..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label BOMA GENDENK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BOMA GENDENK. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 November 2024

BOMA GENDENK EPISODE TOPAN DI BOROBUDUR



https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

SERIAL: "BOMA GENDENK"

JUDUL: TOPAN DI BOROBUDUR

Oleh: BASTIAN TITO

HAK CIPTA DAN COPY RIGHT

PADA BASTIAN TITO

DIBAWAH LINDUNGAN UNDANG-UNDANG

Diterbitkan pertama kali Tahun 1997 

oleh Penerbit Duta Media, Jakarta

P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342

Foto cover Depan: Orly Velli Valentine 

Vino Giovanni

Dilarang keras memfotokopi atau memperba-

nyak sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dari penerbit.


-----------------------------------------------&


SATU


SHOPPING NYAWA


SABTU sore. Di bawah tangga Hard Rock 

Cafe di gedung Sarinah, di atas sebuah drum 

plastik, seorang kakek berpakaian kumal duduk 

memperhatikan keadaan sekitarnya. Terkadang 

dia terkagum-kagum melihat mobil bagus lewat di 

depannya. Sesekali dia tersenyum memperhatikan 

pasangan muda-mudi yang jalan sambil berang-

kulan mesra seolah takut roboh ditiup angin yang 

sore itu memang bertiup agak kencang. Di pang-

kuannya ada sebuah kerincingan sedang di ping-

gang tergantung sebuah gendang kecil. Dekat ka-

kinya yang memakai sendal butut ada sebuah 

payung kecil, terbuat dari kertas. Sampai hari 

mulai gelap kakek bermuka cekung keriput, mata 

belok dan hidung pesek itu masih duduk di tem-

pat itu.

Empat orang anak muda berhenti di depan 

si kakek. Salah seorang diantara mereka yang 

mengenakan T-shirt merah darah dan blujins 

yang salah satu lututnya sengaja dirobek, berna-

ma Aming, sambil menunjuk pada si kakek ber-

kata iseng.

"Wah, ni die orangnya mahluk langka yang 

bakal jadi bintang tamu di cafe nanti malam."

Teman-teman Aming tertawa gelak-gelak. 

Si kakek yang duduk di atas drum plastik tersenyum monyong hingga deretan giginya yang ton-

gos seperti mau melompat keluar.

"Wah, giginya ngetril lu!" kata Aming dan 

kembali membuat tiga temannya tertawa.

"Ming, kalau lu bilang mahluk langka, 

musti dilestarikan dong!" Teman Aming yang me-

makai jaket biru gelap berkata sambil letakkan 

tangan kirinya di bahu Aming.

"Dilestarikan gua rasa kurang tepat. Co-

coknya diawetkan!" kata Aming pula.

Kembali anak-anak muda itu tertawa ge-

lak-gelak. Sementara si kakek sendiri tetap duduk

tenang di atas drum plastik biru.

"Kek, kayaknya biasa ngamen ya?" Aming 

bicara lagi sambil bertolak pinggang.

"Ya, namanya olang cali lejeki. Asal halal" 

kakek yang ditanya menjawab sambil nyengir.

Ternyata si kakek cadel, tidak bisa menye-

but huruf R.

"Wah, tau-tauan halal en haram segala," 

anak lelaki di ujung kanan berkata. "Bos tua, tau 

nggak! Jaman sekarang yang haram aja susah 

apa lagi yang halal."

Dua alis mata si kakek naik ke atas. Mu-

lutnya yang tonggos sungingkan senyum.

"Bisanya nyanyi apaan aja Bos?" Aming 

bertanya lagi.

"Lock bisa, countly hayo, dangdut jangan 

ditanya. Keloncong gecel. Kasidahan juga nggak 

nampik..." Habis berkata si kakek tertawa sendiri 

cekikikan.


Empat anak muda di depannya ikutan ter-

tawa. "Kek, dari pada duduk di sini ngerusak pe-

mandangan, nih aku kasih duit seceng. Pergi dari 

sini." Aming, anak muda berkaos merah lempar-

kan selembar uang ribuan ke pangkuan si kakek 

lalu sambil tertawa-tawa ajak teman-temannya 

tinggalkan tempat itu.

Kakek bermata belok bergigi tonggos perha-

tikan uang ribuan di pangkuannya, melirik pada 

rombongan empat anak muda yang saat itu ten-

gah berjalan menuju tangga gedung Sarinah di 

samping McDonald's. Uang kertas ribuan diam-

bilnya. Sambil bersiul-siul kecil dia menggulung 

uang kertas itu lalu sekali tangan kanannya ber-

gerak set! Hampir tidak kelihatan saking cepatnya 

gulungan uang kertas seribu perak itu melesat ke 

arah tangga gedung Sarinah. 

"Aduh!"

Aming yang saat itu tengah menaiki tangga 

menjerit keras. Kaki kanannya seperti ditendang 

lalu ambruk. Tubuhnya menyusul berlutut. Kalau 

tidak dipegangi teman-temannya pasti jatuh di 

tangga.

"Eh, Ming, lu kenapa?" salah seorang telah 

bertanya.

"Kaki gua... Kayak ada yang nendang." Am-

ing menjawab sambil pegangi betisnya. Tangan-

nya menyentuh sesuatu, Ada sebuah benda me-

nancap dl kaki kanan celana jinsnya. Gulungan 

kertas. Ketika gulungan itu diambil dan dibu-

kanya ternyata selembar uang ribuan. "Ini duit...."


Aming jadi pucat. Dia memandang ke arah tangga 

Hard Rock Cafe. Drum plastik itu masih disana. 

Tapi kakek berpakaian kumal yang membawa 

gendang dan kerincingan serta payung tak ada la-

gi di tempat itu. Aming merasa tengkuknya din-

gin. Tiga temannya terheran-heran bercampur ta-

kut.

"Jangan-jangan kakek tadi setan penghuni 

gedung," ucap Aming dengan suara gemetar.

"Gue memang pernah dengar cerita," teman 

Aming yang memakai jaket menyahut. "Dulu wak-

tu gedung Sarinah dibangun, pernah ada buruh 

bangunan yang celaka. Jatuh dari tingkat atas. 

Mati. Mungkin kakek tadi setan buruh bangunan 

itu..."

Sementara empat anak muda itu cepat-

cepat masuk ke dalam gedung dengan perasaan 

takut, di tangga penyeberangan di depan gedung 

Sarinah kakek mata belok bermulut tonggos ber-

jalan tertawa-tawa. Sesekali dia menoleh ke arah 

empat orang anak muda itu. Celananya yang 

gombrong kebesaran merosot ke bawah hingga 

sebagian pantatnya yang hitam tersingkap. Kakek 

ini tertawa geli ketika melihat Aming di kejauhan 

sana melangkah terpincang-pincang.

Tawa geli orang tua ini terhenti ketika 

mendadak di depannya tahu-tahu telah berdiri 

seorang yang dari sikapnya jelas-jelas sengaja 

menghadang si kakek.

Orang ini mengenakan celana dan pakaian 

hitam. Pada bagian dada bajunya terpampang


gambar gunung berwarna biru dengan latar bela-

kang sinar matahari berwarna merah. Di pung-

gungnya orang ini mengenakan sehelai mantel 

yang juga berwarna hitam. Si kakek angkat kepa-

lanya memandang wajah orang di hadapannya. 

Orang ini ternyata seorang pemuda berambut hi-

tam tebal, rahang menonjol kokoh. Di keningnya 

yang tinggi melilit sehelai kain berwarna merah. 

Di bawah kening sepasang mata menatap dingin 

dan angker. Dia berdiri sambil mulutnya melahap 

paha fried chicken.

Walau tidak ada rasa takut di hati si ka-

kek, namun wajah tua bermata belok itu serta 

merta berubah begitu dia mengenali siapa adanya 

pemuda tinggi kekar di hadapannya. 

"Kau...." ucap si kakek. 

"Ya, aku!" ujar si pemuda. Suaranya tak 

enak di dengar karena dia bicara sambil mengu-

nyah makanan. Tangan kiri bertolak pinggang. 

Tangan kanan memegang potongan besar paha 

ayam. Sepasang kaki tegak mengembang. Seringai 

bermain di mulutnya. Lalu dia dongakkan kepala, 

tertawa bergelak. Serpihan paha ayam bermun-

cratan dari mulutnya.

Dua orang pelintas jembatan yang kebetu-

lan lewat sama terheran-heran melihat dua orang 

berpenampilan aneh itu. Mula-mula mereka ber-

henti ingin tahu siapa adanya dua orang itu dan 

apa yang tengah terjadi. Tapi salah seorang dari 

keduanya merasa ada yang tidak beres, cepat-

cepat menarik tangan temannya.


"Orang gila. Ayo Pin. Jangan cari urusan..." 

Temannya mengiyakan. "Bisa juga pura-

pura gila. Begitu kita lengah tahu-tahu ngejamb-

ret atau nodong."

Kedua orang pelintas jembatan cepat-cepat 

melangkah pergi.

"Pangelan Matahali..." kakek di atas jemba-

tan penyeberang menyebut nama.

Kembali pemuda di hadapannya tertawa 

gelak. "Betul sekali! Aku memang Pangelan Mata-

hali." Si pemuda sengaja ikutan bicara cadel me-

nirukan si kakek. "Dan aku datang tidak sendiri." 

Dengan potongan paha ayam yang kini hampir 

tinggal tulang pemuda berpakaian serba hitam itu 

menunjuk ke belakang. Si kakek melirik. Di bela-

kang sana, dekat ujung jembatan penyeberangan, 

bersandar ke tiang besi tegak seorang kakek 

bungkuk, berpakaian rombeng, berwajah seputih 

kain kafan. Dua matanya yang sangat cekung 

menatap menggidikkan ke arah kakek yang tegak 

di depan pemuda berpakaian serba hitam. Kalau 

pemuda ini adalah Pangeran Matahari maka ka-

kek di ujung jembatan sana mudah diterka siapa 

adanya. Yakni bukan lain Si Muka Bangkai alias 

Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari.

"Ah...." kakek mata belok yang membawa 

gendang, payung dan kerincingan membuka mu-

lut menyeringai lalu berkata. "Gulu dan mulid 

muncul belsama. Ada apa? Apa lagi mau shop-

ping ke Salinah? Banyak duit ni ye? Ha...ha...ha!"

"Pelawak Sinting! tua bangka geblek! Mah


luk kesasar dari alam Setan!" bentak Pangeran 

Matahari mulai marah. "Sudah mau mampus ma-

sih bicara edan! Aku memang mau shopping. Mau 

belanja. Belanja nyawamu!"

"Mampus? Siapa yang mampus? Aku? 

Ha...ha...ha!" Si kakek yang ternyata adalah Pela-

wak Sinting tertawa mengekeh lalu goyangkan ke-

rincingan di tangan kirinya hingga mengeluarkan 

suara keras nyaring, menusuk liang telinga. Pan-

geran Matahari dan juga Si Muka Bangkai di-

ujung jembatan sampai tekap telinga masing-

masing, kerahkan tenaga dalam untuk menolak 

getaran suara yang menyengat.

"Soal mampus bagi aku yang sudah tua 

bangka begini adalah soal sepele. Bagaimana ka-

lau kau yang masih muda sepeltimu telnyata nan-

ti mampus duluan?!" Si Pelawak Sinting kembali 

tertawa gelak-gelak dan goyangkan kerincingan di 

tangan kirinya. (Siapa adanya Pelawak Sinting bi-

sa dibaca dalam kisah petualangan Wiro di Negeri 

Latanahsilam terdiri dari 18 episode, khususnya 

Episode berjudul Hantu Tangan Empat)

Rahang Pangeran Matahari menggembung. 

Pelipisnya bergerak-gerak.

"Tua bangka sinting, kalau kau sendiri 

menganggap nyawamu sesuatu yang sepele, apa 

lagi aku! Kau tidak lebih berharga dari ikan lele 

dalam comberan! Gara-gara kau mencuri Batu 

Penyusup Batin kau membuat aku dan guruku, 

bahkan nenek guruku jadi susah!" (Kisah bagai-

mana Si Pelawak Sinting Mencuri Batu Penyusup


Batin bisa dibaca dalam serial Boma Gendenk Ep-

isode sebelumnya berjudul Tripping). "Walah, cu-

ma batu butut palsu saja mengapa halus dili-

butkan? Kalau kau mau batu, aku bisa belikan. 

Besal-besal malah. Kau mau belapa? Tinggal am-

bil. Itu di sebelah sana!"

Si kakek menunjuk kearah jalan raya di-

mana bertumpukan batu-batu kali besar untuk 

proyek perbaikan jalan.

"Setan alas! Berani mempermainkan!" Ru-

tuk Pangeran Matahari. Paha ayam yang tinggal 

tulang di tangan kanannya dibantingkan ke lantai 

jembatan penyeberangan. Tulang ayam itu am-

blas padahal lantai jembatan terbuat dari besi 

tebal. Kekuatan tenaga dalam sang Pangeran 

sungguh luar biasa, diam-diam membuat Si Pela-

wak Sinting tergetar juga hatinya.

Di ujung jembatan penyeberang Si Muka 

Bangkai menyumpah-nyumpah seorang diri. Ti-

dak sabaran kakek muka pucat ini berteriak pada 

muridnya.

"Pangeran! Tunggu apa lagi! Lekas habisi 

tua angka sinting itu!" Mendengar perintah gu-

runya, Pangeran Matahari keluarkan suara meng-

gembor lalu sekali menerjang dia kirimkan satu 

tendangan ke arah dada si Pelawak Sinting. Jan-

gankan dada orang tua yang kurus tipis. Tembok 

sekalipun pasti akan jebol dilanda tendangan itu!


DUA


BARU TAHU DIA


HARI Sabtu pagi. Lapangan atletik itu di-

penuhi oleh pelajar Kelas II-9 SMU Nusantara III. 

Di pinggir lapangan Pak Sanyoto Guru Olahraga 

meniup peluit, memberi tanda pada semua pelajar 

agar berkumpul untuk diabsen. Ketika nama Bo-

ma Tri Sumitro dipanggil, anak itu tidak ada. 

"Dasar anak pemalas. Pasti terlambat lagi." 

Pak Sanyoto berkata menyatakan kekesalan.

Ronny Celepuk, Vino, Firman, Andi, Rio 

dan Gita Parwati memandang berkeliling, menca-

ri-cari.

"Git, kamu tau kemana 'tu anak gendenk?" 

tanya Ronny berbisik pada Gita yang berdiri di 

sampingnya.

"Barusan ada. Tau-tau ngilang. Jangan-

jangan kabur. Bolos. Tapi kok ya berani banget" 

Jawab si gemuk Gita.

"Heran juga" kata Sulastri yang berdiri de-

kat Pak Sanyoto dan oleh teman-temannya di-

panggil Si Centil. "Tadi ada Pak. Kok sekarang 

nggak nongol."

"Kalau memang ada, dipanggil ya pasti 

nyahut! Muncul!" kata Pak Sanyoto pula masih 

kesal. "Sudah, kalian semua masuk ke lapangan. 

Yang latihan lari siap-siap di track." Lalu Pak Sa-

nyoto melangkah ke tempat latihan lompat jauh. 

Saat itulah Boma muncul, setengah berlari. Pak


Sanyoto hentikan langkah. Memandang pada Bo-

ma dengan mata besar berkilat.

"Dari mana kamu?!" Guru Olah Raga itu 

bertanya dengan suara keras dan kasar.

Sulastri, Si Centil yang berdiri tak jauh dari 

situ berbisik pada Gita dan Ronny.

"Wah, gawat deh. Kelihatannya Si Umar itu 

benci banget sama Boma."

Gita diam saja. Ronny juga diam. Tapi anak 

ini tahu bencinya Pak Sanyoto pada Boma bukan 

gara-gara soal absen pagi itu. Guru Olah Raga ini 

menganggap Boma sebagai rivalnya sekaligus 

penghalang dirinya dalam mendekati Ibu Renata.

Nama Umar dikarang sendiri oleh Sulastri 

sebagai nama ejekan untuk Pak Sanyoto. Umar 

singkatan dari Untung Masih Ada Rambut. Ram-

but di kepala guru Olah Raga itu memang tinggal 

sedikit, nyaris botak. Padahal usianya belum 

mencapai tiga puluh lima tahun.

"Maaf, Pak," jawab Boma. "Perut saya 

mules. Barusan dari belakang."

"Alasan. Kamu datang terlambat 'kan? Ka-

mu memang malas. Saya tahu kamu tidak suka 

atletik! Tapi kalau main ben, tarik urat tarik sua-

ra satu malam suntuk kamu layani! Kenapa ka-

mu tidak jadi pengamen saja?!"

Telinga dan hati anak laki-laki itu terasa 

panas tapi Boma diam saja. Dia merasa tidak per-

lu bicara banyak lagi. Dia sudah menerangkan 

apa adanya. Pak Sanyoto yang memang tidak su-

ka pada Boma kembali keluarkan ucapan.


"Ini kali kedua kamu terlambat. Kali ke tiga 

kamu berbuat sama saya akan laporkan kamu 

pada Wali Kelas dan Kepala Sekolah!"

Boma masih diam. Dia ingat angka Olah 

Raga di rapornya waktu di kelas satu. Tidak per-

nah beranjak dari angkat empat. Waktu naik ke 

kelas dua Boma dan juga banyak teman-

temannya berharap mata pelajaran Olah Raga ti-

dak diajar oleh Pak Sanyoto. Tapi harapan mereka 

tidak terkabul. Kenyataannya di kelas dua tetap 

saja Pak Sanyoto yang memegang mata pelajaran 

olah raga. 

Diamnya Boma malah dianggap sebagai si-

kap acuh oleh Pak Sanyoto.

"Sudah, kamu lari keliling lapangan lima 

kali!" Guru Olah Raga itu jatuhkan hukuman. Dia 

berpaling pada Ronny yang berdiri tidak jauh dari 

situ. "Awasi dia. Kalau nanti dia lari mengelilingi 

lapangan kurang dari lima kali, beri tahu saya." 

Pak Sanyoto meninggalkan tempat itu, melangkah 

ke tempat latihan lompat jauh. 

Ronny mendekati Boma. 

"Kena lagi gua Ron." 

"Kamu sih. Waktu di absen nggak ada." 

"Kamu tau gua ude dateng dari pagi. Malah 

duluan gua dari Si Umar. Tapi mendadak perut 

gua mules. Aku ke belakang dulu. Masa gua mau 

berak di lapangan! Gila kali! Nggak taunya dia 

ngabsen waktu gua lagi ke belakang." Boma me-

nowel hidungnya. "Ini udah dua kali gua dikerjain 

sama dia. Dulu cuma tiga kali mutarin lapangan.


Sekarang lima kali. Dia memang nggak senang 

sama aku. Masa gara-gara begini aja aku musti 

lari keliling lapangan sampai lima kali." 

"Mungkin ini gara-gara kejadian di rumah 

Ibu Renata seperti yang kamu ceritain itu..."

"Memang ada kejadian apa di rumah Ibu 

Renata?" Tiba-tiba saja si Centil Sulastri berdiri 

disamping Ronny dan bertanya.

"Ala, Si Centil. Kamu nggak usah tahu deh" 

jawab Ronny Celepuk. Sambil memegang bahu 

Sulastri Ronny berkata. "Temenin si Vino di tem-

pat latihan lompat jauh. Katanya kamu naksir 

dia."

"Sorry ya. Enak azza. Siapa bilang gua 

naksir dia!" kata Sulastri ketus tapi kemudian 

tersenyum.

"Ala jangan gitu, bo! Semua temen-temen 

ngerestuin kok." kata Ronny.

"Au ah, elap!" Sulastri mencibir lalu pergi.

Setelah Sulastri pergi Ronny mendatangi 

Boma 

"Udah, lari sana Bom. Tiga kali aja. Nanti 

gua bilang udah lima kali."

Boma tersenyum, menowel hidungnya dua 

kali. Setelah lebih dulu mengencangkan ikatan ta-

li sepatunya anak ini mulai lari mengelilingi la-

pangan. Larinya santai saja. Membuat Pak Sanyo-

to yang diam-diam memperhatikan menjadi tam-

bah kesal.

Pada akhir lari mengeliling lapangan yang 

ketiga kali, Ronny yang berdiri di tepi lapangan


mengangkat tangan. "Udah Bom. Cukup."

"Baru tiga kali Ron."

"Anggap aja udah lima. Nggak usah kawa-

tir. Biar aku yang lapor sama Si Umar."

Sementara Boma duduk keletihan di tepi 

lapangan Ronny Celepuk menemui Pak Sanyoto. 

Memberi tahu kalau Boma sudah lari lima kali 

mengelilingi lapangan.

"Sudan lima kali?" 

"Betul Pak. Sudah lima kali," jawab Ronny, 

anak jangkung yang hidungnya mancung tapi 

bengkok seperti paruh burung.

"Panggil Boma. Kalian berdua datang ke si-

ni." kata guru Olah Raga itu. 

Ronny mendatangi Boma. 

"Bom, kamu dipanggil Si Umar."

"Ngapain lagi?" 

"Nggak tau. Ayo..." 

Boma berdiri. Begitu dia dan Ronny sampai 

di hadapan Pak Sanyoto, Guru Olah Raga ini per-

lihatkan wajah asam.

"Saya tau kamu baru lari tiga kali. Jangan 

kira saya tidak memperhatikan. Kamu lari tiga 

kali lagi! Dan kamu..." Pak Sanyoto berpaling pa-

da Ronny Celepuk. "Kau saya hukum lari mengeli-

lingi lapangan enam kali! Lakukan!"

Boma menowel hidungnya. Ronny Celepuk 

menggaruk kepala. Sambil mulai berlari Boma 

berkata.

"Gua bilang apa Ron. Gara-gara ngebohong 

sekarang kamu juga ketiban sialnya!"


"Heran, kok Si Umar tahu kamu cuma lari 

tiga lapangan."

"Matanya kan ada empat!" jawab Boma. 

"Empat gimana? Ngacok aja kamu!" 

"Kamu nggak tau?"

"Brengsek. Nafas gua mulai ngorong nih," 

kata Ronny yang baru lari dua pertiga lapangan.

"Si Umar matanya memang empat. Dua di 

kepala, dua di dengkul!" Kata Boma. Kedua anak 

itu lari sambil tertawa-tawa.

Sehabis lari enam kali mengelilingi lapang 

Ronny Celepuk jatuhkan diri di samping Boma. 

Hidung kembang kempis, dada turun naik dan 

nafasnya tersengal-sengal.

"Gila! Kondor gua Bom. Kayaknya gua 

nggak seperti nginjak tanah. Kaki gua rasanya hi-

lang! Gila bener Si Umar itu."

"Dia dendam sama gua Ron. Pasti. Biar. 

Nanti gua kerjain dia" .

"Kamu jangan macam-macam lagi Bom. 

Nanti malah tambah ribet! Kamu tau. Pak Sanyoto 

tour leader ke Borobudur liburan bulan depan. 

Salah-salah nanti kamu bisa disuruh yang nggak-

nggak" kata Ronny.

"Tenang Ron. Liat aja nanti." jawab Boma. 

Selesai latihan olahraga, masih ada waktu sepe-

rempat jam sebelum anak-anak kembali ke seko-

lah. Boma, Vino, Ronny, Firman, Andi, Ria serta 

Allan mangkal dulu di warung dawet dekat ge-

dung latihan senam.

"Bom, katanya perut kamu mules. Kok mi


num cendol sampai dua gelas?!" berkata Andi.

"Buat ngedinginin emosi, tau dong." Yang 

menjawab Vino.

"Ee...ee liat. Si Umar mau pulang," Firman 

memberi tahu.

Semua anak berpaling ke tempat penitipan 

motor. Saat itu Pak Sanyoto kelihatan tengah 

mengenakan helm lalu menghidupkan motor 

Honda Bebek tuannya. Tak lama kemudian dia 

sudah meluncur menuju pintu gerbang keluar.

"Sekarang gua kerjain dia!" Tiba-tiba Boma 

keluarkan ucapan. Sepasang mata anak ini me-

mang tak berkesip, mengikuti sosok Pak Sanyoto. 

Mata itu kemudian dikedipkan tiga kali. Saat itu 

juga mendadak mesin motor yang dikendarai 

guru Olah Raga itu mati. Motor berhenti. Pak Sa-

nyoto coba menghidupkan mesin motor kembali. 

Sampai beberapa kali dicoba mesin Honda Bebek 

itu tetap saja tak bisa dihidupkan. Pak Sanyoto 

membuka helmnya. Turun dari motor. Memerik-

sa kendaraannya. Tapi tak berhasil menemukan 

dimana kerusakan motor itu. 

Ronny dan semua anak-anak yang ada dis-

itu saja tercengang melihat kehebatan Boma. 

Hanya dengan mengedipkan mata dia bisa mema-

tikan mesin motor. Dan dari jarak sejauh itu! 

"Ajie Gile lu Bom." kata Ronny.

"Kamu punya ilmu apa Bom?" Tanya Andi. 

"Pasti ilmu gaib dari nenek aneh yang kau cerita-

kan itu." Ujar Vino.

"Sekarang baru tau dia" Kata Boma sambil


menowel hidungnya. "Teman-teman ayo kita per-

gi. Lewat pintu belakang."

Setelah membayar cendol anak-anak kelas 

II-9 itu meninggalkan lapangan atletik lewat pintu 

belakang stadion atletik.

Sampai di sekolah Ronny dan teman-

temannya yang masih penasaran bertanya pada 

Boma.

"Bom, kamu apain sih motornya Si Umar?" 

tanya Ronny.

"Bom, kamu beneran punya ilmu ya?" 

tanya Vino.

"Wah, kamu bisa jadi paranormal Bom" 

ucap Rio.

"Dukun kali." Menimpali Andi.

Yang ditanya cuma senyum-senyum. Me-

nowel hidungnya. Lalu menjawab.

"Ilmu apa-an? Paranormal apa-an? Orang 

selang bensin Honda Bebek butut itu gua sumpel 

sama tanah lempung!"

Semua anak melongo. Lalu semua mulut 

tertawa riuh.

"Gendenk kau Bom!" kata Rio. 

"Gila benar!" Kata Ronny. 

"Ajie Busyet. Bukan gila benar. Tapi ini si 

memang bener-bener gila!" Sambung Vino. 

Tawa riuh memenuhi kelas II-9.



TIGA


DENDAM PANGERAN MATAHARI


KEMBALI ke jembatan penyeberangan di 

depan gedung Sarinah. Ketika melihat Pangeran 

Matahari lancarkan serangan berupa tendangan 

maut ke dada, si Pelawak Sinting goyangkan ke-

rincingan di tangan kirinya lalu melompat ke 

samping. Punggungnya menabrak pagar besi. Se-

perti membalik tubuh kakek ini mental ke depan. 

Bersamaan dengan itu dia hantamkan kerincin-

gannya ke kaki kanan lawan yang menendang 

tempat kosong.

Walau cuma sebuah kerincingan kaleng, 

tapi di tangan kakek seperti Si Pelawak Sinting 

benda itu bisa berubah menjadi senjata sangat 

berbahaya. Pangeran Matahari cepat tarik kaki 

kanannya. Dengan mengandalkan daya lenting 

pada kaki kiri murid Si Muka Bangkai ini melom-

pat ke atas. Bergayut pada palang besi pengaman 

jembatan lalu melayang turun sambil lancarkan 

tendangan berantai dengan dua kaki, luar biasa 

cepat dan hebatnya.

Pelawak Sinting yang tahu bahaya segera 

melompat tiga langkah ke belakang. Tangan kiri 

yang memegang kerincing diangkat ke atas untuk 

melindungi kepala. Tangan kanan yang meme-

gang kayu kecil penabuh gendang bergerak me-

lempar.

"Trang!"


Kerincingan di tangan kiri Pelawak Sinting 

hancur berantakan. Walau kepalanya selamat da-

ri tendangan namun kakek ini terpental hampir 

satu tombak ke arah ujung jembatan penyebe-

rang. Tangan kirinya terasa sakit. Tulang lengan-

nya seperti melesak masuk ke dalam siku.

"Kraak!"

Kayu kecil penabuh gendang yang dilem-

parkan si kakek ke arah tenggorokan dengan mu-

dah dipukul patah dan mental oleh Pangeran Ma-

tahajri. Kesal serangannya lagi-lagi gagal Pange-

ran Matahari nekad memburu lawan. Sambil me-

layang turun dia lepaskan satu pukulan tangan 

kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun 

Pelawak Sinting berhasil menyusup ke depan 

sambil sodokkan payung kertas.

"Bukk!" 

"Brett!" 

"Ngekk!" 

"Braaakk!"

Kepala payung kertas yang dalam keadaan 

tidak terkembang itu mendarat tepat di ulu hati 

Pangeran Matahari. Baju sang Pangeran robek 

besar. Dari mulutnya menyembur suara gusar 

seperti orang mau muntah. Begitu kakinya men-

ginjak lantai jembatan tubuhnya terhuyung dua 

langkah.

Di samping kiri pagar besi pelindung jem-

batan jebol dihantam pukulan tangan kosong 

Pangeran Matahari. Saat itu pada ke dua ujung 

jembatan penyeberang orang banyak mulai berkerubung menyaksikan perkelahian itu. Ini satu 

pemandangan yang tidak pernah terjadi.

Dua orang berkelahi di atas jembatan pe-

nyeberang. Dan kedua-duanya berpakaian aneh. 

Tadinya orang-orang itu hanya hendak melintas. 

Namun melihat apa yang terjadi mereka memilih

tetap berdiri memperhatikan dari kedua ujung 

jembatan.

"Murid tolol! Hanya menghadapi tua bang-

ka bau tanah itu saja kau tidak mampu!" 

Pangeran Matahari mendengar suara gu-

runya Si Muka Bangkai memaki. Membuat telin-

ganya panas dan darah amarah menggejolak. Ra-

hang menggembung, pelipis bergerak.

"Guru, jangan kawatir! Bangsat tua ini 

akan kuhabisi saat ini juga!"

Setelah keluarkan ucapan itu Pangeran 

Matahari tekuk lutut kirinya sedikit. Tangan ka-

nan diangkat ke atas. Jari-jari membentuk kepa-

lan. Tiba-tiba kepalan itu memancarkan cahaya. 

Murid Si Muka Bangkai dari puncak Gunung Me-

rapi ini siap melepas pukulan sangat berbahaya 

yakni pukulan Gerhana Matahari.

Si Pelawak Sinting sebelumnya tidak per-

nah berhadapan dengan Pangeran Matahari dan 

tidak tahu jenis pukulan sakti apa saja yang dimi-

liki lawan. Namun dari kepalan yang memancar-

kan sinar aneh kakek ini maklum kalau Sang 

Pangeran hendak melepaskan satu pukulan dah-

syat. Maka tidak tunggu lebih lama dia pindahkan 

payung kertas ke tangan kiri, langsung dikembangkan. Tangan kanan diangkat ke atas, meng-

gantung di udara di sisi kanan. Tenaga dalam di-

alirkan penuh pada payung dan tangan kanan. 

Dua kaki menginjak lantai besi jembatan penye-

berang laksana dua tiang batu yang kokoh.

Tiba-tiba Pangeran Matahari keluarkan 

bentakan keras. Bersamaan dengan itu dia hen-

takkan tangan kanannya ke depan. Di belakang, 

Si Muka Bangkai yang gatal tangan dan ingin bu-

ru-buru melihat kematian Si Pelawak Sinting tiba-

tiba melompat ke belakang muridnya. Telapak 

tangan kanan ditempelkan ke punggung Pangeran 

Matahari. 

"Wuuttt!"

Satu gelombang angin menderu ganas. Tiga 

cahaya, kuning, merah dan hitam berkiblat mela-

brak ke arah Si Pelawak Sinting. Orang banyak 

yang menyaksikan kejadian ini pada dua ujung 

atas jembatan penyeberang keluarkan seru terta-

han. Yang berdiri di belakang si kakek serta merta 

berserabutan lari menuruni tangga. Takut terkena 

sambaran tiga cahaya aneh menggidikkan

Si kakek tidak tinggal diam. Payung kertas 

di tangan kiri diputar demikian rupa. Cahaya ke-

coklatan berbentuk lingkaran bergelung di udara 

melindungi dirinya pada sisi sebelah kiri. Semen-

tara dari tangan kanan si kakek yang dihantam-

kan ke arah lawan, menderu angin deras men-

gandung tenaga dalam tinggi.

Cahaya merah, kuning dan hitam serangan 

Pangeran Matahari disambut oleh cahaya kecoklatan tangkisan Si Pelawak Sinting.

"Dess.... dess... dess!" 

Tiga letupan yang tidak begitu keras meng-

gema di atas jembatan. Si Pelawak Sinting berse-

ru kaget ketika melihat bagaimana tiga cahaya 

pukulan sakti lawan menggulung cahaya coklat 

pukulan penangkis yang dilepaskannya. Lalu!

"Braaakk!"

Kipas kertas di tangan kiri Si Pelawak Sint-

ing hancur bertaburan. Berubah menjadi kepin-

gan-kepingan terbakar. Pukulan mengandung te-

naga dalam tinggi yang dilepaskannya dengan 

tangan kanan terpental ke samping begitu ber-

benturan dengan kekuatan pukulan Gerhana Ma-

tahari. Membuat jebol dan hangus pagar pelin-

dung jembatan seluas hampir dua meter persegi. 

Di ujung jembatan di belakang si kakek, tiga ca-

haya pukulan Gerhana Matahari menghantam 

tiang-tiang besi dan pagar pengaman jembatan 

hingga amblas merah dan mengepulkan asap.

Si Pelawak Sinting sendiri terpental ke 

ujung jembatan penyeberang. Sebagian pakaian 

dan tubuhnya tampak hangus. Sosok kakek ini 

kemudian menggelinding di tangga, jatuh terka-

par di lantai besi pertengahan tangga. Sebelum 

orang datang bertambah banyak Pangeran Mata-

hari dan Si Muka Bangkai segera lari tinggalkan 

tempat itu. 

Sebenarnya tenaga dalam dan kesaktian 

yang dimiliki Si Pelawak Sinting masih cukup 

ampuh untuk menghadapi serangan Pangeran


Matahari. Kalaupun dia kalah akibatnya tidak 

akan separah seperti yang dialaminya saat itu. 

Bencana ini terjadi karena Si Muka Bangkai telah 

menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya ke tu-

buh muridnya sehingga tenaga dalam Pangeran 

Matahari jadi berlipat ganda.

Di pertengahan jembatan orang banyak 

berkerumun berdesakan berusaha melihat sosok 

Si Pelawak Sinting. Beberapa orang diantaranya 

adalah Aming dan kawan-kawannya.

Aming memegang lengan kawan di sebe-

lahnya. Lalu berbisik dengan suara gemetar. 

"Ben, ini kakek yang kita temuin di tangga 

kafe tadi," Aming mengenali.

"Berarti dia bukan setan buruh yang mati 

jatuh itu..." 

Benny teman Aming mengangguk. "Tapi 

gua kira sekarang dia udah jadi setan benaran. 

Ayo kita pergi aja. Bisa-bisa nanti ditanyain Poli-

si..." 

Beberapa petugas Kepolisian berdatangan 

beberapa saat kemudian. Salah seorang dari me-

reka membawa handy talky. Dengan pesawat ko-

munikasi ini anggota Polisi itu menghubungi jaja-

ran Kepolisian terdekat, ambulans serta Kodim 

sementara jembatan penyeberangan itu semakin 

padat oleh kerumunan orang yang ingin tahu apa 

yang telah terjadi.

***


AMBULANS itu meluncur sepanjang Jalan 

Thamrin menuju RS Cipto. Seorang petugas Polisi 

duduk di sebelah depan samping pengemudi. Di 

dalam ambulans sosok Si Pelawak Sinting terbu-

jur tak bergerak, pingsan berat. Mungkin juga da-

lam keadaan sekarat. Satu-satunya pertolongan 

yang bisa diberikan petugas ambulans adalah me-

letakkan selang oksigen dibawah hidungnya. Se-

belumnya petugas berusaha memberikan infus. 

Tapi berkali-kali dicoba, di tangan maupun di ka-

ki jarum infus tidak bisa menembus kulit si ka-

kek

"Orang tua aneh," kata petugas ambulans 

yang duduk dibagian belakang kendaraan berdua 

dengan temannya. "Jarum infus tidak bisa me-

nembus kulitnya. Waktu tadi saya paksakan ja-

rum infus malah bengkok..."

"Mungkin dia punya ilmu kebal," menyahut 

petugas satunya. "Yang saya lihat aneh justru ce-

laka yang dia alami. Tidak ada api, tapi tubuhnya 

hangus. Hangusnya cuma sebelah. Korban kece-

lakaan seperti ini biasanya bikin susah kita saja. 

Tidak ada KTP. Tidak ada identitas sama sekali..." 

Sambil berkata petugas ini memandang ke luar 

lewat kaca belakang. Saat itulah dia melihat se-

suatu. Segera dia memberi tahu temannya.

Di tengah keramaian lalu lintas jalan raya 

sekitar jam delapan malam itu seorang kelihatan 

berdiri sepanjang tepi jalan, berusaha mengejar 

ambulans yang membawa Si Pelawak Sinting.

Sambil berlari orang ini tiada hentinya mengeluarkan ucapan. Memanggil-manggil.

"Labudung.... Labudung. Tunggu aku... La-

budung!"

"Lihat, ada orang lari. Kayaknya ngejar 

mobil ini." petugas ambulans yang duduk sebelah 

belakang memberi tahu.

Kawan yang diberi tahu melihat keluar. 

Memperhatikan, lalu memandang pada sosok ka-

kek yang terbujur di depannya. 

"Aneh lagi..." 

"Ada apa?" 

"Coba kau perhatikan. Orang yang lari ke 

arah mobil itu, ciri-cirinya persis sama dengan 

kakek yang ada dalam ambulans ini. Lihat pa-

kaiannya, wajahnya...." 

Menjelang Bundaran Ha. arus lalu lintas 

yang padat membuat ambulans terpaksa terpaksa 

meluncur perlahan. Walau Sirine dibunyikan dan 

lampu merah dinyalakan namun kepadatan lalu 

lintas sulit diterobos. Sementara itu orang yang 

mengejar semakin dekat ke ambulans. 

"Kayaknya bakal ada yang tidak beres. Be-

ri tahu Polisi di depan." 

Kaca pemisah ruang pengemudi dengan 

bagian belakang ambulans digeser. 

"Pak... Pak...!" 

"Kraaakk!"

Kunci pintu belakang ambulans berderak 

patah karena dibuka paksa. Seorang kakek ber-

pakaian kumal, membawa kerincingan, gendang 

dan payung kertas melompat masuk ke dalam


ambulans. Dua petugas berteriak. Pengemudi 

ambulans hentikan kendaraan. Polisi di sebelah 

depan melompat ke luar. Ketika petugas ini sam-

pai di bagian belakang kendaraan, sosok kakek 

yang sebelumnya terbujur dalam ambulans tidak 

ada lagi. Dua petugas ambulans berteriak sambil

menunjuk-nunjuk ke seberang jalan,

"Dibawa lari Pak! Kakek dalam mobil diba-

wa lari!"

Anggota Polisi memperhatikan ke arah 

yang ditunjuk. Di arah jalan yang menuju ke Blo-

ra dia melihat ada orang berlari cepat sekali sam-

bil memanggul sesosok tubuh di bahu kirinya. Ti-

dak tunggu lebih lama lagi anggota Polisi ini sege-

ra lari mengejar. Para pengemudi mobil yang ter-

kejut karena jalannya mendadak terhalang oleh 

orang yang lari sambil memanggul sesosok tubuh 

dan terhalang oleh Polisi yang mengejar membu-

nyikan klakson berulangkali. Banyak pengemudi 

mobil memperlambat atau menghentikan kenda-

raan mereka karena ingin tahu apa yang terjadi. 

Copet bukan, todong juga bukan. Aneh keliha-

tannya. Ada Polisi mengejar seorang kakek yang 

lari sambil mendukung sosok seorang tua! Untuk 

beberapa lamanya jalan menjadi macet.

Di mulut Jalan Blora anggota Polisi yang 

mengejar kehilangan jejak orang yang dikejarnya. 

Dengan nafas tersengal petugas ini kembali ke 

ambulans. Dia meminta pengemudi ambulans 

menuju Pos Polisi terdekat.


EMPAT


WADAM TAMAN LAWANG


KAKEK berpakaian kumal itu lari seperti 

bayangan setan menyusuri rel kereta api. Sepan-

jang jalan dia terus-terusan berucap. "Labu-

dung... Labudung jangan mati. Jangan mati sebe-

lum kau memberi tahu diriku. Siapa memperla-

kukan dirimu seperti ini. Labudung... Labu-

dung..." 

Di satu tempat gelap si kakek hentikan la-

rinya. Dia merunduk memperhatikan wajah Si Pe-

lawak tinting yang dipanggulnya sambil jari-jari 

tangannya memegang urat besar di leher kakek 

itu. Memang masih terasa denyutan nadi. Tapi 

perlahan sekali dan terputus-putus.

"Labudung. Jangan mati! Beri tahu aku 

siapa yang berbuat jahat padamu!"

Kakek itu memandang ke ujung rel di bela-

kangnya. Kawatir ada orang yang mengejar dia la-

ri kembali. Cukup jauh berlari, di bawah satu po-

hon besar antara rel dan kali dia kembali berhen-

ti. Kakek ini tidak tahu di tempat apa dia sebe-

narnya saat itu berada. Tempat itu adalah kawa-

san Taman Lawang tempat mangkalnya para Wa-

dam Ibukota. Apa lagi malam itu malam Minggu. 

Jumlah wadam yang beroperasi di tempat itu le-

bih ramai dari malam-malam hari biasa.

Sosok kakek yang dipanggul diturunkan, 

dibaringkan di tanah lalu orang tua ini tempelkan


dua tangannya di dada Si Pelawak Sinting. Perla-

han-lahan dia alirkan hawa sakti.

"Labudung, adikku.... Bangunlah... sadar-

lah. Bicara padaku. Katakan padaku siapa yang 

memperlakukanmu begini rupa."

Begitu hawa sakti masuk ke tubuhnya, Si 

Pelawak Sinting yang tengah sekarat seolah men-

dapat kekuatan, perlahan-lahan membuka mata. 

"Labudung... Labudung adikku..."

"Si... siapa yang memanggil na...namaku?" 

Pelawak Sinting keluarkan ucapan. Suaranya per-

lahan dan terputus-putus.

"Ah... syukur... Syukur kau sadar. Labu-

dung, aku Labodong, kakak kembarmu." Kakek 

bernama Labodong letakkan kepala Si Pelawak 

Sinting di pangkuannya. Rupanya orang yang te-

lah melarikan Si Pelawak Sinting adalah kakak 

kembarnya sendiri.

"Labodong.... Kaa...kau ada di sini? Ki...kita 

dimana?"

"Ya, aku Labodong kakak kembarmu. Mu-

kamu rusak begini. Didempul satu truk juga tak 

bakal utuh. Dengar adikku, kau tak usah bicara 

banyak. Cukup memberi tahu siapa yang mence-

lakai dirimu seperti ini!"

Labudung alias Si Pelawak Sinting kum-

pulkan sisa tenaga yang ada, baru menjawab.

"Seolang pem...pemuda. Beljul... juluk Pan-

gelan Matahali. Dia... dia tidak sendili. Dia meng-

hantamku belsama gulunya. Kakek muka putih 

Beljuluk Si Muka Bangku. Eh bukan, bukan


bangku. Tapi Bangkai... Si Muka Bangkai...." 

Suara Si Pelawak Sinting terputus.

Dua matanya tertutup. 

"Labubung! Jangan mati!" teriak Labodong. 

"Labod... Labodong. Kenapa kau jadi baik 

tel... telhadapku?" Si Pelawak Sinting alias Labu-

dung bertanya tanpa membuka kedua matanya. 

"Adikku, jangan kau berkata begitu. Sema-

sa di Latanahsilam aku memang sering berbuat 

kurang ajar, mengotori namamu dengan berbagai 

perbuatan jahat. Aku sering mencemarkan na-

mamu, memalsukan diri mengaku sebagai Si Pe-

lawak Sinting untuk mencari keuntungan sendiri. 

Tapi hari ini aku bertobat. Benar-benar mengaku 

salah..." Suara Labodong bercampur isak.

"Kak, kakak.... Sebelum mati aku ada satu 

permintaan..." 

"Katakan adikku. Ucapkan..." kata Labo-

dong sambil membelai rambut kusut masai adik 

kembarnya.

"Seolang nenek sakti belnama ... Sin... Sin-

to Gendeng...pel...pelnah mengikat janji untuk 

kawin denganku. Kalau aku mati, cal... cali nenek 

itu. Wakilkan diliku menjadi sua.... suaminya." 

Labodong tersentak kaget. Isakannya lang-

sung berhenti dan matanya yang tidak kalah be-

lok dengan saudara kembarnya kelihatan bertam-

bah mendelik.

"Apa kau bilang adikku? Kau menyuruh 

aku mewakili dirimu kawin dengan... dengan siapa?"


"Namanya Sinto Gendeng. Kau... kau tak 

akan menyes... menyesal kawin dengan nenek 

itu... Kakak, jang...jangan kau belani menolak 

pel...pelmintaanku..."

Labodong menahan nafas. Dia geleng-

geleng kepala berulangkali. "Jangan meno-

lak...jangan menampik. Kau... kau halus lakukan 

hal itu. Kau hal... halus kawin dengan Sin... Sinto 

Gendeng..."

"Labudung, aku tidak kenal nenek itu. Ba-

gaimana orangnya aku tidak pernah melihat" 

"Gam... gampang mencalinya. Kalau berte-

mu kau pasti tahu itu olangnya. Di... di kepalanya 

ada lima tusuk konde pelak. Lalu... lalu olangnya 

bau pesing..."

"Ah...." Labodong tersentak, suaranya se-

rak.

"Satu lagi pelmintaanku, Kakak..."

"Ya... ya. Katakanlah."

"Kau halus meneluskan jalan hidupku di 

kota ini. Jadilah pengamen. Kau bakal banyak

uaang. Halap kau menghapal baik-baik Kopi 

Dangdut..."

"Kopi Dangdut? Binatang apa itu?" tanya 

Labodong.

"Itu bu... bukan binatang. Tapi nyanyian. 

Lagu dangdut. Banyak olang suka. Kalau kau bi-

sa nyanyikan itu sebagai pengamen kau bakal 

mudah dapat uang."

"Ya... ya... aku akan hapalkan nyayian itu," 

kata Labodong pula yang mengiyakan saja ucapan saudaranya yang sedang sekarat itu karena 

tidak mau bicara berpanjang-panjang. Tapi tiba-

tiba dia ingat sesuatu. "Labudung, mengapa aku 

musti menghapal Kopi Dangdut. Bukannya Tenda 

Biru..." Rupanya Labodong pernah juga menden-

gar nyanyian Tenda Biru yang populer dibawakan 

penyanyi Dessy Ratnasari itu.

"Jangan... Tenda Bilu bukan lagu dang-

dut," ucap Si Pelawak Sinting. Lalu sambungnya. 

"La... lagi pula lagu itu tidak cocok untukmu. 

Tenda Bilu lagu olang putus cinta, diting... tinggal 

kawin kekasih. Padahal... kau... kau tidak diting-

gal kawin, malah mau.. mau kawin sama Sinto 

Gendeng..."

Labodong hanya bisa goleng-goleng kepala 

mendengar kata-kata adik kembarnya itu.

"Kak, aku pelgi Kakak. Jangan lupa, laksa-

nakan niat kawin dengan Sin... Sin..."

Suara Si Pelawak Sinting terputus. Kepa-

lanya terkulai.

"Labudung! jangan mati! Biar kau saja 

yang kawin dengan nenek bau pesing itu..." Labo-

dong goncang tubuh adiknya.

Tiba-tiba kepala Si Pelawak Sinting yang 

barusan terkulai bergerak tegak kembali.

"Eeeh, Labudung, adikku... Kau... kau ti-

dak jadi mati?" Suara Labodong bertanya serak. 

Matanya melotot.

"Ada yang kelupaan, Kak. Ada yang kel... 

kelupaan..."

"Apa? " tanya sang kakak kembar.


"Aku punya jimat. Dibungkus kain hitam. 

Akan.... akan kubelikan padamu..."

"Adikku, jangan pikir segala jimat..."

"Ini bukan jimat sembalangan. Halap kau 

suka mengambil sendili..."

Tidak mau menolak permintaan adiknya 

yang tengah sekarat Labodong berkata. "Baik, 

akan kuambil. Dimana kau menyimpannya? Da-

lam saku pakaian...?"

"Bu... bukan... Bukan di situ... Jimat itu 

aku sim... simpan di bawah pelut, di selang... se-

langkanganku. Masukkan tanganmu ke celanaku. 

Kau pasti menemukan. Begitu kau pegang lekas

kau sentakkan. Kau copot! Begitu dapat tempel-

kan di se... selangkanganmu..."

"Gila!" maki Labodong dalam hati. Dia go-

leng-goleng kepala. Walau tidak suka tapi Labo-

dong terpaksa ikuti permintaan adik kembarnya 

yang mau mati itu. Dia susupkan tangannya ke 

dalam celana sang adik. Tangan itu meraba-raba, 

bergerak-gerak mencari-cari.

Sepasang mata Si Pelawak Sinting keliha-

tan meram melek seperti orang keenakan.

"Sud... sudah kau dapatkan jim...jimat itu 

Labodong?"

"Kurasa sudah" jawab sang kakek.

"Tunggu apa lagi. Lek... lekas kau betot..."

"Baik, akan aku lakukan," kata Labodong 

pula. Tangannya yang didalam celana digerakkan 

menyentak.

"Aduh!" Labudung menjerit keras. "Gila


kau! Teganya kau menyakiti diliku yang sudah 

mau mati ini!"

"Gila bagaimana?!" teriak Labodong. "Kau 

tad yang menyuruh betot!"

"Yang balusan kau betot bukan jimat. Ta... 

tapi bijiku! Huah sakitnya! Untung tidak copot!"

"Hah?!" Labodong kaget ada, kasihan ada, 

ge1i juga ada.

Tangannya bergerak lagi. Akhirnya dia ber-

hasil meraba sebuah benda kecil, terasa hangat-

hangat basah. Hati-hati benda ini ditariknya. 

Benda yang satu ini memang jimat benaran. Begi-

tu jimat yang terbungkus kain hitam itu lepas da-

ri tubuh Si Pelawak Sinting Labudung, kepalanya 

kembali terkulai. Sekali ini nafasnya ikut me-

layang. 

"Labudung....!" Labodong terpekik. Dia ta-

hu kalau kali ini adik kembarnya itu benar-benar 

sudah meninggal. Labodong peluk tubuh Labu-

dung. Tubuhnya berguncang menahan ledakan 

tangis

Pada saat itu tiba-tiba dari balik pohon 

muncul seseorang. Lalu ada suara menegur. Sua-

ra itu terdengar merdu menyerupai suara perem-

puan tapi agak besar.

"lihh... Siapa yang main di tempat terang 

begin. Gila kali!"

Sambil terus memeluk tubuh adiknya La-

bodong angkat kepala. Kakek ini terkejut karena 

tak mengira yang menegur adalah seorang pe-

rempuan muda berkulit putih, bertubuh tinggi


semampai, berambut pirang sebahu, berwajah 

cantik sekali seperti Indo. Si cantik ini mengena-

kan rok super mini hingga dari tempatnya duduk 

menjelepok di tanah memeluk saudaranya, Labo-

dong dapat melihat bagian teratas dua paha si 

cantik. Si cantik ini mengenakan blus yang po-

tongannya begitu indah dan terbelah di sebelah 

tengah membuat dadanya yang besar putih keli-

hatan jelas menyembul kencang dan menantang.

"Idih opa-opa! Gila!" kata si cantik begitu

melihat Wajah Labodong. Lalu cepat-cepat si can-

tik ini yang bukan lain adalah wadam Taman La-

wang tinggalkan tempat itu. Dia pergi menemui 

seorang temannya. Memberi tahu kalau ada ka-

kek-kakek lagi main di bawah pohon sana.

Setelah ditinggal sendiri bersama jenazah 

adiknya Labodong berkata. "Labudung adikku, 

aku terpaksa meningalkanmu. Aku ingin memba-

wamu, menguburmu di satu tempat. Tapi kau ta-

hu sendiri aku tidak tahu segala urusan pema-

kaman. Lagipula kabarnya tanah makam cukup 

mahal di Jakarta ini. Dan... dan tidak ada jami-

nan tidak bakal digusur di kemudian hari. 

Hik...hik.. hik. Jadi sebaiknya kau mati menurut 

cara orang di negeri kita sana. Kembali ke tanah 

asal leluhur kita. Aku pergi adikku. Selamat ting-

gal... Selamat jalan."

Perlahan-lahan Labodong turunkan kepala 

adik kembarnya dari pangkuan. Lalu dia bangkit 

berdiri. Setelah pandangi Si Pelawak Sinting un-

tuk terakhir kali dia segera tinggalkan tempat itu.


Tak lama setelah Labodong pergi terjadi 

suatu keanehan dengan sosok mayat Si Pelawak 

Sinting. Kakek yang berasal dari Latanahsilam 

Negeri 12 ribu tahun silam ini tubuhnya perla-

han-lahan berubah seolah leleh. Lelehan berubah 

menjadi cairan putih kental yang menggenang di-

tanah.

Wadam yang tadi melihat Labudung di ba-

wah pohon menemui seorang temannya, membe-

ritahu apa yang barusan dilihatnya.

"Ada kakek maen sama teman kita? Ah, 

kau bohong aja!"

"Swear deh sial tujuh turunan. Gue sampai 

ngibrit ngeliatnya." Sang wadam pakai bersumpah 

tujuh turunan segala. Padahal satu turunan saja 

tidak bakalan punya. "Ih, gila juga! Teman kita 

siapa? Biasanya sih si Angela yang suka Slordeg, 

suka ngambil langganan sembarangan. Kalau ike

sama kakek-kakek prei dulu la yaouw! Siapa yang 

doyan terong bonyok. Ike rasa pasti deh Si Ange-

la."

"Nggak tau. Nggak keliatan. Abis dikekepin 

terus. Lagian gelap. Kalo nggak percaya ayo kita 

liat barengan."

Ketika dua orang wadam itu sampai di ba-

wah pohon mereka hanya menemui genangan cai-

ran putih kental di tanah.

"Mana, kok nggak ada siapa-siapa? Ah, 

bener 'kan? Lu bohong aja!" Kata wadam yang di-

ajak temannya. Lalu wadam ini melihat cairan 

putih kental yang menggenang di tanah. Dia


membungkuk. Lalu menjerit perlahan. "Iiihhhh.... 

gila! Kok bisa banyak begini. Ampe seember. 

Ihhh...."

Wadam satunya memandang berkeliling 

terheran-heran.

"Aneh, tadi ada disini. Berduaan. Asyik 

banget. Gue liat si kakek masih bisa goyang kok! 

Nafasnya gue dengar sampai ngosngosan!" pa-

dahal goyang dan ngosngossannya si kakek Labo-

dong yang dilihat wadam ini adalah getaran dan 

sesak nafas karena menahan isak tangis yang 

mau meledak.

Tiba-tiba genangan cairan putih kental be-

rubah menjadi asap. Bau aneh seperti bau keme-

nyan terbakar memenuhi tempat itu. Dua orang 

wadam tadi terkejut pucat.

"Mira.... Mira," bisik wadam satunya me-

nyebut nama temannya. "Jangan-jangan yang gue 

liat tadi setan rel kereta..."

"Aduh mami, ike jadi pengen pipis!"

Dua wadam sama-sama memekik lalu ter-

birit-birit tinggalkan tempat itu.


LIMA


RENCANA PEMBUNUHAN BOMA


JAM 03.00 dinihari, menjelang pagi hari 

Minggu. 

Lopo Tuak "Tao Toba" dalam keadaan gelap 

dan sepi. Satu-satunya penerangan adalah nyala


lampu 10 watt di bagian luar, tergantung di ba-

wah atap. Pemilik lapo dan anak istrinya tertidur 

nyenyak di bagian belakang bangunan papan ke-

dai minuman itu. Tidak mengetahui kalau dalam 

kedai ada dua orang tamu gelap asyik menjarah 

tuak.

Tamu pertama seorang kakek duduk di 

ujung meja sebelah kiri. Berpakaian rombeng se-

perti pengemis. Saat itu dia telah menghabiskan 

tiga botol besar tuak. Orang biasa jika minum se-

banyak itu kulit wajahnya akan menjadi merah. 

Tapi orang ini walau dalam gelap, mukanya keli-

hatan putih pucat dan angker. Dia bukan lain 

adalah dedengkot golongan hitam rimba persila-

tan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.

Di hadapan Si Muka Bangkai, di ujung me-

ja sebelah kanan duduk muridnya. Pangeran Ma-

tahari. Pendekar jahat yang dijuluki Pangeran se-

gala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik, 

segala congkak, musuh bebuyutan Pendekar 212 

Wiro Sableng, murid nenek sakti Sinto Gendeng 

dari puncak Gunung Gede.

Sang Pangeran seka mulutnya dengan be-

lakang telapak tangan, memandang pada gurunya 

lalu berkata.

"Guru, dari tadi kau diam saja. Mukamu 

kelihatan asam. Ada sesuatu yang kau jengkel-

kan. Apa kau tidak senang kalau hari ini aku 

berhasil membunuh seorang manusia tua bangka 

keparat yang selama ini telah membuat kita susah?"


Si Muka Bangkai tidak segera menjawab. 

Dia mengambil botol tuak keempat, menenggak 

isinya sampai ludas lalu tertawa mengekeh.

"Jangan terlalu sombong dengan apa yang 

telah kau lakukan hari ini. Si Pelawak Sinting 

yang kau bunuh hanyalah mahluk tak berguna 

dari negeri duaribu dua ratus tahun silam..."

"Guru, apa kau lupa? Gara-gara bangsat 

itu semua urusan jadi berantakan. Dia yang men-

curi Batu Penyusup Batin yang kau berikan pa-

daku. Walau kemudian kau mengakui batu itu 

cuma batu palsu. Apa semua yang terjadi ini bu-

kan kualat karena kau menipu diri sendiri dan 

menipu muridmu ini?"

"Murid kurang ajar! Setiap aku berbuat se-

suatu. Ada sebabnya1" bentak Si Muka Bangkai 

dengan nada marah sekali karena si murid men-

gungkit-ungkit soal batu palsu yang diberikannya 

tempo hari. "Aku yang mengatur! Kau hanya jadi 

pelaksana! Ingat itu baik-baik! Yang jadi sasaran 

sebenarnya saat ini adalah anak lelaki bernama 

Boma. Dan kau belum mampu berbuat sesuatu 

apa terhadap anak itu!"

"Guru, aku sudah menyelidik. Aku sudah 

tahu anak itu sekolah dimana. Dalam waktu be-

berapa hari ini aku akan menghabisinya."

"Dalam waktu beberapa hari. Mengapa be-

gitu lama?"

"Guru, aku punya firasat. Sejak beberapa 

waktu belakangan ini ada seseorang menguntit 

gerak-gerikku. Mungkin sekali Sinto Gendeng...!"


"Kalau kau tahu yang menguntitmu Sinto

Gendeng, apa kau kira akan bisa menghabisi 

anak bernama Boma itu selama Sinto Gendeng ti-

dak kau habisi lebih dulu? Nenek Gendeng itu 

adalah pelindung Boma. Mungkin telah menjadi-

kan anak itu sebagai muridnya. Mungkin juga dia 

telah menyuruh muridnya Pendekar 212 Wiro 

Sableng untuk berjaga-jaga. Bukankah aku dan 

guruku pernah bilang bahwa ada seorang pemuda 

yang hendak dijadikan sebagai Pendekar Tahun 

2000 oleh orang-orang rimba persilatan golongan 

putih. Aku hampir yakin anak bernama Boma itu-

lah orangnya! Pangeran tolol, kau harus me-

nyingkirkan Sinto Gendeng lebih dulu. Dendamku 

padanya sudah berkarat. Mulai dari saat dia me-

rampas Batu Penyusup Batin. Lalu perbuatan ku-

rang ajarnya menelanjangi guruku Kunti Api tem-

po hari. Jahanam!" Si Muka Bangkai gerakkan 

sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan su-

ara bergemeletakan. "Kalau Sinto Gendeng sudah 

jadi satu dengan tanah! Kau mudah saja meng-

habisi anak itu!" 

"Guru, walau aku bilang Sinto Gendeng 

menguntit, tapi secara nyata sulit melacak kebe-

radaannya. Nenek itu tidak beda dengan setan. 

Dicari susah bertemu tapi tahu-tahu, secara 

mendadak dia bisa saja muncul."

"Murid congkak tapi tolol!" sembur Si Muka 

Bangkai. "Aku tidak mau tahu segala macam ke-

sulitan yang kau hadapi. Kau aku gembleng den-

gan segala macam ilmu kepandaian justru untuk


menghadapi kesulitan. Aku hanya mau melihat 

kau membawa kepala Sinto Gendeng ke hada-

panku!"

Dua kali sang guru menyebutnya tolol di-

tambah congkak. Telinga dan hati Pangeran Ma-

tahari jadi panas.

"Guru, soal Sinto Gendeng bukan menjadi 

tanggungjawabku. Itu adalah tanggung jawabmu. 

Bukankah nenek itu keluar dari sarangnya gara-

gara dulu kau dan kekasih gelapmu Nyi Ragil 

membunuh Datuk Mudo Carano Ameh sepupu

Tua Gila, kekasih Sinto Gendeng!" 

"Pangeran setan kurang ajar! Jangan kau 

menuduh aku berbuat mesum dengan Nyi Ragil! 

Jangan kau menuduh aku membunuh Datuk sia-

lan itu. Nyi Ragil yang membunuh saudara sepu-

pu Tua Gila itu karena dia punya dendam terha-

dap Sinto Gendeng. Nenek keparat dari puncak 

Gunung Gede itu di masa mudanya pernah mere-

but kekasih Nyi Ragil!" (Kisah terbunuhnya Datuk 

Mudo Carano Ameh bisa diikuti dalam serial Wiro 

Sableng berjudul "Si Cantik Dalam Guci") 

Pangeran Matahari menyeringai.

"Guru, kau boleh menyangkal. Tapi aku 

tahu banyak hubunganmu dengan setan betina 

bernama Nyi Ragil itu. Mulai dari perselingkuhan 

sampai semua rencana dan perbuatanmu meng-

hancurkan para tokoh silat golongan putih," kata 

Pangeran Matahari berani sekali.

Sepasang mata cekung Si Mata Bangkai 

memancarkan kilatan menggidikkan.


"Braaak!"

Si Muka Bangkai menggebrak meja kayu 

di hadapannya.

Empat kaki meja amblas sampai setengah 

jengkal ke ubin lantai. Tapi luar biasa deretan bo-

tol-botol tuak yang ada di atas meja tidak satu-

pun yang roboh, bahkan bergoyangpun tidak!

"Pangeran Matahari! Jangan kau berani bi-

cara kurang ajar! Jangan kau berani menolak pe-

rintahku dengan membual segala macam ucapan 

kotor! Jangan tunjukkan kesombongan dan ke-

cerdikan licik padaku! Saat ini aku masih dalam 

berduka! Pendekar 212 Wiro Sableng telah mem-

bunuh Nyi Ragil Tawangalu!" (Kisah terbunuhnya 

Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut 

dapat pembaca ikuti dalam serial Wiro Sableng 

pada Episode berjudul Kutukan Sang Badik yang 

akan segera terbit).

Sang murid yang punya sifat congkak ma-

na perdulikan duka cita Si Muka Bangkai. Dia 

membuka mulut.

"Guru..."

"Diam!" Bentak Si Muka Bangkai dengan 

mata membeliak besar.

Sang murid jadi tergetar juga hatinya lalu 

walau dia putar kepala memandang ke jurusan 

lain tapi dimulutnya tersungging seringai seolah 

mengejek sang guru.

Si Muka Bangkai teguk tuak dibotol beri-

kutnya sampai setengah. Sambil menyeka bibir 

dia memandang ke luar kedai minuman lewat


jendela kawat. Dalam hati kakek ini membatin. 

"Tak lama lagi pagi segera datang. Mengapa dia 

belum muncul juga?"

Tiba-tiba ada angin bertiup. Pintu kedai 

terbuka. Sesosok tubuh, laksana bayangan setan 

berkelebat masuk. Di lain kejap seorang nenek 

bermantel biru tebal, berambut merah riap-riapan 

tahu-tahu telah duduk di kursi di samping meja 

sebelah kiri, antara Si Muka Bangkai dan Pange-

ran Matahari. Nenek ini punya sepasang mata 

merah seperti menyala. Mukanya yang angker ter-

tutup dandanan tebal mencorong hingga tam-

pangnya kacau tidak karuan. Ketika dua tangan-

nya diletakkan di meja, kuku-kukunya yang pan-

jang-panjang juga kelihatan merah menggidikkan.

"Eyang Guru!" Seru Si Muka Bangkai begi-

tu melihat dan mengenali orang yang duduk di 

sampingnya.

"Nenek Guru!" Ucap Pangeran Matahari. 

Si Muka Bangkai dan muridnya segera 

bangkit berdiri dari kursi masing-masing lalu 

membungkuk hormat dalam-dalam.

Si nenek bermantel biru berambut merah 

riap-riapan yang dikenal dengan nama Kunti Api

dongakkan kepala lalu tertawa mengekeh.

"Aku lihat ada minuman enak di atas meja! 

Mengapa kalian guru dan murid malah berteng-

kar dalam kenikmatan ini?!"

"Eyang, harap maafkan. Pangeran Matahari 

muridku telah berani menolak perintah," berkata 

Si Muka Bangkai. Lalu kakek ini jelaskan persoalan yang tengah mereka hadapi. Dia juga mene-

rangkan kematian Si Pelawak Sinting yang dibu-

nuh Pangeran Matahari.

Si nenek goleng-goleng kepala.

"Aku melihat tidak ada masalah yang perlu 

dipertengkarkan!" Kata Kunti Api pula.

Tampang Si Muka Bangkai berubah jadi 

asam

Pangeran Matahari sunggingkan senyum.

"Hai! Minuman apa yang tengah kalian 

nikmati ini?"

Tiba-tiba Kunti Api bertanya sambil melotot 

pandangi belasan botol besar di atas meja.

"Kami minum tuak Eyang." Jawab Si Muka

Bangkai.

"Tuak? Enak?"

"Enak Eyang. Silahkan kalau mau menco-

ba."

Si Muka Bangkai cepat mengambil botol 

tuak yang masih penuh lalu menyerahkan pada 

gurunya. Kunti Api sambuti botol, tengadahkan 

kepala dan membuka mulut.

"Gluk...gluk...gluk"

Sebentar saja tuak satu botol besar itu lu-

das masuk ke dalam perutnya.

"Aahhh.... Memang enak. Sedap sekali. Tu-

buhku jadi hangat." Kunti Api seka mulutnya lalu 

mengekeh perlahan. "Dengar kalian berdua. Anak 

lelaki bernama Boma itu harus kalian cari, harus 

disingkirkan cepat-cepat jadi tugas utamamu 

Pangeran Matahari! Aku menyirap kabar anak itu


akan berada di kawasan Candi Borobudur dua 

minggu dimuka. Borobudur termasuk kawasan 

Gunung Merapi, daerah kekuasaanmu! Kau harus 

bisa membunuhnya dengan mudah di tempat itu. 

Apa lagi Borobudur jauh dari Gunung Gede sa-

rangnya si nenek keparat Sinto Gendeng. Dia pas-

ti sulit mengetahui anak itu dalam bahaya. Tapi, 

bagaimanapun juga, jika kau mampu menghabi-

sinya di sini lakukanlah! Makin cepat anak itu 

mati makin baik! Mengenai Sinto Gendeng biar 

aku mengatur kematian nenek keparat itu bersa-

ma gurumu! Dia pernah menelanjangi diriku se-

cara kurang ajar! Sebagai balasan aku bersumpah 

akan mengelupas sekujur kulit muka dan tubuh-

nya!" Kunti Api pentang sepuluh jari tangannya 

yang memiliki kuku panjang mengerikan. Selain 

bisa mengeluarkan api, sepuluh kuku jari itu juga 

bisa membeset lawan secara ganas mengerikan.

Si Muka Bangkai tatap mata muridnya le-

kat-lekat.

"Pangeran Matahari, Eyang Guru telah be-

rucap. Apa jawabmu?!"

Pangeran Matahari rapatkan dua tangan di 

depan kepala. Lalu berkata. "Guru, Nenek Guru, 

aku akan lakukan apa yang guru dan Nenek 

Guru perintahkan."

"Kalau begitu kau tunggu apa lagi?" ujar Si 

Muka Bangkai pula.

Pangeran Matahari tatap wajah gurunya 

sesaat. Rahangnya tampak mengembung dan pe-

lipisnya bergerak-gerak pertanda ada emosi bergejolak dalam dirinya. Sesaat kemudian, sambil 

membawa sebotol tuak, tanpa berkata apa-apa 

dia tinggalkan kedai minuman itu.

Begitu Pangeran Matahari lenyap dalam 

kegelapan malam di luar sana Kunti Api berpaling 

pada muridnya.

"Suro Ageng Kalamenggolo," Kunti Api me-

manggil Si Muka Bangkai dengan nama aslinya, 

"Mungkin karena Pangeran Matahari tahu kalau 

kau bukan gurunya sebenarnya, hanya saudara 

kembar Si Muka Bangkai yang asli. Maka dia ke-

lihatan begitu keras kepala terhadapmu."

Si Muka Bangkai menyeringai. "Walaupun 

aku bukan gurunya yang asli, tetapi aku sejuta 

layak dihormatinya sebagai guru. Aku tahu ba-

nyak tentang dirinya seperti aku mengenal dua 

telapak tanganku sendiri. Sebaliknya dia tidak 

tahu banyak mengenai diriku. Kalau dia berani 

macam-macam aku akan membuat hidupnya 

sengsara selama-lamanya...."

Si Muka Bangkai keluarkan ucapan seperti 

itu tanpa mengetahui kalau saat itu sebenarnya 

Pangeran Matahari sengaja menyelinap dibalik 

dinding kedai minuman. Sepasang mata sang 

Pangeran keluarkan kilatan menggidikkan. Serin-

gai setan bermain di mulutnya. "Kau tahu diriku, 

tapi kau tidak tahu hantu. Aku juga bisa mem-

buat dirimu sengsara seumur-umur. Kau bisa jadi 

ular sanca. Tapi aku juga bisa jadi seekor ko-

bra..." Pangeran Matahari teguk tuak dalam botol 

sampai setengahnya lalu sekali berkelebat sosok


nya lenyap dalam udara malam menjelang pagi 

yang dingin. Di kejauhan terdengar suara anjing 

meraung panjang. (Dalam cerita silat Serial Wiro 

Sableng diriwayatkan kematian Si Muka Bangkai 

yang asli di tangan Bujang Gila Tapak Sakti. Ha-

rap baca Episode terakhir Wasiat Iblis berjudul 

Kiamat Di Pangandaran).

***

JAM lima lewat, pagi hari Minggu itu seper-

ti biasanya Marihot Sinaga pemilik kedai tuak Tao 

Boba telah bangun dari tidurnya. Turun dari ran-

jang dia ke kamar mandi dulu, baru pergi ke de-

pan. Begitu memasuki kedai pandangan matanya 

langsung membentur deretan botol-botol tuak di 

atas meja.

"Hah?!" kejutnya. Setengah melompat dia 

mendekat meja di tengah kedai. Tidak percaya 

pada penglihatannya dia hidupkan lampu besar. 

Terbelalak mata Marihot antara percaya dan ti-

dak. Belasan botol tuak bergeletakan dalam kea-

daan kosong di atas meja. Di tengah meja terletak 

sebuah kendi terbuat dari tanah. Marihot Sinaga 

mengangkat kendi tanah. Dibalikkannya. Tak ada 

cairan yang keluar. Suara mengeram keluar dari 

tenggorokan pemilik Lapo Tuak itu.

"Kosong! Tuak murniku!" Suara Marihot 

Sinaga bergetar. Matanya membeliak garang me-

mandang seputar kedai.

Siapa yang datang? Siapa yang minum se


mua tuak dalam botol ini? Juga tuak murni da-

lam kendi tanah? Dia ingat betul, sebelum tidur 

semua meja telah dibersihkan. Tak ada tamu 

yang datang untuk meminum. Dia sendiri yang 

menutup, mengunci pintu kedai. Marihot paling-

kan kepala ke arah pintu kedai. Dilihatnya pintu 

dalam keadaan terbuka.

"Apa ini? Kejadian apa ini?!" kata pemilik 

kedai tuak itu sambil melangkah mengeliling meja 

yang penuh dengan deretan botol kosong. Akhir-

nya dia terduduk disalah satu kursi.

Lalu dia mulai berteriak-teriak memanggil 

istrinya.

"Saroha! Saroha! Bangunlah kau! Lihat... 

lihat apa yang terjadi di kedai kita! Ini gara-gara 

kau mengajak aku tidur siang-siang. Maling ma-

suk aku tak tahu! Maling jahanam! Habis tuakku 

dijarahnya! Habis daganganku! Hancur modalku! 

Sial besar! Saroha! Saroha!" 

Yang muncul bukannya Saroha tetapi seo-

rang berpakaian seragam dan bertopi pet hijau. 

Hansip. Mukanya kusam matanya kuyu tanda 

baru bangun tidur.

"Tulang... Tulang, ada apa Tulang?!"

"Komang! Kau Hansip di sini! Kau menjadi 

keamanan di sini?!"

"Tentu saja Tulang" jawab Hansip yang 

bernama Komang.

"Maling masuk lapoku! Menjarah habis 

tuak di kedai ini! Kau tidak tahu! Apa saja kerjamu?!"


"Astaga? Masa’ iyaa Tulang? Bagaimana

mungkin?!"

"Bagaimana mungkin! Bagaimana mung-

kin! Lihat! Puluhan botol tuak pada kosong. Satu 

kendi tuak murni habis dibantai maling itu! Se-

mua dihabisi di kedaiku! Kalau tahu aku siapa 

orangnya kupancung batang lehernya!" teriak Ma-

rihot Sinaga. Diambinya guci tanah di atas meja 

lalu dibantingkannya ke lantai di depan kaki Ko-

mang. Tak ampun lagi guci tanah itu hancur be-

rantak Komang melompat kaget. Waktu turun sa-

lah satu tumit sepatu botnya terpeleset. Tak am-

pun lagi Komang jatuh bergedebuk di lantai.

"Hanssip sial! Kau pasti tidur!" Teriak Ma-

rihot Sinaga. "Kau pasti molor!"

"Tulang, empat kali saya melintasi warung 

Tulang malam ini. Saya tidak melihat siapa-

siapa..."

"Empat kali atau sepuluh kali! Pantatlah 

sama kau!" maki pemilik kedai tuak itu, Komang 

didorongnya keluar kedai. Pintu kedai ditutupnya 

dengan bantingan keras. 

Di luar kedai Hansip Komang tegak terhe-

ran-heran. Sambil geleng-geleng kepala dia berka-

ta. 

"Aneh, ada maling kok bukannya nyikat te-

levisi tapi menengggak tuak! Ah! Jangan-jangan Si 

Tulang itu mabok. Dia sendiri yang geludesin

tuak, bilang ada maling. Sial, aku yang kena 

damprat. Dibilang pantat!" Hansip itu akhirnya

ngeloyor tinggalkan Lapo Tuak Tao Toba.


ENAM



BERITA DALAM SURAT KABAR MINGGU


MINGGU pagi Sumitro Danurejo sibuk 

mengerjakan sablon lima ratus kaos oblong pesa-

nan langganan. Di dapur istrinya tengah mema-

sak. Bram pagi-pagi telah berangkat ke Bogor un-

tuk satu keperluan. Di kamarnya di tingkat atas 

Boma belum mandi, baru saja selesai membaca 

tiga surat kabar terbitan hari Minggu itu. Semua 

memuat berita peristiwa perkelahian di Jembatan 

penyeberangan di Jalan Thamrin, di depan ge-

dung Sarinah. Dalam berita disebutkan seorang 

lelaki tua dan seorang pemuda mengeroyok sam-

pai mati seorang kakek pengamen. Dua penge-

royok lenyap melarikan diri. Diperkirakan ketiga 

orang itu adalah orang-orang sakti dari "Banten". 

Karena dalam perkelahian jelas terlihat sambaran

cahaya aneh setiap masing-masing melancarkan 

serangan. Ciri-ciri dua pengeroyok telah diketahui 

oleh pihak berwajib dan penyelidikan lebih lanjut 

tengah dilakukan. Keanehan disusul dengan kea-

nehan lain. Ketika pengamen tua yang tengah se-

karat dilarikan dengan ambulans ke RSCM, di 

tengah jalan muncul seorang lelaki tua yang ciri-

cirinya sangat sama dengan korban mengejar am-

bulans. Kakek misterius ini kemudian menculik 

sosok kakek pengamen yang kemungkinan telah 

jadi mayat lalu melarikannya ke arah Jalan Blora. 

Polisi yang coba mengejar kehilangan jejak.

Lama Boma terduduk di ujung tempat ti-

dur, bersandar ke dinding. Kemudian kembali di-

ambilnya tiga surat kabar Minggu. Dibacanya sa-

tu persatu, perlahan-lahan dan hati-hati seolah 

tidak mau satu katapun terlewat. Bagian yang di-

bacanya adalah mengenai ciri-ciri pengeroyok 

yang muda.

"Menurut saksi mata, salah seorang penge-

royok masih muda. Diduga berusia sekitar dua pu-

luh lima tahun. Yang menarik dari pemuda ini dia 

mengenakan pakaian serba hitam dengan gambar 

gunung di dada kiri. Di punggungnya dia memakai 

sehelai mantel hitam seperti mantel Superman. Be-

rambut gondrong dengan kening diikat secarik 

kain merah..."

"Berambut gondrong dengan kening diikat 

secarik kain merah...." Boma mengulang memba-

ca kalimat itu sampai berkali-kali. Lalu anak ini 

letakkan surat kabar di atas tempat tidur, melipat 

kaki dan kembali bersandar ke dinding kamar di 

belakangnya. Dua matanya memandang ke luar 

kamar lewat jendela yang terbuka. Di ambang 

jendela yang terbuka Boma seperti melihat 

bayangan satu wajah nenek keriput, bermuka ce-

kung kulit hitam dengan lima tusuk konde dari 

perak menancap sebagai hiasan dan juga sebagai 

senjata di atas kepalanya.

"Aku jadi ingat nenek itu..." Boma berkata 

dalam hati. "Terakhir sekali muncul di kamar ini, 

dia mengatakan sesuatu. Tentang seseorang yang 

katanya... katanya hendak membunuhku..." Boma menowel hidungnya lalu tangannya bergerak 

menyapu tengkuknya yang mendadak terasa din-

gin dan lembab oleh keringat. Dalam keadaan se-

pi itu Boma ingat hampir semua pembicaraan 

dengan si nenek.......

"Anak Gendeng, Anak Setan dengar. Aku ti-

dak bisa lama-lama di tempat ini. Aku datang ka-

rena ada firasat dirimu dalam bahaya..."

"Bahayanya sudah lewat Nek. Nenek tau 

sendiri. Waktu saya dikeroyok orang, mau dibu-

nuh. Bukankah Nenek ikut menolong?"

"Bahaya yang sudah lewat perlu apa aku 

urus. Yang aku maksud adalah bahaya yang bak-

al datang. Ada orang yang akan membunuhmu. 

Petunjuk memberi tahu kau bakal dipateni di seko-

lahan. Besok kamu masuk sekolah?"

Boma mengangguk.

"Siapa orang jahat itu Nek? masih kawanan 

lima pengeroyok itu?"

"Dia mahluk dari alamku. Dikenal dengan 

nama Pangeran Matahari. Berpakaian serba hitam. 

Ada gambar gunung dan matahari di dadanya. Dia 

juga pakai mantel warna hitam. Kepalanya diikat 

secarik kain merah. Dia merupakan suruhan para 

dedengkot golongan hitam yang tak suka kemun-

culan dirimu sebagai Pendekar Tahun 2000."

"Apa Nek, saya Pendekar Tahun 2000? Nek 

setiap muncul kau membawa keanehan. Sulit bisa 

dipercaya."

"Dalam rimba persilatan keanehan hanya 

selangkah jaraknya dari kematian. Itu sebabnya


setiap keanehan harus kau perhatikan, harus kak 

pecahkan sebelum keanehan memecah kepalamu! 

Mahluk bernama Pangeran Matahari itu ilmunya 

tinggi. Selain itu mata biasa tidak bisa melihat 

ujudnya karena dia sudah diusap dengan benda 

ini oleh gurunya yang bernama Si Muka Bang-

kai..." 

Dari balik baju hitam bututnya di bawah 

ketiak kiri si nenek keluarkan sebuah benda ber-

bentuk dan sebesar telur burung merpati, ber-

warna biru bercahaya.

"Apa itu Nek?" tanya Boma. 

"Batu Penyusup Batin," jawab si nenek. "Ji-

ka batu ini kau genggam, ujudmu tak kan terlihat 

oleh siapapun. Kau lenyap, menghilang dari pe-

mandangan mata manusia. Jika Pangeran Mata-

hari muncul orang lain tak bisa melihat dirinya, ta-

pi kau bisa."

"Kalau saya bisa menghilang wah enak ju-

ga Nek," kata Boma.

"Enaknya?" tanya si nenek.

"Saya bisa gentayangan kemana-mana. 

Masuk bioskop nggak bayar. Ngintip orang paca-

ran. Ngintipin cewek mandi. Masuk ke kamar pen-

ganten baru..."

"Anak Setan!" bentak si nenek. "Ilmu apa sa-

ja kalau dipergunakan salah, untuk kejahatan bisa 

kualat makan diri sendiri."

"Nek, gimana kalau setelah menghilang 

saya tidak bisa kembali ke alam nyata? Bisa cela-

ka saya seumur-umur."


"Dasar anak gendenk! Tubuhmu tidak 

ludes, tidak menghilang benaran. Yang kejadian 

mata manusia tidak bisa melihat sosokmu. Itu bisa 

melindungi dirimu dari segala macam bahaya! Bu-

kan buat ngintip cewek kencing!"

Boma mengusap bahu kanan, bagian di 

bawah tulang belikat. Disitu ada daging tubuhnya 

yang menonjol.

"Nek, saya tetap nggak mau menerima batu 

itu. Ngeri Nek."

"Kalau jadi anak tolol boleh saja. Tapi jan-

gan kelewatan. Aku sudah bilang dirimu terancam 

bahaya maut. Pangeran Matahari akan muncul 

mau membunuhmu. Aku pinjamkan batu ini sela-

ma beberapa hari padamu."

"Saya nggak berani Nek. Tetap nggak bera-

ni. Takut..."

"Takut apa jijik?! Karena batu ini barusan 

aku keluarkan dari ketiakku hah?!" 

Boma menowel hidungnya. 

"Tidak, bukan karena itu Nek..." 

"Jangan dusta Anak Setan!" 

"Saya nggak dusta Nek. Sumpah..."

"Jangan suka bersumpah! Urusan sumpah-

mu sama guru cantik itu belum beres. Sekarang 

kamu sumpah lagi sama nenek jelek ini! Bisa tam-

bah celaka kamu!"

"Kok.,.. kok Nenek tau saya sumpah sama 

Ibu Renata?" Tanya Boma heran.

"Apa yang aku tidak tahu mengenai dirimu. 

Yang tersembunyi dalam celana di bawah perutmu


itu juga aku tahu! Ada tahi lalat di lempengan se-

belah kiri! Hik... hik.. hik!"

Boma melengak kaget. Kaget karena apa 

yang dikatakan si nenek memang benar adanya. 

Tak sadar dia turunkan tangan meraba bagian 

bawa celananya. Tawa cekikikan si nenek tambah 

keras "Anak Setan, kau tetap tidak mau menerima 

Batu Penyusup Batin ini?!"

Boma gelengkan kepala? Tangan kirinya 

masih menekap bagian bawah perut.

Si nenek tampak kesal.

"Terserah kamu!" katanya. "Kalau kau cela-

ka jangan salahkan aku!" Perempuan tua berwa-

jah angker dengan lima tusuk konde di kepalanya 

itu melangkah mendekati Boma. Anak lelaki itu 

mundur. 

"Kamu takut?" Si nenek menyeringai.

"Nek, Nenek ini siapa sih sebenarnya?" 

"Kalau aku beri tahu namaku apa kau mau 

menerima batu sakti ini?"

"Nggak Nek, nggak. Biar saja saya nggak 

tau nama Nenek,.."

Si muka angker tertawa panjang. "Bagus, 

kau rupanya tidak mempan disogok! Hiik,,. 

hik..hik!"

Nenek itu maju lagi satu langkah. Tiba-tiba 

tangan kirinya ditepukkan ke bahu kanan Boma 

seraya berkata. "Kau akan menyesal tidak mau 

kupinjamkan batu sakti itu. Aku pergi sekarang!"

Boma merasa bahunya yang ditepuk men-

jadi pegal dan berat.


"Nek, pintu keluar sebelah sana," kata Bo-

ma ketika dia melihat si nenek melangkah ke 

arah jendela yang tertutup.

"Siapa bilang aku keluar lewat pintu!" jawab 

si nenek sambil tertawa lebar. Tangannya berge-

rak membuka daun jendela. "Anak tolol, dengan 

baik-baik. Batu Penyusup Batin sudah aku su-

supkan ke dalam bahu kanan di bawah tulang be-

likatmu. Jika kau mengusap bahumu satu kali, so-

sokmu akan menjadi samar. Jika kau mengusap 

kedua kali tubuhmu akan lenyap dari pemandan-

gan mata manusia. Jika kau mengusap sekali lagi, 

ujudmu akan kembali seperti semula."

Boma tersentak kaget. Dirabanya bahu ka-

na di bawah tulang belikat. Astaga, ada sesuatu 

yang menonjol pada daging dibawa tulang beli-

katnya. Selagi Boma bingung, kaget dan juga ta-

kut si nenek kembali tertawa cekikikan. Lalu se-

kali dia berkelebat sosoknya melesat keluar lewat 

jendela. Boma mengejar ke jendela, namun dia 

hanya melihat kegelapan di luar sana. Si nenek 

tak kelihatan lagi......

***

Di atas tempat tidur Boma raba bahu ka-

nannya. Daging di bahu itu masih menonjol tanda 

Batu Penyusup Batin masih ada di situ. Dipan-

danginya surat kabar Minggu yang bertebaran di 

atas tempat tidur.

"Ciri-ciri Pangeran Matahari yang disebutkan nenek aneh itu sama dengan pemuda 

yang diberitakan di koran. Apa bener Pangeran 

Matahari itu ada betulan? Kalau dia benar ada la-

lu apa benar dia mau membunuh aku? Apa sa-

lahku? Pendekar Tahun 2000. Kata si nenek ka-

rena aku Pendekar Tahun 2000. Orang-orang go-

longan hitam mau mateni aku karena aku Pende-

kar Tahun 2000. Gila! Ini dunia nyata, bukan ce-

rita silat." Boma menowel hidungnya. Dia men-

gambil salah satu dari tiga surat kabar itu dan 

membacanya sekali lagi, ia kembali merenung 

bersandar ke dinding kamar. "Tapi gimana kalau 

apa yang dibilang nenek aneh itu benar? Buk-

tinya waktu batu ini aku gosok dua kali, bokap 

nggak ngeliat aku. Padahal aku dalam kamar di 

depan jidatnya! Lalu waktu Ibu Renata yang me-

meluk aku tak sengaja menekan batu sampai dua 

kali, sosokku juga lenyap." 

Sambil merenung mengingat-ingat seperti 

itu tidak sadar Boma usap bahu kanannya satu 

kali.

"Pangeran Matahari, mungkin aku musti 

hati-hati. Aneh memang. Tapi aku ingat. Si nenek 

bilang keanehan hanya selangkah jaraknya dari 

kematian." Boma menowel hidungnya. Mengeliat 

satu kali. Tidak sadar dia mengusap bahu kanan-

nya sekali lagi lalu turun dari tempat tidur

"Saatnya aku musti turun ke bawah. Ban-

tuin bokap nyablon sebelum dia nyap-nyap."

Sebelum pergi ke halaman samping rumah 

tempat ayahnya sibuk menyablon, Boma ke ruang


makan dulu. Saat itu ibunya tengah menyiangi 

ikan di dapur. Dari dapur perempuan ini bisa me-

lihat ke ruang makan. Mula-mula dia kerenyitkan 

kening heran. Rasa heran kemudian berubah 

menjadi takut ketika dilihatnya tudung plastik di-

atas meja naik, terbuka ke atas. Padahal dia tidak 

melihat siapapun berdiri di sekitar meja makan.

Boma yang membuka tudung plastik itu 

hanya melihat sebuah piring kecil berisi sambel.

"Laper, tapi cuman ada sambel..." Kata 

Boma dalam hati lalu tudung plastik ditutupkan-

nya kembali. Anak ini pergi ke tempat ayahnya 

bekerja.

"Ayah, mari Boma bantuin nyablon." kata 

Boma pada ayahnya.

"Gini hari baru bangun kamu," kata ayah 

Boma, Sumitro Danurejo lelaki pensiunan De-

partemen Penerangan tanpa berpaling. "Sini, ka-

mu bawa masuk kaos yang sudah disablon. Su-

sun di kursi tamu. Ikat sepuluh-sepuluh...." Lalu 

tak acuh lelaki ini berpaling. Pekerjaannya me-

nyablon langsung berhenti. Barusan ia jelas men-

dengar suara anaknya berkata mau membantu 

pekerjaannya. Dia mendengar suara tapi orang-

nya tidak kelihatan.

"Anak itu, katanya mau nolong. Kok malah 

pergi?! Boma?! Eeehhh!" Sumitro Danurejo ter-

sentak ketika dia melihat susunan kaos oblong 

yang sudah kering disablon bergerak sendiri, te-

rangkat dari meja di ujung sana lalu seolah me-

layang bergerak sepanjang samping rumah, meluncur ke ruang tamu. Sumitro Danurejo melang-

kah cepat-cepat ke ruang tamu. Dia tidak melihat 

siapa-siapa.

"Boma?! Kau dimana?"

"Ayah bilang bawa kaos ini ke ruang ta-

mu?" Jawab Boma. Dia memperhatikan air muka 

ayahnya. Pucat seperti ada sesuatu yang mena-

kutkan. "Aku berdiri di sini, dia tidak melihat. 

Jangan-jangan..," Boma sadar. Tangan kirinya di-

gerakkan ke bahu hendak mengusap tonjolan 

daging bahu yang disusupi Batu Penyusup Batin. 

Tapi otaknya cepat bekerja. Kalau sosoknya yang 

tadi tidak kelihatan tiba-tiba muncul dan terlihat 

di tempat itu oleh ayahnya, lelaki itu bukan saja 

terkejut tapi buntut-buntutnya dia bisa susah ka-

rena ayahnya pasti akan mengajukan seribu satu 

macam pertanyaan padanya. Boma masuk ke da-

lam rumah. Di ruang tengah dia mengusap dulu 

Batu Penyusup Batin satu kali. Sosoknya serta 

merta muncul dalam ujud nyata. Boma pegang 

wajahnya sendiri, usap-usap sekujur tubuhnya. 

Setelah yakin kalau tubuhnya kini benar-benar 

berada dalam ujud nyata, anak ini keluar kembali 

ke ruang tamu.

"Ayah manggil Boma?" tanya Boma pura-

pura. 

Sumitro Danurejo turunkan kaca mata te-

balnya ke bawah hidung, pandangi anaknya dari 

kepala sampai ke kaki. Melirik ke arah kursi tamu 

dimana tersusun kaos oblong yang tadi disuruh-

nya Boma membawa masuk ke dalam situ.


"Aneh...." ucapnya perlahan. Dia kembali 

ke samping rumah ke meja tempat dia menyab-

lon. Untuk beberapa lamanya lelaki ini tegak ter-

diam berpikir-pikir.

Tiba-tiba istrinya muncul, mendatangi 

dengan langkah bergegas. Wajah perempuan ini 

kelihatan pucat.

"Ada apa Bu?" tanya Sumitro Danurejo pa-

da istrinya.

"Saya melihat sesuatu yang menakutkan di 

meja makan Pak" jawab Hesti, Ibu Boma. 

"Kau melihat hantu?"

Perempuan itu menggeleng. "Saya tidak 

melihat siapa-siapa. Tapi saya melihat tudung 

plastik di atas meja makan terbuka dan tertutup 

sendirinya...." 

"Kau yakin melihat...." 

"Pak, saya tidak dusta...." Sumitro Danure-

jo angkat tangan kirinya, memberi isyarat agar 

sang istri menghentikan ucapannya. Lalu dengan 

suara perlahan lelaki ini berkata. "Barusan aku 

juga mengalami satu keanehan. Aku mendengar 

suara Boma, katanya mau menolong pekerjaan-

ku. Aku suruh dia membawa kaos yang sudah 

disablon ke dalam. Ke ruang tamu. Lalu kaos-

kaos itu seperti melayang di udara. Aku ikuti. 

Ternyata kaos itu sudah berada di atas kursi 

ruang tamu. Anehnya aku sama sekali tidak me-

lihat Boma."

Dua suami istri itu terdiam sesaat.

"Jangan-jangan ada hantu di rumah ini"


Bisik Sumitro Danurejo.

"Puluhan tahun kita tinggal di sini pak. 

Masa’ sih baru sekarang ada hantunya..."

"Mungkin saja. Wong hantunya baru seka-

rang. Hantunya menyerupai anak kita. Boma."

"Bapak ini bicara apa? masakan anak sen-

diri dibilang hantu? Barusan aku melihat anak 

itu diruang tamu. Merapikan susunan kaos ob-

long"

"Sulit aku menerangkan Bu. Tapi ada se-

suatu yang tidak beres di rumah ini." Kata Sumi-

tro Danurejo pula.

Di ruang tamu Boma mendengar semua 

pembicaraan kedua orang tuanya itu. Anak ini 

menowel hidungnya beberapa kali.

"Batu Penyusup Batin. Bikin urusan saja,"

ucap Boma dalam hati. "Kalau nenek itu datang 

aku akan suruh dia mengambil batu ini kembali."


TUJUH


BOMA TIDAK IKUT KE BOROBUDUR


JAM ISTIRAHAT pertama. Gita Parwati, Vi-

no, Rio, Firman, Andi dan Ronny serta Allan ngo-

brol di taman. Mereka membicarakan berita yang 

dimuat di surat kabar Minggu mengenai peristiwa 

perkelahian dua orang aneh di jembatan penyebe-

rangan di depan gedung Sarinah.

"Boma kemana?" tanya Rio.


"Tu, lagi ke sini," kata si gendut Gita sambil 

monyongkan bibirnya ke arah Boma yang berjalan 

mendatangi.

"Teman-teman, kayaknya ogut nggak bisa 

ikut ke Borobudur sama-sama kalian minggu de-

pan." 

"Nggak salah dengar nih?!" ujar Gita. 

"Dwita aja anak kelas lain ikut gabung. Kok 

kamu dedengkot kelas H-9 malah nggak!" ujar 

Firman ceking.

"Aku tahu," kata Vino. "Aku bisa nebak. 

Mungkin kawan kita ini nggak ikut karena yang 

jadi tour leader Si Umar musuh bebuyutan."

"Benar Bom?" tanya Ronny. "Acuh aja! 

Guru kayak gitu nggak usah dipikirin."

Boma tidak menjawab, hanya menowel hi-

dungnya dua kali.

"Kalau tebakan gue tadi salah, masih ada 

tebakan cadangan," Vino berkata lagi. "Teman ki-

ta nggak ikut justru karena Dwita ikut."

"Itu sih ngawur!" kata Rio. "Kau tahu dong 

gimana hatinya Dwi sama kita pe teman dan hati 

kita pe teman terhadap tu cewek. Iya 'kan Bom?"

Boma tersenyum, masih belum mau bicara.

"Tunggu dulu," kata Vino belum mau ka-

lah. "Gue pikir-pikir. Kayaknya ini bukan cuma 

permainan hati tapi nyangkut harga diri."

"Ah, sok tahu lu!" Kata Ronny sambil men-

geplak kepala Vino. Tapi dia juga bertanya. "Harga 

diri apa? Siapa?"

"Kita semua tahu Dwita mau ikut orang tuanya pindah ke luar negeri. Bokapnya dapat tugas 

baru di PBB New York. Boma "taunya juga dari ki-

ta-kita. Bukan langsung dari Dwita. Teman kita 

merasa kurang dianggap. Kira-kira gitu ceri-

tanya."

"Brengsek! Bisa juga kamu ngarang!" Boma 

keluarkan ucapan juga pada akhirnya.

"Habis cuma kamu doang yang nggak ikut 

ke Borobudur. Teman-teman, ini merupakan satu 

tragedi, Bo!"

"Kamu ada halangan apa? Uang tour kalau 

nggak salah kamu udah bayar." Kata Ronny pula

Boma menowel hidungnya. Dia mau men-

jawab. Tiba-tiba Pak Zakir, penjaga dan pengawal 

kebersihan sekolah datang. Memberi tahu kalau 

Boma dipanggil Pak Sanyoto.

Boma menowel hidungnya kembali. "Wah, 

kira-kira ada apa 'ni Bom?" ujar Gita.

"Jangan-jangan dia tahu aku yang ngerjain 

motornya," jawab Boma. "Kalian tunggu, aku per-

gi nemuin Si Umar dulu."

Waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi 

ketika Boma keluar dari Ruang Guru SMU Nu-

santara III, melangkah tenang-tenang saja men-

dapatkan kawan-kawannya.

"Gimana Bom?" tanya Ronny yang bersama 

teman-teman lainnya tak sabar mau tahu menga-

pa Boma dipanggil guru Olahraga Pak Sanyoto.

"Yang jelas bukan soal motor," kata Boma. 

"Pak Sanyoto mau kasih aku kerjaan banyak. 

Ngebantuin dia soal tour ke Borobudur. Mulai


ngurusin karcis kereta api, ngurusin penginapan, 

konsumsi, keamanan. Pokoknya banyak."

"Kok Si Umar jadi shobib banget sama ka-

mu? Jangan-jangan ada apa-apanya." berkata 

Ronny Celepuk.

"Tapi." kata Boma meneruskan. "Si Umar 

langsung clep diem waktu ogut bilang ogut nggak 

ikut. Habis diem mulutnya nyerocos ngomong 

yang enggak-enggak. Aku dibilang mau nyabot 

tour. Katanya kalau sampai ada anak-anak lain 

yang nggak ikut gara-gara aku, dia mau lapor ke 

Kepala Sekolah dan aku bakal dikenain sanksi 

berat."

"Kalau gitu kita semua pada nggak ikut 

aja!" Kata Vino pula.

"Jangan gitu. Kasihan teman-temen yang 

lain kalau acara jadi rusak." kata Boma lalu me-

nowel hidungnya.

"Habis kamu juga sih yang jadi gara-gara

konyol. Tour macam begini nggak tiga taon seka-

li." Ucap Gita Parwati.

"Gua rasa Si Umar cuma belagak marah 

kamu nggak ikut. Padahal sebenarnya hatinya 

pasti happy." kata Vino pula.

"Kok kamu bisa ngomong gitu?" tanya Bo-

ma. 

"Kalau kamu nggak ada berarti Si Umar 

nggak punya rival. Bebas deh dia ngedeketin Ibu 

Renata." Jawab Vino.

"Dari mana kau tahu Ibu Renata juga ikut

Vino tertawa tapi tak menjawab.


"Pasti dari Si Centil!" kata Gita Parwati. Ayo 

ngaku, bener kan?!" Tangan kiri Gita Parwati 

hendak menjewer telinga Vino.

Anak lelaki itu cepat-cepat jauhkan kepala

"Ho-o. Memang aku tau dari Sulastri." Vino 

mengaku.

"Cewek lu 'kan?" ujar Gita.

"Enak aja lu!"

"Jangan bohong!" kata Rio sambil nyengir. 

"Ada anak yang lihat kamu pulang sekolah naik 

mikrolet berdua sama Sulastri. Turun di Atrium 

Senen."

"Anak yang ngeliat pasti matanya lamur," 

kata Vino. "Pokoknya terserah kalian mau ngo-

mong kek!"

Boma duduk diam di bangku taman. Se-

mua anak menduga-duga apa yang ada di benak 

teman mereka ini.

"Sebenarnya kenapa sih kamu nggak mau 

ikut Bom?" Bertanya Ronny Celepuk.

"Betul, kami semua juga pengen tau," kata 

Andi pula.

"Pak Sanyoto juga nanya' begitu," jawab 

Boma. "Kalian ingat kejadian orang yang diram-

pok di bajaj?"

"Yang buntut-buntutnya kamu diclurit lalu 

terpaksa ngerem di rumah sakit," kata Ronny. 

Boma mengangguk. "Sidang Pengadilan 

pertama akan dilangsungkan minggu depan. Aku 

nggak tahu hari tanggal berapa. Tapi yang jelas 

minggu depan. Aku saksi utama. Sudah dipesan


oleh orang Kejaksaan agar aku harus hadir. Surat 

panggilan akan menyusul. Paling lambat lusa."

Semua anak yang ada di tempat itu jadi 

terdiam. "Yaaah, kalau memang begitu mau di-

apain lagi..." kata Ronny.

Bel tanda masuk berdentang. Anak-anak 

itu melangkah memasuki kelas tanpa ada yang 

bicara lagi. Begitu duduk di bangku masing-

masing Ronny berpaling pada Boma.

"Kalau Ibu Renata tau kamu nggak ikut, 

mungkin dia juga bakalan nggak pergi."

"Mungkin itu yang dikawatirin Si Umar. 

Jadi marahnya Si Umar sama kamu bukan kare-

na kamu nggak ikut tapi takut ibu Renata juga 

batal ikut."

Boma pandangi Vino yang barusan menge-

luarkan ucapan itu.

"Apa perlu gua kasi tahu Ibu Renata? Biar 

Si Umar tau rasa?" tanya Vino pula. 

"Nggak usah. Jangan...." jawab Boma. Per-

cakapan terhenti ketika guru yang akan mengajar 

memasuki kelas.

***

JAM istirahat kedua, anak-anak itu ber-

kumpul lagi di taman.

"Aku nggak habis pikir," kata Rio. "Sehabis 

peristiwa buah anggur yang dia gilas sama motor 

bututnya, Si Umar kok nggak malu masih terus 

ngincerin Ibu Renata..."


"Orang ngedablek macam begitu mana 

punya malu. Jangan-jangan kemaluan juga nggak 

punya!" ujar Vino.

Suara tawa memenuhi pinggiran lapangan 

basket.

"Mulutlu brengsek Vin!" kata Gita sambil 

mencubit pinggang Vino hingga anak lelaki ini 

melintir kesakitan. "Dosa lu ngatain guru kayak 

begitu!"

"Sstt teman-teman, ada orang penting da-

tang" Andi berkata sambil goyangkan kepala ke 

kiri.

Semua anak memandang ke arah goyangan 

kepala Andi.

"Uh! Segala kucing garong aja lu bilang 

orang penting. Tak u~u la yauw!" kata Gita Par-

wati sambil mencibir.

Yang datang Trini Damayanti. Di tangan ki-

rinya di menenteng sebuah kantong plastik hitam. 

"Teman-teman, aku bawa tempe goreng." Dari 

jauh Trini sudah berteriak sambil mengangkat 

tinggi-tinggi kantong plastik hitam.

Gita Parwati yang memang tidak pernah

berbaikan dengan Trini kembali mencibir. 

"Uh... baru tempe aja bangga amat. Teman-

teman, Ogut pergi dulu ya. Ogut akan kembali se-

telah pesan-pesan berikut ini. Huaaahh!" Gita 

mencibir. Sebelum Trini sampai di tempat itu ce-

wek paling gemuk di seluruh SMU Nusantara III 

itu sudah melangkah pergi.

Vino berpaling pada Allan.


"Lan, cabut sono buruan. Lu mau di PHK 

sama Gita? Apa lagi kalau kamu sampai makan 

tempenya si Trini."

Allan jadi serba salah. Akhirnya dengan 

suara agak dikeraskan agar terdengar Trini anak 

lelaki ini berkata.

"Aku mau kencing dulu. Sisain tempenya."

"Bukan basa basi ni ye?" Rio meledek.

Sebelum Trini sampai Allan bergegas ke 

bagian belakang sekolah. Namun setengah jalan 

membelok ke jurusan lain.



DELAPAN


ORANG GILA MENGAMUK DI SMU NUSANTARA 

III

SORE itu sehabis latihan basket Boma, Vi-

no, Ronny dan Allan pulang sama-sama. Mereka 

pulang paling belakang. Teman-teman yang lain 

sudah lebih dulu. Sambil jalan menuju pintu ger-

bang keluar Ronny berkata.

"Bom, maen lu jelek amat sekali ini. Bola 

yang masuk bisa diitung."

"Kurang vitamin dia Ron," menimpali Vino. 

Boma tersenyum. Mengusap hidungnya. "Ulangan 

juga jeblok semua. Matematika dapet empat. Fisi-

ka kemaren cuman tiga..."

"Itu sih udah langganannya Boma," Allan 

ikut bicara. "Yang heran masa’ sih ulangan Bahasa Indonesia juga dapat lima."

"Gua rasa temen kita ini udah keberatan 

cewek," ucap Ronny sambil memain-mainkan bola 

basket yang dibawanya.

"Maksudlu keberatan cewek gimana?" Bo-

ma akhirnya keluarkan suara juga.

"Maksud gue keberatan kebanyakan. Su-

dah ada Trini, Dwita kamu suka juga. Eh, Ibu 

Renata masih kamu lirik."

"Gue nggak ngerasa mereka cewek gua. 

Gue biasa-biasa aja sama mereka."

"Justru karena biasa-biasa maka jadi luar 

biasa!" kata Vino pula disambut ketawa Allan dan 

Ronny

"Ala kalian semua cuma bisa ngenyek!" 

"Bukan ngenyek Bom." kata Ronny. "Kami 

cuma pengen tau kamu ini lagi kenapa? Kadang-

kadang aku liat kamu dikelas seperti ngelamun. 

Kadang-kadang gelisah. Lalu aku sering liat kamu 

sebentar-sebentar memandang ke luar kelas. Ka-

lau lagi di luar kelas mata kamu suka jelalatan 

kemana-mana. Kalau pulang sekolah sekarang 

langsung pulang. Dulu kamu sering ngajak nge-

liat pameran ama jalan kemana aja..."

"Jangan-jangan temen kita udah dipingit 

Ron. Nggak boleh kemana-mana." Kata Vino sam-

bil senyum-senyum.

"Kalau gitu aku jadi mau tahu siapa yang 

mingit," ucap Ronny pula. "Biar jelek begini aku 

nggak nolak kalau ada yang mau mingit gua!" 

"Nenek jompo, lu mau Ron?" tanya Vino.


"Sialan. Itu sih kelewatan. Tapi biar jompo 

kalau jutawan rasanya gua nggak nolak!" Ronny 

tertawa membahak.

Allan dan Vino ikut gelak-gelak.

"Ketawa situ sampai mulut kalian robek!" 

Kata Boma mulai kesal. "Terus terang gua me-

mang lagi gelisah."

"Maksudlu gelisah geli-geli basah?" ujar Vi-

no membuat Allan dan Ronny kembali tertawa.

"Aku nggak becanda. Ada yang mau nge-

bunuh aku," menerangkan Boma.

Allan, Vino dan Ronny langsung hentikan 

langkah mereka.

"Kamu ngacok atau mabok Bom?" tanya Al-

lan 

"Siapa yang mau ngebunuh kamu?" tanya 

Vino. "Si Anton?"

Boma menggeleng.

"Kaki tangan suruhannya si Anton? Kan 

orangnya udah ketangkep semua." 

Boma menggeleng lagi.

"Mungkin teman-teman rampok di bajaj, 

dendam sama kamu?"

"Bukan juga," jawab Boma. 

"Lalu siapa?"

"Aku belum pernah liat orangnya. Tapi ba-

gaimana ciri-cirinya aku sudah tau..."

"Ini bener-bener aneh!" Kata Ronny. Dia 

pegang lengan Boma. "Bom, kamu nggak lagi de-

mam panas 'kan?"

"Memangnya kenapa?" tanya Boma.


"Kamu bilang ada yang mau bunuh kamu. 

Tidak pernah liat orangnya tapi tau ciri-cirinya. 

Kalau gitu, kenapa kamu nggak lapor polisi saja. 

Minta perlindungan..."

"Kamu semua sudah baca 'kan di koran pe-

ristiwa perkelahian orang-orang aneh di jembatan 

penyeberangan Sarinah."

"Jelas sudah baca. Hari Senin kemarin 

kamu sendiri yang bawa korannya ke sekolah."

"Orang yang berpakaian serba hitam, pakai 

ikat kepala kain merah yang disebut dalam koran, 

itu orangnya yang mau ngebunuh aku."

Ronny, Vino dan Allan memandang wajah 

Boma lekat-lekat lalu ke tiga anak ini saling pan-

dang satu sama lain. Ronny yang duluan tertawa, 

diikuti Vino lalu Allan.

"Kalian pasti nggak percaya! Ya sudah!" 

Boma melangkah.

"Tunggu!" kata Ronny sambil pegang len-

gan temannya. "Dalam surat kabar disebut orang-

orang yang berkelahi itu adalah orang-orang sakti 

dari Banten..."

Boma menggeleng.

"Bukan, mereka bukan orang Banten. Itu 

dugaan wartawan saja. Yang mau bunuh aku itu 

namanya Pangeran Matahari. Dia bukan mahluk 

dari alam kita."

"Ajie Busyet! Sebangsa hantu? Jin? tanya 

Allan.

"Di koran kalau aku nggak salah, nama 

orang itu nggak disebut-sebut. Dari mana kamu


tau Bom, kalau orang itu namanya Pangeran Ma-

tahari. Nama aneh..."

"Ada yang memberi tau." Jawab Boma.

"Siapa?"

"Aku nggak bisa ngasih tau."

"Aneh lagi!" Kata Ronny sambil perhatikan 

wajah Boma dan mainkan bola basket di tangan-

nya. Entah bagaimana bola itu terpelanting, ber-

gulir di atas aspal, meluncur ke arah pintu ger-

bang sekolah.

Di pintu gerbang sekolah satu kaki mema-

kai sandal kulit menahan bola basket merah yang 

hendak bergulir ke jalan raya. Orang ini masih 

muda. Bertubuh tinggi besar. Mengenakan celana 

hitam, kemeja hitam. Rambutnya yang gondrong 

dikuncir ke belakang. Di keningnya melilit sehelai 

kain berwarna merah. Di punggung tergantung 

sehelai mantel hitam. Dari jauh Boma tidak dapat 

melihat jelas gambar yang tertera di kemeja hitam 

orang itu. Tapi dia yakin itu adalah gambar gu-

nung dan sinar matahari.

Boma terbelalak.

"Pangeran Matahari..." ucapnya dengan su-

ara gemetar. Dia pegang lengan Rony dan berka-

ta.

"Ron... Itu.... itu orangnya yang mau nge-

bunuh aku."

"Ronny, Vinno dan Allan memperhatikan 

ke arah pintu gerbang sekolah.

"Bom, kalau gua liat," kata Ronny. "Dari 

dandanannya aja orang yang kamu sebut Pangeran Matahari ini nggak lebih dari orang gila!"

Pemuda berpakaian dan bermantel hitam 

yang menahan bola basket di pintu gerbang seko-

lah berpaling pada Pak Saud penjaga pintu yang 

duduk di rumah penjagaan.

"Yang pakai kaos putih, rambut pendek itu 

Pak?"

"Betul, itu Boma saudaranya situ yang situ 

cari."

"Ah, dia sudah besar. Tinggi lagi. Saya 

hampir tak mengenali," kata pemuda berpakaian 

serba hitam sambil anggukkan kepala dan serin-

gai aneh bermain di mulutnya. Kakinya bergerak 

ke bawah, menekan bola basket. Bola itu pecah 

dengan mengeluarkan letusan keras.

Di dalam rumah jaga Pak Saud tersentak 

kaget. Mukanya sampai pucat dan badannya 

sampai lemas.

"Gila! Bola gue dipecahin!" Ronny berteriak 

marah. Dia melangkah hendak mendatangi orang 

itu tapi Boma cepat memegang tangannya.

Di depan sana pemuda berpakaian serba 

hitam yang memang adalah Pangeran Matahari 

mulai melangkah ke arah Boma dan kawan-

kawan.

"Hati-hati Ron. Kalau dia memang orang gi-

la, berarti kalau dia ngebunuh kita, dia nggak 

bakal dituntut!"

"Gila kek, nggak kek pokoknya gua hajar 

dulu. Enak aja mecahin bola gua..."

"Ron, kamu liat sendiri. Mana ada orang


mampu mecahin bola basket dengan injakan ka-

ki. Dia punya tenaga luar biasa. Bola itu medel 

seperti dilindas ban truk!"

Ronny hentikan langkahnya. Dia sadar apa 

yang dikatakan Boma memang benar. Kini gan-

tian Allan yang meradang.

"Ron, aku setuju. Biar gila musti kita hajar 

dulu!"

"Biar badannya gede jangkung, kalau kita 

keroyok berempat masa’ sih nggak ngejengkang!" 

kata Vino. Memang keempat anak itu walau cek-

ing-ceking tapi memiliki badan rata-rata tinggi. 

Boma 174 Cm. Ronny 176, Allan dan Vino 172 

Cm. Sedang orang yang bakal mereka hadapi pal-

ing tidak sekitar 175 tingginya dan bobotnya be-

sar kokoh.

Pangeran Matahari hanya tinggal sekitar 

sepuluh langkah dari hadapan ke empat anak itu.

"Ron, Vino, Allan. Kalian lari! Lari!" Boma 

menyuruh kawan-kawannya lari.

"Lari? Gue nggak sepengecut itu Bom. Satu 

lawan satu aja gua rasa gua nggak bakalan ka-

lah!" Kata Ronny yang kembali timbul semangat-

nya mendengar ucapan Vino tadi.

"Jangan sok jago! Jangan tolol! Kita berha-

dapan bukan dengan manusia biasa! Lari! Ayo!" 

Boma setengah berteriak lalu tangannya kiri ka-

nannya mendorong Ronny dan Vino ke samping. 

Dia berputar ke belakang mendorong dada Allan. 

"Lari!" teriak Boma. "Berpencar!"

Ronny, Vino dan Allan jadi bingung. Tiga


anak ini jelas tidak takut kalau harus berkelahi 

dengan pemuda tinggi besar yang mereka anggap 

orang gila itu. Tapi ketika melihat Boma lari ke 

balik pohon besar, ketiganya sesaat jadi bimbang. 

Ketika Pangeran Matahari melompat berusaha 

mengejar Boma ke balik pohon. Alan, Vino dan 

Ronny serta merta lari berpencaran.

"Bukan orang gila Ron!" kata Vino sambil 

lari. "Orang mabok! Teller! Aku mencium bau al-

kohol waktu tadi dia melesat di sampingku!"

Melompat ke balik pohon besar Pangeran 

Matahari tidak menemukan Boma.

"Bocah edan! Kamu lari kemana hah?!"

Pangeran Matahari pukul pohon besar itu 

dengan tangan kiri hingga batang pohon yang be-

sarnya sepemelukan itu hancur berkeping-keping. 

Pangeran Matahari memandang ke atas pohon. 

"Kurang ajar!" Dia tidak melihat Boma di atas po-

hon itu.

Karena tidak berhasil menemukan Boma, 

Pangeran Matahari kini mengalihkan perhatian-

nya pada Ronny, Allan dan Vino. Ronny yang pal-

ing dekat. Dia segera melompat mengejar Ronny. 

Pak Saud, penjaga Pintu gerbang sekolah heran 

ada kaget juga ada ketika melihat pemuda berpa-

kaian hitam berikat kepala merah itu mengejari 

anak sekolah.

"Wong sinting! Tadi katanya nyari Boma 

saudaranya. Sekarang kok nguberin anak-anak!" 

Pak Saud segera keluar dari rumah jaga mengejar 

Pangeran Matahari.


"Hai! Apa-apaan ini? Sampeyan mau bikin 

apa sama anak-anak?!"

Pangeran Matahari berpaling. Menyeringai. 

Tangan kirinya bergerak. Sekali dia mendorong 

Pak Saud yang kurus kering itu terlempar sama 

beberapa meter, jatuh terbanting, kepalanya 

membentur aspal. Pak Saud pingsan tak berkutik 

lagi.

Di jalan raya, orang-orang yang lalu lalang 

pedagang kaki lima dan pengemudi ojek yang me-

lihat kejadian itu segera berkerubung. Mereka 

mengira ada orang gila mengamuk di halaman se-

kolah SMU Nusantara III.

Ronny begitu melihat Pak Saud didorong 

keras sampai tak sadarkan diri, jadi beringas. Ka-

lau tadi karena disuruh Boma dia lari, kini dia 

malah berbalik mengejar ke arah Pangeran Mata-

hari. Allan dan Vino ragu-ragu. Tapi hanya seben-

tar. Kedua anak ini menyusul Ronny, mengha-

dang Pangeran Matahari.

"Kalian mau mati? Mau mati barengan?!" 

Kertak Pangeran Matahari. "Mana Boma?! Mana 

Boma?!"

Ronny menjawab dengan mengacungkan 

tinjunya. Di samping kiri dan kanan Allan dan 

Vino siap pula menerjang.

Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Bo-

cah-bocah tolol! Biar aku bikin geger sekolahan 

ini! Kupecahkan semua kepala kalian! Kowe du-

luan!" Teriak Pangeran Matahari. Tubuhnya kelu-

arkan suara menderu ketika melesat ke arah


Ronny.

Ronny yang pernah ikut Karate melihat pe-

rut Pangeran Matahari dalam keadaan terbuka 

segera hantamkan tinjunya ke perut lawan dalam 

pukulan yang disebut Gyaku Tzuki.

"Bukk!" 

Bersamaan dengan mendaratnya telak jo-

tosan tangan kanannya di perut Pangeran Mata-

hari, Ronny menjerit kesakitan sambil mengibas-

ngibaskan tangan kanan. Dia seperti memukul 

batu. 

Pangeran Matahari tertawa bergelak. Lima 

jari tangan kanannya mengeluarkan suara berke-

retakan. Lima jari tangan itu kemudian memben-

tuk tinju. Didahului bentakan keras Pangeran 

Matahari berkelebat. Tubuhnya melayang setinggi 

pinggang. Tangan kanannya laksana kilat meng-

gebuk ke batok kepala Ronny.

Ronny yang masih belum menyadari sepe-

nuhnya dengan siapa dia berhadapan rundukkan 

badan sambil silangkan dua tangan melindungi 

kepala. Jangankan tangan biasa. Sekalipun dua 

batangan besi yang melindungi kepala Ronny saat 

itu, pukulan Pangeran Matahari akan mematah-

kan batangan besi itu lalu menembus menghan-

curkan kepalanya!

"Bukkk!"

Ronny terheran-heran ketika melihat di 

hadapannya Pangeran Matahari terhuyung-

huyung sambil pegangi tengkuk. Dari mulutnya 

keluar makian marah.


"Kurang ajar! Setan dari mana berani me-

mukul tengkukku?"

"Bukkk!"

Pangeran Matahari menjerit kesakitan. Kini 

tangannya beralih memegangi telinga kanannya. 

Matanya mendelik memandang pada Ronny. Lalu 

pada Vino dan Allan. Dia tahu betul, tidak seo-

rangpun dari tiga anak ini yang memukul telinga 

kanannya. Lalu siapa?!

"Jahanam! Kalau kubunuh salah satu dari 

bangsat ini, masakan setan itu tidak unjukkan di-

ri!" 

Pangeran Matahari keluarkan suara meng-

gereng. Tiba-tiba sekali dia melompat ke arah Vi-

no. Anak inilah yang akan dijadikannya korban 

pertama!

Tapi setengah jalan tubuh Pangeran Mata-

hari tertahan lalu krakk!

Pangeran Matahari meraung keras sambil 

pegangi tulang iganya di sebelah kanan. Dua ka-

kinya mundur terhuyung. Matanya membeliak 

besar. Bukan memancarkan amarah atau kega-

nasan tapi benar-benar karena kesakitan dan ada 

rasa kecut.

"Kurang ajar... Mungkin Sinto Gendeng 

yang membantu anak itu. Nenek pengecut! Tidak 

berani unjukkan diri! Rasakan nanti pembalasan-

ku!" 

Sambil pegangi dadanya sebelah kanan, 

terbungkuk-bungkuk Pangeran Matahari lari me-

ninggalkan halaman sekolah. Di pintu gerbang,


orang banyak yang berkerumun menyaksikan ke-

jadian itu cepat-cepat menyingkir sebelum kena 

tabrak sosok besar tinggi Pangeran Matahari yang 

mereka anggap orang gila itu.

"Boma, mana Boma?" tanya Ronny.

"Tadi aku liat dia lari ke balik pohon besar 

itu!" kata Vino sambil menunjuk ke arah pohon 

besar yang dipukul hancur batangnya oleh Pange-

ran Matahari.

Ronny, Vino dan Allan segera lari ke pohon 

besar. Benar saja. Dibalik pohon Boma mereka 

temui duduk menjelepok di tanah, meringis kesa-

kitan sambil pegangi tangan kanannya yang 

bengkak merah.

"Kenapa tanganmu Bom?" tanya Ronny.

"Waktu lari ke balik pohon ini, gue kepele-

set Ron. Gue coba nahan sama tangan kanan. 

Mungkin salah jatuh. Tangan ogut kedengklek. 

Gila! Sakitnya! Mana orang gilanya?!" Boma ber-

pegangan ke pohon dengan tangan kiri lalu berdi-

ri sambil ulurkan kepala ke balik pohon. 

"Udah kabur!" jawab Ronny. "Aneh, dia ka-

bur kesakitan. Kayaknya ada yang mukulin dia." 

"Mukulin dia? Kalian yang mukul?" ujar 

Boma. 

"Boro-boro mukulin. Kalau nggak ada keja-

dian aneh itu kami bertiga mungkin udah awara-

hum!" jawab Vino.

"Teman-teman, ayo kita tolong Pak Saud..." 

kata Allan.

"Tunggu," Vino pegangi bahu Ronny den


gan tangan kiri. "Kita-kita pasti bakalan dipanggil 

sama Kepala Sekolah. Kita harus kasi keterangan 

sama. Ada orang gila masuk ke halaman sekolah. 

Nguberin kita."

"Rebes!" kata Ronny. "Ayo.." 

"Tunggu," kata Boma lagi. "Wartawan pasti 

nyariin kita. Nanyain kita. Jawab dengan cerita 

yang sama. Oke?"

"Oke!" jawab Allan. Vino dan Ronny baren-

gan. 

"Sekarang kita tolong Pak Saud." kata Bo-

ma. Sambil melangkah cepat dia melanjutkan 

ucapannya. "Aku takut kalau penjaga sekolah itu 

sampai koit. Urusan jadi tambah kagak karuan. 

Gua lagi yang jadi bulan-bulanan Polisi."

Beberapa orang telah menolong Pak Saud 

ketika Boma dan kawan-kawannya sampai.


SEMBILAN


SINTO GENDENG MENGOBATI TANGAN BOMA


MALAM itu Boma tertidur nyenyak setelah 

tangannya diperban lalu diguyur arak gosok yang 

dibawa Allan. Di luar langit terkembang gelap 

tanpa bulan tanpa bintang. Angin bertiup agak 

kencang. Daun pohon di depan jendela kamar 

Boma bergoyang-goyang mengeluarkan suara ge-

merisik halus. Tiba-tiba sesiur angin lebih ken-

cang bertiup. Dan jendela kamar yang tadinya ter-

tutup rapat mendadak terpentang lebar. Satu


bayangan hitam entah dari mana datangnya me-

lesat masuk ke dalam kamar Boma lewat jendela 

yang terbuka.

Seorang nenek bungkuk, berkulit hitam, 

tinggi kurus tegak menyeringai disamping tempat 

tidur Boma. Lima tusuk konde perak bergoyang-

goyang di atas kepalanya. Kamar itu serta merta 

dipenuhi bau pesing.

Si nenek perhatikan tangan Boma yang di-

perban dan dibasahi arak gosok. Dia tundukkan 

kepala mendekatkan hidungnya ke tangan yang 

dibalut.

"Arak gosok. Cara pengobatan tolol! Paling 

cepat satu minggu baru tanganmu sembuh! 

Hik....hik!"

Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng 

melangkah mundar mandir di samping tempat ti-

dur Boma. Lalu berhenti dia cabut sehelai rambut 

putih dikepalanya. Sambil tertawa-tawa nenek ini 

memasukan rambut ke telinga Boma lalu diputar-

putar. Karuan saja dalam tidurnya Boma keliha-

tan tersentak-sentak kepalanya. Si nenek tertawa 

senang. Dari telinga, dia berpindah ke hidung. 

Ujung rambut dimasukannya ke salah satu lo-

bang hidung Boma. Lalu diputar-putar. Cuping 

hidung Boma bergerak-gerak. Mulut anak ini ikut 

komat-kamit. Sinto Gendeng masukkan ujung 

rambut lebih dalam. Tiba-tiba Boma bersin keras 

langsung terbangun. Anak ini setengah terduduk 

di atas tempat tidur, menggosok-gosokkan hi-

dungnya yang berair dengan tangan kiri. Saat itu


lah dia mencium bau pesing santar sekali. Teng-

kuk Boma langsung dingin. Dia melirik ke samp-

ing dan melihat sosok hitam itu. 

"Nek!"

"Hik...hik...hik! Memang aku!" 

Boma bersurut ke belakang, duduk ber-

sandar ke dinding.

"Anak Gendenk! Kenapa tanganmu?" tanya 

Sinto Gendeng.

"Bengkak Nek. Keseleo. Kedengklek..."

"Kenapa bengkak? Kenapa keseleo? Kenapa 

kedengklek?! Apa itu kedengklek?!"

"Anu Nek, saya berkelahi Nek."

"Hemm... Ngaku juga kamu. Berkelahi sa-

ma siapa?"

"Sama Pangeran Matahari." 

Sinto Gendeng terkejut. Undur dua lang-

kah. Menatap Boma tak berkesip lalu tertawa 

mengekeh. "Sekarang kau percaya kalau yang 

namanya Pangeran Matahari itu benaran ada?!" 

"Saya percaya Nek," jawab Boma.

"Sekarang kau percaya kalau Pangeran Ma-

tahari benar-benar mau membunuhmu?!"

"Percaya Nek."

"Bagus! Berarti otakmu sudah lempeng. 

Hik...hik...hik. Dimana kejadiannya?" Tanya si 

nenek.

"Di sekolahan Nek... sore-sore. Sehabis la-

tihan basket sama teman-teman."

"Hemm... Aku sudah duga. Kau perguna-

kan batu sakti ketika Pangeran Matahari hendak


membunuhmu?"

"Benar Nek. Terpaksa. Kalau tidak...."

"Kau pergunakan tangan kananmu memu-

kul Pangeran Matahari?!"

"Benar Nek. Nggak mempan. Tangan saya 

malah jadi bengkak begini."

Si nenek tertawa cekikikan.

"Kau tidak mempergunakan tangan kiri 

yang sudah aku isi hawa murni?"

"Pergunakan Nek. Saya memukulnya dua 

kali. Satu kali menjotos telinganya. Lalu sekali la-

gi memukul dadanya. Saya mendengar suara tu-

lang patah. Tapi dia tidak mati. Dulu Nenek per-

nah memberi tau jika saya memukul orang den-

gan tangan kiri ini bisa mati...."

"Nyatanya Pangeran Matahari tidak mati! 

Cuma luka dan patah tulang."

"Betul Nek...."

"Pangeran Matahari bukan manusia biasa. 

Dia mahluk dari alamku. Pukulan tangan kirimu 

bisa mencederainya tapi belum tentu bisa mem-

bunuh. Kecuali kalau kau gebuk perabotan di se-

langkangannya. Hik...hi...hik...Yang bisa mati ke-

na hantaman tangan kirimu adalah manusia bi-

asa. Jadi kau tetap harus berhati-hati memper-

gunakan tangan kiri itu. Sekarang buka balutan 

di tangan kananmu..." 

"Kenapa Nek?"

"Aku mau mengobati tanganmu. Tanya-

tanya segala!"

"Sudah diobati Nek. Pakai arak," kata Bo


ma menerangkan.

"Jangan pakai obat itu, tolol. Satu minggu 

bengkak tanganmu belum tentu sembuh. Ayo le-

kas luka balutan itu!"

Boma terpaksa membuka perban basah di 

tangan kanannya.

"Turunkan tangan kananmu. Ulurkan ke 

depan sini."

Boma ulurkan tangan kanannya ke dekat 

lutut si nenek.

Sinto Gendeng singsingkan kain panjang 

hitamnya yang basah oleh air kencing.

"Awas! jangan kau berani menarik tangan-

mu!" Kata si nenek pula. Lalu dia pelintir dan pe-

ras kain hitam yang basah oleh air kencing itu 

hingga air kencing yang ada di kain mengucur ja-

tuh membasahi tangan kanan Boma yang beng-

kak.

Boma kerenyitkan hidung pejamkan mata. 

Nafasnya sudah sesak tidak tahan mencium bau 

pesing yang amat santar.

"Tanganmu terasa dingin atau hangat?" 

Sinto Gendeng tiba-tiba bertanya.

Boma masih mengerenyit dan pejamkan 

mata. 

"Anak Gendenk! Aku bertanya apa kau tu-

li!" 

"Anu Nek.... Kau tanya apa tadi Nek?" 

"Budek! Aku tanya tanganmu terasa dingin 

apa hangat?"

"Hangat-hangat dingin Nek," jawab Boma


"Anak Gendenk!" si nenek merutuk. "Den-

gar. Besok pagi tanganmu kujamin sembuh. Aku 

memberi bukti bukan janji!"

Boma batuk-batuk. "Seperti iklan saja 

Nek!" kata Boma.

Sinto Gendeng tertawa geli lalu turunkan 

kakinya kembali. Boma tarik tangannya. Dia me-

narik ujung seperei tempat tidur. Hendak menye-

ka kencing yang membasahi tangannya.

"Jangan diseka! Biar kering sendiri!" kata 

Sinto Gendeng. "Agar lebih cepat sembuhmu dan 

lebih afdol, nanti kalau tidur tangan itu kau 

cium-cium!"

"Tobat deh Nek. Mana tahan!" 

Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Anak 

Gendenk! Sekarang kau dengar baik-baik. Pange-

ran Matahari pasti akan mencarimu kembali un-

tuk melaksanakan niatnya. Kau harus berhati-

hati. Kau boleh membawa terus Batu Penutup

Batin ditubuhmu..."

"Nek, karena saya punya batu, saya mung-

kin bisa selamat dari tangan Pangeran Matahari. 

Tapi bagaimana dengan teman-teman saya?"

Sinto Gendeng terdiam. Lalu nenek ini 

angguk-anggukkan kepala beberapa kali. Dalam 

hati dia berkata. "Anak baik... Anak baik. Tidak 

pernah mengingat diri dan kepentingan sendiri. 

Selalu ingat teman-temannya."

"Aku akan pikirkan ucapanmu itu. Aku 

akan cari jalan. Tapi aku tanya dulu. Yang mau 

kau selamatkan teman-temanmu yang mana?"


"Semua Nek. Tentu saja semua." 

"Oo, jadi bukan cewek genit yang namanya 

Si Trini itu. Juga bukan cuma cewek cakep yang 

namanya Si Dwita itu. Hik...hik...hik. Lalu bagai-

mana dengan cewek satu lagi?" 

"Nek, saya nggak ngarti. Semua mereka 

teman-teman saya. Saya....."

"Huss... Diam dulu. Yang aku mau tanya 

bagaimana dengan cewek satunya lagi." 

"Cewek yang mana?"

"Hik...hik...hik. Guru Bahasa Inggris yang 

cantik itu. Ibu Renata. Yang aku lihat kau peluki 

di kamarnya waktu dia lagi sakit itu.

Hik...hik...hik..." 

Boma menowel hidungnya. Anak ini lupa. 

Semula dia hendak mempergunakan tangan ka-

nannya yang basah oleh air kencing. Tapi begitu 

ingat dia segera ganti dengan tangan kiri. 

"Anak Gendenk, dengar. Yang penting kau 

harus hati-hati. Harus menjaga diri. Pangeran 

Matahari pasti akan berusaha kembali menghabi-

simu. Setiap saat harus waspada. Mengenai te-

man-temanmu ada yang akan memperhatikan." 

"Siapa?" Boma ingin tahu. 

"Nanti saja. Kau akan tahu sendiri." jawab 

Sinto Gendeng. "Sekarang kau boleh melanjutkan 

tidur. Awas, jangan kau mimpikan cewek-cewek 

itu. Salah-salah kau bisa mandi basah, mandi ju-

nub. Hik...hik... hik..."

Sinto Gendeng susun jari-jari tangan ki-

rinya di atas bibir. Sambil melayangkan tangan


itu dia berkelebat ke arah jendela. Bersamaan 

dengan lenyapnya sosok si nenek di luar sana, 

jendela yang tadi terbuka kini tertutup kembali.

Boma usap-usap tengkuknya. Dia sudah 

sering bertemu dengan nenek itu. Setiap bertemu 

rasa takut selalu menyelimuti dirinya.

***

PAGI keesokan begitu bangun yang perta-

ma sekali dilakukan Boma adalah melihat tangan 

kanannya. Dia hampir tak bisa percaya. Bengkak 

dan warna merah di tangan itu lenyap. Hanya sa-

tu yang masih tertinggal. Bau pesing kencing si 

nenek.

***

PAGI hari itu setelah masuk sekolah baru 

para pelajar SMU Nusantara III mengetahui apa 

yang terjadi sore kemarin. SMU Nusantara III 

menjadi geger. Boma, Allan, Vino dan Ronny dike-

rubungi. Bukan saja oleh anak-anak Kelas II-9 

tapi hampir semua pelajar mulai dari Kelas I

sampai Kelas III. Seperti sudah diduga ke empat 

anak ini dipanggil Kepala Sekolah. Sesuai dengan 

perjanjian keempatnya mengarang cerita seperti 

skenarionya sama.

Setelah keempat anak itu meninggalkan 

ruangan Pak Nugroho Kepala Sekolah SMU Nu-

santara III berpikir-pikir sambil pegangi kening.


Sepertinya ada yang tidak klop antara apa yang 

diceritakan Boma dan kawan-kawannya dengan 

apa yang dibacanya di surat kabar. Untuk me-

mastikan diambilnya satu dari beberapa surat 

kabar terbitan pagi yang ada di atas meja. Dia 

membaca kembali berita yang tadi sudah diba-

canya. 

Orang gila Mengamuk di SMU Nusantara III 

Sore kemarin (Selasa) seorang pemuda gila 

berdandanan aneh mengamuk di SMU Nusantara 

III. Menurut keterangan Saud, penjaga sekolah, 

mula-mula pemuda kurang waras itu datang mem-

beri tahu mau mencari saudaranya, seorang pela-

jar bernama Boma. Sore itu Boma (anak kelas 2) 

dan beberapa temannya (Allan, Ronny dan Vino) 

baru saja selesai latihan basket di lapangan seko-

lah ketika Boma dan kawan-kawan pulang, di ha-

laman sekolah pemuda gila itu langsung menye-

rang. Penjaga sekolah yang coba menolong sempat 

jatuh pingsan karena didorong secara keras dan 

jatuh diaspal. Pemuda gila kemudian melarikan di-

ri. Ada yang melihat ketika lari telinga kanan pe-

muda gila itu mengucurkan darah. Pihak berwajib 

segera akan melakukan pengusutan sehubungan 

dengan pengakuan gila itu bahwa Boma adalah 

saudaranya.

Beberapa waktu lalu di jembatan penyebe-

rangan Sarinah terjadi pengeroyokan hingga tewas 

terhadap diri seorang pengamen tua. Salah seo-

rang pengeroyok memiliki ciri-ciri yang sama den-

gan orang gila itu. Jenazah pengamen tua itu kemudian diculik secara aneh dalam perjalanan ke 

RSCM. Sampai saat ini jenazah itu tidak pernah di-

temukan. 

Boma sendiri adalah pelajar yang tahun la-

lu pernah mengalami celaka di Gunung Gede. Anak 

itu putera seorang pensiunan Departemen Pene-

rangan adalah juga anak yang pernah menolong 

seorang wanita yang hendak dirampok di Jl. Kra-

mat Raya. Sidang pengadilan perkara ini diha-

rapkan akan dilangsungkan minggu depan..

***

Di dalam kelas, sebelum jam pelajaran di-

mulai. Ronny mengeluarkan surat kabar yang 

sama dengan yang dibaca Pak Nugroho.

"Aku udah baca di rumah pagi tadi..." kata 

Boma

"Sialan," ucap Ronny. "Nama gua ditulis 

Ronno" 

"Untung bukan Rondo," sahut Vino yang 

membuat semua anak yang ada disitu tertawa ge-

li.

Boma memberikan surat kabar itu pada 

Vino dan Allan yang belum membacanya.

"Masalah berat Ron," ucap Boma selanjut-

nya. "Wartawan menghubungkan pemuda gila itu 

dengan peristiwa pengeroyokan di jembatan pe-

nyeberangan Sarinah. Kita pasti kebawa-bawa. 

Polisi bakal nyariin kita..."

"Bukan bakal Bom. Memang udah datang!"


kata Ronny sambil memandang ke pintu kelas. 

Boma mengangkat kepalanya, memandang 

ke pintu. Di situ berdiri Kepala Sekolah, mene-

mani dua orang petugas Kepolisian. 

Di dalam Ruang Kepala Sekolah Boma dan 

kawan-kawan diminta menceritakan secara leng-

kap apa yang terjadi sore hari Selasa itu. Bebera-

pa orang guru diantaranya Pak Bugi Ibrahim wali 

kelas II-9, Ibu Renata dan Pak Sanyoto turut ha-

dir di ruangan itu. Pak Saud juga ada di situ. Se-

belumnya polisi telah menanyai penjaga sekolah 

ini. 

"Orang itu mengaku saudara Dik Boma. 

Benar?" tanya salah seorang Polisi.

"Nggak benar Pak. Kenal juga nggak, saya 

baru sekali kemarin ngeliat orang itu," jawab Bo-

ma. 

"Namanya orang gila Pak," kata Ronny. 

"Dia bisa saja mengaku sudara siapa saja. Ke-

mungkinan dia tahu nama Boma. Lalu bilang 

saudara Boma." 

Dua anggota Polisi itu kemudian berganti-

ganti mengajukan pertanyaan lalu mengajak 

anak-anak itu menunjukan tempat kejadian. Ke-

tika meninggalkan Ruang Kepala Sekolah Boma 

dan kawan-kawan mendengar ada seseorang 

mengeluarkan kata-kata tidak enak. 

"Ini akibat dari gara-gara punya ilmu yang 

bukan-bukan. Nama sekolah jadi tercemar..." 

Boma berpaling. Dia tidak melihat orang-

nya, terlindung di balik sosok Kepala Sekolah.


Tapi Boma tahu yang barusan berkata adalah Pak 

Sanyoto, Guru Olah Raga.

"Sialan, enak aja kuya itu ngomong. Bu-

kannya prihatin kita muridnya mau digebukin 

orang gila eh malah nyap-nyap nggak karuan. Bi-

ar gua datengin Bom." kata Ronny.

Boma pegang tangan kawannya dan berbi-

sik.

"Tenang aja Ron. Easy... easy my friend." 

Boma tersenyum dan kedipkan matanya lalu me-

nowel hidungnya dua kali.


SEOUL


BOMA! BOMA! BOMA!


DI DALAM gerbong kereta Senja Utama

yang dipenuhi guru dan para pelajar SMU Nusan-

tara III yang akan berangkat ke Yogyakarta itu 

ada tiga wajah menunjukkan rasa girang gembira. 

Mereka adalah Ibu Renata. Trini Damayanti dan 

Dwita Tifani.

Ibu Renata memperhatikan arloji di perge-

langan tangan kirinya. Jika tidak terjadi penun-

daan kereta akan segera meninggalkan Stasiun 

Gambir lima menit lagi. Kegelisahan terbayang di 

wajah cantik guru Bahasa Inggris ini. Lewat kaca 

jendela dia menatap ke arah peron yang terletak 

di tingkat paling atas bangunan stasiun. Hatinya 

mengharap sesuatu keajaiban akan terjadi. Na-

mun harapan tinggal harapan. Begitu banyak


orang di peron sepanjang jalur 4 dan 3. Namun 

orang yang diharapkannya muncul tidak keliha-

tan. 

Ibu Renata menyadari apa yang diha-

rapkannya tidak mungkin terjadi. Pandangan pe-

nuh harapan guru Bahasa Inggris itu berubah 

kosong. Dia sengaja tidak mengalihkan mata keti-

ka Pak Sanyoto bersama Ronny Celepuk melewati 

kursinya, memeriksa dan mencocokkan daftar 

anak-anak kelas II-9 SMU Nusantara III. Kecuali 

Boma yang tidak ikut, semua anak lengkap dan 

telah duduk di kursi masing-masing.

Lima menit menunggu berangkatnya kereta 

terasa begitu lama bagi Ibu Renata. Perasaan itu 

membuat hati dan pikirannya kacau. Saat ini ra-

sanya dia ingin turun saja dari kereta. Dia baru 

tahu kalau Boma Tri Sumitro tidak ikut setelah 

para pelajar SMU Nusantara III berkumpul di Sta-

siun Gambir. Sebelumnya Ibu Renata hanya tahu 

kalau Pak Bugi Ibrahim, Wali Kelas II-9 yang ti-

dak ikut karena ada hajatan di kampungnya di 

Pandegelang. Kalau saja dia tahu Boma tidak ikut 

hatinya mungkin tak akan tergerak untuk pergi.

Boma, mengapa dia tidak ikut? Mengapa 

dia tidak memberitahu kalau tidak ikut? Perta-

nyaan itu muncul tidak henti-hentinya dalam hati 

Ibu Renata. Salah satu dari teman-temannya pas-

ti tahu sebelumnya kalau Boma tidak ikut. Juga 

tentu tahu apa sebabnya. Namun tidak seorang-

pun memberitahu padanya. Seperti sengaja me-

rahasiakan?


Boma...Boma, di mana kau?

Tiba-tiba ada satu perasaan dan dugaan 

menyelinap dalam hati Ibu Renata. Mungkinkah 

Boma sengaja tidak ikut dalam tour itu karena 

Boma tidak suka dirinya pergi bersama dengan 

Pak Sanyoto? Sejauh dan sedalam itukah pera-

saan anak itu? Atau sebaliknya. Anak itu sengaja 

memberi kesempatan pada Pak Sanyoto agar bisa 

lebih mendekati dirinya?

Ibu Renata mengalihkan pandangannya ke 

dalam gerbong. Di deretan kursi ujung sebelah ki-

ri, dia melihat Vino dan Firman. Di depan mereka 

duduk Sulastri bersebelahan dengan Gita Parwati

Firman tiba-tiba berdiri lalu menepuk bahu 

Sulastri yang duduk di depannya. 

"Lastri, aku pindah ke tempat duduk ka-

mu. Kamu duduk di sini di samping Vino." 

"Eeh cowok ceking! Jangan ngeledek ka-

mu!" kata Sulastri sambil memutar duduknya lalu 

mencubit lengan Firman yang kurus. 

"Kamu yang jangan belagak," jawab Fir-

man. "Lagian aku 'kan cuma disuruh sama Vino." 

"Brengsek lu!" teriak Vino seraya menarik 

temannya itu hingga Firman terhenyak ke kursi. 

Ibu Renata tersenyum seperti dipaksakan 

ketika melihat senda gurau anak-anak itu. Ma-

tanya kemudian dialihkan ke jurusan lain.

Di deretan kursi sebelah kanan, bersisian 

dengan Gita, duduk Allan bersebelahan dengan 

Andi. Dia tahu kalau Allan suka sama Gita tapi 

Andi tidak usil seperti Firman. Tidak menyuruh


Allan agar pindah duduk di samping Gita.

Kemudian Ibu Renata melihat Rio duduk 

berdampingan dengan Trini. Diperhatikannya wa-

jah anak perempuan itu. Trini kelihatan tenang-

tenang saja, tapi jelas ada bayangan ketidak ce-

riaan di wajahnya. Dia lebih banyak diam dari 

pada ikut ngobrol dan bercanda dengan teman-

teman di sekitarnya. Sekali-sekali kepalanya dis-

andarkan ke kursi dan matanya dipejamkan.

Ibu Renata menduga. Ketidak ceriaan Trini 

itu, apakah sama penyebabnya seperti apa yang 

saat itu dirasakannya? Karena Boma tidak ikut?

Gita Parwati yang rupanya sejak tadi meli-

hat sikap Trini, berbisik pada Sulastri yang du-

duk di sebelahnya.

"Lastri, coba kamu liat si Kucing Garong 

itu. Kereta belon jalan udah ngantuk. Begitu kere-

ta jalan pasti deh dia ngorok. Ileran lagi!" 

Gita dan Sulastri tertawa cekikikan. 

"Ei dut!" kata Vino dari belakang. "Jangan

ngakak melulu. Nanti ngompol kamu!"

"Sialan, emangnya gue orok!" Gita menya-

huti dengan wajah cemberut sambil memukul 

sandaran kursi di samping kepalanya.

Satu baris di depan kursi Rio dan Trini ada 

dua bangku kosong. Satu yang bakal diduduki 

Ronny. Satu lagi mungkin kursi yang seharusnya 

diduduki Boma. Lalu Pak Sanyoto akan duduk di 

mana? Seolah baru menyadari Ibu Renata me-

mandang pada kursi kosong di samping kanan-

nya.


Mata Ibu Renata mencari-cari seseorang. 

Orang yang dicarinya itu duduk di deretan kursi 

sebelah kiri, dekat pintu. Menatap keluar jendela. 

Dwita Tifani. Anak perempuan ini sesekali mem-

buka majalah yang dibawanya. Tapi Ibu Renata 

tahu perhatian Dwita tidak sepenuhnya pada ma-

jalah itu. Sebentar-sebentar dia menarik nafas 

panjang memandang ke luar jendela lalu kembali 

membuka-buka halaman majalah.

Ibu Renata ikut-ikutan menarik nafas da-

lam. Kembali hatinya menduga. Tidak cerianya 

Trini, gelisahnya Dwita diakibatkan oleh sebab 

yang sama. Boma?

Ketika Dwita mengalihkan pandangan ke 

dalam gerbong, Ibu Renata melambaikan tangan 

tetapi Dwita tidak melihat. Beberapa kali dico-

banya tetap saja anak perempuan itu tidak meli-

hat. Anak perempuan yang duduk di samping 

Dwita yang kebetulan melihat gerakan tangan Ibu 

Renata akhirnya memberitahu Dwita kalau guru 

Bahasa Inggris itu memanggilnya.

Dwita tidak segera berdiri. Dia memandang 

ke urusan Ibu Renata. Tersenyum, namun dibalik 

senyum itu hatinya bertanya-tanya. Mengapa dia 

dipanggil? Dia senang sama Ibu Renata. Orang-

nya baik, cantik dan cara mengajarnya mudah di-

cerna. Tapi sejak dia mendengar cerita teman-

temannya bahwa Ibu Renata pernah mengajak 

Boma menonton, Dwita merasa seolah dia kehi-

langan sesuatu. Sesuatu itu bernama keper-

cayaan. Dia merasa hilang kepercayaan pada


guru bahasa Inggris itu. Dia juga hilang keper-

cayaan terhadap Boma. Lebih dari itu dia merasa 

hilang kepercayaan pada diri sendiri. Dan saat itu 

hatinya bertanya. Apa memang ada gunanya dia 

ikut tour ke Borobudur itu. Bersama anak-anak 

yang bukan teman satu kelas dengan dia? Walau 

mereka semua baik padanya. Mungkin dia telah 

melakukan satu ketololan yang sia-sia.

Ibu Renata kembali melambaikan tangan. 

Dwita berdiri.

Ketika melewati kursi Andi, anak lelaki ini 

berdiri dan berbisik. "Dwita, kamu duduk aja di 

bangku kosong di samping Ibu Rena. Jangan 

sampai Pak Sanyoto duduk di sebelahnya."

"Memangnya kenapa?" Tanya Dwita.

"Kami teman-teman yang ikut, mewakili 

Boma. Kami enggak suka sama Si Umar..."

"Si Umar? Siapa Si Umar?"

"Maksud gua Pak Sanyoto. Gede kepala dia 

kalau bisa duduk di samping Ibu Rena." jawab 

Andi.

"Oo, jadi kalian ini semua mata-matanya 

Boma? Dibayar berapa kalian ngejagain Ibu Rena-

ta?"

"Nggak, bukan dibayar. Ini cuma tanda se-

tia kawan."

"Kalian kok sayang banget sih sama Ibu 

Renata? Boma juga gitu ya?"

"Boma sayangnya kan cuma sama kamu," 

Andi sambil tertawa. "Udah pergi sana. Ibu Rena 

manggil kamu."


"Ibu memanggil saya?" tanya Dwita begitu 

sampai di hadapan Ibu Renata.

"Kursi di samping saya kosong. Duduk saja 

sini. Saya nggak ada teman ngobrol."

"Boleh?"

"Kenapa tidak?"

"Saya kira itu kursi buat Pak Sanyoto."

Ibu Renata tidak menyangka Dwita akan 

kata begitu. Dia menutupi air muka keterkeju-

tannya dengan tersenyum.

"Kita mencarter seluruh gerbong ini. Siapa 

boleh duduk di tempat yang disukainya."

Dwita akhirnya duduk di samping Ibu Re-

nata. Guru Bahasa Inggris, ini menarik nafas le-

ga. Paling tidak saat itu dia telah terlepas dari sa-

tu hal yang akan membuatnya tidak enak sepan-

jang perjalanan. Yaitu kalau Pak Sanyoto sampai 

duduk di sebelahnya. Sebaliknya, setelah duduk 

di samping Ibu Renata, Dwita merasa dia telah 

melakukan satu kekeliruan. Seharusnya tadi dia 

menolak duduk di samping guru Bahasa Inggris 

ini. Dari cerita yang didengarnya, Dwita sudah bi-

sa menduga bagaimana sebenarnya perasaan gu-

runya itu terhadap Boma.

Dwita terduduk diam. Sampai dilihatnya 

Ibu Renata melihat jam di pergelangan tangan kiri 

jam 19.20. Sama dengan waktu yang ditunjukkan 

jam bulat besar yang tergantung di bawah atap 

peron.

"Seharusnya kereta sudah berangkat," Su-

ara Ibu Renata seolah bicara pada dirinya sendiri.


"Mungkin sebentar lagi, Bu." Kata Dwita. 

Anak ini melirik. Dia melihat Ibu Renata meman-

dang ke arah tangga peron seolah mencari-cari 

seseorang. 

Dwita tahu siapa yang dicari Ibu Renata. 

Dan ia juga tahu orang yang dicarinya itu jelas-

jelas tidak akan muncul. Apalagi di saat-saat ke-

reta hendak berangkat seperti itu.

Trini membuka matanya yang sejak tadi 

dipejamkan. Dia melirik pada Rio. 

"Rio, kamu tau sebenarnya kenapa Boma 

nggak ikut?" Pertanyaan ini sejak tadi disimpan 

Trini dalam dadanya.

Rio yang tidak menyangka akan ditanya 

seperti itu sesaat jadi terdiam.

"Ayo, kamu jangan bohong. Kamu pasti tau 

kenapa."

"Kayaknya sih dia ada halangan."

"Pasti. Nggak ikut karena ada halangan. 

Tapi halangan apa? Halangan 'kan juga bisa dibi-

kin-bikin."

"Kalau nggak salah dia pernah bilang. 

Minggu ini dia harus menghadiri sidang pengadi-

lan..." Lalu Rio menceritakan peristiwa perampo-

kan yang sampai membuat Boma celaka kena 

clurit itu.

"Kasihan juga Boma kalau begitu," kata 

Trini sambil melunjurkan dua kakinya selurus 

mungkin. "Tapi kok dia nggak ngasi tau sama aku 

sih?"

"Boma aja ngasi tau kita-kita mendadak.


Kita semua pada kesel. Tapi mau dibilang apa. 

Mungkin tu anak lagi banyak pikiran. Inget nggak 

kejadian dia, Ronny, Allan dan Vino diserang 

orang gila beberapa hari lalu." kata Rio pula.

Dari pengeras suara di peron petugas 

memberitahu bahwa kereta Senja Utama jurusan 

Yogyakarta siap untuk berangkat.

Putuslah harapan Ibu Renata. Dwita ter-

diam, Trini memandang sayu keluar jendela.

Di ujung peron Stasiun Gambir terdengar 

suara peluit. Kereta mulai bergerak. Ibu Renata 

merasa seperti ada sesuatu yang menyekat teng-

gorokannya. Tiba-tiba sepasang mata bening guru 

Bahasa Inggris ini membesar. Tangannya men-

cekal lengan kursi, tapi yang dipegang justru len-

gan Dwita membuat anak perempuan ini berpal-

ing memandangi wajah Ibu Renata lalu mengikuti 

pandangan mata guru Bahasa Inggris itu ke arah 

peron.

Di peron sana, di antara orang banyak, 

seorang anak lelaki bertopi pet biru, memakai T-

shirt putih dan jins serta tas besar menempel di 

punggungnya muncul keluar dari tangga pada ja-

lur 4, berlari searah kereta yang bergerak perla-

han.

"Boma...!" Ucap Ibu Renata antara percaya 

dan tidak. Suaranya cukup keras, membuat se-

mua anak di dalam gerbong itu memalingkan ke-

pala ke arah peron.

Vino berdiri dari kursinya. Dia menunjuk 

ke luar jendela. Di luar sana, Boma berlari ken


cang sepanjang peron menuju pintu kereta yang 

terbuka.

"Eeii bener lu! Itu Boma!"

"Teman-teman! Liat! Boma!"

"Ah! Gendenk bener 'tu anak! Katanya 

nggak mau ikutan!"

Ronny, Gita, Allan dan Firman berdiri dari 

kursi.

"Bom! Cepetan Bom!" teriak Vino.

"Tancep Boma!" teriak si gemuk Gita.

Semua pelajar dalam gerbong, termasuk 

Ibu Renata berdiri pula dari kursi mereka, sama-

sama berteriak.

"Boma! Boma!"

"Cepeeetttt Bom...!"

Gerbong yang ditumpangi anak-anak SMU 

Nusantara III hanya tinggal dua puluh meter lagi 

dari ujung peron. Pada saat itulah sosok tubuh 

Boma laksana terbang melesat memasuki pintu. 

Dua kakinya mendarat di lantai kereta. Seisi kere-

ta bersorak riuh. Boma berdiri berpegangan pada 

tiang besi. Bahunya turun naik. Diantara nafas-

nya yang tersengal-sengal dia masih bisa berucap.

"Alhamdulillah. Untung masih keburu!" 

Boma menowel hidungnya berulang kali.

Saat itu juga hampir semua anak yang ada 

dalam kereta menyerbu Boma. Ronny menekan 

topi pet di kepala Boma hingga terbenam sampai 

ke alis. Vino memeluki temannya itu. Gita Parwati 

usap-usap dagu Boma. Firman bergelantungan di 

pinggang. Trini memencet hidung Boma. Ketika


Ronny dan Boma saling tos anak-anak lain di se-

kitar situ mengikuti.

"Lagi-lagi kamu bikin kejutan Bom!" kata 

Ronny. "Lu bilang nggak bisa ikut! Sekarang 

muncul!"

"Lompatan 'lu tadi boleh juga Bom. Kayak 

lompatan Jet Li aja!" kata Andi.

"Gila, lemes gua!" kata Boma tapi wajah 

yang keringatan memancarkan kegembiraan. 

"Ogut duduk dimana? Masih ada kursi kosong 

nggak?"

"Kamu tinggal pilih Bom. Mau duduki 

samping Den Ayu Trini Damayanti, atau di sebelah 

Den Putri Dwita Tifani atau di dekat Sri Ratu Rena-

ta...?" kata Ronny. Anak-anak bersorak riuh. Ibu 

Renata kelihatan tersipu, wajahnya tampak keme-

rahan.

"Atau di depan disamping Den Mas Masinis 

kereta saja!" kata Vino yang membuat gerbong ke-

reta itu kembali riuh oleh sorak dan gelak tawa. 

Satu-satunya orang yang seolah tidak dapat me-

nerima kenyataan itu adalah Guru Olah Raga Pak 

Sanyoto. Dia duduk terdiam di kursi yang sebe-

lumnya ditempati Dwita, memperhatikan anak-

anak yang sebentar-sebentar bersorak dan terta-

wa-tawa lalu melirik ke arah Ibu Renata, Dwita 

dan Trini. Sekali lagi dia memandang ke arah 

Dwita. Hatinya kesal. Tadi anak itu duduk di kur-

si yang kini didudukinya. Kenapa pindah ke 

samping Ibu Renata? Seharusnya dia yang duduk 

disamping Guru Bahasa Inggris itu.


Munculnya Boma merubah suasana di da-

lam perjalanan menjadi jauh lebih ceria. Tiga wa-

jah yang sebelumnya tampak lesu tidak bergairah 

kini kelihatan banyak senyum penuh ceria. Ketiga 

orang ini adalah Ibu Renata, Dwita Tifani dan Tri 

Damayanti.

Boma duduk di kursi di sebelah Ronny. Vi-

no, Rio, Gita, Andi dan Firman berdiri di sekeliling 

mereka.

"Sekarang cerita Bom. Kok kamu men da-

dak muncul." Kata Ronny.

"Kayak diuber setan!" kata Vino.

"Bener Bom! Sebelumnya kamu bilang 

nggak bisa ikut karena ada sidang pengadilan." 

Ujar Gita.

"Baru tadi sore, jam setengah enam dapat 

kabar. Kabarnya kabur! Sidang pengadilan diun-

dur sampai awal bulan depan. Hakim yang me-

mimpin sidang masih berada di Medan..." Boma 

menerangkan.

"Syukur." Ucap Gita. 

"Tu Hakim nggak balik lagi juga nggak apa-

apa," kata Vino. "Biar nanti gua yang mimpin si-

dang!"

"Uhh! Sok tau!" kata Firman sambil melin-

tir telinga Vino.

"Teman-teman, bayangin aja! Jam setengah 

enam terima kabar. Siap-siap habis setengah jam. 

Jalan ke sini hampir satu jam. Mana macet lagi. 

Udah gitu dipintu masuk ke peron aku ditahan 

sama penjaga! Dia curiga ngeliat ogut lari-lari.


Nggak bawa karcis lagi. Aku bilang aku rombon-

gan pelajar Nusantara III yang mau tour ke Yogya. 

Tetap aja nggak dikasih masuk. Sialan! Nekat aku 

nyelonong aja!"

Semua anak tertawa mendengar cerita Bo-

ma. "Kita semua senang kamu bisa ikut Bom. Ta-

pi ada lagi yang lebih senang..." kata Ronny pula. 

"Ah, lu mulai deh. Becanda..."

"Becanda tapi nyata." Kata Vino.

"Ron, lu sebut dong siapa aja yang lebih 

senang."

"Pokoknya ada tiga orang! Tebak aja sendi-

ri!" jawab Ronny sambil tertawa lebar.

"Tapi kalian bisa nebak nggak," kata Andi. 

"Rasanya ada satu orang yang jadi sebel dengan 

kemunculan teman kita ini!"

"Itu sih ude kebaca! Apa perlu gue sebut 

nih!" kata Vino.

"Jangan Vin... Juaaangan!" kata Firman 

sambil pencongkan mulutnya. Semua anak pada 

tertawa

"Terus-terang gue juga senang banget ka-

mu bisa ikut Bom," kata Ronny Celepuk. "Soalnya 

sekarang gue bisa timbang terima serahkan tugas 

dari Si Umar sama kamu."

"Enak aja!" jawab Boma sambil membuka 

topi petnya. "Tapi, ya sudah. Kau tetap wakilnya 

Si Umar. Aku dan teman-teman pasti ngebantuin. 

Oke 'kan?"

"Ntar dulu," jawab Ronny. "Gue mau nowel 

hidung dulu!" Lalu dia menirukan gaya Boma

menowel hidung. Kembali gelak tawa memenuhi 

gerbong kereta yang meluncur ke arah timur me-

nuju Yogyakarta.

"Bom, kamu lari segitu jauh pasti haus. Ini 

ada yang ngasi minuman selamat datang buat 

kamu! Rio mendekat sambil mengulurkan sebuah 

botol plastik. Tapi bukan botol air minum melain-

kan botol berlabel pembersih closet.

"Brengsek. Lu aja minum duluan!" kata 

Boma sambil memukul botol itu hingga jatuh ke 

lantai.

Gerbong lagi-lagi riuh oleh gelak tawa.

"Ada-ada aja lu. Dapet dari mana tu botol?" 

tanya Ronny pada Rio.

"Aku nemuin di kolong kursi," jawab Rid 

sambil nyengir. Ketika Rio hendak kembali ke 

kursinya Ronny pegang tangan temannya ini dan 

berbisik.

"Kok kamu tumben-tumbenan mau duduk 

dekat Trini? Mau jaga muntah ya."

"Enak aja. Gue ude duduk duluan. Dia 

nyelonong duduk di samping gue. Mau pindah ke 

kursi lain semua udah pada didudukin. Mendin-

gan kan, dari pada duduk di samping Si Umar?" 

Rio menyengir lagi lalu kembali ke kursinya. Kere-

ta meluncur semakin cepat.


SEBELAS


SOSOK DI BALIK STUPA


LEWAT tengah malam suasana dalam ger-

bong kereta yang dicarter oleh para pelajar SMU 

Nusantara III mulai sepi. Tak terdengar suara 

anak-anak menyanyi, tidak terdengar lagi riuhnya 

suara gelak tawa. Memang ada satu dua anak-

anak yang masih ngobrol, namun kemudian sua-

ra merekapun lenyap. Beberapa anak lelaki yang 

tadi asyik bermain kartu kini terduduk letih di 

kursi masing-masing dengan mata terpejam. Ke-

cuali Pak Sanyoto.

Guru Olahraga yang menjadi pimpinan 

rombongan ini melangkah sepanjang gerbong 

memeriksa dan memperhatikan para pelajar. Dis-

amping kursi Ibu Renata Pak Sanyoto berdiri agak 

lama. Wajah guru Bahasa Inggris yang sedang ti-

dur itu dilihatnya lebih cantik dari biasanya. Ini 

kali pertama dia melihat Ibu Renata dalam kea-

daan tidur. Wajah itu begitu anggun mempesona. 

Pak Sanyoto mengusap kepalanya beberapa kali, 

menegakkan kerah jaket lalu kembali ke kur-

sinya. Duduk pejamkan mata, mencoba tidur.

Boma menyikut lengan Ronny yang duduk 

di sebelahnya. Lalu berbisik. "Ron, lu liat nggak?"

"Hem...Ngapain dia berdiri lama-lama di 

samping Ibu Renata?"

"Mungkin mau ngajak ngomong. Tapi Ibu 

Renatanya tidur," jawab Boma.


Kereta meluncur terus. Suara roda-roda 

besi yang berbenturan dengan sambungan rel me-

rupakan irama berkesinambungan yang lama ke-

lamaan enak juga terdengarnya.

JAM 06.15 pagi kereta memasuki stasiun Yogya-

karta.

"Selamat datang di Kota Gudeg!" kata Ron-

ny sambil berdiri dari kursi lalu menggeliat.

"Yogya...Yogya! We are coming!" seorang 

anak berteriak.

"Yogya...Yogya! I love you!" Seorang anak 

lainnya berseru.

"Ooiii!" Vino berteriak. "Buka mulut jangan 

lebar-lebar! Bau! Belon gosok gigi!"

"Lu sendiri buka mulut selebar ember!" Ba-

las seorang anak di deretan kursi belakang. Se-

saat gerbong itu riuh oleh suara tawa. Suara tawa 

pertama dan terakhir dalam gerbong pada pagi 

itu.

Sebuah bis besar carteran telah menunggu 

dan membawa rombongan ke sebuah penginapan 

di Jalan Kolonel Sugiyono. Selesai mandi dan sa-

rapan, jam 10.00 tepat rombongan meninggalkan 

penginapan, berangkat menuju Candi Borobudur.

Turun dari bis Ronny bersiul-siul kecil 

sambil rapikan letak kacamata biru menyalanya. 

Rio yang memegang tustel mulai sibuk jetret sana 

jetret sini.

"Kamu kenapa nggak ajak Sarah cewek lu, 

Ron?" tanya Boma.


"Die sih pengen ikut. Tapi nyokapnya lagi 

sakit," jawab Ronny. Sarah adalah murid kelas II 

SMU Nusantara III juga tapi tidak satu kelas den-

gan Ronny dan Boma. 

Langit cerah, sang surya bersinar cukup 

terik dan angin bertiup. Beberapa topi yang dige-

lar di tepi jalan beterbangan. Dikejar-kejar si 

mbok penjualnya. Merupakan pemandangan yang 

lucu.

"Aneh, kok ora biasane. Kok barate banter 

banged tino iki." Seorang pedagang barang-barang 

cindera mata di pinggir jalan berkata sambil me-

megangi gantungan baju-baju kaos yang melam-

bai-lambai ditiup angin.

"Git, si mbok tukang dagang itu tadi ngo-

mong apaan?" tanya Boma pada Gita Parwati 

yang berjalan di sebelahnya berdampingan den-

gan Allan. Disamping Allan berjalan Dwita. Di se-

belah depan Trini, Vino dan Sulastri serta bebera-

pa anak berjalan dalam satu kelompok.

Gita Parwati tertawa mendengar perta-

nyaan Boma itu. Dia berpaling pada Dwita.

"Dwita, ini namanya orang aneh!" kata Gi-

ta. "Katanya orang Jawa, tapi nggak ngarti omon-

gan Jawa. Gimana sih Mas?"

"Ala, yang Jawa kan bokap sama nyokap 

gua," sahut Boma. "Kalau gua sih Indo Betawi!"

Dwita dan Gita tertawa geli. Di sebelah de-

pan Trini berpaling dan ikutan tertawa.

"Indo apaan! Doyan pete ama jengkol!" Dari 

samping berteriak Andi.


"Nah, kena lu Bom!" kata Ronny. 

"Tapi pete sama jengkol enak kan?" jawab 

Boma walau selama ini dia tidak pernah makan 

pete dan jengkol.

"Yang bau biasanya memang rada-rada 

enak!" ucap Vino.

"Sok tau lu!" nyeletuk Andi.

"Kata orang. Gua sih emang belon tau yang 

bau-bau," jawab Vino, membuat teman-temannya 

jadi senyum-senyum.

"Git, kamu belum jawab yang tadi gua 

tanya." kata Boma.

"Nih, biar Gusti Raden Ayu Diwita Tifani

yang menjawab pertanyaan sampean" kata Gita 

Parwati sambil menudingkan jempol tangan ka-

nannya pada Dwita dan seraya membungkukkan 

badan seolah menghormat. Dwita tertawa lebar 

mendengar ucapan dan gaya si gemuk Gita Par-

wati.

Boma menowel hidungnya. "Iyaa, Dwita. 

Apa sih yang diucapkan mbok-mbok itu tadi?"

"Katanya begini," jawab Dwita Tifani. "Aneh, 

kok tidak seperti biasanya. Kok angin kencang se-

kali hari ini."

"Nah, Den Mas Boma, sampean udah den-

gar. Puas sekarang?"

Boma anggukkan kepala pada Gita, terse-

nyum pada Dwita. Dalam hati dia mengulangi apa 

yang barusan dikatakan Dwita. "Aneh, kok tidak 

seperti biasanya. Kok angin kencang sekali hari 

ini."


Ronny menepuk punggung Boma.

"Kok habis dikasi tau kamu sekarang ja-

lannya kayak setengah ngelamun?"

"Ron, perasaan ogut nggak enak," jawab 

Boma.

"Kamu kebelet beol?" tanya Ronny.

"Brengsek kamu. Aku bilang yang nggak 

enak perasaan ogut, bukan perut." kata Boma la-

lu menowel hidungnya. "Aku nggak liat Si Umar, 

Ron." Boma mengalihkan pembicaraan.

"Gampang nyarinya. Dimana ada Ibu Rena-

ta, pasti dia ada disitu. Tu...lu nengok deh ke be-

lakang."

Boma menoleh ke belakang. Memang be-

nar. Di kelompok rombongan paling belakang ber-

jalan Pak Sanyoto, memegang tustel, berdampin-

gan dengan Si Centil Sulastri. Di sebelah Sulastri 

Ibu Renata dan beberapa anak lainnya. Sambil 

melangkah mundur-mundur Rio memotret ke-

lompok Pak Sanyoto ini.

Di sebuah lapangan, dengan latar belakang 

Candi Borobudur di kejauhan, rombongan mem-

buat foto bersama. Selesai berfoto, sebelum me-

nuju candi, Pak Sanyoto selaku pimpinan tour 

memberi beberapa pengarahan. Melihat begitu 

banyaknya pengunjung tidak mungkin mereka 

yang berjumlah hampir tiga puluh orang itu bisa 

selalu berada dalam satu kelompok. Jika sampai 

berpencaran maka pulangnya mereka langsung 

menuju bis di lapangan parkir.

Pak Sanyoto melihat ke arloji di tangan ki


rinya 

"Saat ini jam sebelas kurang lima. Rom-

bongan akan menunggu sampai jam empat sore. 

Cukup banyak waktu bagi kalian semua untuk 

makan, melihat-lihat dan membeli cindera mata. 

Yang, penting kalian sudah berada di bis sebelum 

jam empat sore!"

Ronny tertawa bergelak. Beberapa anak 

yang mendengar ucapan Boma tadi ikut tertawa. 

Ronny melirik ke arah Pak Sanyoto. Guru Olahra-

ga yang menjadi pimpinan wisata itu agaknya ti-

dak mendengar apa yang diucapkan Boma tadi.

Begitu rombongan mulai bergerak ke arah 

Candi Borobudur, Trini langsung mendekati Bo-

ma, memegang lengan anak lelaki ini dan berkata.

"Bom, aku barengan sama kamu ya? Bo-

leh?" 

Boma tersenyum. 

"Boleh aja."

"Memangnya kenapa?" tanya Boma.

Trini Damayanti melirik sekilas pada Dwi-

ta.

"Aku baru sekali ini ke Borobudur. Tang-

ganya tinggi, curam. Orang yang naik banyak 

banget. Aku suka gamang kalau berada di keting-

gian. Boleh 'kan barengan kamu?"

Boma menowel hidungnya kembali.

"Kok dari tadi nowelin hidung terus sih! 

Jawab dong! Boleh nggak?"

Boma tertawa. "Boleh boleh aja."

Trini tertawa lega. Dari dalam tas yang di


bawanya dia mengeluarkan sebuah kamera.

Saat itu Rio tiba-tiba muncul di depan Bo-

ma dan Trini dengan tustelnya. Trini langsung 

menebar senyum di wajah dan tangan kirinya 

memegang mesra lengan Boma, kepala agak dimi-

ringkan ke bahu anak lelaki itu.

Blits tustel Auto Focus menyala.

"Nah, lu!" celetuk Ronny pada Vino yang 

kini berada di sampingnya. "Alamat Boma nggak 

bisa kemana-mana. Kasihan deh Dwita..."

"Kasihan juga Ibu Renata. Gua rasa dia 

pengen dekat-dekat Boma. Tapi Si Umar kagak 

tau malu. Nempel terus kaya perangko." kata Gita 

Parwati.

"Rio, tunggu!" seru Trini. "Tolong potretin!" 

Trini menyerahkan tustel miliknya pada Rio. 

"Tinggal mencet."

Rio beraksi dengan kamera milik Trini.

"Tunggu, sekali lagi!" kata Rio. Kamera mi-

lik Trini itu ada perangkat zoomnya. Rio menekan 

tombol zoom hingga wajah Boma dan Trini mun-

cul besar dalam satu frame. Klik! Rio senyum-

senyum kembalikan kamera pada Trini.

Boma melangkah, kakinya terasa berat. Dia 

menowel hidungnya beberapa kali. Ketika di meli-

rik ke arah Ronny, anak ini meledek dengan me-

mencongkan mulutnya. Dengan suara perlahan 

Ronny berkata pada Vino yang kini ada di sam-

pingnya.

"Lu tanya sono sama Si Centil. Dia suka 

gamang nggak kalau ditempat tinggi."


"Ooo... Si Centil sih lain. Makin di atas dia 

makin seneng!" jawab Vino.

"Eee, apa-an nyebut-nyebut nama Ogut? 

Siapa yang seneng di atas?!"

Tahu-tahu Si Centil alias Sulastri sudah 

berada di belakang Ronny dan Vino. Anak perem-

puan ini lalu menerobos di antara kedua anak le-

laki itu. Ronny langsung diam, Vino senyum-

senyum, serba salah tapi menjawab juga.

"Nggak, si Ronny bilang anak cewek suka 

gamang kalau berada di tempat tinggi. Tapi aku 

bilang kamu nggak. Kamu malah senang di tem-

pat tinggi. Seneng di atas. Iyya kan?"

"Nggak tu. Aku malah suka kepingin kenc-

ing kalau berada di tempat tinggi!" jawab Sulastri 

polos, entah benar entah tidak. "Jadi nanti kamu 

musti pegangin aku kalau naik ke atas candi sa-

na."

"Nah, atu lagi teman gua kena batunya." 

kata Ronny sambil usap-usap dagunya.

Rio yang tadi entah memotret di mana begi-

tu Vino dan Sulastri berjalan rapat berdampingan 

tahu-tahu muncul kembali. Vino acungkan jem-

pol tangan kirinya. Klik! Lampu kilat menyambar. 

Rio ngacir lagi ke tempat lain.

Boma menyuruh Trini berjalan lebih dulu. 

Dia berlutut pura-pura membetulkan tali sepatu 

ketsnya. Ketika Ronny lewat disampingnya Boma 

cepat berbisik.

"Ron, lu temenin Dwita. Gua nanti nyari 

akal gimana bisa lolos dari Trini."


"Rebes Bom. Tapi gua pinjem dulu seceng 

buat beli rokok. Duit gue ketinggalan di kantong 

celana satunya."

"Alesan aja lu," jawab Boma. Dari kantong 

blujinsnya dia keluarkan uang kertas seribu pe-

rak lalu diberikan pada Ronny. "Lu jangan pamer 

rokok di depan Si Umar. Salah-salah lu disuruh 

lari ngelilingin lapangan enam kali lagi, baru tau 

ente!"

"Oo... tidak bissya Bom. Ini Yogya, bukan 

Jakarta. Salah-salah dia yang minta rokok sama 

aku!" jawab Ronny pula.

***

KELOMPOK Boma, Trini, Firman dan Andi 

berada di tingkat pertama bangunan Candi Boro-

budur. Di sebelah depan berjalan kelompok Vino 

dan Sulastri bersama Gita dan Allan. Di belakang 

menyusul kelompok Ronny, Dwita lalu Rio dan 

beberapa orang pelajar kelas II-9.

Seorang pemandu laki-laki tengah membe-

rikan penjelasan pada serombongan wisatawan. 

Tiga kelompok pelajar SMU Nusantara III kelas II-

9 tadi berhenti dan bergabung, ikut mendengar-

kan cerita sang pemandu.

"Bangunan Candi Borobudur ini didirikan 

sekitar tahun 800 Masehi. Terdiri dari tiga tingkat 

yang masing-masing punya nama sendiri-sendiri. 

Tingkat pertama yaitu dimana kita berada saat ini 

disebut Kamadhatu artinya Dunia Keinginan.


Tingkat kedua bernama Rupadhatu yang 

berarti Dunia Bentuk atau Dunia Ujud. Tingkat 

ketiga bernama Arupadhatu berarti Dunia Tidak 

Berbentuk atau Dunia Tanpa Ujud..."

Sambil terus mendengarkan cerita sang 

pemandu Ronny berkata pada Boma. "Si Umar, 

gua rasa cocoknya tinggal di Arupadhatu."

Boma dan teman-temannya sama tertawa 

mendengar kata-kata Ronny. Sang pemandu yang 

rupanya sempat mendengar ucapan Ronny me-

mandang pada anak-anak itu lalu sambil terse-

nyum dia berkata.

"Arupadhatu adalah alam tanpa ujud. Jadi 

orang yang namanya Si Umar atau Si Umir tidak 

mungkin hidup di alam itu..."

"Wah Ron. Kasihan Si Umar. Terpaksa dia 

balik ke alam Rupadhatu." Kata Boma pula yang 

mengundang tawa semua anak dan sang peman-

du termasuk juga para wisatawan lain yang ada 

di tempat itu.

Pemandu wisata melanjutkan keterangan-

nya. 

"Candi Borobudur ini dibangun dari poton-

gan batu berjumlah sekitar dua juta buah. Saat 

ini di sini terdapat 1472 buah Stupa serta 432 Ar-

ca Buddha. Di sepanjang dinding candi terdapat 

ratusan relief yang menceritakan berbagai kisah. 

Jika semua relief itu disambung satu dengan yang 

lain maka panjangnya bisa mencapai tiga kilome-

ter. Bayangkan..."

Di sebelah belakang Vino berbisik. "Dia tau


dari mana. Apa pernah ngitung...?"

Ucapan Vino terputus karena lengannya 

disengat cubitan Sulastri. Anak perempuan ini 

berbisik. "Jangan ngomong sembarangan kamu. 

Kalau dia denger..."

Vino cuma bisa nyengir sambil usap-usap 

lengannya yang merah bekas cubitan.

Ketika pemandu wisata mengajak rombon-

gan wisata berpindah ke tempat lain, Trini men-

dekati orang ini.

"Pak, mau tanya."

"Ya, boleh. Anak ini rombongan dari Jakar-

ta pasti?"

Trini mengangguk. "Mau tanya apa?"

"Itu Pak, Area yang orang-orang suka pe-

gang, tempatnya di sebelah mana?"

"Katanya kalau bisa megang, apa yang jadi 

niat bisa terkabul. Apa betul Pak?" tanya si ge-

muk Gita Parwati.

"Semua tergantung niat, dan tergantung 

Gusti Allah serta berpulang pada kepercayaan ki-

ta masing-masing," jawab sang pemandu sambil 

tersenyum. "Arcanya disebut Arca Bimo. Letaknya 

di tingkat ke tiga, tingkat Arupadhatu. Sebelah 

timur, persis kanan tangga naik." Sang pemandu 

menunjuk ke arah timur.

"Terima kasih Pak..." kata Trini.

Selagi Trini dan Gita bicara dengan sang 

pemandu dan selagi sang pemandu menjawab 

pertanyaan kedua anak perempuan itu Boma 

berdiri sambil matanya memandang ke berbagai


jurusan. Di atasnya, pada tingkatan kedua ban-

gunan candi serombongan wisatawan asing ten-

gah membuat foto. Beberapa diantara mereka 

adalah wanita-wanita kulit putih yang berpakaian 

agak seronok. Sepasang mata Boma memandang 

ke atas bukan memperhatikan wisatawan asing 

itu, tapi memperhatikan sosok seorang yang agak 

terlindung dibalik sebuah stupa. Walau yang ter-

sembul dari sosok orang ini hanya sebagian sisi 

kanan tubuhnya kepalanya tidak kelihatan, na-

mun Boma yakin dari balik stupa orang itu ten-

gah memperhatikan ke arahnya.

Boma menggeser tegaknya mendekati Ron-

ny. Suaranya bergetar.

"Ron, kamu ingat nggak orang gila yang 

nyerang kita di sekolahan?"

Karena tengah asyik mendengar keteran-

gan sang pemandu Ronny tidak begitu memper-

hatikan pertanyaan temannya.

"Apa Bom?"

"Ingat cerita ada orang yang mau membu-

nuh aku?"

Ronny berpaling. Menatap wajah Boma. 

"Memangnya kenapa?"

"Putar kepalamu pelan-pelan. Liat lurus-

lurus ke atas. Perhatikan stupa nomor tiga dari 

ujung kanan. Orang itu ada di balik stupa. Pa-

kaian item, rambut gondrong. Kali ini rambutnya 

nggak dikuncir. Tapi dibiarkan lepas."

Ronny menatap wajah temannya sesaat la-

lu perlahan-lahan angkat kepalanya, memandang


lurus ke arah tingkat ke tiga candi. Mengawasi 

stupa yang dimaksudkan Boma.

"Aku nggak liat apa-apa Bom..."

"Masa sih? Aku liat orang itu masih disana. 

Malah sebagian wajahnya kini menyembul dari 

balik stupa,"

Ronny buka kaca mata birunya. Tetap saja 

dia tidak melihat apa-apa.

"Aku nggak ngeliat apa-apa Bom. Maksud 

kamu orang aneh bernama Pangeran Matahari 

itu?"

Boma mengangguk. Dia ingat ucapan si 

nenek. Bahwa Boma bisa melihat orang itu tapi 

orang lain tidak.

Boma mengusap tengkuknya. Saat itu te-

riknya sang surya cukup membakar. Tapi Boma 

merasa tengkuknya dingin.

"Ron, kamu sama Trini, sama yang lain-

lain tunggu di sini..."

"Kamu mau kemana?"

"Aku nggak lama."

Saat itu tiba-tiba angin bertiup kencang 

sekali. Suara derunya terdengar menggidikkan. 

Beberapa orang berseru kaget karena topi yang 

mereka pakai mencelat diterbangkan angin. Seo-

rang anak kecil sampai jatuh terduduk di batu 

candi. Ketika angin reda Boma tak ada lagi di 

tempat itu.

"Boma kemana?" Tanya Trini pada Ronny.

"Katanya dia turun sebentar. Mau kenc-

ing." Jawab Ronny berdusta karena dia juga tidak


tau pergi kemana temannya itu. Ronny kembali 

memandang ke arah stupa di atas sana. Dia meli-

hat banyak orang disekitar stupa itu. Tapi tidak 

ada orang berpakaian serba hitam, berambut 

gondrong, kepala diikat kain merah dan berman-

tel.

"Gila kali kalau ada orang siang bolong be-

gini pakai mantel!" kata Ronny dalam hati. "Jan-

gankan orang setan juga gerah!"

***

PANGERAN Matahari beranjak dari balik 

stupa. Hatinya mendadak gelisah. Barusan dia 

melewati beberapa orang di sekitar tempat itu. 

Semua orang memperhatikan ke arahnya dengan 

pandangan agak lain dan beberapa diantara me-

reka berbisik-bisik

"Kesaktian Batu Penyusup Batin yang di-

usapkan guru ke tubuhku mungkin sekali telah 

habis. Orang dapat melihat ujudku dengan mata 

telanjang. Keadaan bisa berbahaya. Aku harus 

bertindak cepat."

Pangeran Matahari memandang ke bawah. 

Ke arah rombongan anak-anak SMU Nusantara 

III. Wajahnya berubah. Boma tidak ada lagi di an-

tara para pelajar itu. Murid Si Muka Bangkai ini 

berpindah ke bagian candi yang lebih tinggi. Ma-

tanya menyelidik ke seluruh penjuru. Namun 

Boma tetap tidak kelihatan.

Serombongan wisatawan lewat di samping


nya, memperhatikan. Ada yang senyum-senyum. 

Tapi begitu Pangeran Matahari pelototkan mata, 

orang yang tertawa palingkan muka, pura-pura 

memandang ke jurusan lain.

"Aku curiga..." Membatin Pangeran Mata-

hari. "Jangan-jangan Sinto Gendeng memberikan 

Batu Penyusup Batin yang dirampasnya kepada 

anak itu...." Lalu dia ingat peristiwa di halaman 

sekolah beberapa hari lalu. Kepala dan tubuhnya 

cidera. Dipukuli orang yang tidak kelihatan ujud-

nya.

"Kalau anak itu memang memiliki Batu Pe-

nyusup Batin, aku harus mencari akal..." Pange-

ran Matahari menyeringai lalu tinggalkan tempat 

itu. Lagi-lagi menjadi perhatian orang yang dipa-

pasinya.

***

BEBERAPA langkah meninggalkan Ronny 

dan kawan-kawannya, terhalang di balik sebuah 

stupa Boma mengusap bagian bahu di bawah tu-

lang belikat sebelah kanan, dua kali berturut-

turut.

Empat orang anak perempuan yang berada 

di hadapan Boma terkejut. Cewek paling depan 

hentikan langkah, berpaling pada teman di samp-

ing kanannya.

"Tik, kamu liat nggak? Tadi di depan kita 

ada cowok kece rambut cepak pakai jins robek 

dengkulnya. Kok tau-tau lenyap?"


Motik, anak perempuan yang diajak bicara 

menyahuti. "Aku kira cuma aku yang heran.."

"Aku juga ngeliat." Kata anak perempuan di 

sebelah belakang.

"Jangan-jangan setan..." kata Motik. "Masa' 

sih. Aku nggak pernah denger cerita ada setan di 

Candi Borobudur."

"Teman-teman, baiknya kita pindah aja ke 

tempat lain." Motik mengajak. Lalu mendahului 

melangkah meninggalkan tempat itu. Teman-

temannya mengikuti.

***

BOMA sampai di belakang stupa besar di 

mana tadi dia melihat sosok Pangeran Matahari. 

Tapi disitu dia tidak menemui Pangeran Matahari. 

Yang ada hanya beberapa orang pengunjung ten-

gah berfoto. Boma mengitari stupa, lewat bebera-

pa kali di depan orang-orang itu tanpa satupun 

dari mereka melihat kehadirannya. Anak ini yakin 

bahwa Batu Penyusup Batin yang ada di bahu 

kanannya memiliki kesaktian luar biasa. Namun 

anak ini tetap merasa kawatir.

"Aku bisa menghilang, bisa nggak keliatan. 

Tapi bagaimana teman-teman? Kalau Pangeran 

Matahari berbuat jahat terhadap mereka?"

Boma memeriksa bagian candi sekitar stu-

pa besar itu sekali lagi. Tetap saja dia tidak me-

nemukan orang yang dicarinya.


DUA BELAS


MUNCULNYA PENDEKAR 212 WIRO SABLENG


PENGUNJUNG candi ramai sekali di sepu-

tar Stupa Bimo. Yang paling banyak para pelajar 

dari SMU Nusantara III. Melalui lobang-lobang 

berbentuk belah ketupat orang banyak mema-

sukkan tangan ke dalam stupa, berusaha meme-

gang Arca Bimo di dalamnya.

Di salah satu sisi stupa, Trini mengulurkan 

tangannya dalam-dalam, menggapai-gapai. Tapi 

jari-jarinya tidak mampu menyentuh tangan apa 

lagi bagian tubuh arca. Rio mengambil foto Trini 

waktu berusaha memegang arca ini.

"Wah Rin! Maksud lu nggak kesampean!" 

kata Rio.

"Coba ogut. Kayaknya deket aja." Kata 

Ronny Celepuk. Dia memasukkan tangan kanan-

nya dari sebelah belakang, coba memegang pung-

gung dan kepala area. Tidak kena. Dia pindah ke 

sebelah depan. Ujung tangannya menggantung di 

udara, tidak mampu menyentuh tangan area.

"Ajie Gile. Gua rasa tangan gua paling pan-

jang. Tapi kok nggak bisa nyampe?" Ronny Cele-

puk gosok-gosok tangannya satu sama lain.

Vino, Rio, Allan, Andi dan Firman juga 

mencoba. Tapi tidak satupun dari mereka bisa 

menyentuh Arca Bimo.

Giliran si gemuk Gita Parwati. Saking pe-

nasarannya anak ini mencoba dari empat sisi.


Depan, kiri kanan dan belakang.

"Aneh, kok nggak bisa kepegang ya?" kata 

Gita sambil menarik tangannya yang terasa pegal. 

"Kamu nggak mandi kali tadi pagi!" kata Vino.

"Lu juga nggak bisa megang. Berarti nggak 

mandi juga!" sahut Gita cemberut.

Pak Sanyoto tidak mau ketinggalan. Dia 

memasukkan tangannya pada lobang di sisi ka-

nan arca. Sampai kecapaian sambil geleng-geleng 

kepala dia keluarkan tangan dari dalam lobang. 

Lalu berpaling pada Ibu Renata.

"Ibu nggak mau coba?" tanya Pak Sanyoto. 

Ibu Renata mendekat ke stupa. Sesaat ia 

bingung mau memasukkan tangan kanan atau ki-

ri. Akhirnya dia masukkan tangan kanan ke celah 

belah ketupat. Tiba-tiba Guru Bahasa Inggris ini 

memekik. Anak-anak mengintip lewat lobang. 

"Kena!" teriak Vino. 

"Kepegang!" pekik Trini. 

Jari-jari tangan Ibu Renata yang halus ba-

gus memang berhasil memegang tangan Arca Bi-

mo, bukan cuma tangan tapi juga kaki arca.

"Wah Ibu Renata hebat!" ujar Pak Sanyoto 

"Niatnya apa tadi bu?" tanya Ronny.

"Nggak niat apa-apa." Jawab Ibu Renata 

tersenyum lebar dan mengeluarkan tangannya 

dari dalam stupa.

"Bom! Lu diem aja! Nggak pengen megang?" 

Vino bertanya pada Boma.

Dari samping Ronny menarik tangan kanan 

Boma lalu dimasukkan ke dalam lobang. Ronny


mengintip. Lalu anak ini berteriak. 

"Liat!"

Beberapa anak mengintip. Tangan kanan 

Boma kelihatan menggenggam tangan Arca Bimo. 

Anak-anak bersorak ramai. Boma tenang saja. 

Saat itu dia merasa ada hawa aneh sejuk menga-

lir dari tangan Arca Bimo, masuk ke dalam tan-

gannya, terus mengalir ke seluruh tubuh. Boma 

merasa tengkuknya dingin.

"Hebat temen gue!" kata Ronny sambil te-

puk-tepuk punggung Boma.

"Kok yang bisa cuma Boma sama Ibu Rena-

ta?" Si Centil Sulastri membuka mulut. "Wah, ar-

tinya apa nih?"

Boma tersenyum masih berdiri di depan 

stupa sambil mengelusi lengan kanannya. Mu-

kanya tampak pucat. Sementara Ibu Renata juga 

tersenyum tapi wajahnya bersemu merah.

"Eh Dwita mana? Dwita belum nyoba!"

Tiba-tiba Firman berteriak.

"Bener, Dwita belon!" kata Andi.

Semua anak memandang berkeliling, men-

cari-cari. Tapi Dwita memang tidak ada.

"Kok Dwita nggak ada?" ucap Gita.

"Ngilang kemana tu anak?" kata Vino pula.

"Kayaknya dari tadi, lama juga dia nggak 

keliatan," kata Ronny baru menyadari.

"Dia mungkin pergi kemana. Ada yang di-

tinggali pesan?" Pak Sanyoto bertanya. 

Tidak ada yang menjawab.

Pak Sanyoto memandang berkeliling. Lalu


berkata. "Mungkin dia ada di dekat-dekat sini. 

Nanti juga muncul..."

Boma mendekati Ronny.

"Ron, semua teman-teman kita ada di sini. 

Cuma Dwita yang nggak keliatan. Aku kawatir. 

Gimana kalau kita sama teman-teman mencari."

"Aku rasa nggak perlu kawatir. Dwita pal-

ing mencar. Nanti juga dia bisa kembali ke bis. 

Pak Sanyoto tadi udah ngasi pengarahan."

"Kalau dia mencar, kenapa cuma sendi-

rian?" ujar Boma.

Ronny terdiam.

Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali. 

Anak-anak perempuan berpekikan dan jatuhkan 

diri lantai candi, berlindung di balik stupa.

Lalu mendadak dari berbagai arah tampak 

orang-orang berlarian ke arah selatan. Beberapa 

di antara mereka menunjuk-nunjuk. Makin lama 

makin banyak orang yang lari ke jurusan itu. 

"Orang-orang itu, mereka takut angin..." 

Vino.

"Mungkin mau turun badai? Topan?" Fir-

man.

Boma memandang ke arah selatan. Lalu 

berkata. "Orang-orang itu bukan takut topan Vin. 

Aku...," 

Pak Sanyoto mencegat salah seorang yang 

berlari dan bertanya. "Ada apa Pak?"

Orang yang ditanya berhenti.

"Ada kejadian aneh! Ada orang dalam stu-

pa."


Seorang lelaki yang kebetulan lewat sambil 

berjalan cepat menambahkan. "Orang gila mencu-

lik gadis! Gadisnya dikurung dalam stupa!"

Ada gadis dikurung dalam stupa. Ini satu 

hal yang tidak mungkin terjadi. Ronny dan Boma 

saling berpandangan. 

Semua anak SMU Nusantara III meman-

dang pada Pak Sanyoto. Lalu berpaling ke arah 

selatan. Boma berdiri tak bergerak, mata terpe-

jam.

"Pangeran Matahari," membatin Boma. 

"Pasti dia."

"Ron! Ikut gua!" kata Boma lalu mendahu-

lui lari ke arah selatan. Di satu tempat dia menye-

linap ke balik sebuah stupa, membiarkan Pak Sa-

nyoto dan teman-temannya melewati stupa. Lalu 

anak ini sap Batu Penyusup Batin.

Ronny, Pak Sanyoto dan semua anak SMU 

Nusantara III termasuk Ibu Renata sama-sama la-

ri ke arah selatan candi.

Di Candi Borobudur arah selatan terdapat 

jajaran stupa yang didalamnya berisi Arca Budd-

ha yang disebut Arca Amoghasidi. Sikap tangan 

kiri Arca Amoghasidi diletakkan di pangkuan se-

dang tangan kanan diangkat setinggi pinggang 

dengan telapak terbuka menghadap ke depan. In-

ilah sikap tangan yang disebut Abayamudra yang 

berarti mengisyaratkan ketidak gentaran, jangan 

takut.

Salah satu dari Arca Amoghasidi itu di keli-

lingi oleh banyak orang. Tapi orang-orang ini tidak berani terlalu dekat.

Di samping stupa sebelah kanan berdiri 

seorang pemuda tinggi besar. Tampangnya tam-

pak garang. Pandangan matanya angker. Pa-

kaiannya serba hitam, dilengkapi sehelai mantel 

di sebelah belakang. Di bagian dada bajunya ada 

gambar gunung berwarna biru dan larikan-

larikan sinar matahari berwarna merah. Di ke-

ningnya melintang sehelai kain berwarna merah. 

Orang ini menatap dingin ke arah semua orang 

yang ada di depannya, menyeringai angker.

"Aku Pangeran Matahari! Jangan berani 

mendekat kalau tidak mau mati!" Tiba-tiba pe-

mudi disamping stupa berteriak keras sambil kaki 

kanannya dihentakkan. Bangunan candi terasa 

bergetar. Orang banyak menjauh ketakutan.

Yang membuat semua orang tambah ter-

cengang adalah ketika menyaksikan di dalam 

stupa di samping orang yang mengaku bernama 

Pangeran Matahari itu, tergeletak pingsan sesosok 

tubuh, ramping anak perempuan, berkulit putih, 

mengenakan jins merah, blus biru bergaris putih 

kuning dan merah. Tak ada satupun dari orang 

banyak yang dapat mengerti bagaimana anak pe-

rempuan itu bisa berada di dalam stupa.

Ketika Pak Sanyoto, Ibu Renata dan rom-

bongan anak-anak SMU Nusantara III sampai di 

tempat itu, Ronny, Vino dan Allan segera menge-

nali. Pemuda berpakaian serba hitam yang tegak 

dl samping stupa adalah orang gila yang menye-

rang mereka di sekolah sehabis pulang latihan


basket!

"Ron, dia Ron," kata Vino dengan suara 

bergetar 

Ronny dan Allan terkesiap. 

Wajah sama pucat "Bagaimana orang ini 

bisa berada disini?" ucap Ronny.

Tiba-tiba terdengar suara pekik anak pe-

rempuan. Suara Trini dan Sulastri. Kedua anak 

ini tadi menyeruak diantara kerumunan orang 

banyak. Ketika memandang ke arah stupa, mere-

ka melihat sosok Dwita yang tergeletak pingsan di 

dalam sana. Langsung keduanya menjerit.

"Dwita! Itu Dwita!" teriak Sulastri sambil 

menunjuk ke dalam stupa.

Di samping stupa Pangeran Matahari don-

gakkan kepala lalu tertawa bergelak. Tiba-tiba 

suara tawanya lenyap. Dari mulutnya menggele-

gar bentakan.

"Boma! Mana anak bernama Boma!" Pak 

Sanyoto, Ibu Renata dan semua pelajar SMU Nu-

santara III tentu saja jadi terkejut mendengar 

ucapan itu. Mengapa orang aneh di atas sana 

mencari Boma? Mengapa Dwita ada di dalam stu-

pa? Bagaimana mungkin? Apa orang yang men-

gaku bernama Pangeran Matahari itu yang men-

culiknya lalu memasukkannya ke dalam stupa? 

Jika seseorang masuk atau dimasukkan ke dalam 

stupa, satu-satunya cara ialah dengan mengang-

kat stupa. Stupa itu ratusan kilo bahkan mung-

kin lebih dari satu ton. Siapa manusia yang 

mampu mengangkat lalu memasukkan Dwita Tifani ke dalamnya? Pak Sanyoto memandang ber-

keliling. Ibu Renata ikut mencari-cari. Tapi Boma 

tidak kelihatan.

"Tadi dia lari lebih dulu dari kita. Mestinya 

sudah sampai disini duluan," kata Ronny.

"Pengecut! Anak Pengecut! Kalian akan 

menyaksikan kematian seorang anak manusia di 

dalam stupa hanya karena kepengecutan seorang 

anak bernama Boma!" 

Di atas sana Pangeran Matahari kembali 

keluarkan ucapan keras.

"Boma....Boma, dimana anak itu?" Ronny 

dan kawan-kawan saling pandang, lalu meman-

dang seputar candi.

"Aku akan lihat! Mungkin nyawa harus le-

pas lebih dulu sebelum berani unjukkan diri! Ter-

lambat! Terlambat!"

Pangeran Matahari angkat tangan kanan-

nya ke atas. Tangan itu bergetar pertanda ada 

hawa sakti mengalir. Lalu tangan itu memancar-

kan warna aneh. Merah, kuning dan hitam. Pan-

geran Matahari siap melepas pukulan Gerhana 

Matahari. Udara mendadak redup sebaliknya ti-

upan angin kembali kencang mengeluarkan suara 

aneh menggidikkan

Pangeran Matahari membungkuk, mengin-

tai diantara lobang-lobang stupa lalu berkata.

"Anak perempuan di dalam stupa. Nasibmu 

malang sekali! Orang yang katanya mengasihimu 

lebih suka melihat kau jadi mayat mengenaskan 

dari pada menunjukkan keberanian memperlihatkan diri! Ha...ha...ha!"

Pangeran Matahari tertawa bergelak. Tiba-

tiba tawanya lenyap. Lalu tangannya dihantam-

kan ke arah stupa di dalam mana tergeletak Dwi-

ta Tifani dalam keadaan pingsan. Beberapa orang 

keluarkan seruan keras. Anak-anak perempuan 

menjerit. Ada yang berteriak memanggil nama 

Dwita dan Boma

Tiba-tiba dua sosok berkelebat di dekat 

stupa. Satu entah dari mana datangnya, laksana 

burung besar menyambar ke arah Pangeran Ma-

tahari. Yang satu lagi menyeruak dari kerumunan 

orang banyak, melompat ke dekat stupa di lantai 

atas.

"Pangeran Matahari! Kau mencari mati!"

"Tunggu! Aku Boma!"

Dua teriakan mengumandang di antara de-

ru angin dan ketersiapan semua orang yang ada 

di tempat itu. Lalu ada sinar putih berkiblat ke 

arah tangan Pangeran Matahari yang memukul.

Satu letupan keras menggetarkan seantero 

candi. Orang banyak kembali berpekikan. Sinar 

kuning, hitam dan merah yang menyambar keluar 

dari tangan kanan Pangeran Matahari ke arah 

stupa terpental buyar ke atas oleh hantaman ca-

haya putih yang menghampar hawa panas.

Orang banyak berpekikan lalu berlarian 

menjauhi tempat itu.

Pangeran Matahari terjajar beberapa lang-

kah, hampir jatuh duduk kalau tidak tertahan 

oleh stupa yang ada di belakangnya. Di hadapan


nya berdiri dua orang. Yang pertama bukan lain 

adalah Boma. Anak ini yang tadi tidak kelihatan 

sosoknya karena kesaktian Batu Penyusup Batin, 

karena ancaman Pangeran Matahari mau tak mau 

segera unjukkan dirinya kembali yaitu dengan 

mengusap batu sakti untuk ke tiga kalinya.

Orang kedua seorang pemuda berambut 

gondrong berpakaian serba putih bertubuh kekar. 

Tampangnya keren dan sebentar-sebentar 

layangkan senyum sambil garuk-garuk kepala.

Boma melirik ke arah si gondrong yang ba-

rusan menolong Dwita dari hantaman pukulan 

maut Gerhana Matahari. Si gondrong juga berpal-

ing ke arahnya, tertawa lebar dan kedipkan mata 

kirinya. Tiupan angin membuat baju putihnya 

tersibak. Pada dadanya kelihatan tatto tiga buah 

angka. 212!

Boma ingat. Pemuda gondrong ini adalah 

orang yang pernah datang dalam mimpinya. Me-

nolong dirinya ketika dikeroyok oleh kawan-

kawan perampok wanita di bajaj. Mimpi! Apakah 

saat itu dia juga tengah bermimpi! Mungkin ini 

yang oleh si nenek sebagai orang yang akan me-

nolong teman-temannya.

"Abang..." sapa Boma. Si gondrong tertawa 

lebar. Dia kembali garuk kepalanya.

Boma membalas dengan menowel hidung.

Dua-duanya lalu sama-sama tersenyum.

"Anak keren berambut cepak! Eyang Guru 

biasa memanggilmu Anak Gendenk. Betul? 

Ha...ha...! Bagus! Kau masih ingat diriku. Walau


kau cuma pernah melihat aku dalam mimpi. 

Ha...ha.. Kita berjodoh untuk bertemu!"

"Abang, bagaimana mungkin Dwita bisa be-

rada dalam stupa? Gila bener!"

Si gondrong menyeringai.

"Tenang saja. Ini urusan kecil. Siapkan 

hawa sakti di tangan kirimu."

Berkata si gondrong. Sebenarnya saat itu 

dia juga bingung bagaimana cara mengeluarkan 

anak perempuan itu dari dalam stupa.

Boma angkat tangan kirinya.

"Bangsat Pendekar 212!" Tiba-tiba Pange-

ran Matahari membentak. "Apa hubunganmu 

dengan anak ini?"

Si gondrong yang bukan lain adalah Pen-

dekar 212 Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto 

Gendeng dari Gunung Gede tersenyum. "Kau 

dengar sendiri. Dia memanggil aku dengan sebu-

tan Abang. Berarti dia adalah saudaraku!"

Pak Sanyoto, Ibu Renata dan anak-anak 

SMU Nusantara III yang mendengar jelas semua 

percakapan itu jadi melengak kaget. Tapi karena 

masing-masing diselimuti ketegangan, tak satu-

pun yang keluarkan suara.

Pangeran Matahari memandang mendelik 

pada Boma.

"Anak bau kencur! Kau boleh punya tangan 

mengandung hawa murni sakti! Kau boleh men-

gandalkan pemuda gondrong berotak sableng itu. 

Tapi apa kalian mampu membebaskan anak pe-

rempuan ini tanpa menghancurkan stupa warisan


para leluhur? Apa kalian mampu membebaskan 

anak perempuan tanpa melangkahi mayatku?"

"Apa salah Dwita? Kau membuat keonaran, 

mencelakai temanku dan mau merusak bangunan 

agung dan suci ini! Kau manusia jahat!"

"Boma, dia bukan manusia! Tapi sebangsa 

dedemit yang gentayangan antara langit dan bu-

mi?!" kata Pendekar 212 lalu tertawa bergelak.

Pangeran Matahari keluarkan suara meng-

gembor marah. Dia melompat ke hadapan Pende-

kar 212.

"Pangeran jelek! Jangan kesusu! Gurumu 

Si Muka Bangkai sudah kena diringkus Eyang 

Sinto Gendeng! Kau yang punya ilmu sedalam 

comberan masih berani jual lagak! Gendeng kali!" 

Pangeran Matahari terkejut mendengar 

ucapan Wiro. Otaknya bekerja. Sambil menyerin-

gai dia kemudian berkata.

"Jangan menipu. Aku Pangeran segala ak-

al, segala cerdik, segala licik tak mungkin bisa di-

tipu oleh pemuda sinting sepertimu!"

"Lu yang sinting!" teriak Boma. "Lepaskan 

Dwita dari dalam stupa!"

Pangeran Matahari tertawa bergelak. Ra-

hangnya menggembung. Didahului bentakan ke-

ras dia berkelebat menyerang Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng. Tapi cahaya 

menggidikkan yang kemudian melesat dari tangan 

kanannya justru menghantam ke arah Boma Tri 

Sumitro. Inilah satu serangan tipuan yang tidak 

terduga baik oleh pendekar 212 maupun oleh


Boma.

"Boma awas!" teriak Wiro. Dia bukan saja 

harus menyelamatkan anak itu tapi juga menye-

lamatkan bangunan candi dari pukulan Telapak 

Matahari yang dilancarkan Pangeran Matahari.

TAMAT

BERHASILKAN PENDEKAR 212 WIRO 

SABLENG MENYELAMATKAN BOMA DAN 

BANGUNAN CANDI BOROBUDUR DARI PUKULAN 

MAUT PANGERAN MATAHARI? BISAKAH DWITA 

DIKELUARKAN DARI DALAM SEKAPAN STUPA 

YANG BERATNYA LEBIH DARI SERIBU 

KILOGRAM ITU? JAWABANNYA HANYA BISA 

PEMBACA IKUT! DALAM SERIAL

"Tenda Biru Candi Mendut"


Share: