..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TEWASNYA RAJA RACUN MERAH

matjenuh


TEWASNYA RAJA RACUN MERAH 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Seriai Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Tewasnya Raja Racun Merah 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Kegelapan perlahan menyelimuti permukaan bumi. 
Bersamaan dengan bergantinya sang waktu, kabut tipis pun 
bergerak turun. Hingga, suasana daerah Perbukitan Lanjar 
tampak semakin gelap. 
Dalam cuaca seperti itu, tampak tiga sosok bayangan 
bertubuh tegap mengendap-endap mendekati sebuah 
bangunan besar, yang berada di kawasan Bukit Lanjar. Tingkah 
mereka tampak mencurigakan. Apalagi pakaian yang dikenakan 
ketiga orang itu berwarna gelap. Bahkan wajah-wajah mereka 
pun tampak sebagian tertutup selembar kain hitam. Jelas, 
kedatangan mereka berniat tak baik. 
Sementara, bangunan luas yang sekelilingnya dipagari kayu-
kayu bulat setinggi satu tombak lebih itu, tampak berdiri 
angker. Tak seorang pun terlihat berjaga-jaga di sekitar 
bangunan itu. Tentu saja kedatangan tamu-tamu tak diundang 
itu tidak diketahui si pemilik bangunan! 
"Hati-hati...," bisik sosok bayangan hitam terdepan 
menghentikan langkahnya sejenak. "Kalau kehadiran kita 
sampai diketahui, aku tidak bisa menjamin, apakah kita bisa 
kembali dengan selamat." lanjut sosok pertama dengan nada 
yang jelas menandakan ketegangan hatinya. 
Tampak sosok kedua dan ketiga menganggukkan kepala 
tanpa berusaha untuk membantah. Sepertinya kedua orang itu 
sadar, pekerjaan yang mereka lakukan itu sangat berbahaya! 
Usai memberi peringatan kepada dua orang kawannya, 
sosok pertama kembali mengisyaratkan maju dengan gerakan

tangan yang perlahan. Kembali ketiga sosok bayangan hitam 
itu mengendap-endap mendekati bangunan di depan mereka. 
Ketika jarak mereka ke bangunan itu semakin dekat, sosok 
pertama merunduk di balik semak-semak. Kedua sosok di 
belakangnya segera mengikuti tanpa banyak cakap. 
"Hm..., menurut ketua, Datuk Tangan Malaikat mempunyai 
beberapa orang murid, yang dipekerjakan sebagai pembantu-
pembantunya. Tapi, mengapa tidak terlihat seorang pun yang 
berjaga-jaga? Apakah mereka telah mengetahui kedatangan 
kita sebelumnya? Bisa jadi ini suatu jebakan....!" sosok pertama 
kembali berbisik lirih. Sepasang matanya kembali menjelajahi 
sebelah atas pagar kayu bulat itu dengan penuh curiga. Jelas 
tindakannya sangat hati-hati. 
"Tapi, bukankah tugas kita hanya mengirimkan surat, 
Kakang?" tukas sosok kedua yang bertubuh sedikit lebih tinggi. 
Suaranya berat dan dalam. 
"Memang. Tapi kau pun harus ingat, Adi. Penghuni 
bangunan yang kita datangi ini, bukan orang sembarangan. 
Sedikit saja kita menimbulkan bunyi yang mencurigakan, cukup 
untuk membuat tokoh sakti itu bangkit dari tidurnya. Kaiau 
sudah begitu, sulit dipastikan apakah kita bisa selamat atau 
tidak dari tangan mautnya," ucap sosok pertama mengingatkan 
kesaktian penghuni bangunan yang mereka datangi. 
"Kau jangan mengecilkan hati kami, Kakang. Ucapanmu itu 
sama saja dengan menakut-nakuti," sahut sosok ketiga tak 
senang. Suaranya terdengar kecil tinggi melengking, tak 
ubahnya seperti suara seorang wanita. Padahal, kalau melihat 
bentuk tubuhnya, jelas sosok ketiga itu seorang lelaki tulen. 
"Bukan itu maksudku, Adi. Aku cuma mengingatkan, kita 
harus hati-hati," sosok pertama membantah. Sepertinya ia tidak 
ingin disalahkan.

"Sudahlah. Untuk apa kita saling berbantah. Sebaiknya, 
tugas ini cepat-cepat kita selesaikan, lalu pergi sejauh 
mungkin," sosok ketiga yang menyaksikan perdebatan kedua 
orang kawannya segera melerai dan mengingatkan tujuan 
mereka berada di tempat ini. 
"Ayolah...," ujar soosk pertama sambil melesat dengan 
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ia belari dengan 
menggunakan ujung kaki, agar langkahnya tidak menimbulkan 
suara yang mencurigakan. 
Kedua sosok lainnya bergegas melesat dengan cara yang 
sama. Kemudian merapatkan dirinya ke pagar kayu dan tempat 
yang cukup terlindung dari sinar lampu. Karena hampir setiap 
sudut pagar kayu itu terdapat obor sebagai penerangan. 
Dengan lincah, ketiga sosok bayangan hitam itu berlompatan 
susul-menyusul melewati pagar yang menghalangi mereka. 
Tanpa menimbulkan suara yang berarti, mereka berbasil 
menjejakkan kaki di dalam halaman bangunan besar itu. 
Ketiga sosok tubuh itu kembali berkelebat menuju halaman 
samping. Mereka sama-sama merendahkan tubuh agar tidak 
sampai dilihat penghuni bangunan itu. Malang, sepertinya nasib 
mereka sedang sial! Beberapa saat setelah ketiga sosok itu 
melesat ke arah samping bangunan utama, tampak dua sosok 
tubuh keluar dari pintu samping, yang berada di belakang 
ketiga sosok tubuh itu. 
"Hei, siapa kalian...?" terdengar suara bentakan yang 
membuat jantung ketiga tamu tak diundang itu seperti copot! 
"Celaka...!" desis sosok pertama dengan suara hampir tidak 
terdengar karena saking terkejutnya. "Lari...!" perintahnya 
sambil melesat menuju pintu gerbang.

Tanpa diperintah dua kali, kedua sosok tubuh lainnya segera 
menghambur mengikuti sosok pertama. Sebelum meninggalkan 
tempat itu, sosok kedua yang tubuhnya paling tinggi di antara 
ketiga sosok tubuh itu, segera mengibaskan lengannya ke arah 
dua orang yang mengejar mereka! 
Syuuut...! 
"Awaaas...!" salah seorang dari dua murid tokoh yang 
mereka sebuat sebagai Datuk Tangan Malaikat. Menyadari apa 
yang dilakukan salah seorang bayangan hitam itu, ia segera 
melempar tubuhnya ke samping, guna menghindari luncuran 
sinar putih yang berkeredep ke arah keduanya. 
Cappp...! 
Tiang kayu penyangga ruangan depan, bergetar keras ketika 
pisau terbang yang dilontarkan salah seorang bayangan hitam 
itu menancap, hingga setengahnya. 
"Gila! Kekuatan tenaga dalam mereka sangat hebat sekali! 
Entah apa yang membuat mereka melarikan diri? Padahal, 
kalau mengukur dari kekuatan lemparannya, jelas kepandaian 
orang-orang itu berada di atas kepandaian kita? Aneh..?" desis 
lelaki berwajah runcing yang dagunya terhias jenggot lebat. 
Lelaki inilah yang menyadari lebih dahulu bahaya lontaran pisau 
terbang itu. 
"Hei, lihat! Sepertinya pisau itu sengaja dilontarkan untuk 
mengirimkan pesan?" ucap lelaki kedua. Meskipun tubuhnya 
terlihat agak kurus, namun padat berisi. Tanpa menunggu 
tanggapan kawannya, ia langsung mencabut pisau terbang itu 
dengan mengerahkan tanaga dalam. Lontaran senjata itu 
tertanam kuat di kayu penyangga


"Mari kita laporkan kepada guru...," usul lelaki bermuka 
runcing yang melangkah menuju pintu ruangan depan. Tanpa 
membantah lagi, kawannya pun bergegas mengikuti. 
*** 
"Bedebah! Ini benar-benar sebuah penghinaan bagiku!" 
lelaki gagah itu berteriak marah sambil menggebrak meja bulat 
dengan telapak tangannya. Karuan saja meja itu hancur 
berantakan! 
"Apa isi surat itu, Kakang? Coba kulihat..," wanita cantik 
berusia hampir empat puluh tahun yang duduk di sebelah lelaki 
gagah itu bertanya dengan wajah penasaran. Diambilnya 
lembaran yang berupa kulit kayu dari tangan lelaki gagah itu. 
"Hm..., aku akan membuat perhitungan dengan Raja Iblis 
Racun Merah! Sungguh berani iblis itu menculik anakku!" lelaki 
gagah yang tak lain Datuk Tangan Malaikat itu kembali 
mengomel seperti tak berkesudahan. 
Wanita cantik yang berada di sebelah Datuk Tangan Malaikat 
pun bangkit dari kursinya. Tangannya yang mungil itu terkepal 
erat, hingga menimbulkan bunyi bergemeretak keras! Jelas ia 
marah setelah membaca isi surat di tangannya itu. 
"Kalau memang dia mempunyai keberanian, mengapa tidak 
langsung saja menantang kita? Mengapa mereka harus 
menculik putra kita? Apakah dia takut kalah? Lalu, 
menggunakan putra kita sebagai sandera untuk 
keselamatannya? Benar-benar licik sekali iblis tua itu!" geram 
wanita cantik itu dengan wajah agak pucat. Ia khawatir sekali 
atas keselamatan putranya yang bernama Puja Merta.

"Biar bagaimanapun, aku tetap akan menerima tantangan 
itu! Akan kurobek tubuh Raja Racun Merah itu kalau sampai ia 
berani mencelakai putra kita!" janji Datuk Tangan Malaikat 
dengan wajah gelap, "Sekarang, kita harus mendatangi 
kediaman Raja Iblis Laknat itu!" usai berkata, ia segera 
mengajak istrinya untuk berkemas. 
Istri Datuk Tangan Malaikat menganggukkan kepala. Tak 
lama kemudian, terlihat sepasang suami istri pendekar itu 
berangkat memenuhi tantangan Raja Racun Merah, yang 
tertera di surat itu. 
Matahari sudah bergeser ke sebelah Barat. Namun, pancaran 
sinarnya tampak masih menyirami permukaan bumi dengan 
teriknya. Bahkan tiupan angin yang bersilir lembut, menebarkan 
hawa panas yang membuat udara menjadi pengap. 
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak memasuki mulut 
sebuah hutan kecil. Meskipun udara saat itu sangat tidak enak 
untuk dinikmati, tapi bagi kedua sosok tubuh yang tengah 
melangkah itu, sepertinya tidak menjadi halangan. Keduanya 
tetap saja melangkah tenang, tanpa terburu-buru. Agaknya 
mereka tidak merasa terganggu dengan udara panas siang itu. 
"Hm...." 
Ketika kedua sosok tubuh itu tengah melintasi sebuah 
tempat yang agak terbuka di bagian dalam hutan, tiba-tiba 
salah seorang dari kedua sosok itu menggeram lirih. Seiring 
dengan geraman yang keluar dari mulutnya, sosok bertubuh 
tinggi gagah itu memperlambat langkahnya. Sikapnya jelas 
menandakan bahwa ia telah bersiaga penuh! 
"Kau mendengar sesuatu, Kakang...?" tanya sosok ramping 
yang berada di sebelahnya. Suaranya terdengar lirih. Meskipun 
mulutnya bertanya, tapi sikap sosok tubuh ramping itu tetap

wajar. Langkahnya tetap terayun dengan tatapan mata lurus ke 
depan. 
"Hati-hatilah...!" sahut lelaki gagah di samping wanita cantik 
itu. Meski jawaban itu singkat, namun mengandung peringatan 
atas bahaya yang mungkin tengah mengintai! Dan, wanita 
cantik itu pun sadar atas peringatan kawannya. 
Meskipun kedua sosok tubuh itu telah curiga dengan 
keadaan di sekitarnya, tapi sikap mereka terlihat tetap wajar. 
Bahkan langkah kaki mereka pun terayun tanpa ragu. 
Tapi, baru beberapa tombak mereka berjalan, mendadak 
terdengar suara berdesingan gemuruh! 
Singngng... singngng...! 
Suara-suara mendesing tajam yang datang dari empat 
penjuru itu, membuat suasana hening mendadak ribut! 
Bersamaan dengan itu, tampak puluhan batang anak panah 
meluncur datang! Sasarannya jelas kedua sosok lelaki dan 
wanita yang tengah berjalan itu! 
"Bangsat pengecut..!" terdengar lelaki gagah di sebelah 
wanita cantik itu menggeram marah! Sambil memaki, sepasang 
tangannya berputar cepat di depan dada. Terus melebar hingga 
menimbulkan putaran angin yang menderu-deru! 
Hebat sekali apa yang dilakukan lelaki gagah itu! Puluhan 
batang anak panah yang mengancam tubuhnya, langsung 
berjatuhan ke atas tanah! Padahal, anak-anak panah itu masih 
satu tombak lebih dari tubuhnya! Benar-benar sebuah tenaga 
dalam yang tinggi dan sukar untuk diukur! 
Lain halnya dengan yang dilakukan wanita cantik di 
sebelahnya. dengan sebilah pedang yang dicabut dari pinggang 
kirinya, wanita cantik itu bergerak bagaikan orang yang sedang 
menari-nari.

Trakkk... trakkk...! 
Mengagumkan sekali! Puluhan anak panah itu terpental kian 
kemari, akibat tangkisan pedang di tangan wanita cantik itu! 
Sehingga, tak satu pun sejata gelap itu berhasil mengenai 
tubuhnya. Semuanya runtuh dalam keadaan patah! Nyata 
sudah kalau pasangan 
sosok tubuh itu 
merupakan tokoh-tokoh 
persilatan berkepandaian 
tinggi. 
Bagi tokoh-tokoh 
persilatan yang mengenal 
kedua sosok tubuh itu, 
tentu tidak akan merasa 
heran. Bila serangan 
gelap itu tidak berarti 
sama sekali. Bahkan bisa 
dianggap sebagai 
permainan anak kecil! 
Kalau saja kedua sosok 
tubuh yang tidak lain 
Datuk Tangan Malaikat 
dan istrinya itu menghendaki, tentu bukan hanya anak-anak 
panah itu saja yang dipukul runtuh! 
Tapi, lelaki gagah yang berjuluk Datuk Tangan Malaikat itu 
adalah seorang pendekar besar yang tinggi hati. Ia sengaja 
menanti apa yang sejak tadi dicurigainya itu, bergerak lebih 
dulu. Sepertinya Datuk Tangan Malaikat ingin menujukkan 
kepada penyerang-penyerang gelap itu, mereka sama sekali 
tidak merasa gentar meski lawan tidak terlihat.

Trakkk.. Trakkk...! Mengagumkan sekali yang dilakukan 
Datuk Tangan Malaikat dan istnnya, dalam menangkis serangan 
anak panah yang datang bertubi-tubi. 
Lelaki gagah itu memutar-mutarkan sepasang tangannya, 
sementara wanita cantik itu bagaikan sedang menari dengan 
pedangnya! 
Setelah sepasang suami istri itu memukul runtuh semua 
anak panah yang mengancam tubuh mereka. Suasana pun 
kembali hening dan mencekam. Meskipun begitu, keduanya 
tetap berdiri tegak menanti gerakan selanjutnya dari para 
penyerang gelap. 
"Mengapa tidak kita paksa saja agar mereka muncul, 
Kakang?" istri Datuk Tangan Malaikat berbisik sambil 
merapatkan punggungnya ke punggung suaminya. Menilik dari 
nada ucapannya, wanita cantik itu sangat marah dengan 
penyerangan gelap terhadap diri mereka! 
Tidak demikian halnya dengan Datuk Tangan Malaikat. Lelaki 
gagah itu sama sekali tidak berpe-dapat demikian. Terdengar 
jawaban yang mencerminkan kesombongan hatinya. 
"Tidak, Istriku. Kita tunggu saja serangan selanjutnya dari 
mereka. Biar mereka tahu, semua serangan yang dilakukan itu 
tidak berarti sama sekali buat kita," sahut Datuk Tangan 
Malaikat dengan nada penuh keyakinan terhadap 
kepandaiannya. 
Baru saja ucapan Datuk Tangan Malaikat selesai, kembali 
terdengar suara berdesingan yang lebih ribut dari pertama! 
Bahkan kali ini luncuran anak panah yang puluhan banyaknya 
itu, menebar dari atas ke bawah! Jelas maksudnya untuk 
menutup jalan lolos bagi pasangan pendekar itu! 
"Hm...."

Datuk Tangan Malaikat hanya mendengus menyaksikan 
serangan gelap itu. Untuk menghadapi serangan gelap yang 
kedua itu, ia melakukan cara yang lain sama sekali. Lelaki 
gagah itu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan 
dada! 
Trakkk.... Trekkk! 
Apa yang dipamerkan lelaki tinggi gagah itu, benar-benar 
luar biasa sekali! Puluhan batang anak panah yang meluruk ke 
tubuhnya, langsung berjatuhan dalam keadaan patah. Jelas 
Datuk Tangan Malaikat ingin mempertunjukkan kekebalan 
tubuhnya dengan cara melapisi seluruh tubuhnya dengan 
tenaga sakit. Dari sini saja sudah dapat dilihat, betapa 
hebatnya tenaga dalam yang dimiliki lelaki gagah itu! 
"Heaaah..!" 
Setelah merasa cukup memamerkan kekuatan tubuhnya, 
Datuk Tangan Malaikat tiba-tiba membentak sambil 
menggerakkan kedua tangannya dengan kecepan kilat! Tahu-
tahu saja, belasan batang anak panah telah tergenggam di 
kedua tangannya! 
"Terima kembali senjata kalian ini, Manusia-manusia 
Pengecut! Aku tidak membutuhkannya!" sambil membentak, 
lelaki gagah itu mengibaskan kedua tangannya ke tiga arah! 
Zingngng! Zingngng! 
Menakjubkan sekali! Belasan batang anak panah yang 
dilepaskan Datuk Tangan Malaikat meluncur deras sampai tiga 
kali lipat kecepatan semula, sampai-sampai suara desingannya 
terasa menyakitkan telinga! 
"Aaa...!" 
"Wuaaa...!"

Terdengar jeritan ngeri susul-menyusul ketika batang-batang 
anak panah yang dilontarkan Datuk Tangan Malaikat lenyap 
menerobos semak belukar! Dan, suara-suara jeritan itu 
menujukkan bahwa senjata itu telah memakan tuannya sendiri! 
"Hm..., biar tahu rasa mereka...," wanita cantik yang juga 
telah memukul runtuh semua anak panah dengan pedangnya, 
berdesis ketika mengetahui apa yang dilakukan suaminya. Pada 
wajahnya terhias senyum kepuasan. 
Setelah menanti beberapa lama, keadaan tetap sunyi, Datuk 
Tangan Malaikat melangkah ke arah semak-semak di depannya. 
Sedang istrinya mengikuti dari belakang lelaki gagah itu 
mengerutkan keningnya ketika menemukan sosok-sosok 
berpakaian merah darah yang tubuhnya tertembus anak panah. 
"Hm..., mungkin mereka dikirimkan oleh Raja Racun Merah 
untuk membunuh kita di perjalanan. Sayang raja iblis itu salah 
perhitungan. Dikiranya kita mudah dilenyapkan dengan 
menggunakan tangan keroco-keroco seperti ini," geram Datuk 
Tangan Malaikat setelah memeriksa semua korban anak panah 
yang dikembalikannya tadi. Melihat jumlah korban cukup 
banyak, suami istri itu tersenyum puas. 
"Entahlah ke mana perginya yang lain? Sepertinya mereka 
telah melarikan diri, Kakang," ujar wanita cantik itu menatap 
suaminya dengan wajah kurang puas. Sepertinya ia tidak setuju 
dengan cara suaminya yang membiarkan sisa penyerang gelap 
itu lolos. 
"Hm..., menghadapi keroco-keroco seperti ini, hanya 
merendahkan nama kita saja istriku. Aku sengaja melepaskan 
yang lainnya, biar mereka tahu bahwa kita sama sekali tidak 
gentar menghadapi segala macam kelicikan dan kecurangan," 
sahut lelaki gagah itu yang segera mengajak istrinya untuk 
kembali melanjutkan perjalanan.

Suasana pun kembali dicekam kesunyian. Hanya tiupan 
angin yang bersilir menebarkan bau anyir darah yang masih 
segar....

DUA

Suasana siang yang pengap dengan sengatan terik sinar 
matahari, dibuat gaduh oleh serombongan penunggang kuda. 
Debu membumbung tinggi ke angkasa saat rombongan itu 
melintasi jalanan bertanah merah. 
Suara gaduh yang ditimbulkan derap kaki kuda, kian 
bertambah ribut. Karena para penunggang kuda itu ikut 
berteriak-teriak, sambil menggeprak perut kuda dengan kedua 
kakinya. Sehingga, kuda-kuda tunggangan itu makin melesat 
cepat disertai ringkik nyaring membeset angkasa. 
Tidak lama kemudian, rombongan penunggang kuda yang 
rata-rata berjubah merah itu, mulai menyusuri jalanan 
berumput. Salah seorang dari rombongan yang berada paling 
depan, mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, setelah 
menarik tali kekang kudanya, dan berhenti secara mendadak. 
Terdengar suara ringkik kuda saling bersahutan, saat seluruh 
anggota rombongan serentak menarik tali kekang binatang 
tunggangannya. 
Lelaki terdepan yang memimpin rombongan, menatap 
sebuah bangunan yang dikelilingi kayu bulat. Jarak antara 
bangunan dengan rombongan itu sendiri, terpisah sekitar 
belasan tombak. 
"Hm..., jadi di sini rupanya bangunan Perguruan Tongkat 
Baja berdiri...," terdengar kepala rombongan itu bergumam 
perlahan. Sepasang matanya bersinar bengis, dan menyorot 
tajam bangunan di depannya. Tentu saja ucapan lelaki itu tidak 
memerlukan jawaban. Selain perlahan, ucapan itu sepertinya 
hanya untuk diri sendiri.

Tapi dua orang penunggang kuda lain yang berada di kiri 
kanannya, tampaknya mendengar apa yang diucapkan 
pemimpinnya itu. Keduanya menatap lurus ke arah bangunan 
yang seperti tengah diteliti lelaki bengis pimpinan mereka itu. 
Terdengar salah seorang berwajah kurus dan berhidung 
bengkok menyahuti. 
"Memang di sinilah perguruan itu berdiri, Ketua. Sekarang 
apa yang akan kita lakukan? Apakah kita muncul secara terang-
terangan atau langsung saja kita gebrak dan hancurkan 
perguruan sombong itu sebagai pembalasan atas perbuatan 
murid-muridnya?" ujar lelaki berhidung bengkok itu sambil 
menatap wajah ketuanya, memohon petunjuk. 
"Sebaiknya kita memang tidak perlu banyak bertanya lagi 
dengan mereka, Ketua. Belasan orang kawan-kawan kita yang 
tewas, harus dibayar mahal oleh mereka! Kalau perlu, bukan 
hanya penghuninya saja yang kita bantai. Tapi, bangunan per-
guruan itu sebaiknya kita ratakan dengan tanah!" ujar lelaki 
berkumis lebat di sebelah kiri sang Pemimpin itu mengajukan 
usul. Namun nada suaranya terdengar berapi-api dan penuh 
dendam. 
"Hm...," lelaki berwajah bengis dengan sorot mata setajam 
burung elang itu tidak menanggapi sama sekali ucapan kedua 
orang pembantu utamanya. Pemimpin rombongan itu hanya 
bergumam tak jelas. 
Sedang rombongan puluhan orang anggota yang berada di 
belakang ketiga orang itu tampak mulai gelisah. Ringkik 
binatang tunggangan mereka terdengar sahut-menyahut 
Sepertinya kuda-kuda itu pun sudah ingin segera bergerak dari 
tempatnya. 
"Langsung bunuh dan hancurkan perguruan itu...!" terdengar 
perintah pemimpin berwajah bengis itu, datar dan dingin. Usai 

berkata demikian, dibedalnya kuda hitam tunggangannya itu 
hingga melesat bagai dikejar setan! 
"Heyaaa...! Heyaaa...!" 
Seiring dengan melesatnya kuda pimpinan rombongan itu, 
terdengar teriakan-teriakan ramai yang disertai ringkik kuda-
kuda tunggangan mereka. Derap kaki kuda yang berjumlah 
puluhan itu pun, kembali menggetarkan bumi! 
"Hei, lihat! Ada serombongan orang berambut merah 
mendatangi tempat kita!" terdengar suara teriakan nyaring dari 
salah seorang penjaga yang berada di atas pintu gerbang 
perguruan. Karuan saja teriakan itu membuat tiga orang 
penjaga lain yang tengah berteduh di posnya, langsung 
bergerak bangkit. 
"Perampok Iblis Rambut Merah...!?" seru salah satu dari tiga 
penjaga yang baru bangkit itu, dengan wajah agak pucat. Jelas 
ia sangat terkejut ketika mengenali rombongan penunggang 
kuda yang menuju ke arah bangunan mereka itu, "Cepat beri 
tahu Kakang Kunta Reja...!" 
"Baik..," sahut dua orang penjaga yang segera melesat turun 
melalui anak tangga. Sedang dua lainnya tetap bersiaga di atas 
pintu gerbang dengan senjata terhunus. Agaknya mereka telah 
membaca gelagat yang tidak baik dari rombongan itu. 
Saat itu, pemimpin rombongan telah tiba lebih dulu di depan 
pintu gerbang yang bertuliskan Perguruan Tongkat Baja. Tanpa 
banyak bicara lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung saja 
melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian 
melangkah mendekati pintu gerbang. 
Dua orang pembantu utamanya yang baru tiba, juga 
melompat turun dari kuda mereka masing-masing. Kemudian,

mereka melangkah mengiringi pimpinannya. Salah seorang 
yang berhidung bengkok berseru pelan. 
"Ketua. Biar aku dan Badilang saja yang melakukannya...," 
ujar lelaki berhidung bengkok itu dengan suaranya yang 
melengking seperti suara seorang wanita. 
Lelaki tinggi kekar berwajah bengis itu hanya bergumam 
perlahan. Kemudian menggerakkan kedua tangannya sebagai 
tanda persetujuan. Setelah itu, ia melangkah mundur beberapa 
tindak ke belakang. Sepertinya pemimpin rombongan Iblis 
Rambut Merah itu memberikan kesempatan kepada dua orang 
pembantu utamanya untuk mengerjakan apa yang semula ia 
ingin dilakukannya. 
*** 
"Hmh...!" 
Kedua pembantu utama ketua gerombolan Iblis Rambut 
Merah itu, terdengar menggeram berbarengan. Tubuh mereka 
merendah dengan kedudukan menunggang kuda. Dua pasang 
lengan yang berada di sisi pinggang itu tampak bergetar keras. 
Jelas kedua orang itu tengah mengerahkan tenaga dalam, dan 
siap melontarkan pukulan guna mendobrak pintu gerbang 
Perguruan Tongkat Baja! 
"Hei, mau apa kalian...!?" salah seorang dari kedua penjaga 
yang berada di atas pintu gerbang, berseru dengan wajah 
heran. Tampaknya kedua penjaga itu belum dapat menebak 
apa yang hendak dilakukan kedua orang lelaki di bawah 
mereka. Wajah keduanya baru berubah pucat setelah melihat 
gerakan yang dilakukan kedua orang berjubah merah.

"Hei...!" 
Sayang kesadaran kedua orang penjaga gerbang itu sedikit 
terlambat! Berbarengan dengan teriakan terkejut mereka, 
kedua orang lelaki berjubah merah itu sudah keburu 
mendorongkan telapak tangannya dengan disertai bentakan 
mengguntur! 
"Hiaaah...!" 
Wuuus.... Brakkk...! 
Suara gaduh pun pecah saat kedua orang berjubah merah 
itu melontarkan pukulannya, dan langsung membentur pintu 
gerbang Perguruan Tongkat Baja! Potongan-potongan kayu 
bulat beterbangan seiring dengan terbukanya pintu gerbang 
itu! 
"Aaa...!" 
Dua orang penjaga yang tidak keburu turun dari tempat 
jaganya, berteriak ngeri! Tubuh mereka terlempar ke bawah 
seiring dengan suara berderak. Karena hancurnya sebagian 
pintu gerbang Perguruan Tongkat Baja itu! 
Tubuh kedua penjaga yang sial itu, meregang sesaat 
sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. 
Terbantingnya tubuh mereka dari ketinggian sekitar tiga 
tombak itu, rupanya membuat nyawa mereka melayang 
meninggalkan raga. 
Kematian kedua orang penjaga pintu gerbang itu, tentu saja 
bukan semata-mata karena jatuh dari ketinggian itu. Tapi, 
getaran pukulan tenaga dalam yang juga menjalar ke tubuh 
mereka, sehingga membuat keduanya tidak dapat 
menyelamatkan diri.

"Bagus! Pukulan kalian ternyata banyak mengalami 
kemajuannya, Sepasang Kumbang Setan. Aku yakin kalian telah 
berlatih keras untuk mencapai tingkatan itu," puji lelaki 
berwajah bengis yang merupakan kepala rombongan orang-
orang berjubah merah itu, sambil bertepuk tangan. Karuan saja 
kedua orang pembantu utamanya itu menjadi bangga. 
"Semua apa yang kami dapatkan, tentu tidak lepas dari jasa 
dan kemurahan hati Ketua...," lelaki berkumis lebat yang 
tubuhnya kekar berotot itu menyahuti dengan wajah berseri. 
"Hm... mari kita masuk...," ujar lelaki berwajah bengis yang 
berjuluk Harimau Cakar Setan. Usai berkata demikian, lelaki itu 
melangkah melewati gerbang yang telah terbuka lebar. Dua 
orang pembantu utamanya yang berjuluk Kumbang Setan itu 
segera berjalan dan mengapit pimpinannya. Sedang di 
belakang mereka, puluhan anggota Perampok Rambut Merah 
mengikuti sambil berteriak-teriak. 
"Berhenti...!" 
Baru saja gerombolan perampok itu melewati gerbang, 
terdengar bentakan nyaring yang membuat langkah mereka 
terhenti. 
"Bedebah! Apa yang kalian cari di tempat kami..?" seorang 
lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, menyongsong 
kedatangan gerombolan perampok itu dengan gagah berani. 
Sedang di belakangnya, tampak belasan murid Perguruan 
Tongkat Baja siap dengan senjata terhunus. 
"Ha ha ha...!" Harimau Cakar Setan tertawa berkakakan 
melihat sambutan yang meriah itu. Bukan hanya di belakang 
lelaki gagah itu saja terdapat belasan murid. Bahkan di kiri-
kanan rombongan perampok itu pun tampak belasan murid 
lainnya. Berarti gerombolan Perampok Rambut Merah itu telah

dikepung dari tiga jurusan. Namun, kepala rampok itu malah 
tertawa dengan lagak yang pongah. 
"Kakang Kunta Reja, untuk apa banyak bicara lagi. Dua 
orang kawan kita telah menjadi korban akibat keganasan 
mereka. Sudah, habisi saja perampok-perampok laknat itu!" 
terdengar salah seorang dari belasan murid di belakang lelaki 
bernama Kunta Reja itu berseru penuh nafsu. Sehingga, yang 
lainnya pun ikut berteriak-teriak mendukung ucapan temannya 
itu. 
"Sabar. Kita harus tahu dulu, apa yang menjadi penyebab 
kedatangan mereka ke tempat kita ini," lelaki gagah bernama 
Kunta Reja membalikkan tubuhnya dan mengangkat tangan 
untuk menenangkan suasana. Sebentar saja, suara ribut-ribut 
itu pun lenyap. Jelas Kunta Reja merupakan tokoh yang cukup 
disegani di Perguruan Tongkat Baja itu. 
Tapi, usaha Kunta Reja ternyata sia-sia. Baru saja ia 
menenangkan murid-muridnya, terdengar Harimau Cakar Setan 
berteriak memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu! 
Tentu saja Kunta Reja menjadi terkejut! 
"Habisi mereka! Bakar perguruan ini...!" terdengar Harimau 
Cakar Setan berteriak sambil menggeser langkahnya dan 
memberi jalan untuk anak buahnya bergerak maju. 
Sadar kalau tidak ada lagi cara untuk mencegah 
pertumpahan darah, Kunta Reja segera menyambar tongkat 
baja dari salah seorang muridnya. Kemudian, seluruh murid-
murid Perguruan Tongkat Baja diperintahkan menyambut 
musuh-musuhnya! 
Kunta Reja sendiri telah memutar tongkat bajanya hingga 
menimbulkan angin tajam yang berkesiutan! Beberapa anggota 
perampok yang terlanggar senjatanya, langsung berkelojotan 
tewas! Dari sini sudah dapat diduga, betapa hebatnya

kepandaian yang dimiliki lelaki gagah itu. Sehingga, anggota 
perampok yang melihat kehebatan lelaki gagah itu, langsung 
menghindar. 
Harimau Cakar Setan yang melihat kehebatan dan 
keganasan Kunta Reja mengerutkan keningnya dalam-dalam. 
Sorot matanya tampak berkilat penuh kemarahan. 
"Hm..., Sepasang Kumbang Setan, coba kalian hadapi lelaki 
bertongkat baja itu. Kalau didiamkan, bisa habis anggota kita 
terhantam tongkat bajanya," ujar Harimau Cakar Setan dengan 
nada penuh kegeraman. Sedang sepasang matanya tetap 
mengawasi gerak-gerik Kunta Reja yang ngamuk bagai banteng 
luka itu. 
Tanpa banyak tanya lagi, Sepasang Kumbang Setan segera 
saja memasuki kancah pertarungan. Kedua lelaki berjubah 
merah dengan garis putih di bagian pangkal lengan mereka, 
langsung mendekati tempat Kunta Reja. 
"Heaaat..!" 
Tanpa banyak tanya lagi, lelaki berkumis lebat yang 
merupakan orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan, 
segera menggebrak Kunta Reja dari sebelah kanan. Begitu 
menyerang, sepasang kepalannya langsung berseliwiran 
mengancam tubuh lawan! 
Bettt! Bettt! 
"Haiiit...!" 
Sempat terkejut juga Kunta Reja mendengar desing angin 
pukulan, yang saling bersusulan mengancam bagian-bagian 
terlemah di tubuhnya. Lelaki gagah itu cepat menggeser 
tubuhnya sambil memutar tongkat bajanya untuk melindungi 
diri!

"Yeaaah...!" 
Namun, ancaman terhadap Kunta Reja ternyata belum habis. 
Dari sebelah kiri, terdengar suara bentakan keras, dan disusul 
dengan sambaran angin pukulan lainnya. Ternyata lelaki 
berhidung bengkok yang merupakan orang kedua dari Kum-
bang Setan itu, sudah pula tiba dan mengeroyoknya. Tentu 
saja Kunta Reja menjadi sibuk dengan serangan yang datang 
dari dua arah itu. 
"Hiyaaah...!" 
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring, Kunta Reja 
menggenjot tubuhnya, dan langsung melambung setinggi dua 
tombak! Setelah beberapa kali melakukan putaran di udara, 
lelaki gagah itu mendaratkan kakinya di tempat yang cukup 
luas. Kunta Reja memang sengaja memilih tempat yang 
terpisah dari kancah pertempuran, agar tongkat bajanya dapat 
bergerak lebih leluasa. 
*** 
Sepasang Kumbang Setan yang kehilangan lawannya, segera 
melesat melakukan pengejaran. Keduanya menjejakkan kakinya 
di tanah dengan hentakan kuat, seketika itu juga tubuh mereka 
melambung tinggi dan mendaratkan kakinya di tempat Kunta 
Reja berada. 
Kunta Reja ternyata seorang lelaki gagah bersifat jujur. Ia 
sama sekali tidak berusaha menerjang tubuh kedua orang 
lawannya, sebelum mereka benar-benar siap. Lelaki gagah itu 
menanti tubuh lawannya mendarat sambil memutar-mutar 
tongkat baja di tangannya. Baru setelah tubuh Sepasang

Kumbang Setan mendarat dan menyiapkan jurus serangannya, 
Kunta Reja pun berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya. 
"Hiaaat..!" 
Wuuuk... Wukkk! 
Tongkat baja di tangan Kunta Reja mengaung tajam, dan 
meluruk mengancam tubuh kedua orang lawannya. Tentu saja 
Sepasang Kumbang Setan tidak tinggal diam. Kedua orang 
kepercayaan raja perampok itu, berpencar ke kiri-kanan dalam 
keadaan mengepung lawannya. Kemudian, dari dua jurusan, 
keduanya bergerak menerjang susul-menyusul! 
Pertarungan ketiga orang tokoh dari golongan yang berbeda 
itu, ternyata cukup seru dan sengit! Kegigihan Kunta Reja 
dalam menghadapi kedua musuhnya patut dipuji. Karena 
pertarungan telah melewati jurus ketiga puluh, ia masih saja 
dapat melakukan perlawanan dengan baik. Bahkan serangan-
serangan balasan tongkat bajanya pun, sanggup membuat 
kedua orang pengeroyoknya itu menjadi sibuk! 
Sepasang Kumbang Setan menjadi penasaran bukan main. 
Ternyata lawannya sangat ulet dan sulit untuk ditundukkan, 
kendati mereka telah bekerja sama dengan baik dalam 
melontarkan setiap serangan, selalu saja lawannya dapat 
mengelak, dan memberikan serangan balasan yang tidak kalah 
berbahaya dengan serangan mereka sendiri. Semua itu 
membuat orang kepercayaan Harimau Cakar Setan menjadi 
kalang kabut. 
"Bedebah! Bangsat ini sulit sekali ditundukkan!" lelaki 
berhidung bengkok mengumpat tak habis-habisnya. Rasa 
penasaran nampak jelas membayang pada wajahnya. 
Orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan itu pun, sama 
penasarannya. Berkali-kali lelaki gemuk berkumis lebat itu

mencoba untuk mendesak Kunta Reja dengan serangan-
serangannya yang menimbulkan deruan angin keras. Tapi, 
setiap kali serangannya datang, tongkat baja di tangan lawan 
selalu saja dapat membuatnya mundur! Sehingga, lelaki 
berkumis lebat itu pun menyumpah serapah dengan wajah 
berang! 
"Adi, 'Sengatan Kumbang Setan'...!" 
Ketika pertarungan telah menginjak pada jurus yang 
keempat puluh lima, tiba-tiba lelaki berkumis lebat itu berseru 
mengingatkan saudaranya. Usai berkata demikian, tubuhnya 
yang gemuk melompat mundur hingga satu setengah tombak 
lebih. 
Seruan itu sepertinya telah dimengerti dengan baik oleh 
lelaki berhidung bengkok itu. Terbukti ia segera saja melesat ke 
belakang ke arah saudara tuanya. 
"Hmh...!" 
Sesaat kemudian, terlihat kedua orang kepercayaan Harimau 
Cakar Setan itu menggeram lirih. Menilik dari sikapnya, jelas 
mereka akan mempergunakan ilmu andalan mereka yang 
terakhir guna menundukkan Kunta Reja. 
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kedua orang itu 
melesat disertai dengan putaran tangannya! Gerakan-gerakan 
yang nyaris tidak dapat ditangkap oleh pandangan mata Kunta 
Reja itulah agaknya yang mereka maksudkan dengan 'Sengatan 
Kumbang Setan'! 
Kunta Raja yang melihat gerakan lawan dengan kening 
berkerut, menjadi terkejut bukan main setelah merasakan 
betapa hebatnya serangan yang dilancarkan pengeroyoknya 
kali ini. Benteng pertahanan tongkat bajanya yang sejak tadi 
selalu berhasil menggagalkan serangan lawan, kini sudah tidak

mempunyai arti lagi! Bahkan bukan hanya tongkatnya saja 
yang terpental balik karena tak sanggup menahan lontaran 
pukulan lawan. Kuda-kudanya pun tergempur mundur setiap 
kali ia memapaki serangan dengan tongkatnya. 
"Yeaaa...!" 
Sepasang Kumbang Setan kembali berseru nyaring! Kunta 
Reja benar-benar dibuat pusing oleh gerakan lawan yang 
demikian cepat! Karuan saja lelaki gagah itu terdesak hebat! 
Sehingga untuk membalas serangan lawan pun, ia sudah tidak 
mampu lagi! 
Wuuus...! 
Wuuuk...! 
Lelaki gagah yang sudah terdesak hebat itu hanya mampu 
mengeluarkan pekik tertahan, saat dua pukulan pengeroyoknya 
datang mengancam! Dan.... 
Buggg! 
Desss! 
"Aaakh...!" 
Kunta Reja memekik ngeri saat dua buah pukulan dari 
lawannya, menghajar telak tubuhnya! Tanpa dapat dicegah 
lagi, tubuh lelaki gagah itu terlempar deras ke belakang! Darah 
segar menyembur, menandai Kunta Reja mengalami luka 
parah! 
Tubuh Kunta Reja yang terbanting menabrak tiang 
penyangga bangunan utama, meregang sesaat, lalu diam tak 
bergerak! Rupanya lelaki gagah itu tewas, karena tak sanggup 
menahan pukulan lawan yang mematikan itu!

TIGA

Setelah berhasil menamatkan riwayat Kunta Reja, Sepasang 
Kumbang Setan segera melangkah memasuki kancah 
pertempuran yang masih berlangsung sengit! Tentu saja 
masuknya kedua orang kepercayaan Harimau Cakar Setan, 
membuat murid-murid Perguruan Tongkat Baja makin terdesak 
hebat! Meskipun jumlah murid-murid Perguruan Tongkat Baja 
jauh lebih banyak ketimbang lawannya, tapi gerombolan 
berambut merah itu rata-rata memiliki kepandaian yang cukup 
tinggi. Dengan masuknya Sepasang Kumbang Setan, membuat 
murid-murid Perguruan Tongkat Baja semakin tak berdaya. 
Begitu memasuki kancah pertempuran, Sepasang Kumbang 
Setan langsung saja menggumbar pukulan dan tendangannya, 
membuat korban di pihak murid-murid Perguruan Tongkat Baja 
semakin banyak berjatuhan. Sepak terjang kedua orang 
kepercayaan Harimau Cakar Setan itu memang menggiriskan 
sekali! Setiap tangan dan kakinya bergerak, dapat dipastikan 
korban-korban bertumbangan! Sehingga, dalam waktu yang 
tidak terlalu lama, seluruh murid perguruan itu terbantai habis! 
Mayat-mayat yang bergelimpangan dan saling tumpang 
tindih, menebarkan bau anyir. Mereka, tinggalkan begitu saja 
seperti bangkai tikus. Di bawah pimpinan Sepasang Kumbang 
Setan, rombongan orang-orang berjubah merah itu bergerak 
mendekati bangunan utama perguruan, tempat di mana Ketua 
Perguruan Tongkat Baja tinggal. Tidak munculnya ketua 
perguruan itu, membuat mereka semakin leluasa merusak apa 
saja yang ditemuinya. 
Harimau Cakar Setan sendiri mengerutkan keningnya dalam-
dalam. Ia merasa heran melihat Ketua Perguruan Tongkat Baja

tidak juga menampakkan diri. Padahal, kegaduhan suara 
pertempuran tadi, sanggup membangunkan seorang yang 
sedang pingsan. Tentu saja hal itu membuat benaknya dipenuhi 
berbagai pertanyaan. 
Rasa penasaran membuat Harimau Cakar Setan melesat 
mendahului anggota-anggotanya. Tanpa rasa kemanusiaan 
sedikit pun, lelaki gemuk itu enak saja melepaskan pukulan 
mautnya kepada wanita maupun anak-anak yang ditemuinya di 
dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja. 
"Hm...," Harimau Cakar Setan bergumam perlahan ketika ia 
hendak melewati sebuah kamar yang besar. Sekali hantam 
saja, pintu kamar itu langsung hancur berantakan! 
"Ohhh...." 
Harimau Cakar Setan menghentikan langkahnya di muka 
pintu. Suara jeritan yang tertahan itu, membuat keningnya 
berkerut. Dan, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, 
membuat lelaki gemuk berwajah bengis itu tertawa berkakakan. 
Sepasang matanya yang tajam bagaikan mata elang, menatap 
buas ke arah sosok tubuh ramping yang tengah bersembunyi di 
sudut ruangan. 
"He he he..., siapa kau manis, dan ke mana perginya Ketua 
Perguruan Tongkat Baja yang bernama Panjarasa itu? Siapa 
pula anak yang ada dalam dekapanmu itu...?" tegur Harimau 
Cakar Setan terkekeh sambil melahap wajah ayu di depannya. 
Wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan wajah 
bulat telur itu, memang cukup memikat. Kulit wajahnya yang 
kuning langsat dengan sepasang bibir menantang, membuat 
mata Harimau Cakar Setan menjadi liar. 
"Jangan ganggu aku dan anakku. Pergilah..., Kakang 
Panjarasa tidak ada di sini. Ia pergi bersama dua orang

muridnya. Ada urusan yang harus diselesaikan," jawab wanita 
ayu itu sambil mendekap erat tubuh anak lelaki berusia sekitar 
sembilan tahun. Mata anak itu sendiri menatap wajah Harimau 
Cakar Setan tanpa rasa takut sedikit pun. Hanya saja wajah 
bocah itu agak bingung melihat ibunya menangis. 
Bocah berusia sembilan tahun yang bermata jernih dan 
tajam itu meronta dari dekapan ibunya. Dengan beraninya ia 
melangkah menghampiri Harimau Cakar Setan. Ditelitinya 
wajah lelaki gemuk itu dengan mata bocahnya yang masih 
polos. 
"Orang tua, kau siapakah? Mau apa kau mencari ayahku? 
Mengapa kau menakut-nakuti ibuku? Kau pasti bukan kawan 
ayahku. Sahabat ayah tidak pernah merusak pintu untuk masuk 
ke sini...," suara bening bocah itu terdengar lantang dan 
mencerminkan sikap gagah. Sehingga, Harimau Cakar Setan 
sempat tertegun dibuatnya. 
Sang lbu muda yang merasa ketakutan, segera meraih tubuh 
anaknya dan dipeluknya kembali. Sambil berbuat demikian, tak 
henti-hentinya ia berkata dengan nada menghiba. 
"Pergilah, jangan ganggu kami, Orang Tua. Kalau kau 
mempunyai keperluan dengan Kakang Panjarasa, kau cari 
sendiri. Itu pun kalau memang kau seorang pemberani...," ucap 
wanita muda itu di sela isaknya. Tubuhnya tampak gemetar. 
Karena sebagai seorang wanita, ia tahu apa arti tatapan mata 
buas dari lelaki gemuk itu. 
"lbu, mengapa harus takut?" tantang sang Bocah sambil 
berusaha melepaskan diri dari tangan ibunya yang berusaha 
memeluknya. "Orang tua gemuk itu berani datang karena ayah 
tidak ada. Kalau ayah ada, mungkin sudah dihajar ayah," ujar 
bocah itu lagi sambil mengelus rambut kepala ibunya.

"Hm... ini benar-benar nasib baik namanya. Tidak bertemu 
dengan orangnya, istrinya pun jadilah," gumam Harimau Cakar 
Setan sambil menjelajahi tubuh molek di depannya, "Bocah, 
dengarlah. Ayahmu justru saat ini tengah lari terbirit-birit 
karena takut akan kedatanganku. Andai ayahmu ada di sini, 
kepalanya akan kupukul pecah seperti pintu itu," ujar Harimau 
Cakar Setan yang segera mengulurkan tangannya dan merebut 
bocah itu dari tangan ibunya. Diangkatnya tubuh bocah itu 
tinggi-tinggi. Sepertinya lelaki gemuk itu akan membanting 
tubuh bocah itu. 
"Jangan bunuh anakku! Kau setan pengecut! Mengapa tidak 
kau cari saja Kakang Panjarasa...," wanita itu segera bangkit 
sambil berusaha untuk merebut anaknya kembali. Tapi, 
gerakan tangan Harimau Cakar Setan jauh lebih cepat. 
Diraihnya tubuh molek itu ke dalam pelukannya. 
"Hm..., kalau kau ingin anakmu selamat, ikutilah kemauanku. 
Kalau tidak, terpaksa tubuh bocah ini kuhempaskan ke lantai," 
ancam Harimau Cakar Setan yang dengan rakusnya mulai 
menciumi wajah wanita ayu itu. 
"Bangsat kau! Manusia Iblis, lepaskan aku...!" wanita muda 
istri Ketua Perguruan Tongkat Baja itu berusaha memberontak 
dan menghindari ciuman Harimau Cakar Setan. Sehingga, lelaki 
gemuk itu menjadi berang! 
"Nah, pergilah!" bentak Harimau Cakar Setan yang segera 
saja menghempaskan tubuh wanita itu hingga jatuh terguling di 
lantai. 
"Ibu..!" bocah cilik dalam genggaman Harimau Cakar Setan 
berteriak memanggil ibunya. Ia meronta-ronta dalam 
cengkeraman lelaki gemuk itu. Sayangnya cekalan yang 
menjepit tubuhnya demikian kuat, hingga usahanya untuk 
melepaskan diri sia-sia


"Sekali lagi kuberi kau kesempatan untuk berpikir. Kau pilih 
melayani aku, atau tubuh bocah ini kubanting hancur ke lantai? 
Jawab, kuhitung sampai tiga!" terdengar Harimau Cakar Setan 
kembali mengancam. 
"Satu...." 
"Ohhh...," wanita ayu itu menangis sambil menatap wajah 
anaknya yang berada di atas kepala lelaki gemuk itu. Mata 
bocah yang jernih itu menatapnya polos, sehingga hati wanita 
muda itu makin terasa diremas-remas. 
"Dua...," kembali terdengar suara Harimau Cakar Setan 
menghitung. 
"Baik,.., tapi, lepaskan dulu anakku...," ujar wanita itu 
karena tidak sanggup membayangkan tubuh anaknya yang 
hancur di lantai, ibu muda itu terpaksa menuruti kemauan 
Harimau Cakar Setan. 
"Bagus. Itu tandanya kau sayang kepada anakmu," sambil 
berkata demikian, Harimau Cakar Setan menurunkan tubuh 
bocah itu dan menotoknya. Kemudian direbahkannya di lantai. 
"Anakku..!" wanita ayu itu segera saja menghambur hendak 
meraih tubuh anaknya. Tapi, langkahnya tertahan oleh tangan 
kasar Harimau Cakar Setan. 
"Kau harus melayaniku dulu, baru boleh me-nyentuh tubuh 
bocah itu. Tapi ingat! Bila kau tidak bisa memuaskan aku, 
bocah itu menjadi tanggungannya. Kau harus menganggap aku 
sebagai suamimu, dan melayani dengan baik," ancam Harimau 
Cakar Setan sambil terkekeh parau. Wanita malang itu hanya 
bisa menganggukkan kepalanya di antara uraian air mata. 
Sambil tetap memperdengarkan kekehnya yang memuakkan, 
Harimau Cakar Setan menghempaskan tubuh molek itu ke atas 
pembaringan. Bagai seekor harimau kelaparan, diterkamnya tu

buh wanita malang itu, yang hanya bisa pasrah melayani nafsu 
bejad Harimau Cakar Setan. 
Di ruangan lain, apa yang dilakukan Sepasang Kumbang 
Setan pun tidak jauh berbeda dengan Harimau Cakar Setan. 
Bahkan kedua orang lelaki ini bertindak lebih buas. Mereka 
memaksakan kehendaknya kepada wanita-wanita yang berada 
di dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja. Sedangkan 
wanita tua dan anak-anak, dibantai tanpa ampun! 
Puas melepaskan nafsu iblisnya, Sepasang Kumbang Setan 
meninggalkan korbannya begitu saja, tidak dipedulikannya lagi 
ketika anak buahnya saling berebut untuk ikut mencicipi tubuh 
wanita-wanita malang itu. Setelah puas menyiksa wanita-
wanita itu, mereka enak saja memenggal kepala perempuan-
perempuan malang itu tanpa ampun! Benar-benar tindakan 
mereka seperti iblis! 
Dengan wajah berseri dan diiringi suara kekeh sesekali, 
Sepasang Kumbang Setan membawa anak buahnya untuk 
meninggalkan bangunan itu. 
"He he he..., bagus manis, ternyata kau tidak 
mengecewakan. Pantas saja Panjarasa memilihmu untuk 
menjadi istrinya...," Harimau Cakar Setan terkekeh sambil 
mengenakan pakaiannya. Sedang di atas pembaringan, tubuh 
istri Ketua Perguruan Tongkat Baja tergeletak tertutup sehelai 
kain. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan. 
Harimau Cakar Setan sepertinya jengkel mendengar suara 
isak tangis wanita ayu itu. Terdengar suara lelaki gemuk itu 
menggeram lirih, sebelum meninggalkan kamar itu. 
"Katakan kepada suamimu! Aku, Harimau Cakar Setan murid 
dari Raja Racun Merah yang melakukan semua ini! Aku 
melakukan semua ini, karena mereka telah membunuh belasan 
orang anak buahku. Kalau suamimu ingin menuntut balas, aku

akan menantinya," ujar lelaki berwajah bengis itu kepada 
wanita ayu yang tergolek di atas ranjang. Usai berkata, 
Harimau Cakar Setan meraih tubuh bocah yang tengah 
tergeletak di lantai. Diangkatnya tubuh putra Panjarasa itu, lalu 
dilemparkannya hingga membentur dinding. Darah segar 
muncrat menodai lantai dan dinding kamar itu. Lantaran kepala 
bocah berusia sembelas tahun itu pecah! 
"Aaah...!" 
Mata istri Ketua Perguruan Tongkat Baja terbelalak dan 
menjerit-jerit dengan suara yang memilukan. Karena tak 
sanggup menahan guncangan batin, wanita itu terkulai tak 
sadarkan diri. 
"He he he...!" 
Sambil memperdengarkan tawanya yang serak, Harimau 
Cakar Setan melenggang meninggalkan kamar itu. Tidak ada 
rasa sesal sedikit pun di wajah bengis itu. Sepertinya, hati 
orang-orang seperti Harimau Cakar Setan dan anak buahnya 
memang telah mati! 
"Ayo, kita berangkat..!" 
Sepasang Kumbang Setan dan para anggotanya, segera 
menaiki kudanya masing-masing. Harimau Cakar Setan masih 
tertawa-tawa tanda hatinya puas. Para anggotanya tahu, apa 
yang membuat ketua mereka tampak gembira. Karena mereka 
sempat mendengar jeritan wanita di kamar ketika ketua mereka 
tadi masuk. Meski demikian, tak seorang pun dari anggota 
Gerombolan Rambut Merah itu berani menanyakannya. 
Termasuk Sepasang Kumbang Setan. Mereka hanya mengikuti 
saja ketika lelaki gemuk itu memerintahkan untuk segera 
meninggalkan Perguruan Tongkat Baja.

*** 
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian berwama kuning 
cerah, melangkah sambil melenggang memasuki sebuah kedai 
makan. Sosok yang sudah pasti seorang wanita itu, berdiri 
sejenak di ambang pintu kedai memperhatikan ruangan lebar di 
dalamnya. Beberapa saat kemudian, langkahnya segera terayun 
ke arah sebuah meja kosong. 
Setelah memesan minuman dan makanan, sosok berpakaian 
kuning itu kembali merayapi sekitarnya. Wajah cantik yang 
memiliki sinar mata galak itu, nampak berkerut keningnya. 
Pandangannya segera tertuju ke arah dua orang lelaki yang 
tengah berbincang beberapa meja dari tempatnya duduk. 
"Eh!?" 
Gadis cantik itu menarik tubuhnya ke belakang saat 
mendengar salah satu dari kedua orang itu menyebut-nyebut 
sebuah nama yang sangat dikenalnya. Hal itu membuatnya 
penasaran, sehingga, ia mengarahkan pendengarannya agar 
bisa menangkap lebih jelas. 
"Kudengar Raja Racun Merah sudah mengundurkan diri dari 
dunia persilatan. Mengapa kini muncul murid-muridnya 
membuat keonaran? Bahkan kabarnya seluruh murid Perguruan 
Tongkat Baja dibantai habis, saat Ki Panjarasa dan dua orang 
murid utamanya tidak ada di tempat. Bukankah kekejian seperti 
itu sudah tidak bisa didiamkan lagi?" terdengar ucapan salah 
seorang dari keduanya yang berusia lebih muda memiliki raut 
wajah gagah. Nada bicaranya jelas terdengar mengandung 
kegeraman dan rasa penasaran. Dan, gadis cantik itu terhenyak 
duduk di kursinya.

"Sungkana. Orang-orang sesat seperti mereka mana bisa 
dipegang ucapannya. Apalagi seorang datuk sesat seperti Raja 
Racun Merah. Ucapannya itu tentu hanyalah untuk menutupi 
perbuatannya, agar ia tidak dipersalahkan. Sejak berita tentang 
datuk itu mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku memang 
tidak mempercayainya. Nah, sekarang ucapanku terbukti. Raja 
Iblis itu sengaja menebar berita bohong, agar para tokoh 
golongan putih menjadi lengah," ucap lelaki yang usianya lebih 
tua sekitar tujuh atau delapan tahun dari kawannya. "Pada saat 
kita semua lengah," ujar lelaki tua melanjutkan kata-katanya. 
"Pengikut Raja Racun Merah dapat berbuat leluasa. Hal seperti 
ini jelas tidak bisa kita diamkan begitu saja. Orang-orang 
berhati Iblis itu harus mendapat hukuman yang setimpal. Biar 
yang lain melihat, dan tidak lagi melakukan pembantaian keji 
seperti yang kau dengar itu." 
Ucapan-ucapan mereka jelas mencerminkan kalau mereka 
berdua adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih, yang 
merasa dendam terhadap Raja Racun Merah dan para 
begundalnya itu. 
"Hm..., orang-orang bermulut besar dan sombong! Apakah 
kalian melihat sendiri kalau yang melakukan semua itu adalah 
Raja Racun Merah? Atau kalian hanya mendengar saja, lalu 
percaya terhadap fitnah yang keji itu?" tiba-tiba terdengar 
sebuah teguran bernada mengancam. Ketika kedua orang lelaki 
itu menoleh, mereka melihat seraut wajah cantik berpakaian 
kuning cerah telah berdiri dekat meja mereka. 
"Apa maksudmu dengan fitnah keji itu, Nisanak? Atau kau 
orang segolongan dengan Raja Racun Merah? Kau tidak senang 
kami menuduh manusia iblis itu berbuat jahat?" lelaki muda 
yang berwajah gagah itu segera saja bangkit dengan wajah 
gelap. Jelas ucapan gadis cantik itu tidak bisa diterimanya.

Lelaki yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sahabat 
pemuda bernama Sungkana itu, ikut bangkit dan menyabarkan 
kawannya. Lalu ditatapnya wajah cantik gadis berpakaian 
kuning cerah itu dengan penuh selidik. 
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau membela seorang 
datuk sesat berwatak keji seperti Raja Racun Merah?" tanya 
lelaki itu dengan kening berkerut. Lelaki itu tampaknya juga 
tidak senang dengan teguran wanita muda yang berdiri dekat 
meja makannya. 
"Aku adalah orang yang sempat menyaksikan Raja Racun 
Merah benar-benar telah bertobat! Kalau kalian tidak percaya, 
boleh tanyakan kepada seorang tokoh perkumpulan pengawal 
barang yang bernama Ki Mahinta! Orang tua gagah itu sempat 
mendengar janji Raja Racun Merah. Bahkan ia sempat 
menyelamatkannya dari keganasan para perampok!" ujar gadis 
cantik itu berapi-api. Sehingga, kedua orang tokoh golongan 
putih itu semakin curiga, dan ingin mengetahui siapa dan apa 
hubungan gadis itu dengan Raja Racun Merah (Untuk lebih 
jelasnya tentang tokoh bernama Ki Mahinta, pembaca dapat 
menyimaknya pada episode "Keturunan Datuk-datuk 
Persilatan"). 
"Hm..., sayang kau ketinggalan berita, Nisanak. Orang yang 
bernama Ki Mahinta itu telah mengalami sendiri keganasan 
Raja Racun Merah dan murid-muridnya. Belum lama ini barang 
kawalannya telah dirampas oleh Gerombolan Rambut Merah. 
Dan, gerombolan itu adalah murid-murid Raja Racun Merah. 
Nah, apa yang akan kau katakan sekarang?" Sungkana yang 
merasa jengkel dengan gadis cantik itu segera saja menukas. 
Sehingga, gadis itu menjadi terkejut dan tidak bisa berkata apa-
apa untuk beberapa saat lamanya


"Bohong! Itu pasti fitnah...!" setelah terdiam beberapa saat, 
gadis itu kembali membantah, meskipun kali ini ia tidak bisa 
mengatakan alasannya. 
"Nisanak. Seorang datuk sesat berhati keji seperti Raja 
Racun Merah, mana mungkin bisa sadar dari kesesatannya? 
Bisa saja kau mendengar kata-kata tokoh iblis itu. Tapi, orang-
orang seperti itu ucapannya tidak bisa dipegang. Kau sudah 
dikelabuinya mentah-mentah," lelaki gagah di sebelah 
Sungkana kembali menasihati gadis cantik itu. 
"Janji Raja Racun Merah tidak mungkin bohong!" gadis 
cantik itu masih berusaha membantah. Bahkan wajah dara itu 
telah berubah merah dengan sorot mata memancarkan 
kemarahan. 
"Mengapa tidak mungkin! Orang jahat seperti..." 
"Diam! Sekali lagi kalian berani mencela dan menghina 
ayahku. Aku akan memisahkan kepala kalian dari badan, 
mengerti?!" gadis cantik yang tidak lain dari Aryani itu 
membentak marah. Tentu saja penjelasannya itu membuat 
kedua orang lelaki gagah itu tersentak kaget seperti disengat 
kalajengking. 
"Aaah...!? Pantas saja kau membelanya mati-matian. 
Rupanya kau pun sama jahatnya dengan ayahmu!" Sungkana 
yang memang sudah jengkel dengan Aryani segera saja 
melontarkan kejengkelannya. Apalagi setelah Aryani mengaku 
sebagai putri datuk sesat itu, maka tak ayal lagi makian pun 
terlontar dari mulutnya. Untuk berjaga-jaga, Sungkana segera 
menggeser mundur tubuhnya. 
Suasana di dalam kedai pun menjadi tegang, setelah Aryani 
mengaku dirinya sebagai putri Raja Racun Merah. Datuk sesat 
yang belakangan ini memang tengah ramai dibicarakan oleh 
tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Beberapa orang
pengunjung sudah buru-buru angkat kaki meninggalkan kedai 
makan itu. Sedangkan Sungkana dan kawannya telah 
merenggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan


EMPAT

Sungkana, pemuda berwajah gagah itu menggeser 
langkahnya agak mendekat ke arah kawannya. Wajah pemuda 
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu nampak tegang. Ia 
sadar kalau gadis itu pasti bukan orang sembarangan. Sebagai 
seorang putri datuk sesat yang ditakuti, tentu gadis cantik 
berpakaian kuning itu telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang ganas 
dan keji. 
"Kakang Purgawa," bisik Sungkana sambil tetap menatap ke 
arah Aryani, "Gadis putri datuk sesat itu pasti sangat 
berbahaya..." 
"Hm..., aku sudah menduga demikian, Adi Sungkana. Lihat 
saja tatapannya yang berkilat tajam itu. Tenaga dalam yang 
dimilikinya pasti sangat tinggi. Kita harus berhati-hati...," jawab 
lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu, juga berbisik tanpa 
melepaskan pandangannya dari wajah Aryani. Bahkan jemari 
lelaki gagah itu telah meraba gagang senjata yang tergantung 
di pinggang kanannya. 
"Kalian memang menusia-manusia sombong yang selalu 
menganggap diri bersih. Mungkin setelah diberi sedikit 
pelajaran, baru mata kalian dapat terbuka...," desis Aryani 
dengan nada datar, tapi mengandung ancaman. Usai berkata 
demikian, gadis cantik itu segera menggeser meja yang 
menghalangi jalannya. 
Sungkana dan Purgawa terbelalak melihat apa yang 
dilakukan gadis cantik itu. Gerakan tangannya yang kelihatan 
perlahan itu, ternyata sangat mengejutkan! Meja yang digeser 
tangan halus itu melesat deras menghantam meja-meja 
lainnya, sehingga menimbulkan suara gaduh! Bahkan beberapa

meja itu terlihat patah! Benar-benar sebuah pertunjukan tenaga 
dalam yang hebat. 
"Hik hik hik..., mengapa wajah kalian pucat, Pendekar-
pendekar Sombong? Rupanya hati kalian tidak sebesar mulut-
mulut kalian...," tawa Aryani terdengar menyakitkan. Apalagi 
ucapannya yang jelas-jelas mengejek kedua orang lelaki gagah 
itu. Karuan saja Sungkana yang berdarah panas segera 
menggereng dengan wajah berubah merah. 
"Kuntilanak! Siapa takut kepadamu! Apa kau kira kami tak 
bisa melakukan apa yang kau pertunjukkan itu? Rasakan 
kepalanku!" sambil membentak keras, Sungkana yang tidak 
bisa menahan kemarahan segera melesat dengan disertai 
lontaran pukulan yang menimbulkan angin menderu. 
Bettt! Bettt! Bettt! 
"Aiiih, sayang luput…," ejek Aryani yang dengan mudahnya 
menghindari serangan beruntun Sungkana. Sehingga hati 
pemuda gagah itu kian terbakar. Tapi, Aryani tidak peduli sama 
sekali. 
Purgawa yang melihat Sungkana sudah bertarung dengan 
gadis cantjk itu, semula enggan untuk mengeroyok. Sebagai 
seorang lelaki, tentu saja ia merasa malu mengeroyok seorang 
gadis muda. Meskipun gadis itu mengaku sebagai keturunan 
seorang datuk sesat. Tapi, saat melihat betapa mudahnya gadis 
cantik itu melayani Sungkana, Purgawa tidak bisa lagi 
berpangku tangan. 
"Awas serangan...!" sambil berteriak dengan maksud untuk 
memperingatkan lawannya, Purgawa menerjunkan dirinya ke 
dalam arena pertempuran itu. Sekali bergerak saja, tangan dan 
kakinya langsung mengancam tubuh Aryani dengan 
serangkaian serangan beruntun!

Aryani hanya mendengus mendengar peringatan lawannya. 
Tanpa diberi diperintah, sebenarnya gadis cantik itu sudah 
dapat mendengar suara desingan angin pukulan yang datang 
mengancam dari belakangnya. Dan, semua itu tidak 
menimbulkan kesulitan sama sekali bagi Aryani. Gadis cantik itu 
dengan lincah menggeser tubuh ke samping. Kemudian, 
langsung mengirimkan tendangan kilat, ketika serangan lawan 
lewat tanpa hasil! 
Purgawa yang memang sudah menduga kalau gadis itu 
memiliki kepandaian tinggi, tidak menyangka sama sekali 
gerakan lawan sangat cepat. Sadar untuk mengelak sudah tidak 
mungkin lagi, maka Purgawa memutar telapak tangan yang 
dihindari lawan tadi. Dan.... 
Plakkk! 
"Aaah...!" 
Kaget bukan main hati lelaki gagah itu ketika merasakan 
betapa hebatnya tenaga yang mengalir di kaki lawan! Purgawa 
sampai mengeluarkan pekik tertahan! Karena tangkisannya 
justru membuat tubuhnya terpental dan nyaris jatuh! 
Sedangkan lengan yang digunakan untuk menangkis, terasa 
ngilu sampai ke tulang. Benar-benar suatu pengalaman yang 
mengejutkan bagi Purgawa. 
Sedangkan Aryani sendiri, tidak mempedulikan lagi Purgawa. 
Karena, serangan Sungkana sudah mencecarnya. Untuk kali ini 
Aryani sama sekali tidak berusaha mengelak. Gadis cantik itu 
sengaja menanti serangan Sungkana, dan siap menangkis. 
Wuuut! Bettt! 
"Hiaaah...!" Aryani membentak nyaring saat pukulan 
Sungkana datang mengincar perut dan pelipisnya! Gadis cantik 
itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dengan

merendahkan kuda-kudanya, sepasang tangan Aryani bergerak 
ke depan secara bersilang 
Plakkk! Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Sungkana mengeluh ketika merasakan lengannya seperti 
membentur sepasang besi panas! Karuan saja pemuda itu 
menarik pulang kedua tangannya. Tapi, Aryani tidak berhenti di 
situ saja. Sepasang tangannya yang bersilang itu, berputar, dan 
langsung menggedor dada Sungkana secara telak! 
Bressshhh...! 
"Aaakh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gagah itu langsung 
terjengkang. Jeritannya terdengar dibarengi semburan darah 
segar yang mengotori lantai kedai! 
"Sungkana...!?" 
Purgawa berteriak kaget melihat tubuh Sungkana terjatuh 
dan menghantam meja-meja kedai, hingga patah! Pemuda 
gagah itu sendiri menyeringai kesakitan. Kedua tangannya 
tampak sibuk memegangi dada dan pinggang yang terasa sakit. 
Tentu saja pemandangan itu membuat Aryani tertawa geli! 
"Hik hik hik..! Kau benar-benar lucu, Sungkana! Tingkahmu 
itu persis seperti monyet kelaparan...!" ejek Aryani yang 
memang sejak semula merasa sakit hati dengan ucapan-ucapan 
kasar pemuda itu. Kini hatinya benar-benar merasa puas dapat 
menertawakan pemuda gagah itu. 
"Bangsat! Kau... kau... dasar perempuan setan...!" Sungkana 
memaki-maki kalang kabut! Pemuda gagah itu menggertakkan 
giginya kuat-kuat. Ia hanya bisa memaki untuk melampiaskan 
kedongkolan hatinya.

"Hik hik hk.. makilah sepuasmu, Pemuda Dogol! Karena 
sebentar lagi kau tidak akan bisa memaki..," sambut Aryani 
dengan bibir mengulas senyum mengejek. Nada ucapan gadis 
itu jelas mengandung ancaman! 
Purgawa yang menyadari maksud ucapan Aryani, segera 
menyeret Sungkana keluar dari dalam kedai. Lelaki gagah itu 
sudah melolos senjatanya untuk melindungi dirinya dan 
Sungkana. 
"Ah, hanya segitu sajakah keberanian pendekar-pendekar 
gagah yang ingin memberi pelajaran kepada Raja Racun 
Merah? Baru menghadapi aku saja kalian sudah jungkir balik. 
Bagaimana hendak menangkap ayahku...?" kembali Aryani 
mengejek kedua orang lawan yang diduganya hendak 
melarikan diri itu. 
"Kami tidak akan berbuat sepengecut itu, Kuntilanak. Mari 
kita lanjutkan pertarungan di luar kedai," Purgawa yang juga 
telah merasa jengkel, segera menyahuti ucapan Aryani. Dan, 
ucapannya memang bukan sekadar omong kosong. Terbukti 
setelah tiba di luar kedai, Purgawa dan Sungkana berdiri tegak 
menanti kedatangan Aryani. Di tangan kedua laki-laki gagah itu 
telah tergenggam senjata mereka masing-masing. 
*** 
Aryani melangkah ringan dari dalam kedai. Gadis itu tampak 
berdiri sejenak di pintu kedai sambil menatap kedua lawannya. 
Kemudian, kembali melangkah pelan menghampiri kedua orang 
lelaki gagah, yang sepertinya telah siap melanjutkan 
pertarungan.

"Bersiaplah! Jaga mulut kalian...!" terdengar desis dingin dari 
mulut Aryani saat ketiganya telah berhadapan dalam jarak satu 
tombak. Baru saja gadis itu menyelesaikan ucapannya, 
tubuhnya yang ramping sudah melesat dengan kecepatan 
menggetarkan! 
"Haiiit..!" 
Purgawa dan Sungkana kali ini benar-benar tercekat! 
Gerakan gadis cantik itu tampak demikian cepat, sepasang 
mata mereka tidak mampu melihat gerakan gadis itu dengan 
jelas! Cepat keduanya melompat mundur dan merenggang 
dengan maksud untuk menggencet lawan dari dua arah. 
Tapi, serangan Aryani kali ini tidak dapat disamakan dengan 
serangan-serangan sebelumnya. Sepasang tangan gadis cantik 
itu bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan yang 
menimbulkan desingan angin tajam! Jelas Aryani sudah tidak 
ingin lagi bertindak tanggung-tanggung! 
Sungkana yang menjadi sasaran utama gadis cantik itu, 
setengah mati menghindarkan diri. Untuk membendung 
serangan lawan sesekali ia mengibaskan senjatanya! Sayang 
gerakan pemuda itu kalah cepat dengan lawannya! 
Akibatnya...! 
Plakkk! Plakkk! 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Sungkana kali ini tidak mungkin dapat menyelamatkan diri 
lagi! Dua buah tamparan lawan yang menghajar telak 
wajahnya, membuat wajah pemuda itu bengkak dan berwama 
biru. beberapa buah giginya tanggal tanpa dapat dicegah! 
Belum lagi sebuah gedoran keras yang menghantam dadanya.

Karuan saja tubuh pemuda gagah itu terjengkang disertai 
semburan darah segar dari mulutnya! 
"Bangsat keji...!" 
Purgawa yang saat itu sudah tiba di belakang Aryani, 
mengumpat marah! Pedang di tangannya langsung saja 
berkelebat dengan pengerahan seluruh kekuatan dan 
kecepatannya! 
Aryani yang mendengar adanya desingan tajam dari sebelah 
belakang, cepat memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah! 
Begitu senjata lawan lewat di atas kepalanya, kepalan mungil 
gadis cantik itu langsung meluruk tajam, dan menerpa tubuh 
Purgawa tanpa ampun! 
Bukkk! 
"Hukhhh...!" 
Bagai dilemparkan tangan raksasa, tubuh Purgawa terpental 
balik, dan jatuh berdebuk dengan kerasnya! Darah segar 
menyembur membasahi bumi! Lelaki gagah itu mengerang lirih, 
dan berusaha bangkit dengan susah payah! 
"Hei...!" 
Gadis cantik yang tengah melangkah perlahan menghampiri 
Purgawa, menoleh cepat. Suara deruan angin pukulan yang 
datang tiba-tiba itu, langsung saja membuat gadis cantik itu 
melompat ke samping. Sehingga serangan itu luput! 
Aryani, gadis cantik keturunan datuk sesat itu, menatap 
tajam seorang lelaki gagah yang tadi berteriak dan 
menyerangnya tanpa alas an. 
"Hm..., siapa kau, Orang Tua? Mengapa tanpa hujan dan 
angin kau menyerangku? Apa kau kawan dari tikus-tikus busuk 
yang sombong itu?" tegur Aryani dengan nada tak senang


"Benar, aku adalah kawan dari kedua orang korban 
kekejamanmu itu. Aku adalah Ki Panjarasa, Ketua Perguruan 
Tongkat Baja," setelah berkata demikian, lelaki gagah itu 
menoleh ke arah dua orang lelaki yang menyertai 
kedatangannya, "Nah, mereka itu adalah murid-muridku, 
Jarinta dan Gumang...," lanjut lelaki gagah itu memperkenalkan 
kedua orang muridnya. 
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu? 
Kedatanganmu tentu untuk membantu mereka bukan? Nah, 
aku sudah siap...," tantang Aryani tanpa rasa gentar atau 
terkejut sedikit pun. Gadis galak yang tidak pernah mengenai 
takut itu, menatap Ki Panjarasa lekat-lekat. 
Ki Panjarasa tidak mempedulikan tantangan Aryani sama 
sekali. Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun itu, 
melangkah menghampiri Purgawa yang masih terduduk lemah. 
Karena lelaki itu tidak bisa bangkit akibat hantaman Aryani tadi. 
"Hati-hati, Ki. Gadis itu adalah keturunan Raja Racun Merah 
yang kau cari-cari itu. Kepandaiannya... tinggi sekali...," 
Purgawa terbatuk-batuk setelah memberitahukan kepada Ki 
Panjarasa tentang gadis cantik itu. 
"Benarkah apa katamu itu, Purgawa? Dan, karena persoalan 
itukah kalian sampai bertarung?" tegas Ki Panjarasa yang 
segera merunduk di dekat Purgawa. Menilik dari wajahnya, Ki 
Panjarasa cukup terkejut dengan keterangan Purgawa. 
"Benar, Ki.... Bagaimana keadaan Sungkana...?" sahut 
Purgawa sambil menanyakan keadaan kawannya 
"Maksudmu pemuda itu...." jawab Ki Panjarasa sambil 
menunjuk ke arah tubuh Sungkana yang sudah tidak bergerak-
gerak lagi. Lelaki gagah itu menggeleng penuh sesal. Tadi ia 
sudah diberitahukan oleh Jarinta dan Gumang, pemuda 
bernama Sungkana itu tidak bisa diselamatkan lagi.

"Ia... tewas...?" desak Purgawa yang menginginkan jawaban 
tegas dari Ki Panjarasa. 
"Menyesal sekali kedatangan kami terlambat Purgawa. 
Kawanmu telah tewas beberapa saat yang lalu...," desah Ki 
Panjarasa menundukkan kepala dengan desahan napas penuh 
sesal. 
"Bukan salahmu, Ki. Kesaktian gadis keturunan datuk sesat 
itu memang sangat tinggi sekali...," Purgawa mendesah dengan 
helaan napas berat. 
"Hei... hei...! Mengapa kalian berubah seperti perempuan-
perempuan cengeng? Apakah aku disuruh menonton tingkah-
tingkah kalian yang menjemukan itu!" seru Aryani yang menjadi 
jengkel melihat sikap orang-orang itu dengan menyumpah dan 
melontarkan ejekan-ejekan yang menyakitkan. Sehingga, Ki 
Panjarasa bangkit berdiri, dan menatap tajam wajah cantik di 
depannya itu. 
"Nisanak..," ucap Ki Panjarasa sambil menekan kemarahan di 
dalam dadanya, "Seluruh murid, anakku, juga istriku telah 
tewas di tangan murid-murid Raja Racun Merah. Meskipun 
istriku tidak dibunuh secara langsung, tapi perbuatan orang-
orang biadab itu telah mendorongnya bunuh diri. Dan, kalau 
kau memang benar keturunan datuk sesat tu, kau harus 
bertanggung jawab atas semua kejadian itu," jelas Ki Panjarasa 
dengan suara bergetar. Tampak di wajahnya kejadian itu masih 
menyiksa batinnya. 
"Hm..., ayahku memang pernah mempunyai beberapa orang 
murid. Tapi, setelah ayah sadar dan mengundurkan diri dari 
dunia sesat beliau telah menekankan kepada murid-muridnya 
untuk meninggalkan kebiasan lama. Ayahku juga mengancam 
akan menghukum mereka, apabila terdengar mereka kembali 
berbuat kejahatan. Tapi, aku yakin semua itu hanyalah fitnah

yang keji dilemparkan kepada ayahku. Aku tetap 
menyangkalnya...," sahut Aryani dengan suara ketus dan 
sepasang mata berkilat tajam. 
"Boleh jadi ayahmu pernah berkata untuk meninggalkan 
dunia sesat. Tapi, apakah kau bisa menjamin kalau datuk-datuk 
sesat kawan ayahmu itu datang dan mengajak bekerja sama 
untuk membangkitkan kejayaan kaum sesat? Apa kau kira 
ayahmu bisa menolak?" tukas Ki Panajarasa yang tetap tidak 
mengubah tuduhannya kepada Raja Racun Merah. Lelaki gagah 
itu sama sekali tidak dapat percaya kalau seorang datuk sesat 
seperti Raja Racun Merah dapat meninggalkan segala 
kebiasaan buruknya. 
"Aku tetap tidak bisa menerima apa pun alasanmu, Orang 
Tua! Bagiku, ayah adalah manusia terbaik di dunia ini. Tidak 
seperti kalian manusia-manusia jahat yang bersembunyi di balik 
nama kependekaran kalian. Padahal hati kalian busuk!" hardik 
Aryani tetap tidak sudi bila ada orang yang menuduh ayahnya 
jahat. Dan, untuk itu Aryani berani menghadapi siapa pun yang 
menghina ayahnya. 
"Hm..., kau akan kutangkap, agar Raja Racun Merah keluar 
dari persembunyiannya, untuk mempertanggungjawabkan 
segala perbuatannya!" ujar Ki Panjarasa tidak mau kalah. 
Setelah berkata, lelaki gagah itu sudah bersiap untuk 
menangkap Aryani. 
"Bagus! Sebaiknya memang begitu. Untuk apa buang-buang 
tenaga dengan segala omongan tiada guna!" desis Aryani yang 
juga telah siap menghadapi lawannya. 
"Yeaaat..!" 
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, Ki Panjarasa 
melesat secepat kilat! Sekali bergerak, kedua tangannya

langsung melontarkan dua buah pukulan yang mengancam 
tubuh Aryani! 
Aryani mendengus kasar. Gadis cantik itu cepat memutar 
kedua tangannya dan mengeluarkan jurus andalan. Tampaknya 
gadis itu ingin menyelesaikan pertarungan secepatnya. 
"Haiiit..!" 
Wuuut! Wuuut! 
Sebentar saja, sekitar arena pertarungan telah dipenuhi 
udara beracun yang memabukkan. Bau harum yang 
memusingkan kepala menebar, ketika Aryani mengeluarkan 
ilmu andalannya. Dan, dengan pengerahan tenaga dalam 
sepenuhnya, gadis cantik itu dengan lincah memapaki serangan 
lawannya! 
Namun Ki Panjarasa bukanlah orang bodoh yang mudah 
dikelabui gadis cantik itu. Lelaki gagah itu secepat kilat 
menggeser tubuhnya ke samping dengan lompatan pendek! 
Sepasang tangannya yang semula dimaksudkan untuk 
melontarkan pukulan, diputar sedemikian rupa menghindari 
benturan telapak tangan lawan. Lalu, dengan gerakan yang 
cepat dan gesit, telapak tangan Ki Panjarasa melontarkan 
sebuah tamparan ke arah bahu kiri lawan! 
Wuuut! 
"Haiiit...!" 
Dengan tidak kalah gesitnya, Aryani memutar tangannya 
yang semula terdorong ke depan. Sambil merendahkan kuda-
kudanya, wanita cantik itu memutar sikunya dan langsung 
memapaki telapak tangan lawan! Gerakannya yang cepat bagai 
kilat, tak sempat lagi dielakkan Ki Panjarasa! 
Plakkk...
"Uhhh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, Ki Panjarasa terdorong mundur 
disertai keluhan lirih. Benturan yang cukup keras itu hampir 
saja membuat Ki Panjarasa terjatuh! Untunglah kuda-kudanya 
sangat kokoh! Sehingga, ia masih dapat menyelamatkan dirinya 
dengan sebuah putaran tubuh yang mengagumkan! 
"Gila...!" desis Ki Panjarasa sambil menatap tajam wajah 
gadis cantik itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tenaga 
dalam yang dimiliki gadis itu sangat tinggi! 
Kini keduanya saling menatap dengan tajam. Tak satu pun 
dari mereka yang berniat mendahului.

LIMA

Jarinta dan Gumang, dua orang murid utama Ki Panjarasa 
bergerak merenggang dan mengepung Aryani. Melihat betapa 
guru mereka dapat dipukul mundur oleh gadis berpakaian 
kuning itu, mereka pun segera membantu tanpa diperintah 
gurunya. 
Mereka sadar kalau yang dihadapi Ki Panjarasa kali ini 
bukanlah gadis sembarangan. Melainkan seorang keturunan 
datuk sesat yang terkenal kesaktian dan kekejamannya. Alasan 
itulah yang membuat keduanya segera turun tangan tanpa 
diperintah. 
Gumang, murid tertua Ki Panjarasa segera melemparkan 
tongkat baja di tangannya, yang segera ditangkap oleh Ketua 
Perguruan Tongkat Baja. Sedang dia sendiri sudah 
menggunakan sebuah tongkat baja putih, yang ukurannya lebih 
kecil dari milik Ki Panjarasa. Melihat dari senjata yang 
digunakan Gumang, jelas murid tertua itu telah mewarisi ilmu 
'Tongkat Penghancur Gunung' yang merupakan ilmu andalan Ki 
Panjarasa. 
Demikian pula dengan Jarinta. Lelaki tinggi kurus bertubuh 
padat itu, juga telah menggenggam sebatang tongkat baja 
putih yang ukurannya sama dengan milik Gumang. 
Kedua orang murid andalan Perguruan Tongkat Baja itu 
tentu telah mewarisi ilmu tongkat gurunya. Mereka berdua 
tampaknya dipercaya oleh Ki Panjarasa. 
Wuuuk! Wuuuk! 
Ki Panjarasa memutar-mutar tongkat baja putihnya hingga 
menimbulkan deruan angin mengaung tajam! Daun-daun

kering dan bebatuan kecil beterbangan, menandakan kekuatan 
yang tersembunyi di dalam ilmu tongkat itu tidak bisa 
dipandang rendah! 
Begitu pula dengan Jarinta dan Gumang. Kedua orang murid 
utama Ki Panjarasa itu memutar-mutar tongkat bajanya, sambil 
melangkah perlahan mengitari Aryani yang berada di tengah 
ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja. Agaknya ketiga 
lelaki gagah itu hendak menjepit lawannya dari tiga arah. 
Aryani sendiri masih tampak tenang. Wajah dara cantik itu 
sama sekali tidak menggambarkan rasa gentar. Hanya 
sepasang matanya saja yang mengikuti gerakan ketiga orang 
lawannya. Sepertinya gadis cantik itu sengaja menunggu 
lawannya mulai menyerang. Tindakan Aryani tentu saja me-
nandakan kecerdikan otaknya. Karena jika lawan menyerang 
lebih dahulu, ia dapat menebak dan tindakan Aryani itu sama 
sekali bukan karena ia merasa gentar menghadapi keroyokan 
lawannya. Sebagai seorang keturunan datuk sesat tentu saja 
bukan hanya sekadar ilmu silat tinggi yang diturunkan ayahnya. 
Raja Racun Merah pun pernah menceritakan kepada putrinya 
itu tentang adanya ilmu gabungan yang dijalankan lebih dari 
dua atau tiga orang. Meskipun rata-rata ilmu silat lawan berada 
di bawahnya, namun apabila lawan menggunakan ilmu 
gabungan bisa jadi ia sendirilah yang mungkin akan celaka di 
tangan lawan-lawannya. 
Nasihat ayahnya itulah yang membuat Aryani tidak mau 
bertindak ceroboh. Ia ingin melihat dulu, apakah ketiga orang 
pengeroyoknya itu menggunakan ilmu gabungan, atau hanya 
keroyokan biasa. Untuk mengetahui hal itu, Aryani menunggu 
serangan lawan, agar ia dapat menilainya. 
Ki Panjarasa dan kedua orang muridnya, tampak mengitari 
gadis itu dengan berpindah-pindah tempat. Terkadang 
kedudukan Ki Panjarasa berada tepat di depan Aryani. Di lain

saat, orang tua gagah itu bisa berada di belakang lawannya. 
Jelaslah kini bagi Aryani bahwa ketiga lawannya menggunakan 
ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh tiga orang secara 
kompak dan saling melindungi. 
"Hm...," Aryani bergumam sambil tetap berdiri tanpa 
bergeming sedikit pun. Gadis cantik itu terlihat mulai 
merenggangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda. 
Sepasang tangannya tampak meliuk ke atas kepalanya. Dari 
getaran-getaran dan juga bau wangi yang ditebarkannya, jelas 
kalau gadis cantik itu menggunakan ilmu andalannya guna 
menghadapi Ki Panjarasa dan dua orang muridnya. 
"Haiiit..!" 
Mendadak! Gumang yang berada di depannya berteriak 
nyaring disertai dengan lompatan panjang ke arah Aryani. 
Tongkat Baja di tangan lelaki gemuk itu berputaran sehingga 
menimbulkan suara mengaung ribut! 
Cepat Aryani melompat ke samping, mengelakkan terjangan 
tongkat baja yang lurus mengancamnya. Kening gadis cantik itu 
baru berkerut ketika menyadari kalau gerakan Gumang hanya 
sekadar tipuan dan bukan penyerangan sungguh-sungguh! 
Karena serangan itu belum mencapai tubuhnya, Gumang 
kembali berseru nyaring, dan tubuh lelaki gemuk itu telah 
melambung melewati kepala lawannya! Sayang kesadaran 
gadis cantik itu sedikit terlambat! Selagi ia tertegun dengan 
gerakan tipu Gumang, Jarinta yang berada di sebelah kirinya 
tahu-tahu telah membabatkan tongkat bajanya dan 
mengancam kedua kaki gadis cantik itu! Aryani langsung 
melesat ke depan menghindari serangan itu! 
Baru saja kedua kaki Aryani menjejak tanah, terdengar 
sebuah desingan nyaring yang nyaris menulikan telinganya.

Gadis cantik itu sempat terkejut melihat datangnya ujung 
tongkat baja yang siap menghunjam batok kepalanya! 
"Haiiit..!" 
Sambil memekik nyaring, Aryani melompat dan memutar 
tubuhnya! Lagi-lagi serangan yang dilancarkan Ki Panjarasa itu 
hanyalah sebuah tipuan, dan bukan serangan sungguh-
sungguh! Sehingga.... 
Bukkk! 
"Aaakh...!?" 
Aryani yang baru saja hendak menjejak tanah, memekik 
kesakitan! Sebuah kibasan tongkat yang cukup keras, 
menghantam telak punggungnya! Karuan saja tubuh gadis itu 
terjerunuk ke depan! Meskipun ia telah melindungi tubuhnya 
dengan tenaga sakti, tetap saja gadis itu meringis menahan 
rasa nyeri yang menggigit punggungnya! 
"Setan...!" Aryani menyumpah sambil menatap tajam lelaki 
gemuk yang telah menyarangkan pukulan tongkatnya di 
punggung gadis itu. Orang itu tak lain adalah Gumang, lelaki 
yang pertama kali membuka serangan! 
Gadis cantik keturunan datuk sesat itu tidak sempat berpikir 
panjang. Pada saat bersamaan, ketiga orang lawannya telah 
menerjang secara berbarengan! Karuan saja Aryani 
mengerutkan keningnya. Karena cara kerja lawan-lawannya 
telah berubah sama sekali! 
"Kurang ajar...!" lagi-lagi Aryani mengumpat kesal. Gadis 
cantik keturunan datuk sesat itu benar-benar dibuat jengkel 
oleh lawan-lawannya. 
Kali ini Aryani mengambil sikap nekat! Karena ia tidak tahu 
apakah serangan itu sungguhan atau sekadar tipuan, maka

gadis itu mengambil sikap menanti! Kedua kakinya dibuka 
sedikit dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Aryani 
siap menyambut datangnya ketiga batang tombak baja lawan! 
Lagi-lagi gadis cantik itu terpaksa harus menelan 
kejengkelannya. Hatinya yang sudah tegang menanti 
datangnya serangan tongkat lawan, berubah menjadi jengkel! 
Betapa tidak, pada saat ketiga batang tongkat itu tinggal 
beberapa jengkal lagi dari tubuhnya, tahu-tahu saja ketiga 
lawannya berteriak secara bersamaan. Berbarengan dengan itu, 
Ki Panjarasa, Jarinta, dan Gumbang tiba-tiba saja tubuhnya 
melenting ke udara berpencaran! Serangan mereka ternyata 
hanya sebuah tipuan untuk membuat lawan terombang-ambing 
perasaannya. 
"Yeaaah...!" 
Belum lagi ketegangan di hati Aryani lenyap, tiba tiba Ki 
Panjarasa berseru nyaring sambil menusukkan ujung 
tongkatnya ke tubuh gadis cantik itu! Serangan yang jelas 
mengandalkan kekuatan penuh itu, ternyata sebuah serangan 
yang mematikan, dan sepertinya memang bukan sebuah 
tipuan! 
Menyadari gerakan ketiga orang pengeroyoknya memiliki 
banyak tipuan yang tidak diketahui, maka Aryani mengambil 
keputusan untuk tetap tenang. Ia bertekad tidak akan 
menghindar serangan lawan sebelum mengancamnya. Tekad 
itu membuat Aryani tidak berusaha menghindari, gempuran 
tongkat baja Ki Panjarasa! Meski serangan itu terlihat sungguh-
sungguh, gadis itu tidak mempedulikannya. Ia tidak mau 
terkecoh untuk kesekian kalinya! 
Sayang perkiraan Aryani meleset. Ujung tongkat baja Ki 
Panjarasa meluncur deras mengancam tubuhnya. Gadis itu

tidak berusaha untuk menghindar. Ia menanti hingga ujung 
tongkat lawan benar-benar dekat dengan tubuhnya! 
Wuuuk! 
"Hihh...!" 
Aryani sempat memekik kaget ketika ujung tongkat itu, 
ternyata benar-benar akan menghantam tubuhnya! Cepat gadis 
cantik itu berkelit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan Ki 
Panjarasa lewat setengah jengkal di depan tubuh gadis cantik 
itu! Langsung saja Aryani menggerakkan tangannya dari atas 
ke bawah dengan maksud untuk merebut tongkat itu dari 
tangan lawan! Sambil berbuat demikian, ia merendahkan kuda-
kudanya, dan mengirimkan tebasan tangan kiri ke leher 
lawannya! 
Bettt! 
Tebasan tangan kiri dan cengkeraman Aryani pada tongkat 
lawan, mengenai angin kosong! Karena secara tak terduga, Ki 
Panjarasa membungkuk dengan kuda-kuda yang sangat 
rendah! Dan, lelaki gagah itu menyusulinya dengan 
menyontekkan ujung tongkatnya dan mengancam dagu gadis 
cantik itu! Karuan saja serangan itu membuat Aryani terkejut! 
Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang menghindari 
hantaman tongkat pada dagunya! 
Tapi, gadis cantik itu terpaksa harus menelan pil pahit untuk 
kedua kalinya! Pada saat tubuhnya terlontar ke belakang, tahu-
tahu saja sebatang tongkat yang berada di tangan Jarinta, 
telah menghajar punggungnya dengan keras! 
Buggg! 
"Aaakh...
Aryani memekik kesakitan! Hantaman keras itu membuat 
tubuhnya meluncur tidak terkendali! Sehingga, tubuh gadis 
cantik itu terbanting di atas tanah! 
"Bangsat! Setan Keparat...!" Aryani memaki kalang kabut. 
Gadis cantik itu menyusut sudut bibirnya yang tampak 
mengalirkan darah! Jelas hantaman tongkat baja Jarinta telah 
membuat tubuh gadis cantik itu mengalami luka dalam. Mes-
kipun tidak terlalu parah, tapi cukup membuat Aryani mati kutu 
oleh ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja itu. 
Dengan sepasang mata berkilat tajam, Aryani bangkit berdiri. 
Sikap gadis cantik itu tak ubahnya seperti binatang buas yang 
terluka! Kikitan nafsu membunuh terlihat jelas pada sinar 
matanya. 
"Meskipun aku harus mati, tapi kalian semua tidak akan 
kubiarkan hidup!" ujar Aryani sambil melesat menerjang 
Gumang, lawan yang terdekat dengannya. 
"Yeaaat..!" 
Sayang Aryani lebih banyak mempergunakan kemarahannya 
dalam menghadapi ilmu tongkat gabungan itu. Kalau saja ia 
mencoba untuk berpikiran jernih dan mau memecahkan 
kelemahan ilmu lawan, rasanya tidak terlalu suit. Karena dara 
cantik itu miskin pengalaman, tidak mengherankan bila ia 
mempergunakan kemarahan dan emosinya dalam melayani 
keroyokan lawan. Tentu saja tindakan itu tidak menguntungkan 
dirinya. Malah sebaliknya, ia sendiri yang akan menderita 
kerugian dengan tindakan emosinya! 
Aryani menerjang kalang kabut bagaikan kerasukan setan. 
Beberapa kali hantaman tongkat lawan tidak lagi dirasakannya. 
Ia hanya berpikir, bila ia harus tewas, paling tidak ia mesti 
membawa salah seorang dari lawannya ke alam kematian!

Tekad itu pula yang membuatnya tidak mempedulikan 
hantaman tongkat baja lawan pada tubuhnya. 
Malang sekali nasib keturunan Raja Racun Merah itu. 
Tubuhnya jungkir balik dipermainkan Ki Panjarasa dan kedua 
orang muridnya! Wajah cantik itu pun berubah pucat dan 
kebiruan karena terlalu banyak pukulan yang harus diterima! 
Tapi dengan gigih Aryani melakukan perlawanan mati-matian 
demi membela nama ayahnya! 
"Haiiit..!" 
Desss...! 
Aryani kembali memekik kesakitan ketika sebuah hantaman 
tongkat lawan kembali menyengat tubuhnya! Darah segar 
meleleh membasahi pakaiannya! Tapi, gadis cantik itu 
memaksa bangkit untuk melakukan perlawanan! 
Bresssh...! 
Putri Raja Racun Merah menggulingkan tubuhnya menjauhi 
ujung tongkat yang mengincarnya! Sehingga, hantaman 
tongkat baja Gumang menghantam tanah, tempat di mana 
Aryani semula berada! Untunglah gadis cantik itu lebih dahulu 
menghindar! Kalau tidak, mungkin batok kepalanya terkena 
hantaman ujung tongkat lawannya. 
"Hiaaah...!" 
Belum lagi Aryani sempat bangkit tegak, sebuah ujung 
tongkat lain datang mengancam tubuhnya! Melihat serangan 
yang datang demikian cepat dan kuat itu, sepertinya sulit bagi 
Aryani untuk menghindarkan diri! Apalagi keadaan tubuhnya 
sudah mulai lemah! 
Wuuuk!

Gadis cantik itu terpaksa menanti datangnya maut dengan 
tatapan tajam! Kedua kakinya yang terasa lemah dan sukar 
untuk digerakkan membuatnya terpaksa mengangkat tangan 
guna melindungi kepalanya dari hantaman maut lawan! 
Ki Panjarasa yang merasa yakin sasarannya tidak akan 
selamat, semakin menambah kekuatan pada ujung tongkatnya. 
Sehingga suara mengaung yang ditimbulkannya semakin ribut! 
"Tahan...!" 
Pada saat yang benar-benar berbahaya itu, riba-tiba 
terdengar sebuah bentakan keras yang mengguntur! 
Berbarengan dengan terdengarnya seruan keras itu, sesosok 
tubuh berkelebat bagaikan kikitan sinar yang langsung 
memapaki luncuran ujung tongkat Ki Panjarasa! 
*** 
Plakkk...! 
Terdengar sebuah benturan keras yang memekakkan telinga! 
Berbarengan dengan itu, tampak tubuh Ki Panjarasa terpental 
bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak! 
"Aaakh...!?" 
Ki Panjarasa memekik kaget! Di balik rasa terkejutnya, ada 
rasa keheranan menyelinap di lubuk hatinya. Meskipun jelas-
jelas tubuhnya terpental, tapi sama sekali tidak merasakan 
adanya kenyerian pada lengannya yang memegang tongkat! 
Padahal, menurut dugaannya, paling tidak ia pasti akan 
menderita luka dalam akibat benturan keras itu! Ternyata ia 
hanya terlempar sejauh satu setengah tombak, dengan tubuh 
terasa ringan bagaikan tidak berbeban!

"Aryani, kau... bagaimana dengan lukamu...?" sesosok tubuh 
terbungkus jubah putih tampak tengah merunduk dan mencoba 
untuk menarik bangkit tubuh Aryani. Pancaran kabut bersinar 
putih keperakan tampak masih tersisa pada tubuhnya. 
"Kakang Panji...!?" bibir mungil yang dipenuhi noda darah itu 
berdesis perlahan dan hampir tidak terdengar. Ada genangan 
air mata tampak di mata indah itu. Jelas Aryani merasa terharu 
dengan kehadiran pemuda tampan berjubah putih itu. Gadis itu 
sadar kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya 
kembali. 
"Benar, kami yang datang, Aryani...," terdengar suara halus 
yang merdu. Berbarengan dengan itu, seorang dara jelita 
melangkah menghampiri Panji dan Aryani. Siapa lagi gadis jelita 
berpakaian serba hijau itu kalau bukan Kenanga. 
"Ah, aku selalu saja membuat kalian repot..," desis gadis 
cantik itu sambil berusaha berdiri tegak dipapah oleh pemuda 
tampan berjubah putih itu. 
"Sudah tahu begitu, mengapa kau lari dari kami...? Dasar 
kau saja yang bendel...," sahut gadis jelita berpakaian serba 
hijau itu sambil mengulur tangannya dan menggantikan Panji 
memapah tubuh Aryani. Aryani sendiri sama sekali tidak marah 
dengan ucapan gadis cantik itu. Karena, ia tahu meski ucapan 
itu agak ketus, tapi Kenanga tidak benar-benar marah 
kepadanya. 
"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak mau melibatkan kalian 
dalam urusanku ini...," sahut Aryani dengan tatapan mohon 
pengertian dari gadis jelita itu. Tampak Aryani merasa 
menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap 
pasangan pendekar yang sangat baik terhadap dirinya. 
"Hm..., nyatanya kami terlibat juga, bukan...?" balas 
Kenanga tersenyum menggoda.

Aryani hanya menarik napas mendengar ucapan Kenanga. 
Gadis cantik itu merasa terharu bukan main atas kebaikan 
pasangan pendekar terkenal itu. Padahal, mereka baru kenal 
beberapa hari. Tapi, pasangan pendekar itu telah banyak 
melepas budi kepadanya. Dua kali nyawanya diselamatkan dari 
kematian. Dan itu bukan jasa yang kecil menurut pikiran Aryani. 
Dalam hati, ia berjanji akan membalas jasa pasangan pendekar 
itu, meski ia tidak tahu bagaimana caranya. 
Kenanga yang membawa Aryani ke tempat yang aman, 
segera mengobati luka-luka yang dialami gadis keturunan daruk 
sesat itu. Sepertinya gadis jelita itu percaya sepenuhnya bahwa 
Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih, 
dapat menyelesaikan persoalannya dengan baik. Pikiran itu 
yang membuatnya tenang dalam melakukan pengobatan 
terhadap Aryani

ENAM

Jarinta dan Gumang merapat mendekati Ki Panjarasa. Dua 
orang murid utama Ketua Perguruan. Tongkat Baja itu benar-
benar terkejut melihat guru mereka terpental. Kendati mereka 
tidak tahu penyebabnya, namun jelas semua itu terjadi karena 
kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka 
menduga pasti dikarenakan tindakan pemuda berjubah putih 
itu. Maka, Jarinta dan Gumang mendekati gurunya, dan siap 
membantu. 
Ki Panjarasa sendiri sempat tertegun menatap pemuda 
berjubah putih itu. Setelah meneliti beberapa saat lamanya, ia 
teringat dengan lelaki gagah itu, seorang pendekar muda yang 
pada masa itu sangat terkenal di kalangan rimba persilatan. 
Melihat ciri-ciri pemuda di depannya, Ki Panjarasa mulai dapat 
menebak siapa sesungguhnya pemuda gagah dan tampan itu. 
"Kisanak, bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih...?" tanya Ki Panjarasa melangkah maju beberapa tindak 
mendekati Panji. Jarinta dan Gumang tetap mengiringi guru 
mereka dengan sikap slap untuk bertarung. 
"Begitulah, orang-orang persilatan menyebutku, Paman. 
Maaf, kalau aku telah membuat Paman terkejut..," jawab Panji 
dengan wajah yang tetap tenang dan penuh senyum. 
"Hm..., tahukah kau, siapa gadis cantik yang kau selamatkan 
itu? Dia adalah putri seorang datuk sesat berhati iblis yang 
berjuluk Raja Racun Merah! Serahkanlah dia kepada kami...," 
lanjut Ki Panjarasa dengan tekanan nada agak berat dan 
setengah memaksa


"Aku tahu, Paman. Bahkan sebelumnya aku telah mengenal 
gadis yang bernama Aryani itu. Sayang tuduhan Paman keliru. 
Aryani tidaklah sejahat yang Paman kira. Bahkan ayahnya pun 
telah sadar akan kesesatannya. Itulah sebabnya aku berani 
menyelamatkan gadis itu," jawab Panji tetap tenang dan tidak 
terpancing oleh nada ucapan lawannya. 
"Kau tahu, Pendekar Naga Putih. Raja iblis itu kini telah 
mengutus murid-muridnya untuk membuat kekejaman. Salah 
satunya yang menjadi sasaran adalah keluarga dan seluruh 
murid-murid perguruanku. Semuanya dibantai habis secara keji 
dan biadab! Nah, apakah perbuatan pengikut iblis-iblis itu harus 
kubiarkan berkeliaran begitu saja? Salahkah kalau aku berniat 
untuk menawan gadis itu, agar ayahnya datang mencariku?" 
nada ucapan Ki Panjarasa mulai meninggi karena terbawa 
emosi dan dendam. 
"Tapi, semua itu belum tentu benar, Paman. Siapa tahu ada 
orang-orang yang sengaja menyebarkan fitnah keji kepada Raja 
Racun Merah. Pikirkanlah tindakan Paman, jangan sampai 
menyesal dikemudian hari," jelas Panji mencoba mengingatkan 
lelaki gagah itu kalau-kalau tindakannya akan disesali kemudian 
hari. 
"Hm..., aku tidak perlu dengan khotbahmu, Pendekar Naga 
Putih. Meskipun kau seorang pendekar besar yang diagung-
agungkan orang banyak, tapi Ki Panjarasa tidak gentar! Karena 
aku yakin kebenaran berada dipihakku!" tukas Ki Panjarasa 
dengan nada yang semakin keras. 
"Tapi, Paman...." 
"Cukup!" bentak Ki Panjarasa memotong ucapan Panji, 
"Sekarang boleh kau putuskan! Di pihak mana kau sebenarnya 
berdiri!"

"Maaf, aku terpaksa harus membelanya, sebelum semua 
persoalan ini jelas. Dan, aku...." 
"Sambut pukulanku...!" Ki Panjarasa yang tidak mau 
mendengar alasan Pendekar Naga Putih lagi, membentak 
nyaring dengan dibarengi lesatan tubuhnya. Tongkat Baja di 
tangannya berputaran menimbulkan deruan angin keras! 
Bettt! Bettt! 
Dua kali sabetan tongkat baja itu berhasil dihindari Panji 
dengan melempar tubuhnya ke belakang. Tapi, Ki Panjarasa 
tidak memberi kesempatan kepada pemuda tampan itu untuk 
berbicara lebih jauh lagi! Tongkat baja di tangannya terus 
menyambar-nyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih! 
Panji, untuk kesekian kalinya, terpaksa bentrok dengan 
tokoh-tokoh segolongan dalam membela Aryani. Dan, ia sama 
sekali tidak berusaha membalas serangan Ki Panjarasa. 
Meskipun Ketua Perguruan Tongkat Baja itu menyerangnya 
dengan gencar. Pemuda itu hanya mengelak, dan menghindari 
sambaran tongkat baja yang mengancam tubuhnya itu! 
"Heaaat..!" 
"Yeaaat..!" 
Jarinta dan Gumang yang melihat guru mereka telah 
bertarung dengan pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih 
itu, segera memasuki arena pertempuran dan langsung 
membantu gurunya! 
Masuknya kedua orang murid utama lelaki gagah itu ke 
dalam pertarungan, tentu saja membuat Panji sedikit sibuk! 
Pemuda tampan itu terpaksa melakukan lompatan panjang jauh 
ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum 
menjejakkan kakinya di atas tanah

Tapi, baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, 
sambaran tongkat baja di tangan Ki Panjarasa kembali 
mengancam tubuhnya! Ketika pemuda itu melesat ke samping 
kanan untuk menghindari sabetan tongkat lelaki gagah itu, 
ujung tongkat Gumang datang mengancam pelipisnya! 
"Hebat..!" mau tidak mau Panji terpaksa memuji 
kekompakan ketiga orang lelaki gagah itu. Ujung tongkat baja 
di tangan lelaki gemuk itu ditepiskan Panji dengan 
menggunakan telapak tangannya! 
Plakkk! 
"Uhhh...!" 
Gumang mengeluh pendek ketika tubuhnya terjajar mundur 
akibat tangkisan, yang kelihatan pelan dan sembarangan itu! 
Lelaki gemuk itu terlihat agak menyeringai, sambil memijat 
lengan kanannya yang terasa linu! Ia pun sadar kalau tenaga 
dalam yang dimiliki Pendekar Naga Putih memang sukar untuk 
diukur! 
Wuuuk! 
Cepat bagai kilat, Pendekar Naga Putih berbalik ketika 
telinganya menangkap desir angin tajam dari belakangnya. 
Kening pemuda itu agak berkerut melihat datangnya serangan 
tongkat dari lelaki kurus yang tak lain Jarinta. Namun, pemuda 
itu cepat menggeser juga tubuhnya, meski ia agak ragu melihat 
serangan lawan. Karena ketajaman matanya, pemuda tampan 
itu dapat menebak serangan tongkat baja Jarinta seperti 
sebuah gerak tipu, dan bukan serangan sungguhan! 
Dugaan Panji memang tidak meleset! Secara mendadak, 
Jarinta menarik pulang serangan tongkatnya, dan langsung 
melempar tubuh ke samping, lalu berjumpalitan beberapa kali!

Belum lagi Panji sempat berpikir melihat tongkat lelaki kurus 
itu, yang menurutnya sangat aneh, tiba-tiba saja dari tempat di 
mana tadi serangan lelaki kurus itu datang, telah muncul ujung 
tongkat baja lain yang meluncur deras ke arah 
tenggorokannya! Barulah Panji sadar kalau ketiga orang lelaki 
gagah itu telah mempergunakan ilmu tongkat gabungan untuk 
menundukkannya! 
"Sayang mereka terlalu cepat mengambil keputusan...," 
gumam Pendekar Naga Putih menyayangkan betapa ilmu 
tongkat yang hebat itu harus digunakan kepada orang yang 
salah. 
Panji yang telah berpengalaman dalam menghadapi 
pertempuran, segera dapat melihat inti dari ilmu tongkat 
gabungan lawannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda itu segera 
melambung tinggi melampui tubuh Ki Panjarasa yang 
menyerangnya. Dengan demikian, tindakan pemuda itu berarti 
telah membuat ilmu tongkat gabungan lawannya mati, dan 
tidak dapat berkembang. Dan, itu satu-satunya kelemahan 
yang terdapat pada ilmu tongkat gabungan yang mengikuti 
gerak lawan secara berlawanan. 
Jarinta dan Gumang yang melihat tindakan Pendekar Naga 
Putih, tentu saja menjadi terkejut. Mereka yang siap 
menyerang apabila Panji mengelak atau memapaki serangan 
gurunya, kini hanya bisa berdiri bingung! Karena saat itu lawan 
yang hendak mereka serang jauh berada di belakang mereka. 
Sehingga, baik Jarinta maupun Gumang tidak dapat berbuat 
apa-apa. 
"Kurang ajar! Pendekar Naga Putih rupanya telah 
mengetahui kelemahan kita...," desis Ki Panjarasa yang diam-
diam menjadi kagum melihat ketelitian pemuda itu dalam 
memecahkan kelemahan ilmu tongkat gabungannya.

Ketiga orang itu kembali berlompatan mengepung Pendekar 
Naga Putih. Tongkat di tangan mereka berputar menimbulkan 
deruan angin yang tajam. Melihat dari sikapnya, jelas Ki 
Panjarasa dan murid-muridnya hendak bertarung sampai titik 
darah yang penghabisan! 
Panji yang tidak ingin keliru dalam menghadapi masalah. 
Segera mengambil keputusan untuk tidak melayani lawannya. 
Pemuda tampan itu segera mengedipkan sebelah matanya ke 
arah Kenanga yang tidak jauh di samping kanannya. 
Kenanga yang mengerti isyarat Panji segera mengangkat 
Aryani. Kemudian, gadis jelita itu bergegas meninggalkan 
tempat itu dengan membawa putri Raja Racun Merah. 
Setelah melihat tubuh Kenanga dan Aryani lenyap di balik 
kelebatan pepohonan, Panji segera mengeluarkan ilmu tenaga 
dalamnya. Sedetik kemudian, pemuda itu melontarkan pukulan 
jarak jauhnya ke arah sebatang pohon besar! 
Wuuus.... 
Duaaarrr...! 
Terdengar suara bergemuruh ketika pohon besar yang 
berada dekat arena pertarungan roboh dengan suara hiruk-
pikuk! Sehingga, dalam sekejap saja, suasana menjadi gaduh! 
Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Naga Putih melesat 
secepat kilat meninggalkan arena pertarungan! 
"Setan...!" Ki Panjarasa hanya bisa menyumpah-nyumpah, 
ketika suasana kembali tenang, sosok pemuda tampan itu 
ternyata telah lenyap tanpa bekas. Lelaki gagah itu hanya 
dapat menarik napas jengkel. Karena ia sendiri tidak sempat 
melihat ke mana perginya Pendekar Naga Putih! 
"Licik...!" Gumang yang juga merasa penasaran mendesis 
dengan geramnya.

"Kita harus mengejar gadis jelita itu dan menangkapnya, 
Guru. Kalau perlu kita mengadu nyawa dengan Pendekar Naga 
Putih yang sombong itu!" ujar Jarinta dengan tidak kalah 
geramnya. 
"Tentu. Setelah menguburkan mayat Sungkana, dan 
mengobati Purgawa, kita akan cari mereka sampai dapat! Biar 
ia berada di ujung dunia sekali pun, aku akan tetap 
mengejarnya!" sahut Ki Panjarasa berapi-api. 
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu memerintahkan 
kedua orang muridnya untuk menguburkan mayat Sungkana. 
Sedang ia sendiri sudah menghampiri Purgawa. Ki Panjarasa 
berniat hendak mencarikan orang pandai untuk menyembuhkan 
luka-luka di tubuh Purgawa. 
Tidak berapa lama kemudian, terlihat keempat sosok tubuh 
itu bergerak meninggalkan desa. Purgawa yang masih lemah, 
dipapah oleh Jarinta dan Gumang. 
*** 
Sosok berjubah putih itu terus bergerak meninggalkan desa. 
Jubahnya yang panjang berkibaran, karena sosok itu bergerak 
cepat dengan kaki yang laksana tak menginjak bumi. 
Langkahnya baru melambat setelah cukup jauh meninggalkan 
desa, tempat di mana ia semula singgah. 
"Itu Kakang Panji...!" seru seorang data jelita berpakaian 
serba hijau menunjuk ke arah sosok berjubah putih, yang saat 
itu tengah menghampirinya. 
Tidak salah apa yang dikatakan gadis jelita itu. Sosok 
berjubah putih, yang baru saja meninggalkan lawannya,

memang Panji. Pemuda itu tersenyum kepada dua orang data 
yang tengah menantinya. 
"Apakah mereka mengejar kita, Kakang...?" tanya data jelita 
berpakaian serba hijau itu, dan bergerak bangkit menyambut 
kedatangan Panji. Sedang dara cantik berpakaian kuning cerah 
di sebelahnya, tampak hanya terduduk menatap pemuda 
tampan itu. 
"Syukurlah mereka dapat kukelabui. Untuk sementara ini aku 
kira kita aman. Sebab mereka tidak mengejarku," sahut Panji 
mengulurkan tangannya merengkuh tubuh dara jelita yang 
tidak lain Kenanga. Kemudian keduanya berjalan menghampiri 
gadis berpakaian kuning, Aryani. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang? Kita 
harus mencari penyelesaian dari masalah ini. Kalau tidak, 
semua tokoh persilatan golongan putih akan tetap memusuhi 
kita. Ini akan menyulitkan langkah kita, Kakang...," ujar 
Kenanga meminta pertimbangan sambil menatap wajah 
kekasihnya. 
Masalah yang mereka hadapi kini memang makin pelik dan 
berbahaya. Kalau sampai apa yang dikhawatirkan gadis jelita 
itu menjadi kenyataan, langkah mereka selanjutnya pasti tidak 
akan aman. 
"Ya. Sedang kunci semua masalah ini hanya terletak pada 
Raja Racun Merah. Sepertinya kita harus mencari datuk itu 
lebih dahulu. Dari tokoh itu, mungkin kita dapat menemukan 
jawaban terhadap masalah pelik ini," sahut Panji disertai 
dengan helaan napas yang berat. Kemudian pemuda tampan 
itu mengalihkan pandangannya ke arah Aryani, yang saat itu 
tengah duduk menanti kedatangan keduanya. 
Panji dan Kenanga menghempaskan tubuhnya di samping 
gadis cantik itu. Aryani terlihat masih agak pucat wajahnya.

Gerak-geriknya nampak agak lemah. Jelas kalau kesehatan 
gadis itu belum pulih sepenuhnya. 
"Bagaimana keadaanmu, Aryani...?" tanya Panji sambil 
menatap wajah cantik yang agak pucat itu. 
"Sudah agak baikan, Kakang. Terima kasih atas pertolongan 
kalian berdua. Entah bagaimana aku harus membalas budi 
kalian yang begitu besar kepadaku...?" desah Aryani dengan 
nada suara yang terdengar lemah. 
Panji menghela napas ketika mendengar nada kesedihan 
dalam ucapan Aryani. Pemuda tampan itu bukan tidak tahu apa 
yang membuat putri datuk sesat itu berduka. Persoalan-
persoalan yang dihadapinya membuat Aryani menjadi terpukul. 
Karena ke manapun langkahnya terayun, di situ ia pasti akan 
bertemu dengan orang-orang yang memusuhi ayahnya. 
"Sabarlah, Aryani. Tidak ada satu persoalan di dunia ini yang 
tidak mempunyai jawaban. Apa yang kau temui selama ini 
memang sangat menyakitkan hati. Tapi, kita tidak boleh 
menyerah dalam menghadapinya. Satu yang harus kita jaga, 
hindari pertempuran sebisa mungkin selama persoalan ini 
belum terjawab. Sebab kita tidak tahu, siapa yang bersalah 
sebenarnya dalam masalah ini. Aku percaya kau tidak jahat. 
Tapi, aku juga yakin orang-orang yang bertempur dan 
melukaimu itu, juga belum tentu jahat. Mereka mempunyai 
alasan yang kuat untuk berbuat itu," tutur Panji mencoba 
menghibur Aryani agar gadis cantik itu tidak tenggelam dalam 
kedukaannya. 
"Aku sebenarnya tidak terlalu menyalahkan mereka, Kakang. 
Tapi, hinaan-hinaan mereka terhadap ayahku, membuat aku 
lupa diri, dan tidak bisa menahan emosi. Ah... mengapa sulit 
sekali untuk berbuat kebaikan? Apakah diriku memang sudah 
ditakdirkan untuk menjadi orang jahat? Tidak bisakah mereka

menerimaku sebagai mana adanya, tanpa mengaitkan dengan 
nama kotor ayahku?" desah Aryani sambil menghembuskan 
napas berat. Wajah cantik yang agak pucat itu semakin nampak 
gambaran kedukaannya. 
"Satu-satunya jalan untuk menemukan kunci dari semua 
masalah ini, hanyalah ayahmu. Kita harus menemui beliau 
secepatnya, Aryani. Aku khawatir kalau kita sampai keduluan 
oleh tokoh-tokoh persilatan yang mamusuhi dan dendam ter-
hadap ayahmu. Kalau hal itu sampai terjadi, semakin sulitlah 
bagi kita untuk menyelesaikannya," jelas Pendekar Naga Putih 
memberikan usul. 
Mendengar ucapan pemuda tampan itu, Aryani menoleh, dan 
menatap Panji penuh selidik. Dirayapinya wajah tampan itu 
dengan tatapan mata tajam. Kemudian, ditatapnya tepat di 
kedua bola mata pemuda itu. Sepertinya gadis cantik itu ingin 
mengetahui maksud Panji menemui ayahnya. Ada kilatan 
kecurigaan dalam tatapan mata putri datuk sesat itu. 
Panji hanya tersenyum melihat gadis cantik itu 
memandangnya penuh curiga. Pemuda itu maklum, setelah apa 
yang selama ini dialami Aryani, membuat gadis cantik itu 
mudah curiga. Apalagi kalau hal itu menyangkut ayahnya. 
"Apa maksud Kakang hendak menemui ayahku...? Apa kau 
juga tidak percaya kalau ayahku itu telah bertobat, dan 
meninggalkan segala kesesatannya selama ini...?" tanya Aryani 
ragu-ragu. Sambil tetap tidak melepaskan pandangannya dari 
wajah pendekar muda yang tampan itu. 
"Hm... kau lupa apa yang baru saja kukatakan kepadamu, 
Aryani. Kita harus menghadapi persoalan ini dengan kesabaran. 
Ingatlah! Satu-satunya kunci dari masalah ini adalah ayahmu. 
Dan, aku ingin menemui beliau bukan sebagai musuh. Tapi 
sebagai seorang manusia yang ingin mencari kebenaran. Aku

harap kau tidak keberatan apabila mengantarkan kami berdua 
kepada beliau," sahut Panji tetap dengan nada tenang. Pemuda 
tampan itu sama sekali tidak tersinggung dengan tuduhan 
Aryani, meskipun tidak secara berterus-terang itu. 
"Aryani, Kakang Panji ingin membantumu untuk 
membersihkan nama Raja Racun Merah. Untuk itu, kita harus 
bertemu langsung dengan ayahmu. Kecurigaanmu itu sama 
sekali tidak berdasar. Pikirkanlah baik-baik tanpa rasa curiga. 
Kalau Kakang Panji hendak berbuat jahat, mengapa ia harus 
menyelamatkanmu dengan risiko dimusuhi orang-orang 
segolongan? Kita harus menemui ayahmu, Aryani. Beliaulah 
yang dapat menjawab semua masalah yang kita hadapi ini," 
Kenanga yang semenjak tadi hanya mendengarkan, terpaksa 
ikut angkat bicara. 
Aryani termenung sejenak setelah mendengar ucapan 
Kenanga. Ia menyadari kebenaran ucapan gadis jelita itu. 
Untuk apa ia diselamatkan berkali-kali, kalau Pendekar Naga 
Putih ingin mencelakakannya? Ucapan Kenanga terus 
terngiang-ngiang dalam pikirannya. 
"Baiklah," jawab Aryani kemudian, "Aku akan membawa 
kalian menemui ayahku Mudah-mudahan itu merupakan jaian 
terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini," desah 
Aryani penuh harap. Setelah berkata demikian, gadis cantik itu 
bangkit dari duduknya. 
"Syukurlah kalau kau telah menyadarinya...," gumam 
Kenanga dengan wajah cerah. Gadis jelita itu segera bangkit 
dakuti Panji. 
Ketiganya segera berangkat mengikuti Aryani untuk 
menemui Raja Racun Merah. datuk sesat yang kini menjadi 
pusat perhatian tokoh-tokoh persilatan golongan putih!

TUJUH

Gunung Kalang berdiri kokoh bagaikan sosok raksasa 
penyangga langit. Puncaknya yang tinggi menjulang, pagi itu 
tampak diselimuti kabut tebal. Bila orang memandangnya dari 
kaki gunung, puncak itu laksana menembus langit. 
Pagi itu, udara pegunungan yang sejuk menyapu lembut 
wajah tiga orang muda yang tengah bergerak menyeberangi 
sebuah aliran sungai. Setelah tiba di seberang sungai, 
ketiganya tampak berhenti sejenak memandang puncak 
Gunung Kalang yang tinggi menjulang. 
"Di puncak itukah tempat ayahmu mengasingkan diri, 
Aryani," tanya sosok pemuda tampan berjubah putih sambil 
menoleh ke arah dara cantik berpakaian kuning cerah. 
Ketiga orang muda itu rupanya Paji, Kenanga, dan Aryani. 
Kedatangan mereka ke Gunung Kalang untuk menemui Raja 
Racun Merah, tokoh sesat yang menggemparkan itu. 
"Bukan, Kakang. Beliau mendirikan tempat peristirahatan di 
salah satu lembahnya. Sedang puncak itu sendiri menurut ayah 
belum pernah dijamah manusia. Entah benar atau tidak 
keterangan ayahku itu. Tapi, melihat ketinggian puncak itu 
yang bagaikan menembus langit, sepertinya benar keterangan 
ayahku," sahut Aryani sambil menengadahkan kepalanya 
menatap puncak. 
"Hm..., sebuah tempat yang tenang dan damai. Benar-benar 
cocok sebagai tempat untuk mengasingkan diri...," Kenanga, 
dara jelita berpakaian serba hijau itu berdesah perlahan. 
Matanya yang bulat dan indah itu, tampak berpendar

memancarkan kebahagiaan. Sehingga, Panji yang sempat 
mendengar gumaman kekasihnya sejenak tertegun. 
Ditatapnya wajah gadis jelita yang tampak demikian 
terhanyut oleh keindahan suasana Gunung Kalang. Sejenak hati 
pemuda itu tergetar, seolah-olah ia mengerti ke mana arah 
ucapan kekasihnya yang lirih itu. 
Aryani sendiri seperti sadar akan suasana hati pasangan 
pendekar itu. Ia melangkah perlahan mendahului mereka. 
Gadis cantik itu mengerti dan tidak mengganggunya. 
Panji berdesah perlahan agar tidak sampai terdengar oleh 
Kenanga, yang terlihat seperti terpaku dengan ketenangan dan 
ketenteraman alam Gunung Kalang itu. Perlahan pemuda 
tampan itu melingkarkan tangannya dan merengkuh tubuh 
kekasihnya. 
"Suatu saat kelak, kita akan mencari tempat yang tenang 
dan tenteram seperti ini, Kenanga...," bisik Panji merapatkan 
tubuh gadis jelita itu ke tubuhnya. Ada nada keharuan dan iba 
dalam ucapan Pendekar Naga Putih kali ini. 
Kenanga agak tersentak bagaikan direnggut dari alam mimpi 
yang indah. Gadis jelita itu baru menyadari ucapannya saat 
mendengar bisikan Panji di telingnya. Ada sorot sesal di mata 
dara jelita itu. 
"Hhh... maafkan aku, Kakang. Bukan maksudku untuk 
menyinggung perasaanmu. Aku... begitu terpengaruh dengan 
suasana alam yang menimbulkan ketenteraman dan 
kedamaian. Suasana alam Gunung Kalang membuat tubuhku 
terasa lelah dan ingin segera meninggalkan kehidupan yang 
keras selama ini kita jalani...," ucap Kenanga berdesah penuh 
sesal.

"Kau tidak salah, Kenanga. Perjalanan kita selama ini 
memang selalu diwarnai oleh petualangan dan kekerasan. 
Wajar bila kau merasa lelah setelah merasakan betapa 
indahnya hidup dalam alam yang tenteram dan damai. Seperti 
yang kukatakan tadi, suatu hari kelak, kita pasti akan tinggal di 
tempat seperti ini...," sahut Panji lembut. Dikecupnya kening 
dara jelita itu dengan sepenuh perasaannya. 
"Ahhh, mengapa kita harus melupakan tujuan kedatangan 
kita ke tempat ini? Ayolah, Kakang. Lupakan saja apa yang aku 
ucapkan tadi..," sambil berkata demikian, Kenanga melangkah 
menyusul Aryani yang telah lebih dulu mendaki lereng gunung. 
Panji menghembuskan napas berat seraya melangkah 
menyusul kekasihnya dan Aryani. Diam-diam pemuda tampan 
itu berjanji dalam hatinya untuk mengabulkan keinginan 
kekasihnya bila sang waktu menginginkan mereka. 
*** 
"Ayah...!" 
Aryani berteriak dengan penuh kegembiraan, ketika ia tiba di 
dekat sebuah pondok sederhana. Disertai luapan 
kegembiraannya, gadis cantik itu berlari dan bergegas 
membuka pintu pondok. 
Panji dan Kenanga yang tidak jauh berada di belakang gadis 
cantik itu tersenyum melihat kegembiran Aryani. Keduanya 
saling berpandangan dan melangkah menyusul Aryani menuju 
pondok. 
Belum lagi Panji dan Kenanga menyentuh pintu pondok, 
Aryani telah melompat keluar dan hampir bertubrukan dengan

pasangan pendekar itu. Untung saja Panji dan Kenanga telah 
melompat ke samping, Sehingga, benturan itu bisa dielakkan. 
"Ada apa, Aryani...?" tegur Kenanga yang merasa hatinya 
tidak enak melihat wajah gadis yang tampak tegang! 
"Ayah tidak ada di dalam pondok. Ini aneh! Padahal, ayah 
biasanya pasti tahu bila ada orang yang datang berkunjung ke 
lembah ini...," sahut Aryani yang segera melesat meninggalkan 
pasangan pendekar itu. Maksudnya tentu saja hendak mencari 
ayahnya. 
"Aryani! Tenanglah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak...!" 
Panji berseru mengingatkan karena sosok gadis itu telah cukup 
jauh meninggalkan mereka. Sehingga, pemuda tampan itu 
berniat untuk menanti Aryani di depan pondok. 
Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik berpakaian kuning 
cerah itu sudah kembali dengan napas agak memburu. Wajah 
cantik itu terlihat agak pucat, dengan lelehan keringat yang 
turun membasahi pipinya. 
"Pasti ada sesuatu yang telah terjadi dengan ayah! Tidak 
biasanya beliau meninggalkan lembah sepagi ini!" dengan 
napas terengah-engah, Aryani mengutarakan kekhawatirannya 
kepada Panji dan Kenanga. 
"Hm..., kalau begitu, kita berpencar. Apabila ada yang 
menemukannya salah satu dari kita, cepatlah beri isyarat 
dengan siulan," sahut Panji mengusulkan. Tanpa banyak cakap 
lagi, kedua gadis itu pun mengangguk setuju. Sebentar kemu-
dian, ketiga orang muda itu telah berpencar untuk mencari Raja 
Racun Merah. 
Panji bergerak ke sebelah Barat Lembah Gunung Kalang. 
Sambil menyusuri daerah yang ditumbuhi pepohonan lebat,

pemuda itu mengedarkan pandangannya, dan juga 
meningkatkan ketajaman pendengarannya. 
"Suiiit...!" 
Setelah memasuki wilayah itu agak lama, tiba-tiba Panji 
menangkap suara siulan yang berasal sebelah Timur. Panji tahu 
kalau siulan itu berasal dari Kenanga. Sebab kekasihnya itulah 
yang berada di sebelah Timur. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, pemuda tampan itu segera melesat dengan pengerahan 
seluruh ilmu larinya. 
"Kau menemukan sesuatu, Kenanga...?" tanya Panji dalam 
jarak sekitar dua tombak lebih. Dilihatnya gadis jelita itu tengah 
berdiri tegak mengawasi sekitarnya. 
"Aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa kita jadikan 
sebagai petunjuk, Kakang...," jawab Kenanga ketika Panji telah 
berada di dekatnya. 
"Apa yang kalian dapatkan...? Di mana ayahku...?" belum 
lagi Panji sempat meneliti apa yang ditemukan Kenanga, tiba-
tiba terdengar suara Aryani. Keduanya berdiri tegak menanti 
kedatangan gadis cantik itu. 
"Kami hanya menemukan sesuatu yang mungkin saja bisa 
dijadikan sebagai petunjuk...," sahut Kenanga ketika gadis itu 
telah tiba di dekat mereka. 
"Mari kita periksa...," ajak Panji yang segera meneliti seperti 
jejak-jejak yang terdapat di daerah itu. Kemudian terus 
menyusuri ke lereng sebelah bawah. 
"Jejak-jejak itu lenyap di sini, Kakang...," Kenanga berkata 
dengan nada kecewa ketika jejak-jejak itu lenyap di kaki 
Gunung Kalang sebelah Timur.

"Hm..., jelas mereka menyeberangi sungai ini..," duga Paji, 
karena jejak-jejak itu memang lenyap di tepi aliran sungai yang 
membentang. "Berpencarlah, mudah-mudahan kita bisa me-
nemukan petunjuk lain di tempat ini...," usul Panji lagi. 
Untuk kedua kalinya, ketiga orang muda itu kembali 
berpencar untuk mencari petunjuk lain. Karena petunjuk 
pertama jelas sudah tidak mungkin untuk diikuti. 
Panji yang kembali menyusuri lereng gunung, tersentak saat 
mendengar teriakan pilu yang berasal dari arah kanannya. 
Cepat pemuda itu melesat ke tempat asal suara jeritan yang ia 
tahu pasti berasal dari Aryani. 
"Aryani, ada apa...!?" seru Paji ketika dalam jarak kira-kira 
empat tombak lebih, tampak gadis cantik itu tengah 
membungkuk memeluk dan menangisi sesosok tubuh 
berpakaian merah darah yang tak bergerak-gerak. 
"Raja Racun Merah...!?" desah Panji ketika melihat sosok 
berpakaian merah darah yang terbujur kaku. Noda-noda darah 
yang mengotori pakaian dan sebagian wajahnya, jelas 
menandakan bahwa orang tua itu tewas dalam sebuah 
pertarungan sengit! 
Kenanga tiba setelah Panji melempar pandangannya karena 
tidak sanggup melihat kesedihan Aryani. Tangisan gadis cantik 
itu terdengar sangat memilukan, mengingatkan dia akan 
ayahnya yang juga telah tiada. 
"Menurutmu, siapakah pembunuh Raja Racun Merah itu, 
Kakang?" tanya Kenanga berbisik lirih di telinga Panji. 
"Entahlah, aku tidak bisa memastikannya. Yang jelas, Raja 
Racun Merah tewas karena pukulan-pukulan yang mengandung 
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Hhh..., persoalan ini 
jelas semakin bertambah rumit..," desah Panji menghela napas

berat. Karena kunci satu-satunya dari jawaban masalah 
mereka, ternyata telah tewas secara misterius! 
"Sudahlah, Aryani, sebaiknya kita bawa mayat ayahmu ke 
lembah. Biar lembah itu menjadi tempat beristirahat untuk 
selamanya," bujuk Panji berusaha untuk menghibur gadis 
cantik yang bemasib malang itu. 
"Ayah...," desis Aryani dengan bibir bergetar, "Aku 
bersumpah untuk membalas kematian ini! Akan kuhirup 
darahnya, dan akan kukunyah jantung manusia keji yang telah 
membunuhmu!" geram Aryani dengan wajah bersimbah air 
mata. Jelas sekali kalau gadis cantik itu merasa sangat terpukul 
dengan kematian ayahnya. Karena hanya orang tua itulah satu-
satunya tempat ia mengadu di dunia selama ini. 
"Aryani, kami berdua berjanji akan membantu untuk mencari 
pembunuh ayahmu. Kasihan beliau di tempat yang sedingin 
dan kotor ini, apakah tidak sebaiknya kita kuburkan di lembah?" 
Kenanga ikut membujuk sambil membelai punggung gadis ma-
lang itu dengan lembut. Kemudian diajaknya bangkit dan 
membimbing gadis itu mendaki lereng gunung. 
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengangkat mayat 
Raja Racun Merah untuk dibawanya ke puncak. Tidak ada bau 
busuk yang menyebar dari tubuh mayat menandakan Raja 
Racun Merah belum lama tewas. 
Dengan sebuah upacara sederhana, ketiga orang muda itu 
memakamkan Raja Racun Merah. Usai melakukan penguburan, 
Panji dan Kenanga meninggalkan Aryani yang masih bersimpuh 
di tanah makam itu. Pasangan pendekar itu berniat menanti 
Aryani di pondok. Mereka sengaja tidak ingin mengganggu, dan 
membiarkan gadis itu menumpahkan kesedihannya di depan 
makam ayahnya.

*** 
Setelah menemani Aryani selama tiga hari di lembah Gunung 
Kalang, Panji dan Kenanga mengajak gadis itu untuk mencari 
pembunuh orang tuanya. 
"Cukup sudah air matamu, Aryani. Tidak baik terbenam 
dalam kesedihan yang berlarut-larut. Air matamu tidak akan 
bisa mengembalikan ayahmu ke dunia ini. Satu yang harus kau 
ingat. Kalau kau yakin akan ketulusan hati ayahmu untuk 
meninggalkan dunia sesat, lanjutkanlah. Agar arwah beliau 
tenang di alam sana," nasihat Panji sebelum mereka 
meninggalkan Lembah Gunung Kalang. 
"Aku harus membalas kematian ayahl Akan kucari pembunuh 
keji itu biar ke ujung dunia sekali pun!" geram Aryani dengan 
wajah kaku. Sorot mata gadis cantik itu tampak dingin dan 
menggetarkan. Kematian ayahnya telah menimbulkan dendam 
membara dalam hati gadis cantik itu. Jelas saat itu tidak 
mungkin untuk menjejalinya dengan segala macam nasihat. 
Panji yang sadar akan hal itu, hanya mendiamkan saja. Karena 
ia pun pernah merasakan hal yang serupa. 
Dengan mengandalkan kepandaiannya, ketiga orang muda 
itu segera meninggalkan Gunung Kalang. Ilmu lari ketiganya 
yang tinggi, membuat perjalanan tidak terlalu sulit. Menjelang 
siang, mereka telah memasuki sebuah desa yang terlihat cukup 
ramai. 
Baru saja mereka menjejakkan kaki di mulut desa itu, Aryani 
yang berjalan di sebelah depan, tiba-tiba menggeram marah! 
Sebelum Panji sempat mencegah, tubuh gadis cantik 
berpakaian kuning cerah itu telah melesat meninggalkan 
keduanya.

"Jahanam! Pasti kaulah manusia keji itu...!" terdengar suara 
Aryani membentak marah! Sambil berkata demikian gadis 
cantik itu langsung saja melontarkan serangan kilat yang 
mematikan ke arah sosok tinggi tegap yang tengah berjalan di 
samping seorang wanita bertubuh ramping padat. 
Wuuut..! 
Serangkum angin keras berbau harum menebar ketika 
telapak tangan Aryani terlontar mengancam punggung sosok 
bertubuh tegap itu! 
"Aryani, tahan...!" 
Panji yang merasa terkejut melihat serangan mematikan 
yang dilontarkan Aryani berseru mencegahnya! Sayang teriakan 
pemuda tampan itu sia-sia saja. Saat itu pukulan Aryani sudah 
tiba dengan derasnya! 
Sosok tubuh tegap itu cepat berbalik dengan gerakan kilat. 
Terdengar suara mendengus kasar dari mulutnya. Tanpa 
berusaha untuk mengenal, lelaki bertubuh tegap itu 
mengangkat tangan kanannya memapaki pukulan Aryani! 
Dan.... 
Plakkk! 
"Aiiih...!?" 
Gerakan yang kelihatannya perlahan dari lelaki tegap itu, 
ternyata berakibat mengejutkan! Tubuh Aryani terpental balik 
seiring dengan suara benturan yang memekakkan telinga! Jelas 
lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani itu bukan orang 
sembarangan! 
Tanpa berpildr panjang lagi, Panji segera melesat dan 
menangkap tubuh gadis cantik itu. Sehingga, tubuh Aryani 
tidak sampai terbanting ke tanah!

"Aryani, kau tidak apa-apa...?" tanya Panji cemas. Kemudian, 
dilepaskannya tubuh Aryani, dibantunya gadis itu berdiri. 
"Lepaskan aku, Kakang Panji aku tidak apa-apa. Mati pun 
aku tidak takut demi tenangnya arwah ayahku...!" Aryani 
meronta dari pelukan Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji 
terpaksa melonggarkan pegangannya. 
Begitu merasakan pegangan pada tubuhnya mengendur, 
Aryani kembali melesat ke depan! Dengan sorot mata tajam, 
ditatapnya wajah lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun 
yang didampingi seorang wanita cantik berusia sekitar bga 
puluh lima tahun lebih! 
"Datuk Tangan Malaikat...!?" desis Panji dan Kenanga hampir 
bersamaan. Kedua pendekar muda itu terkejut bukan main 
setelah mengetahui lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani. 
"Hm..., kiranya kau, Gadis Liar! Aku memang telah lama 
mencarimu! Tak tahunya kau malah datang mengantarkan 
nyawa!" geram lelaki gagah yang memang Ki Angga Merta atau 
yang lebih dikenal sebagai Datuk Tangan Malaikat itu. Dan, 
tanpa banyak cakap lagi, pendekar sakti itu segera saja melesat 
disertai dengan cengkeraman mautnya! 
Panji tentu saja terkejut setelah mengetahui lelaki tinggi 
tegap itu. Khawatir akan keselamatan Aryani, pemuda tampan 
itu segera melesat untuk mencegah serangan maut Datuk 
Tangan Malaikat. 
Plakkk! Plakkk! 
"Uhhh...!" 
"Aaakh...!?"


Terdengar suara benturan keras sebanyak dua kali. Seiring 
dengan suara benturan itu, tubuh keduanya terpental balik 
sejauh satu tombak lebih! 
"Setan! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga 
Putih! Hm..., rupanya kau memang perlu diajar adat!" 
kemarahan Datuk Tangan Malaikat semakin menjadi-jadi 
setelah ia mengenali siapa adanya orang yang berani 
menangkis serangannya itu. Maka dengan kemarahan yang 
meledak-ledak, tokoh sakti itu segera menerjang Panji dengan 
serangan-serangan mautnya! 
Wuuut! Wuuut! 
"Aiiih...!?" 
Cepat Panji menggeser tubuhnya dengan langkah-langkah 
pendek untuk menghindari serangkaian serangan lawannya. 
Merasa tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara, terpaksa 
Panji melontarkan serangan balasan agar ia tidak terlalu ter-
desak! 
"Hiaaah...!" 
Bettt! Bettt! Bettt!

Khawatir akan keselamatan Aryani, Pendekar Naga Putih 
segera melesat memapak serangan maut Datuk Tangan 
Malaikat. 
Plakkk! Plakkk! 
Terdengar suara 
benturan keras 
sebanyak dua kali, 
ketika terjadi 
pertemuan dua tangan 
yang sama-sama 
mengandung tenaga 
dalam tinggi! 
Serangkaian 
pukulan yang 
dilontarkan Pendekar 
Naga Putih membuat 
Datuk Tangan Malaikat 
melompat mundur 
sejauh satu setengah 
tombak. 
"Bagus...!" seru Datuk Tangan Malaikat mau tidak mau 
terpaksa memuji serangan lawannya yang sempat membuatnya 
sibuk itu. 
"Sabarlah, Ki. Semua ini hanya salah paham. Harap Ki Angga 
mau menerangkan, apa yang Aki kerjakan di desa ini...?" tanya 
Panji berusaha untuk mencari tahu apa yang dilakukan 
pendekar besar itu di desa dekat kaki Gunung Kalang. Diam-
diam hati pemuda itu cemas ketiga muncul dugaan dalam 
benaknya bahwa Ki Angga Mertalah yang membunuh Raja 
Racun Merah. Kalau dugaannya benar, persoalan yang 
dihadapinya semakin rumit.

"Hm..., kau sendiri, apa yang kau lakukan di tempat ini, 
Pendekar Naga Putih? Mengapa kau mengurusi orang lain? 
Tanyalah dirimu, apa yang kau kerjakan di desa ini?" hardik 
Datuk Tangan Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang 
mendengar pertanyaan pemuda itu, yang berbau kecurigaan. 
Panji tertegun demi mendengar ucapan Datuk Tangan 
Malaikat. Ucapan itu menyadarkannya kalau tidak mempunyai 
hak untuk menanyakan hal itu. Sehingga, beberapa saat 
lamanya pemuda itu hanya termangu tanpa kata. 
"Untuk apa banyak bicara lagi dengan pendekar sombong 
itu, Kakang!" tukas Aryani yang segera saja melangkah maju 
dan siap menerjang Datuk Tangan Malaikat. 
Cepat Panji mencegah dan mencoba untuk menyabarkan 
Aryani. Pemuda tampan itu ingin lebih dulu mengetahui secara 
jelas, apakah Ki Angga Merta sudah mengetahui kematian Raja 
Racun Merah atau belum. Untuk itu ia harus menanyakannya 
kepada lelaki gagah itu.


DELAPAN

"Pendekar Naga Putih. Dua kali kau menentangku dan 
membela putri datuk sesat keparat itu! Tapi, kali ini aku, Ki 
Angga Merta, tidak akan melepasmu begitu saja seperti tempo 
hari. Bersiaplah! Kau harus kutindak sebelum tersesat lebih 
jauh lagi...," ujar Ki Angga Merta yang segera membentuk 
kuda-kuda menunggang kuda, dengan sepasang tangan 
mendorong ke langit. Tentu saja ucapan Datuk Tangan Malaikat 
bukan hanya sekadar gertak samba! belaka. 
"Tunggu, Ki! Sebelum kita bertarung, bolehkah aku 
mengajukan sebuah pertanyaan...?" cegah Panji sebelum 
pendekar sakti itu bergerak menggebraknya. 
"Hm..., cepatlah, sebelum kesabaranku habis...!" geram 
Datuk Tangan Malaikat yang seperti memberikan peluang 
kepada pemuda itu sebelum dibinasakannya. 
"Apakah kau sudah berjumpa dengan Raja Racun Merah 
dalam beberapa hari terakhir ini...? Jawablah, Ki. Ini penting 
sekali artinya bagiku, dan juga bagi seluruh tokoh persilatan 
yang mendendam terhadap Raja Racun Merah...," ujar Panji 
menanti jawaban pendekar besar itu dengan sedikit tegang. 
Karena jawaban Datuk Tangan Malaikat bisa mengungkapkan 
masalah yang tengah melanda di kalangan persilatan. 
"Kalau hanya itu yang ingin kau tanyakan, aku jawab tidak! 
Justru kehadiranku di desa kaki Gunung Kalang ini hendak 
mencari datuk iblis itu. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar 
Naga Putih?" Datuk Tangan Malaikat balik bertanya dengan 
kening berkerut. Karena tokoh sakti itu belum bisa menebak 
apa maksud pertanyaan Panji.

"Terima kasih, aku percaya terhadap jawaban seorang 
pendekar besar seperti Tangan Malaikat. Ketahuilah, Ki. Aku 
baru saja kembali dari Gunung Kalang. Beberapa hari yang lalu, 
kami bertiga menemukan mayat Raja Racun Merah. Itulah 
sebabnya aku mengajukan pertanyaan yang mungkin 
kedengaran agak aneh," jelas Panji setelah mendengar jawaban 
Datuk Tangan Malaikat. 
"Bohong! Kau pendekar pengecut! Pendusta yang tidak 
berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Aryani yang 
masih berduka karena kematian ayahnya, membentak keras. 
Sehingga, Panji terpaksa harus mencekal lengan gadis itu agar 
tidak membuat keributan lagi. 
"Kurang ajar kau, Perempuan Liar! Sebagai seorang 
pendekar, kehormatan lebih penting daripada nyawa bagiku! 
Lagipula, apa yang kutakutkan? Tak satu satu pun di muka 
bumi ini yang pantas untuk membuat gentar Tangan Malaikat'" 
hardik Ki Angga Merta yang menjadi merah wajahnya ketika 
mendengar makian Aryani. Kalau saja Panji tidak segera 
mencegah Aryani, kemungkinan besar pertempuran akan 
terjadi kembali. Untunglah pemuda tampan itu bertindak cepat. 
"Tenanglah, Aryani. Aku percaya dengan apa yang dikatakan 
Datuk Tangan Malaikat," ujar Panji menenangkan Aryani yang 
kembali terisak karena teringat kematian ayahnya. 
Datuk Tangan Malaikat pun bukan orang bodoh. Ia sadar 
bahwa apa yang diucapkan Pendekar Naga Putih itu bukanlah 
suatu dusta yang dicari-cari. Dengan hati yang mulai dingin, 
lelaki tinggi tegap itu melangkah maju mendekati Panji. 
"Pendekar Naga Putih. Kalau memang benar apa yang kau 
katakan itu, berarti ada orang ketiga yang memancing di air 
keruh. Mereka sengaja menimbulkan kericuhan dengan 
maksud-maksud tertentu," ujar Datuk Tangan Malaikat

menghela napas berat. Sepertinya pendekar besar itu merasa 
kecewa, karena perjalanan jauhnya sia-sia. 
"Kalau boleh aku tahu, mengapa Aki hendak mencari Raja 
Racun Merah? Apa yang membuat Aki begitu dendam 
kepadanya?" tanya Panji ingin mengetahui tujuan pendekar itu 
secara jelas. 
"Putraku diculik orang, saat ia minggat dari rumah. 
Kemudian, datang suara tantangan dari Raja Racun Merah. 
Datuk itu mengancam akan membunuh anakku apabila aku 
tidak memenuhi tantangannya," jelas Ki Angga Merta yang 
mulai bingung, ke mana harus mencari putranya yang diculik 
orang itu. 
Mendengar penjelasan Ki Angga Merta, teringat Panji akan 
seorang pemuda yang ditawan empat orang tokoh aneh (Untuk 
mengetahui tentang penculikan Puja Merta, pembaca dapat 
mengikuti episode sebelumnya, yang berjudul "Keturunan 
Datuk-datuk Persilatan"). 
"Jelas sekarang, siapa yang menjadi biang keladi dari semua 
persoalan ini. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah 
memergoki seorang kakek bertubuh cebol, dan tiga orang lelaki 
kekar yang membawa seorang pemuda tampan. Sayang aku 
berhasil dikelabuinya saat itu. Sehingga, mereka dapat lolos 
dengan membawa serta putramu," jelas Panji kepada Ki Angga 
Merta dan istrinya. 
"Keparat! Kakek yang kau sebutkan tadi, pastilah datuk sesat 
wilayah Timur yang berjuluk Bocah Iblis. Sedangkan ketiga 
orang lainnya pasti murid-muridnya yang dijuluki sebagai Tiga 
Iblis Gundul! Sedangkan menurut dua orang muridku, orang 
yang menyampaikan undangan kepadaku berjumlah tiga orang. 
Jelas ketiga orang itu pasti suruhan Bocah Iblis! Jahanam! Aku

harus mencari keparat-keparat itu!" geram Datuk Tangan 
Malaikat sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat. 
"Semua persoalan sudah mulai jelas sekarang. Rupanya 
Datuk Timur yang mendengar Raja Racun Merah telah sadar, 
tidak dapat menerimanya. Lalu, ia membuat rencana dengan 
mengadakan kekacauan di mana-mana atas nama Raja Racun 
Merah. Dengan demikian. Raja Racun Merah akan dimusuhi, 
dan mau tidak mau orang tua itu akan kembali kepada 
kesesatannya," ujar Panji lagi yang mulai dapat menebak duduk 
persoalannya. 
"Kalau begitu, siapa yang membunuh ayahku?" Aryani yang 
semakin bertambah bingung itu mengeluh perlahan. 
"Sudah pasti Bocah Iblis dan begundal-begundalnya. 
Mungkin, setelah Raja Racun Merah dimusuhi golongan putih, 
Datuk Timur itu datang untuk mengajaknya bergabung. Ketika 
Raja Racun Merah menolak, maka dibunuhlah ayahmu itu. 
Tentu jejak-jejak yang kita temukan adalah bekas para 
begundal Datuk Timur itu lewat" jelas Panji lagi dengan cara 
merangkaikan urutan kejadian iru. Sehingga, Datuk Tangan 
Malaikat sendiri merasa kagum atas daya pikir Pendekar Naga 
Putih. Yang biarpun masih muda, tapi telah memiliki pandangan 
luas. 
"Hm..., ke mana kita harus mencari mereka...?" desah Datuk 
Tangan Malaikat sambil menatap Panji. 
"Satu-satunya jalan, kita harus mencari gerombolan 
perampok Rambut Merah, yang telah membantai habis 
keluarga dan murid Perguruan Tongkat Baja," sahut Panji yang 
langsung saja teringat akan keterangan Ki Panjarasa, Ketua 
Perguruan Tongkat Baja.

"Kalau begitu, untuk apa membuang-buang waktu lagi...," 
gumam Datuk Tangan Malaikat yang seperti sudah tidak sabar 
untuk bertemu dengan penculik putranya. 
Setelah semuanya saling menyetujui, berangkatlah 
rombongan tokoh-tokoh persilatan itu untuk mencari 
gerlombolan Rambut Merah! 
*** 
Di tengah teriknya sengatan sinar matahari siang itu, tampak 
sesosok tubuh terseok-seok menerobos rimbunan dedaunan 
lebat. Menilik dari langkahnya yang tersaruk-saruk jatuh 
bangun, jelas orang itu mengalami sesuatu yang tidak beres. 
"Ouh...!" 
Untuk kesekian kalinya, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun itu kembali terjatuh menabrak sebatang pohon di 
depannya. Untunglah tangannya telah lebih dahulu meraih 
batang pohon. Kalau tidak, mungkin kepalanya akan 
membentur batang pohon besar itu. 
Setelah melihat lebih dekat, nyatalah sosok lelaki gagah yang 
tengah menderita luka-luka di sekujur tubuhnya. Noda darah 
tampak di beberapa bagian tubuhnya, seperti tersayat senjata 
tajam. Meski demikian, lelaki itu tetap berusaha untuk keluar 
dari dalam hutan. 
Dengan langkah yang sempoyongan, dan berkat kekuatan 
hatinya, lelaki gagah itu tiba di luar hutan. Tapi, karena kakinya 
sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya, orang itu ambruk 
ke tanah. 
"Hei, lihat..!"

Terdengar sebuah seruan nyaring dari sebelah belakang 
lelaki gagah itu. Beberapa saat kemudian, muncullah enam 
orang lelaki berpakaian serba merah, dengan senjata di 
tangannya. Enam lelaki kasar itu langsung mengurung lelaki 
yang tengah rebah itu. 
'Tunggu apa lagi?" Penggal saja batang lehernya...," salah 
seorang yang bertubuh jangkung berkata dengan nada bengis! 
Usai berkata demikian, ia langsung saja mengayunkan 
pedangnya ke arah leher lelaki yang sudah tidak berdaya itu. 
Wuuut! 
Sinar pedang berkeredep menyilaukan mata, saat senjata itu 
terayun ke leher calon korbannya! 
Trangngng! 
"Aaakh...!" 
Mendadak saja, pada saat yang mendebarkan itu, seberkas 
sinar hitam meluncur datang, dan langsung menghantam 
pedang di tangan lelaki jangkung itu! Karuan saja lelaki itu 
memekik kesakitan, dan terjengkang ke tanah! 
Belum lagi keenam orang lelaki kasar itu menyadari apa yang 
terjadi dengan kawannya, lima sosok bayangan berkelebat dan 
langsung mendaratkan kakinya di dekat lelaki yang tengah 
sekarat itu. 
"Aryani, jangan...!" terdengar salah seorang dari lima sosok 
tubuh itu berteriak mencegah! Sayang seruannya terlambat! 
Terdengarlah jeritan-jeritan kematian yang susul-menyusul. 
Darah segar berhamburan membasahi bumi seiring dengan 
robohnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian merah itu. 
Seorang gadis cantik berdiri tegak dengan sebuah pedang yang 
basah oleh darah segar. Gadis itu tidak lain dari Aryani, yang

begitu tiba langsung saja merebut salah satu senjata dari 
tangan orang itu, dan sekaligus menghabisi nyawa mereka. 
"Maafkan aku, Kakang. Mereka adalah para pengikut murid-
murid ayahku. Sepertinya murid-murid ayahku memang telah 
menyimpang dari apa yang telah ditekankan ayah, sebelum 
beliau mengundurkan diri dan dunia persilatan," jelas Aryani 
tertunduk dengan wajah penuh sesal. 
Panji hanya bisa menghela napas panjang. Pemuda itu 
segera memeriksa sosok lelaki gagah yang ternyata adalah 
Purgawa. Panji mengenalinya ketika ia bertarung dengan Ki 
Panjarasa sewaktu menyelamatkan Aryani. 
"Kisanak, apa yang telah terjadi? Ke mana perginya Ki 
Panjarasa dan dua orang muridnya?" tanya Paji yang segera 
menotok jalan darah di sekitar leher dan punggung lelaki itu. 
Karena pemuda itu melihat, nyawa Purgawa jelas tidak bisa 
ditolong lagi. 
"Manusia-manusia keparat di dalam Hutan Damar, telah 
membunuh Ki Pan... jara... sa, dan murid... muridnya... 
ahhh...," setelah berkata demikian, Purgawa menghembuskan 
napasnya yang penghabisan. Lelaki gagah itu tewas di atas 
pangkuan Pendekar Naga Putih. 
"Hm..., rupanya di dalam Hutan Damar ini pengecut-
pengecut itu bersembunyi...!" desis Datuk Tangan Malaikat 
yang datang bersama Panji dan lainnya. 
"Ki, tunggu...!" Panji berseru mencegah ketika melihat Ki 
Angga Merta sudah hendak mendahului menuju hutan. Ketika 
Ki Angga Merta dan istrinya menahan langkah, Panji segera 
mengutarakan rencananya. Kemudian, baru melepaskan Datuk 
Tangan Malaikat dan istrinya mendahuluinya!

Setelah menguburkan mayat-mayat itu, barulah Panji 
mengajak Kenanga dan Aryani untuk menyusul Datuk Tangan 
Malaikat dan istrinya. 
Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan tempat kediaman 
para perampok itu. Dengan mengendap-endap, pemuda itu 
mengajak kedua rekannya untuk mendekat ke arah bangunan 
yang cukup besar di tengah hutan lebat itu. 
"Kita harus membuat keributan, agar kehadiran Datuk 
Tangan Malaikat dan istrinya lolos dari pengawasan mereka," 
ujar Panji yang bersiap melompati pagar kayu di depannya. 
"Memangnya ke mana pendekar itu pergi, Kakang?" tanya 
Kenanga yang tidak sempat mendengar rencana Panji. 
"Aku menyarankan agar mereka bergerak dari belakang, saat 
keributan terjadi di sebelah luar. Ayolah...," ujar Panji yang 
segera melesat melewati pagar kayu bulat itu. Tanpa banyak 
cakap, Kenanga dan Aryani bergegas menyusulnya. 
*** 
"Hei, siapa itu..!?" 
Terdengar teguran saat Panji dan dua orang dara cantik itu 
menjejakkan kakinya di halaman dalam bangunan itu. Tanpa 
banyak ribut lagi, cepat Panji melesat dan membungkam empat 
orang lelaki berpakaian merah yang memergokinya. 
Empat orang lelaki kasar betpakaian merah itu, langsung 
roboh tak berkutik, terkena hantaman kepalan Pendekar Naga 
Putih. Sayangnya, suara teriakan tadi sempat terdengar oleh 
yang lain. Sehingga, dalam waktu singkat saja, Paji, Kenanga,

dan Aryani telah terkurung puluhan lelaki kasar betpakaian 
merah. 
"Murid murtad!" Aryani memaki marah ketika melihat 
seorang lelaki berwajah bengis yang diapit oleh dua orang lelaki 
lainnya. 
"Ha ha ha...! Jangan marah adik manis. Lebih baik kau 
ikutlah bersamaku daripada menyusul arwah ayahmu," sahut 
lelaki berwajah bengis yang tidak lain, Harimau Cakar Setan. 
Sedang dua orang lainnya adalah Sepasang Kumbang Setan, 
juga murid-murid dari Raja Racun Merah. Jelas mereka telah 
mengkhianati gurunya. 
"Setan! Kaulah yang harus menyusulnya untuk dosa-dosamu 
yang telah melewati takaran itu!" sambil membentak nyaring, 
Aryani langsung saja melesat dengan lontaran pukulan 
beracunnya! 
Buggg! Desss! 
"Aaa...!" 
Harimau Cakar Setan dan Sepasang Kumbang Setan sudah 
melompat menghindari serangan putri guru mereka itu. 
Akibatnya, empat orang berseragam merah yang di kiri-kanan 
mereka, terpental muntah darah terkena pukulan Aryani yang 
nyasar! 
Aryani tidak peduli sama sekali dengan korban pukulannya. 
Gadis itu terus mengejar ketiga orang murid ayahnya dengan 
lontaran pukulan beracunnya. Pertarungan sengit pun tak bisa 
dihindarkan lagi! 
Kenanga sendiri saat itu sudah mencabut keluar Pedang 
Sinar Bulannya. Kilatan cahaya putih keperakan berkeredep 
menyambar-nyambar mencarl sasaran! Sebentar saja, korban 
di pihak gerombolan orang-orang Rambut Merah itu

berjatuhan. Darah segar menggenang dan membanjiri halaman 
dalam bangunan besar itu. 
"Heaaat..!" 
Pada saat Pendekar Naga Putih tengah mengamuk membagi-
bagi pukulan tendangannya, terdengar seruan parau yang 
dibarengi melesatnya sesosok bayangan kecil! 
Wuuut! 
Begitu tiba, sosok bayangan kecll itu langsung melpntarkan 
pukulan maut ke arah Panji. 
"Bocah iblis...!" seru Panji begitu ia mengenali orang yang 
menyerangnya itu. Cepat pemuda itu menggeser tubuhnya, dan 
langsung melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah cepat 
dan kuatnya! 
Wuuuk! 
"Aiiih...!?" 
Terkejut bukan main sosok tubuh kecil itu ketika melihat 
cahaya keperakan meluncur mengancam tubuhnya! Cepat 
sosok bayangan yang tidak lain dari Datuk Timur itu 
melesatkan tubuhnya dan terus berjumpalitan di udara. 
Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Tokoh 
bertubuh kerdil yang diduganya sebagai biang keladi semua 
kekacauan itu, dikejar dan dicecar dengan pukulan-pukulan 
yang saling susul-menyusul, bagaikan gelombang lautan! 
Sepertinya pemuda itu sengaja mengumbar pukulannya agar 
lawan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat licik! 
"Setan! Anjing Kurap! Monyet Kudisan!" Datuk bertubuh 
kerdil itu memaki kalang kabut karena serangan Panji benar-
benar membuatnya kelabakan! Sehingga, di satu kesempatan,

tokoh cebol itu terpaksa harus menerima sebuah hantaman 
keras di perutnya! 
Desss! 
"Hukhhh...!" 
Bagaikan sebuah bola, tubuh cebol itu terpental deras akibat 
hantaman telapak tangan Panji yang menggedor telak perut 
datuk sesat itu! Namun, karena pukulan itu tidak dilontarkan 
dengan tenaga yang kuat, maka tokoh cebol itu hanya 
menderita luka ringan! Meski begitu, akibat pukulan itu 
membuat gerakannya sedikit terganggu. 
"Yeaaat...!" 
Setelah dapat menenteramkan debaran dalam dadanya, 
Bocah Iblis itu berseru parau, dan menerjang Panji dengan 
jurus-jurus yang membingungkan! Bahkan gerakan itu masih 
diringi pula dengan menebar bubuk-bubuk beracun yang 
memabukkan! 
"Hm..., kali ini kau tidak bisa lagi mengecohku, Manusia 
Jahat! Petulanganmu harus segera berakhir!" desis Parji yang 
segera memutar tangannya yang telah membentuk cakar naga. 
Detik berikutnya, tubuh Panji sudah melesat disertai dengan 
putaran tangannya yang menimbulkan hawa dingin menggigit 
tulang! 
Beberapa orang anggota gerombolan Rambut Merah yang 
berjarak satu tombak lebih dari tempat Panji berdiri, langsung 
menggelepar dengan tubuh menggigil dan berwarna kebiruan! 
Mereka tewas karena tidak sanggup menahan serbuan hawa di-
ngin yang luar biasa itu! 
"Heaaat...!"

Disertai dengan suara teriakan mengguntur, tubuh Panji 
berkelebatan dengan lontaran-lontaran pukulan yang 
menebarkan hawa dingin! Sehingga, tokoh bertubuh cebol itu 
kembali dibuat kelabakan! Racun-racun yang ditebarkannya 
tidak lagi mempunyai guna. Semuanya lenyap tersaput hawa 
dingin yang menyambar-nyambar dengan cepat! 
"Kurang ajar! Setan! Gandaruwo!" kembali terdengar Bocah 
Iblis memaki kalang kabut! Gerakan tokoh bertubuh kerdil itu 
tampak mulai kaku. Rupanya serbuan hawa dingiri itu telah 
merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga gerakannya tidak lagi 
lincah dan gesit seperti biasa! 
Wuuut! 
Sebuah serbuan angin keras berhawa dingin, kembali 
mengancam dada Bocah Iblis! Datuk sesat wilayah Timur itu 
kaget! Sebisa mungkin, tokoh cebol itu melemparkan tubuhnya 
ke samping, dan terus bergulingan menjauhkan diri! 
Sayang Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja! 
Dengan gerakan seperti sambaran kilat, tubuh pemuda tampan 
itu mencelat mengejar lawannya! Baru saja tokoh bertubuh 
cebol itu bangkit, sebuah hantaman telak menggedor dadanya! 
Desss! 
"Aaakh...!" 
Darah segar menyembur seiring tubuh cebol itu tersentak 
deras ke belakang! Kali ini jelas pukulan Panji tidak akan 
membuat tokoh itu selamat! 
Nasib malang rupanya masih terus menyertai Bocah Iblis. 
Belum sempat tubuhnya menyentuh tanah, sebuah tebasan 
pedang dari sosok ramping berpakaian kuning menyambutnya, 
dan langsung membabat putus leher datuk sesat itu.

Wuuut! Crakkk! 
Tanpa ampun lagi, kepala Bocah Iblis itu lepas dari 
tubuhnya! Darah segar menyembur dari luka menganga pada 
leher Bocah Iblis! 
"Aryani...!?" desis Panji agak terkejut melihat apa yang 
dilakukan dara cantik keturunan datuk sesat itu. Ketika pemuda 
itu menoleh ke arah tempat pertarungan Aryani, Panji melihat 
tiga sosok tubuh murid ayah gadis itu telah menggeletak 
dengan kepala putus dari tubuhnya. Diam-diam pemuda itu 
bergidik menyaksikan pembalasan dendam yang dilakukan 
Aryani. 
Tewasnya datuk sesat dari Timur serta tiga pemimpin 
gerombolan Rambut Merah, membuat sisa-sisa pengikut tokoh-
tokoh sesat itu menjatuhkan dirinya, berlutut sambil memohon 
ampun. 
"Dengar! Kami akan mengampuni kalian, bila kalian mau 
berjanji untuk hidup sebagai orang baik-baik. Jika kelak aku 
bertemu dengan salah seorang dari kalian masih melakukan 
tindak kejahatan, terpaksa aku mencabut nyawa kalian!" ujar 
Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa yang amat 
kuat. Sehingga, sisa pengikut gerombolan Perampok Rambut 
Merah mengangguk-anggukkan kepala sambil mengucapkan 
kata-kata. 
"Kami berjanji... kami berjanji...." 
Merasa yakin mereka tidak akan berani menyeleweng, Panji 
melepaskan sisa-sisa gerombolan itu. Bagaikan dikomando, 
belasan orang berpakaian merah itu menghambur 
meninggalkan Hutan Damar. 
Baru saja sisa gerombolan perampok Rambut Merah yang 
telah diampuni meninggalkan bangunan itu, muncullah Datuk

Tangan Malaikat bersama istri dan putranya yang dipapah oleh 
lelaki gagah itu. 
"Ah, syukurlah putra Paman berhasil diketemukan dalam 
keadaan selamat," sambut Panji yang merubah panggilannya 
terhadap pendekar sakti itu. 
"Aku berhasil menemukan tempat putraku disekap. Untung 
kedatangan kita tidak terlambat, Pendekar Naga Putih. Karena 
saat matahari terbit esok, putraku Puja Mera akan mereka 
gantung di halaman depan ini. Dan, aku juga telah menemukan 
dan menghukum Tiga Iblis Gundul yang mengirimkan surat 
tantangan atas nama Raja Racun Merah," jelas Datuk Tangan 
Malaikat dengan tarikan napas penuh kelegaan. 
"Hm..., apakah kau masih menyalahkan aku, Orang Tua?" 
Aryani yang masih belum hilang jengkelnya terhadap Datuk 
Tangan Malaikat langsung melontarkan ucapan bernada ketus. 
Datuk Tangan Malaikat dan istrinya tersenyum menatap 
wajah gadis cantik itu. Tidak nampak sinar kemarahan sedikit 
pun pada wajah suami istri pendekar besar itu. Jelas mereka 
telah menyadari kesalahannya. 
"Maafkan kami, Aryani. Pendekar Naga Putih ternyata jauh 
lebih bijaksana daripada orang tua seperti aku. Kuharap kau 
mau memaafkan kesalahan kami," ucap Datuk Tangan Malaikat 
dengan nada penuh sesal. 
"Kami harus segera kembali. Puja Merta masih sangat lemah, 
akibat siksaan manusia-manusia jahat itu. Kalau kau bersedia, 
aku ingin mengajakmu untuk tinggal bersama kami, Aryani. 
Tapi, semua itu terserah padamu, kami tidak memaksa. Bukan 
begitu, Kakang?" ujar wanita cantik istri Ki Angga Merta sambil 
mengulurkan tangannya dan membelai pangkal lengan Aryani. 
Sehingga, gadis yang keras hati dan galak itu tertunduk 
menahan keharuan hatinya.

"Bukan aku menolak, Bibi. Tapi, berikanlah aku waktu untuk 
memikirkannya," ucap Aryani dengan kepala tertunduk. 
"Datanglah kapan kau suka. Pintu kami selalu terbuka 
untukmu," setelah berkata demikian, Datuk Tangan Malaikat 
yang menimpali ucapan istrinya segera berpamitan, dan 
melangkah meninggalkan tempat itu. 
Tak lama setelah keluarga Datuk Tangan Malaikat pergi, 
Aryani pamit dengan Panji dan Kenanga. Gadis cantik itu ingin 
melajutkan petualangannya untuk meluaskan pengalamannya. 
"Ingat, jangan gunakan kekerasan hatimu dan kemarahan 
dalam menghadapi setiap persoalan yang kau temukan," pesan 
Panji sebelum Aryani meninggalkan mereka. 
Gadis cantik itu tersenyum menganggukkan kepalanya. 
Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Panji dan 
Kenanga yang melambaikan tangannya, melepas kepergian gadis itu. 





                               SELESAI 


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar