..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 09 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE SERIGALA SILUMAN

Pengembala Mayat


 

SATU

Siang itu Perguruan Perisai Baja tampak sibuk. 
Beberapa orang dari rimba persilatan golongan putih 
berganti-gantian mengunjungi perguruan itu. Rupa-
nya, kedatangan mereka ke situ adalah untuk me-
nyatakan bela sungkawa atas musibah yang me-
nimpa Perguruan Perisai Baja. 
"Aneh! Padahal, baru kemarin aku bertemu Ki 
Jaladri. Dan waktu itu kulihat beliau sehat-sehat saja. 
Tak nampak sedikit pun kalau tengah menderita 
sakit. Wajahnya pun segar, dan tak ada tanda-tanda 
kalau tengah menghadapi suatu masalah," bisik salah 
seorang tamu yang mengenakan ikat kepala ber-
warna hitam, kepada seorang tokoh lain yang berada 
di sebelahnya. 
"Ya! Kalau saja aku tidak melihat mayatnya, tentu 
tidak akan mudah percaya begitu saja. Selama ini aku 
mengenal beliau sebagai seorang yang tidak pernah 
usil terhadap urusan orang lain," sahut orang yang 
diajak bicara. 
Rupanya, kedua orang itu adalah sahabat baik 
Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama Ki 
Jaladri. Wajah mereka tampak diliputi rasa 
penasaran. 
"Hm.... Menurut salah seorang murid utama, Ki 
Jaladri tewas tanpa ada seorang murid pun yang 
mengetahuinya. Untunglah ada seorang pelayan yang 
menemukan mayat beliau di atas pembaringan, 
persis seperti orang tertidur saja layaknya. Dan lebih 
aneh lagi, tak satu pun luka di tubuhnya. Bahkan

menderita keracunan pun tidak! Entah, kitanya yang 
kurang jeli, atau memang orang tua itu meninggal 
sewajarnya?" celetuk tokoh lainnya. Dia memakai 
jubah hijau, dan berikat kepala juga hijau. 
Perkataan orang itu ditutup oleh sebuah per-
tanyaan yang membuat kedua orang yang tengah 
berbicara itu terdiam dengan kening berkerut. 
Sejenak suasana menjadi hening, terbawa oleh 
pikiran masing-masing. 
"Sudahlah, Kisanak. Lebih baik kita menunggu 
perkembangan selanjutnya. Aku yakin kejadian ini 
tidak akan berhenti begitu saja. Kematian Ki Jaladri 
pasti akan berbuntut panjang," ujar tokoh yang 
mengenakan ikat kepala hitam, menyimpulkan. 
"Maaf. Kami harus pergi, Kisanak. Dengan adanya 
kejadian ini, kami harus lebih berhati-hati menjaga 
perguruan kami." Setelah berpamitan, orang itu 
melangkah bersama kawannya meninggalkan 
Perguruan Perisai Baja. 
Tidak lama setelah kepergian kedua orang itu, 
tokoh berwajah gagah yang menyandang pedang 
beronce merah juga segera berpamitan kepada tuan 
rumah. Dia meninggalkan Perguruan Perisai Baja 
dengan berbagai pertanyaan di benaknya. 
Satu persatu para tokoh persilatan itu mulai 
meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Wajah mereka 
membayangkan rasa penasaran. Memang, kematian 
ketua perguruan itu merupakan sebuah teka-teki 
yang belum terungkapkan! 
Menjelang sore, tempat itu pun kembali sepi. 
Hanya ada satu dua orang tamu yang masih berbicara 
dengan murid-murid utama Ki Jaladri. Sepertinya, 
mereka adalah para kerabat dekat ketua perguruan 
itu, dan berniat untuk bermalam di situ.

Para murid perguruan pun mulai membereskan 
tempat itu. Sedangkan peti mati yang menyimpan 
mayat Ki Jaladri, tetap berada di tempatnya. Tak 
seorang pun yang berani memindahkan peti mati 
gurunya yang berada di beranda depan itu. 
Bau wewangian menebar memenuhi halaman 
depan Perguruan Perisai Baja. Peti mati yang berisi 
mayat Ki Jaladri tetap diam, beku, dan mengandung 
misteri! 
*** 
Malam mulai menampakkan kekuasaannya. 
Perlahan-lahan kegelapan mulai menyelimuti per-
mukaan bumi. Malam itu, sang rembulan ber-
sembunyi di balik gumpalan awan hitam. Angin dingin 
yang berhembus kencang membuat suasana malam 
itu terasa semakin mencekam! 
Keadaan malam yang menyimpan misteri itu 
membuat dua orang murid Perguruan Perisai Baja 
yang ditugaskan menjaga peti mati gurunya menjadi 
gelisah. Sesekali salah seorang yang bertubuh gemuk 
melirik ke arah tutup peti mati itu. Sepertinya dia 
merasa khawatir kalau-kalau peti mati itu akan 
terbuka. 
"Perasaanku kok tidak enak ya? Suasana malam 
ini terasa menyeramkan?" keluh orang gemuk itu 
kepada kawannya yang tengah asyik melamun. Nada 
suaranya yang berbisik itu terdengar agak gemetar. 
Entah karena hawa dingin atau karena rasa takut 
yang menyelimuti hatinya. 
"Ah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau 
takut, pergilah tidur sana," ujar kawannya, agak kesal 
karena lamunannya terputus akibat keluhan orang

itu. 
"Apa kau tidak merasa takut?" tanya si gemuk lagi. 
Wajah orang itu tampak mulai memucat. Sepasang 
matanya semakin sering melirik ke arah peti mati 
yang terpisah tiga tombak dari mereka. Jelas sekali 
kalau rasa takutnya semakin memuncak. 
"Tidak. Mengapa harus takut? Suasana seperti ini 
sudah sering terjadi. Apalagi musim hujan akan 
segera datang. Jadi wajar saja kalau hari menjelang 
musim itu suasana malam akan selalu begini," jawab 
temannya yang memiliki tubuh kurus, acuh tak acuh. 
Sepertinya keadaan alam di sekelilingnya tidak begitu 
dipedulikannya. 
"Aneh. Mengapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri? 
Hiiih...!" 
Sambil berkata demikian, tubuh si gemuk meng-
gelinjang gelisah. Kali ini bukan lagi sekadar melirik 
ke arah peti mati gurunya, tapi matanya malah tak 
lepas dari peti mati itu. Keringat dingin tampak mulai 
menitik membasahi keningnya. 
"Ya! Karena sebentar lagi setan-setan akan 
berdatangan untuk mencekik batang lehermu! Paling 
tidak agar mulutmu berhenti mengoceh!" bentak si 
kurus merasa kesal karena kawannya masih saja 
bicara tak karuan. Namun suaranya tetap ditekan 
rendah agar tidak terdengar yang lainnya. 
"Aungngng...!" 
Baru saja salah seorang penjaga yang bertubuh 
kurus itu selesai berkata, terdengar lolongan serigala 
saling bersahutan mengusik perasaan. Hembusan 
angin dingin bertiup keras hingga membuat tubuh 
kedua orang penjaga itu menggigil kedinginan. 
Belum lagi lolongan serigala itu lenyap, terdengar 
suara kayu yang bergeser dari tempatnya.

Grrrkkk! 
Si penjaga bertubuh gemuk yang sejak tadi tengah 
memandangi peti mati itu membelalakkan matanya. 
Bahkan wajahnya pucat pasi. Penjaga itu menggosok-
gosokkan matanya dengan punggung tangan, seolah-
olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. 
"Penutup peti itu.... Penutup peti itu..., bergerak...!" 
Sambil menunjuk ke arah peti mati Ki Jaladri, 
orang itu berkata terputus-putus. Keringat dingin 
tampak semakin banyak membasahi wajah dan 
tubuhnya. 
"Hm...!" 
Si kurus yang memiliki keberanian, bergumam 
sambil melangkah mendekati peti mati gurunya. 
Diperhatikannya tutup peti mati itu dengan teliti. 
"Dasar penakut! Ke sini kau! Dan lihat baik-baik, 
apakah penutup peti mati ini terbuka?!" umpat si 
kurus itu semakin kesal ketika tidak menemukan 
sesuatu yang mencurigakan seperti yang dikatakan 
kawannya tadi. 
"Tapi.... Tapi, tadi...," bantah penjaga yang 
bertubuh gemuk terbata-bata ketika melihat peti mati 
itu ternyata masih tetap seperti semula. Sehingga 
keheranannya timbul. 
"Nah! Kau lihat sendiri ’kan! Makanya jangan 
terlalu terbawa pikiran yang bukan-bukan," kata si 
kurus menasihati. 
Dan baru saja mereka hendak melangkah kembali 
ke tempat semula, kembali terdengar suara yang 
membuat jantung hampir copot! 
"Suara itu.... Suara itu.... Datangnya dari dalam peti 
mati guru!" bisik si gemuk, serak dan bergetar. Sambil 
berkata demikian, tangannya mencengkeram pundak 
kawannya.

Kawannya yang semula merasa tak percaya, 
langsung tertegun. Karena, kali ini yang didengarnya 
jelas suara yang memang datang dari dalam peti mati 
Ki Jaladri. 
Tapi si kurus itu tak mau mempercayai begitu saja. 
Dengan hati-hati kakinya melangkah mengitari peti 
mati gurunya. Diperiksanya sekeliling peti mati 
gurunya itu. Dan ketika tidak menemukan sesuatu 
yang mencurigakan, rasa takutnya mulai timbul. 
"Tapi mustahil kalau ada mayat yang bisa bangkit 
lagi," ucap si kurus dalam hati. Kata-kata itu 
dimaksudkan untuk menenangkan hatinya sendiri 
yang sempat goyah. 
Pada saat kedua orang penjaga itu tengah 
memandangi peti mati gurunya, mendadak... 
Brakkk! 
Penutup peti mati Ki Jaladri yang telah dipaku 
kuat-kuat itu, melambung setinggi empat batang 
tombak! Kemudian penutup peti mati itu melayang-
layang jatuh di tanah dalam keadaan utuh! 
Belum lagi mereka menyadari apa yang tengah 
terjadi, seketika itu sosok mayat yang berada di 
dalam peti mati itu bangkit dan langsung berdiri tegak 
dan kaku. 
"Aaah...!?" 
Kedua penjaga itu berteriak kaget dengan wajah 
pucat pasi. Kedua kaki mereka gemetar hebat hingga 
sukar untuk melangkah. 
"Gggu.... ru...!" desis mereka bersamaan dengan 
suara serak dan bergetar. Sepasang mata mereka 
membelalak lebar. 
Tanpa berbicara sepatah kata pun, sosok mayat Ki 
Jaladri melangkah kaku mendekati dua orang 
penjaga yang sebenarnya adalah muridnya itu.

Sepasang matanya memancarkan warna merah saga 
dan menyiratkan kematian. 
"Tolooong...!!!" 
Dua orang penjaga itu menjerit-jerit ketakutan 
ketika sepasang jari-jari tangan Ki Jaladri terulur ke 
arah leher mereka. Dan.... 
Kreppp! Kreppp! 
"Eeekh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua penjaga 
yang naas itu terangkat ke atas. Wajah mereka 
tampak mulai membiru karena pernapasan ter-
sumbat oleh jari-jari tangan yang sekeras besi. 
Beberapa murid yang tengah meronda, cepat 
berlari ketika mendengar jeritan ketakutan itu. 
Bahkan tiga orang kerabat Ki Jaladri yang tengah 
menginap serentak berlari menghambur ke arah yang 
sama. 
*** 
"Aaah...!" 
"Mustahil...!" 
"Ki Jaladri! Tidak mungkin...!" 
Berbagai seruan terdengar silih berganti ketika 
para murid dan tiga orang tokoh persilatan itu 
menyaksikan apa yang terjadi. Serentak mereka surut 
ke belakang dengan perasaan ngeri dan terkejut. 
"Grrrh...!" 
Terdengar erangan laksana binatang buas, keluar 
dari mulut Ki Jaladri. Nampak air liur yang me-
nebarkan bau busuk menetes dari mulutnya yang 
terbuka lebar. 
Sesaat kemudian, tubuh dua orang penjaga yang 
sudah tidak bernyawa itu dilempar ke arah orang


orang yang mengerumuninya. 
"Ya, Tuhan... Musibah apa lagi yang akan menimpa 
perguruan kami?" ucap salah seorang murid utama 
Perguruan Perisai Baja mengeluh sedih. 
Dua orang murid utama perguruan itu cepat 
melesat menyambar dua sosok tubuh penjaga yang 
dilemparkan oleh mayat hidup Ki Jaladri itu. 
"Mereka.... Mereka telah tewas...!" desis dua orang 
murid utama perguruan itu, terkejut sekaligus ngeri. 
"Hm.... Pasti ada sesuatu yang tidak beres di 
perguruan ini?" duga salah seorang tokoh persilatan 
yang merupakan kerabat dekat Ki Jaladri. 
Ia benar-benar merasa heran dengan kejadian-
kejadian aneh yang dialami perguruan itu. Belum lagi 
misteri kematian Ki Jaladri terungkap, kini muncul lagi 
persoalan baru. 
"Pasti ada orang yang menggerakkannya, Kakang! 
Tapi, apa maksud orang itu sebenarnya?" timpal 
tokoh lain. 
"Mungkin saja ini ulah salah seorang musuh lama 
Ki Jaladri yang hendak membalas dendam!" sahut 
yang lain. 
"Hhh..., entahlah! Yang terpenting sekarang, apa 
yang harus kita lakukan terhadap mayat hidup Ki 
Jaladri ini? Untuk melukainya, rasanya tidak tega. 
Tapi kalau didiamkan, bisa-bisa kita yang akan 
dibunuhnya," kata seseorang. 
Dia adalah tokoh persilatan yang merupakan 
sahabat lama Ki Jaladri. Bajunya berwarna kuning, 
dan celananya hitam. Di kedua sisi pinggangnya 
tampak terselip dua buah senjata trisula yang terbuat 
dari baja putih. Tokoh ini dijuluki si Trisula Perak yang 
cukup terkenal di kalangan rimba persilatan. Itulah 
sebabnya, mengapa dia menjadi bingung menghadapi


mayat hidup kawannya itu. 
Saat itu mayat hidup Ki Jaladri sudah melangkah 
mendekati orang-orang yang berada di depannya. 
Gerak langkah kakinya nampak kaku dan berat. 
Samar-samar tercium bau busuk yang memualkan 
perut. Rupanya tubuh mayat itu pun sudah mulai 
membusuk. 
"Awasss...!" 
Si Trisula Perak berteriak memperingatkan yang 
lain ketika melihat mayat itu melompat ke arah 
mereka. Kedua tangannya terulur ke depan, siap 
mencengkeram siapa saja. 
"Aaa...!" 
Terdengar jerit kematian yang merobek angkasa. 
Tampak seorang murid yang tidak sempat 
menghindar, langsung menjadi korban mayat hidup 
itu. Tubuh orang itu melambung tinggi disertai 
percikan darahnya yang berhamburan ke segala arah. 
Orang itu kontan ambruk dan tewas. Perutnya robek 
lebar. Rupanya jari-jari tangan mayat hidup itu telah 
membeset kulit perutnya. Darah pun mulai meng-
genang membasahi halaman Perguruan Perisai Baja. 
"Maafkan aku, Sahabat. Aku terpaksa melumpuh-
kanmu!" gumam si Trisula Perak, pelan. 
Setelah berkata demikian, tubuh pendekar itu 
langsung melesat mengirimkan pukulan ke tubuh 
mayat hidup Ki Jaladri. 
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata mayat 
hidup Ki Jaladri dapat menghindari dua buah pukulan 
yang dilontarkan pendekar itu. Bahkan membalas 
serangan lawan dengan tidak kalah ganas. Angin 
pukulannya yang disertai bau busuk, menderu tajam 
hingga menimbulkan suara mencicit 
Si Trisula Perak menjatuhkan tubuhnya sambil


melepaskan sebuah tendangan kilat. Tendangan itu 
terus meluncur deras mengancam perut lawan. 
Desss! 
Tendangan si Trisula Perak tepat menghantam 
perut mayat hidup Ki Jaladri. Tapi, bukan main 
terkejutnya hati pendekar itu ketika telapak kakinya 
terasa bagai menghantam sebongkah besi baja! 
"Aaah...!" 
Tubuh pendekar itu terdorong deras ke belakang. 
Secepat kilat tubuhnya berputar beberapa kali ke 
belakang untuk menjaga serangan susulan. Kedua 
kaki pendekar berusia setengah baya itu mendarat 
empuk di atas permukaan tanah. Terlihat seringai 
kesakitan di wajahnya. 
Sedangkan tubuh mayat hidup Ki Jaladri hanya 
terdorong sejauh empat langkah. Dan sepertinya, 
tendangan pendekar itu tidak berpengaruh sama 
sekali. 
"Gila! Padahal semasa hidupnya Ki Jaladri pasti 
akan mengalami luka dalam cukup parah akibat 
tendanganku tadi. Heran, dari mana kekuatan yang 
berlipat ganda itu diperolehnya?" gumam si Trisula 
Perak, tak habis pikir. 
Keheranan yang dialami pendekar itu memang 
beralasan. Karena sebagai seorang sahabat yang 
terdekat, ia tahu betul sampai di mana kepandaian 
yang dimiliki Ki Jaladri. Meskipun kepandaian satu 
sama lain tidak berbeda terlalu jauh, tapi pendekar 
itu masih dapat mengunggulinya. Tapi sekarang, 
sepertinya mayat hidup itu tidak mungkin dapat 
diatasi. 
"Kakang Darbasena! Kau tidak apa-apa?" tanya 
salah seorang sahabatnya seraya menghampiri 
pendekar itu disertai perasaan khawatir.

"Aku tidak apa-apa, Adi Kanjaran. Tapi, hati-hatilah! 
Kekuatannya telah berlipat ganda. Bahkan kita 
bertiga pun belum tentu mampu mengungguli 
kekuatannya," jelas si Trisula Perak yang ternyata 
bernama Darbasena itu. 
"Wah, berbahaya sekali kalau begitu! Lalu, bagai-
mana kita harus mengatasinya?" sahut tokoh yang 
dipanggil Kanjaran, bernada cemas. 
"Kita terpaksa harus menggunakan senjata. Tidak 
ada jalan lain, Adi Kanjaran. Sebab dia bukan lagi 
sahabat kita. Jadi, tidak perlu sungkan-sungkan lagi," 
tegas Darbasena mengambil keputusan. 
Selesai berkata demikian, pendekar itu bergegas 
mencabut sepasang trisula peraknya yang terselip di 
pinggang. 
Sret! Sret! 
Sinar putih keperakan seketika berpendar saat 
sepasang trisula di tangan pendekar itu tersiram 
cahaya obor. Dengan langkah kuda-kuda yang kokoh, 
Darbasena melangkah mendekati mayat hidup Ki 
Jaladri. 
Wut! Wut! 
Meskipun lawannya menggunakan senjata, namun 
mayat hidup itu sama sekali tidak merasa gentar. Dua 
serangan trisula Darbasena malah dipapak dengan 
telapak tangannya. Tentu saja pendekar itu terkejut, 
lalu cepat menarik pulang serangannya. 
Sepasang trisula di tangan Darbasena berputar, 
lalu kembali meluncur mengancam perut mayat hidup 
Ki Jaladri. Dari suara desingannya yang tajam, dapat 
diketahui kalau pendekar itu mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya. 
Pada saat yang sama, berkelebat dua bilah pedang 
ke arah mayat hidup itu. Dua serangan itu berasal

dari dua orang pendekar lain. Kekuatan dan 
kecepatan dua batang pedang mereka tidak kalah 
dengan sepasang trisula di tangan Darbasena. 
Namun tanpa disangka-sangka, mayat hidup itu 
merebahkan tubuhnya ke belakang. Meskipun 
gerakannya terlihat amat kaku, tapi serangan tiga 
orang pendekar itu manis sekali dapat dihindarinya. 
Begitu sambaran empat batang senjata itu lolos, 
tubuh mayat itu kembali bangkit dalam posisi tegak 
lurus. Secepat kilat kedua tangannya menyambar ke 
arah dua orang pendekar yang memegang pedang. 
Bukkk! Plakkk! 
Sambaran tangan kanan mayat hidup Ki Jaladri 
tepat menghantam lambung salah seorang pendekar, 
sehingga langsung terjengkang beberapa tombak. 
Tampak darah segar menyembur keluar dari mulut-
nya. Namun hebatnya, pendekar itu langsung 
melenting bangkit berdiri. 
Sedangkan pendekar lainnya lagi berhasil 
menangkis sambaran tangan kiri si mayat hidup. 
Namun, tetap saja tubuhnya terjajar mundur sejauh 
delapan langkah, sambil menyeringai kesakitan. 
Rasanya, lengannya tadi bagaikan beradu dengan 
sebatang besi baja yang amat keras. Tentu saja hal 
itu membuatnya semakin berhati-hati dalam meng-
hadapinya. 
"Bagaimana lukamu, Wijanarka?" tanya Kanjaran 
kepada kawannya yang terkena hantaman mayat 
hidup Ki Jaladri itu. 
"Uh.... Uh.... Tidak kusangka, ternyata tenaga 
pukulannya demikian kuat!" sahut tokoh yang 
dipanggil Wijanarka itu sambil membungkuk 
memegangi perutnya yang terkena hantaman keras 
tadi.

"Kepung...!" perintah Darbasena kepada murid-
murid Perguruan Perisai Baja untuk mengurung 
gurunya yang telah berubah menjadi mayat hidup. 
Puluhan orang murid yang semula masih ragu-ragu 
itu cepat berloncatan mengurung mayat hidup Ki 
Jaladri. Mereka semua sudah mencabut senjata 
masing-masing, karena sudah menyadari kalau mayat 
hidup itu bukan lagi gurunya. 
Sementara itu, mayat hidup Ki Jaladri pun telah 
menggenggam sebatang pedang milik Wijanarka yang 
telah terlepas karena terkena pukulannya. Tentu saja 
hal itu membuatnya semakin berbahaya! 
"Yeaaat..!" 
Disertai teriakan nyaring, puluhan orang murid 
Perguruan Perisai Baja berlompatan sambil 
menyabetkan senjata ke arah mayat gurunya. 
Sepertinya mayat hidup Ki Jaladri itu kali ini tidak 
akan lolos dari kematian untuk yang kedua kalinya. 
Namun, untuk kesekian kalinya tiga orang tokoh 
persilatan dan para murid Perguruan Perisai Baja 
kembali terkejut Ternyata mayat hidup yang dipasti-
kan akan terpanggang puluhan batang pedang itu 
masih mampu menggerakkan pedang untuk 
menangkis puluhan batang pedang. Meskipun 
dengan terpatah-patah, tapi gerakan yang dilakukan-
nya benar-benar menggetarkan. 
Tubuh mayat hidup itu melonjak-lonjak bagai 
seekor kijang yang ketakutan. Setiap kali bergerak, 
pedang lawan yang tertangkis pasti terpental lepas 
dari genggaman. Dan sebelum para pengeroyok 
sempat berbuat sesuatu, mayat hidup itu telah 
menyabetkan pedangnya dengan kecepatan kilat. 
Bret! Bret! 
"Aaargh...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, para pengeroyok yang 
terkena sambaran pedangnya kontan terjungkal 
mandi darah. Dalam satu gebrakan saja, enam orang 
murid Perguruan Perisai Baja tewas tergeletak di 
tangan mayat gurunya. Tentu saja hal itu membuat 
yang lainnya tersentak mundur dengan wajah pucat. 
Mundurnya para pengeroyok itu ternyata tidak 
membuat mayat hidup itu berhenti mengamuk. 
Tubuhnya yang bergerak kaku terus saja menerjang 
disertai ayunan pedang yang berbau kematian. 
Sehingga, para pengeroyok yang mulai gentar 
bergegas berloncatan menjauhi arena maut itu. 
Cras! Cras...! 
"Aaa...!" 
Lagi empat orang murid Perguruan Perisai Baja 
yang tak sempat menghindarkan diri menjadi sasaran 
amukan pedang mayat hidup Ki Jaladri. Mereka 
langsung tewas seketika dengan usus memburai! 
"Heaaat..!" 
Darbasena, Kanjaran, dan Wijanarka berteriak 
sambil menerjang berbarengan. Kali ini mereka 
sudah tidak lagi memandang mayat hidup itu sebagai 
kawannya. Maka serangan yang dilakukan pun tidak 
tanggung-tanggung lagi. Ayunan senjata ketiga orang 
tokoh itu mengaung tajam membeset udara dingin 
malam itu. 
Perbuatan ketiga orang tokoh itu pun segera diikuti 
empat orang murid utama Ki Jaladri. Ternyata mereka 
juga tidak lagi melihat Ki Jaladri sebagai gurunya. 
Karena, mayat hidup itu ternyata telah tega mem-
bunuh murid-muridnya sendiri. Sehingga, rasa 
keraguan yang memang sudah menipis itu lenyap 
seketika. Dan kali ini, keempat orang murid utama itu 
sudah bertekad untuk melenyapkannya.

