Pendekar Naga Putih:
KELABANG HITAM
Oleh T. Hidayat
SATU
Hari baru mulai beranjak sore ketika belasan sosok tu buh
berjalan tergesa-gesa. Di punggung pakaian mereka yang serba
merah terdapat sulaman benang hitam bergambar seekor
kelabang.
Belasan orang itu menghentikan langkahnya tepat di depan
bangunan kokoh yang di atas pintu gerbangnya terpampang
papan tebal bertuliskan “Perguruan Cakar Elang”.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berada paling
depan memalingkan wajah ke arah kawan-kawannya. Sesaat
kemudian, mengangguk kepada seorang anggota gerombolan
yang bertu buh tinggi kekar dan berkepala botak. Dan tanpa
banyak cakap lagi si botak langsung melangkah ke depan pintu
gerbang.
“Hm!”
Sambil menggeram lirih, si botak mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala, untuk kemudian diturunkan di sisi
pinggang. Dan sesaat kemudian kedua tangannya didorong ke
depan dengan telapak tangan terbuka.
“Hiahhh!”
Brakkk!
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kontan pecah
berantakan akibat hantaman sepasang telapak tangan si botak.
Serpihan-serpihan kayu beterbangan ke segala arah.
Belasan sosok serba merah serta-merta berlompatan
menerobos serpihan-serpihan kayu . Gerakannya rata-rata gesit
dan terlatih baik.
“A da pengacau...!” salah seorang dari dua penjaga pintu
gerbang berteriak keras kepada kawan-kawannya.
Sedangkan penjaga yang satu lagi bergegas menghadang
belasan tamu tak diundang sambil menodongkan u jung tombak.
“Siapa kalian? Mengapa kalian rusakkan pintu gerbang
perguruan kami?” bentak penjaga itu sambil menggerak-gerakkan
tombak. Sorot matanya berputar liar mengawasi wajah belasan
orang itu .
Mendengar pertanyaan penjaga pintu gerbang, si tinggi kekar
berkepala botak segera melangkah maju.
“Hm.... Aku adalah Tapak Baja! Kedatanganku kemari untuk
mencari gurumu. Cepat laporkan!” bentak laki-laki tinggi kekar
berkepala botak yang mengaku berjuluk Tapak Baja itu galak.
Saat itu puluhan orang murid Perguruan Cakar Elang berlarian
datang. Rupanya keributan di depan pintu gerbang telah
mengundang perhatian mereka.
“Kakang..!” tegur si penjaga kepada salah seorang kawannya
yang juga adalah kakak seperguruannya.
“Hm.... Ada apa ini? Siapa mereka? Dan apa maksu d mereka
merusak pintu gerbang segala?” tanya orang itu sambil
memandang wajah si penjaga. Suaranya terdengar tegas dan
berwibawa.
“Kakang Sadewa, orang itu mengaku berjuluk Tapak Baja. Dan
kedatangan mereka bermaksud untuk mencari guru,” jawab si
penjaga sambil menunjuk orang tinggi kekar berkepala botak.
“Benarkan begitu , Kisanak?” tanya Sadewa yang mengalihkan
pandangan kepada Tapak Baja. Kemudian sepasang matanya
berputar merayapi belasan sosok serba merah lainnya.
“Tidak perlu banyak tanya lagi! Cepat panggil gurumu ! A ku
tidak ada waktu meladeni cecunguk macam kalian!” bentak si
botak sambil melotot penuh ancaman. Seraya mengepal-
ngepalkan tinjunya sampai menimbulkan bunyi gemeretak
nyaring.
“Hm.... Tidak semudah itu, Kisanak. Semua urusan yang
menyangkut perguruan kami telah dipercayakan kepadaku. Dan
kalau kau tidak mau memberitahukan kepentinganmu, lebih baik
kau tinggalkan perguruan kami!” tegas Sadewa tenang.
“Ha ha ha...!” Tapak Baja tertawa tergelak mendengar u capan
Sadewa. Sesaat kemudian suara tawanya lenyap dan wajahnya
pun berubah bengis. Dari buku -buku jari tangannya kembali
terdengar suara gemeretak. Sekilas terlihat sepasang tangannya
bergetar, ia seolah-olah siap melancarkan pukulan maut kepada
Sadewa.
“A di Tapak Baja! Kau mundurlah!” kata lelaki tinggi kurus,
yang meru pakan pimpinan belasan orang berpakaian serba merah
seraya melangkah perlahan. Sang pemimpin yang sejak tadi hanya
memandangi angkuh, mendekati Sadewa.
Tapak Baja yang semula kelihatan garang merasa gentar
kepada si tinggi kurus. Lelaki berkepala botak itu menyingkir
memberi jalan kepada pemimpin yang diseganinya.
Sejenak hati Sadewa bergetar ketika bertemu pandang dengan
lelaki tinggi kurus itu . Dari sorot mata orang itu , Sadewa sadar
kalau saat ini dia tengah berhadapan dengan seorang yang
berkepandaian tinggi.
“Hm....”
Tanpa berkata sepatah pun, tahu-tahu lelaki tinggi kurus itu
mengulurkan tangan ke depan. Gerakannya begitu cepat, dan
hampir tak dapat diiku ti mata orang awam.
“Aaah...!”
Gerakan yang seperti terlihat sembarang, ternyata telah
mengeju tkan Sadewa. Dengan cepat dia melemparkan tu buh ke
belakang, menghindari cengkeraman tangan si tinggi kurus yang
nyaris mengancam leher.
“Aaah...!”
Lagi-lagi terdengar seruan kaget dari mulut Sadewa! Meskipun
telah mundur sejauh tiga tombak, namun cengkeraman lelaki
tinggi kurus itu tetap saja membayangi dirinya. Sadewa yang
sadar kalau dia tak akan dapat melepaskan diri dari serangan
lawan, segera mengangkat tangan kanan untuk menangkis.
Plakkk!
“Aaakh!”
Sadewa berteriak kesakitan ketika lengannya bertumbukan
dengan lengan lawan. Seketika itu juga tubuhnya terlempar dan
jatuh terduduk! Dari sela-sela bibirnya meleleh cairan merah.
Sungguh tidak disangkanya kalau tenaga dalam lelaki tinggi kurus
itu demikian hebat!
“Hm.... Hanya segitu sajakah kepandaian murid utama
Pendekar Elang Sakti?” ejek laki-laki tinggi kurus itu dengan nada
menghina.
Si tinggi kurus tidak lagi melanju tkan serangan. Dia hanya
berdiri tegak sejauh tiga tombak. Padahal kalau dia mau , batok
kepala Sadewa dapat saja dicengkeram pada saat berusaha untuk
bangkit tadi.
“Siapa kau , Orang Tua? Ada keperluan apa kau mencari
guruku ?” tanya Sadewa, kepada laki-laki tinggi kurus, yang
berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sepasang matanya
menatap penuh selidik, seolah-olah ia berusaha mengingat-ingat
barangkali orang itu pernah datang sebelumnya. Tapi sampai
sekian lama meneliti, Sadewa tetap tak mengenal orang itu.
“Hm.... Katakan kepada gurumu, Jari Penembus Tulang ingin
berjumpa!” u jar laki-laki tinggi kurus itu dengan suara yang
dalam dan berat. “Cepatlah! Sebelum habis kesabaranku !” ancam
laki-laki tinggi kurus yang mengaku berjuluk Jari Penembus
Tulang.
Sadewa yang sadar kalau lelaki tinggi kurus itu bukan
tandingannya, cepat berpaling kepada salah seorang kawannya.
“Laporkan kepada guru, ada tamu yang berjuluk Jari
Penembus Tulang ingin bertemu ! Cepat!” perintah Sadewa kepada
salah seorang murid yang berkerumun di belakangnya. Sedangkan
dia sendiri tetap diam di tempatnya untu k menjaga segala
kemungkinan.. Meskipun tahu kalau dirinya tidak mungkin
menang menghadapi Jari Penembus Tulang, tapi rasa tanggung
jawab yang besar membuatnya tetap mengawasi tamu -tamu tak
diundang.
Sebelum murid yang diperintah Sadewa beranjak, tiba-tiba
terdengar suara berat dan berwibawa.
“Siapa yang mencariku, Sadewa...?”
Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan pu tih
berkelebat, mendatangi halaman depan Perguruan Cakar Elang.
Dalam sekejap saja, laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun itu
telah berdiri di samping Sadewa. Dua orang laki-laki gagah lain
telah pula berada di belakangnya.
“Hm.... Kiranya Jari Penembus Tulang yang datang! Angin apa
yang membawa langkahmu sampai ke tempatku ini, Jari
Penembus Tulang?” sapa laki-laki berjenggot putih.
“He he he...! Pendekar Elang Sakti! Kedatanganku kemari
membawa angin baik untukmu. Tapi semua itu tergantung
sikapmu !” sahut Jari Penembus Tulang tak jelas, sehingga
membuat kening kakek itu berkerut.
“Tidak perlu berbelit-belit. Katakan saja apa keperluanmu
menemuiku ,” u jar kakek itu yang ternyata adalah Ketua
Perguruan Cakar Elang. Meskipun cara berbicaranya tetap ramah,
namun mencerminkan ketegasan sikap seorang guru persilatan
besar.
“Pendekar Elang Sakti, kedatanganku kemari untuk
mengajakmu bergabung dengan kami. Dan sebagaimana yang
kukatakan tadi, nasibmu tergantung pada sikapmu. Kalau kau
bersedia, ku tunggu di Hutan Warangan tu juh hari setelah
kedatanganku ini. Di sana ketua kami menunggumu!” u cap Jari
Penembus Tulang sambil menatap tajam lawan bicaranya.
“A pa tu juanmu mengajakku bergabung? Dan siapa ketuamu?”
tanya Pendekar Elang Sakti.
“Kau tidak perlu tahu siapa ketua kami. Pokoknya kau harus
menjawab ajakan kami sekarang juga. Dan ingat! Nasibmu dan
seluruh murid Perguruan Cakar Elang tergantung dari
jawabanmu !” sahut Jari Penembus Tulang, kembali mengingatkan
ancamannya. Melihat dari sikap dan sinar matanya, sepertinya
laki-laki tinggi kurus ini tidak main-main.
“Dengar, Kisanak!” u jar Pendekar Elang Sakti, sambil menatap
lawan bicaranya tajam-tajam. Perasaan orang tua itu benar-benar
tersinggung mendengar ancaman Jari Penembus Tulang.
“Bagaimana aku dapat bergabung dengan ketuamu, kalau kau
tidak mengatakan tu juan kelompokmu ? Dan untuk apa aku
datang kalau nama orang yang mengundangku pun tidak pula kau
beri tahu ?”
“Jadi...,” u cap Jari Penembu s Tulang meminta ketegasan.
“Yah, aku menolak bergabung dengan ketuamu! Lain halnya
kalau kau memberi tahu tujuan kelompokmu dan siapa nama
ketuamu? Mungkin aku dapat mempertimbangkannya,” sahut
Pendekar Elang Sakti tegas.
“Tidak u sah bertele-tele, Pendekar Elang Sakti. Katakan saja
kau menolak! Apa kau takut mengucapkan kata-kata itu?” ejek
Jari Penembus Tulang, sinis. Sekilas sorot matanya terlihat penuh
ancaman.
“Ya!Aku menolak!” sahut Pendekar Elang Sakti, menentang.
“Bagus! Itu baru ucapan laki-laki sejati! Nah, sekarang
bersiaplah kau menerima hukuman!” tantang Jari Penembus
Tulang, dengan wajah bengis.
Setelah berkata begitu , kedua tangannya dikibaskan sebagai
isyarat kepada tiga belas orang berseragam merah yang berdiri di
belakangnya.
Begitu mendapat isyarat, ketiga belas orang berseragam merah
pun segera menyebar sambil mencabut senjata masing-masing.
Sementara lima puluh murid Perguruan Cakar Elang siap
menunggu perintah guru mereka. Tak seorang pun di antara
puluhan orang murid itu berani bertindak sendiri sebelum dapat
aba-aba dari sang Ketua.
“Tunggu ...!” tiba-tiba sebelum pertempuran terjadi, Pendekar
Elang Sakti berseru lantang. Tentu saja teriakan yang disertai
pengerahan tenaga dalam itu mengeju tkan semua orang. Sesaat
semua yang hadir terdiam.
“A pakah kau berubah pikiran, Pendekar Elang Sakti?” ujar Jari
Penembus Tulang, sambil memperlihatkan senyum kemenangan.
“Tidak! Tapi aku ingin mengusulkan sesuatu padamu !”
Pendekar Elang Sakti, tetap tenang.
“Katakan! A pa usulmu?” pinta lelaki tinggi kurus itu , sambil
mengerutkan kerung. Sikapnya tetap sombong dan menganggap
remeh lawan.
“Aku ingin persoalan ini tidak disangkut-pau tkan dengan
murid-muridku. A ku menantangmu berkelahi satu lawan satu .
Tentu saja kalau kau berani,” sindir Ketua Perguruan Cakar Elang
sengaja melontarkan u capan yang menyinggung harga diri lelaki
tinggi kurus itu.
“A pa maksudmu , Pendekar Elang Sakti?” tanya Jari Penembus
Tulang.
“Maksu dku, aku siap menantangmu bertarung. A pabila kau
kalah, kau harus meninggalkan tempat ini dan jangan
mengganggu kami lagi!” sahut Pendekar Elang Sakti, dengan
suara dikeraskan agar belasan anak buah Jari Penembus Tulang
ikut mendengar.
“Bagaimana kalau kau yang kalah?” tanya lelaki tinggi kurus
itu lagi.
“Kalau aku yang kalah, terserah apa yang akan kau perbuat
pada perguruanku ini!” tegas Ketua Perguruan Cakar Elang, tetap
tenang.
“He he he... Baik! Ku terima tantanganmu!” sambut Jari
Penembus Tulang, sambil melangkah ke tengah-tengah pelataran
Perguruan Cakar Elang. Sepasang matanya menyorot tajam,
seolah-olah tak ingin lepas dari wajah lawan.
“Mulailah, Kisanak!” ucap Pendekar Elang Sakti memasang
ku da-kuda. Kedua kakinya bersilangan rendah. Sedangkan
sepasang tangannya mengembang ke samping. Inilah jurus
pembukaan ‘Elang Sakti’ yang membuat namanya terkenal di
rimba persilatan.
“Hmh...!” Jari Penembus Tulang menggeram. Telapak kakinya
digeser berlawanan membentuk ku da-kuda seperti posisi orang
menunggang kuda. Sementara sepasang telapak tangannya
bersilangan di atas kepala. Sepasang telapak itu bergetar sesaat
sebelum diturunkan perlahan-lahan ke depan dada.
“Heaaat...!”
Diiringi teriakan nyaring, tiba-tiba Jari Penembus Tulang
meluncur ke arah lawan. Jari-jari tangannya menusuk berganti-
gantian.
Wuttt! Wu ttt!
Suara sambaran jari-jari tangan si tinggi kurus berdesing
tajam membelah u dara. Pendekar Elang Sakti yang memang
su dah pernah mendengar kehebatan Jari Penembus Tulang,
segera menggeser kaki kanan dengan posisi kuda-ku da
direndahkan. Begitu jari-jari tangan lawan lewat, tangan
kanannya menyambar dengan kecepatan kilat.
Wukkk!
Jari Penembus Tulang bergegas mengangkat kaki kiri yang
menjadi sasaran serangan Pendekar Elang Sakti. Secepat kilat
pula tubuhnya berputar sambil melepaskan tendangan ke arah
leher. Gerakan tendangan kilat berputar ini nyaris mengenai leher
Ketua Perguruan Elang Sakti.
“Aaah...!”
Bu kan main terkejutnya pendekar tua itu ketika melihat
tendangan kilat lawan. Untunglah dia cepat menghindar ke
belakang. Sehingga tendangan itu hanya mengenai angin kosong.
“Heaaat...!”
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Pendekar Elang Sakti
langsung melambung ke arah lawan. Sepasang tangannya yang
membentuk cakar elang menyambar-nyambar tak ubahnya
burung elang mencecar mangsa.
“Hmh!”
Disertai dengusan kasar, Jari Penembus Tulang menyambut
serangan lawan. Pertempuran kembali berlangsung. Kedua tokoh
sakti yang sama-sama menggunakan kekuatan jari saling serang
dengan hebatnya! Namun sampai sedemikian jauh, belum ada
tanda-tanda salah seorang di antara mereka akan kalah.
Tak Terasa adu tanding antara dua tokoh sakti berlangsung
alot dan lama. Tapi keadaan pertempuran sama sekali belum
berubah. Kedua orang tokoh sakti masih sama-sama kuat,
sehingga keduanya menjadi semakin penasaran!
Tanpa disangka-sangka Jari Penembus Tulang melompat
mundur meninggalkan Pendekar Elang Sakti. Tu buhnya mendarat
ringan sejauh empat tombak setelah melakukan dua kali salto di
udara.
“Hiaaah...!”
Jari Penembus Tulang membentak keras sambil memutar-
mutar sepasang tangan. Ru panya masih ada lagi ilmu paling
ampuh yang belum dikeluarkannya. Melihat lawannya ternyata
sangat kuat, maka dia pun segera mengeluarkan ilmu andalan
yang selama ini jarang dipakai kalau tidak terpaksa.
Pendekar Elang Sakti terkejut melihat peru bahan gerakan
lawan. Diam-diam hatinya mulai diliputi kecemasan melihat Jari
Penembus Tulang masih punya ilmu andalan yang belum
dikeluarkan.
“Yeaaat..!”
Dengan disertai teriakan nyaring, tubuh Jari Penembus Tulang
melesat menyerang. Serangan kali ini terlihat lebih cepat dan
ganas! Dua buah jari tangan yang berbentuk totokan, menderu
mengancam Pencakar Elang Sakti!
Cuittt! Cuittt!
“Aaah...!”
Pendekar Elang Sakti berseru tertahan. Untunglah dia masih
sempat bergulingan menjauhkan diri. Kalau tidak, niscaya
tu buhnya pasti akan tertembus jari lawan yang sekeras besi!
Setelah bergulingan sejauh lima tombak, Ketua Perguruan
Cakar Elang bergegas melenting bangkit. Kedua tangannya
bergerak cepat menjaga segala kemungkinan. Wajah orang tua itu
terlihat agak pucat, membayangkan apa yang bakal terjadi kalau
jari tangan lawan menusuk tu buhnya.
“He he he...! Mengapa kau hanya lari-lari saja seperti anjing
takut digebu k?” ejek lelaki tinggi kurus itu sambil
memperdengarkan suara tawanya yang serak dan menyebalkan.
Sadar kalau lawan berusaha memancing amarahnya, Pendekar
Elang Sakti sengaja tidak menjawab. Sejenak dia terdiam sambil
meneliti langkah Jari Penembus Tulang. Otaknya terus berpu tar
mencari jalan bagaimana mengimbangi kepandaian lawan yang
ternyata memiliki kepandaian sukar diukur.
“Ayo, majulah! Mengapa diam saja? A pakah keberanianmu
su dah lenyap?” orang tinggi kurus itu terus-menerus mengejek
sambil melangkah mendekati lawannya. Dia tidak hanya
mempunyai kepandaian yang tinggi, tapi sifat liciknya pun patu t
diperhitungkan. Tanpa kenal putus asa, dia terus berusaha
mengalihkan perhatian Ketua Perguruan Cakar Elang.
Ocehan dan ejekan si tinggi kurus tidak digubris Pendekar
Elang Sakti! Ia berdiam diri, matanya menyorot tajam gerak-gerik
lawan.
Jari Penembus Tulang penasaran. Hatinya mulai panas sampai
ke ubun-ubun. Maka, ia pun membentak keras-keras agar
lawannya bergerak. Melalui tenaga sakti, bentakan keras itu dapat
mengaburkan pandangan lawan.
“Heaaah!”
Betapa terkejut hati Pendekar Elang Sakti melihati gerakan
lawan. Sepasang matanya tak dapat menangkap jelas bayangan
Jari Penembus Tulang yang tahu -tahu su dah berkelebat!
“Langkah Dua Belas Naga...!” desis Pendekar Elang Sakti,
terkeju t. Sama sekali tidak disangkanya kalau lawan memiliki
ilmu langkah-langkah ajaib yang amat langka itu . Peristiwa yang
dialaminya tentu saja membuat dia semakin bingung!
“Yeaaat..!”
Wuttt! Brettt!
“Aaakh...!”
Pendekar Elang Sakti menjerit kesakitan ketika merasakan jari
tangan lawan telah menancap di lambungnya. Tubuhnya terjajar
delapan langkah ke belakang. Seketika darah segar merembes dari
luka di lambung yang terasa panas dan menyakitkan itu .
Wuttt! Cuittt!
Sesaat kemu dian Jari Penembus Tulang kembali menerjang
dengan serangan-serangan mematikan! Jari-jari tangannya
berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh lawan.
Cepat Pendekar Elang Sakti mengelebatkan pedang, yang sejak
tadi menggantung di pinggangnya memapak serangan lawan.
***
DUA
Wukkk!
Jari Penembus Tulang merendahkan kuda-ku da dengan kepala
menunduk, sehingga sambaran pedang lewat setengah jengkal di
atas kepalanya. Secepat sambaran pedang lewat, secepat itu pula
jari-jari tangannya meluncur ke dua arah. Jari-jari tangan kiri
menusuk kening, sedangkan jari kanan mematu k pergelangan
tangan lawan, yang memegang pedang. Dan....
Tukkk! Crokkk!
“Aaargh...!”
Pendekar Elang Sakti menjerit kesakitan ketika kening dan
pergelangan tangannya dipatuk jari tangan lawan. Tubuhnya
terdorong limbung ke belakang. Dari keningnya menyembur
darah segar sementara tangan kanan terkulai lumpuh. Tulang
pergelangan tangannya seketika lepas dari sambungan.
Bertepatan pada saat tu buh Ketua Perguruan Cakar Elang terjajar
limbung, tubuh si tinggi kurus kembali meluncur.
Crabbb! Desss!
Tendangan Jari Penembus Tulang langsung mengenai tu buh
Pendekar Elang Sakti. Seketika itu juga tubuh orang tua ini
ambruk dengan napas tersengal-sengal. Darah mengalir semakin
deras dari kening dan dadanya.
“Guru ...!”
Sadewa dan dua orang murid utama lain langsung
menghambur ke arah guru mereka. Sementara murid-murid yang
lain hanya dapat memandang dengan wajah haru , dan seakan tak
percaya melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
“Guru .... Ahhh... guru....”
Ketiga orang murid utama terisak sedih dan menyesali
keadaan sang guru yang terluka parah dan tidak akan ada harapan
untuk hidu p lebih lama lagi.
“Wi... se... sa.... Jaga... a.... dik... seperguruanmu baik... ba...
ikkk.... Ahhh...,” setelah berpesan demikian, kepala Pendekar
Elang Sakti langsung terkulai di atas pangkuan Wisesa. Murid
tertua itu sangat terharu mengetahui sang guru telah tiada.
“Guru ...!”
Sadewa memanggil-manggil nama gurunya sambil
mengguncang-guncangkan tubuh orang tua itu. Sedangkan
Wisesa hanya dapat memandang dengan perasaan remuk-redam.
“A di, beliau ... telah tiada...,” u jar Wisesa, setelah dapat
menenangkan perasaan hatinya. Murid tertua itu kembali
menundukkan kepala karena merasa tak tahan melihat wajah adik
seperguruannya yang terlihat sangat berduka. Wisesa dapat
memaklumi karena Sadewa memang merupakan murid tersayang
sang guru . Dia tak dapat berbuat apa-apa saat Sadewa masih juga
mengguncang-guncangkan tu buh Pendekar Elang Sakti yang
mulai terbujur kaku .
“He he he...! Mengharukan sekali!” Jari Penembus Tulang
tertawa mengejek melihat kesedihan dan penyesalan murid-murid
Perguruan Cakar Elang. Seketika tiga murid utama yang sedang
diselimuti rasa duka itu mengalihkan pandangan begitu tersadar
kalau pembunuh itu masih berada di depan mereka. Kemu dian
ketiganya bangkit dengan raut wajah mencerminkan rasa dendam
yang amat sangat.
“Keparat kau, Cacing Kurus! Kau harus menebus kematian
guruku dengan nyawamu dan nyawa orang-orangmu !” bentak
Sadewa, seraya mencabu t pedang. Dengan kemarahan yang
meluap-luap, pemuda itu langsung melompat dan mengayunkan
pedang keleher si tinggi kurus.
Wuttt!
Sabetan pedang Sadewa mengenai angin kosong karena Jari
Penembus Tulang telah menggeser tubuh ke belakang.
Nampaknya dia sengaja tidak ingin melayani amukan pemu da itu .
“Hm.... Rupanya kalian lebih suka mampus! Anak-anak, habisi
orang-orang tak tahu diuntung ini!” perintah Jari Penembus
Tulang kepada belasan orang anak buahnya yang berseragam
merah.
Tanpa banyak cakap lagi, belasan orang berseragam merah
langsung menyerbu murid-murid Perguruan Cakar Elang. Sesaat
kemudian terjadilah pertempuran yang amat seru di halaman
depan Perguruan Cakar Elang.
Puluhan murid Perguruan Cakar Elang yang dipimpin tiga
orang murid utama Perguruan Cakar Elang menerjang dengan
ganas. Mereka yang merasa marah akibat kematian sang Guru ,
menerjang tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Tiga belas orang berseragam merah sama sekali tidak merasa
gentar meskipun masing-masing harus menghadapi keroyokan
tiga atau empat orang lawan. Gerakan mereka rata-rata terlihat
cepat, sehingga tidak heran kalau dalam beberapa jurus saja
banyak murid-murid Perguruan Elang Sakti terkapar tewas!
Wisesa dan dua orang saudaranya tak dapat berbuat banyak.
Karena pada saat itu ketiganya pun harus mempertahankan
selembar nyawa mereka dari gempuran lelaki berkepala gundul
yang berjuluk Tapak Baja. Tiga orang murid utama Pendekar
Elang Sakti benar-benar kewalahan mengimbangi kepandaian
lawan.
“Heaaah...!”
Ketika Tapak Baja berseru keras sambil mendorongkan telapak
tangan ke dada Sadewa, pemuda itu cepat menangkis serangan
dengan mengayunkan pedangnya. Namun alangkah terkejutnya
pemu da itu ketika lawan membabat pedangnya hanya dengan
tangan kosong, sedangkan tangan yang satu lagi tetap meluncur
ke arah dada.
Takkk! Bu kkk!
“Ughhh...!”
Pedang di tangan Sadewa langsung patah terbabat telapak
tangan Tapak Baja. Dan sebelum dia sempat tersadar, tahu -tahu
telapak tangan lelaki berkepala gundul telah menghantam
dadanya. Seketika darah segar bermuncratan dari mulut murid
utama Pendekar Elang Sakti itu. Tu buhnya terbanting keras dan
tewas seketika akibat hantaman tangan lawan yang telah
menghantam isi dadanya.
“Keparat! Ku bunuh kau...!” bukan main marahnya Wisesa
melihat kematian adik seperguruannya. Secepat kilat senjatanya
diayunkan menebas leher Tapak Baja.
Pletakkk!
“Aaah...!”
Wisesa terkejut setengah mati! Senjata di tangannya langsung
patah akibat sabetan tangan lawan sedangkan dia sendiri terjajar
mundur sejauh empat langkah. Dan belum lagi sempat
memperbaiki kuda-ku danya, tahu-tahu telapak tangan Tapak Baja
telah meluncur menghantam dada.
Wisesa yang sudah tidak berdaya hanya memejamkan mata
menunggu maut datang menjemput!
Plakkk! Desss!
“Ughhh...!”
Terdengar teriakan menyayat hati yang disusul terlemparnya
sesosok tubuh berpakaian serba merah beberapa tombak ke
belakang. Seketika darah segar bermuncratan dari mulutnya.
Wisesa yang sedang memejamkan mata menjadi heran karena
serangan orang yang mengaku berjuluk Tapak Baja tak juga
datang. Rasa heran semakin bertambah saat didengarnya jeritan
orang kesakitan. Perlahan-lahan kedua kelopak matanya dibuka
untuk melihat apa yang terjadi.
Murid tertua Perguruan Cakar Elang melihat tubuh Tapak Baja
telah terkapar tak berdaya. Kini di depannya tampak sesosok
tu buh berpakaian serba putih tengah berdiri tegak. Di punggung
orang asing itu terselip sebatang pedang panjang dan besar.
“Siapakah Kisanak?” sapa Wisesa kepada orang berpakaian
serba putih. Matanya menatap tajam, seakan-akan ingin
mengetahui dengan jelas sosok tubuh berbaju pu tih yang
membelakanginya! Dan sebelum pertanyaannya dijawab, tiba-tiba
terdengar lagi jeritan kematian yang berasal dari arena
pertempuran di sebelah kiri Wisesa.
Segera Wisesa mengalihkan pandangan ke asal suara jeritan.
Terlihat olehnya seorang gadis cantik tengah bertempur dikeroyok
beberapa orang berpakaian serba merah.
“Eh, siapa pula wanita jelita itu ?” desis murid tertua Perguruan
Cakar Elang, semakin heran. Sepasang matanya membelalak
lebar-lebar menyaksikan dua orang berbaju merah terjungkal
bersimbah darah! Pedang yang bersinar pu tih di tangan gadis itu
terlihat berlumuran darah.
“Uruslah kawan-kawanmu. Biar aku yang menghadapi orang
itu ,” u jar sosok tu buh berjubah putih itu sambil tersenyum.
Wajahnya yang tampan terlihat semakin menarik saat tersenyum.
Rambu tnya yang panjang bergoyang-goyang tertiup angin. Sehelai
kain yang juga berwarna pu tih menghiasi kepalanya.
Sejenak Wisesa terpana ketika mengetahui kalau orang serba
pu tih yang telah menolongnya ternyata masih sangat muda.
“Baik.... Baik, Tuan Pendekar...!” sahut Wisesa, terbata-bata.
Dengan wajah masih diliputi tanda tanya, dia pun bergegas
membantu murid-murid lain bersama adik seperguruannya.
Sementara itu, Tapak Baja berusaha bangkit sambil menekap
dada dengan tangan kiri. Sedang tangan kanannya terkulai
lumpuh. Dari su dut bibirnya keluar darah segar.
“Bangsat! Siapa kau? Mengapa kau campuri urusanku ?” geram
Tapak Baja, sambil meringis menahan rasa sakit di dada akibat
hantaman telapak tangan pemuda berjubah putih itu.
“Hm.... Siapa pun yang melihat kejadian ini tidak akan bisa
berpangku tangan! Dan sudah menjadi kewajiban, setiap
pendekar pembela kebenaran untuk membasmi orang sekeji kau !”
sahut pemu da tampan itu dengan tenang.
“Sebutlah namamu! Atau kau akan menjadi mayat tanpa
nama!” ancam Tapak Baja, semakin geram, mendengar jawaban
yang tak diharapkan.
“Mundur kau , Tapak Baja! Aku telah dapat menduga siapa
pemu da usilan ini! Nah, sambutlah seranganku , Kisanak!
Haiiit...!” didahului bentakan nyaring, tu buh tinggi kurus yang
tidak lain adalah Jari Penembus Tulang segera melancarkan
serangan.
Wettt! Wu ttt!
“Hm....”
Pemuda tampan berjubah putih hanya menggeser kaki ke
belakang, sehingga serangan itu pun hanya mengenai tempat
kosong. Secepat kilat kaki kanan telah digeser ke belakang,
kembali terlontar ke depan melepaskan tendangan ke ulu hati
lawan. Tendangan itu demikian cepat, sehingga mengejutkan Jari
Penembus Tulang!
Bettt!
“Aaah...!”
Lelaki tinggi kurus itu cepat melempar tu buh ke belakang dan
langsung berputaran di u dara. Kedua kakinya mendarat ringan
beberapa tombak di depan lawan. Untunglah tadi dia bertindak
cepat. Sesaat saja terlambat, ulu hatinya pasti terkena tendangan
pemu da berjubah putih.
Jari Penembus Tulang berusaha berdiri tegak dengan wajah
sedikit pucat, karena tak mengira akan berhasil lolos dari
tendangan kilatnya. Sepasang mata lelaki tinggi kurus menyorot
tajam meneliti seku jur tu buh pemuda tampan berbaju putih.
Keningnya berkerut, karena sebelumnya tak pernah melihat ciri-
ciri manusia yang diduganya adalah pemuda itu . Tentu saja hal itu
menimbulkan keraguan dalam hatinya.
“Siapa kau sebenarnya, Anak Mu da? Apakah kau sedemikian
pengecutnya, sehingga tidak berani memperkenalkan diri?” u jar
Jari Penembus Tulang, memancing kemarahan dan harga diri
pemu da itu.
“Ha ha ha...! Orang Tua. Kalau kau memang ingin tahu
namaku , baiklah! Nama panggilanku adalah Panji. A ku hanya
seorang perantau yang kebetulan lewat. Dan sebagai orang yang
memiliki sedikit kepandaian, aku tidak bisa tinggal diam melihat
perbuatan anak buahmu yang berlaku keji terhadap murid-murid
Perguruan Cakar Elang. Nah, sekarang kau sudah puas?” tegas
pemu da tampan yang tidak lain adalah Panji alias Pendekar Naga
Putih dengan sikap tenang.
“Hm.... Mengapa kau tidak menyebutkan julukanmu, agar
dapat ku pertimbangkan apakah aku pantas menghukum atau
memaafkan tindakanmu?” Jari Penembus Tulang masih juga
penasaran karena pemuda berju bah putih tidak menyebutkan
julukannya.
“Ah, untuk apa segala julukan kosong itu , Orang Tua?
Su dahlah! Sekarang kau boleh pilih. Sekarang juga pergi dari
tempat ini dengan membawa pengikutmu, atau terpaksa aku
menghukummu!” ancam Panji tanpa bersedia menyebutkan
julukannya.
“Keparat kau , Anak Muda! Kau kira kami taku t melihat
kepandaianmu?! Huh! Jangan takabur! Aku masih belum kalah!”
bentak Jari Penembus Tulang yang merasa marah mendengar
perkataan Pendekar Naga Putih. Kedua tangannya tahu -tahu
su dah kembali bergerak dan siap melanjutkan pertempuran.
“Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu , Orang Tua!” sahut
Panji, tetap bersikap tenang, namun penuh waspada.
“Hmh!” geram Jari Penembus Tulang, membuka jurus gaya
burung rajawali. Kaki kanan agak rendah ke belakang dan kaki
kiri ditekuk di depan. Jari tangan kanan yang berada di atas
kepala menunjuk ke langit. Sedangkan tangan kiri terjulur lurus
menunjuk ke arah lawan. Itulah pembukaan jurus kelima ilmu
‘Jari Sakti’ yang telah dipelajari dengan sempurna.
Sepasang mata Panji menatap tajam meneliti gerakan lelaki
tinggi kurus di depannya. Dia memang pernah mendengar
kehebatan ilmu ‘Jari Sakti’ yang kini sedang digunakan lawan.
Dan dia pun tahu kalau kekuatan ilmu ‘Jari Sakti’ hanya terletak
pada jari-jari tangan yang keras seperti besi dan dapat menembus
tu buh manusia.
“Yeaaat..!”
Diawali bentakan nyaring, Jari Penembu s Tulang meluncur
cepat secara bersilangan. Rupanya laki-laki tinggi kurus su dah
mengeluarkan langkah ajaibnya.
Panji mengerutkan kening melihat lawan bergerak maju
dengan langkah-langkah aneh. Pemu da itu makin terkejut melihat
tu buh Jari Penembus Tulang hampir tak tampak oleh mata.
Diam-diam Panji memuji kehebatan lawan yang ternyata memiliki
kepandaian beraneka ragam.
Bettt! Bettt!
“Aihhh...!”
Pendekar Naga Putih berseru tertahan Tiba-tiba saja jari-jari
tangan lawan menyambar secara tak terduga. Untunglah pemu da
itu sempat membuang tubuh ke samping, sehingga serangan dua
jari tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berhasil
dihindarkan. Sedikit saja terlambat, mungkin jari-jari tangan
sekeras besi lawan akan menembus lambung dan leher. Kini Panji
harus lebih berhati-hati menghadapi Jari Penembus Tulang
dengan langkah-langkah ajaibnya.
Jari Penembus Tulang terus mencecar Panji dengan gerakan-
gerakan yang membingungkan. Sepasang tangannya menyambar-
nyambar ganas menimbulkan deru angin tajam.
Wettt! Bettt!
Dua serangan jari tangan lawan dapat dielakkan Panji, elakan
dengan membuang tubuh ke kiri dan kanan. Selama dalam
beberapa jurus, Pendekar Naga Putih hanya menghindar tanpa
sekalipun berusaha membalas. Sepasang matanya yang tajam
terus mengikuti langkah lawan yang aneh dan membingungkan
itu . Pemuda itu memang sengaja tidak membalas serangan lawan
karena tengah mencari titik kelemahan ilmu ‘Langkah A jaib’
lawan yang dihadapinya.
Pertarungan terus berlangsung hingga menginjak jurus ke
tigapuluh lima. Dan sampai sejauh itu, Panji belum juga dapat
menemukan titik kelemahan ilmu ‘Langkah Ajaib’ Jari Penembus
Tulang. Sampai pada jurus ke tigapuluh lima ini pun ia sama
sekali belum melakukan serangan balasan.
“Setan! A pakah kau hanya bisa berlari-lari seperti tikus, Anak
Mu da?!” Jari Penembus Tulang berteriak marah melihat Panji
hanya menghindar tanpa sekalipun balas menyerang.
Pendekar Naga Putih sama sekali tidak menggu bris ejekan
lawan. Dia terus memperhatikan langkah-langkah aneh Jari
Penembus Tulang. Sebenarnya dapat saja dia mematahkan
serangan lawan dengan mengandalkan kehebatan ‘Tenaga Sakti
Gerhana Bulan’nya. Tapi hal itu tidak dilakukan, karena merasa
tertarik dengan ilmu ‘Langkah A jaib’ lawan. Ilmu itu baru
pertama kali ia temui setelah sekian lama malang-melintang di
dalam dunia persilatan
Setelah kurang lebih selama empat puluh jurus
memperhatikan gerak langkah Jari Penembus Tulang, tampak
senyum gembira menghias wajahnya. Ru panya Pendekar Naga
Putih su dah dapat menemukan titik kelemahan ilmu ‘Langkah
A jaib’ gaya serang burung rajawali lawan.
Bettt! Brettt!
“Aaah...!”
Kegembiraan karena telah menemukan kunci kelemahan ilmu
‘Langkah A jaib’ lawan membuat Pendekar Naga Putih lengah.
Untunglah dia masih sempat memiringkan tu buh, sehingga
tu sukan jari tangan lelaki tinggi kurus itu hanya sempat merobek
baju di bagian dada. Cepat pemuda ini menghindar ke belakang
dan dua kali bersalto di u dara. Kedua kakinya mendarat ringan
empat tombak dari tempat lawan.
“He he he...! Sebentar lagi bu kan hanya bajumu yang bolong.
Tapi tubuhmulah yang akan menjadi sasaran jari-jariku ini!” Jari
Penembus Tulang tertawa gembira meskipun tusukan jarinya
hanya sempat merobek baju Panji. Kejadian itu membuat dirinya
semakin yakin, mampu mengalahkan lawan sekalipun harus
mengerahkan segenap kemampuannya.
“Hm.... Tertawalah sepuasmu , Orang Tua. Sebentar lagi ilmu
‘Langkah A jaib’ yang kau banggakan akan kubuat takluk!” sahut
Pendekar Naga Putih, seraya tersenyum lebar.
“Keparat sombong! Buktikan ucapanmu !” teriak Jari
Penembus Tulang agak terkejut Hatinya yang semula yakin
mendadak ragu ketika mendengar u capan Panji. Tapi dia
berusaha menyembunyikan keraguannya. Sebab siapa tahu
pemu da itu hanya sekadar gertak sambal agar perhatiannya
buyar.
“Heaaat...!”
Sambil berteriak keras Jari Penembus Tulang kembali
bergerak dengan langkah-langkah ajaib. Kedua kakinya
melangkah bersilangan, terkadang diselingi gerakan mundur dan
maju secara cepat dan aneh.
Melihat lawan sudah mulai bergerak, Panji pun mulai
menggeser telapak kaki perlahan. Makin lama gerakan kaki
pemu da itu semakin cepat, mirip dengan apa yang dilakukan laki-
laki bertu buh tinggi kurus itu. A pabila lawan bergerak mundur,
maka pemu da itu pula melangkah mundur. Tentu saja gerakan
Panji membuat lawan menjadi terheran-heran.
Wuttt! Wu ttt!
Tiba-tiba saja Jari Penembus Tulang bergerak maju secara tak
terduga. Saat itu pun Panji melakukan hal yang sama, sehingga
du a pasang tangan keduanya saling dorong dan hampir
bertumbukan. Sebelum kedua pasang lengan kekar itu saling
bertemu, mendadak laki-laki tinggi kurus itu mendoyongkan
tu buh ke samping kiri sambil melontarkan tusukan jari ke
lambung.
Cuittt!
Tusukan jari tangan yang mampu menembus batu karang,
lolos tak mengenai sasaran! Rupanya saat itu pun Panji telah
mendoyongkan tubuhnya, persis seperti yang dilakukan lawan.
Sekali lagi tusukan Jari Penembus Tulang luput, karena posisi
mereka yang saling berhadapan, membuat keduanya
mendoyongkan tu buh kearah berlawanan.
Wuttt!
Blakkk!
“Aaakh...!”
Sebelum Jari Penembus Tulang menyadari keadaannya, tahu-
tahu tangan kanan Pendekar Naga Putih terayun disertai dengan
pu taran tubuhnya. Tak pelak lagi hantaman sisi telapak tangan
Pendekar Naga Putih tepat mengenai lambungnya. Disertai
lengking kesakitan, tu buh tinggi kurus itu terjajar mundur hingga
beberapa tombak ke belakang. Darah segar mulai merembes di
su dut bibirnya. Dan sebelum Jari Penembus Tulang sempat
mengatur kuda-ku da, tahu-tahu Panji su dah melayang disertai
tendangan yang merobek u dara.
Bettt! Desss!
“Hukhhh...!”
Darah segar langsung muncrat begitu telapak kaki Panji
mampir di dada Jari Penembus Tulang. Tubuh laki-laki tinggi
kurus itu pun terjengkang dan terbanting keras di tanah.
“Kakang...!”
Tapak Baja menghambur ke arah pemimpinnya yang tengah
berusaha bangkit.
***
TIGA
Sementara itu, pertempuran yang berlangsung di tempat lain
pun su dah mulai berakhir. Para pengikut Jari Penembus Tulang
yang sebelumnya berjumlah dua belas kini hanya tinggal empat
orang. Itu pun keadaannya benar-benar tengah terancam maut!
“Hiaaa...!”
Sambil berteriak keras, gadis jelita berpakaian serba hijau
membabatkan pedang secara mendatar. Siapa lagi gadis jelita itu
kalau bukan Kenanga.
Dua orang berseragam merah yang memang sudah terdesak
berusaha mempertahankan selembar nyawanya mati-matian.
Bergegas keduanya mengayunkan pedang menangkis sambaran
pedang Kenanga.
Trangngng! Tringngng!
Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar suara berdentangan nyaring, ketika tiga batang
pedang saling berbenturan keras. Dua orang berseragam merah
membelalak, dengan wajah pu cat ketika pedang mereka terlepas
dari genggaman. Dan sebelum sempat menyadari apa yang
mereka alami, tahu-tahu pedang bersinar putih keperakan
berkelebat menyambar tubuh mereka.
Kedua orang itu pun jatuh bergulingan sambil menekap dada
yang terdapat tanda bergaris merah sepanjang satu jengkal.
Keduanya teru s bergulingan menjauhi gadis berpakaian serba
hijau itu .
Kenanga sama sekali tidak berusaha mengejar lawannya. Gadis
jelita itu hanya berdiri tegak memandang kedua lawannya yang
tengah berusaha bangkit. Gerakan mereka terlihat agak limbung,
menahan rasa sakit pada luka pada bagian atas dada masing-
masing.
Sementara itu , pertarungan satu lawan satu antara dua murid
utama Perguruan Cakar Elang dan dua orang berseragam merah
tampak akan segera berakhir.
Brettt!
“Uhhh...!”
Orang berpakaian serba merah yang menjadi lawan Wisesa
langsung ambruk. Lu ka di lambungnya bersimbah darah segar.
Dan sebelum orang itu dapat berdiri tegak, pedang di tangan
Wisesa kembali menyambar ganas! Dendam yang membara
dalam dadanya membuat murid tertua Pendekar Elang Sakti ini
bertindak kejam!
Crokkk!
“Hukhhh!”
Kepala musuh langsung pu tus disambar pedang Wisesa.
Seketika darah menyembur dari leher yang terpotong, disusul
tendangan keras hingga tu buh tanpa kepala itu tersungkur
mencium tanah! Setelah berkelojotan sesaat, tubuh itu pun tak
bergerak untu k selamanya.
Berbarengan dengan kejadian itu, terdengar teriakan kematian
yang keluar dari mulut lawan adik seperguruan Wisesa. Suara
berdebuk keras terdengar, ketika sosok berpakaian serba merah
terbanting di tanah dengan usu s terburai.
“Mampus kau , bangsat!” maki adik seperguruan Wisesa yang
bernama Humbala geram sambil menyarungkan pedang.
“Kau tidak apa-apa, A di Humbala?” tanya Wisesa
menghampiri adik seperguruannya yang tengah menyarungkan
pedang ke pinggang.
“Tidak, Kakang!” sahut Humbala seraya tersenyum getir.
Sementara itu dua lawan Kenanga yang menderita luka telah
bergabung dengan Tapak Baja dan Jari Penembus Tulang. Empat
orang yang semula garang kini memandang pu cat, menanti apa
yang bakal dilakukan Wisesa dan kawan-kawannya terhadap
mereka.
“Bunuh saja mereka, Tuan Pendekar!” seru Wisesa yang
menaruh dendam kepada orang-orang itu. Teriakan Wisesa
disambu t teriakan-teriakan murid-murid Perguruan Cakar Elang
lain yang masih selamat.
Keempat orang berpakaian serba merah telah bersimbah peluh
karena ngeri dan ketakutan, melihat orang-orang Perguruan
Cakar Elang menatap penuh dendam. Meskipun Tapak Baja
hanya menderita luka ringan, namun dia su dah kehilangan
keberanian menghadapi kesaktian pemu da berjubah putih.
“Hm... seorang pendekar tidak akan membunuh lawan yang
su dah tidak berdaya. Perbuatan itu akan ditertawakan tokoh-
tokoh persilatan apabila mereka dengar. Kurasa guru kalian pun
akan sependapat denganku apabila beliau masih hidup,” u jar
Panji sambil memandang murid-murid Perguruan Cakar Elang,
yang tertunduk lesu. Pemuda berjubah putih baru tahu , kalau
Ketua Perguruan Cakar Elang tewas, ketika melihat mayat
seorang laki-laki tua, terbujur kaku dengan luka di kening dan ulu
hatinya.
Begitu diingatkan tentang gurunya, Wisesa tertunduk sedih.
Apa yang dikatakan pemuda berjubah putih yang menolong
mereka memang benar. Wisesa sudah sering mendengar kata-kata
yang sama dari mulut sang Guru. Setelah berusaha menekan api
dendam yang membara dalam dada, Wisesa pun mengangguk
lemah kearah Panji.
“Nah, kalian su dah lihat sendiri kalau kalian telah diampuni.
Sekarang, pergilah dari tempat ini, sebelum mereka beru bah
pikiran!” ujar Panji kepada keempat orang berseragam merah
yang hampir-hampir tak mempercayai pendengarannya.
Dengan wajah masih diliputi tanda tanya besar, keempat orang
berseragam merah pun bergegas meninggalkan halaman depan
Perguruan Cakar Elang. Mereka terus berlari tanpa menolehkan
kepalanya sedikit pun! Sampai-sampai mereka tidak sempat
mengetahui nama pendekar yang welas asih itu .
“Nah, sekarang giliran kami yang harus pergi. Ayo, A dik
Kenanga!” u jar Panji sambil menarik lengan kekasihnya.
Sekelebatan saja tu buh kedua mu da-mu di itu su dah lenyap di
balik tembok perguruan ini.
“Tuan Pendekar...!” Wisesa yang belum sempat mengetahui,
siapa penolong mereka berusaha mencegah. Tapi sayang kedua
pendekar muda itu telah jauh meninggalkan tempat mereka.
“Ah, selain kita tidak tahu siapa pendekar muda tadi, kita juga
belum mengucapkan terima kasih kepada mereka,” desah Wisesa
kecewa.
“Rasanya orang-orang seperti mereka tidak memerlukan
ucapan terima kasih, Kakang. Mereka adalah pendekar-pendekar
pembela kebenaran, yang menolong tanpa pamrih!” u jar Humbala
mengingatkan.
“Dapatkah engkau mengetahui siapa mereka, Adi Humbala?”
tanya Wisesa kepada adik seperguruannya, yang sering keluar
untuk melakukan tugas dari guru mereka.
“Hm.... Menurut dugaanku sementara, pemuda itu adalah
Pendekar Naga Putih. Tapi aku tidak tahu, siapa gadis jelita yang
bersama dia. Dugaanku belum pasti, Kakang. Karena aku tidak
melihat lapisan kabut putih yang menyelimuti tu buhnya.
Demikian ju ga dengan pedang yang biasanya selalu melingkar di
pinggangnya,” jawab Humbala tak yakin.
“Kalau begitu bisa jadi, pemuda itulah yang dijuluki Pendekar
Naga Putih. Siapa lagi orang seusia dia yang memiliki kepandaian
begitu tinggi. Bahkan dapat menundukkan Jari Penembus Tulang
yang telah membunuh guru kita,” u jar Wisesa, memastikan.
“Yah, su dahlah. Siapa pun pemuda itu yang jelas dia telah
berjasa besar kepada kita. Kalau tidak, mungkin kita semua su dah
habis dibantai gerombolan tadi. Sekarang lebih baik kita bereskan
tempat ini, Kakang!” usul Humbala sambil memandang kakak
seperguruannya.
“Marilah!” sahut Wisesa, seraya menghampiri mayat yang
berserakan diiringi murid-murid Perguruan Cakar Elang lain.
***
“A dik Kenanga, bagaimana kalau kita singgah dulu di desa
kelahiranku ?” u jar Panji kepada Kenanga ketika mereka berdua
berjalan berdampingan di sebuah hutan. Tiba-tiba hatinya terusik
rasa rindu, ingin menjengu k kampung kelahirannya di Desa
Karang Jati. Memang letak desa itu tidak terlalu jauh lagi dari
tempat mereka berada sekarang.
“Aku setuju , Kakang. Bu kankah desa kelahiranmu tidak jauh
dari sini?” ucap Kenanga, tersenyum. Kenanga su dah dapat
menduga, mengapa tiba-tiba saja kekasihnya teringat pada desa
kelahirannya.
“Eh, dari mana kau tahu, Adik Kenanga?” tanya Panji heran.
Memang, selama ini dia sama sekali belum pernah menceritakan
perihal Desa Karang Jati kepada Kenanga.
“Ah, mudah sekali, Kakang. Tidakkah Kakang sadar, kalau
keinginan Kakang yang datang begitu tiba-tiba itulah jawabannya.
Selama ini Kakang tidak pernah bercerita perihal desa kelahiran
Kakang kepadaku . Nah, kalau tiba-tiba saja Kakang sangat ingin
menjenguknya, itu berarti desa kelahiran Kakang tidak jauh dari
tempat di mana Kakang teringat untuk menjenguk. Bu kankah
begitu, Kakang?” jelas Kenanga, tersenyum manis.
Meskipun Panji sudah sering kali melihat kekasihnya
tersenyum, tapi senyum di bibir Kenanga masih saja mempesona.
Berapa saat lamanya, pendekar berjubah pu tih ini terpaku
menatap senyum manis, yang tersungging di bibir indah sang
kekasih.
“Kau .... Kau cantik sekali, A dik Kenanga...,” desah Panji
dengan suara bergetar. Sepasang tangannya terulur hendak
menyentuh bahu gadis jelita itu.
Kenanga semakin melebarkan senyum, ketika melihat Panji
terpaku menatapnya.
“Ihhh, Kakang sekarang pintar merayu !” ucap Kenanga,
menggoda. Dan sebelum kedua tangan Panji menyentuh bahu ,
Kenanga berlari menghindar.
“Ah, kau nakal sekali, A dik Kenanga. Kau sengaja
menggodaku ,” u jar Panji, seraya menghampiri kekasihnya, yang
tertawa-tawa melihatnya kebingungan.
“Hi hi hi...! Habis Kakang, genit sih!” kilah Kenanga, sambil
mencibirkan bibir yang membuat Panji semakin gemas. Gadis itu
berlari meninggalkan kekasihnya, karena tahu apa yang akan
dilakukan Panji.
“Awas kau ! Kalau tertangkap, kau tidak akan kuampuni!” seru
Panji seraya mengejar sang Kekasih yang terus berlari semakin
menjauh.
“Hi hi hi...! Tangkaplah aku kalau kau memang bisa, Kakang!”
tantang Kenanga semakin mempercepat larinya.
Hati pemu da berju bah putih semakin gemas melihat
kekasihnya malah semakin mempercepat lari. Sekilas terlihat
senyum kemenangan di bibir pemuda itu ketika melihat di depan
mereka terbentang rerimbunan pepohonan lebat.
Kenanga terus berlari memasuki rerimbunan pepohonan lebat
itu . Tu buhnya bergerak lincah menyelinap di antara semak-semak
dan pepohonan. Beberapa saat kemudian, tubuh ramping terbalut
pakaian serba hijau itu telah lenyap, ditelan keremangan hutan.
Setelah agak jauh memasuki wilayah hutan, Kenanga
mengerutkan kening. Sepasang telinganya dipasang tajam-tajam
untuk mendengar langkah kaki Panji. Kerut di kening gadis
berpakaian serba hijau itu semakin dalam, ketika sepasang
telinganya tak juga menangkap gerak langkah di belakang.
“Eh, ke mana perginya, Kakang Panji...?” kata gadis jelita itu
dalam hati. Bergegas dia menyelinap di balik sebatang pohon agak
besar, menanti kedatangan kekasihnya.
Sepasang mata gadis jelita itu berputar merayapi sekitar hu tan.
Hatinya semakin heran setelah beberapa lama menanti, ternyata
kekasihnya tak juga muncul-muncul.
“Kakang! Di mana kau ...? Keluarlah! Aku menyerah!” seru
gadis jelita itu , yang mulai mencemaskan Panji. Meskipun tahu
tingkat kepandaian sang kekasih, namun kecemasan tetap saja
membayang di wajahnya.
Karena tak juga mendapat jawaban, Kenanga pun keluar dari
persembunyian. Kedua kakinya melangkah perlahan, menyusuri
jalan yang semula dia lewati.
“Aku menyerah, Kakang! Aku janji tidak akan menggodamu
lagi!” seru Kenanga, dengan nada menyesal dan cemas.
Pikirannya mulai dipenuhi berbagai dugaan.
Sepasang mata indah Kenanga membelalak lebar! Beberapa
tombak di depannya tergeletak sesosok tubuh tak bergerak. Darah
segar tampak berceceran, sampai beberapa jengkal dari tubuhnya.
Bu kan main terkeju tnya Kenanga, begitu mengenali kalau
sosok itu tidak lain adalah Panji. Tanpa berpikir panjang, gadis
jelita itu segera berlari mendapatkan kekasihnya.
“Kakang...!” teriak gadis berpakaian serba hijau itu lemah. Air
bening tampak menggenang di pelupu k matanya. Kedua tangan
gadis itu bergetar ketika membalikkan tu buh Panji yang tak
bergerak
Kenanga hampar menjerit, ketika tahu-tahu saja tangan
pemu da itu bergerak menangkap pergelangan tangannya.
“Hayo...! Mau lari ke mana, kau sekarang!” teriak Panji
mengeju tkan. Seraya langsung menarik tangan Kenanga, hingga
terjatuh ke dalam pelukannya. Tu buh muda-mudi itu langsung
bergulingan di atas rerumputan hijau .
Tanpa banyak cakap lagi, Panji menghujani bibir dan wajah
kekasihnya dengan ciuman hangat. Tentu saja perbuatan Panji
membuat Kenanga gelagapan. Meskipun demikian, Kenanga sama
sekali tidak berusaha melepaskan pelukan kasihnya. Malah dia
pun membalas ciuman tak kalah hangat.
“Kakang jahat...! Padahal tadi aku mengira Kakang benar-
benar terluka parah!” teriak gadis jelita itu sambil memukul dada
pendekar berjubah serba putih perlahan. Saat itu keduanya masih
rebah di atas rerumpu tan. Wajah Kenanga tampak memerah
menerima perlakuan kekasihnya.
“Habis kau membuatku gemas sih!” sahut Panji sambil
bangkit. Tangannya diulurkannya membantu Kenanga bangkit.
Begitu sudah berdiri, kembali tu buh kekasihnya dipeluk erat-erat.
Rupanya pendekar berjubah putih masih belum mau melepaskan
Kenanga dari pelukan.
“Darah itu ...?” tunjuk Kenanga, menuntut jawaban.
“Hm.... Aku terpaksa harus mengorbankan seekor kelinci
untuk menangkapmu,” jawab Panji kembali mengecu p bibir gadis
jelita ini perlahan. “Kau selalu membuat hatiku terpesona dan
tergoda, A dik Kenanga.”
“Ah, dasar Kakang saja yang genit! Ayolah, apakah Kakang
tidak jadi menjengu k desa kelahiran Kakang?” u jar Kenanga,
sambil mengajak kekasihnya meninggalkan hutan, karena
sebentar lagi hari mulai gelap.
“Tentu saja jadi! Ayolah, mumpung hari belum gelap!” ajak
Panji, sambil menarik tangan kekasihnya.
Ditemani hembusan angin sore, sepasang muda-mudi itu
bergegas meninggalkan hu tan kecil.
***
Matahari pagi mulai memperlihatkan kekuasaan. Sinarnya
yang kuning keemasan perlahan menghangatkan permukaan
bumi. Sang embun pun menguap tanpa meninggalkan bekas.
Di depan halaman sebuah bangunan tua yang hitam dan kotor,
tampak sepasang mu da-mu di tengah berdiri tegak. Lama mereka
menatap bangunan tua yang kotor itu. Sesaat kemudian terdengar
hempasan napas berat pemu da berjubah serba putih.
“Inikah tempat kediaman orang tuamu dulu, Kakang?” tanya
gadis berpakaian serba hijau yang tidak lain adalah Kenanga.
Ditatapnya wajah pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah
Panji dengan rasa haru .
“Yahhh, di tempat inilah aku dibesarkan kedua orang tuaku,”
tu tur Panji agak serak. Setelah berkata demikian, kakinya
dilangkahkan ke dalam bangunan tua.
Panji berdiri tertegun memandang bangunan tua itu , ketika
sampai di halaman bangunan dia melihat banyak kuburan.
Padahal seingatnya, di sana sama sekali tidak ada pekuburan.
“Eh, makam siapa sajakah ini, Kakang?” tanya Kenanga yang
juga merasa heran melihat di halaman bangunan terdapat
pekuburan.
Peku buran itu tidak terlalu besar, hanya terdapat beberapa
puluh makam. Itu pun tidak semuanya memakai batu nisan.
Pemuda itu melangkah perlahan, mendekati dua buah nisan
paling besar di antara yang lain. Hati pendekar berjubah putih itu
bergetar, begitu membaca nama kedua orang tuanya tertera di
batu nisan (Bagi pembaca yang belum mengetahui, silakan ikuti
kisah Pendekar Naga Putih dalam episode: “Tiga Iblis Gunung
Tandur”).
“Ayah.... Ibu ...!”
Pendekar Naga Pu tih langsung menjatuhkan kedua lututnya di
sisi kedua gundukan tanah, yang letaknya berdampingan. Hatinya
agak sedikit terhibur melihat kedua makam terawat baik.
Siapakah yang telah begitu baik merawat kedua makam ini?
Pikirnya heran.
“Paksi Buana, Rara Ampel...,” desah suara lirih yang keluar
dari mulut Kenanga. Gadis jelita itu pun sudah pula bersimpuh di
samping kekasihnya. “Itukah nama kedua orang tuamu, Kakang?”
“Benar, A dikku. Merekalah kedua orang tuaku Entah siapa
yang telah begitu baik hati mengu burkan jenazah orang tuaku dan
merawat kedua makam ini?” sahut Panji, dengan suara lirih.
Panji dan Kenanga serentak menoleh begitu mendengar
langkah kaki mendekati mereka. Keduanya bergegas bangkit
ketika melihat beberapa orang laki-laki berjalan ke arah mereka.
“Siapakah Kisanak? Dan ada keperluan apa datang ke tempat
ini?” tanya seorang laki-laki yang berjalan paling depan. Orang itu
berusia sekitar empat puluh tahun. Sebaris kumis tebal yang
menghias wajahnya semakin membuat angker. Sikapnya terlihat
sopan dan ramah. Namun di balik kata-kata orang itu
tersembunyi kesan tegas.
“Paman, namaku Panji. Dan temanku ini Kenanga.
Kedatangan kami kemari untuk menjenguk kediaman orang
tuaku, yang bernama Paksi Buana. Kalau boleh kutahu, siapakah
Paman?” sahut Panji ramah dan sopan, sehingga membuat orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil tersenyum lebar.
***
EMPAT
“Hm... Panji...,” gumam laki-laki berkumis tebal itu , seolah-
olah sedang berusaha mengingat-ingat nama itu. “Beberapa hari
yang lalu pun ada laki-laki setengah baya menanyakan nama itu .
Kalau tidak salah namanya Ganda Buana. Kedatangannya ke
tempat ini pun sama tu juannya dengan kalian. Sebelum pergi, dia
sempat menanyakan anak laki-laki Paksi Buana yang bernama
Panji. Tapi aku tidak bisa menjawab karena aku sendiri tidak
tahu -menahu perihal anak Paksi Buana.”
“Ganda Buana...,” desah Pendekar Naga Pu tih dengan kening
berkerut. Sepertinya ia memang pernah mendengar nama itu .
“A pakah ayahmu pernah menceritakan perihal orang yang
bernama Ganda Buana, Kakang?” tanya Kenanga.
“Hm... Kalau tidak salah, orang yang bernama Ganda Buana
mengaku sebagai adik Paksi Buana,” laki-laki berkumis tebal itu
berusaha untuk membantu menyegarkan ingatan Panji.
“Ya.... Ya, aku ingat sekarang! Ganda Buana memang benar
pamanku. Waktu aku masih sekitar berusia sembilan tahun,
beliau pernah berkunjung ke tempat ini bersama keluarganya.
Apakah Paman Ganda Buana memberitahukan tempat
tinggalnya?” tanya Panji kepada orang berkumis tebal itu .
Wajahnya kelihatan berseri-seri, karena ternyata dia masih punya
seorang paman yang masih hidu p.
“Mmm.... Menurut pengakuan pamanmu, dia tinggal di Desa
Pegatan,” jawab orang itu lagi. “Ah, apakah tidak sebaiknya kita
ngobrol di rumah saja, Panji, Kenanga? Ayolah, singgah di
rumahku barang sebentar.”
“Ah, terima kasih. Mmm.... Paman, bolehkah aku tahu, siapa
yang telah berbaik hati mengurus kedua makam orang tuaku ini?”
tanya Panji sambil melangkah berdampingan dengan laki-laki
berkumis tebal.
“Ah, itu su dah menjadi kewajiban kami, Panji. Paksi Buana
adalah orang yang sangat dihormati di desa ini. Su dah sepatutnya
kalau kami menjaga batik-baik makam beliau,” jawab si kumis
tebal tanpa merasa berjasa sedikit pun.
“Paman, kalau tidak salah, dulu yang menjadi kepala desa di
sini adalah Ki A ji Sena. Apakah sekarang beliau masih memegang
jabatan itu ?” tanya Panji ketika teringat nama Kepala Desa
Karang Jati sewaktu dia masih kecil.
“Hm.... Lima tahun setelah terbunuhnya keluarga Paksi Buana,
Ki A ji Sena pun wafat. Setelah mendapat persetujuan para tetua-
tetua desa, aku diberi kepercayaan memimpin desa ini,” jawab
orang berkumis tebal itu yang ternyata adalah Kepala Desa
Karang Jati.
“Ah, kalau begitu aku minta maaf, Paman. Aku telah bersikap
kurang hormat kepada Paman,” ucap Panji, terkejut. Cepat-cepat
dia membungkukkan tubuh memberi hormat kepada orang itu.
“Ha ha ha...! Kurasa sejak tadi sikapmu sudah cukup
menghormat, Anak Mu da,” u jar laki-laki berkumis tebal itu
tertawa keras.
“Eh, kemana, Sogara? Rasanya aku tidak melihat dia sejak kita
meninggalkan bekas kediaman Paksi Buana,” tanya Kepala Desa
Karang Jati, sambil melepaskan pandang ke arah para
pembantunya. Dan dia memang tidak menemukan Sogara di
antara mereka.
“Ah, maaf Ki, aku lupa menyampaikannya. Tadi sewaktu Aki
menawarkan Sau dara Panji dan Kenanga singgah, Kakang Sogara
bergegas mendahului kita Dan ketika kutanyakan, dia bilang ingin
mengunjungi salah seorang famili di desa tetangga,” jawab orang
itu menundu k hormat.
“Hm.... Aneh! Tidak biasanya dia pergi begitu saja tanpa pamit
padaku. Su dahlah, mungkin dia memang terburu-buru,” u jar
lelaki berkumis tebal itu, yang juga Kepala Desa Karang Jati,
kepada para pembantunya yang mengikuti di belakang.
Panji, Kenanga bersama kepala desa, dan para pembantunya
ke rumah kepala desa.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu pun tiba di
halaman sebuah rumah besar. Rumah itu terlihat paling besar, di
antara rumah-rumah pendu duk di sekitarnya. Itulah rumah
kediaman Kepala Desa Karang Jati.
“Mari, silakan, Sau dara Panji, Kenanga!” ujar lelaki berkumis
tebal itu mempersilakan kedua tamunya masuk. Sedangkan dia
sendiri masuk lebih dahulu.
Panji dan Kenanga segera melangkah ke ruang tengah yang
cu kup luas. Beberapa buah kursi dan meja yang terbuat dari kayu
jati teratur rapi di ruang tengah. Keduanya lalu duduk ketika
dipersilakan tuan rumah.
“Sebenarnya aku belum pernah berjumpa langsung dengan
orang tuamu , Panji. Aku datang ke desa ini, tiga tahun setelah
musibah yang menimpa keluarga Paksi Buana,” u jar sang Kepala
Desa memulai pembicaraan.
“Kalau begitu, siapa yang telah mengu burkan jenazah kedua
orang tuaku, Paman?” tanya Panji ingin tahu ikhwal orang tuanya.
“Siapa lagi kalau bukan Ki A ji Sena. Pamanku itulah yang
menguburkan jenazah kedua orang tuamu. Ayahmu ditemukan
tewas di sekitar halaman peku buran yang sekarang. Sedangkan
ibumu ditemukan tewas di dalam rumah, dalam keadaan hangus
terbakar dan sulit dikenali lagi. Pamanku pernah bilang dia yakin
kalau mayat itu adalah ibumu. Karena beliau menemukan gelang
emas yang telah menghitam di pergelangan kirinya,” tutur laki-
laki berkumis tebal itu menerangkan.
“Paman, kira-kira berapa lama perjalanan dari sini ke Desa
Pegatan?” tanya Panji yang sudah tidak sabar ingin bertemu
dengan pamannya yang bernama Ganda Buana.
“Hm.... Kurang lebih makan waktu sekitar dua hari, kalau kita
mengendarai ku da. Mengapa kau tanyakan hal itu, Panji?” tanya
Kepala Desa Karang Jati heran.
“Maaf, Paman. Aku terpaksa tidak bisa lama-lama di sini.
Selama ini aku benar-benar belum tahu, kalau aku masih punya
paman. Rasanya aku su dah tidak sabar lagi untuk berjumpa
dengan beliau,” u jar Panji, yang memang ingin cepat-cepat
menjumpai orang yang bernama Ganda Buana.
“Baiklah kalau begitu, berhati-hatilah kalian di jalan. Belum
lama ini kudengar ada gerombolan penjahat berpakaian serba
merah sedang mengganas. Mereka mendatangi beberapa pergu–
ruan, atau membunuh orang yang memiliki kepandaian silat.
Entah apa tu juan mereka. Memaksa orang atau pun perguruan
bergabung dengan gerombolannya. Kalau korbannya menolak,
mereka tidak segan-segan membunuh!” kata laki-laki berkumis
tebal itu menerangkan panjang lebar kepada Panji dan Kenanga.
“Terima kasih atas keterangan Paman. Dan kami akan selalu
mengingatnya. Permisi dulu, Paman,” pamit Panji dan Kenanga.
Keduanya bergegas meninggalkan rumah sang Kepala Desa.
“Hati-hatilah...!” seru Kepala Desa Karang Jati ketika kedua
muda-mudi itu melangkah agak jauh.
Panji dan Kenanga menoleh dan melemparkan senyum sambil
menganggukkan kepala.
***
“Berhenti...!”
Panji dan Kenanga menghentikan langkahnya ketika
dikejutkan suara bentakan. Keduanya mengedarkan pandangan
ke sekitar tempat mereka berdiri. Namun yang terlihat hanyalah
semak-semak dan pepohonan.
“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa yang berkumandang
nyaring memenuhi tempat itu . Dari gema suaranya, dapat ditebak
kalau orang itu memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi.
Panji dan Kenanga menoleh ke arah asal suara. Mereka berdua
tersentak kaget melihat sesosok manusia berpakaian serba merah,
sedang duduk mencangkung di atas sebatang dahan pohon. Jarak
antara mereka dan orang asing itu sekitar enam tombak
Setelah memperhatikan keadaan di sekeliling sejenak, kedua
sejoli melangkah hati-hati mendekati pohon. Indra pendengaran
keduanya terpusat pada keadaan sekeliling, sehingga suara sekecil
apapun bisa tertangkap telinga mereka saat ini.
Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun, di atas pohon
menatap tajam ke arah Panji dan Kenanga. Jenggotnya yang
panjang dan berwarna putih melambai-lambai tertiu p angin. Dan
sampai sejauh ini, dia sama sekali tidak memperlihatkan gerakan-
gerakan mencurigakan.
“He he he. .. Anak Muda! Kau pasti yang dijuluki Pendekar
Naga Putih?” u jar orang tua itu dari atas pohon seolah ingin
memastikan kalau dia tidak salah terka.
Panji tidak menjawab u capan orang tua itu . Dia sadar kalau
laki-laki tua itu bermaksud jahat kepada mereka. Dari pakaiannya
saja sudah dapat diduga, kalau laki-laki tua itu ada hubungan
dengan gerombolan berseragam merah yang pernah dia
pecundangi di Perguruan Cakar Elang tempo hari.
Setelah jarak di antara mereka hanya terpisah sekitar empat
tombak lagi, tiba-tiba....
Rrrttt!
“Aaah...!”
Kedua pendekar mu da berseru kaget! Sebelah kaki mereka
tiba-tiba terangkat naik. Tubuh keduanya tersentak ke atas,
karena pergelangan kaki mereka telah terikat seutas tali yang
sengaja dipasang untuk menjebak.
Sebagai pendekar-pendekar yang berpengalaman, secepat kilat
Panji dan Kenanga mencabut pedang dan langsung membabat tali
yang mengikat kaki mereka.
Tasss! Tasss!
Tali yang mengikat kaki mereka itu langsung putus oleh
tebasan pedang. Keduanya berjumpalitan turun dengan gerakan
yang indah! Dan selagi tubuh Panji dan Kenanga melayang turun,
tiba-tiba terdengar suara berdesingan, bagai suara ratusan lebah
marah!
Singngng! Singngng!
Suara berdesingan tajam, menyertai puluhan batang senjata
rahasia yang mengancam tubuh Panji dan Kenanga.
Kedua muda-mudi itu su dah dapat menebak, kalau saat ini
mereka dihu jani dengan senjata rahasia. Seketika pedang di
tangan keduanya diputar cepat, membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti seluruh tubuh mereka.
Trangngng! Tringngng! Trangngng!
Puluhan batang senjata rahasia langsung menyebar ke segala
penjuru disusul jeritan-jeritan mengerikan. Rupanya beberapa
senjata rahasia yang terkena tangkisan pedang Panji dan Kenanga
telah memakan korban!
Enam orang sosok manusia berseragam merah bermunculan
dari balik semak-semak. Sosok-sosok itu bergerak limbung,
dengan tu buh bersimbah darah ditembus senjata mereka sendiri.
“Keparat licik!” maki Kenanga, setelah mendarat di atas tanah
berumput. Gadis jelita itu marah sekali melihat kecurangan
gerombolan berseragam merah.
“Tenanglah, A dik Kenanga. Jangan kau mengikuti amarahmu.
Aku rasa mereka hanya orang-orang suruhan saja,” ujar Panji
menasihati kekasihnya. Dia tahu Kenanga cepat naik darah bila
dicurangi. A da kalanya gadis itu lemah lembu t, dan tidak jarang
berubah jadi macan betina, kalau merasa dicurangi. Itulah yang
dikhawatirkan Panji.
“Hm.... Sepertinya mereka kawanan penjahat berseragam
merah yang pernah membuat keribu tan di Perguruan Cakar
Elang, Kakang. Rupanya mereka menaruh dendam, setelah kita
menggagalkan rencana mereka,” u cap Kenanga masih terbawa
kemarahan.
“Yah, aku rasa juga begitu ,” jawab Panji, yang sudah
menyarungkan pedangnya kembali. Pendekar Naga Putih hampir
tidak pernah menggunakan pedang pusakanya, kecuali dalam
keadaan terdesak.
Saat itu juga, laki-laki tua di atas pohon itu telah melayang
turun. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, puluhan orang
berseragam merah lain bermunculan dari balik semak-semak.
Rata-rata gerakannya gesit, menandakan kalau mereka adalah
orang-orang yang terlatih baik.
“Hm.... Tidak salah apa yang diceritakan Sogara, Ki. Mereka
itu orang yang telah menggagalkan tugas Jari Penembus Tulang
beberapa hari yang lalu. Kalau pemuda itu memang benar
Pendekar Naga Putih, rencana ketua bisa berantakan!” bisik
seorang laki-laki brewok kepada orang tua berjenggot putih.
“Ya! Kalau memang anak muda itu Pendekar Naga Putih, kita
akan mengalami kesulitan besar. Tapi kita harus membuktikan
terlebih dahulu. Sebab menurut keterangan Jari Penembus
Tulang, tu buh pemu da itu tak berselimut lapisan kabu t putih
keperakan. Inilah yang masih kuragukan. Siapa tahu dia hanya
pemu da biasa yang memiliki beberapa persamaan dengan
Pendekar Naga Putih,” bisik kakek itu perlahan.
“Hm.... Kita memang harus membuktikan terlebih dulu ! Anak-
anak, kepung kedua orang itu !” perintah si brewok yang ru panya
pimpinan rombongan penghadang.
“Hati-hati, A dik Kenanga. Nampaknya laki-laki brewok dan
kakek itu bukan orang sembarangan!” bisik Panji, di telinga
kekasihnya yang hanya mengangguk mengiyakan.
“Hei, Anak Mu da! Karena kau telah berani mencampuri
urusan kami, maka terimalah hukumanmu! Hiaaat...!” sambil
berteriak keras, laki-laki brewok melompat disertai ayunan golok
besarnya.
Wuttt!
Golok besar yang diayunkan ke arah Pendekar Naga Pu tih
menderu -deru , sehingga jubahnya berkibar-kibaran. Dari angin
ayunan golok sudah kelihatan kalau tenaga dalam si brewok amat
kuat!
Panji menggeser kaki kiri ke belakang, sehingga bacokan golok
besar lewat di depan tubuhnya. Begitu serangan pertama lolos, si
brewok cepat memutar golok bersilangan. Golok besar kembali
menderu -deru , mengancam kaki kanan Pendekar Naga Pu tih yang
berada di depan.
Wukkk!
Laki-laki brewok semakin penasaran ketika serangan kedua
juga gagal. Lalu menyusul sabetan goloknya dengan tiga kali
tendangan beruntun. Panji merunduk mengelak tendangan
berputar si brewok. Secepat kilat tangan kanannya menusuk,
dengan jari-jari terbuka kelambung kiri lawan.
Laki-laki brewok terkejut bukan main mendapat serangan
balasan yang tak terduga-duga. Tanpa dapat dicegah lagi jari-jari
yang sekeras baja itu mendarat telak di lambungnya.
Desss!
“Hukhhh...!”
Laki-laki brewok jatuh terdu duk sejauh enam langkah ke
belakang. Meskipun tu sukan tangan Pendekar Naga Putih tidak
terlalu keras, tapi cuku p menyakitkan. Wajahnya menyeringai
menahan sakit. Sesekali diusapnya lambung yang terkena
tamparan jari tangan pemu da berjubah putih.
“Bangsat kau , Anak Mu da! Kau betul-betul mencari mampus!
Awas! Ku cincang tubuhmu nanti!” ku tuk laki-laki brewok itu
berang.
Tiba-tiba sebuah tangan kurus, namun menyimpan tenaga
dalam kuat menahan langkah si brewok. Terpaksa si brewok
menahan gerakan, sekalipun dengan perasaan tak puas.
“Mundurlah, A di, biar aku yang menghadapi,” ucap laki-laki
tua berjenggot putih itu tenang.
“Tapi... Tapi aku belum kalah, Ki!” kilah laki-laki brewok itu
dengan nada lunak. Tampaknya dia merasa segan kepada orang
tua itu.
“Siapa bilang kau kalah. Aku bilang, biar aku yang akan
mencobanya,” sahut laki-laki tua itu yang merasa kesal
mendengar bantahan si brewok.
“Hm... bersiaplah, Anak Mu da. Kali ini kau berhadapan
dengan Ki Tapak Jagad. Bila kau tidak hati-hati, jangan salahkan
kalau aku yang tua ini terpaksa melukaimu. Atau mungkin
menewaskanmu,” ujar kakek itu yang mengaku berjuluk Ki Tapak
Jagad lembut. Tapi di balik u capannya tersembunyi keangkuhan.
“Hiaaah!”
Wettt! Wettt!
Ki Tapak Jagad membentak keras membuka jurus. Sepasang
telapak tangannya dipu tar bersilangan. Gerakan yang terlihat
perlahan itu ternyata telah menimbulkan suara bergemuruh!
Rupanya jurus itulah yang membuat dia dijuluki Ki Tapak Jagad.
“Jaga seranganku , Anak Mu da!”
Setelah berkata demikian, tubuh kakek yang tinggi dan agak
kurus itu melesat, sambil memutar kedua telapak tangannya.
Angin keras berkesiutan menyertai serangannya yang dahsyat.
Bettt! Bettt!
“Aihhh...!”
Panji berteriak sekuat-kuatnya, menahan kekuatan yang
tersembunyi di dalam telapak tangan itu. Meskipun dua kali
serangan dapat dielakkan, namun tak urung tubuhnya sempat
terdorong, akibat sambaran angin kuat, yang keluar dari sepasang
telapak tangan lawan.
Begitu merasakan tenaga dalam si kakek, Panji segera
melompat ke belakang. Dan sadar kalau Ki Tapak Jagad bukanlah
orang sembarangan, dia tidak ingin berbuat setengah-tengah lagi.
Beberapa saat kemudian, selapis kabut bersinar putih keperakan
mulai terlihat menyelimuti tu buhnya. Angin dingin berhembus
keras sebagai ciri ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dahsyat
mulai bekerja.
Meskipun kekuatan tenaga saktinya tidak lagi sedahsyat
sewaktu dia masih menderita sakit, namun berkat latihan-latihan
yang selama ini dia lakukan, telah membuat tenaga sakti dalam
tu buhnya semakin bertambah (Untuk mengetahui bagaimana
Panji dapat sembuh dari sakitnya, harap pembaca melihat serial
Pendekar Naga Putih dalam episode: “Bunga Abadi di Gunung
Kembaran”).
“Pendekar Naga Putih...” desis Ki Tapak Jagad terkejut. Sejak
semula sudah menduga kalau pemuda di hadapannya adalah
Pendekar Naga Putih, ternyata dia masih juga terkejut. A palagi
ketika menyaksikan sendiri bagaimana tubuh pemu da tampan itu
terbungkus lapisan kabut bersinar pu tih keperakan. Mau tidak
mau Ki Tapak Jagad membelalakkan matanya dengan takjub!
“Hm.... Mengapa hanya berdiri mematung, Orang Tu a?
Apakah kau su dah tidak ingin melanjutkan pertarungan?” tantang
Panji ketika melihat kakek berjenggot putih itu hanya terpaku
menatapnya.
“Eh, tentu.... Tentu, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan
pertempuran!” balas Ki Tapak Jagad agak gugup seraya membuka
kembali serangan. Kedua tangannya yang dipu tar bersilangan di
depan dada kembali menimbulkan angin tajam.
“Hiaaat..!”
Disertai teriakan nyaring, Ki Tapak Jagad meluncur ke arah
Pendekar Naga Putih. Sepasang tangan si kakek terus berputar-
pu tar cepat disu sul serangan bertu bi-tubi.
Panji yang kali ini tidak mau bertindak main-main lagi, cepat
menyambut serangan. Sambaran-sambaran tangannya susul-
menyusul dengan gerakan gesit dan lincah, tak u bahnya seekor
naga sakti yang tengah bermain-main di angkasa.
Bettt! Bettt!
“Uhhh...!”
Kali ini giliran Ki Tapak Jagad yang terkejut. Dua kali
sambaran tangan pemu da berjubah putih itu hampir membeset
kakek itu. Untunglah dia cepat melempar tubuh ke belakang.
Kalau tidak, niscaya tubuh kakek sudah terlempar, dalam keadaan
tak bernyawa.
“Brrr...!”
Ki Tapak Jagad bergegas mengibaskan sepasang lengannya
ketika merasakan hawa yang amat dingin yang merasuk ke dalam
tu buhnya. Diam-diam kakek itu merasa gentar! Baru terkena
sambaran angin pukulan saja tu buhnya hampir beku . A palagi
kalau terkena pukulan telak, pikir Ki Tapak Jagad agak jerih.
***
LIMA
Setelah berhasil membebaskan diri dari pengaruh hawa dingin,
Ki Tapak Jagad kembali memasang kuda-ku da. Dihelanya napas
perlahan-lahan disertai dorongan kedua tangan ke depan.
Sepasang kakinya bergerak membentuk ku da-ku da.
“Hahhh!”
Diiringi bentakan menggeledek, kedua tangannya ditarik ke
sisi pinggang. Kemu dian kedua tangan itu digerakkan turun-naik
berlawanan. Desiran angin tajam bertiu p keras menandakan
kuatnya tenaga sakti yang terhimpun di dalam gerakan itu. Itulah
jurus andalan Ki Tapak Jagad yang bernama ‘Tapak Sakti
Penggetar Su kma’. Gerakan ini merupakan jurus kesebelas dari
ilmu ‘Tapak Jagad’yang telah lama disempurnakannya.
Pendekar Naga Pu tih semakin kagum melihat kehebatan ilmu
si kakek ketika merasakan sebuah gelombang tenaga yang amat
kuat menerpa dadanya. Untunglah tubuhnya telah dilindungi
lapisan kabut yang memancarkan hawa dingin. Kalau orang lain,
mungkin su dah akan terpengaruh oleh gerakan Ki Tapak Jagad.
“Yeaaat...!”
Ki Tapak Jagad membentak nyaring. Tu buhnya segera melesat
seraya mendorong kedua telapak dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Seketika angin berkesiutan keras menyambar-nyambar ke
arah Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih berkelit ke samping disertai dengan
pu kulan gencar ke wajah. Tapak Jagad hanya merendahkan ku da-
ku da dan menarik wajahnya ke belakang. Begitu serangan lu put,
kaki kanan si kakek melontarkan tendangan kilat!
Prattt!
“Aaah...!”
Tu buh si kakek terpelintir ketika tangan kanan Pendekar Naga
Putih menepis pergelangan kaki. Walau pun pergelangan kakinya
terasa ngilu , namun tubuh Ki Tapak Jagad kembali berputar cepat
untuk melancarkan serangan beruntun.
Pertempuran pun kembali berlangsung seru ! Kedua tokoh
sakti itu saling serang dengan kecepatan yang sukar diikuti mata
biasa. Tubuh mereka hanya kelihatan berupa bayangan merah
dan putih, yang saling libat dan saling desak.
Sementara itu, Kenanga pun telah berhadapan dengan si
brewok yang dibantu dua puluh anak buahnya. Tentu saja gadis
jelita itu terdesak hebat! Untunglah Pedang Sinar Rembulan yang
diberikan Panji banyak membantu. Sinar putih keperakan yang
dipantulkan sebilah pedang membuat lawan tidak berani maju
terlalu dekat. Murid Raja Pedang Pemutus Urat ini memutar
Pedang Sinar Rembulan hingga membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti seluruh tubuhnya. Dinding pertahanan yang dibuat
Kenanga su dah barang tentu membuat lawan sulit menembus.
“Hu jani dia dengan senjata rahasia...!” perintah si brewok
begitu melihat anak buahnya mulai putus asa. Selesai berkata
begitu, tubuhnya bersalto beberapa kali ke belakang. Sepasang
kakinya mendarat empuk di tanah berumput.
Singngng! Singngng!
Tiba-tiba belasan pisau putih beterbangan menghujani
Kenanga.
“Haiiit..!”
Wrrr!
Sambil membentak keras, Kenanga semakin memperhebat
pu taran Pedang Sinar Rembulan. Suara putaran angin pedang
mendengung-dengung mirip suara ribuan lebah yang keluar dari
sarangnya. Gulungan sinar putih keperakan yang menyelimuti
seluruh tu buh gadis jelita berpakaian serba hijau itu semakin
menebal.
Trangngng! Trakkk! Tringngng!
“Aaakh...!”
Luar biasa! Beberapa buah pisau lawan berjatuhan ke tanah
dalam keadaan patah! Bahkan tidak sedikit pisau lain yang
berbalik menyerang tuannya. Tiga orang berpakaian serba merah
yang lengah terjungkal roboh dengan dada tertancap belasan
senjata rahasia
“Gila! Perempuan setan! Kuntilanak!” si brewok memaki
kalang kabut ketika melihat anak buahnya tewas. Rasa marah dan
penasaran membuatnya semakin kalap! Disertai bentakan
nyaring, tu buh si brewok langsung menerjang Kenanga.
Wuttt! Wu ttt!
Dua kali sambaran golok besar si brewok hanya menyambar
angin ketika Kenanga keburu menghindar dengan menggeser
tu buh ke belakang. Gadis jelita itu segera membalas dengan
ayunan Pedang Sinar Rembulan dengan kecepatan yang
menggetarkan.
Wukkk! Trangngng!
“Aaah...!”
Si brewok yang merasa terlambat untuk menghindar segera
mengelebatkan golok besarnya. Terdengar suara nyaring ketika
du a senjata itu saling berbenturan. Tu buh si brewok terjajar
mundur sejauh enam langkah. Wajahnya menyeringai menahan
sakit sambil memijat-mijat lengan kanan yang terasa linu, akibat
berbenturan dengan pedang Kenanga.
Kenanga juga terkejut merasakan tenaga dalam pimpinan
berseragam merah itu. Benturan yang keras membuat lengannya
bergetar nyeri. Dalam batinnya dia mengakui kehebatan tenaga
dalam si brewok yang ternyata kalah sedikit dengan tenaganya.
Kenyataan ini tentu membuat Kenanga menjadi khawatir. A palagi
lelaki brewok masih dibantu anak buahnya.
“Heaaat..!”
Wuttt! Wukkk!
Saat itu empat anak buah so brewok mengayunkan pedang
secara berbarengan. Sambil berteriak nyaring, Kenanga segera
menggerakkan Pedang Sinar Rembulan menangkis empat batang
pedang yang mengancam nyawanya.
Trangngng! Trangngng!
Wuttt!
Seketika empat orang berseragam merah terlempar mundur
dengan muka pucat! Tangkisan Kenanga yang didorong tenaga
dalam kuat sempat menggetarkan isi dada mereka. Belum lagi
keempat orang itu sempat berbuat sesuatu , Kenanga segera
menyusuli serangannya. Dan....
Brettt! Brettt!
“Aaakh!”
Dua di antara empat orang berseragam merah menjerit
kesakitan. Ru panya gerakan kedua orang itu masih kalah cepat
dengan gerakan Kenanga, sehingga paha mereka robek cuku p
lebar.
Bu kan main gemasnya si brewok melihat kejadian itu. Dengan
wajah gelap dia segera melompat dan langsung melakukan
bacokan bertubi-tubi. Kembali bacokan-bacokan si brewok hanya
mengenai tempat kosong. Serangan beruntun si brewok dapat
dielakkan Kenanga dengan menggeser tu buh ke kiri-kanan! Baru
saja gadis jelita itu berniat membalas, dari kiri-kanan datang
senjata-senjata lain. Untunglah dia cepat melempar tubuhnya ke
belakang.
Kenanga memutar tubuh dengan menggunakan tenaga
pinggang. Tubuh bagian atas gadis itu meliuk indah, karena pada
saat kedua kakinya baru saja menyentuh tanah, dua pedang lawan
menyambar kepala.
Wuttt! Wu ttt!
Kembali gadis jelita itu harus bergulingan ketika dua pedang
musuh nyaris membabat pinggang. Serangan itu pun kembali
dapat dielakkan.
Selagi tu buh Kenanga bergulingan, datang lagi desingan
nyaring yang ditimbulkan kilatan empat batang senjata rahasia.
Rupanya salah seorang musuh menggunakan kesempatan untuk
membokong Kenanga.
Singngng! Singngng!
Tu buh murid Raja Pedang Pemutus Urat melenting ke udara
disertai ayunan pedang yang menderu tajam! Sebaris sinar putih
keperakan berkelebat memapak empat batang senjata rahasia.
Trangngng! Trangngng!
Pisau -pisau terbang itu langsung berbalik arah ketika ditangkis
pedang Kenanga, dan melesat dengan kecepatan kilat kearah dua
orang berpakaian serba merah yang berada di depannya.
“Aihhh...!”
Untunglah dua orang berseragam merah cepat melempar
tu buh ke belakang. Empat batang pisau terbang pun lolos dan
menancap pada sebatang pohon besar yang berdiri kokoh di
belakang mereka.
“Fuhhh...!”
Dua orang yang terhindar dari maut menyusut keringat dingin
yang membasahi kening disertai helaan napas panjang. Wajah
keduanya nampak agak pu cat karena hampir saja tewas gara-gara
kecerobohan kawannya.
Pertempuran berlangsung berat sebelah. Si brewok dan anak
buahnya kembali mengeroyok Kenanga yang kelihatan su dah
mulai kelelahan. Keringat bercucuran membasahi wajah gadis
jelita itu. Kenanga merasa dirinya tidak mungkin dapat bertahan
lebih dari sepuluh jurus lagi.
Di arena yang lain, perang tanding antara Panji dan Ki Tapak
Jagad berlangsung semakin seru ! Setelah melewati jurus ke lima
puluh, Panji mulai dapat mengatasi lawan.
Bettt! Bettt!
Plakkk!
“Uhhh...!”
Dua kali serangan Ki Tapak Jagad berhasil dielakkan Panji.
Pemuda itu langsung melepaskan pu kulan telapak tangan
menghantam bahu si kakek. Tubuh orang tua itu terhuyung ke
belakang disertai erangan kesakitan. Di sudu t bibir si kakek keluar
darah segar.
Panji yang merasa khawatir akan nasib kekasihnya bergegas
mengakhiri pertarungan.
“Yeaaat..!”
Sambil memekik nyaring, Pendekar Naga Putih mencelat
mengejar Ki Tapak Jagad yang tengah kehilangan keseimbangan.
Sepasang tangannya yang berbentuk cakar naga menyambar cepat
menimbulkan angin yang mencicit tajam!
Ki Tapak Jagad membelalak pucat melihat sepasang tangan
Pendekar Naga Putih tengah mengancam. Cepat tangannya
digerakkan memapak sambaran cakar naga.
Plakkk! Brettt!
“Aaakh...!”
Sambaran tangan kiri Panji berhasil ditangkis. Tubuh Ki Tapak
Jagad kembali terhuyung mundur karena kekuatannya masih
kalah beberapa tingkat. Tapi sambaran tangan kanan Panji tak
mampu lagi dielakkan.
Tu buh Ki Tapak Jagad melambung bagai disentakkan tenaga
raksasa yang tak tampak. Darah segar mengu cur dari luka
memanjang di bagian dada. Debu mengepul ketika tubuh kakek
itu jatuh menimpa sebuah batu yang langsung hancur berantakan.
“Brrr...!”
Tapak Jagad menggigil kedinginan menahan hawa dingin luar
biasa yang merasuk sampai ke tulang. Dari giginya terdengar
suara bergemeletuk keras! Dengan sekuat tenaga, dia berusaha
bangkit dan mengerahkan hawa murni dalam dirinya untuk
mengusir hawa dingin yang hebat. Saat itu Panji su dah melesat
meninggalkan lawannya yang sekarat. Ia langsung melayang ke
arena pertempuran lain.
“Heaaat..!”
Bu kkk! Desss! Desss!
Begitu tiba, Panji melontarkan beberapa kali pu kulan ke arah
kawanan penjahat yang sedang mengeroyok Kenanga. Empat
orang pengeroyok kontan terbanting roboh dihantam tangan
pemu da perkasa itu . Mereka semua pingsan seketika!
“A dik Kenanga! Kau .... Kau tidak apa-apa...?” tanya Panji
cemas sambil memegang pergelangan lengan sang Kekasih.
Hatinya terharu menyaksikan wajah Kenanga yang terlihat
kelelahan.
“Tidak, Kakang. Hanya saja aku sangat lelah sekali. Hati-hati,
Kakang. Mereka rata-rata memiliki kepandaian yang cuku p
tinggi,” sahut Kenanga agak tersengal.
Melihat keadaan kekasihnya, Panji menjadi curiga. Rasanya
dia tidak percaya kalau kelelahan gadis ini disebabkan kepandaian
lawan. Dia tahu betul sampai di mana kepandaian Kenanga. Kalau
baru menghadapi mereka saja, rasanya gadis jelita itu masih dapat
menanggulanginya meskipun memang agak sulit untuk menang.
“Kau yakin dan tidak merasakan adanya kelainan dalam
dirimu?” tanya Panji ingin tahu apa yang dirasakan kekasihnya.
“Entahlah, Kakang. Aku memang merasa agak kurang sehat,”
akhirnya Kenanga berterus-terang kepada Panji.
“Hm.... Ini pasti ada yang tidak beres!” gumam Panji, berkata
pada diri sendiri.
“Ha ha ha.... Tidak perlu khawatir, Pendekar Naga Pu tih!Pada
saat matahari terbit besok, kekasihmu tidak akan kelelahan lagi,”
ucap laki-laki brewok itu sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ya! Karena pada saat itu tubuh kekasihmu akan beru bah jadi
mayat berkulit hitam! Ha ha ha...!” ucap yang lain sambil tertawa
penuh kemenangan.
“Ketahuilah! Kekasihmu telah menghirup hawa beracun
‘Kelabang Tu juh Bintang’! Racun itu kami sebarkan perlahan-
lahan setiap kali kami menyerang. Tidak ada satu pun obat di
dunia ini yang dapat menyembuhkannya, kecuali kalau kau mau
menerima tawaran kami untuk bergabung,” laki-laki brewok itu
kembali berkata sambil menyeringai penuh kemenangan.
“Ya! Kalau kamu masih menginginkan kekasihmu hidu p, kau
harus menuruti kehendak kami!” kali ini yang berkata adalah Ki
Tapak Jagad yang dipapah dua orang berseragam merah. Wajah
kakek itu masih menyeringai menahan sakit akibat luka di
dadanya.
“Hm.... Jangan harap aku akan percaya pada omongan kalian
begitu saja! Lebih baik kalian serahkan obat penawar sebelum aku
bertindak kejam!” sergah pemuda itu dengan sinar mata penuh
ancaman. Darah muda Panji mendidih melihat keadaan Kenanga
makin lama makin lemah tak berdaya.
“Keparat! Kau memang manusia sombong, Pendekar Naga
Putih! A pa kau kira kami takut dengan ancamanmu ? Huh! Kalau
kamu masih keras kepala, kau tungguilah mayat kekasihmu !”
bentak si brewok yang merasa geram melihat sikap keras kepala
pemu da berjubah pu tih. “Mari kita pergi! Biarkan pemu da
sombong itu menunggu kematian kekasihnya!”
Setelah berkata demikian, laki-laki brewok menggerakkan
tangannya. Sebuah kantung kecil berisi bu buk beracun, pecah dan
menebar kearah Panji dan Kenanga.
“Bangsat keji!” teriak Panji marah. Sambil membentak marah,
Pendekar Naga Putih mendorong sepasang telapak tangannya ke
depan.
Wusss!
Serangkum angin dingin bertiu p keras menerbangkan bubu k-
bu buk beracun yang semula menebar ke arahnya. Sekejap saja
bu buk-bu buk beracun itu lenyap akibat hembusan angin dingin
yang amat kuat.
“Bedebah, mau lari ke mana kalian? Jangan harap kalian dapat
lolos dari tanganku !” ancam Panji murka. Sesaat kemu dian tubuh
pemu da itu melesat mengejar lawan-lawannya yang bermaksu d
melarikan diri.
Hanya dengan beberapa kali jungkir balik di u dara, Panji telah
berdiri tegak menghalang jalan mereka. Sorot tajam mata pemu da
sakti itu membuat hati mereka menjadi ciut
Belasan orang berseragam merah bergetar mundur ketika
beradu pandang dengan sepasang mata yang memancarkan
wibawa amat kuat
“Kalian selamatkan Ki Tapak Jagad! Biar aku dan yang lainnya
menghadapi pendekar sombong ini!” perintah si brewok kepada
du a orang berseragam merah yang memapah Ki Tapak Jagad.
Begitu mendengar perintah pemimpinnya, dua orang
berseragam merah bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan
si brewok dan belasan orang lainnya maju menerjang Panji.
“Hm.... Kalian memang tak patu t diberi hati!” geram Panji,
seraya menggebrak mereka.
“Heaaat..!”
Panji yang telah dikuasai amarah menerjang bagaikan seekor
naga murka. Tubuhnya berkelebatan disertai lontaran pukulan-
pu kulan mematikan!
Bu kkk! Desss!
“Ughhh...!”
Empat pengeroyok terjungkal memuntahkan darah segar!
Pukulan Pendekar Naga Putih yang mengandung kekuatan
‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ langsung menewaskan lawan!
Empat orang pengeroyok tewas dengan kulit tu buh membiru.
Si brewok dan orang berseragam merah lain tersentak
mundur! Wajah mereka pucat sekali. Betapa tidak, sekali gebrak
saja empat kawan mereka langsung tewas di tangan Pendekar
Naga Pu tih. Kejadian itu tentu saja membuat keberanian mereka
lenyap.
“Hm.... Cepat kau serahkan obat penawar! Atau kau ingin
nasibmu seperti keempat orang itu ?” geram Panji kepada laki-laki
brewok itu . Sepasang matanya berkilat tajam penuh ancaman.
Walaupun kegentaran telah menyelimuti hatinya, namun laki-
laki brewok masih saja membandel.
“Obat penawar itu tidak ada padaku ! Jadi jangan harap kau
akan dapat menyembuhkan kekasihmu tanpa bantuan kami!Nah,
sekarang tinggal pilih! Bergabung bersama kami, atau silakan
tunggui kematian kekasihmu!” ancam si brewok tidak kalah
gertak.
“Hm...! Jangan kau sangka aku taku t membunuhmu, manusia
licik! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan kekasihku, akan
ku cabut nyawa kalian semua, akan kuhancurkan juga markas
ketuamu!” tegas Panji bersungguh-sungguh.
Ancaman Pendekar Naga Putih benar-benar menggetarkan
mereka. Si brewok dan yang lainnya pu cat seketika!
“Buktikan ancamanmu, Pendekar Naga Pu tih! Tapi jangan
harap kami akan menyerahkan obat penawar ini!” sahut si brewok
sambil menggenggam sebuah botol sebesar ibu jari tangan.
Perlahan-lahan tangannya yang terkepal menegang. Siap
meremas hancur botol penawar racun Kelabang Tu juh Bintang.
Sadar kalau isi botol sangat berarti untuk menyambung nyawa
kekasihnya, tubuh Pendekar Naga Putih segera melesat bagaikan
sambaran kilat!
“Yeaaat..!”
Crakkk!
“Aaa...!”
Dengan tangan yang terlatih, secepat itu pula pedang yang
tergantung di punggung telah tergenggam di tangan kanan Panji.
Melalui gerakan yang luar biasa, pedang bersinar kuning
keemasan itu membabat pergelangan si brewok. Berbarengan
dengan gerakan itu, tangan kirinya terulur menangkap tangan si
brewok yang buntung sebatas pergelangan.
Laki-laki brewok meraung-raung kesakitan! Darah segar
menyembur dari pergelangan tangannya yang buntung. Tubuh
laki-laki brewok berkelojotan di tanah Seluruh kulitnya perlahan-
lahan mengerut. Seolah-olah seluruh darahnya tersedot oleh
sesuatu yang tak tampak. Beberapa saat kemu dian, si brewok
tewas dengan seluruh kulit berkeriput hingga tak ubahnya tubuh
seorang kakek yang su dah sangat tua.
“Aaah...!”
Mereka yang menyaksikan terperangah kaget. Tu juh laki-laki
berseragam merah memandang tak percaya ke arah mayat
pimpinan mereka yang berubah keriput.
Panji saja tak kalah terkeju t. Dia sama sekali tidak menyangka
kalau kematian lawannya akan sedemikian mengerikan. Padahal
menurut perhitungannya, si brewok itu tidak akan mati, paling
paling hanya tangannya saja yang buntung.
“Eh...!”
Panji makin terkeju t melihat darah yang menodai Pedang
Pusaka Naga Langit tiba-tiba menguap dan lenyap tanpa bekas!
Pedang itu kembali berkilat-kilat memancarkan sinar keemasan.
Sama sekali tidak ada bekas kalau pedang itu baru saja melukai
orang!
***
ENAM
Pendekar Naga Pu tih mengalihkan pandang ke arah tu juh
orang berseragam merah yang juga tengah menatapnya.
“Huh! Jangan harap kami akan menyerah begitu saja
kepadamu, Pendekar Naga Putih! Kelak kau akan menyesal
karena telah mencampuri urusan kami!” u jar salah seorang di
antara ketujuh laki-laki berpakaian serba merah menakut-nakuti.
Ketu juh orang berpakaian serba merah berusaha
menyembunyikan rasa takut mereka dengan berpura-pura garang.
Mereka melintangkan pedang di depan dada meski dengan tangan
agak gemetar. Siapa orang yang tidak takut kalau kematian su dah
membentang di depan mata?
“Hm.... Aku bukan orang yang haus darah! Pergilah kalian dan
jangan coba-coba mengganggu ku lagi! Bawa mayat pemimpinmu
sekalian,” ucap Panji yang su dah menyarungkan Pedang Pusaka
Naga Langit kembali. Sambil berkata demikian, dikibaskan
tangannya mengusir ketujuh orang itu .
Ucapan Pendekar Naga Pu tih tentu saja membuat lawan-
lawannya ragu-ragu . Mereka hampir tidak percaya kalau pendekar
itu akan membebaskan mereka begitu saja. Mereka masih berdiri
terpaku menatap pemu da itu tak percaya.
“A pa yang kalian tunggu ? Pergilah!” teriak Panji lagi.
Tanpa banyak cakap lagi, ketu juh orang itu pun bergegas
meninggalkan tempat ini dengan membawa mayat pemimpinnya.
Tak seorang pun ada yang berani menolehkan kepalanya ke
belakang, karena khawatir kalau pemu da itu memburu mereka
lagi.
Setelah kawanan orang-orang berseragam merah pergi, Panji
bergegas menghampiri kekasihnya. Hati pemu da itu semakin
cemas ketika melihat Kenanga telah rebah pingsan. Rupanya daya
kerja racun sudah semakin menyebar keseluruh jalan darahnya.
“Ah, syukurlah dia hanya pingsan...,” desah Panji menarik
napas lega setelah memeriksa sekujur tu buh Kenanga. Meskipun
bu kan seorang tabib, namun sedikit banyak dia telah mewarisi
ilmu pengobatan yang diturunkan gurunya. Sekali lihat saja dia
su dah tahu cara menggunakan obat penawar yang berhasil
dirampas dari tangan si brewok.
Dibukanya penutu p botol, lalu mengoleskan cairan yang
berupa minyak ke bawah hidung Kenanga dengan jari-jari tangan.
Seketika di tempat itu menyebar bau harum menyegarkan.
Kemudian ditunggunya gadis jelita itu sampai siuman.
Tak lama kemudian, terdengar erangan lirih dari bibir
Kenanga. Perlahan-lahan pelupuk matanya mulai terbuka.
“Ngngngh...,” disertai keluhan lirih gadis jelita itu menutup
muka dengan kedua tangannya karena masih silau melihat
keadaan di sekeliling.
“Ah, syukurlah kau su dah sadar,” ucap Panji sambil mengecup
lembut kening kekasihnya.
“Kakang, di mana kita? Kemana orang-orang licik itu?” tanya
Kenanga sambil berusaha bangkit.
Panji cepat memapah kekasihnya bangkit.
“Mereka sudah pergi sejak tadi. Bagaimana perasaanmu
sekarang, A dik Kenanga?” u jar Panji, menatapi wajah kekasihnya
yang nampak sudah segar kembali.
“Rasanya tubuhku sudah segar. Eh, mengapa kau
memandangiku seperti itu , Kakang? A pakah ada sesuatu yang
aneh pada wajahku?” tanya Kenanga heran melihat sepasang
mata kekasihnya tak lepas-lepas memandangnya.
“Kau .... Kau semakin cantik saja. Rasanya aku tidak pernah
pu as menatap wajahmu,” kata Panji, lirih dan tersendat-sendat
karena terbawa perasaan.
“Ah, Kakang...,” desah Kenanga, tersipu -sipu menundukkan
wajahnya yang kemerahan. “Tapi mengapa selama ini Kakang
selalu meninggalkan aku? A pakah ucapan Kakang hanya sekadar
rayuan saja?”
“Kuakui selama ini memang aku bodoh. Tapi aku berjanji,
mulai saat ini aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” u jar
Panji berjanji.
“Sungguh...?” tanya Kenanga manja. Seraya meremas-remas
jari-jemari tangan kekasihnya.
“Sungguh!” sahut Panji, balas meremas mesra jari-jemari
Kenanga yang hangat. Keduanya saling bertatapan penuh
kebahagiaan.
“Ayolah, kita lanjutkan perjalanan kita!” ajak Panji, yang
segera menarik bangkit tu buh Kenanga.
Gadis jelita itu tersenyum manis. Sambil berpegangan tangan,
keduanya melangkah meninggalkan tempat itu .
Sang mentari yang sudah bergulir ke ufuk barat tersenyum
melihat kebahagiaan sepasang insan yang tengah melangkah
sambil berpegangan tangan.
***
Setelah kurang lebih dua hari menempuh perjalanan, Panji
dan Kenanga akhirnya tiba di mulut Desa Pegatan. Mereka berdua
bergegas menyusuri jalan u tama desa yang ramai oleh orang
berlalu-lalang. Beberapa warga desa yang berpapasan dengan
mereka tersenyum senang, melihat pancaran kebahagiaan dari
mata kedua muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu .
“Sungguh serasi sekali pasangan muda itu . Yang lelaki gagah
dan tampan. Sedangkan wanitanya demikian cantik bagaikan
bidadari. Sepasang mata keduanya berbinar penuh kebahagiaan.
Sepertinya mereka sepasang pengantin baru yang bahagia,” bisik
salah seorang penduduk desa kepada kawannya.
“Ya, tampaknya mereka berbahagia sekali,” sahut kawannya
juga tersenyum melihat sepasang mu da-mudi yang tengah
menyusuri jalan desa.
“Huh! Memang kalau baru menikah mereka tampak rukun dan
bahagia. Tapi lihat saja dua atau tiga bulan lagi. Mereka pasti akan
bertengkar tiap hari tak ubahnya dua orang musuh bebuyutan!”
celetuk orang ketiga dengan suara agak keras.
Karena suara orang itu agak keras, Panji dan Kenanga menoleh
serentak. Keduanya tersenyum geli melihat tiga orang laki-laki
yang saat itu tengah memperhatikan mereka.
“Hi hi hi... mereka pasti mengira kita sepasang suami-istri
yang tengah melancong, Kakang,” bisik Kenanga lirih sambil
memperdengarkan tawa yang merdu.
“Hm.... Bukankah dugaan mereka memang benar?” sahut
Panji, tersenyummenggoda.
“Ih, Kakang genit!” bisik Kenanga gemas. Dicu bitnya tu buh
kekasihnya hingga terdengar Panji mengaduh.
“Ha ha ha...!” terdengar suara tawa dari ketiga orang
pendu duk yang tadi membicarakan mereka Rupanya mereka
mengikuti dari belakang.
“Nah, rasakan! Perbuatanmu dilihat mereka,” u jar Panji risih
dengan wajah agak kemerahan.
“Biar! Biar mereka iri!” sahut Kenanga, acuh tak acuh ditonton
orang.
Panji hanya tersenyum. Ia maklum kalau saat ini kekasihnya
sedang berbahagia. Wajar bila Kenanga merasakan
kebahagiaannya bertemu dengan Panji. Sebelum itu , lama mereka
berpisah.
Panji dan Kenanga tiba di sebuah rumah yang paling besar di
antara rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah itu adalah rumah
Kepala Desa Pegatan. Di pintu masuk dijaga dua orang yang
bersenjatakan tombak
“Berhenti...!” seru salah seorang penjaga sambil menyilangkan
tombak, menghalangi kedua orang mu da itu masuk.
“Siapakah Kisanak? Dan ada keperluan apa datang ke tempat
ini?” tanya salah seorang penjaga dengan ramah mendekati
mereka.
“Maaf, aku ingin bertanya sedikit perihal orang yang bernama
Ganda Buana, kalau tidak salah dia tinggal di Desa Pegatan ini.
Apakah Kisanak kenal dengan dia?” tanya Panji sopan.
“A pakah usianya sekitar lima puluh tahunan?” si penjaga balik
bertanya kepada Panji.
“Benar!” sahut Panji, karena menurut keterangan Kepala Desa
Karang Jati, usia pamannya sekitar lima puluh tahunan.
“Dari sini berjalan lurus. Nanti apabila kalian sudah
menemukan sebuah rumah yang pekarangannya cukup luas dan
di sebelah kirinya terdapat pohon bambu kuning, kalian masuk
saja. Itulah rumah Ki Ganda Buana,” jawab si penjaga
menerangkan.
Setelah mengucapkan terima kasih, kedua sejoli itu bergegas
meninggalkan halaman rumah kepala desa.
Tak lama kemu dian mereka pun menemukan rumah besar
seperti yang ditunjukkan penjaga tadi. Rumah itu memang tidak
sulit dicari karena terletak di tepi jalan utama Desa Pegatan.
“Aneh, mengapa rumah sebesar ini sepi? Apakah Paman
Ganda Buana tidak membuka perguruan silat?” gumam Panji
bertanya kepada dirinya sendiri. Kata-kata itu tidak teru cap dari
mulutnya sehingga Kenanga tidak mengetahui apa penyebab
pemu da itu termangu di depan halaman rumah besar ini.
“Mengapa kita tidak langsung masuk saja, Kakang?” tanya
Kenanga, memegang tangan Panji. “Apa yang Kakang pikirkan?”
“Tidak ada, A dik Kenanga. Hanya aku heran melihat rumah
sebesar ini kelihatan sunyi sekali,” kata Panji, begitu tersadar dari
lamunan.
Putra Paksi Buana melangkah perlahan memasuki halaman
rumah besar diikuti Kenanga dari belakang. Mereka berdua
memperhatikan sekeliling halaman rumah ini.
Seorang laki-laki setengah baya keluar membukakan pintu
ketika Panji mengetuk beberapa kali. Laki-laki tua itu terheran-
heran menyambut kedatangan tamunya. Sebab baru sekali ini
didatangi dua tamu muda.
“Siapakah kau, Anak Mu da? Dan siapa yang kau cari?” tanya
laki-laki yang berpakaian pelayan. Kini sepasang matanya beralih
kepada Kenanga. Pelayan tadi terpana kagum melihat seorang
gadis cantik mendampingi Panji.
“Paman, namaku Panji. Kedatanganku kemari ingin mencari
pamanku yang bernama Ganda Buana. Benarkah beliau tinggal di
sini? Bisakah aku berjumpa dengan beliau?” tanya Panji setelah
memperkenalkan namanya kepada pelayan tua itu.
“Anak Muda, aku su dah mengabdi pada keluarga ini sejak
muda. Tapi rasanya aku belum pernah mendengar beliau punya
keponakan. A palagi sudah sebesar kau. Tapi.... Nanti dulu. Kalau
memang majikanku pamanmu, bisakah kau memberi tahu nama
ayahmu?” selidik pelayan tua yang masih ragu -ragu pada
keterangan tamunya.
“Nama ayahku Paksi Buana, kakak kandung majikanmu.
Apakah Paman mengenal beliau ?” sela Kenanga menimpali
karena sudah tak sabar lagi melihat pelayan tua itu mencurigai
mereka berdua.
“Aaah.... Paksi Buana! Tentu saja aku tahu, Nisanak. Mari,
silakan masuk. Aku akan laporkan berita gembira itu kepada
majikanku ,” kata pelayan tua itu gembira. Dengan tergopoh
gopoh dia meninggalkan Panji dan Kenanga yang su dah du duk di
ruang tengah.
Tak lama kemudian pelayan tua itu muncul kembali
mendampingi seorang laki-laki yang sebaya dengan usianya.
Hanya bedanya wajah lelaki itu lebih bersih dan gagah.
“Anak Mu da, benarkah kau bernama Panji, anak Kakang Paksi
Buana?” tanya laki-laki gagah setengah baya itu begitu tiba di
dekat Panji.
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia berdiri perlahan
dari duduknya. Sepasang matanya menatap tajam penuh selidik
ke wajah laki-laki setengah baya yang juga tengah menatapnya.
“Benar, Paman. Kau pastilah Paman Ganda Buana. Wajah
Paman tidak terlalu jauh berbeda, sehingga aku masih dapat
mengenali,” seru Panji, terharu dan bahagia. Kebahagiaan yang
dalam karena selama ini dia menyangka kalau dia tidak
mempunyai keluarga lagi.
“Panji...,” desis Ki Ganda Buana, juga sangat terharu dengan
pertemuan yang tidak disangka-sangka ini. Dia langsung
memeluk Panji. Ditepu k-tepuknya bahu keponakannya berkali-
kali. “Wah, kau sudah besar dan gagah. Betapa bangganya Kakang
Paksi Buana, apabila dia masih hidup. Eh, apakah kau su dah
menjenguk makam ayahmu?”
“Sudah, Paman. Justru dari sanalah aku mendapat berita
perihal Paman,” jawab Panji cepat. “Mmm.... kenalkan, Paman.
Ini A dik Kenanga, tunanganku.”
“Hm.... Pintar sekali kau memilih, Panji,” pu ji Ki Ganda Buana
polos. Ditatapnya sejenak wajah gadis jelita yang tersenyum
sambil menganggukkan kepalanya.
“Paman, kemanakah bibi dan yang lainnya? Seingatku, Paman
punya dua orang anak yang sebaya denganku ?” tanya Panji ketika
tidak melihat keluarga pamannya keluar menyambut.
“Oh, mmm... mereka... mereka tengah menjenguk famili
bibimu di desa tetangga,” sahut Ki Ganda Buana agak gugup. “Ah,
sebentar, Panji. Paman akan menyuruh menyiapkan kamar
untukmu dan tunanganmu.”
Setelah kepergian Ki Ganda Buana, Panji dan Kenanga
menjadi heran melihat peru bahan wajah dan sikap pamannya,
ketika menyinggung soal keluarganya.
“Aneh, mengapa sikap paman begitu gugu p ketika kutanyakan
perihal bibi dan sepupuku ?” ucap Panji dalam hati. Tapi dia diam
saja. Tidak mengungkapkan keheranannya kepada Kenanga.
Kenanga yang juga melihat keanehan sikap Ki Ganda Buana
yang begitu tiba-tiba menjadi heran. Gadis jelita itu pun tidak
mengatakan apa-apa. Kecurigaannya langsung timbul begitu
melihat perubahan sikap paman kekasihnya.
“Panji, Kenanga, mari kita makan dulu. Rupanya pelayanku
langsung menyiapkan makanan, begitu tahu kalau kau
keponakanku. Marilah.... Marilah,” ajak Ki Ganda Buana
tersenyumramah.
Panji dan Kenanga mengangguk mengiyakan. Keduanya pun
bergegas bangkit mengikuti langkah pamannya. Hati Panji
semakin tidak enak melihat sikap Ki Ganda Buana yang
sepertinya tidak wajar. Jelas sekali kalau orang tua itu berusaha
menyembunyikan sesuatu. Tapi Panji tidak dapat menebak apa
yang disembunyikan pamannya.
“Paman, maafkan aku kalau pertanyaan perihal bibi tadi
membuat Paman murung. A pakah Paman dan bibi habis
bertengkar?” tanya Panji, tanpa bermaksud mencampuri urusan
keluarga Ki Ganda Buana.
“Ya!Ya.... Kami memang habis bertengkar. Dan bibimu marah
padaku. Lalu pergi ke tempat orang tuanya,” jawab Ki Ganda
Buana, masih gugu p. Cepat dia menarik sebuah kursi. Lalu
menghenyakkan tubuhnya disertai helaan napas berat.
“Ayolah, silakan, Panji, Kenanga. Setelah itu kalian boleh
beristirahat di kamar yang telah kusediakan. Sekarang kita
lupakan dulu persoalan bibimu. Besok aku akan mencoba
menjemputnya. Siapa tahu setelah melihat kau marahnya jadi
hilang,” ucap Ki Ganda Buana, mempersilakan mereka segera
menikmati hidangan yang tertata rapi di atas meja bundar terbuat
dari kayu jati.
Tanpa berucap lagi, Panji alias Pendekar Naga Pu tih segera
menyantap hidangan. Sesekali diliriknya wajah Ki Ganda Buana.
Hati Panji semakin heran melihat wajah pamannya terlihat
semakin tegang. Pemuda itu memutar otak, menduga-duga apa
yang tengah dialami pamannya.
“Eh, Paman, makanan ini.... Makanan ini...,” Panji tersentak
bangkit dan berkata terbata-bata. Belum lagi bicaranya selesai,
tu buhnya kembali terjatuh di atas kursi. Wajah Panji nampak
mulai pucat. Peluh pun mulai mengalir membasahi wajah.
“Gila, makanan ini beracun!” teriak Kenanga, sambil
melemparkan hidangan di atas meja. Untunglah gadis jelita itu
baru sedikit mencicipi, sehingga racun belum sampai
mempengaruhinya. Bergegas dia bangkit sambil meloloskan
Pedang Sinar Rembulan yang melingkar di pinggangnya.
Srettt!
Cahaya putih keperakan berkeredap ketika gadis jelita itu
meloloskan Pedang Sinar Rembulan.
“Paman.... Mengapa Paman lakukan ini padaku? Mengapa,
Paman...?” ucap Panji sambil menggeleng-gelengkan kepala
karena pandangannya mulai kabur. Tangan pemuda berju bah
pu tih meraba-raba hingga menumpahkan hidangan yang semula
tersusun rapi di atas meja.
“Karena kau adalah Pendekar Naga Putih! Dan kedatanganmu
telah membawa kesulitan buatku !” sahut Ki Ganda Buana
setengah membentak. Tu buh orang tua itu tahu-tahu su dah
melompat kearah Panji dengan kedua tangan terkembang.
Wusss! Brakkk!
“Uhhh...!”
Kursi yang semula didu duki Pendekar Naga Putih hancur
berantakan terkena sambaran tangan Ki Ganda Buana. Untunglah
pemu da itu cepat bergerak menghindari serangan pamannya.
Meskipun pengaruh racun telah menyebar ke dalam aliran darah
di tubuhnya, namun nalurinya sebagai ahli silat mengetahui
adanya bahaya yang mengancam.
“Keparat kau, Ki Ganda Buana! Kau tega mencelakakan
keponakanmu sendiri! Dasar manusia bejad!” maki Kenanga,
yang menjadi marah melihat kelicikan orang tua yang mengaku
sebagai paman kekasihnya. Sesaat kemudian, tubuh gadis jelita
itu pun melayang disertai ayunan pedang membabat leher Ki
Ganda Buana.
Wuttt!
“Aihhh...!”
Ki Ganda Buana terkeju t bu kan main diserang gadis jelita itu.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau kepandaian Kenanga
berada di atas kepandaiannya. Hampir saja tubuhnya terkena
sambaran Pedang Sinar Rembulan kalau tidak cepat menghindar!
“Ha ha ha...! Bagus, Ganda Buana! Kali ini kami pasti berhasil
menyeret Pendekar Naga Putih ke hadapan ketua kami,”
bersamaan dengan terdengarnya suara itu tahu-tahu di ruang
makan muncul belasan orang berpakaian serba merah.
“Bedebah! Rupanya kau telah bersekongkol dengan manusia-
manusia jahat itu untu k mencelakakan kami!” teriak Kenanga
semakin marah ketika melihat munculnya orang-orang
berseragam merah.
“Kenanga! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar aku yang akan
menahan mereka!” teriak Panji kepada kekasihnya. Tubuh
pemu da itu tampak semakin lemah. Dengus napasnya terdengar
keras seperti orang habis berlari jauh. Rupanya pengaruh racun
yang tidak berbau dan tidak berwarna itu demikian cepat
bekerjanya.
“Tidak, Kakang! Mati hidu p kita harus bersama! Aku tidak
mau membiarkanmu menghadapi maut sendirian!” bantah
Kenanga, sambil melompat mendekati kekasihnya.
Panji yang pandangannya semakin kabur meraba-raba hendak
menyentuh tu buh Kenanga. Kenanga yang tak sampai hati
melihat keadaan kekasihnya yang su dah seperti orang buta itu ,
bergegas mendekatkan tu buh hingga tu buhnya tersentuh tangan
Panji.
“Pergilah, Kenanga! Jangan membantah! Kalau kita berdua
yang tertangkap, lalu siapa yang akan menolong kita? Cepatlah,
sebelum keadaanku benar-benar parah!” bu juk Panji berusaha
memberi pengertian.
***
TUJUH
Kenanga menatap kekasihnya dengan perasaan kacau . Dia
sadar apa yang diucapkan Panji benar. Namun hatinya masih tak
tega meninggalkan sang kekasih dalam keadaan seperti itu .
Pertentangan itulah yang membuatnya masih juga tidak beranjak
dari Panji.
Saat itu beberapa orang berseragam merah sudah melompat
menyerbu. Tiga orang di antaranya adalah Jari Penembus Tulang,
Tapak Baja dan Ki Tapak Jagad yang sudah pernah merasakan
kelihaian ilmu kesaktian Panji. Kini mereka kembali mencoba
untuk melumpuhkan pemu da itu dengan dibantu dua belas orang
yang rata-rata mempunyai kepandaian setingkat dengan Tapak
Baja. Tentu saja kehadiran mereka sangat berbahaya bagi
keselamatan Panji dan Kenanga.
“Hiaaat..!”
Dibarengi teriakan keras, empat orang berseragam merah
menerjang Pendekar Naga Pu tih dan Kenanga dari empat
penjuru . Walau pun mereka hanya menggunakan tangan kosong,
namun dari angin pukulannya dapat diketahui kalau tenaga dalam
mereka cukup kuat!
Wuttt! Wu ttt!
“Aaah...!”
Panji yang saat itu keadaannya su dah semakin parah, tak
mampu lagi menghindar. Pemuda itu terpaksa menangkis
sekenanya dengan gerakan kacau .
Plakkk! Plakkk!
“Uhhh...!”
Dua serangan lawan berhasil ditangkis. Tapi Pendekar Naga
Putih terkejut merasakan lengannya nyeri akibat pertemuan
tenaga dalam dengan dua orang lawannya. Pendekar Naga Putih
semakin cemas merasakan hampir sebagian tenaga dalamnya
lumpuh. Celaka, pengaruh racun itu hampir melumpuhkan
seluruh urat-urat tubuhnya.
Dan selagi tubuh pendekar muda itu terdorong akibat
menangkis serangan dua orang lawannya, serangan dari dua
orang berseragam merah lain meluncur datang!
Bu kkk! Desss!
“Hukhhh...!”
Pukulan mereka tepat menghantam lambung dan dada Panji
hingga membuatnya terjungkal ke belakang menimpa meja
makan. Darah segar mulai merembes di sudut bibirnya.
“Kakang...! Ohhh...,” Kenanga menjerit dan langsung
menghambur ke arah Panji. Dipeluknya tubuh sang kekasih yang
tengah berusaha bangkit. Hati gadis jelita itu semakin tak karuan
ketika melihat wajah kekasihnya semakin pu cat.
“Kenanga... dengarkan kataku ! Pergilah. Selamatkan dirimu
sebelum semuanya terlambat! Jangan pikirkan aku . Aku yakin
kalau mereka hanya ingin menangkapku,” pinta Panji dengan
napas tersengal-sengal. Pemuda berjubah putih ini berusaha
bangkit berdiri sekuat tenaga sambil menghunus Pedang Naga
Langit.
Wuttt!
Sebias sinar kuning keemasan, berkilauan dari Pedang Naga
Langit ketika digunakan Panji. Sambil menggoyang-goyangkan
kepalanya yang terasa berat, pedangnya dilintangkan di depan
dada, siap melindungi Kenanga.
“Kakang, jaga dirimu baik-baik...,” ucap Kenanga, sebelum
meninggalkan Panji dengan napas terisak-isak. Air mata
membasahi pipinya yang halus.
“Pergilah, Adikku...,” u jar Panji serak, terbawa keharuan yang
dalam. Dia sadar belum tentu dapat berjumpa lagi dengan
kekasihnya. Kalau tadi dia mengatakan orang-orang itu tidak akan
membunuhnya, hanyalah untuk membu juk Kenanga agar segera
pergi dari tempat ini. Padahal dia sendiri belum yakin betul
apakah orang itu tidak akan membunuhnya. Karena sepertinya
orang-orang jahat itu menaruh dendam kepadanya. Dan bukan
tidak mungkin tubuhnya akan dicincang mereka.
Wuttt! Wu ttt!
Panji mengayunkan Pedang Naga Langit sekuat tenaga.
Alangkah kecewa dia karena ternyata tenaga sakti dalam
tu buhnya sudah demikian lemah, sehingga gerakannya tak
ubahnya seorang pemula yang baru belajar silat.
“Haiiit..!”
Sambil membentak nyaring, tubuh salah seorang lawan
melompat seraya menyerang Pendekar Naga Pu tih. Tapi pemu da
itu bergerak lambat, sehingga lawan dengan mu dah
menyarangkan pukulan telak ke tu buh Panji.
Bu kkk! Plakkk!
“Oughhh...!”
Darah segar muncrat dari mulut Panji ketika dua kali pukulan
orang itu telak mendarat di dada dan peru tnya. Panji terlempar
menabrak dinding ruangan dan langsung ambruk pingsan!
Sedangkan pedangnya sudah berpindah ke tangan orang yang
tidak lain adalah Tapak Baja.
“Ha ha ha...! Pendekar Naga Putih! Kali ini kau akan
merasakan akibatnya karena berani mencampuri urusan kami!”
sambil tertawa terbahak-bahak, orang berkepala gundul itu
mendekati Panji yang tergolek tak berdaya.
“Mari kita pergi...,” perintah Jari Penembus Tulang sambil
meninggalkan tempat kediaman Ki Ganda Buana. Sedangkan
tu buh Panji dipondong Tapak Baja.
Ki Ganda Buana ikut bersama mereka meninggalkan tempat
kediamannya. Wajah orang tua itu tampak tertunduk lesu tanpa
gairah.
***
Seorang gadis berpakaian serba hijau berlari-lari sambil
terisak-isak sedih. Sepasang tangan yang ramping menutu pi
wajahnya. Dari sela-sela jari tangan mengalir bu tiran-butiran air
bening.
“Kakang...,” keluhnya dengan kedua bahu terguncang.
Perlahan-lahan jari-jemari tangannya turun ke bawah. Ternyata
gadis itu adalah Kenanga yang melarikan diri dari tempat
kediaman Ki Ganda Buana. Wajahnya yang cantik jelita itu agak
pu cat. Sepasang matanya membengkak karena terlalu banyak
menangis.
Suka dan duka me rupakan saudara.
Tangis dan tawa tak dapat dipisah.
Te rtawalah selagisuka.
Me nangislah se lagi duka me nimpa.
Meskipun tangis mele gakan dada,
tapi.... dapatkah ia me mecahkan masalah?
Kenanga menghentikan larinya ketika mendengar suara
nyanyian yang menyentuh hati. Dia segera tahu kalau orang yang
bernyanyi itu pasti bukan orang sembarangan, karena suaranya
menggetar memenuhi sekitar tempat ini. Dan dia pun tahu kalau
nyanyian itu sengaja dituju kan kepadanya. Karena saat itu hanya
dialah yang berada di tempat sepi ini. Dan hanya dia sendiri yang
sedang menangis.
Gadis jelita itu mengedarkan pandangan mencari-cari asal
suara dengan hati geram.
“Siapa pun adanya kau, hei orang yang bernyanyi! Keluarlah!
Tunjukkan dirimu ! Jangan hanya bisa menertawakan kesusahan
orang lain!” teriak Kenanga sengit. Rasa duka yang dihadapi
membuat Kenanga mudah tersinggung.
Tapi sampai sekian lama Kenanga menunggu, tak seorang pun
menampakkan batang hidungnya. Tentu saja hal itu membuatnya
semakin jengkel. Kenanga yang su dah memaki-maki orang yang
bernyanyi itu menutup mulut, karena saat itu sesosok tubuh tinggi
kurus mendatanginya. Mata gadis jelita itu menatap tajam ke arah
sosok yang berjalan tertatih-tatih. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat kayu yang digunakan untuk menyangga
tu buhnya.
“Eyang...!” panggil Kenanga, berseru gembira begitu
mengenali siapa sosok yang sedang menghampirinya.
Kedu kaannya hilang seketika. Bergegas dia berlari menghambur,
menyambut kedatangan orang yang amat dikenalnya.
“He he he.... Cu cuku . Teruskanlah tangismu. Biar dadamu
menjadi lega, dan pikiranmu terbuka,” u cap sosok tinggi kurus itu
yang ternyata adalah Raja Obat. Diusapnya rambut kepala gadis
jelita itu yang bersimpuh di depannya dengan kepala tertunduk.
“Eyang, Kakang Panji... dia... dia...,” Kenanga tak mampu
meneru skan ucapannya. Dadanya kembali terasa sesak begitu
teringat pada Panji yang tidak diketahui nasibnya. Gadis jelita itu
menarik napas dalam-dalam guna menghilangkan rasa sesak yang
memenuhi dada.
“A pakah kalian berselisih?” tanya Raja Obat menduga. Si
kakek meraba-raba kesedihan yang dialami sang cucu , pastilah
disebabkan perselisihan di antara mereka.
“Bukan, Eyang. Kakang Panji... Ah, entah bagaimana
nasibnya?” Kenanga lalu menceritakan apa yang dialaminya. Dan
bagaimana keadaan sang kekasih ketika ditinggalkan.
“Kalau mendengar dari apa yang kau ceritakan, pastilah dia
su dah terbius racun jahat. Sangat sulit mengobatinya. Karena aku
belum mengetahui jenis racun itu secara pasti. Tapi.... Eh, kau
kenapa, Cu cuku...?” u jar Raja Obat, terkejut ketika melihat
Kenanga bangkit sambil memegang kepala. Gerakan gadis jelita
itu terlihat goyah.
“Ah, apakah kau pun su dah memakan hidangan beracun...?”
tanya Raja Obat terkejut dan juga gembira, karena dengan
demikian berarti dia dapat mengetahui bagaimana cara
memulihkan Panji.
“Ya, Eyang. Tapi.... Tapi hanya sedikit..,” sahut Kenanga
lemah. Keringat sebesar biji-biji jagung membasahi wajahnya
yang mulai memucat.
“Hm.... Untunglah kau hanya makan sedikit hingga racun itu
bekerja agak lambat,” u cap Raja Obat lagi. Tangannya bergerak
cepat menangkap tu buh gadis jelita berpakaian serba hijau itu
yang hendak roboh.
Setelah memeriksa dan memijat beberapa bagian tubuh sang
cu cu, Raja Obat mengeluarkan obat pulung berwarna kehijauan
dari dalam buntalannya.
Gadis jelita itu merintih lirih setelah mendapat pijatan dari
Raja Obat. Dan perlahan-lahan sepasang kelopak matanya
terbuka meskipun agak sayu dan kelihatan lelah.
“Telanlah obat ini, cucuku . Tariklah napas dalam-dalam agar
obat ini cepat menyebar ke seluruh urat-urat tubuhmu,” u jar si
kakek sambil menyerahkan obat sebesar kelereng kepada
Kenanga.
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga segera menelan penawar
racun pemberian Raja Obat. Beberapa saat kemudian, Kenanga
merasakan hawa hangat bergolak di dalam pusat tenaganya.
Sehingga membuat tubuhnya terasa segar kembali.
Raja Obat memperhatikan gadis jelita itu yang tengah
bersemadi sambil bersila. Bibirnya menyunggingkan senyum
begitu melihat wajah Kenanga telah berubah kemerahan,
pertanda kalau obat yang diberikannya telah bekerja baik
Tak lama kemudian, Kenanga membuka kedua matanya. Gadis
itu gembira merasakan penglihatannya sudah membaik seperti
semula.
“Wah, obat yang Eyang berikan benar-benar hebat sekali!
Apakah obat ini juga dapat menyembuhkan Kakang Panji,
Eyang?” tanya Kenanga meminta kepastian.
“Kita lihat saja nanti, cucuku. Mari kita susul dia,” sahut Raja
Obat sambil beranjak bangkit dari duduknya.
“Tapi, apakah Eyang tahu markas orang-orang berseragam
merah?” tanya Kenanga. Karena dia sendiri pun belum tahu di
mana markas orang-orang berseragam serba merah itu .
“Hm.... Aku pun tengah menyelidiki mereka. Mereka adalah
orang-orang yang menamakan diri kelompok kelabang hitam. Aku
ingin tahu apa sebenarnya yang mereka rencanakan. Sebelum hari
pertemuan yang mereka tentukan, kita harus su dah menemukan
kekasihmu,” jawab Raja Obat sambil melangkah meninggalkan
tempat itu .
“Eyang, apakah bukan tidak mungkin kalau Kakang Panji
su dah mereka bunuh?” tanya Kenanga ragu.
“Tidak, cu cuku. Kalau memang mereka berniat
membunuhnya, tentu mereka akan menggunakan racun yang
mematikan dan bukan racun yang melumpuhkan,” sahut Raja
Obat memberi alasan.
Mendengar alasan yang diberikan Raja Obat, Kenanga
mengangguk-anggukkan kepala membenarkan. Gadis jelita itu
melangkahkan kakinya mengiku ti Raja Obat yang su dah
mengetahui markas orang-orang berseragam serba merah.
***
“Ha ha ha...! Pendekar Naga Pu tih! Akhirnya berhasil juga
kami menundukkanmu!” u jar seorang laki-laki muda dan tampan
sambil bertolak pinggang.
Panji yang su dah mulai sadar mencoba menatap orang itu.
Keningnya berkerut ketika melihat pakaian yang dikenakan pria
itu tampak demikian indah, mirip seorang pangeran istana saja.
Wajahnya yang halus dan putih diberi bedak, sepintas dapat
diduga kalau pemuda ganteng itu adalah seorang pesolek.
“Sss... siapa.... Kau...?” tanya Panji dengan suara hampir tak
terdengar.
“Ha ha ha.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih! Saat ini kau
tengah berhadapan dengan calon adipati. Sebentar lagi A dipati
Kerta Sura akan kupaksa turun dari singgasananya! Ha ha ha...!”
sahut pemu da pesolek terbahak.
“Lalu, apa maksu dmu menawanku ?” tanya Panji lagi yang
masih belum mengerti apa yang diinginkan orang itu dari dirinya.
“Semula aku memang berniat membunuhmu, Pendekar Naga
Putih! Karena kau telah berani mencampuri urusan orang-orang
kelabang hitam dengan orang-orang Perguruan Cakar Elang. Tapi
begitu aku tahu kalau kau Pendekar Naga Putih yang tersohor,
maka aku bersedia mengampunimu apabila bergabung dengan
kelompok kelabang hitam. Bagaimana? A pakah kau bersedia?”
tanya pemu da pesolek membu juk.
Panji yang kesadarannya sudah mulai pulih tahu betul kalau
saat itu dia menolak, maka saat itu juga mungkin dia akan
dibunuh. Maka dia pun segera memutar otak agar dapat
meloloskan diri dari tempat ini.
“Beri aku waktu dua hari untuk berpikir,” sahut Panji memberi
alasan.
“Baik! Ku beri kau waktu dua hari untuk mengambil kepu tusan.
Tapi ingat! Jangan coba-coba meloloskan diri. Hal itu akan sia-
sia! Sebab tenagamu tidak akan dapat pulih tanpa
pertolonganku !” ancam pemuda pesolek, mengingatkan Panji
pada keadaannya.
“Keparat licik!” maki Panji dalam hati. Diam-diam pemuda itu
memaki kelicikan pemu da yang tampaknya adalah ketua
Gerombolan Kelabang Hitam.
“Bawa dia ke kamar tahanan!” perintah pemuda pesolek
kepada anak buahnya.
“Baik, Gusti!” sahut dua orang berseragam merah yang segera
membawa Pendekar Naga Putih ke ruang tahanan. Setibanya di
ruang tahanan, tubuh Panji langsung dilemparkan secara kasar ke
atas tumpukan jerami. Dan setelah mengunci pintu kamar
tahanan, anggota gerombolan kelabang hitam bergegas
meninggalkannya.
Setelah memeriksa beberapa saat, Panji menyeringai gembira
mendapati ruang tahanan hanya terbuat dari kayu yang tidak
begitu tebal. Dirabanya dinding-dinding kayu itu seolah-olah
ingin mengukur kekuatannya. Dia yakin dinding kamar tahanan
ini akan hancur sekali pukul tanpa harus menggunakan banyak
tenaga.
Pendekar Naga Putih melangkah mundur dan siap
melontarkan pukulan untuk menjebol dinding kayu .
“Hahhh?!”
Bu kan main terkejutnya Panji ketika menyadari kalau dirinya
tidak mampu membangkitkan tenaga dalamnya. Tak ada sama
sekali tenaga dalam yang mengalir melalui kedua tangannya.
Mungkin tenaga saktinya telah lumpuh diserap racun yang
mengeram dalam tu buhnya, pikir Pendekar Naga Putih.
“Bangsat! Pantas mereka berani mengurungku di tempat
seperti ini! Rupanya mereka telah memperhitungkan segalanya
dengan matang!” geram Panji, sambil memukul-mukul dinding
kayu kamar tahanan sampai tangannya terasa sakit dan lecet
Panji menjatuhkan tu buhnya di atas tumpukan jerami.
Berkali-kali dia berusaha membangkitkan tenaga dalamnya.
Namun semua usahanya hanya sia-sia belaka. Tenaga saktinya
benar-benar lumpuh akibat racun yang dicampurkan ke dalam
makanan sewaktu di rumah pamannya. Begitu Panji mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru ruang tahanan, tiba-tiba matanya
tertumbuk pada sesosok tu buh berusia lanju t.
“Paman...!? Kau.... Mengapa kau juga berada di sini?” tanya
Panji heran, ketika melihat Ki Ganda Buana juga berada dalam
ruang tahanan yang sama
“Hhh.... Panjang sekali kalau ku ceritakan, Panji. Jelasnya
mereka telah menipuku . Semula Anggada, pemuda pesolek,
menyandera anak dan istriku. Dia berjanji akan membebaskan
keluargaku kalau aku dapat menangkapmu hidu p-hidup. Tapi
nyatanya mereka ingkar janji. Dan malah mengurungku di sini,”
tu tur Ganda Buana penuh sesal. “Maafkanlah pamanmu ini, Panji.
Aku benar-benar terpaksa harus berbuat begitu !”
“Sudahlah, Paman. Aku pun sebenarnya tidak yakin kalau
perbuatan Paman memang atas kehendak Paman sendiri,” u jar
Panji sambil memeluk tubuh Ki Ganda Buana tanpa merasa sakit
hati sedikit pun. “Lebih baik sekarang kita tidur agar besok
pikiran kita menjadi jernih dan dapat mencari jalan untuk
meloloskan diri.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya merebahkan tu buh di
atas tumpukan jerami yang memang disediakan untuk tidur.
***
Malam semakin bertambah larut. Suara binatang malam saling
bersahutan menyemarakkan suasana. Sang rembulan tak bersinar
utuh, karena sebagian wajahnya tertutu p gumpalan awan hitam.
Di tengah kepekatan malam, dua sosok tubuh berloncatan
lincah memasuki halaman sebuah bangunan besar yang menjadi
markas gerombolan kelabang hitam. Sepertinya kedua sosok
bayangan itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dengan mu dah
mereka melompati tembok bangunan yang setinggi tiga tombak.
Bayangan kedua sosok itu seperti dua ekor rajawali besar yang
tengah melayang di angkasa. Dalam waktu singkat bayangan itu
su dah berada di halaman dalam, lalu berpindah ke halaman
samping.
Dua penjaga malam yang sedang meronda terperanjat kaget,
ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri dua sosok tubuh.
Sebelum keduanya sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba tubuh
mereka melorot jatuh. Rupanya sosok bayangan tinggi kurus itu
telah lebih dahulu melakukan totokan terhadap mereka hingga
roboh.
Sosok bayangan tinggi kurus itu bergegas mengajak kawannya
masuk ke ruang dalam. Mereka mengendap-endap dengan
merapatkan tubuhnya ke dinding, ketika melihat dua orang
penjaga melewati mereka.
Tukkk! Tukkk!
“Uhhh...!”
Kedua penjaga melorot jatuh sebelum mengetahui apa yang
tengah menimpa mereka. Sosok tinggi kurus itu menyeret tubuh
keduanya ke tempat gelap. Penjaga yang satu dibiarkan pingsan,
sementara penjaga yang satu lagi dibebaskan dari totokan yang
membuatnya lumpuh.
“Kalau kau masih ingin hidu p, cepat katakan di mana tempat
Pendekar Naga Putih ditahan?” ancam si bayangan tinggi kurus
berbisik kepada penjaga yang su dah tidak berkutik lagi. Sepasang
matanya berkilat tajam sehingga membuat penjaga bergidik
menatapnya.
Penjaga itu pun segera memberitahukan tempat di mana Panji
ditahan, dengan menggunakan gerakan tangannya. Bayangan
tinggi kurus itu mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Nah, sekarang kau boleh beristirahat!” u jar bayangan tinggi
kurus yang segera kembali menotok jalan darah si penjaga itu .
Lalu disembunyikan di dekat kawannya.
“Eyang, apakah kau yakin orang itu tidak menjebak kita?”
tanya sosok bayangan yang berbentuk ramping itu. Suaranya
terdengar merdu.
“Tidak. Aku su dah pernah menyelidiki tempat ini sebelumnya.
Aku tahu pasti orang itu tidak berbohong,” jawab bayangan tinggi
kurus itu yakin. Menilik dari wajah dan pakaian mereka, pastilah
kedua sosok bayangan itu adalah Raja Obat dan Kenanga.
Kedatangan mereka ke markas gerombolan kelabang hitam
adalah untuk membebaskan Panji.
“Sssttt...!” Raja Obat menempelkan jari telunju k ke mulut.
Memberi isyarat agar Kenanga diam dan bersikap lebih hati-hati.
Rupanya telinga si kakek menangkap suara-suara orang berbicara
di dalam ruang jaga yang letaknya berdekatan dengan tempat
tahanan.
Kenanga tetap diam di tempatnya, sementara tubuh Raja Obat
langsung berkelebat memasuki ruang jaga. Hebat sekali gerakan si
kakek! Enam orang gerombolan kelabang hitam yang tengah
berjaga-jaga tak sempat lagi berbuat sesuatu . Semuanya roboh
ditotok tanpa ribut. Setelah aman, barulah Kenanga keluar dari
tempat persembunyiannya, mengikuti si kakek menu ju ruang
tahanan Pendekar Naga Putih.
“Kakang Panji...,” tegur Kenanga setengah berbisik kepada
kekasihnya melalui jeru ji kamar tahanan. Untung Kenanga telah
diberi isyarat Raja Obat. Kalau tidak, tentu gadis jelita itu tidak
dapat menahan luapan kegembiraannya. Dan bila hal itu sampai
terjadi, maka keadaan mereka akan menjadi sulit.
Panji yang tengah memikirkan bagaimana cara meloloskan diri
dari tempat ini tersentak kaget. Hampir-hampir tidak percaya,
ketika melihat wajah kekasihnya dari balik jeru ji kamar tahanan.
Kalau saja Raja Obat tidak ikut memperlihatkan wajah, Panji
tentu akan menyangka kalau kekasihnya hanya khayalannya saja.
“Aku datang kemari hanya untuk memberi obat agar
kekuatanmu pulih kembali. Setelah itu , tentu segalanya dapat kau
selesaikan sendiri. Terimalah obat ini. Aku yakin kau telah
mengetahui bagaimana cara menggunakan obat ini,” ujar Raja
Obat sambil menyerahkan sebutir pil penawar racun.
***
DELAPAN
“Terima kasih, Eyang. Tapi kalau boleh aku minta dua bu tir.
Karena pamanku yang berada di kamar ini juga menderita
keracunan yang sama denganku ,” pinta Panji, menerangkan
alasannya.
“Eh! Mengapa dia juga berada di tahanan, Kakang?” tanya
Kenanga, mengeru tkan kening tak senang.
“Nantilah kuceritakan, Adikku. Yang jelas, beliau tidak sejahat
yang kita duga,” jawab Panji, menenangkan perasaan sang
kekasih.
“Hm... baiklah, aku pergi dulu, Panji. Kutunggu kau di luar!”
u jar Raja Obat setelah menyerahkan dua butir pil pemunah racun
kepada Panji.
“Tunggu dulu, Eyang, Kenanga!” seru Panji, menahan langkah
kedua orang itu. “Eyang, tolong bebaskan istri dan anak pamanku .
Mereka di kamar sebelah.”
Raja Obat mengangguk menyanggupi. Dan tanpa banyak tanya
lagi, Raja Obat sakti itu segera mengajak Kenanga memenuhi
permintaan Panji.
Sepeninggal Raja Obat dan kekasihnya, Pendekar Naga Pu tih
cepat menelan obat pemberian orang tua itu . Dan menyerahkan
yang satunya lagi kepada pamannya yang tanpa banyak tanya lagi
langsung menelannya.
Panji yang sedikit banyak tahu ilmu pengobatan cepat
membantu penyebaran obat ke seluruh aliran darah di tu buhnya.
Tenaganya yang semula bergolak lemah, seketika terasa semakin
kuat ketika ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya.
Tidak berapa lama kemudian, Panji mulai merasakan
kekuatannya semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat
berubah segar. Begitu juga yang dialami oleh Ki Ganda Buana.
Setelah merasakan kekuatannya sudah pulih seperti sedia kala,
Panji bergegas bangkit. Senyum di wajah pemuda itu melebar
begitu merasakan lapisan kabut bersinar putih keperakan kembali
menyelimuti tubuhnya.
Ki Ganda Buana berdecak kagum melihat kejadian itu.
Keraguan di hatinya pun lenyap seketika. Kini dia benar-benar
yakin kalau keponakannya memang orang yang dijuluki Pendekar
Naga Pu tih. Tentu saja hal itu membuatnya bangga.
“Luar biasa! Betapa bangganya hati Kakang Paksi Buana kalau
masih ada,” u cap Ki Ganda Buana dalam hati.
“Paman, sekarang mari kita keluar dari tempat ini!” ajak
Pendekar Naga Putih sambil melangkah menghampiri pintu
tahanan. Hanya dengan sekali dorong, pintu kamar tahanan
ambrol dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk. Keduanya
langsung melesat menerobos serpihan-serpihan kayu yang
beterbangan.
Dua laki-laki yang tengah melintas di depan ruang tahanan
menghentikan langkah ketika mendengar suara ribut. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, keduanya melesat ke ruang
tahanan.
“Berhenti!” teriak salah seorang di antaranya begitu melihat
du a sosok bayangan melesat meninggalkan ruang tahanan.
Mereka langsung menghadang jalan Panji dan Ganda Buana. Tak
ada jalan lain lagi selain harus merobohkan orang-orang itu. Panji
dan Ki Ganda Buana langsung menyerang mereka.
Plakkk! Plakkk!
“Uhhh...!”
Tu buh salah seorang penjaga terpental mundur ketika
menangkis serangan Panji. Orang itu terkejut karena tiba-tiba
tu buhnya diserang hawa dingin luar biasa.
“Pendekar Naga Putih...!” desisnya kaget ketika mengetahui
orang yang menjadi lawannya. “Bagaimana mungkin kau dapat
menghilangkan pengaruh racun dalam tubuhmu?”
“Hm.... Jari Penembus Tulang! Kiranya kau masih belum jera
juga?” tegur Panji dengan sorot mata penuh ancaman.
“Suiiit..!” sadar bahwa dirinya tidak mungkin dapat
menghadapi pendekar mu da itu sendirian, Jari Penembus Tulang
bersuit nyaring memanggil anggota gerombolan kelabang hitam
lain.
Panji terkejut mendengar suitan itu. Dan tanpa membuang
buang waktu lagi, dia segera menggasak Jari Penembus Tulang.
Bettt! Bettt!
“Haittt..!”
Jari Penembus Tulang yang tahu kalau kepandaiannya masih
kalah jauh, bergegas melempar tubuh ke belakang. Dua kali
hantaman telapak tangan Panji berhasil dihindari.
Sebelum Pendekar Naga Putih sempat melanjutkan serangan
berikut, tahu-tahu bermunculan puluhan orang berseragam
merah yang langsung mengurungnya. Begitu menyadari
keadaannya semakin berbahaya, pemuda perkasa itu menyedot
napas banyak-banyak.
Wusss!
Hawa dingin berhembus menderu-deru ketika Panji
menambah kekuatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’. Beberapa
anggota gerombolan kelabang hitam berlompatan mundur.
Mereka tak sanggup melindungi tu buh dari hembusan hawa
dingin menusuk tulang yang dipancarkan dari tu buh pemu da itu .
“Serang...!” teriak Jari Penembus Tulang, memerintah para
pengawal. Setelah berkata demikian, dia sendiri segera melesat
mendahului kawan-kawannya.
Wuttt! Wu ttt!
Panji alias Pendekar Naga Putih menggeser kaki sambil
memiringkan tubuh sehingga dua kali tusukan jari tangan lawan
meleset! Selesai menghindar, secepat kilat tangan kanannya
bergerak melepaskan serangan balik. Serangkum angin yang
dingin luar biasa mengiringi setiap sambaran cakar naga Panji.
Wukkk!
Jari Penembus Tulang mundur sejauh satu tombak
menghindari sambaran cakar naga Panji. Dan belum lagi Panji
sempat melanjutkan serangan, empat batang tombak meluncur
mengancam tubuhnya. Cepat pemuda itu menunduk sambil
menangkap senjata empat orang lawan yang datang dari dua arah.
Tappp! Tappp!
Semua tombak berhasil ditangkap Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu langsung mematahkan dengan mengerahkan tenaga
dalam. Begitu empat orang lawan terjerembab ke depan, tangan
pemu da itu langsung menghantam tubuh mereka.
Desss! Bu kkk! Desss!
“Oughhh...!”
Tu buh keempat orang itu jatuh jungkir balik dengan keras.
Dari mulut mereka menyembur darah segar. Keempat anggota
gerombolan kelabang hitam tewas seketika dengan kulit tubuh
kebiruan!
Setelah merobohkan keempat orang pengeroyok, Pendekar
Naga Pu tih kembali mengamuk! Kedua tangannya menyambar-
nyambar menebarkan hawa maut! Kekhawatiran akan nasib
pamannya membuat Panji tak peduli lagi terhadap nasib para
pengeroyok. Setiap kali sambaran cakar naganya menghantam
tu buh lawan, korban pasti langsung tewas.
Terjangan Pendekar Naga Putih yang laksana amukan seekor
naga marah, benar-benar menggiris! Sehingga para pengeroyok
tidak berani terlalu dekat dengan pemuda perkasa itu . Kadang-
kadang para pengeroyok langsung melompat mundur begitu
serangannya lolos!
Di arena yang lainm Ki Ganda Buana yang semula berhadapan
dengan orang berkepala gundul yang bukan lain dari Tapak Baja,
tampak berhasil mengimbangi. Bahkan dia mulai terlihat dapat
mendesak. Tapi belum berhasil menguasai Tapak Baja, empat
orang berseragam merah lain terjun membantu . Tentu saja hal itu
membuat Ki Ganda Buana menjadi repot! Apalagi ketika
mendapat kenyataan kalau empat orang yang datang membantu
ternyata memiliki kepandaian yang hampar sama dengan Tapak
Baja. Maka sibuklah orang tua itu dibuatnya!
Plakkk! Plakkk!
“Uhhh...!”
Tu buh Ganda Buana terdorong mundur ketika menangkis
serangan dari dua orang lawan sekaligus. Orang tua itu cepat
melempar tu buh sejauh tiga tombak ke belakang, ketika serangan
lawan yang lain meluncur datang! Namun sayang, begitu kedua
kakinya menginjak tanah, salah seorang lawan berhasil
menyarangkan sebuah tendangan keras ke perut.
Bu kkk!
“Hukh...!”
Orang tua itu terjengkang menerima tendangan di perutnya.
Darah segar tampak mengalir melalui su dut bibirnya. Meskipun
perutnya terasa mual, Ki Ganda Buana cepat melenting bangkit.
Cepat kedua tangannya bergerak ke depan melindungi tubuh!
“Heaaat..!”
Diiringi teriakan nyaring, Tapak Baja dan dua pengawal lain
melesat melaku kan serangan dari arah depan. Sepasang tangan
ketiga orang itu bergerak cepat susul-menyusul dan menyambar
ganas.
Ki Ganda Buana bergerak ke kiri-kanan menghindar.
Meskipun telah menderita luka, rupanya orang tua itu masih
sanggu p mengelakkan serangan.
Bettt! Bettt!
Serangan Tapak Baja menghantam angin kosong karena Ki
Ganda Buana telah keburu melempar tubuh sambil bersalto dua
kali ke belakang. Begitu kakinya menjejak tanah, tubuhnya
langsung melontarkan tendangan terbang ke arah Tapak Baja
yang berada paling depan.
Du kkk!
“Aaah...!”
Tu buh Ki Ganda Buana dan Tapak Baja sama-sama terdorong
ke belakang. Tapak Baja menyeringai menahan rasa nyeri pada
lengannya yang dipakai menangkis tendangan. Sedangkan Ki
Ganda Buana terpincang-pincang karena tulang kering kakinya
terasa remuk.
“Heaaat..!”
Disertai bentakan nyaring, empat orang berseragam merah
yang mengurung Ki Ganda Buana menerjang berbarengan.
Sambaran angin pukulan mereka yang menderu menandakan
kuatnya tenaga dalam di dalam serangan itu. Tapi, sebelum
serangan keempat gerombolan kelabang hitam mengenai sasaran,
du a buah bayangan putih dan hijau melesat cepat memapaki
serangan-serangan mereka. Dan....
Plakkk! Plakkk! Bukkk! Desss!
“Aaakh...!”
“Hukh...!”
Tu buh keempat orang berseragam merah terdorong mundur
begitu serangan mereka ditangkis oleh dua bayangan tadi. Dan
sebelum sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu tubuh mereka
dihantam pukulan yang amat kuat! Tu buh gerombolan kelabang
hitam terbanting keras disertai semburan darah segar. Beberapa
saat kemu dian, keempat orang itupun diam tak bergerak.
Pingsan!
“Ah, terima kasih, Eyang, Kenanga. Untunglah kalian keburu
datang. Kalau tidak, mungkin aku su dah tidak sempat lagi
menatap matahari esok pagi,” ucap Ki Ganda Buana kepada dua
penolongnya yang tidak lain adalah Raja Obat dan Kenanga.
“Hm.... Pantas kalian begitu lama. Ru panya kalian mengalami
kesulitan!” ujar Raja Obat itu tanpa mempedulikan ucapan terima
kasih Ki Ganda Buana.
Panji tersenyum lega melihat kedatangan Raja Obat bersama
Kenanga. Kekhawatiran akan nasib pamannya pun lenyap
seketika setelah melihat kedatangan kakek sakti dan kekasihnya.
“Eyang, Paman, kalian uruslah orang-orang ini! Aku ingin
mencari pemuda pesolek yang menjadi pimpinan gerombolan
kelabang hitam!” seru Panji kepada Ki Ganda Buana dan Raja
Obat Sambil melemparkan senyum kepada kekasihnya, pemu da
itu pun segera melesat meninggalkan arena pertarungan.
“Kakang, aku ikut!” tanpa menunggu jawaban lagi, Kenanga
langsung melesat mengikuti kekasihnya.
Pendekar Naga Putih yang tidak kuasa menolak keinginan
Kenanga, mendiamkan saja. Pemuda itu berhenti sejenak untuk
menunggu. Keduanya bersama-sama segera memeriksa seluruh
markas gerombolan kelabang hitam untuk mencari pemu da
pesolek yang dimaksu dkan Panji.
“Heaaa...!”
Tiba-tiba sesosok tubuh melompat ketika mereka baru saja
menginjakkan kaki di ruang belakang.
Plakkk! Plakkk! Plakkk!
“Aaah...!”
Orang itu berseru kaget! Tiga kali serangannya berhasil
ditangkis Kenanga. Karena Kenanga berada paling depan, maka
serangan orang itu pun tertuju kepadanya.
Tu buh orang itu terjajar mundur sejauh satu setengah tombak.
Meski Kenanga menyeringai, tapi jelas terlihat kalau tenaga dalam
orang itu masih kalah setingkat dengannya.
“Ki Tapak Jagad...!” desis Panji begitu mengenali orang yang
hampir saja mencelakakan kekasihnya.
“Biarkan mereka Ki Tapak Jagad, mereka adalah bagianku !”
Pendekar Naga Putih menahan langkah mendengar suara itu.
Setelah menoleh ke arah datangnya suara, akhirnya dia bertemu
dengan orang yang sedang dicarinya. Orang itu berdiri tegak
sambil menggenggam sebatang pedang yang mengeluarkan sinar
keemasan. Itulah Pedang Pusaka Naga Langit milik Panji yang
telah dirampas Tapak Baja. Rupanya pedang itu telah diserahkan
kepada ketuanya, yakni Anggada si pemu da pesolek.
“Hm.... Ru panya kau punya kepandaian juga! Ku kira kau
hanya bisa bersolek dan memerintah saja!” sindir Panji sinis.
“Ha ha ha...! Aku memang sudah lama mendengar nama
besarmu, Pendekar Naga Pu tih! Dan aku pun sudah sangat lama
ingin menjajal sampai di mana kepandaianmu! A ku ingin tahu ,
apakah julukan itu sesuai untukmu . Aku harus membuktikannya,”
sahut Anggada tak kalah tajam dengan ucapan Panji. “Nah,
bersiaplah!”
“Hm...!” Panji hanya bergumam sambil memperhatikan
langkah kaki lawan.
“Yeaaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan yang mengguntur, ketua
gerombolan kelabang hitam melesat cepat memutar Pedang Naga
Langit.
Wukkk! Wukkk!
Gulungan sinar keemasan yang menyilaukan mata bergulung-
gulung disertai suara mengaung tajam. Dari suara sabetan
pedang, sudah dapat diketahui betapa tingginya tenaga dalam
yang dimiliki Anggada.
Melihat lawannya sudah mulai membuka serangan, Pendekar
Naga Pu tih bergegas menyedot u dara sebanyak-banyaknya. Sesaat
kemudian, lapisan kabu t yang bersinar putih keperakan mulai
menyelimuti sekujur tubuhnya. Dari lapisan kabut yang mulai
menebal dapat ditebak kalau saat itu Panji telah mengerahkan
hampir dari seluruh tenaga saktinya. Pemu da itu berbuat
demikian karena tahu kehebatan dan kekuatan Pedang Naga
Langit yang kini dipegang lawan.
Wuttt! Wukkk!
Panji menggeser tubuh menghindari dua kali sabetan pedang
bersinar keemasan. Dia terkejut ketika merasakan hawa panas
menyengat keluar dari mata pedang. Tentu saja dia terheran
heran karena selama ini dia memang hampir tidak pernah
menggunakan Pedang Naga Langit. Dia tidak begitu
memperhatikan kalau pedang pusaka yang ditemukannya di
Lembah Gunung Kembaran ternyata dapat menimbulkan hawa
panas menyengat (Untuk mengetahui bagaimana Panji
mendapatkan pedang pusaka itu, pembaca dapat melihat pada
episode:“Bunga Abadi di Gunung Kembaran”).
Pendekar Naga Putih terus menghindari serangan pedang
Anggada sambil sesekali melepaskan pukulan. Hal itu bukan
dikarenakan Panji tengah mempelajari gerakan lawan. Tapi
memang pemu da pesolek itu sepertinya tidak memberikan
peluang kepadanya untuk membangun serangan.
Pada jurus kedua puluh delapan, Panji melompat jauh ke
belakang menghindari sambaran pedang yang mencecar lambung.
Setelah beberapa kali berjumpalitan di udara, tu buhnya mendarat
empuk di atas permukaan tanah.
Bu kan main terkejutnya hati Pendekar Naga Putih ketika baru
saja kakinya menjejak tanah, tahu-tahu u jung pedang Anggada
telah meluncur deras ke arah tenggorokan. Kembali untuk kedua
kalinya Panji terpaksa melempar tubuhnya ke belakang
menghindari sambaran pedang lawan.
Rupanya mata ketua Gerombolan Kelabang Hitam itu cukup
jeli. Begitu dilihatnya Panji melempar tubuh ke belakang,
pedangnya diputar hingga membentuk lingkaran dan terus
mengejar.
Wuttt! Wukkk!
Brettt! Brettt!
“Aaah...!”
Putaran lingkaran pedang pemuda pesolek yang dahsyat nyaris
menyerempet tu buh Pendekar Naga Putih. Untunglah pada saat
yang berbahaya itu dia masih sempat memiringkan tubuh,
sehingga sambaran u jung Pedang Pusaka Naga Langit hanya
mengenai pakaian saja. Panji melompat jauh ke belakang
menghindari sambaran pedang yang masih terus mengancamnya
itu .
“Aaah...!” Pemuda berjubah pu tih itu berseru terkejut dengan
wajah agak pu cat! Dari sobekan pakaiannya dia melihat bilur-
bilur agak kehitaman pada kulit tubuhnya. Seperti tu buh Panji
melepuh akibat terkena sambaran pedang lawan. Diam-diam
pemu da itu semakin terkejut melihat kelihaian Anggada dalam
memainkan jurus-jurus pedang.
“Kakang! Terimalah pedangmu ! Orang itu tidak bisa dihadapi
dengan tangan kosong!” Kenanga yang rupanya sempat
menyaksikan kejadian itu menjadi khawatir. Gadis jelita itu
bergegas melemparkan Pedang Sinar Rembulan dari tangannya.
Sedangkan Kenanga sendiri telah memegang pedang lain yang
mengeluarkan sinar kehitaman untuk menghadapi lawannya.
Pedang hitam di tangan gadis itu tidak kalah ampuh dengan
pedang pu saka lainnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera menangkap
pedang yang dilemparkan kekasihnya.
Si pemuda pesolek tetap berdiri tegak tanpa berusaha
mencegah Panji menangkap senjata pemberian kekasihnya.
Sepertinya ketua gerombolan kelabang hitam itu sangat yakin
pada kepandaian yang dimilikinya, sehingga sama sekali tidak
berusaha mencegah.
“Hm.... Ku dengar ilmu pedang yang kau miliki cuku p hebat,
Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau telah memegang pedang
yang kelihatannya cuku p baik. Mari kita buktikan, ilmu pedang
siapa yang paling baik di antara kita,” tantang Anggada dengan
lagak sombong.
“Hm... kalau memang begitu maumu, baiklah! Lihat pedang!”
seru Pendekar Naga Putih sambil melompat memutar Pedang
Sinar Rembulan. Angin berhawa dingin berkesiu tan mengiringi
ayunan pedangnya.
Wukkk! Wukkk!
Sinar putih keperakan bergulung-gulung menyelimuti tu buh
Panji. Suara desingan Pedang Sinar Rembulan demikian tajam
seolah menulikan telinga. Pendekar Naga Putih tidak lagi main-
main dalam melancarkan serangannya.
“Yeaaat...!”
Dibarengi teriakan nyaring, Anggada melesat memapak
serangan Panji. Sesaat kemudian, tampak dua gulungan sinar
yang berlainan warna saling libat dan saling menindih. Sambaran
hawa panas dan dingin menyambar silih berganti di sekitar arena
pertarungan.
Tiga puluh jurus kembali berlalu cepat. Meskipun kedua tokoh
muda sakti itu telah sama-sama mengeluarkan ilmu simpanannya
masing-masing, namun sampai sebegitu jauh belum juga terlihat
siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang!
Sementara itu, pertarungan antara Kenanga dan Ki Tapak
Jagad mulai bergeser menjauhi pertarungan dua orang mu da
sakti itu . Karena mereka merasa tidak sanggu p menahan hawa
panas dan dingin yang berganti-ganti menerpa tu buh mereka.
“Heaaat..!”
Panji yang merasa penasaran pada kehebatan ilmu pedang
Anggada memekik nyaring. Berbarengan dengan itu, tubuhnya
melompat beberapa tombak ke belakang. Secepat kakinya
menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali meluncur dengan
mengeluarkan jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’ yang
merupakan jurus pamungkas Pendekar Naga Pu tih.
Wrrr!
Angin dingin yang menusuk tulang berputaran, ketika tu buh
Panji berputar bagaikan baling-baling. Pedangnya yang teracung
ke depan iku t pula berputar membentuk lingkaran lebar. Deruan
angin dingin bertiup keras laksana angin topan yang bergemuruh
menggetarkan bangunan tempat berlangsungnya pertarungan.
Bu kan main terperanjatnya hati ketua gerombolan kelabang
hitam melihat kehebatan ilmu pedang Pendekar Naga Putih.
Cepat dia memutar Pedang Naga Langit melindungi tubuh dari
ancaman Pedang Sinar Rembulan.
Trangngng! Trangngng!
Terdengar suara berdentangan nyaring yang memekakkan
telinga ketika kedua pedang pu saka saling berbenturan keras!
“Aaah...!”
Pemuda pesolek itu berseru kaget ketika pedang di tangannya
terlepas dari genggaman, dengan tubuh terhuyung-huyung ke
belakang. Cairan merah merembes dari su dut bibirnya. Belum lagi
dia sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak pu taran
pedang Panji merobek tubuhnya!
“Aaa...!”
Jerit kematian melengking tinggi merobek angkasa! Darah
segar menyembur ke segala arah, ketika tu buh Anggada terpapas
u jung Pedang Sinar Rembulan. Dan tanpa dapat dicegah lagi,
tu buh pemuda pesolek itu pun ambruk dan tewas seketika dengan
usus terburai.
Berbarengan dengan tewasnya ketua gerombolan kelabang
hitam, terdengar jerit kematian lain. Jeritan itu berasal dari mulut
Ki Tapak Jagad. Pada saat yang bersamaan tubuhnya telah
tertembus pedang hitam Kenanga. Tusukan pedang hitam
Kenanga yang tepat mengenai jantung, membuat tokoh sesat itu
menghembuskan napas yang terakhir.
“Kakang...!” Kenanga berlari dan langsung memeluk tu buh
kekasihnya, yang masih berdiri menatap mayat Anggada.
Panji menoleh, setelah terlebih dahulu memungut Pedang
Pusaka Naga Langit, yang tadi terlepas dari genggaman si pemu da
pesolek.
“A dik Kenanga, kau tidak apa-apa?” tanya Panji sambil
merengkuh Kenanga.
“Seperti yang Kakang lihat. Aku sehat-sehat saja,” sahut gadis
jelita itu tersenyummanis.
Panji dan Kenanga menoleh ke belakang, ketika mendengar
suara langkah kaki mendekat.
“Eyang, Paman, Bibi...!” teriak Panji gembira begitu melihat
siapa yang datang. Panji bergegas memeluk paman, bibi dan
sau dara sepu punya bergantian. Wajah pemuda itu berseri-seri
penuh kebahagiaan.
“Marilah kita singgah di rumahku dulu,” ajak Ki Ganda Buana,
sambil menatap Raja Obat. Karena mengharapkan kakek itu mau
singgah di rumahnya.
“Ayolah, Eyang!” ajak Kenanga sambil menarik tangan Raja
Obat.
“Yah, marilah! Hitung-hitung istirahat saja. Karena tu buh
tuaku ini terpaksa harus bekerja keras tadi!” u cap Raja Obat, yang
membuat semuanya tersenyum mendengar u capan kakek sakti
itu .
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar