RACUN ULAR KARANG
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Racun Ular Karang
128 haL ; 12 x 18 cm
1
Cahaya kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah timur. Desir angin
bertiup lembut menyambut datangnya senja. Saat itu, serombongan orang berkuda
bergerak melintasi perbukitan yang tandus. Di sana-sini hanya terlihat bebatuan dengan
pohon-pohon yang kering. Tiba-tiba penunggang kuda terdepan mengangkat tangan
kanannya ke atas. Sebagai isyarat agar rombongan itu berhenti.
"Mengapa kita berhenti di sini, Tuanku? Menurut hamba, daerah ini kurang cocok
untuk melewatkan malam. Sebaiknya kita terus saja. Mungkin ada tempat yang lebih-baik
daripada perbukitan karang yang tandus ini...," salah seorang dari dua penunggang kuda
yang berada di sebelah kanan pemimpin rombongan memberikan pendapatnya.
"Hm...," lelaki gagah berwajah brewok yang merupakan pimpinan rombongan kecii
itu bergumam tak jelas. Pandangan matanya dilayangkan menyapu daerah perbukitan
tandus itu. Sepertinya, ia tengah mempertimbangkan pendapat salah seorang
pembantunya itu.
"Bagaimana menurutmu, Langgita...?" lelaki brewok itu menoleh ke arah lelaki
berwajah kurus di sebelahnya.
"Sebenarnya, tempat ini kurang cocok untuk melewatkan malam. Tapi..., kalau kita
mencari tempat lain yang lebih baik, hamba khawatir akan kemalaman di jalan. Jadi, kita
memang tidak punya pilihan lain, Tuanku...," jelas lelaki berwajah kurus yang dipanggil
Langgita.
"Hm...," lelaki brewok pimpinan rombongan itu kembali bergumam. Kali ini sambil
tersenyum tipis. "Bagaimana, Guwara? Menurutku, pendapat Langgita lebih cocok."
Sambil berkata demikian, pimpinan rombongan kecil itu menoleh ke arah
penunggang kuda di sebelah kanannya. Lelaki itulah yang tadi mengemukakan keberatan.
"Mungkin benar pendapat Kakang Langgita, Tuanku. Sekarang, terserah keputusan
Tuanku. Hamba menurut saja...," sahut lelaki berkumis lebat yang bernama Guwara.
Agaknya ia memaklumi kekhawatiran Ki Langgita.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, perintahkan kepada yang lain untuk membangun
tenda-tenda sementara. Saat fajar mendatang, kita sudah harus meninggalkan tempat
ini...," perintah lelaki gagah berwajah brewok itu. Dia segera melompat turun dari
punggung kuda, dan menambatkan binatang tunggangannya itu pada sebatang pohon.
Ki Langgita dan Ki Guwara bergegas melaksanakan perintah atasannya. Kedua
lelaki gagah itu mengumpulkan kedua puluh orang pengikutnya, dan memerintahkan
untuk membangun tenda-tenda darurat.
"Adi Guwara. Harap kau memeriksa daerah sekitar sini. Bawalah enam orang
menyertaimu. Kita harus memastikan daerah perbukitan ini benar-benar aman. Aku
sendiri akan memeriksa tawanan dalam kedua kereta itu...," ujar Ki Langgita kepada Ki
Guwara.
"Baiklah, Kakang," sahut Ki Guwara, segera mengajak enam orang anggota
rombongan untuk ikut. Sebentar saja, lelaki gagah berkumis lebat yang berusia sekitar
empat puluh lima tahun itu lenyap di balik bebatuan.
Sepeninggal Ki Guwara, Ki Langgita menghampiri dua buah kereta yang masing-
masing ditarik empat ekor kuda. Kemudian, memerintahkan kusir kereta untuk
mengikutinya. Mereka berdua memeriksa tawanan.
"Bagaimana, Langgita? Apakah semuanya sudah siap...?" tanya lelaki gagah
berwajah brewok, melihat Ki Langgita melangkah menuju ke arahnya.
"Semua sudah siap, Tuanku. Tawanan-tawanan sudah hamba tempatkan dalam
dua tenda yang dijaga ketat. Tenda untuk Tuan pun telah disiapkan. Silakan Tuanku
beristirahat..," jawab Ki Langgita melaporkan hasil kerjanya.
Lelaki brewok berperawakan tinggi besar itu mengangguk puas. Kemudian,
melangkah perlahan diiringi Ki Langgita. Mereka menuju tenda terbesar yang didirikan di
tengah tenda-tenda lainnya yang lebih kecil.
"Apakah daerah sekitar sini sudah diperiksa, Langgita?" tanya lelaki brewok itu,
sambil tetap melangkah diiringi Ki Langgita.
"Hamba sudah memerintahkan Adi Guwara melakukan pemeriksaan. Tuanku,"
sahut Ki Langgita cepat. Pimpinannya tersenyum puas mendengar laporan bawahannya
yang cekatan itu.
Pembicaraan mereka seketika terhenti ketika terdengar suara langkah dari
belakang. Serentak mereka membalikkan tubuh, melihat siapa yang datang.
"Ah, rupanya Adi Guwara...!" seru Ki Langgita, melihat seorang lelaki gagah
berkumis lebat tengah menuju ke arah mereka.
"Sekitar daerah perbukitan sudah diperiksa dengan teliti. Tuanku. Semuanya
aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan...," lapor Ki Guwara kepada lelaki tinggi besar
yang menjadi pimpinan rombongan.
"Bagus, Guwara. Tapi, biar bagaimanapun kita harus berjaga-jaga. Tugas kita kali
ini cukup berat. Untuk itu, diperlukan ketelitian dan kewaspadaan tinggi...," ujar lelaki
brewok itu kepada dua orang bawahannya.
Kemudian, kakinya melangkah memasuki tenda terbesar yang dijaga empat anggota
rombongan. Ki Langgita dan Ki Guwara sendiri sudah meminta diri kepada pimpinannya
untuk mengatur yang lain.
***
Malam sudah lama datang. Langit kelam terhias bulan sabit. Bintang-bintang
tampak bergantungan dengan kerlipnya yang gemilang. Meskipun tidak terlalu banyak,
namun cukup menyemarakkan suasana malam itu.
Saat itu, di sela-sela bebatuan tampak beberapa sosok bayangan hitam bergerak
mendekati perkemahan. Menilik sikap mereka yang bergerak secara sembunyi-sembunyi,
jelas kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Ketika sosok terdepan memberikan isyarat
dengan gerakan jari-jari tangannya, sosok-sosok bayangan hitam itu segera menyebar.
"Hati-hati...," pesan sosok bayangan hitam yang menjadi pimpinan tamu-tamu tak
diundang itu.
Kemudian, ia bergerak diikuti dua orang lainnya menuju tenda terbesar. Sedangkan
delapan sosok lainnya menuju tenda tempat tawanan berada.
Sosok-sosok bayangan itu agaknya memiliki kepandaian yang tangguh. Terbukti,
dua orang penjaga yang berada di depan tenda tawanan, langsung tak berkutik dengan
sekali sergap. Perbuatan mereka sama sekali tidak menimbulkan suara. Dua orang penjaga
lain yang berada di dekat api unggun, sama sekali tidak mengetahui. Bahkan, kedua orang
penjaga itu tidak sempat berteriak, ketika dua dari delapan sosok bayangan hitam itu
melancarkan totokan.
"Cepat! Kalian bebaskan Ki Baureksa dan keluarganya. Biar kami yang berjaga-
jaga...," perintah sosok tinggi tegap kepada enam sosok tubuh lainnya, ia sendiri bersama
seorang kawannya langsung bersembunyi di tempat yang terlindung, dalam kegelapan
pepohonan.
Tetapi, niat mereka membebaskan Ki Barureksa tidak berjalan lancar. Saat itu, ada
seorang lelaki tinggi kurus berjalan menuju tenda tempat tawanan. Melihat dari bentuk
tubuh dan raut wajahnya yang tertimpa cahaya api unggun, dapat dikenali kalau sosok
tinggi kurus itu adalah Ki Langgita, tangan kanan pimpinan rombongan kecil itu.
Ki Langgita mencium sesuatu yang mencurigakan. Lelaki tinggi kurus itu memang
tidak bisa dipandang remeh. Langkahnya tampak ragu, dan terhenti dengan sorot mata
merayapi sekitarnya.
"Hm.... Ke mana penjaga-penjaga yang ditugaskan mengawasi tawanan...?" gumam
Ki Langgita sambil melangkah perlahan. Urat-urat di tubuhnya seketika menegang. Laki-
laki tinggi kurus itu langsung merasa curiga, dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Kedatangan lelaki kurus yang tidak terduga itu, membuat kedua sosok tubuh yang
bersembunyi di baik pohon menjadi tegang. Mereka segera berniat membungkam sosok
yang baru datang itu. Maka, keduanya langsung melesat dengan totokan-totokan yang
mengincar jalan darah Ki Langgita.
Namun, tidak percuma Ki Langgita menjadi tangan kanan pimpinan rombongan itu.
Desiran angin keras yang menyambar dari arah belakang, membuat lelaki tinggi kurus itu
menoleh. Begitu mengetahui ada serangan, ia langsung melempar tubuh ke samping dan
bergulingan. Lalu, melenting bangkit dan siap menghadapi penyerang-penyerang gelap itu.
"Siapa kalian...? Sadarkah kalian tengah menghadapi prajurit-prajurit kerajaan?
Kalian bisa dianggap pemberontak. Dan, hukumannya sangat berat..," ancam Ki Langgita.
Hanya dengan sekali pandang, lelaki itu sudah mengetahui tingkat kepandaian lawan.
Meskipun tidak pasti, tapi ia bisa menduga kedua penyerang gelap itu bukan orang
sembarangan.
"Hm.... Mengapa takut menghadapi penguasa yang telah terbujuk penjilat seperti
kalian? Lebih baik bersiaplah untuk mati...!" geram sosok terdepan yang bertubuh tinggi
tegap.
Baru saja ucapannya selesai, ia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan yang
menimbulkan desiran angin tajam. Jelas, tenaga pukulan itu tidak bisa dianggap ringan.
Ki Langgita sadar akan bahaya yang mengancam. Tanpa banyak cakap lagi, segera
ia melesat ke samping menyerang lambung lawan. Tapi, serangan itu terpaksa harus
ditarik pulang. Pada saat yang sama, lawannya yang lain telah menyerang disertai decitan
angin tajam. Merasa tidak mempunyai kesampaian untuk menghindar, Ki Langgita
mengangkat lengan kanannya, menangkis tendangan berputar yang mengancam batok
kepala.
Plak!
"Heiii...?!"
Ki Langgita terpekik kaget, merasakan kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik
tendangan itu. Kuda-kudanya sampai tergempur. Dan telapak tangannya terasa panas. Ki
Langgita menyadari tamu-tamu tak diundang itu sangat berbahaya dihadapi seorang diri.
Maka....
"Heaaat..!"
Untuk menarik perhatian kawan-kawan serta pemimpinnya, Ki Langgita berteriak
keras saat melontarkan serangan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat dengan
kecepatan mengagumkan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan
cengkeraman maut.
Bettt! Bettt!
Sosok berpakaian hitam dan berperawakan gemuk yang tendangannya tertangkis
telapak tangan Ki Langgita, menggeser tubuh dua jangkah ke belakang. Dan, segera
melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Begitu pula sosok yang satunya. Teriakan Ki Langgita yang bermaksud
mengundang kawan-kawan, membuatnya cemas. Maka serangannya makin diperhebat
Dan, membuat lelaki tinggi kurus itu semakin kewalahan.
Plak!
"Ughhh...!"
Menginjak jurus kelima belas, Ki Langgita tak sempat menghindari tamparan
seorang pengeroyoknya. Meskipun yang terkena pukulan adalah bagian bahu dan telah
dilindungi tenaga sakti, tak urung tubuh lelaki itu terjerembab ke depan. Untung, Ki
Langgita cukup sigap menilai keadaan, ia segera menggulingkan tubuhnya dan bergerak
bangkit setelah memperhitungkan dirinya cukup jauh dari jangkauan serangan lawan.
Kuda-kuda Ki Langgita sedikit goyah. Dan pada ujung bibirnya, tampak cairan merah
merembes ke luar. Tamparan keras itu ternyata mengguncangkan bagian dalam tubuhnya.
Rupanya, nasib baik masih menyertai Ki Langgita. Belasan penjaga tampak
berlarian mendatangi arena pertempuran. Melihat hal itu, semangat Ki Langgita bangkit
kembali. Dengan pedang terhunus di tangan dan dengan dibantu delapan orang penjaga,
diserbunya dua orang lawan.
Pertempuran kembali berlanjut lebih seru dan lebih ramai, dari semula. Ki Langgita
tidak terlalu repot menghadapi lawan-lawannya. Tingkat kepandaian delapan orang
penjaga yang membantunya, cukup bisa diandalkan. Sehingga, pertempuran berjalan
imbang.
Sementara itu, di dekat tenda Ki Baureksa dan keluarganya disekap, telah terjadi
pertempuran juga. Keenam orang berseragam hitam yang belum sempat membebaskan
tawanan, telah dipergoki para penjaga yang berdatangan. Bahkan, di arena pertempuran
terlihat Ki Guwara telah mengamuk dengan sepasang belati sepanjang dua jengkal. Lelaki
gagah berkumis lebat itu sangat geram terhadap orang-orang berseragam hitam yang
hendak membebaskan tawanan.
"Yeaaah...!"
Pekikan-pekikan keras selalu menyertai serangan Ki Guwara. Tapi, betapapun
hebat serangannya, selalu dapat ditanggulangi lawan. Kenyataan ini membuat Ki Guwara
semakin penasaran. Wajah-wajah di balik kain hitam itu ingin disingkapnya. Sayang, tidak
mudah untuk melakukannya. Seluruh kepandaiannya harus dikerahkan untuk
melaksanakan niatnya.
Keenam orang berseragam hitam dengan wajah tertutup selembar kain hitam itu,
rata-rata gesit dan lincah. Sambaran-sambaran pukulan dan tendangan mereka sangat
cepat. Menimbulkan desingan angin tajam. Ki Guwara dan dua belas orang kawannya,
terpaksa harus bekerja keras mengimbangi kegesitan dan kehebatan serangan lawan.
"Aaakh...!"
Dua orang penjaga yang membantu Ki Guwara memekik kesakitan, saat seorang
dari keenam orang berseragam hitam berhasil menyarangkan pukulan keras ke tubuh
mereka. Akibatnya, kedua penjaga itu terjengkang dan pingsan seketika. Kekuatan
pukulan lawan memang sangat kuat!
"Bedebah! Rupanya kalian sudah bosan hidup...!" maki Ki Guwara. Hatinya
semakin murka melihat orang-orangnya mulai berjatuhan satu persatu. Dan, Ki Guwara
menjadi semakin kalap, serta memperhebat serangan.
Rasanya, memang sulit bagi pihak Ki Guwara untuk memenangkan pertarungan.
Keenam lawannya memiliki kepandaian yang hanya satu tingkat di bawahnya. Tentu saja
Ki Guwara semakin sulit menghadapi lawan yang hampir setingkat dengannya dalam
jumlah banyak.
Pertempuran tidak hanya terjadi di dua tempat. Di depan tenda besar yang didiami
pemimpin rombongan pun terjadi pertempuran sengit Pertempuran yang terjadi di sana
jauh lebih hebat dari dua pertempuran lain.
"Hm.... Dengan kepandaian seperti ini kalian berani datang kepadaku? Sama saja
mencari mati...," geram lelaki brewok bertubuh tinggi besar, tanpa menghentikan
serangan.
Saat itu ketiga lawannya terdesak hebat. Mereka memang bukan tandingan lelaki
brewok itu. Mereka hanya mampu mengelak, dan membalas sesekali. Sedangkan,
gempuran lelaki brewok itu terus berlanjut bagaikan gelombang lautan.
"Mampus...!"
Sambil mengumpat kasar, lelaki brewok Itu melepaskan sebuah pukulan keras ke
dada salah seorang lawan. Tanpa ampun lagi, sosok berseragam hitam itu terjungkal
muntah darah. Dan tidak bangkit lagi, karena tulang dadanya remuk akibat pukulan keras
lawan.
"Bangsat kau, Ki Bagaswara! Kau harus menebus nyawa kawanku dengan
darahmu...!" geram sosok berperawakan kekar, pemimpin orang-orang berseragam hitam.
Usai berkata demikian, ia menerjang maju dengan pedang di tangan.
Wuttt..!
"Hm...," lelaki brewok yang dipanggil Ki Bagaswara hanya menggeram perlahan.
Tubuhnya dibungkukkan saat pedang lawan datang mengancam ke arah leher.
Lalu, dilempar ke samping, dan melepaskan sebuah tendangan ke pelipis lawan. Sungguh
hebat dan mengagumkan cara menghindar yang dilakukan Ki Bagaswara. Gerakan yang
sangat sukar, mampu dilakukannya tanpa kesulitan. Padahal, kedudukannya kurang
menguntungkan. Kenyataan itu, menunjukkan tingkat kepandaian Ki Bagaswara sangat
tinggi.
Meskipun serangannya luput karena lawan menghindar ke belakang, Ki Bagaswara
tak menghentikan gerakannya. Begitu ujung kakinya menginjak tanah, tubuh Ki
Bagaswara kembali melambung, dan melontarkan pukulan telapak tangan ke dada lawan
yang lain.
Desss...!
"Aaakh...!"
Terdengar pekik kematian, saat sepasang telapak tangan Ki Bagaswara singgah di
dada lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh lawan terpental menghantam sebongkah batu besar
di belakangnya. Darah segar memercik ketika kepala orang itu pecah terbentur batu.
"He he he...! Sekarang giliranmu menghadap malaikat maut Manusia Pengecut! Kau
boleh pilih, mati secara perlahan-lahan, atau kupecahkan kepalamu seperti yang
kulakukan pada kawanmu...," ejek Ki Bagaswara sambil menatap tajam wajah yang
terlindung kain hitam.
"Hm.... Sebelum nyawaku meninggalkan raga, aku tidak akan menyerah atau
meminta ampun padamu, Manusia Berhati Busuk...!" desis lelaki tinggi tegap berpakaian
serba hitam itu, dengan sorot mata penuh dendam. Tanpa rasa gentar sedikit pun, kakinya
melangkah dengan kuda-kuda kokoh.
"He he he...! Sebelum aku mencabut nyawamu, coba katakan, mengapa kau ingin
membebaskan pengkhianat seperti Baureksa?" tanya Ki Bagaswara lagi, sambil melangkah
satu-satu mendekati lawan. Sikapnya sangat angkuh, dan merasa yakin akan
kemenangannya.
"Kaulah pengkhianat, Bagaswara! Dirimu tak ubahnya iblis bermuka dua yang
sangat licik dan berbahaya! Kalau hari ini aku gagal menyelamatkan Ki Baureksa, masih
banyak tokoh-tokoh lain yang akan membebaskan beliau...," tegas lelaki tinggi tegap itu.
Jawaban yang pedas itu membuat Ki Bagaswara jengkel. Anehnya, lelaki brewok itu
tersenyum, tanpa gurat kemarahan di wajahnya. Mungkin, dirinya termasuk orang aneh
yang semakin murka, akan semakin tersenyum manis. Rupanya, lawan bisa merasakan
hal itu. Melihat dari cara dan sikapnya, lelaki bertopeng itu cukup mengenal Ki Bagaswara.
"Heaaat...!"
Sadar kalau pembicaraan itu hanya buang-buang tenaga saja, lelaki berpakaian
hitam tidak menanggapi ucapan Ki Bagaswara. Ia langsung melayang dengan putaran
pedang yang menimbulkan gulungan sinar putih, yang melindungi sekujur tubuhnya.
"Hmh...," dengus Ki Bagaswara.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok itu melesat, menyambut serangan lawan.
Pertarungan kembali berlanjut. Lelaki berpakaian serba hitam itu mengeluarkan seluruh
kemampuan. Sehingga, serangan-serangannya semakin diperhebat. Akibatnya Ki
Bagaswara terpaksa mengurangi serangan sambil mencari kelemahan lawan.
2
Perlawanan yang gigih dari sosok berpakaian hitam, lama-kelamaan membuat Ki
Bagaswara jengkel. Beberapa kali lelaki brewok itu hampir berhasil menyarangkan
pukulan ke tubuh lawan. Namun, lawan menyambutnya dengan tusukan atau sabetan
pedang untuk mengadu nyawa. Tentu Ki Bagaswara tidak sudi melayani, ia mulai mencari
cara lain untuk menyelesaikan pertarungan.
"Hm.... Bangsat ini memang lebih suka mati daripada tertawan...," gumam Ki
Bagaswara, segera melompat mundur saat ujung pedang lawan mengancam dada kirinya.
Dengan sebuah putaran yang sempurna, lelaki brewok itu mendarat ringan sejauh
satu setengah tombak dari lawan. Terdengar gerengan lirih yang disertai gerakan tangan
berputar dari Ki Bagaswara. Jelas, lelaki brewok itu tengah mempersiapkan ilmu andalan
untuk menyelesaikan pertarungan.
Angin keras berhembus menerbangkan dedaunan kering, saat tubuh Ki Bagaswara
bergerak memainkan jurus-jurusnya. Ranting-ranting pohon berderak ribut bagai hendak
patah. Ilmu yang digunakan Ki Bagaswara kal ini bukan ilmu sembarangan.
"Terpaksa aku harus menghabisi riwayatmu, Kisanak," desis Ki Bagaswara.
Begitu ucapannya selesai, tubuh tinggi besar itu bergerak maju dengan kedua kaki
terseret di tanah, dan menimbulkan guratan-guratan yang cukup dalam. Betapa hebatnya
tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh raksasa itu.
Rupanya, lelaki tinggi tegap berpakaian serba hitam itu menyadari bahaya yang
mengancam. Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga menimbulkan angin menderu-deru.
Dengan tubuh terbungkus sinar pedang, lelaki tinggi tegap itu melangkah maju dengan
gerakan menyilang. Kuda-kudanya tampak kokoh dan terlihat indah.
"Yeaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, lelaki bertubuh tinggi tegap itu memutar tubuh
dan melangkah ke samping, saat pukulan lawan datang menghujani tubuhnya. Alangkah
terkejut lelaki itu ketika kuda-kudanya tergempur, hanya karena dorongan angin pukulan
lawan yang lewat di samping tubuhnya. Jika ia tidak bertindak cepat melempar tubuhnya
bergulingan, mungkin nyawanya sudah meninggalkan badan saat itu juga. Untunglah,
lelaki tinggi tegap itu masih sempat menyelamatkan diri dari sebuah pukulan menyamping
yang dilontarkan lawan.
Debbb!
Untuk kesekian kalinya, Ki Bagaswara melontarkan pukulan maut. Udara di sekitar
arena pertarungan bergetar, setiap kali Ki Bagaswara melepaskan pukulan maupun
tendangan. Ketika lawan mencoba menangkis pukulan itu, tubuhnya terpelanting dengan
dada sesak. Jelas, ilmu yang digunakan Ki Bagaswara tidak mungkin dapat dihadapi
lawan.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Ki Bagaswara membentak
keras, menggetarkan jantung. Membuat lutut lawan terasa lemas. Saat itu juga, tubuh
lelaki raksasa itu bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang cepat dan
mengaburkan pandangan lawan. Dan ketika lelaki raksasa itu melepaskan sebuah
pukulan maut, lelaki tinggi tegap berseragam hitam itu tidak sempat menghindar.
Akibatnya....
Desss...!
"Hugkhhh…!"
Segumpal darah kental termuntah keluar, saat kepalan Ki Bagaswara yang sebesar
kepala bayi singgah di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi tegap itu terlempar ke
udara, dan terbanting keras ke atas tanah.
"He he he...," Ki Bagaswara memperdengarkan suara tawa mengekeh seraya
menatap tubuh lawan yang meregang nyawa.
Tulang-tulang lelaki berpakaian serba hitam itu remuk, dan bagian dalam
tubuhnya hancur akibat pukulan maut itu. Setelah tubuh lawan diam tak bergerak,
karena nyawanya telah meninggalkan badan, Ki Bagaswara bergegas menghampiri arena
pertempuran lain.
Dengan beberapa kali lompatan, tubuh lelaki raksasa itu telah berada dekat dengan
dua pertarungan lain. Terdengar gumaman tak jelas, ketika lelaki brewok itu melihat Ki
Guwara dan tiga orang pengawal berjuang menyelamatkan diri dari serangan lima orang
lawan. Dalam pertarungan itu, salah seorang lawan berhasil ditewaskan Ki Guwara dan
pembantu-pembantunya. Sosok berpakaian hitam kini hanya tinggal empat orang.
Sedangkan pihak Ki Guwara kehilangan sembilan orang kawan. Bahkan di beberapa
bagian tubuh Ki Guwara tampak luka cakaran lawan-lawannya.
"Hmh...!"
Lelaki brewok bertubuh raksasa itu mendengus kasar. Tubuhnya melayang ke arah
pertempuran Ki Guwara. Sepasang tangannya terkembang melepaskan pukulan-pukulan
maut
Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sekali bergerak, dua orang berseragam hitam terjungkal keluar dari arena
pertarungan. Pukulan keras Ki Bagaswara langsung menewaskan mereka. Tentu saja
kejadian itu membuat tiga orang lain jadi terkejut.
"Hm.... Kiranya, Sepasang Tangan Maut yang menolong begundal-begundalnya...,"
desis salah seorang dari ketiga lelaki berpakaian hitam itu.
"Hm.... Bagus, kalau di antara kalian ada yang masih mengenaliku. Nah! Sekarang
katakan, siapa yang menyuruh kalian membebaskan pemberontak Baureksa...?" tanya Ki
Bagaswara yang pernah terkenal dengan julukan Sepasang Tangan Maut dalam rimba
persilatan. Memang cukup pantas julukan itu diberikan kepadanya. Karena ilmu tangan
kosong yang dimilikinya sangat sesuai dengan julukan itu.
"Ki Bagaswara. Tuan Baureksa adalah sahabat para tokoh persilatan golongan
putih. Jadi, kalau perjalananmu ini banyak rintangan, kau tidak perlu heran. Masih
banyak tokoh-tokoh yang akan turun tangan membebaskan Ki Baureksa dan keluarganya
dari tanganmu...," sahut sosok gemuk pendek berpakaian serba hitam, menanggapi
ucapan Ki Bagaswara. Wajah lelaki brewok itu menjadi kelam. Jelas, ia tidak senang
mendengar jawaban itu.
"Tentu saja Baureksa banyak mengikat persahabatan dengan kalian, Orang-orang
Kasar! Persahabatan itu hanya kedok untuk menutupi kegiatan kalian yang ingin
mengumpulkan tokoh golongan putih. Setelah itu, mudah ditebak kalau Baureksa akan
merebut takhta dengan bantuan orang-orang serakah yang mengaku sebagai pendekar-
pendekar gagah. Padahal baik Baureksa maupun kalian, tak lebih dari anjing-anjing rakus
yang hendak memperebutkan tulang...," ejek Ki Bagaswara, membuat tubuh ketiga orang
lawan menahan marah.
"Bedebah kau, Bagaswara! Jangan kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah
seorang maling yang meneriaki orang lain maling. Itu kau lakukan kepada Ki Baureksa
yang sebenarnya berhati mulia dan bersih. Tidak sepertimu yang berhati busuk dan kotor.
Orang sepertimu hanya pantas tinggal di dalam hutan dan berteman babi-babi rakus...!"
maki lelaki gemuk pendek, tidak mau kalah dalam soal bersilat lidah.
Ki Bagaswara yang di dalam Kerajaan Parangkara berpangkat senapati, menjadi
murka bukan kepalang. Sepasang mata lelaki raksasa itu memerah bagai saga. Kedua
kepalannya teremas kuat, hingga memperdengarkan suara berkerotokan nyaring. Dan....
"Kuhancurkan batok kepala kalian, Bangsat...!" bentak Senapati Bagaswara.
Sambil berkata demikian, laki-laki yang berjuluk Sepasang Tangan Maut itu
langsung menerjang tanpa memberi peringatan lebih dulu. Sepasang kepalan tangannya
menyambar-nyambar, menerbitkan decitan angin tajam yang terasa pedih menyentuh
kulit.
Serangan Senapati Bagaswara yang tiba-tiba itu membuat ketiga orang lawannya
menjadi gugup. Dua dari mereka berhasil melompat ke belakang menghindari pukulan
maut itu. Tapi, yang seorang lagi tidak sempat menghindar. Akibatnya....
Prokkk!
Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan ucapannya untuk meremukkan
batok kepala lawan. Kepalannya yang sebesar kepala bayi, membuat batok kepala orang
itu pecah dengan suara berderak keras. Darah segar bercampur cairan putih mengalir
membasahi tanah di sekitarnya.
"Akh?!"
Dua orang lawan yang sempat menyelamatkan diri, terbeliak ngeri melihat akibat
pukulan Senapati Bagaswara. Wajah di balik kain hitam itu jelas menjadi pucat. Jelas,
mereka tidak menyangka kalau Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan
ucapannya.
"Hm.... Sekarang giliran kalian. Bersiaplah untuk merasakan kerasnya
kepalanku...," geram Senapati Bagaswara, sambil melangkah satu-satu dengan wajah
angker. Membuat kedua orang berpakaian serba hitam itu surut ke belakang dengan hati
gentar.
"Jaga pukulanku...!"
Belum lagi gema teriakan itu lenyap, tubuh Senapati Bagaswara telah melesat ke
depan dengan sambaran kepalan yang siap meremukkan kepala lawan-lawannya.
Debbb!
"Heiii...?!"
Dua orang lelaki berseragam hitam itu memekik kaget, ketika tubuh mereka
terhuyung karena dorongan angin pukulan Senapeti Bagaswara. Padahal diyakini pukulan
lelaki tinggi besar itu tidak sampai mengenai tubuh mereka. Hal itu membuat mereka
lengah. Dan....
Bukkk! Desss...!
Berturut-turut dua buah pukulan Senapati Bagaswara singgah di tubuh lawan-
lawannya. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terpental sejauh satu setengah tombak lebih!
Darah segar langsung keluar dari mulut keduanya.
"Heaaa...!"
Senapati Bagaswara masih belum puas dengan pukulan itu. Dengan sebuah
teriakan nyaring, lelaki brewok itu melesat mengejar tubuh kedua lawannya. Kemudian,
melepaskan pukulan ke kepala kedua orang yang sekarat itu.
Prokkk! Prokkk!
Tanpa ampun lagi, pecahlah kepala kedua orang lelaki berpakaian serba hitam itu.
Jasad tanpa nyawa itu langsung terbanting ke tanah tanpa bisa bangkit lagi.
"Hmh...!" Senapati Bagaswara menggereng gusar.
Ternyata, lelaki bertubuh tinggi besar itu belum puas dengan perbuatannya.
Kemarahan yang telah naik ke kepalanya belum turun. Sepasang matanya berkilat
menatap pertarungan lain, di kanannya, dalam jarak dua tombak lebih.
Dengan sebuah geraman bagai harimau marah, tubuh Senapati Bagaswara
melayang ke tengah arena. Langsung dilepaskannya dua buah pukulan ke kepala dua
orang lawan Ki Langgita, yang saat itu masih bertarung seru.
"Haaat..!"
Dua kali tangan lelaki raksasa itu bergerak, terdengar suara gemeretak disertai
percikan darah bercampur cairan putih, membasahi tanah. Kedua lawan Ki Langgita
langsung terjengkang tewas.
Ki Langgita dan dua orang penjaga yang tersisa, menghela napas lega. Jika dalam
sepuluh jurus Senapati Bagaswara belum muncul, mungkin mereka sudah tewas oleh
lawan.
"Terima kasih, Tuanku...," ujar Ki Langgita sambil membungkuk hormat kepada
pimpinannya.
Ki Langgita dan Ki Guwara sebenarnya adalah perwira kerajaan. Dan mereka
berdua tergabung dalam pasukan Senapati Bagaswara.
Senapati Bagaswara hanya tersenyum tipis. Kemudian, para prajuritnya
diperintahkan untuk segera melemparkan mayat-mayat itu ke tempat yang agak jauh dari
perkemahan. Lalu, diajaknya Ki Langgita dan Ki Guwara ke tenda terbesar.
***
"Hm.... Sebentar lagi fajar akan terbit. Sebaiknya kau perintahkan para prajurit kita
berkemas, Langgita. Ingat pesanku baik-baik. Perjalanan ini masih cukup jauh. Rintangan-
rintangan lain pasti akan berdatangan satu persatu. Kita harus selalu siap menghadapi
segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kawan-kawan Baureksa pasti akan bermunculan
membebaskannya...," pesan Senapati Bagaswara sebelum kedua orang pembantu setianya
bergerak meninggalkan tenda.
"Baik, Tuanku. Perintah Tuanku akan hamba laksanakan sebaik-baiknya. Hamba
mohon pamit untuk mempersiapkan segala sesuatunya...," sahut Ki Langgita yang
kemudian berlalu bersama Ki Guwara.
Senapati Bagaswara memandangi kepergian kedua orang pembantunya dengan
senyum tipis. Lelaki bertubuh raksasa itu puas akan kesetiaan kedua orang pembantu
utamanya itu.
Sementara itu, Ki Langgita dan Ki Guwara mengatur para pengikutnya, dan
memerintahkan untuk berkemas. Setelah semua selesai, berangkatlah rombongan yang
kini jumlahnya berkurang. Di kiri-kanan rombongan tampak delapan batang obor
menerangi jalan-jalan yang mereka lewati.
Perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu mereka lakukan tanpa berhenti,
kecuali malam hari. Tapi, tidak jarang malam hari pun mereka melanjutkan perjalanan
agar bisa secepatnya sampai di tempat tujuan, yaitu Pulau Karang.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga hari penuh. Melalui berbagai
rintangan dari orang-orang yang hendak membebaskan tawanan mereka, tibalah
rombongan itu di tepi sebuah pantai.
Senapati Bagasawara mengangkat tangan kanannya ke atas, sebagai tanda agar
rombongan menghentikan perjalanan.
Ki Langgita dan Ki Guwara yang berada di barisan paling belakang, bergegas
membedal kudanya ke depan. Keduanya menghampiri Senapati Bagaswara, kepala
rombongan yang bertugas mengawal para tawanan.
"Apakah kira langsung menyeberang ke Pulau Karang, Tuanku...?" tanya Ki
Langgita menatap wajah pimpinannya yang sedang melepaskan pandangan ke lautan
lepas.
Suara deburan ombak terdengar susul-menyusul, membuat ucapan Ki Langgita
kurang jelas terdengar. Meskipun demikian, senapati Kerajaan Parangkara itu dapat
menangkap pertanyaan pembantunya.
"Ya. Aku ingin segera menyelesaikan tugas ini. Biar kita bertiga yang menyeberang,
mengantarkan Baureksa dan keluarganya ke Pulau Karang. Sedang yang lainnya
menunggu di sini," jawab Senapati Bagaswara, kembali mengalihkan perhatiannya ke laut.
"Maaf, Tuanku. Boleh hamba mengajukan pendapat yang selama ini mengganggu
pikiran hamba...?" tanya Ki Guwara yang tampaknya sangat hati-hati mengemukakan
pertanyaan itu.
"Katakan, Gurawa. Mengapa kau kelihatan ragu?" sahut Senapati Bagaswara
seraya menatap wajah pembantunya itu dengan kening berkerut. Sepertinya lelaki brewok
itu heran mendengar nada kehati-hatian dalam ucapan pembantunya. Tidak biasanya Ki
Guwara bersikap demikian.
"Mmm.... Begini, Tuanku...."
"Langsung saja ke pokok persoalan, Gurawa, Kau tahu sendiri, aku paling tidak
suka mendengar ucapan yang berbelit-belit...," sergah Senapati Bagaswara memotong
ucapan pembantunya yang terdengar ragu dan membuatnya tak sabar.
"Baik..., baik...," ujar Ki Guwara menelan air liurnya, karena perasaannya agak
tegang. "Tidakkah sebaiknya Ki Baureksa sekeluarga kita bunuh saja di sini? Jika mereka
kita buang ke Pulau Karang, bukankah pada akhirnya mereka akan tewas juga...?"
"Ah, kau tidak berpikir panjang, Gurawa. Kita semua tahu, ini adalah keputusan
dan perintah Gusti Prabu. Selain itu, kalau dibunuh di perjalanan, kira akan dimusuhi
banyak orang yang berpendapat bahwa Baureksa sekeluarga tidak bersalah. Dari pihak
kerajaan pun, kita akan mendapat hukuman berat karena tidak mematuhi keputusan
Sang Prabu. Lagi pula, dengan dibuangnya mereka ke Pulau Karang, bisa membuat aku
senang. Semua orang persilatan tahu pasti kalau Pulau Karang sangat berbahaya, dan
banyak dihuni binatang berbisa. Nah, kalau mereka dibuang ke sana, itu sama artinya
dengan menyiksa mereka mati secara perlahan-lahan. Apa kau tidak senang
membayangkan bagaimana Baureksa dan keluarganya menghadapi kematian dengan
penuh ketakutan?" jelas Senapati Bagaswara, tersenyum membayangkan penderitaan
Baureksa sekeluarga di pulau yang kabarnya mengerikan itu.
"Maafkan kebodohan hamba, Tuanku...," ujar Ki Guwara.
Lelaki gemuk berkumis lebat itu mengangguk-angguk, mulai mengerti jalan pikiran
atasannya. Setelah mendengar jawaban Senapati Bagaswara, lenyaplah pikiran yang
selama ini mengganggu kepalanya.
"Bagaimana denganmu, Langgita? Apa kau mempunyai pikiran yang mengganggu
kepalamu? Kalau memang ada, katakanlah...," ujar Senapati Bagaswara kepada
pembantunya yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam seperti burung elang.
"Rasanya tidak ada, Tuanku...," sahut Ki Langgita setelah terdiam beberapa saat
lamanya.
Jawaban Ki Langgita membuat Senapati Bagaswara kembali mengalihkan
pandangan matanya ke tengah lautan luas.
"Kalau begitu, perintahkan kepada para prajurit untuk menyiapkan segala
sesuatunya. Periksa belenggu kaki dan tangan para tawanan. Sebagian mencari sebuah
perahu yang agak besar. Rasanya tidak sulit mencari perkampungan nelayan di sekitar
daerah ini," perintah Senapati Bagaswara kepada kedua orang pembantunya.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Langgita dan Ki Guwara segera melaksanakan perintah
atasannya. Dua orang prajurit diperintahkan mencari sebuah perahu yang akan
digunakan untuk menyeberang ke Pulau Karang.
Senapati Bagaswara sendiri sudah memasuki tenda yang dibuat khusus untuk
dirinya beristirahat. Cukup lama lelaki brewok bertubuh tinggi besar itu menunggu
persiapan yang dilakukan pasukan kecilnya. Pekerjaan baru selesai saat matahari hampir
berada di atas kepala.
"Lapor, Tuanku. Segala persiapan telah selesai...," lapor Ki Langgita yang datang
menghadap bersama Ki Guwara.
"Ha... Bagus...," puji Senapati Bagaswara yang saat itu mengenakan pakaian
ringkas berwarna biru tua. Sosok lelaki raksasa itu tampak semakin angker dengan
penampilan barunya itu.
Dengan langkah tegap, Senapati Bagaswara bergegas keluar dari tenda. Wajah
brewok itu tersenyum cerah, melihat sebuah perahu yang cukup besar dan kokoh telah
tersedia di tepi pantai. Setelah berpesan kepada sisa prajuritnya untuk kembali ke istana
lebih dulu, Senapati Bagaswara pun berangkat ditemani Ki Langgita, Ki Guwara serta
delapan orang prajurit yang bertugas menjalankan perahu.
Perahu yang cukup besar itu segera bertolak membawa Baureksa sekeluarga
menuju Pulau Karang. Sebuah pulau yang kabarnya banyak dihuni binatang-binatang
berbisa. Dan, tidak jarang udara beracun berhembus dari pulau maut itu.
3
Pagi baru saja menggantikan malam. Seiring munculnya sinar matahari pagi,
tampak sebuah kapal layar bergerak mendekati Pulau Karang yang terlihat hitam di
kejauhan. Sebenarnya pulau itu sangat berbahaya untuk didekati. Bila angin bertiup ke
arah kapal dalam jarak sepuluh tombak saja, mungkin para penumpang akan tewas
dengan tubuh menghitam keracunan. Tapi, para penumpang perahu itu agaknya telah
cukup berpengalaman. Mereka datang searah angin bertiup. Sehingga, hawa beracun
berhembus ke depan mereka.
Saat perahu berada dalam jarak lima tombak dari pantai Pulau Karang, tampak
delapan sosok tubuh terlempar ke air. Meskipun kedalaman air di tempat itu sebatas mata
kaki, namun kedelapan sosok tubuh itu sempat terbatuk-batuk, terminum air laut.
"Ha ha ha.... Selamat menikmati saat-saat ajal menanti kedatanganmu,
Baureksa...!" seru Senapati Bagaswara setelah melemparkan tubuh orang-orang buangan
itu ke dalam air. Sedangkan perahu yang mereka tumpangi kembali bergerak ke tengah
laut.
"Keparat kau, Bagaswara...! Tunggu saja pembalasanku! Kalau aku dapat keluar
dengan selamat dari pulau ini, kau akan kucari sampai ke ujung neraka sekalipun...!"
balas seorang lelaki tegap berusia sekitar lima puluh tahun.
Wajah lelaki setengah baya itu tampak memancarkan wibawa yang kuat. Sepasang
matanya tajam, pertanda ia bukan orang sembarangan. Lelaki itu tidak lain adalah Ki
Baureksa yang berpangkat senapati. Ia dikenakan hukum buang karena tuduhan hendak
memberontak.
Ki Baureksa menatap perahu yang kian menjauh dengan penuh dendam. Sepasang
tangannya mengepal kuat dengan gigi gemeretak menahan luapan dendam di dada. Lelaki
setengah baya itu baru membalikkan tubuh ketika bayangan perahu lenyap dari
pandangan.
"Ayah.... Apa yang harus kita lakukan...?" tanya seorang dara cantik berusia sekitar
tujuh belas tahun. Wajahnya tampak pucat. Sepasang matanya agak membengkak, karena
terlalu banyak menangis. Kelihatan sekali kalau dara cantik itu sangat tertekan jiwanya.
"Apakah kita bisa selamat dari tempat ini. Ayah...?" tanya seorang pemuda tampan
berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang sebenarnya gagah, tidak jauh berbeda
dengan yang lain. Pucat, lusuh, dengan sepasang mata cekung.
Ki Baureksa tidak segera menjawab. Ia membawa kedua orang anak, istri, dan
menantunya ke tepi pulau. Dua orang pelayan setia keluarga Ki Baureksa, ikut pula
dibuang ke pulau beracun itu.
"Dengarlah, anak-anakku, menantuku, dan juga kau istriku. Selagi kita masih
hidup, berusaha merupakan perbuatan wajib bagi kita. Kita tidak boleh berputus asa
sebelum melakukan kewajiban yang satu itu. Jadi, simpanlah pertanyaan kalian.
Sebaiknya kita mencari akal untuk dapat keluar dari tempat celaka ini...," ujar Ki
Baureksa seraya melangkah menuju pantai yang kebanyakan terdiri dari batu karang.
"Aaah...?!"
Baru saja mereka naik ke pantai, terdengar satu jerit kesakitan. Ki Baureksa dan
putra-putrinya menoleh ke kanan. Dan, betapa terkejutnya mereka melihat menantu
wanita Ki Baureksa tergeletak di atas pasir.
"Nyai...!" putra tertua Ki Baureksa, yaitu suami wanita cantik itu bergegas
memburu.
"Wika, tahan...!" bentak Ki Baureksa, seraya mengulur tangan menangkap lengan
putra sulungnya. Tentu saja perbuatan lelaki tua itu membuat putranya menatap heran.
"Mengapa, Ayah? Apakah aku tidak boleh memondong istriku...?" tanya pemuda
tampan bernama Wika itu. Sepasang matanya yang menyimpan rasa penasaran, menatap
tajam wajah ayahnya.
"Sabarlah, Anakku. Kecerobohan hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu.
Ketahuilah, selain pulau ini masih asing bagi kita, juga banyak dihuni binatang berbisa.
Lihatlah kulit wajah istrimu. Aku yakin, ia telah terpagut ular atau binatang berbisa
lainnya," jelas Ki Baureksa menatap wajah menantu perempuannya yang terkapar dengan
wajah kehijauan.
"Tapi, biar bagaimanapun aku harus memeriksanya, Ayah...," bantah Wika yang
sangat mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
Ki Baureksa tetap bersikeras menahan putranya agar tidak mendekati istrinya.
Menurutnya, menantunya itu sudah tidak mungkin diselamatkan lagi.
"Awasss...! Cepat naik ke darat...!" teriak Ki Baureksa tiba-tiba ketika melihat
sosok-sosok makhluk kecil berjalan di bawah air.
"Mungkin salah seekor kepiting itulah yang telah menewaskan istrimu, Wika...,"
bisik Ki Baureksa setelah mengenali lebih jelas makhluk-makhluk kecil di bawah air.
"Tapi.... Mana mungkin istriku tewas hanya karena jepitan seekor kepiting,
Ayah...?"
Wika belum percaya kalau binatang kecil itu merenggut nyawa istrinya. Rasa
penasaran membuatnya mendekati beberapa ekor kepiting yang bergerak ke arah dirinya.
"Wika, kau gila! Mundur...!" bentak Ki Baureksa.
Laki-laki setengah baya itu terkejut bukan main ketika melihat putranya
menghampiri binatang-binatang beracun itu. Cepat, disambarnya lengan kanan putranya
dan membetotnya ke belakang.
"Ayah, aku hanya ingin melihat kehebatan binatang itu. Aku belum percaya kalau
makhluk sekecil itu bisa mengakibatkan kematian istriku. Biar kupijak hancur binatang-
binatang laknat itu!"
Wika berusaha melepaskan pegangan jari-jari tangan ayahnya. Namun, meski
berusaha sekuat tenaga, cekalan Ki Baureksa tidak mampu dilepaskannya. Karena tenaga
orang tua itu lebih kuat daripada tenaganya.
"Hihhh!"
Merasa jengkel dengan sikap keras kepala putranya, Ki Baureksa menyentakkan
tangannya. Akibatnya, tubuh Wika terlempar jatuh ke atas pasir.
"Dengar, Manusia Tolol! Lihat baik-baik, berada di mana kau saat ini! Tempat ini
bernama Pulau Karang, yang banyak dihuni binatang-binatang beracun. Itu artinya,
semua binatang yang hidup di tempat ini, memiliki racun yang mematikan. Ingat, Wika.
Kita telah dibuang ke pulau beracun oleh pihak kerajaan...!"
Ki Baureksa terpaksa harus bertindak kasar pada putra sulungnya. Semua itu
dilakukan karena terdorong rasa sayang, khawatir Wika akan tewas oleh binatang-
binatang beracun itu.
Wika seperti baru terbangun dari tidurnya saat mendengar ucapan ayahnya.
Selama ini, ia belum pernah melihat ayahnya demikian marah. Teringat mereka adalah
orang-orang buangan, Wika pun sadar akan kebodohannya.
"Maafkan aku, Ayah. Tapi.... Kematian istriku benar-benar belum bisa kuterima.
Apalagi ia tewas di depan mataku, tanpa aku mampu menolongnya...," rintih Wika seraya
menjatuhkan kepalanya ke pasir. Jiwa lelaki gagah itu terguncang karena kematian istri
tercintanya.
"Bangkitlah, Wika. Kuatkan hatimu. Kita harus bertahan untuk keluar dari neraka
ini. Kalau tidak, satu persatu dari kita akan tewas dalam keadaan yang mengerikan," ujar
Ki Baureksa seraya menepuk bahu putranya, seolah-olah ingin memberikan tambahan
kekuatan kepada lelaki muda itu.
Setelah berpesan agar jangan sembarangan menyentuh benda-benda di sekitar
tempat itu, rombongan pun bergerak memasuki Pulau Karang.
Ki Baureksa yang bertanggung jawab atas keselamatan anggota rombongan,
berjalan paling depan dengan langkah penahan. Sikapnya tampak tegang, dan sepasang
matanya selalu menoleh curiga ke kiri dan kanan.
"Aaargh...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking merobek udara. Ki Baureksa dan yang
lainnya menoleh ke belakang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat salah seorang
pelayan menggelepar dengan kedua tangan sibuk menggaruk sekujur tubuh.
"Mundur...!" Ki Baureksa segera bergerak menghampiri sambil memerintahkan
yang lainnya untuk menjauh. Lelaki gagah itu menatap pelayan bernasib malang itu
dengan wajah duka.
"Semut-semut beracun...!"
Makhluk-makhluk kecil berjumlah ratusan, itu mengerumuni tubuh pelayannya.
Dan, lelaki gagah itu melompat mundur dengan wajah pucat. Dalam sekejapan mata saja,
hampir seperempat bagian tubuh yang sudah menjadi mayat itu habis dimakan binatang-
binatang yang biasanya tidak berdaya menghadapi manusia.
"Gila...?!"
Wika terpekik kaget dengan wajah pucat pasi dan mata terbelalak lebar. Pemuda itu
memeluk adik dan ibunya yang sangat ketakutan melihat kejadian mengerikan itu. Wika
sendiri yang sejak kecil mendapat gemblengan ayahnya, tak urung terguncang juga.
"Cepat tinggalkan tempat ini...," perintah Ki Baureksa.
Kemudian, tanpa mempedulikan mayat pelayan yang malang itu, mereka kembali
bergerak memasuki Pulau Karang.
"Ssszzz...!"
Ki Baureksa menunda langkahnya ketika mendengar suara berdesis dari samping
kanan. Cepat keluarganya diperintahkan mundur, ketika melihat empat ekor ular sebesar
lengan merayap mendekat.
"Sebaiknya kita bunuh saja binatang celaka itu, Ayah...," usul Wika, melihat
ayahnya bersiap menghadapi binatang-binatang berbisa itu.
"Lindungi ibu dan adikmu, Wika. Biar aku yang menghadapi binatang-binatang
berbisa itu...," ujar Ki Baureksa bersiap menanti kedatangan makhluk melata itu lebih
dekat.
Ki Baureksa mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh. Dan, berdiri
tegak dengan kedua tangan bersilang di depan dada. Perlahan kakinya bergerak bergantian
ke arah samping. Lelaki tua itu ingin memancing ular-ular berbisa itu mengejarnya, dan
menjauhi keluarganya.
"Sssszzz...!"
Seekor di antara keempat ular berbisa itu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah
ulu hati Ki Baureksa. Dengan tangkas lelaki tua itu menggeser langkahnya, sambil
mengibaskan lengan kanan yang berdecit membelah udara.
"Heiii...?!"
Ki Baureksa memekik kaget ketika melihat binatang berbisa itu mampu berkelit
dari tebasan sisi telapak tangan kanannya. Tapi, kecepatan gerak yang dipersiapkan Ki
Baureksa masih lebih cepat. Jari-jari tangan kirinya bergerak menyusul, mencengkeram
bagian bawah kepala ular berbisa itu. Sekali remas saja, kepala binatang itu hancur dan
tewas seketika.
Tiga ekor ular lainnya bergerak berbarengan ke arah Ki Baureksa. Cepat lelaki tua
itu melompat panjang ke samping kiri, melontarkan pukulan jarak jauh dengan kedua
tangan bergantian.
Bukkk! Bukkk!
Pukulan yang dilontarkan Ki Baureksa tepat menghantam ketiga ekor ular. Lagi-lagi
lelaki tua itu keheranan. Ternyata ketiga ekor binatang melata itu memiliki tubuh kebal
dari pukulan tenaga dalam. Buktinya, ular-ular itu kembali bergerak seperti tidak
merasakan akibat pukulan Ki Baureksa.
"Gila! Seharusnya tubuh ular-ular itu remuk. Sebab, pukulanku tadi mampu untuk
menghancurkan batu karang! Tapi, binatang-binatang celaka itu tidak merasakannya...?!"
desis Ki Baureksa, mulai mencari akal mengalahkan binatang-binatang berbisa itu.
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking tinggi dari belakang Ki Baureksa. Cepat laki-
laki setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Betapa terkejut hatinya ketika matanya
melihat keluarga dan pelayannya tengah menghadapi puluhan ekor ular, kalajengking, dan
kelabang sebesar ibu jari kaki. Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Baureksa segera melesat
menyelamatkan keluarganya dari maraba-haya itu.
"Kakang...!"
Dada Ki Baureksa berdebar saat melihat tubuh istrinya tersungkur akibat patukan
seekor ular yang paling besar di antara ular-ular lain. Tubuh ular itu hampir empat kali
lipat besarnya dari ular biasa. Tapi, Ki Baureksa tidak bisa berbuat sesuatu yang lebih
berarti. Karena binatang-binatang beracun itu demikian banyak. Ki Baureksa terpaksa
harus menyaksikan kematian keluarganya satu persatu dengan mata kepalanya sendiri.
Pemandangan itu membuat hatinya terguncang hebat!
"Binatang-binatang keparat...! Akan kuhancurkan kalian...!" desis lelaki setengah
baya itu dengan mata basah.
Tubuh binatang berbisa itu sangat kenyal dan membuat tenaga cengkeraman Ki
Baureksa seperti berbalik.
"Aaa...!" Lelaki gagah itu menjerit keras ketika tanng ular besar itu menggigit
pangkal lengannya. Sadar kalau dirinya tidak mungkin selamat Ki Baureksa berbuat nekat
dan menggigit ular itu!
Jiwa Ki Baureksa benar-benar terpukul menyaksikan kematian orang-orang yang
dicintainya. Guncangan batin yang dirasakan sangat berat itu membuat Ki Baureksa
bertindak nekat. Dengan lompatan panjang, ia mengulurkan kedua tangannya
mencengkeram tubuh ular besar yang telah menewaskan istrinya. Ia tidak peduli ketika
ekor ular itu bergerak melibat tubuhnya. Malah Ki Baureksa semakin mempererat
cengkeraman kedua tangannya
pada le itu.
cengke a seperti berbalik.
darah
karena tersedot lawannya.
***
ingsan. Sedangkan ular besar yang menjadi lawannya telah mati
kehabi
main. S
ampai mengeluarkan asap tipis, karena panasnya hawa yang bergolak di dalam
tubuhn
her binatang
"Heaaah...!"
Ki Baureksa berteriak
keras mengerahkan seluruh
kekuatannya hendak meremas
hancur tubuh binatang itu.
Namun, lelaki tua itu tidak
mampu melakukannya. Tubuh
binatang berbisa itu terasa
kenyal, membuat tenaga
ramanny
"Aaa...!"
Akhirnya, lelaki gagah itu
menjerit keras ketika taring ular
besar itu menancap pada pangkal
lengannya. Sadar bahwa dirinya
tidak mungkin dapat selamat, Ki
Baureksa berbuat nekat. Ia balas
menggigit tubuh ular besar itu.
Dibuangnya rasa jijik jauh-jauh
ketika merasakan kulit yang
kesat dan agak berlendir itu. Dan
dihirupnya darah yang terus
mengalir ke kerongkongannya.
Hingga pada akhirnya, tubuh Ki
Baureksa terkulai lemas bersama
ular besar yang kehabisan
"Uhhh...."
Sosok tubuh yang tergeletak bersama ular besar itu tiba-tiba bergerak perlahan
disertai keluhan lirih yang cukup panjang. Sosok tubuh yang tak lain dari Ki Baureksa itu
ternyata hanya p
san darah.
"Ohhh...?!"
Ki Baureksa bergerak limbung, seraya memegangi keningnya yang pening bukan
ekujur tubuhnya tampak dibanjiri keringat yang membasahi seluruh pakaiannya.
"Celaka...! Ini pasti pengaruh darah ular yang kuhirup tadi," desis Ki Baureksa
ketika merasakan sesuatu yang berhawa panas bergolak liar di dalam tubuhnya. Bahkan
tubuhnya s
ya.
"Aaargh...!"
Ki Baureksa berteriak keras ketika merasakan nyeri dan panas di sekujur
tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa itu membuatnya membanting-bantingkan tubuh ke
tanah. Berkali-kali lelaki setengah baya itu berteriak-teriak. Harapan hidup sudah tidak
terlinta
diri. Sementara itu, darah
ular ya
ialaminya. Ia tidak memperhatikan mayat-mayat keluarga dan pelayannya yang
bergele
ureksa tetap bersikap tenang. Disalurkannya tenaga liar itu ke kedua belah
lengann gkan lengan itu ke sebongkah batu sebesar dua ekor kerbau.
Akibatn
a Ki Baureksa. Batu besar yang tidak mungkin
dapat
pakkan diri di depanku.
Mungk
a merah yang berbondong-bondong menghampiri lengan Ki Baureksa. Tanpa
menun
terhadap racun yang ada dalam tubuh semut-
semut
sa menggeser mundur langkahnya sambil
mempe batang pohon di depannya. Dan kembali bergerak maju setelah
menga
dengan telapak tangannya itu langsung
mati h
telah aku selesai
mencip
uara menggelegar.
ang yang dicintainya.
tempat tinggal yang cocok
aginya. Ki Baureksa hendak memperdalam ilmunya untuk membalas dendam pada
orang-orang yang telah mengakibatkan kem keluarganya.
s lagi dalam pikirannya. Akhirnya, Ki Baureksa jatuh pingsan karena tak sanggup
merasakan penderitaan.
Cukup lama tubuh Ki Baureksa tergeletak tak sadarkan
ng mengandung racun dahsyat, terus bergerak liar menerobos seluruh jalan darah
di tubuhnya. Hingga akhirnya, orang tua itu kembali siuman.
Lama Ki Baureksa termenung, memikirkan dirinya yang selamat secara ajaib.
Sebagai tokoh persilatan yang cukup berpengalaman, Ki Baureksa mengkaji apa yang
sudah d
takan di depannya. Saat itu pikirannya dipenuhi oleh keajaiban yang menimpa
dirinya.
Setelah mengkaji semua peristiwa yang dialaminya, Ki Baureksa bangkit.
Kemudian, napasnya diatur untuk membangkitkan tenaga saktinya. Lelaki setengah baya
itu terkejut bukan main ketika merasakan ada tenaga liar bergolak hebat dalam tubuhnya.
Namun, Ki Ba
ya. Lalu, mendoron
ya....
Whusss.... Blarrr...!
Hebat sekali akibat dorongan tenag
dihancurkan itu, meledak berkeping-keping. Tentu saja hal itu membuat Ki
Baureksa terkejut bercampur gembira.
"Ah, tidak salah lagi. Pasti darah ular itu yang telah melipatgandakan kekuatan
tenaga dalamku. Jangan-jangan ular besar itu rajanya binatang berbisa di pulau ini.
Nyatanya, tidak ada seekor binatang berbisa pun yang menam
inkah binatang berbisa itu yang dalam kalangan dijuluki Ular Karang? Hm.... Untuk
memastikannya, aku harus mengujinya...," gumam Ki Baureksa.
Setelah mengetahui kehebatan tenaga dalamnya yang menjadi berlipat ganda, lelaki
setengah baya itu bergegas menghampiri sebatang pohon. Lalu, telapak tangannya
ditepuk-tepukkan ke batang pohon. Tak berapa lama kemudian, muncul semut-semut
berwarn
ggu lagi, binatang-binatang kecil itu menyerbu dan menggigiti lengan Ki Baureksa.
Tapi....
"Ha ha ha...!" Ki Baureksa tertawa terbahak-bahak ketika melihat semut-semut itu
tewas berjatuhan.
Jelas, tubuh Ki Baureksa telah kebal
itu. Dan, racun ular yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih kuat. Terbukti
semut-semut itu mati setelah menggigitnya.
Usai ujian pertama, Ki Baurek
rhatikan
lirkan kekuatan ke telapak tangan.
"Hihhh!"
Sambil membentak, Ki Baureksa menekan batang pohon itu kuat-kuat dengan
mengerahkan tenaga saktinya. Dan...
Untuk kesekian kalinya, Ki Baureksa memperdengarkan tawa parau yang
berkepanjangan. Ternyata, pohon yang ditekan
anya dalam beberapa saat. Jelas sudah, betapa dahsyatnya racun dan tenaga sakti
yang kini mengeram dalam tubuh Ki Baureksa.
"Ha ha ha...! Tunggulah pembalasanku, Bagaswara! Se
takan ilmu yang sesuai dengan tenaga yang kumiliki, aku pasti akan datang
mengambil nyawamu...!" seru Ki Baureksa dengan s
Beberapa saat kemudian, orang tua itu membalikkan tubuhnya. Kemudian,
memandangi mayat-mayat or
"Kalian tenanglah di alam sana. Aku akan membalas sakit hati keluarga kita...,"
ucap Ki Baureksa perlahan.
Kemudian, Ki Baureksa menguburkan mayat-mayat itu. Dan setelah selesai, tubuh
(Sebagian scrip rusak brot 🙏🙏🙏)
0 comments:
Posting Komentar