DUA

"Haiiit..!" 
Empat orang murid utama Perguruan Perisai Baja 
berseru nyaring secara bersamaan sambil meng-
ayunkan senjata ke tubuh mayat hidup guru mereka. 
Wut! Wut...! 
Trang! Trang! 
"Aaah...!" 
Namun serangan beruntun dari keempat murid 
Perguruan Perisai Baja dengan mudah dapat di-
tangkis oleh pedang si mayat hidup. Tubuh mereka 
terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sebelum 
posisi mereka sempat diatur kembali, si mayat hidup 
sudah mengayunkan senjata mengancam ke-
selamatan keempat orang murid utama itu. 
Wut! 
Trak! 
Pada saat yang berbahaya itu, Wijanarka me-
nyabetkan pedang untuk menyelamatkan empat 
orang murid utama itu. Apa yang dilakukan tokoh itu 
memang berhasil, meskipun pedangnya harus patah 
akibat kuatnya ayunan pedang si mayat hidup. Buru-
buru tokoh itu menggulingkan tubuhnya untuk meng-
hindari serangan berikutnya. 
"Uhhh...!" 
Wijanarka berusaha bangkit sambil mendekap 
dadanya yang terasa sesak akibat kuatnya pengaruh 
tangkisan senjata si mayat hidup. Kekuatannya yang 
masih kalah jauh menyebabkan Wijanarka kembali 
terluka. Memang, lukanya akibat hantaman mayat

hidup itu kembali kambuh. 
Sementara itu, Darbasena dan Kanjaran sudah 
bertarung sengit melawan mayat hidup itu. Mereka 
memang merasa berkewajiban untuk melindungi 
Perguruan Perisai Baja dari kehancuran. Makanya, 
kini si mayat hidup terus dicecar dengan serangan-
serangan hebat dan dahsyat 
Trisula Perak dan Kanjaran mengerahkan seluruh 
kepandaian yang dimiliki. Pengalaman yang telah 
dialami berkali-kali tadi, membuat mereka harus ber-
hati-hati untuk memapak setiap serangan balasan si 
mayat hidup. Kedua pendekar itu terus mendesak 
tanpa berani beradu tangan atau beradu senjata 
dengan mayat hidup Ki Jaladri. 
Sementara itu empat orang murid utama 
Perguruan Perisai Baja yang lolos dari kematian, 
segera terjun ke dalam kancah pertempuran. Tentu 
saja dengan hadirnya mereka, keadaan Darbasena 
dan Kanjaran semakin bertambah kuat. Dan kini 
serangan yang dilakukan dua orang tokoh persilatan 
itu semakin hebat saja. 
Tapi, mayat hidup Ki Jaladri memang luar biasa! 
Walaupun dikeroyok dua orang pendekar dan di-
tambah empat orang murid utama, tetap saja tidak 
merasa kewalahan. Malah, ayunan senjatanya 
semakin ganas dan mengerikan. 
Pada jurus yang kedua puluh tiga, enam orang 
tokoh itu mengayunkan senjata secara berbarengan. 
Mereka menerjang dari enam penjuru. Kali ini, 
mereka semua yakin kalau tubuh mayat hidup Ketua 
Perguruan Perisai Baja itu pasti akan tercincang. 
Namun, dugaan enam orang tokoh itu kembali 
keliru. Dengan gerakan cepat luar biasa, tubuh mayat 
hidup itu menyelinap di tengah-tengah dua penge

royoknya. Kedua tangannya mengembang ke depan 
memapak serangan dua orang murid utama Per-
guruan Perisai Baja. 
Plak! Trang! 
Pedang di tangan kanan si mayat hidup berhasil 
menangkis senjata pengeroyoknya. Sedangkan 
tangan kirinya menepiskan senjata yang mengancam 
leher. Maka terciptalah celah untuknya meloloskan 
diri, karena tubuh dua orang pengeroyoknya terjajar 
ke belakang. 
Setelah berhasil menerobos kepungan, tubuh 
mayat hidup itu berputar setengah lingkaran disertai 
sambaran pedang membabat perut dua orang murid 
utama itu. 
Bret! Cras! 
"Aaa...!" 
Tubuh dua orang itu melintir dan langsung ambruk 
ke tanah. Darah seketika menyembur dari luka 
menganga di perut, sehingga langsung menewaskan 
dua orang murid utama Perguruan Perisai Baja. 
Belum lagi rasa terkejut para pengeroyok hilang, 
tubuh si mayat hidup sudah melompat ke arah 
Wijanarka disertai ayunan pedangnya. 
Wijanarka yang saat itu tengah melangkah tertatih-
tatih, hanya dapat memandang ngeri dengan 
sepasang mata terbelalak. la tak sempat lagi 
menghindari bacokan pedang yang menuju batang 
lehernya itu. 
"Hhhk...!" 
Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sempat 
lagi berteriak, karena batang lehernya tertebas oleh si 
mayat hidup. Darah pun langsung menyembur dari 
batang leher yang telah putus itu. Kepala pendekar 
itu menggelinding, lepas dari tubuhnya.

"Iblis...!" desis Trisula Perak marah melihat 
kekejaman yang terjadi di depan matanya itu. Setelah 
memaki penuh kemarahan, tubuh pendekar setengah 
baya itu melesat disertai tusukan trisula peraknya 
yang mengarah jantung si mayat hidup. 
Saat itu si mayat hidup sudah kembali melompat 
ke arah kerumunan puluhan murid yang tengah 
menyaksikan pertarungan berdarah itu. Bukan main 
pucatnya wajah mereka ketika melihat tubuh mayat 
gurunya tengah meluncur ke arah mereka. 
Terdengar jerit kematian yang saling susul ketika 
senjata di tangan si mayat hidup kembali meminta 
korban! Dalam beberapa gebrak saja, tubuh belasan 
orang murid Perguruan Perisai Baja bergelimpangan 
tumpang tindih. Darah semakin membanjir, menebar-
kan bau amis yang memualkan perut. Belum lagi bau 
busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup Ki 
Jaladri. Yang jelas, bau di sekitar tempat itu semakin 
tak karuan. 
Trang! Trang! 
Dua kali sambaran pedang si mayat hidup berhasil 
digagalkan Darbasena. Meskipun tubuh pendekar itu 
terdorong beberapa langkah ke belakang, namun 
tangkisannya berhasil menyelamatkan beberapa 
orang murid yang nyaris hilang nyawanya. 
Perbuatan Trisula Perak ternyata telah membuat si 
mayat hidup menjadi jengkel. Sepasang matanya 
yang memerah saga menatap tajam ke arah 
pendekar itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat 
kaku ke arah lawannya. 
Wut' Trang! Trang! 
"Uhhh...!" 
Darbasena berhasil menghindari sebuah sabetan 
yang mengancam lehernya. Dua buah serangan

berikutnya juga berhasil ditangkis. Namun karena 
kekuatan mayat hidup Ki Jaladri memang lebih tinggi, 
maka tetap saja tubuh laki-laki setengah baya itu 
terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang. 
Kanjaran dan dua orang murid utama Ki Jaladri 
yang masih selamat, bergegas melompat untuk 
menolong Darbasena. Serentak mereka meng-
ayunkan senjata berbarengan ke arah si mayat hidup 
yang tengah memburu Darbasena. 
Darbasena memucat wajahnya karena saat itu 
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk 
menyelamatkan diri. Untunglah, saat itu ketiga orang 
kawannya berhasil mendahului gerakan si mayat 
hidup. 
Trang! Trang! 
Brettt! 
Pedang di tangan Kanjaran dan salah seorang 
murid utama berhasil menggunting senjata si mayat 
hidup. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tiga 
buah senjata itu mengapung di udara. 
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan 
salah seorang murid utama tepat membeset tubuh si 
mayat hidup, sehingga terjajar beberapa langkah ke 
belakang. 
Ketiga orang itu bergegas berlompatan mundur 
menjauhi si mayat hidup. Ternyata dari luka di 
perutnya keluar cairan hijau yang menebarkan bau 
busuk yang sangat menusuk hidung. 
"Hoeeek...!" 
Seketika ketiga orang itu memuntahkan isi 
perutnya karena pengaruh bau busuk itu. Kini mereka 
semua tak kuasa lagi menahan isi perutnya yang 
mendadak ingin keluar. 
Luka yang diderita si mayat hidup itu sebenarnya

cukup parah. Tapi sepertinya sama sekali tidak ada 
pengaruhnya. Dan selagi keempat orang itu tengah 
tak berdaya, si mayat hidup melesat mengayunkan 
senjatanya. 
Crak! Crak...! 
Kematian demi kematian saling susul ketika 
pedang di tangan si mayat hidup membacok ke tubuh 
empat orang tokoh itu. Darah segar kembali muncrat 
membanjiri pelataran Perguruan Perisai Baja. 
Setelah menewaskan keempat orang tokoh itu, si 
mayat hidup kembali berpaling ke arah murid 
Perguruan Perisai Baja yang tinggal dua puluh tujuh 
orang. 
"Aaah...!" 
Wajah dua puluh tujuh orang murid itu pun pucat 
seketika. Rasanya nyawa mereka telah lepas sebelum 
sempat terkena senjata si mayat hidup. Bahkan 
beberapa orang di antaranya langsung jatuh pingsan 
karena rasa takut yang hebat. 
"Aaa...!" 
Korban kembali berjatuhan ketika mayat hidup Ki 
Jaladri mulai membantai murid-muridnya sendiri. 
Darah memercik memenuhi halaman perguruan itu. 
Namun demikian, beberapa orang murid nekat 
melakukan perlawanan sebisanya. Namun, apalah 
artinya perlawanan itu? Dan memang akhirnya 
mereka mati tanpa mampu melukai si mayat hidup 
sedikit pun juga. Sementara itu beberapa orang 
lainnya langsung melarikan diri tanpa mempedulikan 
kawan-kawannya. 
Kini tempat itu kembali jadi hening. Puluhan mayat 
bergelimpangan tumpang-tindih. Bau anyir darah 
menebar tertiup hembusan angin malam yang 
semakin dingin.

Mayat hidup Ki Jaladri melangkah kembali ke arah 
peti matinya. Sekali lompat saja, tubuh yang kaku itu 
kembali terbaring di dalamnya. Sedangkan golok di 
tangannya masih tetap tergenggam erat Sementara 
penutup peti mati itu kembali bergerak menutupinya. 
Perlahan-lahan peti mati Ki Jaladri terangkat naik 
bagai digerakkan tenaga gaib, lalu terus melayang 
meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Sesaat 
kemudian, peti mati itu lenyap ditelan kegelapan sang 
malam. 
*** 
Malam baru saja berganti pagi ketika kegemparan 
pecah di Desa Keputih. Para petani yang sedianya 
hendak berangkat ke sawah, lari tunggang-langgang 
kembali ke desa. Wajah mereka rata-rata terpancar 
rasa ketakutan hebat. 
Ternyata kegemparan itu disebabkan oleh datang-
nya tujuh orang laki-laki yang berteriak-teriak histeris 
sambil mengacung-acungkan pedangnya. Wajah 
mereka rata-rata kotor tak terawat. Begitu juga 
dengan pakaian mereka yang compang-camping tak 
ubahnya pakaian pengemis gila. 
"Tolong...! Tolong...! Ada orang gila ngamuk...!" 
Sambil berlari-lari para petani laki-laki dan 
perempuan berteriak-teriak ketakutan. 
"Hei, siapa kalian?! Apa maksudnya menakut-
nakuti penduduk desa kami?" tegur seseorang. 
Dia adalah laki-laki brewok mengenakan baju putih 
dan celana berwarna hitam. Tahu-tahu, laki-laki itu 
telah berdiri menghadang. Tampak di kiri kanannya 
berdiri masing-masing seorang laki-laki lain yang juga 
bersikap galak. Yang di sebelah kiri bertubuh tinggi

tegap, dan berusia sekitar tiga puluh tahun. 
Pakaiannya ketat berwarna biru. Sedangkan yang di 
sebelah kanan bertubuh sedang, berusia sekitar dua 
puluh dua tahun. 
Pakaiannya ketat, berwarna hijau. Sepertinya, 
mereka adalah keamanan desa itu. 
Tujuh orang laki-laki bertubuh kotor itu menatap si 
brewok dengan pandangan kosong dan ketakutan. 
Melihat dari cara memandang, dapat diduga kalau 
mereka memang tidak waras. 
Si brewok dan dua orang kawannya terkejut 
melihat cara memandang tujuh orang itu. Sejenak 
mereka menjadi bingung karena tak tahu harus 
berbuat apa. 
"Kakang, kelihatannya mereka tidak waras!" tegas 
laki-laki berbaju biru yang berada di sebelah kiri si 
brewok. 
"Ya! Sepertinya memang begitu, Adi. Entah harus 
bagaimana kita menghadapinya?" sahut si brewok 
terlihat agak bingung begitu mengetahui kalau yang 
dihadapi adalah orang-orang yang tidak waras. 
"Hm.... Dari mana mereka datang?" gumam laki-
laki berbaju hijau, seperti bertanya pada dirinya 
sendiri. 
"Coba dekati dan tanya baik-baik, Kakang," usul 
laki-laki berbaju biru. Wajahnya yang cukup bersih 
dan tampan itu terlihat agak khawatir. 
"Hm...," si brewok hanya bergumam mendengar 
usul salah seorang kawannya. Setelah berpikir 
sejenak, kakinya melangkah perlahan mendekati 
ketujuh orang itu. 
Belum lagi si brewok sempat melontarkan 
pertanyaan, ketujuh orang laki-laki tak waras itu 
berteriak-teriak ketakutan.

"Jangan.... Jangan bunuh kami.... Ampun...!" ratap 
salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu dengan 
wajah ketakutan. 
Ketujuh laki-laki gila itu bergerak mundur. Mata 
mereka tampak bergerak liar, penuh rasa takut. Jelas 
sekali kalau rasa ketakutan itu tidak dibuat-buat. 
Tentu saja hal itu membuat si brewok menjadi 
semakin heran. 
"Tenanglah, Kisanak. Kami tidak bermaksud 
melukai atau membunuh kalian," bujuk laki-laki 
brewok. Sambil berkata demikian, si brewok 
meneruskan langkahnya mendekati mereka. 
"Tidaaak...! Jangaaan...!" 
Wajah yang semakin pucat bagaikan dilanda rasa 
takut yang hebat itu terus bergerak mundur. 
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti. Namun 
tiba-tiba tubuh mereka menegang dan kemudian 
bergetar bagai tengah menderita demam yang hebat! 
"Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau...! Heaaat..!" 
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak 
marah. Rupanya rasa takut yang memuncak, mem-
buatnya nekat. Sambil berteriak-teriak kalap, laki-laki 
gila yang berada paling depan melompat menerjang si 
brewok disertai ayunan pedang. 
"Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!" 
Sambil terus berteriak-teriak kalap, laki-laki gila itu 
menyabetkan pedangnya berkali-kali. 
Si brewok yang tidak menyangka akan mendapat 
perlakuan demikian, bergegas menghindari bacokan 
pedang si gila. Kemudian, ia melompat mundur jauh 
ke belakang ketika serangan itu semakin cepat dan 
ganas! 
Berbarengan dengan mundurnya si brewok, enam 
orang laki-laki gila lainnya melompat menerjang si

brewok yang saat itu sudah dekat dengan dua orang 
kawannya. 
Sadar kalau pertarungan tak mungkin dapat 
dihindari, si brewok dan dua orang temannya ber-
gegas mencabut senjata masing-masing. Karena 
tidak melihat jalan lain, maka ketiga orang keamanan 
desa itu menggerakkan senjata untuk melakukan 
perlawanan. 
Wuk! Wut..! 
"Aaah...!" 
Tiga orang keamanan Desa Keputih itu saling 
menghindari serangan tujuh orang laki-laki gila itu. 
Mereka terkejut sekali ketika sadar kalau tujuh orang 
gila itu ternyata bukan orang sembarangan. Bahkan 
sepertinya memiliki ilmu kepandaian yang tidak 
rendah! Tentu saja hal ini membuat tiga orang 
keamanan desa itu terdesak hebat. 
Pertarungan yang tidak seimbang dan men-
debarkan itu terus berlangsung sengit. Beberapa 
orang penduduk yang menyaksikan dari tempat-
tempat tersembunyi seketika menjadi cemas. Karena, 
tiga orang keamanan desa itu tampak terdesak. 
"Cepat laporkan kepada Ki Jonggol sebelum 
mereka terbunuh oleh gerombolan laki-laki gila itu!" 
perintah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam 
puluh lima tahun kepada laki-laki muda yang hanya 
menonton di sebelahnya. 
"Baik, Ki!" jawab si pemuda bergegas keluar dari 
persembunyiannya. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu 
segera berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada 
orang yang bernama Ki Jonggol. 
Sekitar sepuluh tombak dari tempat pertempuran, 
tampak seorang pemuda tampan berjubah putih

berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan. 
Wajahnya yang bersih dan tampan itu tampak tenang 
mengawasi pertempuran yang berlangsung seru itu. 
"Hm...." 
Pemuda tampan itu hanya bergumam lirih ketika 
lagi-lagi ketiga orang keamanan desa itu harus 
bergulingan menghindari sabetan pedang ketujuh 
orang gila itu. 
Meskipun serangan tujuh orang gila itu tampak 
sembarangan, namun cukup mengandung tenaga 
dalam. Akibatnya, ketiga orang keamanan desa itu 
sepertinya tak mampu mengatasi. Dan kini, 
keselamatan mereka semakin terancam. 
"Hm.... Gerakan ketujuh orang gila itu sepertinya 
telah terlatih baik. Meskipun kacau, namun tenaga 
serangan mereka tetap mantap dan membahayakan," 
gumam pemuda tampan berjubah putih, memberikan 
penilaian terhadap ketujuh orang gila itu. 
"Ya. Tapi kalau saja ketujuh orang itu bertarung 
satu lawan satu, rasanya si brewok belum tentu akan 
kalah, Kakang," timpal seorang gadis cantik laksana 
bidadari. 
Gadis jelita itu mengenakan pakaian serba hijau. 
Demikian juga dengan kepalanya yang terikat 
selembar kain yang juga berwarna hijau. Sudah bisa 
diduga kalau kedua orang itu adalah Panji dan 
Kenanga. 
"Lihat, Kenanga! Sepertinya ketiga orang itu sudah 
semakin parah keadaannya. Rasanya tak lama lagi 
pasti akan terluka!" sentak Panji yang membuat gadis 
jelita itu kembali menolehkan wajah ke arah 
pertempuran. 
Memang benar apa yang dikatakan Panji. Saat itu 
ketiga orang keamanan Desa Keputih tampaknya

sudah tidak sanggup bertahan lagi. Karena, ketujuh 
orang gila itu bagai memiliki sumber tenaga yang tak 
pernah habis. Buktinya, walaupun pertempuran 
sudah berlangsung cukup lama, namun orang-orang 
gila itu masih saja nampak segar bagai tak merasa 
lelah. 
Des! Buk! 
"Aaakh...!" 
Tubuh dua orang teman si brewok terjungkal 
ketika sebuah tendangan dan pukulan lawan tepat 
menghantam tubuh mereka. Cepat-cepat kedua 
orang itu bergulingan menjauhi tempat itu. 
Wut! Wut! 
Sabetan pedang dua laki-laki gila yang mengejar 
dua orang keamanan desa itu berhasil dihindari. 
Kemudian tubuh dua orang keamanan desa itu 
melenting ke atas, lalu mendarat manis beberapa 
tombak dari dua penyerangnya. 
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" 
Sambil terus berteriak-teriak, dua orang laki-laki 
gila itu terus mengejar lawannya. Wajah mereka 
tampak semakin beringas bagai binatang buas 
kelaparan. 
Wajah dua orang keamanan desa itu semakin 
pucat. Saat itu dua bilah pedang lawan sudah 
meluncur ke arah tubuhnya. Dengan gerakan yang 
semakin melemah, kedua keamanan desa itu meng-
angkat senjata untuk menangkis serangan. 
Trang! Trang! 
"Aaah...!" 
Serangan itu memang berhasil digagalkan. Namun 
karena tenaga sudah semakin lemah, maka kedua 
senjata mereka terpental setelah menangkis bacokan 
yang didorong tenaga dalam tinggi itu. Dua orang itu

hanya dapat memejamkan matanya penuh 
kepasrahan. Karena, pada saat itu pedang di tangan 
lawan-lawannya sudah kembali berkelebat meng-
ancam tubuh mereka. 
Wut! Wut! 
Tak! Tak! 
"Aaargh...!" 
Terdengar jeritan keras yang berasal dari mulut 
kedua orang gila itu. Tubuh mereka langsung mundur 
sambil memegangi tangan kanan yang tergantung 
lumpuh. Sedangkan pedang mereka terjatuh ke atas 
tanah. 
Rupanya pada saat yang gawat bagi kedua orang 
keamanan desa itu, tiba-tiba meluncur dua buah batu 
kecil yang melesat dengan kecepatan kilat. Dua buah 
batu itu tepat menghantam pergelangan kedua orang 
gila yang sudah beringas itu, sehingga senjatanya 
terlepas dari genggaman. Dengan demikian, selamat-
lah nyawa dua orang keamanan desa itu. 
"Eh...!" 
Dua orang keamanan desa itu seketika heran saat 
sambaran pedang lawan tak juga datang. Mereka 
semakin heran ketika melihat dua orang gila yang 
semula hendak membunuh, tampak tengah 
menyeringai menahan sakit. Dua orang gila itu 
menatap dua orang keamanan desa dengan wajah 
agak gentar. 
Sementara itu, si brewok yang tengah dikeroyok 
lima laki-laki gila lainnya, tengah mati-matian me-
nyelamatkan diri. Tubuhnya terus bergulingan meng-
hindari sambaran pedang lawan-lawannya. Namun, 
karena gerakannya sudah semakin lemah dan 
lambat, maka dia tak dapat lagi menghindari sabetan 
pedang lawan.
Laki-laki brewok itu telentang pasrah menanti 
datangnya maut yang siap menjemput. 
Wut! 
Pedang salah seorang lawan menderu tajam siap 
membelah tubuh laki-laki brewok itu. Pada saat yang 
berbahaya itu, sesosok bayangan putih berkelebat 
laksana sambaran kilat. Maka.... 
Plak! 
"Aaah...!" 
Tubuh orang gila yang siap merajam tubuh si 
brewok itu terjengkang ke belakang akibat tepisan 
tangan bayangan putih yang berkelebat tadi. Dan 
sebelum kelima laki-laki gila itu menyadari apa yang 
terjadi, tubuh bayangan putih itu kembali berkelebat 
laksana hantu. 
Terdengar suara tamparan lima kali berturut-turut 
yang disusul robohnya kelima laki-laki gila itu, 
sehingga diam tak bergerak-gerak lagi. Tamparan itu 
rupanya telah membuat mereka roboh pingsan. 
"Heaaah...!" 
Dua orang lain yang tadi menyerang dua teman si 
brewok berteriak marah! Mereka meraung keras 
bagai harimau luka, lalu serentak melompat 
menerjang sosok berbaju putih yang tengah berdiri 
menatapi lima orang yang telah pingsan tadi. 
Begitu dua orang itu tiba di dekatnya, sosok baju 
putih itu langsung berbalik. Dua kali tangannya ber-
gerak melakukan tamparan perlahan. Tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun roboh 
pingsan menyusul yang lainnya. 
***

TIGA

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap 
laki-laki brewok sambil membungkuk hormat, diikuti 
dua orang temannya. 
"Ah! Janganlah terlalu sungkan, Kisanak. Ini 
memang sudah menjadi kewajiban kita," sambut 
pemuda berjubah putih, seraya membalas peng-
hormatan ketiga orang keamanan desa itu. 
"Kakang, mengapa tidak dibunuh saja orang-orang 
gila itu? Bukankah setelah sadar nanti mereka akan 
membuat keonaran kembali?" kata gadis jelita yang 
berpakaian serba hijau sambil menghampiri sosok 
berjubah putih yang tidak lain Panji atau lebih dikenal 
sebagai Pendekar Naga Putih. 
"Kurasa tidak perlu, Kenanga. Kulihat mereka 
sepertinya bukan orang gila sungguhan. Dari sikap 
dan tingkah laku mereka tadi, aku menduga kalau 
mereka telah mengalami suatu kejadian yang 
membuat jiwa dan pikiran terguncang. Aku akan 
mencoba memeriksanya. Siapa tahu mereka belum 
terlambat untuk disembuhkan," sahut Panji tidak 
menyetujui usul yang diajukan kekasihnya. 
"Apakah Kisanak bertiga tidak kenal ketujuh orang 
gila ini?" tanya Kenanga mengalihkan pandangannya 
kepada ketiga orang keamanan Desa Keputih itu. 
"Sayang sekali kami tidak mengenalnya, Nisanak. 
Sepertinya mereka berasal dari tempat yang cukup 
jauh," jawab laki-laki brewok yang kelihatannya 
merupakan Ketua Keamanan Desa Keputih. 
Panji dan Kenanga serta yang lain menolehkan

kepala ketika mendengar derap kaki kuda men-
datangi tempat itu. Tidak lama kemudian, tampak tiga 
ekor kuda yang ditunggangi tiga orang laki-laki gagah. 
"Siapakah mereka?" tanya Kenanga pelan. 
Sambil berkata demikian, kepala gadis itu menoleh 
ke arah si brewok. Jelas pertanyaan itu ditujukan 
kepada si brewok. 
"Orang tua yang berada di tengah adalah kepala 
desa kami. la dipanggil dengan Ki Jonggol. Sedangkan 
dua orang yang berada di kiri kanannya adalah para 
pembantu utamanya," jawab laki-laki brewok itu 
menerangkan. 
Setelah menjawab pertanyaan Kenanga, si brewok 
bergegas menyambut kepala desa itu bersama 
dengan dua orang pembantunya. 
Begitu tiba di tempat kejadian, laki-laki berusia 
setengah baya yang bernama Ki Jonggol itu bergegas 
melompat turun dari atas kudanya. Ringan sekali 
gerakannya. Menandakan kalau kepala desa itu tidak 
bisa dianggap enteng. Sementara dua orang 
pembantu utamanya ikut melompat turun dari atas 
punggung kuda masing-masing. 
"Ada apa ini, Gedaran?" tanya Ki Jonggol kepada si 
brewok yang ternyata bernama Gedaran, sambil 
sepasang matanya berkeliling merayapi sekitar 
tempat itu. 
Kepala desa itu mengerutkan kening ketika 
pandangannya bertemu dengan Panji dan Kenanga. 
la menganggukkan kepalanya ketika melihat pemuda 
berjubah putih itu mengangguk hormat ke arahnya. 
"Begini, Ki...." 
Laki-laki brewok yang bernama Gedaran itu pun 
segera menceritakan kejadian yang dialami. Sesekali 
kedua orang temannya ikut pula membantu, melengkapi keterangan si brewok. 
"Untunglah kami ditolong pemuda tampan ber-
jubah putih itu, Ki. Kalau tidak, mungkin kami sudah 
tewas," kata Gedaran menutup keterangannya. 
"Hm.... Jadi pemuda berjubah putih itu juga yang 
telah merobohkan ketujuh orang gila itu?" tanya Ki 
Jonggol sambil mengarahkan pandangannya kepada 
Panji dan Kenanga. 
Setelah mendapat keterangan dari Gedaran, Ki 
Jonggol segera melangkahkan kakinya mendekati 
Panji dan Kenanga. Langkah kepala desa itu terlihat 
ringan dan mantap. Ini satu bukti lagi kalau kepala 
desa itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. 
"Terima kasih atas pertolonganmu kepada ketiga 
orang pembantuku itu. Bolehkah aku tahu, siapa 
nama kalian berdua?" ucap Ki Jonggol sambil meng-
anggukkan kepalanya kepada Panji dan Kenanga. 
"Ah! Hanya suatu kebetulan saja, Ki. Namaku 
Panji. Sedangkan gadis ini adalah tunanganku yang 
bernama Kenanga," sahut Panji memperkenalkan diri 
kepada kepala desa itu. 
"Hm.... Panji... Rasanya nama itu sudah pernah 
kudengar? Panji seorang pemuda tampan yang selalu 
mengenakan jubah putih dengan sebilah pedang 
lentur yang selalu melingkar di pinggangnya. Anak 
Muda, salahkah dugaanku?" tanya Ki Jonggol 
meminta ketegasan dari pemuda tampan berjubah 
putih yang tengah berdiri di hadapannya. 
"Hm.... Menurutku, banyak sekali pemuda yang 
memiliki ciri-ciri seperti itu, Ki. Dan lagi...." 
"Kalau yang Ki Jonggol maksudkan adalah 
Pendekar Naga Putih, ya dia inilah orangnya!" potong 
Kenanga cepat sambil menyunggingkan senyum 
menggoda di bibirnya ke arah Panji yang hanya

melongo karena ucapannya terputus. 
"Ah! Sudah kuduga kalau aku berhadapan dengan 
pendekar muda yang tersohor itu. Maafkanlah sikap-
ku yang kurang hormat tadi, Pendekar Naga Putih. 
Dan selamat datang di Desa Keputih ini," ucap Ki 
Jonggol. 
Wajah kepala desa itu langsung berseri gembira. 
Padahal, semula agak angkuh. 
Panji menjadi tidak enak hatinya mendengar Ki 
Jonggol memuji-muji dirinya sedemikian rupa. 
Pemuda itu mengerling ke arah Kenanga dengan 
sinar mata mengancam. 
"Awas kau...!" desis Panji perlahan, karena tidak 
ingin kata-katanya didengar orang lain. 
"Hi hi hi...!" Kenanga hanya tertawa menggoda 
mendengar ancaman kekasihnya itu. Cepat-cepat 
tubuhnya digeser menjauhi pemuda itu. 
"Hm.... Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap 
ketujuh orang gila itu, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki 
Jonggol meminta pendapat pemuda itu. 
"Panggilah aku dengan nama Panji saja, Ki!" pinta 
Panji yang merasa risih mendengar kepala desa itu 
memanggil julukannya. 
"Ha ha ha...! Baiklah, Nak Panji," sahut Ki Jonggol 
sambil tertawa terbahak-bahak. "Memang tidak salah 
cerita-cerita yang kudengar di dunia persilatan. 
Pendekar Naga Putih adalah seorang pendekar yang 
tidak ingin menonjolkan nama julukannya. Kau mem-
buatku semakin bertambah kagum, Panji. Baiklah. 
Kalau begitu, apa tindakan yang akan kau ambil 
terhadap ketujuh orang gila itu?" 
"Hm.... Apakah Ki Jonggol tidak dapat mengenali 
siapa mereka?" tanya Panji sebelum mengambil 
keputusan langkah apa yang akan diambil.

"Tidak. Aku tidak kenal tujuh laki-laki gila itu," 
sahut kepala desa itu cepat 
Nampak di wajah Pendekar Naga Putih tersirat 
kekecewaan, karena Ki Jonggol tidak mengenali tujuh 
laki-lagi gila itu. 
"Tapi..., eh! Nanti dulu!" sentak Ki Jonggol begitu 
sepasang matanya menangkap sesuatu yang mem-
buatnya mengerutkan kening. 
Bergegas orang tua itu membungkuk di dekat 
salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu. Perlahan-
lahan tangannya terulur menyibak pakaian yang 
compang-camping itu. 
"Perguruan Perisai Baja...!" desis Ki Jonggol ter-
kejut begitu mengenali lambang yang terdapat di 
dada kiri pakaian orang itu. Sejenak laki-laki tua itu 
termangu tanpa berkata sepatah pun. 
"Kau mengenali mereka, Ki?" tanya Panji ketika 
melihat orang tua itu terdiam. 
"Aku tidak kenal mereka. Tapi aku kenal dengan 
guru mereka yang bernama Ki Jaladri. Tapi, bagai-
mana murid-murid orang tua itu sampai berkeliaran 
ke tempat ini? Bahkan dalam keadaan kurang waras. 
Hm.... Apa yang telah menimpa mereka?" tanya orang 
tua itu dengan suara berdesah agak pelan. 
Sepertinya, pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya 
sendiri. 
"Menurut pengamatanku, mereka sepertinya telah 
mengalami suatu peristiwa hebat yang membuat jiwa 
dan pikiran terguncang. Entah peristiwa apa sehingga 
sedemikian hebat akibatnya," duga Panji memberi 
gambaran tentang keadaan tujuh orang gila yang 
ternyata adalah murid Perguruan Perisai Baja. 
"Panji. Dapatkah kau menolong mengembalikan 
ingatan mereka? Mungkin kita akan mendapat

keterangan lebih jelas apabila mereka dapat berpikir 
waras kembali," pinta Ki Jonggol seraya bergegas 
bangkit dan menatap pemuda itu penuh harap. 
"Entahlah, Ki. Tapi aku akan berusaha menyem-
buhkan mereka'" sahut Panji. 
Pendekar Naga Putih memang tak berani men-
janjikan apa-apa, karena memang belum melakukan 
pemeriksaan terhadap ketujuh orang itu. 
"Kalau begitu, mari singgah di tempatku. Biar 
orang-orangku yang akan membawa tujuh orang itu," 
usul Ki Jonggol seraya menatap Panji dan Kenanga 
bergantian. 
"Baiklah, Ki. Mari," kata Panji menerima ajakan Ki 
Jonggol untuk mengobati ketujuh orang itu di tempat 
kediamannya. 
Dengan wajah berseri, Ki Jonggol segera 
memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan dua 
ekor kuda. Panji dan Kenanga diam saja tidak 
berusaha mencegah niat baik Kepala Desa Keputih 
itu, karena tidak ingin membuat kegembiraan Ki 
Jonggol terganggu. 
Sambil tak henti-hentinya bercerita, Ki Jonggol 
menjalankan kudanya perlahan-lahan diapit Panji dan 
Kenanga. Sedangkan dua orang pembantu utamanya 
berada di belakang mengikuti. 
*** 
"Bagaimana keadaan mereka, Panji? Apakah 
masih bisa disembuhkan?" tanya Ki Jonggol ketika 
melihat pemuda itu keluar dari kamar tempat tujuh 
orang murid Perguruan Perisai Baja dirawat 
"Untunglah belum terlalu parah, Ki. Sehingga tidak 
terlalu sulit untuk mengobatinya," jawab Panji sambil

melangkah menghampiri Ki Jonggol yang duduk 
bersama Kenanga di ruang tengah. 
Panji menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi 
yang terbuat dari kayu jati. Di atas meja tampak telah 
terhidang segelas teh hangat dan juga beberapa jenis 
penganan. Bergegas pemuda itu meneguk minuman 
yang telah disediakan begitu dipersilakan tuan 
rumah. 
"Apakah mereka sudah sadar dari pingsannya?" 
tanya Ki Jonggol lebih lanjut. Sepertinya laki-laki tua 
itu sudah tidak sabar untuk segera mengetahui apa 
yang telah terjadi dengan tujuh orang murid 
sahabatnya itu. 
"Sudah, Ki. Tapi mereka masih memerlukan waktu 
beberapa hari untuk memulihkan tenaga. Sebab 
begitu ingatan mereka sudah pulih, mereka masih 
merasa lelah. Tapi kita tidak dapat mengorek 
keterangan tentang apa saja yang telah dilakukan 
selama kehilangan ingatan. Hanya kejadian sebelum 
ingatan mereka hilang itulah yang dapat diketahui. 
Oh, ya. Apakah Ki Jonggol tidak pernah berkunjung ke 
Perguruan Perisai Baja?" tanya pemuda itu begitu 
teringat kalau Ketua Perguruan Perisai Baja itu 
adalah salah seorang sahabat Kepala Desa Keputih. 
"Pernah, beberapa hari yang lalu. Saat itu, 
kedatanganku untuk menyatakan bela sungkawa atas 
wafatnya Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama 
Ki Jaladri, sahabatku itu. Tapi di sana tidak kutemui 
kejadian-kejadian aneh. Kalau hanya sekadar ber-
sedih, wajarlah. Karena mereka telah kehilangan guru 
yang dicintai," jawab Ki Jonggol yang memang pada 
saat kematian Ki Jaladri ikut hadir di perguruan itu. 
"Hm, jadi Ketua Perguruan Perisai Baja sudah 
meninggal? Apakah meninggalnya karena terbunuh

dalam perkelahian atau karena menderita sakit?" 
tanya Panji lagi, yang sempat terkejut ketika 
mendengar penjelasan Ki Jonggol. 
"Pertanyaan itulah yang belum terjawab oleh 
sahabat-sahabat Ki Jaladri, termasuk aku. Karena, 
kematiannya memang aneh sekali. Menurut 
keterangan muridnya, ia tidak menderita sakit apa-
apa. Bahkan tak ada luka sedikit pun, karena dia 
memang tidak tewas dalam perkelahian. Cobalah kau 
pikir, Panji. Apakah orang yang begitu sehat, bisa 
mendadak meninggal begitu saja? Sedangkan pagi 
harinya, para murid masih bertemu dengannya. 
Bahkan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya 
pun mengatakan kalau pagi itu Ki Jaladri masih segar 
bugar. Selesai makan, Ki Jaladri masuk ke kamarnya. 
Dan ketika si pelayan mengetuk pintu, tapi tidak ada 
jawaban," Ki Jonggol berhenti sejenak dan meneguk 
minumannya. 
"Lalu, bagaimana seterusnya, Ki?" tanya Kenanga 
yang sudah tidak sabar ingin segera mendengar 
penyelesaian cerita itu. 
"Sabarlah, Kenanga. Biarkanlah Ki Jonggol ber-
istirahat sejenak," kata Panji sambil menggenggam 
jemari kekasihnya yang terasa hangat itu. 
"Hm.... Sampai di mana ceritaku tadi?" tanya Ki 
Jonggol setelah meneguk habis air minumnya. 
"Sampai si pelayan yang mengetuk-ngetuk pintu 
kamar Ki Jaladri," sahut Kenanga tak sabar. Nada 
suara gadis itu terdengar agak jengkel, karena 
merasa seolah-olah Ki Jonggol memang sengaja 
hendak menggodanya. 
"Oh, ya. Setelah lama mengetuk tapi tak juga men-
dapat sahutan, pelayan itu memberanikan dirinya 
membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci.

Dia menjadi heran ketika melihat majikannya tertidur. 
Namun Ki Jaladri ternyata telah tertidur untuk 
selama-lamanya," sampai di situ, Ki Jonggol 
mengakhiri ceritanya. 
"Apakah tidak ada tanda-tanda keracunan?" tanya 
Panji begitu kepala desa itu terdiam. 
"Seperti yang kukatakan tadi, Ki Jaladri tak ubah-
nya meninggal secara wajar," jawab Ki Jonggol me-
nekankan. 
"Aneh...!" gumam Panji, heran. 
"Ya, memang sangat aneh!" sahut Ki Jonggol 
dengan suara mendesah mengulangi ucapan Panji. 
"Berapa jauhkah letak Perguruan Perisai Baja dari 
tempat ini, Ki?" tanya Kenanga. Entah sekadar basa-
basi, atau karena memang ingin mengetahuinya. 
"Hm.... Tidak begitu jauh. Kalau kita menggunakan 
kuda, paling-paling hanya sekitar setengah hari 
perjalanan. Kalau kalian berniat ingin mengunjungi-
nya, lebih baik tunggu saja dulu sampai ketujuh orang 
itu sembuh. Nanti kalian bisa bersama-sama dengan 
mereka pergi ke sana. Bagaimana?" usul Ki Jonggol. 
"Tentu saja, Ki. Lagi pula pengobatan terhadap 
ketujuh orang itu belum selesai," sahut Panji sambil 
tersenyum maklum. Pendekar Naga Putih sebenarnya 
tahu kalau orang tua itu masih menginginkan ia dan 
Kenanga tinggal di rumahnya. 
"Hm.... Kalau kalian ingin beristirahat, mari ku-
antarkan!" ajak Ki Jonggol seraya bangkit dari 
duduknya. Dan kini ketiga orang itu meninggalkan 
ruang tengah. 
***
EMPAT

Sang mentari pagi nampak begitu cerah. Kicauan 
burung bersahut-sahutan menyambut datangnya 
pagi. Angin segar bertiup lembut mempermainkan 
pucuk-pucuk dedaunan, sehingga seperti menari-nari. 
Seorang pemuda tampan berpakaian serba putih 
berjalan menyusuri sebuah taman. Wajahnya nampak 
segar, sesegar udara di pagi ini. Langkahnya per-
lahan, seraya menikmati suasana yang ceria itu. 
Di sebelah kirinya, nampak seorang gadis cantik 
mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya yang 
cantik tampak memerah di kedua pipinya, sehingga 
membuatnya semakin mempesona. Angin pagi mem-
permainkan anak rambutnya yang terjuntai di kening. 
"Kakang...," panggil gadis itu, lembut. 
"Hm...," gumam pemuda berjubah putih itu seraya 
menoleh. "Ada apa, Kenanga?" 
Pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji itu 
menatap gadis yang memang Kenanga. Saat itu 
keduanya tengah menikmati suasana pagi di kebun 
belakang rumah Ki Jonggol. 
"Rasanya sudah terlalu lama kita tinggal di sini, 
lalu kapan mengunjungi Perguruan Perisai Baja? 
Bukankah ketujuh orang murid perguruan itu sudah 
sembuh? Jadi, apa lagi yang Kakang tunggu?" tanya 
Kenanga seolah-olah mengingatkan kekasihnya 
tentang niat mereka semula. 
"Sabarlah, Kenanga. Kita tunggu saja sampai 
kesehatan ketujuh orang itu benar-benar pulih," sahut 
Panji sambil menggenggam erat jemari gadis jelita itu.

"Kapan itu, Kakang?" tanya Kenanga agak men-
desak. 
"Hm.... Mungkin siang ini kita sudah bisa 
mengunjungi Perguruan Perisai Baja itu," kata Panji 
seraya tersenyum sabar. 
"Betul itu, Kakang?" desak gadis jelita itu setengah 
berteriak. 
"Mengapa harus membohongimu?" 
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat kebenaran 
cerita ketujuh orang itu. Rasanya aku masih belum 
percaya kalau ada orang yang telah mati dapat 
bangkit kembali. Apalagi menurut cerita mereka, 
mayat hidup Ki Jaladri itu mengamuk membantai 
murid-murid dan sahabat-sahabatnya sendiri. Apakah 
kau juga percaya cerita itu, Kakang?" 
"Agaknya aku bisa mempercayainya!" sahut Panji. 
Kenanga agak terkejut mendengarnya. Betapa 
tidak? Sebab dia tahu betul kalau Panji paling tidak 
suka pada cerita yang berbau takhayul. 
"Oh! Jadi Kakang percaya dengan cerita takhayul 
itu?" 
"Eyang Tirta Yasa telah banyak bercerita kepadaku 
tentang bermacam-macam ilmu yang terdapat di 
rimba persilatan ini. Dan salah satunya, kurasa mem-
punyai kaitan erat dengan kejadian yang menimpa 
Ketua Perguruan Perisai Baja," jelas Panji seraya 
menghela napas. Kemudian dilangkahkan kakinya 
mengitari taman itu. 
"Apakah Kakang tahu, ilmu apa itu?" tanya 
Kenanga sambil menggenggam erat lengan Panji. 
"Tentu saja. Tapi kuingatkan kepadamu, Kenanga. 
Jangan kau ceritakan kepada siapa pun termasuk Ki 
Jonggol!" bisik Panji di telinga gadis jelita itu. 
"Baik, Kakang. Aku berjanji!" jawab Kenanga begitu

mengetahui kalau kekasihnya bersungguh-sungguh. 
Sambil melangkah perlahan, Panji menceritakan 
tentang ilmu hitam yang dapat membangkitkan 
mayat. Wajah Kenanga terlihat agak pucat ketika 
mendengar cerita kekasihnya. Berkali-kali mulutnya 
ditutup untuk menahan seruan yang keluar dari 
mulutnya. Jelas sekali kalau Kenanga merasa ngeri 
mendengar cerita Panji. 
"Ihhh.... Mengapa ada ilmu yang sekeji itu ya, 
Kakang? Entah seperti apa rupanya orang yang 
memiliki ilmu mengerikan itu!" kata Kenanga sambil 
mengusap kuduknya yang terasa meremang. 
"Sama saja seperti kita dan orang-orang lainnya. 
Hanya, yang membuat mereka berbeda adalah 
pancaran sinar matanya yang tajam dan dapat mem-
buat orang terpengaruh hingga menuruti perintah-
nya," sahut Panji seraya merangkul kekasihnya. 
Kenanga menyandarkan kepalanya di dada 
kekasihnya. Getar kasih sayang yang terpancar dari 
hati mereka membuat Kenanga semakin dalam 
menyurukkan wajahnya di dada Panji. Sesaat 
kemudian, wajah cantik itu menengadah, memancar-
kan pijar kasih lewat sepasang mata indahnya. 
"Hm.... Sepertinya ada beberapa orang yang 
tengah menuju kemari, Kenanga," kata Panji, lembut. 
Dilepaskan pelukannya dari tubuh gadis jelita itu. 
Rupanya meskipun dalam keadaan terbuai, telinga 
Panji masih sempat menangkap gerakan di sekitar-
nya. 
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, tampak 
delapan orang laki-laki bergegas menghampiri Panji 
dan Kenanga. 
"Selamat pagi, Panji, Kenanga...," ucap orang yang 
melangkah paling depan, yang tidak lain adalah Ki

Jonggol, Kepala Desa Keputih. "Wajah kalian cerah 
sekali pagi ini." 
"Selamat pagi, Ki," sahut Panji membungkuk 
hormat disertai senyuman lebar. 
"Selamat pagi, Tuan Pendekar.... Kami sudah 
merasa benar-benar sehat dan siap mengantarkan 
Tuan Pendekar berdua," kata salah seorang dari tujuh 
laki-laki yang datang bersama Ki Jonggol. 
Sambil berkata demikian, orang itu membungkuk 
diikuti enam orang lainnya. Mereka adalah tujuh 
murid Perguruan Perisai Baja yang telah sembuh 
karena pengobatan Pendekar Naga Putih. 
"Syukurlah. Kalau begitu kita bisa segera 
berangkat untuk melihat keadaan perguruan kalian 
itu, Kisanak. Oh, ya. Panggil saja aku dengan nama 
Panji, dan ini Kenanga," pinta Panji yang disambut 
oleh ketujuh orang itu dengan anggukan kepala. 
"Baik.... Baik, Tuan..., eh, Panji," sahut orang itu 
agak kikuk. 
Memang, biar bagaimanapun, mereka merasa tak 
enak menyebut pendekar muda itu dengan nama 
saja. Tapi karena pemuda itu sendiri yang meminta, 
maka mereka pun terpaksa menurutinya. 
"Ah! Mengapa harus terburu-buru? Nanti siang 
sajalah kalian berangkat. Lebih baik kita sarapan 
dulu, mari!" ajak Ki Jonggol. 
Laki-laki tua itu sepertinya memang merasa berat 
untuk melepaskan kepergian Pendekar Naga Putih 
yang amat dikaguminya itu. Makanya, dia berusaha 
mencari-cari berbagai alasan untuk menahan 
pendekar muda itu. 
"Terima kasih, Ki. Biarlah kami berangkat pagi ini 
saja. Makin cepat, makin baik," sahut Panji meng-
harapkan pengertian orang tua itu. Meskipun tidak

mengatakan apa-apa, tapi Pendekar Naga Putih 
dapat menduga kalau orang tua itu masih merasa 
berat untuk melepaskannya. 
Karena yang lain pun ikut pula mengatakan hal 
yang sama, maka Ki Jonggol pun tak dapat menahan 
lagi. 
"Baiklah kalau begitu. Akan kusuruh orang-orangku 
untuk menyiapkan kuda untuk kalian. Yah, paling 
tidak untuk mempercepat perjalanan. Bukan begitu, 
Kisanak?" Ki Jonggol menolehkan kepalanya kepada 
salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang 
berada di sebelahnya. 
"Memang betul, Panji, Kenanga. Kalau kita 
menempuh dengan jalan kaki, akan memakan waktu 
sekitar dua hari. Jadi, sebaiknya terima saja bantuan 
Ki Jonggol," jelas orang itu, memperkuat kata-kata Ki 
Jonggol tadi. 
"Yah.... Kalau memang harus begitu, apalagi yang 
kita tunggu?" sahut Panji bergurau. 
Setelah segalanya dipersiapkan Ki Jonggol, 
rombongan kecil itu berangkat meninggalkan Desa 
Keputih. Ki Jonggol dan kedua orang pembantu 
utamanya mengantarkan hingga batas desa. 
"Kalau persoalan itu sudah beres, singgahlah 
kembali ke tempatku, Pendekar Naga Putih," pinta Ki 
Jonggol sambil melepaskan rombongan kecil itu. Ia 
sengaja memanggil Panji dengan julukannya kembali. 
Seolah-olah hal itu meninggalkan kesan yang lain 
dalam hatinya. 
"Aku tidak bisa menjanjikannya, Ki. Tapi aku akan 
berusaha mencari kesempatan untuk berkunjung ke 
desa yang ramah ini," sahut Panji sambil menggebah 
kudanya menyusul yang lain. 
Kepulan debu membumbung tinggi ketika kuda

yang ditunggangi Panji melesat meninggalkan mulut 
Desa Keputih. Makin lama, bayangannya makin 
hilang ditelan kejauhan. 
*** 
Menjelang siang, rombongan Panji pun mulai 
memasuki sebuah hutan kecil yang cukup lebat. 
Salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang 
berada di depan, menghentikan lari kudanya. 
"Setelah melewati mulut hutan ini, kita akan 
segera sampai di Perguruan Perisai Baja," jelas laki-
laki itu seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji 
dan Kenanga. 
"Marilah kita percepat perjalanan. Sebelum hari 
gelap, kita harus sudah sampai di perguruan kalian 
agar tidak mendapat kesulitan untuk memeriksanya," 
timpal Panji. 
"Ayolah! Heyaaa...!" 
Murid Perguruan Perisai Baja yang menjadi 
petunjuk jalan itu bergegas menggebah kudanya. 
Binatang tunggangan itu langsung melesat memasuki 
mulut hutan. 
"Heyaaa...!" 
Panji, Kenanga, dan enam orang lainnya bergegas 
pula menggebah kuda mereka yang langsung melesat 
mengejar orang terdepan. 
Tidak berapa lama kemudian, tembok bangunan 
Perguruan Perisai Baja mulai terlihat. Mereka mulai 
memperlambat lari kuda begitu tempat yang dituju 
semakin dekat. 
Pendekar Naga Putih dan yang lain segera meng-
hentikan lari kuda, karena dari jarak belasan tombak 
sudah tercium bau busuk yang menusuk hidung.

"Uhhh! Rasanya kita tidak bisa memasuki tempat 
ini, Panji. Dari sini saja aku sudah tidak sanggup 
menahankan bau busuk yang menyengat itu. Jadi, 
bagaimana kita akan dapat memeriksanya?" tanya 
murid yang menjadi penunjuk jalan, sambil menutup 
hidung dengan selendang yang membelit pinggang-
nya. 
"Yahhh! Sepertinya kita tidak dapat maju lagi, 
Kakang," kata Kenanga yang juga sudah menutup 
hidungnya. 
"Tidak. Kita harus tetap memeriksanya. Oleskanlah 
minyak ini di hidung kalian. Mudah-mudahan bau 
busuk itu tidak mengganggu lagi," ujar Panji. 
Segera diberikannya sebuah botol kecil yang 
berisikan cairan berwarna hijau. Botol itu juga 
diberikan kepada yang lain. 
"Wah, minyak ini benar-benar manjur. Apa nama 
minyak ini, Panji?" tanya salah seorang murid 
Perguruan Perisai Baja gembira. Memang, bau harum 
yang menebar dari minyak itu ternyata dapat 
mengalahkan bau busuk menyengat itu. 
"Minyak itu adalah hasil ramuan guruku. Beliau 
menamakannya 'Minyak Tujuh Bidadari', karena 
harum yang ditimbulkan laksana harum keringat 
bidadari. Tapi, jangan tanyakan, mengapa guruku 
menamakannya demikian. Karena, aku sendiri tidak 
mengetahuinya," sahut Panji sambil tersenyum. 
"Hi hi hi.... Ada-ada saja nama minyak itu," 
Kenanga terkikik. "Eh, Kakang. Apakah kau sudah 
pernah mencium bau harum keringat bidadari?" 
"Wah! Kalau aku sih bukan saja sudah, bahkan 
seringkali bidadari itu datang kepadaku," jawab Panji 
dengan wajah sungguh-sungguh. 
"Eh, benarkah itu, Panji...?" tanya tiga orang murid


Perguruan Perisai Baja berbarengan. 
Sementara itu yang lain memandang dengan 
setengah tak percaya. Memang, sepengetahuan 
mereka, bidadari itu hanya ada dalam dongeng. Dan 
sampai saat ini, belum pernah seorang pun yang 
menjumpainya. Tentu saja kalau orang lain yang 
mengatakannya, mereka tak akan mempercayai 
begitu saja. Bahkan mungkin akan memaki sebagai 
orang yang tak waras. Tapi yang berkata kali ini 
adalah Pendekar Naga Putih yang kesaktiannya 
sangat tinggi. Apalagi wajah pemuda itu jelas-jelas 
menampakkan kesungguhan. Apakah mungkin kalau 
pendekar besar itu akan berdusta? 
Demikian pula dengan Kenanga. Tadinya, kekasih-
nya dikira sengaja menggoda. Tapi ketika melihat 
wajah pemuda itu demikian bersungguh-sungguh, 
tentu saja gadis jelita itu menjadi kebingungan. 
Gadis itu memang sudah sering mendengar dari 
mulut kekasihnya tentang peristiwa-peristiwa 
mustahil yang dialami pemuda itu. Tapi untuk ber-
temu dengan bidadari, apakah itu mungkin? Dan 
sebenarnya, diam-diam Kenanga mulai dijalari 
kecemburuan. 
"Tentu saja benar! Untuk apa aku berbohong 
kepada kalian? Apa pula untungnya bagiku?" sahut 
Panji seolah-seolah tak senang ketika melihat sinar 
ketidakpercayaan di wajah mereka. 
"Wah! Sudah tentu kami tidak berani menuduhmu 
seperti itu, Panji. Tapi, bagaimanakah caranya kau 
dapat bertemu bidadari itu?" tanya seorang murid 
Perguruan Perisai Baja yang berkumis tipis. Orang itu 
menundukkan kepalanya karena tak berani menen-
tang tatapan Panji yang tajam menusuk itu. 
"Kakang.... Kau bersungguh-sungguh...?" tanya

Kenanga seraya menyentuh lengan kekasihnya. 
Suara gadis itu terdengar bergetar, menggambarkan 
perasaan hatinya yang kacau saat itu. 
Panji tidak menjawab pertanyaan Kenanga, dan 
hanya mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu 
pandangannya dialihkan kepada tujuh orang murid 
Perguruan Perisai Baja yang tengah menanti jawaban. 
"Hm.... Saat ini pun aku bisa memanggilnya. Kalau 
ingin menyaksikannya, pejamkanlah mata kalian 
rapat-rapat. Kau juga, Kenanga. Dan jangan sekali-
kali membuka mata sebelum kuperintahkan," ujar 
Panji dengan suara yang berat dan dalam. 
Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang murid 
Perguruan Perisai Baja yang ingin membuktikan 
ucapan Panji bergegas memejamkan mata. Demikian 
pula Kenanga. Gadis jelita itu pun memejamkan 
matanya rapat-rapat meskipun hatinya berdebar 
penuh ketegangan. 
Panji merapat dan memeluk tubuh kekasihnya 
erat-erat. Kemudian, dibisikkannya kata-kata yang 
membuat Kenanga semakin tegang. 
"Peluklah aku erat-erat, Kenanga. Agar bidadari itu 
tidak memelukku apabila datang nanti," bisik Panji 
lirih hingga tidak terdengar oleh yang lainnya. 
"Nah, sekarang bukalah mata kalian!" perintah 
Panji dengan suara yang berwibawa. 
"Oh! Mana..., mana bidadari itu? Aku belum 
melihatnya, Panji?" tanya salah satu dari ketujuh 
orang itu sambil mengedarkan pandangannya. 
"Wah! Apakah kalian sudah buta? Bukankah saat 
ini aku tengah berpelukan dengan seorang bidadari?" 
jawab Panji seraya tertawa terbahak-bahak. 
"Ha ha ha...!" meledaklah tawa ketujuh orang 
murid Perguruan Perisai Baja itu ketika mendengar

penjelasan Panji. 
"Ihhh, Kakang jahat! Kau hampir saja membuatku 
berhenti bernapas tadi. Padahal aku sudah benar-
benar percaya dengan ucapanmu!" teriak gadis jelita 
itu manja. Seketika dipukulinya dada Panji dengan 
perasaan gemas. 
"Hm, tanyalah kepada mereka kalau tidak percaya. 
Kisanak, bukankah saat ini aku tengah memeluk 
bidadari?" tanya Panji kepada ketujuh orang itu. 
"Betul! Betul, Panji! Menurut penglihatanku, Nini 
Kenanga adalah seorang bidadari," jawab laki-laki 
berkumis tipis sambil tertawa gembira. 
"Ya! Kecantikan Nini Kenanga tak ubahnya seperti 
bidadari," seru yang lain sambil tertawa-tawa. 
"Nah! Betul, kan?" kata Panji sambil tersenyum. 
"Ah, Kakang...," desah Kenanga manja. Meskipun 
mulutnya cemberut, tapi hati gadis jelita itu berbunga-
bunga. Perasaan bahagia semakin menggetarkan 
relung hatinya. 
*** 
Panji, Kenanga, dan tujuh orang lainnya bergerak 
memasuki bangunan Perguruan Perisai Baja. Bau 
busuk yang menyergap tidak lagi mengganggu 
mereka, karena minyak yang dioleskan di bawah 
hidung mereka mengusir bau busuk itu. 
"Hm.... Tempat ini benar-benar seperti neraka saja 
layaknya!" desis Kenanga melihat begitu banyaknya 
mayat membusuk yang saling tumpang tindih. Diam-
diam, hati gadis jelita itu mengutuk orang yang telah 
berbuat keji dengan membangkitkan mayat Ki Jaladri. 
"Entah apa maksud orang yang menjadi dalang 
kejadian ini? Rasanya, mustahil kalau tidak mempunyai maksud-maksud tertentu?" gumam Panji. 
Kaki pemuda itu terus melangkah di antara 
puluhan mayat yang bergeletakan. Hati Pendekar 
Naga Putih menjadi geram melihat kekejaman yang 
terpampang di depan matanya. 
"Entahlah, Panji. Peristiwa ini masih merupakan 
misteri bagi kami," sahut laki-laki berkumis tipis yang 
berjalan di belakang pemuda itu. Rupanya ia sempat 
juga mendengar gumaman pemuda di depannya. 
Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam 
bangunan besar itu, rombongan kecil itu pun ber-
gegas keluar. 
"Lebih baik kita kuburkan mayat-mayat ini dalam 
sebuah lubang yang besar," usul Panji. 
Pemuda itu menatap ketujuh orang murid 
Perguruan Perisai Baja berganti-ganti, seolah-olah 
meminta pendapat tentang usulnya. 
"Wah, bagaimana kita harus melakukannya, Panji? 
Mayat-mayat ini sudah sedemikian membusuk. Jadi, 
bagaimana harus memindahkannya?" bantah salah 
satu dari ketujuh orang itu. 
Wajah orang itu tampak pucat ketika mem-
bayangkan harus mengangkat mayat-mayat busuk itu, 
dan memindahkannya ke dalam lubang yang di-
maksudkan Panji. 
"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar 
jawaban orang itu. 
Ketika yang lain mengajukan alasan yang sama, 
pemuda itu terdiam sambil mengedarkan pan-
dangannya ke sekitar tempat itu. 
"Kami sudah tidak berniat untuk tinggal di tempat 
ini lagi. Jadi menurutku, biar sajalah mayat-mayat ini 
habis dengan sendirinya," jawab si kumis tipis dengan 
suara rendah.

Memang, biar bagaimanapun ia masih merasa 
berat juga untuk meninggalkan tempat itu, karena 
semenjak kecil telah berada di Perguruan Perisai 
Baja. Tapi mengingat peristiwa yang telah dialami, 
membuat mereka berpikir dua kali untuk tinggal di 
situ. 
"Eh, nanti dulu!" seru Panji tiba-tiba. Seolah-olah 
pemuda itu teringat akan sesuatu yang melintas 
dalam pikirannya. Keningnya seketika jadi berkerut 
"Bukankah menurut keterangan kalian mayat Ki 
Jaladri berada di dalam peti? Lalu, ke mana perginya 
peti mati Ki Jaladri?" 
"Hm, benar! Bukankah peti mati itu diletakkan di 
depan ruangan gedung pusat? Lalu, ke mana pergi-
nya peti mati guru?" tegas si kumis tipis begitu men-
dengar kata-kata Panji. Bergegas kakinya melangkah 
ke tempat peti mati gurunya diletakkan pada 
beberapa hari yang lalu. 
Kesembilan orang itu menjadi terheran-heran 
ketika mengitari halaman gedung, namun tidak juga 
menemukan peti mati Ki Jaladri. Berbagai pertanyaan 
melintas di benak masing-masing. ? 
"Tidak ada lagikah murid-murid lainnya yang ber-
hasil meloloskan diri pada malam kejadian itu?" tanya 
Panji kepada si kumis tipis yang selalu berada di 
belakangnya. 
"Tidak, Panji. Hanya kami bertujuh inilah yang 
berhasil meloloskan diri dari pembantaian itu," jawab 
orang itu pasti. 
"Hm.... Lalu ke mana perginya peti mati gurumu 
itu...?" gumam Panji berpikir keras, mencari 
pemecahan atas kejadian yang penuh teka-teki itu. 
"Ayolah kita keluar dari tempat ini, Kakang! Lama-
lama aku tidak tahan juga melihat mayat-mayat yang

berserakan itu." 
Sambil berkata demikian, Kenanga melangkahkan 
kakinya menuju keluar bangunan gedung perguruan 
itu. 
Tanpa berkata apa-apa lagi, Panji dan ketujuh 
orang lainnya bergegas mengikuti langkah Kenanga. 
Sambil melangkah, Panji terus berpikir tentang 
hilangnya peti mati Ki Jaladri. Rasa penasaran mem-
buat pemuda itu tidak menyerah begitu saja untuk 
mencari jawaban. 
"Apa langkah kita selanjutnya, Panji?" tanya salah 
seorang murid Perguruan Perisai Baja begitu sudah 
berada di tempat kuda-kuda mereka tertambat 
Mereka semua langsung melompat ke punggung 
kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan mereka. 
Jelas, kalau rata-rata ilmu meringankan tubuh mereka 
telah tinggi. 
"Hilangnya peti mati dan sekaligus mayat Ki 
Jaladri, pasti bukan dengan sendirinya. Aku yakin 
kalau peristiwa ini akan berbuntut panjang. Dan yang 
harus dicari sekarang adalah orang yang menjadi 
biang keladi semua kejadian ini. Dugaanku, orang itu 
pulalah yang mencuri peti mati dan mayat guru 
kalian. Sepertinya, mayat guru kalian masih diperlu-
kan orang keji itu," Panji menduga-duga. Dan apa 
yang dikatakan pemuda itu memang cukup masuk 
akal. 
"Lalu, apa yang harus kita perbuat? Sedangkan 
kita sendiri tidak tahu, siapa dan di mana adanya 
orang keji itu?" tanya si kumis tipis. Nada suaranya 
terdengar putus asa. 
"Kembalilah kalian ke Desa Keputih. Dan tinggal-
lah untuk sementara di desa itu. Apabila sudah 
menemukan manusia keji itu, aku akan segera

memberi kabar kepada kalian. Maaf, bukan berarti 
aku meremehkan kapandaian kalian," ucap Panji 
menutup kata-katanya. 
"Tentu saja, Panji. Kami pun sadar kalau tidak 
akan mampu untuk menyingkap misteri ini. Selamat 
tinggal Pendekar Naga Putih. Kami menunggu berita 
darimu," ucap salah seorang dari mereka yang 
langsung menggebah kudanya meninggalkan Panji 
dan Kenanga. Enam orang lainnya bergegas 
menyusul kawannya meninggalkan tempat itu. 
"Heyaaa...!" 
Kepulan debu membumbung tinggi ketika tujuh 
orang murid Perguruan Perisai Baja menggebah kuda-
kuda mereka. 
Panji dan Kenanga menatap kepergian ketujuh 
orang itu dengan perasaan haru. 
"Kasihan mereka. Mereka tak ubahnya anak-anak 
ayam kehilangan induknya. Sementara sang Induk 
yang telah tewas tidak diketahui di mana rimbanya?" 
desah Panji lirih. 
"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang? 
Sebentar lagi hari sudah gelap. Tidakkah sebaiknya 
kita meninggalkan tempat ini?" tanya Kenanga. 
Ucapan kekasihnya tadi sebenarnya telah mem-
bangkitkan ingatan Kenanga kalau dirinya tidak 
mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain 
pemuda kekasihnya itu. 
Panji menyadari ucapannya ketika melihat 
sepasang mata indah milik kekasihnya tampak ber-
kaca-kaca. Perlahan-lahan Panji mendekatkan kuda-
nya ke kuda Kenanga. Kuda-kuda itu kemudian 
merapat Pendekar Naga Putih lalu mengulurkan 
tangannya mendekap kepala gadis jelita itu. Dibisik-
kannya kata-kata mesra untuk menghibur hati

Kenanga yang teringat akan keadaan dirinya. 
"Maafkan aku, Kenanga. Aku tahu, apa yang 
tengah kau rasakan saat ini. Dan aku berjanji tidak 
akan meninggalkanmu lagi," bisik Panji lirih di telinga 
kekasihnya. 
"Sungguh, Kakang...?" desah Kenanga serak. 
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dikecupnya 
kening gadis jelita itu. 
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga telah 
memacu kudanya meninggalkan tempat itu. 
***
LIMA

Malam telah larut. Hembusan angin dingin membuat 
orang enggan untuk ke luar rumah. Gemerisik 
dedaunan yang dipermainkan angin, semakin me-
nimbulkan keseraman. Ditambah lagi dengan suara 
jatuhnya titik-titik air yang menimpa atap-atap rumah, 
sehingga membuat suasana semakin menyeramkan. 
Delapan orang prajurit yang bertugas menjaga 
pintu gerbang Kadipaten Jagalan, tampak berkumpul 
di gardu jaganya. Rupanya mereka merasa resah 
mendapati suasana malam yang tidak seperti biasa-
nya. 
"Hhh.... Entah mengapa suasana malam ini mem-
buat hatiku tidak tenteram? Ada apa, ya...?" gumam 
salah seorang prajurit yang bertubuh gemuk, seraya 
melipat kedua tangan di depan dada. Seolah-olah 
dengan berbuat demikian, diharapkan akan men-
dapat ketenangan. 
"Benar. Biasanya kalau suasana malam seperti ini, 
pasti ada suatu kejadian yang menggemparkan. Tapi, 
mudah-mudahan saja kejadian itu tidak menimpa 
kita," timpal prajurit lain. Sepertinya, dia punya 
perasaan yang serupa dengan prajurit gemuk itu. 
"Ah, sudahlah! Tugas kita sebagai prajurit adalah 
menjaga keamanan. Dan kalau ada apa-apa, kitalah 
yang harus bertanggung jawab. Jadi tidak ada alasan 
untuk merasa takut atau memikirkan hal yang bukan-
bukan!" bentak salah seorang prajurit yang lebih tua 
dari mereka. Agaknya ia tak senang dengan pem-
bicaraan kedua orang temannya itu.

"Ah! Kami tidak mengatakan takut, Kakang. Hanya 
saja, perasaan kami mengatakan kalau bakal ada 
sesuatu yang akan terjadi malam ini. Dan kami ber-
harap agar kejadian itu tidak berlangsung di 
Kadipaten Jagalan ini," bantah prajurit yang bertubuh 
gemuk. 
"Yah, mudah-mudahan saja prasangka kita itu 
salah!" sahut yang lain, kembali mengharap. 
Di saat para prajurit itu tengah berdebat, sebentuk 
benda yang berbentuk kotak persegi panjang tampak 
melayang-layang di atas gerbang kadipaten. Benda 
aneh berwarna coklat tua itu terus bergerak menuju 
sebuah bangunan besar. 
"Hei, lihat! Apa itu?" teriak seorang prajurit yang 
kebetulan saat itu tengah memandang ke langit, 
sambil menunjuk ke atas. 
"Seperti.... Seperti peti mati...!?" desis salah 
seorang prajurit dengan suara bergetar dicekam 
kengerian. 
"Hm.... Orang gila dari mana yang berani berbuat 
seperti itu di kadipaten?" geram seorang laki-laki 
gagah. Kalau dilihat dari pakaiannya, pastilah 
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari prajurit lain. 
"Hei, benda itu meluncur turun!" seru prajurit yang 
pertama kali melihat peti mati itu. 
"Bunyikan tanda bahaya...!" perintah laki-laki gagah 
itu cepat. 
Rupanya sudah mulai bisa diduga kalau peti mati 
itu tidak bisa dibuat main-main. Sebentar kemudian, 
tubuh laki-laki gagah itu segera melesat ke arah 
tempat di mana peti mati akan turun. 
Tujuh orang prajurit bergegas menyusul pemimpin-
nya yang telah lebih dahulu menghampiri peti mati 
itu. Sambil berlarian, tujuh orang prajurit itu bergegas

mencabut senjatanya. Dan belum lagi mereka 
sampai, tiba-tiba.... 
Blakkk! 
Begitu menyentuh permukaan tanah, peti mati itu 
langsung membuka. Tampak sesosok tubuh yang 
kaku dan berbau busuk melompat keluar dari dalam 
peti mati. 
"Ups...!" 
Pemimpin jaga yang baru saja menjejakkan 
kakinya di dekat peti mati, langsung melenting 
beberapa tombak ke belakang karena bau bangkai 
yang amat busuk langsung menyergap hidungnya. 
"Gila! Mayat hidup?!" teriak pemimpin jaga dengan 
wajah memucat 
Laki-laki itu benar-benar terkejut ketika menyaksi-
kan penampilan sesosok tubuh yang menjijikkan itu. 
Tadinya disangka kalau di dalam peti mati itu pasti 
terdapat seseorang yang berniat mengacau 
kadipaten. Tapi ketika melihat apa yang disaksikan-
nya itu, matanya langsung terbelalak ngeri. 
Saat itu tanda bahaya berbunyi melengking 
memecah kesunyian malam! Tak lama kemudian, 
terdengar derap langkah kaki puluhan orang yang 
berlarian mendatangi tempat itu. Beberapa di 
antaranya terdapat pemimpin-pemimpin pasukan 
kadipaten. 
"Gila! Apa itu...?!" teriak seorang prajurit kepada 
kawannya. Meskipun sebenarnya melihat dengan 
jelas, namun pertanyaannya itu terlontar juga dari 
mulutnya. 
"Mayat... Mayat hidup?!" seru kawannya dengan 
suara bergetar. Sama sekali tidak disangka kalau 
suasana malam seperti itu harus berhadapan dengan 
mayat hidup.

"Jangan ada yang bergerak! Kita lihat dulu apa 
yang akan dilakukannya!" perintah salah seorang 
perwira kadipaten, lantang. 
Si mayat hidup melangkah kaku menuju gedung 
utama kadipaten. Sepertinya ia akan memasuki 
bangunan utama yang menjadi tempat kediaman 
Adipati Gamang Sari. 
"Mundur...! Siapkan pasukan panah!" kembali sang 
Perwira memerintahkan. 
Tanpa diperintah dua kali, dua puluh orang prajurit 
segera mempersiapkan anak panah dan busurnya. 
Sesaat kemudian, puluhan batang anak panah sudah 
tertuju ke arah si mayat hidup. 
Sedangkan si mayat hidup terus saja melangkah 
mendekati bangunan utama kadipaten. Sepertinya 
sama sekali tidak dipedulikan teriakan-teriakan yang 
mencegah langkahnya. 
Si perwira yang melihat mayat hidup itu terus saja 
melangkah maju, segera berteriak kepada prajuritnya 
untuk melepaskan anak panah. Sesaat kemudian, 
dua puluh batang anak panah sudah berdesing 
menuju mayat hidup. 
Zingngng! Zingngng! 
Trak! Trak! 
Begitu puluhan batang anak panah itu meluncur 
ke arahnya, si mayat hidup bergegas memutar 
pedang yang tergenggam di tangannya. Belasan 
batang anak panah langsung runtuh ke tanah dalam 
keadaan patah. Sedangkan beberapa batang lainnya 
menancap di tubuh si mayat hidup. Namun sungguh 
di luar dugaan, anak panah itu seperti tidak berarti 
apa-apa bagi tubuhnya. Walaupun terluka, tapi tidak 
merasakan sakit. 
Para prajurit kadipaten yang hanya terpisah

beberapa tombak dari si mayat hidup, bergegas 
berloncatan mundur! Ternyata luka akibat anak 
panah di tubuh si mayat hidup mengeluarkan cairan 
berwarna kuning bercampur kehijauan. Cairan itu 
menebarkan bau busuk yang sangat memualkan 
perut 
"Hoekkk...!" 
Beberapa orang prajurit yang tak sanggup 
menahan rasa mual, langsung memuntahkan isi 
perutnya. Wajah mereka seketika berubah, karena isi 
perut terus saja melompat keluar. 
"Mundur...! Jauhi mayat hidup itu!" si perwira 
bertindak cepat memerintahkan pasukannya untuk 
mundur menjauhi mayat hidup yang menjijikkan itu. 
"Bagaimana ini, Kakang Wanasa? Apa yang harus 
kita lakukan untuk menghadapi mayat hidup itu?" 
tanya salah seorang yang juga berpangkat perwira. 
Sepertinya orang itu juga merasa bingung ketika 
melihat mayat hidup itu tidak roboh meskipun 
tubuhnya tertembus belasan anak panah. 
"Hm.... Coba terus hujani dengan anak panah. 
Kalau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi anak panah, 
masak tidak roboh juga?" ujar perwira yang dipanggil 
Wanasa, penasaran. 
Setelah berkata demikian, ia pun kembali 
memerintahkan prajuritnya untuk melepaskan anak 
panah. 
Zingngng! Zingngng! 
Puluhan batang anak panah kembali berdesingan 
mengancam tubuh si mayat hidup. Belum lagi 
puluhan batang anak panah itu mengenai sasaran, 
para prajurit itu kembali melepaskan anak panah 
berikut. 
Tapi kali ini si mayat hidup tidak hanya sekadar

bertahan. Begitu anak panah gelombang pertama 
hampir mendekati, pedangnya diputar sambil 
melompat ke arah barisan pasukan panah itu. 
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata tubuh si 
mayat hidup dapat berputar melakukan beberapa kali 
salto di udara. Beberapa batang anak panah yang 
mengancam tubuh langsung runtuh terpukul 
sambaran pedangnya. Sedangkan anak panah yang 
lainnya lewat beberapa jengkal di bawah kakinya. 
Si perwira yang bernama Wanasa itu terkejut 
ketika melihat gerakan si mayat hidup. Benar-benar 
tidak disangka kalau tubuh kaku itu dapat ber-
jumpalitan di udara. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, tubuhnya segera melesat disertai ayunan 
pedangnya. 
Melihat Wanasa sudah melesat memapak si mayat 
hidup, empat orang perwira lainnya bergegas men-
cabut senjatanya. Tubuh mereka segera melesat 
menyusul. 
"Yeaaat..!" 
Wut! Wuk...! 
Kelima orang perwira itu menyabetkan senjatanya 
secara susul-menyusul dari berbagai arah. 
Mendapat serangan yang susul-menyusul dari lima 
orang perwira itu, ternyata tidak membuat mayat 
hidup menjadi gentar. Gulungan sinar pedangnya 
tampak semakin melebar menyelimuti seluruh tubuh-
nya. Sambaran angin pedangnya menderu tajam 
ketika mayat hidup itu memapak sabetan senjata 
lawan-lawannya. 
Trang! Trak! Trang...! 
"Akh...!" 
Kelima orang perwira itu terpental balik ketika 
pedang mereka tertangkis pedang si mayat hidup.

Namun dengan gerakan indah, tubuh mereka ber-
putar beberapa kali di udara, lalu mendarat manis 
beberapa tombak dari mayat hidup. Wajah mereka 
tampak menyeringai sambil memijat-mijat tangan 
kanannya yang terasa linu. 
"Bedebah! Tenaga mayat hidup itu ternyata sangat 
kuat!" maki Wanayasa semakin penasaran. 
"Hm.... Kita harus lebih berhati-hati untuk meng-
hadapinya!" timpal perwira lainnya yang juga merasa-
kan hal yang sama. 
"Hm.... Ada apa ini ribut-ribut?!" 
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang meng-
guncangkan dada. Belum lagi gema suara bentakan 
itu lenyap, dua sosok tubuh berjumpalitan dan 
mendaratkan kakinya dengan manis di dekat kelima 
orang perwira yang tengah kebingungan itu. 
"Ki Panggitan.... Ki Badaran...!" seru kelima perwira 
begitu mengenali dua sosok tubuh itu. Bergegas 
mereka membungkuk hormat kepada kedua orang 
laki-laki yang baru tiba itu. 
"Eh! Siapa yang mengirimkan mayat hidup itu ke 
tempat ini, Wanasa?" tanya salah satu dari kedua 
orang gagah itu sambil menatap si mayat hidup 
penuh selidik. 
"Kakang Panggitan! Apakah kau tidak mengenali 
siapa mayat hidup itu?" seru laki-laki setengah baya 
yang bernama Ki Badaran. Sepasang matanya 
menatap tajam ke arah si mayat hidup. Keningnya 
tampak berkerut meneliti wajah mayat hidup yang 
saat itu tersiram pantulan sinar obor. 
"Hm.... Bukankah dia Ki Jaladri, Ketua Perguruan 
Perisai Baja? Heran, apa yang telah terjadi dengan-
nya? Dan mengapa mayatnya kesasar sampai ke 
tempat ini?" desis laki-laki berusia enam puluh tahun

yang bernama Ki Panggitan itu. 
Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh kelas 
satu yang menjadi tangan kanan Adipati Gamang 
Sari. Dan kedatangan mereka atas perintah sang 
Adipati sendiri karena mendengar ribut-ribut yang 
mengganggu tidurnya. 
"Wanasa. Sementara aku dan Ki Badaran meng-
hadapi si mayat hidup itu, kau siapkan tali yang kuat 
dan beberapa buah obor!" perintah Ki Panggitan yang 
rupanya memiliki pengalaman yang sangat luas 
dalam menghadapi berbagai pertarungan. 
Memang, sebelum menjadi pengawal pribadi 
adipati, Ki Panggitan dan Ki Radian adalah tokoh 
persilatan yang sangat terkenai dan jarang menemui 
tandingan. Itulah sebabnya Ki Panggitan langsung 
saja menyuruh Wanasa untuk menyiapkan peralatan. 
Setelah memberi beberapa petunjuk kepada 
Wanasa dan empat orang lainnya, Ki Panggitan dan 
Ki Badaran melangkah mendekati mayat hidup. 
Kedua tokoh itu menghentikan langkahnya dalam 
jarak tiga tombak di hadapan mayat hidup Ki Jaladri. 
"Hm.... Tampaknya ia dikendalikan seseorang, Adi 
Badaran," jelas Ki Panggitan, pelan. Karena saat itu 
wajahnya telah tertutup oleh selembar kain hitam. Hal 
itu dilakukan agar perhatiannya tidak terganggu oleh 
bau busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup itu. 
"Betul, Kakang. Entah apa maksud orang itu 
mengirim mayat hidup ini ke Kadipaten Jagalan?" 
sahut Ki Badaran yang juga telah menutup sebagian 
wajahnya dengan kain berwarna hitam. 
Perlahan-lahan kedua tokoh kelas satu Kadipaten 
Jagalan itu melangkah berpencar. Sepasang mata 
mereka tetap tak lepas dari wajah si mayat hidup. 
Terlihat Ki Panggitan menganggukkan kepalanya

kepada Ki Badaran. 
Sementara itu, Wanasa dan beberapa anak buah-
nya telah datang membawa tali untuk menangkap 
mayat hidup itu. 
"Hiaaat..!" 
Diiringi bentakan nyaring, kedua tokoh itu mulai 
menggerakkan kedua tangannya. Sepasang kaki 
mereka membentuk kuda-kuda silang yang terlihat 
sangat kokoh dan kuat. Sesaat kemudian, kedua 
pasang tangan mereka mendorong ke depan meng-
gencet tubuh si mayat hidup dari dua arah. 
Wusss! 
Dua buah gelombang tenaga dalam yang amat 
kuat berhembus dari telapak tangan kedua tokoh itu. 
Tampak kedua tangan Ki Panggitan dan Ki Badaran 
bergetar kuat. Jelas, mereka telah mengerahkan 
tenaga dalam sepenuhnya. 
Mendapat tekanan dua gelombang tenaga dari 
arah yang berlawanan itu, ternyata membuat tubuh si 
mayat hidup bergetar hebat. Sehingga keadaannya 
tak ubahnya bagai orang terserang demam tinggi. 
Tepat pada saat tubuh si mayat hidup tengah tak 
berdaya, Wanasa dan empat orang lainnya bergerak 
cepat. Dilemparkannya tali-tali itu sehingga langsung 
melibat tubuh mayat hidup. Dan begitu tali-tali yang 
dilepaskan kelima orang perwira itu melibat ketat, 
tubuh si mayat hidup langsung diseret ke arah 
sebuah tiang. 
Sesaat sebelum tubuh si mayat hidup diseret, Ki 
Panggitan dan Ki Badaran berseru keras sambil 
menarik pulang tenaga mereka. Tubuh keduanya 
langsung melenting ke belakang mayat hidup itu. 
"Yaaat..!" 
Sambil membentak keras, Ki Panggitan dan Ki


Badaran mendorongkan telapak tangan mereka, 
melakukan pukulan jarak jauh. 
Wusss! Desss! 
Tubuh si mayat hidup kontan tersuruk ke depan 
ketika dua pasang telapak tangan tokoh-tokoh sakti 
itu menghantam tubuh bagian belakangnya. 
Pada saat yang tepat, Wanasa dan empat orang 
perwira lainnya bergegas menyeret tubuh si mayat 
hidup ke tiang hukuman. Jarak antara mereka 
dengan tiang tempat hukuman itu terpisah sekitar 
empat tombak. 
Namun belum lagi mereka berhasil menyeret 
tubuh si mayat hidup ke tiang itu, keanehan terjadi. 
Tubuh kaku itu mendadak bangkit dan langsung 
berjumpalitan ke depan. Kedua kakinya mendarat 
tepat dua tombak di depan Wanasa dan empat 
perwira lainnya. 
Wut! 
Tasss! Tasss! Tasss! 
"Aaah...!" 
Sebelum para perwira kadipaten itu menyadari apa 
yang terjadi, mayat hidup itu sudah membabat putus 
tali-tali yang mengikat tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh 
kelima orang perwira itu terjajar ke belakang. 
"Gila! Bagaimana mungkin ia masih bisa 
melakukan hal itu?" kata Ki Badaran seperti bertanya 
pada diri sendiri. 
Laki-laki tua itu menjadi terkejut setengah mati 
melihat mayat hidup dapat membebaskan dirinya. 
Padahal, menurutnya mayat hidup itu pasti sudah 
lemah akibat pukulan mereka berdua tadi. 
Ki Panggitan juga tidak kalah terkejutnya. 
Sepasang matanya membelalak tak percaya melihat 
kekuatan lawan. Padahal, jarang sekali terdapat

tokoh persilatan yang mampu menahan pukulannya 
tadi. Apalagi itu dilakukan berbarengan dengan Ki 
Badaran yang boleh dibilang memiliki kepandaian 
yang setingkat dengannya. 
"Guru...!" 
Tiba-tiba terdengar teriakan yang disusul 
munculnya seorang pemuda tampan dan gagah. 
Pakaian berwarna kuning gading yang dikenakannya 
membuat pemuda itu semakin gagah dan menarik. 
"Tuan Muda, mengapa kemari?" tanya Ki 
Panggitan menegur pemuda tampan yang rupanya 
adalah putra Adipati Gamang Sati itu. 
"Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar 
ribut-ribut di luar. Dan kedatanganku ke sini untuk 
melihat apa yang terjadi," sahut pemuda tampan yang 
dipanggil tuan muda itu cepat. 
Rupanya putra adipati yang tampan itu adalah 
murid dari Ki Panggitan dan Ki Badaran. Hal itu 
terlihat jelas dari sikapnya yang amat menghormati 
dua orang tokoh itu. Apalagi pemuda itu memanggil 
keduanya dengan sebutan guru. 
"Hm.... Lebih baik kembali ke tempatmu, Tuan 
Muda. Di sini terlalu berbahaya buatmu," kata Ki 
Badaran menasihati muridnya yang juga putra 
majikannya itu. 
"Tidak perlu khawatir, Guru. Aku hanya ingin 
melihat saja. Hitung-hitung untuk menambah 
pengalaman. Apakah hanya melihat saja tidak boleh, 
Guru?" bantah pemuda tampan itu dengan suara 
membujuk. 
Mendengar jawaban itu, Ki Badaran dan Ki 
Panggitan hanya dapat saling pandang sambil 
menggelengkan kepalanya. Dan mereka tak dapat 
berkata apa-apa lagi ketika melihat pemuda itu sudah

berdiri di antara para prajurit kadipaten. 
Ki Panggitan dan Ki Badaran bergegas melompat 
ketika mendengar jerit kematian. Ternyata, jeritan itu 
disusul dengan jatuhnya salah seorang perwira dalam 
keadaan terluka parah. Kedua tokoh sakti itu 
bergegas melompat ke arena pertempuran. Gerakan 
mereka sungguh ringan dan indah. Jelas, kepandaian 
mereka tidak bisa dianggap enteng. 
Saat itu empat orang perwira lainnya tengah 
berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari 
terjangan mayat hidup. Sambaran pedang si mayat 
hidup yang menderu-deru itu membuat mereka 
terdesak hebat. 
Trang! 
"Uhhh...!" 
Begitu tiba, Ki Panggitan langsung memapak 
senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang dicabut 
dari pinggang. Meskipun tubuh tokoh itu terjajar 
mundur, namun sempat menyelamatkan salah 
seorang perwira dari kematian. 
***

ENAM

Sesaat setelah benturan itu, serangan Ki Badaran 
meluncur datang. Sepasang pedang pendek di 
tangannya berkesiutan menyambar tubuh mayat 
hidup Ki Jaladri. 
Wuk! 
Trang! Bret! 
Tusukan pedang pendek di tangan kanan Ki 
Badaran berhasil ditangkis lawan. Tapi pada saat 
yang hampir bersamaan, pedang di tangan kirinya 
menyambar cepat membeset perut si mayat hidup. 
Tubuh kaku itu terbanting roboh disertai semburan 
cairan kehijauan yang menyembur dari luka di perut-
nya. 
"Aaah...!" 
Ki Badaran langsung melempar tubuhnya ke 
belakang dengan beberapa kali salto di udara. Wajah 
laki-laki tua yang bersembunyi di balik kain hitam itu 
tampak menyeringai menahan rasa jijik. Tampak 
beberapa tetes cairan yang berbau busuk itu telah 
menodai pakaiannya. Bergegas napasnya disedot 
untuk menahan rasa mual yang menyerang. 
"Setan keparat! Menjijikkan!" maki Ki Badaran 
sambil membuka penutup wajahnya dan meludah 
berkali-kali. 
Meskipun telah terluka pada bagian perutnya, 
namun mayat hidup Ki Jaladri itu masih saja bangkit 
seolah-olah tidak merasakan luka itu. Bau busuk 
semakin menebar memenuhi halaman depan gedung 
kadipaten. Memang, cairan kehijauan dan ke

kuningan itu terus saja mengalir dari luka di perut si 
mayat hidup. 
"Gila! Mayat hidup itu sepertinya tidak merasakan 
luka yang dideritanya," kata Wanasa dengan wajah 
menyeringai menahankan rasa jijik. 
"Berikan obor-obor itu kepadaku!" pinta Ki 
Panggitan. 
Tangannya segera saja terulur menyambar dua 
batang obor yang dipegang seorang prajurit. Kakek itu 
kembali menyambar dua batang obor lainnya setelah 
lebih dulu melemparkan dua batang obor pertama 
kepada Ki Badaran. 
"Adi Badaran, kita coba menerjang mayat hidup itu 
dengan menggunakan api!" lanjut orang tua itu lagi 
"Ah! Betul, Kakang! Mengapa aku sampai me-
lupakannya!" sahut Ki Badaran berseri setelah 
menerima dua batang obor yang tadi dilemparkan 
sahabatnya itu. 
"Heaaat..!" 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dua orang 
tokoh itu bergegas menerjang si mayat hidup. 
Wrrr! Wrrr...! 
Empat batang obor itu berkelebat menyambar-
nyambar cepat. Tampak lidah api menjilat-jilat 
mengancam tubuh si mayat hidup. 
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Panggitan! Sepertinya si 
keparat itu merasa takut terhadap api!" tegas Ki 
Badaran semakin bersemangat. 
"Betul, Adi! Ayo kita bakar mayat pengacau ini!" 
sahut Ki Panggitan yang menjadi agak lega karena 
telah menemukan titik kelemahan mayat hidup yang 
mengerikan itu. 
Berrr! Prattt! 
"Aaargh...!"

Terdengar raungan mengerikan ketika lidah api 
obor di tangan Ki Panggitan menjilat tubuh si mayat 
hidup. Seketika itu juga, bagian tubuh yang terjilat 
lidah api itu menciut dan menebarkan bau sangit! 
"Ha ha ha...! Ayo, tunjukkan keganasanmu tadi itu, 
Mayat Keparat! Ha ha ha...!" 
Ki Panggitan tertawa-tawa gembira ketika melihat 
si mayat hidup semakin bertambah ketakutan. Kedua 
kakinya terus melangkah mundur menjauhi kedua 
orang tokoh yang semakin gencar menerjangnya itu. 
Sekali pun ia tak berani melakukan serangan 
balasan, karena empat batang obor itu tak henti-
hentinya menyambar. Terpaksa mayat hidup itu terus 
mundur menjauhi jilatan lidah api. 
"Mengapa kau tidak berani membalas serangan 
kami, Mayat Keparat! Apakah takut dengan api obor 
ini?" ejek Ki Badaran sambil terus mencecar si mayat 
hidup dengan sambaran-sambaran api obornya. 
"Yeaaat..!" 
Pada jurus ketiga puluh, Ki Panggitan dan Ki 
Badaran berteriak berbarengan. Tubuh mereka 
melompat tinggi sambil mengulurkan kedua pasang 
tangan yang menggenggam obor. Kedua tokoh kelas 
satu Kadipaten Jagalan itu berjumpalitan melewati 
kepala si mayat hidup. Begitu tubuh mereka berada di 
atas kepala si mayat hidup, empat batang obor itu 
segera dilemparkan disertai dorongan tenaga dalam 
sepenuhnya. 
"Aaa...!" 
Si mayat hidup menjerit setinggi langit ketika 
empat batang obor itu menyambar dari empat 
penjuru. Sesaat kemudian, tubuh mayat hidup itu 
langsung terbakar oleh empat batang obor. 
"Aaaurgh....!"

Kembali si mayat hidup meraung mengerikan. 
Tubuhnya yang sudah terjilat api itu nampak semakin 
mengecil. 
"Mundur...!" teriak Ki Panggitan memerintahkan 
para prajurit untuk menjauhi tubuh mayat hidup yang 
tengah terhuyung-huyung sambil meraung-raung 
keras. 
Tidak berapa lama kemudian, tubuh si mayat 
hidup itu ambruk ke atas tanah. Kobaran api yang 
membakar tubuhnya semakin mengecil untuk 
kemudian hilang sama sekali. Dan pada tanah tempat 
mayat terbakar, hanya ada sedikit cairan yang berbau 
sangit. Sementara, tubuh si mayat hidup sudah habis 
termakan api. 
"Hhh.... Untunglah kau cukup tanggap menghadapi 
kelihaian mayat hidup itu. Kalau tidak, entah 
bagaimana harus mengalahkannya. Hhh, benar-benar 
berbahaya...!" desah Ki Badaran sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya dan menarik napas lega. "Eh, 
bagaimana kau tahu kalau mayat hidup itu takut 
dengan api, Kakang?" 
"Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak menge-
tahuinya, Adi. Semula hanya sekadar mencobanya 
saja. Bukankah tidak ada salahnya? Lagi pula, aku 
baru teringat akan hal itu pada saat kau telah 
melukai tubuhnya. Dan lagi kalau orang yang meng-
gunakan obor tidak memiliki tenaga dalam tinggi, 
rasanya mustahil akan dapat merobohkannya. 
Buktinya dengan dorongan angin pukulannya saja ia 
sudah dapat memadamkan api obor yang ditujukan 
ke tubuhnya," jelas Ki Panggitan. 
"Ah! Pantas saja kau tadi menyuruhku untuk 
mengerahkan tenaga untuk membantu serangan 
obor itu. Jadi, itu maksudnya?" kata Ki Badaran,

sambil tersenyum. Diam-diam tokoh ini semakin 
mengagumi sahabatnya yang memang memiliki 
banyak pengalaman. 
"Wah! Hebat sekali, Guru! Kalian memang benar-
benar pendekar hebat!" 
Sambil berkata demikian pemuda tampan putra 
Adipati Jagalan itu melangkah menghampiri kedua 
gurunya. Jelas sekali kalau pujian yang dilontar-
kannya itu bukan sekadar basa-basi. 
"Ah, Tuan Muda terlalu memuji," ucap Ki Panggitan 
sambil tersenyum simpul. 
Meskipun sebenarnya pemuda itu adalah murid 
kedua tokoh sakti ini, namun tetap saja mereka 
menyebutnya dengan panggilan tuan muda. Karena, 
memang merasa risih kalau harus memanggil putra 
majikannya itu dengan hanya nama saja. 
"Lebih baik Tuan Muda kembali ke kamar 
sekarang, karena sudah tidak ada lagi tontonan yang 
dapat dilihat," ujar Ki Badaran menimpali. 
"Ah! Biarlah aku di sini saja, menemani Guru 
berdua. Lagi pula sebentar lagi pagi akan datang," 
kilah pemuda itu. 
"Yahhh, kalau memang begitu kemauanmu...," Ki 
Panggitan tak meneruskan ucapannya. Kakek itu 
hanya mengangkat bahunya tanda menyerah. 
Malam pun kembali hening setelah para prajurit 
membersihkan tempat itu dari mayat-mayat yang 
bergeletakan. 
*** 
"Jadi yang menyebabkan kekacauan semalam 
hanya sesosok mayat?" tanya seorang laki-laki agak 
gemuk.

Dengan pakaian serba merah, laki-laki setengah 
baya itu berjalan hilir-mudik sambil menggendong 
kedua tangannya di belakang. Wajahnya tampak 
menyiratkan ketidaksenangan atas kejadian yang 
menimpa kediamannya semalam. 
"Betul, Gusti. Hanya sesosok mayat hidup," jawab 
salah seorang laki-laki berpakaian biru gelap yang 
bersimpuh beberapa tombak di hadapan laki-laki 
berpakaian mewah yang tengah marah itu. 
"Hm.... Menurut keterangan salah seorang perwira, 
kau mengenali mayat itu. Coba katakan kepadaku, Ki 
Panggitan. Siapa nama mayat hidup itu? Dan apakah 
kau tahu di mana tempat tinggalnya semasa hidup?" 
tanya laki-laki yang tak lain adalah Adipati Gamang 
Sati yang menjadi penguasa di seluruh wilayah 
Kadipaten Jagalan. 
"Dia adalah mayat Ki Jaladri yang menjadi Ketua 
Perguruan Perisai Baja. Hamba mengenalnya semasa 
masih mengembara di dunia persilatan, Gusti Adipati. 
Dan belakangan ini, hamba baru mengetahuinya 
kalau dia telah mendirikan sebuah perguruan," sahut 
orang tua yang memang Ki Panggitan. 
Sementara itu, bersimpuh di sebelah Ki Panggitan 
adalah Ki Badaran. Kedua pembantu utama Adipati 
Gamang Sati itu rupanya tengah dimintai keterangan 
sehubungan dengan peristiwa semalam. 
"Apakah Ki Kalianji dan Walanggata juga menge-
tahui di mana letak Perguruan Perisai Baja itu?" tanya 
Adipati Gamang Sati lebih lanjut 
"Hamba yakin mereka pasti tahu, Gusti. Seperti 
juga hamba, mereka juga telah lama mengenal Ki 
Jaladri," jawab Ki Panggitan cepat 
"Hm.... Kalau begitu aku akan menugaskan 
mereka berdua untuk menyelidiki Perguruan Perisai

Baja. Berani sekali mereka membuat kekacauan di 
kadipaten ini!" geram Adipati Gamang Sati dengan 
wajah merah. 
Setelah berkata demikian, adipati itu memerintah-
kan dua orang prajurit untuk memanggil dua orang 
pembantu utamanya yang lain. 
Adipati Gamang Sati memang mempunyai empat 
orang pembantu utama yang tidak tergabung dalam 
keprajuritan. Meskipun demikian, kedudukan mereka 
lebih tinggi dari para perwira kadipaten. Memang, 
mereka merupakan pengawal khusus yang tugasnya 
menjaga keselamatan seluruh keluarga Adipati 
Jagalan. 
Keempat orang pembantu utama adipati itu 
adalah tokoh persilatan terkemuka. Bahkan boleh 
dikatakan merupakan tokoh tingkat tinggi yang sulit 
dicari tandingannya. Itulah sebabnya, mengapa 
mereka mengenal hampir seluruh tokoh persilatan, 
termasuk Ki Jaladri di antaranya. Dan karena mereka-
lah sehingga Kadipaten Jagalan tidak ada yang berani 
mengganggu. Banyak orang yang merasa enggan 
untuk mencari permusuhan dengan keempat tokoh 
kosen itu. 
Tidak berapa lama kemudian, prajurit yang di-
tugaskan untuk memanggil Ki Kalianji dan 
Walanggata telah kembali menghadap. Di belakang 
mereka tampak seorang laki-laki berusia lima puluh 
tahun lebih, dan seorang lagi berusia sekitar tiga 
puluh lima tahun. Langkah mereka tampak tegap dan 
berisi. 
Adipati Gamang Sati mengibaskan tangan untuk 
menyuruh dua orang prajuritnya meninggalkan 
tempat itu. Sedangkan dua orang tokoh itu sudah 
bersimpuh di samping Ki Panggitan dan Ki Badaran.

Dan mereka saling berteguran sekejap. 
Setelah pintu ruangan kembali ditutup oleh dua 
orang penjaga tadi, Adipati Gamang Sati mulai 
mengutarakan maksudnya. 
"Ampun, Gusti. Hamba berdua siap melaksanakan 
perintah!" sahut Ki Kalianji setelah mendengar 
penuturan sang Adipati. 
"Kapan kami harus berangkat, Gusti?" tanya 
Walanggata hormat. 
Suara laki-laki gagah itu terdengar berat dan 
dalam. Wajahnya pun tampak selalu menyiratkan 
ketenangan, sebagaimana layaknya orang yang 
memiliki kepercayaan penuh pada dirinya. 
"Pagi ini juga kalian harus berangkat. Selidiki apa 
maksudnya Perguruan Perisai Baja mengirimkan 
mayat hidup ketuanya ke kadipaten ini?" perintah 
Adipati Jagalan. 
"Ampun, Gusti. Menurut dugaan hamba, Perguruan 
Perisai Baja belum tentu terlibat. Harap Gusti jangan 
mengambil tindakan keras terhadap mereka lebih 
dulu, karena belum tentu bersalah," jelas Ki Badaran 
mengajukan permohonan. 
"Tentu saja, Ki Badaran. Aku tidak akan begitu 
mudah menjatuhkan hukuman kalau memang 
kesalahannya belum terbukti. Itulah sebabnya 
mereka berdua kusuruh menyelidikinya. Tapi biar 
bagaimanapun, aku berterima kasih kepadamu, Ki 
Badaran. Paling tidak, kau telah mengingatkan aku," 
jawab Adipati Gamang Sati seraya tersenyum lembut. 
"Ayah! Apakah aku boleh menyertai Ki Kalianji dan 
Paman Walanggata?" pinta seorang pemuda tampan 
yang sejak tadi hanya terduduk diam mendengarkan 
pembicaraan antara ayahnya dengan guru-gurunya 
itu.

"Tidak, Anggada. Pekerjaan ini terlalu berbahaya 
untukmu. Lebih baik kau di rumah saja untuk 
menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diajarkan 
kedua gurumu. Oh, ya. Di mana adikmu Ganesha?" 
tanya Adipati Gamang Sati mengalihkan pem-
bicaraan. 
"Entahlah, Ayah. Sejak pagi tadi aku belum 
melihatnya," sahut Anggada dengan suara 
mengandung kekecewaan, karena permintaannya 
tidak dikabulkan. 
"Nah! Ki Kalianji, Walanggata, kalian boleh 
menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan 
nanti. Dan kau Ki Panggitan dan Ki Badaran, kalian 
boleh beristirahat," ujar Adipati Gamang Sati mem-
persilakan. 
"Baik, Gusti. Kami mohon pamit," ucap keempat 
tokoh itu serentak. 
Setelah membungkuk hormat, keempat tokoh itu 
melangkah meninggalkan ruangan pertemuan 
rahasia. 
Beberapa saat kemudian, Adipati Gamang Sati dan 
putranya pun meninggalkan tempat itu. 
*** 
Dua ekor kuda putih melesat cepat melewati pintu 
gerbang Kadipaten Jagalan. Derap dua ekor kuda 
yang melesat bagai anak panah itu meninggalkan 
kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa. 
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!" 
Dua orang laki-laki yang berada di atas punggung 
kuda terus menggebah kudanya ke luar wilayah 
kadipaten. Mereka tak lain adalah Ki Kalianji dan 
Walanggata yang ditugaskan Adipati Gamang Sati

untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja. 
Tidak berapa lama kemudian, mereka mulai mem-
perlambat lari kudanya, karena saat itu harus 
melewati daerah perbukitan. Memang, jalan yang 
dilewati agak sukar. Tentu saja mereka tidak ingin 
kalau kaki kudanya akan cedera akibat sukarnya 
jalan yang dilalui. 
"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lain 
saja, Ki?" tanya Walanggata yang sepertinya tidak 
suka melewati jalan yang sukar itu. 
"Hm.... Hanya jalan inilah satu-satunya yang ter-
dekat, Walanggata. Lagi pula, kalau kita melewati 
jalan yang di sebelah Selatan sana akan memakan 
waktu lama. Belum lagi kalau nasib kita sedang sial, 
sehingga harus berhadapan dengan perampok-
perampok yang kadang-kadang berkeliaran di tempat 
itu," sahut Ki Kalianji yang rupanya lebih tahu arah 
jalan yang dapat menyingkat perjalanan. 
"Kalau tahu di daerah Selatan itu kadang-kadang 
terjadi perampokan, mengapa Gusti Adipati tidak 
mengirimkan pasukan untuk menumpasnya? Bukan-
kah perampok-perampok itu dapat mengganggu 
ketenangan rakyat?" tanya Walanggata yang merasa 
heran, karena para perampok dibiarkan merajalela 
begitu saja. 
"Ah! Kau seperti tidak tahu saja, Walanggata. Para 
perampok itu tidak menetap di tempat itu. Entah dari 
mana mereka datang? Beberapa bulan sebelum kau 
datang untuk mengabdikan diri ke kadipaten, aku 
sudah pernah ditugaskan Gusti Adipati untuk 
menumpas gerombolan perampok itu. Tapi, tak satu 
pun perampok yang kutemukan. Entah ke mana 
perginya? Seolah-olah mereka telah mengetahui 
kalau hari itu prajurit kadipaten akan mengadakan

pembersihan. Itulah yang membuatku heran," jelas Ki 
Kalianji menutup ceritanya. 
"Hm.... Memang mengherankan," desis Walanggata 
bergumam pelan. 
Setelah mendengar penuturan Ki Kalianji itu, 
Walanggata pun terdiam. 
Selang beberapa waktu kemudian, kedua 
pengawal pribadi Adipati Gamang Sati itu mulai 
menyusuri jalan setapak yang cukup rata, sehingga 
dapat melarikan kuda meskipun tidak terlalu cepat. 
Sebab tangan mereka kadang-kadang harus 
menyibakkan ranting pohon yang menjulur ke arah 
jalan setapak itu. Dan baru saja mereka akan mem-
percepat lari kudanya, tampak di tengah jalan ada 
sesuatu yang mencurigakan. 
"Hm.... Ada apa pula itu? Mengapa orang itu 
menggeletak di tengah jalan?" gumam Ki Kalianji 
yang berada di depan. 
Sebagai tokoh persilatan yang sudah banyak 
pengalaman, kecurigaannya langsung timbul. Ditarik-
nya tali kekang untuk memperlambat lari kudanya. 
"Ada apa, Ki?" tanya Walanggata yang segera 
memperlambat lari kudanya. 
Sambil berkata demikian, kepalanya segera 
dijulurkan untuk memandang ke depan melalui bahu 
Ki Kalianji. 
"Eh, siapa pula orang yang tergeletak di tengah 
jalan itu?" tanya Walanggata seraya mengerutkan 
kening, melihat pemandangan itu. 
"Hati-hati, Walanggata! Siapa tahu ini merupakan 
jebakan. Ingat, kita tengah menjalankan tugas! Jadi 
bukan tidak mungkin kalau lawan sudah mengetahui 
kedatangan kita," Ki Kalianji menasihati kawan 
seperjalanannya. Orang tua itu sengaja merendahkan

suaranya agar tidak terdengar orang lain. 
"Apakah tempat Perguruan Perisai Baja sudah 
dekat, Ki?" tanya Walanggata yang rupanya tidak 
mengetahui letak perguruan itu. 
"Belum. Tempat itu masih cukup jauh. Tapi, siapa 
tahu orang-orang itu sengaja menghadang kita di 
tempat ini agar tidak terlalu mencolok," jawab Ki 
Kalianji, kali ini malah berbisik. Memang, jarak 
mereka dengan orang yang telentang itu sudah 
semakin dekat Begitu jarak mereka sudah semakin 
dekat, Ki Kalianji menjadi heran ketika melihat orang 
itu sama sekali tidak nampak terluka. Dengan kening 
berkerut, laki-laki tua itu melompat dari atas 
punggung kudanya. 
"Maaf, Kisanak. Berilah kami jalan untuk lewat," 
pinta Ki Kalianji sambil membungkuk sopan. 
Laki-laki itu berkata demikian karena orang yang 
menghalangi jalannya tampak memandangnya. Orang 
itu sama sekali tidak tertidur, apalagi terluka. 
Tanpa sadar, Ki Kalianji melangkah mundur ketika 
matanya bertemu dengan sinar mata yang berkilat 
tajam. Kilatan mata yang ternyata dipancarkan oleh 
seorang kakek tua itu demikian berpengaruh, 
sehingga sempat membuat hati Ki Kalianji berdebar 
tegang. 
"He he he...! Boleh aku tahu, ke mana tujuan 
kalian, Kisanak?" tanya kakek itu. 
Dia sama sekali tidak mempedulikan permintaan 
Ki Kalianji. Malah sambil terkekeh menyeramkan, ia 
bertanya kepada tokoh Kadipaten Jagalan itu. 
"Maaf. Kami hanyalah dua orang pengembara yang 
hanya kebetulan lewat. Dan kami mohon Kisanak 
sudi memberi jalan untuk lewat," sahut Ki Kalianji. 
Kali ini suaranya lebih tegas, karena sudah mulai

menduga kalau kakek tua itu sengaja mencari gara-
gara. 
"He he he...! Sombong sekali kau, anjing-anjing 
peliharaan Gamang Sati. Rupanya kehidupan yang 
mewah membuat kalian tidak lagi memandang 
sebelah mata kepada orang lain. Apakah kalian telah 
merasa paling hebat? Kalianji, Walanggata, jawab 
pertanyaanku!" bentak kakek itu. 
Bukan main terkejutnya Ki Kalianji dan 
Walanggata ketika kakek itu menyebut nama mereka. 
Sejenak keduanya meneliti wajah dan pakaian kakek 
itu. Dicobanya untuk mengingat-ingat, siapa kakek 
tua itu sebenarnya. 
Sebelum kedua orang jagoan kadipaten itu sempat 
mengenali kakek tua di hadapannya, tiba-tiba 
seorang pemuda tampan dan jangkung muncul dari 
balik semak-semak. 
***

TUJUH

"Paman...!" tegur pemuda tampan itu menyapa Ki 
Kalianji dan Walanggata. Senyum licik tampak 
membayang di wajahnya yang tampan. 
"Tuan Muda Ganesha...!" seru kedua orang jagoan 
kadipaten itu terkejut. 
Bergegas mereka membungkuk hormat, karena 
pemuda itu adalah putra kedua Adipati Gamang Sati 
yang menjadi junjungan mereka. 
"Apa..., apa yang Tuan Muda lakukan di tempat 
ini?" tanya Ki Kalianji yang merasa heran melihat 
putra junjungannya berada di tempat yang sebenar-
nya sangat jauh dari kadipaten. 
"Guru, mari ajak mereka ke tempat kita," kata 
pemuda yang bernama Ganesha, seraya menoleh 
kepada kakek tua yang masih telentang di tengah 
jalan. Dari sini saja mudah diketahui kalau antara 
Ganesha dan kakek tua yang menyeramkan itu 
terjalin hubungan yang cukup akrab. 
"Baik, Tuan Muda," sahut si kakek seraya bangkit 
dari berbaringnya. 
Jelas sekali kalau kakek tua itu sangat meng-
hormati Ganesha. Meskipun pemuda itu memanggil-
nya dengan sebutan guru. 
"Mari, Paman...," ajak Ganesha. 
Kemudian pemuda itu melangkah keluar dari jalan 
setapak. Sepertinya dia mengajak kedua jagoan 
kadipaten memasuki wilayah hutan yang cukup lebat 
Meskipun keheranan belum lenyap, tapi kedua 
jagoan itu melangkah juga mengikuti Ganesha dan si

kakek memasuki hutan. 
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang itu 
tiba di sebuah daerah pemukiman yang hanya 
terdapat beberapa buah rumah yang dibuat asal jadi. 
"Inilah tempat tinggalku, Paman," jelas Ganesha. 
Dipersilakannya kedua orang itu memasuki 
sebuah rumah yang lebih bagus dari yang lainnya. 
Beberapa orang bertampang kasar tampak mem-
perhatikan kedua orang itu dengan kening berkerut. 
Tapi mereka tampak sangat menghormati Ganesha. 
"Hm.... Tempat apa ini? Mengapa Tuan Muda 
Ganesha memilih tinggal di tempat ini daripada di 
kadipaten?" gumam Ki Kalianji dalam hati. Sepasang 
matanya terus merayapi curiga sekelilingnya. 
"Apa maksudmu mengajak kami ke tempat ini, 
Tuan Muda?" tanya Ki Kalianji begitu mereka telah 
duduk mengitari sebuah kayu yang terbuat dari 
batang pohon besar. 
"Sebenarnya begini, Paman Kalianji dan 
Walanggata...." 
Ganesha lalu menceritakan tentang rencananya 
kepada kedua orang jagoan kadipaten yang 
kemudian menjadi terkejut setengah mati. Wajah 
keduanya nampak pucat bagai tak dialiri darah, 
karena benar-benar tidak menyangka kalau Ganesha 
akan berbuat seperti itu. 
"Tuan Muda! Sadarkah dengan apa yang kau 
ucapkan itu? Mengapa Tuan Muda sampai hati 
mengkhianati Gusti Adipati yang begitu menyayangi-
mu? Ini rencana gila! Dan kuminta Tuan Muda 
memikirkannya sebelum bertindak. Ingat, Tuan Muda 
masih belum terlambat untuk membatalkan rencana 
ini!" sergah Ki Kalianji menasihati putra junjungannya 
itu dengan suara ditekan sehormat mungkin.

"Tidak! Rencana yang telah kususun bersama 
guruku tetap akan dijalankan. Ketahuilah, Paman. 
Aku hanyalah seorang putra tiri yang lahir dari salah 
seorang selir Adipati Gamang Sati. Semua itu 
kuketahui ketika ayah tengah berbicara dengan 
bunda. Katanya, Kakang Anggada akan diangkat 
sebagai adipati untuk menggantikan beliau. Itu sama 
artinya dengan mencampakkan aku, Paman!" tegas 
Ganesha berapi-api. Jelas sudah kalau pemuda itu 
akan melakukan pemberontakan untuk merebut 
Kadipaten Jagalan. 
"Tapi dengan diangkatnya Tuan Muda Anggada 
nanti, bukan berarti Gusti Adipati akan mencampak-
kanmu, Tuan Muda," Walanggata ikut angkat bicara. 
"Sudahlah! Aku tidak ingin banyak bicara lagi. 
Sekarang, Paman berdua boleh mengambil 
keputusan. Ikut denganku, atau akan menjadi mayat 
hidup yang akan menggemparkan Kadipaten Jagalan 
untuk kedua kalinya!" Ganesha mulai mengancam 
kedua orang jagoan kadipaten itu. 
"Jadi..., jadi rupanya Tuan Muda yang telah 
mengirimkan mayat hidup Ki Jaladri untuk mengacau-
kan Kadipaten Jagalan?" tebak Ki Kalianji kembali 
terkejut mendengar ucapan yang keluar dari mulut 
putra tiri junjungannya itu. 
"Ya! Dan kalau Paman berdua menolak ajakanku,. 
maka akan bernasib sama dengan Ki Jaladri!" tegas 
Ganesha dengan sepasang matanya yang meng-
ancam. 
"Keparat! Rupanya kau telah berubah menjadi 
iblis, Ganesha! Kau sengaja membunuh dan mem-
peralat Ketua Perguruan Perisai Baja agar niat busuk-
mu terlaksana! Dan kami pun tidak sudi berkomplot 
denganmu!" geram Ki Kalianji dengan wajah gelap.

Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tua itu 
segera melompat keluar, diikuti Walanggata. 
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi keputusan 
kalian, semoga saja tidak menyesal!" desis Ganesha 
menampakkan sifat aslinya yang kejam. 
Sesaat kemudian, tubuh pemuda jangkung itu pun 
melesat mengejar kedua orang jagoan Kadipaten 
Jagalan itu. Ganesha tertawa terbahak-bahak ketika 
melihat Ki Kalianji dan Walanggata sudah terkepung 
puluhan orang anak buahnya. 
"Kau mimpi Ganesha! Pasukanmu yang kecil ini 
tidak mungkin mampu menghadapi prajurit-prajurit 
Gusti Adipati yang berpuluh kali lebih banyak dari 
pasukanmu ini!" ejek Walanggata ketika melihat 
jumlah pengikut pemuda itu yang hanya beberapa 
puluh orang saja. 
"Ha ha ha...! Jangan lupa, Walanggata! Guruku 
dengan mudah dapat membunuh beberapa orang 
prajurit kadipaten dan membangkitkannya kembali 
untuk menghancurkan pasukan junjunganmu itu!" 
sahut Ganesha. 
Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian gurunya 
yang berwajah lusuh itu. Sepertinya orang tua itu 
tidak pernah terkena air selama hidupnya, sehingga 
keadaannya demikian lusuh dan kotor. 
"Hm.... Pantas saja selama ini ia tidak pernah suka 
belajar dengan kita. Rupanya diam-diam telah men-
dapatkan seorang guru yang jauh lebih pandai dari 
kita berdua," gumam Ki Kalianji dengan suara rendah. 
"Kurasa begitu, Ki. Dan kita harus berhati-hati 
untuk menghadapinya. Yang jelas, kita belum 
mengetahui sampai sejauh mana pemuda keparat itu 
mempelajari ilmu dari gurunya," kata Walanggata 
mengingatkan, kemudian bergegas mencabut

senjatanya. 
Ki Kalianji pun tidak ingin ayal-ayalan lagi. Cepat-
cepat senjata yang berupa sepasang tongkat hitam 
sepanjang tiga jengkal diloloskan. 
Wungngng! Wungngng! 
Sepasang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji 
bergerak saling bersilangan hingga menimbulkan 
deruan angin tajam. Sadar kalau keadaan mereka 
berdua tengah terancam, Ki Kalianji langsung 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. 
Demikian pula halnya Walanggata. Senjatanya 
yang berupa sebilah golok besar bercagak pada 
ujungnya, sudah melintang di depan dada. Sepasang 
matanya bergerak memutar memperhatikan gerak 
langkah para pengepungnya. 
"Mundur kalian! Buat lingkaran agar dua ekor tikus 
itu tidak dapat lari ke mana-mana!" perintah Ganesha 
sambil melangkah tegap ke tengah lingkaran meng-
hampiri kedua jagoan kelas satu Kadipaten Jagalan. 
"Kau ingin menghadapi kami sendirian, Ganesha?" 
tanya Ki Kalianji heran begitu melihat dan mendengar 
ucapan pemuda jangkung itu. 
"Ha ha ha...! Aku hanya ingin membuktikan kalau 
ilmu yang kalian miliki itu hanya ilmu pasaran yang 
rendah!" ejek pemuda jangkung itu sombong. "Nah, 
jagalah pukulanku! Hiaaat..!" 
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh pemuda 
jangkung itu melayang disertai kibasan tangannya 
yang menimbulkan sambaran angin kuat! 
Ki Kalianji yang berada paling dekat dengan 
pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya meng-
hindari pukulan lawan. Begitu mengetahui kalau yang 
dihadapi adalah Ganesha, tokoh itu segera 
menyimpan senjatanya. Selama ini, dia tahu betul

kalau Ganesha tidak pernah berlatih silat. Lagi pula 
tokoh tua itu merasa malu kalau menghadapi lawan-
nya harus menggunakan senjata andalan. 
Wut! Bet! 
Dua buah tamparan telapak tangan Ganesha 
mengenai tempat kosong, karena Ki Kalianji sudah 
terlebih dahulu mengelak. Ki Kalianji langsung me-
lakukan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. 
Ganesha sama sekali tidak berusaha menyingkir 
ketika pukulan lawan meluncur ke tubuhnya. Pemuda 
jangkung itu mendengus kasar sambil mengangkat 
tangan kanan untuk memapak pukulan tokoh kosen 
dari Kadipaten Jagalan. Rupanya Ganesha memang 
sengaja hendak mengadu tenaga. 
Wut! Plak! 
"Aaah...!" 
Terdengar ledakan keras ketika telapak tangan 
pemuda jangkung itu bertumbukan dengan kepalan 
Ki Kalianji. Tokoh tua dari Kadipaten Jagalan itu 
berseru tertahan merasakan tenaga dalam yang 
tersembunyi di balik lengan pemuda itu ternyata 
cukup tinggi. Sehingga pertemuan tenaga dalam itu 
sempat membuat tubuhnya bergetar. 
"Gila! Tidak kusangka tenaga dalam yang 
dimilikinya sangat kuat!" desis Ki Kalianji terkejut. 
Cepat kakek tua itu melompat ke belakang dan 
kembali bersiap. 
"Ha ha ha...! Mengapa mundur, Orang Tua? Takut? 
Nah! Kalau begitu, gunakanlah senjatamu!" ejek 
Ganesha yang sepertinya tidak merasakan apa apa 
dalam pertemuan tenaga tadi. 
"Huh! Jangan sombong dulu, Pemuda Iblis! Aku 
masih belum kalah!" bentak Ki Kalianji yang menjadi 
geram mendengar ejekan pemuda yang pantas

menjadi cucunya itu. 
"Lebih baik kalian maju berbarengan daripada 
akan menyesal nanti," ejek Ganesha pongah. 
Sepertinya pemuda itu merasa yakin sekali dengan 
kepandaian yang dimilikinya. Hal itu tidaklah terlalu 
berlebihan, karena Ganesha memang sudah 
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian 
kedua orang pembantu utama ayah tirinya itu. 
Walanggata panas hatinya mendengar ejekan 
pemuda itu. Dengan wajah gelap, kakinya melangkah 
menghampiri Ganesha. 
"Kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah! 
Tapi janganlah berteriak-teriak menyambat gurumu 
apabila terdesak atau terluka nanti!" tegas 
Walanggata geram. Hatinya benar-benar panas 
melihat sikap pemuda itu yang meremehkannya. 
"Ha ha ha...! Kau gentar pada guruku, Walanggata? 
Jangan khawatir, karena kedua tanganku masih 
sanggup menundukkan kalian. Nah! Apa lagi yang 
ditunggu?" sahut Ganesha sambil tersenyum 
mengejek. 
"Tuan Muda! Orang bijak mengatakan, jika ingin 
berhasil dalam suatu pekerjaan, maka janganlah 
menunda-nuda pekerjaanmu. Nah, silakan Tuan 
Muda beristirahat. Biarlah hamba yang akan 
menghadapi anjing-anjing peliharaan Adipati Jagalan 
itu," tiba-tiba kakek tua berwajah kumuh berkata 
sambil melangkahkan kakinya ke tengah arena. 
"Ah, Guru. Berilah kesempatan padaku untuk 
menguji sampai di mana kemajuan yang telah 
kuperoleh. Rasanya, hanya kedua orang inilah yang 
cocok untuk menguji kepandaian yang Guru turun-
kan," Ganesha mencoba membantah ucapan kakek 
tua yang menjadi gurunya itu.

"Tidak, Tuan Muda. Kita harus cepat-cepat 
membereskan mereka. Sebab, naluriku merasakan 
adanya bahaya lain yang akan mengancam dan 
menghancurkan rencana kita. Aku tidak dapat 
mengetahui secara pasti bahaya apa yang akan kita 
hadapi itu," tegas si kakek tidak menerima bantahan 
muridnya kali ini. 
"Tapi.... Tapi, Guru...," Ganesha masih mencoba 
membantah alasan yang dikemukakan gurunya. 
Wajahnya yang tampan nampak menyiratkan 
kekecewaan. 
"Maaf, Tuan Muda. Kali ini hamba terpaksa tidak 
bisa meluluskan permintaan Tuan Muda. Biarlah di 
lain kesempatan hamba berjanji akan mencari lawan 
yang dapat membuatmu tidak merasa sia-sia karena 
telah mempelajari ilmu-ilmu hamba," kakek tua itu 
tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya. 
"Yah! Kalau memang keputusan Guru tidak dapat 
ditarik lagi, biarlah kali ini aku mengalah. Tapi Guru 
harus menepati janji untuk mencarikan lawan yang 
benar-benar dapat membuat hatiku puas!" 
Akhirnya Ganesha terpaksa menuruti perintah 
gurunya. Pemuda jangkung itu kemudian bergegas 
melangkah mundur menjauhi arena. 
Sementara itu, seluruh wajah Ki Kalianji dan 
Walanggata seketika merah mendengar perdebatan 
guru dan murid itu. Kedua orang tokoh kosen 
Kadipaten Jagalan itu benar-benar merasa terhina. 
Betapa tidak? Karena, kedua orang guru dan murid 
itu enak saja membicarakan nasib mereka. Seolah-
olah, mereka dianggap orang pesakitan yang 
hukumannya tengah diputuskan. 
"Bangsat! Manusia sombong! Keparat!" 
Walanggata yang usianya lebih muda daripada Ki

Kalianji tidak dapat lagi membendung kemarahan 
yang hampir-hampir meledakkan dadanya itu. la 
memaki-maki marah sambil mencabut golok 
bercagak yang tadi sudah disimpannya. 
"Hiaaat..!" 
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh tokoh 
Kadipaten Jagalan itu segera melompat disertai 
tebasan golok besarnya. 
Wut! 
Angin tajam berhembus keras mengiringi tebasan 
golok besar bercagak yang diayunkan Walanggata 
sekuat tenaga. 
"Hm...!" 
Kakek berwajah kumuh itu mendengus kasar ber-
nada mengejek. Tubuhnya bergeser ke samping 
menghindari tebasan golok Walanggata. Sesaat 
setelah golok lawan menyambar lewat, tangan kanan 
kakek itu cepat melakukan totokan jari-jari tangannya 
yang membentuk paruh bangau. Kecepatan pukulan 
kakek itu hebat sekali, hingga menimbulkan suara 
mencicit tajam. 
Wusss! Bet! 
Walanggata melempar tubuhnya ke belakang 
untuk menghindari totokan jari tangan yang 
mengandung maut itu. Setelah melakukan salto 
beberapa kali, tokoh Kadipaten Jagalan termuda itu 
mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari 
lawannya dengan manis. 
Rupanya kakek berwajah kumuh itu benar-benar 
ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan. 
Karena, pada saat tubuh Walanggata melompat ke 
udara, tubuh kakek itu pun segera menyusulinya. 
Sepasang tangannya kali ini membentuk ceng-
keraman melebar dan siap meremukkan batok

kepala lawan. 
"Aaah...!" 
Bukan main terkejutnya Walanggata ketika melihat 
sepasang tangan lawan sudah mencecar dengan 
serangan-serangan mematikan. Padahal, posisinya 
tidak memungkinkan untuk menghindar. Maka 
tangan kirinya terpaksa diangkat untuk memapak 
patukan tangan kanan lawan. Berbarengan dengan 
itu, golok bercagaknya berkelebat membeset perut si 
kakek. 
"Bagus...!" puji kakek lusuh itu. 
Mau tak mau dia terpaksa memuji kegesitan dan 
kesigapan lawannya. Pujian yang keluar dari mulut 
kakek itu bukanlah suatu pujian kosong ataupun 
ejekan. Karena, apa yang dilakukan Walanggata 
memang benar-benar mengagumkan. Buktinya, di 
saat dirinya terancam, ternyata tokoh itu masih juga 
sempat melontarkan serangan berbahaya. 
Wut! Plak! Plak! 
"Aaah...!" 
Terdengar suara nyaring ketika sepasang lengan 
mereka saling bertumbukan. Tubuh Walanggata 
terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sepasang 
tangannya terasa seperti lumpuh ketika beradu 
tangan dengan kakek tua itu. Dan sebelum kuda-
kudanya sempat diperbaiki, tubuh lawannya kembali 
melompat disertai patukan-patukan sepasang tangan 
ke seluruh tubuh Walanggata. 
Pucat seluruh paras tokoh Kadipaten Jagalan itu. 
Dia sadar sepenuhnya kalau kali ini tidak mungkin 
dapat lolos dari ancaman sepasang tangan yang 
berbentuk paruh bangau itu. Walanggata hanya 
mampu memejamkan matanya rapat-rapat menanti 
datangnya maut

"Yeaaat..!" 
Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan 
tinggi kurus melesat ke tengah-tengah arena per-
tarungan. Sepasang tangan sosok tubuh itu terdorong 
ke depan dengan telapak tangan terbuka. 
Wusss! 
Serangkum angin keras bertiup mengiringi 
dorongan sepasang telapak tangan yang mengan-
dung tenaga dalam tinggi itu. Gerakannya demikian 
cepat memotong gerak si kakek yang tengah 
meluncur mengancam tubuh Walanggata. Dan.... 
Bresss! 
"Aaah...!" 
Udara di sekitar arena pertarungan bergetar ketika 
sepasang tangan sosok tinggi kurus bertemu telapak 
tangan guru Ganesha. Rupanya dia telah merubah 
gerakannya begitu melihat sosok tubuh tinggi kurus 
memotong geraknya. 
Akibatnya sungguh hebat, tubuh sosok tinggi kurus 
yang menyambut sepasang telapak tangan kakek tua 
itu terlempar keras disertai jeritan kesakitan. 
Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon 
sebesar dua pelukan orang dewasa yang tumbuh di 
tepi arena. 
Berbarengan dengan meluncurnya tubuh sosok 
tinggi kurus itu, sesosok bayangan putih melesat dari 
arah yang berlawanan. Gerakannya demikian cepat 
hingga tak ubahnya sebatang anak panah lepas dari 
busur. 
Tappp! 
Sosok bayangan putih itu langsung mengulurkan 
tangannya menangkap sosok tinggi kurus yang 
hampir menghantam sebatang pohon besar. Dan

dengan sebuah gerakan indah, bayangan putih itu 
melenting ke atas melakukan beberapa kali salto di 
udara. Tanpa suara sedikit pun, sepasang kakinya 
mendarat di atas permukaan tanah. 
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan rasa nyeri 
pada bagian dadamu akan segera lenyap. Dan 
beristirahatlah sejenak untuk memulihkan tenagamu 
yang buyar akibat benturan keras tadi," ujar si 
bayangan putih sambil menyerahkan sebutir obat 
pulung berwarna putih. 
Cepat jari-jari tangan sosok berjubah putih itu 
bergerak menutup mulut sosok tinggi kurus yang tak 
lain Ki Kalianji. Karena, dia melihat bibir orang yang 
ditolongnya bergerak seperti hendak mengucapkan 
sesuatu. 
Sementara itu, di arena pertarungan telah ber-
tambah satu orang lagi. Di saat Walanggata hampir 
tak mampu lagi melindungi tubuhnya dari ancaman 
serangan si kakek, tahu-tahu saja sesosok tubuh 
ramping yang terbungkus pakaian serba hijau 
melesat ke tengah pertarungan. Begitu tiba, dia 
langsung menusukkan pedangnya ke arah lawan. 
"Aaah...!" 
Tentu saja kakek itu menjerit kaget ketika tahu-
tahu saja ujung pedang yang mengeluarkan sinar 
putih keperakan mengancam beberapa bagian tubuh-
nya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, meng-
hindari ujung pedang sosok tubuh yang baru tiba itu. 
Cuiiit! Cuiiit! 
Pedang di tangan sosok tubuh ramping itu terus 
mengejar tubuh si kakek yang telah melompat 
beberapa tombak ke belakang. Guru Ganesha itu 
terus melakukan beberapa kali salto ketika melihat 
ujung pedang sosok tubuh ramping itu terus

mengejarnya. 
"Siapa kau, Nisanak?! Mengapa mencampuri 
urusan kami?" bentak si kakek dengan wajah gelap. 
Diam-diam ia merasa terkejut sekali melihat 
kehebatan ilmu pedang wanita jelita yang datang-
datang langsung menerjangnya itu. 
Sosok tubuh ramping itu sama sekali tidak mem-
pedulikan pertanyaan si kakek. Dengan sikap acuh, 
wajahnya dipalingkan kepada Walanggata yang saat 
itu juga tengah menatapnya. 
"Te... terima kasih.... Atas pertolonganmu, 
Nisanak," ucap Walanggata agak gugup. 
Sepasang mata laki-laki itu tampak menyiratkan 
kekaguman yang tak dapat disembunyikan. 
Walanggata menjadi rikuh ketika melihat orang yang 
menolongnya ternyata adalah seorang gadis yang 
memiliki paras sangat cantik. 
"Hm...." 
Sosok tubuh ramping yang ternyata adalah 
seorang dara jelita itu bergumam dan tersenyum 
manis. Gadis itu baru tersadar dan senyumnya 
menghilang ketika melihat orang yang ditolongnya 
semakin membelalakkan matanya bagaikan orang 
yang hilang ingatan. 
"Maaf.... Maaf, bukan maksudku untuk bersikap 
kurang ajar. Tapi..., tapi.... Nisanak benar-benar 
mempesona," ucap Walanggata meminta maaf sambil 
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. 
"Hm.... Sudahlah!" sergah gadis jelita itu mengibas-
kan tangannya. 
Untung saja Walanggata cepat menyadari 
kesalahannya. Kalau tidak, mungkin gadis jelita itu 
akan menjadi marah melihat sikapnya tadi.

"Kakang, bagaimana luka orang tua itu?" tanya si 
gadis jelita sambil menolehkan kepalanya ke arah 
pemuda tampan berjubah putih yang tadi menolong 
Ki Kalianji. 
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya segera 
pulih," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak 
lain adalah Pendekar Naga Putih. 
Pemuda itu berbasa-basi sejenak menanyakan 
keadaan Walanggata, kemudian kembali memandang 
ke arah kakek tua yang melukai Ki Kalianji tadi. 
"Hm...." 
Kakek tua berwajah kumuh itu menatap tajam ke 
arah Panji. Sepasang matanya meneliti sosok 
pemuda berjubah putih itu dari bawah ke atas. 
Kemudian tanpa mengucapkan sepata kata pun, 
tubuh kakek itu melesat menerjang Panji. 
Bet! Bet! 
"Eh...!" 
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget melihat 
serangan yang tak diduga itu. Cepat-cepat tubuhnya 
digeser ke belakang sehingga serangan kakek itu 
gagal. 
"Perlahan dulu, Kakek Tua...!" seru Panji sambil 
terus menghindari patukan tangan si kakek yang 
terus saja memburunya. 
Pendekar Naga Putih terpaksa memapak serangan 
kakek itu, karena kalau dibiarkan bisa-bisa dirinya 
menjadi celaka. 
Dukkk! 
"Uhhh...!" 
Tubuh mereka terjajar mundur ketika tangan 
masing-masing saling berbenturan. Tampak keduanya 
sama-sama terkejut mengetahui kalau tenaga 
mereka boleh dibilang berimbang.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya si kakek semakin 
penasaran ketika mendapat kenyataan kalau tenaga 
dalam pemuda itu sangat tinggi. 
***

DELAPAN

"Namaku Panji. Lalu, siapa dirimu, Kisanak?" jawab 
Panji yang juga menanyakan lawannya. Keduanya 
saling menatap dengan sinar mata berkilat tajam. 
"Kakang! Menurut keterangan dua orang itu, kakek 
inilah yang telah membunuh dan membangkitkan 
mayat Ki Jaladri!" bisik gadis jelita yang tak lain 
adalah Kenanga. 
Rupanya selagi Panji berhadapan dengan kakek 
tua itu, Kenanga bertanya kepada Walanggata dan Ki 
Kalianji yang tenaganya sudah pulih akibat per-
tolongan Panji tadi. 
"Eh, benarkah...?" tanya Panji sambil menatap Ki 
Kalianji dan Walanggata bergantian. Pemuda itu 
seolah-olah ingin mendapat kepastian dari dua orang 
yang ditolongnya itu. 
"Benar, Anak Muda. Dan aku juga bisa menduga, 
siapa dirimu. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih?" kata kedua orang tokoh kosen 
Kadipaten Jagalan, seakan-akan meminta kepastian. 
Ki Kalianji lalu menceritakan secara singkat, dari 
mulai kejadian di Kadipaten Jagalan hingga akhirnya 
ditolong Pendekar Naga Putih dan Kenanga. 
"Hm.... Kalau begitu, kami pun mempunyai urusan 
dengan kakek itu," gumam Panji setelah mendengar 
keterangan dari Ki Kalianji. Sepasang mata pemuda 
itu mencorong tajam menatap kakek tua di hadapan-
nya. 
"Ha ha ha...! Jangan kau pikir aku akan gentar. 
mendengar namamu, Pendekar Naga Putih!" tegas

kakek itu. 
Dia memang menjadi lebih yakin ketika men-
dengar Ki Kalianji menyebut pemuda itu dengan 
julukan yang memang telah diduganya. 
"Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kau 
tengah berhadapan dengan si Penggembala Mayat'" 
lanjut kakek tua itu terpaksa menyebut julukannya 
untuk membuat lawan-lawannya gentar. 
"Penggembala Mayat..!" seru keempat orang 
pendekar itu terkejut, karena pernah mendengar 
nama tokoh itu dari guru masing-masing. 
"Huh! Jangan coba-coba membohongi kami, Kakek 
Tua. Tokoh yang kau sebutkan itu telah ada semenjak 
aku masih muda. Jadi kalaupun masih ada, mungkin 
sudah berusia seratus tahun lebih. Nah, jangan coba-
coba menakut-nakuti kami!" sahut Ki Kalianji sambil 
melontarkan senyum mengejek. 
"He he he...! Itulah aku, Kalianji. Walaupun usiaku 
telah lebih dari seratus tahun, tapi tetap awet muda 
berkat ilmu-ilmu yang kupelajari. Percaya atau tidak, 
itu terserah kalian. Sekarang, bersiaplah untuk 
melayat ke akhirat!" tegas kakek yang berjuluk si 
Penggembala Mayat itu. Sepasang matanya tampak 
mengandung ancaman maut 
"Kepung dan bunuh mereka...!" teriak Ganesha 
yang mulai memerintahkan anak buahnya untuk 
mengepung keempat orang pendekar itu. 
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu 
pun melompat sambil mencabut senjatanya. 
"Kalian hadapi yang lainnya. Biar aku yang akan 
mencoba menghadapi kakek yang berjuluk si 
Penggembala Mayat itu!" ujar Panji sambil melompat 
ke arah si Penggembala Mayat yang saat itu tengah 
menatap tajam ke arahnya.

"Heaaah...!" 
Si Penggembala Mayat menggeram sambil meng-
angkat sepasang tangannya ke atas. Sesaat 
kemudian, kedua tangan itu perlahan-lahan turun dan 
terkembang di depan dadanya. Terlihat uap tipis 
mengepul dari sepasang lengan kakek tua itu. 
Seketika bau kemenyan pun menebar memenuhi 
tempat itu. 
Panji melompat, seolah-olah mengajak kakek itu 
untuk menjauhi pertarungan lain. 
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Pendekar Naga 
Putih?" ejek Penggembala Mayat ketika melihat tubuh 
Panji melesat meninggalkannya. 
"Hm.... Tidak akan kulakukan perbuatan pengecut 
itu, Penggembala Mayat! Aku hanya ingin agar 
pertarungan kita tidak terganggu," sahut Panji yang 
sudah menghentikan larinya. Tubuh pemuda tampan 
itu berdiri tegak di sebuah tanah lapang yang cukup 
luas. 
"Nah! Tempat ini rasanya cukup memadai, bukan?" 
kata Panji, kalem. Pendekar Naga Putih menanti 
kedatangan tokoh sesat yang berusia seratus tahun 
lebih itu. 
"Hm.... Sambutlah jurus 'Mayat Hidup'ku ini! 
Hiaaat..!" 
Setelah berkata demikian, tubuh si Penggembala 
Mayat meluncur maju menerjang Panji. Meskipun 
gerakannya terlihat patah-patah, namun kecepatan 
dan keganasannya malah semakin menggetarkan. 
"Uts!" 
Panji berseru kaget. Bergegas tubuhnya dilempar 
ke belakang. Sedikit saja terlambat, sudah dapat 
dibayangkan kalau tubuh pemuda itu pasti akan 
terhantam jari-jari tangan yang berkuku panjang itu.

"Gila! Ilmu kakek ini ternyata dapat mengaburkan 
pandangan! Hm.... Pastilah ilmu 'Mayat Hidup' itu 
telah digabungkan dengan sejenis ilmu sihir. Aku 
harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" desis 
Pendekar Naga Putih, terkejut Memang gerak 
lawannya ternyata mampu mengaburkan pandangan-
nya. 
Wettt! Wettt! 
Saat itu si Penggembala Mayat sudah melangkah 
maju. Sepasang tangannya bergerak-gerak kaku, 
seperti terlonjak-lonjak. Dan setiap kali tangannya 
menyambar, selalu saja membuat bulu kuduk Panji 
meremang. Seolah-olah hawa yang keluar dari 
sepasang tangan kakek itu berasal dari alam lain. 
"Hmh...!" 
Dengan sebuah geraman menggetarkan, sepasang 
tangan Panji bergerak turun naik. Jari-jari tangannya 
tampak bergetar karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
mulai mengalir ke seluruh urat-urat tubuhnya. Sesaat 
kemudian, selapis kabut tipis yang bersinar putih 
keperakan pun mulai menyelimuti sekujur tubuhnya. 
Wusss! 
Hawa dingin yang menusuk tulang berhembus 
ketika Panji mendorongkan sepasang telapak tangan-
nya ke depan. Dalam sekejap saja, sekitar arena 
pertarungan itu telah dipenuhi hawa yang amat 
dingin. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga 
Putih melompat memapaki serangan lawan. 
Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar 
naga mulai menyambar-nyambar ganas. Setiap 
sambarannya, serangkum hawa dingin ikut pula 
menyertai.

Tak lama kemudian, kedua tokoh sakti itu telah 
saling menerjang dahsyat. Sambaran angin pukulan 
kedua tokoh itu menerbangkan apa saja yang ada di 
sekitarnya. Pohon-pohon di dekatnya langsung ber-
tumbangan menimbulkan suara gemuruh ketika 
pukulan-pukulan nyasar menghantamnya. Sehingga, 
suasana di sekitar arena pertempuran sudah 
sedemikian semrawut, tak terurus. 
"Yeaaat..!" 
Bet! Bet! 
Memasuki jurus kelima puluh satu, tubuh si 
Penggembala Mayat tiba-tiba meliuk disertai teriakan 
yang mengejutkan. Sepasang tangannya menyambar 
ganas mengancam bagian perut Pendekar Naga 
Putih. Pemuda itu bergerak cepat menggeser tubuh-
nya hingga serangan jari-jari tangan lawan lewat 
beberapa jari di sampingnya. Begitu serangan lawan 
luput, cakar naga Panji berkelebat cepat mengancam 
dada dan ubun-ubun lawan. 
Si Penggembala Mayat memutar kaki kirinya 
dengan gerakan amat kaku. Tapi anehnya, serangan 
Panji tidak berhasil mengenai sasarannya. Bahkan 
tiba-tiba saja tubuh kakek itu terjatuh dalam posisi 
tengkurap. Dan sesaat kemudian, tubuhnya 
melenting bangkit dan meluncur ke arah lawan bagai 
sebatang bambu yang dilontarkan. 
Panji yang sama sekali tidak menduga gerakan 
lawan, sempat terkejut dibuatnya. Bergegas tubuhnya 
melompat ke samping sejauh satu tombak. Namun 
kembali Pendekar Naga Putih terkejut untuk yang 
kedua kalinya. Karena, tubuh yang tengah meluncur 
kaku dengan kaki berada di bagian depan itu, men-
dadak berputar dan kembali mengancamnya. 
Sadar kalau tidak mungkin harus menghindari

terus-menerus, maka Pendekar Naga Putih meng-
angkat tangannya memapak sepasang kaki yang 
mengancam tubuhnya. Segenap tenaga saktinya 
segera disalurkan. Memang, Pendekar Naga Putih 
tahu betul kalau tenaga dalam lawan pasti sangat 
tinggi. 
Dukkk! Plakkk! 
"Uuuh...!" 
Terdengar letukan yang menggetarkan ketika dua 
gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat saling 
berbenturan keras. Beberapa batang pohon di dekat 
arena pertarungan berderak ribut. Daun-daunnya 
seketika berguguran akibat kerasnya getaran yang 
ditimbulkan pertemuan dua tenaga raksasa itu. 
Akibat benturan itu, sempat pula mengejutkan 
Panji. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah ke 
belakang. Telapak tangan dan tulang lengannya 
terasa nyeri dan linu. Diam-diam hati pemuda itu 
semakin terkejut dengan kekuatan tenaga dalam 
yang dimiliki kakek tua itu. 
Meskipun tangkisan Pendekar Naga Putih tadi 
sempat menghentikan daya luncur tubuh lawan, tapi 
tidak berarti ancaman itu sudah lewat. Sebab tubuh 
kaku laksana mayat itu kini kembali meluncur 
mengancamnya. Bahkan kecepatannya semakin 
pesat. 
Des! Des! 
"Ugh...!" 
Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terjajar 
mundur itu terlonjak keras ke belakang. Karena 
sepasang telapak kaki lawan telak menghantam dada 
dan perutnya. Darah seketika menyembur dari mulut 
pemuda itu! Dan tubuhnya yang meluncur beberapa 
tombak langsung menghantam sebatang pohon

sebesar sepelukan orang dewasa. Pemuda itu 
melorot ke atas tanah berbarengan dengan tumbang-
nya pohon. 
Pada saat itu juga si Penggembala Mayat kembali 
menerjang dan siap meremukkan tubuh Pendekar 
Naga Putih yang tengah terduduk itu. Sepasang 
telapak kakinya yang tengah dialiri tenaga dahsyat 
siap menjejak tubuh Panji. 
Blarrr! 
Tanah dan bebatuan berhamburan disertai 
kepulan debu yang membumbung tinggi. Diduga, 
tubuh Pendekar Naga Putih pasti telah hancur 
bersama kepulan debu tadi. Namun, untung Panji 
sempat melempar tubuhnya bergulingan menghindari 
jejakan kaki lawannya. 
"Gila...!" desis Panji. 
Pendekar Naga Putih terbelalak ngeri melihat 
sebuah lubang sebesar kubangan kerbau, tempat tadi 
tubuhnya berada. Dan hal itu semakin membuatnya 
sadar kalau lawannya kali ini benar-benar tidak bisa 
dibuat main-main. 
Panji menarik napas dalam-dalam dan berulang-
ulang untuk menghilangkan rasa nyeri yang 
menyerang dadanya. Di sudut bibirnya, tampak cairan 
merah yang menetes perlahan. Begitu rasa nyerinya 
berkurang, Pendekar Naga Putih bergegas bangkit 
dan siap melanjutkan pertarungan yang menentukan 
itu. 
Sesaat kemudian, keduanya kembali terlibat 
dalam pertarungan mati-matian. Mereka saling 
menyerang dahsyat. Suasana di sekitar tempat 
pertarungan tak ubahnya bagai dilanda angin topan 
dahsyat Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu 
benar-benar dahsyat dan mengerikan sekali.

Di arena lain, Kenanga, Ki Kalianji, dan 
Walanggata tengah berupaya mempertahankan 
selembar nyawa mereka. Ganesha yang dibantu 
hampir tiga puluh orang pengikutnya menerjang 
ketiga orang pendekar itu tanpa ampun. 
Kenanga yang mengetahui kalau kekuatan 
pengeroyoknya terletak pada pemuda jangkung itu, 
bergegas melompat menghadapi Ganesha. Pedang 
Sinar Rembulan yang berada di tangannya berkelebat 
cepat mengancam tubuh lawan. 
Wut! 
"Aaakh...!" 
Bukan main terkejutnya Ganesha ketika tiba-tiba 
saja serangkum angin tajam yang berhawa dingin 
menyambar perutnya. Bergegas ditinggalkannya Ki 
Kalianji dan tubuhnya segera dilempar ke belakang 
untuk menghindari serangan berbahaya itu. 
"Nisanak! Mengapa kau membela kedua orang tak 
tahu diuntung itu? Bukankah lebih baik ikut 
denganku? Percayalah, aku akan mengangkatmu 
menjadi permaisuriku yang paling kusayangi. Marilah 
ikut denganku. Aku berjanji tidak akan menyia-
nyiakanmu," bujuk Ganesha. 
Sinar mata pemuda itu memang mengandung 
kekuatan sihir. Meskipun ilmu sihirnya belum 
sempurna, namun sepasang matanya sudah dapat 
melumpuhkan semangat lawan yang tidak memiliki 
tenaga dalam tinggi. 
"Nisanak! Jangan pandang matanya! Pemuda itu 
telah menggunakan ilmu sihir untuk merayumu!" Ki 
Kalianji berteriak memperingatkan ketika melihat 
gadis jelita itu terpaku mendengar kata-kata 
Ganesha. 
"Ah...! Bangsat keji! Rupanya kau benar-benar

pemuda bejat!" teriak Kenanga yang segera tersadar 
begitu mendengar teriakan Ki Kalianji. 
Gadis itu cepat-cepat memutar pedangnya hingga 
membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh 
tubuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuh 
Kenanga melesat disertai sambaran pedangnya yang 
menggiriskan. 
"Keparat kau, Kalianji! Tunggulah bagianmu nanti!" 
ancam Ganesha yang semakin membenci tokoh tua 
Kadipaten Jagalan itu. 
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu 
bergegas melompat menghindari sambaran pedang 
Kenanga. 
"Ki Kalianji! Hadapilah begundal-begundal pemuda 
itu, berdua dengan Walanggata. Biar keparat ini 
menjadi bagianku!" teriak Kenanga sambil menyabet-
kan senjatanya berulang-ulang. Sepertinya gadis jelita 
itu menjadi marah sekali ketika hampir saja termakan 
ilmu sihir pemuda itu. 
Wut! Wut! 
Ganesha menggeser tubuhnya ke samping meng-
hindari dua buah tusukan yang mengancam ulu hati 
dan tenggorokannya. Kemudian, secepat kilat diberi-
kannya serangan balasan dengan tidak kalah 
ganasnya. 
Trang! 
Bunga api berpijar ketika Kenanga menangkis 
pedang lawan yang mengancam tubuhnya. Keduanya 
terjajar mundur dan memeriksa pedang masing-
masing. Setelah yakin kalau tidak mengalami 
kerusakan, keduanya kembali saling serang dengan 
hebatnya. 
Sementara itu, Ki Kalianji dan Walanggata sangat 
terkejut ketika mendapat kenyataan kalau para


pengeroyoknya itu ternyata sangat gesit dan lincah. 
Sehingga dalam beberapa jurus saja kedua tokoh 
kosen Kadipaten Jagalan itu harus menguras tenaga 
untuk dapat melindungi dirinya. 
Ki Kalianji dan Walanggata benar-benar dibuat 
kewalahan oleh kerjasama pengeroyoknya yang 
sangat kompak. Sepertinya para pengikut Ganesha 
telah dilatih sedemikian rupa sehingga dapat bekerja 
sama dengan baik. 
"Yeaaat..!" 
Rasa penasaran yang kian memuncak membuat Ki 
Kalianji menjadi geram. Sambil berteriak keras, dia 
melompat disertai ayunan sepasang tongkat pendek-
nya. 
Wut! Wut! 
Dua batang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji 
berkelebat cepat menimbulkan deru angin keras. Dua 
senjata kembar itu meluncur deras mengancam dua 
orang lawan yang berada di samping kiri. 
Melihat dua orang kawannya terancam, para 
pengeroyok lain segera berlompatan sambil mem-
babatkan pedang ke tubuh Ki Kalianji. Paling tidak, 
mereka berharap kakek itu akan menunda serangan 
untuk menyambut ancaman senjata mereka. 
Tapi kali ini rupanya Ki Kalianji telah mem-
pertimbangkan serangannya secara masak. Sebab, 
begitu enam batang golok lain meluncur meng-
ancamnya, tubuh kakek itu tiba-tiba melenting ke 
belakang enam penyerangnya. Sambil berputaran di 
udara, sepasang tongkat hitam di tangannya 
menyambar kepala empat orang penyerang. 
Wut! Wut..! 
Prak! Prak! Crok...! 
Tanpa sempat menjerit lagi, empat orang

pengeroyok itu kontan roboh dengan kepala pecah. 
Darah yang bercampur otak, seketika berhamburan 
membasahi arena pertarungan. Tentu saja hal itu 
membuat para pengeroyok lain menjadi terkejut 
setengah mati. 
Amukan Ki Kalianji tidak hanya berhenti sampai di 
situ saja. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, 
tubuhnya kembali melenting ke arah dua orang 
lainnya. Sepasang tongkatnya terayun ke arah 
punggung mereka. 
Buk! Buk...! 
"Aaakh...!" 
Terdengar jerit kesakitan ketika tongkat hitam di 
tangan kakek itu tepat menghantam punggung dua 
orang lawannya. Tubuh mereka langsung tersungkur 
disertai semburan darah segar dari mulut. Dua orang 
itu kontan tewas dengan tulang punggung remuk. 
Berbarengan dengan itu, terdengar jerit kematian 
yang menyayat hati. Empat orang pengikut Ganesha 
terjungkal mandi darah. Rupanya Walanggata tidak 
mau ketinggalan oleh kawannya. Golok bercagaknya 
telah pula memakan korban. 
Di tengah ramainya pertempuran berlangsung, 
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda datang ke arah 
pertempuran. Menilik suaranya yang bergemuruh, 
dapat dipastikan kalau rombongan berkuda itu tidak 
kurang dari dua puluh orang. Tentu saja hal itu 
membuat orang-orang yang tengah bertempur 
menjadi cemas. Karena, mereka belum dapat 
menerka kawan atau lawan. 
"Tuan Muda Anggada...!" Ki Kalianji dan 
Walanggata berteriak gembira begitu dapat 
mengenali orang yang berada di barisan paling depan 
dan telah dekat dengan arena pertempuran.

"Paman...!" seru pemuda yang memang Anggada 
adanya itu. 
Wajah pemuda itu menjadi heran ketika melihat 
kedua orang pengawal setia ayahnya tampak tengah 
dikeroyok puluhan orang kasar. Bergegas pemuda itu 
memerintahkan para pengikutnya untuk membantu 
kedua orang tokoh Kadipaten Jagalan itu. 
Kedua orang tokoh kosen itu langsung meng-
hampiri tuan mudanya. Setelah memberi hormat, Ki 
Kalianji lalu menceritakan duduk persoalannya 
secara singkat. Kening Anggada seketika berkerut 
mendengar penuturan kedua orang kepercayaan 
ayahnya itu. 
"Hm.... Kalau saja aku tidak menyaksikannya 
sendiri, pastilah aku belum dapat menerima 
keterangan Paman ini," desah Anggada yang segera 
memalingkan wajah ke arah yang ditunjuk Ki Kalianji. 
Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat 
adiknya tengah bertarung dengan seorang gadis 
cantik. 
"Ganesha...!" desis Anggada hampir tak terdengar. 
Wajah tampan itu mendadak murung. Karena 
biarpun Ganesha bukan adik kandungnya, namun 
sangat disayanginya. Dan tentu saja kejadian itu 
membuatnya sangat terpukul. 
"Tuan Muda, marilah kita tangkap dia hidup-hidup 
sebelum gadis jelita itu membunuhnya," usul 
Walanggata ketika melihat kemurungan menyelimuti 
wajah putra junjungannya. Sekilas saja dia tahu kalau 
Anggada merasa berat untuk melakukan tindakan 
kejam terhadap adiknya. 
"Paman berdua sajalah yang melakukannya. Aku 
tidak sampai hati melakukan hal itu," sahut Anggada 
sambil membalikkan tubuhnya melangkah ke arah

pertempuran yang berkecamuk. 
Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuh pemuda itu 
bergegas melompat ke dalam kancah pertempuran 
membantu para prajuritnya. Kedukaan membuat 
pemuda itu mengamuk hebat, sehingga dalam 
beberapa jurus saja enam orang lawan telah 
tergeletak tewas. Sepertinya Anggada bermaksud 
menumpahkan kekecewaan hatinya kepada para 
pengikut adiknya. 
Sementara itu, pertarungan Panji melawan si 
Penggembala Mayat sudah semakin memuncak. 
Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk me-
nundukkan satu sama lain. Tapi sampai sejauh itu, 
keduanya masih berimbang meskipun di pihak 
Pendekar Naga Putih telah menderita luka dalam 
akibat hantaman lawan. 
"Hm.... Ternyata nama Pendekar Naga Putih bukan 
sekadar nama kosong belaka. Aku benar-benar 
kagum dengan kepandaian yang kau miliki, Anak 
Muda. Tapi, kali ini kau terpaksa harus melepaskan 
nyawa dan gelarmu di tangan si Penggembala Mayat!" 
kata kakek itu yang diam-diam merasa kagum 
dengan kehebatan Panji. 
"Hiaaah...!" 
Dibarengi bentakan menggemuruh, tubuh 
Penggembala Mayat tiba-tiba berputar cepat bagai 
sebuah gangsing. Sesekali jari-jari tangannya 
menyembul dari balik lingkaran yang diciptakannya 
itu. 
Panji melempar tubuhnya, lalu bergulingan ketika 
tahu-tahu saja jari-jari tangan lawan telah berada di 
depan tubuhnya. Pemuda itu langsung berputaran 
beberapa kali ke belakang karena serangan-serangan 
lawan terus saja mengejar.

Des! Buk!' 
"Huakkk...!" 
Darah segar muncrat keluar dari mulut Pendekar 
Naga Putih ketika hantaman sisi dan telapak tangan 
lawan singgah di lambung dan perutnya. Tubuh 
pemuda itu terjungkal bergulingan hingga beberapa 
tombak jauhnya. Panji berusaha bangkit sambil 
mendekap dadanya yang terasa sesak. Lebih-lebih 
perut dan punggungnya yang terasa remuk akibat 
hantaman lawan. 
Selagi tubuh Pendekar Naga Putih bergerak 
bangkit, si Penggembala Mayat kembali meluruk 
menerjang lawannya. Sepertinya kakek tua itu 
memang benar-benar hendak menghabisi nyawa 
Panji. 
Pada saat yang gawat itu, Panji teringat akan 
pedang pusaka yang tersampir di punggungnya. 
Tangan kanannya cepat bergerak meraba gagang 
pedang. 
"Yeaaa...!" 
Desss! Crak! 
"Ugh...!" 
"Aaargh...!" 
Terdengar keluhan yang keluar dari mulut Panji. 
Berbarengan dengan itu, si Penggembala Mayat 
meraung setinggi langit. Ternyata pada saat telapak 
tangannya menghantam dada, Panji memiringkan 
tubuhnya. Sehingga, hantaman telapak tangan kakek 
itu hanya menyerempet bahu Pendekar Naga Putih. 
Pada saat itu juga, Panji membarengi dengan sabetan 
Pedang Naga Langit yang membabat pinggang si 
Penggembala Mayat hingga tubuh kakek itu terbelah 
menjadi dua bagian. 
Darah segar seketika memercik membasahi tanah.

Tubuh si Penggembala Mayat terbanting di atas tanah 
dalam keadaan terpisah. Perlahan-lahan tubuh kakek 
itu mengerut, seolah-olah darahnya terhisap oleh 
sesuatu yang tak tampak. Si Penggembala Mayat kini 
tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan. 
Panji menatap pedang di tangannya dengan 
sepasang mata membelalak. Ternyata noda darah 
yang terdapat di badan pedang, perlahan menguap 
untuk kemudian hilang tanpa bekas. Pedang Naga 
Langit kembali bersih dan berkilau, seolah-olah tidak 
pernah terkena darah. Bergegas pedangnya disimpan 
kembali di punggung. 
Pertempuran lain pun sepertinya telah pula usai. 
Semua pengikut Ganesha telah dapat dibinasakan. 
Sedangkan pemuda itu sendiri telah dapat ditakluk-
kan oleh Kenanga. Tubuhnya tertotok sehingga harus 
digotong oleh beberapa prajurit. Kenanga, Ki Kalianji, 
Walanggata, dan seorang pemuda tampan me-
langkah menghampiri Panji yang masih terduduk 
lemah. 
"Kakang, kau tidak apa-apa....?" tanya Kenanga 
cemas. Bergegas gadis jelita itu menubruk kekasih-
nya yang belum juga bangkit itu. 
"Ah! Aku tidak apa-apa, Kenanga. Hanya luka 
biasa. Sebentar juga kesehatanku sudah pulih seperti 
biasa," sahut Panji seraya tersenyum, untuk melega-
kan perasaan kekasihnya itu. 
"Pendekar Naga Putih, kami mengucapkan terima 
kasih atas kesediaanmu yang telah menyelamatkan 
dua orang pamanku ini. Ingin sekali aku mengajakmu 
untuk menghadap ayahku. Tapi, semua itu terserah 
dirimu," ujar Anggada yang rupanya sudah diberi tahu 
kalau pemuda yang menolong dua orang pembantu 
ayahnya itu adalah Pendekar Naga Putih.

"Ah, terima kasih atas kebaikan Tuan Muda. Tapi 
sayang, kali ini kami tidak bisa memenuhi per-
mintaan Tuan Muda. Masih banyak tugas yang harus 
diselesaikan," sahut Panji menolak halus ajakan 
pemuda tampan itu. 
"Baiklah kalau begitu, Pendekar Naga Putih. Dan 
kini kami pergi dulu. Dan jangan lupa, kalau ada 
kesempatan singgahlah di tempat kami. Kami 
menanti kedatanganmu," ucap Anggada seraya 
melompat ke atas punggung kudanya. 
Dan kini rombongan itu kembali ke kadipaten 
dengan membawa Ganesha yang telah berhasil 
ditawan. 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga memandangi 
kepergian rombongan berkuda itu. Kesunyian pun 
mulai terasa ketika rombongan berkuda itu telah 
lenyap dari pandangan. 
Sejenak kemudian, kedua orang itu pun saling 
berpandangan mesra. Kenanga mengerutkan kening-
nya ketika melihat wajah kekasihnya meringis 
menahan sakit. 
"Kakang...! Kau... kau kenapa...!" tanya Kenanga 
ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih tampak 
semakin memucat. Bergegas dirangkulnya tubuh 
pemuda itu ketika terlihat hendak roboh. 
Kenanga semakin kalang-kabut ketika melihat 
kekasihnya tak sadarkan diri. Diraihnya tubuh Panji 
ke dalam pelukannya, seolah-olah dengan berbuat 
begitu kekasihnya diharapkan segera tersadar. 
Tapi mendadak saja Panji membuka kedua mata-
nya dan langsung memeluk tubuh gadis cantik itu 
erat-erat. 
"Kakang jahat!" teriak Kenanga sambil berusaha 
melepaskan pelukan kekasihnya.

Gadis jelita itu sama sekali tidak berusaha 
melepaskan diri dari pelukan kekasihnya. Dan kini 
malah merebahkan kepalanya di dada pemuda 
pujaannya. 
"Mengapa Kakang selalu saja menggodaku?" bisik 
gadis itu lirih, sambil menengadahkan wajahnya 
memandang Panji. 
Panji hanya tertawa mendengar pertanyaan 
kekasihnya itu. Dikecupnya sepasang mata indah itu. 
"Ayolah. Bukankah kita harus ke Desa Keputih 
untuk memberitahukan kepada tujuh orang murid Ki 
Jaladri kalau tugas kita sudah selesai," ajak Panji 
diiringi senyum manis. 
Tak berapa lama kemudian, keduanya melangkah 
meninggalkan hutan itu. Sinar kemerahan tampak 
menyemburat di kaki langit sebelah Barat. Sebentar 
lagi, senja akan turun mengiringi langkah sepasang pendekar itu. 


                           SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar