Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Tiga Iblis Gunung Tandur
Oleh T. Hidayat
128 hal. ; 12 x 18 cm
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Tony G.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku Ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
SATU
Desa Karang Jati yang biasanya selalu ramai dengan
kesibukan, kini nampak sunyi. Para pedagang telah menutup
kedainya sejak siang tadi. Sementara pedagang lain yang
tinggal pun, sudah berkemas pula hendak pulang. Jalan-jalan
terlihat lengang dan sunyi. Kalaupun ada yang lewat, hanya
satu atau dua orang saja. Itu pun terlihat tergesa-gesa, seakan-
akan dibayangi hantu!
Menjelang senja, penduduk telah menutup pintu dan Jendela
rapat-rapat, lalu menyuruh anak dan istrinya agar lekas-lekas
masuk rumah. Padahal malam belum lagi datang! Namun Desa
Karang Jati sudah seperti se-buah pekuburan, sunyi dan
mencekam. Rasanya seperti desa mati!
Kesunyian yang mencekam itu tiba-tiba saja dipecah-kan
oleh derap serombongan kuda. Suaranya seolah-olah bergema
ke seluruh penjuru desa. Penduduk yang sudah berada di
dalam rumah, semakin tegang dan ketakutan. Bahkan sampai
menahan napas, ketika rombongan tersebut lewat di depan
rumah mereka. Seakan-akan takut suara napasnya terdengar
rombongan itu.
Rombongan yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang
itu, rata-rata berwajah kasar dan bengis. Mereka dipimpin oleh
tiga orang berjubah hitam, coklat, dan biru.
Yang berjubah hitam bernama Lodra, dan berusia se-kitar
empat puluh tahun. Raut wajahnya kokoh, dengan bulu-bulu
hitam menghiasi pipi dan dagunya. Matanya mencorong tajam,
menandakan kalau ia mempunyai te-naga dalam cukup
sempurna. Dunia persilatan menju-lukinya Iblis Tangan Maut.
Yang berjubah coklat, bernama Badra. Usianya sekitar tiga
puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar, dengan otot-otot
yang menonjol keluar. Ia terlihat kokoh bagaikan batu karang.
Sinar matanya liar, memancarkan kebengi-san. Di kalangan
rimba persilatan, julukannya si Iblis Cambuk Api.
Sedangkan yang berjubah biru, bernama Sudra. Wajahnya
cukup bersih dan tampan. Tampak segaris luka melintang di
pipi kiri, membuat wajahnya menjadi mena-kutkan. Tubuhnya
tinggi dan agak kurus. Dia berjuluk Iblis Golok Terbang.
Dalam tujuh tahun belakangan ini, mereka telah malang-
melintang dalam dunia persilatan. Sepak terjang-nya kejam dan
ganas, bahkan ridak segan-segan mem-bunuh hanya karena
soal sepele. Karena tempat tinggal mereka di Gunung Tandur,
orang menjulukinya Tiga Iblis Gunung Tandur.
Rombongan kuda berhenti didepan sebuah rumah yang
paling besar dari rumah-rumah lainnya.
Seorang laki-taki berusia sekitar enam puluh tahun,
tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka. Di wajah tuanya
terbayang kecemasan.
"Aaah..., Tuan-tuan, ada keperluan apakah gerangan datang
ke sini? Barangkali saya dapat membantu?" Tanyanya dengan
suara halus.
"Hm...." Orang yang berjubah hitam itu, bergumam kasar.
"Apakah kau kepala desa ini?"
"Be... betul... saya Ki Aji Sena, dan kebetulan, men-dapat
kepercayaan memimpin desa ini," jawab Ki Aji Sena tersendat.
"Aku ingin bertanya sedikit, dan jangan sekali-sekali
berdusta. Jika kau berdusta kami tak segan-segan untuk
memusnahkan seluruh desa ini! Tahu!" Ancam orang ber-jubah
hitam yang bemama Lodra. "Dengar baik-baik.... Tunjukkan di
mana rumah orang yang bemama Paksi Buana?" Lanjut Lodra
lagi.
"Paksi Buana...," ulang Ki Aji Sena, sambil berpikir keras.
"Maaf, Tuan. Kami tidak mengenal nama itu," jawabnya agak
takut-takut.
"Hm... sudah kuduga, kau pasti tidak akan menun-
jukkannya!" Geram Lodra gusar.
"Tapi... kami betul-betul tidak mengenalnya, Tuan!" Jawab Ki
Aji Sena tegas. Seluruh syaraf-syaraf di tubuh-nya menegang,
kontan tenaga dalamnya menyebar ke sekujur tubuhnya untuk
melindungi tubuhnya jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Lodra hanya diam, tidak menjawab. la menoleh ke arah
rombongan di belakangnya, lalu menganggukkan kepala-nya.
Tanpa menanti perintah dua kali, orang yang berke-pala
botak itu segera melompat turun dari kudanya. Wajahnya
menyeringai buas, bagai seekor singa yang kelaparan. Dengan
satu gerengan keras, orang yang ber-kepala botak itu segera
menerjang Kepala Desa Karang Jati. Tubuhnya meluncur deras
dengan cengkeraman yang berbahaya!
Namun sebelum cengkeramannya mengenai sasaran, tiba-
tiba empat sosok bayangan melesat dari dalam rumah Ki Aji
Sena, dan langsung melemparkan tombak ke arah orang
berkepala botak. Sementara Kepala Botak yang tidak
menyangka kejadian itu, merasa terkejut. Tapi sebagai seorang
yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi dia tidak
menjadi panik. Dengan tenang dipapaknya serangan beberapa
tombak yang mengarah ke lehernya. Tubuhnya kemudian
melenting ke atas mengikuti ayunan tombak tersebut, dan
mendarat dengan indah. Tombak itu hanye mengenai tempat
kosong.
Sosok empat tubuh yang ternyata adalah pengawal sang
kepala desa itu, berdiri tegak di kiri-kanan Ki Aji Sena, yang
juga sudah memegang sebatang golok panjang.
Melihat keadaan itu, delapan orang dari rombongan yang
dipimpin Lodra segera melompat dari kudanya, lang-sung
menyerang para pengawal Ki Aji Sena. Serangan itu pun segera
disambut dengan tidak kalah garangnya oleh pengawal Ki Aji
Sena. Sedangkan Ki Aji Sena pun telah menggerakkan golok
panjangnya, menerjang orang ber-kepala botak itu.
Pertempuran seru dan sengit pun berlangsung! Mereka saling
serang dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Masing-
masing berusaha untuk menguasai lawan secepatnya. Namun
sampai sejauh ini, pertempuran terlihat masih berimbang.
Ki Aji Sena bertarung bagai macan luka. Golok pan-jangnya
berkelebatan mencari sasaran dengan suara ber-desir. Namun
yang dihadapinya kali ini bukanlah orang sembarangan. Orang
yang berkepala botak itu, adalah seorang tokoh sesat yang
berjuluk Cakar Maut.
Cakar Maut berkelebatan dengan gesit di antara sinar golok.
Sesekali tangannya melontarkan pukulan-pukulan yang cukup
berbahaya ke tubuh Ki Aji Sena.
Sepuluh jurus berlalu cepat. Cakar Maut mulai men-desak
lawannya dengan serangan-serangan yang memati-kan.
Sementara Ki Aji Sena kini terlihat terdesak. Gera-kan golok
panjangnya semakin tak terarah lagi.
Pada satu kesempatan, Ki Aji Sena membabatkan golok
panjangnya secara mendatar. Melihat peluang yang baik itu,
Cakar Maut segera berputar ke kanan dibarengi dengan
tamparan tangan kanannya ke arah pelipis lawan.
Ki Aji Sena terkejut melihat kegesitan lawannya itu. Buru-
buru dilegoskan kepalanya ke kanan, tetapi terlam-bat. Pukulan
tersebut tetap menyerempet bahu kirinya.
Desss!
Tubuh orang tua itu melintir. Tangan kirinya terasa lumpuh.
Ia menyeringai menahan rasa nyeri pada bahu-nya. Sepertinya
sulit untuk digerakkan lagi.
Di arena yang lain, para pengikut si Tiga Iblis Gunung
Tandur mulai menguasai keganasan pengawal Ki Aji Sena, yang
dengan segala kemampuannya berusaha me-matahkan
serangan lawannya. Namun kepandaian lawan kelihatannya
rata-rata di atas kepandaian para pengawal sang kepala desa
ini. Buktinya, settap serangan mereka selalu dapat dipatahkan
anak buah Tiga Iblis Gunung Tandur.
Lambat laun para pengawal itu mulai terdesak. Gera-kan-
gerakannya pun mulai kacau dan tak beraturan. Hingga pada
suatu saat, salah seorang pengawal Ki Aji Sena terpelanting
roboh. Perutnya sobek terkena hanta-man pedang lawan!
Darah pun segera merembes keluar dari perut yang sobek lebar
dan dalam itu. Tentu saja dengan kematian pengawal itu,
keadaan semakin berba-haya! Terlebih lagi bagi keselamatan
Kepala Desa Karang Jati.
Sementara pertarungan antara Ki Aji Sena melawan si Cakar
Maut masih berlangsung sengit. Kali ini Ki Aji Sena betul-betul
harus kerja keras! Serangannya menggebu-gebu dan susul-
menyusul bagai ombak di lautan.
Cakar Maut yang melihat lawannya yang sudah terluka itu
ternyata masih mampu melancarkan serangan-sera-ngan
berbahaya, diam-diam memuji juga dalam hati. Memang Ki Aji
Sena bukanlah tokoh kosong.
Kembali lima jurus berlalu. Tiba-riba Cakar Maut ber-teriak
keras, seraya mulai mengeluarkan jurus andalan-nya, yakni
'Mencengkeram Batu Karang'. Jurus ini meru-pakan rangkaian
kelima dari jurus 'Cakar Maut' yang sangat hebat akibat yang
ditimbulkannya.
Terdengar suara mendesing, ketika tangan kiri Cakar Maut
menyambar leher Ki Aji Sena. Laki-laki tua itu pun tak kalah
gesitnya. Segera disambut serangan itu dengan tebasan golok
panjangnya.
Wusss! Singgg!
Brettt! Brettt!
"Akh...!"
Ki Aji Sena meraung tinggi, ketika tubuhnya terban-ting ke
depan sehingga menimbulkan suara keras. Rupa-nya saat golok
panjang Ki Aji Sena membabat tangan si Cakar Maut, tangan
laki-laki botak itu berputar cepat dan langsung menjambret
lengan Ki Aji Sena yang memegang golok itu. Jambretan
tangan itu pun dibarengi dengan sambaran cakar kirinya yang
setajam cakar elang.
Tubuh orang tua malang itu kini menggeletak tak ber-daya.
Dari tangan kanannya yang terluka mengalir darah segar. Luka
yang cukup dalam dan memanjang.
Dari dalam rumah besar milik kepala desa itu, dua sosok
wanita menghambur keluar, dan langsung bersim-puh di
samping tubuh sang kepala desa. Terdengar isak tangis yang
menyayat hati dari mulut keduanya.
"Kakang... Kakang Sena... oooh...!" Ratap salah seorang
wanita yang cukup tua, terus memanggil-manggil nama sang
kepala desa di antara tangisnya. Sedangkan wanita yang
seorang lagi hanya menggerung-gerung.
Beberapa saat kemudian, wanita tua itu menoleh dan
menatap tajam ke arah si Cakar Maut yang masih berdiri tegak.
"Manusia iblis! Jahanam kau! Kejam!" Sosok wanita tua yang
ternyata istri kepala desa itu, memaki-maki Cakar Maut tak
habis-habisnya. Sedangkan wanita muda yang ternyata putri
kepala desa hanya mampu berdiam diri sambil terus menangis.
Sementara, pertarungan yang lain pun sudah mulai berakhir.
Satu persatu pengawal Ki Aji Sena berjatuhan tewas. Darah
mengalir membasahi bumi menimbulkan bau anyir yang
memualkan.
Lodra melompat dari kudanya, lalu menghampiri wanita yang
berumur kurang lebih limapuluh tahun itu.
"Hei! Nenek peot! Lihatlah! Suamimu masih hidup. Kalau kau
ingin melihatnya hidup terus, jawablah per-tanyaanku!" kata
Lodra dengan suara dingin. "Nah! Seka-rang tunjukkanlah
tempat Paksi Buana kepadaku!" lanjut Lodra.
Dengan wajah bersimbah air mata, wanita tua itu me-
meriksa tubuh Ki Aji Sena. Orang tua itu ternyata me-mang
masih hidup, dan hanya pingsan. Tapi luka-luka-nya memang
cukup parah. Kini dia mulai terlihat siuman. Sejenak mata Ki Aji
Sena terbuka seraya memandang wajah istrinya. Bibirnya
berusaha untuk tersenyum namun tidak mampu. Wajahnya
nampak seperti orang menangis. Ki Aji Sena ternyata samar-
samar juga mende-ngar pertanyaan Lodra. Dan itu
membuatnya terkejut.
"Nyai! Jangan kau jawab pertanyaan iblis itu! Karena
meskipun kau jawab, iblis itu tetap akan membunuh kita!"
Tegas Ki Aji Sena dengan napas memburu.
Wanita tua itu pun jadi ragu untuk menjawab perta-nyaan
Lodra. Ditatapnya laki-laki berjubah hitam itu dengan wajah
bingung.
"Ayo, Nenek tua! Jangan sampai kesabaranku habis!" Lodra
semakin tak sabar.
Istri kepala desa itu masih tetap bungkam. Hal ini membuat
Lodra makin memuncak kemarahannya. Dia lalu melompat
menyambar tubuh Ki Aji Sena, dan diang-katnya tubuh tak
berdaya itu ke atas kepala. "Jawab! Atau kubanting tubuh peot
ini!"
"Jangaaan! Aku... Aku akan... Mengatakannya!" Teriak
wanita tua itu ketakutan. Dengan suara yang bercampur
isaknya, wanita itu akhirnya menunjukkan tempat tinggal Paksi
Buana.
***
Padepokan Naga Terbang, terletak di sebelah Utara Desa
Karang Jati. Pohon-pohon besar tampak berdiri kokoh di
sekelilingnya. Tidak jauh dari pusat padepokan itu, terdapat
sebuah anak bukit yang terdiri dari batu-batu cadas.
Malam mulai jatuh, ketika serombongan orang ber-kuda
yang tidak lain adalah Tiga Iblis Gunung Tandur memasuki
daerah itu. Mereka berhenti tepat di pintu gerbang Padepokan
Naga Terbang Salah seorang dari mereka segera melompat
turun dari atas kudanya.
Orang itu ternyata adalah Sudra, si Iblis Golok Ter-bang.
Setelah menoleh sejenak ke arah kakaknya, Sudra mundur
beberapa langkah ke belakang. la mulai me-ngempos
kekuatannya, sehingga tenaga dalamnya segera bergolak dan
membanjir ke seluruh tubuhnya. Jarak antara Sudra dengan
pintu gerbang tersebut, kurang lebih lima batang tombak.
Dengan satu teriakan meng-geledek, segera dilontarkan
pukulan 'Membentur Seribu Gunung' yang cukup dahsyat ke
arah pintu gerbang.
Wusss!
Brakkk...!
Pintu yang terbuat dari kayu jati pilihan yang tebal dan kuat
itu, seketika ambrol menimbulkan suara hingar-bingar. Debu
dan kepingan kayu beterbangan ke segala penjuru, bagai
dilemparkan tangan-tangan raksasa.
Para murid si Tiga Iblis Gunung Tandur tergetar mun-dur,
sambil menahan gelaran dalam dada mereka akibat pengaruh
pukulan itu. Mereka berdecak kagum sambil bergumam tak
jelas melihat hasil yang ditimbulkannya. Setelah pintu
terdobrak, Sudra kembali naik ke punggung kudanya.
Sementara itu para murid Padepokan Naga Terbang, sangat
terkejut mendengar suara ledakan itu. Salah seo-rang murid
segera melaporkan kejadian itu kepada guru-nya dengan wajah
tegang. Sebagian murid berjaga-jaga dengan segala
kemungkinan yang akan terjadi.
"Apa?! Bangsat! Orang gila dari mana yang berani mati itu?"
Seorang murid utama yang bemama Soga, bangkit dengan
wajah merah padam.
"Sabarlah, Soga.... Tenangkan hatimu. Jangan kau turuti
hawa nafsumu!" Tegur sang guru dengan suara tenang.
"Oh... maaf, Guru! Tapi... rasanya mereka sudah keter-laluan
sekali! Datang-datang sudah membuat kerusakan!" Soga masih
mencoba mernbantah. Meskipun suaranya sudah dapat ditekan,
namun masih terkandung rasa penasaran di dalamnya.
"Hm.... Mari kita lihat! Siapa sebenarnya mereka itu?" Ajak
sang guru dengan suara dalam.
Soga segera berkelebat cepat, mendahului guru dan murid-
murid utama lainnya. Gerakannya cepat bukan main, seolah-
olah mampu menghilang saja. Soga memang murid berbakat.
Hampir seluruh kepandaian gurunya telah diwarisi. Maka
dapatlah dibayangkan, betapa tinggi kepandaian yang
dimilikinya.
Ketika ia telah sampai di halaman depan, para murid
Padepokan Naga Terbang lainnya telah berdiri berjajar
menghadang gerombolan pengacau tersebut.
Sementara itu, kecuali si Tiga Iblis Gunung Tandur, seluruh
anggota rombongan telah berloncatan turun dari kudanya.
Seorang berkepala botak yang tak lain adalah si Cakar Maut
melangkahkan kakinya ke hadapan Soga.
"Hei! Mana orang yang bernama Paksi Buana?" Bentak Cakar
Maut, bertanya. Nada suaranya meremehkan. "Suruh dia
keluar!" Sambungnya lagi.
Merah padam seluruh wajah Soga melihat kesombo-ngan
orang itu. Tubuhnya bergetar menahan amarah yang
menggelegak. Gerahamnya bergemeletuk. Namun dia masih
berusaha bersabar, sambil menghela napas berulang-ulang.
"Ada keperluan apa kau mencari guruku?" Tanya Soga
dingin, tanpa mempedulikan pertanyaan Cakar Maut.
Kini si Cakar Mautlah, yang berang. Sepertinya dia
diremehkan. Pertanyaannya tak dipedulikan, tapi sebalik-nya
malah orang di hadapannya yang bertanya.
"Bangsat! Babi buntung! Apa kau sudah bosan hidup, hah?"
Dengus Cakar Maut Suaranya menggelegar kerena kemarahan
yang meluap-luap.
Sebaliknya Soga tidak marah mendengar makian itu. Dia
malah tersenyum tipis, melihat kegusaran lawannya. Matanya
tetap tajam memancarkan ketegarannya.
"Bukankah wajar kalau tuan rumah bertanya kepada
tamunya?" Tata Soga dengan senyum yang makin me-
ngembang.
"Kurang ajarrr! Mampuslah kau! Ciaaat!" Sambil ber-teriak
mengguntur, Cakar Maut menerjang lawannya. la betul-betul
sudah tidak dapat menahan amarahnya.
Melihat lawannya sudah menyerang, Soga menggeser
kakinya ke belakang. Dengan tidak kalah garangnya, di-
balasnya serangan itu. Maka pertempuran yang seru dan
mendebarkan tidak dapat dihindari lagi. Masing-masing lawan
berusaha saling menjatuhkan secepat mungkin. Namun
kelihatannya pertempuran berjalan alot dan seim-bang.
Sementara itu, para murid kedua belah pihak pun sudah pula
ikut bertempur. Mereka saling terjang tanpa memilih lawan.
Golok-golok saling berkelebatan mencari mangsa. Suara-suara
senjata beradu membuat suasana semakin bertambah bising,
apalagi ditambah dengan pekik dan teriakan pertempuran.
Demikian pula dengan pertarungan dua murid utama dari
masing-masing pihak yang tak kalah serunya.
"Berhenti!!"
Tiba-tiba terdengar satu bentakan keras disertai penge-
rahan tenaga dalam. Suara itu menggema ke segala penjuru.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ke arena pertempuran.
Belum lagi gema suara tersebut lenyap, sesosok tubuh
jangkung telah berdiri tegak di tengah-tengah arena
pertempuran.
Pertempuran berhenti seketika, semuanya serentak menoleh
ke arah bayangan itu. Semua yang ada di situ seperti terkesiap,
diam seribu bahasa. Baru setelah orang berjubah hitam yang
bernama Lodra bertanya kepada orang yang berdiri di tengah-
tengah arena, kebisuan itu terpecahkan. Dengan wajah seperti
orang tolol mereka berpandangan satu sama lain!
"Hm.... Engkaukah yang bemama Paksi Buana?" Tanya Lodra
dengan suara dingin.
"Benar! Akulah Paksi Buana!" Jawab orang itu. Suara-nya
tegas penuh wibawa. Memang, dialah yang bernama Paksi
Buana. Walaupun usianya sudah cukup tua, namun masih jelas
pancaran ketegasannya. Tubuhnya tertutup jubah putih,
dengan sulaman benang emas ber-bentuk naga pada dadanya.
Matanya menatap tajam ke arah Lodra Dipandanginya wajah
orang itu dengan dahi berkerut. Kemudian pandangannya
beralih pada Badra dan Sudra.
"Kalau aku tidak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk
Tiga Iblis Gunung Tandur itu?" Tanya Paksi Buana memastikan.
"Bagus! Rupanya kau sudah mengenal kami." Ujar Lodra
angkuh.
"Siapa yang tidak mengenal kalian? Nama dan kejaha-tan
kalian sudah terkenal di mana-mana. Lalu, apa mak-sud kalian
datang dengan membuat keonaran di sini?" Tanya Paksi Buana
hati-hati.
"Kedatangan kami ke sini, untuk meminta tanggung jawab
atas perbuatanmu pada sepuluh tahun yang lalu!"
"Hm...." Paksi Buana bergumam pelan, lalu berpikir sejenak.
"Telah banyak yang kulakukan pada waktu itu. Tapi, rasanya
aku tidak pernah jumpa dengan kalian?"
"Memang! Kau memang tidak pernah berurusan secara
langsung dengan kami. Sebab apabila kau berurusan dengan
kami, mungkin kau sekarang sudah tidak melihat matahari
lagi!" Jawab Lodra pongah.
Mendengar hal itu, Soga melangkah kedepan dengan wajah
terbakar. Dia sudah tidak tahan lagi melihat ke-sombongan
orang itu. Panas hatinya mendengar ucapan Lodra. Namun
langkahnya segera terhenti, ketika tangan gurunya itu
menyentuh lengannya dan mengisyaratkan untuk tetap tenang.
Laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun itu kembali berdiri
di samping gurunya, sambil menghela napas berat.
"Lalu, apa maksud kalian?" Lanjut Paksi Buana dengan suara
datar, seolah-olah tidak ingin terpengaruh oleh ejekan lawan
bicaranya itu. Padahal, sesungguhnya hatinya telah terbakar.
Tapi dia masih bisa menenangkan dirinya, dan bersikap wajar.
"Baiklah," ujar Lodra datar. "Dengar, baik-baik lngat-kah kau
akan sebuah tempat yang bernama Hutan Jatra? Dan ingatkah
kau kepada orang yang bernama Cakra Ganda, yang telah kau
bunuh itu?"
Paksi Buana termenung sejenak. Dia segera teringat saat-
saat terakhir pengembaraannya. Waktu itu ia sudah berniat
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Suatu saat ia melewati
Hutan Jatra, dan melihat sebuah pertem-puran. Rupanya,
pertempuran itu menarik perhatiannya. Apalagi di tempat itu
terdapat sebuah kereta kuda yang mengangkut barang. Paksi
Buana segera mengambil kesimpulan bahwa pasti itu adalah
perampokan. Dia pun segera terjun ke arena pertarungan, dan
membantu sau-dagar yang dirampok itu. Akhimya dia berhasil
mem-bunuh perampok itu, yang belakangan diketahui bahwa
orang itu sering melakukan kejahatannya di Hutan Jatra.
Namanya Cakra Ganda.
"Hm..., aku ingat sekarang! Lalu, apa hubungannya dengan
kalian?" Tanya Paksi Buana.
"Dia adalah murid kami! Dan...." Belum lagi Lodra me-
nyelesaikan ucapannya, Sudra memotong pembicaraan itu
sambil melompat turun dari kudanya. "Dan kau harus
membayar hutang nyawa itu berikut bunganya! Lihat
serangan!" Belum lagi hilang suara Sudra, tubuhnya sudah
melesat melancarkan serangan yang ganas. Kedua tangannya
berputar bergantian menimbulkan angin yang menderu-deru.
***
DUA
Paksi Buana terkejut melihat serangan yang tidak disangka-
sangka itu. Untunglah pada saat yang gawat Itu, sebuah
bayangan melesat dari sebelah kirinya me-mapak serangan
Sudra yang cepat dan ganas itu. Ternyata dia adalah Soga, si
murid utama Padepokan Naga Terbang.
Plakkk!
Terdengar letupan kecil di udara, menandai perte-muan dua
tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan keduanya.
Kedua orang itu terdorong mundur beberapa langkah, sambil
memegangi tangan yang terasa nyeri. Ternyata dalam adu
tenaga tadi, kekuatan kedua-nya berimbang.
Sudra dan Soga kembali tegak berhadapan, seolah-olah
mengukur kepandaian masing-masing. Dibarengi satu teriakan
dahsyat, Soga menerjang lawannya. Tangan kanannya yang
terkepal, meluncur deras ke ulu hati Sudra, sedangkan tangan
kirinya dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah tenggorokan
lawan. Kali ini Soga me-ngerahkan tenaga sepenuhnya, karena
tidak ingin sera-ngannya gagal.
Namun, lawan yang dihadapinya bukanlah tokoh sem-
barangan. Sudra adalah salah seorang gembong kaum sesat.
Kepandaiannya memang tidak dapat dipandang ringan. Kedua
serangan itu dengan mudah dielakkan Sudra. Dia hanya
menggeser kaki kanannya dan langsung membalas serangan itu
tidak kalah ganasnya. Kini kedua-nya saling serang dengan
jurus-jurus berbahaya dan mematikan!
Sementara itu, melihat salah seorang pemimpinnya telah
terlibat dalam satu pertempuran, Cakar Maut segera
memberikan isyarat kepada para bawahannya. Dan mereka pun
segera menerjang ke arah murid-murid Paksi Buana, yang
masih menanti perintah dari gurunya itu.
Karena pertarungan tak mungkin dapat dihindari lagi, Paksi
Buana pun segera menggerakkan tangannya ke depan. Tanpa
menunggu dua kali, para murid Padepokan Naga Terbang
segera berlari menyongsong kedatangan musuh. Kembali
pertempuran terjadi. Kali Ini dalam jum-lah yang banyak Suara
pekik dan jerit pertempuran mem-bahana membelah angkasa,
ditimpali dengan denting senjata beradu. Pedang-pedang dan
golok-golok, berkele-batan mencari sasaran. Bunga-bunga-api
akibat senjata beradu, memercik ke mana-mana.
Sementara malam semakin larut, namun sang dewi malam
enggan memancarkan keindahan sinarnya. Angin dingin pun
berhembus keras, seakan-akan ingin melerai pertarungan
berdarah itu. Bintang pun nampaknya Ikut larut dalam
kegundahan tersebut.
Badra yang melihat jalannya pertarungan, menjadi ga-tal
tangannya. Dia segera menoleh ke arah Paksi Buana, yang juga
sedang termenung menyaksikan pertempuran itu. Laki-laki
berjubah coklat dan berjuluk Iblis Cambuk Api itu segera
melesat ke arah Paksi Buana. Dengan sebuah teriakan yang
mengguntur, segera diterjangnya Paksi Buana dengan serangan
beruntun. Tentu saja Paksi Buana tidak mungkin membiarkan
tubuhnya jadi sasaran pukulan. Dengan gerakan yang sangat
indah, digeser kedua kakinya guna menghindarkan serangan
itu. Kini dia pun tak ingin sungkan-sungkan lagi.
Dipersiapkannya jurus-jurus terampuhnya untuk menghadapi
Badra. Keduanya pun kini segera terlibat dalam pertarungan
sengit.
Badra adalah orang kedua dari Tiga Iblis Gunung Tan-dur.
Namanya pun sudah terkenal dalam dunia persila-tan. Maka
sulit untuk mengukur tingkat kepandaiannya.
Begitupun sebaliknya. Paksi Buana adalah seorang pendekar
digdaya yang tidak kalah terkenalnya dibanding dengan Tiga
Iblis Gunung Tandur. Malah dalam dunia persilatan, julukannya
yang bernama Naga Sakti, sangat-lah disegani kawan maupun
lawan. Dan nama besar itu diukirnya sepuluh tahun yang lalu.
Maka dapatlah dibayangkan, betapa hebatnya pertem-puran
kedua tokoh itu. Keduanya sama-sama tangguh dan gesit.
Dalam waktu singkat telah sepuluh jurus di-lalui. Meskipun
demikian, sampai sejauh ini belum dapat dipastikan, siapa yang
akan memenangkan pertarungan itu.
Di arena yang lain, Soga tampak mulai terdesak. Serangan-
serangan Sudra, semakin lama semakin ganas. Hingga
menutup ruang gerak murid utama Padepokan Naga Terbang
ini. Tidak disangkanya kalau kepandaian lawan demikian hebat.
Gerakan-gerakannya penuh gerak tipu yang sangat
mengejutkan.
Menyadari keadaannya yang berbahaya Itu, Soga segera
mempersiapkan jurus andalannya. Dengan satu bentakan
keras, Soga segera merubah gerakannya. Kedua telapak
tangannya menegang kaku berbentuk cakar. Gerakannya cepat
dan saling mendahului hingga menim-bulkan angin tajam.
"He he he... Ayo! Keluarkan seluruh kepandaianmu, kunyuk!
Sebelum kubeset kulit tubuhmu!" Sudra tertawa terkekeh,
ketika melihat Soga telah mengeluarkan jurus andalan
perguruannya. Ejekannya memang membuat panas telinga
lawannya.
Dengan tidak kalah garangnya, Sudra pun segera me-mapaki
serangan Soga. Tanpa ragu-ragu lagi ia menge-luarkan jurus
pamungkasnya. Terdengar suara mengaung kerika Sudra
mendorongkan kedua tangannya menyam-but serangan telapak
tangan Soga.
Wusss!
Ham!
"Akh...!"
Tubuh Soga terlempar deras dibarengi terlakan kesa-kitan
dari mulutnya. Dia terjerembab sehingga menimbul-kan suara
keras. Dari sela-sela bibimya yang pucat, tampak mengalir
darah segar. Namun dia berusaha untuk bangkit. Kedua
tangannya mendekap dada yang terasa sesak.
Sementara lawannya juga terpental. Tubuhnya men-darat
dengan Indah, setelah melakukan beberapa putaran di udara.
Diam-diam, Sudra pun harus mengakui kehe-batan lawannya
yang lebih muda darinya itu. Biasanya jika lawan terkena jurus
pamungkasnya, dapat dipastikan tidak akan berumur panjang.
"Huh! Jangan dulu mengangkat dada, iblis! Aku masih belum
kalah!" Setelah berkata demikian, Soga segera mencabut
pedangnya. Dibarengi dengan teriakan yang keras segera
diputar pedangnya.
Tubuh Soga yang terbungkus oleh sinar pedang itu, meluruk
deras ke arah Sudra. Pedang yang digerakkan oleh tenaga
dalam sepenuhnya itu, menimbulkan suara mendesing tajam.
Bagaikan suara ribuan lebah yang sedang marah.
Menyadari dahsyatnya serangan Itu, Sudra mencabut golok
terbangnya yang tersusun rapi di pinggang dan dadanya itu.
Dengan kedua golok terbang Itu, disambut-nya serangan Soga.
Dari gulungan sinar pedang Soga, kadang-kadang mencuat
ujung pedang yang bergetar menjadi delapan buah banyaknya.
Itulah sebabnya, mengapa jurus ini dinamakan 'Delapan Jalan
Utama'. Sementara itu kedua golok milik Sudra pun
berkelebatan dan meliuk-liuk seperti terbang Mungkin itulah
sebabnya, mengapa dia berjuluk Iblis Golok Terbang.
Pada pertarungan lain tampak di kedua belah pihak, korban
sudah mulai berjatuhan. Darah pun mengalir membasahi bumi.
Nampaknya murid-murid Padepokan Naga Terbang, mulai
terdesak mundur dan mulai banyak korban. Lawan mereka
ternyata rata-rata memiliki kepan-daian silat yang cukup tinggi.
Sedangkan murid-murid Padepokan Naga Terbang masih
bawahnya.
Belum lagi, sepak terjang si Cakar Maut. Laki-laki botak ini
benar-benar seperti iblis yang haus darah. Setiap musuh yang
berada di dekatnya, pasti tewas dengan leher hampir putus
ataupun perut sobek. Telapak tangan yang membentuk cakar
itu, bagaikan tangan malaikat maut.
Di tempat lain, Paksi Buana mulai merasakan teka-nan-
tekanan berat dari lawannya. Badra yang berjuluk Iblis Cambuk
Api, mulai mendesak lawannya. Jurus 'Tangan Seribu' yang
digunakannya, benar-benar mem-buat Paksi Buana mati
langkah! Sampai pada jurus yang ketiga puluh, Paksi Buana
sudah tidak dapat lagi mem-pertahankan posisinya lagi. Sebuah
tamparan telak menghantam dadanya.
Desss!
"Huaaakkk!"
Paksi Buana terhuyung sejauh dua tombak, lalu me-
muntahkan darah segar. Wajahnya pucat, dan baju pada
bagian dadanya terlihat hancur. Sedangkan pada kulit dadanya,
terdapat bekas telapak tangan yang membiru. Jelas dia telah
terluka dalam. Buru-buru disalurkan hawa murni untuk
menghilangkan rasa sakitnya itu.
"Ha ha ha.... Sebentar lagi Raja Maut akan segera men-
jemputmu! Bersiaplah!" Tawa Badra bergema memenuhi arena
pertarungan tersebut.
Paksi Buana tidak menanggapi ucapan lawannya. la masih
berusaha menahan rasa nyeri dalam dadanya. Di-hirupnya
udara banyak-banyak, lalu dihimpunnya selu-ruh kekuatan
tenaga dalamnya.
Dengan teriakan mengguntur, dicabutnya sepasang pedang
yang bertengger di balik punggungnya. Sepasang pedang yang
telah membuat namanya terkenal dalam dunia persilatan. Paksi
Buana kembali menerjang Badra, yang masih tegak dengan
penuh kesombongan. Kedua batang pedangnya membabat de-
ngan gerakan menggun-ting. Suaranya bergemuruh membelah
udara malam yang semakin dingin.
Kembali sepuluh jurus terlewat dengan cepat. Sampai saat
ini keduanya nampak masih seimbang. Paksi Buana menguras
seluruh kemampuannya untuk menguasai lawannya. Pada saat
yang memungkinkan, Paksi Buana membabatkan pedangnya
secara mendatar dengan jurus 'Sabetan Ekor Naga'. Gerakan ini
ditunjang dengan tenaga dalam yang kuat, hingga me-
nimbulkan desingan angin yang tajam.
Namun Badra yang sudah menemukan titik kelemahan ilmu
pedang lawan, hanya tertawa dingin. Dengan kece-patan bagal
kilat diarahkan cambuknya ke wajah lawan. Cambuk itu
menggeletar sehingga menimbulkan perci-kan-percikan bunga
api yang mengaburkan pandangan Paksi Buana.
Badra melihat lawannya telah terpengaruh percikan-percikan
api, tidak melewatkan kesempatan itu. Selagi lawannya silau,
segera dilecutkan cambuknya ke arah pergelangan tangan
lawannya. Dan....
"Aaakh!"
Terdengar suara kesakitan dari mulut Paksi Buana. Betapa
terkejutnya Paksi Buana setelah menyadari pergelangan tangan
kanannya buntung. Segera dipegangi pergelangan tangan
kanan itu. Darah mulai merembes di antara jari-jari tangan kiri
yang memegangi tangan yang buntung itu. Dan di saat itulah
Cambuk Api Badra kembali beraksi ke leher Paksi Buana. Laki
laki ketua Padepokan Naga Terbang itu tak sempat menghindar
lagi.
"Aaakh...!"
Paksi Buana kembali menjerit menyayat. Tubuhnya
terjungkal, lalu tewas seketika dengan leher yang hampir putus.
***
Bersamaan dengan tewasnya Paksi Buana, Soga murid
utama dari Padepokan Naga Terbang itu, mulai terdesak oleh
serangan-serangan lawannya yang makin lama semakin ganas.
Sampai pada suatu kesempatan Sudra melepaskan empat buah
golok terbangnya. Dua dari sera-ngan golok itu berhasil
disampok oleh sabetan pedang Soga. Tapi sayang dua golok
lainnya sulit untuk dihinda-rinya. Dan....
"Aaakh...!"
Suara jeritan menyayat terdengar dari mulut Soga.
Tubuhnya terjungkal ketika golok itu menancap di ulu hati dan
lehernya. Soga meregang nyawa sebentar lalu diam tak
bergerak lagi. Tewas!
Di tempat lain, pertarungan antara para pengikut Tiga Iblis
Gunung Tandur menghadapi murid-murid Padepo-kan Naga
Terbang pun telah mendekati penyelesaian. Dan berbareng
dengan tewasnya Soga, tewas pulalah murid terakhir dari
Padepokan Naga Terbang.
Dari arah Utara, tiba-tiba berlari sosok tubuh ramping ke
arah pertempuran itu. Semua orang yang ada di situ, sama-
sekali tak menyadarinya. Sosok tubuh yang ter-nyata wanita itu
menghambur dan menubruk jasad Paksi Buana yang telah
kaku. Dari bibirnya yang terisak, keluar gumaman lirih.
"Kakang... oh, Kakang.... Apa yang terjadi?" Desah wanita
itu di antara isak tangisnya yang memilukan hati.
Sudra begitu terkejut karena ada sosok wanita sudah berada
di dekatnya. Mata wanita yang indah itu menatap tajam
memancarkan kemarahan ke arah Sudra. Orang termuda dari
Tiga Iblis Gunung Tandur itu, tanpa sadar melangkah mundur.
Hatinya tergetar juga melihat sinar mata yang mengerikan itu.
"Gila! Kepandaian wanita ini rasanya tidak berada di bawah
kepandaian murid utama si Naga Sakti!" Gumam Sudra lirih.
Wanita yang ternyata bernama Rara Ampel, terus me-natap
tajam ke arah Sudra. Dia adalah istri Paksi Buana, yang
semenjak pagi telah pergi ke Desa Lamping untuk mengobati
orang yang sedang sakit keras. Desa itu ter-letak tidak jauh
dari Desa Karang Jati.
Kepala Desa Lamping telah meminta pertolongannya, karena
anaknya sakit keras. Selain pandai ilmu silat, Rara Ampel pun
pandai dalam ilmu pengobatan. Jarak antara Desa Karang Jati
ke Desa Lamping, memakan waktu setengah hari perjalanan. la
berangkat ke desa itu bersama putranya dan orang
kepercayaannya. Oleh karena itulah pada saat kejadian dia
tidak ada di rumah.
Rara Ampel pelahan-Iahan bangkit berdiri. Bahkan kini telah
mengeluarkan senjatanya berupa selendang ber-warna merah.
"Mampuslah kau, iblis!" teriak Rara Ampel. Tubuhnya
melesat menerjang Sudra dengan kemarahan yang me-luap-
luap.
Dalam dunia persilatan nama Rara Ampel bukanlah nama
kosong. Dia berjuluk Dewi Selendang Merah.
Tidak heran jika serangannya pun tak dapat dianggap main-
main.
Kini selendang merahnya mehuk-liuk bagaikan seekor ular
yang menari-nari. Bahkan kadang-kadang berubah menjadi
beberapa buah. Setiap ujungnya selalu mengarah ke jalan
darah yang berbahaya. Dan kini satu sabetan selendangnya
hampir menyentuh tubuh Sudra. Keliha-tannya, laki-laki itu tak
mampu berkelit.
Sebelum ujung selendang merah itu menyentuh tubuh
Sudra, sebuah bayangan berkelebat menyambut serangan
tersebut Terdengarlah letupan-letupan yang sangat nya-ring.
Plak! Plak!
"Aiiih!"
Tubuh Rara Ampel terdorong, hampir jatuh. Tulang lengan
kanannya terasa nyeri seperti remuk akibat tang-kisan lawan
yang sangat kuat.
Bayangan hitam yang ternyata adalah Lodra itu berdiri tegak
di depan Rara Ampel. Jarak keduanya kurang lebih dua tombak.
"He he he..., Manis! Ayo kita bermain-main sebentar,
sebelum bersenang-senang!" Kata Lodra sambil tertawa yang
menimbulkan gema. Seolah-olah ingir memamerkan kekuatan
tenaga dalamnya. Beberaps orang yang berada di dekatnya,
terjatuh sambil menekan dadanya yang terasa berguncang
karena pengarur suara tawa itu.
Sementara Rara Ampel merasakan tubuhnya gemetar hebat.
Cepat cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk menahan suara
tawa itu.
"Tidak kusangka! Tenaga dalam iblis ini sangat tinggi. Pantas
saja Kakang Paksi Buana sampai tewas di tangan mereka!"
Gumam Rara Ampel pelahan. Kecemasan mulai membayang di
wajahnya yang cantik itu.
Tanpa disadari, sepasang mata Lodra secara liar mela-hap
wajah dan tubuhnya dengan seringai buas. Kecan-tikan Rara
Ampel telah membangkitkan nafsu yang meng-gelegak dalam
diri Lodra.
Menyadari adanya tatapan liar itu, merah padamlah seluruh
wajah Rara Ampel. Bahkan kini tubuhnya ber-gidik, melihat
mata yang buas Itu. Dia segera bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan yang akan terjadi.
Rara Ampel menggerakkan selendang merahnya se-hingga
seperti bergelombang bagaikan seekor naga yang bermain di
angkasa. Tiap hentakan selendangnya meng-hasilkan ledakan-
ledakan yang menusuk telinga.
Ctarrr! Ctarrr!
Lodra yang menghadapi serangan itu, hanya terse-nyum
dingin. Segera dikeluarkan ilmu andalannya yaitu jurus
"Sepasang Tangan Pengacau Lautan' yang meru-pakan
rangkaian kedua dari jurus 'Tangan Maut'.
Udara dingin berhembus keras, kerika Lodra meng-gerakkan
tangannya. Mereka yang tidak memlliki tenaga dalam yang kuat
tidak akan mampu bertahan terhadap udara dingin yang
terpancar dari tubuh Lodra.
Dan, tanpa diduga sama sekali, selendang Rara Ampel
terpental balik terdorong hembusan angin dingin terse-but.
Rara Ampel begitu terkejut. Dan belum sempat hilang rasa
terkejutnya, Lodra sudah menerjang dengan totokan-totokan
yang mengarah ke jalan darah di tubuh Rara Ampel.
Menyadari bahaya yang mengancam dirinya, Rara Ampel
menggeser tubuhnya ke kiri, sambil melepaskan tendangan
lewat jurus 'Sang Dewi Menggeliat'. Tidak berhenti sampai di
situ, Rara Ampel pun menyabetkan selendangnya ke pelipis
lawan. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya!
Lodra yang berjuluk Iblis Tangan Maut ini memang bu-kan
tokoh sembarangan. Serangan itu tidak membuatnya panik.
Dengan satu egosan yang indah, ditekuk kaki kanannya
membuat kuda-kuda yang rendah. Sementara tangan kirinya
memapak tendangan itu, sedangkan tangan kanannya menepis
selendang yang mengarah peli-pisnya itu. Rara Ampel segera
menarik kembali serangan-nya. Tapi, belum lagi sempat
memperbaiki posisi, baya-ngan Lodra telah meluncur ke
arahnya.
Tuk! Tuk!
Kejadian itu berlangsung hanya dalam sekejap mata. Kini
tubuh Rara Ampel telah tertotok lumpuh dalam pelu-kan Lodra.
Si Iblis Tangan Maut atau Lodra, tertawa terbahak-bahak.
Dipondongnya tubuh wanita itu ke dalam Padepokan Naga
Terbang. Sesekali tangannya mengelus ping-gul Rara Ampel.
"Setaaan! Iblis cabul! Mau kau bawa ke mana aku?
Lepaskan! Lepaskan! Bunuh saja aku, iblis!" Rara Ampel
berteriak-teriak. Dia sadar sesuatu yang lebih mengerikan akan
menimpa dirinya.
Sementara Lodra yang sudah berada di dalam kamar di salah
satu rumah Padepokan Naga Terbang, meletakkan tubuh molek
itu di atas pembaringan. Pakaian yang menutupi tubuh Rara
Ampel direnggutnya secara paksa. Kini tampaklah kulit
tubuhnya yang putih dan halus itu. Rara Ampel benar-benar
tanpa benang sehelai pun. Lodra dengan leluasa melampiaskan
nafsu iblisnya, di antara jerit tangis wanita malang itu.
Puas melepas nafsu binatangnya, Lodra melangkah keluar
dengan senyum yang hampir mirip seringai seri-gala. Badra dan
Sudra pun tak mau ketinggalan. Secara bergantian tubuh molek
itu dinikmati bersama. Setelah puas mempermainkan wanita
malang itu, mereka pun membunuhnya secara keji! Tubuh
telanjang itu mengge-letak dengan kepala pecah!
Setelah menguras seluruh harta kekayaan yang ada di dalam
padepokan itu, mereka lalu membakar semua bangunan yang
ada.
"Periksa seluruh sudut bangunan ini! Kita harus me-nemukan
anak Paksi Buana. Cari sampai dapat!" Perintah Lodra pada
seluruh anak muridnya dengan suara garang.
Sementara di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dua
pasang mata yang menyaksikan kejadian itu tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka tersentak kaget setelah mendengar
perintah Lodra! Bergegas mereka menjauhi tempat itu, karena
memang ditujukan untuk mereka.
Para murid Tiga Iblis Gunung Tandur menyebar ke seluruh
wilayah luar padepokan. Tapi sudah tidak mene-mukan apa-apa
lagi! Karena kedua orang yang dimak-sudkan sudah pergi
meninggalkan tempat berdarah itu.
Sementara malam kian larut. Awan hitam membawa titik-titik
air, membuat cuaca malam semakin bertambah pekat. Samar-
samar mulai terlihat titik-titik air yang mulai berjatuhan
menyirami bumi. Seakan-akan ikut ber-duka cita atas peristiwa
berdarah Itu. Sedangkan di tem-pat lain, dua sosok tubuh
tergesa-gesa berlari-lari men-jauhi tempat itu. Siapakah
mereka?
***
TIGA
Hari masih pagi. Di ufuk Timur mulai tampak sinar matahari
yang kemerah-merahan. Alam pun mulai terjaga dari tidurnya.
Burung-burung berkicau indah. Di kejau-han terlihat sebuah
bayangan hitam yang melesat cepat! Bayangan Itu berlari
semakin dekat, diringi kepulan debu. Rupanya bayangan itu
adalah seekor kuda, yang ditung-gangi dua orang lelaki.
Lelaki yang mengendalikan kuda, berumur lima puluh tahun.
Wajahnya nampak lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Sepertinya banyak mengalami tekanan berat dalam hidupnya.
Sedangkan orang yang memboncengnya, berusia lebih kurang
delapan tahun. Meski terlihat kotor dan penuh debu, namun
jelas bahwa anak ini memiliki paras yang tampan. Tarikan
bibirnya yang begitu kuat, Suatu tanda bahwa anak ini
mempunyai kemauan keras. Hanya saja, pada saat itu
wajahnya nampak murung. Raut kesedihan tergambar di
wajahnya.
Mereka terus memacu kudanya memasuki sebuah hutan
yang sangat lebat. Setelah menoleh sekilas ke bela-kang, orang
tua itu segera menggeprakkan kakinya ke perut kuda hingga
binatang itu mempercepat larinya. Mereka memasuki hutan
semakin ke dalam.
Setelah cukup lama menerobos rimbunan dedaunan, maka
tibalah mereka pada sebuah tempat yang agak lapang. Di
bawah sebuah pohon besar, mereka beristi-rahat melepaskan
lelah.
"Paman. Sudah hampir sebulan kita menghindari orang-
orang jahat itu. Lalu, kemanakah tujuan kita sebe-narnya,
Paman?" Tiba-tiba anak itu bertanya kepada si Orang Tua.
"Entahlah, Tuan Muda. Paman sendiri tidak tahu. Tapi bagi
Paman tidak menjadi masalah. Ke mana pun kita akan pergi
dan di mana pun kita akan tinggal, yang pen-ting Tuan Muda
selamat!" Ujar orang tua itu dengan suara parau.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara melengking tinggi,
seperti suara tangisan. Orang tua itu tersentak kaget, dan mulai
meneliti keadaan di sekitarnya. Dahinya berkerut bagaikan
sedang mengingat-ingat sesuatu. Po-hon-pohon besar yang
menjulang tinggi, bagaikan barisan raksasa yang mengepung
mereka.
Kembali lengkingan itu terdengar. Kali ini dibarengi suara
rintihan yang panjang dan menyayat. Angin dingin bertiup
keras menerpa tubuh mereka yang menggigil keras. Anak kecil
itu semakin erat memeluk tubuh si Orang Tua. Sementara
wajah si Orang Tua pelahan-lahan memucat, Keringat dingin
mulai membasahi tubuhnya. Dadanya berdebar keras, dan otot-
otot tubuhnya mene-gang!
"Hut..., hut... tan Ran... du..., Apusss!?" Ucap orang tua itu
terputus-putus. Bibirnya bergetar dan otot-otot tubuhnya
semakin menegang. Tangannya yang gemetar berusaha
menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang
kirinya.
"Tempat apakah ini, Paman? Rasanya menyeramkan sekali?"
Tanya anak kecil itu. Meski wajahnya pucat, namun suaranya
tenang. Memang anak itu belum tahu apa-apa.
Lain halnya dengan orang tua itu. Dia segera teringat cerita-
cerita yang pernah didengar sebelumnya dari orang persilatan,
maupun dari para pemburu.
Hutan Randu Apus atau yang dikenal juga sebagai Hutan
Iblis Menangis, adalah sebuah hutan yang di-anggap keramat!
Orang yang pernah datang ke hutan itu jangan harap dapat
kembali pulang! Mereka lenyap tanpa bekas. Menurut orang-
orang desa sekitar, mereka dimangsa oleh Iblis Menangis yang
tinggal di hutan itu.
Dulu, pernah beberapa orang yang dikenal sebagai jagoan-
jagoan desa sekitar, berkumpul dan memasuki hutan ini. Niat
mereka adalah untuk membunuh iblis penghuni Hutan Randu
Apus. Namun mereka pun lenyap bagai ditelan bumi! Itulah
cerita-cerita yang pernah didengar oleh orang tua tersebut.
"Paman! Paman Wira Tama! Ada apa, Paman? Paman,
kenapa?" Anak kecil itu mengguncang-guncang tubuh orang
tua yang ternyata bernama Wira Tama sambil berteriak-teriak.
Wira Tama tersadar dari lamunannya. Dicobanya untuk
tersenyum, namun yang tampak adalah seringai kengerian.
"Ah.... Tidak ada apa-apa, Tuan Muda! Tempat ini sangat
cocok untuk persembunyian. Kita akan aman di sini!" Jawab
Wira Tama menghibur. "Sebaiknya, sekarang kita mencari
tempat untuk nanti malam."
Anak kecil itu ternyata anak Paksi Buana. Dia ber-hasil
diselamatkan pembantunya yang bernama Wira Tama. Sudah
hampir satu bulan mereka melarikan diri karena dikejar-kejar
murid-murid si Tiga Iblis Gunung Tandur. Sampai akhirnya
mereka tersesat di Hutan Randu Apus.
Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Bias-bias
sinarnya pun telah menerobos rimbunnya dedaunan pepohonan
Hutan Randu Apus. Udara di dalam hutan pelahan-lahan mulai
hangat.
Sementara itu, Wira Tama dan anak Paksi Buana yang
bemama Panji, mulai menerobos masuk ke dalam hutan untuk
mencari tempat bermalam nanti.
Tiba-tiba terdengar sebuah raungan dahsyat, yang ber-gema
menggetarkan hutan tersebut Keduanya tersentak mundur
dengan wajah pucat! Dada mereka berguncang keras. Bahkan
Panji sampai jatuh terduduk, karena lutut-nya mendadak
lemas!
"Suara apakah itu, Paman?" Tanyanya sambil ber-usaha
untuk bangkit.
"Entahlah, Tuan Muda. Suara itu terlalu besar untuk seekor
harimau!" Jawab Wira Tama, yang sudah men-cabut
pedangnya.
Mereka terus melangkah dengan hati berdebar-debar. Napas
mereka pun memburu menahan rasa takut dan ketegangan
yang amat sangat.
Raungan tersebut, kembali bergema. Kali ini bahkan lebih
keras, hingga mereka terdorong beberapa langkah dan jatuh
berhimpitan. Tubuh keduanya gemetar hebat. Belum lagi hilang
rasa terkejut, didepan mereka telah muncul seekor harimau
yang sangat besar!
***
Paman Wira Tama dan Panji hanya mampu terpaku, dengan
tubuh gemetar. Harimau Itu memang sangat besar dan
kelihatannya kuat sekali. Tubuhnya satu sete-ngah kali lebih
besar daripada harimau biasa. Panjangnya hampir mencapai
dua batang tombak! Binatang raja hutan itu mengaum buas,
memperlihatkan taring-taring yang besar dan tajam bagai mata
pisau.
Wira Tama bangkit lalu memungut pedangnya yang terlepas
dari genggamannya. Dicobanya untuk menenang-kan diri. Jalan
napasnya diatur pelahan-lahan. Dia kini telah siap melindungi
majikan kecilnya dengan taruhan nyawa.
Sementara Panji yang belum hilang rasa terkejutnya, masih
terduduk lemas. Tiba-tiba ia tersentak, setelah teringat akan
nasihat yang selalu ditanamkan ayahnya. Nasihat itu berisi,
apabila dihantui perasaan cemas, tegang, maupun takut, maka
jalan napas harus diatur guna mengendorkan urat-urat yang
tegang. Nasihat ini ditanamkan untuk membentuk jiwa
pendekar dalam diri Panji.
Dan kini anak itu mencoba menerapkan nasihat ayah-nya.
Pelahan-lahan mulai dirasakan kebenaran ucapan ayahnya Itu.
Setelah hatinya terasa agak tenang, ia pun bangkit dan
berlindung di balik sebuah pohon yang agak jauh dari harimau
Itu.
Sementara harimau ganas itu kelihatan mengambil ancang-
ancang, Tiba-tiba dengan dibarengi raungan yang dahsyat,
harimau itu menerkam Wira Tama. Kuku-kuku-nya yang tajam
dan kuat itu, siap menyobek tubuh mangsanya.
Namun demikian, Wira Tama bukanlah orang lemah.
Meskipun hanya seorang pelayan, ia pun tidak buta akan ilmu
olah kanuragan. Sebagai orang kepercayaan keluarga Paksi
Buana, dia pun dibekali kepandaian yang tidak ringan.
Maka ketika harimau itu menerkam ke arahnya, dia pun
segera berkelit dengan jurus 'Naga Malas'. Tubuhnya
menggeliat ke kiri, sehingga luput dari serangan harimau yang
kelihatan lapar itu. Melihat terkamannya dapat dielakkan, si
Raja Hutan tampaknya marah bukan main! Dengan meraung
murka, ia kembali menerjang.
Mungkin si Raja Hutan itu menerka bahwa calon korbannya
kali ini bukan orang sembarangan. Buktinya, terkamannya kali
ini pun tidak kepalang tanggung. la melesat dengan kecepatan
tinggi, sementara kedua cakar-nya kali ini diarahkan ke kepala
calon korbannya.
Menghadapi terkaman itu, Wira Tama segera meIenting
tinggi melewati kepala harimau. Pada saat yang tepat,
pedangnya berkelebat dengan kecepatan penuh menebas leher
si Raja Hutan, yang berada di bawahnya itu.
Buk!
Terdengar suara seperti batang besi yang dibenturkan
dengan kuatnya ke gumpalan karet.
Wira Tama bersalto beberapa kali di udara, untuk menjauhi
sang harimau. Kakinya mendarat dengan ringan beberapa
tombak di belakang tubuh harimau itu.
Tangannya dirasakan nyeri sekali. Tidak disangka kalau
tubuh harimau itu begitu keras! Hampir saja pedang-nya
terlepas dari genggaman tangannya.
"Gila! Sungguh luar biasa harimau ini! Sampai-sampai
pedangku pun tak mampu melukai tubuhnya! Aneh?!" keluhnya
sedikit khawatir. Kecemasan mulai terbayang di wajahnya.
Sementara harimau itu sudah menerjang kembali de-ngan
dahsyatnya. Tubuhnya melesat bagaikan kilat di-sertai raungan
panjang, yang bergema ke seluruh penjuru hutan.
Wira Tama yang masih terpaku di tempatnya, menjadi
kalang kabut. Karena tahu-tahu saja kedua cakar hari-mau
hampir menyentuh tubuhnya. Dengan gugup, dige-rakkan
pedangnya secara mendatar menyambut terka-man Raja Hutan
itu seraya melompat ke samping kiri.
Namun terlambat, Wira Tama masih kalah cepat dengan
harimau itu. Pedangnya terlempar entah ke mana, sedangkan
tubuhnya melambung tinggi terkena samba-ran kaki kanan
binatang itu.
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan yang merobek kesunyian Hutan
Randu Apus.
Orang tua malang itu terbanting keras ke bumi. Dari luka
yang menganga di dadanya, merigalir cairan merah yang masih
segar. Belum lagi ia dapat bangkit, harimau itu telah menerkam
kembali. Tanpa ada suara lagi, pelayan yang setia dari Paksi
Buana itu tewas. Tubuhnya tak berbentuk lagi.
Panji yang menyaksikan kejadian itu, menjadi tergun-cang
hatinya. Ingatannya terbayang kembali pada wajah kedua
orang tuanya yang sangat menyayanginya itu, yang kini telah
tiada. Tewas di tangan orang orang jahat yang menyerbu
padepokan milik ayahnya. Satu persatu ter-bayang di
benaknya, wajah-wajah orang jahat yang telah membunuh
ayah dan ibunya. Tanpa terasa, mengalir dua tetes air
matanya. Namun demikian cepat dihapusnya air mata itu
dengan punggung tangannya. Terngiang kembali kata-kata
ayahnya.
"Panji..., seorang lelaki sejati ridak akan menangis
betapapun berat beban yang dideritanya. Yang pantas
mengeluarkan air mata hanyalah wanita!" Itulah yang selalu
dikatakan Paksi Buana kepada anaknya.
Dengan menggertakkan gigi, Panji segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Tidak ada lagi rasa takut dalam dirinya.
Satu satunya orang yang menjadi tempat-nya berlindung, telah
pula tewas diterkam harimau buas itu.
"Harimau jahat! Harimau jelek! Ayo, terkamlah aku!
Lawanlah aku!" Panji yang sudah tidak mempedulikan dirinya
lagi itu, terus melangkah maju mendekati bina-tang buas itu.
Si Raja Hutan yang kelihatannya sudah tidak mem-
perhatikan Panji itu, menoleh sambil menggereng lirih. Seolah-
olah memperingatkan bahwa ia tidak ingin diganggu.
Namun Panji yang marahnya telah meluap terhadap harimau
itu, sudah tidak mempedulikannya lagi Diambil-nya beberapa
buah batu sekepalan tangannya lalu dilem-parkannya ke tubuh
si Raja Hutan.
Merasa kesenangannya diganggu, harimau itu meng-gereng
marah. Terdengar raungannya yang seperti akan merontokkan
jantung. Tanpa sadar, Panji melangkah mundur. Wajahnya
nampak pucat dan tubuhnya geme-tar, karena pengaruh
raungan itu Tapi segera dikuatkan hatinya Dua buah batu yang
masih digenggam, dilempar-kannya ke tubuh sang harimau.
Kali ini dengan dibarengi raungannya yang dahsyat, harimau
itu melompat menerkam Panji, yang berdiri me-matung dengan
wajah memucat! Sementara Panji bersiap-siap menghadapi
kemungkinan yang akan terjadi....
***
Dapat dipastikan taring harimau itu akan melumat tubuh
kecil yang tanpa dosa itu. Tapi, sebelum terkaman harimau
mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh raja hutan itu terbanting ke
tanah, seraya meraung keras karena merasa kesakitan.
Dan kini tahu-tahu, di samping Panji telah berdiri sosok
tubuh seorang kakek tua. Seluruh rambut di kepala, kumis, dan
janggutnya telah memutih. Usia kakek itu kira-kira telah
mencapai tujuh puluh tahun, namun potongan tubuhnya masih
menampakkan kegagahan. Pakaiannya jubah putih longgar,
melambai-lambai tertiup angin.
Kakek itu tersenyum lembut. Sambil tangannya yang agak
keriput itu mengusap tubuh Panji yang masih gemetar. Anak
kecil itu sedikit heran, karena dari telapak tangan kakek itu
mengalir hawa sejuk. Pelahan-lahan tubuh Panji menjadi segar
kembali dan hatinya pun menjadi tenang.
Kakek itu kembali menatap ke arah si Raja Hutan yang
nampak bersiap-siap hendak menyerang kembali. Disertai
raungan murka, harimau itu kembali menerjang ke arah sang
kakek yang menghadapinya dengan senyum lembut.
Ketika serangan harimau sudah hampir sampai kakek
misterius itu menghentakkan kedua tangannya kedepan.
Akibatnya sungguh menakjubkan! Tubuh si Raja Hutan itu
terlempar sejauh tiga tombak lalu jatuh berdebum di tanah.
Namun harimau itu tidak menjadi kapok Diulangi-nya serangan
itu beberapa kali, namun hasilnya sama-saja.
Setelah merasakan bantingan untuk yang kesekian kalinya,
rupanya harimau itu menyadari bahwa manusia yang satu ini
merupakan lawan yang berat baginya. Kini dia hanya berputar
ke kiri dan ke kanan seolah-olah ingin mencari kelemahan
lawannya.
Si Kakek sendiri merasa takjub oleh kekuatan harimau itu.
Padahal tadi telah dipergunakan seperempat tenaga-nya.
Namun harimau itu sama sekali tidak terluka.
"Sungguh luar biasa daya tahan harimau ini!" Decak-nya
kagum. "Rasanya tokoh persilatan pun sulit menun-dukkannya.
Sungguh sayang sekali apabila harus dibu-nuh," lanjut kakek
itu, seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.
"Eyang, bagaimana kalau kita pelihara?" Usul Panji tiba-tiba.
"Tidak, Cucuku! Biarlah dia bebas dan merdeka seperti ini!"
Ujar sang kakek lembut.
Baru saja kakek itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba
terdengar raungan keras kembali. Kali ini si Raja Hutan kembali
menerjang sepenuh tenaganya, disertai raungan yang
menggetarkan memenuhi penjuru hutan. Sementara itu, Panji
sampai jatuh terduduk, karena mendadak seluruh tubuhnya
terasa lumpuh. Sementara kedua tangannya mendekap dada,
karena jantungnya untuk beberapa saat seolah-olah terhenti.
Kakek misterius itu, semakin kagum akan kekuatan harimau
yang begitu dahsyat. Kalau saja ia tidak memiliki tenaga dalam
yang tinggi, tentu sudah jatuh seperti halnya Panji.
Kakek itu pun rupanya tidak ingin membuang-buang waktu
lagi. Maka, kali ini dikerahkan hampir separuh tenaga
dalamnya. Pelahan-lahan udara di sekitar tempat itu mulai
terasa hangat.
Ketika kuku-kuku harimau itu hampir mengenainya, si kakek
memiringkan tubuhnya ke kanan, sambil tangan kanannya
bergerak membacok. Akibatnya sungguh luar biasa! Harimau
yang terhantam tangan kakek itu me-raung keras. Tubuhnya
meluncur deras dan menabrak sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa. Pohon itu kontan patah dengan suara berderak
keras. Si Raja Hutan itu kali ini harus mengakui keunggulan
orang tua ini. Tubuhnya tergeletak dengan posisi miring.
Sesekali terdengar gerengannya pelahan, bagaikan sedang
mena-han rasa sakit yang hebat!
Benar-benar luar biasa kekuatan tubuh si Raja Hutan itu!
Seandainya yang menerima pukulan tadi tokoh persi-latan
tingkat pertengahan, bukan mustahil tubuhnya remuk terkena
hantaman kakek itu.
Kakek tua itu segera menghampiri tubuh Si Raja Hutan yang
belum dapat bangkit lagi Dia kemudian berjongkok di sisi
harimau itu, lalu menotok di beberapa bagian tubuh binatang
buas yang hanya mampu meng-gereng lirih itu. Beberapa saat
kemudian, harimau itu bangkit dan melarikan diri ke dalam
hutan.
Setelah harimau itu tidak kelihatan lagi, kakek itu melangkah
mendekati tubuh Panji, yang masih terbaring di atas rumput.
Jari-jari tangannya mengurut bagian-bagian tertentu di tubuh
anak tak berdosa itu. Beberapa saat kemudian, Panji sudah
dapat bangkit berdiri. Dia merasa heran, ketika didapati
tubuhnya terasa segar dan nyaman. Tidak ada sisa-sisa
kelelahan sedikit pun.
"Nama saya Panji. Saya mengucapkan banyak-banyak terima
kasih kepada Eyang! Entah apa jadinya diri saya ini, tanpa
pertolongan Eyang!" Ucap Panji sambil bersim-puh di hadapan
orang tua sakti itu.
Si Kakek hanya tersenyum lembut, demi melihat tutur kata
yang sopan dari bocah berusia delapan tahun itu.
"Cucuku...," ujarnya lembut. "Sudah menjadi kewaji-ban kita
sebagai manusia untuk saling tolong-menolong. Nah! Oleh
karena itulah, jangan engkau merasa berhu-tang budi kepada
Eyang, Cucuku! Lalu..., hendak ke manakah engkau sekarang,
Cucuku? Dan mengapa engkau berada di hutan yang
berbahaya ini?" Tanyanya heran.
"Entahlah, Eyang," jawab Panji bingung. "Saya... Saya tidak
tahu."
Sehabis berkata demikian, Panji termenung Dia ber-usaha
menahan kesedihan, karena terbayang kembali akan kejadian-
kejadian yang menimpa keluarganya. Kini ia tinggal sendiri,
karena orang-orang yang dikasihi semua telah tiada lagi. Oleh
karena itulah kerika dltanya orang tua tersebut, la jadi bingung.
Tidak tahu harus menjawab apa.
"Sudahlah, Cucuku! Jangan kau bersedih. Ceritakan-lah,
barangkali Eyang dapat membantu kesulitanmu?" Ujar orang
tua itu iba, ketika dilihatnya Panji menunduk sedih.
Dengan suara terputus-putus, Panji lalu menceritakan segala
kejadian yang menimpa keluarganya. Mulai dari saat
kehancuran padepokan ayahnya oleh Tiga Iblis Gu-nung
Tandur, sampai tersesat di Hutan Iblis Menangis ini.
Orang tua itu, mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
sesekali terdengar helaan napasnya yang panjang.
"Hm.... Bunuh-membunuh.... Balas-membalas... Se-lalu
terjadi dalam dunia yang semakin tua ini," kakek itu bergumam
tak jelas. Seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Cucuku, apakah engkau pun berniat membalas kematian
ayahmu?" Tanya kakek itu ingin tahu.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Panji menarik napas
pelahan.
"Eyang, saya tidak tahu. Tapi..., apakah Ayah dan Ibu saya
akan tenang di alam baka, apabila saya sebagai anaknya tidak
membalas dendam? Apakah mereka tidak akan murka, Eyang?"
Jawab Panji seraya juga membe-rondong dengan pertanyaan.
Mendengar jawaban itu si Kakek tersenyum, sambil
mengelus-elus janggutnya yang panjang dan putih. la tidak
ingin menjawab pertanyaan Panji, karena ia tahu hati anak itu
masih dikuasai kemarahan dan dendam yang membara.
"Aku lihat, kau memiliki susunan tulang yang baik Darahmu
pun bersih. Rasanya..., kau akan menjadi seo-rang pendekar
yang hebat, apabila mau mempelajari ilmu olah kanuragan.
Maukah kau menjadi muridku, Cucu-ku?" Tanya kakek itu
sambil tersenyum.
Panji tidak mengerti, apa yang diucapkan orang tua sakti
tersebut. Tapi ketika mendengar pertanyaan itu, ia pun
langsung berlutut di hadapan kakek itu
"Saya mau, Eyang..! Saya mau...," kata Panji girang sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Mulutnya tak henti-hentinya
berucap, hingga napasnya memburu karena kegembiraan yang
meluap-luap.
Orang tua itu mengangguk senang, sambil tangannya
mengusap-usap kepala Panji yang bersujud di hadapan-nya itu.
Setelah menguburkan jenazah Wira Tama, kakek sakti itu
lalu mengajak Panji untuk pergi dari situ Sambil memondong
Panji, tubuhnya berkelebatan bagaikan baya-ngan hantu yang
sedang mencari mangsa. Dalam sekejap saja, kakek itu telah
jauh meninggalkan tempat tersebut. Jubahnya yang lebar
berkibaran, sehingga sepintas lalu tubuh kakek itu bagaikan
seekor burung yang melayang-layang di udara.
Slapakah sebenarnya kakek sakti itu? Dan ke mana Panji
akan dibawa pergi?
***
EMPAT
Orang tua sakti itu bernama Eyang Tirta Yasa. Empat puluh
tahun yang lalu ia telah menggemparkan dunia persilatan
berkat ilmunya yang sangat dahsyat, 'Telapak Tangan Petir.
Itulah sebabnya, mengapa ia dijuluki si Malaikat Petir!
Banyak sudah tokoh persilatan dari kalangan sesat telah
tewas di tangannya. Memang zaman itu merupakan masa yang
sangat suram bagi golongan sesat. Kemuncu-lan Eyang Tirta
Yasa yang tiba-tiba bagai malaikat, menyebabkan banyak tokoh
sesat berpikir dua kali untuk menghadapinya. Sepak terjangnya
yang sangat menggi-riskan itu memang membuat resah lawan-
lawannya. Aki-batnya, pada masa itu sulit untuk menemukan
tindak kejahatan.
Para perampok yang biasanya tidak kenal rasa takut,
terpaksa harus menyembunyikan diri. Sebab si Malaikat Petir,
tidak kepalang tanggung dalam bertindak. Siapa pun yang
berbuat kejahatan, maka dapat dipastikan, tidak akan dapat
menikmati hangatnya sinar matahari esok pagi.
Memang pada masa itu terdapat juga beberapa tokoh sakti
yang setingkat dengan si Malaikat Petir. Mereka adalah, Dewa
Tanpa Bayangan. Kemudian si Raja Obat, dan beberapa nama
lainnya. Mereka semua merupakan pendekar ternama dan
sangat disegani kawan maupun lawan. Di samping itu dari
golongan sesat pun masih banyak tokoh hitam yang
berkepandalan tinggi.
Dalam waktu yang singkat, nama Malaikat Petir telah mampu
menggeser tokoh-tokoh tua golongan putih yang telah puluhan
tahun berkecimpung dalam dunia per-silatan. Tentu saja, ada
beberapa dari mereka yang ingin menjajagi sampai di mana
kepandaian yang dimiliki si Malaikat Petir itu. Namun sampai
sekian jauh, uji coba kepandaian antara si Malaikat Petir
melawan tokoh tua, tidak sampai jatuh korban ataupun terluka
parah. Juga, tidak menimbulkan rasa permusuhan di antara
mereka. Sementara sebagian tokoh banyak juga yang merasa
bangga, karena tugas-tugas mereka telah diambil alih oleh si
Malaikat Petir. Dengan demikian mereka dapat mengasingkan
diri dengan aman dan tenteram.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun nama Malaikat Petir
menggema dalam dunia persilatan, tiba-tiba saja pendekar
besar itu menghilang tak tentu rimbanya. Si Malaikat Petir,
lenyap bagaikan ditelan bumi! Dunia persilatan pun gempar!
Para tokoh hitam bersorak dan berpesta setelah mendengar
kabar itu. Sementara masya-rakat kembali resah. Jelas
kehidupan mereka bakal kem-bali terancam dirongrong
gerombolan perampok.
Para sahabat si Malaikat Petir pun telah berusaha mencari
kabar tentang pendekar sakti itu. Namun si Malaikat Petir
benar-benar lenyap bagai ditelan bumi.
Tahun-tahun selanjutnya, nama si Malaikat Petir mulai
dilupakan orang. Di kedai-kedai maupun di jalan-jalan, tidak
terdengar lagi nama si Malaikat Petir diperbincang-kan orang.
Namanya benar-benar telah tenggelam.
Tiga puluh tahun telah berlalu semenjak la lenyap bagai
ditelan bumi. Dan kalangan rimba persilatan, telah
menganggap si Malaikat Petir telah meninggal dunia. Na-mun,
tiba-tiba saja pendekar sakti itu muncul ditengah rimba
belantara yang sunyi dan menyeramkan. Dan seka-ligus telah
menyelamatkan jiwa Panji dari kematian.
Kini, bayangan tubuh orang tua sakti itu tengah ber-loncatan
mendaki sebuah bukit yang permukaannya terdapat batu-batu
yang bertonjolan. Meskipun demikian, tubuh orang tua sakti itu
sama sekali tidak merasa ter-ganggu. Ilmu meringankan
tubuhnya memang telah men-capai taraf kesempurnaan. Tubuh
orang tua itu, mela-yang-layang dengan gesit, bagaikan seekor
burung yang tengah bermain-main di angkasa.
Sementara tubuh Panji yang berada di tangan kanannya itu,
telah tertidur pulas. Rupanya Ia merasa aman dalam lindungan
kakek sakti itu. Tanpa disadari keleti-han yang selama ini
disembunyikannya itu terlepas sudah. Sehingga ia jatuh terlelap
seketika itu juga.
***
Bukit Goa Harimau, adalah salah satu bukit di antara sekian
banyak bukit yang terdapat di sekitar Hutan Randu Apus.
Mungkin karena di atas bukit itu terdapat sebuah goa yang
berbentuk kepala harimau maka di-namakan Bukit Goa
Harimau.
Di atas puncak bukit ini terdapat sebuah tanah datar yang
cukup luas. Di tengah-tengah tanah lapang itu ber-diri sebuah
pondok yang cukup besar dan kuat Semen-tara di belakang
pondok itu mengalir sebuah sungai jernih, yang bersumber dari
sebuah air terjun tidak jauh dari pondok.
Rupanya di sinilah tempat si Malaikat Petir menyem-bunyikan
dirinya selama puluhan tahun. Suatu tempat yang sukar
didatangi. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
mencapai tempat itu. Bukan saja bukit itu sangat sulit untuk
didaki. Ternyata di dalam Hutan Randu Apus terdapat banyak
binatang buas yang sangat berbahaya.
Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pelahan-lahan
suasana yang semula redup menjadi terang. Kehangatan yang
dipancarkannya mulai terasa menyengat kulit.
Sementara itu di sebuah pondok di atas Puncak Bukit Goa
Harimau, tampak dua sosok tubuh tengah duduk berhadapan.
Mereka duduk bersila dengan keheningan yang menyelimuti
sekitarnya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Ternyata, dua sosok tubuh itu adalah Eyang Tirta Yasa dan
Panji. Mereka memang telah menetap di tempat ini. Sebuah
tempat persembunyian Eyang Tirta Yasa, sejak penyepiannya
puluhan tahun yang lalu.
"Cucuku," ujar orang tua itu lembut memecah ke-heningan.
"Mulai pagi ini, Eyang akan memberikan dasar-dasar segala
ilmu silat. Oleh karena itu, Eyang berharap agar engkau tekun
dan sabar dalam mempelajarinya. Karena, tanpa kesabaran dan
ketekunan, sulit akan men-capai hasil yang sempuma."
"Baik, Eyang! Saya berjanji akan selalu mengikuti se-gala
petunjuk Eyang," jawab Panji dengan kepala tunduk. Kata-
katanya halus, namun di dalamnya tersembunyi sebuah tekad
yang kuat.
Eyang Tirta Yasa mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil
sesekali mengelus janggut putihnya itu. Ia sema-kin suka dan
sayang kepada anak itu. Anak seperti inilah, yang dicarinya
selama ini untuk diwariskan ilmu olah kanuragan dan kesaktian.
Anak seperti inilah yang akan mengangkat namanya pada
masa-masa mendatang.
"Cucuku! Ilmu silat tidak ada bedanya dengan ber-dirinya
sebuah gunung ataupun sebatang pohon. Semua-nya harus
memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Sekarang perhatikanlah
pohon besar itu! Betapapun besar dan kuatnya pohon itu,
namun apabila tidak mempunyai akar yang kokoh dan kuat
bukan tidak mungkin akan mudah untuk ditumbangkan angin."
Orang tua itu menarik napas sejenak, sambil menatap Panji
yang masih mem-perhatikan pohon besar itu.
Kemudian, Eyang Tirta Yasa mengajak Panji ke bibir bukit,
lalu menunjuk ke sebuah bukit lain yang tidak jauh dari Bukit
Goa Harimau.
"Nah! Sekarang lihatlah bukit yang berada didepan itu!"
ujarnya pelan. "Coba kau terangkan, hubungan antara bukit itu
dengan ilmu yang telah kau serap tadi," lanjut orang tua itu,
sambil menoleh kepada Panji.
Anak itu berdiri tegak sambil memandang ke bukit yang
dimaksud Eyang Tirta Yasa. Kedua alisnya bertaut, pertanda la
tengah berpikir keras.
"Eyang, menurut pengamatan saya yang bodoh ini, bagian
bawah dari bukit itu terlihat lebih besar daripada bagian
atasnya. Sedangkan ilmu olah kanuragan harus memiliki dasar
yang lebih besar pula. Jadi, menurut hemat saya, pada bagian
bawah itulah yang berhubungan dengan dasar ilmu silat!"
Jawabnya tanpa ragu-ragu lagi.
"Bagus, Cucuku! Sudah kuduga bahwa engkau adalah anak
yang cerdas!" Ujar kakek itu, dengan wajah berseri-seri. "Jadi,
untuk menguasai ilmu silat kita harus mem-punyai dasar yang
kuat seperti pohon dan gunung tadi. Apakah engkau sudah
paham, Cucuku?" Tanya orang tua itu lebih lanjut.
"Ya, Eyang! Saya paham," jawab Panji.
Panji memang seorang anak yang keras hati dan tekun
dalam mempelajari segala sesuatu. Selain itu, ia pun seorang
anak yang rajin dan cerdas. Maka tidaklah aneh apabila latihan-
latihan dasar yang diberikan gurunya itu dapat dikuasainya
dalam waktu yang singkat.
Pelajaran-pelajaran dasar tersebut selalu diterapkan dalam
setiap kesempatan, Dalam beberapa bulan saja, gerakan-
gerakannya sudah terlihat mantap dan berte-naga. Demikian
juga dengan posisi kuda-kudanya yang nampak kokoh dan
indah.
***
Sang waktu terus bergulir cepat. Tanpa terasa, lima tahun
sudah Panji tinggal bersama orang tua sakti di Puncak Bukit
Goa Harimau.
Hari belum lagi menjelang sore, ketika sesosok tubuh yang
bertelanjang dada, tengah bergerak dengan lincah-nya.
Kadang-kadang sosok tubuh itu melenting ke udara sambil
melepaskan tendangan berantai. Sungguh sebuah serangan
yang berbahaya! Kemudian dengan manis sekali kakinya
menjejak tanah.
Tiba-tiba, Ia berteriak keras, sambil kedua kakinya
membentuk kuda-kuda dengan posisi menunggang kuda.
Kedua kakinya bergeser ke kiri dan ke kanan, sementara kedua
telapak tangannya terkepal di kedua sisi pinggang. Dari sela-
sela bibirnya terdengar desisan halus. Rupanya dia tengah
berlatih dalam menghimpun tenaga dalam.
Hari sudah menjelang sore. Di ufuk Barat, sinar keme-rah-
merahan menyemburat merah. Suatu pertanda sang surya akan
kembali ke peraduannya. Sementara sosok tu-buh itu pun
nampaknya sudah pula mengakhiri latihan-nya. Dadanya yang
tidak berbaju itu, telah basah oleh peluh. Wajahnya yang
tampan tampak berwarna keme-rahan hingga makin
meriambah ketampanannya. Sosok tubuh itu ternyata seorang
anak remaja! Walau usianya sekitar tiga belas tahun, namun
kepandaiannya sudah demikian hebat.
Baru saja anak itu hendak melangkah meninggalkan tempat
latihannya, tiba-tiba terdengar teguran dari arah belakangnya.
"Cucuku, temuilah Eyang di ruang seperti biasa, se-sudah
engkau membersihkan tubuhmu lebih dahulu!"
Anak yang ternyata adalah Panji itu terkejut bukan main
karena kedatangan orang tua itu, sama sekali tidak
diketahuinya.
"Luar biasa sekali kepandaian Eyang Tirta Yasa! Sam-pai-
sampai kedatangannya pun tidak terdengar sama sekali!
Sungguh luar biasa!" Gumam Panji dalam hati.
Panji memiliki sifat serba ingin tahu. Maka, ia berniat
menanyakan langsung kepada gurunya itu. Namun ketika la
menoleh ternyata orang tua itu sudah tidak ada di situ lagi.
Semakin terkejutlah anak itu. Dia benar-benar mengagumi
kesaktian gurunya itu.
***
Malam sudah mulai turun. Kegelapan pun pelahan-lahan
mulai menyelimuti bumi. Nyanyian binatang malam mulai
terdengar bersahutan, seolah-olah mengucapkan selamat
datang kepada sang malam. Pada saat itu Panji tengah duduk
berhadapan dengan gurunya, Eyang Tirta Yasa alias si Malaikat
Petir di sebuah ruangan yang cukup besar tapi hanya diterangi
lampu minyak yang bergoyang-goyang tertiup angin malam.
"Cucuku," ucap Eyang Tirta Yasa, memecah keheni-ngan
malam. "Eyang rasa, sudah saatnya kau kuwarisi ilmu-ilmu
kesaktian yang tinggi. Karena Eyang lihat, kau sudah cukup
mampu untuk menerimanya. Namun, Eyang tidak akan
menurunkan ilmu 'Telapak Tangan Petir. Ilmu yang akan Eyang
turunkan nanti adalah ilmu ciptaan Eyang Selama tiga puluh
tahun belakangan ini," ujarnya lembut.
"Eyang, bagi saya hal itu bukanlah persoalan. Sebab saya
percaya bahwa semua yang Eyang turunkan adalah yang
terbaik buat saya!" sahut Panji penuh hormat.
"Benar, Cucuku! Ilmu 'Naga Sakti', yang belakangan ini
Eyang ciptakan rasanya lebih cocok untukmu!"
"Terima kasih, Eyang! Sungguh besar sekali budi Eyang
kepada saya. Entah dengan cara apa, saya bisa membalasnya!"
Ucap Panji dengan kepala tertunduk. Dadanya terasa sesak,
karena menahan rasa haru yang dalam.
"Berjanjilah untuk berlatih sungguh-sungguh, Cucuku!
Dengan begitu berarti engkau sudah membalasnya!" Jawab si
Malaikat Petir bijaksana. Wajahnya kelihatan bersungguh-
sungguh.
"Saya berjanji! Dan saya akan selalu mengingat segala
nasihat Eyang!" jawab Panji mantap. Dari matanya ter-pancar
semangat yang membaja.
Dan pada keesokan harinya, Eyang Tirta Yasa pun telah
mulai menurunkan ilmu-ilmu ringkat tinggi kepada Panji.
Dengan penuh kesabaran orang tua sakti itu mem-berikan
petunjuk-petunjuk tentang ilmu 'Naga Sakti', yang merupakan
ilmu terdahsyat yang telah diciptakan selama dalam
pengasingannya. Selain ilmu itu, juga ada beberapa ilmu
lainnya. Seperti ilmu 'Tenaga Sakti Ger-hana Bulan'. Ilmu yang
disebutkan terakhir inilah yang berguna untuk menunjang
penggunaan ilmu 'Naga Sakti'.
Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesungguhan,
Panji melatih ilmu-ilmu itu tanpa mengenal lelah. Tidak peduli
pagi, siang ataupun malam. Setiap kesempatan yang sedikit
saja selalu dipergunakannya untuk bertatih.
****
Waktu berlalu demikian cepat. Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tahun ini, genap
sudah tahun kelima, semenjak Eyang Tirta Yasa menurunkan
ilmu-ilmu ciptaannya kepada Panji. Itu berarti usia Panji kini
kira-kira delapan belas tahun.
Sementara, pagi ini, suasana di sekitar Bukit Goa Hari-mau
yang dingin mendadak menjadi gelap. Sinar mata-hari
terhalang oleh awan hitam. Nampaknya, tidak akan lama lagi
hujan akan segera turun! Angin dingin bertiup keras. Pohon-
pohon besar bergoyang-goyang dengan kuatnya, bahkan
sampai menimbulkan suara berderak. Pelahan-lahan, titik air
mulai nampak sering jatuh ke bumi. Sesekali terseling gelegar
halilintar yang bersahut-sahutan memekakkan telinga. Hujan
pun turun dengan derasnya.
Di tengah-tengah derasnya air hujan, nampak seben-tuk
sinar berwarna putih keperakan bergulung-gulung bagaikan
seekor naga tengah bermain-main di angkasa. Gulungan sinar
itu bergerak secara bergelombang turun naik dengan cepatnya,
sehingga menimbulkan angin yang menderu-deru.
Sinar itu ternyata berasal dari sebilah pedang yang
dikelebatkan oleh seorang pemuda remaja, yang berusia
delapan belas tahun. Desiran angin pedang itu mengaung
dahsyat di antara kilatan petir yang menggelegar di ang-kasa.
Sungguh sebuah ilmu pedang sangat dahsyat!
Pemuda tampan yang rambutnya telah mencapai bahu itu,
jelas adalah Panji! Gerakan-gerakan pedangnya hebat bukan
main! Benar-benar mirip dengan gerakan seekor naga!
Kecepatannya laksana kilat yang menyambar-nyambar di
angkasa raya. Dan yang lebih hebat lagi, tak ada setetes air
hujan pun yang membasahi tubuhnya!
Tidak salah lagi, ilmu pedang yang sedang dimainkan Panji
adalah 'Ilmu Pedang Naga Sakti'. Sebuah ilmu pe-dang yang
diambil dari ilmu tangan kosong 'Naga Sakti'. Dan inilah salah
satu keistimewaan ilmu 'Naga Sakti' yang diwariskan si Malaikat
Petir. Ilmu itu dapat dimain-kan dengan tangan kosong maupun
dengan pedang!
Kini, Panji telah menutup latihan iimu silat pedangnya.
Dililitkan pedangnya di pinggang. Ternyata pedang itu sangat
tipis dan lemas, sehingga dapat dijadikan ikat pinggang!
Sebuah pedang pusaka yang hebat. Dan jarang dimiliki oleh
tokoh-tokoh dunia persilatan.
Baru saja Panji menyimpan pedangnya, ia pun segera
menggeser kakinya, membentuk kuda-kuda dalam posisi
menunggang kuda. Sementara kedua tangannya saling
bersilang didepan dada, dengan jari-jari tangan memben-tuk
cakar naga. Tangan kanan terjulur ke samping kiri depan,
sedangkan tangan kiri terjulur ke samping kanan depan.
Dengan satu teriakan nyaring, pemuda itu meng-geser kaki
kanannya ke samping, dibarengi dengan gera-kan tubuhnya
yang meliuk-liuk mirip seekor naga. Inilah awal dari jurus 'Naga
Sakti'.
Disertai pengerahan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-lan',
Panji segera memainkan ilmu 'Naga Sakti'. Perlahan namun
pasti di sekujur tubuhnya diselimuti sinar putih keperakan. Dan
hawa yang dingin mulai menyebar di sekitar Panji. Kemudian
Panji mulai bergerak Akibatnya, sungguh luar biasa! Setiap
gerakan tangan dan kakinya menimbulkan satu gelombang
tenaga yang dahsyat! Po-hon-pohon di sekitarnya bergetaran
kuat sehingga daun-daunnya berguguran jatuh ke bumi.
Padahal pohon-pohon itu terpisah kurang lebih tiga tombak dari
tubuh Panji. Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga
sakti pemuda tampan yang memiliki mata tajam itu.
Tak lama kemudian, tubuh pemuda itu melenting ke udara
dibarengi teriakan yang mengguntur. Tubuhnya berputar
beberapa kali di udara, lalu mendarat dengan manis di depan
sebatang pohon yang berukuran dua pelukan orang dewasa.
Jarak antara tubuh pemuda itu dengan pohon, sekitar tiga
batang tombak. Dengan posisi kuda-kuda silang, tangan
kanannya memukul ke depan. Sementara telapak tangan
kirinya yang terbuka, berada di bawah tangan kanan. Rentetan
angin tajam menderu ke arah pohon besar itu.
Wusss!
Brakkk...!
Terdengar suara berderak keras ketika pohon besar itu
terangkat berikut akar-akarnya dan patah menjadi tiga bagian!
Bukan main hebatnya akibat yang ditimbulkan oleh pukutan itu.
Panji masih berdiri termangu, kerika melihat kedah-syatan
hasil pukulannya itu. Napasnya agak sedikit ter-engah-engah
karena tenaganya dikerahkan hampir selu-ruhnya.
"Bagus..., bagus, Cucuku! Tenaga dalammu, sudah cu-kup
sempurna!" Tiba-tiba saja di tempat itu telah berdiri seorang
kakek tua yang tidak lain adalah Eyang Tirta Yasa. Kakek sakti
itu gembira sekali karena usahanya dalam mendidik Panji
selama sepuluh tahun ini tidak sia-sia.
"Oh! Eyang!" Seru Panji terkejut. "Sungguh saya tidak
mendengar langkah kaki Eyang," ujarnya heran.
"Ha ha ha....Tentu saja engkau tidak mendengarnya,
Cucuku! Karena Eyang sudah berada di sini semenjak engkau
memainkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' tadi!" Jawab Eyang Tirta
Yasa tenang.
"Oh...!" Panji menjadi sedikit terhibur mendengar jawa-ban
yang diberikan oleh gurunya itu.
Sementara, hujan sudah mulai reda. Dan matahari pun mulai
memancarkan sinarnya ke seluruh Puncak Bukit Goa Harimau.
Kabut sudah mulai lenyap, tersaput oleh kehangatan sinar
matahari. Tidak lama kemudian, Panji dan Eyang Tirta Yasa
melangkah meninggalkan tem-pat itu. Mereka terus melangkah,
menuju pondok yang terletak di tengah puncak Bukit Goa Ha-
rimau.
Akhir-akhir ini, Panji merasa heran melihat sikap gurunya
yang tampak lain dari biasanya. Dia merasa kakek itu, seperti
menyimpan sesuatu. Panji terus mengi-kuti langkah kaki
gurunya hingga ke dalam pondok.
Eyang Tirta Yasa meneruskan langkahnya ke ruang tengah,
yang biasa digunakan untuk pertemuan mereka. Panji segera
mengambil tempat duduk di hadapan guru-nya. Setelah terdiam
sejenak, Eyang Tirta Yasa mulai membuka percakapan.
"Cucuku...," suara Eyang Tirta Yasa terdengar bergetar.
Seolah merasa berat dengan apa yang diutarakannya itu. "Hari
ini, genap sudah sepuluh tahun kau tinggal bersama Eyang.
Dan semua kepandaian Eyang telah diturunkan kepadamu,
hingga tidak ada lagi yang dapat Eyang turunkan padamu!
Rasanya sudah waktunya eng-kau turun ke dunia ramai untuk
membasmi kejahatan yang akhir-akhir ini merajalela!"
'Tapi, Eyang.... Ini..., ini," Panji tak mampu menerus-kan
ucapannya. la terharu sekali dengan kebaikan dan kasih sayang
yang dilimpahkan gurunya selama ini.
"Sudahlah, Cucuku! Esok sebelum matahari terbit, kau sudah
harus berangkat!" Ujar Eyang Tirta Yasa tegas.
Panji membisu Rasanya memang berat untuk mening-galkan
orang tua itu sendirian di sini. Tapi mengingat bahwa kejahatan
telah merajalela, maka pemuda itu harus melaksanakan tugas
yang diberlkan gurunya itu.
"Nah! Sekarang, Eyang akan bersemadi dan tidak ingin
diganggu lagi!" Ujar Eyang Tirta Yasa sambil melangkah
meninggalkan Panji yang duduk Jermangu itu.
Beberapa saat kemudian, Panji tersadar dan segera berlari.
Dikejar gurunya itu, dan langsung bersimpuh di hadapan orang
tua sakti itu.
"Eyang...," ucapnya serak, sambil memeluk kedua kaki
Eyang Tirta Yasa.
Setelah mengusap kepala Panji, Eyang Tirta Yasa ber-gegas
meninggalkan tempat mondoknya. la tidak ingin menunjukkan
kesedihannya yang malah akan memberat-kan langkah
muridnya nanti.
***
LIMA
"Tolooong...! Lepaskan aku, bangsat! Manusia iblis!" Teriak
tiga orang wanita, di dalam sebuah hutan lebat.
Keadaan mereka sudah tidak karuan. Pakaian yang
dikenakan pun sudah robek di sana-sini. Sehingga me-
nampakkan kulit tubuh mereka yang putih dan mulus.
Ketiga orang wanita itu berteriak-teriak, diselingi isak tangis
yang memelas. Sementara kedua tangan mereka sibuk
menutupi bagian-bagian tubuh mereka yang ter-buka.
"Kasihani kami, Tuan.... Jangan sakiti kami!" Ratap salah
seorang wanita dengan air mata yang mengalir membasahi
pipi.
Di sekeliling ketiga orang wanita itu, nampak wajah-wajah
bengis berdiri berjajar sambil menatap liar penuh nafsu! Tubuh-
tubuh putih mulus itu dijilati oleh panca-ran mata liar. Apalagi,
keadaan ketiga orang wanita itu sudah setengah telanjang.
Seringai mereka makin bertam-bah lebar.
Sementara, dua orang lelaki kasar dan berwajah seram terus
saja mempermainkan ketiga orang wanita malang itu. Sambil
tertawa terbahak-bahak mereka mengejar-ngejar tiga wanita
itu. Rasanya seperti seekor kucing yang sedang
mempermainkan seekor tikus sebelum disantap habis.
Semakin lama keadaan wanita-wanita itu semakin tidak
karuan. Setiap kali tubuh mereka tertangkap, lang-sung
dilepaskan kembali, setelah pakaian mereka dirobek terlebih
dahulu.
"Ha ha ha.... Ayo, Manis! Larilah! Ayo! Ha ha ha...!" Ujar
salah seorang dari dua laki-laki kasar itu sambil tertawa penuh
kebuasan.
Setelah dilempar kesana kemari, tubuh ketiga orang wanita
itu benar-benar polos, tanpa benang sehelai pun! Maka,
sibuklah ketiga wanita malang itu menutupi bagian-bagian
terlarang dari tubuh mereka.
"Ha ha ha.... Lihatlah, anak-anak! Tiga ekor kelinci ini
ternyata memiliki bentuk tubuh yang indah! Ha ha ha...!" Ujar
seorang lagi sambil menoleh ke arah kawan-kawan-nya.
Orang-orang yang berdiri berjajar membentuk lingka-ran itu
makin memperkecil lingkarannya. Karena mereka pun ingin
melihat lebih jelas lagi ketiga orang wanita yang telah benar-
benar polos!
Ketiga orang wanita malang itu hanya mampu berte-riak-
teriak sambil menangis. Mereka sudah hampir mati ketakutan.
Wajah-wajah di sekitarnya menjilat tubuh mereka dengan liar.
Mereka merasa ngeri, membayang-kan apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Dua orang laki-laki kasar yang tadi mempermainkan ketiga
wanita itu, melangkahkan kakinya mendekati tu-buh-tubuh
polos itu. Lalu dengan penuh nafsu, keduanya segera
menerkam dua di antara tiga wanita itu. Kedua orang wanita itu
meronta-ronta dan menjerit-jerit ketaku-tan. Namun mereka
tak berdaya menghadapi kebuasan laki-laki kasar yang telah
dipengaruhi hawa nafsu itu. Sementara, yang seorang lagi
menggigil ketakutan dengan wajah pucat pasi.
Belum lagi kedua orang laki-laki kasar itu melaksana-kan
niatnya, tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar memenuhi
seluruh penjuru hutan! Suara tawa itu berge-ma bagaikan
suara jin penunggu hutan, yang tidak ingin melihat tempat itu
dikotori manusia-manusia biadab.
Belasan orang laki-laki yang masih berjajar dalam ben-tuk
lingkaian itu tersentak dengan wajah pucat. Tubuh mereka pun
menggigil kedinginan. Ternyata suara tawa itu diiringi dengan
hembusan angin yang sangat dingin. Demikian pula halnya
dengan kedua orang lelaki kasar tadi. Mereka menghentikan
perbuatannya sejenak. Namun di wajah mereka, sama sekali
tidak terlihat rasa takut. Bahkan sebaliknya malah marah
karena merasa terganggu oleh suara tawa itu.
Belum lagi mereka dapat menguasai hati yang tergun-cang
karena kaget, suara tawa itu kembali terdengar.
"Ha ha ha.... Manusia-manusia bejat! Cepaaat tinggal-kan
tempat ini sebelum kemurkaanku datang! Cepaaat! Ha ha
ha...!" Suara tawa itu kembali bergema di dalam rimba yang
gelap ini. Angin dingin pun berhembus sema-kin keras,
sehingga pakaian mereka berkibar. Baru, dua laki-laki kasar itu
mulai agak ciut hatinya.
Dengan wajah agak pucat, kedua orang laki-laki kasar yang
rupanya bertindak selaku pimpinan, melangkah maju beberapa
tindak. Seolah-olah ingin mencari sumber suara tadi.
"Hei! Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Jangan coba-coba
menakut-nakuti Sepasang Harimau Terbang! Heh!" Teriak salah
seorang dari laki-laki kasar itu. Sengaja dikerahkan tenaga
dalam untuk menutupi rasa gentar dalam hatinya.
"Kakang Lujita, apakah dia bukan hantu?" Bisik lelaki yang
satunya lagi dengan hati-hati.
"Huh! Tidak mungkin! Dia pasti manusia biasa yang mencoba
menakut-nakuti kita!" Jawab orang yang di-panggil Lujita keras.
Sengaja tidak ingin ditunjukkan rasa takutnya di hadapan para
pengikutnya itu. Padahal, ia sendiri pun merasa ragu akan
perkataannya itu.
Setelah beberapa saat kemudian, keadaan menjadi hening
sejenak. Masing-masing menunggu dengan hati berdebar-
debar. Belum lagi mereka berpikir lebih jauh, kembali angin
dingin bertiup keras. Seiring dengan hem-busan angin dingin
itu, suara tawa itu kembali berku-mandang.
"Ha ha ha.... Rupanya kalian ingin membangkang, hah!
Baiklah! Kalau itu yang kalian inginkan!!! Ha ha ha...!" Gertak
suara berat dan serak itu.
Tiba-tiba dari sebuah pohon yang besar sesosok baya-ngan
putih melayang turun dengan pelahan sekali! Kedua tangannya
terlipat di dada. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi bersila.
Rambutnya yang putih keperakan itu berkibar tertiup angin.
Sementara, seluruh wajahnya penuh dengan bulu-bulu lebat
dan tak terurus! Yang membuat hati bergetar adalah, sinar pu-
tih keperakan yang menyelimuti seluruh tubuhnya! Sosok tubuh
itu, benar-benar seperti iblis!
Dan yang lebih mengejutkan lagi, bayangan putih itu seperti
mengambang di udara! Sungguh suatu peman-dangan yang
mustahil! Jarak antara sosok bayangan putih dengan pemukaan
tanah, sekitar tiga tombak Sedangkan dahan yang berada di
atasnya, kurang lebih dua tombak jauhnya. Dan anehnya, posisi
bayangan tersebut masih dalam keadaan bersila, dengan kedua
tangan terlipat di dada! Sosoknya memang laksana hantu
penghuni hutan ini!
Walaupun dua orang lelaki kasar yang berjuluk Sepa-sang
Harimau Terbang itu banyak ditakuti orang, namun
pemandangan yang ada didepan mereka sekarang ini benar-
benar telah membuat hati mereka bergetar.
"Aaah! Set... setaaan!" teriak para pengikut Sepasang
Harimau Terbang yang langsung berlarian meninggalkan
tempat itu, tanpa mempedulikan panggilan pemimpin mereka.
"Iblisss...! Mustahil...!" Lujita, orang tertua dari Sepa-sang
Harimau Terbang mencoba membantah penglihatan-nya.
Dipejamkan kedua matanya dan dibukanya kembali. Namun,
apa yang dilihatnya itu benar-benar suatu yang mustahil dapat
dilakukan oleh seorang manusia! Betapa-pun tingginya
kepandaian seseorang, sangatlah tidak mungkin bila dapat
bergantung di udara sampai sedemi-kian lamanya!
Maka tanpa dapat dicegah lagi, Sepasang Harimau Ter-bang
itu pun langsung melesat meninggalkan tempat itu! Demikian
pula halnya dengan kegiga orang gadis itu. Mereka
memandang bayangan putih tersebut dengan tubuh gemetar
hebat! Seumur hidup, baru kali inilah mereka melihat apa yang
disebut hantu!
Setelah Sepasang Harimau Terbang dan para pengikut-nya
sudah tidak terlihat lagi, bayangan putih itu mela-yang turun.
Jarak antara dirinya dengan tiga wanita itu terpisah sekitar lima
tombak. Pelahan-lahan, sinar putih keperakan yang
menyelimuti tubuhnya menipis, untuk kemudian lenyap sama
sekali.
Dengan langkah pelahan, bayangan putih itu meng-hampiri
ketiga orang wanita malang yang masih belum dapat
menggerakkan tubuhnya. Wajah mereka pucat. Ke-ringat
dingin mengalir membasahi tubuh mereka. Ketiga orang wanita
itu benar-benar merasakan takut yang hebat!
Sementara si Bayangan Putih yang telah berjalan bebe-rapa
tindak segera menghentikan langkahnya. Dibuka-nya buntalan
yang tergantung di bahunya.
"Di dalam buntalan ini ada tiga stel pakaian yang mungkin
agak kebesaran sedikit! Pakailah!" Seru baya-ngan putih itu,
sambil melemparkan buntalan itu. Setelah itu, dibalikkan
tubuhnya membelakangi ketiga orang wanita itu.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga wanita itu tidak dapat
berkata-kata. Setelah memperhatikan orang yang berjubah
putih tersebut, salah seorang dari mereka mem-beranikan diri
untuk membuka suara.
"Jadi..., Tuan bukan... hantu...?" Tanyanya takut-takut.
"Apakah wajahku demikian menakutkan?" Bayangan putih itu
balik bertanya tanpa membalikkan tubuhnya.
Mendengar pertanyaan itu, ketiga orang wanita tadi
menundukkan mukanya karena tersipu malu.
"Aaah! Bukan begitu, Tuan! Tapi, tadi tubuh Tuan ter-
gantung di udara. Mana mungkin seorang manusia dapat
berbuat seperti itu?" Tanya yang satunya lagi. Gadis tersebut
berwajah manis sekali, dengan kedua lesung pipit di pipinya.
Sementara itu ketiga wanita itu telah selesai mengenakan
pakaian yang diberikan bayangan putih.
"Kami sudah selesai, Tuan!" Ujar yang seorang lagi.
Sosok bayangan putih itu, segera membalikkan tubuh-nya
menghadap ke arah ketiga orang wanita yang kini telah
berpakaian. Begitu wajah bayangan putih itu terlihat jelas,
ketiga orang wanita itu tertegun bercampur heran. Ternyata
bayangan putih tadi telah berganti men-jadi seorang pemuda
tampan dan tegap. Rambutnya yang putih keperakan, terurai
sampai ke bahu. Matanya yang tajam, memancarkan ketegaran
dalam menantang hidup.
"Ini..., tadi.. Tttuan... oooh...!" Seru mereka tergagap.
"Oh, maaf! Aku tadi menggunakan ini!" Jawab pemuda itu,
ketika menyadari kebingungan tiga wanita itu. Segera
ditunjukkannya rambut, cambang, serta jenggot yang di-
kenakannya tadi. Rupanya semua itu palsu belaka.
"Oh!" Seru mereka serempak. "Lalu, mengapa tubuh Tuan
bisa ngambang di udara tadi..?" Lanjut yang seorang.
"Hm, dengan tali ini!" Jawab pemuda itu sambil mem-
perlihatkan seutas tali hitam yang terbuat dari kulit binatang.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perto-longan
Tuan! Entah apa jadinya dengan diri kami, apabila tidak ada
Tuan!" Ujar wanita yang berwajah paling cantik dengan wajah
bulat telur, dan berambut paling panjang sampai ke pinggang.
"Hm! Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling me-
nolong!" Ujar pemuda itu.
"Hm, bolehkah kami tahu nama Tuan?" Tanya yang seorang
lagi. Wanita yang berambut sebahu.
"Namaku Panji," Jawab pemuda itu singkat. "Di mana-kah
kalian tinggal? Mari kuantarkan pulang!"
Ketiga dara itu memandangi wajah tampan di hada-pannya
itu. Wajah seorang yang menjadi penolong me-reka. Pemuda
itu memang sopan. Jadi ketiga wanita itu tidak takut-takut lagi.
Panji yang dipandangi seperti itu menjadi kikuk. Untuk
menyembunyikan kegugupannya itu, ia pun melangkah-kan
kakinya. Ketiga orang gadis itu pun segera mengikuti langkah
kaki Panji yang menuju pinggiran hutan. Mereka berjalan tanpa
berkata sepatah pun.
Setelah menerobos semak dan perdu, mereka pun tiba di
pinggiran hutan. Namun baru beberapa langkah keluar dari
pinggiran hutan, terdengar sebuah bentakan nyaring. Tidak
lama kemudian berloncatan beberapa sosok tubuh yang
langsung menghadang perjalanan mereka.
"Berhenti...!"
"Ha ha ha.... Lihatlah, Adi Lukita! Bukankah firasatku benar?
Kita telah dikibuli mentah-mentah oleh bocah setan ini!" Seru
orang yang tidak lain adalah Lujita, sekaligus orang tertua dari
Sepasang Harimau Terbang. Dia rupanya masih penasaran.
"Hei, Bocah! Sungguh besar nyalimu mempermainkan
Sepasang Harimau Terbang! Apakah kau sudah bosan hi-dup?
Hah!!" Bentak Lukita dengan tidak kalah bengisnya.
Panji terkejut juga melihat kemunculan mereka yang tidak
disangka-sangka itu. Sehingga untuk beberapa saat lamanya
hanya terpaku di tempatnya. Sementara ketiga orang wanita itu
sudah saling berangkulan dengan wajah pucat!
"Anak-anak! Serbuuu...!" Lujita berteriak garang.
Pemuda berjubah putih itu, tersentak kaget. Segera
diperintahkan agar ketiga gadis itu menepi. Dengan gera-kan
yang indah, pemuda yang bemama Panji itu menge-goskan
tubuhnya menghindari sabetan pedang yang me-ngarah ke
lehernya. Tidak sampai di situ saja, ternyata senjata-senjata
lainnya juga ingin merencah tubuh Panji. Namun pemuda itu
dengan lincah berkelit kesana kemari menghindari serangan
yang serentak itu.
Tapi sayang, yang dihadapi kali ini adalah pemuda yang
menjadi murid kesayangan si Malaikat Petir. Tentu saja bukan
hal yang mudah untuk dapat melukainya!
Serangan-serangan anak buah Sepasang Harimau Terbang
yang berjumlah kurang lebih lima belas orang itu, dapat
dihadapi Panji dengan mudah. Sampai sejauh ini, pemuda itu
sama sekali belum balas menyerang. Dia masih saja mengelak
kesana dan kemari untuk menghin-dari ancamam ujung
senjata-senjata lawannya. Tentu saja hal ini membuat para
pengeroyoknya menjadi sema-kin marah, bahkan makin
memperhebat serangan-sera-ngannya.
Melihat kelincahan pemuda berjubah putih itu, Sepa-sang
Harimau Terbang yang berdiri di luar arena menjadi geram
sekali. Dengan satu teriakan nyaring, tubuh ke-duanya segera
melayang ke arah Panji.
Pemuda itu segera memalingkan wajahnya ketika men-
dengar desiran angin tajam yang mengarah kepadanya. Sambil
merundukkan tubuhnya, kedua tangan Panji ber-balik memapak
serangan yang berbahaya itu.
Plak! Plak!
Terdengar suara nyaring ketika kedua pasang lengan
Sepasang Harimau Terbang bertemu telapak tangan Panji.
Tubuh Lujita dan Lukita terdorong mundur sejauh lima langkah.
Kedua tangan mereka terasa linu, ketika ber-temu dengan
telapak tangan pemuda berjubah putih itu. Padahal Panji hanya
mempergunakan separuh dari tena-ganya.
"Gila! Tenaga dalam pemuda ini ternyata sangat hebat!"
dengus Lukita, orang termuda dari Sepasang Harimau Terbang.
"Ah! Tentu saja! Posisinya lebih menguntungkan, Adi Lukita!"
Bantah Lujita gusar.
Kali ini Sepasang Harimau Terbang tidak ingin main-main
lagi. Segera dikeluarkan ilmu andalan yang telah membuat
nama mereka terkenal, yaitu ilmu 'Cakar Harimau'. Kedua
pasang telapak tangan mereka memben-tuk cakar yang kekar
dan kaku. Mereka kini mengurung tubuh Panji dengan
serangan-serangan yang mematikan.
Akan tetapi yang mereka serang kali ini adalah Panji! Murid
kesayangan Eyang Tirta Yasa, si Malaikat Petir yang memiliki
kesaktian tidak terukur, sehingga betapa-pun Sepasang
Harimau Terbang itu mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya dan menyerang pemuda berbaju putih itu kalang
kabut, Panji dengan tenangnya dapat mengelakkan semua
serangan mereka.
Betapa berangnya hati Sepasang Harimau Terbang itu!
Sebab telah hampir dua puluh jurus mereka melancarkan
serangan, tapi tak ada satu pukulan pun yang menyentuh
tubuh pemuda itu. Padahal, mereka masih dibantu oleh lima
belas orang pengikut mereka.
"Hm.... Rupanya kalian tidak bisa dikasih hati! Kalau kalian
ingin cepat-cepat mati, baiklah!" Dengus Panji yang akhirnya
mulai jengkel. Melihat sikap lawan yang terus mendesaknya
tanpa mempedulikan sikapnya yang telah banyak mengalah.
"Bocah sombong! Tutup mulutmu! Ayo, kita buktikan, siapa
yang lebih cepat masuk ke lubang kubur!" Bentak Lujita dengan
wajah merah padam.
"Baiklah, lihat serangan!" Seru Panji.
Sehabis berkata demikian, Panji pun mengeluarkan ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Sebuah ilmu yang tidak ada
keduanya di dunia persilatan. Pelahan-lahan di sekujur tubuh
Panji mulai diseiimuti oleh sinar putih keperakan. Berbareng
dengan itu, udara di sekitar tempat itu pun mulai terasa dingin.
Semakin lama semakin dingin. Sehingga beberapa pengikut
Sepasang Harimau Terbang menjadi menggigil kedinginan.
Itulah salah satu keistimewaan ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' yang dikerahkan Panji.
Diiringi dengan pekik keras mirip suara seekor naga yang
sedang murka, tubuh Panji melesat. Pemuda ini mulai balas
menyerang. Kali ini Panji tidak ragu-ragu lagi. Dikeluarkannya
ilmu 'Naga Sakti'. Angin yang berhembus membawa hawa
dingin menggigilkan menyertai setiap serangan itu.
Akibatnya hebat sekali! Belum juga serangan Panji aba, satu
persatu tubuh para pengikut Sepasang Harimau Ter-bang itu
terlempar keluar arena. Tubuh mereka bergu-lingan di tanah
sambil memeluk erat-erat tubuhnya yang menggigil. Gigi-gigi
mereka bergemeletuk menahan sera-ngan hawa dingin yang
amat dahsyat!
Hanya Lukita dan Lujita yang tidak begitu terpenga-ruh.
Sungguhpun demikian, mereka pun tidak luput dari serangan
hawa dingin yang menyebar keluar dari tubuh dan setiap
serangan Panji. Sepasang Harimau Terbang ini diam-diam
terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawan yang
masih muda ini mempunyai kepandaian begitu hebat!
Diam-diam Panji terkejut juga melihat akibat dari ilmu
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dikerahkannya. Untunglah
tadi, ia hanya mengerahkan separuh dari tenaganya. Tidak
dapat ia membayangkan kalau ia tadi mengerahkan seluruh
tenaganya.
"Bocah setan! Ayo lawan aku!" Lukita berteriak-teriak
memaki lawannya.
"Ha ha ha.... Jangan berteriak-teriak, harimau om-pong!
Bukankah kau yang memintanya?" Seru Panji sam-bil tertawa
mengejek.
Dengan hati terbakar, Lujita melancarkan serangan secara
beruntun. Kedua tangannya yang berbentuk cakar itu,
meluncur deras ke arah pusar dan mata Panji. Sementara dari
arah belakang, kedua cakar Lukita mencengkeram ke arah
lambung pemuda itu. Sungguh sebuah serangan yang
berbahaya. Jangankan tubuh manusia, bahkan batu karang pun
pasti hancur terkena cengkeraman Sepasang Harimau Terbang
itu.
Pada saat kedua serangan itu hampir mencengkeram
tubuhnya, Panji menggeser kaki kanannya membentuk
setengah lingkaran. Kedua tangannya bergerak secara
berlawanan, guna mematahkan serangan Lujita. Dengan cara
demikian, ia pun juga telah berhasil menghindari serangan ke
arah lambungnya yang dilancarkan Lukita. Tidak hanya sampai
di situ saja! Sepasang tangan pemuda itu langsung meluncur ke
arah dada dan perut Lujita!
Namun, Lujita bukanlah tokoh sembarangan. Dia ada-lah
perampok ulung yang sudah delapan tahun malang melintang
dalam dunia persilatan. Makanya, dalam kea-daan yang
berbahaya itu pun segera dimiringkan tubuh-nya. Hasilnya,
serangan Panji lewat hanya beberapa senti di depan dadanya.
Tapi orang tertua dari Sepasang Harimau Terbang itu salah
duga apabila sudah merasa terbebas dari serangan lawannya.
Karena berbarengan dengan gerakannya itu, Panji telah
melepaskan tendangan kilat ke arah pelipis Lujita! Lujita
tercekat meiihat serangan yang tidak terduga itu, Dengan cepat
segera dimiringkan tubuhnya ke kanan!
Desss!
Tubuh Lujita melintir bagaikan sebuah gasing ketika
tendangan Panji yang berisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu
menghantam bahu kirinya. Untunglah Panji hanya
mengerahkan sepertiga dari tenaga dalamnya itu. Kalau tidak,
tentu tubuh Lujita sudah remuk dibuatnya.
Panji berniat mengirimkan kembali tendangannya. Tapi
niatnya segera diurungkan karena telinganya menangkap
desiran angin tajam di belakangnya. Ternyata Lukita ingin
mengambil kesempatan selagi Panji mendesak Lujita dengan
serangan beruntun.
Serangan Lukita yang menimbulkan desir angin tajam itu,
untuk beberapa saat dapat menyelamatkan jiwa saudaranya
dari kematian.
Tapi, Panji yang memang sudah merasa muak dengan
kelakuan mereka tidak mau tanggung-tanggung lagi Segera
dibalasnya serangan Lukita dengan serangan-serangan yang
tidak kalah dahsyatnya. Tentu saja Lukita menjadi kalang kabut
menerima serangan balasan dari pemuda itu. Laki-laki saudara
Lujita itu menghindari serangan-serangan yang dahsyat dan
berbahaya.
Sementara itu, Lujita yang masih terkapar akibat tendangan
Panji tadi, berusaha untuk bangkit berdiri. Dicobanya mengusir
hawa dingin yang mengeram dalam tubuhnya, dengan
mengerahkan tenaga dalamnya. Bebe-rapa saat kemudian,
Lujita sudah mampu tegak berdiri. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang golok besar.
"Aaakh...!" Terdengar sebuah jeritan yang panjang dari
tengah arena pertempuran.
Rupanya, Lukita yang sudah terdesak oleh Panji itu, tak
dapat mempertahankan dirinya lagi. Sebuah serangan yang
dilakukan oleh pemuda itu dalam rangkaian ilmu 'Naga Sakti'
itu, bersarang dengan telak dada Lukita! Tubuh Lukita
terhempas bagai sebra daun kering yang tertiup angin. Dari
mulutnya mengalir darah kental. Orang termuda Sepasang
Harimau Terbang itu, tewas seketika dengan dada terobek
lebar!
Bukan main marahnya Lujita melihat kematian adiknya itu.
Maka tubuhnya pun melesat diiringi teriakan yang mengguntur.
Golok besarnya berkelebat ganas. Dicecarnya Panji dengan
sabetan-sabetan golok besar yang berkelebatan cepat. Suara
golok mengaung dahsyat, menandakan kalau golok besar itu
digerakkan oleh tenaga yang kuat.
Panji sudah tidak ingin memperpanjang waktunya. Maka,
ketika Lujita membabatkan golok besarnya ke arah
pinggangnya, pemuda itu menggeliat dengan kuda-kuda
rendah, sambil melepaskan pukulan jarak jauh dengan jari-jari
terbuka membentuk cakar naga. Serangkum angin yang amat
dingin bertiup keras mengiringi pukulan itu. Inilah jurus
'Pukulan Naga Sakti’.
Desss!
Pukulan jarak jauh Panji bersarang telak di tubuh lawannya
itu. Lujita menjerit kesakitan Tubuhnya ter-pental sejauh tujuh
tombak dari tempatnya sendiri. Kontan orang tertua dari
Sepasang Harimau Terbang itu tewas dengan tubuh membiru!
Para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang masih
selamat, segera menjatuhkan diri bersimpuh hadapan Panji.
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Kami... Kami ber-janji...
Tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi. Ja-ngan bunuh
kami, Tuan Pendekar!" Ratap mereka, sambil membentur-
benturkan kepalanya ke tanah.
"Hm! Manusia-manusia macam kalian, mestinya tidak bisa
diberi hati! Sekarang kalian meratap-ratap meminta ampun,
tapi besok kalian akan mengulangi perbuatan jahat lagi!"
Dengus Panji sengit.
Tubuh orang-orang itu menjadi gemetar. Wajah-wajah
mereka pucat seperti kertas mendengar kata-kata Panji itu.
"Ampun, Tuan Pendekar! Kami tobat...! Sungguh, Tuan
Pendekar...! Kami berjanji...!" Ujar mereka lagi, dengan suara
terputus-putus.
"Baiklah! Untuk kali ini, kuampuni! Tapi ingat! Apabila
kudapati kalian berbuat jahat lagi, maka akan kubunuh!
Mengerti?!" Ancam Panji.
"Kami mengerti, Tuan Pendekar! Dan kami berjanji tidak
akan mengulanginya lagi!" Jawab mereka sambil mengangguk-
anggukkan kepala.
"Nah! Sekarang minggatlah dari hadapanku!" Bentak
pemuda itu.
Sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang, mereka
segera berlari meninggaikan tempat itu.
Panji lalu melangkah, mendekati ketiga orang wanita yang
masih berangkulan. Wajah mereka nampak pucat.
"Mereka sudah pergi semua," Ujar Panji sambil terse-nyum.
Ketiga orang wanita itu mencoba untuk tersenyum sambil
memandang kagum kepada Panji.
"Ah! Ternyata Tuan adalah seorang pendekar yang sangat
sakti!" Kata gadis yang berambut sebahu.
"Benar. Sepak terjang Tuan tadi mirip seekor naga yang
sedang mengamuk," sambung gadis yang berwajah bulat telur
dan berambut panjang sampai ke pinggang. Gadis yang paling
cantik.
"Benar, Tuan. Tepatnya seperti seekor naga putih!" Ucap
yang satunya lagi.
Panji berdebar dadanya, ketika melihat sinar keme-sraan dari
pandangan ketiga orang wanita itu.
"Ayolah kita berangkat! Hari akan gelap!" Ajak Panji, untuk
menyembunyikan kegugupannya.
Mereka lalu meneruskan perjalanan menuju desa tem-pat
tinggal ketiga orang gadis itu. Panji berjalan agak jauh di
belakang mereka karena merasa kikuk melihat tatapan penuh
pesona kepadanya.
Di ufuk Barat, mulai terlihat sinar kemerahan. Pertan-da sang
matahari sudah menyelesaikan tugasnya untuk hari ini.
Sementara kegelapan pun mulai menyelimuti bumi. Sang dewi
malam pun bersiap-siap memancarkan keindahan sinarnya.
**
EMAM
Alam telah diselimuti kegelapan, ketika empat sosok tubuh
memasuki perbatasan Desa Tambak. Mereka terdiri dari tiga
orang wanita dan seorang pemuda tampan berjubah putih.
Ketiga orang wanita itu rata-rata berwajah cantik. Terlebih
lagi, wanita yang berambut paling panjang. Wajahnya yang
bulat telur itu, nampak sedap dipandang mata. Bibirnya yang
merah dan berbentuk bagus, nampak selalu dihiasi senyum
menggoda. Tubuhnya yang tinggi semampai, semakin
menambah daya tariknya.
"Ehm, inikah desa tempat tinggal kalian?" Tanya si Pemuda
Tampan, yang ternyata adalah Panji.
"Benar, Tuan Pendekar! Inilah desa kelahiran kami!" Jawab
dua orang dari ketiga wanita itu. Sedangkan si gadis yang
berwajah bulat telur, hanya menoleh sekilas disertai dengan
senyumnya yang menawan.
"Ah! Janganlah memanggilku dengan sebutan seperti Itu!
Kalian hanya membuatku serba salah saja," ujar Panji kikuk.
"Hm, bagaimana kalau kalian panggil aku Panji saja."
"Baiklah, hm... Kakang Panji," jawab keduanya meng-goda.
Belum jauh mereka memasuki Desa Tambak, tampak di
sebelah depan serombongan orang berkuda bergerak menuju
perbatasan. Rombongan itu terdiri dari dua pu-luh orang laki
laki, dengan senjata di pinggang. Keliha-tannya mereka
bersiap-siap untuk menghadapi sebuah pertarungan.
Rombongan berkuda itu, dipimpin seorang laki-laki yang
berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya yang gagah dan
bersih itu, ditumbuhi bulu-bulu halus di seki-tar pipi dan
dagunya, sehingga semakin terlihat berwi-bawa.
Lelaki gagah itu, diapit dua orang yang merupakan
pembantu-pembantu utamanya. Yang di sebelah kanan
mengenakan baju serba biru dengan ikat kepala dari kain yang
sama. Dilihat dari wajahnya yang cukup tampan itu, paling
tidak dia berusia sekitar tiga puluh tahun. Sinar matanya yang
tajam, menandakan bahwa ia bukan orang yang lemah.
Sedangkan yang di sebelah kiri, mempunyai wajah agak
kasar. Sebaris kumis lebat melintang di antara hidung dan
bibimya, sehingga terlihat galak dan angker. la berusia sekitar
tiga puluh lima tahun Di punggungnya tampak tergantung
sebilah pedang. Sepertinya si Kumis Lebat ini tidak asing
dengan ilmu olah kanuragan.
Rombongan jtu terus melarikan kudanya keluar perba-tasan
Desa Tambak. Wajah-wajah mereka terlihat tegang, sehingga
tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Ayah...!" Teriak si gadis berambut panjang, yang ber-jalan
didepan Panji.
Gadis berambut panjang itu segera berlari menyong-song
rombongan berkuda. Direntangkan tangannya di tengah jalan,
yang akan dilewati rombongan itu
"Ayah...!" Teriaknya lagi dengan suara yang lebih nyaring.
Lelaki gagah yang memimpin rombongan berkuda segera
mengangkat sebelah tangannya ke atas. Serentak, orang-orang
yang berada di belakang orang tua gagah Itu menghentikan
kuda-kudanya.
"Eh! Bukankah itu Adik Kenanga?" Tanya si Kumis Lebat,
dengan wajah keheranan.
"Kau... kau...," ujar orang tua itu gugup. Dikucek-kucek
kedua matanya, seolah-olah tak percaya dengan yang
dilihatnya. Matanya melotot bagaikan melihat hantu di siang
bolong. Dengan wajah bingung, orang tua itu melorot turun
dari atas punggung kudanya.
"Benar, Tuan! Dia adalah Den Ayu Kenanga...!" Tegas kedua
orang wanita yang sudah pula berdiri di samping gadis yang
benama Kenanga itu. Sementara Panji hanya membisu di
belakangnya.
"Anakku...," ujar orang tua gagah itu bergetar. Dia segera
melangkah mendekati gadis itu. Kedua tangannya
dikembangkan.
"Ayah...!" Gadis yang bernama Kenanga itu segera
menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Tangisnya pun
meledak, ketika tangan orang tua gagah itu memeluknya penuh
kasih sayang.
"Anakku... anakku...," desah orang tua itu penuh rasa haru.
Para anggota rombongan yang menyaksikan pertemuan
ayah dan anak itu menjadi terharu. Sebentar kemudian wajah
mereka berubah cerah, karena berarti tidak perlu lagi bersusah-
payah mencari Kenanga.
Sementara, Panji memalingkan wajahnya ke tempat lain
Rasanya tak sanggup menyaksikan keharuan itu. la jadi teringat
dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Samar-samar
terbayang wajah ketiga orang pembunuh ayah ibunya. Panji
cepat-cepat mengusir bayangan itu, karena suasananya jelas
tidak memungkinkan.
Sementara, suasana haru antara ayah dan anak itu sudah
mereda, dan telah berganti dengan suasana gembira.
"Anakku, bagaimana caranya kau dapat terbebas dari tangan
Sepasang Harimau Terbang yang terkenal ganas itu?" Tanya
orang tua yang masih belum memperhatikan orang-orang di
sekelilingnya itu.
"Oh!" Sentak gadis itu terkejut. "Aku sampai lupa! Ayah, mari
kuperkenalkan dengan Kakang Panji!" Ajak Kenanga sambil
menggandeng tangan ayahnya dengan wajah berseri-seri.
Kedua orang ayah beranak itu, segera melangkah men-
dekati Panji. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum sambil
memberi hormat kepada orang tua yang tengah digandeng
Kenanga.
"Ayah! Inilah Kakang Panji yang telah menyelamatkan kami
bertiga. Entah apa yang akan terjadi terhadap kami, apabila
tidak ada Kakang Panji!" Ujar gadis itu memper-kenalkan
pemuda itu kepada ayahnya.
Orang tua gagah itu, memperhatikan Panji sejenak. Seraut
wajah yang tampan dengan jubah putih dari kain sederhana itu
masih tertunduk malu. Rasanya dia enggan untuk
menyombongkan diri.
"Orang muda! Aku Ki Umbaran, mengucapkan banyak terima
kasih atas pertolonganmu!" Ucap orang tua itu sambil
mengulurkan tangannya kepada Panji.
"Ah! Hanya kebetulan saja, Paman! Lagi pula, bukan-kah
memang sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-
menolong!" Sambut Panji merendah.
Orang tua gagah yang ternyata bernama Ki Umbaran,
menjadi kagum akan perkataan yang tulus dari Panji itu.
Seorang pemuda yang berjiwa bersih dan menolong tanpa
pamrih.
Panji lalu diperkenalkan kepada Kenanga dan juga kedua
orang wanita yang ditolongnya itu. Sebab, selama dalam
perjalanan Panji sama sekali tidak pernah tahu nama mereka!
Masalahnya, ketiga gadis itu pun Juga tak mau menyebutkan
namanya. Mungkin malu.
"Hm.... Begini, Paman! Berhubung persoalan ini sudah
selesai, maka saya mohon diri untuk meneruskan perja-lanan
saya," ujar Panji lagi.
"Eh, mengapa begitu, Panji? Mengapa tidak singgah dulu di
rumah kami? Lagi pula, hari sudah larut malam. Bukankah tidak
enak melakukan perjalanan di malam hari?" Mohon Ki Umbaran
sungguh-sungguh.
"Eh..., saya..., saya masih banyak urusan yang harus
diselesaikan!" Ujar Panji Heran! Mengapa aku menjadi demikian
gugup? Pikir pemuda itu tak mengerti. Mungkin kegugupannya
karena tatapan Kenanga yang begitu mem-pesona.
Karena asyiknya melamun, Panji tidak mendengar uca-pan
Kenanga yang ditujukan kepadanya. Sehingga, gadis itu harus
mengulangi lagi perkataannya sambil menyen-tuh lengan Panji.
"Eh! Oh..., apa...?" Ucapnya dengan wajah ketololan-nya.
Kenanga tersenyum geli melihat pemuda itu terkejut, dan
menatapnya dengan bingung.
"Kakang sih, terlalu asyik melamun! Sampai-sampai
pertanyaanku tidak terdengar!" Kata gadis itu. Suaranya begitu
merdu terdengar.
"Oh..., maaf! Aku tadi sedang berpikir tentang perjala-
nanku!" Panji berbohong.
Kenanga yang tidak ingin menggoda Panji, segera
mengulangi pertanyaannya.
"Aku tadi bertanya, ke mana Kakang akan pergi pada malam
selarut ini? Apakah tidak lebih baik Kakang me-nginap di desa
kami? Ayah tentu akan menyediakan tempatnya! Bukankah
begitu. Ayah?" Ujar Kenanga sam-bil menoleh kepada Ki
Umbaran.
Ki Umbaran menganggukkan kepalanya, lalu melang-kah
mendekati Panji. Dan dipegangnya kedua pundak pendekar itu.
"Benar, Panji! Menginaplah di sini untuk barang sema-laman.
Dan esok pagi, kau bisa melanjutkan perjalanan-mu dengan
tubuh yang lebih segar," tegas Ki Umbaran.
"Ayolah, Kakang!" Pinta kedua orang wanita yang telah
ditolongnya itu.
"Baiklah, Paman! Maaf kalau aku telah mengganggu," jawab
Panji tak kuasa untuk menolak terus-menerus.
"Ah! Tidak apa-apa, Panji! Malah sebaliknya, kamilah yang
telah mengganggu perjalananmu!" Jawab Ki Umba-ran.
Maka, rombongan itu pun segera kembali ke desa. Se-
mentara, seraut wajah dengan senyum sinis selalu mem-
perhatikan Panji. Matanya memancarkan sinar keben-cian.
Rombongan itu kemudian berhenti didepan sebuah rumah yang
cukup besar, dan berhalaman luas. Ki Um-baran berpaling
menghadap ke arah rombongannya.
"Saudara-saudara sekalian! Sekarang kalian boleh pulang ke
rumah masing-masing. Dan aku mengucapkan terima kasih
atas bantuan saudara-saudara," ucap Ki Umbaran. Suaranya
terdengar berat dan berwibawa.
Selesai Ki Umbaran berkata demikian, warga desa itu pun
bergegas meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega.
Tinggallah di situ, Ki Umbaran, Kenanga, Panji dan dua orang
pembantu utama kepala desa itu.
"Jadi, Paman adalah kepala desa ini?" Tanya Panji pelahan.
"Begitulah yang mereka percayakan kepadaku, Panji!" Jawab
Ki Umbaran merendah. "Mari, kita bicara di dalam saja."
Kelima orang itu pun segera melangkah memasuki ruangan
depan rumah besar itu. Sedangkan kedua orang pembantu
utama Ki Umbaran, tetap berjaga-jaga di luar gedung.
Sepasang mata penuh rasa iri kembali mengikuti langkah kaki
Panji.
"Silakan, Panji!" Ujar Ki Umbaran setelah mereka ber-ada di
sebuah ruangan yang cukup luas. Sepertinya, ruangan itu
dikhususkan untuk pertemuan jika ada tamu agung.
"Terima kasih, Paman!"
Ki Umbaran lalu meminta agar Panji bercerita tentang
kejadian di hutan itu, hingga ia dapat membebaskan Kenanga
dan dua orang pembantunya.
Dengan sederhana dan singkat, Panji pun segera men-
ceritakan pengalamannya. Dia sama sekali tak menying-gung
tentang kepandaian, apalagi pamrihnya.
"Eh! Jadi, Sepasang Harimau Terbang itu sudah ter-bunuh
olehmu?" Tanya Ki Umbaran. Wajahnya meman-carkan
ketidakpercayaan.
"Ah, sebenarnya itu hanya karena mereka lengah saja,
Paman!" Ujar Panji merendah.
"Ah! Padahal kepandaian Sepasang Harimau Terbang hebat
sekali! Bagaimana caranya pemuda ini dapat mem-bunuh
mereka?" Tanya Ki Umbaran dalam hati. Tentu saja,
pertanyaan Ki Umbaran ini tidak diungkapkannya kepada Panji.
Dugaannya, pemuda itu pasti tidak akan mengatakannya.
Hanya saja dia menduga-duga, sampai di mana kepandaian
yang dimiliki pemuda di hadapannya ini.
"Apakah kau juga telah melepaskan para pengikut Sepasang
Harimau Terbang yang masih hidup?" Tanya Ki Umbaran lagi.
Wajahnya agak gelisah.
"Betul, Paman! Karena mereka telah berjanji tidak akan
mengulangi perbuatannya," jawab Panji. "Eh! Ada apakah,
Paman?" Tanyanya ketika melihat wajah Ki Um-baran gelisah.
"Ah! Sungguh berbahaya sekali...!" Desah orang tua itu
sambil menghela napas berat.
"Kenapa, Paman...?" Tanya Panji. Dia masih belum mengerti
hal apa yang membuat Ki Umbaran resah.
Ki Umbaran terdiam sejenak, seperti sedang memikir-kan
sesuatu. Dahinya berkerut seperti tengah memba-yangkan
sesuatu. Dengan sebuah helaan napas berat bagai ingin
melepaskan beban di dadanya, Ki Umbaran membuka
suaranya.
"Panji, sebenarnya Sepasang Harimau Terbang masih
mempunyai seorang guru yang sangat kejam dan memiliki
kepandaian yang tinggi."
"Sepasang Harimau Terbang masih mempunyai guru?"
Tanya Panji heran Setelah berpikir sejenak, barulah dapat
ditangkapnya arah pembicaraan Ki Umbaran itu. "Jadi, maksud
Paman, orang-orang yang saya bebaskan akan mengadu
kepada guru mereka?" lanjutnya.
"Bisa jadi begitu!" Jawab Ki Umbaran.
"Lalu, Guru Sepasang Harimau Terbang akan datang ke desa
ini?" Tanya Panji lagi.
"Itulah yang kukhawatirkan, Panji."
"Siapa nama guru Sepasang Harimau Terbang itu, Paman?"
"Julukannya Laba-Laba Beracun. Tak seorang pun yang
mengetahui nama aslinya. Kepandaiannya sangat tinggi, dan
jarang ada tokoh persilatan yang dapat me-nandingi
kesaktiannya! Dan, kalau iblis itu datang ke desa ini, sudah
dapat dipastikan bahwa desa ini akan musnah!" Tegas Ki
Umbaran, penuh duka.
"Ah! Sungguh berbahaya sekali!" Desah Panji. Jelas dia ikut
khawatir karena secara tidak langsung dialah yang telah
menjadi sebabnya. "Paman! Kalau benar iblis itu akan
menyerang desa ini, biarlah saya yang akan meng-hadapinya!"
Lanjut Panji, tanpa bermaksud ingin menonjolkan
kepandaiannya sedikit pun.
"Ah! Terima kasih, Panji! Tentu saja bantuanmu sangat
berarti bagi kami!" Ujar Ki Umbaran. Wajahnya kembali berseri.
Meskipun belum menyaksikannya sendiri, namun ia merasa
yakin bahwa kepandaian pemuda di hadapan-nya tentu sangat
tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat mengalahkan
Sepasang Harimau Terbang yang hebat itu? Walaupun tentu
saja ia tidak yakin kalau pe-muda ini akan mampu menghadapi
Laba-Laba Beracun!
"Hhh! Hari sudah semakin jauh malam, Panji! Kau ten-tu
sudah lelah, dan ingin beristirahat, bukan? Ah! Dasar aku tuan
rumah tidak tahu adat! Masa tidak tahu tamu-nya sudah
merasa lelah!" Kata kepada desa itu sambil tertawa.
"Ah! Tidak mengapa, Paman! Aku pun belum mengan-tuk!"
Jawab Panji tersenyum.
"Ah, sudahlah," ucap Ki Umbaran, kemudian segera
memanggil salah seorang pelayannya. Dengan segera, seo-rang
pelayan terbungkuk-bungkuk datang menghampiri. Pelayan itu
diperintahkan untuk mengantarkan Panji ke kamar yang telah
dipersiapkan.
Sebentar Panji memandang Ki Umbaran lalu segera
mengikuti pelayan itu. KI Umbaran menganggukkan kepalanya
yang penuh dengan bayangan kejadian yang akan menimpa
desanya.
Sementara, Panji sudah merebahkan tubuhnya di pem-
baringan. Sejenak pikirannya melayang pada kejadian sore tadi
yang dialaminya. Dan sekilas muncul bayangan seraut wajah
berbentuk bulat telur. Rambutnya yang panjang dan hitam.
Wajah Kenanga! Cepat-cepat dihapus-nya bayangan indah yang
melintas di alam pikirannya itu. Sebentar kemudian, terdengar
suara dengkurnya yang halus.
***
Hari masih gelap. Fajar pun belum lagi terbit. Suara
jengkerik pun masih terdengar bersahut-sahutan. Namun, di
pagi yang segar itu Panji telah terbangun dari tidurnya.
Tubuhnya terasa segar sekali. Dibukanya jen-dela, agar udara
sejuk dapat masuk memenuhi ruangan kamarnya. .
Panji melangkah keluar dari kamarnya karena ingin
menikmati udara di pagi yang sejuk dan menyegarkan. Pemuda
itu terus melangkah pelahan sambil bibirnya ter-senyum
senyum sendiri. Sesekali pemuda itu menghirup udara
sebanyak-banyaknya sambil mengangkat kedua tangannya.
Tanpa disadari, Panji telah memasuki taman yang berada di
belakang rumah kepala desa itu. Hatinya yang diliputi
kegembiraan itu, semakin bertambah gembira ke-tika melihat di
sekitarnya banyak bunga yang bermekaran beraneka ragam.
Tiba-tiba, telinganya yang tajam menangkap suara desiran-
desiran angin. Suaranya jelas berbeda, dan lebih tajam dari
sekedar tiupan angin. Tidak lama kemudian, terdengar
bentakan-bentakan merdu dan bertenaga, yang membuat hati
Panji semakin penasaran.
"Hm.... Siapakah yang sedang berlatih silat di pagi buta
begini?" Gumamnya tak jelas. Rasa ingin tahu yang me-nguasai
perasaan membuat Panji lupa bahwa dirinya ada-lah seorang
tamu yang tentu saja tidak boleh keluar masuk seenaknya.
Pemuda itu terus melangkah pelahan, menuju bela-kang
taman. Gerakan-gerakan yang cukup mantap diser-tai
bentakan-bentakan halus bersuara merdu itu, ter-nyata
datangnya dari seorang gadis. Begitu indah sekali, bagaikan
sebuah tarian saja layaknya. Kakinya yang ram-ping bergerak
gesit, mengikuti gerakan tangan mungil berkulit halus.
Panji menyaksikan semua itu, dengan mata tidak ber-kedip.
Seolah-olah ia takut kalau gadis itu menghentikan gerakannya.
Ia sengaja bersembunyi di balik rerimbunan tanaman bunga.
Tiba-tiba, gadis itu melompat ke belakang, lalu seorang gadis
lain memberikan sebilah pedang yang besi gagang indah
kepadanya. Gagang pedang itu dihiasi rangkaian bunga
berwama biru, sehingga nampak semakin menarik. Apalagi
yang memegang adalah seorang gadis cantik bagai bidadari,
maka semakin sedap lah dipandang mata.
"Haiiit..!"
Gadis itu berteriak lembut disertai ayunan pedangnya. Dan
mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang yang indah dan
menawan. Suara ayunan pedangnya berdesing membelah
udara pagi yang bening.
Meskipun jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkannya
mempunyai banyak kelemahan di sana-sini, namun Panji harus
mengakui kalau permainannya benar-benar indah dipandang
mata. Panji bagaikan melihat seorang bidadari yang sedang
memainkan tarian pedang.
Tidak lama kemudian, gadis jelita itu pun menyudahi
permainan pedangnya. Wajahnya kemerahan, karena aliran
darahnya semakin lancar. Sehingga semakin me-nambah
kecantikannya. Gadis itu segera menyeka peluh di sekitar leher
dan dahinya.
Karena terlalu terpesonanya dengan permainan pedang
gadis itu, tanpa sadar Panji keluar dari tempat persem-
bunyiannya sambil bertepuk tangan.
"Ah, hebat sekali, Adik Kenanga! Hebat sekali!" Puji pe-muda
itu sambil bertepuk tangan. Senyumnya mengem-bang di bibir.
Si Gadis Jelita yang ternyata adalah Kenanga, menjadi
terkejut sekali ketika Panji muncul. Wajah gadis itu men-jadi
semakin merah karena rasa jengah dan malu.
"Ah! Kakang Panji! Membuat aku malu saja! Mana bisa
kepandaianku yang jelek disejajarkan dengan kepandaian
Kakang?" Kilah gadis itu sambil tersipu malu. "Eh! Bagai-mana
Kakang bisa berada di sini?" Tanya gadis itu.
Panji baru menyadari kesalahannya. Pemuda itu men-jadi
kikuk, sehingga untuk beberapa saat lamanya ia hanya berdiri
bengong.
"Eh! Aku... aku... itu...!" Jawab Panji gugup. Dia jadi serba
salah dan malu akibat kecerobohannya itu. Diam-diam pemuda
itu mengutuk dirinya, yang telah berbuat tolol itu.
"Ah, sudahlah, Kakang! Kau tidak berbuat salah!" Kata gadis
itu sambil tersenyum, yang membuat dada Panji terguncang.
"Lagi pula, aku hanya terkejut karena kau sudah bangun sepagi
ini," Lanjut Kenanga lagi.
Panji, yang sudah dapat menguasai perasaannya itu hanya
dapat tersenyum masam.
"Maafkan aku, Adik Kenanga! Sungguh tidak ku-sengaja
untuk melangkah ke sini! Suasana pagi yang begitu segar tanpa
terasa telah membawa langkahku ke taman!" ucap Panji,
dengan perasaan bersalah.
"Benar, Tuan Pendekar... eh! Kakang Panji! Kami ha-nya
terkejut!" Jawab gadis berambut sebahu, yang sudah pula
datang mendekat.
Sementara itu, Kenanga mempunyai pikiran untuk
menggunakan kesempatan ini. Dia sudah menyaksikan
kepandaian pemuda di hadapannya itu, mengapa tidak
meminta petunjuk kepadanya.
"Kakang Panji! Menurutmu, bagaimanakah permai-nanku
tadi?" Tanya Kenanga memancing
"Bagus! Dan indah sekali!" Jawab Panji, tanpa me-
nyembunyikan kekagumannya Panji memang berkata yang
sebenarnya.
"Eh! Maksudku bukan begitu, Kakang!" Bantah Kena-nga,
meskipun ia merasa bangga juga dipuji pemuda se-perti Panji.
Siapa yang akan tidak merasa bangga, apabila orang yang
diimpikannya memuji-muji dirinya?
"Lalu, maksudmu?" Tanya Panji tak mengerti.
"Ah! Kakang Panji ini, mengapa harus berpura-pura?" Sergah
gadis yang lainnya lagi. "Bukankah apa yang dimaksudkan Den
Ayu Kenanga sudah jelas?" Sambung-nya lagi.
"Eh! Aku.. Aku sungguh belum mengerti?" Jawabnya
bingung. Sebab pemuda itu memang benar-benar belum
mengerti maksud perkataan Kenanga.
"Hm.... Begini, Kakang!" Ujar Kenanga. "Aku... eh! Bo-lehkah
aku meminta petunjukmu tentang ilmu olah ka-nuragan?"
Pintanya sambil menundukkan kepala dalam-dalam.
"Ah! Aku... aku tidak bisa apa-apa...," tolak Panji halus.
"Aaah! Sudah kuduga kalau Kakang akan menolak-nya,"
jawab gadis itu. Wajahnya penuh sinar kekecewaan. Hati
Kenanga menjadi kecewa ketika mendengar penola-kan
pemuda pujaannya itu.
"Eh... oh! Bukan... bukan begitu maksudku, Adik Ke-nanga!
Aku... aku... aaah...!" Panji tak sanggup menerus-kan kata-
katanya.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Aku memang tak patut men-dapat
petunjuk darimu!" Tegas Kenanga sambil memba-likkan tubuh
dan berlari meninggalkan tempat itu. Keli-hatannya dia kecewa
sekali.
"Adik Kenanga! Tunggu!" kata Panji serak. Dan pemuda itu
pun segera melesat mengejar Kenanga yang dirundung
kekecewaan. Dengan sekali lompatan saja, tubuh Panji telah
berdiri menghadang di depan Kenanga. Karena ter-bawa
perasaan yang tak menentu, Panji mengulurkan kedua
tangannya dan memegang bahu gadis itu.
Keduanya berdiri bingung. Tubuh sepasang muda-mudi itu
bergetar. Aliran darah mereka seolah-olah ter-balik. Begitu
sadar, Panji menarik kedua tangannya dan wajahnya langsung
berubah kemerahan.
Demikian pula halnya dengan Kenanga. Untuk bebe-rapa
saat tadi, ia seperti terlena oleh sentuhan tangan Panji.
Bidadari jelita itu pun tertunduk malu. Pipinya me-merah saga.
"Eh.... Adik Kenanga, aku..., aku minta maaf! Sebenamya
bukan maksudku untuk menolak, tapi aku...," Panji bagaikan
kehabisan kata-kata, sehingga tidak tahu hams mengucapkan
apa.
"Ah! Sudahlah, Kakang! Lupakan saja permintaanku tadi!"
Jawab Kenanga bersungguh-sungguh.
"Adik Kenanga, sebenarnya aku suka sekali untuk
memberikan petunjuk kepadamu. Tapi, bagaimana dengan
ayahmu?"
"Aku tidak keberatan, Panji!" Jawab sebuah suara. Dan tiba-
tiba saja sesosok tubuh gagah, melangkah keluar dari batik
semak-semak dan langsung menghampiri mereka.
"Ayah...!" Seru gadis jelita itu sambil tersipu malu.
"Ah! Paman..!" Ujar Panji kaget.
Sosok tubuh gagah itu ternyata adalah Ki Umbaran. Dia
tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Panji. Memang Ki
Umbaran merasa maklum akan alasan pemuda itu.
"Nah! Apa lagi yang kalian tunggu? Bukankah aku telah
menyetujuinya?" Kata Ki Umbaran, mempertegas keragu-
raguan Panji.
Selama ini, memang Ki Umbaran lah yang mendidik ilmu olah
kanuragan kepada Kenanga. Sebenarnya dia ingin menitipkan
anaknya kepada padepokan yang ba-nyak terdapat di daerah
Selatan. Namun, karena Kenanga anak satu-satunya, maka Ki
Umbaran tidak sampai hati melepaskannya. Dan kini, ada
seorang pemuda yang menurut anaknya memiliki kepandaian
tinggi. Maka apa salahnya jika hanya untuk menyetujuinya. Lagi
pula pemuda itu sangat sopan! Jadi, tidak perlu ada yang
ditakutkannya.
Akhirnya, Panji pun setuju akan permintaan Kenanga itu.
Pada pagi hari itu juga, Panji mulai memberi petunjuk tentang
kelemahan ilmu olah kanuragan pada gadis itu.
Sementara Ki Umbaran yang tidak ingin mengganggu
ketekunan Panji, sudah meninggalkan taman itu. Kepala Desa
Tambak itu, merencanakan akan membuat sebuah pesta untuk
menyambut kedatangan anaknya kembali. Dan tanpa
sepengetahuan Kenanga, diam-diam orang tua gagah itu
segera mempersiapkan segala sesuatu yang akan diperlukan
dalam pesta nanti.
***
TUJUH
Malam itu bulan bersinar terang. Bintang-bintang yang
bertaburan, bagaikan pelita penghias malam. Langit yang
bening saat ini membuat suasana malam itu semakin meriah.
Demikian pula keadaan Desa Tambak. Obor-obor yang berjejer
sepanjang jalan, membuat desa itu menjadi terang benderang.
Para penduduk berduyun-duyun men-datangi balai desa,
tempat diadakannya pesta atas kem-balinya putri sang kepala
desa dengan selamat.
Ki Umbaran sengaja mengadakan pesta di halaman balai
desa, agar seluruh penduduk desanya dapat menik-mati pesta
itu. Hiasan-biasan pun telah dipasang di seki-tar balai desa.
Panggung juga telah berdiri di tengah hala-man yang luas itu.
Ketika seluruh penduduk Desa Tambak telah meme-nuhi
halaman balai desa, nampaknya pesta pun segera pula dimulai.
Berbagai hiburan ditampilkan. Mulai dari tari tarian sampai
sandiwara rakyat Tampak Ki Umbaran duduk di sebuah kursi
paling depan, menghadap ke panggung Di sebelah kirinya,
duduk si Jelita Kenanga dengan anggunnya. Bibirnya yang
merah merekah, tak henti-hentinya menebarkan senyuman
manis. Hatinya bukan main gembiranya menyaksikan hiburan di
pang-gung. Terlebih lagi melihat sambutan penduduk Desa
Tambak yang begitu hangat atas keselamatan dan ke-pulangan
dirinya.
Sementara di sebelah kanan Ki Umbaran, Panji pun ikut pula
merasakan kegembiraan yang belum pernah di-temui
sebelumnya. Pesta itu benar-benar meriah! Meski-pun seluruh
pertunjukan berasal dari rakyat, namun benar-benar menarik
dan mempesona. Seluruh rakyat Desa Tambak kelihatannya
betul-betul bahagia pada malam itu.
Tapi, rupanya tidak semua orang yang menghadiri pesta itu
merasa bahagia. Seperti hatnya sosok tubuh yang berdiri tidak
jauh dari panggung. Orang itu tampak-nya tidak peduli dengan
keramaian itu. Wajahnya yang cukup tampan hanya tersenyum
sinis. Tatapan matanya yang penuh rasa iri menusuk ke arah
Panji tanpa ber-paling sedikit pun.
Sedangkan orang yang diperhatikan oleh mata se-merah
bara itu, tampak duduk dengan tenang tanpa memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Panji sama-sekali tidak merasa
terganggu oleh pandangan menusuk itu.
Sementara itu di atas panggung beberapa pertunjukan sudah
berakhir. Suara tepukan bergemuruh membahana bagai hendak
merubuhkan panggung. Malam sudah semakin larut, kerika
semua acara segera usai. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam
melayang naik ke atas pang-gung. Dengan dua kali bersalto di
udara, didaratkan kaki-nya di atas panggung. Sorak-sorai
menyambut kehebatan orang berbaju hitam itu.
"Saudara-saudara sekalian! Rasanya kurang lengkap apabila
pesta ini tidak ditutup dengan pertunjukan ilmu olah
kanuragan!" Orang berbaju hitam berhenti sejenak untuk
mengetahui sambutan para penonton yang meng-hadiri tempat
itu. Ketika mendengar teriakan-teriakan ribut yang menyatakan
setuju, orang berbaju hitam itu tersenyum. Segera diangkatnya
kedua tangannya ke atas, untuk mengatasi kebisingan itu.
Beberapa saat kemu-dian, suara bising itu lenyap.
"Jagal! Apa maksudmu?!" Teriak Ki Umbaran yang sudah
bangkit dari kursinya dengan kedua tangan ter-kepal menahan
geram. Wajah kepala desa itu tampak memerah.
Orang yang dipanggil Jagal itu segera berpaling kepada
kepala desanya. Tubuhnya dibungkukkan sebagai tanda
hormat.
"Maaf, Ki! Saya hanya ingin menambah semarak sua-sana
pesta saja!" Sahut orang yang dipanggil Jagal, dengan suara
nyaring.
Jagal adalah seorang jagoan yang cukup terkenal di Desa
Tambak. Meskipun sikapnya agak sedikit urakan, namun belum
pernah melakukan kesalahan besar. Pa-ling-paling hanya minta
sedikit uang jago dari para peda-gang di pasar. Dan antara
Jagal dengan Ki Umbaran memang ada semacam 'perang
dingin'.
"Lalu, apa maumu?" Tanya sang kepala desa lagi.
Sebenarnya Ki Umbaran sudah dapat menduga apa maunya
laki-laki bertampang seram itu. Tapi, ia ingin memastikannya
lewat jawaban dari mulut orang yang bernama Jagal itu.
"Begini, Ki! Saya mendengar di desa kita telah keda-tangan
seorang pendekar muda yang hebat, sehingga dapat
membunuh Sepasang Harimau Terbang!' Tapi saya tidak
percaya! Saya tahu pasti kehebatan ilmu kepala rampok itu.
Jadi, saya ingin bukti sampai di mana kehe-batan pendekar
muda itu?" Jagal berkata seolah-olah ke-pada Umbaran, namun
matanya tak lepas-lepas meman-dang Panji.
"Huh! Manusia tak tahu diri!" Bentak Kenanga yang sudah
bangkit dari tempat duduknya. "Mengapa baru se-karang kau
jual lagak? Dulu semasa setan-setan keparat itu masih hidup
kau mirip sapi ompong!" Sambung Kenanga ketus.
Merah seluruh wajah Jagal mendengar sindiran itu, namun ia
tidak bisa mengelak dari kata-kata yang tepat mengenai
sasarannya itu. Untuk beberapa saat lamanya, orang sok jago
yang bernama Jagal itu tidak berkutik.
"Nah! Mana lagakmu, heh!" Ejek Kenanga lagi ketika mielihat
Jagal seperti kehabissan kata-kata.
"Nini Kenanga! Hebat sekali ucapanmu. Aku jadi ingin tahu,
apakah ilmu silatmu sehebat lidahmu?" Tanya Jagal gemetar
bemada tantangan. Dia marah sekali dihinakan oleh gadis itu
didepan umum.
"Hei! Apa kau pikir, aku takut?" Balas Kenanga tak kalah
garangnya. Tanpa banyak bicara lagi, gadis jelita itu seger
melesat ke atas panggung. Kenanga berdiri di hadapan Jagal
sejauh dua tombak Senyumnya terlihat mengejek.
"Ayo! Tunjukkan kehebatanmu, jagoan kampung!" Ejek
Kenanga pedas.
Mendengar julukan itu, Jagal marah bukan main. Se-mentara
orang-orang yang menonton tertawa geli men-dengar julukan
yang diberikan Kenanga. Wajah Jagal yang hitam, menjadi
semakin gelap.
"HaH-hatilah, Nini! Jangan sampai mulutmu yang indah itu
kusobek!" Ancam Jagal dengan suara gemetar.
"Majulah! Jangan hanya pentang bacor!"
"Bangsat! Kubunuh kau!!" Teriak Jagal.
Tubuhnya segera melesat menerjang Kenanga yang masih
berdiri bertolak pinggang.
Kerika kepalan Jagal hampir menyentuh tubuhnya, Kenanga
segera menggeser kaki kanannya ke belakang Kemudian,
tangan kirinya mengirim serangan ke dada lawan. Ini adalah
salah satu ilmu yang telah disempurna-kan oleh Panji.
Melihat serangan balasan dari gadis itu, Jagal tidak menjadi
bingung. Segera dielakkannya pukulan itu seraya membalas
dengan tidak tanggung-tanggung lagi. Terjadi-lah pertarungan
yang cukup seru dan menarik.
Jagal yang sudah marah itu, menyerang dengan puku-lan-
pukulan yang berbahaya. Dia seolah-olah ingin men-jatuhkan
lawannya dengan sekali pukul saja. Tangannya yang kasar dan
terlihat kuat itu, berkeiebatan cepat.
Sampai sepuluh jurus terlewat, serangan-serangan Jagal
belum juga mengenai sasaran. Gerakan-gerakan Kenanga yang
lincah itu, benar-benar telah membuat Jagal penasaran. Maka
Jagal pun semakin memperhebat serangan-serangannya.
Pada jurus ke dua belas, pukulan Jagal meluncur ke arah
lambung Kenanga. Gadis jelita itu, segera memiring-kan
tubuhnya ke kanan dibarengi gebrakan tangan kanannya ke
perut lawan.
Desss!
Tubuh Jagal terdorong mundur sejauh empat langkah.
Namun, tubuh orang itu ternyata kuat sekali! Pukulan itu tidak
menimbulkan luka yang berarti. Sedangkan Kena-nga malah
sebaliknya. Lengannya terasa nyeri dan linu, ketika membentur
tubuh jagoan pasar itu. Diam-diam ga-dis itu sedikit ciut
hatinya, melihat kekuatan lawan yang sama sekali di luar
dugaannya.
Sementara itu, Jagal sudah membangun serangan kembali.
Kali ini dia bersikap lebih hati-hati! Serangan-serangannya tidak
seganas semula namun penuh per-hitungan. Justru serangan
yang seperti Inilah yang lebih berbahaya, dan sulit dltembus
pertahanannya.
Sebentar saja, Kenanga sudah mulai terdesak dan hanya
dapat bermain mundur. Berkali-kali serangan Jagal hampir
menghantam tubuhnya. Untunglah berkat kegesitannya, ia
masih dapat lolos dari pukulan-pukulan lawan. Tapi, biar
bagaimanapun pertahanannya pasti bobol juga.
Ki Umbaran begitu cemas melihat putrinya hampir tidak
berdaya membalas serangan Jagal. Orang tua gagah itu
meremas-remas kedua tangannya dengan perasaan gelisah.
Keadaan Kenanga memang benar-benar mulai gawat. Pada
saat itu, dua buah pukulan Jagal meluncur ke arahnya!
Kenanga berusaha sebisanya menghindari serangan itu,
namun terlambat karena ketika dia berusaha mem-buang
tubuhnya ke kanan, pukulan Jagal telah lebih dulu menghantam
perutnya.
Plak! Desss!
Tubuh gadis jelita itu terjengkang ke belakang. Namun,
sebelum tubuh Kenanga jatuh ke bawah panggung, tiba-tiba
sesosok bayangan putih melayang, menyambar tubuh gadis itu.
Tubuh ramping itu pun tidak sampai terbanting ke tanah yang
keras.
Bayangan putih yang ternyata adalah Panji, segera me-
nurunkan tubuh Kenanga di atas lantai panggung. Pada saat
yang bersamaan, Jagal sudah pula menerjang Panji. Kedua
tangan Jagal meluncur cepat ke arah tengkuk dan dahi
pendekar itu. Sebuah serangan yang curang dengan cara
membokong.
Panji sama sekali tidak menoleh ke arah serangan Jagal. la
sibuk menotok beberapa bagian tubuh Kenanga agar tidak
menderita luka dalam. Kerika serangan yang berbahaya itu
hampir menyentuh tubuhnya, Panji hanya mengebutkan lengan
kanannya secara sembarangan untuk memapak kedua
serangan Jagal. Kelihatannya per-lahan saja.
Plakkk!
Akibatnya hebat sekali! Tubuh Jagal terlempar balik
Tubuhnya melayang, dan terdengar suara benda berat ja-tuh
ke bumi. Tubuh jagoan yang bernama Jagal itu jatuh ke bawah
panggung dalam keadaan pingsan. Sementara dari sela-sela
bibirnya, mengalir darah segar.
Para penduduk desa yang melihat kejadian itu, hanya dapat
berdiri bengong. Baru setelah tubuh Jagal tergele-tak di tanah,
mereka berlari mengerubungi tubuh jagoan kampung itu.
Sementara Ki Umbaran pun tersentak kaget Sampai terbangkit
dari kursinya. la yang sudah dapat mengukur kepandaian Panji,
tidak menyangka kalau pemuda itu sedemikian hebatnya. Jagal
yang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, hanya dengan sekali
kebutan tangannya sudah tergeletak pingsan!
"Luar biasa! Tak kusangka kepandaian pemuda itu demikian
hebatnya! Ah! Rasa-rasanya pemuda itu pasti akan mampu
menghadapi Laba-Laba Beracun, yang ganas dan memiliki
kepandaian seperti iblis itu," gumam Ki Umbaran penuh harap.
Di tempat lain, sepasang mata penuh iri itu pun tidak kalah
terkejutnya. Wajahnya mendadak pucat bagai tak teraliri darah.
"Gila! Apakah anak muda itu mempunyai kepandaian seperti
malaikat?" Desah orang itu dengan hati gelisah.
Sementara itu Kenanga si Bidadari Jelita sudah mulai sadar
dari pingsannya. Gadis jelita itu mengehih sejenak. Kemudian
dikerjap-kerjapkan matanya dan memperhati-kan keadaan di
sekelilingnya.
"Oh..., Kakang Panji," ujar Kenanga ketika melihat pe-muda
itu duduk di dekatnya. "Apa yang terjadi, Kakang?" Tanyanya
kemudian.
"Kau tadi terjatuh terkena pukulan lawanmu, lalu pingsan!"
Jawab Panji sambil memandang mata yang ber-sinar bagai
bantang kejora itu. Ah, sungguh indah sekali mata itu, bisik
hatinya mengagumi indahnya mata Kenanga.
"Lalu..., ke manakah perginya manusia keparat itu?" Tanya
Kenanga. Gadis itu lalu bangkit berdiri, dan men-cari-cari orang
yang dimaksud sambil mengedarkan pan-dangannya.
Kenanga lalu melangkah menghampiri kerumunan orang
desa, yang berada agak jauh di depannya. Ketika ia sampai di
situ, orang-orang desa segera menyingkir agar putri kepala
desanya dapat melihat jelas. Kenanga men-jadi terkejut sekali,
kerika melihat tubuh jagoan kampung itu tergeletak pingsan.
Darah masih mengalir dari sela-sela bibirnya.
"Dia kenapa, Kakang?" Tanya Kenanga kepada Panji, yang
sudah berdiri di sebelahnya.
"Ah! Dia hanya terjatuh ketika aku menangkis puku-lannya,"
jawab Panji menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
Kenanga yang sudah tahu akan silat Panji, tidak ber-tanya
lebih jauh. "Oh.., hanya terjatuh!" Ujarnya meng-goda.
Panji hanya tersenyum mendengar sindiran Kenanga.
Melihat keadaan sudah aman, Ki Umbaran segera me-lesat
ke atas panggung.
"Saudara-saudara sekalian! Pesta sudah berakhir. Dan saya
persilakan untuk kembali ke rumah masing-masing!" kata Ki
Umbaran. Suaranya berat dan berwibawa.
Tidak berapa lama kemudian, orang-orang desa itu pun
segera bergegas meninggalkan arena keramaian. Hanya
beberapa orang saja yang masih tinggal, untuk membereskan
tempat pesta itu.
Baru beberapa tombak para penduduk meninggalkan
halaman balai desa, tiba-tiba terdengar suara tawa yang
menggelegar dan bergema di empat penjuru. Suara tawa itu
demikian keras dan menyeramkan, disalurkan dengan tenaga
dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha...!" Suara tawa itu terus berkumandang bagaikan
tiada habis-habisnya. Seolah-olah bukan suara tawa manusia
saja!
Para penduduk berlarian cerai-berai sambil mendekap kedua
telinganya, tanpa mempedulikan arah lagi. Bahkan banyak di
antara mereka yang jatuh terguling-guling me-nahan sakit.
Sementara dari mulut dan hidung mengalir darah segar! Dalam
sekejap saja, gemparlah suasana di halaman balai desa itu.
Ki Umbaran sendiri, sudah duduk bersila menghimpun hawa
murninya untuk melawan pengaruh tawa yang dah-syat dan
menyakitkan itu. Untuk beberapa saat lamanya ia masih dapat
bertahan dari pengaruh suara tawa itu. Namun tidak lama
kemudian tubuhnya mulai bergetar, karena suara tawa itu
mulai mendesak hawa murninya. Tenaga dalam dari tawa itu
begitu kuatnya.
Untunglah saat kejadian itu, Kenanga berada di sam-ping
Panji. Pemuda itu segera menempelkan telapak ta-ngannya ke
punggung gadis itu, sehingga Kenanga tidak lagi terpengaruh
oleh suara tawa yang dahsyat itu. Tidak hanya sampai di situ
saja tindakan Panji. Segera ia mengerahkan tenaganya. Tidak
lama kemudian, terdengar suara lengkingan halus yang kian
meninggi sehingga menindih gema suara tawa yang me-
nyakitkan itu.
Tiba-tiba, suara tawa itu pun lenyap terhimpit oleh suara
lengkingan halus yang keluar dari mulut Panji. Dan untuk
beberapa saat lamanya, suasana di sekitar tempat itu menjadi
hening. Panji yang telah menghentikan lengki-ngannya, segera
mengedarkan pandangannya ke atas pohon besar yang berada
di sekitarnya.
"Hm.... Hanya seorang pengecut sajalah yang tidak berani
menyerang secara terus terang!" Teriak Panji keras disertai
pengerahan tenaga dalamnya. Belum lagi gema suara pemuda
itu hilang, mendadak telinganya yang terlatih menangkap
desiran angin halus yang menuju ke arahnya.
Serrr! Serrr!
Panji segera menduga, bahwa desiran angin yang halus itu
berasal dari senjata-senjata rahasia. Cepat bagai kilat, pemuda
itu berbalik menghadap ke arah serangan itu berasal. Dan,
dugaan pemuda itu ternyata tidak meleset! Dalam keremangan
sinar obor, terlihat tujuh buah sinar meluncur ke arah tujuh
jalan darah kematian di tubuh-nya. Kecepatannya sukar diikuti
mata biasa.
Dari cara penyerang gelap itu memperdengarkan tawa
maupun melepaskan senjata rahasianya, Panji sudah dapat
menilai bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi.
Oleh karena itu, ia pun tidak ingin main-main lagi. 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan” langsung dikeluar-kannya. Pelahan
namun pasti sekujur tubuh Panji diseli-muti cahaya putih
keperakan. Dan seiring dengan mun-culnya sinar putih
keperakan itu, hawa dingin pun per-lahan menyebar di sekitar
Panji. Kian lama kian dingin menggigilkan!
Cepat bagai kilat, pemuda itu segera mengibaskan lengan
kirinya. Maka terdengarlah suara bergemuruh yang dahsyat
disertai hembusan angin dingin yang hebat mengiringi kibasan
tangannya. Akibatnya, senjata-senjata rahasia itu berguguran
di tengah jalan. Tidak sampai di situ saja! Panji yang sudah
tidak ingin bertindak kepalang tanggung, segera mengirimkan
sebuah pukulan jarak jauh ketika senjata-senjata rahasia itu
kembali menye-rangnya.
Wusss!
Angin yang amat dingin berhembus keras memapak serbuan
senjata-senjata rahasia yang mengarah ke tubuhnya.
Seluruh senjata rahasia itu langsung runtuh ke tanah,
disertai suara berderak keras yang ditimbulkan oleh se-buah
pohon besar di sebelah kiri panggung. Pohon besar itu kontan
tumbang diterjang angin pukulan dari Panji.
Berbarengan dengan tumbangnya pohon itu, sesosok
bayangan hitam melayang turun dan mendarat dua tom-bak
dari Panji berdiri. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh bagaikan
batu karang. Wajahnya tertutup brewok yang tak terurus.
Jubah hitamnya berwarna abu-abu yang di dada sebelah kirinya
terdapat sulaman benang emas ber-bentuk seekor laba-laba.
Ki Umbaran yang sudah bangkit dari duduknya, me-natap
orang yang baru datang itu, dengan wajah pucat bagai mayat.
Tidak disangkanya kalau iblis itu akan da-tang demikian
cepatnya. Buru-buru ia melangkah meng-hampiri Panji yang
masih berdiri mengamati manusia di hadapannya itu.
"Dia... dia... Laba-Laba Beracun! Hati-hati, Panji! Ke-
pandaian iblis itu hebat sekali!" Bisik Ki Umbaran dengan hati
gentar.
"Heh, Anak Muda! Engkaukah yang mempunyai julu-kan
Pendekar Naga Putih?" Tanya orang berjubah abu-abu, yang
berjuluk Laba-Laba Beracun itu. "Dan yang telah membunuh
kedua orang muridku?" Sambungnya dengan suara dingin.
Memang, Laba-Laba Beracun telah mendapat penga-duan
dari para pengikut Sepasang Harimau Terbang yang dilepaskan
Panji waktu itu. Mereka menceritakan dua orang pemimpinnya
telah tewas di tangan seorang pen-dekar yang memiliki gerakan
bagai seekor naga dan me-ngeluarkan sinar yang berwarna
putih keperakan dari tubuhnya. Pendekar Naga Putih, demikian
kata mereka. Oleh karena itulah, mengapa si Laba-Laba
Beracun pun menyebut Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
"Hai, orang tua! Aku tidak tahu, siapa yang kau mak-sud!
Dan siapa pula yang telah membunuh kedua murid-mu itu?"
Ujar Panji balik bertanya. Memang pemuda itu tidak tahu, siapa
yang memiliki julukan Pendekar Naga Putih. Diakah? Dan dia
pun ingin memastikan, apakah yang dimaksud dengan kedua
orang muridnya adalah Sepasang Harimau Terbang. Meskipun
telah diberitahu Ki Umbaran, namun ia ingin mendengarnya
langsung dari mulut orang yang bersangkutan.
"Hm.... Ternyata kau adalah seorang pengecut, Pendekar
Naga Putih! Tidak mau mengakui perbuatanmu yang telah
membunuh Sepasang Harimau Terbang itu! Hutang nyawa
harus dibayar nyawa! Tapi kalau kau mau minta ampun
padaku, dan bersujud di kakiku, mungkin aku akan
memperrimbangkan, apakah aku harus meng-ampunimu atau
tidak!" Ujar Laba-Laba Beracun dengan nada yang amat
menghina.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan haus
akan kesaktian, Laba-Laba Beracun penasaran se-kali ketika
mendapat laporan dari para pengikut murid-nya. la yang sudah
lama malang-melintang dalam dunia persilatan, tentu saja
paham betul dengan ilmu-ilmu tinggi dari berbagai aliran. Tapi
ketika mendapat laporan dari pengikut muridnya yang selamat,
ternyata ia sama sekali tidak dapat menduga, ilmu apa yang
dipergunakan oleh pemuda itu untuk membunuh muridnya.
Kecuali dugaan kasar bahwa pemuda yang berjuluk Pendekar
Naga Putih itu menggunakan jurus naga!
Paras Panji berubah merah ketika mendengar kata-kata
'pengecut' yang dilontarkan orang itu. Ia mungkin tidak akan
mempedulikan orang itu, apabila kata 'penge-cut' tidak
didengarnya. Memang, Panji paling pantang disebut pengecut!
Amarah pemuda itu pun segera bang-kit.
"Hm, orang tua! Memang benar! Akulah yang mem-bunuh
Sepasang Harimau Terbang Aku, Pendekar Naga Putih!" Dalam
kemarahannya Panji mengiyakan julukan yang baru pertama
kali didengarnya.
"Huh! Tidak penting, apakah engkau berjuluk Pende-kar
Naga Putih, Naga Belang, Naga Buduk pun. Aku tidak peduli!
Yang jelas, engkau harus membayar nyawa dua orang muridku
dengan nyawamu dan nyawa seluruh penduduk Desa Tambak!
Setelah itu barulah kuanggap lunas!" Tegas Laba-Laba Beracun
geram.
Setelah berkata demikian, tubuh Laba-Laba Beracun segera
melesat ke arah Panji disertai serangan yang dah-syat! Jari-jari
tangannya yang berbentuk taring laba-Jaba itu, meluncur ke
arah ubun-ubun dan ulu hati Panji. Ke-lebatannya menimbulkan
angin yang bersiutan. Sebuah serangan yang berbahaya!
Panji segera menggeser tubuhnya ke kiri, sambil meng-
gerakkan tangannya menangkis serangan lawan. Sengaja
dikerahkan sebagian dari tenaganya untuk mengukur ke-kuatan
lawannya.
Dukkk!
Keduanya terdorong mundur. Kuda-kuda Panji tergem-pur,
dan tubuhnya terdorong sejauh tiga langkah. Se-dangkan Laba-
Laba Beracun terjajar sejauh lima langkah ke belakang. Dari
sini saja sudah bisa diketahui, bahwa tenaga dalam Laba-Laba
Beracun masih di bawah Panji. Padahal, ia baru mengerahkan
tiga perempat bagian dari tenaganya.
Bukan main terkejutnya Laba-Laba Beracun. Tangki-san
pemuda itu bukan saja membuatnya terjajar, dan dadanya
tergetar. Tapi juga telah membuat sekujur tu-buhnya diselusupi
hawa dingin yang membekukan darah! Buru-buru dikerahkan
tenaganya untuk mengusir sera-ngan hawa dingin yang
menggigilkan itu. Bukan main! Baru kali inilah ditemui lawan
yang berat, padahal usia lawannya masih sangat muda. Benar-
benar sulit untuk dimengerti.
"Huh! Pantas saja sudah berani berlagak! Rupanya kau
memiliki kepandaian yang lumayan! Sekarang cobalah kau
sambut ini! Hiaaat...!" Tubuh Laba-Laba Beracun kembali
melayang ke arah Panji. Kali ini serangannya ter-lihat lebih
ganas dan cepat! Kedua tangannya menyerang berganti-ganti,
dan menyambar-nyambar ganas.
Panji yang sudah menduga kalau lawannya memiliki
kepandaian yang tinggi, tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran
pukulan lawan. Tubuh pemuda itu segera berke-lebatan di
antara sambaran tangan lawannya. Tidak sam-pai di situ saja!
Pemuda itu pun mulai melancarkan serangan-serangan balasan
yang tidak kalah ganasnya.
Keduanya segera terlibat dalam pertempuran sengit! Tubuh
Laba-Laba Beracun maupun Panji sudah tidak terlihat lagi.
Keduanya bergerak sangat cepat, sehingga yang terlihat
hanyalah dua bayangan hitam dan putih yang saling terjang
dengan hebatnya.
Pertempuran kedua orang sakti itu, demikian seru dan
mencekam. Ki Umbaran memperhatikan perkelahian itu dengan
hati yang berdebar-debar. Bagaimana tidak? Se-bab, nasib
seluruh warga desanya berada di tangan Panji. Maka kalau
pemuda itu tewas di tangan Laba-Laba Be-racun, berarti
kehancuran bagi Desa Tambak!
Lain yang dipikirkan Ki Umbaran, lain pula yang dipi-kirkan
gadis jelita yang berdiri di sampingnya. Kenanga memandang
ke arah pertempuran dengan hati yang tidak karuan. Apabila
melihat bayangan hitam itu dapat men-desak bayangan putih,
maka ia meremas-remas tangan-nya disertai perasaan gelisah.
Dan kalau bayangan hitam terdesak, wajahnya kembali tenang.
Tapi, biar bagaima-napun pertarungan itu telah membuat
hatinya kacau.
Sementara pertarungan sudah memasuki jurus yang
keempat puluh. Dan secara pelahan-lahan, bayangan putih
sudah mulai mendesak bayangan hitam. Panji terus
melancarkan serangan-serangan dahsyat dan berbahaya
sehingga memaksa lawannya untuk mundur.
Sedangkan Laba-Laba Beracun, mulai merasakan teka-nan-
tekanan berat dari lawannya. Apalagi setelah Panji
mengeluarkan ilmu 'Naga Sakti'-nya di jurus ke empat puluh
satu. Laba-Laba Beracun segera terdesak Ruang geraknya
semakin sempit, sehingga hanya dapat bertahan tanpa mampu
membalas. Rupanya kali ini ia harus me-lihat kenyataan pahit!
Terpaksa dikuras seluruh kemam-puannya untuk menandingi
seorang pemuda yang pantas jadi cucunya!
Pada jurus yang ke empat puluh dua, Panji menyerang
dengan jurus 'Raja Naga Membuka Jalan'. Kedua tangan-nya
yang membentuk cakar naga itu, meluncur deras ke arah perut
dan tenggorokan Laba-Laba Beracun. Serang-kum angin yang
dingin berhembus keras mengiringi sera-ngannya.
Melihat serangan yang berbahaya itu, Laba-Laba Be-racun
berusaha menghindar. Dengan jurus 'Laba-Laba Melepas
Jaring’, laki-laki tua itu berputar setengah ling-karan. Dengan
posisi kuda-kuda yang rendah, dihentak-kan kedua tangannya
ke arah kedua tangan lawan dengan jari-jari terbuka.
Namun, rupanya serangan Panji hanyalah serangan tipuan
saja! Karena, secara tiba-tiba pemuda itu menarik pulang kedua
serangannya. Entah dengan cara bagai-mana, tahu-tahu saja
kaki kiri pemuda itu sudah melun-cur ke arah sambungan lutut
lawan. Bukan cuma itu saja! Sapuan kaki itu pun, langsung
disusul oleh doro-ngan kedua tangannya. Hebat sekali serangan
mendadak itu.
Desss! Bukkk!
"Aaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Laba-Laba Beracun
melambung ke udara disertai jeritan menyayat. Kedua serangan
pemuda itu telak mengenai sasarannya. Tubuh Laba-Laba
Beracun terbanting ke tanah dengan keras. Sementara darah
segar berhamburan dari muhitnya, di-sertai suara gemeletuk
gigi karena hawa dingin yang hebat.
Panji segera menghampiri tubuh lawannya yang se-dang
sekarat itu. Sejenak Panji termenung, ketika melihat tubuh
lawannya itu berkelojotan meregang nyawa. Tidak lama
kemudian, tubuh Laba-Laba Beracun itu pun diam untuk
selama-lamanya. Tokoh sakti yang sesat itu tewas dalam
keadaan yang menyedihkan!
Ki Umbaran yang ikut menyaksikan saat-saat terakhir iblis
itu, menarik napas lega. Hilang sudah rasa khawatir dalam
dirinya. Dengan tewasnya Laba-Laba Beracun, ber-arti Desa
Tambak terbebas dari kehancuran.
"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih kepadamu, Panji! Kau
telah membebaskan Desa Tambak dari kehancuran! Entah
dengan cara bagaimana kami dapat membalas-nya?" Ujar Ki
Umbaran sambil menjabat erat tangan Panji.
Kemudian secara berturut-turut warga desa yang masih
berada di tempat itu, ikut pula menyalami Panji. Demikian pula
dengan sepasang mata yang semula me-mancarkan sinar iri.
Sepasang mata yang berasal dari se-raut wajah yang cukup
tampan berusia sekitar tiga puluh tahun. la pun ikut pula
menyalami pemuda yang telah menewaskan Laba-Laba
Beracun itu. Sepasang mata itu telah berubah dengan tatapan
penuh rasa kagum dan hormat Telah disadari kekeliruannya.
Demikianlah, mulai malam ini nama Pendekar Naga Putih
mulai dibicarakan orang di pasar-pasar dan di kedai-kedai
minuman, nama Pendekar Naga Putih menjadi pokok
pembicaraan yang hangat. Pelahan-lahan berita itu meluas
hingga ke desa-desa sekitarnya.
Setelah beberapa hari tinggal di Desa Tambak, Panji berniat
untuk melanjutkan perjalanannya. Ki Umbaran berusaha untuk
menahan pemuda itu beberapa hari lagi karena sudah terlanjur
menyukai pemuda sederhana itu. Terpaksa akhirnya Panji
membuat janji untuk mengun-jungi Desa Tambak setelah
urusannya selesai.
Biar bagaimanapun, perpisahan adalah sesuatu yang sangat
berat. Meskipun setiap orang tidak menyukainya, namun
perpisahan selalu menjadi bagian dalam kehidu-pan setiap
manusia.
Hari masih pagi. Matahari hanya mengintip malu di ufuk
Timur. Embun pun bak mutiara berceceran di de-daunan.
Sementara itu, Panji tengah berjaian menuju perbatasan Desa
Tambak. Ia merasa heran sekali, ketika tidak menjumpai
Kenanga di antara orang yang melepas-nya kepergiannya.
"Ke mana perginya bidadari jelita itu? Apakah aku
mempunyai kesalahan terhadapnya? Ataukah... aaah!
Sudahlah! Mengapa aku harus memikirkan yang bukan-bukan,
sedangkan urusanku sendiri masih banyak!" Kata batin Panji.
Dan tanpa sadar ia menepak kepalanya keras-keras.
"Huh! Manusia tak tahu malu! Apa yang kupikirkan?" Gumam
pemuda itu sambil meringis menahan sakit aki-bat tepakannya
yang terlalu keras.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya di jalan,
tersenyum-senyum melihat tingkah laku pemuda itu yang
terasa aneh. Mirip orang gila.
Panji jadi malu hati, ketika menyadari kesalahannya. Tapi tak
urung dia pun menjadi tersenyum sendiri me-nyadari
kelakuannya yang aneh itu. Dan ketika lihat pemuda itu
tersenyum-senyum sendirian, maka makin yakinlah orang-
orang itu bahwa pemuda tampan itu benar-benar tidak waras!
Dan akibatnya mereka pun ber-jalan menjauhi Panji.
"Sialan! Mungkin aku dikira orang sinting barangkali!" Gerutu
Panji sambil bergegas mempercepat langkahnya.
Belum jauh melewati perbatasan, Panji mendengar suara
mencurigakan di kerimbunan semak yang terdapat di tepi jalan
itu. Pemuda itu pun segera menghentikan langkahnya seraya
berpaling ke arah datangnya suara yang mencurigakan itu.
Alangkah terkejutnya Panji ketika melihat seraut wajah yang
cantik, berdiri menatapnya dengan mata basah.
"Kenanga...?" Tegur Panji dengan suara bergetar. Ba-
gaimana hati pemuda itu tidak terkejut? Sepanjang jalan hanya
wajah dara jelita itulah yang selalu mengganggu pikirannya.
Dan secara tiba-tiba saja, wajah itu sudah berdiri di
hadapannya. Sungguh sulit untuk dipercaya!
"Kakang Panji...!" Kata gadis itu. Suaranya serak, seperti
tercekat di tenggorokan.
Entah siapa yang lebih dahulu, yang jelas kedua orang itu
telah melangkah saling mendekat dan saling berpe-gang
tangan. Tubuh keduanya bergetar. Aliran darah me-reka seperti
berbalik. Untuk beberapa saat lamanya, ke-duanya tidak
mampu untuk berkata-kata. Hanya kedua pasang mata mereka
yang saling bercerita mewakili pera-saan masing-masing.
Panji yang lebih dahulu dapat menguasai perasaannya,
segera membawa bidadari jelita itu ke sebuah tempat yang
banyak terdapat batu besar, dan mengajaknya duduk di salah
satu batu besar.
"Kenanga, maafkan aku! Aku tidak sempat berpamitan
kepadamu, karena tidak melihatmu sejak kemarin ma-lam.
Apakah aku punya salah?" Ujar Panji ketika kedua insan itu
telah duduk di bebatuan.
"Maafkan aku, Kakang! Aku tidak ingin orang lain me-
ngetahui, kalau aku tidak sanggup melepaskan kepergi-anmu,
Kakang!" Ungkap Kenanga. Suaranya masih tetap merdu.
Sementara, beberapa butir air telah menetes dari kedua
matanya.
Panji segera mengulurkan kedua tangannya untuk
menghapus air mata di pipi dara jelita itu. Untuk beberapa saat,
jari-jari pemuda itu gemetar ketika menyentuh kulit yang halus
bagai sutera itu.
Kenanga segera menangkap tangan Panji, yang masih slbuk
menghapus sisa-sisa air mata di pipinya itu, Seke-tika
dilekatkannya lebih erat di pipinya, olah-olah tidak ingin untuk
melepaskannya kembali. Sejenak kedua mata yang indah itu
terpejam, sehingga nampaklah sebaris bulu mata yang lentik
dan mempesona.
Dada Panji berdegup keras, ketika daya tarik mata itu
menguasai dirinya. Cepat-cepat ditundukkan wajahnya untuk
melawan rangsangan itu.
"Kakang, begitu pentingkah kepergianmu?" Desah Ke-nanga
lembut. Sementara kedua matanya masih juga ter-pejam.
Seolah-olah bidadari jelita itu tengah mengigau.
"Kenanga, sebenarnya berat sekali langkahku untuk
meninggalkan desa ini, tapi masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan."
"Jadi, bukan karena aku?" Potong Kenanga dengan wajah
cemberut.
"Ah! Tentu saja karenamu, Kenanga! Mengapa engkau harus
bertanya lagi?" Jawab Panji tersenyum menggoda.
"Lalu, urusan apakah yang demikian pentingnya itu,
Kakang?" Tanya Kenanga lagi.
"Hm, Kenanga. Maukah kau disebut sebagai anak yang tidak
berbakti?" Panji balik bertanya.
"Tentu saja tidak, Kakang!" Jawab gadis itu tegas. Kenanga
yang tengah merasa bahagia itu, memandang wajah lelaki yang
dipujanya dengan mata yang berbinar-binar.
Panji yang melihat mata gadis idamannya bersinar ba-gai
bintang Timur itu hampir tak sanggup untuk meman-dangnya.
"Matamu indah sekali, Kenanga," ujar Panji penuh perasaan.
Sejenak pemuda itu terbawa lamunannya, baru ia tersadar,
ketika Kenanga tertawa geli melihat pemuda idamannya
terbengong-bengong.
"Hei! Kakang Panji. Pertanyaanku belum kau jawab,
Kakang!" Seru Kenanga lagi.
"Oh! Pertanyaan yang mana?" Jawabnya bingung. Setelah
terdiam beberapa saat lamanya, barulah ia dapat
mengingatnya.
Panji pun lalu menceritakan tujuan perjalanannya itu.
Setelah mendengar keterangan dari Panji, gadis jelita itu
termenung sejenak. Wajahnya terlihat murung, karena pasti
akan berpisah dalam waktu yang tidak dapat di-pastikan.
Matanya kosong memandang jauh ke depan.
Panji menjadi iba melihat wajah jelita itu menjadi mu-rung.
Namun kepergiannya kali ini, betul-betul tidak dapat
ditundanya. Wajah kedua orang tuanya selalu ter-bayang.
Seolah-olah memintanya untuk segera membalas kematian
mereka.
"Kakang, apakah setelah urusanmu selesai, kau akan segera
mengunjungiku?" Tanya Kenanga tiba-tiba. Se-dangkan
matanya tetap memandang lurus ke depan.
"Tentu, Kenanga! Begitu urusanku selesai, maka aku akan
segera mengunjungimu. Aku berjanji, Kenanga," ucap Panji
bersunguh-sungguh.
"Sungguh, Kakang?" Tanya Kenanga minta kepastian sambil
menoleh dengan mata bersinar.
Panji memandang wajah Kenanga seraya mengangguk
dengan bibir tersenyum. Kemudian diraihnya kedua tangan
gadis itu, lalu dikecupnya jemarinya penuh pera-saan.
"Aku berjanji, Kenanga!" Ucap Panji lembut.
"Baiklah, Kakang! Aku akan selalu menantimu!" Ujar
Kenanga. Wajahnya kembali berseri.
Kedua insan itu pun bangkit dari duduknya. Sebelum
berpisah, Panji mengecup lembut dahi Kenanga. Segera
dilangkahkan kakinya meninggalkan Kenanga yang masih
berdiri memandangnya. Setelah bayangan pemuda itu lenyap,
barulah Kenanga beranjak meninggalkan tempat itu.
Sementara tak terasa sang mentari semakin meninggi.
Sepertinya si raja siang itu tersenyum ketika menyaksi-kan
perpisahan sepasang kekasih yang dimabuk cinta.
***
DELAPAN
Hari masih sangat pagi, ketika serombongan orang berkuda
meiintasi daerah perbukitan yang terdiri dari batu cadas.
Kepulan debu membumbung tinggi diterjang derap kaki kuda
yang bergemuruh. Rombongan berkuda itu kurang lebih
berjumlah empat puluhan orang.
Wajah mereka terlihat gagah dan tenang. Tatapannya yang
tajam bagaikan mata seekor burung elang. Di bahu dan
punggung mereka, tampak tersembul gagang-gagang senjata.
Suatu tanda bahwa rombongan itu terdiri dari orang yang
pandai ilmu olah kanuragan.
Paling-depan, terlihat dua orang yang merupakan pimpinan
rombongan itu. Yang pertama, berusia sekitar limapuluh tahun
lebih. Wajahnya cukup tampan, bersih, dan berwibawa. Sebaris
kumis yang lebat dan berwarna agak keputihan menghias atas
bibirnya. Sementara di punggungnya, nampak sepasang
pedang Pada gagangnya dihiasi batu-batu merah delima,
membuat pedang itu semakin indah dipandang mata.
Sedangkan orang kedua sukar ditaksir usianya, karena
mengenakan sebuah topeng hitam. Di punggungnya tergantung
sebuah tombak yang berujung golok besar tanpa gagang. Dia
terkenal dengan julukan Pendekar To-peng Hitam. Memang,
rombongan itu terdiri dari pen-dekar persilatan dari berbagai
aliran. Mereka sengaja ber-kumpul untuk menggempur Tiga
Iblis Gunung Tandur, karena kejahatannya yang telah
melampaui batas. Ketiga Iblis Gunung Tandur itu telah
membumi hanguskan beberapa padepokan terkenal yang tidak
bersedia tunduk di bawah kekuasaan mereka.
Perbuatan ketiga iblis itu telah mendatangkan kemur-kaan di
hati para pendekar persilatan. Mereka lalu berga-bung di bawah
pimpinan dua orang pendekar yang ber-juluk Pendekar Pedang
Langit dan Pendekar Topeng Hitam. Setelah mendapatkan kata
sepakat, rombongan pendekar itu pun segera bergerak menuju
Gunung Tan-dur yang menjadi sarang ketiga manusia iblis itu.
Setelah kurang lebih setengah harian melakukan per-jalanan,
maka rombongan itu tiba di bawah kaki Gunung Tandur. Dan
untuk beberapa saat lamanya, mereka se-gera beristirahat
sambil rnengamati keadaan di sekitar tempat itu.
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam segera
berembuk untuk mengatur siasat dalam mengada-kan
penyerbuan. Lalu dua pendekar sakti itu, segera me-
ngumpulkan pendekar lainnya untuk diminta pendapat.
Setelah mendapat kata sepakat, para pendekar itu pun
segera dipecah menjadi tiga bagian. Rombongan pertama yang
dipimpin Pendekar Pedang Langit, bergerak dari arah Timur.
Rombongan kedua yang dipimpin Pendekar Topeng Hitam,
bergerak dari arah Barat. Sedangkan rom-bongan ketiga yang
dipimpin tiga pendekar lainnya, ber-gerak dari Utara.
Tidak lama kemudian, ketiga kelompok itu pun segera
bergerak dari tiga jurusan. Kelompok yang dipimpin Pen-dekar
Pedang Langit berjumlah sekitar sebelas orang. Mereka segera
mendaki gunung itu. Disusul kemudian kelompok kedua dan
ketiga secara berurutan.
Kini, kelompok pertama telah tiba di atas Puncak Gunung
Tandur. Kesebelas orang pendekar itu bergegas menghampiri
sebuah bangunan mewah yang terdapat di tengah-tengah
puncak gunung. Sekejap saja mereka telah berada didepan
pintu gerbang yang tebal dan kuat.
Pendekar Pedang Langit segera memerintahkan bebe-rapa
orang pendekar untuuk mendobrak pintu gerbang. Dengan
menggunakan sebuah batang pohon kayu yang cukup besar,
enam orang dari mereka segera mengerah-kan tenaga sekuat-
kuatnya.
"Hiaaat...!"
Brakkk...!
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu pilihan itu lang-sung
pecah, menimbulkan suara hiruk-pikuk. Maka begitu pintu itu
pecah, para pendekar itu serentak berlon-catan masuk sambil
menghunus senjata masing-rnasing. Namun betapa herannya
mereka, ketika melihat keadaan di dalamnya ternyata sunyi
sekali! Akibatnya kesebelas orang pendekar itu menjadi tegang!
Para pendekar itu langsung menyebar dan mendekati
bangunan mewah itu melalui semak-semak yang banyak
terdapat di sekitar tempat itu. Keadaan yang mencuriga-kan
itu, membuat para pendekar menjadi tegang. Apalagi mereka
tidak mengetahui secara pasti di mana musuh berada,
sebaliknya, justru keadaan merekalah yang su-dah diketahui
musuh!
***
"Ha ha ha...!" Tiba-tiba terdengar suara tawa mengge-legar
dan bergema ke sekeliling mereka. Sepertinya suara itu datang
dari segala penjuru. Hanya saja, tidak seorang pun yang
menampakkan dirinya, sehingga membuat hati para pendekar
itu bertambah tegang.
"Berkumpul semua!" Teriak Pendekar Pedang Langit Sebab
kalau tidak demikian, mereka dapat terbantai satu persatu.
Memang hal seperti itulah yang ingin dicegah pendekar itu.
Belum lagi suara Pendekar Pedang Langit hilang, tiba-tiba
berkelebatan enam sosok tubuh yang segera mengu-rung
mereka. Dan tanpa banyak bertanya lagi, keenam orang
pengepung itu pun langsung menyerang hebat ke arah para
pendekar itu.
Namun, tokoh-tokoh rimba persilatan itu pun bukan-lah
tokoh kosong. Mereka pun segera menyambut lawan-lawannya
lewat serangan yang tidak kalah ganasnya. Sebentar saja,
kedua kelompok itu sudah terlihat dalam pertempuran yang
sengit.
Melihat kesepuluh kawannya dapat menghadapi gem-puran
musuh-musuhnya, Pendekar Pedang Langit mele-sat
meninggalkan arena pertempuran itu. Dia berniat mencari
sasaran utama, yakni Tiga Iblis Gunung Tandur.
Sementara itu kelompok yang dipimpin Pendekar Topeng
Hitam, sudah terlibat pula dalam sebuah pertaru-ngan yang
tidak kalah seru. Kelompok Pendekar Topeng Hitam yang terdiri
dari dua belas orang tokoh persilatan itu, bertempur melawan
pihak musuh yang berjumlah de-lapan orang. Meskipun jumlah
musuh lebih sedikit, tapi ternyata memiliki kepandaian yang
hebat. Maka pertem-puran pun berjalan seimbang. Pendekar
Topeng Hitam segera meninggalkan kedua belas orang
kawannya, untuk mencari musuh utamanya yang sama dengan
Pendekar Pedang Langit.
Sedangkan kelompok yang bergerak dari Utara, sama sekali
tidak menemui hambatan. Mereka yang terdiri dari dua puluh
satu orang itu, terus bergerak menuju ke belakang bangunan
mewah itu. Ketika kelompok itu tiba di belakang banguna
besar itu, terdengarlah suara per-tempuran dari halaman
samping.
Kelompok itu pun bergegas menghampiri sumber suara
pertempuran itu. Dan alangkah terkejutnya hati para pendekar
itu ketika melihat Pendekar Pedang Langit dan Pendekar
Topeng Hitam tengah bertempur melawan se-orang musuh
yang menggunakan pisau terbang. Semen-tara dua orang
berwajah bengis, hanya berdiri menonton seperti tak peduli.
Tanpa diperintah lagi, kelompok pendekar itu segera
menyerbu ke arah dua orang yang sedang berdiri mengamati
pertandingan. Dua orang itu taklain adalah Lodra dan Badra,
dua dari Tiga Iblis Gunung Tandur.
Lodra, yang merupakan orang pertama Tiga Iblis Gu-nung
Tandur itu menyambut serangan itu Sepasang ta-ngannya yang
kokoh menyambar nyambar ganas. Kepan-daian ketiga iblis itu
tidaklah sama dengan waktu sepu-luh tahun yang lalu. Dalam
kurun waktu selama itu ke-pandaian mereka telah maju dengan
pesat. Maka dapat dibayangkan, betapa hebatnya serangan
yang dilancarkan Lodra.
Lain Lodra, lain pula dengan Badra Orang kedua yang
berjuluk Iblis Cambuk Api itu, menggerakkan cambuknya yang
meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Bahkan kadang-kadang
diseling ledakan yang memercikkan bunga-bunga api ke tubuh
lawan. Dalam waktu singkat, para tokoh persilatan yang
mengeroyok Iblis Cambuk Api itu pun menjadi kewalahan.
Pertarungan yang berlangsung antara Pendekar Pedang Langit
dan Pendekar Topeng Hitam melawan Iblis Golok Terbang atau
Sudra, berjalan tampak seru dan seimbang. Sepasang pedang
Pendekar Pedang Langit berkelebat cepat mengarah ke titik-
titik kelemahan di tubuh lawan. Suara sambaran pedang yang
mendesing dahsyat, menandakan betapa kuatnya tenaga yang
digunakan pendekar itu.
Sedangkan Pendekar Topeng Hitam sudah pula meng-
gunakan senjata andalannya yaitu sebatang tombak ber-golok.
Serangannya yang menimbulkan suara bergemu-ruh dan
berdesing mengincar tubuh lawan. Dapat diba-yangkan, betapa
hebatnya serangan kedua pendekar sakti itu. Namun yang
sekarang dihadapi bukanlah tokoh sem-barangan! Iblis Golok
Terbang adalah orang ketiga dari Tiga Iblis Gunung Tandur
Kepandaiannya tidak dapat disamakan dengan penjahat-
penjahat lainnya. Benar-benar sukar dicari tandingannya! Dan
pada masa seka-rang ini kepandaian Tiga Iblis Gunung Tandur
berada di urutan atas di antara penjahat lainnya. Dalam
mengha-dapi serangan kedua orang pendekar itu, Sudra
menggu-nakan sepasang golok terbangnya. Tubuhnya yang
tinggi kurus itu menyelinap lincah di antara sambaran senjata
lawan. Bahkan kadang-kadang diselingi serangan golok
terbangnya secara mendadak. Tentu saja hal ini membuat
kedua orang pendekar sakti itu harus lebih hati-hati
menghadapi kelicikan iblis itu.
Tanpa terasa, pertarungan sudah berlangsung empat puluh
jurus. Iblis Golok Terbang semakin memperhebat serangannya.
Sepasang golok terbang di tangannya, mela-kukan serangan
gencar yang sambung-menyambung ba-gaikan ombak di
lautan. Suaranya yang mendengung tajam itu bagaikan suara
ribuan ekor lebah marah, se-hingga mengganggu konsentrasi
lawan.
Pendekar Pedang Langit berusaha membendung sera-ngan
Iblis Golok Terbang, dengan memutar sepasang pe-dangnya
membentuk sebuah benteng yang kokoh. Untuk beberapa
waktu lamanya, ia dapat bertahan dari gempu-ran-gempuran
dahsyat itu.
Pendekar Topeng Hitam pun melakukan hal yang serupa.
Melihat serangan lawan yang seperti air bah itu, Pendekar
Topeng Hitam segera memutar senjatanya di depan dada,
membentuk segulung sinar hitam untuk me-lindungi diri.
Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Golok Terbang
memang sedikit terhambat.
Namun, Iblis Golok Terbang rupanya tidak kehilangan akal.
Melihat keadaan itu, Sudra hanya tersenyum sinis. Entah
dengan cara bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah
tergenggam empat buah golok terbangnya. Dengan sebuah
teriakan mengguntur, Sudra cepat melepas golok terbangnya
ke dua arah. Keempat buah golok terbang itu, membelah udara
dengan kecepatan luar biasa!
Betapa terkejutnya dua pendekar sakti itu mendengar
desingan tajam yang menuju ke arah mereka. Cepat-cepat
diperhebat pertahanan senjata mereka, dengan menge-rahkan
tenaga dalam sepenuhnya.
Trang! Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara keras benturan senjata sebanyak empat
kali. Untuk sejenak, putaran senjata kedua orang pendekar itu
pun terhenti.
Dan kesempatan yang hanya sekejap itu rupanya telah
dtperhitungkan Iblis Golok Terbang! Tanpa membuang-buang
waktu lagi, tubuh iblis itu melesat ke arah dua orang pendekar
sakti itu. Sepasang kakinya melakukan tendangan kilat ke arah
dada lawannya.
Desss! Desss!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua pendekar itu
terpental keras, dan jatuh sekitar tiga tombak jauhnya dari
tempat semula. Keduanya terbatuk-batuk, lalu me-muntahkan
darah segar. Dada mereka serasa remuk dan sesak akibat
tendangan yang dilakukan Iblis Golok Ter-bang itu. Kedua
pendekar itu kini hanya terduduk lemas.
Sudra yang melihat serangannya berhasil baik, cepat
mempersiapkan serangan berikut untuk menghabisi la-wan-
lawannya. Dengan jurus 'Membentur Seribu Gunung', tubuh
Iblis Golok Terbang itu meluncur deras ke arah dua pendekar
itu. Terdengar suara bergemuruh bagai angin topan yang
mengiringi serangan Sudra.
Pendekar Pedang Langit maupun Pendekar Topeng Hitam,
hanya dapat memejamkan matanya dengan hati pasrah.
Mereka mengakui kehebatan serangan dahsyat dari lawannya
itu. Kini, mereka hanya bisa pasrah me-nanti maut yang akan
datang menjemput.
Blarrr!
"Akh...!"
Tubuh Sudra terhempas bagai sehelai daun kering dan jatuh
ke tanah sehingga menimbulkan suara bergedebuk. Sudra
mendekap dadanya yang serasa pecah akibat ben-turan yang
dahsyat itu. Sekujur tubuh terserang hawa dingin yang hebat.
"Huakkk...!" Segumpal darah yang agak mengental me-
luncur dari mulutnya. Iblis Golok Terbang menyadari kalau
dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah!
Sementara di tengah arena telah berdiri seorang pe-muda
berjubah putih yang membelakangi Pendekar Pe-dang Langit
dan Pendekar Topeng Hitam. Raut wajahnya tampan dengan
potongan tubuh sedang. Sepis kabut yang bersinar putih
keperakan, tampak menyelimuti dirinya.
"Pendekar Naga Putih...!" Teriak Pendekar Pedang Langit
dan Pendekar Topeng Hitam berbarengan. Dalam suara mereka
terkandung rasa gembira yang amat sangat.
Memang, kedua pendekar itu merasa heran ketika pukulan
Iblis Golok Terbang tidak kunjung datang Saat mendengar
suara benturan keras, kedua pendekar itu segera membuka
matanya. Dan tampaklah tubuh Iblis Golok Terbang terpental
dahsyat. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini telah berdiri
sesosok tubuh pemuda berjubah putih yang seluruh tubuhnya
diselimuti kabut yang bersinar putih keperakan.
Melihat ciri-ciri itu, kedua pendekar sakti itu segera teringat
akan selentingan kabar tentang seorang pendekar yang belum
lama ini telah mengguncang dunia persilatan dengan
menghancurkan gerombolan perampok di bawah pimpinan
Sepasang Harimau Terbang, bekaligus membu-nuh Sepasang
Harimau Terbang. Akan tetapi yang lebih membuat nama
Pendekar Naga Putih mencuat adalah setelah ia menewaskan
Laba-Iaba Beracun! Guru dari Sepasang Harimau Terbang yang
memiliki kepandaian yang tinggi. Dan salah satu dari ciri-ciri
pendekar itu adalah selapis kabut yang bersinar putih
keperakan. Makanya kedua orang pendekar itu tanpa ragu-ragu
lagi menyebut julukan itu.
Pemuda yang memang adalah Panji itu, segera berbalik
menghadap ke arah kedua orang pendekar yang berada di
belakangnya. Setelah membungkuk memberi hormat, ia pun
segera menghampiri.
"Hm, kelihatannya Paman berdua mengalami luka da-lam!
Bolehkah saya melihatnya?" Ujar Panji setelah mem-perhatikan
sejenak.
Setelah mendapat persetujuan, pemuda itu lalu meno-tok di
beberapa bagian tubuh mereka secara bergantian Beberapa
saat kemudian, pemuda itu pun segera bangkit berdiri.
"Saya rasa Paman berdua harus segera memulihkan tenaga
untuk mengusir sisa-sisa pengaruh dari pukulan lawan," ujar
Panji lagi.
Sementara itu, ketika mendengar suara jeritan adiknya tadi,
Lodra dan Badra serentak melesat meninggalkan lawan-
lawannya. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya dua iblis itu
ketika mendapatkan Sudra tengah tergeletak dengan napas
satu-satu. Cepat Lodra menotok di bebe-rapa bagian tertentu di
tubuh adiknya. Setelah yakin kalau keadaan adiknya sudah
tidak berbahaya lagi, Iblis Tangan Maut segera berpaling ke
arah Panji yang telah berdiri dan juga tengah menatapnya.
Untuk beberapa saat, dua pasang mata yang sama tajamnya
itu saling berpandangan dan menilai kepandaian lawan.
"Siapa kau, Anak Muda?! Apakah kau sudah bosan hidup
sehingga ikut campur urusan kami, heh?!" Bentak Iblis Tangan
Maut Suaranya menggelegar.
"Hm.... Aku Panji, yang ingin mencabut nyawamu!" Sahut
Panji sambil tersenyum sinis mengejek. Sepasang matanya
memancarkan hawa maut! Sungguh pun se-nyum menghias
bibirnya.
"Huh! Bocah sombong! Rupanya kau memang sudah bosan
hidup. Bersiaplah!" Bentak Iblis Tangan Maut gu-sar.
"Eiiit tunggu dulu!" Seru Panji masih dengan senyum di
bibirnya.
"Hm! Ada apa? Kau takut? Kalau begitu, menyingkir-lah!"
Dengus Lodra kesal.
"Huh! Siapa takut kepadamu, iblis peot! Aku hanya ingin
bertanya sedikit," tegas Panji.
"Huh! Apa yang ingin kau tanyakan?!" Tanya Lodra tak
sabar.
"Aku hanya ingin bertanya, apakah peti mati untukmu sudah
tersedia?" Ejek Panji dingin. Tentu saja ejekan itu disambut
oleh tawa para tokoh persilatan yang merasa geli mendengar
pertanyaan yang aneh itu.
Dapat dibayangkan, betapa murkanya Iblis Tangan Maut
Wajahnya merah menahan amarah yang meledak-ledak.
Tulang-tulang lengannya bergemeletak karena di-aliri kekuatan
yang dahsyat.
"Bocah setan, mampuslah!" Teriak Lodra dibarengi le-satan
tubuhnya yang meluncur deras ke arah Panji. Tiu-pan angin
dahsyat mendahului serangan Iblis Tangan Maut, sehingga
menimbulkan suara keras bergemuruh.
Panji segera menggeser tubuhnya, untuk menghindari
serangan lawan. Dengan cepat langsung dibalasnya sera-ngan
itu dengan sebuah serbuan yang tidak kalah dah-syatnya.
Sebentar kemudian, keduanya segera terlibat dalam
pertarungan yang sangat menegangkan. Debu dan pasir
beterbangan akibat terkena pukulan-pukulan yang tidak
mengenai sasaran. Batu-batu yang tersepak kaki kedua orang
yang sedang mengadu nyawa Itu, beter-bangan ke sekeliling
arena pertempuran.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu, se-gera
berlarian ke tempat yang terlindung. Memang batu-batu kerikil
yang beterbangan itu terasa menyakitkan apabila mengenai
tubuh mereka. Dalam sekejap saja se-kitar arena pertempuran
menjadi porak-poranda bagaikan habis diobrak-abrik ribuan
gajah.
Pendekar Pedang Langit dan Pendekar Topeng Hitam yang
juga ikut menghindar, berdecak kagum menyaksi-kan
kepandaian dua orang yang sedang bertempur itu. Selama
hidup mereka, baru kali inilah menyaksikan sebuah
pertarungan yang demikian dahsyat dan mengeri-kan. Di hati
mereka terbesit perasaan minder melihat kepandaian dua orang
sakti itu. Mereka belum apa-apa dibanding keduanya.
"Luar biasa! Hebat sekali kepandaian pemuda itu! Pantas
saja kalau tokoh sesat seperti Laba-Laba Bera-cun, bisa sampai
tewas di tangannya! Hm! Pendekar Naga Putih.... Sungguh
sebuah julukan yang tepat. Entah, mu-rid siapakah anak muda
itu...," gumam Pendekar Pedang Langit pelan.
"Ya! Rasanya kepandaian kita tidak ada apa-apanya,
Kakang!" Jawab Pendekar Topeng Hitam sambil menghela
napas berat.
Sementara, pertarungan semakin bertambah seru saja.
Lodra yang menggunakan jurus 'Sepasang Tangan Penga-cau
Lautan', benar-benar terlihat mengerikan! Sepasang tangannya
yang kokoh, menyambar-nyambar sehingga menimbulkan
putaran angin dingin yang menerbangkan apa saja di dekatnya.
Pohon-pohon yang terlanggar puku-lan Lodra, langsung
tumbang menimbulkan suara yang ribut. Memang tidak
berlebihan apabila ia dijuluki Iblis Tangan Maut.
Sedangkan Panji, tidak kalah hebatnya! Dengan ilmu "Naga
Sakti’, pemuda itu bagaikan seekor naga yang sedang murka.
Gerakan-gerakannya yang kokoh kuat Itu, benar-benar sulit
dicari kelemahannya. Tubuhnya diseli-muti kabut bersinar putih
keperakan sehingga pemuda itu bagaikan seekor naga putih
yang sedang bermain-main di angkasa. Pantaslah kalau orang
menjulukinya Pendekar Naga Putih!
Pada jurus yang keenam puluh tiga, tampak Panji mulai
mendesak Lodra dengan serangan susul-menyusul. Iblis
Tangan Maut benar-benar tidak diberi kesempatan sekali pun
untuk membalasnya. Orang pertama dari Tiga Iblis Gunung
Tandur itu mulai kelabakan menghadapi tekanan lawannya
yang masih muda itu. Dapat dipasti-kan, tidak lama lagi iblis itu
tentu akan rubuh di tangan Panji.
Namun sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dua bayangan
meluncur memasuki kancah pertempuran, dan langsung
melancarkan serangan ke arah Panji. Ledakan-ledakan suara
cambuk terdengar memekakkan telinga. Rupanya Iblis Cambuk
Api dan Iblis Golok Terbang, yang sudah agak pulih dari
lukanya ikut maju mengeroyok pemuda itu.
Pertempuran pun semakin sengit dan menegangkan. Panji
yang dikeroyok Tiga Iblis Gunung Tandur, tampak mulai
terdesak. Pemuda itu kini tidak lagi mampu mem-balas
serangan tiga orang lawannya. la mulai merasakan tekanan
berat dari lawan-lawannya.
Memasuki jurus yang kesembilan puluh, posisi pemuda itu
benar-benar dalam keadaan gawat. Cambuk api di tangan
Badra meledak-ledak ke arah ubun-ubunnya. Sedangkan
sepasang golok terbang di tangan Sudra, me-luncur cepat bagai
kilat ke arah lambung dan tenggoro-kannya. Sementara Lodra
pun sudah pula mendorongkan telapak tangannya ke arah
punggung Panji, dari bela-kang. Keadaan Panji, benar-benar
bagai telur di ujung tanduk!
Para pendekar yang menyaksikan jalannya pertempu-ran,
sama-sama menahan napas dengan wajah tegang. Sudah bisa
dibayangkan kalau pemuda ini akan tewas di tangan Tiga Iblis
Gunung Tandur. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya tahu-
tahu di tangan Panji telah tergeng-gam sebatang pedang ber-
sinar berwarna putih keperakan. Dengan gerakan yang tak
tampak oleh mata biasa, Panji segera mengibaskan pedangnya
membabat cambuk milik Badra dan kedua tangan Sudra yang
menggenggam golok terbang. Dan dengan menekuk kedua
kakinya, dilontar-kan pukulan tangan kiri untuk menyambut
serangan Lodra.
Crasss! Crasss!
"Aaakh...!" '
Brettt..!
Blarrr...!
Tubuh Iblis Golok Terbang terhuyung-huyung sejauh dua
tombak disertai jeritan panjang. Kedua tangannya putus
sebatas pergelangan, dan langsung menyemburkan darah
segar yang tak henti-hentinya. Sedangkan tubuh Iblis Cambuk
Api terdorong sejauh sepuluh langkah. Dari sela-sela bibirnya
tampak mengalir cairan merah. Semen-tara cambuk di
tangannya terbabat putus hingga jadi dua bagian.
Tubuh Panji sendiri jatuh berguling-guling akibat ber-
benturan dengan sepasang tangan Lodra yang mengan-dung
tenaga dalam dahsyat itu.
"Huakkk...!"
Segumpal darah segar menyembur dari mulut Panji.
Sedangkan sinar putih keperakan yang selalu menyeli-muti
tubuhnya mendadak lenyap. Ini pertanda aliran tenaga
dalamnya mengalami hambatan. Dengan sigap, Panji segera
mengatur pernapasannya untuk melancar-kan kembali aliran
tenaga dalamnya yang terhambat.
Di Iain pihak, keadaan Iblis Tangan Maut tidaklah lebih baik.
Tubuhnya terlempar keras lalu terbanting ke tanah yang
menimbulkan suara berdebum. Lodra mende-kap dadanya yang
berguncang akibat tangkisan Panji yang mengandung "Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' itu. Tubuh Iblis Tangan Maut terbungkuk-
bungkuk. Dan ketika ia terbatuk, langsung memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
Untuk beberapa saat lamanya pertempuran pun terhenti.
Panji maupun Iblis Tangan Maut, sama-sama terdiam untuk
memulihkan tenaga masing-masing.
"Hiaaat..!"
Tiba-tiba Iblis Cambuk Api berteriak nyaring. Tubuhnya yang
tinggi besar meluncur deras ke arah Panji. Dengan
menggunakan sebatang golok besar, dia siap merejam tubuh
pemuda itu. Suara senjatanya berdesing tajam mengarah ke
leher Panji.
Panji yang sudah mulai pulih tenaganya, segera me-mutar
kepalanya dan langsung membabatkan pedangnya ke tubuh
lawan.
Pertarungan pun kembali berlangsung hebat. Pedang di
tangan Panji membentuk gulungan sinar putih kepera-kan,
bagaikan seekor naga yang sedang bermain di ang-kasa. Dalam
beberapa jurus saja, Iblis Cambuk Api mulai terdesak hebat.
Dia hanya mampu bermain mundur.
Pada saat yang gawat itu, Iblis Tangan Maut juga segera
melesat membantu adiknya, yang berada dalam posisi
berbahaya. Iblis Tangan Maut sudah pula menca-but sepasang
trisulanya, dan langsung menerjang dengan serangan-serangan
yang cepat dan ganas.
Setelah Iblis Tangan Maut ikut membantunya, barulah Iblis
Cambuk Api dapat menarik napas lega. Sebab sera-ngan-
serangan Panji yang ditujukan ke arahnya mulai berkurang.
Panji memang harus juga membagi perhatian-nya terhadap
Iblis Tangan Maut.
Dua puluh jurus pun terlewat sudah. Panji tampak mulai
meningkatkan serangannya. Pedangnya yang bersi-nar putih
keperakan, bergulung-gulung menekan senjata lawannya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Iblis Tangan Maut dan
Iblis Cambuk Api mulai dapat didesak oleh pemuda itu. Darah-
darah di dalam tubuh serasa mem-beku. Mereka bagaikan
terkurung dalam sebuah lingka-ran salju saja. Segera
dikerahkan seluruh tenaganya untuk mengusir hawa dingin
yang mempengaruhi gera-kan-gerakan mereka.
"Gila! Bocah ini benar-benar memiliki ilmu iblis!" Umpat Iblis
Tangan Maut sambil melompat menghindari sabetan pedang
lawan.
Semakin lama ruang gerak kedua iblis itu semakin me-
nyempit. Serangan-serangan yang dilancarkan Iblis Ta-ngan
Maut maupun Iblis Cambuk Api, selalu kandas bagai
membentur sebuah dinding salju yang kokoh.
Para tokoh persilatan yang menyaksikan pertandingan itu
dari kejauhan, tersentak kaget. Ternyata mereka pun tidak
terlepas dari pengaruh hawa dingin yang memenuhi sekitar
situ. Cepat-cepat tokoh-tokoh persilatan itu mengerahkan hawa
murni untuk melindungi tubuh dari pengaruh hawa dingin yang
luar biasa itu.
Saat itu, pertarungan sudah menginjak pada jurus yang
ketiga puluh lima. Tiba-tiba kedua Iblis Gunung Tandur itu
berteriak nyaring, dan langsung menerjang secara
berbarengan. Senjata mereka berkelebat mengarah ke bagian-
bagian yang berbahaya di tubuh Panji.
Jurus 'Tangan Maut', milik Iblis Tangan Maut kini dimainkan
dengan menggunakan senjata trisula. Senjata itu berkelebatan
mengancam Panji sambil mengeluarkan suara berdesingan
bagai suara ribuan ekor lebah yang sedang marah. Sementara
Iblis Cambuk Api yang kini menggunakan golok, juga masih
cukup dahsyat sera-ngannya, sungguhpun kini tidak
menggunakan senjata andalannya.
Melihat kedua serangan yang dahsyat itu, Panji segera
memutar pedangnya, disertai kekuatan penuh tenaga
dalamnya. Mendadak cahaya yang semula menyelimuti
pedangnya, berpijar ke segala penjuru bagaikan ada pesta
kembang api.
Kedua manusia iblis itu, tersentak mundur. Dan untuk
beberapa saat lamanya pandangan mereka terhalang oleh
pancaran sinar itu. Akibatnya mereka pun sulit untuk
menentukan di mana posisi lawan.
Sebelum kedua manusia iblis itu sempat berpikir banyak,
Panji segera melesat menerjangnya. Karuan saja Iblis Tangan
Maut dan Iblis Cambuk Api tersentak kaget dan menjadi kalang
kabut. Dengan secara serabutan, mereka menggerakkan
senjatanya ke segala arah.
Tranggg! Tringgg!
Brettt!
"Akh...!"
"Akh...!"
Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api, berhasil menangkis
beberapa serangan yang dilakukan Namun tak luput sebuah
bacokan pemuda itu dapat melukai ping-gang Iblis Cambuk Api.
Cairan merah pun merembes keluar, dan membasahi
pakaiannya.
Sedangkan Iblis Tangan Maut terhuyung-huyung sam-bil
memegangi lengannya yang terbabat putus sebatas siku.
Cepat-cepat Iblis Tangan Maut menotok di beberapa tempat
untuk menghentikan darah yang terus mengalir.
Wajah kedua iblis itu berubah pucat Kini mata mereka baru
terbuka dan mengakui kepandaian pemuda yang menjadi
lawannya ini. Bahkan kini rasa takut pun mulai menjalari
perasaan mereka.
Panji kembali menerjang kedua iblis yang sudah ter-luka itu.
Segulung sinar putih keperakan, segera mengu-rung kedua
orang lawannya. Iblis Tangan Maut dan Iblis Cambuk Api
berusaha mati-matian menghindari serangan yang dilancarkan
Panji. Namun ke mana saja mereka menghindar, sinar putih
keperakan Itu tetap mengurung mereka.
Bukan main terkejutnya hati dua manusia iblis itu. Keringat
dingin mulai mengalir membasahi tubuh. Merasa tidak mungkin
mendapat ampunan dari lawannya, Iblis Tangan Maut dan Iblis
Cambuk Api pun nekad menerjang ke arah Panji.
Senjata di tangan Iblis Tangan Maut berkelebatan cepat dan
sukar diikuti mata biasa. Suaranya mengaung membelah udara.
Tiba-tiba senjata itu meluncur deras ke arah lambung Panji.
Dan pada saat yang bersamaan, Iblis Cambuk Api pun telah
pula membabatkan golok besarnya ke pinggang lawan.
Melihat kedua serangan yang luar biasa itu datang, Panji
segera memutar pedangnya dari luar ke dalam. Ini dilakukan
untuk mematahkan serangan kedua iblis itu.
Trang! Trang!
Terdengar dua kali benturan keras di udara, yang me-
nimbulkan percikan bunga api. Memang, betapa kuatnya
tenaga benturan tadi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh Panji me-lambung
ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Suara gemuruh
disertai hawa dingin yang hebat, mengi-ringi ayunan
pedangnya.
Brettt! Brettt!
"Akh...!"
Terdengar suara raungan dahsyat yang mendirikan bulu
roma, ketika pedang Panji membabat kedua leher manusia iblis.
Tubuh Iblis Tangan Maut dan Iblis Cam-buk Api terjungkal ke
belakang. Darah mengucur deras dari luka di leher mereka.
Sebentar mereka berkelojotan, lalu tewas dengan leher hampir
putus!
Melihat kedua musuhnya telah tewas, Panji menja-tuhkan
lututnya ke atas tanah. la merasa lelah sekali, karena telah
bertarung hampir dua ratus jurus untuk menghadapi musuh-
musuhnya. Tiba-tiba Panji tersentak ketika mendengar desiran
angin yang bersiulan. Cepat bagai kilat ditolehkan kepalanya ke
arah sumber suara itu.
Panji segera memutar kepalanya ketika sebuah tenda-ngan
yang dahsyat meluncur ke arah kepalanya. Rupanya tendangan
itu berasal dari Iblis Golok Terbang yang telah dibuntungi
lengannya oleh pemuda itu. Dengan tenda-ngan kilat, Iblis
Golok Terbang menyerang Panji secara bertubi-tubi.
Panji segera berkelit menghindari tendangan geledek itu.
Segera dicarinya kelemahan dari serangan lawannya. Hingga
pada jurus yang kelima, Panji memiringkan tubuhnya sehingga
tendangan dari Iblis Golok Terbang hanya lewat di sebelah
kirinya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera me-
lepaskan pukulan ke arah lutut Iblis Golok Terbang, ke-mudian
dlsusul dengan sebuah tendangan yang meluncur ke dada.
Krakkk!
Desss!
"Akh...!"
Sudra meraung keras! Pukulan Panji telah mematah-kan
lutut kanannya. Sedangkan tendangan pemuda itu, telak sekali
menghajar dadanya hingga melesak ke dalam. Setelah
berkelojotan sejenak, Iblis Golok Terbang lang-sung tewas
dengan dada hancur.
Panji berdiri limbung, karena rasa lelah yang amat sangat
Satu persatu pemuda itu memandangi wajah musuh-musuhnya
yang telah menjadi mayat.
Tibat-tiba, dari arah Timur dan Barat tampak para pendekar
berlarian mendatangi bekas arena pertempu-ran. Rupanya para
pendekar sudah pula menyelesaikan pertarungan melawan
anak buah Tiga Iblis Gunung Tan-dur. Betapa tercengangnya
para pendekar yang baru datang itu, ketika melihat Tiga Iblis
Gunung Tandur telah menggeletak tanpa nyawa.
Selagi para pendekar itu sibuk satu sama lainnya, Panji cepat
melesat meninggalkan tempat itu. Gerakan-nya yang disertai
ilmu meringankan tubuh, tidak diketa-hui para tokoh persilatan
yang tengah sibuk itu. Ilmu me-ringankan tubuhnya, memang
sudah hampir pada taraf kesempurnaan.
"Eh! Kemana perginya Pendekar Naga Putih tadi?" Ta-nya
Pendekar Pedang Langit ketika tidak melihat Panji di
tempatnya.
"Pendekar yang mana?" Tanya para tokoh persilatan tak
mengerti.
"Pendekar Naga Putih," tegas Pendekar Topeng Hitam.
"Dialah yang telah membunuh Tiga Iblis Gunung Tandur itu!"
Sambungnya.
"Pendekar Naga Putih...!" Seru para tokoh persilatan
terkejut.
"Jadi, dia juga berada di sini tadi?" Tanya yang lainnya.
"Benar! Dan kini, pendekar itu telah pergi entah ke mana!"
Desah Pendekar Pedang Langit pelahan.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Sinar yang garang
memancar ke seluruh permukaan bumi dan terasa menyengat
kulit. Hembusan angin yang sepoi-sepoi, bagaikan elusan
tangan bidadari yang terasa sejuk dan melenakan. Nun di
bawah kaki Gunung Tandur, tampak seorang pemuda berjubah
putih melangkah mengikuti ayunan kakinya, tanpa tahu arah
mana yang akan dituju. Dia adalah Panji yang mendapat
Julukan Pendekar Naga Putih.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar