SILUMAN GURUN SETAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Siluman Gurun Setan
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking merobek keheningan
malam itu. Desa Bandul yang semula sunyi, mendadak
riuh. Para penduduk yang tengah terbuai mimpi ter-
sentak bangkit. Sebentar saja, suasana yang semula
pekat menjadi terang-benderang oleh api-api obor yang
bermunculan dari tiap rumah penduduk.
Enam orang keamanan desa yang tengah meronda,
mendadak terhenti. Mereka saling berpandangan satu
sama lain. Seolah hendak memastikan, apakah mereka
semua mendengar jeritan itu.
“Kedengarannya seperti dari tempat kediaman kepa-
la desa?” desis salah seorang peronda. Sepasang ma-
tanya menatap ragu, meminta pendapat kawan-
kawannya.
“Menurutku juga begitu...,” sahut peronda lain,
yang bertubuh kurus dan bermata jeli.
Empat peronda lainnya terlihat menganggukkan
kepala. Tampaknya mereka sependapat dengan kedua
kawan mereka. Kendati demikian, tak seorang pun
yang bertindak.
“Hm.... Apa lagi yang kalian tunggu? Jeritan tadi je-
las menandakan orang itu tengah menghadapi
maut...!” salah seorang peronda yang bertubuh tegap,
berusia sekitar empat puluh tahun, mengingatkan ka-
wan-kawannya. Kemudian lelaki itu bergegas menuju
asal jeritan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, kelima peronda lainnya
pun segera menghambur. Mereka berlarian menuju
tempat kediaman kepala desa. Karena dari situlah sua-
ra jeritan berasal.
Para penduduk yang tengah bergerombol dengan
obor di tangan, segera menggabungkan diri dengan
keenam peronda itu. Rombongan itu pun kian bertam-
bah banyak. Karena sepanjang jalan, selalu saja ada
penduduk yang ikut bergabung. Sehingga, sebentar sa-
ja telah terbentuk barisan yang cukup panjang berge-
rak menuju tempat kediaman kepala desa.
“Berhenti...!”
Rombongan peronda dan para penduduk itu sama
menghentikan langkah. Di depan pintu gerbang Kepala
Desa Bandul, telah berdiri empat orang pengawal.
“Kakang Dirja. Kami mendengar suara jeritan kema-
tian yang berasal dari sekitar tempat ini. Apakah Ka-
kang tidak mendengarnya...?” peronda bertubuh tegap
yang bertindak sebagai pimpinan, melangkah maju
dan melaporkan apa yang didengarnya.
“Aku pun mendengarnya, Rajulit Sayang, kedatan-
gan kalian sudah terlambat..,” sahut lelaki tinggi kurus
yang bernama Dirja. Raut wajahnya membayangkan
kedukaan dan penasaran yang dalam.
“Jadi..., apa yang kami dengar tadi...?” Rajulit tidak
melanjutkan kalimatnya. Sepasang matanya menatap
dengan seribu pertanyaan di dalamnya.
“Salah satu keluarga kepala desa kita kedapatan te-
lah menjadi mayat Sedangkan pembunuhnya belum
diketahui...,” Dirja menjelaskan kepada Rajulit Sepa-
sang mata lelaki kurus itu menerawang ke langit ke-
lam. Ada api dendam di matanya yang tajam.
“Apakah tidak ada orang yang melihat pembunuh
itu, Kakang?” tanya Rajulit penasaran.
Dirja hanya menghela napas sambil menggeleng
perlahan. Itu sudah merupakan sebuah jawaban. Pe-
ronda bertubuh tegap itu pun menghela napas penuh
sesal.
“Saudara-saudara sekalian...!” Dirja mengalihkan
pandangan matanya ke rombongan penduduk, “Se-
baiknya kalian kembali ke rumah masing-masing. Satu
persatu. Mulai malam ini, kalian semua harus berhati-
hati. Meski kita semua mengharap peristiwa itu tidak
berlanjutan, tapi kita harus meningkatkan kesiagaan.
Jika di antara kalian ada yang melihat seseorang yang
mencurigakan, segera laporkan kepadaku....”
Setelah mendengar ucapan Dirja, yang merupakan
salah seorang sesepuh Desa Bandul, para penduduk
pun bergerak meninggalkan tempat itu dengan suara
ribut. Suara-suara itu berasal dari pembicaraan para
penduduk.
“Kakang. Kalau diizinkan, kami ingin melihat mayat
korban...,” Rajulit memecahkan keheningan, setelah di
tempat itu hanya tinggal para keamanan desa saja.
“Hm.... Sebaiknya kita tetap di sini, Rajulit. Aku ti-
dak berani mengganggu keluarga Ki Bajuri yang ten-
gah berkabung...,” sahut Ki Dirja meminta pengertian
Rajulit.
“Lalu..., apa yang harus kita lakukan selanjut-
nya...?” tanya Rajulit yang memaklumi jawaban Ki Dir-
ja. Sehingga ia mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah. Aku sendiri belum memikirkannya. Yang
jelas, kita harus meningkatkan kewaspadaan. Seperti
yang telah kukatakan tadi. Kita harus memasang mata
dan telinga. Desa kita banyak didatangi pendatang.
Bukan mustahil pembunuh itu adalah salah satu dari
kaum pendatang. Untuk itu, mulai sekarang kalian ha-
rus lebih memusatkan perhatian kepada kaum penda-
tang. Bila di antara mereka ada yang bersikap mencu-
rigakan, segera laporkan padaku...,” jelas Ki Dirja.
Keenam peronda itu menganggukkan kepala.
Sebentar kemudian, suasana kembali hening. Sepu
luh orang keamanan Desa Bandul membiarkan dirinya
hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Tak seo-
rang pun yang mengeluarkan suara.
“Rajulit...,” panggilan Ki Dirja memecah keheningan.
“Ada apa, Kakang...?” sigap Rajulit menyahuti pang-
gilan itu.
“Sebaiknya kalian lanjutkan perondaan. Saat ini
sudah tengah malam. Siapa tahu pembunuh itu masih
berkeliaran mencari mangsa...,” ujar Ki Dirja.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Rajulit. Kemudian minta
diri bersama kelima orang kawannya. Tidak berapa
lama kemudian, sosok keenam peronda itu hilang dite-
lan kegelapan malam.
Malam terus merayap perlahan. Sinar bulan sabit
yang menggantung di langit kelam tak mampu me-
nembus kepekatan malam. Suara burung malam ter-
dengar saling bersahutan meningkahi bunyi jangkrik
dan binatang-binatang malam. Seluruh penghuni Desa
Bandul tak dapat tenang seperti semula. Pembunuhan
yang terjadi malam itu, membuat mereka merasa te-
gang dan gelisah. Desa mereka yang semula aman dan
tenteram, kini mulai dilanda malapetaka yang setiap
waktu bisa terulang kembali.
***
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat
menyentuh kulit, tampak sepasang insan muda berge-
rak menyusuri jalan berdebu. Langkah kudanya diper-
lambat ketika melewati wilayah pekuburan desa. Ta-
nah pemakaman itu dibanjiri orang-orang yang tengah
bergerak meninggalkan tempat itu. Wajah-wajah yang
tengah dirundung kedukaan itu, telah menarik perhatian keduanya. Terlihat dari kerutan pada kening me-
reka berdua.
Rombongan penduduk Desa Bandul yang baru saja
selesai memakamkan anggota keluarga kepala de-
sanya, bergerak meninggalkan tanah pekuburan. Be-
berapa di antara mereka sempat mengerling ke arah
pasangan insan muda yang berdiri di tepi jalan yang
mereka lalui.
“Hm.... Lagi-lagi kita memasuki desa yang pendu-
duknya tidak bersikap ramah, Kakang...,” gumam dara
jelita berpakaian serba hijau kepada pemuda tampan
berjubah putih yang berdiri di sebelahnya. Kerlingan
beberapa penduduk memang terlihat sinis dan me-
mancarkan kecurigaan.
“Kau harus memakluminya. Mungkin hal itu dis-
ebabkan oleh kedukaan di hati mereka. Siapa tahu di
balik sikap mereka itu tersembunyi keramahan. Jan-
gan kau masukkan ke dalam hati...,” sahut pemuda
tampan berjubah putih. Pemuda itu tampaknya me-
maklumi sikap para penduduk yang terlihat tidak begi-
tu ramah kepada mereka berdua.
Dara berparas jelita itu menghela napas panjang.
Kendati demikian, ia tidak membantah ucapan pemu-
da tampan berjubah putih.
“Paman, harap berhenti sebentar...!” seru pemuda
tampan itu perlahan kepada salah seorang penduduk
yang berjalan paling belakang.
“Ada perlu apa, Kisanak...?” tukas lelaki gemuk be-
rusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya kecoklatan,
pertanda ia seorang petani. Suara lelaki itu terdengar
ketus dan tidak senang.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyungging-
kan senyum. Tak sedikit pun ia merasa tersinggung
dengan sambutan yang tak ramah itu. Pemuda itu tidak mempedulikan jawaban ketus itu.
“Hmmm.... Bolehkah aku bertanya sedikit...?” lanjut
pemuda tampan berjubah putih. Tetap dengan ramah
dan sopan.
“Hm.... Kau sudah mengajukan pertanyaan, bu-
kan?” tukas petani gemuk itu menyunggingkan se-
nyum sinis.
Senyum pemuda tampan berjubah putih bertambah
lebar. Kendati ucapan petani gemuk itu jelas-jelas
hendak memancing kemarahannya, namun ia tetap
sabar. Keramahan dan kesabarannya masih terpancar
jelas pada raut wajah dan sinar matanya. Sehingga,
kening petani itu berkerut heran.
“Tampaknya, Paman dan para penduduk lainnya
baru saja memakamkan orang penting. Kalau boleh ku
tahu, siapakah yang baru saja dimakamkan?” tanya
pemuda tampan berjubah putih tanpa mempedulikan
keheranan di wajah petani gemuk itu.
“Kalau kau ingin mengetahuinya, tanyakan saja ke-
pada semua penghuni kuburan itu!” setelah memberi-
kan jawaban yang ketus, petani gemuk berwajah coklat
membalikkan tubuh dan bergerak menyusul kawan-
kawannya.
“Nah, kau lihat sendiri, bukan? Keramahan yang
kau tunjukkan, mereka balas dengan sikap sinis dan
menjengkelkan. Sudah kukatakan, orang-orang desa
itu jelas tidak menyukai kehadiran kita,” dara jelita
berpakaian serba hijau itu menyindir kawannya den-
gan senyum sinis.
“Tidak mengapa, Adikku. Cepat atau lambat, kita
akan mendapatkan apa yang kita inginkan...,” tukas
pemuda tampan berjubah putih, masih tetap terse-
nyum sabar. Tidak sedikit pun terlihat kemarahan di
wajahnya, seperti yang ditunjukkan dara jelita berpakaian serba hijau itu.
“Hm.... Pada siapa lagi kau akan bertanya, Ka-
kang?” tanya dara jelita itu seraya mengerutkan ken-
ing.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih hanya ber-
gumam pelan. Kakinya melangkah menyusuri jalan le-
bar yang menghubungkan Desa Bandul.
Tanpa banyak tanya lagi, dara jelita berpakaian ser-
ba hijau bergegas mengikuti. Rasa penasaran masih
tersisa pada raut wajahnya. Namun, semua itu hanya
disimpannya dalam hati. Karena ia tahu akan sia-sia
saja mengatakannya. Gadis itu pun memutuskan un-
tuk berdiam diri.
***
Di bawah terik sinar matahari, kedua sosok tubuh
itu melangkah memasuki perbatasan Desa Bandul.
Dan langsung menuju sebuah kedai makan yang cu-
kup banyak didatangi pengunjung.
Kedatangan pemuda tampan berjubah putih dan
dara jelita berpakaian serba hijau itu, telah menarik
perhatian pengunjung. Sosok keduanya memang san-
gat menarik Terutama dara jelita yang memiliki sepa-
sang mata mempesona. Sehingga, hampir seluruh ma-
ta laki-laki tertuju kepadanya. Mereka memandang
dengan penuh kagum. Bahkan beberapa di antaranya
sampai meneguk air liur. Sedangkan sepasang orang
muda itu tampak tidak peduli. Dengan tenang, mereka
melangkah menuju sebuah meja kosong. Kemudian
memanggil pelayan dan memesan makanan.
“Di tempat seperti ini, kita bisa memperoleh banyak
keterangan...,” ujar pemuda tampan berjubah putih itu
kepada temannya.
Dara Jelita berpakaian serba hijau mengangguk. Se-
jenak sepasang mata beningnya memandang berkelil-
ing, memperhatikan pengunjung kedai. Kemudian
kembali menatap pemuda di depannya.
“Tapi, kelihatannya tidak ada orang yang membica-
rakan keterangan yang kau inginkan, Kakang...,” tukas
dara jelita itu setelah terdiam beberapa saat lamanya.
Rupanya, tadi tengah mencari-cari kalau-kalau ada di
antara pengunjung yang tengah bercerita tentang ke-
matian yang mereka lihat penguburannya.
“Tidak perlu terburu-buru, dan jangan menimbul-
kan kecurigaan...,” desah pemuda tampan berjubah
putih. Kemudian terdiam, karena pelayan kedai sudah
datang membawa pesanan mereka.
“Kalian pasti bukan penduduk desa ini...,” desis pe-
layan kedai berbisik, “Hati-hatilah...,” lanjutnya men-
gingatkan. Lalu, pelayan itu bergegas pergi. Sehingga
pemuda tampan dan dara jelita itu tidak sempat me-
nanggapi.
Ketika pemuda tampan berjubah putih itu hendak
bergerak bangkit untuk memanggil pelayan itu, tiba-
tiba beberapa orang melangkah masuk. Lelaki terde-
pan yang berperawakan tegap, mengedarkan pandan-
gannya ke seluruh ruangan kedai. Dan berhenti di wa-
jah pemuda tampan berjubah putih, yang duduk ber-
sama kawannya. Kemudian bergerak mendekat dengan
sikap tidak bersahabat.
Empat orang lelaki lainnya yang berpakaian serba
hitam, mengikuti langkah lelaki tegap itu. Langkah
mereka berhenti tepat di hadapan kedua orang muda
itu.
“Kalian siapa? Dan apa tujuan kalian singgah di de-
sa ini?” tegur lelaki bertubuh tegap dengan sikap dingin dan tanpa basa-basi. Bahkan jelas-jelas menun-
jukkan rasa tidak sukanya.
Untuk sesaat, pasangan muda itu saling bertukar
pandang. Ada bias keheranan pada wajah keduanya.
Mereka tidak mengerti, mengapa sikap lelaki tegap itu
tidak menghormati mereka.
“Kisanak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku ini
Kenanga. Kami berdua adalah perantau yang kebetu-
lan lewat dan hendak melewatkan malam di desa ini,”
jawab pemuda tampan berjubah putih, yang ternyata
adalah Panji atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Hm...,” lelaki bertubuh tegap yang tidak lain Raju-
lit, memperdengarkan gumaman kasar. Kemudian me-
langkah berputar dengan pandangan penuh selidik.
Kelihatan sekali ia sangat mencurigai sepasang insan
muda itu. Langkahnya berhenti, dan memandang ke
arah pinggang dara jelita berpakaian serba hijau. Pada
pinggang dara itu terlihat gagang pedang.
“Kalian tentu tidak ingin mencari kesulitan, bu-
kan?” tanya Rajulit tiba-tiba.
“Maaf, kami tidak mengerti maksud ucapan Kisa-
nak,” sahut Panji meminta penjelasan.
“Jawab saja pertanyaanku!” tukas lelaki tegap itu
dengan agak keras. “Kalian tidak ingin mendapat kesu-
litan, bukan?” Rajulit mengulang pertanyaannya.
“Tentu tidak,” sahut Panji tenang dan tidak menun-
jukkan wajah tersinggung.
Lain halnya dengan Kenanga. Raut wajah dara jelita
itu berubah. Rupanya ia merasa tersinggung menden-
gar bantahan itu. Kalau saja tidak bersama Panji,
mungkin sudah dilabraknya lelaki tegap itu.
“Nah. Kalau begitu, cepat serahkan senjatamu,” Ra-
julit melanjutkan ucapannya seraya memandang dara
jelita berpakaian hijau yang berada di sebelah kanan
nya. Memang hanya Kenanga yang kelihatan membawa
senjata. Sedangkan Panji tak terlihat membawa pedang
atau senjata lainnya. Karena itu ucapannya ditujukan
pada Kenanga.
“Hm...,” mendengar ucapan lelaki tegap itu, Kenan-
ga menggeram gusar. Darahnya mulai panas. Sebab,
tanpa alasan yang jelas senjatanya hendak diambil.
Tentu saja ia tidak sudi.
Pendekar Naga Putih yang mengetahui gelagat itu,
segera mengedipkan matanya ke arah Kenanga. Se-
hingga, dara jelita itu tidak jadi bangkit dari duduk-
nya, dan mempercayakan jawabannya kepada Panji.
“Kalau boleh kami tahu apa alasannya hingga kami
tidak boleh membawa senjata? Dan, apa sebenarnya
yang tengah terjadi di desa ini?” Panji kembali memin-
ta penjelasan. Karena kalau tanpa alasan yang masuk
akal, ia pun tidak akan mau menyerahkan Pedang Si-
nar Bulan kepada lelaki tegap itu. Apa pun yang akan
terjadi. Pedang itu merupakan lambang pertunangan
mereka.
“Hm.... Kalau hanya membantah, mungkin aku ma-
sih bisa memaafkan! Tapi, karena kau telah lancang
hendak mengetahui keadaan desa kami, sudah cukup
rasanya alasan untuk menahan kalian berdua!” tukas
Rajulit marah mendengar jawaban pemuda tampan
berjubah putih.
Brakkk!
Mendengar ucapan itu, Kenanga langsung mengge-
brak meja. Sehingga makanan yang berada di atasnya
terpental ke udara. Sedangkan dara jelita itu sudah
bangkit berdiri dengan sorot mata tajam.
“Kurang ajar! Siapa dirimu sehingga berani berkata
demikian kepadaku! Hm... Ingin kulihat, bagaimana
kau mengambil senjataku ini dari tanganku!” geram
Kenanga seraya memandang Rajulit dengan sinar mata
mengancam. Agaknya, dara jelita itu sudah tidak bisa
menahan kesabarannya lagi.
Rajulit dan kawan-kawannya serentak bergerak
mundur, tidak menduga akan sikap Kenanga. Namun,
keterkejutan itu hanya sesaat. Kemudian berubah
menjadi kemarahan.
“Hm.... Sudah kuduga kalian memang bukan orang
baik-baik! Untuk itu aku tidak akan segan-segan la-
gi...,” Rajulit yang gusar dengan sikap Kenanga segera
bersiap menghadapi dara jelita itu.
“Jaga seranganku...!” seru Rajulit. Tangannya di-
ulurkan hendak merampas pedang di pinggang dara je-
lita itu.
Wuttt…!
Sambaran tangan Rajulit memang cukup cepat dan
mengandung tenaga dalam. Sayang, yang kali ini diha-
dapinya adalah seorang pendekar wanita berkepan-
daian tinggi. Sehingga, serangannya luput dan menge-
nai tempat kosong.
“Hm.... Apa yang hendak kau tangkap, Orang Ka-
sar?” ejek Kenanga yang sudah menggeser langkahnya
ke samping. Tentu saja serangan yang gagal itu mem-
buat Rajulit semakin naik darah.
“Setan!” geram Rajulit, kembali mempersiapkan se-
rangan berikutnya. Kali ini tak hanya sekadar meram-
pas senjata Kenanga. Tapi juga melontarkan serangan
yang bertujuan melukai dara jelita itu.
“Hm...,” gumam Kenanga lirih. Gadis itu ingin
memberi pelajaran pada lawan dengan tidak berusaha
mengelakkan serangan Rajulit. Tangan kanannya di-
angkat memapaki pukulan lawan.
Dukkk!
“Aaah...?!”
Rajulit memekik kesakitan! Tubuhnya terjajar mun-
dur dan menabrak meja di belakangnya, hingga pen-
gunjung kedai berlarian keluar. Rajulit berusaha
bangkit sambil memijat lengannya!
“Perempuan setan!” umpat Rajulit ketika menyadari
gadis berparas jelita itu ternyata bukan orang lemah.
Lelaki itu hampir tidak percaya hanya dalam sekali ge-
brak dirinya dapat dirobohkan! Padahal dara jelita itu
hanya menangkis dan bukan memukulnya.
“Kepung dan tangkap mereka...!” Merasa tidak bisa
menghadapi seorang diri, Rajulit segera memerintah-
kan kawan-kawannya untuk menyerbu. Ia sendiri su-
dah menghunus pedang.
Melihat keadaan yang akan merugikan pemilik ke-
dai, Panji memberi isyarat pada kekasihnya untuk ke-
luar. Seketika itu juga, tubuh keduanya mencelat ke-
luar kedai.
“Kejar...!” teriak Rajulit sambil berlari keluar diikuti
kawan-kawannya.
***
DUA
Jleggg!
Kenanga dan Panji mendarat di halaman depan ke-
dai. Keduanya menunggu kedatangan Rajulit dan ka-
wan-kawannya. Panji sengaja tidak menghindari perse-
lisihan itu. Pemuda itu ingin mengetahui, apa alasan
keenam lelaki berseragam serba hitam, yang dengan
sengaja ingin mencari keributan.
Beberapa saat kemudian, Rajulit dan kawan-
kawannya muncul dengan senjata di tangan. Kali ini,
mereka bukan sekadar menakut-nakuti. Tapi hendak
melukai Panji dan Kenanga. Semua itu terlihat jelas
dalam sinar mata mereka yang menunjukkan kemara-
han.
“Haiiit..!”
Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, Rajulit lang-
sung melesat ke arah Kenanga dengan pedang di tan-
gan. Kelihatan ia sangat dendam terhadap dara jelita
itu, yang telah mengalahkannya di dalam kedai tadi.
Lelaki tegap itu hendak membalas kekalahannya.
Wuttt..!
Desingan angin tajam mengiringi datangnya seran-
gan Rajulit. Pedangnya berkelebat cepat mengarah tu-
buh Kenanga. Namun, dara jelita itu tidak gentar. Ka-
kinya melangkah ke kanan dengan tubuh miring. Ke-
mudian membalas dengan sebuah pukulan lurus ke
dada lawan.
Bukkk!
“Hukh...!”
Tubuh Rajulit terpental balik dan jatuh bergulingan.
Darah segar mengalir turun di sudut bibirnya. Ru-
panya, pukulan yang cukup keras itu telah menggun-
cangkan isi dadanya. Sehingga, lelaki berperawakan
tegap itu tidak dapat segera bangkit Dadanya terasa
sesak, dan sulit untuk bernapas.
Melihat kenyataan itu, lima orang kawan Rajulit se-
rentak berlompatan menyerbu. Senjata mereka berde-
singan membawa hawa maut!
Wuttt.., bwettt.!
Tapi, apalah artinya serangan kelima keamanan de-
sa itu bagi pendekar seperti Kenanga. Dengan hanya
menggeser langkahnya sedikit, seraya mengibaskan
lengannya ke kiri dan kanan, pedang di tangan para
pengeroyok itu terpental lepas dari genggaman. Bah-
kan mereka mendapat tendangan dan pukulan dari
dara jelita itu. Sehingga, tak seorang pun yang masih
berdiri tegak. Semuanya jatuh sambil merintih kesaki-
tan.
“Hm.... Kalau saat ini aku bermaksud mencabut
nyawa kalian, siapa yang bisa mencegah?” geram dara
jelita itu yang tampaknya kurang puas. Ditatapnya
keenam lelaki yang masih terduduk di tanah itu den-
gan sorot mata tajam. Sehingga, para keamanan desa
itu menundukkan kepala dengan wajah seputih kertas.
Keberanian maupun kegarangan mereka telah lenyap
setelah merasakan hajaran dara jelita itu.
“Hm.... Siapa lagi yang hendak membuat kerusuhan
di desa ini...?” tiba-tiba terdengar sebuah suara berat
dan dalam.
Panji dan Kenanga menoleh ke kanan. Terlihat seo-
rang lelaki gagah datang menghampiri bersama bela-
san orang berseragam hitam. Lelaki gagah itu tidak
lain Ki Dirja, salah seorang sesepuh Desa Bandul yang
sangat dihormati.
Melihat sosok lelaki gagah itu, Panji segera dapat
menilai bahwa orang itu memiliki sikap bijaksana. Ma-
ka ia segera melangkah, menyambut kedatangan Ki
Dirja yang menatap pemuda itu dengan kening berke-
rut.
“Siapa kau, Kisanak?” Mengapa bentrok dengan Ra-
julit dan keamanan desa lainnya?” tegur Ki Dirja se-
raya meneliti sosok pemuda tampan berjubah putih,
yang kelihatan sangat tenang.
Panji dan Kenanga memperkenalkan diri pada lelaki
gagah itu. Menurut Panji, lelaki itu akan mempertim-
bangkan tindakannya tadi terhadap Rajulit dan ka-
wan-kawannya. Pemuda itu pun menceritakan keja-
dian itu mulai dari awal sampai yang dilihat Ki Dirja.
Tentu dengan harapan agar lelaki gagah itu mempertimbangkan ucapannya.
“Hm...,” Ki Dirja bergumam lirih. Sepasang matanya
meneliti sosok Panji dan Kenanga dengan lebih cermat
Keningnya berkerut, pertanda lelaki gagah itu tengah
berpikir keras.
“Kalau memang benar demikian kejadiannya, aku
memaafkan tindakan kalian berdua. Kuharap kalian
mau memaafkan kelakuan orang-orangku...,” ujar Ki
Dirja setelah berpikir sesaat lamanya. Jawaban yang
sangat diharapkan itu membuat Panji dan Kenanga
merasa lega.
“Terima kasih atas kebijaksanaanmu, Ki...,” Panji
tidak meneruskan ucapannya. Dirinya memang belum
mengetahui nama lelaki gagah yang bijaksana itu.
“Dirja. Namaku Ki Dirja...,” tukas lelaki gagah itu
seraya tersenyum, karena lupa memperkenalkan na-
manya pada Panji dan Kenanga.
“Baiklah, Ki Dirja. Aku ingin meminta izin kepada-
mu untuk bermalam di desa ini. Karena kalau kami
melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar akan
kemalaman di jalan.”
Kesempatan baik itu dipergunakan Panji untuk
meminta izin singgah di Desa Bandul. Bagaimanapun
kejadian dengan Rajulit dan kawan-kawannya telah
menimbulkan perasaan tidak enak di hati Panji. Se-
hingga, ia memberikan alasan seperti itu agar Ki Dirja
tidak mencurigainya.
“Silakan..., silakan. Kuharap kalian bisa bermalam
dengan tenang di desa yang tidak begitu ramai ini,”
sahut Ki Dirja, kemudian mengajak orang-orangnya
meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga menganggukkan kepala memba-
las penghormatan lelaki gagah itu. Mereka tidak berge-
rak dari tempatnya, sampai rombongan Ki Dirja lenyap
dari pandangan.
“Hm.... Kalau saja Rajulit dan kawan-kawannya da-
pat bersikap bijaksana seperti Ki Dirja, rasanya per-
tengkaran tadi tidak perlu terjadi...,” gumam Kenanga
kemudian. Dara jelita itu tampaknya menyesali sikap
Rajulit dan kawan-kawannya.
“Yah. Untunglah Ki Dirja bijaksana, dan tidak me-
nimpakan kesalahan kepada kita. Biar bagaimanapun
aku tidak ingin menanam bibit permusuhan...,” timpal
Panji perlahan. Kemudian bergegas mengajak Kenanga
menuju kedai yang juga menyediakan penginapan. Se-
lain itu, mereka pun belum membayar makanan. Ke-
dua orang muda itu berniat mengganti kerugian akibat
perkelahian tadi, yang sedikit banyak telah menimbul-
kan kerusakan di dalam kedai.
***
Kegelapan malam menyelimuti permukaan bumi,
termasuk juga Desa Bandul. Suasana desa itu keliha-
tan sunyi. Terlebih setelah terjadinya pembunuhan
terhadap salah seorang keluarga dekat kepala desa itu.
Kematian yang misterius itu membuat warga desa te-
lah pergi tidur meskipun hari belum jauh malam. Bah-
kan lampu-lampu di dalam rumah mereka dipadam-
kan, kecuali obor yang digunakan untuk menerangi
halaman rumah.
Tok! Tok! Tok!
Saat malam semakin merayap, terdengar suara ken-
tongan para peronda desa yang berkeliling menjaga
keamanan. Penjagaan memang diperketat Mereka
khawatir pembunuh misterius itu akan beraksi kemba-
li. Sehingga, hati para peronda itu selalu dilanda ketegangan!
Di salah satu kamar rumah penginapan, Panji ter-
baring menghadap langit-langit. Keanehan-keanehan
yang dialami di desa itu, membuat Panji tidak bisa
memicingkan mata. Terlebih ketika ia menangkap sua-
ra kentongan peronda. Seringnya suara itu terdengar
menimbulkan dugaan, bahwa penduduk Desa Bandul
tengah menghadapi sesuatu yang menakutkan. Piki-
ran-pikiran itu membuatnya tidak dapat tidur. Yang
amat disayangkannya, penduduk desa itu sangat ter-
tutup terhadap para pendatang seperti dirinya dan Ke-
nanga. Sehingga, ia harus memutar otak untuk men-
cari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang menggelayu-
ti hatinya.
“Hhh...,” Panji menghela napas panjang berulang-
ulang. Kemudian bangkit duduk dari tidurnya, dan
bergegas turun dari atas pembaringan. Kelihatan sekali
betapa Panji tidak bisa mengindahkan keanehan-
keanehan yang terjadi.
Tok! Tok!
Ketukan pada dua n pintu kamarnya membuyarkan
lamunan Panji.
“Siapa...?” tanya Panji seraya menoleh ke arah pin-
tu, kemudian melangkah menghampiri.
“Aku, Kakang...,” sahut sebuah suara yang terden-
gar merdu di telinga. Cepat Panji membuka pintu ka-
marnya. Ia tahu suara itu milik kekasihnya. Kena iga.
“Mengapa belum tidur, Kenanga...?” tanya Panji,
kembali menutup daun pintu setelah Kenanga masuk.
Mereka memang memesan dua kamar untuk mengi-
nap.
“Aku tidak bisa tidur, Kakang. Apa kau juga mera-
sakan hal yang sama denganku?” tukas Kenanga yang
duduk di tepi pembaringan dan menatap kekasihnya
dengan sorot mata menuntut jawaban.
“Maksudmu, tentang keanehan sikap penduduk de-
sa ini...?” Panji menegasi arah pertanyaan dara jelita
itu. Ia pun duduk di tepi pembaringan dekat gadis itu.
Keduanya saling tatap.
Panji bangkit dari duduknya ketika melihat Kenan-
ga mengangguk. Kemudian melangkah dan membuka
jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk
menyejukkan udara dalam kamar. Panji berdiri di de-
pan jendela memandang kepekatan malam.
“Penduduk desa ini sepertinya tidak menghendaki
campur-tangan orang lain. Terutama para pendatang
seperti kita. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang
membuat mereka bersikap demikian tertutup. Apa se-
benarnya yang hendak mereka sembunyikan dari para
pendatang...?” gumam Panji tanpa mengalihkan pan-
dang matanya. Seolah tengah berbicara pada dirinya
sendiri untuk mengungkap penasaran dalam hatinya.
“Sepertinya di Desa Bandul ini tengah terjadi sesua-
tu, Kakang. Buktinya, para keamanan desa sangat ke-
tat melakukan perondaan. Hampir setiap saat terden-
gar bunyi kentongan. Kalau tidak ada apa-apa, tidak
mungkin mereka demikian giat melakukan peron-
daan!” Kenanga yang juga memperhatikan keadaan di
desa itu, mengutarakan ganjalan pikirannya.
Panji membalikkan tubuhnya menghadap Kenanga.
Kembali terdengar helaan napas yang panjang. Ternya-
ta, yang mengganggu pikirannya juga dirasakan dara
jelita itu. Semua itu membuat keduanya tidak bisa me-
lewatkan malam dengan baik. Sampai-sampai Kenanga
memerlukan datang ke kamarnya untuk mengutara-
kan keresahan hatinya.
“Hm.... Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kenan-
ga?” tanya Panji, ingin tahu pendapat kekasihnya
mengenai persoalan yang mengganggu mereka berdua.
“Aku bermaksud menyelidikinya, Kakang. Hatiku
akan tetap penasaran kalau belum mengetahui apa
yang sebenarnya tengah terjadi di desa ini,” jawab Ke-
nanga tegas dengan semangat terpancar pada sepa-
sang matanya.
Panji tersenyum lebar melihat semangat kekasih-
nya. Seraya melangkah kembali dan duduk di dekat
dara itu. Ditepuknya bahu dara jelita itu dengan lem-
but
“Kapan kau akan memulainya...?” tanya Panji lagi
sambil membelai lembut bahu dara jelita itu. Tampak-
nya Panji memberi angin terhadap keinginan kekasih-
nya.
“Sekarang juga, Kakang! Apa kau tidak tergerak un-
tuk menyelidikinya?” jawab Kenanga, heran melihat si-
kap Panji yang tidak memperlihatkan rasa penasaran-
nya. Sehingga ia mengajukan pertanyaan seperti itu.
“Tentu saja aku pun penasaran dan ingin menyeli-
dikinya. Tapi, karena penduduk desa ini tidak ingin ki-
ta mencampuri urusannya, kita harus hati-hati dalam
melakukan penyelidikan. Jangan sampai mereka men-
getahuinya...,” ujar Panji yang jelas-jelas merupakan
ungkapan bahwa dirinya akan menyertai dara jelita
itu. Kenanga mengerti perasaan kekasihnya, dan ter-
senyum lebar. Dara jelita itu sangat senang menden-
garnya.
“Kalau begitu, apa lagi yang harus kita tunggu...?”
tukas Kenanga seraya bangkit dari duduknya.
Panji segera bangkit berdiri. Ia melesat melalui jen-
dela kamar setelah mematikan pelita yang menerangi
kamar. Kenanga sendiri sudah lebih dulu keluar mela-
lui jendela, dan melompat naik ke atas atap rumah
penginapan.
Setelah merapatkan daun jendela kamarnya, Panji
bergegas menyusul Kenanga. Sebentar kemudian, ter-
lihat dua sosok bayangan berkelebat di atas atap ru-
mah-rumah penduduk. Mereka sengaja melewati tem-
pat-tempat yang tersembunyi di kegelapan. Karena ti-
dak ingin bayangan mereka terlihat para peronda yang
sedang berkeliling.
***
Harapan Panji dan Kenanga untuk dapat mengung-
kapkan keanehan sikap penduduk Desa Bandul mus-
nah. Kendati sepanjang malam mereka mengitari selu-
ruh wilayah desa itu, namun tidak ada sesuatu pun
yang mencurigakan. Sampai fajar datang, tidak ada
suatu kejadian yang menyentakkan keheningan ma-
lam.
Setelah sekali lagi mereka mengitari seluruh pelosok
Desa Bandul, akhirnya Panji memutuskan untuk kem-
bali ke penginapan. Karena kokok ayam sudah terden-
gar di sana-sini. Mereka harus segera kembali, agar
perbuatan mereka tidak diketahui penduduk desa.
“Hhh.... Malam yang membosankan...!” sungut Ke-
nanga. Tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan.
Dara jelita itu agaknya lupa bahwa ia berada di dalam
kamar kekasihnya.
“Kenanga...,” panggil Panji ketika melihat dara jelita
itu hendak memejamkan mata. Kalau Kenanga sampai
tertidur di kamarnya, tentu akan menimbulkan perta-
nyaan bagi pemilik penginapan. Panji tidak ingin
membuat mereka curiga.
“Ada apa, Kakang...?” tanya Kenanga tanpa mem-
buka mata. Sepertinya dara jelita itu hendak tidur di
kamar kekasihnya.
“Kau harus segera kembali ke kamarmu...,” ujar
Panji mengingatkan.
“Biarlah aku tidur di sini saja, Kakang...,” jawab
Kenanga tetap tidak membuka matanya. Jawaban itu
tentu membuat Panji kaget. Berarti Kenanga sadar
dengan apa yang diperbuatnya. Melihat dara jelita itu
masih tetap berbaring. Panji bergegas menghampiri
dan duduk di tepi pembaringan.
“Tidak, Kenanga. Kau harus kembali ke kamarmu.
Perbuatanmu bisa menimbulkan berbagai pertanyaan
pemilik maupun pelayan kedai. Kalau memang hendak
tidur sekamar, mengapa kita harus meminta dua ka-
mar? Kuharap kau mengerti bahwa yang kau lakukan
ini tidak benar, Adikku. Terlebih lagi, aku khawatir tak
sanggup menahan godaan setan...,” jelas Panji, beru-
saha memberi pengertian kepada kekasihnya.
Mendengar ucapan kekasihnya yang penuh kekha-
watiran, Kenanga membuka mata dan menatap wajah
Panji lekat-lekat Keduanya saling bertatapan untuk
beberapa saat lamanya.
“Kau tidak ingin berada di dekatku, Kakang?” tiba-
tiba saja terlontar pertanyaan yang terdengar aneh di
telinga Panji.
“Hm.... Mengapa kau bertanya demikian, Kenanga.
Lelaki yang paling tolol sekalipun, rasanya bisa men-
jawab pertanyaanmu. Apalagi aku yang sangat mencin-
taimu. Tapi, kita harus melihat keadaan. Saat ini kita
tengah menyelidiki sesuatu. Kalau ingin berhasil, kita
harus berhati-hati dan pandai-pandai membawa diri,”
jawab Panji tersenyum seraya membelai rambut keka-
sihnya.
“Tapi.... Mengapa kau katakan takut tergoda setan,
Kakang. Padahal aku sudah menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Dan meskipun kita belum resmi
menjadi suami-istri, aku sudah merasa aku adalah is-
trimu. Aku tidak takut dan siap melakukan apa saja
untukmu, Kakang...,” dara jelita itu masih memban-
tah. Mungkin ucapan itu keluar tanpa disadarinya.
Panji agaknya mengetahui hal itu.
“Aku tidak ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi
kau, Kenanga. Tapi, kau harus ingat tujuan kita ber-
malam di desa ini...,” tegas Panji. Kemudian memeluk
dan mengecup bibir menantang itu. Sehingga, suasana
seketika menjadi sunyi. Yang terdengar hanya deru
napas mereka.
“Kembalilah ke kamarmu, Adikku. Jangan biarkan
kesucian cinta kita ternoda oleh sebuah keinginan...,”
ujar Panji seraya melepaskan pelukan dengan napas
terengah. Pemuda itu rupanya mulai terbuai oleh ke-
nikmatan yang barusan mereka rasakan. Panji tidak
ingin terseret semakin jauh.
“Baiklah, Kakang...,” sahut Kenanga lalu bangkit
dan bergegas menuju kamarnya.
Panji memandangi kepergian kekasihnya sampai le-
nyap di balik pintu. Pemuda tampan itu menghem-
buskan napas panjang-panjang. Hampir dirinya tidak
sanggup menahan nafsu yang bergejolak di dada. Un-
tunglah ia masih memiliki sedikit kesadaran. Kalau ti-
dak, tentu segalanya akan terjadi. Jika sudah demi-
kian, penyesalan akan selalu menghantui hidupnya.
“Kakang....”
“Ya...,” Panji tersentak dan menoleh ke pintu. Dili-
hatnya dara jelita itu berdiri di ambang pintu dan ter-
senyum manis. Wajah jelita itu tampak kemerahan,
membuat sosoknya semakin mempesona.
“Tidurlah Kenanga, agar esok tubuhmu kembali se-
gar...,” ujar Panji.
Dan melangkah ke pintu, lalu menutupnya rapat-
rapat saat kekasihnya berlalu meninggalkan tempat
itu. Panji merebahkan tubuhnya di atas pembaringan.
Sebentar kemudian, terdengar dengkurnya yang halus.
Pendekar muda itu telah terlelap....
***
TIGA
Tok! Tok! Tok!
Panji tersentak bangkit dari tidurnya ketika men-
dengar ketukan pada pintu kamarnya. Kakinya me-
langkah perlahan menghampiri.
“Siapa...?” tanya Panji sebelum membuka pintu. Ia
merasa orang yang mengetuk pintu kamarnya bukan
Kenanga. Kalau dara jelita itu yang datang, pasti telah
memanggilnya terlebih dulu.
“Pelayan, Tuan...,” sahut suara di luar kamar yang
kedengaran agak takut-takut.
“Hm.... Ada apa...?” tanya Panji setelah membuka
pintu kamarnya. Dilihatnya seorang lelaki bertubuh
sedang mengenakan pakaian seorang pelayan, berdiri
sambil membungkukkan tubuh dalam-dalam.
“Di luar ada Ki Dirja. Beliau ingin bertemu dengan
Tuan,” sahut pelayan itu mengutarakan maksud keda-
tangannya.
“Ki Dirja...?” desis Panji. Sesaat pemuda itu terdiam
berusaha mengingat orang yang bernama Ki Dirja.
“Benar, Tuan,” tukas pelayan menegasi.
“Baik. Sekarang pergilah, dan katakan pada Ki Dirja
bahwa aku akan segera menemuinya,” ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menutup pintu kamar, setelah
pelayan rumah penginapan itu berlalu dari hadapan-
nya. Sepeninggal pelayan, Panji bergegas menuju ka-
mar Kenanga. Keduanya kemudian menemui Ki Dirja,
orang kepercayaan Kepala Desa Bandul.
“Maaf, kalau kedatanganku telah mengganggu isti-
rahat kalian berdua,” sambut Ki Dirja ketika Panji dan
Kenanga datang menemuinya di ruangan kedai. Lelaki
gagah itu ditemani dua orang berseragam hitam di kiri
dan kanannya. Ketiganya mengangguk hormat pada
Panji dan Kenanga.
“Tidak mengapa, Ki. Kami hanya merasa heran keti-
ka pelayan menyampaikan pada kami. Kedatangan Ki
Dirja yang tidak disangka-sangka, membuat hati kami
bertanya-tanya. Ada keperluan apakah kiranya, Ki?”
sambut Panji membalas hormat lelaki gagah dan ke-
dua pengawalnya. Mereka duduk di ruangan kedai
yang saat itu masih lengang.
“Kedatanganku kemari ingin menyampaikan un-
dangan Ki Legawa kepala desa kami, untuk kau dan
Kenanga. Hanya itu,” jelas Ki Dirja. Kenanga maupun
Panji mengerutkan kening. Mereka berdua belum men-
genal atau bertemu Ki Legawa. Undangan yang men-
dadak itu membuat mereka heran, hingga keduanya
bertukar pandang sesaat
“Apakah kami telah melakukan sesuatu yang tidak
menyenangkan hati beliau...?” tanya Kenanga. Lang-
sung mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya
saat itu. Gadis itu teringat pernah menjatuhkan bebe-
rapa orang keamanan desa sewaktu mereka berdua
baru tiba di tempat itu.
“Tidak. Kalian sama sekali tidak melakukan kesala-
han apa pun! Ki Legawa hanya ingin berkenalan, keti-
ka aku menceritakan perihal kalian kepadanya. Jadi,
kalian tidak perlu khawatir. Lagi pula, Ki Legawa seorang yang bijaksana dan selalu ingin berkenalan den-
gan orang-orang gagah. Kuharap kalian berdua tidak
menolaknya...,” jelas Ki Dirja. Pasangan pendekar mu-
da itu kembali bertukar pandang sekilas.
“Baiklah. Kami akan segera menemuinya,” Panji
mengambil keputusan, setelah melihat Kenanga me-
nyerahkan persoalan itu kepadanya.
“Ahhh. Terima kasih. Kalau demikian, mari kita se-
gera berangkat. Kami sudah menyiapkan kuda yang
baik untuk kalian berdua,” sahut Ki Dirja yang keliha-
tan sangat gembira mendengar Panji menerima undan-
gan kepala desanya.
“Wah. Mengapa harus repot-repot, Ki...,” ujar Panji
yang agak kaget mendengar Ki Legawa telah me-
nyiapkan kuda untuk dirinya dan Kenanga.
“Tidak perlu merasa sungkan, Panji. Bukankah itu
berati Ki Legawa menghormati kalian...,” tukas Ki Dirja
tersenyum lebar ketika mendengar ucapan pemuda
tampan berjubah putih itu.
Tanpa banyak cakap lagi, pasangan pendekar muda
itu bergegas mengikuti langkah Ki Dirja. Kendati demi-
kian, Panji merasa agak aneh. Kepala Desa Bandul ke-
lihatan demikian menaruh perhatian terhadap mereka
berdua. Sampai, merepotkan diri dengan mengirim ku-
da-kuda terbaik untuk mereka. Panji menduga ada
maksud tersembunyi di balik semua ini. Dan pemuda
itu ingin mengetahuinya.
Dengan diiringi Ki Dirja dan dua orang pemban-
tunya, Panji dan Kenanga menjalankan kudanya per-
lahan menuju tempat kediaman Kepala Desa Bandul.
Pemuda itu sengaja tidak berbicara apa-apa sepanjang
perjalanan. Semua membisu. Sampai akhirnya mereka
tiba di depan sebuah rumah batu yang besar dan
berkesan megah.
“Silakan, Saudara Panji...,” ujar Ki Dirja setelah me-
reka berlompatan turun dari atas punggung kuda.
“Terima kasih...,” ucap Panji segera mengayunkan
langkah memasuki halaman rumah besar itu. Dan te-
rus mengikuti langkah Ki Dirja menuju ruang tamu
yang cukup luas.
“Selamat datang di gubukku, Pendekar Naga Pu-
tih...,” sambut seorang lelaki setengah baya bertubuh
tinggi besar. Separo rambut di kepalanya botak. Ken-
dati tanpa kumis, wajah lelaki yang diduga Panji ada-
lah Ki Legawa tampak sangat berwibawa. Ada kesan
angker pada sikapnya.
Meskipun dadanya berdebar ketika mendengar lela-
ki tinggi besar itu dapat mengenalinya dengan baik,
Panji mencoba untuk tetap tenang. Dengan pandainya
pemuda itu menyembunyikan keterkejutan hatinya.
Dan tersenyum lebar membalas anggukan Ki Legawa.
Namun, sikap hormat Ki Legawa seperti mengan-
dung serangan tersembunyi. Dari sepasang tangan
yang menangkup di depan dada dan didorong ke de-
pan, menyambar serangkum angin pukulan yang kuat.
Panji segera sadar orang tua itu hendak mengujinya.
“Aku benar-benar kagum dengan ketajaman mata-
mu, Ki. Terimalah hormatku...,” ujar Panji sambil me-
nyatukan kedua tangannya dan didorongkan ke depan
dengan tubuh membungkuk.
Dua gelombang tenaga dalam yang kuat saling ber-
temu tanpa menimbulkan suara yang mencurigakan.
Ki Legawa yang merasakan kuda-kudanya goyah, cepat
melangkah mundur empat tindak. Wajahnya tampak
memerah. Ia hampir saja terjatuh akibat ulahnya sen-
diri.
“Kau memang tidak mengecewakan, Pendekar Naga
Putih...,” puji lelaki tinggi besar itu jujur.
Kemudian kembali menyimpan tenaganya, dan ter-
senyum. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada me-
reka berdua.
“Kau pun membuat aku kagum, Ki...,” sambung
Panji tanpa bermaksud menghibur.
Pemuda itu merasa bahwa tenaga dalam lelaki ting-
gi besar itu memang sangat hebat. Menurutnya,
mungkin tidak kalah oleh tenaga dalam yang dimiliki
Kenanga. Untuk ukuran seorang kepala desa, tenaga
dalam Ki Legawa sudah terhitung sangat hebat.
“Heh heh heh.... Jangan mengejekku, Pendekar Na-
ga Putih. Sudahlah. Kita tidak perlu saling memuji. Si-
lakan duduk,” tukas Ki Legawa menyilakan Panji dan
Kenanga. Kemudian lelaki gagah itu menjatuhkan tu-
buhnya di atas sebuah kursi bergagang gading.
“Terima kasih,” ucap Panji segera mengajak keka-
sihnya duduk. Sikap pemuda itu tetap tenang, seperti
tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Padahal
Kenanga tahu apa yang terjadi tadi. Tapi dara jelita itu
tidak berkata apa-apa.
Ki Legawa memanggil pelayan. Lalu memerintahkan
untuk menyiapkan jamuan bagi kedua orang tamu
terhormatnya itu. Sedangkan Ki Dirja sudah semenjak
tadi pergi. Laki-laki gagah itu hanya bertugas mengan-
tarkan Panji dan Kenanga menemui majikannya. Sete-
lah itu, Ki Legawa memerintahkan untuk meninggal-
kan mereka bertiga.
“Mungkin kau merasa heran karena aku bisa men-
genalmu dengan baik, Saudara Panji. Menurutku sen-
diri hal itu tidak aneh. Nama besarmu telah menggema
di kalangan persilatan, sampai ke pelosok-pelosok desa
seperti Desa Bandul ini. Hingga aku langsung bisa
menduga orang yang diceritakan Ki Dirja adalah Pen-
dekar Naga Putih. Ciri-ciri yang digambarkan pembantuku itu sangat tepat dengan sosok Pendekar Naga Pu-
tih yang selama ini telah banyak kudengar,” Tanpa di-
minta, Ki Legawa menceritakan alasan mengapa ia
langsung mengenal Panji sebagai Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum dan menganggukkan kepala. Seka-
rang ia baru mengerti, mengapa Ki Legawa mengirim-
kan dua ekor kuda terbaik untuk mereka berdua. Ki-
ranya Kepala Desa Bandul itu telah dapat, menduga
dirinya adalah Pendekar Naga Putih. Hal itu tidak ter-
pikir oleh Panji.
Ki Legawa sendiri kelihatan sangat gembira melihat
kedatangan pendekar muda yang tersohor itu. Sejak
kedatangan Panji, lelaki tinggi besar itu selalu terse-
nyum lebar dengan mata berbinar. Bahkan tidak ja-
rang Ki Legawa mengakhiri ucapannya dengan sebuah
tawa. Sehingga, pasangan pendekar muda itu merasa
senang dengan sambutan tuan rumah yang sangat
ramah. Pembicaraan mereka terhenti sejenak ketika
pelayan datang menghidangkan jamuan. Setelah me-
nata hidangan di atas meja, pelayan itu bergegas pergi.
“Silakan dicicipi, Pendekar Naga Putih, Kenanga...,”
ujar Ki Legawa seraya tertawa. Sehingga, pasangan
pendekar muda itu tidak merasa sungkan untuk men-
cicipi hidangan itu.
“Ki Legawa...,” ujar Panji setelah keadaan hening se-
jenak, “Boleh aku mengajukan sedikit pertanyaan yang
mengganggu pikiranku sejak tiba di desa ini?” tanya
Panji Ki Legawa menatap pemuda tampan itu lekat-
lekat
“Tentu saja boleh, Pendekar Naga Putih. Aku akan
senang sekali seandainya dapat meringankan beban
pikiranmu. Apa yang hendak kau tanyakan padaku...?”
sahut Ki Legawa masih tetap tersenyum meski terlihat
kerutan di keningnya.
Panji lalu mengutarakan apa yang selama ini meng-
ganggu pikirannya. Sedangkan Ki Legawa mendengar-
kan dengan penuh perhatian. Lelaki tinggi bear berusia
lima puluh tahun itu kelihatan sangat bersungguh-
sungguh mendengarkan ucapan Panji. Hingga tidak
memotong cerita pemuda itu sampai selesai.
“Ah. Kiranya persoalan itu yang membuatmu ter-
ganggu, Pendekar Naga Putih. Kalau begitu, maafkan
sikap penduduk desa ini yang tidak ramah kepadamu,”
ujar Ki Legawa agak berduka dan prihatin mendengar
cerita Panji. “Seharusnya para penduduk memang ti-
dak perlu bersikap demikian terhadap pendatang yang
singgah di desa ini. Kematian adikku yang saat pengu-
burannya sempat kau lihat itu, telah membuat warga
desa ini merasa sangat terpukul! Adikku memang san-
gat disukai dan dihormati oleh mereka. Sehingga ke-
matiannya membuat warga desa ini membenci dan ti-
dak menyukai para pendatang, tanpa peduli siapa pun
pendatang itu,” lanjut Ki Legawa dengan wajah tertun-
duk dan kelihatan agak berduka.
“Maaf kalau pertanyaanku telah mendatangkan ke-
dukaan di hatimu, Ki...,” ucap Panji yang merasa tidak
enak melihat wajah Ki Legawa mendadak keruh.
“Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku sudah
merelakan kepergiannya...,” tukas Ki Legawa kemudian
mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum.
“Kalau boleh aku tahu, mengapa warga desa ini
menimpakan kesalahan pada para pendatang?” tanya
Panji. Setelah yakin Ki Legawa telah siap menjawab
pertanyaan selanjutnya.
“Begini...,” ujar Ki Legawa setelah menarik napas
panjang berulang-ulang, “Beberapa belas tahun silam,
ada seorang pemuda tampan dan kaya singgah di desa
ini. Pemuda itu rupanya mata keranjang. Ia berani
mengganggu istri adikku. Celakanya, perempuan itu
menyambut dengan baik. Bahkan nekat melarikan diri
bersama pemuda keparat itu. Nah, sejak itulah adikku
sering sakit-sakitan. Ia memang sangat mencintai is-
trinya. Sampai akhirnya penyakit itu membawanya ke
lubang kubur. Itu sebabnya, mengapa penduduk desa
ini sangat membenci para pendatang....”
Panji menganggukkan kepala mendengar jawaban
yang melegakan hatinya itu. Dugaan Kenanga dan di-
rinya ternyata salah. Kematian adik kandung Ki Lega-
wa bukan karena dibunuh orang. Dan, Panji tidak me-
nyalahkan penduduk Desa Bandul yang membenci pa-
ra pendatang. Perbuatan pemuda kaya itu memang
sangat keji. Jadi, wajar bila warga Desa Bandul mem-
benci mereka berdua. Karena mereka adalah penda-
tang di desa itu.
“Apakah Ki Legawa tidak berusaha mencari pemuda
mata keranjang itu...?” Kenanga rupanya cukup mena-
ruh perhatian terhadap penjelasan Ki Legawa. Hingga
mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
“Tidak. Menurutku, seorang istri yang lari bersama
lelaki lain, tidak perlu dicari. Jelas perempuan seperti
itu tidak mempunyai kesetiaan. Dan tidak perlu diper-
tahankan. Itu pendapatku. Entah pendapat kalian
berdua. Karena pikiran setiap orang berlainan...,” ja-
wab Ki Legawa dengan tegas dan jelas.
“Kami pun berpendapat demikian, Ki...,” tukas Panji
menimpali.
Panji memang mendukung pendapat lelaki tinggi
besar itu.
“Jika demikian kejadiannya, kami minta diri, Ki.
Kami harus melanjutkan perjalanan....” Setelah pembi-
caraan di antara mereka selesai, Panji bergegas bang-
kit dan minta diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Karena Desa Bandul ternyata aman-aman saja.
“Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih?
Menginaplah semalam lagi di desa ini. Setelah hari ini,
aku yakin warga Desa Bandul akan menerima kebera-
daan kalian tanpa rasa benci lagi...,” Ki Legawa beru-
saha mencegah kepergian Panji dan Kenanga. Keliha-
tannya ia masih ingin berbincang-bincang lebih lama
dengan pendekar muda itu.
“Sekali lagi, terima kasih, Ki. Kami tidak ingin me-
repotkan. Selain itu, kami memang harus meneruskan
perjalanan. Harap Ki Legawa dapat memaklumi dan
memaafkan penolakanku ini....”
Panji bersikeras hendak pergi. Sehingga, Ki Legawa
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Orang tua itu menya-
dari bahwa keinginan pendekar muda itu tidak bisa
dibantah lagi. Ki Legawa pun mengalah dan mengan-
tarkan pemuda itu sampai ke halaman rumah.
“Kalian boleh pakai kuda itu. Aku menghadiahkan-
nya pada kalian berdua...,” ujar Ki Legawa menunjuk
dua ekor kuda yang besar dan terlihat kuat
Kali ini Panji maupun Kenanga tidak menolak. Me-
reka merasa tidak enak kalau harus menolak pembe-
rian Kepala Desa Bandul itu. Sehingga, Panji memu-
tuskan untuk menerimanya.
“Kami mohon pamit, Ki..,” sebelum membedal ku-
danya, Panji kembali berpamitan. Orang tua itu men-
gangguk dan tersenyum lebar.
Ki Legawa masih berdiri memandangi kepulan debu
yang ditimbulkan derap kaki kuda. Setelah bayangan
sepasang pendekar itu lenyap barulah Ki Legawa me-
langkah ke dalam rumah.
***
Sosok bayangan putih itu bergerak cepat di atas
atap rumah-rumah penduduk Desa Bandul. Jubahnya
yang longgar dan berwarna putih berkibaran ditiup
angin. Rambutnya yang panjang dan juga putih dibiar-
kan terlepas, sehingga menutupi sebagian wajahnya.
Sosok yang cukup menyeramkan dan bisa membuat
seorang penakut jatuh pingsan bila melihatnya.
Dengan diterangi cahaya rembulan yang redup, so-
sok bayangan putih itu terus bergerak menuju pusat
desa. Dan melayang turun di halaman samping sebuah
rumah besar yang megah. Rumah yang megah itu ada-
lah tempat kediaman Kepala Desa Bandul, Ki Legawa.
Rupanya tempat itulah tujuan sosok itu.
“Legawa...! Aku datang menagih darahmu...!” sosok
berjubah putih itu berkata. Tidak terlalu keras, namun
terdengar menyeramkan dan jelas. Seperti datang dari
alam lain. Sosok bayangan putih itu berdiri tegak di
halaman samping rumah Ki Legawa.
Suara yang parau dan bergetar itu, membuat pen-
gawal-pengawal Ki Legawa berdebar tegang. Wajah me-
reka berubah pucat! Kendati demikian, mereka mem-
beranikan diri mendatangi asa suara itu.
“Hei. Siapa kau...?!” terdengar teguran setengah
membentak dari seorang lelaki gagah. Dia adalah Ki
Dirja. Rupanya, lelaki itu pun mendengar seruan baru-
san. Dan, bergegas keluar mencari sumber suara.
Sosok berjubah putih yang berperawakan jangkung
itu bergerak ke tempat yang terlindung kegelapan. Ke-
mudian berlari tegak dengan angkernya. Kelihatan ia
tidak gentar, meskipun lelaki gagah itu datang bersa-
ma belasan pengawal Kepala Desa Bandul.
“Hm.... Kau tidak perlu tahu siapa aku, Dirja. Ma-
lam ini bukan bagianmu. Kau tidak perlu ikut cam-
pur...,” desis sosok jangkung berpakaian serba putih
memperingatkan. Dalam ucapannya jelas tersembunyi
ancaman maut!
Ki Dirja kelihatan sangat terkejut mendengar sosok
berjubah putih itu mengenalinya. Padahal, saat itu su-
asana agak gelap dan cukup sulit untuk mengenali
orang. Kecuali bila telah mengenalnya dengan baik.
Sosok berjubah putih itu sepertinya sangat mengenal
dirinya. Terbukti, ia bisa menebaknya dengan tepat
Hingga Ki Dirja heran dibuatnya.
“Hm.... Siapa kau sebenarnya! Dan apa maksud
ucapanmu itu?” bentak Ki Dirja marah mendengar
ucapan sombong sosok berjubah putih.
“Hah hah hah...!” sosok berjubah putih itu malah
memperdengarkan tawa yang mendirikan bulu roma.
Ditatapnya wajah Ki Dirja lekat-lekat dengan sorot ma-
ta tajam menggetarkan.
Melihat sorot mata itu, Ki Dirja bergidig ngeri. Mata
itu seperti bukan milik seorang manusia. Tapi, lebih
mirip mata iblis! Sehingga, lelaki gagah itu melangkah
mundur beberapa tindak.
“Keparat sombong! Ingin kulihat seperti apa wajah-
mu...!” desis Ki Dirja. Disambarnya sebatang obor dari
tangan anak buahnya. Kemudian dikibaskan ke depan
untuk menerangi wajah sosok mengerikan itu.
“Hm...,” sosok berjubah putih bergumam lirih. Tan-
gan kanannya didorong ke depan.
Wusss...!
Serangkum angin keras berhembus, hingga obor di
tangan lelaki gagah itu padam seketika. Padahal jarak
mereka terpisah cukup jauh, kira-kira dua tombak le-
bih. Tenaga dalam sosok tubuh tinggi kurus itu ternya-
ta sangat tinggi. Dan Ki Dirja menyadari hal itu.
“Hm.... Aku tahu sekarang! Rupanya, kau yang te-
lah membunuh adik kandung Ki Legawa! Mengakulah!
Siapa kau sebenarnya? Dan mengapa melakukan
pembunuhan keji itu?” bentak Ki Dirja mencoba men-
gorek keterangan dari sosok berjubah putih itu.
“Benar! Akulah Siluman Gurun Setan, yang akan
memusnahkan seluruh keluarga Legawa beserta be-
gundal-begundalnya...!” jawab sosok tinggi kurus itu
menyebutkan julukannya.
“Keparat! Kalau begitu, aku harus segera mering-
kusmu...! Anak-anak! Kepung dan tangkap keparat ke-
ji itu...!” perintah Ki Dirja seraya meloloskan pedang.
Lelaki gagah itu tahu orang yang mengaku berjuluk Si-
luman Gurun Setan itu pasti bukan tokoh sembaran-
gan. Dia pernah mendengar nama itu disebut orang.
Sayang ia lupa, di mana pernah mendengarnya.
Siluman Gurun Setan hanya tertawa parau dan
menyeramkan. Sosoknya tidak bergerak sedikit pun
ketika Ki Dirja dan para pengawal Ki Legawa telah ber-
gerak maju untuk mengeroyoknya.
“Hm.... Kalian terlalu memaksa!” desis Siluman Gu-
run Setan. “Sebaiknya kalian beri tahukan kedatan-
ganku pada majikan kalian. Karena hari ini aku akan
mengambil salah satu nyawa keluarganya...,” ujar Si-
luman Gurun Setan yang merasa yakin perbuatannya
akan berhasil.
“Siluman keparat! Jangan harap kau dapat berbuat
semaumu! Selama aku masih ada, tak akan kubiarkan
kau menyentuh anggota keluarga Ki Legawa. Untuk
melaksanakan niatmu itu kau harus melangkahi
mayatku dulu...!” geram Ki Dirja. Pedangnya diki-
baskan ke kiri dan kanan. Kemudian berhenti melin-
tang di atas kepala dengan kedudukan mendatar.
Siluman Gurun Setan kembali bergumam. Sesaat
kemudian, sosoknya melayang ke atas atap rumah.
Kemudian melesat menerobos kegelapan malam.
“Kejar...!” perintah Ki Legawa pada kawan-
kawannya. Ia sendiri sudah berlari mengejar. Sebentar
saja, suasana malam yang semula hening berubah ri-
but oleh derap kaki orang yang berlarian.
***
EMPAT
Sosok berjubah putih itu terus bergerak dengan ke-
cepatan yang hampir tidak bisa ditangkap mata. Ke-
mudian melayang turun. Kali ini di bagian belakang
bangunan. Tapi baru saja kedua kakinya menyentuh
tanah, terdengar bentakan yang mengejutkan!
“Hm.... Mau lari ke mana, Pembunuh Keji...!” suara
yang mengandung tenaga dalam itu, membuat Silu-
man Gurun Setan menoleh kepala ke sebuah sudut
yang agak gelap.
Dengan kening berkerut, Siluman Gurun Setan ber-
gerak mundur. Rupanya, di dapat menilai kepandaian
lawan dari bentakan itu. Tampak dua sosok tubuh
bergerak menghampiri dengan senjata di tangan. Keli-
hatannya mereka memang telah menunggu kedatan-
gannya.
“Siapa kalian...?” tanya Siluman Gurun Setan pada
kedua orang bertampang angker itu. Melihat sikapnya,
agaknya sosok tinggi kurus itu baru kali ini berjumpa
dengan mereka.
“Hm.... Rupanya kau belum mengenal kami, Penja-
hat Hina! Nah, dengarkan baik-baik! Kami berdua yang
berjuluk Sepasang Golok Perak. Tugas kami adalah
mengantarmu ke akhirat. Bersiap-siaplah...!” salah
seorang dari mereka berkata sombong. Rupanya mereka merasa yakin akan dapat menundukkan Siluman
Gurun Setan.
“Sebutkan julukanmu, agar kematianmu tidak sia-
sia...!” bentak yang satunya. Tubuh orang itu lebih
tinggi dari kawannya dan agak kurus. Kendati demi-
kian, sikapnya tidak kalah angker.
“Hm.... Rupanya, keparat busuk Legawa telah me-
nyewa jago-jago bayaran untuk menjaga keselamatan
keluarganya! Bagus! Majulah kalian berdua....”
Siluman Gurun Setan kelihatan tidak kaget meski
kedua orang itu memiliki julukan yang cukup bagus.
Julukan mereka tidak mengubah pandangannya. Si-
luman Gurun Setan tetap angker dan garang.
“Keparat..!” desis salah seorang dari kedua jago
bayaran itu. Golok perak di tangan kanannya segera
dikibaskan. Gerakannya terlihat mantap, menandakan
julukan yang disandangnya bukan nama kosong.
Bwettt..!
Kelebatan sinar keperakan itu membuat Siluman
Gurun Setan mendengus kasar. Tokoh itu tidak berge-
rak sedikit pun. Sosoknya tetap tenang dan angker.
Kelihatan sekali kalau ia memandang rendah kedua
lawannya.
“Haaat...!”
Lelaki bertubuh sedang, yang merupakan orang
pertama dari Sepasang Golok Perak, membentak keras!
Tubuhnya melayang dengan kelebatan sinar perak
yang berdesingan tajam. Tokoh itu nampak sangat
bernafsu untuk menghabisi Siluman Gurun Setan, da-
lam jurus-jurus awal ia langsung mempergunakan il-
mu andalannya.
Belum lagi serangan orang pertama itu tiba, orang
kedua sudah melesat membantu saudaranya. Golok di
tangan kirinya tidak kalah ampuh! Bahkan sedikit
membingungkan. Karena ia ternyata kidal!
Bwettt….bwettt...!
“Hmmm....”
Siluman Gurun Setan menarik mundur tubuhnya
dua langkah. Sehingga serangan kedua orang itu
hanya mengenai tempat kosong. Kendati demikian, se-
rangan Sepasang Golok Perak terus bersambungan.
Kedua jago itu tidak ingin memberi peluang pada la-
wan untuk membuka jurus.
“Yiaaah...!”
Setelah lewat lima jurus, Siluman Gurun Setan mu-
lai menunjukkan kemampuannya. Dalam lima jurus
itu ia telah memperhatikan inti ilmu silat lawan yang
hanya mengandalkan kekuatan penyerangan. Sedang-
kan untuk pertahanan hanya terdapat kelemahan di
sana-sini. Siluman Gurun Setan mencoba menerobos
pertahanan yang tidak terlalu kuat itu.
Bwettt.., bwettt..!
Kendati hanya menggunakan tangan kosong, seran-
gan lelaki tua berwajah buruk itu tidak kalah berba-
haya dengan senjata kedua lawannya. Dari sambaran
angin pukulannya, kelihatan tenaga dalam Siluman
Gurun Setan masih berada di atas lawan-lawannya.
Dan itu dirasakan Sepasang Golok Perak. Mereka tam-
pak kewalahan menghadapi serangan balasan lelaki
tua berjubah putih itu. Kedua orang itu mulai terte-
kan!
“Keparat..!” umpat orang pertama dari Sepasang Go-
lok Perak. Lelaki bertubuh sedang itu kelihatannya
sangat penasaran ketika merasa sulit untuk mele-
paskan diri dari tekanan-tekanan lawannya. Bahkan,
beberapa kali pukulan lawan nyaris mengenai tubuh-
nya. Untunglah ia masih sempat menghindar meski-
pun dengan susah-payah!
Demikian pula dengan kawannya. Lelaki bertubuh
agak gemuk dengan wajah terhias brewok itu, hanya
bisa menyumpah-nyumpah ketika merasakan gencar-
nya serangan lawan. Sehingga, gerakan goloknya agak
kacau dan sulit berkembang. Lelaki gemuk itu penasa-
ran bukan main!
“Haaah...!”
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh
lima, Siluman Gurun Setan tiba-tiba membentak nyar-
ing! Berbarengan dengan itu, sepasang kepalan tan-
gannya bersarang di tubuh salah satu lawannya.!
Bukkk!
“Hukh...!”
Lelaki bertubuh sedang itu terjungkal ke belakang.
Darah segar menyembur dari mulutnya. Kepalan Silu-
man Gurun Setan yang menghantam dada telah me-
nyumbat pernapasan lelaki itu untuk beberapa saat
lamanya. Sehingga, ia terdiam sejenak untuk mengatur
jalan napas.
“Haiiit..!”
Lelaki gemuk brewok kelihatan sangat geram meli-
hat saudaranya terluka. Golok di tangannya bergerak
semakin cepat dan ganas. Membentuk kilatan sinar
perak yang berpendaran mengurung tubuh lawan.
Siluman Gurun Setan hanya mendengus kasar. Tu-
buhnya bergerak ke kiri dan kanan menghindari se-
rangan lawan. Gerakannya yang cepat dan mantap,
membuat sambaran golok lawan sia-sia. Ke manapun
golok itu menyambar, tubuh Siluman Gurun Setan se-
lalu sudah berpindah. Akibatnya, serangan lawan tak
satu pun yang menyentuhnya. Bahkan....
“Haaah...!”
Di saat yang menurutnya sangat tepat, tiba-tiba Si-
luman Gurun Setan membentak! Kemudian mengirim
kan sebuah tendangan berputar yang kuat dan terarah
baik!
Desss...!
“Aaakh...!”
Tendangan Siluman Gurun Setan telah menghajar
rahang lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gemuk itu ter-
sentak melintir! Suara tawa yang terdengar menanda-
kan tulang rahang lelaki itu kemungkinan besar re-
muk.
“Fhangshaaat..!” Lelaki gemuk brewok itu memaki
kasar. Suaranya terdengar tidak jelas karena tendan-
gan Siluman Gurun Setan telah merontokkan bebera-
pa buah giginya. Darah segar mengalir tak henti dari
mulutnya. Tentu sakitnya tidak bisa dibayangkan lagi.
“Hm.... Kalau begitu, sebagai gantinya malam ini
aku akan mengirim kalian berdua ke neraka...!” desis
Siluman Gurun Setan. Dan melangkah maju dengan
angkernya.
Namun sebelum Siluman Gurun Setan melaksana-
kan keinginannya, tiba-tiba terdengar suara langkah
orang banyak mendatangi tempat itu. Dan sebelum pa-
ra pemilik suara langkah itu muncul, sesosok bayan-
gan hitam telah berkelebat menghadang jalang Silu-
man Gurun Setan.
“Heaaat..!”
Dalam keadaan masih melayang di udara, sosok
bayangan hitam melontarkan serangan ke arah Silu-
man Gurun Setan. Sambaran angin pukulannya me-
nunjukkan kekuatan sosok bayangan hitam itu tidak
bisa dipandang remeh!
Wusss...!
Siluman Gurun Setan kelihatan agak kaget juga.
Dan cepat bertindak ketika sadar serangan itu sangat
berbahaya. Kedua tangannya diputar di depan dada.
Kemudian didorongkan ke depan menyambut serangan
lawan!
Breshhh...!
Dua kekuatan hebat saling berbenturan di udara.
Akibatnya, tubuh keduanya terjajar mundur dengan
tanpa luka. Kenyataan itu membuat mereka kaget dan
saling mengagumi kekuatan lawan.
“Legawa...?!” desis Siluman Gurun Setan ketika
mengenali sosok berpakaian serba hitam itu. “Hm....
Kepandaianmu rupanya telah maju pesat selama bebe-
rapa tahun belakangan ini...!” lanjut lelaki tinggi kurus
tanpa menyembunyikan kekagumannya.
“Hm.... Siapa kau sebenarnya, Manusia Licik? Men-
gapa memusuhi keluargaku?” tanya lelaki gagah ber-
pakaian serba hitam yang tak lain Ki Legawa, Kepala
Desa Bandul. Rupanya dialah yang telah menyela-
matkan nyawa Sepasang Golok Perak.
“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Legawa! Yang
jelas, sampai kiamat pun aku tidak sudi membiarkan
kau dan keluargamu hidup tenang!” desis Siluman Gu-
run Setan yang kelihatan sangat dendam terhadap Ki
Legawa. Perasaan itu tergambar jelas pada sorot ma-
tanya yang merah menyala.
“Keparat! Kalau begitu, kau harus segera kule-
nyapkan!” geram Ki Legawa yang segera memper-
siapkan jurusnya untuk menggempur Siluman Gurun
Setan.
“Hm.... Belum saatnya kita berhadapan, Legawa.
Kau harus kusiksa sebelum kukirim ke neraka...!” de-
sis Siluman Gurun Setan menolak bertarung dengan
Kepala Desa Bandul. Panggilannya di tempat kediaman
Ki Legawa tadi ternyata hanya sekadar ingin menyiksa
hati dan pikiran Kepala Desa Bandul itu.
Ki Legawa tidak bisa menerima begitu saja. Ia tidak
sudi melepas tokoh itu pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika melihat Ki Dirja dan para pengawalnya telah
berdatangan, Ki Legawa langsung memberi perintah!
“Dirja! Jangan biarkan manusia keparat itu melari-
kan diri! Kita harus menangkap hidup-hidup!” teriak Ki
Legawa yang sudah meloloskan sebatang pedang yang
kelihatan sangat ampuh. Lalu bergerak mengejar, me-
lihat Siluman Gurun Setan hendak melarikan diri. Se-
dangkan Ki Dirja dan para pengawal sudah mengejar
lebih dahulu. Mereka berlompatan menghadang dan
mengurung lelaki misterius itu.
“Jangan lari kau, Keparat...!” bentak Ki Dirja. Pe-
dangnya diayunkan ke arah Siluman Gurun Setan.
Bwettt..!
“Huhhh!”
Tokoh berjubah putih itu mendengus melihat se-
rangan pedang Dirja. Tangan kirinya bergerak mema-
paki bacokan pedang. Sedangkan tangan kanannya
menyusuli dengan sebuah pukulan keras!
Plakkk!
“Uhhh...?!”
Ki Dirja mengeluh kesakitan ketika lengan kanan-
nya membentur lengan lawan yang seperti batang besi.
Dan dalam keadaan terhuyung, ia masih diincar puku-
lan lawan yang mengandung tenaga dalam kuat!
Wuttt..!
“Aihhh...?!”
Siluman Gurun Setan segera menarik serangan, ke-
tika pedang Ki Legawa datang membacok tangannya.
Namun, lagi-lagi tokoh misterius tinggi kurus itu me-
nunjukkan kehebatannya. Tangan yang ditarik itu
berputar dan meliuk bagai seekor ular. Jari-jari tan-
gannya yang semula mengepal berubah menjadi ceng-
keraman. Kemudian meluncur hendak mencekal per
gelangan Ki Legawa.
Tapi, gerakan Ki Legawa tidak kalah cepat dan he-
bat Melihat cengkeraman lawan datang mengancam,
cepat lelaki gagah itu bertindak. Cengkeraman tangan
itu tidak bisa diremehkan begitu saja. Kalau sampai
pergelangannya terkena jari-jari lawan, bukan musta-
hil tulang-tulangnya akan remuk. Dan Ki Legawa tidak
sudi pergelangannya diremukkan lawan. Maka begitu
bacokannya gagal, pergelangannya segera diputar. Lalu
menyambar cepat ke arah leher lawan.
Wettt…!
Hebat dan sangat cepat serangan Ki Legawa. Kea-
daan Siluman Gurun Setan sungguh berbahaya sekali!
“Heaaah...!”
Plakkk!
“Uhhh...?!”
Tokoh tinggi kurus berjubah putih itu ternyata ma-
sih sanggup menyelamatkan lehernya dari ancaman
pedang lawan. Cengkeramannya berubah, dan menepis
lengan Ki Legawa dengan telapak tangan terbuka. Se-
hingga, kuda-kuda Ki Legawa tergempur. Tubuh Kepa-
la Desa Bandul itu terjajar mundur beberapa langkah!
Perbuatan Siluman Gurun Setan tidak berhenti
sampai di situ. Kakinya melesat cepat menyusuli tang-
kisan barusan dengan sebuah tendangan kilat lurus ke
depan. Dan....
Bukkk!
“Ukh...!”
Ki Legawa tak lagi sempat menghindar. Tubuhnya
terjengkang ke belakang, dan terbanting ke tanah. Da-
rah segar meleleh dari sudut bibirnya. Agaknya, isi da-
danya terguncang oleh kerasnya tendangan lawan.
“Keparat..!”
Ki Dirja dan salah seorang dari Sepasang Golok Perak memapaki gusar. Serentak keduanya bergerak dari
belakang dan samping Siluman Gurun Setan! Pedang
di tangan mereka berkelebat mengancam tokoh miste-
rius itu. Tapi....
“Hahhh...!”
Siluman Gurun Setan membentak keras. Tubuhnya
merunduk dengan kuda-kuda rendah. Kemudian men-
girimkan sebuah tendangan ke arah Ki Dirja, yang
langsung terjungkal roboh. Lalu berputar setengah
lingkaran. Cengkeraman diulurkan ke leher salah seo-
rang Sepasang Golok Perak, setelah terlebih dahulu
menepiskan senjata lawan.
Kreppp!
“Highhh!”
Lelaki bertubuh sedang itu tak sempat menyela-
matkan diri. Ketika Siluman Gurun Setan memperke-
tat cengkeramannya, terdengar suara gemeretak tulang
patah. Darah segar membasahi jari-jari tangan Silu-
man Gurun Setan. Karena ujung jari-jari tangannya
terbenam dalam daging leher lawan.
“Hihhh!”
Diiringi sebuah bentakan keras, Siluman Gurun Se-
tan mengangkat tubuh lawan dengan satu tangan.
Kemudian melemparkannya, setelah diputar beberapa
kali di atas kepala.
Ngekkk!
Tubuh lelaki malang itu jatuh dengan kepala lebih
dulu. Namun karena nyawanya sudah pergi sejak tadi,
ia tidak lagi merasakan sakit. Tubuh berperawakan
sedang itu diam tak bergerak lagi.
“Khfuhunuh khauuu...!” Lelaki gemuk brewok, ka-
wan lelaki malang itu berteriak marah. Meski kata-
katanya terdengar kurang jelas karena luka di rahang-
nya sangat parah, ia menyerbu dengan senjata di tangan. Kematian saudaranya telah membuatnya lupa
akan luka-lukanya.
“Hmh!”
Siluman Gurun Setan mendengus kasar. Sebelum
serangan lawan tiba, ia sudah melesat lebih dulu den-
gan serangan mautnya.
Bukkk, desss...!
Hebat dan cepat bukan main serangan Siluman Gu-
run Setan. Sehingga, lawannya tidak sempat menyela-
matkan diri. Sebuah tendangan dan pukulan keras
bertubi-tubi mendarat di tubuh lawan. Akibatnya, lela-
ki gemuk brewok itu terjungkal dalam keadaan seka-
rat!
Melihat tubuh lawannya masih bergerak-gerak, Si-
luman Gurun Setan melenting ke udara. Kemudian
meluncur turun dengan kedua kaki siap dijejakkan ke
tubuh lawan!
Ngekkk!
Lelaki gemuk itu terbatuk memuntahkan darah se-
gar. Sepasang matanya mendelik bagai hendak me-
lompat keluar. Sebentar kemudian, ia pun tewas me-
nyusul saudaranya. Siluman Gurun Setan telah mem-
buktikan ucapannya. Setelah mengakhiri hidup Sepa-
sang Golok Perak, Siluman Gurun Setan berpaling ke
arah Ki Legawa dan para pengawalnya.
“Ingat, Legawa! Kematian demi kematian akan da-
tang menimpa seluruh sanak keluargamu...!”
Setelah berkata demikian, Siluman Gurun Setan
melesat pergi. Dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Tinggallah Ki Legawa dan pengawal-pengawal berdiri
terpaku memandangi kepergian tokoh misterius itu.
***
LIMA
Ki Legawa mondar-mandir di ruang utama tempat
kediamannya. Tangannya digendong di belakang tu-
buh. Wajah lelaki gagah itu kelihatan keruh, dan
menggambarkan rasa penasaran yang dalam.
Di dalam ruangan utama masih terdapat empat
orang lain. Dua di antaranya Ki Dirja dan Rajulit Wa-
jah-wajah mereka kelihatan murung, dan sesekali
tampak sedang berpikir keras memecahkan masalah
yang mereka hadapi.
“Keparat! Siapa sebenarnya lelaki buruk rupa yang
mengaku berjuluk Siluman Gurun Setan? Padahal,
nama tokoh itu sudah lama tidak terdengar di kalan-
gan persilatan. Anehnya, ia kelihatan sangat dendam
terhadap seluruh sanak keluargaku. Gila! Benar-benar
gila aku dibuatnya...!” geram Ki Legawa sambil tetap
mondar-mondir dengan kedua tangan di belakang tu-
buh.
Ki Dirja dan para sesepuh desa lainnya, hanya bisa
menundukkan kepala dalam-dalam dengan menghela
napas panjang tanda keresahan hati mereka. Seper-
tinya, tidak ada satu pun yang dapat diharapkan bisa
mencari jalan keluar bagi masalah yang tengah diha-
dapi kepala desanya.
“Cobalah kalian bantu aku berpikir! Jangan diam
saja seperti kambing congek!” karena tidak mendapat
sambutan dari para pembantunya, kemarahan Ki Le-
gawa meledak. Ia membentak keempat orang itu den-
gan wajah merah padam.
“Kami pun tengah berusaha mencari jalan keluar-
nya, Ki...,” sahut Ki Dirja dengan wajah agak pucat ke-
tika melihat majikannya sangat marah.
“Ki...,” laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, salah
satu dari pembantu Ki Legawa, membuka suara. Ki Le-
gawa mengalihkan pandang matanya ke arah orang gi-
la.
“Kau mempunyai usul untuk mengenyahkan manu-
sia laknat itu, Malingga...?” tanya Ki Legawa dengan
sepasang mata penuh harap.
“Hm.... Apakah tidak sebaiknya kita menyewa jago-
jago persilatan, seperti yang telah kau lakukan...,” ujar
Malingga mengutarakan pikirannya.
“Benar, Ki. Meskipun Sepasang Golok Perak telah
tewas di tangan Siluman Gurun Setan, tapi masih ba-
nyak jago-jago lainnya yang bersedia dibayar untuk
menjaga keselamatan kita...,” Ki Dirja langsung menye-
tujui usul Malingga. Menurutnya, hanya usul itulah
yang paling tepat saat itu.
“Hmh. Percuma!” tolak Ki Legawa mendengus kasar,
“Kepandaian Siluman Gurun Setan sangat tinggi. Ka-
lian lihat sendiri buktinya, bukan? Kedua jagoan yang
kubayar mahal itu ternyata tidak mempunyai kemam-
puan. Mereka hanya besar mulut saja!”
Mendengar bantahan Ki Legawa, Ki Dirja dan yang
lainnya terdiam. Kemudian kembali berpikir keras un-
tuk menghadapi ancaman Siluman Gurun Setan, yang
sewaktu-waktu bisa mencabut nyawa mereka.
“Ah! Aku mempunyai usul yang baik, Ki!” tiba-tiba
Rajulit yang sejak tadi hanya diam mendengarkan,
berseru dengan sepasang mata berbinar.
“Coba katakan!” ujar Ki Legawa cepat. Kendati de-
mikian, lelaki gagah itu kelihatan tidak begitu berse-
mangat.
“Bagaimana kalau kita panggil guru Sepasang Golok
Perak. Melihat kepandaian Sepasang Golok Perak, aku
yakin gurunya seorang tokoh yang berkepandaian
tinggi!” jelas Rajulit Ki Legawa dan para sesepuh Desa
Bandul terlihat agak kaget Usul Rajulit jelas sangat
baik.
“Tapi, apa mungkin guru Sepasang Golok Perak
bersedia kita bayar...?” gumam Ki Legawa yang ru-
panya menyetujui usul Rajulit. Hanya ia merasa bim-
bang tokoh itu bersedia membantunya demi uang.
“Kita tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun,
Ki,” lanjut Rajulit. Ucapan itu tentu membuat yang
lainnya saling bertukar pandang. Mereka mulai khawa-
tir Rajulit telah terganggu otaknya karena ancaman Si-
luman Gurun Setan.
“Apa maksudmu, Rajulit!” bentak Ki Legawa, mera-
sa dipermainkan pembantunya itu. Wajahnya semakin
merah dan sepasang matanya menyorot tajam.
“Aku tidak main-main, Ki,” sahut Rajulit seraya
memamerkan senyum. Kelihatan ia sangat yakin den-
gan jalan pikirannya. Sehingga, merasa bangga ketika
tak seorang pun dapat menebak apa yang akan disam-
paikannya.
“Kalau begitu, cepat katakan! Apa kau hendak
membuatku marah?” kembali Ki Legawa membentak.
Melihat Rajulit masih belum juga mengutarakan usul-
nya.
“Begini, Ki...,” Rajulit melangkah mendekati Ki Le-
gawa. Kemudian berbisik di telinga lelaki gagah itu.
“Ahhh?!”
Ki Legawa terkejut ketika mendengar usul yang di-
bisikkan Rajulit Kendati demikian, wajahnya yang se-
mula keruh kini tampak berseri. Jelas ia menerima
usul yang diajukan Rajulit
“Bagaimana, Ki...?” tanya Rajulit menanyakan usul-
nya. Wajah lelaki tegap itu tampak cerah, ketika meli-
hat raut wajah kepala desanya sudah berubah cerah
dan berseri.
“Kau sungguh hebat, Rajulit. Untuk itu, aku akan
memberikan hadiah padamu...,” ujar Ki Legawa terse-
nyum menepuk-nepuk bahu Rajulit Sehingga, lelaki
tegap itu tertawa gembira.
Tinggallah Ki Dirja dan yang lainnya terbengong-
bengong. Mereka tidak mengetahui usul Rajulit Terli-
hat wajah mereka menggambarkan rasa penasaran
yang dalam.
“Kalian tenang saja....”
Setelah berkata demikian, Ki Legawa bergegas ma-
suk ke dalam kamar. Dan kembali dengan membawa
sekantong uang.
Ki Dirja dan sesepuh desa lainnya hanya bisa saling
pandang melihat tingkah Ki Legawa. Mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, selain menunggu kepala desa itu
menyampaikannya pada mereka.
“Nah! Pergilah, Rajulit Ini untuk bekal dalam perja-
lananmu. Ingat, kau harus secepatnya kembali bersa-
ma orang tua itu, paham?” ujar Ki Legawa seraya me-
nyerahkan kantong uang itu pada Rajulit Dan, meme-
rintahkan lelaki tegap itu agar segera melaksanakan
tugasnya.
“Tentu, Ki...,” sahut Rajulit bersemangat. Ia sung-
guh tidak menduga akan mendapat hadiah yang cukup
dari majikannya. Setelah berpamitan kepada yang lain,
lelaki tegap itu melangkah lebar meninggalkan ruang
utama.
“Sambil menunggu kedatangan Rajulit, sebaiknya
kita mengatur persiapan. Agar bila manusia laknat itu
datang, kita bisa mempertahankan diri sebaik-baiknya.
Dan, akan kukatakan apa yang barusan dibisikkan
Rajulit...,” lalu Ki Legawa bergerak meninggalkan
ruangan itu, diikuti yang lainnya. Ruang utama pun
kembali sunyi.
***
“Mengapa kau termenung, Kakang. Tidak biasanya
kau bersikap seperti ini...,” tegur dara jelita berpakaian
serba hijau, sambil menjatuhkan tubuhnya di sebelah
pemuda tampan berjubah putih yang tengah melamun.
Melihat wajah yang segar kemerahan dan rambut yang
basah, dara jelita itu agaknya baru saja selesai mem-
bersihkan diri di sungai, yang gemericik airnya terden-
gar dari tempat itu.
“Hm...,” pemuda tampan berjubah putih bergumam
perlahan seraya menarik napas dalam-dalam. Kemu-
dian berpaling menatap wajah jelita di sampingnya.
“Kenanga. Coba kau kaji sekali lagi keterangan Ki
Legawa. Aku menemukan kejanggalan dalam cerita
itu...,” ujar pemuda tampan berjubah putih menatap
wajah jelita itu.
“Kejanggalan?! Kejanggalan bagaimana maksudmu,
Kakang?” dara jelita itu bertanya dengan mimik wajah
heran. Rupanya, gadis itu sudah tidak memikirkan lagi
perihal Desa Bandul.
“Hm.... Menurut Ki Legawa, tidak ada kejadian yang
menimpa desa yang dipimpinnya itu. Kematian adik
kandungnya karena sakit menahun akibat ditinggal is-
trinya. Bukankah itu yang dikatakan Ki Legawa kepa-
da kita?” jelas Panji mengulang keterangan Ki Legawa.
“Lalu, di mana letak kejanggalan keterangan itu,
Kakang?” Kenanga rupanya masih belum mengerti ke-
janggalan yang dimaksudkan kekasihnya.
“Ah. Kau ini bagaimana? Coba kau ingat-ingat lagi
suasana ketika kita menginap di desa itu. Apa yang
kau ingat tentang keadaan Desa Bandul malam itu?”
Panji mencoba membawa ingatan kekasihnya pada
saat mereka bermalam di Desa Bandul.
Mendengar ucapan kekasihnya, Kenanga termenung
beberapa saat Ya! Sekarang baru diingatnya, betapa
para peronda Desa Bandul tampak tidak seperti bi-
asanya. Banyak jumlah keamanan yang meronda ma-
lam itu, jelas tidak wajar. Itu berarti di Desa Bandul
tengah terjadi sesuatu.
“Hm.... Aku ingat sekarang, Kakang. Malam itu
memang tampak tidak wajar. Keamanan desa seperti
sedang bersiap menunggu kemunculan sesuatu yang
menakutkan!” ujar Kenanga mulai merasakan adanya
kejanggalan pada cerita Ki Legawa. Orang tua itu men-
gatakan tidak ada sesuatu yang terjadi di desanya.
“Bagus!” puji Panji tersenyum. “Sedangkan Ki Lega-
wa mengatakan tidak ada kejadian apa-apa di desanya.
Jika benar demikian, mengapa perondaan sangat ke-
tat? Aku jadi ragu. Benarkah adik kandung Ki Legawa
tewas karena penyakit yang dideritanya...?” lanjut Pan-
ji memutar otaknya untuk mengungkapkan rahasia
itu.
“Maksudmu, kau mencurigai adik kandung Ki Le-
gawa mati dibunuh orang...?” tanya Kenanga menega-
si.
“Kemungkinan besar memang begitu. Anehnya,
mengapa Ki Legawa justru menyembunyikan kejadian
yang sesungguhnya? Apalagi ia mengenaliku sebagai
Pendekar Naga Putih. Menurut perhitungan, seharus-
nya ia meminta bantuanku untuk mencari pembunuh
adiknya. Tapi, mengapa ia malah mengarang cerita
yang tidak betul?” ujar Panji lagi. Semakin yakin ada
sesuatu yang sengaja disembunyikan Ki Legawa dari
mereka berdua.
“Mungkinkah orang tua itu sendiri yang telah mem-
bunuh adiknya? Hal seperti itu bisa saja terjadi. Kare-
na kekuasaan ataupun harta. Bagaimana menurutmu,
Kakang...?” tukas Kenanga.
“Kemungkinan itu selalu ada. Bisa saja Ki Legawa
menyewa orang untuk melenyapkan adik kandungnya.
Itu harus kita selidiki. Sebab jika benar demikian, be-
rarti Ki Legawa bukanlah seorang kepala desa yang
baik. Kalau adik kandungnya saja tega ia bunuh, apa
lagi orang lain...?” timpal Panji, pemuda itu sependapat
dengan Kenanga untuk mencurigai Ki Legawa sebagai
pembunuh adik kandungnya sendiri.
“Kalau begitu, kita harus segera kembali ke Desa
Bandul, Kakang,” ujar Kenanga bersemangat Bahkan
dara jelita itu sudah bergerak bangkit dari duduknya.
“Sabar dulu, Kenanga. Semua ini baru dugaan saja.
Kita tidak boleh terburu nafsu. Kita harus menyelidi-
kinya lebih dulu. Selain itu, kita tidak bisa menam-
pakkan diri secara terang-terangan di depan penduduk
Desa Bandul. Hal itu akan menimbulkan kecurigaan
mereka...,” ujar Panji, menasihati Kenanga agar bersi-
kap hati-hati dan jangan bertindak gegabah. Sebab,
persoalan itu masih belum jelas. Dan belum ada bukti-
bukti yang mendukungnya.
“Jangan khawatir, Kakang. Aku tentu akan berhati-
hati. Tapi, yang jelas kita harus kembali ke Desa Ban-
dul,” sahut Kenanga tersenyum.
“Tentu. Ini memang sudah menjadi kewajiban ki-
ta...,” tukas Panji kemudian bangkit berdiri.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu
sudah bergerak meninggalkan tempat itu. Tujuan me-
reka tentu saja Desa Bandul. Mereka ingin mengung-
kapkan rahasia yang terjadi di desa itu.
***
“Heyaaa..., heyaaa...!”
Terdengar bentakan-bentakan keras. Ditingkahi su-
ara lecutan cambuk dan derap kaki kuda yang berpacu
bagai dikejar setan. Kepulan debu tampak membubung
tinggi. Saat itu, si penunggang kuda tengah memacu
kudanya di tanah berdebu.
Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda
bertubuh tegap yang tidak lain Rajulit, menarik tali
kekang kudanya. Di depannya terbentang sebuah sun-
gai. Kemudian kudanya dijalankan perlahan menyebe-
rangi sungai.
“Hua hah hah...!”
Baru saja Rajulit tiba di seberang sungai, tiba-tiba
terdengar suara tawa berkakakan menyambut keda-
tangannya. Tentu saja lelaki tegap itu terkejut, dan
mengedarkan pandangannya berkeliling. Kemudian
menjalankan kudanya perlahan-lahan dengan sikap
waspada. Wajahnya tampak tegang. Ia yakin si pemilik
suara tawa itu mempunyai niat tidak baik terhadap-
nya.
Kekhawatiran Rajulit mulai terbukti. Beberapa tom-
bak di depannya, tiba-tiba telah berdiri dua orang lela-
ki bertampang kasar. Mereka rupanya bersembunyi di
semak-semak, menunggu kedatangan lelaki tegap itu.
Melihat sikap dan wajah kedua penghadang itu, sadar-
lah Rajulit bahwa mereka perampok. Maka, kudanya
segera diputar. Rajulit hendak melarikan diri dari tem-
pat itu. Tapi....
“Heh heh heh! Hendak lari ke mana, Kisanak...?” te-
gur salah seorang dari dua lelaki bertampang kasar
yang muncul dari semak-semak di belakangnya. Raju-
lit melihat tidak ada lagi baginya jalan untuk meloloskan diri.
“Siapa kalian? Mengapa menghadang perjalanan-
ku...?” seru Rajulit dari atas punggung kuda. Tangan-
nya meraba gagang pedang yang tersembul di balik ba-
ju.
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak. Mak-
sud kami tentu hendak memintamu agar meninggal-
kan barang-barang yang kau bawa dengan suka rela.
Setelah itu, kau boleh pergi dengan selamat..,” ujar
orang yang berdiri tidak jauh dari tepi sungai. Melihat
sikapnya, Rajulit dapat menduga lelaki tinggi kurus
bermata tajam itu pemimpin kawanan perampok.
“Kalian salah memilih korban, Kisanak. Aku tidak
membawa barang-barang berharga. Karena itu, biar-
kanlah aku lewat Kelak aku akan membalas budi baik
kalian....” Rajulit mencoba berdusta dan membujuk
keempat perampok itu.
“Begitukah...?” ejek lelaki tinggi kurus bermata ta-
jam dengan sinis. Bersama kawannya, ia melangkah
mendekati Rajulit Demikian pula orang yang berada di
belakang lelaki tegap itu.
Melihat para perampok mendekatinya, Rajulit pun
tidak tinggal diam. Dengan nekat, kudanya dibedal ke
arah semula. Dengan cara itu Rajulit berharap dapat
meloloskan diri dari mereka.
“Bangsat! Rupanya kau memilih mati...!” geram le-
laki tinggi kurus. Lalu memerintahkan kawan-
kawannya untuk mencegah Rajulit. Ia sendiri sudah
melompat ke udara, dan mengirimkan tendangan ke
kepala penunggang kuda itu.
“Haaat..!”
Rajulit tidak menyangka lelaki tinggi kurus itu akan
berbuat demikian. Karena tidak ingin kepalanya dija-
dikan sasaran tendangan, Rajulit nekat memapaki
dengan tangan kiri.
Plakkk!
“Aaah...!”
Rajulit memekik kesakitan! Lengannya seperti ber-
benturan dengan sebatang besi. Akibatnya, tubuh lela-
ki tegap itu terpelanting dari atas punggung kuda.
Kendati demikian, Rajulit masih bisa menyelamatkan
diri agar tidak terbanting ke tanah. Tubuhnya berjum-
palitan, dan mendarat dengan kedua kaki lebih dulu.
Rajulit selamat walaupun agak terhuyung beberapa
langkah.
“Hm.... Rupanya kau lebih sayang harta daripada
nyawa. Orang Tolol! Padahal kalau kau mau menye-
rahkan hartamu, hidupmu masih panjang. Tapi seka-
rang...,” lelaki tinggi kurus itu tidak menuntaskan ka-
limatnya. Sepasang matanya menyorot tajam meman-
carkan nafsu membunuh!
“Keparat! Kalian akan menyesali perbuatan ini..!”
bentak Rajulit mencoba mengancam kawanan peram-
pok liar itu.
Tapi, ancaman Rajulit malah membuat mereka ter-
tawa berkakakan. Ucapan lelaki tegap itu mereka ang-
gap sebagai lelucon. Jelas, mereka tidak takut dengan
ancaman Rajulit.
“Kau masih ingin sesumbar juga rupanya. Apakah
kau mempunyai banyak kawan yang bisa diandalkan
untuk membelamu...?” ujar lelaki tinggi kurus itu, ma-
sih memperdengarkan sisa-sisa tawanya.
“Hm.... Perlu kalian ketahui! Bila aku tidak kembali
dalam beberapa hari, kawan-kawanku akan datang
dan menggeledah seluruh tempat yang pernah kulewa-
ti. Kalian semua pasti akan dapat mereka temukan!”
ujar Rajulit dengan geram. Kalau ia sampai terbunuh
di tangan para perampok itu, jelas tugas yang dibebankan kepadanya tidak akan berhasil. Padahal, Ki
Legawa tengah menunggu-nunggu kedatangannya.
“Lalu, kau pikir kami takut Heh! Jangan mimpi, Ki-
sanak! Meskipun hal itu benar terjadi, kami akan
menghadapinya. Kawan-kawanmu itu akan bernasib
sama denganmu...!” tukas lelaki tinggi kurus. Tidak
mengindahkan ancaman Rajulit yang sebenarnya cu-
ma siasat agar dapat melepaskan diri dari para peram-
pok.
Mendengar jawaban kepala perampok, Rajulit ber-
pikir beberapa saat Akhirnya, lelaki tegap itu mengelu-
arkan kantong uang pemberian Ki Legawa. Dan meni-
mangnya di hadapan para perampok.
“Baiklah,” ujar Rajulit mengalah. Aku akan membe-
rikan uang ini kepada kalian. Dan, kuharap kalian
mau melepaskan aku untuk melanjutkan perjala-
nan....”
“Bagus...! Itu baru pikiran sehat..,” tukas lelaki
tinggi kurus tersenyum penuh kemenangan. “Cepat,
serahkan uang itu kepadaku.”
Tanpa berpikir panjang lagi, Rajulit melemparkan
uang itu ke arah kepala perampok. Ia terpaksa merela-
kan uang pemberian Ki Legawa jatuh ke tangan mere-
ka. Baginya, tugas yang dibebankan di bahunya jauh
lebih penting dari sekantong uang. Lalu Rajulit me-
langkah ke arah kudanya dengan sikap waspada, dan
siap menghadapi kelicikan para perampok. Lelaki te-
gap itu belum bisa percaya mereka akan membe-
baskannya begitu saja.
Kekhawatiran Rajulit terbukti. Salah seorang pe-
rampok tampak memegang tali kekang kudanya. Dan
menambatkannya ke sebatang pohon. Maksudnya su-
dah jelas, agar kuda itu tidak diambil pemiliknya.
“Mengapa kalian tidak menyerahkan kuda itu kepadaku...?” protes Rajulit Hatinya marah melihat para
perampok tidak menepati janjinya.
“Hah hah hah...! Bukankah kau tidak mengatakan
hendak pergi bersama binatang tungganganmu? Nah,
apakah perbuatan kami salah?” elak kepala perampok
itu tersenyum sinis. Sehingga, Rajulit jengkel dibuat-
nya.
“Kisanak. Perjalanan yang harus kutempuh sangat
jauh. Aku memerlukan kuda itu untuk mempersingkat
waktu. Harap kalian tidak menyulitkanku...,” sadar ti-
dak mungkin sanggup menghadapi keempat perampok
itu, maka Rajulit mengeluarkan kata-kata yang terden-
gar lemah dan penuh permohonan.
“Hm.... Kami tidak peduli dengan urusanmu! Dan,
jangan kira kami akan membiarkanmu pergi begitu sa-
ja. Heh heh heh. Kami tidak bodoh, Kisanak. Kalau ha-
ri ini kau kubebaskan, bukan tidak mungkin lain kali
kau akan datang dengan membawa kawan-kawanmu.
Jadi, harap kau tidak keberatan meninggalkan nya-
wamu di tempat ini...,” ujar lelaki tinggi kurus. Dan
mengakhiri perkataannya dengan tawa berderai.
“Keparat..! Kalian benar-benar licik!” maki Rajulit.
Ia telah ditipu mentah-mentah kawanan perampok itu.
Tahulah ia, mereka masih menginginkan nyawanya.
“Bunuh orang itu...!” perintah lelaki tinggi kurus
kepada ketiga kawannya. Ia sendiri tetap tegak di tem-
patnya, menyaksikan anak buahnya membantai lelaki
tegap itu.
Rajulit langsung menghunus pedang. Karena sudah
tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, selain me-
lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan senjata me-
nyilang di depan dada, lelaki tegap itu siap memperta-
hankan selembar nyawanya.
“Heh heh heh! Bersiaplah untuk melayat ke akhirat,
Kawan...,” ejek salah seorang dari ketiga perampok
yang mengurung Rajulit. Di tangan mereka tergenggam
sebatang pedang.
“Bedebah...!” lagi-lagi Rajulit mengumpat, mengelu-
arkan kejengkelan hatinya. Sepasang matanya berge-
rak ke kiri dan kanan memperhatikan langkah ketiga
pengeroyoknya.
***
ENAM
“Haaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, salah seorang
perampok yang berada di depan Rajulit mulai membu-
ka serangan. Kilatan cahaya putih berkelebat mengi-
ringi datangnya sambaran pedang perampok itu
Bwettt...!
Rajulit cepat menggeser langkahnya ke kanan. Pe-
dang di tangannya bergerak melancarkan serangan ba-
lasan dengan kecepatan yang cukup mengagumkan.
Trang!
Perampok bertubuh kekar itu rupanya cukup sigap.
Lelaki itu masih sempat memutar senjatanya
untuk menangkis serangan Rajulit. Akibatnya, sen-
jata mereka berbenturan keras!
“Yeaaa..!”
Sambil membentak nyaring, Rajulit memutar senja-
tanya dengan menggerakkan pergelangan. Rupanya,
dalam benturan itu ia berlaku cerdik dengan membiar-
kan senjatanya terpental. Dengan demikian, ia dapat
mempergunakan tenaga benturan itu untuk melan-
jutkan serangan. Dan, hasilnya cukup mengejutkan!
Tubuh lawan nyaris tersate senjatanya. Untunglah pe-
rampok itu segera melempar tubuhnya ke belakang.
Sehingga, selamat dari ancaman ujung pedang Rajulit
“Haaat..!”
“Haiiit..!”
Ketika hendak melanjutkan serangannya, Rajulit
terpaksa harus menghadapi dua perampok lainnya
yang sudah menerjang maju. Sebentar saja, ketiganya
terlibat dalam sebuah perkelahian sengit! Terlebih ke-
tika perampok yang seorang lagi ikut terjun menge-
royok lelaki tegap itu. Rajulit harus menguras seluruh
kemampuannya untuk menghadapi keroyokan para
perampok itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Ketika pertarungan
memasuki jurus kedua puluh, Rajulit mulai merasa-
kan betapa berat tekanan ketiga perampok itu. Sehing-
ga ia mulai terdesak, dan hanya sesekali melepaskan
serangan balasan. Sebab, lawan-lawannya hampir ti-
dak pernah memberi perlawanan untuk membangun
serangan. Sampai akhirnya, lelaki tegap itu harus
bermain mundur sambil membentengi tubuhnya den-
gan putaran pedang.
“Hiaaah...!”
Cwittt..!
“Aaah...?!”
Rajulit memekik tertahan ketika tubuhnya nyaris
tersambar pedang salah seorang lawan. Untunglah ia
masih sempat memiringkan tubuh. Hanya pakaiannya
saja yang robek pada bagian lambung. Sedangkan ia
sendiri sudah melompat jauh ke belakang untuk me-
nyelamatkan diri dari ancaman pedang pengeroyok
lainnya.
Tapi, Rajulit tak selamanya beruntung. Meskipun
telah berusaha, tetap saja satu dua serangan pedang
lawan menggores tubuhnya. Memang tak terlalu parah.
Tapi, cukup untuk membuat tubuhnya semakin le-
mah. Dan rasa nyeri pada luka goresan pedang lawan
memperlambat gerakannya.
Crasss!
“Aaakh...!”
Lagi-lagi lelaki tegap itu harus menggigit bibir, keti-
ka ujung pedang seorang pengeroyok melukai pangkal
lengan kanannya. Sehingga, pedang di tangannya ter-
lepas dari genggaman. Lepasnya senjata itu membuat
Rajulit tidak mungkin lagi sanggup melindungi diri.
Saat Rajulit terjajar mundur dengan wajah pucat-pasi,
ketiga perampok itu melompat bersamaan sambil me-
nusukkan pedang ke tubuh lelaki tegap itu.
“Aaa...!”
Melihat maut sudah siap menjemput, Rajulit meme-
kik ngeri. Lelaki tegap itu memejamkan kedua ma-
tanya. Dirinya tidak mungkin dapat lolos dari kema-
tian!
“Aaakh?!”
“Aaa...?!”
Mendadak. Pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba
para pengeroyok Rajulit terpelanting ke kiri dan kanan
disertai pekik kesakitan. Tubuh ketiganya terbanting,
jatuh berdebuk di atas tanah berumput
Teriakan-teriakan itu membuat Rajulit keheranan.
Merasa penasaran, lelaki tegap itu membuka kedua
matanya untuk melihat apa yang terjadi. Dan....
“Aaah...?!”
Rajulit terpekik mundur. Beberapa langkah di ha-
dapannya berdiri sesosok tubuh sedang terbungkus
jubah panjang putih. Semula ia menduga sosok tubuh
itu Siluman Gurun Setan. Tapi ketika memperhatikan
bentuk tubuhnya, Rajulit yakin yang berdiri tegak
membelakanginya bukan Siluman Gurun Setan. Apa-
lagi rambutnya tidak putih, meskipun juga panjang
seperti halnya tokoh yang tengah menjadi momok de-
sanya.
“Kau tidak apa-apa, Kisanak...?” tanya sosok berju-
bah putih itu membalikkan tubuhnya. Rupanya, dialah
yang telah menyelamatkan nyawa Rajulit dari tangan
perampok itu.
“Kau...?!” desis Rajulit Sepasang matanya terbelalak
ketika mengenali siapa sosok berjubah “putih. Sebab,
ia pernah bentrok dengan penolongnya itu.
”Ya. aku...,” sahut sosok berjubah putih yang ter-
nyata Panji. Pemuda tampan itu tersenyum. Sedikit
pun tidak terlihat sorot dendam pada sepasang ma-
tanya. Panji malah menunjukkan sikap bersahabat
Sehingga, Rajulit heran dibuatnya.
“Kau kaget melihat kami, Kisanak...?” tegur sebuah
suara merdu dari belakang Rajulit
“Kau...?!”
Sepasang mata Rajulit kembali terbelalak bagai
hendak keluar dari tempatnya. Yang mengeluarkan
suara merdu itu tidak lain Kenanga. Dara jelita berpa-
kaian serba hijau itu tentu saja telah dikenalnya. Se-
hingga, wajahnya semakin bertambah pucat!
“Mengapa terkejut melihat kami, Kisanak? Apa kau
pikir kami menaruh dendam kepadamu?” tegur Ke-
nanga, menyadarkan Rajulit agar tidak perlu takut
akan pembalasannya. Peristiwa itu memang sudah di-
lupakan Panji maupun Kenanga. Keduanya tidak me-
naruh dendam pada Rajulit
“Mengapa..., mengapa kalian menolongku...?” uca-
pan itu meluncur tanpa dipikirkan lagi. Rajulit jelas
merasa heran dengan perbuatan kedua orang itu. Ke-
nyataan itu masih terasa aneh bagi orang seperti dia.
“Mengapa kami berdua menolongmu?” Kenanga
mengulang ucapan Rajulit dengan kening berkerut dan
bibir tersenyum. “Kami menolong siapa saja yang
membutuhkan pertolongan. Tapi, tentu tidak dengan
membabi-buta. Kami harus melihat dulu. Apakah
orang itu patut ditolong atau tidak? Ternyata, kau ter-
masuk orang yang patut ditolong. Karena lawan-
lawanmu bukan orang baik-baik...,” jelas Kenanga.
Rajulit tertegun, mendengar ucapan dara jelita itu,
sadarlah Rajulit bahwa di atas bumi ini masih ada
orang yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Dan ia
mengalaminya sendiri.
“Terima kasih atas pertolongan kalian...,” akhirnya
keluar juga ucapan itu dari mulut Rajulit, kendati ter-
dengar lemah. Lelaki tegap itu merasa malu mengingat
kelakuannya ketika pertama kali berjumpa dengan pa-
sangan orang muda itu.
Sementara itu, lelaki tinggi kurus bermata tajam
yang menjadi pemimpin perampok menggeram gusar.
Sepasang matanya menyorot tajam menyapu pemuda
tampan berjubah putih, yang telah merobohkan ketiga
kawannya dengan sekali gebrak! Meskipun pemuda itu
terbukti cukup tangguh, tapi lelaki tinggi kurus itu ti-
dak menunjukkan sikap gentar. Bahkan, bola matanya
memancarkan api kemarahan.
“Kurang ajar! Siapa kau yang begitu lancang men-
campuri urusanku!” bentak lelaki tinggi kurus. Lang-
kahnya berhenti setengah tombak di depan pemuda
tampan berjubah putih.
“Siapa bilang aku mencampuri urusanmu, Kisanak?
Aku hanya menyelamatkan nyawa orang yang hampir
kalian renggut secara paksa. Dan, itu bukan cuma
urusanmu. Tapi telah menjadi urusan setiap orang ga-
gah yang menentang kebathilan. Jadi termasuk urusanku juga,” elak Panji dengan tenang, hingga kepala
perampok itu menjadi tertegun. Perkataan pemuda
tampan berjubah putih itu baginya terasa rumit dan
sulit dimengerti.
“Hm.... Tidak perlu berkhotbah di depanku, Bocah
Ingusan! Karena kau telah lancang berani mencampuri
urusan Kepalan Geledek, maka kau akan merasakan
akibatnya...!” bentak lelaki tinggi kurus seraya mem-
perkenalkan julukannya. Maksudnya tentu agar pe-
muda itu menjadi gentar. Karena namanya cukup di-
kenal di sekitar wilayah Itu.
Panji merasa geli mendengar julukan lelaki tinggi
kurus itu. Julukan yang digunakannya terlalu tinggi
untuk ukuran perampok liar seperti dirinya. Tapi Panji
tidak menertawakan julukan itu. Kelakuan seperti itu
hanya dimiliki orang-orang sombong. Dan dirinya bu-
kan termasuk golongan orang-orang itu.
“Kepalan Geledek, julukanmu cukup gagah dan
angker. Tapi, seharusnya julukan itu dimiliki oleh
orang-orang berhati bersih yang menentang kejahatan.
Kalau kau ingin lebih dikenal serta disukai orang ba-
nyak, pergunakanlah kepandaianmu di jalan kebaikan.
Kau akan merasakan bedanya...,” sahut Panji menasi-
hati. Dan secara tidak langsung mengatakan bahwa
perbuatan Kepalan Geledek kurang terpuji. Dengan
ucapan itu, Panji berharap lelaki tinggi kurus itu akan
sadar dan mengubah jalan hidupnya yang bergelimang
dosa.
“Keparat! Rupanya kau menganggap dirimu sudah
terlalu hebat hingga dapat mengalahkanku, begitu!
Huh! Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu, Bo-
cah!”
Hati Kepalan Geledek tidak tergerak oleh ucapan
Panji. Bahkan kemarahannya semakin menjadi-jadi.
Lelaki itu telah siap membuka jurus untuk menggem-
pur pemuda tampan berjubah putih.
“Haaat..!”
Kepalan Geledek membuka serangan dengan se-
buah pekikan nyaring. Tubuhnya melesat ke depan
dengan kepalan susul-menyusul yang menimbulkan
sambaran angin tajam. Rupanya, julukan yang disan-
dangnya disesuaikan dengan ilmu andalan yang dimi-
likinya. Sayang, julukannya tak tepat menurut Panji.
Meskipun dari angin pukulan, Panji tahu lelaki itu
memiliki tenaga yang cukup kuat, namun gerakannya
tak menunjukkan ciri-ciri ilmu silat tinggi. Bahkan
terkesan sangat pasaran.
Wuttt..!”
Ketika pukulan tangan kanan lawan tiba, Panji
hanya mengangkat tangan kiri tanpa bergeser dari
tempatnya semula.
Plakkk!
“Uhhh...?!”
Tubuh Kepalan Geledek terdorong balik sejauh satu
tombak. Wajah lelaki tinggi kurus itu meringis sambil
memijat-mijat lengannya yang terasa linu. Yang me-
nyambut pukulannya barusan seperti bukan lengan
yang terdiri dari kulit dan daging, tapi sebatang besi
yang sangat keras. Sehingga, bagian lengannya yang
tertangkis tampak membiru.
“Ilmu setan...!” desis Kepalan Geledek. Tidak per-
caya pemuda tampan berjubah putih itu memiliki te-
naga dalam yang sangat kuat Sehingga, ia belum juga
sadar lawannya tidak sebanding dengan dirinya.
“Hm.... Jangan terlalu cepat memberi penilaian, Ki-
sanak. Coba kau tunjukkan ilmu ‘Kepalan Geledek’
yang kau banggakan itu...,” ujar Panji tanpa bermak-
sud menghina. Pemuda itu memang ingin mengetahui
sampai di mana kepandaian lelaki tinggi kurus yang
berani menyombongkan julukannya itu.
“Bangsaaat.!” dengan kemarahan yang meledak-
ledak, Kepalan Geledek kembali menerjang maju. Ke-
marahan itu telah membuat dirinya lupa akan rasa sa-
kit pada lengannya. Dan kembali merangsek dengan
jurus-jurus yang selama ini sangat dibanggakannya.
Wuttt..!
Saat kepalan lawan datang, Panji menyambut den-
gan telapak tangan terbuka. Dan....
Tap!
Kepalan lelaki tinggi kurus itu tepat mengenai tela-
pak tangan Panji dan melekat ketat Kepalan Geledek
pucat wajahnya!
“Uhhh...?!”
Kepalan Geledek berusaha menarik tangannya. Na-
mun sampai wajahnya memerah, ia tidak sanggup me-
lepaskan kepalannya dari telapak tangan lawan. Pa-
dahal kepalan perampok itu sudah mengerahkan selu-
ruh kekuatannya. Namun, tetap saja kepalannya me-
lekat bagai menyatu dengan telapak tangan pemuda
itu.
“Haaat..!”
Tiga orang kawanan perampok yang melihat pe-
mimpinnya mengalami kesulitan, segera melesat den-
gan pedang di tangan. Mereka yang semula yakin pe-
mimpinnya dapat mengalahkan pemuda itu, kini men-
jadi cemas! Dan menerjang bersama-sama untuk me-
nolong lelaki tinggi kurus itu.
Melihat para perampok itu tetap keras kepala, Panji
berniat memberi pelajaran kepada mereka. Maka, ia
segera mendorong telapak tangannya. Akibatnya, tan-
pa ampun tubuh Kepalan Geledek terjungkal ke tanah.
Lalu, Panji menotok lumpuh ketiga anggota perampok
yang hendak membantu pemimpinnya. Terdengar pe-
kik kesakitan berturut-turut Dan, tubuh ketiga pe-
rampok itu jatuh ke tanah seperti sehelai karung ba-
sah. Mereka rebah dalam keadaan lumpuh kendati sa-
dar sepenuhnya.
“Masih hendak melanjutkan kejahatanmu, Kepalan
Geledek?” tanya Panji seraya menghampiri lelaki tinggi
kurus yang tengah bergerak bangkit.
Kepalan Geledek yang kini yakin pemuda itu seo-
rang pendekar hebat, hanya berdiri dengan wajah
kuyu. Wajah dan sekujur tubuhnya dibanjiri peluh.
Karena telah mengerahkan seluruh tenaganya sewaktu
hendak melepaskan kepalannya dari telapak tangan
pemuda itu. Andaikata pemuda itu hendak membu-
nuhnya, tentu mudah sekali. Selain kepandaian lawan
jauh berada di atasnya, ia sendiri sudah kehabisan te-
naga. Maka, Kepalan Geledek hanya bisa pasrah me-
nanti apa yang akan dilakukan lawan.
“Siapa kau sebenarnya, Anak Muda? Apa kau seo-
rang dewa yang turun dari langit untuk menghukum-
ku?” tanya Kepalan Geledek dengan napas satu-satu.
“Aku manusia biasa sepertimu, Kisanak. Aku hanya
ingin mengingatkanmu agar jangan melanjutkan per-
buatanmu selama ini. Pergunakanlah kepandaianmu
untuk kebaikan. Percayalah, itu akan membuatmu te-
nang dan bahagia...,” jawaban Panji tanpa menunjuk-
kan sikap permusuhan. Bahkan pemuda itu terse-
nyum. Seolah tengah menasihati seorang kawan yang
salah memilih jalan. Kepalan Geledek kelihatan terke-
san.
“Kalau boleh ku tahu, siapa kau sebenarnya, Kisa-
nak...?” Kepalan Geledek merubah panggilannya.
“Namaku Panji. Aku seorang pengembara yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap,” sahut Panji memperkenalkan diri. Sebab, ia melihat lelaki tinggi kurus
itu mempertimbangkan ucapannya.
“Bukan itu maksudku. Melihat kehebatanmu, pasti
kau mempunyai julukan yang mungkin diberikan
orang karena sepak-terjangmu...,” tukas Kepalan Gele-
dek ingin mengetahui julukan pemuda berjubah putih
itu.
“Kalau itu yang kau inginkan, baiklah. Julukanku
adalah Pendekar Naga Putih. Orang-orang kalangan
persilatan memberikan julukan itu kepadaku...,” jawab
Panji tanpa kesan sombong sedikit pun.
“Kau..., Pendekar Naga Putih yang terkenal itu...?!”
desis Kepalan Geledek. Tampaknya, lelaki itu telah
mendengar nama besar pemuda itu. Terbukti ia sangat
terkejut ketika mendengar Panji memperkenalkan ju-
lukannya.
“Begitulah, Kisanak...,” jelas Panji.
Setelah beberapa saat terpaku, Kepalan Geledek ti-
ba-tiba menjatuhkan tubuhnya berlutut di hadapan
Panji. Tentu saja pemuda itu kaget, la tidak menyang-
ka lelaki tinggi kurus itu akan berbuat demikian.
“Kau telah membuka mataku yang selama ini tertu-
tup kesombongan, Pendekar Naga Putih. Aku kagum
dan hormat kepadamu. Kiranya apa yang dikatakan
orang tidak berlebihan. Kau memang seorang pendekar
berbudi yang rendah hati, dan menjadi panutan bagi
banyak orang. Aku takluk kepadamu, Pendekar Naga
Putih. Betapa bodohnya aku, tidak melihat gunung
yang menjulang tinggi di depan mata!” ujar Kepalan
Geledek yang sangat terkesan dengan sikap Panji. Se-
hingga, menyatakan takluk kepada pendekar muda
itu.
Panji menghela napas panjang dengan dada lapang.
Pemuda itu sungguh bersyukur mendengar ucapan lelaki tinggi kurus itu. Cepat diangkatnya bangkit berdiri
tubuh lelaki itu. Kini keduanya saling bertatapan da-
lam jarak dekat.
“Aku bangga sekali mendengar ucapanmu, Kisanak.
Semoga semua itu datang dari hatimu yang dalam...,”
ucap Panji dengan senyum lebar.
“Aku sadar sepenuhnya, Pendekar Naga Putih. Se-
mua itu bukan karena terpaksa. Tapi karena sikapmu
yang demikian terpuji. Katakanlah, apa yang harus ku-
lakukan selanjutnya. Aku akan menurutinya, Pende-
kar Naga Putih...,” ujar lelaki tinggi kurus itu dengan
wajah bersungguh-sungguh.
“Seperti yang kukatakan tadi, tinggalkanlah kejaha-
tan yang hanya mendatangkan kebencian serta meru-
gikan orang. Banyak jalan kebaikan yang dapat mem-
buatmu merasa tenang dalam mengarungi kehidupan
ini...,” jawab Panji. Pemuda itu merasa yakin kepala
perampok itu telah benar-benar sadar akan perbua-
tannya yang sesat selama ini.
“Aku akan mencobanya, Pendekar Naga Putih. Se-
moga orang-orang dapat menerimaku tanpa curiga...,”
ujar Kepalan Geledek setengah berdoa agar dirinya da-
pat diterima masyarakat
Panji mengangguk seraya tersenyum. Kemudian
melangkah ke arah tiga orang pengikut Kepalan Gele-
dek yang masih terbaring lumpuh. Hanya dengan se-
kali tepukan, ketiganya kembali pulih seperti sediakala
meski masih terasa pegal-pegal.
Setelah mengembalikan barang milik Rajulit, Kepa-
lan Geledek berpamitan pada Panji. Juga kepada Ke-
nanga. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
“Hhh...,” Panji menghela napas lega melihat semua-
nya berjalan sangat baik, seperti yang diharapkannya.
Lalu perhatiannya dialihkan pada Rajulit, setelah Kepalan Geledek dan para pengikutnya tidak kelihatan
lagi.
“Nah. Sekarang kau telah bebas, Kisanak. Silakan
melanjutkan perjalananmu...,” ujar Panji.
Rajulit kembali mengucapkan terima kasih kepada
pasangan pendekar muda itu. Dengan menunggang
kudanya, Rajulit berpamitan pada Panji dan Kenanga.
Kemudian membedal kudanya meninggalkan tempat
itu. Panji dan Kenanga memandangi kepergian lelaki
tegap itu sampai lenyap di belokan jalan.
“Mengapa kau tidak mengorek keterangan dari lela-
ki itu, Kakang?” tanya Kenanga ketika mereka melang-
kah menyusuri jalan setapak.
“Apa kau sudah bertanya kepadanya...?” Panji balik
bertanya. Pemuda itu kelihatan khawatir kalau-kalau
Kenanga telah mencari keterangan dari lelaki tegap
yang ia tahu orang kepercayaan Ki Legawa.
“Belum, Kakang...,” sahut Kenanga.
“Syukurlah. Sebab, bila kau sampai menanyakan
sesuatu, kita bisa mendapat kesulitan. Lelaki tegap itu
sangat dekat dengan Ki Legawa. Bahkan termasuk sa-
lah seorang sesepuh Desa Bandul. Sengaja aku tidak
menanyakan tujuan keperakannya. Karena aku tahu
orang itu tidak akan menjawabnya dengan jujur. Ia
akan merasa curiga bila aku bertanya. Dan lagi, aku
tidak percaya dengan orang itu. Bukan tidak mungkin
kepergiannya atas perintah Ki Legawa, untuk sesuatu
yang sangat dirahasiakan...,” ujar Panji yang merasa
lega mendengar jawaban kekasihnya. Dengan demi-
kian, mereka dapat bergerak bebas tanpa diketahui Ki
Legawa dan pengikutnya.
Suasana di antara mereka kembali hening. Yang
terdengar hanya suara langkah kaki kudanya yang
menginjak daun-daun kering....
TUJUH
Lelaki berperawakan gagah itu melangkah terburu-
buru menuju rumah besar di tengah desa. Siapa lagi
lelaki gagah itu kalau bukan Ki Dirja, salah seorang
sesepuh Desa Bandul. Tampaknya ia hendak mengha-
dap Ki Legawa.
“Ada apa, Ki...?” tanya Ki Dirja begitu menghadap
kepala desanya yang kelihatan beberapa tahun lebih
tua dari sebelumnya. Rupanya ancaman Siluman Gu-
run Setan telah membuat hati Ki Legawa tertekan dan
tidak bisa tenang menjalani hari-harinya. Hingga di-
rinya tidak bisa tidur pulas.
“Keparat! Bangsat itu benar-benar telah membua-
tku tersiksa!” Ki Legawa langsung menumpahkan ke-
jengkelanya ketika melihat Ki Dirja. Tentu saja yang
dimakinya Siluman Gurun Setan. Karena tokoh miste-
rius itu ternyata tidak muncul selama beberapa hari
ini. Agaknya, tokoh itu sengaja berbuat demikian agar
Ki Legawa senantiasa dilanda ketegangan dan kegeli-
sahan. Sehingga, hampir setiap malam lelaki Ketua
Desa Bandul itu berjaga-jaga. Karena khawatir Silu-
man Gurun Setan akan muncul untuk membuktikan
ancamannya.
Perasaan itu ternyata tidak hanya dialami Ki Lega-
wa. Ki Dirja pun tidak bisa memejamkan mata dengan
tenang. Ancaman Siluman Gurun Setan terhadapnya
telah menggelisahkan lelaki gagah itu. Sehingga sosok
Ki Dirja yang biasanya memancarkan wibawa, kini
tampak layu karena kurang tidur. Tokoh misterius itu
tampaknya telah membuat para sesepuh Desa Bandul
dilanda ketegangan.
“Dalam beberapa hari ini aku pun tidak bisa tenang,
Ki. Tokoh misterius itu telah mengacaukan hi-
dupku....” Ki Dirja mengungkapkan keluhan serupa,
seperti halnya Ki Legawa.
“Rupanya, manusia keparat itu ingin melihat kita
mati tersiksa oleh kegelisahan. Malam-malam yang se-
harusnya bisa membuat kita beristirahat melepaskan
lelah, sekarang menjadi sesuatu yang menakutkan.
Sedangkan keparat itu tidak juga menampakkan diri.
Hm.... Kalau aku berhasil melumpuhkannya, akan ku-
siksa bangsat itu hingga ia merasa menyesal telah di-
lahirkan ke dunia!” geram Ki Legawa. Lalu bangkit dari
kursinya dan melangkah hilir-mudik. Itu yang dilaku-
kannya kalau hatinya sedang resah dan marah. Ki Dir-
ja sudah hafal dengan tingkah-laku majikannya itu.
“Bagaimana dengan Rajulit, Ki? Apakah ia belum
kembali?” tanya Ki Dirja mengalihkan pembicaraan.
“Menurut perhitungan, Rajulit kembali siang ini.
Mudah-mudahan ia tidak menemui halangan di ja-
lan...,” sahut Ki Legawa seraya menghempaskan tu-
buhnya ke kursi bergagang gading, yang tak ubahnya
merupakan singgasana bagi Ketua Desa Bandul itu.
“Kalau demikian, sebaiknya kita tunggu kedatangan
Rajulit Kuharap, ia berhasil membawa guru Sepasang
Golok Perak untuk membantu kita menghadapi Silu-
man Gurun Setan...,” timpal Ki Dirja harap-harap ce-
mas.
Suasana di antara mereka menjadi hening ketika
keduanya membisu mengikuti arus pikiran masing-
masing. Hal itu berlangsung cukup lama. Sampai ke-
mudian....
“Kau dengar itu, Dirja...?” ujar Ki Legawa langsung
bangkit dari duduknya.
“Mudah-mudahan Rajulit yang datang...,” harap Ki
Dirja ketika mendengar suara derap kaki kuda menuju
rumah itu. Lelaki itu bangkit dan melangkah mengiku-
ti Ki Legawa.
“Rajulit..!” desis Ki Legawa ketika melihat pemban-
tunya tengah melompat turun dari atas punggung ku-
da. Cepat lelaki itu menghampiri, diikuti Ki Dirja di be-
lakangnya.
“Mana Setan Jari Pedang? Apa kau tidak berhasil
membujuknya?” tanya Ki Legawa ketika tidak melihat
ada orang lain datang bersama pembantunya. Kekece-
waan tampak jelas pada wajah lelaki tua itu.
“Tenang, Ki. Semuanya berjalan lancar. Sebentar la-
gi tokoh hebat itu akan berada di tengah-tengah kita.
Dan, kita tidak perlu lagi takut dengan ancaman Silu-
man Gurun Setan. Sudah kukatakan kita tidak perlu
membayar. Karena aku mengatakan padanya bahwa
muridnya telah dibunuh Siluman Gurun Setan yang
mengganas di desa kita. Dan, tepat seperti yang kudu-
ga. Setan Jari Pedang sangat murka mendengar kema-
tian kedua muridnya. Tokoh itu langsung setuju ketika
aku mengajaknya ke sini...,” lapor Rajulit sangat bang-
ga dengan keberhasilannya membawa Setan Jari Pe-
dang ke tempat itu.
“Tapi, mengapa kau tidak datang bersamanya? Ka-
pan dia akan datang, Rajulit?” Ki Legawa sepertinya
belum bisa tenang kalau belum melihat Setan Jari Pe-
dang. Sehingga, ia kembali bertanya kepada pemban-
tunya itu.
“Jangan khawatir, Ki. Setan Jari Pedang pasti akan
datang. Kakek itu tidak akan membiarkan pembunuh
kedua muridnya hidup lebih lama. Satu hal yang ha-
rus kita ingat. Kendati usianya sudah tua, tapi tokoh
itu sangat suka dengan wanita. Agar ia merasa senang
tinggal di sini, kita harus menyediakan kesenangannya
itu...,” ujar Rajulit Kemudian tertawa mengingat kesu
kaan Setan Jari Pedang yang kedengarannya tidak lu-
mrah.
“Hoiii. Rajulit! Apa kau sudah menyiapkan kebutu-
hanku...!” tiba-tiba terdengar suara tanpa wujud, hing-
ga ketiga sesepuh Desa Bandul terkejut bukan main.
Mereka tidak melihat pemilik suara yang melengking
tinggi itu.
Belum lagi hilang rasa terkejut di hati mereka.
Mendadak, bertiup angin keras yang mengibarkan pa-
kaian dan rambut mereka. Tahu-tahu seorang kakek
bertubuh kecil sudah berdiri di dekat ketiga orang itu.
Tentu saja Ki Legawa dan Ki Dirja semakin bertambah
kaget. Mereka tidak melihat dari mana datangnya ka-
kek cebol itu.
“Heh heh heh...! Bukankah kau yang bernama Ki
Legawa dan menjadi kepala desa ini...?” tanpa basa-
basi, kakek cebol itu menuding Ki Legawa. Hingga ken-
ing Ki Legawa langsung berkerut melihat sikap urakan
kakek itu.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Legawa dan Ki Dir-
ja meneliti sosok cebol itu dari bawah ke atas. Saat itu
juga mereka langsung bisa menduga kakek cebol itu
yang berjuluk Setan Jari Pedang. Apalagi, ketika meli-
hat Rajulit mengangguk hormat kepada kakek itu.
“Benar. Akulah Ki Legawa. Selamat datang di desa
ini, Kek. Mudah-mudahan sambutanku tidak menge-
cewakanmu...,” sambut Ki Legawa. Terpaksa menahan
kejengkelan hatinya melihat sikap kakek itu, yang se-
dikit pun tidak menaruh hormat kepadanya. Kalau
menuruti kata hatinya, ingin rasanya ia menendang
keluar kakek cebol kurang ajar itu. Tapi mengingat ia
sangat memerlukan orang tua itu, maka Ki Legawa
menahan perasaannya. Dan berusaha menyenangkan
hati Setan Jari Pedang.
“Hm.... Sambutanmu sangat mengecewakan, Lega-
wa. Tapi, aku akan memaafkan kelalaianmu bila kese-
nanganku sudah kau siapkan,” tukas kakek itu sambil
terkekeh, memperlihatkan giginya yang kotor. Setan
Jari Pedang bukanlah orang yang suka menjaga keber-
sihan.
“Aku akan segera menyediakannya, Kek. Kuharap
kau mau bersabar dulu. Aku baru saja tahu dari Raju-
lit, jadi tidak sempat menyiapkan sebelumnya. Maaf-
kan atas kelalaianku...,” ujar Ki Legawa menahan rasa
kedongkolan hatinya. Baru kali ini ada orang yang be-
rani memerintah dirinya sesuka hati.
“Hm.... Kalau begitu, mengapa kau tidak segera
mencarinya. Ayo, cepat! Atau kau ingin kuhajar...!”
bentak kakek itu tanpa mempedulikan wajah Ki Lega-
wa yang berubah merah.
Rajulit sendiri menjadi agak pucat. Lelaki tegap itu
merasa khawatir jika Ki Legawa sampai marah. Karena
dia sendiri pun belum tahu Setan Jari Pedang memiliki
perangai yang aneh seperti itu. Kalau saja Rajulit tahu
sebelumnya, tentu ia akan mengatakannya kepada Ki
Legawa. Agar kepala desanya tidak terkejut dan me-
makluminya.
“Baik..., baik. Aku akan segera menyiapkannya,”
sahut Ki Legawa cepat Kemudian diajaknya Rajulit
masuk ke dalam rumah. Sehingga lelaki tegap itu men-
jadi ketakutan.
“Maaf, Ki. Aku sungguh tidak menduga Setan Jari
Pedang mempunyai sifat seperti itu. Kalau saja aku ta-
hu, tentu jauh-jauh hari sudah kukatakan kepada-
mu....” Rajulit langsung membela diri sebelum Ki Le-
gawa sempat memarahi. Sehingga, lelaki tua itu hanya
bisa menghela napas untuk mengurangi kedongkolan
hatinya.
“Hhh.... Sudahlah. Sekarang, cepat carikan apa
yang diinginkan kakek itu. Caranya terserah bagaima-
na caramu sendiri...,” perintah Ki Legawa. Tidak mau
tahu bagaimana Rajulit mendapatkan gadis-gadis mu-
da untuk menyenangkan hati Setan Jari Pedang.
“Baik, Ki...,” meskipun bingung, Rajulit tidak mem-
bantah. Ia segera mengajak empat orang anak buah-
nya untuk melaksanakan tugas itu.
Sepeninggal Rajulit, Ki Legawa membawa Setan Jari
Pedang masuk ke ruang tengah. Walaupun sebenarnya
tidak suka, namun perasaan itu disembunyikannya
rapat-rapat. Dan, Ki Legawa berusaha tetap bersikap
wajar.
Tapi, tingkah Setan Jari Pedang memang sangat
urakan. Tanpa meminta izin tuan rumah, kakek itu
langsung melangkah dan memeriksa setiap ruangan
rumah besar itu. Bahkan setiap kamar dijenguknya.
Entah apa yang hendak dilihat kakek sinting itu.
Ki Legawa hanya bisa mengurut dada ketika men-
dengar jeritan perempuan dari kamar istrinya, kamar
gundik serta pelayan-pelayannya. Ia tidak bisa berbuat
apa-apa untuk mencegah perbuatan kakek sinting itu.
“Kakek sinting itu ternyata lebih gila dari Siluman
Gurun Setan! Kalau ia tinggal lama di rumahku, aku
bisa mati berdiri karena kelakuannya yang tidak waras
itu...!” desis Ki Legawa kepada Ki Dirja, yang juga keli-
hatan sangat bingung melihat kelakuan Setan Jari Pe-
dang.
“Aaauwww...! Lepaskan aku, lepaskan...!” terdengar
suara jeritan perempuan, yang membuat kedua sese-
puh Desa Bandul itu melompat ke dalam.
“Heh heh heh...! Di rumahmu ini ternyata banyak
sekali wanita molek, Legawa. Aku mengambil perem-
puan ini dari kamar belakang. Nampaknya ia harus
segera kucicipi...,” Setan Jari Pedang menjelaskan tan-
pa diminta. Sementara wanita yang berada dalam gen-
dongannya meronta-ronta hendak melepaskan diri.
Melihat salah seorang istri mudanya berada dalam
gendongan kakek sinting itu, Ki Legawa kembali
menghela napas. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dan
hanya mengangguk sambil menunjukkan sebuah ka-
mar kosong ketika kakek itu memintanya.
“Heh heh heh...! Kalian boleh saksikan bagaimana
kuda binal ini akan segera takluk dengan permainan-
ku...,” ujar Setan Jari Pedang melangkah masuk ke da-
lam kamarnya. Sebentar kemudian, terdengar istri
muda Ki Legawa menjerit-jerit Entah apa yang dilaku-
kan kakek itu kepadanya.
“Biarkan saja, Ki. Masih banyak perempuan lain
yang bisa menggantikan istri mudamu...,” hibur Ki Dir-
ja ketika melihat kegeraman di wajah kepala desanya.
“Kakek sinting itu memang jeli matanya. Ia tahu sa-
ja kalau perempuan itu yang tercantik di antara semua
istri-istri mudaku...,” desis Ki Legawa yang kelihatan
menyesal melihat perempuan yang paling disayanginya
dibawa Setan Jari Pedang. Tapi karena ia sangat mem-
butuhkan bantuan kakek sinting itu, maka Ki Legawa
hanya bisa pasrah dan berharap agar semua itu cepat
berakhir.
***
“Ke mana kita, Ki...?” tanya salah seorang dari em-
pat lelaki berpakaian serba hitam kepada Rajulit yang
berjalan di depannya.
“Ikuti saja aku, dan jangan banyak tanya!” bentak
Rajulit dengan tidak mengurangi kecepatan langkah-
nya. Lelaki tegap itu terus menyusuri jalan kecil yang
menuju sungai.
Keempat lelaki berpakaian serba hitam, yang meru-
pakan pengawal-pengawal Ki Legawa, tidak bertanya-
tanya lagi. Mereka mengikuti ke mana lelaki tegap itu
melangkah.
“Nah. Kalian tunggu aku di sini. Ingat! Tidak boleh
ada seorang pun yang meninggalkan tempat ini tanpa
seizinku!” tegas Rajulit tanpa ingin mendengar adanya
bantahan. Kemudian melanjutkan langkahnya seorang
diri menuju sungai.
Beberapa perawan desa yang baru saja selesai men-
cuci pakaian di sungai dan berpapasan dengan lelaki
tegap itu, mengangguk takut-takut. Mereka tetap me-
nyapa Rajulit, karena lelaki tegap itu tetua desa mere-
ka.
Rajulit sendiri hanya bergumam tak jelas, dan terus
melangkah. Dari tempat yang agak tinggi, lelaki tegap
itu mengedarkan pandangan ke sekitar tepian sungai.
Mulutnya menyungging senyum licik ketika melihat
ada seorang gadis masih sibuk mencuci pakaian. Tam-
paknya gadis itu belum selesai mencuci lalu ditinggal-
kan kawan-kawannya.
“Hm.... Rupanya keberuntungan masih mengikuti-
ku...,” gumam Rajulit Dan melangkah cepat mengham-
piri gadis desa itu.
Suara langkah Rajulit yang sengaja dikeraskan,
membuat gadis itu berpaling untuk melihat siapa yang
datang. Wajahnya yang manis terlihat menyembunyi-
kan kecemasan. Karena ia kenal baik siapa sebenarnya
lelaki tegap itu.
“Belum selesai, Nyai...?” sapa Rajulit Lalu duduk di
atas sebuah batu kali.
“Be... lum. Eh, sudah...,” jawab gadis berwajah ma-
nis yang mempunyai tahi lalat di bawah dagu. Ia kelihatan gugup menjawab pertanyaan Rajulit Kelihatan
betapa gadis itu sangat ketakutan. Sepasang matanya
yang bulat menoleh ke kanan dan kiri. Wajahnya be-
rubah pucat ketika tidak menemukan orang lain di
tempat itu kecuali mereka berdua. Cepat pakaian yang
dicucinya dibereskan. Kemudian bangkit berdiri hen-
dak meninggalkan tempat itu.
“Mengapa terburu-buru, Nyai...?” tanya Rajulit se-
raya bangkit dari duduknya.
Gadis manis itu tidak menjawab pertanyaan Rajulit.
Langkahnya justru semakin dipercepat Perbuatan ga-
dis itu memaksa Rajulit melompat dan menangkap
lengannya.
“Lepaskan aku, Kakang! Biarkan aku pulang...,”
pinta gadis itu yang rupanya telah mengenal baik sifat
Rajulit. Ia dapat menduga apa yang diinginkan lelaki
tegap itu darinya.
“Hm.... Jangan berpura-pura suci! Kau akan kuba-
wa ke tempat Ki Legawa. Kalau kau akan membantah,
kedua orang tuamu dan adik-adikmu akan celaka...,”
ujar Rajulit mengancam gadis manis itu.
“Jangan, Kakang! Aku tidak mau...!” ratap gadis itu
tetap tidak sudi ikut bersama Rajulit Ia memberontak
berusaha melepaskan cekalan lelaki tegap itu pada
pergelangan tangannya.
Tapi, mana mungkin gadis lemah itu dapat mele-
paskan cekalan Rajulit yang kuat. Dan ketika lelaki te-
gap itu meraih pinggang lalu menggendongnya, gadis
itu hanya bisa berteriak-teriak minta tolong. Sayang, di
sekitar sungai tidak ada orang. Sedangkan tempat itu
cukup jauh dari perumahan penduduk. Jadi, sia-sia
saja teriakan gadis itu.
“Tunggu...!”
Saat Rajulit bergegas hendak meninggalkan tempat
itu, tiba-tiba terdengar bentakan yang membuat lelaki
tegap itu terlonjak kaget Bentakan itu mengandung
kemarahan hebat Dan dikerahkan dengan kekuatan
tenaga dalam tinggi.
Rajulit menoleh ke arah asal suara. Sepasang ma-
tanya yang semula memancarkan api kemarahan, tiba-
tiba terbelalak. Dan wajahnya berubah pucat! Rajulit
dilanda ketakutan hebat!
Suara bentakan itu rupanya datang dari sosok
langsing terbungkus pakaian berwarna serba hijau.
Sosok itu seorang dara jelita yang kini memandang
marah kepada Rajulit Sepasang mata bulatnya berkilat
seperti hendak membakar tubuh lelaki tegap itu.
“Hm.... Beginikah sikap seorang sesepuh desa...?
Bagus sekali perbuatanmu menculik anak gadis orang!
Lepaskan gadis itu, atau kupatahkan batang leher-
mu...!” geram dara jelita berpakaian serba hijau sambil
melangkah maju.
Kemunculan dara jelita itu rupanya tidak sendirian.
Di sebelahnya berdiri seorang pemuda tampan berju-
bah putih, yang juga memancarkan kemarahan pada
sepasang bola matanya yang tajam menikam jantung.
Pemuda itu melangkah di belakang gadis jelita berpa-
kaian serba hijau.
“Kalian...?!” desis Rajulit yang telah mengenal baik
kedua orang muda itu. Mereka tidak lain Panji dan Ke-
nanga..
Kemunculan pasangan pendekar muda itu tidaklah
aneh. Dalam beberapa hari ini, mereka memang me-
mata-matai setiap gerak Ki Legawa dan orang-
orangnya. Itu sebabnya mengapa mereka datang pada
saat yang tepat!
Menyadari dirinya tidak mungkin dapat selamat,
Rajulit segera melepaskan gadis yang ada di bahunya.
Kemudian berlari secepat kilat bagai orang dikejar se-
tan!
“Hm.... Jangan harap kau dapat lolos dari tangan-
ku, Keparat!” geram Kenanga lalu menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika itu juga tubuhnya melayang
ke udara melewati kepala Rajulit!
***
DELAPAN
Jleggg!
Tubuh Kenanga mendarat tepat di hadapan Rajulit
Lelaki tegap itu rupanya sadar dirinya tidak mungkin
dimaafkan. Maka begitu melihat tubuh dara jelita itu
menghadang jalannya, Rajulit langsung menghunus
senjata dan menerjang Kenanga!
“Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang baik-baik!
Seharusnya kau kubiarkan mampus di tangan peram-
pok-perampok itu...!” geram Kenanga yang segera
menggeser tubuhnya ke samping, kemudian lepaskan
sebuah tendangan kilat yang kuat!
Jebbb!
Dalam keadaan panik dan ketakutan, Rajulit ber-
buat nekat Ia mengelak secepatnya. Kemudian kembali
menerjang dengan pedangnya. Tapi, tingkat kepan-
daian mereka berbeda jauh. Sehingga dalam beberapa
jurus saja, tubuh Rajulit sudah terpelanting terkena
tamparan keras Kenanga.
“Perempuan setan...!” maki Rajulit yang baru saja
ketahuan belangnya oleh Kenanga dan Panji. Sadar
bahwa tidak mungkin dapat menang, Rajulit segera
mengeluarkan suitan panjang melengking. Tanda itu
dimaksudkan untuk memberi tahu kawan-kawannya
bahwa dia menemui kesulitan.
“Hm.... Kau boleh undang seluruh teman-temanmu,
Laki-Laki Keparat!” desis Kenanga kembali melancar-
kan serangan. Kecepatan gerak dara jelita itu menyu-
litkan Rajulit untuk menyelamatkan diri. Akibatnya, ia
dibuat jatuh bangun oleh pukulan dan tendangan la-
wan. Kenanga memang sengaja tidak langsung mem-
bunuh lelaki tegap itu. Gadis itu marah melihat perbu-
atan Rajulit Ia hendak memberi pelajaran agar Rajulit
menjadi jera.
Saat Rajulit tengah dihajar Kenanga, empat orang
kawannya datang berlari-lari hendak membantu lelaki
tegap itu. Mereka langsung memasuki kancah perta-
rungan dengan pedang di tangan.
“Hm.... Majulah kalian semua, Tikus-Tikus Busuk!”
bentak Kenanga. Tapa mengurangi kecepatan seran-
gannya sedikit pun, kendati harus menghadapi ke-
royokan lima orang lawan.
Dalam waktu singkat, tiga orang pengawal Ki Lega-
wa tergeletak pingsan akibat tamparan keras pada pe-
lipis mereka. Dan dua orang lainnya segera mendapat
bagian.
“Haiiih...!”
Plakkk..., desss...!
Rajulit yang terkena tendangan keras, langsung ter-
jungkal ke belakang. Malang, kepalanya membentur
batu kali. Hingga lelaki tegap itu tewas seketika! Se-
dang pengawal Ki Legawa yang seorang lagi terjerem-
bab terkena tendangan berputar Kenanga. Lelaki itu
langsung roboh pingsan. Karena tendangan keras itu
tepat mengenai pelipisnya.
“Bagaimana dengan gadis itu, Kakang...?” tanya Ke-
nanga seraya menghampiri Panji dan gadis desa yang
masih terisak-isak.
“Tidak apa-apa. Ia hanya terkejut...,” jelas Panji
menghilangkan kekhawatiran Kenanga.
“Bisakah kau menceritakan mengapa lelaki itu
mengganggumu, Adik Manis?” tanya Kenanga mencoba
mencari keterangan dari gadis desa yang usianya seki-
tar delapan belas tahun itu.
“Kakang Rajulit sering mengganggu gadis-gadis.
Bahkan ia tidak segan-segan bertindak kasar, dan
mengancam akan mencelakakan keluarga korban bila
melawan kehendaknya. Kebanyakan dari gadis-gadis
itu akhirnya dijadikan simpanan Ki Legawa. Tapi war-
ga desa tidak bisa berbuat apa-apa. Selain Ki Legawa
sangat kuat dan pandai silat, ia pun mempunyai pen-
gikut yang cukup banyak. Sehingga tanpa mengalami
kesulitan, Ki Legawa memeras penduduk agar menye-
rahkan separo hasil panennya. Banyak petani yang
berhutang kepadanya. Kemudian menyerahkan anak
gadisnya untuk dijadikan istri kesekian atau gundik-
nya. Dengan begitu, hutang mereka menjadi lunas...,”
jelas gadis manis itu dengan lancar. Sepertinya ia
mengharap agar Panji dan Kenanga segera menghenti-
kan kekejaman penguasa Desa Bandul.
“Terima kasih, Adik Manis. Sekarang pulanglah.
Aku yakin tidak ada lagi yang mengganggumu di ja-
lan...,” ujar Kenanga yang menjadi geram mendengar
penuturan gadis lugu itu. Semakin yakinlah Kenanga
bahwa kematian adik kandung Ki Legawa akibat ulah
kakaknya sendiri. Mungkin ia hendak mencegah per-
buatan kakaknya. Hingga, Ki Legawa terpaksa mele-
nyapkannya.
“Hm.... Sayang, bukti-bukti yang ada masih belum
kuat Sehingga kita tidak bisa langsung menuduh Ki
Legawa. Sebaiknya kita tunggu sampai dapat menang
kap basah perbuatan keji kepala desa laknat itu...,”
ujar Panji setelah terdiam beberapa saat Lalu pemuda
itu mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu.
***
Kegelapan datang menyelimuti permukaan bumi.
Bintang di langit tampak berkelip jenaka. Cahaya bu-
lan purnama mengubah, suasana gelap menjadi terang
oleh cahayanya yang merata. Malam yang cerah.
Di tengah suasana malam yang indah itu, sesosok
bayangan putih bergerak menuju pusat desa. Tubuh-
nya demikian lincah berlompatan dari satu atap ke
atap yang lain. Seolah bayangan putih itu terbang se-
perti hantu dalam dongeng anak-anak.
Tidak berapa lama kemudian sosok itu tiba di tem-
pat tujuan. Lalu melayang turun di halaman belakang
rumah kediaman Kepala Desa Bandul. Siapa lagi sosok
berjubah dan berambut putih kalau bukan tokoh mis-
terius yang berjuluk Siluman Gurun Setan. Rupanya,
ia datang untuk menepati janji yang pernah diucapkan
di hadapan Ki Legawa dan para pembantunya. Apalagi
yang diinginkan tokoh itu kalau bukan nyawa!
Namun saat sosok berjubah putih hendak masuk ke
dalam rumah dengan melalui dapur, tiba-tiba terden-
gar suara tawa yang membuat Siluman Gurun Setan
berbalik secepat kilat!
“Heh heh heh. Kaukah yang berjuluk Siluman Gu-
run Setan...?” tegur kakek cebol. Kakek yang tidak lain
Setan Jari Pedang itu berdiri angkuh dengan kedua
tangan terlipat di depan dada.
“Siapa kau...?” desis Siluman Gurun Setan yang
tampaknya tidak mengenal Setan Jari Pedang.
Pertanyaan itu membuat Setan Jari Pedang mengerutkan kening dalam-dalam. Tokoh yang berjuluk Si-
luman Gurun Setan itu rupanya telah melupakan. Pa-
dahal baik Siluman Gurun Setan maupun Setan Jari
Pedang sama-sama tokoh kawakan. Kendati mereka ti-
dak sejalan, tapi telah saling mengenal dengan cukup
baik. Maka ketika mendengar Siluman Gurun Setan ti-
dak mengenalinya, timbul kecurigaan tentang keaslian
tokoh misterius itu yang dikabarkan telah tewas di per-
tapaannya. Kalau sekarang tiba-tiba muncul, pasti bu-
kan Siluman Gurun Setan yang sesungguhnya.
“Hm.... Kau tidak mengenaliku lagi, Manusia Gu-
run...!” ujar Setan Jari Pedang yang merasa yakin
orang itu bukan Siluman Gurun Setan yang sesung-
guhnya. Mungkin hanya mempunyai hubungan den-
gan tokoh hebat yang sangat terkenal pada masa
jayanya itu.
“Kau pasti orang sewaan Legawa yang sangat takut
akan kematian itu...,” sahut Siluman Gurun Setan
dengan angker.
“Jangan menuduh sembarangan, Manusia Keji! Ke-
datanganku kemari ada hubungannya dengan Sepa-
sang Golok Perak yang telah kau bantai...,” jawab Se-
tan Jari Pedang.
“Apa hubunganmu dengan orang-orang yang men-
cari nafkah dengan mengandalkan kepandaian untuk
membela orang jahat itu...?” tanya Siluman Gurun Se-
tan seraya menatap tajam lelaki cebol itu. Melihat sorot
mata kakek cebol yang berkilat tajam, tokoh misterius
itu segera dapat menebak kakek itu bukan orang sem-
barangan. Ia harus berhati-hati untuk menghadapinya.
“Aku adalah gurunya yang hendak menuntut balas!
Bersiaplah, Siluman Gurun Setan...,” sahut kakek ce-
bol itu, kemudian bergerak maju dengan tenang dan
penuh percaya diri.
“Hm.... Kalau muridnya jahat, pasti gurunya tidak
berbeda jauh. Kau sama saja dengan muridmu...,” tu-
kas Siluman Gurun Setan tak mau kalah bicara.
“Kurang ajar...! Kau harus diberi pelajaran untuk
menghormati orang lain!” balas Setan Jari Pedang yang
sudah siap menggempur pembunuh murid-muridnya.
“Haaat..!”
Sambil berteriak melengking, kakek cebol itu mele-
sat ke depan mengirim serangan maut Namun Siluman
Gurun Setan tidak tinggal diam. Tubuhnya tak kalah
cepat bergerak menyambut hujan serangan lawan. Se-
bentar saja, kedua tokoh itu sudah terlibat sebuah
perkelahian sengit!
Keberadaan Setan Jari Pedang rupanya telah diper-
hitungkan secara tepat Ketika pertarungan berlang-
sung, Ki Legawa muncul bersama orang-orangnya. Se-
hingga, Siluman Gurun Setan terkepung. Sadarlah to-
koh misterius itu kalau mereka telah mempersiapkan
segala sesuatunya. Sehingga, tokoh misterius itu terke-
jut
“Heaaah...!”
Seraya berteriak keras, Siluman Gurun Setan mem-
pergencar serangannya. Tokoh itu hendak, segera me-
robohkan Setan Jari Pedang. Karena kakek itu meru-
pakan lawan paling tangguh. Sayang, kakek cebol itu
tidak mudah ditundukkan. Bahkan mampu membalas
serangan Siluman Gurun Setan dengan tidak kalah
berbahaya. Akibatnya, Siluman Gurun Setan harus
memusatkan pikiran. Sebab kakek cebol itu berkepan-
daian tinggi.
“Haiiit..!”
Ki Legawa tidak sabar melihat jalannya pertempu-
ran yang baginya terasa lambat Lelaki itu segera me-
layang memasuki kancah pertempuran!
Bwettt!
Begitu tiba, Ki Legawa langsung mencecar Siluman
Gurun Setan dengan sambaran pedang yang berci-
utan. Hingga tokoh misterius itu terdesak hebat Kalau
harus menghadapi kedua lawan tangguh itu la merasa
kewalahan!
“Haiiit..!”
Pada saat Siluman Gurun Setan tengah berusaha
mengimbangi permainan lawan, tiba-tiba terdengar pe-
kikan melengking tinggi. Disusul dengan melayangnya
sesosok bayangan putih dari udara. Setan Jari Pedang
dan Ki Legawa kelihatan sangat terkejut melihat
bayangan putih yang laksana seekor naga sakti me-
luncur turun ke arah mereka. Jelas sosok bayangan
putih itu berpihak kepada Siluman Gurun Setan!
Plakkk! Plakk!
Setan Jari Pedang dan Ki Legawa berseni tertahan
merasakan betapa kuat tenaga gempuran sosok
bayangan putih! Bahkan, Ki Legawa terpelanting ketika
menangkis serangan tiba-tiba itu. Melihat Ki Legawa
terpisah dari kakek cebol itu, Siluman Gurun Setan
bergegas menyerbu. Pukulan yang menyambar berci-
utan sangat mengejutkan Ki Legawa.
“Heaaah...!”
Cepat pedangnya dikelebatkan untuk mematahkan
serangan lawan. Lalu menyusuli dengan serangan-
serangan gencar! Sehingga, kedua tokoh itu bertarung
sengit!
Di tempat lain, sosok bayangan putih yang tidak
lain Panji berhadapan dengan Setan Jari Pedang. Ka-
kek cebol itu tidak segera memulai pertempuran. Di-
pandanginya sosok pemuda tampan berjubah putih
yang sekujur tubuhnya terlapisi kabut putih keperakan.
“Kau..., Pendekar Naga Putih...?” tanya kakek cebol
itu menegasi.
“Tidak salah...,” sahut Panji singkat. Pemuda itu
pun tidak menyiapkan jurus untuk bertarung. Kendati
demikian ia tetap waspada dan siap menghadapi gem-
puran kakek cebol itu.
“Hm.... Jangan kira kau dapat berbuat seenak pe-
rutmu dengan mencampuri urusanku, Pendekar Naga
Putih! Aku tidak mempunyai urusan denganmu...!”
Setelah berkata demikian, Setan Jati Pedang mele-
sat meninggalkan Panji menuju pertempuran Ki Lega-
wa dan Siluman Gurun Setan.
“Biarkan mereka...!” seru Panji
Dikejarnya kakek cebol itu. Mendadak Setan Jari
Pedang berbalik, dan melepaskan serangan licik!
Cwiiittt..!
Suara angin yang bercuitan menandakan betapa
hebat serangan kakek cebol itu. Tapi, Pendekar Naga
Putih sejak semula sudah siap menghadapi berbagai
macam kelicikan lawan. Sambaran lengan Setan Jari
Pedang dapat ditepiskan dengan baik!
Tasss...!
Terdengar ledakan kecil ketika dua gelombang tena-
ga dalam saling berbenturan di udara. Akibatnya, tu-
buh Setan Jari Pedang terlempar ke belakang. Sedang-
kan Panji meluncur turun dengan ringan. Kekuatan
Panji ternyata masih berada di atas lawan.
“Keparat..!”
Marah bukan main Setan Jari Pedang melihat ke-
nyataan yang mengecewakan itu. Dibarengi sebuah
lengkingan panjang, kakek cebol itu kembali melayang
ke arah Panji dengan serangan-serangannya yang lebih
hebat dan berbahaya! Pendekar Naga Putih segera
menghadapi dengan ilmu ‘Silat Naga Sakti’. Keduanya
pun terlibat dalam sebuah pertempuran yang sangat
mendebarkan!
Setan Jari Pedang kelihatan sangat bernafsu dapat
merobohkan Pendekar Naga Putih. Serangan seperti
gelombang air bah itu datang bertubi-tubi dengan gen-
carnya. Sayang, serangan kakek cebol itu selalu kan-
das di tengah jalan. Hingga ia semakin penasaran di-
buatnya.
Melihat lawan sangat bernafsu meraih kemenangan,
Panji tidak tinggal diam. Sepasang tangannya yang
berbentuk cakar naga mulai menunjukkan keampu-
han. Disertai hawa dingin yang menusuk tulang, pe-
muda itu menerjang maju dengan jurus-jurus anda-
lannya. Sehingga ketika pertempuran memasuki jurus
keseratus dua puluh, Setan Jari Pedang mulai mera-
sakan keampuhan jurus-jurus lawan. Kakek cebol itu
mulai terdesak. Ruang gerakannya semakin sempit.
Serbuan hawa dingin yang tidak pernah berhenti itu,
menyulitkannya untuk membangun serangan. Setan
Jari Pedang merasa dirinya bagai dikelilingi dinding-
dinding salju yang tak tampak. Akibatnya....
Desss...!
“Hakkk!”
Pada jurus keseratus tiga puluh, Setan Jari Pedang
tak sanggup lagi menyelamatkan diri. Sebuah hanta-
man telapak tangan Pendekar Naga Putih, telah me-
lemparkan tubuh kakek cebol itu sejauh dua tombak,
dan terus terguling-guling di atas tanah!
“Kurang ajar...!” umpat Setan Jari Pedang marah
bukan main melihat dirinya dapat dirobohkan pemuda
hebat itu. Meski dadanya terasa agak sesak dan seku-
jur tubuhnya dijalari hawa dingin, Setan Jari Pedang
masih sangat bernafsu melanjutkan pertarungan.
“Haaat...!”
Pendekar Naga Putih bergegas untuk menghindari
hujan serangan Setan Jari Pedang. Kemudian memba-
las dengan gempuran yang tidak kalah dahsyat! Kedu-
anya kembali bertarung ketat!
“Hiaaah...!”
Buggg!
Dua puluh jurus kemudian, sebuah tendangan Pan-
ji menghantam telak dada kakek cebol itu. Kembali tu-
buh Setan Jari Pedang terbanting ke tanah. Kali ini ti-
dak segera bangkit. Isi dadanya terasa berguncang he-
bat! Darah segar menyembur keluar karena luka da-
lam yang dideritanya.
“Baiklah. Kali ini aku mengaku kalah, Pendekar Na-
ga Putih!” desis Setan Jari Pedang seraya menatap
Panji dengan sorot mata penuh dendam. Lalu kakek
itu bergerak meninggalkan tempat itu dengan langkah
tertatih.
Panji tidak mempedulikan kepergian Setan Jari Pe-
dang. Perhatiannya segera dialihkan pada pertarungan
Ki Legawa dan Siluman Gurun Setan. Kelihatannya,
Kepala Desa Bandul tidak akan mampu bertahan lebih
lama lagi. Siluman Gurun Setan mendesak lawan den-
gan serangan-serangan ganas dan cepat
Perhatian Panji beralih ke tempat lain. Dilihatnya
Kenanga tengah bertarung melawan Ki Dirja dan para
pengawalnya. Rupanya, dara jelita itu mencegah mere-
ka ketika hendak membantu Ki Legawa yang tengah
berjuang menghadapi Siluman Gurun Setan. Sehingga,
Ki Dirja dan kawan-kawannya menggempur dara jelita
itu.
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking
merobek angkasa. Disusul robohnya tubuh Ki Legawa
dengan leher hampir putus! Siluman Gurun Setan telah berhasil menamatkan riwayat lawannya.
“Hentikan pertarungan...!”
Ki Dirja dan orang-orangnya yang tengah menge-
royok Kenanga berlompatan mundur. Lalu berpaling ke
arah sosok Siluman Gurun Setan. Tokoh itulah yang
tadi berteriak menghentikan pertarungan.
“Saudara-saudara sekalian! Ingatlah kalian dengan
Ki Raharja, Kepala Desa Bandul yang lama. Ketahui-
lah. Ki Legawa telah menyebarkan fitnah keji terha-
dapnya! Ki Raharja tidak pernah melakukan apa yang
dituduhkan Ki Legawa. Dengan sengaja Ki Legawa me-
nyuruh kekasihnya menjebak Ki Raharja. Saat itu Ki
Raharja berada seorang diri di tempat kediamannya.
Dengan liciknya, Ki Legawa menghasut para pelayan
untuk bersembunyi. Kemudian datanglah Yanara, ke-
kasih Ki Legawa. Seperti yang telah mereka rencana-
kan, Yanara kemudian keluar dari dalam rumah den-
gan pakaian tidak senonoh, la mengaku telah diperko-
sa Ki Raharja,” Siluman Gurun Setan menghentikan
ceritanya? Sepasang matanya memandang berkeliling.
Seolah hendak melihat tanggapan orang-orang di seki-
tarnya.
“Bohong! Siluman itu jelas telah menyebarkan dus-
ta! Kalian jangan percaya! Sebaiknya kita bunuh saja
manusia jahat itu!” teriak Ki Dirja yang didukung Ma-
lingga serta kerabat dekat keluarga Ki Legawa.
“Tunggu...!”
Melihat gelagat tidak baik, Panji berseru mengerah-
kan tenaga dalamnya hingga orang-orang itu ter-
huyung mundur. Kemudian pemuda itu melangkah
dan berdiri di samping Siluman Gurun Setan.
“Aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri,
betapa Ki Legawa telah memerintahkan Rajulit untuk
menculik gadis-gadis ini. Bahkan dengan paksa merebut anak gadis orang. Karena orang tua gadis itu tidak
mampu membayar hutang-hutangnya kepada Ki Lega-
wa,” ujar Panji mengatasi suara ribut orang-orang itu.
Karena ia mengerahkan tenaga dalam, maka suaranya
terdengar jelas.
“Selain itu, aku masih mempunyai saksi hidup yang
akan membuat kalian percaya dengan keteranganku
daripada bau busuk yang keluar dari mulut begundal-
begundal Ki Legawa...,” setelah berkata demikian, Si-
luman Gurun Setan melesat pergi.
Panji segera bertindak mengatasi kebisingan itu.
Suara bentakannya yang menggelegar membuat para
pengawal Ki Legawa tidak berani berkutik.
Keributan yang terjadi di tempat kediaman Ki Lega-
wa telah membangunkan penduduk desa. Terutama
bentakan Panji yang laksana ledakan guntur. Sehing-
ga, tempat itu dipadati warga Desa Bandul. Saat teria-
kan-teriakan ribut orang-orang Ki Legawa kembali ter-
dengar, Siluman Gurun Setan muncul sambil meng-
gendong sesosok tubuh perempuan. Kemudian menu-
runkannya dari gendongan.
“Yanara...?!” desis Ki Dirja. Wajahnya berubah pu-
cat Demikian juga beberapa pengikut dan kerabat de-
kat Ki Legawa. Mereka menjadi ketakutan melihat wa-
nita itu.
“Nah. Kalian lihat sendiri, bukan? Wajah-wajah iblis
itu sekarang berubah pucat! Karena wanita inilah yang
mengetahui segala kebusukan Ki Legawa dan begun-
dal-begundalnya. Selain mencelakakan Ki Raharja un-
tuk menguasai desa ini, mereka pun telah meracuni
seluruh keluarga Ki Raharja. Sehingga, tidak satu pun
dari keluarga kepala desa kalian yang lama selamat.
Mereka terkena penyakit yang menjijikkan. Sampai
akhirnya, seluruh anggota keluarga Ki Raharja mati
dengan tubuh kurus kering akibat racun jahat itu.
Sayang, Rajulit dan salah seorang kawannya bertindak
ceroboh. Yanara yang diperintahkan Ki Legawa untuk
dilenyapkan, malah mereka lahap dengan buas di da-
lam sebuah hutan. Kemudian meninggalkannya dalam
keadaan pingsan. Untunglah aku bertemu dengan wa-
nita malang ini. Dari Yanara-lah aku mengetahui ke-
busukan Ki Legawa secara lebih terperinci!” Siluman
Gurun Setan mengakhiri ceritanya.
“Bunuh manusia-manusia busuk itu!”
“Gantung mereka hidup-hidup...!”
Terdengar teriakan marah di sana-sini. Hingga Ki
Dirja dan para pengikut Ki Legawa ketakutan. Para
penduduk memang sudah sangat mendendam Ki Le-
gawa dan orang-orangnya. Sehingga, mereka seperti
mendapat kesempatan untuk menumpahkan kemara-
han itu.
“Saudara-saudara sekalian, harap tenang...!” meli-
hat wanita cantik yang bernama Yanara berusaha ber-
bicara, Panji segera berseru mengatasi kebisingan itu.
Sehingga, suasana kembali hening.
“Saudara-saudara sekalian. Perlu kalian ketahui, Ki
Raharja yang terpaksa melarikan diri karena merasa
tidak bersalah ternyata masih hidup. Sekarang beliau
memakai julukan Siluman Gurun Setan...!” Yanara
berteriak keras-keras agar para penduduk mendengar
perkataannya.
Siluman Gurun Setan berdiri tegak. Kemudian
membuka topeng kasar yang selama ini dikenakannya.
Tampaklah wajah seorang lelaki gagah berwibawa be-
rusia sekitar lima puluh lima tahun. Lelaki gagah itu
tersenyum mengangkat kedua tangannya, ketika men-
dengar warga Desa Bandul mengelu-elukan namanya.
Melihat Ki Raharja masih hidup, hampir sebagian besar keamanan desa berlari memburu dan menjatuhkan
tubuhnya memohon ampun lelaki gagah itu.
Ki Dirja dan para pengikut serta keluarga Ki Legawa
yang hendak melakukan perlawanan, dengan mudah
ditundukkan Panji dan Kenanga. Lalu diserahkan ke-
pada Ki Raharja alias Siluman Gurun Setan. Panji per-
caya lelaki gagah itu akan bertindak bijaksana untuk
menghukum para pengkhianat itu.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tanpa ban-
tuanmu mungkin aku akan gagal...,” ucap Ki Raharja
menyalami Panji dengan penuh rasa terima kasih.
Panji dan Kenanga hanya tersenyum. Saat perha-
tian Ki Raharja kembali tercurah kepada warga desa
dan tawanannya, pasangan pendekar muda itu pergi
dengan diam-diam. Mereka memang tidak mengha-
rapkan balasan atas apa yang telah mereka lakukan.
Keduanya melanjutkan perjalanan untuk menegakkan keadilan di muka bumi....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar