TEWASNYA RAJA RACUN MERAH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Seriai Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tewasnya Raja Racun Merah
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Kegelapan perlahan menyelimuti permukaan bumi.
Bersamaan dengan bergantinya sang waktu, kabut tipis pun
bergerak turun. Hingga, suasana daerah Perbukitan Lanjar
tampak semakin gelap.
Dalam cuaca seperti itu, tampak tiga sosok bayangan
bertubuh tegap mengendap-endap mendekati sebuah
bangunan besar, yang berada di kawasan Bukit Lanjar. Tingkah
mereka tampak mencurigakan. Apalagi pakaian yang dikenakan
ketiga orang itu berwarna gelap. Bahkan wajah-wajah mereka
pun tampak sebagian tertutup selembar kain hitam. Jelas,
kedatangan mereka berniat tak baik.
Sementara, bangunan luas yang sekelilingnya dipagari kayu-
kayu bulat setinggi satu tombak lebih itu, tampak berdiri
angker. Tak seorang pun terlihat berjaga-jaga di sekitar
bangunan itu. Tentu saja kedatangan tamu-tamu tak diundang
itu tidak diketahui si pemilik bangunan!
"Hati-hati...," bisik sosok bayangan hitam terdepan
menghentikan langkahnya sejenak. "Kalau kehadiran kita
sampai diketahui, aku tidak bisa menjamin, apakah kita bisa
kembali dengan selamat." lanjut sosok pertama dengan nada
yang jelas menandakan ketegangan hatinya.
Tampak sosok kedua dan ketiga menganggukkan kepala
tanpa berusaha untuk membantah. Sepertinya kedua orang itu
sadar, pekerjaan yang mereka lakukan itu sangat berbahaya!
Usai memberi peringatan kepada dua orang kawannya,
sosok pertama kembali mengisyaratkan maju dengan gerakan
tangan yang perlahan. Kembali ketiga sosok bayangan hitam
itu mengendap-endap mendekati bangunan di depan mereka.
Ketika jarak mereka ke bangunan itu semakin dekat, sosok
pertama merunduk di balik semak-semak. Kedua sosok di
belakangnya segera mengikuti tanpa banyak cakap.
"Hm..., menurut ketua, Datuk Tangan Malaikat mempunyai
beberapa orang murid, yang dipekerjakan sebagai pembantu-
pembantunya. Tapi, mengapa tidak terlihat seorang pun yang
berjaga-jaga? Apakah mereka telah mengetahui kedatangan
kita sebelumnya? Bisa jadi ini suatu jebakan....!" sosok pertama
kembali berbisik lirih. Sepasang matanya kembali menjelajahi
sebelah atas pagar kayu bulat itu dengan penuh curiga. Jelas
tindakannya sangat hati-hati.
"Tapi, bukankah tugas kita hanya mengirimkan surat,
Kakang?" tukas sosok kedua yang bertubuh sedikit lebih tinggi.
Suaranya berat dan dalam.
"Memang. Tapi kau pun harus ingat, Adi. Penghuni
bangunan yang kita datangi ini, bukan orang sembarangan.
Sedikit saja kita menimbulkan bunyi yang mencurigakan, cukup
untuk membuat tokoh sakti itu bangkit dari tidurnya. Kaiau
sudah begitu, sulit dipastikan apakah kita bisa selamat atau
tidak dari tangan mautnya," ucap sosok pertama mengingatkan
kesaktian penghuni bangunan yang mereka datangi.
"Kau jangan mengecilkan hati kami, Kakang. Ucapanmu itu
sama saja dengan menakut-nakuti," sahut sosok ketiga tak
senang. Suaranya terdengar kecil tinggi melengking, tak
ubahnya seperti suara seorang wanita. Padahal, kalau melihat
bentuk tubuhnya, jelas sosok ketiga itu seorang lelaki tulen.
"Bukan itu maksudku, Adi. Aku cuma mengingatkan, kita
harus hati-hati," sosok pertama membantah. Sepertinya ia tidak
ingin disalahkan.
"Sudahlah. Untuk apa kita saling berbantah. Sebaiknya,
tugas ini cepat-cepat kita selesaikan, lalu pergi sejauh
mungkin," sosok ketiga yang menyaksikan perdebatan kedua
orang kawannya segera melerai dan mengingatkan tujuan
mereka berada di tempat ini.
"Ayolah...," ujar soosk pertama sambil melesat dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ia belari dengan
menggunakan ujung kaki, agar langkahnya tidak menimbulkan
suara yang mencurigakan.
Kedua sosok lainnya bergegas melesat dengan cara yang
sama. Kemudian merapatkan dirinya ke pagar kayu dan tempat
yang cukup terlindung dari sinar lampu. Karena hampir setiap
sudut pagar kayu itu terdapat obor sebagai penerangan.
Dengan lincah, ketiga sosok bayangan hitam itu berlompatan
susul-menyusul melewati pagar yang menghalangi mereka.
Tanpa menimbulkan suara yang berarti, mereka berbasil
menjejakkan kaki di dalam halaman bangunan besar itu.
Ketiga sosok tubuh itu kembali berkelebat menuju halaman
samping. Mereka sama-sama merendahkan tubuh agar tidak
sampai dilihat penghuni bangunan itu. Malang, sepertinya nasib
mereka sedang sial! Beberapa saat setelah ketiga sosok itu
melesat ke arah samping bangunan utama, tampak dua sosok
tubuh keluar dari pintu samping, yang berada di belakang
ketiga sosok tubuh itu.
"Hei, siapa kalian...?" terdengar suara bentakan yang
membuat jantung ketiga tamu tak diundang itu seperti copot!
"Celaka...!" desis sosok pertama dengan suara hampir tidak
terdengar karena saking terkejutnya. "Lari...!" perintahnya
sambil melesat menuju pintu gerbang.
Tanpa diperintah dua kali, kedua sosok tubuh lainnya segera
menghambur mengikuti sosok pertama. Sebelum meninggalkan
tempat itu, sosok kedua yang tubuhnya paling tinggi di antara
ketiga sosok tubuh itu, segera mengibaskan lengannya ke arah
dua orang yang mengejar mereka!
Syuuut...!
"Awaaas...!" salah seorang dari dua murid tokoh yang
mereka sebuat sebagai Datuk Tangan Malaikat. Menyadari apa
yang dilakukan salah seorang bayangan hitam itu, ia segera
melempar tubuhnya ke samping, guna menghindari luncuran
sinar putih yang berkeredep ke arah keduanya.
Cappp...!
Tiang kayu penyangga ruangan depan, bergetar keras ketika
pisau terbang yang dilontarkan salah seorang bayangan hitam
itu menancap, hingga setengahnya.
"Gila! Kekuatan tenaga dalam mereka sangat hebat sekali!
Entah apa yang membuat mereka melarikan diri? Padahal,
kalau mengukur dari kekuatan lemparannya, jelas kepandaian
orang-orang itu berada di atas kepandaian kita? Aneh..?" desis
lelaki berwajah runcing yang dagunya terhias jenggot lebat.
Lelaki inilah yang menyadari lebih dahulu bahaya lontaran pisau
terbang itu.
"Hei, lihat! Sepertinya pisau itu sengaja dilontarkan untuk
mengirimkan pesan?" ucap lelaki kedua. Meskipun tubuhnya
terlihat agak kurus, namun padat berisi. Tanpa menunggu
tanggapan kawannya, ia langsung mencabut pisau terbang itu
dengan mengerahkan tanaga dalam. Lontaran senjata itu
tertanam kuat di kayu penyangga
"Mari kita laporkan kepada guru...," usul lelaki bermuka
runcing yang melangkah menuju pintu ruangan depan. Tanpa
membantah lagi, kawannya pun bergegas mengikuti.
***
"Bedebah! Ini benar-benar sebuah penghinaan bagiku!"
lelaki gagah itu berteriak marah sambil menggebrak meja bulat
dengan telapak tangannya. Karuan saja meja itu hancur
berantakan!
"Apa isi surat itu, Kakang? Coba kulihat..," wanita cantik
berusia hampir empat puluh tahun yang duduk di sebelah lelaki
gagah itu bertanya dengan wajah penasaran. Diambilnya
lembaran yang berupa kulit kayu dari tangan lelaki gagah itu.
"Hm..., aku akan membuat perhitungan dengan Raja Iblis
Racun Merah! Sungguh berani iblis itu menculik anakku!" lelaki
gagah yang tak lain Datuk Tangan Malaikat itu kembali
mengomel seperti tak berkesudahan.
Wanita cantik yang berada di sebelah Datuk Tangan Malaikat
pun bangkit dari kursinya. Tangannya yang mungil itu terkepal
erat, hingga menimbulkan bunyi bergemeretak keras! Jelas ia
marah setelah membaca isi surat di tangannya itu.
"Kalau memang dia mempunyai keberanian, mengapa tidak
langsung saja menantang kita? Mengapa mereka harus
menculik putra kita? Apakah dia takut kalah? Lalu,
menggunakan putra kita sebagai sandera untuk
keselamatannya? Benar-benar licik sekali iblis tua itu!" geram
wanita cantik itu dengan wajah agak pucat. Ia khawatir sekali
atas keselamatan putranya yang bernama Puja Merta.
"Biar bagaimanapun, aku tetap akan menerima tantangan
itu! Akan kurobek tubuh Raja Racun Merah itu kalau sampai ia
berani mencelakai putra kita!" janji Datuk Tangan Malaikat
dengan wajah gelap, "Sekarang, kita harus mendatangi
kediaman Raja Iblis Laknat itu!" usai berkata, ia segera
mengajak istrinya untuk berkemas.
Istri Datuk Tangan Malaikat menganggukkan kepala. Tak
lama kemudian, terlihat sepasang suami istri pendekar itu
berangkat memenuhi tantangan Raja Racun Merah, yang
tertera di surat itu.
Matahari sudah bergeser ke sebelah Barat. Namun, pancaran
sinarnya tampak masih menyirami permukaan bumi dengan
teriknya. Bahkan tiupan angin yang bersilir lembut, menebarkan
hawa panas yang membuat udara menjadi pengap.
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak memasuki mulut
sebuah hutan kecil. Meskipun udara saat itu sangat tidak enak
untuk dinikmati, tapi bagi kedua sosok tubuh yang tengah
melangkah itu, sepertinya tidak menjadi halangan. Keduanya
tetap saja melangkah tenang, tanpa terburu-buru. Agaknya
mereka tidak merasa terganggu dengan udara panas siang itu.
"Hm...."
Ketika kedua sosok tubuh itu tengah melintasi sebuah
tempat yang agak terbuka di bagian dalam hutan, tiba-tiba
salah seorang dari kedua sosok itu menggeram lirih. Seiring
dengan geraman yang keluar dari mulutnya, sosok bertubuh
tinggi gagah itu memperlambat langkahnya. Sikapnya jelas
menandakan bahwa ia telah bersiaga penuh!
"Kau mendengar sesuatu, Kakang...?" tanya sosok ramping
yang berada di sebelahnya. Suaranya terdengar lirih. Meskipun
mulutnya bertanya, tapi sikap sosok tubuh ramping itu tetap
wajar. Langkahnya tetap terayun dengan tatapan mata lurus ke
depan.
"Hati-hatilah...!" sahut lelaki gagah di samping wanita cantik
itu. Meski jawaban itu singkat, namun mengandung peringatan
atas bahaya yang mungkin tengah mengintai! Dan, wanita
cantik itu pun sadar atas peringatan kawannya.
Meskipun kedua sosok tubuh itu telah curiga dengan
keadaan di sekitarnya, tapi sikap mereka terlihat tetap wajar.
Bahkan langkah kaki mereka pun terayun tanpa ragu.
Tapi, baru beberapa tombak mereka berjalan, mendadak
terdengar suara berdesingan gemuruh!
Singngng... singngng...!
Suara-suara mendesing tajam yang datang dari empat
penjuru itu, membuat suasana hening mendadak ribut!
Bersamaan dengan itu, tampak puluhan batang anak panah
meluncur datang! Sasarannya jelas kedua sosok lelaki dan
wanita yang tengah berjalan itu!
"Bangsat pengecut..!" terdengar lelaki gagah di sebelah
wanita cantik itu menggeram marah! Sambil memaki, sepasang
tangannya berputar cepat di depan dada. Terus melebar hingga
menimbulkan putaran angin yang menderu-deru!
Hebat sekali apa yang dilakukan lelaki gagah itu! Puluhan
batang anak panah yang mengancam tubuhnya, langsung
berjatuhan ke atas tanah! Padahal, anak-anak panah itu masih
satu tombak lebih dari tubuhnya! Benar-benar sebuah tenaga
dalam yang tinggi dan sukar untuk diukur!
Lain halnya dengan yang dilakukan wanita cantik di
sebelahnya. dengan sebilah pedang yang dicabut dari pinggang
kirinya, wanita cantik itu bergerak bagaikan orang yang sedang
menari-nari.
Trakkk... trakkk...!
Mengagumkan sekali! Puluhan anak panah itu terpental kian
kemari, akibat tangkisan pedang di tangan wanita cantik itu!
Sehingga, tak satu pun sejata gelap itu berhasil mengenai
tubuhnya. Semuanya runtuh dalam keadaan patah! Nyata
sudah kalau pasangan
sosok tubuh itu
merupakan tokoh-tokoh
persilatan berkepandaian
tinggi.
Bagi tokoh-tokoh
persilatan yang mengenal
kedua sosok tubuh itu,
tentu tidak akan merasa
heran. Bila serangan
gelap itu tidak berarti
sama sekali. Bahkan bisa
dianggap sebagai
permainan anak kecil!
Kalau saja kedua sosok
tubuh yang tidak lain
Datuk Tangan Malaikat
dan istrinya itu menghendaki, tentu bukan hanya anak-anak
panah itu saja yang dipukul runtuh!
Tapi, lelaki gagah yang berjuluk Datuk Tangan Malaikat itu
adalah seorang pendekar besar yang tinggi hati. Ia sengaja
menanti apa yang sejak tadi dicurigainya itu, bergerak lebih
dulu. Sepertinya Datuk Tangan Malaikat ingin menujukkan
kepada penyerang-penyerang gelap itu, mereka sama sekali
tidak merasa gentar meski lawan tidak terlihat.
Trakkk.. Trakkk...! Mengagumkan sekali yang dilakukan
Datuk Tangan Malaikat dan istnnya, dalam menangkis serangan
anak panah yang datang bertubi-tubi.
Lelaki gagah itu memutar-mutarkan sepasang tangannya,
sementara wanita cantik itu bagaikan sedang menari dengan
pedangnya!
Setelah sepasang suami istri itu memukul runtuh semua
anak panah yang mengancam tubuh mereka. Suasana pun
kembali hening dan mencekam. Meskipun begitu, keduanya
tetap berdiri tegak menanti gerakan selanjutnya dari para
penyerang gelap.
"Mengapa tidak kita paksa saja agar mereka muncul,
Kakang?" istri Datuk Tangan Malaikat berbisik sambil
merapatkan punggungnya ke punggung suaminya. Menilik dari
nada ucapannya, wanita cantik itu sangat marah dengan
penyerangan gelap terhadap diri mereka!
Tidak demikian halnya dengan Datuk Tangan Malaikat. Lelaki
gagah itu sama sekali tidak berpe-dapat demikian. Terdengar
jawaban yang mencerminkan kesombongan hatinya.
"Tidak, Istriku. Kita tunggu saja serangan selanjutnya dari
mereka. Biar mereka tahu, semua serangan yang dilakukan itu
tidak berarti sama sekali buat kita," sahut Datuk Tangan
Malaikat dengan nada penuh keyakinan terhadap
kepandaiannya.
Baru saja ucapan Datuk Tangan Malaikat selesai, kembali
terdengar suara berdesingan yang lebih ribut dari pertama!
Bahkan kali ini luncuran anak panah yang puluhan banyaknya
itu, menebar dari atas ke bawah! Jelas maksudnya untuk
menutup jalan lolos bagi pasangan pendekar itu!
"Hm...."
Datuk Tangan Malaikat hanya mendengus menyaksikan
serangan gelap itu. Untuk menghadapi serangan gelap yang
kedua itu, ia melakukan cara yang lain sama sekali. Lelaki
gagah itu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan
dada!
Trakkk.... Trekkk!
Apa yang dipamerkan lelaki tinggi gagah itu, benar-benar
luar biasa sekali! Puluhan batang anak panah yang meluruk ke
tubuhnya, langsung berjatuhan dalam keadaan patah. Jelas
Datuk Tangan Malaikat ingin mempertunjukkan kekebalan
tubuhnya dengan cara melapisi seluruh tubuhnya dengan
tenaga sakit. Dari sini saja sudah dapat dilihat, betapa
hebatnya tenaga dalam yang dimiliki lelaki gagah itu!
"Heaaah..!"
Setelah merasa cukup memamerkan kekuatan tubuhnya,
Datuk Tangan Malaikat tiba-tiba membentak sambil
menggerakkan kedua tangannya dengan kecepan kilat! Tahu-
tahu saja, belasan batang anak panah telah tergenggam di
kedua tangannya!
"Terima kembali senjata kalian ini, Manusia-manusia
Pengecut! Aku tidak membutuhkannya!" sambil membentak,
lelaki gagah itu mengibaskan kedua tangannya ke tiga arah!
Zingngng! Zingngng!
Menakjubkan sekali! Belasan batang anak panah yang
dilepaskan Datuk Tangan Malaikat meluncur deras sampai tiga
kali lipat kecepatan semula, sampai-sampai suara desingannya
terasa menyakitkan telinga!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Terdengar jeritan ngeri susul-menyusul ketika batang-batang
anak panah yang dilontarkan Datuk Tangan Malaikat lenyap
menerobos semak belukar! Dan, suara-suara jeritan itu
menujukkan bahwa senjata itu telah memakan tuannya sendiri!
"Hm..., biar tahu rasa mereka...," wanita cantik yang juga
telah memukul runtuh semua anak panah dengan pedangnya,
berdesis ketika mengetahui apa yang dilakukan suaminya. Pada
wajahnya terhias senyum kepuasan.
Setelah menanti beberapa lama, keadaan tetap sunyi, Datuk
Tangan Malaikat melangkah ke arah semak-semak di depannya.
Sedang istrinya mengikuti dari belakang lelaki gagah itu
mengerutkan keningnya ketika menemukan sosok-sosok
berpakaian merah darah yang tubuhnya tertembus anak panah.
"Hm..., mungkin mereka dikirimkan oleh Raja Racun Merah
untuk membunuh kita di perjalanan. Sayang raja iblis itu salah
perhitungan. Dikiranya kita mudah dilenyapkan dengan
menggunakan tangan keroco-keroco seperti ini," geram Datuk
Tangan Malaikat setelah memeriksa semua korban anak panah
yang dikembalikannya tadi. Melihat jumlah korban cukup
banyak, suami istri itu tersenyum puas.
"Entahlah ke mana perginya yang lain? Sepertinya mereka
telah melarikan diri, Kakang," ujar wanita cantik itu menatap
suaminya dengan wajah kurang puas. Sepertinya ia tidak setuju
dengan cara suaminya yang membiarkan sisa penyerang gelap
itu lolos.
"Hm..., menghadapi keroco-keroco seperti ini, hanya
merendahkan nama kita saja istriku. Aku sengaja melepaskan
yang lainnya, biar mereka tahu bahwa kita sama sekali tidak
gentar menghadapi segala macam kelicikan dan kecurangan,"
sahut lelaki gagah itu yang segera mengajak istrinya untuk
kembali melanjutkan perjalanan.
Suasana pun kembali dicekam kesunyian. Hanya tiupan
angin yang bersilir menebarkan bau anyir darah yang masih
segar....
DUA
Suasana siang yang pengap dengan sengatan terik sinar
matahari, dibuat gaduh oleh serombongan penunggang kuda.
Debu membumbung tinggi ke angkasa saat rombongan itu
melintasi jalanan bertanah merah.
Suara gaduh yang ditimbulkan derap kaki kuda, kian
bertambah ribut. Karena para penunggang kuda itu ikut
berteriak-teriak, sambil menggeprak perut kuda dengan kedua
kakinya. Sehingga, kuda-kuda tunggangan itu makin melesat
cepat disertai ringkik nyaring membeset angkasa.
Tidak lama kemudian, rombongan penunggang kuda yang
rata-rata berjubah merah itu, mulai menyusuri jalanan
berumput. Salah seorang dari rombongan yang berada paling
depan, mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, setelah
menarik tali kekang kudanya, dan berhenti secara mendadak.
Terdengar suara ringkik kuda saling bersahutan, saat seluruh
anggota rombongan serentak menarik tali kekang binatang
tunggangannya.
Lelaki terdepan yang memimpin rombongan, menatap
sebuah bangunan yang dikelilingi kayu bulat. Jarak antara
bangunan dengan rombongan itu sendiri, terpisah sekitar
belasan tombak.
"Hm..., jadi di sini rupanya bangunan Perguruan Tongkat
Baja berdiri...," terdengar kepala rombongan itu bergumam
perlahan. Sepasang matanya bersinar bengis, dan menyorot
tajam bangunan di depannya. Tentu saja ucapan lelaki itu tidak
memerlukan jawaban. Selain perlahan, ucapan itu sepertinya
hanya untuk diri sendiri.
Tapi dua orang penunggang kuda lain yang berada di kiri
kanannya, tampaknya mendengar apa yang diucapkan
pemimpinnya itu. Keduanya menatap lurus ke arah bangunan
yang seperti tengah diteliti lelaki bengis pimpinan mereka itu.
Terdengar salah seorang berwajah kurus dan berhidung
bengkok menyahuti.
"Memang di sinilah perguruan itu berdiri, Ketua. Sekarang
apa yang akan kita lakukan? Apakah kita muncul secara terang-
terangan atau langsung saja kita gebrak dan hancurkan
perguruan sombong itu sebagai pembalasan atas perbuatan
murid-muridnya?" ujar lelaki berhidung bengkok itu sambil
menatap wajah ketuanya, memohon petunjuk.
"Sebaiknya kita memang tidak perlu banyak bertanya lagi
dengan mereka, Ketua. Belasan orang kawan-kawan kita yang
tewas, harus dibayar mahal oleh mereka! Kalau perlu, bukan
hanya penghuninya saja yang kita bantai. Tapi, bangunan per-
guruan itu sebaiknya kita ratakan dengan tanah!" ujar lelaki
berkumis lebat di sebelah kiri sang Pemimpin itu mengajukan
usul. Namun nada suaranya terdengar berapi-api dan penuh
dendam.
"Hm...," lelaki berwajah bengis dengan sorot mata setajam
burung elang itu tidak menanggapi sama sekali ucapan kedua
orang pembantu utamanya. Pemimpin rombongan itu hanya
bergumam tak jelas.
Sedang rombongan puluhan orang anggota yang berada di
belakang ketiga orang itu tampak mulai gelisah. Ringkik
binatang tunggangan mereka terdengar sahut-menyahut
Sepertinya kuda-kuda itu pun sudah ingin segera bergerak dari
tempatnya.
"Langsung bunuh dan hancurkan perguruan itu...!" terdengar
perintah pemimpin berwajah bengis itu, datar dan dingin. Usai
berkata demikian, dibedalnya kuda hitam tunggangannya itu
hingga melesat bagai dikejar setan!
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Seiring dengan melesatnya kuda pimpinan rombongan itu,
terdengar teriakan-teriakan ramai yang disertai ringkik kuda-
kuda tunggangan mereka. Derap kaki kuda yang berjumlah
puluhan itu pun, kembali menggetarkan bumi!
"Hei, lihat! Ada serombongan orang berambut merah
mendatangi tempat kita!" terdengar suara teriakan nyaring dari
salah seorang penjaga yang berada di atas pintu gerbang
perguruan. Karuan saja teriakan itu membuat tiga orang
penjaga lain yang tengah berteduh di posnya, langsung
bergerak bangkit.
"Perampok Iblis Rambut Merah...!?" seru salah satu dari tiga
penjaga yang baru bangkit itu, dengan wajah agak pucat. Jelas
ia sangat terkejut ketika mengenali rombongan penunggang
kuda yang menuju ke arah bangunan mereka itu, "Cepat beri
tahu Kakang Kunta Reja...!"
"Baik..," sahut dua orang penjaga yang segera melesat turun
melalui anak tangga. Sedang dua lainnya tetap bersiaga di atas
pintu gerbang dengan senjata terhunus. Agaknya mereka telah
membaca gelagat yang tidak baik dari rombongan itu.
Saat itu, pemimpin rombongan telah tiba lebih dulu di depan
pintu gerbang yang bertuliskan Perguruan Tongkat Baja. Tanpa
banyak bicara lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung saja
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian
melangkah mendekati pintu gerbang.
Dua orang pembantu utamanya yang baru tiba, juga
melompat turun dari kuda mereka masing-masing. Kemudian,
mereka melangkah mengiringi pimpinannya. Salah seorang
yang berhidung bengkok berseru pelan.
"Ketua. Biar aku dan Badilang saja yang melakukannya...,"
ujar lelaki berhidung bengkok itu dengan suaranya yang
melengking seperti suara seorang wanita.
Lelaki tinggi kekar berwajah bengis itu hanya bergumam
perlahan. Kemudian menggerakkan kedua tangannya sebagai
tanda persetujuan. Setelah itu, ia melangkah mundur beberapa
tindak ke belakang. Sepertinya pemimpin rombongan Iblis
Rambut Merah itu memberikan kesempatan kepada dua orang
pembantu utamanya untuk mengerjakan apa yang semula ia
ingin dilakukannya.
***
"Hmh...!"
Kedua pembantu utama ketua gerombolan Iblis Rambut
Merah itu, terdengar menggeram berbarengan. Tubuh mereka
merendah dengan kedudukan menunggang kuda. Dua pasang
lengan yang berada di sisi pinggang itu tampak bergetar keras.
Jelas kedua orang itu tengah mengerahkan tenaga dalam, dan
siap melontarkan pukulan guna mendobrak pintu gerbang
Perguruan Tongkat Baja!
"Hei, mau apa kalian...!?" salah seorang dari kedua penjaga
yang berada di atas pintu gerbang, berseru dengan wajah
heran. Tampaknya kedua penjaga itu belum dapat menebak
apa yang hendak dilakukan kedua orang lelaki di bawah
mereka. Wajah keduanya baru berubah pucat setelah melihat
gerakan yang dilakukan kedua orang berjubah merah.
"Hei...!"
Sayang kesadaran kedua orang penjaga gerbang itu sedikit
terlambat! Berbarengan dengan teriakan terkejut mereka,
kedua orang lelaki berjubah merah itu sudah keburu
mendorongkan telapak tangannya dengan disertai bentakan
mengguntur!
"Hiaaah...!"
Wuuus.... Brakkk...!
Suara gaduh pun pecah saat kedua orang berjubah merah
itu melontarkan pukulannya, dan langsung membentur pintu
gerbang Perguruan Tongkat Baja! Potongan-potongan kayu
bulat beterbangan seiring dengan terbukanya pintu gerbang
itu!
"Aaa...!"
Dua orang penjaga yang tidak keburu turun dari tempat
jaganya, berteriak ngeri! Tubuh mereka terlempar ke bawah
seiring dengan suara berderak. Karena hancurnya sebagian
pintu gerbang Perguruan Tongkat Baja itu!
Tubuh kedua penjaga yang sial itu, meregang sesaat
sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.
Terbantingnya tubuh mereka dari ketinggian sekitar tiga
tombak itu, rupanya membuat nyawa mereka melayang
meninggalkan raga.
Kematian kedua orang penjaga pintu gerbang itu, tentu saja
bukan semata-mata karena jatuh dari ketinggian itu. Tapi,
getaran pukulan tenaga dalam yang juga menjalar ke tubuh
mereka, sehingga membuat keduanya tidak dapat
menyelamatkan diri.
"Bagus! Pukulan kalian ternyata banyak mengalami
kemajuannya, Sepasang Kumbang Setan. Aku yakin kalian telah
berlatih keras untuk mencapai tingkatan itu," puji lelaki
berwajah bengis yang merupakan kepala rombongan orang-
orang berjubah merah itu, sambil bertepuk tangan. Karuan saja
kedua orang pembantu utamanya itu menjadi bangga.
"Semua apa yang kami dapatkan, tentu tidak lepas dari jasa
dan kemurahan hati Ketua...," lelaki berkumis lebat yang
tubuhnya kekar berotot itu menyahuti dengan wajah berseri.
"Hm... mari kita masuk...," ujar lelaki berwajah bengis yang
berjuluk Harimau Cakar Setan. Usai berkata demikian, lelaki itu
melangkah melewati gerbang yang telah terbuka lebar. Dua
orang pembantu utamanya yang berjuluk Kumbang Setan itu
segera berjalan dan mengapit pimpinannya. Sedang di
belakang mereka, puluhan anggota Perampok Rambut Merah
mengikuti sambil berteriak-teriak.
"Berhenti...!"
Baru saja gerombolan perampok itu melewati gerbang,
terdengar bentakan nyaring yang membuat langkah mereka
terhenti.
"Bedebah! Apa yang kalian cari di tempat kami..?" seorang
lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, menyongsong
kedatangan gerombolan perampok itu dengan gagah berani.
Sedang di belakangnya, tampak belasan murid Perguruan
Tongkat Baja siap dengan senjata terhunus.
"Ha ha ha...!" Harimau Cakar Setan tertawa berkakakan
melihat sambutan yang meriah itu. Bukan hanya di belakang
lelaki gagah itu saja terdapat belasan murid. Bahkan di kiri-
kanan rombongan perampok itu pun tampak belasan murid
lainnya. Berarti gerombolan Perampok Rambut Merah itu telah
dikepung dari tiga jurusan. Namun, kepala rampok itu malah
tertawa dengan lagak yang pongah.
"Kakang Kunta Reja, untuk apa banyak bicara lagi. Dua
orang kawan kita telah menjadi korban akibat keganasan
mereka. Sudah, habisi saja perampok-perampok laknat itu!"
terdengar salah seorang dari belasan murid di belakang lelaki
bernama Kunta Reja itu berseru penuh nafsu. Sehingga, yang
lainnya pun ikut berteriak-teriak mendukung ucapan temannya
itu.
"Sabar. Kita harus tahu dulu, apa yang menjadi penyebab
kedatangan mereka ke tempat kita ini," lelaki gagah bernama
Kunta Reja membalikkan tubuhnya dan mengangkat tangan
untuk menenangkan suasana. Sebentar saja, suara ribut-ribut
itu pun lenyap. Jelas Kunta Reja merupakan tokoh yang cukup
disegani di Perguruan Tongkat Baja itu.
Tapi, usaha Kunta Reja ternyata sia-sia. Baru saja ia
menenangkan murid-muridnya, terdengar Harimau Cakar Setan
berteriak memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu!
Tentu saja Kunta Reja menjadi terkejut!
"Habisi mereka! Bakar perguruan ini...!" terdengar Harimau
Cakar Setan berteriak sambil menggeser langkahnya dan
memberi jalan untuk anak buahnya bergerak maju.
Sadar kalau tidak ada lagi cara untuk mencegah
pertumpahan darah, Kunta Reja segera menyambar tongkat
baja dari salah seorang muridnya. Kemudian, seluruh murid-
murid Perguruan Tongkat Baja diperintahkan menyambut
musuh-musuhnya!
Kunta Reja sendiri telah memutar tongkat bajanya hingga
menimbulkan angin tajam yang berkesiutan! Beberapa anggota
perampok yang terlanggar senjatanya, langsung berkelojotan
tewas! Dari sini sudah dapat diduga, betapa hebatnya
kepandaian yang dimiliki lelaki gagah itu. Sehingga, anggota
perampok yang melihat kehebatan lelaki gagah itu, langsung
menghindar.
Harimau Cakar Setan yang melihat kehebatan dan
keganasan Kunta Reja mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Sorot matanya tampak berkilat penuh kemarahan.
"Hm..., Sepasang Kumbang Setan, coba kalian hadapi lelaki
bertongkat baja itu. Kalau didiamkan, bisa habis anggota kita
terhantam tongkat bajanya," ujar Harimau Cakar Setan dengan
nada penuh kegeraman. Sedang sepasang matanya tetap
mengawasi gerak-gerik Kunta Reja yang ngamuk bagai banteng
luka itu.
Tanpa banyak tanya lagi, Sepasang Kumbang Setan segera
saja memasuki kancah pertarungan. Kedua lelaki berjubah
merah dengan garis putih di bagian pangkal lengan mereka,
langsung mendekati tempat Kunta Reja.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak tanya lagi, lelaki berkumis lebat yang
merupakan orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan,
segera menggebrak Kunta Reja dari sebelah kanan. Begitu
menyerang, sepasang kepalannya langsung berseliwiran
mengancam tubuh lawan!
Bettt! Bettt!
"Haiiit...!"
Sempat terkejut juga Kunta Reja mendengar desing angin
pukulan, yang saling bersusulan mengancam bagian-bagian
terlemah di tubuhnya. Lelaki gagah itu cepat menggeser
tubuhnya sambil memutar tongkat bajanya untuk melindungi
diri!
"Yeaaah...!"
Namun, ancaman terhadap Kunta Reja ternyata belum habis.
Dari sebelah kiri, terdengar suara bentakan keras, dan disusul
dengan sambaran angin pukulan lainnya. Ternyata lelaki
berhidung bengkok yang merupakan orang kedua dari Kum-
bang Setan itu, sudah pula tiba dan mengeroyoknya. Tentu
saja Kunta Reja menjadi sibuk dengan serangan yang datang
dari dua arah itu.
"Hiyaaah...!"
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring, Kunta Reja
menggenjot tubuhnya, dan langsung melambung setinggi dua
tombak! Setelah beberapa kali melakukan putaran di udara,
lelaki gagah itu mendaratkan kakinya di tempat yang cukup
luas. Kunta Reja memang sengaja memilih tempat yang
terpisah dari kancah pertempuran, agar tongkat bajanya dapat
bergerak lebih leluasa.
***
Sepasang Kumbang Setan yang kehilangan lawannya, segera
melesat melakukan pengejaran. Keduanya menjejakkan kakinya
di tanah dengan hentakan kuat, seketika itu juga tubuh mereka
melambung tinggi dan mendaratkan kakinya di tempat Kunta
Reja berada.
Kunta Reja ternyata seorang lelaki gagah bersifat jujur. Ia
sama sekali tidak berusaha menerjang tubuh kedua orang
lawannya, sebelum mereka benar-benar siap. Lelaki gagah itu
menanti tubuh lawannya mendarat sambil memutar-mutar
tongkat baja di tangannya. Baru setelah tubuh Sepasang
Kumbang Setan mendarat dan menyiapkan jurus serangannya,
Kunta Reja pun berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya.
"Hiaaat..!"
Wuuuk... Wukkk!
Tongkat baja di tangan Kunta Reja mengaung tajam, dan
meluruk mengancam tubuh kedua orang lawannya. Tentu saja
Sepasang Kumbang Setan tidak tinggal diam. Kedua orang
kepercayaan raja perampok itu, berpencar ke kiri-kanan dalam
keadaan mengepung lawannya. Kemudian, dari dua jurusan,
keduanya bergerak menerjang susul-menyusul!
Pertarungan ketiga orang tokoh dari golongan yang berbeda
itu, ternyata cukup seru dan sengit! Kegigihan Kunta Reja
dalam menghadapi kedua musuhnya patut dipuji. Karena
pertarungan telah melewati jurus ketiga puluh, ia masih saja
dapat melakukan perlawanan dengan baik. Bahkan serangan-
serangan balasan tongkat bajanya pun, sanggup membuat
kedua orang pengeroyoknya itu menjadi sibuk!
Sepasang Kumbang Setan menjadi penasaran bukan main.
Ternyata lawannya sangat ulet dan sulit untuk ditundukkan,
kendati mereka telah bekerja sama dengan baik dalam
melontarkan setiap serangan, selalu saja lawannya dapat
mengelak, dan memberikan serangan balasan yang tidak kalah
berbahaya dengan serangan mereka sendiri. Semua itu
membuat orang kepercayaan Harimau Cakar Setan menjadi
kalang kabut.
"Bedebah! Bangsat ini sulit sekali ditundukkan!" lelaki
berhidung bengkok mengumpat tak habis-habisnya. Rasa
penasaran nampak jelas membayang pada wajahnya.
Orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan itu pun, sama
penasarannya. Berkali-kali lelaki gemuk berkumis lebat itu
mencoba untuk mendesak Kunta Reja dengan serangan-
serangannya yang menimbulkan deruan angin keras. Tapi,
setiap kali serangannya datang, tongkat baja di tangan lawan
selalu saja dapat membuatnya mundur! Sehingga, lelaki
berkumis lebat itu pun menyumpah serapah dengan wajah
berang!
"Adi, 'Sengatan Kumbang Setan'...!"
Ketika pertarungan telah menginjak pada jurus yang
keempat puluh lima, tiba-tiba lelaki berkumis lebat itu berseru
mengingatkan saudaranya. Usai berkata demikian, tubuhnya
yang gemuk melompat mundur hingga satu setengah tombak
lebih.
Seruan itu sepertinya telah dimengerti dengan baik oleh
lelaki berhidung bengkok itu. Terbukti ia segera saja melesat ke
belakang ke arah saudara tuanya.
"Hmh...!"
Sesaat kemudian, terlihat kedua orang kepercayaan Harimau
Cakar Setan itu menggeram lirih. Menilik dari sikapnya, jelas
mereka akan mempergunakan ilmu andalan mereka yang
terakhir guna menundukkan Kunta Reja.
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kedua orang itu
melesat disertai dengan putaran tangannya! Gerakan-gerakan
yang nyaris tidak dapat ditangkap oleh pandangan mata Kunta
Reja itulah agaknya yang mereka maksudkan dengan 'Sengatan
Kumbang Setan'!
Kunta Raja yang melihat gerakan lawan dengan kening
berkerut, menjadi terkejut bukan main setelah merasakan
betapa hebatnya serangan yang dilancarkan pengeroyoknya
kali ini. Benteng pertahanan tongkat bajanya yang sejak tadi
selalu berhasil menggagalkan serangan lawan, kini sudah tidak
mempunyai arti lagi! Bahkan bukan hanya tongkatnya saja
yang terpental balik karena tak sanggup menahan lontaran
pukulan lawan. Kuda-kudanya pun tergempur mundur setiap
kali ia memapaki serangan dengan tongkatnya.
"Yeaaa...!"
Sepasang Kumbang Setan kembali berseru nyaring! Kunta
Reja benar-benar dibuat pusing oleh gerakan lawan yang
demikian cepat! Karuan saja lelaki gagah itu terdesak hebat!
Sehingga untuk membalas serangan lawan pun, ia sudah tidak
mampu lagi!
Wuuus...!
Wuuuk...!
Lelaki gagah yang sudah terdesak hebat itu hanya mampu
mengeluarkan pekik tertahan, saat dua pukulan pengeroyoknya
datang mengancam! Dan....
Buggg!
Desss!
"Aaakh...!"
Kunta Reja memekik ngeri saat dua buah pukulan dari
lawannya, menghajar telak tubuhnya! Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuh lelaki gagah itu terlempar deras ke belakang! Darah
segar menyembur, menandai Kunta Reja mengalami luka
parah!
Tubuh Kunta Reja yang terbanting menabrak tiang
penyangga bangunan utama, meregang sesaat, lalu diam tak
bergerak! Rupanya lelaki gagah itu tewas, karena tak sanggup
menahan pukulan lawan yang mematikan itu!
TIGA
Setelah berhasil menamatkan riwayat Kunta Reja, Sepasang
Kumbang Setan segera melangkah memasuki kancah
pertempuran yang masih berlangsung sengit! Tentu saja
masuknya kedua orang kepercayaan Harimau Cakar Setan,
membuat murid-murid Perguruan Tongkat Baja makin terdesak
hebat! Meskipun jumlah murid-murid Perguruan Tongkat Baja
jauh lebih banyak ketimbang lawannya, tapi gerombolan
berambut merah itu rata-rata memiliki kepandaian yang cukup
tinggi. Dengan masuknya Sepasang Kumbang Setan, membuat
murid-murid Perguruan Tongkat Baja semakin tak berdaya.
Begitu memasuki kancah pertempuran, Sepasang Kumbang
Setan langsung saja menggumbar pukulan dan tendangannya,
membuat korban di pihak murid-murid Perguruan Tongkat Baja
semakin banyak berjatuhan. Sepak terjang kedua orang
kepercayaan Harimau Cakar Setan itu memang menggiriskan
sekali! Setiap tangan dan kakinya bergerak, dapat dipastikan
korban-korban bertumbangan! Sehingga, dalam waktu yang
tidak terlalu lama, seluruh murid perguruan itu terbantai habis!
Mayat-mayat yang bergelimpangan dan saling tumpang
tindih, menebarkan bau anyir. Mereka, tinggalkan begitu saja
seperti bangkai tikus. Di bawah pimpinan Sepasang Kumbang
Setan, rombongan orang-orang berjubah merah itu bergerak
mendekati bangunan utama perguruan, tempat di mana Ketua
Perguruan Tongkat Baja tinggal. Tidak munculnya ketua
perguruan itu, membuat mereka semakin leluasa merusak apa
saja yang ditemuinya.
Harimau Cakar Setan sendiri mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Ia merasa heran melihat Ketua Perguruan Tongkat Baja
tidak juga menampakkan diri. Padahal, kegaduhan suara
pertempuran tadi, sanggup membangunkan seorang yang
sedang pingsan. Tentu saja hal itu membuat benaknya dipenuhi
berbagai pertanyaan.
Rasa penasaran membuat Harimau Cakar Setan melesat
mendahului anggota-anggotanya. Tanpa rasa kemanusiaan
sedikit pun, lelaki gemuk itu enak saja melepaskan pukulan
mautnya kepada wanita maupun anak-anak yang ditemuinya di
dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja.
"Hm...," Harimau Cakar Setan bergumam perlahan ketika ia
hendak melewati sebuah kamar yang besar. Sekali hantam
saja, pintu kamar itu langsung hancur berantakan!
"Ohhh...."
Harimau Cakar Setan menghentikan langkahnya di muka
pintu. Suara jeritan yang tertahan itu, membuat keningnya
berkerut. Dan, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu,
membuat lelaki gemuk berwajah bengis itu tertawa berkakakan.
Sepasang matanya yang tajam bagaikan mata elang, menatap
buas ke arah sosok tubuh ramping yang tengah bersembunyi di
sudut ruangan.
"He he he..., siapa kau manis, dan ke mana perginya Ketua
Perguruan Tongkat Baja yang bernama Panjarasa itu? Siapa
pula anak yang ada dalam dekapanmu itu...?" tegur Harimau
Cakar Setan terkekeh sambil melahap wajah ayu di depannya.
Wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan wajah
bulat telur itu, memang cukup memikat. Kulit wajahnya yang
kuning langsat dengan sepasang bibir menantang, membuat
mata Harimau Cakar Setan menjadi liar.
"Jangan ganggu aku dan anakku. Pergilah..., Kakang
Panjarasa tidak ada di sini. Ia pergi bersama dua orang
muridnya. Ada urusan yang harus diselesaikan," jawab wanita
ayu itu sambil mendekap erat tubuh anak lelaki berusia sekitar
sembilan tahun. Mata anak itu sendiri menatap wajah Harimau
Cakar Setan tanpa rasa takut sedikit pun. Hanya saja wajah
bocah itu agak bingung melihat ibunya menangis.
Bocah berusia sembilan tahun yang bermata jernih dan
tajam itu meronta dari dekapan ibunya. Dengan beraninya ia
melangkah menghampiri Harimau Cakar Setan. Ditelitinya
wajah lelaki gemuk itu dengan mata bocahnya yang masih
polos.
"Orang tua, kau siapakah? Mau apa kau mencari ayahku?
Mengapa kau menakut-nakuti ibuku? Kau pasti bukan kawan
ayahku. Sahabat ayah tidak pernah merusak pintu untuk masuk
ke sini...," suara bening bocah itu terdengar lantang dan
mencerminkan sikap gagah. Sehingga, Harimau Cakar Setan
sempat tertegun dibuatnya.
Sang lbu muda yang merasa ketakutan, segera meraih tubuh
anaknya dan dipeluknya kembali. Sambil berbuat demikian, tak
henti-hentinya ia berkata dengan nada menghiba.
"Pergilah, jangan ganggu kami, Orang Tua. Kalau kau
mempunyai keperluan dengan Kakang Panjarasa, kau cari
sendiri. Itu pun kalau memang kau seorang pemberani...," ucap
wanita muda itu di sela isaknya. Tubuhnya tampak gemetar.
Karena sebagai seorang wanita, ia tahu apa arti tatapan mata
buas dari lelaki gemuk itu.
"lbu, mengapa harus takut?" tantang sang Bocah sambil
berusaha melepaskan diri dari tangan ibunya yang berusaha
memeluknya. "Orang tua gemuk itu berani datang karena ayah
tidak ada. Kalau ayah ada, mungkin sudah dihajar ayah," ujar
bocah itu lagi sambil mengelus rambut kepala ibunya.
"Hm... ini benar-benar nasib baik namanya. Tidak bertemu
dengan orangnya, istrinya pun jadilah," gumam Harimau Cakar
Setan sambil menjelajahi tubuh molek di depannya, "Bocah,
dengarlah. Ayahmu justru saat ini tengah lari terbirit-birit
karena takut akan kedatanganku. Andai ayahmu ada di sini,
kepalanya akan kupukul pecah seperti pintu itu," ujar Harimau
Cakar Setan yang segera mengulurkan tangannya dan merebut
bocah itu dari tangan ibunya. Diangkatnya tubuh bocah itu
tinggi-tinggi. Sepertinya lelaki gemuk itu akan membanting
tubuh bocah itu.
"Jangan bunuh anakku! Kau setan pengecut! Mengapa tidak
kau cari saja Kakang Panjarasa...," wanita itu segera bangkit
sambil berusaha untuk merebut anaknya kembali. Tapi,
gerakan tangan Harimau Cakar Setan jauh lebih cepat.
Diraihnya tubuh molek itu ke dalam pelukannya.
"Hm..., kalau kau ingin anakmu selamat, ikutilah kemauanku.
Kalau tidak, terpaksa tubuh bocah ini kuhempaskan ke lantai,"
ancam Harimau Cakar Setan yang dengan rakusnya mulai
menciumi wajah wanita ayu itu.
"Bangsat kau! Manusia Iblis, lepaskan aku...!" wanita muda
istri Ketua Perguruan Tongkat Baja itu berusaha memberontak
dan menghindari ciuman Harimau Cakar Setan. Sehingga, lelaki
gemuk itu menjadi berang!
"Nah, pergilah!" bentak Harimau Cakar Setan yang segera
saja menghempaskan tubuh wanita itu hingga jatuh terguling di
lantai.
"Ibu..!" bocah cilik dalam genggaman Harimau Cakar Setan
berteriak memanggil ibunya. Ia meronta-ronta dalam
cengkeraman lelaki gemuk itu. Sayangnya cekalan yang
menjepit tubuhnya demikian kuat, hingga usahanya untuk
melepaskan diri sia-sia
"Sekali lagi kuberi kau kesempatan untuk berpikir. Kau pilih
melayani aku, atau tubuh bocah ini kubanting hancur ke lantai?
Jawab, kuhitung sampai tiga!" terdengar Harimau Cakar Setan
kembali mengancam.
"Satu...."
"Ohhh...," wanita ayu itu menangis sambil menatap wajah
anaknya yang berada di atas kepala lelaki gemuk itu. Mata
bocah yang jernih itu menatapnya polos, sehingga hati wanita
muda itu makin terasa diremas-remas.
"Dua...," kembali terdengar suara Harimau Cakar Setan
menghitung.
"Baik,.., tapi, lepaskan dulu anakku...," ujar wanita itu
karena tidak sanggup membayangkan tubuh anaknya yang
hancur di lantai, ibu muda itu terpaksa menuruti kemauan
Harimau Cakar Setan.
"Bagus. Itu tandanya kau sayang kepada anakmu," sambil
berkata demikian, Harimau Cakar Setan menurunkan tubuh
bocah itu dan menotoknya. Kemudian direbahkannya di lantai.
"Anakku..!" wanita ayu itu segera saja menghambur hendak
meraih tubuh anaknya. Tapi, langkahnya tertahan oleh tangan
kasar Harimau Cakar Setan.
"Kau harus melayaniku dulu, baru boleh me-nyentuh tubuh
bocah itu. Tapi ingat! Bila kau tidak bisa memuaskan aku,
bocah itu menjadi tanggungannya. Kau harus menganggap aku
sebagai suamimu, dan melayani dengan baik," ancam Harimau
Cakar Setan sambil terkekeh parau. Wanita malang itu hanya
bisa menganggukkan kepalanya di antara uraian air mata.
Sambil tetap memperdengarkan kekehnya yang memuakkan,
Harimau Cakar Setan menghempaskan tubuh molek itu ke atas
pembaringan. Bagai seekor harimau kelaparan, diterkamnya tu
buh wanita malang itu, yang hanya bisa pasrah melayani nafsu
bejad Harimau Cakar Setan.
Di ruangan lain, apa yang dilakukan Sepasang Kumbang
Setan pun tidak jauh berbeda dengan Harimau Cakar Setan.
Bahkan kedua orang lelaki ini bertindak lebih buas. Mereka
memaksakan kehendaknya kepada wanita-wanita yang berada
di dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja. Sedangkan
wanita tua dan anak-anak, dibantai tanpa ampun!
Puas melepaskan nafsu iblisnya, Sepasang Kumbang Setan
meninggalkan korbannya begitu saja, tidak dipedulikannya lagi
ketika anak buahnya saling berebut untuk ikut mencicipi tubuh
wanita-wanita malang itu. Setelah puas menyiksa wanita-
wanita itu, mereka enak saja memenggal kepala perempuan-
perempuan malang itu tanpa ampun! Benar-benar tindakan
mereka seperti iblis!
Dengan wajah berseri dan diiringi suara kekeh sesekali,
Sepasang Kumbang Setan membawa anak buahnya untuk
meninggalkan bangunan itu.
"He he he..., bagus manis, ternyata kau tidak
mengecewakan. Pantas saja Panjarasa memilihmu untuk
menjadi istrinya...," Harimau Cakar Setan terkekeh sambil
mengenakan pakaiannya. Sedang di atas pembaringan, tubuh
istri Ketua Perguruan Tongkat Baja tergeletak tertutup sehelai
kain. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan.
Harimau Cakar Setan sepertinya jengkel mendengar suara
isak tangis wanita ayu itu. Terdengar suara lelaki gemuk itu
menggeram lirih, sebelum meninggalkan kamar itu.
"Katakan kepada suamimu! Aku, Harimau Cakar Setan murid
dari Raja Racun Merah yang melakukan semua ini! Aku
melakukan semua ini, karena mereka telah membunuh belasan
orang anak buahku. Kalau suamimu ingin menuntut balas, aku
akan menantinya," ujar lelaki berwajah bengis itu kepada
wanita ayu yang tergolek di atas ranjang. Usai berkata,
Harimau Cakar Setan meraih tubuh bocah yang tengah
tergeletak di lantai. Diangkatnya tubuh putra Panjarasa itu, lalu
dilemparkannya hingga membentur dinding. Darah segar
muncrat menodai lantai dan dinding kamar itu. Lantaran kepala
bocah berusia sembelas tahun itu pecah!
"Aaah...!"
Mata istri Ketua Perguruan Tongkat Baja terbelalak dan
menjerit-jerit dengan suara yang memilukan. Karena tak
sanggup menahan guncangan batin, wanita itu terkulai tak
sadarkan diri.
"He he he...!"
Sambil memperdengarkan tawanya yang serak, Harimau
Cakar Setan melenggang meninggalkan kamar itu. Tidak ada
rasa sesal sedikit pun di wajah bengis itu. Sepertinya, hati
orang-orang seperti Harimau Cakar Setan dan anak buahnya
memang telah mati!
"Ayo, kita berangkat..!"
Sepasang Kumbang Setan dan para anggotanya, segera
menaiki kudanya masing-masing. Harimau Cakar Setan masih
tertawa-tawa tanda hatinya puas. Para anggotanya tahu, apa
yang membuat ketua mereka tampak gembira. Karena mereka
sempat mendengar jeritan wanita di kamar ketika ketua mereka
tadi masuk. Meski demikian, tak seorang pun dari anggota
Gerombolan Rambut Merah itu berani menanyakannya.
Termasuk Sepasang Kumbang Setan. Mereka hanya mengikuti
saja ketika lelaki gemuk itu memerintahkan untuk segera
meninggalkan Perguruan Tongkat Baja.
***
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian berwama kuning
cerah, melangkah sambil melenggang memasuki sebuah kedai
makan. Sosok yang sudah pasti seorang wanita itu, berdiri
sejenak di ambang pintu kedai memperhatikan ruangan lebar di
dalamnya. Beberapa saat kemudian, langkahnya segera terayun
ke arah sebuah meja kosong.
Setelah memesan minuman dan makanan, sosok berpakaian
kuning itu kembali merayapi sekitarnya. Wajah cantik yang
memiliki sinar mata galak itu, nampak berkerut keningnya.
Pandangannya segera tertuju ke arah dua orang lelaki yang
tengah berbincang beberapa meja dari tempatnya duduk.
"Eh!?"
Gadis cantik itu menarik tubuhnya ke belakang saat
mendengar salah satu dari kedua orang itu menyebut-nyebut
sebuah nama yang sangat dikenalnya. Hal itu membuatnya
penasaran, sehingga, ia mengarahkan pendengarannya agar
bisa menangkap lebih jelas.
"Kudengar Raja Racun Merah sudah mengundurkan diri dari
dunia persilatan. Mengapa kini muncul murid-muridnya
membuat keonaran? Bahkan kabarnya seluruh murid Perguruan
Tongkat Baja dibantai habis, saat Ki Panjarasa dan dua orang
murid utamanya tidak ada di tempat. Bukankah kekejian seperti
itu sudah tidak bisa didiamkan lagi?" terdengar ucapan salah
seorang dari keduanya yang berusia lebih muda memiliki raut
wajah gagah. Nada bicaranya jelas terdengar mengandung
kegeraman dan rasa penasaran. Dan, gadis cantik itu terhenyak
duduk di kursinya.
"Sungkana. Orang-orang sesat seperti mereka mana bisa
dipegang ucapannya. Apalagi seorang datuk sesat seperti Raja
Racun Merah. Ucapannya itu tentu hanyalah untuk menutupi
perbuatannya, agar ia tidak dipersalahkan. Sejak berita tentang
datuk itu mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku memang
tidak mempercayainya. Nah, sekarang ucapanku terbukti. Raja
Iblis itu sengaja menebar berita bohong, agar para tokoh
golongan putih menjadi lengah," ucap lelaki yang usianya lebih
tua sekitar tujuh atau delapan tahun dari kawannya. "Pada saat
kita semua lengah," ujar lelaki tua melanjutkan kata-katanya.
"Pengikut Raja Racun Merah dapat berbuat leluasa. Hal seperti
ini jelas tidak bisa kita diamkan begitu saja. Orang-orang
berhati Iblis itu harus mendapat hukuman yang setimpal. Biar
yang lain melihat, dan tidak lagi melakukan pembantaian keji
seperti yang kau dengar itu."
Ucapan-ucapan mereka jelas mencerminkan kalau mereka
berdua adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih, yang
merasa dendam terhadap Raja Racun Merah dan para
begundalnya itu.
"Hm..., orang-orang bermulut besar dan sombong! Apakah
kalian melihat sendiri kalau yang melakukan semua itu adalah
Raja Racun Merah? Atau kalian hanya mendengar saja, lalu
percaya terhadap fitnah yang keji itu?" tiba-tiba terdengar
sebuah teguran bernada mengancam. Ketika kedua orang lelaki
itu menoleh, mereka melihat seraut wajah cantik berpakaian
kuning cerah telah berdiri dekat meja mereka.
"Apa maksudmu dengan fitnah keji itu, Nisanak? Atau kau
orang segolongan dengan Raja Racun Merah? Kau tidak senang
kami menuduh manusia iblis itu berbuat jahat?" lelaki muda
yang berwajah gagah itu segera saja bangkit dengan wajah
gelap. Jelas ucapan gadis cantik itu tidak bisa diterimanya.
Lelaki yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sahabat
pemuda bernama Sungkana itu, ikut bangkit dan menyabarkan
kawannya. Lalu ditatapnya wajah cantik gadis berpakaian
kuning cerah itu dengan penuh selidik.
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau membela seorang
datuk sesat berwatak keji seperti Raja Racun Merah?" tanya
lelaki itu dengan kening berkerut. Lelaki itu tampaknya juga
tidak senang dengan teguran wanita muda yang berdiri dekat
meja makannya.
"Aku adalah orang yang sempat menyaksikan Raja Racun
Merah benar-benar telah bertobat! Kalau kalian tidak percaya,
boleh tanyakan kepada seorang tokoh perkumpulan pengawal
barang yang bernama Ki Mahinta! Orang tua gagah itu sempat
mendengar janji Raja Racun Merah. Bahkan ia sempat
menyelamatkannya dari keganasan para perampok!" ujar gadis
cantik itu berapi-api. Sehingga, kedua orang tokoh golongan
putih itu semakin curiga, dan ingin mengetahui siapa dan apa
hubungan gadis itu dengan Raja Racun Merah (Untuk lebih
jelasnya tentang tokoh bernama Ki Mahinta, pembaca dapat
menyimaknya pada episode "Keturunan Datuk-datuk
Persilatan").
"Hm..., sayang kau ketinggalan berita, Nisanak. Orang yang
bernama Ki Mahinta itu telah mengalami sendiri keganasan
Raja Racun Merah dan murid-muridnya. Belum lama ini barang
kawalannya telah dirampas oleh Gerombolan Rambut Merah.
Dan, gerombolan itu adalah murid-murid Raja Racun Merah.
Nah, apa yang akan kau katakan sekarang?" Sungkana yang
merasa jengkel dengan gadis cantik itu segera saja menukas.
Sehingga, gadis itu menjadi terkejut dan tidak bisa berkata apa-
apa untuk beberapa saat lamanya
"Bohong! Itu pasti fitnah...!" setelah terdiam beberapa saat,
gadis itu kembali membantah, meskipun kali ini ia tidak bisa
mengatakan alasannya.
"Nisanak. Seorang datuk sesat berhati keji seperti Raja
Racun Merah, mana mungkin bisa sadar dari kesesatannya?
Bisa saja kau mendengar kata-kata tokoh iblis itu. Tapi, orang-
orang seperti itu ucapannya tidak bisa dipegang. Kau sudah
dikelabuinya mentah-mentah," lelaki gagah di sebelah
Sungkana kembali menasihati gadis cantik itu.
"Janji Raja Racun Merah tidak mungkin bohong!" gadis
cantik itu masih berusaha membantah. Bahkan wajah dara itu
telah berubah merah dengan sorot mata memancarkan
kemarahan.
"Mengapa tidak mungkin! Orang jahat seperti..."
"Diam! Sekali lagi kalian berani mencela dan menghina
ayahku. Aku akan memisahkan kepala kalian dari badan,
mengerti?!" gadis cantik yang tidak lain dari Aryani itu
membentak marah. Tentu saja penjelasannya itu membuat
kedua orang lelaki gagah itu tersentak kaget seperti disengat
kalajengking.
"Aaah...!? Pantas saja kau membelanya mati-matian.
Rupanya kau pun sama jahatnya dengan ayahmu!" Sungkana
yang memang sudah jengkel dengan Aryani segera saja
melontarkan kejengkelannya. Apalagi setelah Aryani mengaku
sebagai putri datuk sesat itu, maka tak ayal lagi makian pun
terlontar dari mulutnya. Untuk berjaga-jaga, Sungkana segera
menggeser mundur tubuhnya.
Suasana di dalam kedai pun menjadi tegang, setelah Aryani
mengaku dirinya sebagai putri Raja Racun Merah. Datuk sesat
yang belakangan ini memang tengah ramai dibicarakan oleh
tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Beberapa orang
pengunjung sudah buru-buru angkat kaki meninggalkan kedai
makan itu. Sedangkan Sungkana dan kawannya telah
merenggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan
EMPAT
Sungkana, pemuda berwajah gagah itu menggeser
langkahnya agak mendekat ke arah kawannya. Wajah pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu nampak tegang. Ia
sadar kalau gadis itu pasti bukan orang sembarangan. Sebagai
seorang putri datuk sesat yang ditakuti, tentu gadis cantik
berpakaian kuning itu telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang ganas
dan keji.
"Kakang Purgawa," bisik Sungkana sambil tetap menatap ke
arah Aryani, "Gadis putri datuk sesat itu pasti sangat
berbahaya..."
"Hm..., aku sudah menduga demikian, Adi Sungkana. Lihat
saja tatapannya yang berkilat tajam itu. Tenaga dalam yang
dimilikinya pasti sangat tinggi. Kita harus berhati-hati...," jawab
lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu, juga berbisik tanpa
melepaskan pandangannya dari wajah Aryani. Bahkan jemari
lelaki gagah itu telah meraba gagang senjata yang tergantung
di pinggang kanannya.
"Kalian memang menusia-manusia sombong yang selalu
menganggap diri bersih. Mungkin setelah diberi sedikit
pelajaran, baru mata kalian dapat terbuka...," desis Aryani
dengan nada datar, tapi mengandung ancaman. Usai berkata
demikian, gadis cantik itu segera menggeser meja yang
menghalangi jalannya.
Sungkana dan Purgawa terbelalak melihat apa yang
dilakukan gadis cantik itu. Gerakan tangannya yang kelihatan
perlahan itu, ternyata sangat mengejutkan! Meja yang digeser
tangan halus itu melesat deras menghantam meja-meja
lainnya, sehingga menimbulkan suara gaduh! Bahkan beberapa
meja itu terlihat patah! Benar-benar sebuah pertunjukan tenaga
dalam yang hebat.
"Hik hik hik..., mengapa wajah kalian pucat, Pendekar-
pendekar Sombong? Rupanya hati kalian tidak sebesar mulut-
mulut kalian...," tawa Aryani terdengar menyakitkan. Apalagi
ucapannya yang jelas-jelas mengejek kedua orang lelaki gagah
itu. Karuan saja Sungkana yang berdarah panas segera
menggereng dengan wajah berubah merah.
"Kuntilanak! Siapa takut kepadamu! Apa kau kira kami tak
bisa melakukan apa yang kau pertunjukkan itu? Rasakan
kepalanku!" sambil membentak keras, Sungkana yang tidak
bisa menahan kemarahan segera melesat dengan disertai
lontaran pukulan yang menimbulkan angin menderu.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Aiiih, sayang luput…," ejek Aryani yang dengan mudahnya
menghindari serangan beruntun Sungkana. Sehingga hati
pemuda gagah itu kian terbakar. Tapi, Aryani tidak peduli sama
sekali.
Purgawa yang melihat Sungkana sudah bertarung dengan
gadis cantjk itu, semula enggan untuk mengeroyok. Sebagai
seorang lelaki, tentu saja ia merasa malu mengeroyok seorang
gadis muda. Meskipun gadis itu mengaku sebagai keturunan
seorang datuk sesat. Tapi, saat melihat betapa mudahnya gadis
cantik itu melayani Sungkana, Purgawa tidak bisa lagi
berpangku tangan.
"Awas serangan...!" sambil berteriak dengan maksud untuk
memperingatkan lawannya, Purgawa menerjunkan dirinya ke
dalam arena pertempuran itu. Sekali bergerak saja, tangan dan
kakinya langsung mengancam tubuh Aryani dengan
serangkaian serangan beruntun!
Aryani hanya mendengus mendengar peringatan lawannya.
Tanpa diberi diperintah, sebenarnya gadis cantik itu sudah
dapat mendengar suara desingan angin pukulan yang datang
mengancam dari belakangnya. Dan, semua itu tidak
menimbulkan kesulitan sama sekali bagi Aryani. Gadis cantik itu
dengan lincah menggeser tubuh ke samping. Kemudian,
langsung mengirimkan tendangan kilat, ketika serangan lawan
lewat tanpa hasil!
Purgawa yang memang sudah menduga kalau gadis itu
memiliki kepandaian tinggi, tidak menyangka sama sekali
gerakan lawan sangat cepat. Sadar untuk mengelak sudah tidak
mungkin lagi, maka Purgawa memutar telapak tangan yang
dihindari lawan tadi. Dan....
Plakkk!
"Aaah...!"
Kaget bukan main hati lelaki gagah itu ketika merasakan
betapa hebatnya tenaga yang mengalir di kaki lawan! Purgawa
sampai mengeluarkan pekik tertahan! Karena tangkisannya
justru membuat tubuhnya terpental dan nyaris jatuh!
Sedangkan lengan yang digunakan untuk menangkis, terasa
ngilu sampai ke tulang. Benar-benar suatu pengalaman yang
mengejutkan bagi Purgawa.
Sedangkan Aryani sendiri, tidak mempedulikan lagi Purgawa.
Karena, serangan Sungkana sudah mencecarnya. Untuk kali ini
Aryani sama sekali tidak berusaha mengelak. Gadis cantik itu
sengaja menanti serangan Sungkana, dan siap menangkis.
Wuuut! Bettt!
"Hiaaah...!" Aryani membentak nyaring saat pukulan
Sungkana datang mengincar perut dan pelipisnya! Gadis cantik
itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dengan
merendahkan kuda-kudanya, sepasang tangan Aryani bergerak
ke depan secara bersilang
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Sungkana mengeluh ketika merasakan lengannya seperti
membentur sepasang besi panas! Karuan saja pemuda itu
menarik pulang kedua tangannya. Tapi, Aryani tidak berhenti di
situ saja. Sepasang tangannya yang bersilang itu, berputar, dan
langsung menggedor dada Sungkana secara telak!
Bressshhh...!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gagah itu langsung
terjengkang. Jeritannya terdengar dibarengi semburan darah
segar yang mengotori lantai kedai!
"Sungkana...!?"
Purgawa berteriak kaget melihat tubuh Sungkana terjatuh
dan menghantam meja-meja kedai, hingga patah! Pemuda
gagah itu sendiri menyeringai kesakitan. Kedua tangannya
tampak sibuk memegangi dada dan pinggang yang terasa sakit.
Tentu saja pemandangan itu membuat Aryani tertawa geli!
"Hik hik hik..! Kau benar-benar lucu, Sungkana! Tingkahmu
itu persis seperti monyet kelaparan...!" ejek Aryani yang
memang sejak semula merasa sakit hati dengan ucapan-ucapan
kasar pemuda itu. Kini hatinya benar-benar merasa puas dapat
menertawakan pemuda gagah itu.
"Bangsat! Kau... kau... dasar perempuan setan...!" Sungkana
memaki-maki kalang kabut! Pemuda gagah itu menggertakkan
giginya kuat-kuat. Ia hanya bisa memaki untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya.
"Hik hik hk.. makilah sepuasmu, Pemuda Dogol! Karena
sebentar lagi kau tidak akan bisa memaki..," sambut Aryani
dengan bibir mengulas senyum mengejek. Nada ucapan gadis
itu jelas mengandung ancaman!
Purgawa yang menyadari maksud ucapan Aryani, segera
menyeret Sungkana keluar dari dalam kedai. Lelaki gagah itu
sudah melolos senjatanya untuk melindungi dirinya dan
Sungkana.
"Ah, hanya segitu sajakah keberanian pendekar-pendekar
gagah yang ingin memberi pelajaran kepada Raja Racun
Merah? Baru menghadapi aku saja kalian sudah jungkir balik.
Bagaimana hendak menangkap ayahku...?" kembali Aryani
mengejek kedua orang lawan yang diduganya hendak
melarikan diri itu.
"Kami tidak akan berbuat sepengecut itu, Kuntilanak. Mari
kita lanjutkan pertarungan di luar kedai," Purgawa yang juga
telah merasa jengkel, segera menyahuti ucapan Aryani. Dan,
ucapannya memang bukan sekadar omong kosong. Terbukti
setelah tiba di luar kedai, Purgawa dan Sungkana berdiri tegak
menanti kedatangan Aryani. Di tangan kedua laki-laki gagah itu
telah tergenggam senjata mereka masing-masing.
***
Aryani melangkah ringan dari dalam kedai. Gadis itu tampak
berdiri sejenak di pintu kedai sambil menatap kedua lawannya.
Kemudian, kembali melangkah pelan menghampiri kedua orang
lelaki gagah, yang sepertinya telah siap melanjutkan
pertarungan.
"Bersiaplah! Jaga mulut kalian...!" terdengar desis dingin dari
mulut Aryani saat ketiganya telah berhadapan dalam jarak satu
tombak. Baru saja gadis itu menyelesaikan ucapannya,
tubuhnya yang ramping sudah melesat dengan kecepatan
menggetarkan!
"Haiiit..!"
Purgawa dan Sungkana kali ini benar-benar tercekat!
Gerakan gadis cantik itu tampak demikian cepat, sepasang
mata mereka tidak mampu melihat gerakan gadis itu dengan
jelas! Cepat keduanya melompat mundur dan merenggang
dengan maksud untuk menggencet lawan dari dua arah.
Tapi, serangan Aryani kali ini tidak dapat disamakan dengan
serangan-serangan sebelumnya. Sepasang tangan gadis cantik
itu bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan yang
menimbulkan desingan angin tajam! Jelas Aryani sudah tidak
ingin lagi bertindak tanggung-tanggung!
Sungkana yang menjadi sasaran utama gadis cantik itu,
setengah mati menghindarkan diri. Untuk membendung
serangan lawan sesekali ia mengibaskan senjatanya! Sayang
gerakan pemuda itu kalah cepat dengan lawannya!
Akibatnya...!
Plakkk! Plakkk!
Desss...!
"Aaakh...!"
Sungkana kali ini tidak mungkin dapat menyelamatkan diri
lagi! Dua buah tamparan lawan yang menghajar telak
wajahnya, membuat wajah pemuda itu bengkak dan berwama
biru. beberapa buah giginya tanggal tanpa dapat dicegah!
Belum lagi sebuah gedoran keras yang menghantam dadanya.
Karuan saja tubuh pemuda gagah itu terjengkang disertai
semburan darah segar dari mulutnya!
"Bangsat keji...!"
Purgawa yang saat itu sudah tiba di belakang Aryani,
mengumpat marah! Pedang di tangannya langsung saja
berkelebat dengan pengerahan seluruh kekuatan dan
kecepatannya!
Aryani yang mendengar adanya desingan tajam dari sebelah
belakang, cepat memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah!
Begitu senjata lawan lewat di atas kepalanya, kepalan mungil
gadis cantik itu langsung meluruk tajam, dan menerpa tubuh
Purgawa tanpa ampun!
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Bagai dilemparkan tangan raksasa, tubuh Purgawa terpental
balik, dan jatuh berdebuk dengan kerasnya! Darah segar
menyembur membasahi bumi! Lelaki gagah itu mengerang lirih,
dan berusaha bangkit dengan susah payah!
"Hei...!"
Gadis cantik yang tengah melangkah perlahan menghampiri
Purgawa, menoleh cepat. Suara deruan angin pukulan yang
datang tiba-tiba itu, langsung saja membuat gadis cantik itu
melompat ke samping. Sehingga serangan itu luput!
Aryani, gadis cantik keturunan datuk sesat itu, menatap
tajam seorang lelaki gagah yang tadi berteriak dan
menyerangnya tanpa alas an.
"Hm..., siapa kau, Orang Tua? Mengapa tanpa hujan dan
angin kau menyerangku? Apa kau kawan dari tikus-tikus busuk
yang sombong itu?" tegur Aryani dengan nada tak senang
"Benar, aku adalah kawan dari kedua orang korban
kekejamanmu itu. Aku adalah Ki Panjarasa, Ketua Perguruan
Tongkat Baja," setelah berkata demikian, lelaki gagah itu
menoleh ke arah dua orang lelaki yang menyertai
kedatangannya, "Nah, mereka itu adalah murid-muridku,
Jarinta dan Gumang...," lanjut lelaki gagah itu memperkenalkan
kedua orang muridnya.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu?
Kedatanganmu tentu untuk membantu mereka bukan? Nah,
aku sudah siap...," tantang Aryani tanpa rasa gentar atau
terkejut sedikit pun. Gadis galak yang tidak pernah mengenai
takut itu, menatap Ki Panjarasa lekat-lekat.
Ki Panjarasa tidak mempedulikan tantangan Aryani sama
sekali. Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun itu,
melangkah menghampiri Purgawa yang masih terduduk lemah.
Karena lelaki itu tidak bisa bangkit akibat hantaman Aryani tadi.
"Hati-hati, Ki. Gadis itu adalah keturunan Raja Racun Merah
yang kau cari-cari itu. Kepandaiannya... tinggi sekali...,"
Purgawa terbatuk-batuk setelah memberitahukan kepada Ki
Panjarasa tentang gadis cantik itu.
"Benarkah apa katamu itu, Purgawa? Dan, karena persoalan
itukah kalian sampai bertarung?" tegas Ki Panjarasa yang
segera merunduk di dekat Purgawa. Menilik dari wajahnya, Ki
Panjarasa cukup terkejut dengan keterangan Purgawa.
"Benar, Ki.... Bagaimana keadaan Sungkana...?" sahut
Purgawa sambil menanyakan keadaan kawannya
"Maksudmu pemuda itu...." jawab Ki Panjarasa sambil
menunjuk ke arah tubuh Sungkana yang sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Lelaki gagah itu menggeleng penuh sesal. Tadi ia
sudah diberitahukan oleh Jarinta dan Gumang, pemuda
bernama Sungkana itu tidak bisa diselamatkan lagi.
"Ia... tewas...?" desak Purgawa yang menginginkan jawaban
tegas dari Ki Panjarasa.
"Menyesal sekali kedatangan kami terlambat Purgawa.
Kawanmu telah tewas beberapa saat yang lalu...," desah Ki
Panjarasa menundukkan kepala dengan desahan napas penuh
sesal.
"Bukan salahmu, Ki. Kesaktian gadis keturunan datuk sesat
itu memang sangat tinggi sekali...," Purgawa mendesah dengan
helaan napas berat.
"Hei... hei...! Mengapa kalian berubah seperti perempuan-
perempuan cengeng? Apakah aku disuruh menonton tingkah-
tingkah kalian yang menjemukan itu!" seru Aryani yang menjadi
jengkel melihat sikap orang-orang itu dengan menyumpah dan
melontarkan ejekan-ejekan yang menyakitkan. Sehingga, Ki
Panjarasa bangkit berdiri, dan menatap tajam wajah cantik di
depannya itu.
"Nisanak..," ucap Ki Panjarasa sambil menekan kemarahan di
dalam dadanya, "Seluruh murid, anakku, juga istriku telah
tewas di tangan murid-murid Raja Racun Merah. Meskipun
istriku tidak dibunuh secara langsung, tapi perbuatan orang-
orang biadab itu telah mendorongnya bunuh diri. Dan, kalau
kau memang benar keturunan datuk sesat tu, kau harus
bertanggung jawab atas semua kejadian itu," jelas Ki Panjarasa
dengan suara bergetar. Tampak di wajahnya kejadian itu masih
menyiksa batinnya.
"Hm..., ayahku memang pernah mempunyai beberapa orang
murid. Tapi, setelah ayah sadar dan mengundurkan diri dari
dunia sesat beliau telah menekankan kepada murid-muridnya
untuk meninggalkan kebiasan lama. Ayahku juga mengancam
akan menghukum mereka, apabila terdengar mereka kembali
berbuat kejahatan. Tapi, aku yakin semua itu hanyalah fitnah
yang keji dilemparkan kepada ayahku. Aku tetap
menyangkalnya...," sahut Aryani dengan suara ketus dan
sepasang mata berkilat tajam.
"Boleh jadi ayahmu pernah berkata untuk meninggalkan
dunia sesat. Tapi, apakah kau bisa menjamin kalau datuk-datuk
sesat kawan ayahmu itu datang dan mengajak bekerja sama
untuk membangkitkan kejayaan kaum sesat? Apa kau kira
ayahmu bisa menolak?" tukas Ki Panajarasa yang tetap tidak
mengubah tuduhannya kepada Raja Racun Merah. Lelaki gagah
itu sama sekali tidak dapat percaya kalau seorang datuk sesat
seperti Raja Racun Merah dapat meninggalkan segala
kebiasaan buruknya.
"Aku tetap tidak bisa menerima apa pun alasanmu, Orang
Tua! Bagiku, ayah adalah manusia terbaik di dunia ini. Tidak
seperti kalian manusia-manusia jahat yang bersembunyi di balik
nama kependekaran kalian. Padahal hati kalian busuk!" hardik
Aryani tetap tidak sudi bila ada orang yang menuduh ayahnya
jahat. Dan, untuk itu Aryani berani menghadapi siapa pun yang
menghina ayahnya.
"Hm..., kau akan kutangkap, agar Raja Racun Merah keluar
dari persembunyiannya, untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatannya!" ujar Ki Panjarasa tidak mau kalah.
Setelah berkata, lelaki gagah itu sudah bersiap untuk
menangkap Aryani.
"Bagus! Sebaiknya memang begitu. Untuk apa buang-buang
tenaga dengan segala omongan tiada guna!" desis Aryani yang
juga telah siap menghadapi lawannya.
"Yeaaat..!"
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, Ki Panjarasa
melesat secepat kilat! Sekali bergerak, kedua tangannya
langsung melontarkan dua buah pukulan yang mengancam
tubuh Aryani!
Aryani mendengus kasar. Gadis cantik itu cepat memutar
kedua tangannya dan mengeluarkan jurus andalan. Tampaknya
gadis itu ingin menyelesaikan pertarungan secepatnya.
"Haiiit..!"
Wuuut! Wuuut!
Sebentar saja, sekitar arena pertarungan telah dipenuhi
udara beracun yang memabukkan. Bau harum yang
memusingkan kepala menebar, ketika Aryani mengeluarkan
ilmu andalannya. Dan, dengan pengerahan tenaga dalam
sepenuhnya, gadis cantik itu dengan lincah memapaki serangan
lawannya!
Namun Ki Panjarasa bukanlah orang bodoh yang mudah
dikelabui gadis cantik itu. Lelaki gagah itu secepat kilat
menggeser tubuhnya ke samping dengan lompatan pendek!
Sepasang tangannya yang semula dimaksudkan untuk
melontarkan pukulan, diputar sedemikian rupa menghindari
benturan telapak tangan lawan. Lalu, dengan gerakan yang
cepat dan gesit, telapak tangan Ki Panjarasa melontarkan
sebuah tamparan ke arah bahu kiri lawan!
Wuuut!
"Haiiit...!"
Dengan tidak kalah gesitnya, Aryani memutar tangannya
yang semula terdorong ke depan. Sambil merendahkan kuda-
kudanya, wanita cantik itu memutar sikunya dan langsung
memapaki telapak tangan lawan! Gerakannya yang cepat bagai
kilat, tak sempat lagi dielakkan Ki Panjarasa!
Plakkk...
"Uhhh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Ki Panjarasa terdorong mundur
disertai keluhan lirih. Benturan yang cukup keras itu hampir
saja membuat Ki Panjarasa terjatuh! Untunglah kuda-kudanya
sangat kokoh! Sehingga, ia masih dapat menyelamatkan dirinya
dengan sebuah putaran tubuh yang mengagumkan!
"Gila...!" desis Ki Panjarasa sambil menatap tajam wajah
gadis cantik itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tenaga
dalam yang dimiliki gadis itu sangat tinggi!
Kini keduanya saling menatap dengan tajam. Tak satu pun
dari mereka yang berniat mendahului.
LIMA
Jarinta dan Gumang, dua orang murid utama Ki Panjarasa
bergerak merenggang dan mengepung Aryani. Melihat betapa
guru mereka dapat dipukul mundur oleh gadis berpakaian
kuning itu, mereka pun segera membantu tanpa diperintah
gurunya.
Mereka sadar kalau yang dihadapi Ki Panjarasa kali ini
bukanlah gadis sembarangan. Melainkan seorang keturunan
datuk sesat yang terkenal kesaktian dan kekejamannya. Alasan
itulah yang membuat keduanya segera turun tangan tanpa
diperintah.
Gumang, murid tertua Ki Panjarasa segera melemparkan
tongkat baja di tangannya, yang segera ditangkap oleh Ketua
Perguruan Tongkat Baja. Sedang dia sendiri sudah
menggunakan sebuah tongkat baja putih, yang ukurannya lebih
kecil dari milik Ki Panjarasa. Melihat dari senjata yang
digunakan Gumang, jelas murid tertua itu telah mewarisi ilmu
'Tongkat Penghancur Gunung' yang merupakan ilmu andalan Ki
Panjarasa.
Demikian pula dengan Jarinta. Lelaki tinggi kurus bertubuh
padat itu, juga telah menggenggam sebatang tongkat baja
putih yang ukurannya sama dengan milik Gumang.
Kedua orang murid andalan Perguruan Tongkat Baja itu
tentu telah mewarisi ilmu tongkat gurunya. Mereka berdua
tampaknya dipercaya oleh Ki Panjarasa.
Wuuuk! Wuuuk!
Ki Panjarasa memutar-mutar tongkat baja putihnya hingga
menimbulkan deruan angin mengaung tajam! Daun-daun
kering dan bebatuan kecil beterbangan, menandakan kekuatan
yang tersembunyi di dalam ilmu tongkat itu tidak bisa
dipandang rendah!
Begitu pula dengan Jarinta dan Gumang. Kedua orang murid
utama Ki Panjarasa itu memutar-mutar tongkat bajanya, sambil
melangkah perlahan mengitari Aryani yang berada di tengah
ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja. Agaknya ketiga
lelaki gagah itu hendak menjepit lawannya dari tiga arah.
Aryani sendiri masih tampak tenang. Wajah dara cantik itu
sama sekali tidak menggambarkan rasa gentar. Hanya
sepasang matanya saja yang mengikuti gerakan ketiga orang
lawannya. Sepertinya gadis cantik itu sengaja menunggu
lawannya mulai menyerang. Tindakan Aryani tentu saja me-
nandakan kecerdikan otaknya. Karena jika lawan menyerang
lebih dahulu, ia dapat menebak dan tindakan Aryani itu sama
sekali bukan karena ia merasa gentar menghadapi keroyokan
lawannya. Sebagai seorang keturunan datuk sesat tentu saja
bukan hanya sekadar ilmu silat tinggi yang diturunkan ayahnya.
Raja Racun Merah pun pernah menceritakan kepada putrinya
itu tentang adanya ilmu gabungan yang dijalankan lebih dari
dua atau tiga orang. Meskipun rata-rata ilmu silat lawan berada
di bawahnya, namun apabila lawan menggunakan ilmu
gabungan bisa jadi ia sendirilah yang mungkin akan celaka di
tangan lawan-lawannya.
Nasihat ayahnya itulah yang membuat Aryani tidak mau
bertindak ceroboh. Ia ingin melihat dulu, apakah ketiga orang
pengeroyoknya itu menggunakan ilmu gabungan, atau hanya
keroyokan biasa. Untuk mengetahui hal itu, Aryani menunggu
serangan lawan, agar ia dapat menilainya.
Ki Panjarasa dan kedua orang muridnya, tampak mengitari
gadis itu dengan berpindah-pindah tempat. Terkadang
kedudukan Ki Panjarasa berada tepat di depan Aryani. Di lain
saat, orang tua gagah itu bisa berada di belakang lawannya.
Jelaslah kini bagi Aryani bahwa ketiga lawannya menggunakan
ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh tiga orang secara
kompak dan saling melindungi.
"Hm...," Aryani bergumam sambil tetap berdiri tanpa
bergeming sedikit pun. Gadis cantik itu terlihat mulai
merenggangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda.
Sepasang tangannya tampak meliuk ke atas kepalanya. Dari
getaran-getaran dan juga bau wangi yang ditebarkannya, jelas
kalau gadis cantik itu menggunakan ilmu andalannya guna
menghadapi Ki Panjarasa dan dua orang muridnya.
"Haiiit..!"
Mendadak! Gumang yang berada di depannya berteriak
nyaring disertai dengan lompatan panjang ke arah Aryani.
Tongkat Baja di tangan lelaki gemuk itu berputaran sehingga
menimbulkan suara mengaung ribut!
Cepat Aryani melompat ke samping, mengelakkan terjangan
tongkat baja yang lurus mengancamnya. Kening gadis cantik itu
baru berkerut ketika menyadari kalau gerakan Gumang hanya
sekadar tipuan dan bukan penyerangan sungguh-sungguh!
Karena serangan itu belum mencapai tubuhnya, Gumang
kembali berseru nyaring, dan tubuh lelaki gemuk itu telah
melambung melewati kepala lawannya! Sayang kesadaran
gadis cantik itu sedikit terlambat! Selagi ia tertegun dengan
gerakan tipu Gumang, Jarinta yang berada di sebelah kirinya
tahu-tahu telah membabatkan tongkat bajanya dan
mengancam kedua kaki gadis cantik itu! Aryani langsung
melesat ke depan menghindari serangan itu!
Baru saja kedua kaki Aryani menjejak tanah, terdengar
sebuah desingan nyaring yang nyaris menulikan telinganya.
Gadis cantik itu sempat terkejut melihat datangnya ujung
tongkat baja yang siap menghunjam batok kepalanya!
"Haiiit..!"
Sambil memekik nyaring, Aryani melompat dan memutar
tubuhnya! Lagi-lagi serangan yang dilancarkan Ki Panjarasa itu
hanyalah sebuah tipuan, dan bukan serangan sungguh-
sungguh! Sehingga....
Bukkk!
"Aaakh...!?"
Aryani yang baru saja hendak menjejak tanah, memekik
kesakitan! Sebuah kibasan tongkat yang cukup keras,
menghantam telak punggungnya! Karuan saja tubuh gadis itu
terjerunuk ke depan! Meskipun ia telah melindungi tubuhnya
dengan tenaga sakti, tetap saja gadis itu meringis menahan
rasa nyeri yang menggigit punggungnya!
"Setan...!" Aryani menyumpah sambil menatap tajam lelaki
gemuk yang telah menyarangkan pukulan tongkatnya di
punggung gadis itu. Orang itu tak lain adalah Gumang, lelaki
yang pertama kali membuka serangan!
Gadis cantik keturunan datuk sesat itu tidak sempat berpikir
panjang. Pada saat bersamaan, ketiga orang lawannya telah
menerjang secara berbarengan! Karuan saja Aryani
mengerutkan keningnya. Karena cara kerja lawan-lawannya
telah berubah sama sekali!
"Kurang ajar...!" lagi-lagi Aryani mengumpat kesal. Gadis
cantik keturunan datuk sesat itu benar-benar dibuat jengkel
oleh lawan-lawannya.
Kali ini Aryani mengambil sikap nekat! Karena ia tidak tahu
apakah serangan itu sungguhan atau sekadar tipuan, maka
gadis itu mengambil sikap menanti! Kedua kakinya dibuka
sedikit dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Aryani
siap menyambut datangnya ketiga batang tombak baja lawan!
Lagi-lagi gadis cantik itu terpaksa harus menelan
kejengkelannya. Hatinya yang sudah tegang menanti
datangnya serangan tongkat lawan, berubah menjadi jengkel!
Betapa tidak, pada saat ketiga batang tongkat itu tinggal
beberapa jengkal lagi dari tubuhnya, tahu-tahu saja ketiga
lawannya berteriak secara bersamaan. Berbarengan dengan itu,
Ki Panjarasa, Jarinta, dan Gumbang tiba-tiba saja tubuhnya
melenting ke udara berpencaran! Serangan mereka ternyata
hanya sebuah tipuan untuk membuat lawan terombang-ambing
perasaannya.
"Yeaaah...!"
Belum lagi ketegangan di hati Aryani lenyap, tiba tiba Ki
Panjarasa berseru nyaring sambil menusukkan ujung
tongkatnya ke tubuh gadis cantik itu! Serangan yang jelas
mengandalkan kekuatan penuh itu, ternyata sebuah serangan
yang mematikan, dan sepertinya memang bukan sebuah
tipuan!
Menyadari gerakan ketiga orang pengeroyoknya memiliki
banyak tipuan yang tidak diketahui, maka Aryani mengambil
keputusan untuk tetap tenang. Ia bertekad tidak akan
menghindar serangan lawan sebelum mengancamnya. Tekad
itu membuat Aryani tidak berusaha menghindari, gempuran
tongkat baja Ki Panjarasa! Meski serangan itu terlihat sungguh-
sungguh, gadis itu tidak mempedulikannya. Ia tidak mau
terkecoh untuk kesekian kalinya!
Sayang perkiraan Aryani meleset. Ujung tongkat baja Ki
Panjarasa meluncur deras mengancam tubuhnya. Gadis itu
tidak berusaha untuk menghindar. Ia menanti hingga ujung
tongkat lawan benar-benar dekat dengan tubuhnya!
Wuuuk!
"Hihh...!"
Aryani sempat memekik kaget ketika ujung tongkat itu,
ternyata benar-benar akan menghantam tubuhnya! Cepat gadis
cantik itu berkelit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan Ki
Panjarasa lewat setengah jengkal di depan tubuh gadis cantik
itu! Langsung saja Aryani menggerakkan tangannya dari atas
ke bawah dengan maksud untuk merebut tongkat itu dari
tangan lawan! Sambil berbuat demikian, ia merendahkan kuda-
kudanya, dan mengirimkan tebasan tangan kiri ke leher
lawannya!
Bettt!
Tebasan tangan kiri dan cengkeraman Aryani pada tongkat
lawan, mengenai angin kosong! Karena secara tak terduga, Ki
Panjarasa membungkuk dengan kuda-kuda yang sangat
rendah! Dan, lelaki gagah itu menyusulinya dengan
menyontekkan ujung tongkatnya dan mengancam dagu gadis
cantik itu! Karuan saja serangan itu membuat Aryani terkejut!
Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang menghindari
hantaman tongkat pada dagunya!
Tapi, gadis cantik itu terpaksa harus menelan pil pahit untuk
kedua kalinya! Pada saat tubuhnya terlontar ke belakang, tahu-
tahu saja sebatang tongkat yang berada di tangan Jarinta,
telah menghajar punggungnya dengan keras!
Buggg!
"Aaakh...
Aryani memekik kesakitan! Hantaman keras itu membuat
tubuhnya meluncur tidak terkendali! Sehingga, tubuh gadis
cantik itu terbanting di atas tanah!
"Bangsat! Setan Keparat...!" Aryani memaki kalang kabut.
Gadis cantik itu menyusut sudut bibirnya yang tampak
mengalirkan darah! Jelas hantaman tongkat baja Jarinta telah
membuat tubuh gadis cantik itu mengalami luka dalam. Mes-
kipun tidak terlalu parah, tapi cukup membuat Aryani mati kutu
oleh ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja itu.
Dengan sepasang mata berkilat tajam, Aryani bangkit berdiri.
Sikap gadis cantik itu tak ubahnya seperti binatang buas yang
terluka! Kikitan nafsu membunuh terlihat jelas pada sinar
matanya.
"Meskipun aku harus mati, tapi kalian semua tidak akan
kubiarkan hidup!" ujar Aryani sambil melesat menerjang
Gumang, lawan yang terdekat dengannya.
"Yeaaat..!"
Sayang Aryani lebih banyak mempergunakan kemarahannya
dalam menghadapi ilmu tongkat gabungan itu. Kalau saja ia
mencoba untuk berpikiran jernih dan mau memecahkan
kelemahan ilmu lawan, rasanya tidak terlalu suit. Karena dara
cantik itu miskin pengalaman, tidak mengherankan bila ia
mempergunakan kemarahan dan emosinya dalam melayani
keroyokan lawan. Tentu saja tindakan itu tidak menguntungkan
dirinya. Malah sebaliknya, ia sendiri yang akan menderita
kerugian dengan tindakan emosinya!
Aryani menerjang kalang kabut bagaikan kerasukan setan.
Beberapa kali hantaman tongkat lawan tidak lagi dirasakannya.
Ia hanya berpikir, bila ia harus tewas, paling tidak ia mesti
membawa salah seorang dari lawannya ke alam kematian!
Tekad itu pula yang membuatnya tidak mempedulikan
hantaman tongkat baja lawan pada tubuhnya.
Malang sekali nasib keturunan Raja Racun Merah itu.
Tubuhnya jungkir balik dipermainkan Ki Panjarasa dan kedua
orang muridnya! Wajah cantik itu pun berubah pucat dan
kebiruan karena terlalu banyak pukulan yang harus diterima!
Tapi dengan gigih Aryani melakukan perlawanan mati-matian
demi membela nama ayahnya!
"Haiiit..!"
Desss...!
Aryani kembali memekik kesakitan ketika sebuah hantaman
tongkat lawan kembali menyengat tubuhnya! Darah segar
meleleh membasahi pakaiannya! Tapi, gadis cantik itu
memaksa bangkit untuk melakukan perlawanan!
Bresssh...!
Putri Raja Racun Merah menggulingkan tubuhnya menjauhi
ujung tongkat yang mengincarnya! Sehingga, hantaman
tongkat baja Gumang menghantam tanah, tempat di mana
Aryani semula berada! Untunglah gadis cantik itu lebih dahulu
menghindar! Kalau tidak, mungkin batok kepalanya terkena
hantaman ujung tongkat lawannya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi Aryani sempat bangkit tegak, sebuah ujung
tongkat lain datang mengancam tubuhnya! Melihat serangan
yang datang demikian cepat dan kuat itu, sepertinya sulit bagi
Aryani untuk menghindarkan diri! Apalagi keadaan tubuhnya
sudah mulai lemah!
Wuuuk!
Gadis cantik itu terpaksa menanti datangnya maut dengan
tatapan tajam! Kedua kakinya yang terasa lemah dan sukar
untuk digerakkan membuatnya terpaksa mengangkat tangan
guna melindungi kepalanya dari hantaman maut lawan!
Ki Panjarasa yang merasa yakin sasarannya tidak akan
selamat, semakin menambah kekuatan pada ujung tongkatnya.
Sehingga suara mengaung yang ditimbulkannya semakin ribut!
"Tahan...!"
Pada saat yang benar-benar berbahaya itu, riba-tiba
terdengar sebuah bentakan keras yang mengguntur!
Berbarengan dengan terdengarnya seruan keras itu, sesosok
tubuh berkelebat bagaikan kikitan sinar yang langsung
memapaki luncuran ujung tongkat Ki Panjarasa!
***
Plakkk...!
Terdengar sebuah benturan keras yang memekakkan telinga!
Berbarengan dengan itu, tampak tubuh Ki Panjarasa terpental
bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak!
"Aaakh...!?"
Ki Panjarasa memekik kaget! Di balik rasa terkejutnya, ada
rasa keheranan menyelinap di lubuk hatinya. Meskipun jelas-
jelas tubuhnya terpental, tapi sama sekali tidak merasakan
adanya kenyerian pada lengannya yang memegang tongkat!
Padahal, menurut dugaannya, paling tidak ia pasti akan
menderita luka dalam akibat benturan keras itu! Ternyata ia
hanya terlempar sejauh satu setengah tombak, dengan tubuh
terasa ringan bagaikan tidak berbeban!
"Aryani, kau... bagaimana dengan lukamu...?" sesosok tubuh
terbungkus jubah putih tampak tengah merunduk dan mencoba
untuk menarik bangkit tubuh Aryani. Pancaran kabut bersinar
putih keperakan tampak masih tersisa pada tubuhnya.
"Kakang Panji...!?" bibir mungil yang dipenuhi noda darah itu
berdesis perlahan dan hampir tidak terdengar. Ada genangan
air mata tampak di mata indah itu. Jelas Aryani merasa terharu
dengan kehadiran pemuda tampan berjubah putih itu. Gadis itu
sadar kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya
kembali.
"Benar, kami yang datang, Aryani...," terdengar suara halus
yang merdu. Berbarengan dengan itu, seorang dara jelita
melangkah menghampiri Panji dan Aryani. Siapa lagi gadis jelita
berpakaian serba hijau itu kalau bukan Kenanga.
"Ah, aku selalu saja membuat kalian repot..," desis gadis
cantik itu sambil berusaha berdiri tegak dipapah oleh pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Sudah tahu begitu, mengapa kau lari dari kami...? Dasar
kau saja yang bendel...," sahut gadis jelita berpakaian serba
hijau itu sambil mengulur tangannya dan menggantikan Panji
memapah tubuh Aryani. Aryani sendiri sama sekali tidak marah
dengan ucapan gadis cantik itu. Karena, ia tahu meski ucapan
itu agak ketus, tapi Kenanga tidak benar-benar marah
kepadanya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak mau melibatkan kalian
dalam urusanku ini...," sahut Aryani dengan tatapan mohon
pengertian dari gadis jelita itu. Tampak Aryani merasa
menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap
pasangan pendekar yang sangat baik terhadap dirinya.
"Hm..., nyatanya kami terlibat juga, bukan...?" balas
Kenanga tersenyum menggoda.
Aryani hanya menarik napas mendengar ucapan Kenanga.
Gadis cantik itu merasa terharu bukan main atas kebaikan
pasangan pendekar terkenal itu. Padahal, mereka baru kenal
beberapa hari. Tapi, pasangan pendekar itu telah banyak
melepas budi kepadanya. Dua kali nyawanya diselamatkan dari
kematian. Dan itu bukan jasa yang kecil menurut pikiran Aryani.
Dalam hati, ia berjanji akan membalas jasa pasangan pendekar
itu, meski ia tidak tahu bagaimana caranya.
Kenanga yang membawa Aryani ke tempat yang aman,
segera mengobati luka-luka yang dialami gadis keturunan daruk
sesat itu. Sepertinya gadis jelita itu percaya sepenuhnya bahwa
Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih,
dapat menyelesaikan persoalannya dengan baik. Pikiran itu
yang membuatnya tenang dalam melakukan pengobatan
terhadap Aryani
ENAM
Jarinta dan Gumang merapat mendekati Ki Panjarasa. Dua
orang murid utama Ketua Perguruan. Tongkat Baja itu benar-
benar terkejut melihat guru mereka terpental. Kendati mereka
tidak tahu penyebabnya, namun jelas semua itu terjadi karena
kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka
menduga pasti dikarenakan tindakan pemuda berjubah putih
itu. Maka, Jarinta dan Gumang mendekati gurunya, dan siap
membantu.
Ki Panjarasa sendiri sempat tertegun menatap pemuda
berjubah putih itu. Setelah meneliti beberapa saat lamanya, ia
teringat dengan lelaki gagah itu, seorang pendekar muda yang
pada masa itu sangat terkenal di kalangan rimba persilatan.
Melihat ciri-ciri pemuda di depannya, Ki Panjarasa mulai dapat
menebak siapa sesungguhnya pemuda gagah dan tampan itu.
"Kisanak, bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" tanya Ki Panjarasa melangkah maju beberapa tindak
mendekati Panji. Jarinta dan Gumang tetap mengiringi guru
mereka dengan sikap slap untuk bertarung.
"Begitulah, orang-orang persilatan menyebutku, Paman.
Maaf, kalau aku telah membuat Paman terkejut..," jawab Panji
dengan wajah yang tetap tenang dan penuh senyum.
"Hm..., tahukah kau, siapa gadis cantik yang kau selamatkan
itu? Dia adalah putri seorang datuk sesat berhati iblis yang
berjuluk Raja Racun Merah! Serahkanlah dia kepada kami...,"
lanjut Ki Panjarasa dengan tekanan nada agak berat dan
setengah memaksa
"Aku tahu, Paman. Bahkan sebelumnya aku telah mengenal
gadis yang bernama Aryani itu. Sayang tuduhan Paman keliru.
Aryani tidaklah sejahat yang Paman kira. Bahkan ayahnya pun
telah sadar akan kesesatannya. Itulah sebabnya aku berani
menyelamatkan gadis itu," jawab Panji tetap tenang dan tidak
terpancing oleh nada ucapan lawannya.
"Kau tahu, Pendekar Naga Putih. Raja iblis itu kini telah
mengutus murid-muridnya untuk membuat kekejaman. Salah
satunya yang menjadi sasaran adalah keluarga dan seluruh
murid-murid perguruanku. Semuanya dibantai habis secara keji
dan biadab! Nah, apakah perbuatan pengikut iblis-iblis itu harus
kubiarkan berkeliaran begitu saja? Salahkah kalau aku berniat
untuk menawan gadis itu, agar ayahnya datang mencariku?"
nada ucapan Ki Panjarasa mulai meninggi karena terbawa
emosi dan dendam.
"Tapi, semua itu belum tentu benar, Paman. Siapa tahu ada
orang-orang yang sengaja menyebarkan fitnah keji kepada Raja
Racun Merah. Pikirkanlah tindakan Paman, jangan sampai
menyesal dikemudian hari," jelas Panji mencoba mengingatkan
lelaki gagah itu kalau-kalau tindakannya akan disesali kemudian
hari.
"Hm..., aku tidak perlu dengan khotbahmu, Pendekar Naga
Putih. Meskipun kau seorang pendekar besar yang diagung-
agungkan orang banyak, tapi Ki Panjarasa tidak gentar! Karena
aku yakin kebenaran berada dipihakku!" tukas Ki Panjarasa
dengan nada yang semakin keras.
"Tapi, Paman...."
"Cukup!" bentak Ki Panjarasa memotong ucapan Panji,
"Sekarang boleh kau putuskan! Di pihak mana kau sebenarnya
berdiri!"
"Maaf, aku terpaksa harus membelanya, sebelum semua
persoalan ini jelas. Dan, aku...."
"Sambut pukulanku...!" Ki Panjarasa yang tidak mau
mendengar alasan Pendekar Naga Putih lagi, membentak
nyaring dengan dibarengi lesatan tubuhnya. Tongkat Baja di
tangannya berputaran menimbulkan deruan angin keras!
Bettt! Bettt!
Dua kali sabetan tongkat baja itu berhasil dihindari Panji
dengan melempar tubuhnya ke belakang. Tapi, Ki Panjarasa
tidak memberi kesempatan kepada pemuda tampan itu untuk
berbicara lebih jauh lagi! Tongkat baja di tangannya terus
menyambar-nyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih!
Panji, untuk kesekian kalinya, terpaksa bentrok dengan
tokoh-tokoh segolongan dalam membela Aryani. Dan, ia sama
sekali tidak berusaha membalas serangan Ki Panjarasa.
Meskipun Ketua Perguruan Tongkat Baja itu menyerangnya
dengan gencar. Pemuda itu hanya mengelak, dan menghindari
sambaran tongkat baja yang mengancam tubuhnya itu!
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Jarinta dan Gumang yang melihat guru mereka telah
bertarung dengan pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih
itu, segera memasuki arena pertempuran dan langsung
membantu gurunya!
Masuknya kedua orang murid utama lelaki gagah itu ke
dalam pertarungan, tentu saja membuat Panji sedikit sibuk!
Pemuda tampan itu terpaksa melakukan lompatan panjang jauh
ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum
menjejakkan kakinya di atas tanah
Tapi, baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah,
sambaran tongkat baja di tangan Ki Panjarasa kembali
mengancam tubuhnya! Ketika pemuda itu melesat ke samping
kanan untuk menghindari sabetan tongkat lelaki gagah itu,
ujung tongkat Gumang datang mengancam pelipisnya!
"Hebat..!" mau tidak mau Panji terpaksa memuji
kekompakan ketiga orang lelaki gagah itu. Ujung tongkat baja
di tangan lelaki gemuk itu ditepiskan Panji dengan
menggunakan telapak tangannya!
Plakkk!
"Uhhh...!"
Gumang mengeluh pendek ketika tubuhnya terjajar mundur
akibat tangkisan, yang kelihatan pelan dan sembarangan itu!
Lelaki gemuk itu terlihat agak menyeringai, sambil memijat
lengan kanannya yang terasa linu! Ia pun sadar kalau tenaga
dalam yang dimiliki Pendekar Naga Putih memang sukar untuk
diukur!
Wuuuk!
Cepat bagai kilat, Pendekar Naga Putih berbalik ketika
telinganya menangkap desir angin tajam dari belakangnya.
Kening pemuda itu agak berkerut melihat datangnya serangan
tongkat dari lelaki kurus yang tak lain Jarinta. Namun, pemuda
itu cepat menggeser juga tubuhnya, meski ia agak ragu melihat
serangan lawan. Karena ketajaman matanya, pemuda tampan
itu dapat menebak serangan tongkat baja Jarinta seperti
sebuah gerak tipu, dan bukan serangan sungguhan!
Dugaan Panji memang tidak meleset! Secara mendadak,
Jarinta menarik pulang serangan tongkatnya, dan langsung
melempar tubuh ke samping, lalu berjumpalitan beberapa kali!
Belum lagi Panji sempat berpikir melihat tongkat lelaki kurus
itu, yang menurutnya sangat aneh, tiba-tiba saja dari tempat di
mana tadi serangan lelaki kurus itu datang, telah muncul ujung
tongkat baja lain yang meluncur deras ke arah
tenggorokannya! Barulah Panji sadar kalau ketiga orang lelaki
gagah itu telah mempergunakan ilmu tongkat gabungan untuk
menundukkannya!
"Sayang mereka terlalu cepat mengambil keputusan...,"
gumam Pendekar Naga Putih menyayangkan betapa ilmu
tongkat yang hebat itu harus digunakan kepada orang yang
salah.
Panji yang telah berpengalaman dalam menghadapi
pertempuran, segera dapat melihat inti dari ilmu tongkat
gabungan lawannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda itu segera
melambung tinggi melampui tubuh Ki Panjarasa yang
menyerangnya. Dengan demikian, tindakan pemuda itu berarti
telah membuat ilmu tongkat gabungan lawannya mati, dan
tidak dapat berkembang. Dan, itu satu-satunya kelemahan
yang terdapat pada ilmu tongkat gabungan yang mengikuti
gerak lawan secara berlawanan.
Jarinta dan Gumang yang melihat tindakan Pendekar Naga
Putih, tentu saja menjadi terkejut. Mereka yang siap
menyerang apabila Panji mengelak atau memapaki serangan
gurunya, kini hanya bisa berdiri bingung! Karena saat itu lawan
yang hendak mereka serang jauh berada di belakang mereka.
Sehingga, baik Jarinta maupun Gumang tidak dapat berbuat
apa-apa.
"Kurang ajar! Pendekar Naga Putih rupanya telah
mengetahui kelemahan kita...," desis Ki Panjarasa yang diam-
diam menjadi kagum melihat ketelitian pemuda itu dalam
memecahkan kelemahan ilmu tongkat gabungannya.
Ketiga orang itu kembali berlompatan mengepung Pendekar
Naga Putih. Tongkat di tangan mereka berputar menimbulkan
deruan angin yang tajam. Melihat dari sikapnya, jelas Ki
Panjarasa dan murid-muridnya hendak bertarung sampai titik
darah yang penghabisan!
Panji yang tidak ingin keliru dalam menghadapi masalah.
Segera mengambil keputusan untuk tidak melayani lawannya.
Pemuda tampan itu segera mengedipkan sebelah matanya ke
arah Kenanga yang tidak jauh di samping kanannya.
Kenanga yang mengerti isyarat Panji segera mengangkat
Aryani. Kemudian, gadis jelita itu bergegas meninggalkan
tempat itu dengan membawa putri Raja Racun Merah.
Setelah melihat tubuh Kenanga dan Aryani lenyap di balik
kelebatan pepohonan, Panji segera mengeluarkan ilmu tenaga
dalamnya. Sedetik kemudian, pemuda itu melontarkan pukulan
jarak jauhnya ke arah sebatang pohon besar!
Wuuus....
Duaaarrr...!
Terdengar suara bergemuruh ketika pohon besar yang
berada dekat arena pertarungan roboh dengan suara hiruk-
pikuk! Sehingga, dalam sekejap saja, suasana menjadi gaduh!
Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Naga Putih melesat
secepat kilat meninggalkan arena pertarungan!
"Setan...!" Ki Panjarasa hanya bisa menyumpah-nyumpah,
ketika suasana kembali tenang, sosok pemuda tampan itu
ternyata telah lenyap tanpa bekas. Lelaki gagah itu hanya
dapat menarik napas jengkel. Karena ia sendiri tidak sempat
melihat ke mana perginya Pendekar Naga Putih!
"Licik...!" Gumang yang juga merasa penasaran mendesis
dengan geramnya.
"Kita harus mengejar gadis jelita itu dan menangkapnya,
Guru. Kalau perlu kita mengadu nyawa dengan Pendekar Naga
Putih yang sombong itu!" ujar Jarinta dengan tidak kalah
geramnya.
"Tentu. Setelah menguburkan mayat Sungkana, dan
mengobati Purgawa, kita akan cari mereka sampai dapat! Biar
ia berada di ujung dunia sekali pun, aku akan tetap
mengejarnya!" sahut Ki Panjarasa berapi-api.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu memerintahkan
kedua orang muridnya untuk menguburkan mayat Sungkana.
Sedang ia sendiri sudah menghampiri Purgawa. Ki Panjarasa
berniat hendak mencarikan orang pandai untuk menyembuhkan
luka-luka di tubuh Purgawa.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat keempat sosok tubuh
itu bergerak meninggalkan desa. Purgawa yang masih lemah,
dipapah oleh Jarinta dan Gumang.
***
Sosok berjubah putih itu terus bergerak meninggalkan desa.
Jubahnya yang panjang berkibaran, karena sosok itu bergerak
cepat dengan kaki yang laksana tak menginjak bumi.
Langkahnya baru melambat setelah cukup jauh meninggalkan
desa, tempat di mana ia semula singgah.
"Itu Kakang Panji...!" seru seorang data jelita berpakaian
serba hijau menunjuk ke arah sosok berjubah putih, yang saat
itu tengah menghampirinya.
Tidak salah apa yang dikatakan gadis jelita itu. Sosok
berjubah putih, yang baru saja meninggalkan lawannya,
memang Panji. Pemuda itu tersenyum kepada dua orang data
yang tengah menantinya.
"Apakah mereka mengejar kita, Kakang...?" tanya data jelita
berpakaian serba hijau itu, dan bergerak bangkit menyambut
kedatangan Panji. Sedang dara cantik berpakaian kuning cerah
di sebelahnya, tampak hanya terduduk menatap pemuda
tampan itu.
"Syukurlah mereka dapat kukelabui. Untuk sementara ini aku
kira kita aman. Sebab mereka tidak mengejarku," sahut Panji
mengulurkan tangannya merengkuh tubuh dara jelita yang
tidak lain Kenanga. Kemudian keduanya berjalan menghampiri
gadis berpakaian kuning, Aryani.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang? Kita
harus mencari penyelesaian dari masalah ini. Kalau tidak,
semua tokoh persilatan golongan putih akan tetap memusuhi
kita. Ini akan menyulitkan langkah kita, Kakang...," ujar
Kenanga meminta pertimbangan sambil menatap wajah
kekasihnya.
Masalah yang mereka hadapi kini memang makin pelik dan
berbahaya. Kalau sampai apa yang dikhawatirkan gadis jelita
itu menjadi kenyataan, langkah mereka selanjutnya pasti tidak
akan aman.
"Ya. Sedang kunci semua masalah ini hanya terletak pada
Raja Racun Merah. Sepertinya kita harus mencari datuk itu
lebih dahulu. Dari tokoh itu, mungkin kita dapat menemukan
jawaban terhadap masalah pelik ini," sahut Panji disertai
dengan helaan napas yang berat. Kemudian pemuda tampan
itu mengalihkan pandangannya ke arah Aryani, yang saat itu
tengah duduk menanti kedatangan keduanya.
Panji dan Kenanga menghempaskan tubuhnya di samping
gadis cantik itu. Aryani terlihat masih agak pucat wajahnya.
Gerak-geriknya nampak agak lemah. Jelas kalau kesehatan
gadis itu belum pulih sepenuhnya.
"Bagaimana keadaanmu, Aryani...?" tanya Panji sambil
menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Sudah agak baikan, Kakang. Terima kasih atas pertolongan
kalian berdua. Entah bagaimana aku harus membalas budi
kalian yang begitu besar kepadaku...?" desah Aryani dengan
nada suara yang terdengar lemah.
Panji menghela napas ketika mendengar nada kesedihan
dalam ucapan Aryani. Pemuda tampan itu bukan tidak tahu apa
yang membuat putri datuk sesat itu berduka. Persoalan-
persoalan yang dihadapinya membuat Aryani menjadi terpukul.
Karena ke manapun langkahnya terayun, di situ ia pasti akan
bertemu dengan orang-orang yang memusuhi ayahnya.
"Sabarlah, Aryani. Tidak ada satu persoalan di dunia ini yang
tidak mempunyai jawaban. Apa yang kau temui selama ini
memang sangat menyakitkan hati. Tapi, kita tidak boleh
menyerah dalam menghadapinya. Satu yang harus kita jaga,
hindari pertempuran sebisa mungkin selama persoalan ini
belum terjawab. Sebab kita tidak tahu, siapa yang bersalah
sebenarnya dalam masalah ini. Aku percaya kau tidak jahat.
Tapi, aku juga yakin orang-orang yang bertempur dan
melukaimu itu, juga belum tentu jahat. Mereka mempunyai
alasan yang kuat untuk berbuat itu," tutur Panji mencoba
menghibur Aryani agar gadis cantik itu tidak tenggelam dalam
kedukaannya.
"Aku sebenarnya tidak terlalu menyalahkan mereka, Kakang.
Tapi, hinaan-hinaan mereka terhadap ayahku, membuat aku
lupa diri, dan tidak bisa menahan emosi. Ah... mengapa sulit
sekali untuk berbuat kebaikan? Apakah diriku memang sudah
ditakdirkan untuk menjadi orang jahat? Tidak bisakah mereka
menerimaku sebagai mana adanya, tanpa mengaitkan dengan
nama kotor ayahku?" desah Aryani sambil menghembuskan
napas berat. Wajah cantik yang agak pucat itu semakin nampak
gambaran kedukaannya.
"Satu-satunya jalan untuk menemukan kunci dari semua
masalah ini, hanyalah ayahmu. Kita harus menemui beliau
secepatnya, Aryani. Aku khawatir kalau kita sampai keduluan
oleh tokoh-tokoh persilatan yang mamusuhi dan dendam ter-
hadap ayahmu. Kalau hal itu sampai terjadi, semakin sulitlah
bagi kita untuk menyelesaikannya," jelas Pendekar Naga Putih
memberikan usul.
Mendengar ucapan pemuda tampan itu, Aryani menoleh, dan
menatap Panji penuh selidik. Dirayapinya wajah tampan itu
dengan tatapan mata tajam. Kemudian, ditatapnya tepat di
kedua bola mata pemuda itu. Sepertinya gadis cantik itu ingin
mengetahui maksud Panji menemui ayahnya. Ada kilatan
kecurigaan dalam tatapan mata putri datuk sesat itu.
Panji hanya tersenyum melihat gadis cantik itu
memandangnya penuh curiga. Pemuda itu maklum, setelah apa
yang selama ini dialami Aryani, membuat gadis cantik itu
mudah curiga. Apalagi kalau hal itu menyangkut ayahnya.
"Apa maksud Kakang hendak menemui ayahku...? Apa kau
juga tidak percaya kalau ayahku itu telah bertobat, dan
meninggalkan segala kesesatannya selama ini...?" tanya Aryani
ragu-ragu. Sambil tetap tidak melepaskan pandangannya dari
wajah pendekar muda yang tampan itu.
"Hm... kau lupa apa yang baru saja kukatakan kepadamu,
Aryani. Kita harus menghadapi persoalan ini dengan kesabaran.
Ingatlah! Satu-satunya kunci dari masalah ini adalah ayahmu.
Dan, aku ingin menemui beliau bukan sebagai musuh. Tapi
sebagai seorang manusia yang ingin mencari kebenaran. Aku
harap kau tidak keberatan apabila mengantarkan kami berdua
kepada beliau," sahut Panji tetap dengan nada tenang. Pemuda
tampan itu sama sekali tidak tersinggung dengan tuduhan
Aryani, meskipun tidak secara berterus-terang itu.
"Aryani, Kakang Panji ingin membantumu untuk
membersihkan nama Raja Racun Merah. Untuk itu, kita harus
bertemu langsung dengan ayahmu. Kecurigaanmu itu sama
sekali tidak berdasar. Pikirkanlah baik-baik tanpa rasa curiga.
Kalau Kakang Panji hendak berbuat jahat, mengapa ia harus
menyelamatkanmu dengan risiko dimusuhi orang-orang
segolongan? Kita harus menemui ayahmu, Aryani. Beliaulah
yang dapat menjawab semua masalah yang kita hadapi ini,"
Kenanga yang semenjak tadi hanya mendengarkan, terpaksa
ikut angkat bicara.
Aryani termenung sejenak setelah mendengar ucapan
Kenanga. Ia menyadari kebenaran ucapan gadis jelita itu.
Untuk apa ia diselamatkan berkali-kali, kalau Pendekar Naga
Putih ingin mencelakakannya? Ucapan Kenanga terus
terngiang-ngiang dalam pikirannya.
"Baiklah," jawab Aryani kemudian, "Aku akan membawa
kalian menemui ayahku Mudah-mudahan itu merupakan jaian
terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini," desah
Aryani penuh harap. Setelah berkata demikian, gadis cantik itu
bangkit dari duduknya.
"Syukurlah kalau kau telah menyadarinya...," gumam
Kenanga dengan wajah cerah. Gadis jelita itu segera bangkit
dakuti Panji.
Ketiganya segera berangkat mengikuti Aryani untuk
menemui Raja Racun Merah. datuk sesat yang kini menjadi
pusat perhatian tokoh-tokoh persilatan golongan putih!
TUJUH
Gunung Kalang berdiri kokoh bagaikan sosok raksasa
penyangga langit. Puncaknya yang tinggi menjulang, pagi itu
tampak diselimuti kabut tebal. Bila orang memandangnya dari
kaki gunung, puncak itu laksana menembus langit.
Pagi itu, udara pegunungan yang sejuk menyapu lembut
wajah tiga orang muda yang tengah bergerak menyeberangi
sebuah aliran sungai. Setelah tiba di seberang sungai,
ketiganya tampak berhenti sejenak memandang puncak
Gunung Kalang yang tinggi menjulang.
"Di puncak itukah tempat ayahmu mengasingkan diri,
Aryani," tanya sosok pemuda tampan berjubah putih sambil
menoleh ke arah dara cantik berpakaian kuning cerah.
Ketiga orang muda itu rupanya Paji, Kenanga, dan Aryani.
Kedatangan mereka ke Gunung Kalang untuk menemui Raja
Racun Merah, tokoh sesat yang menggemparkan itu.
"Bukan, Kakang. Beliau mendirikan tempat peristirahatan di
salah satu lembahnya. Sedang puncak itu sendiri menurut ayah
belum pernah dijamah manusia. Entah benar atau tidak
keterangan ayahku itu. Tapi, melihat ketinggian puncak itu
yang bagaikan menembus langit, sepertinya benar keterangan
ayahku," sahut Aryani sambil menengadahkan kepalanya
menatap puncak.
"Hm..., sebuah tempat yang tenang dan damai. Benar-benar
cocok sebagai tempat untuk mengasingkan diri...," Kenanga,
dara jelita berpakaian serba hijau itu berdesah perlahan.
Matanya yang bulat dan indah itu, tampak berpendar
memancarkan kebahagiaan. Sehingga, Panji yang sempat
mendengar gumaman kekasihnya sejenak tertegun.
Ditatapnya wajah gadis jelita yang tampak demikian
terhanyut oleh keindahan suasana Gunung Kalang. Sejenak hati
pemuda itu tergetar, seolah-olah ia mengerti ke mana arah
ucapan kekasihnya yang lirih itu.
Aryani sendiri seperti sadar akan suasana hati pasangan
pendekar itu. Ia melangkah perlahan mendahului mereka.
Gadis cantik itu mengerti dan tidak mengganggunya.
Panji berdesah perlahan agar tidak sampai terdengar oleh
Kenanga, yang terlihat seperti terpaku dengan ketenangan dan
ketenteraman alam Gunung Kalang itu. Perlahan pemuda
tampan itu melingkarkan tangannya dan merengkuh tubuh
kekasihnya.
"Suatu saat kelak, kita akan mencari tempat yang tenang
dan tenteram seperti ini, Kenanga...," bisik Panji merapatkan
tubuh gadis jelita itu ke tubuhnya. Ada nada keharuan dan iba
dalam ucapan Pendekar Naga Putih kali ini.
Kenanga agak tersentak bagaikan direnggut dari alam mimpi
yang indah. Gadis jelita itu baru menyadari ucapannya saat
mendengar bisikan Panji di telingnya. Ada sorot sesal di mata
dara jelita itu.
"Hhh... maafkan aku, Kakang. Bukan maksudku untuk
menyinggung perasaanmu. Aku... begitu terpengaruh dengan
suasana alam yang menimbulkan ketenteraman dan
kedamaian. Suasana alam Gunung Kalang membuat tubuhku
terasa lelah dan ingin segera meninggalkan kehidupan yang
keras selama ini kita jalani...," ucap Kenanga berdesah penuh
sesal.
"Kau tidak salah, Kenanga. Perjalanan kita selama ini
memang selalu diwarnai oleh petualangan dan kekerasan.
Wajar bila kau merasa lelah setelah merasakan betapa
indahnya hidup dalam alam yang tenteram dan damai. Seperti
yang kukatakan tadi, suatu hari kelak, kita pasti akan tinggal di
tempat seperti ini...," sahut Panji lembut. Dikecupnya kening
dara jelita itu dengan sepenuh perasaannya.
"Ahhh, mengapa kita harus melupakan tujuan kedatangan
kita ke tempat ini? Ayolah, Kakang. Lupakan saja apa yang aku
ucapkan tadi..," sambil berkata demikian, Kenanga melangkah
menyusul Aryani yang telah lebih dulu mendaki lereng gunung.
Panji menghembuskan napas berat seraya melangkah
menyusul kekasihnya dan Aryani. Diam-diam pemuda tampan
itu berjanji dalam hatinya untuk mengabulkan keinginan
kekasihnya bila sang waktu menginginkan mereka.
***
"Ayah...!"
Aryani berteriak dengan penuh kegembiraan, ketika ia tiba di
dekat sebuah pondok sederhana. Disertai luapan
kegembiraannya, gadis cantik itu berlari dan bergegas
membuka pintu pondok.
Panji dan Kenanga yang tidak jauh berada di belakang gadis
cantik itu tersenyum melihat kegembiran Aryani. Keduanya
saling berpandangan dan melangkah menyusul Aryani menuju
pondok.
Belum lagi Panji dan Kenanga menyentuh pintu pondok,
Aryani telah melompat keluar dan hampir bertubrukan dengan
pasangan pendekar itu. Untung saja Panji dan Kenanga telah
melompat ke samping, Sehingga, benturan itu bisa dielakkan.
"Ada apa, Aryani...?" tegur Kenanga yang merasa hatinya
tidak enak melihat wajah gadis yang tampak tegang!
"Ayah tidak ada di dalam pondok. Ini aneh! Padahal, ayah
biasanya pasti tahu bila ada orang yang datang berkunjung ke
lembah ini...," sahut Aryani yang segera melesat meninggalkan
pasangan pendekar itu. Maksudnya tentu saja hendak mencari
ayahnya.
"Aryani! Tenanglah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak...!"
Panji berseru mengingatkan karena sosok gadis itu telah cukup
jauh meninggalkan mereka. Sehingga, pemuda tampan itu
berniat untuk menanti Aryani di depan pondok.
Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik berpakaian kuning
cerah itu sudah kembali dengan napas agak memburu. Wajah
cantik itu terlihat agak pucat, dengan lelehan keringat yang
turun membasahi pipinya.
"Pasti ada sesuatu yang telah terjadi dengan ayah! Tidak
biasanya beliau meninggalkan lembah sepagi ini!" dengan
napas terengah-engah, Aryani mengutarakan kekhawatirannya
kepada Panji dan Kenanga.
"Hm..., kalau begitu, kita berpencar. Apabila ada yang
menemukannya salah satu dari kita, cepatlah beri isyarat
dengan siulan," sahut Panji mengusulkan. Tanpa banyak cakap
lagi, kedua gadis itu pun mengangguk setuju. Sebentar kemu-
dian, ketiga orang muda itu telah berpencar untuk mencari Raja
Racun Merah.
Panji bergerak ke sebelah Barat Lembah Gunung Kalang.
Sambil menyusuri daerah yang ditumbuhi pepohonan lebat,
pemuda itu mengedarkan pandangannya, dan juga
meningkatkan ketajaman pendengarannya.
"Suiiit...!"
Setelah memasuki wilayah itu agak lama, tiba-tiba Panji
menangkap suara siulan yang berasal sebelah Timur. Panji tahu
kalau siulan itu berasal dari Kenanga. Sebab kekasihnya itulah
yang berada di sebelah Timur. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda tampan itu segera melesat dengan pengerahan
seluruh ilmu larinya.
"Kau menemukan sesuatu, Kenanga...?" tanya Panji dalam
jarak sekitar dua tombak lebih. Dilihatnya gadis jelita itu tengah
berdiri tegak mengawasi sekitarnya.
"Aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa kita jadikan
sebagai petunjuk, Kakang...," jawab Kenanga ketika Panji telah
berada di dekatnya.
"Apa yang kalian dapatkan...? Di mana ayahku...?" belum
lagi Panji sempat meneliti apa yang ditemukan Kenanga, tiba-
tiba terdengar suara Aryani. Keduanya berdiri tegak menanti
kedatangan gadis cantik itu.
"Kami hanya menemukan sesuatu yang mungkin saja bisa
dijadikan sebagai petunjuk...," sahut Kenanga ketika gadis itu
telah tiba di dekat mereka.
"Mari kita periksa...," ajak Panji yang segera meneliti seperti
jejak-jejak yang terdapat di daerah itu. Kemudian terus
menyusuri ke lereng sebelah bawah.
"Jejak-jejak itu lenyap di sini, Kakang...," Kenanga berkata
dengan nada kecewa ketika jejak-jejak itu lenyap di kaki
Gunung Kalang sebelah Timur.
"Hm..., jelas mereka menyeberangi sungai ini..," duga Paji,
karena jejak-jejak itu memang lenyap di tepi aliran sungai yang
membentang. "Berpencarlah, mudah-mudahan kita bisa me-
nemukan petunjuk lain di tempat ini...," usul Panji lagi.
Untuk kedua kalinya, ketiga orang muda itu kembali
berpencar untuk mencari petunjuk lain. Karena petunjuk
pertama jelas sudah tidak mungkin untuk diikuti.
Panji yang kembali menyusuri lereng gunung, tersentak saat
mendengar teriakan pilu yang berasal dari arah kanannya.
Cepat pemuda itu melesat ke tempat asal suara jeritan yang ia
tahu pasti berasal dari Aryani.
"Aryani, ada apa...!?" seru Paji ketika dalam jarak kira-kira
empat tombak lebih, tampak gadis cantik itu tengah
membungkuk memeluk dan menangisi sesosok tubuh
berpakaian merah darah yang tak bergerak-gerak.
"Raja Racun Merah...!?" desah Panji ketika melihat sosok
berpakaian merah darah yang terbujur kaku. Noda-noda darah
yang mengotori pakaian dan sebagian wajahnya, jelas
menandakan bahwa orang tua itu tewas dalam sebuah
pertarungan sengit!
Kenanga tiba setelah Panji melempar pandangannya karena
tidak sanggup melihat kesedihan Aryani. Tangisan gadis cantik
itu terdengar sangat memilukan, mengingatkan dia akan
ayahnya yang juga telah tiada.
"Menurutmu, siapakah pembunuh Raja Racun Merah itu,
Kakang?" tanya Kenanga berbisik lirih di telinga Panji.
"Entahlah, aku tidak bisa memastikannya. Yang jelas, Raja
Racun Merah tewas karena pukulan-pukulan yang mengandung
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Hhh..., persoalan ini
jelas semakin bertambah rumit..," desah Panji menghela napas
berat. Karena kunci satu-satunya dari jawaban masalah
mereka, ternyata telah tewas secara misterius!
"Sudahlah, Aryani, sebaiknya kita bawa mayat ayahmu ke
lembah. Biar lembah itu menjadi tempat beristirahat untuk
selamanya," bujuk Panji berusaha untuk menghibur gadis
cantik yang bemasib malang itu.
"Ayah...," desis Aryani dengan bibir bergetar, "Aku
bersumpah untuk membalas kematian ini! Akan kuhirup
darahnya, dan akan kukunyah jantung manusia keji yang telah
membunuhmu!" geram Aryani dengan wajah bersimbah air
mata. Jelas sekali kalau gadis cantik itu merasa sangat terpukul
dengan kematian ayahnya. Karena hanya orang tua itulah satu-
satunya tempat ia mengadu di dunia selama ini.
"Aryani, kami berdua berjanji akan membantu untuk mencari
pembunuh ayahmu. Kasihan beliau di tempat yang sedingin
dan kotor ini, apakah tidak sebaiknya kita kuburkan di lembah?"
Kenanga ikut membujuk sambil membelai punggung gadis ma-
lang itu dengan lembut. Kemudian diajaknya bangkit dan
membimbing gadis itu mendaki lereng gunung.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengangkat mayat
Raja Racun Merah untuk dibawanya ke puncak. Tidak ada bau
busuk yang menyebar dari tubuh mayat menandakan Raja
Racun Merah belum lama tewas.
Dengan sebuah upacara sederhana, ketiga orang muda itu
memakamkan Raja Racun Merah. Usai melakukan penguburan,
Panji dan Kenanga meninggalkan Aryani yang masih bersimpuh
di tanah makam itu. Pasangan pendekar itu berniat menanti
Aryani di pondok. Mereka sengaja tidak ingin mengganggu, dan
membiarkan gadis itu menumpahkan kesedihannya di depan
makam ayahnya.
***
Setelah menemani Aryani selama tiga hari di lembah Gunung
Kalang, Panji dan Kenanga mengajak gadis itu untuk mencari
pembunuh orang tuanya.
"Cukup sudah air matamu, Aryani. Tidak baik terbenam
dalam kesedihan yang berlarut-larut. Air matamu tidak akan
bisa mengembalikan ayahmu ke dunia ini. Satu yang harus kau
ingat. Kalau kau yakin akan ketulusan hati ayahmu untuk
meninggalkan dunia sesat, lanjutkanlah. Agar arwah beliau
tenang di alam sana," nasihat Panji sebelum mereka
meninggalkan Lembah Gunung Kalang.
"Aku harus membalas kematian ayahl Akan kucari pembunuh
keji itu biar ke ujung dunia sekali pun!" geram Aryani dengan
wajah kaku. Sorot mata gadis cantik itu tampak dingin dan
menggetarkan. Kematian ayahnya telah menimbulkan dendam
membara dalam hati gadis cantik itu. Jelas saat itu tidak
mungkin untuk menjejalinya dengan segala macam nasihat.
Panji yang sadar akan hal itu, hanya mendiamkan saja. Karena
ia pun pernah merasakan hal yang serupa.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, ketiga orang muda
itu segera meninggalkan Gunung Kalang. Ilmu lari ketiganya
yang tinggi, membuat perjalanan tidak terlalu sulit. Menjelang
siang, mereka telah memasuki sebuah desa yang terlihat cukup
ramai.
Baru saja mereka menjejakkan kaki di mulut desa itu, Aryani
yang berjalan di sebelah depan, tiba-tiba menggeram marah!
Sebelum Panji sempat mencegah, tubuh gadis cantik
berpakaian kuning cerah itu telah melesat meninggalkan
keduanya.
"Jahanam! Pasti kaulah manusia keji itu...!" terdengar suara
Aryani membentak marah! Sambil berkata demikian gadis
cantik itu langsung saja melontarkan serangan kilat yang
mematikan ke arah sosok tinggi tegap yang tengah berjalan di
samping seorang wanita bertubuh ramping padat.
Wuuut..!
Serangkum angin keras berbau harum menebar ketika
telapak tangan Aryani terlontar mengancam punggung sosok
bertubuh tegap itu!
"Aryani, tahan...!"
Panji yang merasa terkejut melihat serangan mematikan
yang dilontarkan Aryani berseru mencegahnya! Sayang teriakan
pemuda tampan itu sia-sia saja. Saat itu pukulan Aryani sudah
tiba dengan derasnya!
Sosok tubuh tegap itu cepat berbalik dengan gerakan kilat.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulutnya. Tanpa
berusaha untuk mengenal, lelaki bertubuh tegap itu
mengangkat tangan kanannya memapaki pukulan Aryani!
Dan....
Plakkk!
"Aiiih...!?"
Gerakan yang kelihatannya perlahan dari lelaki tegap itu,
ternyata berakibat mengejutkan! Tubuh Aryani terpental balik
seiring dengan suara benturan yang memekakkan telinga! Jelas
lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani itu bukan orang
sembarangan!
Tanpa berpildr panjang lagi, Panji segera melesat dan
menangkap tubuh gadis cantik itu. Sehingga, tubuh Aryani
tidak sampai terbanting ke tanah!
"Aryani, kau tidak apa-apa...?" tanya Panji cemas. Kemudian,
dilepaskannya tubuh Aryani, dibantunya gadis itu berdiri.
"Lepaskan aku, Kakang Panji aku tidak apa-apa. Mati pun
aku tidak takut demi tenangnya arwah ayahku...!" Aryani
meronta dari pelukan Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji
terpaksa melonggarkan pegangannya.
Begitu merasakan pegangan pada tubuhnya mengendur,
Aryani kembali melesat ke depan! Dengan sorot mata tajam,
ditatapnya wajah lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun
yang didampingi seorang wanita cantik berusia sekitar bga
puluh lima tahun lebih!
"Datuk Tangan Malaikat...!?" desis Panji dan Kenanga hampir
bersamaan. Kedua pendekar muda itu terkejut bukan main
setelah mengetahui lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani.
"Hm..., kiranya kau, Gadis Liar! Aku memang telah lama
mencarimu! Tak tahunya kau malah datang mengantarkan
nyawa!" geram lelaki gagah yang memang Ki Angga Merta atau
yang lebih dikenal sebagai Datuk Tangan Malaikat itu. Dan,
tanpa banyak cakap lagi, pendekar sakti itu segera saja melesat
disertai dengan cengkeraman mautnya!
Panji tentu saja terkejut setelah mengetahui lelaki tinggi
tegap itu. Khawatir akan keselamatan Aryani, pemuda tampan
itu segera melesat untuk mencegah serangan maut Datuk
Tangan Malaikat.
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
"Aaakh...!?"
Terdengar suara benturan keras sebanyak dua kali. Seiring
dengan suara benturan itu, tubuh keduanya terpental balik
sejauh satu tombak lebih!
"Setan! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga
Putih! Hm..., rupanya kau memang perlu diajar adat!"
kemarahan Datuk Tangan Malaikat semakin menjadi-jadi
setelah ia mengenali siapa adanya orang yang berani
menangkis serangannya itu. Maka dengan kemarahan yang
meledak-ledak, tokoh sakti itu segera menerjang Panji dengan
serangan-serangan mautnya!
Wuuut! Wuuut!
"Aiiih...!?"
Cepat Panji menggeser tubuhnya dengan langkah-langkah
pendek untuk menghindari serangkaian serangan lawannya.
Merasa tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara, terpaksa
Panji melontarkan serangan balasan agar ia tidak terlalu ter-
desak!
"Hiaaah...!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Khawatir akan keselamatan Aryani, Pendekar Naga Putih
segera melesat memapak serangan maut Datuk Tangan
Malaikat.
Plakkk! Plakkk!
Terdengar suara
benturan keras
sebanyak dua kali,
ketika terjadi
pertemuan dua tangan
yang sama-sama
mengandung tenaga
dalam tinggi!
Serangkaian
pukulan yang
dilontarkan Pendekar
Naga Putih membuat
Datuk Tangan Malaikat
melompat mundur
sejauh satu setengah
tombak.
"Bagus...!" seru Datuk Tangan Malaikat mau tidak mau
terpaksa memuji serangan lawannya yang sempat membuatnya
sibuk itu.
"Sabarlah, Ki. Semua ini hanya salah paham. Harap Ki Angga
mau menerangkan, apa yang Aki kerjakan di desa ini...?" tanya
Panji berusaha untuk mencari tahu apa yang dilakukan
pendekar besar itu di desa dekat kaki Gunung Kalang. Diam-
diam hati pemuda itu cemas ketiga muncul dugaan dalam
benaknya bahwa Ki Angga Mertalah yang membunuh Raja
Racun Merah. Kalau dugaannya benar, persoalan yang
dihadapinya semakin rumit.
"Hm..., kau sendiri, apa yang kau lakukan di tempat ini,
Pendekar Naga Putih? Mengapa kau mengurusi orang lain?
Tanyalah dirimu, apa yang kau kerjakan di desa ini?" hardik
Datuk Tangan Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang
mendengar pertanyaan pemuda itu, yang berbau kecurigaan.
Panji tertegun demi mendengar ucapan Datuk Tangan
Malaikat. Ucapan itu menyadarkannya kalau tidak mempunyai
hak untuk menanyakan hal itu. Sehingga, beberapa saat
lamanya pemuda itu hanya termangu tanpa kata.
"Untuk apa banyak bicara lagi dengan pendekar sombong
itu, Kakang!" tukas Aryani yang segera saja melangkah maju
dan siap menerjang Datuk Tangan Malaikat.
Cepat Panji mencegah dan mencoba untuk menyabarkan
Aryani. Pemuda tampan itu ingin lebih dulu mengetahui secara
jelas, apakah Ki Angga Merta sudah mengetahui kematian Raja
Racun Merah atau belum. Untuk itu ia harus menanyakannya
kepada lelaki gagah itu.
DELAPAN
"Pendekar Naga Putih. Dua kali kau menentangku dan
membela putri datuk sesat keparat itu! Tapi, kali ini aku, Ki
Angga Merta, tidak akan melepasmu begitu saja seperti tempo
hari. Bersiaplah! Kau harus kutindak sebelum tersesat lebih
jauh lagi...," ujar Ki Angga Merta yang segera membentuk
kuda-kuda menunggang kuda, dengan sepasang tangan
mendorong ke langit. Tentu saja ucapan Datuk Tangan Malaikat
bukan hanya sekadar gertak samba! belaka.
"Tunggu, Ki! Sebelum kita bertarung, bolehkah aku
mengajukan sebuah pertanyaan...?" cegah Panji sebelum
pendekar sakti itu bergerak menggebraknya.
"Hm..., cepatlah, sebelum kesabaranku habis...!" geram
Datuk Tangan Malaikat yang seperti memberikan peluang
kepada pemuda itu sebelum dibinasakannya.
"Apakah kau sudah berjumpa dengan Raja Racun Merah
dalam beberapa hari terakhir ini...? Jawablah, Ki. Ini penting
sekali artinya bagiku, dan juga bagi seluruh tokoh persilatan
yang mendendam terhadap Raja Racun Merah...," ujar Panji
menanti jawaban pendekar besar itu dengan sedikit tegang.
Karena jawaban Datuk Tangan Malaikat bisa mengungkapkan
masalah yang tengah melanda di kalangan persilatan.
"Kalau hanya itu yang ingin kau tanyakan, aku jawab tidak!
Justru kehadiranku di desa kaki Gunung Kalang ini hendak
mencari datuk iblis itu. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar
Naga Putih?" Datuk Tangan Malaikat balik bertanya dengan
kening berkerut. Karena tokoh sakti itu belum bisa menebak
apa maksud pertanyaan Panji.
"Terima kasih, aku percaya terhadap jawaban seorang
pendekar besar seperti Tangan Malaikat. Ketahuilah, Ki. Aku
baru saja kembali dari Gunung Kalang. Beberapa hari yang lalu,
kami bertiga menemukan mayat Raja Racun Merah. Itulah
sebabnya aku mengajukan pertanyaan yang mungkin
kedengaran agak aneh," jelas Panji setelah mendengar jawaban
Datuk Tangan Malaikat.
"Bohong! Kau pendekar pengecut! Pendusta yang tidak
berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Aryani yang
masih berduka karena kematian ayahnya, membentak keras.
Sehingga, Panji terpaksa harus mencekal lengan gadis itu agar
tidak membuat keributan lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan Liar! Sebagai seorang
pendekar, kehormatan lebih penting daripada nyawa bagiku!
Lagipula, apa yang kutakutkan? Tak satu satu pun di muka
bumi ini yang pantas untuk membuat gentar Tangan Malaikat'"
hardik Ki Angga Merta yang menjadi merah wajahnya ketika
mendengar makian Aryani. Kalau saja Panji tidak segera
mencegah Aryani, kemungkinan besar pertempuran akan
terjadi kembali. Untunglah pemuda tampan itu bertindak cepat.
"Tenanglah, Aryani. Aku percaya dengan apa yang dikatakan
Datuk Tangan Malaikat," ujar Panji menenangkan Aryani yang
kembali terisak karena teringat kematian ayahnya.
Datuk Tangan Malaikat pun bukan orang bodoh. Ia sadar
bahwa apa yang diucapkan Pendekar Naga Putih itu bukanlah
suatu dusta yang dicari-cari. Dengan hati yang mulai dingin,
lelaki tinggi tegap itu melangkah maju mendekati Panji.
"Pendekar Naga Putih. Kalau memang benar apa yang kau
katakan itu, berarti ada orang ketiga yang memancing di air
keruh. Mereka sengaja menimbulkan kericuhan dengan
maksud-maksud tertentu," ujar Datuk Tangan Malaikat
menghela napas berat. Sepertinya pendekar besar itu merasa
kecewa, karena perjalanan jauhnya sia-sia.
"Kalau boleh aku tahu, mengapa Aki hendak mencari Raja
Racun Merah? Apa yang membuat Aki begitu dendam
kepadanya?" tanya Panji ingin mengetahui tujuan pendekar itu
secara jelas.
"Putraku diculik orang, saat ia minggat dari rumah.
Kemudian, datang suara tantangan dari Raja Racun Merah.
Datuk itu mengancam akan membunuh anakku apabila aku
tidak memenuhi tantangannya," jelas Ki Angga Merta yang
mulai bingung, ke mana harus mencari putranya yang diculik
orang itu.
Mendengar penjelasan Ki Angga Merta, teringat Panji akan
seorang pemuda yang ditawan empat orang tokoh aneh (Untuk
mengetahui tentang penculikan Puja Merta, pembaca dapat
mengikuti episode sebelumnya, yang berjudul "Keturunan
Datuk-datuk Persilatan").
"Jelas sekarang, siapa yang menjadi biang keladi dari semua
persoalan ini. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah
memergoki seorang kakek bertubuh cebol, dan tiga orang lelaki
kekar yang membawa seorang pemuda tampan. Sayang aku
berhasil dikelabuinya saat itu. Sehingga, mereka dapat lolos
dengan membawa serta putramu," jelas Panji kepada Ki Angga
Merta dan istrinya.
"Keparat! Kakek yang kau sebutkan tadi, pastilah datuk sesat
wilayah Timur yang berjuluk Bocah Iblis. Sedangkan ketiga
orang lainnya pasti murid-muridnya yang dijuluki sebagai Tiga
Iblis Gundul! Sedangkan menurut dua orang muridku, orang
yang menyampaikan undangan kepadaku berjumlah tiga orang.
Jelas ketiga orang itu pasti suruhan Bocah Iblis! Jahanam! Aku
harus mencari keparat-keparat itu!" geram Datuk Tangan
Malaikat sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
"Semua persoalan sudah mulai jelas sekarang. Rupanya
Datuk Timur yang mendengar Raja Racun Merah telah sadar,
tidak dapat menerimanya. Lalu, ia membuat rencana dengan
mengadakan kekacauan di mana-mana atas nama Raja Racun
Merah. Dengan demikian. Raja Racun Merah akan dimusuhi,
dan mau tidak mau orang tua itu akan kembali kepada
kesesatannya," ujar Panji lagi yang mulai dapat menebak duduk
persoalannya.
"Kalau begitu, siapa yang membunuh ayahku?" Aryani yang
semakin bertambah bingung itu mengeluh perlahan.
"Sudah pasti Bocah Iblis dan begundal-begundalnya.
Mungkin, setelah Raja Racun Merah dimusuhi golongan putih,
Datuk Timur itu datang untuk mengajaknya bergabung. Ketika
Raja Racun Merah menolak, maka dibunuhlah ayahmu itu.
Tentu jejak-jejak yang kita temukan adalah bekas para
begundal Datuk Timur itu lewat" jelas Panji lagi dengan cara
merangkaikan urutan kejadian iru. Sehingga, Datuk Tangan
Malaikat sendiri merasa kagum atas daya pikir Pendekar Naga
Putih. Yang biarpun masih muda, tapi telah memiliki pandangan
luas.
"Hm..., ke mana kita harus mencari mereka...?" desah Datuk
Tangan Malaikat sambil menatap Panji.
"Satu-satunya jalan, kita harus mencari gerombolan
perampok Rambut Merah, yang telah membantai habis
keluarga dan murid Perguruan Tongkat Baja," sahut Panji yang
langsung saja teringat akan keterangan Ki Panjarasa, Ketua
Perguruan Tongkat Baja.
"Kalau begitu, untuk apa membuang-buang waktu lagi...,"
gumam Datuk Tangan Malaikat yang seperti sudah tidak sabar
untuk bertemu dengan penculik putranya.
Setelah semuanya saling menyetujui, berangkatlah
rombongan tokoh-tokoh persilatan itu untuk mencari
gerlombolan Rambut Merah!
***
Di tengah teriknya sengatan sinar matahari siang itu, tampak
sesosok tubuh terseok-seok menerobos rimbunan dedaunan
lebat. Menilik dari langkahnya yang tersaruk-saruk jatuh
bangun, jelas orang itu mengalami sesuatu yang tidak beres.
"Ouh...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun itu kembali terjatuh menabrak sebatang pohon di
depannya. Untunglah tangannya telah lebih dahulu meraih
batang pohon. Kalau tidak, mungkin kepalanya akan
membentur batang pohon besar itu.
Setelah melihat lebih dekat, nyatalah sosok lelaki gagah yang
tengah menderita luka-luka di sekujur tubuhnya. Noda darah
tampak di beberapa bagian tubuhnya, seperti tersayat senjata
tajam. Meski demikian, lelaki itu tetap berusaha untuk keluar
dari dalam hutan.
Dengan langkah yang sempoyongan, dan berkat kekuatan
hatinya, lelaki gagah itu tiba di luar hutan. Tapi, karena kakinya
sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya, orang itu ambruk
ke tanah.
"Hei, lihat..!"
Terdengar sebuah seruan nyaring dari sebelah belakang
lelaki gagah itu. Beberapa saat kemudian, muncullah enam
orang lelaki berpakaian serba merah, dengan senjata di
tangannya. Enam lelaki kasar itu langsung mengurung lelaki
yang tengah rebah itu.
'Tunggu apa lagi?" Penggal saja batang lehernya...," salah
seorang yang bertubuh jangkung berkata dengan nada bengis!
Usai berkata demikian, ia langsung saja mengayunkan
pedangnya ke arah leher lelaki yang sudah tidak berdaya itu.
Wuuut!
Sinar pedang berkeredep menyilaukan mata, saat senjata itu
terayun ke leher calon korbannya!
Trangngng!
"Aaakh...!"
Mendadak saja, pada saat yang mendebarkan itu, seberkas
sinar hitam meluncur datang, dan langsung menghantam
pedang di tangan lelaki jangkung itu! Karuan saja lelaki itu
memekik kesakitan, dan terjengkang ke tanah!
Belum lagi keenam orang lelaki kasar itu menyadari apa yang
terjadi dengan kawannya, lima sosok bayangan berkelebat dan
langsung mendaratkan kakinya di dekat lelaki yang tengah
sekarat itu.
"Aryani, jangan...!" terdengar salah seorang dari lima sosok
tubuh itu berteriak mencegah! Sayang seruannya terlambat!
Terdengarlah jeritan-jeritan kematian yang susul-menyusul.
Darah segar berhamburan membasahi bumi seiring dengan
robohnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian merah itu.
Seorang gadis cantik berdiri tegak dengan sebuah pedang yang
basah oleh darah segar. Gadis itu tidak lain dari Aryani, yang
begitu tiba langsung saja merebut salah satu senjata dari
tangan orang itu, dan sekaligus menghabisi nyawa mereka.
"Maafkan aku, Kakang. Mereka adalah para pengikut murid-
murid ayahku. Sepertinya murid-murid ayahku memang telah
menyimpang dari apa yang telah ditekankan ayah, sebelum
beliau mengundurkan diri dan dunia persilatan," jelas Aryani
tertunduk dengan wajah penuh sesal.
Panji hanya bisa menghela napas panjang. Pemuda itu
segera memeriksa sosok lelaki gagah yang ternyata adalah
Purgawa. Panji mengenalinya ketika ia bertarung dengan Ki
Panjarasa sewaktu menyelamatkan Aryani.
"Kisanak, apa yang telah terjadi? Ke mana perginya Ki
Panjarasa dan dua orang muridnya?" tanya Paji yang segera
menotok jalan darah di sekitar leher dan punggung lelaki itu.
Karena pemuda itu melihat, nyawa Purgawa jelas tidak bisa
ditolong lagi.
"Manusia-manusia keparat di dalam Hutan Damar, telah
membunuh Ki Pan... jara... sa, dan murid... muridnya...
ahhh...," setelah berkata demikian, Purgawa menghembuskan
napasnya yang penghabisan. Lelaki gagah itu tewas di atas
pangkuan Pendekar Naga Putih.
"Hm..., rupanya di dalam Hutan Damar ini pengecut-
pengecut itu bersembunyi...!" desis Datuk Tangan Malaikat
yang datang bersama Panji dan lainnya.
"Ki, tunggu...!" Panji berseru mencegah ketika melihat Ki
Angga Merta sudah hendak mendahului menuju hutan. Ketika
Ki Angga Merta dan istrinya menahan langkah, Panji segera
mengutarakan rencananya. Kemudian, baru melepaskan Datuk
Tangan Malaikat dan istrinya mendahuluinya!
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, barulah Panji
mengajak Kenanga dan Aryani untuk menyusul Datuk Tangan
Malaikat dan istrinya.
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan tempat kediaman
para perampok itu. Dengan mengendap-endap, pemuda itu
mengajak kedua rekannya untuk mendekat ke arah bangunan
yang cukup besar di tengah hutan lebat itu.
"Kita harus membuat keributan, agar kehadiran Datuk
Tangan Malaikat dan istrinya lolos dari pengawasan mereka,"
ujar Panji yang bersiap melompati pagar kayu di depannya.
"Memangnya ke mana pendekar itu pergi, Kakang?" tanya
Kenanga yang tidak sempat mendengar rencana Panji.
"Aku menyarankan agar mereka bergerak dari belakang, saat
keributan terjadi di sebelah luar. Ayolah...," ujar Panji yang
segera melesat melewati pagar kayu bulat itu. Tanpa banyak
cakap, Kenanga dan Aryani bergegas menyusulnya.
***
"Hei, siapa itu..!?"
Terdengar teguran saat Panji dan dua orang dara cantik itu
menjejakkan kakinya di halaman dalam bangunan itu. Tanpa
banyak ribut lagi, cepat Panji melesat dan membungkam empat
orang lelaki berpakaian merah yang memergokinya.
Empat orang lelaki kasar betpakaian merah itu, langsung
roboh tak berkutik, terkena hantaman kepalan Pendekar Naga
Putih. Sayangnya, suara teriakan tadi sempat terdengar oleh
yang lain. Sehingga, dalam waktu singkat saja, Paji, Kenanga,
dan Aryani telah terkurung puluhan lelaki kasar betpakaian
merah.
"Murid murtad!" Aryani memaki marah ketika melihat
seorang lelaki berwajah bengis yang diapit oleh dua orang lelaki
lainnya.
"Ha ha ha...! Jangan marah adik manis. Lebih baik kau
ikutlah bersamaku daripada menyusul arwah ayahmu," sahut
lelaki berwajah bengis yang tidak lain, Harimau Cakar Setan.
Sedang dua orang lainnya adalah Sepasang Kumbang Setan,
juga murid-murid dari Raja Racun Merah. Jelas mereka telah
mengkhianati gurunya.
"Setan! Kaulah yang harus menyusulnya untuk dosa-dosamu
yang telah melewati takaran itu!" sambil membentak nyaring,
Aryani langsung saja melesat dengan lontaran pukulan
beracunnya!
Buggg! Desss!
"Aaa...!"
Harimau Cakar Setan dan Sepasang Kumbang Setan sudah
melompat menghindari serangan putri guru mereka itu.
Akibatnya, empat orang berseragam merah yang di kiri-kanan
mereka, terpental muntah darah terkena pukulan Aryani yang
nyasar!
Aryani tidak peduli sama sekali dengan korban pukulannya.
Gadis itu terus mengejar ketiga orang murid ayahnya dengan
lontaran pukulan beracunnya. Pertarungan sengit pun tak bisa
dihindarkan lagi!
Kenanga sendiri saat itu sudah mencabut keluar Pedang
Sinar Bulannya. Kilatan cahaya putih keperakan berkeredep
menyambar-nyambar mencarl sasaran! Sebentar saja, korban
di pihak gerombolan orang-orang Rambut Merah itu
berjatuhan. Darah segar menggenang dan membanjiri halaman
dalam bangunan besar itu.
"Heaaat..!"
Pada saat Pendekar Naga Putih tengah mengamuk membagi-
bagi pukulan tendangannya, terdengar seruan parau yang
dibarengi melesatnya sesosok bayangan kecil!
Wuuut!
Begitu tiba, sosok bayangan kecll itu langsung melpntarkan
pukulan maut ke arah Panji.
"Bocah iblis...!" seru Panji begitu ia mengenali orang yang
menyerangnya itu. Cepat pemuda itu menggeser tubuhnya, dan
langsung melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah cepat
dan kuatnya!
Wuuuk!
"Aiiih...!?"
Terkejut bukan main sosok tubuh kecil itu ketika melihat
cahaya keperakan meluncur mengancam tubuhnya! Cepat
sosok bayangan yang tidak lain dari Datuk Timur itu
melesatkan tubuhnya dan terus berjumpalitan di udara.
Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Tokoh
bertubuh kerdil yang diduganya sebagai biang keladi semua
kekacauan itu, dikejar dan dicecar dengan pukulan-pukulan
yang saling susul-menyusul, bagaikan gelombang lautan!
Sepertinya pemuda itu sengaja mengumbar pukulannya agar
lawan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat licik!
"Setan! Anjing Kurap! Monyet Kudisan!" Datuk bertubuh
kerdil itu memaki kalang kabut karena serangan Panji benar-
benar membuatnya kelabakan! Sehingga, di satu kesempatan,
tokoh cebol itu terpaksa harus menerima sebuah hantaman
keras di perutnya!
Desss!
"Hukhhh...!"
Bagaikan sebuah bola, tubuh cebol itu terpental deras akibat
hantaman telapak tangan Panji yang menggedor telak perut
datuk sesat itu! Namun, karena pukulan itu tidak dilontarkan
dengan tenaga yang kuat, maka tokoh cebol itu hanya
menderita luka ringan! Meski begitu, akibat pukulan itu
membuat gerakannya sedikit terganggu.
"Yeaaat...!"
Setelah dapat menenteramkan debaran dalam dadanya,
Bocah Iblis itu berseru parau, dan menerjang Panji dengan
jurus-jurus yang membingungkan! Bahkan gerakan itu masih
diringi pula dengan menebar bubuk-bubuk beracun yang
memabukkan!
"Hm..., kali ini kau tidak bisa lagi mengecohku, Manusia
Jahat! Petulanganmu harus segera berakhir!" desis Parji yang
segera memutar tangannya yang telah membentuk cakar naga.
Detik berikutnya, tubuh Panji sudah melesat disertai dengan
putaran tangannya yang menimbulkan hawa dingin menggigit
tulang!
Beberapa orang anggota gerombolan Rambut Merah yang
berjarak satu tombak lebih dari tempat Panji berdiri, langsung
menggelepar dengan tubuh menggigil dan berwarna kebiruan!
Mereka tewas karena tidak sanggup menahan serbuan hawa di-
ngin yang luar biasa itu!
"Heaaat...!"
Disertai dengan suara teriakan mengguntur, tubuh Panji
berkelebatan dengan lontaran-lontaran pukulan yang
menebarkan hawa dingin! Sehingga, tokoh bertubuh cebol itu
kembali dibuat kelabakan! Racun-racun yang ditebarkannya
tidak lagi mempunyai guna. Semuanya lenyap tersaput hawa
dingin yang menyambar-nyambar dengan cepat!
"Kurang ajar! Setan! Gandaruwo!" kembali terdengar Bocah
Iblis memaki kalang kabut! Gerakan tokoh bertubuh kerdil itu
tampak mulai kaku. Rupanya serbuan hawa dingiri itu telah
merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga gerakannya tidak lagi
lincah dan gesit seperti biasa!
Wuuut!
Sebuah serbuan angin keras berhawa dingin, kembali
mengancam dada Bocah Iblis! Datuk sesat wilayah Timur itu
kaget! Sebisa mungkin, tokoh cebol itu melemparkan tubuhnya
ke samping, dan terus bergulingan menjauhkan diri!
Sayang Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja!
Dengan gerakan seperti sambaran kilat, tubuh pemuda tampan
itu mencelat mengejar lawannya! Baru saja tokoh bertubuh
cebol itu bangkit, sebuah hantaman telak menggedor dadanya!
Desss!
"Aaakh...!"
Darah segar menyembur seiring tubuh cebol itu tersentak
deras ke belakang! Kali ini jelas pukulan Panji tidak akan
membuat tokoh itu selamat!
Nasib malang rupanya masih terus menyertai Bocah Iblis.
Belum sempat tubuhnya menyentuh tanah, sebuah tebasan
pedang dari sosok ramping berpakaian kuning menyambutnya,
dan langsung membabat putus leher datuk sesat itu.
Wuuut! Crakkk!
Tanpa ampun lagi, kepala Bocah Iblis itu lepas dari
tubuhnya! Darah segar menyembur dari luka menganga pada
leher Bocah Iblis!
"Aryani...!?" desis Panji agak terkejut melihat apa yang
dilakukan dara cantik keturunan datuk sesat itu. Ketika pemuda
itu menoleh ke arah tempat pertarungan Aryani, Panji melihat
tiga sosok tubuh murid ayah gadis itu telah menggeletak
dengan kepala putus dari tubuhnya. Diam-diam pemuda itu
bergidik menyaksikan pembalasan dendam yang dilakukan
Aryani.
Tewasnya datuk sesat dari Timur serta tiga pemimpin
gerombolan Rambut Merah, membuat sisa-sisa pengikut tokoh-
tokoh sesat itu menjatuhkan dirinya, berlutut sambil memohon
ampun.
"Dengar! Kami akan mengampuni kalian, bila kalian mau
berjanji untuk hidup sebagai orang baik-baik. Jika kelak aku
bertemu dengan salah seorang dari kalian masih melakukan
tindak kejahatan, terpaksa aku mencabut nyawa kalian!" ujar
Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa yang amat
kuat. Sehingga, sisa pengikut gerombolan Perampok Rambut
Merah mengangguk-anggukkan kepala sambil mengucapkan
kata-kata.
"Kami berjanji... kami berjanji...."
Merasa yakin mereka tidak akan berani menyeleweng, Panji
melepaskan sisa-sisa gerombolan itu. Bagaikan dikomando,
belasan orang berpakaian merah itu menghambur
meninggalkan Hutan Damar.
Baru saja sisa gerombolan perampok Rambut Merah yang
telah diampuni meninggalkan bangunan itu, muncullah Datuk
Tangan Malaikat bersama istri dan putranya yang dipapah oleh
lelaki gagah itu.
"Ah, syukurlah putra Paman berhasil diketemukan dalam
keadaan selamat," sambut Panji yang merubah panggilannya
terhadap pendekar sakti itu.
"Aku berhasil menemukan tempat putraku disekap. Untung
kedatangan kita tidak terlambat, Pendekar Naga Putih. Karena
saat matahari terbit esok, putraku Puja Mera akan mereka
gantung di halaman depan ini. Dan, aku juga telah menemukan
dan menghukum Tiga Iblis Gundul yang mengirimkan surat
tantangan atas nama Raja Racun Merah," jelas Datuk Tangan
Malaikat dengan tarikan napas penuh kelegaan.
"Hm..., apakah kau masih menyalahkan aku, Orang Tua?"
Aryani yang masih belum hilang jengkelnya terhadap Datuk
Tangan Malaikat langsung melontarkan ucapan bernada ketus.
Datuk Tangan Malaikat dan istrinya tersenyum menatap
wajah gadis cantik itu. Tidak nampak sinar kemarahan sedikit
pun pada wajah suami istri pendekar besar itu. Jelas mereka
telah menyadari kesalahannya.
"Maafkan kami, Aryani. Pendekar Naga Putih ternyata jauh
lebih bijaksana daripada orang tua seperti aku. Kuharap kau
mau memaafkan kesalahan kami," ucap Datuk Tangan Malaikat
dengan nada penuh sesal.
"Kami harus segera kembali. Puja Merta masih sangat lemah,
akibat siksaan manusia-manusia jahat itu. Kalau kau bersedia,
aku ingin mengajakmu untuk tinggal bersama kami, Aryani.
Tapi, semua itu terserah padamu, kami tidak memaksa. Bukan
begitu, Kakang?" ujar wanita cantik istri Ki Angga Merta sambil
mengulurkan tangannya dan membelai pangkal lengan Aryani.
Sehingga, gadis yang keras hati dan galak itu tertunduk
menahan keharuan hatinya.
"Bukan aku menolak, Bibi. Tapi, berikanlah aku waktu untuk
memikirkannya," ucap Aryani dengan kepala tertunduk.
"Datanglah kapan kau suka. Pintu kami selalu terbuka
untukmu," setelah berkata demikian, Datuk Tangan Malaikat
yang menimpali ucapan istrinya segera berpamitan, dan
melangkah meninggalkan tempat itu.
Tak lama setelah keluarga Datuk Tangan Malaikat pergi,
Aryani pamit dengan Panji dan Kenanga. Gadis cantik itu ingin
melajutkan petualangannya untuk meluaskan pengalamannya.
"Ingat, jangan gunakan kekerasan hatimu dan kemarahan
dalam menghadapi setiap persoalan yang kau temukan," pesan
Panji sebelum Aryani meninggalkan mereka.
Gadis cantik itu tersenyum menganggukkan kepalanya.
Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Panji dan
Kenanga yang melambaikan tangannya, melepas kepergian gadis itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar