MACAN TUTUL LEMBAH DARU
Oleh T Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 24:
Macan Tutul Lembah Daru
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Hembusan angin pagi silir-silir mengiringi langkah kaki
seorang pemuda bertubuh tinggi tegap. Menilik dari
langkah kakinya yang ringan dan mantap, jelas dia sudah
terbiasa menempuh perjalanan jauh.
Wajah pemuda itu bersih dan tampan. Alis matanya
tebal, membentuk garis melengkung. Matanya bening dan
tajam, menimbulkan perbawa kuat. Tarikan dagunya
kokoh, menandakan jiwanya yang keras.
Tak berapa lama berjalan, tibalah pemuda itu pada
sebuah aliran sungai. Sekali genjot saja, tubuhnya
melayang bagaikan seekor burung besar. Ujung kakinya
menotok batu-batu yang bertonjolan di atas permukaan
air. Hebat sekali caranya menyeberangi sungai. Sebentar
saja, ia telah berada di seberang sungai lebar itu.
Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap itu memang
bukan orang sembarangan. Konon kabarnya, dunia per-
silatan memberikan julukan kepada pemuda itu sebagai
Macan Tutul Lembah Daru. Ia adalah anak yatim piatu
yang dipungut Dewa Lembah Daru. Kedua orang tuanya
tewas di tangan perampok yang pada saat itu tengah
mengganas di desanya.
Setelah diperbolehkan turun gunung pada setahun
lewat, pemuda itu telah mengukir nama besar dalam
dunia persilatan. Nanggala, alias Macan Tutul Lembah
Daru merupakan tokoh golongan putih yang sangat
disegani golongannya, dan ditakuti golongan hitam. Sepak
terjangnya yang menggiriskan, membuat namanya
semakin ditakuti lawan dan disegani kawan.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat bagaikan
sebatang anak panah yang lepas dari busur. Dalam
beberapa saat saja, tubuh pemuda gagah yang mengenakan
pakaian kulit macan tutul itu hanya tinggal bayang-bayang
kabur, untuk kemudian lenyap ditelan kelebatan hutan.
***
Di tengah keheningan pagi yang bening, terdengar
denting senjata yang ditingkahi teriakan-tenakan nyaring.
Sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba putih
tampak berkelebatan dan menyelinap lincah di antara
sambaran pedang lawan. Gerakan gadis itu terlihat
demikian indah, sehingga tak ubahnya seorang dewi yang
tengah menari.
“Haiiit..!”
Kembali gadis berwajah cantik itu mengelak diiringi
teriakan merdunya. Sambaran sebatang pedang lawan
yang meluncur lurus ke arah lambungnya, dapat dielakkan
dengan memiringkan tubuh ke kiri. Bahkan dengan
gerakan tidak kalah cepatnya, gadis cantik itu langsung
mengirimkan serangan balasan.
Wuttt!
Sambaran pedang gadis cantik itu menimbulkan
desingan tajam, dan nyaris melukai iga lawannya.
Untunglah pada saat yang gawat, sebatang pedang lain
datang, dan langsung membentur pedang gadis itu.
Sehingga ujung pedangnya yang semula siap terhunjam,
jadi menyeleweng menusuk angin kosong.
Belum lagi gadis cantik itu sempat menyadari keadaan-
nya, tiba-tiba dari arah belakang meluncur sebatang
pedang lainnya! Tentu saja hatinya menjadi terkejut ketika
mendengar desingan angin tajam yang mengancam
punggungnya. Maka, cepat-cepat tubuhnya diliukkan
dengan menggunakan tenaga pinggang. Kemudian,
tubuhnya dilempar ke samping, bagaikan baling-baling
yang berputar. Sehingga, ia pun selamat dari ancaman
pedang lawan.
Namun, usaha yang dilakukan gadis itu ternyata sia-sia!
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah tendangan lawan
yang keras telah menghantam belakang pinggangnya.
Bugkh!
“Uhhh...!”
Terdengar jeritan tertahan disertai terlemparnya tubuh
gadis cantik itu beberapa tombak ke depan. Dan selagi
tubuhnya terhuyung, lawan yang lain datang menyerbu
dengan totokan-totokan saling susul. Dari sambaran angin
totokan itu, jelas kalau kekuatan yang terkandung di
dalamnya sangat kuat. Dapat dipastikan, tubuh gadis
cantik itu akan roboh tak berkutik akibat totokan lawan.
Siuttt! Siuttt!
Jari-jari tangan laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu
meluncur deras, mengancam titik-titik jalan darah di
tubuh gadis cantik ini. Dan jelas, dia tidak mungkin lagi
menghindarinya.
Pada saat yang gawat, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi
tegap melayang memasuki arena pertarungan. Begitu tiba,
langsung telapak tangan kanannya didorongkan ke arah
laki-laki tinggi kurus yang tengah melancarkan serangan.
Dan...
Plakkk!
“Uhhh...!”
Dorongan telapak tangan sosok tubuh tinggi tegap itu
ternyata mengandung kekuatan hebat. Sehingga, totokan
jari-jari tangan yang terhantam angin pukulannya,
langsung menyeleweng dari sasaran. Bukan itu saja.
Bahkan tubuh laki-laki tinggi kurus itu pun berputar akibat
tangkisan bertenaga dalam tinggi dari sosok tubuh itu.
“Bangsat! Manusia bosan hidup dari mana yang berani
mencampuri urusan Empat Setan Muara Bangkai!” umpat
laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah geram. Sepasang
matanya berkilat marah, menatap sosok tubuh tinggi tegap
yang berdiri gagah melindungi gadis cantik itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” bisik tiga orang yang
berdiri agak jauh dari tempat laki-laki tinggi kurus itu.
Wajah mereka jelas menyiratkan kegentaran ketika
mengetahui, siapa sosok tubuh yang telah menyelamatkan
lawan mereka.
Laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu pun tersentak
kaget ketika mengenali sosok tubuh yang telah memapak
serangannya. Meskipun belum pernah berjumpa dengan
pendetar muda yang terkenal itu, namun melihat dari
pakaiannya yang terbuat dari kulit macan tutul, jelas kalau
orang yang menolong lawannya memang Macan Tutul
Lembah Daru. Tapi, justru kenyataan itu malah membuat-
nya semakin marah.
“Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Macan Tutul
Lembah Daru? Bagus sekali sikapmu! Gadis itu sengaja kau
selamatkan karena tertarik melihat kecantikannya, bukan?
Dan kau sok jadi pahlawan agar mendapat pujian dari
mulut yang indah itu!” ejek laki-laki tinggi kurus itu. Jelas
ejekan yang menyakitkan itu sengaja dilontarkan, untuk
memancing amarah Macan Tutul Lembah Daru.
Tapi sayang, ejekan itu sama sekali tidak membuat
Nanggala marah. Malah, wajah pemuda berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu mengembangkan senyuman
sabar. Sikapnya pun terlihat tenang. Tampaknya dia cukup
berpengalaman dalam menghadapi keadaan ini.
“Hm.... Kau pasti yang bernama Kalpika, orang tertua
dari Empat Setan Muara Bangkai yang terkenal gagah itu,”
tebak Nanggala, sengaja menekankan kata-kata 'gagah'
untuk memancing sikap ksatria laki-laki tinggi kurus itu.
Hal itu dilakukan Nanggala, untuk menghindari per-
tempuran. Bukan karena Nanggala gentar, tapi menurut-
nya akan lebih baik apabila pertumpahan darah dapat
dihindari. Hal itu memang sudah menjadi dasar
pemikirannya.
“Maaf kalau aku telah lancang mencampuri urusan
kalian. Tapi, rasanya tidak adil apabila seorang gadis muda
seperti Nisanak ini dikeroyok kalian berempat. Dan
karena melihat ketidakadilan inilah, maka urusan kalian
terpaksa kucampuri,” lanjut Nanggala.
Macan Tutul Lembah Daru berhenti sebentar untuk
melihat hasil pujiannya. Senyum pemuda gagah itu
semakin mengembang ketika melihat wajah keempat
tokoh sesat itu berseri setelah mendengar pujiannya. Dan
itu merupakan pertanda baik, setidak-tidaknya menurut
Nanggala.
“Hm.... Tahukah kau, apa sebabnya kami ingin
menawan wanita setan itu? Ketahuilah, Macan Tutul
Lembah Daru. Wanita cantik itu telah membunuh sepuluh
orang anak buah kami. Jadi, apakah salah bila kami
melakukan pembalasan dan ingin menawannya hidup-
hidup? Cobalah katakan, kalau memang ada jalan lain
untuk menyelesaikan persoalan ini,” jelas Kalpika.
Suaranya mulai terdengar wajar, dan seperti mencoba
bersikap bijaksana.
Jelas sikapnya telah termakan pujian Nanggala. Bahkan
cara berdiri dan menatap pemuda itu pun, terlihat agak
dibuat-buat. Seolah-olah, ia memang ingin menunjukkan
kalau dirinya seorang yang bijaksana dan memiliki
kegagahan.
Tiba-tiba saja, gadis cantik berpakaian serba putih itu
melangkah maju.
“Huh! Enak saja menyalahkan orang, Muka Tikus!
Kalau bukan karena anak buahmu yang memulai, tentu
aku pun tidak sudi melayani tikus-tikus busuk seperti anak
buahmu. Dan jangan dikira aku takut menghadapi pem-
balasan darimu! Majulah kalian! Biar semua dapat kukirim
ke neraka untuk menemani cecunguk-cecunguk
peliharaanmu itu!”
Mendengar kata-kata itu, kontan wajah keempat tokoh
sesat itu kembali menjadi gelap.
Bukan hanya Empat Setan Muara Bangkai yang merasa
terkejut dengan ucapan gadis itu. Bahkan, Nanggala pun
sempat dibuat kaget oleh keberanian gadis cantik yang
ternyata sangat galak. Karena sudah terlambat mencegah,
maka Nanggala hanya bisa menatap gadis itu penuh
kecemasan. Sebab, usaha perdamaian yang baru saja
dimulainya, langsung hancur akibat ulah gadis cantik itu.
Sehingga, Macan Tutul Lembah Daru hanya bisa menarik
napas sambil bersiap melindungi gadis itu dari bahaya.
“Perempuan setan! Apa pun alasan yang kau ajukan,
bagi kami tetap saja perbuatanmu salah! Kalau memang
anak buah kami bersalah, tidak perlu kau turun tangan
membunuhnya. Sebab, kami berempat masih bisa
mengajarkan kepada mereka agar bersikap gagah!” sentak
Kalpika.
Jelas ucapan itu mengandung kegeraman yang berusaha
ditahannya. Itu dikarenakan, ia masih terbuai ucapan
Nanggala yang memujinya sebagai orang gagah. Memang,
hanya baru dari mulut pemuda itulah ia mendapat pujian
demikian. Maka, wajar saja kalau Kalpika mencoba
menahan kemarahannya. Meskipun untuk itu, ia harus
menahan rasa sesak dalam rongga dadanya.
“Hi hi hi...! Kau tidak usah berpura-pura sebagai orang
baik, Empat Setan Kudisan! Dari ucapanmu saja, sudah
jelas. Kau tidak mempedulikan perbuatan anak buahmu
itu. Tapi karena pemuda ini sudah memujamu sebagai
orang gagah, maka kau pun mencoba pura-pura bersikap
gagah. Hi hi hi...! Lucu sekali! Sekumpulan anjing buduk
yang biasa mengais sampah, mencoba berkedok harimau
hanya karena sebuah pujian kosong!” kembali gadis cantik
itu mengeluarkan hinaan yang sangat menyakitkan hati.
“Nisanak, janganlah kau....”
“Jangan ikut campur!” bentak gadis cantik itu ketus,
memotong ucapan Nanggala. “Hm.... Apakah kau pikir
setelah menyelamatkan diriku, lalu bisa mengatur seenak
nya? Huh! Kau ternyata sama saja dengan mereka!
Berpura-pura menolong, padahal mempunyai pamrih di
belakangnya. Rupanya, tuduhan si muka tikus itu benar.
Kau menolong karena ingin mendapat pujian dariku,
bukan? Nah! Kalau begitu, terimalah ucapan terima
kasihku! Dan kau boleh pergi! Biar urusanku dengan
mereka kuselesaikan sendiri!”
Tajam dan menghina sekali kata-kata yang diucapkan
gadis cantik itu. Sehingga, Nanggala yang biasanya selalu
tenang dan tabah dalam menghadapi kematian sekalipun,
kali ini tidak bisa berkata-kata. Pemuda itu hanya berdiri
bagaikan orang kehilangan akal. Sebab, memang baru
pertama kali inilah ia menolong orang dengan balasan
hinaan yang sangat menyakitkan.
Setelah melontarkan kata-kata yang menyakitkan
kepada Nanggala, gadis cantik itu kembali melangkah
maju. Pedang yang terhunus di tangan kanannya
berkelebat membentuk kilatan menyilang.
“Majulah kalian, Empat Setan Kudisan! Hari ini, Untari
akan mengirim kalian ke neraka!” bentak gadis cantik yang
mengaku bernama Untari, tanpa rasa gentar sedikit pun.
Pedang di tangannya menyilang di depan dada, untuk
kemudian ditudingkan lurus-lurus ke arah empat orang
lawannya.
Keberanian gadis cantik itu sebenarnya membuat hati
Nanggala merasa kagum. Tapi sayang, sifat galak dan
ketusnya tidak kalah dengan keberanian hatinya. Sehingga,
diam-diam pemuda gagah yang berjuluk Macan Tutul
Lembah Daru itu menyesali sifat jelek dalam diri Untari.
Helaan napas yang mewakili kekecewaan hatinya, ter
dengar berat meluncur melalui hidung.
Pertempuran yang sepertinya tidak mungkin bisa
dihindari lagi, tentu saja membuat hati Nanggala menjadi
cemas. Diam-diam pemuda perkasa itu bersiap
melindungi keselamatan Untari. Sebab biar bagaimana
pun, hatinya lebih condong membela gadis cantik itu.
“Haiiit..!”
Saat itu, Untari sudah mulai membuka serangan
disertai teriakan nyaringnya. Tubuh ramping gadis itu pun
melesat cepat menerjang keempat lawannya.
Wuttt! Wuttt!
Sekali menyerang, Untari langsung melepaskan dua
sabetan pedangnya mengincar Kalpika dan Suraji, dua
orang dari Empat Setan Muara Bangkai. Sambaran pedang
gadis cantik itu demikian cepat dan kuat. Jelas, niatnya
adalah menghabisi nyawa lawan-lawannya.
Baik Kalpika maupun Suraji, tentu saja tidak sudi
tubuhnya dijadikan sasaran empuk senjata Untari. Maka
ketika senjata lawan meluncur datang, kedua orang tokoh
sesat itu cepat melompat ke samping dan berpencaran.
Gerakan mengelak itu masih pula dibarengi sabetan
pedang masing-masing yang langsung mengincar tubuh
Untari.
Cepat Untari melempar tubuhnya ke belakang, begitu
melihat sambaran kedua pedang lawannya. Pedangnya
diputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi
kepala. Hal itu dilakukan untuk menjaga-jaga bila
serangan lawan tiba selagi ia melompat ke belakang.
Melihat dari caranya bertempur, jelas kalau gadis cantik
dan galak itu memiliki kecerdikan yang patut dipuji.
Nanggala sendiri mengangguk-anggukkan kepala
melihat cara bertempur Untari. Meskipun demikian,
pemuda itu tetap tidak menghilangkan kewaspadaannya.
Kepandaiannya siap digunakan untuk menolong gadis
cantik itu, apabila diperlukan.
Apa yang diperhitungkan Untari, ternyata tidak
meleset. Saat gadis cantik itu melompat mundur, Kalpika
dan Suraji membarenginya dengan sebuah lompatan
panjang. Senjata mereka berputar sedemikian rupa, dan
langsung bergerak menusuk dengan kecepatan tinggi.
Pedang di tangan Kalpika bergetar bagai terbelah
menjadi beberapa bagian. Dan setiap ujung pedang itu
memancarkan hawa maut yang menggetarkan jantung.
Kemudian secara tak terduga, senjata laki-laki tinggi kurus
itu meluncur cepat mengancam belahan dada tubuh
Untari. Rupanya rasa marah membuat tokoh sesat itu
merubah niatnya, dan hendak menghabisi nyawa gadis itu
pula.
Sementara itu, Suraji melompat bergulingan dan
melancarkan serangan dari bawah. Bahaya yang
ditimbulkan tokoh bertubuh gemuk itu pun tidak kalah
dengan Kalpika. Bahkan patut diakui serangan Surajilah
yang lebih berbahaya. Karena, bagian bawah tubuh gadis
itu sama sekali tidak terlindungi. Tentu saja kedua
serangan itu membuat nyawa Untari terancam kematian.
Wuttt! Bettt!
Trang! Trang!
Tusukan senjata Kalpika dan Suraji terpental balik,
ketika sebuah benda bulat berwarna hitam menyambar
cepat menyambut serangan mereka.
“Ahhh...!”
Tubuh kedua orang tokoh sesat itu bergetar hebat
akibat tenaga sambitan yang amat kuat. Jemari tangan
mereka yang menggenggam senjata, terasa nyeri dan linu.
Tentu saja hal itu membuat mereka tersentak kaget, dan
langsung menolehkan kepala ke arah Macan Tutul Lembah
Daru.
Nanggala atau lebih dikenal sebagai Macan Tutul
Lembah Daru, menentang pandangan mata kedua tokoh
sesat itu lekat-lekat. Jelas kalau pemuda perkasa itu
memang sengaja hendak mencampuri urusan mereka.
***
DUA
“Maaf, aku terpaksa...,” ucap Nanggala yang segera
melompat maju, menghadang di tengah arena.
Dari cara dan sikapnya, jelas kalau Macan Tutul
Lembah Daru telah mengambil keputusan untuk membela
Untari. Karena, hatinya tidak tega melihat keselamatan
gadis itu terancam di depan matanya.
“Hm.... Sudah dua kali kau menyelamatkan gadis setan
itu, Macan Tutul Lembah Daru! Sekarang kami tidak
segan-segan lagi memberi pelajaran kepadamu! Bersiap-
lah...!” bentak Kalpika geram. Seketika sifat aslinya
muncul setelah melihat sikap Nanggala. Wajahnya
berubah bengis, menyiratkan nafsu membunuh!
Nanggala yang menyadari keadaannya, tidak lagi mem-
pedulikan ancaman Kalpika. Ditariknya kaki kanan ke
belakang, sejauh tiga jengkal. Dengan kuda-kuda rendah,
kedua tangannya membentuk setengah mengepal di kedua
sisi kepalanya. Rupanya, Nanggala sudah menyiapkan
jurus 'Macan Tutul' untuk menghadapi keroyokan Empat
Setan Muara Bangkai.
“Hm...,” Kalpika menggeram gusar. Sepasang tangan-
nya mengibas ke kiri-kanan, sebagai perintah kepada
ketiga orang saudaranya untuk menyebar mengurung
pemuda gagah itu.
Tanpa diperintah dua kali, Suraji dan kedua saudaranya
bergerak mengurung Nanggala. Mereka masing-masing
berdiri dalam sikap membentuk empat arah mata angin.
Sekali pandang saja, Nanggala sadar kalau keempat
lawannya hendak mengeroyok menggunakan jurus
paduan. Sepasang mata pemuda gagah itu bergantian
melirik ke arah keempat lawan. Sikapnya tetap tenang,
dan penuh kewaspadaan.
“Heaaattt..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Kalpika mulai
membuka serangan. Tubuhnya melesat cepat disertai
sambaran pedang yang menimbulkan deru angin tajam!
Apa yang dilakukan Kalpika rupanya hanya sebuah
tipuan! Lelaki tinggi kurus itu ternyata hanya melakukan
loncatan panjang beberapa jengkal di atas kepala lawan.
Dan pada saat yang hampir bersamaan, Suraji sudah
melesat dari arah yang berbeda. Dan rupanya, gerakan itu
juga merupakan sebuah tipuan! Seperti halnya tipuan yang
dilakukan Kalpika, tubuh Suraji melompat tinggi
melampaui kepala Nanggala.
Sekejap setelah tubuh Kalpika dan Suraji melakukan
gerakan tipuan, dua orang Empat Setan Muara Bangkai
yang terakhir mengiringi tidak kalah gesitnya. Mereka
langsung menyabetkan senjata ke arah Nanggala hampir
bersamaan! Seorang menyerang dari bawah, sedang yang
lainnya dari atas.
Wuttt! Syuuut!
Dua buah serangan yang dilancarkan dalam waktu
hampir bersamaan itu memang berbahaya sekali. Apalagi
pada saat itu perhatian Nanggala masih terpengaruh gerak
tipu yang dilakukan Kalpika dan Suraji. Dan akibatnya,
pemuda itu belum dapat menebak, apakah serangan itu
juga merupakan gerak tipu, atau sungguhan.
Dan memang, justru di situlah letak keistimewaan
barisan 'Empat Arah Mata Angin'. Tidak heran, barisan
yang dimiliki Empat Setan Muara Bangkai sangat ditakuti
kaum rimba persilatan. Karena, gerak barisan
penyerangan dalam barisan itu benar-benar di luar
dugaan.
Dan itu dialami Nanggala. Meskipun banyak memiliki
pengalaman bertarung, tapi dalam menghadapi barisan
'Empat Arah Mata Angin' itu, sempat kelabakan juga.
Sehingga, pada saat kedua orang Empat Setan Muara
Bangkai terakhir melancarkan serangan, pemuda itu hanya
menghindar dengan melompat ke samping. Untunglah
gerakan pemuda itu masih sedikit lebih cepat daripada
kedua orang lawannya. Kalau tidak, tentu tubuhnya sudah
menjadi sasaran senjata lawan. Untuk gebrakan pertama,
rupanya Nanggala masih beruntung.
Begitu telah melempar tubuh ke samping, Nanggala
terus menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan menjauh.
Sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, pemuda
itu ternyata mampu melompat seperti seekor macan
tutul. Dengan sebuah lentingan tinggi yang indah,
sepasang kakinya telah kembali berpijak di permukaan
tanah.
“Yeaaat..!”
Namun, serangan yang dilakukan keempat orang
lawannya itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Baru
saja kedua kaki Nanggala menginjak tanah, serangan
gelompang kedua kembali membuatnya terperanjat.
Tapi, kali ini Nanggala tidak tinggal diam dalam
menghadapi barisan yang penuh gerak tipu. Maka, ketika
salah seorang musuhnya meluruk, dia segera melesat dan
langsung berjumpalitan mengikuti gerak penyerang
pertama. Akibatnya, ketiga orang lainnya sempat kaget
melihat apa yang dilakukan Macan Tutul Lembah Daru.
Nanggala yang berjumpalitan membarengi gerakan
lawan, langsung mengirimkan pukulan 'Macan Tutul' nya
ke arah iga orang itu. Gerakannya yang cepat dan tak
terduga, tentu saja membuat lawan terkejut. Walaupun
sudah berkelit, tapi kalah cepat dengan gerakan pemuda
gagah itu. Maka....
Duggg!
“Hugkh...!”
Orang itu mengeluh pendek ketika pukulan 'Macan
Tutul' yang dilancarkan Nanggala telak menghajar
lambungnya. Akibatnya, tubuh orang itu terbanting jatuh
menimbulkan suara berdebuk keras.
Jatuhnya salah seorang saudara mereka, ternyata tidak
mengurangi daya tempur Empat Setan Muara Bangkai.
Pada saat yang sempit itu, Kalpika dan kedua orang
lainnya melesat disertai sambaran pedang yang berkelebat
susul-menyusul.
Wuttt! Wuttt!
Tiga batang pedang yang mengincar leher, dada, dan
perut Nanggala, dapat dielakkan dengan melempar tubuh
ke samping kanan. Dan, itu pun masih dibarengi sebuah
tendangan samping yang mengincar lambung Kalpika.
Karena, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai
itulah yang berada di sebelah kanan pemuda itu.
Tapi, kejelian mata Kalpika ternyata cukup cepat.
Melihat tendangan yang begitu cepat ke arahnya,
tubuhnya segera ditarik ke belakang dengan jalan
menekuk lutut kanan yang memang berada di belakang.
Sambil berbuat demikian, Kalpika memutar pedang dan
langsung melancarkan babatan mendatar. Maksudnya,
hendak membabat putus kaki Nanggala.
Bettt!
Bacokan pedang itu tidak membuat Nanggala gugup.
Dengan gerakan sigap, lututnya menekuk dan kembali
menghantam dada Kalpika.
Buggg!
“Hegkh...!”
Tak ayal lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung
terjengkang ke belakang. Hantaman lawan yang telak
menghajar dadanya, membuat Kalpika terbatuk dan
memuntahkan darah segar. Dan sebelum sempat berdiri
tegak, Nanggala kembali melancarkan sebuah tendangan
mengarah ke kepala lawannya.
Kalpika yang memang keadaannya masih lemah itu
tidak dapat lagi mengelak. Lelaki tinggi kurus itu
memejamkan mata, menanti datangnya maut.
Rupanya Kalpika itu masih bernasib baik. Pada saat
tendangan Nanggala hampir tiba, seberkas sinar putih
yang berasal dari sambaran pedang Suraji, datang
menyelamatkannya. Pedang itu meluncur cepat,
mengancam lutut Macan Tutul Lembah Daru.
Tentu saja Nanggala tidak sudi mengorbankan sebelah
kakinya. Cepat tendangan yang hampir menewaskan
Kalpika ditariknya. Dan ketika pedang di tangan Suraji
berputar menyambar perutnya, pemuda itu mengegos ke
kiri. Langsung dikirimnya serangan balasan dengan
pukulan 'Macan Tutul'nya.
Hebat bukan main pukulan balasan yang dilakukan
pemuda itu. Sehingga Suraji sempat tergagap dibuatnya!
Dan...
Tukkk!
“Aaakh...!”
Tubuh Suraji kontan terjajar limbung akibat sodokan
jari-jari setengah mengepal yang telak menghajar iganya.
Selagi tubuh Suraji hampir jatuh menimpa Kalpika,
Nanggala telah mengirimkan dua buah pukulan yang
menghajar rusuk dan dadanya.
Tukkk! Tukkk!
Suraji meraung keras. Tubuhnya yang gemuk itu
terlempar beberapa batang tombak ke belakang. Darah
segar seketika menyembur membasahi tanah berumput
yang segera berubah menjadi merah! Dua buah hantaman
telak yang bertenaga penuh, membuat Suraji tak mampu
bangkit untuk selamanya. Lelaki gemuk itu tewas
seketika.
Gerakan yang dilakukan Nanggala ternyata masih
berkelanjutan. Saat itu, dua orang lawan yang tengah
meluncur datang, langsung disambut serangkaian pukulan
'Macan Tutul' disertai pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya.
“Yeaaat..!”
Bugk! Bugk! Tukkk!
“Aaakh...!” “Hugkh...!”
Pukulan-pukulan Macan Tutul Lembah Daru secara
telak menghajar kedua orang pengeroyoknya. Untunglah
pada saat pukulan itu hampir tiba, Nanggala sempat
mengurangi kekuatannya. Hal itu dilakukan ketika
teringat kalau di antara dirinya dan mereka tidak
mempunyai permusuhan pribadi. Sehingga, Nanggala
tidak mempunyai alasan kuat untuk membunuh kedua
orang itu. Cukuplah orang yang bernama Suraji saja yang
menjadi korbannya.
Tubuh dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai itu
langsung ambruk, disertai semburan darah segar. Setelah
berkelojotan sesaat, kedua orang itu pun diam tak
bergerak lagi. Pingsan!
Kalpika yang telah mengalami luka dalam cukup parah,
berdiri dengan tubuh gemetar. Berbagai perasaan ber-
campur aduk di dalam dadanya. Rasa marah, penasaran,
dan dendam, membuat lelaki tinggi kurus itu tidak dapat
berkata-kata. Hanya sepasang matanya saja yang menatap
Nanggala penuh dendam.
“Pergilah, Kalpika. Dan kuharap, kau suka melupakan
kejadian hari ini. Bawalah kedua orang saudaramu yang
hanya kubuat pingsan itu. Juga, Suraji yang terpaksa harus
tewas di tanganku. Maaf kalau perbuatanku telah
membuat kau kehilangan seorang dari saudaramu,” ucap
Macan Tutul Lembah Daru, tenang. Melihat dari
sikapnya, jelas kalau Nanggala siap menanggung segala
akibat atas perbuatannya.
Tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Kalpika
sebagai jawaban. Setelah melepaskan tatapan penuh
dendam, lelaki tinggi kurus itu menyadarkan kedua orang
saudaranya. Dengan membawa mayat Suraji, mereka pun
kini meninggalkan tempat itu.
***
Plok! Plok! Plok...!
Terdengar tepukan tangan Untari menyambut
kemenangan Macan Tutul Lembah Daru. Gadis cantik itu
melangkahkan kakinya, menghampiri Nanggala. Wajahnya
yang cantik manis, jelas-jelas mengulaskan senyum
mengejek.
“Hebat.., hebat..! Nama Macan Tutul Lembah Daru
memang bukan nama kosong belaka,” terdengar suara
pujian dari bibir merah menantang itu. Tapi sayang
nadanya terdengar begitu menyakitkan bagi telinga
Nanggala. “Apakah yang harus kulakukan untuk membalas
budi baikmu ini, Tuan Pendekar?”
Nanggala menggeleng-gelengkan kepala sambil meng-
hela napas berulang-ulang. Ia benar-benar merasa kecewa
melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Entah
apa yang menyebabkan Untari demikian sinis kepadanya.
Padahal, seingatnya mereka baru pertama kali berjumpa.
Tentu saja ia tidak habis mengerti dibuatnya.
“Mengapa kau termenung, Tuan Pendekar? Ah! Kalau
begitu, biarlah aku menyembah kepadamu sebanyak tiga
kali. Kurasa, itu sudah cukup pantas sebagai imbalan atas
pertolonganmu kepadaku.” Suara yang menyakitkan itu
kembali terdengar memasuki liang telinga Nanggala.
Kemudian, Untari menjatuhkan lututnya dan siap
melaksanakan ucapannya.
“Ah...! Nisanak, janganlah bersikap begitu. Aku sama
sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa darimu,” ujar
Nanggala tersentak kaget. Cepat-cepat disambarnya kedua
bahu Untari, lalu diajaknya bangkit berdiri.
Namun, apa yang dilakukan Nanggala kembali salah!
Untari memberontak melepaskan pegangan pemuda gagah
itu pada bahunya. Jelas sekali, gadis itu tidak suka dengan
apa yang dilakukannya.
“Huh! Apakah kau pikir setelah menolongku, lalu bisa
bebas melakukan apa saja terhadap diriku? Pemuda tak
tahu sopan!” maki Untari sambil mengebut-ngebutkan
jemari tangannya pada bagian bahunya. Seolah-olah,
semua bekas pegangan tangan pemuda itu ingin
dihapusnya.
“Nisanak! Kau jangan sembarangan menuduh orang!
Aku bukan orang yang berwatak rendah! Lagi pula, apa
yang telah kulakukan kepadamu?” sergah Nanggala.
Tentu saja Macan Tutul Lembah Daru menjadi terkejut
setengah mati melihat perubahan sikap gadis itu yang sama
sekali tidak diduganya. Selebar wajah pemuda itu merah
dan pucat berganti-ganti. Kalau saja tidak mengingat
orang yang memakinya itu wanita, mungkin sudah
dihajarnya habis-habisan.
“Hei? Akan mungkir kau, ya? Lalu, apa maksudmu
memegang-megang tubuhku?” balas Untari sambil
bertolak pinggang.
Wajah gadis cantik itu pun telah dijalari warna merah.
Sepertinya, ia benar-benar marah atas perbuatan Nanggala
tadi. Padahal, jelas-jelas Nanggala semata-mata hanya
mencegah Untari yang hendak menyembah pemuda
penolongnya. Benar-benar aneh dan membingungkan sifat
yang dimiliki gadis cantik itu.
“Ahhh...!” terkejut bukan main Nanggala mendengar
tuduhan yang dilontarkan gadis itu.
Merasa tidak ada gunanya mendebat Untari, Nanggala
pun diam tak menanggapinya. Setelah menundukkan
wajahnya sejenak, kepalanya diangkat dan ditatapnya gadis
itu dengan sinar mata dingin.
“Nisanak! Kalau perbuatanku kau anggap suatu
kesalahan atau kekurangajaran, biarlah aku minta maaf
padamu,” ucap Nanggala dengan suara rendah dan berat.
Jelas, suara pemuda itu menggambarkan perasaan hatinya
yang kecewa.
Untari pun sempat dibuat terkejut atas perubahan sikap
pemuda gagah itu. Sinar kekecewaan yang terpancar dari
sepatang mata Nanggala, sempat pula membuat wajah
gadis itu berubah. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
hatinya menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Tapi, suasana yang hening dan kaku itu tidak ber-
langsung lama. Untari yang sudah dapat menguasai
perasaannya, segera mengangkat kepala memandang
Nanggala.
“Sudahlah, aku akan pergi. Terima kasih atas
pertolonganmu,” ucap gadis galak itu berpamit
Anehnya, setelah mengucapkan kata-kata itu Untari
melemparkan senyumnya yang termanis kepada Nanggala.
Dan tanpa menoleh lagi, tubuh ramping itu pun melesat
meninggalkan tempat itu.
***
Nanggala berdiri kaku menatap kepergian gadis cantik
yang galak dan pandai bicara itu. Pandangannya masih saja
tidak beralih, meskipun bayangan Untari telah lenyap di
batik pepohonan di kejauhan.
“Hhh...,” terdengar helaan napas berat meluncur dari
mulut pemuda itu.
Aneh, Nanggala merasa hatinya kosong sekali. Seolah-
olah semangat hidupnya terbang bersama hilangnya
bayangan Untari. Hatinya terasa begitu nelangsa dan
sunyi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bagaikan tak
bertenaga. Tidak ada gairah sedikit pun yang tersisa dalam
dirinya. Nanggala jadi kian tak mengerti, ketika merasa-
kan tidak ada lagi niat dalam hatinya melanjutkan
perjalanan.
“Gila! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku!”
umpat Nanggala kesal.
Ingin rasanya pemuda itu mengamuk dan merusakkan
apa saja yang ada di hadapannya. Semua yang dipandang-
nya terlihat buruk dan tidak sedap. Sungguh, dia jadi
bingung dengan apa yang tiba-tiba dirasakannya.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nanggala
langsung menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas
rerumputan. Yang saat itu diinginkannya hanyalah
termenung, termenung, dan terus termenung.
Alam pikirannya dibiarkan kembali berputar ke
belakang. Nanggala teringat kembali pada perjumpaan
pertamanya dengan Untari. Betapa gadis itu marah-marah
setelah ditolong. Ucapan-ucapan yang ketika itu sangat
menyakitkan, kini terngiang dan terasa indah di telinga.
Hal itu tentu saja membuatnya semakin keheranan. Sebab,
selama ini hal yang aneh belum pernah terasakan dalam
dirinya. Sehingga, ia tidak tahu apa yang menjadi
penyebabnya.
“Hhh..., mungkin aku telah gila...? Mengapa perasaan
aneh yang menyiksa ini tiba-tiba datang? Mungkinkah ini
yang dinamakan perasaan cinta...?” gumam Nanggala terus
termenung bagai patung.
Nanggala si Macan Tutul Lembah Daru yang sangat
terkenal dan ditakuti, mendadak seperti orang tolol.
Pikirannya kembali menerawang kepada peristiwa yang
baru saja dialaminya. Dan pemuda gagah itu semakin
keheranan ketika ingatan-ingatan tentang Untari,
mendatangkan suatu perasaan aneh yang nikmat di
hatinya. Sehingga, tanpa disadarinya bibir pemuda itu
membentuk senyuman.
“Hi hi hi..!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nadanya tertahan-
tahan. Nanggala yang segera saja mengetahui pemilik
suara tawa merdu itu, berubah pucat parasnya. Rasa
jengkel dan malu karena segala tingkah laku dan
perbuatannya dipergoki Untari, membuatnya langsung
bergerak bangkit dan berlari cepat meninggalkan tempat
itu. Ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya, dan tidak
berjumpa lagi dengan gadis cantik itu lagi.
Gerakan Nanggala yang berlari bagaikan orang
kesetanan itu membuat tawa Untari semakin keras. Gadis
cantik itu keluar dari persembunyiannya, setelah bayangan
Nanggala tinggal bayang-bayang samar yang kian
mengecil.
Rupanya, Untari tidak benar-benar meninggalkan
tempat itu tadi. Sebagai seorang gadis yang telah cukup
dewasa dan memiliki banyak pengalaman, dapat diduga
apa yang terkandung di dalam hati pemuda penolongnya.
Karena ingin mengetahuinya secara jelas, maka gadis
cantik yang cerdik itu memutar arah larinya setelah
merasa yakin Nanggala sudah tidak melihatnya.
Dan, apa yang diduga gadis cantik itu ternyata tidak
meleset! Semua tingkah laku pemuda itu dapat jelas
dilihatnya dari tempat persembunyian. Hingga akhirnya,
Untari tidak dapat menahan tawa ketika melihat Nanggala
tersenyum sendiri seperti orang gila.
“Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kau dapat
menahan perasaanmu itu...,” gumam Untari seraya
tersenyum penuh kepuasan.
Setelah berkata demikian dalam hati, Untari pun
melangkah meninggalkan tempat itu.
***
TIGA
Siang ini matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya
memancar terik, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh
memasuki daerah perbukitan tandus. Hembusan angin
kencang, membuat ram but dan pakaian mereka ber-
kibaran keras. Debu-debu yang beterbangan, membuat
kepala keduanya merunduk melindungi mata.
Mereka terus melangkah tanpa mempedulikan debu-
debu yang mengotori wajah dan pakaian. Terkadang
tubuh mereka berbalik ketika hembusan angin keras yang
membawa gumpalan-gumpalan debu tebal datang me-
nerpa.
“Uhhh...!” sosok tubuh ramping berpakaian hijau
mengeluh kesal. Dibersihkannya debu-debu yang me-
nempel di pakaian dan rambutnya. Wajahnya yang cantik
jelita itu tampak kecoklatan tertutup debu.
“Mengapa kita tidak mengambil jalan melewati hutan
saja, Kakang? Bukankah akan lebih enak dan segar?” tanya
gadis jelita itu, bernada agak kesal.
“Sabarlah, Kenanga. Tidak lama lagi, kita akan segera
sampai di mulut hutan depan itu,” sahut pemuda tampan
yang mengenakan jubah berwarna putih.
Senyum pemuda itu mengembang melihat gadis teman
seperjalanannya sibuk membersihkan debu yang
menempel di pakaian dan rambutnya. Perlahan tangan
pemuda yang tak lain Panji itu terulur membersihkan
debu di belakang pakaian gadis yang dipanggil Kenanga.
Mendengar jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga
mengangkat wajahnya. Diikutinya arah jari telunjuk Panji
yang menuding ke depan. Samar-samar terlihat
pepohonan lebat beberapa puluh tombak di depannya.
“Ayo kita persingkat waktu, Kakang...,” ajak Kenanga.
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu langsung
berkelebat menuju mulut hutan.
Kembali Panji tersenyum. Dibiarkannya gadis jelita
bertubuh ramping itu melesat meninggalkannya. Setelah
kira-kira sepuluh tombak Kenanga berlari, tiba-tiba tubuh
pemuda berjubah putih itu melesat bagaikan anak panah
yang terlepas dari busur.
Hebat sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar
Naga Putih. Sehingga, kedua kakinya bagaikan tidak
menyentuh tanah. Tak lama kemudian, ia pun telah dapat
melewati gadis di depannya dan bahkan lebih dulu tiba di
mulut Hutan Branjangan.
“Wah! Ilmu lari cepatmu sudah semakin hebat saja,
Kakang,” puji Kenanga begitu tiba di mulut Hutan
Branjangan. Segera saja langkahnya terayun mendekati
Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di bawah
sebatang pohon.
“Kau pun sudah banyak memperoleh kemajuan. Tadi
saja, aku hampir tidak sanggup mengejarmu,” sahut Panji
seraya tersenyum. Menilik dari nada bicaranya, jelas kalau
dia tidak memiliki sifat sombong.
“Nyatanya, kau bisa melewatiku,” sergah Kenanga
cepat sambil memandang wajah tampan yang tengah
tersenyum kepadanya.
“Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Mudah
mudahan saja ada pedesaan di sekitar daerah ini. Bosan
juga rasanya setiap hari bermalam di dalam hutan,” ujar
Panji, seraya bergerak bangkit dan mengulurkan
tangannya untuk membantu Kenanga.
Beberapa saat kemudian, kedua orang pendekar itu
mulai bergerak memasuki wilayah Hutan Branjangan yang
terlihat cukup lebat. Mereka melangkah menyelusuri jalan
yang sepertinya memang sengaja dibuat orang. Jelas,
hutan itu seringkali didatangi atau dilewati manusia.
Buktinya, jalan yang ditelusuri cukup lebar, dan dapat
dilewati sebuah kereta kuda.
Setelah agak lama berjalan, tiba-tiba Pendekar Naga
Putih menelengkan kepala, seolah-olah ingin memperjelas
indra pendengarannya. Kening Panji terlihat agak ber-
kerut ketika mendengar suara seperti orang bertempur.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga.
Kenanga yang sudah hafal akan kebiasaan kekasihnya,
segera mendekat. Kemudian, ia pun mencoba meniru
kelakuan Panji. Tapi, kepalanya kembali ditegakkan
karena telinganya sama sekali tidak mendengar apa-apa.
“Aku seperti mendengar orang bertempur,” sahut
Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih menegakkan
kepalanya dan memandang berkeliling. Seolah-olah
pemuda itu ingin memastikan asal suara pertempuran
yang tertangkap indra pendengarannya.
“Tapi, aku tidak mendengar apa-apa...,” bantah
Kenanga.
Gadis itu memang belum dapat menangkap suara
seperti halnya Panji. Sebab, tingkat kepandaiannya
memang masih beberapa tingkat di bawah kekasihnya.
Sehingga, ia hanya dapat memandang pemuda itu penuh
rasa ingin tahu.
“Aku pun hanya mendengarnya sesekali. Sepertinya,
suara itu cukup jauh. Mungkin sekitar beberapa ratus
tombak di sekitar kita. Ayo, kita ke depan untuk
memastikannya,” ajak Panji, segera berlari tanpa
menunggu persetujuan Kenanga.
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga pun bergegas
mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Indra
pendengarannya terus dipertajam untuk menangkap suara
pertempuran yang dimaksud Panji tadi.
“Ke sebelah Barat..!”
Belum lagi Kenanga sempat mendengar suara per-
tempuran itu, tiba-tiba Panji berseru. Gadis jelita itu
melihat tubuh kekasihnya berkelebat cepat menuju ke
arah Barat Hutan Branjangan. Maka, ia pun bergegas
mengikutinya.
***
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan ilmu lari
cepat sepenuhnya. Tapi ternyata masih juga terlambat.
Pendekar muda itu memandang dengan wajah kecewa ke
arah delapan sosok mayat termasuk seorang wanita.
Mereka semua bergelimpangan mandi darah. Tentu saja
kejadian itu mendatangkan rasa sesal di hati Panji.
Baru saja Pendekar Naga Putih membungkuk hendak
memeriksa salah satu dari mayat-mayat itu, pendengaran-
nya yang tajam sempat menangkap suara gemerisik
mencurigakan. Tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya segera
melesat ke arah suara mencurigakan itu.
“Hei, berhenti...!” sentak Panji setelah berlari
beberapa tombak jauhnya. Di depan pemuda itu tampak
seorang berpakaian serba hitam tengah berusaha melarikan
diri.
Melihat bentakannya tidak dihiraukan, Panji segera
melesat dan bersalto beberapa kali di udara. Sesaat
kemudian, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan orang
berpakaian serba hitam itu.
“Yeaaat..!”
Sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos, orang
itu pun langsung menerjang Panji dengan golok masih
berlumuran darah.
Wuttt!
Sambaran golok yang mengandung tenaga cukup kuat
itu mengancam perut Panji.
Hati Pendekar Naga Putih sempat diliputi kegeraman
melihat ketelegasan orang itu. Sebab, tanpa persoalan
sedikit pun, orang itu sudah langsung ingin membunuh-
nya. Padahal, belum tentu Panji bermaksud jahat kepada
orang berpakaian serba hitam itu. Untunglah Pendekar
Naga Putih sempat menyadarinya. Kalau tidak, orang itu
pasti sudah dipukul tewas.
Pendekar Naga Putih yang sudah dapat mengukur
kekuatan sambaran senjata itu, sama sekali tidak bergeser
dari tempatnya. Ditunggunya mata golok itu mendekat.
Sikap pemuda itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri.
Perbuatan Panji tentu saja membuat laki-laki
berpakaian hitam itu terkejut, sekaligus gembira. Sudah
terbayang di benaknya, betapa tubuh pemuda itu akan
tergeletak dengan perut terbelah.
Namun apa yang dibayangkan orang itu ternyata sangat
jauh dari kenyataan. Meskipun benar sambaran goloknya
mengenai perut lawan, namun senjata itu kembali
berbalik. Bahkan tangannya yang menggenggam golok
terasa ngilu bagaikan hendak patah.
“Set... tannn...!”
Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, orang itu
memandang terbelalak. Hampir saja dia jatuh pingsan
melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
membalut tubuh pemuda tampan itu. Dan memang,
penampilan Pendekar Naga Putih saat itu tak ubahnya
sosok hantu!
“Hm.... Mengapa kau berlari bagaikan orang dikejar
setan? Apa kau telah melakukan kejahatan! Ayo jawab!”
bentak Panji dengan suara dibuat berat. Pemuda itu
sengaja menakut-nakuti, agar orang itu mau membuka
suara.
Gertakan Pendekar Naga Putih terlihat mulai mem-
bawa hasil. Laki-laki bertubuh gendut yang bagian bajunya
terbuka, semakin menggigil ketakutan. Apalagi, saat itu
Panji memang tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'nya. Maka, orang itu pun semakin yakin kalau
pemuda yang berdiri di hadapannya memang setan. Mana
mungkin manusia dapat menebarkan hawa yang begitu
dingin dari tubuhnya.
“Kami..., eh! Aku..., bersalah.... Ya..., aku ber-
salah...,” aku laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun
itu, gagap.
“Kau telah membunuh delapan orang dan meng-
hancurkan kereta kuda mereka, bukan? Siapa yang
menyuruhmu?!” kembali Panji memanfaatkan rasa takut
orang itu untuk memperoleh keterangan.
Mendengar suara yang semakin berat dan besar, laki-
laki berpakaian serba hitam itu semakin menggigil
ketakutan. Bahkan celana bagian bawahnya telah basah,
dan menebarkan bau tak sedap. Untung saja Panji masih
dapat menahan tawanya melihat tingkah orang itu yang
menggelitik perut.
“Ya..., eh! Jur..., aaakh...!”
Sebelum ucapan laki-laki berpakaian hitam itu selesai,
terdengar jerit kematiannya yang menyayat. Tubuh
gendut itu roboh seiring keluhan pendeknya.
“Eh...?!”
Tentu saja robohnya orang itu membuat Panji
keheranan. Cepat tangannya bergerak menangkap tubuh
gendut itu agar tidak sampai terjatuh ke tanah. Setelah
merebahkan perlahan, bergegas Panji memeriksa
keadaannya.
“Kenapa orang itu, Kakang...?” Kenanga yang baru
datang, langsung saja melontarkan pertanyaan kepada
kekasihnya.
Rupanya setelah tiba di tempat pertempuran, gadis itu
tidak melihat Panji. Maka ia segera mencarinya. Dan
kedatangannya tepat pada saat pemuda itu tengah
memeriksa tubuh seorang laki-laki berpakaian serba
hitam.
“Dia telah tewas...,” sahut Panji setelah memeriksa
jalan darah orang itu.
“Tapi, sepertinya ia tidak terluka, Kakang?” tanya gadis
jelita itu keheranan. Lalu, ditelitinya sosok tubuh gendut
yang sudah tidak bernyawa itu.
“Dia tewas akibat jarum beracun yang dilemparkan
seseorang ke belakang pinggangnya. Entah racun jenis apa
yang digunakan orang itu. Sehingga, racun itu hanya
menghancurkan pembuluh-pembuluh darah di seluruh
tubuhnya. Sementara kalau dilihat sepintas, orang pasti
tidak tahu kalau mayat ini tewas akibat racun keji,” jelas
Panji sambil memperlihatkan sebatang jarum halus yang
berwarna merah.
Kenanga mengambil jarum berwarna merah darah dari
tangan Panji, dan menelitinya beberapa saat. Setelah tidak
mengenali dari mana asal jarum itu, segera dikembali-
kannya kepada Panji.
“Aku belum pernah mendengar tentang seorang tokoh
yang mempergunakan jarum merah sebagai senjata
rahasia. Entah tokoh mana yang telah berhasil men-
ciptakan racun aneh dan keji itu,” kata Kenanga.
“Hm.... Biarlah kusimpan saja senjata rahasia ini. Siapa
tahu ada gunanya kelak,” desah Panji, kemudian segera
menyimpan jarum merah itu dalam pakaiannya.
“Sebaiknya, sekarang kita menguburkan mayat-mayat itu.”
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kemudian segera
menggali tanah untuk menguburkan mayat-mayat itu.
Berkat tenaga dalam mereka yang sudah tinggi, dalam
waktu singkat telah tercipta sembilan liang kubur.
Selesai mengubur semua mayat, Kenanga dan Panji
kembali meneruskan penalanan. Tapi, kali ini mereka
mempunyai tujuan khusus, mencari pemilik jarum
berwarna merah! Sebab sudah hampir pasti bahwa pemilik
jarum itu mempunyai hubungan dengan terbunuhnya
delapan orang di sebelah Barat Hutan Branjangan.
***
EMPAT
Pemuda gagah berpakaian kulit macan tutul melangkah
memasuki mulut Desa Pacitan. Setelah kepalanya
menoleh merayapi sekitar mulut desa, bergegas di-
masukinya sebuah kedai makan yang terlihat ramai
pengunjung. Apalagi, saat itu hari sudah menjelang sore.
Maka, wajar saja kalau kedai makan itu ramai.
Sama sekali tidak dipedulikannya tatapan mata be-
berapa pengunjung kedai makan. Memang disadari kalau
orang-orang itu paling tidak hanya merasa heran dengan
pakaian kulit macan tutul yang dikenakannya. Dan hal itu
bukan sesuatu yang aneh lagi baginya.
Setelah mendapati sebuah kursi kosong yang terletak di
pojok ruangan, pemuda gagah yang tak lain Macan Tutul
Lembah Daru itu segera memesan hidangan kepada
seorang pelayan. Kemudian, dia kembali duduk me-
nunggu dengan kepala tertunduk.
Sebentar kemudian, pelayan itu datang kembali sambil
membawa makanan yang dipesan Nanggala.
“Terima kasih...,” ucap Nanggala kepada pelayan
setengah baya yang mengantarkan makanan pesanannya.
Kemudian, segera disantapnya makanan itu dengan
tenang.
Nanggala yang tengah menikmati hidangannya itu men-
dadak menghentikan gerakan tangannya. Kepalanya lalu
ditolehkan ke arah pintu masuk kedai itu, karena saat itu
hampir semua pengunjung kedai berbisik riuh. Dan apa
yang dilihatnya, membuat dada pemuda itu berdebar.
Seraut wajah cantik manis milik seorang dara yang
berdiri di ambang pintu kedai itu, benar-benar membuat
Nanggala kelabakan. Dan memang, gadis cantik itu tak
lain adalah Untari. Sosok gadis memikat yang selama ini
selalu mengganggu pikirannya. Tapi, Nanggala telah
bertekad untuk melupakan gadis itu. Karena, disadari
kalau mencintai gadis seperti Untari, hanya akan menyiksa
perasaan saja. Lagi pula, belum tentu gadis itu sudi
menerima cintanya.
Bergegas Nanggala menundukkan kepala dalam-dalam
begitu mengenali gadis itu. Tangannya kembali sibuk
memilih-milih hidangan di mejanya. Namun, dia jadi
menyumpah-nyumpah dalam hati, ketika merasakan jari-
jari tangannya gemetar saat menikmati hidangan.
Kedatangan gadis yang telah mencuri hatinya itu benar-
benar membuatnya kalang-kabut.
Karena sulit menenangkan perasaannya, maka pemuda
itu memejamkan mata rapat-rapat dan tenggelam
menyatukan pikiran. Setelah merasa hatinya tenang,
matanya pun kembali dibuka perlahan-lahan.
Tapi, dada Nanggala kembali memukul keras. Tanpa
disadari, ekor matanya menangkap langkah kaki yang
menuju ke arahnya. Dari pakaian yang lebar dan berwarna
putih itu, Nanggala segera menduga kalau orang itu pasti
Untari.
Langkah kaki gadis itu tepat berhenti di depan meja
Nanggala. Pemuda itu terpaksa mengangkat wajah ketika
sosok tubuh itu menarik kursi di depannya.
“Boleh duduk di sini...?” pinta gadis itu dengan suara
lembut dan merdu.
Perkataan Untari membuat Nanggala terpaku bagai
orang tolol. Dipandanginya wajah cantik itu setengah tak
percaya. Entah berapa lama pemuda gagah itu hanya dapat
memandang bagai orang linglung. Kesadarannya baru
kembali setelah gadis cantik itu berdehem agak keras.
“Eh?!”
Warna merah seketika menjalar di wajah Nanggala.
Bukan main malunya hati pemuda itu setelah menyadari
ketololannya. Ingin rasanya kedai makan itu ditinggal-
kannya, namun kakinya terasa berat untuk melangkah.
Sehingga, dia terpaksa diam di tempatnya sambil menahan
rasa malu.
“Kau.... Apa..., apa maumu...?” tanya Nanggala yang
mulai dapat menguasai perasaannya.
“Hi hi hi...,” Untari menahan tawanya melihat
kegugupan dan sikap ketololan pemuda gagah itu.
Diam-diam hati gadis itu merasa bangga. Karena,
pendekar muda yang dalam kalangan rimba persilatan
sangat ditakuti, ternyata gugup menghadapinya. Tentu
saja hal itu mendatangkan suatu kesan tersendiri dalam
hati Untari.
“Aku tadi hanya bertanya. Apakah boleh duduk di sini?”
Untari mengulangi pertanyaannya. Senyum manis tampak
menghias wajah cantik itu, sehingga Nanggala semakin
silau dibuatnya.
“Oh, boleh. Silakan..., silakan...,” sambut Nanggala
dengan nada sedikit heran.
Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya
yang diingini gadis ini. Mengingat akan sifat Untari yang
aneh, maka Nanggala harus bersikap hati-hati. Siapa tahu
gadis aneh itu berubah lagi sifatnya apabila ia salah bicara.
“Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi,”
kata gadis itu tanpa rasa canggung sedikit pun. “Mungkin
ini yang dinamakan jodoh.”
Nanggala sempat terkejut dengan ucapan blak-blakan
Untari. Namun, kekagetannya berusaha ditekan dengan
bersikap wajar.
“Yah.... Mungkin dunia ini sudah terlalu sempit buat
kita,” sahut Nanggala memasang sikap acuh tak acuh. Nada
suara maupun wajahnya nampak sudah terlihat wajar.
Bahkan ada sedikit nada dingin terselip dalam ucapan
pemuda itu.
“Ng.... Bolehkah aku tahu namamu...?” tanya Untari
lagi.
Deg! Terkejut juga hati Nanggala mendengar per-
tanyaan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat
debaran dalam dada yang terdengar menggemuruh
ditekannya.
“Namaku Nanggala...,” sahut pemuda itu, singkat.
“Wah, namamu gagah sekali. Dan kau pasti sudah tahu
namaku,” ujar Untari polos. “Hm.... Macan Tutul
Lembah Daru.... Hebat dan gagah julukan yang diberikan
untukmu.”
“Maaf, aku harus pergi. Sebentar lagi, hari akan gelap.
Aku tidak ingin kemalaman di jalan. Sekali lagi, aku minta
maaf...,” pamit Nanggala tiba-tiba.
Kemudian, Nanggala memanggil pelayan setengah baya
yang tadi melayaninya. Setelah membayar harga makanan-
nya, pemuda gagah itu bergegas meninggalkan kedai.
“Hei?! Kau tidak ingin tahu rumahku...?” tanya Untari,
segera bangkit dan menyambar lengan Nanggala. Sehingga
langkah pemuda itu tertahan.
“Ah! Biarlah, lain waktu saja...,” sahut Nanggala cepat.
Dan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya yang
mungkin akan diajukan Untari, Nanggala segera melesat
menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga, tubuh pemuda
itu bagaikan terbang saja layaknya.
“Pemuda gagah yang sangat menarik. Jarang sekali aku
bertemu seorang pemuda seperti dia. Hm..., Nanggala....
Sebuah nama yang gagah...,” gumam Untari termenung.
Sepasang matanya yang bening dan indah, menatap
bayang-bayang tubuh Nanggala hingga lenyap dari
pandangan.
Setelah tubuh pemuda itu lenyap, Untari kembali
memasuki kedai. Senyumnya tampak masih belum
meninggalkan wajah cantiknya. Jelas, ia merasa lucu
mengingat perjumpaannya dengan pemuda itu untuk yang
kedua kalinya.
Saat itu, kegelapan perlahan mulai turun menyelimuti
permukaan mayapada. Hembusan angin senja yang sejuk
bersilir lembut menemani datangnya kegelapan.
Di dalam sebuah kamar yang terdapat di penginapan
Desa Pacitan, Nanggala duduk termenung. Semula,
setelah berjumpa dengan Untari, ia berniat meninggalkan
desa itu. Tapi, kegalauan hatinya membuat pemuda itu
terpaksa kembali dan menginap di Desa Pacitan. Macan
Tutul Lembah Daru tidak bisa menipu dirinya sendiri,
bahwa hatinya benar-benar telah terenggut oleh wajah
cantik Untari.
Sebelum mencari rumah penginapan, Nanggala
menyempatkan diri datang ke kedai untuk menemui
Untari. Tapi, gadis itu ternyata telah pergi dari kedai.
Setelah bertanya kepada pelayan kedai, tahulah Nanggala
kalau Untari adalah penduduk Desa Pacitan, dan
merupakan anak tunggal seorang juragan terkaya di desa
itu yang bernama Gerda Pasa.
“Hm..., perasaan ini akan terus menghantui apabila aku
tidak segera menyatakannya. Daripada tersiksa, lebih baik
kudatangi saja rumah gadis itu. Masalah diterima atau
tidak, itu urusan belakang! Dan lagi, hal itu lebih baik
daripada tanpa kepastian!” gumam Nanggala seraya
mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian pemuda gagah
itu bangkit dari duduknya.
Dengan menguatkan perasaan, maka Nanggala
berangkat menuju kediaman Juragan Gerda Pasa.
Meskipun raut wajahnya terlihat sedikit tegang, namun
langkahnya tetap dipaksakan untuk mencari kepastian.
Tidak sulit bagi Nanggala mencari rumah Juragan
Gerda Pasa. Dan memang, seluruh penduduk Desa
Pacitan mengetahuinya. Dengan mengandalkan petunjuk
salah seorang penduduk desa, maka tibalah Macan Tutul
Lembah Daru di depan sebuah rumah besar yang
dikelilingi pagar tembok setinggi satu tombak lebih.
Sementara itu, dua orang tukang pukul yang tengah
bertugas menjaga pintu gerbang, bergegas menghampiri
Nanggala. Mereka merasa curiga ketika melihat seorang
pemuda berdiri tegak meneliti sekitar bangunan. Karena
belum beranjak dari situ, maka salah seorang yang
berkumis lebat menegurnya.
“Kisanak! Apa yang kau cari di tempat ini? Sejak tadi,
kuperhatikan kau hanya berdiri mengawasi tempat ini.
Apa ada sesuatu yang dapat kubantu?” tegur laki-laki
berkumis lebat, lantang. Meskipun nadanya tidak
terdengar kasar, namun mengandung ketegasan.
“Maaf, kalau kehadiranku telah mengundang
kecurigaan kalian. Aku hanya ingin memastikan, benarkah
di sini kediaman Juragan Gerda Pasa? Dan, bisakah aku
berjumpa dengan beliau?” tanya Nanggala dengan suara
halus dan sopan.
“Benar. Di sini rumah majikan kami yang bernama
Gerda Pasa. Tapi untuk berjumpa dengannya sekarang,
rasanya sulit sekali. Sebab pada waktu-waktu seperti ini,
biasanya beliau tengah beristirahat. Jadi, kami tidak berani
mengganggunya. Lebih baik, datang saja besok,” sahut
penjaga pintu gerbang yang berkumis lebat, menolak
permintaan Nanggala.
“Tapi, keperluanku mendesak sekali, Kisanak.
Tolonglah beri tahu kepada beliau. Untuk itu, aku akan
berterima kasih sekali kepadamu,” Nanggala mencoba
mendesak, meski dengan nada yang tetap halus dan sopan.
Meskipun kata-kata Nanggala tetap bernada hormat,
namun desakannya telah membuat wajah laki-laki ber-
kumis lebat itu berubah agak bengis. Sekilas, terlihat
kilatan kegeraman pada sepasang mata orang itu.
Namun Nanggala yang telah memantapkan hatinya,
sama sekali tidak peduli. Meskipun tatapan geram orang
itu tidak ditentangnya, tapi dia tetap saja berdiri di
tempatnya. Selangkah pun kakinya tidak bergeser dari
pintu gerbang rumah Juragan Gerda Pasa.
“Maaf! Kami tidak bisa meluluskan permintaanmu,
Kisanak. Dan sekarang, tinggalkanlah tempat ini, sebelum
aku bertindak kasar!” ancam laki-laki berkumis lebat itu
sambil meraba gagang pedangnya, untuk menakut-nakuti
Nanggala.
“Sekali lagi, aku minta maaf. Karena kepentinganku
sangat mendesak, maka terpaksa usiranmu tidak bisa
kuturuti. Dan aku harus bertemu majikanmu sekarang
juga,” tegas Nanggala, meski laki-laki berkumis lebat itu
telah mengancamnya.
Sikap keras kepala Nanggala tentu saja membuat laki-
laki berkumis lebat itu semakin marah. Dengan langkah
lebar, didekatinya Nanggala. Langsung didorongnya tubuh
pemuda itu dengan telapak tangan.
Si kumis lebat yang sudah membayangkan tubuh
pemuda itu akan jatuh terjengkang, seketika menjadi
terkejut. Ternyata dorongan telapak tangannya yang
disertai pengerahan tenaga dalam tidak membuat
Nanggala terjatuh. Jangankan untuk jatuh. Bergeser pun
tidak. Tentu saja laki-laki berkumis lebat itu menjadi
penasaran. Sementara, penjaga gerbang yang seorang lagi
hanya berdiri mengawasi. Amarahnya tampak belum
terpancing.
“Hm.... Pantas saja berani berlagak. Rupanya kau
memiliki sedikit kepandaian. Tapi, sekarang coba tahan
yang ini!” bentak laki-laki berkumis lebat itu sambil
mendorongkan telapak tangannya kembali.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan orang itu meluncur cepat
menimbulkan angin menderu. Rupanya kali ini ia tidak
lagi berniat hanya memberi pelajaran, tapi justru ingin
melukai pemuda itu.
Nanggala yang belum mengetahui sampai di mana
kekuatan yang dimiliki orang itu, tentu saja tidak berani
bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan
itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan
melakukan tangkisan dengan lengan kiri.
Dukkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan
sedikit tenaga itu ternyata sangat mengejutkan lawan.
Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa
langkah ke belakang dengan wajah merah. Melihat dari
pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas kalau
ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi.
“Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari
keributan!” bentak laki-laki berkumis lebat itu geram.
Langsung pedang yang terselip di pinggangnya dicabut.
Sring!
Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pula oleh
kawannya. Rupanya, melihat keadaan itu, amarahnya kini
bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul Juragan
Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri
dan kanan.
“Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali
bukan mencari keributan.”
Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan.
Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bila hal itu
terjadi. Padahal kedatangannya ke tempat itu justru
dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari nanti bila
keributan itu terjadi? Dan itu sama sekali tidak
diinginkannya.
“Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang
ke akhirat!” bentak laki-laki berkumis lebat yang
sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala.
Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di
depan kawannya. Dan itu ingin ditebusnya dengan
menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya.
Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala.
Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan
serangan.
“Berhenti...!”
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan
serangannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang
mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok tubuh
ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan
langsung menjejakkan kakinya di antara mereka.
Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat
dikenal kedua orang penjaga gerbang rumah Juragan
Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya yang
langsung melangkah mundur.
“Untari...!” desah Nanggala.
Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok
tubuh ramping berpakaian serba putih itu. Dia memang
Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh
pikiran Nanggala.
“Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala.
Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau
saja aku tidak keburu datang, mungkin kedua orang
penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak
menjadi mayat,” kata Untari disertai senyum manisnya.
Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada
Nanggala. Tentu saja sebutan itu membuat dada pemuda
gagah ini berdebar tak karuan.
“Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari
keributan di sini. Kedatanganku pun dengan maksud baik-
baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu bersikap kasar
padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada
sesuatu yang ingin kuceritakan kepadamu,” pinta
Nanggala.
Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya.
Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja,
Nanggala tidak ingin menyia-nyiakannya.
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau
Untari menjadi heran. Tidak seperti biasanya, kali ini
Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani
mengajaknya. Tentu saja hal itu membuat Untari
menduga-duga, apa gerangan yang ingin disampaikan
pemuda itu kepadanya.
“Mengapa tidak di sini saja, Kakang?” tanya Untari.
Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang
pukul ayahnya yang tengah memperhatikan.
“Kalian boleh pergi,” lanjut gadis cantik itu kepada
mereka.
“Baik,” sahut kedua tukang pukul itu serempak.
Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung
meninggalkan Untari dan Nanggala.
“Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang,” ujar Untari
menatap Nanggala penuh rasa ingin tahu.
“Mari, ikut aku...,” ajak Nanggala.
Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman
luar tempat kediaman Juragan Gerda Pasa. Langkah
kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan
agar Untari mau mengikutinya.
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat
ketegasan sikap Nanggala. Namun karena rasa keingin-
tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu-
ragu lagi Untari bergegas mengikutinya.
Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah
tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri menanti kedatangan
Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu
terlihat sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas
terlihat dari caranya menarik napas panjang beberapa kali.
“Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin
diceritakan? Dan mengapa pula harus di tempat yang sepi
seperti ini? Apa kau berniat menculikku?” omel Untari
begitu tiba di tempat Nanggala berdiri.
Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun
khawatir pada wajah gadis itu. Jelas kalau dia telah
nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala.
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang
terkenal tidak pernah gentar menghadapi ancaman maut
sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang.
Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani
tokoh-tokoh persilatan itu terlihat menarik napas panjang.
Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan ber-
gemuruh. Jelas kalau hatinya tengah dilanda ketegangan
hebat.
Dengan langkah tenang, Untari datang menghampiri
Nanggala. Senyum manis yang biasanya sangat jarang
terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun
ada sedikit rasa ketegangan di hatinya, namun hal itu sama
sekali tidak ditampakkan. Dan memang, gadis cantik itu
pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala
sendiri tidak mengetahuinya.
“Ada apa, Kakang Nanggala...?” tanya gadis cantik itu
pelan.
Kemudian, Untari berdiri di samping Nanggala yang
duduk di bawah sebatang pohon. Dengan sikap yang tetap
tenang, tubuhnya disandarkan di pohon itu.
“Untari.... Dengan memberanikan diri, aku datang
menemuimu. Aku tak tahu, perasanku begitu gelisah
setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu
sepertinya harus kuungkapkan. Tapi....”
“Tapi apa, Kakang? Katakanlah! Bukankah kita telah
saling mengenal? Kalau memang ada sesuatu yang dapat
kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu
dalam menghadapi masalah itu,” desah Untari yang
menjadi tidak sabar ketika melihat Nanggala meng-
hentikan ucapannya.
“Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu.
Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun
jawabannya, aku telah siap menerimanya,” ungkap
Nanggala tanpa ragu-ragu lagi
Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul
Lembah Daru merasakan dadanya lapang setelah dapat
mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-
dalam.
“Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...,” tawa Untari
meledak mendengar ucapan Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali
tidak mempedulikan Nanggala yang dihinggapi rasa
bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa yang
disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu
yang sangat lucu.
Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala
semakin pucat wajahnya. Dipandanginya wajah gadis itu
dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit dimengerti,
mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar
pengakuannya? Apakah ucapannya itu benar-benar patut
ditertawakan?
“Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya
mengutarakan perasaanku ini kepadamu. Aku memang
pantas ditertawakan,” keluh Nanggala bergetar penuh
kekecewaan.
Betapa tidak? Kata-kata yang demikian sulit diucap-
kannya itu malah ditertawakan Untari. Tentu saja hal itu
membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia
telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa,
Nanggala bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hei? Kau mau ke pergi ke mana, Kakang? Bukankah
kau belum mendengar jawabanku?” tegur Untari meng-
hentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah
hendak meninggalkannya.
“Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari
mulutmu sudah dapat kutebak. Maaf, aku telah meng-
ganggu waktumu,” ujar Nanggala tanpa menoleh sedikit
pun. Langkahnya kembali terayun perlahan.
“Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan
yang sama denganmu? Apakah kau akan tetap pergi? Kalau
itu maumu, pergilah!” sentak Untari dengan suara agak
keras.
Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalik dan
melangkah ke arah yang berlawanan.
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga,
tentu saja langkah Nanggala terhenti. Dan ketika melihat
gadis itu berlari ke arah yang berlawanan, langsung saja
dikejarnya.
“Untari, tunggu...!” cegah Nanggala yang segera
melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga dalam
beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar.
“Ada apa lagi? Kau tidak jadi pergi...?” tegur Untari
dengan sepasang mata membelalak marah.
“Untari.... Kau.... Katakanlah! Apakah kau juga men-
cintaiku?” desak Nanggala.
“Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau
pergi, pergilah! Aku tidak melarangmu!” ketus sekali
jawaban yang keluar dari bibir indah itu.
“Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan
melamarmu. Jawablah! Sudikah kau menjadi istriku?”
tanya Nanggala.
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan
diterimanya. Apalagi, ketika gadis itu sama sekali tidak
berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang
bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari
memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Tidak tahu malu! Melamar orang di tengah jalan! Apa
kau kira aku tidak punya orang tua!” jawab Untari, ketus.
Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan
kebahagiaan. Dan sebelum Nanggala tersadar, gadis cantik
itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia
berlari meninggalkan Nanggala yang tersenyum sendirian
seperti orang gila.
“Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!”
seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari.
***
LIMA
Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa
tampak diramaikan berbagai kesibukan. Halaman depan
yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan yang
berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping,
beberapa orang laki-laki tampak sibuk membuat
panggung.
Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan
untuk pertandingan silat. Sebagaimana umumnya seorang
tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu
kekuatan selalu saja disediakan.
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda
Pasa. Calon suaminya merupakan tokoh terkenal di
kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau juragan
itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung
untuk meramaikan pesta. Dan usul itu disetujui oleh
Untari, sang pengantin wanita.
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul
Lembah Daru, semula tidak begitu menyetujui usul
mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui
rencana itu, dia terpaksa mengalah.
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai
berdatangan. Mereka tidak hanya terdiri dari kalangan
orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang
datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa.
Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan.
Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan
Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun
mendatangi pesta pernikahan pendekar muda itu. Maka,
ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh
berbagai kalangan.
Setelah semua undangan telah duduk di tempatnya
masing-masing, seorang laki-laki tinggi besar berwajah
brewok melangkah naik ke atas panggung. Sejenak ia
berdiri merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah
yang bernama Juragan Gerda Pasa.
“Para sahabat sekalian,” Juragan Gerda Pasa, mulai
membuka pembicaraan. “Aku mengucapkan terima kasih
atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi
undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah
disediakan. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa atas
pelayanan kami yang mungkin kurang memuaskan.”
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut
tepuk tangan riuh. Kemudian laki-laki tinggi besar itu pun
kembali melangkah turun dari atas panggung.
“Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagai-
mana caranya kau bisa mendapatkan seorang menantu
seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku
melihat keberuntunganmu ini,” bisik salah seorang
undangan.
Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda
Pasa yang baru turun dari atas panggung. Melihat dari
sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki
tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak
sipit itu kadang-kadang melirik Untari yang duduk
bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung.
Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata
keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang
pengantin wanita.
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum men-
dengar pujian laki-laki tinggi kurus itu. Setelah berbasa-
basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu
pun melangkah ke tempatnya semula.
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang
telah disediakan. Sementara beberapa tokoh kalangan
persilatan yang berusia muda seringkali melirik ke arah
pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan
mereka hanya bisa saling berbisik membicarakan ke-
beruntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat
mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu.
Bahkan ada di antaranya yang melontarkan kata-kata sinis.
Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja.
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan
suasana pesta, mendadak lenyap ketika seorang laki-laki
gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu
langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk
menarik perhatian para undangan.
“Para sahabat sekalian!” seru orang pendek gemuk itu
setelah suasana gaduh sima. “Kami sebagai wakil tuan
rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita
saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini
dapat menambah kegembiraan kita semua.”
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai,
para undangan segera bertepuk tangan riuh. Beberapa di
antara mereka, bahkan sudah berseru tidak sabar.
“Tenang, tenang...!” ujar laki-laki di atas punggung itu
untuk menenteramkan kebisingan yang tiba-tiba saja
pecah. “Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang
kawan kami, yang akan segera menghibur para sahabat
sekalian!” lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk
menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti.
“Haiiit...!”
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek
gemuk itu menyebut sebuah nama. Berbarengan seruan
itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah
melayang naik ke atas panggung. Dengan gerakan lincah
dan manis, kakinya mendarat di dekat lelaki gemuk itu.
Sosok berpakaian serba merah itu langsung mem-
bungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai
pun bergemuruh menyambut orang itu.
“Terima kasih. ., terima kasih...,” ucap sosok ber-
pakaian serba merah itu.
Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang
lonjong, tampak terhias kumis dan jenggot tercukur rapi.
Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai
memberi hormat, kakinya melangkah ke sudut kiri
panggung.
***
Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu
berdiri di sudut kiri panggung, sesosok bayangan hitam
melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan kaki-
nya di lantai panggung.
“Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi
undangan Macan Tutul Lembah Daru, dan sekaligus ikut
memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak
kecewa dengan penampilanku yang jelek ini,” kata laki-
laki berusia tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian
serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah mem-
perkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan
panggung.
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan
diri dengan nama Ki Balung bergegas melangkah ke
tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri
berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan
panggung.
Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling mem-
bungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melangkah
beberapa tindak ke belakang.
“Silakan, Sahabat..,” kata Panawa sambil bersiap
memasang kuda-kuda silang.
Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak
berada di atas kepala dalam sikap mengepal. Sedangkan
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada beberapa
jengkal di depan dada. Sepasang matanya tampak menatap
lurus ke depan.
“Hm...,” Ki Balung menggeram sebelum membuka
jurusnya.
Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke
depan menyerong. Sepasang tangannya bergerak naik ke
atas kepala dengan kedua telapak merapat
“Yeaaat..!”
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus
dengan tusukan jari-jari tangan kin mengarah dada lawan.
Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu
tiba, tangan kanannya bergerak menyusul. Sedangkan
tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk
memancing perhatian lawan.
Wuttt!
Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan
kanan Ki Balung yang semula meluncur, tertarik ke
belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan
sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri.
Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancar-
kan Ki Balung itu. Sehingga, lawannya sempat dibuat ter-
kejut!
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu
ternyata cukup gesit. Datangnya sabetan sisi tangan miring
lawan, disambut sebuah geseran ke kiri. Dan gerakan
mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang
cepat dan bertenaga.
Zebbb!
Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil
dielakkan Ki Balung dengan menarik tubuh ke belakang.
Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih
sempat juga menusukkan jari-jari tangan untuk memapaki
tendangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika
tusukan jari tangan Ki Balung tidak mengenai sasaran.
Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus
terampuh yang dimiliki. Sambaran-sambaran angin
pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah
semaraknya pertempuran.
Plakkk! Plakkk!
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras
ketika telapak tangan masing-masing saling berbenturan!
Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu
menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata
berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlaga di atas
panggung itu saling bertatapan sejenak. Sepertinya,
mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing.
Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihat lebih
berhati-hati dalam melancarkan serangan.
“Haaat..!”
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali
melompat disertai hantaman pukulan yang susul-menyusul
mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh lawan. Dari
sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas
kalau laki-laki tinggi kurus berpakaian serba merah itu
telah menambah kekuatannya dalam serangan kali ini.
Bettt! Bettt! Bettt!
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang
mengancam tubuh Panawa. Namun, itu semua tidak
membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis,
kakinya bergeser ke kanan, sejauh setengah tombak.
Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki
Balung. Maka begitu serangkaian pukulan yang
dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus itu
sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu
cepat dan mendadak sekali! Maka....
Desss!
“Hugkh...!”
Tendangan keras Ki Baking telak menghantam
lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap itu langsung
terjengkang, dan hampir jatuh ke bawah panggung.
Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan
tubuhnya melambung berjumpalitan beberapa kali di
udara.
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan
peluang kepada lawannya. Saat tubuh Panawa berputar di
udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat
melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan
kuat.
Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja
membuat Panawa terkejut. Keadaannya saat itu sangat
tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi gugup.
Sehingga....
Bugkh!
“Ngkkk...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itu pun
tepat menghantam perut Panawa! Maka seketika tubuh
laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah
panggung.
Brugk!
Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung,
sehingga menimbulkan suara berdebuk keras! Tapi lelaki
gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah
payah. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang
menandakan kalau telah terluka cukup parah!
“Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah...,” ucap
Panawa terputus-putus.
Setelah membungkuk hormat ke arah laki-laki tinggi
kurus yang berdiri tegak di atas panggung, Panawa
melangkah ke tempat duduknya semula. Meskipun telah
dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali
tidak terlihat sinar dendam di matanya. Bahkan pujiannya
terhadap Ki Balung pun terdengar tulus.
“Kau pun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli,
rasanya sukar sekali menundukkanmu,” sahut Ki Balung.
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang
sombong. Sikap dan ucapannya tentu saja dimaksudkan
agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki-
laki tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung,
kembali ke tempat duduknya semula.
Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut
kemenangan Ki Balung. Pertandingan kedua orang tokoh
itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi puas.
Terdengar suara berbisik ramai membicarakan per-
tarungan yang memang berlangsung sangat seru tadi.
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajlkan
tokoh-tokoh persilatan yang berniat meramaikan pesta
pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang
disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan
Panawalah yang paling menarik. Sedangkan, pertarungan
lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasar dan
tidak berseni.
Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu.
Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum
seluruhnya selesai. Dan ketika malam sudah semakin
larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi.
Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih
sibuk membereskan tempat itu.
Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya
untuk beristirahat Tubuhnya baru terasa lelah setelah
pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar berwajah
brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya.
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala
dan Untari. Mereka telah lebih dahulu memasuki kamar,
sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang
semakin dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin
terelap dalam lautan kemesraan bagai tak bertepi.
***
ENAM
Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut
mengiringi iring-iringan kereta kuda. Tiga buah kereta
yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak
perlahan menyusuri jalanan lebar.
Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan
seragam biru muda tengah berjejer. Melihat dari lambang
bendera yang dipegang salah seorang penunggang kuda
terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal
pengantar barang. Dan mereka dikenal sebagai kelompok
Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal
barang terkenal masa kini.
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata
gagah dan berwibawa. Dan tampaknya, mereka bukanlah
orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar barang.
Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat
demi lancarnya tugas yang dijalankan.
Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki
wilayah perbukitan tandus, tiba-tiba terdengar bentakan
keras mengejutkan.
“Berhenti...!”
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok
tubuh mengenakan seragam hitam melayang menghadang
perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok berpakaian
hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak
baik.
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala
rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun
dari punggung kudanya. Dari ketenangannya, jelas kalau ia
sama sekali tidak merasa khawatir dengan penghadangan
itu.
“Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya
Darat? Sampaikanlah hormat kami kepada beliau. Dan
izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya,
selama ini di antara kami dan ketiga ketua kalian telah
terjalin persahabatan erat,” kata lelaki gagah itu sambil
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tampak-
nya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga
Buaya Darat itu.
“Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi,
hari ini beliau memerintahkan agar kalian suka meninggal-
kan barang-barang di dalam kereta itu kepada kami. Dan,
setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang,” jawab salah
seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong
dan memandang rendah.
“Hei?! Mengapa begitu? Coba hadapkan aku kepada
ketua kalian. Kalau begitu, percuma setiap bulan aku
selalu mengirimkan upeti kepada mereka,” tukas lelaki
tinggi tegap itu dengan kening berkerut.
“He he he.... Benar kau selalu setia mengirimkan upeti
kepada kami, Ludira. Tapi kali ini dengan sangat terpaksa,
kami harus mengambil barang-barang yang kalian bawa
itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta
kuda itu. Keselamatan kalian akan kami jamin,” tiba-tiba
terdengar suara berat yang disusul munculnya tiga sosok
tubuh berpakaian serba merah.
Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula
wajah ketiganya yang ditumbuhi cambang bauk. Sehingga,
mereka tak ubahnya bagaikan saudara kembar.
“Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu? Bukankah
kita telah lama bersahabat? Dan biasanya, kalian selalu
memperbolehkan kami lewat? Mengapa tiba-tiba
berubah?” bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil
Ludira itu penasaran. Jelas kalau dia merasa keberatan atas
permintaan itu.
“Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih
berbaik hati dengan membiarkan kalian pergi. Tapi kalau
keadaan memaksa, apa boleh buat,” tegas salah seorang
dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala
hitam.
Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia
merupakan orang pertama dari Tiga Buaya Darat. Orang
itu pulalah yang dipanggil Begawa.
“Tidak bisa, Begawa!” bantah Ludira yang langsung
membuang sebutan kakang ketika melihat perubahan sikap
orang itu yang dikenalnya selama ini.
Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua
tangan sebagai isyarat pada pengikutnya untuk bersiap
menghadapi pertempuran.
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang
susul-menyusul ketika pedang-pedang belasan orang
pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari
sarungnya. Serentak mereka berlompatan turun dari atas
punggung kuda dengan pedang terhunus.
Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan
orang bertampang kasar telah berlompatan mengurung
tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut Tiga
Buaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan
sangat ditakuti.
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur ke arah
kawan-kawannya seraya menghunus senjata. Sadar kalau
pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira segera
mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.
Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat
dipahami anggotanya. Serentak, belasan orang anggota
Macan Terbang, bergerak menyebar.
“Serbuuu...!”
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak
memberi perintah kepada para pengikutnya. Maka tanpa
dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun
cukup sengit.
“Heaaat..!”
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil
mengibaskan senjatanya ke arah belasan anggota Macan
Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan-
teriakan nyaring dan jerit kesakitan.
Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan
Begawa. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengincar
tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru,
membuat Begawa tidak berani memandang remeh
serangan laki-laki tegap itu. Maka, penggadanya mulai
digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira.
Bettt! Bettt!
Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru
angin keras itu, ternyata mampu menindih gerakan
pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala
perampok itu telah dapat membuat lawan terdesak.
“Hahhh...!”
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat
disertai bentakannya yang mengejutkan. Gerakan itu
masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah
kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi
datangnya sambaran senjata itu.
Wuttt!
Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu
semakin pucat ketika melihat datangnya hantaman lawan.
Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan
tubuhnya. Sayang gerakan Ludira masih kalah cepat.
Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya,
tetap saja penggada Begawa menghajar bahu kirinya.
Bugkh!
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap
itu langsung terlempar sejauh satu batang tombak lebih!
Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan
kembali meluncur deras menuju batok kepalanya.
Wuttt!
Prakkk!
Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang
dihantamkan sekuat tenaga itu telak menghantam pecah
kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairan putih,
berhamburan membasahi batu-batu padas yang berdebu.
Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas
tanpa sempat berteriak lagi.
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang,
tentu saja membuat para anggotanya menjadi terkejut.
Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesak hebat,
menjadi semakin kalang kabut.
Brettt! Crakkk!
“Aaargh...!”
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit
ngeri! Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan
darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang
anggota itu pun diam tak bergerak-gerak lagi.
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih
selamat bergegas melompat mundur. Mereka berdiri
berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka
tampak pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada
harapan lagi untuk dapat menyelamatkan diri. Para
perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan
tidak mengenal ampun.
“Bagaimana ini, Kakang...?” tanya salah seorang
anggota Macan Terbang kepada laki-laki berkumis tipis
yang berada di sebelah kanannya.
“Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman
Juragan Bartala ini harus dipertahankan dengan taruhan
nyawa kita,” sahut laki-laki gemuk berkumis tipis dengan
suara bergetar.
“Bunuh mereka....!” terdengar perintah Begawa
kepada para pengikutnya. Sedangkan sebagian yang lain,
telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi.
“Heaaa...!”
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras
sambil berlari menyerbu ketujuh orang anggota Macan
Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-wajah
para perampok itu terlihat menyeringai bagalkan seekor
singa lapar.
Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak
mungkin, maka ketujuh orang sisa anggota Macan
Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir!
“Yeaaat..!”
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa
anggota Macan Terbang menyambut serangan musuh-
musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu,
ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar.
Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu
sudah terdesak hebat. Beberapa di antara mereka nampak
sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata lawan.
“Haiiit..!”
Wuttt! Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh
dua orang anggota Macan Terbang! Kedua orang itu
langsung tewas dengan isi perut terburai.
Robohnya kedua orang kawan mereka ternyata tidak
mengurangi semangat tempur yang lain. Kelima orang
anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha
mempertahankan diri sebisa-bisanya.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang
anggota Macan Terbang itu, tiba-tiba dua sosok tubuh
melayang dan langsung menjejakkan kakinya di tengah
arena pertempuran.
“Haiiit..!”
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan
hijau itu langsung memporak-porandakan para perampok
yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang.
Plakkk! Bukkk! Desss!
“Aaah....!”
“Wuaaa...!”
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang
anggota perampok beterbangan bagai sehelai daun kering
yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting
dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka
tampak mengalir cairan merah.
Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua
sosok tubuh yang baru tiba itu. Sehingga dalam beberapa
jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota Macan
Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi.
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki
kepandaian tinggi, tentu saja membuat kelima orang
anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah
bersimbah peluh dan darah, mereka langsung men-
jatuhkan diri berlutut di depan kedua sosok tubuh yang
membelakangi mereka.
“Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah
menyelamatkan nyawa kami...,” ucap kelima orang itu
bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala mem-
bentur tanah berdebu.
Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu
membalikkan tubuh ke arah lima orang sisa anggota
Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata
seorang pemuda tampan itu bergerak melangkah dan
membangunkan kelima orang yang masih bersujud.
“Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini
kepada kami. Mudah-mudahan kami dapat menyelesai-
kannya dengan baik,” ujar pemuda tampan berjubah putih
itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.
“Kereta barang kami..., mereka rampok...,” tutur laki-
laki berkumis tipis yang dengan cerdik dapat
memanfaatkan penolongnya.
“Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya,” sahut
pemuda tampan itu sambil menolehkan kepala kepada
kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita.
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih, dara jelita
berpakaian hijau itu pun bergegas menghampiri kereta
kuda yang tengah dikerubuti para perampok.
Sedangkan pemuda itu sendiri, sudah melangkahkan
kaki mendekati tiga orang lelaki pendek gemuk yang
merupakan pimpinan para perampok.
***
Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun ke
dalam kancah pertarungan, tentu saja membuat Tiga
Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah menyaksi-
kan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa
gebrakan saja, para pengikutnya dapat dibuat tak berdaya.
Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah.
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat,
langsung saja melangkah maju menyambut kedatangan
pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu
setengah tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti
hendak menelan tubuh pemuda itu bulat-bulat, Begawa
menudingkan telunjuknya secara kasar.
“Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang
mencampuri urusanku?!” bentak Begawa dengan suara
menggelegar.
Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang
kedatangan pemuda berjubah putih dan kawannya itu,
telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh
kemarahannya ditumpahkan kepada pemuda itu.
“Hm...,” gumam pemuda tampan itu pelan sambil
meneliti ketiga sosok tubuh di hadapannya. “Kaliankah
yang telah membantai delapan orang yang tengah
melewati Hutan Branjangan?” tanya pemuda yang tak lain
dari Panji, dengan pandangan penuh selidik. Sedangkan
pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya.
“Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu. Jawab
saja pertanyaanku sebelum kau menggeletak jadi mayat!”
bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya.
Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali
memandang remeh padanya.
“Dugaanku pasti tidak meleset Di sekitar daerah ini,
hanya kalianlah para perampok yang mengenakan seragam
serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya meng-
gunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian
berdalih,” ujar Panji tanpa mempedulikan kemarahan
Begawa.
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau
Pendekar Naga Putih telah menyelidiki komplotan para
perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang
membuatnya merasa yakin akan dugaannya.
“Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja
kelompok yang kau selidiki itu berbohong, dan mereka
melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira
kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang
melakukan pembunuhan itu,” sahut Begawa.
Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pem-
bicaraan Pendekar Naga Putih, karena pertanyaan yang
diajukannya sama sekali tidak dipedulikan.
“Hm..., kau masih ingin menyangkal?” gertak Panji
yang segera melangkah maju bersikap mengancam.
“Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu? Beset
saja mulutnya, habis perkara,” sahut salah seorang dari dua
kawan Begawa yang seperti tidak sabar melihat
perdebatan itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat
kepala merah yang merupakan orang kedua dari Tiga
Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kaki-
nya beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan
kanannya tampak tergenggam sebatang golok besar yang
pada bagian matanya bergerigi.
“Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?”
tantang Panji sambil tersenyum.
Di wajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat
kegentaran. Dan sikapnya pun tetap tenang. Sama sekali
tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan
menghadapi pertarungan.
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!”
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat
kepala merah itu langsung melompat disertai sabetan
senjata mengancam wajah Panji.
Wuttt!
Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal,
ketika Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke
samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai
sasaran, laki-laki berikat kepala merah itu memutar
senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat!
“Bagus...!” seru Panji yang mau tak mau harus memuji
serangan lawan. Karena gerakan orang itu memang cepat
dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga Putih
mengaguminya.
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga
Putih tidak bisa mengatasi lawan. Sambaran golok yang
bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya, tentu
saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga
Putih. Dengan gerakan indah dan tak terduga, pemuda
tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan
tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan
yang mengincar lehernya lewat, kaki yang semula tertarik
ke belakang langsung mencelat naik mengancam lambung
lawan.
Zebbb!
“Aihhh...!”
Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat
lawan kelabakan. Betapa tidak? Sebab, datangnya
tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak
terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itu telah
berada beberapa jengkal di depan lambung lawan.
Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat
kepala merah itu melempar tubuh ke belakang. Langsung
dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkan diri.
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi mem-
berikan kesempatan kepada lawan untuk melanjutkan
pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah
melambung di udara, pemuda itu bergegas mengejar
disertai hantaman telapak tangan yang langsung mengincar
dada lawan. Dan....
Bukkk!
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar
deras ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih meng-
hantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai
semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya.
Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah
keras sekali.
“Adi Jambrong...!”
Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya
dapat ditundukkan pemuda itu hanya dalam beberapa
jurus saja. Cepat ia berlari menghambur ke arah tubuh
Jambrong bersama saudaranya yang paling muda.
“Bedebah! Kubunuh kau...!” bentak Begawa marah
ketika melihat cairan merah yang mengalir di sudut bibir
Jambrong.
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu
bangkit ketika mendapati adiknya yang pingsan akibat
pukulan Pendekar Naga Putih.
“Kita habisi saja dia, Kakang!” seru orang ketiga dari
Tiga Buaya Darat dengan wajah merah.
Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru
itu langsung meloloskan senjatanya, berupa sepasang
badik berukuran satu setengah jengkal.
“Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini
cepat selesai,” ujar Panji dengan suara tenang dan bibir
tersenyum.
Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk
membangkitkan kemarahan lawan. Sebab, bila
penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya
kewaspadaan pasti akan berkurang. Dan itu akan
mempermudah pekerjaannya.
“Setan...!”
Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat
disertai ayunan penggadanya yang menimbulkan deru
angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk
berikat kepala hitam itu telah menggunakan seluruh
tenaga dalam serangannya kali ini.
Orang ketiga dari Tiga Buaya Darat pun tidak mau
ketinggalan. Tubuhnya segera melesat menyusuli kakak
seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling
susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang
remeh.
Wukkk! Bettt! Bettt!
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua
orang kakak beradik itu sama sekali tidak membuat
Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah
pendek yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata
lawan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan setelah
pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai
melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak
terduga.
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari
Tiga Buaya Darat itu termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh
dikatakan sampai saat sebelum berjumpa Pendekar Naga
Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini
mereka terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab, pemuda
tampan yang sama sekali tidak mereka kenal telah
membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu
membuat mereka semakin penasaran.
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang
dilancarkan Panji tampak semakin membuat kedua lawan
kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi
melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang,
pukulan-pukulan yang dilancarkan pemuda itu bagaikan
datang dari berbagai penjuru dan mengurung mereka.
“Heaaah...!”
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras.
Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka
sempat menyadari keadaan, sepasang tangan Pendekar
Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya
sekaligus!
Bettt! Bettt!
“Ihhh...!”
Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat
serangan yang meluncur mengancam tubuh mereka.
Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan
langsung menjatuhkan diri bergulingan menghindari
serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan
kecepatan mereka. Maka sekali melompat saja, tubuh
pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan
ketika tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan
pendekar muda itu telah menghajar telak tubuh keduanya.
Bukkk! Desss!
“Aaargh...!”
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu
langsung terlempar sejauh satu tombak lebih.
“Uhhh...!”
Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu
rupanya memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat daripada
saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba
bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari
mulutnya. Sedangkan di sebelah kanannya tampak tubuh
saudaranya telah tergeletak pingsan.
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit,
cepat melompat. Langsung ditekannya tubuh orang itu
dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa
merasakan tubuhnya bagai dihimpit sebuah batu besar
yang sangat berat
“Hm.... Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap
kelakuanmu selama ini. Sebaiknya, orang sepertimu tidak
boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup ini,” geram
Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya.
“Akh...!”
Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin
bertambah berat dan menyakitkan, Begawa kembali
mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras
dari sudut bibirnya.
Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat
terlintas rasa iba di hatinya melihat seringai kesakitan di
wajah laki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah orang
itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim
Begawa ke akhirat
“Tunggu, Kisanak...!” seru Begawa yang melihat
pemuda itu hendak menghabisi nyawanya.
Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan
darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup
parah akibat pukulan Panji tadi.
“Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan
kepada anak buahmu?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak
tangannya yang siap menghunjam tubuh gemuk itu.
Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah
menatapnya dengan sinar mata redup.
“Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut
Dan..., kami masih mempunyai pimpinan lagi...,” jelas
Begawa dengan suara terpatah-patah.
“Pimpinan? Maksudmu...?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk
itu untuk bangkit duduk, lalu disandarkannya pada
sebatang pohon.
“Aku..., aku hanya orang suruhan..,” aku Begawa lagi
sambil menarik napas panjang-panjang. Seringai di
wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya
bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri.
Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya
Panji. Namun karena menurutnya tidak ada ruginya
mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka
dalam yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya
kepada Begawa.
“Ceritakanlah...,” pinta Panji. Pendekar Naga Putih
telah menjejalkan obat luka dalam berwarna putih salju ke
dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat setelah
obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan.
***
“Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok
perampok lainnya di daerah ini merupakan raja-raja kecil
yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian,
datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki
kepandaian sangat tinggi. Orang yang berjuluk Hantu
Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di
daerah ini,” Begawa menarik napas panjang dan meng-
hentikan ceritanya sejenak.
“Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap
orang yang melewati daerah kekuasaan kami dan
merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang di-
dapatkan harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami
lakukan dengan menyamar sebagai pengawal barang, agar
tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu,” lanjut
Begawa.
“Hm.... Siapakah orang itu? Dan apa jabatannya di
Desa Pacitan?” tanya Panji tetap bersikap tenang dan
sabar.
Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat
jelas, namun Pendekar Naga Putih tidak mau mem-
percayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau
kepala rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk
keselamatannya sendiri.
“Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini,
Kisanak. Tapi untuk membuktikan kebenaran ceritaku ini,
sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Di sana, kau boleh
menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa.
Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya.
Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang
kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan di balik
kebaikan hatinya dengan memberi bantuan kepada para
penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu dilaku-
kannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang
dibantunya,” tutur Begawa kembali melanjutkan cerita-
nya.
“Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan
memberikan pinjaman kepada mereka. Lalu, para petani
diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?” tanya Panji
yang memang telah sering mendengar ulah para juragan
tamak terhadap para penduduk desa. Baginya, cerita
seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam
perantauan.
“Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia
memang memberi bantuan berupa bibit-bibit tanaman dan
segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh
subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan
racun, sehingga para petani gagal panen. Setelah kejadian
itu, tentu para petani miskin tadi tidak akan sanggup
membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah
atau ladang mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan
harga murah. Lalu, para petani disuruhnya menggarap
sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar
orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah
ladang itu.”
“Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia
tidak akan dicurigai para petani. Sudah berapa banyak
orang yang terjebak tipu kejinya itu? Jelas, kekayaan yang
dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk,” geram Panji
sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat
Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pem-
bunuhan keji yang ditemukannya di Hutan Branjangan
beberapa hari yang lalu.
“Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan
Branjangan itu, juga tengah mengantar barang?” tanya
pemuda itu.
“Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang
hendak menjual hasil tanamannya ke kadipaten. Mereka
terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak. Barang-
barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan
kepada Juragan Gerda Pasa. Karena semua itu memang
atas perintahnya,” Begawa akhirnya mengakui segala
perbuatannya kepada Panji.
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena
merasa benci terhadap Gerda Pasa yang telah memperalat
dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka
tidak mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu.
Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda
lihai yang tak dikenalnya itu. Dengan harapan, Gerda Pasa
dapat diringkus Pendekar Naga Putih.
“Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan
setelah semua kejadian ini? Apakah kau ingin kembali
merampok?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang
diperolehnya telah cukup. Namun, matanya tetap
menatap wajah Begawa penuh selidik.
“Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain,
selain berkelahi. Rasanya sulit sekali mencari nafkah
dengan cara lain,” sahut Begawa.
Kepala perampok itu sedikit heran mendengar per
tanyaan pemuda di hadapannya. Sebab menurutnya,
pertanyaan pemuda itu jelas mengandung arti yang khusus
baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena
merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati.
“Kau mau mendengar saranku...?” tanya Panji seraya
menepuk lembut bahu laki-laki gemuk itu
Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan
dendam. Bahkan seulas senyum persahabatan tampak
menghias wajah tampannya.
“Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?” suara Begawa
terdengar tegang dan penuh harap-harap cemas.
“Bergabunglah dengan mereka,” jawab Panji seraya
menudingkan telunjuknya ke arah lima orang sisa anggota
pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat
memandang bingung. Dan memang, mereka sama sekali
tidak mendengar pembicaraan kedua orang itu.
“Maksudmu...?” tegas Begawa mencoba memastikan
ucapan pemuda itu.
“Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan
sebagai permulaan, kau dapat mengantarkan kelima orang
itu sampai ke tempat tujuan,” jawab Panji seraya
tersenyum lembut
“Kau..., kau tidak akan membunuhku...?” tanya
Begawa, seolah-olah tak percaya dengan apa yang ter-
dengar telinganya.
“Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk
tidak melanjutkan perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku
akan membebaskanmu,” senyum Panji semakin melebar
melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol.
“Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku...,
aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan
kotor ini, dan akan menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa
yang kukerjakan nanti tidak akan mendapatkan cemooh
dari masyarakat,” ucap Begawa.
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di
depan Panji. Air mata tampak mengembang di pelupuk
matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal sebagai
ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan
apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya.
“Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai
permulaan, Kisanak. Setelah itu, carilah tempat lain yang
orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan
demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap
pandangan orang lain,” sahut Panji memberikan nasihat-
nya.
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya.
Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat
kepalanya dan memandang Pendekar Naga Putih penuh
rasa syukur.
“Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan.
Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu?
Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang
yang telah mengangkatku dari semua kehinaan ini.
Namaku adalah Begawa,” pinta Begawa dengan suara
parau karena rasa haru yang dalam.
“Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba
persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih,”
sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit
pun.
“Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat
menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah
kami yang buta dan bodoh ini, Pendekar Naga Putih.
Nama besarmu telah lama sampai ke telinga kami. Siapa
sangka, hari ini aku mendapatkan kehormatan besar dapat
berbincang-bincang denganmu,” desah Begawa yang sama
sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya.
Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya
berlutut di hadapan Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa
mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan.
“Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih-
lebihkan. Bisa-bisa kepala ku menjadi sebesar gunung
nanti,” ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat
Begawa berdiri.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga
aku akan melaksanakan segala nasihatmu.”
Setelah berkata demikian, Begawa melangkah ke arah
lima orang anggota Macan Terbang yang hanya bisa
menatap bingung.
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan meng-
obati semua anggota Tiga Buaya Darat yang dilukainya.
Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak
pingsan.
Kenanga sendiri sudah lama membereskan para
perampok yang tengah mengerubuti kereta kuda.
Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itu pun
menyadarkan lawan-lawannya. Mereka yang hanya dibuat
pingsan, kembali bangkit dan berkumpul di dekat Begawa.
“Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan.
Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih.
Siapa di antara kalian yang masih setia denganku, silakan
ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak
ada paksaan. Silakan mencari jalan hidup sendiri-sendiri,
asalkan bukan perbuatan jahat,” ujar Begawa lantang,
sambil berdiri tegak di hadapan anggota gerombolannya.
Ternyata tidak seorang pun dari anggota perampok itu
yang keluar dari barisan. Jelas, mereka semua lebih suka
mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu membuat
Begawa tersenyum bangga.
Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih
dan Kenanga telah berkelebat cepat, menghilang dari situ.
Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang
pendekar itu telah mencapai taraf kesempurnaan.
“Hei? Ke mana Pendekar Naga Putih...?” tanya Begawa
ketika tidak melihat Panji di tempat itu. Sadar kalau
pemuda lihai itu merupakan seorang pendekar sejati,
maka Begawa segera pergi dari situ untuk mengantarkan
barang kiriman Macan Terbang.
***
TUJUH
Lima orang laki-laki gagah tampak melangkah memasuki
mulut Desa Pacitan. Sikap mereka tampak angker dengan
tatapan mata tajam menyiratkan kebengisan. Penduduk
desa yang kebetulan berpapasan dengan mereka bergegas
menepi, dan hanya dapat memandang bingung.
Di depan kelima orang laki-laki gagah itu tampak dua
orang laki-laki berwajah sembab berdarah. Pakaian
mereka tampak lusuh dan kotor. Melihat perlakuan lima
orang laki-laki gagah itu, jelas kalau kedua orang itu adalah
tawanan.
“Percepat sedikit jalanmu, Bedebah!” hardik salah
seorang dari lima laki-laki gagah itu.
Dia memiliki bentuk tubuh kekar berotot. Wajahnya
yang terhias kumis tebal, tampak menyiratkan ketidak-
sabaran. Dan hardikannya masih disertai pula dorongan
yang membuat salah seorang tawanan terjerunuk hampir
jatuh.
Mendengar bentakan yang disertai dorongan keras,
membuat kedua orang tawanan mempercepat langkahnya.
Dengan setengah berlari, keduanya terus menyusuri jalan
utama desa. Sekilas pun mereka tidak berani menolehkan
kepala kepada laki-laki gagah bertubuh kekar itu.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu tiba
di depan sebuah bangunan besar yang terhitung paling
megah di Desa Pacitan.
“Hm.... Inikah rumah majikanmu...?” tegur laki-laki
berkumis lebat sambil melepaskan pandangan menilai
rumah besar di depan matanya. Sikap dan ucapannya jelas
membayangkan ketidaksenangan.
“Betul..., Tuan...,” sahut salah seorang laki-laki
berwajah sembab itu, menundukkan kepala.
“Hm.... Mengapa kami tidak lekas kau bawa
masuk...?” gumam laki-laki gagah berwajah keras yang
mengenakan ikat kepala putih. Nada suaranya berat,
bernada teguran dan ancaman.
“Kami... Kami tidak berani, Tuan...,” sahut salah
seorang dari kedua tawanan yang memiliki cambang tebal
dan berperut gendut. Suaranya lebih mirip keluhan
daripada jawaban.
“Keparat! Rupanya kau lebih suka diperintah dengan
ini!” bentak laki-laki berkumis lebat sambil meluncurkan
kaki kanannya, menghajar tubuh orang itu. Dia memang
merasa geram mendengar jawaban itu.
Desss!
“Akh...!”
Tawanan berperut gendut itu mengeluh tertahan
ketika sebuah tendangan telak menghajar punggungnya.
Sehingga, tubuhnya langsung terjerembab beberapa
langkah ke depan, dan jatuh persis menghantam pintu
gerbang rumah besar itu.
Suara berdebuk nyaring yang berasal dari depan
gerbang itu membuat dua orang penjaga bergegas
menghampiri. Wajah keduanya berubah kelam melihat
sesosok tubuh dengan wajah bersimbah darah meringkuk
kesakitan.
“Bagol...! Kaukah itu...?” tegur salah seorang penjaga
yang bertubuh tinggi kurus sambil membungkuk untuk
memastikan dugaannya.
“Benar! Dia memang Bagol...!” seru penjaga bertubuh
pendek, ketika kawannya mengangkat wajah bersimbah
darah itu. Jelas kalau kedua orang penjaga itu memang
telah mengenalnya dengan baik.
Saat keduanya tengah memeriksa tubuh laki-laki yang
dipanggil Bagol itu, terdengar jerit kesakitan yang disusul
melayangnya sesosok tubuh lain ke arah mereka.
“Nih, satu lagi kukembalikan...!” terdengar seruan
keras mengiringi sosok tubuh yang tengah melayang.
Namun penjaga yang bertubuh tinggi kurus ternyata
cukup sigap. Begitu melihat sosok tubuh yang melayang
ke arahnya, cepat kakinya melangkah mundur. Disertai
bentakan nyaring, tubuh jangkung itu melesat menyambut
sosok tubuh yang tengah mengapung di udara. Melihat
dari sikapnya yang tanggap, jelas kalau seruan yang
ditujukan kepadanya tadi telah didengarnya.
Setelah berputar sebanyak dua kali di udara, tubuh
tinggi kurus itu menjejakkan kaki ke tanah. Menilik dari
caranya menyambut dan menjatuhkan kaki di tanah
dengan beban di kedua lengan, jelas kalau kepandaiannya
tidak bisa dipandang rendah.
“Bagus...!” seru laki-laki tinggi kekar berkumis tebal
memuji tindakan penjaga itu.
Pujiannya masih disertai pula tepukan tangan yang
cukup nyaring. Sayangnya, suara pujian yang keluar dari
mulut laki-laki gagah itu agak sedikit menyiratkan
kesinisan.
“Terima kasih atas pujianmu, Kisanak, Bolehkah aku
tahu, siapa kalian sebenarnya? Dan mengapa sampai tega
menyiksa kedua orang kawan kami ini?” tegur laki-laki
tinggi kurus itu dengan wajah angker. Sepasang matanya
tampak menyipit, seperti hendak menilai kelima orang
laki-lagi gagah di depannya.
“Tidak perlu banyak cakap! Panggil saja majikanmu
keluar! Katakan, sahabat-sahabat Saudagar Prakosa ingin
bertemu!” jawab laki-laki berkumis lebat yang memang
sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Jelas kalau
ucapannya mengandung ancaman.
“Hm.... Jangan disangka setelah menganiaya kedua
orang kawan kami, kalian bisa berbuat seenaknya!
Langkahi dulu mayat kami berdua, baru bisa menemui
majikan kami,” tantang laki-laki tinggi kurus itu.
Kemudian dia segera mencabut keluar golok panjang di
pinggangnya. Perbuatannya diikuti penjaga lainnya, yang
berdiri di sebelah kiri laki-laki tinggi kurus itu.
“Nah! Kalau begitu, matilah kalian...!” bentak laki-laki
berkumis lebat yang segera melompat disertai kibasan
tangan ke arah dua orang penjaga pintu gerbang itu.
Wuttt!
Serangkum angin menderu, berhembus mengiringi
kibasan tangan laki-laki gagah itu. Dari sambaran angin
yang ditimbulkannya, jelas kalau ia memang hendak
menurunkan tangan maut kepada dua orang penjaga yang
siap menyambutnya.
“Yeaaat..!”
Dibarengi teriakan keras, kedua orang penjaga itu
bergegas mengibaskan senjata menyambut serangan
lawan. Tapi, laki-laki gagah itu ternyata cukup cerdik.
Maka, tangan kanannya yang mengibas itu berputar
setengah lingkaran. Kemudian, terus meluncur
menyampok kedua senjata lawan.
Plak! Plak!
“Akh...!”
Perubahan gerak yang cepat dan tak terduga dari laki-
laki gagah itu, tak sempat lagi dicegah lawan. Terdengar
suara keras yang disusul seruan tertahan dari kedua orang
penjaga itu. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang
sejauh satu tombak. Demikian kuatnya tenaga sampokan
laki-laki gagah itu, sehingga senjata mereka terlepas dari
genggaman.
“Kurang ajar...!” umpat penjaga tinggi kurus yang
segera melenting bangkit, dan siap menghadapi per-
tarungan kembali.
“Setan...!” maki penjaga yang bertubuh pendek.
Seperti kawannya, tubuh laki-laki pendek itu pun
melenting bangkit dengan wajah menyeringai kesakitan.
Tangan kanannya bergerak mengelus pinggul yang terasa
linu. Dan memang, pada saat terjatuh tadi, tubuhnya tepat
menimpa batu sebesar kepalan tangan. Dan tentu saja
kemarahannya semakin menggelegak.
Laki-laki kekar berwatak berangasan itu rupanya tidak
ingin berlama-lama. Begitu kedua lawannya bergerak
bangkit, dia langsung melompat disertai hantaman telapak
tangan ke arah penjaga tinggi kurus.
Bugk!
“Hugkh...!”
Hantaman telapak tangan laki-laki kekar itu telak
menghajar dada lawan yang tak berdaging. Tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu tertolak ke belakang
bagai dihentakkan tenaga raksasa yang tak nampak.
Penjaga itu kemudian tewas, setelah terlebih dahulu
menghantam dinding batu di belakangnya.
Sedangkan gerakan laki-laki kekar berkumis lebat itu
ternyata masih berkelanjutan. Begitu hantaman telapak
tangannya mengenai sasaran, tubuhnya segera berputar.
Langsung dilancarkannya tendangan lompat yang
mengarah kepala penjaga satunya lagi.
Penjaga bertubuh pendek yang saat itu masih me-
rasakan nyeri di pinggulnya, tentu saja menjadi terkejut
setengah mati. Belum lagi sempat menyadari, telapak kaki
yang mengandung tenaga dalam kuat itu telah singgah di
kepalanya.
Krakkk!
Bagaikan layang-layang putus, tubuh pendek itu
melintir akibat kerasnya tendangan lawan yang menghajar
kepalanya. Darah segar kontan menyembur dari mulut-
nya, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sebelum
tubuhnya sempat terjatuh, kembali sebuah tamparan keras
membuat napasnya langsung putus.
Plakkk!
Tamparan keras yang telak menghajar pelipisnya,
membuat penjaga bertubuh pendek itu terbanting keras ke
atas tanah. Darah seketika tampak mengalir dari luka
memanjang di pelipisnya. Tamparan yang menewaskan itu
ternyata juga menimbulkan luka yang mengalirkan darah.
Selesai menamatkan riwayat kedua lawannya, laki-laki
tinggi kekar itu langsung melompat melewati pintu
gerbang.
“Adi Sempana, tunggu..!” seru salah seorang dari
empat laki-laki gagah yang berusia paling tua di antara
mereka. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengejar.
Tiga orang laki-laki gagah lainnya, bergegas menyusul.
Gerakan mereka rata-rata gesit dan ringan, langsung
bergerak memasuki pelataran rumah itu.
***
“Hey, siapa kalian?! Dan mau apa memasuki tempat
ini...?!” terdengar bentakan nyaring yang membuat
langkah lima orang laki-laki gagah itu terhenti.
Begitu bentakan lenyap, delapan sosok tubuh ber-
pakaian serba hitam berlompatan mengurung lima orang
itu. Sikap kedelapan orang itu terlihat galak, dan
memandang penuh ancaman. Senjata-senjata mereka pun
telah dilolos dari sarungnya.
“Hm.... Cecunguk-cecunguk Gerda Pasa. Lebih baik
kalian menyingkir sebelum kesabaranku hilang!” ancam
laki-laki bertubuh kekar yang bernama Sempana. Sepasang
matanya tampak menyorot tajam, membuat hati delapan
orang itu bergetar dan melangkah mundur tanpa sadar.
“Keparat sombong! Kurobek mulutmu yang lancang
itu!” bentak salah seorang di antara pengepung itu.
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dua
tindak. Tangan kanannya mengibas ke kiri dan kanan
sebagai perintah kepada kawannya untuk mulai bergerak.
“Hmh...!”
Sempana menggeram gusar melihat kepungan itu.
Sebelum orang-orang itu bergerak, tubuhnya sudah
mencelat. Langsung dikirimkannya serangan ke arah dua
orang yang berada di depannya.
“Heaaat..!”
Dua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa yang
melihat datangnya serangan lawan, cepat bergerak meng-
hindar sambil mengibaskan senjata disertai pengerahan
tenaga dalam.
Bettt! Bettt!
Sempana sama sekali tidak peduli terhadap serangan
dua orang lawannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan
dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan deru angin
kuat. Tentu saja hal itu membuat kedua orang lawan
menjadi terkejut. Namun, mereka tetap membabatkan
senjatanya. Maksudnya, untuk membuntungi kedua
lengan lawan.
Bagaikan seekor belut, sepasang tangan Sempana
meliuk menghindari sambaran dua batang senjata. Saat itu
juga, tubuhnya mengegos ke kanan, dan langsung
mengirimkan sebuah tendangan kilat
Begk!
“Hugkh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh salah seorang lawan
langsung terjungkal akibat tendangan keras Sempana.
Darah segar langsung memercik membasahi pelararan
rumah Juragan Gerda Pasa. Seketika orang itu ber-
kelojotan tewas akibat tendangan dengan pengerahan
tenaga dalam amat kuat.
Melihat tubuh kawannya terkapar tak bergerak, lawan
yang seorang bergegas menebaskan senjata ke leher
Sempana. Terdengar suara berdesing nyaring yang
menandakan kalau sambaran golok itu cukup kuat.
Belum lagi sambaran golok itu tiba, seorang ber-
seragam hitam lainnya meluruk maju sambil menyabetkan
pedang mengincar perut Sempana. Kekuatan sambaran itu
tidak kalah kuat dengan yang pertama. Sepertinya, kedua
orang itu memang sengaja hendak mengacaukan pikiran
lawan dengan serangan dari dua arah yang berbeda.
Namun Sempana yang merupakan orang kedua dari
lima tokoh berjuluk Lima Naga Sungai Gombang, bukan-
lah orang sembarangan. Pengalamannya dalam rimba
persilatan tak terhitung lagi. Sehingga dalam menghadapi
serangan dari dua arah itu, sama sekali tidak gugup.
Bagaikan seekor ular, tubuh kekar itu meliuk dengan
gerakan luwes. Sambil melangkahkan kaki kanan ke
depan, tubuhnya menekuk ke belakang dengan kedua
tangan hampir menyentuh tanah.
“Haiiit..!”
Sambil membentak nyaring, tubuh laki-laki kekar itu
berbalik, setelah kedua batang senjata lawan lewat satu
jengkal di atas perutnya. Gerakan membalik itu dibarengi
tendangan kedua kakinya, langsung menghajar dagu dan
dada lawan.
Bukkk! Desss!
“Hugkh...!”
“Uhhh...!”
Tentu saja kedua orang lawan sama sekali tidak
menduga gerakan itu. Mereka langsung mengeluh dan
langsung terpental. Lawan yang terhantam dadanya
kontan roboh pingsan, sedangkan yang seorang lagi
melintir sambil memegangi dagu yang remuk.
Rupanya tendangan itu belum membuat hati Sempana
puas. Tubuhnya kembali melenting, setelah terlebih
dahulu menjatuhkan kaki sebagai tolakan. Gerakannya
yang bagaikan lompatan kera itu membuat lawan menjadi
terkesima. Belum lagi rasa sakit akibat tendangan tadi
lenyap, tahu-tahu sepasang kaki Sempana telah menjepit
tubuhnya. Seketika dua buah telapak tangan yang kuat
langsung menghajar kedua telinganya secara berbarengan.
Prakkk!
“Aaargh...!”
Darah segar segera membanjir keluar dari hidung,
mulut, dan kedua telinga. Tubuh orang itu ambruk, dan
tewas setelah berkelojotan meregang nyawa.
Pada saat yang bersamaan, terdengar jerit kematian
berturut-turut memecah keheningan siang itu, disusul
berjatuhannya empat orang berseragam hitam terakhir.
Mereka tewas di tangan empat orang Lima Naga Sungai
Gombang, yang juga telah menyelesaikan pertarungan.
“Kakang Gumparan! Apakah kita harus berpencar...?”
Sempana melangkah, menghampiri orang tertua di antara
mereka.
“Tidak. Kita harus tetap bersama, Adi Sempana.
Kudengar, manusia keji Gerda Pasa telah mengangkat
Macan Tutul Lembah Daru sebagai menantu. Siapa tahu,
pendekar muda itu akan membantunya. Sehingga, kita
harus berhadapan dengannya terlebih dahulu,” sahut Ki
Gumparan. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa
gentar ketika mengucapkan nama Macan Tutul Lembah
Daru.
“Hei? Benarkah ucapanmu itu? Mengapa pendekar
muda itu tidak mengundang kita?” tanya Sempana yang
merasa terkejut juga ketika mendengar keterangan
saudara tertuanya.
“Hm.... Kita tidak pernah berjumpa dengan pendekar
muda itu sebelumnya. Jadi, wajar saja kalau tidak
mengundang kita pada hari pernikahannya,” jawab Ki
Gumparan dengan nada sedikit kecewa.
“Sudahlah. Biarpun Macan Tutul Lembah Daru mem-
bantu juragan berhati iblis itu, kita tidak perlu mundur
karenanya,” sahut salah seorang dari tiga lainnya, tak
sabar.
Jelas kalau ia merasa tidak suka pada nada gentar yang
terkandung dalam ucapan kedua saudaranya.
“Ayolah...,” ajak Ki Gumparan yang langsung me-
langkahkan kakinya menaiki undakan anak tangga yang
berhubungan ke pintu utama rumah besar itu.
“Gerda Pasa, keluar kau...! Kami utusan Saudagar
Prakosa ingin meminta tanggung jawabmu!” seru Ki
Gumparan, lantang. Dan memang, suara itu dikirim
lewat pengerahan tenaga dalam. Maka, gemanya pun
terdengar hingga ke bagian belakang rumah besar itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara berderit yang
disertai terbukanya pintu utama rumah besar itu. Seorang
laki-laki tinggi besar yang wajahnya, dipenuhi cambang
bauk tampak berdiri tegak di ambang pintu.
“Siapa kalian? Dan apa maksudmu dengan tanggung
jawab itu?” tanya orang yang tak lain Gerda Pasa.
Suaranya berat dan berwibawa. Sepasang matanya yang
bulat, tampak merayapi kelima orang laki-laki gagah yang
berdiri tegak dengan sikap mengancam
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Gerda Pasa.
Meskipun kau telah dapat menipu para petani dengan
sikap dermawanmu, tapi kebusukanmu akan terbongkar
hari ini. Kau telah mengirim lima anak buahmu untuk
membakar perkebunan milik Saudagar Prakosa, sahabat
baik kami. Dan tiga di antaranya, terpaksa kami kirim ke
neraka. Sedangkan dua lainnya berada di depan pintu
gerbangmu. Nah! Apakah kau masih ingin membantah?”
kata Ki Gumparan yang mewakili saudara-saudaranya.
Sikap laki-laki setengah baya itu terlihat tenang dan
sama sekali tidak menunjukkan amarah.
“He he he.... Berapa kepeng kalian dibayar Prakosa,
sehingga bisa-bisanya melemparkan fitnah keji itu
kepadaku. Mengapa pula kalian mempercayainya?” sahut
Juragan Gerda Pasa.
Laki-laki setengah baya itu sama sekali tidak kelihatan
gentar meskipun pandangan kelima orang itu terlihat
penuh ancaman. Malah ia melangkah mendekati mereka
disertai tawanya yang serak.
“Kau salah sangka, Gerda Pasa. Bukan Saudagar
Prakosa yang melemparkan tuduhan itu. Tapi, kami
sendirilah yang memergoki dan membekuk kelima orang-
orangmu semalam. Kebetulan, saat itu kami tengah
bertamu dan menginap di kediamannya. Kalau saja kami
tidak di sana semalam, mungkin saat ini saingan dagangmu
telah jatuh bangkrut,” jelas Ki Gumparan sambil ter-
senyum penuh ejekan, karena apa yang diduga Gerda Pasa
ternyata salah.
“Hm.... Kalian datang tentu untuk meminta
sumbangan, bukan? Kalau begitu, biarlah. Aku akan
memberi sumbangan yang lebih besar kepada kalian.
Bagaimana? Dan, berapa yang kalian inginkan?” bujuk
Juragan Gerda Pasa.
Kini dia merasa yakin kalau kelima orang laki-laki
gagah itu memang benar-benar telah mengetahui
rahasianya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ditawarkannya
bayaran yang lebih tinggi kepada mereka.
“Bagus! Tawaranmu kuterima!”
Sempana yang sudah tidak bisa menahan sabar,
langsung saja maju ke depan.
“Dan kau boleh membayar dengan..., kepalamu!”
sambung laki-laki berwatak beringas itu sambil melompat,
dan langsung menebaskan sisi telapak tangan ke leher laki-
laki tinggi besar itu.
Wuttt!
Serangkum angin keras menderu, seiring sambaran sisi
telapak tangan Sempana. Menilik dari sambaran pukulan
itu, jelas kalau ia memang hendak mematahkan langsung
batang leher Juragan Gerda Pasa yang masih berdiri tegak
bagai tak mengetahui bahaya.
Dan sebelum batang leher laki-laki tinggi besar itu
patah akibat sambaran tangan Sempana, sesosok tubuh
melayang dan langsung memapak tebasan telapak
tangannya.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Bukan main terkejutnya hati Sempana ketika lengannya
bagai dihantam besi baja. Tubuhnya terdorong mundur
beberapa langkah ke belakang diiringi seruan kagetnya.
“Bangsat!” maki Sempana.
Laki-laki beringas itu tampak memijat-mijat lengannya
yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Selebar wajahnya
tampak memerah saking geramnya terhadap laki-laki
tinggi kekar itu.
“Macan Tutul Lembah Daru...!” seru Ki Gumparan
dan keempat orang saudaranya, termasuk Sempana.
Mereka benar-benar terkejut melihat sosok tubuh
tinggi tegap berpakaian kulit macan tutul. Siapa lagi
pemuda itu kalau bukan Nanggala.
“Siapa mereka, Kakang...?” tanya wanita cantik
berpakaian serba putih, yang begitu tiba langsung
memeluk tubuh Nanggala. Dia adalah Untari, istri Macan
Tutul Lembah Daru.
Rupanya suami istri yang menempati bagian belakang
rumah besar itu bergegas ke depan setelah mendengar
teriakan Ki Gumparan tadi. Dan suami istri itu menarik
napas lega setelah mengetahui kalau orang tua mereka
belum sempat dilukai kelima orang laki-laki yang
menyatroni rumah besar ini
“Kalau tidak salah, mereka adalah Lima Naga Sungai
Gombang,” jawab Nanggala.
Jawaban itu keluar setelah Macan Tutul Lembah Daru
meneliti kelima orang laki-laki gagah itu. Meskipun belum
pernah berjumpa dengan mereka, namun nama kelima
orang itu telah lama didengar dan dikaguminya. Itulah
sebabnya, mengapa Nanggala terlihat agak sedikit segan
terhadap mereka. Sebab biar bagaimanapun, kelima orang
itu masih segolongan dengannya. Dan hal itu membuatnya
tidak menunjukkan sikap permusuhan.
***
“Benar, Macan Tutul Lembah Daru. Kami berlima
dijuluki Lima Naga Sungai Gombang. Dan kuharap, kau
tidak ikut campur dalam masalah ini. Perlu kau ketahui,
Gerda Pasa telah melakukan perbuatan keji. Dia telah
memakai tangan lima orang anak buahnya untuk mem-
bakar perkebunan milik sahabat kami yang bernama
Saudagar Prakosa. Maka, kuharap kau menyingkir. Biar
kami menyelesaikan urusan ini dengannya,” ujar Ki
Gumparan, berwibawa.
Karena biar bagaimanapun, Ki Gumparan merasa
tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada
Nanggala. Menurutnya, pemuda itu hanya seorang tokoh
muda yang usianya baru seumur jagung. Maka, sudah
sepatutnya kalau Macan Tutul Lembah Daru bersikap
lebih hormat kepadanya.
Nanggala bukan tidak memandang Lima Naga Sungai
Gombang. Tapi karena mereka hendak mencelakai ayah
mertuanya, maka mau tak mau ia harus membela.
Apalagi, semua tuduhan itu belum tentu benar. Sebab,
selama tinggal di tempat kediaman ayah mertuanya,
belum sekali pun orang tua itu terlihat berbuat jahat.
Bahkan ayah mertuanya sering dilihat menolong petani-
petani miskin yang kekurangan modal. Tentu saja
Nanggala tidak bersedia mengikuti permintaan Ki
Gumparan.
“Maaf, Ki. Kurasa hal itu hanya fitnah dari orang yang
merasa tidak suka terhadap ayah mertuaku. Jadi sebaiknya
hal ini dibicarakan dulu dengan kepala dingin. Mari,
silakan masuk,” ajak Nanggala sambil menggeser tubuhnya
memberi jalan kepada kelima orang itu untuk masuk.
“Tidak bisa. Apa yang kami katakan itu sama sekali
bukan fitnah. Dan Gerda Pasa sendiri sudah mengakuinya
tadi,” kembali Ki Gumparan melanjutkan ucapannya.
Wajah laki-laki setengah baya itu tampak sedikit gusar
melihat sikap Nanggala yang jelas-jelas berada di pihak
Gerda Pasa. Hal itu tentu saja membuatnya cemas. Tentu
saja, karena pekerjaannya akan lebih sulit dengan adanya
Macan Tutul Lembah Daru di pihak lawan.
Nanggala tidak segera menjawab perkataan Ki
Gumparan. Pemuda itu menolehkan kepala ke arah ayah
mertuanya. Dan Untari pun melakukan hal yang sama.
“Ayah, benarkah apa yang diucapkan orang itu?” tanya
Untari meminta penjelasan ayahnya. Wanita cantik itu
sudah melangkah dan mendekati Gerda Pasa.
“Hhh.... Aku tidak bisa bilang apa-apa. Sekarang,
tinggal terserah kalian berdua. Apakah lebih mempercayai
Ayah, atau kelima orang tukang pukul Prakosa itu,” sahut
Gerda Pasa yang dengan pandainya bersandiwara berpura-
pura sedih.
“Tapi, Ayah tidak melakukannya, bukan?” desak
Untari, meminta kepastian ayahnya.
“Tidak...,” jawab Gerda Pasa menggeleng lemah.
Kemudian, sambil menundukkan kepala, laki-laki
setengah baya itu melangkah menuju ke dalam rumahnya.
“Bedebah licik!” maki Sempana yang menjadi marah
besar demi mendengar jawaban Gerda Pasa.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, laki-laki kekar
itu langsung melompat dan menerjang Gerda Pasa yang
hendak meninggalkan tempat itu.
Macan Tutul Lembah Daru tentu saja tidak mem-
biarkan ayah mertuanya dilukai orang. Maka tubuhnya
langsung bergerak menghalangi serangan Sempana.
Langsung tangan kanannya diangkat untuk memapak
serangan laki-laki kekar itu.
Melihat sikap Macan Tutul Lembah Daru yang jelas-
jelas hendak membela orang yang dibencinya, Sempana
pun menjadi gusar. Serangan yang semula ditujukan
kepada Gerda Pasa, kini beralih mengancam kepada
Nanggala. Kepalan itu berputar cepat, dan langsung
menyambar dada pemuda berpakaian kulit macan tutul
itu.
Nanggala pun tidak tinggal diam. Melihat perubahan
serangan lawan yang kini mengancam dadanya, cepat
kakinya melangkah ke belakang menghindarinya. Begitu
serangan lawan luput, kaki yang semula berada di
belakang itu langsung mencelat naik melepaskan sebuah
tendangan kilat yang tak terduga.
Zebbb!
Sempana pun bukan tidak melihat tendangan itu.
Dengan memiringkan tubuhnya sedikit, maka serangan
lawan pun menyambar angin kosong. Gerakan mengelak
yang dilakukan Sempana tidak hanya berhenti di situ saja.
Sepasang tangannya langsung menyambar telapak kaki
lawan, dan bermaksud memuntir patah. Gerakannya
cukup cepat dan mengejutkan. Untunglah Nanggala
menarik kakinya lebih cepat, sehingga cengkeraman lawan
tidak membawa hasil.
Sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari
lagi, Nanggala segera mempersiapkan ilmu andalannya.
Karena saat itu, Ki Gumparan dan yang lainnya sudah
datang menyerbu. Maka, repotlah Macan Tutul Lembah
Daru menghadapi keroyokan Lima Naga Sungai Gombang
yang terkenal lihai.
Untari yang melihat suaminya tampak kerepotan, cepat
menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran. Pedang
di tangannya langsung dikibaskan ke arah dua orang lawan
yang paling dekat dengannya.
Wuttt!
“Uts...!”
Dua orang dari Lima Naga Sungai Gombang yang tidak
menduga akan kehebatan Untari, menjadi terkejut
setengah mati. Untunglah mereka masih sempat menarik
tubuh ke belakang, sehingga ujung pedang gadis cantik itu
hanya merobek baju pada bagian perut.
Kenyataan itu tentu saja membuat keduanya terkejut
setengah mati. Seketika wajah mereka pucat pasi. Untung
saja pada saat-saat terakir, masih sempat menghindar.
Kalau tidak, pasti tubuh keduanya sudah tergeletak mandi
darah.
“Kurang ajar kau, Perempuan Liar...!” maki salah
seorang dari mereka yang berwajah bulat dan berjenggot
lebat.
Ia yang tadi sempat mendengar kalau wanita itu adalah
putri Gerda Pasa, tentu saja tidak menyangka kalau
kepandaiannya tinggi. Mana mungkin anak seorang
juragan kaya dapat memiliki ilmu silat? Dan hal itu
ternyata telah membuatnya hampir tewas.
“Hm.... Jangan mimpi untuk dapat menangkap ayahku,
Kambing Bandot! Menghadap pedangku saja, kau sudah
seperti kakek-kakek kebakaran jenggot!” ejek Untari.
“Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Kau akan
merasakan kerasnya pukulanku nanti,” lanjut laki-laki
bertubuh tegap dan berdada bidang itu, geram.
Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali bergerak
mendekati Untari. Kedua tangannya yang membentuk
cakar naga, bergerak-gerak susul-menyusul. Langkah kaki-
nya terlihat mantap dan beraturan.
“Haiiit..!”
Untari berseru nyaring sambil menggeser tubuh ke
samping kanan. Begitu sambaran tangan lawan lewat di
sampingnya, pedang gadis itu berkelebat cepat mengincar
lambung lawan.
Wuttt!
Namun kali ini tidak mudah bagi Untari untuk
menyentuh tubuh lawan. Pedang itu ternyata hanya lewat
dan tidak mengenai sasaran. Bahkan sebelum senjatanya
sempat ditarik pulang, cengkeraman tangan lawan sudah
meluncur mengancam bahunya.
Melihat cengkeraman lawan datang, cepat Untari
menarik mundur tubuhnya dengan kuda-kuda rendah.
Dan belum lagi wanita itu sempat menarik napas lega,
sebuah tendangan dari lawan yang lain datang mengancam
iganya. Karena sudah tidak mungkin lagi bergerak meng-
hindar, maka tubuhnya bergegas diputar dan dipapaknya
tendangan lawan dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Uhhh...!”
Tangkisan Untari memang berhasil menggagalkan
tendangan lawannya. Tapi sayang, kedudukan gadis itu
terlalu lemah. Sehingga, tubuhnya terdorong ke samping
sejauh satu batang tombak.
“Haiiit..!”
Namun, wanita cantik itu memang bukan orang
sembarangan. Begitu terjajar mundur, cepat-cepat
tubuhnya melenting ke udara dengan menggunakan
jejakan kaki ke tanah. Kembali kedua kakinya mendarat
selamat di tanah.
Kedua orang lawan Untari ternyata tidak hanya ber-
henti sampai di situ saja. Begitu kaki wanita itu menjejak
bumi, serangan mereka kembali tiba. Pertempuran pun
kembali berlanjut sengit.
***
DELAPAN
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara
Macan Tutul Lembah Daru melawan tiga orang dari Lima
Naga Sungai Gombang, masih berlangsung sengit.
Nanggala yang sadar kalau lawannya bukanlah orang-
orang sembarangan, mengerahkan seluruh kepandaian
untuk menahan gempuran lawan. Jurus 'Macan Tutul' nya
yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan,
dikerahkan sepenuh tenaga. Maka dapat dibayangkan,
betapa hebatnya gempuran-gempuran yang dilancarkan
Nanggala terhadap ketiga lawannya itu.
Tubuh Macan Tutul Lembah Daru yang berkelebatan
disertai serangan-serangannya, benar-benar membuat Ki
Gumparan dan kedua saudaranya kewalahan. Sehingga,
mereka harus mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki
untuk menghadapi terjangan pendekar muda itu. Tentu
saja, pertarungan yang terjadi di antara mereka semakin
seru dan sengit.
“Heaaat..!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh
puluh tiga, Nanggala berseru nyaring disertai lesatannya.
Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagi
serangan ke titik-titik terlemah di tubuh ketiga lawan.
Gerakannya cepat dan memiliki banyak perubahan yang
tak terduga. Akibatnya Ki Gumparan dan saudara-
saudaranya benar-benar kelabakan.
Nanggala yang melihat lawan berlompatan mundur
dalam jarak yang terpisah, bergerak cepat mengejar Ki
Gumparan. Pukulan 'Macan Tutul'nya meluncur deras
mengincar pelipis dan dada kiri lawan.
Bettt! Bettt!
Pukulan yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Daru
benar-benar cepat dan berbahaya. Sehingga, Ki Gumparan
yang menjadi incaran serangan Nanggala menjadi
kerepotan dibuatnya. Dengan wajah agak pucat, laki-laki
setengah baya itu menggeser tubuhnya ke samping,
menghindari serangan lawan.
Namun sepasang mata pemuda itu ternyata sangat jeli.
Melihat tubuh lawan bergeser ke samping, kedua
serangannya segera ditarik pulang. Dan sebelum Ki
Gumparan sempat menyadari, sebuah tendangan keras
telah menghajar lambung kanannya.
Bukkk!
“Aaakh...!”
Tendangan Nanggala yang sangat keras membuat tubuh
Ki Gumparan terlempar hingga dua batang tombak
jauhnya. Sebelum orang tertua dari Lima Naga Sungai
Gombang itu dapat memperbaiki posisinya, tubuh
Nanggala kembali melesat disertai tiga buah pukulan
beruntun.
Untunglah pada saat yang berbahaya bagi keselamatan
Ki Gumparan, Sempana datang memapak serangan Macan
Tutul Lembah Daru. Laki-laki bertubuh kekar itu
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, untuk menangkis
serangan Nanggala.
Pada saat yang bersamaan, orang ketiga dari Lima Naga
Sungai Gombang mengirimkan pukulan ke tubuh
Nanggala. Laki-laki gemuk yang berada di bagian belakang
itu melepaskan dua buah pukulan sekaligus, mengarah ke
bagian belakang Macan Tutul Lembah Daru. Tentu saja
dua buah sergapan yang dilakukan secara berbarengan
sangat sulit untuk dielakkan Nanggala.
Namun, nama Macan Tutul Lembah Daru memang
bukan sekadar nama kosong. Dalam menghadapi dua
sergapan pengeroyoknya, dia sama sekali tidak gugup.
Seketika ditundanya serangan yang semula ditujukan ke
arah Ki Gumparan. Dengan sebuah gerakan menakjubkan,
tubuh pemuda itu tiba-tiba saja mencelat naik setinggi
setengah tombak lebih. Tubuhnya yang dalam sikap tidur
lurus, melakukan dua buah tendangan ke arah Sempana
sambil mendorongkan sepasang tangannya untuk
menyambut serangan lawan yang berada di belakang.
Hebat, dan benar-benar mengejutkan sekali apa yang
dilakukan pendekar muda itu.
Sempana yang tengah melakukan tamparan mendatar
itu tentu saja terkejut sekali. Tangannya cepat berputar,
melakukan tangkisan. Sayang apa yang dilakukan laki-laki
kekar itu tidak berhasil sepenuhnya. Selagi menangkis
tendangan kaki kanan lawan, kaki kiri Nanggala lebih dulu
meluncur dan menghantam telak dadanya.
Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan Nanggala
yang berputar tak terduga itu telah bersarang di dada laki-
laki bertubuh gemuk.
Plakkk! Desss! Bresssh...!
“Hugkh...!”
“Akh...!”
Kedua orang lawan Macan Tutul Lembah Daru
berteriak kesakitan. Tubuh mereka terpental ke belakang,
sejauh dua batang tombak. Darah segar langsung
menyembur dari mulut mereka.
“Keparat! Kau benar-benar telah menjadi iblis, Macan
Tutul Lembah Daru! Hanya karena seorang wanita cantik,
kau telah berubah haluan dan membela orang salah!” maki
Ki Gumparan dengan wajah merah padam. Jelas kalau
laki-laki setengah baya itu merasa geram melihat luka yang
diderita kedua saudaranya.
Ki Gumparan yang sudah bertambah kalap, segera
melesat dan mengirimkan serangan-serangan maut dengan
sisa-sisa tenaganya. Sepertinya, ia hendak mengadu nyawa
dengan Macan Tutul Lembah Daru yang menurutnya telah
salah jalan.
“Heaaat..!”
Terjangan Ki Gumparan yang disertai pengerahan
tenaga sepenuhnya sama sekali tidak membuat Nanggala
gentar! Dengan tangkasnya, pemuda itu berkelit.
Langsung dilancarkannya serangan balasan yang tidak
kalah berbahayanya.
Pertarungan kali ini berjalan tidak seimbang. Ki
Gumparan yang saat itu masih dalam keadaan terluka,
sepertinya tidak sanggup menahan gempuran-gempuran
hebat yang dilancarkan lawan. Sehingga dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus, laki-laki setengah baya itu
terpaksa harus menerima hantaman Nanggala yang
menghajar iganya.
Desss!
Ki Gumparan menjerit ngeri akibat pukulan jurus
'Macan Tutul' yang telak menghajar iganya. Tubuhnya
kembali terbanting di atas tanah, sehingga menimbulkan
suara berdebuk keras. Cairan merah nampak mengalir di
sudut bibirnya.
Macan Tutul Lembah Daru menatapi ketiga orang
lawannya yang tengah merintih kesakitan. Dan memang,
tidak ada niat di hatinya untuk membunuh mereka. Maka,
Nanggala pun tidak melanjutkan serangannya. Padahal
kalau mau, hal itu sangat mudah dilakukannya.
Tiba-tiba saja kepala Nanggala terdongak ketika men-
dengar suara jerit kematian yang melengking membelah
angkasa. Betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika
melihat dua sosok tubuh terlempar mandi darah. Dan
dikenalinya betul, kalau kedua orang itu adalah orang yang
mengeroyok istrinya. Tapi yang membuatnya lebih ter-
kejut adalah, sebatang pedang berlumur darah yang
tergenggam di tangan seorang laki-laki tinggi besar dan
berwajah brewok.
“Ayah...! Mengapa harus membunuh mereka...?” tegur
Macan Tutul Lembah Daru ketika mengenali orang itu.
Sebab, laki-laki tinggi besar itu memang Gerda Pasa.
“Terpaksa kulakukan, Nanggala. Atau kau lebih suka
istrimu yang menjadi mayat? Seharusnya kau berterima
kasih, bukannya menegurku?” sahut Gerda Pasa seraya
mengerutkan alisnya yang tebal mendengar teguran
menantunya.
Nanggala tak mau menanggapi pertanyaan ayah
mertuanya. Sebab biar bagaimanapun, ia lebih suka
mereka yang tewas ketimbang istrinya. Atau lebih baik
lagi, kalau mereka cukup dilukai saja dan diusir pergi.
Tapi, hal itu hanya ada dalam hatinya. Sedangkan
mulutnya tetap bungkam tanpa kata-kata.
“Sebaiknya ketiga orang itu pun harus dilenyapkan!
Mereka bisa mendatangkan kesulitan bagi kita di
kemudian hari,” ujar Gerda Pasa lagi.
Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu
melangkah mendekati tiga orang lainnya yang hanya dapat
memandang dengan sinar mata pasrah. Dan memang,
keadaan mereka tidak lagi memungkinkan untuk
melanjutkan pertarungan.
“Tapi, Ayah....”
“Jangan terlalu lemah batinmu, Nanggala,” potong
Gerda Pasa.
Dia memang tidak ingin memberikan kesempatan
kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Orang seperti mereka tidak bisa diberi hati. Hari ini
kita bebaskan, besok akan kembali dengan kawannya yang
lebih banyak. Apakah kau lebih suka kalau mereka yang
akan menyiksa kita nanti?” lanjut Gerda Pasa,
menyudutkan pemuda itu.
Jelas kalau laki-laki setengah baya ini pandai bicara.
Sehingga, Nanggala tidak mampu membantahnya.
“Benar, Kakang. Tadi kalau ayah tidak keburu datang
menolongku, mungkin aku sudah jadi mayat,” Untari yang
melihat sinar keraguan di mata suaminya, ikut pula
membujuk.
Macan Tutul Lembah Daru menoleh ke arah istrinya.
Dan kening pemuda itu berkerut dalam ketika melihat
pakaian istrinya banyak ternoda darah. Bahkan di sudut
bibir wanita cantik itu masih tersisa lelehan darahnya.
Jelas, Untari telah mengalami luka-luka dalam setelah
menghadapi lawannya tadi.
“Kau.... Kau tidak apa-apa, Untari...?” tanya Nanggala
cemas. Jemari tangannya bergerak menghapus lelehan
darah di sudut bibir istrinya.
“Untung ayah masih sempat menyelamatkanku. Nah,
apakah sekarang kau masih merasa tidak tega kepada
orang-orang jahat itu?” kata wanita cantik itu seraya
mengerling tak senang.
Nanggala terpaksa membungkam. Rasa geramnya pun
bangkit setelah melihat apa yang terjadi pada wanita yang
disayanginya. Maka, ia pun tidak berusaha membantah
ketika ayah mertuanya telah bersiap hendak menghabisi
nyawa Ki Gumparan dan kedua saudaranya.
“He he he.... Badut-badut tukang fitnah! Sekarang
kalian boleh pergi dengan tenang. Aku akan membebas-
kanmu dari kehidupan dunia ini. Percayalah, kalian pasti
akan lebih tenteram di alam sana,” kata Gerda Pasa seraya
menyeringai tajam. Kata-kata itu sengaja diucapkan
perlahan, agar tidak terdengar Nanggala yang terpisah
beberapa tombak di belakangnya.
“Keparat kau, Manusia Keji! Jangan dikira aku takut
menghadapi kematian! Kalau ingin membunuh, bunuhlah
kami! Tidak perlu banyak cakap!” tantang Ki Gumparan
penuh kegeraman.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu
bersiap mempertahankan selembar nyawanya.
“Mampuslah...!” bentak Gerda Pasa.
Laki-laki itu benar-benar menjadi tidak sabar melihat
sinar mata Ki Gumparan yang jelas-jelas menantangnya.
Maka, golok besar di tangannya berkelebat cepat dengan
sambaran angin yang berkesiutan.
Wuttt!
Suara sambaran golok yang berdesing nyaring itu
membuat Ki Gumparan ternganga tak percaya. Sungguh
tak disangka kalau Gerda Pasa memiliki kepandaian silat
Maka hatinya kontan terkejut bukan main. Sebab, dari
suara sambaran senjata itu, dapat ditebak kalau kekuatan
yang menggerakkannya pasti hebat sekali. Sehingga, laki-
laki setengah baya itu terpaku bagaikan orang pasrah
menerima nasib.
“Tahan...!”
Pada saat maut sudah siap menjemput nyawa Ki
Gumparan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok
bayangan putih berkelebat bagaikan kilat, dan langsung
memapak tebasan golok dengan pedangnya.
Trang!
Bunga api berhamburan diiringi dentang nyaring yang
menulikan telinga. Tangkisan sosok tubuh itu ternyata
membuat Gerda Pasa terjajar mundur sejauh satu tombak
lebih. Meskipun demikian, golok besar di tangannya tetap
tergenggam erat
Sedangkan sosok bayangan putih yang menyelamatkan
Ki Gumparan dari kematian, telah berdiri tegak dengan
sorot mata menggiriskan. Wajahnya yang bersih dan
tampan, tampak tenang tanpa pancaran amarah sedikit
pun.
“Hm.... Siapa kau, Anak Muda? Mengapa mencampuri
urusanku?” tegur Gerda Pasa, garang. Sepasang matanya
yang bulat tampak berkilat tajam.
Ki Gumparan yang berada di belakang pemuda tampan
itu kembali bergetar hatinya. Memang, dari pancaran
mata Gerda Pasa, dapat dinilainya kehebatan tenaga dalam
yang dimiliki laki-laki tinggi besar itu. Dan ia pun tahu,
pancaran mata seperti itu hanya terlihat pada orang-orang
yang telah memiliki tenaga dalam hampir sempuma.
Tentu saja ia semakin tidak mengerti, mengapa sepasang
mata seorang juragan bisa demikian menggetarkan.
Sedangkan pemuda tampan yang tak lain dari Pendekar
Naga Putih hanya berdiri tegak sambil meneliti sosok
Gerda Pasa. Seorang gadis jelita berpakaian serba hijau
sudah berdiri mendampingi Panji.
“Kau pasti orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe,
dan bersembunyi di balik nama Gerda Pasa, bukan? Tak
perlu lagi berpura-pura di hadapanku, karena semuanya
tentang dirimu telah kuketahui,” tebak Pendekar Naga
Putih. Suaranya tetap tenang, dan wajar. Hanya sepasang
matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga di
kegelapan.
Gerda Pasa yang semula hendak marah karena pemuda
itu tidak menjawab pertanyaannya, tentu saja menjadi
terkejut setengah mati. Sehingga, untuk beberapa saat
lamanya ia hanya bisa ternganga heran.
Bukan cuma Gerda Pasa yang merasa terkejut atas
ucapan Panji. Bahkan semua yang hadir di tempat itu pun
terkejut mendengar disebutnya julukan Hantu Teluk
Jambe. Sebab, julukan itu telah menjadi momok beberapa
tahun lalu. Namun karena julukan itu lenyap begitu saja,
maka orang-orang rimba persilatan pun mulai melupa-
kannya. Siapa sangka kini tiba-tiba saja terdengar kembali
julukan yang menggetarkan itu. Tentu saja mereka
menjadi setengah tak percaya.
“He he he.... Apa yang kau ucapkan itu, Anak Muda?
Yang kau hadapi saat ini adalah juragan yang bernama
Gerda Pasa. Dan aku sama sekali tidak mengerti ucapan
gilamu itu,” ejek Gerda Pasa menyembunyikan rasa
terkejutnya. Hebatnya, wajah laki-laki tinggi besar itu pun
telah wajar kembali.
“Hm.... Jangan banyak berlagak dungu, Hantu Teluk
Jambe. Kau pikir, aku tidak tahu dari mana harta
bertumpuk-tumpuk yang kau dapatkan itu? Salah seorang
begundalmu yang berjuluk Tiga Buaya Darat telah
kutaklukkan. Dan dari merekalah, keterangan tentang
dirimu kudapat. Nah! Apakah masih ingin menyangkal?”
desak Panji tidak mau kalah gertak.
“Ooo... Jadi kau mendapatkan keterangan palsu itu
dari seorang raja perampok! Tidak sadarkah kau, Anak
Muda? Mereka telah menipumu mentah-mentah untuk
mencari selamat,” bantah Gerda Pasa kembali. Sehingga,
hal itu membuat semua orang menjadi bingung. Termasuk
juga Macan Tutul Lembah Daru yang mendengarkan
perdebatan itu.
“Siapa bilang aku berbohong...?” tiba-tiba terdengar
suara parau yang membuat Panji dan yang lain menoleh ke
arah asal suara.
“Paman Begawa...!” seru Panji yang tentu saja menjadi
gembira melihat kedatangan orang tertua dari Tiga Buaya
Darat.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa menyusul
kemari, karena aku tahu Hantu Teluk Jambe akan
menyangkal semua tuduhanmu. Aku sengaja memberikan
tugas mengantar barang itu kepada kedua orang saudara-
ku. Dan aku sendiri hadir di sini untuk menjadi saksi!”
kata laki-laki gemuk bercambang bauk yang melangkah
menghampiri Panji.
Untuk yang kesekian kalinya, orang-orang yang berada
di halaman itu ternganga heran. Sama sekali tidak disangka
kalau pemuda tampan berjubah putih itu adalah Pendekar
Naga Putih. Tentu saja semua pandangan orang yang ada
di sini kini beralih kepada Panji.
“Bedebah!”
Terdengar makian keras yang membuat orang-orang di
sekitarnya kembali terkejut.
“Kau ternyata seorang pengkhianat Begawa! Dan untuk
itu, kau harus menebus dengan nyawamu!” ancam Gerda
Pasa. Dengan hadirnya Begawa, Gerda Pasa tidak bisa
mengelak tuduhan itu lagi.
Gerda Pasa yang merasa kalau tidak ada gunanya lagi
menyangkal, segera melompat dan langsung menyerang
Begawa. Golok besar di tangannya berputar cepat
menimbulkan desingan angin yang memekakkan telinga.
Jelas kalau Gerda Pasa atau si Hantu Teluk Jambe hendak
menghabisi nyawa orang itu sekali tebas.
Trang!
Kembali terdengar benturan nyaring yang disertai
percikan bunga api di udara. Rupanya, Pendekar Naga
Putih kembali memapaki tebasan golok besar itu dengan
Pedang Naga Langit yang dipegangnya. Tentu saja hal itu
menimbulkan kemarahan yang semakin berkobar di dada
Gerda Pasa.
“Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Jangan dikira
dengan nama besarmu itu kau bisa bersikap sombong di
hadapanku. Hmh...! Kau harus diberi pelajaran! Biar kau
tahu, siapa sebenarnya Hantu Teluk Jambe itu!” geram
Gerda Pasa melihat campur tangan Panji yang mencegah
perbuatannya.
Sedangkan Macan Tutul Lembah Daru menjadi
bingung. Ia tidak tahu, harus berpihak ke mana? Sehingga,
pemuda itu hanya terpaku bagai orang bodoh di samping
istrinya.
Demikian pula Untari. Wanita itu memang sama sekali
tidak tahu kalau ayahnya memiliki julukan demikian
seram. Tuduhan-tuduhan yang semula tidak dipercayai-
nya, kini membuatnya bingung. Akhirnya, ia hanya bisa
memeluk tubuh suaminya untuk mencari ketenangan.
Saat itu, Pendekar Naga Putih sudah terlibat dalam
sebuah perkelahian sengit. Keduanya saling serang dengan
jurus-jurus andalan berbahaya. Sambaran-sambaran angin
pukulan mereka membuat orang-orang yang menyaksikan
perkelahian segera menjauhkan diri. Karena, tempat
perkelahian itu sudah hampir tidak terlihat lagi.
“Heaaat..!”
Hantu Teluk Jambe memekik keras sambil mengirim-
kan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri. Terdengar
suara mencicit tajam yang menandakan betapa berbahaya
serangannya.
Wusss! Blarrr...!
Tembok tebal pagar halaman rumah besar itu ambrol
akibat hantaman pukulan yang dilancarkan Hantu Teluk
Jambe. Kedahsyatan pukulan laki-laki tinggi besar itu
tentu saja membuat orang-orang yang menyaksikannya
menggeleng-gelengkan kepala. Betapa ngeri hati mereka
membayangkan, apabila pukulan dahsyat itu sampai
mengenai tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri sempat terkejut melihat kehebatan
pukulan lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin
berhati-hati, dan menambah pengerahan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang dimiliki. Hembusan angin dingin pun
semakin keras bertiup, bersamaan semakin melebarnya
lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti
tubuh Pendekar Naga Putih.
“Heaaah...!”
Bagaikan seekor naga murka, Panji memekik nyaring
disertai serangannya menggunakan jurus 'Naga Sakti'.
Wuttt! Wuttt!
Sambaran angin dingin yang menusuk tulang
berhembus keras mengiringi serangan Pendekar Naga
Putih yang susul-menyusul. Pedang Naga Langit di
tangannya berkelebatan, tak ubahnya seekor naga yang
bermain-main di angkasa. Sinar kuning keemasan yang
terpancar dari badan pedang, bergulung-gulung mem-
bentuk gundukan sinar yang menyilaukan mata. Hebat
sekali serangan pendekar muda itu, sehingga lawannya
terdesak mundur tanpa mampu melancarkan serangan
balasan.
Wuttt!
“Aihhh...!”
Hantu Teluk Jambe memekik tertahan. Hampir saja
tubuhnya termakan mata pedang lawan. Untung saja
tubuhnya masih sempat ditarik ke kanan belakang,
sehingga ujung pedang itu lewat beberapa jengkal di
samping kiri perutnya.
Laki-laki tinggi besar itu terus melempar tubuhnya dan
melakukan beberapa kali putaran salto untuk menghindari
kejaran mata pedang lawan. Begitu kedua kakinya
menjejak tanah, golok besar di tangan kanannya berputar
membentuk gulungan sinar putih yang melindungi seluruh
tubuhnya.
“Haaat..!”
Disertai teriakan yang membahana, tubuh Hantu Teluk
Jambe meluncur deras disertai sambaran golok besarnya.
Senjata di tangan Gerda Pasa meliuk dan berputar cepat
mencari sasaran. Sepertinya, tokoh sesat ini telah
mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk
menundukkan Pendekar Naga Putih.
Sayang, kali ini Hantu Teluk Jambe harus berhadapan
dengan pendekar muda yang sudah sangat terkenal
kehebatannya. Sehingga, meskipun pertarungan sudah
menginjak jurus yang keseratus empat puluh, laki-laki
tinggi besar itu belum juga berhasil mendesak lawan.
Bahkan beberapa kail tubuhnya nyaris tersayat ujung
pedang Pendekar Naga Putih. Tentu saja kenyataan pahit
itu membuatnya semakin penasaran.
Demikian pula halnya Panji. Diam-diam ia semakin
mengagumi kehebatan dan keuletan lawannya. Maka
pemuda itu bergegas melompat ke belakang, pada saat
pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh.
“Hm.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Usil?!”
bentak Hantu Teluk Jambe.
Gerda Pasa mengira Panji hendak melarikan diri. Maka
ia cepat melompat mengejar tubuh Pendekar Naga Putih
yang terpisah empat tombak dari tempatnya berdiri.
“Jangan takabur dulu, Sobat. Sambutlah seranganku
kali ini!” seru Panji mengatasi kebisingan suara sambaran
golok besar lawannya.
Usai berkata demikian, pemuda itu tampak menyilang-
kan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya
mencorong tajam, menimbulkan perbawa menggiriskan.
“Haiiit..!”
Dibarengi teriakan mengguntur, mendadak tubuh
pemuda itu melenting naik. Tubuhnya berputar bagaikan
baling-baling, dan langsung meluruk ke arah lawan.
Bukan main terkejutnya hati Hantu Teluk Jambe ketika
melihat gulungan sinar keemasan yang berpendar
menyilaukan mata. Cepat-cepat goloknya dikibaskan
memapak serangan aneh itu. Sayang, ia tidak mengetahui
keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'
yang digunakan Pendekar Naga Putih. Seketika wajahnya
pucat pias saat pedang lawannya berputar setengah
lingkaran dan langsung membabat perutnya.
Brettt!
“Aaargh...!”
Hantu Teluk Jambe meraung dahsyat ketika mata
pedang Panji membeset perutnya. Darah segar kontan
menyembur dari luka menganga yang panjang di
perutnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar
itu pun ambruk menimbulkan suara berdebuk keras.
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Terimalah
pembalasanku. .!” terdengar teriakan parau yang disusul
melesatnya sesosok tubuh tegap.
Begitu memasuki arena, sosok tubuh yang mengenakan
pakaian kulit macan tutul itu langsung menerjang
Pendekar Naga Putih dengan pedang di tangan.
Trang!
“Uhhh...!”
Sosok yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru
terpental balik akibat tangkisan yang dilakukan Panji.
Namun dengan kemarahan yang semakin memuncak,
Nanggala menggerakkan senjatanya, siap melakukan
penyerangan selanjutnya.
“Nanggala, jangan...!”
Tiba-tiba terdengar seruan parau yang lemah, namun
terdengar cukup jelas. Tentu saja seruan itu membuat
gerakan Nanggala terhenti. Cepat-cepat kepalanya
menoleh ke arah asal suara itu. Ketika ayah mertuanya
terlihat mengulapkan tangan, pemuda tegap itu pun
bergegas menghampiri.
“Ayah...,” panggil Nanggala langsung menjatuhkan diri
di samping Untari yang tengah terisak sambil memeluk
tubuh ayahnya.
“Nanggala, Untari.... Kalian jangan lanjutkan
kesesatanku. Aku memang pantas mendapatkan hukuman
seperti ini. Satu hal yang perlu kau ketahui, Untari. Kau
bukanlah anak kandungku. Saat itu, kau baru berusia
empat tahun, ketika nafsu biadabku telah membuat ibu
kandungmu bunuh diri. Karena merasa kasihan kepada-
mu, maka kau kupelihara. Kemudian, aku pindah ke Desa
Pacitan ini dan melakukan kejahatan dengan menggunakan
tangan orang lain. Hal itu kulakukan, agar kau tidak
merasa malu karena kejahatanku. Sayang, ketamakanku
membuat aku semakin gila dalam menumpuk harta. Dan
kini, aku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semua
ini kuceritakan, karena aku sudah mendekati ajal.”
Gerda Pasa berhenti sebentar, dan menarik napas
panjang. Sepasang matanya tampak terpejam rapat. Jelas
kalau laki-laki itu tengah berusaha menahan keharuan yang
menyeruak hatinya.
“Pesanku, jangan kau mendendam atas apa yang terjadi
pada diriku. Sedangkan mengenai harta, tidak semuanya
hasil kejahatan. Ambillah bagianmu untuk kebutuhan
hidup bersama suamimu. Sisanya, bagi-bagikanlah kepada
orang yang membutuhkan.”
“Ayah..., Ayah harus sembuh. Ayah tidak boleh pergi.
Tari sangat mencintai Ayah, meskipun bukan ayah
kandung...,” ratap Untari.
Tangis Untari meledak ketika melihat mata Gerda Pasa
masih saja terpejam. Diguncang-guncangkannya tubuh
Gerda Pasa dengan wajah bersimbah air mata. Sepertinya,
wanita cantik itu tidak lagi mempedulikan kalau laki-laki
yang telah sekarat itu adalah pembunuh ibu kandungnya.
“Nanggala.... Ja... jangan kau..., sia-siakan anakku....”
Selesai berpesan demikian, kepala Gerda Pasa terkulai
di atas pangkuan putrinya.
“Ayaaah...!” tangis Untari semakin menjadi-jadi ketika
mengetahui ayahnya telah tiada.
Panji, Kenanga, Begawa, dan tiga orang dari Lima
Naga Sungai Gombang sama-sama menundukkan kepala
penuh haru. Hati mereka benar-benar tersentuh men-
dengar tangis Untari yang memilukan. Sementara itu sang
bayu bertiup lembut mengusap wajah-wajah mereka yang
tertunduk lesu. Sepertinya, tiupan sejuk itu hendak menghibur hati mereka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar