..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE RACUN ULAR KARANG


 

RACUN ULAR KARANG 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tuti S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Racun Ular Karang 
128 haL ; 12 x 18 cm


Cahaya kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah timur. Desir angin 
bertiup lembut menyambut datangnya senja. Saat itu, serombongan orang berkuda 
bergerak melintasi perbukitan yang tandus. Di sana-sini hanya terlihat bebatuan dengan 
pohon-pohon yang kering. Tiba-tiba penunggang kuda terdepan mengangkat tangan 
kanannya ke atas. Sebagai isyarat agar rombongan itu berhenti. 
"Mengapa kita berhenti di sini, Tuanku? Menurut hamba, daerah ini kurang cocok 
untuk melewatkan malam. Sebaiknya kita terus saja. Mungkin ada tempat yang lebih-baik 
daripada perbukitan karang yang tandus ini...," salah seorang dari dua penunggang kuda 
yang berada di sebelah kanan pemimpin rombongan memberikan pendapatnya. 
"Hm...," lelaki gagah berwajah brewok yang merupakan pimpinan rombongan kecii 
itu bergumam tak jelas. Pandangan matanya dilayangkan menyapu daerah perbukitan 
tandus itu. Sepertinya, ia tengah mempertimbangkan pendapat salah seorang 
pembantunya itu. 
"Bagaimana menurutmu, Langgita...?" lelaki brewok itu menoleh ke arah lelaki 
berwajah kurus di sebelahnya. 
"Sebenarnya, tempat ini kurang cocok untuk melewatkan malam. Tapi..., kalau kita 
mencari tempat lain yang lebih baik, hamba khawatir akan kemalaman di jalan. Jadi, kita 
memang tidak punya pilihan lain, Tuanku...," jelas lelaki berwajah kurus yang dipanggil 
Langgita. 
"Hm...," lelaki brewok pimpinan rombongan itu kembali bergumam. Kali ini sambil 
tersenyum tipis. "Bagaimana, Guwara? Menurutku, pendapat Langgita lebih cocok." 
Sambil berkata demikian, pimpinan rombongan kecil itu menoleh ke arah 
penunggang kuda di sebelah kanannya. Lelaki itulah yang tadi mengemukakan keberatan. 
"Mungkin benar pendapat Kakang Langgita, Tuanku. Sekarang, terserah keputusan 
Tuanku. Hamba menurut saja...," sahut lelaki berkumis lebat yang bernama Guwara. 
Agaknya ia memaklumi kekhawatiran Ki Langgita. 
"Baiklah kalau begitu. Sekarang, perintahkan kepada yang lain untuk membangun 
tenda-tenda sementara. Saat fajar mendatang, kita sudah harus meninggalkan tempat 
ini...," perintah lelaki gagah berwajah brewok itu. Dia segera melompat turun dari 
punggung kuda, dan menambatkan binatang tunggangannya itu pada sebatang pohon. 
Ki Langgita dan Ki Guwara bergegas melaksanakan perintah atasannya. Kedua 
lelaki gagah itu mengumpulkan kedua puluh orang pengikutnya, dan memerintahkan 
untuk membangun tenda-tenda darurat. 
"Adi Guwara. Harap kau memeriksa daerah sekitar sini. Bawalah enam orang 
menyertaimu. Kita harus memastikan daerah perbukitan ini benar-benar aman. Aku 
sendiri akan memeriksa tawanan dalam kedua kereta itu...," ujar Ki Langgita kepada Ki 
Guwara. 
"Baiklah, Kakang," sahut Ki Guwara, segera mengajak enam orang anggota 
rombongan untuk ikut. Sebentar saja, lelaki gagah berkumis lebat yang berusia sekitar 
empat puluh lima tahun itu lenyap di balik bebatuan. 
Sepeninggal Ki Guwara, Ki Langgita menghampiri dua buah kereta yang masing-
masing ditarik empat ekor kuda. Kemudian, memerintahkan kusir kereta untuk 
mengikutinya. Mereka berdua memeriksa tawanan. 
"Bagaimana, Langgita? Apakah semuanya sudah siap...?" tanya lelaki gagah 
berwajah brewok, melihat Ki Langgita melangkah menuju ke arahnya. 
"Semua sudah siap, Tuanku. Tawanan-tawanan sudah hamba tempatkan dalam 
dua tenda yang dijaga ketat. Tenda untuk Tuan pun telah disiapkan. Silakan Tuanku 
beristirahat..," jawab Ki Langgita melaporkan hasil kerjanya. 
Lelaki brewok berperawakan tinggi besar itu mengangguk puas. Kemudian, 
melangkah perlahan diiringi Ki Langgita. Mereka menuju tenda terbesar yang didirikan di 
tengah tenda-tenda lainnya yang lebih kecil. 
"Apakah daerah sekitar sini sudah diperiksa, Langgita?" tanya lelaki brewok itu, 
sambil tetap melangkah diiringi Ki Langgita.

"Hamba sudah memerintahkan Adi Guwara melakukan pemeriksaan. Tuanku," 
sahut Ki Langgita cepat. Pimpinannya tersenyum puas mendengar laporan bawahannya 
yang cekatan itu. 
Pembicaraan mereka seketika terhenti ketika terdengar suara langkah dari 
belakang. Serentak mereka membalikkan tubuh, melihat siapa yang datang. 
"Ah, rupanya Adi Guwara...!" seru Ki Langgita, melihat seorang lelaki gagah 
berkumis lebat tengah menuju ke arah mereka. 
"Sekitar daerah perbukitan sudah diperiksa dengan teliti. Tuanku. Semuanya 
aman, tidak ada yang perlu dikhawatirkan...," lapor Ki Guwara kepada lelaki tinggi besar 
yang menjadi pimpinan rombongan. 
"Bagus, Guwara. Tapi, biar bagaimanapun kita harus berjaga-jaga. Tugas kita kali 
ini cukup berat. Untuk itu, diperlukan ketelitian dan kewaspadaan tinggi...," ujar lelaki 
brewok itu kepada dua orang bawahannya. 
Kemudian, kakinya melangkah memasuki tenda terbesar yang dijaga empat anggota 
rombongan. Ki Langgita dan Ki Guwara sendiri sudah meminta diri kepada pimpinannya 
untuk mengatur yang lain. 
*** 
Malam sudah lama datang. Langit kelam terhias bulan sabit. Bintang-bintang 
tampak bergantungan dengan kerlipnya yang gemilang. Meskipun tidak terlalu banyak, 
namun cukup menyemarakkan suasana malam itu. 
Saat itu, di sela-sela bebatuan tampak beberapa sosok bayangan hitam bergerak 
mendekati perkemahan. Menilik sikap mereka yang bergerak secara sembunyi-sembunyi, 
jelas kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Ketika sosok terdepan memberikan isyarat 
dengan gerakan jari-jari tangannya, sosok-sosok bayangan hitam itu segera menyebar. 
"Hati-hati...," pesan sosok bayangan hitam yang menjadi pimpinan tamu-tamu tak 
diundang itu. 
Kemudian, ia bergerak diikuti dua orang lainnya menuju tenda terbesar. Sedangkan 
delapan sosok lainnya menuju tenda tempat tawanan berada. 
Sosok-sosok bayangan itu agaknya memiliki kepandaian yang tangguh. Terbukti, 
dua orang penjaga yang berada di depan tenda tawanan, langsung tak berkutik dengan 
sekali sergap. Perbuatan mereka sama sekali tidak menimbulkan suara. Dua orang penjaga 
lain yang berada di dekat api unggun, sama sekali tidak mengetahui. Bahkan, kedua orang 
penjaga itu tidak sempat berteriak, ketika dua dari delapan sosok bayangan hitam itu 
melancarkan totokan. 
"Cepat! Kalian bebaskan Ki Baureksa dan keluarganya. Biar kami yang berjaga-
jaga...," perintah sosok tinggi tegap kepada enam sosok tubuh lainnya, ia sendiri bersama 
seorang kawannya langsung bersembunyi di tempat yang terlindung, dalam kegelapan 
pepohonan. 
Tetapi, niat mereka membebaskan Ki Barureksa tidak berjalan lancar. Saat itu, ada 
seorang lelaki tinggi kurus berjalan menuju tenda tempat tawanan. Melihat dari bentuk 
tubuh dan raut wajahnya yang tertimpa cahaya api unggun, dapat dikenali kalau sosok 
tinggi kurus itu adalah Ki Langgita, tangan kanan pimpinan rombongan kecil itu. 
Ki Langgita mencium sesuatu yang mencurigakan. Lelaki tinggi kurus itu memang 
tidak bisa dipandang remeh. Langkahnya tampak ragu, dan terhenti dengan sorot mata 
merayapi sekitarnya. 
"Hm.... Ke mana penjaga-penjaga yang ditugaskan mengawasi tawanan...?" gumam 
Ki Langgita sambil melangkah perlahan. Urat-urat di tubuhnya seketika menegang. Laki-
laki tinggi kurus itu langsung merasa curiga, dan mengerahkan seluruh tenaga saktinya 
untuk menghadapi segala kemungkinan. 
Kedatangan lelaki kurus yang tidak terduga itu, membuat kedua sosok tubuh yang 
bersembunyi di baik pohon menjadi tegang. Mereka segera berniat membungkam sosok 
yang baru datang itu. Maka, keduanya langsung melesat dengan totokan-totokan yang 
mengincar jalan darah Ki Langgita. 
Namun, tidak percuma Ki Langgita menjadi tangan kanan pimpinan rombongan itu. 
Desiran angin keras yang menyambar dari arah belakang, membuat lelaki tinggi kurus itu 
menoleh. Begitu mengetahui ada serangan, ia langsung melempar tubuh ke samping dan 
bergulingan. Lalu, melenting bangkit dan siap menghadapi penyerang-penyerang gelap itu.

"Siapa kalian...? Sadarkah kalian tengah menghadapi prajurit-prajurit kerajaan? 
Kalian bisa dianggap pemberontak. Dan, hukumannya sangat berat..," ancam Ki Langgita. 
Hanya dengan sekali pandang, lelaki itu sudah mengetahui tingkat kepandaian lawan. 
Meskipun tidak pasti, tapi ia bisa menduga kedua penyerang gelap itu bukan orang 
sembarangan. 
"Hm.... Mengapa takut menghadapi penguasa yang telah terbujuk penjilat seperti 
kalian? Lebih baik bersiaplah untuk mati...!" geram sosok terdepan yang bertubuh tinggi 
tegap. 
Baru saja ucapannya selesai, ia langsung menerjang dengan pukulan-pukulan yang 
menimbulkan desiran angin tajam. Jelas, tenaga pukulan itu tidak bisa dianggap ringan. 
Ki Langgita sadar akan bahaya yang mengancam. Tanpa banyak cakap lagi, segera 
ia melesat ke samping menyerang lambung lawan. Tapi, serangan itu terpaksa harus 
ditarik pulang. Pada saat yang sama, lawannya yang lain telah menyerang disertai decitan 
angin tajam. Merasa tidak mempunyai kesampaian untuk menghindar, Ki Langgita 
mengangkat lengan kanannya, menangkis tendangan berputar yang mengancam batok 
kepala. 
Plak! 
"Heiii...?!" 
Ki Langgita terpekik kaget, merasakan kuatnya tenaga yang tersembunyi di balik 
tendangan itu. Kuda-kudanya sampai tergempur. Dan telapak tangannya terasa panas. Ki 
Langgita menyadari tamu-tamu tak diundang itu sangat berbahaya dihadapi seorang diri. 
Maka.... 
"Heaaat..!" 
Untuk menarik perhatian kawan-kawan serta pemimpinnya, Ki Langgita berteriak 
keras saat melontarkan serangan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya melesat dengan 
kecepatan mengagumkan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan 
cengkeraman maut. 
Bettt! Bettt! 
Sosok berpakaian hitam dan berperawakan gemuk yang tendangannya tertangkis 
telapak tangan Ki Langgita, menggeser tubuh dua jangkah ke belakang. Dan, segera 
melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya. 
Begitu pula sosok yang satunya. Teriakan Ki Langgita yang bermaksud 
mengundang kawan-kawan, membuatnya cemas. Maka serangannya makin diperhebat 
Dan, membuat lelaki tinggi kurus itu semakin kewalahan. 
Plak! 
"Ughhh...!" 
Menginjak jurus kelima belas, Ki Langgita tak sempat menghindari tamparan 
seorang pengeroyoknya. Meskipun yang terkena pukulan adalah bagian bahu dan telah 
dilindungi tenaga sakti, tak urung tubuh lelaki itu terjerembab ke depan. Untung, Ki 
Langgita cukup sigap menilai keadaan, ia segera menggulingkan tubuhnya dan bergerak 
bangkit setelah memperhitungkan dirinya cukup jauh dari jangkauan serangan lawan. 
Kuda-kuda Ki Langgita sedikit goyah. Dan pada ujung bibirnya, tampak cairan merah 
merembes ke luar. Tamparan keras itu ternyata mengguncangkan bagian dalam tubuhnya. 
Rupanya, nasib baik masih menyertai Ki Langgita. Belasan penjaga tampak 
berlarian mendatangi arena pertempuran. Melihat hal itu, semangat Ki Langgita bangkit 
kembali. Dengan pedang terhunus di tangan dan dengan dibantu delapan orang penjaga, 
diserbunya dua orang lawan. 
Pertempuran kembali berlanjut lebih seru dan lebih ramai, dari semula. Ki Langgita 
tidak terlalu repot menghadapi lawan-lawannya. Tingkat kepandaian delapan orang 
penjaga yang membantunya, cukup bisa diandalkan. Sehingga, pertempuran berjalan 
imbang. 
Sementara itu, di dekat tenda Ki Baureksa dan keluarganya disekap, telah terjadi 
pertempuran juga. Keenam orang berseragam hitam yang belum sempat membebaskan 
tawanan, telah dipergoki para penjaga yang berdatangan. Bahkan, di arena pertempuran 
terlihat Ki Guwara telah mengamuk dengan sepasang belati sepanjang dua jengkal. Lelaki 
gagah berkumis lebat itu sangat geram terhadap orang-orang berseragam hitam yang 
hendak membebaskan tawanan. 
"Yeaaah...!"

Pekikan-pekikan keras selalu menyertai serangan Ki Guwara. Tapi, betapapun 
hebat serangannya, selalu dapat ditanggulangi lawan. Kenyataan ini membuat Ki Guwara 
semakin penasaran. Wajah-wajah di balik kain hitam itu ingin disingkapnya. Sayang, tidak 
mudah untuk melakukannya. Seluruh kepandaiannya harus dikerahkan untuk 
melaksanakan niatnya. 
Keenam orang berseragam hitam dengan wajah tertutup selembar kain hitam itu, 
rata-rata gesit dan lincah. Sambaran-sambaran pukulan dan tendangan mereka sangat 
cepat. Menimbulkan desingan angin tajam. Ki Guwara dan dua belas orang kawannya, 
terpaksa harus bekerja keras mengimbangi kegesitan dan kehebatan serangan lawan. 
"Aaakh...!" 
Dua orang penjaga yang membantu Ki Guwara memekik kesakitan, saat seorang 
dari keenam orang berseragam hitam berhasil menyarangkan pukulan keras ke tubuh 
mereka. Akibatnya, kedua penjaga itu terjengkang dan pingsan seketika. Kekuatan 
pukulan lawan memang sangat kuat! 
"Bedebah! Rupanya kalian sudah bosan hidup...!" maki Ki Guwara. Hatinya 
semakin murka melihat orang-orangnya mulai berjatuhan satu persatu. Dan, Ki Guwara 
menjadi semakin kalap, serta memperhebat serangan. 
Rasanya, memang sulit bagi pihak Ki Guwara untuk memenangkan pertarungan. 
Keenam lawannya memiliki kepandaian yang hanya satu tingkat di bawahnya. Tentu saja 
Ki Guwara semakin sulit menghadapi lawan yang hampir setingkat dengannya dalam 
jumlah banyak. 
Pertempuran tidak hanya terjadi di dua tempat. Di depan tenda besar yang didiami 
pemimpin rombongan pun terjadi pertempuran sengit Pertempuran yang terjadi di sana 
jauh lebih hebat dari dua pertempuran lain. 
"Hm.... Dengan kepandaian seperti ini kalian berani datang kepadaku? Sama saja 
mencari mati...," geram lelaki brewok bertubuh tinggi besar, tanpa menghentikan 
serangan. 
Saat itu ketiga lawannya terdesak hebat. Mereka memang bukan tandingan lelaki 
brewok itu. Mereka hanya mampu mengelak, dan membalas sesekali. Sedangkan, 
gempuran lelaki brewok itu terus berlanjut bagaikan gelombang lautan. 
"Mampus...!" 
Sambil mengumpat kasar, lelaki brewok Itu melepaskan sebuah pukulan keras ke 
dada salah seorang lawan. Tanpa ampun lagi, sosok berseragam hitam itu terjungkal 
muntah darah. Dan tidak bangkit lagi, karena tulang dadanya remuk akibat pukulan keras 
lawan. 
"Bangsat kau, Ki Bagaswara! Kau harus menebus nyawa kawanku dengan 
darahmu...!" geram sosok berperawakan kekar, pemimpin orang-orang berseragam hitam. 
Usai berkata demikian, ia menerjang maju dengan pedang di tangan. 
Wuttt..! 
"Hm...," lelaki brewok yang dipanggil Ki Bagaswara hanya menggeram perlahan. 
Tubuhnya dibungkukkan saat pedang lawan datang mengancam ke arah leher. 
Lalu, dilempar ke samping, dan melepaskan sebuah tendangan ke pelipis lawan. Sungguh 
hebat dan mengagumkan cara menghindar yang dilakukan Ki Bagaswara. Gerakan yang 
sangat sukar, mampu dilakukannya tanpa kesulitan. Padahal, kedudukannya kurang 
menguntungkan. Kenyataan itu, menunjukkan tingkat kepandaian Ki Bagaswara sangat 
tinggi. 
Meskipun serangannya luput karena lawan menghindar ke belakang, Ki Bagaswara 
tak menghentikan gerakannya. Begitu ujung kakinya menginjak tanah, tubuh Ki 
Bagaswara kembali melambung, dan melontarkan pukulan telapak tangan ke dada lawan 
yang lain. 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Terdengar pekik kematian, saat sepasang telapak tangan Ki Bagaswara singgah di 
dada lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh lawan terpental menghantam sebongkah batu besar 
di belakangnya. Darah segar memercik ketika kepala orang itu pecah terbentur batu. 
"He he he...! Sekarang giliranmu menghadap malaikat maut Manusia Pengecut! Kau 
boleh pilih, mati secara perlahan-lahan, atau kupecahkan kepalamu seperti yang 
kulakukan pada kawanmu...," ejek Ki Bagaswara sambil menatap tajam wajah yang 
terlindung kain hitam.

"Hm.... Sebelum nyawaku meninggalkan raga, aku tidak akan menyerah atau 
meminta ampun padamu, Manusia Berhati Busuk...!" desis lelaki tinggi tegap berpakaian 
serba hitam itu, dengan sorot mata penuh dendam. Tanpa rasa gentar sedikit pun, kakinya 
melangkah dengan kuda-kuda kokoh. 
"He he he...! Sebelum aku mencabut nyawamu, coba katakan, mengapa kau ingin 
membebaskan pengkhianat seperti Baureksa?" tanya Ki Bagaswara lagi, sambil melangkah 
satu-satu mendekati lawan. Sikapnya sangat angkuh, dan merasa yakin akan 
kemenangannya. 
"Kaulah pengkhianat, Bagaswara! Dirimu tak ubahnya iblis bermuka dua yang 
sangat licik dan berbahaya! Kalau hari ini aku gagal menyelamatkan Ki Baureksa, masih 
banyak tokoh-tokoh lain yang akan membebaskan beliau...," tegas lelaki tinggi tegap itu. 
Jawaban yang pedas itu membuat Ki Bagaswara jengkel. Anehnya, lelaki brewok itu 
tersenyum, tanpa gurat kemarahan di wajahnya. Mungkin, dirinya termasuk orang aneh 
yang semakin murka, akan semakin tersenyum manis. Rupanya, lawan bisa merasakan 
hal itu. Melihat dari cara dan sikapnya, lelaki bertopeng itu cukup mengenal Ki Bagaswara. 
"Heaaat...!" 
Sadar kalau pembicaraan itu hanya buang-buang tenaga saja, lelaki berpakaian 
hitam tidak menanggapi ucapan Ki Bagaswara. Ia langsung melayang dengan putaran 
pedang yang menimbulkan gulungan sinar putih, yang melindungi sekujur tubuhnya. 
"Hmh...," dengus Ki Bagaswara. 
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok itu melesat, menyambut serangan lawan. 
Pertarungan kembali berlanjut. Lelaki berpakaian serba hitam itu mengeluarkan seluruh 
kemampuan. Sehingga, serangan-serangannya semakin diperhebat. Akibatnya Ki 
Bagaswara terpaksa mengurangi serangan sambil mencari kelemahan lawan.

Perlawanan yang gigih dari sosok berpakaian hitam, lama-kelamaan membuat Ki 
Bagaswara jengkel. Beberapa kali lelaki brewok itu hampir berhasil menyarangkan 
pukulan ke tubuh lawan. Namun, lawan menyambutnya dengan tusukan atau sabetan 
pedang untuk mengadu nyawa. Tentu Ki Bagaswara tidak sudi melayani, ia mulai mencari 
cara lain untuk menyelesaikan pertarungan. 
"Hm.... Bangsat ini memang lebih suka mati daripada tertawan...," gumam Ki 
Bagaswara, segera melompat mundur saat ujung pedang lawan mengancam dada kirinya. 
Dengan sebuah putaran yang sempurna, lelaki brewok itu mendarat ringan sejauh 
satu setengah tombak dari lawan. Terdengar gerengan lirih yang disertai gerakan tangan 
berputar dari Ki Bagaswara. Jelas, lelaki brewok itu tengah mempersiapkan ilmu andalan 
untuk menyelesaikan pertarungan. 
Angin keras berhembus menerbangkan dedaunan kering, saat tubuh Ki Bagaswara 
bergerak memainkan jurus-jurusnya. Ranting-ranting pohon berderak ribut bagai hendak 
patah. Ilmu yang digunakan Ki Bagaswara kal ini bukan ilmu sembarangan. 
"Terpaksa aku harus menghabisi riwayatmu, Kisanak," desis Ki Bagaswara. 
Begitu ucapannya selesai, tubuh tinggi besar itu bergerak maju dengan kedua kaki 
terseret di tanah, dan menimbulkan guratan-guratan yang cukup dalam. Betapa hebatnya 
tenaga yang tersembunyi di dalam tubuh raksasa itu. 
Rupanya, lelaki tinggi tegap berpakaian serba hitam itu menyadari bahaya yang 
mengancam. Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga menimbulkan angin menderu-deru. 
Dengan tubuh terbungkus sinar pedang, lelaki tinggi tegap itu melangkah maju dengan 
gerakan menyilang. Kuda-kudanya tampak kokoh dan terlihat indah. 
"Yeaaah...!" 
Dibarengi sebuah bentakan keras, lelaki bertubuh tinggi tegap itu memutar tubuh 
dan melangkah ke samping, saat pukulan lawan datang menghujani tubuhnya. Alangkah 
terkejut lelaki itu ketika kuda-kudanya tergempur, hanya karena dorongan angin pukulan 
lawan yang lewat di samping tubuhnya. Jika ia tidak bertindak cepat melempar tubuhnya 
bergulingan, mungkin nyawanya sudah meninggalkan badan saat itu juga. Untunglah, 
lelaki tinggi tegap itu masih sempat menyelamatkan diri dari sebuah pukulan menyamping 
yang dilontarkan lawan. 
Debbb! 
Untuk kesekian kalinya, Ki Bagaswara melontarkan pukulan maut. Udara di sekitar 
arena pertarungan bergetar, setiap kali Ki Bagaswara melepaskan pukulan maupun 
tendangan. Ketika lawan mencoba menangkis pukulan itu, tubuhnya terpelanting dengan 
dada sesak. Jelas, ilmu yang digunakan Ki Bagaswara tidak mungkin dapat dihadapi 
lawan. 
"Yeaaah...!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus keempat puluh dua, Ki Bagaswara membentak 
keras, menggetarkan jantung. Membuat lutut lawan terasa lemas. Saat itu juga, tubuh 
lelaki raksasa itu bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang cepat dan 
mengaburkan pandangan lawan. Dan ketika lelaki raksasa itu melepaskan sebuah 
pukulan maut, lelaki tinggi tegap berseragam hitam itu tidak sempat menghindar. 
Akibatnya.... 
Desss...! 
"Hugkhhh…!" 
Segumpal darah kental termuntah keluar, saat kepalan Ki Bagaswara yang sebesar 
kepala bayi singgah di tubuh lawan. Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi tegap itu terlempar ke 
udara, dan terbanting keras ke atas tanah. 
"He he he...," Ki Bagaswara memperdengarkan suara tawa mengekeh seraya 
menatap tubuh lawan yang meregang nyawa. 
Tulang-tulang lelaki berpakaian serba hitam itu remuk, dan bagian dalam 
tubuhnya hancur akibat pukulan maut itu. Setelah tubuh lawan diam tak bergerak, 
karena nyawanya telah meninggalkan badan, Ki Bagaswara bergegas menghampiri arena 
pertempuran lain.

Dengan beberapa kali lompatan, tubuh lelaki raksasa itu telah berada dekat dengan 
dua pertarungan lain. Terdengar gumaman tak jelas, ketika lelaki brewok itu melihat Ki 
Guwara dan tiga orang pengawal berjuang menyelamatkan diri dari serangan lima orang 
lawan. Dalam pertarungan itu, salah seorang lawan berhasil ditewaskan Ki Guwara dan 
pembantu-pembantunya. Sosok berpakaian hitam kini hanya tinggal empat orang. 
Sedangkan pihak Ki Guwara kehilangan sembilan orang kawan. Bahkan di beberapa 
bagian tubuh Ki Guwara tampak luka cakaran lawan-lawannya. 
"Hmh...!" 
Lelaki brewok bertubuh raksasa itu mendengus kasar. Tubuhnya melayang ke arah 
pertempuran Ki Guwara. Sepasang tangannya terkembang melepaskan pukulan-pukulan 
maut 
Bukkk! Desss...! 
"Aaakh...!" 
"Hugkh...!" 
Sekali bergerak, dua orang berseragam hitam terjungkal keluar dari arena 
pertarungan. Pukulan keras Ki Bagaswara langsung menewaskan mereka. Tentu saja 
kejadian itu membuat tiga orang lain jadi terkejut. 
"Hm.... Kiranya, Sepasang Tangan Maut yang menolong begundal-begundalnya...," 
desis salah seorang dari ketiga lelaki berpakaian hitam itu. 
"Hm.... Bagus, kalau di antara kalian ada yang masih mengenaliku. Nah! Sekarang 
katakan, siapa yang menyuruh kalian membebaskan pemberontak Baureksa...?" tanya Ki 
Bagaswara yang pernah terkenal dengan julukan Sepasang Tangan Maut dalam rimba 
persilatan. Memang cukup pantas julukan itu diberikan kepadanya. Karena ilmu tangan 
kosong yang dimilikinya sangat sesuai dengan julukan itu. 
"Ki Bagaswara. Tuan Baureksa adalah sahabat para tokoh persilatan golongan 
putih. Jadi, kalau perjalananmu ini banyak rintangan, kau tidak perlu heran. Masih 
banyak tokoh-tokoh yang akan turun tangan membebaskan Ki Baureksa dan keluarganya 
dari tanganmu...," sahut sosok gemuk pendek berpakaian serba hitam, menanggapi 
ucapan Ki Bagaswara. Wajah lelaki brewok itu menjadi kelam. Jelas, ia tidak senang 
mendengar jawaban itu. 
"Tentu saja Baureksa banyak mengikat persahabatan dengan kalian, Orang-orang 
Kasar! Persahabatan itu hanya kedok untuk menutupi kegiatan kalian yang ingin 
mengumpulkan tokoh golongan putih. Setelah itu, mudah ditebak kalau Baureksa akan 
merebut takhta dengan bantuan orang-orang serakah yang mengaku sebagai pendekar-
pendekar gagah. Padahal baik Baureksa maupun kalian, tak lebih dari anjing-anjing rakus 
yang hendak memperebutkan tulang...," ejek Ki Bagaswara, membuat tubuh ketiga orang 
lawan menahan marah. 
"Bedebah kau, Bagaswara! Jangan kira kami tidak tahu siapa dirimu! Kau adalah 
seorang maling yang meneriaki orang lain maling. Itu kau lakukan kepada Ki Baureksa 
yang sebenarnya berhati mulia dan bersih. Tidak sepertimu yang berhati busuk dan kotor. 
Orang sepertimu hanya pantas tinggal di dalam hutan dan berteman babi-babi rakus...!" 
maki lelaki gemuk pendek, tidak mau kalah dalam soal bersilat lidah. 
Ki Bagaswara yang di dalam Kerajaan Parangkara berpangkat senapati, menjadi 
murka bukan kepalang. Sepasang mata lelaki raksasa itu memerah bagai saga. Kedua 
kepalannya teremas kuat, hingga memperdengarkan suara berkerotokan nyaring. Dan.... 
"Kuhancurkan batok kepala kalian, Bangsat...!" bentak Senapati Bagaswara. 
Sambil berkata demikian, laki-laki yang berjuluk Sepasang Tangan Maut itu 
langsung menerjang tanpa memberi peringatan lebih dulu. Sepasang kepalan tangannya 
menyambar-nyambar, menerbitkan decitan angin tajam yang terasa pedih menyentuh 
kulit. 
Serangan Senapati Bagaswara yang tiba-tiba itu membuat ketiga orang lawannya 
menjadi gugup. Dua dari mereka berhasil melompat ke belakang menghindari pukulan 
maut itu. Tapi, yang seorang lagi tidak sempat menghindar. Akibatnya.... 
Prokkk! 
Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan ucapannya untuk meremukkan 
batok kepala lawan. Kepalannya yang sebesar kepala bayi, membuat batok kepala orang 
itu pecah dengan suara berderak keras. Darah segar bercampur cairan putih mengalir 
membasahi tanah di sekitarnya. 
"Akh?!"

Dua orang lawan yang sempat menyelamatkan diri, terbeliak ngeri melihat akibat 
pukulan Senapati Bagaswara. Wajah di balik kain hitam itu jelas menjadi pucat. Jelas, 
mereka tidak menyangka kalau Senapati Bagaswara benar-benar membuktikan 
ucapannya. 
"Hm.... Sekarang giliran kalian. Bersiaplah untuk merasakan kerasnya 
kepalanku...," geram Senapati Bagaswara, sambil melangkah satu-satu dengan wajah 
angker. Membuat kedua orang berpakaian serba hitam itu surut ke belakang dengan hati 
gentar. 
"Jaga pukulanku...!" 
Belum lagi gema teriakan itu lenyap, tubuh Senapati Bagaswara telah melesat ke 
depan dengan sambaran kepalan yang siap meremukkan kepala lawan-lawannya. 
Debbb! 
"Heiii...?!" 
Dua orang lelaki berseragam hitam itu memekik kaget, ketika tubuh mereka 
terhuyung karena dorongan angin pukulan Senapeti Bagaswara. Padahal diyakini pukulan 
lelaki tinggi besar itu tidak sampai mengenai tubuh mereka. Hal itu membuat mereka 
lengah. Dan.... 
Bukkk! Desss...! 
Berturut-turut dua buah pukulan Senapati Bagaswara singgah di tubuh lawan-
lawannya. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terpental sejauh satu setengah tombak lebih! 
Darah segar langsung keluar dari mulut keduanya. 
"Heaaa...!" 
Senapati Bagaswara masih belum puas dengan pukulan itu. Dengan sebuah 
teriakan nyaring, lelaki brewok itu melesat mengejar tubuh kedua lawannya. Kemudian, 
melepaskan pukulan ke kepala kedua orang yang sekarat itu. 
Prokkk! Prokkk! 
Tanpa ampun lagi, pecahlah kepala kedua orang lelaki berpakaian serba hitam itu. 
Jasad tanpa nyawa itu langsung terbanting ke tanah tanpa bisa bangkit lagi. 
"Hmh...!" Senapati Bagaswara menggereng gusar. 
Ternyata, lelaki bertubuh tinggi besar itu belum puas dengan perbuatannya. 
Kemarahan yang telah naik ke kepalanya belum turun. Sepasang matanya berkilat 
menatap pertarungan lain, di kanannya, dalam jarak dua tombak lebih. 
Dengan sebuah geraman bagai harimau marah, tubuh Senapati Bagaswara 
melayang ke tengah arena. Langsung dilepaskannya dua buah pukulan ke kepala dua 
orang lawan Ki Langgita, yang saat itu masih bertarung seru. 
"Haaat..!" 
Dua kali tangan lelaki raksasa itu bergerak, terdengar suara gemeretak disertai 
percikan darah bercampur cairan putih, membasahi tanah. Kedua lawan Ki Langgita 
langsung terjengkang tewas. 
Ki Langgita dan dua orang penjaga yang tersisa, menghela napas lega. Jika dalam 
sepuluh jurus Senapati Bagaswara belum muncul, mungkin mereka sudah tewas oleh 
lawan. 
"Terima kasih, Tuanku...," ujar Ki Langgita sambil membungkuk hormat kepada 
pimpinannya. 
Ki Langgita dan Ki Guwara sebenarnya adalah perwira kerajaan. Dan mereka 
berdua tergabung dalam pasukan Senapati Bagaswara. 
Senapati Bagaswara hanya tersenyum tipis. Kemudian, para prajuritnya 
diperintahkan untuk segera melemparkan mayat-mayat itu ke tempat yang agak jauh dari 
perkemahan. Lalu, diajaknya Ki Langgita dan Ki Guwara ke tenda terbesar. 
*** 
"Hm.... Sebentar lagi fajar akan terbit. Sebaiknya kau perintahkan para prajurit kita 
berkemas, Langgita. Ingat pesanku baik-baik. Perjalanan ini masih cukup jauh. Rintangan-
rintangan lain pasti akan berdatangan satu persatu. Kita harus selalu siap menghadapi 
segala kemungkinan yang bakal terjadi. Kawan-kawan Baureksa pasti akan bermunculan 
membebaskannya...," pesan Senapati Bagaswara sebelum kedua orang pembantu setianya 
bergerak meninggalkan tenda.

"Baik, Tuanku. Perintah Tuanku akan hamba laksanakan sebaik-baiknya. Hamba 
mohon pamit untuk mempersiapkan segala sesuatunya...," sahut Ki Langgita yang 
kemudian berlalu bersama Ki Guwara. 
Senapati Bagaswara memandangi kepergian kedua orang pembantunya dengan 
senyum tipis. Lelaki bertubuh raksasa itu puas akan kesetiaan kedua orang pembantu 
utamanya itu. 
Sementara itu, Ki Langgita dan Ki Guwara mengatur para pengikutnya, dan 
memerintahkan untuk berkemas. Setelah semua selesai, berangkatlah rombongan yang 
kini jumlahnya berkurang. Di kiri-kanan rombongan tampak delapan batang obor 
menerangi jalan-jalan yang mereka lewati. 
Perjalanan panjang yang cukup melelahkan itu mereka lakukan tanpa berhenti, 
kecuali malam hari. Tapi, tidak jarang malam hari pun mereka melanjutkan perjalanan 
agar bisa secepatnya sampai di tempat tujuan, yaitu Pulau Karang. 
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga hari penuh. Melalui berbagai 
rintangan dari orang-orang yang hendak membebaskan tawanan mereka, tibalah 
rombongan itu di tepi sebuah pantai. 
Senapati Bagasawara mengangkat tangan kanannya ke atas, sebagai tanda agar 
rombongan menghentikan perjalanan. 
Ki Langgita dan Ki Guwara yang berada di barisan paling belakang, bergegas 
membedal kudanya ke depan. Keduanya menghampiri Senapati Bagaswara, kepala 
rombongan yang bertugas mengawal para tawanan. 
"Apakah kira langsung menyeberang ke Pulau Karang, Tuanku...?" tanya Ki 
Langgita menatap wajah pimpinannya yang sedang melepaskan pandangan ke lautan 
lepas. 
Suara deburan ombak terdengar susul-menyusul, membuat ucapan Ki Langgita 
kurang jelas terdengar. Meskipun demikian, senapati Kerajaan Parangkara itu dapat 
menangkap pertanyaan pembantunya. 
"Ya. Aku ingin segera menyelesaikan tugas ini. Biar kita bertiga yang menyeberang, 
mengantarkan Baureksa dan keluarganya ke Pulau Karang. Sedang yang lainnya 
menunggu di sini," jawab Senapati Bagaswara, kembali mengalihkan perhatiannya ke laut. 
"Maaf, Tuanku. Boleh hamba mengajukan pendapat yang selama ini mengganggu 
pikiran hamba...?" tanya Ki Guwara yang tampaknya sangat hati-hati mengemukakan 
pertanyaan itu. 
"Katakan, Gurawa. Mengapa kau kelihatan ragu?" sahut Senapati Bagaswara 
seraya menatap wajah pembantunya itu dengan kening berkerut. Sepertinya lelaki brewok 
itu heran mendengar nada kehati-hatian dalam ucapan pembantunya. Tidak biasanya Ki 
Guwara bersikap demikian. 
"Mmm.... Begini, Tuanku...." 
"Langsung saja ke pokok persoalan, Gurawa, Kau tahu sendiri, aku paling tidak 
suka mendengar ucapan yang berbelit-belit...," sergah Senapati Bagaswara memotong 
ucapan pembantunya yang terdengar ragu dan membuatnya tak sabar. 
"Baik..., baik...," ujar Ki Guwara menelan air liurnya, karena perasaannya agak 
tegang. "Tidakkah sebaiknya Ki Baureksa sekeluarga kita bunuh saja di sini? Jika mereka 
kita buang ke Pulau Karang, bukankah pada akhirnya mereka akan tewas juga...?" 
"Ah, kau tidak berpikir panjang, Gurawa. Kita semua tahu, ini adalah keputusan 
dan perintah Gusti Prabu. Selain itu, kalau dibunuh di perjalanan, kira akan dimusuhi 
banyak orang yang berpendapat bahwa Baureksa sekeluarga tidak bersalah. Dari pihak 
kerajaan pun, kita akan mendapat hukuman berat karena tidak mematuhi keputusan 
Sang Prabu. Lagi pula, dengan dibuangnya mereka ke Pulau Karang, bisa membuat aku 
senang. Semua orang persilatan tahu pasti kalau Pulau Karang sangat berbahaya, dan 
banyak dihuni binatang berbisa. Nah, kalau mereka dibuang ke sana, itu sama artinya 
dengan menyiksa mereka mati secara perlahan-lahan. Apa kau tidak senang 
membayangkan bagaimana Baureksa dan keluarganya menghadapi kematian dengan 
penuh ketakutan?" jelas Senapati Bagaswara, tersenyum membayangkan penderitaan 
Baureksa sekeluarga di pulau yang kabarnya mengerikan itu. 
"Maafkan kebodohan hamba, Tuanku...," ujar Ki Guwara. 
Lelaki gemuk berkumis lebat itu mengangguk-angguk, mulai mengerti jalan pikiran 
atasannya. Setelah mendengar jawaban Senapati Bagaswara, lenyaplah pikiran yang 
selama ini mengganggu kepalanya.

"Bagaimana denganmu, Langgita? Apa kau mempunyai pikiran yang mengganggu 
kepalamu? Kalau memang ada, katakanlah...," ujar Senapati Bagaswara kepada 
pembantunya yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam seperti burung elang. 
"Rasanya tidak ada, Tuanku...," sahut Ki Langgita setelah terdiam beberapa saat 
lamanya. 
Jawaban Ki Langgita membuat Senapati Bagaswara kembali mengalihkan 
pandangan matanya ke tengah lautan luas. 
"Kalau begitu, perintahkan kepada para prajurit untuk menyiapkan segala 
sesuatunya. Periksa belenggu kaki dan tangan para tawanan. Sebagian mencari sebuah 
perahu yang agak besar. Rasanya tidak sulit mencari perkampungan nelayan di sekitar 
daerah ini," perintah Senapati Bagaswara kepada kedua orang pembantunya. 
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Langgita dan Ki Guwara segera melaksanakan perintah 
atasannya. Dua orang prajurit diperintahkan mencari sebuah perahu yang akan 
digunakan untuk menyeberang ke Pulau Karang. 
Senapati Bagaswara sendiri sudah memasuki tenda yang dibuat khusus untuk 
dirinya beristirahat. Cukup lama lelaki brewok bertubuh tinggi besar itu menunggu 
persiapan yang dilakukan pasukan kecilnya. Pekerjaan baru selesai saat matahari hampir 
berada di atas kepala. 
"Lapor, Tuanku. Segala persiapan telah selesai...," lapor Ki Langgita yang datang 
menghadap bersama Ki Guwara. 
"Ha... Bagus...," puji Senapati Bagaswara yang saat itu mengenakan pakaian 
ringkas berwarna biru tua. Sosok lelaki raksasa itu tampak semakin angker dengan 
penampilan barunya itu. 
Dengan langkah tegap, Senapati Bagaswara bergegas keluar dari tenda. Wajah 
brewok itu tersenyum cerah, melihat sebuah perahu yang cukup besar dan kokoh telah 
tersedia di tepi pantai. Setelah berpesan kepada sisa prajuritnya untuk kembali ke istana 
lebih dulu, Senapati Bagaswara pun berangkat ditemani Ki Langgita, Ki Guwara serta 
delapan orang prajurit yang bertugas menjalankan perahu. 
Perahu yang cukup besar itu segera bertolak membawa Baureksa sekeluarga 
menuju Pulau Karang. Sebuah pulau yang kabarnya banyak dihuni binatang-binatang 
berbisa. Dan, tidak jarang udara beracun berhembus dari pulau maut itu.

Pagi baru saja menggantikan malam. Seiring munculnya sinar matahari pagi, 
tampak sebuah kapal layar bergerak mendekati Pulau Karang yang terlihat hitam di 
kejauhan. Sebenarnya pulau itu sangat berbahaya untuk didekati. Bila angin bertiup ke 
arah kapal dalam jarak sepuluh tombak saja, mungkin para penumpang akan tewas 
dengan tubuh menghitam keracunan. Tapi, para penumpang perahu itu agaknya telah 
cukup berpengalaman. Mereka datang searah angin bertiup. Sehingga, hawa beracun 
berhembus ke depan mereka. 
Saat perahu berada dalam jarak lima tombak dari pantai Pulau Karang, tampak 
delapan sosok tubuh terlempar ke air. Meskipun kedalaman air di tempat itu sebatas mata 
kaki, namun kedelapan sosok tubuh itu sempat terbatuk-batuk, terminum air laut. 
"Ha ha ha.... Selamat menikmati saat-saat ajal menanti kedatanganmu, 
Baureksa...!" seru Senapati Bagaswara setelah melemparkan tubuh orang-orang buangan 
itu ke dalam air. Sedangkan perahu yang mereka tumpangi kembali bergerak ke tengah 
laut. 
"Keparat kau, Bagaswara...! Tunggu saja pembalasanku! Kalau aku dapat keluar 
dengan selamat dari pulau ini, kau akan kucari sampai ke ujung neraka sekalipun...!" 
balas seorang lelaki tegap berusia sekitar lima puluh tahun. 
Wajah lelaki setengah baya itu tampak memancarkan wibawa yang kuat. Sepasang 
matanya tajam, pertanda ia bukan orang sembarangan. Lelaki itu tidak lain adalah Ki 
Baureksa yang berpangkat senapati. Ia dikenakan hukum buang karena tuduhan hendak 
memberontak. 
Ki Baureksa menatap perahu yang kian menjauh dengan penuh dendam. Sepasang 
tangannya mengepal kuat dengan gigi gemeretak menahan luapan dendam di dada. Lelaki 
setengah baya itu baru membalikkan tubuh ketika bayangan perahu lenyap dari 
pandangan. 
"Ayah.... Apa yang harus kita lakukan...?" tanya seorang dara cantik berusia sekitar 
tujuh belas tahun. Wajahnya tampak pucat. Sepasang matanya agak membengkak, karena 
terlalu banyak menangis. Kelihatan sekali kalau dara cantik itu sangat tertekan jiwanya. 
"Apakah kita bisa selamat dari tempat ini. Ayah...?" tanya seorang pemuda tampan 
berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang sebenarnya gagah, tidak jauh berbeda 
dengan yang lain. Pucat, lusuh, dengan sepasang mata cekung. 
Ki Baureksa tidak segera menjawab. Ia membawa kedua orang anak, istri, dan 
menantunya ke tepi pulau. Dua orang pelayan setia keluarga Ki Baureksa, ikut pula 
dibuang ke pulau beracun itu. 
"Dengarlah, anak-anakku, menantuku, dan juga kau istriku. Selagi kita masih 
hidup, berusaha merupakan perbuatan wajib bagi kita. Kita tidak boleh berputus asa 
sebelum melakukan kewajiban yang satu itu. Jadi, simpanlah pertanyaan kalian. 
Sebaiknya kita mencari akal untuk dapat keluar dari tempat celaka ini...," ujar Ki 
Baureksa seraya melangkah menuju pantai yang kebanyakan terdiri dari batu karang. 
"Aaah...?!" 
Baru saja mereka naik ke pantai, terdengar satu jerit kesakitan. Ki Baureksa dan 
putra-putrinya menoleh ke kanan. Dan, betapa terkejutnya mereka melihat menantu 
wanita Ki Baureksa tergeletak di atas pasir. 
"Nyai...!" putra tertua Ki Baureksa, yaitu suami wanita cantik itu bergegas 
memburu. 
"Wika, tahan...!" bentak Ki Baureksa, seraya mengulur tangan menangkap lengan 
putra sulungnya. Tentu saja perbuatan lelaki tua itu membuat putranya menatap heran. 
"Mengapa, Ayah? Apakah aku tidak boleh memondong istriku...?" tanya pemuda 
tampan bernama Wika itu. Sepasang matanya yang menyimpan rasa penasaran, menatap 
tajam wajah ayahnya. 
"Sabarlah, Anakku. Kecerobohan hanya akan mendatangkan malapetaka bagimu. 
Ketahuilah, selain pulau ini masih asing bagi kita, juga banyak dihuni binatang berbisa. 
Lihatlah kulit wajah istrimu. Aku yakin, ia telah terpagut ular atau binatang berbisa 
lainnya," jelas Ki Baureksa menatap wajah menantu perempuannya yang terkapar dengan 
wajah kehijauan.

"Tapi, biar bagaimanapun aku harus memeriksanya, Ayah...," bantah Wika yang 
sangat mengkhawatirkan keselamatan istrinya. 
Ki Baureksa tetap bersikeras menahan putranya agar tidak mendekati istrinya. 
Menurutnya, menantunya itu sudah tidak mungkin diselamatkan lagi. 
"Awasss...! Cepat naik ke darat...!" teriak Ki Baureksa tiba-tiba ketika melihat 
sosok-sosok makhluk kecil berjalan di bawah air. 
"Mungkin salah seekor kepiting itulah yang telah menewaskan istrimu, Wika...," 
bisik Ki Baureksa setelah mengenali lebih jelas makhluk-makhluk kecil di bawah air. 
"Tapi.... Mana mungkin istriku tewas hanya karena jepitan seekor kepiting, 
Ayah...?" 
Wika belum percaya kalau binatang kecil itu merenggut nyawa istrinya. Rasa 
penasaran membuatnya mendekati beberapa ekor kepiting yang bergerak ke arah dirinya. 
"Wika, kau gila! Mundur...!" bentak Ki Baureksa. 
Laki-laki setengah baya itu terkejut bukan main ketika melihat putranya 
menghampiri binatang-binatang beracun itu. Cepat, disambarnya lengan kanan putranya 
dan membetotnya ke belakang. 
"Ayah, aku hanya ingin melihat kehebatan binatang itu. Aku belum percaya kalau 
makhluk sekecil itu bisa mengakibatkan kematian istriku. Biar kupijak hancur binatang-
binatang laknat itu!" 
Wika berusaha melepaskan pegangan jari-jari tangan ayahnya. Namun, meski 
berusaha sekuat tenaga, cekalan Ki Baureksa tidak mampu dilepaskannya. Karena tenaga 
orang tua itu lebih kuat daripada tenaganya. 
"Hihhh!" 
Merasa jengkel dengan sikap keras kepala putranya, Ki Baureksa menyentakkan 
tangannya. Akibatnya, tubuh Wika terlempar jatuh ke atas pasir. 
"Dengar, Manusia Tolol! Lihat baik-baik, berada di mana kau saat ini! Tempat ini 
bernama Pulau Karang, yang banyak dihuni binatang-binatang beracun. Itu artinya, 
semua binatang yang hidup di tempat ini, memiliki racun yang mematikan. Ingat, Wika. 
Kita telah dibuang ke pulau beracun oleh pihak kerajaan...!" 
Ki Baureksa terpaksa harus bertindak kasar pada putra sulungnya. Semua itu 
dilakukan karena terdorong rasa sayang, khawatir Wika akan tewas oleh binatang-
binatang beracun itu. 
Wika seperti baru terbangun dari tidurnya saat mendengar ucapan ayahnya. 
Selama ini, ia belum pernah melihat ayahnya demikian marah. Teringat mereka adalah 
orang-orang buangan, Wika pun sadar akan kebodohannya. 
"Maafkan aku, Ayah. Tapi.... Kematian istriku benar-benar belum bisa kuterima. 
Apalagi ia tewas di depan mataku, tanpa aku mampu menolongnya...," rintih Wika seraya 
menjatuhkan kepalanya ke pasir. Jiwa lelaki gagah itu terguncang karena kematian istri 
tercintanya. 
"Bangkitlah, Wika. Kuatkan hatimu. Kita harus bertahan untuk keluar dari neraka 
ini. Kalau tidak, satu persatu dari kita akan tewas dalam keadaan yang mengerikan," ujar 
Ki Baureksa seraya menepuk bahu putranya, seolah-olah ingin memberikan tambahan 
kekuatan kepada lelaki muda itu. 
Setelah berpesan agar jangan sembarangan menyentuh benda-benda di sekitar 
tempat itu, rombongan pun bergerak memasuki Pulau Karang. 
Ki Baureksa yang bertanggung jawab atas keselamatan anggota rombongan, 
berjalan paling depan dengan langkah penahan. Sikapnya tampak tegang, dan sepasang 
matanya selalu menoleh curiga ke kiri dan kanan. 
"Aaargh...!" 
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking merobek udara. Ki Baureksa dan yang 
lainnya menoleh ke belakang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat salah seorang 
pelayan menggelepar dengan kedua tangan sibuk menggaruk sekujur tubuh. 
"Mundur...!" Ki Baureksa segera bergerak menghampiri sambil memerintahkan 
yang lainnya untuk menjauh. Lelaki gagah itu menatap pelayan bernasib malang itu 
dengan wajah duka. 
"Semut-semut beracun...!" 
Makhluk-makhluk kecil berjumlah ratusan, itu mengerumuni tubuh pelayannya. 
Dan, lelaki gagah itu melompat mundur dengan wajah pucat. Dalam sekejapan mata saja,

hampir seperempat bagian tubuh yang sudah menjadi mayat itu habis dimakan binatang-
binatang yang biasanya tidak berdaya menghadapi manusia. 
"Gila...?!" 
Wika terpekik kaget dengan wajah pucat pasi dan mata terbelalak lebar. Pemuda itu 
memeluk adik dan ibunya yang sangat ketakutan melihat kejadian mengerikan itu. Wika 
sendiri yang sejak kecil mendapat gemblengan ayahnya, tak urung terguncang juga. 
"Cepat tinggalkan tempat ini...," perintah Ki Baureksa. 
Kemudian, tanpa mempedulikan mayat pelayan yang malang itu, mereka kembali 
bergerak memasuki Pulau Karang. 
"Ssszzz...!" 
Ki Baureksa menunda langkahnya ketika mendengar suara berdesis dari samping 
kanan. Cepat keluarganya diperintahkan mundur, ketika melihat empat ekor ular sebesar 
lengan merayap mendekat. 
"Sebaiknya kita bunuh saja binatang celaka itu, Ayah...," usul Wika, melihat 
ayahnya bersiap menghadapi binatang-binatang berbisa itu. 
"Lindungi ibu dan adikmu, Wika. Biar aku yang menghadapi binatang-binatang 
berbisa itu...," ujar Ki Baureksa bersiap menanti kedatangan makhluk melata itu lebih 
dekat. 
Ki Baureksa mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh. Dan, berdiri 
tegak dengan kedua tangan bersilang di depan dada. Perlahan kakinya bergerak bergantian 
ke arah samping. Lelaki tua itu ingin memancing ular-ular berbisa itu mengejarnya, dan 
menjauhi keluarganya. 
"Sssszzz...!" 
Seekor di antara keempat ular berbisa itu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah 
ulu hati Ki Baureksa. Dengan tangkas lelaki tua itu menggeser langkahnya, sambil 
mengibaskan lengan kanan yang berdecit membelah udara. 
"Heiii...?!" 
Ki Baureksa memekik kaget ketika melihat binatang berbisa itu mampu berkelit 
dari tebasan sisi telapak tangan kanannya. Tapi, kecepatan gerak yang dipersiapkan Ki 
Baureksa masih lebih cepat. Jari-jari tangan kirinya bergerak menyusul, mencengkeram 
bagian bawah kepala ular berbisa itu. Sekali remas saja, kepala binatang itu hancur dan 
tewas seketika. 
Tiga ekor ular lainnya bergerak berbarengan ke arah Ki Baureksa. Cepat lelaki tua 
itu melompat panjang ke samping kiri, melontarkan pukulan jarak jauh dengan kedua 
tangan bergantian. 
Bukkk! Bukkk! 
Pukulan yang dilontarkan Ki Baureksa tepat menghantam ketiga ekor ular. Lagi-lagi 
lelaki tua itu keheranan. Ternyata ketiga ekor binatang melata itu memiliki tubuh kebal 
dari pukulan tenaga dalam. Buktinya, ular-ular itu kembali bergerak seperti tidak 
merasakan akibat pukulan Ki Baureksa. 
"Gila! Seharusnya tubuh ular-ular itu remuk. Sebab, pukulanku tadi mampu untuk 
menghancurkan batu karang! Tapi, binatang-binatang celaka itu tidak merasakannya...?!" 
desis Ki Baureksa, mulai mencari akal mengalahkan binatang-binatang berbisa itu. 
"Aaa...!" 
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking tinggi dari belakang Ki Baureksa. Cepat laki-
laki setengah baya itu menoleh ke arah asal suara. Betapa terkejut hatinya ketika matanya 
melihat keluarga dan pelayannya tengah menghadapi puluhan ekor ular, kalajengking, dan 
kelabang sebesar ibu jari kaki. Tanpa berpikir panjang lagi, Ki Baureksa segera melesat 
menyelamatkan keluarganya dari maraba-haya itu. 
"Kakang...!" 
Dada Ki Baureksa berdebar saat melihat tubuh istrinya tersungkur akibat patukan 
seekor ular yang paling besar di antara ular-ular lain. Tubuh ular itu hampir empat kali 
lipat besarnya dari ular biasa. Tapi, Ki Baureksa tidak bisa berbuat sesuatu yang lebih 
berarti. Karena binatang-binatang beracun itu demikian banyak. Ki Baureksa terpaksa 
harus menyaksikan kematian keluarganya satu persatu dengan mata kepalanya sendiri. 
Pemandangan itu membuat hatinya terguncang hebat! 
"Binatang-binatang keparat...! Akan kuhancurkan kalian...!" desis lelaki setengah 
baya itu dengan mata basah.

Tubuh binatang berbisa itu sangat kenyal dan membuat tenaga cengkeraman Ki 
Baureksa seperti berbalik. 
"Aaa...!" Lelaki gagah itu menjerit keras ketika tanng ular besar itu menggigit 
pangkal lengannya. Sadar kalau dirinya tidak mungkin selamat Ki Baureksa berbuat nekat 
dan menggigit ular itu! 
Jiwa Ki Baureksa benar-benar terpukul menyaksikan kematian orang-orang yang 
dicintainya. Guncangan batin yang dirasakan sangat berat itu membuat Ki Baureksa 
bertindak nekat. Dengan lompatan panjang, ia mengulurkan kedua tangannya 
mencengkeram tubuh ular besar yang telah menewaskan istrinya. Ia tidak peduli ketika 
ekor ular itu bergerak melibat tubuhnya. Malah Ki Baureksa semakin mempererat 
cengkeraman kedua tangannya 
pada le itu. 
cengke a seperti berbalik. 
 darah 
karena tersedot lawannya. 
*** 
ingsan. Sedangkan ular besar yang menjadi lawannya telah mati 
kehabi
main. S
ampai mengeluarkan asap tipis, karena panasnya hawa yang bergolak di dalam 
tubuhn
her binatang
"Heaaah...!" 
Ki Baureksa berteriak 
keras mengerahkan seluruh 
kekuatannya hendak meremas 
hancur tubuh binatang itu. 
Namun, lelaki tua itu tidak 
mampu melakukannya. Tubuh 
binatang berbisa itu terasa 
kenyal, membuat tenaga
ramanny
"Aaa...!" 
Akhirnya, lelaki gagah itu 
menjerit keras ketika taring ular 
besar itu menancap pada pangkal 
lengannya. Sadar bahwa dirinya 
tidak mungkin dapat selamat, Ki 
Baureksa berbuat nekat. Ia balas 
menggigit tubuh ular besar itu. 
Dibuangnya rasa jijik jauh-jauh 
ketika merasakan kulit yang 
kesat dan agak berlendir itu. Dan 
dihirupnya darah yang terus 
mengalir ke kerongkongannya. 
Hingga pada akhirnya, tubuh Ki 
Baureksa terkulai lemas bersama 
ular besar yang kehabisan
"Uhhh...." 
Sosok tubuh yang tergeletak bersama ular besar itu tiba-tiba bergerak perlahan 
disertai keluhan lirih yang cukup panjang. Sosok tubuh yang tak lain dari Ki Baureksa itu 
ternyata hanya p
san darah. 
"Ohhh...?!" 
Ki Baureksa bergerak limbung, seraya memegangi keningnya yang pening bukan
ekujur tubuhnya tampak dibanjiri keringat yang membasahi seluruh pakaiannya. 
"Celaka...! Ini pasti pengaruh darah ular yang kuhirup tadi," desis Ki Baureksa 
ketika merasakan sesuatu yang berhawa panas bergolak liar di dalam tubuhnya. Bahkan 
tubuhnya s
ya. 
"Aaargh...!" 
Ki Baureksa berteriak keras ketika merasakan nyeri dan panas di sekujur 
tubuhnya. Rasa sakit yang luar biasa itu membuatnya membanting-bantingkan tubuh ke 
tanah. Berkali-kali lelaki setengah baya itu berteriak-teriak. Harapan hidup sudah tidak

terlinta
diri. Sementara itu, darah 
ular ya
ialaminya. Ia tidak memperhatikan mayat-mayat keluarga dan pelayannya yang 
bergele
ureksa tetap bersikap tenang. Disalurkannya tenaga liar itu ke kedua belah 
lengann gkan lengan itu ke sebongkah batu sebesar dua ekor kerbau. 
Akibatn
a Ki Baureksa. Batu besar yang tidak mungkin 
dapat 
pakkan diri di depanku. 
Mungk
a merah yang berbondong-bondong menghampiri lengan Ki Baureksa. Tanpa 
menun
terhadap racun yang ada dalam tubuh semut-
semut 
sa menggeser mundur langkahnya sambil 
mempe batang pohon di depannya. Dan kembali bergerak maju setelah 
menga
 dengan telapak tangannya itu langsung 
mati h
telah aku selesai 
mencip
uara menggelegar. 
ang yang dicintainya. 
 tempat tinggal yang cocok 
aginya. Ki Baureksa hendak memperdalam ilmunya untuk membalas dendam pada 
orang-orang yang telah mengakibatkan kem keluarganya. 
s lagi dalam pikirannya. Akhirnya, Ki Baureksa jatuh pingsan karena tak sanggup 
merasakan penderitaan. 
Cukup lama tubuh Ki Baureksa tergeletak tak sadarkan 
ng mengandung racun dahsyat, terus bergerak liar menerobos seluruh jalan darah 
di tubuhnya. Hingga akhirnya, orang tua itu kembali siuman. 
Lama Ki Baureksa termenung, memikirkan dirinya yang selamat secara ajaib. 
Sebagai tokoh persilatan yang cukup berpengalaman, Ki Baureksa mengkaji apa yang 
sudah d
takan di depannya. Saat itu pikirannya dipenuhi oleh keajaiban yang menimpa 
dirinya. 
Setelah mengkaji semua peristiwa yang dialaminya, Ki Baureksa bangkit. 
Kemudian, napasnya diatur untuk membangkitkan tenaga saktinya. Lelaki setengah baya 
itu terkejut bukan main ketika merasakan ada tenaga liar bergolak hebat dalam tubuhnya. 
Namun, Ki Ba
ya. Lalu, mendoron
ya.... 
Whusss.... Blarrr...! 
Hebat sekali akibat dorongan tenag
dihancurkan itu, meledak berkeping-keping. Tentu saja hal itu membuat Ki 
Baureksa terkejut bercampur gembira. 
"Ah, tidak salah lagi. Pasti darah ular itu yang telah melipatgandakan kekuatan 
tenaga dalamku. Jangan-jangan ular besar itu rajanya binatang berbisa di pulau ini. 
Nyatanya, tidak ada seekor binatang berbisa pun yang menam
inkah binatang berbisa itu yang dalam kalangan dijuluki Ular Karang? Hm.... Untuk 
memastikannya, aku harus mengujinya...," gumam Ki Baureksa. 
Setelah mengetahui kehebatan tenaga dalamnya yang menjadi berlipat ganda, lelaki 
setengah baya itu bergegas menghampiri sebatang pohon. Lalu, telapak tangannya 
ditepuk-tepukkan ke batang pohon. Tak berapa lama kemudian, muncul semut-semut 
berwarn
ggu lagi, binatang-binatang kecil itu menyerbu dan menggigiti lengan Ki Baureksa. 
Tapi.... 
"Ha ha ha...!" Ki Baureksa tertawa terbahak-bahak ketika melihat semut-semut itu 
tewas berjatuhan. 
Jelas, tubuh Ki Baureksa telah kebal 
itu. Dan, racun ular yang mengeram dalam tubuhnya jauh lebih kuat. Terbukti 
semut-semut itu mati setelah menggigitnya. 
Usai ujian pertama, Ki Baurek
rhatikan 
lirkan kekuatan ke telapak tangan. 
"Hihhh!" 
Sambil membentak, Ki Baureksa menekan batang pohon itu kuat-kuat dengan 
mengerahkan tenaga saktinya. Dan... 
Untuk kesekian kalinya, Ki Baureksa memperdengarkan tawa parau yang 
berkepanjangan. Ternyata, pohon yang ditekan
anya dalam beberapa saat. Jelas sudah, betapa dahsyatnya racun dan tenaga sakti 
yang kini mengeram dalam tubuh Ki Baureksa. 
"Ha ha ha...! Tunggulah pembalasanku, Bagaswara! Se
takan ilmu yang sesuai dengan tenaga yang kumiliki, aku pasti akan datang 
mengambil nyawamu...!" seru Ki Baureksa dengan s
Beberapa saat kemudian, orang tua itu membalikkan tubuhnya. Kemudian, 
memandangi mayat-mayat or
"Kalian tenanglah di alam sana. Aku akan membalas sakit hati keluarga kita...," 
ucap Ki Baureksa perlahan. 
Kemudian, Ki Baureksa menguburkan mayat-mayat itu. Dan setelah selesai, tubuh 


(Sebagian scrip rusak brot 🙏🙏🙏)


Share:

0 comments:

Posting Komentar