..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR GAGAK RIMANG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDEKAR GAGAK RIMANG. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE DENDAM YANG TERSISA

Matjenuh khairil

 


SATU


Malam gulita. Keadaan desa di bagian Utara 

yang sunyi senyap bagaikan mati, seperti tak ada 

penghuninya. Padahal desa itu adalah sebuah desa 

yang makmur dan ramai bila siang hari. Namun setiap 

malam keadaan desa itu menyeramkan. Sunyi. Hening 

bagaikan mati.

Hanya suara binatang malam yang terdengar 

ramai bagaikan sedang unjuk diri. Mereka bergembira 

menikmati keheningan malam ini yang dapat mereka 

manfaatkan untuk mencari makan, bermain, bersenda 

gurau maupun saling melepaskan hasrat birahinya. 

Karena bila siang hari, mereka merasa terganggu sekali 

dengan kegiatan para manusia.

Langit di atas muram. Bulan pun hanya sepo-

tong, seakan malam ini sudah diisyaratkan akan terja-

di sesuatu. Dan keheningan itu semakin mencekam 

belaka, semakin membuat para penduduk lebih suka 

menarik selimut dan mendekap guling mereka erat-

erat daripada keluar rumah atau memikirkan hal-hal 

yang tidak-tidak. Ini hanya mengganggu tidur mereka 

saja.

Namun mendadak saja desa yang sunyi dengan 

sinar bulan yang bersinar temaram itu tiba-tiba men-

jadi kacau balau. Bermula dan terdengarnya tawa pan-

jang yang amat mengerikan sekali, disusul dengan api 

yang berkobar di atap beberapa rumah hingga mem-

buat penghuninya harus berlarian menyelamatkan di-

ri.

Seketika desa yang sepi menghening itu bagai-

kan kegiatan siang hari.

"Api...! Api...!"

"Cepat padamkan...!"



"Gila! Dan mana datangnya api itu...?!"

"Tolong...! Tolong...!!"

Seruan ramai terdengar ditingkahi dengan ge-

rak cepat para penduduk yang membantu memadam-

kan api. Namun belum lagi api yang satu berhasil di-

padamkan, mendadak saja api-api itu menyambar lagi 

rumah-rumah yang lain.

Keadaan semakin kacau balau saja. Kembali 

seruan-seruan ramai terdengar. Dan yang paling me-

nyayat hati, salah seorang penduduk berlarian dan 

rumahnya dengan tubuh terbakar.

"Tolong...! Tolong...!!" serunya kepanasan dan 

berlarian ke sana ke mari. Para penduduk berusaha 

untuk memadamkan api di tubuh orang itu, namun 

api lebih cepat menyambar dan membakarnya. Hingga 

kemudian orang itu terguling kepanasan di tanah den-

gan lolongan yang amat panjang sekali. 

"Aaaaakkkh...!!"

Jerit tangis anak istri orang itu terdengar me-

milukan. Menyedihkan. Mereka saling mendekap se-

mentara beberapa orang penduduk yang menyaksikan 

hanya bisa mendesah dengan hati pilu. Dan beberapa 

orang lagi berusaha menahan anak beranak itu yang 

hendak berlari mendapatkan jasad yang hangus.

Api terus berkobar. Hal ini membuat para pen-

duduk menjadi curiga. Dari mana datangnya api itu? 

Mengapa mendadak saja datang membakar rumah-

rumah mereka?

Belum lagi keheranan mereka terjawab, men-

dadak saja melayang satu sosok tubuh dengan gera-

kan yang amat ringan sekali. Sosok itu tinggi besar. 

Wajah tertutup oleh rambutnya yang panjang, hingga 

orang-orang yang berada di sana agak kebingungan 

untuk menegaskan siapa yang berdiri di hadapannya? 

Laki-laki ataukah perempuan?


Namun yang pasti mereka menyadari, kalau 

orang asing yang baru datang itu bukanlah orang yang 

datang dengan rasa persahabatan. Melihat sikapnya 

yang berkacak pinggang.

Lalu terdengar suaranya terkekeh.

"He-he-he...! Jangan kaget, manusia-manusia 

goblok! Bila kalian heran dan penasaran untuk menca-

ri siapa yang telah berbuat seperti itu, akulah orang-

nya!!" Suaranya nyaring dan terdengar cukup mengeri-

kan. Dari nada suaranya pun mereka sulit untuk 

membedakan laki-lakikah atau perempuankah sosok 

yang wajahnya terhalang oleh rambut itu.

Namun mendengar pengakuannya yang terus 

terang dengan nada yang amat sombong sekali, mem-

buat para penduduk menjadi marah. Mereka dengan 

serempak segera mengepung sosok itu yang hanya ter-

kekeh saja.

"He-he-he.... kalian mau apa, hah?!"

"Manusia busuk! Tidak ada angin dan tidak ada 

hujan, kau tiba-tiba saja mengganggu ketenangan ka-

mi!"

"Perbuatanmu sungguh-sungguh keji!!"

"Kematianlah yang tepat untukmu!!"

Seruan-seruan marah itu terdengar gegap gem-

pita. Para penduduk mengambil sikap siap menyerang. 

Bahkan ada pula yang kembali dulu ke rumah untuk 

membawa senjata.

Namun semua itu hanya disambut dengan ke-

kehan belaka oleh sosok itu.

"He-he-he... tidak salah, kalian memang tidak 

salah! Kemunculanku di dunia persilatan ini memang 

untuk membalas dendam! Dendam yang sekian lama 

terkubur di hatiku?!"

"Apakah kau dendam pada kami?"

"Tidak!"


"Lalu mengapa kau lakukan kekejian ini terha-

dap kami, hah?! Bukankah seperti katamu tadi, kau 

tidak mendendam pada kami? Dan berarti di antara ki-

ta tidak ada silang sengketa, bukan!"

"Memang tidak ada! Namun aku harus berbuat 

seperti itu."

"Bangsat! Untuk apa kau melakukannya, hah?! 

Tidak tahukah kau, bahwa perbuatan mu ini amat me-

rugikan sekali!!"

"Sudah tentu aku tahu! Dan aku senang mela-

kukannya!"

"Mengapa kau melakukannya, hah?!" "He-he-

he.... kau rupanya punya nyali, Bocah! Bagus! Bagus! 

He-he-he.... memang kalian perlu tahu, kemunculanku 

adalah untuk mencari si Pengemis Suci, yang telah 

mengalahkan aku beberapa puluh tahun yang lalu. 

Dan kemunculanku kembali ke dunia persilatan ini, 

untuk mencarinya!"

"Tapi mengapa kau melakukannya kepada ka-

mi?!"

"Goblok! Dengan cara membuat onar seperti 

itu, kuharapkan si Pengemis Suci akan muncul!"

"Bangsat! Perbuatanmu ini sungguh keji!"

"He-he-he.... aku, Ki Ronggo Jibus atau yang 

lebih dikenal dengan julukan Manusia Berubah Muka 

tak akan pernah mundur sebelum keinginannya terca-

pai! Dengan cara seperti apa pun akan kulakukan un-

tuk memancing kemunculan si Pengemis Suci! Hhh! 

Rasanya aku tidak sabar untuk segera menjumpai dan 

membunuhnya!"

"Manusia keparat! Lebih baik kau mampus! Se-

rang...! Hiaaaattt...!!"

Lalu pemuda pemberani itu pun bergerak den-

gan cepat ke arah sosok itu. Tangan kanannya yang 

penuh dengan tenaga diarahkan ke dada manusia itu.


Namun mendadak saja gerakan tubuhnya terhambat 

dan belum lagi dia menyadari apa yang terjadi, dirasa-

kannya sesuatu mengenai pahanya. Ngilu. Amat ngilu 

terasa.

Dan belum lagi menyadari benda apa yang 

mengenai kakinya, mendadak saja dia menjerit lalu 

ambruk dengan leher putus. Kepalanya menggelinding 

ke para penduduk yang membentuk lingkaran hingga 

mereka hams berlarian menghindari kepala itu. "Oh, 

Tuhan!!" Marahlah mereka. "Anjing kurap! Bunuh 

dia...!!" Bagi penduduk desa bagian Utara, persahaba-

tan dan persaudaraan amat mereka junjung tinggi se-

kali. Maka serentak mereka menyerang dengan gigih 

dan berani ke arah sosok tak dikenal itu.

Namun lagi-lagi hal seperti itu terjadi. Bahkan 

terdengar lima orang sekaligus men jerit dan ambruk 

dengan kepala buntung. Dan sepasang mata mereka 

mendelik bertanda mereka tidak rela untuk mati. "Ib-

lis!" "Keparat!" "Bunuh dia!"

"Jangan takut, Saudara-saudara! Bunuh 

dia...!!"

Seruan-seruan itu terdengar amat bersemangat 

sekali. Dan kembali dengan gigih dan gagah berani me-

reka menyerbu ke arah sosok itu.

Kali ini berkelebatan senjata-senjata tajam di 

tangan. Namun sosok tubuh itu hanya terkekeh saja 

tanpa berpindah tempat dari posisinya, seakan men-

ganggap enteng belaka senjata-senjata yang bergerak 

ke arahnya.

Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali, 

tangannya bergerak.

"Wuuuut...!! Plak.... Plakk...!!" Beberapa buah 

senjata terlepas disusul dengan gamparan beberapa 

kali. Rasa sakit yang amat luar biasa mereka rasakan 

kala tamparan tangan itu mampir di pipi mereka.


Pikir mereka, rasa sakit itu akan segera meng-

hilang. Namun justru malah semakin menjadi-jadi. 

Bahkan yang membuat mereka kaget, karena mereka 

rasakan pusing yang amat luar biasa dan kepala yang 

amat berat.

Belum lagi secara pasti mereka menyadari apa 

yang terjadi, tiba-tiba- saja tubuh mereka limbung dan 

ambruk dengan meregang nyawa tanpa mengerti dan 

tak sempat menjerit.

Justru orang-orang yang menyaksikan yang 

menjerit ketakutan. Hingga mereka akhirnya menyada-

ri dengan siapa mereka sedang berhadapan.

"Bangsat!!"

Iblis ..!! Kau manusia Iblis...!!" Sosok itu terke-

keh-kekeh. "He-he-he .. Bukankah sejak tadi sudah 

kukatakan, aku akan membunuh siapa saja yang 

menghalangi niatku untuk membalas dendam! Dan 

semua ini akan kulakukan sampai kapanpun juga! 

Hingga si Pengemis Suci itu muncul dan membuat 

perhitungan denganku... he-he-he...!!"

Meskipun mereka menyadari betapa tingginya 

ilmu manusia iblis ini, namun mereka tidak takut. 

Bahkan mereka menjadi geram yang amat luar biasa 

sekali.

Mereka semakin nekat menyerang. Namun lagi-

lagi semuanya itu hanyalah sia-sia belaka saja, karena 

manusia itu amat tangguh dan sakti. Hingga tak lama 

kemudian terlihatlah pemandangan yang amat menge-

rikan. Puluhan sosok tubuh yang tak berdosa harus 

bergelimang tanah dengan nyawa yang melayang.

Tanah telah bersimbah darah. Kekejian telah 

melanda.

Sungguh mengerikan. Sosok tak dikenal itu 

terkekeh-kekeh. Terlihat sekali kalau dia begitu amat 

senang dengan apa yang telah dilakukannya. Nyawa


telah dianggap murah.

"He-he-he.... rasakan itu! Rasakan! Sudah ku-

peringatkan jangan sekali-sekali berani menantangku! 

He-he-he.... tak akan pernah kuberikan kesempatan 

kalian untuk hidup!!"

Tiba-tiba dia menengadah menatap langit yang 

pekat.

Lalu berseru keras, "Pengemis Suci! Muncullah 

kau dari sarangmu, bila tidak ingin banjir darah sema-

kin melanda di muka bumi ini!! Muncullah kau, Penge-

cut!! Kita buat lagi perhitungan yang lama!! Bangsat! 

Keluar kau! Keluar...!!"

Suara itu menggema mengerikan. Diiringi den-

gan kekehan yang amat kuat. Nyaring. Tiba-tiba saja 

sosok itu berhenti tertawa. Dan sepasang matanya 

yang berada di balik rambut yang panjang mendengus.

Lalu, "Wuuuuuttt...!!" Tubuhnya bergerak, me-

layang dengan cepat menyambar dua orang anak pe-

rawan yang langsung dilarikannya. Sementara kedua 

anak perawan itu meronta-ronta hendak membe-

baskan din Dan gerakan mereka pun terhenti ketika 

dengan gerakan yang tak terlihat pula, sosok tubuh itu 

telah menotoknya hingga mereka terdiam kaku.

Kekehannya terus berkumandang keras. Amat 

keras.

Menjelang pagi hari, masuklah ke desa itu tiga 

sosok tubuh yang nampak amat lelah. Mereka terbela-

lak kaget melihat puluhan mayat bergelimpangan di 

tanah.

"Oh, Tuhan! Apa yang terjadi?!"

"Gila! Binatang apa yang telah masuk ke desa 

dan memporak porandakan semuanya!"

"Mereka semuanya mati!!"

Tiga sosok tubuh yang ternyata warga desa 

Utara itu pun segera memeriksa keadaan. Dan mereka


amat geram sekali akan kejadian ini.

Mereka pun bersumpah untuk mencari tahu 

apa yang terjadi dan siapa yang melakukannya. Dan 

mereka diam-diam menyesal da-lam hati, mengapa ha-

rus terlambat pulang dalam perjalanan. bila saja me-

reka lebih cepat, mungkin mereka bisa mengetahui 

siapa yang berbuat. Atau pula, malah dapat membasmi 

orang yang telah membuat onar.

Belum lagi mereka bisa bernafas dengan baik, 

tiba-tiba terdengar suara yang keras, nyaring dan 

menggema.

"He-he-he.... Ki Ronggo Jibus atau Manusia Be-

rubah Muka akan terus membuat onar!!"

"Bangsat!" geram ketiganya berbarengan. Na-

mun suara itu telah lenyap.

* * *

DUA



Desa Jajar Sawah adalah sebuah desa yang 

paling ramai penduduknya di sekitar lereng Gunung 

Merapi. Para penduduknya ram ah dan sopan. Baik 

pada sesama maupun terhadap pendatang. Penghidu-

pan dan penduduk di sana kebanyakan bertani, na-

mun tak sedikit pula yang berdagang. Karena keakra-

bannya sering pula pendatang betah untuk menginap 

di sana berhari-hari. Selain di jadikan sarana perda-

gangan yang lancar, karena Desa Jajar Sawah adalah 

jalur lalu lintas ke desa-desa lainnya.

Namun meskipun demikian, tidak semuanya 

warga Desa Jajar Sawah ram ah. Seperti halnya dalam 

kehidupan yang kompleks ini ada pula yang congkak 

dan sombong. Serta berkelakuan yang kadang kurang


ajar sekali.

Dan pemuda yang paling tidak disukai oleh pa-

ra penduduk adalah Radung, putra dari juragan tanah 

di sana yang kerjanya hanyalah membuat onar belaka.

Sudah banyak keonaran yang ditimbulkan oleh 

Radung. Bahkan keonarannya pun terkadang menju-

rus pada kejahatan. Dari sikap Radung yang ugal-

ugalan dan semena-mena ini kadang-kadang mem-

bangkitkan kemarahan para penduduk. Namun mere-

ka tidak berani untuk mencegah maupun memperin-

gatkan perbuatan Radung meskipun rasa sakit hati di 

dada menggumpal dan menggunung.

Bagaimana mungkin mereka berani melaku-

kannya, karena ke mana pun pemuda itu pergi para 

tukang pukulnya yang berjumlah tiga orang itu selalu 

mengawalnya. Dan bila sekali Radung memerintah, 

maka bagaikan robot belaka ketiganya bergerak den-

gan buas dan kejam.

Tak mengenai ampun meskipun yang di-hajar 

mereka sudah babak belur. Agaknya kematian meru-

pakan hal yang lumrah bagi mereka. Merupakan satu 

kesenangan tersendiri yang tak ternilai harganya. In-

ilah yang membuat penduduk menjadi jeri.

Yang paling tidak disukai oleh para penduduk 

atas perbuatan Radung, karena pemuda itu suka 

mengganggu para anak gadis mereka. Biasanya mere-

ka hanya menahan sabar dan menyuruh anak gadis-

nya jangan menangis. Bagi yang tidak bisa menahan 

emosi malah kena akibatnya sendiri.

Kalau tidak babak belur, ada pula bagian tu-

buhnya yang patah! Ini malah menyulitkan bagi mere-

ka untuk mencegah segala perbuatan Radung.

Apalagi sebagian besar dari mereka bekerja di 

sawah milik ayahnya yang berhektar-hektar luasnya. 

Bila mereka masih nekat, selain babak belur bisa juga


kehilangan mata pencaharian. Mereka masih memikir-

kan perut anak istri mereka. Hingga tidak berani men-

gambil sikap yang berarti. Hanya mandah saja sambil 

mengelus dada.

Boleh dikatakanlah, pasrah mereka menghada-

pi sikap dan perlakuan Radung yang semena-mena.

Sementara itu setiap kali kebetulan berpapasan 

atau dari kejauhan sudah melihat pemuda itu, para 

anak gadis merasa lebih baik menghindar atau pun 

mengambil jalan memutar meskipun jauh sedikit dari-

pada ada beberapa bagian tubuhnya yang harus terke-

na sasaran tangan jahil Radung. Yah, mereka rela 

membuang tenaga dan menjadikan kaki mereka sedikit 

pegal.

Sedangkan tuan tanah Juragan Radu Rukmo 

sendiri malah mendiamkan saja sikap putranya itu. 

Dia malah bangga bila putranya bersikap seperti itu. 

Karena sebenarnya di masa mudanya Radu Rukmo 

pun berbuat yang sama. Bahkan lebih gila yang diper-

buat oleh-Juragan Radu Rukmo. Jadi baginya hal itu 

adalah suatu hal yang wajar. Toh dia sudah merasa 

memberikan penghidupan dan pekerjaan yang menu-

rutnya amat layak bagi para penduduk. Buat apa me-

reka harus marah lagi?

Sehingga Radu Rukmo merasa, putranya bebas 

saja melakukan apa saja hendak putranya itu terha-

dap para penduduk. Perduli setan dengan semuanya! 

Karena dengan congkaknya Radu Rukmo pernah ber-

kata di hadapan para penduduk yang mengadukan 

tentang keonaran yang dilakukan oleh Radung, "Kalian 

ini adalah manusia-manusia yang tidak pernah berte-

rima kasih! Kalian seharusnya ingat, selama ini akulah 

yang memberi kalian hidup! Memberi kalian makan! 

Jadi kalian jangan bertindak nekad atau ngawur, ka-

rena perut anak istri kalian akan melilit dan merintih


kelaparan! Camkan semua kata-kataku itu!"

Yah, tak seorang penduduk pun yang berani 

mencoba lagi untuk menentang perlakuan Radung 

atau pun melaporkannya pada Juragan Radu Rukmo. 

Sementara kemarahan dan dendam di hati mereka se-

makin besar.

Pagi itu udara cerah. Udara berhembus sejuk, 

menebarkan rasa alami dan keindahan yang mempe-

sona. Burung-burung bernyanyi dan hinggap dari satu 

dahan ke dahan lain.

Mereka begitu bergembira karena udara yang 

indah ini seakan menambah kebebasan mereka. Me-

nambah daya pesona alam yang penuh gemilang.

Alam begitu nyaman, menambah pesona yang 

amat dalam. Membekas hingga ke lubuk hati. Dan 

mengukir satu keindahan yang abadi, yang kadang 

membuat orang enggan untuk meninggalkan keinda-

han yang bak abadi ini.

Angin bersemilir lembut, namun cukup kuat 

untuk menggugurkan daun-daun pohon trembesi. 

Daun-daun itu berguguran seperti segumpal anak-

anak yang berlarian sambil bersenda gurau. Suara 

gemercik air sungai di sebelah Timur sana menambah 

keasrian alam yang nyaman.

Di kejauhan sana, terlihat hamparan sawah 

terbentang luas dengan warna kehijauan hasil cucuran 

keringat para petani. Dan hasilnya siap untuk dipa-

nen. Panen yang menghidupi anak istri mereka.

Tiba-tiba burung yang beterbangan dari dahan 

ke dahan lain, atau berkicau riang dan terbang me-

nyusul kawan-kawan mereka yang sejak pagi telah 

meninggalkan sarang mencari makan penyambung hi-

dup, mendadak serabutan lari dari tempat mereka 

hinggap bagaikan ada elang yang datang menyambar 

dengan cepat, membuat mereka lebih baik pindah


tempat.

Dari batas desa nampak seorang pengemis yang 

melangkah dengan pincang dan tubuh yang sedikit 

bongkok. Sebuah tongkat yang berwarna hitam sekali-

sekali dijadikan sebagai alat bantu untuk kaki kanan-

nya. Tubuhnya amat kurus. Wajahnya begitu tua. Di-

perkirakan usianya sudah mencapai 70 tahun dengan 

rambut memutih panjang yang tidak beraturan.

Dari raut wajahnya yang tua dan tak sedap di-

pandang nampak sekali kalau dia amat lapar. Maka 

dipaksakannya pula kakinya untuk lebih cepat me-

langkah. Namun sekali-sekali dia masih tersenyum 

melihat burung-burung yang beterbangan kian ke mari 

menyambut pagi. Seakan kegembiraan para burung itu 

dapat menutupi rasa laparnya.

Dan sekali-sekali pula dia mencoba tersenyum 

pada beberapa orang yang kebetulan berpapasan den-

gannya. Sikapnya begitu penuh rasa persahabatan 

yang tulus.

Namun meskipun demikian, senyumnya itu ka-

dang dibalas, namun kadang pula di acuhkan. Bahkan 

ada yang meludah karena merasa jijik diberi senyum 

oleh seorang pengemis. "Cih! Mau apa pengemis tua 

itu?!"

Namun pengemis tua itu tak acuh saja. Santai 

dia terus melangkah, tanpa menghiraukan ejekan dan 

cemooh orang-orang yang kebetulan berpapasan den-

gannya.

Dia tak acuh saja, seperti tidak ada kejadian 

apa-apa. Sikapnya santai dan enak.

Kakinya yang sebelah kanan pincang, nampak 

cukup mengganggu langkahnya. Namun dia terus saja 

melangkah. Dengan sikap yang sungguh-sungguh 

amat santai.

"Cih! Pengemis busuk! Mau apa dia tersenyum


senyum pada kita!" seru seorang gadis yang berdandan 

cukup menor itu pada temannya kala pengemis itu ter-

senyum padanya. "Memuakkan sekali senyumnya itu!"

Temannya yang bertubuh gempal, yang tak ka-

lah menornya, pun mengangguk dengan sikap yang 

tak kalah mengejeknya. Gayanya pun genit, sama hal-

nya dengan temannya. Mereka terlihat bagaikan gadis-

gadis penghibur belaka.

"Dasar tidak tahu malu!"

"Kebagusan amat bila kita membalas senyum 

itu!"

"Cih, Jembel busuk!"

"Dipikirnya senyumnya itu amat bagus? Hhh! 

Tak sudi aku melihatnya dua kali!"

Mendengar kata-kata itu si Pengemis tua tak 

acuh saja. Dia malah tetap tersenyum, semakin mem-

buat kedua gadis itu bertambah sewot.

Bergegas mereka melangkah menjauhi penge-

mis itu. Kuatir kuman penyakit yang menempel di tu-

buh pengemis tua itu pindah ke mereka.

"Hhhh! Tak layak nampaknya desa kita dima-

suki oleh gembel bongkok dan pincang itu!" menden-

gus salah seorang sambil bergegas. "Ayo cepat, aku 

kuatir kita ketularan penyakit dari tubuhnya!"

Namun si pengemis tua itu tetap tersenyum, la-

lu dengan santainya kembali melangkah. Kaki kanan-

nya yang pincang memang terlihat jelas sebagai peng-

hambat dari langkahnya. Namun tetap saja dia menye-

retnya ringan dengan dibantu oleh tongkatnya yang 

berwarna hitam.

Yang menarik dari tongkat itu sebenarnya ada-

lah ujungnya yang berukir kepala ular. Yang nampak 

amat membantu baginya untuk melangkah.

Senyumnya tetap bertengger di bibirnya tak


ubahnya bagaikan menggantung dan bibir itu memang 

hanya bisa menguak senyum belaka.

Kata-kata ejekan dari dua gadis sombong itu 

dianggapnya hanyalah angin lalu belaka. Toh memang 

benar bila kedua gadis itu mengatakannya buruk. Dia 

memang buruk! Dia hanya tertawa dalam hati.

Tiba-tiba si pengemis tua itu mendongakkan 

kepalanya. Dari kejauhan tercium aroma masakan le-

zat yang terbawa oleh angin. Si pengemis mengambil 

nafas dalam-dalam menikmati aroma yang menye-

dapkan itu.

Lalu kembali diseretnya langkahnya menuju 

kedai yang sepertinya menjanjikan makanan yang 

enak dan lezat. Perutnya dirasakan semakin lapar saja. 

Aroma masakan itu benar-benar amat mengganggu 

dan menarik rasa laparnya untuk ditutupi dengan ke-

kenyangan yang cukup.

Dia terus membawa langkahnya. Orang-orang 

yang sedang makan di Sana hampir seluruhnya meno-

leh pada pengemis itu ketika kakinya tiba di ambang 

pintu dan mulai melangkah masuk. Bermacam reaksi 

terjadi.

Ada yang segera mengangkat piringnya untuk 

menjauh dari pengemis itu. Ada yang langsung mem-

bayar dan pergi. Ada yang tetap meneruskan makan-

nya. Ada yang mendengus sebal, namun ada yang tak 

acuh saja. Namun lagi-lagi pengemis itu tidak perduli. 

Tak acuh.

Dia memilih tempat duduk di ujung. Sikapnya 

benar-benar tidak mengacuhkan sekelilingnya. Tetap 

santai dan begitu tenangnya.

Dia memesan hidangannya.

"Tolong berikan aku seguci arak dan makanan 

yang cukup lezat!"

Pelayan itu hanya mendengus dalam hati. Sebenarnya dia menahan nafas karena kuatir bau busuk 

dari si pengemis tercium oleh hidungnya. Bahkan dia 

sendiri enggan untuk melayani pengemis tua ini.

Bila saja tuannya menyuruhnya mengusir gem-

bel ini dengan senang hati dia melakukannya. Tak 

akan dipikirkannya sebanyak dua kali.

Sejak tadi dia sebenarnya berharap sekali kalau 

tuannya menyuruhnya mengusir gembel busuk ini! 

Dan pasti akan dilakukannya dengan senang hati.

Namun karena perintah itu tidak juga di dengar 

nya, maka dia pun mau tak mau melayaninya. Tak la-

ma kemudian hidangan itu pun datang.

Cuping hidung si pengemis mengendus-

ngendus untuk menikmati aroma yang amat menga-

syikkan. Seleranya semakin timbul dengan kuat.

Namun belum lagi pengemis tua itu menikmati 

pesanannya, tiba-tiba terdengar suara terbahak-bahak 

dari luar. Ramai diiringi oleh langkah yang menuju ke 

kedai itu. Namun pengemis itu tak acuh saja. Sele-

ranya telah keluar. Maka dia pun segera menikmati hi-

dangannya.

Bagi penduduk yang sudah sering mendengar 

tawa itu tidak merasa heran lagi. Karena tawa yang 

paling keras itu milik Radung, pemuda yang terkenal 

tukang membuat onar. Hati mereka sedikit was-was. 

Keonaran apa lagi yang akan dilakukan oleh pemuda 

sialan itu?

"Hahaha... benar kataku, bukan? Tempat pele-

siran Nyi Alas Tuban begitu mengasyikkan. Gadis-

gadisnya amat montok! Hahaha.... Dan mereka bisa 

menggigit...!" tertawa Radung sambil melangkah ke ke-

dai itu. Di susul dengan seorang tukang pukulnya. En-

tah yang dua orang lagi ke mana.

Sebenarnya Radung seorang pemuda yang cu-

kup tampan. Wajahnya tirus menandakan kelicikan


nya. Tubuhnya kurus tinggi. Cara berdandannya begi-

tu amat perlente sekali.

Di pergelangan tangannya melingkar gelang 

emas yang cukup banyak. Pakaiannya mengkilat in-

dah. Di lehernya pun melingkar sebuah kalung emas 

yang indah.

Namun semua itu terlihat menjadi jelek dan 

buruk karena tertutup oleh kelakuannya yang amat 

menjengkelkan. Hingga rata-rata semua penduduk 

membencinya. Dan tak seorang pun yang menyu-

kainya.

"Hehehehe.... Tuan muda tidak salah pilih me-

mang." kata tukang pukulnya yang lebih banyak men-

coba mengambil hati Tuan mudanya. Dia merasa be-

runtung sekali diajak ke tempat pelesiran. Hehehe... 

kau rugi Sobran.... Kau rugi, Marduko.... tawanya di 

hati. Lumayan aku bisa menikmati keasyikan itu.

"Hahaha... kapan, kapan aku pernah salah pi-

lih, hah?!" terbahak Radung. Kakinya sudah melang-

kah ke dalam kedai itu, tawanya masih terdengar.

"Tuan memang tidak pernah salah pilih...."

"Hahaha.... Bagus, bagus!" terbahak Radung 

sambil menggebrak meja. "Pak tua! Hidangkan arak 

yang paling lezat dan makanan yang paling mahal!!" je-

ritnya keras sambil menghentakkan pantatnya ke tem-

pat duduk. Namun mendadak saja bagaikan di tempat 

duduknya ada paku yang tajam, Radung bangkit kem-

bali.

Dia mendengus. Matanya melirik ke arah pen-

gemis yang sudah mulai makan dengan nikmatnya.

"Hhh! Mau apa gembel busuk itu masuk ke 

man, hah?! Guro, usir dia keluar dari sini!!!"

Tukang pukul yang bernama Guro segera men-

dekati si pengemis dengan langkah yang gagah. Orang-

orang yang memperhatikan menjadi cemas akan nasib


si pengemis tua itu.

"Hei, gembel busuk! Keluar kau dari sini! Bawa 

semua makananmu itu, dan makan di luar!"

Pengemis tua itu mengangkat wajahnya.

Dia hanya memamerkan senyumnya dan san-

tainya kembali menikmati hidangannya.

Wajah Guro memerah.

"Keparat! Kau belum tahu rupanya berhadapan 

dengan siapa, hah?!" geramnya

Namun lagi-lagi si pengemis tua itu hanya 

mengangkat wajahnya, sedikit tersenyum dan kembali 

meneruskan menikmati hidangannya.

"Hei, Budek! Jangan jual lagak di depanku, 

hah?!" geram Guro dengan kemarahan yang mulai 

naik.

Lagi si pengemis itu hanya tersenyum.

"Anjing! Kau rupanya memang ingin bermain-

main dengan aku, hah?!" geramnya makin jengkel. 

Yang sedang dipikirkannya adalah bila pengemis tua 

itu sebenarnya tidak tuli. namun tengah mengejeknya 

dengan menjadi pura-pura tuli! Bangsat! Ini tidak 

main-main lagi!

Namun lagi-lagi pengemis tua itu hanya terse-

nyum. Lalu menenggak arak yang dipesannya lang-

sung dari gucinya. Hingga tandas tak tersisa setetes 

pun.

Lalu dengan santainya pula dia menyeka mu-

lutnya dengan punggung tangannya. Lalu mendesah 

panjang penuh nikmat. Arak tadi sungguh bukan arak 

sembarangan.

Guro menjadi mangkel. Apalagi dengan san-

tainya pengemis itu bangkit berdiri.

"Anjing tua keparat! Rasakan ini!!" geram Guro 

sambil melayangkan pukulannya. Dalam pikirannya 

hanya sekali pukul saja pengemis ini pasti sudah ambruk berantakan.

Namun di luar dugaannya, dia malah memukul 

angin sementara si pengemis dengan asyiknya melang-

kah untuk membayar. Seakan tidak ada gangguan 

atau pun halangan yang menghalangi langkahnya. Te-

tapi santai.

Sejenak Guro terheran-heran. Padahal dia ya-

kin kalau pukulannya akan tepat mengenai sasaran. 

Namun mengapa dengan mudahnya pengemis tua itu 

bisa menghindar dari pukulannya.

Melihat hal itu Radung menjadi geram pula. Da 

langsung menendang sebuah kursi untuk menghalangi

langkah si pengemis hingga terbalik.

Pengemis tua itu memang terhalang, namun 

dengan ringannya seakan tanpa kejadian apa-apa, 

pengemis itu melangkah melalui sisi yang lain.

"Bangsat!" geram Radung marah dan berseru 

pada Guro yang masih bingung dengan cara apa pen-

gemis itu sudah berhasil lolos dari pukulannya. "Sia-

lan! Hajar dia! Biar dia tahu rasa dan kapok berbuat 

seperti itu!"

Dengan geram Radung bergerak cepat dan 

kembali menyerang. Namun lagi-lagi serangannya ti-

dak mengenai sasaran. Hanya mengenai angin belaka.

Dia jadi bingung sendiri sementara si pengemis 

telah keluar dari kedai itu tetap dengan langkah yang 

pincang terseok-seok.

Sekali-sekali dibantu oleh tongkatnya yang 

tangkainya berkepala ular.

Namun tetap saja pincang kakinya bukanlah 

merupakan sebuah penghalang yang amat berarti ba-

ginya. Karena meskipun langkahnya diseret terlihat 

demikian mudah.

"Anjing tua! Kubunuh kau!" geram Guro sambil 

berlari menerjang kali ini dia mencabut golok yang ter


selip di pinggangnya dan dengan ganasnya siap dihu-

jamkan ke bagian belakang dari pengemis itu.

Namun entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja 

Guro memekik dan jatuh pingsan. Yang menyaksikan 

menjadi heran, di samping senang melihat tukang pu-

kul Radung terkena batunya. Apa? Apa yang terjadi?

Mengapa Guro bisa pingsan mendadak seperti 

itu? Namun bila Guro belum pingsan dan masih bisa 

bicara, tentulah dia akan mengatakan kalau sesuatu 

yang amat keras dan penuh tenaga bak sebuah godam 

layaknya, telah menghantam tengkuknya dengan tepat 

sekali.

Rasanya tak terkira sakit dan beratnya.

Melihat hal itu Radung menjadi marah bukan 

buatan. Sambil menggeram dia berlari ke luar menyu-

sul langkah pengemis tua yang terpincang-pincang. 

Dia tidak terima dengan perlakuan pengemis bungkuk 

itu.

Pemuda itu memang seorang yang panasan,

yang merasa tak seorangpun boleh merendahkan nya

atau pun menyamainya. Apalagi merendahkannya di 

hadapan orang banyak, maka diapun menjadi panas. 

Dia tidak pernah menerima perlakuan seperti ini. Pen-

gemis itu harus diberi pelajaran!

Dengan langkah gusar dia memburu si penge-

mis yang terpincang-pincang melangkah itu dan berdiri 

di depannya dengan sikap sok jago dengan kedua kaki 

terbuka lebar.

Sementara orang-orang yang sedang makan 

berhamburan untuk melihat kejadian di depan kedai 

itu. Di samping merupakan satu tontonan yang amat 

menarik, mereka menjadi penasaran siapakah sesung-

guhnya pengemis itu? Mengapa begitu berani mengha-

dapi Radung? Apakah dia belum tahu siapa sesung-

guhnya pemuda berangasan dan berandal itu?


Hati mereka semakin bertambah penasaran.

Dan mereka yakin baru kali ini mereka melihat 

pengemis tua itu di sini.

* * *

"Berhenti!" terdengar seruan Radung keras. Wa-

jahnya begitu geram dan beringas.

Si pengemis bongkok itu pun berhenti melang-

kah. Wajahnya yang nampak penuh luka mengering 

itu diangkatnya untuk menatap wajah Radung yang 

kelihatan mar ah bukan buatan. Namun wajahnya 

nampak tersenyum. Bahkan tidak terlihat sedikit pun 

dia merasa ngeri dengan kemarahan pemuda itu.

"Sobat... ada apakah gerangan hingga kau 

nampak begitu marah padaku?"

"Hhh! Gembel busuk! Lebih baik kau angkat 

kaki saja dari desa ini sebelum aku marah!!" serunya 

kasar. "Dan jangan coba-coba untuk kembali lagi!"

Pengemis itu hanya memamerkan senyumnya. 

Sikapnya penuh bersahabat.

Membuat dada Radung bagaikan mau meledak. 

Dan suaranya dengan hentakan yang menggelegar pe-

nuh kejengkelan pun berseru dengan geram,

"Hei, tersenyum lagi kau?!"

"Sobat... mengapa kau melarang aku untuk 

singgah sejenak di desa ini?" tanya pengemis itu den-

gan suara yang terdengar sopan.

Namun malah membuat Radung menjadi be-

rang, karena merasa pengemis tua itu tidak pantas un-

tuk bicara dengannya. Hatinya semakin gusar dan pa-

nas, karena merasa derajat sosialnya makin terinjak-

injak.

"Hei, berani bicara pula kau ini!" bentaknya 

dengan suara yang menggelegar.


"Mengapa, Sobat? Apakah di desa ini ada laran-

gan bagi seorang pengemis untuk singgah?"

"Karena kau hanya mengotori desa ini saja!" se-

runya. "Hhh! Kau mau jual lagak rupanya!"

"Apakah orang sepertiku ini tak layak untuk 

mencari makan di sini?"

"Ya! Karena kau hanya pengemis, pekerjaan ba-

gi orang yang malas!"

Pengemis itu menggelengkan kepalanya, masih 

tetap tersenyum. Penuh persahabatan.

"Tidak, Sobat... aku datang untuk membeli se-

dikit makanan untuk mengganjal perutku yang kelapa-

ran ini.... Dan bermaksud ingin singgah di sini...."

Pemuda itu tiba-tiba terbahak. Penuh nada 

mengejek dan meremehkan, "Apa kau bilang? Membeli 

makan di sini? Hahahah. .. hei, pengemis busuk! Mana 

mampu kau membeli makanan bila tidak dengan cara 

mengemis, hah?!

Itu adalah satu-satunya cara untuk menda-

patkan makanan! Kau ini sedang mengigau atau se-

dang bermimpi menjadi orang kaya.... Tadi pun mung-

kin makanan yang kau makan itu kau bayar dengan 

cara mengemis agar mendapatkan belas kasihan! Hh! 

Kau berlagak kaya rupanya!"

"Aku mempunyai sedikit uang, Sobat... yang 

kupikir dapat ku tukarkan dengan sedikit makanan...." 

kata pengemis tua itu tetap sopan. "Aku tadi sudah 

melakukannya... dan memang benar, aku bisa menu-

karkannya dengan makanan... Apakah aku salah me-

lakukan hal itu, sobat?"

"Hahahah... kau memang tengah mengigau ru-

panya!" masih tertawa Radung mengejek. "Perlihatkan 

padaku, bila kau memang punya uang?

Dan buktikan padaku bahwa yang kau makan 

tadi bukan kau dapatkan dengan cara meminta belas


kasihan orang lain! Perlihatkan padaku!

Tetapi awas, bila kau tidak dapat memperli-

hatkannya aku akan menghajarmu hingga tunggang 

langgang! Camkan itu! Aku tidak pernah sungkan un-

tuk menghajar siapa pun! apalagi seorang pengemis 

macam kau!!"

"Apakah bila benar aku punya uang kau mem-

perkenankan aku untuk singgah di desa ini?"

"Sudah tentu, asal tidak dengan cara menge-

mis! Tetapi nampaknya mustahil kau memiliki uang 

meskipun hanya sedikit," suaranya penuh ejekan.

"Kau berjanji?"

"Ya!"

"Aku paling suka dengan orang yang berjanji!"

"Cepatlah pengemis busuk!"

"Kupegang kata-katamu itu, Sobat...."

"Hhh! Perlihatkanlah padaku!" seru pemuda itu 

setengah geram dan setengah geli. "Dan ingat dengan 

ucapanku, tadi! Bila kau tidak dapat memperlihatkan-

nya, maka ganjaran hajaran tanpa ampun yang akan 

kau rasakan!"

Sekali lagi pengemis itu menatap Radung seo-

lah meyakinkan kebenaran omongan pemuda itu.

Dia mendesah berkali-kali, nampak sebenarnya 

kalau pengemis tua itu cukup kesal dengan perlakuan 

Radung. Namun dia masih berusaha untuk menahan-

nya.

Lalu dengan hati-hati dia memasukkan tan-

gannya ke tas kumal yang tersampir di bahu kirinya. 

Keningnya berkerut, seolah heran... mengapa aku 

mempunyai uang tapi dipercayai? Apakah aku hanya 

seorang pengemis? Ataukah karena dianggap remeh 

dan yang menduga seperti itu adalah anak seorang 

kaya? Perasaan kesal mulai merambat di hatinya.

Radung yang memperhatikan terbahak-bahak.


Perutnya hingga terguncang-guncang karena merasa 

geli.

"Permainan apa yang sedang kau perlihatkan, 

hah? Jangan terlalu banyak bermimpi!"

Pengemis itu tetap tersenyum. "Lihatlah, So-

bat...." desisnya. Lalu tangan itu perlahan-lahan keluar 

dari tas kumalnya, dalam keadaan tergenggam.

Radung masih terbahak. Pikirnya pengemis ini 

hanya membual belaka. Tak pernah dijumpainya seo-

rang pengemis memiliki uang yang banyak.

Namun tawanya terhenti ketika pengemis tua 

itu membuka genggamannya dan menyodorkan tan-

gannya di wajah Radung. Beberapa keping uang emas 

berada di telapak tangan yang sedikit kotor dan keri-

put itu.

Kontan sepasang mata itu terbelalak. Mulutnya 

berseru dengan nada terkejut namun menghina,

"Hei, kau mencuri di mana uang emas itu, 

hah?!" bentaknya amat kasar.

Pengemis itu menyeringai. Memperhatikan wa-

jah yang tegang tak percaya.

"Hmm... kau salah sangka, Sobat.... Aku tidak 

mencurinya, uang ini memang milikku, pemberian seo-

rang sahabat yang baik hati padaku...."

"Tidak mungkin! Kau bukan hanya seorang 

pengemis, tetapi juga seorang pencuri! Dosamu tak 

akan pernah dimaafkan!" seru Radung.

"Hmmm... kau mengada-ada, Sobat.... Dan bila 

kau tidak percaya, kau boleh bertanya pada pemilik 

kedai itu, apakah semua hidangan yang aku makan 

tadi hasil belas kasihan, mengemis ataukah kubayar?

Hmmm... bukankah tadi kau mengatakan, bila 

aku bisa membuktikan bahwa aku memiliki uang, ma-

ka kau akan memperbolehkan aku untuk singgah di 

sini? Apakah kau lupa dengan kata-kata yang baru saja kau ucapkan itu, Sobat?"

Wajah Radung merah padam. Bertanya pada 

pemilik kedai? Hhh! Di mana harga dirinya, hah?!

Tak akan pernah dia melakukan hal itu!

Sebenarnya dia menuduh pengemis itu mencuri 

untuk menutupi keterkejutan dan kekalahannya. Na-

mun dia memang seorang pemuda yang sombong, yang 

tak pernah mau mengalah atau dikalahkan Jangan 

oleh seorang yang setaraf dengannya.

Ini hanya seorang pengemis! Oleh seorang pen-

gemis dia dibuat malu seperti ini! Dia tidak akan me-

nerima, dan tak akan pernah menerima.

"Pencuri busuk! Berikan uang itu padaku!" se-

runya geram dengan tangan terkepal.

"Mengapa pula harus kuberikan padamu?" sa-

hut pengemis tua itu dengan ketenangan yang luar bi-

asa. "Ini adalah uangku, bukan milikmu!"

"Jangan banyak cincong, Bangsat!! Berikan 

uang itu padaku cepat!"

"Sobat... apakah kau selalu mengingkari janji? 

Atau kau sudah lupa dengan apa yang kau ucapkan 

tadi? Aku kecewa sekali bila kau memang bersikap se-

perti itu. Kuharap... kau tak akan seperti itu...."

"Persetan dengan segala janji! Kuharap jangan 

banyak tingkah bila ingin selamat!"

"Benarkah kau suka mengingkari janji?"

"Keparat! Masih banyak pula kau bicara!" seru 

Radung bertambah geram.

"Aku adalah orang yang paling suka menepati 

janji! Ketahuilah, aku sungguh kecewa dengan sikap-

mu seperti itu. Dan aku tidak pernah menyukainya!"

"Anjing buduk! Rasakan ini!" serunya si pemu-

da sambil melayangkan pukulannya lurus ke wajah si 

pengemis. Cepat dan penuh tenaga.

Beberapa orang yang melihat mendesis ngeri.


Karena mereka tahu kekejaman dari Radung.

Sudah tentu pemuda itu tak akan memberi 

ampun karena siapa pun tahu kalau pemuda itu me-

mang tak pernah punya belas kasihan. Tak terkecuali 

pada pengemis ini.

Namun pengemis itu masih nampak tenang sa-

ja. Bahkan dia hanya tersenyum saja ketika tangan 

Radung melayang. Masih tetap tersenyum.

Radung sendiri merasa dengan sekali pukul 

pengemis tua ini akan terjengkang berantakan ke be-

lakang. "Mampuslah kau, Pengemis busuk...!!''

* * *

TIGA



Namun sungguh di luar dugaannya, karena 

mendadak saja pukulannya tidak mengenai sasaran. 

Melompong mengenai angin. "Hei!" serunya terkejut. 

Untungnya dia bisa menguasai tubuhnya, bila tidak 

dia akan terjengkang karena dorongan oleh tenaganya 

sendiri.

Dan dia lebih terkejut lagi karena menyadari si 

pengemis sudah tidak berada di dekat-nya.

Pemuda itu celingukan dan melihat si pengemis 

tengah berjalan dengan santainya meninggalkannya. 

Hal itu membuat si pemuda semakin menjadi geram.

"Anjing kurapan! Kau ingin bermain-main den-

ganku rupanya, hah!" serunya sambil

mencegat langkah si pengemis. Namun penge-

mis itu tetap saja tenang. Dia hanya tersenyum. Si-

kapnya sepertinya merasa tidak terganggu oleh sikap 

Radung seperti itu.

"Mengapa pula kau masih marah pada ku?"



ujarnya lembut. "Bukankah tadi kau sudah mengizin-

kan aku untuk mencari makan di sini?"

"Pengemis keparat! Rupanya kau punya kebi-

saan juga, hah?!" Bentak Radung jengkel. "Bagus, aku 

ingin melihat sampai di mana kebisaan mu itu, hah?!"

"Sobat... mengapa jadi begini? Mengapa kau ja-

di berang seperti ini? Apakah aku mempunyai salah 

padamu?! Kurasa tidak, karena baru kali ini kita ber-

temu. Kita pun bukan dua orang yang saling menden-

dam. Kita tidak punya silang sengketa apa-apa. Na-

mun sikapmu begitu marah sekali padaku...."

"Setttaaann!"

"Sobat.... apa sebenarnya maumu ini?"

"Bagus, bila kau memang ingin tahu apa mau-

ku! Berikan uang itu padaku, hah?! Dan kau boleh 

meninggalkan tempat ini dalam keadaan selamat!"

"Hmmm... mengapa aku harus menyerahkan 

uang milikku ini padamu, Sobat?"

"Masih banyak omong kau, hah?!"

"Aku tahu sekarang, rupanya uang ini yang 

membuatmu menjadi berang padaku? Mengapa kau 

masih berbasa-basi menuduhku sebagai pencuri? Dan 

salah besar menuduhku seperti itu.

Dan kau pun salah besar bila menganggap aku 

akan memberikan uang ini padamu! Tidak, aku tidak 

akan pernah memberikannya padamu.

Bila kau memang membutuhkan uang ini, kau 

bisa memintanya padaku. Pasti akan ku berikan. Na-

mun tidak dengan cara memaksa seperti itu."

"Kau memang pencuri! Berikan uang itu pada-

ku!!"

Pengemis tua itu tersenyum. "Maafkan aku, So-

bat.... Tak akan pernah kuberikan padamu uang mi-

likku ini.... Tetapi melihat penampilan dirimu, aku ya-

kin... kau sebenarnya tidak pernah kesulitan uang!"



"Hhh!" pemuda itu mendengus. "Rupanya kau 

memang ingin mengenalku lebih dalam! Baik! Kau bisa 

mempercundangi tukang pukul ku! Namun tidak se-

mudah itu terhadapku! Bagus, lihat serangan!!"

Sesudah berkata begitu, sambil menggeram ke-

ras Radung bergerak sungguh cepat. Dia menggerak-

kan tangan kanannya lurus ke wajah si pengemis.

Keras dan penuh tenaga. Dia bermaksud untuk 

mengakhiri si pengemis dengan sekali hajar. Namun 

sama seperti halnya tadi, pukulannya pun tidak men-

genai sasarannya. Hanya mengenai angin belaka dan 

tubuhnya limbung ke depan karena terbawa oleh tena-

ganya sendiri yang terlalu besar.

Dan lagi-lagi tanpa terlihat si pengemis sudah 

berpindah tempat. Gerakannya lagi-lagi tidak terlihat. 

Mirip setan belaka. Meskipun bingung namun hal ini 

semakin membuat Radung menjadi marah besar.

"Anjing! Rupanya kau memang hendak menjual 

lagak di depanku, hah?!" serunya berang dan dengan 

kalapnya dia kembali menyerang. Kali ini dengan kece-

patan yang tinggi dan serangan yang membabi buta.

Sebenarnya dia jeri melihat kelihaian pengemis 

tua itu yang bergerak bagaikan setan belaka. Dia sen-

diri sebenarnya yakin bahwa dia tak akan menang me-

lawan pengemis tua sialan ini. Namun dia malu terha-

dap orang-orang yang menyaksikan dari depan kedai 

itu.

Kalah adalah satu kata yang paling pantang 

baginya. Dia tidak akan pernah bisa menerimanya.

Dan kejadian itu perlahan-lahan banyak men-

gundang minat orang untuk menonton. Begitu pula 

dengan yang sejak tadi melihat. Perlahan-lahan mere-

ka bergerak maju.

Maka sebentar saja sudah ramai mereka berso-

rak sorai membentuk lingkaran. Rata-rata mengejek


Radung yang selalu gagal dalam menyerangnya. Dan 

semua itu mereka lakukan karena mereka memang ti-

dak suka dengan sikap Radung yang selalu membuat 

onar dan menyombongkan dirt Pemuda itu mampus 

malah semakin membuat orang-orang itu gembira. 

Bahkan berterima kasih pada pengemis tua yang sakti 

itu.

Kesempatan ini mereka gunakan sebagai pe-

lampiasan rasa jengkel, marah dan dendam pada pe-

muda itu. Kesempatan yang jarang sekali.

Di samping itu mereka sebenarnya juga cemas 

dengan si pengemis tua. Karena bila memang Radung 

kalah, sudah pasti pemuda itu tak akan pernah mem-

biarkannya untuk hidup lebih tenang lagi. Pasti pem-

balasan dendam akan terjadi. Ini bukanlah pertama 

kali Radung melakukan hal itu. Sudah sering kali ter-

jadi. Ah, mungkinkah pengemis tua yang nampak san-

tai saja itu akan terkena pembalasan dendam Radung 

yang amat jahat dan terkenal sungguh amat sadis?

"Hahahah... Radung, kau hanya besar mulut 

saja!" akhirnya terlontar pula kata-kata itu dari mulut 

salah seorang. Yang membuat keberanian yang lainnya 

pun muncul.

"Rasakan itu! Kena batunya kau!"

"Lebih baik kau mampus saja!"

Sorakan ramai semakin terdengar.

Mendengar ejekan-ejekan itu, Radung menjadi 

semakin kalap. Dia terus menyerang secara membabi 

buta. Gerakannya amat kacau sekali.

Namun sejauh itu tak satu pun serangannya 

yang mengenai sasaran. Dan setiap kali dia gagal me-

nyerang, selalu saja tawa mengejek terdengar, diting-

kahi dengan suara tepukan yang semakin membahana 

ramai.

Hanya nafasnya yang kini terdengar terengah


engah. Gerakannya pun mulai terlihat kacau. Hanya 

semacam dorongan kesombongannya saja yang ada. 

Dan rasa malu karena dimainkan oleh seorang penge-

mis.

Dalam hatinya yang terbakar telah tergores 

dendam. Dia tidak terima semua ini. Dia akan memba-

lasnya nanti. Dia akan siksa pengemis itu sebelum 

mampus dibunuh!

Sorak-sorakan mengejek semakin ramai diiringi 

dengan tepuk tangan yang gegap gempita.

"Radung... kau hanya berani bila bersama tu-

kang pukul mu! Mampus saja kau sekarang karena 

tukang pukul mu itu telah loyo hahaha...."

"Mengapa kau tidak segera berlalu untuk pu-

lang menetek pada ibumu!"

"Hahaha.... kau tak ubahnya bagaikan anak 

ayam kehilangan induk sekarang!"

"Menghadapi seorang pengemis saja kau gagal! 

Tahu rasa kau! Makanya jadi orang jahat usil!"

"Lebih baik pulang saja dan rubah kelakuanmu 

yang sombong itu! Atau kau boleh menangis kembali 

pada ibumu yang buncit perutnya dan bertubuh gen-

dut lebam, karena kebanyakan makan harta dan tena-

ga orang lain!"

"Lebih bisik bunuh din saja kau, Radung!"

Sorakan mengejek yang diiringi dengan tepukan 

gemuruh itu semakin membahana. Kesempatan yang 

amat langka ini benar-benar mereka gunakan sebaik-

baiknya. Mereka puas bisa melakukan hal yang telah 

lama mereka inginkan itu. Tawa mereka benar-benar 

keluar lepas.

Meskipun geram bukan alang kepalang, namun 

Radung masih berusaha untuk menjatuhkan puku-

lannya pada si pengemis. Dia harus bisa melakukan-

nya agar orang-orang yang mengejeknya itu menghen


tikan ejekannya.

Mau rasanya dia menghajar mulut-mulut me-

reka yang amat kurang ajar sekali Namun belum sekali 

pun dia bisa menjatuhkan pukulannya pada pengemis 

tua itu. Hanya tenaganya yang terus menerus dikuras. 

Di samping rasa geramnya sudah naik hingga ke 

ubun-ubun.

Agaknya pengemis pincang yang bungkuk itu 

bukanlah pengemis sembarangan, karena gerakan-

gerakan yang dilakukannya untuk menghindari seran-

gan itu tidak terlihat oleh mata. Sehingga para penon-

ton pun bisa menduga kalau dia seorang pengemis 

yang sakti.

Sungguh hebat. Dan yang lebih hebat lagi, 

kondisinya yang seperti itu bisa dibawanya dengan 

langkah yang cepat dan cermat. Lagi-lagi gerakannya 

sudah bagaikan kilat belaka. Tidak terlihat oleh mata 

dan betapa cepatnya.

Dan dari teriakan-teriakan yang diserukan oleh 

orang yang melihat, pengemis tua itu dapat menduga 

kalau pemuda yang bernama Radung tidak disukai 

oleh para penduduk.

Bahkan terlihat kesan kalau para penduduk 

sudah lama menantikan kesempatan ini dan berusaha 

untuk dengan sepuas-puasnya mengejek pemuda yang 

keras kepala ini.

Maka dia pun berniat hendak memberi pelaja-

ran pada pemuda yang sombong ini agar merubah si-

kapnya. Maka dia pun terus menerus menghindar 

dengan maksud membuat si pemuda jera akan tingkah 

lakunya selama ini.

Dia memang tidak bermaksud hendak mencari 

permusuhan, namun dia tidak bisa lagi menghindar 

darinya. Maka mau tak mau dia seakan-akan meladeni 

tingkah si pemuda yang sebenarnya amat menjengkel


kan hatinya.

Terlihat pemuda itu lama kelamaan menjadi ke-

lelahan karena tenaganya terus menerus terkuras. 

Hingga lambat laun dia menjadi sempoyongan dan ge-

rakannya semakin kacau.

Keringat sudah mengalir di sekujur tubuhnya. 

Seruan-seruan mengejek semakin ramai terdengar. 

Membahana dan penuh gegap gempita.

Bergemuruh bertalu-talu. Namun kali ini sudah 

samar menerpa telinga Radung bahkan tidak terdengar 

sama sekali. Karena bagaikan tersumbat telinganya 

oleh keletihan tubuhnya yang dirasakan amat menyik-

sa sekali. Mendadak kepalanya menjadi berat. Matanya 

berkunang-kunang. Dan tubuhnya limbung.

Lalu ambruk setelah sempoyongan berkali-kali 

dengan tubuh yang limbung dan tidak bisa terkontrol 

lagi. Dan akhirnya pingsan.

Bersamaan dengan itu terdengar sorakan ramai 

dari para penonton. Nyaris ucapan-ucapan mereka ti-

dak terdengar karena terlalu ributnya.

Mereka amat puas melihat pengemis tua itu 

berhasil mempermainkan Radung.

"Hahahah.... lebih baik kau mampus saja!"

"Radung... kau hanya besar mulut!"

"Rasakanlah akibat dari perbuatanmu selama 

ini!"

"Hhhh! Ternyata kau hanyalah macan ompong 

belaka!"

Setelah pemuda itu ambruk dan pingsan kare-

na kecapaian, si pengemis pun mendesah panjang. La-

lu dengan santainya meninggalkan tempat itu. Sikap-

nya benar-benar tenang luar biasa. Seperti tidak men-

galami hal apa-apa.

Para penduduk pun seakan tidak memperduli-

kannya. Mereka lebih suka menyoraki pemuda yang te

lah lama mereka benci itu. Di mana kepuasan yang 

mereka dapatkan tak terhingga besarnya.

* * *

EMPAT



Tiga orang laki-laki itu terus melangkah berge-

gas. Terlihat kalau mereka nampak begitu tergesa-gesa 

karena langkah mereka begitu cepat. Di wajah mereka 

nampak kegelisahan dan tak luput pula kelelahan 

yang terpancar, menandakan mereka sudah berhari-

hari berjalan kaki. Nampak pula kalau mereka mem-

punyai persoalan yang amat mengganggu.

Ketiganya terus bergegas.

Mungkin karena mereka sudah tidak sabar un-

tuk mencari tempat beristirahat guna menghilangkan 

rasa penat yang amat menyiksa sekali. Beristirahat 

adalah hal yang amat mereka inginkan sekali seka-

rang.

Juga karena mereka melihat cuaca yang buruk 

sementara langit kelam dan awan-awan menggumpal 

hitam dan bergerak cepat dihembus angin yang ken-

cang. Malam pun nampak mulai semakin larut. Kelam 

membuainya dalam satu belenggu yang menghitam 

cukup mengerikan.

Nampak sebentar lagi akan turun hujan. Yang 

mereka kuatirkan, bila mereka kehujanan di tengah ja-

lan sementara tugas yang mereka emban belum terli-

hat titik hasilnya. Tugas yang menurut mereka adalah 

tugas yang mulia. Tugas demi kepentingan orang ba-

nyak yang selalu menjadi incaran dari para manusia-

manusia durjana.

Ketiganya adalah jago-jago dari Utara yang bergelar Tiga Setan Api. Tubuh mereka tinggi besar den-

gan badan yang kekar. Wajah ketiganya amat mengeri-

kan sekali. Terlihat mereka tidak mempunyai jiwa per-

sahabatan yang tulus. Di pinggang masing-masing 

yang melilit sebuah angkin cukup tebal, terselip sebi-

lah golok yang amat tajam.

Yang teramat hebat dari ketiganya adalah, me-

reka memiliki ilmu api yang cukup tinggi dan hebat. 

Sepak terjang mereka di dunia persilatan cukup meng-

getarkan bagi lawan maupun kawan. Mereka kadang 

tidak pernah mengenai belas kasihan meskipun lawan 

sudah memohon ampun dengan wajah yang babak be-

lur atau pun terluka parah.

Banyak jago-jago di rimba persilatan ini yang 

tidak mengerti akan sepak terjang Tiga Setan Api atau 

tiga pendekar yang menguasai daerah Utara karena 

mereka adalah orang-orang dari golongan putih.

"Kakang Penggoro ..." memanggil salah seorang 

dari ketiganya pada laki-laki yang mengenakan baju 

berwarna merah dengan angkin hitam melilit di ping-

gangnya. Sedangkan dia sendiri mengenakan angkin 

berwarna putih sama dengan yang seorang lagi. Itu 

menandakan yang bernama Penggoro adalah yang me-

reka hormati. "Ke mana lagi kita hams mencari Ki 

Ronggo Jibus yang telah membuat onar di daerah ba-

gian Utara, Kakang? Sudah hampir tiga minggu kita 

meninggalkan tempat kediaman untuk mencari manu-

sia durjana itu, Kakang!"

Yang dipanggil mendesah terlebih dahulu sebe-

lum menyahut sambil mempercepat langkah. "Aku pun 

tidak tahu harus ke mana. Namun manusia bejat itu 

telah banyak membuat onar di Utara. Sebagai orang 

dari golongan putih, kita tidak akan bisa menerima 

perlakuannya Entah mengapa manusia iblis itu mem-

buat onar di Utara. Padahal setahu kita, kita tidak


pernah mempunyai silang sengketa dengannya."

"Namun Kakang Penggoro.... kita tidak bisa 

berpangku tangan bukan? Kita mengemban tugas yang 

cukup berat, karena ini menyangkut nasib orang ba-

nyak! Aku yakin, Manusia Iblis itu tidak hanya mem-

buat onar di Utara saja, Kakang... Ini sungguh amat 

mengkuatirkan sekali karena sepak terjangnya begitu 

kejam dan telengas. Dia tidak segan-segan untuk me-

nurunkan kematian bagi siapa pun!"

"Kau benar, Adi Gurno Kita memang tidak bisa 

berpangku tangan. Selama manusia iblis itu yang sela-

lu membuat onar tanpa sebab masih hidup, aku yakin 

niscaya tidak ada kedamaian dan ketentraman di mu-

ka bumi ini."

"Tetapi, Kakang... kita tidak bisa menganggap 

remeh manusia itu. Ki Ronggo Jibus adalah manusia 

iblis yang bergelar manusia Berubah Muka. Dia dapat 

menyamar menjadi apa saja. Hanya hantu yang tidak 

bisa disamarkannya," kata yang seorang lagi dengan 

nada yang amat geram sekali. Berkali-kali tangannya 

mengepal karena tidak sabar untuk segera menghan-

tamkan tangannya ke wajah Ki Ronggo Jibus.

Dia tidak akan pernah merasa tenang dalam 

hidup, bila manusia itu belum mampus oleh tangan-

nya.

"Memang benar. Laki-laki itu amat pandai me-

nyamar dan ilmu kesaktiannya pun amat tinggi," sahut 

Penggoro dengan nada yang tak kalah geramnya.

"Tetapi, Kakang... kita tidak akan jeri dengan 

ilmunya yang amat hebat itu, bukan?"

"Sudah tentu, iya! Tugas kita ini adalah untuk 

orang-orang yang tak berdosa yang telah di bumirata-

kan oleh Ki Ronggo Jibus! Sungguh laknat manusia 

busuk itu!"

"Hhh! Tak sabar aku untuk bertemu dengan


manusia itu!"

"Benar, dan kita tidak akan menghentikan pen-

carian ini bila belum mendapatkan manusia keparat 

itu. Dosanya sudah tidak terhitung lagi. Hanya kema-

tianlah hukuman yang patut baginya!"

"Benar, Kakang.... betapa banyak nyawa manu-

sia yang tak berdosa mati di tangannya, belum lagi na-

sib kaum wanita yang telah di perkosanya! Hhhh! Ma-

nusia laknat! Sudah sepatutnya dia mampus, Kakang!"

"Iya! Memang matilah baginya yang cocok! Ayo, 

kita harus terus melangkah!"

Mereka terus bergegas melangkah. Wajah keti-

ganya jelas-jelas menampakkan kegeraman yang amat 

luar biasa terhadap seorang manusia durjana yang 

bernama Ki Ronggo Jibus atau Manusia Berubah Mu-

ka yang tengah mereka bicarakan.

Mereka sudah tidak sabar untuk menghajar 

hingga mampus manusia durjana itu. Manusia yang 

telah mengirimkan malapetaka di desa bagian Utara. 

Kegeraman itu semakin menjadi-jadi saja nampaknya.

Agaknya dendam telah terpatri di hati Tiga Se-

tan Api terhadap Ki Ronggo Jibus. Dendam yang bisa 

menjadi abadi bila mereka belum dapatkan manusia 

itu. Hidup atau mati!

Lalu kembali terdengar Gurno berkata setelah 

melihat suasana yang semakin gelap.

"Apakah tidak sebaiknya kita berhenti dulu, 

Kakang? Karena sebentar lagi hujan pasti akan turun.

Ku lihat di sana ada hutan yang cukup lebat, mungkin 

dedaunan pepohonannya bisa menangkal air hujan."

"Kau memang benar, Adi Gurno.... kita tidak bi-

sa terus menerus mencari seperti ini bila tidak mau 

kondisi kita terganggu. Kesehatan kita harus tetap ter-

jaga demi tugas mulia yang kita emban, untuk meng-

hentikan sepak terjang Ki Ronggo Jibus. Hhh! Manusia


keparat! Hidupku tidak akan tenang bila belum men-

cabut nyawamu!

Baiklah... Adi Gurno... Memang, maksud ku se-

perti itu. Lebih baik kita beristirahat saja dulu. Ayo ki-

ta ke sana. Tapi perlu di ingat, kita harus tetap waspa-

da. Aku tidak mau bila kita bertemu dengan manusia 

iblis itu yang dalam keadaan menyamar. Dan dengan 

seenaknya dia membokong dan menghantam kita!"

Kemudian ketiga jago dari Utara itu pun berge-

rak dengan cepat. Tubuh mereka melesat dengan ke-

cepatan yang luar biasa. Ilmu lari mereka kerahkan 

dengan dipadukan oleh ilmu meringankan tubuh. Se-

hingga semakin leluasa mereka berlari. Cepat dan 

amat cepat.

Bila dilihat sekilas mereka seakan adu lomba 

berlari untuk mencapai hutan itu.

Kegeraman mereka terhadap Ki Ronggo Jibus 

yang telah membuat teror di Utara, semakin menam-

bah mereka memacu lari guna mencapai hutan itu. 

Sungguh tidak sabar mereka untuk menjumpai manu-

sia kejam seperti Ki Ronggo Jibus! Manusia keparat 

yang hendak mereka mampuskan!

Mereka telah bersumpah untuk mencincang 

manusia kejam itu dan memotong-motong bagian-

bagian tubuhnya. Tak ada rasa nya hukuman yang se-

timpal bagi manusia busuk seperti Ki Ronggo Jibus 

sebelum manusia itu mampus. Dan mampus pun bisa 

terlalu enak baginya!"

"Lihat! Ada sebuah gubuk di sana!" seru Peng-

goro sambil terus berlari sementara kedua adik seper-

guruannya terus mengikuti di belakang dan berusaha 

untuk mengejar Penggoro. "Nampaknya gubuk itu cu-

kup amat dan amat lumayan bagi kita untuk berteduh 

menghindar dari hujan! Ayo kita ke sana!"

Kembali ketiganya berlarian ke arah gubuk kecil yang ditunjuk oleh Penggoro. Gubuk yang mereka 

lihat cukup jauh dari posisi mereka sekarang. Semakin 

cepat. Dan berusaha untuk mencapai tempat itu den-

gan waktu yang sesingkat mungkin. Waktu amat ber-

harga bagi ketiganya.

Langit di atas semakin kelam. Suasana sema-

kin gelap Petir pun mulai terdengar sambar menyam-

bar dengan sekali-sekali di tingkahi oleh kilat yang be-

rulangkali berkelebat, hingga sekali-sekali pula mene-

rangi tempat itu. Tanda-tanda akan turunnya hujan 

semakin jelas terlihat. Angin berhembus cukup dingin 

sementara geresek dedaunan semakin lama semakin 

keras terdengar. Bagaikan bisikan belaka yang mampu 

membuat bulu roma berdiri. Bahkan terdengar bagai-

kan auman. Alam siap mengamuk. Siap menumpah-

kan kemarahannya dengan keganasan yang luar biasa.

Namun sebelum mereka mencapai gubuk itu 

dan berada di dekat jalan setapak yang nampak sema-

kin sepi, mendadak saja Penggoro menghentikan la-

rinya. Laki-laki itu terdiam dengan sikap berwaspada.

Nampak kalau ada sesuatu yang telah menarik 

perhatiannya, dan serentak pula dua adik sepergu-

ruannya itu pun menghentikan lari mereka. Mereka 

pun segera memperhatikan sekelilingnya. Namun tak 

ada sesuatu yang menurut mereka mencurigakan.

Karena menurut mereka tidak ada yang mencu-

rigakan, mereka berpandangan. Lalu saling mengge-

leng untuk kemudian memperhatikan Penggoro yang 

masih bersikap tenang seperti tengah berkonsentrasi.

"Ada apa, Kakang?" tanya Gurno dengan sikap 

yang waspada. Matanya sekali lagi memperhatikan se-

keliling mereka dengan sikap yang amat waspada.

Penggoro tidak menyahut. Dia seperti tengah 

terdiam. Namun sikapnya penuh misterius. Bahkan 

terlihat keningnya berkali-kali berkerut.


Dia memasang telinganya dengan tajam. Dan 

telinga yang terlatih untuk mendengar suara yang cu-

kup jauh sekali pun, lapat-lapat diiringi dengan desir 

angin yang menggesek daun-daun jati dia mendengar 

suara orang menangis. Namun dia menjadi bingung 

dan heran sendiri dengan pendengarannya.

Benarkah apa yang didengarnya?

Suara orang menangis?

Tidak salahkah dia?

Ya, dia jelas mendengar suara orang menangis. 

Suara seorang perempuan. Terdengar begitu amat 

memilukan sekali.

Penggoro mendesah. Dia sekali lagi menajam-

kan pendengarannya karena barangkali saja dia salah 

mendengar. Nampaknya amat mustahil. Mustahil ada 

wanita yang mau bermain-main ke hutan seperti ini.

Namun telinganya tidak salah mendengar. Dia 

amat jelas menangkap suara orang menangis. Dan hal 

ini semakin membuatnya bertambah amat yakin seka-

li.

Karena sikap kakangnya begitu misterius, dua 

adik seperguruannya pun segera berkonsentrasi. Me-

reka pun menajamkan telinga mereka.

Dan telinga mereka pun mendengar suara tan-

gis itu. Kemudian keduanya berpandangan dengan ha-

ti bertanya-tanya. Kala kesimpulan mereka singgah 

pada sesuatu hal, mereka menjadi tegang. Dan seketi-

ka terlihat mereka bersiaga.

"Kakang...." desis Gurno dan Perwiro bersa-

maan, tak sadar tangan keduanya mengepal. Kesimpu-

lan itu amat mengerikan, karena mereka tak meng-

hendaki pertemuan dengan orang yang mereka cari da-

lam keadaan seperti ini.

Menyamar dan dibokong!

Penggoro pun mengalami hal yang sama. Na



mun dia bisa bersikap lebih tenang. Ki Ronggo Jibus? 

Mungkinkah yang sedang menangis itu adalah Ki 

Ronggo Jibus yang sedang menyamar? Ini merupakan 

kebingungan yang amat terasa sekali.

"Tenang... kita harus berhati-hati......" desisnya 

waspada dan telinganya jelas-jelas menangkap suara 

orang mengisak. Suara yang semakin lama semakin li-

rih.

"Kakang... apakah kau tidak menduga kalau 

sosok itu adalah Manusia Berubah Muka yang sedang 

menyamar?" terdengar suara Perwiro bagaikan desisan 

belaka.

"Aku tidak mau kita salah menduga, dan ma-

nusia yang menangis itu adalah si Iblis Berubah Muka. 

Namun aku pun tidak ingin kita salah menduga. Bisa 

jadi memang ternyata bukan manusia iblis itu yang 

sedang menyamar."

"Hmm. .. Kakang, menurutmu suara apakah 

itu?" tanya Gurno dengan sikap tetap waspada.

"Suara seorang wanita sedang menangis." 

"Mungkinkah ada seorang wanita yang iseng bermain-

main ke sini?" "Mungkin."

"Bagaimana dengan mungkin itu?"

"Bisa jadi memang seorang wanita yang sedang 

menangis."

"Mengapa harus di hutan yang menyeramkan 

ini?"

"Mungkin dia tersasar!"

"Kalau pun tersasar mengapa harus tiba di hu-

tan seperti ini?"

"Entahlah."

"Kakang...."

"Ya?"

"Jangan-jangan... itu adalah Ki Ronggo Jibus 

yang sedang menyamar."


Penggoro mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Kesimpulan yang ada dibenaknya pun mengisyaratkan 

jawaban seperti itu.

"Itu bisa jadi benar. Namun bisa pula salah."

"Kakang... apakah Kakang lupa kalau manusia 

itu amat pandai menyamar?"

"Tidak, aku tidak pernah lupa akan hal itu. 

Namun aku pun tidak mau kita terlalu salah bila ter-

nyata memang bukan manusia iblis itu."

"Lalu bagaimana sikap kita, Kakang?" tanya 

Perwiro.

Penggoro terdiam. Dia mendesah sejenak sebe-

lum kemudian berkata,

"Sebaiknya kita cari saja dari mana datangnya 

sumber suara itu. Namun kita tetap jangan lupa, kita 

harus tetap bersiaga dan waspada. Aku tidak mau mati 

konyol dalam hal ini. Bagaimana?"

Gurno dan Perwiro berpandangan, lalu saling 

mengangguk. Kewaspadaan mereka semakin bertam-

bah.

"Baiklah, Kakang... mungkin dengan cara se-

perti itu kita akan bisa lebih jelas mengetahui siapa 

orang itu adanya," kata Perwiro.

"Benar. Ayo!"

* * *

LIMA



Lalu ketiganya pun melangkah kembali. Dalam 

pikiran masing-masing kini semakin terpusat pada 

sumber tangis itu, dari mana dan siapa orang yang se-

dang menangis itu. Pikiran tentang Ki Ronggo Jibus 

yang menyamar semakin lekat di benak mereka. Dan

ketiganya tidak mau bila mereka mengalami suatu hal 

yang mengerikan. Karena bila memang begitu, habis-

lah harapan mereka untuk menangkap dan membasmi 

manusia busuk itu!

Bila benar memang Ki Ronggo Jibus yang me-

nyamar adanya, bisa jadi manusia busuk itu telah 

mempersiapkan jebakan yang dapat membuat mereka 

mampus seketika.

Sungguh mengerikan, karena manusia iblis itu 

bisa dengan enaknya membokong. Dan akan tertawa 

terbahak-bahak melihat hasil kerjanya yang berhasil, 

tanpa mereka bisa melawan sedikit pun untuk meng-

hadapi serangan bokongan atau jebakan yang men-

ganga dan siap untuk menelan mereka.

Isak tangis itu semakin jelas terdengar. Kini di-

bawa oleh angin yang semakin berhembus dengan 

kuat, sementara geresek dedaunan terdengar sungguh 

amat mengerikan.

"Suara itu berasal dari arah kiri," kata Penggoro 

pelan dengan sikap yang tetap waspada.

Dengan hati-hati, kembali semuanya melang-

kah.

Mereka semakin tegang bila ternyata yang me-

nangis itu adalah Ki Ronggo Jibus yang telah lama me-

reka can, manusia yang telah berbuat keonaran dan 

bertindak tidak mengenai ampun. Padahal tidak ada 

sebab yang bisa dijadikan alasan yang kuat akan se-

pak terjangnya yang mengerikan.

Sebenarnya Tiga Setan Api cukup gembira ka-

rena secara tidak langsung manusia yang telah sekian 

lama mereka can telah mereka temukan. Akan tetapi 

mereka tidak menghendaki bila adanya pembokongan.

Meskipun demikian kesempatan ini tidak akan 

pernah mereka sia-siakan. Sebisanya mereka akan 

menangkap manusia jahanam itu atau membunuhnya!


Itulah sebabnya masing-masing telah siap 

menggenggam hulu golok yang terselip di balik angkin 

yang mereka ken akan. Dan masing-masing telah 

mempersiapkan diri dengan ilmu Tangan Api masing-

masing.

Semakin dekat mereka melangkah, semakin 

lama suara isak itu semakin jelas terdengar.

Langkah mereka pun kini makin diperlambat, 

dengan jalan melangkah perlahan. Dengan kesiagaan 

yang teramat waspada. Dengan ketegangan yang mulai 

memuncak.

Tak jauh dari mereka ada sebuah sendang yang 

cukup deras airnya. Letak sendang itu tertutup oleh 

rimbunnya semak belukar dan di sekitarnya sungguh 

amat gelap. Mampu membuat bulu roma berdiri. Ge-

muruh suaranya yang mengalir deras telah menerpa 

telinga mereka. Semakin menambah ketegangan yang 

berdetak di dada masing-masing.

Dan nampaknya suara isak itu berasal dari sa-

na. Terbawa oleh angin yang bertiup ke arah mereka 

hingga mereka semua mendengarnya.

Kini mereka pun melihat sosok tubuh yang ten-

gah terduduk di tanah. Sikap sosok itu menunduk. 

Kepalanya tertutup oleh rambutnya yang cukup pan-

jang.

Sosok itulah yang menangis. Ini membuat hati 

mereka menjadi bertambah tegang.

Seorang perempuan? Gusti Allah... benarkah 

dia seorang perempuan, ataukah Ki Ronggo Jibus yang 

sedang menyamar? Pikiran itu melintas di benak mas-

ing-masing.

Rasa kesiagaan mereka kini berpadu dengan 

rasa ketegangan.

"Hmmm... hati-hati... nampaknya kita semakin 

mendekati sasaran," desis Penggoro.


"Aku kuatir ternyata gadis itu adalah Ki Ronggo 

Jibus, Kakang," kata Gurno.

"Demikian pula aku. Aku bukannya takut, na-

mun aku tidak menghendaki adanya jebakan atau bo-

kongan yang telah direncanakan oleh manusia busuk 

itu!"

"Lalu bagaimana tindakan kita, Kakang?"

"Hhh! Manusia busuk itu telah kita temukan! 

Dan kita tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan 

ini, bukan?"

Ketiganya terus mendekati sambil memperhati-

kan sosok tubuh itu yang semakin lama semakin jelas 

terlihat.

Mendadak saja dari kejauhan Penggoro mengi-

baskan tangannya. Dan "Wuuuutttt!" Serangkum an-

gin deras menderu ke arah sosok yang sedang menan-

gis itu.

Dugaan Penggoro, bila benar sosok tubuh itu 

adalah Ki Ronggo Jibus yang sedang menyamar, maka 

pasti manusia iblis itu akan menghindari serangan itu. 

Namun bila dia memang ternyata sosok tubuh belaka, 

memang seorang gadis yang sedang menangis, maka 

dia akan terhantam dengan derasnya.

Dan tubuh itu memang terguling dengan deras 

ke belakang setelah serangkum angin besar itu mende-

ru ke arahnya. Sosok itu berguling berulangkali karena 

tenaga dorongan angin yang kuat sekali telah meng-

hantamnya.

Penggoro terkejut. Dia tidak menyangka sosok 

tubuh itu akan terguling dengan hebat.

Dan keterkejutannya semakin bertambah sete-

lah mendengar suara mengaduh kesakitan yang amat 

sakit sekali. "Aaaakkkkhhhh!!" Suara seorang perem-

puan, yang tengah kesakitan. Lalu tubuh itu meng-

hantam sebuah pohon yang berada di belakangnya


dengan deras dan kuat.

"Kakang!!" seru Gurno yang kalah terkejutnya.

"Sosok itu terhantam pukulan Seribu Angin mi-

lik Kakang!" seru Perwiro. "Aku tidak ingin kita salah 

sangka Kakang!"

Penggoro mendesah dengan keterkejutan yang 

mata sangat.

"Benar! Aku kuatir, aku telah melakukan kesa-

lahan yang amat fatal sekali!" serunya. "Lebih baik kita 

ke sana untuk melihat, namun jangan lupa kita harus 

tetap berhati- hati... Karena manusia durjana itu bisa 

menyamar seperti apa pun! Ayo!"

Lalu ketiganya pun berlarian untuk mendapati 

sosok tubuh yang terguling tadi. Ketiganya tetap bersi-

kap waspada. Dan mereka masih tetap mempunyai se-

dikit keyakinan kalau sosok itu adalah Ki Ronggo Ji-

bus yang sedang menyamar.

Sikap mereka tetap berhati-hati. Sementara so-

sok tubuh yang terhantam dorongan angin deras itu 

diam tidak tergerak. Semakin dekat ketiganya dengan 

sosok yang terdiam itu, semakin berhati-hati mereka 

melangkah.

Sosok tubuh itu berpakaian sedikit ku mal, 

rambutnya panjang tergerai. Wajahnya yang terlihat 

sedikit, benar-benar bercirikan seorang gadis. Hati ke-

tiganya semakin galau dan kebingungan. Karena hati 

mereka pun kini mulai berubah. Berubah secara per-

lahan-lahan dan dibalur dengan penyesalan. Ragu.

Benarkah dia Ki Ronggo Jibus yang sedang me-

nyamar? Ataukah memang seorang gadis belaka yang 

kebetulan tersasar?

Hal ini membuat ketiganya menjadi teramat ga-

lau.

Namun karena Penggoro sudah melangkah, ke-

dua adik seperguruannya pun mau tak mau mengikutinya. Suara langkah mereka itu perlahan, penuh ke-

raguan.

* * *

Sosok itu tetap tidak bergerak. Namun eran-

gannya perlahan-lahan terdengar.

"Ayah.... aduh, sakit... sakit sekali, aduh ayah... 

sakit, sakit sekali...."

Rintihan itu semakin membuat mereka sema-

kin bertambah ragu dengan keyakinan itu.

Sebuah rintihan yang tidak dibuat-buat. Nam-

pak benar-benar amat kesakitan dan penuh kepedi-

han. Hati Penggoro menjadi tidak enak-mengingat dia 

yang membuat semua itu terjadi. Keraguannya mulai 

mengikis.

Dipenuhi dengan rasa bersalah. Bila saja wani-

ta ini mati, bagaimana jadinya? Bukankah dia sedang 

mencari Ki Ronggo Jibus? Bukannya malah menurun-

kan tangan telengas terhadap orang yang tidak bersa-

lah.

"Kakang...." terdengar desisan Gurno, seolah 

mengisyaratkan kesalahan yang telah diperbuat oleh-

nya. "Lihat gadis itu... dia bisa kaku karena kedingi-

nan...."

Penggoro hanya mendesah panjang. Lalu berge-

gas dia menghampiri sosok tubuh itu. Dibalikkannya 

tubuh yang membelakanginya itu. Kini terlihatlah se-

raut wajah yang amat jelita. Namun kening wajah itu 

berkerut dan berkali-kali sepasang matanya yang ter-

pejam bergerak-gerak seperti sedang menahan rasa 

sakit. Sakit yang sukar ditahan rasanya.

Hati Penggoro makin teriris melihatnya. Dia 

sungguh tidak mengharapkan hal ini terjadi.

"Tenang, Nyai... tenang...." desisnya mencoba


menenangkan sosok jelita yang sedang kesakitan, na-

mun dia sendiri sebenarnya tegang luar biasa. Karena 

dia yakin, tak seorang pun akan mampu menahan se-

rangan pukulan Angin Seribunya. Kecuali bila orang 

itu memiliki tenaga dalam yang amat tinggi. Tetapi 

apakah gadis ini memiliki tenaga dalam seperti itu? 

Dan bila gadis ini masih bisa bertahan sungguh luar 

biasa sekali. "Tenang, Nyai... Tenang... kau akan sege-

ra kutolong...."

"Ayah... sakit, Ayah... sakit...." erangan itu se-

makin kuat terdengar, semakin membuat Penggoro 

bertambah gelisah. Sementara Gurno dan Perwiro yang 

sudah memasukkan kembali golok mereka ke sarung-

nya, hanya mendesah panjang. Karena mereka sendiri 

tidak yakin bila gadis jelita ini akan mampu bertahan 

lebih lama Dan karena mereka pun tahu betapa dah-

syatnya ilmu Pukulan Angin Salju milik kakak seper-

guruannya.

"Tenang, Nyai... tenang...." desis Penggoro lalu 

dia sendiri bergerak dengan cepat. Ditempelkannya ke-

dua telapak tangannya ke punggung gadis itu. Lalu dia 

mendesah sebelum berkonsentrasi. Lalu dikirimkan-

nya tenaga dalamnya untuk mengurangi rasa sakit pa-

da tubuh gadis itu. Dan memberi kan hawa panas un-

tuk mengembalikan suhu badannya.

Bila lewat lima menit, maka tubuh gadis itu 

akan menggigil karena Pukulan Angin Seribu mengan-

dung hawa dingin yang mampu membuat tubuh men-

jadi kejang dan kaku. Dan bila terlambat di berikan 

hawa yang cukup panas atau guna memulihkan tena-

ganya, niscaya gadis itu akan berjumpa dengan maut.

Bila orang yang terkena Pukulan Angin Seribu, 

dan tidak kuasa menahan akibatnya, maka niscaya 

orang itu akan mampus dengan tubuh membiru kare-

na kejang kedinginan yang amat menyengat sekali.


Sebisanya Penggoro mencoba menyelamatkan 

gadis itu. Separuh tenaga dalamnya telah terkuras, 

namun belum ada tanda-tanda kalau gadis itu sudah 

terbebas dari Pukulan Angin Seribunya. Justru yang 

membuat Penggoro semakin gelisah, karena gadis itu 

malah semakin kesakitan yang terlihat kalau tubuhnya 

mulai mengigil akibat hawa dingin yang mulai me-

nyengat. Pukulan Angin Seribu seakan sama dengan 

ilmu Tangan Salju milik Manusia Dewa yang bermu-

kim di tepi Laut Kidul.

"Kakang... gadis itu bisa mati bila tidak cepat 

ditolong," kata Gurno tak kalah gelisahnya. Hatinya 

sungguh cemas dan menyesal melihat kejadian itu.

"Aku tahu! Tapi sudah separuh tenaga dalamku 

yang kukerahkan untuk mengurangi rasa sakitnya, 

namun belum terlihat tanda-tanda sedikit pun kalau 

gadis ini akan selamat. Lihatlah, dia justru semakin 

kesakitan!"

"Kakang... tenagamu bisa terkuras habis nanti. 

Minggirlah, biar aku yang menggantikan mu," kata 

Gurno yang melihat tubuh Penggoro menggigil hebat.

Penggoro pun menyingkir, Gurno menggantikan 

kedudukannya. Penggoro sendiri langsung bersemedi 

guna mengembalikan tenaga dalamnya lagi. Sementara 

Gurno pun mulai mengalirkan tenaga dalamnya.

Namun sama halnya seperti yang dilakukan 

oleh Penggoro tadi, gadis itu malah nampak kesakitan. 

Terlihat Gurno sudah berkeringat. Sekujur tubuhnya 

nampak mengigil. Tenaga dalamnya pun separuh su-

dah terkuras. Namun tak terlihat tanda-tanda kalau 

gadis itu terobati dari sakitnya. Malah gadis itu sema-

kin ter-erang-erang kesakitan.

Melihat kenyataan itu, Perwiro pun segera 

menggantikan kedudukan Gurno, dan Gurno sendiri 

pun segera bersemedi untuk memulihkan tenaganya


kembali.

Namun lagi-lagi hal yang sama pun di alami 

oleh Perwiro. dia tidak ubahnya merasa kedua telapak 

tangannya telah menempel lekat pada tubuh gadis itu, 

hingga tenaga dalamnya terkuras separuh pun gadis 

itu masih tetap saja dalam posisi kesakitan. Lekat dan 

dirasakannya tenaga dalamnya bagaikan tersedot.

Sekujur tubuh Perwiro pun menggigil dengan 

hebat. Keringat pun mengalir di seluruh tubuhnya. 

Malah terlihat kini tubuhnya mulai limbung.

Rupanya dari ketiganya, hanya Perwirolah yang 

memiliki tenaga dalam di bawah Penggoro dan Gurno. 

Mengingat Perwirolah orang ketiga yang menggabung-

kan diri dengan Tiga Setan Api sebelum mereka bergu-

ru di Hutan Halimun Jawa.

Untunglah pada saat yang kritis, Penggoro 

membuka matanya. Dan begitu melihat keadaan Per-

wiro yang sudah amat parah, dengan cepat Penggoro 

menggerakkan kedua tangannya ke arah Perwiro. Bila 

saja dia terlambat beberapa menit, tidak mustahil na-

sib Perwiro akan segera menemui Sang Penciptanya.

"Pllaaaakkk!"

Kontan tubuh Perwiro terpental ke belakang. 

Bergegas Penggoro memburunya dengan hati yang ce-

mas. Dan bergegas pula dia mengalirkan tenaga da-

lamnya untuk memulihkan tenaga dalam Perwiro.

Namun baru saja dia selesai melakukan itu, 

mendadak terdengar suara tertawa yang amat hebat 

sekali. Keras. Bersamaan dengan turunnya hujan yang 

amat lebat. Membasahi sekujur tubuh mereka, yang 

cukup terkejut mendengar suara tawa yang terdengar 

amat mengerikan.

"Ha-ha-ha.... Tiga Setan Api dari Utara... ru-

panya kalian manusia-manusia yang memiliki nyali! 

Namun malam ini... kalian akan mampus di tangan Ki


Ronggo Jibus, karena telah lancang berani-beraninya 

melangkahkan kaki untuk mencarinya.... ha-ha-ha-

ha...."

Ketiganya yang masih belum pulih benar tena-

ga dalam, mereka celingukan bingung. Tak ada tanda-

tanda bayangan Ki Ronggo Jibus atau Manusia Beru-

bah Muka.

"Ha-ha-ha... kalian benar-benar bodoh! Tak 

seorang pun yang bisa mengenali siapa aku sesung-

guhnya... ha-ha-ha... kematian telah berada di ambang 

pintu, dan telah siap untuk menjemput kalian berti-

ga... ha-ha-ha...."

"Manusia busuk! Bila kau berani, keluar dari 

tempat persembunyianmu!" seru Penggoro sambil ce-

lingukan ke sekelilingnya. Kewaspadaannya bertambah 

tinggi.

"Ha-ha-ha... baik, baik... kalian manusia-

manusia bodoh! Ha-ha-ha...."

"Bangsat! Keluar kau!!!"

* * *

ENAM



"He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-

marah sekali, Penggoro?" Suara itu terdengar amat 

mengejek, membuat telinga Penggoro memerah dan 

semakin bertambah penasaran. "Tidak sadarkah kau 

bahwa tenaga dalammu sudah sebagian menghilang? 

He-he-he... juga dengan dua adik seperguruanmu! Ka-

lian memang sudah sepatutnya untuk mampus! Nah, 

bukankah lebih baik kalian membunuh diri saja dari-

pada harus bersusah payah mati secara mengerikan? 

Apalagi di tanganku... he-he-he...."


Penggoro yang bertambah geram semakin celin-

gukan mencari sumber suara itu. Demikian pula hal-

nya dengan Gurno dan Perwiro yang juga mencari-cari 

sumber suara itu.

Bangsat! Siapa adanya pengintai itu?!

Namun mendadak saja Penggoro mendengus 

dan berseru kaget sambil melihat pada si gadis yang 

masih meringkuk di tanah, "Oh! Bangsat! Keparat! Ru-

panya kau, Manusia busuk!! Mampuslah kau!!!" se-

runya berang dengan kegeraman yang sudah hinggap 

di kepala sambil melepaskan kembali Pukulan Angin 

Seribunya ke arah sosok gadis yang masih meringkuk 

itu. "Wuuuuuttt...!!"

Serangkum angin dingin keras menderu me-

nerpa ke arah sosok yang masih meringkuk di tanah. 

Rupanya Penggoro mengeluarkan ilmu Pukulan Angin 

Seribunya dalam tingkat tinggi karena berbeda dengan 

dorongan angin yang dilakukan sebelumnya. Hal ini 

membuat Perwiro dan Gurno heran mengapa kakang-

nya seperti bernafsu sekali membunuh gadis itu? He, 

lihat! Apa yang terjadi?

Kedua terbelalak dengan mata yang seakan in-

gin melompat keluar. Karena mendadak saja dengan 

satu gerakan yang amat lincahnya sosok gadis itu me-

lesat melayang sementara Pukulan Angin Seribu yang 

telah dilepaskan oleh Penggoro menghantam sebuah 

pohon besar di belakang tubuh gadis yang tadi me-

ringkuk. Keras dan pohon itu seketika tumbang. Ru-

panya Penggoro melepaskan pukulannya dengan tena-

ga penuh.

Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-

keh yang amat keras, "Heheheh... itulah kebodohan Ti-

ga Setan Api dari Utara yang telah menyia-nyiakan te-

naga dalamnya untukku! Heheheh... kini ajal kalian te-

lah tiba!"


Lalu sosok gadis yang melayang itu hinggap di 

tanah dengan tangannya dan dengan satu gerakan 

yang amat cepat tangan kanan itu terangkat ke atas, 

dan "brettt!" rambut panjang yang seakan menempel di 

kepala itu copot terbuka.

Terlihatlah seraut wajah yang cukup mengeri-

kan. Dan ala disingkapkan pakaiannya terlihatlah so-

sok tubuh yang kurus. Sosok itu kira-kira berusia tu-

juh puluh tiga tahun. Pakaiannya serba hitam dengan 

kain pengikat kepala berwarna hitam pula. Wajahnya 

menakutkan dengan raut yang tirus meruncing. Sebe-

lah matanya yang semakin membuatnya nampak men-

gerikan, karena mata itu picek. Itulah sosok asli dari 

Ki Ronggo Jibus yang amat menakutkan!

Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan 

itu. Penggoro yang bisa menguasai dirinya hanya men-

dengus, sedikit merasa terkejut juga melihat wajah 

yang amat mengerikan itu. Gurno dan Perwiro sendiri 

pun tidak menyangka hal itu dan keduanya menjadi 

amat geram karena merasa tertipu mentah-mentah. 

Merasa tertipu karena telah membuang dan memberi-

kan separuh tenaga dalam mereka pada manusia bu-

suk itu. Penyamaran yang amat hebat telah dilakukan 

oleh manusia durjana itu. Sungguh patut bila dia ber-

gelar Manusia Berubah Muka.

"Bangsat busuk!!" geram Penggoro kalap. "Su-

dah kuduga engkaulah orang yang berada di balik wa-

jah gadis yang kesakitan itu! Bangsat!"

Ki Ronggo Jibus terkekeh yang terdengar begitu 

nyaring dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa 

kematian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar bi-

asa. Kala dia terkekeh mulutnya terbuka, terlihat be-

berapa buah gigi yang menghitam, yang semakin me-

nambah keseraman wajahnya.

"He-he-he... salahmu sendiri, Manusia go-blok!



Mengapa kalian bisa tertipu seperti itu?" tawanya 

mengejek. "Kalau begini, apakah aku bersalah? He-he-

he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok seperti 

kalian ini tidak akan pernah mau mengaku salah! 

Yah... memang goblok!"

"Keparat! Sejak semula aku memang sudah cu-

riga, kalau semua ini adalah tipu muslihatmu! Hhh, te-

rus terang penyamaranmu begitu hebat sekali!" seru 

Penggoro pula dengan jiwa yang semakin geram walau 

sebenarnya dia pun kagum dengan ilmu menyamar 

yang begitu sempurna yang dimiliki oleh Ki Ronggo Ji-

bus.

"He-he-he... sekali lagi itu salahmu! Salah ka-

lian! Kalian ini memang manusia-manusia goblok, tapi 

tidak mau mengakui kegoblokan kalian! Dasar seperti 

keledai dungu!"

Penggoro mendengus, kata-kata itu amat me-

nyakitkan sekali Di samping dia juga malu. Lebih malu 

lagi bila mengingat manusia itu sejak tadi tentu men-

tertawai mereka bertiga. "Keparat! Untuk menebus ke-

salahanku itu, kusarankan agar kau lebih baik mem-

bunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku yang 

akan membunuhmu? Dan agaknya Dewata memang 

telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!"

"He-he-he... mati di tanganmu? Jangan asal 

mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-

nuhku, Penggoro?" serunya dengan suara mengejek.

"Dengan ini, Manusia laknat!" geram Penggoro 

sambil mengangkat kedua tangannya yang terkepal 

dengan keras menandakan kemarahan Penggoro yang 

sudah pada puncaknya.

Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-

lah sekali-sekali mengusap janggutnya yang jarang 

namun panjang dan jelek itu.

"He-he-he.... hendak membunuhku dengan itu?


Jangan bermimpi di siang bolong kau! Dan jangan 

menganggap ringan Ki Ronggo Jibus. Ketahuilah bah-

wa kau dengan dua cecoro mu itu yang akan mam-

pus!!"

"Bangsat keparat!!" geram Penggoro dengan wa-

jah yang memerah buas. Dia merasa ditertawakan dan 

dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar yang 

gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan tangan 

siapapun juga. Lagipula, kali ini dia memang tengah 

mencari Ki Ronggo Jibus. Maka mendengar ejekan itu 

dia pun segera mengerahkan tenaga pada kedua tan-

gannya, lalu membentak nyaring. "Tahan serangan, 

Manusia busuk!! Ciaaaaatttt!!!" serunya pula dan ber-

samaan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang 

dengan cepat.

Tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 

dalam yang kuat terhimpun, siap menjembol dada ke-

rempeng Ki Ronggo Jibus. Pukulan itu amat kuat seka-

li dan dengan pukulan semacam itu Penggoro akan 

mampu membuat pecah sebongkah batu sebesar 

kambing atau menumbangkan sebatang pohon kelapa.

Namun sosok kerempeng itu hanya tetap terke-

keh-kekeh. Dia tidak mengelak atau menangkis seran-

gan itu, melainkan diterimanya pukulan Penggoro yang 

mengandung tenaga dalam yang kuat di dadanya.

"Wuuuuuuuttt... buuukkk!!"

Penggoro terkejut sekali ketika merasa betapa 

tangannya seolah bertemu dengan benda kenyal dan 

kuat seperti karet. Seharusnya tangan itu mental kem-

bali karena membal, akan tetapi yang membuatnya 

makin terkejut dan dengan cepat menarik pulang tan-

gannya, karena begitu tangan kanannya menyentuh di 

dada Ki Ronggo Jibus, seperti ada sebuah tenaga yang 

amat kuat menyedot tenaganya.

Membuatnya sejenak kaget.


"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan 

menjauh dari sosok kerempeng itu.

Ki Ronggo Jibus terbahak ngakak.

"Tiga Setan Api yang telah malang melintang di 

rimba persilatan dan menjadi tuan rumah di wilayah 

Utara, rupanya tidak tahu betapa tingginya langit dan 

betapa dalamnya lautan! He-he-he... kali ini baru ter-

buka bukan mata kalian? Bahwa Ki Ronggo Jibus ti-

dak bisa dianggap sepele dan main-main!"

"Monyet kerempeng! Ilmu apa yang telah kau 

gunakan tadi?!" seru Penggoro yang masih kaget.

"He-he-he... itulah yang dinamakan ilmu Pena-

rik Jiwa Pemusnah Raga! Di muka bumi ini, hanya 

akulah seorang yang memiliki ilmu itu! Jangan terke-

jut, karena ilmu inilah yang akan memusnahkan ka-

lian! Menyedot darah kalian hingga kering membiru 

dan memusnahkan tenaga dalam kalian!

Dan untuk mengembalikan tenaga dalam ka-

lian, kalian harus bersemedi selama sebulan... he-he-

he...."

"Anjing keparat! Kita akan melihat siapa yang 

mati duluan menghadap Dewata! Bunuh manusia 

bangsat itu!!" seru Penggoro seraya melesat menyerbu 

kembali, kali ini dengan meloloskan goloknya. Begitu 

pula dengan Gurno dan Perwiro yang secara serempak 

melompat Saling susul menyusul meloloskan golok 

mereka ke arah Ki Ronggo Jibus.

Tetapi manusia kerempeng itu hanya tertawa 

belaka. Lagi-lagi dia tidak berbuat apa-apa. Tetap di 

posisinya semula sambil berucap ringan, "He-he-he... 

kalian akan sia-sia belaka menyerang aku! Lebih baik 

kalian membunuh diri saja!!"

Tiga buah golok yang tajam itu pun segera ber-

gerak mencari sasaran. Berkelebat amat cepat.

"Ceeeppp!"


"Ceeeppp!!"

"Ceeeppp!!"

Tiga buah golok itu telah mencari sasarannya 

Namun begitu tiga buah golok itu mengenai sasaran-

nya, bukannya membacok atau pun memotong malah 

seperti melesak ke dalam dan menempel tersedot bela-

ka.

"He-he-he... rupanya aku belum memberitahu 

kalian secara detail tentang ilmu Penarik Jiwa Pemus-

nah Raga! Ketahuilah, bahwa ilmu ini dapat pula me-

nyedot benda macam apa pun yang menempel pada 

sekujur tubuhku!

Tak terkecuali golok-golok yang ada pada ka-

lian... he-he-he-he...."

Tiga Setan Api adalah jago golongan putih yang 

selalu membela kebenaran dan pantang mundur. Me-

reka tidak takut menghadapi ilmu semacam yang dimi-

liki Ki Ronggo Jibus meskipun mereka tadi sedikit ter-

kejut.

Namun tak urung mereka seakan disadarkan 

oleh betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh manusia 

bejat durjana itu. Namun meskipun demikian mereka 

tidak gentar dengan apa yang dimiliki oleh Ki Ronggo 

Jibus.

Sedangkan sekarang ini mereka tengah berusa-

ha sekuat tenaga untuk menarik golok-golok yang me-

nempel dengan ketat, seolah bagaikan terhisap. Se-

mentara Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh belaka.

"Keluarkan semua tenaga dalam kalian, namun 

kalian akan tetap sia-sia belaka," terkekeh dia dengan 

tubuh terguncang. "Karena tak satu benda atau tenaga 

pun yang bisa terlepas dari ilmu yang kumiliki ini."

Semakin sadarlah Tiga Setan Api dengan kehe-

batan ilmu yang dimiliki Ki Ronggo Jibus. Dan mem-

buat mereka semakin berhati-hati.


Karena merasa sia-sia untuk menarik dan me-

lepaskan golok mereka yang bagaikan menempel di tu-

buh Ki Ronggo Jibus, dengan terpaksa mereka mele-

paskan genggaman tangan mereka dari batang golok 

itu.

Dan bersamaan dengan itu serentak ketiganya 

bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan 

sekali. Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh, merasa lawan-

lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimili-

kinya.

Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena ma-

tanya langsung terbelalak melihat tiga sosok tubuh 

yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali 

ke arahnya dengan pukulan lurus ke depan.

Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-

bus tidak berusaha untuk mengelak atau pun me-

nangkis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh menge-

jek. Namun mendadak terdengar seruannya, "Hei.... 

hiaaaattt!!"

Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam 

tubuhnya bagaikan melihat setan Ki Ronggo Jibus ber-

salto menghindar. Gerakannya cepat dan ringan. Ka-

rena dirasakannya dorongan tenaga angin yang amat 

panas yang siap hinggap di tubuhnya.

"Pukulan Tangan Api!" serunya keras sambil 

hinggap di tanah bagaikan sesobek kapas dengan rin-

gannya.

Tiga Setan Api itu rupanya sudah mengelua-

rkan ilmu andalan mereka Pukulan Tangan Api. Keti-

ganya pun sudah menghentikan serangan mereka dan 

kini terkekeh-kekeh melihat Ki Ronggo Jibus harus ke-

takutan dengan ilmu andalan mereka. Mereka sendiri 

merasa sudah tidak ada jalan lain lagi untuk mengha-

dapi manusia busuk itu.

Hanya ilmu andalan mereka saja yang kini bisa


digunakan. Walaupun sesungguhnya tadi pun mereka 

sebenarnya ragu, apakah ilmu andalan mereka itu 

memang bisa diandalkan untuk menghadapi Ki Ronggo 

Jibus.

Namun kenyataannya membawa hasil!

"Ha-ha-ha... untung kau cepat menghindar, 

Manusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terba-

kar dengan tubuh hangus!" bentak Penggoro keras 

dengan nada mengejek sementara Gurno dan Perwiro 

terbahak-bahak.

Wajah yang mengerikan itu semakin menye-

ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu 

kalian itu mampu membuatku sedikit jeri. Karena il-

muku Penarik Jiwa Pemusnah Raga hanya bisa dika-

lahkan oleh hawa pan as. Dan aku sungguh tidak 

menghendaki bila kenyataannya demikian...." Dia ter-

kekeh lagi. "Akan tetapi kalian tidak boleh lupa, kalau 

yang kalian hadapi kali ini adalah Ki Ronggo Jibus, 

manusia yang memiliki berjuta ilmu yang hanya bebe-

rapa gelintir saja dipergunakan untuk menghadapi se-

kaligus membunuh kalian!"

"Jangan banyak omong kau, Keparat!" geram 

Perwiro. "Sambut serangan.... hiiaaaattt!!" tubuh itu 

melesat kembali dengan gerakan yang amat cepat. Pu-

kulan Tangan Api telah terhimpun di kedua tangan-

nya, meluncur dari kanan kin menampar ke arah ke-

dua pelipis kepala lawan.

"Wuuuuuttt.... Plllaaaakkk!!!"

Kedua tangannya itu tertahan dengan dua 

buah tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Ji-

bus. Dan secepat itu pula dia memutar kedua tangan-

nya untuk menangkap pergelangan tangan Perwiro.

Perwiro terkejut, karena kali ini Ki Ronggo Ji-

bus tidak mengelak, malah dengan santainya dia me-

mapaki pukulan Tangan Apinya. Perwiro berusaha untuk melepaskan diri, kedua pergelangan tangannya te-

rasa dijepit oleh sebuah alat penjepit dari baja. Meski-

pun jari-jemari itu kurus, namun betapa kuatnya 

mencengkeram pergelangan kedua tangannya. Seakan-

akan dirasakan remuk tulang pada kedua pergelangan 

tangannya.

Penggoro dan Gurno sendiri menjadi amat ter-

kejut sekali. Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-

apa, karena mendadak saja Ki Ronggo Jibus mengge-

rakkan kedua tangannya ke belakang hingga tubuh 

Perwiro mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan tu-

buh Perwiro menghadap ke belakang, dengan cepat Ki 

Ronggo Jibus menggerakkan tangannya.

"Plaaaakkk...!!!"

Tangan kerempeng namun penuh tenaga sakti 

itu menghantam hingga pecah kepala Perwiro. Perwiro 

ambruk tanpa sempat berteriak, dia hanya merasakan 

sakit yang luar biasa. Lalu sakit itu lenyap selama-

lamanya karena nyawanya sudah melayang menemui 

Sang Penciptanya.

Hanya terdengar seruan Penggoro kalap lalu 

tubuhnya menerjang, "Manusia keparat! Kau harus 

mengganti nyawa adik seperguruanku!"

Ki Ronggo Jibus hanya terkekeh. Namun dia 

menghindari serangan dari Penggoro dan langsung 

menangkis dengan kibasan tangan kanannya kala di-

rasakannya ada hawa panas menyambar dari belakang 

tengkuknya, Gurno tengah bersiap hendak menghan-

tamkan pukulannya.

"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran 

sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-

gan permainan ini! He-he-he... keinginanku untuk 

mencari si Pengemis Suci belum terpenuhi. Dendam 

yang terpendam puluhan tahun ini bangkit kemba-

li......Pengemis Suci... aku akan datang padamu dan kubawa kepalamu untuk ku ceburkan pada kawah Gu-

nung Merapi!" serunya sambil terus menghindari se-

rangan-serangan dari Penggoro dan Gurno yang terus 

mencecar dengan membabi buta.

"Hhh! Rupanya urusan itulah yang telah mem-

buat kau selalu gila dan menteror manusia-manusia 

yang tak berdosa!" seru Penggoro sambil terus menye-

rang.

"He-he-he... benar, benar! Kau pintar, Penggoro! 

Tapi kau akan mampus!!"

"Bangsat! Kaulah yang akan mati di tanganku, 

Ki Ronggo Jibus!"

"Hhh! Kalian adalah manusia-manusia lancang 

yang tak akan pernah kuampuni! Tak akan pernah 

kuampuni karena kalian telah mengganggu kerja ku! 

Namun sebelum kalian mampus, yang perlu kalian ke-

tahui adalah... selama si Pengemis Suci belum muncul 

juga menemuiku, aku akan tetap membuat onar dan 

selalu meneror setiap desa!

Dan yang perlu kalian ketahui pula, bahwa te-

lah banyak jago-jago dari golongan putih yang telah 

kubunuh karena mengganggu kerja ku! Mampuslah 

kalian sekarang! Hiaaattt...!!"

Melihat kenyataan dari Ki Ronggo Jibus yang 

sudah tidak menghindari serangan Pukulan Tangan 

Api milik keduanya, sadarlah keduanya kalau Ki Rong-

go Jibus memiliki ilmu yang amat hebat guna menang-

kis Pukulan Tangan Api milik mereka.

Manusia durjana ini sungguh memiliki ilmu ib-

lis. Bahkan manusia itu pun dengan hebatnya ganti 

mencecar, menyerang dengan hebat dan ganas. Amat 

berbahaya dan mengandung tenaga sakti yang kuat.

Membuat Penggoro dan Gurno menjadi kewala-

han. Pontang-panting mereka berusaha untuk meng-

hindari serangan-serangan yang amat berbahaya dari


Ki Ronggo Jibus.

Dan sebelum keduanya dapat mengerti lebih 

lanjut, mendadak saja Ki Ronggo Jibus memekik keras 

disusul dengan gerakan tubuhnya bak seekor rajawali 

jantan yang sedang menyambar anak ayam. Keduanya 

kaget. Sungguh teramat kaget, karena saat itu kedua-

nya pun tengah melancarkan pukulan yang hebat ke 

arah kakek kerempeng itu.

Sulit untuk dihindarkan lagi, karena jarak me-

reka sedemikian dekatnya dan belum dengan gerakan 

Ki Ronggo Jibus yang teramat cepat sekali. Gerakan 

mereka sulit untuk dihentikan dan mau tidak mau 

terpaksa mereka pun menambah tenaga pada doron-

gan tumpuan kedua kaki.

Dengan diiringi pekikan yang amat keras.

"Manusia busuk! Mampuslah kau!!!!" seruan itu 

keluar bersamaan dari mulut Penggoro dan Gurno.

Dan... Wuuuuutttt... Plaaakkk! Dessss!!!"

Benturan itu pun tidak bisa dihindarkan lagi. 

Penggoro dan Gurno merasa bagaikan menghantam 

benda kosong melompong seperti balon gas saja. Na-

mun belum lagi keduanya sadar dari kekagetannya, 

mendadak saja sebuah tenaga besar bergerak cepat 

menderu dan menghantam mereka.

Tak bisa disangsikan lagi kalau tubuh kedua-

nya terpental dengan derasnya ke belakang. Melayang 

bagaikan sebuah kapas yang dihembus oleh angin.

Tepat di belakang keduanya berdiri tegak seba-

tang pohon besar dan tubuh keduanya pun dengan de-

ras melayang menghantam pohon itu.

"Braaaakkk!!!"

Terpental kembali sejenak ke depan, lalu am-

bruk tak bernyawa dengan dada yang robek bagaikan 

terkena cakaran tangan harimau lapar. Sementara di 

tempatnya Ki Ronggo Jibus terkekeh.


Hebat, amat hebat. Karena dia tidak kurang 

suatu apa. Bahkan sikapnya seolah tidak pernah ter-

jadi apa-apa. Santai saja dengan tubuhnya yang ke-

rempeng.

"he-he-he... tak seorang pun akan ku biarkan 

hidup... bagi yang berani menentang segala keinginan

ku! He-he-he... tak ada seorang pun...."

Lalu kakinya yang kurus bagaikan orang pesa-

kitan melangkah mendekati dua sosok mayat itu. Dia

terkekeh kembali sebelum kemudian meludahi wajah 

Penggoro dan Gurno yang telah menjadi mayat.

"Ciiih! Manusia lancang seperti kalian ini me-

mang lebih baik mampus! Tapi... he-he-he... aku tak 

akan pernah berhenti membuat onar sebelum kute-

mukan si Pengemis Suci. Dendam yang terpatri di da-

da selama sekian tahun lamanya, harus segera diluna-

si... he-he-he...

Pengemis Suci.... kau tak akan bisa lari dariku! 

He-he-he... selama ini kau belum muncul juga, padah-

al aku sudah seringkali membuat onar! Banyak pen-

duduk yang tak berdosa kubunuh! Padahal sebenar-

nya itu kulakukan semata-mata untuk memancing 

kemunculanmu! Namun kau bagaikan anjing penge-

cut! Yang hingga sekarang belum muncul-muncul ju-

ga!

Kalau begitu baiklah, Pengemis Suci... perbua-

tan onar ku ini tak akan pernah kuhentikan sebelum 

kau muncul! He-he-he... kau akan mampus di tangan-

ku, Pengemis Suci! Dendam sekian tahun akan tuntas! 

He-he-he...."

Ki Ronggo Jibus terkekeh berbalik ke belakang. 

Lalu tangannya bergerak ke arah wajah dan rambut-

nya. Lama tangan itu menekap wajah dan rambutnya. 

Kemudian kala tangan itu sudah lepas dari sana, terli-

hat seraut wajah muda yang gagah dan tampan.

Manusia itu telah menyamar kembali. Sungguh 

hebat ilmu yang dimilikinya.

Masih dengan terkekeh yang menggema di hu-

tan itu, dia pun berkelebat dengan cepat dari sana. 

Hanya kekehannya yang cempreng dan nyaring yang 

masih terdengar.

* * *

TUJUH



Malam gulita. Desa Jajar Sawah diselimuti oleh 

rembulan yang pekat. Langit gelap. Awan hitam yang 

terus bergerak berupaya untuk menghalangi sinar 

rembulan yang berpayung di atasnya. Namun rembu-

lan pun tak mampu lagi untuk menahan dan menem-

buskan sinarnya guna memayungi desa Jajar Sawah.

Tiba-tiba saja alam yang sepi dan penduduk 

yang sedang terlelap dikejutkan oleh jeritan yang amat 

keras dari sebuah rumah, lalu disusul dengan berla-

riannya orang-orang yang tinggal di rumah itu. Karena 

di atap rumah mereka, api berkobar dengan ganasnya.

"Tolong....!! Api...! Tolong...!!"

Malam yang sunyi senyap itu pun harus ber-

ganti bagaikan pagi atau siang ban. Semua penduduk 

berlarian keluar rumah. Sebagian segera membantu 

warga yang rumahnya terbakar itu. Namun baru saja 

api berhasil dipadamkan, tiba-tiba kembali api me-

nyambar beberapa rumah. Kali ini lebih dahsyat dan 

cepat, karena langsung sekaligus membakar beberapa 

rumah penduduk. Kepanikan itu semakin menjadi-

jadi. Suara ramai pun terdengar.

"Cepat...! Padamkan api!! Cepat...!!"

"Air!! Ambil air...!!"


Ramai dan gegap gempita.

Dalam lintasan pikiran mereka Radunglah yang 

melakukan semua ini, namun sejak dibuat malu oleh 

pengemis tua yang sakti itu, pemuda bengal itu tidak 

pernah lagi membuat onar. Bahkan dia pun kini ikut 

terlibat dengan penduduk.

Tak ketinggalan Radu Rukmo yang dulu hanya 

memeras tenaga rakyat untuk mendapatkan keuntun-

gan yang berlipat ganda, kini malah dengan suka rela 

menambah upah mereka.

Mungkinkah keduanya yang melakukan hal 

ini? Begitu pertanyaan yang timbul di hati para pen-

duduk. Namun mereka tidak bisa menuduh begitu sa-

ja, bahkan mereka malu dengan tuduhan mereka itu 

sendiri.

Lagi pula, Radung sendiri bersama tukang pu-

kulnya yang telah insyaf pula, berada di tengah-tengah 

mereka dan sibuk pula membantu. Bahkan Radung 

sendiri turun tangan untuk mengambil air penyiram 

api.

Selagi mereka sibuk dengan api yang terus ber-

kobar, tiba-tiba terdengar ringkikkan kuda yang amat 

keras sekali disusul dengan derap kuda yang menuju 

ke arah mereka. Jelas dan terdengar keras.

Belum lagi mereka memperhatikan dengan je-

las, sosok yang mengenakan caping dengan golok di 

punggung itu bersalto dari kuda hitamnya. Lalu meng-

gerakkan kedua tangannya ke arah api yang berkobar 

dengan kuat.

"Wuuuut...! Wuuuut...!"

Hampir lima kali dia melakukan hal itu. Dan 

mendadak saja api yang berkobar itu pun padam. Ru-

panya dari kedua tangannya yang dikibaskan ke arah 

api yang berkobar itu meluncurlah serangkum angin 

dingin yang cukup kuat hingga mampu membuat api


menjadi padam.

Dan kali ini barulah para penduduk memperha-

tikannya.

Radung mengambil inisiatif lebih dulu. "Ki Sa-

nak... siapakah Ki Sanak ini adanya?"

Pemuda yang wajahnya sebagian tertutup oleh 

caping itu tersenyum. "Hmmm... maafkanlah aku, Ki 

Sanak... tentunya kalian terkejut dan bertanya-tanya 

siapakah diriku ini? Baiklah... aku hanyalah pemuda 

pengembara yang berasal dari Gunung Kidul atau te-

patnya dari Bukit Paringin, yang secara tidak sengaja 

dan kebetulan sekali singgah di desa ini. Sekali lagi 

maafkan kelancanganku karena tanpa seizin kalian te-

lah berani-beraninya membantu kalian memadamkan 

api. Maafkan kelancanganku.... Namaku Pandu... Sa-

lam kenal dariku untuk kalian semua...."

Melihat sikap pemuda bercaping yang sopan itu 

rasa simpati di hati mereka pun timbul. Pemuda yang 

tak lain Pandu atau Pendekar Gagak Rimang itu pun 

tersenyum. Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng yang 

secara tidak sengaja tiba dan membantu memadamkan 

api itu merasa bersyukur karena sambutan para pen-

duduk begitu hangat.

Namun keakraban yang mulai timbul itu men-

jadi kacau balau, karena tiba-tiba terdengar jeritan ke-

ras yang menyayat hati, disusul dengan ambruknya 

dua sosok tubuh ke bumi dan meregang nyawa.

"Aaaaakkkh...!!"

"Aaaaaakkkh...!!"

Mereka terkejut, beberapa orang berlarian 

mendapatkan dua sosok mayat itu.

"Subali!"

"Wiro!!"

Namun dua sosok itu tak akan pernah menya-

hut lagi karena nyawa mereka telah lepas dari jasad.


Pendekar Gagak Rimang mendengus, hidung-

nya yang tajam akan kejahatan telah mencium satu 

tindak kejahatan yang berlebihan. "Keparat! Siapa ma-

nusia yang berani membokong secara kejam ini?!" den-

gusnya dalam hati.

Keadaan pun menjadi gempar. Orang-orang 

menjadi panik. Belum lagi mereka bisa tenang dari ke-

bakaran yang mendadak saja terjadi, kini mereka di-

hadapkan dengan satu kenyataan, bahwa kedua teman 

kalian telah mati secara mendadak.

Pandu sendiri segera memeriksa kedua mayat 

itu. Di tempelkannya kedua telapak tangannya untuk 

memeriksa Hmm, dia merasakan ada sesuatu yang 

mengalir di kedua telapak tangannya, hangat dan me-

rayap perlahan-lahan.

"Gila! Ilmu iblis!!" desisnya. Selama dalam pen-

gembaraannya Pandu banyak mendapatkan pengala-

man hidup yang cukup. Dia pun dapat mengetahui je-

nis-jenis ilmu kesaktian baik dari golongan hitam 

maupun golongan putih. Dan salah satu jenis pukulan 

dari golongan hitam adalah Tapak Geni Sakti. Pukulan 

inilah yang mengenai dua warga desa Jajar Sawah.

Belum lagi Pandu berhasil mengira-ngira siapa 

yang telah membuat onar, mendadak saja dirasakan 

desiran angin di belakangnya. Reflek dan dengan gera-

kan yang amat cepat, pemuda bercaping itu berguling 

ke belakang dan kala dia berdiri serta melihat apa yang 

menyerangnya, dia cukup terkejut.

Di depannya berpuluh-puluh penduduk tengah 

melangkah perlahan-lahan ke arahnya dengan sikap 

tidak bersahabat.

Pandu jadi gugup.

"Hei, Sobat! Ada apa ini?! Mengapa sampai be-

gini?!" serunya dan tak sadar dia mundur.

Wajah-wajah di hadapannya begitu beringas.


"Bunuh pemuda itu!!" "Jangan beri ampun!!" 

"Dia hanya berkedok membantu kita memadamkan 

api! Padahal dia sendiri yang membuat teror!!"

Seruan-seruan kasar disertai dengan wajah 

yang beringas marah semakin ramai terdengar. Wajah-

wajah gusar dan penuh amarah semakin banyak dan 

bengis.

Sadarlah kini Pandu kalau orang-orang itu sa-

lah paham. Namun menghadapi massa yang sedang 

mengamuk seperti itu sulit baginya untuk mendiam-

kan. Memang tidak ada jalan lain selain menghindar, 

daripada harus mati konyol.

Pandu juga paham kalau semua itu hanya di-

landasi oleh rasa yang tidak bersahabat. Bagaimana 

mungkin mereka bisa percaya terhadapnya, bila untuk 

kali ini mereka Baling jumpa.

"Saudara-saudaraku.!" serunya mencoba me-

nenangkan massa yang siap melancarkan aksi amarah 

mereka. "Tenanglah kalian semua! Pikirkan semua 

dengan hati jernih dan jiwa yang suci! Demi Gusti Al-

lah, aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduh 

itu! Tidak pernah melakukannya!"

Salah seorang mendengus. "Bangsat! Kau ma-

sih banyak mulut juga, Orang asing! Kau sudah sepa-

tutnya mati!"

"Tenang...."

"Apanya yang tenang, hah?! Apakah kami harus 

tenang menghadapi hal seperti ini?!"

"Pikirkan baik-baik, sebelum kesalahpahaman 

di antara kita ini semakin menjadi!"

"Orang asing keparat!! Bunuh dia!!"

Ternyata yang berseru itu adalah Juragan Radu 

Rukmo sendiri. Pembesar desa itu yang kini sudah 

menyatu dengan rakyat. Sudah tentu kata-katanya di-

dengar oleh warga yang lain.


Maka dengan serentak diiringi dengan suara 

yang amat keras, mereka berlarian berusaha menda-

patkan Pandu.

Bengis.

Beringas dan kejam.

Pandu sendiri tidak mau menghadapi situasi 

massa yang sedang marah seperti ini. Maka dia pun 

segera menghindar. Namun mendadak saja terdengar 

jeritan yang kuat dan keras.

Beberapa warga yang maju menyerangnya itu 

mati secara mendadak. Tubuh mereka terbanting den-

gan deras ke belakang sebelum mampus.

Hal ini semakin membuat para penduduk men-

jadi bertambah geram. Keyakinan mereka kalau pemu-

da itu yang membuat onar semakin menjadi-jadi.

"Tangkap dia...!"

"Bunuh...!"

"Cincang...!"

Di samping tidak mau menyakiti para pendu-

duk, Pandu juga geram sekali dengan kejadian ini. 

Bangsat! Siapa sesungguhnya manusia yang telah 

membuat onar itu? Dia pun berjumpalitan untuk 

menghindari serangan-serangan yang terus berdatan-

gan dengan gencarnya.

Namun di saat Pandu berjumpalitan ke bela-

kang, kembali terdengar pekikan yang amat keras dis-

usul beberapa tubuh yang ambruk.

Semakin geramlah para penduduk menyaksi-

kan hal itu. Mereka bertambah buas dan gencar me-

nyerang.

Namun kali ini mendadak para penduduk itu 

berpentalan ke belakang. Mereka merasakan satu do-

rongan tenaga yang amat kuat sekali menerjang

Lagi Pandu menjadi heran dan geram. Bangsat! 

Siapakah orang yang telah berani menjual lagak di hadapannya

Dan kala dia sadar, satu sosok tubuh bungkuk 

telah berdiri di sampingnya. Para penduduk yang telah 

bangkit pun melihat hal itu.

"Pengemis tua sakti!" berseru Radung.

Sosok yang baru datang itu memang pengemis 

sakti yang telah membuat Radung menjadi sadar akan 

kebandelannya. Namun orang-orang di sana tidak per-

caya kalau benar pengemis sakti yang baik hati itu 

yang telah menyerang mereka.

Mereka tetap beranggapan kalau pemuda ber-

caping itulah yang telah membuat onar.

Sementara Pandu menjadi salah sangka. Di pi-

kirnya pengemis inilah yang telah membuat onar. Ma-

ka Dia pun langsung menyerangnya dengan Pukulan 

Cakar Gagak Putihnya.

"Wuuuuuttt...! Plak...!!"

Serangan itu ditangkis dengan satu gerakan 

yang amat cepat oleh si pengemis tua. Pandu merasa-

kan tangan kanannya bergetar, karena dia seakan 

menghantam sebuah batu besar yang keras.

"Anjing keparat...!" geramnya terus mencecar.

Kali ini si pengemis tua pun menghindar. Kala 

kakinya menjejak bumi dia berseru. "Tahan, Anak mu-

da...!"

Dengan geram Pandu menghentikan serangan-

nya.

"Manusia busuk! Kau dengan kejinya telah 

memfitnah aku, hah?!"

"Tenang, Anak muda... Kita semua berada da-

lam salah paham."

"Hhh! Kau memang pandai berucap rupanya, 

Orang tua!!"

"Bersabarlah sedikit. Bila kulihat dari sikapmu, 

kau bukanlah orang seperti itu...."


Perlahan-lahan kemarahan di hati Pandu men-

jadi menipis. Dia lalu mendesah panjang. Hatinya 

mendesis, "Maafkan aku, Eyang... ternyata aku belum 

mampu bersabar..."

Pengemis tua itu tersenyum sementara para 

penduduk yang percaya dengan pengemis itu menung-

gu dengan hati berdebar.

"Anak muda... maafkan aku sebelumnya... Yah, 

aku telah mengerti apa yang terjadi. Kau dituduh telah 

membunuh manusia-manusia ini, bukan?!"

"Orang tua... mengapa kau tidak segera saja 

mengaku akan dosamu itu?"

"Karena aku pun tidak melakukannya 

Hmmm.... sebelumnya aku hendak bertanya padamu, 

Anak muda... Kulihat tadi kau menyerang dengan Pu-

kulan Cakar Gagak Putih. Setahuku... di rimba persila-

tan ini hanya seorang yang memiliki ilmu itu. Nah ada 

hubungan apakah kau dengan Ringkih Ireng majikan 

Gunung Kidul?"

Dari balik capingnya Pandu memperhatikan 

pengemis itu. Siapakah dia? Mengapa dia mengenai 

guruku? Namun karena sedang di tanya maka Pandu 

pun menjawab,

"Orang tua... ketahuilah... yang baru saja kau 

tanyakan tadi adalah guruku...." Tiba-tiba pengemis 

itu terkekeh. "He-he-he... tak kusangka, tak pernah ku 

sangka... kalau Ringkih Ireng itu mempunyai seorang 

murid... He-he-he... bagus, bagus sekali...."

"Dan kau siapa sesungguhnya, Orang tua? me-

lihat dari keadaanmu apa kau seorang pengemis?"

"Ya, ya... aku memang seorang pengemis. Ke-

banyakan orang memanggilku Pengemis Suci...."

"Nah, mengapa sekarang tidak kau jelaskan 

siapakah sesungguhnya orang yang telah membuat 

onar seperti ini? Biar tidak lagi terjadi kesalahpahaman di antara kita...."

"He-he-he... baiklah, melihat dari hasil pukulan 

dan akibat yang ada pada mayat-mayat itu... aku jelas 

mengenali jenis pukulan yang telah menimpa mere-

ka...."

"Katakanlah cepat....!"

"Hmm... agaknya manusia durjana itu telah 

muncul di rimba persilatan ini..."

"Siapakah yang kau maksud itu, Orang tua?"

"Hmmm... dia bernama Ki Ronggo Jibus atau 

lebih dikenal dengan julukan Manusia Berubah Mu-

ka.... Puluhan tahun yang lalu aku pernah bentrok 

dengannya karena manusia itu telah banyak membuat 

onar dan kejahatan yang tak tertahankan lagi. Sebagai 

orang golongan putih aku merasa berkewajiban untuk 

menghentikan sepak terjangnya.

Dalam pertarungan selama tiga puluh hari tiga 

puluh malam, manusia durjana itu berhasil aku ka-

lahkan.... Dan dalam keadaan luka parah manusia itu 

berhasil melarikan din. sementara aku sendiri tidak 

bermaksud untuk membunuhnya. Aku hanya sekadar 

memberi peringatan agar dia jera dan menghentikan 

sepak terjangnya.

Namun manusia itu rupanya tidak terima den-

gan apa yang kulakukan. Sebelum melarikan diri dia 

berseru dengan kegeraman yang luar biasa, kalau be-

berapa tahun kemudian dia akan mencariku. Manusia 

itu amat mendendam padaku.

Semula kuanggap hal itu biasa. Karena tubuh-

nya yang telah terluka parah tak akan mungkin dis-

embuhkan dalam waktu beberapa tahun. Bahkan aku 

menduga, manusia itu akan mampus dalam waktu 

yang tidak lama.

Dan yang tidak kusangka itu kini muncul! 

Membuat onar dengan sepak terjangnya yang amat ke


jam! Dan aku yakin, keonaran yang dibuat hanyalah 

semata untuk memancing kemunculanku!"

Tiba-tiba angin berdesir keras sekali. Berger-

muruh seakan hendak turun hujan. Malam pun men-

dekati pagi. Bunyi kokok ayam jantan di kejauhan 

sayup-sayup telah terdengar.

Dan tiba-tiba berjumpalitan dari satu tempat 

dengan gerakan yang amat cepat satu sosok tubuh. 

Kala tubuh itu bergerak berdesir angin yang keras. 

Dedaunan kering yang tengah menunggu jatuh pun 

rontok ke bumi.

Disusul dengan suara terkekeh yang amat pan-

jang. Menyeramkan dan menebarkan hawa maut.

"He-he-he...! Pengemis Suci.... sekian lama ku-

cari kau baru berani muncul sekarang! He-he-he.... 

dendam abadi yang tersisa ini tak akan pernah lagi 

gagal! Dendam ini akan terbalaskan dan kepuasan 

yang selama ini kucari akan kudapatkan...!"

Kala berhentinya desir angin yang kuat itu, 

nampak satu sosok tubuh gagah dengan wajah yang 

amat rupawan. Wajah itu mampu membuat para gadis 

akan terpana dan rela menyerahkan jiwa raganya.

Sementara Pengemis Suci cukup terkejut, na-

mun dia terbahak untuk menutupi keterkejutannya.

"Hmmm... Ki Ronggo Jibus... akhirnya kita pun 

bertemu! He-he-he... apa kabar, Manusia Berubah 

Muka? Hhh! Memang sudah kuduga, kalau engkaulah 

yang telah membuat teror di sini? Juga di beberapa de-

sa lainnya! Namun yang lebih parah, kau melakukan 

aksi mu di Utara!

Kau nampaknya semakin perkasa saja, Ki 

Ronggo Jibus?!"

"Hhh! Kau agaknya masih pandai berbasa-basi! 

Namun kau lupa kalau kemunculanku kembali ke 

rimba persilatan ini adalah untuk mencabut nyawa



mu!"

"He-he-he... mungkin memang demikian 

adanya.... namun sadarkah kau kalau tak akan mudah 

untuk membunuhku?" Ki Ronggo Jibus terbahak. 

"Mungkin dulu aku bisa kau kalah kan, namun seka-

rang... hahahaha.... jangan berharap kau akan bisa lan 

dariku, Pengemis Suci?!"

"Aku tak akan pernah melarikan diri! Jiwa ke-

sucian ku pun terpanggil untuk menghentikan sepak 

terjang mu! Bila kau sudah muncul kembali ke rimba 

persilatan ini, sudah dapat aku pastikan... bahwa du-

nia tak akan pernah tenang!"

"Bagus bila kau mengerti! Dan yang perlu kau 

ketahui, aku pun tak akan bisa tahan hidup lebih la-

ma bila mengingat kau masih hidup! Justru itulah aku 

akan memusnahkan kau, Pengemis busuk yang men-

gaku suci...!!"

"He-he-he... dendam kau nampaknya sudah 

abadi! Bagaikan salju di puncak Jaya Wijaya! Tetapi 

yang harus kau ketahui, kau tak akan begitu mudah 

mengalahkan aku!

Hhh! Ki Ronggo Jibus... lebih baik kau buka sa-

ja penyamaranmu, di hadapanku jelas tak ada gu-

nanya! Atau kau tidak mau dengan keadaanmu seperti 

itu? He-he-he... dengan penyamaranmu seperti itu, 

kau bisa menaklukkan nenek-nenek lima orang sekali-

gus!"

"Bangsat!!" manusia itu menggeram, lalu tan-

gannya terangkat dan menghapus mukanya. Kini terli-

hatlah satu raut wajah yang amat jelek sekali. Menge-

rikan, tak ubahnya bagaikan mayat hidup belaka.

Para penduduk amat ngeri melihatnya. Apalagi 

kala wajah itu menyeringai, semakin menampakkan 

keseraman. Saat itu suasana masih cukup gelap 

meskipun di Timur sana ufuk sudah mulai menyings


ing

"Oh, Tuhan.... sungguh mengerikan sekali wa-

jah itu!"

"Iblis! Hanya iblislah yang memiliki wajah se-

perti itu...!"

"Pantas kelakuannya seperti iblis!"

Seruan-seruan kaget itu terdengar ramai. Na-

mun tiba-tiba berganti dengan jeritan kematian yang 

menyayat.

Karena dengan gerakan yang amat cepat Ki 

Ronggo Jibus menggerakkan tangannya. Serangkum 

angin besar menderu dan membuat tubuh mereka 

tunggang langgang. Setelah berpentalan beberapa kali 

lalu mampus muntah darah.

Geramlah Pengemis Suci sementara Pendekar 

Gagak Rimang hanya mendesah panjang. "Eyang... 

nampaknya aku pun tidak bisa berpangku tangan saja! 

Aku tidak pernah menerima perbuatan semena-mena 

ini!"

"Ronggo! Kau benar-benar durjana! Ingat, den-

dam ini hanya terjadi di antara kita! Aku tidak mau 

kau menurunkan tangan telengas terhadap mereka! 

Hhh! Nampaknya kau memang harus mati, dan aku 

tak akan pernah memberi ampun padamu, Ronggo!"

"Pengecut! Kaulah yang akan mampus di tan-

ganku, Pengemis Suci! Bah! Aku bosan berlama-lama 

jual bacot seperti ini! Lihat serangan...!!" bersamaan 

dengan itu, lalu melesat menderu maju tubuh Ki 

Ronggo Jibus. Di tangannya telah terhimpun pukulan 

saktinya Tapak Geni Sakti.

* * *

DELAPAN


Desiran angin keras yang menderu kala tubuh 

itu melesat cukup dingin terasa. Namun si Pengemis 

Suci hanya tersenyum saja. dua langkah di muka tu-

buh Ki Ronggo Jibus terus mendekat dengan pukulan 

saktinya.

Barulah saat itu, Pengemis Suci menghentak-

kan tubuhnya ke belakang.

"Huuupppp...! Hiaaaatt...!"

Lalu bersamaan dengan tubuhnya hinggap di 

bumi kala pukulan Ki Ronggo Jibus luput dari sasa-

ran, dia langsung menyerang dengan pukulan tangan 

kanannya.

"Bagus! Bagus! Sudah lama aku menginginkan 

hal seperti ini, Pengemis busuk!!"

Lalu dengan sigap Ki Ronggo Jibus menghindar 

ke kiri namun belum lagi kakinya menjejak ke bumi, 

tangan kiri si Pengemis Suci yang memegang tongkat 

bergerak dengan cepat menyambar ke kaki Ki Ronggo 

Jibus.

"Wuuuuutt...!"

"Gilaaa...!" seru Ki Ronggo Jibus terkejut lalu 

membanting tubuhnya ke kanan karena tak ada jalan 

lain lagi baginya untuk menghindar.

Dipikirnya serangan beruntun akan dilakukan 

oleh si Pengemis Suci, namun si Pengemis Suci justru 

menghentikan serangannya. Dia tersenyum penuh 

bersahabat.

"Ronggo... lebih baik kita berdamai dan kau ce-

patlah tinggalkan dunia persilatan ini!"

"Bangsat! Aku tak akan pernah memenuhi 

permintaanmu itu, Pengemis busuk! Aku tak akan 

pernah puas bila belum membunuh mu! Tak akan 

pernah puas, pengemis busuk! Lihat serangan... 

hiaaaatttt."



Kembali tubuh Ki Ronggo Jibus melesat mende-

ru. Dan kembali pertarungan yang amat sengit terjadi. 

Dua sosok tubuh pendekar sakti yang sama-sama tua 

terlihat dalam satu pertempuran yang hebat.

Masing-masing memperlihatkan kelasnya. Mas-

ing-masing berusaha untuk secepatnya menyelesaikan 

lawan.

Pengemis Suci yang tadi berniat hanya membe-

rikan pelajaran pada Ki Ronggo Jibus kini tidak bisa 

bermain-main lagi dan menerus kan niatnya itu. Kare-

na Ki Ronggo Jibus menyerangnya dengan segenap ke-

saktian dan kegeramannya.

Dia memang berniat untuk menghabisi Penge-

mis Suci. Dendam yang tersisa itu penuh ambisi men-

gerikan.

Sementara itu para penduduk mulai bergeser 

menjauh dari kalangan dan secara tidak disadari ka-

langan itu memang telah terbentuk bagaikan lingka-

ran.

Mereka ngeri karena kuatir terhantam oleh pu-

kulan atau tendangan sakti yang tengah dilancarkan 

oleh dua pendekar tua itu.

Juga karena debu-debu yang beterbangan dan 

dedaunan yang gugur. Bahkan dua buah pohon warn 

telah tumbang terhantam oleh dorongan tenaga sakti.

Sedangkan Pendekar Gagak Rimang hanya 

memperhatikan dengan seksama. Dia tidak pernah 

menyangka kalau di muka bumi ini banyak tersimpan 

ilmu-ilmu yang amat hebat dan tangguh. Pandu men-

desah.

"Eyang keangkaramurkaan kini berada lagi di 

depan mataku, dan aku tak pernah bisa tinggal diam 

untuk menghadapi hal yang seperti ini! Tak akan per-

nah, Eyang.... sudah tentu pilihan ku untuk membela 

Pengemis Suci karena dial ah yang mengemban tugas

mulia untuk mengalahkan keangkaramurkaan...."

Kembali dia memperhatikan pertarungan yang 

amat hebat itu. Semakin lama semakin kacau balau 

nampaknya. Di mata orang awam pertarungan itu 

nampak bagaikan asal-asalan belaka. Namun di mata 

Pandu jelas dia melihat kalau Pengemis Suci itu terde-

sak hebat oleh ilmu Ki Ronggo Jibus.

"He-he-he... Pengemis Busuk! Nyawamu tak 

akan pernah lagi melekat di jasad mu!"

Dan tiba-tiba Ki Ronggo Jibus menderu sambil 

bersalto ke belakang dan dengan mendadak tubuhnya 

bergerak bagaikan ikan cucut.

"Hiaaaattt...!! Plaaakkk !! Des!!!" Satu pukulan 

yang keras telah mengenai tubuh Pengemis Suci. Tu-

buh bongkok itu langsung menderu ke belakang.

Dan menghantam sebuah pohon besar hingga 

roboh. Suaranya menggelegar.

Berdebam dengan keras.

Pandu menahan nafas.

Dan nafasnya bagaikan terhenti ketika tiba-tiba 

terdengar seruan keras, lalu meluncur satu sosok tu-

buh dengan kecepatan yang luar biasa.

Ki Ronggo Jibus siap untuk menghabisi si Pen-

gemis Suci yang sudah tak berdaya.

"Hiaaaatttt...!!" seruan itu terdengar. Namun, 

"Hei...!! Plaaakkk...!!"

Mendadak Ki Ronggo Jibus bersalto ke bela-

kang karena merasa serangannya terhalang oleh se-

buah gerakan yang cepat dan sebuah tenaga yang 

amat besar.

"Hei...!!"

Kala dia berdiri dengan pandangan geram, ter-

lihat di matanya sosok bercaping dengan golok di 

punggung berdiri di hadapannya dengan gagah. Pandu 

yang telah menghentikan serangan itu karena dia tidak


ingin si Pengemis Suci mati konyol.

"Bangsat! Siapa kau, hah?!"

"Hmm... nama ku Pandu, Ki Ronggo Jibus...."

"Pemuda keparat! Lebih baik kau menyingkir 

dari sini!"

"Maafkan aku, Ki.... aku tak pernah menyukai 

sikapmu yang ugal-ugalan itu!"

"Bangsat! Minggir kau dari situ! Atau kubuat 

mampus kau rata dengan bumi!"

"Tidak, Ki... aku tidak akan pernah pindah dari 

tempatku berdiri sekarang ini! Namun bila kau pergi, 

maka dengan senang hati aku akan pergi pula dari si-

ni!"

"Keparat...!! Mampuslah kau!!"

Tubuh itu menderu dengan penuh kegeraman. 

Pandu yang sudah tahu kehebatan dari Ki Ronggo Ji-

bus segera mengibaskan tangannya.

"Wuuuuuttt...!!"

Selarik sinar putih menderu melesat ke arah 

tubuh Ki Ronggo Jibus. Cepat dan membuat manusia 

itu terkejut. Dengan cepat pula dia menghindar.

"Keparat! Rupanya kau punya kelebihan juga!!"

"Untuk menghadapi manusia busuk seperti 

kau, anak kecil pun mampu! Hhh! Lebih baik kau pergi 

saja dari sini!!"

"Anjing! Mampuslah kau...!"

Pertarungan kali ini berlangsung dengan sen-

gitnya. Masing-masing melakukan serangan yang amat 

cepat. Memperlihatkan kelasnya. Pandu sendiri sebe-

narnya mau tidak mau mengakui keunggulan dari Ki 

Ronggo Jibus yang begitu hebat.

"Kau tak akan pernah lolos dari tanganku, Pe-

muda bandel!"

"Kita lihat siapa yang unggul di antara kita, Ki!"

Pertarungan itu semakin bertambah sengit. Ki



Ronggo Jibus sudah mengeluarkan ilmu Penarik Jiwa 

Pemusnah Raganya. Sementara Pandu sendiri sudah 

menggunakan ilmu Cakar Gagak Rimang. Ilmu pa-

mungkas yang diajarkan oleh gurunya, Eyang Ringkih 

Ireng.

Hingga suatu saat keduanya melesat menderu 

dan masing-masing menjerit keras. Orang-orang yang 

menyaksikan di sana menjadi ngeri. Sementara si Pen-

gemis Suci sendiri tidak menyangka akan hal itu. Se-

mula saja dia terkejut melihat pemuda bercaping itu 

menolongnya dan kini lebih terkejut lagi melihat pe-

muda itu dengan nekad menyongsong serangan Ki 

Ronggo Jibus.

"Anak muda....!! Hati-hatilah dengan ilmu yang 

dimilikinya!!" serunya memperingatkan.

Namun kedua tenaga sakti itu telah menderu 

dan kini bertemu dengan hebatnya. Terdengar ledakan 

dahsyat yang amat hebat sekali.

Menggelegar.

Bagaikan ada gempa bumi mendadak yang ti-

ba-tiba dan menimbulkan getaran yang amat kuat.

"Duuuuuuaaarrrr...!!"

Ledakan itu sungguh dahsyat. Keadaan di seke-

liling mereka menjadi bergemuruh. Debu-debu berter-

bangan dan dedaunan berguguran.

Dari benturan tenaga dalam sakti itu debu 

mengepul menyelimuti keduanya. Dan mendadak terli-

hat dua sosok tubuh terpental beberapa tombak.

Pandu terpelanting dengan hebat dan merasa-

kan dadanya teramat sakit. Sementara Ki Ronggo Ji-

bus langsung bersalto dan berdiri sigap.

Tidak kurang suatu apa!

"He-he-he... mampuslah kau sekarang!" se-

runya dan langsung menyerang tidak mau membuang 

tempo lagi.



Orang-orang menjerit dan Pandu sendiri mera-

sa tidak mampu untuk menahan serangan itu.

Tubuhnya telah lemah. Dadanya terasa sakit. 

Sosok tubuh yang menderu itu semakin dekat. Namun 

meskipun demikian Pandu tidak mau mati konyol. 

Dengan kecepatan persekian detik, dia mencabut golok 

saktinya, Go lok Cindarbuana yang diberikan oleh gu-

runya.

"Hiaaatt...!"

"Wuuuutttt...! Aaaaakhhhhhh!!!"

Golok itu berkelebat dengan cepat. Ki Ronggo 

Jibus yang tidak menyangka akan hal itu tak kuasa 

menghindar. Dan lehernya tersambar hingga buntung!

Putusan kepala itu menggelinding ke bumi dan 

dari tubuh yang tanpa kepala itu bersimbah darah 

yang amat banyak.

Pandu mendesah panjang, "Tak kusangka golok 

ini sedemikian ampuh, Eyang...."

Sementara orang-orang yang menyaksikan hal 

itu mendesah lega. Kengerian yang mereka alarm su-

dah menghilang perlahan-lahan. Begitu pula dengan si 

Pengemis Suci yang nampak sedikit lega.

Dia pun bangkit perlahan-lahan setelah bebe-

rapa warga desa memapahnya. Namun yang membuat 

mereka terkejut, karena sosok Pandu sudah tidak ada 

di tempatnya.

Yang terdengar hanya ringkikkan kuda dari ke-

jauhan. Hal ini semakin membuat mereka bertambah 

kagum dan penasaran. Siapakah sesungguhnya pe-

muda bercaping itu?

Namun Pandu terus melarikan kudanya sambil 

menahan rasa sakit di dadanya. Dia mendesah pada 

angin, "Eyang... engkau benar, Eyang.... keangkara-

murkaan ini akan terus ada dan tetap berlanjut hingga 

kapan pun di muka bumi ini...."


Kudanya terus dipacu.


                           SELESAI



















Share: