..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label SATRIA LONCENG DEWA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SATRIA LONCENG DEWA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Januari 2025

SATRIA LONCENG DEWA EPISODE SRI MAHARAJA KE DELAPAN

Sri Maharaja Ke Delapan

 

Panglima Pawang Sila melangkah lebih dekat

ke pohon jati lalu berlutut satu kaki di tanah.

Dari dalam pohon kaluar satu sosok lelaki. Rambut

wajah, sekujur tubuh serta pakaian memancarkan

cahaya putih seolah dilapisi logam berkilat.

Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota

kecil yang juga berwarna putih dan menyilaukan

Inilah sosok SRI MAHARAJA KE DELATAN

Untuk sesaat dia tatap wajah Ananthawuri yang

berada dalam keadaan tidak sadar. Dua mata

putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar terang

"Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan

Gadis bernama Ananthawuri. tidak salah kalau

para Dewa mengambilmu sebagai gadis

pilihan. Tidak salah kalau aku Sri Maharaja ke

Delapan Kerajaan Mataram Baru mengambilmu

menjadi Permaisuri…."


1.MENAHAN ANGIN MENGGANTUNG ARWAH

 MEMBERI nasihat dengan tulus kepada orang lain 

adalah satu hal terpuji. Namun ada kalanya orang

yang dinasehati menerima budi baik orang lain itu

dengan memandang remeh bahkan kemarahan.

Mungkin karena merasa apa yang diperbuatnya 

selama ini bukan satu keburukan. Bisa juga yang me-

nerima nasihat menganggap diri lebih baik dari pada 

orang yang menasehati. lebih tinggi kedudukannya.

 Inilah yang terjadi dengan Arwah Muka Hijau.

Saat itu malam menjelang pagi. Dia duduk di tangga

sebuah candi kecil di plered. Melalui satu kekuatan

gaib yang menolongnya dia berhasil lolos dari bagian

bawah Candi Miring dimana dia tengah menjalani

hukuman dijadikan ganjalan selama seratus tahun

oleh Arwah Kelua. Dibimbing petunjuk suara gaib

Arwah Muka Hijdu datang ke candi di Pieret.

Amarahnya masih belum surut sehabis mengusir

mahluk alam roh Dhana Padmasutra yang berusaha

menasihati agar dia bertobat atas semua dosa

perbuatan di masa lalu dan minta ampun pada Arwah

Ketua yang telah dikhianatinya.

 Belum lama sosok samar Dhana Padmasutra

lenyap dari pemandangan mendadak satu gelombang

angin menderu dahsyat datang menghantam,

membuat Arwah Muka Hijau tergontai-gontai.

Beberapa bagian candi yang memang sudah lapuk

runtuh berantakan. Delapan keping batu Lingga yang

di dudukinya mencelat mental ke udara. Arwah Muka

Hijau cepat berdiri.

 "Sang penjemput rupanya sudah datang..." pikir

Arwah Muka Hijau, dia cepat berdiri walau tubuhnya


tergoncang keras oleh tiupan angin. "Tapi sesuai

petunjuk mengapa tidak ada cahaya tiga warna keluar

dari dalam tanah...?"

 Selagi Arwah Muka Hijau berusaha meng-

imbangi diri agar tidak tersapu jatuh oleh tiupan

angin keras tiba-tiba dia mendengar suara mengorok

disertai hembusan nafas memerihkan mata. Ketika

memandang ke depan dia melihat satu sosok besar

dengan ketinggian hampir dua kali candi berdiri

berkacak pinggang di hadapannya. Mahluk raksasa

penuh bulu. berkepala botak bercula memancarkan

cahaya merah ini, memiliki sepasang mata putih. Bola

matanya hanya merupakan titik hitam kecil.

Mengenakan jubah biru dengan dada tersingkap.

 Inilah sosok dahsyat Arwah Ketua, penguasa

Candi Miring di bukit gersang yang dikenal sebagai

candi angker di Bhumi Mataram. Sesaat Arwah Muka

Hijau tergetar juga hatinya namun karena percaya diri

bahwa dia mendapat perlindungan dari satu kekuatan

melebihi kekuatan Arwah Ketua maka dia berdiri di

tangga candi, balas berkacak pinggang sambil mulut

berucap lantang.

 Ujud wajah Arwah Muka Hijau selain aneh juga

mengerikan. Dia tidak memiliki mata. hidung, mulut.

maupun telinga. Pada bagian yang seharusnya

terletak hidung.mulirt, mata dan telinga hanya 

terdapat sayatan tipis dijahit benang hitam kasar. 

Selain itu wajah dan sekujur tubuhnya penuh dengan 

cacat guratan luka.

 "Arwah Ketua! Cahaya merah yang memancar

dari tanduk di kepalamu serta sorotan sepasang mata

putihmu menyatakan kau datang tidak membekal niat

baik. Walau kau telah menyiksaku dan menjadikan


diriku ganjalan dinding Candi Miring, tapi mengingat

hubungan kita di masa lalu, saat ini aku masih mau

berlaku bijaksana. Tinggalkan tempat ini dan jangan

pernah berani berada di dekatku!"

 Sepasang mata putih mahluk raksasa Arwah

Ketua penguasa Candi Miring di Bhumi Mataram

berkilat-kilat, hidung mendengus menyemburkan

tiupan nafas keras memerihkan mata. Di dalam hati

Arwah Ketua berkata. "Mahluk satu ini, kalau dia

berani bersikap dan bicara seperti itu padaku berarti

ada sesuatu yang diandaikannya! Aku tidak melihat

ada seseorang di sekitar sini. Berarti andalan ada di

dalam tubuhnya.

 "Arwah Muka Hijau ! Jangan bicara soal

kebijaksanaan di hadapanku. Karena selama ini kau

hanya mendapat petunjuk dari setan, tidak pemah

mendapat petunjuk dari para Dewa. Apakah kau

berlaku bijaksana ketika kau menghianatiku, mencuri

Gading Bersurat Pertama) Bagaimana kau bisa

membusung dada bicara soal kebijaksanaan?!" Suara

Arwah Ketua meledak-ledak karena menahan amarah.

Lalu dia menyambung ucapan.

 "Mahluk yang terlahir dengan nama Gendadaluh

Puluhan tahun kita bersahabat. Puluhan tahun kau

menjadi pembantuku. Puluhan tahun kita sama-sama

mengabdi pada kerajaan Mataram. Namun kau

mengkhianati diriku. Sekarang kau bicara sombong

di hadapanku! Dosa kejahatanmu setinggi langit

sedalam kerak bumi! Malam ini aku menemukan

Arwah Gelap Gulita di halaman selatan Candi Miring

dalam keadaan tak bernyawa. Tewas mengenaskan!

Tubuh tercabik-cabik. Kulit dan daging berwarna

Hijau! Aku yakin dia telah jadi korban keganasan Pisau


Terbang Racun Lumut Hijau. Siapa lagi pembunuhnya

kalau bukan kaul Karena hanya kau yang memiliki

ilmu kesaktian itu! Apakah itu yang kau sebut

kebijaksanaan! Itu justru adalah satu kebiadaban!"

 "Arwah Ketua syukur kalau kau telah

mengetahui. Dengar, aku Arwah Muka Hijau hanya

bicara satu kali. Aku meminta kau pergi dengan segala

hormat Sayang kau tidak mau mendengari Katau kau

mau memilih mati seperti pembantumu itu. aku akan

memberi jalan!"

 Rahang Arwah Ketua menggembung. Dalam

menahan amarah dia masih bisa tertawa bergelak.

 "Kesombonganmu mulai dari ubun-ubun sampai

ke dubur! Aku ingin melihat kau mau melakukan apa

terhadapku!"

 Arwah Muka Hijau menyeringai. Dua telapak

tangan saling digosok, mulut merapal. Sementara

merapal dari mulut itu keluar kepulan asap hijau. Lalu

dengan gerakan kilat dua tangan dipukulkan ke depan.

Kejap itu juga puluhan benda berbentuk pisau 

bermata dua tak bergagang berwarna hijau lumut 

melesat dari celah tangan. menderu dalam kegelapan 

malam menyerang Arwah Ketua. Dalam menyerang. 

Puluhan pisau ini tidak melesat lurus, tapi berputar 

seperti baling-baling, mengeluarkan suara bersiur 

nyaring seolah titiran tertiup angin kencang. Gerak 

putar pisau maut inilah yang bisa membuat tubuh 

lawan menemui ajal dalam keadaan tercabik-cabik! 

Sedang kulit dan sebagian daging akan berubah 

menjadi hijau akibat racun lumut

 Mahluk raksasa penguasa Candi Miring Arwah

Ketua sudah mengetahui sampai dimana kehebatan

ilmu lawan yang disebut Pisau Terbang Racun Lumut


Hijau. Bagi Arwah Gelap Gulita pembantunya yang

tewas memang belum memiliki tingkat kepandaian

yang bisa menyelamatkan diri dari serangan Ilmu ini.

Tapi bagi dirinya, serangan Arwah Muka Hijau bukan

satu hal yang menakutkan. Sambil dorongkan dua

tangan ke bawah, Arwah Ketua meniup

 'Wusssl

 Puluhan pisau terbang berwarna hijau bermata

dua mengandung racun mematikan, menderu runtuh

ke bawah, balik menyerang Arwah Muka Hijau.

 Arwah Muka Hijau bersaru kaget. Secepat kilat

dia melompat ke belakang sejauh satu tombak hingga

punggungnya membentur dinding candi. Dua tangan

kebutkan ujung lengan jubah. Dua larik sinar hijau

seperti kipas menebar menderu menangkis senjata

yang hendak makan tuannya. Dari rambut yang lurus

kaku ceperti lidi ikut menderu larikan-larikan sinar

hijau. Puluhan pisau bermata dua mental.

 Melihat hal ini sambil menyeringai Arwah Ketua

cepat angkat tangan kanan ke atas. Sinar hijau, lebih

pekat dari hijaunya pisau-pisau terbang memancar

keluar dari telapak tangan. Puluhan pisau walau

masih berputar dan mengeluar suara bersiur seperti

titiran namun semuanya kini menggantung di udara!

Tidak mampu bergerak apa lagi meneruskan serangan

maut!

 Tampang hijau Arwah Muka Hijau berubah

menjadi kehitaman. Rambut hijau yang tegak lurus

kaku seperti lidi bergetar panas. Inilah saiu pertanda

bahwa mahluk ini tengah berada dalam ketakutan luar

biasa.

 "Dia mengeluarkan Ilmu Menahan Angin

Menggantung Arwah," ucap Arwah Muka Hijau dalam


hati. "Jika dia menggerakkan tangan, puluhan pisau

itu akan kembali menyerang dari arah yang tidak

mungkin aku hindari semuanya! Celakai Aku harus

mencari akali Mana kekuatan yang melindungi dirikul

Mana sang penjemput!"

 Tiba-tiba Arwah Muka Hijau jntuhkan diri, kepala

bersujud di tanah namun dua mata mengintai mencari

kesempatan.

 "Arwah Ketuai Aku yang hina mohon

pengampunan. Aku menyatakan bertobat! Aku..."

 Mendadak ada suara kuda meringkik menyentak

udara malam menggetarkan tanah. Lalu menyusul

suara bentakan lantang memotong ucapan Arwah

Muka Hijau.

 "Dia bukan Dewa penguasa Alam Raya! Mengapa

minta ampun dan bertobat padanya! Hanya pada Sang

Junjungan Mataram Baru kita semua patut tundukan

Kepala!"

 Arwah Ketua dan Arwah Muka Hijau terkejut.

Keduanya sanm-sama berpaling ke arah orang 

barusan hadir di tempat itu sambil mengeluarkan 

bentakan.


2. MEMBANTAI RAGA MENGHISAP NYAWA

 ARWAH Muka Hijau punya dugaan cepat dan tepat 

Selagi Arwah Ketua perhatikan mahluk yang datang, 

dia sudah melompat ke samping mahluk itu.

Sementara puluhan pisau mata dua lumut hijau masih

menggantung di udara berputar-putar mengeluarkan 

suara nyaring bising, masih berada dalam kuasa 

kekuatan ilmu kesaktian Arwah Ketua.

 Walau terkejut namun Arwah Ketua tetap berlaku 

tenang dan waspada. Melihat sosok mahluk yang 

muncul hatinya berdetak jangan-jangan mahluk ini

datang sebagai tuan penolong Arwah Muka Hijau. 

Dengan kata lain mahluk ini adalah sahabat bekas 

pembantunya itu.

 "Mahluk salah ujud!Aku belum pernah melihat

sebelumnya!" membatin Arwah Ketua, memandang

dengan sepasang mata tak berkedip.

 Sebaliknya Arwah Muka Hijau dalam kejut diam-

diam merasa gembira. Hatinya berucap. Dia melirik

ke samping.

 "Mahluk aneh ini pasti yang di maksud dalam

petunjuk berupa bisikan yang sampai ke telingaku.

Orang yang di katakan akan datang menjemputku. 

Tapi mengapa ujudnya begini rupa? Lalu mengapa 

tidak ada cahaya tiga wama seperti yang dikatakan ?"

 Mahluk yang muncul di hadapan Arwah Ketua

dan Arwah Muka Hijau bertubuh manusia, berkepala

dan berkaki kuda berbulu putih.

 "Jika manusia mengapa berkepala dan berkaki

kuda. Kalau kuda mengapa bertubuh seperti


manusia?!" pikir Arwah Muka Hijau.

 Dipandangi Arwah Muka Hijau dari samping,

manusia berkepala kuda berkata tanpa alihkan mata

dari Arwah Ketua.

 "Arwah Muka Hijau", jangan ada keraguan di

hatimu! Aku diutus Untuk menjemputmu! Aku punya

kewajiban menyelamatkanmu, itu tugas utamaku. Tapi

kalau terpaksa mungkin aku sekalian akan

menamatkan riwayat mahluk raksasa yang sudah

terlalu lama berkeliaran di Bhumi Mataram! Tubuhnya

sudah bau kerak neraka. Saatnya disingkirkanl"

 Mendengar ucapan mahluk berkepala kuda Arwah

Muka Hijau kini merasa yakin sekali kalau mahluk

itulah memang sang penjemput yang ditunggunya.

Maka diapun memutar tubuh menghadap ke arah

Arwah Ketua dan berdiri dengan berkacak pinggang.

 Arwah Ketua mendengus. Membuat dua mahluk

di depannya harus menahan rasa perih pada mata

masing-masing.

 '"Hebat! Mahluk salah ujudl Rupanya kau

berkerabat dan berserikat dengan kepompong yang

keluar dari dubur iblis! Pantas bau tubuhmu tidak jauh

dari bau pantat!" Habis berucap begitu Arwah Ketua

tertawa gelak-gelak hingga pohon bergoyang-goyang

candi berderak-derak dan tanah bergetar. Lalu dia

membentak. "Katakan siapa kau adanya dan siapa

yang mengutusmu?!"

 "Namaku Abdika Brathama! Aku berasal diri

segala tempat dan waktu! Jika kau ingin tahu siapa

yang mengutusku, apakah kau punya kemampuan

mengikutiku masuk ke dalam lapisan bumi Ketiga?"

 Mahluk bertubuh manusia berkepala dan berkaki

kuda dan mengaku bernama Abdika Brathama seperti


diketahui adalah anak buah Panglima Pawang Sela.

pembantu utama dari orang yang mereka panggil

sebagai Sri Maharaja Ke Delapan atau Sri Maharaja

Mataram Baru. Selama Ini dia berada di Kotaraja 

untuk memata-matai keadaan di sana terutama 

gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pasukan 

Kerajaan. Karena mendapat tugas dari Sang Panglima 

untuk menjemput Arwah Muka Hijau maka diapun

meninggalkan Kotaraja menuju Plered. Dia tidak

menyangka kalau aakn kedahuluan oleh Arwah Ketua.

Walau ujud Arwah Ketua besar dan tinggi seperti

raksasa namun Abdika Brathama sama sekali tidak

gentar.

 Merasa ditantang oleh ucapan mahluk berkepala

dan berkaki kuda yang dalam kelompoknya dikenal

dengan nama Tuman Kcoku (Tubuh Manusia Kepala

Kuda) Arwah Ketua mendengus marah. Hembusan

napasnya membuat Arwah Muka Hijau dan Abdika

Brathama sama-sama keperihan mata masing-masing.

Keduanya bersurut mundur sambil siap melepas

serangan.

 "Wusssl"

 Sosok Arwah Ketua lenyap dari hadapan kedua

orang itu. Di tanah di hadapan mereka tampak satu

lobang kecil mengepulkan asap kebiru-biruan Ketika

lobang keecil dan asap lenyap tiba-tiba di belakang

mereka kembali terdengar suara wuussssss!

 Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama cepat

berpaling dan dapatkan Arwah Ketua tahu-tahu sudah

berada di hadapan mereka. Sepasang mata putih yang

hanya memiliki titik hitam sebagai bola mata

mendelik. Mulut menyeringai.

 "Sang Penjemput. Mahluk bernama Abdika


Brathama. Kau mau mengajakku masuk ke dalam

bumi lapisan ketiga. Aku barusan masuk dan sampai

kedalam bumi tapisan ketujuh!"

 "Mahluk penghabis tempat penyesak udaral Apa

bukti kau telah masuk ke dalam lapisan bumi ke

tujuh?! Jangan bicara sombongi Jangan menggertak

aku akan kedustaanl"

 Arwah Ketua menyeringai.

 "Suaramu bergetarl Tanda ada rasa getar!

Ha...ha...ha! Buka lebar-lebar mata kudamul Lihat 

ini!"

 Mahluk gaib raksasa dari Candi Miring itu

ulurkan tangan kiri. Kepalan jari tangan sebesar 

pisang tanduk dibuka. Di atas telapak tangan ada 

gumpalan batu berbentuk setengah lingkaran 

berwarna hitam kebiruan mengepulkan asap.

 "Cendawan batu!" ucap Abdika Brathama.

Tampang kudanya berubah, darahnya berdesir, tapi

tetap saja dia tidak merasa takut Anak buah Panglima

Pawang Sela ini tahu kalau tanda yang ada di tangan

Arwah Ketua Ku memang berasal dari perut bumi pada

kedalaman paling sedikit di lapisan ketujuh.

 "Mata kudamu sudah melihat! Apa kau ingin aku

bawa kau ke perut bumi untuk lebih membuktikan?!"

 Abdika Brathama terdiam. Arwah Muka Hijau juga

tidak keluarkan suara karena dia tahu bahwa apa yang

barusan diucapkan Arwah Ketua bukan main-main.

Mahluk sakti yang pernah jadi pimpinannya di Candi

Miring itu kalau mengatakan dia masuk ke dalam

lapisan bumi ke tujuh maka dia benar-benar telah

melakukan hal itu! Bukan satu kedustaan karena d!a

memang memiliki kemampuanl



"Mahluk mengaku Sang Utusan. Sang

Penjemput! Kesombongan tidak ada artinya di

hadapanku. Apalagi di hadapan Para Dewa Penguasa

Alam Semesta! Tinggalkan tempat ini sebelum kau

aku jadikan sampah tak berguna. Dan jangan kau

berani menyentuh mahluk hijau ini, apa lagi

membawanya dari hadapankul Para Dewa telah

menentukan nyawa busuknya akan lepas dari raga

kotornya untuk selama-lamanya sebelum fajar

menyingsing!"

 Ketika Arwah Ketua lenyap menembus tanah,

puluhan pisau hijau bermata dua masih terus

mengambang berputar-putar di udara. Tadinya Arwah

Muka Hijau bermaksud pergunakan kesempatan untuk

segera melenyapkan senjata-senjata. Maka dia mulai

merapal mantera sambil gosokkan dua tangan.

Namun ternyata Arwah Ketua muncul kembali lebih

cepat. Saat itu Arwah Ketua berdiri sambil

mengangkat tangan kanan pertanda dia masih

menguasai dan mengendalikan kekuatan yang ada

pada puluhan Pisau Terbang Racun Lumut Hijau.

 Abdika Brathama yang jadi jengkel mendengar

ucapan Arwah Ketua menyahuti dengan ucapen

sangat melecehkan.

 "Kalau kau merasa gusar karena aku pergi hanya

membawa Arwah Muka Hijau, aku tidak keberatan

mengajakmu sertai Tubuhmu cukup besar untuk

dijadikan ganjalan dasar Istana Sang Junjungan

Mataram Baru di lapisan bumi ke tiga! Berlututlah

minta pengampunan agar tubuhmu tetap utuh sampai

di dasar bumi lapisan ke tiga! Ha... ha... hal"

 Arwah Ketua menggembor keras. Saat itu dia

sudah gatal tangan untuk menghabisi Abdika


Brathama. Namun dia perlu menanyakan sesuatu.

 "Ujudmu tidak karuan rupal Otakmu pasti lebih

sembrawutan kacau balaul Katakan siapa yang kau

maksud dengan Sang Junjungan Mataram Barui"

 Abdika Brathanvt usap-usap dagu kudanya lalu

sambil tertawa dia berkata, "Suaramu aku dengar

digetari nyali yang tiba-tiba menjadi ciut Itu baru aku

sebut nama Sang Junjungan! Apalagi kalau kau

panjang umur sempat berhadapan muka dengannya!

Di hadapannya kau bisa leleh mencair seperti air

Comberan!"

 "Mahluk kurang ajar! Jawab saja pertanyaanku!

Siapa Sang Junjungan Mataram Baru? Aku mencium

ada komplotan jahat dan kau pasti adalah salah satu

anggotanya!" bentak Arwah Ketua hingga udara

menggaung dan tanah bergetar, pohon-pohon

bergoyang, candi tua berderak-derak.

 "Katanya kau mahluk berkuasa, sakti

mandraguna. Mengapa memaksa orang memberi

keterangan? Apa kau tidak mampu menyelidik

sendiri? Apa kemampuanmu hanya sampai sebatas

cium-mencium? Berarti kau tidak lebih dari seekor

kucing. Atau mungkin merasa seekor gajah tapi

otakmu sebesar udang! Ha...ha...ha!"

 Dihina begitu rupa Arwah Ketua segera

hantamkan ke bawah tangan kanannya yang sejak 

tadi dipentang ke atas. Arwah Muka Hijau dan Abdika

Brathama mengira Arwah Ketua mengerahkan ilmu

Menahan Angin Menggantung Arwah untuk

menghantamkan puluhan pisau beracun ke arah

mereka. Kedua mahluk itu tertipu!

 Ternyata puluhan Pisau Terbang Racun Lumut

Hijau dikibas ke bawah dibuat menancap amblas ke



dalam tanah. Dalam ketidak mengertian apa yang

sebenarnya dilakukan lawan tiba-tiba tanah yang

dipijaksbergetar. Lalu wuuttt...wuutttl Puluhan pisau

terbang yang tadi berputar amblas lenyap masuk ke

dalam tanah tiba-tiba mencuat keluar, tepat di bawah

tubuh Arwah Muka Hijau dan Abdika Brathama!

 Kejut dua mahluk ini bukan olah-olah! Mereka

berteriak keras lalu cepat melompat ke udara, kalang

kabut berusaha selamatkan diri. Arwah Muka Hijau si

pemilik puluhan pisau beracun jentikkan sepuluh jari

tangan. Sepuluh larik sinar hijau menderu menangkis

serangan pisau miliknya sendiri.

 "Tring...tring...tring!"

 Tujuh pisau terbang mental. Sisanya terus

mengejar kedua orang itu. Arwah Muka Hijau menjerit

putus asa ketika melihat delapan pisau tidak mampu

ditangkis, berputar ganas menyambar ke arah dua

kakinya. Sementara itu Abdika Brathama, walau

berhasil menghantam hampir selusin pisau dengan

dua kakinya yang terbungkus ladam besi namun lima

pisau melesat berputar menyambar ke arah perut dan

lehernya! Anak buah Panglima Pawang Sela ini

keluarkan suara meringkik.

 Arwah Ketua tertawa bergelak. Selagi Abdika

Brathama berusaha selamatkan diri dari serangan lima

pisau, dari atas Arwah Ketua hantamkan kepalan

tangan kanan yang sebesar buah kelapa ke batok

kepala mahluk kepala kuda ini.

 Sesaat lagi batok kapala itu akan hancur

dihantam pukulan tiba-tiba tiga cahaya berwarna

merah, biru dan hitam entah dari mana datangnya

menyambar di tempat itu. memecah menjadi puluhan

cahaya. Sebagian menyambar ke arah pisau terbang


yang menyerang Arwah Muka Hijau, sebagian lagi

menyambar pisau terbang yang mengancam Abdika

Brathama dan sisanya sebanyak dua belas larikan

Sinar terpecah dua. Masing-masing menyerang ke 

arah tangan kanan Arwah Ketua yang tengah 

memukul dan melesat ke arah dada yang tersingkap 

penuh bulul

 "Praak:"

 Hantaman tangan Arwah Ketua ternyata masih

lebih cepat sedikit demi sambaran cahaya tiga Warna.

 Kepala Abdika Brathama hancur. Tubuh

terbanting dan melesak di tanah sampai ke pinggang.

Mulut masih mampu keluarkan ringkikan aneh.

Tangan menggapai-gapai lalu diam tak bersuara dan

tak bergerak lagi.

 Tiga cahaya merah, biru dan hitam memang

mampu membuat mental belasan pisau terbang yang

menderu menyerang Arwah Muka Hijau. Tapi masih

ada dua pisau yang lolos, berputar lalu membabat 

dada bekas anak buah Arwah Ketua ini.

 "Rrrkkkkk!"

 Benang hitam yang menjahit mulut Arwah Muka

Hijau berderik putus ketika mahluk ini membuka

mulut lebar-lebar keluarkan jeritan dahsyat. Dada

cabik bersilang, mulai dari bahu kiri ke pusar dan

satu lagi dari bahu kanan ke sisi kiri. Darah berwarna

hijau menyembur.

 Arwah Ketua sendiri dengan sigap sambil

meniup berhasil membuat mental pisau terbang

beracun hijau yang menyerang dada. Namun dia tidak

sempat menarik tangan yang barusan memukul

hancur kepala kuda Abdika Brathama.

 Dua pisau terbang membabat berputar ganas.


"Craass! Craasss!"

 Tangan kanan Arwah Ketua terbabat putus di dua

tempat Di bagian pergelangan dan di bawah siku

Mahluk bertubuh raksasa ini menggerung keras Dua

potongan tangannya melayang di udara lalu jatuh di

tanah Arwah Ketua terhuyung-huyung sebentar la'u

jatuh berlutut Dari kutungan-kutungan tangan meleleh

darah merah kehijauan pertanda bercampur racun

pisau.

 Masih terhuyung-huyung Arwah Ketua berkomat

kamit merapal sesuatu lalu berucap, "Batu Asmasewu

Dengan kuasa Dewa tolong diriku! Dua kutungan

tangan! Kembali ke tempat asalmu!"

 Dalam keadaan setengah sadar sementara lengan

kanan yang buntung dijalari warna biru pertanda 

racun pisau lumut hijau telah mengindap dan menjalar 

di tubuhnya, Arwah Ketua letakkan tangannya yang

buntung di tanah. Terjadilah hal yang luar biasa. Dua

kutungan tangan yang tergeletak sejarak delapan

langkah bergerak-gerak lalu meluncur ke arah

buntungan tangan yang ditempelkan Arwah Ketua di

tanah.

 "Ssttt! Sttt!”

 Dua kutungan tangan bergabung menjadi satu.

Warna hijau yang menjalar sampai ke wajahnya

perlahan-lahan sirna. Namun Arwah Ketua belum

terlepas dari ancaman bahaya.

 Satu bayangan kuning berkelebat. Didahului

memancarnya cahaya tiga warna satu tendangan 

keras menderu di udara.

 "Bukkkl"

 Tendangan melanda dahsyat punggung Arwah

Ketua hingga mahluk raksasa ini mencelat dan


tertelungkup di tanah dengan punggung berlobang

besar bekas hantaman tendanganl Antara sadar dan

pingsan Arwah Ketua mendengar suara orang berseru

lantang disusul suara tawa bergelak.

 "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru! Sri Ma-

haraja Ke Delapan! Untuk menyingkirkan mahluk

terkutuk bernama Arwah Ketua ternyata kita tidak 

perlu mencari embun murni! Tendangan Membantai 

Raga Menghisap Nyawa berhasil membuat mahluk 

paling berbahaya di Bhumi Mataram ini kembali ke 

alam roh untuk selama lamanya! Ha...ha...hal"


3. ANANTHAWURI DICULIK

 HANYA beberapa saat tenggelam dalam 

ketidaksadaran. Arwah Ketua tersentak lalu 

menggembor keras. Tangan kiri menggapai ke 

punggung yang hancur. Meraba cidera besar bekas 

tendangan orang yang menyerang secara 

membokong.

 Sadar akan keadaan dirinya Arwah Ketua cepat 

jatuhkan tubuh sama rata dengan tanah. Mulut 

merapal ajian, kembali memanggil Batu Asmasewu, 

memohon pertolongan.

 "Batu Asmasewu. Aku membutuhkan perto-

longanmu lagi. Wahai para dewa di Swargaloka. Asal 

tanah kembali ke tanah. Asal sukma berpulang 

kembali pada sukma. Asal arwah kembali ke alam 

gaib. Saya pasrah namun saya mohon. Bhumi 

Mataram dalam bahaya besar. Sambungkan roh tali 

kehidupan bagi diri saya. Kecuali jika saya memang 

ditakdirkan tidak ada harganya lagi di permukaan 

bumi Ini..."

 "Rrrrrmr”

 Permohonan penguasa Candi Miring didengar oleh 

Yang Maha Kuasa.

 Tanah bergetar memancarkan cahaya. Getaran dan 

cahaya menjalar ke dalam tubuh Arwah Ketua. Ketika 

batu yang ada di dalam tubuh Arwah Ketua ikut 

mengalirkan hawa sakti ke punggung yang berlubang, 

ada satu kekuatan memancarkan cahaya tiga warna 

coba mencegah. Bentrokan dua kekuatan dahsyat 

membuat tubuh raksasa Arwah Ketua mencelat ke 

udara setinggi tiga tombak!

 Terbungkuk-bungkuk Arwah Ketuu jejakkan kaki di


tanah. Kembali dia meraba ke punggung. Lobang 

besar tak ada lagi. Sambil usap dada di arah 

beradanya

 Batu Asmasewu mahluk penguasa Candi Miring ini

mengucap syukur, berulang kali menyebut nama Yang 

Maha Kuasa, lalu bangkit berdiri.

 Ketika memandang berkeliling Arwah Ketua terkejut 

Mahluk kepala kuda Abdika Brathama lenyap. Tanah 

dimana tadi tubuhnya melesak sampai ke pinggang 

dengan kepala hancur, kini sosoknya tak ada lagi. Apa 

yang terjadi? Sewaktu Arwah Ketua masih 

tertelungkup di tanah, sosok Abdika Brathama 

mengepulkan asap hitam lalu lenyap laksana 

hembusan angin. Yang tertinggal kini hanya lobang 

bekas tubuhnya amblas.

 Berpaling ke kiri, Arwah Ketua mahluk seram yang 

sudah banyak kali melihat kejadian mengerikan,

namun kali ini tidak dapat menyembunyikan rasa kejut

serta ngerinya. Tubuh Arwah Muka Hijau yang

mengenakan jubah hijau tergeletak di tanah. Tapi

dalam keadaan tidak utuh. Karena kepala dan dua

kakinya lenyap entah kemana!

 "Hyang Jagat Batharal Apa yang terjadi dengan

mahluk penghianat ini? Kemana lenyap kepala dan

dua kakinya?!" Arwah Ketua keluarkan suara 

mengorok panjang. Dia ingat pada suara berseru 

setelah tubuhnya ditendang. "Ada mahluk ke tiga di 

tempat ini. Yang tadi menendangkul Aku mendengar. 

Aku ingat dia jelas-jelas menyebut Sri Maharaja 

Mataram Baru. Sri Maharaja Ke Delapan. Lalu cahaya 

tiga warna itu... Aku harus segera kembali ke Candi 

Miring. Aku harus cepat-cepat menemui Ratu Dhika 

Gelang


Gelang. Gadis itu pernah cerita tentang pemuda

kekasihnya. Apakah pemuda itu masih hidup? Sri

Maharaja Ke Delapan! Bukan sekali ini aku mendengar

sebutan itu!. Ah, firasatku menyatakan Bhumi

Mataram benar-benar dalam satu bahaya besar…”

 Sekali Arwah Ketua berkelebat, tubuh raksasanya

serta merta lenyap, laksana tiupan angin melesat

kembali ke Candi Miring.

****

 FAJAR masih belum menyingsing. Hari masih

gelap dan udara serta tiupan angin masih terang

mencucuk jagat. Begitu keluar dari rimba belantara

dan selagi melayang di udara memandang ke utara,

kejut Arwah Ketua bukan alang kepalang. Dia dapat

melihat bangunan candi di atas bukit dengan jelas.

Salah satu menara candi tampak hancur. Dinding

candi samping kanan jebol. Kepulan asap mengam-

bang di udara.

 "Sesuatu telah terjadi!" pikir Arwah Ketua.

Dengan melipat gandakan ilmu meringankan tubuh

yang dimilikinya, sesaat kemudian dia sudah berada

di pintu depan candi. Tubuh raksasa menciut, melesat

masuk ke dalam candi. Di ruangan dalam beberapa

stupa batu berbentuk binatang hancur berantakan.

Dekat puing-puing stupa singa pandangan Arwah

Ketua membentur sesuatu. Ketika diperhatikan

dengan mata tak berkedip darahnya tersirap. Benda

itu adalah kutungan tangan kanan manusia sebatas

siku sampai ujung jari, sebagian tertutup robekan kain

berwarna kuning. Di lantai candi darah berceceran.

 "Darah merah, berarti mahluk yang punya tangan


ini adalah manusia biasa. Namun memiliki ilmu

kepandaian sangat tinggi. Kalau tidak bagaimana dia

bisa masuk menembus ke dalam candi?" Ketika

Arwah Ketua memperhatikan lima jari tangan buntung

yang terkepal, dalam kejutnya dia segera mendapat

jawaban. "Lima jari mengepal tanah merah. Tanah

kuburan! Rahasia masuk ke Candi Miring sudah

diketahui orang luar! Celakai" Dia hendak berteriak

memanggil Ratu Dhika Gelang Gelang yang selama

ini berada di Candi Miring untuk menjaga dua bayi

keramat yang dilahikan Ananthawuri secara gaib.

Namun mulutnya serta merta terkancing ketika 

melihat dua buah benda bulat kuning tergeletak di 

lantai candi.

 Arwah Ketua membungkuk memungut dua

benda itu. Ketika diperhatikan dadanya jadi berdebar.

 "Kerincing emas milik Radika Ratu..." Mulut

Arwah Ketua berucap, "Apa yang terjadi dengan

dirinya. Bayi-bayi itu. Dewa Agung, saya mohon..."

 "Radinda Ratu! Kau dimana?!" teriak Arwah

Ketua. Suaranya menggelegar, menggetarkan

bangunan Candi Miring.

 Memandang berkeliling Arwah Ketua tidak dapat-

kan jawaban. Tanduk merah di kepala berpijar-pijar.

 “Radinda!"

 Tiba-tiba sebuah stupa singa setengah hancur

yang menutupi dinding kiri ruangan bergerak ke

samping lalu roboh ke lantai.

 "Radinda...?!"

 Arwah Ketua melangkah mendekati dinding

candi. Di saat yang bersamaan dinding batu itu hancur

berantakan oleh satu kekuatan yang mendorongnya

dari belakang. Dari lobang yang muncul di dinding


menjorok keluar kepala manusia dengan kening

bertanda garis tiga warna, merah, hitam dan biru.

 "Tiga warna keparat!" teriak Arwah Ketua marah.

Kaki kanannya berubah menjadi besar lalu meman-

dang ke arah kening orang yang keluar dari lobang

dinding candi!

 "Rakanda! Tahan! ini akui"

 Dari balik dinding tiba-tiba ada suara perempuan

berteriak disusul runtuhnya dinding candi hingga

membentuk lobang lebih besar. Dari lobang di

dinding ini perlahan-lahan merangkak keluar sosok

seorang perempuan gemuk. Pakaiannya sehelai

kemben merah robek di beberapa bagian. Rambut

yang sebelumnya dikonde di atas kepala kini tampak

tergerai awut-awutan. Darah mengotori tangan kanan

dan bahu kirinya.

 "Radinda Ratu Dhika! Apa yang terjadi?!" teriak

Arwah Ketua dan dengan cepat menarik tubuh

perempuan itu keluar dari lobang di dinding. "Mana

dua bayi keramat...?"

 Ratu Dhika Gelang Gelang batuk-batuk,

semburkan darah kental. Suaranya parau ketika

berkata, "Dua bayi dalam keadaan selamat Tapi... tapi

jahanam berjubah kuning itu berhasil melarikan

Ananthawuri. Aku... aku hanya bisa membuang

buntung tangan kanannya. Aku..."

 "Bagaimana mungkin! Ibu dua bayi keramat itu

memiliki Ratu Kaladungga di dalam tubuhnya. Siapa

saja orang yang bermaksud jahat terhadapnya pasti

tidak mampu melihat sosok tubuhnya! Siapa yang kau

maksud dengan orang berjubah kuning?"

 Ratu Dhika Gelang Gelang tidak memberikan

jawaban karena saat itu juga tenaganya seperti habis,


napas menyengat. Gadis yang masih keturunan Raja

Bhumi Mataram ini terjerembab pingsan di lantai.


4. PETI DEWA PENYELAMAT RAGA DAN JIWA

Arwah Ketua bertindak cepat. Dia segera menotok 

beberapa bagian tubuh gemuk Ratu Dhika

Gelang Gelang. Sambil menotok dia susupkan tenaga

dalam dan hawa sakti. Ditambah dengan aliran 

kesaktian yang memancar dari Batu Asmasewu

yang ada dalam dirinya. Tak selang berapa lama Ratu 

Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga 

dikenal dengan julukan Ratu Meong keluarkan

suara mengeluh panjang. Mulut batuk-batuk tapi kali 

ini tidak lagi disertai semburan darah.

 Arwah Ketua dudukkan gadis itu di lantai

bersandar ke dindingcaridl lalu dua pipi yang tembam

ditepuk-tepuk. Perlahan-lahan Ratu Dhika Gelang

Gelang buka kedua matanya.

 "Rakanda... Orang berjubah kuning itu melarikan

Ananthawuri. Aku..."

 "Tenang Radinda. Saat ini ada hal lain yang lebih

penting ingin kuketahui!" memotong Arwah Ketua.

"Dua bayi yang menjadi tanggung jawab kita! Kau

bilang mereka selamat. Dimana keduanya sekarang?!"

 "Mereka aku sembunyikan di tanah halaman

halaman barat di luar candi..."

 "Maksudmu dengan ilmu kesaktianmu mereka

kau benamkan ke dalam tanah?!" tanya Arwah Ketua

dengan nada suara terkejut

 Ratu Dhika Gelang Gelang mengangguk.

 "Gila!" Arwah Ketua menggebrak lantai candi

hingga hancur berantakan membentuk lobang besar

 "Aku tidak bodoh Rakanda Arwah Ketuai Aku'

mempergunakan ilmu Peti Dewa Penyelamat Raga Dan


Jiwa. Hanya dengan penyelamatan seperti itu kurasa

cara paling aman bagi dua bayi. Kalau aku

sembunyikan di dalam candi pasti masih bisa

ditemukan. Tadipun orang berjubah kuning itu sudah

mengobrak-abrik candi. Dia tidak menemukan dua

bayi tapi menemui Ananthawuri dan melarikannya..."

 Walau lega mengetahui dua bayi selamat namun

Arwah Ketua merasa risau dengan diculiknya

Ananthawuri ibu dua bayi itu. Lalu tidak menunggu

lebih lama dia melesat keluar menuju halaman candi

sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang mengikuti

dari belakang.

 Dengan kesaktiannya melalui sepasang mata

putih bertitik hitam Arwah Ketua sudah dapat melihat

keberadaan dua buah benda kelabu berbentuk peti

yang terpendam di dalam tanah.

 "Peti Dewa penyelamat Raga Dan Nyawa, kalian

telah berjasa menyelamatkan dua bayi calon Ksatria

Utama Kerajaan Bhumi Mataram. Saatnya kami

mengambil kedua bayi itu kembali. Keluarlah dari

dalam tanah. Bila dua bayi keramat sudah berada di

tangan kami, kalian dua peti sakti boleh kembali ke

alam kalian disertai ucapan terimakasih kami!"

 Baru saja Arwah Ketua selesai mengeluarkan

ucapan tiba-tiba b!aar...blaaar! Tanah halaman

terbongkar di dua tempat. Dari tanah yang terkuak

melesat keluar dua buah benda kelabu berbentuk peti

terbuat dari batu gunung yang kukuh dan atos.

 Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang

dengan cepat mendekati dua peti batu, membuka

penutup di sebelah atas. Begitu penutup peti

tersingkap keduanya sama-sama keluarkan seruan

keras.



"Dewa Jagat Bhatara!" teriak Ratu Dhika Gelang

Gelang. Tubuhnya yang gemuk langsung jatuh

terduduk di tanah. Mukanya yang gembrot pucat pasi.

 Di sebelahnya Arwah Ketua keluarkan suara

mengorok keras dan panjang. Mata putihnya menatap

terbelalak. Dua Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa

berada dalam keadaan kosong melompong. Tidak ada

seorang bayi pun di dalamnya!

 "Celaka besar! Kutuk dan amarah Dewa akan

jatuh atas diri kita! Radinda Ratu Dhika! Bagaimana

bisa begini?! Kau yakin telah merapal dan

mempergunakan ilmu kesaktianmu secara benar?!"

 "Tidak ada yang salah, tidak ada yang keliru

Rakanda. Aku..." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak

dapat meneruskan uerpan. Perempuan gemuk ini

menangis menggerung-gerung sambil menjambak-

jambak rambutnya. Arwah Ketua berlutut di tanah.

Wajah ditengadahkan ke langit Kepala ditinju-tinju

sendiri. Sementara di timur kaki langit mulai tampak

terang pertanda fajar telah menyingsing dan sang

surya akan segera muncul menerangi jagat.

 Tiba-tiba ada sesiur angin sejuk bertiup. Hawa

di bukit gersang dimana Candi Miring terletak

perlahan-lahan berubah dingin.

 "Radinda, tidaklah kau merasa ada keanehan?"

ujar Arwah Ketua pada Ratu Dhika Gelang Gelang.

' Puluhan tahun aku tinjgsl di bukit gersang ini udara

selalu panas. Sekarang mengapa tiba-tiba hawa terasa

dingin?"

 "Aku juga tidak mengerti Rakanda mungkin para

Dewa..."

 Ucapan Ratu Dhika Gelang Gelang terputus oleh

suara orang menegu


"Kailan dua insan di samping candi di atas bukit

tandus, apakah dua anak ini yang kailan cari sampai

memukul kepala menjambak rambut?"

 Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang

langsung melompat. Saat itu mereka melihat seorang

tua berjubah putih melangkah mendaki lereng bukit

Di balik punggung menyembul sebatang tongkat

terbungkus lapisan putih menebar hawa dingin. Dari

ubun-ubun di atas kepala, sepasang mata, hidung

serta setiap hembusan napas yang dibuatnya,

mengepul keluar uap putih dingin. Meski berada

dalam jarak sejauh itu namun suaranya bicara seolah

dia berada beberapa langkah di hadapan Arwah Ketua

dan Ratu Dhika.

 Akan tetapi bukan keanehan itu yang menjadi

perhatian dua mahluk di atas bukit. Yang membuat

mala mereka terbeliak dan mulut berteriak nyaring

adalah ketika melihat dalam gendongan tangan kiri

kanan si orang tua terdapat dua orang bayi berusia

satu bulan namun memiliki keadaan tubuh tidak beda

dengan bayi seusia satu tahun. Itulah Mimba Purana

dan Dirga Purana, dua bayi yang dilahirkan secara

gaib oleh sang ibu bernama Ananthawuri, perawan

pilihan para dewa berasal dari Desa Sorogedug, tak

jauh dari Prambanan. Dalam gendongan si orang tua,

dua bayi tampak tertidur lelap.

 "Tua bangka penculik anak!" amarah Arwah

Ketua menggelegar." Lekas serahkan dua bayi itu

padaku atau kubuat lumat dan amblas tubuhmu ke

dalam tanah!" teriak Arwah Ketua. Tanduk tunggal di

alas kepala memancarkan sinar merah. Tubuhnya

serta merta mencuat menjadi besar setinggi Candi

Miring. Dua kaki melangkah cepat dan tangan kiri


kanan diulurkan menjadi panjang untuk dapat

mengambil dua bayi dalam dukungan si kakek tak

dikenal. Namun hebatnya dua tangan yang diulurkan

itu jangankan menyentuh, sampaipun tidak. Padahal

si orang tua yang mendukung dua bayi justru terus

saja melangkah enteng ke atas bukit, mendekati ke

arah dimana Arwah Ketua dan Ratu Dhika berada.

 Ratu Dhika Gelang Gelang setengah berlari

mendatangi si orang tua penggendong bayi.

 "Kakek, bagaimana dua bayi itu bisa berada

padamu? Aku sebelumnya telah..." ucapan Ratu

Dhika terhenti. Matanya memandang besar-besar dan

lekat-lekat ke paras si orang tua. Mulutnya lalu

berucap, "Orang tua, maafkan diriku kalau salah

berkata. Aku melihat seluruh matamu berwarna putih.

Kau buta...?"

 "Dewa Agung memberikan sepasang mata yang

terbuat dari gumpalan salju padaku. Buta atau tidak

apa perbedaannya? Mata hati dan mata perasaan

pemberian Yang Maha Kuasa terkadang lebih

sempurna dari mata biasa. Apa lagi mata yang senang

melihat kemaksiatan," jawab si orang tua sambil

tertawa. Waktu bicara dari mulutnya keluar uap 

dingin.

"Gadis gemuk, aku senang. Kau bertanya lebih lembut

dan lebih sopan dari raksasa penguasa Candi Miring

itu. He... he... he. Aku tahu. Sebelumnya dua bayi ini

bukankah kau selamatkan dengan cara memasukkan

mereka ke dalam dua peti batu bernama Peti Dewa

Penyelamat Raga Dan Jiwa? Kau punya akal panjang.

Tapi musuh tidak berkepandaian lebih rendah

dirimu.


Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang

mendengar si kakek dengan jelas mengetahui dan

menyebut nama dua peti batu. Lalu tahu pula

keadaannya yang gemuk.

 "Orang tua, bagaimana kau tahu...? Kau datang

dari arah kaki bukit. Apakah sebelumnya kau berada

di atas sini? Kami berdua tidak mengenal siapa kau

adanya. Jangan-jangan kau utusan..." Ratu Dhika

tidak teruskan ucapan karena saat itu dia harus

menghalangi Arwah Ketua yang hendak hendak

menerjang menyerang siorang tua yang mendukung

dua bayi. "Sabar Rakanda... sabar. Jangan sampai

kesalahan tangan..."

 "Radinda Ratu Dhika! Kau mau membela orang

yang hendak menculik dua bayi keramat?!" bentak

Arwah Ketua.

 "Rakanda, harap kau mau berpikir jernih. Jika

orang tua Itu punya maksud jahat menculik dua bayi,

dia tidak akan melangkah mendatangi ke arah kita.

Dia sudah lama kaburi" jawab Ratu Dhika Gelang

Gelang.

 Saat itu orang tua berjubah putih telah berada

dekat sekali di hadapan Arwah Ketua dan Ratu Dhika

Gelang Gelang.

 "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku hanya

kebetulan saja lewat di kawasan ini. Mungkin sudah

takdir Dewa aku harus melakukan satu kebajikan. Apa

kalian tidak memperhatikan tanah di halaman barat

candi ini?"

 "Memangnya ada apa Kek?" ucap Ratu Dhika

Gelang Gelang. Tapi bersama Arwah Ketua dia

memandang juga ke seputar halaman, terutama

sekitar keluarnya dua peti tadi dari dalam tanah. Kini


keduanya baru sadar dan melihat.

 "Apa yang kailan lihat?" bertanya si orang tua.

 Arwah Ketua tidak menjawab. Yang membuat

Ratu Dhika Gelang Gelang.

 "Aku... aku melihat ada noda darah berceceran.

Hampir mengering..."

 "Matamu tajam, anak gadis. Tapi apakah kau

tahu itu darah siapa?"


5. SANG PENYELAMAT DUA BAYI KERAMAT

 RATU Dhika Gelang Gelang menggeleng, "itu adalah

darah manusia berjubah kuning yang kau buntungi ta-

ngannya. Dalam keadaan terluka parah dia keluar dari 

candi, berusaha mengeluarkan dua

buah peti dari dalam tanah. Kebetulan saja aku berada 

di sekitar sini dan Para Dewa berkenan memberi 

kepercayaan padaku untuk menyelamatkan dua bayi 

sebelum orang berjubah kuning mengambilnya..."

 "Tapi mengapa barusan kau justru datang dari

arah kaki bukit) Seharusnya kau berada di atas bukit

sinil" bentak Arwah Ketua.

 Dengan tenang dan sabar orang tua itu menjawab, 

"Kalau aku masih berada di atas bukit di sekitar

candi, besar kemungkinan si jubah kuning yang mau

menculik mengetahui keberadaanku dan dua bayi.

Bukankah itu berbahaya sekali? Selain untuk

menyelamatkan mereka, aku juga senang pada dua

bayi ini. Apa salahnya aku mengajaknya berjalan-jalan

barang sebentar ke kaki bukit. Ada rimba belantara

cukup teduh di bawah sana. Dibanding dengan

keadaan gersang, kering dan panas di bukit ini

Bukankah menghirup udara segar sangat penting bagi

pertumbuhan seorang bayi?"

 "Soal mengurus dua bayi itu adalah tanggung

jawab kami. Mengapa kau orang tua yang tidak aku

kenal mau merepotkan dlri?l" ucap Arwah Ketua

dengan mata mendelik.

 "Betul apa yang kau ucapkan. Soal mengurus

dua bayi adalah tanggung jawab kalian Tapi apakah

kalian telah merawat bayi-bayi ini dengan benar?


Kailan hanya memperhatikan keamanan dan

keselamatannya. Tapi kalian memperlakukan mereka

tidak lebih dari dua ekor hewan yang kalian sekap

dalam candi pengap yang hanya sedikit lebih baik

dari kurungan ayam!"

 Mendidihlah amarah Arwah Ketuar ampai asap

merah mengepul keluar dari batok kepa!anva yang

botak. Lagi-lagi Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa

menghalangi ketika mahluk raksasa Ini hendak

menerjang si orang tua.

 "Orang tua kurang ajar! Jaga muiutmu! Beraninya 

kau mengatakan dua bayi sebagai hewan! Kau tidak 

tahu siapa adanya bayi itu! Lekas pergi dari sini! 

Serahkan mereka padaku! Atau kupecahkan

kepalamu saat ini juga!" ancam Arwah Ketua yang

menjadi luar biasa marah mendengar kata-kata si or-

ang tua berjubah putih.

 Yang dibentak dan diancam malah cuma tertawa.

 "Mahluk penguasa candi! Seribu hari sebelum

dua bayi ini lahir aku sudah lebih dulu mengetahui

keberadaan mereka. Aku lebih banyak tahu siapa

adanya dua bayi ini dari pada kalian! Bukankah begitu

wahai dua bayi pilihan Para Dewa?" sambil berkata

si orang tua menggoyang sedikit tangannya yang

menggendong. Anehnya dua bayi itu sama-sama

tertawa dalam kelelapan tidur mereka!

 Sementara Ratu Dhika tercengang Arwah Ketua

tetap masih meradang. "Aku tidak percaya padamu!

Bagaimana kau bisa tahu kalau dua bayi ada di dalam

tanah di halaman ini, dimasukkan dalam dua peti

batu!"

 Si orang tua kembali tersenyum sabar.

 "Mahluk bertubuh raksasa. Keberadaanmu


sungguh hebat tapi sayang jalan pikiranmu tidak

sehebat penampilanmu! Kalau Para Dewa memberi

kepercayaan padaku untuk menolong dua bayi, 

apakah kau lebih kuasa dan lebih mengetahui dan 

mereka?"

 Rahang Arwah Ketua menggembung, hidung

mengendus dan lenggorokan menggembor, mata

putih mendelik. Mau rasanya dia menelan buiat-butat

tua bangka di hadapannya itu.

 Tanpa memperhatikan Arwah Ketua lagi si orang 

tua melangkah ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.

Dua bayi diserahkan pada si gadis seraya berkata.

"Jaga dua bayi keramat ini baik-baik. Karena pada

satu hari kelak aku akan datang menjemput salah

seorang dari mereka..."

 Ratu Dhika Gelang Gelang tercengang heran

mendengar ucapan itu. Sebaliknya Arwah Ketua

kembali menjadi marah dan menghardik.

 "Hai! Apa arti ucapanmu itu?l"

 "Mahluk hebat, bersyukurlah pada Yang Maha

Kuasa bahwa dua bayi telah diselamatkannya."

 "Tua bangka bunglonl Kau tidak menjawab

pertanyaanku! Kau tidak mau memberi tahu siapa

dirimu! Dan jangan kra aku tidak tahu kalau kau ke

sini tidak sendirian!" sambil bicara Arwah Ketua

menatap ke kaki bukit dimana terdapat sebuah batu

besar.

 "Eh, apa maksudmu mahluk penguasa candi?"

tanya si mata buta.

 "Kau datang membawa teman! Saat ini dia

sembunyi di balik baju besar di kaki bukit! Lihat saja!

Aku akan buktikan kedustaanmu!"

 Selesai berucap, selagi si orang tua terheran


heran, tubuh raksasa Arwah Ketua melesat ke kaki

bukit ke arah sebuah batu besar Sesaat kemudian

dia sudah kembali sambil memanggul sosok seorang

gadis berpakaian dan berkerudung putih. Dengan

kasar Arwah Ketua melemparkan si gadis ke tanah.

Namun dengan gerakan enteng si gadis berjungkir

balik, lalu di lain kejap dia sudah berdiri di samping

si orang tua bermata salju! Pundak kiri jubah putihnya

ada bekas robekan yang telah dijahit Kerudung putih

di atas kepala jatuh ke bahu. Wajahnya kini tersingkap

jelas.

 Sambil berdiri bertolak pinggang gadis ini keluarkan 

ucapan ketidak senangan tapi dengan mulut

tersenyum.

 "Tiada salah kau hendak membanting diriku ke

tanah. Benar ucapan pamanku ini tadi. Otakmu tidak

sehebatt penampilan dirimu! Hik... hik..!"

 Baik Arwah Ketua maupun Ratu Dhika Gelang

Gelang tidak perdulikan ucapan si gadis.Yang menjadi

pusat perhatian keduanya adalah justru wajah cantik

gadis berpakaian putih itu. Mereka tidak melihat

bagaimana keadaan dua tangan si gadis yang

berkacak pinggang yaitu yang hanya merupakan

tulang belulang tak berdaging tidak berkulit sebatas

pergelangan sampai ujung jari.

 "Ananthawuri!” seru Arwah Ketua dan Ratu Dhika

hampir berbarengan ketika mereka melihat paras si

gadis.

 'Tunggul Rakanda Arwah Ketua apa salah mata

kita melihat?" Ratu Dhika Gelang Gelang susul

seruannya dengan ucapan. '

 Gadis berpakaian putih yang rambutnya tergerai

lepas sebenarnya adalah Dewi Tangan Jerangkong


puteri Giring Mangkureja dar! Kadiri. Wajahnya,

seperti yang pernah disaksikan sendirl oleh Pangeran

Bunga Bangkai memang memiliki banyak kemiripan

dengan Ananthawuri. (Riwayat gadis ini bisa dibaca

dalam "Dewi Tangan Jerangkong")

 "Kalian berdua salah menyangka orang. Gadis

ini bukan Ananthawuri, Ibu dari dua bayi. Dia adalah

keponakankul Namanya Liris Pramawari," berkata

orang tua bermata buta. Lalu tongkat berlapis benda

putih yang mengepulkan asap dingin dimelntangkan

 atas bahu kanan si gadis seraya berkata, "Kau gadis

nakal. Mengapa kau mengikutiku sampai ke sini.

Bukankah aku suah memberi satu tugas padamu?"

 "Kau benar Paman. Tapi ketika saya masih

bingung, belum tahu mau menuju ke mana di tepi

hutan saya molihat satu kejadian. Saya membatalkan

meneruskan perjalanan, memilih lebih baik menemui

paman untuk memberi tahu. Itu sebabnya saya

berusaha mengejarmu sampai ke sini. Saya..." karena

si kakek sudah menganggap dirinya sebagai

Keponakan maka saat itu Liris Pramawari memanggil

si orang tua dengan sebutan Paman.

 "Sudah...sudah! Kau anak nakal. Ayo kita

tinggalkan tempat ini. Di tengah jalan kau boleh

menceritatan kejadian apa yang telah kau alami..."

Si orang tua lalu memukul-mukulkan tongkatnya ke

pinggul si gadis. Tidak banyak bicara lagi dua orang

itu segera melangkah menuruni puncak bukti gersang,

meninggalkan Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang

Gelang. Namun Arwah Ketua yang masih penasaran

berteriak.

 "Orang tua! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku ada

beberapa pertanyaan! Kau belum memberi tahu siapa


dirimu sebenarnya!" Arwah Ketua mengejar. Dua kaki

raksasanya membuat tanah lereng bukit berlobang-

lobang ketika berusaha mengejar si orang tua dan

gadis berwajah sama dengan Ananthawuri. Namun

tiba-tiba tubuhnya laksana pohon besar tak bisa

bergerak karena tertahan akar. Dua kaki mendadak

sontak dibalut oleh tumpukan benda putih dingin luar

biasa hingga rahangnya menggembung dan geraham

bergemeletakan.

 Di lereng bukit orang tua bermata putih berhenti,

berpaling pada Arwah Ketua lalu berseru.

 "Apa perlunya mengejar diriku! Lebih baik kalian

mengamankan dua bayi. Selain itu kau harus cepat-

cepat melenyapkan tanda tiga warna di kening gadis

gemuk itu. Kalau tidak maka dalam tiga hari otaknya

akan berubahl Dia bisa berbalik menjadi musuh yang

bisa mencelakai dirimu! Di bumi Mataram ini hanya

ada dua orang yang bisa menolong gadis gemuk itu.

Pertama, seseorang yang telah kau aniaya di rimba

belantara sana..."

 "Siapa orang yang kau maksudkan?!" tanya

Arwah Ketua.

 Orang tua yang ditanya tidak menjawab melainkan 

meneruskan ucapan.

 "Orang kedua adalah keponakanku ini. Tapi tadi

kau telah sempat membuatnya kecewa. Membanting-

nya ke tanah..."

 Tapi keponakanmu itu tidak cidera..." mene-

ngahi Ratu Dhika Gelang Gelang.

 "Cidera rubuh memang tidak. Tapi kecewa hati

Karena diperlakukan jahat kurasa tidak semua orang

bisa menerima..." Jawab si orang tua pula.

 "Orang tua! Katakan siapa kau sebenarnya


Apakah kau penjelmaan atau utusan Roh Agung...''

 Mendengar dirinya disebut Roh Agung si orang

tua hentikan langkah, berpating menghadap ke arah

Arwah Ketua.

 "Mahluk raksasa penguasa Candi Miring. Jangan

terlalu mudah menduga insan biasa sebagai

penjelmaan Roh Agung. Aku melihat hal yang tidak

pada tempatnya sering terjadi dan dilakukan orang

di Bhumi Mataram ini. Banyak orang pandai yang

menyangka telah bicara dan bertemu dengan Roh

Agung ketika mereka melihat cahaya atau mendengar

suara tanpa ujud. Roh Agung Yang Maha Kuasa

memang bisa beraba dimana-mana bahkan

bersemayam dalam diri setiap insan. Namun jangan

sekali-kali menganggap setiap cahaya atau suara yang

tidak berujud itu adalah roh Agung. Kuasa Roh Agung

jauh lebih hebat dan lebih mulia dari itu. Cahaya yang

muncul, suara yang terdengar bisa saja ulah arwah

yang mendapat kekuatan dari Yang Maha Kuasa untuk

memberi petunjuk atau memberikan pertolongan

pada setiap insan. Jangan sekali-kali merendahkan

Roh Agung kalau tidak mau kualat! Ketahuilah sekali

seorang anak manusia berkesempatan melihat cahaya

Roh Agung maka dia akan tertidur lelap sampai 

seratus tahun! Camkan itu baik-baik!"

 Arwah Ketua dan Ratu Dhika Gelang Gelang

terdiam. Si orang tua memutar tubuh kembali.

meneruskan langkah menuruni lereng bukit.

 "Dewa Jagat Bathara! Siapa orang tua bermata

buta itu? Apa aku telah kejatuhan kutuk?!" ucap 

Arwah Ketua. Dia kembali berteriak memanggil orang 

tua berjubah putih sambil berusaha membebaskan dua

kakinya yang dibalut lapisan putih dingin. Namun


orang tua itu terus melangkah menuruni lereng bukit

sambil terus memukuli bagian bawah tubuh gadis

berpakaian putih. Yang dipukuli tidak merasa sakit,

malah senyum-senyum. Tongkat itu sendiri setiap

dikibaskan menebar hawa luar biasa dingin. Namun

hawa dingin tidak mempengaruhi si gadis sebaliknya

melesat ke arah Arwah Ketua membuat mahluk

bertubuh raksasa ini semakin menggigil kedinginan.

 "Orang tuai Kau pasti tukang sihir! Sudah! Aku

 tidakakan mengejarmu! Kau mau pergi kemana aku

tidakperduli”

 Arwah Ketua akhirnya memutuskan untuk tidak

meneruskan pengejaran. Aneh, begitu dia

membalikkan badan, tumpukan benda putih dingin

yang melapisi dua kaki raksasanya langsung meleleh

dan akhirnya lenyap sama sekali!

 "Radika Ratu," kata Arwah Ketua ketika sampai

di hadapan Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kita harus

mencari siasat baru menyembunyikan dua bayi.

Setelah bayi berada dalam keadaan aman, aku ingin

bicara banyak denganmu. Kau cepat masuk duluan

ke dalam candi."

 "Kau ingat ucapan orang tua aneh tadi? Tiga

warna di keningku Ini mengancam keselamatan

diriku..."

 “Radinda. bagaimana tanda itu bisa ada di

keningmu?" tanya Arwah Ketua.

 "Ketika aku berhasil membuat buntung tangan

kanan orang berjubah kuning, dia sempat

menyusupkan pukulan telapak tangan kiri ke mukaku.

Saat ml aku merasa ada yang tidak beres dengan

diriku. Kita harus segera masuk ke dalam candi."

 "Saatnya kau masuk ke dalam candi. Bawa dua


bayi ke dalam Ruang Enam Dinding Dewa. Nyalakan

kayu cendana. Tunggu sampai aku menyusul..."

 "Kau sendiri mau melakukan apa Rakanda Arwah

Ketua?" tanya Ratu Dhika Gelang Gelang.

 "Banyak yang harus aku lakukan. Aku harus

melindungi candi ini dengan ilmu Menebar Kabut

Menutup Pandang. Lalu aku akan mengamankan

potongan tangan kanan orang berjubah kuning yang

ada dalam candi. Dari kutungan tangan di dalam candi

dengan Ilmu Menjejak Bumi Menerawang Langit. Aku

akan melacak siapa manusia itu sebenarnya dan

dimana dia berada. Lalu aku harus melenyapkan tiga

wama yang ada di keningmu... Tobat, begini banyak

pekerjaan yang harus aku lakukan. Sang Hyang Jagat

Bathara. saya mohon pertolonganMu..."

 Dengan menggendong dua bayi keramat Ratu

Dhika Gelang Gelang masuk ke dalam candi. Di

halaman Arwah Ketua merapal mantera. Dua buah 

peti batu yang ada di tempat itu perlahan-lahan 

terlihat samar dan akhirnya lenyap. Candi Miring 

sendiri walau saat itu matahari telah terbit dan 

keadaan di atas bukit menjadi terang namun ujud 

candi seperti diselimuti kabut tebal dan akhirnya 

lenyap pula dari pemandangan, inilah kesaktian ilmu 

bernama Menebar Kabut Menutup Pandang yang 

kekuatannya lima kali dari kesaktian yang dimiliki 

Arwah Gelap Gulita yang telah menemui ajal di tangan 

Arwah Muka Hijau.

 Ketika Arwah Ketua masuk ke dalam candi,

ternyata potongan tangan orang berjubah kuning tak

ada lagi. Darah yang sebelumnya berceceran di lantai

juga lenyap


"Ada yang mengambil tangan dan menghapus

noda darah menghilangkan jejak..." ucap Arwah Ketua

perlahan. Kumis dan janggut diusap-usap. Mulut

sunggingkan seringai. "Apa kalian kira aku tidak

punya akal lain?!" Arwah Ketua cepat keluar cari 

dalam candi, menuju ke halaman sebelah barat. Di sini

dia mengambil cairan darah yang telah mengering dan

bercampur tanah lalu dengan cepat kembali masuk

ke dalam candi.

****

 SIAPAKAH adanya orang tua aneh bermata buta

dan memiliki kesaktian yang membuat Ratu Dhika

Gelang Gelang tercengang sementara Arwah Ketua

menjadi penasaran setengah mati? Di dalam episode

sebelumnya ("Meringkik Di Lembah Hantu") di-

riwayatkan kakek bermata putih buta ini adalah

seorang Resi dikenal dengan nama Resi Garis-

pasthika, berjuluk Si Mata Salju. Dituturkan bahwa

orang tua ini suatu ketika bertemu dengan Liris

Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. Peda saat

itu Si Mata Salju tengah diserang oleh dua kakek 

nenek bernama Durangga dan Arupadi yang dikenai 

dengan julukan Dewa Dewi Empat Penjuru Angin. 

Durangga tewas. Si nenek kabur. Si Mata Salju 

berhasil merampas sebilah golok sakti bernama Empat 

Mulut Penghirup Darah yang kemudian diserahkan 

pada Liris Pramawari. Gadis yang dianggap sebagal

keponakannya itu oleh Si Mata Salju ditugaskan untuk

membawa golok ke puncak Gunung Mahameru guna

diserahkan pada pewarisnya.

 Ternyata di tengah jalan dalam bingungnya Liris

Pramawari menemui satu peristiwa yang

membuatnya bejtoalik dan mencari Si Mata Salju.


6.PENYUSUP MENEMBUS CANDI MIRING

 YANG DISEBUT Ruang Enam Dinding Dewa adalah 

satu ruangan gaib yang tidak terletak di dalam Candi 

Miring, melainkan mengambang di udara di atas 

bannunan candi. Empat dinding ditambah lantai

dan atap terbuat dari susunan batu kebiru-biruan 

memancarkan cahaya terang disertai hawa sejuk, 

Konon untuk membangun ruangan yang tahan segala

macam bahaya ini dibutuhkan sekitar dua ratus 

mahluk gaib dan menghabiskan waktu hampir sepuluh 

tahun. Lamanya waktu pembuatan dikarenakan 

mahluk gaib harus bertapa dan menunggu Para Dewa 

menurunkan satu demi satu batu berwarna biru yang 

menjadi bahan pembuatan dinding, lantai dan atap 

ruangan.

 Sebenarnya sejak pertama kali kedatangan

bayi keramat Arwah Ketua ingin menempatkan 

mereka di ruangan tersebut. Namun sekitar dua puiuh 

tahun silam, ruang gaib yang boleh dikatakan sulit 

ditembus orang luar bagaimanapun kesaktiannya, 

pemah kebobolan disusupi musuh. Karena khawatir 

ha! tersebut akan terulang untuk kedua kalinya maka

Arwah Ketua tidak menempatkan dua bayi yang dijaga

Ratu Dhika di ruangan tersebut

 "Aku berharap dua bayi ini sekarang benar-benar

aman berada di tempat ini..." kata Ratu Dhika Gelang

Gelang.

 "Bagaimanapun juga kita harus tetap berwaspada

Radinda Ratu. Aku masih penasaran pada tua bangka

bermaLi putih itu! Aku tahu dia pendusta besar! Gadis

yang wajahnya sangat mirip Ananthawuri itu..."


"Belum tentu hanya sangat mirip tapi siapa tahu

dia sebenarnya memang Ananthawuri," kata Ratu

Dhika pula. Rupanya baik Arwah Ketua maupun Ratu

Dhika tidak melihat keadaan dua tangan jerangkong

Liris Pramawari. Kalau saja mereka sempat melihat

tentu keduanya akan berpikiran lain tentang gadis

cantik berjubah dan bei kerudung putih itu.

 "Gadis itu aku yakin bukan keponakannya. Kalau

dia menjadi paman lalu ayah si yadis berapu tahun

lebih tua bangkanya dan si mata salju itu!"

 "Rakanda Arwah Ketua. aku rasa perihal orang

tua aneh itu tidak penting kita bicarakan. Ada hal

lain..."

 "Radinda Ratu, jangan kau menganggap

gampang persoalan yang kita hadapi. Kalau dugaanmu 

benar bahwa gadis itu memang Ananthawuri dan

berhasil disirap serta ditenung hingga patuh saja pada

si mata buta itu, rasanya aku harus segera melakukan

pengejaran sebelum Para Dewa murka atas dirikul

Belakangan ini aku telah sering berbuat kekeliruan

dan kelalaian..."

 "Rakanda, mendengar ucapan si orang tua

bahwa dia akan datang menjemput salah satu dari

bayi ini. apa perlunya dia menculik ibu Mimba dan

Dirga..."

 "Si mata salju berkata begitu. Kalau dia memang

Inginkan salah satu bayi, mengapa tidak sekarang-

sekarang dia mengambilnya. Lalu mengapa cuma satu

bayi saja? Aku merasa perlu meneliti kembali apa

yang tertulis di empat Gading Bersurat..."

 "Rakanda, kalau tidak ada hal lain yang kau

perlukan dariku, kuharap kita bisa berganti tugas 

untuk sementara.


"Eh, apa maksudmu Radinda Ratu?"

 "Aku tidak tenang selama tiga warna celaka ini

masih ada di keningku. Ingat ucapan orang tua aneh

itu?"

 "Jangan kau terpengaruh. Bisa saja dia melakukan

kedustaan..."

 "Rakanda Arwah Ketua, kau jaga dua bayi baik-

baik. Aku akan meninggalkan candi..."

 "Memangnya kau mau kemano?" tanya Arwah

Ketua dengan mata mendelik.

 "Aku akan mengejar gadis yang wajahnya mirip

Ananthawuri itu. Minta tolong dia melenyapkan tiga

wama di keningku sebelum aku nanti benar-benar jadi

berubah pikiran alias gila dan menjadi musuhmu!

 Arwah Ketua terdiam beberapa ketika lalu berkala.

 "Radinda. kau masih punya waktu tiga hari.

Mengapa harus terburu-buru? Kau beluin menuturkan

apa yang terjadi di candi ini sampai dua bayi nyaris

diculik orang. Siapa orang yang berjubah kuning

yang kau katakan itu? Aku sudah mengambil

gumpalan cairan darah keringnya. Aku akan

melakukan semedi Menjejak Bumi Menerawang Langit

untuk mengetahui siapa dia adanya. Kalau perlu aku

akan mendatangi sampai ke sarangnya, kalau

memang dia punya sarang sekalipun di neraka!'

 "Kalau begitu aku akan membantumu...' kata

Ratu Dhika Gelang Gelang pula karena dia tahu untuk

melakukan semedi Menjajak Bumi Menerawang Langit

guna menjajaki seseorang berdasarkan sesuatu yang

merupakan bagian tubuhnya tidak rnungkin dilakukan

seorang diri.

 "Aku akan menceritakan padamu. Tapi setelah

itu aku tetap akan pergi mengejar gadis itu..."


"Kau belum tentu bisa mengejar dan me-

nemukannya. Orang tua bermata salju dia pasti akan

menghalangimu."

 "Aku yakin dia tidak sejahat itu. Tapi kalau kelak

itu jadi kenyataan, aku akan mencari penolong yang

kedua. Yaitu orang yang menurut si mata salju telah

kau aniaya dan berada di dalam rimba belantara."

 "Radinda Ratu. Kau ini ada-ada saja. Jangan-

jangan kau benar-benar sudah berada dalam sirap dan

pengaruh orang tua tadi. Seingatku aku tidak pernah

menganiaya orang di dalam rimba belantara di kaki

bukit sana..."

 "Bagaimana kalau yang dimaksudkan si orang

tua adalah Pangeran Bunga Bangkai dan dua

pengikutnya yang kau tenung dengan ilmu Melangkah

Ke Depan. Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke

Belakang, Arwah Tiba Di Depan. Melangkah Ke

Samping Arwah Berputar Di Tengah. Hingga Pangeran

dan dua kawannya itu tidak bisa keluar dari rimba

belantara. Selain itu aku tidak tahu dimana 

keberadaan kucingku Si Ragil Abang..."

 "Astaga Radinda) Soal ilmu tenung itu! Bukankah

kau sendiri yang minta aku menerapkan ilmu itu agar

Pangeran aneh itu tidak datang mengacau ke sini?"

 "Benar sekali Rakanda. Namun itu hal terakhir

yang bisa aku mintakan padamu. Karena sebelumnya

bukankah kau bermaksud hendak membunuh orang-

orang itu?"

 "Aku tidak mengerti! Benar-benar tidak me-

ngerti..."

 "Rakanda Arwah Ketua, aku akan menceritakan

apa yang terjadi. Aku hanya akan menceritakan satu

kali dan tidak akan mengulang-ulang. Setelah itu aku


akan membantumu bersemedi. Lalu setelah itu aku

akan pergi."

 Arwah Ketua tidak keluarkan ucapan apa-apa. Dia

mengembalikan dua kerincing emas milik Ratu Dhika

yang ditemuinya di lantai candi.

***

 PENUTURAN Ratu Dhika Gelang Gelang...

 SAAT itu menjelang pagi. Di dalam candi, tak

lama setelah Arwah Ketua pergi, di satu ruangan

rahasia Ratu Dhika Gelang Gelang tengah mengawasi

dua bayi yang tertidur lelap di alas dua pembaringan

rotan beralas kasur kapuk lembut. Dua bayi walau 

baru berusia satu bulan namun keadaan tubuh 

menyerupai anak berumur satu tahun. Mendadak Ratu 

Dhika melihat beberapa bagian dari lantai dan dinding

ruangan seperti bergelombang, laksana permukaan

air danau disaput tiupan angin. Ratu Dhika Gelang

Gelang yang tahu seluk beluk keadaan Candi Miring.

yakin betul bahwa saat itu ada bahaya mengancam

candi, dirinya dan pasti juga yang sangat berbahaya:

mengancam dua bayi.

 "Ada orang sakti mau menyusup ke dalam

candi..." Ratu Dhika berkata dalam hati. Lalu dia

melangkah cepat ke salah satu bagian dinding candi.

Ujung ibu jari tangan kanan dijilat. Ujung jari yang

basah oleh ludah itu diusap sambil ditekan ke

dinding. Ketika Ratu Dhika mendekatkan mata

kanannya ke bagian dinding yang ditekan dengan ibu

jari tadi, dia seperti mengintai melalui sebuah lobang

dan dapat melihat keadaan di luar candi bagian

selatan. Hanya kegelapan malam menjelang pagi yang


terlihat. Tidak kelihatan satu mahluk pun di luar sana.

Namun bagian dinding dan lantai yang

bergelombang bertambah banyak. Pertanda orang

yang tengah berusaha menyusup semakin dekat.

 Ratu Dhika kembali basahi ujung ibu jari tangan

kanan. Kini ujung jari diusap dan ditekan pada

dinding sebelah kiri dimana tampak gerak gelombang

yang lebih kencang. Begitu untuk kedua kali Ratu

Dhika mengintai melalui dinding yang seolah tembus

berlobang, kali ini dia dapat melihat halaman timur

candi. Seperti tadi dia melihat suasana gelap. Namun

dalan kegelapan dia dapat melihat seorang berbadan

tinggi, mengenakan jubah panjang yang wajahnya

belum terlihat jelas.

 Ketika orang ini semakin dekat ke dinding candi

sebelah timur kelihatan kalau dia mengenakan destar

dan jubah kuning. Ada bayangan tiga warna

menyelubungi tubuhnya. Bayangan ini sangat tipis

hingga kalau bukan orang berkepandaian tinggi

seperti Ratu Dhika niscaya tidak akan melihatnya.

Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang.

Namun bukan cuma bayangan tiga warna tipis itu

yang membuat gadis yang masih punya darah

keturunan penguasa di Kerajaan Bhumi Mataram ini

menjadi terkejut. Yang paling mengagetkan hingga

tengkuknya terasa dingin adalah ketika melihat dalam

genggaman tangan kiri kanan, orang ini mengepal

gumpalan tanah merah.

 "Celaka! Kalau yang dipegang orang itu tanah

kuburan pasti tembus! Dia pasti bisa masuk ke dalam

candi!" Ratu Dhika memandang berkeliling lalu

berteriak, "Rakanda Arwah Ketua! Ada penyusup mau

masuk ke dalam candi!

Tak ada sahutan karena Arwah Ketua saat itu

memang tidak ada di Candi Miring, tengah melakukan

pengejaran terhadap Arwah Muka Hijau yang telah

membunuh Arwah Gelap Gulita.


7.SANG PENYUSUP: PANGLIMA PAWANG SELA

 RATU Dhika kertakkan rahang. "Arwah Ketua tidak 

ada di candi! Apa boleh buat! Aku harus menghadapi 

penyusup berkepandaian tinggi itu seorang diri! Siapa 

dia sebenarnya. Ada cahaya tipis tiga warna 

menyelubungi tubuhnya. Aku harus bisa menangkap-

nya hidup-hidup! Kalau terpaksa harus menyabung 

nyawa apa boleh buat. Wahai Para Dewa di 

Swargaloka. Saya Ratu Dhika Gelang Gelang tidak 

takut mati. Namun saya mohon ulurkan tangan 

pertolonganMu. Selamatkan dua bayi Mimba dan 

Dirga!"

 Ratu Dhika kerahkan tenaga dalam penuh dari

pusar. Dua tangan dikembang lalu didorong. Empat

buah menara candi memancarkan cahaya berpiijar

berwarna kelabu. Empat cahaya ini adalah satu

kekuatan sakti yang diarahkan Ratu Dhika pada or-

ang berjubah kuning yang berada di halaman timur

atau halaman depan Candi Miring.

 Mendadak di udara gelap melesat sambaran

cahaya tipis tiga warna. Menyambar ke arah empat

cahaya kelabu. Benturan hebat tidak terelakkan.

Empat letusan keras menggelegar di kegelapan

menjelang pagi. Cahaya kelabu di tiga menara

bertabur lenyap. Puncak empat menara bergoyang,

mengeluarkan suara berderak. Menara ke empat yang

tidak sanggup menahan sambaran cahaya tiga warna

hancur berentakan. Di halaman depan candi orang

berjubah kuning terbanting ke tanah. Namun masih

mampu berdiri dengan cepat agak sedikit terbungkuk

pertanda mengalami cidera walau tidak berat

Di dalam candi Ratu Dhika Gelang Gelang jatuh

berlutut di lantai. Sekujur tubuh bergetar dan basah

oleh keringat.

 "Orang berjubah kuning itu..." ucap Ratu Dhika

dalam hati. "Dia memiliki dasar tenaga daiam tinggi.

Ditambah kekuatan berasal dari cahaya tiga warna

yang menyelubunginya... Apa yang harus aku

lakukan. Langsung menghadapi dan membunuhnya

atau lebih dulu menyelamatkan dua bayi."

 Saat Itu salah seorang dari dua bayi tampak meng-

geliat sambil keluarkan suara mendesah pendek.

 "Dua bayi itu! Mereka harus aku selamatkan lebih

dulu'" Ratu Dhika mengambil keputusan. Dia ingat

ruangan gaib bernama Enam Dinding Dewa yang

terletak di atas candi. Namun hatinya meragu untuk

membawa dan menyelamatkan dua bayi ketempat

itu. Memandang ke arah pintu depan candi, Ratu 

Dhika merasa heran. Seharusnya orang berjubah 

kuning itu sudah melewati pintu dan berada dalam 

candi. Tapi sampai saat itu tidak kelihatan sosoknya. 

Selagi Ratu Dhika memperhatikan bagian dalam candi 

yang cukup luas tiba-tiba dinding candi sebelah utara 

jebol hancur berantakan. Satu bayangan kuning 

berkelebat rnasuk ke dalam candi lewat lobang besar 

di dinding.

 Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun

mengenakan destar dan jubah kuning, berwajah tiras

dan berkulit pucat berdiri di hadapan Ratu Dhikia

Gelang Gelang. Orang Ini hanya memiliki satu alis

yaitu di atas mata sebelah kiri. panjang hitam 

menjulai

 "Perempuan gemuk! Yang aku kenal dengan.

panggilan Ratu Dhika Gelang Gelang! Lekas jatuhkan


diri berlutut. Jangan berani menggagalkan niat

kedatanganku! Aku utusan Sri Maharaja Ke Delapan

Kerajaan Mataram Baru datang untuk mengambil dua

Bayi!"

 Si jubah kuning ini bukan lain adalah Panglima

Pawang Sela. Pembantu paling utama dan paling

terpercaya dari orang yang menyebut dirinya sebagai

Sri Maharaja Ke Delapan dari Kerajaan Mataram Baru.

 Tidak mengenal manusia di hadapannya tapi

orang mengetahui siapa dirinya tidak membuat Ratu

Dhika Gelang Gelang terkejut. Namun yang membuat

dia terkesiap ketika untuk kesekian kalinya dia

mendengar orang menyebut tentang Sri Maharaja Ke

Delapan dan kini disebut-sebut pula Kerajaan Mataram

Baru.

 "Aku harus bisa menangkap manusia satu ini

hidup-hidup. Aku harus bisa mengorek apa arti

semua ucapannya tadi!"

 Dengan cepat gadis gemuk ini sentakkan dua kaki

dan hantamkan dua tangan. Dua puluh kerincing emas

yang melingkar di lengan dan pergelangan kaki

bergemerincing keras disertai melesatnya dua puluh

larik cahaya kuning.

 Walau cepat mengelak dan menangkis dengan

kebutkan dua ujung lengan jubah kiri kanan, namun

ada perasaan menganggap enteng serangan Ratu

Dhika Gelang Gelang. Tapi ketika breett... breett...

breettt..brettt empat dan dua puluh larik sinar kuning

merobek jubahnya di empat bagian, tidak menunggu

lebih lama sambil membentak orang berjubah kuning

ini melesat setinggi atap candi, membuat gerakan

aneh seperti baling-baling berputar sementara dua

tangan menebar hawa sakti


"Wuttt! Wuttt!”

 Satu stupa hancur. Satu lainnya terbongkar dari

alasnya. Dinding dan lantai candi remuk di beberapa

tempat Namun saat itu dua bayi dan Ratu Dhika

Gelang Gelang sudah tidak ada di tempat tersebut

 Di satu ruang rahasia di bawah lantai candi Ratu

Dhika Gelang Gelang menggendong dua bayi erat-erat 

Walau kedua anak ini tampak tenang-tenang saja

namun sepasang mata mereka dalam keadaan terbuka

dan sesekali bergerak berputar seoiah tahu kalau diri

mereka berada dalam ancaman bahaya.

 "Anak baik-baik bagus... jangan menangis.

Jangan mengeluarkan suara..." Ratu Dhika berbisik

lalu hembus kening dua bayi. "Tidur... tidurlah anak-

anak manis..." Begitu ditiup dua mata bayi yang tadi

nyalang perlahan-lahan menutup. Ratu Dhika merasa

lega sedikit. Di dalam ruangan dia berdiri tidak

bergerak. Dua kaki sedikit dikembang. sepasang mata

dipejamkan, mulut merapal ajian kesaktian ditutup

dengan doa.

 "Para Dewa di Kahyangan. Dengan segala

kehinaan diri ini, saya mohon pertolonganMu.

Selamatkan dua bayi ini. Para Dewa telah menetapkan

ibundanya sebagai perawan pilihan. Dua bayi ini

sesuai dengan kehendakMu wahai Para Dewa. Mereka

akan menjadi dua Ksatria Utama Bhumi Mataram,

pembela Kerajaan pembela Keadilan dan penegak

Kebenaran. Oleh karena itu Wahai Para Dewa.

dengarkan doa saya ini. Saya percaya Engkau Yang

Maha Kuasa akan mengulurkan tangan pemberi

pertolongan."

 Sambil masih menggendong erat dua bayi yang

tertidur lelap Ratu Dhika Gelang Gelang rundukkan


badannya yang gemuk. Begitu tubuh diluruskan

kembali mulutnya berucap perlahan.

 "Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwal Dengan

kehendak Yang Kuasa muncullah! Selamatkan dua

bayi keramat ini!"

 Belum habis gema seruan Ratu Dhika tiba-tiba

dua cahaya berpijar dan di atas lantai dalam ruangan

rahasia itu tahu-tahu lelah berada dua buah peti 

terbuat dari batu gunung kokoh kelabu.

 “Blakk. .blaakkk."

 Penutup dua buah peti terbuka

 "Terima kasih Dewa. terima kasih..." ucap Ratu

Dhika berulang kali. Dua bayi dalam gendongan

dimasukkan ke dalam dua peti batu.

 “Blaakk...blaakkk!"

 Dua peti tertutup dengan sendirinya lalu

melayang ke arah kiri. Luar biasa sekali! Dua peti batu

berisi bayi menembus dinding candi laksana angin.

melesat ke halaman barat, melayang sebentar di 

udara lalu amblas lenyap masuk ke dalam tanah tanpa 

bekas sama sekali!

 Ratu Dhika Gelang Gelang yang masih berada

di dalam ruang rahasia cepat merapat ke dinding di

belakangnya ketika tiba-tiba salah satu dinding

ruangan hancur dan dari lobang bosar yang kini

terkuak melesat masuk orang bermuka oucat berjubah

kuning dan hanya punya satu alis yaitu di atas mata

kiri. panjang menjulai sampai ke pipi!

 "Kau sembunyikan dimana dua bayi?!" bentak

si jubah kuning alias Panglima Pawang Sela. "Lekas

ambil dan serahkan padaku! Atau aku buat candi ini

sama rata dengan tanah dalam sekejapan mata! Dan


kau akan terpendam di dalam reruntuhannya sampai

kiamat!"

 Ratu Dhika Gelang Gelang menyeringai,

keluarkan suara mendengus lalu berkata.

 "Kau inginkan dua bayi itu! Carilah di neraka!"

Ratu Dhika Gelang Gelang lalu buka mulutnya lebar-

lebar. Perut yang besar menciut mengeluarkan suara

mendesis panjang lalu berubah menjadi kempis. Dari

mulut yang terbuka menderu satu kekuatan luar biasa

dahsyat, menyedot tubuh si jubah kuning hingga saat

itu juga sosoknya laksana dibetot, naik setinggi dua

tombak lalu melesat ke arah tembok candi.

 "Braaakkk!"

***


8.PERTARUNGAN DALAM CANDI MIRING

 ILMU kesaktian yang dikeluarkan Ratu Dhika 

Gelang Gelang adalah Selaksa Angin Meng-

hisap Roh. Jangankan manusia, pohon besar atau 

gajah sekalipun pasti akan tersedot lalu dibanting ke 

arah yang dikehendaki. Dengan ilmu inilah Ratu Dhika 

Gelang Gelang dulu menghajar Arwah Muka Hijau

ketika dirinya dimasukkan ke dalam bubu ikan berbisa.

 Akan halnya Panglima Pawang Sela meskipun 

dengan kesaktiannya Ratu Dhika mampu membuat 

orang ini terbanting ke dinding candi hingga untuk 

sesaat tubuhnya serasa remuk melesak namun 

tampaknya dia hanya mengalami cidera tidak berarti. 

Sambil memukul hancur dinding di sekitarnya dengan 

dua tangan, Panglima Pawang Sela melesat keluar 

dari dalam dinding. Didahului teriakan aneh yang 

mirip-mirip suara ringkikan kuda dan lolongan anjing

Panglima Pawang Sela menerjang ke arah Ratu Dhika.

Serangan yang dilancarkan merupakan kebutan dua

ujung lengan jubah mengeluarkan suara seperti

gelombang menghantam karang di pantai, disertai

sambaran cahaya kuning.

 "Perempuan gemuk jahanam! Jangan kira aku

tidak tahu kau menyembunyikan dua bayi dimana!

Sebentar lagi aku pasti akan mendapatkan mereka!

Tapi tidak ada salahnya kalau lehermu yang banyak

lemak itu aku buat buntung lebih dulu!"

***

 PADA saat yang sama di halaman candi sebelah

barat di mana dua peti berisi bayi lenyap masuk ke


dalam tanah tanpa bekas, seorang berjubah putih

berkelebat di tempat itu. Tangan kanan yang

memegang tongkat putih berlapis salju dingin diketuk

dua kali ke tanah lalu di sapukan di udara dua kali

pula. Mulut berucap perlahan.

 "Wahai para Dewa di Swargaloka. Kau tahu ada

orang berniat jahat di dalam candi memiliki

kemampuan untuk mengeluarkan dua peti dari dalam

tanah. Dengan kuasaMu izinkan saya menyelamatkan

dua bayi itu!"

 Satu cahaya putih memancar di dua tempat di

tanah. Lalu terdengar suara mengiang di telinga orang 

tua yang memegang tongkat yang mengepulkan hawa 

dingin.

 "Resi Garipastika. Para Dewa mengabulkan

permintaanmu. Selamatkan dua bayi. Tapi ingat baik-

baik. Jangan kau berlaku culas. Mengambil salah satu

dari dua bayi. Belum saatnya kau melakukan itu!

Berlutut di tanah, kembangkan dua tanganmu!"

 Mendengar suara mengiang serta merta si orang 

tua yang ternyata adalah Resi Garipasthika yang di 

kenal dengan julukan Si Mata Salju jatuhkan diri

berlutut ke tanah. Tongkat putih diselipkan di

punggung, dua tangan dikembang.

 "Arwah Suci...Kau pasti Arwah Suci yang

mewakili para Dewa, yang selama ini selalu disalah

artikan sebagai Roh Agung oleh banyak insan di

Bhumi Mataram ini. Saya Reshi Garipasthika

mengucapkan terima kasih atas izin Mu. Saya

mengerti. Saya..."

 Belum selesai ucapan sang Resi tiba-tiba

dess...desss! Dari dalam tanah melesat dua bayi yang

sebelumnya berada daiam dua buah peti bernama


Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa. Dua bayi

kemudian melayang ke arah Resi Garipasthika, masuk

ke dalam gendongan tangan kiri kanan. Tidak

menunggu lebih lama orang tua sakti yang pernah

bertapa di puncak Gunung Himalaya selama sepuluh

tahun ini segera berkelebat lenyap dari tempat itu.

 KEMBALI ke dalam Candi Miring. Suara teriakan

yang menyerupai ringkik kuda dan lolongan anjing

yang di keluarkan Panglima Pawang Sela cukup

membuat Ratu Dhika Gelang Gelang terkesiap.

Apalagi mendengar ucapan orang yang berjubah

kuning itu yang menyatakan mengetahui di mana dia

menyembunyikan dua bayi. Walau hanya sesaat

terkesiap namun sudah cukup memberikan ke-

sempatan pada Panglima Pawang Sela menyambar

leher Ratu Dhika dengan dua cengkeraman tangan

kiri kanan.

 Sesaat batang leher gemuk itu siap hendak di

puntir remuk, Ratu Dhika tersandar. Dengan cepat dia

jatuhkan diri ke bawah. Dalam keadaan setengah

berlutut dia lepaskan satu pukulan telak ke dada

Panglima Pawang Sela. Orang beralis satu ini

semburkan darah kental tapi mulutnya malah

menyunggingkan senyum. Tubuhnya lalu mengapung 

di udara, tangan kanan Ratu Dhika yang masih

membentuk kepalan melekat di dada seolah

menunjang! Ratu Dhika terpekik ketika merasakan

tinjunya yang menempel di dada lawan dijalari hawa

panas sekali. Didahului suara tertawa seolah mengejek

Panglima Pawang Sela semburkan ludah campur

darah yang ada di mulutnya ke muka Ratu Dhika.

Dalam waktu bersamaan tangannya kiri kanan yang

tadi hendak memuntir tanggai leher kini bergerak


menggebuk ke arah batok kepala gadis gemuk itu.

 Tidak bisa melepaskan tangan kanan yang

lengket di dada lawan sementara orang hendak

menggebuk hancur kepalanya. Ratu Dhika Gelang

Gelang mengadu jiwa dengan balas melancarkan

serangan bernama Cakar Besi Penghancur Berhala

dengan mempergunakan tangan kiri. Tangan menjulur

panjang. Lima jari berubah besar menjadi cakar besi,

hitam mengerikan. Serangan Ratu Dhika menyambar

lawan lebih dulu dan lebih cepat dari dua gebukan

yang dilancarkan Panglima Pawang Sela. Masih

untung orang ini mampu selamatkan kepalanya yang

semula hendak jadi sasaran. Namun begitu gagal

menyambar kepala, lima jari kini berkelebat ke bawah

ke arah tangan kanan lawan.

 "Breett!" Lengan jubah Panglima Pawang Sela

robek besar.

 "Kraakk!"

 Terdengar suara tulang patah dan tanggal!

 Panglima Pawang Sela menjerit keras ketika siku

tangan kanannya kena disambar Cakar Besi Peng-

hancur Berhala. Siku putus, lengan langsung tanggal

buntung mulai dari siku ke bawah! Darah menyembur

dari urat-urat besar yang putus berbusaian! Piukk!

Buntungan lengan tercampak di lantai. Lima jari

bergetar lalu mengepal.

 Dalam keadaan menahan sakit luar biasa

Panglima Pawang Sela masih sempat menghan-

tamkan telapak tangan kirinya ke kepala Ratu Dhika

Gelang Gelang. Gumpalan tanah liat kuburan yang

masih melekat di tangan kiri Pawang Sela mendarat

di kening si gadis gemuk.

 Tiga cahaya berpijar! Di kening Ratu Dhika


kelihatan tiga garis lebar berwarna hitam, merah dan

biru! Ratu Dhika menjerit keras. Tubuh gemuknya

terpental membentur dinding candi hingga jebol lalu

terguling jatuh di satu ruangan gelap. Dalam keadaan

setengah sadar dia pentang dua tangan, siap melepas

pukulan sakti bernama Langit Roboh Bumi

Terbongkar. Pukulan ini mengandung hawa panas

luar biasa yang mampu membuat tubuh lawan hancur

berkeping-keping. Kalau lawan di luar sana masuk

mengejar maka dia akan menghabisi dengan dua

pukulan sekaligus!

 Tadinya Panglima Pawang Sela bermaksud

hendak mengejar masuk ke dapan ruangan sempit

dan gelap itu namun khawatir akan mendapat 

serangan mendadak selain itu karena lebih 

mementingkan mendapatkan dua bayi maka tidak 

pikir panjang lagi dia menjebol dinding barat candi, 

melesat ke halaman.

 Walau tidak ada tanda di tanah bekas masuknya

dua peti batu namun dengan kesaktiannya, melalui

penciuman serta getaran di gumpalan tanah kuburan

yang masih ada di genggaman tangan kiri dia mampu

mengetahui keberadaan dua peti batu dlmana dua

bayi disembunyikan. Pawang Seia merapal mantera

lalu berseru.

 "Dua peti sakti ciptaan Dewa! Tempatmu tidak

layak di dalam tanah! Keluarlah!"

 "Braakk! Braakk!"

 Tanah halaman terbongkar di dua tempat. Dua

Peti Dewa Penyelamat Raga Dan Jiwa melesat keluar

dari dalam tanah, melayang turun di hadapan

Panglima Pawang Sela.

 "Blaakk! Blaakk!


Penutup peti terbuka.

 Sepasang mata Pawang Sela terbeliak besar.

Mulut keluarkan suara bengis. Dua peti batu ternyata

berada dalam keadaan kosong!

***


9.SANGKALA DARUPADHA RAJA JIN HUTAN 

ROBAN

 DALAM amarah menggelegak Pawang Sela 

tendangkan kaki kanan ke salah satu peti batu di

hadapannya Cahaya tiga warna memancar di ujung 

kaki kanan. Walau bernama Peti Dewa tapi

tendangan yang dilancarkan Pawang Sela bukan 

tendangan sembarangan, bernama Tendangan Tiga 

Warna. Peti batu itu pasti akan hancur berkeping-

keping!

 Namun dua peti tiba-tiba lebih dulu lenyap dari 

pemandangan, hanya meninggalkan kepulan asap 

kelabu tipis.

 "Kurang ajar! Ratu Dhika! Jangan harap kau bisa

lolos dari tanganku! Akan aku kubur kau hidup-hidup

dalam runtuhan candi!"

 Ketika Pawang Sela hindak keluarkan ilmu

kesaktian bernama Angin Pranara Lembah Hantu yang

mampu menghancurkan luluhkan Candi Miring tiba-

tiba ada satu suara mengiang di telinganya.

 "Panglima, kau telah terlalu banyak mengeluarkan 

darah. Perhatikan keselamatanmu! Lawan mampu

menjebol perlindungan yang aku berikan. Menurut

penglihatanku dua bayi berada dalam lindungan

seorang sakti yang belum bisa kau tandingi dalam

keadaanmu seperti saat ini. Kau harus mengalah

dulu. Lupakan gadis gemuk berkepandaian tinggi itu.

Kau telah meninggalkan tanda di keningnya. Kalau

saja dia tidak memiliki ilmu kebal yang tangguh,

niscaya saat kau memukul keningnya dengan

Pukulan Tiga Warna tubuhnya telah tercerai berai!


Sekarang kita bisa menghabisinya dalam waktu tiga

hari mendatang. Tapi lebih bermanfaat kalau kita bisa

menyirapkan untuk datang dan bergabung dengan

kita. Kita telah banyak kehilangan anggota ber-

kepandaian tinggi. Kita perlu yang satu ini. Sebelum

pergi kau harus cepat mengambil potongan tanganmu

yang ada dalam candi. Jangan sekali-kali sampai or-

ang bisa menjajagi keberadaanmu sebelum rencana

besar kita terlaksana "

 Panglima Pawang Sela cepat membungkuk.

 "Junjungan Sri Maharaja Ke Oelapan, jika itu

perintahmu, saya akan segera melakukan!"

 "Sekarang segera tinggalkan kawasan candi.

Aku berada di luar hutan di kaki bukit. Temui aku di

pinggiran sebelah timur. Cari pohon jati kering yang

tidak bercabang dan tidak berdaun. Aku ada di situ..."

 "Saya maklum junjungan. Saya mengerti."

 Sebelum meninggalkan tempat itu, sesuai

perintah ngiangan suara di telinganya Panglima

Pawang Sela lebih dulu masuk ke dalam candi untuk

mengambil kutungan tangannya. Itu sebabnya ketika

Arwah Ketua masuk kembali ke dalam candi dia tidak

menemukan lagi buntungan tangan yang sebagian

masih terbungkus lengan jubah berwarna kuning.

 Tidak terduga pada saat itu terdengar perempuan

meratap disertai suara memanggil berulang kali.

 "Anakku Mimba dan Dirga! Di mana kalian

wahai... Hyang Jagat Bhatara tolong... tolong dimana

mereka! Lindungi mereka. Apa yang terjadi di candi

ini... Ratu Dhika... Kau dimana?"

 Panglima Pawang Sela serta merta hentikan

gerakannya hendak meninggalkan candi. Begitu dia

berpaling, dari balik reruntuhan dinding candi muncul


keluar seorang gadis berpakaian biru, berwajah cantik

dan berkulit putih. Rambut panjang hitam tergerai

lepas sampai ke pinggang.

 "Gadis ini...Dia meratap memanggil anaknya.

Dua bayi... Apakah dia ibu dari dua bayi itu? Siapapun

dia, pasti bukan orang sembarangan di tempat ini!

Aku tidak boleh berbuat lalai. Lebih baik aku tangkap

dulu dia! Tidak menunggu lebih lama lagi Panglima

Pawang Sela segera menghambur menangkap gadis

itu lalu secepat kilat tinggalkan Candi Mining.

Sebenarnya di dalam tubuh Ananthawuri terdapat batu

sakti Kaladungga pemberian gaib patung Loro

Jonggrang, yang membuat dirinya tidak bisa terlihat

oleh siapa saja yang berniat jahat. Namun karena ilmu

kesaktian yang dimiliki Pawang Sela jauh lebih tinggi

dia mampu melihat Ananthawuri secara nyata.

 Dari dalam ruangan gelap Ratu Dhika Gelang

Gelang masih sempat melihat apa yang terjadi. Dia

berteriak keras lalu melompat coba mengejar. Tapi

entah mengapa saat itu kepalanya terasa sangat berat

Ketika dia berusaha menerobos lobang besar di

dinding candi, kepalanya membentur pinggiran

lobang hingga tubuhnya terpental dan kembali

tergelimpang di lantai. Untuk beberapa lama

pandangannya berbintang-blntang. Namun mulutnya

masih bisa berucap, "Hyang Bhatara Agung...

Tolong...Manusia jahat itu menculik Ananthawuri...

Selamatkan ibu dua bayi itu. Tolong…”

***


KETIKA berlari cepat menuruni bukit gersang,

di kejauhan Panglima Pawang Sela melihat seorang

berjubah putih melangkah seenaknya mendaki ke arah

puncak bukit Sosok yang terlihat begitu samar hingga

dia tidak bisa mengenal siapa adanya orang itu. Kalau

saja dia tidak diperintahkan oleh Sang Junjungan

segera pergi menemuinya di pinggiran rimba

belantara sebelah timur, sebenarnya ada niat hendak

mendatangi dan menyelidik siapa adanya orang

tersebut. Pawang Sela tidak pernah menduga kalau

orang yang terlihat samar itu adalah Resi

Garispasthika alias kakek berjuluk Si Mata Salju yang

tengah menggendong dua bayi keramat dan telah

lebih dulu diambil diselamatkan dari dalam Peti Dewa

Penyelamat Raga Dan Jiwa.

***

 KEMBALI ke dalam Candi Miring di Ruang Enam

Dinding Dewa.

 "Rakanda Arwah Ketua, kau telah mendengar

penuturanku apa yang terjadi ketika kau meninggal-

kan candi mengejar si keparat Arwah Muka Hijau. Se-

karang sebaiknya kita cepat-cepat melakukan samadi

Menjejak Bumi Menerawang Langit untuk mencari

tahu siapa dan dimana sarang manusia jahanam itu..."

 "Radinda Ratu, aku harap kau bisa bersabar

sedikit Kau beruntung. Berkat Ilmu Kebal Lemah

Kebal Banyu pukulan lawan yang meninggalkan tanda

tiga warna di keningmu tidak membuatmu celaka ata


keracunan... Apa yang kau tuturkan membuat aku

ingat kembali pada tugas yang pernah aku berikan

padamu. Tapi mungkin belum sempat kau lakukan.

Kau ingat tiga tugas itu Radinda Ratu...?"

 "Aku ingat Rakanda," jawab Ratu Dhika Gelang

Gelang.

 "Kita harus menyelidik siapa yang sejak

belakangan ini disebut-sebut dan menamakan dirinya

sebagai Sri Maharaja Ke Delapan. Ketika aku

berhadapan dengan manusia aneh bernama Abdika

Brathama, mengaku utusan Sri Maharaja Ke Delapan,

dia juga menyebut mengenai Mataram Baru! Semakin

jelas bagiku kalau Bhumi Mataram berada dalam satu

ancaman luar biasa besar. Ada orang yang hendak

meruntuhkan tahta Sri Maharaja Rakai Kayuwangi

Dyah Lokapala yang masih pamanmu. Ada satu

rencana pemberontakan besar-besaran terhadap

penguasa yang syah saat ini. Rasanya dalam waktu

singkat aku harus menghadap Sri Maharaja di

Kotaraja."

 Arwah Ketua berhenti bicara sejenak lalu

melanjutkan.

 'Tugasmu yang ke dua menyelidik apa dan siapa

sebenarnya pemilik ilmu kesaktian yang selalu

menampakkan ujud dalam cahaya tiga warna. Merah,

biru dan hitam. Ilmu kesaktian itu agaknya bisa

dipecah, bisa diberikan kepada siapa saja oleh sang

pemilik yang sekaligus sang pengendali. Aku punya

dugaan keras mahluk ini adalah sang pengendali. Dia

kunci dari semua kejadian. Mungkin sekali dialah Sri

Maharaja Ke Delapan itu..."

 "Aku juga punya dugaan sama sepertimu

Rakanda," menyahuti Ratu Dhika Gelang Gelang.


"Kalau sekarang kaki tangannya berhasil

menculik Ananthawuri maka keadaan akan lebih parah

dan tambah sangat berbahaya bagi masa depan

Bhumi Mataram. Dia punya kekuatan untuk menekan."

Arwah Ketua keluarkan suara mengorok, hembuskan

nafas panjang yang memerihkan jangat dan mata lalu

berkata lagi.

 "Kau juga aku minta mencari pemuda bernama

Sebayang Kaligantha. Pemuda itu mempunyai

hubungan dengan ilmu kesaktian memancarkan

cahaya tiga warna itu. Aku menyirap kabar dia

memiliki satu ajimat sangat sakti yang didapatnya

ketika masuk ke dalam alam gaib di negeri seberang,

di satu bekas Kerajaan Kuna. Pemuda bernama

Sebayang Kaligantha itu, bukankah dia kekasihmu

Radinda Ratu? Apakah kau sudah berkesempatan

menemuinya?!"

 Ratu Dhika Gelang Gelang tertunduk lalu

menghela napas panjang sebelum menjawab.

 "Dulu aku pernah curiga kalau sang pengendali

ilmu kesaktian yang selalu menampilkan cahaya tiga

warna Itu adalah mahluk yang dikenal dengan nama

Pangeran Bunga Bangkai. Ternyata bukan dia. Aku

juga menyirap kabar bahwa orang-orang di selatan

tengah menggalang satu pasukan besar untuk

melaksanakan niat jahat, menyerang Kotaraja,

merebut tahta Kerajaan... Beberapa di antara mereka

telah menyusup dan melakukan pembunuhan. Ingat

peristiwa tewasnya Wakil Balatentara Kerajaan Janggel

Kantanu? Sampai saat ini tidak diketahui siapa

pembunuhnya. Belakangan ini banyak orang-orang

tak dikenal gentayangan menyebar maut. Di antara

mereka ada yang mempergunakan senjata rahasia


berupa kepingan besi bulat biru mengandung racun

mematikan..."

 "Itu jelas orang dari selatan..." kata Arwah Ketua

sambil mengusap tanduk merah di atas kepalanya

yang botak. "Aku harus mengirim seseorang ke

selatan untuk menyelidik. Kalau tidak aku sendiri yang

akan kesana..."

 "Rakanda. sampai saat ini Arwah Hitam

Pengawal Malam tidak diketahui dimana beradanya.

Juga Arwah Putih Pengawal Siang..."

 "Aku punya firasat Arwah Putih sudah menemui

ajal. Tunggu saja dalam beberapa hari ini. Kalau

bayangan arwahnya muncul di salah satu menara

candi menjelang matahari tenggelam, berarti memang

pembantuku itu sudah tidak ada lagi di alam nyata

ini... Radinda, saatnya kita harus bertindak. Aku 

benar-benar harus segera berangkat ke Kotaraja..." 

Namun Arwah ketua kemudian terdiam. Selang 

beberapa ketika baru berucap lagi. "Kalau aku ke 

Kotaraja dan kau pergi mencari gadis yang katanya 

bisa mengobatimu itu, lalu siapa yang menjaga dua 

bayi di Ruang Enam Dinding Dewa?"

 "Rakanda, aku mengusulkan agar kau menemui

Raja Jin Hutan Roban. Minta bantuannya untuk

mengirim beberapa puluh jin guna bantu mengawal

dua bayi..."

 Sepasang mata putih bertitik hitam Arwah Ketua

mendelik tak berkesip menatap Ratu Dhika Gelang

Gelang.

 "Ada apa Rakanda? Mengapa kau menatapku

seperti hendak menelanku bulat-bulat?" tanya Ratu

Dhika yang merasa aneh melihat cara Arwah Ketua

menatapnya. Dalam keadaan seperti itu gadis gemuk


ini keluarkan cermin kecil yang selalu dibawanya

kemana-mana. Ketika melihat wajahnya di cermin,

setengah sesenggukkan dia berkata. "Aduh, jeleknya

parasku. Ada noda tiga warna di kening. Aduh

bagaimana ini..."

 "Radinda, simpan cermin itu. Bukan saatnya

untuk bersolek!" tegur Arwah Ketua. "Kau tahu

mengapa barusan aku memandangmu seperti itu?

Karena jalan pikiranmu benar-benar dapat

diandalkan."

 "Jangan membuat hidungku tambah besar dan

mekar Rakanda..." kata Ratu Dhika sambil senyum

dan usap-usap hidungnya yang memang agak besar

 "Radinda, tahu apa yang kini ada dalam benakku

setelah mendengar ucapanmu tadi?"

 Ratu Dhika gelengkan kepala.

 "Sudoh terlalu lama aku melupakan sahabatku

Sangkala Darupadha, Raja Jin Hutan Roban! Dia dan

anak buahnya bukan saja bisa dimintakan pertolongan

untuk menjaga dua bayi keramat, tapi juga mampu

menghadapi ratusan bahkan ribuan pasukan

pemberontak. Jika pengkhianatan itu kelak benar-

benar terjadi..." Arwah Ketua usap-usap kepala botak

bertanduk, lalu mengelus janggut tebal hitam.

"Radinda, kau belum menceritakan apakah kau sudah

menemui pemuda kekasihmu bernama Sebayang

Kaligantha itu."

 "Aku memang sudah menemukannya, Rakanda

Arwah Ketua. Berdasarkan petunjuk yang diberikan

Pangeran Bunga Bangkai alias Nalapraya. Konon

mahluk aneh itu berasal dari Kerajaan Tarumanegara

di daerah barat. Sebayang ketika kutemui keadaannya

sudah setengah mayat Setelah itu dia benar-benar


jadi mayat."

 Kening Arwah Ketua mengernyit

 "Coba kau ceritakan apa yang terjadi dengan

pemuda kekasihmu itu," kata Arwah ketua pula.

 Wajah Ratu Dhika Gelang Gelang tampak mumng

sesaat. Lalu dengan suara perlahan dia mulai

bercerita.


10. TAMU DARI JAUH

 SEPERTI diriwayatkan dalam episode sebelumnya 

berjudul "Pangeran Bunga Bangkai" Ratu Dhika Gelang 

Gelang menemukan kekasihnya Sebayang Kaligantha 

di sebuah candi runtuh di satu bukit kapur yang jarang 

didatangi manusia. Pemuda itu terbujur mengenaskan 

di atas gundukan batu hanya mengenakan celana.

Nafas satu-satu. Dua mata terpejam dan tampak 

bengkak membiru. Di dadanya kelihatan satu robekan 

luka sepanjang satu jengkal. Kaki dan tangan pemuda 

ini diikat dengan rantai sebesar betis yang ujungnya

dipendam ke dalam gundukan batu. Pemuda yang

dulu gagah dan bertubuh kekar penuh otot itu kini

kelihatan seperti mayat, tubuh kurus lunglai tiada

daya.

 Ratu Dhika hancurkan empat rantai besi yang

mengikat dua tangan Sebayang Kaligantha lalu

membaringkan pemuda kekasihnya di lantai candi.

 Dalam keadaan sekarat Sebayang Kaligantha

menerangkan beberapa hari sebelumnya tiga orang

tidak dikenal mendatangi rumahnya. Dia dibawa ke

candi runtuh. Dada dirobek. Mutiara Mahakam, sebuah

jimat sakti mandraguna yang didapatnya ketika

memasuki alam gaib di bekas Kerajaan Kutai dan

tersimpan di rongga dadanya dirampas. Menurut

Sebayang dia mengenali salah seorang pelaku, yaitu

orang dari selatan. Namun sebelum sempat 

menyebutkan nama orang itu dua buah senjata 

rahasia berbentuk besi bulat pipih bergerigi berwarna 

biru menderu. Senjata rahasia pertama berhasil 

dipukul mental oleh Ratu Dhika sementara rahasia 

kedua tidak dapat ditangkis dan menancap telak di


tenggorokan Sebayang Kaligatha. Saat itu juga tubuh 

pemuda ini berubah biru legam mulai dari leher, 

kepala dan sebagian dada.

 "Waktu itu kucingku Ragil Abang bertingkah 

aneh." kata Ratu Dhika dalam menuturkan riwayatnya.

"Kucing itu lari ke satu arah. Menduga dia akan 

menunjukkan arah dirnana pembunuh Sebayang 

berada, aku mengejar. Ternyata aku menemui 

pemuda berkepala aneh itu. Kepalanya berbentuk 

bunga besar dan busuk. Dia tidak mau memberi tahu 

nama kecuali mengatanan kalau dia berasal dari 

Kerajaan Tarumanegara. Belakangan aku mengetahui 

bahwa dirinya disebut Pangeran Bunga Bangkai. 

Tadinya aku menduga dialah yang telah membunuh 

Sebayang ternyata tidak. Anehnya kucingku Ragil 

Abang sangat jinak padanya. Dari penuturan mahluk 

aneh itu aku mengetahui kalau dia adalah ayah dari 

dua bayi, suami dari Ananthawuri. Sulit diterima akali 

Saat ini seperti Rakanda ketahui dia berada di hutan 

jati dalam keadaan tersesat tidak bisa keluar kemana-

mana. Karena kita telah menyirap menenung dia dan 

dua kawannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi 

dengan Ragil Abang..."

 Arwah Ketua tercengang mendengar penuturan

Ratu Dhika itu.

 "Apakah jalan pikiranmu bisa dipercaya Radinda

Ratu?"

 "Semua aku sulit dipercaya. Namun ketika

Pangeran Bunga Bangkai memberi petunjuk bahwa

jenazah Sebayang telah ada yang mengurus dan

terbukti benar, hatiku jadi bimbang. Lalu ketika aku

menduganya sebagai pembunuh Sebayang dan

mengejar ke sebuah goa, ada suara tanpa ujud


menegurku..."

 "Roh Agung...?"

 "Semula aku menduga begitu. Tapi turut apa

yang tadi diucapkan kakek bermata salju itu. sekarang

aku punya dugaan yang menegurku adalah Arwah

Suci."

 "Ah. rupanya dialah yang selama ini dipercaya

oleh Sang Hyang Dewa Bathara Agung untuk

membimbing dan menolong insan di Bhumi Mataram

ini. Sementara manusia dan mahluk alam gaib

menganggapnya sebagai Roh Agung. Sungguh kita

semua harus minta ampun dan maaf pada Roh Agung

dan berterima kasih pada Arwah Suci...." Setelah

terdiam sesaat Arwah Ketua berkata, "Radinda. kau

belum menceritakan apa yang terjadi dengan jenazah

Sebayang Kaligantha. Apa kau telah mengurusnya..."

 "Rakanda, justru di sini terjadi satu keanehan,"

Jawab Ratu Dhika pula. "Beberapa sahabat Sebayang

Kaligantha mengurus jenazahnya. Melakukan upacara

pembakaran di halaman candi. Ketika api mulai

berkobar mendadak sosok Sebayang Kaligantha

bergerak naik ke atas. Bersamaan dengan itu ada

cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuhnya.

Cahaya melesat ke langit diikuti tubuh Sebayang. Di

arah langit tubuh Sebayang meledak. Berubah

menjadi kepulan asap dan lenyap..."

 "Lagi-lagi cahaya tiga warna! Ini pasti jahanam

yang menyebut diri sebagai Sri Maharaja Ke Delapan

itu yang punya pekerjaan!" kata Arwah Ketua sambil

keluarkan suara mengrombor geram. "Mungkin sekali

kekasihmu itu telah menjadi korban penggandaan.

Seperti yang terjadi dengan Sri Sikaparwathi..."

 "Berarti dia masih hidup. Mungkin hanya tinggal


menunggu ajal.." kata Ratu Dhika pula. Sepasang

matanya berbinar menahan air mata yang hendak

mengucur keluar. "Semoga Para Dewa melindungi,

menyelamatkan dan mempertemukan kami

kembali..."

 "Mudah-mudahan dia masih hidup. Dia pemuda

baik. Candi ini dia yang mengurusi. Mudah-mudahan

Dewa Agung melindungi dan memanjangkan

umurnya..." (Kisah yang dialami Sebayang Kaligantha 

bisa diikuti lebih lengkap dalam episode sebelumnya

berjudul "Pangeran Bunga Bangkai")

 "Aku bersumpah akan mencari kembali pemuda

itu setelah aku berhasil menemui gadis yang berwajah

seperti Ananthawuri... Yang lebih penting menentukan 

kembali azimat Mutiara Mahakam."

 "Kau betul Radinda," kata Arwah Ketua pula.

"Azimat itu telah disalahgunakan. Kini menjadi

pangkal malapetaka bagi Bhumi Mataram." Setelah

diam sejenak Arwah Ketua meneruskan ucapan.

"Saatnya kita harus melakukan samadi Menjejak Bumi

Menerawang Langit! Kita harus bisa mengetahui siapa

adanya mahluk berjubah kuning yang tangannya kau

buntungi itu. Kita harus mampu mencari tahu dimana

sarangnya. Sekaligus menjajagi siapa adanya keparat

yang mengagulkan diri Sri Maharaja Ke Delapan itu.

Selesai semadi kau boleh pergi mengejar gadis

berwajah mirip Ananthawuri itu. Aku akan mem-

bantumu menjajagi keberadaannya. Tapi Radinda,

apa salahnya kalau aku coba dulu melenyapkan tanda

tiga warna di keningmu. Jika Para Dewa menghendaki

dan aku berhasil menolongmu berarti sebagian dari

bebanmu sudah bisa dikurangi..."

 "Rakanda. aku sangat berterima kasih atas


kebaikan hatimu. Tapi apa kau lupa apa yang 

dikatakan orang tua bermata putih dingin itu. Hanya 

ada dua orang yang mampu menolong diriku. Yaitu

gadis berpakaian putih yang wajahnya mirip 

Ananthawuri. Satunya lagi Pangeran Bunga Bangkai, 

yang kini terkurung di dalam hutan jati dan kita 

dituduh oleh orang tua bermata putih telah 

menganiaya..."

 "Radinda. kau boleh saja percaya pada ucapan

orang tua itu. Tapi bagaimanapun juga segala

sesuatunya adalah Yang Maha Kuasa yang me-

nentukan. Jika aku berniat baik. masakan Para Dewa

tidak memperhatikan..."

 "Kalau begitu kata Rakanda aku menurut saja.

Silahkan Rakanda mulai..."

 Ratu Dhika Gelang Gelang lalu duduk bersila di

lantai candi. Dua tangan diletakkan di atas paha Mata

dipejam dan perlahan-lahan dia menyalurkan hawa

sakti ke arah kepala. Saat itu Arwah Ketua telah 

berlutut di belakangnya. Dua telapak tangan 

dltekapkan ke kening sampai pelipis kiri kanan Ratu 

Dhika. Mulut merapal, mata membellak dan seperti 

yang dilakukan Ratu Dhika, Arwah Ketua juga salurkan 

tenaga dalam serta hawa sakti ke arah dua tangan 

yang memegang kepala.

 "Sekarang Radinda..." bisik Arwah Ketua.

 Dua orang itu sama-sama alirkan tenaga dalam

dan hawa sakti penuh.

 "Dess! Desss! Desss!"

 Tiga kali terdengar suara letupan disusul

memancarnya cahaya tiga warna. Bangunan candi

bergoyang. Batu-batu di dinding, lantai dan atap

berderak. Ada beberapa yang hancur. Saat itu juga


Arwah Ketua berteriak keras. Ratu Dhika Gelang

Gelang terpekik.

 "Wusss!"

 Satu gelombang angin luar biasa deras

menyambar. Sosok Arwah Ketua terbanting ke

belakang, tergeletak menelungkup di lantai candi.

Ratu Dhika dalam keadaan terhuyung-huyung cepat

berbalik. Kagetnya bukan alang kepalang sampai dia

keluarkan beberapa kali jeritan keras.

 "Rakanda! Apa yang terjadi dengan dirimu! Sang

Kyang Jagat Bathara mengapa bisa jadi begini?!"

 Setengah meratap Ratu Dhika jatuhkan diri dan

cepat balikkan tubuh Arwah Ketua. Matanya terbeliak

begitu menyaksikan keadaan Arwah Ketua. Kembali

gadis gemuk ini menjerit Saat itu sosok Arwah Ketua

diam tidak bergerak walau hembusan nafasnya masih

terasa memerihkan jangat dan mata. Sepasang mata

terpejam.

 Satu hal yang hebat telah terjadi pada Arwah

Ketua. Tangan kirinya pindah ke tangan kanan sedang

tangan kanan pindah ke tangan kiri. Begitu juga dua

kaki saling berubah pindah. Yang kanan ke kiri, yang

kiri ke kanan!

 "Rakanda! Rakanda!" teriak Ratu Dhika sambi!

mengguncang tubuh Arwah Ketua.

 Cahaya tiga warna, merah, hitam dan biru, sangat

tipis mengepul keluar dari kepala Arwah Ketua.

Perlahan-lahan mahluk alam gaib ini nyalangkan

kedua mata.

 "Ratu Dhika... Apa yang terjadi..."

 "Tubuhmu Rakanda! Bangun dan lihat keadaan

dua tangan serta kakimu!" teriak Ratu Dhika.

 Saat itu Arwah Ketua memang merasakan ada


aliran aneh dalam tubuhnya. Dengan cepat dia

melompat bangun. Tubuhnya huyung berat. Kalau

tidak cepat menjaga keseimbangan niscaya dirinya

akan tersungkur ke lantai. Begitu melihat dan

menyadari keadaan kedua tangan serta kakinya Arwah

Ketua langsung menggembor keras. Dia melompat

ke kiri. Kaki kanan yang sebenarnya kaki kiri

menendang arca besar berbentuk gajah duduk di

sudut ruangan namun tendangannya tidak mengenai

sasaran. Lewat dua jengkal dari arca. Padahal arca

Itu hanya dua langkah di hadapannya.

 Arwah Ketua banting salah satu kaki ke lantai

candi hingga lantai yang terbuat dari batu gunung

yang sangat keras itu melesak hancur sedalam mata

kaki! Keadaan di dalam maupun di luar candi benar-

benar telah centang perenang hancur-hancuran.

 "Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa bisa

begini! Ada orang mengerjai dengan ilmu kesaktian-

nyai Lihat sajal Aku akan membalas lebih ganas!"

 Ratu Dhika meraba keningnya lalu bertanya.

 "Rakanda, apakah tanda tiga warna di keningku

sudah lenyap?!"

 "Jahanaml Belum Radindal Tanda itu masih

Ada!"

 Pucatlah wujah gemuk Ratu Dhika Gelang

Gelang.

 Arwah Ketua kepalkan dua tinju kepala men-

dongak dan suara berucap gemetar ketika berkata,

"Wahai Para Dewa. ketika Bhumi Mataram berada

dalam ancaman malapetaka besar mengapa pada 

kami masih dijatuhkan cobaan begini berat!"

 "Rakanda, jangan mengumpat. Jangan bicara

seperti itu pada Para Dewa. Semua apa yang terjadi


ini pasti ada hikmahnya..." Berkata Ratu Dhika walau

dirinya sendiri sebenarnya diam-diam juga merasa

sangat terpukul.

 Rasa kecewa di hati Arwah Ketua agak mengendur 

sedikit.

 "Radinda cepat ikut aku. Kita harus melakukan

samadi Menjejak Bumi Menerawang Langit sekarang

juga!"

 "Tapi bagaimana keadaan dirimu? Kau harus

melakukan sesuatu agar dua tangan dan kakimu

kembali ke tempat semula! Katakan apa yang bisa aku

lakukan untuk membantu."

 "Aku tidak perduli tangan dan kakiku pindah ke

pantat sekalipun! Yang penting mencari tahu siapa

sumber biang racunnya! Pasti bangsat yang mana!

Si pengendali cahaya tiga warna itu! Kalau aku

mampu membuat tubuhnya hancur cerai berai pasti

keadaan tubuhku dapat kembali seperti semula!"

 Arwah Ketua melangkah lebih dulu. Tubuhnya

terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dari mulutnya keluar

kutuk serapah berkepanjangan. Kepala dipukul-pukul!

 "Lihat saja pembalasanku! Tunggu!" teriaknya.

Walau di samping kiri ada pintu yang menuju ke

halaman selatan namun dalam amarahnya Arwah

Ketua langsung saja menabrak jebol dinding candi.

Sampai di halaman Arwah Ketua berpaling pada Ratu

Dhika.

 "Kau sudah siap?!"

 Ratu Dhika anggukkan kepala.

 "Letakkan dua telapak tanganmu di punggungku."

 Ratu Dhika lakukan apa yang dikatakan Arwah

Ketua.

 Begitu telapak tangan menempel di punggung


Arwah Ketua... wuss! Dess! Sosok kedua orang itu

amblas masuk ke dalam tanah!

 Hanya satu kejapan mata setelah lenyapnya tubuh

Arwah Ketua dan Ratu Dhika ke dalam tanah untuk

melakukan samadl Menjejak Bumi Menerawang Langit

tiba-tiba seorang tua berpakaian hitam muncul di

halaman depan Candi Miring. Kening diikat seutas

tali besar berbentuk jalin terbuat dari ijuk. Sambil

berjalan ataupun diam berdiri dua telapak tangan

selalu dlgosokan satu sama lain. Walau memelihara

rambut putih menjulai. namun wajahnya bersih

kelimis. Di usianya yang hampir mencapai delapan

puluh tahun sikap gerak geriknya tampak masih

gagah.

 Sambil menggosok-gosok dua telapak tangan

orang tua Ini memandang seputar bangunan candi

sebelah depan. Lalu mulut berucap perlahan.

 "Aku melihat banyak kerusakan di tempat ini.

Apakah ini penyebab tuan rumah tidak muncul

menyambut kedatanganku? Sahabatku Arwah Ketua,

aku mendengar kau menyebut namaku. Dari jauh aku

datang untuk mencari tahu. Tapi gerangan dimana

kau berada saat ini?"

 Orang tua ini pejamkan mata, kepala dldongak-

kan. Kembali terdengar suaranya berkata.

 "Ahh... Ada dua mahluk mungil telah mengisi

Ruang Enam Dinding Dewa. Sayang aku punya

keterbatasan tidak mampu melihat secara terbuka.

Sahabatku Arwah Ketua, kau mampu melihat secara

terbuka. Sahabatku Arwah Ketua, kau mungkin tengah

melakukan sesuatu atau belum berada di tempat ini.

Baiklah, aku akan menunggu. Sementara menunggu

perkenankan aku menghibur diri sendiri. Udara di sin


terasa sangak dan panas. Perlu sedikit keteduhan..."

 Dua telapak tangan berhenti digosokkan. Tangan

kanan diangkat ke atas. Saat itu juga tahu-tahu telah

tergenggam sebuah seruling terbuat dari bambu. Si

orang tua duduk di tangga candi. Seruling

ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian terdengar

suara alunan tipuan seruling mendayu-dayu merdu

sekali. Aneh. udara bukit gersang yang panas

perlahan-lahan terasa sejuk. Tiupan angin yang

hampir tak pernah menyapu kawasan itu kini

mengalun nyaman sepoi-sepoi basah seolah

mengikuti alunan suara tiupan seruling.


11.DINDING TAK BERUJUD

 KITA tinggalkan dulu Arwah Ketua dan Ratu Dhika 

Gelang Gelang yang tengah melakukan Samadi 

Menjejak Bumi Menerawang Langit di dalam tanah di 

halaman selatan Candi Miring serta tamu tidak dikenal

yang menyebut diri datang dari jauh dan saat itu

tengah duduk di tangga candi sambil meniup

seruling.

 Mari kita ikuti Resi Garispasthika yang sedang 

berjalan menuruni bukit bersama Liris Pramawari. Si 

gadis membawa sang Resi ke pinggiran sebuah hutan 

jati sebelah timur.

 "Liris Pramawari. Kita sudah berpisah beberapa

hari. Kau tiba-tiba muncul. Berarti kau masih belum

menempuh jalan ke Gunung Mahameru. Apa kau lupa

tugas yang aku berikan atau sengaja tidak mau

melaksanakan?"

 "Bukan begitu Kek, eh Paman..."

 "Sudah, jangan memanggil aku Paman. Panggil

seperti yang sudah-sudah kau lakukan. Panggil aku

Kakek.."

 "Tapi bukankah kau sudah menganggap diriku

sebagai keponakan. Dan kau mengatakan pada

banyak orang. Jadi pantas aku memanggilmu Paman

bukan...?"

 "Seharusnya begitu. Keponakan memanggil

paman pada adik ayahnya. Tapi Jika kau memanggilku

Paman..." Sepasang mata putih si orang tua tampak

seperti mau mencair. Resi Garipasthika cepat

tengadahkan kepala. Dua gundukan salju putih yang

mulai mencair serta merta menggumpal keras


kembali.

 "Ada apa Kek... Apakah aku sudah bicara salah

padamu?" tanya Liris Pramawari memandang dengan

heran.

 Si orang tua tersenyum. "Suatu ketika aku akan

menceritakan padamu riwayat diriku. Dulu... puluhan

tahun silam aku memang punya seorang keponakan.

Saat itu usianya sebayamu sekarang ini. Lalu ada

manusia jahat membunuhnya. Ketika pertama kali

menemuimu, aku merasa keponakanku itu hidup

kembali. Dewa sungguh Agung..."

 Liris Pramawari cepat-cepat memegang kedua

tangan Resi Garipasthika. "Kek. kalau begitu harap

maafkan diriku. Aku tidak tahu riwayat masa

silammu..." Kata Liris cepat menyambung ucapannya. 

"Mengenal tugas darimu pasti saya laksanakan,

tapi saya masih dalam keadaan bingung..."

 "Kalau hidupmu hanya dipenuhi kebingungan, lalu 

kapan kau akan berbuat kebajikan?"

 Liris Pramawari terdiam. Mata menatap dua

tangan mulai dari pergelangan sampai ke ujung jari.

Dia memperhatikan dan menyadari kalau tangan tidak

berkulit dan tidak berdaging itu kini kembali menjalar

naik ke arah pertengahan lengan.

 Melihat sang keponakan terdiam. Resi

Garipasthika jadi kasihan. Dia tahu kalau gadis itu

tidak akan melalaikan tugas yang diberikan. Tapi

derita beban kehidupannya memang bukan main-

main dan sungguh berat Mulai dari kematian ibunya

yang dibunuh orang di depan mata kepalanya sendiri.

Laku hukum kutukan Dewa yang dijatuhkan atas diri

ayahnya dimana sang ayah kemudian menghilang

tidak diketahui alam rimbanya meski sebelum pergi


sempat memindahkan seluruh ilmu silat dan ilmu

kesaktiannya ke dalam diri Liris Pramawri yang oleh

Sebayang Kaligantha kemudian diberi julukan Dewi

Tangan Jerangkong. Gadis malang tapi berhati

perkasa ini telah bersedia menanggung dosa

kesalahan sang ayah. Ini membawa akibat hukuman

jatuh pada dirinya yaitu berupa seluruh tubuh akan

berubah menjadi jerangkong jika dia tidak bisa

berbuat tiga kebajikan besar dalam dua belas bulan

purnama. Sejauh ini dia baru mampu berbuat satu

kebajikan besar yaitu ketika menolong Sebayang

Kaligatha. (Baca "Dewi Tangan Jerangkong")

 Dalam rasa haru dan kasihan Resi Garipasthika

bertanya sengaja alihkan pembicaraan.

 "Keponakanku, bagaimana kau bisa mengetahui

aku berada di kawasan Candi Miring?"

 Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong

cabut golok berikut sarungnya yang terbuat dari

gading dan sejak diterima diselipkan di balik

punggung.

 "Golok sakti ini Kek. Senjata ini yang

membimbing saya ke arahmu..."

 Senjata yang berada di tangan Liris Pramawari

adalah golok sakti bernama Golok Empat Mulut

Penghisap Darah yang beberapa waktu lalu

diterimanya dari kakek bermata salju itu.

 Resi Garipasthika terdiam. Walau saat itu sang

surya bersinar terik namun dari hidung serta sepasang

matanya yang putih terus saja keluar uap dingin.

Dalam hati sang Resi membatin, "Kalau memang

Golok Empat Mulut Penghisap Darah itu yang

membimbingnya, berarti gadis ini tidak mengada-ada.

Segala sesuatunya seperti sudah dikehendaki Yang


Maha Kuasa. Kaiau dia tidak menaruh hormat padaku,

tidak nanti dia akan mencari diriku. Aku berterima

kasih Dewa telah mempertemukanku dengan gadis

itu. Meski beban derita dirinya sendiri begitu berat

dia masih ingat dan mau melakukan sesuatu untuk

kebaikan orang lain."

 Kedua orang itu lanjutkan perjalanan kembali.

Di satu tempat, di tepi hutan yang sunyi Liris

Pramawari berhenti.

 "Kek, kita sudah sampai di pinggir hutan dimana

saya menyaksikan kejadian itu..."

 Resi Garipasthika memandang berkeliling

dengan sepasang mata putihnya. Lalu berkata,

"Sebelumnya aku juga berada di sekitar hutan ini.

Ketika mengamankan dua bayi. Aku hanya mampu

masuk sejauh tujuh langkah. Setelah itu ada satu

kekuatan yang sulit ditembus..."

 . "Itu yang terjadi dengan diri saya Kek. Saya

mendengar suara kucing mengeong di sekitar sini.

Suara ada tapi binatangnya tidak kelihatan. Ketika 

saya hendak masuk ke dalam hutan saya seperti 

dihalangi oleh tembok kokoh yang tidak kelihatan..."

 "Rimba belantara ini telah diselimuti sirap

tenung yang dilakukan oleh Arwah Ketua, penguasa

di Candi Miring itu. Maksudnya mungkin baik. Namun

aku punya dugaan kali ini dia telah mengambil

langkah keliru. Aku menyirap kabar ada seorang

pemuda aneh bersama dua sahabatnya terkurung di

dalam hutan. Pemuda itu mungkin sekali adalah

ayahanda dari dua bayi keramat yang ada di Candi

Miring. Suara kucing yang kau dengar pasti binatang

peliharaan gadis gemuk bernama Ratu Dhika itu.

Keponakanku, sekarang cehtakan apa yang telah kau


alami di tempat ini…”

 Liris Pramawari usap tengkuknya yang men-

dadak terasa dingin lalu mulai bercerita.

***

 KISAH Liris Pramawari...

 SUARA ngeongan kucing membuat Liris

Pramawari hentikan lari.

 Karena rimba belantara itu diselimuti kesunyian,

suara kucing terdengar jelas sekali. Namun setelah

mencari kian kemari dia tidak berhasil menemukan

binatang itu.

 "Kucing di dalam hutan, terasa agak aneh. Aku

ingin mencari binatang itu tapi tugas yang diberikan

kakek bermata salju sungguh tugas berat.

Perjalananku masih sangat jauh... Aku harus pergi

jauh ke timur. Padahal di Bhumi Mataram masalah

yang aku hadapi banyak dan berat.." Liris termangu

beberapa saat di pinggir hutan sampai dia mendengar

kembali suara ngeongan kucing. Suara itu begitu

menghiba seperti hendak memberitahukan sesuatu

atau seolah minta pertolongan. Akhirnya Liris

Pramawari memutuskan masuk ke dalam hutan.

Namun baru menindak satu langkah ke dalam rimba

tiba-tiba braakk! Tubuhnya menabrak sesuatu hingga

dia terpental beberapa langkah ke belakang.

 "Aneh, apa yang menghalangi? Aku tidak melihat

apa-apa!"

 Untuk kedua kalinya gadis ini melompat masuk

ke dalam hutan. Untuk kedua kalinya pula tubuhnya

membentur sesuatu. Kening, hidungnya dan lutut

terasa sakit

 "Benar-benar aneh..." Liris Pramawari


memandang ke dalam hutan dengan mata terbelalak.

Lalu dia melangkah. Dua tangan disapukan dan

diketukkan ke depan. Dia menyentuh satu benda 

tebal. Kemanapun dia meraba dan mengetuk benda 

tebal

itu tetap terasa. "Dinding penghalang tidak berujud.

Tidak bisa dilihat mata... Bagaimana mungkin? Orang 

sakti mana yang punya pekerjaan? Atau dedemit

hutan tengah berpesta hingga orang luar tidak boleh

masuk ke dalam hutan?" Si gadis usap-usap

tengkuknya yang terasa dingin. Tapi otak masih terus

berpikir.

 "Kucing tadi. Apa binatang itu ada di dalam atau

di luar hutan?"

 Liris menatap hutan belantara di hadapannya.

Coba menebus pandang sampai jauh ke dalam

dimana pohon jati tumbuh rapat dan keadaan redup.

 Karena belum yakin dan masih penasaran gadis

ini mundur beberapa langkah. Dua tangan diangkat

ke atas, siap melepas pukulan sakti bernama Menabas

Tiang Meruntuh Atap yaitu ilmu kesaktian yang

didapat dari ayahnya. Dua tangan memancarkan

cahaya keputih-putihan bergetar tanda Liris

Pramawari mengerahkan seluruh kemampuan tenaga

dalam yang dimiliki.

 Sesaat lagi pukulan sakti akan melesat tiba-tiba

di hutan sebelah utara dan selatan terdengar suara

ringkikan kuda seperti saling bersahutan.

 "Siapa...?" pikir Liris Pramawari yang terpaksa

turunkan dua tangan. Batal melepas pukulan sakti.

Telinganya yang tajam menangkap satu kejanggalan.


12. PERMAISURI MATARAM BARU

 INI aneh lagi. Ada suara kuda meringkik tapi tidak 

ada suara tapal kaki mendera tanah! Aku tadi seperti 

melihat ada sambaran cahaya dari selatan..."

 Liris Pramawari mengambil putusan cepat dan 

tepat. Gadis ini melesat ke atas satu

pohon jati besar, berpijak di atas cabang paling tinggi,

mendekam di balik daun-daun jati yang lebar dan 

lebat.

 Tidak menunggu lama, dari arah kiri, dari jurusan 

dimana terletak bukit gersang, berkelebat satu 

bayangan kuning. Di bawah pohon kemudian tampak 

seorang berdestar dan berjubah kuning berdiri sambil 

memegang buntungan tangan yang ternyata adalah 

tangan kanannya sendiri.

Orang ini memiliki hanya satu alis, yaitu di atas mata

kiri, panjang menjulal sampai ke pipi. Di bahu si jubah

kuning memanggul seorang perempuan berambut

tergerai lepas yang wajahnya tidak bisa dilihat oleh

Liris Pramawari. Orang ini bukan lain ialah Panglima

Pawang Sela. Perempuan yang dipanggulnya adalah

Ananthawuri yang beberapa saat lalu diculiknya dari

Candi Miring.

 Liris memperhatikan ke arah kanan. Tadi ada

suara meringkik dari jurusan itu namun mengapa tidak

ada orang atau binatang atau mahluk lain yang

muncul?

 Mata dibesarkan, telinga dipasang tajam-tajam.

Di pinggir hutan Pawang Sela mencari pohon jati

kering tidak bercabang dan tidak berdaun.

 "Apakah aku datang ke tempat yang salah? Aku


tidak melihat pohon jati yang dikatakan Junjungan

Sri Maharaja Ke Delapan."

 Baru saja Pawang Sela membatin mendadak ada

suara mengiang.

 "Panglima, aku ada di sini."

 Pawang Sela cepat menoleh ke pinggiran hutan

sebelah kiri. Di situ semua pohon jati tumbuh

bercabang dan berdaun lebat. Namun tiba-tiba dia

melihat ada satu pohon jati tinggi besar, berkulit

kering, tidak memiliki cabang maupun ranting apa

lagi daun. Sekilas tampak ada cahaya tiga warna

memancar di batang pohon lalu lenyap.

 Dengan cepat Pawang Sela melompat ke

hadapan pohon, membungkuk dalam-dalam sambil

berkata. "Junjungan Sri Maharaja Ke Delapan, saya

sudah berada di hadapanmu. Mohon maafmu, tadi

saya tidak melihat pohon jati ini..."

 "Aku sengaja tadi menutup pandanganmu karena 

ketika menuju ke sini aku mencium bau manusia lain 

di sekitar rimba belantara Ini. Apakah ada orang yang 

mengikutimu Panglima?" Suara yang bicara seolah 

datang dari dalam batang jati kering.

 "Saya yakin tidak..."

 "Lalu mengapa aku masih mencium bau manusia

di sekitar sini?" mengatur napas demikian rupa agar

jangan sampai terdengar karena dia kini tahu orang-

orang berkepandaian luar biasa tinggi di bawah sana.

satu masih belum kelihatan ujudnya yaitu yang disapa

dengan panggilan Junjungan Sri Maharaja Ke

Delapan. Saat itu karena terlindung oleh dedaunan

Liris Pramawari tidak melihat bayangan cahaya tiga

warna di batang pohon jati kering tak bercabang dan

tidak berdaun.


"Kalau begitu izinkan saya menyelidik... Atau

mungkin bau manusia yang Junjungan cium adalah

perempuan yang ada di atas panggulan saya saat ini?"

 "Perempuan yang kau bawa berbau harum bunga 

melati. Yang aku cium baunya lain..."

 "Junjungan mengizinkan saya melakukan

penyelidikan?"

 "Tidak perlu. Waktuku tidak lama. Mungkin saja

bau yang aku cium berasal dari beberapa manusia

yang terkurung di dalam rimba belantara. Bukankah

ada mahluk yang mempergunakan ilmu kepandaian

untuk menyesatkan orang lain hingga terkurung di

dalam rimba?"

 "Saya mendengar hal itu Junjungan. Saya tahu

siapa pelakunya yaitu Arwah Ketua Penguasa Candi

Miring. Tapi saya tidak tahu siapa yang terkurung di

dalam rimba..."

 "Nanti kau harus menyelidik. Kalau bisa kita

keluarkan siapa tahu mereka bisa kita jadikan mahluk

Tuman Keku. Sekarang untuk sementara lupakan 

orang-orang itu. Panglima, aku melihat keadaanmu

sangat menyedihkan..."

 "Mohon maafmu wahai Junjungan. Saya berhasil

menembus Candi Miring namun tidak mampu

mendapatkan dua bayi. Saya kehilangan tangan

kanan..."

 "Aku tahu. Pembalasan dan hukuman akan

segera jatuh pada perempuan gemuk bernama Ratu

Dhika Gelang Gelang yang telah mencelakai dirimu.

Tapi aku lebih dulu akan memanfaatkan ilmu

kesaktiannya. Sampai saat ini kita belum punya

mahluk Tuman Keku betina. Ha... ha... ha!" Mahluk

di dalam pohon kering tertawa. Panglima Pawang Sela


juga tertawa tapi tidak berani keras-keras.

 "Panglima, buntungan tanganmu itu, kau sudah

menyelamatkannya. Tak ada orang yang bisa

menjajagi keberadaanmu. Tapi aku tidak terlalu yakin.

Sekarang kau tidak memerlukan lagi buntungan

tangan itu...""

 "Saya mohon petunjuk Junjungan. Apakah tangan 

ini tidak bisa disambung lagi?"

 "Cakar besi yang merenggut putus tanganmu

mengandung racun jahat Racun Liang Sungsum.

Kalau kutungan tangan disambung, racun akan

mengalir kembali dalam aliran darahmu dan masuk

ke dalam sungsum. Kau akan menemui ajal dalam

waktu dua hari... Kalau saja aku punya ilmu penawar

racun itu..."

 "Saya mengerti," jawab Panglima Pawang Sela

pula. Lalu tidak menunggu lebih lama Panglima

Pawang Sela bantingkan buntungan tangan ke tanah

hingga amblas.

 "Pawang Sela, kau pembantuku yang sangat

berbakti. Walau tanganmu kini cuma satu, aku akan

menambahkan kadar cahaya tiga warna dalam

tubuhmu hingga ilmu kesaktianmu berlipat ganda."

 "Terima kasih Junjungan," kata Panglima

Pawang Sela sambll membungkuk. Lalu dia menatap

ke arah pohon dan berkata. "Junjungan, saya berhasil

menculik ibu dari dua bayi keramat itu."

 "Itu. pekerjaan hebatl Aku sudah melihat.

Bukankah namanya Ananthawuri. Menurut apa yang

tersurat di Empat Gading Bersurat, dia adalah gadis

pilihan Para Dewa. Dia akan tetap perawan meskipun

telah melahirkan dua bayi."

 "Saya mohon petunjuk, apa yang akan saya


lakukan dengan gadis ini..."

 "Serahkan padaku." kata suara di dalam pohon.

"Bukankah seorang Sri Maharaja memerlukan seorang 

calon Permaisuri?"

 Panglima Pawang Sela terkesiap mendengar

ucapan mahluk di dalam pohon jati. Dalam hati dia

membatin.

 "Bagaimana mungkin. Dua bayinya mau dibunuh, 

ibunya mau dijadikan Permaisuri..."


13. KEBAJIKAN KEDUA

 MATA baja putih berkilau Sri Maharaja Ke Delapan 

menatap Pawang Sela.

 "Panglima, apa yang ada di benakmu?!"

 Panglima Pawang Sela tersentak mendengar 

teguran itu. Apakah dia tahu apa yang barusan

aku ucapkan dalam hati?" pikir Pawang Sela. Cepat-

cepat Panglima dari Kerajaan Mataram Baru

ini membungkuk berulang-ulang.

 "Dewa Agung. Wahai Junjungan, saya tidak sadar 

kalau saat ini saya tengah membawa calon Permaisuri 

Kerajaan Mataram Baru..."

 Di atas pohon dengan hati-hati Liris Pramawari

menyibakkan daun jati agar bisa melihat ke bawah

lebih jelas.

 "Permaisuri...? Mahluk sakti itu hendak menjadikan 

Ananthawuri sebagai Perrhalsuri? Sang Kyang Jagad 

Bathara. apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri

ini. Apa pula yang'akan terjadi kemudian...?"

 "Panglima, lebih mendekatlah ke pohon. Aku

segera akan mengambil gadis itu." Sri Maharaja Ke

Delapan berkata.

 Dengan cepat Panglima Pawang Sela melangkah

lebih dekat ke arah pohon jati kering lalu berlutut satu

kaki di tanah hingga tubuh dipanggulnya akan lebih

mudah untuk diambil. Cahaya tiga warna yang ada di

batang pohon berpijar terang lalu lenyap. Sekali ini

Liris Pramawari sempat melihat keberadaan cahaya

tiga warna itu.

 "Cahaya tiga warna..." desis Liris Pramawari

dengari bibir bergetar. "Berarti... apakah dia


pemiliknya? Mungkinkah dia sang pengendali yang

pernah mencelakai pemuda bernama Sebayang

Kallgatha itu...?"

 Begitu cahaya lenyap sebagai gantinya dari

dalam pohon keluar satu sosok lelaki. Rambut, wajah,

sekujur tubuh serta pakaian yang dikenakannya

memancarkan cahaya berkilat seolah dilapisi sejenis

logam putih berkilau. Bahkan dua bola matapun putih.

mengingatkan Liris Pramawari pada Resi Garipasthika.

Mahluk aneh ini mengenakan sebuah mahkota kecil

yang juga berwarna putih dan lebih menyilaukan

dibanding warna putih yang melapisi tubuhnya mulai

dari rambut sampai ke kaki termasuk pakaian ringkas

yang dikenakannya.

 "Manusia baja putih...?" ucap Liris Pramawari

dalam hati penuh tanda tanya. "Seumur hidup baru

sekali ini aku melihat mahluk seperti ini. Apakah dia

manusia atau mahluk dari alam gaib atau bagaimana?

Jadi inilah ujud Sri Maharaja Ke Delapan yang selama

ini disebut-sebut keberadaannya di Bhumi Mataram.

Tidak berkumis tidak berjanggut. Lapisan putih

berkilat di wajahnya membuat sulit menduga apakah

dia masih muda atau sudah tua renta."

 Mahluk yang disebut sebagai mahluk baja oleh Liris 

Pramawari, menyembul keluar dan dalam batang

pohon sampai sejarak satu langkah. Dua tangan

diulurkan untuk mengambil sosok Ananthawuri dari

atas bahu Panglima Pawang Sela. Pada saat

Ananthawuri berpindah ke dalam gendongan Sri Ma-

haraja Ke Delapan dengan tubuh tertelentang, rambut

yang menjulal tersibak, wajah yang tadi tertutup

rambut kini tersingkap. Begitu Liris Pramawari

memperhatikan wajah gadis itu, kejutnya bunga alang



kepalang. Untung saja dia bisa cepat menguasai diri

hingga tidak mengeluarkan seruan bertahan.

 "Dewa Jagat Bhatara! Tidak salah mataku melihat? 

Wajah gadis itu mengapa sangat mirip dengan 

parasku? Tidak heran kalau Arwah Ketua di Candi 

Miring mengira aku ibu dua bayi itu..."

 Sri Maharaja Ke Delapan tatap sesaat wajah

Ananthawuri yang berada dalam keadaan tidak sadar

karena sebelumnya telah ditotok oleh Pawang Sela.

Dua mata putih Sri Maharaja Ke Delapan berpijar

terang.

 "Cantik sekali. Penuh kesucian dan ketulusan.

Gadis bernama Ananthawuri. tidak salah kalau Para

Dewa mengambilmu sebagai gadis pilihan. Tidak

salah kalau aku Sri Maharaja Ke Delapan Kerajaan

Mataram Baru mengambilmu menjadi Permaisuri.

Aku sungguh berbahagia..."

 Sri Maharaja Ke Delapan menatap pada Pawang

Sela.

 Sang Panglima cepat berdiri dari berlutut dan

berkata, "Junjungan, kebahagiaanmu menjadi

kebahagiaan saya juga."

 "Panglima, aku akan membawa Permaisuriku ini

ke lapisan bumi ke tiga. Otaknya perlu dicuci terlebih

dulu. Aku menunggumu di sana. Namun sebelumnya

kau harus memeriksa tempat pemusatan Tuman Keku

dan Tuman Kean. Juga temui Arwah Hitam Pengawal

Malam. Periksa apakah dia telah melakukan tugas

seperti yang kita kehendaki... Bila keadaan sudah

cukup matang, dalam keadaan hari di muka aku akan

mengambil keputusan kapan kita melakukan

penyerbuan..."

 Di atas pohon kening Liris Pramawari



mengernyit

 "Tuman Keku, Tuman Kean... Mahluk apa itu?

Penyerbuan...? Penyerbuan kemana? Siapa yang

hendak diserbu. Memangnya ada pasukan..."

 "Perintah Junjungan akan saya laksanakan,"

jawab Panglima Pawang Sela. "Sebelum berpisah ada

sesuatu yang ingin saya tanyakan. Maaf kalau perilaku

saya dianggap lancang..."

 "Junjungan, kita sudah menguasai perempuan

gemuk bernama Ratu Dhika Gelang Gelang. Apakah

kita juga sudah bisa menjajagi siapa adanya orang

yang menyelamatkan dua bayi dari dalam Peti Dewa?

Saya menduga ilmu kesaktian orang itu Jauh lebih

tinggi dari Ratu Dhika. Bahkan tidak berada di bawah

Arwah Ketua..."

 Muka bertapis baja putih Sri maharaja Ke Delapan

sungglngkan senyum.

 "Kau tidak perlu mengkhawatirkan manusia satu

itu Panglima Pawang Sela. Dia aku ketahui adalah

seorang Resi bernama Garipasthika. Sebelum hari

penyerbuan dia sudah berada di pihak kita. Aku tahu

apa yang menjadi kelemahannya."

 Pawang Sela membungkuk.

 "Syukurlah kalau begitu wahai Junjungan."

 Sri Maharaja Ke Delapan anggukkan kepala. Dia

melangkah mundur. Sosok anehnya bersama

Ananthawuri yang didukungnya masuk ke dalam

batang pohon jati dan sirna dari pemandangan.

Cahaya tiga warna yang ada di pohon itu memancar

terang lalu lenyap.

 Di atas pohon Liris Pramawari mengusap wajahnya 

yang keringatan berulang kali.

 "Sri Maharaja Ke Delapan.. Rencana penyerbuan...


Gadis itu hendak dijadikan permaisuri. Lebih dulu 

dicuci otaknya. Tuman Keku dan Tuman Kean... 

mahluk apa itu? Lalu kakekku itu hendak mereka 

apakan? Resi itu dalam bahaya. Bagaimana ini? Aku 

harus membatalkan niat meneruskan perjalanan 

membawa golok sakti ke Gunung Mahameru. Aku 

harus mencari orang tua itu. Tapi dia berada 

dimana...?"

 Tiba-tiba golok sakti bersarung gading yang

terselip di punggung Liris Pramawari bergetar lalu

melesat keluar. Di udara senjata sakti ini berputar tiga

kali sebelum diam mengepung dengan ujung golok

memancarkan sinar aneh dan menunjuk ke arah

selatan. Liris Pramawari yang berotak tajam maklum

apa arti kejadian ini.

 "Senjata sakti, terima kasih. Kau telah memberi

petunjuk arah dimana aku bisa menemukan orang tua

bermata salju itu..." .

 Liris Pramawari cepat mengambil golok sakti yang 

mengapung di udara dan memasukkannya ke balik 

punggung jubah putih. Tak lama setelah dilihatnya 

Panglima Pawang Sela meninggalkan tempat itu maka 

diapun melompat turun dari atas pohon jati. berlari 

secepat angin ke arah selatan. Mengikuti petunjuk 

golok sakti ke arah dimana beradanya Resi 

Garipasthika.

 Ketika dia sampai di kaki bukit gersang dimana

Candi Minng terletak. Liris melihat Resi Garipasthika

tengah menyerahkan dua bayi pada seseorang

perempuan gemuk mengenakan kemben merah.

 "Rupanya pamanku itu ada urusan dengan orang-

orang Candi Miring. Sebaiknya aku tidak mengganggu. 

Biar aku menunggu di balik batu besar sana..."


Tak lama setelah Liris duduk di balik batu besar

di knki bukit tiba-tiba Arwah Ketua muncul, langsung

mencekal leher pakaiannya. Belum sempat gadis ini

berpikir apakah dia akan melawan atau diam saja,

tahu-tahu dia sudah sampai di atas bukit.

***

 "KEK. begitu kejadian yang aku alami. Kalau saya 

telah bertindak salah tidak meneruskan perjalanan 

tapi malah berbalik mencarimu, saya mohon maaf." 

Berkata Liris Pramawan begitu selesai menuturkan apa 

yang dialaminya di hutan jati.

 "Tidak, kau tidak m«iakukan kesalahan. Apa yang 

kau perbuat yaitu mencariku adaiah satu tindakan 

yang sangat benur. Bhumi Mataram, semua tokoh baik 

di Kerajaan ini tengah menghadapi satu perkara besar. 

Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui atau tidak 

menyadari. Kau datang padaku, memberi tahu berarti 

merupakan satu kebajikan. Apakah kau tidak 

menyadari...?"

 "Apa maksudmu Kek?"

 Resi Garipasthika tersenyum. Dua tangan diulurkan 

memegang tangan si gadis. Lalu dua tangan diangkat, 

didekatkan ke mata Liris.

 "Kau lihat sendiri..."

 Liris Pramawari membuka matanya lebar-lebar.

Dua tangan yang sebelumnya mengelupas tidak

berkulit tidak berdaging sampai sebatas lengan kini

tampak pulih utuh sampai ke ujung kuku.

 Liris Pramawari terpekik gembira langsung

memeluk si orang tua sambil menyebut Yang Maha

Kuasa berulang-ulang.


"Kek. saya merasa tidak berbuat kebajikan apa-

apa..."

 Resi Pramawari elus punggung si gadis.

 "Kau merasa begitu tapi Para Dewa lebih

mengetahui dan selalu berlaku adil. Apa yang telah

kau lakukan, yaitu mencariku dan menceritakan apa

yang terjadi di hutan jati merupakan satu kebajikan

besar. Karena dengan cara itu kau telah memberi tahu

bahwa Bhumi Mataram tengah menghadapi satu

perkara bahaya sangat besar. Kau telah membantu

usaha menyelamatkan Kerajaan. Kini menjadi

kewajibanku dan para tokoh baik di Mataram untuk

mengambil tindakan... Kalau saja Arwah Ketua mau

bersikap bersahabat dengan diriku, sebenarnya aku

dan dia bisa bekerjasama bahu membahu menye-

lamatkan Kerajaan. Sayang... sayang sekali. Dia justru

curiga padaku. Dia hanya menurutkan kata hati 

sendiri. Pikiran yang jernih terkadang tidak dipakai, 

dilupakan begitu saja. Sayang, padahal aku tahu dia 

mahluk baik."

 Resi Garipasthika lepaskan pelukan dua tangan

si gadis lalu berkata, "Liris kalau tidak salah aku

mengingat riwayat dirimu, berarti sampai saat ini kau

sudah berbuat dua kebajikan besar. Kau masih harus

melakukan satu kebajikan besar lagi hingga hukuman

Dewa hapus atas dirimu..."

 "Kek, saya tidak mengkhawatirkan diri saya. Saat

ini saya sembuh. Saya berterima kasih pada Para

Dewa dan dirimu. Saya tahu, dalam beberapa hari di

muka tangan saya kembali akan mengelupas lagi. Kek,

saya saat ini yang saya khawatirkan justru adalah

dirimu. Ingat ucapan orang bertubuh baja putih itu.

Dia tahu keadaan dirimu. Termasuk kelemahanmu.


Mereka hendak mencelakanmu Kek. Mereka juga

hendak mengerjai Ratu Dhika."

 "Aku tahu. Mereka hendak mencelakai semua

orang yang tidak sehaluan dengan mereka, apalagi

yang dianggap bisa menghalangi rencana keji mereka.

Termasuk dua bayi suci keramat yang tidak tahu apa-

apa itu. Mahluk baja putih itu. yang dipanggil Sri

Maharaja Ke Delapan, dia biang keladi semua

perbuatan dan rencana jahat ini. Dia juga yang

menjadi penguasa dan pemilik ilmu yang

memancarkan cahaya tiga warna. Kita harus bisa

menghancurkan sumber ilmunya. Tapi yang harus

dilakukan lebih dulu adalah mencari tahu dimana

sarang kediamannya."

 "Saya mendengar dia menyebut satu tempat di

lapisan bumi ke tiga..."

 "Lapisan bumi terlalu luas. Tidak mungkin

mencarinya tanpa kepastian letak keberadaannya. Jika

saja Arwah Ketua mau kuajak bekerja sama dia bisa

melesat masuk ke dalam bumi. Mencari tahu.

 "Bagaimana kalau kita menemui Arwah Ketua

kembali di Candi Miring..."

 "Aku tengah memikirkan hal itu. Hanya saja aku

lebih banyak khawatir dari pada mengharap...' jawab

Resi Garipasthfka yang rupanya sudah tahu betul

seluk beluk sifat peradatan Arwah Ketua.

 "Mereka juga saya dengar menyebut Tuman

Keku dan Tuman Kean. Kau tahu mahluk apa itu Kek?"

bertanya Liris.

 'Kau pernah diserang mahluk bertubuh manusia

berkepala anjing. Benar?"

 "Benar Kek"

 "Setahuku itulah mahluk bernama Tuman Kean.



Tubuh manusia Kepala Anjing. Ada yang menciptakan

untuk satu keperluan besar. Jangan-jangan ini ada

sangkut pautnya sama Sri Maharaja ke Delapan. Kalau

Tuman Keku aku masih belum paham. Rasanya

manusia juga tapi berkepala binatang. Entah apa.

Dalam waktu tidak lama kita pasti akan mengetahui."

 "Kek. sebelum orang yang menculik Ananthawuri

dan mahluk aneh putih itu muncul, saya mendengar

ada suara seperti kuda meringkik..." Memberi tahu

Liris Pramawari.

 "Kalau begitu Tuman Keku bisa saja berarti

Tumbuh Manusia Kepala Kuda."

 Liris tercengang lalu bertanya lagi.

 "Kek, mengapa mahluk berlapis baja putih

menyebut diri dan dipanggil Sri Maharaja Ke Delapan.

 Sungguh sangat takabur..."

 Resi Garipasthika menatap ke langit bersih di atas 

hutan jati.

 "Itu yang sejak beberapa waktu lalu menjadi

tanda tanya dalam diriku. Saat ini dengan petunjuk

Dewa Agung, setelah mendengar penuturanmu, aku

sudah bisa meraba. Raja yang memerintah di Mataram

sekarang ini adalah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi

Dyah Lokapala. Merupakan Sri Maharaja ke tujuh

dalam jajaran Raja-raja Kerajaan Mataram. Mahluk 

baja putih itu bermimpi akan menjadi pengganti pada

urutan Sri Maharaja Ke Delapan dengan cara

merampas tahta. Melakukan penyerbuan... Mereka

pasti akan menyerbu Kotaraja..."

 "Kalau begitu apa yang harus kita lakukan Kek?

Apakah saya harus kembali menempuh jalan ke

Gunung Mahameru untuk menyerahkan golok sakti

pada Resi Pewaris di sana?


"Keponakanku, untuk sementara tugas itu bisa

kau tunda dulu. Yang harus kau lakukan saat ini

adalah mencan kucing yang kau dengar suara 

mengeongnya tadi sebelum dua mahluk aneh itu

muncul di pinggiran hutan..."

 "Kucing? Untuk apa di cari Kek?"

 "Binatang itu bisa membantu kita melebur

tenung yang menyirap beberapa orang yang ada di

dalam rimba belantara. Mereka orang-orang pandai.

Kita perlu bantuan mereka untuk menyelamatkan

Kerajaan sebelum mereka di masukan ke dalam

kelompoknya oleh Sri Maharaja Ke Delapan. Tapi

tindakan itu agaknya harus tertunda beberapa waktu.

Aku punya firasat Arwah Ketua dan perempuan gemuk

yang bernama Ratu Dhika tengah melakukan sesuatu

yang sakral di Candi Miring. Kita tidak boleh

mengganggu mereka..."

 "Kalau itu perintah darlmu. akan saya lakukan Kek. 

Lalu Kakek sendiri mau melakukan apa atau mau

ke mana?"

 Resi Garipasthika tidak menjawab. Dia

menyerahkan tongkat yang ada lapisan putih dan

mengepulkan hawa dingin pada Liris Pramawari.

Walau merasa heran si gadis menerima juga tongkat

itu dan memegangnya di tangan kanan.

 "Kek, dulu kau menyerahkan golok sakti padaku.

Lalu minta digendong, sekarang kau menyerahkan

tongkat sakti. Apakah sekarang kau juga mau minta

digendong.?"

 Si Mata Salju tertawa. Belum lenyap gema tawa

itu, tubuhnya berubah menjadi asap putih dingin, lalu

lenyap masuk ke dalam tongkat.

 "Aku malas berjalan, apalagi lari. Kau saja yang


membawa aku kemana-mana..." Terdengar suara

Sang Resi dari dalam tongkat.

 Begitu si orang tua sakti masuk ke dalam tongkat

langsung saja tangan dan bahu kanan Liris Pramawari

tertarik miring karena tongkat itu serta merta menjadi

sangat berat hingga dua kakinya tertekuk dan 

akhirnya jatuh terduduk di tanah.

 Liris Pramawari kerahkan tenaga luar dalam,

berusaha berdiri sambil mengangkat tongkat. Tapi

sampai tubuhnya keluar keringat dan rahang

menggembung dia tidak mampu melakukan. Malah

kembali jatuh terduduk di tanah! Karena kehabisan

akal gadis Ini akhirnya duduk menjelepok lalu tertawa

geli.

 "Keponakanku, mengapa kau tertawa? Anak

perawan tidak baik tertawa di hutan belantara. Apa

kau mau menyuruh datang semua dedemit hutan..."

Keluar suara dari dalam tongkat.

 "Ih...jangan bicara membuat aku takut Kek."

 "Lalu apa tongkatku berlaku nakal menggelitikmu?"

 "Kek tongkatmu tidak nakal. Tapi tongkat ini

kenapa jadi berat begini. Aku tidak mampu mengang-

katnya!" jawab Liris Pramawuri.

 "Oala... Padahal sudah satu minggu ini aku puasa!

Ah. pasti tua bangka ini masih banyak dosa! Ha... 

ha... ha!" Terdengar suara sang resi dari dalam

tongkat disusul suara tawa. "Sekarang coba kau

angkat lagi. Apa masih berat?!"

 Liris mencoba. Dia jadi terkejut sendiri. Tongkat

putih mengepulkan hawa dingin itu mendadak bukan

saja berubah sangat ringan. Tapi juga menariknya ke

depan hingga untuk mengikuti dia terpaksa harus

berlari cepat, makin cepat dan tidak terasa dia sudah


dua kali mengelilingi rimba belantara hutan jati di

kaki bukit itu!

 "Meong..."

 Sekonyong-konyong terdengar suara kucing

mengeong!


14. MENJEJAK BUMI MENERAWANG LANGIT

 ILMU Menjejak Bumi Menerawang Langit pada masa 

itu hanya dimiliki oleh Arwah Ketua. Dengan ilmu Ini. 

berdasarkan bagian tubuh atau pakaian dari seseorang 

bisa dijajagi dimana beradanya orang bersangkutan 

dan dalam waktu beberapa kejapan mata saja bisa

didatangi sekalipun orang itu berada di dalam perut 

bumi, di goa batu di dalam gunung atau di dasar laut.

Konon ketika pada mulanya Arwah Ketua memohon 

untuk mendapatkan ilmu tersebut yang dilakukan

melalui doa dan tapa semedi Para Dewa tidak

mengabulkan

 Arwah Ketua kemudian melakukan samadi alam

terbuka di situ bukit di Gurun Pasir Dieng. Tanpa

pakaian selembarpun Arwah Ketua melakukan

samadi. Siang kepanasan membuat tubuhnya seolah

leleh oleh terik panas sinar matahari sedang malam

kedinginan laksana dikubur di dalam gundukan es!

 Setelah memasuki hari ke empat puluh dimana

keadaan Arwah Ketua tidak lebih dari jerangkong

hidup dan siap sekarat, berkat keteguhan hati serta

niat bahwa ilmu kesaktian itu hanya akan

dipergunakan untuk kebaikan maka Para Dewa

akhirnya mengabulkan tapa samadi Arwah Ketua.

Kepadanya diberikan ilmu sakti mandraguna bernama

Menjejak Bumi Menerawang Langit.

 Ratu Gelang Gelang yang sejak tadi berdiam diri 

meletakkan dua tangan di depan mata. Tapi dia tidak 

melihat apa-apa. Semua serba gelap gulita. Dia

merasa seperti berada dalam satu liang yang sempit.

Ketika tangan disapukan ke kiri dan ke kanan dia


menyentuh tanah lembab!

 "Rakanda, kita berada dimana?" bisik Ratu Dhika

yang dia tahu berada di sampingnya tapi tidak dapat

melihat sosoknya.

 "Kita sudah di dalam tanah. Jangan ada rasa

khawatir. Bernafas seperti biasa. Kita akan segera

mulai bertapa, memohon pertolongan Dewa Agung.

Waktu kita tidak lama. Sebelum matahari mencapai

titik tertingginya di luar sana. tapa kita harus sudah

selesai. Sekarang ulurkan tanganmu ke samping. Jika

kau menyentuh bahuku, bergeraklah. Pindah ke

sebelah belakang. Dua telapak tanganmu letakkan di

punggungku. Alirkan seluruh tenaga dalam dan hawa

sakti yang kau miliki ke tubuhku. Kosongkan pikiran.

Pada saat samadi berlangsung, kedua mataku akan

menjadi buta. Maka matamu jangan sekali-kali

dipejamkan karena kau yang akan melihat pertanda

yang akan diberikan oleh alam gaib."

 Ratu Dhika Gelang Gelang lakukan apa yang

dikatakan Arwah Ketua. Ketika tangan kanan diulurkan

ke samping, dia menyentuh bahu Arwah Ketua. Lalu

dengan cepat dia bergeser duduk bersila di sebelah

belakang, dua tangan ditempelkan di punggung

Arwah Ketua.

 "Radinda, selama samadi berlangsung kau tidak

boleh mengeluarkan suara sedikitpun. Kecuali jika

kau bertanya atau kau telah melihat sesuatu maka 

kau harus memberi tahu kepadaku..." .

 "Aku mengerti Rakanda," bisik Ratu Dhika

Gelang Gelang. Suaranya masih menyatakan ada

ketegangan dalam dirinya.

 Dari kepalan tangan kirinya Arwah Ketua menebar 

segenggam tanah bercampur darah yang berasal dar


luka buntungan tangan kanan Panglima Pawang Sela.

 "Kita mulail" bisik Arwah Ketua. Maka saat itu juga 

meski kedua mata nyalang namun seandainya ada 

sinar terang di hadapannya dia tidak akan mampu

melihat.

 Di luar, sang surya perlahan-lahan bergerak

mendekati titik tertinggi di pertengahan siang. Di

dalam liang tanah Arwah Ketua dan Ratu Dhika sama-

sama mandi keringat. Satu-satunya suara yang

terdengar adalah hembusan napas mereka. Se-

peminuman teh berlalu. Tiba-tiba ada getaran di

empat dinding, lantai dan bagian atas liang tanah.

Lalu Ratu Dhika melihat ada satu titik kecil berwarna

hitam di kejauhan. Perlahan-lahan titik ini bergerak 

mendekat dan saat demi saat berubah besar. Pada 

waktu mencapai seukuran kepalan titik hitam 

bergerak melebar membentuk tabir empat persegi. Di 

kehitaman tabir tiba-tiba muncul sebatang pohon jati 

kering, tinggi besar namun tidak bercabang dan tidak 

beranting, juga tidak memiliki daun selembarpun.

 Dari getaran telapak tangan Ratu Dhika yang 

menempel di punggungnya Arwah Ketua maklum 

kalau gadis gemuk itu telah melihat sesuatu.

 "Katakan apa yang kau lihat..." ucap Arwah Ketua

yang dari suaranya jelas dia juga tidak mampu

menekan rasa tegang.

 "Aku melihat pohon jati besar.Tinggi tak bercabang, 

tidak ada daun..."

 "Hanya pohon?" tanya Arwah Ketua.

 "Betul, hanya pohon."

 "Aneh... kau sudah mengerahkan seluruh tenaga

dalam dan hawa sakti?"

 "Nyawaku sudah seperti mau putus..." jawab


Ratu Dhika.

 "Apa yang terjadi...? Mungkin ada satu kekuatan

dahsyat melindungi manusia berjubah kuning itu

hingga dia tidak muncul dalam tabir samadi..." Arwah

Ketua berpikir keras. Dia ingat sesuatu, "Radinda 

Ratu. coba kau perhatikan lagi. Beri tahu jika ada 

perubahan yang kau lihat."

 Setelah berkata begitu Arwah Ketua ulurkan

tangan kiri yang kini berada di sebelah kanan

tubuhnya. Di dalam gelap dia kumpulkan kembali

tanah mengandung darah yang tadi ditebar. Begitu

digenggam tanah dalam genggaman memancarkan

cahaya redup. Saat itu juga di sebelah belakang Ratu

Dhika membuka mulut

 "Rakanda. aku melihat ada cahaya tiga warna

pada batang pohon Jati kering..."

 "Jangan berkesip... Kita hampir dapat menjajagi

manusia berjubah kuning itu. Wahai Dewa Agung, 

tolong kami..." ucap Arwah Ketua. Sesaat kemudian 

Ratu Dhika tiba-tiba melihat seorang berjubah kuning 

bertangan buntung yang memanggul seorang 

perempuan berambut panjang di bahu kirinya.

 "Aku melihat orang berjubah kuning itu. Orang

yang mengaku Panglima Pawang Sela utusan Sri

Maharaja Ke Delapan. Dia berdiri di depan pohon. Dia

seperti bicara dengan seseorang. Tapi lawan

bicaranya tidak kelihatan... Juga tidak terdengar

suaranya. Aku hanya melihat sebentuk cahaya putih

menyilaukan dari arah pohon jati. Di bahunya aku 

jelas melihat Ananthawuri yang diculik dari candi."

 Tubuh Arwah Ketua bergetar.

 "Orang yang bicara dengan si jubah kuning itu

pasti memiliki kekuatan dahsyat atau dilindungi oleh


cahaya tiga warna hingga kau tidak mampu melihat

dan mendengar suaranya. Perhatikan dan dengar 

baik-baik setiap ucapan Pawang Sela..."

 "Orang itu memanggil lawan bicaranya dengan

kata-kata Junjungan, Sri Maharaja Ke Delapan..."

 "Dewa Jagat Bhatara Dia rupanya."

 "Rakanda, si jubah kuning menyerahkan

Ananthawuri pada orang yang tidak kelihatan..."

 "Radinda, kau tahu dimana kira-kira mereka

berada? Kau mengenali keadaan sekitar pohon

Jati?"

 "Setahuku hutan jati terdekat ada di selatan kaki

bukit"

 "Benar, kita akan segera keluar dari dalam tanah. 

Aku akan memasuki alam gaib dan melesat ke 

kawasan hutan jati. Kau cepat mencari gadis

berpakaian putih yang wajahnya mirip Anantha-

wuri..."

 "Aku sudah tidak sabar cepat-cepat keluar dari

sini. Apakah samadi kita sudah selesai Rakanda.

Olala...tunggu...!"

 "Ada apa Radinda Ratu?"

 "Aku... aku melihat diriku dalam tabir hitam itu...

Cahaya tiga warna di keningku memancar terang

Rakanda. kepalaku mendadak sakit sekali. Seperti

mau pecah..."

 "Ada orang hendak mencelakai dirimu..."

 "Rakanda.. aku melihat mahluk aneh. Sekujur

tubuhnya diselubungi benda putih berkilat seperti

timah, mungkin baja. Ada mahkota berkilau di atas

kepalanya. Mahluk ini mengulurkan tangan menarik

tanganku. Rakanda aku... Tubuhku tertarik...!" '

 "Dewa Jagat Bathara! Radinda. orang hendak


mengambil dirimu dari jauh. Kau harus cepat keluar

dari sini. Ambil ini cepat telan!"

 Arwah Ketua seperti mencongkel sesuatu dari

dalam dadanya ialu benda bercahaya hijau ber-

gemerlap ini dimasukkan ke dalam mulut Ratu Dhika

Gelang Gelang yang saat itu menghuyung ke kanan

seperti ditarik orang.

 "Telan!"

 "Rakanda kau memberikan batu Asmasewu

padaku?" Ratu Dhika tidak percaya.

 "Saat ini hanya batu sakti ini yang bisa kuberikan

untuk menyelamatkan dirimu. Lekas pergi! Cari gadis

berkerudung putih!"

 "Tapi bagaimana dengan dirimu?!"

 "Jangan pikirkan akui Batu itu akan kembali

padaku jika kau sudah selamat dari mara bahaya!

Cepat telan!"

 Tidak ragu lagi Ratu Dhika segera menelan batu

sakti bernama Asmasewu.

 Tanpa berpaling ke belakang Arwah Ketua lalu

hunjamkan dua sikutnya ke belakang.

 "Bukk! Bukkk!"

 Dua sikut menghantam tubuh kiri kanan Ratu

Dhika Gelang Gelang hingga dia menjerit keras

merasa dirinya seolah luluh lantak! Saat itu juga tubuh

gadis gemuk ini melesat keluar dari dalam tanah. Di

udara siang benderang tubuhnya melesat ke arah 

barat hutan jati. Sekejapan kemudian Arwah Ketua 

telah keluar pula dari dalam tanah, melayang ke ujung 

utara hutan jati dan melesat turun di satu tempat 

yang bukan lain adalah Lembah Hantu!



                             TAMAT


Sri Maharaja Ke Delapan berusaha menculik Ratu

Dhika Gelang Gelang secara gaib untuk dimanfaatkan

ilmu kesaktiannya lalu dihabisi. Mampukah batu sakti

Asmasewu menyelamatkan?

 Bagaimana dengan Pangeran Bunga Bangkai dan 

dua sahabatnya yang masih terkurung di dalam rimba

belantara karena tenungan Arwah Ketua?

 Bisakah Ananthawuri lepas dari tangan Sri Ma-

haraja Ke Delapan yang hendak mengambilnya

menjadi Permaisuri?

 Siapakah orang tua berpakaian hitam dan meniup

seruling di tangga Candi Miring?

Ikuti Episode selanjutnya berjudul:


PERANG ARWAH DI BHUMI MATARAM



















Share: