..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENYEMBAH DEWI MATAHARI

Matjenuh khairil

 

PENYEMBAH DEWI MATAHARI 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting, Turi S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Penyembah Dewi Matahari 
128 hal ; 12 x 18 cm


SATU

Matahari tepat di atas kepala. Sinarnya yang kuning keemasan, seperti hendak 
menghanguskan semua makhluk di atas bumi. Tiupan angin sesekali membawa hawa 
panas yang pengap, membuat orang berpeluh. 
Dua sosok tubuh tampak melangkah ringan menyusuri tanah yang berumput 
kering terpanggang sinar matahari. Kepala mereka dilindungi caping bambu lebar, 
sehingga wajah mereka tidak terkena gigitan sinar matahari. 
"Di hutan sebelah depan sana, kita istirahat sebentar, Kakang. Aku tidak tahan 
berjalan di tengah panas seperti ini...," ujar sosok tubuh ramping berpakaian serba hijau 
seraya menolehkan wajahnya. 
Tampaklah seraut wajah jelita dengan butir-butir peluh di kening dan pipinya. 
Sosok ramping itu seorang gadis muda, berusia sekitar sembilan belas tahun. 
Pemuda bertubuh sedang yang mengenakan jubah panjang berwarna putih, hanya 
menganggukkan kepala. Dan memberikan isyarat agar mempercepat langkah. Sebentar 
kemudian, keduanya tiba di tepi hutan. 
"Kita terus ke dalam, atau beristirahat di sini?" tanya pemuda tampan berjubah 
putih sambil melepas caping bambunya, dan menggunakannya untuk mengipasi tubuh. 
Wajah pemuda itu berpeluh. Bahkan sebagian tubuhnya sudah basah, hingga menembus 
jubah luarnya. 
"Sebaiknya, kita beristirahat di sebelah dalam saja, Kakang. Di sini panasnya masih 
terasa menyengat...," jawab si gadis sambil mengipasi tubuhnya yang berlelehan peluh. 
Setelah berkata demikian, gadis itu melangkah memasuki hutan, diiringi pemuda 
tampan kawan seperjalanannya. 
Tidak berapa lama kemudian, keduanya tampak duduk bersandar pada sebatang 
pohon besar yang berdaun rindang. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Pasangan 
muda itu sungguh-sungguh menikmati sejuknya hembusan angin yang menerpa tubuh 
mereka. 
Namun, ketenangan itu rupanya tidak berlangsung lama. Enam sosok tubuh 
berwajah pucat, bermunculan dari sekitar tempat itu. Dari raut wajah dan sorot matanya, 
jelas terlihat bahwa kemunculan mereka tidak bermaksud baik. Kedua orang muda itu 
segera bergerak bangkit berdiri, dan saling bertukar pandang dengan tatapan heran. 
"Hm.... Tampaknya mereka bermaksud kurang baik. Entah siapa mereka? Yang 
jelas bukan orang sembarangan. Sebab, aku sama sekali tidak mendengar langkah kaki 
mereka...?" bisik pemuda tampan berjubah putih itu kepada gadis di sebelahnya. 
"Siapa pun mereka, dan apa pun maksud kedatangannya, yang jelas mereka telah 
mengganggu ketenangan kira! Dan, aku tidak menyukai hal itu...!" gadis itu mengomel 
dengan nada jengkel. Jelas, ia merasa sangat terganggu dengan kehadiran tamu tak 
diundang yang bersikap tidak bersahabat itu. 
Sementara itu, keenam sosok tubuh berwajah pucat dengan sorot mata tajam, 
sudah melangkah semakin dekat. Mereka melakukan gerakan mengepung. Jelas sudah, 
kalau kedatangan mereka memang tidak bermaksud baik. 
"Kalian berdua telah melanggar peraturan, memasuki wilayah kekuasaan majikan 
kami tanpa izin. Untuk itu, kalian berdua harus mendapat hukuman...!" 
Seorang yang bertubuh tinggi kurus berkata dengan suara kaku dan sikap angkuh. 
Hal ini makin membuat dara jelita berpakaian hijau itu bertambah jengkel. Dengan wajah 
berang, dara jelita itu melangkah maju beberapa tindak menghampiri lelaki kurus tadi. 
"Hm.... Kalian ini siapa? Apakah hutan ini milik kalian? Sehingga bisa mengusir 
orang seenaknya saja? Kalau aku tidak bersedia menerima hukuman itu, kalian mau 
apa...?" tantang gadis itu sambil bertolak pinggang. Wajahnya merah padam menahan 
marah. 
Berbeda dengan gadis itu, pemuda tampan berjubah putih lebih memiliki 
kesabaran dibanding kawannya. Dengan langkah tenang, ia bergerak maju. Disentuhnya 
tubuh si gadis dengan maksud agar bersikap sabar, dan menyerahkan persoalan itu

kepadanya. Sejenak, dara jelita itu seperti hendak membantah. Tapi, ketika dilihatnya 
senyum lebar serta anggukan kepala pemuda itu, ia pun mengangguk lemah. 
"Kisanak. Maaf, kami telah lancang memasuki wilayah kekuasaan kalian tanpa izin. 
Sudilah kiranya Kisanak menarik kembali hukuman untuk kami. Sebab kami tidak tahu, 
kalau hutan ini merupakan daerah kekuasaan kalian. Sekali lagi, kami mohon maaf. 
Secepatnya kami akan meninggalkan tempat Ini..," ujar pemuda tampan berjubah putih itu 
dengan suara lembut dan sopan. Kemudian, ia mengajak kawannya untuk segera 
meninggalkan tempat itu. 
"Tidak bisa!" 
Lelaki tinggi kurus bermuka pucat itu membentak dengan nada tinggi. Membuat 
kedua anak muda itu menahan langkahnya, dan memandang dengan wajah heran. 
"Mengapa kalian tidak memperbolehkan kami pergi? Apakah perbuatan kami tidak 
bisa dimaafkan...?" tanya pemuda tampan itu penasaran, melihat sikap lelaki tinggi kurus 
yang ingin memaksakan kehendaknya. 
"Kalian tetap akan mendapat hukuman...!" tegas lelaki itu sambil menggerakkan 
tangannya memberi isyarat. Kelima lelaki berwajah pucat lainnya, segera merapatkan 
kepungan. Jelas sudah, perkelahian sulit dihindari lagi. 
"Hm...." 
Pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan, seraya mengedarkan 
pandangannya merayapi wajah keenam lelaki muda yang berwajah pucat. Ia melihat 
adanya keganjilan, baik dari sikap maupun ucapan lelaki tinggi kurus itu. Wajah mereka 
yang tanpa sinar kehidupan, dan sinar yang kaku, membuat pemuda itu ingin mengetahui 
penyebab keanehan-keanehan yang ada pada diri keenam telaki muda sebayanya. Dan 
ketika merasa tidak mungkin lagi menghindari perkelahian, pemuda itu pun bersiap 
menghadapi segala kemungkinan. 
"Hmh...!" 
Tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang rupanya pimpinan kelompok itu mendengus 
sambil mengibaskan lengan kanannya. Dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk 
meringkus pemuda tampan serta dara jelita itu. 
"Heaaah...!" 
Pemuda maupun gadis itu tidak sudi menyerah begitu saja. Mereka bergerak ke kiri 
dan kanan menyambut datangnya serangan lawan. Tiga sosok tubuh berwajah pucat itu 
menyerang secara bersamaan. 
Plak! Plak! Plak! 
"Heh...?!" 
Pemuda tampan berjubah putih, yang memang mencurigai orang-orang berwajah 
pucat itu, tak urung merasa kaget juga ketika mencoba memapaki serangan lawan. 
Beruntung ia tidak memandang remeh mereka. Dirasakannya tenaga dalam kuat yang 
disertai hawa panas, mengalir melalui serangan lawan. 
Ia heran melihat ketiga orang pengeroyoknya tidak menunjukkan reaksi apa pun. 
Bahkan, mereka kembali merangsek maju. Sepertinya mereka ingin menyelesaikan 
perkelahian itu secepatnya. 
"Hm...," pemuda tampan berjubah putih itu bergumam perlahan. 
Ia melompat ke belakang sejauh satu setengah tombak. Dilihatnya gadis jelita itu 
tengah dikeroyok tiga orang lawan. Menyadari kekuatan lawan, ia merasa khawatir gadis 
itu tidak dapat menghadapi serangan yang dilancarkan tiga orang pengeroyoknya. Tetapi, 
rupanya gadis itu dapat mengimbangi mereka. Pemuda itu sedikit berlega hati. Maka ia 
pun segera bergerak maju menghadapi serangan ketiga orang lawannya tadi. 
"Kalian terlalu memaksa, Kisanak...," ujar pemuda tampan itu. 
Melihat ketiga orang lawannya tidak meladeni dan kembali menyerang dengan 
jurus-jurus maut, pemuda itu segera mengimbanginya dengan mengerahkan tenaga 
saktinya. Sekujur tubuhnya tampak diselimuti kabut putih keperakan, yang memancarkan 
hawa dingin menggigit tulang. 
Kali ini, justru ketiga pengeroyoknya yang terkejut. Kelihatan, mereka mulai 
terdesak. Pemuda berjubah putih itu, jelas tidak bisa dianggap enteng. Maka, mereka 
melancarkan jurus-jurus mematikan untuk mendesaknya. 
Melihat kenyataan itu, pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji, 
atau berjuluk Pendekar Naga Putih, makin memperhebat serangannya, ia pun berusaha 
mendesak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya.

"Heaaat..!" 
Tubuh Panji berkelebat cepat, menggunakan ilmu meringankan tubuh yang 
sempurna. Sebentar saja, ketiga orang lawan merasa seperti tengah bertarung dengan 
bayangan mereka sendiri. Setiap kali mereka melontarkan serangan, bayangan lawan 
selalu saja telah lenyap dari pandangan mata. Ini membuat mereka makin sibuk dan 
kewalahan menghadapinya. 
Desss...! 
Suatu saat, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan telapak tangan 
kanannya ke tubuh seorang pengeroyok. Karuan saja, tubuh lelaki kurus yang menjadi 
pimpinan orang-orang berwajah pucat itu terpental deras. 
Pukulan yang keras dan mengandung hawa dingin itu, ternyata tidak membuatnya 
menjadi lumpuh. Tubuh yang tengah meluncur itu, berputaran di udara, dan mendarat 
ringan dengan kedua kaki lebih dahulu. Wajahnya tetap datar dan dingin tanpa perasaan. 
Seolah pukulan keras Pendekar Naga Putih tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Hal ini 
sempat membuat Panji terheran-heran. 
"Gila! Dari partai mana sebenarnya orang-orang aneh ini? Mereka memiliki tenaga 
dalam yang mengandung hawa panas. Dan mereka pun ternyata memiliki kekebalan tubuh 
yang cukup ampuh! Aku tidak boleh memberi hati lagi kepada mereka. Bisa-bisa aku yang 
celaka di tangan orang-orang aneh ini...," desis Panji, yang mulai merasa yakin bahwa 
orang-orang berwajah pucat itu memang memiliki kepandaian tinggi. 
"Yeaaah...!" 
Mendadak ketiga orang itu berteriak secara bersamaan. Tubuh mereka 
berlompatan, dan bersatu dengan cara saling menempelkan telapak tangan masing-
masing. Panji mengerutkan kening, ketika melihat dari telapak tangan mereka 
berpendaran sinar kuning keemasan yang meniupkan hawa panas. Jelas, ketiga orang 
pengeroyoknya itu mulai mengeluarkan ilmu andalan. 
"Heaaah...!" 
Dengan teriakan mengguntur, ketiga orang lelaki muda berwajah pucat itu kembali 
melompat dengan gerakan-gerakan aneh. Yang mengejutkan, setiap kali telapak tangan 
mereka bergerak, selalu disertai kilatan sinar kuning keemasan yang menyilaukan mata. 
Bahkan hawa panas yang disebarkan, terasa sangat menyengat, membuat udara di sekitar 
arena pertarungan terasa panas seperti di dalam tungku. 
"Gila...! Kepandaian mereka ternyata lebih hebat dari yang kubayangkan...!" desis 
Panji. 
Secepat kilat, pemuda itu melompat ke samping kanan, ketika salah seorang 
lawannya melontarkan sebuah pukulan jarak jauh diiringi kilatan cahaya kuning 
keemasan. 
Blarrr...! 
Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan itu. Sebatang pohon besar 
yang menjadi sasaran, berderak, dan roboh dengan bagian yang terkena pukulan hangus 
bagaikan terjilat lidah api Panji semakin berhati-hati dibuatnya. 
Di bagian lain, Pendekar Naga Putih melihat dara jelita berpakaian serba hijau yang 
tidak lain Kenanga, tengah terdesak oleh ketiga orang pengeroyoknya. Kenanga agak 
kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Mereka sama lihainya dengan pengeroyok Panji. 
Melihat itu, Pendekar Naga Putih merasa khawatir akan nasib kekasihnya. Perhatiannya 
terpecah, sehingga lawan berhasil mendesaknya. 
"Kurang ajar...!" geram Panji sambil berlompatan menghindari sergapan lawan-
lawannya. Untuk mengimbangi kekuatan lawan, dengan terpaksa ia mulai menggunakan 
ilmu andalannya yang telah membuat namanya dikenal oleh kaum rimba persilatan. 
"Yeaaat...!" 
Diiringi pekikan yang menggetarkan jantung, Panji memainkan 'Ilmu Silat Naga 
Sakti' yang sampai saat ini belum ada tandingannya. Tubuhnya berkelebat cepat, bagaikan 
seekor naga putih yang tengah bermain-main di angkasa. Sepasang tangannya yang 
berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat, disertai hembusan 
angin dingin menusuk tulang! 
Plak! Plak! Plak! 
Ketiga orang pengeroyok itu berusaha memapaki terkaman Panji yang jelas sangat 
berbahaya itu. Kali ini, mereka merasakan kehebatan pemuda tampan berjubah putih itu. 
Tamparan dan pukulan mereka tidak berarti sama sekali. Bahkan, mulai terdesak oleh
sambaran-sambaran angin dingin yang menusuk tulang sumsum. Terbukti, tenaga hawa 
panas mereka kalah dengan hawa dingin 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. 
"Haiiit..!" 
Desss! Buggg...! 
"Aaakh...!" 
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih sulit diimbangi lawan-lawannya. Dua buah 
hantaman keras Panji bersarang di dada dan lambung dua orang lawannya. Tanpa ampun 
lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terjungkal keras, dan terbanting ke tanah. 
Kali ini, orang-orang berwajah pucat itu mengakui kehebatan Pendekar Naga Putih. 
Kekebalan tubuh mereka mampu ditembus, setelah Panji mengerahkan lebih dari separuh 
tenaga saktinya untuk melancarkan pukulan itu. Tubuh kedua orang lawannya menggigil 
diselimuti lapisan kabut putih. 
Lawan Panji yang tinggal seorang itu tampak mulai merasa gentar. Orang itu 
bergerak mundur beberapa langkah ke belakang. Panji tidak mempedulikannya. Pemuda 
itu langsung melesat ke arah pertempuran yang berada dua tombak lebih di sebelah 
kanannya. Dan, langsung menerjunkan diri dalam pertarungan. 
Plak! Plak! 
Panji langsung mengirim dua tamparan keras, yang membuat dua orang 
pengeroyok Kenanga terpental sejauh satu tombak lebih. Meskipun demikian, mereka yang 
sempat memapaki tamparan Panji, kembali melompat bangkit, dan membangun serangan 
yang lebih hebat. 
Kenanga, yang kali ini hanya menghadapi seorang lawan, langsung menggempur 
musuhnya dengan sambaran-sambaran Pedang Sinar Rembulan. Sebentar saja, lawan 
dara cantik itu telah terdesak hebat, dan tak mampu lagi melakukan serangan balasan. 
Rupanya dalam kejengkelannya, Kenanga langsung saja mengeluarkan ilmu pedang 
andalannya. Sehingga kehebatannya tidak disangsikan lagi. 
"Hiaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh tiga, Kenanga mengeluarkan 
bentakan nyaring. Tubuh ramping itu bergerak cepat, dengan sambaran pedang yang 
berkelebat laksana sambaran kilat. 
Brettt..! 
"Aaargh...!" 
Lelaki muda berwajah pucat itu memekik kesakitan, ketika dadanya tersambar 
Pedang Sinar Rembulan. Darah segar merembes keluar dari luka memanjang yang 
merobek kulit dan daging. Meskipun tidak mematikan, luka yang diderita orang itu cukup 
parah. 
Serangan Kenanga tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis itu mengejar lawannya 
yang terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang terluka. Dara jelita itu melenting ke 
atas, dan menukik turun seraya menjejakkan telapak kakinya ke dada lawan. 
Buggg! 
"Huagkh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki muda berwajah pucat itu terjungkal ke tanah. 
Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Meskipun demikian, ia masih kuat, dan 
melenting bangkit, siap melanjutkan pertarungan. 
Tapi, Kenanga tidak memberi kesempatan. Kembali kaki kanannya melayang 
dengan tendangan berputar, langsung menghajar pelipis lawan. Karuan saja tubuh orang 
itu terpelanting dan jatuh ke tanah. 
"Hm... Ingin kulihat, apakah kali ini kau masih mampu bangkit..?" ejek Kenanga 
seraya menatap wajah lawan yang mengerang menahan sakit. 
Diam-diam Kenanga kagum akan kekuatan lawan. Semestinya, lelaki berwajah 
pucat itu sudah jatuh pingsan akibat tendangannya tadi. Tapi, lelaki itu malah tengah 
berusaha bangkit kembali. Tentu saja kenyataan itu membuat Kenanga mengerutkan 
keningnya dalam-dalam. 
"Hmh...!" 
Sosok lelaki berwajah pucat itu menggeram gusar, penuh kemurkaan. Melihat hal 
itu. Kenanga siap menggebrak lawan dengan jurus-jurus ampuhnya. 
"Aihhh...!! " 
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat Kenanga terpekik ngeri, dan 
melangkah mundur dengan wajah pucat! Pemandangan di hadapannya sungguh

mengerikan. Tubuh lelaki itu meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Sebentar saja kulit dan 
dagingnya lumer, hingga tulang-belulangnya saja yang masih tersisa! 
Kenanga menatap tulang-belulang itu dengan mata terbelalak lebar. Perlahan 
tulang-belulang itu ambruk ke tanah. Kenanga baru menarik napas lega setelah melihat 
kejadian yang aneh dan mengerikan itu berakhir. 
Panji yang mendengar jeritan kekasihnya segera melayang ke tempat dara jelita itu 
berada. Kesempatan itu digunakan kedua lawannya untuk melarikan diri. Sedangkan tiga 
orang lainnya telah pergi sejak tadi. 
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji khawatir. 
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya sedikit terkejut melihat kejadian yang sama 
sekali tidak pernah terbayang dalam pikiranku," ujar Kenanga yang kemudian 
menceritakan kejadian tadi pada Panji. 
Panji memperhatikan tulang-tulang yang kini telah hancur. Kening pemuda itu 
berkerut dalam, mencoba memecahkan rahasia keenam orang aneh itu. Lama pemuda itu 
berpikir, tapi tak satu jawaban pun didapatnya. 
"Hm.... Mungkin di sekitar hutan ini terdapat sebuah perguruan silat. Mari kita 
selidiki...," ujar Panji pada kekasihnya. Dengan cara itu Pendekar Naga Putih berharap 
dapat memecahkan misteri orang-orang berwajah pucat yang menghadangnya.


DUA


Hari masih sangat pagi. Fajar baru saja datang. Di ufuk Umur belum lagi terlihat 
tanda merah. Suara binatang malam masih terdengar ramai, menemani keremangan fajar. 
Dan tiupan angin terasa dingin menyentuh kulit. 
Dalam keremangan itu, terlihat serombongan orang bergerak memasuki hutan. 
Mereka berbaris rapi, seperti sepasukan prajurit yang hendak berangkat ke medan laga. 
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu dipimpin tiga orang 
lelaki tegap berwajah angker. Ketiganya mengenakan pakaian ringkas, yang membuat 
sosok mereka tampak ramping dan gesit. Dari gerak-gerik mereka, mudah ditebak kalau 
ketiganya merupakan orang-orang persilatan golongan tinggi. Hal itu terbukti dari sorot 
mata, dan cara mereka melangkah yang laksana harimau jantan. 
Tepat di belakang ketiga lelaki itu, terdapat sebuah tandu yang dipikul empat orang 
lelaki bertubuh kekar. Tandu itu sendiri terhias indah dengan tirai-tirai yang terbuat dari 
sutera bersulam benang emas. Sedangkan di belakang para pemikul tandu, terdapat 
puluhan orang lainnya. 
Rombongan itu terus bergerak memasuki hutan lebat, dengan bantuan sinar obor 
yang dipegang beberapa orang anggota rombongan. Sehingga, perjalanan mereka tidak 
terlalu sulit. 
Persis saat cahaya kemerahan mulai menghiasi kaki langit sebelah timur, salah 
seorang pimpinan rombongan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Mereka berhenti 
tepat di atas sebuah anak bukit. Kemudian, ketiga orang kepala rombongan berlutut 
diikuti para anggotanya. 
"Wahai Sang Dewi Matahari yang agung, penerang kegelapan. Kami, para 
pemujamu, datang untuk mempersembahkan tumbal bagi kejayaanmu. Semoga Sang Dewi 
berkenan menerimanya...!" terdengar salah seorang pimpinan rombongan yang berjubah 
panjang dan berikat kepala merah, berkata lantang sambil mengangkat kedua tangannya. 
Tubuhnya menghadap cahaya kemerahan yang semakin merona nyata. Jelas sudah, 
mereka adalah para penyembah Dewi Matahari. 
Begitu ucapan pemimpin upacara selesai, dua orang lelaki kekar yang mengenakan 
jubah panjang berwarna merah, bergerak ke depan. Mereka mengiringi seorang pemuda 
tampan bertubuh tinggi tegap, dan berbaju kuning emas. Ia mengenakan sebuah mahkota 
yang juga berwarna emas. 
Lelaki tegap berjubah dan berikat kepala merah, yang menjadi pemimpin upacara 
suci itu, bergerak bangkit menyambut kedatangan pemuda tampan yang akan dijadikan 
tumbal. Sedangkan pengiringnya, kembali ke belakang dua orang pemimpin lainnya, yang 
saat itu masih tetap bersimpuh, berikut seluruh anggotanya. 
"Anak muda...," panggil sang pemimpin upacara dengan suara berwibawa. "Kau 
sungguh beruntung terpilih menjadi pengawal Sang Dewi Matahari yang agung, penerang 
kegelapan. Semoga kau tidak mengecewakan hati Sang Dewi...." 
"Terima kasih, Ki. Semoga dengan pengabdianku ini, Sang Dewi yang agung, 
penerang kegelapan, akan memberikan anugerahnya kepada kita semua...," ujar pemuda 
tampan yang telah siap dipersembahkan pada Dewi Matahari yang mereka puja itu. 
Lelaki gagah pemimpin upacara yang berusia lima puluh tahun itu tersenyum 
penuh keharuan. Kemudian, pemuda itu diminta untuk menuju sebuah pondok kecil, yang 
terletak sekitar dua tombak di depan rombongan. 
Ki Sangkila, pemimpin upacara suci itu, kembali berlutut saat pemuda tampan 
berpakaian warna emas melangkah ke arah pondok. Demikian pula seluruh anggota 
rombongan. 
Sebentuk sinar kuning keemasan berpendar menerangi pondok, saat pemuda itu 
tiba di ambang pintu. Bagaikan benda hidup, sinar kuning keemasan itu langsung 
membungkus tubuh si pemuda. Dan, pintu pondok pun kembali tertutup. Perlahan sinar 
kuning keemasan itu memudar, tepat ketika cahaya matahari mulai muncul mengusir 
keremangan. 
"Jayalah Sang Dewi.... Abadilah Sang Dewi.... Semoga kejayaan dan keberkahan 
selalu menyertai kami..," desis Ki Sangkila dengan suara bergetar, menebarkan pengaruh


yang membuat para anggota rombongan mengangguk-angguk, dan membenturkan 
keningnya di atas tanah. 
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangkila bergerak bangkit, dan memerintahkan 
kepada anggota rombongannya untuk bangkit berdiri. Upacara telah selesai. 
"Kita kembali...," perintah Ki Sangkila yang segera melangkah mendahului anggota 
rombongannya. Jubah dan ikat kepala lelaki tua itu telah dilepas, dan disimpan rapi. 
Demikian pula dengan dua orang pimpinan lainnya. Juga empat orang pemikul tandu, 
yang pada waktu upacara mengenakan jubah berwarna merah. Rombongan pun kembali 
bergerak meninggalkan hutan. 
Namun, baru saja Ki Sangkila dan rombongannya hendak menuruni bukit, muncul 
tiga orang lelaki gagah berpakaian ringkas yang berdiri menghadang jalan. Melihat sikap 
dan raut wajah mereka, tampaknya kemunculan ketiga orang itu tidak bermaksud baik. 
"Hm.... Kalian telah tersesat terlalu jauh. Rupanya, kabar angin yang kudengar 
selama ini bukan bualan kosong. Semua yang kusaksikan barusan, merupakan bukti 
nyata bahwa kalian benar-benar bodoh. Tega mengorbankan nyawa seorang pemuda, 
hanya untuk sesuatu yang tidak jelas...," kata salah satu dari ketiga orang lelaki gagah itu. 
Ditatapnya wajah Ki Sangkila dengan sorot mata tajam penuh teguran. 
"Hm.... Jumirta si Macan Gunung Galung, kiranya...," gumam Ki Sangkila, yang 
rupanya telah mengenal lelaki tegap berusia empat puluh tahun itu. 
Dengan tenang, Ki Sangkila melangkah beberapa tindak, diiringi dua orang di kiri 
dan kanannya. Sikapnya terlihat sangat angkuh, dan memandang remeh Jumirta yang 
berjuluk Macan Gunung Galung. 
Jumirta pun tidak kalah gertak. Lelaki tegap itu maju beberapa tindak, sampai 
keduanya berdiri dalam jarak satu tombak. Mereka saling bertatapan dengan dagu 
terangkat. Dan sorot mata tajam, saling menantang. 
"Mengapa kau menghadang perjalanan kami, Jumirta?" tanya Ki Sangkila dengan 
nada tak senang. Sepasang matanya menatap tajam, dan tidak beralih sedikit pun dari 
wajah lawan bicaranya. 
"Sebagai orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, aku 
berkewajiban untuk meluruskan perbuatanmu, Ki Sangkila. Karena kau telah 
menjerumuskan orang lain untuk ikut dalam kesesatanmu. Perbuatanmu ini jelas salah, 
dan menyimpang dari kebenaran. Untuk itu, kuminta kau mau menghentikannya...!" 
Jawab Jumirta tegas dan lantang. Sehingga, terdengar oleh anggota rombongan Ki 
Sangkila. 
Terdengar suara menggeram marah, menyambut ucapan Jumirta yang bagi 
pengikut Ki Sangkila jelas merupakan penghinaan. Geraman itu berasal dari dua orang 
lelaki kekar berkepala botak, yang merupakan-dua dari empat pemikul tandu. Keduanya 
bergerak maju dengan wajah bengis. 
"Hm.... Biar kami urus manusia sombong yang telah menghina kita itu, Ki...," desis 
salah seorang dari dua lelaki botak itu, dengan sorot mata tajam menusuk. 
Ki Sangkila hanya tersenyum. Kemudian, mengembangkan kedua lengannya, 
melarang kedua orang lelaki botak yang tampak marah itu. 
"Tenanglah, dan kembali ke tempatmu...!" perintah Ki Sangkila tegas, tidak ingin 
dibantah. 
Kedua lelaki berkepala botak itu hanya bisa menelan kemarahan. Mereka bergerak 
mundur, dan kembali ke dalam barisan. 
"Kau dengar dan lihat sikap mereka dalam menanggapi ucapanmu barusan, 
Jumirta? Sebaiknya kau pergi, dan jangan campuri urusan kami Apa yang kulakukan 
sama sekali tidak merugikanmu, bukan? Nah, pergilah! Dan jangan ganggu kami lagi. 
Kalau tidak, kau akan menyesal seumur hidup...!" ancam Ki Sangkila. 
"Ki Sangkila!" tegas Jumirta sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah orang 
tua itu. "Perbuatanmu sangat merugikan! Kalau dibiarkan, akan banyak orang yang 
terseret ke dalam kesesatanmu itu. Karena itu, aku tidak akan mundur...!" 
"Kalau begitu, kau memang menginginkan kematian, Jumirta! Menyesal aku harus 
bertindak kasar terhadapmu...!" geram Ki Sangkila. 
Kemarahan Ki Sangkila mulai bangkit melihat kebandelan Macan Gunung Galung. 
Dengan wajah gelap, lelaki setengah baya itu melangkah mundur seraya mengebutkan 
lengan bajunya ke depan.

Jumirta bukan tidak menyadari gerakan itu. Cepat, ia melangkah ke belakang 
dengan lompatan pendek, begitu merasakan adanya sambaran angin yang keluar dari 
kibasan lengan Ki Sangkila. Jelas kalau lelaki tua itu telah menyerangnya dengan halus. 
"Hmh...," Jumirta menggeram dengan wajah tegang. 
Jumirta yang berjuluk Macan Gunung Galung ini agak terkejut merasakan kuatnya 
angin pukulan lawan. Jumirta mengenal siapa Ki Sangkila. Lelaki tua itu adalah Kepala 
Desa Pugar Selatan, yang memiliki kepandaian tangguh. 
Sebagai orang yang telah cukup lama mengenal Ki Sangkila, Jumirta dapat 
mengukur sampai di mana ketangguhan lawan. Tapi, serangan barusan sempat 
membuatnya tak percaya! Sebab, ia merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki 
Ki Sangkila sekarang. Padahal, setahu Jumirta, kesaktian orang tua itu masih berada di 
bawahnya. Kenyataan itu membuat keningnya berkerut dalam. 
"He he he...! Mengapa kau menjadi seperti orang bodoh, Jumirta? Kalau memang 
takut, cepatlah pergi dari hadapanku, sebelum aku berubah keputusan...," ejek Ki 
Sangkila, yang rupanya dapat meraba keterkejutan lawan. 
Jumirta bukan orang lemah. Sebagai seorang pendekar yang telah mendapat 
julukan Macan Gunung Galung, tentu saja kepandaiannya tidak bisa dipandang remeh. 
Bahkan dalam perguruannya, ia telah mendapat kedudukan yang cukup tinggi, yaitu 
sebagai Wakil Ketua Perguruan Gunung Galung. 
Kehadirannya di hutan itu, karena tugas dari ketua yang juga gurunya, untuk 
menyelidiki kabar-kabar yang tersebar di luaran. Perguruan Gunung Galung sendiri tidak 
terlalu jauh letaknya dari Desa Pugar Selatan. Itulah sebabnya, mengapa berita tentang 
para penyembah Dewi Matahari, sampai terdengar Ketua Perguruan Gunung Galung. 
"Kau terlalu sombong, Ki Sangkila. Apa pun yang bakal terjadi, aku akan tetap 
mencegah dan meluruskan jalanmu. Untuk itu, rasanya memang perkelahianlah yang bisa 
menyelesaikan persoalan ini...," sahut Jumirta, tenang. 
Dua orang murid Perguruan Gunung Galung yang menyertai kedatangan Jumirta, 
sudah menghunus senjata masing-masing. Sedangkan Macan Gunung Galung sendiri 
telah mempersiapkan ilmu 'Cakar Macan'nya, yang telah membuat namanya terkenal 
dalam kalangan persilatan. 
Melihat ketiga lawannya telah bersiap, dua orang wakil Ki Sangkila hendak maju 
membantu. Namun, Ki Sangkila mencegah, dan menyuruh mereka mundur. Sepertinya, 
orang tua itu ingin menghadapi lawan seorang diri. 
Melihat hal itu, Jumirta mengerutkan keningnya semakin dalam, ia yang tahu 
sampai di mana kepandaian Ki Sangkila, mereka heran. Mungkinkah Ki Sangkila telah 
memiliki kemajuan yang sangat pesat! Jumirta membatin tak percaya. 
"Majulah, aku telah siap...!" tantang Ki Sangkila. 
Macan Gunung Galung yang belum yakin akan kepandaian Ki Sangkila, 
memerintahkan kedua orang kawannya mundur. Sepertinya Jumirta ingin mencoba dulu 
kelihaian lawannya seorang diri. 
Ki Sangkila tersenyum mengejek melihat Jumirta maju seorang diri. Tapi, lelaki tua 
itu tidak berkata apa-apa. Sepasang matanya bergerak mengikuti langkah Jumirta yang 
bergerak ke arah kanannya. 
*** 
"Haaat..!" 
Dengan pekikan yang nyaring, merobek udara pagi, tubuh Jumirta melesat ke 
depan diiringi sambaran cakarnya yang berdecitan tajam. Macan Gunung Galung 
mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, karena tidak ingin berbuat ceroboh setelah 
merasakan kekuatan angin pukulan lawan. 
Wuttt..! 
Ki Sangkila mendengus sambil memiringkan tubuhnya menghindari sambaran 
cakar lawan, yang datang bertubi-tubi mengancam tubuhnya. Kemudian, lelaki tua itu 
berputar mengirimkan tebasan lengannya yang mengancam tengkuk Jumirta. 
Wukkk! 
Terdengar sambaran angin tajam mengiringi datangnya lengan Ki Sangkila, yang 
telah berisi tenaga dalam tinggi. 
"Hiaaah…!"

Jumirta yang masih merasa belum yakin akan kekuatan tenaga dalam lawan, 
menarik tubuh ke belakang sambil mengangkat tangan kirinya menyambut tebasan tangan 
lawan. 
Plak! 
"Ughhh...?!" 
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar hampir tidak dapat dipercaya oleh 
Jumirta. Benturan itu bukan saja telah membuat lengannya terasa panas bagai terbakar. 
Tapi, kuda-kudanya pun tergempur dan tubuhnya nyaris terpelanting. 
"Gila...?!" umpat Jumirta sambil memijat lengannya yang terasa nyeri dan panas. 
Untung sebelumnya Jumirta telah siaga dengan mengerahkan lebih dari separuh 
tenaga dalamnya. Kalau tidak, mungkin tulang lengannya sudah remuk akibat benturan 
keras tadi. 
Hal itu membuat Macan Gunung Galung jadi tak mengerti, ia tidak habis pikir, 
seorang pendekar ternama seperti dirinya, nyaris dipecundangi oleh Ki Sangkila yang tidak 
tersohor sama sekali. Ini tidak bisa diterima Jumirta. 
Sadar akan kenyataan itu, Jumirta menggeram marah. Cepat ia menghimpun 
semangat dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Sepasang cakar macannya 
tampak bergetar, karena berisi tenaga dalam kuat. 
"Yeaaah...!" 
Untuk kedua kalinya, Jumirta kembali melesat diiringi teriakan yang melengking 
tinggi. Sepasang cakarnya bergerak susul-menyusul mengancam tubuh lawan. Serangan 
Macan Gunung Galung kali ini benar-benar hebat dan tidak bisa dipandang remeh. 
Ki Sangkila bergerak ke samping ketika sambaran lawannya kembali datang. Dan 
langsung membalas dengan serangan-serangan yang cepat dan menerbitkan hawa panas, 
yang membuat pikiran lawan terganggu. Jumirta kembali diliputi keheranan, melihat 
kehebatan lawan yang sama sekali di luar perhitungannya. 
Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. 
Keduanya saling terjang dengan mengandalkan jurus-jurus ampuh yang dimiliki. Namun, 
Jumirta benar-benar harus mengakui keunggulan lawan. Setelah dua puluh jurus 
pertarungan berlalu, Ki Sangkila mulai melakukan tekanan-tekanan berat terhadapnya. 
Belum lagi adanya hawa panas yang mengelilingi arena pertarungan. Jumirta harus 
menguras seluruh kepandaiannya, jika ia tidak mau celaka. 
"Hiaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh dua, Ki Sangkila mengeluarkan 
pekikan yang mengejutkan lawan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya berputar cepat 
dengan serangan-serangan maut yang mematikan. 
"Akh...?l" 
Jumirta memekik kaget sambil melesat menghindari pukulan dan tamparan 
berhawa panas yang dikirimkan lawan. Peluh membasahi pakaian dan wajahnya. Jumirta 
merasa cepat lelah, karena adanya hawa panas yang terbit dari setiap serangan lawan. 
Sehingga, laki-laki gagah itu menjadi semakin kewalahan. Dan.... 
Blaggg! 
"Huagkhhh...!" 
Suatu ketika, Jumirta tidak sempat lagi menghindari sebuah pukulan telapak 
tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu tersentak ke belakang, memuntahkan 
darah segar. Kemudian, terbanting ke tanah tanpa ampun. 
"Pergilah ke akhirat, Jumirta...!" seru Ki Sangkila, seraya hendak melanjutkan 
serangan. Jelas, lelaki tua ini ingin menamatkan riwayat lawannya. 
"Haaat...!" 
Dua orang murid utama Perguruan Gunung Galung, yang menyertai kedatangan 
Jumirta, tidak tinggal diam. Keduanya segera melesat ke depan untuk menyelamatkan 
wakil ketua mereka. 
Plak! Plak! 
Namun kecepatan gerak Ki Sangkila benar-benar luar biasa! Dalam keadaan tubuh 
melayang di udara, lelaki tua itu masih sempat memutar sepasang lengannya, guna 
menyambut tebasan dua batang pedang lawan. Akibatnya, tubuh kedua orang lelaki muda 
bertubuh tegap itu terpental batik, dan terbanting jatuh ke tanah. Jelas, kekuatan mereka 
berdua masih belum mampu mengimbangi kehebatan tenaga dalam Ki Sangkila.

Jumirta yang sudah bangkit tegak, segera saja menghunus senjatanya, siap 
melanjutkan pertarungan. Tapi, melihat keadaannya, rasanya tidak mungkin Macan 
Gunung Galung akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh jurus untuk menghadapi 
lawannya. Hal itu diketahui jelas oleh kedua orang rekannya. Sehingga, kedua orang murid 
utama Perguruan Gunung Galung segera melompat mendampingi Jumirta. 
"Hm.... Begitu lebih bagus...," ejek Ki Sangkila, seraya tersenyum iblis melihat 
ketiga orang lawannya bergabung untuk mengeroyok dirinya. 
Dan baru saja ucapannya selesai, tubuh orang tua itu telah melayang dengan 
kecepatan yang menggetarkan, ke arah pengeroyoknya. 
Bettt... bettt...! 
Sambaran angin pukulan berhawa panas, kembali menyebar memenuhi arena 
pertarungan, membuat ketiga orang lawannya tidak dapat melakukan perlawanan dengan 
pikiran tenang. Karena hawa panas itu telah mengacaukan pikiran, sehingga gerakan 
mereka pun menjadi kacau tak beraturan. 
Ki Sangkila, yang menyadari kehebatan murid-murid Perguruan Gunung Galung, 
terus saja mendesak dengan tamparan dan tendangan yang cepat dan kuat. Sehingga, 
ketiga orang pengeroyok itu jadi terdesak hebat. Sampai-sampai mereka tidak lagi mampu 
untuk melancarkan serangan balasan. Sebab, serangan mereka seperti terhalang dinding 
hawa panas, yang membuat tenaga serangan mereka membalik. 
"Yaaat...!" 
Memasuki jurus yang kedua puluh, Ki Sangkila kembali mengeluarkan pekikan 
nyaring, diiringi tamparan mautnya. 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Jumirta menjerit ngeri, saat tamparan lawan mendarat telak di pelipisnya. Tanpa 
ampun lagi, tubuh lelaki gagah itu terjungkal, tewas dengan kepala retak. Darah segar 
mengalir, menggenangi bagian kepala lelaki gagah itu. 
Nasib kedua orang murid utama Perguruan Gunung Galung pun tidak berbeda 
jauh dengan wakil ketuanya. Sepasang telapak tangan Ki Sangkila singgah di dada kedua 
orang itu, membuat tubuh keduanya terpental deras, dan terbanting jatuh memuntahkan 
darah kental kehitaman. Asap tipis tampak mengepul dari tanda hitam di dada kedua 
orang itu, yang bergambar telapak tangan Ki Sangkila. Keduanya menghembuskan napas 
terakhir diiringi senyum iblis lelaki tua itu. 
"Tinggalkan saja bangkai mereka untuk binatang-binatang penghuni hutan ini...," 
ujar Ki Sangkila, segera mengajak rombongannya meninggal hutan. 
Tanpa ada bantahan sedikit pun, rombongan itu pun kembali bergerak 
melanjutkan perjalanan.


TIGA

Tiga ekor kuda berderap melintasi jalan berbatu, di bawah terik sinar matahari. 
Debu tipis tampak mengepul mengiringi gerak maju ketiga ekor kuda, yang masing-masing 
ditunggangi seorang lelaki tegap berpakaian ringkas. 
Ketiga orang penunggang kuda itu baru memperlambat lari kudanya, ketika 
memasuki batas sebuah desa. Sebuah tiang batu yang bertuliskan 'Batas Desa Pugar 
Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi jalan. Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan, 
memasuki jalan tanah yang cukup lebar. 
"Kisanak yang menunggang kuda, harap berhenti sebentar...!" tiba-tiba terdengar 
seruan, yang membuat ketiga orang penunggang kuda itu menarik tali kekang. Kuda pun 
berhenti seketika. 
Di depan ketiga orang penunggang kuda itu, dalam jarak dua tombak lebih, tampak 
enam orang lelaki berdiri menghadang jalan. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh 
gemuk dan berkumis tebal, melangkah lebar menghampiri. Sedangkan ketiga orang 
penunggang kuda lainnya, terap berada di atas punggung binatang tunggangannya. 
"Hm.... Kiranya Kakang Balasara yang datang. Ada keperluan apa kalian 
mengunjungi desa ini...?" tanya lelaki gemuk berkumis tebl itu, menatap penunggang kuda 
terdepan. 
Lelaki gagah bermata tajam yang dipanggil dengan nama Balasara, hanya 
menganggukkan kepalanya sedikit, membalas sapaan lelaki gemuk itu. 
"Adi Suganta. Kami datang sebagai utusan Ki Sakya Wulung, kepala desa kami. 
Harap kalian memberi jalan kepada kami untuk menghadap Ki Sangkila, kepala desa 
kalian...," sahut Balasara dengan nada bersahabat. 
Meskipun begitu, kelihatan sekali kalau keduanya sama-sama bersikap kaku, 
seperti mempunyai ganjalan di dalam hati. 
"Tentu saja boleh, Kakang Balasara. Tapi, kalau boleh kami tahu, keperluan 
apakah kiranya...?" tanya lelaki gemuk berkumis lebat yang bernama Suganta itu, 
setengah menyelidik. 
"Maaf, aku terpaksa tidak bisa mengatakannya, Adi Suganta. Pesan Ki Sakya 
Wulung hanya untuk kepala desa kalian. Harap kau memakluminya...," sahut Balasara. 
Suganta, lelaki gemuk berkumis lebat dan berkepala gundul itu agak berubah 
wajahnya. Kelihatan sekali, ia merasa tidak senang dengan jawaban Balasara. 
Suasana mendadak hening. Suganta sama sekali tidak mengeluarkan suara. Hanya 
sepasang matanya saja yang tajam menyapu tiga wajah di depannya yang nampak mulai 
diliputi ketegangan. Terdengar helaan napas panjang Suganta. 
"Hhh.... Karena aku telah mengenal baik kalian, biarlah aku bermurah hari, 
memberikan kelonggaran untuk menemui Ki Sangkila. Bersikaplah sebagai tamu yang 
baik, agar tidak mengundang hal-hal yang tidak diinginkan...," ujar Suganta. Jawaban itu 
jelas menyiratkan sebuah peringatan bagi Balasara dan kawan-kawannya. 
'Terima kasih, Adi Suganta. Peringatanmu akan kami perhatikan baik-baik...," ucap 
Balasara, yang segera mengajak kedua orang kawannya untuk memasuki desa. 
Suganta dan kelima orang kawannya hanya mengiringi kepergian ketiga orang tamu 
itu dengan tatapan mata tajam, tak bersahabat. Balasara sendiri tidak menanggapi ia terus 
saja menjalankan kudanya, meninggalkan tempat itu bersama kedua orang kawannya. 
Baru setelah agak jauh, mereka memacu binatang tunggangannya, menuju kediaman 
Kepala Desa Pugar Selatan. 
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di depan sebuah bangunan besar 
yang dijaga empat orang lelaki berpakaian serba hitam. Balasara mengajak kedua orang 
rekannya turun dari aras punggung kuda. 
"Ki Balasara. Ada keperluan apakah hingga kau sampai ke tempat ini?" tegur salah 
seorang penjaga gerbang rumah kepala desa itu. 
"Kami hendak menghadap Ki Sangkila. Ada sesuatu hal yang pedu kami bicarakan. 
Harap kau segera memberitahukannya kepada beliau...," jawab Ki Balasara tanpa basa-basi lagi.

Penjaga itu pun segera beranjak memasuki bangunan besar, untuk melaporkan 
kedatangan Ki Balasara kepada majikannya. Sementara yang seorang lagi, mengantarkan 
Ki Balasara serta kedua orang kawannya untuk menunggu di pendopo. 
Ketiga penunggang kuda itu memperlambat lari kudanya, ketika memasuki desa. 
Sebuah tiang batu bertuliskan 'Batas Desa Pugar Selatan', tampak berdiri kokoh di tepi 
jalan. 
Para penunggang kuda itu berbelok ke kanan, memasuki jalan tanah yang cukup 
lebar. Tetapi, tiba-tiba terdengar seruan menghadang…!

Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, orang yang 
ditunggu datang, diiringi penjaga gerbang yang melaporkan kedatangan ketiga orang tamu 
itu. 
"Hm.... Berita apa yang kau bawa dari Ki Sakya Wulung, Balasara? Apakah kepala 
desamu itu masih merasa keberatan, dengan keyakinan yang kujalani saat ini...?" tanya Ki 
Sangkila, setelah menyuruh pergi kedua orang penjaga gerbang untuk kembali ke posnya. 
Kemudian, lelaki gagah itu duduk menghadapi ketiga orang tamunya. 
"Maaf, Ki," jawab Ki Balasara, setelah mengangguk hormat kepada lelaki gagah 
berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Sebenarnya, Ki Sakya Wulung sudah tidak ingin 
mencampuri urusanmu. Tapi..., perginya sepuluh orang warga desa kami yang 
menyeberangi desa ini, membuat Ki Sakya Wulung terpaksa mengutus kami untuk 
menghadapmu. Karena orang-orang Desa Pugar Selatan ini telah membujuk dan 
mempengaruhi mereka untuk menyeberang, dan mengikuti segala kesesatan di desa ini. 
Kedatangan kami kemari adalah untuk mengajak kembali warga Desa Pugar Utara, yang 
terkena hasutan itu...," jawab Ki Balasara. 
"Hmh...." 
Ki Sangkila menggeram gusar, setelah mendengar keterangan Ki Balasara. 
Wajahnya yang semula segar, mendadak kelam. Jelas, lelaki setengah baya itu tidak 
senang dengan ucapan tamunya. 
"Balasara! Kedatangan sepuluh orang pemuda warga desamu itu, adalah atas 
kehendak mereka sendiri. Tak seorang pun dari pengikut-pengikutku yang menghasut 
atau membujuk mereka untuk bergabung. Jadi, jelas kau sengaja hendak mencari-cari 
alasan untuk menyalahkan kami. Aku tidak bisa menerima tuduhan itu. Ingat baik-
baik...!" jelas Ki Sangkila dengan suara dalam dan berat 
"Maaf. Apa yang kusampaikan tadi adalah yang sebenarnya, Ki. Sebab, ada seorang 
yang tidak terkena hasutan, menyampaikannya kepada kepala desa kami. Selain itu, 
banyak orang yang menyaksikan perbuatan para pengikutmu itu, Ki. Kami hanya sekadar 
menyampaikan. Masalah Ki Sangkila meluluskan atau tidak permintaan kami, itu terserah 
penilaian dan kebijaksanaan Aki sebagai kepala desa. Harap Ki Sangkila memberikan 
jawaban pasti kepada kami, agar bisa melaporkannya kepada kepala desa kami...," jawab 
Ki Balasara. 
"Hm.... Sebenarnya, aku bisa saja mencelakai atau melenyapkan kalian bertiga. 
Tapi mengingat kalian hanya orang utusan, biarlah kuampuni. Satu hal yang perlu kau 
ingat, dan sampaikan kepada Ki Sakya Wulung, Balasara! Katakan padanya, agar jangan 
mencampuri urusanku! Kalau ada warga desanya yang menyeberang kemari, itu adalah 
hak mereka. Kalau Ki Sakya Wulung tidak menghendaki hal itu, ia harus bisa memberi 
kehidupan yang lebih baik kepada warga desanya. Kau bisa lihat sendiri, bukan? 
Kehidupan di Desa Pugar Selatan ini jauh lebih baik dibanding Desa Pugar Utara. Jadi, 
wajar saja kalau orang-orang desamu menyeberang kemari. Sekarang, bawalah kedua 
orangmu pergi dari desa ini, dan jangan kembali lagi. Kalau peringatanku tidak kau 
indahkan, jangan salahkan kalau aku berbuat kasar...!" 
Setelah berkata demikian, Ki Sangkila bergerak bangkit dan mempersilakan ketiga 
orang tamunya untuk meninggalkan tempat itu. 
"Baiklah, Ki. Kami akan menyampaikan apa yang telah kami dengar barusan. Maaf, 
kami telah mengganggumu," Ki Balasara mohon diri. 
Lelaki tegap itu berusaha menahan emosinya, karena hal itu hanya akan 
mencelakai dirinya dan kedua orang kawannya. 
"Pergilah! Ingat, aku tidak menghendaki kunjungan kalian lagi. Kalau kejadian ini 
sampai terulang, aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian...!" ujar Ki Sangkila 
mengancam. 
Setelah ketiga orang tamunya lenyap, lelaki tua yang masih gagah itu pun bergerak 
memasuki rumahnya. 
*** 
Ki Balasara dan kedua orang kawannya memacu kuda mereka meninggalkan 
wilayah perbatasan Desa Pugar Selatan Mereka berpacu dengan waktu, agar tidak

kemalaman di jalan. Saat itu, matahari memang semakin naik tinggi. Sedangkan 
perjalanan yang harus ditempuh, masih cukup jauh. 
Tapi perjalanan Ki Balasara dan kawan-kawannya tidak semulus ketika mereka 
datang. Setelah agak jauh meninggalkan perbatasan Desa Pugar Selatan, terlihat dua 
sosok tubuh berdiri menghadang jalan, saat itu mereka hendak melewati sebuah hutan 
kecil. Memang, ietak Desa Pugar Utara tepat berada di seberang hutan kecil itu. 
"Hm.... Mereka pasti orang-orang utusan Ki Sangkila. Iblis tua itu memang licik 
sekali! Ia hanya berpura-pura melepaskan kita meninggalkan wilayah desanya. Lalu, 
mengutus orang-orangnya untuk menghadang jalan kita. Benar-benar licik...!" desis lelaki 
tegap berusia tiga puluh tahun, yang berada di sebetah kanan Ki Balasara. 
Lelaki itu sudah meraba gagang pedangnya, siap menghadapi bahaya yang bakal 
terjadi 
"Mungkin ya, mungkin juga tidak, Adi. Kalau memang kedua orang itu 
diperintahkan untuk menghadang kita, kenapa ia menyuruh kira pergi? Bisa jadi, mereka 
adalah orang ketiga yang hendak memancing di air keruh. Tapi, biar bagaimanapun, kita 
harus berhati-hati...," pesan Ki Balasara, seraya menatap tajam kedua orang penghadang 
itu. 
Sepertinya, ia hendak mengenali mereka. Kalau benar, orang-orang itu merupakan 
pesuruh Ki Sangkila, ia pasti mengenalinya. 
Dengan sikap waspada, Ki Balasara bersama kedua orang kawannya terus bergerak 
maju, menjalankan kudanya lambat-lambat. Ketiganya baru menarik tali kekang, ketika 
jarak di antara mereka hanya tinggal dua tombak lagi. 
"Hei...?! Bukankah kau Adi Balyanang? Apa maksudmu menghadang jalanku...?" 
Ki Balasara hampir tidak percaya dengan pandangannya. Ia bukan hanya kenal 
dengan salah seorang penghadangnya itu, tapi pemuda itu merupakan kerabat dekatnya, 
yaitu adik dari istrinya, yang ikut menyeberang ke Desa Pugar Selatan beberapa hari yang 
lalu. Ia terkejut, sekaligus gembira melihat pemuda itu. Karena, salah satu tujuannya 
datang ke Desa Pugar Selatan adalah untuk mencari adik istrinya itu. 
Tapi, kegembiraan Ki Balasara perlahan memudar. Sebab, pemuda yang bernama 
Balyanang itu sama sekali tidak menunjukkan wajah gembira ataupun senang. Wajah itu 
dingin dan beku. Hanya sepasang matanya saja yang menyorot tajam, memancarkan rasa 
dingin bagi orang yang ditatapnya. 
"Kau kenapa, Balyanang? Apakah kau tidak mengenali aku lagi? Apa sebenarnya 
yang telah terjadi denganmu...?" tanya Ki Balasara, yang sudah melompat turun dari atas 
punggung kudanya. 
Meskipun begitu, Ki Balasara tidak meninggalkan kewaspadaannya. Sebab, sikap 
dan tatapan Balyanang, sangat mencurigakan. Bahkan terkesan mengerikan, sehingga 
membuat bulu kuduk Ki Balasara berdiri. 
Kedua orang pemuda yang memang sengaja menghadang itu, tidak menyahut. 
Bahkan, mereka mulai bergerak maju dengan wajah yang tetap beku, sedingin es. 
"Kami harus melenyapkan kalian semua...!" desis Balyanang dingin dan datar. 
Mendengar suara yang bukan seperti suara manusia itu, Ki Balasara dan kedua 
orang lainnya menggigil. Semestinya, suara itu datang dari mulut mayat yang baru bangkit 
dari kubur. Ki Balasara segera bergerak mundur, ia membaui kesungguhan dalam ucapan 
adik iparnya itu. 
"Balyanang. Sadarlah! Aku adalah suami kakakmu! Jangan kau turuti bisikan 
setan yang ada dalam hatimu...!" Ki Balasara mencoba mengingatkan pemuda itu. 
Biar bagaimanapun, ia tidak mungkin bertarung melawan adik iparnya, ia tahu, 
sampai di mana kepandaian pemuda itu. Itulah yang membuat Ki Balasara hanya mundur 
selangkah, saat tangan Balyanang meluncur perlahan, hendak mencengkeram bahunya. 
Sikap memandang remeh Ki Balasara, hampir saja membuat nyawanya melayang. 
Uluran cengkeraman yang kelihatannya perlahan itu ternyata hampir saja mencengkeram 
tulang bahunya. Untunglah lelaki tegap itu segera sadar saat merasakan sambaran angin 
keras, yang datang mengiringi uluran cengkeraman jari-jari tangan Balyanang. 
Wettt...! 
"Aihhh...?!" 
Ki Balasara memekik tertahan seraya melompat ke belakang, sejauh setengah 
tombak. Wajah lelaki gagah itu berubah pucat, ketika mendengar decitan tajam jari-jari 
Balyanang yang mencengkeram angin kosong.

"Gila?! Dari mana ia mendapatkan tenaga dalam yang demikian hebat hanya dalam 
waktu singkat...? Mungkin pendengaranku salah, karena terpengaruh sikapnya yang 
aneh?" gumam Ki Balasara, yang masih belum percaya kalau Balyanang memiliki tenaga 
dalam yang sangat tinggi, melebihi kekuatan tenaga dalamnya sendiri. 
Tapi Ki Balasara tidak bisa berpikir lebih jauh lagi, karena saat itu kedua orang 
rekannya telah bertarung melawan pemuda tampan yang datang bersama Balyanang. 
Gerakan pemuda berwajah dingin pucat itu sangat cepat dan kasar. Angin pukulan yang 
dilontarkannya terdengar mengaung-ngaung bagaikan ratusan lebah marah. Tak 
mengherankan jika dua orang kawan Ki Balasara, yang merupakan jago-jago muda Desa 
Pugar Utara, telah terdesak hanya dalam lima jurus. Ki Balasara menjadi khawatir akan 
nasib kedua orang rekannya. 
"Balyanang, sadarlah! Mereka berdua adalah kawan-kawanmu bermain sejak kecil! 
Apakah kau tega mencelakai mereka...?" tegur Ki Balasara, yang masih berusaha 
menyadarkan dan mengembalikan ingatan adik iparnya itu. Sayang usahanya sia-sia. 
Buktinya, Balyanang kembali melontarkan cengkeraman, tanpa mempedulikan ucapan 
kakak iparnya itu. 
Wuttt..! 
Serangan yang dilancarkan Balyanang sangat cepat, laksana sambaran kilat yang 
membelah langit. Karuan saja hal itu membuat Ki Balasara jadi kelabakan. Cepat-cepat 
orang tua itu melempar tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara. 
Tapi, Balyanang tidak berhenti sampai di situ saja. Pemuda tampan berwajah 
dingin pucat itu melanjutkan cengkeramannya dengan sebuah lompatan, disertai 
tendangan keras mengarah ke punggung lawan yang masih berputaran di udara. 
Plak! 
"Akh...?!" 
Ki Balasara yang tidak mungkin dapat mengelakkan tendangan kilat itu, cepat 
mengangkat tangannya menangkis tendangan lawan. Tapi, lelaki tegap itu terpekik 
kesakitan ketika merasakan betapa telapak kaki pemuda tampan itu ternyata mengandung 
kekuatan hebat, dan menebarkan hawa panas. Ki Balasara hampir tidak mempercayai apa 
yang dialaminya itu. 
Balyanang tidak memberi peluang pada Ki Balasara untuk memikirkan keanehan-
keanehan itu. Ia terus saja menerjang dengan serangan-serangan yang mematikan dan 
sangat berbahaya. 
"Yeaaah...!" 
Bettt...! 
Menyadari kalau adik iparnya itu sudah tidak mungkin lagi dapat disadarkan, Ki 
Balasara segera menghunus senjatanya. Ia langsung menjegal serangan Balyanang dengan 
sambaran pedangnya yang siap membabat putus lengan lawan. 
Trak! 
"Hei...?!" 
Untuk kesekian kalinya, Ki Balasara kembali dikejutkan oleh kehebatan Balyanang. 
Pemuda itu tidak mengelakkan sambaran pedangnya. Bahkan memapakinya dengan 
pergelangan tangan. Akibatnya, pedang Ki Balasara patah menjadi dua, ketika bertemu 
dengan lengan Balyanang yang seolah-olah telah berubah menjadi sebatang baja bulat. 
Bahkan ketika lengan itu berputar menghajar tubuhnya, Ki Balasara tidak mampu 
menghindar. Akibatnya, tubuh orang tua itu terjungkal memuntahkan darah segar. 
"Yeaaah...!" 
Balyanang tidak berhenti sampai di situ. Pemuda itu langsung melesat, mengejar 
tubuh lawannya yang terbanting di atas tanah berbatu. Dan.... 
Crabbb...! 
"Wuaaa...!" 
Ki Balasara memekik keras, saat jari-jari tangan Balyanang amblas ke dalam 
perutnya. Darah segar menyembur keluar ketika jari-jari tangan pemuda itu tercabut 
membawa jantung Ki Balasara yang telah direnggutkan dari tempatnya. 
"Hm...." 
Balyanang menggeram dan langsung mengunyah jantung yang masih berdenyut 
hidup itu. Sedangkan tubuh lawannya telah meregang, dan tewas dengan mata mendelik. 
Sesaat setelah kematian Ki Balasara, terdengar pekikan kematian berturut-turut, 
merobek angkasa. Disusul dengan terbantingnya dua sosok tubuh pengikut Ki Balasara keatas tanah. Keduanya tewas dengan batok kepala remuk akibat tamparan lawan yang 
sangat kuat. 
Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang menjadi korban kekejamannya, kedua 
pemuda berwajah pucat itu menghela tiga ekor kuda yang segera meninggalkan tempat itu. 
Selanjutnya, Balyanang dan kawannya melesat pergi, meninggalkan korban-korban 
keganasan mereka.



EMPAT


Senja mulai menapak ketika para penjaga perbatasan Desa Pugar Utara dikejutkan 
dengan kemunculan tiga ekor kuda tanpa penunggang. Mereka mengenali kuda-kuda itu 
milik Ki Balasara, dan dua orang jagoan desa yang diutus Ki Sakya Wulung. 
"Kita harus hentikan binatang-binatang itu! Nampaknya mereka telah menjadi 
liar...!" seru lelaki bertubuh pendek kekar yang merupakan kepala jaga dari empat orang 
kawannya. Usai berkata demikian, tubuh lelaki itu langsung melejit, menghadang kuda 
terdepan, yang ia tahu milik Ki Balasara, tangan kanan kepala desanya. 
"Haiiit..!" 
Gerakan lelaki pendek kekar itu ternyata cukup gesit. Sekali melompat saja, ia 
telah hinggap di atas punggung kuda berbulu hitam itu. Meskipun demikian, binatang itu 
ternyata belum menyerah kalah. Dengan gerakan liar, kuda berbulu hitam itu melompat-
lompat hendak melemparkan orang yang menungganginya. Karuan saja lelaki pendek 
kekar itu menjadi sibuk dibuatnya. 
"Hiyeeehhh...!" 
"Aaa...!" 
Setelah cukup lama bertahan, akhirnya lelaki itu harus mengakui kekalahannya. 
Tubuhnya terlempar dari atas punggung kuda, dan nyaris terbanting ke tanah. Untung 
lelaki itu masih sempat menguasai keadaan. Dengan sebuah gerakan yang indah, ia 
bersalto dan mendarat dengan kedua kaki terlebih dahulu. 
"Gila...! Setan mana yang membuat kuda jinak ini jadi liar? Ke mana perginya Ki 
Balasara? Apakah beliau mendapat kecelakaan...?" gumam lelaki pendek kekar itu, tak 
mengerti. 
Rupanya, kejadian tadi tidak hanya dialami laki-laki itu. Jeritan-jeritan ngeri 
datang susul-menyusul, disertai bunyi gedebuk yang cukup keras. Suara-suara itu berasal 
dari empat orang penjaga yang terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata bukan hanya 
kuda berbulu hitam mengkilat itu saja yang menjadi liar, tapi dua ekor kuda lainnya pun 
mengalami hal serupa. Bahkan, dua dari empat penjaga itu terkena sepakan kaki kuda. 
Kekacauan itu bukan saja telah membuat kelima orang keamanan Desa Pugar 
Utara menjadi kelabakan. Beberapa orang penduduk yang kebetulan melintasi perbatasan 
dibuat kalang-kabut. Sebab, kuda-kuda liar itu tiba-tiba mengejar dan menyerang mereka. 
Empat orang gadis desa yang baru saja pulang dari mencuci pakaian, berlarian 
sambil menjerit-jerit ketakutan. Kuda berbulu hitam itu meringkik nyaring, sambil 
mengejar keempat gadis desa yang ketakutan setengah mati. 
"Aaahhh...! Tolooong...!" 
Salah seorang gadis menjerit minta tolong. Ia terjatuh, dan kuda hitam itu telah 
mengangkat kedua kaki depannya, siap menghantam tubuh gadis di bawahnya. 
Kepala keamanan desa menjadi pucat wajahnya. Lelaki itu hanya terkesima, tanpa 
mampu menyelamatkan gadis malang itu. Ia terpisah sekitar tiga tombak dari tempat gadis 
itu terjatuh. 
Penduduk desa dan para penjaga perbatasan menjerit ngeri ketika kaki depan kuda 
hitam itu meluncur turun, siap meremukkan tubuh lemah di bawahnya. 
Tapi tiba-tiba secercah sinar putih tampak berkelebat cepat. Dan sesosok tubuh 
terbungkus jubah panjang putih, telah berdiri membopong tubuh gadis desa itu. 
Dengan sikap tenang, sosok pemuda tampan berjubah putih itu menyerahkan gadis 
yang dipondongnya kepada penduduk desa yang masih terkesima. Kemudian ia melesat, 
menghadapi kuda hitam yang kehilangan korbannya. 
"Hm...." 
Pemuda itu bergumam, seraya menatap tajam mata binatang di depannya, yang 
mendengus-dengus bagaikan kerbau liar. Namun sebelum kuda hitam itu sempat 
bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang dengan kecepatan kilat ke atas punggung 
kuda. 
Orang-orang yang menyaksikan perbuatan pemuda itu memekik ngeri. Tapi, 
mendadak mereka terdiam ketika melihat kuda hitam itu diam saja, tidak berusaha

memberontak. Malah, secara perlahan-lahan, kuda berbulu hitam yang semula liar itu 
merendahkan tubuhnya, dan duduk di atas tanah berbatu. 
Orang yang pertama kali menyadari apa yang telah terjadi dengan kuda berbulu 
hitam itu adalah lelaki pendek kekar yang merupakan kepala keamanan Desa Pugar Utara. 
Sebagai orang yang mengerti ilmu silat, hal itu tidak terlalu aneh baginya, meski memang 
mendatangkan kekaguman. 
Lelaki itu tahu, pemuda tampan berjubah putih itu pastilah seorang yang memiliki 
kepandaian tinggi. Ia menggunakan tenaga saktinya untuk melipatgandakan berat 
tubuhnya. Sehingga, kuda liar itu tidak mampu untuk menahan beban di atas 
punggungnya. Itulah, sebabnya, mengapa kuda itu mendadak rebah ke tanah. 
"Kisanak. Perbuatanmu benar-benar membuat aku kagum dan bersyukur. Kau 
telah menyelamatkan seorang warga kami, dan berhasil menjinakkan binatang yang entah 
kenapa telah menjadi liar dan buas ini...," ujar lelaki pendek kekar itu, seraya 
membungkukkan tubuhnya ke arah pemuda tampan berjubah putih. 
"Hm.... Kuda ini sebenarnya adalah kuda yang baik, Paman. Tapi, ada orang yang 
telah berbuat jahil dengan menanamkan sebuah jarum pada tubuh bagian belakangnya...," 
sahut pemuda itu, sambil menunjukkan sebatang jarum berwarna merah yang ditemukan 
di atas kaki belakang kuda hitam itu. 
Rupanya, ketika melihat warna mata kuda yang memerah, pemuda tampan 
berjubah putih itu langsung dapat menduga bahwa binatang itu mengalami suatu yang 
tidak wajar. 
"Hahhh...?! Kalau begitu, kuda-kuda yang lain pun pasti mengalami hal yang 
serupa. Maukah kau menolong kami, menjinakkan dua ekor kuda lainnya yang juga pasti 
menderita keracunan jarum merah itu?" pinta lelaki pendek kekar itu. 
"Tidak perlu khawatir. Paman. Lihatlah! Bukankah kedua ekor kuda itu yang kau 
maksudkan...?" ujar pemuda berjubah putih, seraya menunjuk ke belakang lelaki kekar 
itu. 
"Ahhh...?!" 
Untuk kesekian kalinya, lelaki pendek kekar itu terkesima. Ketika ia menoleh ke 
arah yang ditunjukkan pemuda berjubah putih itu, dilihatnya seorang dara jelita 
berpakaian serba hijau tengah melangkah menuntun dua ekor kuda yang dimaksud-
kannya tadi. 
"Kuda-kuda ini keracunan. Ada orang yang sengaja menanamkan jarum-jarum 
beracun pada kaki belakang sebelah atas. Apakah kuda berbulu hitam itu juga mengalami 
hal serupa, Kakang...?" tanya dara jelita itu, sambil menunjukkan dua batang jarum 
merah yang ditemukannya. 
"Ya. Ada orang yang telah sengaja membuat binatang ini menjadi liar dan buas. 
Untunglah belum ada korban yang jatuh...," jawab pemuda berjubah putih. 
Siapa lagi pasangan muda yang gagah dan cantik itu, kalau bukan Panji dan 
Kenanga, yang secara kebetulan ada di sana saat kuda-kuda itu tengah mengamuk. 
"Hm.... aku tidak tahu, apa yang telah terjadi dengan kuda-kuda milik kawan kami 
ini. Yang jelas, aku dan kawan-kawan mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian 
berdua. Maaf, aku harus membawa binatang-binatang itu untuk menghadap kepala desa 
kami...," pinta lelaki pendek kekar itu, seraya menatap penuh terima kasih kepada Panji 
dan Kenanga. 
"Silakan, Paman...," jawab Panji. 
Kemudian, diserahkannya ketiga binatang itu, yang segera dibawa pergi lelaki 
pendek kekar. Panji dan Kenanga hanya menatap kepergian kepala keamanan Desa Pugar 
Utara yang kian menjauh. 
"Ada baiknya kita mencari tempat beristirahat, sambil mengisi perut yang telah 
keroncongan ini, Kakang," ujar Kenanga memeluk lengan kekasihnya. 
"Marilah! Mudah-mudahan di desa ini kita bisa melewatkan malam dengan 
tenang...," sahut Panji yang segera melangkah menyusuri jalan utama Desa Pugar Utara. 
Beberapa penduduk yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu, 
menganggukkan kepalanya ketika pasangan pendekar muda itu melintas di depan mereka. 
***

Panji dan Kenanga baru saja hendak masuk ke dalam kamar ketika pelayan 
penginapan memberi tahu bahwa Ki Sakya Wulung ingin bertemu dengan mereka. 
"Siapa Ki Sakya Wulung...?" tanya Panji kepada pelayan setengah baya itu. 
"Beliau adalah Kepala Desa Pugar Utara ini, Kisanak Mungkin Ki Sakya Wulung 
ingin mengucapkan terima kasih. Karena, Paman dengar Kisanak berdua telah 
menyelamatkan seorang penduduk desa ini yang hampir terpijak kuda liar. Saat ini, berita 
itu sudah tersebar dan masih dibicarakan para penduduk...," jelas pelayan setengah baya 
itu. 
"Baiklah, Paman. Kami akan segera menemui Ki Sakya Wulung...," ujar Panji. 
Kemudian Pendekar Naga Putih mengajak Kenanga untuk menemui Kepala Desa 
Pugar Utara itu. Ada rasa tidak enak di hati mereka, karena orang yang berkuasa di desa 
itu datang langsung hendak menemui mereka. Padahal, kalau Ki Sakya Wulung mau, ia 
bisa mengundang mereka melalui para pembantunya. Sikap itulah yang membuat Panji 
dan Kenanga menaruh hormat. Keduanya langsung merasa suka, meskipun belum 
bertemu muka dengan penguasa desa itu. 
Pelayan kedai dan penginapan itu membawa Panji dan Kenanga ke ruang dalam, 
milik majikan dan penginapan dan kedai terbesar di Desa Pugar Utara itu. 
"Ah....Selamat bertemu, Orang-orang Muda Yang Gagah! Aku merasa gembira sekali 
karena kalian mau menjumpaiku. Maaf, kalau aku telah mengganggu istirahat kalian...," 
sambut seorang lelaki gagah berusia sekitar enam puluh tahun. 
Wajah lelaki itu tampak sehat dan masih segar, meskipun nampak letih karena 
terlalu banyak berpikir. Dialah Ki Sakya Wulung, Kepala Desa Pugar Utara. 
"Ah, tidak mengapa, Ki. Kami merasa mendapat kehormatan atas kunjungan Ki 
Sakya Wulung. Bukankah dugaanku tidak keliru...?" sahut Panji. 
Pendekar Naga Putih gembira melihat penyambutan orang tua itu yang penuh 
keramahan. Pasangan pendekar muda itu segera duduk ketika Ki Sakya Wulung telah 
mempersilakannya. 
"Maksud kedatanganku menemui kalian adalah untuk mengucapkan terima kasih, 
atas perbuatan kalian yang telah menyelamatkan seorang warga desa, dan juga mungkin 
para warga lainnya. Sebab, kalau kuda-kuda itu tidak segera dijinakkan, mungkin akan 
banyak jatuh korban dan kerusakan lainnya. Untuk itu, aku mengucapkan banyak terima 
kasih kepada kalian berdua..," ujar Ki Sakya Wulung dengan wajah berseri dan menatap 
kagum pasangan pendekar muda itu. Ia memang telah mendengar laporan dari para 
pembantunya, mengenai kelihaian pasangan muda itu dalam menjinakkan kuda-kuda 
yang sedang liar dan buas beberapa waktu lalu. 
"Ah, harap Ki Sakya Wulung tidak berlebihan memuji kami. Apa yang kami lakukan 
itu hanyalah suatu kebetulan. Saat itu kami berdua memang hendak menuju desa ini 
untuk melewatkan malam. Lagi pula, apa yang kami perbuat itu memang sudah menjadi 
kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, bukan begitu...?" balas Panji. 
Pendekar Naga Putih memang merasa tidak enak melihat orang tua itu tampak 
seperti tengah menghadapi seorang pahlawan, yang telah berjasa besar terhadap 
negerinya. 
"Yah, apa yang kau katakan itu memang tidak salah, Panji. Hanya aku masih 
belum mengerti, kenapa kuda-kuda itu kembali tanpa penunggangnya? Aku 
mengkhawatirkan keselamatan Ki Balasara dan dua orang lainnya. Akulah yang telah 
mengutus mereka untuk mendatangi Desa Pugar Selatan...," desah lelaki tua itu sambil 
menghela napas panjang. 
Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak Keduanya mulai menduga-duga, 
tentang kejadian yang mungkin menimpa ketiga orang utusan Ki Sakya Wulung. 
"Desa Pugar Selatan...? Sedangkan nama desa ini adalah Desa Pugar Utara. Apakah 
sebelumnya, antara desa selatan dan utara mempunyai suatu hubungan, Ki...?" tanya 
Panji yang agak sedikit heran mendengar ada dua buah desa bernama serupa, hanya 
dibedakan oleh wilayah tempatnya berada. 
"Hm.... Bukan hanya hubungan, Panji. Pada dasarnya, kedua desa itu adalah satu, 
yaitu Desa Pugar. Tapi, akhirnya terpecah menjadi dua karena antara aku dan wakilku 
yang bernama Ki Sangkila mempunyai perbedaan keyakinan. Ki Sangkila pergi membawa 
para pengikutnya menuju selatan, yang akhirnya dikuasainya. Itulah sebabnya, mengapa 
desa ini terbagi menjadi dua...," jelas Ki Sakya Wulung, membuat Panji dan Kenanga 
mengangguk-angguk mulai mengerti.

"Tapi.... Kalau hanya soal keyakinan, mengapa Ki Sangkila dan Ki Sakya Wulung 
harus berpisah? Dan, mengapa Aki tidak berusaha mengambil alih Desa Pugar Selatan, 
agar bisa bersatu lagi...?" tanya Kenanga, yang rupanya masih penasaran. 
Panji ikut menatap Ki Sakya Wulung, ingin mendengar jawaban lelaki tua yang 
masih gagah itu. Sedangkan orang tua itu tampak tersenyum pahit seperti merasa berduka 
mengingat hal itu. 
"Kalau hal itu merupakan rahasia pribadi antara Aki dengan Ki Sangkila, tidak 
perlu Aki menjawabnya. Karena, kami tidak berhak ikut campur dalam masalah pribadi...," 
sergah Panji, ketika melihat wajah orang tua itu berubah murung. 
Namun, Ki Sakya Wulung menggelengkan kepalanya, tersenyum getir. 
"Tidak mengapa, Panji. Persoalan ini bukan masalah pribadi. Ki Sangkila telah 
menempuh jalan sesat dengan melakukan penyembahan terhadap sesuatu yang tidak ada. 
Tapi, ia begitu yakin. Sehingga, banyak penduduk yang terpengaruh dan mengikuti 
jalannya." 
Ki Sakya Wulung menghentikan ucapannya sejenak. Dihelanya napas panjang-
panjang, seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak. 
"Menurutnya, penyembahan itu telah mendatangkan bukti dengan melimpahnya 
hasil panen mereka. Padahal, menurutku semua keberhasilan itu dikarenakan tanah di 
daerah selatan memang jauh lebih subur dibanding di utara. Hhh.... Sayangnya Ki 
Sangkila tetap bersikeras, bahwa semua itu adalah berkah dari Dewi Matahari yang 
mereka sembah. Yahhh.... Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya mengharap agar 
Ki Sangkila dan para pengikutnya dapat sadar suatu saat nanti...," Ki Sakya Wulung 
mengakhiri penjelasannya dengan wajah suram. Jelas, ia merasa berduka mengingat 
peristiwa pahit itu. 
"Hm.... Seharusnya orang seperti Ki Sangkila itu dilenyapkan saja agar tidak 
mendatangkan kesusahan bagi orang lain..!" geram Kenanga, yang merasa jengkel setelah 
mendengar keterangan Ki Sakya Wulung. 
"Ya. Mengapa Ki Sakya Wulung tidak berusaha untuk melenyapkan atau mengusir 
Ki Sangkila dari Desa Pugar? Bukankah kepergian orang tua sesat itu akan membuat 
warga desa ini aman dan tenteram...?" Panji ikut mengusulkan. 
Pendekar Naga Putih mempunyai pendapat, orang yang sudah tidak ingin berpaling 
ke jalan kebaikan, tidak ada jalan lain lagi. Kecuali melenyapkan orang itu, agar tidak 
menghasut dan mengajak orang lain mengikuti kesesatannya. 
"Aku telah beberapa kali mencobanya. Hasilnya, penduduk Desa Pugar Selatan dan 
Utaralah yang menjadi korban. Akhirnya aku menghentikan usaha itu, dan membiarkan 
segala perbuatan Ki Sangkila. Tapi, kejadian tadi membuat aku berpikir lain. Tiga orang 
utusanku, kutugaskan untuk menanyakan sepuluh orang wargaku yang terhasut mereka, 
tidak kembali. Hanya kuda-kuda mereka sajalah yang kembali. Itu pun dalam keadaan 
yang berbahaya, karena telah diracuni...! Karena itu, aku berniat mendatangi Ki Sangkila, 
untuk menanyakan perihal ketiga orang utusanku itu...," geram Ki Sakya Wulung dengan 
wajah berubah kelam, dan tinju terkepal erat. Rupanya, ia mencurigai Ki Sangkila yang 
telah mencelakakan ketiga orang utusannya. 
"Hm.... Apakah Ki Sakya Wulung sudah merasa pasti, bahwa ketiga orang utusan 
itu dicelakakan Ki Sangkila...?" tanya Panji seraya menatap tajam wajah orang tua itu. 
Sepertinya, Pendekar Naga Putih belum yakin sepenuhnya bahwa ketiga orang 
utusan Ki Sakya Wulung telah dicelakakan Ki Sangkila. 
"Bukti itu akan kami selidiki lebih dulu. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang 
jelas, barulah aku akan bergerak dengan seluruh wargaku, untuk menggempur Ki Sangkila 
dan para pengikutnya!" tegas Ki Sakya Wulung. 
Perbuatan Ki Sangkila kali ini dianggap Ki Sakya Wulung telah melewati batas. 
Apabila dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin, kelakuan Ki Sangkila akan 
semakin menggila. Hal itu sama sekali tidak diinginkan Ki Sakya Wulung. 
"Kalau Ki Sakya Wulung tidak keberatan, kami berdua menawarkan diri untuk 
menyelidikinya. Kami merasa tertarik dengan keyakinan Ki Sangkila yang menyembah 
Dewi Matahari itu...," Panji menawarkan bantuan kepada Ki Sakya Wulung. Selain itu, 
Pendekar Naga Putih ingin mencari tahu perihal orang-orang aneh yang pernah menyerang 
dirinya dan Kenanga, ketika hendak menuju Desa Pugar Utara.

"Ah.... Tentu saja kami akan berterima kasih sekali. Tapi, rasanya aku tidak ingin 
menyusahkan karian berdua. Apalagi kalian telah kuanggap sebagai tamu terhormatku...," 
jawab Ki Sakya Wulung. 
Kepala, Desa Pugar Utara itu merasa tidak enak kalau harus melibatkan pasangan 
pendekar itu. Namun, Panji dan Kenanga menegaskan bahwa mereka ikhlas melakukan 
penyelidikan itu, demi kepentingan penduduk Desa Pugar Utara dan Selatan. Akhirnya, Ki 
Sakya Wulung mengalah. Dan, menerima tawaran Panji. 
"Kalau begitu, biarlah kami berangkat besok pagi-pagi sekali, sebelum fajar 
datang...," ujar Panji. 
Ki Sakya Wulung hanya menganggukkan kepala, dan menyerahkan keputusan di 
tangan Panji. Lelaki tua itu bangkit, ketika Panji dan Kenanga meminta diri untuk 
beristirahat. 
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua...," 
ucap Ki Sakya Wulung, yang dibalas senyuman oleh pasangan pendekar muda itu.


LIMA


Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, menyambut fajar yang segera datang. 
Hembusan angin masih terasa dingin menyentuh kulit saat dua sosok tubuh bergerak 
ringan melintasi batas Desa Pugar Utara. Sosok bayangan putih dan hijau itu adalah Panji 
dan Kenanga. Sesuai dengan janji mereka kepada Ki Sakya Wulung, maka pagi itu 
keduanya bergerak meninggalkan Desa Pugar Utara untuk mengadakan penyelidikan. 
"Apakah kita akan langsung menuju Desa Pugar Selatan, untuk menemui Ki 
Sangkila, Kakang,..?" tanya Kenanga tanpa mengurangi kecepatan larinya. 
"Hm.... Semula aku masih penasaran mencari orang-orang yang telah menyerang 
kita di Hutan Kerambah, beberapa waktu yang lalu. Tapi, kalau kau mempunyai usul yang 
lain, katakanlah. Mungkin aku akan mempertimbangkannya...," jawab Panji. 
"Aku pun berpikir begitu, Kakang. Siapa tahu Ki Balasara dan kedua rekannya 
dicelakai orang-orang berwajah pucat yang aneh itu. Sebab, Hutan Kerambah tidak jauh 
letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan. Jadi, bisa saja ketiga orang utusan Ki Sakya 
Wulung itu dicelakai dalam perjalanan pulang," ujar Kenanga mengemukakan 
pendapatnya. 
"Ya. Mungkin saja orang-orang berwajah pucat itu sengaja hendak memperuncing 
permusuhan antara Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila. Kalau benar begitu, kita harus 
mencari orang-orang aneh itu lebih dulu. Sebab, bukan tidak mungkin merekalah yang 
menjadi kunci semua kejadian ini...," ujar Panji. 
"Tapi..., ke mana kita harus mencari orang-orang aneh itu, Kakang? Sedangkan 
seluruh pelosok Hutan Kerambah sudah kita telusuri. Kita sama sekali tidak mempunyai 
petunjuk. Sayang, aku lupa menanyakan perihal orang-orang aneh itu kepada Ki Sakya 
Wulung. Siapa tahu orang tua itu bisa memberikan sedikit petunjuk...," sesal Kenanga. 
Letak Hutan Kerambah yang tidak terlalu jauh dari Desa Pugar Selatan dan Utara, 
memungkinkan Ki Sakya Wulung mendengar, atau bertemu dengan orang-orang aneh itu. 
Sayang, Panji dan Kenanga lupa menceritakan peristiwa itu pada kepala desa itu. 
Sehingga, mereka harus melakukan penyelidikan tanpa petunjuk sedikit pun. 
"Yahhh.... Itu karena kita tidak melihat adanya hubungan antara Ki Sakya Wulung 
dengan orang-orang aneh itu, baru sekarang kita menduganya. Tapi.... Sebaiknya kita 
kembali menjelajahi Hutan Kerambah. Siapa tahu, ada tempat-tempat yang terlewat, saat 
kita mencari orang-orang aneh itu tempo hari...," usul Panji. 
"Kakang...," panggil Kenanga lirih, saat mereka memasuki wilayah hutan kecil, yang 
merupakan pemisah antara Desa Pugar Selatan dan Utara. 
"Ya...," sahut Panji. 
Pendekar Naga Putih segera menoleh ketika mendengar ucapan kekasihnya yang 
menggantung tanpa penyelesaian. 
"Menurutmu, apakah Dewi Matahari itu benar-benar ada? Mengapa yang disembah 
Ki Sangkila justru Dewi Matahari, bukan Dewa Matahari? Bukankah matahari disebut 
sebagai raja siang, bukan dewi siang? Kira-kira, apa maksud dari penyembahan Ki 
Sangkila itu, Kakang...?" tanya Kenanga. 
"Hm....! Mungkin Ki Sangkila ingin melenyapkan kesan ganas dengan menyebut 
Dewi Matahari. Tengok saja Dewi Padi dan Dewi Bulan. Bukankah itu terkesan lembut dan 
tidak garang, dibandingkan dengan Raja Siang atau Dewa Matahari. Mengenai ada atau 
tidaknya, aku belum bisa memastikan. Yang jelas, segala sesuatu tercipta karena 
keyakinan yang tinggi." 
Panji menghentikan ucapannya sejenak. Keningnya terlihat berkemyit dalam, 
menandakan kalau otaknya tengah berpikir keras. 
"Mungkin saja apa yang semula disembah Ki Sangkila, tidak ada dalam wujud 
nyata di bumi. Tapi, karena Ki Sangkila demikian yakin, maka daya keyakinannya yang 
kuat itu menimbulkan sosok yang dipujanya. Rasanya tidak mungkin ia akan melanjutkan 
penyembahannya, tanpa bukti yang masuk akal. Tapi, seperti apa yang dikatakan Ki Sakya 
Wulung, bisa saja Ki Sangkila memang telah tersesat, dan melupakan akal sehatnya...,"

papar Panji, sekadar, memberikan gambaran. Karena, ia sendiri belum bisa memastikan, 
ada atau tidak sosok yang disebut sebagai Dewi Matahari itu. 
"Jadi.... Menurut Kakang, sosok Dewi Matahari tercipta dari pikiran orang-orang 
seperti Ki Sangkila...?" desak Kenanga, yang masih penasaran, ingin memperoleh jawaban 
sejelas-jelasnya. 
"Ya.... Seperti yang kukatakan tadi, bisa saja sosok itu benar-benar muncul. 
Sehingga, keyakinan Ki Sangkila semakin bertambah kuat. Malah ia berani mengambil 
keputusan gila, menyerahkan korban pada waktu-waktu tertentu, seperti yang diceritakan 
Ki Sakya Wulung tadi malam. Menurut beliau, korban-korban yang diserahkan Ki Sangkila 
kepada sesembahannya tidak pernah ada yang kembali. Padahal, Ki Sangkila 
menyerahkan korbannya dalam keadaan hidup, dan Dewi Matahari pun tidak pernah 
membunuh korban itu...," jelas Panji. 
Pendekar Naga Putih cukup banyak mendengar cerita Ki Sakya Wulung, sebelum 
mereka berangkat. Sedangkan Kenanga tidak sempat mendengar, karena sedang sibuk 
mempersiapkan bekalnya. 
Pembicaraan mereka terhenti saat berbelok, mengambil jalan ke sebelah barat 
hutan kecil itu. Tujuan mereka adalah Hutan Kerambah, yang mereka curigai sebagai 
markas orang-orang aneh berwajah pucat. Menurut orang-orang itu, daerah itu adalah 
wilayah kekuasaan mereka. Ini yang membuat Panji memutuskan untuk menjelajahi hutan 
itu sekali lagi. Menurutnya, mungkin ada sudut-sudut yang terlewat pada waktu itu. 
Keremangan fajar mulai terhapus saat cahaya merah menghiasi kaki langit sebelah 
timur. Pasangan pendekar muda itu terus bergerak menerobos semak belukar, masuk 
wilayah Hutan Kerambah semakin dalam. Keduanya tidak berlari. Mereka melangkah hati-
hati, dan meredam suara jejakan kaki, agar tidak menimbulkan suara mencurigakan. 
Sebab, sosok aneh berwajah pucat dengan sinar mata dingin itu, dapat muncul sembarang 
waktu. Apalagi, wilayah Hutan Kerambah, adalah daerah kekuasaan mereka. Tentu 
keadaannya lebih berbahaya. 
"Kakang, lihat...!" seru Kenanga perlahan, sambil menudingkan jari telunjuknya ke 
depan. 
Sebenarnya dara jelita itu tidak perlu memberi tahu kekasihnya, karena Panji telah 
melihatnya. Pendekar Naga Putih mengangguk, memandang sosok-sosok tubuh yang 
tergeletak, dalam jarak dua tombak dari tempat mereka berpijak. 
"Hm.... Mereka sudah tewas...," desis Panji sambil melangkah perlahan dengan 
sikap waspada. 
Bisa jadi ketiga sosok mayat itu hanya jebakan. Itulah sebabnya, mengapa Panji 
tidak terburu-buru mendekati mayat-mayat di depannya. Ia mengajak Kenanga mengambil 
jalan berputar, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 
"Apakah mayat-mayat itu merupakan jebakan, Kakang...?" tanya Kenanga, tanpa 
melepaskan pandangan matanya dari tiga sosok mayat yang menebarkan bau tak sedap 
itu. 
"Entahlah. Yang jelas, mayat-mayat itu belum lama terbunuh. Aku bisa 
menduganya dari bau yang mulai tersebar. Paling tidak, baru kemarin ketiga orang itu 
tewas...," sahut Panji, sambil mendekati ketiga sosok mayat yang diduganya sebagal 
jebakan itu. 
"Siapakah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga setelah memperhatikan ketiga sosok 
mayat itu. Dara jelita itu menutup hidungnya dengan selendang, yang selama ini membelit 
pinggangnya. 
"Siapa mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, mereka adalah murid-murid Perguruan 
Gunung Galung. Itu mudah dikenali dari pakaian, dan sulaman di dada kiri mereka...," 
sahut Panji, setelah memeriksa dari jarak dekat. 
Samar-samar, terdengar suara langkah mendekati tempat mereka berdiri. Menilik 
dari suara yang ditimbulkan, Panji dan Kenanga dapat menduga kalau orang yang baru 
datang itu pasti memiliki kepandaian tinggi. 
"Hm.... Pembunuh biadab...! Kalian harus menebus nyawa murid-murid Perguruan 
Gunung Galung...!" terdengar suara bentakan nyaring, diiringi serangan mematikan. 
Panji dan Kenanga cepat melompat, menghindari serangan rak terduga itu. Mereka 
tak menyangka akan diserang secara mendadak. Beruntung, keduanya dapat 
menghindarinya. 
"Kisanak, tunggu dulu! Jangan salah paham...!"

Panji berusaha menjelaskan kesalahpahaman itu. Setelah mendengar ucapan 
penyerang gelap yang menuduh mereka berdua melakukan pembunuhan terhadap murid-
murid Perguruan Gunung Galung. 
Tapi, seruan Panji sia-sia belaka. Sosok berpakaian serba hitam yang memiliki 
gerakan gesit dan mantap itu kembali melayang dan menerjang. Kenanga yang merasa 
jengkel, segera saja melesat mendahului kekasihnya untuk menghajar orang liar itu. 
Mendadak, beberapa sosok bayangan berlompatan dari balik semak-semak, langsung 
memapaki serangan Kenanga. Sehingga, sebentar saja dara jelita itu dikeroyok delapan 
orang lelaki gagah yang mengenakan seragam berwarna hitam pekat. 
"Kurang ajar! Kalian benar-benar manusia liar yang tidak mengenal adat...!" bentak 
Kenanga marah. 
Gadis itu segera melompat mundur. Melihat cara mereka bertempur, Kenanga 
sadar, kali ini ia menghadapi sebuah ilmu yang dimainkan oleh delapan orang sekaligus. 
Ilmu seperti itu jelas sangat berbahaya. 
Delapan orang lelaki berpakaian serba hitam itu tidak memberikan kesempatan 
kepada Kenanga. Mereka kembali bergerak secara teratur, menyerbu dara jelita itu. 
"Heaaat...!" 
Empat bilah pedang berkelebatan, dan bergulung-gulung membentuk kilatan sinar 
putih yang menyilaukan mata. Kemudian secara bersamaan keempat batang pedang itu 
menusuk ke seluruh tubuh dara jelita itu, dari aras ke bawah. 
Bagi lawan yang ilmu silatnya masih tanggung, akan sulit sekali meloloskan diri. 
Lain halnya dengan Kenanga. Tanpa rasa gentar sedikit pun gadis itu menarik kaki 
kanannya ke belakang, membentuk kuda-kuda silang dengan posisi tubuh doyong ke 
belakang. Pedang Sinar Rembulan yang telah tergenggam di tangannya, berputaran 
menimbulkan suara mengaung tajam. Kenanga ingin mematahkan serangan lawan dengan 
kekuatan tenaga saktinya. 
Whuuut..!" 
"Hehhh...?!" 
Kenanga berseru heran melihat keempat batang pedang itu tiba-tiba tertarik pulang 
secara tak terduga. Sehingga, sambaran pedangnya mengenai angin kosong. Belum lagi ia 
dapat menguasai keheranannya, terdengar teriakan susul-menyusul. Keempat 
penyerangnya bergulingan ke samping, terpecah dua. Dari bagian tengah, tempat keempat 
penyerangnya berpisah, muncul empat penyerang lain, yang rupanya memang telah 
menunggu peluang itu. 
"Heaaat..!" 
Whuttt... Whuttt..! 
"Hehhh...?!" 
Kembali Kenanga terkejut bukan kepalang. Cepat ia melempar tubuhnya ke 
belakang, menghindari serangan yang tiba-tiba itu. Tapi untuk kesekian kalinya, dara jelita 
itu kembali memekik kaget. Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, empat orang 
pengeroyok yang tadi bergulingan menyebar, kembali menyerang. 
"Kurang ajar...!" maki Kenanga. 
Empat batang pedang datang menyambut tubuhnya. Terpaksa gadis itu 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melenting jauh ke udara. 
Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, melindungi tubuhnya dari serangan 
gelap lawan. 
Jleg! 
Setelah berputar beberapa kali, tubuh Kenanga kembali mendarat ringan di atas 
tanah. Tapi, alangkah jengkelnya hati gadis itu ketika melihat dirinya kembali berada 
dalam kepungan kedelapan orang lawannya. 
"Setan...!" umpat dara jelita itu. 
Kenanga semakin bertambah marah karena dipermainkan. Sepasang mata 
bulatnya berkilat, menyiratkan nafsu membunuh! 
"Kenanga. Jangan turuti emosimu. Hadapilah mereka dengan hati yang tenang, dan 
kepala dingin. Mereka menggunakan ilmu gabungan yang dimainkan secara bersama-sama 
dalam bentuk barisan. Untuk itu, kau harus lebih memperhitungkan tindakanmu, 
ketimbang mengumbar nafsu amarah yang hanya membawa celaka...," terdengar suara 
bisikan yang amat jelas di telinga Kenanga.

"Ah, terima kasih, Kakang...," kata gadis jelita itu sambil melirik ke arah Pendekar 
Naga Putih yang tengah bertarung melawan seorang lelaki jangkung berpakaian serba 
hitam. 
Kenanga tersenyum dan mulai mengatur langkah setelah mendengar petunjuk dari 
kekasihnya. Ditekannya semua kejengkelan yang bisa membuat dirinya celaka. Lalu, 
dengan tenang, disambutnya serangan lawan. Pertempuran kembali berlanjut 
*** 
"Haaat..!" 
Lelaki jangkung kurus itu memekik nyaring. Golok perak di tangannya berkelebat 
cepat menyilaukan mata. Serangan sosok jangkung itu sungguh hebat sekali. Sehingga, 
Panji tidak bisa memandang remeh serangan lawan. 
Whuuut...! 
Plak! Plak! 
Cepatnya sambaran golok perak itu, membuat Pendekar Naga Putih mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk menangkis serangan lawan. Akibatnya tubuh 
jangkung itu bergetar mundur, sejauh enam langkah ke belakang. 
"Heiii...?!" pekik lelaki jangkung itu terkejut ketika merasakan akibat tangkisan 
telapak tangan lawan. 
Sosok jangkung yang ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun 
lebih itu, menatap kagum sosok bertapis kabut bersinar putih keperakan di depannya. 
Bukan hanya itu saja yang membuatnya terkejut. Getaran hawa dingin menusuk tulang 
yang meresap melalui pergelangan tangannya, membuat lelaki itu terpaku sejenak. 
Kelihatan ia ragu menatap sosok Panji. 
"Kau.... Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya sosok jangkung 
itu. Ia berdiri tegak, masih dalam keadaan siap tempur. Hanya saja wajahnya agak tegang, 
menanti jawaban yang keluar dari mulut Panji. 
"Benar. Orang-orang persilatan memberikan julukan itu kepadaku. Dan rasanya 
aku bisa menebak, siapa orang yang menyerangku tanpa sebab yang jelas. Bukankah kau 
yang berjuluk Raja Golok Perak, Ki...?" ujar Panji, yang telah dapat menebak siapa 
lawannya. 
"Hm... Benar dugaanmu. Aku adalah Raja Golok Perak. Dan, ketiga sosok mayat itu 
adalah murid-murid dan wakilku! Mengapa kau sampai tega melenyapkan mereka, 
Pendekar Naga Putih? Apa hubunganmu dengan Dewi Matahari...?" tanya orang tua yang 
ternyata Ketua Perguruan Gunung Galung. 
Tampaknya Raja Golok Perak masih tetap menuduh Panji sebagai pembunuh ketiga 
sosok mayat yang tidak lain dari Jumirta dan dua orang rekannya. Mereka itu adalah 
utusan Raja Golok Perak, untuk menyelidiki para penyembah Dewi Matahari. 
"Jalangsa, hentikan pertempuran! Bawa adik-adikmu kemari...!" terdengar perintah 
Raja Golok Perak ke arah delapan orang berseragam hitam yang sedang mengeroyok 
Kenanga. 
Tanpa membantah, kedelapan orang lelaki gagah itu berlompatan menuju tempat 
Raja Golok Perak berada. 
"Guru.... Mengapa berhenti? Kita harus segera menangkap mereka, hidup atau 
mati...!" 
Lelaki gagah berkumis tipis yang dipanggil Jalangsa, rupanya masih penasaran. 
Sepertinya ia merasa akan dapat menundukkan dara jelita berpakaian hijau yang menjadi 
lawannya. 
"Hm.... Enak saja kau ingin menangkapku hidup atau mati! Ketahuilah, bahwa 
sebelum kau dapat menangkapku, kepalamu akan menggelinding lepas dari leher...!" 
bentak Kenanga jengkel, mendengar sesumbar lelaki gagah itu. 
"Sabarlah, Kenanga...," gumam Panji, sambil membelai bahu kekasihnya, yang 
berdiri di sebelahnya. 
Dara jelita itu menoleh sejenak menatap Panji. Dan pemuda itu hanya tersenyum 
melihat wajah kekasihnya yang cemberut. 
"Hm.... Jalangsa. Coba kau perhatikan baik-baik, siapa pemuda tampan yang 
menjadi lawanku barusan...?" tanya Raja Golok Perak, seraya menggerakkan kepalanya ke

arah Pendekar Naga Putih. Orang tua itu ingin melihat, apakah Jalangsa bisa mengenali, 
siapa pemuda tampan berjubah putih itu. 
"Apakah.., apakah Guru telah dapat dikalahkannya...?" tanya Jalangsa cemas, 
mendengar pertanyaan gurunya. 
"Bukan begitu maksudku, Jalangsa. Tapi, kau perhatikan pemuda itu baik-baik. 
Bisakah kau menduga, siapa pemuda berjubah putih itu...?" 
Raja Golok Perak kembali mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas. Nada 
suaranya terdengar tidak sabar, melihat muridnya terlalu bertele-tele menimpali 
ucapannya. 
"Hm.... Apakah yang Guru maksudkan, ia adalah pemuda yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih? Benarkah pemuda itu Pendekar Naga Putih, yang telah membuat geger dunia 
persilatan? Tapi..., mengapa ia membunuh Ki Jumirta dan saudara-saudara kita...?" tanya 
Jalangsa. 
Jalangsa setengah tidak percaya, bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar 
Naga Putih. Sebab, pendekar yang kabarnya sangat sakti itu adalah orang gagah yang 
berbudi luhur, dan bukan seorang pembunuh seperti pemuda yang saat itu tengah 
dihadapinya. 
"Bagaimana pendapatmu, kalau ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih? Apakah 
kau bisa mempercayainya...?" tanya Raja Golok Perak lagi. 
"Tapi.... Apakah ia memiliki 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang sedingin salju itu? 
Itu satu-satunya yang kudengar tentang ciri-ciri Pendekar Naga Putih, Guru. Bahkan, 
tubuhnya dapat mengeluarkan cahaya putih keperakan. Itulah yang banyak kudengar di 
kalangan persilatan...," jelas Jalangsa. 
"Semua itu telah diperlihatkannya ketika bertarung denganku, Jalangsa. Yang tidak 
bisa kumengerti, mengapa ia sampai tega membunuh orang-orang kita?" ujar Raja Golok 
Perak, menghela napas penuh sesal. 
"Dengarlah, Raja Golok Perak. Secara kebetulan, aku tiba di tempat ini dan melihat 
ketiga sosok mayat murid-muridmu. Kedatanganku kemari, adalah untuk mencari sebuah 
partai yang beranggotakan pemuda-pemuda berwajah pucat, namun memiliki kesaktian 
yang tinggi. Itulah alasannya, mengapa aku sepagi ini telah berada di wilayah Hutan 
Kerambah...," jelas Panji dengan nada yang tetap tenang. 
Pendekar Naga Putih tidak ingin memperuncing kesalahpahaman itu dengan emosi 
yang dapat merugikan kedua belah pihak. Apalagi, Perguruan Gunung Galung adalah 
sebuah perguruan beraliran putih. Tentu saja, Panji tidak ingin bentrok dengan orang 
segolongan, hanya karena salah paham. 
"Sebuah partai di dalam wilayah Hutan Kerambah? Ah, kau mengigau, Pendekar 
Naga Putih. Selama hidup, aku belum pernah mendengar adanya partai persilatan yang 
bermarkas di dalam hutan ini. Kau hanya mengada-ada, untuk membela diri. Katakanlah, 
apa kesalahan murid-muridku sampai kau tega membunuh mereka. Kalau tidak, aku akan 
mengadu nyawa denganmu...!" 
Raja Golok Perak menganggap ucapan Panji sebagai alasan yang dicari-cari. Sebab, 
ia memang belum pernah mendengar atau bertemu dengan orang-orang dari partai yang 
disebutkan Pendekar Naga Putih. 
"Aku tidak bohong, Ki. Beberapa hari yang lalu, kami dihadang oleh enam orang 
pemuda berwajah pucat, dan bersuara dingin seperti datang dari liang lahat. Kami berhasil 
memukul mundur mereka. Dan mereka melarikan diri, setelah salah seorang dari mereka 
tewas di tangan kami...," jelas Panji lagi, berusaha meyakinkan Raja Golok Perak akan 
kebenaran ceritanya. 
"Bohong!" Jalangsa yang marah karena kematian ketiga orang saudara 
seperguruannya, membentak keras. "Aku tidak pernah bertemu atau dihadang oleh orang-
orang seperti yang kau sebutkan itu, Pendekar Naga Putih! Jelas, kau mencari-cari alasan 
untuk menghindar dari kami!" 
"Kurang ajar! Siapa takut kepadamu. Tikus Hitam! Sembarangan saja kau 
menuduh orang. Mulutmu memang harus dibungkam, biar tidak sembarangan bicara...!" 
Kenanga yang memang masih menyimpan rasa penasaran, tidak sudi kekasihnya 
dibentak-bentak seperti itu. Begitu ucapannya selesai, tubuh dara jelita itu kembali 
melayang dengan tamparan yang mendatangkan angin menderu. 
"Kenanga, tahan...!"

Panji mencoba menahan gerakan Kenanga. Sayang, gerakan pemuda itu dianggap 
hendak membantu oleh Raja Golok Perak. Sehingga, lelaki jangkung itu membentak 
nyaring, dan kembali menerjang Panji dengan kelebaran golok besarnya.


ENAM


"Heaaat..!" 
Serangan yang dilakukan Raja Golok Perak luar biasa sekali. Memang pantas kalau 
lelaki tua bertubuh jangkung itu mendapat julukan Raja Golok. Permainan ilmu goloknya 
benar-benar cepat, dan mengandung tipuan-tipuan yang tak terduga. Sehingga Panji yang 
tidak bertarung sungguh-sungguh itu, sempat dibuat kerepotan oleh kelebaran golok perak 
lawan. Hanya berkat kelincahannya sajalah, pemuda tampan berjubah putih itu masih 
bisa menghindari sambaran golok lawan selama hampir sepuluh jurus. 
Bettt...! 
Untuk kesekian kalinya, sambaran sinar perak kembali berkelebat mengancam 
perut Pendekar Naga Putih. Kali ini, Panji hanya memiringkan tubuhnya dengan kuda-
kuda agak rendah. Dari sebelah bawah, tangan kanannya bergerak menyambar dengan 
bacokan sisi telapak tangan tangan ke arah pergelangan lengan lawan yang memegang 
senjata. Sedangkan tangan kirinya telah siap dengan serangan berikutnya. 
Raja Golok Perak pun sadar akan kehebatan lawannya. Maka, ketika melihat 
sambaran tangan kiri lawan yang ingin melumpuhkan serangannya, lelaki jangkung itu 
memutar senjatanya. Sehingga, telapak tangan pemuda itulah yang berbalik terancam 
mata golok. Tapi, Panji memiliki perhitungan yang cerdik. Cepat tubuhnya berkelit, sambil 
menarik pulang tangan kanannya. Berbarengan dengan itu, telapak tangan kirinya terulur 
menggedor dada lawan! 
Desss...! 
"Hugkhhh...!" 
Tanpa dapat dielakkan lagi, telapak tangan yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' mendarat telak di dada kiri lawan. Seketika itu juga, tubuh Raja Golok Perak 
terdorong mundur. Kuda-kudanya tergempur, membuat tokoh sakti berperawakan 
jangkung itu nyaris terbanting ke tanah. Untunglah ia masih sempat bergerak sigap, 
dengan memutar kuda-kudanya. Meskipun demikian, terlihat lelehan darah di sudut 
bibirnya. Bahkan terlihat tubuhnya agak gemetar, menahan hawa dingin yang merasuk 
melalui pukulan Pendekar Naga Putih. 
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk melesat ke arah pertarungan 
Kenanga. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, pemuda itu merobohkan tiga orang lawan 
yang mengeroyok kekasihnya. 
"Kenanga, ayo kita tinggalkan tempat ini...!" ajak Panji, yang langsung saja 
menangkap lengan kiri kekasihnya, dan melesat pergi meninggalkan arena pertempuran. 
"Kejar...! Jangan biarkan pembunuh itu meloloskan diri...!" 
Jalangsa berteriak, memerintahkan saudara-saudara seperguruannya untuk 
melakukan pengejaran terhadap Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Mereka melesat 
dengan mengerahkan seluruh kekuatan ilmu larinya. 
Raja Golok Perak sendiri telah melesat melakukan pengejaran terhadap pasangan 
pendekar muda itu. Ilmu lari cepatnya yang memang telah mencapai tingkat tinggi, 
membuat tubuhnya berkelebat cepat mendahului murid-muridnya. Sayangnya, luka akibat 
hantaman telapak tangan Panji, membuat gerakan orang tua itu agak terganggu. Rasa 
sesak dalam rongga dadanya, membuat tokoh sakti itu terpaksa menghentikan usahanya 
untuk mengejar Pendekar Naga Putih dan Kenanga. 
"Huagkhhh...!" 
Segumpal darah kental, keluar dari mulut Raja Golok Perak. Hal itu terjadi karena 
ia mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lawannya. Kalau saja lelaki tua itu mau 
bersabar, dan mengobati lukanya terlebih dahulu, pasti tidak akan bertambah parah. 
Sayang tokoh tua itu sangat keras kepala. Sehingga, luka dalam yang semula ringan itu 
menjadi parah. 
"Guru...!" 
Jalangsa yang melihat tubuh gurunya terhuyung limbung, segera memapahnya. 
Kecemasan rampak membayang jelas di wajah lelaki gagah berkumis tipis itu. 
"Guru, kau..., terluka...?" desis Jalangsa. Kemudian direbahkannya tubuh Raja 
Golok Perak di bawah sebatang pohon rindang. Sementara, tujuh orang orang muridnya 
yang lain, duduk bersimpuh di dekat tubuh orang tua itu.

"Hm.... Kalian tidak perlu khawatir. Aku hanya memerlukan sedikit istirahat saja. 
Setelah itu, kesehatanku akan pulih kembali. Hhh.... Sayang, pemuda itu lolos dari tangan 
kita...," sesal Raja Golok Perak menghela napas panjang. Kemudian, ia mengisyaratkan 
agar murid-muridnya agak menjauh. 
Jalangsa mengajak saudara-saudara seperguruannya untuk menjauhi tempat 
gurunya, dan membiarkan orang tua itu mengobati luka dalamnya dengan bersemadi. 
Mereka duduk bersimpuh, tidak jauh dari tempat guru mereka bersemadi, untuk berjaga-
jaga. 
"Keparat! Biar sampai ke ujung langit pun, kelak akan kucari pendekar keji itu..!" 
geram Jalangsa yang semakin mendendam terhadap Pendekar Naga Putih. 
"Benar. Kita harus membuat perhitungan dengan pendekar sombong itu. Rasanya 
hatiku tidak akan pernah bisa tenang, sebelum pendekar keparat itu lenyap dari muka 
bumi...!" timpal seorang rekan Jalangsa yang bertubuh kekar berotot. Sepasang tinjunya 
terkepal erat seolah-olah ingin meremas hancur tubuh Pendekar Naga Putih. 
"He he he...! Bagus..., bagus...! Pendekar Naga Putih memang harus dilenyapkan, 
agar dunia persilatan menjadi tenang. Aku setuju sekali dengan rencana kalian...!" 
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat delapan orang murid Raja Golok 
Perak saling menolehkan kepala dengan sikap waspada. Kening mereka berkerut melihat 
seorang lelaki tua bertubuh gagah, melangkah sambil memperdengarkan suara kekehnya 
yang parau. 
"Siapa kau...? Apa hubunganmu dengan Pendekar Naga Putih...?" bentak Jalangsa. 
Sambil berkata demikian, laki-laki berkumis tipis itu melangkah maju diikuti tiga 
orang saudara seperguruannya. Sedangkan empat orang lainnya bergerak melindungi guru 
mereka yang saat itu masih bersemadi. 
"Eh! Bukankah orang tua itu Raja Golok Perak? Apa yang telah terjadi dengannya? 
Apakah beliau telah terluka oleh Pendekar Naga Putih yang sombong itu...?" tanya lelaki 
gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu. 
Lelaki itu tidak mempedulikan pertanyaan Jalangsa. Bahkan dengan enaknya, 
kakinya melangkah menghampiri Raja Golok Perak. 
"Berhenti..! Kalau tidak, jangan salahkan kami jika terpaksa harus berbuat kasar 
terhadapmu...!" cegah Jalangsa yang sudah menghunus senjatanya. 
Perbuatan lelaki gagah berkumis tipis itu diikuti oleh tiga orang saudara 
seperguruannya. Mereka bersiap dan mengepung lelaki tua yang tidak mereka kenal itu. 
"Bodoh! Apakah kalian tidak bisa mengenaliku? Aku adalah sahabat guru kalian. 
Sekarang sahabatku itu terluka dalam, dan aku harus membantu untuk mengobatinya...." 
Lelaki tua itu tidak mau kalah gertak. Bahkan ia kelihatan sangat marah pada 
Jalangsa dan kawan-kawannya yang menunjukkan sikap permusuhan. 
"Maaf, kami belum bisa mempercayaimu. Kalau benar kau adalah sahabat guru 
kami. Tunggulah hingga beliau selesai bersemadi." 
Jalangsa tetap berusaha mencegah orang itu untuk mendekati gurunya. Meskipun 
demikian, terlihat sinar kekaguman tersirat pada sepasang matanya. Sebab, mungkin saja 
orang tua itu benar-benar sahabat gurunya. 
"Murid tolol! Dungu! Apakah kau tidak melihat kalau luka dalam gurumu cukup 
parah! Kalau tidak segera dibantu, ia bisa celaka dan mungkin akan cacat seumur hidup! 
Kau akan menyesal apabila hal itu terjadi, Murid Goblok!" 
Orang tua itu marah bukan main melihat Jalangsa masih saja tidak 
memperbolehkannya mendekati Raja Golok Perak. Wajah Jalangsa dan kawan-kawannya 
berubah pucat. Terbayang kecemasan di wajah mereka, setelah mendengar ucapan lelaki 
tua itu. 
"Hm.... Baiklah. Aku tidak akan ikut campur, dan bersedia menunggu sampai 
gurumu selesai bersemadi. Tapi, kalau sampai Raja Golok Perak menderita cacat, aku 
tidak bertanggung jawab...," lanjut orang tua itu lagi, yang segera menghempaskan 
pantatnya di atas sebuah batang pohon kering yang tumbang. 
Jalangsa semakin gelisah ketika mendengar ucapan orang tua itu. Sejenak ia 
menoleh ke arah gurunya yang masih tenggelam dalam semadi. Wajah Raja Golok Perak 
nampak pucat, membuat hari Jalangsa dan kawan-kawannya jadi semakin gelisah. Mereka 
memang tidak tahu apa-apa dalam hal ilmu pengobatan. Selain itu, mereka pun tidak 
mengetahui bagaimana Pendekar Naga Putih dapat melukai gurunya. Pikiran-pikiran itu 
membuat murid-murid Raja Golok Perak semakin resah.

"Hm...." 
Melihat keresahan yang semakin mencengkeram hati delapan orang murid Raja 
Golok Perak, orang tua gagah itu bergumam perlahan. Kemudian bangkit dan melangkah 
ke arah Raja Golok Perak. Kali ini, baik Jalangsa maupun ketujuh orang lelaki gagah 
lainnya, tidak menunjukkan gerakan. Sehingga, orang tua itu melanjutkan langkahnya. 
Senyum tipis membayang di bibirnya, menyaksikan betapa kedelapan orang murid Raja 
Golok Perak hanya mengikuti langkahnya dengan pandangan mata saja. 
Jalangsa dan kawan-kawannya saling berpandangan sekejap. Kemudian, satu-
persatu mereka bergerak mengikuti langkah orang tua yang tinggal beberapa langkah lagi 
dari Raja Golok Perak Bahkan, empat orang yang semula mengelilingi tubuh gurunya, agak 
merenggang, seperu hendak memberikan kesempatan kepada orang tua itu untuk 
memeriksa dan membantu penyembuhan gurunya. 
Orang tua bermata tajam, yang wajahnya terhias kumis dan jenggot yang telah 
berwarna dua itu menghentikan langkahnya, tepat di depan tubuh Raja Golok Perak 
Kemudian, tanpa disangka-sangka, lengan kanan orang tua itu terangkat dan langsung 
meluncur turun, mengancam batok kepala Raja Golok Perak! 
"Ahhh...?!" 
Jalangsa dan saudara-saudara seperguruannya memekik kaget melihat perbuatan 
orang tua itu. 
Tapi, karena kejadian itu berlangsung tiba-tiba dan tedampau dekat, mereka tidak 
bisa mencegahnya. Dan hanya bisa memandang dengan wajah pucat! 
Whuttt..! 
Tepat pada saat telapak tangan yang menerbitkan secercah sinar kuning keemasan 
itu siap meremukkan batok kepala Raja Golok Perak, mendadak orang tua sakti itu 
mengangkat kedua tangannya yang semula menyatu di depan dada, dengan kedudukan 
menyilang di atas kepala. 
Bresssh...! 
"Huagkhhh...! " 
Akibatnya, terjadilah benturan keras yang membuat udara di sekitar tempat itu 
bergetar. Tubuh orang tua tak dikenal itu terdorong mundur beberapa langkah ke 
belakang. Sedangkan Raja Golok Perak terbenam ke tanah hingga sebatas pinggang. Tokoh 
sakti itu memuntahkan darah kental dari mulutnya. Itu pertanda bahwa luka dalam yang 
dideritanya kian bertambah parah. 
Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatan yang masih ada, Raja Golok Perak 
melenting keluar dari dalam tanah yang membenamkan tubuhnya. Kuda-kudanya terlihat 
agak goyah, ketika orang tua itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Bahkan, tubuhnya 
tampak bergoyang-goyang dengan wajah yang semakin pucat. 
"Kau... Ki Sangkila...?!" desis Raja Golok Perak dengan suara lemah. 
Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu mengenal siapa orang yang telah 
demikian curang menyerangnya selagi bersemadi. Untunglah tenaga saktinya bergerak 
ketika merasakan adanya bahaya yang mengancam. Sehingga, meskipun luka dalamnya 
bertambah parah, Raja Golok Perak berhasil menyelamatkan nyawanya dari kematian. 
"He he he...! Bagus kau masih mengenaliku, Raja Golok Perak. Sayang, aku gagal 
melenyapkanmu dari muka bumi ini. Tapi, kau jangan merasa lega dulu. Sebentar lagi kau 
akan merasakan bagaimana gelapnya alam kematian itu...," ejek lelaki tua berperawakan 
gagah yang ternyata adalah Ki Sangkila, Kepala Desa Pugar Selatan. 
Raja Golok Perak memicingkan matanya dengan penuh rasa heran. Orang tua sakti 
itu merasa terkejut melihat kepandaian lawan. Karena ia telah cukup lama mengenal Ki 
Sangkila, sejak masih menjadi Wakil Kepala Desa Pugar. Sudah lebih dari tiga tahun 
mereka tidak bertemu. Raja Golok Perak tetap tidak habis pikir, mengapa kepandaian Ki 
Sangkila telah meningkat demikian jauh. Padahal sebelumnya kepandaian Ki Sangkila 
jauh berada di bawah kepandaiannya. 
"Hm.... Jangan seperti orang yang melihat hantu di siang bolong begitu, Raja Golok 
Perak. Sebaiknya kau pikirkan saja, bagaimana sebenarnya alam kematian yang sebentar 
lagi kau masuki...." 
Kembali Ki Sangkila mengejek. Kekehnya semakin berkepanjangan, ketika melihat 
Jalangsa dan kawan-kawannya telah melompat mengepung. 
"Manusia keji! Sepantasnya kau berteman dengan iblis di dalam hutan ini!" bentak 
Jalangsa.

Usai berkata demikian, Jalangsa memerintahkan kawan-kawannya membentuk 
barisan untuk menggempur Ki Sangkila. Pedang di tangannya tampak berputaran 
menimbulkan suara mengaung tajam. Ki Sangkila masih saja terkekeh. Seolah-olah sama 
sekali tidak merasa gentar melihat delapan orang lawan yang siap mencincang tubuhnya. 
"Hm...." 
Lelaki tua berhati iblis itu bergumam. Kemudian ia mengeluarkan suitan panjang, 
yang disusul munculnya enam sosok tubuh dari belakang orang tua itu. 
Jalangsa dan kawan-kawannya sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang 
itu. Ia tahu, orang-orang yang baru tiba itu rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. 
Cepat ia mengajak rekan-rekannya mundur, melindungi guru mereka. Hati lelaki gagah 
berkumis tipis itu semakin gelisah ketika melihat keadaan gurunya yang semakin 
bertambah payah. Jelas ia tidak bisa mengharapkan orang tua itu untuk membantunya. 
"He he he...!" 
Ki Sangkila terkekeh. Sepasang tangannya bergerak mengibas, mengisyaratkan 
keenam orang pengikutnya untuk segera bergerak. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, keenam orang lelaki pengikut Ki Sangkila, 
langsung saja berlompatan menyerbu Jalangsa dan kawan-kawannya. 
*** 
"Haaat..!" 
Serbuan keenam orang lelaki yang dipimpin Suganta, lelaki berkepala botak 
berkumis lebat itu, membuat Jalangsa dan kawan-kawannya kerepotan. Sebab, selain 
harus melindungi diri sendiri, mereka pun harus melindungi guru mereka dari ancaman 
senjata lawan. Hal itu membuat ia tidak bisa membentuk barisan bersama kawan-
kawannya. 
"He he he...! Sebentar lagi kalian akan segera menyusul Jumirta, dan kedua orang 
saudara seperguruan kalian itu...," ujar Ki Sangkila yang membuat wajah orang-orang 
Perguruan Gunung Galung menjadi pucat 
"Biadab! Jadi kau rupanya yang telah membunuh mereka, Sangkila?!" geram Raja 
Golok Perak penuh kemarahan. 
Diam-diam Raja Golok Perak menyesali kecerobohannya yang telah menuduh 
Pendekar Naga Putih sebagai pelaku pembunuhan terhadap murid-muridnya. Kalau saja ia 
tidak berkeras menuduh pendekar muda itu, mungkin tidak akan seperti ini kejadian yang 
dihadapinya. Bahkan, bukan mustahil kalau Pendekar Naga Putih akan membantunya 
untuk menemukan pembunuh murid-muridnya itu. 
"Tidak salah, Raja Golok Perak. Dan sekarang adalah giliranmu!" ujar Ki Sangkila, 
yang langsung melesat dengan cengkeraman mautnya untuk melenyapkan Raja Golok 
Perak. 
"Jangan khawatir, Raja Golok Perak! Aku datang membantumu...!" 
Tiba-tiba terdengar seruan menggetarkan jantung, yang membuat wajah Raja Golok 
Perak berseri penuh harap. Ia melihat kedatangan sesosok bayangan yang memancarkan 
sinar putih keperakan. Sekali lihat saja, ia tahu bahwa sosok tubuh itu adalah Pendekar 
Naga Putih. 
Mendengar seruan itu, Ki Sangkila melompat mundur, menarik pulang 
serangannya. Wajah lelaki tua itu terlihat agak tegang ketika melihat Pendekar Naga Putih 
yang telah berdiri melindungi Raja Golok Perak. 
"Apa yang menyebabkanmu kembali ke tempat ini, Pendekar Naga Putih?" 
Raja Golok Perak tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dan rasa bersyukurnya, 
ketika melihat kemunculan pemuda sakti itu. Bahkan ia pun melihat adanya sosok 
bayangan serba hijau yang tengah membantu murid-muridnya menggempur enam orang 
pengikut Ki Sangkila. 
"Hm.... Tidak aneh, Ki. Sebenarnya kami berdua memang tidak meninggalkan 
hutan ini. Seperti apa yang kuceritakan tadi, kami berdua telah memutuskan untuk 
menjelajahi setiap pelosok hutan ini untuk mencari orang-orang muda berwajah dingin 
pucat. Nah, ketika mendengar suara-suara teriakan di tempat ini, kami memutuskan 
untuk segera kembali. Kami khawatir, apa yang telah menimpa ketiga orang murid 
perguruanmu akan terjadi juga pada kau dan murid-murid yang lain...," papar Panji, 
membuat orang tua itu mengangguk-angguk. Pendekar Naga Putih mengulurkan sebutir

obat luka dalam, dari buntalan pakaiannya. Tanpa banyak tanya lagi, Raja Golok Perak 
langsung menelan obat itu. Karena ia pernah mendengar kalau pendekar muda itu juga 
memiliki ilmu pengobatan. 
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar menyesal telah menuduhmu 
berbuat keji. Aku semakin tua, semakin bertambah bodoh saja...," ucap orang tua itu, 
menyesali sikapnya terhadap pemuda sakti itu. 
Panji hanya tersenyum penuh persahabatan. Sehingga, Raja Golok Perak semakin 
merasa bodoh, dibanding pendekar muda itu. 
Namun, pembicaraan kedua orang tua itu segera terhenti ketika terdengar suara 
menggeram gusar. Keduanya menoleh ke arah Ki Sangkila, yang mengeluarkan suara 
geraman itu. 
"Hm.... Jangan harap kalian semua akan dapat lolos dari tempat ini...!" geram Ki 
Sangkila. 
Kemudian, lelaki tua itu melangkah ke kanan dengan jari-jari terkembang. Panji 
menatap dengan kening berkerut ketika melihat pendaran sinar kurang keemasan pada 
sepasang telapak tangan orang tua itu. 
"Dari mana kau mendapatkan kekuatan seperti itu, Ki Sangkila? Apakah dewi 
sembahanmu yang telah mewariskannya...?" sindir Panji. 
Pendekar Naga Putih sadar akan keampuhan tenaga dalam Ki Sangkila. Karena 
pendaran cahaya kuning keemasan itu menerbitkan hawa panas menyengat. Bila tingkat 
kepandaian Ki Sangkila semakin tinggi, pastilah bisa memukul hangus tubuh lawan 
dengan kekuatannya itu. 
"Hm.... Tidak perlu banyak mengoceh, Pendekar Naga Putih! Sebaiknya bersiaplah 
untuk melayat ke akhirat...!" desis Ki Sangkila yang bergerak semakin dekat. 
"Heaaat..!" 
Disertai sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki tua itu menerjang Pendekar Naga 
Putih dengan sepasang telapak tangannya yang menimbulkan sambaran angin panas. 
Cepat pemuda tampan itu bergerak ke kanan memiringkan tubuhnya, sekaligus 
melontarkan serangan balasan dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke lambung 
lawan. 
Plakkk! 
"Haih...?!" 
Terdengar benturan seperti bara api yang dimasukkan ke dalam air. Ki Sangkila 
memekik. Tubuhnya terdorong mundur sejauh satu tombak lebih. Jelas bahwa kekuatan 
tenaga saktinya masih di bawah Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu tampak 
memucat, pertanda benturan itu telah mengguncangkan bagian dalam dadanya. 
"Hmm...!" 
Tiba-tiba saja Ki Sangkila mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang 
berdoa. 
"Wahai Dewi Penerang Kegelapan! Berikanlah pelajaran kepada orang-orang yang 
hendak menghancurkan kejayaanmu ini...!" ujar Ki Sangkila dengan suara bergetar, 
menimbulkan kekuatan gaib, yang membuat dada Panji agak berdebar. 
"Gila...! Orang tua ini benar-benar telah tersesat. Hm.... Aku jadi penasaran, 
apakah Dewi Matahari itu benar-benar akan muncul menolongnya...," gumam Panji, 
menunggu kelanjutan perbuatan Ki Sangkila. 
Rupanya kekuatan pengaruh suara Ki Sangkila juga dirasakan oleh Kenanga, 
Jalangsa, dan yang lainnya. Buktinya, pertempuran mereka terhenti. Semua mata tertuju 
ke arah Ki Sangkila yang tengah menengadahkan kepalanya menatap langit yang bertabur 
cahaya kuning keemasan. 
Beberapa saat kemudian, hembusan angin yang semula bersilir lembut, terasa 
semakin keras, hingga menggoyangkan batang-batang pohon besar, sampai menimbulkan 
suara berderak-derak. Hawa terasa semakin bertambah panas. 
"Gila...! Benarkah Dewi Matahari yang disembahnya itu akan terwujud? Seperti apa 
kiranya makhluk yang disembah Ki Sangkila dan kawan-kawannya itu...?" desis Panji 
perlahan. Pendekar Naga Putih terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya untuk 
melawan hawa panas yang kian menyengat itu. 
Werrr...!

Entah dari mana munculnya, tahu-tahu saja kilatan sinar emas berpendaran dan 
berputar-putar di sekitar tempat itu. Kemudian, kilatan-kilatan itu berkumpul, merupakan 
titik-titik cahaya yang menjadi satu. 
"Ahhh...?!" 
Semua orang, kecuali Ki Sangkila dan para pengikutnya, sama-sama terbelalak 
menyaksikan suatu pemandangan yang menurut mereka merupakan suatu yang mustahil. 
Keberadaan wujud yang terlihat sangat nyata itu membuat Panji dan yang lainnya 
terbelalak takjub!


TUJUH


Ki Sangkila dan enam orang pengikutnya langsung jatuh berlutut di atas tanah. 
Sepertinya, kemunculan sosok yang berbentuk melalui titik-titik cahaya yang bergumpal-
gumpal itu bukan merupakan pemandangan baru bagi mereka. Terbukti, Ki Sangkila dan 
para pengikutnya sama sekali tidak terkejut. 
Lain halnya dengan Panji, Kenanga, Raja Golok Perak, Jalangsa, dan yang lainnya. 
Mereka tersurut mundur dengan wajah tegang. Sebab, selain menebarkan hawa panas 
seperti gumpalan api, sosok itu pun selalu bergerak-gerak mengikuti tiupan angin. Tentu 
saja pemandangan seperti itu merupakan sesuatu yang aneh dan mustahil bagi mereka. 
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya terpaku menatap sosok yang 
semakin lama kian jelas bentuknya itu. 
Seiring dengan semakin jelasnya bentuk sosok yang tercipta dari gumpalan-
gumpalan cahaya keemasan itu, tiba-tiba terdengar suara samar-samar, mirip desauan 
angin yang berirama tidak tetap. 
"Hm.... Kau tidak mampu melenyapkan musuh-musuhmu ini, Sangkila...?" tegur 
suara halus, seperti siliran angin yang sesekali menyentak. 
Sosok itu sudah semakin nyata membentuk seorang wanita cantik jelita yang 
agung, dengan sekujur tubuh bertabur cahaya emas. Rupanya dialah Sang Dewi Matahari 
yang disembah Ki Sangkila dan para pengikutnya. 
"Ampunkan hamba, Dewi Penerang Kegelapan. Mereka sangat sakti. Sehingga, 
hamba yang bodoh tidak bisa melawan mereka...," sahut Ki Sangkila, yang masih tetap 
bersujud, tanpa berani mengangkat kepalanya memandang sosok wanita cantik itu. 
"Hm....," terdengar suara desauan angin yang menyiratkan kegusaran hatinya. 
Perlahan-lahan, lengan kanan sosok wanita cantik itu terangkat menunjuk ke arah 
Panji dan tokoh-tokoh lainnya. Sepasang mata sosok wanita cantik itu nampak berkilauan, 
membuat mata orang yang menentangnya sakit dan nyeri. 
"Awaaas...!" 
Panji yang lebih dahulu menyadari bahaya ancaman, berseru memperingatkan yang 
lainnya. Tubuh pemuda itu bergerak melakukan lompatan ke samping, diikuti Raja Golok 
Perak dan yang lainnya. Malang, dua orang murid Raja Golok Perak bertindak lamban. 
Akibatnya.... 
Brrrilll...! 
"Wuaaa...!" 
Gumpalan sinar keemasan yang panas luar biasa itu meluncur dari jari-jari tangan 
Dewi Matahari. Tanpa ampun lagi, kedua orang murid Raja Golok Perak yang malang itu 
langsung terbakar seluruh tubuhnya. Sebentar saja kedua sosok tubuh itu telah hancur 
jadi abu. Kejadian itu membuat yang lain menjadi terkejut dengan wajah pucat. 
"Kakang...!" Kenanga mengeluh lirih, sambil merapatkan rubuhnya memegang 
lengan Panji. 
Dara jelita itu terkejut dan ngeri menyaksikan kejadian yang menimpa dua orang 
murid Raja Golok Perak. Panji sendiri tidak berani mengambil resiko untuk menyambut 
serangan Dewi Matahari. Karena selain belum tahu kekuatan makhluk ajaib itu, ia sadar 
bahwa yang dihadapinya adalah makhluk asing, yang tercipta dari daya khayal dan pikiran 
Ki Sangkila. Makhluk itu pasti bukan berasal dari bumi. Itu sebabnya, Panji memilih 
menghindar. 
"Hm.... Kau benar-benar bodoh, Sangkila! Hanya manusia-manusia seperti itu saja 
kau tidak mampu mengurusnya...," kembali suara mirip desau angin itu terdengar. "Biar 
para pengawalku yang akan mengurusnya...." 
Begitu ucapan Dewi Matahari selesai, bentuk wanita jelita penuh keagungan itu 
pun perlahan lenyap, kembali membentuk gumpalan-gumpalan sinar kuning keemasan. 
Terus berubah, menjadi bintik-bintik cahaya. Dan bintik-bintik cahaya yang jumlahnya 
sangat banyak itu, lenyap bergabung dengan cahaya matahari, yang saat itu memancar 
garang. 
Kemudian, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di bekas tempat berdiri Dewi 
Matahari, telah berdiri lima sosok tubuh yang terbungkus lapisan sinar keemasan. 
Semakin jelas terlihat, seiring dengan lenyapnya lapisan sinar emas yang membungkus 
lima sosok tubuh tegap itu. Mereka adalah lima orang pemuda tampan bertubuh tegap

dengan wajah pucat bagai mayat. Sorot mata mereka dingin, merayapi Panji dan kawan-
kawannya. Rupanya, mereka itulah yang disebut sebagai pengawal Dewi Matahari! 
"Hm.... Pantas saja kita tidak pernah menemukan mereka. Rupanya orang-orang 
berwajah pucat yang pernah menyerang kita adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari. 
Benar-benar luar biasa, dan sangat sulit diterima akal sehat...!" gumam Panji, begitu 
mengenali kelima sosok pemuda tampan berwajah pucat itu sebagai orang-orang yang 
pernah menyerangnya. 
Pendekar Naga Putih, Raja Golok Perak, Jalangsa, Kenanga, dan lima orang murid 
Perguruan Gunung Galung, tidak mempunyai waktu lagi untuk menguraikan kejadian 
aneh itu. Sebab, saat itu pengawal-pengawal Dewi Matahari telah berlompatan menerjang 
kawanan tokoh peralatan itu. 
"Heaaat...!" 
Raja Golok Perak memekik nyaring sambil memutar senjatanya dengan sepenuh 
tenaga. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu sadar bahwa lawan bukan orang-
orang sembarangan. Sedikit saja ia bertindak ceroboh, bukan mustahil kalau nyawanya 
sendiri yang akan melayang. Untunglah tokoh sakti itu telah mendapat obat penyembuh 
luka dari Pendekar Naga Putih. Sehingga, kesehatannya telah pulih seperti sediakala. 
Namun, pemuda berwajah pucat yang menjadi lawan Raja Golok Perak, benar-
benar hebat dan sangat sulit didesak. Bahkan, tokoh itu jadi kelabakan, ketika merasakan 
hawa panas yang menyebar dan pukulan-pukulan yang dilontarkan lawannya. Hawa 
panas yang memenuhi arena pertempuran, membuat pemusatan pikiran Raja Golok Perak 
terganggu. Sehingga, gerakan-gerakan yang dilakukannya kacau dan mulai tak terarah. 
Keadaan itu membuat Raja Golok Perak terdesak hebat, dan tidak mampu lagi 
melontarkan serangan balasan. 
Hal serupa juga dirasakan enam orang murid Raja Golok Perak Jalangsa yang 
ditemani kelima orang kawannya, dibuat kelabakan oleh lawan yang hanya seorang. 
Keampuhan jurus gabungan yang semestinya dimainkan oleh delapan orang itu menjadi 
berkurang. Karena mereka kini tinggal berenam. Selain itu, hawa panas yang terbit dari 
pukulan dan tamparan lawan, membuat keenam murid Perguruan Gunung Galung itu 
semakin kewalahan. Akibatnya, dua orang dari mereka terpaksa harus merelakan 
tubuhnya terkena hantaman lawan. 
Buggg! Desss...! 
"Hugkh...!" 
"Aaakh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang itu tersungkur dan tewas. Tampak di dada 
dan perut mereka terdapat gambar telapak tangan yang berbau sangit. 
"Bedebah...!" maki Jalangsa. 
Namun, laki-laki gagah berkumis tipis itu sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. 
Karena lawan memang terlalu tangguh bagi mereka. Meskipun demikian, empat orang 
murid Raja Golok Perak itu berusaha mati-matian untuk mempertahankan selembar 
nyawanya. 
Di bagian lain, Kenanga yang pernah bertarung melawan tiga orang pemuda 
tampan berwajah pucat itu, jadi terkejut setengah mati. Belum lama ia merasakan 
kelihaian lawan, dan merasa mampu untuk menghadapi dua orang lawan. Tapi, kali ini ia 
dibuat penasaran! Sebab, menghadapi lawan yang hanya seorang, Kenanga harus 
mengerahkan segenap kepandaiannya. Kepandaian lawan kini telah maju pesat. Sehingga 
dara jelita itu terpaksa menghunus pedangnya untuk menghadapi gempuran lawan. 
Sedangkan Pendekar Naga Putih terpaksa harus menghadapi dua orang lawan 
sekaligus! Meskipun demikian, Panji harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Karena 
kepandaian dua orang lawannya benar-benar tidak bisa dianggap remeh. 
"Heaaa....!" 
Ketika pertempuran menginjak jurus yang keempat puluh, dan belum juga bisa 
mendesak kedua orang lawannya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga 
Marah'. Tubuhnya berkelebatan cepat, laksana bayangan hantu yang berkeliaran mencari 
mangsa. Sepasang cakarnya menyambar-nyambar dengan kecepatan yang sulit ditangkap 
mata. Suara berdecitan yang menghembuskan udara dingin menyengat tulang, selalu 
mengiringi setiap lontaran cakar naga Panji. 
Plarrr! Plarrr!

Terdengar dua kali ledakan keras yang menimbulkan kepulan asap tebal. Itu 
dikarenakan inti tenaga yang mereka gunakan berlainan jenis. Akibat tangkisan kedua 
orang lawannya, tubuh Pendekar Naga Putih sedikit bergoyang. Sedangkan kedua orang 
lawannya, terpental sejauh satu batang tombak ke belakang. Ternyata, kekuatan tenaga 
sakti Pendekar Naga Putih masih di atas kedua lawannya. 
Tapi sepasang mata pemuda tampan berjubah putih itu terbeliak heran ketika 
melihat tubuh kedua orang lawannya melenting bangkit, seperti tidak mengalami cidera 
sedikit pun. 
"Gila!" desis Panji, melihat kekuatan pengeroyoknya. 
Tapi, rasa heran Pendekar Naga Putih perlahan memudar ketika teringat kalau 
kedua orang itu adalah pengawal-pengawal Dewi Matahari, makhluk ajaib yang bukan 
berasal dari bumi. 
"Hmh...!" 
Ingat akan kesaktian kedua orang itu, Panji menggeram datar. Pemuda itu 
mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga gabungan yang dimilikinya. Sebentar 
kemudian, terlihat lapisan sinar kuning keemasan melapisi tubuh sebelah kanannya. 
Sedangkan tubuh sebelah kiri, terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Itulah gabungan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. 
"Heaaat...!" 
Disertai pekikan nyaring yang membuat tempat di sekitarnya bergetar, Panji 
melesat mendahului kedua orang lawannya. Khawatir akan nasib Kenanga dan yang 
lainnya, membuat Panji mengerahkan seluruh tenaga gabungannya untuk menggempur 
lawan. 
Akibatnya sangat dahsyat sekali! Arena pertempuran bagaikan tengah diamuk 
badai salju, yang kadang berubah sepanas udara gurun pasir. Kedua orang lawannya jadi 
kelabakan. Hawa yang sebentar panas sebentar dingin menusuk tulang, membuat 
pengeroyok Panji kewalahan. Kini mereka tidak mampu lagi membalas serangan, dan 
hanya mencoba bertahan dari gempuran Pendekar Naga Putih yang kian dahsyat itu. 
Panji yang telah bertekad melenyapkan lawan-lawann, tidak memberi hati lagi 
kepada mereka. Tubuh pemuda perkasa itu berkelebatan laksana seekor naga putih yang 
murka. Sambaran cakar dan tamparannya mengaung-ngaung bagaikan dengung ribuan 
lebah yang marah. 
"Yeaaah...!" 
Setelah sepuluh jurus, Pendekar Naga Putih kembali mengeluarkan pekikan 
melengking tinggi. Tubuhnya melenting ke atas berputaran, dan melunak turun secara 
mengejutkan. Sepasang telapak tangannya mendorong bergantian, menebarkan hawa 
panas dan dingin berganti-ganti. Dan.... 
Blarrr! Blarrr...! 
"Aaargh...!" 
Terdengar raungan tinggi bagaikan hendak merobek angkasa, ketika pukulan jarak 
jauh Pendekar Naga Putih telak menghajar tubuh kedua orang lawannya. Tanpa ampun 
lagi, tubuh mereka terpental deras dengan tulang-tulang remuk. Kedua orang pengawal 
Dewi Matahari itu langsung ambruk dengan nyawa melayang meninggalkan raga. 
Tanpa mempedulikan lawannya yang tewas, Panji langsung menoleh ke arah 
pertarungan lain. Dilihatnya Kenanga masih bertempur sengit menghadapi seorang 
lawannya. Sedangkan, Jalangsa dan tiga orang kawannya terdesak hebat. Yang lebih 
mengkhawatirkan adalah keadaan Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung 
Galung itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus lagi. Pendekar Naga Putih 
langsung mengambil kesimpulan untuk menyelamatkan Raja Golok Perak 
"Ki, serahkan lawanmu padaku! Kau bantulah murid-muridmu...!" seru Panji. 
Pendekar Naga Putih segera melayang ke arah pertempuran. Sepasang tangannya 
bergerak cepat, menyambut datangnya pukulan lawan yang tengah mengancam tubuh 
Raja Golok Perak. 
Plakkk! 
Tangan kanan Panji yang terlapisi 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' jelas jauh lebih 
unggul dari tenaga lawan. Tangkisan itu membuat tubuh lawannya terpelanting sejauh 
dua tombak. Tanpa memberikan kesempatan lagi, pemuda tampan berjubah putih itu 
kembali melesat melancarkan serangan mautnya. 
Blarrr...!

Debu dan rerumputan mengepul memenuhi arena pertarungan ketika telapak kiri 
Pendekar Naga Putih menghajar tanah, tempat tubuh lawannya terjatuh. Untung pengawal 
Dewi Matahari itu masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga, serangan Panji 
hanya mengenai tanah, yang jadi berlubang sebesar kubangan kerbau. 
Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu 
mengetahui lawan berhasil menyelamatkan diri, Panji langsung melenting ke udara, dan 
berputaran mengejar tubuh lawan. Dari atas, tubuhnya meluruk turun. Kaki kanannya 
mencuat secepat kilat ke arah dada lawan, yang saat itu tengah bersiap melanjutkan 
pertarungan. 
Desss...! 
Tendangan maut Pendekar Naga Putih telak singgah di dada lawan. Akibatnya 
dapat ditebak. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat bagai mayat itu langsung 
terjengkang, dan menghantam sebatang pohon besar yang berada di belakangnya. 
Derrr...! 
Pohon besar itu bergetar, dan daun-daunnya berguguran saat tubuh pengawal Dewi 
Matahari membentur batangnya dengan keras. Nasib pemuda berwajah pucat itu 
mengenaskan sekali! Darah segar muncrat membasahi batang pohon. Tubuh yang tulang-
tulangnya sudah pasti patah itu langsung menggeloso, dan tewas dengan mata mendelik. 
"Aaargh...!" 
Panji menoleh secepat kilat ketika mendengar pekik kematian yang datang dari 
arah kanannya. Hati pemuda itu menjadi lega ketika melihat Pedang Sinar Rembulan milik 
Kenanga merobek tubuh pengawal Dewi Matahari yang menjadi lawannya. Sosok yang 
tatapannya menggetarkan jantung itu pun roboh dengan tubuh bermandikan darah. 
"Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji yang telah melesat ke dekat 
kekasihnya. 
Dara jelita itu tampak lelah sekali setelah menguras seluruh kepandaiannya dalam 
menghadapi pengawal Dewi Matahari yang memang benar-benar tangguh itu. 
"Aku baik-baik saja, Kakang. Hanya merasa sangat lelah sekali...," desah Kenanga 
seraya menghela napas lega, karena telah berhasil menamatkan riwayat lawannya. "Mari 
kita bantu Raja Golok Perak dan murid-muridnya, Kakang. Tampaknya mereka kewalahan 
menghadapi pengawal-pengawal Dewi Matahari yang tinggal seorang itu," lanjut Kenanga 
sambil menoleh ke arah pertarungan lain. 
Panji mengangguk. Kemudian keduanya segera melesat ke arah pertarungan yang 
masih berlangsung seru itu. Karena tidak ingin membiarkan Raja Golok Perak dan murid-
muridnya terancam bahaya maut. Panji langsung saja berseru kepada tokoh puncak 
Perguruan Gunung Galung itu. 
"Biar kucoba untuk melumpuhkannya, Ki…" seru Panji yang sudah melayang ke 
dalam kancah pertempuran. 
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat salah seorang murid Raja Golok Perak 
terancam bahaya maut. Cepat-cepat pemuda itu bertindak menyelamatkan murid Raja 
Golok Perak yang tidak mampu lagi menyelamatkan dirinya. 
Plak... bukkk! 
"Hugkh...!" 
Begitu memasuki arena pertarungan, Panji langsung memapaki pukulan pengawal 
Dewi Matahari, dan sekaligus mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya dengan 
kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa. Akibatnya, tubuh lawan langsung tersurut 
mundur sejauh dua tombak. Sedangkan Pendekar Naga Putih, telah melompat berputar 
sambil mengibaskan lengan kanannya ke batang leher lawan. 
Desss! 
Kreeeekh...! 
Kibasan lengan Panji yang dilapisi kekuatan tenaga dalam tinggi itu telak 
membentur leher bagian samping lawannya. Terdengar suara gemeretak tulang patah. Dan 
tubuh pengawal Dewi Matahari yang terakhir itu harus merelakan nyawanya melayang ke 
akhirat. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu ambruk dengan kepala terkulai. 
"Hhh.... Benar-benar sulit dipercaya! Kesaktian pemuda pengawal-pengawal Dewi 
Matahari itu sungguh luar biasa sekali. Kalau saja tidak ada kau yang menolong kami, 
rasanya Perguruan Gunung Galung hanya tinggal nama saja...," desah Raja Golok Perak 
seraya menggelengkan kepalanya. Ditatapnya Pendekar Naga Putih dengan pandangan 
kagum.

"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku minta maaf, karena telah menuduhmu 
sembarangan...," Jalangsa ikut angkat bicara. 
"Manusia memang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Jadi, wajar saja kalau 
sekali waktu kalian khilaf. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan kejadian itu. Yang penting, 
kita telah sadar," sahut Panji, membuat hati Raja Golok Perak dan Jalangsa menjadi lega. 
"Eh, ke mana perginya Ki Sangkila dan para pengikutnya? Kita sampai melupakan mereka, 
si penyebab semua kejadian ini" 
"Ah...! Pasti ia telah melarikan diri. Mari kita kejar! Ki Sangkila dan para 
pengikutnya pasti telah kembali ke desanya...," timpal Raja Golok Perak, yang juga tidak 
menemukan sosok Ki Sangkila dan kawan-kawannya di sekitar tempat itu. 
"Mari...," ajak Panji. Kemudian, rombongan kecil itu pun segera bergerak menuju 
Desa Pugar Selatan, tempat Ki Sangkila menjadi penguasa.

DELAPAN

"Hm.... Mengapa desa ini tampak sepi sekali...? Tidakkah ini mencurigakan, 
Baldawa...?" gumam seorang lelaki gagah berusia enam puluh tahun. 
Ucapannya itu ditujukan kepada lelaki kekar yang berada di sebelah kanannya. 
Keduanya sama-sama menunggang kuda, dan memperlambat laju binatang 
tunggangannya saat memasuki perbatasan Desa Pugar Selatan. 
"Mungkin mereka telah tahu kedatangan kita, Ki. Kalau begitu, kita harus 
meningkatkan kewaspadaan...," sahut Baldawa seraya mengedarkan pandangan matanya 
ke sekitar tempat itu. 
Namun, yang dilihatnya hanyalah rerumputan dan pohon-pohon bisu yang 
berjejeran di sepanjang jalan. Baldawa tidak mendengar adanya suara-suara 
mencurigakan, kecuali desir angin yang menggoyangkan dedaunan pohon. 
Lelaki tua yang tidak lain dari Ki Sakya Wulung, terus menjalankan kudanya 
lambat-lambat memasuki mulut Desa Pugar Selatan, beberapa penduduk yang melihat dan 
mengenali lelaki tua itu tampak gelisah. Mereka berlarian masuk ke dalam rumah. Karena 
Ki Sakya Wulung membawa pengikut yang jumlahnya sekitar lima puluh orang lebih. Dan 
masing-masing membawa senjata, seperti hendak berperang. Hal itu membuat penduduk 
Desa Pugar Selatan menjadi ketakutan. 
"Hm.... Kurasa Ki Sangkila sedang meninggalkan desa ini. Kau lihat, Baldawa. Yang 
ada dalam desa hanya anak-anak dan wanita. Para keamanan desa ini pun tidak 
terlihat...," ujar Ki Sakya Wulung lagi, kepada Baldawa yang merupakan tangan kanannya. 
Sambil berkata demikian, Ki Sakya Wulung melompat turun dari atas punggung 
kudanya. 
"Ki, lihat...!" 
Baru saja kedua kaki lelaki gagah itu menginjak tanah, tiba-tiba Baldawa berseru 
sambil menudingkan telunjuknya ke depan. 
Ki Sakya Wulung mengangkat kepalanya, ketika mendengar seruan Baldawa. Lelaki 
tua yang masih tampak gagah itu melihat belasan orang bersenjata tengah berlarian 
menyongsong pasukannya. Melihat pakaiannya, Ki Sakya Wulung dapat mengetahui kalau 
mereka adalah para keamanan Desa Pugar Selatan. 
"Hm.... Mau apa kalian datang kemari...?!" tegur seorang lelaki tinggi kurus 
berwajah agak pucat. Tangan kanannya tampak telah menghunus pedang, siap mengusir 
pergi rombongan Ki Sakya Wulung dari desanya. 
"Durgana," ujar Ki Sakya Wulung seraya melangkah beberapa tindak ke depan, 
membuat lelaki tinggi kurus itu surut dua langkah. "Aku datang selain hendak meminta 
pertanggungjawaban Ki Sangkila, sekaligus juga untuk menghentikan kesesatannya. 
Orang-orang desaku telah banyak yang dihasutnya, sehingga mengikuti perbuatan 
sesatnya. Dan, tiga orang utusanku, termasuk Ki Balasara, tidak pernah kembali lagi 
setelah datang menemui kepala desamu. Semua alasan itulah yang membuat aku 
mengambil keputusan untuk melenyapkan kesesatan Ki Sangkila dan semua pengikutnya. 
Sekarang kau boleh pilih! Ikut jalan sesat yang ditempuh Ki Sangkila dan kubasmi, atau 
menyerah untuk kuampuni...?" 
"Hm.... Jangan coba-coba membujuk kami, Ki Sakya Wulung. Kau lihat sendiri, 
desa ini jauh lebih makmur dengan hasil panen yang melimpah, dibanding desamu yang 
kering kerontang itu. Bilang saja kau ingin merebut desa ini. Tapi, aku tidak akan 
mundur!" sambut Durgana. 
Sambil berkata demikian, Durgana melintangkan pedangnya di depan dada. Dan 
memberi perintah kepada delapan belas orang pengikutnya untuk menggempur pasukan 
Ki Sakya Wulung. 
Baldawa yang saat itu masih berada di atas punggung kudanya, segera melompat 
turun dengan pedang terhunus. Para pengikutnya yang berada di belakang, langsung 
diperintahkan untuk menyambut datangnya musuh. Sebentar saja, perang kecil itu pun 
pecah. 
"Heaaat..!" 
Dengan teriakan nyaring, Baldawa segera maju menggempur lawan-lawannya. 
Pedang di tangannya berkelebatan ke sana kemari, menyambar-nyambar dengan 
kecepatan yang menggetarkan. Sebentar saja, telah dua orang lawan tersungkur mandi

darah, terkena sambaran pedangnya. Amukan lelaki pendek kekar yang gesit itu membuat 
lawan menjadi gentar. 
Sedangkan Ki Sakya Wulung saat itu tengah menghadapi Durganta. Lelaki tua yang 
masih gesit gerakannya itu, hanya menggunakan tangan kosong untuk menghadapi 
gempuran pedang lawan. Meskipun demikian, kelihatan sekali kalau Ki Sakya Wulung 
berada di atas angin, dan dapat menguasai lawannya setelah bertempur selama dua puluh 
jurus. Lelaki tua itu terus mendesak lawannya dengan tamparan-tamparan keras dan 
tendangan-tendangan kilat yang tak terduga. 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Suatu saat, ketika pedang lawan berkelebat membacok dari samping, Ki Sakya 
Wulung melontarkan tendangannya yang tepat menghantam pergelangan lawan, membuat 
pedang di tangan Durganta tedepas dari pegangan. 
"Hiaaah...!" 
Ki Sakya Wulung yang ingin melumpuhkan lawan secepatnya, segera saja 
mengirimkan pukulan kerasnya ke dada lawan. Tapi, saat itu juga, berkelebat sesosok 
bayangan hitam yang langsung menyambut datangnya pukulan Ki Sakya Wulung. Dan.... 
Plak! 
"Aihhh...!?" 
Tangkisan keras itu membuat Ki Sakya Wulung memekik kesakitan! Tubuh orang 
tua itu terhuyung limbung, memegangi telapak tangannya yang panas bagaikan terjilat 
lidah api. 
"Ki Sangkila...!" desis lelaki tua itu, ketika mengangkat wajah melihat siapa orang 
yang baru datang. 
Sosok yang telah menyelamatkan Durganta itu memang Ki Sangkila, yang tiba 
bersama enam orang pengikutnya. Kedatangan Ki Sangkila membuat Ki Sakya Wulung 
terkejut Apalagi, kesaktian lelaki tua yang pernah menjadi wakilnya itu kelihatan telah 
maju pesat. Hal itu dapat diduga dari benturan yang barusan dirasakannya. 
"Hm.... Apa maksudmu mendatangi desa ini, Sakya Wulung? Apakah desamu telah 
kekeringan, dan para penduduknya kelaparan? Kalau hendak meminta sedekah, mengapa 
tidak langsung berterus-terang saja?" ejek Ki Sangkila dengan senyum yang menyakitkan 
hati. 
"Kau benar-benar sombong, Sangkila! Tiga orang utusan yang kukirim secara baik-
baik untuk menemuimu, telah kau celakai pula. Cepat serahkan Balasara dan kedua orang 
pembantuku, juga orang-orang desaku yang telah kau hasut itu. Kalau tidak, aku terpaksa 
harus memaksamu dengan kekerasan...!" geram Ki Sakya Wulung sambil meraba gagang 
pedangnya. 
"Ha ha ha...!" Ki Sangkila terbahak keras, mendengar ancaman Ki Sakya Wulung. 
"Hei, Orang Tua Tak Berguna! Kalau memang kau mempunyai kepandaian, ayo tunjukkan! 
Mari kita buktikan, siapa di antara kita yang paling kuat..," tantang Ki Sangkila, sombong. 
Ki Sakya Wulung belum sempat membalas ucapan lawannya ketika terdengar jerit 
kematian berturut-turut yang membuat lelaki tua itu menoleh dengan wajah tegang. 
Kekhawatirannya terbukti. Para pengikutnya tampak bertumbangan, dibasmi pengikut Ki 
Sangkila. Bahkan, Baldawa sendiri kelihatan tengah kerepotan menghadapi seorang 
pengikut Ki Sangkila. Sekali lihat saja, Ki Sakya Wulung sadar keadaannya tidak 
menguntungkan. Tapi, karena semua itu sudah telanjur, maka ia pun mengeraskan hati. 
Menurutnya, lebih baik hancur daripada mundur dari medan pertempuran. 
"Hm.... Mari kita selesaikan urusan ini, Sangkila...!" geram Ki Sakya Wulung, segera 
menghunus pedangnya dan menyilangkan di depan dada, siap untuk bertarung. 
*** 
"Ki Sakya Wulung, kami datang membantu...!" tiba-tiba saja terdengar seruan 
nyaring, membuat Ki Sakya Wulung dan Ki Sangkila menoleh ke arah datangnya suara. 
"Panji...!" desis Ki Sakya Wulung. 
Wajah orang tua itu berubah cerah ketika melihat sosok bayangan putih dan hijau 
berlarian saling mendahului. Di belakang kedua pendekar muda itu berlari lima orang 
lelaki gagah.

"Apa kabar, Ki Sakya Wulung...?" tegur sesosok lelaki tua, yang datang bersama 
Panji dan Kenanga. 
"Raja Golok Perak...! Ah, aku sama sekali tidak menyangka kalau kau bisa berada 
di tempat ini...," ujar Ki Sakya Wulung semakin bertambah gembira, melihat sosok lelaki 
tua itu. 
Keduanya memang telah saling mengenal, karena Perguruan Gunung Galung tidak 
begitu jauh letaknya dari Desa Pugar Utara dan Selatan. 
"Sangkila telah membunuh ketiga orang murid-muridku, Sakya Wulung. Untuk itu, 
aku ingin membuat perhitungan dengannya...," ujar Raja Golok Perak. 
Sementara, Ki Sangkila sangat terkejut melihat kemunculan orang-orang itu. 
Kakinya melangkah ke belakang, ingin melarikan diri. 
"Hendak ke mana kau, Sangkila...? Tiga orang nyawa pembantuku, harus kau 
tebus dengan nyawamu...!" bentak Ki Sakya Wulung yang segera melompat menutup jalan 
lari Ki Sangkila. 
Demikian pula Raja Golok Perak. Tokoh puncak Perguruan Gunung Galung itu 
menghunus senjatanya mengepung Ki Sangkila. Jelas, kepala desa sesat itu tidak 
mempunyai jalan untuk meloloskan diri. 
"Hm.... Kalian memang harus dilenyapkan...!" geram Ki Sangkila dengan wajah 
bengis. 
Bukan kedua orang tokoh itu yang ditakutinya, tapi keberadaan Pendekar Naga 
Putih-lah yang membuat Ki Sangkila tidak akan menang. Kalau hanya Ki Sakya Wulung 
dan Raja Golok Perak, lelaki tua itu sama sekali tidak gentar. Maka, ia segera bersiap 
untuk menghadapi kedua orang lawannya itu. 
Sementara itu, Panji, Kenanga, Jalangsa, dan tiga orang lainnya segera 
menceburkan diri ke dalam kancah pertempuran. Kehadiran mereka, terutama Panji dan 
Kenanga, membuat pasukan Ki Sakya Wulung yang semula sudah putus asa, jadi 
bersemangat lagi. Apalagi setelah Panji dapat menjatuhkan dua orang pengikut Ki 
Sangkila. Sebentar saja, keadaan pun berubah total. Kini, pihak Ki Sakya Wulung yang 
menguasai medan pertempuran. 
Baldawa yang memang sudah kepayahan, mendapat bantuan dari Jalangsa. 
Keduanya bergerak menggempur lawan, yang hampir membuat Baldawa menyerahkan 
nyawanya. Kemunculan Jalangsa membuat keadaan berubah. Kini mereka berdualah yang 
mendesak lawan, dan dapat menewaskannya setelah bertarung sengit selama kurang lebih 
dua puluh lima jurus. 
Melihat pihak Ki Sakya Wulung telah berada di atas angin, Panji segera mendekati 
Kenanga dan berbisik perlahan, 
"Aku hendak melihat pertempuran Ki Sakya Wulung. Kau tetaplah di sini. Jangan 
sembarang membunuh. Kalau bisa, buat mereka pingsan. Siapa tahu, kita masih bisa 
membawa mereka ke jalan yang benar." 
Setelah melihat kekasihnya mengangguk, Pendekar Naga Putih segera melesat ke 
arah pertarungan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak, yang sedang berusaha 
melumpuhkan Ki Sangkila. 
Panji berdiri agak jauh dari arena pertempuran. Pemuda itu menatap tajam penuh 
perhatian. Wajahnya rampak agak cerah ketika melihat kedua orang kawannya dapat 
menguasai perkelahian itu. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, tapi Panji 
tahu kalau Ki Sangkila akan segera dapat ditundukkan. 
"Yeaaat..!" 
"Heaaat...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keenam puluh, Ki Sakya Wulung dan 
Raja Golok Perak berteriak nyaring secara bersamaan. Keduanya melesat dengan serangan 
yang hebat dan mematikan! Senjata di tangan Raja Golok Perak berputaran menimbulkan 
suara menderu tajam. Sedangkan pedang di tangan Ki Sakya Wulung membentuk 
gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sepertinya, kali ini Ki Sangkila tidak 
mungkin dapat selamat dari ancaman serangan kedua orang tua sakti itu. 
"Haiiit…!" 
Ki Sangkila yang sadar akan kedahsyatan serangan kedua orang lawannya, 
mengambil kepuusan nekat. Disertai pekikan nyaring, lelaki tua itu melipat kedua 
tangannya di depan dada. Kemudian mendorong ke depan disertai bentakan keras. 
Brettt! Srattt!

Kening Pendekar Naga Putih berkerut, melihat Ki Sangkila duduk menyembah ke 
arah matahari. 
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak belum tentu aku sanggup 
menghadapi Dewi Matahari yang disembahnya...," gumam Panji terkejut, melihat bintik-
bintik cahaya merah mulai turun dari langit, hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila.

Bresssh...! 
Hebat sekali benturan yang terjadi. Pedang dan golok lawan membeset tubuh Ki 
Sangkila, yang mengimbanginya dengan sebuah hantaman telapak tangan ke tubuh kedua 
orang lawannya itu. Akibatnya, tubuh Ki Sangkila terhuyung ke belakang dengan ceceran 
darah berjatuhan membasahi tanah. Sedangkan Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak 
terpental ke belakang dan jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Wajah keduanya tampak 
pucat Pada dada mereka terdapat tanda hitam bergambar telapak tangan. 
Panji yang melihat kejadian itu segera berlari memburu. Pemuda itu bergerak cepat 
menotok jalan darah di tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak. Kemudian, 
menjejalkan dua butir obat pulung yang berwarna merah dan putih. Setelah itu, tubuhnya 
berbalik dan matanya langsung menatap ke arah Ki Sangkila yang telah ambruk di atas 
tanah. 
Kening Pendekar Naga Putih berkerut ketika melihat Ki Sangkila duduk dengan 
sikap menyembah sambil menatap ke arah matahari. 
"Aku harus segera mencegahnya. Kalau tidak, belum tentu aku sanggup 
menghadapi Dewi Matahari yang disembahnya itu...," gumam Panji yang segera melesat ke 
arah Ki Sangkila. 
Pendekar Naga Putih agak terkejut ketika melihat bintik-bintik cahaya merah yang 
mulai turun dari langit hendak berkumpul di dekat Ki Sangkila. 
"Yeaaah...!" 
Panji membentak seraya mengayunkan sisi telapak tangannya membacok leher 
belakang lawan. Dan.... 
Kraaak... 
"Akh...!" 
Ki Sangkila mengeluh pendek saat sisi telapak tangan Pendekar Naga Putih 
menghantam tengkuknya. Tubuh orang tua itu langsung ambruk dengan kepala terkulai. 
Batang lehernya patah akibat hantaman Panji yang mematikan. 
Pendekar Naga Putih terpaksa melakukannya, karena kalau tidak demikian, bukan 
mustahil orang-orang desa dan juga berikut desanya, akan hancur akibat amukan Dewi 
Matahari. Ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah sanggup mencegah amukan makhluk 
ajaib yang tercipta dari alam pikiran Ki Sangkila. 
Bersamaan dengan tewasnya Ki Sangkila, bintik-bintik cahaya yang mulai 
berkumpul itu kembali melayang naik ke langit. Seperti tersedot oleh pancaran sinar 
matahari yang terik. 
Panji menghela napas lega, melihat segalanya telah berakhir. Pemuda itu 
melangkah menghampiri tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak yang berhasil 
diselamatkan. Wajah kedua tokoh itu sudah mulai kemerahan, meskipun belum sadar dari 
pingsannya. 
Saat itu pertempuran telah usai pula. Atas petunjuk Panji, Baldawa segera 
memerintahkan orang-orangnya untuk mengurus mayat-mayat yang berserakan di tempat 
itu. Sedangkan tubuh Ki Sakya Wulung dan Raja Golok Perak dibawa ke rumah terdekat 
Panji dan Kenanga memutuskan untuk tinggal di desa itu, sampai Ki Sakya Wulung dan 
Raja Golok Perak sembuh seperti sediakala. 




                              SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar