BENCANA DARI ALAM KUBUR
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Bencana Dari Alam Kubur
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Heaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan penuh semangat
yang berasal dari halaman depan sebuah perguruan.
Teriakan itu dibarengi gerakan langkah dan pukulan
belasan sosok tubuh bertelanjang dada.
Tubuh bagian atas mereka tampak telah diban-
jiri keringat. Jilatan cahaya obor yang terpancang di
empat penjuru, membuat tubuh mereka tampak berki-
lat, menggambarkan kejantanan.
"Hap!"
Laki-laki bertubuh tegap yang berada di depan,
kembali mengeluarkan aba-aba dengan teriakan nyar-
ing. Berbarengan dengan teriakan itu, kaki kanannya
melangkah ke depan membentuk kuda-kuda serong.
Sepasang tangannya yang berbentuk cakar terayun ke
depan dari bawah ke atas.
Wuttt!
Dari desir angin yang ditimbulkan sambaran
sepasang tangannya, jelas kalau lelaki tegap itu memi-
liki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
Sambil berteriak nyaring, belasan sosok tubuh
di belakangnya melangkah dan meniru gerakan yang
dilakukan lelaki tegap itu.
"Bagus!" pujinya dengan wajah berseri.
Setelah berkata demikian, kakinya melangkah
sambil meneliti bentuk tangan maupun kuda-kuda
muridnya. Lelaki tegap itu sepertinya merasa puas me-
lihat belasan muridnya yang dapat meniru gerakannya
dengan baik.
Dengan wajah berseri-seri, lelaki tegap berusia
sekitar empat puluh tahun itu kembali melangkah ke
depan untuk memberi contoh gerakan berikutnya.
Namun belum sempat memberi aba-aba, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengekeh panjang yang mendirikan
bulu roma!
"Kekh, kekh, kekh...!"
Sebelum gema tawa menyeramkan itu lenyap,
sesosok bayangan tinggi kurus melayang melewati pa-
gar kayu setinggi empat tombak. Kemudian sepasang
kakinya mendarat di dekat lelaki tegap yang tengah
mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya.
Jilatan cahaya obor yang menerangi wajah so-
sok tubuh tinggi kurus itu, membuat si lelaki tegap
dan belasan orang muridnya melangkah mundur bebe-
rapa tindak. Wajah mereka nampak agak pucat
"Siapa kau...?!" bentak lelaki tegap itu membe-
ranikan diri, menegur lelaki tinggi kurus yang ternyata
seorang kakek berwajah pucat bagai mayat
Kakek berwajah mayat dan berkulit pucat itu
kembali memperdengarkan tawanya yang disertai pen-
gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh belasan
orang itu bergetar, dan terhuyung limbung. Termasuk
juga lelaki bertubuh tegap itu.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak ada gunanya kalian
mempelajari ilmu murahan, dan tidak bermutu itu!"
kata kakek itu, bernada menghina sekali.
Merah selebar wajah lelaki tinggi tegap ini keti-
ka mendengar hinaan dari mulut tamu tak diundang
itu. Buku-buku jari tangannya tampak mengepal ke-
ras, hingga memperdengarkan suara berkerotokan.
"Hei, Ki! Apa maksudmu datang-datang meng-
hina perguruan kami? Apakah kau memang sengaja
hendak mencari keributan?!" bentak lelaki tinggi tegap
tanpa mempedulikan rasa hormat. Hal ini karena sikap
kakek itu yang jelas-jelas tidak menghormati mereka.
"Jangan cerewet! Katakan saja pada gurumu,
Hantu Kematian telah datang untuk mencabut nya-
wanya!" sahut kakek yang mengaku berjuluk Hantu
Kematian dengan suara dingin dan kaku.
"Keparat sombong! Langkahi dulu mayatku, ba-
ru kau boleh bertindak sesuka hatimu di tempat ini!"
bentak laki-laki tegap yang merupakan salah seorang
tokoh Perguruan Macan Liwung, setelah rasa gentar
hilang dari hatinya.
"Hmh...!"
Sambil menggeram gusar, lelaki tegap itu sudah
memasang kuda-kuda yang kokoh dan indah. Tangan
kanannya bergerak ke atas kepala dalam sikap mene-
kuk. Sedangkan tangan kirinya terjulur ke depan. Ke-
dua-duanya membentuk cakar harimau.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kau sudah tidak
sabar untuk segera melayat ke neraka. Majulah, biar
secepatnya kuantarkan ke sana!" ancam Hantu Kema-
tian seraya mengulapkan tangan. Sorot matanya tam-
pak sedingin es.
Gampala, demikian nama lelaki tinggi tegap itu,
sudah tidak dapat lagi membendung kemarahannya.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar, nampak
bergetar karena dialiri tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Gampala
melompat menerjang lawannya. Sepasang tangannya
bergerak susul-menyusul disertai gerakan kaki yang
gesit.
"Hm... Silakan pilih, bagian mana yang kau
anggap paling lunak," kata Hantu Kematian meremeh-
kan, sambil bertolak pinggang menanti datangnya se-
rangan Gampala.
Terdengar suara berdebukan keras ketika sepasang cakar Gampala berkali-kali mendarat di tubuh
kakek itu. Namun, tubuh Hantu Kematian sama sekali
tidak bergeming sedikit pun. Seolah-olah, hantaman
jari-jari tangan lawan bagaikan elusan tangan seorang
wanita lemah.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati
Gampala ketika merasakan cakaran maupun tendan-
gannya bagai menghantam seonggok kapas lunak. Se-
hingga tenaganya seperti amblas ke dalam lautan yang
tak berdasar!
"Gila!" maki tokoh berusia empat puluh tahun
itu sambil melompat mundur menjauhi lawan.
Hati Gampala mulai dijalari kekhawatiran meli-
hat kehebatan kakek yang tidak dikenalnya ini. Ia mu-
lai mencemaskan nasib gurunya. Rasanya, kesaktian
Hantu Kematian tidak mungkin dapat tertandingi. Apa-
lagi, ia tahu betul kalau kepandaiannya tidak berseli-
sih jauh dengan kepandaian gurunya. Maka, kegelisa-
hannya pun semakin jelas tergambar di wajahnya.
"Hei?! Mengapa kalian diam saja?! Cepat, ke-
pung kakek gila itu!" bentak Gampala kepada belasan
orang muridnya yang masih terpaku kebingungan.
"Yang lain pergi ke balai utama. Laporkan kejadian ini
kepada guru!"
Setelah mendengar bentakan Gampala, lima be-
tas orang murid Perguruan Macan Liwung itu pun ber-
lompatan mengepung Hantu Kematian. Sedangkan dua
orang lainnya bergegas meninggalkan tempat itu, un-
tuk melapor kepada Pendekar Macan Putih. Dialah
yang menjadi ketua perguruan ini.
"Serbu...!" teriak Gampala yang segera melom-
pat mendahului murid-muridnya.
Golok besar yang semula terselip di pinggang
laki-laki tegap itu sudah tercabut ke luar. Dan kini su
dah diayunkan kuat-kuat ke batang leher Hantu Ke-
matian.
Serbuan belasan orang pengeroyok sama sekali
tidak membuat kakek berusia tujuh puluh tahun itu
merasa gentar atau gugup. Ia hanya berdiri sambil
memandang dengan sorot mata yang semakin dingin
dan menyeramkan.
Begitu belasan batang senjata itu hampir me-
nyentuh tubuhnya, Hantu Kematian mengibaskan ke-
dua tangannya ke samping.
"Rebah...!" teriak laki-laki tua itu.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan
lengan kakek itu. Tubuh belasan pengeroyoknya seke-
tika terlempar deras bagai daun-daun kering yang ter-
tiup angin.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh belasan murid
Perguruan Macan Liwung berikut Gampala terbanting
keras di tanah. Beberapa orang di antaranya bahkan
langsung tewas. Dari mulut, telinga, dan hidung mere-
ka tampak mengalir darah segar.
"Ilmu iblis!" kutuk Gampala sambil merangkak
bangkit, dan menekap dadanya.
Tokoh itu merasakan dadanya sesak akibat ki-
basan tangan lawan yang mengandung kekuatan he-
bat. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan me-
rah.
"Hm.... Kau kuat juga rupanya," geram Hantu
Kematian dengan sinar mata mengandung ancaman.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang
berlari, mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian,
muncullah puluhan orang murid yang dipimpin tiga
orang murid utama Perguruan Macan Liwung.
Sementara itu, Hantu Kematian segera memba-
likkan tubuh. Kemudian kakinya melangkah menuju
balai utama Perguruan Macan Liwung.
***
Bukan main terkejut dan marahnya ketiga
orang adik seperguruan Gampala ketika melihat kea-
daan di tempat itu. Wajah mereka mendadak gelap,
melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak bergelim-
pangan tak karuan.
"Kakang...!" seru salah seorang dari ketiga mu-
rid utama itu. Hati orang itu mendadak cemas ketika
melihat Gampala yang tampak berdiri goyah sambil
menekap dada. Segera dia berlari menghampiri tubuh
kakak seperguruannya yang jelas mengalami luka pa-
rah.
Sedangkan dua orang murid utama lainnya se-
gera memerintahkan murid-murid lainnya untuk men-
gangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa dan memba-
wanya ke tepi.
"Keparat! Iblis itu telah membunuh sepuluh
orang murid perguruan kita!" geram salah seorang dari
kedua murid utama Pendekar Macan Putih.
Dia memang telah memeriksa tubuh lima belas
orang murid perguruan yang ternyata hanya lima
orang selamat. Sedangkan yang lainnya tewas dengan
keadaan yang menyedihkan.
"Kita harus membalasnya, Widarta!" sahut yang
lain kepada orang yang dipanggil Widarta.
Setelah berkata demikian, orang itu bergerak
bangkit sambil mencabut pedangnya.
"Mari kita beri pelajaran kepada iblis itu!" Wi-
darta pun bergegas bangkit dan mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya.
Sementara itu, Gampala yang sudah dipapah
adik seperguruannya segera melepaskan pelukannya
ketika melihat Hantu Kematian tengah melangkah te-
nang menuju balai utama.
"Berhenti...!" bentak Gampala sambil melin-
tangkan golok besarnya di depan dada. "Adi Sudirja,
kita harus mencegah kakek iblis itu agar tidak dapat
mendekati bangunan utama perguruan!"
"Mau apa dia menyatroni perguruan kita, Ka-
kang?" tanya Sudirja yang sudah pula melintangkan
pedang di depan dada.
"Hm... Dia hendak membunuh guru kita," sa-
hut Gampala tanpa mengalihkan pandangan dari Han-
tu Kematian
"Kita bukan saja harus mencegahnya, Kakang.
Tapi harus membunuhnya! Karena kakek iblis itu telah
membunuh sepuluh orang murid perguruan kita," kata
Widarta yang juga sudah berada di sebelah Gampala.
"Benar, Kakang. Iblis tua itu tidak boleh dibiar-
kan berbuat sesuka hatinya di tempat kita," Sumirja
yang datang bersama Widarta ikut pula menimpali.
"Bedebah! Kalau begitu, iblis tua itu memang
harus mati!" geram Gampala ketika mendengar laporan
dua orang adik seperguruannya. Ditariknya napas da-
lam-dalam untuk mengurangi rasa nyeri yang terasa
menusuk dada.
Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang murid
utama Perguruan Macan Liwung itu melesat, mendeka-
ti Hantu Kematian yang sudah mendekati balai utama.
Mereka langsung mengepung dari empat penjuru.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kalian benar-
benar tidak sabar untuk melihat neraka!" ejek Hantu
Kematian seraya terkekeh menyeramkan.
Sambil berkata demikian, pandangannya bere-
dar, merayapi keempat tokoh Perguruan Macan Liwung
yang bergerak mengitarinya.
Namun sebelum keempat orang tokoh itu ber-
gerak menerjang Hantu Kematian, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring yang disusul melayangnya sesosok
tubuh kekar menuju tempat itu.
"Tunggu...!" teriak sosok tubuh itu sambil men-
gangkat tangan kanannya ke atas.
"Guru...!"
Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya
bergegas berlari menyambut kedatangan orang yang
tak lain dari Pendekar Macan Putih itu. Mereka lang-
sung saja menjatuhkan diri, berlutut di depan lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun yang memiliki wajah
gagah itu.
"Menyingkirlah kalian," pinta Pendekar Macan
Putih dengan suara berat dan dalam. "Tapi, Guru..."
Gampala yang semula hendak membantah pe-
rintah gurunya, menahan kata-katanya. Karena, ia
melihat sinar mata orang tua itu menyorot tajam keti-
ka mendengar bantahannya. Terpaksa ucapannya yang
sudah berada di ujung lidah ditelan kembali.
"Aku tahu, apa yang harus kulakukan, Gampa-
la," ujar Pendekar Macan Putih sambil menepuk bahu
murid tertuanya perlahan.
Setelah berkata demikian, orang tua yang ma-
sih tampak gagah itu melangkah mendekati Hantu
Kematian.
"Kau masih ingat aku, Jalasena?" sapa Hantu
Kematian ketika melihat Pendekar Macan Putih nam-
pak mengerutkan kening sambil menatap penuh seli-
dik.
Ketua Perguruan Macan Liwung yang ternyata
bernama Ki Jalasena itu tidak segera menjawab. Ia
hanya berdiri terpaku, sambil berpikir keras. Sepertinya, pendekar itu tidak mempercayai pandangan ma-
tanya. Hal itu terlihat dari sepasang mata yang mem-
belalak lebar.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah tewas
setahun yang lalu? Hm.... Siapa kau sebenarnya, Kisa-
nak? Dan apa maksudmu menyamar sebagai Hantu
Kematian?" tanya Ki Jalasena yang rupanya sudah la-
ma mengenal tokoh yang mengaku berjuluk Hantu
Kematian.
"Kekh, kekh, kekh,...! Kau keliru, Jalasena.
Saat itu aku memang belum mati. Meskipun boleh juga
dikatakan mati. Sebab, saat itu aku benar-benar telah
sekarat. Tapi, setelah kepergianmu dan kawan-
kawanmu, muridku datang dan membawaku ke Bukit
Tiga Iblis. Nah, di atas puncak bukit itulah aku diku-
burkan. Namun bukan karena aku telah mati, tapi ka-
rena aku hendak menyempurnakan ilmu-ilmu cip-
taanku. Setelah aku berhasil menyempurnakannya,
maka tidak ada seorang pun yang akan dapat menak-
lukkan Hantu Kematian! Sekarang, bersiaplah untuk
menjadi korban pertama dari 'Ilmu Memecah Suk-
ma'ku, Jalasena," jelas Hantu Kematian, yang diakhiri
ancaman. Wajah laki-laki tua itu tampak kaku tanpa
perasaan.
Mendengar ucapan kakek itu, Ki Jalasena me-
langkah mundur. Disadari kalau lawan yang dihada-
pinya kali ini tidak bisa dianggap ringan. Apalagi sete-
lah iblis itu berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu cip-
taannya yang sudah pasti sangat dahsyat. Tipis ra-
sanya untuk dapat menang melawan kakek itu.
Namun, Ki Jalasena bukanlah orang yang gam-
pang ciut nyalinya. Ia sama sekali tidak takut mengha-
dapi kematian. Sebenarnya yang menjadi beban piki-
rannya saat itu adalah, bagaimana harus menyela
matkan keluarga dan murid-muridnya? Sebab ia kenal
betul, siapa Hantu Kematian itu. Tokoh sesat itu pasti
tidak akan bertindak tanggung-tanggung. Bukan tidak
mungkin setelah kematiannya nanti, Hantu Kematian
akan menghabisi pula seluruh keluarga dan murid-
muridnya. Itulah yang membuat dirinya menjadi tidak
tenang.
"Kekh, kekh, kekh...! Mengapa wajahmu demi-
kian pucat, Pendekar Macan Putih? Apakah kau takut
menghadapi Malaikat Maut?" ejek Hantu Kematian
terkekeh ketika melihat calon korbannya gelisah.
Watak tokoh sesat ini memang aneh. Hatinya
akan semakin gembira apabila melihat calon korban-
nya ketakutan! Apalagi kalau calon korbannya sampai
merintih dan merengek minta ampun. Dia akan sema-
kin puas!
Merah selebar wajah Ki Jalasena ketika men-
dengar ejekan lawannya. Sambil menggeram marah,
pedang yang tergantung di pinggang kirinya itu dica-
but.
"Hm.... Aku tidak pernah takut menghadapi
maut, Hantu Kematian! Kalau memang mampu, bukti-
kanlah kesombonganmu itu!" bentak Ki Jalasena sam-
bil melintangkan pedang di depan dada.
"Kalau begitu, majulah! Apa lagi yang. ditung-
gu?" sergah Hantu Kematian seraya tersenyum dingin.
"Keparat! Sambutlah seranganku...!"
Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring, tu-
buh orang tua gagah itu melesat menerjang lawan. Pe-
dang di tangannya berkelebat cepat hingga bentuk sen-
jata itu menjadi lenyap.
Wuttt! Wuttt...!
Pedang di tangan Pendekar Macan Putih yang
kini berbentuk gulungan sinar memanjang itu, bergerak cepat menimbulkan deru angin keras! Senjata itu
terus meluncur mengincar bagian tubuh lawan yang
mematikan.
Sayang, yang kali ini dihadapinya bukanlah to-
koh sembarangan. Meskipun serangan-serangan Pen-
dekar Macan Putih datangnya tak terduga, namun
enak saja Hantu Kematian menghindarinya. Tentu saja
Ki Jalasena semakin penasaran dibuatnya.
"Heaaat..!"
Setelah kurang lebih sepuluh jurus menyerang
tanpa hasil, Ki Jalasena berseru keras sambil merubah
gerakannya. Kali ini senjata di tangan orang tua gagah
itu tidak lagi secepat semula. Gerakannya terlihat agak
lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat. Itulah
jurus 'Pedang Tujuh Harimau' yang menjadi ilmu an-
dalan Pendekar Macan Putih.
"Hm.... Rupanya ilmu pedangmu nampaknya
sudah semakin maju, Jalasena! Hebat.., hebat!" puji
Hantu Kematian yang merasakan kehebatan ilmu pe-
dang lawannya.
Sambil berkata demikian, kedua kakinya mela-
kukan gerakan-gerakan aneh. Kelihatannya kacau dan
berkesan sembarangan. Dan setiap kali pedang lawan
datang menyambar, selalu saja menemui tempat ko-
song! Padahal, Ki Jalasena telah mengerahkan seluruh
kemampuan untuk melancarkan serangan itu. Tapi
sampai sejauh itu, belum juga berhasil menyentuh tu-
buh lawan.
"Bedebah! Mengapa kau tidak membalas seran-
ganku, Hantu Kematian? Apakah kau memang tidak
mampu balas menyerang?" geram Ki Jalasena yang
semakin penasaran karena serangan-serangannya be-
lum juga membawa hasil.
"Kekh, kekh, kekh.... Aku sengaja memberi ke
sempatan padamu untuk menyerang selama dua pu-
luh jurus, Pendekar Macan Putih! Maka jangan sia-
siakan kesempatan yang hanya tinggal empat jurus la-
gi," sahut kakek tinggi kurus itu tanpa mempedulikan
kemarahan lawannya.
"Setan!" maki Ki Jalasena semakin mengkelap.
Hati Pendekar Macan Putih benar-benar marah
mendapat hinaan yang sangat menyakitkan itu. Pe-
dang di tangannya berputar setengah lingkaran dari
bawah ke atas untuk menyambar tenggorokan lawan.
Bahkan tangan kirinya pun menyusuli dengan cengke-
raman ke arah lambung.
Bettt! Wuttt!
Dua buah serangan maut yang dilancarkan Ki
Jalasena, sama sekali tidak membuat gugup Hantu
Kematian. Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba tu-
buh kakek itu berputar sambil merundukkan kepala.
Dua buah serangan lawan pun hanya mengenai angin
kosong.
"Waktumu sudah habis, Pendekar Macan Pu-
tih!" seru Hantu Kematian memberi peringatan.
Berbarengan dengan habisnya ucapan itu, se-
pasang tangan kakek itu tiba-tiba berputar cepat.
Langsung disambarnya pelipis serta dada kiri Pendekar
Macan Putih.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Macan
Putih. Serangan yang datangnya tiba-tiba itu, benar-
benar hebat dan sulit dielakkan. Karena tidak mempu-
nyai kesempatan menghindar, cepat-cepat pedangnya
diputar untuk memapak tangan kanan lawan yang
mengancam jalan darah kematian di pelipisnya.
Tapi, Hantu Kematian pun bukanlah orang bo-
doh. Tangan kanannya yang semula mengincar pelipis
itu, langsung berputar cepat. Kemudian cepat ditotok
nya pergelangan tangan lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya yang mengincar dada, bergerak naik ke atas.
Langsung dicengkeramnya tenggorokan lawan.
Tukkk! Brettt!
"Aaakh...!"
Pendekar Macan Putih menjerit kesakitan keti-
ka totokan lawan tepat menghantam jalan darah di
pergelangannya. Maka tangan kanan pendekar itu
kontan lumpuh. Dengan demikian, senjatanya pun
terpental lepas dari genggaman. Namun dalam kea-
daan gawat itu, ternyata Pendekar Macan Putih masih
sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, cengkera-
man tangan kiri lawan hanya melukai punggungnya.
"Bagus...!" puji Hantu Kematian melihat lawan-
nya masih juga berhasil menyelamatkan diri dari ceng-
keraman.
Sehabis berkata demikian, tubuhnya kembali
melesat mengejar lawan yang tengah terhuyung.
Kreppp!
Jari-jari tangan kiri Hantu Kematian berhasil
membeset leher Pendekar Macan Putih yang tengah
terhuyung. Dan sebelum disadari lagi, tahu-tahu Han-
tu Kematian telah berbalik dan tangan kanannya me-
luncur cepat ke arah bagian atas perut lawannya!
"Aaargh...!"
Pendekar Macan Putih meraung setinggi langit
ketika jari-jari tangan lawan mencoblos perutnya. Tan-
gan itu langsung ditarik keluar, disertai jantung Pen-
dekar Macan Putih yang sudah tergenggam erat di tan-
gan Hantu Kematian.
Desss!
Tubuh Ki Jalasena yang tengah bergoyang-
goyang itu langsung terpental akibat tendangan keras
Hantu Kematian.
Tubuhnya kontan terbanting keras di atas ta-
nah, dan langsung tewas seketika.
Kejadian yang hanya berlangsung sekejapan
mata itu membuat murid-murid Perguruan Macan Li-
wung terpaku bagai kehilangan kesadaran. Mereka
hanya dapat berdiri kaku, dengan sepasang mata
membelalak lebar. Kesadaran baru merasuk hati me-
reka, ketika terdengar kekeh menyeramkan dari Hantu
Kematian.
"Kekh, kekh, kekh...! Jantungmu ternyata san-
gat bagus dan bersih, Pendekar Macan Putih! Dan aku
akan mencicipinya sesuai janjiku. Kelak jantung yang
lain akan menyusul!"
Setelah berkata demikian, Hantu Kematian
dengan rakusnya melahap jantung lawan yang berada
dalam genggaman tangannya itu.
"Guru...!"
Murid-murid Ki Jalasena yang tersadar dari ke-
terpakuannya, berlari menghambur ke arah tubuh gu-
runya.
Sedangkan yang lain memandang Hantu Kema-
tian dengan sinar mata marah. Namun belasan orang
murid itu bergerak mundur dengan wajah jijik. Apa
yang disaksikan itu, benar-benar membuat isi perut
mereka bagaikan terbalik. Bahkan beberapa di anta-
ranya langsung muntah-muntah. Sedang yang lain se-
gera memalingkan wajah yang sudah menjadi pucat
"Manusia iblis...!" desis beberapa orang di anta-
ranya dengan suara bergetar.
***
Bukan main hancurnya hati Gampala dan keti-
ga orang adik seperguruannya melihat keadaan mayat
guru mereka yang amat mengenaskan itu. Murid ter-
tua Ki Jalasena itu bangkit, lalu membalikkan tubuh-
nya menghadap Hantu Kematian.
Mendidih darah Gampala melihat kelakuan ka-
kek iblis itu. Wajah Hantu Kematian yang masih dipe-
nuhi darah jantung gurunya itu, membuat rasa gentar
di hati murid utama Perguruan Macan Liwung itu le-
nyap seketika. Yang diingatnya hanyalah kematian gu-
runya. Dan itu harus dibalas dengan darah Hantu Ke-
matian pula.
"Jahanam keji! Harus kau bayar mahal kebia-
dabanmu itu!" teriak Gampala dengan suara bergetar
marah.
"Benar, Kakang. Meskipun harus berkorban
nyawa, aku rela asal kematian guru kita terbalaskan!"
Sudirja yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Gam-
pala, bergegas bangkit. Perbuatannya diikuti Widarta
dan Sumiija.
Gampala yang sadar akan kepandaian Hantu
Kematian, segera memerintahkan seluruh murid Per-
guruan Macan Liwung untuk mengepungnya.
"Kepung manusia keji itu! Kita pertaruhkan
nyawa demi membalas kematian guru kita!" teriak
Gampala yang sudah melompat mendekati Hantu Ke-
matian.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus..., bagus...! Senang
rasanya dapat mengantarkan kalian menyusul arwah
guru kalian itu. Mari, majulah!" ujar Hantu Kematian
dengan wajah tetap dingin.
Kakek tinggi kurus itu hanya berdiri tegak me-
nanti serangan. Hatinya sama sekali tidak merasa gen-
tar, meskipun jumlah pengeroyok. mencapai enam pu-
luh orang lebih. Hal itu menunjukkan kalau Hantu
Kematian benar-benar merasa yakin dengan ilmu ke
pandaiannya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan keras, Gampala melompat
mendahului yang lainnya. Golok besar di tangannya
berkelebatan cepat hingga menimbulkan deru angin
keras.
Sesaat setelah Gampala melompat, murid-
murid yang lain pun bergerak menyerbu Hantu Kema-
tian yang masih berdiri tegak menanti serangan.
"Haiiit..!"
Pada saat serangan Gampala hampir tiba, men-
dadak Hantu Kematian berseru nyaring dan mengge-
tarkan! Saat itu juga, tubuh tinggi kurus itu melesat ke
depan sambil menghindari sambaran golok Gampala.
"Rebah...!"
Hebat sekali bentakan yang keluar dari mulut
Hantu Kematian. Belasan orang pengeroyoknya lang-
sung terpental bagai daun-daun kering tertiup angin.
Beberapa orang langsung tewas seketika, karena teria-
kan itu didorong tenaga dahsyat. Dan memang, pem-
buluh darah mereka langsung pecah.
Belum lagi yang lain sempat menyadari kea-
daan itu, Hantu Kematian seketika menggerakkan ke-
dua tangannya ke atas kepala. Sepasang tangan yang
mengandung kekuatan dahsyat itu segera bertemu dan
menimbulkan ledakan keras.
Plarrr!
"Aaargh...!"
Beberapa murid Perguruan Macan Liwung yang
masih hidup meraung kesakitan akibat ledakan yang
ditimbulkan oleh pertemuan sepasang telapak tangan
kakek tinggi kurus itu. Mereka langsung terjungkal ke
tanah. Tubuh mereka menggelepar bagaikan ayam dis-
embelih. Kedua tangan menekap telinga yang menga
lirkan darah segar! Setelah berkelojotan sambil me-
raung kesakitan, mereka pun tewas dalam keadaan
mengenaskan!
Sementara itu Gampala dan ketiga murid uta-
ma Perguruan Macan Liwung ternyata masih selamat.
Tapi mereka juga mengalami luka yang cukup parah.
Jurus 'Memecah Sukma' yang dilancarkan Hantu Ke-
matian benar-benar dahsyat dan mengerikan! Sehing-
ga meskipun Gampala dan tiga orang lain masih sela-
mat, namun sudah tanpa semangat lagi. Lenyap, entah
ke mana. Dan mereka hanya bisa pasrah menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput
"Hmh...!"
Hantu Kematian menggeram ketika melihat
Gampala dan tiga orang lainnya tengah berdiri ber-
goyang-goyang. Tanpa banyak cakap lagi, kakek tinggi
kurus itu segera melesat ke arah mereka. Langsung
dikirimkannya tamparan ke kepala keempat orang itu.
Keempat orang murid utama Perguruan Macan
Liwung itu hanya dapat memejamkan mata sambil
menanti datangnya kematian. Gampala dan ketiga
orang adik seperguruannya itu tidak kuasa lagi menge-
lak. Apalagi sekujur tubuh mereka seperti lumpuh, se-
hingga tidak mungkin lagi melakukan perlawanan.
Terdengar suara berderak keras berturut-turut
ketika tamparan telapak tangan Hantu Kematian
menghantam kepala mereka secara bergantian. Tubuh
keempat orang itu langsung ambruk ke tanah. Darah
segar bercampur cairan putih, seketika mengalir mem-
basahi tanah halaman depan Perguruan Macan Li-
wung. Empat murid utama perguruan itu pun tewas di
tangan Hantu Kematian.
Kekejaman Hantu Kematian ternyata tidak ber-
henti sampai di situ saja. Setelah menewaskan empat
orang murid kepala Ki Jalasena, kakek tinggi kurus itu
melesat memasuki balai utama perguruan itu. Terden-
gar jeritan-jeritan menyayat ketika Hantu Kematian
membantai seluruh wanita dan anak-anak yang berada
di dalam balai utama Perguruan Macan Liwung.
Tak lama kemudian, kakek tinggi kurus itu me-
lesat meninggalkan Perguruan Macan Liwung diiringi
tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Kekh, kekh, kekh...! Dunia persilatan akan
kubuat gempar dengan kemunculanku ini...," tegas
Hantu Kematian di sela-sela kekehnya yang parau dan
berat
***
DUA
Pagi baru saja menjelang. Suara kokok ayam
jantan terdengar saling bersahutan. Burung-burung
terbang kian kemari sambil memperdengarkan kicaua-
nnya yang merdu. Perlahan cahaya mentari membias
menerobos rimbunan dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari pagi, seo-
rang penunggang kuda bergerak perlahan melintasi ja-
lan setapak. Tubuhnya yang kecil dan ramping, me-
nandakan kalau penunggang kuda itu pastilah seorang
wanita. Rambutnya yang legam dan tergerai lepas,
mengibas lembut mengikuti gerakan kepala yang me-
noleh ke kiri-kanannya. Sepertinya, penunggang kuda
itu tengah menikmati suasana pagi yang cerah ini.
Dilihat dari raut wajah yang cantik dan berkulit
halus itu, paling banyak usianya baru sekitar delapan
belas tahun. Matanya yang bulat dan bening nampak
berbinar cerah menikmati pemandangan indah di kaki
pegunungan Mentawak. Bibirnya yang merah dan se-
gar, tak bosan-bosannya melepas senyum.
"Kita berhenti sebentar, Hitam. Lihat, air sungai
itu nampak segar sekali! Rasanya aku ingin merendam
tubuhku sejenak," kata dara cantik itu sambil mene-
puk-nepuk punggung kudanya perlahan.
Kuda hitam bertubuh kekar itu meringkik lirih,
seolah mengerti kata-kata majikannya. Binatang itu
menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah aliran
sungai yang terlihat jernih.
Gadis cantik bertubuh ramping itu bergegas
melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Nah! Sementara aku membersihkan tubuh,
nikmatilah rumput-rumput segar yang ada di sekitar-
mu," ujar gadis cantik itu sambil mengelus-elus leher
binatang tunggangannya. Kemudian, kakinya melang-
kah menuju aliran sungai yang terpisah beberapa
langkah di depannya.
Setelah melepas pakaiannya di tempat aman,
dara cantik itu pun segera merendam tubuhnya di da-
lam air sungai yang agak dalam dan terlindung. Ia be-
renang kian kemari, menikmati sejuknya air yang
mengalir dari pegunungan.
Sayang kegembiraan yang dinikmati gadis can-
tik itu tidak berlangsung lama. Karena, tiba-tiba mun-
cul tiga orang laki-laki kasar dari balik semak-semak.
Seketika dara cantik itu segera berlari, untuk bersem-
bunyi di balik sebuah batu besar di tengah sungai.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka kalau di pagi ini
kita akan bertemu seorang dewi yang turun dari langit!
Lihatlah! Bukankah ia mengundangku untuk mandi
bersamanya!" kata laki-laki bertubuh gemuk yang wa-
jahnya dipenuhi cambang bauk, kepada kedua orang
kawannya sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha...! Betul.... Betul! Kakang Kobar,
apakah tidak sebaiknya diundi saja, siapa yang lebih
dahulu menemani sang Dewi mandi?" usul orang ber-
tubuh tinggi kurus sambil terkekeh memuakkan. Se-
pasang matanya yang sipit itu nampak melebar, kare-
na ingin melihat jelas tubuh gadis yang tanpa pakaian
itu.
"Aku setuju!" timpal yang lain, sambil mengi-
bar-ngibarkan pakaian gadis itu, yang diambilnya dari
semak-semak. Jakunnya yang sebesar biji salak itu
nampak turun-naik, membayangkan tubuh mulus da-
ra cantik itu.
"Ah, tidak perlu! Aku yang paling tua, maka su-
dah tentu mendapat giliran pertama," bentak lelaki
gemuk yang dipanggil Kobar itu sambil mengibaskan
tangan dengan sikap kesal.
"Hei! Kurang ajar, kalian! Kembalikan pakaian-
ku, atau kalian akan menyesal nanti akibatnya!" tiba-
tiba dara cantik itu berteriak mengancam. Sehingga,
ketiga orang kasar yang tengah bertengkar itu serentak
menoleh ke arahnya.
"Ha ha ha...! Sabarlah, Manis. Bukankah kau
masih ingin berlama-lama berendam dalam air yang
sejuk ini? Nah! Tunggulah. Aku akan ikut berendam
bersamamu. Bukankah rasanya akan lebih nikmat?"
sahut Kobar sambil melepas pakaiannya dan siap
menceburkan diri ke dalam air sungai.
"Bangsat, berhenti! Kalau kau nekat mendeka-
tiku, kupecahkan kepalamu yang berisi pikiran kotor
itu!" teriak dara cantik yang wajahnya menjadi merah
ketika melihat lelaki bercambang bauk itu mendekati
tempatnya bersembunyi.
"Hei, Ni sanak yang cantik! Kalau kau mengin
ginkan pakaianmu, naiklah! Tidak usah malu-malu!"
sahut lelaki tinggi kurus yang masih berdiri di tepi
sungai, sambil melambaikan tangannya. Dia memberi
isyarat agar gadis cantik itu naik ke darat
"Bajingan! Kalau tidak juga mau menyerahkan
pakaianku, tubuh kalian akan ku cabik-cabik dan
mayat kalian kulemparkan ke dalam sungai! Cepat
lemparkan ke sini!" teriak gadis cantik itu.
Gadis itu hampir menangis karena rasa malu
dan marah yang menyesak dadanya. Kakinya dibant-
ing-banting di dalam air, karena tidak tahu harus ber-
buat apa untuk menghadapi kekurangajaran ketiga
orang laki-laki kasar itu.
Sementara itu, Kobar sudah berenang mende-
kati tempat gadis itu bersembunyi. Lelaki gemuk itu
terkekeh-kekeh kegirangan. Di benaknya sudah ter-
gambar keindahan bentuk tubuh gadis yang sudah je-
las berkulit putih dan halus.
"Ayo, Manis. Keluarlah. Apakah kau lebih suka
kalau aku yang mendekat ke situ? Kalau memang
maumu begitu, aku pasti akan menurutinya," bujuk
Kobar.
Laki-laki itu sudah maju semakin dekat saja
dengan batu besar tempat gadis itu bersembunyi. Deru
napasnya terdengar sating berebutan, bagai seekor
kuda yang habis dipacu.
"Pergi, kau! Jangan mendekat ke sini! Setan!"
dara cantik yang merasa tidak berdaya itu berteriak-
teriak hampir menangis.
Dia memang merasa serba salah. Kalau diam,
sudah pasti lelaki gemuk itu akan sampai ke tempat
persembunyiannya. Sedangkan untuk menyerang, je-
las tidak mungkin. Sebab perbuatan itu sama saja
dengan mempertontonkan anggota tubuhnya. Akhir
nya, ia pun bergerak menjauh sambil merendam tu-
buhnya sebatas leher.
"He he he....! Jangan takut, Manis. Aku tidak
akan menyakitimu. Malah sebaliknya, aku akan mem-
buatmu bahagia dan membawamu terbang ke langit
tingkat tujuh," bujuk Kobar.
Suara laki-laki itu mulai gemetar, karena nafsu
iblisnya telah bangkit setelah melihat kulit leher yang
putih halus itu. Saat itu jarak antara keduanya terpi-
sah sekitar satu batang tombak.
"Setan kau! Awas, kalau berani bersikap ku-
rang ajar kepadaku. Aku tidak akan segan-segan me-
mecahkan kepalamu!" gadis cantik itu berteriak-teriak
sambil mengacaukan air sungai hingga menjadi kotor.
Dengan demikian, tubuhnya terlindung dari pandan-
gan sepasang mata liar Kobar.
Kobar sama sekali tidak mempedulikan anca-
man itu. Ia terus saja maju mendekat sambil mengem-
bangkan kedua tangannya. Sepertinya, lelaki gemuk
itu tengah bersiap-siap menerkam tubuh gadis cantik
yang semakin ketakutan itu.
"Heyaaa...!"
Karena gadis cantik itu terus saja menjauh,
Kobar menjadi tidak sabar. Meskipun jarak mereka
masih tetap terpisah satu batang tombak, akhirnya
Kobar nekat melompat dan menubruk tubuh gadis itu.
Wajahnya menyeringai, membayangkan betapa seben-
tar lagi akan memeluk tubuh berkulit halus itu.
Gadis itu bergegas menghindari terkaman Ko-
bar. Namun, ia tidak berani menyambut tubuh lelaki
gemuk itu dengan pukulan. Karena jika berbuat demi-
kian, berarti sebagian tubuhnya harus diangkat.
Dan perbuatan itu sama saja mempertontonkan
anggota tubuhnya. Maka ia pun memutuskan untuk
menghindarinya saja.
Tapi sebelum Kobar sempat mencapai tubuh
gadis itu, mendadak sesosok bayangan putih berkele-
bat cepat di atas permukaan sungai. Sambil melompat,
sosok tubuh itu melancarkan tamparan ke kepala Ko-
bar.
Karena tidak menduga bakal ada kejadian se-
perti itu, Kobar pun tak sempat lagi menghindar. Ce-
pat-cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melin-
dungi kepala yang terancam tamparan bayangan putih
itu.
Plakkk!
Lelaki gemuk itu mengeluh ketika tamparan itu
tepat mengenai kepala. Tubuh gemuk itu langsung ter-
pelanting ke dalam air! Meskipun tamparan keras itu
tidak melukainya karena kepalanya terlindung tenaga
dalam, namun tetap saja Kobar merasakan alam di se-
kitarnya berputar.
"Bangsat! Siapa kau?! Berani-beraninya men-
campuri urusanku...?! Rupanya kau ingin dianggap
pahlawan, ya? Huh! Jangan mimpi, Sobat! Kau belum
kenal, siapa Kobar yang berjuluk Setan Kepalan Besi!"
bentak Kobar yang sudah bangkit berdiri tegak di atas
batu besar, di tengah sungai.
"Hm.... Paling-paling kepalanmu itu hanya bisa
meremukkan krupuk!" ejek sosok tubuh berpakaian
putih.
Dia ternyata seorang pemuda tampan bertubuh
tegap. Pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpen-
tang. Sikapnya nampak gagah sekali.
"Ni sanak, kuharap kau bersembunyi di balik
batu itu. Biar aku yang mewakilimu memberi pelajaran
kepada mereka," lanjut pemuda itu sambil menolehkan
kepala ke arah si gadis.
Kobar yang menyadari keadaannya tidak men-
gizinkan untuk bertarung, bergegas menghambur ke
tepi sungai. Cepat-cepat disambarnya pakaian yang di-
asongkan salah seorang kawannya. Lalu, pakaian itu
dikenakan secara tergesa-gesa.
Sedangkan pemuda tampan berpakaian putih
itu pun segera melesat menghampiri Kobar dan kawan-
kawannya.
"Hmh...!"
Lelaki gemuk yang telah selesai berpakaian itu
membalikkan tubuh disertai geraman marah. Sepa-
sang tangannya terkepal erat, sehingga berkerotokan.
Sepasang matanya menatap lekat-lekat, seolah-olah
ingin menelan tubuh pemuda tampan itu hidup-hidup.
"Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini.
Sadarlah, perbuatan kalian tadi itu melanggar tata
krama," ujar pemuda tampan itu.
"Diam kau, Pemuda Sok Suci! Lebih baik ber-
sihkan hidungmu yang masih ingusan itu! Dan jangan
sekali-kali mencoba menggurui kami!" bentak Kobar
garang. Kemudian, dia maju beberapa langkah mende-
kati pemuda tampan itu.
***
Kobar dan pemuda tampan itu saling menatap
dalam jarak satu setengah tombak. Sepasang mata le-
laki gemuk itu memancarkan sinar berapi-api yang
siap membakar hangus tubuh calon lawannya. Se-
dangkan yang ditatap, tetap saja tenang tanpa menun-
jukkan rasa gentar sedikit pun
"Hehhh...!"
Lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang
bauk itu menghembuskan napas kuat-kuat. Berbaren
gan dengan itu, kedua kakinya bergerak membuka
membentuk kuda-kuda. Sepasang tangannya dengan
telapak terbuka, didorongkan ke atas hingga melewati
kepala. Kemudian tangan itu turun perlahan-lahan,
dengan gerakan menyilang di depan dada.
"Bersiaplah, Anak Muda! Kau harus diberi pela-
jaran agar lebih mengenal siapa Setan Kepalan Besi!"
geram Kobar yang sudah mengepal kedua tangannya
kuat-kuat. Kaki kanannya ditarik ke belakang, agak
rendah.
"Majulah! Aku ingin tahu, sampai di mana ke-
rasnya tangan besimu itu," sahut pemuda tegap ber-
pakaian serba putih itu tenang.
Ia tetap saja berdiri tegak, tanpa memper-
siapkan jurusnya. Tentu saja Kobar yang merasa di-
pandang remeh menjadi semakin marah.
"Keparat sombong! Sambutlah...!"
Sambil berteriak nyaring, Kobar menggeser
langkahnya mendekati pemuda itu. Sepasang kepalan-
nya menyambar-nyambar menimbulkan angin kuat
Bettt! Bettt!
"Hmh...!"
Melihat serangan yang dilancarkan lelaki ge-
muk itu, pemuda tampan itu hanya bergumam lirih.
Sambil menggeser kaki kanannya ke samping, tubuh-
nya diputar hingga mendadak doyong ke kanan. Maka
dua buah serangan Kobar pun lewat di depan tubuh-
nya.
Namun, gerakan Kobar pun ternyata cukup ge-
sit! Begitu sadar kalau kedua serangannya dapat di-
hindari lawan, kaki kanannya cepat bergerak menyapu
kaki kiri lawan yang berada di depan.
Sebenarnya, sapuan kaki kanan Kobar itu ha-
nyalah sebuah gerak tipu untuk memancing gerakan
lawan. Apabila lawan berhasil terkecoh sehingga men-
gangkat kaki kirinya, maka sapuan kaki Kobar dapat
berubah menjadi tendangan kilat yang berbahaya. Se-
baliknya, bila lawan tidak berusaha menghindar, maka
sapuan kakinya akan terus berlanjut. Bahkan akan
langsung disusul dorongan kedua telapak tangan ke
arah dada. Benar-benar sebuah serangan berbahaya
dan penuh perhitungan!
Tapi, sepertinya pemuda itu sama sekali tidak
menyadari akan perhitungan serangan lawan. Ia tetap
saja menanti sapuan kaki Kobar tanpa berusaha men-
gelak. Tentu saja lelaki gemuk itu menjadi gembira bu-
kan main. Sudah terbayang jelas di benaknya, betapa
laki-laki muda itu akan terlempar oleh dorongan sepa-
sang tangannya yang siap dilontarkan.
Pada saat sapuan kaki Kobar hampir mengenai
kaki lawan, tiba-tiba saja pemuda itu menunduk. Lu-
tutnya segera dijatuhkan untuk menghantam tulang
kering lawannya. Berbarengan dengan gerakan itu,
tangan kanannya dengan telapak terbuka menggedor
dada lawan
Dukkk! Buggg!
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gemuk itu terlempar
ke belakang sejauh dua batang tombak! Kobar terus
bergulingan, hingga satu batang tombak lebih. Jerit
kesakitan seketika terdengar dari mulutnya.
Kobar bangkit duduk dengan mimik wajah lu-
cu. Ia terlihat sibuk mengurut-urut kaki kanan dan
menekap dadanya yang terasa sesak. Lelaki gemuk itu
tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang dirasakan saat
itu. Di sisi lain, dadanya yang terhantam telapak tan-
gan pemuda itu terasa sesak dan nyeri. Sedangkan tu-
lang kering kaki kanannya yang terkena hantaman lu-
tut, sakitnya sukar dilukiskan. Sehingga, Kobar tidak
tahu apakah harus menangis atau menjerit-jerit akibat
rasa sakit yang bercampur aduk.
"Ah! Sayang kau hanya memperhatikan kekua-
tan tanganmu, Kisanak. Sehingga, kau lupa kalau ka-
kimu belum sekeras besi. Kunasihatkan, agar kau ce-
pat-cepat melatih kakimu. Sehingga, julukanmu akan
lebih lengkap dan menyeramkan. Setan Kepalan dan
Kaki Besi! Nan, bukankah julukan itu lebih hebat?" le-
dek pemuda tampan itu seraya tersenyum lucu.
"Hi hi hi...! Tepat sekali! Aku setuju dengan ju-
lukan itu," tiba-tiba terdengar suara merdu yang be-
rasal dari aliran sungai.
Pemuda tampan itu menoleh, lalu melemparkan
senyum kepada dara cantik yang rupanya juga men-
dengarkan ucapan itu.
"Kau setuju, Ni sanak?" tanya pemuda tampan
itu tanpa melepaskan senyum yang menghias wajah.
"Tentu saja aku setuju, Kakang!" sahut gadis
cantik itu, dengan mata kocak. Sepertinya, gadis itu
sudah lupa kalau hampir saja celaka tadi.
Sementara itu, kedua orang kawan Kobar ber-
gegas menghampiri dan memapah tubuh lelaki gemuk
itu. Sebelum pergi, mereka sempat meninggalkan kata-
kata ancaman kepada pemuda tampan itu.
"Ingat, Kisanak! Persoalan kita belum selesai!
Kelak, kami akan mencarimu dan membalas hinaan
ini!" geram lelaki tinggi kurus dengan tatapan penuh
dendam.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum tanpa
mempedulikan ancaman orang itu. Dan setelah ketiga
orang itu lenyap di balik rimbunan pepohonan, tubuh-
nya pun segera berbalik menghadap ke sungai. Di sa-
na, dara cantik itu masih bersembunyi.
"Hei, Ni sanak! Apakah pakaian ini harus ku
lemparkan, atau kau yang akan naik ke sini!" tanya
pemuda tampan itu, agak keras.
"Lemparkan saja! Biar aku mengenakannya di
sini!" sahut dara cantik itu sambil menyembulkan ke-
pala dari balik batu.
"Tangkaplah...!" ujar pemuda itu sambil me-
lemparkan pakaian yang terbuat dari sutra kuning ce-
rah.
Setelah melemparkan pakaian, pemuda tampan
itu membalikkan tubuhnya, duduk di atas sebuah ba-
tu yang agak pipih. Sepasang matanya menerawang
jauh, menembus mega-mega biru yang berarak pergi.
***
TIGA
"Namaku, Wurati, kuucapkan banyak terima
kasih atas pertolonganmu," ucap gadis cantik yang
mengaku bernama Wurati. Saat itu keduanya berdiri
berhadapan di tepian sungai.
"Ah! Jangan terlalu sungkan-sungkan. Bukan-
kah tolong-menolong sudah menjadi kewajiban kita
bersama," sahut pemuda tampan itu merendah. "Na-
maku Samanggala. Kebetulan pondokku tidak begitu
jauh dari sungai ini. Jadi, suara teriakanmu terdengar
cukup jelas dari pondokku."
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Dan mu-
dah-mudahan, aku bisa membalasnya kelak," sambut
Wurati lagi sambil membungkukkan tubuhnya mem-
beri hormat.
"Ah, sudahlah! Mengapa kau begitu terikat segala aturan konyol itu? Tapi kalau kau memang bersi-
keras hendak membalas budiku itu, tunggulah di sini
sebentar!"
Setelah berkata demikian, pemuda tampan
yang bernama Samanggala itu berkelebat lenyap me-
nuju sebuah mulut hutan.
Wurati yang tidak sempat mencegah kepergian
Samanggala, berdiri terpaku dengan wajah bingung.
Sama sekali tidak dimengerti, mengapa tiba-tiba saja
penolongnya berlari menuju mulut hutan yang mem-
bentang beberapa belas tombak di depannya. Gadis itu
berdiri mematung, menunggu kemunculan pemuda itu
dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya.
Tak lama kemudian, Samanggala kembali sam-
bil menenteng dua ekor ayam hutan yang cukup besar.
Wajah pemuda tampan itu tampak tersenyum cerah
ketika menghampiri Wurati.
"Nah! Kalau memang ingin membalas budiku,
mari ikut aku ke pondok. Dengan memenuhi undan-
ganku, maka berarti kau sudah tidak punya hutang
lagi. Bagaimana? Bersedia?" tanya Samanggala sambil
memandang wajah cantik di depannya dengan sinar
mata kagum.
"Hi hi hi...! Kau ini ada-ada saja, Kakang. Baik-
lah, aku menerimanya dengan senang hati. Apalagi,
saat ini perutku memang sudah minta diisi," sahut
Wurati terkekeh gembira. Dan sudah dapat diduga,
untuk apa dua ekor ayam hutan yang berada dalam
genggaman pemuda itu.
"Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Ayolah,
kita berangkat," ajak Samanggala, segera melangkah
mendahului Wurati.
Gadis cantik berpakaian kuning cerah itu,
mengangkat bahunya sambil tersenyum. Tanpa berka
ta apa-apa lagi, Wurati pun bergegas menyusul peno-
longnya. Menurutnya, pemuda itu berwatak aneh.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya pun ti-
ba di depan sebuah pondok kayu yang sederhana dan
terlihat cukup bersih.
"Nah, inilah istanaku. Tapi sayang, tidak ada
dayang seorang pun yang menyambut kedatangan kita.
Bagaimana menurutmu? Apakah cukup memadai?!"
gurau Samanggala seraya mengulum senyum.
"Hm.... Benar-benar sebuah istana yang me-
nyenangkan. Tentunya di sini kau sering menikmati
nyanyian-nyanyian alam. Seperti desau angin lirih,
lembutnya gemerisik dedaunan, dan juga gemuruh air
sungai yang mengalir. Apakah kau tinggal seorang diri,
Gusti Pangeran?" tanya Wurati dengan sikap dibuat
wajar.
Seolah-olah gadis itu memang tengah berhada-
pan dengan seorang pangeran. Padahal, tawanya su-
dah hampir meledak ketika melihat wajah Samanggala
yang seperti orang tolol. Rupanya, pemuda itu cukup
terkejut mendengar jawaban Wurati yang sama sekali
tidak disangka itu.
Beberapa saat kemudian, barulah pemuda itu
menyadari sikapnya. Senyum di wajahnya tampak
mengembang. Hatinya benar-benar gembira, karena
Wurati ternyata seorang gadis yang menyenangkan
dan pandai bergurau.
"Yah, aku memang tinggal seorang diri di tem-
pat ini. Tapi, hari ini nasibku sedang baik. Karena, ti-
ba-tiba saja seorang putri jelita bersedia memenuhi
undanganku," timpal Samanggala mengakhiri ucapan-
nya dengan derai tawa bergelak-gelak.
"Ya, seorang putri yang tersesat dan kelaparan,"
sambung Wurati terkekeh gembira.
"Kalau begitu, Tuan Putri tunggulah di sini.
Hamba akan segera menyiapkan hidangan istimewa,"
Setelah berkata demikian, Samanggala melang-
kah memasuki pondok.
Wurati duduk menunggu di bawah pohon di
depan pondok itu. Wajahnya terlihat berbinar gembira.
Perkenalan singkat itu ternyata telah menimbulkan
kesan mendalam di hatinya. Diam-diam, gadis itu me-
muji cara bergaul Samanggala yang membuatnya cepat
akrab, dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
Samanggala adalah seorang pemuda tampan
yang menyenangkan. Belum lagi kepandaian silatnya,
yang sempat dilihat Wurati sewaktu menundukkan Se-
tan Kepalan Besi. Benar-benar pemuda yang jarang
duanya.
Senyum di wajah Wurati mengembang menge-
nang semua itu. Ketika tersadar, ia menjadi malu sen-
diri. Kedua pipinya seketika dijalari warna merah, ke-
tika teringat betapa tidak pantas membayangkan wa-
jah seorang pemuda yang baru beberapa saat dikenal-
nya.
"Aduh, kasihan! Sayang ayam bakar yang di-
bayangkan belum siap. Padahal, Tuan Putri sudah ter-
senyum-senyum sendirian membayangkan kelezatan-
nya," goda Samanggala yang tiba-tiba keluar dari da-
lam pondoknya. Di tangan pemuda itu telah tergeng-
gam dua buah gelas yang terbuat dari bambu.
"Sialan! Aku bukannya tengah membayangkan
ayam bakarmu. Enak saja menuduh orang!" sungut
Wurati. Gadis itu menjadi agak malu, karena perbua-
tannya dipergoki sosok yang tengah dinilainya itu.
Samanggala tertawa lunak melihat Wurati ter-
sipu malu. Dihampirinya gadis itu, lalu disodorkannya
salah satu gelas bambu di tangan kanannya.
"Arak ini sama sekali tidak memabukkan. Dan
rasanya sangat cocok untuk teman hidangan kita nan-
ti," jelas Samanggala yang kembali masuk ke dalam
pondoknya setelah meletakkan gelas yang satunya lagi.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah
kembali sambil membawa dua buah gumpalan tanah
sebesar bola. Samanggala sama sekali tidak merasa
kepanasan meskipun bulatan tanah yang dipegangnya
masih mengepulkan asap. Jelas pemuda itu pasti me-
miliki tenaga dalam tinggi. Sehingga, rasa panas itu ti-
dak membuat telapak tangannya melepuh. Tentu saja
Wurati semakin bertambah kagum.
"Hei? Untuk apa kedua gumpalan tanah itu,
Kakang?" tanya Wurati seraya mengerutkan kening-
nya.
Gadis itu benar-benar tidak mengerti, apa se-
benarnya yang akan dilakukan pemuda itu. Padahal,
tadi Samanggala berjanji akan membawa dua ekor
ayam yang telah dimasaknya. Mengapa sekarang ma-
lah membawa dua buah gumpalan tanah? Apakah pe-
muda itu mempermainkannya?
Samanggala sama sekali tidak menyahuti per-
tanyaan Wurati. Sehabis meletakkan dua buah gumpa-
lan tanah di depan gadis cantik itu, lalu disambarnya
dua helai daun pisang. Kemudian, pemuda itu duduk
bersila di hadapan sahabat barunya. Diserahkannya
sehelai daun pisang kepada gadis itu.
Tanpa mempedulikan tatapan heran mata Wu-
rati, Samanggala membelah gumpalan tanah di hada-
pannya.
"Eh...?"
Wurati tertegun melihat isi gumpalan tanah se-
besar bola itu. Asap tipis mengepul menebarkan aroma
yang membuat rasa laparnya semakin menggigit.
Wurati menjadi agak dongkol melihat pemuda
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Gadis itu
hanya meneguk air liur, melihat betapa lahapnya Sa-
manggala menikmati daging ayam yang berwarna ke-
kuningan. Diraihnya gumpalan tanah yang berada di
depannya, lalu ditiru perbuatan sahabatnya.
Tanpa malu-malu lagi, Wurati menyantap dag-
ing ayam yang ternyata sangat nikmat itu. Dalam seke-
jap saja, ayam bakar itu pun lenyap, masuk ke dalam
perutnya.
"Bagaimana, Tuan Putri? Apakah rasa laparmu
masih mengganggu?" tanya Samanggala.
Pemuda itu juga telah menyelesaikan makan-
nya. Arak harum di gelas bambunya pun telah berpin-
dah dalam perutnya. Pemuda itu memandang Wurati,
dengan senyum menggoda.
"Wah! Kau benar-benar hebat, Kakang. Dari
mana kau belajar cara memasak seperti ini? Aku ingin
sekali mempelajarinya," puji Wurati tanpa malu-malu
lagi, seraya meneguk minumannya.
"Oh, ya. Aku belum tahu asal-usulmu. Kau da-
tang dari mana?" tanya Samanggala tanpa mempeduli-
kan pujian Wurati.
"Aku dari Desa Maja Tengah. Sejak kecil, aku
dititipkan ayah di Perguruan Silat Cakar Naga," jelas
Wurati.
"Hm... Apakah gurumu Ki Bala Dewa yang ber-
juluk Pendekar Cakar Naga?" tebak Samanggala.
"Oh....! Kau kenal guruku, Kakang?"
Wurati kaget. Rasa kagumnya pada Samangga-
la makin besar. Betapa tidak? Pemuda itu ternyata
luas pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan.
"Gurumu memang pendekar sejati. Julukannya
membuat orang berpikir seribu kali untuk menghada
pinya. Tapi sayang kematiannya masih menjadi teka-
teki," kata Samanggala.
"Itulah sebabnya, Kakang. Aku sekarang ini
tengah mengembara, mencari pembunuh guruku. Wa-
laupun kakak seperguruanku melarang, tapi aku ne-
kat Pokoknya, pembunuh guruku harus kubalas!" te-
gas Wurati.
Hati Samanggala sebenarnya agak terkesiap
mendengar penegasan Wurati. Ini terpancar jelas dari
wajahnya. Untung saat itu kepalanya tengah tertun-
duk, sehingga Wurati tidak sempat melihatnya.
"Oh, ya. Apakah arak itu terlalu keras bagimu,
Wurati?" tanya Samanggala mengalihkan pembicaraan.
"Sama sekali tidak, Kakang. Malah menurutku,
arak ini harum dan manis," sahut Wurati.
"Syukurlah kalau begitu," desah Samanggala.
Sepasang mata pemuda itu tampak menyi-
ratkan sinar aneh ketika melihat wajah Wurati keme-
rahan. Mendadak saja, senyumnya yang semula lem-
but kini berubah licik. Jelas sekali kalau hatinya me-
rasa gembira melihat perubahan wajah gadis itu.
Wurati pun bukan tidak menyadari perubahan
pada dirinya. Dan kini tubuhnya mendadak saja terasa
panas bagai terpanggang api. Titik-titik keringat mulai
membanjir, turun membasahi wajah dan tubuhnya.
"Ooohhh...," Wurati mengerang lirih.
Tubuh gadis itu tampak menggeliat gelisah. Su-
atu rangsangan aneh yang selama hidup belum pernah
dirasakannya, kini mencengkeram hatinya. Dan yang
lebih membuatnya tidak mengerti, rangsangan aneh
itu terasa begitu nikmat. Sedangkan deru napasnya te-
rasa semakin memburu.
"Wurati...," desah Samanggala dengan suara se-
rak dan bergetar.
Pemuda itu sama sekali tidak merasa bingung
melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu. Bah-
kan, sebaliknya malah merasa gembira melihatnya.
Samanggala mengulur tangannya menyentuh
jemari gadis itu. Wajah pemuda itu pun memerah.
Hanya bedanya, ia masih bisa menguasai kesadaran.
Sedangkan Wurati sudah bagai orang kehilangan ke-
sadaran Sehingga, gadis itu berkali-kali mengerang
dan merintih lirih.
Sentuhan lembut telapak tangan Samanggala
membuat tubuh Wurati bagai melambung ke angkasa.
Suatu perasaan aneh yang nikmat membuat gadis itu
menggenggam, bahkan meremas-remas jemari tangan
Samanggala dengan tubuh gemetar hebat
"Ha ha ha...!" Samanggala tertawa bagai iblis
ketika merasakan sambutan hangat Wurati. "Marilah
kita masuk, Wurati. Aku akan membawamu terbang ke
langit yang ke tujuh," ujar Samanggala yang segera
memondong tubuh Wurati dan membawanya masuk
ke dalam pondok.
Tawa Samanggala semakin nyaring berkuman-
dang, ketika sepasang tangan halus Wurati bergayut di
lehernya. Begitu tiba di dalam pondok, tubuh gadis
cantik itu direbahkan di atas balai-balai bambu. Ke-
mudian, seluruh pakaian yang membungkus tubuh
Wurati dilepaskan. Sedangkan gadis cantik itu tetap
tidak mau melepaskan pelukannya pada Samanggala.
"Sabarlah, Dewiku...," desah Samanggala.
Bergegas pemuda itu melepaskan seluruh pa-
kaian yang melekat di tubuhnya. Bagaikan seekor ha-
rimau lapar, tubuh gadis itu diterkamnya. Sedangkan
Wurati menyambutnya dengan tidak kalah ganas.
Malang nian nasib gadis cantik itu. Tanpa dis-
adarinya, ia telah terjebak dalam perangkap iblis yang
sengaja dipasang Samanggala dengan lihainya.
Samanggala melampiaskan nafsu iblisnya sam-
bil tertawa penuh kepuasan!
***
Samanggala melangkah keluar dari dalam pon-
dok disertai seringai iblisnya. Tubuh bagian atasnya
yang belum tertutup pakaian itu tampak dibasahi bu-
tir-butir keringat yang mengalir turun
"Bagaimana, Tuan Muda? Apakah gadis cantik
itu sudah ditundukkan?" tanya seorang lelaki gemuk
yang wajahnya dipenuhi cambang bauk.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Setan Kepalan
Besi. Ia datang ditemani dua orang kawannya yang
pernah mengganggu Wurati ketika sedang mandi.
Pemuda tampan yang ternyata seorang penja-
hat cabul itu memang majikan Setan Kepalan Besi.
Dan memang, mereka berempat telah bersandiwara
untuk menjebak Wurati. Dan jebakan itu ternyata ber-
hasil baik.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir! Dia masih belum
sadar. Kalian boleh menikmatinya sekarang," sahut
Samanggala yang segera melesat meninggalkan tempat
itu setelah mengenakan pakaiannya kembali.
Setan Kepalan Besi sama sekali tidak mempe-
dulikan kepergian Samanggala. Lelaki gemuk itu ber-
gegas memasuki pondok sambil memperdengarkan ta-
wa iblisnya.
Bagaikan seekor harimau lapar, Setan Kepalan
Besi langsung menerkam tubuh molek di atas pemba-
ringan. Meskipun saat itu korbannya sudah dalam
keadaan tak sadarkan diri, sama sekali tidak dipeduli-
kannya. Digelutnya tubuh gadis itu untuk melampiaskan nafsu iblisnya.
Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang me-
nikmati tubuh Wurati. Dua orang lain yang berjuluk
Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau pun ikut
menggilirnya. Mereka melakukannya tanpa perasaan
iba sedikit pun terhadap penderitaan gadis malang itu.
Wurati masih juga belum sadarkan diri, saat ti-
ga orang tokoh sesat yang sebenarnya berjuluk Tiga
Setan Kali Brantas itu meninggalkan pondok. Obat pe-
rangsang yang dicampur ke dalam minuman arak ga-
dis itu memang termasuk jenis yang amat keras. Se-
hingga, setelah rangsangan iblisnya terlampiaskan
bersama Samanggala, gadis cantik itu pingsan kehabi-
san tenaga. Maka kesempatan baik itu dipergunakan
Tiga Setan Kali Brantas dalam melaksanakan nafsu be-
jatnya.
"Ohhh...."
Beberapa lama kemudian, terdengar keluhan li-
rih dari mulut Wurati. Dengan mata masih terpejam,
gadis itu mengerang merasakan nyeri dan linu pada
seluruh tubuhnya.
"Aaahhh...!"
Bagaikan disengat kalajengking, Wurati menje-
rit-jerit bagai orang kemasukan setan. Ketika melihat
keadaannya yang tidak karuan, ia langsung sadar
akan apa yang terjadi dengan dirinya. Meskipun demi-
kian, Wurati tidak mampu untuk bangkit dari atas ba-
lai-balai bambu itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit,
dan tulang-tulangnya terasa hancur akibat kebiadaban
Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas yang mem-
perkosanya secara bergilir.
"Aaa...!"
Lengkingan panjang memilukan terdengar me-
mecah kesunyian wilayah Hutan Mentawak. Wurati
meraung menyesali nasib buruk yang dialaminya itu.
Akibat pukulan batin yang amat berat, membuat gadis
itu pingsan untuk yang kedua kalinya.
Lama sekali gadis cantik bernasib malang itu
tidak sadarkan diri. Hingga keesokan harinya, barulah
ia siuman. Tertatih-tatih gadis itu bangkit dari balai-
balai bambu. Air mata tak henti mengalir membasahi
wajahnya yang pucat dan kusut itu.
"Keparat kau, Samanggala. Sampai ke ujung
dunia pun, aku akan mencarimu! Akan ku cabik-cabik
tubuhmu, dan akan kuhirup darahmu!" kutuk Wurati
dengan sinar mata liar, di antara isak tangisnya yang
memilukan.
Dengan langkah tidak tetap, Wurati berjalan
menuju ke luar pondok setelah terlebih dahulu men-
genakan pakaiannya. Sambil melangkah perlahan, di-
cobanya untuk mengingat kejadiannya. Dari saat dito-
long Samanggala, sampai pemuda itu bisa memba-
wanya ke pembaringan dan menodainya.
"Manusia licik...!" desis Wurati yang segera te-
ringat arak harum yang disuguhkan pemuda tampan
itu.
Wurati yakin kalau minuman itulah yang telah
membuat kesadarannya lenyap. Ia tidak ingat lagi, apa
yang dilakukannya setelah meneguk arak itu. Yang di-
ketahuinya kini, dirinya telah ternoda. Hal itu diketa-
huinya dari rasa sakit dan darah yang mengalir di sela-
sela pahanya.
Kalau menuruti perasaannya yang hancur, Wu-
rati rasanya ingin menghabisi saja nyawanya. Ia mera-
sa tidak pantas hidup dengan menanggung aib yang
memalukan. Ada beberapa hal yang membuatnya tetap
ingin bertahan hidup. Mencari pembunuh gurunya,
dan mencuci nodanya dengan darah Samanggala!
EMPAT
Musnahnya Perguruan Macan Liwung, men-
gundang berbagai pendapat tokoh kalangan rimba per-
silatan. Tak seorang pun yang tahu pasti, apa penye-
babnya, dan siapa pula pelakunya? Apalagi tidak seo-
rang pun murid-murid perguruan itu yang tersisa. Se-
muanya tewas dalam pembantaian keji itu.
Banyak sudah sahabat Ketua Perguruan Macan
Liwung yang mencoba menyelidiki penyebab peristiwa
berdarah itu. Namun, tak seorang pun yang berhasil
menemukan jawabannya. Hal itu menimbulkan rasa
penasaran di hati tiga orang sahabat dekat Pendekar
Macan Putih, yang sekaligus Ketua Perguruan Macan
Liwung.
"Aku benar-benar tak habis pikir, Kakang," kata
seorang lelaki gagah yang kumis dan jenggotnya dicu-
kur pendek. "Apa yang mendorong pembunuh biadab
itu, hingga tak satu pun anggota Perguruan Macan Li-
wung yang dibiarkannya lolos. Ini merupakan satu
tanda tanya besar yang mengganggu pikiranku."
Laki-laki gagah itu, dalam dunia persilatan di-
kenal berjuluk Pendekar Tongkat Maut. Sepak terjang-
nya memang cukup mengiriskan.
"Hm.... Meskipun kita bertiga belum menemu-
kan jawabannya, tapi sudah menjadi kewajiban untuk
terus mengusutnya. Aku yakin, kalau kita terus mela-
kukan penyelidikan, suatu hari nanti akan dapat me-
nemukan jawabannya dan sekaligus menemukan ma-
nusia keji itu!" sahut lelaki setengah baya yang memi-
liki kening lebar. Nada suaranya terdengar geram, dan
tanpa keluhan.
Jelas kalau orang itu memiliki tekad yang keras
dan tidak pantang menyerah. Itu tergambar dari ben-
tuk rahangnya yang kokoh, dan sinar matanya yang
menyala memancarkan semangat tinggi.
"Yah! Aku pun tidak akan berhenti sebelum
pembunuh Kakang Jalasena dapat diringkus! Ini men-
jadi tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang
yang paling dekat dengannya. Aku akan menemanimu
untuk mencari tahu orang itu, Kakang Wanggala,"
sambut lelaki berusia empat puluh tahun, sambil
menggenggam telapak tangan lelaki setengah baya
berkening lebar, yang bernama Wanggala.
Orang yang dipanggil Wanggala itu tersenyum
dan menggenggam erat telapak tangan sahabatnya.
"Bukan hanya aku dan kau saja, Adi Jabrang.
Tapi, kita bertigalah yang harus melaksanakan tugas
berat ini. Bukankah begitu, Adi Legawa?" tegas Ki
Wanggala seraya menolehkan kepalanya ke arah Pen-
dekar Tongkat Maut
"Tentu, Kakang. Memang sudah seharusnya hal
itu kita lakukan," sahut Pendekar Tongkat Maut yang
bernama asli Legawa itu. Ia pun segera mengulurkan
tangannya, dan menggenggam telapak tangan kedua
orang sahabatnya.
Tanpa setahu ketiga orang tokoh persilatan itu,
tampak seorang pemuda tampan berjubah putih ikut
mendengarkan pembicaraan mereka.
Lelaki muda berwajah tampan yang duduk
agak ke sudut itu rupanya merasa tertarik dengan
pembicaraan mereka. Meskipun terlihat tengah me-
nunduk menikmati hidangannya, namun pendengaran
tajam pemuda itu dapat menangkap jelas pembicaraan
Ki Wanggala, Ki Legawa, dan Ki Jabrang.
Pemuda tampan itu mengangkat wajah ketika
pendengarannya tidak lagi menangkap pembicaraan
yang menarik hatinya itu. Sepasang matanya menatap
ke arah Ki Wanggala dan kawan-kawannya yang terpi-
sah beberapa meja dari tempat duduknya. Kedai yang
saat itu cukup ramai, membuatnya leluasa untuk me-
neliti dan menilai ketiga orang itu.
"Ada apa, Kakang...?" tanya seorang gadis jelita
berpakaian serba hijau yang duduk bersama pemuda
itu.
Gadis itu melayangkan pandangan, mengikuti
arah tatapan pemuda tampan yang duduk di seberang
mejanya.
"Tidak ada apa-apa, Kenanga. Habiskanlah ma-
kananmu, nanti keburu dingin," sahut pemuda tam-
pan itu.
Dia sudah pasti adalah Panji, yang berjuluk
Pendekar Naga Putih. Suara pendekar muda ini ter-
dengar rendah, karena tidak ingin terdengar ketiga
orang yang diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
Kenanga yang sudah hafal tindak-tanduk keka-
sihnya, segera meneruskan makannya. Hatinya sama
sekali tidak tersinggung atas ketidakterusterangan
pemuda itu. Namun ia tahu betul, kekasihnya pasti
menyimpan sesuatu yang tidak mungkin dikatakan di
tempat itu. Dan itu bisa dimengerti olehnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat sikap
yang ditunjukkan kekasihnya itu. Hatinya merasa lega
melihat wajah jelita itu sama sekali tidak menunjuk-
kan perasaan apa-apa. Diam-diam, ia merasa bersyu-
kur memiliki gadis jelita yang penuh pengertian. Di-
pandanginya wajah Kenanga yang tengah menunduk
itu dengan rasa cinta mendalam.
Kenanga yang merasakan tatapan mata penuh
kasih itu, perlahan mengangkat wajahnya. Ada rasa
hangat yang seketika menjalari permukaan wajahnya
saat melihat tatapan kekasihnya yang jelas-jelas me-
mancarkan kasih kepadanya.
Darah di tubuh gadis jelita itu berdesir nikmat
ketika jemari tangannya digenggam lembut telapak
tangan Panji. Kenanga terpaksa menundukkan wajah-
nya yang dijalari rona merah.
"Makin lama, semakin bertambah saja perasaan
cintaku kepadamu, Kenanga," kata Panji perlahan,
sambil meremas-remas jemari lentik gadis jelita itu.
"Kakang, ini bukan di hutan! Ini kedai makan.
Malu kan, kalau dilihat orang," Kenanga mengingatkan
sambil menarik jemari tangannya dengan gerakan per-
lahan.
Genggaman telapak tangan Panji mengendur.
Bukan teguran gadis itu yang menyebabkannya, me-
lainkan karena pandangan Pendekar Naga Putih tertu-
ju kepada ketiga orang tokoh persilatan yang saat itu
sudah bersiap hendak meninggalkan kedai makan.
Begitu Ki Wanggala dan dua orang kawannya
lenyap di balik pintu sebelah luar kedai, Panji cepat
mengulapkan tangan kanannya memanggil pelayan
dan membayar harga makanan.
"Mengapa terburu-buru, Kakang? Bukankah ki-
ta akan bermalam di Desa Lawatan ini?" tegur Kenan-
ga yang merasa heran atas sikap Panji.
"Nantilah..., sambil jalan kuceritakan," sahut
Panji perlahan
Kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas men-
gajak kekasihnya meninggalkan kedai makan itu. Ke-
nanga pun mengikutinya tanpa membantah lagi.
Panji mengajak Kenanga menuju perbatasan
Desa Lawatan, karena ketiga orang tokoh persilatan itu
tampak tengah bergegas meninggalkan desa. Sambil
berjalan, pemuda itu mulai menceritakan apa yang te
lah didengarnya dari pembicaraan Ki Wanggala dan
teman-temannya tadi.
Kenanga mendengarkan penuturan Panji tanpa
sedikit pun memotong.
"Hm.... Jadi itu yang menyebabkan Kakang
berniat menguntit perjalanan mereka. Apa Kakang ya-
kin, kalau ketiga orang itu akan dapat menemukan je-
jak pembunuh keji itu?" tanya Kenanga setelah Panji
menyelesaikan ceritanya.
"Menurut apa yang kudengar tadi, aku menarik
kesimpulan kalau Ki Wanggala dan kedua orang te-
mannya adalah sahabat dekat Pendekar Macan Putih.
Meskipun saat ini mereka belum mengetahui penyebab
musnahnya Perguruan Macan Liwung, tapi lama-
kelamaan pasti akan dapat mengetahuinya. Sebab, se-
bagai sahabat dekat Pendekar Macan Putih, ada ke-
mungkinan mereka pun tahu musuh-musuh Ki Jala-
sena itu. Jadi untuk memudahkan penyelidikan, tidak
ada salahnya kalau mereka kita ikuti," jawab Panji
panjang lebar.
"Apakah tidak sebaiknya kalau kita memperke-
nalkan diri kepada mereka, Kakang? Aku yakin, mere-
ka akan menerima dengan senang hati. Lebih-lebih ka-
lau kau memperkenalkan julukanmu. Pasti mereka
akan menyambut gembira," usul Kenanga yang ru-
panya lebih suka bersikap terbuka.
Panji tidak segera menjawab usul yang diaju-
kan kekasihnya. Sambil terus melangkah, pemuda
tampan berjubah putih itu mempertimbangkan juga
anjuran Kenanga.
"Untuk sementara, biarlah kita melakukannya
secara sembunyi, Kenanga. Aku khawatir, kalau mem-
perkenalkan diri kepada mereka, belum tentu akan di-
terima dengan hati terbuka. Bukan maksudku untuk
berprasangka buruk. Tapi, tidak semua tokoh persila-
tan dapat menerima kelebihan orang lain. Bukankah
para tokoh persilatan adalah juga manusia biasa, yang
memiliki perasaan sama dengan yang lainnya? Kalau
aku memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Pu-
tih, ada dua kemungkinan yang akan kuterima. Per-
tama, mereka mungkin menerima secara wajar dan bi-
sa juga menyambut gembira kedatangan kita."
Sebentar Panji terdiam. Sementara Kenanga se-
perti terkesan oleh alasan kekasihnya itu. Gadis itu
masih terdiam, seperti berharap agar Pendekar Naga
Putih meneruskan penjelasannya.
"Tapi, bagaimana kalau perkenalan kita diang-
gap sebagai suatu kesombongan? Apalagi, aku harus
memperkenalkan julukan! Bukankah hal itu akan me-
nimbulkan rasa iri, dan mungkin saja mereka akan
menguji kepandaianku? Kemungkinan kedua inilah
yang tidak kuinginkan," lanjut Panji.
"Yah, mudah saja. Beri pelajaran agar mereka
sadar kalau di atas gunung masih ada langit. Kan,
beres," sambut Kenanga ringan.
Ucapan itu dikeluarkan tanpa rasa ragu sedikit
pun. Dan memang, sudah menjadi sifat Kenanga yang
tidak ingin dipandang remeh orang lain. Meski, orang
itu dari golongan putih sekalipun.
"Ha ha ha...! Kau ini aneh, Kenanga. Kalau kau
selalu menuruti perasaanmu, bisa-bisa akan mempu-
nyai banyak musuh. Dan tentu saja hal itu akan me-
rugikanmu sendiri," Panji tertawa bergelak mendengar
ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tahu betul, Kenanga me-
mang memiliki sifat keras. Berbeda dengan dirinya
yang berusaha mengalah, dan sebisa mungkin me-
nyembunyikan julukannya. Karena ia yakin hal itu bisa menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan
bagi tokoh-tokoh persilatan.
"Aku tidak takut..!" sahut Kenanga sungguh-
sungguh. "Tokoh persilatan yang mempunyai sifat jelek
seperti itu, matanya harus dibuka. Mereka harus tahu,
bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling dig-
daya. Apakah pendapatku salah, Kakang?" bantah Ke-
nanga mempertahankan pendapatnya.
"Tidak...," sahut Panji seraya tersenyum.
"Nah...," seru Kenanga dengan wajah berseri.
"Ya, tidak betul...!" sambung Panji lagi seraya
tertawa bergelak.
"Aaa...," rengek Kenanga manja. Bergegas dike-
jarnya Panji, ketika pemuda itu melarikan diri meng-
hindari cubitannya.
***
"Tolooong...!"
Di bawah siraman garangnya cahaya matahari,
sesosok tubuh penuh luka berlari terpincang-pincang
menerobos dedaunan. Tangan kanannya yang meng-
genggam sebilah pedang dikibaskan ke kanan dan ke
kiri untuk memapas ranting yang menghalangi jalan-
nya.
"Aaah...."
Sosok tubuh lelaki itu terguling ketika kaki ka-
nannya tersangkut akar pohon yang menyembul di
atas permukaan tanah. Sambil mengaduh menahan
sakit, bergegas dia bangkit meskipun gerakannya su-
sah payah.
Wajahnya yang pucat nampak berkerinyut me-
nahan rasa sakit pada dada yang ditekap telapak tan-
gan kiri. Dari sudut bibirnya, tampak mengalir cairan
merah. Demikian juga dari kedua lubang telinganya.
Jelas, kalau lelaki itu mengalami luka yang tidak rin-
gan. Namun daya tahan tubuhnya yang cukup kuat,
menandakan kalau lelaki itu memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Itu terlihat dari kemampuannya untuk ber-
tahan, meski dengan luka yang bisa menewaskan
orang berkepandaian rendah.
"Kau dengar teriakan itu?" tanya Ki Wanggala
seraya menolehkan kepalanya kepada Jabrang dan Le-
gawa yang saat itu juga tengah memandang ke arah-
nya.
Tanpa berpikir dua kali, Legawa dan Jabrang
langsung mengangguk. Memang, teriakan itu pun
sempat tertangkap pendengaran mereka yang telah ter-
latih baik.
Begitu melihat anggukan kepala kedua orang
temannya, Ki Wanggala bergegas melesat menuju asal
teriakan tadi. Kedua orang temannya pun langsung sa-
ja menyusul tanpa banyak cakap lagi.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Wanggala yang
berlari paling depan melihat sesosok tubuh yang ten-
gah berusaha bangkit berdiri. Sekali lompatan saja,
orang tua itu telah berdiri tegak di depan sosok tubuh
yang tengah menderita luka itu.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Wanggala. Dia
segera berjongkok, memeriksa luka-luka yang diderita
orang itu.
"Hantu.... Hantu.... Kematian..., aaakh...!"
Setelah berkata demikian, orang itu langsung
terguling dengan mata mendelik. Dari mulut, telinga,
dan hidungnya mengalir darah segar. Orang itu tewas
di pangkuan Ki Wanggala karena luka-lukanya yang
diderita.
"Hei...?! Rasanya aku kenal orang ini. Kalau ti
dak salah, ia adalah salah seorang murid utama Ki
Jemparang yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Pu-
tih. Apa yang terjadi dengannya, Ki?" seru Legawa atau
yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tongkat
Maut.
"Ki Jemparang.... Di mana pusat perguruan itu,
Adi Legawa?" tanya Ki Wanggala, tanpa mempedulikan
pertanyaan sahabatnya.
Sepasang mata orang tua itu menatap tajam
menuntut jawaban secepatnya. Memang, dalam hal
mengenal tokoh-tokoh persilatan, Pendekar Tongkat
Maut lebih banyak tahu daripadanya. Itu dapat dimak-
lumi, sebab Pendekar Tongkat Maut adalah pendekar
pengembara. Dia selalu mengadakan perjalanan, un-
tuk meluaskan pengalaman.
Berbeda dengan Ki Wanggala maupun Jabrang
yang lebih banyak tinggal untuk mengurus perguruan
masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa Ki Wangga-
la dan Jabrang tidak mengenali lelaki yang tewas di
pangkuan Ki Wanggala itu.
"Perguruan Tangan Putih berpusat di dekat
Sungai Legong. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat
ini," sahut Legawa yang segera dapat menduga, apa
yang telah menimpa perguruan sahabatnya itu.
"Ikut aku...!" ajak Ki Wanggala yang segera me-
lesat meninggalkan mayat lelaki malang itu.
Gerakan orang tua itu demikian cepat, sehingga
dalam beberapa kali lompatan saja sudah jauh me-
ninggalkan kedua orang sahabatnya.
Sadar kalau harus secepatnya untuk tiba di
Perguruan Tangan Putih, maka Legawa dan Jabrang
pun segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari
cepat yang dimiliki. Sesaat saja, tubuh mereka sudah
berkelebat bagaikan bayangan hantu yang sating berkejaran berebut mangsa.
***
Ki Wanggala tiba lebih dulu daripada kedua te-
mannya, di depan pintu gerbang Perguruan Tangan
Putih. Darah di tubuh orang tua itu mendidih ketika di
depannya terhampar suatu pemandangan mengerikan.
Belasan sosok mayat tampak bergelimpangan tumpang
tindih dalam keadaan hampir tidak bisa dikenali.
"Biadab...!" desis Ki Wanggala.
Kemarahan laki-laki tua itu seketika menggele-
gak. Wajahnya merah padam terbakar api kemarahan
yang hampir meledakkan dadanya.
Setelah memperhatikan mayat-mayat itu seje-
nak, Ki Wanggala menggenjot tubuhnya melewati pintu
gerbang yang telah hancur berkeping-keping. Ia lang-
sung melesat, menuju balai utama perguruan itu.
Pemandangan serupa kembali membuat tu-
buhnya terpaku di halaman depan bangunan pergu-
ruan. Di tempat ini pun, puluhan sosok tubuh berge-
limpangan bermandikan darah yang menggenangi seki-
tarnya. Cepat orang tua itu melesat ke dalam bangu-
nan besar yang beberapa tiang penyangganya sudah
patah.
Sepasang kaki orang tua bertubuh tegap itu
berlompatan di antara mayat-mayat yang rebah tak be-
raturan. Keningnya berkerut, dan giginya bergemere-
tak melihat sosok-sosok tubuh wanita telanjang ber-
mandikan darahnya sendiri. Bahkan seorang di anta-
ranya yang memiliki wajah cantik dan berkulit halus,
tergeletak dalam keadaan sangat menyedihkan.
Tubuh wanita yang usianya kira-kira sekitar ti-
ga puluh tahun itu sama sekali tidak tertutup pakaian.
Dia tewas dengan tengkorak kepala retak. Ki Wanggala
dapat menduga kalau wanita itu telah diperkosa, sebe-
lum dibunuh oleh manusia biadab yang melakukan
pembantaian di perguruan ini.
"Keparat! Keji...!" kutuk Ki Wanggala mendesis
geram.
Laki-laki tua itu tak sampai hati melihat pe-
mandangan di sekitarnya. Ia lalu melepaskan jubah
luarnya untuk menutupi tubuh mulus yang tanpa se-
helai benang pun menutupinya.
Lama tokoh setengah baya itu terpaku dengan
wajah muram. Tak lama kemudian, tubuhnya pun
kembali berkelebat untuk memeriksa sekitar pergu-
ruan itu.
"Bagaimana, Kakang...?" sebuah suara menge-
jutkan Ki Wanggala yang saat itu tengah berdiri tegak,
menatapi empat sosok mayat di halaman samping ka-
nan Perguruan Tangan Putih.
Pendekar Tongkat Maut dan Jabrang yang ber-
juluk Harimau Cakar Besi, melangkah mendekati
orang tua yang tengah termenung dengan wajah mu-
ram.
"Sepertinya kita terlambat...," desah Ki Wangga-
la dengan suara hampir tidak terdengar. Setelah berka-
ta demikian, orang tua itu melangkah perlahan sambil
menengadahkan kepalanya menatap langit. Terdengar
helaan napas berat yang berkepanjangan dari mulut
dan hidungnya.
"Benar! Orang tua ini adalah Ki Jemparang
yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Putih. Heran,
bagaimana orang tua sakti ini sampai dapat tewas de-
mikian cepat? Padahal, ia masih dibantu tiga orang
murid utamanya? Entah seberapa tingginya kepan-
daian manusia keji yang melakukan pembantaian ini?"
kata Pendekar Tongkat Maut, seperti untuk dirinya
sendiri.
Laki-laki bernama Legawa itu penasaran meli-
hat tewasnya Ki Jemparang. Karena, ia tahu betul ke-
pandaian Ketua Perguruan Tangan Putih itu. Patut di-
akui, dirinya sendiri pun pernah dikalahkan Ki Jempa-
rang dalam waktu kurang dari lima puluh jurus. Be-
nar-benar tidak bisa diukur, sampai berapa hebat ke-
pandaian musuh Ki Jemparang itu. Hal lain yang
membuatnya tidak habis mengerti adalah, tidak dite-
mukannya mayat lawan di antara mayat murid-murid
Perguruan Tangan Putih. Legawa benar-benar pusing
dibuatnya.
"Kau masih ingat tokoh sesat berjuluk Hantu
Kematian yang telah kita bunuh kurang lebih setahun
yang lewat?" tanya Ki Wanggala tiba-tiba, dan sangat
mengejutkan Legawa.
"Maksud, Kakang...?" tanya Legawa dan Ja-
brang hampir bersamaan.
"Menurut keterangan laki-laki yang kita temu-
kan dekat mulut hutan tadi, pelakunya adalah Hantu
Kematian," jelas Ki Wanggala lirih.
"Mana mungkin, Kakang! Aku yakin betul kalau
iblis itu telah tewas setahun yang lalu. Mungkin saja
ada tokoh lain yang mencoba menakut-nakuti, dengan
menyamar sebagai Hantu Kematian," bantah Harimau
Cakar Besi, tak percaya.
"Sudahlah. Hal itu dipikirkan nanti. Sekarang,
marilah kita kuburkan semua mayat ini," ajak Ki
Wanggala yang segera bergegas melakukan penggalian.
***
LIMA
"Ihhh...."
Kenanga menahan jeritannya ketika melihat
hamparan mayat yang bertebaran memenuhi halaman
depart Perguruan Tangan Putih. Tentu saja jerit terta-
han yang keluar dari pendekar wanita itu bukanlah je-
rit ketakutan. Tapi, ia hanya terkejut melihat hampa-
ran mayat yang keadaannya sangat mengerikan.
"Gila...! Bagaimana seorang manusia sampai
tega melakukan kekejaman seperti ini? Orang seperti
itu tidak lagi pantas disebut manusia. Tapi, lebih pan-
tas sebagai iblis berwujud manusia! Kebiadaban seper-
ti ini tidak bisa didiamkan begitu saja," Panji yang ikut
melihat hamparan mayat murid Perguruan Tangan Pu-
tih menggeram penuh kemarahan.
Kedua pendekar muda itu menoleh bersamaan
ke arah kanan. Saat itu, terlihat tiga orang yang mere-
ka ikuti kini mendatangi. Rupanya, Ki Wanggala dan
dua orang kawannya sempat mendengar jeritan Ke-
nanga. Maka mereka pun menunda pekerjaan, lalu
berlari mendatangi asal jeritan tertahan tadi.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang menatapi
kedua orang di depannya dengan sinar mata, penuh
selidik. Kerut di kening mereka semakin dalam ketika
tidak mengenali Kenanga dan Panji.
"Siapa kalian berdua...?" tegur Ki Wanggala
mewakili dua orang temannya.
Sikap orang tua itu tampak hati-hati sekali.
Memang, sebagai seorang tokoh tua yang masa hidup-
nya dihabiskan untuk menggali ilmu silat, dapat didu-
ga kalau pemuda tampan berjubah putih dan gadis je
lita itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu dapat didu-
ga dari langkah kaki maupun sinar mata mereka.
"Maafkan kelancanganku, Ki. Seperti halnya
kalian, kedatanganku ke tempat ini juga bertujuan
sama. Dan maaf kalau jeritan kawanku ini telah meng-
ganggu kalian," Panji mendahului Kenanga menjawab
pertanyaan Ki Wanggala.
Pemuda itu sengaja tidak menyebutkan nama
Ki Wanggala, meskipun telah mengetahuinya. Karena,
ia tidak ingin urusannya akan semakin panjang apabi-
la menyebut nama orang tua itu.
"Hm.... Ki Wanggala belum menanyakan keper-
luan kalian. Yang ingin kami ketahui, siapa dan dari
mana kalian berdua?" selak Harimau Cakar Besi yang
berwatak berangasan, tak sabar.
Melihat sinar mata yang mengandung anca-
man, Panji tersenyum sabar dan membungkuk hor-
mat. Ia sadar kalau dalam keadaan seperti itu, apalagi
wajah ketiga orang itu nampak menyiratkan dendam,
Panji harus menjawab hati-hati. Sebab, ia tidak ingin
kalau di antara mereka terjadi bentrokan hanya kare-
na salah paham.
"Namaku Panji, dan ini Kenanga. Kami berdua
adalah perantau yang tidak terikat partai manapun.
Kami sampai ke tempat ini juga karena tertarik berita
tentang musnahnya Perguruan Macan Liwung pada
beberapa hari yang lalu. Sayang, di sini pun kami ter-
lambat," jelas Panji yang memang sesungguhnya san-
gat menyesali keterlambatannya itu.
"Anak muda! Kalau kau seorang ksatria, se-
butkan julukanmu," pinta Pendekar Tongkat Maut
Mata pendekar itu menatap tajam, bagaikan
hendak menjenguk isi hati pemuda tampan di hada-
pannya. Sepertinya, Legawa mulai dapat menduga sia
pa adanya pemuda tampan itu.
Sepasang mata lelaki gagah yang kumis dan
jenggotnya terawat rapi itu mengeluarkan cahaya, ke-
tika matanya tertumbuk pada sebuah gagang pedang
yang menyembul dari balik punggung Pendekar Naga
Putih.
"Aku hanyalah orang bodoh. Orang menjuluki
diriku sebagai Pendekar Naga Putih," sahut Panji,
kembali membungkuk hormat kepada ketiga orang le-
laki gagah itu.
Pendekar Tongkat Maut dan Ki Wanggala terse-
nyum gembira ketika mendengar disebutnya julukan
yang telah lama menimbulkan rasa kagum di hati. Me-
reka langsung percaya terhadap pengakuan pemuda
berjubah putih itu. Sebab, dari sikap maupun sua-
ranya, pemuda itu sama sekali tidak bermaksud mem-
banggakan julukannya yang tersohor itu.
Tapi sebelum kedua orang tokoh itu menyam-
but tokoh muda yang dikaguminya, mendadak Hari-
mau Cakar Besi melompat disertai suaranya yang be-
rat dan dalam.
"Hm.... Aku tidak semudah itu mempercayai
pengakuanmu, Anak Muda. Buktikanlah, kalau kau
memang benar-benar Pendekar Naga Putih! Bersiap-
lah!" tantang Jabrang yang sudah mempersiapkan ju-
rus andalan. Itu dilakukan untuk membuktikan kebe-
naran ucapan Panji.
Melihat hal itu, Ki Wanggala maupun Legawa
sama sekali tidak berusaha mencegah perbuatan Ja-
brang. Mereka juga ingin mengetahui, sampai di mana
kelihaian pendekar muda yang telah mengguncangkan
dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat
itu. Kedua tokoh itu melangkah ke tepi, sengaja mem-
berikan kesempatan kepada kawannya untuk menguji
kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Biar aku yang melayaninya, Kakang,"
pinta Kenanga.
Gadis itu merasa dongkol bukan main melihat
kekasaran sikap orang di depannya. Namun, langkah-
nya tertahan ketika telapak tangan Panji menepuk ba-
hunya sebagai isyarat untuk mundur.
"Tidak, Kenanga. Orang ini tidak akan puas ka-
lau belum menjajal kemampuanku. Jadi, percuma saja
kau menghadapinya," bisik Panji lirih, hingga tidak
sampai terdengar yang lainnya.
"Aku sudah siap, Paman...," sahut Panji setelah
Kenanga melangkah ke tepi.
Pendekar muda itu berdiri tegak, siap menyam-
but serangan lawan.
"Bagus...! Nah, sambutlah seranganku...!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh Jabrang su-
dah maju. Langkah kakinya menggeser hingga menim-
bulkan goresan-goresan dalam di atas permukaan ta-
nah.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya, hingga doyong ke
belakang menghindari serangan cakar lawan yang su-
sul-menyusul. Sambaran angin kuat yang ditimbulkan
membuat pemuda itu berhati-hati dalam menghadapi
setiap serangan yang mengincar bagian-bagian tubuh-
nya yang terlemah.
Plak!
"Uhhh...!"
Memasuki jurus ke sepuluh, Panji mengangkat
tangan kirinya ke alas untuk menangkis serangan la-
wan yang mengancam pelipis. 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' yang dikerahkan pemuda itu membuat tubuh
Jabrang terdorong dan hampir terpelanting dibuatnya
Untunglah Harimau Cakar Besi bertindak ce-
pat. Tubuhnya dilempar ke belakang, dan langsung
melakukan salto beberapa kali di udara. Dengan ma-
nis, kedua kakinya mendarat ringan di atas permu-
kaan tanah.
"Hebat..!" puji Harimau Cakar Besi tulus.
Setelah berkata demikian, ia menarik napas
berkali-kali sambil menggerak-gerakkan kedua tangan
untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke tubuh-
nya. Sebab, tangkisan tangan Pendekar Naga Putih ta-
di sempat membuat tubuhnya menggigil bagai orang
terserang demam.
Beberapa saat kemudian, Jabrang menatap
Panji yang saat itu tubuhnya telah terlapisi kabut ber-
sinar putih keperakan. Pemuda tampan itu masih ber-
diri, menatap tajam ke arahnya.
Dugaan Panji yang mengira lawannya puas,
ternyata salah. Sebagai seorang ahli silat yang haus
ilmu, Jabrang tentu saja menjadi girang ketika melihat
kelihaian pemuda tampan itu. Ia bagaikan bocah yang
baru saja dibelikan mainan. Dan akibatnya bisa dite-
bak. Jabrang ternyata tidak ingin berhenti sampai di
situ saja. Ia pun kembali menantang Panji.
"He he he...! Jangan bertindak kepalang tang-
gung, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan perta-
rungan menyenangkan ini!" tantang Harimau Cakar
Besi seraya terkekeh gembira. Lupa sudah ia akan jan-
jinya semula, yang hanya ingin menguji kepandaian
Pendekar Naga Putih.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Janganlah terlalu
pelit memberi pelajaran pada kawanku ini. Sedikit ba-
nyak, tentu kami akan dapat memetik pelajaran dari
pertarungan ini," desak Ki Wanggala yang juga merasa
tertarik terhadap kepandaian pemuda itu.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Tong-
kat Maut. Lelaki gagah berusia empat puluh tahun ini
pun mengajukan alasan yang sama. Dia meminta ke-
pada Pendekar Naga Putin agar bersedia melanjutkan
pertarungan, yang baginya memang sangat menarik
dan berarti itu.
Pendekar Naga Putih hanya mengangkat ba-
hunya, tanda pasrah. Ia tidak sampai hati menolak
permintaan itu. Apalagi, sikap yang ditunjukkan Hari-
mau Cakar Besi bukanlah sikap permusuhan. Melain-
kan sikap seperti seorang sahabat yang meminta pe-
tunjuk darinya. Akhirnya, Panji pun menerima tantan-
gan itu.
"Baiklah, Paman. Dan kuharap Paman suka
bersikap lunak kepadaku," kata Panji merendah.
Agar tidak dituduh memandang rendah lawan,
Pendekar Naga Putih memasang kuda-kuda dap
menghadapi gempuran Harimau Cakar Besi.
"Hm.... Anak ini benar-benar memiliki jiwa pen-
dekar sejati. Ia tetap saja merendah, meskipun tahu
kalau kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dariku.
Hebat..!" gumam Harimau Cakar Besi dalam hati kecil-
nya.
"Haiiit..!"
Jabrang atau yang lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Cakar Besi kembali melompat menerjang lawan.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau
menyambar-nyambar bagian tubuh lawan yang terle-
mah, disertai angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya ke belakang disertai
langkah-langkah kakinya yang beraturan dan terlihat
kokoh. Terkadang, kedua tangannya bergerak me-
nangkis.
Tubuh Harimau Cakar Besi beberapa kali ber-
getar mundur apabila serangannya tertangkis lengan
pemuda itu. Jelas sekali kalau dalam hal tenaga da-
lam, Jabrang masih jauh berada di bawah kekuatan
lawannya yang masih muda itu. Dan ia pun bukan ti-
dak tahu kalau Panji tidak menggunakan tenaga dalam
sepenuhnya. Namun, itu saja sudah membuatnya ka-
lang kabut
Setelah pertarungan itu lewat dari empat puluh
jurus, terlihat Panji mulai menguasai pertarungan.
Pemuda itu mendesak dan memaksa lawannya
untuk bermain mundur. Dan rasanya, Jabrang tidak
akan mampu bertahan lebih dari lima jurus lagi.
Melihat keadaan Harimau Cakar Besi yang su-
dah tidak mampu lagi untuk membalas serangan la-
wan. Maka Ki Wanggala dan Legawa tampak saling
bertukar pandang sejenak. Kemudian....
"Yeaaat..!"
Bagaikan telah sepakat, Ki Wanggala dan Pen-
dekar Tongkat Maut melesat memasuki arena perta-
rungan Begitu tiba, mereka langsung mengirim seran-
gan dahsyat ke arah Panji.
Ki Wanggala melancarkan pukulan-pukulan
maut, sehingga menimbulkan angin berkesiutan tajam.
Kadang-kadang tangannya meliuk dengan jari-jari ter-
buka, dan mematuk-matuk bagaikan dua ekor ular hi-
dup. Jemari tangannya yang sanggup menghancurkan
batu karang itu langsung mengancam leher dan lam-
bung Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Legawa sudah memutar tongkat
mautnya, sehingga kain lebar yang semula melibat ba-
tang tongkat itu pun berkibar menghalangi pandangan
mata lawan
Wukkk! Wrrr!
Angin keras menderu ketika Legawa mengibar-
kan tongkat mautnya untuk menyerang Pendekar Naga
Putih. Serangan itu tentu saja tidak bisa dipandang
ringan. Karena di balik kibaran tongkat mautnya, ter-
nyata tersembunyi tendangan dan pukulan yang dapat
meremukkan tubuh lawan. Itulah sebabnya, mengapa
Legawa dijuluki Pendekar Tongkat Maut
Dengan masuknya kedua orang tokoh yang ti-
dak kalah lihai dengan Harimau Cakar Besi, tentu saja
sempat membuat Panji kewalahan. Bahkan Panji terli-
hat terdesak menghadapi keroyokan mereka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih
melempar tubuhnya hingga sejauh empat batang tom-
bak ke belakang. Begitu kedua kakinya hinggap di atas
tanah, tubuhnya kembali melesat menerjang lawan-
lawannya. Kali ini tiga perempat bagian tenaganya di-
kerahkan untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh
sakti itu. Bahkan Panji pun telah memainkan 'Silat
Naga Sakti' yang menjadi jurus andalannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru
dan menegangkan. Jurus 'Silat Naga Sakti' yang di-
mainkan Panji benar-benar membuat ketiga orang la-
wannya menjadi ciut nyalinya. Sepasang tangan yang
berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dahsyat.
Apalagi setiap sambaran tangan Pendekar Naga Putih
juga menebarkan hawa dingin menusuk. Tentu saja
hal itu membuat ketiga tokoh itu semakin terkejut.
"Heaaah...!"
Ki Wanggala membentak keras sambil membu-
ka kedua tangannya ke samping, untuk membuyarkan
hawa dingin yang terasa membekukan seluruh jalan
darah di tubuhnya. Namun sama sekali tidak disang-
ka, ternyata perbuatan itu justru membahayakan di
rinya. Karena dengan berbuat demikian, berarti perta-
hanan dirinya dibiarkan kosong.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji yang
memiliki pandangan tajam. Saat itu juga, tubuhnya
meliuk mendekati Ki Wanggala. Dan sebelum lawan
sempat menyadarinya, tahu-tahu saja tubuh pemuda
itu muncul di depan orang tua itu. Langsung dikirim-
kannya hantaman ke dada Ki Wanggala dengan tela-
pak tangan terbuka.
Desss!
"Hugkh...!"
Tubuh Ki Wanggala yang kuda-kudanya ter-
gempur itu langsung terjajar mundur sejauh lima ba-
tang tombak. Dari sudut bibirnya tampak cairan me-
rah mengalir. Padahal, Panji telah menekan tenaganya
sekecil mungkin agar tidak melukai orang tua itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, sambaran
Harimau Cakar Besi datang dari sebelah kanannya.
Sepertinya, sambaran itu hendak mengancam lam-
bung!
Pendekar Tongkat Maut pun tidak ingin keting-
galan. Saat itu juga, tongkat maut di tangannya men-
deru mengancam leher Pendekar Naga Putih. Bahkan
masih disusulinya dengan sebuah tendangan miring ke
arah dada pemuda itu. Benar-benar gawat sekali kea-
daan Panji saat itu.
Namun, Panji yang sekarang tentu saja berbeda
dengan Panji yang dulu. Semenjak sembuh dari pe-
nyakit yang diderita, tenaga sakti pemuda itu telah
meningkat jauh (Untuk jelasnya, baca serial Pendekar
Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung
Kembaran"). Apalagi, ia memang tidak pernah lupa me-
latih ilmu-ilmu di setiap kesempatan. Maka kepan-
daian yang dimilikinya pun semakin sukar diukur.
Dalam menghadapi serangan berbahaya dari
dua arah yang berlawanan itu pun, Panji tidak menjadi
gugup. Maka kaki kanannya segera digeser jauh ke
samping, disertai liukan tubuhnya yang membentuk
setengah lingkaran. Dengan demikian, Pendekar Naga
Putih bukan saja berhasil menghindari serangan Ha-
rimau Cakar Besi. Bahkan telah menghindari serangan
Legawa sekaligus.
Gerakan Panji tidak hanya berhenti sampai di
situ saja. Tubuhnya yang meliuk itu tiba-tiba saja te-
lah berada di samping kiri Jabrang. Maka langsung di-
kirimkannya hantaman sikut ke arah iga Harimau Ca-
kar Besi.
Bukkk!
"Ugkh...!"
Setelah itu, tubuh Pendekar Naga Putih kemba-
li berputar dan mengirimkan tendangan lewat jurus
'Sabetan Ekor Naga'nya yang mendarat telak di dada
Pendekar Tongkat Maut
Desss!
"Akh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang
pendekar itu terlempar hingga satu setengah tombak
jauhnya. Tubuh mereka langsung terbanting di atas
tanah. Dari sela-sela bibir tampak mengalir darah se-
gar.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku sama sekali tidak
bermaksud melukai kalian," ucap Panji sambil mem-
bungkuk hormat kepada ketiga orang tokoh itu.
Sementara itu, ketiga pendekar itu sudah
bangkit dan melangkah ke arah Pendekar Naga Putih.
Bergegas Panji menyerahkan kepada mereka masing-
masing, sebutir obat pulung berwarna putih salju.
"Mengapa harus meminta maaf, Pendekar Naga
Putih? Justru seharusnya kami berterima kasih kare-
na kau sudi memberi pelajaran tambahan kepada kami
bertiga," sahut Ki Wanggala sambil mengulur tangan
menerima obat pulung pemberian Panji.
"Kau benar-benar hebat, Panji. Aku yakin, kau
belum seluruhnya mengeluarkan kepandaianmu ketika
menghadapi keroyokan kami tadi. Aku benar-benar
kagum kepadamu. Dalam usia semuda ini, kau ternya-
ta telah memiliki ilmu kesaktian yang sukar sekali di-
cari bandingannya," puji Harimau Cakar Besi dengan
wajah berseri gembira.
"Sudahlah, Paman. Bisa-bisa kepalaku semakin
bertambah besar nanti. Kalau begitu, bukankah aku
sendiri yang kerepotan? Bagaimana aku harus mem-
bawanya?" gurau Panji yang membuat ketiga orang to-
koh persilatan itu tergelak.
Kenanga yang sudah berada di antara mereka,
ikut terkekeh ketika mendengar ucapan Panji yang te-
rasa menggelitik perutnya.
"Lebih baik, kalian beristirahat dulu untuk
memulihkan kesehatan," usul Panji kepada ketiga
orang tokoh persilatan yang masing-masing telah me-
nelan obat pemberiannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Pendekar Naga
Putih?" tanya Ki Wanggala.
Tampaknya orang tua itu begitu gembira kare-
na kehadiran pendekar muda itu telah membawa seti-
tik harapan. Dan orang tua itu merasa yakin, Pendekar
Naga Putih pasti akan dapat menyelesaikan persoalan
yang tengah dihadapinya. Maka ia pun berniat menga-
jak Panji melakukan penyelidikan terhadap pembunuh
keji yang saat ini tengah berkeliaran menebarkan ben-
cana.
"Aku dan Kenanga akan menunggu kalian da
lam memulihkan kesehatan. Setelah itu, kita atur ren-
cana untuk menjebak iblis keji pembantai manusia
itu," sahut Panji, sehingga membuat ketiga orang to-
koh persilatan itu menarik napas lega.
Ketiga orang tokoh persilatan itu pun bergegas
melakukan semadi untuk memulihkan tenaga mereka.
Sementara Panji bersama Kenanga duduk menanti di
bawah pohon, tidak jauh dari mereka.
***
ENAM
Seorang gadis cantik mengenakan pakaian
berwarna kuning cerah tengah duduk termenung di
tepi sungai berair jernih. Wajahnya tampak pucat, dan
tatapan matanya sedingin es. Tubuh yang sebenarnya
indah itu terlihat kurus, seperti orang yang tengah
mengalami penderitaan batin yang sangat berat. Siapa
lagi gadis cantik itu kalau bukan Wurati? Seorang ga-
dis yang telah menjadi korban kebuasan nafsu bina-
tang Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas. Namun,
Wurati memang belum tahu kalau Tiga Setan Kali
Brantas juga ikut mencicipi dirinya. Karena waktu itu
dia dalam keadaan pingsan.
Selama beberapa hari setelah kejadian terkutuk
yang menimpa dirinya, Wurati telah menjelajahi selu-
ruh wilayah hutan dan Bukit Mentawak. Tapi, orang
yang dicarinya ternyata lenyap tanpa jejak bagai dite-
lan bumi. Dalam keadaan putus asa, gadis itu duduk
termenung di tepi sungai, tempat pertama kali berjum-
pa Samanggala.
Butir-butir air bening mengalir menuruni pi-
pinya yang pucat Hatinya merintih pilu mengingat di-
rinya yang kini sudah tidak berharga lagi. Masa de-
pannya hancur direnggut manusia iblis yang tidak
berperi-kemanusiaan itu.
"Ohhh...," Wurati mengeluh putus asa.
Suasana pagi yang indah ini, tidak lagi dapat
dinikmati gadis itu. Semuanya kini terlihat buruk da-
lam pandangan matanya. Karena, hatinya telah mati
dan jiwanya telah kosong semenjak tahu kalau dirinya
telah ternoda. Semangat yang mendorongnya untuk te-
tap hidup, adalah melakukan pembalasan atas kebia-
daban Samanggala yang kini menjadi musuh besarnya
dalam dunia ini. Dan juga membalaskan kematian gu-
runya.
Ketika matahari semakin naik tinggi, Wurati be-
ranjak bangkit dari duduknya. Ia tidak tahu lagi, ke
mana harus pergi untuk mencari manusia yang telah
merusak hidupnya. Asal-usul pemuda itu sama sekali
tidak diketahui. Dan bukan tidak mungkin kalau nama
pemuda itu pun nama samaran yang sengaja diguna-
kan sewaktu menjebak dirinya. Jadi sebenarnya, sega-
la sesuatu mengenai musuh besarnya itu masih gelap.
"Tidak! Aku tidak boleh berputus asa! Aku ha-
rus mencarinya biar sampai ke ujung langit sekalipun!
Aku harus menemukan Samanggala dan mencincang
tubuhnya sampai halus. Dan lagi, aku harus memba-
laskan kematian guru!" tekad Wurati dengan tubuh
menggigil menahan kemarahan yang meluap-luap.
Sepasang mata yang semula indah dan mempe-
sona itu kini menjadi menyeramkan. Terkadang, kedua
bola mata gadis cantik itu berputar liar bagai orang
kurang waras. Hal itu dapat dimaklumi, karena jiwa
Wurati memang mengalami tekanan sangat berat. Masih bagus ia tidak menjadi gila. Untunglah gadis itu ti-
dak tahu, kalau selagi dirinya pingsan, tubuhnya di-
permainkan Tiga Setan Kali Brantas. Kalau saja tidak
dalam keadaan pingsan, mungkin perbuatan ketiga la-
ki-laki itu bisa membuatnya gila!
Setelah mengambil keputusan demikian, Wurati
bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan
tempat itu.
***
Wurati tidak tahu, ke mana harus mencari ma-
nusia keji yang telah menghancurkan hidupnya itu. Ia
pun tidak peduli ketika sepasang kakinya melangkah
menuju wilayah Selatan.
Hembusan angin sejuk yang biasanya selalu
dinikmati, kini tidak lagi membuat hatinya damai. Ga-
dis cantik yang tengah mengalami tekanan batin itu te-
rus saja melangkahkan kakinya dengan tatapan lurus
ke depan. Sedikit pun hatinya tidak tertarik untuk
menikmati pemandangan indah di sekitarnya. Bahkan
ketika memasuki wilayah Hutan Tiga Iblis, sama sekali
tidak merasa gentar. Padahal, suasana hutan itu san-
gat sunyi dan menyeramkan.
Pohon-pohon yang akar-akarnya bersembulan
di atas permukaan tanah dan telah berumur hampir
mencapai seratus tahun, tidak lagi menimbulkan rasa
takut sedikit pun di hati gadis itu. Wurati tetap saja
melangkah, dengan sorot mata dingin lurus ke depan.
Tiba-tiba saja, Wurati menghentikan langkah-
nya. Gadis itu memiringkan kepalanya untuk mena-
jamkan pendengaran. Secara samar-samar tadi, telin-
ganya menangkap jeritan minta tolong dari kejauhan.
Rasa penasaran membuat langkah kakinya semakin
dipercepat, sehingga semakin jauh ke dalam hutan.
"Hhh.... Mungkin yang kudengar tadi hanya de-
sau angin," desah Wurati kecewa, karena jeritan sa-
mar-samar tadi tidak lagi terdengar.
Baru saja ia memutuskan untuk tidak memi-
kirkan jeritan samar-samar tadi, tiba-tiba saja jeritan
itu kembali terdengar. Dan kali ini lebih jelas.
"Ohhh.... Jangaan..! Tolooong...!"
Jeritan wanita bernada ketakutan itu membuat
Wurati tidak berpikir dua kali lagi. Tubuhnya yang
agak kurus langsung melesat menuju asal jeritan tadi.
Apa yang disaksikan gadis cantik berwajah pu-
cat itu membuat darahnya mendidih. Untuk beberapa
saat lamanya, ia hanya berdiri mematung teringat
akan keadaan dirinya.
Beberapa tombak di hadapan Wurati, terben-
tang sebuah pemandangan yang membuat sepasang
matanya jadi basah.
"Begitukah Samanggala memperlakukan
aku...?" gumam Wurati.
Gadis itu melihat tiga orang wanita setengah te-
lanjang tengah meronta-ronta dalam pelukan tiga
orang lelaki kasar, Dan dia mengenali betul ketiga
orang lelaki itu. Mereka adalah orang-orang yang per-
nah mengganggunya ketika mandi di sungai dekat Hu-
tan Mentawak.
"He he he...! Merontalah terus, Manis. Itu akan
membuatku semakin bersemangat!" kata lelaki ber-
cambang bauk, sambil terus menciumi wajah manis
dalam dekapannya yang meronta liar.
"Jangan, Tuan. Kasihanilah aku...," rintih gadis
berwajah bulat telur dan berkulit kuning langsat itu
memohon. Sedang tubuhnya masih terus meronta, be-
rusaha melepaskan pelukan orang yang tak lain ada
lah Setan Kepalan Besi.
Rintihan gadis manis itu, membuat Wurati ter-
sadar dari keterpakuannya.
"Bangsat keji! Lepaskan gadis-gadis itu...!" ben-
tak Wurati.
Seketika gadis itu melolos pedang yang tergan-
tung di pinggangnya. Tubuhnya langsung melesat ke
dekat tempat itu.
"Eh?!"
Tiga Setan Kali Brantas terkejut begitu men-
dengar bentakan. Mereka sama sekali tidak menduga
kalau di dalam hutan yang sunyi dan menyeramkan
masih ada orang yang memergoki perbuatan mereka.
Bergegas mereka melepaskan ketiga orang wanita mu-
da itu, lalu menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Dewi Cantik!
Rupanya kau rindu kepada kami, sehingga ingin men-
gulangi kemesraan kita," tegur Setan Kepalan Besi
sambil terkekeh memuakkan.
"Keparat! Apa maksud ucapanmu itu...?!" ben-
tak Wurati sambil menudingkan ujung pedangnya ke
wajah penuh cambang bauk itu. Hatinya berdebar te-
gang, mendengar ucapan Setan Kepalan Besi yang me-
nimbulkan berbagai dugaan.
"Ah! Kau berpura-pura lupa kepadaku, Ni sa-
nak. Bukankah kita pernah bercumbu di dalam pon-
dok dekat Hutan Mentawak beberapa waktu yang lalu?
Malah, kedua temanku ini pun ikut pula menikmati
tubuhmu," sahut Setan Kepalan Besi.
Laki-laki itu tanpa sadar memang telah mem-
buka persekongkolan nya yang diatur bersama Sa-
manggala. Apalagi, dia memang terlalu sombong, se-
hingga menganggap rendah kepandaian Wurati. Jadi,
dia pun tidak takut kalau-kalau gadis cantik yang wajahnya sudah semakin pucat itu akan membalas den-
dam.
Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau
terkekeh seperti membenarkan ucapan Setan Kepalan
Besi. Kedatangan Wurati membuat mereka lupa terha-
dap ketiga orang wanita yang hampir juga menjadi
korban nafsu bejat Tiga Setan Kali Brantas. Memang,
Wurati jauh lebih cantik dan lebih menarik ketimbang
ketiga orang gadis yang mereka culik dari desa sekitar
daerah itu.
"Apa..., apa yang kalian maksudkan...?" desis
Wurati dengan jantung hampir copot. Tubuh gadis itu
menggigil, takut dengan bayangan buruk yang melin-
tas di benaknya.
"He he he...! Mungkin ia tidak ingat, Kakang.
Sebab waktu itu dia masih pingsan. Tapi kalau seka-
rang ingin mengulanginya, tentu akan lebih nikmat
bagi kita," ujar Setan Muka Putih yang wajahnya putih
bagaikan kapur.
Wajah putihnya itu disebabkan menjalani lati-
han ilmu keji yang mengandung racun ganas. Dan se-
telah ilmu itu berhasil diselesaikan, maka wajahnya
pun berubah putih bagaikan kapur. Selain itu, kepan-
daiannya juga meningkat jauh.
"Jadi..., jadi kalian...! Oh, tidaaak...!" Wurati
menjerit sambil menutupi wajahnya yang kini dibasahi
air mata. Pengakuan Tiga Setan Kali Brantas itu benar-
benar telah memukul dan membuat luka hatinya kem-
bali berdarah.
Wurati jatuh ke atas tanah, bertopang pada lu-
tutnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemah bagai-
kan tak bertenaga. Alam di sekitarnya terasa berputar,
seperti menertawakan dirinya. Hingga, ia hanya bisa
menangis sesenggukan menyesali nasibnya. Sebab biar
bagaimanapun, ia lebih memilih Samanggala saja yang
telah menodai dirinya. Bukan ketiga orang kasar yang
menyeramkan itu. Membayangkan saja, telah cukup
untuk membuatnya jijik. Selain wajah mereka yang
kasar dan menyeramkan, tubuh mereka pun terlihat
kotor tidak terurus.
"He he he...! Tidak perlu menangis, Dewi Can-
tik. Kalau kau memang ingin mengulanginya lagi, ten-
tu aku akan bersedia melakukannya dengan senang
hati. Bukan begitu, Kawan-kawan?" ledek Setan Kepala
Besi yang merupakan orang tertua dari Tiga Setan Kali
Brantas.
Ketiga tokoh terkenal itu memang beraliran se-
sat, dan sangat ditakuti karena kepandaian dan keke-
jamannya. Akibatnya, mereka pun semakin merajalela
menebarkan kejahatan. Satu hal yang paling mereka
sukai, menculik gadis-gadis sebagai pemuas nafsu se-
tan mereka.
Ketika mendengar kata-kata Setan Kepalan Be-
si, Wurati seperti diingatkan akan tujuannya semula.
Cepat gadis itu bangkit dan menghapus air matanya.
Disambarnya pedang yang tergeletak di sam-
pingnya. Kemudian, ia berdiri tegak dengan tatapan ta-
jam.
"Hm... dengarlah manusia-manusia terkutuk!
Aku memang sengaja mencari kalian dan juga pemuda
iblis yang bernama Samanggala. Dan tujuanku adalah
untuk mencabut nyawa manusia-manusia biadab
penghancur hidup wanita macam kalian! Sekarang,
bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut!" geram
Wurati sambil menggerakkan pedangnya menyilang di
depan dada.
"Heaaat..!"
Tanpa menunggu jawaban dari Tiga Setan Kali
Brantas, gadis itu langsung melompat disertai ayunan
senjatanya.
Wuttt! Wuttt...!
Sambaran pedang yang menimbulkan suara
berdesing itu membuat Setan Kepalan Besi dan kawan-
kawannya melompat mundur.
"Kalian jaga tiga orang wanita itu! Biar aku saja
yang menghadapi gadis liar ini!" perintah Setan Kepa-
lan Besi.
Setelah berkata demikian, Setan Kepalan Besi
pun melompat memapak serangan Wurati yang saat
itu tengah melompat
"Mampus kau, Iblis Keparat...!" maki Wurati se-
raya menyabetkan senjatanya berkali-kali hingga
membuat Setan Kepalan Besi sesaat menjadi kerepo-
tan.
Swiiit!
Setan Kepalan Besi merendahkan tubuhnya ke
kanan dengan kepala terdongak. Sambaran ujung pe-
dang itu lewat satu jari di atas kulit lehernya. Secepat
kilat, tubuh lelaki gemuk itu berputar melingkar diser-
tai ayunan kaki kiri. Maksudnya untuk menyapu kaki
depan lawannya.
Wuttt!
Meskipun dalam keadaan jiwa terguncang, na-
mun Wurati ternyata bermata awas. Sambil menarik
tubuh ke belakang, gadis itu mengangkat kaki depan-
nya dengan lutut tertekuk. Secepat kakinya ditarik, se-
cepat itu pula dilancarkan tendangan lurus mengan-
cam pelipis kiri lawan dengan totokan ujung jari ka-
kinya. Sebuah serangan balasan yang sangat berba-
haya. Sudah dapat dipastikan kalau tubuh gemuk itu
akan menggelepar apabila terkena totokan ujung jari
kaki yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Sayang perhitungan Wurati meleset! Totokan
ujung jari kakinya hanya mengenai angin kosong. Ka-
rena, tubuh Setan Kepalan Besi tiba-tiba saja bergerak
meliuk disertai geseran kakinya. Sebelum Wurati sem-
pat menyadarinya, tahu-tahu saja perutnya terasa ba-
gaikan dihantam palu godam.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Hantaman telapak tangan Setan Kepalan Besi
yang hinggap di perut, membuat tubuh Wurati terlem-
par sejauh dua batang tombak ke belakang. Kemudian,
dia terbanting keras di atas tanah berumput
"Ohhh...," Wurati mengerang menahan rasa sa-
kit yang mengaduk-aduk isi perutnya.
Gadis cantik bernasib malang itu mencoba
bangkit sambil menghapus cairan merah di sudut bi-
birnya. Sepasang matanya berputar, mencari-cari pe-
dangnya yang terlempar entah ke mana.
"He he he...! Gadis binal! Kali ini kau akan me-
rasakan cumbuanku dalam keadaan sadar. Tidak usah
malu-malu untuk mengulangi kemesraan kita," ujar
Setan Kepalan Besi seraya terkekeh.
Laki-laki gemuk itu menyeringai buas menatap
Wurati yang tidak mampu bangkit. Memang, rasa sakti
pada perutnya masih terasa menyiksa.
Namun sebelum Setan Kepalan Besi sempat
menjamah tubuh gadis cantik itu, sebuah bayangan
putih melesat disertai bentakan menggelegar.
"Tunggu, Setan Kepalan Besi! Gadis itu bagian-
ku...!" seru sosok tubuh berpakaian putih yang sudah
berdiri tegak menghadang di depan lelaki gemuk ber-
cambang bauk lebat itu.
"Oh! Kiranya Tuan Muda Samanggala yang da-
tang. Kuserahkan betina liar itu kepadamu, Tuan Mu
da. Aku masih mempunyai satu lagi."
Setelah membungkuk hormat, Setan Kepalan
Besi meninggalkan sosok pemuda tampan yang tak
lain adalah Samanggala.
"Silakan kalian bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita itu," ucap Samanggala kepada Tiga Setan
Kali Brantas.
Sementara, ia sendiri sudah memondong tubuh
Wurati. Tentu saja setelah terlebih dahulu menotok
lumpuh tubuh gadis itu. Kemudian, dijejalkannya se-
butir obat ke mulut Wurati yang tak kuasa menolak-
nya.
Samanggala melemparkan tubuh gadis cantik
itu di atas rerumputan tebal di balik semak-semak. Di-
terkamnya tubuh Wurati yang saat itu sudah menge-
rang dan merintih akibat pengaruh obat yang dijejal-
kan pemuda itu. Kejadian terkutuk itu pun kembali te-
rulang menimpa Wurati.
Di tempat lain, Tiga Setan Kali Brantas pun
tengah terkekeh menikmati tubuh korban-korbannya.
Tiga orang gadis desa yang lemah itu hanya bisa me-
nangis, menerima nasib buruk yang menimpa.
Suasana Hutan Tiga Iblis yang semula riuh oleh
hembusan angin, kini mendadak sunyi. Sepertinya,
alam ikut berduka atas nasib malang yang menimpa
keempat orang wanita itu. Hutan Tiga Iblis menjadi
sunyi dan mencekam tanpa seekor binatang pun yang
menyemarakkannya. Hanya suara kekeh dan desah
napas manusia-manusia bejat itu yang terdengar sal-
ing bersahutan.
***
Wurati tersadar dari pingsannya ketika cahaya
matahari siang menerobos rimbunan dedaunan, lalu
menimpa wajahnya. Gadis cantik bernasib malang itu
menangis pilu, dengan hati hancur luluh. Dikenakan-
nya pakaian yang berserakan di sekitar tubuhnya. Air
matanya mengalir, hingga seluruh wajahnya yang pu-
cat menjadi basah.
"Ohhh.... Apa lagi artinya hidup bagiku? Men-
gapa manusia-manusia iblis itu tidak membunuhku
saja sekalian? Mengapa mereka membiarkan aku hi-
dup? Oh, Tuhan! Dosa apa yang telah hamba lakukan,
sehingga sedemikian buruk nasib yang harus hamba
terima?" rintih Wurati sambil melangkah tertatih-tatih
meninggalkan tempat itu. Kini, tidak ada lagi niatan di
hatinya untuk tetap hidup di dalam dunia yang menu-
rutnya sangat kejam. Segala tekadnya pun hancur.
"Oh, Guru.... Maafkan muridmu ini. Rasanya
aku tak mampu membalaskan dendammu. Aku telah
hancur sebelum bertarung, Guru. Rasanya, hidupku
tak ada gunanya lagi di dunia ini. Maafkan aku,
Guru...," rintih Wurati.
Sepasang mata sayu itu terlihat semakin redup
ketika menemukan mayat tiga orang gadis yang berlu-
muran darah. Rupanya tiga orang gadis desa yang ma-
lang itu dibunuh, setelah Tiga Setan Kali Brantas puas
menodai mereka.
"Nasib kalian masih lebih baik dariku. Kalian
tidak lagi merasakan derita yang berkepanjangan, se-
perti yang kualami. Rasanya, kematian memang meru-
pakan jalan satu-satunya yang paling baik. Daripada
hidup hanya untuk menanggung derita dan cemoohan
orang banyak," gumam Wurati, pilu.
Dengan tangan gemetar, Wurati mengeluarkan
pedang yang tadi diselipkan di pinggangnya.
Sret!
Sinar pedang yang berwarna kebiruan, berke-
redep ketika gadis itu mengeluarkan dari sarungnya.
Sambil menahan isak, Wurati mengangkat pedangnya
tinggi-tinggi. Ujung pedang tajam berkilat itu ditempel-
kan di belahan dadanya. Gadis cantik yang sarat pen-
deritaan itu memutuskan untuk menghabisi nya-
wanya. Dia benar-benar sudah melupakan tekadnya.
Membalaskan kematian gurunya, dan membunuh Sa-
manggala.
Wurati memejamkan mata, sehingga air ma-
tanya pun kembali mengalir menuruni pipinya yang
cekung dan pucat. Ditariknya napas dalam-dalam. Se-
pasang tangannya tampak bergetar, siap menghun-
jamkan ujung pedang ke dadanya.
Tak lama kemudian, Wurati menggerakkan pe-
dang yang segera meluncur turun menuju dadanya.
Sebelum ujung pedang menembus kulit da-
danya, seberkas sinar putih meluncur dengan bagai ki-
lat!
Wuttt! Trang!
Seberkas sinar itu langsung membentur ujung
pedang yang sempat menggores permukaan kulit dada
gadis cantik itu.
"Akh...!"
Gadis cantik itu memekik tertahan ketika tan-
gannya terasa lumpuh sebatas bahu. Sedangkan pe-
dangnya sendiri terpental sejauh dua batang tombak
dari tempatnya berdiri. Dapat dibayangkan, betapa he-
batnya tenaga dalam orang yang menggagalkan niat-
nya. Padahal, benda yang dipergunakan hanya sebuah
batu kerikil sebesar ibu jari tangan!
Sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat
dan tahu-tahu telah berdiri di samping Wurati.
"Bunuh diri adalah perbuatan sesat, Ni sanak.
Dan setiap persoalan dapat dicari jalan keluarnya,"
sergah sosok berjubah putih yang ternyata adalah seo-
rang pemuda tampan dan terlihat bijaksana.
"Keparat keji! Berani kau datang lagi setelah
menodai diriku! Mengapa tidak kau bunuh saja aku
sekalian, Manusia Iblis!" maki Wurati begitu melihat
kedatangan sosok pemuda berjubah putih itu.
Begitu ucapannya selesai, gadis cantik itu lang-
sung melancarkan serangan bertubi-tubi. Pukulan dan
tendangannya meluncur deras, meskipun tidak beratu-
ran. Karena saat itu jiwanya memang tengah menga-
lami guncangan yang sangat parah.
"Eh, eh! Tunggu dulu, Ni sanak. Aku sama se-
kali tidak mengerti maksudmu itu!" cegah pemuda ber-
jubah putih itu sambil berusaha mengelak dari seran-
gan Wurati.
Sadar kalau serangan gadis itu tidak mungkin
dapat dicegah dengan kata-kata, maka pemuda tam-
pan yang tak lain Panji itu pun bergerak cepat meno-
tok lumpuh tubuh Wurati.
Tukkk!
"Uhhh...!"
Wurati mengeluh pendek ketika totokan Panji
tepat mengenai sasarannya. Tubuh gadis cantik berna-
sib malang itu pun langsung roboh, tanpa mampu ber-
gerak lagi.
"Bunuh saja aku! Bunuh saja aku...!" Wurati
berteriak-teriak ketika seluruh tubuhnya terasa lum-
puh.
"Ni sanak, lihat baik-baik. Apakah memang aku
orang yang kau maksudkan itu!" tanya Panji sambil
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga, suaranya
terdengar jelas dan mengandung pengaruh kuat
Pada saat itu, terlihat empat sosok tubuh berla
rian mendatangi. Mereka adalah Kenanga, Ki Wangga-
la, Legawa, dan Jabrang. Mereka memang tertinggal
oleh Panji, yang melesat bagai anak panah ketika pen-
dengarannya yang tajam mendengar rintihan Wurati
dari kejauhan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda itu
tiba lebih awal daripada yang lainnya.
"Mengapa dia, Kakang...?" tanya Kenanga sam-
bil memandang iba pada Wurati.
Sekali pandang saja, Kenanga tahu kalau gadis
cantik yang tertotok lumpuh itu tengah mengalami
penderitaan batin yang sangat berat. Itu terlihat dari
raut wajah dan sinar matanya yang membayangkan
keputusasaan.
Wurati menjadi sadar ketika mendengar ucapan
Panji yang mengandung perbawa dahsyat. Dipandan-
ginya wajah pemuda tampan di depannya itu lekat-
lekat. Ia pun segera tahu kalau pemuda di hadapannya
itu bukanlah Samanggala, meskipun bentuk tubuh
keduanya hampir sama. Demikian pula warna pakaian
yang dikenakan. Dan secara sekilas, rasanya kedua
pemuda itu hampir mirip. Hanya saja, wajah Panji le-
bih tenang dan penuh senyum. Sedangkan Samangga-
la, meskipun penuh senyum, tapi wajahnya agak ke-
ras.
"Tidak..., kau bukan dia.... Kau bukan dia...,"
Setelah berkata demikian, Wurati menutup matanya
rapat-rapat. Butiran air bening kembali mengalir
membasahi wajahnya.
"Hm... Biar kutangani gadis ini, Kakang. Ra-
sanya aku dapat menduga, apa yang telah menyebab-
kannya jadi begini," pinta Kenanga.
Kemudian gadis itu meminta agar membiar-
kannya berdua saja dengan Wurati. Karena, ia yakin
kalau gadis itu akan lebih terbuka kepadanya. Sebagai
wanita seperti halnya Wurati, tentu mereka memiliki
perasaan yang sama. Hal itulah yang membuatnya me-
rasa yakin.
Saat itu, Panji dan ketiga orang lainnya tengah
sibuk menutupi mayat tiga orang gadis yang tanpa be-
nang sehelai pun menempel di tubuh mereka. Hati
keempat orang pendekar itu merasa geram melihat
mayat ketiga orang wanita desa yang malang itu. Me-
reka pun dapat menduga, apa yang telah menimpa
wanita-wanita ini sebelum kematiannya.
"Benar-benar manusia keji! Tega benar orang
yang melakukan perbuatan biadab ini!" kutuk Ki
Wanggala sambil mengepal tangannya kuat-kuat
"Entah siapa yang sampai hati melakukan ke-
kejaman seperti ini? Yang jelas, ia pasti manusia ber-
hati binatang!"
Jabrang yang berwatak berangasan, mengger-
takkan giginya kuat-kuat. Rasanya batok kepala pem-
bunuh keji itu ingin dihancurkannya.
Sedangkan Panji dan Legawa tidak memberikan
sambutan. Pemuda berjubah putih itu malah melang-
kah, meneliti keadaan sekitarnya. Ia menghela napas
berat sambil menyandarkan tubuhnya di sebatang po-
hon.
***
TUJUH
Matahari sudah semakin tinggi ketika Kenanga
selesai mengorek keterangan dari Wurati. Sikap dan
tutur kata lembut gadis jelita itu ternyata berhasil me-
lunakkan hati Wurati yang semula tertutup itu. Sehingga, gadis cantik bernasib malang itu tidak ragu-
ragu lagi menumpahkan segala penderitaan yang di-
alaminya kepada Kenanga.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Kenan-
ga. Rasanya, aku sudah tidak pantas lagi hidup di du-
nia ini. Diriku sudah kotor dan tidak berharga lagi.
Pemuda biadab itu telah menghancurkan hidupku...,"
Wurati menutupi wajahnya dengan kedua telapak tan-
gan. Totokan yang tadi dilakukan Panji memang sudah
dibebaskan Kenanga, sehingga Wurati dapat bergerak
leluasa seperti semula.
"Menangislah, jika hal itu memang bisa mele-
gakan rasa sesak yang menggumpal dalam dadamu,"
bisik Kenanga sambil mengembangkan tangannya
memeluk tubuh Wurati yang tangisnya semakin teri-
sak.
Setelah tangis Wurati benar-benar reda, Kenan-
ga lalu mengajaknya menghampiri Panji dan yang
lainnya. Diperkenalkan nya Wurati kepada keempat
orang itu. Wajah pucat itu pun terlihat agak cerah, ka-
rena Kenanga telah berjanji untuk membantunya
membalaskan dendam kesumatnya kepada Samangga-
la. Juga, mencari pembunuh gurunya.
Tanpa menyinggung persoalan Wurati, Kenanga
lalu menceritakan penyebab kematian tiga orang wani-
ta itu. Dan orang-orang yang telah melakukannya.
"Hm..., Tiga Setan Kali Brantas.... Rasanya ju-
lukan itu pernah kudengar. Tapi, mengapa mereka
membawa ketiga wanita desa itu ke tempat ini? Bu-
kankah tempat tinggal mereka di tepi Kali Brantas!"
gumam Panji sambil memutar otak mencari jawaban
dari pertanyaannya.
"Mereka bersekongkol dengan pemuda yang
bernama Samanggala. Adanya ketiga tokoh sesat itu di
sini, mungkin karena Samanggala tinggal di sekitar
tempat ini," Wurati yang memang lebih tahu, segera
menyahuti pertanyaan Panji.
"Seingatku, wilayah Hutan Tiga Iblis ini terma-
suk kekuasaan Hantu Kematian. Dia juga menguasai
Bukit Tiga Iblis, yang sekaligus tempat tinggalnya. Dan
tokoh iblis yang sakti itu tidak pernah suka terhadap
orang lain yang tinggal di sekitar daerah kekuasaan-
nya. Jadi, ada kemungkinan juga kalau pemuda ber-
nama Samanggala itu memiliki hubungan dengan Han-
tu Kematian. Kalau tidak demikian, tokoh iblis itu pas-
ti sudah mengusirnya jauh-jauh," timpal Ki Wanggala
yang tidak asing dengan tempat itu
Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar
Besi mengangguk-anggukkan kepala menyetujui uca-
pan Ki Wanggala. Memang, setahun yang lalu, kedua-
nya ikut membantu melenyapkan Hantu Kematian di
Bukit Tiga Iblis. Mereka datang kembali, karena menu-
rut keterangan salah seorang murid Utama Perguruan
Tangan Putih yang telah tewas, Hantu Kematian lah
penyebab musnahnya Perguruan Macan Liwung dan
Perguruan Tangan Putih. Dan ketiga pendekar itu in-
gin menyelidiki kebenarannya, sehingga meminta ban-
tuan Panji. Tentu saja setelah terlebih dahulu menceri-
takan duduk persoalannya kepada pemuda sakti itu.
Panji pun menyanggupi permintaan ketiga
orang tokoh persilatan itu. Dan sebenarnya, ia me-
mang ingin menyelidiki tentang pembunuhan yang ra-
mai dibicarakan orang.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Bukit
Tiga Iblis, sebelum hari gelap. Kalau Hantu Kematian
benar-benar bangkit dari kubur, sudah pasti ia akan
tetap tinggal di tempatnya yang lama. Apalagi ia meru-
pakan seorang tokoh sesat yang berkemampuan tinggi,
tentu saja tidak sudi untuk pindah tempat, karena ti-
dak ingin dituduh pengecut," usul Panji setelah semu-
anya terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing.
"Yah, memang sebaiknya begitu. Ayolah kita be-
rangkat," ajak Ki Wanggala.
Orang tua itu kemudian melangkahkan kakinya me-
ninggalkan tempat itu. Panji dan yang lainnya bergegas
mengikuti dari belakang.
Tinggallah tiga buah gundukan tanah basah
tempat ketiga orang gadis malang itu dikuburkan.
Sepeninggal keenam orang itu, Hutan Tiga Iblis
kembali dicekam kesunyian.
***
Bukit Tiga Iblis berdiri angker dengan jejeran
pohon besar yang berdiri kokoh bagaikan penjaga-
penjaganya. Pohon-pohon itu tampak tua sekali, se-
hingga beberapa di antaranya telah mengelupas kulit
luarnya. Akar-akarnya bersembulan di atas permu-
kaan tanah, membuat tempat itu semakin sulit dilewa-
ti.
Lerengnya yang terjal dan hampir tegak lurus,
membuat Bukit Tiga Iblis hampir tidak pernah dida-
tangi orang. Siapa pula yang sudi menjejakkan ka-
kinya di atas batu-batu berlumut itu? Rasanya me-
mang tepat kalau bukit itu dinamakan Bukit Tiga Iblis.
Sebab dari kejauhan, bukit itu terlihat terpecah men-
jadi tiga bentuk kepala yang berwarna pekat dan me-
nyeramkan. Belum lagi penghuninya, yang tidak kalah
seram dengan nama dan suasana bukit itu sendiri.
Lengkaplah sudah keangkeran bukit yang tidak sebe-
rapa besar itu.
Enam orang pendekar yang berniat mendatangi
bukit itu menghentikan langkah di kaki bukit. Mereka
berdiri tegak menatap ke atas puncak yang ditumbuhi
pepohonan besar.
Ki Wanggala menarik napas panjang untuk
menekan debaran keras yang memukul dadanya. Ha-
tinya menjadi tegang mengingat peristiwa setahun
yang lalu. Masih terbayang di benaknya, bagaimana
waktu itu dia harus membantu kawan-kawannya un-
tuk melenyapkan Hantu Kematian. Seorang tokoh se-
sat yang selain berkepandaian tinggi, juga terkenal se-
bagai pembunuh berdarah dingin.
Ki Wanggala harus kehilangan tiga orang ka-
wannya sebelum berhasil menamatkan riwayat Hantu
Kematian. Ciut juga hatinya membayangkan, kalau to-
koh sesat yang mengiriskan itu memang benar telah
bangkit kembali dari kuburnya. Dan terus terang ha-
tinya menjadi ragu, apakah dapat menumpas manusia
iblis itu sekarang ini. Apalagi, tokoh sesat itu telah me-
lakukan pembantaian-pembantaian tokoh silat berke-
pandaian tinggi beberapa hari belakangan ini. Sukar
dibayangkan, sampai di mana kesaktian Hantu Kema-
tian sekarang ini. Ki Wanggala mengusap wajahnya
yang berpeluh karena memikirkan hal itu.
Bukan hanya Ki Wanggala saja yang mengalami
ketegangan itu. Harimau Cakar Besi dan Pendekar
Tongkat Maut pun mengalami hal serupa. Mereka yang
dulu pernah ikut mengeroyok Hantu Kematian, menja-
di ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kedatan-
gan mereka justru hanya untuk mengantarkan nyawa
saja. Kekhawatiran itu timbul akibat dugaan, kalau
Hantu Kematian telah bangkit dari kuburnya! Hal itu
bisa saja terjadi, mengingat tokoh sesat yang menye-
ramkan itu memang banyak memiliki ilmu tinggi yang
aneh dan sangat dahsyat. Maka wajah keduanya pun
agak memucat memikirkan hal itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita segera mendaki
Bukit Tiga Iblis ini, Ki?" tanya Panji, memecah kehe-
ningan sesaat itu.
Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa heran
melihat Ki Wanggala dan dua orang lainnya hanya
berdiri termenung memandangi puncak bukit itu. Tapi
ketika melihat perubahan pada wajah ketiga orang to-
koh persilatan itu, Panji sadar kalau hati mereka ten-
gah diliputi ketegangan. Hal itu dapat dimakluminya,
karena Ki Wanggala pernah bercerita tentang perta-
rungannya dengan Hantu Kematian. Bahkan orang tua
itu harus berjuang keras, sehingga harus kehilangan
tiga orang kawannya sebelum menghabisi Hantu Ke-
matian.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang, tersentak
dari lamunan ketika mendengar teguran Panji. Wajah
mereka pun berseri ketika teringat ada Pendekar Naga
Putih, yang kesaktiannya tidak diragukan lagi.
"Hm... Marilah kita segera berangkat!" ajak Ki
Wanggala setelah agak lama terdiam menenangkan ha-
ti agar kegelisahan dan ketegangannya tidak terlihat
Panji. Lalu, orang tua itu pun melangkahkan kakinya
siap mendaki Bukit Tiga Iblis.
Panji tersenyum, namun pura-pura tidak men-
getahui apa yang tengah dirasakan ketiga orang pen-
dekar itu. Langkahnya pun terayun, mengikuti Ki
Wanggala yang dianggapnya sebagai pimpinan. Kare-
na, dialah orang yang paling tua di antara mereka. Se-
dangkan Panji yang tidak suka menonjolkan kepan-
daiannya, memilih sebagai pengikut Dan itu lebih dis-
ukainya.
***
"Berhenti! Hendak ke mana kalian...?!" terden-
gar bentakan yang disusul berloncatannya tiga sosok
tubuh menghadang perjalanan Ki Wanggala dan ka-
wan-kawan.
Ternyata mereka adalah Tiga Setan Kali Bran-
tas yang saat itu hendak meninggalkan Bukit Tiga Ib-
lis. Hingga berpapasan dengan rombongan yang hen-
dak mendaki lereng bukit itu.
Tiga Setan Kali Brantas berdiri tegak sambil
menatap wajah-wajah di depannya. Mereka tampak
terkejut ketika mengenali Wurati dan tiga orang tokoh
persilatan itu. Dan memang, Ki Wanggala dan dua
orang temannya tidaklah asing bagi mereka. Hal itu
wajar, karena ketiga orang itu merupakan pendekar
digdaya dalam dunia persilatan. Tentu saja Tiga Setan
Kali Brantas dapat cepat mengenalinya.
"Oh! Kiranya kau, Ki Wanggala, Pendekar Tong-
kat Maut, dan Harimau Cakar Besi! Apakah kalian
sengaja datang untuk mengantarkan dewi cantik itu
kepadaku? Atau si dara jelita yang sangat molek itu?"
ejek Setan Kepalan Besi yang menatap Kenanga dari
ujung kaki hingga ke ujung rambut.
"Bangsat keji! Manusia kotor! Kini aku harus
membalas kekalahanku waktu itu! Bersiaplah.
Heaaat...!"
"Tahan, Wurati!" Wurati yang melihat kemun-
culan Tiga Setan Kali Brantas langsung kalap. Dia ber-
siap menyerang, namun pergelangan tangannya lang-
sung dicekal Pendekar Naga Putih. Gadis itu hanya bi-
sa memendam perasaannya, lalu memeluk Kenanga.
"Sabarlah, Wurati. Biar Ki Wanggala dan yang
lainnya menghadapi Tiga Setan Kali Brantas itu. Bu-
kankah kami sudah berjanji untuk membantumu?"
bujuk Kenanga sambil merangkul erat gadis itu. Nada
suaranya lembut, sehingga membuat kemarahan di
hati Wurati lenyap seketika.
Sementara Tiga Setan Kali Brantas hanya ter-
senyum memuakkan. Apalagi Setan Kepalan Besi. La-
ki-laki gemuk bercambang bauk lebat itu seperti lupa
kepada yang lainnya. Ia benar-benar terpesona dengan
kecantikan dan kejelitaan Kenanga. Hingga tanpa sa-
dar, mulutnya sampai ternganga dan hampir mene-
teskan air liur. Untung saja keburu disadarinya.
"Setan Kepalan Besi! Kedatanganku kemari
memang berniat hendak mengantarkan," sahut Ki
Wanggala tenang. "Dan nyawamu lah yang akan kuan-
tarkan ke akhirat! Rupanya kau sudah tahu akan hal
itu. Dan kelihatannya memang sudah siap!"
"Keparat sombong! Besar sekali mulutmu, Ki
Wanggala! Justru sebaliknya aku yang akan mengirim
nyawamu ke neraka!" bentak Setan Kepalan Besi mur-
ka. Sepasang tangannya tampak terkepal erat hingga
menimbulkan bunyi berkerotokan nyaring.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sama se-
kali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Sebab se-
kali lihat saja, pemuda itu sudah dapat menilai kepan-
daian Tiga Setan Kali Brantas. Ia tahu kalau Ki Wang-
gala dan kawan-kawannya mampu mengatasi tiga to-
koh sesat itu, meskipun harus dengan susah payah.
Sementara itu, enam orang tokoh dari dua ali-
ran yang berbeda sudah berdiri saling berhadapan! Ki
Wanggala yang memang memiliki keistimewaan dalam
ilmu silat tangan kosong, berhadapan dengan Setan
Kepalan Besi yang juga lebih menyukai tangan kosong.
Kedua orang tokoh itu sudah menyiapkan ju-
rus-jurus untuk saling menyerang. Nampaknya perta-
rungan sudah tidak bisa dihindari lagi. Terlihat kedu
anya sudah melangkah saling mendekat dengan lang-
kah-langkah yang kokoh dan kuat.
"Hiyaaat..!"
Setan Kepalan Besi yang sudah tidak sabar
menunggu itu berteriak keras membuka serangan. Se-
pasang kakinya bergerak maju membentuk kuda-kuda
kokoh. Sedangkan sepasang tangannya bergerak cepat
menimbulkan deru angin tajam. Jelas kalau lelaki ge-
muk itu telah mengerahkan seluruh tenaga, karena
sadar kalau lawan kali ini bukanlah tokoh sembaran-
gan.
"Yeaaat..!"
Ki Wanggala pun tidak mau menunggu datang-
nya serangan lawan. Orang tua itu sudah melompat
menyambut terjangan dahsyat Setan Kepalan Besi. Da-
lam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarun-
gan seru dan menegangkan.
Wuttt! Wukkk...!
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Setan Ke-
palan Besi mengaung, menimbulkan deru angin keras.
Sepertinya, tokoh sesat bertubuh gemuk itu ingin sege-
ra menundukkan lawannya. Hal itu terlihat jelas dari
serangannya yang menggunakan jurus-jurus pilihan.
Namun yang dihadapi Setan Kepalan Besi kali
ini bukanlah tokoh sembarangan. Meskipun serangan-
serangan yang dilancarkannya sangat cepat dan ganas,
ternyata Ki Wanggala mampu mengimbanginya. Bah-
kan orang tua itu pun dapat balas menyerang tidak
kalah berbahayanya. Sehingga, pertarungan kedua
orang tokoh itu pun semakin seru dan menegangkan.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua per-
tempuran lain pun sudah pula berlangsung. Pendekar
Tongkat Maut yang berhadapan dengan Setan Muka
Putih sudah menggunakan senjata andalannya untuk
menghalau pukulan-pukulan beracun yang dilancar-
kan lawan.
Wuttt! Wuttt..!
Kain yang berada di ujung tongkat milik Legawa
berkibaran membuyarkan serangan-serangan lawan-
nya. Pukulan dan tendangan yang tersembunyi di balik
kibaran senjatanya, membuat Setan Muka Putih tidak
berani bertindak ceroboh. Sebab dari sambaran angin
pukulan itu dapat diduga kalau serangan-serangan itu
tidak bisa dianggap enteng.
"Haiiit..!"
Sambil berseru nyaring, Setan Muka Putih me-
lompat tinggi menghindari sambaran ujung senjata la-
wan. Dibarengi gerakan itu, tangan kanannya meng-
hantam ke depan dengan jari-jari terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang menebarkan bau
amis meluncur mengancam dada Legawa yang terbu-
ka. Pendekar itu cepat memutar senjata dengan kedua
tangan membentuk setengah lingkaran.
Blub!
Terdengar suara begitu dua gelombang tenaga
yang saling berlawanan berbenturan. Kedua orang to-
koh itu berseru tertahan, dan bergetar mundur bebe-
rapa langkah ke belakang. Dilihat sepintas, jelas kalau
kekuatan mereka berimbang.
Untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya
berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka persis
seperti dua ekor ayam jago yang tengah berlaga.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali
saling menerjang hebat. Masing-masing mengeluarkan
ilmu-ilmu pilihan untuk mendesak lawannya.
Sementara itu, Jabrang atau yang lebih dikenal
berjuluk Harimau Cakar Besi bertarung seru melawan
Setan Kelabang Hijau. Di arena ini pun tercium bau
amis yang memualkan perut. Sebab sesuai julukannya
pukulan-pukulan Setan Kelabang Hijau juga mengan-
dung racun ganas. Sekali saja orang terkena pukulan
'Kelabang Hijau'nya, sudah pasti tidak akan berumur
panjang.
Itulah sebabnya, mengapa pertarungan yang
berlangsung di arena itu terlihat agak lamban. Hari-
mau Cakar Besi bertindak sangat hati-hati, dan penuh
perhitungan. Sebab disadari, betapa berbahayanya
pukulan beracun yang dilancarkan lawan. Sehingga,
pendekar itu lebih banyak menghindar daripada mela-
kukan serangan. Akibatnya, pertarungan itu kelihatan
tidak menarik dan terkesan membosankan.
"He he he...! Mana ilmu yang kau bangga-
banggakan itu, Harimau Cakar Buntung? Hayo, kelua-
rkan! Atau, kau memang bisanya hanya berlari-lari se-
perti maling?" ejek Setan Kelabang Hijau terkekeh ke-
tika melihat lawannya hanya banyak menghindar dari-
pada melakukan serangan balasan.
Namun, Harimau Cakar Besi sama sekali tidak
meladeni ejekan lawannya. Perhatiannya tetap terpusat
kepada serangan-serangan lawan. Sebab sekali saja
lengah, bukan tidak mungkin pukulan beracun lawan
akan mengenai tubuhnya. Tentu saja hal itu sama se-
kali tidak diinginkannya.
"Haaat..!"
Apa yang diduga Jabrang, terbukti. Selesai me-
lontarkan kata-kata ejekan, tubuh Setan Kelabang Hi-
jau melompat dengan dorongan sepasang telapak tan-
gannya. Bau amis menebar, membuat Harimau Cakar
Besi melompat mundur. Cepat-cepat ia menahan napas, agar hawa beracun yang menyertai serangan la-
wan tidak sampai tercium. Sambil melompat, sepasang
telapak tangannya didorongkan ke depan untuk mele-
paskan pukulan jarak jauhnya.
Wusss!
Serangkum angin kuat menghantam buyar ha-
wa beracun yang dilontarkan Setan Kelabang Hijau.
Tubuh Setan Kelabang Hijau yang baru me-
nyentuh tanah dengan ujung kakinya, kembali melent-
ing mengejar Harimau Cakar Besi. Sepasang tangan-
nya bergerak bersilangan, dan berputar mengaburkan
pandangan lawan.
Bukan main terkejutnya hati Jabrang melihat
kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga
itu. Cepat-cepat tubuhnya bergulingan ke kiri meng-
hindari sepasang tangan lawan yang susul-menyusul
mengincar tubuhnya.
Sayang, gerakan Harimau Cakar Besi kalah ce-
pat dengan lawannya. Pada saat tubuhnya hendak me-
lenting bangkit, tahu-tahu saja kaki kanan lawan su-
dah tiba mengancam perutnya.
Bukkk!
"Hugh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Jabrang terhempas keras
ke belakang ketika telapak kaki lawan tepat menghan-
tam perut pendekar itu.
Harimau Cakar Besi jatuh terguling-guling se-
jauh dua batang tombak. Sebelum dapat bangkit te-
gak, serangan lawan kembali meluncur mengincar da-
danya.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan yang menebarkan bau
amis itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Rasanya
serangan itu tidak mungkin lagi dapat dihindari Hari
mau Cakar Besi. Tokoh berwatak berangasan itu
hanya dapat pasrah menanti datangnya maut
Pada saat yang gawat itu, sesosok bayangan
putih berkelebat bagai kilat menuju ke tengah arena.
Langsung telapak tangan kanannya dihantamkan ke
arah Setan Kelabang Hijau.
Plakkk!
"Ugkh...!"
Terdengar benturan keras dan jerit tertahan
yang keluar dari mulut Setan Kelabang Hijau, kemu-
dian disusul terlemparnya tubuh tokoh sesat itu. Sua-
ra berdebuk keras mengiringi jatuhnya Setan Kelabang
Hijau ke tanah.
Setan Kelabang Hijau mengerang tertahan. Tu-
buhnya tampak menggigil hebat. Dari mulutnya keluar
gumpalan darah segar akibat luka dalam yang dideri-
tanya. Kemudian perlahan wajahnya berubah kehi-
jauan.
Tangkisan yang dilakukan sosok bayangan pu-
tih itu ternyata demikian kuat. Dan akibatnya, tenaga
beracun yang dikerahkan Setan Kelabang Hijau berba-
lik, hingga melukai dirinya sendiri. Dapat dibayang-
kan, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sosok
bayangan putih itu. Ia bukan saja mampu menolak ra-
cun yang dikerahkan tokoh sesat itu, bahkan mampu
membuat tenaga lawan berbalik dan melukai pemilik-
nya.
Sosok berjubah putih yang tak lain Pendekar
Naga Putih itu sama sekali tidak memperhatikan Setan
Kelabang Hijau yang telah menghembuskan napas te-
rakhirnya. Tokoh sesat bertubuh sedang itu mengejang
kaku, dengan sekujur tubuh berwarna kehijauan. Lu-
ka dalam yang dideritanya telah membuat dia tewas
seketika itu juga.
Pendekar Naga Putih kemudian menghampiri
Harimau Cakar Besi yang masih mengerang memegan-
gi perutnya.
"Bagaimana lukamu, Paman...?" tanya Panji
dengan nada khawatir.
"Tidak terlalu mengkhawatirkan. Rasanya, aku
bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih atas pertolon-
ganmu, Pendekar Naga Putih," ucap Harimau Cakar
Besi yang wajahnya masih agak pucat
Bukan hanya Panji dan Jabrang saja yang tidak
mengetahui kematian Setan Kelabang Hijau. Keempat
tokoh lainnya pun juga tidak menyadari hal itu. Mere-
ka terlalu sibuk dengan lawan masing-masing.
***
DELAPAN
Tubuh Setan Kelabang Hijau yang diam tak
bergerak itu menarik perhatian Kenanga dan Wurati.
Kedua orang gadis yang semenjak tadi hanya berdiri
menonton itu melangkahkan kaki dengan benak dipe-
nuhi pertanyaan. Matikah tokoh sesat yang berbahaya
itu? Atau cuma pingsan?
"Ingat, Wurati. Jangan bertindak ceroboh...!"
bisik Kenanga ketika melihat Wurati tengah melolos
pedangnya dengan sorot mata penuh dendam.
Wurati yang semula hendak membantah, ter-
paksa menurut ketika melihat sepasang mata Kenanga
yang menatapnya lembut. Apalagi ketika lengan dara
jelita itu menggenggam hangat telapak tangannya. Se-
ketika luluhlah kekerasan hatinya.
Pedang yang semula terhunus itu perlahan di-
masukkan ke sarungnya. Setelah itu dikutinya lang-
kah Kenanga yang menuju mayat Setan Kelabang Hi-
jau yang terbaring menelungkup.
"Jangan kau sentuh tubuhnya...." Kenanga
mengingatkan sahabatnya, ketika melihat Wurati hen-
dak menyentuh tubuh kehijauan yang menelungkup.
"Tubuh orang ini sudah dicemari racun ganas. Sedikit
saja kau sentuh, mungkin aku tidak akan sanggup
menyelamatkan nyawamu."
Kenanga melangkah maju sejauh dua langkah.
Setelah beberapa saat memperhatikan, tahulah
dara jelita itu kalau Setan Kelabang Hijau telah tewas.
Melihat keadaan mayatnya, gadis itu sadar kalau
orang itu telah termakan ilmunya sendiri. Meskipun
belum diketahui secara pasti, namun dapat diterka ka-
lau kematian orang itu disebabkan tangkisan kekasih-
nya tadi.
Wurati yang belum mengetahui kalau orang itu
telah tewas, timbul niatnya untuk membalas dendam
atas perlakuan orang itu terhadapnya.
"Inilah kesempatan baik bagiku," kata hati ga-
dis yang dipenuhi dendam kesumat itu.
Tanpa setahu Kenanga, gadis cantik berwajah
pucat itu melolos pedangnya tanpa menimbulkan sua-
ra.
"Terimalah pembalasanku, Manusia Jaha-
nam...!" sambil membentak nyaring, Wurati men-
gayunkan pedangnya ke leher Setan Kelabang Hijau
yang telah menjadi mayat
"Wurati, jangan,..!" cegah Kenanga yang sama
sekali tidak menduga gerakan gadis itu.
Terlambat! Wurati yang bagaikan orang kema-
sukan setan telah mencincang seluruh tubuh Setan
Kelabang Hijau. Terlebih dulu, dipenggalnya leher
mayat itu.
"Mampus kau, Biadab! Pergilah ke neraka...!"
Wurati berteriak-teriak di antara isak tangisnya. Pe-
dang dl tangannya berkali-kali menghunjam tubuh
yang telah kaku.
"Dia memang telah tewas sebelumnya, Wura-
ti...," seru Kenanga di antara teriakan-teriakan gadis
itu.
Setelah berseru demikian, tangannya bergerak
menangkap pergelangan tangan gadis cantik yang ke-
setanan itu.
"Lepaskan aku...! Lepaskan! Biar kucincang
hancur tubuh jahanam keparat itu...!" Wurati berte-
riak-teriak sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari
pelukan Kenanga.
Tangan kiri Kenanga melingkar semakin erat
menjepit pinggang gadis cantik itu. Sedangkan tangan
kanannya menjepit pergelangan Wurati yang meme-
gang pedang.
Panji yang mendengar teriakan-teriakan kedua
orang wanita itu, membalikkan tubuhnya. Pendekar
Naga Putih langsung melesat ke arah Kenanga dan
Wurati yang masih memberontak.
"Ada apa, Kenanga...?" tegur Panji demi melihat
keadaan itu.
Pemuda itu baru mengerti ketika melihat tubuh
Setan Kelabang Hijau yang tergeletak dalam keadaan
tidak utuh. Pantas saja Kenanga tidak mau mele-
paskan pelukannya pada tubuh Wurati. Rupanya gadis
jelita itu hendak mencegah perbuatan Wurati.
"Lepaskan aku...! Lepaskan...," teriak Wurati
kian melemah.
Tak lama kemudian, kepala gadis cantik itu
pun terkulai. Wurati kini pingsan dalam pelukan Ke-
nanga.
Belum lagi Kenanga dan Panji dapat menarik
napas lega, tiba-tiba terdengar tawa menggema berke-
panjangan. Hebatnya, suara tawa itu seolah-olah da-
tang dari berbagai penjuru. Sehingga, Panji sendiri su-
lit untuk menentukan arah suara tawa itu berasal.
Saking hebatnya tenaga dalam yang terkan-
dung di dalam suara tawa itu, sampai-sampai keempat
orang tokoh yang tengah bertarung sengit sama-sama
melompat ke belakang. Mereka cepat mengerahkan
hawa mumi untuk melawan pengaruh tawa yang sem-
pat mengguncangkan isi dada.
Untunglah saat itu Wurati dalam keadaan ping-
san. Kalau tidak, gadis yang memiliki kepandaian pal-
ing rendah di antara yang lain, pasti tidak akan kuat
menahan pengaruh tenaga dalam yang dikerahkan me-
lalui tawa itu.
Panji yang memiliki kepandaian paling tinggi di
antara mereka, tidak membiarkan keadaan itu ber-
langsung terus. Bukan tidak mungkin kalau kawan-
kawannya akan mendapat luka dalam yang cukup pa-
rah. Cepat-cepat ditariknya napas dalam-dalam sambil
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang
dahsyat itu
Sinar putih keperakan mulai berpendar menye-
limuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Sesaat ke-
mudian, terdengar lengkingan dari kerongkongannya.
Lengkingan itu berusaha menindih suara tawa yang
masih menggema berkepanjangan.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga
Putih ketika mendapat kenyataan yang sungguh di
luar dugaannya. Sebab setelah seluruh tenaga sak-
tinya dikerahkan, barulah ia dapat menindih suara ta
wa yang benar-benar luar biasa itu. Kenyataan itu
sempat membuat jantungnya berdebar-debar. Karena,
lawan yang mungkin bakal dihadapinya sudah jelas
memiliki kepandaian tinggi dan sukar diukur.
Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan
Panji, angin dingin bertiup keras yang disusul berkele-
batnya sesosok tubuh tinggi kurus.
Sebelum sepasang kaki sosok tinggi kurus itu
menyentuh permukaan bumi, sosok bayangan lainnya
datang menyusul.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak kusangka! Rupanya
tempatku ini mendapat kehormatan dikunjungi seo-
rang tokoh muda yang telah mengguncangkan rimba
persilatan! Selamat datang, Pendekar Naga Putih,"
ucap sosok tinggi kurus.
Dia ternyata seorang kakek, berusia kira-kira
tujuh puluh tahun lebih. Suaranya terdengar serak
dan parau. Meskipun kata-katanya memuji, namun ta-
rikan bibirnya jelas membuktikan kalau meremehkan
Pendekar Naga Putih.
Sedangkan pemuda tampan berbaju putih di
sebelah kiri kakek itu memandang sinis kepada Panji.
Sepasang matanya yang penuh ejekan itu berubah liar,
begitu menangkap seraut wajah jelita yang penuh pe-
sona. Senyum sinis di bibirnya berganti dengan se-
nyum kelicikan.
"Hm.... Gadis seperti inilah yang patut jadi is-
triku," gumam pemuda tampan yang tak lain dari Sa-
manggala. Matanya terus saja menjilati sekujur wajah
dan tubuh Kenanga tanpa malu-malu.
Panji sama sekali tidak mempedulikan Sa-
manggala. Memang, kakek tinggi kurus itu lebih mena-
rik perhatiannya daripada pemuda cabul itu. Dugaan-
nya pun tertuju kepada kakek itu, yang pasti orang
yang mengeluarkan suara tawa tadi.
"Terima kasih atas pujianmu itu, Ki. Sayang
aku tidak seperti yang kau bayangkan. Kuharap kau
tidak kecewa, karena pendekar yang diagung-
agungkan orang hanyalah seorang pemuda dusun
yang bodoh," ujar Panji.
Suara dan wajah Pendekar Naga Putih tetap te-
nang, meskipun di dalam hatinya merasa tegang. Ka-
rena, kakek itu jelas seorang yang memiliki kepan-
daian sangat tinggi. Sehingga, hatinya pun merasa ra-
gu-ragu, apakah dapat menandingi kesaktian kakek
itu.
"Berhati-hatilah, Pendekar Naga Putih. Ternyata
kabar yang semula kukira hanya isapan jempol, benar
adanya. Dialah yang berjuluk Hantu Kematian. Entah
bagaimana caranya hingga sampai dapat bangkit dari
kuburnya. Pada setahun lewat, ia telah kami bunuh.
Padahal kami yakin, saat itu ia telah tewas," bisik Ki
Wanggala yang saat itu telah berada di samping kanan
Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu terlihat agak
pucat dan tegang.
Bukan hanya Ki Wanggala seorang yang merasa
tegang. Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar
Besi yang berada di sebelah kiri Panji pun mengalami
hal serupa. Wajah mereka nampak gelisah dan agak
pucat
Lain halnya Kenanga. Setelah terbebas dari
pengaruh suara tawa yang menggetarkan hati tadi, ga-
dis jelita itu langsung sibuk mengurus Wurati yang
tengah pingsan. Sama sekali tidak dipedulikan yang
lainnya.
Dan memang, dara jelita itu menaruh keper-
cayaan penuh pada kekasihnya. Dia yakin, Pendekar
Naga Putih akan dapat mengatasi semuanya.
Meskipun Panji tidak menyahuti, namun bukan
berarti tidak memperhatikan ucapan Ki Wanggala. Dan
dugaannya ternyata tidak meleset Kakek itu memang
Hantu Kematian seperti dugaannya. Hal itu membuat-
nya semakin berhati-hati. Apalagi menurut Ki Wangga-
la, Hantu Kematian telah tewas terbunuh pada seta-
hun lewat. Hal itu telah membuktikan kalau kakek ku-
rus itu sudah tentu memiliki kepandaian jauh lebih
tinggi dari sebelumnya. Dan ini sudah dibuktikannya
ketika melawan pengaruh suara tawa kakek berwajah
pucat bagai mayat itu.
"Apakah kau pernah mendengar sebuah ilmu
yang dapat membangkitkan orang mati, Pendekar Naga
Putih?" tanya Pendekar Tongkat Maut, berbisik lirih ke
telinga Panji.
"Ilmu seperti itu memang pernah kudengar,
Paman. Tapi, yang satu ini rasanya lain. Ia tidak seper-
ti kebanyakan mayat hidup yang pernah kudengar, se-
bab dapat berbicara dan bertindak menurut kemaua-
nnya sendiri. Bukan atas perintah orang lain," sahut
Panji dengan suara rendah, tanpa menoleh.
Mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih,
Pendekar Tongkat Maut hanya mengangguk-
anggukkan kepala saja. Patut diakui kalau pengeta-
huannya tidak sampai sejauh itu.
"Hm.... Guruku pernah bercerita tentang suatu
ilmu yang hanya dapat disempurnakan saat orang itu
mengalami sekarat. Cara menyempurnakannya pun
harus dengan mengubur diri selama beberapa bulan.
Kalau tidak salah, ilmu itu bernama 'Ilmu Memecah
Sukma'. Tapi menurut guruku, ilmu itu telah lama le-
nyap dari dunia persilatan. Apakah mungkin, kakek
itu sekarang memilikinya," gumam Panji setengah tak
percaya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika kakek
tinggi kurus itu melangkah sejauh enam tindak, men-
dekati Panji dan kawan-kawannya.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus! Rupanya kalian
bertiga pun telah datang untuk mengantarkan nyawa!
Bersiaplah menyusul kedua orang kawan kalian yang
telah lebih dulu kuantarkan ke neraka," ancam Hantu
Kematian kepada Ki Wanggala, Pendekar Tongkat
Maut, dan Harimau Cakar Besi yang merupakan mu-
suh lamanya.
Begitu ucapannya selesai, Hantu Kematian
langsung melompat menerjang Ki Wanggala yang bera-
da di sebelah kanan Panji. Gerakannya demikian ce-
pat, sehingga Panji dan kawan-kawannya hampir tidak
menduga.
Sadar akan bahaya yang mengancam Ki Wang-
gala, Panji menggenjot tubuhnya memapak serangan
Hantu Kematian. Selapis kabut bersinar putih kepera-
kan berpendar menyelimuti tubuhnya. Rupanya, pe-
muda itu langsung mengerahkan hampir seluruh tena-
ga dalam untuk memapak serangan Hantu Kematian
yang memiliki kepandaian tinggi.
Wusss!
Hawa dingin yang sanggup membekukan tu-
buh, berhembus keras mengiringi tamparan telapak
tangan Pendekar Naga Putih. Tamparan itu dimaksud-
kan untuk menggagalkan serangan Hantu Kematian
yang mengancam pelipis Ki Wanggala.
Hantu Kematian rupanya sudah memperhi-
tungkan, apa yang bakal dilakukan Panji. Tangan yang
semula berniat melakukan totokan kepada Ki Wangga-
la, berputar setengah lingkaran. Tangan itu kemudian
langsung bergerak mencengkeram lengan Panji. Gera-
kannya demikian cepat dan tak terduga, sehingga
sempat membuat Panji terkejut
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah orang
yang mudah gugup oleh perubahan gerak tipu lawan.
Telapak tangan yang semula menampar, kini sudah
membentuk cakar naga. Setelah bergerak melingkar
secara mengejutkan, cakar naga Panji langsung me-
nyambar lambung kanan Hantu Kematian.
Wuttt!
"Bagus...!" puji Hantu Kematian sambil melom-
pat mundur menghindari cakaran yang mengandung
hawa dingin kuat itu.
Diam-diam Pendekar Naga Putih memuji kehe-
batan ilmu meringankan tubuh lawannya yang me-
mang hebat luar biasa itu. Tubuh kakek itu terlihat
demikian ringan, hingga tak ubahnya sehelai kapas
yang terbang tertiup angin. Benar-benar sebuah per-
tunjukan ilmu meringankan tubuh yang tidak ada du-
anya
"Hm.... Aku tidak mempunyai urusan dengan-
mu, Pendekar Naga Putih! Tapi kalau memang ingin
mengadu kepandaian denganku, tunggulah sampai ke-
tiga musuh lamaku itu kubereskan!" geram Hantu Ke-
matian yang rupanya tidak suka melihat campur tan-
gan Pendekar Naga Putih.
"Memang benar aku tidak mempunyai persoa-
lan denganmu secara pribadi, Hantu Kematian. Tapi
perbuatanmu yang telah membantai dua partai persila-
tan, membuatku tidak bisa berpangku tangan saja.
Sudah menjadi kewajibanku untuk menumpas segala
kejahatan di muka bumi ini," sahut Panji berwibawa.
Saat itu keduanya berdiri dalam jarak tidak lebih dari
dua batang tombak jauhnya.
"Hm.... Kalau kau memang sudah ingin meng-
hadapi Malaikat Maut, baiklah! Aku bersedia membantumu! Sambutlah...!" ancam Hantu Kematian dengan
suara parau dan sember.
Panji menggeser kakinya ke belakang, siap
menghadapi serangan Hantu Kematian kembali. Sadar
kalau yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan,
maka pemuda itu pun sudah mengeluarkan jurus
'Naga Sakti'nya.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulut
Hantu Kematian. Kakek kurus itu berdiri tegak dengan
sepasang mata menyorot menyeramkan. Perlahan-
lahan, sepasang tangannya bergerak naik ke atas ke-
pala.
"Rebah...!" bentak Hantu Kematian dengan sua-
ra mengguntur, dibarengi tepukan tangannya di atas
kepala.
Pengaruh gerakan sederhana itu hebat bukan
main! Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat ba-
gaikan orang terserang demam! Sedangkan Ki Wangga-
la dan dua orang kawannya, termasuk juga Kenanga,
terhuyung mundur dengan wajah pucat dan napas
memburu. Dari sudut bibir mereka, nampak cairan
merah mengalir turun. Untunglah mereka memiliki te-
naga dalam kuat, sehingga tidak sampai terjatuh kare-
na serangan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikerahkan
Hantu Kematian untuk menundukkan Panji.
Sadar akan kedahsyatan pertarungan yang ten-
gah berlangsung itu, mereka pun bergegas menjauh.
Samanggala, Setan Kepalan Besi, dan Setan
Muka Putih pun tidak ingin mengalami celaka. Keti-
ganya segera berlari menjauhi arena pertarungan yang
mengerikan itu.
Kedua kelompok yang sama-sama menjauh,
akhirnya bertemu. Samanggala yang memang sejak ta-
di mengincar Kenanga, langsung menerkam gadis jelita
itu.
Kenanga yang tengah memondong tubuh Wura-
ti, bergegas meletakkan tubuh gadis itu. Ia yang sejak
semula memang sudah marah oleh cara Samanggala
menatapnya, langsung saja menyambut dengan seran-
gan yang tidak kalah ganas. Dalam waktu yang sing-
kat, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarun-
gan sengit.
Demikian pula halnya Ki Wanggala dan Pende-
kar Tongkat Maut Keduanya melompat menyambut Se-
tan Kepalan Besi dan Setan Muka Putih yang saat itu
juga sudah menerjang. Keempat orang tokoh dari ali-
ran berbeda itu segera terlibat dalam pertarungan ma-
ti-matian. Mereka saling menyerang ganas untuk men-
jatuhkan lawan secepat mungkin.
Tinggallah Harimau Cakar Besi berdiri menon-
ton.
Sebagai seorang berjiwa ksatria, tentu saja ia
tidak sudi melakukan pengeroyokan. Karena, ia yakin
kalau kawan-kawannya pasti akan dapat menguasai
lawan masing-masing. Tokoh berwatak berangasan itu
berdiri tegak menyaksikan pertarungan yang berlang-
sung antara Panji dan Hantu Kematian. Dan memang,
perkelahian kedua orang tokoh sakti itu lebih menarik
perhatiannya.
***
"Heaaa...!"
Hantu Kematian berteriak nyaring sambil me-
mutar kedua tangan secara bersilangan. Serangkum
angin kuat menderu mengiringi pukulan dan tampa-
rannya,
Plok, plok, plok!
Sambil merangsek maju, kakek kurus itu ka-
dang-kadang menepukkan kedua tangannya berkali-
kali. Bagi orang yang tidak mengetahui kehebatan te-
pukan itu, tentu saja terlihat lucu dan menggelikan.
Sebab, mana ada orang yang berkelahi sambil berte-
puk tangan?
Lain halnya Panji, yang berhadapan langsung
dengan kakek itu. Pengaruh tepukan itu ternyata san-
gat merugikannya. Sebab, setiap kali suara tepukan
terdengar, tubuhnya bagai dijalari pengaruh aneh
hingga membuatnya bergetar. Bukan hanya itu yang
dirasakannya. Jurus-jurus yang digunakannya pun
menjadi kacau, dan tidak beraturan seperti biasanya.
Karena jurus-jurusnya berantakan dan tidak
terarah, maka Hantu Kematian mulai dapat mendesak
Pendekar Naga Putih. Bahkan beberapa kali pukulan
maupun tendangannya hampir mencelakai pendekar
muda itu.
"Gila! Mengapa bisa begini...!?" desis Panji tak
habis mengerti.
Otak Pendekar Naga Putih seperti tidak bekerja
dengan baik. Gerakan-gerakannya semakin kacau dan
terlihat ragu-ragu, apabila balas menyerang. Panji be-
nar-benar tidak mengerti, apa yang telah membuatnya
demikian bodoh.
Wuttt! Wuttt!
Memasuki jurus yang kelima puluh, sebuah
tendangan keras membuat tubuh Panji terjungkal ke-
ras ke belakang. Cepat-cepat pemuda itu bergulingan
menghindari serangan susulan lawan.
"Ugkh...!"
Panji mengerang lirih menahan rasa sakit yang
melilit perutnya. Tendangan yang keras dari lawannya
bagaikan mengaduk-aduk seluruh isi perut, dan membuatnya mual.
Sebelum Panji sempat menekan rasa sakit den-
gan pengerahan hawa murni, serangan lawan sudah
meluncur datang.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang mengincar dada dan
pelipis dapat dielakkan Panji dengan memutar tubuh
sambil merendah. Kemudian, ia melompat mundur
sambil menepiskan tendangan yang mengancam ulu
hati.
Plakkk!
Panji mengeluh ketika merasakan telapak tan-
gannya bagai bertemu sebatang baja yang amat kuat.
Sehingga, telapak tangannya yang digunakan untuk
menepis tendangan lawan terasa nyeri bukan main
Tepukan tangan yang menimbulkan pengaruh
aneh kembali terdengar. Akibatnya kepala Pendekar
Naga Putih bagaikan terbentur dinding baja. Tubuh
pemuda itu tampak limbung ke belakang. Otaknya pun
terasa buntu, dan tidak dapat berpikir jernih.
Hantu Kematian tentu saja tidak menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Sepasang tangannya
mendorong ke depan dengan pengerahan seluruh te-
naga.
Wusss! Blaggg!
"Hugkh...!"
Sepasang telapak tangan mengandung kekua-
tan dahsyat itu telak menghantam dada Pendekar Na-
ga Putih. Tubuh pemuda tampan itu terlempar deras,
dibarengi jeritnya yang melengking. Darah segar lang-
sung menyembur dari mulutnya.
Tubuh Panji terbanting keras di atas tanah be-
rumput Pendekar Naga Putih berusaha bangkit,
meskipun tulang-tulang dadanya terasa hancur. Kembali ia terbatuk-batuk hebat mengeluarkan darah se-
gar yang agak kental.
"Hm.... Selamat tinggal, Pendekar Naga Pu-
tih...," ejek Hantu Kematian seraya mengangkat tan-
gannya, siap dihantamkan ke tubuh Panji yang tengah
berusaha bangkit
Wukkk!
Bummm!
Debu, tanah, dan rumput beterbangan ketika
telapak tangan Hantu Kematian menghantam tanah
tempat tubuh Panji semula tergeletak.
Untunglah dengan seluruh sisa-sisa tenaganya,
Panji masih sempat menggulingkan tubuhnya untuk
menghindari hantaman maut itu. Kalau saja terkena,
sudah pasti dia akan tewas tanpa bentuk!
"Kakek ini benar-benar luar biasa! Mungkin pe-
tualanganku tamat sampai di sini...," gumam Panji
yang sudah merasa tidak mampu untuk melawan Han-
tu Kematian yang jelas-jelas memiliki kepandaian san-
gat tinggi.
"Hm.... Kali ini kau tidak akan lolos, Pendekar
Naga Putih!" ancam Hantu Kematian, seraya melang-
kah mendekati Panji.
Yakin kalau lawannya sudah benar-benar tidak
berdaya, kakek itu sengaja memperlambat langkahnya
untuk menakut-nakuti lawan.
Pada saat-saat gawat itu, Panji teringat akan
pedang pusakanya yang tergantung di punggung. Tan-
pa membuang-buang waktu lagi, Pedang Naga Langit
dicabut dari sarungnya.
Sring!
Cahaya kekuningan berpendar menyilaukan
mata ketika pedang yang tidak ada duanya itu tercabut
keluar.
"Pedang Naga Langit,..!" seat Hantu Kematian
antara perasaan kagum dan terkejut bercampur men-
jadi satu melihat perbawa pedang itu.
Sebagai seorang tokoh tua yang berpengala-
man, tentu saja ia pun mengetahui tentang senjata pu-
saka yang tergenggam di tangan lawannya.
"Yeaaat..!"
Bagai memperoleh sebuah kekuatan baru, Panji
berseru nyaring dan menyabetkan pedangnya dengan
jurus 'Ilmu Pedang Naga Sakti'nya.
Wuttt! Wukkk!
Angin pedang mengaung tajam menimbulkan
getaran aneh di dalam hati Hantu Kematian. Kakek itu
semakin terkejut ketika melihat lawannya sama sekali
tidak terpengaruh oleh tepukannya. Dan tentu saja hal
itu membuatnya menjadi heran.
Sebenarnya hal itu tidaklah aneh. Sebab, pe-
dang yang kini berada di tangan Panji memiliki keisti-
mewaan melumpuhkan semua pengaruh ilmu hitam.
Sedangkan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikuasai Han-
tu Kematian, adalah gabungan dari ilmu hitam. Maka
dengan demikian, ilmu yang telah membuat Panji tidak
berdaya itu tidak lagi berguna.
Pertarungan sengit itu sepertinya tidak akan
berlangsung lama. Serangan Panji yang menderu-deru
membuat Hantu Kematian kelabakan menyelamatkan
diri dari sambaran ujung pedang. Apalagi ilmunya su-
dah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya kakek itu
pun semakin terdesak hebat
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh satu,
Panji berseru nyaring. Tubuhnya mendadak meluncur
disertai putaran pedangnya yang membentuk bulatan.
Dari bulatan sinar kekuningan itu terkadang menyembul ujung-ujung pedang secara tak terduga. Itulah ju-
rus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang meru-
pakan salah satu jurus terdahsyat dari rangkaian 'Ilmu
Silat Naga Sakti'.
Terkejut bukan main hati Hantu Kematian me-
lihat dahsyatnya serangan lawan. Sepasang tangannya
bergerak mendorong, dengan maksud untuk mengha-
lau.
Wungngng! Wungngng!
Crakkk! Jresss!
"Aaa...!"
Hantu Kematian meraung merobek angkasa ke-
tika sepasang tangannya terpapas buntung sebatas si-
ku. Dan selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, Pe-
dang Naga Langit kembali menyambar batang leher-
nya.
Crakkk!
Darah segar langsung menyembur membasahi
permukaan tanah berumput. Seketika kepala tokoh
sesat yang mengiriskan itu menggelinding, terpisah da-
ri tubuhnya. Hantu Kematian akhirnya tewas di tangan
Panji dengan kepala terpisah!
Tindakan Pendekar Naga Putih yang secara ti-
dak sengaja itu memang tepat sekali. Sebab, seorang
yang telah berhasil merampungkan 'Ilmu Memecah
Sukma', tidak akan bisa mati kecuali dengan cara se-
perti yang dilakukan Panji. Dengan kepala terpisah da-
ri badan, barulah ia akan tewas tanpa dapat bangkit
lagi.
"Kakang...!"
Kenanga yang sejak tadi telah menyelesaikan
pertarungannya, berlari menghambur ke arah Panji
yang tengah terduduk dengan wajah agak pucat
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Kakang,..?" tanya
gadis jelita itu, cemas
"Tidak ada yang perlu dicemaskan.... Aku su-
dah menelan obat luka dalam. Jadi..., hanya tinggal
memulihkan tenaga saja," sahut Panji terputus-putus,
karena napasnya masih memburu.
"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Kenanga,
lega.
"Hei? Ke mana Wurati? Bukankah dia tadi ber-
samamu?" tanya Panji ketika tidak melihat gadis itu
bersama kekasihnya.
"Gadis malang itu telah tewas setelah berhasil
melampiaskan dendamnya kepada Samanggala," jawab
Kenanga dengan wajah penuh sesal.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi, Kenanga?"
tanya Panji, heran. Karena Pendekar Naga Putih tahu
kalau Kenanga bisa melumpuhkan Samanggala sekali-
gus melindungi Wurati.
"Saat itu aku telah berhasil melumpuhkan Sa-
manggala. Leher pemuda itu ku todongkan dengan pe-
dangku. Lalu, aku mengorek keterangan darinya, ten-
tang pembunuh Ki Bala Dewa, guru Wurati. Ternyata,
Samanggala mengakui kalau telah membunuh Ki Bala
Dewa. Itu dilakukannya, karena dia tidak diterima
menjadi murid, sebelum Wurati menjadi murid Pergu-
ruan Cakar Naga. Dan ketika aku sedang mendengar
pengakuan Samanggala, ternyata Wurati telah siuman
dan mendengar juga penuturan pemuda bejat itu.
Amarah Wurati pun tak tertahankan. Maka Wurati
langsung menubruk dan menusukkan pedangnya
hingga menembus punggung Samanggala. Tapi,
sayangnya, Samanggala pun sempat menghunjamkan
pisau yang tersembunyi ke tubuh Wurati di saat te-
rakhirnya," jelas Kenanga panjang lebar, tapi disertai
rasa menyesal karena tidak dapat menjaga Wurati.
"Mungkin itu memang jalan yang paling baik
menurutnya. Andaikata selamat, belum tentu ia sang-
gup menjalani kehidupan yang menurutnya sudah tak
berarti itu," desah Panji sambil mengelus rambut kepa-
la kekasihnya yang hitam pekat Ki Wanggala, Legawa,
dan Jabrang yang juga telah berhasil membasmi mu-
suh-musuhnya, tengah berdiri tegak di dekat kedua
orang muda itu.
"Syukurlah kalian selamat...," ujar Panji yang
baru menyadari kehadiran ketiga orang tokoh itu.
"Tanpa pertolonganmu, rasanya kami tidak
mungkin masih bisa selamat, Pendekar Naga Putih.
Sekali lagi, kami bertiga mengucapkan terima kasih
kepadamu, dan juga kepada Kenanga. Sekarang kami
mohon diri. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi
kelak," pamit Ki Wanggala dan yang lainnya.
Memang mereka sadar kalau saat itu Panji dan
Kenanga mungkin tidak ingin diganggu oleh kehadiran
mereka.
Setelah berpamitan, ketiga orang tokoh persila-
tan golongan putih itu pun meninggalkan kaki Bukit
Tiga Iblis.
"Kita pun harus segera pergi dari tempat ini,
Kenanga. Tapi, sebelumnya lebih baik kuburkan dulu
mayat-mayat mereka, termasuk juga mayat Wurati,"
ajak Panji sambil bergegas bangkit
"Tidak perlu repot-repot, Kakang. Mayat Wurati
dan yang lainnya sudah kami kuburkan bersama-sama
tadi. Jadi, yang tinggal hanya mayat Hantu Kematian
saja. Kau istirahat lah dulu, Kakang. Biar aku saja
yang mengerjakannya," ujar Kenanga sambil mele-
paskan pelukannya pada tubuh Panji.
"Terserah kau sajalah...," sahut Panji sambil
memandangi punggung kekasihnya yang tengah melangkah ke arah mayat Hantu Kematian.
Selesai menguburkan mayat tokoh sesat itu,
sepasang pendekar itu pun meninggalkan kaki Bukit
Tiga Iblis.
"Sampai kapan kita akan terus melakukan pe-
tualangan ini, Kakang?" tanya Kenanga sambil me-
langkah di sisi kekasihnya.
Jemari tangan gadis itu menggenggam erat te-
lapak tangan Panji. Sepertinya, gadis itu tidak ingin
melepaskan lengannya dari genggaman kekasihnya.
"Hm.... Sampai aku sudah tidak tahan...," Panji
menggantung kata-katanya dan tersenyum penuh arti.
"Tidak tahan...?" sambut Kenanga heran. "Tidak
tahan untuk apa, Kakang?" tanyanya penasaran.
"Ya..., tidak tahan untuk segera mengawini-
mu...."
Selesai berkata demikian, Panji memeluk tubuh
kekasihnya erat-erat
"Ihhh...! Kakang nakal!"
"Aduh...!" Panji memekik ketika cubitan Kenan-
ga hinggap di pinggangnya.
Terdengar tawa berderai penuh kebahagiaan
mewarnai langkah keduanya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar