
"Mundur...!"
Sadar kalau dibiarkan berlarut-larut akan banyak anggota pasukan mati sia-sia,
Senapati Sura Wijaya segera memerintahkan mundur. Tapi, bukan berarti senapati gagah
itu menyerah. Sama sekali tidak! Justru untuk memperhitungkan langkah selanjutnya.
Karena jebakan-jebakan yang banyak terdapat di sekitar bangunan sedikit pun tidak
pernah diduganya. Sehingga, akibatnya cukup merugikan pasukan kerajaan. Padahal
mereka belum membunuh satu orang pun dari pihak lawan.
Setelah mengalami kejadian yang cukup pahit itu, barulah Senapati Sura Wijaya
sadar kalau tempat yang dimasukinya tidak dapat disamakan dengan tempat lain.
Penghuni rumah besar itu adalah seorang datuk sesat yang licik dan ahli racun. Senapati
Sura Wgaya menyalahkan dirinya yang telah melupakan dua hal itu. Untuk selanjutnya ia
berjanji tidak akan mudah dikelabui lawan yang sampai saat itu belum juga kelihatan
batang hidungnya.
"Lempari bangunan itu dengan obor...!" perintah Senapati Sura Wijaya hendak
membalas kelicikan lawan.
Sebentar saja, puluhan batang obor dengan lidah api yang menjilat-jilat
berhamburan menghujani rumah besar itu. Kobaran api mulai terlihat di beberapa tempat.
Dapat dipastikan bangunan itu akan segera lenyap dilalap si jago merah!
"Hm.... Siapkan anak panah! Bunuh siapa saja yang keluar dari dalam
bangunan...!" perintah Senapati Sura Wijaya seraya tersenyum penuh kemenangan melihat
kobaran api kian membesar. Kali ini ia merasa pasti para penghuni rumah besar itu akan
bermunculan. Mereka tentu tidak ingin dibakar hidup-hidup, hingga akan memilih keluar
daripada terpanggang api.
TUJUH
"Seraaang...!"
Melihat belasan orang berlompatan keluar dari dalam bangunan, Senapati Sura
Wijaya segera memerintahkan pasukan panah untuk menyerang.
"Aaa...!"
Beberapa orang berwajah bengis yang sudah pasti pengikut-pengikut Raja Pisau
Terbang menjerit ngeri. Tubuh mereka terjungkal tewas. Sedang sebagian lainnya berhasil
menyelamatkan diri dengan putaran pedangnya. Gerakan mereka sangat cepat dan kuat.
Hal itu tentu saja tidak aneh. Mereka murid-murid Raja Pisau Terbang yang
kepandaiannya sulit diukur.
"Haaat...!"
Dua belas lelaki kasar itu nekat berlompatan menerjang. Sambaran pedang mereka
menunjukkan kepandaian yang cukup tinggi dan berbahaya. Bahkan beberapa di
antaranya menggunakan jarum-jarum beracun. Sehingga, anggota pasukan Senapati
SuraWijaya berjatuhan tewas terkena jarum beracun.
"Keparat..!" Senapati Sura Wijaya menggeram marah. Langsung saja ia
memerintahkan pasukan perisai dan pedang untuk maju menghadapi serbuan dua belas
tokoh sesat itu.
Pertempuran jarak dekat pun tak dapat dihindari lagi. Kali ini kedua belas pengikut
Raja Pisau Terbang tidak bisa berbuat seenaknya. Bahkan senjata rahasia mereka tidak
berguna lagi. Karena setiap kali dilemparkan, selalu saja dapat digagalkan pasukan
perisai. Hingga akhirnya mereka harus bertarung dengan mengandalkan ilmu pedang.
Pasukan pedang dan perisai yang telah terlatih dengan baik tentu tidak mudah dihadapi.
Dalam beberapa jurus, korban di pihak lawan mulai berjatuhan.
Breeet, breeet...!
"Aaa...!"
Tiga orang pengikut Raja Pisau Terbang terlempar dengan tubuh bersimbah darah.
Ketangguhan pasukan pedang dan perisai membuat lawan menjadi gentar. Tapi, jalan
untuk melarikan diri sudah tertutup. Mau tidak mau mereka harus melawan sampai titik
darah penghabisan.
Namun betapapun mereka berusaha mempertahankan diri, tetap saja tidak
sanggup menghadapi gempuran yang datang terus-menerus laksana gelombang lautan.
Perlawanan mereka pun sia-sia. Kedua belas lelaki kasar itu tergilas habis tanpa sisa
seorang pun. Semuanya tewas di tangan pasukan perisai dan pedang yang memang sangat
tangguh.
Senapati Sura Wijaya heran ketika dari dalam bangunan yang nyaris musnah
terbakar itu tidak ada lagi yang keluar. Tentu saja ia tidak percaya jumlah pengikut Raja
Pisau Terbang hanya sekian saja. Tapi, semua itu terpaksa harus diterimanya. Karena
tidak ada seorang pun yang muncul dari dalam bangunan. Bahkan setelah seluruh
bangunan habis terbakar.
"Gila! Apakah Raja Pisau Terbang memang tidak berada di tempat ini...?!" geram
Senapati Sura Wijaya yang tidak menduga penghuni bangunan besar itu hanya beberapa
belas orang saja. Tapi, kenyataannya memang demikian. Itu hanya diterimanya meski
dengan kekecewaan besar.
"Sudah kuduga, Kakang Senapati. Rasanya tidak mungkin datuk sesat itu lebih
suka terpanggang api daripada menghadapi kita. Kalau melihat sambutan yang kita
terima, rasanya manusia jahat itu memang sudah mempersiapkan segalanya. Buktinya
banyak sekali jebakan yang terpasang...," timpal Senapati Gunawali yang juga kelihatan
sangat kecewa atas kenyataan itu. Sebab korban di pihaknya jauh lebih banyak daripada
di pihak lawan yang hanya beberapa belas nyawa itu.
Tapi, Senapati Sura Wijaya tidak mudah puas. Ia yakin Raja Pisau Terbang berada
di dalam bangunan. Hanya yang tidak dimengerti, mengapa datuk sesat itu tidak keluar
saat banguan terbakar. Maka....
"Bongkar reruntuhan bangunan itu...!" perintah Senapati Sura Wijaya penasaran, ia
ingin melihat kalau-kalau ada penghuni bangunan yang tewas terbakar.
Kendati agak heran, anggota pasukan tidak membantah perintah atasannya.
Mereka membongkar puing-puing bangunan yang beberapa di antaranya masih
mengepulkan asap tipis. Namun tidak sesosok pun terlihat mayat yang terbakar.
Tampaknya di dalam bangunan itu memang tidak ada penghuni lain.
"Hhh...!"
Senapati Sura Wijaya mendesah kecewa. Pasukannya tidak berhasil menemukan
bangkai manusia. Itu membuatnya penasaran.
"Rupanya Raja Pisau Terbang telah mengetahui kedatangan kita, Kakang Senapati.
Ia sengaja mempermainkan kita. Mungkin saat ini ia tengah menertawakan kebodohan
kita...," ujar Senapati Gunawali perlahan dengan nada getir.
"Tidak, Adi Gunawali. Aku yakin Raja Pisau Terbang ada di dalam bangunan saat
kita menyerang. Ingat ular-ular yang menyambut pasukan kita? Nah, itu jelas merupakan
bukti keberadaan Raja Pisau Terbang. Kalau tidak, lalu siapa yang mengendalikan ular-
ular beracun itu?" bantah Senapati Sura Wijaya. Apa yang dikatakannya memang benar.
Sebab tidak mungkin ular-ular itu datang menyambut tanpa perintah majikannya.
"Kalau begitu, ke mana perginya datuk sesat itu…?" gumam Senapati Gunawali
memandang rekannya.
"Itu yang membuatku tidak habis mengerti...."
"Rasanya tidak mungkin datuk sesat itu dapat meninggalkan tempat ini tanpa
diketahui pasukan kita...," timpal Senapati Gunawali yang rupanya dapat menerima alasan
rekannya.
Satu hal yang membuat kedua senapati itu tidak mengerti, mengapa Raja Pisau
Terbang tidak keluar menyambut mereka? Ke mana perginya datuk sesat yang terkenal
licik itu?
"Sudahlah. Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Kita cari perkampungan untuk
melewatkan malam...."
Karena Raja Pisau Terbang tidak dapat mereka temukan, akhirnya Senapati Sura
Wijaya mengajak pasukannya meninggalkan tempat itu. Mereka mencari perkampungan
untuk melewatkan malam. Sebab saat itu matahari sudah semakin condong ke barat.
***
Greeeekkk...!
Sepeninggal pasukan Senapati Sura Wijaya, tiba-tiba sebuah batuh pipih yang
berada di antara puing-puing bangunan membuka.
"He he he...!"
Diiringi tawa mengekeh serak, sesosok tubuh tinggi kurus melompat keluar dari
bawah batu pipih itu. Rupanya di bawah batu itu terdapat sebuah ruangan rahasia.
Terlihat masih ada beberapa sosok tubuh lain muncul berturut-turut.
"Sebenarnya aku tidak setuju dengan caramu ini, Raja Pisau Terbang."
Seorang lelaki berperut buncit yang mengenakan baju rompi berkata tak senang.
Wajahnya yang bulat dengan kumis dan alis hitam tebal berbentuk golok tampak keruh,
menandakan kegusaran hatinya.
"He he he...! Setan Jari Api. Orang seperti Senapati Sura Wijaya sekali-kali memang
harus dibuat jengkel. Aku sengaja membuat senapati sombong itu merasa penasaran. Dan
aku puas telah mempermainkannya tadi...," kilah lelaki tua bertubuh kurus yang ternyata
Raja Pisau Terbang. Datuk sesat itu tidak kelihatan jengkel atau tersinggung oleh ucapan
rekannya yang tidak lain Setan Jari Api. Malah kekehnya masih terdengar meningkahi
ucapannya.
"Aku setuju dengan tindakan Paman Raja Pisau Terbang, Guru," timpal sosok lain
yang bertubuh tegap dan memanggil guru kepada Setan Jari Api. "Orang seperti Senapati
Sura Wijaya memang sudah sepatutnya dibuat penasaran dan jengkel."
"Hm...."
Setan Jari Api bergumam datar. Kelihatannya ia belum bisa menerima alasan itu.
Kendati demikian, wajahnya tidak sekeruh tadi. Sebab ia pun memang ingin
mempermainkan Senapati Sura Wijaya. Bahkan telah bertekad melenyapkan senapati tua
itu dengan tangannya sendiri. Tekad itu yang membuat Setan Jari Api tidak senang dengan
perbuatan Raja Pisau Terbang yang dianggapnya tindakan seorang pengecut.
"Baiklah. Kali ini aku memaklumi tindakanmu, Raja Pisau Terbang. Tapi, lain kali
aku tidak mau bersembunyi menghindari mereka...!" ujar Setan Jari Api.
"Guru, pasukan Senapati Sura Wijaya sangat besar dan mereka pasukan yang
terlatih baik. Kita akan mendapat kesulitan besar jika menghadapi mereka secara terang-
terangan...."
Lelaki bertubuh tegap yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahun kembali
menimpali ucapan gurunya. Dari ucapan itu dapat ditebak kalau pemuda itu selalu
memperhitungkan segala perbuatannya. Maka ia tidak setuju dengan ucapan gurunya.
"Hm.... Apakah ucapanmu itu merupakan ungkapan rasa takutmu terhadap
mereka...? Katakanlah, Banapati...?" tegur Setan Jari Api tidak senang.
"He he he...! Jelas kau telah keliru menilai muridmu. Setan Jari Api. Kalau benar
Banapati takut, mengapa ia sanggup menyelamatkanmu dari tiang gantungan? Padahal
pekerjaan itu sangat berbahaya dan membutuhkan keberanian yang tidak kecil...," Raja
Pisau Terbang mencela ucapan Setan Jari Api.
Mendengar perkataan itu, Setan Jari Api terdiam. Memang harus diakuinya kalau
perbuatan muridnya sangat berbahaya. Apalagi hukuman dilaksanakan di alun-alun
istana. Banapati jelas bukan murid yang mengecewakan. Buktinya ia berhasil
menyelamatkannya dari hukuman mati itu.
Banapati tertawa pelan melihat gurunya tidak berkata apa-apa. Lelaki muda itu
sedikit pun tidak memperlihatkan sikap hormat. Padahal ia telah dididik sejak kecil oleh
Setan Jari Api. Tapi, bagi kaum golongan sesat itu tidak aneh. Mereka sudah terbiasa
bersikap bebas tanpa mengingat hubungan guru dan murid. Tidak seperti golongan putih
yang sangat hormat dan taat terhadap guru atau ketuanya. Itu salah satu perbedaan yang
mencolok antara golongan hitam dan golongan putih.
"Lalu, apa rencana kalian selanjutnya? Rasanya aku sudah bosan dikejar-kejar
pasukan kerajaan. Apalagi sekarang kesehatanku sudah pulih dan ingin segera membalas
perlakuan Senapati Sura Wijaya dan pasukannya," setelah beberapa saat terdiam Setan
Jari Api kembali berkata seraya menatap ketua orang itu bergantian.
"Tentu saja aku mempunyai rencana yang sangat baik. Tapi, kita harus berhati-
hati! Karena Pendekar Naga Putih telah mencampuri urusan ini. Pendekar itu merupakan
lawan berat bagi kita..," Raja Pisau Trbang mengingatkan rekannya. Keberadaan pendekar
muda yang tersohor itu memang harus mereka perhitungkan.
"Benar, Guru. Keberadaan Pendekar Naga Putih tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Bahkan kemungkinan besar ia telah mengetahui kalau kita bergabung dengan Raja Pisau
Terbang," timpal Banapati menetujui.
"Eh?! Bgaimana mungkin Pendekar Naga Putih mengetaui hal ini...?" tukas Setan
Jari Api yang rupanya belum mengetahui persoalan itu. Raja Pisau Terbng memang belum
menceritakan pengalamannya.
Maka tanpa basa-basi lagi, Raja Pisau Terbang segera meceritakan peristiwa yang
dialaminya. Sehingga, kening Setan Jari Api berkerut dalam. Ada kesan gentar tersirat
dalam wajahnya.
"Meskipun pendekar itu tidak sampai memergokiku, bukabn mustahil ia dapat
mengenali pisau-pisau terbang yang kulemparkan saat ia hendak mengorek keterangan
dari salah seorang pengikutku. Karena itu kita harus bersiap-siap menghadapi
kemungkinan munculnya Pendekar Naga Putih. Selain itu ada seorang dara jelita yang
kepandaiannya juga harus kita perhitungkan, ia berhasil mematahkan serangan pisau
terbangku. Padahal hanya tokoh-tokoh tertentu yang sanggup melakukannya...," jelas Raja
Pisau Terbang yang kelihatan bersungguh-sungguh. Ia telah banyak mendengar sepak
terjang pendekar muda itu, yang lebih banyak menjatuhkan tokoh-tokoh tingkat tinggi
golongan hitam.
"Hhh.... Memang sangat berbahaya kalau membiarkan Senapati Sura Wijaya
sampai dibantu Pendekar Naga Putih. Kita harus mencegahnya...," gumam Setan Jari Api
yang pernah merasakan kepandaian Pendekar Naga Putih. Hingga lelaki gendut itu agak
gelisah saat mendengar Pendekar Naga Putih ikut mencampuri urusan itu.
"Hm.... Menurut perhitunganku, kemungkinan besar pasukan Senapati Sura Wijaya
akan menginap di Desa Kecubung. Ini merupakan kesempatan baik untuk membuat
mereka jera. Paling tidak, kita harus membuat mereka mengerti dengan siapa mereka
berhadapan...," Raja Pisau Terbang mengutarakan rencananya yang telah dipikirkan jauh
sebelum kedatangan pasukan Senapati Sura Wijaya.
"Bagus! Aku pun ingin memberi pelajaran kepada tentara kerajaan agar mereka
tidak meremehkan golongan kita...." Banapati langsung menyatakan persetujuannya.
Ucapan datuk sesat yang setingkat dengan gurunya itu disambut dengan penuh semangat.
"Aku pun setuju!" kata Setan Jari Api. "Malam nanti akan kita buat mereka kalang
kabut!"
***
Dua sosok tubuh bergerak cepat memasuki kawasan hutan kecil yang ditumbuhi
pepohonan lebat. Menilik gerakan mereka, tampaknya keduanya memiliki kepandaian ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi. Terbukti mereka menyeberangi sungai yang cukup lebar
hanya dengan sekali lompatan saja.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di tempat yang dituju. Kening
keduanya berkerut melihat pemandangan di depan mata mereka, yang kira-kira berjarak
enam tombak lebih.
"Kelihatannya kita terlambat, Kakang...," ujar sosok dara jelita berpakaian serba
hijau kepada kawannya.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih yang berlari di sebelahnya hanya
bergumam, dan semakin mempercepat gerakannya mendekati reruntuhan bangunan yang
hangus terbakar.
"Mungkinkah pasukan Senapati Sura Wijaya telah berhasil menemukan tempat
ini...?" desis pemuda tampan berjubah putih yang tak lak lain Panji atau Pendekar Naga
Putih.
Pasangan pendekar muda itu berdiri menatap puing-puing reruntuhan bangunan
yang berwarna hitam. Sekali pandang mereka langsung tahu semua itu pekerjaan Senapati
Sura Wijaya dan pasukannya. Karena di tempat itu terlihat puluhan sosok mayat prajurit.
Sedangkan di pihak lawan ada belasan korban yang jatuh. Semua itu menimbulkan
pertanyaan di hati keduanya.
"Hm.... Tidak kulihat mayat Raja Pisau Terbang di sekitar tempat ini...?" gumam
Panji setelah meneliti seluruh mayat yang bergelimpangan.
"Kau sudah pernah bertemu dengan tokoh itu, Kakang...?" tanya Kenanga menatap
wajah kekasihnya.
"Belum...," sahut Panji singkat.
"Lalu, bagaimana kau bisa mengatakan tidak menemukan mayat Raja Pisau
Terbang?"
"Untuk mengetahuinya kita tidak perlu bertemu dengan tokoh itu. Tinggal kita lihat
saja usia mayat-mayat itu. Tidak satu pun yang usianya berada di atas lima puluh tahun.
Sedangkan menurut dugaanku, paling tidak datuk sesat itu berusia sekitar lima puluh
tahun lebih. Selain itu tidak satu pun di antara mayat-mayat itu yang pada bagian
dadanya terdapat tempat untuk menyimpan pisau-pisau terbang. Jelas datuk sesat itu
belum tewas."
"Mungkinkah datuk sesat itu sedang tidak berada di tempatnya saat Senapati Sura
Wijaya dan pasukannya menyerang tempat ini...?" tanya Kenanga lagi.
"Mungkin begitu. Kelihatannya hanya dugaan itulah satu-satunya yang masuk
akal. Sebab, tidak mungkin Raja Pisau Terbang membiarkan begitu saja tempatnya
dimusnahkan orang...," sahut Panji memperkuat dugaan kekasihnya.
"Kalau benar begitu, berarti penyerangan Senapati Sura Wijaya bersama
pasukannya bisa dibilang percuma. Kalau hanya pengikut-pengikut Raja Pisau Terbang
yang mereka bunuh, jelas rugi besar. Apalagi korban di pihak Kerajaan kelihatannya lebih
banyak," ujar Kenanga disertai helaan napas panjang, ia agak kecewa menemukan tempat
kediaman Raja Pisau Terbang dalam keadaan demikian.
Panji menganggukkan kepala. Kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Dan melangkah perlahan dengan kepala tertunduk. Pemuda itu tengah berpikir
keras. Entah apa yang dipikirkannya.
"Kita harus mencari di mana pasukan Senapati Sura Wijaya berada, Kakang. Kalau
benar mereka belum menemukan Raja Pisau Terbang atau Setan Jari Api, kemungkinan
besar mereka belum meninggalkan daerah selatan ini. Menurut dugaanku, Senapati Sura
Wijaya akan membangun tenda di sekitar daerah ini...," ujar Kenanga seraya mengikuti
langkah kekasihnya.
"Bisa jadi demikian," sahut Panji kurang bersemangat "Kasihan Senapati Sura
Wijaya. Mungkin saat ini beliau tengah bingung dan putus asa. Tempat persembunyian
Setan Jari Api kembali gelap. Padahal hanya Raja Pisau Terbang satu-satunya petunjuk
yang beliau miliki."
Hal itulah yang tengah dipikirkan Pendekar Naga Putih sejak tadi. Sebab ia pun
mengalami hal serupa, tidak tahu harus ke mana mencari Setan Jari Api yang menjadi
buruan kerajaan itu. Sedangkan petunjuk satu-satunya hanya Raja Pisau Terbang. Setelah
melihat tempat kediaman datuk sesat itu musnah, semuanya pun kembali gelap.
"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang...?" melihat kekasihnya belum
memiliki rencana, akhirnya Kenanga bertanya tak sabar.
"Sebentar lagi hari akan gelap. Tidak enak rasanya mengganggu Senapati Sura
Wijaya dan pasukannya yang tengah beristirahat..," sahut Panji tanpa memastikan ke
mana ia hendak pergi.
"Jadi...?"
"Sebaiknya kita pergi ke desa terdekat. Besoknya baru kita mencari tempat
Senapati Sura Wijaya dan pasukannya berkemah...." jelas Panji seraya menatap
kekasihnya seolah hendak meminta persetujuan.
"Jika rencana Kakang begitu, aku menurut saja..," tukas Kenanga menyetujui.
"Ayolah kita pergi, sebelum hari menjadi gelap...."
Kenanga pun segera mengayun langkah mengikuti Panji yang sudah
mempergunakan ilmu lari cepatnya mencari desa terdekat. Sebentar saja sosok keduanya
merupakan bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap.
Sepeninggal Panji dan Kenanga, tempat itu pun kembali sunyi. Hanya hembusan
angin sesekali bertiup keras menemani reruntuhan bangunan tempat tinggal Raja Pisau
Terbang.
DELAPAN
Di bawah siraman cahaya rembulan yang temaram, tampak tiga sosok bayangan
bergerak memasuki batas Desa Kecubung. Kendati cahaya bulan tidak menerangi bumi
secara penuh, ketiga sosok bayangan itu tidak mendapat kesulitan mengenali jalan.
Mereka memang bukan orang-orang sembarangan, dan dapat menembus keremangan
dengan pandangan mata.
Belum sampai melewati mulut desa, ketiga sosok bayangan itu menghentikan
larinya. Deru napas mereka terdengar halus. Padahal mereka telah berlari cukup jauh dan
menggunakan ilmu lari yang tidak rendah. Satu bukti lagi kalau ketiga sosok bayangan itu
memang bukan orang sembarangan.
"Malam ini Desa Kecubung akan kita bikin geger...!" desis sosok tinggi kurus yang
semula berlari paling depan. Suaranya terdengar penuh semangat, dan menyembunyikan
sesuatu yang berbau maut.
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu? Malam sudah semakin larut. Mereka
tentu telah terbuai mimpi indah...," timpal sosok kedua yang berperawakan lebih pendek
sedikit dan berperut buncit Jelas kelihatan ia sudah tak sabar ingin segera memulai
rencana mereka.
"Tenanglah, Guru. Paman Raja Pisau Terbang mempunyai rencana yang bagus
sekali. Aku yakin Senapati Sura Wijaya akan kelabakan seperti kakek-kakek kebakaran
jenggot...," tukas sosok ketiga yang bertubuh tegap dan bersuara agak lantang, kendati
berusaha ditekan sepelan mungkin. Sosok tegap itu adalah Banapati, murid Setan Jari
Api.
"Hhh...."
Mendengar ucapan muridnya, sosok berperut buncit yang tidak lain Setan Jari Api
mengusap-usap dagunya, ia hanya bergumam pelan tanpa berkata sepatah pun.
"He he he...! Kelihatannya gurumu sudah tidak sabar ingin segera memulai pesta,
Banapati. Bagaimana denganmu sendiri...?" tanya Raja Pisau Terbang terkekeh melihat
tingkah Setan Jari Api yang tidak bisa tenang.
"Memang sebaiknya kita mulai saja. Paman...," sahut Banapati cepat. Sehingga,
Raja Pisau Terbang kembali memperdengarkan kekehnya.
"Ayolah kita mulai..."
Setelah berkata demikian, Raja Pisau Terbang melesat ke arah kanan. Disusul
kemudian dengan Setan Jari Api dan Banapati. Masing-masing mengambil arah yang
berlainan. Entah rencana apa yang hendak mereka jalankan...?
"Kebakaran...! Kebakaraaan...!"
Suasana malam yang hening disentakkan oleh teriakan-teriakan ribut. Di tiga
tempat terlihat kobaran api menjilati beberapa rumah penduduk. Kejadian itu membuat
seisi desa terbangun.
Peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak disangka-sangka itu menggemparkan
penduduk. Mereka berlarian kian kemari. Banyak yang sibuk mengurusi harta bendanya
masing-masing. Hanya sedikit dari mereka yang berusaha memadamkan kobaran api yang
semakin membesar dan menjalar ke rumah-rumah lainnya.
"Kurang ajar...! Kebakaran ini jelas tidak wajar...!"
Di tengah penduduk yang berlarian kian kemari tampak seprang lelaki gagah
berpakaian senapati menggeram sambil mengawasi kejadian di tiga tempat itu. Ia sendiri
tidak bergerak dari tempatnya dan hanya memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk
membantu penduduk yang tengah berusaha memadamkan kobaran api agar tidak semakin
menjalar.
"Sebaiknya kita mencari penyebab kejadian ini, Kakang Senapati! Aku yakin
kebakaran ini perbuatan musuh-musuh kita...!" kata sosok lain yang sudah pasti Senapati
Gunawali. Rupanya dugaan mereka tidak berbeda jauh.
Mendengar usul itu, Senapati Sura Wijaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya
memberikan isyarat dengan gerakan tangan agar Senapati Gunawali mengikutinya.
Keduanya pun bergerak untuk men cari tahu siapa kira-kira penyebab kebakaran aneh itu.
"Kakang Senapati, lihat...!"
Belum berapa lama mereka berlari, Senapati Gunawali melihat sesosok bayangan
berdiri di bawah sebatang pohon yang berada cukup jauh dari tempat terjadinya
kebakaran. Sosok itu berdiri agak tersembunyi dari penglihatan. Sehingga, Senapati
Gunawali menaruh curiga.
Senapati Sura Wijaya pun melihat sosok bayangan mencurigakan itu. Tanpa
banyak cakap, ia segera melesat mendekati sosok tubuh yang tidak dapat dikenali karena
gelap itu.
"Hei, tunggu...!"
Ketika jarak antara mereka tinggal dua tombak lagi, mendadak sosok itu berlari.
Tentu saja Senapati Sara Wijaya dan rekannya kaget. Karena mencegah dengan seruan
sosok itu tidak juga berhenti, maka kedua senapati itu mengejar dengan menambah
kecepatan larinya.
Namun, ternyata sosok tubuh itu tidak mudah dikejar. Gerakannya sangat gesit
Bahkan tidak kalah dengan kecepatan lari Senapati Sura Wijaya dan Senapati Gunawali.
Tentu saja kedua senapati Kerajaan Bungaran itu jengkel dan marah. Mereka pun sadar
sengaja diajak menjauh dari pasukan. Tapi Senapati Sura Wijaya maupun Senapati
Gunawali tidak menjadi gentar. Keduanya terus mengejar dengan mengerahkan seluruh
ilmu lari cepat yang mereka miliki.
Ketika sosok bayangan itu tiba di tepi sungai yang terletak di selatan Desa
Kecubung, mendadak sosok itu menghentikan larinya dan berbalik menunggu kedatangan
kedua pengejarnya.
"He he he...! Kalian benar-benar berani dan ulet. Entah berapa besar hadiah yang
akan kalian terima bila berhasil membawaku ke istana hidup atau mati...?" ejek sosok
gemuk berperut buncit itu dengan sikap menantang.
"Setan Jari Api...?!" desis Senapati Sura Wijaya segera mengenali sosok gemuk
berperut buncit itu. Sosok itu adalah tokoh sesat yang selama ini dicarinya. Tentu saja
senapati gagah itu merasa senang, meskipun ada sedikit kekhawatiran.
"Hm.... Mengapa kalian malah seperti orang melihat setan di siang bolong? Hayo,
tangkaplah! Bukankah aku buronan kalian...?"
Kembali Setan Jari Api menantang, membuat wajah kedua senapati itu merah.
Mereka memang sempat tertegun, tidak menyangka sosok yang dikejarnya Setan Jari Api.
Srattt…!
Sinar putih berkilauan susul-menyusul ketika kedua senapati itu mencabut pedang
di pinggangnya. Kemudian merenggang, membentuk kepungan di kiri dan kanan. Jelas
keduanya hendak mengeroyok Setan Jari Api. Karena mereka sadar datuk sesat itu tidak
bisa dibuat main-main.
"Aku harus menangkapmu hidup atau mati, Setan Jari Api...!" ujar Senapati Sura
Wijaya seraya menatap lawannya dengan tajam.
Mendengar ucapan itu, Setan Jari Api tertawa sinis. Tubuhnya bergerak
membentuk kuda-kuda. Kelihatannya datuk sesat itu pun tidak berani memandang rendah
kedua lawannya. Yang dihadapinya adalah senapati-senapati pilihan yang tangguh dari
Kerajaan Bungaran. Kedua orang itu bukan lawan yang ringan bagi Setan Jari Api.
"Biarlah aku yang mulai...! Haaat...!"
Tanpa banyak basa-basi, Setan Jari Api langsung melesat ke arah Senapati Sura
Wijaya yang berada di sebelah kanannya. Kendati serangan itu dilakukan dengan tangan
kosong, namun keampuhannya tidak kalah oleh sebatang pedang. Dan Senapati Sura
Wijaya tidak berani menyepelekan serangan lawan.
"Haiiit...!"
Diawali sebuah seruan nyaring, Senapati Sura Wijaya menggeser tubuhnya dengan
langkah panjang. Kemudian membalas dengan serangkaian serangan yang mendatangkan
angin berciutan. Rupanya begitu bergebrak, senapati gagah itu langsung mengeluarkan
ilmu pedang andalannya. Sehingga dalam waktu singkat keduanya telah terlibat sebuah
perkelahian sengit.
"Yeaaat...!"
Senapati Gunawali pun tidak tinggal diam. Melihat rekannya bertarung mati-
matian, ia segera terjun ke dalam kancah pertaraungan. Setan Jari Api harus menghadapi
dua orang senapati gagah itu!
Dalam jurus-jurus awal, Setan Jari Api agak kewalahan menghadapi gempuran-
gempuran kedua lawannya. Hingga akhirnya datuk sesat itu menggunakan 'Ilmu Jari
Api'nya yang terkenal tangguh dan sangat berbahaya.
Klap! Klap!
Sinar merah kebiruan menyambar-nyambar disertai hawa panas menyengat
mengancam tubuh kedua senapati itu. Hingga mereka terpaksa bermain mundur sambil
sesekali menyambut sinar panas itu dengan badan pedang. Dan tangkisan itu malah
membuat tubuh mereka tergetar mundur. Kenyataan itu menandakan tenaga dalam datuk
sesat itu berada dua tingkat di atas mereka.
Tapi walaupun Setan Jari Api melancarkan serangan bertubi-tubi, tetap saja ia
tidak mampu mendesak lawan terus-menerus. Sebab, ia pun harus memperhatikan
perlindungan tubuhnya. Sehingga, kedua belah pihak saling desak bergantian.
Pertarungan pun semakin seru dan menarik Karena kedua belah pihak kelihatan
seimbang! Sayang hal itu tidak berlangsung lama. Karena....
"Guru, aku datang membantu...!"
Belum lagi gema teriakan itu lenyap, si pemilik suara sudah melayang dan
langsung menceburkan diri ke dalam arena pertarungan. Dan begitu kakinya menyentuh
tanah, sambaran pedangnya datang mengancam tubuh Senapati Gunawali. Senapati
bertubuh tegap itu kaget bukan main.
Trang...!
Bunga api berpijar menerangi arena sesaat lamanya. Sebab dalam keadaan yang
sulit itu Senapati Gunawali memutar senjatanya untuk memapaki sambaran pedang
lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah.
"Hm.... Kau ternyata hebat juga. Senapati...," dengus sosok tegap itu mengejek.
Karena meskipun sangat tipis, tapi jelas kelihatan kekuatan sosok tegap yang tak
lain Banapati itu memang lebih kuat dari Senapati Gunawali. Kemenangan yang sedikit itu
rupanya telah membuat Banapati congkak dan memandang rendah lawan.
Cwiiit... Cwiiit...!
Tanpa mempedulikan ejekan lawan. Senapati Gunawali memutar pedangnya.
Tampaknya senapati bertubuh tegap ini benar-benar mencurahkan pikiran dan tenaganya
untuk bertarung. Dan....
"Haaat...!"
Bersamaan dengan teriakan itu, tubuh Senapati Gunawali melayang ke arah lawan.
Dan Banapati pun segera bergerak menyambut. Pertarungan kembali berlangsung sengit!
***
Sementara itu, Senapati Sura Wijaya harus bertarung mati-matian menghadapi
Setan Jari Api. Akibatnya tentu saja mudah ditebak. Senapati gagah itu segera terdesak
oleh gempuran-gempuran maut lawan. Sehingga, Senapati Sura Wijaya terpaksa
menitikberatkan pada pertahanan daripada penyerangan. Memang hanya itulah yang bisa
dilakukannya untuk mempertahankan nyawanya.
"Haiiit...!"
Saat perkelahian memasuki jurus kelima puluh, Setan Jari Api memekik nyaring
mengejutkan lawannya. Disusul dengan lesatan tubuhnya yang disertai serangan maut.
Rupanya kali ini datuk sesat itu benar-benar hendak menghabisi Senapati Sura Wijaya.
Sementara Senapati Sura Wijaya yang sadar datangnya bahaya maut itu tidak bisa
berbuat lain kecuali memperhebat pertahanannya. Tapi melihat dahsyatnya serangan
Setan Jari Api, kelihatannya Senapati Sura Wijaya sulit untuk menghindar lagi. Maka....
"Haiiit...!"
Tasss, tasss...!
"Aaakh...?!"
Terdengar suara letupan bagai besi panas dicelupkan ke dalam air. Setan Jari Api
memekik kaget seiring dengan terpentalnya tubuh datuk sesat itu ke belakang.
Dan di depan Senapati Sura Wijaya berdiri tegak seorang pemuda tampan berjubah
putih. Dialah yang telah menyambut 'Ilmu Jari Api' yang digunakan datuk sesat itu.
"Pendekar Naga Putih...?!" Seruan yang bernada berlainan keluar dari mulut Setan
Jari Api dan Senapati Sura Wijaya. Kalau datuk sesat itu terkejut dan agak tegang hatinya,
sebaliknya Senapati Sura Wijaya sangat lega dan gembira melihat orang yang telah
menolongnya.
"Maaf, aku agak terlambat, Paman. Kupikir pasukan kerajaan akan mendirikan
tenda di lapangan terbuka. Bukan menginap di rumah-rumah penduduk desa...," ujar
pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Pemuda itu membungkuk hormat
sebelum membalikkan tubuh kembali, menghadapi Setan Jari Api yang tampaknya sangat
benci kepada Pendekar Naga Putih yang dianggapnya pengacau.
"Guru...!"
Kehadiran Pendekar Naga Putih rupanya diketahui Banapati. Lelaki tegap itu segera
melompat mundur meninggalkan lawannya untuk bergabung dengan gurunya. Banapati
sadar Pendekar Naga Putih merupakan lawan terberat. Untuk itu mereka harus bersatu
agar mampu menandingi kepandaian pendekar muda yang tersohor itu.
"Apakah kau tidak bersama Kenanga, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Sura
Wijaya heran ketika tidak melihat Kenanga.
"Kenanga tengah menghadapi Raja Pisau Terbang di tempat pasukanmu menginap.
Tuan Senapati. Kami berdua datang karena melihat rumah penduduk terbakar. Kobaran
api itulah yang membuat kami datang ke sini. Syukurlah belum terlambat...," sahut Panji,
membuat senapati tua itu merasa lega. Sebab pasukannya yang tanpa pemimpin
mendapat perlindungan pendekar wanita yang telah diketahui ketangguhannya. Apalagi
Pendekar Naga Putih tidak kelihatan khawatir ketika mengatakan Kenanga tengah
berhadapan dengan Raja Pisau Terbang. Itu jelas membuktikan pendekar muda itu
percaya penuh akan kemampuan kekasihnya.
"Tuan Senapati...," lanjut Panji ketika melihat Setan Jari Api bersama muridnya
sudah siap bertarung. "Perkenankan hamba menangkap manusia sesat itu...."
Senapati Sura Wijaya yang tahu sifat Pendekar Naga Putih langsung mengangguk
setuju. Pemuda tampan itu tidak akan membiarkan kebathilan merajalela. Senapati
Gunawali pun tidak keberatan tugasnya dibantu pendekar muda itu.
Setelah mendapat persetujuan kedua senapati itu, Panji bergerak mendekat, dan
berhenti dalam jarak satu tombak lebih. Ditatapnya kedua sosok lawannya dengan sorot
mata tajam. Terdengar suaranya yang berwibawa.
"Setan Jari Api! Dosa-dosamu telah melewati batas! Sekarang kau harus
mempertanggungjawabkannya. Apa kau sudah siap...?" tanya Panji yang segera
mempersiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' untuk menghadapi guru dan murid itu.
"Keparat sombong! Kurobek mulutmu..!" pekik Setan Jari Api murka. Datuk sesat
itu segera menerjang dengan ilmu andalannya, yang membuat namanya ditakuti kalangan
persilatan.
Melihat gurunya sudah bergerak maju, Banapati tidak tinggal diam. Pedang di
tangannya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan dengungan tajam. Kemudian
melesat dari sebelah kiri disertai sambaran pedangnya yang berkesiutan.
"Hm...."
Menyadari serangan kedua tokoh sesat itu sangat berbahaya, Panji segera
menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian merentangkannya ke kiri dan
kanan. Dan terus bergerak naik ke atas kepala, untuk kemudian ditarik ke sisi pinggang.
"Heaaah...!"
Seiring dengan bentakannya, tangan kanannya bergerak ke atas. Sedangkan tangan
kirinya berada di bawah dengan kedua telapak tangan menghadap ke depan membentuk
cakar naga.
Begitu serangan Setan Jari Api dan muridnya tiba, Panji menggeser tubuhnya ke
kanan. Dan sewaktu serangan kedua lawannya luput, sepasang tangannya yang
membentuk cakar langsung menyambar tubuh Banapati yang berada lebih dekat
dengarnya.
Bweeet..!
Tapi sebagai murid tokoh hebat seperti Setan Jari Api, tentu saja Banapati tidak
bisa dirobohkan hanya dengan sekali gebrak. Bahkan lelaki tegap itu masih sempat
melancarkan tiga bacokan begitu berhasil menghindari sambaran cakar naga lawan.
Sampai-sampai Panji mengeluarkan pujian.
Ketika Pendekar Naga Putih bergerak mundur dengan geseran-geseran langkahnya,
Setan Jari Api melenting ke udara. Dari atas kedua tangannya berputar dan meluruk
bergantian mengancam ubun-ubun Pendekar Naga Putih. Sayang Pendekar Naga Putih
tidak mudah dikecoh. Serangan Setan Jari Api gagal. Bahkan Panji membalas dengan
serangkaian serangan maut.
Senapati Sura Wijaya dan Senapati Gunawali menggeleng-gelengkan kepala melihat
jalannya pertarungan sengit itu. Meskipun kepandaian keduanya sudah terbilang tinggi,
namun menyaksikan pertarungan itu kedua senapati itu menggeser tubuhnya agar tidak
terlalu dekat dengan arena. Batu-batu kecil yang beterbangan terkena sepakan kaki tokoh-
tokoh yang tengah bertarung terasa pedih mengenai tubuh mereka. Mereka pun terpaksa
menyaksikan pertarungan dari jarak tiga tombak. Itu pun masih harus berlindung di balik
sebatang pohon. Karena sambaran pukulan yang nyasar dapat mengakibatkan luka dalam
yang tidak ringan.
Saat itu pertarungan yang sudah menginjak jurus keseratus lima puluh berjalan
semakin cepat. Terlihat jelas Panji mulai menguasai arena. Serangan-serangannya yang
disertai hawa dingin menggigit semakin deras mendesak lawan dan memaksa kedua tokoh
sesat itu terus mundur tanpa memberi peluang untuk balas menyerang. Bahkan....
Desss...!
Hantaman telapak tangan kanan Pendekar Naga Putih yang dilakukan dengan
kedudukan tubuh miring dan kuda-kuda rendah telak menerpa dada kiri Banapati!
Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terjengkang muntah darah.
Derrr!
Tubuh Banapati menghantam pohon sebesar dua pelukan orang dewasa. Lalu
melorot jatuh bersamaan dengan bergugurannya dedaunan pohon itu. Murid Setan Jari
Api langsung tewas dengan tulang dada remuk dan jantung membeku.
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Murka bukan main Setan Jari Api melihat muridnya tewas. Tanpa mempedulikan
keselamatan nyawanya, datuk sesat itu menerjang dengan serangan-serangan mautnya!
"Haaat...!"
Panji tidak terpancing dengan kemurkaan lawan. Ia tetap tenang menghadapi
gempuran yang agak membabi buta itu. Malah mempergunakan kemarahan lawan dengan
baik. Sehingga....
"Yeaaaah...!"
Bresssh!
Setelah menggeser tubuhnya menghindari serangan Setan Jari Api, Pendekar Naga
Putih menghantamkan cakar-cakar naganya ke lingkaran dada Setan Jari Api.
"Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh datuk sesat itu langsung terlempar deras ke belakang.
Pada lingkaran dadanya terdapat tanda lima jari tangan yang menimbulkan luka
berlubang. Darah segar mengalir dari luka-luka itu. Tubuh gemuk berperut buncit itu pun
ambruk dengan tubuh mengejang. Dari tewas dengan mata melotot! Datuk sesat itu mati
penasaran!
Sesaat setelah Setan Jari Api menghempuskan napas terakhir, terdengar suara
derap langkah orang banyak berlari mendatangi tempat itu. Tidak berapa lama kemudian,
muncullah pasukan Senapati Sura Wijaya dengan membawa obor di tangan. Suasana di
tempat itu seketika menjadi terang benderang.
"Kakang...!"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau berlari menghampiri Panji yang sudah
berbalik menatap kedatangan pasukan Kerajaan Bungaran.
"Bagaimana dengan Raja Pisau Terbang...?" tanya Panji menyambut kedatangan
kekasihnya.
"Aku berhasil mengirimnya ke neraka, Kakang...," jawab Kenanga. Di tangan
kanannya masih tergenggam Pedang Sinar Rembulan yang bernoda darah.
"Syukurlah...," Panji menghela napas ketika melihat dara jelita itu tidak terluka,
kecuali deru napasnya yang masih memburu.
Sementara Senapati Sura Wijaya memerintahkan pasukannya mengurus mayat
Setan Jari Api untuk diperlihatkan kepada Prabu Tamanggala. Kemudian senapati itu
menghampiri Pendekar Naga Putih dan kekasihnya. Tapi sebelum sempat mengucapkan
terima kasih, Panji sudah mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
"Maafkan sikapku yang kurang hormat, Tuan Senapati! Aku harus melanjutkan
perjalanan...!"
Senapati Sura Wijaya hanya bisa menggelengkan kepala menatap sosok yang
sebentar saja lenyap ditelan kegelapan. Satu pelajaran didapatnya, bahwa tidak semua
manusia mempunyai pamrih dalam membantu sesama.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar