..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TIGA IBLIS GUNUNG TANDUR

Tiga Iblis Gunung Tandur

 

Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Tiga Iblis Gunung Tandur 
Oleh T. Hidayat 
128 hal. ; 12 x 18 cm 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Gambar sampul oleh Tony G. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 
seluruh isi buku Ini tanpa ijin tertulis dari penerbit 

SATU


Desa Karang Jati yang biasanya selalu ramai dengan 
kesibukan, kini nampak sunyi. Para pedagang telah menutup 
kedainya sejak siang tadi. Sementara pedagang lain yang 
tinggal pun, sudah berkemas pula hendak pulang. Jalan-jalan 
terlihat lengang dan sunyi. Kalaupun ada yang lewat, hanya 
satu atau dua orang saja. Itu pun terlihat tergesa-gesa, seakan-
akan dibayangi hantu! 
Menjelang senja, penduduk telah menutup pintu dan Jendela 
rapat-rapat, lalu menyuruh anak dan istrinya agar lekas-lekas 
masuk rumah. Padahal malam belum lagi datang! Namun Desa

Karang Jati sudah seperti se-buah pekuburan, sunyi dan 
mencekam. Rasanya seperti desa mati! 
Kesunyian yang mencekam itu tiba-tiba saja dipecah-kan 
oleh derap serombongan kuda. Suaranya seolah-olah bergema 
ke seluruh penjuru desa. Penduduk yang sudah berada di 
dalam rumah, semakin tegang dan ketakutan. Bahkan sampai 
menahan napas, ketika rombongan tersebut lewat di depan 
rumah mereka. Seakan-akan takut suara napasnya terdengar 
rombongan itu. 
Rombongan yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang 
itu, rata-rata berwajah kasar dan bengis. Mereka dipimpin oleh 
tiga orang berjubah hitam, coklat, dan biru. 
Yang berjubah hitam bernama Lodra, dan berusia se-kitar 
empat puluh tahun. Raut wajahnya kokoh, dengan bulu-bulu 
hitam menghiasi pipi dan dagunya. Matanya mencorong tajam, 
menandakan kalau ia mempunyai te-naga dalam cukup 
sempurna. Dunia persilatan menju-lukinya Iblis Tangan Maut. 
Yang berjubah coklat, bernama Badra. Usianya sekitar tiga 
puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot 
yang menonjol keluar. Ia terlihat kokoh bagaikan batu karang. 
Sinar matanya liar, memancarkan kebengi-san. Di kalangan 
rimba persilatan, julukannya si Iblis Cambuk Api. 
Sedangkan yang berjubah biru, bernama Sudra. Wajahnya 
cukup bersih dan tampan. Tampak segaris luka melintang di 
pipi kiri, membuat wajahnya menjadi mena-kutkan. Tubuhnya 
tinggi dan agak kurus. Dia berjuluk Iblis Golok Terbang. 
Dalam tujuh tahun belakangan ini, mereka telah malang-
melintang dalam dunia persilatan. Sepak terjang-nya kejam dan 
ganas, bahkan ridak segan-segan mem-bunuh hanya karena 
soal sepele. Karena tempat tinggal mereka di Gunung Tandur, 
orang menjulukinya Tiga Iblis Gunung Tandur.

Rombongan kuda berhenti didepan sebuah rumah yang 
paling besar dari rumah-rumah lainnya. 
Seorang laki-taki berusia sekitar enam puluh tahun, 
tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka. Di wajah tuanya 
terbayang kecemasan. 
"Aaah..., Tuan-tuan, ada keperluan apakah gerangan datang 
ke sini? Barangkali saya dapat membantu?" Tanyanya dengan 
suara halus. 
"Hm...." Orang yang berjubah hitam itu, bergumam kasar. 
"Apakah kau kepala desa ini?" 
"Be... betul... saya Ki Aji Sena, dan kebetulan, men-dapat 
kepercayaan memimpin desa ini," jawab Ki Aji Sena tersendat. 
"Aku ingin bertanya sedikit, dan jangan sekali-sekali 
berdusta. Jika kau berdusta kami tak segan-segan untuk 
memusnahkan seluruh desa ini! Tahu!" Ancam orang ber-jubah 
hitam yang bemama Lodra. "Dengar baik-baik.... Tunjukkan di 
mana rumah orang yang bemama Paksi Buana?" Lanjut Lodra 
lagi. 
"Paksi Buana...," ulang Ki Aji Sena, sambil berpikir keras. 
"Maaf, Tuan. Kami tidak mengenal nama itu," jawabnya agak 
takut-takut. 
"Hm... sudah kuduga, kau pasti tidak akan menun-
jukkannya!" Geram Lodra gusar. 
"Tapi... kami betul-betul tidak mengenalnya, Tuan!" Jawab Ki 
Aji Sena tegas. Seluruh syaraf-syaraf di tubuh-nya menegang, 
kontan tenaga dalamnya menyebar ke sekujur tubuhnya untuk 
melindungi tubuhnya jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. 
Lodra hanya diam, tidak menjawab. la menoleh ke arah 
rombongan di belakangnya, lalu menganggukkan kepala-nya.

Tanpa menanti perintah dua kali, orang yang berke-pala 
botak itu segera melompat turun dari kudanya. Wajahnya 
menyeringai buas, bagai seekor singa yang kelaparan. Dengan 
satu gerengan keras, orang yang ber-kepala botak itu segera 
menerjang Kepala Desa Karang Jati. Tubuhnya meluncur deras 
dengan cengkeraman yang berbahaya! 
Namun sebelum cengkeramannya mengenai sasaran, tiba-
tiba empat sosok bayangan melesat dari dalam rumah Ki Aji 
Sena, dan langsung melemparkan tombak ke arah orang 
berkepala botak. Sementara Kepala Botak yang tidak 
menyangka kejadian itu, merasa terkejut. Tapi sebagai seorang 
yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi dia tidak 
menjadi panik. Dengan tenang dipapaknya serangan beberapa 
tombak yang mengarah ke lehernya. Tubuhnya kemudian 
melenting ke atas mengikuti ayunan tombak tersebut, dan 
mendarat dengan indah. Tombak itu hanye mengenai tempat 
kosong. 
Sosok empat tubuh yang ternyata adalah pengawal sang 
kepala desa itu, berdiri tegak di kiri-kanan Ki Aji Sena, yang 
juga sudah memegang sebatang golok panjang. 
Melihat keadaan itu, delapan orang dari rombongan yang 
dipimpin Lodra segera melompat dari kudanya, lang-sung 
menyerang para pengawal Ki Aji Sena. Serangan itu pun segera 
disambut dengan tidak kalah garangnya oleh pengawal Ki Aji 
Sena. Sedangkan Ki Aji Sena pun telah menggerakkan golok 
panjangnya, menerjang orang ber-kepala botak itu. 
Pertempuran seru dan sengit pun berlangsung! Mereka saling 
serang dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Masing-
masing berusaha untuk menguasai lawan secepatnya. Namun 
sampai sejauh ini, pertempuran terlihat masih berimbang. 
Ki Aji Sena bertarung bagai macan luka. Golok pan-jangnya 
berkelebatan mencari sasaran dengan suara ber-desir. Namun

yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Orang 
yang berkepala botak itu, adalah seorang tokoh sesat yang 
berjuluk Cakar Maut. 
Cakar Maut berkelebatan dengan gesit di antara sinar golok. 
Sesekali tangannya melontarkan pukulan-pukulan yang cukup 
berbahaya ke tubuh Ki Aji Sena. 
Sepuluh jurus berlalu cepat. Cakar Maut mulai men-desak 
lawannya dengan serangan-serangan yang memati-kan. 
Sementara Ki Aji Sena kini terlihat terdesak. Gera-kan golok 
panjangnya semakin tak terarah lagi. 
Pada satu kesempatan, Ki Aji Sena membabatkan golok 
panjangnya secara mendatar. Melihat peluang yang baik itu, 
Cakar Maut segera berputar ke kanan dibarengi dengan 
tamparan tangan kanannya ke arah pelipis lawan. 
Ki Aji Sena terkejut melihat kegesitan lawannya itu. Buru-
buru dilegoskan kepalanya ke kanan, tetapi terlam-bat. Pukulan 
tersebut tetap menyerempet bahu kirinya. 
Desss! 
Tubuh orang tua itu melintir. Tangan kirinya terasa lumpuh. 
Ia menyeringai menahan rasa nyeri pada bahu-nya. Sepertinya 
sulit untuk digerakkan lagi. 
Di arena yang lain, para pengikut si Tiga Iblis Gunung 
Tandur mulai menguasai keganasan pengawal Ki Aji Sena, yang 
dengan segala kemampuannya berusaha me-matahkan 
serangan lawannya. Namun kepandaian lawan kelihatannya 
rata-rata di atas kepandaian para pengawal sang kepala desa 
ini. Buktinya, settap serangan mereka selalu dapat dipatahkan 
anak buah Tiga Iblis Gunung Tandur. 
Lambat laun para pengawal itu mulai terdesak. Gera-kan-
gerakannya pun mulai kacau dan tak beraturan. Hingga pada

suatu saat, salah seorang pengawal Ki Aji Sena terpelanting 
roboh. Perutnya sobek terkena hanta-man pedang lawan! 
Darah pun segera merembes keluar dari perut yang sobek lebar 
dan dalam itu. Tentu saja dengan kematian pengawal itu, 
keadaan semakin berba-haya! Terlebih lagi bagi keselamatan 
Kepala Desa Karang Jati. 
Sementara pertarungan antara Ki Aji Sena melawan si Cakar 
Maut masih berlangsung sengit. Kali ini Ki Aji Sena betul-betul 
harus kerja keras! Serangannya menggebu-gebu dan susul-
menyusul bagai ombak di lautan. 
Cakar Maut yang melihat lawannya yang sudah terluka itu 
ternyata masih mampu melancarkan serangan-sera-ngan 
berbahaya, diam-diam memuji juga dalam hati. Memang Ki Aji 
Sena bukanlah tokoh kosong. 
Kembali lima jurus berlalu. Tiba-riba Cakar Maut ber-teriak 
keras, seraya mulai mengeluarkan jurus andalan-nya, yakni 
'Mencengkeram Batu Karang'. Jurus ini meru-pakan rangkaian 
kelima dari jurus 'Cakar Maut' yang sangat hebat akibat yang 
ditimbulkannya. 
Terdengar suara mendesing, ketika tangan kiri Cakar Maut 
menyambar leher Ki Aji Sena. Laki-laki tua itu pun tak kalah 
gesitnya. Segera disambut serangan itu dengan tebasan golok 
panjangnya. 
Wusss! Singgg! 
Brettt! Brettt! 
"Akh...!" 
Ki Aji Sena meraung tinggi, ketika tubuhnya terban-ting ke 
depan sehingga menimbulkan suara keras. Rupa-nya saat golok 
panjang Ki Aji Sena membabat tangan si Cakar Maut, tangan 
laki-laki botak itu berputar cepat dan langsung menjambret

lengan Ki Aji Sena yang memegang golok itu. Jambretan 
tangan itu pun dibarengi dengan sambaran cakar kirinya yang 
setajam cakar elang. 
Tubuh orang tua malang itu kini menggeletak tak ber-daya. 
Dari tangan kanannya yang terluka mengalir darah segar. Luka 
yang cukup dalam dan memanjang. 
Dari dalam rumah besar milik kepala desa itu, dua sosok 
wanita menghambur keluar, dan langsung bersim-puh di 
samping tubuh sang kepala desa. Terdengar isak tangis yang 
menyayat hati dari mulut keduanya. 
"Kakang... Kakang Sena... oooh...!" Ratap salah seorang 
wanita yang cukup tua, terus memanggil-manggil nama sang 
kepala desa di antara tangisnya. Sedangkan wanita yang 
seorang lagi hanya menggerung-gerung. 
Beberapa saat kemudian, wanita tua itu menoleh dan 
menatap tajam ke arah si Cakar Maut yang masih berdiri tegak. 
"Manusia iblis! Jahanam kau! Kejam!" Sosok wanita tua yang 
ternyata istri kepala desa itu, memaki-maki Cakar Maut tak 
habis-habisnya. Sedangkan wanita muda yang ternyata putri 
kepala desa hanya mampu berdiam diri sambil terus menangis. 
Sementara, pertarungan yang lain pun sudah mulai berakhir. 
Satu persatu pengawal Ki Aji Sena berjatuhan tewas. Darah 
mengalir membasahi bumi menimbulkan bau anyir yang 
memualkan. 
Lodra melompat dari kudanya, lalu menghampiri wanita yang 
berumur kurang lebih limapuluh tahun itu. 
"Hei! Nenek peot! Lihatlah! Suamimu masih hidup. Kalau kau 
ingin melihatnya hidup terus, jawablah per-tanyaanku!" kata 
Lodra dengan suara dingin. "Nah! Seka-rang tunjukkanlah 
tempat Paksi Buana kepadaku!" lanjut Lodra.


Dengan wajah bersimbah air mata, wanita tua itu me-
meriksa tubuh Ki Aji Sena. Orang tua itu ternyata me-mang 
masih hidup, dan hanya pingsan. Tapi luka-luka-nya memang 
cukup parah. Kini dia mulai terlihat siuman. Sejenak mata Ki Aji 
Sena terbuka seraya memandang wajah istrinya. Bibirnya 
berusaha untuk tersenyum namun tidak mampu. Wajahnya 
nampak seperti orang menangis. Ki Aji Sena ternyata samar-
samar juga mende-ngar pertanyaan Lodra. Dan itu 
membuatnya terkejut. 
"Nyai! Jangan kau jawab pertanyaan iblis itu! Karena 
meskipun kau jawab, iblis itu tetap akan membunuh kita!" 
Tegas Ki Aji Sena dengan napas memburu. 
Wanita tua itu pun jadi ragu untuk menjawab perta-nyaan 
Lodra. Ditatapnya laki-laki berjubah hitam itu dengan wajah 
bingung. 
"Ayo, Nenek tua! Jangan sampai kesabaranku habis!" Lodra 
semakin tak sabar. 
Istri kepala desa itu masih tetap bungkam. Hal ini membuat 
Lodra makin memuncak kemarahannya. Dia lalu melompat 
menyambar tubuh Ki Aji Sena, dan diang-katnya tubuh tak 
berdaya itu ke atas kepala. "Jawab! Atau kubanting tubuh peot 
ini!" 
"Jangaaan! Aku... Aku akan... Mengatakannya!" Teriak 
wanita tua itu ketakutan. Dengan suara yang bercampur 
isaknya, wanita itu akhirnya menunjukkan tempat tinggal Paksi 
Buana. 
***
Padepokan Naga Terbang, terletak di sebelah Utara Desa 
Karang Jati. Pohon-pohon besar tampak berdiri kokoh di 
sekelilingnya. Tidak jauh dari pusat padepokan itu, terdapat 
sebuah anak bukit yang terdiri dari batu-batu cadas. 
Malam mulai jatuh, ketika serombongan orang ber-kuda 
yang tidak lain adalah Tiga Iblis Gunung Tandur memasuki 
daerah itu. Mereka berhenti tepat di pintu gerbang Padepokan 
Naga Terbang Salah seorang dari mereka segera melompat 
turun dari atas kudanya. 
Orang itu ternyata adalah Sudra, si Iblis Golok Ter-bang. 
Setelah menoleh sejenak ke arah kakaknya, Sudra mundur 
beberapa langkah ke belakang. la mulai me-ngempos 
kekuatannya, sehingga tenaga dalamnya segera bergolak dan 
membanjir ke seluruh tubuhnya. Jarak antara Sudra dengan 
pintu gerbang tersebut, kurang lebih lima batang tombak. 
Dengan satu teriakan meng-geledek, segera dilontarkan 
pukulan 'Membentur Seribu Gunung' yang cukup dahsyat ke 
arah pintu gerbang. 
Wusss! 
Brakkk...! 
Pintu yang terbuat dari kayu jati pilihan yang tebal dan kuat 
itu, seketika ambrol menimbulkan suara hingar-bingar. Debu 
dan kepingan kayu beterbangan ke segala penjuru, bagai 
dilemparkan tangan-tangan raksasa. 
Para murid si Tiga Iblis Gunung Tandur tergetar mun-dur, 
sambil menahan gelaran dalam dada mereka akibat pengaruh 
pukulan itu. Mereka berdecak kagum sambil bergumam tak 
jelas melihat hasil yang ditimbulkannya. Setelah pintu 
terdobrak, Sudra kembali naik ke punggung kudanya.

Sementara itu para murid Padepokan Naga Terbang, sangat 
terkejut mendengar suara ledakan itu. Salah seo-rang murid 
segera melaporkan kejadian itu kepada guru-nya dengan wajah 
tegang. Sebagian murid berjaga-jaga dengan segala 
kemungkinan yang akan terjadi. 
"Apa?! Bangsat! Orang gila dari mana yang berani mati itu?" 
Seorang murid utama yang bemama Soga, bangkit dengan 
wajah merah padam. 
"Sabarlah, Soga.... Tenangkan hatimu. Jangan kau turuti 
hawa nafsumu!" Tegur sang guru dengan suara tenang. 
"Oh... maaf, Guru! Tapi... rasanya mereka sudah keter-laluan 
sekali! Datang-datang sudah membuat kerusakan!" Soga masih 
mencoba mernbantah. Meskipun suaranya sudah dapat ditekan, 
namun masih terkandung rasa penasaran di dalamnya. 
"Hm.... Mari kita lihat! Siapa sebenarnya mereka itu?" Ajak 
sang guru dengan suara dalam. 
Soga segera berkelebat cepat, mendahului guru dan murid-
murid utama lainnya. Gerakannya cepat bukan main, seolah-
olah mampu menghilang saja. Soga memang murid berbakat. 
Hampir seluruh kepandaian gurunya telah diwarisi. Maka 
dapatlah dibayangkan, betapa tinggi kepandaian yang 
dimilikinya. 
Ketika ia telah sampai di halaman depan, para murid 
Padepokan Naga Terbang lainnya telah berdiri berjajar 
menghadang gerombolan pengacau tersebut. 
Sementara itu, kecuali si Tiga Iblis Gunung Tandur, seluruh 
anggota rombongan telah berloncatan turun dari kudanya. 
Seorang berkepala botak yang tak lain adalah si Cakar Maut 
melangkahkan kakinya ke hadapan Soga.

"Hei! Mana orang yang bernama Paksi Buana?" Bentak Cakar 
Maut, bertanya. Nada suaranya meremehkan. "Suruh dia 
keluar!" Sambungnya lagi. 
Merah padam seluruh wajah Soga melihat kesombo-ngan 
orang itu. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang 
menggelegak. Gerahamnya bergemeletuk. Namun dia masih 
berusaha bersabar, sambil menghela napas berulang-ulang. 
"Ada keperluan apa kau mencari guruku?" Tanya Soga 
dingin, tanpa mempedulikan pertanyaan Cakar Maut. 
Kini si Cakar Mautlah, yang berang. Sepertinya dia 
diremehkan. Pertanyaannya tak dipedulikan, tapi sebalik-nya 
malah orang di hadapannya yang bertanya. 
"Bangsat! Babi buntung! Apa kau sudah bosan hidup, hah?" 
Dengus Cakar Maut Suaranya menggelegar kerena kemarahan 
yang meluap-luap. 
Sebaliknya Soga tidak marah mendengar makian itu. Dia 
malah tersenyum tipis, melihat kegusaran lawannya. Matanya 
tetap tajam memancarkan ketegarannya. 
"Bukankah wajar kalau tuan rumah bertanya kepada 
tamunya?" Tata Soga dengan senyum yang makin me-
ngembang. 
"Kurang ajarrr! Mampuslah kau! Ciaaat!" Sambil ber-teriak 
mengguntur, Cakar Maut menerjang lawannya. la betul-betul 
sudah tidak dapat menahan amarahnya. 
Melihat lawannya sudah menyerang, Soga menggeser 
kakinya ke belakang. Dengan tidak kalah garangnya, di-
balasnya serangan itu. Maka pertempuran yang seru dan 
mendebarkan tidak dapat dihindari lagi. Masing-masing lawan 
berusaha saling menjatuhkan secepat mungkin. Namun 
kelihatannya pertempuran berjalan alot dan seim-bang.

Sementara itu, para murid kedua belah pihak pun sudah pula 
ikut bertempur. Mereka saling terjang tanpa memilih lawan. 
Golok-golok saling berkelebatan mencari mangsa. Suara-suara 
senjata beradu membuat suasana semakin bertambah bising, 
apalagi ditambah dengan pekik dan teriakan pertempuran. 
Demikian pula dengan pertarungan dua murid utama dari 
masing-masing pihak yang tak kalah serunya. 
"Berhenti!!" 
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras disertai penge-
rahan tenaga dalam. Suara itu menggema ke segala penjuru. 
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke arena pertempuran. 
Belum lagi gema suara tersebut lenyap, sesosok tubuh 
jangkung telah berdiri tegak di tengah-tengah arena 
pertempuran. 
Pertempuran berhenti seketika, semuanya serentak menoleh 
ke arah bayangan itu. Semua yang ada di situ seperti terkesiap, 
diam seribu bahasa. Baru setelah orang berjubah hitam yang 
bernama Lodra bertanya kepada orang yang berdiri di tengah-
tengah arena, kebisuan itu terpecahkan. Dengan wajah seperti 
orang tolol mereka berpandangan satu sama lain! 
"Hm.... Engkaukah yang bemama Paksi Buana?" Tanya Lodra 
dengan suara dingin. 
"Benar! Akulah Paksi Buana!" Jawab orang itu. Suara-nya 
tegas penuh wibawa. Memang, dialah yang bernama Paksi 
Buana. Walaupun usianya sudah cukup tua, namun masih jelas 
pancaran ketegasannya. Tubuhnya tertutup jubah putih, 
dengan sulaman benang emas ber-bentuk naga pada dadanya. 
Matanya menatap tajam ke arah Lodra Dipandanginya wajah 
orang itu dengan dahi berkerut. Kemudian pandangannya 
beralih pada Badra dan Sudra.

"Kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk 
Tiga Iblis Gunung Tandur itu?" Tanya Paksi Buana memastikan. 
"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal kami." Ujar Lodra 
angkuh. 
"Siapa yang tidak mengenal kalian? Nama dan kejaha-tan 
kalian sudah terkenal di mana-mana. Lalu, apa mak-sud kalian 
datang dengan membuat keonaran di sini?" Tanya Paksi Buana 
hati-hati. 
"Kedatangan kami ke sini, untuk meminta tanggung jawab 
atas perbuatanmu pada sepuluh tahun yang lalu!" 
"Hm...." Paksi Buana bergumam pelan, lalu berpikir sejenak. 
"Telah banyak yang kulakukan pada waktu itu. Tapi, rasanya 
aku tidak pernah jumpa dengan kalian?" 
"Memang! Kau memang tidak pernah berurusan secara 
langsung dengan kami. Sebab apabila kau berurusan dengan 
kami, mungkin kau sekarang sudah tidak melihat matahari 
lagi!" Jawab Lodra pongah. 
Mendengar hal itu, Soga melangkah kedepan dengan wajah 
terbakar. Dia sudah tidak tahan lagi melihat ke-sombongan 
orang itu. Panas hatinya mendengar ucapan Lodra. Namun 
langkahnya segera terhenti, ketika tangan gurunya itu 
menyentuh lengannya dan mengisyaratkan untuk tetap tenang. 
Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu kembali berdiri 
di samping gurunya, sambil menghela napas berat. 
"Lalu, apa maksud kalian?" Lanjut Paksi Buana dengan suara 
datar, seolah-olah tidak ingin terpengaruh oleh ejekan lawan 
bicaranya itu. Padahal, sesungguhnya hatinya telah terbakar. 
Tapi dia masih bisa menenangkan dirinya, dan bersikap wajar. 
"Baiklah," ujar Lodra datar. "Dengar, baik-baik lngat-kah kau 
akan sebuah tempat yang bernama Hutan Jatra? Dan ingatkah

kau kepada orang yang bernama Cakra Ganda, yang telah kau 
bunuh itu?" 
Paksi Buana termenung sejenak. Dia segera teringat saat-
saat terakhir pengembaraannya. Waktu itu ia sudah berniat 
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Suatu saat ia melewati 
Hutan Jatra, dan melihat sebuah pertem-puran. Rupanya, 
pertempuran itu menarik perhatiannya. Apalagi di tempat itu 
terdapat sebuah kereta kuda yang mengangkut barang. Paksi 
Buana segera mengambil kesimpulan bahwa pasti itu adalah 
perampokan. Dia pun segera terjun ke arena pertarungan, dan 
membantu sau-dagar yang dirampok itu. Akhimya dia berhasil 
mem-bunuh perampok itu, yang belakangan diketahui bahwa 
orang itu sering melakukan kejahatannya di Hutan Jatra. 
Namanya Cakra Ganda. 
"Hm..., aku ingat sekarang! Lalu, apa hubungannya dengan 
kalian?" Tanya Paksi Buana. 
"Dia adalah murid kami! Dan...." Belum lagi Lodra me-
nyelesaikan ucapannya, Sudra memotong pembicaraan itu 
sambil melompat turun dari kudanya. "Dan kau harus 
membayar hutang nyawa itu berikut bunganya! Lihat 
serangan!" Belum lagi hilang suara Sudra, tubuhnya sudah 
melesat melancarkan serangan yang ganas. Kedua tangannya 
berputar bergantian menimbulkan angin yang menderu-deru. 
*** 
DUA


Paksi Buana terkejut melihat serangan yang tidak disangka-
sangka itu. Untunglah pada saat yang gawat Itu, sebuah

bayangan melesat dari sebelah kirinya me-mapak serangan 
Sudra yang cepat dan ganas itu. Ternyata dia adalah Soga, si 
murid utama Padepokan Naga Terbang. 
Plakkk! 
Terdengar letupan kecil di udara, menandai perte-muan dua 
tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan keduanya. 
Kedua orang itu terdorong mundur beberapa langkah, sambil 
memegangi tangan yang terasa nyeri. Ternyata dalam adu 
tenaga tadi, kekuatan kedua-nya berimbang. 
Sudra dan Soga kembali tegak berhadapan, seolah-olah 
mengukur kepandaian masing-masing. Dibarengi satu teriakan 
dahsyat, Soga menerjang lawannya. Tangan kanannya yang 
terkepal, meluncur deras ke ulu hati Sudra, sedangkan tangan 
kirinya dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah tenggorokan 
lawan. Kali ini Soga me-ngerahkan tenaga sepenuhnya, karena 
tidak ingin sera-ngannya gagal. 
Namun, lawan yang dihadapinya bukanlah tokoh sem-
barangan. Sudra adalah salah seorang gembong kaum sesat. 
Kepandaiannya memang tidak dapat dipandang ringan. Kedua 
serangan itu dengan mudah dielakkan Sudra. Dia hanya 
menggeser kaki kanannya dan langsung membalas serangan itu 
tidak kalah ganasnya. Kini kedua-nya saling serang dengan 
jurus-jurus berbahaya dan mematikan! 
Sementara itu, melihat salah seorang pemimpinnya telah 
terlibat dalam satu pertempuran, Cakar Maut segera 
memberikan isyarat kepada para bawahannya. Dan mereka pun 
segera menerjang ke arah murid-murid Paksi Buana, yang 
masih menanti perintah dari gurunya itu. 
Karena pertarungan tak mungkin dapat dihindari lagi, Paksi 
Buana pun segera menggerakkan tangannya ke depan. Tanpa 
menunggu dua kali, para murid Padepokan Naga Terbang

segera berlari menyongsong kedatangan musuh. Kembali 
pertempuran terjadi. Kali Ini dalam jum-lah yang banyak Suara 
pekik dan jerit pertempuran mem-bahana membelah angkasa, 
ditimpali dengan denting senjata beradu. Pedang-pedang dan 
golok-golok, berkele-batan mencari sasaran. Bunga-bunga-api 
akibat senjata beradu, memercik ke mana-mana. 
Sementara malam semakin larut, namun sang dewi malam 
enggan memancarkan keindahan sinarnya. Angin dingin pun 
berhembus keras, seakan-akan ingin melerai pertarungan 
berdarah itu. Bintang pun nampaknya Ikut larut dalam 
kegundahan tersebut. 
Badra yang melihat jalannya pertarungan, menjadi ga-tal 
tangannya. Dia segera menoleh ke arah Paksi Buana, yang juga 
sedang termenung menyaksikan pertempuran itu. Laki-laki 
berjubah coklat dan berjuluk Iblis Cambuk Api itu segera 
melesat ke arah Paksi Buana. Dengan sebuah teriakan yang 
mengguntur, segera diterjangnya Paksi Buana dengan serangan 
beruntun. Tentu saja Paksi Buana tidak mungkin membiarkan 
tubuhnya jadi sasaran pukulan. Dengan gerakan yang sangat 
indah, digeser kedua kakinya guna menghindarkan serangan 
itu. Kini dia pun tak ingin sungkan-sungkan lagi. 
Dipersiapkannya jurus-jurus terampuhnya untuk menghadapi 
Badra. Keduanya pun kini segera terlibat dalam pertarungan 
sengit. 
Badra adalah orang kedua dari Tiga Iblis Gunung Tan-dur. 
Namanya pun sudah terkenal dalam dunia persila-tan. Maka 
sulit untuk mengukur tingkat kepandaiannya. 
Begitupun sebaliknya. Paksi Buana adalah seorang pendekar 
digdaya yang tidak kalah terkenalnya dibanding dengan Tiga 
Iblis Gunung Tandur. Malah dalam dunia persilatan, julukannya 
yang bernama Naga Sakti, sangat-lah disegani kawan maupun 
lawan. Dan nama besar itu diukirnya sepuluh tahun yang lalu.

Maka dapatlah dibayangkan, betapa hebatnya pertem-puran 
kedua tokoh itu. Keduanya sama-sama tangguh dan gesit. 
Dalam waktu singkat telah sepuluh jurus di-lalui. Meskipun 
demikian, sampai sejauh ini belum dapat dipastikan, siapa yang 
akan memenangkan pertarungan itu. 
Di arena yang lain, Soga tampak mulai terdesak. Serangan-
serangan Sudra, semakin lama semakin ganas. Hingga 
menutup ruang gerak murid utama Padepokan Naga Terbang 
ini. Tidak disangkanya kalau kepandaian lawan demikian hebat. 
Gerakan-gerakannya penuh gerak tipu yang sangat 
mengejutkan. 
Menyadari keadaannya yang berbahaya Itu, Soga segera 
mempersiapkan jurus andalannya. Dengan satu bentakan 
keras, Soga segera merubah gerakannya. Kedua telapak 
tangannya menegang kaku berbentuk cakar. Gerakannya cepat 
dan saling mendahului hingga menim-bulkan angin tajam. 
"He he he... Ayo! Keluarkan seluruh kepandaianmu, kunyuk! 
Sebelum kubeset kulit tubuhmu!" Sudra tertawa terkekeh, 
ketika melihat Soga telah mengeluarkan jurus andalan 
perguruannya. Ejekannya memang membuat panas telinga 
lawannya. 
Dengan tidak kalah garangnya, Sudra pun segera me-mapaki 
serangan Soga. Tanpa ragu-ragu lagi ia menge-luarkan jurus 
pamungkasnya. Terdengar suara mengaung kerika Sudra 
mendorongkan kedua tangannya menyam-but serangan telapak 
tangan Soga. 
Wusss! 
Ham! 
"Akh...!"

Tubuh Soga terlempar deras dibarengi terlakan kesa-kitan 
dari mulutnya. Dia terjerembab sehingga menimbul-kan suara 
keras. Dari sela-sela bibimya yang pucat, tampak mengalir 
darah segar. Namun dia berusaha untuk bangkit. Kedua 
tangannya mendekap dada yang terasa sesak. 
Sementara lawannya juga terpental. Tubuhnya men-darat 
dengan Indah, setelah melakukan beberapa putaran di udara. 
Diam-diam, Sudra pun harus mengakui kehe-batan lawannya 
yang lebih muda darinya itu. Biasanya jika lawan terkena jurus 
pamungkasnya, dapat dipastikan tidak akan berumur panjang. 
"Huh! Jangan dulu mengangkat dada, iblis! Aku masih belum 
kalah!" Setelah berkata demikian, Soga segera mencabut 
pedangnya. Dibarengi dengan teriakan yang keras segera 
diputar pedangnya. 
Tubuh Soga yang terbungkus oleh sinar pedang itu, meluruk 
deras ke arah Sudra. Pedang yang digerakkan oleh tenaga 
dalam sepenuhnya itu, menimbulkan suara mendesing tajam. 
Bagaikan suara ribuan lebah yang sedang marah. 
Menyadari dahsyatnya serangan Itu, Sudra mencabut golok 
terbangnya yang tersusun rapi di pinggang dan dadanya itu. 
Dengan kedua golok terbang Itu, disambut-nya serangan Soga. 
Dari gulungan sinar pedang Soga, kadang-kadang mencuat 
ujung pedang yang bergetar menjadi delapan buah banyaknya. 
Itulah sebabnya, mengapa jurus ini dinamakan 'Delapan Jalan 
Utama'. Sementara itu kedua golok milik Sudra pun 
berkelebatan dan meliuk-liuk seperti terbang Mungkin itulah 
sebabnya, mengapa dia berjuluk Iblis Golok Terbang. 
Pada pertarungan lain tampak di kedua belah pihak, korban 
sudah mulai berjatuhan. Darah pun mengalir membasahi bumi. 
Nampaknya murid-murid Padepokan Naga Terbang, mulai 
terdesak mundur dan mulai banyak korban. Lawan mereka

ternyata rata-rata memiliki kepan-daian silat yang cukup tinggi. 
Sedangkan murid-murid Padepokan Naga Terbang masih 
bawahnya. 
Belum lagi, sepak terjang si Cakar Maut. Laki-laki botak ini 
benar-benar seperti iblis yang haus darah. Setiap musuh yang 
berada di dekatnya, pasti tewas dengan leher hampir putus 
ataupun perut sobek. Telapak tangan yang membentuk cakar 
itu, bagaikan tangan malaikat maut. 
Di tempat lain, Paksi Buana mulai merasakan teka-nan-
tekanan berat dari lawannya. Badra yang berjuluk Iblis Cambuk 
Api, mulai mendesak lawannya. Jurus 'Tangan Seribu' yang 
digunakannya, benar-benar mem-buat Paksi Buana mati 
langkah! Sampai pada jurus yang ketiga puluh, Paksi Buana 
sudah tidak dapat lagi mem-pertahankan posisinya lagi. Sebuah 
tamparan telak menghantam dadanya. 
Desss! 
"Huaaakkk!" 
Paksi Buana terhuyung sejauh dua tombak, lalu me-
muntahkan darah segar. Wajahnya pucat, dan baju pada 
bagian dadanya terlihat hancur. Sedangkan pada kulit dadanya, 
terdapat bekas telapak tangan yang membiru. Jelas dia telah 
terluka dalam. Buru-buru disalurkan hawa murni untuk 
menghilangkan rasa sakitnya itu. 
"Ha ha ha.... Sebentar lagi Raja Maut akan segera men-
jemputmu! Bersiaplah!" Tawa Badra bergema memenuhi arena 
pertarungan tersebut. 
Paksi Buana tidak menanggapi ucapan lawannya. la masih 
berusaha menahan rasa nyeri dalam dadanya. Di-hirupnya 
udara banyak-banyak, lalu dihimpunnya selu-ruh kekuatan 
tenaga dalamnya.

Dengan teriakan mengguntur, dicabutnya sepasang pedang 
yang bertengger di balik punggungnya. Sepasang pedang yang 
telah membuat namanya terkenal dalam dunia persilatan. Paksi 
Buana kembali menerjang Badra, yang masih tegak dengan 
penuh kesombongan. Kedua batang pedangnya membabat de-
ngan gerakan menggun-ting. Suaranya bergemuruh membelah 
udara malam yang semakin dingin. 
Kembali sepuluh jurus terlewat dengan cepat. Sampai saat 
ini keduanya nampak masih seimbang. Paksi Buana menguras 
seluruh kemampuannya untuk menguasai lawannya. Pada saat 
yang memungkinkan, Paksi Buana membabatkan pedangnya 
secara mendatar dengan jurus 'Sabetan Ekor Naga'. Gerakan ini 
ditunjang dengan tenaga dalam yang kuat, hingga me-
nimbulkan desingan angin yang tajam. 
Namun Badra yang sudah menemukan titik kelemahan ilmu 
pedang lawan, hanya tertawa dingin. Dengan kece-patan bagal 
kilat diarahkan cambuknya ke wajah lawan. Cambuk itu 
menggeletar sehingga menimbulkan perci-kan-percikan bunga 
api yang mengaburkan pandangan Paksi Buana. 
Badra melihat lawannya telah terpengaruh percikan-percikan 
api, tidak melewatkan kesempatan itu. Selagi lawannya silau, 
segera dilecutkan cambuknya ke arah pergelangan tangan 
lawannya. Dan.... 
"Aaakh!" 
Terdengar suara kesakitan dari mulut Paksi Buana. Betapa 
terkejutnya Paksi Buana setelah menyadari pergelangan tangan 
kanannya buntung. Segera dipegangi pergelangan tangan 
kanan itu. Darah mulai merembes di antara jari-jari tangan kiri 
yang memegangi tangan yang buntung itu. Dan di saat itulah 
Cambuk Api Badra kembali beraksi ke leher Paksi Buana. Laki

laki ketua Padepokan Naga Terbang itu tak sempat menghindar 
lagi. 
"Aaakh...!" 
Paksi Buana kembali menjerit menyayat. Tubuhnya 
terjungkal, lalu tewas seketika dengan leher yang hampir putus. 
*** 
Bersamaan dengan tewasnya Paksi Buana, Soga murid 
utama dari Padepokan Naga Terbang itu, mulai terdesak oleh 
serangan-serangan lawannya yang makin lama semakin ganas. 
Sampai pada suatu kesempatan Sudra melepaskan empat buah 
golok terbangnya. Dua dari sera-ngan golok itu berhasil 
disampok oleh sabetan pedang Soga. Tapi sayang dua golok 
lainnya sulit untuk dihinda-rinya. Dan.... 
"Aaakh...!" 
Suara jeritan menyayat terdengar dari mulut Soga. 
Tubuhnya terjungkal ketika golok itu menancap di ulu hati dan 
lehernya. Soga meregang nyawa sebentar lalu diam tak 
bergerak lagi. Tewas! 
Di tempat lain, pertarungan antara para pengikut Tiga Iblis 
Gunung Tandur menghadapi murid-murid Padepo-kan Naga 
Terbang pun telah mendekati penyelesaian. Dan berbareng 
dengan tewasnya Soga, tewas pulalah murid terakhir dari 
Padepokan Naga Terbang. 
Dari arah Utara, tiba-tiba berlari sosok tubuh ramping ke 
arah pertempuran itu. Semua orang yang ada di situ, sama-
sekali tak menyadarinya. Sosok tubuh yang ter-nyata wanita itu 
menghambur dan menubruk jasad Paksi Buana yang telah 
kaku. Dari bibirnya yang terisak, keluar gumaman lirih.

"Kakang... oh, Kakang.... Apa yang terjadi?" Desah wanita 
itu di antara isak tangisnya yang memilukan hati. 
Sudra begitu terkejut karena ada sosok wanita sudah berada 
di dekatnya. Mata wanita yang indah itu menatap tajam 
memancarkan kemarahan ke arah Sudra. Orang termuda dari 
Tiga Iblis Gunung Tandur itu, tanpa sadar melangkah mundur. 
Hatinya tergetar juga melihat sinar mata yang mengerikan itu. 
"Gila! Kepandaian wanita ini rasanya tidak berada di bawah 
kepandaian murid utama si Naga Sakti!" Gumam Sudra lirih. 
Wanita yang ternyata bernama Rara Ampel, terus me-natap 
tajam ke arah Sudra. Dia adalah istri Paksi Buana, yang 
semenjak pagi telah pergi ke Desa Lamping untuk mengobati 
orang yang sedang sakit keras. Desa itu ter-letak tidak jauh 
dari Desa Karang Jati. 
Kepala Desa Lamping telah meminta pertolongannya, karena 
anaknya sakit keras. Selain pandai ilmu silat, Rara Ampel pun 
pandai dalam ilmu pengobatan. Jarak antara Desa Karang Jati 
ke Desa Lamping, memakan waktu setengah hari perjalanan. la 
berangkat ke desa itu bersama putranya dan orang 
kepercayaannya. Oleh karena itulah pada saat kejadian dia 
tidak ada di rumah. 
Rara Ampel pelahan-Iahan bangkit berdiri. Bahkan kini telah 
mengeluarkan senjatanya berupa selendang ber-warna merah. 
"Mampuslah kau, iblis!" teriak Rara Ampel. Tubuhnya 
melesat menerjang Sudra dengan kemarahan yang me-luap-
luap. 
Dalam dunia persilatan nama Rara Ampel bukanlah nama 
kosong. Dia berjuluk Dewi Selendang Merah. 
Tidak heran jika serangannya pun tak dapat dianggap main-
main.

Kini selendang merahnya mehuk-liuk bagaikan seekor ular 
yang menari-nari. Bahkan kadang-kadang berubah menjadi 
beberapa buah. Setiap ujungnya selalu mengarah ke jalan 
darah yang berbahaya. Dan kini satu sabetan selendangnya 
hampir menyentuh tubuh Sudra. Keliha-tannya, laki-laki itu tak 
mampu berkelit. 
Sebelum ujung selendang merah itu menyentuh tubuh 
Sudra, sebuah bayangan berkelebat menyambut serangan 
tersebut Terdengarlah letupan-letupan yang sangat nya-ring. 
Plak! Plak! 
"Aiiih!" 
Tubuh Rara Ampel terdorong, hampir jatuh. Tulang lengan 
kanannya terasa nyeri seperti remuk akibat tang-kisan lawan 
yang sangat kuat. 
Bayangan hitam yang ternyata adalah Lodra itu berdiri tegak 
di depan Rara Ampel. Jarak keduanya kurang lebih dua tombak. 
"He he he..., Manis! Ayo kita bermain-main sebentar, 
sebelum bersenang-senang!" Kata Lodra sambil tertawa yang 
menimbulkan gema. Seolah-olah ingir memamerkan kekuatan 
tenaga dalamnya. Beberaps orang yang berada di dekatnya, 
terjatuh sambil menekan dadanya yang terasa berguncang 
karena pengarur suara tawa itu. 
Sementara Rara Ampel merasakan tubuhnya gemetar hebat. 
Cepat cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk menahan suara 
tawa itu. 
"Tidak kusangka! Tenaga dalam iblis ini sangat tinggi. Pantas 
saja Kakang Paksi Buana sampai tewas di tangan mereka!" 
Gumam Rara Ampel pelahan. Kecemasan mulai membayang di 
wajahnya yang cantik itu.

Tanpa disadari, sepasang mata Lodra secara liar mela-hap 
wajah dan tubuhnya dengan seringai buas. Kecan-tikan Rara 
Ampel telah membangkitkan nafsu yang meng-gelegak dalam 
diri Lodra. 
Menyadari adanya tatapan liar itu, merah padamlah seluruh 
wajah Rara Ampel. Bahkan kini tubuhnya ber-gidik, melihat 
mata yang buas Itu. Dia segera bersiap-siap menghadapi 
segala kemungkinan yang akan terjadi. 
Rara Ampel menggerakkan selendang merahnya se-hingga 
seperti bergelombang bagaikan seekor naga yang bermain di 
angkasa. Tiap hentakan selendangnya meng-hasilkan ledakan-
ledakan yang menusuk telinga. 
Ctarrr! Ctarrr! 
Lodra yang menghadapi serangan itu, hanya terse-nyum 
dingin. Segera dikeluarkan ilmu andalannya yaitu jurus 
"Sepasang Tangan Pengacau Lautan' yang meru-pakan 
rangkaian kedua dari jurus 'Tangan Maut'. 
Udara dingin berhembus keras, kerika Lodra meng-gerakkan 
tangannya. Mereka yang tidak memlliki tenaga dalam yang kuat 
tidak akan mampu bertahan terhadap udara dingin yang 
terpancar dari tubuh Lodra. 
Dan, tanpa diduga sama sekali, selendang Rara Ampel 
terpental balik terdorong hembusan angin dingin terse-but. 
Rara Ampel begitu terkejut. Dan belum sempat hilang rasa 
terkejutnya, Lodra sudah menerjang dengan totokan-totokan 
yang mengarah ke jalan darah di tubuh Rara Ampel. 
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Rara Ampel 
menggeser tubuhnya ke kiri, sambil melepaskan tendangan 
lewat jurus 'Sang Dewi Menggeliat'. Tidak berhenti sampai di

situ, Rara Ampel pun menyabetkan selendangnya ke pelipis 
lawan. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya! 
Lodra yang berjuluk Iblis Tangan Maut ini memang bu-kan 
tokoh sembarangan. Serangan itu tidak membuatnya panik. 
Dengan satu egosan yang indah, ditekuk kaki kanannya 
membuat kuda-kuda yang rendah. Sementara tangan kirinya 
memapak tendangan itu, sedangkan tangan kanannya menepis 
selendang yang mengarah peli-pisnya itu. Rara Ampel segera 
menarik kembali serangan-nya. Tapi, belum lagi sempat 
memperbaiki posisi, baya-ngan Lodra telah meluncur ke 
arahnya. 
Tuk! Tuk! 
Kejadian itu berlangsung hanya dalam sekejap mata. Kini 
tubuh Rara Ampel telah tertotok lumpuh dalam pelu-kan Lodra. 
Si Iblis Tangan Maut atau Lodra, tertawa terbahak-bahak. 
Dipondongnya tubuh wanita itu ke dalam Padepokan Naga 
Terbang. Sesekali tangannya mengelus ping-gul Rara Ampel. 
"Setaaan! Iblis cabul! Mau kau bawa ke mana aku? 
Lepaskan! Lepaskan! Bunuh saja aku, iblis!" Rara Ampel 
berteriak-teriak. Dia sadar sesuatu yang lebih mengerikan akan 
menimpa dirinya. 
Sementara Lodra yang sudah berada di dalam kamar di salah 
satu rumah Padepokan Naga Terbang, meletakkan tubuh molek 
itu di atas pembaringan. Pakaian yang menutupi tubuh Rara 
Ampel direnggutnya secara paksa. Kini tampaklah kulit 
tubuhnya yang putih dan halus itu. Rara Ampel benar-benar 
tanpa benang sehelai pun. Lodra dengan leluasa melampiaskan 
nafsu iblisnya, di antara jerit tangis wanita malang itu. 
Puas melepas nafsu binatangnya, Lodra melangkah keluar 
dengan senyum yang hampir mirip seringai seri-gala. Badra dan

Sudra pun tak mau ketinggalan. Secara bergantian tubuh molek 
itu dinikmati bersama. Setelah puas mempermainkan wanita 
malang itu, mereka pun membunuhnya secara keji! Tubuh 
telanjang itu mengge-letak dengan kepala pecah! 
Setelah menguras seluruh harta kekayaan yang ada di dalam 
padepokan itu, mereka lalu membakar semua bangunan yang 
ada. 
"Periksa seluruh sudut bangunan ini! Kita harus me-nemukan 
anak Paksi Buana. Cari sampai dapat!" Perintah Lodra pada 
seluruh anak muridnya dengan suara garang. 
Sementara di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dua 
pasang mata yang menyaksikan kejadian itu tak mampu 
berbuat apa-apa. Mereka tersentak kaget setelah mendengar 
perintah Lodra! Bergegas mereka menjauhi tempat itu, karena 
memang ditujukan untuk mereka. 
Para murid Tiga Iblis Gunung Tandur menyebar ke seluruh 
wilayah luar padepokan. Tapi sudah tidak mene-mukan apa-apa 
lagi! Karena kedua orang yang dimak-sudkan sudah pergi 
meninggalkan tempat berdarah itu. 
Sementara malam kian larut. Awan hitam membawa titik-titik 
air, membuat cuaca malam semakin bertambah pekat. Samar-
samar mulai terlihat titik-titik air yang mulai berjatuhan 
menyirami bumi. Seakan-akan ikut ber-duka cita atas peristiwa 
berdarah Itu. Sedangkan di tem-pat lain, dua sosok tubuh 
tergesa-gesa berlari-lari men-jauhi tempat itu. Siapakah 
mereka? 
***
TIGA

Hari masih pagi. Di ufuk Timur mulai tampak sinar matahari 
yang kemerah-merahan. Alam pun mulai terjaga dari tidurnya. 
Burung-burung berkicau indah. Di kejau-han terlihat sebuah 
bayangan hitam yang melesat cepat! Bayangan Itu berlari 
semakin dekat, diringi kepulan debu. Rupanya bayangan itu 
adalah seekor kuda, yang ditung-gangi dua orang lelaki. 
Lelaki yang mengendalikan kuda, berumur lima puluh tahun. 
Wajahnya nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. 
Sepertinya banyak mengalami tekanan berat dalam hidupnya. 
Sedangkan orang yang memboncengnya, berusia lebih kurang 
delapan tahun. Meski terlihat kotor dan penuh debu, namun 
jelas bahwa anak ini memiliki paras yang tampan. Tarikan 
bibirnya yang begitu kuat, Suatu tanda bahwa anak ini 
mempunyai kemauan keras. Hanya saja, pada saat itu 
wajahnya nampak murung. Raut kesedihan tergambar di 
wajahnya. 
Mereka terus memacu kudanya memasuki sebuah hutan 
yang sangat lebat. Setelah menoleh sekilas ke bela-kang, orang 
tua itu segera menggeprakkan kakinya ke perut kuda hingga 
binatang itu mempercepat larinya. Mereka memasuki hutan 
semakin ke dalam. 
Setelah cukup lama menerobos rimbunan dedaunan, maka 
tibalah mereka pada sebuah tempat yang agak lapang. Di 
bawah sebuah pohon besar, mereka beristi-rahat melepaskan 
lelah. 
"Paman. Sudah hampir sebulan kita menghindari orang-
orang jahat itu. Lalu, kemanakah tujuan kita sebe-narnya, 
Paman?" Tiba-tiba anak itu bertanya kepada si Orang Tua.

"Entahlah, Tuan Muda. Paman sendiri tidak tahu. Tapi bagi 
Paman tidak menjadi masalah. Ke mana pun kita akan pergi 
dan di mana pun kita akan tinggal, yang pen-ting Tuan Muda 
selamat!" Ujar orang tua itu dengan suara parau. 
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara melengking tinggi, 
seperti suara tangisan. Orang tua itu tersentak kaget, dan mulai 
meneliti keadaan di sekitarnya. Dahinya berkerut bagaikan 
sedang mengingat-ingat sesuatu. Po-hon-pohon besar yang 
menjulang tinggi, bagaikan barisan raksasa yang mengepung 
mereka. 
Kembali lengkingan itu terdengar. Kali ini dibarengi suara 
rintihan yang panjang dan menyayat. Angin dingin bertiup 
keras menerpa tubuh mereka yang menggigil keras. Anak kecil 
itu semakin erat memeluk tubuh si Orang Tua. Sementara 
wajah si Orang Tua pelahan-lahan memucat, Keringat dingin 
mulai membasahi tubuhnya. Dadanya berdebar keras, dan otot-
otot tubuhnya mene-gang! 
"Hut..., hut... tan Ran... du..., Apusss!?" Ucap orang tua itu 
terputus-putus. Bibirnya bergetar dan otot-otot tubuhnya 
semakin menegang. Tangannya yang gemetar berusaha 
menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang 
kirinya. 
"Tempat apakah ini, Paman? Rasanya menyeramkan sekali?" 
Tanya anak kecil itu. Meski wajahnya pucat, namun suaranya 
tenang. Memang anak itu belum tahu apa-apa. 
Lain halnya dengan orang tua itu. Dia segera teringat cerita-
cerita yang pernah didengar sebelumnya dari orang persilatan, 
maupun dari para pemburu. 
Hutan Randu Apus atau yang dikenal juga sebagai Hutan 
Iblis Menangis, adalah sebuah hutan yang di-anggap keramat! 
Orang yang pernah datang ke hutan itu jangan harap dapat

kembali pulang! Mereka lenyap tanpa bekas. Menurut orang-
orang desa sekitar, mereka dimangsa oleh Iblis Menangis yang 
tinggal di hutan itu. 
Dulu, pernah beberapa orang yang dikenal sebagai jagoan-
jagoan desa sekitar, berkumpul dan memasuki hutan ini. Niat 
mereka adalah untuk membunuh iblis penghuni Hutan Randu 
Apus. Namun mereka pun lenyap bagai ditelan bumi! Itulah 
cerita-cerita yang pernah didengar oleh orang tua tersebut. 
"Paman! Paman Wira Tama! Ada apa, Paman? Paman, 
kenapa?" Anak kecil itu mengguncang-guncang tubuh orang 
tua yang ternyata bernama Wira Tama sambil berteriak-teriak. 
Wira Tama tersadar dari lamunannya. Dicobanya untuk 
tersenyum, namun yang tampak adalah seringai kengerian. 
"Ah.... Tidak ada apa-apa, Tuan Muda! Tempat ini sangat 
cocok untuk persembunyian. Kita akan aman di sini!" Jawab 
Wira Tama menghibur. "Sebaiknya, sekarang kita mencari 
tempat untuk nanti malam." 
Anak kecil itu ternyata anak Paksi Buana. Dia ber-hasil 
diselamatkan pembantunya yang bernama Wira Tama. Sudah 
hampir satu bulan mereka melarikan diri karena dikejar-kejar 
murid-murid si Tiga Iblis Gunung Tandur. Sampai akhirnya 
mereka tersesat di Hutan Randu Apus. 
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bias-bias 
sinarnya pun telah menerobos rimbunnya dedaunan pepohonan 
Hutan Randu Apus. Udara di dalam hutan pelahan-lahan mulai 
hangat. 
Sementara itu, Wira Tama dan anak Paksi Buana yang 
bemama Panji, mulai menerobos masuk ke dalam hutan untuk 
mencari tempat bermalam nanti.

Tiba-tiba terdengar sebuah raungan dahsyat, yang ber-gema 
menggetarkan hutan tersebut Keduanya tersentak mundur 
dengan wajah pucat! Dada mereka berguncang keras. Bahkan 
Panji sampai jatuh terduduk, karena lutut-nya mendadak 
lemas! 
"Suara apakah itu, Paman?" Tanyanya sambil ber-usaha 
untuk bangkit. 
"Entahlah, Tuan Muda. Suara itu terlalu besar untuk seekor 
harimau!" Jawab Wira Tama, yang sudah men-cabut 
pedangnya. 
Mereka terus melangkah dengan hati berdebar-debar. Napas 
mereka pun memburu menahan rasa takut dan ketegangan 
yang amat sangat. 
Raungan tersebut, kembali bergema. Kali ini bahkan lebih 
keras, hingga mereka terdorong beberapa langkah dan jatuh 
berhimpitan. Tubuh keduanya gemetar hebat. Belum lagi hilang 
rasa terkejut, didepan mereka telah muncul seekor harimau 
yang sangat besar! 
*** 
Paman Wira Tama dan Panji hanya mampu terpaku, dengan 
tubuh gemetar. Harimau Itu memang sangat besar dan 
kelihatannya kuat sekali. Tubuhnya satu sete-ngah kali lebih 
besar daripada harimau biasa. Panjangnya hampir mencapai 
dua batang tombak! Binatang raja hutan itu mengaum buas, 
memperlihatkan taring-taring yang besar dan tajam bagai mata 
pisau.

Wira Tama bangkit lalu memungut pedangnya yang terlepas 
dari genggamannya. Dicobanya untuk menenang-kan diri. Jalan 
napasnya diatur pelahan-lahan. Dia kini telah siap melindungi 
majikan kecilnya dengan taruhan nyawa. 
Sementara Panji yang belum hilang rasa terkejutnya, masih 
terduduk lemas. Tiba-tiba ia tersentak, setelah teringat akan 
nasihat yang selalu ditanamkan ayahnya. Nasihat itu berisi, 
apabila dihantui perasaan cemas, tegang, maupun takut, maka 
jalan napas harus diatur guna mengendorkan urat-urat yang 
tegang. Nasihat ini ditanamkan untuk membentuk jiwa 
pendekar dalam diri Panji. 
Dan kini anak itu mencoba menerapkan nasihat ayah-nya. 
Pelahan-lahan mulai dirasakan kebenaran ucapan ayahnya Itu. 
Setelah hatinya terasa agak tenang, ia pun bangkit dan 
berlindung di balik sebuah pohon yang agak jauh dari harimau 
Itu. 
Sementara harimau ganas itu kelihatan mengambil ancang-
ancang, Tiba-tiba dengan dibarengi raungan yang dahsyat, 
harimau itu menerkam Wira Tama. Kuku-kuku-nya yang tajam 
dan kuat itu, siap menyobek tubuh mangsanya. 
Namun demikian, Wira Tama bukanlah orang lemah. 
Meskipun hanya seorang pelayan, ia pun tidak buta akan ilmu 
olah kanuragan. Sebagai orang kepercayaan keluarga Paksi 
Buana, dia pun dibekali kepandaian yang tidak ringan. 
Maka ketika harimau itu menerkam ke arahnya, dia pun 
segera berkelit dengan jurus 'Naga Malas'. Tubuhnya 
menggeliat ke kiri, sehingga luput dari serangan harimau yang 
kelihatan lapar itu. Melihat terkamannya dapat dielakkan, si 
Raja Hutan tampaknya marah bukan main! Dengan meraung 
murka, ia kembali menerjang.

Mungkin si Raja Hutan itu menerka bahwa calon korbannya 
kali ini bukan orang sembarangan. Buktinya, terkamannya kali 
ini pun tidak kepalang tanggung. la melesat dengan kecepatan 
tinggi, sementara kedua cakar-nya kali ini diarahkan ke kepala 
calon korbannya. 
Menghadapi terkaman itu, Wira Tama segera meIenting 
tinggi melewati kepala harimau. Pada saat yang tepat, 
pedangnya berkelebat dengan kecepatan penuh menebas leher 
si Raja Hutan, yang berada di bawahnya itu. 
Buk! 
Terdengar suara seperti batang besi yang dibenturkan 
dengan kuatnya ke gumpalan karet. 
Wira Tama bersalto beberapa kali di udara, untuk menjauhi 
sang harimau. Kakinya mendarat dengan ringan beberapa 
tombak di belakang tubuh harimau itu. 
Tangannya dirasakan nyeri sekali. Tidak disangka kalau 
tubuh harimau itu begitu keras! Hampir saja pedang-nya 
terlepas dari genggaman tangannya. 
"Gila! Sungguh luar biasa harimau ini! Sampai-sampai 
pedangku pun tak mampu melukai tubuhnya! Aneh?!" keluhnya 
sedikit khawatir. Kecemasan mulai terbayang di wajahnya. 
Sementara harimau itu sudah menerjang kembali de-ngan 
dahsyatnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat di-sertai raungan 
panjang, yang bergema ke seluruh penjuru hutan. 
Wira Tama yang masih terpaku di tempatnya, menjadi 
kalang kabut. Karena tahu-tahu saja kedua cakar hari-mau 
hampir menyentuh tubuhnya. Dengan gugup, dige-rakkan 
pedangnya secara mendatar menyambut terka-man Raja Hutan 
itu seraya melompat ke samping kiri.

Namun terlambat, Wira Tama masih kalah cepat dengan 
harimau itu. Pedangnya terlempar entah ke mana, sedangkan 
tubuhnya melambung tinggi terkena samba-ran kaki kanan 
binatang itu. 
"Aaakh...!" 
Terdengar jerit kesakitan yang merobek kesunyian Hutan 
Randu Apus. 
Orang tua malang itu terbanting keras ke bumi. Dari luka 
yang menganga di dadanya, merigalir cairan merah yang masih 
segar. Belum lagi ia dapat bangkit, harimau itu telah menerkam 
kembali. Tanpa ada suara lagi, pelayan yang setia dari Paksi 
Buana itu tewas. Tubuhnya tak berbentuk lagi. 
Panji yang menyaksikan kejadian itu, menjadi tergun-cang 
hatinya. Ingatannya terbayang kembali pada wajah kedua 
orang tuanya yang sangat menyayanginya itu, yang kini telah 
tiada. Tewas di tangan orang orang jahat yang menyerbu 
padepokan milik ayahnya. Satu persatu ter-bayang di 
benaknya, wajah-wajah orang jahat yang telah membunuh 
ayah dan ibunya. Tanpa terasa, mengalir dua tetes air 
matanya. Namun demikian cepat dihapusnya air mata itu 
dengan punggung tangannya. Terngiang kembali kata-kata 
ayahnya. 
"Panji..., seorang lelaki sejati ridak akan menangis 
betapapun berat beban yang dideritanya. Yang pantas 
mengeluarkan air mata hanyalah wanita!" Itulah yang selalu 
dikatakan Paksi Buana kepada anaknya. 
Dengan menggertakkan gigi, Panji segera keluar dari tempat 
persembunyiannya. Tidak ada lagi rasa takut dalam dirinya. 
Satu satunya orang yang menjadi tempat-nya berlindung, telah 
pula tewas diterkam harimau buas itu.

"Harimau jahat! Harimau jelek! Ayo, terkamlah aku! 
Lawanlah aku!" Panji yang sudah tidak mempedulikan dirinya 
lagi itu, terus melangkah maju mendekati bina-tang buas itu. 
Si Raja Hutan yang kelihatannya sudah tidak mem-
perhatikan Panji itu, menoleh sambil menggereng lirih. Seolah-
olah memperingatkan bahwa ia tidak ingin diganggu. 
Namun Panji yang marahnya telah meluap terhadap harimau 
itu, sudah tidak mempedulikannya lagi Diambil-nya beberapa 
buah batu sekepalan tangannya lalu dilem-parkannya ke tubuh 
si Raja Hutan. 
Merasa kesenangannya diganggu, harimau itu meng-gereng 
marah. Terdengar raungannya yang seperti akan merontokkan 
jantung. Tanpa sadar, Panji melangkah mundur. Wajahnya 
nampak pucat dan tubuhnya geme-tar, karena pengaruh 
raungan itu Tapi segera dikuatkan hatinya Dua buah batu yang 
masih digenggam, dilempar-kannya ke tubuh sang harimau. 
Kali ini dengan dibarengi raungannya yang dahsyat, harimau 
itu melompat menerkam Panji, yang berdiri me-matung dengan 
wajah memucat! Sementara Panji bersiap-siap menghadapi 
kemungkinan yang akan terjadi.... 
*** 
Dapat dipastikan taring harimau itu akan melumat tubuh 
kecil yang tanpa dosa itu. Tapi, sebelum terkaman harimau 
mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh raja hutan itu terbanting ke 
tanah, seraya meraung keras karena merasa kesakitan. 
Dan kini tahu-tahu, di samping Panji telah berdiri sosok 
tubuh seorang kakek tua. Seluruh rambut di kepala, kumis, dan 
janggutnya telah memutih. Usia kakek itu kira-kira telah 
mencapai tujuh puluh tahun, namun potongan tubuhnya masih

menampakkan kegagahan. Pakaiannya jubah putih longgar, 
melambai-lambai tertiup angin. 
Kakek itu tersenyum lembut. Sambil tangannya yang agak 
keriput itu mengusap tubuh Panji yang masih gemetar. Anak 
kecil itu sedikit heran, karena dari telapak tangan kakek itu 
mengalir hawa sejuk. Pelahan-lahan tubuh Panji menjadi segar 
kembali dan hatinya pun menjadi tenang. 
Kakek itu kembali menatap ke arah si Raja Hutan yang 
nampak bersiap-siap hendak menyerang kembali. Disertai 
raungan murka, harimau itu kembali menerjang ke arah sang 
kakek yang menghadapinya dengan senyum lembut. 
Ketika serangan harimau sudah hampir sampai kakek 
misterius itu menghentakkan kedua tangannya kedepan. 
Akibatnya sungguh menakjubkan! Tubuh si Raja Hutan itu 
terlempar sejauh tiga tombak lalu jatuh berdebum di tanah. 
Namun harimau itu tidak menjadi kapok Diulangi-nya serangan 
itu beberapa kali, namun hasilnya sama-saja. 
Setelah merasakan bantingan untuk yang kesekian kalinya, 
rupanya harimau itu menyadari bahwa manusia yang satu ini 
merupakan lawan yang berat baginya. Kini dia hanya berputar 
ke kiri dan ke kanan seolah-olah ingin mencari kelemahan 
lawannya. 
Si Kakek sendiri merasa takjub oleh kekuatan harimau itu. 
Padahal tadi telah dipergunakan seperempat tenaga-nya. 
Namun harimau itu sama sekali tidak terluka. 
"Sungguh luar biasa daya tahan harimau ini!" Decak-nya 
kagum. "Rasanya tokoh persilatan pun sulit menun-dukkannya. 
Sungguh sayang sekali apabila harus dibu-nuh," lanjut kakek 
itu, seolah-olah berkata pada dirinya sendiri. 
"Eyang, bagaimana kalau kita pelihara?" Usul Panji tiba-tiba.

"Tidak, Cucuku! Biarlah dia bebas dan merdeka seperti ini!" 
Ujar sang kakek lembut. 
Baru saja kakek itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba 
terdengar raungan keras kembali. Kali ini si Raja Hutan kembali 
menerjang sepenuh tenaganya, disertai raungan yang 
menggetarkan memenuhi penjuru hutan. Sementara itu, Panji 
sampai jatuh terduduk, karena mendadak seluruh tubuhnya 
terasa lumpuh. Sementara kedua tangannya mendekap dada, 
karena jantungnya untuk beberapa saat seolah-olah terhenti. 
Kakek misterius itu, semakin kagum akan kekuatan harimau 
yang begitu dahsyat. Kalau saja ia tidak memiliki tenaga dalam 
yang tinggi, tentu sudah jatuh seperti halnya Panji. 
Kakek itu pun rupanya tidak ingin membuang-buang waktu 
lagi. Maka, kali ini dikerahkan hampir separuh tenaga 
dalamnya. Pelahan-lahan udara di sekitar tempat itu mulai 
terasa hangat. 
Ketika kuku-kuku harimau itu hampir mengenainya, si kakek 
memiringkan tubuhnya ke kanan, sambil tangan kanannya 
bergerak membacok. Akibatnya sungguh luar biasa! Harimau 
yang terhantam tangan kakek itu me-raung keras. Tubuhnya 
meluncur deras dan menabrak sebatang pohon sebesar pelukan 
orang dewasa. Pohon itu kontan patah dengan suara berderak 
keras. Si Raja Hutan itu kali ini harus mengakui keunggulan 
orang tua ini. Tubuhnya tergeletak dengan posisi miring. 
Sesekali terdengar gerengannya pelahan, bagaikan sedang 
mena-han rasa sakit yang hebat! 
Benar-benar luar biasa kekuatan tubuh si Raja Hutan itu! 
Seandainya yang menerima pukulan tadi tokoh persi-latan 
tingkat pertengahan, bukan mustahil tubuhnya remuk terkena 
hantaman kakek itu.

Kakek tua itu segera menghampiri tubuh Si Raja Hutan yang 
belum dapat bangkit lagi Dia kemudian berjongkok di sisi 
harimau itu, lalu menotok di beberapa bagian tubuh binatang 
buas yang hanya mampu meng-gereng lirih itu. Beberapa saat 
kemudian, harimau itu bangkit dan melarikan diri ke dalam 
hutan. 
Setelah harimau itu tidak kelihatan lagi, kakek itu melangkah 
mendekati tubuh Panji, yang masih terbaring di atas rumput. 
Jari-jari tangannya mengurut bagian-bagian tertentu di tubuh 
anak tak berdosa itu. Beberapa saat kemudian, Panji sudah 
dapat bangkit berdiri. Dia merasa heran, ketika didapati 
tubuhnya terasa segar dan nyaman. Tidak ada sisa-sisa 
kelelahan sedikit pun. 
"Nama saya Panji. Saya mengucapkan banyak-banyak terima 
kasih kepada Eyang! Entah apa jadinya diri saya ini, tanpa 
pertolongan Eyang!" Ucap Panji sambil bersim-puh di hadapan 
orang tua sakti itu. 
Si Kakek hanya tersenyum lembut, demi melihat tutur kata 
yang sopan dari bocah berusia delapan tahun itu. 
"Cucuku...," ujarnya lembut. "Sudah menjadi kewaji-ban kita 
sebagai manusia untuk saling tolong-menolong. Nah! Oleh 
karena itulah, jangan engkau merasa berhu-tang budi kepada 
Eyang, Cucuku! Lalu..., hendak ke manakah engkau sekarang, 
Cucuku? Dan mengapa engkau berada di hutan yang 
berbahaya ini?" Tanyanya heran. 
"Entahlah, Eyang," jawab Panji bingung. "Saya... Saya tidak 
tahu." 
Sehabis berkata demikian, Panji termenung Dia ber-usaha 
menahan kesedihan, karena terbayang kembali akan kejadian-
kejadian yang menimpa keluarganya. Kini ia tinggal sendiri, 
karena orang-orang yang dikasihi semua telah tiada lagi. Oleh

karena itulah kerika dltanya orang tua tersebut, la jadi bingung. 
Tidak tahu harus menjawab apa. 
"Sudahlah, Cucuku! Jangan kau bersedih. Ceritakan-lah, 
barangkali Eyang dapat membantu kesulitanmu?" Ujar orang 
tua itu iba, ketika dilihatnya Panji menunduk sedih. 
Dengan suara terputus-putus, Panji lalu menceritakan segala 
kejadian yang menimpa keluarganya. Mulai dari saat 
kehancuran padepokan ayahnya oleh Tiga Iblis Gu-nung 
Tandur, sampai tersesat di Hutan Iblis Menangis ini. 
Orang tua itu, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil 
sesekali terdengar helaan napasnya yang panjang. 
"Hm.... Bunuh-membunuh.... Balas-membalas... Se-lalu 
terjadi dalam dunia yang semakin tua ini," kakek itu bergumam 
tak jelas. Seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri. 
"Cucuku, apakah engkau pun berniat membalas kematian 
ayahmu?" Tanya kakek itu ingin tahu. 
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Panji menarik napas 
pelahan. 
"Eyang, saya tidak tahu. Tapi..., apakah Ayah dan Ibu saya 
akan tenang di alam baka, apabila saya sebagai anaknya tidak 
membalas dendam? Apakah mereka tidak akan murka, Eyang?" 
Jawab Panji seraya juga membe-rondong dengan pertanyaan. 
Mendengar jawaban itu si Kakek tersenyum, sambil 
mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. la tidak 
ingin menjawab pertanyaan Panji, karena ia tahu hati anak itu 
masih dikuasai kemarahan dan dendam yang membara. 
"Aku lihat, kau memiliki susunan tulang yang baik Darahmu 
pun bersih. Rasanya..., kau akan menjadi seo-rang pendekar 
yang hebat, apabila mau mempelajari ilmu olah kanuragan.

Maukah kau menjadi muridku, Cucu-ku?" Tanya kakek itu 
sambil tersenyum. 
Panji tidak mengerti, apa yang diucapkan orang tua sakti 
tersebut. Tapi ketika mendengar pertanyaan itu, ia pun 
langsung berlutut di hadapan kakek itu 
"Saya mau, Eyang..! Saya mau...," kata Panji girang sambil 
mengangguk-anggukkan kepala. Mulutnya tak henti-hentinya 
berucap, hingga napasnya memburu karena kegembiraan yang 
meluap-luap. 
Orang tua itu mengangguk senang, sambil tangannya 
mengusap-usap kepala Panji yang bersujud di hadapan-nya itu. 
Setelah menguburkan jenazah Wira Tama, kakek sakti itu 
lalu mengajak Panji untuk pergi dari situ Sambil memondong 
Panji, tubuhnya berkelebatan bagaikan baya-ngan hantu yang 
sedang mencari mangsa. Dalam sekejap saja, kakek itu telah 
jauh meninggalkan tempat tersebut. Jubahnya yang lebar 
berkibaran, sehingga sepintas lalu tubuh kakek itu bagaikan 
seekor burung yang melayang-layang di udara. 
Slapakah sebenarnya kakek sakti itu? Dan ke mana Panji 
akan dibawa pergi? 
*** 
EMPAT


Orang tua sakti itu bernama Eyang Tirta Yasa. Empat puluh 
tahun yang lalu ia telah menggemparkan dunia persilatan

berkat ilmunya yang sangat dahsyat, 'Telapak Tangan Petir. 
Itulah sebabnya, mengapa ia dijuluki si Malaikat Petir! 
Banyak sudah tokoh persilatan dari kalangan sesat telah 
tewas di tangannya. Memang zaman itu merupakan masa yang 
sangat suram bagi golongan sesat. Kemuncu-lan Eyang Tirta 
Yasa yang tiba-tiba bagai malaikat, menyebabkan banyak tokoh 
sesat berpikir dua kali untuk menghadapinya. Sepak terjangnya 
yang sangat menggi-riskan itu memang membuat resah lawan-
lawannya. Aki-batnya, pada masa itu sulit untuk menemukan 
tindak kejahatan. 
Para perampok yang biasanya tidak kenal rasa takut, 
terpaksa harus menyembunyikan diri. Sebab si Malaikat Petir, 
tidak kepalang tanggung dalam bertindak. Siapa pun yang 
berbuat kejahatan, maka dapat dipastikan, tidak akan dapat 
menikmati hangatnya sinar matahari esok pagi. 
Memang pada masa itu terdapat juga beberapa tokoh sakti 
yang setingkat dengan si Malaikat Petir. Mereka adalah, Dewa 
Tanpa Bayangan. Kemudian si Raja Obat, dan beberapa nama 
lainnya. Mereka semua merupakan pendekar ternama dan 
sangat disegani kawan maupun lawan. Di samping itu dari 
golongan sesat pun masih banyak tokoh hitam yang 
berkepandalan tinggi. 
Dalam waktu yang singkat, nama Malaikat Petir telah mampu 
menggeser tokoh-tokoh tua golongan putih yang telah puluhan 
tahun berkecimpung dalam dunia per-silatan. Tentu saja, ada 
beberapa dari mereka yang ingin menjajagi sampai di mana 
kepandaian yang dimiliki si Malaikat Petir itu. Namun sampai 
sekian jauh, uji coba kepandaian antara si Malaikat Petir 
melawan tokoh tua, tidak sampai jatuh korban ataupun terluka 
parah. Juga, tidak menimbulkan rasa permusuhan di antara 
mereka. Sementara sebagian tokoh banyak juga yang merasa 
bangga, karena tugas-tugas mereka telah diambil alih oleh si

Malaikat Petir. Dengan demikian mereka dapat mengasingkan 
diri dengan aman dan tenteram. 
Setelah kurang lebih sepuluh tahun nama Malaikat Petir 
menggema dalam dunia persilatan, tiba-tiba saja pendekar 
besar itu menghilang tak tentu rimbanya. Si Malaikat Petir, 
lenyap bagaikan ditelan bumi! Dunia persilatan pun gempar! 
Para tokoh hitam bersorak dan berpesta setelah mendengar 
kabar itu. Sementara masya-rakat kembali resah. Jelas 
kehidupan mereka bakal kem-bali terancam dirongrong 
gerombolan perampok. 
Para sahabat si Malaikat Petir pun telah berusaha mencari 
kabar tentang pendekar sakti itu. Namun si Malaikat Petir 
benar-benar lenyap bagai ditelan bumi. 
Tahun-tahun selanjutnya, nama si Malaikat Petir mulai 
dilupakan orang. Di kedai-kedai maupun di jalan-jalan, tidak 
terdengar lagi nama si Malaikat Petir diperbincang-kan orang. 
Namanya benar-benar telah tenggelam. 
Tiga puluh tahun telah berlalu semenjak la lenyap bagai 
ditelan bumi. Dan kalangan rimba persilatan, telah 
menganggap si Malaikat Petir telah meninggal dunia. Na-mun, 
tiba-tiba saja pendekar sakti itu muncul ditengah rimba 
belantara yang sunyi dan menyeramkan. Dan seka-ligus telah 
menyelamatkan jiwa Panji dari kematian. 
Kini, bayangan tubuh orang tua sakti itu tengah ber-loncatan 
mendaki sebuah bukit yang permukaannya terdapat batu-batu 
yang bertonjolan. Meskipun demikian, tubuh orang tua sakti itu 
sama sekali tidak merasa ter-ganggu. Ilmu meringankan 
tubuhnya memang telah men-capai taraf kesempurnaan. Tubuh 
orang tua itu, mela-yang-layang dengan gesit, bagaikan seekor 
burung yang tengah bermain-main di angkasa.

Sementara tubuh Panji yang berada di tangan kanannya itu, 
telah tertidur pulas. Rupanya Ia merasa aman dalam lindungan 
kakek sakti itu. Tanpa disadari keleti-han yang selama ini 
disembunyikannya itu terlepas sudah. Sehingga ia jatuh terlelap 
seketika itu juga. 
*** 
Bukit Goa Harimau, adalah salah satu bukit di antara sekian 
banyak bukit yang terdapat di sekitar Hutan Randu Apus. 
Mungkin karena di atas bukit itu terdapat sebuah goa yang 
berbentuk kepala harimau maka di-namakan Bukit Goa 
Harimau. 
Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah tanah datar yang 
cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu ber-diri sebuah 
pondok yang cukup besar dan kuat Semen-tara di belakang 
pondok itu mengalir sebuah sungai jernih, yang bersumber dari 
sebuah air terjun tidak jauh dari pondok. 
Rupanya di sinilah tempat si Malaikat Petir menyem-bunyikan 
dirinya selama puluhan tahun. Suatu tempat yang sukar 
didatangi. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat 
mencapai tempat itu. Bukan saja bukit itu sangat sulit untuk 
didaki. Ternyata di dalam Hutan Randu Apus terdapat banyak 
binatang buas yang sangat berbahaya. 
Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pelahan-lahan 
suasana yang semula redup menjadi terang. Kehangatan yang 
dipancarkannya mulai terasa menyengat kulit. 
Sementara itu di sebuah pondok di atas Puncak Bukit Goa 
Harimau, tampak dua sosok tubuh tengah duduk berhadapan.

Mereka duduk bersila dengan keheningan yang menyelimuti 
sekitarnya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. 
Ternyata, dua sosok tubuh itu adalah Eyang Tirta Yasa dan 
Panji. Mereka memang telah menetap di tempat ini. Sebuah 
tempat persembunyian Eyang Tirta Yasa, sejak penyepiannya 
puluhan tahun yang lalu. 
"Cucuku," ujar orang tua itu lembut memecah ke-heningan. 
"Mulai pagi ini, Eyang akan memberikan dasar-dasar segala 
ilmu silat. Oleh karena itu, Eyang berharap agar engkau tekun 
dan sabar dalam mempelajarinya. Karena, tanpa kesabaran dan 
ketekunan, sulit akan men-capai hasil yang sempuma." 
"Baik, Eyang! Saya berjanji akan selalu mengikuti se-gala 
petunjuk Eyang," jawab Panji dengan kepala tunduk. Kata-
katanya halus, namun di dalamnya tersembunyi sebuah tekad 
yang kuat. 
Eyang Tirta Yasa mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil 
sesekali mengelus janggut putihnya itu. Ia sema-kin suka dan 
sayang kepada anak itu. Anak seperti inilah, yang dicarinya 
selama ini untuk diwariskan ilmu olah kanuragan dan kesaktian. 
Anak seperti inilah yang akan mengangkat namanya pada 
masa-masa mendatang. 
"Cucuku! Ilmu silat tidak ada bedanya dengan ber-dirinya 
sebuah gunung ataupun sebatang pohon. Semua-nya harus 
memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Sekarang perhatikanlah 
pohon besar itu! Betapapun besar dan kuatnya pohon itu, 
namun apabila tidak mempunyai akar yang kokoh dan kuat 
bukan tidak mungkin akan mudah untuk ditumbangkan angin." 
Orang tua itu menarik napas sejenak, sambil menatap Panji 
yang masih mem-perhatikan pohon besar itu.

Kemudian, Eyang Tirta Yasa mengajak Panji ke bibir bukit, 
lalu menunjuk ke sebuah bukit lain yang tidak jauh dari Bukit 
Goa Harimau. 
"Nah! Sekarang lihatlah bukit yang berada didepan itu!" 
ujarnya pelan. "Coba kau terangkan, hubungan antara bukit itu 
dengan ilmu yang telah kau serap tadi," lanjut orang tua itu, 
sambil menoleh kepada Panji. 
Anak itu berdiri tegak sambil memandang ke bukit yang 
dimaksud Eyang Tirta Yasa. Kedua alisnya bertaut, pertanda la 
tengah berpikir keras. 
"Eyang, menurut pengamatan saya yang bodoh ini, bagian 
bawah dari bukit itu terlihat lebih besar daripada bagian 
atasnya. Sedangkan ilmu olah kanuragan harus memiliki dasar 
yang lebih besar pula. Jadi, menurut hemat saya, pada bagian 
bawah itulah yang berhubungan dengan dasar ilmu silat!" 
Jawabnya tanpa ragu-ragu lagi. 
"Bagus, Cucuku! Sudah kuduga bahwa engkau adalah anak 
yang cerdas!" Ujar kakek itu, dengan wajah berseri-seri. "Jadi, 
untuk menguasai ilmu silat kita harus mem-punyai dasar yang 
kuat seperti pohon dan gunung tadi. Apakah engkau sudah 
paham, Cucuku?" Tanya orang tua itu lebih lanjut. 
"Ya, Eyang! Saya paham," jawab Panji. 
Panji memang seorang anak yang keras hati dan tekun 
dalam mempelajari segala sesuatu. Selain itu, ia pun seorang 
anak yang rajin dan cerdas. Maka tidaklah aneh apabila latihan-
latihan dasar yang diberikan gurunya itu dapat dikuasainya 
dalam waktu yang singkat. 
Pelajaran-pelajaran dasar tersebut selalu diterapkan dalam 
setiap kesempatan, Dalam beberapa bulan saja, gerakan-
gerakannya sudah terlihat mantap dan berte-naga. Demikian

juga dengan posisi kuda-kudanya yang nampak kokoh dan 
indah. 
*** 
Sang waktu terus bergulir cepat. Tanpa terasa, lima tahun 
sudah Panji tinggal bersama orang tua sakti di Puncak Bukit 
Goa Harimau. 
Hari belum lagi menjelang sore, ketika sesosok tubuh yang 
bertelanjang dada, tengah bergerak dengan lincah-nya. 
Kadang-kadang sosok tubuh itu melenting ke udara sambil 
melepaskan tendangan berantai. Sungguh sebuah serangan 
yang berbahaya! Kemudian dengan manis sekali kakinya 
menjejak tanah. 
Tiba-tiba, Ia berteriak keras, sambil kedua kakinya 
membentuk kuda-kuda dengan posisi menunggang kuda. 
Kedua kakinya bergeser ke kiri dan ke kanan, sementara kedua 
telapak tangannya terkepal di kedua sisi pinggang. Dari sela-
sela bibirnya terdengar desisan halus. Rupanya dia tengah 
berlatih dalam menghimpun tenaga dalam. 
Hari sudah menjelang sore. Di ufuk Barat, sinar keme-rah-
merahan menyemburat merah. Suatu pertanda sang surya akan 
kembali ke peraduannya. Sementara sosok tu-buh itu pun 
nampaknya sudah pula mengakhiri latihan-nya. Dadanya yang 
tidak berbaju itu, telah basah oleh peluh. Wajahnya yang 
tampan tampak berwarna keme-rahan hingga makin 
meriambah ketampanannya. Sosok tubuh itu ternyata seorang 
anak remaja! Walau usianya sekitar tiga belas tahun, namun 
kepandaiannya sudah demikian hebat.

Baru saja anak itu hendak melangkah meninggalkan tempat 
latihannya, tiba-tiba terdengar teguran dari arah belakangnya. 
"Cucuku, temuilah Eyang di ruang seperti biasa, se-sudah 
engkau membersihkan tubuhmu lebih dahulu!" 
Anak yang ternyata adalah Panji itu terkejut bukan main 
karena kedatangan orang tua itu, sama sekali tidak 
diketahuinya. 
"Luar biasa sekali kepandaian Eyang Tirta Yasa! Sam-pai-
sampai kedatangannya pun tidak terdengar sama sekali! 
Sungguh luar biasa!" Gumam Panji dalam hati. 
Panji memiliki sifat serba ingin tahu. Maka, ia berniat 
menanyakan langsung kepada gurunya itu. Namun ketika la 
menoleh ternyata orang tua itu sudah tidak ada di situ lagi. 
Semakin terkejutlah anak itu. Dia benar-benar mengagumi 
kesaktian gurunya itu. 
*** 
Malam sudah mulai turun. Kegelapan pun pelahan-lahan 
mulai menyelimuti bumi. Nyanyian binatang malam mulai 
terdengar bersahutan, seolah-olah mengucapkan selamat 
datang kepada sang malam. Pada saat itu Panji tengah duduk 
berhadapan dengan gurunya, Eyang Tirta Yasa alias si Malaikat 
Petir di sebuah ruangan yang cukup besar tapi hanya diterangi 
lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup angin malam. 
"Cucuku," ucap Eyang Tirta Yasa, memecah keheni-ngan 
malam. "Eyang rasa, sudah saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu 
kesaktian yang tinggi. Karena Eyang lihat, kau sudah cukup 
mampu untuk menerimanya. Namun, Eyang tidak akan

menurunkan ilmu 'Telapak Tangan Petir. Ilmu yang akan Eyang 
turunkan nanti adalah ilmu ciptaan Eyang Selama tiga puluh 
tahun belakangan ini," ujarnya lembut. 
"Eyang, bagi saya hal itu bukanlah persoalan. Sebab saya 
percaya bahwa semua yang Eyang turunkan adalah yang 
terbaik buat saya!" sahut Panji penuh hormat. 
"Benar, Cucuku! Ilmu 'Naga Sakti', yang belakangan ini 
Eyang ciptakan rasanya lebih cocok untukmu!" 
"Terima kasih, Eyang! Sungguh besar sekali budi Eyang 
kepada saya. Entah dengan cara apa, saya bisa membalasnya!" 
Ucap Panji dengan kepala tertunduk. Dadanya terasa sesak, 
karena menahan rasa haru yang dalam. 
"Berjanjilah untuk berlatih sungguh-sungguh, Cucuku! 
Dengan begitu berarti engkau sudah membalasnya!" Jawab si 
Malaikat Petir bijaksana. Wajahnya kelihatan bersungguh-
sungguh. 
"Saya berjanji! Dan saya akan selalu mengingat segala 
nasihat Eyang!" jawab Panji mantap. Dari matanya ter-pancar 
semangat yang membaja. 
Dan pada keesokan harinya, Eyang Tirta Yasa pun telah 
mulai menurunkan ilmu-ilmu ringkat tinggi kepada Panji. 
Dengan penuh kesabaran orang tua sakti itu mem-berikan 
petunjuk-petunjuk tentang ilmu 'Naga Sakti', yang merupakan 
ilmu terdahsyat yang telah diciptakan selama dalam 
pengasingannya. Selain ilmu itu, juga ada beberapa ilmu 
lainnya. Seperti ilmu 'Tenaga Sakti Ger-hana Bulan'. Ilmu yang 
disebutkan terakhir inilah yang berguna untuk menunjang 
penggunaan ilmu 'Naga Sakti'. 
Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesungguhan, 
Panji melatih ilmu-ilmu itu tanpa mengenal lelah. Tidak peduli

pagi, siang ataupun malam. Setiap kesempatan yang sedikit 
saja selalu dipergunakannya untuk bertatih. 
**** 
Waktu berlalu demikian cepat. Hari berganti minggu, minggu 
berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tahun ini, genap 
sudah tahun kelima, semenjak Eyang Tirta Yasa menurunkan 
ilmu-ilmu ciptaannya kepada Panji. Itu berarti usia Panji kini 
kira-kira delapan belas tahun. 
Sementara, pagi ini, suasana di sekitar Bukit Goa Hari-mau 
yang dingin mendadak menjadi gelap. Sinar mata-hari 
terhalang oleh awan hitam. Nampaknya, tidak akan lama lagi 
hujan akan segera turun! Angin dingin bertiup keras. Pohon-
pohon besar bergoyang-goyang dengan kuatnya, bahkan 
sampai menimbulkan suara berderak. Pelahan-lahan, titik air 
mulai nampak sering jatuh ke bumi. Sesekali terseling gelegar 
halilintar yang bersahut-sahutan memekakkan telinga. Hujan 
pun turun dengan derasnya. 
Di tengah-tengah derasnya air hujan, nampak seben-tuk 
sinar berwarna putih keperakan bergulung-gulung bagaikan 
seekor naga tengah bermain-main di angkasa. Gulungan sinar 
itu bergerak secara bergelombang turun naik dengan cepatnya, 
sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru. 
Sinar itu ternyata berasal dari sebilah pedang yang 
dikelebatkan oleh seorang pemuda remaja, yang berusia 
delapan belas tahun. Desiran angin pedang itu mengaung 
dahsyat di antara kilatan petir yang menggelegar di ang-kasa. 
Sungguh sebuah ilmu pedang sangat dahsyat!

Pemuda tampan yang rambutnya telah mencapai bahu itu, 
jelas adalah Panji! Gerakan-gerakan pedangnya hebat bukan 
main! Benar-benar mirip dengan gerakan seekor naga! 
Kecepatannya laksana kilat yang menyambar-nyambar di 
angkasa raya. Dan yang lebih hebat lagi, tak ada setetes air 
hujan pun yang membasahi tubuhnya! 
Tidak salah lagi, ilmu pedang yang sedang dimainkan Panji 
adalah 'Ilmu Pedang Naga Sakti'. Sebuah ilmu pe-dang yang 
diambil dari ilmu tangan kosong 'Naga Sakti'. Dan inilah salah 
satu keistimewaan ilmu 'Naga Sakti' yang diwariskan si Malaikat 
Petir. Ilmu itu dapat dimain-kan dengan tangan kosong maupun 
dengan pedang! 
Kini, Panji telah menutup latihan iimu silat pedangnya. 
Dililitkan pedangnya di pinggang. Ternyata pedang itu sangat 
tipis dan lemas, sehingga dapat dijadikan ikat pinggang! 
Sebuah pedang pusaka yang hebat. Dan jarang dimiliki oleh 
tokoh-tokoh dunia persilatan. 
Baru saja Panji menyimpan pedangnya, ia pun segera 
menggeser kakinya, membentuk kuda-kuda dalam posisi 
menunggang kuda. Sementara kedua tangannya saling 
bersilang didepan dada, dengan jari-jari tangan memben-tuk 
cakar naga. Tangan kanan terjulur ke samping kiri depan, 
sedangkan tangan kiri terjulur ke samping kanan depan. 
Dengan satu teriakan nyaring, pemuda itu meng-geser kaki 
kanannya ke samping, dibarengi dengan gera-kan tubuhnya 
yang meliuk-liuk mirip seekor naga. Inilah awal dari jurus 'Naga 
Sakti'. 
Disertai pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-lan', 
Panji segera memainkan ilmu 'Naga Sakti'. Perlahan namun 
pasti di sekujur tubuhnya diselimuti sinar putih keperakan. Dan

hawa yang dingin mulai menyebar di sekitar Panji. Kemudian 
Panji mulai bergerak Akibatnya, sungguh luar biasa! Setiap 
gerakan tangan dan kakinya menimbulkan satu gelombang 
tenaga yang dahsyat! Po-hon-pohon di sekitarnya bergetaran 
kuat sehingga daun-daunnya berguguran jatuh ke bumi. 
Padahal pohon-pohon itu terpisah kurang lebih tiga tombak dari 
tubuh Panji. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga 
sakti pemuda tampan yang memiliki mata tajam itu. 
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu melenting ke udara 
dibarengi teriakan yang mengguntur. Tubuhnya berputar 
beberapa kali di udara, lalu mendarat dengan manis di depan 
sebatang pohon yang berukuran dua pelukan orang dewasa. 
Jarak antara tubuh pemuda itu dengan pohon, sekitar tiga 
batang tombak. Dengan posisi kuda-kuda silang, tangan 
kanannya memukul ke depan. Sementara telapak tangan 
kirinya yang terbuka, berada di bawah tangan kanan. Rentetan 
angin tajam menderu ke arah pohon besar itu. 
Wusss! 
Brakkk...! 
Terdengar suara berderak keras ketika pohon besar itu 
terangkat berikut akar-akarnya dan patah menjadi tiga bagian! 
Bukan main hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh pukutan itu. 
Panji masih berdiri termangu, kerika melihat kedah-syatan 
hasil pukulannya itu. Napasnya agak sedikit ter-engah-engah 
karena tenaganya dikerahkan hampir selu-ruhnya. 
"Bagus..., bagus, Cucuku! Tenaga dalammu, sudah cu-kup 
sempurna!" Tiba-tiba saja di tempat itu telah berdiri seorang 
kakek tua yang tidak lain adalah Eyang Tirta Yasa. Kakek sakti 
itu gembira sekali karena usahanya dalam mendidik Panji 
selama sepuluh tahun ini tidak sia-sia.

"Oh! Eyang!" Seru Panji terkejut. "Sungguh saya tidak 
mendengar langkah kaki Eyang," ujarnya heran. 
"Ha ha ha....Tentu saja engkau tidak mendengarnya, 
Cucuku! Karena Eyang sudah berada di sini semenjak engkau 
memainkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' tadi!" Jawab Eyang Tirta 
Yasa tenang. 
"Oh...!" Panji menjadi sedikit terhibur mendengar jawa-ban 
yang diberikan oleh gurunya itu. 
Sementara, hujan sudah mulai reda. Dan matahari pun mulai 
memancarkan sinarnya ke seluruh Puncak Bukit Goa Harimau. 
Kabut sudah mulai lenyap, tersaput oleh kehangatan sinar 
matahari. Tidak lama kemudian, Panji dan Eyang Tirta Yasa 
melangkah meninggalkan tem-pat itu. Mereka terus melangkah, 
menuju pondok yang terletak di tengah puncak Bukit Goa Ha-
rimau. 
Akhir-akhir ini, Panji merasa heran melihat sikap gurunya 
yang tampak lain dari biasanya. Dia merasa kakek itu, seperti 
menyimpan sesuatu. Panji terus mengi-kuti langkah kaki 
gurunya hingga ke dalam pondok. 
Eyang Tirta Yasa meneruskan langkahnya ke ruang tengah, 
yang biasa digunakan untuk pertemuan mereka. Panji segera 
mengambil tempat duduk di hadapan guru-nya. Setelah terdiam 
sejenak, Eyang Tirta Yasa mulai membuka percakapan. 
"Cucuku...," suara Eyang Tirta Yasa terdengar bergetar. 
Seolah merasa berat dengan apa yang diutarakannya itu. "Hari 
ini, genap sudah sepuluh tahun kau tinggal bersama Eyang. 
Dan semua kepandaian Eyang telah diturunkan kepadamu, 
hingga tidak ada lagi yang dapat Eyang turunkan padamu! 
Rasanya sudah waktunya eng-kau turun ke dunia ramai untuk 
membasmi kejahatan yang akhir-akhir ini merajalela!"

'Tapi, Eyang.... Ini..., ini," Panji tak mampu menerus-kan 
ucapannya. la terharu sekali dengan kebaikan dan kasih sayang 
yang dilimpahkan gurunya selama ini. 
"Sudahlah, Cucuku! Esok sebelum matahari terbit, kau sudah 
harus berangkat!" Ujar Eyang Tirta Yasa tegas. 
Panji membisu Rasanya memang berat untuk mening-galkan 
orang tua itu sendirian di sini. Tapi mengingat bahwa kejahatan 
telah merajalela, maka pemuda itu harus melaksanakan tugas 
yang diberlkan gurunya itu. 
"Nah! Sekarang, Eyang akan bersemadi dan tidak ingin 
diganggu lagi!" Ujar Eyang Tirta Yasa sambil melangkah 
meninggalkan Panji yang duduk Jermangu itu. 
Beberapa saat kemudian, Panji tersadar dan segera berlari. 
Dikejar gurunya itu, dan langsung bersimpuh di hadapan orang 
tua sakti itu. 
"Eyang...," ucapnya serak, sambil memeluk kedua kaki 
Eyang Tirta Yasa. 
Setelah mengusap kepala Panji, Eyang Tirta Yasa ber-gegas 
meninggalkan tempat mondoknya. la tidak ingin menunjukkan 
kesedihannya yang malah akan memberat-kan langkah 
muridnya nanti. 
*** 
LIMA


"Tolooong...! Lepaskan aku, bangsat! Manusia iblis!" Teriak 
tiga orang wanita, di dalam sebuah hutan lebat.

Keadaan mereka sudah tidak karuan. Pakaian yang 
dikenakan pun sudah robek di sana-sini. Sehingga me-
nampakkan kulit tubuh mereka yang putih dan mulus. 
Ketiga orang wanita itu berteriak-teriak, diselingi isak tangis 
yang memelas. Sementara kedua tangan mereka sibuk 
menutupi bagian-bagian tubuh mereka yang ter-buka. 
"Kasihani kami, Tuan.... Jangan sakiti kami!" Ratap salah 
seorang wanita dengan air mata yang mengalir membasahi 
pipi. 
Di sekeliling ketiga orang wanita itu, nampak wajah-wajah 
bengis berdiri berjajar sambil menatap liar penuh nafsu! Tubuh-
tubuh putih mulus itu dijilati oleh panca-ran mata liar. Apalagi, 
keadaan ketiga orang wanita itu sudah setengah telanjang. 
Seringai mereka makin bertam-bah lebar. 
Sementara, dua orang lelaki kasar dan berwajah seram terus 
saja mempermainkan ketiga orang wanita malang itu. Sambil 
tertawa terbahak-bahak mereka mengejar-ngejar tiga wanita 
itu. Rasanya seperti seekor kucing yang sedang 
mempermainkan seekor tikus sebelum disantap habis. 
Semakin lama keadaan wanita-wanita itu semakin tidak 
karuan. Setiap kali tubuh mereka tertangkap, lang-sung 
dilepaskan kembali, setelah pakaian mereka dirobek terlebih 
dahulu. 
"Ha ha ha.... Ayo, Manis! Larilah! Ayo! Ha ha ha...!" Ujar 
salah seorang dari dua laki-laki kasar itu sambil tertawa penuh 
kebuasan. 
Setelah dilempar kesana kemari, tubuh ketiga orang wanita 
itu benar-benar polos, tanpa benang sehelai pun! Maka, 
sibuklah ketiga wanita malang itu menutupi bagian-bagian 
terlarang dari tubuh mereka.

"Ha ha ha.... Lihatlah, anak-anak! Tiga ekor kelinci ini 
ternyata memiliki bentuk tubuh yang indah! Ha ha ha...!" Ujar 
seorang lagi sambil menoleh ke arah kawan-kawan-nya. 
Orang-orang yang berdiri berjajar membentuk lingka-ran itu 
makin memperkecil lingkarannya. Karena mereka pun ingin 
melihat lebih jelas lagi ketiga orang wanita yang telah benar-
benar polos! 
Ketiga orang wanita malang itu hanya mampu berte-riak-
teriak sambil menangis. Mereka sudah hampir mati ketakutan. 
Wajah-wajah di sekitarnya menjilat tubuh mereka dengan liar. 
Mereka merasa ngeri, membayang-kan apa yang akan terjadi 
selanjutnya. 
Dua orang laki-laki kasar yang tadi mempermainkan ketiga 
wanita itu, melangkahkan kakinya mendekati tu-buh-tubuh 
polos itu. Lalu dengan penuh nafsu, keduanya segera 
menerkam dua di antara tiga wanita itu. Kedua orang wanita itu 
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketaku-tan. Namun mereka 
tak berdaya menghadapi kebuasan laki-laki kasar yang telah 
dipengaruhi hawa nafsu itu. Sementara, yang seorang lagi 
menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi. 
Belum lagi kedua orang laki-laki kasar itu melaksana-kan 
niatnya, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar memenuhi 
seluruh penjuru hutan! Suara tawa itu berge-ma bagaikan 
suara jin penunggu hutan, yang tidak ingin melihat tempat itu 
dikotori manusia-manusia biadab. 
Belasan orang laki-laki yang masih berjajar dalam ben-tuk 
lingkaian itu tersentak dengan wajah pucat. Tubuh mereka pun 
menggigil kedinginan. Ternyata suara tawa itu diiringi dengan 
hembusan angin yang sangat dingin. Demikian pula halnya 
dengan kedua orang lelaki kasar tadi. Mereka menghentikan 
perbuatannya sejenak. Namun di wajah mereka, sama sekali

tidak terlihat rasa takut. Bahkan sebaliknya malah marah 
karena merasa terganggu oleh suara tawa itu. 
Belum lagi mereka dapat menguasai hati yang tergun-cang 
karena kaget, suara tawa itu kembali terdengar. 
"Ha ha ha.... Manusia-manusia bejat! Cepaaat tinggal-kan 
tempat ini sebelum kemurkaanku datang! Cepaaat! Ha ha 
ha...!" Suara tawa itu kembali bergema di dalam rimba yang 
gelap ini. Angin dingin pun berhembus sema-kin keras, 
sehingga pakaian mereka berkibar. Baru, dua laki-laki kasar itu 
mulai agak ciut hatinya. 
Dengan wajah agak pucat, kedua orang laki-laki kasar yang 
rupanya bertindak selaku pimpinan, melangkah maju beberapa 
tindak. Seolah-olah ingin mencari sumber suara tadi. 
"Hei! Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Jangan coba-coba 
menakut-nakuti Sepasang Harimau Terbang! Heh!" Teriak salah 
seorang dari laki-laki kasar itu. Sengaja dikerahkan tenaga 
dalam untuk menutupi rasa gentar dalam hatinya. 
"Kakang Lujita, apakah dia bukan hantu?" Bisik lelaki yang 
satunya lagi dengan hati-hati. 
"Huh! Tidak mungkin! Dia pasti manusia biasa yang mencoba 
menakut-nakuti kita!" Jawab orang yang di-panggil Lujita keras. 
Sengaja tidak ingin ditunjukkan rasa takutnya di hadapan para 
pengikutnya itu. Padahal, ia sendiri pun merasa ragu akan 
perkataannya itu. 
Setelah beberapa saat kemudian, keadaan menjadi hening 
sejenak. Masing-masing menunggu dengan hati berdebar-
debar. Belum lagi mereka berpikir lebih jauh, kembali angin 
dingin bertiup keras. Seiring dengan hem-busan angin dingin 
itu, suara tawa itu kembali berku-mandang.

"Ha ha ha.... Rupanya kalian ingin membangkang, hah! 
Baiklah! Kalau itu yang kalian inginkan!!! Ha ha ha...!" Gertak 
suara berat dan serak itu. 
Tiba-tiba dari sebuah pohon yang besar sesosok baya-ngan 
putih melayang turun dengan pelahan sekali! Kedua tangannya 
terlipat di dada. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi bersila. 
Rambutnya yang putih keperakan itu berkibar tertiup angin. 
Sementara, seluruh wajahnya penuh dengan bulu-bulu lebat 
dan tak terurus! Yang membuat hati bergetar adalah, sinar pu-
tih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya! Sosok tubuh 
itu, benar-benar seperti iblis! 
Dan yang lebih mengejutkan lagi, bayangan putih itu seperti 
mengambang di udara! Sungguh suatu peman-dangan yang 
mustahil! Jarak antara sosok bayangan putih dengan pemukaan 
tanah, sekitar tiga tombak Sedangkan dahan yang berada di 
atasnya, kurang lebih dua tombak jauhnya. Dan anehnya, posisi 
bayangan tersebut masih dalam keadaan bersila, dengan kedua 
tangan terlipat di dada! Sosoknya memang laksana hantu 
penghuni hutan ini! 
Walaupun dua orang lelaki kasar yang berjuluk Sepa-sang 
Harimau Terbang itu banyak ditakuti orang, namun 
pemandangan yang ada didepan mereka sekarang ini benar-
benar telah membuat hati mereka bergetar. 
"Aaah! Set... setaaan!" teriak para pengikut Sepasang 
Harimau Terbang yang langsung berlarian meninggalkan 
tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan pemimpin mereka. 
"Iblisss...! Mustahil...!" Lujita, orang tertua dari Sepa-sang 
Harimau Terbang mencoba membantah penglihatan-nya. 
Dipejamkan kedua matanya dan dibukanya kembali. Namun, 
apa yang dilihatnya itu benar-benar suatu yang mustahil dapat 
dilakukan oleh seorang manusia! Betapa-pun tingginya

kepandaian seseorang, sangatlah tidak mungkin bila dapat 
bergantung di udara sampai sedemi-kian lamanya! 
Maka tanpa dapat dicegah lagi, Sepasang Harimau Ter-bang 
itu pun langsung melesat meninggalkan tempat itu! Demikian 
pula halnya dengan kegiga orang gadis itu. Mereka 
memandang bayangan putih tersebut dengan tubuh gemetar 
hebat! Seumur hidup, baru kali inilah mereka melihat apa yang 
disebut hantu! 
Setelah Sepasang Harimau Terbang dan para pengikut-nya 
sudah tidak terlihat lagi, bayangan putih itu mela-yang turun. 
Jarak antara dirinya dengan tiga wanita itu terpisah sekitar lima 
tombak. Pelahan-lahan, sinar putih keperakan yang 
menyelimuti tubuhnya menipis, untuk kemudian lenyap sama 
sekali. 
Dengan langkah pelahan, bayangan putih itu meng-hampiri 
ketiga orang wanita malang yang masih belum dapat 
menggerakkan tubuhnya. Wajah mereka pucat. Ke-ringat 
dingin mengalir membasahi tubuh mereka. Ketiga orang wanita 
itu benar-benar merasakan takut yang hebat! 
Sementara si Bayangan Putih yang telah berjalan bebe-rapa 
tindak segera menghentikan langkahnya. Dibuka-nya buntalan 
yang tergantung di bahunya. 
"Di dalam buntalan ini ada tiga stel pakaian yang mungkin 
agak kebesaran sedikit! Pakailah!" Seru baya-ngan putih itu, 
sambil melemparkan buntalan itu. Setelah itu, dibalikkan 
tubuhnya membelakangi ketiga orang wanita itu. 
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga wanita itu tidak dapat 
berkata-kata. Setelah memperhatikan orang yang berjubah 
putih tersebut, salah seorang dari mereka mem-beranikan diri 
untuk membuka suara.

"Jadi..., Tuan bukan... hantu...?" Tanyanya takut-takut. 
"Apakah wajahku demikian menakutkan?" Bayangan putih itu 
balik bertanya tanpa membalikkan tubuhnya. 
Mendengar pertanyaan itu, ketiga orang wanita tadi 
menundukkan mukanya karena tersipu malu. 
"Aaah! Bukan begitu, Tuan! Tapi, tadi tubuh Tuan ter-
gantung di udara. Mana mungkin seorang manusia dapat 
berbuat seperti itu?" Tanya yang satunya lagi. Gadis tersebut 
berwajah manis sekali, dengan kedua lesung pipit di pipinya. 
Sementara itu ketiga wanita itu telah selesai mengenakan 
pakaian yang diberikan bayangan putih. 
"Kami sudah selesai, Tuan!" Ujar yang seorang lagi. 
Sosok bayangan putih itu, segera membalikkan tubuh-nya 
menghadap ke arah ketiga orang wanita yang kini telah 
berpakaian. Begitu wajah bayangan putih itu terlihat jelas, 
ketiga orang wanita itu tertegun bercampur heran. Ternyata 
bayangan putih tadi telah berganti men-jadi seorang pemuda 
tampan dan tegap. Rambutnya yang putih keperakan, terurai 
sampai ke bahu. Matanya yang tajam, memancarkan ketegaran 
dalam menantang hidup. 
"Ini..., tadi.. Tttuan... oooh...!" Seru mereka tergagap. 
"Oh, maaf! Aku tadi menggunakan ini!" Jawab pemuda itu, 
ketika menyadari kebingungan tiga wanita itu. Segera 
ditunjukkannya rambut, cambang, serta jenggot yang di-
kenakannya tadi. Rupanya semua itu palsu belaka. 
"Oh!" Seru mereka serempak. "Lalu, mengapa tubuh Tuan 
bisa ngambang di udara tadi..?" Lanjut yang seorang. 
"Hm, dengan tali ini!" Jawab pemuda itu sambil mem-
perlihatkan seutas tali hitam yang terbuat dari kulit binatang.

"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perto-longan 
Tuan! Entah apa jadinya dengan diri kami, apabila tidak ada 
Tuan!" Ujar wanita yang berwajah paling cantik dengan wajah 
bulat telur, dan berambut paling panjang sampai ke pinggang. 
"Hm! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling me-
nolong!" Ujar pemuda itu. 
"Hm, bolehkah kami tahu nama Tuan?" Tanya yang seorang 
lagi. Wanita yang berambut sebahu. 
"Namaku Panji," Jawab pemuda itu singkat. "Di mana-kah 
kalian tinggal? Mari kuantarkan pulang!" 
Ketiga dara itu memandangi wajah tampan di hada-pannya 
itu. Wajah seorang yang menjadi penolong me-reka. Pemuda 
itu memang sopan. Jadi ketiga wanita itu tidak takut-takut lagi. 
Panji yang dipandangi seperti itu menjadi kikuk. Untuk 
menyembunyikan kegugupannya itu, ia pun melangkah-kan 
kakinya. Ketiga orang gadis itu pun segera mengikuti langkah 
kaki Panji yang menuju pinggiran hutan. Mereka berjalan tanpa 
berkata sepatah pun. 
Setelah menerobos semak dan perdu, mereka pun tiba di 
pinggiran hutan. Namun baru beberapa langkah keluar dari 
pinggiran hutan, terdengar sebuah bentakan nyaring. Tidak 
lama kemudian berloncatan beberapa sosok tubuh yang 
langsung menghadang perjalanan mereka. 
"Berhenti...!" 
"Ha ha ha.... Lihatlah, Adi Lukita! Bukankah firasatku benar? 
Kita telah dikibuli mentah-mentah oleh bocah setan ini!" Seru 
orang yang tidak lain adalah Lujita, sekaligus orang tertua dari 
Sepasang Harimau Terbang. Dia rupanya masih penasaran.

"Hei, Bocah! Sungguh besar nyalimu mempermainkan 
Sepasang Harimau Terbang! Apakah kau sudah bosan hi-dup? 
Hah!!" Bentak Lukita dengan tidak kalah bengisnya. 
Panji terkejut juga melihat kemunculan mereka yang tidak 
disangka-sangka itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya 
hanya terpaku di tempatnya. Sementara ketiga orang wanita itu 
sudah saling berangkulan dengan wajah pucat! 
"Anak-anak! Serbuuu...!" Lujita berteriak garang. 
Pemuda berjubah putih itu, tersentak kaget. Segera 
diperintahkan agar ketiga gadis itu menepi. Dengan gera-kan 
yang indah, pemuda yang bemama Panji itu menge-goskan 
tubuhnya menghindari sabetan pedang yang me-ngarah ke 
lehernya. Tidak sampai di situ saja, ternyata senjata-senjata 
lainnya juga ingin merencah tubuh Panji. Namun pemuda itu 
dengan lincah berkelit kesana kemari menghindari serangan 
yang serentak itu. 
Tapi sayang, yang dihadapi kali ini adalah pemuda yang 
menjadi murid kesayangan si Malaikat Petir. Tentu saja bukan 
hal yang mudah untuk dapat melukainya! 
Serangan-serangan anak buah Sepasang Harimau Terbang 
yang berjumlah kurang lebih lima belas orang itu, dapat 
dihadapi Panji dengan mudah. Sampai sejauh ini, pemuda itu 
sama sekali belum balas menyerang. Dia masih saja mengelak 
kesana dan kemari untuk menghin-dari ancamam ujung 
senjata-senjata lawannya. Tentu saja hal ini membuat para 
pengeroyoknya menjadi sema-kin marah, bahkan makin 
memperhebat serangan-sera-ngannya. 
Melihat kelincahan pemuda berjubah putih itu, Sepa-sang 
Harimau Terbang yang berdiri di luar arena menjadi geram 
sekali. Dengan satu teriakan nyaring, tubuh ke-duanya segera 
melayang ke arah Panji.

Pemuda itu segera memalingkan wajahnya ketika men-
dengar desiran angin tajam yang mengarah kepadanya. Sambil 
merundukkan tubuhnya, kedua tangan Panji ber-balik memapak 
serangan yang berbahaya itu. 
Plak! Plak! 
Terdengar suara nyaring ketika kedua pasang lengan 
Sepasang Harimau Terbang bertemu telapak tangan Panji. 
Tubuh Lujita dan Lukita terdorong mundur sejauh lima langkah. 
Kedua tangan mereka terasa linu, ketika ber-temu dengan 
telapak tangan pemuda berjubah putih itu. Padahal Panji hanya 
mempergunakan separuh dari tena-ganya. 
"Gila! Tenaga dalam pemuda ini ternyata sangat hebat!" 
dengus Lukita, orang termuda dari Sepasang Harimau Terbang. 
"Ah! Tentu saja! Posisinya lebih menguntungkan, Adi Lukita!" 
Bantah Lujita gusar. 
Kali ini Sepasang Harimau Terbang tidak ingin main-main 
lagi. Segera dikeluarkan ilmu andalan yang telah membuat 
nama mereka terkenal, yaitu ilmu 'Cakar Harimau'. Kedua 
pasang telapak tangan mereka memben-tuk cakar yang kekar 
dan kaku. Mereka kini mengurung tubuh Panji dengan 
serangan-serangan yang mematikan. 
Akan tetapi yang mereka serang kali ini adalah Panji! Murid 
kesayangan Eyang Tirta Yasa, si Malaikat Petir yang memiliki 
kesaktian tidak terukur, sehingga betapa-pun Sepasang 
Harimau Terbang itu mengerahkan segenap kemampuan yang 
dimilikinya dan menyerang pemuda berbaju putih itu kalang 
kabut, Panji dengan tenangnya dapat mengelakkan semua 
serangan mereka. 
Betapa berangnya hati Sepasang Harimau Terbang itu! 
Sebab telah hampir dua puluh jurus mereka melancarkan

serangan, tapi tak ada satu pukulan pun yang menyentuh 
tubuh pemuda itu. Padahal, mereka masih dibantu oleh lima 
belas orang pengikut mereka. 
"Hm.... Rupanya kalian tidak bisa dikasih hati! Kalau kalian 
ingin cepat-cepat mati, baiklah!" Dengus Panji yang akhirnya 
mulai jengkel. Melihat sikap lawan yang terus mendesaknya 
tanpa mempedulikan sikapnya yang telah banyak mengalah. 
"Bocah sombong! Tutup mulutmu! Ayo, kita buktikan, siapa 
yang lebih cepat masuk ke lubang kubur!" Bentak Lujita dengan 
wajah merah padam. 
"Baiklah, lihat serangan!" Seru Panji. 
Sehabis berkata demikian, Panji pun mengeluarkan ilmu 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebuah ilmu yang tidak ada 
keduanya di dunia persilatan. Pelahan-lahan di sekujur tubuh 
Panji mulai diseiimuti oleh sinar putih keperakan. Berbareng 
dengan itu, udara di sekitar tempat itu pun mulai terasa dingin. 
Semakin lama semakin dingin. Sehingga beberapa pengikut 
Sepasang Harimau Terbang menjadi menggigil kedinginan. 
Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' yang dikerahkan Panji. 
Diiringi dengan pekik keras mirip suara seekor naga yang 
sedang murka, tubuh Panji melesat. Pemuda ini mulai balas 
menyerang. Kali ini Panji tidak ragu-ragu lagi. Dikeluarkannya 
ilmu 'Naga Sakti'. Angin yang berhembus membawa hawa 
dingin menggigilkan menyertai setiap serangan itu. 
Akibatnya hebat sekali! Belum juga serangan Panji aba, satu 
persatu tubuh para pengikut Sepasang Harimau Ter-bang itu 
terlempar keluar arena. Tubuh mereka bergu-lingan di tanah 
sambil memeluk erat-erat tubuhnya yang menggigil. Gigi-gigi 
mereka bergemeletuk menahan sera-ngan hawa dingin yang 
amat dahsyat!

Hanya Lukita dan Lujita yang tidak begitu terpenga-ruh. 
Sungguhpun demikian, mereka pun tidak luput dari serangan 
hawa dingin yang menyebar keluar dari tubuh dan setiap 
serangan Panji. Sepasang Harimau Terbang ini diam-diam 
terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang 
masih muda ini mempunyai kepandaian begitu hebat! 
Diam-diam Panji terkejut juga melihat akibat dari ilmu 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkannya. Untunglah 
tadi, ia hanya mengerahkan separuh dari tenaganya. Tidak 
dapat ia membayangkan kalau ia tadi mengerahkan seluruh 
tenaganya. 
"Bocah setan! Ayo lawan aku!" Lukita berteriak-teriak 
memaki lawannya. 
"Ha ha ha.... Jangan berteriak-teriak, harimau om-pong! 
Bukankah kau yang memintanya?" Seru Panji sam-bil tertawa 
mengejek. 
Dengan hati terbakar, Lujita melancarkan serangan secara 
beruntun. Kedua tangannya yang berbentuk cakar itu, 
meluncur deras ke arah pusar dan mata Panji. Sementara dari 
arah belakang, kedua cakar Lukita mencengkeram ke arah 
lambung pemuda itu. Sungguh sebuah serangan yang 
berbahaya. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu karang pun 
pasti hancur terkena cengkeraman Sepasang Harimau Terbang 
itu. 
Pada saat kedua serangan itu hampir mencengkeram 
tubuhnya, Panji menggeser kaki kanannya membentuk 
setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak secara 
berlawanan, guna mematahkan serangan Lujita. Dengan cara 
demikian, ia pun juga telah berhasil menghindari serangan ke 
arah lambungnya yang dilancarkan Lukita. Tidak hanya sampai

di situ saja! Sepasang tangan pemuda itu langsung meluncur ke 
arah dada dan perut Lujita! 
Namun, Lujita bukanlah tokoh sembarangan. Dia ada-lah 
perampok ulung yang sudah delapan tahun malang melintang 
dalam dunia persilatan. Makanya, dalam kea-daan yang 
berbahaya itu pun segera dimiringkan tubuh-nya. Hasilnya, 
serangan Panji lewat hanya beberapa senti di depan dadanya. 
Tapi orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu salah 
duga apabila sudah merasa terbebas dari serangan lawannya. 
Karena berbarengan dengan gerakannya itu, Panji telah 
melepaskan tendangan kilat ke arah pelipis Lujita! Lujita 
tercekat meiihat serangan yang tidak terduga itu, Dengan cepat 
segera dimiringkan tubuhnya ke kanan! 
Desss! 
Tubuh Lujita melintir bagaikan sebuah gasing ketika 
tendangan Panji yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu 
menghantam bahu kirinya. Untunglah Panji hanya 
mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu. Kalau tidak, 
tentu tubuh Lujita sudah remuk dibuatnya. 
Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya. Tapi 
niatnya segera diurungkan karena telinganya menangkap 
desiran angin tajam di belakangnya. Ternyata Lukita ingin 
mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan 
serangan beruntun. 
Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu, 
untuk beberapa saat dapat menyelamatkan jiwa saudaranya 
dari kematian. 
Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan 
kelakuan mereka tidak mau tanggung-tanggung lagi Segera 
dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-serangan yang

tidak kalah dahsyatnya. Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut 
menerima serangan balasan dari pemuda itu. Laki-laki saudara 
Lujita itu menghindari serangan-serangan yang dahsyat dan 
berbahaya. 
Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan 
Panji tadi, berusaha untuk bangkit berdiri. Dicobanya mengusir 
hawa dingin yang mengeram dalam tubuhnya, dengan 
mengerahkan tenaga dalamnya. Bebe-rapa saat kemudian, 
Lujita sudah mampu tegak berdiri. Di tangan kanannya 
tergenggam sebatang golok besar. 
"Aaakh...!" Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari 
tengah arena pertempuran. 
Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak 
dapat mempertahankan dirinya lagi. Sebuah serangan yang 
dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian ilmu 'Naga Sakti' 
itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita 
terhempas bagai sebra daun kering yang tertiup angin. Dari 
mulutnya mengalir darah kental. Orang termuda Sepasang 
Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek 
lebar! 
Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu. 
Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur. 
Golok besarnya berkelebat ganas. Dicecarnya Panji dengan 
sabetan-sabetan golok besar yang berkelebatan cepat. Suara 
golok mengaung dahsyat, menandakan kalau golok besar itu 
digerakkan oleh tenaga yang kuat. 
Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya. Maka, 
ketika Lujita membabatkan golok besarnya ke arah 
pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda 
rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari 
terbuka membentuk cakar naga. Serangkum angin yang amat

dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu. Inilah jurus 
'Pukulan Naga Sakti’. 
Desss! 
Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya 
itu. Lujita menjerit kesakitan Tubuhnya ter-pental sejauh tujuh 
tombak dari tempatnya sendiri. Kontan orang tertua dari 
Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru! 
Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih 
selamat, segera menjatuhkan diri bersimpuh hadapan Panji. 
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami ber-janji... 
Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Ja-ngan bunuh 
kami, Tuan Pendekar!" Ratap mereka, sambil membentur-
benturkan kepalanya ke tanah. 
"Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa 
diberi hati! Sekarang kalian meratap-ratap meminta ampun, 
tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan jahat lagi!" 
Dengus Panji sengit. 
Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah 
mereka pucat seperti kertas mendengar kata-kata Panji itu. 
"Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan 
Pendekar...! Kami berjanji...!" Ujar mereka lagi, dengan suara 
terputus-putus. 
"Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila 
kudapati kalian berbuat jahat lagi, maka akan kubunuh! 
Mengerti?!" Ancam Panji. 
"Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak 
akan mengulanginya lagi!" Jawab mereka sambil mengangguk-
anggukkan kepala.

"Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!" Bentak 
pemuda itu. 
Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka 
segera berlari meninggaikan tempat itu. 
Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang 
masih berangkulan. Wajah mereka nampak pucat. 
"Mereka sudah pergi semua," Ujar Panji sambil terse-nyum. 
Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil 
memandang kagum kepada Panji. 
"Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat 
sakti!" Kata gadis yang berambut sebahu. 
"Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang 
sedang mengamuk," sambung gadis yang berwajah bulat telur 
dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis yang paling 
cantik. 
"Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!" Ucap 
yang satunya lagi. 
Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar keme-sraan dari 
pandangan ketiga orang wanita itu. 
"Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!" Ajak Panji, untuk 
menyembunyikan kegugupannya. 
Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tem-pat 
tinggal ketiga orang gadis itu. Panji berjalan agak jauh di 
belakang mereka karena merasa kikuk melihat tatapan penuh 
pesona kepadanya. 
Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan. Pertan-da sang 
matahari sudah menyelesaikan tugasnya untuk hari ini. 
Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Sang dewi 
malam pun bersiap-siap memancarkan keindahan sinarnya.

**
EMAM

Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh 
memasuki perbatasan Desa Tambak. Mereka terdiri dari tiga 
orang wanita dan seorang pemuda tampan berjubah putih. 
Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik. Terlebih 
lagi, wanita yang berambut paling panjang. Wajahnya yang 
bulat telur itu, nampak sedap dipandang mata. Bibirnya yang 
merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum 
menggoda. Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin 
menambah daya tariknya. 
"Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?" Tanya si Pemuda 
Tampan, yang ternyata adalah Panji. 
"Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!" Jawab 
dua orang dari ketiga wanita itu. Sedangkan si gadis yang 
berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas disertai dengan 
senyumnya yang menawan. 
"Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti Itu! 
Kalian hanya membuatku serba salah saja," ujar Panji kikuk. 
"Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja." 
"Baiklah, hm... Kakang Panji," jawab keduanya meng-goda. 
Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di 
sebelah depan serombongan orang berkuda bergerak menuju 
perbatasan. Rombongan itu terdiri dari dua pu-luh orang laki

laki, dengan senjata di pinggang. Keliha-tannya mereka 
bersiap-siap untuk menghadapi sebuah pertarungan. 
Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang 
berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya yang gagah dan 
bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di seki-tar pipi dan 
dagunya, sehingga semakin terlihat berwi-bawa. 
Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan 
pembantu-pembantu utamanya. Yang di sebelah kanan 
mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain yang 
sama. Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling 
tidak dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Sinar matanya yang 
tajam, menandakan bahwa ia bukan orang yang lemah. 
Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak 
kasar. Sebaris kumis lebat melintang di antara hidung dan 
bibimya, sehingga terlihat galak dan angker. la berusia sekitar 
tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung 
sebilah pedang. Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing 
dengan ilmu olah kanuragan. 
Rombongan jtu terus melarikan kudanya keluar perba-tasan 
Desa Tambak. Wajah-wajah mereka terlihat tegang, sehingga 
tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. 
"Ayah...!" Teriak si gadis berambut panjang, yang ber-jalan 
didepan Panji. 
Gadis berambut panjang itu segera berlari menyong-song 
rombongan berkuda. Direntangkan tangannya di tengah jalan, 
yang akan dilewati rombongan itu 
"Ayah...!" Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring. 
Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera 
mengangkat sebelah tangannya ke atas. Serentak, orang-orang

yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan 
kuda-kudanya. 
"Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?" Tanya si Kumis Lebat, 
dengan wajah keheranan. 
"Kau... kau...," ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek 
kedua matanya, seolah-olah tak percaya dengan yang 
dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu di siang 
bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun 
dari atas punggung kudanya. 
"Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!" Tegas kedua 
orang wanita yang sudah pula berdiri di samping gadis yang 
benama Kenanga itu. Sementara Panji hanya membisu di 
belakangnya. 
"Anakku...," ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera 
melangkah mendekati gadis itu. Kedua tangannya 
dikembangkan. 
"Ayah...!" Gadis yang bernama Kenanga itu segera 
menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Tangisnya pun 
meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya penuh 
kasih sayang. 
"Anakku... anakku...," desah orang tua itu penuh rasa haru. 
Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan 
ayah dan anak itu menjadi terharu. Sebentar kemudian wajah 
mereka berubah cerah, karena berarti tidak perlu lagi bersusah-
payah mencari Kenanga. 
Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain 
Rasanya tak sanggup menyaksikan keharuan itu. la jadi teringat 
dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Samar-samar 
terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya. Panji

cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas 
tidak memungkinkan. 
Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah 
mereda, dan telah berganti dengan suasana gembira. 
"Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan 
Sepasang Harimau Terbang yang terkenal ganas itu?" Tanya 
orang tua yang masih belum memperhatikan orang-orang di 
sekelilingnya itu. 
"Oh!" Sentak gadis itu terkejut. "Aku sampai lupa! Ayah, mari 
kuperkenalkan dengan Kakang Panji!" Ajak Kenanga sambil 
menggandeng tangan ayahnya dengan wajah berseri-seri. 
Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah men-
dekati Panji. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum sambil 
memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng 
Kenanga. 
"Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami 
bertiga. Entah apa yang akan terjadi terhadap kami, apabila 
tidak ada Kakang Panji!" Ujar gadis itu memper-kenalkan 
pemuda itu kepada ayahnya. 
Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut 
wajah yang tampan dengan jubah putih dari kain sederhana itu 
masih tertunduk malu. Rasanya dia enggan untuk 
menyombongkan diri. 
"Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima 
kasih atas pertolonganmu!" Ucap orang tua itu sambil 
mengulurkan tangannya kepada Panji. 
"Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukan-kah 
memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-
menolong!" Sambut Panji merendah.

Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran, 
menjadi kagum akan perkataan yang tulus dari Panji itu. 
Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa 
pamrih. 
Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua 
orang wanita yang ditolongnya itu. Sebab, selama dalam 
perjalanan Panji sama sekali tidak pernah tahu nama mereka! 
Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan 
namanya. Mungkin malu. 
"Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah 
selesai, maka saya mohon diri untuk meneruskan perja-lanan 
saya," ujar Panji lagi. 
"Eh, mengapa begitu, Panji? Mengapa tidak singgah dulu di 
rumah kami? Lagi pula, hari sudah larut malam. Bukankah tidak 
enak melakukan perjalanan di malam hari?" Mohon Ki Umbaran 
sungguh-sungguh. 
"Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus 
diselesaikan!" Ujar Panji Heran! Mengapa aku menjadi demikian 
gugup? Pikir pemuda itu tak mengerti. Mungkin kegugupannya 
karena tatapan Kenanga yang begitu mem-pesona. 
Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar uca-pan 
Kenanga yang ditujukan kepadanya. Sehingga, gadis itu harus 
mengulangi lagi perkataannya sambil menyen-tuh lengan Panji. 
"Eh! Oh..., apa...?" Ucapnya dengan wajah ketololan-nya. 
Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan 
menatapnya dengan bingung. 
"Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai 
pertanyaanku tidak terdengar!" Kata gadis itu. Suaranya begitu 
merdu terdengar.

"Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjala-
nanku!" Panji berbohong. 
Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera 
mengulangi pertanyaannya. 
"Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam 
selarut ini? Apakah tidak lebih baik Kakang me-nginap di desa 
kami? Ayah tentu akan menyediakan tempatnya! Bukankah 
begitu. Ayah?" Ujar Kenanga sam-bil menoleh kepada Ki 
Umbaran. 
Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melang-kah 
mendekati Panji. Dan dipegangnya kedua pundak pendekar itu. 
"Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang sema-laman. 
Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalanan-mu dengan 
tubuh yang lebih segar," tegas Ki Umbaran. 
"Ayolah, Kakang!" Pinta kedua orang wanita yang telah 
ditolongnya itu. 
"Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu," jawab 
Panji tak kuasa untuk menolak terus-menerus. 
"Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang 
telah mengganggu perjalananmu!" Jawab Ki Umba-ran. 
Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa. Se-
mentara, seraut wajah dengan senyum sinis selalu mem-
perhatikan Panji. Matanya memancarkan sinar keben-cian. 
Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang 
cukup besar, dan berhalaman luas. Ki Um-baran berpaling 
menghadap ke arah rombongannya. 
"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke 
rumah masing-masing. Dan aku mengucapkan terima kasih

atas bantuan saudara-saudara," ucap Ki Umbaran. Suaranya 
terdengar berat dan berwibawa. 
Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun 
bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega. 
Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang 
pembantu utama kepala desa itu. 
"Jadi, Paman adalah kepala desa ini?" Tanya Panji pelahan. 
"Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!" Jawab 
Ki Umbaran merendah. "Mari, kita bicara di dalam saja." 
Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan 
depan rumah besar itu. Sedangkan kedua orang pembantu 
utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar gedung. 
Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki 
Panji. 
"Silakan, Panji!" Ujar Ki Umbaran setelah mereka ber-ada di 
sebuah ruangan yang cukup luas. Sepertinya, ruangan itu 
dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu agung. 
"Terima kasih, Paman!" 
Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang 
kejadian di hutan itu, hingga ia dapat membebaskan Kenanga 
dan dua orang pembantunya. 
Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera men-
ceritakan pengalamannya. Dia sama sekali tak menying-gung 
tentang kepandaian, apalagi pamrihnya. 
"Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah ter-bunuh 
olehmu?" Tanya Ki Umbaran. Wajahnya meman-carkan 
ketidakpercayaan. 
"Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja, 
Paman!" Ujar Panji merendah.

"Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat 
sekali! Bagaimana caranya pemuda ini dapat mem-bunuh 
mereka?" Tanya Ki Umbaran dalam hati. Tentu saja, 
pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji. 
Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya. 
Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian 
yang dimiliki pemuda di hadapannya ini. 
"Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang 
Harimau Terbang yang masih hidup?" Tanya Ki Umbaran lagi. 
Wajahnya agak gelisah. 
"Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan 
mengulangi perbuatannya," jawab Panji. "Eh! Ada apakah, 
Paman?" Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran gelisah. 
"Ah! Sungguh berbahaya sekali...!" Desah orang tua itu 
sambil menghela napas berat. 
"Kenapa, Paman...?" Tanya Panji. Dia masih belum mengerti 
hal apa yang membuat Ki Umbaran resah. 
Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikir-kan 
sesuatu. Dahinya berkerut seperti tengah memba-yangkan 
sesuatu. Dengan sebuah helaan napas berat bagai ingin 
melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka 
suaranya. 
"Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih 
mempunyai seorang guru yang sangat kejam dan memiliki 
kepandaian yang tinggi." 
"Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?" 
Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat 
ditangkapnya arah pembicaraan Ki Umbaran itu. "Jadi, maksud 
Paman, orang-orang yang saya bebaskan akan mengadu 
kepada guru mereka?" lanjutnya.

"Bisa jadi begitu!" Jawab Ki Umbaran. 
"Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa 
ini?" Tanya Panji lagi. 
"Itulah yang kukhawatirkan, Panji." 
"Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?" 
"Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang 
mengetahui nama aslinya. Kepandaiannya sangat tinggi, dan 
jarang ada tokoh persilatan yang dapat me-nandingi 
kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah 
dapat dipastikan bahwa desa ini akan musnah!" Tegas Ki 
Umbaran, penuh duka. 
"Ah! Sungguh berbahaya sekali!" Desah Panji. Jelas dia ikut 
khawatir karena secara tidak langsung dialah yang telah 
menjadi sebabnya. "Paman! Kalau benar iblis itu akan 
menyerang desa ini, biarlah saya yang akan meng-hadapinya!" 
Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan 
kepandaiannya sedikit pun. 
"Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat 
berarti bagi kami!" Ujar Ki Umbaran. Wajahnya kembali berseri. 
Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa 
yakin bahwa kepandaian pemuda di hadapan-nya tentu sangat 
tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat mengalahkan 
Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu? Walaupun tentu 
saja ia tidak yakin kalau pe-muda ini akan mampu menghadapi 
Laba-Laba Beracun! 
"Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau ten-tu 
sudah lelah, dan ingin beristirahat, bukan? Ah! Dasar aku tuan 
rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu tamu-nya sudah 
merasa lelah!" Kata kepada desa itu sambil tertawa.

"Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengan-tuk!" 
Jawab Panji tersenyum. 
"Ah, sudahlah," ucap Ki Umbaran, kemudian segera 
memanggil salah seorang pelayannya. Dengan segera, seo-rang 
pelayan terbungkuk-bungkuk datang menghampiri. Pelayan itu 
diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang telah 
dipersiapkan. 
Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera 
mengikuti pelayan itu. KI Umbaran menganggukkan kepalanya 
yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan menimpa 
desanya. 
Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pem-
baringan. Sejenak pikirannya melayang pada kejadian sore tadi 
yang dialaminya. Dan sekilas muncul bayangan seraut wajah 
berbentuk bulat telur. Rambutnya yang panjang dan hitam. 
Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapus-nya bayangan indah yang 
melintas di alam pikirannya itu. Sebentar kemudian, terdengar 
suara dengkurnya yang halus. 
*** 
Hari masih gelap. Fajar pun belum lagi terbit. Suara 
jengkerik pun masih terdengar bersahut-sahutan. Namun, di 
pagi yang segar itu Panji telah terbangun dari tidurnya. 
Tubuhnya terasa segar sekali. Dibukanya jen-dela, agar udara 
sejuk dapat masuk memenuhi ruangan kamarnya. . 
Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin 
menikmati udara di pagi yang sejuk dan menyegarkan. Pemuda 
itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya ter-senyum

senyum sendiri. Sesekali pemuda itu menghirup udara 
sebanyak-banyaknya sambil mengangkat kedua tangannya. 
Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di 
belakang rumah kepala desa itu. Hatinya yang diliputi 
kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ke-tika melihat di 
sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam. 
Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-
desiran angin. Suaranya jelas berbeda, dan lebih tajam dari 
sekedar tiupan angin. Tidak lama kemudian, terdengar 
bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati 
Panji semakin penasaran. 
"Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta 
begini?" Gumamnya tak jelas. Rasa ingin tahu yang me-nguasai 
perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya ada-lah seorang 
tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya. 
Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju bela-kang 
taman. Gerakan-gerakan yang cukup mantap diser-tai 
bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ter-nyata 
datangnya dari seorang gadis. Begitu indah sekali, bagaikan 
sebuah tarian saja layaknya. Kakinya yang ram-ping bergerak 
gesit, mengikuti gerakan tangan mungil berkulit halus. 
Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak ber-kedip. 
Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya. 
Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga. 
Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis 
lain memberikan sebilah pedang yang besi gagang indah 
kepadanya. Gagang pedang itu dihiasi rangkaian bunga 
berwama biru, sehingga nampak semakin menarik. Apalagi 
yang memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari, 
maka semakin sedap lah dipandang mata.

"Haiiit..!" 
Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya. Dan 
mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang yang indah dan 
menawan. Suara ayunan pedangnya berdesing membelah 
udara pagi yang bening. 
Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya 
mempunyai banyak kelemahan di sana-sini, namun Panji harus 
mengakui kalau permainannya benar-benar indah dipandang 
mata. Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang 
memainkan tarian pedang. 
Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi 
permainan pedangnya. Wajahnya kemerahan, karena aliran 
darahnya semakin lancar. Sehingga semakin me-nambah 
kecantikannya. Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher 
dan dahinya. 
Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang 
gadis itu, tanpa sadar Panji keluar dari tempat persem-
bunyiannya sambil bertepuk tangan. 
"Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!" Puji pe-muda 
itu sambil bertepuk tangan. Senyumnya mengem-bang di bibir. 
Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi 
terkejut sekali ketika Panji muncul. Wajah gadis itu men-jadi 
semakin merah karena rasa jengah dan malu. 
"Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa 
kepandaianku yang jelek disejajarkan dengan kepandaian 
Kakang?" Kilah gadis itu sambil tersipu malu. "Eh! Bagai-mana 
Kakang bisa berada di sini?" Tanya gadis itu. 
Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu men-jadi 
kikuk, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya berdiri 
bengong.

"Eh! Aku... aku... itu...!" Jawab Panji gugup. Dia jadi serba 
salah dan malu akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda 
itu mengutuk dirinya, yang telah berbuat tolol itu. 
"Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!" Kata gadis 
itu sambil tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang. 
"Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi 
ini," Lanjut Kenanga lagi. 
Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya 
dapat tersenyum masam. 
"Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak ku-sengaja 
untuk melangkah ke sini! Suasana pagi yang begitu segar tanpa 
terasa telah membawa langkahku ke taman!" ucap Panji, 
dengan perasaan bersalah. 
"Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami ha-nya 
terkejut!" Jawab gadis berambut sebahu, yang sudah pula 
datang mendekat. 
Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk 
menggunakan kesempatan ini. Dia sudah menyaksikan 
kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak 
meminta petunjuk kepadanya. 
"Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permai-nanku 
tadi?" Tanya Kenanga memancing 
"Bagus! Dan indah sekali!" Jawab Panji, tanpa me-
nyembunyikan kekagumannya Panji memang berkata yang 
sebenarnya. 
"Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!" Bantah Kena-nga, 
meskipun ia merasa bangga juga dipuji pemuda se-perti Panji. 
Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang 
diimpikannya memuji-muji dirinya?

"Lalu, maksudmu?" Tanya Panji tak mengerti. 
"Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?" Sergah 
gadis yang lainnya lagi. "Bukankah apa yang dimaksudkan Den 
Ayu Kenanga sudah jelas?" Sambung-nya lagi. 
"Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?" Jawabnya 
bingung. Sebab pemuda itu memang benar-benar belum 
mengerti maksud perkataan Kenanga. 
"Hm.... Begini, Kakang!" Ujar Kenanga. "Aku... eh! Bo-lehkah 
aku meminta petunjukmu tentang ilmu olah ka-nuragan?" 
Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam. 
"Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...," tolak Panji halus. 
"Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolak-nya," 
jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati 
Kenanga menjadi kecewa ketika mendengar penola-kan 
pemuda pujaannya itu. 
"Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Ke-nanga! 
Aku... aku... aaah...!" Panji tak sanggup menerus-kan kata-
katanya. 
"Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut men-dapat 
petunjuk darimu!" Tegas Kenanga sambil memba-likkan tubuh 
dan berlari meninggalkan tempat itu. Keli-hatannya dia kecewa 
sekali. 
"Adik Kenanga! Tunggu!" kata Panji serak. Dan pemuda itu 
pun segera melesat mengejar Kenanga yang dirundung 
kekecewaan. Dengan sekali lompatan saja, tubuh Panji telah 
berdiri menghadang di depan Kenanga. Karena ter-bawa 
perasaan yang tak menentu, Panji mengulurkan kedua 
tangannya dan memegang bahu gadis itu.

Keduanya berdiri bingung. Tubuh sepasang muda-mudi itu 
bergetar. Aliran darah mereka seolah-olah ter-balik. Begitu 
sadar, Panji menarik kedua tangannya dan wajahnya langsung 
berubah kemerahan. 
Demikian pula halnya dengan Kenanga. Untuk bebe-rapa 
saat tadi, ia seperti terlena oleh sentuhan tangan Panji. 
Bidadari jelita itu pun tertunduk malu. Pipinya me-merah saga. 
"Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya 
bukan maksudku untuk menolak, tapi aku...," Panji bagaikan 
kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu hams mengucapkan 
apa. 
"Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!" 
Jawab Kenanga bersungguh-sungguh. 
"Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk 
memberikan petunjuk kepadamu. Tapi, bagaimana dengan 
ayahmu?" 
"Aku tidak keberatan, Panji!" Jawab sebuah suara. Dan tiba-
tiba saja sesosok tubuh gagah, melangkah keluar dari batik 
semak-semak dan langsung menghampiri mereka. 
"Ayah...!" Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu. 
"Ah! Paman..!" Ujar Panji kaget. 
Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia 
tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Panji. Memang Ki 
Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu. 
"Nah! Apa lagi yang kalian tunggu? Bukankah aku telah 
menyetujuinya?" Kata Ki Umbaran, mempertegas keragu-
raguan Panji. 
Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah 
kanuragan kepada Kenanga. Sebenarnya dia ingin menitipkan

anaknya kepada padepokan yang ba-nyak terdapat di daerah 
Selatan. Namun, karena Kenanga anak satu-satunya, maka Ki 
Umbaran tidak sampai hati melepaskannya. Dan kini, ada 
seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian 
tinggi. Maka apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya. Lagi 
pula pemuda itu sangat sopan! Jadi, tidak perlu ada yang 
ditakutkannya. 
Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu. 
Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang 
kelemahan ilmu olah kanuragan pada gadis itu. 
Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu 
ketekunan Panji, sudah meninggalkan taman itu. Kepala Desa 
Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah pesta untuk 
menyambut kedatangan anaknya kembali. Dan tanpa 
sepengetahuan Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu 
segera mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan 
dalam pesta nanti. 
*** 
TUJUH


Malam itu bulan bersinar terang. Bintang-bintang yang 
bertaburan, bagaikan pelita penghias malam. Langit yang 
bening saat ini membuat suasana malam itu semakin meriah. 
Demikian pula keadaan Desa Tambak. Obor-obor yang berjejer 
sepanjang jalan, membuat desa itu menjadi terang benderang. 
Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa,

tempat diadakannya pesta atas kem-balinya putri sang kepala 
desa dengan selamat. 
Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai 
desa, agar seluruh penduduk desanya dapat menik-mati pesta 
itu. Hiasan-biasan pun telah dipasang di seki-tar balai desa. 
Panggung juga telah berdiri di tengah hala-man yang luas itu. 
Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah meme-nuhi 
halaman balai desa, nampaknya pesta pun segera pula dimulai. 
Berbagai hiburan ditampilkan. Mulai dari tari tarian sampai 
sandiwara rakyat Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi 
paling depan, menghadap ke panggung Di sebelah kirinya, 
duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya. Bibirnya yang 
merah merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman 
manis. Hatinya bukan main gembiranya menyaksikan hiburan di 
pang-gung. Terlebih lagi melihat sambutan penduduk Desa 
Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan ke-pulangan 
dirinya. 
Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula 
merasakan kegembiraan yang belum pernah di-temui 
sebelumnya. Pesta itu benar-benar meriah! Meski-pun seluruh 
pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik 
dan mempesona. Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya 
betul-betul bahagia pada malam itu. 
Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu 
merasa bahagia. Seperti hatnya sosok tubuh yang berdiri tidak 
jauh dari panggung. Orang itu tampak-nya tidak peduli dengan 
keramaian itu. Wajahnya yang cukup tampan hanya tersenyum 
sinis. Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah 
Panji tanpa ber-paling sedikit pun. 
Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata se-merah 
bara itu, tampak duduk dengan tenang tanpa memperhatikan

keadaan sekelilingnya. Panji sama-sekali tidak merasa 
terganggu oleh pandangan menusuk itu. 
Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah 
berakhir. Suara tepukan bergemuruh membahana bagai hendak 
merubuhkan panggung. Malam sudah semakin larut, kerika 
semua acara segera usai. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam 
melayang naik ke atas pang-gung. Dengan dua kali bersalto di 
udara, didaratkan kaki-nya di atas panggung. Sorak-sorai 
menyambut kehebatan orang berbaju hitam itu. 
"Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila 
pesta ini tidak ditutup dengan pertunjukan ilmu olah 
kanuragan!" Orang berbaju hitam berhenti sejenak untuk 
mengetahui sambutan para penonton yang meng-hadiri tempat 
itu. Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan 
setuju, orang berbaju hitam itu tersenyum. Segera diangkatnya 
kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi kebisingan itu. 
Beberapa saat kemu-dian, suara bising itu lenyap. 
"Jagal! Apa maksudmu?!" Teriak Ki Umbaran yang sudah 
bangkit dari kursinya dengan kedua tangan ter-kepal menahan 
geram. Wajah kepala desa itu tampak memerah. 
Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada 
kepala desanya. Tubuhnya dibungkukkan sebagai tanda 
hormat. 
"Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak sua-sana 
pesta saja!" Sahut orang yang dipanggil Jagal, dengan suara 
nyaring. 
Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa 
Tambak. Meskipun sikapnya agak sedikit urakan, namun belum 
pernah melakukan kesalahan besar. Pa-ling-paling hanya minta 
sedikit uang jago dari para peda-gang di pasar. Dan antara

Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang 
dingin'. 
"Lalu, apa maumu?" Tanya sang kepala desa lagi. 
Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya 
laki-laki bertampang seram itu. Tapi, ia ingin memastikannya 
lewat jawaban dari mulut orang yang bernama Jagal itu. 
"Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah keda-tangan 
seorang pendekar muda yang hebat, sehingga dapat 
membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak 
percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu. 
Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehe-batan pendekar 
muda itu?" Jagal berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun 
matanya tak lepas-lepas meman-dang Panji. 
"Huh! Manusia tak tahu diri!" Bentak Kenanga yang sudah 
bangkit dari tempat duduknya. "Mengapa baru se-karang kau 
jual lagak? Dulu semasa setan-setan keparat itu masih hidup 
kau mirip sapi ompong!" Sambung Kenanga ketus. 
Merah seluruh wajah Jagal mendengar sindiran itu, namun ia 
tidak bisa mengelak dari kata-kata yang tepat mengenai 
sasarannya itu. Untuk beberapa saat lamanya, orang sok jago 
yang bernama Jagal itu tidak berkutik. 
"Nah! Mana lagakmu, heh!" Ejek Kenanga lagi ketika mielihat 
Jagal seperti kehabissan kata-kata. 
"Nini Kenanga! Hebat sekali ucapanmu. Aku jadi ingin tahu, 
apakah ilmu silatmu sehebat lidahmu?" Tanya Jagal gemetar 
bemada tantangan. Dia marah sekali dihinakan oleh gadis itu 
didepan umum. 
"Hei! Apa kau pikir, aku takut?" Balas Kenanga tak kalah 
garangnya. Tanpa banyak bicara lagi, gadis jelita itu seger


melesat ke atas panggung. Kenanga berdiri di hadapan Jagal 
sejauh dua tombak Senyumnya terlihat mengejek. 
"Ayo! Tunjukkan kehebatanmu, jagoan kampung!" Ejek 
Kenanga pedas. 
Mendengar julukan itu, Jagal marah bukan main. Se-mentara 
orang-orang yang menonton tertawa geli men-dengar julukan 
yang diberikan Kenanga. Wajah Jagal yang hitam, menjadi 
semakin gelap. 
"HaH-hatilah, Nini! Jangan sampai mulutmu yang indah itu 
kusobek!" Ancam Jagal dengan suara gemetar. 
"Majulah! Jangan hanya pentang bacor!" 
"Bangsat! Kubunuh kau!!" Teriak Jagal. 
Tubuhnya segera melesat menerjang Kenanga yang masih 
berdiri bertolak pinggang. 
Kerika kepalan Jagal hampir menyentuh tubuhnya, Kenanga 
segera menggeser kaki kanannya ke belakang Kemudian, 
tangan kirinya mengirim serangan ke dada lawan. Ini adalah 
salah satu ilmu yang telah disempurna-kan oleh Panji. 
Melihat serangan balasan dari gadis itu, Jagal tidak menjadi 
bingung. Segera dielakkannya pukulan itu seraya membalas 
dengan tidak tanggung-tanggung lagi. Terjadi-lah pertarungan 
yang cukup seru dan menarik. 
Jagal yang sudah marah itu, menyerang dengan puku-lan-
pukulan yang berbahaya. Dia seolah-olah ingin men-jatuhkan 
lawannya dengan sekali pukul saja. Tangannya yang kasar dan 
terlihat kuat itu, berkeiebatan cepat. 
Sampai sepuluh jurus terlewat, serangan-serangan Jagal 
belum juga mengenai sasaran. Gerakan-gerakan Kenanga yang

lincah itu, benar-benar telah membuat Jagal penasaran. Maka 
Jagal pun semakin memperhebat serangan-serangannya. 
Pada jurus ke dua belas, pukulan Jagal meluncur ke arah 
lambung Kenanga. Gadis jelita itu, segera memiring-kan 
tubuhnya ke kanan dibarengi gebrakan tangan kanannya ke 
perut lawan. 
Desss! 
Tubuh Jagal terdorong mundur sejauh empat langkah. 
Namun, tubuh orang itu ternyata kuat sekali! Pukulan itu tidak 
menimbulkan luka yang berarti. Sedangkan Kena-nga malah 
sebaliknya. Lengannya terasa nyeri dan linu, ketika membentur 
tubuh jagoan pasar itu. Diam-diam ga-dis itu sedikit ciut 
hatinya, melihat kekuatan lawan yang sama sekali di luar 
dugaannya. 
Sementara itu, Jagal sudah membangun serangan kembali. 
Kali ini dia bersikap lebih hati-hati! Serangan-serangannya tidak 
seganas semula namun penuh per-hitungan. Justru serangan 
yang seperti Inilah yang lebih berbahaya, dan sulit dltembus 
pertahanannya. 
Sebentar saja, Kenanga sudah mulai terdesak dan hanya 
dapat bermain mundur. Berkali-kali serangan Jagal hampir 
menghantam tubuhnya. Untunglah berkat kegesitannya, ia 
masih dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan. Tapi, biar 
bagaimanapun pertahanannya pasti bobol juga. 
Ki Umbaran begitu cemas melihat putrinya hampir tidak 
berdaya membalas serangan Jagal. Orang tua gagah itu 
meremas-remas kedua tangannya dengan perasaan gelisah. 
Keadaan Kenanga memang benar-benar mulai gawat. Pada 
saat itu, dua buah pukulan Jagal meluncur ke arahnya!

Kenanga berusaha sebisanya menghindari serangan itu, 
namun terlambat karena ketika dia berusaha mem-buang 
tubuhnya ke kanan, pukulan Jagal telah lebih dulu menghantam 
perutnya. 
Plak! Desss! 
Tubuh gadis jelita itu terjengkang ke belakang. Namun, 
sebelum tubuh Kenanga jatuh ke bawah panggung, tiba-tiba 
sesosok bayangan putih melayang, menyambar tubuh gadis itu. 
Tubuh ramping itu pun tidak sampai terbanting ke tanah yang 
keras. 
Bayangan putih yang ternyata adalah Panji, segera me-
nurunkan tubuh Kenanga di atas lantai panggung. Pada saat 
yang bersamaan, Jagal sudah pula menerjang Panji. Kedua 
tangan Jagal meluncur cepat ke arah tengkuk dan dahi 
pendekar itu. Sebuah serangan yang curang dengan cara 
membokong. 
Panji sama sekali tidak menoleh ke arah serangan Jagal. la 
sibuk menotok beberapa bagian tubuh Kenanga agar tidak 
menderita luka dalam. Kerika serangan yang berbahaya itu 
hampir menyentuh tubuhnya, Panji hanya mengebutkan lengan 
kanannya secara sembarangan untuk memapak kedua 
serangan Jagal. Kelihatannya per-lahan saja. 
Plakkk! 
Akibatnya hebat sekali! Tubuh Jagal terlempar balik 
Tubuhnya melayang, dan terdengar suara benda berat ja-tuh 
ke bumi. Tubuh jagoan yang bernama Jagal itu jatuh ke bawah 
panggung dalam keadaan pingsan. Sementara dari sela-sela 
bibirnya, mengalir darah segar. 
Para penduduk desa yang melihat kejadian itu, hanya dapat 
berdiri bengong. Baru setelah tubuh Jagal tergele-tak di tanah,

mereka berlari mengerubungi tubuh jagoan kampung itu. 
Sementara Ki Umbaran pun tersentak kaget Sampai terbangkit 
dari kursinya. la yang sudah dapat mengukur kepandaian Panji, 
tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebatnya. Jagal 
yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, hanya dengan sekali 
kebutan tangannya sudah tergeletak pingsan! 
"Luar biasa! Tak kusangka kepandaian pemuda itu demikian 
hebatnya! Ah! Rasa-rasanya pemuda itu pasti akan mampu 
menghadapi Laba-Laba Beracun, yang ganas dan memiliki 
kepandaian seperti iblis itu," gumam Ki Umbaran penuh harap. 
Di tempat lain, sepasang mata penuh iri itu pun tidak kalah 
terkejutnya. Wajahnya mendadak pucat bagai tak teraliri darah. 
"Gila! Apakah anak muda itu mempunyai kepandaian seperti 
malaikat?" Desah orang itu dengan hati gelisah. 
Sementara itu Kenanga si Bidadari Jelita sudah mulai sadar 
dari pingsannya. Gadis jelita itu mengehih sejenak. Kemudian 
dikerjap-kerjapkan matanya dan memperhati-kan keadaan di 
sekelilingnya. 
"Oh..., Kakang Panji," ujar Kenanga ketika melihat pe-muda 
itu duduk di dekatnya. "Apa yang terjadi, Kakang?" Tanyanya 
kemudian. 
"Kau tadi terjatuh terkena pukulan lawanmu, lalu pingsan!" 
Jawab Panji sambil memandang mata yang ber-sinar bagai 
bantang kejora itu. Ah, sungguh indah sekali mata itu, bisik 
hatinya mengagumi indahnya mata Kenanga. 
"Lalu..., ke manakah perginya manusia keparat itu?" Tanya 
Kenanga. Gadis itu lalu bangkit berdiri, dan men-cari-cari orang 
yang dimaksud sambil mengedarkan pan-dangannya. 
Kenanga lalu melangkah menghampiri kerumunan orang 
desa, yang berada agak jauh di depannya. Ketika ia sampai di

situ, orang-orang desa segera menyingkir agar putri kepala 
desanya dapat melihat jelas. Kenanga men-jadi terkejut sekali, 
kerika melihat tubuh jagoan kampung itu tergeletak pingsan. 
Darah masih mengalir dari sela-sela bibirnya. 
"Dia kenapa, Kakang?" Tanya Kenanga kepada Panji, yang 
sudah berdiri di sebelahnya. 
"Ah! Dia hanya terjatuh ketika aku menangkis puku-lannya," 
jawab Panji menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. 
Kenanga yang sudah tahu akan silat Panji, tidak ber-tanya 
lebih jauh. "Oh.., hanya terjatuh!" Ujarnya meng-goda. 
Panji hanya tersenyum mendengar sindiran Kenanga. 
Melihat keadaan sudah aman, Ki Umbaran segera me-lesat 
ke atas panggung. 
"Saudara-saudara sekalian! Pesta sudah berakhir. Dan saya 
persilakan untuk kembali ke rumah masing-masing!" kata Ki 
Umbaran. Suaranya berat dan berwibawa. 
Tidak berapa lama kemudian, orang-orang desa itu pun 
segera bergegas meninggalkan arena keramaian. Hanya 
beberapa orang saja yang masih tinggal, untuk membereskan 
tempat pesta itu. 
Baru beberapa tombak para penduduk meninggalkan 
halaman balai desa, tiba-tiba terdengar suara tawa yang 
menggelegar dan bergema di empat penjuru. Suara tawa itu 
demikian keras dan menyeramkan, disalurkan dengan tenaga 
dalam yang cukup tinggi. 
"Ha ha ha...!" Suara tawa itu terus berkumandang bagaikan 
tiada habis-habisnya. Seolah-olah bukan suara tawa manusia 
saja!

Para penduduk berlarian cerai-berai sambil mendekap kedua 
telinganya, tanpa mempedulikan arah lagi. Bahkan banyak di 
antara mereka yang jatuh terguling-guling me-nahan sakit. 
Sementara dari mulut dan hidung mengalir darah segar! Dalam 
sekejap saja, gemparlah suasana di halaman balai desa itu. 
Ki Umbaran sendiri, sudah duduk bersila menghimpun hawa 
murninya untuk melawan pengaruh tawa yang dah-syat dan 
menyakitkan itu. Untuk beberapa saat lamanya ia masih dapat 
bertahan dari pengaruh suara tawa itu. Namun tidak lama 
kemudian tubuhnya mulai bergetar, karena suara tawa itu 
mulai mendesak hawa murninya. Tenaga dalam dari tawa itu 
begitu kuatnya. 
Untunglah saat kejadian itu, Kenanga berada di sam-ping 
Panji. Pemuda itu segera menempelkan telapak ta-ngannya ke 
punggung gadis itu, sehingga Kenanga tidak lagi terpengaruh 
oleh suara tawa yang dahsyat itu. Tidak hanya sampai di situ 
saja tindakan Panji. Segera ia mengerahkan tenaganya. Tidak 
lama kemudian, terdengar suara lengkingan halus yang kian 
meninggi sehingga menindih gema suara tawa yang me-
nyakitkan itu. 
Tiba-tiba, suara tawa itu pun lenyap terhimpit oleh suara 
lengkingan halus yang keluar dari mulut Panji. Dan untuk 
beberapa saat lamanya, suasana di sekitar tempat itu menjadi 
hening. Panji yang telah menghentikan lengki-ngannya, segera 
mengedarkan pandangannya ke atas pohon besar yang berada 
di sekitarnya. 
"Hm.... Hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani 
menyerang secara terus terang!" Teriak Panji keras disertai 
pengerahan tenaga dalamnya. Belum lagi gema suara pemuda 
itu hilang, mendadak telinganya yang terlatih menangkap 
desiran angin halus yang menuju ke arahnya.

Serrr! Serrr! 
Panji segera menduga, bahwa desiran angin yang halus itu 
berasal dari senjata-senjata rahasia. Cepat bagai kilat, pemuda 
itu berbalik menghadap ke arah serangan itu berasal. Dan, 
dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset! Dalam keremangan 
sinar obor, terlihat tujuh buah sinar meluncur ke arah tujuh 
jalan darah kematian di tubuh-nya. Kecepatannya sukar diikuti 
mata biasa. 
Dari cara penyerang gelap itu memperdengarkan tawa 
maupun melepaskan senjata rahasianya, Panji sudah dapat 
menilai bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi. 
Oleh karena itu, ia pun tidak ingin main-main lagi. 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan” langsung dikeluar-kannya. Pelahan 
namun pasti sekujur tubuh Panji diseli-muti cahaya putih 
keperakan. Dan seiring dengan mun-culnya sinar putih 
keperakan itu, hawa dingin pun per-lahan menyebar di sekitar 
Panji. Kian lama kian dingin menggigilkan! 
Cepat bagai kilat, pemuda itu segera mengibaskan lengan 
kirinya. Maka terdengarlah suara bergemuruh yang dahsyat 
disertai hembusan angin dingin yang hebat mengiringi kibasan 
tangannya. Akibatnya, senjata-senjata rahasia itu berguguran 
di tengah jalan. Tidak sampai di situ saja! Panji yang sudah 
tidak ingin bertindak kepalang tanggung, segera mengirimkan 
sebuah pukulan jarak jauh ketika senjata-senjata rahasia itu 
kembali menye-rangnya. 
Wusss! 
Angin yang amat dingin berhembus keras memapak serbuan 
senjata-senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya. 
Seluruh senjata rahasia itu langsung runtuh ke tanah, 
disertai suara berderak keras yang ditimbulkan oleh se-buah

pohon besar di sebelah kiri panggung. Pohon besar itu kontan 
tumbang diterjang angin pukulan dari Panji. 
Berbarengan dengan tumbangnya pohon itu, sesosok 
bayangan hitam melayang turun dan mendarat dua tom-bak 
dari Panji berdiri. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh bagaikan 
batu karang. Wajahnya tertutup brewok yang tak terurus. 
Jubah hitamnya berwarna abu-abu yang di dada sebelah kirinya 
terdapat sulaman benang emas ber-bentuk seekor laba-laba. 
Ki Umbaran yang sudah bangkit dari duduknya, me-natap 
orang yang baru datang itu, dengan wajah pucat bagai mayat. 
Tidak disangkanya kalau iblis itu akan da-tang demikian 
cepatnya. Buru-buru ia melangkah meng-hampiri Panji yang 
masih berdiri mengamati manusia di hadapannya itu. 
"Dia... dia... Laba-Laba Beracun! Hati-hati, Panji! Ke-
pandaian iblis itu hebat sekali!" Bisik Ki Umbaran dengan hati 
gentar. 
"Heh, Anak Muda! Engkaukah yang mempunyai julu-kan 
Pendekar Naga Putih?" Tanya orang berjubah abu-abu, yang 
berjuluk Laba-Laba Beracun itu. "Dan yang telah membunuh 
kedua orang muridku?" Sambungnya dengan suara dingin. 
Memang, Laba-Laba Beracun telah mendapat penga-duan 
dari para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang dilepaskan 
Panji waktu itu. Mereka menceritakan dua orang pemimpinnya 
telah tewas di tangan seorang pen-dekar yang memiliki gerakan 
bagai seekor naga dan me-ngeluarkan sinar yang berwarna 
putih keperakan dari tubuhnya. Pendekar Naga Putih, demikian 
kata mereka. Oleh karena itulah, mengapa si Laba-Laba 
Beracun pun menyebut Panji sebagai Pendekar Naga Putih. 
"Hai, orang tua! Aku tidak tahu, siapa yang kau mak-sud! 
Dan siapa pula yang telah membunuh kedua murid-mu itu?" 
Ujar Panji balik bertanya. Memang pemuda itu tidak tahu, siapa

yang memiliki julukan Pendekar Naga Putih. Diakah? Dan dia 
pun ingin memastikan, apakah yang dimaksud dengan kedua 
orang muridnya adalah Sepasang Harimau Terbang. Meskipun 
telah diberitahu Ki Umbaran, namun ia ingin mendengarnya 
langsung dari mulut orang yang bersangkutan. 
"Hm.... Ternyata kau adalah seorang pengecut, Pendekar 
Naga Putih! Tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah 
membunuh Sepasang Harimau Terbang itu! Hutang nyawa 
harus dibayar nyawa! Tapi kalau kau mau minta ampun 
padaku, dan bersujud di kakiku, mungkin aku akan 
memperrimbangkan, apakah aku harus meng-ampunimu atau 
tidak!" Ujar Laba-Laba Beracun dengan nada yang amat 
menghina. 
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan haus 
akan kesaktian, Laba-Laba Beracun penasaran se-kali ketika 
mendapat laporan dari para pengikut murid-nya. la yang sudah 
lama malang-melintang dalam dunia persilatan, tentu saja 
paham betul dengan ilmu-ilmu tinggi dari berbagai aliran. Tapi 
ketika mendapat laporan dari pengikut muridnya yang selamat, 
ternyata ia sama sekali tidak dapat menduga, ilmu apa yang 
dipergunakan oleh pemuda itu untuk membunuh muridnya. 
Kecuali dugaan kasar bahwa pemuda yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih itu menggunakan jurus naga! 
Paras Panji berubah merah ketika mendengar kata-kata 
'pengecut' yang dilontarkan orang itu. Ia mungkin tidak akan 
mempedulikan orang itu, apabila kata 'penge-cut' tidak 
didengarnya. Memang, Panji paling pantang disebut pengecut! 
Amarah pemuda itu pun segera bang-kit. 
"Hm, orang tua! Memang benar! Akulah yang mem-bunuh 
Sepasang Harimau Terbang Aku, Pendekar Naga Putih!" Dalam 
kemarahannya Panji mengiyakan julukan yang baru pertama 
kali didengarnya.

"Huh! Tidak penting, apakah engkau berjuluk Pende-kar 
Naga Putih, Naga Belang, Naga Buduk pun. Aku tidak peduli! 
Yang jelas, engkau harus membayar nyawa dua orang muridku 
dengan nyawamu dan nyawa seluruh penduduk Desa Tambak! 
Setelah itu barulah kuanggap lunas!" Tegas Laba-Laba Beracun 
geram. 
Setelah berkata demikian, tubuh Laba-Laba Beracun segera 
melesat ke arah Panji disertai serangan yang dah-syat! Jari-jari 
tangannya yang berbentuk taring laba-Jaba itu, meluncur ke 
arah ubun-ubun dan ulu hati Panji. Ke-lebatannya menimbulkan 
angin yang bersiutan. Sebuah serangan yang berbahaya! 
Panji segera menggeser tubuhnya ke kiri, sambil meng-
gerakkan tangannya menangkis serangan lawan. Sengaja 
dikerahkan sebagian dari tenaganya untuk mengukur ke-kuatan 
lawannya. 
Dukkk! 
Keduanya terdorong mundur. Kuda-kuda Panji tergem-pur, 
dan tubuhnya terdorong sejauh tiga langkah. Se-dangkan Laba-
Laba Beracun terjajar sejauh lima langkah ke belakang. Dari 
sini saja sudah bisa diketahui, bahwa tenaga dalam Laba-Laba 
Beracun masih di bawah Panji. Padahal, ia baru mengerahkan 
tiga perempat bagian dari tenaganya. 
Bukan main terkejutnya Laba-Laba Beracun. Tangki-san 
pemuda itu bukan saja membuatnya terjajar, dan dadanya 
tergetar. Tapi juga telah membuat sekujur tu-buhnya diselusupi 
hawa dingin yang membekukan darah! Buru-buru dikerahkan 
tenaganya untuk mengusir sera-ngan hawa dingin yang 
menggigilkan itu. Bukan main! Baru kali inilah ditemui lawan 
yang berat, padahal usia lawannya masih sangat muda. Benar-
benar sulit untuk dimengerti.

"Huh! Pantas saja sudah berani berlagak! Rupanya kau 
memiliki kepandaian yang lumayan! Sekarang cobalah kau 
sambut ini! Hiaaat...!" Tubuh Laba-Laba Beracun kembali 
melayang ke arah Panji. Kali ini serangannya ter-lihat lebih 
ganas dan cepat! Kedua tangannya menyerang berganti-ganti, 
dan menyambar-nyambar ganas. 
Panji yang sudah menduga kalau lawannya memiliki 
kepandaian yang tinggi, tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran 
pukulan lawan. Tubuh pemuda itu segera berke-lebatan di 
antara sambaran tangan lawannya. Tidak sam-pai di situ saja! 
Pemuda itu pun mulai melancarkan serangan-serangan balasan 
yang tidak kalah ganasnya. 
Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit! Tubuh 
Laba-Laba Beracun maupun Panji sudah tidak terlihat lagi. 
Keduanya bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat 
hanyalah dua bayangan hitam dan putih yang saling terjang 
dengan hebatnya. 
Pertempuran kedua orang sakti itu, demikian seru dan 
mencekam. Ki Umbaran memperhatikan perkelahian itu dengan 
hati yang berdebar-debar. Bagaimana tidak? Se-bab, nasib 
seluruh warga desanya berada di tangan Panji. Maka kalau 
pemuda itu tewas di tangan Laba-Laba Be-racun, berarti 
kehancuran bagi Desa Tambak! 
Lain yang dipikirkan Ki Umbaran, lain pula yang dipi-kirkan 
gadis jelita yang berdiri di sampingnya. Kenanga memandang 
ke arah pertempuran dengan hati yang tidak karuan. Apabila 
melihat bayangan hitam itu dapat men-desak bayangan putih, 
maka ia meremas-remas tangan-nya disertai perasaan gelisah. 
Dan kalau bayangan hitam terdesak, wajahnya kembali tenang. 
Tapi, biar bagaima-napun pertarungan itu telah membuat 
hatinya kacau.

Sementara pertarungan sudah memasuki jurus yang 
keempat puluh. Dan secara pelahan-lahan, bayangan putih 
sudah mulai mendesak bayangan hitam. Panji terus 
melancarkan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya 
sehingga memaksa lawannya untuk mundur. 
Sedangkan Laba-Laba Beracun, mulai merasakan teka-nan-
tekanan berat dari lawannya. Apalagi setelah Panji 
mengeluarkan ilmu 'Naga Sakti'-nya di jurus ke empat puluh 
satu. Laba-Laba Beracun segera terdesak Ruang geraknya 
semakin sempit, sehingga hanya dapat bertahan tanpa mampu 
membalas. Rupanya kali ini ia harus me-lihat kenyataan pahit! 
Terpaksa dikuras seluruh kemam-puannya untuk menandingi 
seorang pemuda yang pantas jadi cucunya! 
Pada jurus yang ke empat puluh dua, Panji menyerang 
dengan jurus 'Raja Naga Membuka Jalan'. Kedua tangan-nya 
yang membentuk cakar naga itu, meluncur deras ke arah perut 
dan tenggorokan Laba-Laba Beracun. Serang-kum angin yang 
dingin berhembus keras mengiringi sera-ngannya. 
Melihat serangan yang berbahaya itu, Laba-Laba Be-racun 
berusaha menghindar. Dengan jurus 'Laba-Laba Melepas 
Jaring’, laki-laki tua itu berputar setengah ling-karan. Dengan 
posisi kuda-kuda yang rendah, dihentak-kan kedua tangannya 
ke arah kedua tangan lawan dengan jari-jari terbuka. 
Namun, rupanya serangan Panji hanyalah serangan tipuan 
saja! Karena, secara tiba-tiba pemuda itu menarik pulang kedua 
serangannya. Entah dengan cara bagai-mana, tahu-tahu saja 
kaki kiri pemuda itu sudah melun-cur ke arah sambungan lutut 
lawan. Bukan cuma itu saja! Sapuan kaki itu pun, langsung 
disusul oleh doro-ngan kedua tangannya. Hebat sekali serangan 
mendadak itu. 
Desss! Bukkk!

"Aaakh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Laba-Laba Beracun 
melambung ke udara disertai jeritan menyayat. Kedua serangan 
pemuda itu telak mengenai sasarannya. Tubuh Laba-Laba 
Beracun terbanting ke tanah dengan keras. Sementara darah 
segar berhamburan dari muhitnya, di-sertai suara gemeletuk 
gigi karena hawa dingin yang hebat. 
Panji segera menghampiri tubuh lawannya yang se-dang 
sekarat itu. Sejenak Panji termenung, ketika melihat tubuh 
lawannya itu berkelojotan meregang nyawa. Tidak lama 
kemudian, tubuh Laba-Laba Beracun itu pun diam untuk 
selama-lamanya. Tokoh sakti yang sesat itu tewas dalam 
keadaan yang menyedihkan! 
Ki Umbaran yang ikut menyaksikan saat-saat terakhir iblis 
itu, menarik napas lega. Hilang sudah rasa khawatir dalam 
dirinya. Dengan tewasnya Laba-Laba Beracun, ber-arti Desa 
Tambak terbebas dari kehancuran. 
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Panji! Kau 
telah membebaskan Desa Tambak dari kehancuran! Entah 
dengan cara bagaimana kami dapat membalas-nya?" Ujar Ki 
Umbaran sambil menjabat erat tangan Panji. 
Kemudian secara berturut-turut warga desa yang masih 
berada di tempat itu, ikut pula menyalami Panji. Demikian pula 
dengan sepasang mata yang semula me-mancarkan sinar iri. 
Sepasang mata yang berasal dari se-raut wajah yang cukup 
tampan berusia sekitar tiga puluh tahun. la pun ikut pula 
menyalami pemuda yang telah menewaskan Laba-Laba 
Beracun itu. Sepasang mata itu telah berubah dengan tatapan 
penuh rasa kagum dan hormat Telah disadari kekeliruannya. 
Demikianlah, mulai malam ini nama Pendekar Naga Putih 
mulai dibicarakan orang di pasar-pasar dan di kedai-kedai

minuman, nama Pendekar Naga Putih menjadi pokok 
pembicaraan yang hangat. Pelahan-lahan berita itu meluas 
hingga ke desa-desa sekitarnya. 
Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tambak, Panji berniat 
untuk melanjutkan perjalanannya. Ki Umbaran berusaha untuk 
menahan pemuda itu beberapa hari lagi karena sudah terlanjur 
menyukai pemuda sederhana itu. Terpaksa akhirnya Panji 
membuat janji untuk mengun-jungi Desa Tambak setelah 
urusannya selesai. 
Biar bagaimanapun, perpisahan adalah sesuatu yang sangat 
berat. Meskipun setiap orang tidak menyukainya, namun 
perpisahan selalu menjadi bagian dalam kehidu-pan setiap 
manusia. 
Hari masih pagi. Matahari hanya mengintip malu di ufuk 
Timur. Embun pun bak mutiara berceceran di de-daunan. 
Sementara itu, Panji tengah berjaian menuju perbatasan Desa 
Tambak. Ia merasa heran sekali, ketika tidak menjumpai 
Kenanga di antara orang yang melepas-nya kepergiannya. 
"Ke mana perginya bidadari jelita itu? Apakah aku 
mempunyai kesalahan terhadapnya? Ataukah... aaah! 
Sudahlah! Mengapa aku harus memikirkan yang bukan-bukan, 
sedangkan urusanku sendiri masih banyak!" Kata batin Panji. 
Dan tanpa sadar ia menepak kepalanya keras-keras. 
"Huh! Manusia tak tahu malu! Apa yang kupikirkan?" Gumam 
pemuda itu sambil meringis menahan sakit aki-bat tepakannya 
yang terlalu keras. 
Beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan, 
tersenyum-senyum melihat tingkah laku pemuda itu yang 
terasa aneh. Mirip orang gila.

Panji jadi malu hati, ketika menyadari kesalahannya. Tapi tak 
urung dia pun menjadi tersenyum sendiri me-nyadari 
kelakuannya yang aneh itu. Dan ketika lihat pemuda itu 
tersenyum-senyum sendirian, maka makin yakinlah orang-
orang itu bahwa pemuda tampan itu benar-benar tidak waras! 
Dan akibatnya mereka pun ber-jalan menjauhi Panji. 
"Sialan! Mungkin aku dikira orang sinting barangkali!" Gerutu 
Panji sambil bergegas mempercepat langkahnya. 
Belum jauh melewati perbatasan, Panji mendengar suara 
mencurigakan di kerimbunan semak yang terdapat di tepi jalan 
itu. Pemuda itu pun segera menghentikan langkahnya seraya 
berpaling ke arah datangnya suara yang mencurigakan itu. 
Alangkah terkejutnya Panji ketika melihat seraut wajah yang 
cantik, berdiri menatapnya dengan mata basah. 
"Kenanga...?" Tegur Panji dengan suara bergetar. Ba-
gaimana hati pemuda itu tidak terkejut? Sepanjang jalan hanya 
wajah dara jelita itulah yang selalu mengganggu pikirannya. 
Dan secara tiba-tiba saja, wajah itu sudah berdiri di 
hadapannya. Sungguh sulit untuk dipercaya! 
"Kakang Panji...!" Kata gadis itu. Suaranya serak, seperti 
tercekat di tenggorokan. 
Entah siapa yang lebih dahulu, yang jelas kedua orang itu 
telah melangkah saling mendekat dan saling berpe-gang 
tangan. Tubuh keduanya bergetar. Aliran darah me-reka seperti 
berbalik. Untuk beberapa saat lamanya, ke-duanya tidak 
mampu untuk berkata-kata. Hanya kedua pasang mata mereka 
yang saling bercerita mewakili pera-saan masing-masing. 
Panji yang lebih dahulu dapat menguasai perasaannya, 
segera membawa bidadari jelita itu ke sebuah tempat yang 
banyak terdapat batu besar, dan mengajaknya duduk di salah 
satu batu besar.

"Kenanga, maafkan aku! Aku tidak sempat berpamitan 
kepadamu, karena tidak melihatmu sejak kemarin ma-lam. 
Apakah aku punya salah?" Ujar Panji ketika kedua insan itu 
telah duduk di bebatuan. 
"Maafkan aku, Kakang! Aku tidak ingin orang lain me-
ngetahui, kalau aku tidak sanggup melepaskan kepergi-anmu, 
Kakang!" Ungkap Kenanga. Suaranya masih tetap merdu. 
Sementara, beberapa butir air telah menetes dari kedua 
matanya. 
Panji segera mengulurkan kedua tangannya untuk 
menghapus air mata di pipi dara jelita itu. Untuk beberapa saat, 
jari-jari pemuda itu gemetar ketika menyentuh kulit yang halus 
bagai sutera itu. 
Kenanga segera menangkap tangan Panji, yang masih slbuk 
menghapus sisa-sisa air mata di pipinya itu, Seke-tika 
dilekatkannya lebih erat di pipinya, olah-olah tidak ingin untuk 
melepaskannya kembali. Sejenak kedua mata yang indah itu 
terpejam, sehingga nampaklah sebaris bulu mata yang lentik 
dan mempesona. 
Dada Panji berdegup keras, ketika daya tarik mata itu 
menguasai dirinya. Cepat-cepat ditundukkan wajahnya untuk 
melawan rangsangan itu. 
"Kakang, begitu pentingkah kepergianmu?" Desah Ke-nanga 
lembut. Sementara kedua matanya masih juga ter-pejam. 
Seolah-olah bidadari jelita itu tengah mengigau. 
"Kenanga, sebenarnya berat sekali langkahku untuk 
meninggalkan desa ini, tapi masih banyak urusan yang harus 
kuselesaikan." 
"Jadi, bukan karena aku?" Potong Kenanga dengan wajah 
cemberut.

"Ah! Tentu saja karenamu, Kenanga! Mengapa engkau harus 
bertanya lagi?" Jawab Panji tersenyum menggoda. 
"Lalu, urusan apakah yang demikian pentingnya itu, 
Kakang?" Tanya Kenanga lagi. 
"Hm, Kenanga. Maukah kau disebut sebagai anak yang tidak 
berbakti?" Panji balik bertanya. 
"Tentu saja tidak, Kakang!" Jawab gadis itu tegas. Kenanga 
yang tengah merasa bahagia itu, memandang wajah lelaki yang 
dipujanya dengan mata yang berbinar-binar. 
Panji yang melihat mata gadis idamannya bersinar ba-gai 
bintang Timur itu hampir tak sanggup untuk meman-dangnya. 
"Matamu indah sekali, Kenanga," ujar Panji penuh perasaan. 
Sejenak pemuda itu terbawa lamunannya, baru ia tersadar, 
ketika Kenanga tertawa geli melihat pemuda idamannya 
terbengong-bengong. 
"Hei! Kakang Panji. Pertanyaanku belum kau jawab, 
Kakang!" Seru Kenanga lagi. 
"Oh! Pertanyaan yang mana?" Jawabnya bingung. Setelah 
terdiam beberapa saat lamanya, barulah ia dapat 
mengingatnya. 
Panji pun lalu menceritakan tujuan perjalanannya itu. 
Setelah mendengar keterangan dari Panji, gadis jelita itu 
termenung sejenak. Wajahnya terlihat murung, karena pasti 
akan berpisah dalam waktu yang tidak dapat di-pastikan. 
Matanya kosong memandang jauh ke depan. 
Panji menjadi iba melihat wajah jelita itu menjadi mu-rung. 
Namun kepergiannya kali ini, betul-betul tidak dapat 
ditundanya. Wajah kedua orang tuanya selalu ter-bayang.

Seolah-olah memintanya untuk segera membalas kematian 
mereka. 
"Kakang, apakah setelah urusanmu selesai, kau akan segera 
mengunjungiku?" Tanya Kenanga tiba-tiba. Se-dangkan 
matanya tetap memandang lurus ke depan. 
"Tentu, Kenanga! Begitu urusanku selesai, maka aku akan 
segera mengunjungimu. Aku berjanji, Kenanga," ucap Panji 
bersunguh-sungguh. 
"Sungguh, Kakang?" Tanya Kenanga minta kepastian sambil 
menoleh dengan mata bersinar. 
Panji memandang wajah Kenanga seraya mengangguk 
dengan bibir tersenyum. Kemudian diraihnya kedua tangan 
gadis itu, lalu dikecupnya jemarinya penuh pera-saan. 
"Aku berjanji, Kenanga!" Ucap Panji lembut. 
"Baiklah, Kakang! Aku akan selalu menantimu!" Ujar 
Kenanga. Wajahnya kembali berseri. 
Kedua insan itu pun bangkit dari duduknya. Sebelum 
berpisah, Panji mengecup lembut dahi Kenanga. Segera 
dilangkahkan kakinya meninggalkan Kenanga yang masih 
berdiri memandangnya. Setelah bayangan pemuda itu lenyap, 
barulah Kenanga beranjak meninggalkan tempat itu. 
Sementara tak terasa sang mentari semakin meninggi. 
Sepertinya si raja siang itu tersenyum ketika menyaksi-kan 
perpisahan sepasang kekasih yang dimabuk cinta. 
***

DELAPAN

Hari masih sangat pagi, ketika serombongan orang berkuda 
meiintasi daerah perbukitan yang terdiri dari batu cadas. 
Kepulan debu membumbung tinggi diterjang derap kaki kuda 
yang bergemuruh. Rombongan berkuda itu kurang lebih 
berjumlah empat puluhan orang. 
Wajah mereka terlihat gagah dan tenang. Tatapannya yang 
tajam bagaikan mata seekor burung elang. Di bahu dan 
punggung mereka, tampak tersembul gagang-gagang senjata. 
Suatu tanda bahwa rombongan itu terdiri dari orang yang 
pandai ilmu olah kanuragan. 
Paling-depan, terlihat dua orang yang merupakan pimpinan 
rombongan itu. Yang pertama, berusia sekitar limapuluh tahun 
lebih. Wajahnya cukup tampan, bersih, dan berwibawa. Sebaris 
kumis yang lebat dan berwarna agak keputihan menghias atas 
bibirnya. Sementara di punggungnya, nampak sepasang 
pedang Pada gagangnya dihiasi batu-batu merah delima, 
membuat pedang itu semakin indah dipandang mata. 
Sedangkan orang kedua sukar ditaksir usianya, karena 
mengenakan sebuah topeng hitam. Di punggungnya tergantung 
sebuah tombak yang berujung golok besar tanpa gagang. Dia 
terkenal dengan julukan Pendekar To-peng Hitam. Memang, 
rombongan itu terdiri dari pen-dekar persilatan dari berbagai 
aliran. Mereka sengaja ber-kumpul untuk menggempur Tiga 
Iblis Gunung Tandur, karena kejahatannya yang telah 
melampaui batas. Ketiga Iblis Gunung Tandur itu telah 
membumi hanguskan beberapa padepokan terkenal yang tidak 
bersedia tunduk di bawah kekuasaan mereka.

Perbuatan ketiga iblis itu telah mendatangkan kemur-kaan di 
hati para pendekar persilatan. Mereka lalu berga-bung di bawah 
pimpinan dua orang pendekar yang ber-juluk Pendekar Pedang 
Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Setelah mendapatkan kata 
sepakat, rombongan pendekar itu pun segera bergerak menuju 
Gunung Tan-dur yang menjadi sarang ketiga manusia iblis itu. 
Setelah kurang lebih setengah harian melakukan per-jalanan, 
maka rombongan itu tiba di bawah kaki Gunung Tandur. Dan 
untuk beberapa saat lamanya, mereka se-gera beristirahat 
sambil rnengamati keadaan di sekitar tempat itu. 
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam segera 
berembuk untuk mengatur siasat dalam mengada-kan 
penyerbuan. Lalu dua pendekar sakti itu, segera me-
ngumpulkan pendekar lainnya untuk diminta pendapat. 
Setelah mendapat kata sepakat, para pendekar itu pun 
segera dipecah menjadi tiga bagian. Rombongan pertama yang 
dipimpin Pendekar Pedang Langit, bergerak dari arah Timur. 
Rombongan kedua yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam, 
bergerak dari arah Barat. Sedangkan rom-bongan ketiga yang 
dipimpin tiga pendekar lainnya, ber-gerak dari Utara. 
Tidak lama kemudian, ketiga kelompok itu pun segera 
bergerak dari tiga jurusan. Kelompok yang dipimpin Pen-dekar 
Pedang Langit berjumlah sekitar sebelas orang. Mereka segera 
mendaki gunung itu. Disusul kemudian kelompok kedua dan 
ketiga secara berurutan. 
Kini, kelompok pertama telah tiba di atas Puncak Gunung 
Tandur. Kesebelas orang pendekar itu bergegas menghampiri 
sebuah bangunan mewah yang terdapat di tengah-tengah 
puncak gunung. Sekejap saja mereka telah berada didepan 
pintu gerbang yang tebal dan kuat.

Pendekar Pedang Langit segera memerintahkan bebe-rapa 
orang pendekar untuuk mendobrak pintu gerbang. Dengan 
menggunakan sebuah batang pohon kayu yang cukup besar, 
enam orang dari mereka segera mengerah-kan tenaga sekuat-
kuatnya. 
"Hiaaat...!" 
Brakkk...! 
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu pilihan itu lang-sung 
pecah, menimbulkan suara hiruk-pikuk. Maka begitu pintu itu 
pecah, para pendekar itu serentak berlon-catan masuk sambil 
menghunus senjata masing-rnasing. Namun betapa herannya 
mereka, ketika melihat keadaan di dalamnya ternyata sunyi 
sekali! Akibatnya kesebelas orang pendekar itu menjadi tegang! 
Para pendekar itu langsung menyebar dan mendekati 
bangunan mewah itu melalui semak-semak yang banyak 
terdapat di sekitar tempat itu. Keadaan yang mencuriga-kan 
itu, membuat para pendekar menjadi tegang. Apalagi mereka 
tidak mengetahui secara pasti di mana musuh berada, 
sebaliknya, justru keadaan merekalah yang su-dah diketahui 
musuh! 
*** 
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa mengge-legar 
dan bergema ke sekeliling mereka. Sepertinya suara itu datang 
dari segala penjuru. Hanya saja, tidak seorang pun yang 
menampakkan dirinya, sehingga membuat hati para pendekar 
itu bertambah tegang.

"Berkumpul semua!" Teriak Pendekar Pedang Langit Sebab 
kalau tidak demikian, mereka dapat terbantai satu persatu. 
Memang hal seperti itulah yang ingin dicegah pendekar itu. 
Belum lagi suara Pendekar Pedang Langit hilang, tiba-tiba 
berkelebatan enam sosok tubuh yang segera mengu-rung 
mereka. Dan tanpa banyak bertanya lagi, keenam orang 
pengepung itu pun langsung menyerang hebat ke arah para 
pendekar itu. 
Namun, tokoh-tokoh rimba persilatan itu pun bukan-lah 
tokoh kosong. Mereka pun segera menyambut lawan-lawannya 
lewat serangan yang tidak kalah ganasnya. Sebentar saja, 
kedua kelompok itu sudah terlihat dalam pertempuran yang 
sengit. 
Melihat kesepuluh kawannya dapat menghadapi gem-puran 
musuh-musuhnya, Pendekar Pedang Langit mele-sat 
meninggalkan arena pertempuran itu. Dia berniat mencari 
sasaran utama, yakni Tiga Iblis Gunung Tandur. 
Sementara itu kelompok yang dipimpin Pendekar Topeng 
Hitam, sudah terlibat pula dalam sebuah pertaru-ngan yang 
tidak kalah seru. Kelompok Pendekar Topeng Hitam yang terdiri 
dari dua belas orang tokoh persilatan itu, bertempur melawan 
pihak musuh yang berjumlah de-lapan orang. Meskipun jumlah 
musuh lebih sedikit, tapi ternyata memiliki kepandaian yang 
hebat. Maka pertem-puran pun berjalan seimbang. Pendekar 
Topeng Hitam segera meninggalkan kedua belas orang 
kawannya, untuk mencari musuh utamanya yang sama dengan 
Pendekar Pedang Langit. 
Sedangkan kelompok yang bergerak dari Utara, sama sekali 
tidak menemui hambatan. Mereka yang terdiri dari dua puluh 
satu orang itu, terus bergerak menuju ke belakang bangunan 
mewah itu. Ketika kelompok itu tiba di belakang banguna


besar itu, terdengarlah suara per-tempuran dari halaman 
samping. 
Kelompok itu pun bergegas menghampiri sumber suara 
pertempuran itu. Dan alangkah terkejutnya hati para pendekar 
itu ketika melihat Pendekar Pedang Langit dan Pendekar 
Topeng Hitam tengah bertempur melawan se-orang musuh 
yang menggunakan pisau terbang. Semen-tara dua orang 
berwajah bengis, hanya berdiri menonton seperti tak peduli. 
Tanpa diperintah lagi, kelompok pendekar itu segera 
menyerbu ke arah dua orang yang sedang berdiri mengamati 
pertandingan. Dua orang itu taklain adalah Lodra dan Badra, 
dua dari Tiga Iblis Gunung Tandur. 
Lodra, yang merupakan orang pertama Tiga Iblis Gu-nung 
Tandur itu menyambut serangan itu Sepasang ta-ngannya yang 
kokoh menyambar nyambar ganas. Kepan-daian ketiga iblis itu 
tidaklah sama dengan waktu sepu-luh tahun yang lalu. Dalam 
kurun waktu selama itu ke-pandaian mereka telah maju dengan 
pesat. Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan 
yang dilancarkan Lodra. 
Lain Lodra, lain pula dengan Badra Orang kedua yang 
berjuluk Iblis Cambuk Api itu, menggerakkan cambuknya yang 
meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Bahkan kadang-kadang 
diseling ledakan yang memercikkan bunga-bunga api ke tubuh 
lawan. Dalam waktu singkat, para tokoh persilatan yang 
mengeroyok Iblis Cambuk Api itu pun menjadi kewalahan. 
Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Pedang Langit 
dan Pendekar Topeng Hitam melawan Iblis Golok Terbang atau 
Sudra, berjalan tampak seru dan seimbang. Sepasang pedang 
Pendekar Pedang Langit berkelebat cepat mengarah ke titik-
titik kelemahan di tubuh lawan. Suara sambaran pedang yang 
mendesing dahsyat, menandakan betapa kuatnya tenaga yang 
digunakan pendekar itu.

Sedangkan Pendekar Topeng Hitam sudah pula meng-
gunakan senjata andalannya yaitu sebatang tombak ber-golok. 
Serangannya yang menimbulkan suara bergemu-ruh dan 
berdesing mengincar tubuh lawan. Dapat diba-yangkan, betapa 
hebatnya serangan kedua pendekar sakti itu. Namun yang 
sekarang dihadapi bukanlah tokoh sem-barangan! Iblis Golok 
Terbang adalah orang ketiga dari Tiga Iblis Gunung Tandur 
Kepandaiannya tidak dapat disamakan dengan penjahat-
penjahat lainnya. Benar-benar sukar dicari tandingannya! Dan 
pada masa seka-rang ini kepandaian Tiga Iblis Gunung Tandur 
berada di urutan atas di antara penjahat lainnya. Dalam 
mengha-dapi serangan kedua orang pendekar itu, Sudra 
menggu-nakan sepasang golok terbangnya. Tubuhnya yang 
tinggi kurus itu menyelinap lincah di antara sambaran senjata 
lawan. Bahkan kadang-kadang diselingi serangan golok 
terbangnya secara mendadak. Tentu saja hal ini membuat 
kedua orang pendekar sakti itu harus lebih hati-hati 
menghadapi kelicikan iblis itu. 
Tanpa terasa, pertarungan sudah berlangsung empat puluh 
jurus. Iblis Golok Terbang semakin memperhebat serangannya. 
Sepasang golok terbang di tangannya, mela-kukan serangan 
gencar yang sambung-menyambung ba-gaikan ombak di 
lautan. Suaranya yang mendengung tajam itu bagaikan suara 
ribuan ekor lebah marah, se-hingga mengganggu konsentrasi 
lawan. 
Pendekar Pedang Langit berusaha membendung sera-ngan 
Iblis Golok Terbang, dengan memutar sepasang pe-dangnya 
membentuk sebuah benteng yang kokoh. Untuk beberapa 
waktu lamanya, ia dapat bertahan dari gempu-ran-gempuran 
dahsyat itu. 
Pendekar Topeng Hitam pun melakukan hal yang serupa. 
Melihat serangan lawan yang seperti air bah itu, Pendekar

Topeng Hitam segera memutar senjatanya di depan dada, 
membentuk segulung sinar hitam untuk me-lindungi diri. 
Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Golok Terbang 
memang sedikit terhambat. 
Namun, Iblis Golok Terbang rupanya tidak kehilangan akal. 
Melihat keadaan itu, Sudra hanya tersenyum sinis. Entah 
dengan cara bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah 
tergenggam empat buah golok terbangnya. Dengan sebuah 
teriakan mengguntur, Sudra cepat melepas golok terbangnya 
ke dua arah. Keempat buah golok terbang itu, membelah udara 
dengan kecepatan luar biasa! 
Betapa terkejutnya dua pendekar sakti itu mendengar 
desingan tajam yang menuju ke arah mereka. Cepat-cepat 
diperhebat pertahanan senjata mereka, dengan menge-rahkan 
tenaga dalam sepenuhnya. 
Trang! Trang! Trang! Trang! 
Terdengar suara keras benturan senjata sebanyak empat 
kali. Untuk sejenak, putaran senjata kedua orang pendekar itu 
pun terhenti. 
Dan kesempatan yang hanya sekejap itu rupanya telah 
dtperhitungkan Iblis Golok Terbang! Tanpa membuang-buang 
waktu lagi, tubuh iblis itu melesat ke arah dua orang pendekar 
sakti itu. Sepasang kakinya melakukan tendangan kilat ke arah 
dada lawannya. 
Desss! Desss! 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua pendekar itu 
terpental keras, dan jatuh sekitar tiga tombak jauhnya dari 
tempat semula. Keduanya terbatuk-batuk, lalu me-muntahkan 
darah segar. Dada mereka serasa remuk dan sesak akibat

tendangan yang dilakukan Iblis Golok Ter-bang itu. Kedua 
pendekar itu kini hanya terduduk lemas. 
Sudra yang melihat serangannya berhasil baik, cepat 
mempersiapkan serangan berikut untuk menghabisi la-wan-
lawannya. Dengan jurus 'Membentur Seribu Gunung', tubuh 
Iblis Golok Terbang itu meluncur deras ke arah dua pendekar 
itu. Terdengar suara bergemuruh bagai angin topan yang 
mengiringi serangan Sudra. 
Pendekar Pedang Langit maupun Pendekar Topeng Hitam, 
hanya dapat memejamkan matanya dengan hati pasrah. 
Mereka mengakui kehebatan serangan dahsyat dari lawannya 
itu. Kini, mereka hanya bisa pasrah me-nanti maut yang akan 
datang menjemput. 
Blarrr! 
"Akh...!" 
Tubuh Sudra terhempas bagai sehelai daun kering dan jatuh 
ke tanah sehingga menimbulkan suara bergedebuk. Sudra 
mendekap dadanya yang serasa pecah akibat ben-turan yang 
dahsyat itu. Sekujur tubuh terserang hawa dingin yang hebat. 
"Huakkk...!" Segumpal darah yang agak mengental me-
luncur dari mulutnya. Iblis Golok Terbang menyadari kalau 
dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah! 
Sementara di tengah arena telah berdiri seorang pe-muda 
berjubah putih yang membelakangi Pendekar Pe-dang Langit 
dan Pendekar Topeng Hitam. Raut wajahnya tampan dengan 
potongan tubuh sedang. Sepis kabut yang bersinar putih 
keperakan, tampak menyelimuti dirinya. 
"Pendekar Naga Putih...!" Teriak Pendekar Pedang Langit 
dan Pendekar Topeng Hitam berbarengan. Dalam suara mereka 
terkandung rasa gembira yang amat sangat.

Memang, kedua pendekar itu merasa heran ketika pukulan 
Iblis Golok Terbang tidak kunjung datang Saat mendengar 
suara benturan keras, kedua pendekar itu segera membuka 
matanya. Dan tampaklah tubuh Iblis Golok Terbang terpental 
dahsyat. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini telah berdiri 
sesosok tubuh pemuda berjubah putih yang seluruh tubuhnya 
diselimuti kabut yang bersinar putih keperakan. 
Melihat ciri-ciri itu, kedua pendekar sakti itu segera teringat 
akan selentingan kabar tentang seorang pendekar yang belum 
lama ini telah mengguncang dunia persilatan dengan 
menghancurkan gerombolan perampok di bawah pimpinan 
Sepasang Harimau Terbang, bekaligus membu-nuh Sepasang 
Harimau Terbang. Akan tetapi yang lebih membuat nama 
Pendekar Naga Putih mencuat adalah setelah ia menewaskan 
Laba-Iaba Beracun! Guru dari Sepasang Harimau Terbang yang 
memiliki kepandaian yang tinggi. Dan salah satu dari ciri-ciri 
pendekar itu adalah selapis kabut yang bersinar putih 
keperakan. Makanya kedua orang pendekar itu tanpa ragu-ragu 
lagi menyebut julukan itu. 
Pemuda yang memang adalah Panji itu, segera berbalik 
menghadap ke arah kedua orang pendekar yang berada di 
belakangnya. Setelah membungkuk memberi hormat, ia pun 
segera menghampiri. 
"Hm, kelihatannya Paman berdua mengalami luka da-lam! 
Bolehkah saya melihatnya?" Ujar Panji setelah mem-perhatikan 
sejenak. 
Setelah mendapat persetujuan, pemuda itu lalu meno-tok di 
beberapa bagian tubuh mereka secara bergantian Beberapa 
saat kemudian, pemuda itu pun segera bangkit berdiri.

"Saya rasa Paman berdua harus segera memulihkan tenaga 
untuk mengusir sisa-sisa pengaruh dari pukulan lawan," ujar 
Panji lagi. 
Sementara itu, ketika mendengar suara jeritan adiknya tadi, 
Lodra dan Badra serentak melesat meninggalkan lawan-
lawannya. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya dua iblis itu 
ketika mendapatkan Sudra tengah tergeletak dengan napas 
satu-satu. Cepat Lodra menotok di bebe-rapa bagian tertentu di 
tubuh adiknya. Setelah yakin kalau keadaan adiknya sudah 
tidak berbahaya lagi, Iblis Tangan Maut segera berpaling ke 
arah Panji yang telah berdiri dan juga tengah menatapnya. 
Untuk beberapa saat, dua pasang mata yang sama tajamnya 
itu saling berpandangan dan menilai kepandaian lawan. 
"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau sudah bosan hidup 
sehingga ikut campur urusan kami, heh?!" Bentak Iblis Tangan 
Maut Suaranya menggelegar. 
"Hm.... Aku Panji, yang ingin mencabut nyawamu!" Sahut 
Panji sambil tersenyum sinis mengejek. Sepasang matanya 
memancarkan hawa maut! Sungguh pun se-nyum menghias 
bibirnya. 
"Huh! Bocah sombong! Rupanya kau memang sudah bosan 
hidup. Bersiaplah!" Bentak Iblis Tangan Maut gu-sar. 
"Eiiit tunggu dulu!" Seru Panji masih dengan senyum di 
bibirnya. 
"Hm! Ada apa? Kau takut? Kalau begitu, menyingkir-lah!" 
Dengus Lodra kesal. 
"Huh! Siapa takut kepadamu, iblis peot! Aku hanya ingin 
bertanya sedikit," tegas Panji. 
"Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?!" Tanya Lodra tak 
sabar.

"Aku hanya ingin bertanya, apakah peti mati untukmu sudah 
tersedia?" Ejek Panji dingin. Tentu saja ejekan itu disambut 
oleh tawa para tokoh persilatan yang merasa geli mendengar 
pertanyaan yang aneh itu. 
Dapat dibayangkan, betapa murkanya Iblis Tangan Maut 
Wajahnya merah menahan amarah yang meledak-ledak. 
Tulang-tulang lengannya bergemeletak karena di-aliri kekuatan 
yang dahsyat. 
"Bocah setan, mampuslah!" Teriak Lodra dibarengi le-satan 
tubuhnya yang meluncur deras ke arah Panji. Tiu-pan angin 
dahsyat mendahului serangan Iblis Tangan Maut, sehingga 
menimbulkan suara keras bergemuruh. 
Panji segera menggeser tubuhnya, untuk menghindari 
serangan lawan. Dengan cepat langsung dibalasnya sera-ngan 
itu dengan sebuah serbuan yang tidak kalah dah-syatnya. 
Sebentar kemudian, keduanya segera terlibat dalam 
pertarungan yang sangat menegangkan. Debu dan pasir 
beterbangan akibat terkena pukulan-pukulan yang tidak 
mengenai sasaran. Batu-batu yang tersepak kaki kedua orang 
yang sedang mengadu nyawa Itu, beter-bangan ke sekeliling 
arena pertempuran. 
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu, se-gera 
berlarian ke tempat yang terlindung. Memang batu-batu kerikil 
yang beterbangan itu terasa menyakitkan apabila mengenai 
tubuh mereka. Dalam sekejap saja se-kitar arena pertempuran 
menjadi porak-poranda bagaikan habis diobrak-abrik ribuan 
gajah. 
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam yang 
juga ikut menghindar, berdecak kagum menyaksi-kan 
kepandaian dua orang yang sedang bertempur itu. Selama 
hidup mereka, baru kali inilah menyaksikan sebuah

pertarungan yang demikian dahsyat dan mengeri-kan. Di hati 
mereka terbesit perasaan minder melihat kepandaian dua orang 
sakti itu. Mereka belum apa-apa dibanding keduanya. 
"Luar biasa! Hebat sekali kepandaian pemuda itu! Pantas 
saja kalau tokoh sesat seperti Laba-Laba Bera-cun, bisa sampai 
tewas di tangannya! Hm! Pendekar Naga Putih.... Sungguh 
sebuah julukan yang tepat. Entah, mu-rid siapakah anak muda 
itu...," gumam Pendekar Pedang Langit pelan. 
"Ya! Rasanya kepandaian kita tidak ada apa-apanya, 
Kakang!" Jawab Pendekar Topeng Hitam sambil menghela 
napas berat. 
Sementara, pertarungan semakin bertambah seru saja. 
Lodra yang menggunakan jurus 'Sepasang Tangan Penga-cau 
Lautan', benar-benar terlihat mengerikan! Sepasang tangannya 
yang kokoh, menyambar-nyambar sehingga menimbulkan 
putaran angin dingin yang menerbangkan apa saja di dekatnya. 
Pohon-pohon yang terlanggar puku-lan Lodra, langsung 
tumbang menimbulkan suara yang ribut. Memang tidak 
berlebihan apabila ia dijuluki Iblis Tangan Maut. 
Sedangkan Panji, tidak kalah hebatnya! Dengan ilmu "Naga 
Sakti’, pemuda itu bagaikan seekor naga yang sedang murka. 
Gerakan-gerakannya yang kokoh kuat Itu, benar-benar sulit 
dicari kelemahannya. Tubuhnya diseli-muti kabut bersinar putih 
keperakan sehingga pemuda itu bagaikan seekor naga putih 
yang sedang bermain-main di angkasa. Pantaslah kalau orang 
menjulukinya Pendekar Naga Putih! 
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tampak Panji mulai 
mendesak Lodra dengan serangan susul-menyusul. Iblis 
Tangan Maut benar-benar tidak diberi kesempatan sekali pun 
untuk membalasnya. Orang pertama dari Tiga Iblis Gunung 
Tandur itu mulai kelabakan menghadapi tekanan lawannya

yang masih muda itu. Dapat dipasti-kan, tidak lama lagi iblis itu 
tentu akan rubuh di tangan Panji. 
Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dua bayangan 
meluncur memasuki kancah pertempuran, dan langsung 
melancarkan serangan ke arah Panji. Ledakan-ledakan suara 
cambuk terdengar memekakkan telinga. Rupanya Iblis Cambuk 
Api dan Iblis Golok Terbang, yang sudah agak pulih dari 
lukanya ikut maju mengeroyok pemuda itu. 
Pertempuran pun semakin sengit dan menegangkan. Panji 
yang dikeroyok Tiga Iblis Gunung Tandur, tampak mulai 
terdesak. Pemuda itu kini tidak lagi mampu mem-balas 
serangan tiga orang lawannya. la mulai merasakan tekanan 
berat dari lawan-lawannya. 
Memasuki jurus yang kesembilan puluh, posisi pemuda itu 
benar-benar dalam keadaan gawat. Cambuk api di tangan 
Badra meledak-ledak ke arah ubun-ubunnya. Sedangkan 
sepasang golok terbang di tangan Sudra, me-luncur cepat bagai 
kilat ke arah lambung dan tenggoro-kannya. Sementara Lodra 
pun sudah pula mendorongkan telapak tangannya ke arah 
punggung Panji, dari bela-kang. Keadaan Panji, benar-benar 
bagai telur di ujung tanduk! 
Para pendekar yang menyaksikan jalannya pertempu-ran, 
sama-sama menahan napas dengan wajah tegang. Sudah bisa 
dibayangkan kalau pemuda ini akan tewas di tangan Tiga Iblis 
Gunung Tandur. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tahu-
tahu di tangan Panji telah tergeng-gam sebatang pedang ber-
sinar berwarna putih keperakan. Dengan gerakan yang tak 
tampak oleh mata biasa, Panji segera mengibaskan pedangnya 
membabat cambuk milik Badra dan kedua tangan Sudra yang 
menggenggam golok terbang. Dan dengan menekuk kedua 
kakinya, dilontar-kan pukulan tangan kiri untuk menyambut 
serangan Lodra.

Crasss! Crasss! 
"Aaakh...!" ' 
Brettt..! 
Blarrr...! 
Tubuh Iblis Golok Terbang terhuyung-huyung sejauh dua 
tombak disertai jeritan panjang. Kedua tangannya putus 
sebatas pergelangan, dan langsung menyemburkan darah 
segar yang tak henti-hentinya. Sedangkan tubuh Iblis Cambuk 
Api terdorong sejauh sepuluh langkah. Dari sela-sela bibirnya 
tampak mengalir cairan merah. Semen-tara cambuk di 
tangannya terbabat putus hingga jadi dua bagian. 
Tubuh Panji sendiri jatuh berguling-guling akibat ber-
benturan dengan sepasang tangan Lodra yang mengan-dung 
tenaga dalam dahsyat itu. 
"Huakkk...!" 
Segumpal darah segar menyembur dari mulut Panji. 
Sedangkan sinar putih keperakan yang selalu menyeli-muti 
tubuhnya mendadak lenyap. Ini pertanda aliran tenaga 
dalamnya mengalami hambatan. Dengan sigap, Panji segera 
mengatur pernapasannya untuk melancar-kan kembali aliran 
tenaga dalamnya yang terhambat. 
Di Iain pihak, keadaan Iblis Tangan Maut tidaklah lebih baik. 
Tubuhnya terlempar keras lalu terbanting ke tanah yang 
menimbulkan suara berdebum. Lodra mende-kap dadanya yang 
berguncang akibat tangkisan Panji yang mengandung "Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan' itu. Tubuh Iblis Tangan Maut terbungkuk-
bungkuk. Dan ketika ia terbatuk, langsung memuntahkan darah 
segar dari mulutnya.

Untuk beberapa saat lamanya pertempuran pun terhenti. 
Panji maupun Iblis Tangan Maut, sama-sama terdiam untuk 
memulihkan tenaga masing-masing. 
"Hiaaat..!" 
Tiba-tiba Iblis Cambuk Api berteriak nyaring. Tubuhnya yang 
tinggi besar meluncur deras ke arah Panji. Dengan 
menggunakan sebatang golok besar, dia siap merejam tubuh 
pemuda itu. Suara senjatanya berdesing tajam mengarah ke 
leher Panji. 
Panji yang sudah mulai pulih tenaganya, segera me-mutar 
kepalanya dan langsung membabatkan pedangnya ke tubuh 
lawan. 
Pertarungan pun kembali berlangsung hebat. Pedang di 
tangan Panji membentuk gulungan sinar putih kepera-kan, 
bagaikan seekor naga yang sedang bermain di ang-kasa. Dalam 
beberapa jurus saja, Iblis Cambuk Api mulai terdesak hebat. 
Dia hanya mampu bermain mundur. 
Pada saat yang gawat itu, Iblis Tangan Maut juga segera 
melesat membantu adiknya, yang berada dalam posisi 
berbahaya. Iblis Tangan Maut sudah pula menca-but sepasang 
trisulanya, dan langsung menerjang dengan serangan-serangan 
yang cepat dan ganas. 
Setelah Iblis Tangan Maut ikut membantunya, barulah Iblis 
Cambuk Api dapat menarik napas lega. Sebab sera-ngan-
serangan Panji yang ditujukan ke arahnya mulai berkurang. 
Panji memang harus juga membagi perhatian-nya terhadap 
Iblis Tangan Maut. 
Dua puluh jurus pun terlewat sudah. Panji tampak mulai 
meningkatkan serangannya. Pedangnya yang bersi-nar putih 
keperakan, bergulung-gulung menekan senjata lawannya.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Iblis Tangan Maut dan 
Iblis Cambuk Api mulai dapat didesak oleh pemuda itu. Darah-
darah di dalam tubuh serasa mem-beku. Mereka bagaikan 
terkurung dalam sebuah lingka-ran salju saja. Segera 
dikerahkan seluruh tenaganya untuk mengusir hawa dingin 
yang mempengaruhi gera-kan-gerakan mereka. 
"Gila! Bocah ini benar-benar memiliki ilmu iblis!" Umpat Iblis 
Tangan Maut sambil melompat menghindari sabetan pedang 
lawan. 
Semakin lama ruang gerak kedua iblis itu semakin me-
nyempit. Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Ta-ngan 
Maut maupun Iblis Cambuk Api, selalu kandas bagai 
membentur sebuah dinding salju yang kokoh. 
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertandingan itu 
dari kejauhan, tersentak kaget. Ternyata mereka pun tidak 
terlepas dari pengaruh hawa dingin yang memenuhi sekitar 
situ. Cepat-cepat tokoh-tokoh persilatan itu mengerahkan hawa 
murni untuk melindungi tubuh dari pengaruh hawa dingin yang 
luar biasa itu. 
Saat itu, pertarungan sudah menginjak pada jurus yang 
ketiga puluh lima. Tiba-tiba kedua Iblis Gunung Tandur itu 
berteriak nyaring, dan langsung menerjang secara 
berbarengan. Senjata mereka berkelebat mengarah ke bagian-
bagian yang berbahaya di tubuh Panji. 
Jurus 'Tangan Maut', milik Iblis Tangan Maut kini dimainkan 
dengan menggunakan senjata trisula. Senjata itu berkelebatan 
mengancam Panji sambil mengeluarkan suara berdesingan 
bagai suara ribuan ekor lebah yang sedang marah. Sementara 
Iblis Cambuk Api yang kini menggunakan golok, juga masih 
cukup dahsyat sera-ngannya, sungguhpun kini tidak 
menggunakan senjata andalannya.

Melihat kedua serangan yang dahsyat itu, Panji segera 
memutar pedangnya, disertai kekuatan penuh tenaga 
dalamnya. Mendadak cahaya yang semula menyelimuti 
pedangnya, berpijar ke segala penjuru bagaikan ada pesta 
kembang api. 
Kedua manusia iblis itu, tersentak mundur. Dan untuk 
beberapa saat lamanya pandangan mereka terhalang oleh 
pancaran sinar itu. Akibatnya mereka pun sulit untuk 
menentukan di mana posisi lawan. 
Sebelum kedua manusia iblis itu sempat berpikir banyak, 
Panji segera melesat menerjangnya. Karuan saja Iblis Tangan 
Maut dan Iblis Cambuk Api tersentak kaget dan menjadi kalang 
kabut. Dengan secara serabutan, mereka menggerakkan 
senjatanya ke segala arah. 
Tranggg! Tringgg! 
Brettt! 
"Akh...!" 
"Akh...!" 
Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api, berhasil menangkis 
beberapa serangan yang dilakukan Namun tak luput sebuah 
bacokan pemuda itu dapat melukai ping-gang Iblis Cambuk Api. 
Cairan merah pun merembes keluar, dan membasahi 
pakaiannya. 
Sedangkan Iblis Tangan Maut terhuyung-huyung sam-bil 
memegangi lengannya yang terbabat putus sebatas siku. 
Cepat-cepat Iblis Tangan Maut menotok di beberapa tempat 
untuk menghentikan darah yang terus mengalir. 
Wajah kedua iblis itu berubah pucat Kini mata mereka baru 
terbuka dan mengakui kepandaian pemuda yang menjadi

lawannya ini. Bahkan kini rasa takut pun mulai menjalari 
perasaan mereka. 
Panji kembali menerjang kedua iblis yang sudah ter-luka itu. 
Segulung sinar putih keperakan, segera mengu-rung kedua 
orang lawannya. Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api 
berusaha mati-matian menghindari serangan yang dilancarkan 
Panji. Namun ke mana saja mereka menghindar, sinar putih 
keperakan Itu tetap mengurung mereka. 
Bukan main terkejutnya hati dua manusia iblis itu. Keringat 
dingin mulai mengalir membasahi tubuh. Merasa tidak mungkin 
mendapat ampunan dari lawannya, Iblis Tangan Maut dan Iblis 
Cambuk Api pun nekad menerjang ke arah Panji. 
Senjata di tangan Iblis Tangan Maut berkelebatan cepat dan 
sukar diikuti mata biasa. Suaranya mengaung membelah udara. 
Tiba-tiba senjata itu meluncur deras ke arah lambung Panji. 
Dan pada saat yang bersamaan, Iblis Cambuk Api pun telah 
pula membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan. 
Melihat kedua serangan yang luar biasa itu datang, Panji 
segera memutar pedangnya dari luar ke dalam. Ini dilakukan 
untuk mematahkan serangan kedua iblis itu. 
Trang! Trang! 
Terdengar dua kali benturan keras di udara, yang me-
nimbulkan percikan bunga api. Memang, betapa kuatnya 
tenaga benturan tadi. 
Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji me-lambung 
ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Suara gemuruh 
disertai hawa dingin yang hebat, mengi-ringi ayunan 
pedangnya. 
Brettt! Brettt!

"Akh...!" 
Terdengar suara raungan dahsyat yang mendirikan bulu 
roma, ketika pedang Panji membabat kedua leher manusia iblis. 
Tubuh Iblis Tangan Maut dan Iblis Cam-buk Api terjungkal ke 
belakang. Darah mengucur deras dari luka di leher mereka. 
Sebentar mereka berkelojotan, lalu tewas dengan leher hampir 
putus! 
Melihat kedua musuhnya telah tewas, Panji menja-tuhkan 
lututnya ke atas tanah. la merasa lelah sekali, karena telah 
bertarung hampir dua ratus jurus untuk menghadapi musuh-
musuhnya. Tiba-tiba Panji tersentak ketika mendengar desiran 
angin yang bersiulan. Cepat bagai kilat ditolehkan kepalanya ke 
arah sumber suara itu. 
Panji segera memutar kepalanya ketika sebuah tenda-ngan 
yang dahsyat meluncur ke arah kepalanya. Rupanya tendangan 
itu berasal dari Iblis Golok Terbang yang telah dibuntungi 
lengannya oleh pemuda itu. Dengan tenda-ngan kilat, Iblis 
Golok Terbang menyerang Panji secara bertubi-tubi. 
Panji segera berkelit menghindari tendangan geledek itu. 
Segera dicarinya kelemahan dari serangan lawannya. Hingga 
pada jurus yang kelima, Panji memiringkan tubuhnya sehingga 
tendangan dari Iblis Golok Terbang hanya lewat di sebelah 
kirinya. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera me-
lepaskan pukulan ke arah lutut Iblis Golok Terbang, ke-mudian 
dlsusul dengan sebuah tendangan yang meluncur ke dada. 
Krakkk! 
Desss! 
"Akh...!"

Sudra meraung keras! Pukulan Panji telah mematah-kan 
lutut kanannya. Sedangkan tendangan pemuda itu, telak sekali 
menghajar dadanya hingga melesak ke dalam. Setelah 
berkelojotan sejenak, Iblis Golok Terbang lang-sung tewas 
dengan dada hancur. 
Panji berdiri limbung, karena rasa lelah yang amat sangat 
Satu persatu pemuda itu memandangi wajah musuh-musuhnya 
yang telah menjadi mayat. 
Tibat-tiba, dari arah Timur dan Barat tampak para pendekar 
berlarian mendatangi bekas arena pertempu-ran. Rupanya para 
pendekar sudah pula menyelesaikan pertarungan melawan 
anak buah Tiga Iblis Gunung Tan-dur. Betapa tercengangnya 
para pendekar yang baru datang itu, ketika melihat Tiga Iblis 
Gunung Tandur telah menggeletak tanpa nyawa. 
Selagi para pendekar itu sibuk satu sama lainnya, Panji cepat 
melesat meninggalkan tempat itu. Gerakan-nya yang disertai 
ilmu meringankan tubuh, tidak diketa-hui para tokoh persilatan 
yang tengah sibuk itu. Ilmu me-ringankan tubuhnya, memang 
sudah hampir pada taraf kesempurnaan. 
"Eh! Kemana perginya Pendekar Naga Putih tadi?" Ta-nya 
Pendekar Pedang Langit ketika tidak melihat Panji di 
tempatnya. 
"Pendekar yang mana?" Tanya para tokoh persilatan tak 
mengerti. 
"Pendekar Naga Putih," tegas Pendekar Topeng Hitam. 
"Dialah yang telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur itu!" 
Sambungnya. 
"Pendekar Naga Putih...!" Seru para tokoh persilatan 
terkejut. 
"Jadi, dia juga berada di sini tadi?" Tanya yang lainnya.

"Benar! Dan kini, pendekar itu telah pergi entah ke mana!" 
Desah Pendekar Pedang Langit pelahan. 
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Sinar yang garang 
memancar ke seluruh permukaan bumi dan terasa menyengat 
kulit. Hembusan angin yang sepoi-sepoi, bagaikan elusan 
tangan bidadari yang terasa sejuk dan melenakan. Nun di 
bawah kaki Gunung Tandur, tampak seorang pemuda berjubah 
putih melangkah mengikuti ayunan kakinya, tanpa tahu arah 
mana yang akan dituju. Dia adalah Panji yang mendapat 
Julukan Pendekar Naga Putih. 


                               SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar