PENYEMBAH DEWI MATAHARI
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting, Turi S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Penyembah Dewi Matahari
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya yang kuning keemasan, seperti hendak
menghanguskan semua makhluk di atas bumi. Tiupan angin sesekali membawa hawa
panas yang pengap, membuat orang berpeluh.
Dua sosok tubuh tampak melangkah ringan menyusuri tanah yang berumput
kering terpanggang sinar matahari. Kepala mereka dilindungi caping bambu lebar,
sehingga wajah mereka tidak terkena gigitan sinar matahari.
"Di hutan sebelah depan sana, kita istirahat sebentar, Kakang. Aku tidak tahan
berjalan di tengah panas seperti ini...," ujar sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau
seraya menolehkan wajahnya.
Tampaklah seraut wajah jelita dengan butir-butir peluh di kening dan pipinya.
Sosok ramping itu seorang gadis muda, berusia sekitar sembilan belas tahun.
Pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, hanya
menganggukkan kepala. Dan memberikan isyarat agar mempercepat langkah. Sebentar
kemudian, keduanya tiba di tepi hutan.
"Kita terus ke dalam, atau beristirahat di sini?" tanya pemuda tampan berjubah
putih sambil melepas caping bambunya, dan menggunakannya untuk mengipasi tubuh.
Wajah pemuda itu berpeluh. Bahkan sebagian tubuhnya sudah basah, hingga menembus
jubah luarnya.
"Sebaiknya, kita beristirahat di sebelah dalam saja, Kakang. Di sini panasnya masih
terasa menyengat...," jawab si gadis sambil mengipasi tubuhnya yang berlelehan peluh.
Setelah berkata demikian, gadis itu melangkah memasuki hutan, diiringi pemuda
tampan kawan seperjalanannya.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya tampak duduk bersandar pada sebatang
pohon besar yang berdaun rindang. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Pasangan
muda itu sungguh-sungguh menikmati sejuknya hembusan angin yang menerpa tubuh
mereka.
Namun, ketenangan itu rupanya tidak berlangsung lama. Enam sosok tubuh
berwajah pucat, bermunculan dari sekitar tempat itu. Dari raut wajah dan sorot matanya,
jelas terlihat bahwa kemunculan mereka tidak bermaksud baik. Kedua orang muda itu
segera bergerak bangkit berdiri, dan saling bertukar pandang dengan tatapan heran.
"Hm.... Tampaknya mereka bermaksud kurang baik. Entah siapa mereka? Yang
jelas bukan orang sembarangan. Sebab, aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki
mereka...?" bisik pemuda tampan berjubah putih itu kepada gadis di sebelahnya.
"Siapa pun mereka, dan apa pun maksud kedatangannya, yang jelas mereka telah
mengganggu ketenangan kira! Dan, aku tidak menyukai hal itu...!" gadis itu mengomel
dengan nada jengkel. Jelas, ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran tamu tak
diundang yang bersikap tidak bersahabat itu.
Sementara itu, keenam sosok tubuh berwajah pucat dengan sorot mata tajam,
sudah melangkah semakin dekat. Mereka melakukan gerakan mengepung. Jelas sudah,
kalau kedatangan mereka memang tidak bermaksud baik.
"Kalian berdua telah melanggar peraturan, memasuki wilayah kekuasaan majikan
kami tanpa izin. Untuk itu, kalian berdua harus mendapat hukuman...!"
Seorang yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suara kaku dan sikap angkuh.
Hal ini makin membuat dara jelita berpakaian hijau itu bertambah jengkel. Dengan wajah
berang, dara jelita itu melangkah maju beberapa tindak menghampiri lelaki kurus tadi.
"Hm.... Kalian ini siapa? Apakah hutan ini milik kalian? Sehingga bisa mengusir
orang seenaknya saja? Kalau aku tidak bersedia menerima hukuman itu, kalian mau
apa...?" tantang gadis itu sambil bertolak pinggang. Wajahnya merah padam menahan
marah.
Berbeda dengan gadis itu, pemuda tampan berjubah putih lebih memiliki
kesabaran dibanding kawannya. Dengan langkah tenang, ia bergerak maju. Disentuhnya
tubuh si gadis dengan maksud agar bersikap sabar, dan menyerahkan persoalan itu
kepadanya. Sejenak, dara jelita itu seperti hendak membantah. Tapi, ketika dilihatnya
senyum lebar serta anggukan kepala pemuda itu, ia pun mengangguk lemah.
"Kisanak. Maaf, kami telah lancang memasuki wilayah kekuasaan kalian tanpa izin.
Sudilah kiranya Kisanak menarik kembali hukuman untuk kami. Sebab kami tidak tahu,
kalau hutan ini merupakan daerah kekuasaan kalian. Sekali lagi, kami mohon maaf.
Secepatnya kami akan meninggalkan tempat Ini..," ujar pemuda tampan berjubah putih itu
dengan suara lembut dan sopan. Kemudian, ia mengajak kawannya untuk segera
meninggalkan tempat itu.
"Tidak bisa!"
Lelaki tinggi kurus bermuka pucat itu membentak dengan nada tinggi. Membuat
kedua anak muda itu menahan langkahnya, dan memandang dengan wajah heran.
"Mengapa kalian tidak memperbolehkan kami pergi? Apakah perbuatan kami tidak
bisa dimaafkan...?" tanya pemuda tampan itu penasaran, melihat sikap lelaki tinggi kurus
yang ingin memaksakan kehendaknya.
"Kalian tetap akan mendapat hukuman...!" tegas lelaki itu sambil menggerakkan
tangannya memberi isyarat. Kelima lelaki berwajah pucat lainnya, segera merapatkan
kepungan. Jelas sudah, perkelahian sulit dihindari lagi.
"Hm...."
Pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan, seraya mengedarkan
pandangannya merayapi wajah keenam lelaki muda yang berwajah pucat. Ia melihat
adanya keganjilan, baik dari sikap maupun ucapan lelaki tinggi kurus itu. Wajah mereka
yang tanpa sinar kehidupan, dan sinar yang kaku, membuat pemuda itu ingin mengetahui
penyebab keanehan-keanehan yang ada pada diri keenam telaki muda sebayanya. Dan
ketika merasa tidak mungkin lagi menghindari perkelahian, pemuda itu pun bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
"Hmh...!"
Tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang rupanya pimpinan kelompok itu mendengus
sambil mengibaskan lengan kanannya. Dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk
meringkus pemuda tampan serta dara jelita itu.
"Heaaah...!"
Pemuda maupun gadis itu tidak sudi menyerah begitu saja. Mereka bergerak ke kiri
dan kanan menyambut datangnya serangan lawan. Tiga sosok tubuh berwajah pucat itu
menyerang secara bersamaan.
Plak! Plak! Plak!
"Heh...?!"
Pemuda tampan berjubah putih, yang memang mencurigai orang-orang berwajah
pucat itu, tak urung merasa kaget juga ketika mencoba memapaki serangan lawan.
Beruntung ia tidak memandang remeh mereka. Dirasakannya tenaga dalam kuat yang
disertai hawa panas, mengalir melalui serangan lawan.
Ia heran melihat ketiga orang pengeroyoknya tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Bahkan, mereka kembali merangsek maju. Sepertinya mereka ingin menyelesaikan
perkelahian itu secepatnya.
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan.
Ia melompat ke belakang sejauh satu setengah tombak. Dilihatnya gadis jelita itu
tengah dikeroyok tiga orang lawan. Menyadari kekuatan lawan, ia merasa khawatir gadis
itu tidak dapat menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang pengeroyoknya. Tetapi,
rupanya gadis itu dapat mengimbangi mereka. Pemuda itu sedikit berlega hati. Maka ia
pun segera bergerak maju menghadapi serangan ketiga orang lawannya tadi.
"Kalian terlalu memaksa, Kisanak...," ujar pemuda tampan itu.
Melihat ketiga orang lawannya tidak meladeni dan kembali menyerang dengan
jurus-jurus maut, pemuda itu segera mengimbanginya dengan mengerahkan tenaga
saktinya. Sekujur tubuhnya tampak diselimuti kabut putih keperakan, yang memancarkan
hawa dingin menggigit tulang.
Kali ini, justru ketiga pengeroyoknya yang terkejut. Kelihatan, mereka mulai
terdesak. Pemuda berjubah putih itu, jelas tidak bisa dianggap enteng. Maka, mereka
melancarkan jurus-jurus mematikan untuk mendesaknya.
Melihat kenyataan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji,
atau berjuluk Pendekar Naga Putih, makin memperhebat serangannya, ia pun berusaha
mendesak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Heaaat..!"
Tubuh Panji berkelebat cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
sempurna. Sebentar saja, ketiga orang lawan merasa seperti tengah bertarung dengan
bayangan mereka sendiri. Setiap kali mereka melontarkan serangan, bayangan lawan
selalu saja telah lenyap dari pandangan mata. Ini membuat mereka makin sibuk dan
kewalahan menghadapinya.
Desss...!
Suatu saat, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan telapak tangan
kanannya ke tubuh seorang pengeroyok. Karuan saja, tubuh lelaki kurus yang menjadi
pimpinan orang-orang berwajah pucat itu terpental deras.
Pukulan yang keras dan mengandung hawa dingin itu, ternyata tidak membuatnya
menjadi lumpuh. Tubuh yang tengah meluncur itu, berputaran di udara, dan mendarat
ringan dengan kedua kaki lebih dahulu. Wajahnya tetap datar dan dingin tanpa perasaan.
Seolah pukulan keras Pendekar Naga Putih tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Hal ini
sempat membuat Panji terheran-heran.
"Gila! Dari partai mana sebenarnya orang-orang aneh ini? Mereka memiliki tenaga
dalam yang mengandung hawa panas. Dan mereka pun ternyata memiliki kekebalan tubuh
yang cukup ampuh! Aku tidak boleh memberi hati lagi kepada mereka. Bisa-bisa aku yang
celaka di tangan orang-orang aneh ini...," desis Panji, yang mulai merasa yakin bahwa
orang-orang berwajah pucat itu memang memiliki kepandaian tinggi.
"Yeaaah...!"
Mendadak ketiga orang itu berteriak secara bersamaan. Tubuh mereka
berlompatan, dan bersatu dengan cara saling menempelkan telapak tangan masing-
masing. Panji mengerutkan kening, ketika melihat dari telapak tangan mereka
berpendaran sinar kuning keemasan yang meniupkan hawa panas. Jelas, ketiga orang
pengeroyoknya itu mulai mengeluarkan ilmu andalan.
"Heaaah...!"
Dengan teriakan mengguntur, ketiga orang lelaki muda berwajah pucat itu kembali
melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Yang mengejutkan, setiap kali telapak tangan
mereka bergerak, selalu disertai kilatan sinar kuning keemasan yang menyilaukan mata.
Bahkan hawa panas yang disebarkan, terasa sangat menyengat, membuat udara di sekitar
arena pertarungan terasa panas seperti di dalam tungku.
"Gila...! Kepandaian mereka ternyata lebih hebat dari yang kubayangkan...!" desis
Panji.
Secepat kilat, pemuda itu melompat ke samping kanan, ketika salah seorang
lawannya melontarkan sebuah pukulan jarak jauh diiringi kilatan cahaya kuning
keemasan.
Blarrr...!
Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan itu. Sebatang pohon besar
yang menjadi sasaran, berderak, dan roboh dengan bagian yang terkena pukulan hangus
bagaikan terjilat lidah api Panji semakin berhati-hati dibuatnya.
Di bagian lain, Pendekar Naga Putih melihat dara jelita berpakaian serba hijau yang
tidak lain Kenanga, tengah terdesak oleh ketiga orang pengeroyoknya. Kenanga agak
kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Mereka sama lihainya dengan pengeroyok Panji.
Melihat itu, Pendekar Naga Putih merasa khawatir akan nasib kekasihnya. Perhatiannya
terpecah, sehingga lawan berhasil mendesaknya.
"Kurang ajar...!" geram Panji sambil berlompatan menghindari sergapan lawan-
lawannya. Untuk mengimbangi kekuatan lawan, dengan terpaksa ia mulai menggunakan
ilmu andalannya yang telah membuat namanya dikenal oleh kaum rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Diiringi pekikan yang menggetarkan jantung, Panji memainkan 'Ilmu Silat Naga
Sakti' yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Tubuhnya berkelebat cepat, bagaikan
seekor naga putih yang tengah bermain-main di angkasa. Sepasang tangannya yang
berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat, disertai hembusan
angin dingin menusuk tulang!
Plak! Plak! Plak!
Ketiga orang pengeroyok itu berusaha memapaki terkaman Panji yang jelas sangat
berbahaya itu. Kali ini, mereka merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu.
Tamparan dan pukulan mereka tidak berarti sama sekali. Bahkan, mulai terdesak oleh
sambaran-sambaran angin dingin yang menusuk tulang sumsum. Terbukti, tenaga hawa
panas mereka kalah dengan hawa dingin 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
"Haiiit..!"
Desss! Buggg...!
"Aaakh...!"
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih sulit diimbangi lawan-lawannya. Dua buah
hantaman keras Panji bersarang di dada dan lambung dua orang lawannya. Tanpa ampun
lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terjungkal keras, dan terbanting ke tanah.
Kali ini, orang-orang berwajah pucat itu mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih.
Kekebalan tubuh mereka mampu ditembus, setelah Panji mengerahkan lebih dari separuh
tenaga saktinya untuk melancarkan pukulan itu. Tubuh kedua orang lawannya menggigil
diselimuti lapisan kabut putih.
Lawan Panji yang tinggal seorang itu tampak mulai merasa gentar. Orang itu
bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Panji tidak mempedulikannya. Pemuda
itu langsung melesat ke arah pertempuran yang berada dua tombak lebih di sebelah
kanannya. Dan, langsung menerjunkan diri dalam pertarungan.
Plak! Plak!
Panji langsung mengirim dua tamparan keras, yang membuat dua orang
pengeroyok Kenanga terpental sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, mereka yang
sempat memapaki tamparan Panji, kembali melompat bangkit, dan membangun serangan
yang lebih hebat.
Kenanga, yang kali ini hanya menghadapi seorang lawan, langsung menggempur
musuhnya dengan sambaran-sambaran Pedang Sinar Rembulan. Sebentar saja, lawan
dara cantik itu telah terdesak hebat, dan tak mampu lagi melakukan serangan balasan.
Rupanya dalam kejengkelannya, Kenanga langsung saja mengeluarkan ilmu pedang
andalannya. Sehingga kehebatannya tidak disangsikan lagi.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh tiga, Kenanga mengeluarkan
bentakan nyaring. Tubuh ramping itu bergerak cepat, dengan sambaran pedang yang
berkelebat laksana sambaran kilat.
Brettt..!
"Aaargh...!"
Lelaki muda berwajah pucat itu memekik kesakitan, ketika dadanya tersambar
Pedang Sinar Rembulan. Darah segar merembes keluar dari luka memanjang yang
merobek kulit dan daging. Meskipun tidak mematikan, luka yang diderita orang itu cukup
parah.
Serangan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis itu mengejar lawannya
yang terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terluka. Dara jelita itu melenting ke
atas, dan menukik turun seraya menjejakkan telapak kakinya ke dada lawan.
Buggg!
"Huagkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki muda berwajah pucat itu terjungkal ke tanah.
Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, ia masih kuat, dan
melenting bangkit, siap melanjutkan pertarungan.
Tapi, Kenanga tidak memberi kesempatan. Kembali kaki kanannya melayang
dengan tendangan berputar, langsung menghajar pelipis lawan. Karuan saja tubuh orang
itu terpelanting dan jatuh ke tanah.
"Hm... Ingin kulihat, apakah kali ini kau masih mampu bangkit..?" ejek Kenanga
seraya menatap wajah lawan yang mengerang menahan sakit.
Diam-diam Kenanga kagum akan kekuatan lawan. Semestinya, lelaki berwajah
pucat itu sudah jatuh pingsan akibat tendangannya tadi. Tapi, lelaki itu malah tengah
berusaha bangkit kembali. Tentu saja kenyataan itu membuat Kenanga mengerutkan
keningnya dalam-dalam.
"Hmh...!"
Sosok lelaki berwajah pucat itu menggeram gusar, penuh kemurkaan. Melihat hal
itu. Kenanga siap menggebrak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.
"Aihhh...!! "
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Kenanga terpekik ngeri, dan
melangkah mundur dengan wajah pucat! Pemandangan di hadapannya sungguh
mengerikan. Tubuh lelaki itu meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Sebentar saja kulit dan
dagingnya lumer, hingga tulang-belulangnya saja yang masih tersisa!
Kenanga menatap tulang-belulang itu dengan mata terbelalak lebar. Perlahan
tulang-belulang itu ambruk ke tanah. Kenanga baru menarik napas lega setelah melihat
kejadian yang aneh dan mengerikan itu berakhir.
Panji yang mendengar jeritan kekasihnya segera melayang ke tempat dara jelita itu
berada. Kesempatan itu digunakan kedua lawannya untuk melarikan diri. Sedangkan tiga
orang lainnya telah pergi sejak tadi.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sedikit terkejut melihat kejadian yang sama
sekali tidak pernah terbayang dalam pikiranku," ujar Kenanga yang kemudian
menceritakan kejadian tadi pada Panji.
Panji memperhatikan tulang-tulang yang kini telah hancur. Kening pemuda itu
berkerut dalam, mencoba memecahkan rahasia keenam orang aneh itu. Lama pemuda itu
berpikir, tapi tak satu jawaban pun didapatnya.
"Hm.... Mungkin di sekitar hutan ini terdapat sebuah perguruan silat. Mari kita
selidiki...," ujar Panji pada kekasihnya. Dengan cara itu Pendekar Naga Putih berharap
dapat memecahkan misteri orang-orang berwajah pucat yang menghadangnya.
DUA
Hari masih sangat pagi. Fajar baru saja datang. Di ufuk Umur belum lagi terlihat
tanda merah. Suara binatang malam masih terdengar ramai, menemani keremangan fajar.
Dan tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit.
Dalam keremangan itu, terlihat serombongan orang bergerak memasuki hutan.
Mereka berbaris rapi, seperti sepasukan prajurit yang hendak berangkat ke medan laga.
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu dipimpin tiga orang
lelaki tegap berwajah angker. Ketiganya mengenakan pakaian ringkas, yang membuat
sosok mereka tampak ramping dan gesit. Dari gerak-gerik mereka, mudah ditebak kalau
ketiganya merupakan orang-orang persilatan golongan tinggi. Hal itu terbukti dari sorot
mata, dan cara mereka melangkah yang laksana harimau jantan.
Tepat di belakang ketiga lelaki itu, terdapat sebuah tandu yang dipikul empat orang
lelaki bertubuh kekar. Tandu itu sendiri terhias indah dengan tirai-tirai yang terbuat dari
sutera bersulam benang emas. Sedangkan di belakang para pemikul tandu, terdapat
puluhan orang lainnya.
Rombongan itu terus bergerak memasuki hutan lebat, dengan bantuan sinar obor
yang dipegang beberapa orang anggota rombongan. Sehingga, perjalanan mereka tidak
terlalu sulit.
Persis saat cahaya kemerahan mulai menghiasi kaki langit sebelah timur, salah
seorang pimpinan rombongan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Mereka berhenti
tepat di atas sebuah anak bukit. Kemudian, ketiga orang kepala rombongan berlutut
diikuti para anggotanya.
"Wahai Sang Dewi Matahari yang agung, penerang kegelapan. Kami, para
pemujamu, datang untuk mempersembahkan tumbal bagi kejayaanmu. Semoga Sang Dewi
berkenan menerimanya...!" terdengar salah seorang pimpinan rombongan yang berjubah
panjang dan berikat kepala merah, berkata lantang sambil mengangkat kedua tangannya.
Tubuhnya menghadap cahaya kemerahan yang semakin merona nyata. Jelas sudah,
mereka adalah para penyembah Dewi Matahari.
Begitu ucapan pemimpin upacara selesai, dua orang lelaki kekar yang mengenakan
jubah panjang berwarna merah, bergerak ke depan. Mereka mengiringi seorang pemuda
tampan bertubuh tinggi tegap, dan berbaju kuning emas. Ia mengenakan sebuah mahkota
yang juga berwarna emas.
Lelaki tegap berjubah dan berikat kepala merah, yang menjadi pemimpin upacara
suci itu, bergerak bangkit menyambut kedatangan pemuda tampan yang akan dijadikan
tumbal. Sedangkan pengiringnya, kembali ke belakang dua orang pemimpin lainnya, yang
saat itu masih tetap bersimpuh, berikut seluruh anggotanya.
"Anak muda...," panggil sang pemimpin upacara dengan suara berwibawa. "Kau
sungguh beruntung terpilih menjadi pengawal Sang Dewi Matahari yang agung, penerang
kegelapan. Semoga kau tidak mengecewakan hati Sang Dewi...."
"Terima kasih, Ki. Semoga dengan pengabdianku ini, Sang Dewi yang agung,
penerang kegelapan, akan memberikan anugerahnya kepada kita semua...," ujar pemuda
tampan yang telah siap dipersembahkan pada Dewi Matahari yang mereka puja itu.
Lelaki gagah pemimpin upacara yang berusia lima puluh tahun itu tersenyum
penuh keharuan. Kemudian, pemuda itu diminta untuk menuju sebuah pondok kecil, yang
terletak sekitar dua tombak di depan rombongan.
Ki Sangkila, pemimpin upacara suci itu, kembali berlutut saat pemuda tampan
berpakaian warna emas melangkah ke arah pondok. Demikian pula seluruh anggota
rombongan.
Sebentuk sinar kuning keemasan berpendar menerangi pondok, saat pemuda itu
tiba di ambang pintu. Bagaikan benda hidup, sinar kuning keemasan itu langsung
membungkus tubuh si pemuda. Dan, pintu pondok pun kembali tertutup. Perlahan sinar
kuning keemasan itu memudar, tepat ketika cahaya matahari mulai muncul mengusir
keremangan.
"Jayalah Sang Dewi.... Abadilah Sang Dewi.... Semoga kejayaan dan keberkahan
selalu menyertai kami..," desis Ki Sangkila dengan suara bergetar, menebarkan pengaruh
yang membuat para anggota rombongan mengangguk-angguk, dan membenturkan
keningnya di atas tanah.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangkila bergerak bangkit, dan memerintahkan
kepada anggota rombongannya untuk bangkit berdiri. Upacara telah selesai.
"Kita kembali...," perintah Ki Sangkila yang segera melangkah mendahului anggota
rombongannya. Jubah dan ikat kepala lelaki tua itu telah dilepas, dan disimpan rapi.
Demikian pula dengan dua orang pimpinan lainnya. Juga empat orang pemikul tandu,
yang pada waktu upacara mengenakan jubah berwarna merah. Rombongan pun kembali
bergerak meninggalkan hutan.
Namun, baru saja Ki Sangkila dan rombongannya hendak menuruni bukit, muncul
tiga orang lelaki gagah berpakaian ringkas yang berdiri menghadang jalan. Melihat sikap
dan raut wajah mereka, tampaknya kemunculan ketiga orang itu tidak bermaksud baik.
"Hm.... Kalian telah tersesat terlalu jauh. Rupanya, kabar angin yang kudengar
selama ini bukan bualan kosong. Semua yang kusaksikan barusan, merupakan bukti
nyata bahwa kalian benar-benar bodoh. Tega mengorbankan nyawa seorang pemuda,
hanya untuk sesuatu yang tidak jelas...," kata salah satu dari ketiga orang lelaki gagah itu.
Ditatapnya wajah Ki Sangkila dengan sorot mata tajam penuh teguran.
"Hm.... Jumirta si Macan Gunung Galung, kiranya...," gumam Ki Sangkila, yang
rupanya telah mengenal lelaki tegap berusia empat puluh tahun itu.
Dengan tenang, Ki Sangkila melangkah beberapa tindak, diiringi dua orang di kiri
dan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh, dan memandang remeh Jumirta yang
berjuluk Macan Gunung Galung.
Jumirta pun tidak kalah gertak. Lelaki tegap itu maju beberapa tindak, sampai
keduanya berdiri dalam jarak satu tombak. Mereka saling bertatapan dengan dagu
terangkat. Dan sorot mata tajam, saling menantang.
"Mengapa kau menghadang perjalanan kami, Jumirta?" tanya Ki Sangkila dengan
nada tak senang. Sepasang matanya menatap tajam, dan tidak beralih sedikit pun dari
wajah lawan bicaranya.
"Sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku
berkewajiban untuk meluruskan perbuatanmu, Ki Sangkila. Karena kau telah
menjerumuskan orang lain untuk ikut dalam kesesatanmu. Perbuatanmu ini jelas salah,
dan menyimpang dari kebenaran. Untuk itu, kuminta kau mau menghentikannya...!"
Jawab Jumirta tegas dan lantang. Sehingga, terdengar oleh anggota rombongan Ki
Sangkila.
Terdengar suara menggeram marah, menyambut ucapan Jumirta yang bagi
pengikut Ki Sangkila jelas merupakan penghinaan. Geraman itu berasal dari dua orang
lelaki kekar berkepala botak, yang merupakan-dua dari empat pemikul tandu. Keduanya
bergerak maju dengan wajah bengis.
"Hm.... Biar kami urus manusia sombong yang telah menghina kita itu, Ki...," desis
salah seorang dari dua lelaki botak itu, dengan sorot mata tajam menusuk.
Ki Sangkila hanya tersenyum. Kemudian, mengembangkan kedua lengannya,
melarang kedua orang lelaki botak yang tampak marah itu.
"Tenanglah, dan kembali ke tempatmu...!" perintah Ki Sangkila tegas, tidak ingin
dibantah.
Kedua lelaki berkepala botak itu hanya bisa menelan kemarahan. Mereka bergerak
mundur, dan kembali ke dalam barisan.
"Kau dengar dan lihat sikap mereka dalam menanggapi ucapanmu barusan,
Jumirta? Sebaiknya kau pergi, dan jangan campuri urusan kami Apa yang kulakukan
sama sekali tidak merugikanmu, bukan? Nah, pergilah! Dan jangan ganggu kami lagi.
Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup...!" ancam Ki Sangkila.
"Ki Sangkila!" tegas Jumirta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah orang
tua itu. "Perbuatanmu sangat merugikan! Kalau dibiarkan, akan banyak orang yang
terseret ke dalam kesesatanmu itu. Karena itu, aku tidak akan mundur...!"
"Kalau begitu, kau memang menginginkan kematian, Jumirta! Menyesal aku harus
bertindak kasar terhadapmu...!" geram Ki Sangkila.
Kemarahan Ki Sangkila mulai bangkit melihat kebandelan Macan Gunung Galung.
Dengan wajah gelap, lelaki setengah baya itu melangkah mundur seraya mengebutkan
lengan bajunya ke depan.
Jumirta bukan tidak menyadari gerakan itu. Cepat, ia melangkah ke belakang
dengan lompatan pendek, begitu merasakan adanya sambaran angin yang keluar dari
kibasan lengan Ki Sangkila. Jelas kalau lelaki tua itu telah menyerangnya dengan halus.
"Hmh...," Jumirta menggeram dengan wajah tegang.
Jumirta yang berjuluk Macan Gunung Galung ini agak terkejut merasakan kuatnya
angin pukulan lawan. Jumirta mengenal siapa Ki Sangkila. Lelaki tua itu adalah Kepala
Desa Pugar Selatan, yang memiliki kepandaian tangguh.
Sebagai orang yang telah cukup lama mengenal Ki Sangkila, Jumirta dapat
mengukur sampai di mana ketangguhan lawan. Tapi, serangan barusan sempat
membuatnya tak percaya! Sebab, ia merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki
Ki Sangkila sekarang. Padahal, setahu Jumirta, kesaktian orang tua itu masih berada di
bawahnya. Kenyataan itu membuat keningnya berkerut dalam.
"He he he...! Mengapa kau menjadi seperti orang bodoh, Jumirta? Kalau memang
takut, cepatlah pergi dari hadapanku, sebelum aku berubah keputusan...," ejek Ki
Sangkila, yang rupanya dapat meraba keterkejutan lawan.
Jumirta bukan orang lemah. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat
julukan Macan Gunung Galung, tentu saja kepandaiannya tidak bisa dipandang remeh.
Bahkan dalam perguruannya, ia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, yaitu
sebagai Wakil Ketua Perguruan Gunung Galung.
Kehadirannya di hutan itu, karena tugas dari ketua yang juga gurunya, untuk
menyelidiki kabar-kabar yang tersebar di luaran. Perguruan Gunung Galung sendiri tidak
terlalu jauh letaknya dari Desa Pugar Selatan. Itulah sebabnya, mengapa berita tentang
para penyembah Dewi Matahari, sampai terdengar Ketua Perguruan Gunung Galung.
"Kau terlalu sombong, Ki Sangkila. Apa pun yang bakal terjadi, aku akan tetap
mencegah dan meluruskan jalanmu. Untuk itu, rasanya memang perkelahianlah yang bisa
menyelesaikan persoalan ini...," sahut Jumirta, tenang.
Dua orang murid Perguruan Gunung Galung yang menyertai kedatangan Jumirta,
sudah menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Macan Gunung Galung sendiri
telah mempersiapkan ilmu 'Cakar Macan'nya, yang telah membuat namanya terkenal
dalam kalangan persilatan.
Melihat ketiga lawannya telah bersiap, dua orang wakil Ki Sangkila hendak maju
membantu. Namun, Ki Sangkila mencegah, dan menyuruh mereka mundur. Sepertinya,
orang tua itu ingin menghadapi lawan seorang diri.
Melihat hal itu, Jumirta mengerutkan keningnya semakin dalam, ia yang tahu
sampai di mana kepandaian Ki Sangkila, mereka heran. Mungkinkah Ki Sangkila telah
memiliki kemajuan yang sangat pesat! Jumirta membatin tak percaya.
"Majulah, aku telah siap...!" tantang Ki Sangkila.
Macan Gunung Galung yang belum yakin akan kepandaian Ki Sangkila,
memerintahkan kedua orang kawannya mundur. Sepertinya Jumirta ingin mencoba dulu
kelihaian lawannya seorang diri.
Ki Sangkila tersenyum mengejek melihat Jumirta maju seorang diri. Tapi, lelaki tua
itu tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah Jumirta yang
bergerak ke arah kanannya.
***
"Haaat..!"
Dengan pekikan yang nyaring, merobek udara pagi, tubuh Jumirta melesat ke
depan diiringi sambaran cakarnya yang berdecitan tajam. Macan Gunung Galung
mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena tidak ingin berbuat ceroboh setelah
merasakan kekuatan angin pukulan lawan.
Wuttt..!
Ki Sangkila mendengus sambil memiringkan tubuhnya menghindari sambaran
cakar lawan, yang datang bertubi-tubi mengancam tubuhnya. Kemudian, lelaki tua itu
berputar mengirimkan tebasan lengannya yang mengancam tengkuk Jumirta.
Wukkk!
Terdengar sambaran angin tajam mengiringi datangnya lengan Ki Sangkila, yang
telah berisi tenaga dalam tinggi.
"Hiaaah…!"
Jumirta yang masih merasa belum yakin akan kekuatan tenaga dalam lawan,
menarik tubuh ke belakang sambil mengangkat tangan kirinya menyambut tebasan tangan
lawan.
Plak!
"Ughhh...?!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak dapat dipercaya oleh
Jumirta. Benturan itu bukan saja telah membuat lengannya terasa panas bagai terbakar.
Tapi, kuda-kudanya pun tergempur dan tubuhnya nyaris terpelanting.
"Gila...?!" umpat Jumirta sambil memijat lengannya yang terasa nyeri dan panas.
Untung sebelumnya Jumirta telah siaga dengan mengerahkan lebih dari separuh
tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin tulang lengannya sudah remuk akibat benturan
keras tadi.
Hal itu membuat Macan Gunung Galung jadi tak mengerti, ia tidak habis pikir,
seorang pendekar ternama seperti dirinya, nyaris dipecundangi oleh Ki Sangkila yang tidak
tersohor sama sekali. Ini tidak bisa diterima Jumirta.
Sadar akan kenyataan itu, Jumirta menggeram marah. Cepat ia menghimpun
semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Sepasang cakar macannya
tampak bergetar, karena berisi tenaga dalam kuat.
"Yeaaah...!"
Untuk kedua kalinya, Jumirta kembali melesat diiringi teriakan yang melengking
tinggi. Sepasang cakarnya bergerak susul-menyusul mengancam tubuh lawan. Serangan
Macan Gunung Galung kali ini benar-benar hebat dan tidak bisa dipandang remeh.
Ki Sangkila bergerak ke samping ketika sambaran lawannya kembali datang. Dan
langsung membalas dengan serangan-serangan yang cepat dan menerbitkan hawa panas,
yang membuat pikiran lawan terganggu. Jumirta kembali diliputi keheranan, melihat
kehebatan lawan yang sama sekali di luar perhitungannya.
Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Keduanya saling terjang dengan mengandalkan jurus-jurus ampuh yang dimiliki. Namun,
Jumirta benar-benar harus mengakui keunggulan lawan. Setelah dua puluh jurus
pertarungan berlalu, Ki Sangkila mulai melakukan tekanan-tekanan berat terhadapnya.
Belum lagi adanya hawa panas yang mengelilingi arena pertarungan. Jumirta harus
menguras seluruh kepandaiannya, jika ia tidak mau celaka.
"Hiaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh dua, Ki Sangkila mengeluarkan
pekikan yang mengejutkan lawan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya berputar cepat
dengan serangan-serangan maut yang mematikan.
"Akh...?l"
Jumirta memekik kaget sambil melesat menghindari pukulan dan tamparan
berhawa panas yang dikirimkan lawan. Peluh membasahi pakaian dan wajahnya. Jumirta
merasa cepat lelah, karena adanya hawa panas yang terbit dari setiap serangan lawan.
Sehingga, laki-laki gagah itu menjadi semakin kewalahan. Dan....
Blaggg!
"Huagkhhh...!"
Suatu ketika, Jumirta tidak sempat lagi menghindari sebuah pukulan telapak
tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu tersentak ke belakang, memuntahkan
darah segar. Kemudian, terbanting ke tanah tanpa ampun.
"Pergilah ke akhirat, Jumirta...!" seru Ki Sangkila, seraya hendak melanjutkan
serangan. Jelas, lelaki tua ini ingin menamatkan riwayat lawannya.
"Haaat...!"
Dua orang murid utama Perguruan Gunung Galung, yang menyertai kedatangan
Jumirta, tidak tinggal diam. Keduanya segera melesat ke depan untuk menyelamatkan
wakil ketua mereka.
Plak! Plak!
Namun kecepatan gerak Ki Sangkila benar-benar luar biasa! Dalam keadaan tubuh
melayang di udara, lelaki tua itu masih sempat memutar sepasang lengannya, guna
menyambut tebasan dua batang pedang lawan. Akibatnya, tubuh kedua orang lelaki muda
bertubuh tegap itu terpental batik, dan terbanting jatuh ke tanah. Jelas, kekuatan mereka
berdua masih belum mampu mengimbangi kehebatan tenaga dalam Ki Sangkila.
Jumirta yang sudah bangkit tegak, segera saja menghunus senjatanya, siap
melanjutkan pertarungan. Tapi, melihat keadaannya, rasanya tidak mungkin Macan
Gunung Galung akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus untuk menghadapi
lawannya. Hal itu diketahui jelas oleh kedua orang rekannya. Sehingga, kedua orang murid
utama Perguruan Gunung Galung segera melompat mendampingi Jumirta.
"Hm.... Begitu lebih bagus...," ejek Ki Sangkila, seraya tersenyum iblis melihat
ketiga orang lawannya bergabung untuk mengeroyok dirinya.
Dan baru saja ucapannya selesai, tubuh orang tua itu telah melayang dengan
kecepatan yang menggetarkan, ke arah pengeroyoknya.
Bettt... bettt...!
Sambaran angin pukulan berhawa panas, kembali menyebar memenuhi arena
pertarungan, membuat ketiga orang lawannya tidak dapat melakukan perlawanan dengan
pikiran tenang. Karena hawa panas itu telah mengacaukan pikiran, sehingga gerakan
mereka pun menjadi kacau tak beraturan.
Ki Sangkila, yang menyadari kehebatan murid-murid Perguruan Gunung Galung,
terus saja mendesak dengan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat. Sehingga,
ketiga orang pengeroyok itu jadi terdesak hebat. Sampai-sampai mereka tidak lagi mampu
untuk melancarkan serangan balasan. Sebab, serangan mereka seperti terhalang dinding
hawa panas, yang membuat tenaga serangan mereka membalik.
"Yaaat...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh, Ki Sangkila kembali mengeluarkan pekikan
nyaring, diiringi tamparan mautnya.
Plak!
"Aaakh...!"
Jumirta menjerit ngeri, saat tamparan lawan mendarat telak di pelipisnya. Tanpa
ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjungkal, tewas dengan kepala retak. Darah segar
mengalir, menggenangi bagian kepala lelaki gagah itu.
Nasib kedua orang murid utama Perguruan Gunung Galung pun tidak berbeda
jauh dengan wakil ketuanya. Sepasang telapak tangan Ki Sangkila singgah di dada kedua
orang itu, membuat tubuh keduanya terpental deras, dan terbanting jatuh memuntahkan
darah kental kehitaman. Asap tipis tampak mengepul dari tanda hitam di dada kedua
orang itu, yang bergambar telapak tangan Ki Sangkila. Keduanya menghembuskan napas
terakhir diiringi senyum iblis lelaki tua itu.
"Tinggalkan saja bangkai mereka untuk binatang-binatang penghuni hutan ini...,"
ujar Ki Sangkila, segera mengajak rombongannya meninggal hutan.
Tanpa ada bantahan sedikit pun, rombongan itu pun kembali bergerak
melanjutkan perjalanan.
TIGA
Tiga ekor kuda berderap melintasi jalan berbatu, di bawah terik sinar matahari.
Debu tipis tampak mengepul mengiringi gerak maju ketiga ekor kuda, yang masing-masing
ditunggangi seorang lelaki tegap berpakaian ringkas.
Ketiga orang penunggang kuda itu baru memperlambat lari kudanya, ketika
memasuki batas sebuah desa. Sebuah tiang batu yang bertuliskan 'Batas Desa Pugar
Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi jalan. Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan,
memasuki jalan tanah yang cukup lebar.
"Kisanak yang menunggang kuda, harap berhenti sebentar...!" tiba-tiba terdengar
seruan, yang membuat ketiga orang penunggang kuda itu menarik tali kekang. Kuda pun
berhenti seketika.
Di depan ketiga orang penunggang kuda itu, dalam jarak dua tombak lebih, tampak
enam orang lelaki berdiri menghadang jalan. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh
gemuk dan berkumis tebal, melangkah lebar menghampiri. Sedangkan ketiga orang
penunggang kuda lainnya, terap berada di atas punggung binatang tunggangannya.
"Hm.... Kiranya Kakang Balasara yang datang. Ada keperluan apa kalian
mengunjungi desa ini...?" tanya lelaki gemuk berkumis tebl itu, menatap penunggang kuda
terdepan.
Lelaki gagah bermata tajam yang dipanggil dengan nama Balasara, hanya
menganggukkan kepalanya sedikit, membalas sapaan lelaki gemuk itu.
"Adi Suganta. Kami datang sebagai utusan Ki Sakya Wulung, kepala desa kami.
Harap kalian memberi jalan kepada kami untuk menghadap Ki Sangkila, kepala desa
kalian...," sahut Balasara dengan nada bersahabat.
Meskipun begitu, kelihatan sekali kalau keduanya sama-sama bersikap kaku,
seperti mempunyai ganjalan di dalam hati.
"Tentu saja boleh, Kakang Balasara. Tapi, kalau boleh kami tahu, keperluan
apakah kiranya...?" tanya lelaki gemuk berkumis lebat yang bernama Suganta itu,
setengah menyelidik.
"Maaf, aku terpaksa tidak bisa mengatakannya, Adi Suganta. Pesan Ki Sakya
Wulung hanya untuk kepala desa kalian. Harap kau memakluminya...," sahut Balasara.
Suganta, lelaki gemuk berkumis lebat dan berkepala gundul itu agak berubah
wajahnya. Kelihatan sekali, ia merasa tidak senang dengan jawaban Balasara.
Suasana mendadak hening. Suganta sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya
sepasang matanya saja yang tajam menyapu tiga wajah di depannya yang nampak mulai
diliputi ketegangan. Terdengar helaan napas panjang Suganta.
"Hhh.... Karena aku telah mengenal baik kalian, biarlah aku bermurah hari,
memberikan kelonggaran untuk menemui Ki Sangkila. Bersikaplah sebagai tamu yang
baik, agar tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan...," ujar Suganta. Jawaban itu
jelas menyiratkan sebuah peringatan bagi Balasara dan kawan-kawannya.
'Terima kasih, Adi Suganta. Peringatanmu akan kami perhatikan baik-baik...," ucap
Balasara, yang segera mengajak kedua orang kawannya untuk memasuki desa.
Suganta dan kelima orang kawannya hanya mengiringi kepergian ketiga orang tamu
itu dengan tatapan mata tajam, tak bersahabat. Balasara sendiri tidak menanggapi ia terus
saja menjalankan kudanya, meninggalkan tempat itu bersama kedua orang kawannya.
Baru setelah agak jauh, mereka memacu binatang tunggangannya, menuju kediaman
Kepala Desa Pugar Selatan.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah bangunan besar
yang dijaga empat orang lelaki berpakaian serba hitam. Balasara mengajak kedua orang
rekannya turun dari aras punggung kuda.
"Ki Balasara. Ada keperluan apakah hingga kau sampai ke tempat ini?" tegur salah
seorang penjaga gerbang rumah kepala desa itu.
"Kami hendak menghadap Ki Sangkila. Ada sesuatu hal yang pedu kami bicarakan.
Harap kau segera memberitahukannya kepada beliau...," jawab Ki Balasara tanpa basa-basi lagi.
Penjaga itu pun segera beranjak memasuki bangunan besar, untuk melaporkan
kedatangan Ki Balasara kepada majikannya. Sementara yang seorang lagi, mengantarkan
Ki Balasara serta kedua orang kawannya untuk menunggu di pendopo.
Ketiga penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya, ketika memasuki desa.
Sebuah tiang batu bertuliskan 'Batas Desa Pugar Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi
jalan.
Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan, memasuki jalan tanah yang cukup
lebar. Tetapi, tiba-tiba terdengar seruan menghadang…!
Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, orang yang
ditunggu datang, diiringi penjaga gerbang yang melaporkan kedatangan ketiga orang tamu
itu.
"Hm.... Berita apa yang kau bawa dari Ki Sakya Wulung, Balasara? Apakah kepala
desamu itu masih merasa keberatan, dengan keyakinan yang kujalani saat ini...?" tanya Ki
Sangkila, setelah menyuruh pergi kedua orang penjaga gerbang untuk kembali ke posnya.
Kemudian, lelaki gagah itu duduk menghadapi ketiga orang tamunya.
"Maaf, Ki," jawab Ki Balasara, setelah mengangguk hormat kepada lelaki gagah
berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Sebenarnya, Ki Sakya Wulung sudah tidak ingin
mencampuri urusanmu. Tapi..., perginya sepuluh orang warga desa kami yang
menyeberangi desa ini, membuat Ki Sakya Wulung terpaksa mengutus kami untuk
menghadapmu. Karena orang-orang Desa Pugar Selatan ini telah membujuk dan
mempengaruhi mereka untuk menyeberang, dan mengikuti segala kesesatan di desa ini.
Kedatangan kami kemari adalah untuk mengajak kembali warga Desa Pugar Utara, yang
terkena hasutan itu...," jawab Ki Balasara.
"Hmh...."
Ki Sangkila menggeram gusar, setelah mendengar keterangan Ki Balasara.
Wajahnya yang semula segar, mendadak kelam. Jelas, lelaki setengah baya itu tidak
senang dengan ucapan tamunya.
"Balasara! Kedatangan sepuluh orang pemuda warga desamu itu, adalah atas
kehendak mereka sendiri. Tak seorang pun dari pengikut-pengikutku yang menghasut
atau membujuk mereka untuk bergabung. Jadi, jelas kau sengaja hendak mencari-cari
alasan untuk menyalahkan kami. Aku tidak bisa menerima tuduhan itu. Ingat baik-
baik...!" jelas Ki Sangkila dengan suara dalam dan berat
"Maaf. Apa yang kusampaikan tadi adalah yang sebenarnya, Ki. Sebab, ada seorang
yang tidak terkena hasutan, menyampaikannya kepada kepala desa kami. Selain itu,
banyak orang yang menyaksikan perbuatan para pengikutmu itu, Ki. Kami hanya sekadar
menyampaikan. Masalah Ki Sangkila meluluskan atau tidak permintaan kami, itu terserah
penilaian dan kebijaksanaan Aki sebagai kepala desa. Harap Ki Sangkila memberikan
jawaban pasti kepada kami, agar bisa melaporkannya kepada kepala desa kami...," jawab
Ki Balasara.
"Hm.... Sebenarnya, aku bisa saja mencelakai atau melenyapkan kalian bertiga.
Tapi mengingat kalian hanya orang utusan, biarlah kuampuni. Satu hal yang perlu kau
ingat, dan sampaikan kepada Ki Sakya Wulung, Balasara! Katakan padanya, agar jangan
mencampuri urusanku! Kalau ada warga desanya yang menyeberang kemari, itu adalah
hak mereka. Kalau Ki Sakya Wulung tidak menghendaki hal itu, ia harus bisa memberi
kehidupan yang lebih baik kepada warga desanya. Kau bisa lihat sendiri, bukan?
Kehidupan di Desa Pugar Selatan ini jauh lebih baik dibanding Desa Pugar Utara. Jadi,
wajar saja kalau orang-orang desamu menyeberang kemari. Sekarang, bawalah kedua
orangmu pergi dari desa ini, dan jangan kembali lagi. Kalau peringatanku tidak kau
indahkan, jangan salahkan kalau aku berbuat kasar...!"
Setelah berkata demikian, Ki Sangkila bergerak bangkit dan mempersilakan ketiga
orang tamunya untuk meninggalkan tempat itu.
"Baiklah, Ki. Kami akan menyampaikan apa yang telah kami dengar barusan. Maaf,
kami telah mengganggumu," Ki Balasara mohon diri.
Lelaki tegap itu berusaha menahan emosinya, karena hal itu hanya akan
mencelakai dirinya dan kedua orang kawannya.
"Pergilah! Ingat, aku tidak menghendaki kunjungan kalian lagi. Kalau kejadian ini
sampai terulang, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian...!" ujar Ki Sangkila
mengancam.
Setelah ketiga orang tamunya lenyap, lelaki tua yang masih gagah itu pun bergerak
memasuki rumahnya.
***
Ki Balasara dan kedua orang kawannya memacu kuda mereka meninggalkan
wilayah perbatasan Desa Pugar Selatan Mereka berpacu dengan waktu, agar tidak
kemalaman di jalan. Saat itu, matahari memang semakin naik tinggi. Sedangkan
perjalanan yang harus ditempuh, masih cukup jauh.
Tapi perjalanan Ki Balasara dan kawan-kawannya tidak semulus ketika mereka
datang. Setelah agak jauh meninggalkan perbatasan Desa Pugar Selatan, terlihat dua
sosok tubuh berdiri menghadang jalan, saat itu mereka hendak melewati sebuah hutan
kecil. Memang, ietak Desa Pugar Utara tepat berada di seberang hutan kecil itu.
"Hm.... Mereka pasti orang-orang utusan Ki Sangkila. Iblis tua itu memang licik
sekali! Ia hanya berpura-pura melepaskan kita meninggalkan wilayah desanya. Lalu,
mengutus orang-orangnya untuk menghadang jalan kita. Benar-benar licik...!" desis lelaki
tegap berusia tiga puluh tahun, yang berada di sebetah kanan Ki Balasara.
Lelaki itu sudah meraba gagang pedangnya, siap menghadapi bahaya yang bakal
terjadi
"Mungkin ya, mungkin juga tidak, Adi. Kalau memang kedua orang itu
diperintahkan untuk menghadang kita, kenapa ia menyuruh kira pergi? Bisa jadi, mereka
adalah orang ketiga yang hendak memancing di air keruh. Tapi, biar bagaimanapun, kita
harus berhati-hati...," pesan Ki Balasara, seraya menatap tajam kedua orang penghadang
itu.
Sepertinya, ia hendak mengenali mereka. Kalau benar, orang-orang itu merupakan
pesuruh Ki Sangkila, ia pasti mengenalinya.
Dengan sikap waspada, Ki Balasara bersama kedua orang kawannya terus bergerak
maju, menjalankan kudanya lambat-lambat. Ketiganya baru menarik tali kekang, ketika
jarak di antara mereka hanya tinggal dua tombak lagi.
"Hei...?! Bukankah kau Adi Balyanang? Apa maksudmu menghadang jalanku...?"
Ki Balasara hampir tidak percaya dengan pandangannya. Ia bukan hanya kenal
dengan salah seorang penghadangnya itu, tapi pemuda itu merupakan kerabat dekatnya,
yaitu adik dari istrinya, yang ikut menyeberang ke Desa Pugar Selatan beberapa hari yang
lalu. Ia terkejut, sekaligus gembira melihat pemuda itu. Karena, salah satu tujuannya
datang ke Desa Pugar Selatan adalah untuk mencari adik istrinya itu.
Tapi, kegembiraan Ki Balasara perlahan memudar. Sebab, pemuda yang bernama
Balyanang itu sama sekali tidak menunjukkan wajah gembira ataupun senang. Wajah itu
dingin dan beku. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam, memancarkan rasa
dingin bagi orang yang ditatapnya.
"Kau kenapa, Balyanang? Apakah kau tidak mengenali aku lagi? Apa sebenarnya
yang telah terjadi denganmu...?" tanya Ki Balasara, yang sudah melompat turun dari atas
punggung kudanya.
Meskipun begitu, Ki Balasara tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sebab, sikap
dan tatapan Balyanang, sangat mencurigakan. Bahkan terkesan mengerikan, sehingga
membuat bulu kuduk Ki Balasara berdiri.
Kedua orang pemuda yang memang sengaja menghadang itu, tidak menyahut.
Bahkan, mereka mulai bergerak maju dengan wajah yang tetap beku, sedingin es.
"Kami harus melenyapkan kalian semua...!" desis Balyanang dingin dan datar.
Mendengar suara yang bukan seperti suara manusia itu, Ki Balasara dan kedua
orang lainnya menggigil. Semestinya, suara itu datang dari mulut mayat yang baru bangkit
dari kubur. Ki Balasara segera bergerak mundur, ia membaui kesungguhan dalam ucapan
adik iparnya itu.
"Balyanang. Sadarlah! Aku adalah suami kakakmu! Jangan kau turuti bisikan
setan yang ada dalam hatimu...!" Ki Balasara mencoba mengingatkan pemuda itu.
Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin bertarung melawan adik iparnya, ia tahu,
sampai di mana kepandaian pemuda itu. Itulah yang membuat Ki Balasara hanya mundur
selangkah, saat tangan Balyanang meluncur perlahan, hendak mencengkeram bahunya.
Sikap memandang remeh Ki Balasara, hampir saja membuat nyawanya melayang.
Uluran cengkeraman yang kelihatannya perlahan itu ternyata hampir saja mencengkeram
tulang bahunya. Untunglah lelaki tegap itu segera sadar saat merasakan sambaran angin
keras, yang datang mengiringi uluran cengkeraman jari-jari tangan Balyanang.
Wettt...!
"Aihhh...?!"
Ki Balasara memekik tertahan seraya melompat ke belakang, sejauh setengah
tombak. Wajah lelaki gagah itu berubah pucat, ketika mendengar decitan tajam jari-jari
Balyanang yang mencengkeram angin kosong.
"Gila?! Dari mana ia mendapatkan tenaga dalam yang demikian hebat hanya dalam
waktu singkat...? Mungkin pendengaranku salah, karena terpengaruh sikapnya yang
aneh?" gumam Ki Balasara, yang masih belum percaya kalau Balyanang memiliki tenaga
dalam yang sangat tinggi, melebihi kekuatan tenaga dalamnya sendiri.
Tapi Ki Balasara tidak bisa berpikir lebih jauh lagi, karena saat itu kedua orang
rekannya telah bertarung melawan pemuda tampan yang datang bersama Balyanang.
Gerakan pemuda berwajah dingin pucat itu sangat cepat dan kasar. Angin pukulan yang
dilontarkannya terdengar mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah. Tak
mengherankan jika dua orang kawan Ki Balasara, yang merupakan jago-jago muda Desa
Pugar Utara, telah terdesak hanya dalam lima jurus. Ki Balasara menjadi khawatir akan
nasib kedua orang rekannya.
"Balyanang, sadarlah! Mereka berdua adalah kawan-kawanmu bermain sejak kecil!
Apakah kau tega mencelakai mereka...?" tegur Ki Balasara, yang masih berusaha
menyadarkan dan mengembalikan ingatan adik iparnya itu. Sayang usahanya sia-sia.
Buktinya, Balyanang kembali melontarkan cengkeraman, tanpa mempedulikan ucapan
kakak iparnya itu.
Wuttt..!
Serangan yang dilancarkan Balyanang sangat cepat, laksana sambaran kilat yang
membelah langit. Karuan saja hal itu membuat Ki Balasara jadi kelabakan. Cepat-cepat
orang tua itu melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
Tapi, Balyanang tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda tampan berwajah
dingin pucat itu melanjutkan cengkeramannya dengan sebuah lompatan, disertai
tendangan keras mengarah ke punggung lawan yang masih berputaran di udara.
Plak!
"Akh...?!"
Ki Balasara yang tidak mungkin dapat mengelakkan tendangan kilat itu, cepat
mengangkat tangannya menangkis tendangan lawan. Tapi, lelaki tegap itu terpekik
kesakitan ketika merasakan betapa telapak kaki pemuda tampan itu ternyata mengandung
kekuatan hebat, dan menebarkan hawa panas. Ki Balasara hampir tidak mempercayai apa
yang dialaminya itu.
Balyanang tidak memberi peluang pada Ki Balasara untuk memikirkan keanehan-
keanehan itu. Ia terus saja menerjang dengan serangan-serangan yang mematikan dan
sangat berbahaya.
"Yeaaah...!"
Bettt...!
Menyadari kalau adik iparnya itu sudah tidak mungkin lagi dapat disadarkan, Ki
Balasara segera menghunus senjatanya. Ia langsung menjegal serangan Balyanang dengan
sambaran pedangnya yang siap membabat putus lengan lawan.
Trak!
"Hei...?!"
Untuk kesekian kalinya, Ki Balasara kembali dikejutkan oleh kehebatan Balyanang.
Pemuda itu tidak mengelakkan sambaran pedangnya. Bahkan memapakinya dengan
pergelangan tangan. Akibatnya, pedang Ki Balasara patah menjadi dua, ketika bertemu
dengan lengan Balyanang yang seolah-olah telah berubah menjadi sebatang baja bulat.
Bahkan ketika lengan itu berputar menghajar tubuhnya, Ki Balasara tidak mampu
menghindar. Akibatnya, tubuh orang tua itu terjungkal memuntahkan darah segar.
"Yeaaah...!"
Balyanang tidak berhenti sampai di situ. Pemuda itu langsung melesat, mengejar
tubuh lawannya yang terbanting di atas tanah berbatu. Dan....
Crabbb...!
"Wuaaa...!"
Ki Balasara memekik keras, saat jari-jari tangan Balyanang amblas ke dalam
perutnya. Darah segar menyembur keluar ketika jari-jari tangan pemuda itu tercabut
membawa jantung Ki Balasara yang telah direnggutkan dari tempatnya.
"Hm...."
Balyanang menggeram dan langsung mengunyah jantung yang masih berdenyut
hidup itu. Sedangkan tubuh lawannya telah meregang, dan tewas dengan mata mendelik.
Sesaat setelah kematian Ki Balasara, terdengar pekikan kematian berturut-turut,
merobek angkasa. Disusul dengan terbantingnya dua sosok tubuh pengikut Ki Balasara keatas tanah. Keduanya tewas dengan batok kepala remuk akibat tamparan lawan yang
sangat kuat.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang menjadi korban kekejamannya, kedua
pemuda berwajah pucat itu menghela tiga ekor kuda yang segera meninggalkan tempat itu.
Selanjutnya, Balyanang dan kawannya melesat pergi, meninggalkan korban-korban
keganasan mereka.
EMPAT
Senja mulai menapak ketika para penjaga perbatasan Desa Pugar Utara dikejutkan
dengan kemunculan tiga ekor kuda tanpa penunggang. Mereka mengenali kuda-kuda itu
milik Ki Balasara, dan dua orang jagoan desa yang diutus Ki Sakya Wulung.
"Kita harus hentikan binatang-binatang itu! Nampaknya mereka telah menjadi
liar...!" seru lelaki bertubuh pendek kekar yang merupakan kepala jaga dari empat orang
kawannya. Usai berkata demikian, tubuh lelaki itu langsung melejit, menghadang kuda
terdepan, yang ia tahu milik Ki Balasara, tangan kanan kepala desanya.
"Haiiit..!"
Gerakan lelaki pendek kekar itu ternyata cukup gesit. Sekali melompat saja, ia
telah hinggap di atas punggung kuda berbulu hitam itu. Meskipun demikian, binatang itu
ternyata belum menyerah kalah. Dengan gerakan liar, kuda berbulu hitam itu melompat-
lompat hendak melemparkan orang yang menungganginya. Karuan saja lelaki pendek
kekar itu menjadi sibuk dibuatnya.
"Hiyeeehhh...!"
"Aaa...!"
Setelah cukup lama bertahan, akhirnya lelaki itu harus mengakui kekalahannya.
Tubuhnya terlempar dari atas punggung kuda, dan nyaris terbanting ke tanah. Untung
lelaki itu masih sempat menguasai keadaan. Dengan sebuah gerakan yang indah, ia
bersalto dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu.
"Gila...! Setan mana yang membuat kuda jinak ini jadi liar? Ke mana perginya Ki
Balasara? Apakah beliau mendapat kecelakaan...?" gumam lelaki pendek kekar itu, tak
mengerti.
Rupanya, kejadian tadi tidak hanya dialami laki-laki itu. Jeritan-jeritan ngeri
datang susul-menyusul, disertai bunyi gedebuk yang cukup keras. Suara-suara itu berasal
dari empat orang penjaga yang terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata bukan hanya
kuda berbulu hitam mengkilat itu saja yang menjadi liar, tapi dua ekor kuda lainnya pun
mengalami hal serupa. Bahkan, dua dari empat penjaga itu terkena sepakan kaki kuda.
Kekacauan itu bukan saja telah membuat kelima orang keamanan Desa Pugar
Utara menjadi kelabakan. Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintasi perbatasan
dibuat kalang-kabut. Sebab, kuda-kuda liar itu tiba-tiba mengejar dan menyerang mereka.
Empat orang gadis desa yang baru saja pulang dari mencuci pakaian, berlarian
sambil menjerit-jerit ketakutan. Kuda berbulu hitam itu meringkik nyaring, sambil
mengejar keempat gadis desa yang ketakutan setengah mati.
"Aaahhh...! Tolooong...!"
Salah seorang gadis menjerit minta tolong. Ia terjatuh, dan kuda hitam itu telah
mengangkat kedua kaki depannya, siap menghantam tubuh gadis di bawahnya.
Kepala keamanan desa menjadi pucat wajahnya. Lelaki itu hanya terkesima, tanpa
mampu menyelamatkan gadis malang itu. Ia terpisah sekitar tiga tombak dari tempat gadis
itu terjatuh.
Penduduk desa dan para penjaga perbatasan menjerit ngeri ketika kaki depan kuda
hitam itu meluncur turun, siap meremukkan tubuh lemah di bawahnya.
Tapi tiba-tiba secercah sinar putih tampak berkelebat cepat. Dan sesosok tubuh
terbungkus jubah panjang putih, telah berdiri membopong tubuh gadis desa itu.
Dengan sikap tenang, sosok pemuda tampan berjubah putih itu menyerahkan gadis
yang dipondongnya kepada penduduk desa yang masih terkesima. Kemudian ia melesat,
menghadapi kuda hitam yang kehilangan korbannya.
"Hm...."
Pemuda itu bergumam, seraya menatap tajam mata binatang di depannya, yang
mendengus-dengus bagaikan kerbau liar. Namun sebelum kuda hitam itu sempat
bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang dengan kecepatan kilat ke atas punggung
kuda.
Orang-orang yang menyaksikan perbuatan pemuda itu memekik ngeri. Tapi,
mendadak mereka terdiam ketika melihat kuda hitam itu diam saja, tidak berusaha
memberontak. Malah, secara perlahan-lahan, kuda berbulu hitam yang semula liar itu
merendahkan tubuhnya, dan duduk di atas tanah berbatu.
Orang yang pertama kali menyadari apa yang telah terjadi dengan kuda berbulu
hitam itu adalah lelaki pendek kekar yang merupakan kepala keamanan Desa Pugar Utara.
Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, hal itu tidak terlalu aneh baginya, meski memang
mendatangkan kekaguman.
Lelaki itu tahu, pemuda tampan berjubah putih itu pastilah seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Ia menggunakan tenaga saktinya untuk melipatgandakan berat
tubuhnya. Sehingga, kuda liar itu tidak mampu untuk menahan beban di atas
punggungnya. Itulah, sebabnya, mengapa kuda itu mendadak rebah ke tanah.
"Kisanak. Perbuatanmu benar-benar membuat aku kagum dan bersyukur. Kau
telah menyelamatkan seorang warga kami, dan berhasil menjinakkan binatang yang entah
kenapa telah menjadi liar dan buas ini...," ujar lelaki pendek kekar itu, seraya
membungkukkan tubuhnya ke arah pemuda tampan berjubah putih.
"Hm.... Kuda ini sebenarnya adalah kuda yang baik, Paman. Tapi, ada orang yang
telah berbuat jahil dengan menanamkan sebuah jarum pada tubuh bagian belakangnya...,"
sahut pemuda itu, sambil menunjukkan sebatang jarum berwarna merah yang ditemukan
di atas kaki belakang kuda hitam itu.
Rupanya, ketika melihat warna mata kuda yang memerah, pemuda tampan
berjubah putih itu langsung dapat menduga bahwa binatang itu mengalami suatu yang
tidak wajar.
"Hahhh...?! Kalau begitu, kuda-kuda yang lain pun pasti mengalami hal yang
serupa. Maukah kau menolong kami, menjinakkan dua ekor kuda lainnya yang juga pasti
menderita keracunan jarum merah itu?" pinta lelaki pendek kekar itu.
"Tidak perlu khawatir. Paman. Lihatlah! Bukankah kedua ekor kuda itu yang kau
maksudkan...?" ujar pemuda berjubah putih, seraya menunjuk ke belakang lelaki kekar
itu.
"Ahhh...?!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki pendek kekar itu terkesima. Ketika ia menoleh ke
arah yang ditunjukkan pemuda berjubah putih itu, dilihatnya seorang dara jelita
berpakaian serba hijau tengah melangkah menuntun dua ekor kuda yang dimaksud-
kannya tadi.
"Kuda-kuda ini keracunan. Ada orang yang sengaja menanamkan jarum-jarum
beracun pada kaki belakang sebelah atas. Apakah kuda berbulu hitam itu juga mengalami
hal serupa, Kakang...?" tanya dara jelita itu, sambil menunjukkan dua batang jarum
merah yang ditemukannya.
"Ya. Ada orang yang telah sengaja membuat binatang ini menjadi liar dan buas.
Untunglah belum ada korban yang jatuh...," jawab pemuda berjubah putih.
Siapa lagi pasangan muda yang gagah dan cantik itu, kalau bukan Panji dan
Kenanga, yang secara kebetulan ada di sana saat kuda-kuda itu tengah mengamuk.
"Hm.... aku tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan kuda-kuda milik kawan kami
ini. Yang jelas, aku dan kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian
berdua. Maaf, aku harus membawa binatang-binatang itu untuk menghadap kepala desa
kami...," pinta lelaki pendek kekar itu, seraya menatap penuh terima kasih kepada Panji
dan Kenanga.
"Silakan, Paman...," jawab Panji.
Kemudian, diserahkannya ketiga binatang itu, yang segera dibawa pergi lelaki
pendek kekar. Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian kepala keamanan Desa Pugar
Utara yang kian menjauh.
"Ada baiknya kita mencari tempat beristirahat, sambil mengisi perut yang telah
keroncongan ini, Kakang," ujar Kenanga memeluk lengan kekasihnya.
"Marilah! Mudah-mudahan di desa ini kita bisa melewatkan malam dengan
tenang...," sahut Panji yang segera melangkah menyusuri jalan utama Desa Pugar Utara.
Beberapa penduduk yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu,
menganggukkan kepalanya ketika pasangan pendekar muda itu melintas di depan mereka.
***
Panji dan Kenanga baru saja hendak masuk ke dalam kamar ketika pelayan
penginapan memberi tahu bahwa Ki Sakya Wulung ingin bertemu dengan mereka.
"Siapa Ki Sakya Wulung...?" tanya Panji kepada pelayan setengah baya itu.
"Beliau adalah Kepala Desa Pugar Utara ini, Kisanak Mungkin Ki Sakya Wulung
ingin mengucapkan terima kasih. Karena, Paman dengar Kisanak berdua telah
menyelamatkan seorang penduduk desa ini yang hampir terpijak kuda liar. Saat ini, berita
itu sudah tersebar dan masih dibicarakan para penduduk...," jelas pelayan setengah baya
itu.
"Baiklah, Paman. Kami akan segera menemui Ki Sakya Wulung...," ujar Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih mengajak Kenanga untuk menemui Kepala Desa
Pugar Utara itu. Ada rasa tidak enak di hati mereka, karena orang yang berkuasa di desa
itu datang langsung hendak menemui mereka. Padahal, kalau Ki Sakya Wulung mau, ia
bisa mengundang mereka melalui para pembantunya. Sikap itulah yang membuat Panji
dan Kenanga menaruh hormat. Keduanya langsung merasa suka, meskipun belum
bertemu muka dengan penguasa desa itu.
Pelayan kedai dan penginapan itu membawa Panji dan Kenanga ke ruang dalam,
milik majikan dan penginapan dan kedai terbesar di Desa Pugar Utara itu.
"Ah....Selamat bertemu, Orang-orang Muda Yang Gagah! Aku merasa gembira sekali
karena kalian mau menjumpaiku. Maaf, kalau aku telah mengganggu istirahat kalian...,"
sambut seorang lelaki gagah berusia sekitar enam puluh tahun.
Wajah lelaki itu tampak sehat dan masih segar, meskipun nampak letih karena
terlalu banyak berpikir. Dialah Ki Sakya Wulung, Kepala Desa Pugar Utara.
"Ah, tidak mengapa, Ki. Kami merasa mendapat kehormatan atas kunjungan Ki
Sakya Wulung. Bukankah dugaanku tidak keliru...?" sahut Panji.
Pendekar Naga Putih gembira melihat penyambutan orang tua itu yang penuh
keramahan. Pasangan pendekar muda itu segera duduk ketika Ki Sakya Wulung telah
mempersilakannya.
"Maksud kedatanganku menemui kalian adalah untuk mengucapkan terima kasih,
atas perbuatan kalian yang telah menyelamatkan seorang warga desa, dan juga mungkin
para warga lainnya. Sebab, kalau kuda-kuda itu tidak segera dijinakkan, mungkin akan
banyak jatuh korban dan kerusakan lainnya. Untuk itu, aku mengucapkan banyak terima
kasih kepada kalian berdua..," ujar Ki Sakya Wulung dengan wajah berseri dan menatap
kagum pasangan pendekar muda itu. Ia memang telah mendengar laporan dari para
pembantunya, mengenai kelihaian pasangan muda itu dalam menjinakkan kuda-kuda
yang sedang liar dan buas beberapa waktu lalu.
"Ah, harap Ki Sakya Wulung tidak berlebihan memuji kami. Apa yang kami lakukan
itu hanyalah suatu kebetulan. Saat itu kami berdua memang hendak menuju desa ini
untuk melewatkan malam. Lagi pula, apa yang kami perbuat itu memang sudah menjadi
kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, bukan begitu...?" balas Panji.
Pendekar Naga Putih memang merasa tidak enak melihat orang tua itu tampak
seperti tengah menghadapi seorang pahlawan, yang telah berjasa besar terhadap
negerinya.
"Yah, apa yang kau katakan itu memang tidak salah, Panji. Hanya aku masih
belum mengerti, kenapa kuda-kuda itu kembali tanpa penunggangnya? Aku
mengkhawatirkan keselamatan Ki Balasara dan dua orang lainnya. Akulah yang telah
mengutus mereka untuk mendatangi Desa Pugar Selatan...," desah lelaki tua itu sambil
menghela napas panjang.
Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak Keduanya mulai menduga-duga,
tentang kejadian yang mungkin menimpa ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung.
"Desa Pugar Selatan...? Sedangkan nama desa ini adalah Desa Pugar Utara. Apakah
sebelumnya, antara desa selatan dan utara mempunyai suatu hubungan, Ki...?" tanya
Panji yang agak sedikit heran mendengar ada dua buah desa bernama serupa, hanya
dibedakan oleh wilayah tempatnya berada.
"Hm.... Bukan hanya hubungan, Panji. Pada dasarnya, kedua desa itu adalah satu,
yaitu Desa Pugar. Tapi, akhirnya terpecah menjadi dua karena antara aku dan wakilku
yang bernama Ki Sangkila mempunyai perbedaan keyakinan. Ki Sangkila pergi membawa
para pengikutnya menuju selatan, yang akhirnya dikuasainya. Itulah sebabnya, mengapa
desa ini terbagi menjadi dua...," jelas Ki Sakya Wulung, membuat Panji dan Kenanga
mengangguk-angguk mulai mengerti.
"Tapi.... Kalau hanya soal keyakinan, mengapa Ki Sangkila dan Ki Sakya Wulung
harus berpisah? Dan, mengapa Aki tidak berusaha mengambil alih Desa Pugar Selatan,
agar bisa bersatu lagi...?" tanya Kenanga, yang rupanya masih penasaran.
Panji ikut menatap Ki Sakya Wulung, ingin mendengar jawaban lelaki tua yang
masih gagah itu. Sedangkan orang tua itu tampak tersenyum pahit seperti merasa berduka
mengingat hal itu.
"Kalau hal itu merupakan rahasia pribadi antara Aki dengan Ki Sangkila, tidak
perlu Aki menjawabnya. Karena, kami tidak berhak ikut campur dalam masalah pribadi...,"
sergah Panji, ketika melihat wajah orang tua itu berubah murung.
Namun, Ki Sakya Wulung menggelengkan kepalanya, tersenyum getir.
"Tidak mengapa, Panji. Persoalan ini bukan masalah pribadi. Ki Sangkila telah
menempuh jalan sesat dengan melakukan penyembahan terhadap sesuatu yang tidak ada.
Tapi, ia begitu yakin. Sehingga, banyak penduduk yang terpengaruh dan mengikuti
jalannya."
Ki Sakya Wulung menghentikan ucapannya sejenak. Dihelanya napas panjang-
panjang, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
"Menurutnya, penyembahan itu telah mendatangkan bukti dengan melimpahnya
hasil panen mereka. Padahal, menurutku semua keberhasilan itu dikarenakan tanah di
daerah selatan memang jauh lebih subur dibanding di utara. Hhh.... Sayangnya Ki
Sangkila tetap bersikeras, bahwa semua itu adalah berkah dari Dewi Matahari yang
mereka sembah. Yahhh.... Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengharap agar
Ki Sangkila dan para pengikutnya dapat sadar suatu saat nanti...," Ki Sakya Wulung
mengakhiri penjelasannya dengan wajah suram. Jelas, ia merasa berduka mengingat
peristiwa pahit itu.
"Hm.... Seharusnya orang seperti Ki Sangkila itu dilenyapkan saja agar tidak
mendatangkan kesusahan bagi orang lain..!" geram Kenanga, yang merasa jengkel setelah
mendengar keterangan Ki Sakya Wulung.
"Ya. Mengapa Ki Sakya Wulung tidak berusaha untuk melenyapkan atau mengusir
Ki Sangkila dari Desa Pugar? Bukankah kepergian orang tua sesat itu akan membuat
warga desa ini aman dan tenteram...?" Panji ikut mengusulkan.
Pendekar Naga Putih mempunyai pendapat, orang yang sudah tidak ingin berpaling
ke jalan kebaikan, tidak ada jalan lain lagi. Kecuali melenyapkan orang itu, agar tidak
menghasut dan mengajak orang lain mengikuti kesesatannya.
"Aku telah beberapa kali mencobanya. Hasilnya, penduduk Desa Pugar Selatan dan
Utaralah yang menjadi korban. Akhirnya aku menghentikan usaha itu, dan membiarkan
segala perbuatan Ki Sangkila. Tapi, kejadian tadi membuat aku berpikir lain. Tiga orang
utusanku, kutugaskan untuk menanyakan sepuluh orang wargaku yang terhasut mereka,
tidak kembali. Hanya kuda-kuda mereka sajalah yang kembali. Itu pun dalam keadaan
yang berbahaya, karena telah diracuni...! Karena itu, aku berniat mendatangi Ki Sangkila,
untuk menanyakan perihal ketiga orang utusanku itu...," geram Ki Sakya Wulung dengan
wajah berubah kelam, dan tinju terkepal erat. Rupanya, ia mencurigai Ki Sangkila yang
telah mencelakakan ketiga orang utusannya.
"Hm.... Apakah Ki Sakya Wulung sudah merasa pasti, bahwa ketiga orang utusan
itu dicelakakan Ki Sangkila...?" tanya Panji seraya menatap tajam wajah orang tua itu.
Sepertinya, Pendekar Naga Putih belum yakin sepenuhnya bahwa ketiga orang
utusan Ki Sakya Wulung telah dicelakakan Ki Sangkila.
"Bukti itu akan kami selidiki lebih dulu. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang
jelas, barulah aku akan bergerak dengan seluruh wargaku, untuk menggempur Ki Sangkila
dan para pengikutnya!" tegas Ki Sakya Wulung.
Perbuatan Ki Sangkila kali ini dianggap Ki Sakya Wulung telah melewati batas.
Apabila dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin, kelakuan Ki Sangkila akan
semakin menggila. Hal itu sama sekali tidak diinginkan Ki Sakya Wulung.
"Kalau Ki Sakya Wulung tidak keberatan, kami berdua menawarkan diri untuk
menyelidikinya. Kami merasa tertarik dengan keyakinan Ki Sangkila yang menyembah
Dewi Matahari itu...," Panji menawarkan bantuan kepada Ki Sakya Wulung. Selain itu,
Pendekar Naga Putih ingin mencari tahu perihal orang-orang aneh yang pernah menyerang
dirinya dan Kenanga, ketika hendak menuju Desa Pugar Utara.
"Ah.... Tentu saja kami akan berterima kasih sekali. Tapi, rasanya aku tidak ingin
menyusahkan karian berdua. Apalagi kalian telah kuanggap sebagai tamu terhormatku...,"
jawab Ki Sakya Wulung.
Kepala, Desa Pugar Utara itu merasa tidak enak kalau harus melibatkan pasangan
pendekar itu. Namun, Panji dan Kenanga menegaskan bahwa mereka ikhlas melakukan
penyelidikan itu, demi kepentingan penduduk Desa Pugar Utara dan Selatan. Akhirnya, Ki
Sakya Wulung mengalah. Dan, menerima tawaran Panji.
"Kalau begitu, biarlah kami berangkat besok pagi-pagi sekali, sebelum fajar
datang...," ujar Panji.
Ki Sakya Wulung hanya menganggukkan kepala, dan menyerahkan keputusan di
tangan Panji. Lelaki tua itu bangkit, ketika Panji dan Kenanga meminta diri untuk
beristirahat.
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua...,"
ucap Ki Sakya Wulung, yang dibalas senyuman oleh pasangan pendekar muda itu.
LIMA
Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, menyambut fajar yang segera datang.
Hembusan angin masih terasa dingin menyentuh kulit saat dua sosok tubuh bergerak
ringan melintasi batas Desa Pugar Utara. Sosok bayangan putih dan hijau itu adalah Panji
dan Kenanga. Sesuai dengan janji mereka kepada Ki Sakya Wulung, maka pagi itu
keduanya bergerak meninggalkan Desa Pugar Utara untuk mengadakan penyelidikan.
"Apakah kita akan langsung menuju Desa Pugar Selatan, untuk menemui Ki
Sangkila, Kakang,..?" tanya Kenanga tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Semula aku masih penasaran mencari orang-orang yang telah menyerang
kita di Hutan Kerambah, beberapa waktu yang lalu. Tapi, kalau kau mempunyai usul yang
lain, katakanlah. Mungkin aku akan mempertimbangkannya...," jawab Panji.
"Aku pun berpikir begitu, Kakang. Siapa tahu Ki Balasara dan kedua rekannya
dicelakai orang-orang berwajah pucat yang aneh itu. Sebab, Hutan Kerambah tidak jauh
letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan. Jadi, bisa saja ketiga orang utusan Ki Sakya
Wulung itu dicelakai dalam perjalanan pulang," ujar Kenanga mengemukakan
pendapatnya.
"Ya. Mungkin saja orang-orang berwajah pucat itu sengaja hendak memperuncing
permusuhan antara Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila. Kalau benar begitu, kita harus
mencari orang-orang aneh itu lebih dulu. Sebab, bukan tidak mungkin merekalah yang
menjadi kunci semua kejadian ini...," ujar Panji.
"Tapi..., ke mana kita harus mencari orang-orang aneh itu, Kakang? Sedangkan
seluruh pelosok Hutan Kerambah sudah kita telusuri. Kita sama sekali tidak mempunyai
petunjuk. Sayang, aku lupa menanyakan perihal orang-orang aneh itu kepada Ki Sakya
Wulung. Siapa tahu orang tua itu bisa memberikan sedikit petunjuk...," sesal Kenanga.
Letak Hutan Kerambah yang tidak terlalu jauh dari Desa Pugar Selatan dan Utara,
memungkinkan Ki Sakya Wulung mendengar, atau bertemu dengan orang-orang aneh itu.
Sayang, Panji dan Kenanga lupa menceritakan peristiwa itu pada kepala desa itu.
Sehingga, mereka harus melakukan penyelidikan tanpa petunjuk sedikit pun.
"Yahhh.... Itu karena kita tidak melihat adanya hubungan antara Ki Sakya Wulung
dengan orang-orang aneh itu, baru sekarang kita menduganya. Tapi.... Sebaiknya kita
kembali menjelajahi Hutan Kerambah. Siapa tahu, ada tempat-tempat yang terlewat, saat
kita mencari orang-orang aneh itu tempo hari...," usul Panji.
"Kakang...," panggil Kenanga lirih, saat mereka memasuki wilayah hutan kecil, yang
merupakan pemisah antara Desa Pugar Selatan dan Utara.
"Ya...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera menoleh ketika mendengar ucapan kekasihnya yang
menggantung tanpa penyelesaian.
"Menurutmu, apakah Dewi Matahari itu benar-benar ada? Mengapa yang disembah
Ki Sangkila justru Dewi Matahari, bukan Dewa Matahari? Bukankah matahari disebut
sebagai raja siang, bukan dewi siang? Kira-kira, apa maksud dari penyembahan Ki
Sangkila itu, Kakang...?" tanya Kenanga.
"Hm....! Mungkin Ki Sangkila ingin melenyapkan kesan ganas dengan menyebut
Dewi Matahari. Tengok saja Dewi Padi dan Dewi Bulan. Bukankah itu terkesan lembut dan
tidak garang, dibandingkan dengan Raja Siang atau Dewa Matahari. Mengenai ada atau
tidaknya, aku belum bisa memastikan. Yang jelas, segala sesuatu tercipta karena
keyakinan yang tinggi."
Panji menghentikan ucapannya sejenak. Keningnya terlihat berkemyit dalam,
menandakan kalau otaknya tengah berpikir keras.
"Mungkin saja apa yang semula disembah Ki Sangkila, tidak ada dalam wujud
nyata di bumi. Tapi, karena Ki Sangkila demikian yakin, maka daya keyakinannya yang
kuat itu menimbulkan sosok yang dipujanya. Rasanya tidak mungkin ia akan melanjutkan
penyembahannya, tanpa bukti yang masuk akal. Tapi, seperti apa yang dikatakan Ki Sakya
Wulung, bisa saja Ki Sangkila memang telah tersesat, dan melupakan akal sehatnya...,"
papar Panji, sekadar, memberikan gambaran. Karena, ia sendiri belum bisa memastikan,
ada atau tidak sosok yang disebut sebagai Dewi Matahari itu.
"Jadi.... Menurut Kakang, sosok Dewi Matahari tercipta dari pikiran orang-orang
seperti Ki Sangkila...?" desak Kenanga, yang masih penasaran, ingin memperoleh jawaban
sejelas-jelasnya.
"Ya.... Seperti yang kukatakan tadi, bisa saja sosok itu benar-benar muncul.
Sehingga, keyakinan Ki Sangkila semakin bertambah kuat. Malah ia berani mengambil
keputusan gila, menyerahkan korban pada waktu-waktu tertentu, seperti yang diceritakan
Ki Sakya Wulung tadi malam. Menurut beliau, korban-korban yang diserahkan Ki Sangkila
kepada sesembahannya tidak pernah ada yang kembali. Padahal, Ki Sangkila
menyerahkan korbannya dalam keadaan hidup, dan Dewi Matahari pun tidak pernah
membunuh korban itu...," jelas Panji.
Pendekar Naga Putih cukup banyak mendengar cerita Ki Sakya Wulung, sebelum
mereka berangkat. Sedangkan Kenanga tidak sempat mendengar, karena sedang sibuk
mempersiapkan bekalnya.
Pembicaraan mereka terhenti saat berbelok, mengambil jalan ke sebelah barat
hutan kecil itu. Tujuan mereka adalah Hutan Kerambah, yang mereka curigai sebagai
markas orang-orang aneh berwajah pucat. Menurut orang-orang itu, daerah itu adalah
wilayah kekuasaan mereka. Ini yang membuat Panji memutuskan untuk menjelajahi hutan
itu sekali lagi. Menurutnya, mungkin ada sudut-sudut yang terlewat pada waktu itu.
Keremangan fajar mulai terhapus saat cahaya merah menghiasi kaki langit sebelah
timur. Pasangan pendekar muda itu terus bergerak menerobos semak belukar, masuk
wilayah Hutan Kerambah semakin dalam. Keduanya tidak berlari. Mereka melangkah hati-
hati, dan meredam suara jejakan kaki, agar tidak menimbulkan suara mencurigakan.
Sebab, sosok aneh berwajah pucat dengan sinar mata dingin itu, dapat muncul sembarang
waktu. Apalagi, wilayah Hutan Kerambah, adalah daerah kekuasaan mereka. Tentu
keadaannya lebih berbahaya.
"Kakang, lihat...!" seru Kenanga perlahan, sambil menudingkan jari telunjuknya ke
depan.
Sebenarnya dara jelita itu tidak perlu memberi tahu kekasihnya, karena Panji telah
melihatnya. Pendekar Naga Putih mengangguk, memandang sosok-sosok tubuh yang
tergeletak, dalam jarak dua tombak dari tempat mereka berpijak.
"Hm.... Mereka sudah tewas...," desis Panji sambil melangkah perlahan dengan
sikap waspada.
Bisa jadi ketiga sosok mayat itu hanya jebakan. Itulah sebabnya, mengapa Panji
tidak terburu-buru mendekati mayat-mayat di depannya. Ia mengajak Kenanga mengambil
jalan berputar, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
"Apakah mayat-mayat itu merupakan jebakan, Kakang...?" tanya Kenanga, tanpa
melepaskan pandangan matanya dari tiga sosok mayat yang menebarkan bau tak sedap
itu.
"Entahlah. Yang jelas, mayat-mayat itu belum lama terbunuh. Aku bisa
menduganya dari bau yang mulai tersebar. Paling tidak, baru kemarin ketiga orang itu
tewas...," sahut Panji, sambil mendekati ketiga sosok mayat yang diduganya sebagal
jebakan itu.
"Siapakah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga setelah memperhatikan ketiga sosok
mayat itu. Dara jelita itu menutup hidungnya dengan selendang, yang selama ini membelit
pinggangnya.
"Siapa mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, mereka adalah murid-murid Perguruan
Gunung Galung. Itu mudah dikenali dari pakaian, dan sulaman di dada kiri mereka...,"
sahut Panji, setelah memeriksa dari jarak dekat.
Samar-samar, terdengar suara langkah mendekati tempat mereka berdiri. Menilik
dari suara yang ditimbulkan, Panji dan Kenanga dapat menduga kalau orang yang baru
datang itu pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Hm.... Pembunuh biadab...! Kalian harus menebus nyawa murid-murid Perguruan
Gunung Galung...!" terdengar suara bentakan nyaring, diiringi serangan mematikan.
Panji dan Kenanga cepat melompat, menghindari serangan rak terduga itu. Mereka
tak menyangka akan diserang secara mendadak. Beruntung, keduanya dapat
menghindarinya.
"Kisanak, tunggu dulu! Jangan salah paham...!"
Panji berusaha menjelaskan kesalahpahaman itu. Setelah mendengar ucapan
penyerang gelap yang menuduh mereka berdua melakukan pembunuhan terhadap murid-
murid Perguruan Gunung Galung.
Tapi, seruan Panji sia-sia belaka. Sosok berpakaian serba hitam yang memiliki
gerakan gesit dan mantap itu kembali melayang dan menerjang. Kenanga yang merasa
jengkel, segera saja melesat mendahului kekasihnya untuk menghajar orang liar itu.
Mendadak, beberapa sosok bayangan berlompatan dari balik semak-semak, langsung
memapaki serangan Kenanga. Sehingga, sebentar saja dara jelita itu dikeroyok delapan
orang lelaki gagah yang mengenakan seragam berwarna hitam pekat.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia liar yang tidak mengenal adat...!" bentak
Kenanga marah.
Gadis itu segera melompat mundur. Melihat cara mereka bertempur, Kenanga
sadar, kali ini ia menghadapi sebuah ilmu yang dimainkan oleh delapan orang sekaligus.
Ilmu seperti itu jelas sangat berbahaya.
Delapan orang lelaki berpakaian serba hitam itu tidak memberikan kesempatan
kepada Kenanga. Mereka kembali bergerak secara teratur, menyerbu dara jelita itu.
"Heaaat...!"
Empat bilah pedang berkelebatan, dan bergulung-gulung membentuk kilatan sinar
putih yang menyilaukan mata. Kemudian secara bersamaan keempat batang pedang itu
menusuk ke seluruh tubuh dara jelita itu, dari aras ke bawah.
Bagi lawan yang ilmu silatnya masih tanggung, akan sulit sekali meloloskan diri.
Lain halnya dengan Kenanga. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis itu menarik kaki
kanannya ke belakang, membentuk kuda-kuda silang dengan posisi tubuh doyong ke
belakang. Pedang Sinar Rembulan yang telah tergenggam di tangannya, berputaran
menimbulkan suara mengaung tajam. Kenanga ingin mematahkan serangan lawan dengan
kekuatan tenaga saktinya.
Whuuut..!"
"Hehhh...?!"
Kenanga berseru heran melihat keempat batang pedang itu tiba-tiba tertarik pulang
secara tak terduga. Sehingga, sambaran pedangnya mengenai angin kosong. Belum lagi ia
dapat menguasai keheranannya, terdengar teriakan susul-menyusul. Keempat
penyerangnya bergulingan ke samping, terpecah dua. Dari bagian tengah, tempat keempat
penyerangnya berpisah, muncul empat penyerang lain, yang rupanya memang telah
menunggu peluang itu.
"Heaaat..!"
Whuttt... Whuttt..!
"Hehhh...?!"
Kembali Kenanga terkejut bukan kepalang. Cepat ia melempar tubuhnya ke
belakang, menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Tapi untuk kesekian kalinya, dara jelita
itu kembali memekik kaget. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, empat orang
pengeroyok yang tadi bergulingan menyebar, kembali menyerang.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga.
Empat batang pedang datang menyambut tubuhnya. Terpaksa gadis itu
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melenting jauh ke udara.
Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, melindungi tubuhnya dari serangan
gelap lawan.
Jleg!
Setelah berputar beberapa kali, tubuh Kenanga kembali mendarat ringan di atas
tanah. Tapi, alangkah jengkelnya hati gadis itu ketika melihat dirinya kembali berada
dalam kepungan kedelapan orang lawannya.
"Setan...!" umpat dara jelita itu.
Kenanga semakin bertambah marah karena dipermainkan. Sepasang mata
bulatnya berkilat, menyiratkan nafsu membunuh!
"Kenanga. Jangan turuti emosimu. Hadapilah mereka dengan hati yang tenang, dan
kepala dingin. Mereka menggunakan ilmu gabungan yang dimainkan secara bersama-sama
dalam bentuk barisan. Untuk itu, kau harus lebih memperhitungkan tindakanmu,
ketimbang mengumbar nafsu amarah yang hanya membawa celaka...," terdengar suara
bisikan yang amat jelas di telinga Kenanga.
"Ah, terima kasih, Kakang...," kata gadis jelita itu sambil melirik ke arah Pendekar
Naga Putih yang tengah bertarung melawan seorang lelaki jangkung berpakaian serba
hitam.
Kenanga tersenyum dan mulai mengatur langkah setelah mendengar petunjuk dari
kekasihnya. Ditekannya semua kejengkelan yang bisa membuat dirinya celaka. Lalu,
dengan tenang, disambutnya serangan lawan. Pertempuran kembali berlanjut
***
"Haaat..!"
Lelaki jangkung kurus itu memekik nyaring. Golok perak di tangannya berkelebat
cepat menyilaukan mata. Serangan sosok jangkung itu sungguh hebat sekali. Sehingga,
Panji tidak bisa memandang remeh serangan lawan.
Whuuut...!
Plak! Plak!
Cepatnya sambaran golok perak itu, membuat Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menangkis serangan lawan. Akibatnya tubuh
jangkung itu bergetar mundur, sejauh enam langkah ke belakang.
"Heiii...?!" pekik lelaki jangkung itu terkejut ketika merasakan akibat tangkisan
telapak tangan lawan.
Sosok jangkung yang ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun
lebih itu, menatap kagum sosok bertapis kabut bersinar putih keperakan di depannya.
Bukan hanya itu saja yang membuatnya terkejut. Getaran hawa dingin menusuk tulang
yang meresap melalui pergelangan tangannya, membuat lelaki itu terpaku sejenak.
Kelihatan ia ragu menatap sosok Panji.
"Kau.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya sosok jangkung
itu. Ia berdiri tegak, masih dalam keadaan siap tempur. Hanya saja wajahnya agak tegang,
menanti jawaban yang keluar dari mulut Panji.
"Benar. Orang-orang persilatan memberikan julukan itu kepadaku. Dan rasanya
aku bisa menebak, siapa orang yang menyerangku tanpa sebab yang jelas. Bukankah kau
yang berjuluk Raja Golok Perak, Ki...?" ujar Panji, yang telah dapat menebak siapa
lawannya.
"Hm... Benar dugaanmu. Aku adalah Raja Golok Perak. Dan, ketiga sosok mayat itu
adalah murid-murid dan wakilku! Mengapa kau sampai tega melenyapkan mereka,
Pendekar Naga Putih? Apa hubunganmu dengan Dewi Matahari...?" tanya orang tua yang
ternyata Ketua Perguruan Gunung Galung.
Tampaknya Raja Golok Perak masih tetap menuduh Panji sebagai pembunuh ketiga
sosok mayat yang tidak lain dari Jumirta dan dua orang rekannya. Mereka itu adalah
utusan Raja Golok Perak, untuk menyelidiki para penyembah Dewi Matahari.
"Jalangsa, hentikan pertempuran! Bawa adik-adikmu kemari...!" terdengar perintah
Raja Golok Perak ke arah delapan orang berseragam hitam yang sedang mengeroyok
Kenanga.
Tanpa membantah, kedelapan orang lelaki gagah itu berlompatan menuju tempat
Raja Golok Perak berada.
"Guru.... Mengapa berhenti? Kita harus segera menangkap mereka, hidup atau
mati...!"
Lelaki gagah berkumis tipis yang dipanggil Jalangsa, rupanya masih penasaran.
Sepertinya ia merasa akan dapat menundukkan dara jelita berpakaian hijau yang menjadi
lawannya.
"Hm.... Enak saja kau ingin menangkapku hidup atau mati! Ketahuilah, bahwa
sebelum kau dapat menangkapku, kepalamu akan menggelinding lepas dari leher...!"
bentak Kenanga jengkel, mendengar sesumbar lelaki gagah itu.
"Sabarlah, Kenanga...," gumam Panji, sambil membelai bahu kekasihnya, yang
berdiri di sebelahnya.
Dara jelita itu menoleh sejenak menatap Panji. Dan pemuda itu hanya tersenyum
melihat wajah kekasihnya yang cemberut.
"Hm.... Jalangsa. Coba kau perhatikan baik-baik, siapa pemuda tampan yang
menjadi lawanku barusan...?" tanya Raja Golok Perak, seraya menggerakkan kepalanya ke
arah Pendekar Naga Putih. Orang tua itu ingin melihat, apakah Jalangsa bisa mengenali,
siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
"Apakah.., apakah Guru telah dapat dikalahkannya...?" tanya Jalangsa cemas,
mendengar pertanyaan gurunya.
"Bukan begitu maksudku, Jalangsa. Tapi, kau perhatikan pemuda itu baik-baik.
Bisakah kau menduga, siapa pemuda berjubah putih itu...?"
Raja Golok Perak kembali mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas. Nada
suaranya terdengar tidak sabar, melihat muridnya terlalu bertele-tele menimpali
ucapannya.
"Hm.... Apakah yang Guru maksudkan, ia adalah pemuda yang berjuluk Pendekar
Naga Putih? Benarkah pemuda itu Pendekar Naga Putih, yang telah membuat geger dunia
persilatan? Tapi..., mengapa ia membunuh Ki Jumirta dan saudara-saudara kita...?" tanya
Jalangsa.
Jalangsa setengah tidak percaya, bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar
Naga Putih. Sebab, pendekar yang kabarnya sangat sakti itu adalah orang gagah yang
berbudi luhur, dan bukan seorang pembunuh seperti pemuda yang saat itu tengah
dihadapinya.
"Bagaimana pendapatmu, kalau ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih? Apakah
kau bisa mempercayainya...?" tanya Raja Golok Perak lagi.
"Tapi.... Apakah ia memiliki 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang sedingin salju itu?
Itu satu-satunya yang kudengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih, Guru. Bahkan,
tubuhnya dapat mengeluarkan cahaya putih keperakan. Itulah yang banyak kudengar di
kalangan persilatan...," jelas Jalangsa.
"Semua itu telah diperlihatkannya ketika bertarung denganku, Jalangsa. Yang tidak
bisa kumengerti, mengapa ia sampai tega membunuh orang-orang kita?" ujar Raja Golok
Perak, menghela napas penuh sesal.
"Dengarlah, Raja Golok Perak. Secara kebetulan, aku tiba di tempat ini dan melihat
ketiga sosok mayat murid-muridmu. Kedatanganku kemari, adalah untuk mencari sebuah
partai yang beranggotakan pemuda-pemuda berwajah pucat, namun memiliki kesaktian
yang tinggi. Itulah alasannya, mengapa aku sepagi ini telah berada di wilayah Hutan
Kerambah...," jelas Panji dengan nada yang tetap tenang.
Pendekar Naga Putih tidak ingin memperuncing kesalahpahaman itu dengan emosi
yang dapat merugikan kedua belah pihak. Apalagi, Perguruan Gunung Galung adalah
sebuah perguruan beraliran putih. Tentu saja, Panji tidak ingin bentrok dengan orang
segolongan, hanya karena salah paham.
"Sebuah partai di dalam wilayah Hutan Kerambah? Ah, kau mengigau, Pendekar
Naga Putih. Selama hidup, aku belum pernah mendengar adanya partai persilatan yang
bermarkas di dalam hutan ini. Kau hanya mengada-ada, untuk membela diri. Katakanlah,
apa kesalahan murid-muridku sampai kau tega membunuh mereka. Kalau tidak, aku akan
mengadu nyawa denganmu...!"
Raja Golok Perak menganggap ucapan Panji sebagai alasan yang dicari-cari. Sebab,
ia memang belum pernah mendengar atau bertemu dengan orang-orang dari partai yang
disebutkan Pendekar Naga Putih.
"Aku tidak bohong, Ki. Beberapa hari yang lalu, kami dihadang oleh enam orang
pemuda berwajah pucat, dan bersuara dingin seperti datang dari liang lahat. Kami berhasil
memukul mundur mereka. Dan mereka melarikan diri, setelah salah seorang dari mereka
tewas di tangan kami...," jelas Panji lagi, berusaha meyakinkan Raja Golok Perak akan
kebenaran ceritanya.
"Bohong!" Jalangsa yang marah karena kematian ketiga orang saudara
seperguruannya, membentak keras. "Aku tidak pernah bertemu atau dihadang oleh orang-
orang seperti yang kau sebutkan itu, Pendekar Naga Putih! Jelas, kau mencari-cari alasan
untuk menghindar dari kami!"
"Kurang ajar! Siapa takut kepadamu. Tikus Hitam! Sembarangan saja kau
menuduh orang. Mulutmu memang harus dibungkam, biar tidak sembarangan bicara...!"
Kenanga yang memang masih menyimpan rasa penasaran, tidak sudi kekasihnya
dibentak-bentak seperti itu. Begitu ucapannya selesai, tubuh dara jelita itu kembali
melayang dengan tamparan yang mendatangkan angin menderu.
"Kenanga, tahan...!"
Panji mencoba menahan gerakan Kenanga. Sayang, gerakan pemuda itu dianggap
hendak membantu oleh Raja Golok Perak. Sehingga, lelaki jangkung itu membentak
nyaring, dan kembali menerjang Panji dengan kelebaran golok besarnya.
ENAM
"Heaaat..!"
Serangan yang dilakukan Raja Golok Perak luar biasa sekali. Memang pantas kalau
lelaki tua bertubuh jangkung itu mendapat julukan Raja Golok. Permainan ilmu goloknya
benar-benar cepat, dan mengandung tipuan-tipuan yang tak terduga. Sehingga Panji yang
tidak bertarung sungguh-sungguh itu, sempat dibuat kerepotan oleh kelebaran golok perak
lawan. Hanya berkat kelincahannya sajalah, pemuda tampan berjubah putih itu masih
bisa menghindari sambaran golok lawan selama hampir sepuluh jurus.
Bettt...!
Untuk kesekian kalinya, sambaran sinar perak kembali berkelebat mengancam
perut Pendekar Naga Putih. Kali ini, Panji hanya memiringkan tubuhnya dengan kuda-
kuda agak rendah. Dari sebelah bawah, tangan kanannya bergerak menyambar dengan
bacokan sisi telapak tangan tangan ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang
senjata. Sedangkan tangan kirinya telah siap dengan serangan berikutnya.
Raja Golok Perak pun sadar akan kehebatan lawannya. Maka, ketika melihat
sambaran tangan kiri lawan yang ingin melumpuhkan serangannya, lelaki jangkung itu
memutar senjatanya. Sehingga, telapak tangan pemuda itulah yang berbalik terancam
mata golok. Tapi, Panji memiliki perhitungan yang cerdik. Cepat tubuhnya berkelit, sambil
menarik pulang tangan kanannya. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kirinya terulur
menggedor dada lawan!
Desss...!
"Hugkhhh...!"
Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak tangan yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' mendarat telak di dada kiri lawan. Seketika itu juga, tubuh Raja Golok Perak
terdorong mundur. Kuda-kudanya tergempur, membuat tokoh sakti berperawakan
jangkung itu nyaris terbanting ke tanah. Untunglah ia masih sempat bergerak sigap,
dengan memutar kuda-kudanya. Meskipun demikian, terlihat lelehan darah di sudut
bibirnya. Bahkan terlihat tubuhnya agak gemetar, menahan hawa dingin yang merasuk
melalui pukulan Pendekar Naga Putih.
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke arah pertarungan
Kenanga. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, pemuda itu merobohkan tiga orang lawan
yang mengeroyok kekasihnya.
"Kenanga, ayo kita tinggalkan tempat ini...!" ajak Panji, yang langsung saja
menangkap lengan kiri kekasihnya, dan melesat pergi meninggalkan arena pertempuran.
"Kejar...! Jangan biarkan pembunuh itu meloloskan diri...!"
Jalangsa berteriak, memerintahkan saudara-saudara seperguruannya untuk
melakukan pengejaran terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Mereka melesat
dengan mengerahkan seluruh kekuatan ilmu larinya.
Raja Golok Perak sendiri telah melesat melakukan pengejaran terhadap pasangan
pendekar muda itu. Ilmu lari cepatnya yang memang telah mencapai tingkat tinggi,
membuat tubuhnya berkelebat cepat mendahului murid-muridnya. Sayangnya, luka akibat
hantaman telapak tangan Panji, membuat gerakan orang tua itu agak terganggu. Rasa
sesak dalam rongga dadanya, membuat tokoh sakti itu terpaksa menghentikan usahanya
untuk mengejar Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Huagkhhh...!"
Segumpal darah kental, keluar dari mulut Raja Golok Perak. Hal itu terjadi karena
ia mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lawannya. Kalau saja lelaki tua itu mau
bersabar, dan mengobati lukanya terlebih dahulu, pasti tidak akan bertambah parah.
Sayang tokoh tua itu sangat keras kepala. Sehingga, luka dalam yang semula ringan itu
menjadi parah.
"Guru...!"
Jalangsa yang melihat tubuh gurunya terhuyung limbung, segera memapahnya.
Kecemasan rampak membayang jelas di wajah lelaki gagah berkumis tipis itu.
"Guru, kau..., terluka...?" desis Jalangsa. Kemudian direbahkannya tubuh Raja
Golok Perak di bawah sebatang pohon rindang. Sementara, tujuh orang orang muridnya
yang lain, duduk bersimpuh di dekat tubuh orang tua itu.
"Hm.... Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya memerlukan sedikit istirahat saja.
Setelah itu, kesehatanku akan pulih kembali. Hhh.... Sayang, pemuda itu lolos dari tangan
kita...," sesal Raja Golok Perak menghela napas panjang. Kemudian, ia mengisyaratkan
agar murid-muridnya agak menjauh.
Jalangsa mengajak saudara-saudara seperguruannya untuk menjauhi tempat
gurunya, dan membiarkan orang tua itu mengobati luka dalamnya dengan bersemadi.
Mereka duduk bersimpuh, tidak jauh dari tempat guru mereka bersemadi, untuk berjaga-
jaga.
"Keparat! Biar sampai ke ujung langit pun, kelak akan kucari pendekar keji itu..!"
geram Jalangsa yang semakin mendendam terhadap Pendekar Naga Putih.
"Benar. Kita harus membuat perhitungan dengan pendekar sombong itu. Rasanya
hatiku tidak akan pernah bisa tenang, sebelum pendekar keparat itu lenyap dari muka
bumi...!" timpal seorang rekan Jalangsa yang bertubuh kekar berotot. Sepasang tinjunya
terkepal erat seolah-olah ingin meremas hancur tubuh Pendekar Naga Putih.
"He he he...! Bagus..., bagus...! Pendekar Naga Putih memang harus dilenyapkan,
agar dunia persilatan menjadi tenang. Aku setuju sekali dengan rencana kalian...!"
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat delapan orang murid Raja Golok
Perak saling menolehkan kepala dengan sikap waspada. Kening mereka berkerut melihat
seorang lelaki tua bertubuh gagah, melangkah sambil memperdengarkan suara kekehnya
yang parau.
"Siapa kau...? Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih...?" bentak Jalangsa.
Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tipis itu melangkah maju diikuti tiga
orang saudara seperguruannya. Sedangkan empat orang lainnya bergerak melindungi guru
mereka yang saat itu masih bersemadi.
"Eh! Bukankah orang tua itu Raja Golok Perak? Apa yang telah terjadi dengannya?
Apakah beliau telah terluka oleh Pendekar Naga Putih yang sombong itu...?" tanya lelaki
gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu.
Lelaki itu tidak mempedulikan pertanyaan Jalangsa. Bahkan dengan enaknya,
kakinya melangkah menghampiri Raja Golok Perak.
"Berhenti..! Kalau tidak, jangan salahkan kami jika terpaksa harus berbuat kasar
terhadapmu...!" cegah Jalangsa yang sudah menghunus senjatanya.
Perbuatan lelaki gagah berkumis tipis itu diikuti oleh tiga orang saudara
seperguruannya. Mereka bersiap dan mengepung lelaki tua yang tidak mereka kenal itu.
"Bodoh! Apakah kalian tidak bisa mengenaliku? Aku adalah sahabat guru kalian.
Sekarang sahabatku itu terluka dalam, dan aku harus membantu untuk mengobatinya...."
Lelaki tua itu tidak mau kalah gertak. Bahkan ia kelihatan sangat marah pada
Jalangsa dan kawan-kawannya yang menunjukkan sikap permusuhan.
"Maaf, kami belum bisa mempercayaimu. Kalau benar kau adalah sahabat guru
kami. Tunggulah hingga beliau selesai bersemadi."
Jalangsa tetap berusaha mencegah orang itu untuk mendekati gurunya. Meskipun
demikian, terlihat sinar kekaguman tersirat pada sepasang matanya. Sebab, mungkin saja
orang tua itu benar-benar sahabat gurunya.
"Murid tolol! Dungu! Apakah kau tidak melihat kalau luka dalam gurumu cukup
parah! Kalau tidak segera dibantu, ia bisa celaka dan mungkin akan cacat seumur hidup!
Kau akan menyesal apabila hal itu terjadi, Murid Goblok!"
Orang tua itu marah bukan main melihat Jalangsa masih saja tidak
memperbolehkannya mendekati Raja Golok Perak. Wajah Jalangsa dan kawan-kawannya
berubah pucat. Terbayang kecemasan di wajah mereka, setelah mendengar ucapan lelaki
tua itu.
"Hm.... Baiklah. Aku tidak akan ikut campur, dan bersedia menunggu sampai
gurumu selesai bersemadi. Tapi, kalau sampai Raja Golok Perak menderita cacat, aku
tidak bertanggung jawab...," lanjut orang tua itu lagi, yang segera menghempaskan
pantatnya di atas sebuah batang pohon kering yang tumbang.
Jalangsa semakin gelisah ketika mendengar ucapan orang tua itu. Sejenak ia
menoleh ke arah gurunya yang masih tenggelam dalam semadi. Wajah Raja Golok Perak
nampak pucat, membuat hari Jalangsa dan kawan-kawannya jadi semakin gelisah. Mereka
memang tidak tahu apa-apa dalam hal ilmu pengobatan. Selain itu, mereka pun tidak
mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih dapat melukai gurunya. Pikiran-pikiran itu
membuat murid-murid Raja Golok Perak semakin resah.
"Hm...."
Melihat keresahan yang semakin mencengkeram hati delapan orang murid Raja
Golok Perak, orang tua gagah itu bergumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah
ke arah Raja Golok Perak. Kali ini, baik Jalangsa maupun ketujuh orang lelaki gagah
lainnya, tidak menunjukkan gerakan. Sehingga, orang tua itu melanjutkan langkahnya.
Senyum tipis membayang di bibirnya, menyaksikan betapa kedelapan orang murid Raja
Golok Perak hanya mengikuti langkahnya dengan pandangan mata saja.
Jalangsa dan kawan-kawannya saling berpandangan sekejap. Kemudian, satu-
persatu mereka bergerak mengikuti langkah orang tua yang tinggal beberapa langkah lagi
dari Raja Golok Perak Bahkan, empat orang yang semula mengelilingi tubuh gurunya, agak
merenggang, seperu hendak memberikan kesempatan kepada orang tua itu untuk
memeriksa dan membantu penyembuhan gurunya.
Orang tua bermata tajam, yang wajahnya terhias kumis dan jenggot yang telah
berwarna dua itu menghentikan langkahnya, tepat di depan tubuh Raja Golok Perak
Kemudian, tanpa disangka-sangka, lengan kanan orang tua itu terangkat dan langsung
meluncur turun, mengancam batok kepala Raja Golok Perak!
"Ahhh...?!"
Jalangsa dan saudara-saudara seperguruannya memekik kaget melihat perbuatan
orang tua itu.
Tapi, karena kejadian itu berlangsung tiba-tiba dan tedampau dekat, mereka tidak
bisa mencegahnya. Dan hanya bisa memandang dengan wajah pucat!
Whuttt..!
Tepat pada saat telapak tangan yang menerbitkan secercah sinar kuning keemasan
itu siap meremukkan batok kepala Raja Golok Perak, mendadak orang tua sakti itu
mengangkat kedua tangannya yang semula menyatu di depan dada, dengan kedudukan
menyilang di atas kepala.
Bresssh...!
"Huagkhhh...! "
Akibatnya, terjadilah benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu
bergetar. Tubuh orang tua tak dikenal itu terdorong mundur beberapa langkah ke
belakang. Sedangkan Raja Golok Perak terbenam ke tanah hingga sebatas pinggang. Tokoh
sakti itu memuntahkan darah kental dari mulutnya. Itu pertanda bahwa luka dalam yang
dideritanya kian bertambah parah.
Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, Raja Golok Perak
melenting keluar dari dalam tanah yang membenamkan tubuhnya. Kuda-kudanya terlihat
agak goyah, ketika orang tua itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Bahkan, tubuhnya
tampak bergoyang-goyang dengan wajah yang semakin pucat.
"Kau... Ki Sangkila...?!" desis Raja Golok Perak dengan suara lemah.
Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu mengenal siapa orang yang telah
demikian curang menyerangnya selagi bersemadi. Untunglah tenaga saktinya bergerak
ketika merasakan adanya bahaya yang mengancam. Sehingga, meskipun luka dalamnya
bertambah parah, Raja Golok Perak berhasil menyelamatkan nyawanya dari kematian.
"He he he...! Bagus kau masih mengenaliku, Raja Golok Perak. Sayang, aku gagal
melenyapkanmu dari muka bumi ini. Tapi, kau jangan merasa lega dulu. Sebentar lagi kau
akan merasakan bagaimana gelapnya alam kematian itu...," ejek lelaki tua berperawakan
gagah yang ternyata adalah Ki Sangkila, Kepala Desa Pugar Selatan.
Raja Golok Perak memicingkan matanya dengan penuh rasa heran. Orang tua sakti
itu merasa terkejut melihat kepandaian lawan. Karena ia telah cukup lama mengenal Ki
Sangkila, sejak masih menjadi Wakil Kepala Desa Pugar. Sudah lebih dari tiga tahun
mereka tidak bertemu. Raja Golok Perak tetap tidak habis pikir, mengapa kepandaian Ki
Sangkila telah meningkat demikian jauh. Padahal sebelumnya kepandaian Ki Sangkila
jauh berada di bawah kepandaiannya.
"Hm.... Jangan seperti orang yang melihat hantu di siang bolong begitu, Raja Golok
Perak. Sebaiknya kau pikirkan saja, bagaimana sebenarnya alam kematian yang sebentar
lagi kau masuki...."
Kembali Ki Sangkila mengejek. Kekehnya semakin berkepanjangan, ketika melihat
Jalangsa dan kawan-kawannya telah melompat mengepung.
"Manusia keji! Sepantasnya kau berteman dengan iblis di dalam hutan ini!" bentak
Jalangsa.
Usai berkata demikian, Jalangsa memerintahkan kawan-kawannya membentuk
barisan untuk menggempur Ki Sangkila. Pedang di tangannya tampak berputaran
menimbulkan suara mengaung tajam. Ki Sangkila masih saja terkekeh. Seolah-olah sama
sekali tidak merasa gentar melihat delapan orang lawan yang siap mencincang tubuhnya.
"Hm...."
Lelaki tua berhati iblis itu bergumam. Kemudian ia mengeluarkan suitan panjang,
yang disusul munculnya enam sosok tubuh dari belakang orang tua itu.
Jalangsa dan kawan-kawannya sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang
itu. Ia tahu, orang-orang yang baru tiba itu rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.
Cepat ia mengajak rekan-rekannya mundur, melindungi guru mereka. Hati lelaki gagah
berkumis tipis itu semakin gelisah ketika melihat keadaan gurunya yang semakin
bertambah payah. Jelas ia tidak bisa mengharapkan orang tua itu untuk membantunya.
"He he he...!"
Ki Sangkila terkekeh. Sepasang tangannya bergerak mengibas, mengisyaratkan
keenam orang pengikutnya untuk segera bergerak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang lelaki pengikut Ki Sangkila,
langsung saja berlompatan menyerbu Jalangsa dan kawan-kawannya.
***
"Haaat..!"
Serbuan keenam orang lelaki yang dipimpin Suganta, lelaki berkepala botak
berkumis lebat itu, membuat Jalangsa dan kawan-kawannya kerepotan. Sebab, selain
harus melindungi diri sendiri, mereka pun harus melindungi guru mereka dari ancaman
senjata lawan. Hal itu membuat ia tidak bisa membentuk barisan bersama kawan-
kawannya.
"He he he...! Sebentar lagi kalian akan segera menyusul Jumirta, dan kedua orang
saudara seperguruan kalian itu...," ujar Ki Sangkila yang membuat wajah orang-orang
Perguruan Gunung Galung menjadi pucat
"Biadab! Jadi kau rupanya yang telah membunuh mereka, Sangkila?!" geram Raja
Golok Perak penuh kemarahan.
Diam-diam Raja Golok Perak menyesali kecerobohannya yang telah menuduh
Pendekar Naga Putih sebagai pelaku pembunuhan terhadap murid-muridnya. Kalau saja ia
tidak berkeras menuduh pendekar muda itu, mungkin tidak akan seperti ini kejadian yang
dihadapinya. Bahkan, bukan mustahil kalau Pendekar Naga Putih akan membantunya
untuk menemukan pembunuh murid-muridnya itu.
"Tidak salah, Raja Golok Perak. Dan sekarang adalah giliranmu!" ujar Ki Sangkila,
yang langsung melesat dengan cengkeraman mautnya untuk melenyapkan Raja Golok
Perak.
"Jangan khawatir, Raja Golok Perak! Aku datang membantumu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggetarkan jantung, yang membuat wajah Raja Golok
Perak berseri penuh harap. Ia melihat kedatangan sesosok bayangan yang memancarkan
sinar putih keperakan. Sekali lihat saja, ia tahu bahwa sosok tubuh itu adalah Pendekar
Naga Putih.
Mendengar seruan itu, Ki Sangkila melompat mundur, menarik pulang
serangannya. Wajah lelaki tua itu terlihat agak tegang ketika melihat Pendekar Naga Putih
yang telah berdiri melindungi Raja Golok Perak.
"Apa yang menyebabkanmu kembali ke tempat ini, Pendekar Naga Putih?"
Raja Golok Perak tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan rasa bersyukurnya,
ketika melihat kemunculan pemuda sakti itu. Bahkan ia pun melihat adanya sosok
bayangan serba hijau yang tengah membantu murid-muridnya menggempur enam orang
pengikut Ki Sangkila.
"Hm.... Tidak aneh, Ki. Sebenarnya kami berdua memang tidak meninggalkan
hutan ini. Seperti apa yang kuceritakan tadi, kami berdua telah memutuskan untuk
menjelajahi setiap pelosok hutan ini untuk mencari orang-orang muda berwajah dingin
pucat. Nah, ketika mendengar suara-suara teriakan di tempat ini, kami memutuskan
untuk segera kembali. Kami khawatir, apa yang telah menimpa ketiga orang murid
perguruanmu akan terjadi juga pada kau dan murid-murid yang lain...," papar Panji,
membuat orang tua itu mengangguk-angguk. Pendekar Naga Putih mengulurkan sebutir
obat luka dalam, dari buntalan pakaiannya. Tanpa banyak tanya lagi, Raja Golok Perak
langsung menelan obat itu. Karena ia pernah mendengar kalau pendekar muda itu juga
memiliki ilmu pengobatan.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar menyesal telah menuduhmu
berbuat keji. Aku semakin tua, semakin bertambah bodoh saja...," ucap orang tua itu,
menyesali sikapnya terhadap pemuda sakti itu.
Panji hanya tersenyum penuh persahabatan. Sehingga, Raja Golok Perak semakin
merasa bodoh, dibanding pendekar muda itu.
Namun, pembicaraan kedua orang tua itu segera terhenti ketika terdengar suara
menggeram gusar. Keduanya menoleh ke arah Ki Sangkila, yang mengeluarkan suara
geraman itu.
"Hm.... Jangan harap kalian semua akan dapat lolos dari tempat ini...!" geram Ki
Sangkila.
Kemudian, lelaki tua itu melangkah ke kanan dengan jari-jari terkembang. Panji
menatap dengan kening berkerut ketika melihat pendaran sinar kurang keemasan pada
sepasang telapak tangan orang tua itu.
"Dari mana kau mendapatkan kekuatan seperti itu, Ki Sangkila? Apakah dewi
sembahanmu yang telah mewariskannya...?" sindir Panji.
Pendekar Naga Putih sadar akan keampuhan tenaga dalam Ki Sangkila. Karena
pendaran cahaya kuning keemasan itu menerbitkan hawa panas menyengat. Bila tingkat
kepandaian Ki Sangkila semakin tinggi, pastilah bisa memukul hangus tubuh lawan
dengan kekuatannya itu.
"Hm.... Tidak perlu banyak mengoceh, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya bersiaplah
untuk melayat ke akhirat...!" desis Ki Sangkila yang bergerak semakin dekat.
"Heaaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tua itu menerjang Pendekar Naga
Putih dengan sepasang telapak tangannya yang menimbulkan sambaran angin panas.
Cepat pemuda tampan itu bergerak ke kanan memiringkan tubuhnya, sekaligus
melontarkan serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke lambung
lawan.
Plakkk!
"Haih...?!"
Terdengar benturan seperti bara api yang dimasukkan ke dalam air. Ki Sangkila
memekik. Tubuhnya terdorong mundur sejauh satu tombak lebih. Jelas bahwa kekuatan
tenaga saktinya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu tampak
memucat, pertanda benturan itu telah mengguncangkan bagian dalam dadanya.
"Hmm...!"
Tiba-tiba saja Ki Sangkila mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang
berdoa.
"Wahai Dewi Penerang Kegelapan! Berikanlah pelajaran kepada orang-orang yang
hendak menghancurkan kejayaanmu ini...!" ujar Ki Sangkila dengan suara bergetar,
menimbulkan kekuatan gaib, yang membuat dada Panji agak berdebar.
"Gila...! Orang tua ini benar-benar telah tersesat. Hm.... Aku jadi penasaran,
apakah Dewi Matahari itu benar-benar akan muncul menolongnya...," gumam Panji,
menunggu kelanjutan perbuatan Ki Sangkila.
Rupanya kekuatan pengaruh suara Ki Sangkila juga dirasakan oleh Kenanga,
Jalangsa, dan yang lainnya. Buktinya, pertempuran mereka terhenti. Semua mata tertuju
ke arah Ki Sangkila yang tengah menengadahkan kepalanya menatap langit yang bertabur
cahaya kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, hembusan angin yang semula bersilir lembut, terasa
semakin keras, hingga menggoyangkan batang-batang pohon besar, sampai menimbulkan
suara berderak-derak. Hawa terasa semakin bertambah panas.
"Gila...! Benarkah Dewi Matahari yang disembahnya itu akan terwujud? Seperti apa
kiranya makhluk yang disembah Ki Sangkila dan kawan-kawannya itu...?" desis Panji
perlahan. Pendekar Naga Putih terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya untuk
melawan hawa panas yang kian menyengat itu.
Werrr...!
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu saja kilatan sinar emas berpendaran dan
berputar-putar di sekitar tempat itu. Kemudian, kilatan-kilatan itu berkumpul, merupakan
titik-titik cahaya yang menjadi satu.
"Ahhh...?!"
Semua orang, kecuali Ki Sangkila dan para pengikutnya, sama-sama terbelalak
menyaksikan suatu pemandangan yang menurut mereka merupakan suatu yang mustahil.
Keberadaan wujud yang terlihat sangat nyata itu membuat Panji dan yang lainnya
terbelalak takjub!
TUJUH
Ki Sangkila dan enam orang pengikutnya langsung jatuh berlutut di atas tanah.
Sepertinya, kemunculan sosok yang berbentuk melalui titik-titik cahaya yang bergumpal-
gumpal itu bukan merupakan pemandangan baru bagi mereka. Terbukti, Ki Sangkila dan
para pengikutnya sama sekali tidak terkejut.
Lain halnya dengan Panji, Kenanga, Raja Golok Perak, Jalangsa, dan yang lainnya.
Mereka tersurut mundur dengan wajah tegang. Sebab, selain menebarkan hawa panas
seperti gumpalan api, sosok itu pun selalu bergerak-gerak mengikuti tiupan angin. Tentu
saja pemandangan seperti itu merupakan sesuatu yang aneh dan mustahil bagi mereka.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya terpaku menatap sosok yang
semakin lama kian jelas bentuknya itu.
Seiring dengan semakin jelasnya bentuk sosok yang tercipta dari gumpalan-
gumpalan cahaya keemasan itu, tiba-tiba terdengar suara samar-samar, mirip desauan
angin yang berirama tidak tetap.
"Hm.... Kau tidak mampu melenyapkan musuh-musuhmu ini, Sangkila...?" tegur
suara halus, seperti siliran angin yang sesekali menyentak.
Sosok itu sudah semakin nyata membentuk seorang wanita cantik jelita yang
agung, dengan sekujur tubuh bertabur cahaya emas. Rupanya dialah Sang Dewi Matahari
yang disembah Ki Sangkila dan para pengikutnya.
"Ampunkan hamba, Dewi Penerang Kegelapan. Mereka sangat sakti. Sehingga,
hamba yang bodoh tidak bisa melawan mereka...," sahut Ki Sangkila, yang masih tetap
bersujud, tanpa berani mengangkat kepalanya memandang sosok wanita cantik itu.
"Hm....," terdengar suara desauan angin yang menyiratkan kegusaran hatinya.
Perlahan-lahan, lengan kanan sosok wanita cantik itu terangkat menunjuk ke arah
Panji dan tokoh-tokoh lainnya. Sepasang mata sosok wanita cantik itu nampak berkilauan,
membuat mata orang yang menentangnya sakit dan nyeri.
"Awaaas...!"
Panji yang lebih dahulu menyadari bahaya ancaman, berseru memperingatkan yang
lainnya. Tubuh pemuda itu bergerak melakukan lompatan ke samping, diikuti Raja Golok
Perak dan yang lainnya. Malang, dua orang murid Raja Golok Perak bertindak lamban.
Akibatnya....
Brrrilll...!
"Wuaaa...!"
Gumpalan sinar keemasan yang panas luar biasa itu meluncur dari jari-jari tangan
Dewi Matahari. Tanpa ampun lagi, kedua orang murid Raja Golok Perak yang malang itu
langsung terbakar seluruh tubuhnya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu telah hancur
jadi abu. Kejadian itu membuat yang lain menjadi terkejut dengan wajah pucat.
"Kakang...!" Kenanga mengeluh lirih, sambil merapatkan rubuhnya memegang
lengan Panji.
Dara jelita itu terkejut dan ngeri menyaksikan kejadian yang menimpa dua orang
murid Raja Golok Perak. Panji sendiri tidak berani mengambil resiko untuk menyambut
serangan Dewi Matahari. Karena selain belum tahu kekuatan makhluk ajaib itu, ia sadar
bahwa yang dihadapinya adalah makhluk asing, yang tercipta dari daya khayal dan pikiran
Ki Sangkila. Makhluk itu pasti bukan berasal dari bumi. Itu sebabnya, Panji memilih
menghindar.
"Hm.... Kau benar-benar bodoh, Sangkila! Hanya manusia-manusia seperti itu saja
kau tidak mampu mengurusnya...," kembali suara mirip desau angin itu terdengar. "Biar
para pengawalku yang akan mengurusnya...."
Begitu ucapan Dewi Matahari selesai, bentuk wanita jelita penuh keagungan itu
pun perlahan lenyap, kembali membentuk gumpalan-gumpalan sinar kuning keemasan.
Terus berubah, menjadi bintik-bintik cahaya. Dan bintik-bintik cahaya yang jumlahnya
sangat banyak itu, lenyap bergabung dengan cahaya matahari, yang saat itu memancar
garang.
Kemudian, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di bekas tempat berdiri Dewi
Matahari, telah berdiri lima sosok tubuh yang terbungkus lapisan sinar keemasan.
Semakin jelas terlihat, seiring dengan lenyapnya lapisan sinar emas yang membungkus
lima sosok tubuh tegap itu. Mereka adalah lima orang pemuda tampan bertubuh tegap
dengan wajah pucat bagai mayat. Sorot mata mereka dingin, merayapi Panji dan kawan-
kawannya. Rupanya, mereka itulah yang disebut sebagai pengawal Dewi Matahari!
"Hm.... Pantas saja kita tidak pernah menemukan mereka. Rupanya orang-orang
berwajah pucat yang pernah menyerang kita adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari.
Benar-benar luar biasa, dan sangat sulit diterima akal sehat...!" gumam Panji, begitu
mengenali kelima sosok pemuda tampan berwajah pucat itu sebagai orang-orang yang
pernah menyerangnya.
Pendekar Naga Putih, Raja Golok Perak, Jalangsa, Kenanga, dan lima orang murid
Perguruan Gunung Galung, tidak mempunyai waktu lagi untuk menguraikan kejadian
aneh itu. Sebab, saat itu pengawal-pengawal Dewi Matahari telah berlompatan menerjang
kawanan tokoh peralatan itu.
"Heaaat...!"
Raja Golok Perak memekik nyaring sambil memutar senjatanya dengan sepenuh
tenaga. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu sadar bahwa lawan bukan orang-
orang sembarangan. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, bukan mustahil kalau nyawanya
sendiri yang akan melayang. Untunglah tokoh sakti itu telah mendapat obat penyembuh
luka dari Pendekar Naga Putih. Sehingga, kesehatannya telah pulih seperti sediakala.
Namun, pemuda berwajah pucat yang menjadi lawan Raja Golok Perak, benar-
benar hebat dan sangat sulit didesak. Bahkan, tokoh itu jadi kelabakan, ketika merasakan
hawa panas yang menyebar dan pukulan-pukulan yang dilontarkan lawannya. Hawa
panas yang memenuhi arena pertempuran, membuat pemusatan pikiran Raja Golok Perak
terganggu. Sehingga, gerakan-gerakan yang dilakukannya kacau dan mulai tak terarah.
Keadaan itu membuat Raja Golok Perak terdesak hebat, dan tidak mampu lagi
melontarkan serangan balasan.
Hal serupa juga dirasakan enam orang murid Raja Golok Perak Jalangsa yang
ditemani kelima orang kawannya, dibuat kelabakan oleh lawan yang hanya seorang.
Keampuhan jurus gabungan yang semestinya dimainkan oleh delapan orang itu menjadi
berkurang. Karena mereka kini tinggal berenam. Selain itu, hawa panas yang terbit dari
pukulan dan tamparan lawan, membuat keenam murid Perguruan Gunung Galung itu
semakin kewalahan. Akibatnya, dua orang dari mereka terpaksa harus merelakan
tubuhnya terkena hantaman lawan.
Buggg! Desss...!
"Hugkh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang itu tersungkur dan tewas. Tampak di dada
dan perut mereka terdapat gambar telapak tangan yang berbau sangit.
"Bedebah...!" maki Jalangsa.
Namun, laki-laki gagah berkumis tipis itu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena lawan memang terlalu tangguh bagi mereka. Meskipun demikian, empat orang
murid Raja Golok Perak itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar
nyawanya.
Di bagian lain, Kenanga yang pernah bertarung melawan tiga orang pemuda
tampan berwajah pucat itu, jadi terkejut setengah mati. Belum lama ia merasakan
kelihaian lawan, dan merasa mampu untuk menghadapi dua orang lawan. Tapi, kali ini ia
dibuat penasaran! Sebab, menghadapi lawan yang hanya seorang, Kenanga harus
mengerahkan segenap kepandaiannya. Kepandaian lawan kini telah maju pesat. Sehingga
dara jelita itu terpaksa menghunus pedangnya untuk menghadapi gempuran lawan.
Sedangkan Pendekar Naga Putih terpaksa harus menghadapi dua orang lawan
sekaligus! Meskipun demikian, Panji harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Karena
kepandaian dua orang lawannya benar-benar tidak bisa dianggap remeh.
"Heaaa....!"
Ketika pertempuran menginjak jurus yang keempat puluh, dan belum juga bisa
mendesak kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga
Marah'. Tubuhnya berkelebatan cepat, laksana bayangan hantu yang berkeliaran mencari
mangsa. Sepasang cakarnya menyambar-nyambar dengan kecepatan yang sulit ditangkap
mata. Suara berdecitan yang menghembuskan udara dingin menyengat tulang, selalu
mengiringi setiap lontaran cakar naga Panji.
Plarrr! Plarrr!
Terdengar dua kali ledakan keras yang menimbulkan kepulan asap tebal. Itu
dikarenakan inti tenaga yang mereka gunakan berlainan jenis. Akibat tangkisan kedua
orang lawannya, tubuh Pendekar Naga Putih sedikit bergoyang. Sedangkan kedua orang
lawannya, terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Ternyata, kekuatan tenaga
sakti Pendekar Naga Putih masih di atas kedua lawannya.
Tapi sepasang mata pemuda tampan berjubah putih itu terbeliak heran ketika
melihat tubuh kedua orang lawannya melenting bangkit, seperti tidak mengalami cidera
sedikit pun.
"Gila!" desis Panji, melihat kekuatan pengeroyoknya.
Tapi, rasa heran Pendekar Naga Putih perlahan memudar ketika teringat kalau
kedua orang itu adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari, makhluk ajaib yang bukan
berasal dari bumi.
"Hmh...!"
Ingat akan kesaktian kedua orang itu, Panji menggeram datar. Pemuda itu
mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya. Sebentar
kemudian, terlihat lapisan sinar kuning keemasan melapisi tubuh sebelah kanannya.
Sedangkan tubuh sebelah kiri, terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Itulah gabungan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Heaaat...!"
Disertai pekikan nyaring yang membuat tempat di sekitarnya bergetar, Panji
melesat mendahului kedua orang lawannya. Khawatir akan nasib Kenanga dan yang
lainnya, membuat Panji mengerahkan seluruh tenaga gabungannya untuk menggempur
lawan.
Akibatnya sangat dahsyat sekali! Arena pertempuran bagaikan tengah diamuk
badai salju, yang kadang berubah sepanas udara gurun pasir. Kedua orang lawannya jadi
kelabakan. Hawa yang sebentar panas sebentar dingin menusuk tulang, membuat
pengeroyok Panji kewalahan. Kini mereka tidak mampu lagi membalas serangan, dan
hanya mencoba bertahan dari gempuran Pendekar Naga Putih yang kian dahsyat itu.
Panji yang telah bertekad melenyapkan lawan-lawann, tidak memberi hati lagi
kepada mereka. Tubuh pemuda perkasa itu berkelebatan laksana seekor naga putih yang
murka. Sambaran cakar dan tamparannya mengaung-ngaung bagaikan dengung ribuan
lebah yang marah.
"Yeaaah...!"
Setelah sepuluh jurus, Pendekar Naga Putih kembali mengeluarkan pekikan
melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke atas berputaran, dan melunak turun secara
mengejutkan. Sepasang telapak tangannya mendorong bergantian, menebarkan hawa
panas dan dingin berganti-ganti. Dan....
Blarrr! Blarrr...!
"Aaargh...!"
Terdengar raungan tinggi bagaikan hendak merobek angkasa, ketika pukulan jarak
jauh Pendekar Naga Putih telak menghajar tubuh kedua orang lawannya. Tanpa ampun
lagi, tubuh mereka terpental deras dengan tulang-tulang remuk. Kedua orang pengawal
Dewi Matahari itu langsung ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga.
Tanpa mempedulikan lawannya yang tewas, Panji langsung menoleh ke arah
pertarungan lain. Dilihatnya Kenanga masih bertempur sengit menghadapi seorang
lawannya. Sedangkan, Jalangsa dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Yang lebih
mengkhawatirkan adalah keadaan Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung
Galung itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus lagi. Pendekar Naga Putih
langsung mengambil kesimpulan untuk menyelamatkan Raja Golok Perak
"Ki, serahkan lawanmu padaku! Kau bantulah murid-muridmu...!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih segera melayang ke arah pertempuran. Sepasang tangannya
bergerak cepat, menyambut datangnya pukulan lawan yang tengah mengancam tubuh
Raja Golok Perak.
Plakkk!
Tangan kanan Panji yang terlapisi 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' jelas jauh lebih
unggul dari tenaga lawan. Tangkisan itu membuat tubuh lawannya terpelanting sejauh
dua tombak. Tanpa memberikan kesempatan lagi, pemuda tampan berjubah putih itu
kembali melesat melancarkan serangan mautnya.
Blarrr...!
Debu dan rerumputan mengepul memenuhi arena pertarungan ketika telapak kiri
Pendekar Naga Putih menghajar tanah, tempat tubuh lawannya terjatuh. Untung pengawal
Dewi Matahari itu masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga, serangan Panji
hanya mengenai tanah, yang jadi berlubang sebesar kubangan kerbau.
Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu
mengetahui lawan berhasil menyelamatkan diri, Panji langsung melenting ke udara, dan
berputaran mengejar tubuh lawan. Dari atas, tubuhnya meluruk turun. Kaki kanannya
mencuat secepat kilat ke arah dada lawan, yang saat itu tengah bersiap melanjutkan
pertarungan.
Desss...!
Tendangan maut Pendekar Naga Putih telak singgah di dada lawan. Akibatnya
dapat ditebak. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat bagai mayat itu langsung
terjengkang, dan menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya.
Derrr...!
Pohon besar itu bergetar, dan daun-daunnya berguguran saat tubuh pengawal Dewi
Matahari membentur batangnya dengan keras. Nasib pemuda berwajah pucat itu
mengenaskan sekali! Darah segar muncrat membasahi batang pohon. Tubuh yang tulang-
tulangnya sudah pasti patah itu langsung menggeloso, dan tewas dengan mata mendelik.
"Aaargh...!"
Panji menoleh secepat kilat ketika mendengar pekik kematian yang datang dari
arah kanannya. Hati pemuda itu menjadi lega ketika melihat Pedang Sinar Rembulan milik
Kenanga merobek tubuh pengawal Dewi Matahari yang menjadi lawannya. Sosok yang
tatapannya menggetarkan jantung itu pun roboh dengan tubuh bermandikan darah.
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji yang telah melesat ke dekat
kekasihnya.
Dara jelita itu tampak lelah sekali setelah menguras seluruh kepandaiannya dalam
menghadapi pengawal Dewi Matahari yang memang benar-benar tangguh itu.
"Aku baik-baik saja, Kakang. Hanya merasa sangat lelah sekali...," desah Kenanga
seraya menghela napas lega, karena telah berhasil menamatkan riwayat lawannya. "Mari
kita bantu Raja Golok Perak dan murid-muridnya, Kakang. Tampaknya mereka kewalahan
menghadapi pengawal-pengawal Dewi Matahari yang tinggal seorang itu," lanjut Kenanga
sambil menoleh ke arah pertarungan lain.
Panji mengangguk. Kemudian keduanya segera melesat ke arah pertarungan yang
masih berlangsung seru itu. Karena tidak ingin membiarkan Raja Golok Perak dan murid-
muridnya terancam bahaya maut. Panji langsung saja berseru kepada tokoh puncak
Perguruan Gunung Galung itu.
"Biar kucoba untuk melumpuhkannya, Ki…" seru Panji yang sudah melayang ke
dalam kancah pertempuran.
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat salah seorang murid Raja Golok Perak
terancam bahaya maut. Cepat-cepat pemuda itu bertindak menyelamatkan murid Raja
Golok Perak yang tidak mampu lagi menyelamatkan dirinya.
Plak... bukkk!
"Hugkh...!"
Begitu memasuki arena pertarungan, Panji langsung memapaki pukulan pengawal
Dewi Matahari, dan sekaligus mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya dengan
kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa. Akibatnya, tubuh lawan langsung tersurut
mundur sejauh dua tombak. Sedangkan Pendekar Naga Putih, telah melompat berputar
sambil mengibaskan lengan kanannya ke batang leher lawan.
Desss!
Kreeeekh...!
Kibasan lengan Panji yang dilapisi kekuatan tenaga dalam tinggi itu telak
membentur leher bagian samping lawannya. Terdengar suara gemeretak tulang patah. Dan
tubuh pengawal Dewi Matahari yang terakhir itu harus merelakan nyawanya melayang ke
akhirat. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu ambruk dengan kepala terkulai.
"Hhh.... Benar-benar sulit dipercaya! Kesaktian pemuda pengawal-pengawal Dewi
Matahari itu sungguh luar biasa sekali. Kalau saja tidak ada kau yang menolong kami,
rasanya Perguruan Gunung Galung hanya tinggal nama saja...," desah Raja Golok Perak
seraya menggelengkan kepalanya. Ditatapnya Pendekar Naga Putih dengan pandangan
kagum.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku minta maaf, karena telah menuduhmu
sembarangan...," Jalangsa ikut angkat bicara.
"Manusia memang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Jadi, wajar saja kalau
sekali waktu kalian khilaf. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan kejadian itu. Yang penting,
kita telah sadar," sahut Panji, membuat hati Raja Golok Perak dan Jalangsa menjadi lega.
"Eh, ke mana perginya Ki Sangkila dan para pengikutnya? Kita sampai melupakan mereka,
si penyebab semua kejadian ini"
"Ah...! Pasti ia telah melarikan diri. Mari kita kejar! Ki Sangkila dan para
pengikutnya pasti telah kembali ke desanya...," timpal Raja Golok Perak, yang juga tidak
menemukan sosok Ki Sangkila dan kawan-kawannya di sekitar tempat itu.
"Mari...," ajak Panji. Kemudian, rombongan kecil itu pun segera bergerak menuju
Desa Pugar Selatan, tempat Ki Sangkila menjadi penguasa.
DELAPAN
"Hm.... Mengapa desa ini tampak sepi sekali...? Tidakkah ini mencurigakan,
Baldawa...?" gumam seorang lelaki gagah berusia enam puluh tahun.
Ucapannya itu ditujukan kepada lelaki kekar yang berada di sebelah kanannya.
Keduanya sama-sama menunggang kuda, dan memperlambat laju binatang
tunggangannya saat memasuki perbatasan Desa Pugar Selatan.
"Mungkin mereka telah tahu kedatangan kita, Ki. Kalau begitu, kita harus
meningkatkan kewaspadaan...," sahut Baldawa seraya mengedarkan pandangan matanya
ke sekitar tempat itu.
Namun, yang dilihatnya hanyalah rerumputan dan pohon-pohon bisu yang
berjejeran di sepanjang jalan. Baldawa tidak mendengar adanya suara-suara
mencurigakan, kecuali desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon.
Lelaki tua yang tidak lain dari Ki Sakya Wulung, terus menjalankan kudanya
lambat-lambat memasuki mulut Desa Pugar Selatan, beberapa penduduk yang melihat dan
mengenali lelaki tua itu tampak gelisah. Mereka berlarian masuk ke dalam rumah. Karena
Ki Sakya Wulung membawa pengikut yang jumlahnya sekitar lima puluh orang lebih. Dan
masing-masing membawa senjata, seperti hendak berperang. Hal itu membuat penduduk
Desa Pugar Selatan menjadi ketakutan.
"Hm.... Kurasa Ki Sangkila sedang meninggalkan desa ini. Kau lihat, Baldawa. Yang
ada dalam desa hanya anak-anak dan wanita. Para keamanan desa ini pun tidak
terlihat...," ujar Ki Sakya Wulung lagi, kepada Baldawa yang merupakan tangan kanannya.
Sambil berkata demikian, Ki Sakya Wulung melompat turun dari atas punggung
kudanya.
"Ki, lihat...!"
Baru saja kedua kaki lelaki gagah itu menginjak tanah, tiba-tiba Baldawa berseru
sambil menudingkan telunjuknya ke depan.
Ki Sakya Wulung mengangkat kepalanya, ketika mendengar seruan Baldawa. Lelaki
tua yang masih tampak gagah itu melihat belasan orang bersenjata tengah berlarian
menyongsong pasukannya. Melihat pakaiannya, Ki Sakya Wulung dapat mengetahui kalau
mereka adalah para keamanan Desa Pugar Selatan.
"Hm.... Mau apa kalian datang kemari...?!" tegur seorang lelaki tinggi kurus
berwajah agak pucat. Tangan kanannya tampak telah menghunus pedang, siap mengusir
pergi rombongan Ki Sakya Wulung dari desanya.
"Durgana," ujar Ki Sakya Wulung seraya melangkah beberapa tindak ke depan,
membuat lelaki tinggi kurus itu surut dua langkah. "Aku datang selain hendak meminta
pertanggungjawaban Ki Sangkila, sekaligus juga untuk menghentikan kesesatannya.
Orang-orang desaku telah banyak yang dihasutnya, sehingga mengikuti perbuatan
sesatnya. Dan, tiga orang utusanku, termasuk Ki Balasara, tidak pernah kembali lagi
setelah datang menemui kepala desamu. Semua alasan itulah yang membuat aku
mengambil keputusan untuk melenyapkan kesesatan Ki Sangkila dan semua pengikutnya.
Sekarang kau boleh pilih! Ikut jalan sesat yang ditempuh Ki Sangkila dan kubasmi, atau
menyerah untuk kuampuni...?"
"Hm.... Jangan coba-coba membujuk kami, Ki Sakya Wulung. Kau lihat sendiri,
desa ini jauh lebih makmur dengan hasil panen yang melimpah, dibanding desamu yang
kering kerontang itu. Bilang saja kau ingin merebut desa ini. Tapi, aku tidak akan
mundur!" sambut Durgana.
Sambil berkata demikian, Durgana melintangkan pedangnya di depan dada. Dan
memberi perintah kepada delapan belas orang pengikutnya untuk menggempur pasukan
Ki Sakya Wulung.
Baldawa yang saat itu masih berada di atas punggung kudanya, segera melompat
turun dengan pedang terhunus. Para pengikutnya yang berada di belakang, langsung
diperintahkan untuk menyambut datangnya musuh. Sebentar saja, perang kecil itu pun
pecah.
"Heaaat..!"
Dengan teriakan nyaring, Baldawa segera maju menggempur lawan-lawannya.
Pedang di tangannya berkelebatan ke sana kemari, menyambar-nyambar dengan
kecepatan yang menggetarkan. Sebentar saja, telah dua orang lawan tersungkur mandi
darah, terkena sambaran pedangnya. Amukan lelaki pendek kekar yang gesit itu membuat
lawan menjadi gentar.
Sedangkan Ki Sakya Wulung saat itu tengah menghadapi Durganta. Lelaki tua yang
masih gesit gerakannya itu, hanya menggunakan tangan kosong untuk menghadapi
gempuran pedang lawan. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau Ki Sakya Wulung
berada di atas angin, dan dapat menguasai lawannya setelah bertempur selama dua puluh
jurus. Lelaki tua itu terus mendesak lawannya dengan tamparan-tamparan keras dan
tendangan-tendangan kilat yang tak terduga.
Plak!
"Aaakh...!"
Suatu saat, ketika pedang lawan berkelebat membacok dari samping, Ki Sakya
Wulung melontarkan tendangannya yang tepat menghantam pergelangan lawan, membuat
pedang di tangan Durganta tedepas dari pegangan.
"Hiaaah...!"
Ki Sakya Wulung yang ingin melumpuhkan lawan secepatnya, segera saja
mengirimkan pukulan kerasnya ke dada lawan. Tapi, saat itu juga, berkelebat sesosok
bayangan hitam yang langsung menyambut datangnya pukulan Ki Sakya Wulung. Dan....
Plak!
"Aihhh...!?"
Tangkisan keras itu membuat Ki Sakya Wulung memekik kesakitan! Tubuh orang
tua itu terhuyung limbung, memegangi telapak tangannya yang panas bagaikan terjilat
lidah api.
"Ki Sangkila...!" desis lelaki tua itu, ketika mengangkat wajah melihat siapa orang
yang baru datang.
Sosok yang telah menyelamatkan Durganta itu memang Ki Sangkila, yang tiba
bersama enam orang pengikutnya. Kedatangan Ki Sangkila membuat Ki Sakya Wulung
terkejut Apalagi, kesaktian lelaki tua yang pernah menjadi wakilnya itu kelihatan telah
maju pesat. Hal itu dapat diduga dari benturan yang barusan dirasakannya.
"Hm.... Apa maksudmu mendatangi desa ini, Sakya Wulung? Apakah desamu telah
kekeringan, dan para penduduknya kelaparan? Kalau hendak meminta sedekah, mengapa
tidak langsung berterus-terang saja?" ejek Ki Sangkila dengan senyum yang menyakitkan
hati.
"Kau benar-benar sombong, Sangkila! Tiga orang utusan yang kukirim secara baik-
baik untuk menemuimu, telah kau celakai pula. Cepat serahkan Balasara dan kedua orang
pembantuku, juga orang-orang desaku yang telah kau hasut itu. Kalau tidak, aku terpaksa
harus memaksamu dengan kekerasan...!" geram Ki Sakya Wulung sambil meraba gagang
pedangnya.
"Ha ha ha...!" Ki Sangkila terbahak keras, mendengar ancaman Ki Sakya Wulung.
"Hei, Orang Tua Tak Berguna! Kalau memang kau mempunyai kepandaian, ayo tunjukkan!
Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang paling kuat..," tantang Ki Sangkila, sombong.
Ki Sakya Wulung belum sempat membalas ucapan lawannya ketika terdengar jerit
kematian berturut-turut yang membuat lelaki tua itu menoleh dengan wajah tegang.
Kekhawatirannya terbukti. Para pengikutnya tampak bertumbangan, dibasmi pengikut Ki
Sangkila. Bahkan, Baldawa sendiri kelihatan tengah kerepotan menghadapi seorang
pengikut Ki Sangkila. Sekali lihat saja, Ki Sakya Wulung sadar keadaannya tidak
menguntungkan. Tapi, karena semua itu sudah telanjur, maka ia pun mengeraskan hati.
Menurutnya, lebih baik hancur daripada mundur dari medan pertempuran.
"Hm.... Mari kita selesaikan urusan ini, Sangkila...!" geram Ki Sakya Wulung, segera
menghunus pedangnya dan menyilangkan di depan dada, siap untuk bertarung.
***
"Ki Sakya Wulung, kami datang membantu...!" tiba-tiba saja terdengar seruan
nyaring, membuat Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila menoleh ke arah datangnya suara.
"Panji...!" desis Ki Sakya Wulung.
Wajah orang tua itu berubah cerah ketika melihat sosok bayangan putih dan hijau
berlarian saling mendahului. Di belakang kedua pendekar muda itu berlari lima orang
lelaki gagah.
"Apa kabar, Ki Sakya Wulung...?" tegur sesosok lelaki tua, yang datang bersama
Panji dan Kenanga.
"Raja Golok Perak...! Ah, aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bisa berada
di tempat ini...," ujar Ki Sakya Wulung semakin bertambah gembira, melihat sosok lelaki
tua itu.
Keduanya memang telah saling mengenal, karena Perguruan Gunung Galung tidak
begitu jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan.
"Sangkila telah membunuh ketiga orang murid-muridku, Sakya Wulung. Untuk itu,
aku ingin membuat perhitungan dengannya...," ujar Raja Golok Perak.
Sementara, Ki Sangkila sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu.
Kakinya melangkah ke belakang, ingin melarikan diri.
"Hendak ke mana kau, Sangkila...? Tiga orang nyawa pembantuku, harus kau
tebus dengan nyawamu...!" bentak Ki Sakya Wulung yang segera melompat menutup jalan
lari Ki Sangkila.
Demikian pula Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu
menghunus senjatanya mengepung Ki Sangkila. Jelas, kepala desa sesat itu tidak
mempunyai jalan untuk meloloskan diri.
"Hm.... Kalian memang harus dilenyapkan...!" geram Ki Sangkila dengan wajah
bengis.
Bukan kedua orang tokoh itu yang ditakutinya, tapi keberadaan Pendekar Naga
Putih-lah yang membuat Ki Sangkila tidak akan menang. Kalau hanya Ki Sakya Wulung
dan Raja Golok Perak, lelaki tua itu sama sekali tidak gentar. Maka, ia segera bersiap
untuk menghadapi kedua orang lawannya itu.
Sementara itu, Panji, Kenanga, Jalangsa, dan tiga orang lainnya segera
menceburkan diri ke dalam kancah pertempuran. Kehadiran mereka, terutama Panji dan
Kenanga, membuat pasukan Ki Sakya Wulung yang semula sudah putus asa, jadi
bersemangat lagi. Apalagi setelah Panji dapat menjatuhkan dua orang pengikut Ki
Sangkila. Sebentar saja, keadaan pun berubah total. Kini, pihak Ki Sakya Wulung yang
menguasai medan pertempuran.
Baldawa yang memang sudah kepayahan, mendapat bantuan dari Jalangsa.
Keduanya bergerak menggempur lawan, yang hampir membuat Baldawa menyerahkan
nyawanya. Kemunculan Jalangsa membuat keadaan berubah. Kini mereka berdualah yang
mendesak lawan, dan dapat menewaskannya setelah bertarung sengit selama kurang lebih
dua puluh lima jurus.
Melihat pihak Ki Sakya Wulung telah berada di atas angin, Panji segera mendekati
Kenanga dan berbisik perlahan,
"Aku hendak melihat pertempuran Ki Sakya Wulung. Kau tetaplah di sini. Jangan
sembarang membunuh. Kalau bisa, buat mereka pingsan. Siapa tahu, kita masih bisa
membawa mereka ke jalan yang benar."
Setelah melihat kekasihnya mengangguk, Pendekar Naga Putih segera melesat ke
arah pertarungan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak, yang sedang berusaha
melumpuhkan Ki Sangkila.
Panji berdiri agak jauh dari arena pertempuran. Pemuda itu menatap tajam penuh
perhatian. Wajahnya rampak agak cerah ketika melihat kedua orang kawannya dapat
menguasai perkelahian itu. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, tapi Panji
tahu kalau Ki Sangkila akan segera dapat ditundukkan.
"Yeaaat..!"
"Heaaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keenam puluh, Ki Sakya Wulung dan
Raja Golok Perak berteriak nyaring secara bersamaan. Keduanya melesat dengan serangan
yang hebat dan mematikan! Senjata di tangan Raja Golok Perak berputaran menimbulkan
suara menderu tajam. Sedangkan pedang di tangan Ki Sakya Wulung membentuk
gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sepertinya, kali ini Ki Sangkila tidak
mungkin dapat selamat dari ancaman serangan kedua orang tua sakti itu.
"Haiiit…!"
Ki Sangkila yang sadar akan kedahsyatan serangan kedua orang lawannya,
mengambil kepuusan nekat. Disertai pekikan nyaring, lelaki tua itu melipat kedua
tangannya di depan dada. Kemudian mendorong ke depan disertai bentakan keras.
Brettt! Srattt!
Kening Pendekar Naga Putih berkerut, melihat Ki Sangkila duduk menyembah ke
arah matahari.
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak belum tentu aku sanggup
menghadapi Dewi Matahari yang disembahnya...," gumam Panji terkejut, melihat bintik-
bintik cahaya merah mulai turun dari langit, hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.
Bresssh...!
Hebat sekali benturan yang terjadi. Pedang dan golok lawan membeset tubuh Ki
Sangkila, yang mengimbanginya dengan sebuah hantaman telapak tangan ke tubuh kedua
orang lawannya itu. Akibatnya, tubuh Ki Sangkila terhuyung ke belakang dengan ceceran
darah berjatuhan membasahi tanah. Sedangkan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak
terpental ke belakang dan jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Wajah keduanya tampak
pucat Pada dada mereka terdapat tanda hitam bergambar telapak tangan.
Panji yang melihat kejadian itu segera berlari memburu. Pemuda itu bergerak cepat
menotok jalan darah di tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak. Kemudian,
menjejalkan dua butir obat pulung yang berwarna merah dan putih. Setelah itu, tubuhnya
berbalik dan matanya langsung menatap ke arah Ki Sangkila yang telah ambruk di atas
tanah.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut ketika melihat Ki Sangkila duduk dengan
sikap menyembah sambil menatap ke arah matahari.
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak, belum tentu aku sanggup
menghadapi Dewi Matahari yang disembahnya itu...," gumam Panji yang segera melesat ke
arah Ki Sangkila.
Pendekar Naga Putih agak terkejut ketika melihat bintik-bintik cahaya merah yang
mulai turun dari langit hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.
"Yeaaah...!"
Panji membentak seraya mengayunkan sisi telapak tangannya membacok leher
belakang lawan. Dan....
Kraaak...
"Akh...!"
Ki Sangkila mengeluh pendek saat sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih
menghantam tengkuknya. Tubuh orang tua itu langsung ambruk dengan kepala terkulai.
Batang lehernya patah akibat hantaman Panji yang mematikan.
Pendekar Naga Putih terpaksa melakukannya, karena kalau tidak demikian, bukan
mustahil orang-orang desa dan juga berikut desanya, akan hancur akibat amukan Dewi
Matahari. Ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah sanggup mencegah amukan makhluk
ajaib yang tercipta dari alam pikiran Ki Sangkila.
Bersamaan dengan tewasnya Ki Sangkila, bintik-bintik cahaya yang mulai
berkumpul itu kembali melayang naik ke langit. Seperti tersedot oleh pancaran sinar
matahari yang terik.
Panji menghela napas lega, melihat segalanya telah berakhir. Pemuda itu
melangkah menghampiri tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak yang berhasil
diselamatkan. Wajah kedua tokoh itu sudah mulai kemerahan, meskipun belum sadar dari
pingsannya.
Saat itu pertempuran telah usai pula. Atas petunjuk Panji, Baldawa segera
memerintahkan orang-orangnya untuk mengurus mayat-mayat yang berserakan di tempat
itu. Sedangkan tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak dibawa ke rumah terdekat
Panji dan Kenanga memutuskan untuk tinggal di desa itu, sampai Ki Sakya Wulung dan
Raja Golok Perak sembuh seperti sediakala.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar