LABA-LABA
HITAM
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Gambar sampul oleh Pro’s
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Laba-Laba Hitam
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
"Desa Kembangan...," sebut seorang lelaki tinggi
kurus, membaca tulisan yang tertera pada sebuah
tiang batu di tepi jalan.
Sejenak lelaki tinggi kurus berusia sekitar tujuh
puluh tahun itu menoleh ke arah sosok di samping
kanannya. Sepasang matanya yang cekung namun
bersinar tajam, menandakan kalau kakek itu bukan
orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, ia diken-
al sebagai seorang jago pedang nomor satu di wilayah
Utara. Julukannya, Raja Pedang Angin Puyuh.
Sedangkan lelaki yang berdiri di sebelah kanan-
nya, bertubuh tinggi kekar dan berwajah brewok. Si-
kapnya yang nampak gagah menandakan kalau ia jelas
bukan orang sembarangan. Bahkan dalam hal ilmu
pedang dan nama besar pun, tidak kalah oleh kawan-
nya. Raja Pedang Tujuh Bintang. Itulah julukan yang
dianugerahkan kepadanya. Tak seorang tokoh pun di
wilayah Barat yang tidak mengenalnya, karena dia me-
rupakan jago pedang nomor satu di daerah itu.
Menilik dari ciri dan julukan kedua orang itu, je-
las kalau mereka tak lain adalah Ki Ageng Semplak
dan Ki Branta Sula (Untuk mengetahui lebih jelas ten-
tang kedua jago pedang ini, pembaca silakan mengiku-
ti serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Sengketa
Jago-jago Pedang").
Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula kini me-
mang tengah melakukan perjalanan bersama, setelah
peristiwa adu domba bagi para jago-jago pedang. Un-
tunglah kehadiran Pendekar Naga Putih waktu itu te-
lah menyelamatkan keempat jago pedang dari perta-
rungan adu domba, sehingga nyawa mereka selamat.
Hingga akhirnya, bersatu dan bersepakat hendak
membongkar kelompok orang berpakaian serba hitam
yang membuat mereka hampir saling bunuh di antara
kawan sendiri. Sementara, Pendekar Naga Putih dan
Kenanga bermaksud menyelidiki orang-orang bersera-
gam hitam itu.
Ki Ageng Semplak dan Ki Branta Sula kini tiba di
sebuah desa yang bernama Desa Kembangan. Dan
saat itu, mereka telah tiba di perbatasan desa.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Adi Branta?
Apakah kita singgah di desa itu, atau meneruskan per-
jalanan?" tanya Ki Ageng Semplak meminta pendapat
sahabatnya.
"Hm.... Ada baiknya kita singgah sebentar untuk
melepaskan lelah. Sekalian mencari keterangan di desa
itu. Siapa tahu ada pedagang keliling yang kebetulan
singgah dan saling bertukar pengalaman dengan te-
mannya. Dari orang seperti merekalah bisa didapatkan
berita-berita mengenai orang-orang berseragam hitam
itu. Siapa tahu salah seorang dari pedagang keliling itu
pernah berjumpa ataupun berurusan dengan mereka.
Bagaimana, Ki Ageng? Setuju?" tanya Ki Branta
Sula menatap tajam meminta persetujuan.
"Ayolah kalau memang menurutmu itu baik...,"
sahut kakek tinggi kurus itu sambil melangkah mene-
lusuri jalan lebar yang berhubungan dengan Desa
Kembangan.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Branta Sula segera
menjajari langkah sahabatnya.
Tidak berapa lama kemudian, kedua orang jago
pedang itu telah tiba di mulut desa. Suasana desa
yang terlihat cukup ramai oleh kesibukan penduduk,
membuat kedua tokoh itu tidak merasa curiga. Mereka
meneruskan langkah memasuki sebuah kedai makan.
Beberapa orang pengunjung yang tengah menikmati
hidangan, sama-sama menolehkan kepala begitu me
reka memasuki kedai. Namun orang-orang itu kembali
me-lanjutkan makan, tidak peduli lagi kepada Ki Ageng
Semplak dan Ki Branta Sula yang sudah memilih se-
buah meja kosong di sudut kiri ruangan kedai.
Ki Ageng Semplak mengulapkan tangannya me-
manggil seorang pelayan yang langsung saja meng-
hampiri. Lalu, kakek tinggi kurus itu menyebutkan
permintaan dan berpesan agar disediakan segera.
"Hm.... Mengapa kita tidak memilih kedai yang
lebih banyak pengunjungnya saja, Adi Branta? Di tem-
pat sesepi ini, mana mungkin bisa mendapatkan kete-
rangan?" tegur Ki Ageng Semplak menatap tajam wajah
sahabatnya.
"He he he.... Kau ini semakin tua semakin tidak
sabar, Ki Ageng. Tunggulah beberapa saat. Aku yakin,
tempat ini akan segera dipenuhi orang yang hendak
mengisi perutnya. Bersabarlah," sahut Ki Branta Sula
sambil tersenyum melihat ketidaksabaran sahabatnya.
"Nah, lebih baik nikmati saja hidangan ini sambil me-
nantikan ramainya pengunjung."
Saat itu pelayan kedai memang tengah meng-
hampiri meja makan mereka.
Tanpa terburu-buru, kedua jago pedang itu mulai
mencicipi hidangan yang telah tersusun di atas meja.
Ki Ageng Semplak yang tidak sabar, segera menyambar
gelas bambu yang berisi arak. Sekali teguk saja, le-
nyaplah isi gelas bambu itu ke dalam perutnya.
Sedangkan Ki Branta Sub tidak ingin mengikuti
perbuatan sahabatnya. Sebelum meneguk arak di da-
lam gelas bambu, terlebih dahulu dicicipi hidangan
yang telah tersedia di depannya.
"Fruahhh...!"
Tiba-tiba saja, makanan yang baru dikunyahnya
disemburkan kembali ke lantai. Setelah berbuat demi-
kian, jago pedang wilayah Barat itu bergegas bangkit
sambil menggebrak meja di depannya.
Brakkk...!
"Bangsat! Siapa yang berani main-main dengan
Raja Pedang Tujuh Bintang?" bentak Ki Branta Sula
dengan wajah merah padam.
Kemudian, ia kembali meludah berkali-kali seo-
lah-olah, ingin membuang habis yang baru saja dima-
kannya tadi.
Raja Pedang Angin Puyuh tentu saja menjadi ter-
peranjat melihat perbuatan sahabatnya. Ditatapinya
wajah Ki Branta Sula, lalu beralih ke meja yang telah
hancur berkeping-keping itu. Jelas, kakek tinggi kurus
itu belum mengerti tentang kelakuan sahabatnya. Se-
hingga, ia hanya dapat menatap dengan wajah bin-
gung!
"Semua hidangan ini beracun, Ki Ageng.... Apa-
kah kau tidak merasakannya?" tanya Ki Branta Sula.
Wajah Raja Pedang Tujuh Bintang berubah pucat
ketika teringat Ki Ageng Semplak telah meneguk habis
arak yang dihidangkan untuk mereka itu.
"Ahhh...!"
Terkejut bukan main hati kakek tinggi kurus itu
mendengar keterangan sahabatnya. Kepalanya yang
semula memang agak pening, membuat wajahnya be-
rubah pucat. Rasa pening yang kini semakin kuat
men-cengkeram kepalanya, membuat sadar akan apa
yang telah terjadi terhadap dirinya.
"Celaka! Aku... aku telah keracunan, Adi Branta!
Perutku... mulai terasa mual! Dan... dan tubuhku te-
rasa lemas tak bertenaga," erang Raja Pedang Angin
Puyuh.
Ki Ageng Semplak memijat-mijat kepalanya yang
bagaikan ditindih batu besar dan berat. Peluh dingin
pun tampak mulai membasahi wajah dan tubuh kakek
itu. Jelas, racun yang terdapat pada minumannya te
lah mulai bekerja.
"Tenang, Ki Ageng. Kuasai dirimu. Pusatkan piki-
ranmu, dan atur hawa murni untuk mendorong keluar
racun yang mengeram dalam tubuh itu. Cepat laksa-
nakan!" perintah Ki Branta Sula.
Rupanya Raja Pedang Tujuh Bintang lebih men-
getahui perihal racun ketimbang Raja Pedang Angin
Puyuh. Maka, ia pun mulai memberikan petunjuk ke-
padanya.
Ki Ageng Semplak yang dikenal berjuluk Raja Pe-
dang Angin Puyuh, sama sekali memang tidak menge-
tahui perihal jenis-jenis atau rasa racun. Sehingga, ja-
go pedang yang sangat ditakuti dan terkenal dalam
rimba persilatan itu tidak berdaya dalam menghadapi
keadaan ini.
Berbeda dengan Ki Branta Sula. Meskipun tidak
mengetahui secara mendalam tentang racun, tapi jago
pedang wilayah Barat itu masih lebih berpengalaman
daripada sahabatnya. Maka, ia pun segera memberi
petunjuk cara mengusir hawa beracun yang merasuk
ke dalam tubuh Ki Ageng Semplak.
Sebagai tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam
tingkat tinggi, tentu saja Ki Ageng Semplak tidak terla-
lu sulit mengikuti petunjuk Ki Branta Sula. Cepat piki-
rannya dipusatkan dan hawa murninya mulai dihim-
pun di bawah pusat. Lalu, disorongnya perlahan-lahan
ke atas tubuhnya.
Sayang perbuatan Ki Ageng Semplak tidak bisa
dilanjutkan. Karena pada saat itu juga, belasan sosok
tubuh berseragam serba hitam telah berlompatan
mengurung mereka. Bahkan para pengunjung kedai
yang semula tengah menikmati hidangan, bangkit ber-
diri seraya menghunus senjata. Jelas, kedua orang ja-
go pedang itu telah terjebak dalam perangkap musuh!
"Keparat! Rupanya bangsat-bangsat itu telah
mengetahui dan mengikuti perjalanan kita! Hm.... Ka-
lau begitu, Desa Kembangan ini telah berada dalam
kekuasaan manusia-manusia keji itu!" dengus Ki Bran-
ta Sula.
Maka, Raja Pedang Tujuh Bintang segera meng-
hunus senjatanya. Wajahnya tampak merah padam
dibakar api kemarahan yang terasa bagaikan hendak
meledakkan isi dada.
"Bunuh dua tua bangka itu...!" perintah seorang
lelaki kurus berwajah kuning pucat. Pakaian serba hi-
tam yang dikenakannya tampak semakin membuat
pucat wajahnya. Sehingga orang tinggi kurus itu tak
ubahnya sesosok mayat berjalan.
Mendengar seruan perintah tadi, Ki Branta Sula
menoleh ke arah lelaki berwajah pucat yang saat itu
juga tengah memandang kepadanya. Sekilas terlihat
sinar berkilat di mata jago pedang wilayah Barat itu.
Sepertinya, lelaki tinggi besar berwajah brewok ini in-
gin menelan tubuh orang itu hidup-hidup!
"Keparat! Rupanya kaulah yang menjadi pimpi-
nan gerombolan pengacau itu, Iblis Mayat Hidup! Tapi,
jangan harap akan dapat membunuh kami di tempat
ini. Sebaliknya, malah kaulah yang akan kukirim ke
neraka bersama begundal-begundalmu!" ancam Raja
Pedang Tujuh Bintang dengan suara bergetar menahan
kegeraman hati.
"Ha ha ha...! Hebat sekali kau, Raja Pedang Tujuh
Bintang! Dalam keadaan tidak berdaya pun, rupanya
masih juga mengeluarkan ancaman! Tapi sayang, kali
ini kau tidak akan dapat menyelamatkan diri dari ke-
matian! Lihatlah kakek tua renta sahabatmu itu. Da-
lam waktu kurang dari semalam, ia akan mati dengan
tubuh beku. Dan kau pun mungkin akan lebih cepat
menemukan jalan kematian. Kau tahu, aku sudah ti-
dak sabar ingin segera menebas batang lehermu untuk
ku pajang di pintu kedai ini! Ha ha ha...!"
Lelaki berwajah pucat seperti mayat yang ternya-
ta berjuluk Iblis Mayat Hidup, sama sekali tidak mera-
sa gentar terhadap ancaman Ki Branta Sula. Jelas, ia
telah merasa yakin akan dapat menundukkan jago pe-
dang wilayah Barat itu. Hal itu memang tidak berlebi-
han. Memang, di segala penjuru kedai itu telah dipe-
nuhi puluhan orang berseragam serba hitam. Melihat
banyaknya pihak lawan, jelas tidak mungkin bagi ke-
dua orang jago pedang itu dapat menyelamatkan diri.
Apalagi, saat itu Ki Ageng Semplak sama sekali hampir
tidak berdaya.
Pemusatan pikiran yang tengah dilakukan Raja
Pedang Angin Puyuh tentu saja menjadi terganggu oleh
kehadiran orang-orang berseragam hitam itu. Sehing-
ga, pengerahan hawa murni yang dilakukannya terpu-
tus di tengah jalan Wajah kakek tua itu pun kembali
berubah pucat, dan sepasang matanya mulai redup.
Sepertinya pengerahan hawa murni yang semula di-
maksudkan untuk mengusir hawa beracun di dalam
tubuhnya, justru telah membuat racun itu semakin
cepat menyebar. Hal ini karena pengerahan tenaga
yang dilakukannya terhenti secara tiba-tiba. Tidak he-
ran kalau keadaannya semakin bertambah lemas!
"Bertahanlah sekuat mu, Ki Ageng. Biar ku coba
membuka jalan agar kita bisa terbebas dari kepungan
ini," bisik Ki Branta Sula yang merasa cemas melihat
keadaan sahabatnya.
Sambil mengeluarkan geraman marah, Ki Branta
Sula memutar pedang di tangannya hingga memben-
tuk gulungan sinar yang berpendar menyilaukan mata.
Bahkan, gulungan sinar pedang itu masih diwarnai
bulatan-bulatan cahaya kebiruan, bagaikan gemerlap
bintang di malam hari. Itulah ilmu 'Pedang Tujuh Bin-
tang' yang telah membuat namanya melambung dan
dikenal kaum rimba persilatan.
"Hujani mereka dengan senjata rahasia...!"
Lelaki kurus berwajah pucat berjuluk Iblis Mayat
Hidup itu kembali memerintahkan puluhan orang pen-
gikutnya. Sedangkan ia sendiri telah bergerak mundur
dan merapatkan tubuh di dinding kayu, sehingga ter-
lindung di belakang para pengikutnya. Melihat dari ca-
ranya saja, sudah dapat ditebak kalau Iblis Mayat Hi-
dup merupakan seorang berjiwa licik.
Namun, Raja Pedang Tujuh Bintang sama sekali
tidak merasa gentar dengan apa yang dilakukan para
pengepungnya. Bahkan jago pedang itu semakin me-
nambah putaran senjatanya, sehingga semakin cepat!
Akibatnya, beberapa pengepung yang berdiri dalam ja-
rak dua tombak harus berlompatan mundur. Memang,
sambaran angin pedang yang ditimbulkan tokoh sakti
itu demikian kuatnya, hingga mampu menggoyahkan
kedudukan kuda-kuda para pengepung.
"Heaaa...!"
Werrr...! Werrr...!
Terdengar suara berdesir halus ketika beberapa
orang pengepung mengeluarkan bentakan nyaring se-
cara berbarengan. Dan bersamaan bentakan itu, tan-
gan mereka yang tergenggam serentak mengibas ke
arah kedua jago pedang itu.
Sadar kalau senjata rahasia yang berupa jarum-
jarum halus dan paku-paku sepanjang setengah jari
kelingking itu pasti mengandung racun jahat, maka Ki
Branta Sula pun melompat disertai teriakan yang
menggetarkan isi dada.
"Heaaat..!"
Suara mengaung dahsyat mengiringi putaran pe-
dang yang membentuk gulungan sinar berpendar se-
hingga menyilaukan mata. Serangkum angin keras
bertiup bagaikan amukan angin puting beliung, hingga
membuat senjata-senjata beracun orang-orang berse-
ragam hitam itu terpental balik, dan beterbangan ke
segala penjuru ruangan kedai.
"Gila!" maki Iblis Mayat Hidup.
Laki-laki berwajah pucat itu menjadi terkejut me-
lihat kedahsyatan ilmu pedang lawannya.
"Terus hujani manusia sombong itu dengan sen-
jata rahasia! Jangan biarkan lolos dari kepungan!"
Sambil bersuara memberi perintah, lelaki berwa-
jah pucat itu melolos senjatanya berupa tulang tangan
manusia yang telah dikeringkan.
Senjata aneh yang tergenggam di tangan Iblis
Mayat Hidup itu berputar perlahan menimbulkan bau
amis menyesakkan dada. Anehnya, para pengepung
yang merupakan pengikut lelaki kurus berwajah pucat
itu sama sekali tidak terpengaruh oleh angin berbau
amis yang ditimbulkan putaran senjata berupa tangan
manusia sebatas siku, lengkap dengan jemarinya. Je-
las, mereka telah memiliki obat penawar yang mungkin
telah disiapkan sebelumnya. Sehingga, meskipun
ruangan kedai itu telah dipenuhi hawa beracun, para
pengepung itu sama sekali tidak bergerak dari tempat-
nya.
Melihat kenyataan itu, Raja Pedang Tujuh Bin-
tang semakin bertambah murka. Kecemasan pun mu-
lai tergambar jelas di wajahnya. Dan, apabila ia dan Ki
Ageng Semplak masih tetap berada di dalam ruangan
kedai, sudah pasti tidak akan sanggup bertahan lebih
lama. Dan besar kemungkinan, mereka berdua akan
mati keracunan.
Sadar akan bahaya maut yang setiap saat dapat
merenggut nyawa, Ki Branta Sula pun menjadi nekat!
Ketika beberapa belas orang pengepung berlompatan
menerjang, jago pedang wilayah Barat itu pun berseru
nyaring sambil memutar senjatanya sekuat tenaga.
"Heaaat..!"
Hebat sekali akibat amukan yang ditimbulkan
Raja Pedang Tujuh Bintang itu! Sekali bergerak saja,
empat orang terdepan yang menerjangnya langsung
terpental tewas mandi darah!
Tentu saja hal ini membuat pengepung lainnya
terkejut! Tanpa sadar, mereka bergerak mundur dan
merenggang. Jelas sekali kalau orang-orang bersera-
gam hitam itu merasa gentar menghadapi amukan jago
pedang wilayah Barat itu.
Melihat betapa kepungan yang berada di samping
kirinya merenggang, cepat Ki Branta Sula menyambar
tubuh Ki Ageng Semplak. Lalu sambil tetap memutar
senjatanya, tubuhnya cepat melompat menerobos ke-
pungan.
"Heaaat..!"
Wuuut..!
Brettt! Brettt!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri ketika tubuh
beberapa pengepung terkena sambaran mata pedang
Ki Branta Sula. Tanpa menunggu lama lagi, korban-
korban sambaran pedang tokoh sakti itu pun langsung
tewas dengan luka mengalirkan darah segar.
Iblis Mayat Hidup tentu saja marah bukan main
melihat kenyataan itu. Cepat tubuhnya melesat diser-
tai seruannya yang melengking panjang dan mengge-
tarkan!
"Haiiit..!"
Wuuut..! Wuuut..!
Sekali bergerak saja, lelaki berwajah pucat itu
langsung melancarkan dua kali serangan maut ke arah
kepala dan dada lawan. Serangkum angin berbau amis
berhembus menyertai serangan itu.
Raja Pedang Tujuh Bintang yang saat itu tengah
mengamuk dikeroyok puluhan orang berseragam serba
hitam, tercekat ketika mencium bau amis yang terse-
dot tanpa sengaja olehnya. Cepat Ki Branta Sula
menggoyangkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir
rasa pening yang menyerang kepala. Sadarlah tokoh
itu kalau hawa beracun telah merasuk ke dalam tu-
buhnya.
Meskipun kepalanya terasa mulai pening, namun
Ki Branta Sula masih mampu menghindari sambaran
senjata aneh lawan. Bahkan ia masih dapat melancar-
kan serangan balasan yang mengejutkan! Pedang di
tangan tokoh sakti itu berkeredep bagai sambaran kilat
menuju lambung Iblis Mayat Hidup yang tidak terlin-
dung.
Syuuut..!
"Uts!"
Terdengar seruan tertahan Iblis Mayat Hidup
yang merasa terkejut melihat kecepatan gerakan la-
wan. Cepat ia melompat ke belakang untuk menghin-
dari serangan maut itu. Sehingga, tusukan pedang Ki
Branta Sula lewat di bawah tubuhnya.
Meskipun rasa pening di kepala terasa berde-
nyut-denyut namun kecepatan dan kegesitan Raja Pe-
dang Tujuh Bintang ternyata masih sangat memba-
hayakan lawan. Terbukti, ketika tusukan pedangnya
luput senjata itu berputar dengan perubahan cepat
dan mengejutkan!
Wueeet..!
Sambaran pedang Ki Branta Sula yang berputar,
langsung menyambar tubuh lawan yang saat itu masih
berada di udara! Suara mengaung tajam mengiringi
sambarannya.
Namun, Iblis Mayat Hidup memang bukanlah to-
koh sembarangan! Walaupun saat itu tubuhnya tengah
melayang di udara, ternyata tidak menjadi gugup. Ce-
pat senjata berbentuk tulang lengan manusia itu ber
gerak memapak sambaran pedang lawan.
Wuuut..!
Trakkk...!
Terdengar suara keras ketika kedua senjata itu
saling berbenturan di udara.
Sesaat setelah benturan itu terjadi, terdengar se-
ruan Iblis Mayat Hidup yang nyaring. Bersamaan den-
gan itu, tubuhnya langsung melambung dan berputa-
ran beberapa kali di udara.
"Haiiit..!"
Tubuh tinggi kurus yang hanya tulang berla-
piskan kulit itu melenting menjauhi Ki Branta Sula
yang tak bergeming dari tempatnya. Hal ini jelas me-
nandakan kalau kekuatan yang dimiliki jago pedang
dari wilayah Barat itu masih jauh lebih kuat dari la-
wannya.
Ki Branta Sula yang melihat tubuh lawan ber-
jumpalitan menjauh, tentu saja tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Dibarengi pekikan nyar-
ing yang menggetarkan, tubuh jago pedang itu lang-
sung melesat mengejar musuhnya. Pedang di tangan-
nya berputaran membentuk gulungan sinar yang me-
nimbulkan angin menderu tajam.
Tapi, perbuatan Ki Branta Sula itu tidak didiam-
kan para pengepungnya. Melihat pimpinannya tengah
terancam, orang-orang berseragam hitam itu langsung
bergerak, memotong jalan serangan Raja Pedang Tujuh
Bintang. Bahkan beberapa dari mereka mengibaskan
tangan, melepaskan senjata rahasia berupa jarum-
jarum beracun. Sehingga, keadaan Ki Branta Sula ma-
lah berbalik terancam!
Melihat bahaya mengancam, Ki Branta Sula ter-
paksa menunda serangannya terhadap Iblis Mayat Hi-
dup. Senjata yang sedianya digunakan untuk menye-
rang lelaki tinggi kurus itu, langsung digerakkan men
datar dan menyilang.
Wuuut..! Wuuut..!
Dua kali sambaran pedang yang sangat cepat dan
tak terduga itu kontan saja membuat para pengeroyok
kalang kabut! Beberapa orang dari mereka yang tidak
mungkin menarik pulang senjatanya, terpaksa me-
nambah kekuatan tenaga untuk menyambut sambaran
jago pedang wilayah Barat itu.
Sayang gerakan memapak yang dilakukan bebe-
rapa orang lelaki berpakaian hitam itu masih jauh ka-
lah cepat. Sehingga, ujung senjata Ki Branta Sula telah
tiba lebih dahulu.
Brettt..! Crasss...!
Terdengar jeritan-jeritan kematian ketika pedang
di tangan Ki Branta Sula membeset tubuh empat orang
lawannya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh empat
orang sial itu pun terjungkal roboh mandi darah! Se-
saat kemudian napas mereka pun putus, melepas
nyawa akibat luka menganga di perut dan dada.
Sementara itu jarum-jarum beracun yang melu-
ruk ke arah tubuh jago pedang wilayah Barat, lang-
sung berbalik dan mengancam tuannya masing-
masing!
Jerit kematian pun kembali bergema memenuhi
ruangan kedai makan itu! Lima orang berseragam hi-
tam lain, kembali terjungkal dengan tubuh hangus ba-
gaikan terbakar. Jelas, kelima orang itu tewas akibat
jarum beracun yang dilepaskan tadi.
Sedangkan Ki Branta Sula sendiri, telah menda-
ratkan kakinya di tempat aman. Meskipun demikian,
ternyata kepungan orang berseragam hitam itu tetap
saja tidak mengendur. Sehingga, Raja Pedang Tujuh
Bintang menjadi bertambah geram.
***
DUA
"Ha ha ha.... Biarpun kau memiliki delapan len-
gan dan delapan kaki, jangan harap kali ini akan luput
dari kematian, Raja Pedang Tujuh Bintang! Jangankan
menyelamatkan tua bangka itu, untuk menyelamatkan
nyawamu sendiri pun rasanya mustahil. Sekarang kau
boleh pilih. Mati bunuh diri tanpa harus menderita,
atau kami siksa perlahan-lahan sampai tewas. Bagai-
mana?" kata Iblis Mayat Hidup. Lagaknya jumawa, dan
bernada meremehkan.
Seketika merah selebar wajah Ki Branta Sula
mendengar tawaran yang diajukan lawannya. Gigi-
giginya bergemeletuk menandakan kegeraman hatinya.
Memang, ucapan Iblis Mayat Hidup jelas dimaksudkan
untuk menjatuhkan harga dirinya sebagai tokoh kelas
atas. Tentu saja hal itu amat menyakitkan!
"Bangsat!" maki Ki Branta Sula menggeram gu-
sar. "Jangan mimpi kau, Iblis Mayat Hidup! Meskipun
kau membawa pengikut sepuluh kali lebih banyak,
jangan harap aku akan menyerah begitu saja! Kalau-
pun harus mati di tempat ini, akan kubawa pengikut
mu ke liang kubur sebanyak-banyaknya!"
Sementara mulutnya menyahuti ucapan Iblis
Mayat Hidup, sepasang mata lelaki kekar itu bergerak
liar mencari jalan meloloskan diri dari kepungan. Na-
mun, meskipun hawa marah terasa hendak meledak-
kan dadanya, namun jago pedang wilayah Barat itu
masih pula menggunakan akalnya. Jelas, Ki Branta
Sula bukanlah orang kasar yang menghadapi segala
sesuatu hanya mengandalkan ketajaman pedang saja.
Terbukti, perhatian lawan dipancing dengan ucapan-
ucapannya. Sedangkan akalnya terus bekerja mencari
jalan menyelamatkan diri.
Apa yang dicari Raja Pedang Tujuh Bintang ru-
panya telah didapat. Tampak sinar matanya berkilat
cerah sekilas. Maka, dibarengi sebuah bentakan yang
mengejutkan, tubuh lelaki tinggi besar itu meluncur ke
arah para pengepungnya sambil memutar senjata den-
gan dahsyatnya!
Serangan Ki Branta Sula yang secara mendadak
itu, tentu saja membuat para pengepung tersentak ka-
get! Sehingga tanpa sadar mereka melangkah mundur
beberapa tindak.
Iblis Mayat Hidup bertindak cepat memberi perin-
tah kepada para pengikutnya untuk menerjang. Se-
mentara, ia sendiri sudah menggeser tubuhnya ke
samping kanan sambil mengirim serangan dengan
sambaran senjatanya.
Meskipun para pengepung bergerak menyambut
serangannya, namun Ki Branta Sula tidak gugup. Pe-
dang di tangannya berputar beberapa kali dengan ge-
rakan menyilang dan mendatar. Kecepatan dan kekua-
tan yang dipergunakan pun tidak kepalang tanggung.
Wuuut..!
Trangngng...! Trakkk!
Terdengar seruan-seruan kaget ketika pedang di
tangan lelaki tinggi besar itu membentur keras senjata-
senjata lawan. Sehingga, tubuh belasan orang yang
senjatanya terpapak putus, langsung bertumbangan ke
belakang!
Tanpa menghiraukan lawan-lawannya yang ber-
jatuhan, pedang di tangan Ki Branta Sula masih terus
berkelebat menyambut serangan Iblis Mayat Hidup.
Wueeet..!
Karena telah merasakan betapa hebatnya kekua-
tan yang dimiliki lawan, Iblis Mayat Hidup tidak sudi
menderita kerugian untuk yang kedua kalinya. Maka
serangannya pun cepat ditarik pulang, lalu secepat itu
pula tubuhnya berputar. Langsung dikirimkannya se-
rangan kembali.
Wukkk...!
Senjata yang berupa lengan manusia kering itu
menyambar cepat mengancam leher sebelah kiri Ki
Branta Sula! Sehingga, mau tidak mau lelaki brewok
itu berseru memuji ketangkasan lawan.
"Bagus...!" puji Ki Branta Sula tanpa bermaksud
menghina.
Sambil berseru demikian, tubuhnya bergerak
doyong ke depan dengan posisi kuda-kuda miring ke
kanan. Sehingga, serangan itu lewat di depan wajah-
nya.
Wuukkk...! Senjata yang berupa lengan manusia
kering itu menyambar cepat, mengancam leher Ki Bran-
ta Sula.
"Bagus...!" puji Ki Branta Sula tanpa bermaksud
menghina. Laki-laki itu segera mendoyongkan tubuh-
nya, menghindari sabetan Iblis Mayat Hidup!
Gerakan yang dilakukan Raja Pedang Tujuh Bin-
tang ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Buk-
tinya begitu serangan lawan luput, secepat itu pula tu-
buhnya bergerak bangkit dan langsung mengirimkan
tendangan kilat mengejutkan!
Hebat sekali tendangan yang dilancarkan Ki
Branta Sula. Suara berdecit tajam mengiringi luncuran
ujung kaki mengincar perut lawan.
Diesss...!
Iblis Mayat Hidup tak sempat lagi menghindari
tendangan kilat itu. Sehingga, perutnya harus direla-
kan jadi sasaran. Kontan saja tubuh kurus itu terjeng-
kang ke belakang dan menabrak beberapa pengikutnya
yang berada di belakang.
Meskipun di bahu kirinya membawa tubuh Raja
Pedang Angin Puyuh, namun hal itu sama sekali tidak
mengganggu gerakan Ki Branta Sula. Sesaat setelah
lawannya terjatuh, tubuh lelaki tinggi besar itu lang-
sung melambung menerobos atap!
Brolll...!
Atap kedai yang terbuat dari rumbia, langsung
jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh Ki
Branta Sula terus melambung hingga satu tombak dari
atas atap.
Namun, alangkah terkejutnya hati Raja Pedang
Tujuh Bintang. Ternyata di atas atap telah menunggu
beberapa orang berseragam hitam dengan senjata ter
hunus! Maka begitu tubuhnya muncul, langsung saja
senjata-senjata tajam menyambutnya!
Hal yang sama sekali di luar perhitungan itu,
sempat membuat hati Ki Branta Sula terkejut. Tapi se-
bagai ahli silat kawakan, tentu saja ancaman itu mem-
buatnya harus bergerak sigap. Pedang di tangan ka-
nannya menyambar cepat dengan gerakan mendatar!
Wuuut..!
Trangngng! Brettt! Brettt!
Hebat sekali akibat sambaran pedang tokoh sakti
itu! Meskipun serangan lawan tidak terduga, namun Ki
Branta Sula masih dapat mematahkannya. Bahkan
sambaran pedang itu masih sempat juga merobohkan
empat orang penyerang di sebelah kirinya. Kontan saja
orang-orang itu menggelinding jatuh ke tanah dalam
keadaan tak bernyawa.
Tapi, kali ini nasib jago pedang wilayah Barat itu
kurang beruntung. Buktinya, sebuah bacokan yang
datang dari belakangnya tak sempat dihindari. Sehing-
ga, tubuh lelaki tinggi besar itu kontan limbung. Dan
pada saat itu juga, kembali dua buah senjata lawan
bersarang di punggungnya!
Crakkk! Brettt..!
"Aaakh...!"
Raja Pedang Tujuh Bintang memekik kesakitan
ketika dua batang pedang terakhir merobek kulit
punggungnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki
Branta Sula pun menggelinding jatuh di atas atap!
Meskipun tubuhnya meluncur ke tanah dalam
keadaan luka-luka, ternyata lelaki tinggi besar itu ma-
sih bisa menyelamatkan diri agar tak terbanting di ta-
nah.
"Heaaah...!"
Sambil berseru nyaring, tubuh Ki Branta Sula
berputar dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
Kemudian kedua kakinya mendarat di atas tanah. Wa-
laupun ketika mendarat kuda-kudanya terlihat agak
goyah, namun tubuhnya berhasil diselamatkan agar
tidak sampai terbanting di atas tanah.
Sayangnya, pada saat Ki Branta Sula jatuh
menggelinding dari atap kedai, tubuh Ki Ageng Sem-
plak terlepas dari pondongannya. Sehingga tanpa da-
pat dicegah lagi, tubuh kakek itu pun terbanting jatuh
dibarengi suara berdebuk nyaring.
Meski dalam keadaan setengah sadar, ternyata Ki
Ageng Semplak merasakan juga akibat itu. Terdengar
erangan lirih dari mulutnya. Tubuhnya mengejang me-
nahan sakit
Apa yang kemudian menimpa diri Ki Ageng Sem-
plak benar-benar sangat mengerikan! Memang, saat
tubuhnya terbanting di atas tanah, belasan batang
tombak langsung meluncur merejam tubuhnya.
Crabbb! Blesss! Blesss!
Darah segar kontan berhamburan ketika ujung-
ujung tombak dan belasan mata pedang menghunjam
tubuh kakek itu.
"Aaargh...!" terdengar raungan kematian yang
menggema mendirikan bulu roma!
Naas sekali nasib yang menimpa Raja Pedang
Angin Puyuh. Belum lagi sempat tersadar dari pingsan
akibat pengaruh racun. Nyawanya telah melayang me-
ninggalkan raga yang hampir tak dapat dikenali lagi.
Meskipun kakek tua itu telah tewas, namun bela-
san orang berseragam hitam itu bagaikan tak puas-
puasnya menghunjamkan senjata. Sehingga, tubuh
Raja Pedang Angin Puyuh tercabik-cabik hancur, tak
ubahnya diamuk binatang buas.
"Ki Ageng Semplak...!"
Ki Branta Sula yang mendengar raung kematian
menggetarkan itu, berseru dengan wajah pucat seputih
kapas. Betapa terkejutnya hati jago pedang wilayah
Barat itu melihat apa yang menimpa sahabatnya.
Tubuh lelaki tinggi besar berwajah brewok itu
gemetar hebat! Ia tidak tahu lagi, apa yang saat itu di-
rasakannya. Perasaan sedih dan marah bercampur
menjadi satu. Ki Branta Sula tidak tahu, apakah harus
menangis atau marah menyaksikan keadaan tubuh
sahabatnya yang bagaikan seonggok daging tak ber-
bentuk.
Walaupun hati Ki Branta Sula ingin mengamuk
dan membantai habis seluruh orang-orang berpakaian
hitam itu, tapi pikirannya masih dapat dipergunakan
dengan baik. Disadari sepenuhnya kalau ia tidak
mungkin dapat menandingi puluhan lelaki berseragam
hitam itu. Apalagi di antara mereka masih terdapat
pemimpin-pemimpin yang kepandaiannya hanya be-
berapa tingkat di bawahnya. Maka, ditekannya keingi-
nan gila itu.
"Maafkan aku, Ki Ageng. Walaupun aku ingin
membalas perbuatan keji yang mereka lakukan terha-
dapmu, tapi kali ini rasanya tidak mungkin. Selain
jumlah mereka terlalu banyak, keadaan tubuhku pun
sudah semakin lelah dan tidak memungkinkan. Satu-
satunya jalan, aku harus dapat meloloskan diri dari
tempat ini. Kelak akan kucari mereka walaupun sam-
pai ke ujung langit sekali pun!" tekad Ki Branta Sula,
bergumam lirih menggeletar. Jelas kalau jago pedang
wilayah Barat itu sangat terpukul atas kematian saha-
batnya yang sangat menyedihkan itu.
"Ha ha ha...! Bagus, Anak-anak. Sekarang tinggal
tubuh lelaki brewok itu yang harus dicincang. Ingat!
Jangan biarkan dia lolos! Kalau hal itu sampai terjadi,
ketua akan marah besar kepada kita semua!"
Terdengar seruan lantang yang keluar dari mulut
seorang lelaki berkepala botak dan memakai anting
anting pada telinga kirinya. Pipi sebelah kirinya yang
codet, membuat wajahnya semakin bertambah menye-
ramkan.
Mendengar suara berat dan lantang itu, Ki Bran-
ta Sula sadar dari lamunannya. Sepasang matanya
melirik ke arah lelaki botak yang jelas merupakan sa-
lah satu pimpinan orang-orang berseragam hitam itu.
"Heaaat..!"
Dibarengi sebuah pekikan dahsyat Ki Branta Su-
la yang bertekad untuk meloloskan diri dari kepungan
itu segera melompat menerjang!
Wuuut...! Wuuut...!
Meskipun keadaan tubuhnya sudah mulai mele-
mah, namun sambaran pedang di tangan Ki Branta
Sula ternyata masih sangat berbahaya. Gulungan sinar
berpendar yang menimbulkan deruan angin keras
mengiringi putaran senjatanya. Jelas, jago pedang itu
telah mengeluarkan seluruh tenaga saktinya dalam
usaha meloloskan diri dari kepungan.
Sasaran serangan Raja Pedang Tujuh Bintang
adalah kepungan sebelah kiri yang terlihat agak lemah.
Trangngng! Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan kematian saling susul ketika
pedang di tangan Ki Branta Sula merobek tubuh bebe-
rapa orang lawan. Darah segar kembali membasahi
bumi bersamaan dengan robohnya empat orang berse-
ragam hitam yang tewas seketika itu juga.
Lelaki berkepala botak yang menjadi pimpinan di
depan kedai, tentu saja menjadi marah bukan main!
Saat itu juga, tubuhnya langsung melesat disertai te-
riakannya yang parau dan menggetarkan!
"Yeaaat..!"
Wueeet..!
Raja Pedang Tujuh Bintang sempat menangkap
sambaran angin dari belakang cepat berbalik mundur
sejauh tiga langkah. Berbarengan dengan itu, pedang-
nya berkeredep melancarkan serangan balasan!
Namun, lelaki botak berwajah codet yang terkenal
berjuluk Raksasa Sungai Padas ternyata cukup jeli.
Apalagi, saat itu kecepatan gerak Ki Branta Sula me-
mang sudah berkurang. Maka, tubuhnya bergegas di-
geser ke samping. Begitu sambaran pedang lawannya
luput, langsung disusuli dengan tusukan kilat yang
mengancam ulu hati lawan.
Pada saat yang bersamaan, delapan orang berse-
ragam hitam mengayunkan senjatanya ke tubuh jago
pedang wilayah Barat itu. Sehingga, menyulitkan kea-
daan Ki Branta Sula.
Belum lagi semua serangan itu tiba, terdengar
suara aneh, disusul meluncurnya benda kehitaman
seperti asap tipis.
Mendengar suara itu, Ki Branta Sula mendon-
gakkan kepala ke atas. Tercekat hati jago pedang itu
begitu mengetahui benda apa yang tengah meluruk da-
ri atasnya. Memang, benda itu tak lain adalah sebuah
jala halus yang sudah pasti tahan terhadap segala je-
nis senjata tajam. Tentu saja kenyataan itu membuat-
nya sempat gugup!
Sadar kalau keadaannya saat ini benar-benar
berbahaya, Ki Branta Sula segera mengambil keputu-
san nekat!
"Haiit...!"
Dibarengi teriakan sekuat tenaga, tubuh jago pe-
dang itu melambung dan berjumpalitan beberapa kali
di udara. Gerakan itu masih dibarengi putaran pe-
dangnya yang mengiriskan!
Raksasa Sungai Padas tentu saja tidak sudi
membiarkan lawan dapat lolos. Cepat disusulinya den
gan sebuah lompatan panjang yang disertai sambaran
pedang ke punggung lawan.
"Yeaaat..!"
Trangngng.!
Brettt! Brettt!
Terdengar suara berdentang nyaring yang disusul
bunyi mata pedang merobek tubuh!
"Aaakh...!"
Dua orang berseragam hitam yang juga ikut me-
lompat menyambut tubuh Ki Branta Sula, terbanting
jatuh bersama semburan darah segar dari luka di tu-
buhnya. Mereka tewas seketika dengan luka menganga
yang cukup dalam dan panjang.
Sedangkan Ki Branta Sula sendiri tidak luput da-
ri sambaran pedang Raksasa Sungai Padas. Jago pe-
dang wilayah Barat itu menggigit bibirnya menahan
rasa sakit pada punggungnya yang terobek pedang la-
wan Rasa sakit pada luka-luka di beberapa bagian tu-
buhnya, sama sekali tidak dihiraukan Ki Branta Sula.
Tekadnya hanya satu, meloloskan diri, apa pun yang
terjadi!
Maka, begitu kakinya mendarat meski dengan
kuda-kuda limbung, tubuh lelaki tinggi besar itu lang-
sung melesat kembali disertai putaran pedangnya.
Belasan orang berseragam hitam yang bergerak
menyambut terjangan, sama sekali tidak dipedulikan.
Maka....
Trakkk! Trakkk! Brettt! Brettt!
Jeritan kematian pun kembali menggema ketika
pedang di tangan Ki Branta Sula kembali merenggut
beberapa nyawa lawan. Meskipun demikian, Ki Branta
Sula pun tidak terlepas dari sambaran senjata dua
orang lawannya. Luka di lambung dan bahu kanannya
membuat jago pedang itu kembali menggigit bibir kuat-
kuat. Lalu, kembali senjatanya diputar sambil melom
pat ke depan.
Kepungan lawan yang telah mengendur itu mem-
buat usaha Ki Branta Sula menjadi lebih mudah. Sete-
lah merobohkan empat orang lawan yang berusaha
mencegah, tubuh jago pedang wilayah Barat itu terus
melesat dan melarikan diri
"Bangsat! Kejar manusia sombong itu! Jangan bi-
arkan lolos!"
Raksasa Sungai Padas berteriak-teriak marah.
Sambil mengeluarkan perintah, tubuhnya langsung
melesat mengejar! Tanpa membuang-buang waktu lagi,
para pengikutnya pun serentak berlompatan mengiku-
ti.
Iblis Mayat Hidup dan belasan orang pengikutnya
yang baru saja keluar dari dalam kedai, tentu saja
menjadi terkejut mendengar calon korbannya melo-
loskan diri.
"Ayo kita kejar keparat itu...!" teriaknya sambil
melesat mendahului pengikutnya.
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang berse-
ragam hitam itu pun bergegas mengikuti pimpinannya.
***
TIGA
Senja sudah mulai turun menyelimuti bumi, ke-
tika sesosok tubuh berperawakan tinggi besar berlari
terseok-seok memasuki mulut hutan. Melihat dari
langkah kakinya yang tidak tetap, jelas kalau kea-
daannya tidak sehat
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih keluar dari bibirnya. Ber-
samaan dengan itu, tangan kirinya menekap lambung
yang tampak mengalirkan darah segar.
Ternyata bukan hanya lambung sosok tubuh itu
saja yang tampak luka. Bahkan pada beberapa bagian
tubuhnya yang lain pun, terlihat luka bekas bacokan
dan tusukan senjata tajam. Jelas sudah, sosok tinggi
besar itu memang tengah terluka pa rah!
Teriakan-teriakan ramai dari belakang, membuat
sosok tubuh itu semakin mempercepat langkahnya.
Sehingga, beberapa saat kemudian tubuhnya pun le-
nyap di balik keremangan suasana hutan lebat ini.
Sesekali sosok tinggi besar itu menolehkan kepa-
la ke belakang. Teriakan lapat-lapat yang masih ter-
dengar di telinganya, membuat sosok tubuh itu mene-
rus-kan larinya semakin jauh ke dalam hutan.
Meskipun cuaca di dalam hutan saat itu sudah
semakin terselimut kegelapan, namun sosok tubuh
tinggi besar itu sama sekali tidak menemui kesukaran.
Pandangan matanya yang meski terlihat redup, ternya-
ta memiliki pancaran tajam. Sehingga, jalan yang akan
dilaluinya dapat dikenali. Melihat kenyataan itu, jelas
sosok tinggi besar itu bukanlah orang sembarangan.
Terbukti jalan yang dilalui dapat dikenali dengan baik
meski dalam cuaca agak gelap.
Ketika tiba pada sebuah aliran sungai yang
membelah hutan, sosok tinggi besar itu bergegas turun
ke tepian sungai. Kemudian disusurinya tepian sungai,
tanpa menyeberanginya.
Cukup lama sosok tinggi besar itu berlari-lari ke-
cil menyusuri tepian sungai. Ia sama sekali tidak pedu-
li, meskipun beberapa kali terpeleset karena menginjak
bebatuan licin.
"Aaah...!"
Byurrr...!
Entah untuk yang keberapa kali sosok tinggi be-
sar itu terjatuh ke dalam sungai. Dan untuk kesekian
kalinya pula ia bangkit, lalu melanjutkan larinya meski
tertatih-tatih.
Ketika tiba pada sebuah tempat yang dirasakan
cukup untuk bersembunyi, sosok tinggi besar yang tak
lain Ki Branta Sula pun bergerak menaiki tepian sun-
gai.
Kaki-kakinya yang agak gemetar karena rasa le-
lah yang amat sangat, dipaksakan untuk melangkah di
atas batu besar yang memenuhi tempat itu. Wajah pu-
cat yang jelas menahan derita, berseri ketika menemu-
kan sebuah lubang menganga di depannya.
Lubang kecil yang sebesar dua kali tubuh orang
dewasa itu, dimasukinya tanpa ragu-ragu. Yang ada
dalam pikirannya saat itu hanyalah terbebas dari para
pengejar yang masih membuntutinya.
"Ohhh...!"
Ruangan dalam gua kecil itu ternyata cukup
luas. Sehingga, Ki Branta Sula tidak perlu lagi ter-
bungkuk-bungkuk memasukinya. Dengan helaan na-
pas berat, tubuhnya dijatuhkan di atas tanah lembab
dalam gua itu.
Ki Branta Sula atau si Raja Pedang Tujuh Bin-
tang yang hampir sekujur tubuhnya penuh luka, lang-
sung jatuh pingsan di atas tanah lembab ruangan gua
itu. Rupanya, rasa lelah dan sakit yang dideritanya ba-
ru terasa setelah terbebas dari kejaran musuh-
musuhnya. Sehingga, jago pedang wilayah Barat itu
tergeletak tak ubahnya bagai orang mati.
Sementara itu, gerombolan orang berseragam hi-
tam yang dipimpin Iblis Mayat Hidup dan Raksasa
Sungai Padas, masih terus melakukan pencarian
menggunakan obor.
"Bangsat! Ke mana perginya manusia keparat
itu? Aku yakin, ia tidak akan dapat pergi jauh dari hu-
tan ini. Sebab, ia menderita luka-luka yang cukup pa
rah," dengus lelaki tinggi kurus berwajah pucat. Orang
itu tak lain adalah Iblis Mayat Hidup yang merupakan
salah satu pimpinan orang-orang berseragam hitam.
"Benar, Adi. Kalau begitu, mari kita lanjutkan
pencarian!" ujar lelaki bertubuh raksasa, dan berkepa-
la botak. Siapa lagi orang itu kalau bukan Raksasa
Sungai Padas.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan
yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu
di tepi sungai. Tepian sungai pun terang seketika, ka-
rena cahaya-cahaya obor yang berpendaran.
Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas se-
gera memerintahkan beberapa orang pengikutnya un-
tuk memeriksa daerah tepian sungai.
"Periksa tepi sungai ini secara teliti! Siapa tahu,
jago pedang yang telah kita cundangi itu tidak menye-
berangi sungai!"
Terdengar perintah lantang Raksasa Sungai Pa-
das. Perintah itu jelas menandakan kalau lelaki bertu-
buh raksasa itu merupakan seorang yang cerdik dan
sangat teliti.
Setelah memeriksa hingga belasan tombak, na-
mun ternyata mereka tidak menemukan jejak. Maka,
belasan orang-orang berseragam hitam itu pun kemba-
li, lalu melaporkan kepada Raksasa Sungai Padas.
Berkerut kening kedua orang pimpinan itu men-
dengar laporan anak buahnya. Jelas, mereka tidak ya-
kin kalau Raja Pedang Tujuh Bintang telah menyebe-
rangi sungai.
"Hm.... Mungkinkah manusia keparat itu nekat
menyeberangi sungai yang airnya mengalir deras ini..?
Bagaimana pendapatmu, Adi?" tanya Raksasa Sungai
Padas menolehkan kepala ke arah Iblis Mayat Hidup.
Pada sepasang matanya jelas memancarkan keraguan.
"Bisa saja, Kakang. Orang yang sudah nekat, bi-
asanya akan melakukan apa saja demi menyelamatkan
selembar nyawanya. Dan hal itu bisa saja terjadi pada
diri Ki Branta Sula," sahut Iblis Mayat Hidup sambil
melepaskan pandangan ke seberang sungai yang tam-
pak gelap.
"Hm, apakah menurutmu sebaiknya kita kembali
saja ke Desa Kembangan? Lalu, apa kata ketua kita
nanti?" desah Raksasa Sungai Padas. Dari nada sua-
ranya yang lirih, jelas kalau harinya merasa gentar ke-
tika menyebut kata 'ketua'.
"Yah.... Kita laporkan saja apa adanya. Kurasa,
ketua tidak akan marah kepada kita. Biar bagaimana-
pun, usaha kita tidak gagal seluruhnya. Kita bawa saja
mayat Ki Ageng Semplak sebagai bukti," sahut Iblis
Mayat Hidup, mantap.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya
lelaki berkepala botak itu menyetujui usul kawannya.
Tak lama kemudian, rombongan itu bergerak mening-
galkan tepian sungai. Sehingga, kegelapan pun kemba-
li menyelimuti daerah sungai itu.
Kegagalan orang-orang itu bukan karena dis-
ebabkan kebodohan dalam melacak jejak. Tapi, semua
itu karena kecerdikan Raja Pedang Tujuh Bintang. Ca-
ranya menyusuri tepian sungai, tentu saja tidak didu-
ga rombongan itu. Batu-batu yang bertonjolan di per-
mukaan sungai itulah yang menjadi tumpuan telapak
kaki Ki Branta Sula ketika menyusuri tepian sungai.
Maka, wajar saja kalau orang-orang tadi tidak dapat
menemukan jejak jago pedang itu. Sehingga, selamat-
lah Ki Branta Sula dari ancaman maut yang mem-
bayanginya.
***
Saat itu, semburat cahaya kemerahan sudah
nampak di kaki langit sebelah Timur. Kokok ayam jan-
tan masih terdengar saling bersahutan menyemarak-
kan datangnya sang pagi. Kicau burung yang bersen-
da-gurau, membuat suasana pagi di kaki Gunung Ga-
garan terasa menyenangkan.
Sapuan angin pagi yang sejuk dan menyegarkan,
membelai lembut wajah tiga orang lelaki gagah yang
tengah bersembunyi di balik rimbunan semak belukar.
Yang seorang bertubuh tinggi kurus, berusia se-
kitar enam puluh tahun. Wajahnya nampak angker,
karena dihiasi garis-garis ketuaan. Meskipun demi-
kian, tubuhnya yang kurus tampak tegap dan sehat.
Kulitnya yang kuning langsat, nampak sangat pas
dengan warna pakaiannya. Pada pakaiannya yang
berwarna merah darah, terdapat garis hitam melingka-
ri leher. Siapa lagi orang tua itu kalau bukan Ki Giri
Tantra, atau berjuluk si Raja Pedang Sinar Pelangi.
Sedangkan kedua orang lelaki gagah yang me-
nyertainya, sudah pasti Darpa dan Sudira. Kedua
orang itu adalah murid utama Perguruan Pedang Sinar
Pelangi yang masih setia terhadap guru besarnya (Un-
tuk mengetahui lebih jelas tentang ketiga tokoh itu, si-
lakan mengikuti serial Pendekar Naga Putih dalam epi-
sode "Sengketa Jago-jago Pedang").
Setelah berpisah dengan Pendekar Naga Putih
dan jago-jago pedang lain, Ki Giri Tantra mengajak ke-
dua orang muridnya untuk menyelidiki perguruan me-
reka. Maksud itulah yang telah membawa mereka se-
pagi ini telah tiba di kaki Gunung Gagaran. Memang,
bangunan Perguruan Pedang Sinar Pelangi terdapat di
kaki gunung ini.
"Guru. Apa tidak sebaiknya kita menyelinap ma-
suk saja ke dalam bangunan perguruan. Bukankah
menurut Guru, masih ada beberapa orang murid yang
tidak terpengaruh oleh pengkhianat Kinaya dan Wira-
desa? Kita hubungi saja mereka untuk mengetahui ke-
kuatan yang dimiliki kedua murid murtad itu. Setelah
itu, baru kita dapat bergerak, dan langsung meringkus
mereka," usul Darpa, murid ketiga setelah Kinaya dan
Wiradesa.
Ki Giri Tantra tidak segera menyetujui usul yang
diajukan salah seorang murid. Sepasang matanya yang
tajam dan berwibawa, masih tetap tertuju ke arah se-
buah bangunan yang dikelilingi pagar-pagar kayu bu-
lat
Darpa pun tidak terburu-buru menuntut jawa-
ban usulnya itu. Diikutinya pandangan Ki Giri Tantra
yang masih tertuju ke arah bangunan sejauh dua pu-
luh tombak lebih dari tempat mereka bersembunyi.
Sedangkan Sudira masih duduk termenung di
atas sebuah batu di samping Ki Giri Tantra. Lelaki ga-
gah berusia sekitar tiga puluh tahun itu seperti tengah
berpikir keras, mencari cara terbaik agar dapat mema-
suki bangunan perguruan mereka sendiri yang kini di-
kuasai bekas murid-muridnya. Tengah ketiganya ter-
menung mengikuti arus pikiran masing-masing, tiba-
tiba saja Sudira berseru tertahan sambil menjentikkan
jemarinya. Menilik dari pancaran wajahnya yang berse-
ri, jelas ia telah menemukan suatu cara untuk dapat
memasuki perguruan itu.
Ki Giri Tantra dan Darpa serentak menolehkan
kepala dengan kening berkerut. Tampaknya, mereka
merasa heran melihat tingkah laku Sudira.
"Hm.... Apa yang membuatmu begitu gembira,
Sudira? Kau menemukan suatu cara yang baik?" tegur
Ki Giri Tantra.
Suara laki-laki itu lirih, namun mengandung wi-
bawa. kuat Dipandanginya wajah Sudira dengan sorot
mata menuntut jawaban.
"Kalau memang menemukan suatu pemikiran
yang baik, cepatlah kemukakan, Adi Sudira. Jangan
membuat kami penasaran," tegur Darpa yang menjadi
tak sabar melihat tingkah laku adik seperguruannya.
"Hm.... Begini, Guru, Kakang. Seperti kita keta-
hui, setiap tiga hari sekali murid-murid perguruan ada
yang ditugaskan untuk membeli bahan keperluan se-
hari-hari ke desa terdekat. Nah! Menurutku, apakah
tidak sebaiknya kita hadang untuk mengetahui sikap
mereka terhadap kita. Dan kalau saja ternyata mereka
masih mempunyai kesetiaan, tentu akan dapat mem-
bantu menyelundupkan kita masuk ke perguruan.
Dengan demikian, kita tidak perlu susah-susah me-
nyelundup masuk. Bagaimana? Apakah usul itu cukup
baik?" jelas Sudira sambil menatapi wajah guru dan
kakak seperguruannya berganti-ganti.
Baik Ki Giri Tantra maupun Darpa, tentu saja
gembira mendengar usul yang sangat baik itu. Seren-
tak mereka mengangguk-anggukkan kepala, menyetu-
jui usul yang diajukan Sudira. Maka tanpa banyak ca-
kap lagi, ketiganya bergerak bangkit menuju jalan yang
biasa dilewati murid-murid perguruan yang akan tu-
run ke desa terdekat untuk membeli keperluan sehari-
hari.
***
"Heya...! Heyaaa...!"
Matahari sudah mulai naik tinggi ketika dua
buah pedati yang masing-masing ditarik seekor kuda
melintas di jalan lebar. Pada setiap pedati ditunggangi
empat orang laki-laki berpakaian hitam.
Melihat dari warna pakaian dan bangunan besar
tempat mereka keluar, jelas delapan orang yang ada di
dalam pedati itu merupakan murid-murid Perguruan
Pedang Sinar Pelangi. Memang, meskipun perguruan
itu telah dikuasai Kinaya dan Wiradesa, yang telah jadi
pengkhianat, nama perguruan tetap tidak berubah.
Kinaya yang merupakan murid utama Perguruan
Pedang Sinar Pelangi saat ini memang sengaja tidak
merubah nama perguruannya. Hal ini dimaksudkan
agar tidak menarik perhatian tokoh-tokoh persilatan
golongan putih. Dan apabila digantinya dengan nama
lain, bukan tidak mungkin akan mengundang perha-
tian tokoh-tokoh persilatan yang bersahabat dengan Ki
Giri Tantra. Dan tentu saja hal itu sama sekali tidak
diinginkannya, karena saat itu kedudukannya masih
belum kuat. Sehingga, sebisa mungkin apa-apa yang
kiranya dapat menimbulkan kesulitan bagi kedudu-
kannya dihindari. Dari cara itu saja dapat dilihat, be-
tapa cerdiknya orang yang telah mengkhianati gurunya
itu.
Sementara itu, delapan orang murid yang dituga-
si membeli bahan kebutuhan sehari-hari Perguruan
Pedang Sinar Pelangi, masih melaju pesat di jalan yang
rata dan cukup lebar. Suara derak roda pedati terden-
gar ribut ketika menggilas bebatuan kecil yang terda-
pat di beberapa bagian jalan.
Namun hal itu sama sekali tidak membuat lelaki
berkumis tipis yang mengendarai pedati mengurangi
kecepatannya. Suaranya tetap saja terdengar diiringi
ledakan pecut yang sesekali menghajar bagian bela-
kang tubuh kuda yang menarik pedatinya.
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Cltarrr...! Jtarrr...!
Binatang itu terdengar meringkik nyaring sambil
mempercepat larinya. Sehingga, suara roda pedati se-
makin berderak-derak ribut, menggilas apa saja yang
dilalui.
Tanpa sepengetahuan delapan orang itu, tiga pasang mata tajam tampak mengawasi dari balik semak
di tepi jalan. Kepulan debu serta suasana jalan yang
sunyi, membuat orang-orang berseragam hitam sama
sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sehingga, ketiga pasang mata itu dapat mengawasi
dengan tenang.
Tiga pasang mata yang sudah jelas milik Ki Giri
Tantra, Darpa, dan Sudira, terus bergerak mengikuti
lajunya pedati. Sampai sedemikian jauh, ketiga orang
itu sama sekali belum bergerak. Mereka tetap bersem-
bunyi di balik semak-semak mengawasi kedua pedati
itu.
Berkali-kali Sudira menolehkan kepala ke arah Ki
Giri Tantra dan Darpa. Namun, sepertinya kedua orang
yang diperhatikan itu sama sekali tidak bergeming dari
tempatnya. Sehingga, Sudira pun mengerutkan ke-
ningnya disertai tatapan heran.
"Mengapa kita tidak langsung menghadang mere-
ka saja, Guru? Bukankah tempat ini cukup jauh dari
perguruan? Kurasa, tidak akan ada orang yang me-
mergoki kita?"
Akhirnya karena merasa tidak sabar melihat ke-
dua orang itu masih tetap berdiam diri, keluar juga
ucapan bernada penasaran itu dari mulut Sudira.
"Hm.... Sabarlah, Sudira. Sebelum bertindak, aku
ingin mengetahui lebih dahulu tentang sikap mereka.
Kita ikuti mereka sampai di tempat tujuan. Lalu kita
perhatikan, bagaimana sikap mereka pada saat berbe-
lanja. Nah, dari situ baru dapat diambil langkah selan-
jutnya," sahut Ki Giri Tantra sambil tersenyum melihat
wajah muridnya yang jelas-jelas membayangkan rasa
penasaran itu. Perlahan ditepuknya bahu Sudira bebe-
rapa kali untuk menenangkan hati murid setia itu.
"Apa maksud Guru dengan sikap mereka? Aku...
aku sama sekali belum memahaminya?" tanya Sudira dengan wajah masih mengandung rasa penasaran.
"Ah! Mengapa sekarang otakmu menjadi bebal,
Adi? Maksud guru sudah jelas hendak melihat, apakah
sikap murid-murid itu sudah berubah menjadi kasar,
atau masih tetap sopan sebagaimana yang sering di-
ajarkan guru. Nah! Setelah itu, barulah dapat dipasti-
kan, apakah mereka dapat dipercaya atau tidak?" Dar-
pa terpaksa menerangkan sambil menatap wajah Sudi-
ra yang terbengong-bengong bagai orang tolol. Sehing-
ga, membuat bibir lelaki gagah berusia empat puluh
tahun itu menyunggingkan senyum geli. "Ooo...!"
Sudira hanya dapat membulatkan mulutnya den-
gan wajah yang semakin nampak tolol. Pikirannya ba-
ru terbuka setelah mendengar penjelasan dari kakak
seperguruannya itu.
"Jadi kita harus menguntit mereka sampai ke
Desa Pandan?" tanya Sudira lagi.
"Tentu saja. Habis, ke mana lagi tujuan mereka
kalau bukan ke desa itu. Bukankah hanya desa itu
yang selama ini menjadi tempat berbelanja?" jelas Dar-
pa yang senyumnya kian melebar melihat wajah adik
seperguruannya yang tampak lucu.
"Sudahlah. Ayo kita ikuti mereka," ujar Ki Giri
Tantra menengahi.
Tak tega juga hati orang tua itu melihat wajah
Sudira yang sudah menjadi merah karena godaan Dar-
pa. Kemudian, tubuh jago pedang wilayah Selatan itu
sudah berkelebat mendahului kedua orang murid-nya.
Tanpa banyak cakap lagi, Darpa dan Sudira pun
bergegas menggenjot tubuhnya. Sesaat kemudian, ke-
dua orang itu telah berada beberapa langkah di bela-
kang Ki Giri Tantra. Hal itu karena Raja Pedang Sinar
Pelangi tidak mengerahkan seluruh ilmu larinya. Kalau
tidak, sulit rasanya bagi kedua orang itu mensejajari
lari gurunya.
***
Tepat ketika matahari berada di atas kepala, pe-
dati yang ditumpangi delapan orang murid Perguruan
Pedang Sinar Pelangi itu mulai memasuki mulut Desa
Pandan.
Beberapa orang penduduk desa yang kebetulan
berpapasan dengan kedua pedati bergegas menyingkir
sambil membungkuk hormat. Jelas, mereka telah cu-
kup mengenal kedelapan orang berseragam hitam itu.
Terbukti, sikap mereka tampak sangat segan dan hor-
mat kepada orang-orang berseragam hitam itu.
Laju kedua pedati yang membelah jalan utama
Desa Pandan itu baru berhenti di dekat sebuah pasar
yang tampak mulai sepi oleh pengunjung. Maka, dela-
pan orang berseragam hitam yang berada di dalamnya
serentak berlompatan turun.
"Kalian mintalah keperluan seperti biasa kepada
Paman Janara. Aku ingin beristirahat dulu di kedai
makan itu. Kalau semuanya sudah selesai, susullah
aku di sana," perintah lelaki berhidung besar sambil
menunjuk sebuah kedai di seberang pasar itu.
Kemudian, dia terus melangkah sambil membu-
sungkan dada. Melihat dari caranya berjalan, jelas le-
laki berhidung besar itu merupakan orang yang tinggi
hati dan memandang rendah orang lain.
"Baik, Kakang Kadungga...," sahut salah seorang
dari mereka yang berkumis tipis.
Setelah berkata demikian, ia lalu berbalik dan
mengajak kawannya untuk menemui orang yang ber-
nama Paman Janara.
Ki Giri Tantra, Darpa, dan Sudira yang menyak-
sikan semua itu dari tempat agak tersembunyi, saling
berpandangan satu sama lain.
"Kau kenal lelaki angkuh berhidung besar itu,
Darpa?" tanya Ki Giri Tantra dengan wajah mem-
bayangkan keheranan.
Memang selama Ki Giri Tantra memimpin Pergu-
ruan Pedang Sinar Pelangi, seingatnya belum pernah
mempunyai murid seperti orang itu. Tentu saja ketika
melihat lelaki berhidung besar itu bersama tujuh orang
yang dikenal sebagai murid-muridnya, orang tua itu
menjadi heran.
"Tidak. Guru. Mungkin orang itu merupakan sa-
lah satu dari orang-orang berseragam hitam yang
menguasai perguruan kita," sahut Darpa sambil meng-
gelengkan kepala. Memang ia belum pernah melihat
orang itu sebelumnya.
"Hm.... Melihat cara melangkahnya, rasanya ke-
pandaian orang itu masih berada di bawah tingkat ke-
pandaian Kinaya maupun Wiradesa. Jadi, tidak mung-
kin kalau kedua orang pengkhianat itu berada di ba-
wah pengaruhnya. Aku sendiri masih belum me-ngerti,
mengapa kedua orang yang sangat kupercaya itu sam-
pai bisa berkhianat?" desah Ki Giri Tantra. Kembali ha-
tinya menjadi geram ketika mengingat kedua orang
muridnya yang durhaka itu.
"Mengapa tidak kita ikuti saja orang itu? Kita
tangkap, lalu paksa untuk buka mulut," usul Sudira,
geram.
Setelah berkata demikian, kaki Sudira melangkah
hendak menuju kedai tempat lelaki berhidung besar
yang dipanggil Kadungga tadi masuk.
"Tunggu, Sudira...!" panggil Ki Giri Tantra, perla-
han. Langsung disambarnya lengan Sudira, dan dita-
riknya ke belakang.
"Mengapa, Guru? Kalau memang kepandaian
orang itu masih berada di bawah kepandaian Kinaya
dan Wiradesa, tentu aku dapat meringkusnya," sahut
Sudira tak sabar.
"Hm.... Kau benar-benar ceroboh, Sudira. Kita ti-
dak boleh menunjukkan diri secara terang-terangan.
Kalau sampai ada yang mengenali kita, bukankah kea-
daan akan menjadi runyam? Sebaiknya, wajah kita ha-
rus disembunyikan dari penglihatan orang. Sebab, sia-
pa tahu di desa ini banyak mata-mata mereka," jelas Ki
Giri Tantra kemudian.
"Lalu, bagaimana cara kita menyamar, Guru...?"
tanya Darpa, bingung. Dia juga telah mendengar uca-
pan gurunya.
Namun, Ki Giri Tantra sama sekali tidak menya-
huti pertanyaan muridnya itu. Cepat kakinya melang-
kah ke arah penjual tudung bambu yang biasa digu-
nakan para petani melindungi wajah dari sengatan ma-
tahari.
"Pakailah ini...," perintah Ki Giri Tantra setelah
membayar harga tudung bambu. Sedangkan ia sendiri
sudah mengenakan, lalu melangkah ke arah kedai.
Tanpa banyak bertanya lagi, Darpa dan Sudira
pun bergegas mengenakannya. Lalu mereka segera
mengikuti langkah kaki orang tua itu menuju kedai di
seberang.
***
EMPAT
Ki Giri Tantra menghentikan langkahnya bebera-
pa tindak di depan pintu kedai. Lalu, kepalanya meno-
leh ke arah Darpa dan Sudira yang berada di bela-
kangnya.
"Sebaiknya kalian berdua ikuti tujuh murid yang
tengah membeli bahan makanan itu. Biar lelaki ber-
nama Kadungga itu menjadi bagianku. Dan kalau bisa,
bujuklah mereka. Usahakan jangan menggunakan ke-
kerasan, kecuali terpaksa," pesan Ki Giri Tantra.
Tanpa menunggu jawaban dari mereka, orang tua
itu sudah melangkah masuk ke dalam kedai.
Darpa dan Sudira sadar kalau perintah Ki Giri
Tantra tidak ingin dibantah. Maka, mereka bergegas
menyebrangi jalan dan langsung bergegas menuju
tempat masuknya ketujuh orang berseragam hitam ta-
di.
Sedangkan Ki Giri Tantra sendiri sudah duduk di
dalam kedai. Sengaja dipilihnya meja yang terpisah
cukup jauh di samping kanan lelaki bernama Kadung-
ga itu. Dengan demikian, orang tua itu dapat menga-
wasinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Suasana ke-
dai yang cukup ramai, memudahkan niatnya terlaksa-
na.
Sambil menunggu datangnya makanan yang te-
lah dipesan dari seorang pelayan, Ki Giri Tantra men-
gamati dengan teliti lelaki bernama Kadungga. Dan apa
yang kemudian didapat, membuat wajah orang tua itu
berubah gelap. Jelas, Raja Pedang Sinar Pelangi me-
mendam rasa marah dalam dadanya.
"Hm.... Rasanya aku sudah mulai dapat menge-
nali orang yang bernama Kadungga itu," desis Ki Giri
Tantra dalam hati. "Kalau tidak salah, orang itu adalah
tokoh sesat yang beberapa tahun terakhir ini tidak ter-
dengar namanya. Ular Muka Dua.... Hm... kurasa pasti
dialah orang yang bernama Kadungga itu."
Apa yang diduga Raja Pedang Sinar Pelangi me-
mang tidak salah! Lelaki berhidung besar yang berna-
ma Kadungga itu memang berjuluk Ular Muka Dua.
Julukan yang diberikan kaum rimba persilatan, karena
Kadungga terkenal sangat licik dan pandai meman-
faatkan keadaan. Tokoh itu dengan mudah berbalik
memusuhi rekannya apabila melihat keadaan tidak
menguntungkan. Dan ia pun tidak ragu-ragu menjilat
rekannya yang baru demi kepentingan diri pribadi. Ka-
rena sifatnya itulah, sehingga orang-orang rimba persi-
latan menjulukinya sebagai Ular Muka Dua.
Setelah dapat mengenali orang itu, Ki Giri Tantra
pun segera dapat mengetahui sampai di mana kepan-
daian yang dimiliki orang sesat itu.
"Sobat! Kalau kau ingin menemukan tempat per-
sembunyian Raja Pedang Sinar Pelangi, ikutilah petun-
juk ku...."
Lelaki berhidung besar yang ternyata berjuluk
Ular Muka Dua itu tentu saja menjadi terkejut ketika
mendengar bisikan yang sangat jelas terdengar di te-
linga-nya. Sebagai seorang tokoh persilatan, disadari
betul ada orang yang membisikkannya dengan meng-
gunakan ilmu 'Mengirimkan Suara dari Jauh'. Ia pun
mengerti, pasti orang itu telah memiliki tenaga dalam
sangat tinggi. Sehingga, mau tidak mau hatinya men-
jadi terkejut karenanya.
Karena merasa penasaran dan ingin tahu siapa
orang yang mengirimkan petunjuk itu kepadanya, ma-
ka tokoh sesat itu pun mengedarkan pandangannya.
Sepasang matanya tampak menyipit ketika memperha-
tikan para pengunjung kedai satu persatu.
"Jangan sekali-kali menoleh kalau memang men-
ginginkan petunjuk dariku! Kalau tidak, maka kata-
kataku akan ku tarik kembali," ancam suara yang
memasuki telinga Ular Muka Dua.
Sejenak putaran kepala lelaki berhidung besar itu
terhenti karena ancaman bisikan itu. Ditundanya niat
mencari si pengirim suara. Meskipun kalau berusaha
mencari akan dapat menemukan si pengirim suara,
namun keraguan terlihat pada wajahnya. Memang,
hanya dengan memperhatikan mulut pengunjung satu
persatu, pasti si pengirim suara itu akan diketahuinya.
Rasa penasaran dengan apa yang akan disam-
paikan orang itu, maka Ular Muka Dua kembali me-
nundukkan wajahnya dalam-dalam. Sikap itu meru-
pakan isyarat kalau ia mau menerima petunjuk orang
yang jelas-jelas tak ingin kehadirannya di kedai itu di-
ketahui.
"Kalau kau menginginkan petunjuk ku, datan-
glah ke sebuah gubuk di sebelah Selatan desa ini. In-
gat! Hanya kita berdua saja yang boleh mengetahui ra-
hasia ini. Kutunggu kau setelah selesai makan," kata
suara tanpa ujud yang kembali merasuki telinga Ka-
dungga.
Ular Muka Dua yang masih menundukkan kepa-
la segera mendongak ketika bisikan itu lenyap. Tanpa
ragu-ragu lagi, pandangan matanya kembali beredar di
sekeliling ruangan kedai. Namun, banyaknya pengun-
jung kedai siang itu menyulitkannya untuk dapat
mengetahui si pengirim suara tadi. Tentu saja hatinya
menjadi gemas bukan main.
Sengaja Ular Muka Dua tidak beranjak dari me-
janya walaupun hidangan di atas meja telah tandas
disantapnya. Ditunggunya beberapa saat lamanya,
sambil memperhatikan para pengunjung yang bergerak
meninggalkan kedai. Dugaannya, si pengirim suara
yang diketahuinya berada di dalam kedai, pasti akan
meninggalkan kedai lebih dahulu untuk menunggu
kedatangannya.
Ketika pengunjung mulai sepi, Kadungga menga-
rahkan pandangannya kepada seorang lelaki tua yang
kepalanya mengenakan tudung bambu. Keningnya
berkerut dalam ketika melihat orang tua itu masih saja
menikmati hidangannya perlahan-lahan. Gerakannya
pun terlihat pelan seperti orang tua jompo saja layak-
nya. Tapi, rasa penasaran membuat kakinya melang-
kah menghampiri meja tempat Ki Giri Tantra duduk.
Kadungga tidak segera terburu-buru mendekat.
Sambil melangkah perlahan, dipandanginya wa-
jah orang tua itu penuh selidik. Setelah tiba di depan
meja Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua berdiri angkuh
sambil menatap tajam wajah di balik tudung bambu
itu.
"Hei! Orang Tua...!" bentak Kadungga sambil
mengibaskan tangannya sehingga tudung bambu yang
menyembunyikan wajah Ki Giri Tantra terlempar ke
belakang.
Namun, kening Ular Muka Dua berkerut semakin
dalam ketika melihat tubuh orang tua itu terjengkang
bersama kursi yang didudukinya. Dari gerakan orang
tua itu, Kadungga menilai kalau orang tua berkumis
dan berjenggot putih itu sama sekali tidak memiliki
kepandaian silat. Sehingga, ia semakin marah kare-
nanya.
"Bangsat! Tua bangka lemah...!" maki Ular Muka
Dua sambil melepaskan tamparan yang cukup keras
ke tubuh Ki Giri Tantra yang saat itu hendak bangkit
berdiri.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tamparan yang cukup keras itu telak menghajar
tubuh Ki Giri Tantra. Sehingga tanpa dapat dicegah la-
gi, tubuh orang tua itu pun terpental ke belakang.
Melihat betapa hanya dengan tamparan semban-
gan tubuh orang tua itu terjungkal, Ular Muka Dua
mengeluarkan dengusan jengkel. Kemudian tanpa ber-
kata sepatah pun, ia berlalu meninggalkan tubuh Ki
Giri Tantra yang masih tergolek seperti orang lemah.
Sayang Kadungga terlalu sombong hingga tidak
sempat meneliti secara cermat. Kalau saja mau sedikit
membuka mata, tentu hatinya akan terkejut melihat
tubuh orang tua itu sama sekali tidak terluka akibat
tamparan tadi. Padahal, kalau orang tua biasa tentu
akan terbatuk-batuk.
Ki Giri Tantra pun bukanlah orang bodoh. Sadar
kalau Ular Muka Dua hanya berniat mengujinya, maka
ia pun berpura-pura tidak memiliki kepandaian silat.
Sengaja daya dorong pukulan Ular Muka Dua diban-
tunya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk me-
lindungi tubuh agar tidak terluka. Sayang, Kadungga
tidak sempat memperhatikan kalau jatuhnya Ki Giri
Tantra itu bukan disebabkan kekuatan pukulannya.
Melainkan, karena kaki Ki Giri Tantra sengaja menje-
jak agar pukulan itu tidak terlalu telak menghajar tu-
buhnya.
Setelah tubuh lelaki berhidung besar yang bengis
itu lenyap di balik pintu kedai, barulah Ki Giri Tantra
bangkit berdiri. Beberapa pengunjung kedai mencoba
membantu orang tua itu bangkit. Wajah-wajah mereka
memperlihatkan rasa iba terhadap orang yang sebe-
narnya merupakan jago pedang nomor satu wilayah
Selatan!
"Aki tidak apa-apa...?" tanya pelayan kedai yang
tadi menyediakan hidangan untuk orang tua itu.
"Terima kasih, Kisanak. Aku tidak apa-apa," sa-
hut Ki Giri Tantra menyembunyikan senyumnya.
Diiringi pandang mata heran dari para pengun-
jung,
Ki Giri Tantra melangkah tenang meninggalkan
kedai makan itu.
***
Raja Pedang Sinar Pelangi menoleh ke kiri dan ke
kanan setelah melewati pintu kedai. Sesaat kemudian,
tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan kilat
menuju ke arah Selatan Desa Pandan.
Sengaja Ki Giri Tantra berlari melalui perkebunan
agar tidak terlalu menarik perhatian orang. Selain itu,
ia bermaksud untuk tiba lebih dahulu daripada Ular
Muka Dua yang diduga pasti saat itu tengah menuju
ke tempat yang ditunjukkannya.
Keyakinan Ki Giri Tantra bukan tanpa alasan.
Sebab hatinya yakin kalau Kadungga pasti akan men-
datangi gubuk terpencil yang dimaksudkannya. Kare-
na, memang dialah, orang yang telah mengirimkan su-
ara kepada Ular Muka Dua. Dan sebagai seorang tokoh
sesat yang selalu mengagungkan kepandaian sendiri,
Ular Muka Dua pasti akan datang untuk menemui
orang yang mengirimkan suara tanpa ujud itu. Keya-
kinan itulah yang membuat Ki Giri Tantra mendatangi
tempat itu.
Kecepatan ilmu lari yang dimiliki Ki Giri Tantra
memang sangat hebat dan jarang dimiliki tokoh persi-
latan lainnya. Sehingga dalam waktu singkat tokoh
sakti itu telah tiba di tempat tujuannya.
Perhitungan Raja Pedang Sinar Pelangi sama se-
kali tidak meleset. Ia memang tiba lebih dahulu dari-
pada Ular Muka Dua. Sadar akan kelicikan tokoh sesat
itu, maka Ki Giri Tantra tidak menunggu di dalam gu-
buk yang sudah tidak terpakai itu. Orang tua itu sen-
gaja bersembunyi dalam jarak belasan tombak dari
gubuk. Dari tempat itulah gubuk tua itu dapat diper-
hatikan dengan leluasa.
Tidak lama menanti, terdengarlah langkah kaki
beberapa orang mendatangi tempat itu. Ki Giri Tantra
bergegas merunduk menyembunyikan diri di balik se-
mak-semak. Hati jago pedang wilayah Selatan itu sem-
pat terkejut melihat kedatangan Ular Muka Dua yang
ditemani empat orang laki-laki berpakaian serba hi-
tam.
Keterkejutan Ki Giri Tantra bukan disebabkan
datangnya Ular Muka Dua bersama teman-temannya.
Melainkan, karena mengenali dua orang teman lelaki
berhidung besar itu.
"Bukankah kedua orang itu Palingga dan Lugi-
ta...? Hm.... Kalau mereka yang telah menjadi orang
kepercayaan Kepala Desa Pandan itu sudah berada di
bawah kekuasaan orang-orang berseragam hitam, pas-
tilah Desa Pandan sudah berada dalam kekuasaan me-
reka. Lalu, ke mana perginya Kepala Desa Pandan?
Mungkinkah Ki Sora Gulawa telah dibunuh? Hm, aku
tahu pasti sifat Penguasa Desa Pandan itu. Tidak
mungkin rasanya kalau Ki Sora Gulawa sudi berse-
kongkol dengan orang-orang keji itu! Satu-satunya
kemungkinan, orang tua itu pasti telah dibunuh mere-
ka," desah hati Ki Giri Tantra setelah mengenali dua
dari empat orang yang menemani Ular Muka Dua.
Setelah agak lama menanti dan memastikan ka-
lau Ular Muka Dua hanya ditemani empat orang, maka
Ki Giri Tantra pun bergegas keluar dari tempat per-
sembunyiannya. Tentu saja hal itu tidak dilakukannya
secara terang-terangan.
Raja Pedang Sinar Pelangi mengambil jalan me-
mutar melalui belakang gubuk tanpa sepengetahuan
lima orang yang memang tengah menantinya itu. Hal
itu tidaklah terlalu sulit baginya. Dengan kepandaian-
nya yang tinggi, tubuhnya dapat bergerak cepat tanpa
menimbulkan suara mencurigakan.
"Hm.... Kau ternyata seorang pengecut, Ular Mu-
ka Dua! Kau tidak berani datang ke tempat ini seorang
diri, sehingga harus ditemani Palingga dan Lugita. Per-
cuma saja menyandang nama besar yang menyeram-
kan itu," tiba-tiba terdengar suara menggema, seperti
berasal dari sekeliling tempat itu.
Tentu saja Kadungga menjadi terkejut mendengar
suara yang telah membuat dadanya berdebar itu. Ke
kuatan tenaga dalam yang dipamerkan melalui penge-
rahan suara tadi, jelas menandakan kalau si pengirim
suara merupakan tokoh berkepandaian tinggi. Kenya-
taan itu sempat pula membuat hatinya gentar.
Keterkejutan Kadungga masih belum seberapa bi-
la dibandingkan kekagetan Palingga dan Lugita. Kedua
orang kepercayaan Kepala Desa Pandan itu tentu saja
menjadi pucat saat nama mereka telah dikenali si pen-
girim suara. Kenyataan itu membuat hati mereka ber-
tanya-tanya, siapa orang aneh yang mengirimkan sua-
ra tanpa ujud tadi.
Kadungga bergegas mengerahkan tenaga dalam
untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan
isi dadanya. Pandangannya beredar ke sekeliling tem-
pat itu untuk mencari sumber suara tanpa ujud itu.
Demikian pula halnya Palingga, Lugita, dan dua
orang berseragam hitam lainnya. Mereka pun segera
mengerahkan tenaga dalam untuk menahan guncan-
gan dalam dada akibat suara yang mengandung penge-
rahan tenaga dalam tinggi.
"Hei! Siapa pun kau adanya, kalau memang be-
nar-benar lelaki sejati, tunjukkanlah ujud dirimu! Ka-
lau tidak, jangan salahkan apabila seluruh hutan kecil
ini ku bakar habis!" ancam Kadungga disertai penge-
rahan tenaga dalam agar suaranya terdengar jauh. Se-
dang sepasang matanya tetap merayapi sekeliling den-
gan pandangan tajam.
"Ha ha ha....! Kalau hutan ini kau bakar, lalu
apakah kau harus menyalahkan orang lain? Licik kau,
Ular Muka Dua. Tapi agar kau puas, baiklah. Aku
akan menunjukkan diriku di hadapan kalian berlima,"
terdengar jawaban yang kali ini bahkan lebih keras da-
ri suara pertamanya.
Dan belum lagi gema suara itu lenyap, tiba-tiba
dari dalam gubuk menyambar angin keras yang mem
buat kelima orang berseragam hitam itu saling berlom-
patan mundur. Dan kini, di tangan mereka telah ter-
genggam senjata terhunus.
Kadungga dan keempat orang kawannya serentak
menatap tajam sosok tinggi kurus berpakaian biru ge-
lap. Sepasang mata tajam yang tersembunyi di balik
tudung bambu itu tampak berkilat menggetarkan jan-
tung.
"Kau...?!" sebut Kadungga.
Laki-laki berhidung besar itu langsung mengenali
sosok tinggi kurus berkerudung yang pernah dihajar-
nya di dalam kedai makan tadi. Tentu saja hati tokoh
sesat itu menjadi terkejut, sekaligus heran.
Sedangkan Palingga dan Lugita hanya menatap
dengan kening berkerut ke arah sosok tinggi kurus itu.
Karena saat itu, Ki Giri Tantra tidak mengenakan pa-
kaian seperti biasanya. Maka kedua orang kepercayaan
Kepala Desa Pandan itu pun tidak dapat mengenali,
siapa adanya lelaki tinggi kurus itu. Padahal, mereka
telah mengenal Ki Giri Tantra cukup baik. Karena, Ke-
tua Perguruan Pedang Sinar Pelangi itu merupakan
sahabat kepala desa mereka. Bahkan sering berkun-
jung ke rumah majikan mereka dulu. Tapi, karena
orang tua itu menyembunyikan wajah di balik tudung
bambu, maka mereka tidak menduga kalau orang itu
adalah Ki Giri Tantra.
Sedangkan Kadungga, jelas memang tidak per-
nah bertemu Raja Pedang Sinar Pelangi. Karena sela-
ma ini malang-melintang di wilayah Barat, sehingga
belum pernah sekalipun berjumpa tokoh sakti wilayah
Selatan itu. Jadi, wajar saja kalau tidak mengenal Ki
Giri Tantra.
Bibir di balik tudung bambu itu tampak me-
nyunggingkan senyum tipis yang menyimpan teka-teki.
Perlahan-lahan tangan orang tua itu bergerak melepas
tudung bambu yang menutupi kepala. Tampaklah wa-
jah orang tua berusia sekitar enam puluh tahun yang
wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot memutih.
Ular Muka Dua sama sekali tidak merasa terkejut
meski Raja Pedang Sinar Pelangi telah menampakkan
wajah aslinya. Sehingga, tokoh sesat itu hanya me-
mandang dengan kening berkerut
Berbeda dengan Palingga dan Lugita. Wajah dua
orang kepercayaan Ki Sora Gulawa itu berubah pucat
ketika mengenali lelaki tinggi kurus itu sebenarnya.
"Ki Giri Tantra...?!" seru Palingga dan Lugita ber-
barengan. Tubuh kedua orang lelaki bertubuh gagah
itu gemetar hebat karena rasa takut yang menyelimuti
hati.
Mendengar disebutnya nama Ki Giri Tantra, ba-
rulah Kadungga terkejut. Memang, nama besar orang
tua itu telah lama dikenalnya. Dan disadari betul,
meski mereka saat itu berlima, namun jelas bukan
tandingan Raja Pedang Sinar Pelangi. Tentu saja hal
itu membuat Ular Muka Dua menjadi salah tingkah.
***
LIMA
Raja Pedang Sinar Pelangi sengaja mengarahkan
tatapan matanya kepada Palingga dan Lugita. Sehing-
ga, kedua orang itu menjadi salah tingkah dibuatnya.
Apalagi, pandangan mata jago pedang itu jelas-jelas
mengandung teguran.
"Apa kabar, Palingga, Lugita...? Sudah cukup la-
ma rasanya kita tidak berjumpa? Bagaimana keadaan
Ki Sora Gulawa? Apakah sehat-sehat saja?" sapa Ki Gi-
ri Tantra. Tentu saja sapaan itu mengandung maksud
mencari keterangan untuk memastikan dugaannya.
Mendengar sapaan yang jelas mengandung mak-
sud-maksud tertentu, Palingga dan Lugita semakin ki-
kuk. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah
hendak meminta pendapat satu sama lain.
"Kami.... Kami... eh...!"
Palingga yang mendapat isyarat dari Lugita untuk
memberi keterangan kepada Ki Giri Tantra, tidak dapat
menyelesaikan ucapannya. Jawabannya pun terbata-
bata dan tidak selesai. Seolah-olah, kerongkongan le-
laki tegap itu terasa kekeringan.
Ular Muka Dua yang melihat mereka telah saling
mengenal, langsung melihat gelagat merugikan. Maka
sebelum terlambat, pembicaraan di antara ketiga orang
itu segera dipotongnya.
"Hm.... Sudah jelas orang tua itu sangat berba-
haya bagi kita. Mengapa masih harus meladeni omon-
gannya yang tidak berguna itu? Ayo, kepung dan tang-
kap orang tua gila itu! Atau bunuh saja sekaligus agar
dapat melayat ke akhirat!" perintah Kadungga sambil
mengibaskan tongkat hitamnya di depan dada.
Melihat Ular Muka Dua sudah siap bertarung,
dua orang berseragam hitam lainnya telah menghunus
senjata. Kemudian, mereka berlompatan ke kiri dan ke
kanan Ki Giri Tantra, bersikap mengancam;
"Palingga! Lugita! Apa lagi yang kalian tunggu?
Ayo, kepung dan tangkap orang tua itu! Atau kalian
hendak berpihak kepadanya?" sentak Kadungga. Laki-
laki berhidung besar itu bertindak cepat agar kedua
anak buahnya tidak terpengaruh ucapan-ucapan Ki
Giri Tantra.
"Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah berse-
kongkol dengan manusia sesat itu. Bagus sekali sikap
yang kalian ambil. Tega benar kalian mengkhianati Ki
Sora Gulawa hanya karena takut menghadapi kema
tian? Lalu, ke mana kegagahan yang selama ini kalian
bangga-banggakan itu?" pancing Ki Giri Tantra menco-
ba menyadarkan Palingga dan Lugita dari kesesatan-
nya.
"Jangan dengarkan perkataan busuk itu! Ingat!
Kalian akan mendapat hukuman berat apabila keja-
dian ini sampai diketahui ketua!" ancam Ular Muka
Dua.
Dia semakin cemas ketika melihat sinar keraguan
di mata kedua orang itu.
Sadar jika dibiarkan berlarut-larut Palingga dan
Lugita bisa dipengaruhi Ki Giri Tantra, Ular Muka Dua
pun segera bertindak!
"Serang...!"
Sambil berseru keras, tubuh lelaki berhidung be-
sar itu segera melompat disertai kelebatan tongkat hi-
tamnya.
Bett! Bettt! Bettt!
Sekali menerjang, Kadungga langsung mengirim-
kan serangkaian serangan cepat dan kuat. Sadar akan
kepandaian lawan, rupanya Ular Muka Dua langsung
menggunakan tenaga dalam sepenuhnya dalam me-
lancarkan serangan itu.
Hampir bersamaan dengan melesatnya Kadung-
ga, dua orang berseragam hitam lain segera menyusuri
dari kiri-kanan Ki Giri Tantra. Sehingga dalam gebra-
kan pertama saja, Raja Pedang Sinar Pelangi harus
menghadapi serangan dari tiga jurusan sekaligus!
Namun, Ki Giri Tantra memang sudah memperhi-
tungkan hal itu. Maka begitu serangan Kadungga tiba,
orang tua itu menggerakkan pedangnya sambil me-
lompat ke kiri. Pedang di tangannya sekaligus diputar
membentuk dinding pertahanan yang kuat dan sukar
ditembus lawan.
Trakkk! Trangngng...!
Terdengar suara berdentang nyaring ketika pe-
dang di tangan Ki Giri Tantra membentur pedang la-
wan di sebelah kiri. Sehingga senjata orang itu lang-
sung terpapas putus hingga separuh lebih. Papakan
itu sekaligus untuk mematahkan serangan Ular Muka
Dua. Sehingga, tubuh tokoh sesat itu terjajar mundur
akibat tangkisan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu.
Sedangkan serangan dari sebelah kanan, berhasil
dielakkan Raja Pedang Sinar Pelangi dengan memi-
ringkan tubuhnya. Dan begitu tusukan pedang lawan
lewat di sampingnya, tubuh orang tua itu berputar
sambil mengirimkan tendangan kilat yang tak terduga!
Zebbb...!
Plakkk!
"Aaah...!"
Rupanya lawan yang berada di sebelah kanan
cukup gesit dan jeli. Sehingga, ketika tendangan Ki Gi-
ri Tantra meluncur ke arah perutnya, tangan kirinya
cepat bergerak menangkis. Sayang kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya masih di bawah kekuatan Ki
Giri Tantra. Akibatnya, tangkisan itu membuatnya
menyeringai kesakitan. Bahkan tubuhnya pun terjajar
mundur hingga enam langkah dalam keadaan lim-
bung.
Ki Giri Tantra rupanya tidak mau membuang-
buang waktu, melihat tubuh lawan terjajar limbung.
Maka cepat ia melompat disertai dorongan telapak tan-
gan kirinya.
Wuuut..!
Dorongan yang menimbulkan hembusan angin
berkesiutan itu jelas menandakan kehebatan tenaga
dalam yang terkandung di dalamnya. Sehingga, wajah
lawannya pucat seketika!
Sayang Ki Giri Tantra tidak bisa melanjutkan do-
rongan telapak tangannya, karena saat itu dari kedua
sisinya menyambar suara berdesing nyaring!
Wuuut..! Bettt..!
"Hehhh...!"
Sambil membentak nyaring, Ki Giri Tantra mena-
rik tubuhnya dengan sikap doyong ke belakang. Lalu,
disusul oleh jejakan kakinya ke tanah. Maka, tubuh
orang tua itu langsung berjumpalitan beberapa kali di
udara menjauhi lawan-lawannya.
"Hm.... Rupanya kalian benar-benar telah terse-
sat. Pasti Ki Sora Gulawa pun telah kalian bunuh bu-
kan?" tegur Raja Pedang Sinar Pelangi, berwibawa. Se-
dangkan tatapannya tajam, seperti menggiris jantung.
"Jangan dengarkan ocehannya...! Bunuh tua
bangka keparat itu!" teriak Ular Muka Dua, cepat men-
gingatkan Palingga dan Lugita yang terpaku ketika
mendengar ucapan Ki Giri Tantra.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak cakap lagi, Palingga dan Lugita
pun kembali berteriak nyaring sambil memutar senja-
tanya. Jelas, mereka lebih patuh terhadap Kadungga.
Sehingga, mereka pun kembali menerjang Ki Giri Tan-
tra dengan hebatnya.
Ular Muka Dua dan kedua orang berseragam hi-
tam lainnya pun kembali menerjang Ki Giri Tantra.
Mau tak mau, kembali jago pedang wilayah Selatan itu
harus menghadapi ancaman lima bilah senjata yang
berkelebatan di sekitar tubuhnya.
Meskipun harus menghadapi keroyokan lima
orang yang memiliki kepandaian tidak rendah, Ki Giri
Tantra tidak menjadi terdesak karenanya. Pedang di
tangannya bergerak menusuk dan melingkar diiringi
kelebatan sinar pelangi yang menyilaukan mata. Se-
hingga, pertarungan itu terlihat indah dan sangat me-
narik!
"Hiaaat!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kedua
puluh, Ki Giri Tantra berseru keras disertai lesatan tu-
buhnya yang cepat laksana sambaran kilat di angkasa.
Pedang di tangannya berkelebatan menimbulkan gu-
lungan sinar berpendar yang mengejutkan!
Kadungga yang menjadi sasaran utama serangan
itu menjadi kelabakan. Sebisa mungkin, serangan la-
wannya dielakkan dengan melompat ke samping. Ge-
rakan itu masih disusuli kelebatan tongkat hitamnya
yang menusuk lurus dada Ki Giri Tantra.
Namun, pedang di tangan orang tua itu berputar
cepat dengan perubahan mendadak dan tak terduga!
Senjata itu bergerak menyilang dengan kecepatan
menggetarkan!
Trakkk...!
Tanpa dapat dicegah lagi, mata pedang Ki Giri
Tantra langsung membabat putus tongkat hitam di
tangan Kadungga. Dan selagi tubuh tokoh sesat itu
terhuyung mundur, langsung dikirimkannya tendan-
gan kilat ke dada Kadungga!
Buggg...!
"Huakh...!"
Bagaikan layang-layang putus, tubuh lelaki ber-
hidung besar itu terlempar keras ketika telapak kaki Ki
Giri Tantra menghajar telak bagian dadanya. Darah
segar kontan terlompat mengiringi tubuh Kadungga
yang tengah melayang di udara!
Setelah menghajar Ular Muka Dua, Ki Giri Tantra
segera menarik pulang kakinya. Karena saat itu, dari
kiri-kanan meluncur dua bilah pedang ke arahnya.
Cepat kaki orang tua itu melangkah mundur dua tin-
dak. Begitu tusukan pedang lawan luput, senjatanya
langsung dikibaskan secara mendatar dengan gerakan
melingkar mengitari tubuhnya. Dan....
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Terdengar raung kematian yang berasal dari mu-
lut kedua orang berseragam hitam itu! Tubuh mereka
roboh dengan semburan darah segar dari luka men-
ganga di perut. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh ke-
dua orang itu pun diam tak bergerak. Mati!
"Haiiit..!"
Ki Giri Tantra berseru nyaring sambil melambung
ke udara. Karena saat itu, telinganya yang tajam me-
nangkap datangnya serangan yang mengincar tubuh-
nya.
Setelah berjumpalitan beberapa kali di udara, Ki
Giri Tantra mendaratkan kakinya di belakang kedua
orang penyerang yang tak lain dari Palingga dan Lugi-
ta.
"Sadarlah dari kesesatan kalian, Palingga, Lugita!
Tidak ada kata terlambat apabila hendak bertobat dan
kembali ke jalan benar," bujuk Ki Giri Tantra sambil
menodongkan ujung pedangnya kepada Palingga dan
Lugita yang saat itu masih membelakanginya.
Tentu saja Palingga dan Lugita menjadi terperan-
jat dengan wajah pucat! Memang kalau saja orang tua
itu menginginkan kematian mereka, rasanya sudah
semenjak tadi mereka tergeletak tanpa nyawa. Tapi, Ki
Giri Tantra ternyata tidak melakukannya. Jelas, hal itu
menandakan niat baik orang tua itu terhadap mereka.
"Berbaliklah! Aku memang tidak berniat membu-
nuh kalian. Biar bagaimanapun juga, aku masih me-
mandang kalian sebagai sahabat-sahabat baikku," bu-
juk Ki Giri Tantra lagi, bernada bersahabat
Mendengar ucapan itu, Palingga dan Lugita pun
membalikkan tubuhnya perlahan-lahan. Melihat dari
bilah pedang yang tergantung lemas di tangan, Ki Giri
Tantra segera dapat memastikan kalau kedua orang
kepercayaan sahabatnya itu masih dapat disadarkan.
"Ki, awaaas...!"
Begitu membalikkan tubuhnya, Palingga berte-
riak memperingatkan orang tua itu. Memang, pada
saat itu Ular Muka Dua tengah melompat dengan se-
rangan maut ke arah Ki Giri Tantra!
Sebenarnya hal itu sama sekali tidak perlu dipe-
ringatkan. Bagi tokoh kelas atas, tentu saja Ki Giri
Tantra sudah mengetahui serangan dari belakangnya.
Tapi biar bagaimanapun, Raja Pedang Sinar Pelangi
harus berterima kasih kepada Palingga yang secara tak
langsung telah menunjukkan kesadaran dari kesesa-
tannya.
"Haiiit...!"
Tanpa membalikkan tubuhnya, Ki Giri Tantra
pun tahu ketika serangan itu telah tiba di dekatnya.
Sambil berseru nyaring, tubuh orang tua itu melaku-
kan lompatan pendek ke samping. Lalu, tangannya
berkelebat cepat mengirimkan sabetan pedangnya.
Ular Muka Dua yang memang keadaannya sudah
tidak segesit dan sekuat semula tentu saja menjadi
terkejut melihat serangan balasan lawan. Dan untuk
menarik pulang senjatanya, jelas tidak mungkin. Ma-
ka, ia pun nekat meneruskan serangannya. Hanya sa-
ja, gerakannya berubah menjadi tangkisan.
Ki Giri Tantra pun bukan tidak tahu akan kene-
katan lawan. Sambaran pedang yang semula akan me-
newaskan lawan, langsung dirubahnya dengan gera-
kan cepat menyambar bahu kiri lawan!
Wuuut..! Grattt...!
"Aaakh...!"
Kadungga menjerit kesakitan ketika ujung pe-
dang Ki Giri Tantra merobek bahunya. Darah segar
memercik mengiringi jatuhnya tubuh lelaki berhidung
besar itu ke atas tanah berumput kering.
"Uhhh...!"
Namun, Kadungga tidak melanjutkan niatnya un-
tuk bangkit. Apalagi, saat itu juga pedang lawan telah
berada di tenggorokannya.
"Hm.... Kau akan kubebaskan apabila bersedia
menceritakan tentang perkumpulanmu yang sesat itu!"
ancam Raja Pedang Sinar Pelangi sambil menekan
ujung pedangnya. "Katakan, siapa yang mendalangi
semua ini? Dan apa tujuan perkumpulanmu menga-
cau perguruan-perguruan jago-jago pedang di empat
penjuru?"
Tapi, apa yang dilakukan Ular Muka Dua benar-
benar membuat hati Ki Giri Tantra menjadi terkejut se-
tengah mati! Ternyata lelaki berhidung besar itu lebih
suka menghunjamkan lehernya ke ujung pedang la-
wan.
"Ekhhh...!"
Darah segar langsung mengucur dari luka di leh-
er yang tertembus ujung pedang Ki Giri Tantra. Setelah
menegang sesaat, tubuh Ular Muka Dua pun diam tak
berkutik. Rupanya, ia lebih suka tewas daripada harus
menjawab pertanyaan Ki Giri Tantra.
"Gila! Entah sampai di mana kekejaman ketua
yang sangat ditakutinya itu? Sampai-sampai ia lebih
suka mati ketimbang berkhianat. Hhh...," desah Ki Giri
Tantra.
Raja Pedang Sinar Pelangi menghela napas penuh
sesal melihat kematian Ular Muka Dua. Memang
hanya orang itulah yang diharapkan bisa memberikan
keterangan kepadanya mengenai peristiwa yang telah
menimpa perguruannya. Dengan tewasnya Kadungga,
maka lenyaplah harapan Ki Giri Tantra untuk dapat
mengetahui dalang komplotan orang-orang berseragam
hitam yang tengah merajalela saat itu.
"Ki...," panggil Palingga menyadarkan orang tua
itu dari rasa sesalnya.
"Ahhh.... Maaf, aku telah melupakan kalian. Syu-
kurlah kalian telah sadar dari kesesatan. Mmm... da-
patkah kau menerangkan kejadian yang membuatmu
tersesat? Ke mana perginya Ki Sora Gulawa? Dan siapa
pula yang mendalangi semua ini?" tanya Ki Giri Tantra
kepada Palingga.
Mendengar pertanyaan Ki Giri Tantra, kedua
orang itu saling bertukar pandang sejenak. Beberapa
saat kemudian, terlihat keduanya mengangguk perla-
han. Kemudian, Palingga maju dua langkah mendekati
jago pedang itu.
"Beberapa waktu yang lalu, desa kami didatangi
serombongan penunggang kuda yang dipimpin seorang
lelaki bertubuh jangkung. Mereka langsung mengacau
desa, dan membunuhi belasan penduduk secara ke-
jam. Ki Sora Gulawa yang mendengar laporan seorang
penduduk, langsung mengajak kami berdua untuk
mencegah kekejaman orang itu. Tapi baru saja tiba di
halaman, lelaki jangkung dan beberapa orang bersera-
gam hitam telah menghadang di depan. Tanpa basa-
basi lagi, lelaki jangkung itu langsung menyatakan in-
gin menguasai Desa Pandan. Sedangkan Ki Sora Gu-
lawa diminta menjadi pembantunya. Tentu saja kepala
desa kami menolak keinginan gila itu. Apalagi, lelaki
jangkung itu mengatakan akan memungut pajak ke-
pada para penduduk."
Palingga menghentikan ceritanya sejenak. Terli-
hat tarikan nafasnya dalam, seperti hendak mengum-
pulkan ingatannya tentang peristiwa itu.
"Karena lelaki jangkung itu memaksa, maka per-
tempuran pun tak dapat dihindari lagi. Namun, ke-
pandaian orang-orang berseragam hitam itu ternyata
cukup hebat. Hingga, aku dan Palingga tak mampu
berbuat banyak," sambung Lugita ketika melihat Pa-
lingga menghentikan ceritanya. "Bahkan Ki Sora Gula
wa tak mampu menghadapi lelaki jangkung itu lebih
dari tiga puluh jurus. Sehingga, beliau tewas menye-
dihkan. Sedangkan kami berdua yang saat itu sudah
terdesak tanpa mampu membalas, diselamatkan lelaki
jangkung itu. Kemudian kami diminta agar tunduk
dan menjadi pengikutnya. Yahhh.... Terpaksa kehen-
dak orang itu kami turuti. Apalagi, untuk mati kami je-
las belum siap. Karena, kami sadar bahwa untuk me-
lawan adalah perbuatan bodoh. Maka, terpaksa kami
berpura-pura tunduk kepada lelaki jangkung itu. Ha-
rapan kami, suatu saat kami akan menyusun kekua-
tan dan membalas kekejaman lelaki jangkung itu seka-
ligus merebut kembali Desa Pandan yang kami cintai.
Kesabaran itu ternyata membuahkan hasil seperti
yang selama ini kami harapkan. Kedatangan Ular Mu-
ka Dua yang mengajak kami mengeroyok seseorang
yang ternyata Ki Giri Tantra, langsung kami sambut
baik. Cerita selanjutnya seperti yang Aki telah saksi-
kan tadi...," jelas Palingga menutup ceritanya.
"Hm.... Apakah lelaki jangkung itu mengenakan
libatan tali-temali pada pakaiannya...?" tanya Ki Giri
Tantra teringat akan pengalamannya ketika menda-
tangi rumah perguruannya, dan kemudian terjebak.
(Baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Seng-
keta Jago-jago Pedang").
"Betul, Ki. Apakah Aki mengenal orang itu...?"
sahut Palingga cepat
"Sayang aku tidak mengenal manusia keji itu.
Hanya saja, kemungkinan orang itu pulalah yang telah
merampas perguruanku. Sebaiknya, marilah kita te-
mui kedua orang muridku. Siapa tahu mereka telah
berhasil membujuk murid-muridku yang datang ber-
sama Ular Muka Dua," ajak Ki Giri Tantra yang tanpa
menunggu jawaban lagi, langsung melesat menuju De-
sa Pandan.
Palingga dan Lugita pun tidak banyak tanya lagi.
Kedua lelaki gagah itu bergegas menyusul Ki Giri Tan-
tra yang sudah beberapa tombak di depan.
***
Pintu gerbang Perguruan Pedang Sinar Pelangi
berderit terbuka ketika dua buah pedati berhenti tepat
di depannya. Delapan orang lelaki berseragam hitam
berlompatan turun dan menarik pedati itu memasuki
halaman perguruan.
"Hei, Subara...!" panggil salah seorang penjaga
gerbang sambil mengulapkan tangannya ke arah salah
seorang anggota rombongan itu
Lelaki muda berusia sekitar dua puluh tahun
yang dipanggil Subara bergegas menghampiri.
Namun, langkah Subara terhenti ketika bahunya
ditepuk salah seorang kawannya yang mengenakan
caping bambu lebar.
Subara melangkah mundur ketika melihat isyarat
gelengan kepala lelaki bercaping bambu itu. Dibiar-
kannya orang itu melangkah menghampiri penjaga
pintu gerbang
"Mengapa pimpinan kita Ki Kadungga tidak terli-
hat kembali bersama kalian?" tanya penjaga yang ber-
cambang lebat itu dengan suara galak.
Sedangkan penjaga yang seorang hanya meman-
dang dengan kening berkerut. Jelas, ia tidak senang
melihat lelaki bercaping itu datang menghampiri tanpa
dipanggil.
Untuk beberapa saat lamanya, lelaki bercaping
itu tidak menjawab. Sebaliknya, pandangannya malah
beredar merayapi ke halaman yang tampak sepi dari
balik caping bambunya. Hanya ada tiga orang yang
tampak tengah membersihkan halaman depan pergu
ruan itu.
Mendadak, tiba-tiba saja lelaki bercaping bambu
itu bergerak cepat menotok ketiga orang penjaga pintu
gerbang. Sehingga, mereka hanya dapat berdiri kaku
dengan mata terbelalak. Sedangkan untuk bicara, me-
reka sama sekali tidak mampu. Karena orang itu juga
telah menotok urat suara.
"Hm.... Apakah kalian masih mengenali aku...?"
tanya lelaki bercaping itu sambil menaikkan caping
bambunya sedikit. Sehingga, hanya ketiga orang pen-
jaga itu saja yang dapat mengenalinya.
Wajah ketiga orang penjaga itu langsung pucat
ketika melihat siapa sebenarnya lelaki bercaping itu.
Karena tidak dapat mengeluarkan suara, maka mata
mereka saja yang tampak terbelalak bagai melihat han-
tu di siang bolong.
Setelah mengetahui kalau dirinya masih mempu-
nyai pengaruh terhadap ketiga orang penjaga pintu
gerbang itu, maka tangannya pun kembali bergerak
membebaskan totokan.
Lelaki bercaping bambu yang ternyata adalah Ki
Giri Tantra itu, cepat mencegah ketika melihat ketiga
orang penjaga itu hendak berlutut kepadanya.
"Aku mendapat keterangan dari Subara kalau di
dalam gedung utama hanya ada Kinaya dan Wiradesa.
Benarkah itu...?" tanya Ki Giri Tantra meminta jawa-
ban pasti.
"Benar apa yang dikatakan Subara, Guru. Sudah
dua hari ini lelaki jangkung yang berjuluk Laba-laba
Hitam pergi entah ke mana. Sepertinya, ia sudah per-
caya penuh akan kesetiaan Kakang Kinaya dan Wira-
desa. Dan kalau guru ingin merebut kembali pergu-
ruan ini, memang sekaranglah waktu yang paling te-
pat," jelas lelaki bercambang lebat yang sudah kembali
tenang seperti semula.
"Hm... bagus kalau begitu. Darpa, Sudira," pang-
gil orang tua itu kepada dua di antara empat lelaki
bercaping bambu yang masih berdiri di dekat pedati.
"Kumpulkan murid-murid yang saat ini mungkin ten-
gah beristirahat. Katakan pada mereka kalau aku su-
dah kembali. Dan kau, kau tetaplah berjaga di gerbang
ini. Yang lain boleh membawa sayur-mayur itu ke da-
lam. Bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa...."
Ki Giri Tantra kemudian melangkah menuju ge-
dung utama perguruan.
Sebagai orang yang pernah menghuni perguruan
itu, tentu saja tidak sulit bagi Ki Giri Tantra untuk
mencari kamar Kinaya maupun Wiradesa. Dan sudah
pasti, kedua orang bekas muridnya yang terpengaruh
Laba-laba Hitam itu berada dalam kamar yang pernah
ditempatinya sewaktu masih memimpin perguruan itu.
Beberapa orang berseragam hitam yang memer-
gokinya, langsung ditotok roboh tanpa mengalami ke-
sulitan. Ki Giri Tantra tentu saja tidak membunuh pa-
ra penjaga, karena mereka adalah murid-muridnya ju-
ga. Sehingga, ia hanya menotok roboh tanpa melukai.
Dengan gerakan ringan dan tanpa suara, orang
tua itu melangkah mendekati kamar yang pernah di-
tempatinya dulu. Kemudian, dibukanya pintu kamar
secara perlahan.
Ki Giri Tantra menahan napas, lalu melangkah
mendekati tubuh Kinaya yang tengah terbaring dengan
mata terpejam. Sambil tetap menahan napas, lelaki tua
itu berdiri di tepi pembaringan tempat Kinaya tertidur.
Sekali menggerakkan tangan saja, jago pedang itu
langsung dapat melumpuhkan muridnya yang tengah
terlelap.
"Hm.... Untunglah ia tengah terlelap. Kalau tidak,
tentu cukup sulit menundukkannya. Memang, 'Racun
Perampas Sukma' yang dijejalkan Laba-laba Hitam ke
tubuh sanggup membuatnya bertarung dengan tenaga
yang tidak pernah habis," gumam orang tua itu sambil
memeriksa tubuh Kinaya.
Tapi, apa yang dihadapi Ki Giri Tantra membuat-
nya terkejut. Ternyata Kinaya bukan tengah tertidur
secara wajar, melainkan tengah terpengaruh sejenis
obat yang dapat membuat orang terlelap untuk bebe-
rapa saat lamanya.
"Hm.... Pastilah Ular Muka Dua yang melakukan
perbuatan ini. Sepertinya sebelum meninggalkan per-
guruan, ia telah membius Kinaya dan Wiradesa agar
tidak bertindak macam-macam. Kalau begitu, aku ha-
rus segera mencari Wiradesa. Aku yakin, tidak lama
lagi daya kerja obat itu akan segera lenyap. Dan kalau
sampai ia terbangun, tentu akan lebih repot mengha-
dapi," pikir Ki Giri Tantra yang segera menyelinap ma-
suk ke dalam kamar yang bersebelahan dengan kamar
Kinaya.
Tepat pada saat Ki Giri Tantra memasuki kamar
Wiradesa, tubuh muridnya tampak baru mulai berge-
rak disertai sebuah keluhan lirih. Persis seperti orang
yang baru tersadar dari pingsannya. Tanpa menunggu
lagi, tubuh Ki Giri Tantra langsung melesat dan mela-
kukan totokan seperti yang dilakukan terhadap Ki-
naya.
"Aaakh...!"
Wiradesa memekik kesakitan ketika jari-jari tan-
gan orang tua itu menotok beberapa bagian tubuhnya.
Sehingga, lelaki gagah itu kembali rebah dengan mata
terbelalak.
"Hm.... Benar-benar keji manusia berjuluk Laba-
laba Hitam itu! Kedua orang muridku ini sudah seperti
mayat hidup saja akibat pengaruh 'Racun Perampas
Sukma'nya," desis Ki Giri Tantra geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Giri Tan
tra segera menjejalkan obat penawar yang telah diberi
Pendekar Naga Putih. Karena Wiradesa masih dapat
menggerakkan anggota tubuhnya, maka tidak sulit ba-
ginya untuk melolohkan obat penawar ke dalam mulut
muridnya.
"Guru...."
Empat orang lelaki gagah itu menjatuhkan diri,
berlutut di depan seorang kakek tua yang duduk di
atas kursi bergagang gading.
"Hm.... Bangkitlah...," sambut orang tua yang tak
lain Ki Giri Tantra sambil melebarkan senyumnya.
"Aku sengaja memanggil kalian sore ini karena ingin
membicarakan masalah yang sangat penting bagi ke
lanjutan perguruan kita."
Keempat orang yang tak lain dari Kinaya, Wirade-
sa, Darpa dan Sudira telah bangkit, dan bersila di de-
pan Ki Giri Tantra.
Sebelum mengutarakan keinginannya, Ki Giri
Tantra menceritakan segala sesuatu yang telah me-
nimpa perguruan termasuk yang telah dialami kedua
orang murid utamanya. Sehingga, baik Kinaya dan Wi-
radesa menjadi terkejut bukan main ketika menden-
garnya.
"Hukumlah kalau memang kami berdua dianggap
bersalah, Guru.... Tapi kalau Guru percaya, kami ber-
dua sama sekali tidak mengetahui semua itu," ujar Ki-
naya kembali berlutut bersama Wiradesa dengan wajah
pucat.
"Jangan kalian merasa kecil hati. Aku telah men-
getahui semua yang telah menimpa diri kalian. Tapi
perlu kalian berdua ketahui. Apa yang hendak kusam-
paikan ini, bukanlah mengenai kalian berdua. Justru
penyebab semua kejadian inilah yang hendak kubica-
rakan. Kinaya dan Wiradesa. Kalian ku percayakan
untuk mengatur perguruan ini, karena aku akan pergi
bersama Darpa dan Sudira untuk menyelidiki dan se-
kaligus menangkap orang yang berjuluk Laba-laba Hi-
tam. Bagaimana? Apakah kalian sanggup memikul
tanggung jawab yang kuberikan?" tanya Ki Giri Tantra.
"Sanggup, Guru...," sahut keempat lelaki gagah
itu serempak.
"Kalau begitu, pertemuan ini selesai. Darpa, Su-
dira, kalian berkemaslah!" ujar Ki Giri Tantra yang se-
gera beranjak dari kursinya.
"Baik, Guru...," sahut Darpa dan Sudira, segera
bangkit dan berpamit untuk berkemas.
"Kinaya, Wiradesa, berhati-hatilah. Usahakan
agar peristiwa kemarin jangan sampai terulang lagi,"
tegas Ki Giri Tantra sebelum meninggalkan ruang per-
temuan itu.
"Kami akan mengingat segala pesan Guru...," sa-
hut kedua orang lelaki gagah itu.
Rupanya mereka sudah kembali sadar seperti
semula. Semua itu berkat obat penawar racun yang te-
lah menghilangkan pengaruh 'Racun Perampas Suk-
ma'. Sehingga, baik Kinaya maupun Wiradesa telah
sembuh seperti sediakala.
Kinaya dan Wiradesa baru meninggalkan ruang
pertemuan setelah Ki Giri Tantra lenyap di balik pintu.
***
ENAM
"Kakang, lihat ini..!" ujar seorang dara jelita ber-
pakaian serba hijau sambil menunjuk rerumputan.
Pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di
sebelah kirinya serentak mengikuti arah yang ditunjuk
gadis jelita itu Keningnya tampak berkerut ketika me-
lihat cairan merah yang melekat di rerumputan.
"Darah...?!" desah pemuda tampan itu setelah
memeriksanya dengan teliti. "Hm.... Kalau melihat dari
darah yang melekat di rumput ini, tampaknya ada
orang yang menderita luka melewati hutan ini. Ra-
sanya, kejadian ini belum lama lewat"
"Tapi menilik keadaan sekitar tempat ini, rasanya
tidak terdapat tanda-tanda bekas orang bertarung?
Apakah mungkin pertarungan itu terjadi di tempat
lain? Lalu, apakah orang yang terluka itu berlari me-
nyelamatkan diri ke hutan ini? Bagaimana menurut-
mu, Kakang?" tanya dara jelita itu lagi sambil menatap
wajah pemuda tampan itu lekat-lekat
"Yah, bisa saja. Tapi supaya lebih jelas, sebaiknya
kita cari saja. Siapa tahu jejak ceceran darah ini masih
berkelanjutan," sahut pemuda tampan itu sambil me-
langkah perlahan-lahan.
Tanpa banyak cakap lagi, dara jelita berpakaian
serba hijau itu pun bergegas mengikuti langkah keka-
sihnya. Sepasang matanya yang bulat dan jernih,
mengawasi rerumputan di bawah kakinya.
Namun sampai cukup jauh mereka memasuki
hutan, ceceran darah itu sama sekali tidak ditemukan
lagi. Sehingga, kedua anak muda itu pun menjadi he-
ran dibuatnya.
"Aneh... mengapa ceceran darah itu tidak terlihat
lagi? Apakah Kakang yakin kalau itu darah manu-
sia...?" tanya dara jelita mulai meragukan pendapat
kekasihnya. Sepertinya, ia telah jenuh setelah sekian
jauh mencari tanpa hasil.
"Tentu saja aku yakin. Jangan mudah putus asa.
Lagi pula, jejak darah itu tidak hanya di atas rumput.
Bisa saja melekat di kulit-kulit pohon atau batu. Ayo,
kita cari lebih teliti," ajak pemuda tampan itu yang ru
panya belum putus harapan untuk menemukan jejak
darah berikutnya.
Mendengar usul yang diajukan pemuda tampan
itu, dara berpakaian serba hijau ini pun kembali me-
langkah. Kali ini yang diteliti tidak hanya rerumputan
di bawahnya. Batang-batang pohon dan bebatuan pun
diperiksanya.
Setelah cukup lama menyusuri hutan, tibalah
pasangan muda itu di tepi sungai yang membelah hu-
tan. Sejenak langkah keduanya berhenti, langsung
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sesaat kemu-
dian, mereka melepaskan pandangan ke seberang sun-
gai yang lebarnya sekitar tiga tombak lebih.
"Rasanya, tidak ada lagi yang bisa kita gunakan
sebagai petunjuk. Lebih baik, kita cari saja desa yang
terdekat dengan hutan ini. Siapa tahu di sana bisa di-
peroleh keterangan," ujar dara jelita itu sambil meng-
hembuskan napas kecewa.
"Sebentar...."
Tiba-tiba saja pemuda tampan itu melompat tu-
run, dan mendaratkan kakinya di tepian sungai. "Ra-
sanya aku sudah dapat menemukan jejak itu, Kenan-
ga...," kata pemuda itu sambil meneliti bercak darah di
atas bebatuan di tepian sungai.
Dara jelita yang dipanggil Kenanga bergegas me-
lompat turun dan mendaratkan kakinya di sebelah
pemuda tampan yang tak lain adalah Panji. Atau, lebih
dikenal dengan Pendekar Naga Putih.
"Apa pendapatmu dengan adanya bercak-bercak
darah di batu-batu tepian sungai ini?" tanya Pendekar
Naga Putih seperti hendak menguji kekasihnya.
"Sudah jelas, orang yang terluka itu turun dan
bersandar di dinding tepi sungai ini. Lalu, dia menye-
berang," sahut Kenanga setelah berpikir sesaat.
Panji tidak segera menanggapi jawaban kekasih
nya. Sepasang matanya memandang ke seberang sun-
gai dengan kening berkerut. Jelas, ia tengah berpikir
keras setelah mendengar jawaban Kenanga. Tak lama
kemudian, pemuda itu mengedarkan pandangan ber-
keliling.
***
"Apa yang dipikirkan, Kakang..?" tanya Kenanga
tak sabar ketika melihat Panji hanya memandang ke
sekeliling dengan kening berkerut
"Menurutmu, mengapa ia berlari ke dalam hutan
ini?" tanya Panji lagi. Sehingga, membuat Kenanga
kembali memutar otaknya mencari jawaban.
"Bisa jadi karena dikejar lawannya."
"Kalau kau yang terluka kemudian berlari ke da-
lam hutan dan menemukan sungai, apakah kau akan
menyeberanginya? Sedangkan musuh-musuh berada
di belakang dan tengah mengejarmu?" tanya Panji se-
makin bersemangat
"Ah, Kakang ini ada-ada saja. Kau senang ya, ka-
lau aku terluka dan dikejar-kejar musuh?" sahut dara
jelita itu. Kenanga jadi sengit mendengar pertanyaan
kekasihnya.
"Bukan begitu, Kenanga. Kalau hal itu terjadi pa-
da dirimu, akan kucari jahanam-jahanam keparat itu.
Dan akan kuhajar mereka sampai menangis-nangis
minta ampun," terpaksa Panji mengikuti arah pembi-
caraan kekasihnya ketika melihat Kenanga cemberut
mendengar pertanyaannya.
"Betul...?" tanya Kenanga.
Sebenarnya gadis itu kurang yakin akan ucapan
kekasihnya. Namun dari tarikan bibirnya yang me-
nyunggingkan senyum, jelas kalau ia merasa senang
mendengar jawaban Panji.
Senyum di bibir Pendekar Naga Putih melebar
melihat keanehan sifat wanita yang sangat dicintainya.
Padahal apa yang ditanyakannya tadi hanya se-
kadar perumpamaan saja. Tapi, Kenanga ternyata me-
nanggapinya dengan pikiran berbeda. Tentu saja kea-
nehan itu membuatnya tersenyum.
"Betul," tegas Pendekar Naga Putih dengan wajah
sungguh-sungguh. "Apa kau belum percaya sepenuh-
nya kepadaku?"
"Tentu aku percaya sepenuhnya, Kakang Terima
kasih...," sahut Kenanga, segera memeluk dan men-
cium pipi Panji.
Tentu saja perbuatan gadis itu semakin membuat
Panji keheranan. Terus terang, pemuda tampan itu jadi
semakin tidak mengerti akan sifat wanita. Semakin
merasa dekat dengan dara jelita itu, makin banyak di-
temui sifat-sifat aneh yang sulit dimengerti olehnya.
Wanita memang benar-benar makhluk aneh yang pe-
rasaannya sangat sulit dimengerti.
"Lalu, bagaimana dengan pertanyaanku tadi? Apa
yang akan kau lakukan?" tanya Panji setelah Kenanga
melepaskan pelukannya.
Kenanga tidak langsung menjawab Gadis itu ter-
menung sejenak, seperti hendak mengingat apa yang
ditanyakan pemuda pujaannya.
"Mmm.... Yah. Aku tidak akan menyeberangi
sungai. Dan paling tidak, musuh-musuh akan mendu-
ga aku menyeberanginya. Sehingga, aku dapat melo-
loskan diri dari kejaran," jawab Kenanga kemudian.
"Bagus!" puji Pendekar Naga Putih tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita telusuri tepian sungai ini"
"Apa tidak mungkin kalau orang itu sudah me-
ninggalkan hutan ini, Kakang?"
"Aku rasa tidak mungkin. Menurutku, orang yang
terluka itu pasti memiliki kepandaian yang cukup ting
gi. Kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melarikan
diri dari lawan-lawannya. Dan lagi, luka-lukanya pasti
cukup parah," sahut Panji sambil melangkah menyu-
suri tepian sungai.
Tidak sulit bagi kedua orang pendekar muda itu
menyusuri tepian sungai. Meskipun permukaan batu-
batu yang bertonjolan itu sangat licin, mereka enak sa-
ja berlompatan bagaikan dua ekor burung yang tengah
bercanda di alam bebas.
"Tunggu...!" cegah Panji sambil menghentikan
langkahnya.
Melihat dari caranya, jelas kalau pemuda itu ten-
gah mengerahkan indera pendengarannya yang me-
mang jauh lebih tajam daripada Kenanga.
"Kau mendengar sesuatu, Kakang..?" tanya gadis
jelita itu dengan dada berdebar tegang!
Panji tidak menyahuti pertanyaan kekasihnya,
dan malah mengedarkan pandangan ke sekitar tempat
itu.
"Hm.... Mari kita periksa gua yang terdapat di
dinding sungai itu, Kenanga. Sepertinya aku menden-
gar rintihan lemah dari tempat itu," ajak Pendekar Na-
ga Putih yang segera melesat dan langsung menda-
ratkan kakinya di dekat mulut gua.
"Gua sekecil ini, Kakang?" tanya Kenanga dengan
kening berkerut.
Sepertinya gadis itu tidak begitu yakin kalau ada
orang yang sudi memasuki lubang gua yang hanya se-
besar dua kali tubuhnya itu. Namun karena Panji telah
masuk ke dalamnya, maka terpaksa diikutinya.
"Raja Pedang Tujuh Bintang...?!"
Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika
mengenali sosok tubuh yang tengah terbaring lemah di
atas tanah lembab di dalam ruangan gua itu. Cepat
kakinya melangkah menghampiri sosok tubuh yang je
las tengah terserang demam hebat itu.
"Benarkah orang itu Ki Branta Sula, Kakang..,"
tanya Kenanga yang sempat mendengar seruan keka-
sihnya. Bergegas ia melompat ke arah sosok tubuh itu
terbaring
"Benar, Kenanga. Rintihannya tadi sempat ter-
tangkap pendengaranku. Itu sebabnya aku tak menya-
huti pertanyaan-pertanyaanmu. Harap kau dapat me-
makluminya," sahut Panji yang tidak ingin membuat
dara jelita itu tersinggung atas perbuatannya.
"Tidak mengapa, Kakang. Aku dapat memaklu-
minya," kata Kenanga sambil mengelus lembut pung-
gung kekasihnya sebagai tanda kalau sama sekali ti-
dak marah.
Melihat keadaan Ki Branta Sula yang terlihat
menderita, bergegas Panji menurunkan buntalan di
bahunya. Diambilnya beberapa jenis obat yang diper-
lukan untuk mengobati luka-luka jago pedang wilayah
Barat itu.
Setelah membalut seluruh luka, Panji dan Ke-
nanga duduk di sudut gua sambil menunggu Ki Branta
Sula siuman.
Mereka duduk termenung mengikuti arus pikiran
masing-masing. Sehingga, keadaan di dalam gua itu
terasa hening, kecuali desah angin yang berhembus
melalui mulut gua.
***
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih yang berasal dari mulut
Ki Branta Sula. Tubuh lelaki kekar bercambang bre-
wok itu nampak menggeliat lemah.
Mendengar keluhan itu, Panji dan Kenanga ber-
gegas bangkit, dan melangkah menghampiri. Mereka
lalu duduk di kiri-kanan tubuh orang tua itu.
Perlahan-lahan kelopak mata orang tua itu mem-
buka dan mengerjap-ngerjap. Suasana dalam ruangan
gua yang remang-remang, membuat Ki Branta Sula
harus membiasakan pandangan matanya untuk dapat
mengenali kedua orang di kiri-kanannya.
"Pendekar Naga Putih...?! Benarkah kau yang be-
rada di dekatku, Sahabat?" sebut Ki Branta Sula den-
gan wajah penuh keraguan.
Kemudian wajahnya dipalingkan ke sebelah ka-
nan.
"Kau..., kaukah Kenanga..,?" tanya orang tua itu
ketika mendapati sosok jelita yang mengenakan pa-
kaian serba hijau.
Setelah bertanya demikian, orang tua itu kembali
memejamkan matanya. Sepertinya hatinya belum me-
rasa yakin akan apa yang telah dilihatnya. Sehingga
kedua matanya dipejamkan agar pertemuan yang di-
kiranya hanya bayang-bayang semu itu tidak meng-
ganggunya.
Panji yang dapat mengerti apa yang terpikir da-
lam benak orang tua itu, cepat menggenggam tangan
Ki Branta Sula erat-erat. Kemudian, pemuda itu berbi-
sik di telinga sahabatnya yang seperti merasa takut
akan bayang-bayang yang mengganggunya.
"Benar, Ki. Aku Panji. Kami menemukanmu ter-
baring di dalam gua ini. Apa sebenarnya yang telah ter-
jadi pada dirimu, Ki?" tanya Pendekar Naga Putih sam-
bil tetap menggenggam telapak tangan orang tua itu
yang mulai hangat
Merasakan panas tubuh orang tua itu sudah
hampir seperti semula, Panji menarik napas lega. Ka-
rena, hal itu berarti demam yang diderita akibat luka-
luka yang membengkak telah mulai lenyap. Rupanya,
hal itulah yang membuat Ki Branta Sula tersadar.
Ki Branta Sula yang mendengar suara Panji,
kembali membuka matanya perlahan. Pandangan ma-
tanya merayapi wajah Pendekar Naga Putih, seolah-
olah masih belum percaya dengan apa yang dilihat dan
didengarnya.
"Benarkah semua ini bukan hanya bayanganku,
Panji? Kenanga...?" tanya orang tua itu.
Jelas, Ki Branta Sula masih meragukan kebera-
daan kedua pendekar muda yang pernah memban-
tunya dalam menyelesaikan persoalan rumit di Lem-
bah Kepala Naga (Untuk lebih jelasnya silakan baca
serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Sengketa
Jago-jago Pedang").
Kedua orang pendekar muda itu tidak menjawab.
Mereka hanya menggenggam telapak tangan orang tua
itu lebih erat.
"Aaah...! Puji syukur kepada Tuhan yang telah
mempertemukan kita kembali," desah Raja Pedang Tu-
juh Bintang.
Jelas, orang, tua itu benar-benar merasa gembira
dengan pertemuan yang sama sekali tidak disangka
itu.
Ketika Ki Branta Sula telah benar-benar sadar
sepenuhnya, Panji menyodorkan sebutir pil berwarna
putih bagaikan gumpalan salju kecil.
"Telanlah obat ini untuk menyembuhkan luka-
luka dalam di tubuhmu, Ki. Setelah itu, istirahatlah
sebentar. Kemudian, kita tinggalkan gua ini," ujar Pan-
ji perlahan.
Tanpa keraguan sedikit pun, Ki Branta Sula sege-
ra menelan pil pemberian pendekar muda itu. Sesaat
kemudian, mata orang tua itu pun terpejam.
Tidak berapa lama, terlihat Ki Branta Sula telah
menyelesaikan semadinya. Ditatapnya pasangan pen-
dekar muda itu penuh rasa terima kasih.
"Kau tidak ingin mendengar ceritaku, Panji...?"
tanya Raja Pedang Tujuh Bintang yang tubuhnya mu-
lai terasa segar kembali.
"Kalau Ki Branta Sula tidak merasa keberatan,
biarlah aku mendengarnya di perjalanan saja. Ayolah
kita tinggalkan tempat ini," ajak Panji yang segera me-
mapah tubuh orang tua itu. Memang, meskipun kese-
hatan Ki Branta Sula sudah mulai pulih, tetap saja be-
lum sanggup untuk melakukan perjalanan jauh.
Setelah keluar dari dalam gua, Panji, Ki Branta
Sula, dan Kenanga menempuh perjalanan menuju Ti-
mur. Hal itu sesuai permintaan Raja Pedang Tujuh
Bintang yang sambil lalu telah menceritakan pengala-
mannya.
"Melihat banyaknya orang berseragam hitam
yang berada di Desa Kembangan, aku rasa markas me-
reka pasti tidak jauh dengan desa itu. Bagaimana me-
nurutmu, Panji...," tanya Ki Branta Sula mengakhiri
ceritanya.
"Keyakinanku pun demikian, Ki. Dan untuk
mengetahui kebenaran dugaan kita, aku akan menye-
lidiki kelak," tegas Pendekar Naga Putih.
Panji yang tengah melangkah sambil memapah
tubuh Ki Branta Sula, mendadak menghentikan lang-
kahnya. Wajah pemuda tampan itu nampak menegang
seperti membaui bahaya yang mengancam di balik se-
mak belukar dan pepohonan di sekitarnya.
"Ada apa, Panji...?"
Meskipun bibirnya melontarkan pertanyaan de-
mikian, namun wajah Ki Branta Sula terlihat tegang
pula. Entah karena membaui sesuatu, atau karena
terpengaruh ketegangan Panji.
Sedangkan Kenanga yang telah hampir mengenal
semua kebiasaan kekasihnya, tentu saja segera men-
getahui penyebab langkah pemuda itu terhenti. Cepat
gadis jelita itu meraba gagang pedang yang melingkar
di pinggang. Jelas, ia telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
"Mungkin dugaanku belum sepenuhnya benar.
Tapi, kuharap berhati-hatilah! Aku seperti merasakan
adanya orang-orang yang tengah mengawasi kita. Te-
taplah melangkah tenang, dan tingkatkan kewaspa-
daan!" kata Panji, kembali melanjutkan langkahnya
menerobos semak perdu yang menghalangi jalan.
Sedangkan Kenanga berjalan di sebelah kanan
Panji. Meskipun langkah gadis jelita itu terlihat tegang,
namun jemari tangannya yang erat mencekal gagang
pedang, jelas menandakan kalau tengah dilanda kete-
gangan!
Ketegangan Panji maupun Kenanga bukannya ti-
dak beralasan. Memang, keadaan Ki Branta Sula yang
masih lemah itu tentu saja menimbulkan kekhawati-
ran di hati mereka. Belum lagi ingatan tentang lawan-
lawan yang telah melukai Raja Pedang Tujuh Bintang.
Luka-luka di beberapa bagian tubuh orang tua itu jelas
menandakan kalau musuh-musuh yang tengah diha-
dapi sangat berbahaya. Sehingga, kelengahan sedikit
saja akan mengancam keselamatan mereka.
"Hati-hatilah, Panji. Kalau orang-orang yang kau
maksudkan itu adalah komplotan manusia berseragam
hitam, berbahaya sekali. Pasti mereka tidak segan-
segan menebarkan racun-racun jahat untuk mempero-
leh kemenangan," pesan Ki Branta Sula teringat akan
kematian sahabatnya.
"Aku mengerti, Ki. Mudah-mudahan saja keja-
dian yang menimpa Ki Ageng Semplak tidak kita ala-
mi," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih memang tidak ingin menon-
jolkan diri kalau cukup banyak mengetahui tentang
racun-racun. Apalagi yang sering digunakan tokoh
tokoh persilatan. Hampir semua telah diketahuinya.
Tapi pemuda tampan itu tidak mengatakannya kepada
Ki Branta Sula, karena menurutnya memang tidak per-
lu.
Tengah keduanya berbicara, tiba-tiba Panji yang
memiliki ketajaman pendengaran lebih tinggi, menoleh
cepat ke arah samping kirinya.
"Haiiit..!"
Dibarengi bentakan nyaring, pemuda tampan itu
mendorongkan telapak tangannya dengan pukulan ja-
rak jauh!
Whusss...!
Darrr...! Darrr...!
Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga
Putih. Dia sama sekali tidak menduga kalau benda-
benda bulat sebesar buah duku itu akan meledak aki-
bat benturan angin pukulannya.
"Awaaas...!"
Pendekar Naga Putih yang sempat menangkap
adanya jarum-jarum halus menebar ke sekeliling tem-
pat itu, cepat memperingatkan Kenanga dan Ki Branta
Sula. Seiring bentakan itu, tubuhnya pun melambung
dan berputar beberapa kali di udara. Lalu, kakinya
mendarat ringan sejauh lima tombak dari tempatnya
semula. Hebat sekali ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki pemuda tampan itu! Padahal saat melompat,
Pendekar Naga Putih membawa tubuh Ki Branta Sula
yang dipeluk dengan tangan kanan. Tentu saja Raja
Pedang Tujuh Bintang semakin bertambah kagum me-
lihat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu
Sedangkan Kenanga yang juga ikut melompat
berbarengan dengan teriakan Panji, mendaratkan ka-
kinya sejauh dua tombak di sebelah kanan kekasih-
nya. Wajah dara jelita itu terlihat agak pucat hingga
membuat Panji cemas!
Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji.
Mata Pendekar Naga Putih sempat melihat pulu-
han jarum berwarna hitam melekat di badan Pedang
Sinar Rembulan. Rupanya, dara jelita itu telah meng-
gunakan senjatanya untuk melindungi diri. Sehingga,
jarum-jarum beracun yang mengancam keselamatan-
nya hanya menempel di badan pedang pusaka yang
mempunyai daya sedot terhadap benda-benda dari lo-
gam.
"Aku baik-baik saja, Kakang," sahut Kenanga
agar Panji tidak terlalu cemas terhadap keselamatan-
nya.
"Aaah! Aku kurang hati-hati, sehingga hampir
kau dan Ki Branta Sula menjadi celaka. Jelas benda-
benda bulat itu telah diisi bahan peledak dan jarum-
jarum beracun. Benar-benar berbahaya!" desah Pende-
kar Naga Putih menghembuskan napas lega.
"Hati-hatilah, Panji! Aku semakin yakin penye-
rang gelap itu pastilah dari kelompok orang bersera-
gam hitam. Mereka sangat licik dan penuh tipu daya!"
bisik Ki Branta Sula teringat akan pengalamannya pa-
da waktu dikeroyok orang berseragam hitam di Desa
Kembangan.
Panji menganggukkan kepala sebagai jawaban
atas nasihat yang dibisikkan Raja Pedang Tujuh Bin-
tang kepadanya. Peringatan itu membuatnya semakin
meningkatkan kewaspadaannya. Apalagi kedudukan
musuh sama sekali tidak diketahui. Sehingga, mereka
seperti mangsa empuk bagi penyerang-penyerang gelap
yang entah bersembunyi di mana.
"Hm.... Terus terang, aku tidak menyukai kea-
daan seperti ini. Maka, akan ku paksa mereka keluar
dari tempat persembunyiannya," geram Pendekar Naga
Putih pelan.
Kemudian Pendekar Naga Putih memalingkan
wajahnya ke arah Kenanga yang telah berada di sebe-
lahnya.
"Bersiap-siaplah, Kenanga. Aku akan memaksa
mereka keluar dari persembunyiannya," lanjut Pende-
kar Naga Putih sambil memejamkan mata untuk me-
musatkan pikiran sepenuhnya.
Melihat sikap yang diambil kekasihnya, Kenanga
pun tahu apa yang harus diperbuatnya. Maka diba-
wanya Ki Branta Sula menjauhi Pendekar Naga Putih.
Melihat cara yang tengah dilakukan, jelas kalau
yang dilakukan Pendekar Naga Putih adalah mewujud-
kan Pedang Naga Langit yang kini tersimpan dalam tu-
buhnya.
"Heaaah...!"
Disertai teriakan nyaring, Panji menjulurkan tan-
gannya ke depan. Saat itu juga, sinar kuning keema-
san yang menyilaukan mata muncul begitu Pedang
Naga Langit telah berada dalam genggaman tangan
kanan Pendekar Naga Putih. Sebuah pusaka ampuh
yang tidak ada duanya dalam dunia persilatan.
Begitu pedang di tangan telah muncul secara
utuh, Panji kembali menyatukan pikirannya dengan
senjata ajaib itu. Terdengar suara mengaung ketika se-
cara aneh pedang di tangannya bergerak naik dan ter-
lepas dari genggaman Pendekar Naga Putih.
Bagaikan seorang ahli sihir yang tengah mema-
merkan keahliannya, jari telunjuk dan tangan yang
menegang kaku berputar perlahan-lahan di atas kepa-
la.
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar mem-
buat Ki Branta Sula ternganga tak percaya. Andai saja
tidak menyaksikannya sendiri, tentu jago pedang wi-
layah Barat itu akan menertawakan orang yang berce-
rita kepadanya. Tapi karena semua itu terlihat jelas,
kepala orang tua itu hanya dapat menggeleng takjub!
"Hebat sekali kepandaian yang dimiliki kekasih-
mu itu, Kenanga. Kalau aku tidak menyaksikannya
sendiri, tidak nantinya aku akan mempercayainya,"
puji Raja Pedang Tujuh Bintang berdecak penuh ka-
gum.
Bagi Kenanga sendiri, apa yang dilakukan keka-
sihnya masih juga menimbulkan rasa takjub. Meski-
pun Panji telah pernah menceritakan dan memamer-
kan di hadapannya, tapi tetap saja dia terbelalak ka-
gum.
Sedangkan saat itu, Pedang Naga Langit yang
mengapung di udara tiba-tiba berputar mengikuti ge-
rak tangan Pendekar Naga Putih. Bahkan senjata ajaib
itu bergerak hidup, membabati semak perdu dalam ja-
rak empat tombak di sekelilingnya. Sehingga dalam
waktu yang tidak terlalu lama, sekitar tempat itu pun
telah dikotori dedaunan dan ranting-ranting kayu yang
berserakan akibat terpapas Pedang Naga Langit
Amukan pedang ajaib itu tentu saja membuat
penyerang-penyerang gelap yang bersembunyi di seki-
tar tempat itu menjadi terkejut setengah mati. Sehing-
ga, mereka terpaksa berlompatan keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Hm.... Akhirnya kalian muncul juga, Manusia-
manusia Culas," kata Panji. Pendekar Naga Putih men-
jadi tersenyum melihat betapa wajah orang-orang itu
pucat dan jelas membayangkan perasaan ngeri.
Bersamaan munculnya puluhan orang bersera-
gam hitam yang mengurung tempat itu, Pedang Naga
Langit pun kembali hilang dari pandangan. Panji ter-
paksa menarik pulang pedangnya, karena untuk mela-
kukan hal seperti itu, harus menggunakan banyak te-
naga dan pemusatan pikiran yang tidak boleh tergang-
gu. Itu terjadi, karena pedang itu memang belum di
kuasainya secara sempurna.
Melihat orang-orang berseragam hitam yang
mengelilingi tempat itu, Panji, Kenanga, dan Ki Branta
Sula saling mengadu punggung. Ketiga orang tokoh
persilatan itu telah siap menghadapi keroyokan orang
berpakaian hitam yang jumlahnya tidak kurang dari
seratus orang.
***
TUJUH
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara menggelegar yang berkuman-
dang bagaikan datang dari segala penjuru hutan. De-
mikian hebatnya pengaruh suara itu, sehingga menim-
bulkan deru angin keras. Dan akibatnya, dahan-dahan
pohon berderak ribut bagaikan hendak roboh!
Panji, Kenanga, dan Ki Branta Sula yang memang
menjadi sasaran serangan tawa itu, cepat mengerah-
kan hawa murni untuk melindungi telinga dan dada.
Ki Branta Sula yang saat itu tenaganya masih
sangat lemah, merasakan dadanya sesak bagai ditindih
beban berat Meski berusaha untuk bertahan, namun
akhirnya ia harus mengalah juga.
"Huaaakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, Ki Branta Sula memun-
tahkan darah segar karena tak sanggup membendung
tekanan yang seperti menindih dadanya.
"Uhhh...!"
Tubuh Raja Pedang Tujuh Bintang terhuyung
limbung sambil menekap dadanya dengan wajah pu-
cat. Dari sudut bibirnya masih terlihat tetesan darah
segar. Jelas, kesehatannya yang masih lemah tak
mampu melawan kekuatan serangan tawa itu.
"Ki...!"
Kenanga dan Panji berseru sambil menangkap
tubuh orang tua itu yang terhuyung lemah. Kekhawa-
tiran mereka semakin bertambah melihat keadaan Ki
Branta Sula yang semakin melemah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar
Naga Putih segera menempelkan telapak tangannya ke
punggung orang tua itu. Seketika hawa hangat pun
mengalir melalui telapak tangannya yang langsung
menerobos masuk ke dalam tubuh Ki Branta Sula. Se-
hingga, secara perlahan namun pasti, wajah jago pe-
dang wilayah Barat itu nampak mulai kemerahan.
Untunglah, saat itu suara tawa yang menggetar-
kan telah lenyap. Kalau tidak, rasanya sulit bagi Pen-
dekar Naga Putih untuk melakukan pertolongan kepa-
da Ki Branta Sula.
Namun bersamaan lenyapnya suara tawa itu,
muncul sesosok tubuh jangkung berpakaian serba hi-
tam. Anehnya, pakaian yang dikenakannya, nampak
dipenuhi tali sebesar ibu jari kaki. Sepertinya, hal itu
sengaja dilakukan agar setiap gerakannya tidak mem-
buat pakaiannya berkibar. Dan itu berarti setiap gera-
kannya akan sulit ditangkap pendengaran lawan.
Kemunculan sosok tubuh jangkung itu masih
disusul melesatnya dua sosok tubuh lain yang lang-
sung mendarat di kiri-kanannya. Menilik dari bentuk
tubuh dan raut wajahnya, jelas kedua orang yang tiba
belakangan tak lain dari Iblis Mayat Hidup dan Raksa-
sa Sungai Padas.
"Hm.... Rupanya buruan kita bertambah dua
orang, Ketua...," gumam Iblis Mayat Hidup.
"Hmh...!"
Lelaki jangkung itu hanya menggeram perlahan.
Tangan kanannya bergerak mengibas, sebagai perintah
bagi Iblis Mayat Hidup untuk maju. Perintah yang sama juga diberikan kepada lelaki tinggi kekar berkepala
botak. Pada telinga kirinya bergantung anting-anting
bulat. Siapa lagi lelaki menyeramkan itu kalau bukan
Raksasa Sungai Padas.
"Tangkap wanita jelita itu untukku! Biar pemuda
sombong yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu men-
jadi bagianku!"
Terdengar suara melengking tinggi yang keluar
dari mulut lelaki jangkung itu. Suaranya demikian ke-
cil dan melengking. Sepertinya orang itu kerongkon-
gan-nya tersumbat sesuatu. Namun, suara itu terasa
menyakitkan di telinga.
Panji yang telah selesai menyalurkan hawa murni
untuk menolong Ki Branta Sula, sempat mendengar
perintah itu. Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Pu-
tih mengawasi sosok lelaki jangkung yang diapit dua
orang tokoh sesat. Sudah dapat diduga, siapa adanya
orang yang berada di kiri-kanan lelaki jangkung ber-
mata tajam itu. Memang, ciri-ciri kedua orang tokoh
sesat itu sangat mudah dikenali. Dan, julukan kedua
orang tokoh itu pun sudah lama didengar dalam pen-
gembaraannya.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih terus berge-
rak merayapi sosok bertubuh jangkung yang saat itu
juga tengah menatap tajam ke arahnya. Kening pemu-
da tampan itu sempat berkerut ketika melihat tali se-
besar ibu jari yang melilit pakaian orang itu, mulai dari
kedua lengan hingga ke tubuhnya. Dari pengalaman-
nya yang diperoleh selama pengembaraan, Panji pun
dapat mengerti, mengapa tokoh jangkung itu meli-
batkan tali-tali pada pakaian yang dikenakan. Dugaan
itu membuatnya semakin berhati-hati. Karena sekali
pandang saja sudah dapat ditebak kalau orang yang
mengeluarkan suara tawa menggetarkan tadi pastilah
lelaki jangkung itu.
"Hm.... Rupanya kaulah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih, Bocah. Benar-benar hebat dan menga-
gumkan sekali," puji lelaki jangkung itu, bernada men-
gejek.
Menilik dari raut wajahnya yang tersenyum sinis,
jelas kalau ia menganggap remeh Pendekar Naga Putih.
Mungkin hal itu dikarenakan usia Pendekar Naga Pu-
tih yang ternyata masih sangat muda.
Panji sendiri sama sekali tidak peduli dengan si-
kap maupun ucapan lawan yang jelas-jelas sangat
menghina. Memang, melihat keadaannya yang terku-
rung, amarah pemuda tampan itu tidak ingin terpanc-
ing. Bahkan akan mengakibatkan kerugian saja. Se-
hingga, ucapan maupun sikap menghina lelaki jang-
kung itu ditanggapinya dengan senyum tenang
"Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Laba-
laba Hitam?" tanya Panji ingin memastikan. "Apa yang
telah membuatmu demikian benci kepada jago-jago
pedang di empat penjuru? Dan mengapa mengadu
domba tokoh-tokoh itu?"
Pendekar Naga Putih memang ingin mengetahui
alasan lelaki jangkung itu, sehubungan peristiwa yang
hampir membuat jago-jago pedang di empat penjuru
saling bunuh (Untuk lebih jelas baca serial Pendekar
Naga Putih dalam episode "Sengketa Jago-jago Pe-
dang").
"Hm.... Jangan tanyakan itu kepadaku! Rasa pe-
nasaran mu boleh diajukan kepada empat manusia-
manusia sombong itu di akhirat nanti!" sahut lelaki
jangkung yang ternyata Laba-laba Hitam.
Tokoh sesat itu memang banyak memiliki pengi-
kut yang tersebar di mana-mana. Bahkan boleh dibi-
lang saat ini dunia persilatan tengah terancam maut.
Karena, tokoh bertubuh jangkung yang melebihi tinggi
manusia biasa telah malang-melintang dengan segala
kekejamannya.
Memang jarang sekali Laba-laba Hitam turun
tangan dalam segala hal. Kedua orang wakilnya yang
merupakan tokoh sesat berkepandaian tinggi, selalu
dapat menyelesaikan setiap persoalan. Memang, tugas-
tugas yang dilakukan Iblis Mayat Hidup dan Raksasa
Sungai Padas, jarang sekali mengecewakan ketuanya.
Seperti halnya, ketika kedua tokoh sesat yang dibantu
puluhan anak buahnya saat menjegal dua orang jago
pedang. Bahkan jago pedang wilayah Utara yang ber-
nama Ki Ageng Semplak, terpaksa tewas di tangan me-
reka. Tak urung, Raja Pedang Tujuh Bintang pun nya-
ris tidak tertolong nyawanya. Dan semua itu, adalah
atas perintah Laba-laba Hitam yang menjadi ketua me-
reka.
"Tidak kusangka! Tokoh sakti berkepandaian
tinggi dan sangat kejam sepertimu, ternyata tak lebih
dari seorang pengecut yang tidak berani mengakui
perbuatannya!" ejek Pendekar Naga Putih, mencoba
memancing keterangan dari mulut lelaki jangkung itu
dengan caranya sendiri.
Meskipun hati Pendekar Naga Putih sempat gem-
bira ketika melihat wajah kecoklatan lelaki jangkung
itu, namun perasaannya segera ditekan agar tidak ter-
gambar pada wajahnya. Jelas, pancingan yang dilaku-
kan Pendekar Naga Putih seperti membawa hasil.
"Bangsat! Jaga mulutmu, Pemuda Gila! Apakah
kau memang sudah tidak suka lagi mempunyai mu-
lut?! Atau sebaiknya memang kuhancurkan saja mu-
lutmu agar tidak dapat lagi bersuara?!" bentak lelaki
jangkung itu suaranya menggelegar tinggi dan me-
lengking menyakitkan. Jelas Laba-laba Hitam sangat
berang dengan tuduhan pemuda tampan lawan bica-
ranya.
Sayang! Meskipun jelas Laba-laba Hitam terlihat
sangat marah, tapi tetap saja tidak keluar jawaban dari
mulutnya. Hanya sepasang matanya saja yang sema-
kin menatap tajam Pendekar Naga Putih. Sepertinya,
tubuh pemuda tampan itu ingin dilahap hidup-hidup.
"Hmh..."
Sambil menggeram marah, lelaki jangkung itu
menggerakkan kedua tangannya ke depan. Seketika
itu juga, puluhan orang yang semenjak tadi menge-
pung, segera meluruk maju dan menerjang Pendekar
Naga Putih!
"Heaaa...!"
Karuan saja serbuan puluhan lelaki berpakaian
serba hitam itu membuat Pendekar Naga Putih kerepo-
tan. Apalagi, Panji sama sekali tidak ingin membunuh
orang-orang berseragam hitam itu. Menurut pendapat-
nya, mereka hanya melaksanakan tugas karena takut.
Sehingga, Pendekar Naga Putih tak tega menurunkan
tangan kejam kepada mereka yang ganas mengeroyok.
Tapi lama-kelamaan, Panji pun menjadi kesal ju-
ga. Maka, mulailah dilancarkan serangan balasan se-
sekali dengan mengukur kekuatan pukulan maupun
tamparannya.
Sebenarnya Pendekar Naga Putih bisa saja tidak
melakukan perlawanan dan hanya bertahan menggu-
nakan kekuatan tenaga saktinya yang sudah sangat
tinggi. Apalagi tubuhnya dapat dibuat kebal terhadap
senjata tajam yang dihantamkan ke tubuhnya oleh ke-
roco-keroco itu. Namun, Panji khawatir kalau-kalau
Laba-laba Hitam akan membokongnya selagi tena-
ganya dikerahkan untuk melindungi tubuh dari keta-
jaman senjata-senjata lawannya. Hal itulah yang
membuatnya terpaksa harus melakukan serangan ba-
lasan, meskipun harus mengukur penggunaan tena-
ganya. Ini agar tidak sampai menewaskan para penge-
royok yang terkena pukulan ataupun tamparannya.
***
"Haiiit..!"
Kenanga yang saat itu tengah dikeroyok Iblis
Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas, berusaha
membela diri mati-matian! Untunglah, Laba-laba Hi-
tam hanya memerintahkan menangkap. Kalau tidak,
tentu gads jelita itu akan semakin sibuk dalam meng-
hadapi senjata-senjata lawan.
Meskipun kedua orang tokoh sesat itu tidak
menggunakan senjata dalam melancarkan serangan,
tetap saja Kenanga dibuat sibuk. Lebih-lebih lagi, se-
rangan kedua orang itu selalu didasari perbuatan tidak
sopan. Sehingga, pikiran dara jelita itu menjadi kacau.
"Haaah...!"
Sambil menyeringai kurang ajar, Raksasa Sungai
Padas melontarkan cengkeramannya ke arah dada ga-
dis jelita itu. Sedangkan dari belakang, Iblis Mayat Hi-
dup membarenginya dengan cengkeraman yang men-
gancam pinggul. Tentu saja gadis jelita itu menjadi
ngeri melihat serangan kedua orang lelaki buas ini.
"Kurang ajar...!" maki Kenanga dengan wajah me-
rah padam.
Seketika itu juga Pedang Sinar Rembulan di tan-
gannya diputar sedemikian rupa. Hal ini untuk melin-
dungi seluruh tubuhnya dari jamahan tangan-tangan
pengeroyoknya yang hendak bersikap kurang sopan.
Wuuut..! Wuuut..!
Gulungan sinar putih keperakan seketika ber-
pendar membentuk lingkaran. Bahkan semakin mele-
bar, menyelimuti sekujur tubuh gadis jelita itu. Se-
hingga, kedua orang tokoh itu terpaksa menarik tan-
gannya, bila tidak mau buntung begitu saja
Melihat kedua orang lawannya melompat mundur, cepat Kenanga melenting dan melakukan bebera-
pa kali salto di udara. Kedua kakinya baru mendarat
setelah merasa cukup jauh dari kedua orang penge-
royoknya.
"Hmh...!"
Dibarengi sebuah geraman lirih, gadis jelita itu
memutar pedang di tangannya dengan kecepatan
menggetarkan!
Wuuung! Wuuung!
Terdengar suara mengaung tajam bagaikan den-
gung ratusan ekor lebah yang marah! Tampaknya, Ke-
nanga hendak menggunakan jurus andalannya untuk
menghadapi gempuran Iblis Mayat Hidup dan Raksasa
Sungai Padas.
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh gadis jelita itu
meluncur deras ke arah lawan-lawannya. Pedang di
tangannya tampak bergerak berputar dan menyilang
membingungkan kedua orang lawan yang terpaku ka-
gum beberapa saat itulah jurus 'Bidadari Menabur
Bunga' yang merupakan ilmu andalan Kenanga!
Kedua orang tokoh sesat itu baru tersadar dari
kekagumannya ketika ujung pedang Kenanga hampir
merobek tubuh mereka!
Wuuut..!
"Aaah...!"
"Heiii...!"
Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas
memekik kaget ketika tahu-tahu ujung pedang gadis
jelita itu telah berada sejengkal di depan tubuh mere-
ka. Cepat kedua orang tokoh sesat itu melempar tubuh
ke belakang dan langsung bergulingan di atas tanah
berumput
"Gila...! Hampir saja aku tidak bisa melihat sinar
matahari lagi...," gumam Iblis Mayat Hidup menyusut
peluh yang menitik di keningnya.
Tubuh kurusnya yang telah kembali tegak, tam-
pak agak menegang mengingat nyawanya hampir saja
melayang di tangan gadis cantik bagai bidadari itu.
Demikian pula halnya Raksasa Sungai Padas.
Tokoh bertubuh tinggi kekar itu tampak menghela na-
pas lega sambil menyusut keringat dingin di lehernya.
Jelas, dia merasa tegang mengingat kejadian barusan.
Sebenarnya apa yang dialami kedua orang tokoh
sesat itu, bukanlah hal yang aneh. Karena, jurus
'Bidadari Menabur Bunga' yang dipergunakan Kenanga
tadi memang mengandung pengaruh sangat hebat! Se-
hingga pada waktu Kenanga menggunakannya, seolah-
olah lawan bagai melihat seorang bidadari yang tengah
menari-nari dikelilingi cahaya putih keperakan. Pe-
mandangan yang sangat mempesona itulah yang
membuat keduanya terpaku takjub!
Untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak
sama-sama terdiam saling tatap. Iblis Mayat Hidup
dan Raksasa Sungai Padas menganggukkan kepala,
seperti mendapat kata sepakat. Kemudian mereka
kembali berpaling ke arah Kenanga.
Kenanga mengerutkan kening ketika melihat Iblis
Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas membuka
ikat kepala. Bau wangi yang memusingkan tercium ke-
tika kedua tokoh sesat itu menaburkan bubuk ber-
warna putih pada ikat kepala yang tergenggam di tan-
gan kanan. Segera saja gadis jelita itu dapat menduga
kalau lawannya hendak menggunakan bubuk beracun
untuk melawannya.
"Kurang ajar...!" desis Kenanga.
Gadis itu menjadi marah sekali mengetahui mak-
sud lawannya. Disadari betul kalau keadaannya kini
benar-benar berbahaya!
"He he he...! Sekarang kau tak mungkin dapat lolos dari kami, Manis...," kata Raksasa Sungai Padas.
Tokoh sesat itu terkekeh, memperhatikan giginya
yang kehitaman, sehingga lebih mirip sebuah seringai.
Sepasang mata tokoh bertubuh raksasa itu tampak liar
seperti sudah membayangkan kenikmatan memondong
tubuh molek dara jelita di depannya.
Setelah masing-masing menelan sebutir pil ber-
warna hijau, kedua tokoh sesat itu melangkah bersi-
kap mengancam.
"Heaaa...!"
Iblis Mayat Hidup memulai serangannya dengan
sebuah bentakan mengejutkan. Tubuh tokoh kurus itu
langsung meluncur ke arah Kenanga sambil mengebut-
ngebutkan ikat kepala yang telah diberi bubuk pem-
bius itu. Maka bau wangi yang menyengat pun segera
menyebar mengotori arena pertarungan.
Raksasa Sungai Padas pun tidak mau ketingga-
lan. Dengan sebuah teriakan parau, tubuhnya segera
melayang sambil mengebut-ngebutkan ikat kepala ke
arah Kenanga. Maka bau wangi bubuk beracun itu
pun semakin memenuhi arena pertarungan.
Namun, Kenanga bukanlah orang bodoh yang
dapat ditundukkan begitu saja. Meskipun kedua la-
wannya telah menggunakan bubuk beracun untuk da-
pat membiusnya, tetap saja gadis jelita itu tidak gen-
tar! Tangan kanannya bergerak mengambil kantung
kain di pinggangnya. Lalu, ditelannya sebutir pil ber-
warna merah untuk menawarkan racun-racun yang
terhirup olehnya.
Setelah menelan dua butir pil berwarna merah
darah, maka Kenanga tidak ragu-ragu lagi menghadapi
serangan lawan. Pedang di tangannya kembali berpu-
taran menyambar-nyambar dengan kecepatan meng-
getarkan!
Sebenarnya, kedua orang tokoh sesat itu merasa
terkejut ketika melihat lawannya sama sekali tidak
terpengaruh racun pembius. Hanya saja, mereka tak
sempat lagi memikirkan, karena gadis jelita itu telah
melontarkan serangan-serangan maut dengan Pedang
Sinar Rembulannya. Sehingga, terpaksa mereka meng-
gunakan senjata untuk menghadapi gempuran gadis
jelita itu.
Pertarungan ketiga orang itu pun semakin ber-
tambah ramai setelah Iblis Mayat Hidup dan Raksasa
Sungai Padas telah menggunakan senjata masing-
masing.
Sementara itu di bagian lain, Raja Pedang Tujuh
Bintang yang bertarung melawan belasan orang lelaki
berseragam hitam tampak mulai kepayahan. Tena-
ganya yang memang belum seluruhnya pulih, mem-
buat Ki Branta Sula harus bekerja keras untuk mem-
bendung gempuran belasan batang senjata yang berke-
lebat mengancam tubuhnya!
Siiing! Siiing...!
Ki Branta Sula yang telah dibasahi peluh, meng-
geliatkan tubuhnya ketika dua bilah pedang lawan da-
tang membabat perut dan lehernya. Sesaat setelah se-
rangan itu lewat, jago pedang wilayah Barat itu lang-
sung membalas dengan kecepatan kilat!
Terdengar jerit kematian ketika pedang di tangan
Ki Branta Sula merobek tubuh dua orang penyerang-
nya. Dan tanpa mempedulikan tubuh dua orang lawan
yang roboh mandi darah, lelaki bertubuh kekar itu
kembali mengayunkan pedang ke kanan.
Brettt! Brettt!
Kembali tiga orang berpakaian hitam itu roboh
mandi darah akibat sambaran pedang Ki Branta Sula.
Namun....
Crattt!
"Aaakh...!"
Ki Branta Sula menjerit ketika telah merobohkan
ketiga orang lawan, sebuah bacokan menyerempet ba-
hu kanannya. Sehingga, tubuh lelaki setengah baya itu
sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang
"Setan...!"
Sambil menggeram murka, jago pedang wilayah
Barat itu sekuat tenaga menusukkan senjata.
Blesss.... Brettt...!
Lelaki berpakaian serba hitam yang membokong
Ki Branta Sula itu kontan melolong panjang! Tubuhnya
melambung setinggi satu setengah tombak dengan
usus terburai. Rupanya, setelah pedangnya amblas ke
tubuh orang itu, Ki Branta Sula menyentakkannya se-
kuat tenaga. Sehingga, tubuh orang itu pun melam-
bung dan tewas sebelum terbanting di atas tanah!
Melihat kejadian itu, para pengeroyoknya sama
sekali tidak gentar. Bahkan semakin kerasukan setan
dalam melakukan serangan-serangan. Maka semakin
repotlah jago pedang dari wilayah Barat itu dalam
menghadapi gempuran-gempuran. Sehingga peluh pun
semakin banyak mengalir.
Semakin melemah dan menyusutnya tenaga Ki
Branta Sula, maka semakin seringlah tubuhnya terke-
na sambaran senjata lawan-lawan. Meski telah mero-
bohkan beberapa orang, namun lawan-lawannya tetap
menggempur maju tanpa peduli terhadap kawan yang
tewas. Maka tentu saja Ki Branta Sula semakin kere-
potan dibuatnya.
Sambaran-sambaran senjata lawan-lawan yang
bagaikan tak pernah putus, membuat Ki Branta Sula
yang mulai kehabisan tenaga semakin terdesak hebat!
Hingga ketika pertempuran melewati jurus ketiga pu-
luh, dia tidak sanggup lagi menghindari sambaran dua
batang pedang lawan yang telah merobek punggung
dan dadanya!
Brettt! Craggg!
"Aaakh...!"
Tubuh Ki Branta Sula terguling disertai teriakan
kesakitan. Darah segar tampak semakin banyak me-
nodai pakaian dan tanah tempatnya terjatuh. Untun-
glah tubuhnya masih sempat dimiringkan ketika senja-
ta itu mengenainya. Sehingga luka yang dideritanya
pun tidak terlalu dalam. Meskipun demikian, tetap sa-
ja luka itu mendatangkan rasa pedih yang membuat-
nya meringis menahan sakit
Melihat lawannya jatuh terguling-guling, belasan
orang berseragam hitam yang selalu bertambah tidak
ingin menyia-nyiakan begitu saja kesempatan emas
itu. Sambil berteriak-teriak, mereka meluruk dengan
pedang siap merejam tubuh Ki Branta Sula.
Sedangkan Ki Branta Sula yang tengah berusaha
bangkit, tentu saja menjadi terkejut melihatnya. Na-
mun keadaannya yang sudah tidak memungkinkan,
membuat lelaki bertubuh tinggi besar itu hanya dapat
pasrah menerima nasib!
***
DELAPAN
Ki Branta Sula yang merasa ajalnya sudah tiba,
hanya mampu memejamkan matanya rapat-rapat. Je-
las, Raja Pedang Tujuh Bintang sudah pasrah dengan
kematian yang bakal menjemputnya.
Namun pada saat yang amat gawat, tiba-tiba me-
lesat tiga sosok bayangan. Langsung dihalaunya bela-
san lelaki berpakaian hitam yang hendak melenyapkan
Ki Branta Sula.
Seketika terdengar jerit kematian saling susul ketika senjata di tangan ketiga orang itu berkelebat den-
gan kecepatan hampir tidak terlihat mata biasa!
Darah segar seketika berhamburan membasahi
tanah berumput ketika belasan orang berpakaian hi-
tam itu roboh tak berkutik lagi. Mereka tewas di tan-
gan ketiga orang lelaki gagah yang baru tiba. Sehingga
dalam beberapa gebrakan saja, habislah para penge-
royok Ki Branta Sula.
"Ki Giri Tantra...?!" sebut Ki Branta Sula.
Setengah tak percaya, Raja Pedang Tujuh Bin-
tang memandang salah seorang dari ketiga penolong-
nya.
"Benar, Ki Branta," sahut kakek tua itu terse-
nyum. "Maaf, kedatanganku agak terlambat"
"Hhh...," Ki Branta Sula hanya dapat menghela
napas lega.
"Darpa, Sudira! Bantulah gadis itu. Biar Ki Bran-
ta Sula aku yang urus...," terdengar perintah Ki Giri
Tantra kepada dua orang lelaki gagah yang menyertai
kedatangannya.
Ternyata kedua orang itu adalah dua murid Ki
Giri Tantra yang masih setia dan belum terpengaruh
oleh musuh yang sampai saat ini belum terungkap ra-
hasianya.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki ga-
gah itu segera mematuhi perintah gurunya. Tubuh me-
reka langsung melesat ke arah pertarungan yang terpi-
sah beberapa tombak dari tempat mereka berdiri.
Namun langkah kedua orang murid Perguruan
Pedang Sinar Pelangi itu terhenti dalam jarak tiga tom-
bak dari tempat pertarungan. Memang, ketika tiba di
tempat itu Darpa dan Sudira mendapat kenyataan ka-
lau gadis jelita yang dikenal bernama Kenanga telah
mendesak kedua orang lawannya. Bahkan sudah da-
pat diduga, kedua orang lawan gadis jelita itu belum
tentu dapat bertahan lebih dari tiga jurus.
Darpa dan Sudira menjadi kagum bukan main
menyaksikan ilmu pedang yang digunakan Kenanga
saat mendesak lawan-lawannya. Sebagai murid utama
seorang raja pedang, tentu saja mereka telah terbiasa
dengan ilmu-ilmu pedang tingkat tinggi. Namun ketika
melihat jurus pedang gadis jelita itu, mereka tidak bisa
menyembunyikan rasa kagumnya. Memang ilmu pe-
dang yang dipergunakan Kenanga bukan ilmu pedang
pasaran. Bahkan dalam hal keindahan dan kehebatan,
jelas tidak kalah dengan ilmu pedang Perguruan Pe-
dang Sinar Pelangi sendiri. Malah, mereka yakin kalau
ilmu pedang gadis jelita itu masih lebih tinggi sedikit
dengan yang dimiliki guru mereka. Tentu saja hal itu
membuat mereka sadar, betapa banyaknya orang-
orang sakti yang memiliki ilmu pedang yang seband-
ing, atau bahkan lebih tinggi daripada ilmu pedang
perguruan mereka.
"Haiiit..!"
Saat itu, Kenanga yang sudah membuat kedua
orang lawannya tak mampu membalas, berseru nyar-
ing! Berbarengan dengan lompatan kilatnya, pedang di
tangan Kenanga berputar siap melontarkan hawa
maut. Bahkan sekaligus menghentikan perlawanan
kedua orang tokoh sesat itu. Maka....
Brettt! Cragh!
"Aaargh...!"
"Aaakh...!"
Iblis Mayat Hidup dan Raksasa Sungai Padas
sama-sama meraung keras ketika pedang di tangan
gadis jelita itu merobek perut dan leher secara berba-
rengan! Maka tanpa ampun lagi, kedua tokoh sesat
yang selalu menyebar maut itu pun roboh. Mereka
menggelepar tewas di tangan seorang gadis jelita yang
memang memiliki kepandaian tinggi.
"Luar biasa...! Hebat sekali ilmu pedang yang ba-
ru saja kau pergunakan itu, Kenanga," puji Darpa
sambil bertepuk tangan.
Seolah-olah apa yang baru saja dilihat mereka
bukanlah sebuah pertarungan mati-matian. Melain-
kan, sebuah tontonan menarik. Setidak-tidaknya, begi-
tulah anggapan Darpa.
Mendengar pujian lelaki gagah yang dikenal se-
bagai murid Raja Pedang Sinar Pelangi, Kenanga hanya
tersenyum. Jelas, gadis itu tidak besar kepala atas pu-
jian yang dilontarkan Darpa.
"Mari kita lihat pertarungan itu...," ajak Kenanga
sambil menudingkan telunjuknya yang lentik ke arah
perkelahian Pendekar Naga Putih yang masih berlang-
sung sengit
Darpa dan Sudira mengangguk cepat. Kemudian,
keduanya melangkah di belakang gadis jelita itu.
***
"Setan Pedang Tanpa Bayangan...!?" desis seo-
rang lelaki tua.
Dia berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya
nampak geram. Matanya menatap tajam ke arah sosok
jangkung berpakaian hitam yang tengah bertarung me-
lawan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya keparat itulah yang telah men-
gadu domba kita," gumam lelaki tinggi besar berwajah
brewok yang berdiri di sebelah kanannya.
Kenanga, Darpa, dan Sudira yang juga ikut me-
nyaksikan pertarungan itu sama-sama menolehkan
kepala ke arah Ki Giri Tantra dan Ki Branta Sula. Dari
pandangan mata, jelas mereka terlihat heran dan se-
perti menuntut keterangan atas ucapan kedua jago
pedang itu.
"Rupanya Aki berdua telah mengenal lelaki jang-
kung itu? Tapi, bukankah orang itu berjuluk Laba-laba
Hitam? Dan mengapa Aki menyebutnya sebagai Setan
Pedang Tanpa Bayangan?" tanya Kenanga. Gadis itu
tidak tahan menyimpan rasa herannya. Makanya, dia
bertanya demikian kepada kedua orang jago pedang itu
"Hm.... Biar berganti nama sampai seribu kali
pun, aku tetap akan mengenalinya," sahut Ki Giri Tan-
tra sambil tetap mengikuti jalannya pertarungan mati-
matian itu.
"Kau tentu merasa heran, bukan? Nah, dengar-
lah. Pada dua puluh tahun yang lalu, kami sepakat
mengadakan pertemuan untuk menambah pengeta-
huan dalam ilmu pedang. Aku, Ki Giri Tantra, Ki Ageng
Semplak, dan Ki Tunggul Wulung yang merupakan ja-
go-jago pedang pada masa itu bertemu di tempat yang
ditentukan kemudian. Nah, pada saat pertarungan
persahabatan hendak kami laksanakan, tiba-tiba
muncul seorang lelaki jangkung yang mengaku berju-
luk Setan Pedang Tanpa Bayangan. Dia memaksa un-
tuk diikutsertakan dalam pertemuan itu. Tentu saja
kami menolak. Selain ilmu pedangnya masih belum
memadai untuk ukuran kami berempat, dia juga ter-
kenal sebagai seorang tokoh sesat," jelas Ki Branta Su-
la, menceritakan tentang perkenalannya pertama kali
dengan lelaki jangkung itu.
Lelaki tinggi besar itu diam sejenak, dan men-
gambil napas berulang ulang. Keadaan yang masih le-
mah, ternyata tidak dapat membuat Ki Branta Sula
berbicara banyak. Sehingga, dia berpaling ke arah Ki
Giri Tantra.
Terlihat anggukan kepala Ki Giri Tantra yang ru-
panya mengerti kehendak sahabatnya.
"Kami berempat menolaknya mentah-mentah.
Dan karena ia tetap berkeras kepala, maka terpaksa
kami usir secara kasar. Semenjak kami lukai, julukan
Setan Pedang Tanpa Bayangan itu lenyap tanpa bekas.
Dan kami pun telah lama melupakannya. Tapi, siapa
kira tokoh itu menyimpan sakit hati kepada kami.
Bahkan membalasnya dengan mengadu domba kepada
kami berempat, sehingga nyaris saling bunuh. Karena
kejadian itu sudah terlalu lama, jadi tidak seorang pun
di antara kami berempat yang menduga kalau semua
ini ternyata ulah Setan Pedang Tanpa Bayangan yang
kini berjuluk Laba-laba Hitam. Rupanya, selain men-
curi kitab-kitab ilmu pedang ciptaan kami secara licik,
dia juga telah mempelajari bermacam ilmu yang entah
dari mana diperolehnya. Kini semuanya telah terbuka
dengan jelas. Dan menurutku, Setan Pedang Tanpa
Bayangan itu tidak bisa lagi dirubah hatinya. Lebih
baik, manusia seperti itu dilenyapkan dari muka bumi
agar tidak menimbulkan kerusuhan baru," ujar Ki Giri
Tantra mengungkapkan perasaan hatinya yang bergo-
lak-golak
"Kukira itu merupakan jalan satu-satunya yang
terbaik," sahut Ki Branta Sula, menyetujui usul saha-
batnya.
"Mengapa Ki Tunggul Wulung tidak muncul...?
Apakah telah mendapat musibah...?" tanya Kenanga
sambil memandang Ki Giri Tantra.
Memang, Ki Giri Tantra sudah pasti tidak menge-
tahuinya. Dan Kenanga tahu itu. Selain itu, Ki Branta
Sula telah menceritakan semua pengalamannya ketika
Kenanga dan Panji menemukan tubuh orang tua itu di
dalam sebuah gua.
"Ki Tunggul Wulung memang telah tewas. Setelah
membereskan persoalan di perguruanku dan mengem-
balikan ingatan Kinaya dan Wiradesa yang terbius
'Racun Perampas Sukma', aku bersama kedua orang
muridku menemukan mayat Ki Tunggul Wulung yang
hampir tidak dapat dikenali lagi. Mungkin dalam pe-
nyelidikannya, ia terperangkap orang-orang berpa-
kaian serba hitam. Tadi aku juga sudah mendapat ka-
bar tentang kematian Ki Ageng Semplak yang tewas di
Desa Kembangan. Dan, semua itu adalah ulah manu-
sia busuk itu...!" jelas Ki Giri Tantra.
Ki Giri Tantra mengakhiri ceritanya dengan me-
nuding lelaki jangkung yang masih bertarung sengit
melawan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Ternyata lelaki jangkung itu telah banyak
menyusahkan orang," gumam Kenanga, kembali men-
galihkan perhatian ke arah pertarungan.
Demikian pula halnya dengan yang lain. Perha-
tian mereka kembali tertuju ke arah pertarungan yang
terlihat sudah semakin memuncak
***
Apa yang disaksikan Kenanga dan yang lainnya,
memang tidak meleset jauh. Pertarungan yang ber-
langsung antara Pendekar Naga Putih melawan lelaki
jangkung itu, memang sudah semakin memuncak!
Panji sendiri diam-diam merasa kagum terhadap
keuletan lawannya. Memang, setelah bertarung selama
kurang lebih hampir seratus jurus, kekuatan yang di-
miliki lelaki jangkung itu sama sekali tak berkurang.
Padahal, selama pertarungan berlangsung, lawan sela-
lu melontarkan pukulan-pukulan yang mengandalkan
tenaga besar. Tapi, tenaga orang itu seperti tidak per-
nah habis.
"Haaat..!"
Untuk yang kesekian kalinya, Laba-laba Hitam
kembali berseru nyaring. Tubuhnya yang jangkung
melesat disertai lontaran pukulannya yang menimbul-
kan angin menderu.
Wuuut! Wuuut!
Pendekar Naga Putih memiringkan tubuhnya,
dan langsung melompat ke samping untuk menghinda-
ri serangan lawan yang datang bertubi-tubi. Ketika le-
laki jangkung itu masih menyusulinya dengan bacokan
sisi telapak tangan yang mengancam leher, Pendekar
Naga Putih segera mengangkat tangan kanan untuk
memapaknya.
Dukkk!
"Uhhh...!"
Laba-laba Hitam memekik tertahan ketika len-
gannya bertumbukan keras dengan lengan Pendekar
Naga Putih. Tangkisan itu kontan membuat kuda-kuda
tergempur. Sehingga, tubuh jangkung itu sempat terja-
jar mundur sejauh sepuluh langkah. Dari seringai wa-
jahnya, jelas kalau Laba-laba Hitam merasakan akibat
bentrokan itu.
"Haiiit..!"
Karena ingin segera menyelesaikan pertarungan,
maka begitu melihat tubuh lawan terjajar mundur,
Pendekar Naga Putih melesat menyusuli.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sambaran-sambaran cakar naga Pendekar Naga
Putih berkelebatan mengancam bagian-bagian terle-
mah dari tubuh lawan. Menilik dari suara yang berke-
siutan dan menebarkan hawa dingin menusuk tulang,
jelas tenaga sambaran itu begitu hebat!
Laba-laba Hitam sendiri sempat pucat wajahnya
ketika melihat serangkaian serangan maut yang men-
gancam. Apalagi keadaan tubuhnya tidak memungkin-
kan untuk menghindar. Maka terpaksa lelaki jangkung
itu mendorongkan kedua telapak tangannya untuk
menyambut serangan Pendekar Naga Putih! Maka....
Bresssh...!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga
sakti itu! Udara di sekitar pertarungan kontan berge-
tar. Sementara tubuh Laba-laba Hitam yang masih
mengapung di udara, kembali terlempar deras laksana
daun kering tertiup angin. Dari semburan darah segar
yang berceceran membasahi permukaan tanah, jelas
lelaki jangkung itu telah menderita luka dalam hebat
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang juga terdo-
rong balik, cepat melakukan beberapa kali salto di
udara. Sehingga pada saat mendarat, Panji dapat men-
jejak tanah dengan kokoh.
Bresssh...!
Walau sudah berusaha mati-matian menyambut
serangan Pendekar Naga Putih, tetap saja keadaannya
yang tidak menguntungkan membuat tubuhnya terlem-
par deras laksana daun kering tertiup angin! Darah se-
gar menyembur dari mulut Laba-laba Hitam!
Kenanga, Ki Giri Tantra, Ki Branta Sula, dan dua
orang lainnya, bergegas memburu ke arah tubuh lelaki
jangkung yang tengah berusaha bangkit berdiri itu.
"Hm.... Setan Pedang Tanpa Bayangan. Rupanya
kaulah biang keladi semua kericuhan yang terjadi se-
lama ini! Sekarang, terimalah hukuman yang setimpal
untukmu!" desis Raja Pedang Sinar Pelangi yang ru-
panya sangat mendendam atas perbuatan lelaki jang-
kung itu.
"Ki, tahan..!"
Panji melihat Ki Giri Tantra hendak membunuh
lelaki jangkung yang sepertinya sudah tak berdaya.
Maka, dia segera melesat hendak mencegah.
Namun Ki Giri Tantra yang sudah kepalang men-
gayunkan pedangnya ke leher Laba-laba Hitam, tak
sempat lagi menarik pulang senjata itu. Dan....
Crakh...!
Laba-laba Hitam atau Setan Pedang Tanpa
Bayangan tak sempat menjerit lagi. Pedang Ki Giri Tan-
tra ternyata telah membuat kepalanya terpisah dari
badan!
Darah segar langsung mengucur dari leher yang
menganga tanpa kepala itu. Setelah limbung sesaat
tubuh tanpa kepala itu pun roboh ke atas tanah. Sete-
lah berkelojotan bagaikan ayam disembelih, tubuh
tanpa kepala itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Te-
waslah lelaki jangkung berpakaian hitam itu dengan
keadaan cukup mengerikan.
"Maafkan aku, Panji. Hatiku telah tertutup kabut
dendam," ucap Ki Giri Tantra, pelan. Dia seperti me-
nyesali tindakannya yang menghukum Laba-laba Hi-
tam secara kejam.
"Sudahlah, Ki. Tidak ada yang perlu disesali...,"
sahut Pendekar Naga Putih.
Panji memang tidak bisa menyalahkan perbuatan
orang tua itu. Karena, tokoh sesat itu memang telah
terlalu banyak menimbulkan korban.
Untuk beberapa saat lamanya, para tokoh persi-
latan itu sama-sama terdiam. Seolah-olah mereka ma-
sih tercekam atas kejadian yang dialami.
"Kurasa, tidak ada lagi yang dapat kukerjakan di
tempat ini. Maaf kalau aku terpaksa tidak bisa mene-
mani kalian lebih lama," ucap Panji memecah kebisuan
di antara mereka.
"Hendak ke manakah kau Panji...?" tanya Ki Giri
Tantra ketika mendengar ucapan Pendekar Naga Putih.
"Ke mana saja kaki ini membawaku. Karena, aku
sendiri memang tidak mempunyai tujuan pasti...."
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih
segera mengajak kekasihnya meninggalkan tempat itu.
Sebentar saja tubuh pasangan pendekar itu telah
berada belasan tombak di depan Ki Giri Tantra dan
yang lain.
"Mengenai mayat-mayat itu, ku percayakan ke-
pada kalian untuk mengurusnya...!"
Ki Giri Tantra, Ki Branta Sula, Darpa, dan Sudira
sama-sama tersenyum ketika mendengar suara Pende-
kar Naga Putih dari kejauhan.
"Pemuda luar biasa yang tidak pernah mengha-
rapkan imbalan atas jasa-jasanya. Haaah.... Benar-
benar aku yang tua ini merasa malu kepada pemuda
itu..," gumam Ki Giri Tantra sambil tetap memperhati-
kan pasangan pendekar muda yang kian lenyap ditelan
kejauhan.
"Yaaah...."
Ki Branta Sula hanya bisa menghembuskan na-
pas mendengar ucapan sahabatnya. Dipandanginya
lima butir pil berwarna merah pemberian Pendekar
Naga Putih untuk memulihkan, dan menyembuhkan
luka dalamnya. Ada rasa haru yang menyeruak dalam
dada jago pedang itu ketika teringat semua jasa pemu-
da tampan berjubah putih itu kepadanya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar