..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MACAN TUTUL LEMBAH DARU

matjenuh

 

MACAN TUTUL LEMBAH DARU 
Oleh T Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar Sampul oleh Soeryadi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode 24: 
Macan Tutul Lembah Daru 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Hembusan angin pagi silir-silir mengiringi langkah kaki 
seorang pemuda bertubuh tinggi tegap. Menilik dari 
langkah kakinya yang ringan dan mantap, jelas dia sudah 
terbiasa menempuh perjalanan jauh. 
Wajah pemuda itu bersih dan tampan. Alis matanya 
tebal, membentuk garis melengkung. Matanya bening dan 
tajam, menimbulkan perbawa kuat. Tarikan dagunya 
kokoh, menandakan jiwanya yang keras. 
Tak berapa lama berjalan, tibalah pemuda itu pada 
sebuah aliran sungai. Sekali genjot saja, tubuhnya 
melayang bagaikan seekor burung besar. Ujung kakinya 
menotok batu-batu yang bertonjolan di atas permukaan 
air. Hebat sekali caranya menyeberangi sungai. Sebentar 
saja, ia telah berada di seberang sungai lebar itu. 
Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap itu memang 
bukan orang sembarangan. Konon kabarnya, dunia per-
silatan memberikan julukan kepada pemuda itu sebagai 
Macan Tutul Lembah Daru. Ia adalah anak yatim piatu 
yang dipungut Dewa Lembah Daru. Kedua orang tuanya 
tewas di tangan perampok yang pada saat itu tengah 
mengganas di desanya. 
Setelah diperbolehkan turun gunung pada setahun 
lewat, pemuda itu telah mengukir nama besar dalam 
dunia persilatan. Nanggala, alias Macan Tutul Lembah 
Daru merupakan tokoh golongan putih yang sangat 
disegani golongannya, dan ditakuti golongan hitam. Sepak

terjangnya yang menggiriskan, membuat namanya 
semakin ditakuti lawan dan disegani kawan. 
Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat bagaikan 
sebatang anak panah yang lepas dari busur. Dalam 
beberapa saat saja, tubuh pemuda gagah yang mengenakan 
pakaian kulit macan tutul itu hanya tinggal bayang-bayang 
kabur, untuk kemudian lenyap ditelan kelebatan hutan. 
*** 
Di tengah keheningan pagi yang bening, terdengar 
denting senjata yang ditingkahi teriakan-tenakan nyaring. 
Sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba putih 
tampak berkelebatan dan menyelinap lincah di antara 
sambaran pedang lawan. Gerakan gadis itu terlihat 
demikian indah, sehingga tak ubahnya seorang dewi yang 
tengah menari. 
“Haiiit..!” 
Kembali gadis berwajah cantik itu mengelak diiringi 
teriakan merdunya. Sambaran sebatang pedang lawan 
yang meluncur lurus ke arah lambungnya, dapat dielakkan 
dengan memiringkan tubuh ke kiri. Bahkan dengan 
gerakan tidak kalah cepatnya, gadis cantik itu langsung 
mengirimkan serangan balasan. 
Wuttt! 
Sambaran pedang gadis cantik itu menimbulkan 
desingan tajam, dan nyaris melukai iga lawannya. 
Untunglah pada saat yang gawat, sebatang pedang lain 
datang, dan langsung membentur pedang gadis itu. 
Sehingga ujung pedangnya yang semula siap terhunjam,

jadi menyeleweng menusuk angin kosong. 
Belum lagi gadis cantik itu sempat menyadari keadaan-
nya, tiba-tiba dari arah belakang meluncur sebatang 
pedang lainnya! Tentu saja hatinya menjadi terkejut ketika 
mendengar desingan angin tajam yang mengancam 
punggungnya. Maka, cepat-cepat tubuhnya diliukkan 
dengan menggunakan tenaga pinggang. Kemudian, 
tubuhnya dilempar ke samping, bagaikan baling-baling 
yang berputar. Sehingga, ia pun selamat dari ancaman 
pedang lawan. 
Namun, usaha yang dilakukan gadis itu ternyata sia-sia! 
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah tendangan lawan 
yang keras telah menghantam belakang pinggangnya. 
Bugkh! 
“Uhhh...!” 
Terdengar jeritan tertahan disertai terlemparnya tubuh 
gadis cantik itu beberapa tombak ke depan. Dan selagi 
tubuhnya terhuyung, lawan yang lain datang menyerbu 
dengan totokan-totokan saling susul. Dari sambaran angin 
totokan itu, jelas kalau kekuatan yang terkandung di 
dalamnya sangat kuat. Dapat dipastikan, tubuh gadis 
cantik itu akan roboh tak berkutik akibat totokan lawan. 
Siuttt! Siuttt! 
Jari-jari tangan laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu 
meluncur deras, mengancam titik-titik jalan darah di 
tubuh gadis cantik ini. Dan jelas, dia tidak mungkin lagi 
menghindarinya. 
Pada saat yang gawat, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi 
tegap melayang memasuki arena pertarungan. Begitu tiba, 
langsung telapak tangan kanannya didorongkan ke arah


laki-laki tinggi kurus yang tengah melancarkan serangan. 
Dan... 
Plakkk! 
“Uhhh...!” 
Dorongan telapak tangan sosok tubuh tinggi tegap itu 
ternyata mengandung kekuatan hebat. Sehingga, totokan 
jari-jari tangan yang terhantam angin pukulannya, 
langsung menyeleweng dari sasaran. Bukan itu saja. 
Bahkan tubuh laki-laki tinggi kurus itu pun berputar akibat 
tangkisan bertenaga dalam tinggi dari sosok tubuh itu. 
“Bangsat! Manusia bosan hidup dari mana yang berani 
mencampuri urusan Empat Setan Muara Bangkai!” umpat 
laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah geram. Sepasang 
matanya berkilat marah, menatap sosok tubuh tinggi tegap 
yang berdiri gagah melindungi gadis cantik itu. 
“Macan Tutul Lembah Daru...!” bisik tiga orang yang 
berdiri agak jauh dari tempat laki-laki tinggi kurus itu. 
Wajah mereka jelas menyiratkan kegentaran ketika 
mengetahui, siapa sosok tubuh yang telah menyelamatkan 
lawan mereka. 
Laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu pun tersentak 
kaget ketika mengenali sosok tubuh yang telah memapak 
serangannya. Meskipun belum pernah berjumpa dengan 
pendetar muda yang terkenal itu, namun melihat dari 
pakaiannya yang terbuat dari kulit macan tutul, jelas kalau 
orang yang menolong lawannya memang Macan Tutul 
Lembah Daru. Tapi, justru kenyataan itu malah membuat-
nya semakin marah. 
“Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Macan Tutul 
Lembah Daru? Bagus sekali sikapmu! Gadis itu sengaja kau

selamatkan karena tertarik melihat kecantikannya, bukan? 
Dan kau sok jadi pahlawan agar mendapat pujian dari 
mulut yang indah itu!” ejek laki-laki tinggi kurus itu. Jelas 
ejekan yang menyakitkan itu sengaja dilontarkan, untuk 
memancing amarah Macan Tutul Lembah Daru. 
Tapi sayang, ejekan itu sama sekali tidak membuat 
Nanggala marah. Malah, wajah pemuda berusia sekitar 
dua puluh lima tahun itu mengembangkan senyuman 
sabar. Sikapnya pun terlihat tenang. Tampaknya dia cukup 
berpengalaman dalam menghadapi keadaan ini. 
“Hm.... Kau pasti yang bernama Kalpika, orang tertua 
dari Empat Setan Muara Bangkai yang terkenal gagah itu,” 
tebak Nanggala, sengaja menekankan kata-kata 'gagah' 
untuk memancing sikap ksatria laki-laki tinggi kurus itu. 
Hal itu dilakukan Nanggala, untuk menghindari per-
tempuran. Bukan karena Nanggala gentar, tapi menurut-
nya akan lebih baik apabila pertumpahan darah dapat 
dihindari. Hal itu memang sudah menjadi dasar 
pemikirannya. 
“Maaf kalau aku telah lancang mencampuri urusan 
kalian. Tapi, rasanya tidak adil apabila seorang gadis muda 
seperti Nisanak ini dikeroyok kalian berempat. Dan 
karena melihat ketidakadilan inilah, maka urusan kalian 
terpaksa kucampuri,” lanjut Nanggala. 
Macan Tutul Lembah Daru berhenti sebentar untuk 
melihat hasil pujiannya. Senyum pemuda gagah itu 
semakin mengembang ketika melihat wajah keempat 
tokoh sesat itu berseri setelah mendengar pujiannya. Dan 
itu merupakan pertanda baik, setidak-tidaknya menurut 
Nanggala.

“Hm.... Tahukah kau, apa sebabnya kami ingin 
menawan wanita setan itu? Ketahuilah, Macan Tutul 
Lembah Daru. Wanita cantik itu telah membunuh sepuluh 
orang anak buah kami. Jadi, apakah salah bila kami 
melakukan pembalasan dan ingin menawannya hidup-
hidup? Cobalah katakan, kalau memang ada jalan lain 
untuk menyelesaikan persoalan ini,” jelas Kalpika. 
Suaranya mulai terdengar wajar, dan seperti mencoba 
bersikap bijaksana. 
Jelas sikapnya telah termakan pujian Nanggala. Bahkan 
cara berdiri dan menatap pemuda itu pun, terlihat agak 
dibuat-buat. Seolah-olah, ia memang ingin menunjukkan 
kalau dirinya seorang yang bijaksana dan memiliki 
kegagahan. 
Tiba-tiba saja, gadis cantik berpakaian serba putih itu 
melangkah maju. 
“Huh! Enak saja menyalahkan orang, Muka Tikus! 
Kalau bukan karena anak buahmu yang memulai, tentu 
aku pun tidak sudi melayani tikus-tikus busuk seperti anak 
buahmu. Dan jangan dikira aku takut menghadapi pem-
balasan darimu! Majulah kalian! Biar semua dapat kukirim 
ke neraka untuk menemani cecunguk-cecunguk 
peliharaanmu itu!” 
Mendengar kata-kata itu, kontan wajah keempat tokoh 
sesat itu kembali menjadi gelap. 
Bukan hanya Empat Setan Muara Bangkai yang merasa 
terkejut dengan ucapan gadis itu. Bahkan, Nanggala pun 
sempat dibuat kaget oleh keberanian gadis cantik yang 
ternyata sangat galak. Karena sudah terlambat mencegah, 
maka Nanggala hanya bisa menatap gadis itu penuh

kecemasan. Sebab, usaha perdamaian yang baru saja 
dimulainya, langsung hancur akibat ulah gadis cantik itu. 
Sehingga, Macan Tutul Lembah Daru hanya bisa menarik 
napas sambil bersiap melindungi gadis itu dari bahaya. 
“Perempuan setan! Apa pun alasan yang kau ajukan, 
bagi kami tetap saja perbuatanmu salah! Kalau memang 
anak buah kami bersalah, tidak perlu kau turun tangan 
membunuhnya. Sebab, kami berempat masih bisa 
mengajarkan kepada mereka agar bersikap gagah!” sentak 
Kalpika. 
Jelas ucapan itu mengandung kegeraman yang berusaha 
ditahannya. Itu dikarenakan, ia masih terbuai ucapan 
Nanggala yang memujinya sebagai orang gagah. Memang, 
hanya baru dari mulut pemuda itulah ia mendapat pujian 
demikian. Maka, wajar saja kalau Kalpika mencoba 
menahan kemarahannya. Meskipun untuk itu, ia harus 
menahan rasa sesak dalam rongga dadanya. 
“Hi hi hi...! Kau tidak usah berpura-pura sebagai orang 
baik, Empat Setan Kudisan! Dari ucapanmu saja, sudah 
jelas. Kau tidak mempedulikan perbuatan anak buahmu 
itu. Tapi karena pemuda ini sudah memujamu sebagai 
orang gagah, maka kau pun mencoba pura-pura bersikap 
gagah. Hi hi hi...! Lucu sekali! Sekumpulan anjing buduk 
yang biasa mengais sampah, mencoba berkedok harimau 
hanya karena sebuah pujian kosong!” kembali gadis cantik 
itu mengeluarkan hinaan yang sangat menyakitkan hati. 
“Nisanak, janganlah kau....” 
“Jangan ikut campur!” bentak gadis cantik itu ketus, 
memotong ucapan Nanggala. “Hm.... Apakah kau pikir 
setelah menyelamatkan diriku, lalu bisa mengatur seenak

nya? Huh! Kau ternyata sama saja dengan mereka! 
Berpura-pura menolong, padahal mempunyai pamrih di 
belakangnya. Rupanya, tuduhan si muka tikus itu benar. 
Kau menolong karena ingin mendapat pujian dariku, 
bukan? Nah! Kalau begitu, terimalah ucapan terima 
kasihku! Dan kau boleh pergi! Biar urusanku dengan 
mereka kuselesaikan sendiri!” 
Tajam dan menghina sekali kata-kata yang diucapkan 
gadis cantik itu. Sehingga, Nanggala yang biasanya selalu 
tenang dan tabah dalam menghadapi kematian sekalipun, 
kali ini tidak bisa berkata-kata. Pemuda itu hanya berdiri 
bagaikan orang kehilangan akal. Sebab, memang baru 
pertama kali inilah ia menolong orang dengan balasan 
hinaan yang sangat menyakitkan. 
Setelah melontarkan kata-kata yang menyakitkan 
kepada Nanggala, gadis cantik itu kembali melangkah 
maju. Pedang yang terhunus di tangan kanannya 
berkelebat membentuk kilatan menyilang. 
“Majulah kalian, Empat Setan Kudisan! Hari ini, Untari 
akan mengirim kalian ke neraka!” bentak gadis cantik yang 
mengaku bernama Untari, tanpa rasa gentar sedikit pun. 
Pedang di tangannya menyilang di depan dada, untuk 
kemudian ditudingkan lurus-lurus ke arah empat orang 
lawannya. 
Keberanian gadis cantik itu sebenarnya membuat hati 
Nanggala merasa kagum. Tapi sayang, sifat galak dan 
ketusnya tidak kalah dengan keberanian hatinya. Sehingga, 
diam-diam pemuda gagah yang berjuluk Macan Tutul 
Lembah Daru itu menyesali sifat jelek dalam diri Untari. 
Helaan napas yang mewakili kekecewaan hatinya, ter

dengar berat meluncur melalui hidung. 
Pertempuran yang sepertinya tidak mungkin bisa 
dihindari lagi, tentu saja membuat hati Nanggala menjadi 
cemas. Diam-diam pemuda perkasa itu bersiap 
melindungi keselamatan Untari. Sebab biar bagaimana 
pun, hatinya lebih condong membela gadis cantik itu. 
“Haiiit..!” 
Saat itu, Untari sudah mulai membuka serangan 
disertai teriakan nyaringnya. Tubuh ramping gadis itu pun 
melesat cepat menerjang keempat lawannya. 
Wuttt! Wuttt! 
Sekali menyerang, Untari langsung melepaskan dua 
sabetan pedangnya mengincar Kalpika dan Suraji, dua 
orang dari Empat Setan Muara Bangkai. Sambaran pedang 
gadis cantik itu demikian cepat dan kuat. Jelas, niatnya 
adalah menghabisi nyawa lawan-lawannya. 
Baik Kalpika maupun Suraji, tentu saja tidak sudi 
tubuhnya dijadikan sasaran empuk senjata Untari. Maka 
ketika senjata lawan meluncur datang, kedua orang tokoh 
sesat itu cepat melompat ke samping dan berpencaran. 
Gerakan mengelak itu masih pula dibarengi sabetan 
pedang masing-masing yang langsung mengincar tubuh 
Untari. 
Cepat Untari melempar tubuhnya ke belakang, begitu 
melihat sambaran kedua pedang lawannya. Pedangnya 
diputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi 
kepala. Hal itu dilakukan untuk menjaga-jaga bila 
serangan lawan tiba selagi ia melompat ke belakang. 
Melihat dari caranya bertempur, jelas kalau gadis cantik 
dan galak itu memiliki kecerdikan yang patut dipuji.

Nanggala sendiri mengangguk-anggukkan kepala 
melihat cara bertempur Untari. Meskipun demikian, 
pemuda itu tetap tidak menghilangkan kewaspadaannya. 
Kepandaiannya siap digunakan untuk menolong gadis 
cantik itu, apabila diperlukan. 
Apa yang diperhitungkan Untari, ternyata tidak 
meleset. Saat gadis cantik itu melompat mundur, Kalpika 
dan Suraji membarenginya dengan sebuah lompatan 
panjang. Senjata mereka berputar sedemikian rupa, dan 
langsung bergerak menusuk dengan kecepatan tinggi. 
Pedang di tangan Kalpika bergetar bagai terbelah 
menjadi beberapa bagian. Dan setiap ujung pedang itu 
memancarkan hawa maut yang menggetarkan jantung. 
Kemudian secara tak terduga, senjata laki-laki tinggi kurus 
itu meluncur cepat mengancam belahan dada tubuh 
Untari. Rupanya rasa marah membuat tokoh sesat itu 
merubah niatnya, dan hendak menghabisi nyawa gadis itu 
pula. 
Sementara itu, Suraji melompat bergulingan dan 
melancarkan serangan dari bawah. Bahaya yang 
ditimbulkan tokoh bertubuh gemuk itu pun tidak kalah 
dengan Kalpika. Bahkan patut diakui serangan Surajilah 
yang lebih berbahaya. Karena, bagian bawah tubuh gadis 
itu sama sekali tidak terlindungi. Tentu saja kedua 
serangan itu membuat nyawa Untari terancam kematian. 
Wuttt! Bettt! 
Trang! Trang! 
Tusukan senjata Kalpika dan Suraji terpental balik, 
ketika sebuah benda bulat berwarna hitam menyambar 
cepat menyambut serangan mereka.

“Ahhh...!” 
Tubuh kedua orang tokoh sesat itu bergetar hebat 
akibat tenaga sambitan yang amat kuat. Jemari tangan 
mereka yang menggenggam senjata, terasa nyeri dan linu. 
Tentu saja hal itu membuat mereka tersentak kaget, dan 
langsung menolehkan kepala ke arah Macan Tutul Lembah 
Daru. 
Nanggala atau lebih dikenal sebagai Macan Tutul 
Lembah Daru, menentang pandangan mata kedua tokoh 
sesat itu lekat-lekat. Jelas kalau pemuda perkasa itu 
memang sengaja hendak mencampuri urusan mereka. 
***
DUA

“Maaf, aku terpaksa...,” ucap Nanggala yang segera 
melompat maju, menghadang di tengah arena. 
Dari cara dan sikapnya, jelas kalau Macan Tutul 
Lembah Daru telah mengambil keputusan untuk membela 
Untari. Karena, hatinya tidak tega melihat keselamatan 
gadis itu terancam di depan matanya. 
“Hm.... Sudah dua kali kau menyelamatkan gadis setan 
itu, Macan Tutul Lembah Daru! Sekarang kami tidak 
segan-segan lagi memberi pelajaran kepadamu! Bersiap-
lah...!” bentak Kalpika geram. Seketika sifat aslinya 
muncul setelah melihat sikap Nanggala. Wajahnya 
berubah bengis, menyiratkan nafsu membunuh! 
Nanggala yang menyadari keadaannya, tidak lagi mem-
pedulikan ancaman Kalpika. Ditariknya kaki kanan ke 
belakang, sejauh tiga jengkal. Dengan kuda-kuda rendah, 
kedua tangannya membentuk setengah mengepal di kedua 
sisi kepalanya. Rupanya, Nanggala sudah menyiapkan 
jurus 'Macan Tutul' untuk menghadapi keroyokan Empat 
Setan Muara Bangkai. 
“Hm...,” Kalpika menggeram gusar. Sepasang tangan-
nya mengibas ke kiri-kanan, sebagai perintah kepada 
ketiga orang saudaranya untuk menyebar mengurung 
pemuda gagah itu. 
Tanpa diperintah dua kali, Suraji dan kedua saudaranya 
bergerak mengurung Nanggala. Mereka masing-masing 
berdiri dalam sikap membentuk empat arah mata angin.

Sekali pandang saja, Nanggala sadar kalau keempat 
lawannya hendak mengeroyok menggunakan jurus 
paduan. Sepasang mata pemuda gagah itu bergantian 
melirik ke arah keempat lawan. Sikapnya tetap tenang, 
dan penuh kewaspadaan. 
“Heaaattt..!” 
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Kalpika mulai 
membuka serangan. Tubuhnya melesat cepat disertai 
sambaran pedang yang menimbulkan deru angin tajam! 
Apa yang dilakukan Kalpika rupanya hanya sebuah 
tipuan! Lelaki tinggi kurus itu ternyata hanya melakukan 
loncatan panjang beberapa jengkal di atas kepala lawan. 
Dan pada saat yang hampir bersamaan, Suraji sudah 
melesat dari arah yang berbeda. Dan rupanya, gerakan itu 
juga merupakan sebuah tipuan! Seperti halnya tipuan yang 
dilakukan Kalpika, tubuh Suraji melompat tinggi 
melampaui kepala Nanggala. 
Sekejap setelah tubuh Kalpika dan Suraji melakukan 
gerakan tipuan, dua orang Empat Setan Muara Bangkai 
yang terakhir mengiringi tidak kalah gesitnya. Mereka 
langsung menyabetkan senjata ke arah Nanggala hampir 
bersamaan! Seorang menyerang dari bawah, sedang yang 
lainnya dari atas. 
Wuttt! Syuuut! 
Dua buah serangan yang dilancarkan dalam waktu 
hampir bersamaan itu memang berbahaya sekali. Apalagi 
pada saat itu perhatian Nanggala masih terpengaruh gerak 
tipu yang dilakukan Kalpika dan Suraji. Dan akibatnya, 
pemuda itu belum dapat menebak, apakah serangan itu 
juga merupakan gerak tipu, atau sungguhan.

Dan memang, justru di situlah letak keistimewaan 
barisan 'Empat Arah Mata Angin'. Tidak heran, barisan 
yang dimiliki Empat Setan Muara Bangkai sangat ditakuti 
kaum rimba persilatan. Karena, gerak barisan 
penyerangan dalam barisan itu benar-benar di luar 
dugaan. 
Dan itu dialami Nanggala. Meskipun banyak memiliki 
pengalaman bertarung, tapi dalam menghadapi barisan 
'Empat Arah Mata Angin' itu, sempat kelabakan juga. 
Sehingga, pada saat kedua orang Empat Setan Muara 
Bangkai terakhir melancarkan serangan, pemuda itu hanya 
menghindar dengan melompat ke samping. Untunglah 
gerakan pemuda itu masih sedikit lebih cepat daripada 
kedua orang lawannya. Kalau tidak, tentu tubuhnya sudah 
menjadi sasaran senjata lawan. Untuk gebrakan pertama, 
rupanya Nanggala masih beruntung. 
Begitu telah melempar tubuh ke samping, Nanggala 
terus menjatuhkan tubuhnya dan bergulingan menjauh. 
Sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, pemuda 
itu ternyata mampu melompat seperti seekor macan 
tutul. Dengan sebuah lentingan tinggi yang indah, 
sepasang kakinya telah kembali berpijak di permukaan 
tanah. 
“Yeaaat..!” 
Namun, serangan yang dilakukan keempat orang 
lawannya itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Baru 
saja kedua kaki Nanggala menginjak tanah, serangan 
gelompang kedua kembali membuatnya terperanjat. 
Tapi, kali ini Nanggala tidak tinggal diam dalam 
menghadapi barisan yang penuh gerak tipu. Maka, ketika

salah seorang musuhnya meluruk, dia segera melesat dan 
langsung berjumpalitan mengikuti gerak penyerang 
pertama. Akibatnya, ketiga orang lainnya sempat kaget 
melihat apa yang dilakukan Macan Tutul Lembah Daru. 
Nanggala yang berjumpalitan membarengi gerakan 
lawan, langsung mengirimkan pukulan 'Macan Tutul' nya 
ke arah iga orang itu. Gerakannya yang cepat dan tak 
terduga, tentu saja membuat lawan terkejut. Walaupun 
sudah berkelit, tapi kalah cepat dengan gerakan pemuda 
gagah itu. Maka.... 
Duggg! 
“Hugkh...!” 
Orang itu mengeluh pendek ketika pukulan 'Macan 
Tutul' yang dilancarkan Nanggala telak menghajar 
lambungnya. Akibatnya, tubuh orang itu terbanting jatuh 
menimbulkan suara berdebuk keras. 
Jatuhnya salah seorang saudara mereka, ternyata tidak 
mengurangi daya tempur Empat Setan Muara Bangkai. 
Pada saat yang sempit itu, Kalpika dan kedua orang 
lainnya melesat disertai sambaran pedang yang berkelebat 
susul-menyusul. 
Wuttt! Wuttt! 
Tiga batang pedang yang mengincar leher, dada, dan 
perut Nanggala, dapat dielakkan dengan melempar tubuh 
ke samping kanan. Dan, itu pun masih dibarengi sebuah 
tendangan samping yang mengincar lambung Kalpika. 
Karena, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai 
itulah yang berada di sebelah kanan pemuda itu. 
Tapi, kejelian mata Kalpika ternyata cukup cepat. 
Melihat tendangan yang begitu cepat ke arahnya,

tubuhnya segera ditarik ke belakang dengan jalan 
menekuk lutut kanan yang memang berada di belakang. 
Sambil berbuat demikian, Kalpika memutar pedang dan 
langsung melancarkan babatan mendatar. Maksudnya, 
hendak membabat putus kaki Nanggala. 
Bettt! 
Bacokan pedang itu tidak membuat Nanggala gugup. 
Dengan gerakan sigap, lututnya menekuk dan kembali 
menghantam dada Kalpika. 
Buggg! 
“Hegkh...!” 
Tak ayal lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung 
terjengkang ke belakang. Hantaman lawan yang telak 
menghajar dadanya, membuat Kalpika terbatuk dan 
memuntahkan darah segar. Dan sebelum sempat berdiri 
tegak, Nanggala kembali melancarkan sebuah tendangan 
mengarah ke kepala lawannya. 
Kalpika yang memang keadaannya masih lemah itu 
tidak dapat lagi mengelak. Lelaki tinggi kurus itu 
memejamkan mata, menanti datangnya maut. 
Rupanya Kalpika itu masih bernasib baik. Pada saat 
tendangan Nanggala hampir tiba, seberkas sinar putih 
yang berasal dari sambaran pedang Suraji, datang 
menyelamatkannya. Pedang itu meluncur cepat, 
mengancam lutut Macan Tutul Lembah Daru. 
Tentu saja Nanggala tidak sudi mengorbankan sebelah 
kakinya. Cepat tendangan yang hampir menewaskan 
Kalpika ditariknya. Dan ketika pedang di tangan Suraji 
berputar menyambar perutnya, pemuda itu mengegos ke 
kiri. Langsung dikirimnya serangan balasan dengan

pukulan 'Macan Tutul'nya. 
Hebat bukan main pukulan balasan yang dilakukan 
pemuda itu. Sehingga Suraji sempat tergagap dibuatnya! 
Dan... 
Tukkk! 
“Aaakh...!” 
Tubuh Suraji kontan terjajar limbung akibat sodokan 
jari-jari setengah mengepal yang telak menghajar iganya. 
Selagi tubuh Suraji hampir jatuh menimpa Kalpika, 
Nanggala telah mengirimkan dua buah pukulan yang 
menghajar rusuk dan dadanya. 
Tukkk! Tukkk! 
Suraji meraung keras. Tubuhnya yang gemuk itu 
terlempar beberapa batang tombak ke belakang. Darah 
segar seketika menyembur membasahi tanah berumput 
yang segera berubah menjadi merah! Dua buah hantaman 
telak yang bertenaga penuh, membuat Suraji tak mampu 
bangkit untuk selamanya. Lelaki gemuk itu tewas 
seketika. 
Gerakan yang dilakukan Nanggala ternyata masih 
berkelanjutan. Saat itu, dua orang lawan yang tengah 
meluncur datang, langsung disambut serangkaian pukulan 
'Macan Tutul' disertai pengerahan tenaga dalam 
sepenuhnya. 
“Yeaaat..!” 
Bugk! Bugk! Tukkk! 
“Aaakh...!” “Hugkh...!” 
Pukulan-pukulan Macan Tutul Lembah Daru secara 
telak menghajar kedua orang pengeroyoknya. Untunglah 
pada saat pukulan itu hampir tiba, Nanggala sempat

mengurangi kekuatannya. Hal itu dilakukan ketika 
teringat kalau di antara dirinya dan mereka tidak 
mempunyai permusuhan pribadi. Sehingga, Nanggala 
tidak mempunyai alasan kuat untuk membunuh kedua 
orang itu. Cukuplah orang yang bernama Suraji saja yang 
menjadi korbannya. 
Tubuh dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai itu 
langsung ambruk, disertai semburan darah segar. Setelah 
berkelojotan sesaat, kedua orang itu pun diam tak 
bergerak lagi. Pingsan! 
Kalpika yang telah mengalami luka dalam cukup parah, 
berdiri dengan tubuh gemetar. Berbagai perasaan ber-
campur aduk di dalam dadanya. Rasa marah, penasaran, 
dan dendam, membuat lelaki tinggi kurus itu tidak dapat 
berkata-kata. Hanya sepasang matanya saja yang menatap 
Nanggala penuh dendam. 
“Pergilah, Kalpika. Dan kuharap, kau suka melupakan 
kejadian hari ini. Bawalah kedua orang saudaramu yang 
hanya kubuat pingsan itu. Juga, Suraji yang terpaksa harus 
tewas di tanganku. Maaf kalau perbuatanku telah 
membuat kau kehilangan seorang dari saudaramu,” ucap 
Macan Tutul Lembah Daru, tenang. Melihat dari 
sikapnya, jelas kalau Nanggala siap menanggung segala 
akibat atas perbuatannya. 
Tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Kalpika 
sebagai jawaban. Setelah melepaskan tatapan penuh 
dendam, lelaki tinggi kurus itu menyadarkan kedua orang 
saudaranya. Dengan membawa mayat Suraji, mereka pun 
kini meninggalkan tempat itu.

*** 
Plok! Plok! Plok...! 
Terdengar tepukan tangan Untari menyambut 
kemenangan Macan Tutul Lembah Daru. Gadis cantik itu 
melangkahkan kakinya, menghampiri Nanggala. Wajahnya 
yang cantik manis, jelas-jelas mengulaskan senyum 
mengejek. 
“Hebat.., hebat..! Nama Macan Tutul Lembah Daru 
memang bukan nama kosong belaka,” terdengar suara 
pujian dari bibir merah menantang itu. Tapi sayang 
nadanya terdengar begitu menyakitkan bagi telinga 
Nanggala. “Apakah yang harus kulakukan untuk membalas 
budi baikmu ini, Tuan Pendekar?” 
Nanggala menggeleng-gelengkan kepala sambil meng-
hela napas berulang-ulang. Ia benar-benar merasa kecewa 
melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Entah 
apa yang menyebabkan Untari demikian sinis kepadanya. 
Padahal, seingatnya mereka baru pertama kali berjumpa. 
Tentu saja ia tidak habis mengerti dibuatnya. 
“Mengapa kau termenung, Tuan Pendekar? Ah! Kalau 
begitu, biarlah aku menyembah kepadamu sebanyak tiga 
kali. Kurasa, itu sudah cukup pantas sebagai imbalan atas 
pertolonganmu kepadaku.” Suara yang menyakitkan itu 
kembali terdengar memasuki liang telinga Nanggala. 
Kemudian, Untari menjatuhkan lututnya dan siap 
melaksanakan ucapannya. 
“Ah...! Nisanak, janganlah bersikap begitu. Aku sama 
sekali tidak mengharapkan imbalan apa-apa darimu,” ujar 
Nanggala tersentak kaget. Cepat-cepat disambarnya kedua

bahu Untari, lalu diajaknya bangkit berdiri. 
Namun, apa yang dilakukan Nanggala kembali salah! 
Untari memberontak melepaskan pegangan pemuda gagah 
itu pada bahunya. Jelas sekali, gadis itu tidak suka dengan 
apa yang dilakukannya. 
“Huh! Apakah kau pikir setelah menolongku, lalu bisa 
bebas melakukan apa saja terhadap diriku? Pemuda tak 
tahu sopan!” maki Untari sambil mengebut-ngebutkan 
jemari tangannya pada bagian bahunya. Seolah-olah, 
semua bekas pegangan tangan pemuda itu ingin 
dihapusnya. 
“Nisanak! Kau jangan sembarangan menuduh orang! 
Aku bukan orang yang berwatak rendah! Lagi pula, apa 
yang telah kulakukan kepadamu?” sergah Nanggala. 
Tentu saja Macan Tutul Lembah Daru menjadi terkejut 
setengah mati melihat perubahan sikap gadis itu yang sama 
sekali tidak diduganya. Selebar wajah pemuda itu merah 
dan pucat berganti-ganti. Kalau saja tidak mengingat 
orang yang memakinya itu wanita, mungkin sudah 
dihajarnya habis-habisan. 
“Hei? Akan mungkir kau, ya? Lalu, apa maksudmu 
memegang-megang tubuhku?” balas Untari sambil 
bertolak pinggang. 
Wajah gadis cantik itu pun telah dijalari warna merah. 
Sepertinya, ia benar-benar marah atas perbuatan Nanggala 
tadi. Padahal, jelas-jelas Nanggala semata-mata hanya 
mencegah Untari yang hendak menyembah pemuda 
penolongnya. Benar-benar aneh dan membingungkan sifat 
yang dimiliki gadis cantik itu. 
“Ahhh...!” terkejut bukan main Nanggala mendengar

tuduhan yang dilontarkan gadis itu. 
Merasa tidak ada gunanya mendebat Untari, Nanggala 
pun diam tak menanggapinya. Setelah menundukkan 
wajahnya sejenak, kepalanya diangkat dan ditatapnya gadis 
itu dengan sinar mata dingin. 
“Nisanak! Kalau perbuatanku kau anggap suatu 
kesalahan atau kekurangajaran, biarlah aku minta maaf 
padamu,” ucap Nanggala dengan suara rendah dan berat. 
Jelas, suara pemuda itu menggambarkan perasaan hatinya 
yang kecewa. 
Untari pun sempat dibuat terkejut atas perubahan sikap 
pemuda gagah itu. Sinar kekecewaan yang terpancar dari 
sepatang mata Nanggala, sempat pula membuat wajah 
gadis itu berubah. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, 
hatinya menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa. 
Tapi, suasana yang hening dan kaku itu tidak ber-
langsung lama. Untari yang sudah dapat menguasai 
perasaannya, segera mengangkat kepala memandang 
Nanggala. 
“Sudahlah, aku akan pergi. Terima kasih atas 
pertolonganmu,” ucap gadis galak itu berpamit 
Anehnya, setelah mengucapkan kata-kata itu Untari 
melemparkan senyumnya yang termanis kepada Nanggala. 
Dan tanpa menoleh lagi, tubuh ramping itu pun melesat 
meninggalkan tempat itu. 
*** 
Nanggala berdiri kaku menatap kepergian gadis cantik 
yang galak dan pandai bicara itu. Pandangannya masih saja

tidak beralih, meskipun bayangan Untari telah lenyap di 
batik pepohonan di kejauhan. 
“Hhh...,” terdengar helaan napas berat meluncur dari 
mulut pemuda itu. 
Aneh, Nanggala merasa hatinya kosong sekali. Seolah-
olah semangat hidupnya terbang bersama hilangnya 
bayangan Untari. Hatinya terasa begitu nelangsa dan 
sunyi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bagaikan tak 
bertenaga. Tidak ada gairah sedikit pun yang tersisa dalam 
dirinya. Nanggala jadi kian tak mengerti, ketika merasa-
kan tidak ada lagi niat dalam hatinya melanjutkan 
perjalanan. 
“Gila! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku!” 
umpat Nanggala kesal. 
Ingin rasanya pemuda itu mengamuk dan merusakkan 
apa saja yang ada di hadapannya. Semua yang dipandang-
nya terlihat buruk dan tidak sedap. Sungguh, dia jadi 
bingung dengan apa yang tiba-tiba dirasakannya. 
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nanggala 
langsung menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas 
rerumputan. Yang saat itu diinginkannya hanyalah 
termenung, termenung, dan terus termenung. 
Alam pikirannya dibiarkan kembali berputar ke 
belakang. Nanggala teringat kembali pada perjumpaan 
pertamanya dengan Untari. Betapa gadis itu marah-marah 
setelah ditolong. Ucapan-ucapan yang ketika itu sangat 
menyakitkan, kini terngiang dan terasa indah di telinga. 
Hal itu tentu saja membuatnya semakin keheranan. Sebab, 
selama ini hal yang aneh belum pernah terasakan dalam 
dirinya. Sehingga, ia tidak tahu apa yang menjadi

penyebabnya. 
“Hhh..., mungkin aku telah gila...? Mengapa perasaan 
aneh yang menyiksa ini tiba-tiba datang? Mungkinkah ini 
yang dinamakan perasaan cinta...?” gumam Nanggala terus 
termenung bagai patung. 
Nanggala si Macan Tutul Lembah Daru yang sangat 
terkenal dan ditakuti, mendadak seperti orang tolol. 
Pikirannya kembali menerawang kepada peristiwa yang 
baru saja dialaminya. Dan pemuda gagah itu semakin 
keheranan ketika ingatan-ingatan tentang Untari, 
mendatangkan suatu perasaan aneh yang nikmat di 
hatinya. Sehingga, tanpa disadarinya bibir pemuda itu 
membentuk senyuman. 
“Hi hi hi..!” 
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nadanya tertahan-
tahan. Nanggala yang segera saja mengetahui pemilik 
suara tawa merdu itu, berubah pucat parasnya. Rasa 
jengkel dan malu karena segala tingkah laku dan 
perbuatannya dipergoki Untari, membuatnya langsung 
bergerak bangkit dan berlari cepat meninggalkan tempat 
itu. Ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya, dan tidak 
berjumpa lagi dengan gadis cantik itu lagi. 
Gerakan Nanggala yang berlari bagaikan orang 
kesetanan itu membuat tawa Untari semakin keras. Gadis 
cantik itu keluar dari persembunyiannya, setelah bayangan 
Nanggala tinggal bayang-bayang samar yang kian 
mengecil. 
Rupanya, Untari tidak benar-benar meninggalkan 
tempat itu tadi. Sebagai seorang gadis yang telah cukup 
dewasa dan memiliki banyak pengalaman, dapat diduga


apa yang terkandung di dalam hati pemuda penolongnya. 
Karena ingin mengetahuinya secara jelas, maka gadis 
cantik yang cerdik itu memutar arah larinya setelah 
merasa yakin Nanggala sudah tidak melihatnya. 
Dan, apa yang diduga gadis cantik itu ternyata tidak 
meleset! Semua tingkah laku pemuda itu dapat jelas 
dilihatnya dari tempat persembunyian. Hingga akhirnya, 
Untari tidak dapat menahan tawa ketika melihat Nanggala 
tersenyum sendiri seperti orang gila. 
“Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kau dapat 
menahan perasaanmu itu...,” gumam Untari seraya 
tersenyum penuh kepuasan. 
Setelah berkata demikian dalam hati, Untari pun 
melangkah meninggalkan tempat itu. 
***
TIGA

Siang ini matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya 
memancar terik, mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh 
memasuki daerah perbukitan tandus. Hembusan angin 
kencang, membuat ram but dan pakaian mereka ber-
kibaran keras. Debu-debu yang beterbangan, membuat 
kepala keduanya merunduk melindungi mata. 
Mereka terus melangkah tanpa mempedulikan debu-
debu yang mengotori wajah dan pakaian. Terkadang 
tubuh mereka berbalik ketika hembusan angin keras yang 
membawa gumpalan-gumpalan debu tebal datang me-
nerpa. 
“Uhhh...!” sosok tubuh ramping berpakaian hijau 
mengeluh kesal. Dibersihkannya debu-debu yang me-
nempel di pakaian dan rambutnya. Wajahnya yang cantik 
jelita itu tampak kecoklatan tertutup debu. 
“Mengapa kita tidak mengambil jalan melewati hutan 
saja, Kakang? Bukankah akan lebih enak dan segar?” tanya 
gadis jelita itu, bernada agak kesal. 
“Sabarlah, Kenanga. Tidak lama lagi, kita akan segera 
sampai di mulut hutan depan itu,” sahut pemuda tampan 
yang mengenakan jubah berwarna putih. 
Senyum pemuda itu mengembang melihat gadis teman 
seperjalanannya sibuk membersihkan debu yang 
menempel di pakaian dan rambutnya. Perlahan tangan 
pemuda yang tak lain Panji itu terulur membersihkan 
debu di belakang pakaian gadis yang dipanggil Kenanga.

Mendengar jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga 
mengangkat wajahnya. Diikutinya arah jari telunjuk Panji 
yang menuding ke depan. Samar-samar terlihat 
pepohonan lebat beberapa puluh tombak di depannya. 
“Ayo kita persingkat waktu, Kakang...,” ajak Kenanga. 
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu langsung 
berkelebat menuju mulut hutan. 
Kembali Panji tersenyum. Dibiarkannya gadis jelita 
bertubuh ramping itu melesat meninggalkannya. Setelah 
kira-kira sepuluh tombak Kenanga berlari, tiba-tiba tubuh 
pemuda berjubah putih itu melesat bagaikan anak panah 
yang terlepas dari busur. 
Hebat sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar 
Naga Putih. Sehingga, kedua kakinya bagaikan tidak 
menyentuh tanah. Tak lama kemudian, ia pun telah dapat 
melewati gadis di depannya dan bahkan lebih dulu tiba di 
mulut Hutan Branjangan. 
“Wah! Ilmu lari cepatmu sudah semakin hebat saja, 
Kakang,” puji Kenanga begitu tiba di mulut Hutan 
Branjangan. Segera saja langkahnya terayun mendekati 
Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di bawah 
sebatang pohon. 
“Kau pun sudah banyak memperoleh kemajuan. Tadi 
saja, aku hampir tidak sanggup mengejarmu,” sahut Panji 
seraya tersenyum. Menilik dari nada bicaranya, jelas kalau 
dia tidak memiliki sifat sombong. 
“Nyatanya, kau bisa melewatiku,” sergah Kenanga 
cepat sambil memandang wajah tampan yang tengah 
tersenyum kepadanya. 
“Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Mudah

mudahan saja ada pedesaan di sekitar daerah ini. Bosan 
juga rasanya setiap hari bermalam di dalam hutan,” ujar 
Panji, seraya bergerak bangkit dan mengulurkan 
tangannya untuk membantu Kenanga. 
Beberapa saat kemudian, kedua orang pendekar itu 
mulai bergerak memasuki wilayah Hutan Branjangan yang 
terlihat cukup lebat. Mereka melangkah menyelusuri jalan 
yang sepertinya memang sengaja dibuat orang. Jelas, 
hutan itu seringkali didatangi atau dilewati manusia. 
Buktinya, jalan yang ditelusuri cukup lebar, dan dapat 
dilewati sebuah kereta kuda. 
Setelah agak lama berjalan, tiba-tiba Pendekar Naga 
Putih menelengkan kepala, seolah-olah ingin memperjelas 
indra pendengarannya. Kening Panji terlihat agak ber-
kerut ketika mendengar suara seperti orang bertempur. 
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga. 
Kenanga yang sudah hafal akan kebiasaan kekasihnya, 
segera mendekat. Kemudian, ia pun mencoba meniru 
kelakuan Panji. Tapi, kepalanya kembali ditegakkan 
karena telinganya sama sekali tidak mendengar apa-apa. 
“Aku seperti mendengar orang bertempur,” sahut 
Panji. 
Kemudian Pendekar Naga Putih menegakkan 
kepalanya dan memandang berkeliling. Seolah-olah 
pemuda itu ingin memastikan asal suara pertempuran 
yang tertangkap indra pendengarannya. 
“Tapi, aku tidak mendengar apa-apa...,” bantah 
Kenanga. 
Gadis itu memang belum dapat menangkap suara 
seperti halnya Panji. Sebab, tingkat kepandaiannya

memang masih beberapa tingkat di bawah kekasihnya. 
Sehingga, ia hanya dapat memandang pemuda itu penuh 
rasa ingin tahu. 
“Aku pun hanya mendengarnya sesekali. Sepertinya, 
suara itu cukup jauh. Mungkin sekitar beberapa ratus 
tombak di sekitar kita. Ayo, kita ke depan untuk 
memastikannya,” ajak Panji, segera berlari tanpa 
menunggu persetujuan Kenanga. 
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga pun bergegas 
mengikuti langkah Pendekar Naga Putih. Indra 
pendengarannya terus dipertajam untuk menangkap suara 
pertempuran yang dimaksud Panji tadi. 
“Ke sebelah Barat..!” 
Belum lagi Kenanga sempat mendengar suara per-
tempuran itu, tiba-tiba Panji berseru. Gadis jelita itu 
melihat tubuh kekasihnya berkelebat cepat menuju ke 
arah Barat Hutan Branjangan. Maka, ia pun bergegas 
mengikutinya. 
*** 
Pendekar Naga Putih telah mengerahkan ilmu lari 
cepat sepenuhnya. Tapi ternyata masih juga terlambat. 
Pendekar muda itu memandang dengan wajah kecewa ke 
arah delapan sosok mayat termasuk seorang wanita. 
Mereka semua bergelimpangan mandi darah. Tentu saja 
kejadian itu mendatangkan rasa sesal di hati Panji. 
Baru saja Pendekar Naga Putih membungkuk hendak 
memeriksa salah satu dari mayat-mayat itu, pendengaran-
nya yang tajam sempat menangkap suara gemerisik

mencurigakan. Tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya segera 
melesat ke arah suara mencurigakan itu. 
“Hei, berhenti...!” sentak Panji setelah berlari 
beberapa tombak jauhnya. Di depan pemuda itu tampak 
seorang berpakaian serba hitam tengah berusaha melarikan 
diri. 
Melihat bentakannya tidak dihiraukan, Panji segera 
melesat dan bersalto beberapa kali di udara. Sesaat 
kemudian, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan orang 
berpakaian serba hitam itu. 
“Yeaaat..!” 
Sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos, orang 
itu pun langsung menerjang Panji dengan golok masih 
berlumuran darah. 
Wuttt! 
Sambaran golok yang mengandung tenaga cukup kuat 
itu mengancam perut Panji. 
Hati Pendekar Naga Putih sempat diliputi kegeraman 
melihat ketelegasan orang itu. Sebab, tanpa persoalan 
sedikit pun, orang itu sudah langsung ingin membunuh-
nya. Padahal, belum tentu Panji bermaksud jahat kepada 
orang berpakaian serba hitam itu. Untunglah Pendekar 
Naga Putih sempat menyadarinya. Kalau tidak, orang itu 
pasti sudah dipukul tewas. 
Pendekar Naga Putih yang sudah dapat mengukur 
kekuatan sambaran senjata itu, sama sekali tidak bergeser 
dari tempatnya. Ditunggunya mata golok itu mendekat. 
Sikap pemuda itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri. 
Perbuatan Panji tentu saja membuat laki-laki 
berpakaian hitam itu terkejut, sekaligus gembira. Sudah

terbayang di benaknya, betapa tubuh pemuda itu akan 
tergeletak dengan perut terbelah. 
Namun apa yang dibayangkan orang itu ternyata sangat 
jauh dari kenyataan. Meskipun benar sambaran goloknya 
mengenai perut lawan, namun senjata itu kembali 
berbalik. Bahkan tangannya yang menggenggam golok 
terasa ngilu bagaikan hendak patah. 
“Set... tannn...!” 
Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, orang itu 
memandang terbelalak. Hampir saja dia jatuh pingsan 
melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang 
membalut tubuh pemuda tampan itu. Dan memang, 
penampilan Pendekar Naga Putih saat itu tak ubahnya 
sosok hantu! 
“Hm.... Mengapa kau berlari bagaikan orang dikejar 
setan? Apa kau telah melakukan kejahatan! Ayo jawab!” 
bentak Panji dengan suara dibuat berat. Pemuda itu 
sengaja menakut-nakuti, agar orang itu mau membuka 
suara. 
Gertakan Pendekar Naga Putih terlihat mulai mem-
bawa hasil. Laki-laki bertubuh gendut yang bagian bajunya 
terbuka, semakin menggigil ketakutan. Apalagi, saat itu 
Panji memang tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'nya. Maka, orang itu pun semakin yakin kalau 
pemuda yang berdiri di hadapannya memang setan. Mana 
mungkin manusia dapat menebarkan hawa yang begitu 
dingin dari tubuhnya. 
“Kami..., eh! Aku..., bersalah.... Ya..., aku ber-
salah...,” aku laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun 
itu, gagap.

“Kau telah membunuh delapan orang dan meng-
hancurkan kereta kuda mereka, bukan? Siapa yang 
menyuruhmu?!” kembali Panji memanfaatkan rasa takut 
orang itu untuk memperoleh keterangan. 
Mendengar suara yang semakin berat dan besar, laki-
laki berpakaian serba hitam itu semakin menggigil 
ketakutan. Bahkan celana bagian bawahnya telah basah, 
dan menebarkan bau tak sedap. Untung saja Panji masih 
dapat menahan tawanya melihat tingkah orang itu yang 
menggelitik perut. 
“Ya..., eh! Jur..., aaakh...!” 
Sebelum ucapan laki-laki berpakaian hitam itu selesai, 
terdengar jerit kematiannya yang menyayat. Tubuh 
gendut itu roboh seiring keluhan pendeknya. 
“Eh...?!” 
Tentu saja robohnya orang itu membuat Panji 
keheranan. Cepat tangannya bergerak menangkap tubuh 
gendut itu agar tidak sampai terjatuh ke tanah. Setelah 
merebahkan perlahan, bergegas Panji memeriksa 
keadaannya. 
“Kenapa orang itu, Kakang...?” Kenanga yang baru 
datang, langsung saja melontarkan pertanyaan kepada 
kekasihnya. 
Rupanya setelah tiba di tempat pertempuran, gadis itu 
tidak melihat Panji. Maka ia segera mencarinya. Dan 
kedatangannya tepat pada saat pemuda itu tengah 
memeriksa tubuh seorang laki-laki berpakaian serba 
hitam. 
“Dia telah tewas...,” sahut Panji setelah memeriksa 
jalan darah orang itu.

“Tapi, sepertinya ia tidak terluka, Kakang?” tanya gadis 
jelita itu keheranan. Lalu, ditelitinya sosok tubuh gendut 
yang sudah tidak bernyawa itu. 
“Dia tewas akibat jarum beracun yang dilemparkan 
seseorang ke belakang pinggangnya. Entah racun jenis apa 
yang digunakan orang itu. Sehingga, racun itu hanya 
menghancurkan pembuluh-pembuluh darah di seluruh 
tubuhnya. Sementara kalau dilihat sepintas, orang pasti 
tidak tahu kalau mayat ini tewas akibat racun keji,” jelas 
Panji sambil memperlihatkan sebatang jarum halus yang 
berwarna merah. 
Kenanga mengambil jarum berwarna merah darah dari 
tangan Panji, dan menelitinya beberapa saat. Setelah tidak 
mengenali dari mana asal jarum itu, segera dikembali-
kannya kepada Panji. 
“Aku belum pernah mendengar tentang seorang tokoh 
yang mempergunakan jarum merah sebagai senjata 
rahasia. Entah tokoh mana yang telah berhasil men-
ciptakan racun aneh dan keji itu,” kata Kenanga. 
“Hm.... Biarlah kusimpan saja senjata rahasia ini. Siapa 
tahu ada gunanya kelak,” desah Panji, kemudian segera 
menyimpan jarum merah itu dalam pakaiannya. 
“Sebaiknya, sekarang kita menguburkan mayat-mayat itu.” 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kemudian segera 
menggali tanah untuk menguburkan mayat-mayat itu. 
Berkat tenaga dalam mereka yang sudah tinggi, dalam 
waktu singkat telah tercipta sembilan liang kubur. 
Selesai mengubur semua mayat, Kenanga dan Panji 
kembali meneruskan penalanan. Tapi, kali ini mereka 
mempunyai tujuan khusus, mencari pemilik jarum
berwarna merah! Sebab sudah hampir pasti bahwa pemilik 
jarum itu mempunyai hubungan dengan terbunuhnya 
delapan orang di sebelah Barat Hutan Branjangan. 
***
EMPAT

Pemuda gagah berpakaian kulit macan tutul melangkah 
memasuki mulut Desa Pacitan. Setelah kepalanya 
menoleh merayapi sekitar mulut desa, bergegas di-
masukinya sebuah kedai makan yang terlihat ramai 
pengunjung. Apalagi, saat itu hari sudah menjelang sore. 
Maka, wajar saja kalau kedai makan itu ramai. 
Sama sekali tidak dipedulikannya tatapan mata be-
berapa pengunjung kedai makan. Memang disadari kalau 
orang-orang itu paling tidak hanya merasa heran dengan 
pakaian kulit macan tutul yang dikenakannya. Dan hal itu 
bukan sesuatu yang aneh lagi baginya. 
Setelah mendapati sebuah kursi kosong yang terletak di 
pojok ruangan, pemuda gagah yang tak lain Macan Tutul 
Lembah Daru itu segera memesan hidangan kepada 
seorang pelayan. Kemudian, dia kembali duduk me-
nunggu dengan kepala tertunduk. 
Sebentar kemudian, pelayan itu datang kembali sambil 
membawa makanan yang dipesan Nanggala. 
“Terima kasih...,” ucap Nanggala kepada pelayan 
setengah baya yang mengantarkan makanan pesanannya. 
Kemudian, segera disantapnya makanan itu dengan 
tenang. 
Nanggala yang tengah menikmati hidangannya itu men-
dadak menghentikan gerakan tangannya. Kepalanya lalu 
ditolehkan ke arah pintu masuk kedai itu, karena saat itu 
hampir semua pengunjung kedai berbisik riuh. Dan apa

yang dilihatnya, membuat dada pemuda itu berdebar. 
Seraut wajah cantik manis milik seorang dara yang 
berdiri di ambang pintu kedai itu, benar-benar membuat 
Nanggala kelabakan. Dan memang, gadis cantik itu tak 
lain adalah Untari. Sosok gadis memikat yang selama ini 
selalu mengganggu pikirannya. Tapi, Nanggala telah 
bertekad untuk melupakan gadis itu. Karena, disadari 
kalau mencintai gadis seperti Untari, hanya akan menyiksa 
perasaan saja. Lagi pula, belum tentu gadis itu sudi 
menerima cintanya. 
Bergegas Nanggala menundukkan kepala dalam-dalam 
begitu mengenali gadis itu. Tangannya kembali sibuk 
memilih-milih hidangan di mejanya. Namun, dia jadi 
menyumpah-nyumpah dalam hati, ketika merasakan jari-
jari tangannya gemetar saat menikmati hidangan. 
Kedatangan gadis yang telah mencuri hatinya itu benar-
benar membuatnya kalang-kabut. 
Karena sulit menenangkan perasaannya, maka pemuda 
itu memejamkan mata rapat-rapat dan tenggelam 
menyatukan pikiran. Setelah merasa hatinya tenang, 
matanya pun kembali dibuka perlahan-lahan. 
Tapi, dada Nanggala kembali memukul keras. Tanpa 
disadari, ekor matanya menangkap langkah kaki yang 
menuju ke arahnya. Dari pakaian yang lebar dan berwarna 
putih itu, Nanggala segera menduga kalau orang itu pasti 
Untari. 
Langkah kaki gadis itu tepat berhenti di depan meja 
Nanggala. Pemuda itu terpaksa mengangkat wajah ketika 
sosok tubuh itu menarik kursi di depannya. 
“Boleh duduk di sini...?” pinta gadis itu dengan suara

lembut dan merdu. 
Perkataan Untari membuat Nanggala terpaku bagai 
orang tolol. Dipandanginya wajah cantik itu setengah tak 
percaya. Entah berapa lama pemuda gagah itu hanya dapat 
memandang bagai orang linglung. Kesadarannya baru 
kembali setelah gadis cantik itu berdehem agak keras. 
“Eh?!” 
Warna merah seketika menjalar di wajah Nanggala. 
Bukan main malunya hati pemuda itu setelah menyadari 
ketololannya. Ingin rasanya kedai makan itu ditinggal-
kannya, namun kakinya terasa berat untuk melangkah. 
Sehingga, dia terpaksa diam di tempatnya sambil menahan 
rasa malu. 
“Kau.... Apa..., apa maumu...?” tanya Nanggala yang 
mulai dapat menguasai perasaannya. 
“Hi hi hi...,” Untari menahan tawanya melihat 
kegugupan dan sikap ketololan pemuda gagah itu. 
Diam-diam hati gadis itu merasa bangga. Karena, 
pendekar muda yang dalam kalangan rimba persilatan 
sangat ditakuti, ternyata gugup menghadapinya. Tentu 
saja hal itu mendatangkan suatu kesan tersendiri dalam 
hati Untari. 
“Aku tadi hanya bertanya. Apakah boleh duduk di sini?” 
Untari mengulangi pertanyaannya. Senyum manis tampak 
menghias wajah cantik itu, sehingga Nanggala semakin 
silau dibuatnya. 
“Oh, boleh. Silakan..., silakan...,” sambut Nanggala 
dengan nada sedikit heran. 
Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya 
yang diingini gadis ini. Mengingat akan sifat Untari yang

aneh, maka Nanggala harus bersikap hati-hati. Siapa tahu 
gadis aneh itu berubah lagi sifatnya apabila ia salah bicara. 
“Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi,” 
kata gadis itu tanpa rasa canggung sedikit pun. “Mungkin 
ini yang dinamakan jodoh.” 
Nanggala sempat terkejut dengan ucapan blak-blakan 
Untari. Namun, kekagetannya berusaha ditekan dengan 
bersikap wajar. 
“Yah.... Mungkin dunia ini sudah terlalu sempit buat 
kita,” sahut Nanggala memasang sikap acuh tak acuh. Nada 
suara maupun wajahnya nampak sudah terlihat wajar. 
Bahkan ada sedikit nada dingin terselip dalam ucapan 
pemuda itu. 
“Ng.... Bolehkah aku tahu namamu...?” tanya Untari 
lagi. 
Deg! Terkejut juga hati Nanggala mendengar per-
tanyaan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat 
debaran dalam dada yang terdengar menggemuruh 
ditekannya. 
“Namaku Nanggala...,” sahut pemuda itu, singkat. 
“Wah, namamu gagah sekali. Dan kau pasti sudah tahu 
namaku,” ujar Untari polos. “Hm.... Macan Tutul 
Lembah Daru.... Hebat dan gagah julukan yang diberikan 
untukmu.” 
“Maaf, aku harus pergi. Sebentar lagi, hari akan gelap. 
Aku tidak ingin kemalaman di jalan. Sekali lagi, aku minta 
maaf...,” pamit Nanggala tiba-tiba. 
Kemudian, Nanggala memanggil pelayan setengah baya 
yang tadi melayaninya. Setelah membayar harga makanan-
nya, pemuda gagah itu bergegas meninggalkan kedai.

“Hei?! Kau tidak ingin tahu rumahku...?” tanya Untari, 
segera bangkit dan menyambar lengan Nanggala. Sehingga 
langkah pemuda itu tertahan. 
“Ah! Biarlah, lain waktu saja...,” sahut Nanggala cepat. 
Dan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya yang 
mungkin akan diajukan Untari, Nanggala segera melesat 
menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga, tubuh pemuda 
itu bagaikan terbang saja layaknya. 
“Pemuda gagah yang sangat menarik. Jarang sekali aku 
bertemu seorang pemuda seperti dia. Hm..., Nanggala.... 
Sebuah nama yang gagah...,” gumam Untari termenung. 
Sepasang matanya yang bening dan indah, menatap 
bayang-bayang tubuh Nanggala hingga lenyap dari 
pandangan. 
Setelah tubuh pemuda itu lenyap, Untari kembali 
memasuki kedai. Senyumnya tampak masih belum 
meninggalkan wajah cantiknya. Jelas, ia merasa lucu 
mengingat perjumpaannya dengan pemuda itu untuk yang 
kedua kalinya. 
Saat itu, kegelapan perlahan mulai turun menyelimuti 
permukaan mayapada. Hembusan angin senja yang sejuk 
bersilir lembut menemani datangnya kegelapan. 
Di dalam sebuah kamar yang terdapat di penginapan 
Desa Pacitan, Nanggala duduk termenung. Semula, 
setelah berjumpa dengan Untari, ia berniat meninggalkan 
desa itu. Tapi, kegalauan hatinya membuat pemuda itu 
terpaksa kembali dan menginap di Desa Pacitan. Macan 
Tutul Lembah Daru tidak bisa menipu dirinya sendiri, 
bahwa hatinya benar-benar telah terenggut oleh wajah 
cantik Untari.

Sebelum mencari rumah penginapan, Nanggala 
menyempatkan diri datang ke kedai untuk menemui 
Untari. Tapi, gadis itu ternyata telah pergi dari kedai. 
Setelah bertanya kepada pelayan kedai, tahulah Nanggala 
kalau Untari adalah penduduk Desa Pacitan, dan 
merupakan anak tunggal seorang juragan terkaya di desa 
itu yang bernama Gerda Pasa. 
“Hm..., perasaan ini akan terus menghantui apabila aku 
tidak segera menyatakannya. Daripada tersiksa, lebih baik 
kudatangi saja rumah gadis itu. Masalah diterima atau 
tidak, itu urusan belakang! Dan lagi, hal itu lebih baik 
daripada tanpa kepastian!” gumam Nanggala seraya 
mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian pemuda gagah 
itu bangkit dari duduknya. 
Dengan menguatkan perasaan, maka Nanggala 
berangkat menuju kediaman Juragan Gerda Pasa. 
Meskipun raut wajahnya terlihat sedikit tegang, namun 
langkahnya tetap dipaksakan untuk mencari kepastian. 
Tidak sulit bagi Nanggala mencari rumah Juragan 
Gerda Pasa. Dan memang, seluruh penduduk Desa 
Pacitan mengetahuinya. Dengan mengandalkan petunjuk 
salah seorang penduduk desa, maka tibalah Macan Tutul 
Lembah Daru di depan sebuah rumah besar yang 
dikelilingi pagar tembok setinggi satu tombak lebih. 
Sementara itu, dua orang tukang pukul yang tengah 
bertugas menjaga pintu gerbang, bergegas menghampiri 
Nanggala. Mereka merasa curiga ketika melihat seorang 
pemuda berdiri tegak meneliti sekitar bangunan. Karena 
belum beranjak dari situ, maka salah seorang yang 
berkumis lebat menegurnya.

“Kisanak! Apa yang kau cari di tempat ini? Sejak tadi, 
kuperhatikan kau hanya berdiri mengawasi tempat ini. 
Apa ada sesuatu yang dapat kubantu?” tegur laki-laki 
berkumis lebat, lantang. Meskipun nadanya tidak 
terdengar kasar, namun mengandung ketegasan. 
“Maaf, kalau kehadiranku telah mengundang 
kecurigaan kalian. Aku hanya ingin memastikan, benarkah 
di sini kediaman Juragan Gerda Pasa? Dan, bisakah aku 
berjumpa dengan beliau?” tanya Nanggala dengan suara 
halus dan sopan. 
“Benar. Di sini rumah majikan kami yang bernama 
Gerda Pasa. Tapi untuk berjumpa dengannya sekarang, 
rasanya sulit sekali. Sebab pada waktu-waktu seperti ini, 
biasanya beliau tengah beristirahat. Jadi, kami tidak berani 
mengganggunya. Lebih baik, datang saja besok,” sahut 
penjaga pintu gerbang yang berkumis lebat, menolak 
permintaan Nanggala. 
“Tapi, keperluanku mendesak sekali, Kisanak. 
Tolonglah beri tahu kepada beliau. Untuk itu, aku akan 
berterima kasih sekali kepadamu,” Nanggala mencoba 
mendesak, meski dengan nada yang tetap halus dan sopan. 
Meskipun kata-kata Nanggala tetap bernada hormat, 
namun desakannya telah membuat wajah laki-laki ber-
kumis lebat itu berubah agak bengis. Sekilas, terlihat 
kilatan kegeraman pada sepasang mata orang itu. 
Namun Nanggala yang telah memantapkan hatinya, 
sama sekali tidak peduli. Meskipun tatapan geram orang 
itu tidak ditentangnya, tapi dia tetap saja berdiri di 
tempatnya. Selangkah pun kakinya tidak bergeser dari 
pintu gerbang rumah Juragan Gerda Pasa.

“Maaf! Kami tidak bisa meluluskan permintaanmu, 
Kisanak. Dan sekarang, tinggalkanlah tempat ini, sebelum 
aku bertindak kasar!” ancam laki-laki berkumis lebat itu 
sambil meraba gagang pedangnya, untuk menakut-nakuti 
Nanggala. 
“Sekali lagi, aku minta maaf. Karena kepentinganku 
sangat mendesak, maka terpaksa usiranmu tidak bisa 
kuturuti. Dan aku harus bertemu majikanmu sekarang 
juga,” tegas Nanggala, meski laki-laki berkumis lebat itu 
telah mengancamnya. 
Sikap keras kepala Nanggala tentu saja membuat laki-
laki berkumis lebat itu semakin marah. Dengan langkah 
lebar, didekatinya Nanggala. Langsung didorongnya tubuh 
pemuda itu dengan telapak tangan. 
Si kumis lebat yang sudah membayangkan tubuh 
pemuda itu akan jatuh terjengkang, seketika menjadi 
terkejut. Ternyata dorongan telapak tangannya yang 
disertai pengerahan tenaga dalam tidak membuat 
Nanggala terjatuh. Jangankan untuk jatuh. Bergeser pun 
tidak. Tentu saja laki-laki berkumis lebat itu menjadi 
penasaran. Sementara, penjaga gerbang yang seorang lagi 
hanya berdiri mengawasi. Amarahnya tampak belum 
terpancing. 
“Hm.... Pantas saja berani berlagak. Rupanya kau 
memiliki sedikit kepandaian. Tapi, sekarang coba tahan 
yang ini!” bentak laki-laki berkumis lebat itu sambil 
mendorongkan telapak tangannya kembali. 
Wuttt! 
Dorongan telapak tangan orang itu meluncur cepat 
menimbulkan angin menderu. Rupanya kali ini ia tidak

lagi berniat hanya memberi pelajaran, tapi justru ingin 
melukai pemuda itu. 
Nanggala yang belum mengetahui sampai di mana 
kekuatan yang dimiliki orang itu, tentu saja tidak berani 
bersikap ceroboh. Maka ketika dorongan telapak tangan 
itu hampir mencapai dadanya, cepat tubuhnya berkelit dan 
melakukan tangkisan dengan lengan kiri. 
Dukkk! 
“Uhhh...!” 
Tangkisan perlahan yang dilakukan Nanggala dengan 
sedikit tenaga itu ternyata sangat mengejutkan lawan. 
Tubuh laki-laki berkumis lebat itu terjajar beberapa 
langkah ke belakang dengan wajah merah. Melihat dari 
pijatan-pijatan yang dilakukan pada lengannya, jelas kalau 
ia merasa kesakitan akibat tangkisan tadi. 
“Bangsat! Rupanya kau memang sengaja mencari 
keributan!” bentak laki-laki berkumis lebat itu geram. 
Langsung pedang yang terselip di pinggangnya dicabut. 
Sring! 
Perbuatan laki-laki berkumis lebat itu, diikuti pula oleh 
kawannya. Rupanya, melihat keadaan itu, amarahnya kini 
bangkit. Maka kini kedua orang tukang pukul Juragan 
Gerda Pasa itu langsung mengurung Nanggala dari kiri 
dan kanan. 
“Sabarlah, Kisanak. Kedatanganku kemari, sama sekali 
bukan mencari keributan.” 
Nanggala berusaha mencegah terjadinya keributan. 
Sebab biar bagaimanapun, ia merasa tidak enak bila hal itu 
terjadi. Padahal kedatangannya ke tempat itu justru 
dengan maksud baik. Lalu apa kata Untari nanti bila

keributan itu terjadi? Dan itu sama sekali tidak 
diinginkannya. 
“Sudah, jangan banyak cakap! Bersiap-siaplah melayang 
ke akhirat!” bentak laki-laki berkumis lebat yang 
sepertinya mendendam sekali kepada Nanggala. 
Hal itu wajar saja. Sebab, dua kali ia dibuat malu di 
depan kawannya. Dan itu ingin ditebusnya dengan 
menyiksa pemuda itu sepuas-puasnya. 
Kedua orang itu sudah siap menyerang Nanggala. 
Kaki masing-masing sudah bergeser, siap melepaskan 
serangan. 
“Berhenti...!” 
Belum lagi kedua orang tukang pukul itu melancarkan 
serangannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang 
mengejutkan. Berbarengan bentakan itu, sesosok tubuh 
ramping berpakaian serba putih melayang turun, dan 
langsung menjejakkan kakinya di antara mereka. 
Bentakan nyaring dan merdu itu sepertinya telah sangat 
dikenal kedua orang penjaga gerbang rumah Juragan 
Gerda Pasa. Hal itu terlihat dari sikap keduanya yang 
langsung melangkah mundur. 
“Untari...!” desah Nanggala. 
Pemuda itu langsung mengenali, siapa adanya sosok 
tubuh ramping berpakaian serba putih itu. Dia memang 
Untari, gadis yang selama ini telah menyita seluruh 
pikiran Nanggala. 
“Ah! Kiranya kau yang datang, Kakang Nanggala. 
Mengapa tidak memberitahukan aku sebelumnya. Kalau 
saja aku tidak keburu datang, mungkin kedua orang 
penjaga gerbang rumah ayahku ini sudah menggeletak

menjadi mayat,” kata Untari disertai senyum manisnya. 
Bahkan gadis cantik itu telah memanggil kakang kepada 
Nanggala. Tentu saja sebutan itu membuat dada pemuda 
gagah ini berdebar tak karuan. 
“Maafkan aku, Untari. Aku tidak bermaksud mencari 
keributan di sini. Kedatanganku pun dengan maksud baik-
baik. Tapi, dua orang anak buah ayahmu bersikap kasar 
padaku. Jadi, terpaksa aku membela diri. Oh, ya. Ada 
sesuatu yang ingin kuceritakan kepadamu,” pinta 
Nanggala. 
Pemuda itu langsung saja mengutarakan keinginannya. 
Kebetulan ini adalah kesempatan baik. Dan tentu saja, 
Nanggala tidak ingin menyia-nyiakannya. 
Mendengar permintaan pemuda itu, mau tak mau 
Untari menjadi heran. Tidak seperti biasanya, kali ini 
Nanggala terlihat begitu tenang. Bahkan berani 
mengajaknya. Tentu saja hal itu membuat Untari 
menduga-duga, apa gerangan yang ingin disampaikan 
pemuda itu kepadanya. 
“Mengapa tidak di sini saja, Kakang?” tanya Untari. 
Kemudian, kepala gadis itu menoleh ke arah tukang 
pukul ayahnya yang tengah memperhatikan. 
“Kalian boleh pergi,” lanjut gadis cantik itu kepada 
mereka. 
“Baik,” sahut kedua tukang pukul itu serempak. 
Tanpa berkata sepatah pun, keduanya langsung 
meninggalkan Untari dan Nanggala. 
“Nah! Sekarang ceritakanlah, Kakang,” ujar Untari 
menatap Nanggala penuh rasa ingin tahu. 
“Mari, ikut aku...,” ajak Nanggala.
Pemuda itu langsung berlari meninggalkan halaman 
luar tempat kediaman Juragan Gerda Pasa. Langkah 
kakinya terlihat tidak terlalu cepat, karena mengharapkan 
agar Untari mau mengikutinya. 
Sejenak gadis cantik itu berdiri termangu melihat 
ketegasan sikap Nanggala. Namun karena rasa keingin-
tahuannya demikian kuat menggoda, maka tanpa ragu-
ragu lagi Untari bergegas mengikutinya. 
Nanggala menghentikan langkahnya pada sebuah 
tempat sunyi. Kemudian, ia berdiri menanti kedatangan 
Untari yang memang mengikutinya. Wajah pemuda itu 
terlihat sedikit agak pucat. Ketegangan hatinya jelas 
terlihat dari caranya menarik napas panjang beberapa kali. 
“Ah! Kau ini ada-ada saja. Apa sih yang ingin 
diceritakan? Dan mengapa pula harus di tempat yang sepi 
seperti ini? Apa kau berniat menculikku?” omel Untari 
begitu tiba di tempat Nanggala berdiri. 
Sedikit pun tidak terlihat rasa canggung ataupun 
khawatir pada wajah gadis itu. Jelas kalau dia telah 
nenaruh kepercayaan penuh kepada Nanggala. 
Nanggala atau si Macan Tutul Lembah Daru yang 
terkenal tidak pernah gentar menghadapi ancaman maut 
sekali pun, kali ini terlihat agak gugup dan tegang. 
Sebentar-sebentar, pemuda gagah yang amat disegani 
tokoh-tokoh persilatan itu terlihat menarik napas panjang. 
Bahkan hembusan napasnya terdengar berat dan ber-
gemuruh. Jelas kalau hatinya tengah dilanda ketegangan 
hebat. 
Dengan langkah tenang, Untari datang menghampiri 
Nanggala. Senyum manis yang biasanya sangat jarang

terlihat, kini tampak selalu menghiasi wajahnya. Meskipun 
ada sedikit rasa ketegangan di hatinya, namun hal itu sama 
sekali tidak ditampakkan. Dan memang, gadis cantik itu 
pandai sekali menyembunyikannya, sehingga Nanggala 
sendiri tidak mengetahuinya. 
“Ada apa, Kakang Nanggala...?” tanya gadis cantik itu 
pelan. 
Kemudian, Untari berdiri di samping Nanggala yang 
duduk di bawah sebatang pohon. Dengan sikap yang tetap 
tenang, tubuhnya disandarkan di pohon itu. 
“Untari.... Dengan memberanikan diri, aku datang 
menemuimu. Aku tak tahu, perasanku begitu gelisah 
setelah dua kali berjumpa denganmu. Dan perasaan itu 
sepertinya harus kuungkapkan. Tapi....” 
“Tapi apa, Kakang? Katakanlah! Bukankah kita telah 
saling mengenal? Kalau memang ada sesuatu yang dapat 
kubantu, utarakanlah. Siapa tahu, aku dapat membantumu 
dalam menghadapi masalah itu,” desah Untari yang 
menjadi tidak sabar ketika melihat Nanggala meng-
hentikan ucapannya. 
“Untari.... Aku..., rasanya aku jatuh cinta kepadamu. 
Dan kumohon, jawablah sekarang juga. Apa pun 
jawabannya, aku telah siap menerimanya,” ungkap 
Nanggala tanpa ragu-ragu lagi 
Dihembuskannya napas kuat-kuat. Macan Tutul 
Lembah Daru merasakan dadanya lapang setelah dapat 
mengutarakan isi hatinya yang selama ini dipendam dalam-
dalam. 
“Hi hi hi..! Kau ini lucu, Kakang...,” tawa Untari 
meledak mendengar ucapan Macan Tutul Lembah Daru.

Gadis yang memang memiliki sifat aneh itu sama sekali 
tidak mempedulikan Nanggala yang dihinggapi rasa 
bingung. Ia terus saja tertawa, seolah-olah apa yang 
disampaikan pemuda itu memang benar-benar sesuatu 
yang sangat lucu. 
Tentu saja tawa gadis cantik itu membuat Nanggala 
semakin pucat wajahnya. Dipandanginya wajah gadis itu 
dengan sikap ketololan. Benar-benar sulit dimengerti, 
mengapa Untari malah tertawa setelah mendengar 
pengakuannya? Apakah ucapannya itu benar-benar patut 
ditertawakan? 
“Aku memang bodoh, Untari. Tidak sepantasnya 
mengutarakan perasaanku ini kepadamu. Aku memang 
pantas ditertawakan,” keluh Nanggala bergetar penuh 
kekecewaan. 
Betapa tidak? Kata-kata yang demikian sulit diucap-
kannya itu malah ditertawakan Untari. Tentu saja hal itu 
membuat hatinya terasa tertusuk-tusuk. Sadar kalau ia 
telah salah menilai orang, maka dengan wajah kecewa, 
Nanggala bergegas meninggalkan tempat itu. 
“Hei? Kau mau ke pergi ke mana, Kakang? Bukankah 
kau belum mendengar jawabanku?” tegur Untari meng-
hentikan tawanya ketika melihat Nanggala melangkah 
hendak meninggalkannya. 
“Tidak perlu, Untari. Rasanya jawaban yang keluar dari 
mulutmu sudah dapat kutebak. Maaf, aku telah meng-
ganggu waktumu,” ujar Nanggala tanpa menoleh sedikit 
pun. Langkahnya kembali terayun perlahan. 
“Tapi, bagaimana kalau aku juga memiliki perasaan 
yang sama denganmu? Apakah kau akan tetap pergi? Kalau


itu maumu, pergilah!” sentak Untari dengan suara agak 
keras. 
Setelah berkata demikian, gadis itu pun berbalik dan 
melangkah ke arah yang berlawanan. 
Mendengar jawaban yang sama sekali tidak diduga, 
tentu saja langkah Nanggala terhenti. Dan ketika melihat 
gadis itu berlari ke arah yang berlawanan, langsung saja 
dikejarnya. 
“Untari, tunggu...!” cegah Nanggala yang segera 
melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga dalam 
beberapa saat saja, gadis itu telah dapat terkejar. 
“Ada apa lagi? Kau tidak jadi pergi...?” tegur Untari 
dengan sepasang mata membelalak marah. 
“Untari.... Kau.... Katakanlah! Apakah kau juga men-
cintaiku?” desak Nanggala. 
“Sudah kau dengar jawabanku tadi. Kalau memang mau 
pergi, pergilah! Aku tidak melarangmu!” ketus sekali 
jawaban yang keluar dari bibir indah itu. 
“Tidak... Aku tidak akan pergi. Aku..., aku akan 
melamarmu. Jawablah! Sudikah kau menjadi istriku?” 
tanya Nanggala. 
Pemuda itu merasa yakin dengan jawaban yang akan 
diterimanya. Apalagi, ketika gadis itu sama sekali tidak 
berusaha melepaskan diri ketika Nanggala memegang 
bahunya. Itulah yang meyakinkan dirinya kalau Untari 
memiliki perasaan yang sama dengannya. 
“Tidak tahu malu! Melamar orang di tengah jalan! Apa 
kau kira aku tidak punya orang tua!” jawab Untari, ketus. 
Namun, sepasang mata gadis itu jelas menyiratkan 
kebahagiaan. Dan sebelum Nanggala tersadar, gadis cantik

itu sudah meronta dari pegangannya. Kemudian, dia 
berlari meninggalkan Nanggala yang tersenyum sendirian 
seperti orang gila. 
“Hm.... Tunggulah! Aku akan melamarmu besok!” 
seru Nanggala yang tidak berusaha mengejar Untari. 
***

LIMA

Pada hari itu, rumah besar kediaman Juragan Gerda Pasa 
tampak diramaikan berbagai kesibukan. Halaman depan 
yang luas, tampak semarak oleh berbagai hiasan yang 
berwarna-warni. Sedangkan di halaman samping, 
beberapa orang laki-laki tampak sibuk membuat 
panggung. 
Panggung yang berukuran cukup luas itu dimaksudkan 
untuk pertandingan silat. Sebagaimana umumnya seorang 
tokoh persilatan mengadakan keramaian, panggung adu 
kekuatan selalu saja disediakan. 
Demikian pula pesta pernikahan putri Juragan Gerda 
Pasa. Calon suaminya merupakan tokoh terkenal di 
kalangan rimba persilatan. Jadi tidak heran kalau juragan 
itu mengajukan usul agar disediakan sebuah panggung 
untuk meramaikan pesta. Dan usul itu disetujui oleh 
Untari, sang pengantin wanita. 
Nanggala atau yang lebih dikenal sebagai Macan Tutul 
Lembah Daru, semula tidak begitu menyetujui usul 
mertuanya. Namun karena calon istrinya juga menyetujui 
rencana itu, dia terpaksa mengalah. 
Hari sudah menjelang sore ketika para undangan mulai 
berdatangan. Mereka tidak hanya terdiri dari kalangan 
orang kaya saja. Banyak juga penduduk desa itu yang 
datang memenuhi undangan Juragan Gerda Pasa. 
Demikian pula tokoh-tokoh kalangan rimba persilatan. 
Undangan yang disebar dengan mengatasnamakan Macan

Tutul Lembah Daru, membuat mereka berduyun-duyun 
mendatangi pesta pernikahan pendekar muda itu. Maka, 
ramailah rumah kediaman Juragan Gerda Pasa oleh 
berbagai kalangan. 
Setelah semua undangan telah duduk di tempatnya 
masing-masing, seorang laki-laki tinggi besar berwajah 
brewok melangkah naik ke atas panggung. Sejenak ia 
berdiri merayapi sekitarnya disertai senyum lebar. Dialah 
yang bernama Juragan Gerda Pasa. 
“Para sahabat sekalian,” Juragan Gerda Pasa, mulai 
membuka pembicaraan. “Aku mengucapkan terima kasih 
atas kesediaan sahabat sekalian untuk datang memenuhi 
undangan ini. Dan silakan mencicipi hidangan yang telah 
disediakan. Semoga sahabat sekalian tidak kecewa atas 
pelayanan kami yang mungkin kurang memuaskan.” 
Perkataaan Juragan Gerda Pasa langsung disambut 
tepuk tangan riuh. Kemudian laki-laki tinggi besar itu pun 
kembali melangkah turun dari atas panggung. 
“Wah! Kau beruntung sekali, Gerda Pasa. Entah bagai-
mana caranya kau bisa mendapatkan seorang menantu 
seperti Macan Tutul Lembah Daru. Iri rasanya aku 
melihat keberuntunganmu ini,” bisik salah seorang 
undangan. 
Ia langsung saja datang menghampiri Juragan Gerda 
Pasa yang baru turun dari atas panggung. Melihat dari 
sikap dan pakaiannya yang mewah, jelas kalau laki-laki 
tinggi kurus itu seorang juragan juga. Matanya yang agak 
sipit itu kadang-kadang melirik Untari yang duduk 
bersanding dengan Nanggala di sebelah kiri panggung. 
Tampaknya, lelaki tinggi kurus itu seorang mata

keranjang. Hal itu dapat terlihat dari caranya memandang 
pengantin wanita. 
Juragan Gerda Pasa hanya tersenyum dikulum men-
dengar pujian laki-laki tinggi kurus itu. Setelah berbasa-
basi sejenak, laki-laki tinggi besar berwajah brewok itu 
pun melangkah ke tempatnya semula. 
Dan kini para undangan mulai mencicipi hidangan yang 
telah disediakan. Sementara beberapa tokoh kalangan 
persilatan yang berusia muda seringkali melirik ke arah 
pasangan pengantin dengan sinar mata penuh rasa iri. Dan 
mereka hanya bisa saling berbisik membicarakan ke-
beruntungan Macan Tutul Lembah Daru yang dapat 
mempersunting gadis cantik putri Juragan Gerda Pasa itu. 
Bahkan ada di antaranya yang melontarkan kata-kata sinis. 
Tentu saja ucapan itu merupakan ungkapan rasa iri saja. 
Suara gaduh yang semula ramai menyemarakkan 
suasana pesta, mendadak lenyap ketika seorang laki-laki 
gemuk pendek berdiri di atas panggung. Orang itu 
langsung saja bertepuk tangan sebanyak tiga kali untuk 
menarik perhatian para undangan. 
“Para sahabat sekalian!” seru orang pendek gemuk itu 
setelah suasana gaduh sima. “Kami sebagai wakil tuan 
rumah, akan menyampaikan acara yang segera dapat kita 
saksikan bersama nanti. Dan mudah-mudahan acara ini 
dapat menambah kegembiraan kita semua.” 
Belum lagi ucapan laki-laki pendek gemuk itu selesai, 
para undangan segera bertepuk tangan riuh. Beberapa di 
antara mereka, bahkan sudah berseru tidak sabar. 
“Tenang, tenang...!” ujar laki-laki di atas punggung itu 
untuk menenteramkan kebisingan yang tiba-tiba saja

pecah. “Baiklah. Akan segera ditampilkan dua orang 
kawan kami, yang akan segera menghibur para sahabat 
sekalian!” lanjut laki-laki pendek gemuk itu untuk 
menenteramkan kegaduhan yang tak juga berhenti. 
“Haiiit...!” 
Terdengar seruan nyaring ketika laki-laki pendek 
gemuk itu menyebut sebuah nama. Berbarengan seruan 
itu, sesosok tubuh mengenakan pakaian serba merah 
melayang naik ke atas panggung. Dengan gerakan lincah 
dan manis, kakinya mendarat di dekat lelaki gemuk itu. 
Sosok berpakaian serba merah itu langsung mem-
bungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai 
pun bergemuruh menyambut orang itu. 
“Terima kasih. ., terima kasih...,” ucap sosok ber-
pakaian serba merah itu. 
Usianya sekitar empat puluh tahun. Wajahnya yang 
lonjong, tampak terhias kumis dan jenggot tercukur rapi. 
Jelas kalau dia merupakan seorang laki-laki pesolek. Usai 
memberi hormat, kakinya melangkah ke sudut kiri 
panggung. 
*** 
Tak lama setelah sosok berpakaian serba merah itu 
berdiri di sudut kiri panggung, sesosok bayangan hitam 
melenting dan berjumpalitan sebelum mendaratkan kaki-
nya di lantai panggung. 
“Namaku Panawa. Aku sengaja datang memenuhi 
undangan Macan Tutul Lembah Daru, dan sekaligus ikut 
memeriahkan pesta. Semoga sahabat sekalian tidak

kecewa dengan penampilanku yang jelek ini,” kata laki-
laki berusia tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian 
serba hitam itu, dengan suara lantang. Setelah mem-
perkenalkan diri, dia segera melangkah ke sudut kanan 
panggung. 
Sosok berpakaian serba merah yang memperkenalkan 
diri dengan nama Ki Balung bergegas melangkah ke 
tengah panggung. Demikian pula Panawa. Mereka berdiri 
berhadapan setelah laki-laki pendek gemuk meninggalkan 
panggung. 
Kedua orang tokoh rimba persilatan itu saling mem-
bungkuk memberi hormat. Kemudian, mereka melangkah 
beberapa tindak ke belakang. 
“Silakan, Sahabat..,” kata Panawa sambil bersiap 
memasang kuda-kuda silang. 
Tangan kanan laki-laki berpakaian hitam itu tampak 
berada di atas kepala dalam sikap mengepal. Sedangkan 
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka, berada beberapa 
jengkal di depan dada. Sepasang matanya tampak menatap 
lurus ke depan. 
“Hm...,” Ki Balung menggeram sebelum membuka 
jurusnya. 
Diiringi geraman, kaki kanan Ki Balung bergeser ke 
depan menyerong. Sepasang tangannya bergerak naik ke 
atas kepala dengan kedua telapak merapat 
“Yeaaat..!” 
Ki Balung berseru nyaring mengiringi pukulan lurus 
dengan tusukan jari-jari tangan kin mengarah dada lawan. 
Dan belum lagi tusukan jari-jari yang ternyata tipuan itu 
tiba, tangan kanannya bergerak menyusul. Sedangkan

tangan kirinya segera berputar setengah lingkaran untuk 
memancing perhatian lawan. 
Wuttt! 
Dengan kecepatan mengejutkan, tahu-tahu saja tangan 
kanan Ki Balung yang semula meluncur, tertarik ke 
belakang! Kemudian, disusul dengan meluncurnya tebasan 
sisi telapak tangan miring menggunakan tangan kiri. 
Hebat, dan tak terduga perubahan serangan yang dilancar-
kan Ki Balung itu. Sehingga, lawannya sempat dibuat ter-
kejut! 
Namun, laki-laki gagah berpakaian serba hitam itu 
ternyata cukup gesit. Datangnya sabetan sisi tangan miring 
lawan, disambut sebuah geseran ke kiri. Dan gerakan 
mengelak itu masih disusul sebuah tendangan kilat yang 
cepat dan bertenaga. 
Zebbb! 
Tendangan lurus yang mengancam lambung, berhasil 
dielakkan Ki Balung dengan menarik tubuh ke belakang. 
Dalam keadaan tubuh miring, lelaki tinggi kurus itu masih 
sempat juga menusukkan jari-jari tangan untuk memapaki 
tendangan lawan. 
Pertarungan pun berjalan semakin ramai ketika 
tusukan jari tangan Ki Balung tidak mengenai sasaran. 
Keduanya kembali saling serang menggunakan jurus-jurus 
terampuh yang dimiliki. Sambaran-sambaran angin 
pukulan yang saling berkesiutan semakin menambah 
semaraknya pertempuran. 
Plakkk! Plakkk! 
Pada jurus yang ketiga puluh, terdengar suara keras 
ketika telapak tangan masing-masing saling berbenturan!

Sekejap kemudian, bayangan merah dan hitam saling 
terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Hal itu 
menandakan kalau kekuatan masing-masing ternyata 
berimbang. Kedua sosok tubuh yang saling berlaga di atas 
panggung itu saling bertatapan sejenak. Sepertinya, 
mereka sudah memaklumi kekuatan masing-masing. 
Sehingga, baik Ki Balung maupun Panawa terlihat lebih 
berhati-hati dalam melancarkan serangan. 
“Haaat..!” 
Ki Balung yang sepertinya lebih penasaran, kembali 
melompat disertai hantaman pukulan yang susul-menyusul 
mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh lawan. Dari 
sambaran-sambaran angin pukulan yang berkesiutan, jelas 
kalau laki-laki tinggi kurus berpakaian serba merah itu 
telah menambah kekuatannya dalam serangan kali ini. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
Tiga buah pukulan yang bertubi-tubi, datang 
mengancam tubuh Panawa. Namun, itu semua tidak 
membuatnya sibuk. Dengan sebuah gerakan manis, 
kakinya bergeser ke kanan, sejauh setengah tombak. 
Namun hal itu sepertinya sudah pula diperhitungkan Ki 
Balung. Maka begitu serangkaian pukulan yang 
dilancarkannya lolos, kaki kanan lelaki tinggi kurus itu 
sudah mencelat naik mengancam lambung Panawa. Begitu 
cepat dan mendadak sekali! Maka.... 
Desss! 
“Hugkh...!” 
Tendangan keras Ki Baking telak menghantam 
lambung Panawa. Tubuh laki-laki tegap itu langsung 
terjengkang, dan hampir jatuh ke bawah panggung.

Untunglah kakinya masih sempat menjejak keras, dan 
tubuhnya melambung berjumpalitan beberapa kali di 
udara. 
Tapi, Ki Balung sepertinya tidak sudi memberikan 
peluang kepada lawannya. Saat tubuh Panawa berputar di 
udara, laki-laki tinggi kurus itu sudah melompat 
melancarkan sebuah tendangan terbang yang cepat dan 
kuat. 
Tendangan yang dilancarkan Ki Balung tentu saja 
membuat Panawa terkejut. Keadaannya saat itu sangat 
tidak menguntungkan. Dan akibatnya, dia menjadi gugup. 
Sehingga.... 
Bugkh! 
“Ngkkk...!” 
Tanpa dapat dicegah lagi, tendangan keras itu pun 
tepat menghantam perut Panawa! Maka seketika tubuh 
laki-laki tegap itu terpental, dan meluncur ke bawah 
panggung. 
Brugk! 
Tubuh Panawa terbanting ke bawah panggung, 
sehingga menimbulkan suara berdebuk keras! Tapi lelaki 
gagah itu berusaha bangkit kembali, meskipun susah 
payah. Dari mulutnya tampak mengalir darah segar, yang 
menandakan kalau telah terluka cukup parah! 
“Kau hebat, Ki Balung.... Aku mengaku kalah...,” ucap 
Panawa terputus-putus. 
Setelah membungkuk hormat ke arah laki-laki tinggi 
kurus yang berdiri tegak di atas panggung, Panawa 
melangkah ke tempat duduknya semula. Meskipun telah 
dikalahkan di depan orang banyak, namun sama sekali

tidak terlihat sinar dendam di matanya. Bahkan pujiannya 
terhadap Ki Balung pun terdengar tulus. 
“Kau pun hebat, Panawa. Kalau saja mataku tidak jeli, 
rasanya sukar sekali menundukkanmu,” sahut Ki Balung. 
Dan memang, laki-laki tinggi kurus itu bukan orang 
sombong. Sikap dan ucapannya tentu saja dimaksudkan 
agar Panawa tidak terlalu merasa malu. Kemudian laki-
laki tinggi kurus itu melangkah turun dari atas panggung, 
kembali ke tempat duduknya semula. 
Dan kini terdengar tepukan bergemuruh, menyambut 
kemenangan Ki Balung. Pertandingan kedua orang tokoh 
itu sepertinya telah membuat para tamu menjadi puas. 
Terdengar suara berbisik ramai membicarakan per-
tarungan yang memang berlangsung sangat seru tadi. 
Masih ada beberapa pertunjukan lagi yang disajlkan 
tokoh-tokoh persilatan yang berniat meramaikan pesta 
pernikahan. Namun dari sekian banyak pertarungan yang 
disajikan, hanya pertarungan antara Ki Balung dan 
Panawalah yang paling menarik. Sedangkan, pertarungan 
lainnya kebanyakan hanya mengandalkan tenaga kasar dan 
tidak berseni. 
Banyak undangan yang mulai meninggalkan tempat itu. 
Satu persatu mereka berpamitan. Padahal, acara belum 
seluruhnya selesai. Dan ketika malam sudah semakin 
larut, rumah kediaman Juragan Gerda Pasa telah sepi. 
Hanya beberapa orang pelayannya yang terlihat masih 
sibuk membereskan tempat itu. 
Juragan Gerda Pasa sendiri telah memasuki kamarnya 
untuk beristirahat Tubuhnya baru terasa lelah setelah 
pesta usai. Sebentar saja laki-laki tinggi besar berwajah

brewok itu sudah terlelap di atas pembaringannya. 
Demikian pula halnya pasangan pengantin, Nanggala 
dan Untari. Mereka telah lebih dahulu memasuki kamar, 
sebelum Juragan Gerda Pasa. Suasana malam yang 
semakin dingin dan sunyi, membuat pasangan itu semakin 
terelap dalam lautan kemesraan bagai tak bertepi. 
***
ENAM

Kehangatan sinar matahari pagi memancar lembut 
mengiringi iring-iringan kereta kuda. Tiga buah kereta 
yang masing-masing ditarik empat ekor kuda, bergerak 
perlahan menyusuri jalanan lebar. 
Di kiri-kanannya, tampak belasan orang mengenakan 
seragam biru muda tengah berjejer. Melihat dari lambang 
bendera yang dipegang salah seorang penunggang kuda 
terdepan, jelas kalau mereka merupakan pengawal 
pengantar barang. Dan mereka dikenal sebagai kelompok 
Macan Terbang, yang merupakan kelompok pengawal 
barang terkenal masa kini. 
Sikap belasan orang berseragam biru muda itu rata-rata 
gagah dan berwibawa. Dan tampaknya, mereka bukanlah 
orang lemah. Apalagi sebagai pengawal pengantar barang. 
Tentu saja mereka rata-rata telah dibekali kepandaian silat 
demi lancarnya tugas yang dijalankan. 
Baru saja rombongan kereta kuda itu memasuki 
wilayah perbukitan tandus, tiba-tiba terdengar bentakan 
keras mengejutkan. 
“Berhenti...!” 
Bersamaan terdengarnya bentakan keras itu, tiga sosok 
tubuh mengenakan seragam hitam melayang menghadang 
perjalanan mereka. Melihat sikap ketiga sosok berpakaian 
hitam yang rata-rata bengis, jelas kalau niat mereka tidak 
baik. 
Laki-laki tinggi gagah yang sepertinya kepala

rombongan pengawal barang, bergegas melompat turun 
dari punggung kudanya. Dari ketenangannya, jelas kalau ia 
sama sekali tidak merasa khawatir dengan penghadangan 
itu. 
“Bukankah kalian kelompok yang dipimpin Tiga Buaya 
Darat? Sampaikanlah hormat kami kepada beliau. Dan 
izinkanlah kami meneruskan perjalanan. Dan sepertinya, 
selama ini di antara kami dan ketiga ketua kalian telah 
terjalin persahabatan erat,” kata lelaki gagah itu sambil 
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tampak-
nya, dia telah mengenal baik orang yang berjuluk Tiga 
Buaya Darat itu. 
“Benar! Kami adalah pengikut Tiga Buaya Darat. Tapi, 
hari ini beliau memerintahkan agar kalian suka meninggal-
kan barang-barang di dalam kereta itu kepada kami. Dan, 
setelah itu kalian boleh pergi dengan tenang,” jawab salah 
seorang berpakaian serba hitam itu dengan lagak sombong 
dan memandang rendah. 
“Hei?! Mengapa begitu? Coba hadapkan aku kepada 
ketua kalian. Kalau begitu, percuma setiap bulan aku 
selalu mengirimkan upeti kepada mereka,” tukas lelaki 
tinggi tegap itu dengan kening berkerut. 
“He he he.... Benar kau selalu setia mengirimkan upeti 
kepada kami, Ludira. Tapi kali ini dengan sangat terpaksa, 
kami harus mengambil barang-barang yang kalian bawa 
itu. Maka, sebaiknya kalian tinggalkanlah ketiga kereta 
kuda itu. Keselamatan kalian akan kami jamin,” tiba-tiba 
terdengar suara berat yang disusul munculnya tiga sosok 
tubuh berpakaian serba merah. 
Tubuh mereka rata-rata pendek gemuk. Demikian pula

wajah ketiganya yang ditumbuhi cambang bauk. Sehingga, 
mereka tak ubahnya bagaikan saudara kembar. 
“Kakang Begawa, apa maksud ucapanmu? Bukankah 
kita telah lama bersahabat? Dan biasanya, kalian selalu 
memperbolehkan kami lewat? Mengapa tiba-tiba 
berubah?” bantah laki-laki tinggi tegap yang dipanggil 
Ludira itu penasaran. Jelas kalau dia merasa keberatan atas 
permintaan itu. 
“Sudahlah! Tidak perlu banyak tanya! Aku masih 
berbaik hati dengan membiarkan kalian pergi. Tapi kalau 
keadaan memaksa, apa boleh buat,” tegas salah seorang 
dari tiga laki-laki gemuk yang mengenakan ikat kepala 
hitam. 
Melihat dari sikap dan caranya, jelas kalau ia 
merupakan orang pertama dari Tiga Buaya Darat. Orang 
itu pulalah yang dipanggil Begawa. 
“Tidak bisa, Begawa!” bantah Ludira yang langsung 
membuang sebutan kakang ketika melihat perubahan sikap 
orang itu yang dikenalnya selama ini. 
Sambil berkata demikian, Ludira mengangkat kedua 
tangan sebagai isyarat pada pengikutnya untuk bersiap 
menghadapi pertempuran. 
Maka seketika itu terdengar suara gemerincing yang 
susul-menyusul ketika pedang-pedang belasan orang 
pengawal barang Macan Terbang diloloskan dari 
sarungnya. Serentak mereka berlompatan turun dari atas 
punggung kuda dengan pedang terhunus. 
Namun pada saat yang hampir bersamaan, belasan 
orang bertampang kasar telah berlompatan mengurung 
tempat itu. Mereka tak lain adalah para pengikut Tiga

Buaya Darat yang merupakan perampok terkenal dan 
sangat ditakuti. 
Melihat keadaan itu, Ludira bergegas mundur ke arah 
kawan-kawannya seraya menghunus senjata. Sadar kalau 
pertempuran tidak mungkin dihindari lagi, Ludira segera 
mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan. 
Gerakan tangan lelaki gagah itu rupanya telah sangat 
dipahami anggotanya. Serentak, belasan orang anggota 
Macan Terbang, bergerak menyebar. 
“Serbuuu...!” 
Begawa yang sudah menjadi marah, segera berteriak 
memberi perintah kepada para pengikutnya. Maka tanpa 
dapat dicegah lagi, terjadilah pertempuran kecil namun 
cukup sengit. 
“Heaaat..!” 
Para anggota perampok berteriak-teriak sambil 
mengibaskan senjatanya ke arah belasan anggota Macan 
Terbang. Terdengar dentang senjata meningkahi teriakan-
teriakan nyaring dan jerit kesakitan. 
Ludira sendiri sudah berhadapan langsung dengan 
Begawa. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengincar 
tubuh lawan. Sambaran angin pedangnya menderu-deru, 
membuat Begawa tidak berani memandang remeh 
serangan laki-laki tegap itu. Maka, penggadanya mulai 
digerakkan untuk mengatasi serangan Ludira. 
Bettt! Bettt! 
Sambaran penggada Begawa yang menimbulkan deru 
angin keras itu, ternyata mampu menindih gerakan 
pedang Ludira. Sehingga dalam waktu singkat, kepala 
perampok itu telah dapat membuat lawan terdesak.
“Hahhh...!” 
Memasuki jurus kedua puluh satu, Begawa melompat 
disertai bentakannya yang mengejutkan. Gerakan itu 
masih disertai pula sambaran penggada yang mengarah 
kepala lawan. Serangkum angin menderu mengiringi 
datangnya sambaran senjata itu. 
Wuttt! 
Ludira yang merasa terkejut mendengar bentakan itu 
semakin pucat ketika melihat datangnya hantaman lawan. 
Cepat kakinya bergeser ke samping disertai egosan 
tubuhnya. Sayang gerakan Ludira masih kalah cepat. 
Sehingga, meskipun berhasil menyelamatkan kepalanya, 
tetap saja penggada Begawa menghajar bahu kirinya. 
Bugkh! 
“Aaakh...!” 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh laki-laki tinggi tegap 
itu langsung terlempar sejauh satu batang tombak lebih! 
Belum lagi Ludira sempat berbuat seuatu, penggada lawan 
kembali meluncur deras menuju batok kepalanya. 
Wuttt! 
Prakkk! 
Terdengar suara berderak keras ketika penggada yang 
dihantamkan sekuat tenaga itu telak menghantam pecah 
kepala Ludira. Darah segar yang bercampur cairan putih, 
berhamburan membasahi batu-batu padas yang berdebu. 
Ludira, kepala pengawal barang Macan Terbang tewas 
tanpa sempat berteriak lagi. 
Tewasnya pimpinan pengawal barang Macan Terbang, 
tentu saja membuat para anggotanya menjadi terkejut. 
Keadaan mereka yang saat itu tengah terdesak hebat,

menjadi semakin kalang kabut. 
Brettt! Crakkk! 
“Aaargh...!” 
Kembali dua orang anggota Macan Terbang menjerit 
ngeri! Tubuh mereka langsung ambruk bermandikan 
darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, dua orang 
anggota itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. 
Tujuh orang anggota pengantar barang yang masih 
selamat bergegas melompat mundur. Mereka berdiri 
berkelompok saling melindungi. Wajah-wajah mereka 
tampak pucat, dan telah dibasahi peluh. Sepertinya tak ada 
harapan lagi untuk dapat menyelamatkan diri. Para 
perampok Tiga Buaya Darat itu terkenal sangat kejam dan 
tidak mengenal ampun. 
“Bagaimana ini, Kakang...?” tanya salah seorang 
anggota Macan Terbang kepada laki-laki berkumis tipis 
yang berada di sebelah kanannya. 
“Tidak ada jalan lain, Adi. Barang-barang kiriman 
Juragan Bartala ini harus dipertahankan dengan taruhan 
nyawa kita,” sahut laki-laki gemuk berkumis tipis dengan 
suara bergetar. 
“Bunuh mereka....!” terdengar perintah Begawa 
kepada para pengikutnya. Sedangkan sebagian yang lain, 
telah berlari menyerbu kereta tanpa diperintah lagi. 
“Heaaa...!” 
Lima belas orang anggota perampok berteriak keras 
sambil berlari menyerbu ketujuh orang anggota Macan 
Terbang yang sudah kehilangan keberanian. Wajah-wajah 
para perampok itu terlihat menyeringai bagalkan seekor 
singa lapar.

Sadar kalau untuk meminta ampun sudah jelas tidak 
mungkin, maka ketujuh orang sisa anggota Macan 
Terbang itu bertekad melawan sampai titik darah terakhir! 
“Yeaaat..!” 
Disertai sebuah teriakan parau, ketujuh orang sisa 
anggota Macan Terbang menyambut serangan musuh-
musuhnya. Sambaran-sambaran angin pedang menderu, 
ditingkahi denting senjata beradu kembali terdengar. 
Sebentar saja, ketujuh orang anggota Macan Terbang itu 
sudah terdesak hebat. Beberapa di antara mereka nampak 
sudah terluka akibat sambaran senjata-senjata lawan. 
“Haiiit..!” 
Wuttt! Brettt! Brettt! 
“Aaakh...!” 
Terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh 
dua orang anggota Macan Terbang! Kedua orang itu 
langsung tewas dengan isi perut terburai. 
Robohnya kedua orang kawan mereka ternyata tidak 
mengurangi semangat tempur yang lain. Kelima orang 
anggota Macan Terbang yang masih tersisa, berusaha 
mempertahankan diri sebisa-bisanya. 
Pada saat yang sangat berbahaya bagi kelima orang 
anggota Macan Terbang itu, tiba-tiba dua sosok tubuh 
melayang dan langsung menjejakkan kakinya di tengah 
arena pertempuran. 
“Haiiit..!” 
Begitu memasuki arena, sosok bayangan putih dan 
hijau itu langsung memporak-porandakan para perampok 
yang mengurung kelima orang anggota Macan Terbang. 
Plakkk! Bukkk! Desss!

“Aaah....!” 
“Wuaaa...!” 
Sekali mendorong telapak tangan saja, delapan orang 
anggota perampok beterbangan bagai sehelai daun kering 
yang dihempas angin! Tubuh mereka langsung terbanting 
dan pingsan seketika itu juga. Dari sudut bibir mereka 
tampak mengalir cairan merah. 
Hebat sekali terjangan-terjangan yang dilakukan kedua 
sosok tubuh yang baru tiba itu. Sehingga dalam beberapa 
jurus saja, para pengeroyok kelima orang anggota Macan 
Terbang tergeletak rebah tanpa dapat bangkit lagi. 
Kedatangan kedua sosok tubuh yang ternyata memiliki 
kepandaian tinggi, tentu saja membuat kelima orang 
anggota Macan Terbang menjadi gembira. Dengan wajah 
bersimbah peluh dan darah, mereka langsung men-
jatuhkan diri berlutut di depan kedua sosok tubuh yang 
membelakangi mereka. 
“Terima kasih kepada Tuan berdua yang telah 
menyelamatkan nyawa kami...,” ucap kelima orang itu 
bergantian sambil mengangguk-anggukkan kepala mem-
bentur tanah berdebu. 
Dua sosok tubuh berpakaian putih dan hijau itu 
membalikkan tubuh ke arah lima orang sisa anggota 
Macan Terbang. Sosok berjubah putih yang ternyata 
seorang pemuda tampan itu bergerak melangkah dan 
membangunkan kelima orang yang masih bersujud. 
“Bangkit, dan beristirahatiah kalian. Serahkan masalah ini 
kepada kami. Mudah-mudahan kami dapat menyelesai-
kannya dengan baik,” ujar pemuda tampan berjubah putih 
itu dengan suara halus dan wajah terhias senyum.

“Kereta barang kami..., mereka rampok...,” tutur laki-
laki berkumis tipis yang dengan cerdik dapat 
memanfaatkan penolongnya. 
“Sabarlah. Sahabatku ini akan membereskannya,” sahut 
pemuda tampan itu sambil menolehkan kepala kepada 
kawannya, yang ternyata adalah seorang dara jelita. 
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih, dara jelita 
berpakaian hijau itu pun bergegas menghampiri kereta 
kuda yang tengah dikerubuti para perampok. 
Sedangkan pemuda itu sendiri, sudah melangkahkan 
kaki mendekati tiga orang lelaki pendek gemuk yang 
merupakan pimpinan para perampok. 
*** 
Hadirnya kedua sosok tubuh yang langsung terjun ke 
dalam kancah pertarungan, tentu saja membuat Tiga 
Buaya Darat menjadi terkejut. Apalagi setelah menyaksi-
kan kehebatan mereka. Bahkan hanya dalam beberapa 
gebrakan saja, para pengikutnya dapat dibuat tak berdaya. 
Tentu saja hal ini membuat ketiganya membelalak marah. 
Begawa sebagai orang tertua dari Tiga Buaya Darat, 
langsung saja melangkah maju menyambut kedatangan 
pemuda itu. Langkahnya terhenti dalam jarak satu 
setengah tombak dari lawannya. Dengan tatapan seperti 
hendak menelan tubuh pemuda itu bulat-bulat, Begawa 
menudingkan telunjuknya secara kasar. 
“Siapa kau, Pemuda Setan! Mengapa begitu lancang 
mencampuri urusanku?!” bentak Begawa dengan suara 
menggelegar.

Kemarahan Begawa dapat dimaklumi. Dan memang 
kedatangan pemuda berjubah putih dan kawannya itu, 
telah membuat rencananya berantakan. Maka seluruh 
kemarahannya ditumpahkan kepada pemuda itu. 
“Hm...,” gumam pemuda tampan itu pelan sambil 
meneliti ketiga sosok tubuh di hadapannya. “Kaliankah 
yang telah membantai delapan orang yang tengah 
melewati Hutan Branjangan?” tanya pemuda yang tak lain 
dari Panji, dengan pandangan penuh selidik. Sedangkan 
pertanyaan Begawa sama sekali tidak dipedulikannya. 
“Aku tidak tahu, apa yang kau maksudkan itu. Jawab 
saja pertanyaanku sebelum kau menggeletak jadi mayat!” 
bentak Begawa yang semakin memuncak amarahnya. 
Karena pemuda tampan itu sepertinya sama sekali 
memandang remeh padanya. 
“Dugaanku pasti tidak meleset Di sekitar daerah ini, 
hanya kalianlah para perampok yang mengenakan seragam 
serba hitam. Sedangkan dua kelompok lainnya meng-
gunakan serba merah dan biru. Jadi, tidak perlu lagi kalian 
berdalih,” ujar Panji tanpa mempedulikan kemarahan 
Begawa. 
Menilik dari sikap dan kata-katanya, jelas kalau 
Pendekar Naga Putih telah menyelidiki komplotan para 
perampok di sekitar wilayah itu. Dan itu pula yang 
membuatnya merasa yakin akan dugaannya. 
“Kau jangan menuduh sembarangan, Kisanak! Bisa saja 
kelompok yang kau selidiki itu berbohong, dan mereka 
melemparkan tuduhan kepada kami. Tapi jangan dikira 
kami takut mengakuinya, kalau memang kami yang 
melakukan pembunuhan itu,” sahut Begawa.

Laki-laki itu akhirnya terpaksa mengikuti arah pem-
bicaraan Pendekar Naga Putih, karena pertanyaan yang 
diajukannya sama sekali tidak dipedulikan. 
“Hm..., kau masih ingin menyangkal?” gertak Panji 
yang segera melangkah maju bersikap mengancam. 
“Kakang! Mengapa harus meladeni bocah gila itu? Beset 
saja mulutnya, habis perkara,” sahut salah seorang dari dua 
kawan Begawa yang seperti tidak sabar melihat 
perdebatan itu. 
Setelah berkata demikian, laki-laki gemuk berikat 
kepala merah yang merupakan orang kedua dari Tiga 
Buaya Darat, bergegas melompat dan menjejakkan kaki-
nya beberapa langkah di hadapan Panji. Di tangan 
kanannya tampak tergenggam sebatang golok besar yang 
pada bagian matanya bergerigi. 
“Mengapa tidak kau saja yang melakukannya, Kisanak?” 
tantang Panji sambil tersenyum. 
Di wajah Pendekar Naga Putih sama sekali terlihat 
kegentaran. Dan sikapnya pun tetap tenang. Sama sekali 
tidak bersiap, sebagaimana biasanya orang yang akan 
menghadapi pertarungan. 
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu...!” 
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk berikat 
kepala merah itu langsung melompat disertai sabetan 
senjata mengancam wajah Panji. 
Wuttt! 
Sambaran golok besar itu lewat beberapa jengkal, 
ketika Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke 
samping. Namun begitu senjatanya tidak mengenai 
sasaran, laki-laki berikat kepala merah itu memutar

senjatanya dengan gerakan cepat dan kuat! 
“Bagus...!” seru Panji yang mau tak mau harus memuji 
serangan lawan. Karena gerakan orang itu memang cepat 
dan tak terduga, sehingga membuat Pendekar Naga Putih 
mengaguminya. 
Pujian yang dikeluarkan bukan berarti Pendekar Naga 
Putih tidak bisa mengatasi lawan. Sambaran golok yang 
bagi orang lain terlihat sangat cepat dan berbahaya, tentu 
saja bukan hal yang mencemaskan bagi Pendekar Naga 
Putih. Dengan gerakan indah dan tak terduga, pemuda 
tampan itu menarik kaki depan sambil mendoyongkan 
tubuh ke belakang. Dan begitu sambaran senjata lawan 
yang mengincar lehernya lewat, kaki yang semula tertarik 
ke belakang langsung mencelat naik mengancam lambung 
lawan. 
Zebbb! 
“Aihhh...!” 
Serangan balasan pemuda itu ternyata telah membuat 
lawan kelabakan. Betapa tidak? Sebab, datangnya 
tendangan yang dilancarkan Panji benar-benar tak 
terduga. Tahu-tahu saja, ujung kaki pemuda itu telah 
berada beberapa jengkal di depan lambung lawan. 
Dengan gerakan agak gugup, laki-laki gemuk berikat 
kepala merah itu melempar tubuh ke belakang. Langsung 
dia bersalto beberapa kali untuk menyelamatkan diri. 
Sayang Pendekar Naga Putih tidak sudi lagi mem-
berikan kesempatan kepada lawan untuk melanjutkan 
pertarungan. Maka pada saat tubuh gemuk itu tengah 
melambung di udara, pemuda itu bergegas mengejar 
disertai hantaman telapak tangan yang langsung mengincar

dada lawan. Dan.... 
Bukkk! 
“Hugkh...!” 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu terlempar 
deras ketika telapak tangan Pendekar Naga Putih meng-
hantam telak dadanya. Jeritan kesakitan yang disertai 
semburan darah segar terlontar dari mulut lawannya. 
Tubuh gemuk itu langsung terbanting ambruk di tanah 
keras sekali. 
“Adi Jambrong...!” 
Bukan main terkejutnya hati Begawa melihat adiknya 
dapat ditundukkan pemuda itu hanya dalam beberapa 
jurus saja. Cepat ia berlari menghambur ke arah tubuh 
Jambrong bersama saudaranya yang paling muda. 
“Bedebah! Kubunuh kau...!” bentak Begawa marah 
ketika melihat cairan merah yang mengalir di sudut bibir 
Jambrong. 
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gemuk itu 
bangkit ketika mendapati adiknya yang pingsan akibat 
pukulan Pendekar Naga Putih. 
“Kita habisi saja dia, Kakang!” seru orang ketiga dari 
Tiga Buaya Darat dengan wajah merah. 
Sambil berkata demikian, laki-laki berikat kepala biru 
itu langsung meloloskan senjatanya, berupa sepasang 
badik berukuran satu setengah jengkal. 
“Bagus! Majulah kalian bersama-sama, biar urusan ini 
cepat selesai,” ujar Panji dengan suara tenang dan bibir 
tersenyum. 
Ucapan itu dimaksudkan Pendekar Naga Putih untuk 
membangkitkan kemarahan lawan. Sebab, bila

penyerangan dilakukan dengan penuh amarah, biasanya 
kewaspadaan pasti akan berkurang. Dan itu akan 
mempermudah pekerjaannya. 
“Setan...!” 
Begawa yang merasa tertantang, bergegas melompat 
disertai ayunan penggadanya yang menimbulkan deru 
angin keras! Dalam kemarahannya, laki-laki gemuk 
berikat kepala hitam itu telah menggunakan seluruh 
tenaga dalam serangannya kali ini. 
Orang ketiga dari Tiga Buaya Darat pun tidak mau 
ketinggalan. Tubuhnya segera melesat menyusuli kakak 
seperguruannya. Sepasang badiknya bergerak cepat saling 
susul-menyusul dengan kekuatan tidak bisa dipandang 
remeh. 
Wukkk! Bettt! Bettt! 
Serangan gencar bertubi-tubi yang dilepaskan kedua 
orang kakak beradik itu sama sekali tidak membuat 
Pendekar Naga Putih gentar. Dengan langkah-langkah 
pendek yang disertai gerakan tubuhnya, sambaran senjata 
lawan dapat dihindari dengan mudah. Bahkan setelah 
pertarungan menginjak jurus kesepuluh, pemuda itu mulai 
melancarkan serangan-serangan balasan yang cepat dan tak 
terduga. 
Sebenarnya, kepandaian yang dimiliki dua orang dari 
Tiga Buaya Darat itu termasuk cukup tinggi. Bahkan boleh 
dikatakan sampai saat sebelum berjumpa Pendekar Naga 
Putih, mereka sama sekali belum terkalahkan. Tapi kali ini 
mereka terpaksa harus menelan pil pahit. Sebab, pemuda 
tampan yang sama sekali tidak mereka kenal telah 
membuat kalang-kabut! Tentu saja kenyataan itu

membuat mereka semakin penasaran. 
Memasuki jurus kelima belas, serangan-serangan yang 
dilancarkan Panji tampak semakin membuat kedua lawan 
kerepotan. Sehingga, mereka tidak sempat lagi 
melancarkan serangan-serangan balasan. Dan memang, 
pukulan-pukulan yang dilancarkan pemuda itu bagaikan 
datang dari berbagai penjuru dan mengurung mereka. 
“Heaaah...!” 
Pada suatu kesempatan baik, Panji membentak keras. 
Akibatnya, kedua lawan terkejut. Dan sebelum mereka 
sempat menyadari keadaan, sepasang tangan Pendekar 
Naga Putih bergerak cepat mengancam tubuh keduanya 
sekaligus! 
Bettt! Bettt! 
“Ihhh...!” 
Begawa dan adik seperguruannya tergagap melihat 
serangan yang meluncur mengancam tubuh mereka. 
Cepat keduanya melempar tubuh ke belakang, dan 
langsung menjatuhkan diri bergulingan menghindari 
serangan Pendekar Naga Putih. 
Namun, kecepatan gerak Panji tidak dapat disamakan 
kecepatan mereka. Maka sekali melompat saja, tubuh 
pemuda itu telah dapat menyusuli kedua lawannya. Dan 
ketika tubuh mereka melenting bangkit, sepasang tangan 
pendekar muda itu telah menghajar telak tubuh keduanya. 
Bukkk! Desss! 
“Aaargh...!” 
“Hugkh...!” 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu 
langsung terlempar sejauh satu tombak lebih.

“Uhhh...!” 
Begawa, orang pertama dari Tiga Buaya Darat itu 
rupanya memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat daripada 
saudaranya. Lelaki gemuk berwajah brewok itu mencoba 
bangkit berdiri disertai keluhan yang terdengar dari 
mulutnya. Sedangkan di sebelah kanannya tampak tubuh 
saudaranya telah tergeletak pingsan. 
Panji yang melihat Begawa bergerak hendak bangkit, 
cepat melompat. Langsung ditekannya tubuh orang itu 
dengan menggunakan telapak kakinya. Hal itu dilakukan 
dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga Begawa 
merasakan tubuhnya bagai dihimpit sebuah batu besar 
yang sangat berat 
“Hm.... Sepertinya kau tidak akan pernah jera terhadap 
kelakuanmu selama ini. Sebaiknya, orang sepertimu tidak 
boleh dibiarkan lama-lama, menikmati hidup ini,” geram 
Panji sambil menambah tekanan pada pijakan kakinya. 
“Akh...!” 
Merasakan tekanan telapak kaki lawan semakin 
bertambah berat dan menyakitkan, Begawa kembali 
mengeluh. Cairan merah tampak mengalir semakin deras 
dari sudut bibirnya. 
Panji menarik kakinya dari tubuh lawan. Sempat 
terlintas rasa iba di hatinya melihat seringai kesakitan di 
wajah laki-laki gemuk itu. Setelah menatap wajah orang 
itu sejenak, tangan kanannya diangkat, siap mengirim 
Begawa ke akhirat 
“Tunggu, Kisanak...!” seru Begawa yang melihat 
pemuda itu hendak menghabisi nyawanya. 
Seruan serak itu disusul suara batuk dan muntahan


darah segar. Jelas kalau Begawa telah terluka dalam cukup 
parah akibat pukulan Panji tadi. 
“Hm.... Kau mempunyai pesan untuk kusampaikan 
kepada anak buahmu?” tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih segera menurunkan telapak 
tangannya yang siap menghunjam tubuh gemuk itu. 
Dipandanginya wajah Begawa yang saat itu juga tengah 
menatapnya dengan sinar mata redup. 
“Aku..., aku sebenarnya hanya seorang pengikut 
Dan..., kami masih mempunyai pimpinan lagi...,” jelas 
Begawa dengan suara terpatah-patah. 
“Pimpinan? Maksudmu...?” tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih segera mengangkat tubuh gemuk 
itu untuk bangkit duduk, lalu disandarkannya pada 
sebatang pohon. 
“Aku..., aku hanya orang suruhan..,” aku Begawa lagi 
sambil menarik napas panjang-panjang. Seringai di 
wajahnya tampak kembali menggurat. Tangan kanannya 
bergerak menekap dada yang dirasakan semakin nyeri. 
Tentu saja ucapan itu tidak sepenuhnya dipercaya 
Panji. Namun karena menurutnya tidak ada ruginya 
mendengar keterangan itu, maka diberikannya obat luka 
dalam yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya 
kepada Begawa. 
“Ceritakanlah...,” pinta Panji. Pendekar Naga Putih 
telah menjejalkan obat luka dalam berwarna putih salju ke 
dalam mulut Begawa. Ditunggunya beberapa saat setelah 
obat pemberiannya menunjukkan gejala penyembuhan. 
***
“Tiga tahun yang lalu, aku dan dua kelompok 
perampok lainnya di daerah ini merupakan raja-raja kecil 
yang memiliki daerah kekuasaan. Sampai kemudian, 
datang seorang laki-laki tinggi besar yang memiliki 
kepandaian sangat tinggi. Orang yang berjuluk Hantu 
Teluk Jambe itu datang menaklukkan semua perampok di 
daerah ini,” Begawa menarik napas panjang dan meng-
hentikan ceritanya sejenak. 
“Kemudian, kami diperintah untuk membunuh setiap 
orang yang melewati daerah kekuasaan kami dan 
merampas semua bawaan mereka. Setiap hasil yang di-
dapatkan harus dikirim ke Desa Pacitan. Hal itu kami 
lakukan dengan menyamar sebagai pengawal barang, agar 
tidak menimbulkan kecurigaan penduduk desa itu,” lanjut 
Begawa. 
“Hm.... Siapakah orang itu? Dan apa jabatannya di 
Desa Pacitan?” tanya Panji tetap bersikap tenang dan 
sabar. 
Meskipun keterangan yang dibeberkan Begawa sangat 
jelas, namun Pendekar Naga Putih tidak mau mem-
percayai begitu saja. Sebab, bukan tidak mungkin kalau 
kepala rampok itu sengaja melontarkan fitnah untuk 
keselamatannya sendiri. 
“Kau boleh tidak percaya dengan keteranganku ini, 
Kisanak. Tapi untuk membuktikan kebenaran ceritaku ini, 
sebaiknya datanglah ke Desa Pacitan. Di sana, kau boleh 
menyelidiki seorang juragan yang bernama Gerda Pasa. 
Para penduduk desa itu memang tidak mengetahuinya. 
Bahkan mereka menganggap Gerda Pasa sebagai orang

kaya yang baik hati. Kebusukannya disembunyikan di balik 
kebaikan hatinya dengan memberi bantuan kepada para 
penduduk yang tidak mampu. Padahal, semua itu dilaku-
kannya untuk mengeruk keuntungan dari para petani yang 
dibantunya,” tutur Begawa kembali melanjutkan cerita-
nya. 
“Hm.... Maksudmu, Gerda Pasa membantu dengan 
memberikan pinjaman kepada mereka. Lalu, para petani 
diharuskan membayar berlipat ganda, begitu?” tanya Panji 
yang memang telah sering mendengar ulah para juragan 
tamak terhadap para penduduk desa. Baginya, cerita 
seperti itu sudah tidak aneh dan sering dijumpai dalam 
perantauan. 
“Tidak! Gerda Pasa bahkan lebih licik dari itu. Ia 
memang memberi bantuan berupa bibit-bibit tanaman dan 
segala keperluan para petani miskin. Tapi setelah tumbuh 
subur, tanaman itu akan dirusaknya dengan menyebarkan 
racun, sehingga para petani gagal panen. Setelah kejadian 
itu, tentu para petani miskin tadi tidak akan sanggup 
membayar hutang-hutang mereka. Maka kemudian sawah 
atau ladang mereka dibeli Juragan Gerda Pasa dengan 
harga murah. Lalu, para petani disuruhnya menggarap 
sawah yang telah dibeli. Tentu saja mereka hanya sekadar 
orang upahan yang tidak berhak mencicipi hasil sawah 
ladang itu.” 
“Hm.... Licik sekali orang itu. Dengan demikian, ia 
tidak akan dicurigai para petani. Sudah berapa banyak 
orang yang terjebak tipu kejinya itu? Jelas, kekayaan yang 
dimiliki Gerda Pasa semakin menumpuk,” geram Panji 
sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat

Seketika Pendekar Naga Putih teringat dengan pem-
bunuhan keji yang ditemukannya di Hutan Branjangan 
beberapa hari yang lalu. 
“Jadi delapan orang yang kau bantai di Hutan 
Branjangan itu, juga tengah mengantar barang?” tanya 
pemuda itu. 
“Benar! Mereka adalah rombongan saudagar kaya yang 
hendak menjual hasil tanamannya ke kadipaten. Mereka 
terpaksa kami bunuh untuk menghilangkan jejak. Barang-
barang bawaan mereka kami rampas, dan dikirimkan 
kepada Juragan Gerda Pasa. Karena semua itu memang 
atas perintahnya,” Begawa akhirnya mengakui segala 
perbuatannya kepada Panji. 
Semua itu dilakukan kepala perampok itu karena 
merasa benci terhadap Gerda Pasa yang telah memperalat 
dirinya dan anggota gerombolannya. Padahal, mereka 
tidak mendapatkan hasil sedikit pun dari pekerjaan itu. 
Maka, Begawa segera mengadukannya kepada pemuda 
lihai yang tak dikenalnya itu. Dengan harapan, Gerda Pasa 
dapat diringkus Pendekar Naga Putih. 
“Hm..., baiklah. Sekarang, apa yang akan kau lakukan 
setelah semua kejadian ini? Apakah kau ingin kembali 
merampok?” tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih merasa semua keterangan yang 
diperolehnya telah cukup. Namun, matanya tetap 
menatap wajah Begawa penuh selidik. 
“Entahlah, Kisanak. Aku tidak memiliki kebisaan lain, 
selain berkelahi. Rasanya sulit sekali mencari nafkah 
dengan cara lain,” sahut Begawa. 
Kepala perampok itu sedikit heran mendengar per

tanyaan pemuda di hadapannya. Sebab menurutnya, 
pertanyaan pemuda itu jelas mengandung arti yang khusus 
baginya. Begawa tidak berani memikirkannya, karena 
merasa telah terlalu kotor dan patut dihukum mati. 
“Kau mau mendengar saranku...?” tanya Panji seraya 
menepuk lembut bahu laki-laki gemuk itu 
Wajah pemuda itu sama sekali tidak memancarkan 
dendam. Bahkan seulas senyum persahabatan tampak 
menghias wajah tampannya. 
“Apa.... Apa maksudmu, Kisanak...?” suara Begawa 
terdengar tegang dan penuh harap-harap cemas. 
“Bergabunglah dengan mereka,” jawab Panji seraya 
menudingkan telunjuknya ke arah lima orang sisa anggota 
pengawal barang Macan Terbang yang hanya dapat 
memandang bingung. Dan memang, mereka sama sekali 
tidak mendengar pembicaraan kedua orang itu. 
“Maksudmu...?” tegas Begawa mencoba memastikan 
ucapan pemuda itu. 
“Ya! Jadilah pengawal barang seperti mereka. Dan 
sebagai permulaan, kau dapat mengantarkan kelima orang 
itu sampai ke tempat tujuan,” jawab Panji seraya 
tersenyum lembut 
“Kau..., kau tidak akan membunuhku...?” tanya 
Begawa, seolah-olah tak percaya dengan apa yang ter-
dengar telinganya. 
“Kalau kau memang telah bertobat dan berjanji untuk 
tidak melanjutkan perbuatanmu yang lalu, tentu saja aku 
akan membebaskanmu,” senyum Panji semakin melebar 
melihat wajah Begawa yang berubah bagai orang tolol. 
“Oh.... Terima kasih..., terima kasih, Kisanak. Aku...,

aku..., ah! Aku berjanji akan meninggalkan pekerjaan 
kotor ini, dan akan menuruti nasihatmu. Semoga saja, apa 
yang kukerjakan nanti tidak akan mendapatkan cemooh 
dari masyarakat,” ucap Begawa. 
Laki-laki itu segera menjatuhkan dirinya, berlutut di 
depan Panji. Air mata tampak mengembang di pelupuk 
matanya. Jelas kalau dia yang selama ini terkenal sebagai 
ketua gerombolan perampok ganas merasa terharu dengan 
apa yang dilakukan pemuda itu terhadapnya. 
“Mengantarkan kelima orang itu hanya sebagai 
permulaan, Kisanak. Setelah itu, carilah tempat lain yang 
orang-orang tidak mengetahui masa lalumu. Dengan 
demikian, kau tidak perlu merasa takut terhadap 
pandangan orang lain,” sahut Panji memberikan nasihat-
nya. 
Begawa semakin dalam menundukkan kepalanya. 
Setelah cukup lama, baru laki-laki gemuk itu mengangkat 
kepalanya dan memandang Pendekar Naga Putih penuh 
rasa syukur. 
“Baiklah, Kisanak. Semua nasihatmu akan kujalankan. 
Tapi, bolehkah aku mengetahui nama atau julukanmu? 
Rasanya, janggal sekali kalau tidak mengetahui siapa orang 
yang telah mengangkatku dari semua kehinaan ini. 
Namaku adalah Begawa,” pinta Begawa dengan suara 
parau karena rasa haru yang dalam. 
“Namaku Panji. Sedangkan orang-orang rimba 
persilatan menjulukiku sebagai Pendekar Naga Putih,” 
sahut Panji tanpa rasa bangga ataupun sombong sedikit 
pun. 
“Ah...! Pendekar Naga Putih...! Pantas saja kau dapat

menundukkan kami bertiga secara mudah! Ampunilah 
kami yang buta dan bodoh ini, Pendekar Naga Putih. 
Nama besarmu telah lama sampai ke telinga kami. Siapa 
sangka, hari ini aku mendapatkan kehormatan besar dapat 
berbincang-bincang denganmu,” desah Begawa yang sama 
sekali tidak menyembunyikan rasa gembiranya. 
Kembali laki-laki gendut itu menjatuhkan dirinya 
berlutut di hadapan Panji. Sehingga, pemuda itu terpaksa 
mengangkat bangkit Begawa dengan sedikit paksaan. 
“Sudahlah, Paman Begawa. Jangan terlalu melebih-
lebihkan. Bisa-bisa kepala ku menjadi sebesar gunung 
nanti,” ujar Panji, mencoba bergurau sambil mengangkat 
Begawa berdiri. 
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Sekarang juga 
aku akan melaksanakan segala nasihatmu.” 
Setelah berkata demikian, Begawa melangkah ke arah 
lima orang anggota Macan Terbang yang hanya bisa 
menatap bingung. 
Sedangkan Panji sendiri sudah melangkah dan meng-
obati semua anggota Tiga Buaya Darat yang dilukainya. 
Termasuk, dua orang pimpinannya yang masih tergeletak 
pingsan. 
Kenanga sendiri sudah lama membereskan para 
perampok yang tengah mengerubuti kereta kuda. 
Sebagaimana yang dilakukan Panji, gadis jelita itu pun 
menyadarkan lawan-lawannya. Mereka yang hanya dibuat 
pingsan, kembali bangkit dan berkumpul di dekat Begawa. 
“Mulai hari ini, pekerjaan keji ini harus ditinggalkan. 
Dan kita akan mencari pekerjaan lain yang lebih bersih. 
Siapa di antara kalian yang masih setia denganku, silakan

ikut. Tapi bagi yang tidak bersedia ikut denganku, tidak 
ada paksaan. Silakan mencari jalan hidup sendiri-sendiri, 
asalkan bukan perbuatan jahat,” ujar Begawa lantang, 
sambil berdiri tegak di hadapan anggota gerombolannya. 
Ternyata tidak seorang pun dari anggota perampok itu 
yang keluar dari barisan. Jelas, mereka semua lebih suka 
mengikuti sang Pemimpin. Tentu saja hal itu membuat 
Begawa tersenyum bangga. 
Namun tanpa disadari mereka, Pendekar Naga Putih 
dan Kenanga telah berkelebat cepat, menghilang dari situ. 
Dan memang, ilmu meringankan tubuh dua orang 
pendekar itu telah mencapai taraf kesempurnaan. 
“Hei? Ke mana Pendekar Naga Putih...?” tanya Begawa 
ketika tidak melihat Panji di tempat itu. Sadar kalau 
pemuda lihai itu merupakan seorang pendekar sejati, 
maka Begawa segera pergi dari situ untuk mengantarkan 
barang kiriman Macan Terbang. 
***

TUJUH

Lima orang laki-laki gagah tampak melangkah memasuki 
mulut Desa Pacitan. Sikap mereka tampak angker dengan 
tatapan mata tajam menyiratkan kebengisan. Penduduk 
desa yang kebetulan berpapasan dengan mereka bergegas 
menepi, dan hanya dapat memandang bingung. 
Di depan kelima orang laki-laki gagah itu tampak dua 
orang laki-laki berwajah sembab berdarah. Pakaian 
mereka tampak lusuh dan kotor. Melihat perlakuan lima 
orang laki-laki gagah itu, jelas kalau kedua orang itu adalah 
tawanan. 
“Percepat sedikit jalanmu, Bedebah!” hardik salah 
seorang dari lima laki-laki gagah itu. 
Dia memiliki bentuk tubuh kekar berotot. Wajahnya 
yang terhias kumis tebal, tampak menyiratkan ketidak-
sabaran. Dan hardikannya masih disertai pula dorongan 
yang membuat salah seorang tawanan terjerunuk hampir 
jatuh. 
Mendengar bentakan yang disertai dorongan keras, 
membuat kedua orang tawanan mempercepat langkahnya. 
Dengan setengah berlari, keduanya terus menyusuri jalan 
utama desa. Sekilas pun mereka tidak berani menolehkan 
kepala kepada laki-laki gagah bertubuh kekar itu. 
Tidak berapa lama kemudian, rombongan kecil itu tiba 
di depan sebuah bangunan besar yang terhitung paling 
megah di Desa Pacitan. 
“Hm.... Inikah rumah majikanmu...?” tegur laki-laki

berkumis lebat sambil melepaskan pandangan menilai 
rumah besar di depan matanya. Sikap dan ucapannya jelas 
membayangkan ketidaksenangan. 
“Betul..., Tuan...,” sahut salah seorang laki-laki 
berwajah sembab itu, menundukkan kepala. 
“Hm.... Mengapa kami tidak lekas kau bawa 
masuk...?” gumam laki-laki gagah berwajah keras yang 
mengenakan ikat kepala putih. Nada suaranya berat, 
bernada teguran dan ancaman. 
“Kami... Kami tidak berani, Tuan...,” sahut salah 
seorang dari kedua tawanan yang memiliki cambang tebal 
dan berperut gendut. Suaranya lebih mirip keluhan 
daripada jawaban. 
“Keparat! Rupanya kau lebih suka diperintah dengan 
ini!” bentak laki-laki berkumis lebat sambil meluncurkan 
kaki kanannya, menghajar tubuh orang itu. Dia memang 
merasa geram mendengar jawaban itu. 
Desss! 
“Akh...!” 
Tawanan berperut gendut itu mengeluh tertahan 
ketika sebuah tendangan telak menghajar punggungnya. 
Sehingga, tubuhnya langsung terjerembab beberapa 
langkah ke depan, dan jatuh persis menghantam pintu 
gerbang rumah besar itu. 
Suara berdebuk nyaring yang berasal dari depan 
gerbang itu membuat dua orang penjaga bergegas 
menghampiri. Wajah keduanya berubah kelam melihat 
sesosok tubuh dengan wajah bersimbah darah meringkuk 
kesakitan. 
“Bagol...! Kaukah itu...?” tegur salah seorang penjaga

yang bertubuh tinggi kurus sambil membungkuk untuk 
memastikan dugaannya. 
“Benar! Dia memang Bagol...!” seru penjaga bertubuh 
pendek, ketika kawannya mengangkat wajah bersimbah 
darah itu. Jelas kalau kedua orang penjaga itu memang 
telah mengenalnya dengan baik. 
Saat keduanya tengah memeriksa tubuh laki-laki yang 
dipanggil Bagol itu, terdengar jerit kesakitan yang disusul 
melayangnya sesosok tubuh lain ke arah mereka. 
“Nih, satu lagi kukembalikan...!” terdengar seruan 
keras mengiringi sosok tubuh yang tengah melayang. 
Namun penjaga yang bertubuh tinggi kurus ternyata 
cukup sigap. Begitu melihat sosok tubuh yang melayang 
ke arahnya, cepat kakinya melangkah mundur. Disertai 
bentakan nyaring, tubuh jangkung itu melesat menyambut 
sosok tubuh yang tengah mengapung di udara. Melihat 
dari sikapnya yang tanggap, jelas kalau seruan yang 
ditujukan kepadanya tadi telah didengarnya. 
Setelah berputar sebanyak dua kali di udara, tubuh 
tinggi kurus itu menjejakkan kaki ke tanah. Menilik dari 
caranya menyambut dan menjatuhkan kaki di tanah 
dengan beban di kedua lengan, jelas kalau kepandaiannya 
tidak bisa dipandang rendah. 
“Bagus...!” seru laki-laki tinggi kekar berkumis tebal 
memuji tindakan penjaga itu. 
Pujiannya masih disertai pula tepukan tangan yang 
cukup nyaring. Sayangnya, suara pujian yang keluar dari 
mulut laki-laki gagah itu agak sedikit menyiratkan 
kesinisan. 
“Terima kasih atas pujianmu, Kisanak, Bolehkah aku

tahu, siapa kalian sebenarnya? Dan mengapa sampai tega 
menyiksa kedua orang kawan kami ini?” tegur laki-laki 
tinggi kurus itu dengan wajah angker. Sepasang matanya 
tampak menyipit, seperti hendak menilai kelima orang 
laki-lagi gagah di depannya. 
“Tidak perlu banyak cakap! Panggil saja majikanmu 
keluar! Katakan, sahabat-sahabat Saudagar Prakosa ingin 
bertemu!” jawab laki-laki berkumis lebat yang memang 
sudah tidak bisa menahan kemarahannya. Jelas kalau 
ucapannya mengandung ancaman. 
“Hm.... Jangan disangka setelah menganiaya kedua 
orang kawan kami, kalian bisa berbuat seenaknya! 
Langkahi dulu mayat kami berdua, baru bisa menemui 
majikan kami,” tantang laki-laki tinggi kurus itu. 
Kemudian dia segera mencabut keluar golok panjang di 
pinggangnya. Perbuatannya diikuti penjaga lainnya, yang 
berdiri di sebelah kiri laki-laki tinggi kurus itu. 
“Nah! Kalau begitu, matilah kalian...!” bentak laki-laki 
berkumis lebat yang segera melompat disertai kibasan 
tangan ke arah dua orang penjaga pintu gerbang itu. 
Wuttt! 
Serangkum angin menderu, berhembus mengiringi 
kibasan tangan laki-laki gagah itu. Dari sambaran angin 
yang ditimbulkannya, jelas kalau ia memang hendak 
menurunkan tangan maut kepada dua orang penjaga yang 
siap menyambutnya. 
“Yeaaat..!” 
Dibarengi teriakan keras, kedua orang penjaga itu 
bergegas mengibaskan senjata menyambut serangan 
lawan. Tapi, laki-laki gagah itu ternyata cukup cerdik.

Maka, tangan kanannya yang mengibas itu berputar 
setengah lingkaran. Kemudian, terus meluncur 
menyampok kedua senjata lawan. 
Plak! Plak! 
“Akh...!” 
Perubahan gerak yang cepat dan tak terduga dari laki-
laki gagah itu, tak sempat lagi dicegah lawan. Terdengar 
suara keras yang disusul seruan tertahan dari kedua orang 
penjaga itu. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang 
sejauh satu tombak. Demikian kuatnya tenaga sampokan 
laki-laki gagah itu, sehingga senjata mereka terlepas dari 
genggaman. 
“Kurang ajar...!” umpat penjaga tinggi kurus yang 
segera melenting bangkit, dan siap menghadapi per-
tarungan kembali. 
“Setan...!” maki penjaga yang bertubuh pendek. 
Seperti kawannya, tubuh laki-laki pendek itu pun 
melenting bangkit dengan wajah menyeringai kesakitan. 
Tangan kanannya bergerak mengelus pinggul yang terasa 
linu. Dan memang, pada saat terjatuh tadi, tubuhnya tepat 
menimpa batu sebesar kepalan tangan. Dan tentu saja 
kemarahannya semakin menggelegak. 
Laki-laki kekar berwatak berangasan itu rupanya tidak 
ingin berlama-lama. Begitu kedua lawannya bergerak 
bangkit, dia langsung melompat disertai hantaman telapak 
tangan ke arah penjaga tinggi kurus. 
Bugk! 
“Hugkh...!” 
Hantaman telapak tangan laki-laki kekar itu telak 
menghajar dada lawan yang tak berdaging. Tanpa dapat

dicegah lagi, tubuh tinggi kurus itu tertolak ke belakang 
bagai dihentakkan tenaga raksasa yang tak nampak. 
Penjaga itu kemudian tewas, setelah terlebih dahulu 
menghantam dinding batu di belakangnya. 
Sedangkan gerakan laki-laki kekar berkumis lebat itu 
ternyata masih berkelanjutan. Begitu hantaman telapak 
tangannya mengenai sasaran, tubuhnya segera berputar. 
Langsung dilancarkannya tendangan lompat yang 
mengarah kepala penjaga satunya lagi. 
Penjaga bertubuh pendek yang saat itu masih me-
rasakan nyeri di pinggulnya, tentu saja menjadi terkejut 
setengah mati. Belum lagi sempat menyadari, telapak kaki 
yang mengandung tenaga dalam kuat itu telah singgah di 
kepalanya. 
Krakkk! 
Bagaikan layang-layang putus, tubuh pendek itu 
melintir akibat kerasnya tendangan lawan yang menghajar 
kepalanya. Darah segar kontan menyembur dari mulut-
nya, disertai beberapa buah giginya yang tanggal. Sebelum 
tubuhnya sempat terjatuh, kembali sebuah tamparan keras 
membuat napasnya langsung putus. 
Plakkk! 
Tamparan keras yang telak menghajar pelipisnya, 
membuat penjaga bertubuh pendek itu terbanting keras ke 
atas tanah. Darah seketika tampak mengalir dari luka 
memanjang di pelipisnya. Tamparan yang menewaskan itu 
ternyata juga menimbulkan luka yang mengalirkan darah. 
Selesai menamatkan riwayat kedua lawannya, laki-laki 
tinggi kekar itu langsung melompat melewati pintu 
gerbang.

“Adi Sempana, tunggu..!” seru salah seorang dari 
empat laki-laki gagah yang berusia paling tua di antara 
mereka. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengejar. 
Tiga orang laki-laki gagah lainnya, bergegas menyusul. 
Gerakan mereka rata-rata gesit dan ringan, langsung 
bergerak memasuki pelataran rumah itu. 
*** 
“Hey, siapa kalian?! Dan mau apa memasuki tempat 
ini...?!” terdengar bentakan nyaring yang membuat 
langkah lima orang laki-laki gagah itu terhenti. 
Begitu bentakan lenyap, delapan sosok tubuh ber-
pakaian serba hitam berlompatan mengurung lima orang 
itu. Sikap kedelapan orang itu terlihat galak, dan 
memandang penuh ancaman. Senjata-senjata mereka pun 
telah dilolos dari sarungnya. 
“Hm.... Cecunguk-cecunguk Gerda Pasa. Lebih baik 
kalian menyingkir sebelum kesabaranku hilang!” ancam 
laki-laki bertubuh kekar yang bernama Sempana. Sepasang 
matanya tampak menyorot tajam, membuat hati delapan 
orang itu bergetar dan melangkah mundur tanpa sadar. 
“Keparat sombong! Kurobek mulutmu yang lancang 
itu!” bentak salah seorang di antara pengepung itu. 
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dua 
tindak. Tangan kanannya mengibas ke kiri dan kanan 
sebagai perintah kepada kawannya untuk mulai bergerak. 
“Hmh...!” 
Sempana menggeram gusar melihat kepungan itu. 
Sebelum orang-orang itu bergerak, tubuhnya sudah

mencelat. Langsung dikirimkannya serangan ke arah dua 
orang yang berada di depannya. 
“Heaaat..!” 
Dua orang tukang pukul Juragan Gerda Pasa yang 
melihat datangnya serangan lawan, cepat bergerak meng-
hindar sambil mengibaskan senjata disertai pengerahan 
tenaga dalam. 
Bettt! Bettt! 
Sempana sama sekali tidak peduli terhadap serangan 
dua orang lawannya. Tubuhnya terus meluncur ke depan 
dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan deru angin 
kuat. Tentu saja hal itu membuat kedua orang lawan 
menjadi terkejut. Namun, mereka tetap membabatkan 
senjatanya. Maksudnya, untuk membuntungi kedua 
lengan lawan. 
Bagaikan seekor belut, sepasang tangan Sempana 
meliuk menghindari sambaran dua batang senjata. Saat itu 
juga, tubuhnya mengegos ke kanan, dan langsung 
mengirimkan sebuah tendangan kilat 
Begk! 
“Hugkh...!” 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh salah seorang lawan 
langsung terjungkal akibat tendangan keras Sempana. 
Darah segar langsung memercik membasahi pelararan 
rumah Juragan Gerda Pasa. Seketika orang itu ber-
kelojotan tewas akibat tendangan dengan pengerahan 
tenaga dalam amat kuat. 
Melihat tubuh kawannya terkapar tak bergerak, lawan 
yang seorang bergegas menebaskan senjata ke leher 
Sempana. Terdengar suara berdesing nyaring yang

menandakan kalau sambaran golok itu cukup kuat. 
Belum lagi sambaran golok itu tiba, seorang ber-
seragam hitam lainnya meluruk maju sambil menyabetkan 
pedang mengincar perut Sempana. Kekuatan sambaran itu 
tidak kalah kuat dengan yang pertama. Sepertinya, kedua 
orang itu memang sengaja hendak mengacaukan pikiran 
lawan dengan serangan dari dua arah yang berbeda. 
Namun Sempana yang merupakan orang kedua dari 
lima tokoh berjuluk Lima Naga Sungai Gombang, bukan-
lah orang sembarangan. Pengalamannya dalam rimba 
persilatan tak terhitung lagi. Sehingga dalam menghadapi 
serangan dari dua arah itu, sama sekali tidak gugup. 
Bagaikan seekor ular, tubuh kekar itu meliuk dengan 
gerakan luwes. Sambil melangkahkan kaki kanan ke 
depan, tubuhnya menekuk ke belakang dengan kedua 
tangan hampir menyentuh tanah. 
“Haiiit..!” 
Sambil membentak nyaring, tubuh laki-laki kekar itu 
berbalik, setelah kedua batang senjata lawan lewat satu 
jengkal di atas perutnya. Gerakan membalik itu dibarengi 
tendangan kedua kakinya, langsung menghajar dagu dan 
dada lawan. 
Bukkk! Desss! 
“Hugkh...!” 
“Uhhh...!” 
Tentu saja kedua orang lawan sama sekali tidak 
menduga gerakan itu. Mereka langsung mengeluh dan 
langsung terpental. Lawan yang terhantam dadanya 
kontan roboh pingsan, sedangkan yang seorang lagi 
melintir sambil memegangi dagu yang remuk.

Rupanya tendangan itu belum membuat hati Sempana 
puas. Tubuhnya kembali melenting, setelah terlebih 
dahulu menjatuhkan kaki sebagai tolakan. Gerakannya 
yang bagaikan lompatan kera itu membuat lawan menjadi 
terkesima. Belum lagi rasa sakit akibat tendangan tadi 
lenyap, tahu-tahu sepasang kaki Sempana telah menjepit 
tubuhnya. Seketika dua buah telapak tangan yang kuat 
langsung menghajar kedua telinganya secara berbarengan. 
Prakkk! 
“Aaargh...!” 
Darah segar segera membanjir keluar dari hidung, 
mulut, dan kedua telinga. Tubuh orang itu ambruk, dan 
tewas setelah berkelojotan meregang nyawa. 
Pada saat yang bersamaan, terdengar jerit kematian 
berturut-turut memecah keheningan siang itu, disusul 
berjatuhannya empat orang berseragam hitam terakhir. 
Mereka tewas di tangan empat orang Lima Naga Sungai 
Gombang, yang juga telah menyelesaikan pertarungan. 
“Kakang Gumparan! Apakah kita harus berpencar...?” 
Sempana melangkah, menghampiri orang tertua di antara 
mereka. 
“Tidak. Kita harus tetap bersama, Adi Sempana. 
Kudengar, manusia keji Gerda Pasa telah mengangkat 
Macan Tutul Lembah Daru sebagai menantu. Siapa tahu, 
pendekar muda itu akan membantunya. Sehingga, kita 
harus berhadapan dengannya terlebih dahulu,” sahut Ki 
Gumparan. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa 
gentar ketika mengucapkan nama Macan Tutul Lembah 
Daru. 
“Hei? Benarkah ucapanmu itu? Mengapa pendekar

muda itu tidak mengundang kita?” tanya Sempana yang 
merasa terkejut juga ketika mendengar keterangan 
saudara tertuanya. 
“Hm.... Kita tidak pernah berjumpa dengan pendekar 
muda itu sebelumnya. Jadi, wajar saja kalau tidak 
mengundang kita pada hari pernikahannya,” jawab Ki 
Gumparan dengan nada sedikit kecewa. 
“Sudahlah. Biarpun Macan Tutul Lembah Daru mem-
bantu juragan berhati iblis itu, kita tidak perlu mundur 
karenanya,” sahut salah seorang dari tiga lainnya, tak 
sabar. 
Jelas kalau ia merasa tidak suka pada nada gentar yang 
terkandung dalam ucapan kedua saudaranya. 
“Ayolah...,” ajak Ki Gumparan yang langsung me-
langkahkan kakinya menaiki undakan anak tangga yang 
berhubungan ke pintu utama rumah besar itu. 
“Gerda Pasa, keluar kau...! Kami utusan Saudagar 
Prakosa ingin meminta tanggung jawabmu!” seru Ki 
Gumparan, lantang. Dan memang, suara itu dikirim 
lewat pengerahan tenaga dalam. Maka, gemanya pun 
terdengar hingga ke bagian belakang rumah besar itu. 
Tak lama kemudian, terdengar suara berderit yang 
disertai terbukanya pintu utama rumah besar itu. Seorang 
laki-laki tinggi besar yang wajahnya, dipenuhi cambang 
bauk tampak berdiri tegak di ambang pintu. 
“Siapa kalian? Dan apa maksudmu dengan tanggung 
jawab itu?” tanya orang yang tak lain Gerda Pasa. 
Suaranya berat dan berwibawa. Sepasang matanya yang 
bulat, tampak merayapi kelima orang laki-laki gagah yang 
berdiri tegak dengan sikap mengancam

“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Gerda Pasa. 
Meskipun kau telah dapat menipu para petani dengan 
sikap dermawanmu, tapi kebusukanmu akan terbongkar 
hari ini. Kau telah mengirim lima anak buahmu untuk 
membakar perkebunan milik Saudagar Prakosa, sahabat 
baik kami. Dan tiga di antaranya, terpaksa kami kirim ke 
neraka. Sedangkan dua lainnya berada di depan pintu 
gerbangmu. Nah! Apakah kau masih ingin membantah?” 
kata Ki Gumparan yang mewakili saudara-saudaranya. 
Sikap laki-laki setengah baya itu terlihat tenang dan 
sama sekali tidak menunjukkan amarah. 
“He he he.... Berapa kepeng kalian dibayar Prakosa, 
sehingga bisa-bisanya melemparkan fitnah keji itu 
kepadaku. Mengapa pula kalian mempercayainya?” sahut 
Juragan Gerda Pasa. 
Laki-laki setengah baya itu sama sekali tidak kelihatan 
gentar meskipun pandangan kelima orang itu terlihat 
penuh ancaman. Malah ia melangkah mendekati mereka 
disertai tawanya yang serak. 
“Kau salah sangka, Gerda Pasa. Bukan Saudagar 
Prakosa yang melemparkan tuduhan itu. Tapi, kami 
sendirilah yang memergoki dan membekuk kelima orang-
orangmu semalam. Kebetulan, saat itu kami tengah 
bertamu dan menginap di kediamannya. Kalau saja kami 
tidak di sana semalam, mungkin saat ini saingan dagangmu 
telah jatuh bangkrut,” jelas Ki Gumparan sambil ter-
senyum penuh ejekan, karena apa yang diduga Gerda Pasa 
ternyata salah. 
“Hm.... Kalian datang tentu untuk meminta 
sumbangan, bukan? Kalau begitu, biarlah. Aku akan

memberi sumbangan yang lebih besar kepada kalian. 
Bagaimana? Dan, berapa yang kalian inginkan?” bujuk 
Juragan Gerda Pasa. 
Kini dia merasa yakin kalau kelima orang laki-laki 
gagah itu memang benar-benar telah mengetahui 
rahasianya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ditawarkannya 
bayaran yang lebih tinggi kepada mereka. 
“Bagus! Tawaranmu kuterima!” 
Sempana yang sudah tidak bisa menahan sabar, 
langsung saja maju ke depan. 
“Dan kau boleh membayar dengan..., kepalamu!” 
sambung laki-laki berwatak beringas itu sambil melompat, 
dan langsung menebaskan sisi telapak tangan ke leher laki-
laki tinggi besar itu. 
Wuttt! 
Serangkum angin keras menderu, seiring sambaran sisi 
telapak tangan Sempana. Menilik dari sambaran pukulan 
itu, jelas kalau ia memang hendak mematahkan langsung 
batang leher Juragan Gerda Pasa yang masih berdiri tegak 
bagai tak mengetahui bahaya. 
Dan sebelum batang leher laki-laki tinggi besar itu 
patah akibat sambaran tangan Sempana, sesosok tubuh 
melayang dan langsung memapak tebasan telapak 
tangannya. 
Plakkk! 
“Uhhh...!” 
Bukan main terkejutnya hati Sempana ketika lengannya 
bagai dihantam besi baja. Tubuhnya terdorong mundur 
beberapa langkah ke belakang diiringi seruan kagetnya. 
“Bangsat!” maki Sempana.

Laki-laki beringas itu tampak memijat-mijat lengannya 
yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Selebar wajahnya 
tampak memerah saking geramnya terhadap laki-laki 
tinggi kekar itu. 
“Macan Tutul Lembah Daru...!” seru Ki Gumparan 
dan keempat orang saudaranya, termasuk Sempana. 
Mereka benar-benar terkejut melihat sosok tubuh 
tinggi tegap berpakaian kulit macan tutul. Siapa lagi 
pemuda itu kalau bukan Nanggala. 
“Siapa mereka, Kakang...?” tanya wanita cantik 
berpakaian serba putih, yang begitu tiba langsung 
memeluk tubuh Nanggala. Dia adalah Untari, istri Macan 
Tutul Lembah Daru. 
Rupanya suami istri yang menempati bagian belakang 
rumah besar itu bergegas ke depan setelah mendengar 
teriakan Ki Gumparan tadi. Dan suami istri itu menarik 
napas lega setelah mengetahui kalau orang tua mereka 
belum sempat dilukai kelima orang laki-laki yang 
menyatroni rumah besar ini 
“Kalau tidak salah, mereka adalah Lima Naga Sungai 
Gombang,” jawab Nanggala. 
Jawaban itu keluar setelah Macan Tutul Lembah Daru 
meneliti kelima orang laki-laki gagah itu. Meskipun belum 
pernah berjumpa dengan mereka, namun nama kelima 
orang itu telah lama didengar dan dikaguminya. Itulah 
sebabnya, mengapa Nanggala terlihat agak sedikit segan 
terhadap mereka. Sebab biar bagaimanapun, kelima orang 
itu masih segolongan dengannya. Dan hal itu membuatnya 
tidak menunjukkan sikap permusuhan.
*** 
“Benar, Macan Tutul Lembah Daru. Kami berlima 
dijuluki Lima Naga Sungai Gombang. Dan kuharap, kau 
tidak ikut campur dalam masalah ini. Perlu kau ketahui, 
Gerda Pasa telah melakukan perbuatan keji. Dia telah 
memakai tangan lima orang anak buahnya untuk mem-
bakar perkebunan milik sahabat kami yang bernama 
Saudagar Prakosa. Maka, kuharap kau menyingkir. Biar 
kami menyelesaikan urusan ini dengannya,” ujar Ki 
Gumparan, berwibawa. 
Karena biar bagaimanapun, Ki Gumparan merasa 
tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada 
Nanggala. Menurutnya, pemuda itu hanya seorang tokoh 
muda yang usianya baru seumur jagung. Maka, sudah 
sepatutnya kalau Macan Tutul Lembah Daru bersikap 
lebih hormat kepadanya. 
Nanggala bukan tidak memandang Lima Naga Sungai 
Gombang. Tapi karena mereka hendak mencelakai ayah 
mertuanya, maka mau tak mau ia harus membela. 
Apalagi, semua tuduhan itu belum tentu benar. Sebab, 
selama tinggal di tempat kediaman ayah mertuanya, 
belum sekali pun orang tua itu terlihat berbuat jahat. 
Bahkan ayah mertuanya sering dilihat menolong petani-
petani miskin yang kekurangan modal. Tentu saja 
Nanggala tidak bersedia mengikuti permintaan Ki 
Gumparan. 
“Maaf, Ki. Kurasa hal itu hanya fitnah dari orang yang 
merasa tidak suka terhadap ayah mertuaku. Jadi sebaiknya 
hal ini dibicarakan dulu dengan kepala dingin. Mari,

silakan masuk,” ajak Nanggala sambil menggeser tubuhnya 
memberi jalan kepada kelima orang itu untuk masuk. 
“Tidak bisa. Apa yang kami katakan itu sama sekali 
bukan fitnah. Dan Gerda Pasa sendiri sudah mengakuinya 
tadi,” kembali Ki Gumparan melanjutkan ucapannya. 
Wajah laki-laki setengah baya itu tampak sedikit gusar 
melihat sikap Nanggala yang jelas-jelas berada di pihak 
Gerda Pasa. Hal itu tentu saja membuatnya cemas. Tentu 
saja, karena pekerjaannya akan lebih sulit dengan adanya 
Macan Tutul Lembah Daru di pihak lawan. 
Nanggala tidak segera menjawab perkataan Ki 
Gumparan. Pemuda itu menolehkan kepala ke arah ayah 
mertuanya. Dan Untari pun melakukan hal yang sama. 
“Ayah, benarkah apa yang diucapkan orang itu?” tanya 
Untari meminta penjelasan ayahnya. Wanita cantik itu 
sudah melangkah dan mendekati Gerda Pasa. 
“Hhh.... Aku tidak bisa bilang apa-apa. Sekarang, 
tinggal terserah kalian berdua. Apakah lebih mempercayai 
Ayah, atau kelima orang tukang pukul Prakosa itu,” sahut 
Gerda Pasa yang dengan pandainya bersandiwara berpura-
pura sedih. 
“Tapi, Ayah tidak melakukannya, bukan?” desak 
Untari, meminta kepastian ayahnya. 
“Tidak...,” jawab Gerda Pasa menggeleng lemah. 
Kemudian, sambil menundukkan kepala, laki-laki 
setengah baya itu melangkah menuju ke dalam rumahnya. 
“Bedebah licik!” maki Sempana yang menjadi marah 
besar demi mendengar jawaban Gerda Pasa. 
Dengan kemarahan yang meluap-luap, laki-laki kekar 
itu langsung melompat dan menerjang Gerda Pasa yang

hendak meninggalkan tempat itu. 
Macan Tutul Lembah Daru tentu saja tidak mem-
biarkan ayah mertuanya dilukai orang. Maka tubuhnya 
langsung bergerak menghalangi serangan Sempana. 
Langsung tangan kanannya diangkat untuk memapak 
serangan laki-laki kekar itu. 
Melihat sikap Macan Tutul Lembah Daru yang jelas-
jelas hendak membela orang yang dibencinya, Sempana 
pun menjadi gusar. Serangan yang semula ditujukan 
kepada Gerda Pasa, kini beralih mengancam kepada 
Nanggala. Kepalan itu berputar cepat, dan langsung 
menyambar dada pemuda berpakaian kulit macan tutul 
itu. 
Nanggala pun tidak tinggal diam. Melihat perubahan 
serangan lawan yang kini mengancam dadanya, cepat 
kakinya melangkah ke belakang menghindarinya. Begitu 
serangan lawan luput, kaki yang semula berada di 
belakang itu langsung mencelat naik melepaskan sebuah 
tendangan kilat yang tak terduga. 
Zebbb! 
Sempana pun bukan tidak melihat tendangan itu. 
Dengan memiringkan tubuhnya sedikit, maka serangan 
lawan pun menyambar angin kosong. Gerakan mengelak 
yang dilakukan Sempana tidak hanya berhenti di situ saja. 
Sepasang tangannya langsung menyambar telapak kaki 
lawan, dan bermaksud memuntir patah. Gerakannya 
cukup cepat dan mengejutkan. Untunglah Nanggala 
menarik kakinya lebih cepat, sehingga cengkeraman lawan 
tidak membawa hasil. 
Sadar kalau pertarungan tidak mungkin dapat dihindari

lagi, Nanggala segera mempersiapkan ilmu andalannya. 
Karena saat itu, Ki Gumparan dan yang lainnya sudah 
datang menyerbu. Maka, repotlah Macan Tutul Lembah 
Daru menghadapi keroyokan Lima Naga Sungai Gombang 
yang terkenal lihai. 
Untari yang melihat suaminya tampak kerepotan, cepat 
menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran. Pedang 
di tangannya langsung dikibaskan ke arah dua orang lawan 
yang paling dekat dengannya. 
Wuttt! 
“Uts...!” 
Dua orang dari Lima Naga Sungai Gombang yang tidak 
menduga akan kehebatan Untari, menjadi terkejut 
setengah mati. Untunglah mereka masih sempat menarik 
tubuh ke belakang, sehingga ujung pedang gadis cantik itu 
hanya merobek baju pada bagian perut. 
Kenyataan itu tentu saja membuat keduanya terkejut 
setengah mati. Seketika wajah mereka pucat pasi. Untung 
saja pada saat-saat terakir, masih sempat menghindar. 
Kalau tidak, pasti tubuh keduanya sudah tergeletak mandi 
darah. 
“Kurang ajar kau, Perempuan Liar...!” maki salah 
seorang dari mereka yang berwajah bulat dan berjenggot 
lebat. 
Ia yang tadi sempat mendengar kalau wanita itu adalah 
putri Gerda Pasa, tentu saja tidak menyangka kalau 
kepandaiannya tinggi. Mana mungkin anak seorang 
juragan kaya dapat memiliki ilmu silat? Dan hal itu 
ternyata telah membuatnya hampir tewas. 
“Hm.... Jangan mimpi untuk dapat menangkap ayahku,

Kambing Bandot! Menghadap pedangku saja, kau sudah 
seperti kakek-kakek kebakaran jenggot!” ejek Untari. 
“Huh! Jangan sombong dulu, Nisanak! Kau akan 
merasakan kerasnya pukulanku nanti,” lanjut laki-laki 
bertubuh tegap dan berdada bidang itu, geram. 
Setelah berkata demikian, tubuhnya kembali bergerak 
mendekati Untari. Kedua tangannya yang membentuk 
cakar naga, bergerak-gerak susul-menyusul. Langkah kaki-
nya terlihat mantap dan beraturan. 
“Haiiit..!” 
Untari berseru nyaring sambil menggeser tubuh ke 
samping kanan. Begitu sambaran tangan lawan lewat di 
sampingnya, pedang gadis itu berkelebat cepat mengincar 
lambung lawan. 
Wuttt! 
Namun kali ini tidak mudah bagi Untari untuk 
menyentuh tubuh lawan. Pedang itu ternyata hanya lewat 
dan tidak mengenai sasaran. Bahkan sebelum senjatanya 
sempat ditarik pulang, cengkeraman tangan lawan sudah 
meluncur mengancam bahunya. 
Melihat cengkeraman lawan datang, cepat Untari 
menarik mundur tubuhnya dengan kuda-kuda rendah. 
Dan belum lagi wanita itu sempat menarik napas lega, 
sebuah tendangan dari lawan yang lain datang mengancam 
iganya. Karena sudah tidak mungkin lagi bergerak meng-
hindar, maka tubuhnya bergegas diputar dan dipapaknya 
tendangan lawan dengan tangan kiri. 
Plakkk! 
“Uhhh...!” 
Tangkisan Untari memang berhasil menggagalkan

tendangan lawannya. Tapi sayang, kedudukan gadis itu 
terlalu lemah. Sehingga, tubuhnya terdorong ke samping 
sejauh satu batang tombak. 
“Haiiit..!” 
Namun, wanita cantik itu memang bukan orang 
sembarangan. Begitu terjajar mundur, cepat-cepat 
tubuhnya melenting ke udara dengan menggunakan 
jejakan kaki ke tanah. Kembali kedua kakinya mendarat 
selamat di tanah. 
Kedua orang lawan Untari ternyata tidak hanya ber-
henti sampai di situ saja. Begitu kaki wanita itu menjejak 
bumi, serangan mereka kembali tiba. Pertempuran pun 
kembali berlanjut sengit. 
***
DELAPAN

Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara 
Macan Tutul Lembah Daru melawan tiga orang dari Lima 
Naga Sungai Gombang, masih berlangsung sengit. 
Nanggala yang sadar kalau lawannya bukanlah orang-
orang sembarangan, mengerahkan seluruh kepandaian 
untuk menahan gempuran lawan. Jurus 'Macan Tutul' nya 
yang telah mengangkat namanya dalam rimba persilatan, 
dikerahkan sepenuh tenaga. Maka dapat dibayangkan, 
betapa hebatnya gempuran-gempuran yang dilancarkan 
Nanggala terhadap ketiga lawannya itu. 
Tubuh Macan Tutul Lembah Daru yang berkelebatan 
disertai serangan-serangannya, benar-benar membuat Ki 
Gumparan dan kedua saudaranya kewalahan. Sehingga, 
mereka harus mengerahkan seluruh ilmu yang dimiliki 
untuk menghadapi terjangan pendekar muda itu. Tentu 
saja, pertarungan yang terjadi di antara mereka semakin 
seru dan sengit. 
“Heaaat..!” 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ketujuh 
puluh tiga, Nanggala berseru nyaring disertai lesatannya. 
Sepasang tangannya bergerak cepat membagi-bagi 
serangan ke titik-titik terlemah di tubuh ketiga lawan. 
Gerakannya cepat dan memiliki banyak perubahan yang 
tak terduga. Akibatnya Ki Gumparan dan saudara-
saudaranya benar-benar kelabakan. 
Nanggala yang melihat lawan berlompatan mundur

dalam jarak yang terpisah, bergerak cepat mengejar Ki 
Gumparan. Pukulan 'Macan Tutul'nya meluncur deras 
mengincar pelipis dan dada kiri lawan. 
Bettt! Bettt! 
Pukulan yang dilancarkan Macan Tutul Lembah Daru 
benar-benar cepat dan berbahaya. Sehingga, Ki Gumparan 
yang menjadi incaran serangan Nanggala menjadi 
kerepotan dibuatnya. Dengan wajah agak pucat, laki-laki 
setengah baya itu menggeser tubuhnya ke samping, 
menghindari serangan lawan. 
Namun sepasang mata pemuda itu ternyata sangat jeli. 
Melihat tubuh lawan bergeser ke samping, kedua 
serangannya segera ditarik pulang. Dan sebelum Ki 
Gumparan sempat menyadari, sebuah tendangan keras 
telah menghajar lambung kanannya. 
Bukkk! 
“Aaakh...!” 
Tendangan Nanggala yang sangat keras membuat tubuh 
Ki Gumparan terlempar hingga dua batang tombak 
jauhnya. Sebelum orang tertua dari Lima Naga Sungai 
Gombang itu dapat memperbaiki posisinya, tubuh 
Nanggala kembali melesat disertai tiga buah pukulan 
beruntun. 
Untunglah pada saat yang berbahaya bagi keselamatan 
Ki Gumparan, Sempana datang memapak serangan Macan 
Tutul Lembah Daru. Laki-laki bertubuh kekar itu 
mengerahkan segenap tenaga dalamnya, untuk menangkis 
serangan Nanggala. 
Pada saat yang bersamaan, orang ketiga dari Lima Naga 
Sungai Gombang mengirimkan pukulan ke tubuh

Nanggala. Laki-laki gemuk yang berada di bagian belakang 
itu melepaskan dua buah pukulan sekaligus, mengarah ke 
bagian belakang Macan Tutul Lembah Daru. Tentu saja 
dua buah sergapan yang dilakukan secara berbarengan 
sangat sulit untuk dielakkan Nanggala. 
Namun, nama Macan Tutul Lembah Daru memang 
bukan sekadar nama kosong. Dalam menghadapi dua 
sergapan pengeroyoknya, dia sama sekali tidak gugup. 
Seketika ditundanya serangan yang semula ditujukan ke 
arah Ki Gumparan. Dengan sebuah gerakan menakjubkan, 
tubuh pemuda itu tiba-tiba saja mencelat naik setinggi 
setengah tombak lebih. Tubuhnya yang dalam sikap tidur 
lurus, melakukan dua buah tendangan ke arah Sempana 
sambil mendorongkan sepasang tangannya untuk 
menyambut serangan lawan yang berada di belakang. 
Hebat, dan benar-benar mengejutkan sekali apa yang 
dilakukan pendekar muda itu. 
Sempana yang tengah melakukan tamparan mendatar 
itu tentu saja terkejut sekali. Tangannya cepat berputar, 
melakukan tangkisan. Sayang apa yang dilakukan laki-laki 
kekar itu tidak berhasil sepenuhnya. Selagi menangkis 
tendangan kaki kanan lawan, kaki kiri Nanggala lebih dulu 
meluncur dan menghantam telak dadanya. 
Pada saat yang bersamaan, sepasang tangan Nanggala 
yang berputar tak terduga itu telah bersarang di dada laki-
laki bertubuh gemuk. 
Plakkk! Desss! Bresssh...! 
“Hugkh...!” 
“Akh...!” 
Kedua orang lawan Macan Tutul Lembah Daru

berteriak kesakitan. Tubuh mereka terpental ke belakang, 
sejauh dua batang tombak. Darah segar langsung 
menyembur dari mulut mereka. 
“Keparat! Kau benar-benar telah menjadi iblis, Macan 
Tutul Lembah Daru! Hanya karena seorang wanita cantik, 
kau telah berubah haluan dan membela orang salah!” maki 
Ki Gumparan dengan wajah merah padam. Jelas kalau 
laki-laki setengah baya itu merasa geram melihat luka yang 
diderita kedua saudaranya. 
Ki Gumparan yang sudah bertambah kalap, segera 
melesat dan mengirimkan serangan-serangan maut dengan 
sisa-sisa tenaganya. Sepertinya, ia hendak mengadu nyawa 
dengan Macan Tutul Lembah Daru yang menurutnya telah 
salah jalan. 
“Heaaat..!” 
Terjangan Ki Gumparan yang disertai pengerahan 
tenaga sepenuhnya sama sekali tidak membuat Nanggala 
gentar! Dengan tangkasnya, pemuda itu berkelit. 
Langsung dilancarkannya serangan balasan yang tidak 
kalah berbahayanya. 
Pertarungan kali ini berjalan tidak seimbang. Ki 
Gumparan yang saat itu masih dalam keadaan terluka, 
sepertinya tidak sanggup menahan gempuran-gempuran 
hebat yang dilancarkan lawan. Sehingga dalam waktu 
kurang dari sepuluh jurus, laki-laki setengah baya itu 
terpaksa harus menerima hantaman Nanggala yang 
menghajar iganya. 
Desss! 
Ki Gumparan menjerit ngeri akibat pukulan jurus 
'Macan Tutul' yang telak menghajar iganya. Tubuhnya

kembali terbanting di atas tanah, sehingga menimbulkan 
suara berdebuk keras. Cairan merah nampak mengalir di 
sudut bibirnya. 
Macan Tutul Lembah Daru menatapi ketiga orang 
lawannya yang tengah merintih kesakitan. Dan memang, 
tidak ada niat di hatinya untuk membunuh mereka. Maka, 
Nanggala pun tidak melanjutkan serangannya. Padahal 
kalau mau, hal itu sangat mudah dilakukannya. 
Tiba-tiba saja kepala Nanggala terdongak ketika men-
dengar suara jerit kematian yang melengking membelah 
angkasa. Betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika 
melihat dua sosok tubuh terlempar mandi darah. Dan 
dikenalinya betul, kalau kedua orang itu adalah orang yang 
mengeroyok istrinya. Tapi yang membuatnya lebih ter-
kejut adalah, sebatang pedang berlumur darah yang 
tergenggam di tangan seorang laki-laki tinggi besar dan 
berwajah brewok. 
“Ayah...! Mengapa harus membunuh mereka...?” tegur 
Macan Tutul Lembah Daru ketika mengenali orang itu. 
Sebab, laki-laki tinggi besar itu memang Gerda Pasa. 
“Terpaksa kulakukan, Nanggala. Atau kau lebih suka 
istrimu yang menjadi mayat? Seharusnya kau berterima 
kasih, bukannya menegurku?” sahut Gerda Pasa seraya 
mengerutkan alisnya yang tebal mendengar teguran 
menantunya. 
Nanggala tak mau menanggapi pertanyaan ayah 
mertuanya. Sebab biar bagaimanapun, ia lebih suka 
mereka yang tewas ketimbang istrinya. Atau lebih baik 
lagi, kalau mereka cukup dilukai saja dan diusir pergi. 
Tapi, hal itu hanya ada dalam hatinya. Sedangkan

mulutnya tetap bungkam tanpa kata-kata. 
“Sebaiknya ketiga orang itu pun harus dilenyapkan! 
Mereka bisa mendatangkan kesulitan bagi kita di 
kemudian hari,” ujar Gerda Pasa lagi. 
Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu 
melangkah mendekati tiga orang lainnya yang hanya dapat 
memandang dengan sinar mata pasrah. Dan memang, 
keadaan mereka tidak lagi memungkinkan untuk 
melanjutkan pertarungan. 
“Tapi, Ayah....” 
“Jangan terlalu lemah batinmu, Nanggala,” potong 
Gerda Pasa. 
Dia memang tidak ingin memberikan kesempatan 
kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kalimatnya. 
“Orang seperti mereka tidak bisa diberi hati. Hari ini 
kita bebaskan, besok akan kembali dengan kawannya yang 
lebih banyak. Apakah kau lebih suka kalau mereka yang 
akan menyiksa kita nanti?” lanjut Gerda Pasa, 
menyudutkan pemuda itu. 
Jelas kalau laki-laki setengah baya ini pandai bicara. 
Sehingga, Nanggala tidak mampu membantahnya. 
“Benar, Kakang. Tadi kalau ayah tidak keburu datang 
menolongku, mungkin aku sudah jadi mayat,” Untari yang 
melihat sinar keraguan di mata suaminya, ikut pula 
membujuk. 
Macan Tutul Lembah Daru menoleh ke arah istrinya. 
Dan kening pemuda itu berkerut dalam ketika melihat 
pakaian istrinya banyak ternoda darah. Bahkan di sudut 
bibir wanita cantik itu masih tersisa lelehan darahnya. 
Jelas, Untari telah mengalami luka-luka dalam setelah

menghadapi lawannya tadi. 
“Kau.... Kau tidak apa-apa, Untari...?” tanya Nanggala 
cemas. Jemari tangannya bergerak menghapus lelehan 
darah di sudut bibir istrinya. 
“Untung ayah masih sempat menyelamatkanku. Nah, 
apakah sekarang kau masih merasa tidak tega kepada 
orang-orang jahat itu?” kata wanita cantik itu seraya 
mengerling tak senang. 
Nanggala terpaksa membungkam. Rasa geramnya pun 
bangkit setelah melihat apa yang terjadi pada wanita yang 
disayanginya. Maka, ia pun tidak berusaha membantah 
ketika ayah mertuanya telah bersiap hendak menghabisi 
nyawa Ki Gumparan dan kedua saudaranya. 
“He he he.... Badut-badut tukang fitnah! Sekarang 
kalian boleh pergi dengan tenang. Aku akan membebas-
kanmu dari kehidupan dunia ini. Percayalah, kalian pasti 
akan lebih tenteram di alam sana,” kata Gerda Pasa seraya 
menyeringai tajam. Kata-kata itu sengaja diucapkan 
perlahan, agar tidak terdengar Nanggala yang terpisah 
beberapa tombak di belakangnya. 
“Keparat kau, Manusia Keji! Jangan dikira aku takut 
menghadapi kematian! Kalau ingin membunuh, bunuhlah 
kami! Tidak perlu banyak cakap!” tantang Ki Gumparan 
penuh kegeraman. 
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu 
bersiap mempertahankan selembar nyawanya. 
“Mampuslah...!” bentak Gerda Pasa. 
Laki-laki itu benar-benar menjadi tidak sabar melihat 
sinar mata Ki Gumparan yang jelas-jelas menantangnya. 
Maka, golok besar di tangannya berkelebat cepat dengan

sambaran angin yang berkesiutan. 
Wuttt! 
Suara sambaran golok yang berdesing nyaring itu 
membuat Ki Gumparan ternganga tak percaya. Sungguh 
tak disangka kalau Gerda Pasa memiliki kepandaian silat 
Maka hatinya kontan terkejut bukan main. Sebab, dari 
suara sambaran senjata itu, dapat ditebak kalau kekuatan 
yang menggerakkannya pasti hebat sekali. Sehingga, laki-
laki setengah baya itu terpaku bagaikan orang pasrah 
menerima nasib. 
“Tahan...!” 
Pada saat maut sudah siap menjemput nyawa Ki 
Gumparan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring 
menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok 
bayangan putih berkelebat bagaikan kilat, dan langsung 
memapak tebasan golok dengan pedangnya. 
Trang! 
Bunga api berhamburan diiringi dentang nyaring yang 
menulikan telinga. Tangkisan sosok tubuh itu ternyata 
membuat Gerda Pasa terjajar mundur sejauh satu tombak 
lebih. Meskipun demikian, golok besar di tangannya tetap 
tergenggam erat 
Sedangkan sosok bayangan putih yang menyelamatkan 
Ki Gumparan dari kematian, telah berdiri tegak dengan 
sorot mata menggiriskan. Wajahnya yang bersih dan 
tampan, tampak tenang tanpa pancaran amarah sedikit 
pun. 
“Hm.... Siapa kau, Anak Muda? Mengapa mencampuri 
urusanku?” tegur Gerda Pasa, garang. Sepasang matanya 
yang bulat tampak berkilat tajam.

Ki Gumparan yang berada di belakang pemuda tampan 
itu kembali bergetar hatinya. Memang, dari pancaran 
mata Gerda Pasa, dapat dinilainya kehebatan tenaga dalam 
yang dimiliki laki-laki tinggi besar itu. Dan ia pun tahu, 
pancaran mata seperti itu hanya terlihat pada orang-orang 
yang telah memiliki tenaga dalam hampir sempuma. 
Tentu saja ia semakin tidak mengerti, mengapa sepasang 
mata seorang juragan bisa demikian menggetarkan. 
Sedangkan pemuda tampan yang tak lain dari Pendekar 
Naga Putih hanya berdiri tegak sambil meneliti sosok 
Gerda Pasa. Seorang gadis jelita berpakaian serba hijau 
sudah berdiri mendampingi Panji. 
“Kau pasti orang yang berjuluk Hantu Teluk Jambe, 
dan bersembunyi di balik nama Gerda Pasa, bukan? Tak 
perlu lagi berpura-pura di hadapanku, karena semuanya 
tentang dirimu telah kuketahui,” tebak Pendekar Naga 
Putih. Suaranya tetap tenang, dan wajar. Hanya sepasang 
matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata naga di 
kegelapan. 
Gerda Pasa yang semula hendak marah karena pemuda 
itu tidak menjawab pertanyaannya, tentu saja menjadi 
terkejut setengah mati. Sehingga, untuk beberapa saat 
lamanya ia hanya bisa ternganga heran. 
Bukan cuma Gerda Pasa yang merasa terkejut atas 
ucapan Panji. Bahkan semua yang hadir di tempat itu pun 
terkejut mendengar disebutnya julukan Hantu Teluk 
Jambe. Sebab, julukan itu telah menjadi momok beberapa 
tahun lalu. Namun karena julukan itu lenyap begitu saja, 
maka orang-orang rimba persilatan pun mulai melupa-
kannya. Siapa sangka kini tiba-tiba saja terdengar kembali

julukan yang menggetarkan itu. Tentu saja mereka 
menjadi setengah tak percaya. 
“He he he.... Apa yang kau ucapkan itu, Anak Muda? 
Yang kau hadapi saat ini adalah juragan yang bernama 
Gerda Pasa. Dan aku sama sekali tidak mengerti ucapan 
gilamu itu,” ejek Gerda Pasa menyembunyikan rasa 
terkejutnya. Hebatnya, wajah laki-laki tinggi besar itu pun 
telah wajar kembali. 
“Hm.... Jangan banyak berlagak dungu, Hantu Teluk 
Jambe. Kau pikir, aku tidak tahu dari mana harta 
bertumpuk-tumpuk yang kau dapatkan itu? Salah seorang 
begundalmu yang berjuluk Tiga Buaya Darat telah 
kutaklukkan. Dan dari merekalah, keterangan tentang 
dirimu kudapat. Nah! Apakah masih ingin menyangkal?” 
desak Panji tidak mau kalah gertak. 
“Ooo... Jadi kau mendapatkan keterangan palsu itu 
dari seorang raja perampok! Tidak sadarkah kau, Anak 
Muda? Mereka telah menipumu mentah-mentah untuk 
mencari selamat,” bantah Gerda Pasa kembali. Sehingga, 
hal itu membuat semua orang menjadi bingung. Termasuk 
juga Macan Tutul Lembah Daru yang mendengarkan 
perdebatan itu. 
“Siapa bilang aku berbohong...?” tiba-tiba terdengar 
suara parau yang membuat Panji dan yang lain menoleh ke 
arah asal suara. 
“Paman Begawa...!” seru Panji yang tentu saja menjadi 
gembira melihat kedatangan orang tertua dari Tiga Buaya 
Darat. 
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa menyusul 
kemari, karena aku tahu Hantu Teluk Jambe akan

menyangkal semua tuduhanmu. Aku sengaja memberikan 
tugas mengantar barang itu kepada kedua orang saudara-
ku. Dan aku sendiri hadir di sini untuk menjadi saksi!” 
kata laki-laki gemuk bercambang bauk yang melangkah 
menghampiri Panji. 
Untuk yang kesekian kalinya, orang-orang yang berada 
di halaman itu ternganga heran. Sama sekali tidak disangka 
kalau pemuda tampan berjubah putih itu adalah Pendekar 
Naga Putih. Tentu saja semua pandangan orang yang ada 
di sini kini beralih kepada Panji. 
“Bedebah!” 
Terdengar makian keras yang membuat orang-orang di 
sekitarnya kembali terkejut. 
“Kau ternyata seorang pengkhianat Begawa! Dan untuk 
itu, kau harus menebus dengan nyawamu!” ancam Gerda 
Pasa. Dengan hadirnya Begawa, Gerda Pasa tidak bisa 
mengelak tuduhan itu lagi. 
Gerda Pasa yang merasa kalau tidak ada gunanya lagi 
menyangkal, segera melompat dan langsung menyerang 
Begawa. Golok besar di tangannya berputar cepat 
menimbulkan desingan angin yang memekakkan telinga. 
Jelas kalau Gerda Pasa atau si Hantu Teluk Jambe hendak 
menghabisi nyawa orang itu sekali tebas. 
Trang! 
Kembali terdengar benturan nyaring yang disertai 
percikan bunga api di udara. Rupanya, Pendekar Naga 
Putih kembali memapaki tebasan golok besar itu dengan 
Pedang Naga Langit yang dipegangnya. Tentu saja hal itu 
menimbulkan kemarahan yang semakin berkobar di dada 
Gerda Pasa.
“Bangsat kau, Pendekar Naga Putih! Jangan dikira 
dengan nama besarmu itu kau bisa bersikap sombong di 
hadapanku. Hmh...! Kau harus diberi pelajaran! Biar kau 
tahu, siapa sebenarnya Hantu Teluk Jambe itu!” geram 
Gerda Pasa melihat campur tangan Panji yang mencegah 
perbuatannya. 
Sedangkan Macan Tutul Lembah Daru menjadi 
bingung. Ia tidak tahu, harus berpihak ke mana? Sehingga, 
pemuda itu hanya terpaku bagai orang bodoh di samping 
istrinya. 
Demikian pula Untari. Wanita itu memang sama sekali 
tidak tahu kalau ayahnya memiliki julukan demikian 
seram. Tuduhan-tuduhan yang semula tidak dipercayai-
nya, kini membuatnya bingung. Akhirnya, ia hanya bisa 
memeluk tubuh suaminya untuk mencari ketenangan. 
Saat itu, Pendekar Naga Putih sudah terlibat dalam 
sebuah perkelahian sengit. Keduanya saling serang dengan 
jurus-jurus andalan berbahaya. Sambaran-sambaran angin 
pukulan mereka membuat orang-orang yang menyaksikan 
perkelahian segera menjauhkan diri. Karena, tempat 
perkelahian itu sudah hampir tidak terlihat lagi. 
“Heaaat..!” 
Hantu Teluk Jambe memekik keras sambil mengirim-
kan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri. Terdengar 
suara mencicit tajam yang menandakan betapa berbahaya 
serangannya. 
Wusss! Blarrr...! 
Tembok tebal pagar halaman rumah besar itu ambrol 
akibat hantaman pukulan yang dilancarkan Hantu Teluk 
Jambe. Kedahsyatan pukulan laki-laki tinggi besar itu

tentu saja membuat orang-orang yang menyaksikannya 
menggeleng-gelengkan kepala. Betapa ngeri hati mereka 
membayangkan, apabila pukulan dahsyat itu sampai 
mengenai tubuh Pendekar Naga Putih. 
Panji sendiri sempat terkejut melihat kehebatan 
pukulan lawan. Kenyataan itu membuatnya semakin 
berhati-hati, dan menambah pengerahan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' yang dimiliki. Hembusan angin dingin pun 
semakin keras bertiup, bersamaan semakin melebarnya 
lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti 
tubuh Pendekar Naga Putih. 
“Heaaah...!” 
Bagaikan seekor naga murka, Panji memekik nyaring 
disertai serangannya menggunakan jurus 'Naga Sakti'. 
Wuttt! Wuttt! 
Sambaran angin dingin yang menusuk tulang 
berhembus keras mengiringi serangan Pendekar Naga 
Putih yang susul-menyusul. Pedang Naga Langit di 
tangannya berkelebatan, tak ubahnya seekor naga yang 
bermain-main di angkasa. Sinar kuning keemasan yang 
terpancar dari badan pedang, bergulung-gulung mem-
bentuk gundukan sinar yang menyilaukan mata. Hebat 
sekali serangan pendekar muda itu, sehingga lawannya 
terdesak mundur tanpa mampu melancarkan serangan 
balasan. 
Wuttt! 
“Aihhh...!” 
Hantu Teluk Jambe memekik tertahan. Hampir saja 
tubuhnya termakan mata pedang lawan. Untung saja 
tubuhnya masih sempat ditarik ke kanan belakang,

sehingga ujung pedang itu lewat beberapa jengkal di 
samping kiri perutnya. 
Laki-laki tinggi besar itu terus melempar tubuhnya dan 
melakukan beberapa kali putaran salto untuk menghindari 
kejaran mata pedang lawan. Begitu kedua kakinya 
menjejak tanah, golok besar di tangan kanannya berputar 
membentuk gulungan sinar putih yang melindungi seluruh 
tubuhnya. 
“Haaat..!” 
Disertai teriakan yang membahana, tubuh Hantu Teluk 
Jambe meluncur deras disertai sambaran golok besarnya. 
Senjata di tangan Gerda Pasa meliuk dan berputar cepat 
mencari sasaran. Sepertinya, tokoh sesat ini telah 
mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk 
menundukkan Pendekar Naga Putih. 
Sayang, kali ini Hantu Teluk Jambe harus berhadapan 
dengan pendekar muda yang sudah sangat terkenal 
kehebatannya. Sehingga, meskipun pertarungan sudah 
menginjak jurus yang keseratus empat puluh, laki-laki 
tinggi besar itu belum juga berhasil mendesak lawan. 
Bahkan beberapa kail tubuhnya nyaris tersayat ujung 
pedang Pendekar Naga Putih. Tentu saja kenyataan pahit 
itu membuatnya semakin penasaran. 
Demikian pula halnya Panji. Diam-diam ia semakin 
mengagumi kehebatan dan keuletan lawannya. Maka 
pemuda itu bergegas melompat ke belakang, pada saat 
pertarungan menginjak jurus yang keseratus lima puluh. 
“Hm.... Mau lari ke mana kau, Pendekar Usil?!” 
bentak Hantu Teluk Jambe. 
Gerda Pasa mengira Panji hendak melarikan diri. Maka

ia cepat melompat mengejar tubuh Pendekar Naga Putih 
yang terpisah empat tombak dari tempatnya berdiri. 
“Jangan takabur dulu, Sobat. Sambutlah seranganku 
kali ini!” seru Panji mengatasi kebisingan suara sambaran 
golok besar lawannya. 
Usai berkata demikian, pemuda itu tampak menyilang-
kan kedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya 
mencorong tajam, menimbulkan perbawa menggiriskan. 
“Haiiit..!” 
Dibarengi teriakan mengguntur, mendadak tubuh 
pemuda itu melenting naik. Tubuhnya berputar bagaikan 
baling-baling, dan langsung meluruk ke arah lawan. 
Bukan main terkejutnya hati Hantu Teluk Jambe ketika 
melihat gulungan sinar keemasan yang berpendar 
menyilaukan mata. Cepat-cepat goloknya dikibaskan 
memapak serangan aneh itu. Sayang, ia tidak mengetahui 
keistimewaan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' 
yang digunakan Pendekar Naga Putih. Seketika wajahnya 
pucat pias saat pedang lawannya berputar setengah 
lingkaran dan langsung membabat perutnya. 
Brettt! 
“Aaargh...!” 
Hantu Teluk Jambe meraung dahsyat ketika mata 
pedang Panji membeset perutnya. Darah segar kontan 
menyembur dari luka menganga yang panjang di 
perutnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar 
itu pun ambruk menimbulkan suara berdebuk keras. 
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Terimalah 
pembalasanku. .!” terdengar teriakan parau yang disusul 
melesatnya sesosok tubuh tegap.

Begitu memasuki arena, sosok tubuh yang mengenakan 
pakaian kulit macan tutul itu langsung menerjang 
Pendekar Naga Putih dengan pedang di tangan. 
Trang! 
“Uhhh...!” 
Sosok yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru 
terpental balik akibat tangkisan yang dilakukan Panji. 
Namun dengan kemarahan yang semakin memuncak, 
Nanggala menggerakkan senjatanya, siap melakukan 
penyerangan selanjutnya. 
“Nanggala, jangan...!” 
Tiba-tiba terdengar seruan parau yang lemah, namun 
terdengar cukup jelas. Tentu saja seruan itu membuat 
gerakan Nanggala terhenti. Cepat-cepat kepalanya 
menoleh ke arah asal suara itu. Ketika ayah mertuanya 
terlihat mengulapkan tangan, pemuda tegap itu pun 
bergegas menghampiri. 
“Ayah...,” panggil Nanggala langsung menjatuhkan diri 
di samping Untari yang tengah terisak sambil memeluk 
tubuh ayahnya. 
“Nanggala, Untari.... Kalian jangan lanjutkan 
kesesatanku. Aku memang pantas mendapatkan hukuman 
seperti ini. Satu hal yang perlu kau ketahui, Untari. Kau 
bukanlah anak kandungku. Saat itu, kau baru berusia 
empat tahun, ketika nafsu biadabku telah membuat ibu 
kandungmu bunuh diri. Karena merasa kasihan kepada-
mu, maka kau kupelihara. Kemudian, aku pindah ke Desa 
Pacitan ini dan melakukan kejahatan dengan menggunakan 
tangan orang lain. Hal itu kulakukan, agar kau tidak 
merasa malu karena kejahatanku. Sayang, ketamakanku

membuat aku semakin gila dalam menumpuk harta. Dan 
kini, aku telah mendapatkan balasan yang setimpal. Semua 
ini kuceritakan, karena aku sudah mendekati ajal.” 
Gerda Pasa berhenti sebentar, dan menarik napas 
panjang. Sepasang matanya tampak terpejam rapat. Jelas 
kalau laki-laki itu tengah berusaha menahan keharuan yang 
menyeruak hatinya. 
“Pesanku, jangan kau mendendam atas apa yang terjadi 
pada diriku. Sedangkan mengenai harta, tidak semuanya 
hasil kejahatan. Ambillah bagianmu untuk kebutuhan 
hidup bersama suamimu. Sisanya, bagi-bagikanlah kepada 
orang yang membutuhkan.” 
“Ayah..., Ayah harus sembuh. Ayah tidak boleh pergi. 
Tari sangat mencintai Ayah, meskipun bukan ayah 
kandung...,” ratap Untari. 
Tangis Untari meledak ketika melihat mata Gerda Pasa 
masih saja terpejam. Diguncang-guncangkannya tubuh 
Gerda Pasa dengan wajah bersimbah air mata. Sepertinya, 
wanita cantik itu tidak lagi mempedulikan kalau laki-laki 
yang telah sekarat itu adalah pembunuh ibu kandungnya. 
“Nanggala.... Ja... jangan kau..., sia-siakan anakku....” 
Selesai berpesan demikian, kepala Gerda Pasa terkulai 
di atas pangkuan putrinya. 
“Ayaaah...!” tangis Untari semakin menjadi-jadi ketika 
mengetahui ayahnya telah tiada. 
Panji, Kenanga, Begawa, dan tiga orang dari Lima 
Naga Sungai Gombang sama-sama menundukkan kepala 
penuh haru. Hati mereka benar-benar tersentuh men-
dengar tangis Untari yang memilukan. Sementara itu sang 
bayu bertiup lembut mengusap wajah-wajah mereka yang

tertunduk lesu. Sepertinya, tiupan sejuk itu hendak menghibur hati mereka. 




                              SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar