..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE BENCANA DARI ALAM KUBUR

matjenuh


BENCANA DARI ALAM KUBUR
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Bencana Dari Alam Kubur
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

"Heaaa...!"
Terdengar teriakan-teriakan penuh semangat 
yang berasal dari halaman depan sebuah perguruan. 
Teriakan itu dibarengi gerakan langkah dan pukulan 
belasan sosok tubuh bertelanjang dada.
Tubuh bagian atas mereka tampak telah diban-
jiri keringat. Jilatan cahaya obor yang terpancang di 
empat penjuru, membuat tubuh mereka tampak berki-
lat, menggambarkan kejantanan.
"Hap!"
Laki-laki bertubuh tegap yang berada di depan,
kembali mengeluarkan aba-aba dengan teriakan nyar-
ing. Berbarengan dengan teriakan itu, kaki kanannya 
melangkah ke depan membentuk kuda-kuda serong. 
Sepasang tangannya yang berbentuk cakar terayun ke 
depan dari bawah ke atas.
Wuttt!
Dari desir angin yang ditimbulkan sambaran 
sepasang tangannya, jelas kalau lelaki tegap itu memi-
liki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
Sambil berteriak nyaring, belasan sosok tubuh 
di belakangnya melangkah dan meniru gerakan yang 
dilakukan lelaki tegap itu.
"Bagus!" pujinya dengan wajah berseri.
Setelah berkata demikian, kakinya melangkah 
sambil meneliti bentuk tangan maupun kuda-kuda 
muridnya. Lelaki tegap itu sepertinya merasa puas me-
lihat belasan muridnya yang dapat meniru gerakannya 
dengan baik.
Dengan wajah berseri-seri, lelaki tegap berusia 
sekitar empat puluh tahun itu kembali melangkah ke

depan untuk memberi contoh gerakan berikutnya. 
Namun belum sempat memberi aba-aba, tiba-tiba ter-
dengar suara tawa mengekeh panjang yang mendirikan 
bulu roma!
"Kekh, kekh, kekh...!"
Sebelum gema tawa menyeramkan itu lenyap, 
sesosok bayangan tinggi kurus melayang melewati pa-
gar kayu setinggi empat tombak. Kemudian sepasang 
kakinya mendarat di dekat lelaki tegap yang tengah 
mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya.
Jilatan cahaya obor yang menerangi wajah so-
sok tubuh tinggi kurus itu, membuat si lelaki tegap 
dan belasan orang muridnya melangkah mundur bebe-
rapa tindak. Wajah mereka nampak agak pucat
"Siapa kau...?!" bentak lelaki tegap itu membe-
ranikan diri, menegur lelaki tinggi kurus yang ternyata 
seorang kakek berwajah pucat bagai mayat
Kakek berwajah mayat dan berkulit pucat itu 
kembali memperdengarkan tawanya yang disertai pen-
gerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuh belasan 
orang itu bergetar, dan terhuyung limbung. Termasuk 
juga lelaki bertubuh tegap itu.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak ada gunanya kalian 
mempelajari ilmu murahan, dan tidak bermutu itu!" 
kata kakek itu, bernada menghina sekali.
Merah selebar wajah lelaki tinggi tegap ini keti-
ka mendengar hinaan dari mulut tamu tak diundang 
itu. Buku-buku jari tangannya tampak mengepal ke-
ras, hingga memperdengarkan suara berkerotokan.
"Hei, Ki! Apa maksudmu datang-datang meng-
hina perguruan kami? Apakah kau memang sengaja 
hendak mencari keributan?!" bentak lelaki tinggi tegap 
tanpa mempedulikan rasa hormat. Hal ini karena sikap 
kakek itu yang jelas-jelas tidak menghormati mereka.

"Jangan cerewet! Katakan saja pada gurumu, 
Hantu Kematian telah datang untuk mencabut nya-
wanya!" sahut kakek yang mengaku berjuluk Hantu 
Kematian dengan suara dingin dan kaku.
"Keparat sombong! Langkahi dulu mayatku, ba-
ru kau boleh bertindak sesuka hatimu di tempat ini!" 
bentak laki-laki tegap yang merupakan salah seorang 
tokoh Perguruan Macan Liwung, setelah rasa gentar 
hilang dari hatinya.
"Hmh...!"
Sambil menggeram gusar, lelaki tegap itu sudah 
memasang kuda-kuda yang kokoh dan indah. Tangan 
kanannya bergerak ke atas kepala dalam sikap mene-
kuk. Sedangkan tangan kirinya terjulur ke depan. Ke-
dua-duanya membentuk cakar harimau.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kau sudah tidak 
sabar untuk segera melayat ke neraka. Majulah, biar 
secepatnya kuantarkan ke sana!" ancam Hantu Kema-
tian seraya mengulapkan tangan. Sorot matanya tam-
pak sedingin es.
Gampala, demikian nama lelaki tinggi tegap itu, 
sudah tidak dapat lagi membendung kemarahannya. 
Sepasang tangannya yang membentuk cakar, nampak 
bergetar karena dialiri tenaga dalam tinggi.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Gampala 
melompat menerjang lawannya. Sepasang tangannya 
bergerak susul-menyusul disertai gerakan kaki yang 
gesit.
"Hm... Silakan pilih, bagian mana yang kau 
anggap paling lunak," kata Hantu Kematian meremeh-
kan, sambil bertolak pinggang menanti datangnya se-
rangan Gampala.
Terdengar suara berdebukan keras ketika sepasang cakar Gampala berkali-kali mendarat di tubuh 
kakek itu. Namun, tubuh Hantu Kematian sama sekali 
tidak bergeming sedikit pun. Seolah-olah, hantaman 
jari-jari tangan lawan bagaikan elusan tangan seorang 
wanita lemah.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati 
Gampala ketika merasakan cakaran maupun tendan-
gannya bagai menghantam seonggok kapas lunak. Se-
hingga tenaganya seperti amblas ke dalam lautan yang 
tak berdasar!
"Gila!" maki tokoh berusia empat puluh tahun 
itu sambil melompat mundur menjauhi lawan.
Hati Gampala mulai dijalari kekhawatiran meli-
hat kehebatan kakek yang tidak dikenalnya ini. Ia mu-
lai mencemaskan nasib gurunya. Rasanya, kesaktian 
Hantu Kematian tidak mungkin dapat tertandingi. Apa-
lagi, ia tahu betul kalau kepandaiannya tidak berseli-
sih jauh dengan kepandaian gurunya. Maka, kegelisa-
hannya pun semakin jelas tergambar di wajahnya.
"Hei?! Mengapa kalian diam saja?! Cepat, ke-
pung kakek gila itu!" bentak Gampala kepada belasan 
orang muridnya yang masih terpaku kebingungan. 
"Yang lain pergi ke balai utama. Laporkan kejadian ini 
kepada guru!"
Setelah mendengar bentakan Gampala, lima be-
tas orang murid Perguruan Macan Liwung itu pun ber-
lompatan mengepung Hantu Kematian. Sedangkan dua 
orang lainnya bergegas meninggalkan tempat itu, un-
tuk melapor kepada Pendekar Macan Putih. Dialah 
yang menjadi ketua perguruan ini.
"Serbu...!" teriak Gampala yang segera melom-
pat mendahului murid-muridnya.
Golok besar yang semula terselip di pinggang 
laki-laki tegap itu sudah tercabut ke luar. Dan kini su


dah diayunkan kuat-kuat ke batang leher Hantu Ke-
matian.
Serbuan belasan orang pengeroyok sama sekali 
tidak membuat kakek berusia tujuh puluh tahun itu 
merasa gentar atau gugup. Ia hanya berdiri sambil 
memandang dengan sorot mata yang semakin dingin 
dan menyeramkan.
Begitu belasan batang senjata itu hampir me-
nyentuh tubuhnya, Hantu Kematian mengibaskan ke-
dua tangannya ke samping.
"Rebah...!" teriak laki-laki tua itu.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan 
lengan kakek itu. Tubuh belasan pengeroyoknya seke-
tika terlempar deras bagai daun-daun kering yang ter-
tiup angin.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh belasan murid 
Perguruan Macan Liwung berikut Gampala terbanting 
keras di tanah. Beberapa orang di antaranya bahkan 
langsung tewas. Dari mulut, telinga, dan hidung mere-
ka tampak mengalir darah segar.
"Ilmu iblis!" kutuk Gampala sambil merangkak 
bangkit, dan menekap dadanya.
Tokoh itu merasakan dadanya sesak akibat ki-
basan tangan lawan yang mengandung kekuatan he-
bat. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan me-
rah.
"Hm.... Kau kuat juga rupanya," geram Hantu 
Kematian dengan sinar mata mengandung ancaman.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang 
berlari, mendatangi tempat itu. Tak lama kemudian, 
muncullah puluhan orang murid yang dipimpin tiga 
orang murid utama Perguruan Macan Liwung.
Sementara itu, Hantu Kematian segera memba-
likkan tubuh. Kemudian kakinya melangkah menuju

balai utama Perguruan Macan Liwung.
***
Bukan main terkejut dan marahnya ketiga 
orang adik seperguruan Gampala ketika melihat kea-
daan di tempat itu. Wajah mereka mendadak gelap, 
melihat belasan sosok tubuh yang tergeletak bergelim-
pangan tak karuan.
"Kakang...!" seru salah seorang dari ketiga mu-
rid utama itu. Hati orang itu mendadak cemas ketika 
melihat Gampala yang tampak berdiri goyah sambil 
menekap dada. Segera dia berlari menghampiri tubuh 
kakak seperguruannya yang jelas mengalami luka pa-
rah.
Sedangkan dua orang murid utama lainnya se-
gera memerintahkan murid-murid lainnya untuk men-
gangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa dan memba-
wanya ke tepi.
"Keparat! Iblis itu telah membunuh sepuluh 
orang murid perguruan kita!" geram salah seorang dari 
kedua murid utama Pendekar Macan Putih.
Dia memang telah memeriksa tubuh lima belas 
orang murid perguruan yang ternyata hanya lima 
orang selamat. Sedangkan yang lainnya tewas dengan 
keadaan yang menyedihkan.
"Kita harus membalasnya, Widarta!" sahut yang 
lain kepada orang yang dipanggil Widarta.
Setelah berkata demikian, orang itu bergerak 
bangkit sambil mencabut pedangnya.
"Mari kita beri pelajaran kepada iblis itu!" Wi-
darta pun bergegas bangkit dan mencabut keluar pe-
dang yang terselip di pinggangnya.
Sementara itu, Gampala yang sudah dipapah

adik seperguruannya segera melepaskan pelukannya 
ketika melihat Hantu Kematian tengah melangkah te-
nang menuju balai utama.
"Berhenti...!" bentak Gampala sambil melin-
tangkan golok besarnya di depan dada. "Adi Sudirja, 
kita harus mencegah kakek iblis itu agar tidak dapat 
mendekati bangunan utama perguruan!"
"Mau apa dia menyatroni perguruan kita, Ka-
kang?" tanya Sudirja yang sudah pula melintangkan 
pedang di depan dada.
"Hm... Dia hendak membunuh guru kita," sa-
hut Gampala tanpa mengalihkan pandangan dari Han-
tu Kematian
"Kita bukan saja harus mencegahnya, Kakang. 
Tapi harus membunuhnya! Karena kakek iblis itu telah 
membunuh sepuluh orang murid perguruan kita," kata 
Widarta yang juga sudah berada di sebelah Gampala.
"Benar, Kakang. Iblis tua itu tidak boleh dibiar-
kan berbuat sesuka hatinya di tempat kita," Sumirja 
yang datang bersama Widarta ikut pula menimpali.
"Bedebah! Kalau begitu, iblis tua itu memang 
harus mati!" geram Gampala ketika mendengar laporan 
dua orang adik seperguruannya. Ditariknya napas da-
lam-dalam untuk mengurangi rasa nyeri yang terasa 
menusuk dada.
Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang murid 
utama Perguruan Macan Liwung itu melesat, mendeka-
ti Hantu Kematian yang sudah mendekati balai utama. 
Mereka langsung mengepung dari empat penjuru.
"Kekh, kekh, kekh...! Rupanya kalian benar-
benar tidak sabar untuk melihat neraka!" ejek Hantu 
Kematian seraya terkekeh menyeramkan.
Sambil berkata demikian, pandangannya bere-
dar, merayapi keempat tokoh Perguruan Macan Liwung

yang bergerak mengitarinya.
Namun sebelum keempat orang tokoh itu ber-
gerak menerjang Hantu Kematian, tiba-tiba terdengar 
bentakan nyaring yang disusul melayangnya sesosok 
tubuh kekar menuju tempat itu.
"Tunggu...!" teriak sosok tubuh itu sambil men-
gangkat tangan kanannya ke atas.
"Guru...!"
Gampala dan ketiga orang adik seperguruannya 
bergegas berlari menyambut kedatangan orang yang 
tak lain dari Pendekar Macan Putih itu. Mereka lang-
sung saja menjatuhkan diri, berlutut di depan lelaki 
berusia sekitar enam puluh tahun yang memiliki wajah 
gagah itu.
"Menyingkirlah kalian," pinta Pendekar Macan 
Putih dengan suara berat dan dalam. "Tapi, Guru..."
Gampala yang semula hendak membantah pe-
rintah gurunya, menahan kata-katanya. Karena, ia 
melihat sinar mata orang tua itu menyorot tajam keti-
ka mendengar bantahannya. Terpaksa ucapannya yang 
sudah berada di ujung lidah ditelan kembali.
"Aku tahu, apa yang harus kulakukan, Gampa-
la," ujar Pendekar Macan Putih sambil menepuk bahu 
murid tertuanya perlahan.
Setelah berkata demikian, orang tua yang ma-
sih tampak gagah itu melangkah mendekati Hantu 
Kematian.
"Kau masih ingat aku, Jalasena?" sapa Hantu 
Kematian ketika melihat Pendekar Macan Putih nam-
pak mengerutkan kening sambil menatap penuh seli-
dik.
Ketua Perguruan Macan Liwung yang ternyata 
bernama Ki Jalasena itu tidak segera menjawab. Ia 
hanya berdiri terpaku, sambil berpikir keras. Sepertinya, pendekar itu tidak mempercayai pandangan ma-
tanya. Hal itu terlihat dari sepasang mata yang mem-
belalak lebar.
"Tidak mungkin! Bukankah kau sudah tewas 
setahun yang lalu? Hm.... Siapa kau sebenarnya, Kisa-
nak? Dan apa maksudmu menyamar sebagai Hantu 
Kematian?" tanya Ki Jalasena yang rupanya sudah la-
ma mengenal tokoh yang mengaku berjuluk Hantu 
Kematian.
"Kekh, kekh, kekh,...! Kau keliru, Jalasena. 
Saat itu aku memang belum mati. Meskipun boleh juga 
dikatakan mati. Sebab, saat itu aku benar-benar telah 
sekarat. Tapi, setelah kepergianmu dan kawan-
kawanmu, muridku datang dan membawaku ke Bukit 
Tiga Iblis. Nah, di atas puncak bukit itulah aku diku-
burkan. Namun bukan karena aku telah mati, tapi ka-
rena aku hendak menyempurnakan ilmu-ilmu cip-
taanku. Setelah aku berhasil menyempurnakannya, 
maka tidak ada seorang pun yang akan dapat menak-
lukkan Hantu Kematian! Sekarang, bersiaplah untuk 
menjadi korban pertama dari 'Ilmu Memecah Suk-
ma'ku, Jalasena," jelas Hantu Kematian, yang diakhiri 
ancaman. Wajah laki-laki tua itu tampak kaku tanpa 
perasaan.
Mendengar ucapan kakek itu, Ki Jalasena me-
langkah mundur. Disadari kalau lawan yang dihada-
pinya kali ini tidak bisa dianggap ringan. Apalagi sete-
lah iblis itu berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu cip-
taannya yang sudah pasti sangat dahsyat. Tipis ra-
sanya untuk dapat menang melawan kakek itu.
Namun, Ki Jalasena bukanlah orang yang gam-
pang ciut nyalinya. Ia sama sekali tidak takut mengha-
dapi kematian. Sebenarnya yang menjadi beban piki-
rannya saat itu adalah, bagaimana harus menyela

matkan keluarga dan murid-muridnya? Sebab ia kenal 
betul, siapa Hantu Kematian itu. Tokoh sesat itu pasti 
tidak akan bertindak tanggung-tanggung. Bukan tidak 
mungkin setelah kematiannya nanti, Hantu Kematian 
akan menghabisi pula seluruh keluarga dan murid-
muridnya. Itulah yang membuat dirinya menjadi tidak 
tenang.
"Kekh, kekh, kekh...! Mengapa wajahmu demi-
kian pucat, Pendekar Macan Putih? Apakah kau takut 
menghadapi Malaikat Maut?" ejek Hantu Kematian 
terkekeh ketika melihat calon korbannya gelisah.
Watak tokoh sesat ini memang aneh. Hatinya 
akan semakin gembira apabila melihat calon korban-
nya ketakutan! Apalagi kalau calon korbannya sampai 
merintih dan merengek minta ampun. Dia akan sema-
kin puas!
Merah selebar wajah Ki Jalasena ketika men-
dengar ejekan lawannya. Sambil menggeram marah, 
pedang yang tergantung di pinggang kirinya itu dica-
but.
"Hm.... Aku tidak pernah takut menghadapi 
maut, Hantu Kematian! Kalau memang mampu, bukti-
kanlah kesombonganmu itu!" bentak Ki Jalasena sam-
bil melintangkan pedang di depan dada.
"Kalau begitu, majulah! Apa lagi yang. ditung-
gu?" sergah Hantu Kematian seraya tersenyum dingin.
"Keparat! Sambutlah seranganku...!"
Dengan dibarengi sebuah teriakan nyaring, tu-
buh orang tua gagah itu melesat menerjang lawan. Pe-
dang di tangannya berkelebat cepat hingga bentuk sen-
jata itu menjadi lenyap. 
Wuttt! Wuttt...!
Pedang di tangan Pendekar Macan Putih yang 
kini berbentuk gulungan sinar memanjang itu, bergerak cepat menimbulkan deru angin keras! Senjata itu 
terus meluncur mengincar bagian tubuh lawan yang 
mematikan.
Sayang, yang kali ini dihadapinya bukanlah to-
koh sembarangan. Meskipun serangan-serangan Pen-
dekar Macan Putih datangnya tak terduga, namun 
enak saja Hantu Kematian menghindarinya. Tentu saja 
Ki Jalasena semakin penasaran dibuatnya.
"Heaaat..!"
Setelah kurang lebih sepuluh jurus menyerang 
tanpa hasil, Ki Jalasena berseru keras sambil merubah 
gerakannya. Kali ini senjata di tangan orang tua gagah 
itu tidak lagi secepat semula. Gerakannya terlihat agak 
lambat, namun mengandung kekuatan dahsyat. Itulah 
jurus 'Pedang Tujuh Harimau' yang menjadi ilmu an-
dalan Pendekar Macan Putih.
"Hm.... Rupanya ilmu pedangmu nampaknya 
sudah semakin maju, Jalasena! Hebat.., hebat!" puji 
Hantu Kematian yang merasakan kehebatan ilmu pe-
dang lawannya.
Sambil berkata demikian, kedua kakinya mela-
kukan gerakan-gerakan aneh. Kelihatannya kacau dan 
berkesan sembarangan. Dan setiap kali pedang lawan 
datang menyambar, selalu saja menemui tempat ko-
song! Padahal, Ki Jalasena telah mengerahkan seluruh 
kemampuan untuk melancarkan serangan itu. Tapi 
sampai sejauh itu, belum juga berhasil menyentuh tu-
buh lawan.
"Bedebah! Mengapa kau tidak membalas seran-
ganku, Hantu Kematian? Apakah kau memang tidak 
mampu balas menyerang?" geram Ki Jalasena yang 
semakin penasaran karena serangan-serangannya be-
lum juga membawa hasil.
"Kekh, kekh, kekh.... Aku sengaja memberi ke
sempatan padamu untuk menyerang selama dua pu-
luh jurus, Pendekar Macan Putih! Maka jangan sia-
siakan kesempatan yang hanya tinggal empat jurus la-
gi," sahut kakek tinggi kurus itu tanpa mempedulikan 
kemarahan lawannya.
"Setan!" maki Ki Jalasena semakin mengkelap.
Hati Pendekar Macan Putih benar-benar marah 
mendapat hinaan yang sangat menyakitkan itu. Pe-
dang di tangannya berputar setengah lingkaran dari 
bawah ke atas untuk menyambar tenggorokan lawan. 
Bahkan tangan kirinya pun menyusuli dengan cengke-
raman ke arah lambung.
Bettt! Wuttt!
Dua buah serangan maut yang dilancarkan Ki 
Jalasena, sama sekali tidak membuat gugup Hantu 
Kematian. Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba tu-
buh kakek itu berputar sambil merundukkan kepala. 
Dua buah serangan lawan pun hanya mengenai angin 
kosong.
"Waktumu sudah habis, Pendekar Macan Pu-
tih!" seru Hantu Kematian memberi peringatan.
Berbarengan dengan habisnya ucapan itu, se-
pasang tangan kakek itu tiba-tiba berputar cepat. 
Langsung disambarnya pelipis serta dada kiri Pendekar 
Macan Putih.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Macan 
Putih. Serangan yang datangnya tiba-tiba itu, benar-
benar hebat dan sulit dielakkan. Karena tidak mempu-
nyai kesempatan menghindar, cepat-cepat pedangnya 
diputar untuk memapak tangan kanan lawan yang 
mengancam jalan darah kematian di pelipisnya.
Tapi, Hantu Kematian pun bukanlah orang bo-
doh. Tangan kanannya yang semula mengincar pelipis 
itu, langsung berputar cepat. Kemudian cepat ditotok

nya pergelangan tangan lawan. Sedangkan tangan ki-
rinya yang mengincar dada, bergerak naik ke atas. 
Langsung dicengkeramnya tenggorokan lawan.
Tukkk! Brettt!
"Aaakh...!"
Pendekar Macan Putih menjerit kesakitan keti-
ka totokan lawan tepat menghantam jalan darah di 
pergelangannya. Maka tangan kanan pendekar itu 
kontan lumpuh. Dengan demikian, senjatanya pun 
terpental lepas dari genggaman. Namun dalam kea-
daan gawat itu, ternyata Pendekar Macan Putih masih 
sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga, cengkera-
man tangan kiri lawan hanya melukai punggungnya.
"Bagus...!" puji Hantu Kematian melihat lawan-
nya masih juga berhasil menyelamatkan diri dari ceng-
keraman.
Sehabis berkata demikian, tubuhnya kembali 
melesat mengejar lawan yang tengah terhuyung.
Kreppp!
Jari-jari tangan kiri Hantu Kematian berhasil 
membeset leher Pendekar Macan Putih yang tengah 
terhuyung. Dan sebelum disadari lagi, tahu-tahu Han-
tu Kematian telah berbalik dan tangan kanannya me-
luncur cepat ke arah bagian atas perut lawannya!
"Aaargh...!"
Pendekar Macan Putih meraung setinggi langit 
ketika jari-jari tangan lawan mencoblos perutnya. Tan-
gan itu langsung ditarik keluar, disertai jantung Pen-
dekar Macan Putih yang sudah tergenggam erat di tan-
gan Hantu Kematian.
Desss!
Tubuh Ki Jalasena yang tengah bergoyang-
goyang itu langsung terpental akibat tendangan keras 
Hantu Kematian.

Tubuhnya kontan terbanting keras di atas ta-
nah, dan langsung tewas seketika.
Kejadian yang hanya berlangsung sekejapan 
mata itu membuat murid-murid Perguruan Macan Li-
wung terpaku bagai kehilangan kesadaran. Mereka 
hanya dapat berdiri kaku, dengan sepasang mata 
membelalak lebar. Kesadaran baru merasuk hati me-
reka, ketika terdengar kekeh menyeramkan dari Hantu 
Kematian.
"Kekh, kekh, kekh...! Jantungmu ternyata san-
gat bagus dan bersih, Pendekar Macan Putih! Dan aku 
akan mencicipinya sesuai janjiku. Kelak jantung yang 
lain akan menyusul!"
Setelah berkata demikian, Hantu Kematian 
dengan rakusnya melahap jantung lawan yang berada 
dalam genggaman tangannya itu. 
"Guru...!"
Murid-murid Ki Jalasena yang tersadar dari ke-
terpakuannya, berlari menghambur ke arah tubuh gu-
runya.
Sedangkan yang lain memandang Hantu Kema-
tian dengan sinar mata marah. Namun belasan orang 
murid itu bergerak mundur dengan wajah jijik. Apa 
yang disaksikan itu, benar-benar membuat isi perut 
mereka bagaikan terbalik. Bahkan beberapa di anta-
ranya langsung muntah-muntah. Sedang yang lain se-
gera memalingkan wajah yang sudah menjadi pucat
"Manusia iblis...!" desis beberapa orang di anta-
ranya dengan suara bergetar.
***
Bukan main hancurnya hati Gampala dan keti-
ga orang adik seperguruannya melihat keadaan mayat

guru mereka yang amat mengenaskan itu. Murid ter-
tua Ki Jalasena itu bangkit, lalu membalikkan tubuh-
nya menghadap Hantu Kematian.
Mendidih darah Gampala melihat kelakuan ka-
kek iblis itu. Wajah Hantu Kematian yang masih dipe-
nuhi darah jantung gurunya itu, membuat rasa gentar 
di hati murid utama Perguruan Macan Liwung itu le-
nyap seketika. Yang diingatnya hanyalah kematian gu-
runya. Dan itu harus dibalas dengan darah Hantu Ke-
matian pula.
"Jahanam keji! Harus kau bayar mahal kebia-
dabanmu itu!" teriak Gampala dengan suara bergetar 
marah.
"Benar, Kakang. Meskipun harus berkorban 
nyawa, aku rela asal kematian guru kita terbalaskan!" 
Sudirja yang bertubuh sedikit lebih pendek dari Gam-
pala, bergegas bangkit. Perbuatannya diikuti Widarta 
dan Sumiija.
Gampala yang sadar akan kepandaian Hantu 
Kematian, segera memerintahkan seluruh murid Per-
guruan Macan Liwung untuk mengepungnya.
"Kepung manusia keji itu! Kita pertaruhkan 
nyawa demi membalas kematian guru kita!" teriak 
Gampala yang sudah melompat mendekati Hantu Ke-
matian.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus..., bagus...! Senang 
rasanya dapat mengantarkan kalian menyusul arwah 
guru kalian itu. Mari, majulah!" ujar Hantu Kematian 
dengan wajah tetap dingin.
Kakek tinggi kurus itu hanya berdiri tegak me-
nanti serangan. Hatinya sama sekali tidak merasa gen-
tar, meskipun jumlah pengeroyok. mencapai enam pu-
luh orang lebih. Hal itu menunjukkan kalau Hantu 
Kematian benar-benar merasa yakin dengan ilmu ke

pandaiannya.
"Heaaat...!"
Dibarengi teriakan keras, Gampala melompat 
mendahului yang lainnya. Golok besar di tangannya 
berkelebatan cepat hingga menimbulkan deru angin 
keras.
Sesaat setelah Gampala melompat, murid-
murid yang lain pun bergerak menyerbu Hantu Kema-
tian yang masih berdiri tegak menanti serangan.
"Haiiit..!"
Pada saat serangan Gampala hampir tiba, men-
dadak Hantu Kematian berseru nyaring dan mengge-
tarkan! Saat itu juga, tubuh tinggi kurus itu melesat ke 
depan sambil menghindari sambaran golok Gampala.
"Rebah...!"
Hebat sekali bentakan yang keluar dari mulut 
Hantu Kematian. Belasan orang pengeroyoknya lang-
sung terpental bagai daun-daun kering tertiup angin. 
Beberapa orang langsung tewas seketika, karena teria-
kan itu didorong tenaga dahsyat. Dan memang, pem-
buluh darah mereka langsung pecah.
Belum lagi yang lain sempat menyadari kea-
daan itu, Hantu Kematian seketika menggerakkan ke-
dua tangannya ke atas kepala. Sepasang tangan yang 
mengandung kekuatan dahsyat itu segera bertemu dan 
menimbulkan ledakan keras.
Plarrr!
"Aaargh...!"
Beberapa murid Perguruan Macan Liwung yang 
masih hidup meraung kesakitan akibat ledakan yang 
ditimbulkan oleh pertemuan sepasang telapak tangan 
kakek tinggi kurus itu. Mereka langsung terjungkal ke 
tanah. Tubuh mereka menggelepar bagaikan ayam dis-
embelih. Kedua tangan menekap telinga yang menga

lirkan darah segar! Setelah berkelojotan sambil me-
raung kesakitan, mereka pun tewas dalam keadaan 
mengenaskan!
Sementara itu Gampala dan ketiga murid uta-
ma Perguruan Macan Liwung ternyata masih selamat. 
Tapi mereka juga mengalami luka yang cukup parah. 
Jurus 'Memecah Sukma' yang dilancarkan Hantu Ke-
matian benar-benar dahsyat dan mengerikan! Sehing-
ga meskipun Gampala dan tiga orang lain masih sela-
mat, namun sudah tanpa semangat lagi. Lenyap, entah 
ke mana. Dan mereka hanya bisa pasrah menanti da-
tangnya maut yang akan menjemput 
"Hmh...!"
Hantu Kematian menggeram ketika melihat 
Gampala dan tiga orang lainnya tengah berdiri ber-
goyang-goyang. Tanpa banyak cakap lagi, kakek tinggi 
kurus itu segera melesat ke arah mereka. Langsung 
dikirimkannya tamparan ke kepala keempat orang itu.
Keempat orang murid utama Perguruan Macan 
Liwung itu hanya dapat memejamkan mata sambil 
menanti datangnya kematian. Gampala dan ketiga 
orang adik seperguruannya itu tidak kuasa lagi menge-
lak. Apalagi sekujur tubuh mereka seperti lumpuh, se-
hingga tidak mungkin lagi melakukan perlawanan.
Terdengar suara berderak keras berturut-turut 
ketika tamparan telapak tangan Hantu Kematian 
menghantam kepala mereka secara bergantian. Tubuh 
keempat orang itu langsung ambruk ke tanah. Darah 
segar bercampur cairan putih, seketika mengalir mem-
basahi tanah halaman depan Perguruan Macan Li-
wung. Empat murid utama perguruan itu pun tewas di 
tangan Hantu Kematian.
Kekejaman Hantu Kematian ternyata tidak ber-
henti sampai di situ saja. Setelah menewaskan empat

orang murid kepala Ki Jalasena, kakek tinggi kurus itu 
melesat memasuki balai utama perguruan itu. Terden-
gar jeritan-jeritan menyayat ketika Hantu Kematian 
membantai seluruh wanita dan anak-anak yang berada 
di dalam balai utama Perguruan Macan Liwung.
Tak lama kemudian, kakek tinggi kurus itu me-
lesat meninggalkan Perguruan Macan Liwung diiringi 
tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Kekh, kekh, kekh...! Dunia persilatan akan 
kubuat gempar dengan kemunculanku ini...," tegas 
Hantu Kematian di sela-sela kekehnya yang parau dan 
berat
***
DUA


Pagi baru saja menjelang. Suara kokok ayam 
jantan terdengar saling bersahutan. Burung-burung 
terbang kian kemari sambil memperdengarkan kicaua-
nnya yang merdu. Perlahan cahaya mentari membias 
menerobos rimbunan dedaunan.
Di bawah siraman cahaya matahari pagi, seo-
rang penunggang kuda bergerak perlahan melintasi ja-
lan setapak. Tubuhnya yang kecil dan ramping, me-
nandakan kalau penunggang kuda itu pastilah seorang 
wanita. Rambutnya yang legam dan tergerai lepas, 
mengibas lembut mengikuti gerakan kepala yang me-
noleh ke kiri-kanannya. Sepertinya, penunggang kuda 
itu tengah menikmati suasana pagi yang cerah ini.
Dilihat dari raut wajah yang cantik dan berkulit 
halus itu, paling banyak usianya baru sekitar delapan 
belas tahun. Matanya yang bulat dan bening nampak

berbinar cerah menikmati pemandangan indah di kaki 
pegunungan Mentawak. Bibirnya yang merah dan se-
gar, tak bosan-bosannya melepas senyum.
"Kita berhenti sebentar, Hitam. Lihat, air sungai 
itu nampak segar sekali! Rasanya aku ingin merendam 
tubuhku sejenak," kata dara cantik itu sambil mene-
puk-nepuk punggung kudanya perlahan.
Kuda hitam bertubuh kekar itu meringkik lirih, 
seolah mengerti kata-kata majikannya. Binatang itu 
menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah aliran 
sungai yang terlihat jernih.
Gadis cantik bertubuh ramping itu bergegas 
melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Nah! Sementara aku membersihkan tubuh, 
nikmatilah rumput-rumput segar yang ada di sekitar-
mu," ujar gadis cantik itu sambil mengelus-elus leher
binatang tunggangannya. Kemudian, kakinya melang-
kah menuju aliran sungai yang terpisah beberapa 
langkah di depannya.
Setelah melepas pakaiannya di tempat aman, 
dara cantik itu pun segera merendam tubuhnya di da-
lam air sungai yang agak dalam dan terlindung. Ia be-
renang kian kemari, menikmati sejuknya air yang 
mengalir dari pegunungan.
Sayang kegembiraan yang dinikmati gadis can-
tik itu tidak berlangsung lama. Karena, tiba-tiba mun-
cul tiga orang laki-laki kasar dari balik semak-semak. 
Seketika dara cantik itu segera berlari, untuk bersem-
bunyi di balik sebuah batu besar di tengah sungai.
"Ha ha ha...! Tidak kusangka kalau di pagi ini 
kita akan bertemu seorang dewi yang turun dari langit! 
Lihatlah! Bukankah ia mengundangku untuk mandi 
bersamanya!" kata laki-laki bertubuh gemuk yang wa-
jahnya dipenuhi cambang bauk, kepada kedua orang

kawannya sambil tertawa-tawa.
"Ha ha ha...! Betul.... Betul! Kakang Kobar, 
apakah tidak sebaiknya diundi saja, siapa yang lebih 
dahulu menemani sang Dewi mandi?" usul orang ber-
tubuh tinggi kurus sambil terkekeh memuakkan. Se-
pasang matanya yang sipit itu nampak melebar, kare-
na ingin melihat jelas tubuh gadis yang tanpa pakaian 
itu.
"Aku setuju!" timpal yang lain, sambil mengi-
bar-ngibarkan pakaian gadis itu, yang diambilnya dari 
semak-semak. Jakunnya yang sebesar biji salak itu 
nampak turun-naik, membayangkan tubuh mulus da-
ra cantik itu.
"Ah, tidak perlu! Aku yang paling tua, maka su-
dah tentu mendapat giliran pertama," bentak lelaki 
gemuk yang dipanggil Kobar itu sambil mengibaskan 
tangan dengan sikap kesal.
"Hei! Kurang ajar, kalian! Kembalikan pakaian-
ku, atau kalian akan menyesal nanti akibatnya!" tiba-
tiba dara cantik itu berteriak mengancam. Sehingga, 
ketiga orang kasar yang tengah bertengkar itu serentak 
menoleh ke arahnya.
"Ha ha ha...! Sabarlah, Manis. Bukankah kau 
masih ingin berlama-lama berendam dalam air yang 
sejuk ini? Nah! Tunggulah. Aku akan ikut berendam 
bersamamu. Bukankah rasanya akan lebih nikmat?" 
sahut Kobar sambil melepas pakaiannya dan siap 
menceburkan diri ke dalam air sungai.
"Bangsat, berhenti! Kalau kau nekat mendeka-
tiku, kupecahkan kepalamu yang berisi pikiran kotor 
itu!" teriak dara cantik yang wajahnya menjadi merah 
ketika melihat lelaki bercambang bauk itu mendekati 
tempatnya bersembunyi.
"Hei, Ni sanak yang cantik! Kalau kau mengin


ginkan pakaianmu, naiklah! Tidak usah malu-malu!" 
sahut lelaki tinggi kurus yang masih berdiri di tepi 
sungai, sambil melambaikan tangannya. Dia memberi 
isyarat agar gadis cantik itu naik ke darat
"Bajingan! Kalau tidak juga mau menyerahkan 
pakaianku, tubuh kalian akan ku cabik-cabik dan 
mayat kalian kulemparkan ke dalam sungai! Cepat 
lemparkan ke sini!" teriak gadis cantik itu.
Gadis itu hampir menangis karena rasa malu 
dan marah yang menyesak dadanya. Kakinya dibant-
ing-banting di dalam air, karena tidak tahu harus ber-
buat apa untuk menghadapi kekurangajaran ketiga 
orang laki-laki kasar itu.
Sementara itu, Kobar sudah berenang mende-
kati tempat gadis itu bersembunyi. Lelaki gemuk itu 
terkekeh-kekeh kegirangan. Di benaknya sudah ter-
gambar keindahan bentuk tubuh gadis yang sudah je-
las berkulit putih dan halus.
"Ayo, Manis. Keluarlah. Apakah kau lebih suka 
kalau aku yang mendekat ke situ? Kalau memang 
maumu begitu, aku pasti akan menurutinya," bujuk 
Kobar.
Laki-laki itu sudah maju semakin dekat saja 
dengan batu besar tempat gadis itu bersembunyi. Deru 
napasnya terdengar sating berebutan, bagai seekor 
kuda yang habis dipacu.
"Pergi, kau! Jangan mendekat ke sini! Setan!" 
dara cantik yang merasa tidak berdaya itu berteriak-
teriak hampir menangis.
Dia memang merasa serba salah. Kalau diam, 
sudah pasti lelaki gemuk itu akan sampai ke tempat 
persembunyiannya. Sedangkan untuk menyerang, je-
las tidak mungkin. Sebab perbuatan itu sama saja 
dengan mempertontonkan anggota tubuhnya. Akhir

nya, ia pun bergerak menjauh sambil merendam tu-
buhnya sebatas leher.
"He he he....! Jangan takut, Manis. Aku tidak 
akan menyakitimu. Malah sebaliknya, aku akan mem-
buatmu bahagia dan membawamu terbang ke langit 
tingkat tujuh," bujuk Kobar.
Suara laki-laki itu mulai gemetar, karena nafsu 
iblisnya telah bangkit setelah melihat kulit leher yang 
putih halus itu. Saat itu jarak antara keduanya terpi-
sah sekitar satu batang tombak.
"Setan kau! Awas, kalau berani bersikap ku-
rang ajar kepadaku. Aku tidak akan segan-segan me-
mecahkan kepalamu!" gadis cantik itu berteriak-teriak 
sambil mengacaukan air sungai hingga menjadi kotor. 
Dengan demikian, tubuhnya terlindung dari pandan-
gan sepasang mata liar Kobar.
Kobar sama sekali tidak mempedulikan anca-
man itu. Ia terus saja maju mendekat sambil mengem-
bangkan kedua tangannya. Sepertinya, lelaki gemuk 
itu tengah bersiap-siap menerkam tubuh gadis cantik 
yang semakin ketakutan itu.
"Heyaaa...!"
Karena gadis cantik itu terus saja menjauh, 
Kobar menjadi tidak sabar. Meskipun jarak mereka 
masih tetap terpisah satu batang tombak, akhirnya 
Kobar nekat melompat dan menubruk tubuh gadis itu. 
Wajahnya menyeringai, membayangkan betapa seben-
tar lagi akan memeluk tubuh berkulit halus itu.
Gadis itu bergegas menghindari terkaman Ko-
bar. Namun, ia tidak berani menyambut tubuh lelaki 
gemuk itu dengan pukulan. Karena jika berbuat demi-
kian, berarti sebagian tubuhnya harus diangkat.
Dan perbuatan itu sama saja mempertontonkan 
anggota tubuhnya. Maka ia pun memutuskan untuk

menghindarinya saja.
Tapi sebelum Kobar sempat mencapai tubuh 
gadis itu, mendadak sesosok bayangan putih berkele-
bat cepat di atas permukaan sungai. Sambil melompat, 
sosok tubuh itu melancarkan tamparan ke kepala Ko-
bar.
Karena tidak menduga bakal ada kejadian se-
perti itu, Kobar pun tak sempat lagi menghindar. Ce-
pat-cepat tenaga dalamnya dikerahkan untuk melin-
dungi kepala yang terancam tamparan bayangan putih 
itu.
Plakkk!
Lelaki gemuk itu mengeluh ketika tamparan itu 
tepat mengenai kepala. Tubuh gemuk itu langsung ter-
pelanting ke dalam air! Meskipun tamparan keras itu 
tidak melukainya karena kepalanya terlindung tenaga 
dalam, namun tetap saja Kobar merasakan alam di se-
kitarnya berputar.
"Bangsat! Siapa kau?! Berani-beraninya men-
campuri urusanku...?! Rupanya kau ingin dianggap 
pahlawan, ya? Huh! Jangan mimpi, Sobat! Kau belum 
kenal, siapa Kobar yang berjuluk Setan Kepalan Besi!" 
bentak Kobar yang sudah bangkit berdiri tegak di atas 
batu besar, di tengah sungai.
"Hm.... Paling-paling kepalanmu itu hanya bisa 
meremukkan krupuk!" ejek sosok tubuh berpakaian 
putih.
Dia ternyata seorang pemuda tampan bertubuh 
tegap. Pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpen-
tang. Sikapnya nampak gagah sekali.
"Ni sanak, kuharap kau bersembunyi di balik 
batu itu. Biar aku yang mewakilimu memberi pelajaran 
kepada mereka," lanjut pemuda itu sambil menolehkan 
kepala ke arah si gadis.

Kobar yang menyadari keadaannya tidak men-
gizinkan untuk bertarung, bergegas menghambur ke 
tepi sungai. Cepat-cepat disambarnya pakaian yang di-
asongkan salah seorang kawannya. Lalu, pakaian itu 
dikenakan secara tergesa-gesa.
Sedangkan pemuda tampan berpakaian putih 
itu pun segera melesat menghampiri Kobar dan kawan-
kawannya.
"Hmh...!"
Lelaki gemuk yang telah selesai berpakaian itu 
membalikkan tubuh disertai geraman marah. Sepa-
sang tangannya terkepal erat, sehingga berkerotokan. 
Sepasang matanya menatap lekat-lekat, seolah-olah 
ingin menelan tubuh pemuda tampan itu hidup-hidup.
"Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini. 
Sadarlah, perbuatan kalian tadi itu melanggar tata 
krama," ujar pemuda tampan itu.
"Diam kau, Pemuda Sok Suci! Lebih baik ber-
sihkan hidungmu yang masih ingusan itu! Dan jangan 
sekali-kali mencoba menggurui kami!" bentak Kobar 
garang. Kemudian, dia maju beberapa langkah mende-
kati pemuda tampan itu.
***
Kobar dan pemuda tampan itu saling menatap 
dalam jarak satu setengah tombak. Sepasang mata le-
laki gemuk itu memancarkan sinar berapi-api yang 
siap membakar hangus tubuh calon lawannya. Se-
dangkan yang ditatap, tetap saja tenang tanpa menun-
jukkan rasa gentar sedikit pun
"Hehhh...!"
Lelaki gemuk yang wajahnya dipenuhi cambang 
bauk itu menghembuskan napas kuat-kuat. Berbaren

gan dengan itu, kedua kakinya bergerak membuka 
membentuk kuda-kuda. Sepasang tangannya dengan 
telapak terbuka, didorongkan ke atas hingga melewati 
kepala. Kemudian tangan itu turun perlahan-lahan, 
dengan gerakan menyilang di depan dada.
"Bersiaplah, Anak Muda! Kau harus diberi pela-
jaran agar lebih mengenal siapa Setan Kepalan Besi!" 
geram Kobar yang sudah mengepal kedua tangannya 
kuat-kuat. Kaki kanannya ditarik ke belakang, agak 
rendah.
"Majulah! Aku ingin tahu, sampai di mana ke-
rasnya tangan besimu itu," sahut pemuda tegap ber-
pakaian serba putih itu tenang.
Ia tetap saja berdiri tegak, tanpa memper-
siapkan jurusnya. Tentu saja Kobar yang merasa di-
pandang remeh menjadi semakin marah.
"Keparat sombong! Sambutlah...!"
Sambil berteriak nyaring, Kobar menggeser 
langkahnya mendekati pemuda itu. Sepasang kepalan-
nya menyambar-nyambar menimbulkan angin kuat
Bettt! Bettt!
"Hmh...!"
Melihat serangan yang dilancarkan lelaki ge-
muk itu, pemuda tampan itu hanya bergumam lirih. 
Sambil menggeser kaki kanannya ke samping, tubuh-
nya diputar hingga mendadak doyong ke kanan. Maka 
dua buah serangan Kobar pun lewat di depan tubuh-
nya.
Namun, gerakan Kobar pun ternyata cukup ge-
sit! Begitu sadar kalau kedua serangannya dapat di-
hindari lawan, kaki kanannya cepat bergerak menyapu 
kaki kiri lawan yang berada di depan.
Sebenarnya, sapuan kaki kanan Kobar itu ha-
nyalah sebuah gerak tipu untuk memancing gerakan

lawan. Apabila lawan berhasil terkecoh sehingga men-
gangkat kaki kirinya, maka sapuan kaki Kobar dapat 
berubah menjadi tendangan kilat yang berbahaya. Se-
baliknya, bila lawan tidak berusaha menghindar, maka 
sapuan kakinya akan terus berlanjut. Bahkan akan 
langsung disusul dorongan kedua telapak tangan ke 
arah dada. Benar-benar sebuah serangan berbahaya
dan penuh perhitungan!
Tapi, sepertinya pemuda itu sama sekali tidak 
menyadari akan perhitungan serangan lawan. Ia tetap 
saja menanti sapuan kaki Kobar tanpa berusaha men-
gelak. Tentu saja lelaki gemuk itu menjadi gembira bu-
kan main. Sudah terbayang jelas di benaknya, betapa 
laki-laki muda itu akan terlempar oleh dorongan sepa-
sang tangannya yang siap dilontarkan.
Pada saat sapuan kaki Kobar hampir mengenai 
kaki lawan, tiba-tiba saja pemuda itu menunduk. Lu-
tutnya segera dijatuhkan untuk menghantam tulang 
kering lawannya. Berbarengan dengan gerakan itu, 
tangan kanannya dengan telapak terbuka menggedor 
dada lawan
Dukkk! Buggg!
Tak ayal lagi, tubuh lelaki gemuk itu terlempar 
ke belakang sejauh dua batang tombak! Kobar terus 
bergulingan, hingga satu batang tombak lebih. Jerit 
kesakitan seketika terdengar dari mulutnya.
Kobar bangkit duduk dengan mimik wajah lu-
cu. Ia terlihat sibuk mengurut-urut kaki kanan dan 
menekap dadanya yang terasa sesak. Lelaki gemuk itu 
tidak tahu lagi, apa sebenarnya yang dirasakan saat 
itu. Di sisi lain, dadanya yang terhantam telapak tan-
gan pemuda itu terasa sesak dan nyeri. Sedangkan tu-
lang kering kaki kanannya yang terkena hantaman lu-
tut, sakitnya sukar dilukiskan. Sehingga, Kobar tidak

tahu apakah harus menangis atau menjerit-jerit akibat 
rasa sakit yang bercampur aduk.
"Ah! Sayang kau hanya memperhatikan kekua-
tan tanganmu, Kisanak. Sehingga, kau lupa kalau ka-
kimu belum sekeras besi. Kunasihatkan, agar kau ce-
pat-cepat melatih kakimu. Sehingga, julukanmu akan 
lebih lengkap dan menyeramkan. Setan Kepalan dan 
Kaki Besi! Nan, bukankah julukan itu lebih hebat?" le-
dek pemuda tampan itu seraya tersenyum lucu.
"Hi hi hi...! Tepat sekali! Aku setuju dengan ju-
lukan itu," tiba-tiba terdengar suara merdu yang be-
rasal dari aliran sungai.
Pemuda tampan itu menoleh, lalu melemparkan 
senyum kepada dara cantik yang rupanya juga men-
dengarkan ucapan itu.
"Kau setuju, Ni sanak?" tanya pemuda tampan 
itu tanpa melepaskan senyum yang menghias wajah.
"Tentu saja aku setuju, Kakang!" sahut gadis 
cantik itu, dengan mata kocak. Sepertinya, gadis itu 
sudah lupa kalau hampir saja celaka tadi.
Sementara itu, kedua orang kawan Kobar ber-
gegas menghampiri dan memapah tubuh lelaki gemuk 
itu. Sebelum pergi, mereka sempat meninggalkan kata-
kata ancaman kepada pemuda tampan itu.
"Ingat, Kisanak! Persoalan kita belum selesai! 
Kelak, kami akan mencarimu dan membalas hinaan 
ini!" geram lelaki tinggi kurus dengan tatapan penuh 
dendam.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum tanpa 
mempedulikan ancaman orang itu. Dan setelah ketiga 
orang itu lenyap di balik rimbunan pepohonan, tubuh-
nya pun segera berbalik menghadap ke sungai. Di sa-
na, dara cantik itu masih bersembunyi.
"Hei, Ni sanak! Apakah pakaian ini harus ku

lemparkan, atau kau yang akan naik ke sini!" tanya 
pemuda tampan itu, agak keras.
"Lemparkan saja! Biar aku mengenakannya di 
sini!" sahut dara cantik itu sambil menyembulkan ke-
pala dari balik batu.
"Tangkaplah...!" ujar pemuda itu sambil me-
lemparkan pakaian yang terbuat dari sutra kuning ce-
rah.
Setelah melemparkan pakaian, pemuda tampan 
itu membalikkan tubuhnya, duduk di atas sebuah ba-
tu yang agak pipih. Sepasang matanya menerawang 
jauh, menembus mega-mega biru yang berarak pergi.
***
TIGA


"Namaku, Wurati, kuucapkan banyak terima 
kasih atas pertolonganmu," ucap gadis cantik yang 
mengaku bernama Wurati. Saat itu keduanya berdiri 
berhadapan di tepian sungai.
"Ah! Jangan terlalu sungkan-sungkan. Bukan-
kah tolong-menolong sudah menjadi kewajiban kita 
bersama," sahut pemuda tampan itu merendah. "Na-
maku Samanggala. Kebetulan pondokku tidak begitu 
jauh dari sungai ini. Jadi, suara teriakanmu terdengar 
cukup jelas dari pondokku."
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Dan mu-
dah-mudahan, aku bisa membalasnya kelak," sambut 
Wurati lagi sambil membungkukkan tubuhnya mem-
beri hormat.
"Ah, sudahlah! Mengapa kau begitu terikat segala aturan konyol itu? Tapi kalau kau memang bersi-
keras hendak membalas budiku itu, tunggulah di sini 
sebentar!"
Setelah berkata demikian, pemuda tampan 
yang bernama Samanggala itu berkelebat lenyap me-
nuju sebuah mulut hutan. 
Wurati yang tidak sempat mencegah kepergian 
Samanggala, berdiri terpaku dengan wajah bingung. 
Sama sekali tidak dimengerti, mengapa tiba-tiba saja 
penolongnya berlari menuju mulut hutan yang mem-
bentang beberapa belas tombak di depannya. Gadis itu 
berdiri mematung, menunggu kemunculan pemuda itu 
dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya.
Tak lama kemudian, Samanggala kembali sam-
bil menenteng dua ekor ayam hutan yang cukup besar. 
Wajah pemuda tampan itu tampak tersenyum cerah 
ketika menghampiri Wurati.
"Nah! Kalau memang ingin membalas budiku, 
mari ikut aku ke pondok. Dengan memenuhi undan-
ganku, maka berarti kau sudah tidak punya hutang 
lagi. Bagaimana? Bersedia?" tanya Samanggala sambil 
memandang wajah cantik di depannya dengan sinar 
mata kagum.
"Hi hi hi...! Kau ini ada-ada saja, Kakang. Baik-
lah, aku menerimanya dengan senang hati. Apalagi, 
saat ini perutku memang sudah minta diisi," sahut 
Wurati terkekeh gembira. Dan sudah dapat diduga, 
untuk apa dua ekor ayam hutan yang berada dalam 
genggaman pemuda itu.
"Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu? Ayolah, 
kita berangkat," ajak Samanggala, segera melangkah 
mendahului Wurati.
Gadis cantik berpakaian kuning cerah itu, 
mengangkat bahunya sambil tersenyum. Tanpa berka

ta apa-apa lagi, Wurati pun bergegas menyusul peno-
longnya. Menurutnya, pemuda itu berwatak aneh.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya pun ti-
ba di depan sebuah pondok kayu yang sederhana dan 
terlihat cukup bersih.
"Nah, inilah istanaku. Tapi sayang, tidak ada 
dayang seorang pun yang menyambut kedatangan kita. 
Bagaimana menurutmu? Apakah cukup memadai?!" 
gurau Samanggala seraya mengulum senyum.
"Hm.... Benar-benar sebuah istana yang me-
nyenangkan. Tentunya di sini kau sering menikmati 
nyanyian-nyanyian alam. Seperti desau angin lirih, 
lembutnya gemerisik dedaunan, dan juga gemuruh air 
sungai yang mengalir. Apakah kau tinggal seorang diri, 
Gusti Pangeran?" tanya Wurati dengan sikap dibuat
wajar.
Seolah-olah gadis itu memang tengah berhada-
pan dengan seorang pangeran. Padahal, tawanya su-
dah hampir meledak ketika melihat wajah Samanggala 
yang seperti orang tolol. Rupanya, pemuda itu cukup 
terkejut mendengar jawaban Wurati yang sama sekali 
tidak disangka itu.
Beberapa saat kemudian, barulah pemuda itu 
menyadari sikapnya. Senyum di wajahnya tampak 
mengembang. Hatinya benar-benar gembira, karena 
Wurati ternyata seorang gadis yang menyenangkan 
dan pandai bergurau.
"Yah, aku memang tinggal seorang diri di tem-
pat ini. Tapi, hari ini nasibku sedang baik. Karena, ti-
ba-tiba saja seorang putri jelita bersedia memenuhi 
undanganku," timpal Samanggala mengakhiri ucapan-
nya dengan derai tawa bergelak-gelak.
"Ya, seorang putri yang tersesat dan kelaparan," 
sambung Wurati terkekeh gembira.

"Kalau begitu, Tuan Putri tunggulah di sini. 
Hamba akan segera menyiapkan hidangan istimewa,"
Setelah berkata demikian, Samanggala melang-
kah memasuki pondok.
Wurati duduk menunggu di bawah pohon di 
depan pondok itu. Wajahnya terlihat berbinar gembira. 
Perkenalan singkat itu ternyata telah menimbulkan 
kesan mendalam di hatinya. Diam-diam, gadis itu me-
muji cara bergaul Samanggala yang membuatnya cepat 
akrab, dan menimbulkan rasa suka di hatinya.
Samanggala adalah seorang pemuda tampan 
yang menyenangkan. Belum lagi kepandaian silatnya, 
yang sempat dilihat Wurati sewaktu menundukkan Se-
tan Kepalan Besi. Benar-benar pemuda yang jarang 
duanya.
Senyum di wajah Wurati mengembang menge-
nang semua itu. Ketika tersadar, ia menjadi malu sen-
diri. Kedua pipinya seketika dijalari warna merah, ke-
tika teringat betapa tidak pantas membayangkan wa-
jah seorang pemuda yang baru beberapa saat dikenal-
nya.
"Aduh, kasihan! Sayang ayam bakar yang di-
bayangkan belum siap. Padahal, Tuan Putri sudah ter-
senyum-senyum sendirian membayangkan kelezatan-
nya," goda Samanggala yang tiba-tiba keluar dari da-
lam pondoknya. Di tangan pemuda itu telah tergeng-
gam dua buah gelas yang terbuat dari bambu.
"Sialan! Aku bukannya tengah membayangkan 
ayam bakarmu. Enak saja menuduh orang!" sungut 
Wurati. Gadis itu menjadi agak malu, karena perbua-
tannya dipergoki sosok yang tengah dinilainya itu.
Samanggala tertawa lunak melihat Wurati ter-
sipu malu. Dihampirinya gadis itu, lalu disodorkannya 
salah satu gelas bambu di tangan kanannya.

"Arak ini sama sekali tidak memabukkan. Dan 
rasanya sangat cocok untuk teman hidangan kita nan-
ti," jelas Samanggala yang kembali masuk ke dalam 
pondoknya setelah meletakkan gelas yang satunya lagi.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu sudah 
kembali sambil membawa dua buah gumpalan tanah 
sebesar bola. Samanggala sama sekali tidak merasa 
kepanasan meskipun bulatan tanah yang dipegangnya 
masih mengepulkan asap. Jelas pemuda itu pasti me-
miliki tenaga dalam tinggi. Sehingga, rasa panas itu ti-
dak membuat telapak tangannya melepuh. Tentu saja 
Wurati semakin bertambah kagum.
"Hei? Untuk apa kedua gumpalan tanah itu, 
Kakang?" tanya Wurati seraya mengerutkan kening-
nya.
Gadis itu benar-benar tidak mengerti, apa se-
benarnya yang akan dilakukan pemuda itu. Padahal, 
tadi Samanggala berjanji akan membawa dua ekor 
ayam yang telah dimasaknya. Mengapa sekarang ma-
lah membawa dua buah gumpalan tanah? Apakah pe-
muda itu mempermainkannya?
Samanggala sama sekali tidak menyahuti per-
tanyaan Wurati. Sehabis meletakkan dua buah gumpa-
lan tanah di depan gadis cantik itu, lalu disambarnya 
dua helai daun pisang. Kemudian, pemuda itu duduk 
bersila di hadapan sahabat barunya. Diserahkannya 
sehelai daun pisang kepada gadis itu.
Tanpa mempedulikan tatapan heran mata Wu-
rati, Samanggala membelah gumpalan tanah di hada-
pannya.
"Eh...?"
Wurati tertegun melihat isi gumpalan tanah se-
besar bola itu. Asap tipis mengepul menebarkan aroma 
yang membuat rasa laparnya semakin menggigit.

Wurati menjadi agak dongkol melihat pemuda 
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Gadis itu 
hanya meneguk air liur, melihat betapa lahapnya Sa-
manggala menikmati daging ayam yang berwarna ke-
kuningan. Diraihnya gumpalan tanah yang berada di 
depannya, lalu ditiru perbuatan sahabatnya.
Tanpa malu-malu lagi, Wurati menyantap dag-
ing ayam yang ternyata sangat nikmat itu. Dalam seke-
jap saja, ayam bakar itu pun lenyap, masuk ke dalam 
perutnya.
"Bagaimana, Tuan Putri? Apakah rasa laparmu 
masih mengganggu?" tanya Samanggala.
Pemuda itu juga telah menyelesaikan makan-
nya. Arak harum di gelas bambunya pun telah berpin-
dah dalam perutnya. Pemuda itu memandang Wurati, 
dengan senyum menggoda.
"Wah! Kau benar-benar hebat, Kakang. Dari 
mana kau belajar cara memasak seperti ini? Aku ingin 
sekali mempelajarinya," puji Wurati tanpa malu-malu 
lagi, seraya meneguk minumannya.
"Oh, ya. Aku belum tahu asal-usulmu. Kau da-
tang dari mana?" tanya Samanggala tanpa mempeduli-
kan pujian Wurati.
"Aku dari Desa Maja Tengah. Sejak kecil, aku 
dititipkan ayah di Perguruan Silat Cakar Naga," jelas 
Wurati.
"Hm... Apakah gurumu Ki Bala Dewa yang ber-
juluk Pendekar Cakar Naga?" tebak Samanggala.
"Oh....! Kau kenal guruku, Kakang?"
Wurati kaget. Rasa kagumnya pada Samangga-
la makin besar. Betapa tidak? Pemuda itu ternyata 
luas pengetahuannya tentang tokoh-tokoh persilatan.
"Gurumu memang pendekar sejati. Julukannya 
membuat orang berpikir seribu kali untuk menghada

pinya. Tapi sayang kematiannya masih menjadi teka-
teki," kata Samanggala.
"Itulah sebabnya, Kakang. Aku sekarang ini 
tengah mengembara, mencari pembunuh guruku. Wa-
laupun kakak seperguruanku melarang, tapi aku ne-
kat Pokoknya, pembunuh guruku harus kubalas!" te-
gas Wurati.
Hati Samanggala sebenarnya agak terkesiap 
mendengar penegasan Wurati. Ini terpancar jelas dari 
wajahnya. Untung saat itu kepalanya tengah tertun-
duk, sehingga Wurati tidak sempat melihatnya.
"Oh, ya. Apakah arak itu terlalu keras bagimu, 
Wurati?" tanya Samanggala mengalihkan pembicaraan.
"Sama sekali tidak, Kakang. Malah menurutku, 
arak ini harum dan manis," sahut Wurati.
"Syukurlah kalau begitu," desah Samanggala.
Sepasang mata pemuda itu tampak menyi-
ratkan sinar aneh ketika melihat wajah Wurati keme-
rahan. Mendadak saja, senyumnya yang semula lem-
but kini berubah licik. Jelas sekali kalau hatinya me-
rasa gembira melihat perubahan wajah gadis itu.
Wurati pun bukan tidak menyadari perubahan 
pada dirinya. Dan kini tubuhnya mendadak saja terasa 
panas bagai terpanggang api. Titik-titik keringat mulai 
membanjir, turun membasahi wajah dan tubuhnya.
"Ooohhh...," Wurati mengerang lirih.
Tubuh gadis itu tampak menggeliat gelisah. Su-
atu rangsangan aneh yang selama hidup belum pernah 
dirasakannya, kini mencengkeram hatinya. Dan yang 
lebih membuatnya tidak mengerti, rangsangan aneh 
itu terasa begitu nikmat. Sedangkan deru napasnya te-
rasa semakin memburu.
"Wurati...," desah Samanggala dengan suara se-
rak dan bergetar.

Pemuda itu sama sekali tidak merasa bingung 
melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu. Bah-
kan, sebaliknya malah merasa gembira melihatnya.
Samanggala mengulur tangannya menyentuh 
jemari gadis itu. Wajah pemuda itu pun memerah. 
Hanya bedanya, ia masih bisa menguasai kesadaran. 
Sedangkan Wurati sudah bagai orang kehilangan ke-
sadaran Sehingga, gadis itu berkali-kali mengerang 
dan merintih lirih.
Sentuhan lembut telapak tangan Samanggala 
membuat tubuh Wurati bagai melambung ke angkasa. 
Suatu perasaan aneh yang nikmat membuat gadis itu 
menggenggam, bahkan meremas-remas jemari tangan 
Samanggala dengan tubuh gemetar hebat
"Ha ha ha...!" Samanggala tertawa bagai iblis 
ketika merasakan sambutan hangat Wurati. "Marilah 
kita masuk, Wurati. Aku akan membawamu terbang ke 
langit yang ke tujuh," ujar Samanggala yang segera 
memondong tubuh Wurati dan membawanya masuk 
ke dalam pondok.
Tawa Samanggala semakin nyaring berkuman-
dang, ketika sepasang tangan halus Wurati bergayut di 
lehernya. Begitu tiba di dalam pondok, tubuh gadis 
cantik itu direbahkan di atas balai-balai bambu. Ke-
mudian, seluruh pakaian yang membungkus tubuh 
Wurati dilepaskan. Sedangkan gadis cantik itu tetap 
tidak mau melepaskan pelukannya pada Samanggala.
"Sabarlah, Dewiku...," desah Samanggala.
Bergegas pemuda itu melepaskan seluruh pa-
kaian yang melekat di tubuhnya. Bagaikan seekor ha-
rimau lapar, tubuh gadis itu diterkamnya. Sedangkan 
Wurati menyambutnya dengan tidak kalah ganas.
Malang nian nasib gadis cantik itu. Tanpa dis-
adarinya, ia telah terjebak dalam perangkap iblis yang


sengaja dipasang Samanggala dengan lihainya.
Samanggala melampiaskan nafsu iblisnya sam-
bil tertawa penuh kepuasan!
***
Samanggala melangkah keluar dari dalam pon-
dok disertai seringai iblisnya. Tubuh bagian atasnya 
yang belum tertutup pakaian itu tampak dibasahi bu-
tir-butir keringat yang mengalir turun
"Bagaimana, Tuan Muda? Apakah gadis cantik 
itu sudah ditundukkan?" tanya seorang lelaki gemuk 
yang wajahnya dipenuhi cambang bauk.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Setan Kepalan 
Besi. Ia datang ditemani dua orang kawannya yang 
pernah mengganggu Wurati ketika sedang mandi. 
Pemuda tampan yang ternyata seorang penja-
hat cabul itu memang majikan Setan Kepalan Besi. 
Dan memang, mereka berempat telah bersandiwara 
untuk menjebak Wurati. Dan jebakan itu ternyata ber-
hasil baik.
"Ha ha ha...! Jangan khawatir! Dia masih belum 
sadar. Kalian boleh menikmatinya sekarang," sahut 
Samanggala yang segera melesat meninggalkan tempat 
itu setelah mengenakan pakaiannya kembali.
Setan Kepalan Besi sama sekali tidak mempe-
dulikan kepergian Samanggala. Lelaki gemuk itu ber-
gegas memasuki pondok sambil memperdengarkan ta-
wa iblisnya.
Bagaikan seekor harimau lapar, Setan Kepalan 
Besi langsung menerkam tubuh molek di atas pemba-
ringan. Meskipun saat itu korbannya sudah dalam 
keadaan tak sadarkan diri, sama sekali tidak dipeduli-
kannya. Digelutnya tubuh gadis itu untuk melampiaskan nafsu iblisnya.
Bukan hanya Setan Kepala Besi saja yang me-
nikmati tubuh Wurati. Dua orang lain yang berjuluk 
Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau pun ikut 
menggilirnya. Mereka melakukannya tanpa perasaan 
iba sedikit pun terhadap penderitaan gadis malang itu.
Wurati masih juga belum sadarkan diri, saat ti-
ga orang tokoh sesat yang sebenarnya berjuluk Tiga 
Setan Kali Brantas itu meninggalkan pondok. Obat pe-
rangsang yang dicampur ke dalam minuman arak ga-
dis itu memang termasuk jenis yang amat keras. Se-
hingga, setelah rangsangan iblisnya terlampiaskan 
bersama Samanggala, gadis cantik itu pingsan kehabi-
san tenaga. Maka kesempatan baik itu dipergunakan 
Tiga Setan Kali Brantas dalam melaksanakan nafsu be-
jatnya.
"Ohhh...."
Beberapa lama kemudian, terdengar keluhan li-
rih dari mulut Wurati. Dengan mata masih terpejam, 
gadis itu mengerang merasakan nyeri dan linu pada 
seluruh tubuhnya.
"Aaahhh...!"
Bagaikan disengat kalajengking, Wurati menje-
rit-jerit bagai orang kemasukan setan. Ketika melihat 
keadaannya yang tidak karuan, ia langsung sadar 
akan apa yang terjadi dengan dirinya. Meskipun demi-
kian, Wurati tidak mampu untuk bangkit dari atas ba-
lai-balai bambu itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit, 
dan tulang-tulangnya terasa hancur akibat kebiadaban 
Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas yang mem-
perkosanya secara bergilir.
"Aaa...!"
Lengkingan panjang memilukan terdengar me-
mecah kesunyian wilayah Hutan Mentawak. Wurati

meraung menyesali nasib buruk yang dialaminya itu. 
Akibat pukulan batin yang amat berat, membuat gadis 
itu pingsan untuk yang kedua kalinya.
Lama sekali gadis cantik bernasib malang itu 
tidak sadarkan diri. Hingga keesokan harinya, barulah 
ia siuman. Tertatih-tatih gadis itu bangkit dari balai-
balai bambu. Air mata tak henti mengalir membasahi 
wajahnya yang pucat dan kusut itu.
"Keparat kau, Samanggala. Sampai ke ujung 
dunia pun, aku akan mencarimu! Akan ku cabik-cabik 
tubuhmu, dan akan kuhirup darahmu!" kutuk Wurati 
dengan sinar mata liar, di antara isak tangisnya yang 
memilukan.
Dengan langkah tidak tetap, Wurati berjalan 
menuju ke luar pondok setelah terlebih dahulu men-
genakan pakaiannya. Sambil melangkah perlahan, di-
cobanya untuk mengingat kejadiannya. Dari saat dito-
long Samanggala, sampai pemuda itu bisa memba-
wanya ke pembaringan dan menodainya.
"Manusia licik...!" desis Wurati yang segera te-
ringat arak harum yang disuguhkan pemuda tampan 
itu.
Wurati yakin kalau minuman itulah yang telah 
membuat kesadarannya lenyap. Ia tidak ingat lagi, apa 
yang dilakukannya setelah meneguk arak itu. Yang di-
ketahuinya kini, dirinya telah ternoda. Hal itu diketa-
huinya dari rasa sakit dan darah yang mengalir di sela-
sela pahanya.
Kalau menuruti perasaannya yang hancur, Wu-
rati rasanya ingin menghabisi saja nyawanya. Ia mera-
sa tidak pantas hidup dengan menanggung aib yang 
memalukan. Ada beberapa hal yang membuatnya tetap 
ingin bertahan hidup. Mencari pembunuh gurunya, 
dan mencuci nodanya dengan darah Samanggala!

EMPAT

Musnahnya Perguruan Macan Liwung, men-
gundang berbagai pendapat tokoh kalangan rimba per-
silatan. Tak seorang pun yang tahu pasti, apa penye-
babnya, dan siapa pula pelakunya? Apalagi tidak seo-
rang pun murid-murid perguruan itu yang tersisa. Se-
muanya tewas dalam pembantaian keji itu.
Banyak sudah sahabat Ketua Perguruan Macan 
Liwung yang mencoba menyelidiki penyebab peristiwa 
berdarah itu. Namun, tak seorang pun yang berhasil 
menemukan jawabannya. Hal itu menimbulkan rasa 
penasaran di hati tiga orang sahabat dekat Pendekar 
Macan Putih, yang sekaligus Ketua Perguruan Macan 
Liwung.
"Aku benar-benar tak habis pikir, Kakang," kata 
seorang lelaki gagah yang kumis dan jenggotnya dicu-
kur pendek. "Apa yang mendorong pembunuh biadab 
itu, hingga tak satu pun anggota Perguruan Macan Li-
wung yang dibiarkannya lolos. Ini merupakan satu 
tanda tanya besar yang mengganggu pikiranku."
Laki-laki gagah itu, dalam dunia persilatan di-
kenal berjuluk Pendekar Tongkat Maut. Sepak terjang-
nya memang cukup mengiriskan. 
"Hm.... Meskipun kita bertiga belum menemu-
kan jawabannya, tapi sudah menjadi kewajiban untuk 
terus mengusutnya. Aku yakin, kalau kita terus mela-
kukan penyelidikan, suatu hari nanti akan dapat me-
nemukan jawabannya dan sekaligus menemukan ma-
nusia keji itu!" sahut lelaki setengah baya yang memi-
liki kening lebar. Nada suaranya terdengar geram, dan 
tanpa keluhan.
Jelas kalau orang itu memiliki tekad yang keras

dan tidak pantang menyerah. Itu tergambar dari ben-
tuk rahangnya yang kokoh, dan sinar matanya yang 
menyala memancarkan semangat tinggi.
"Yah! Aku pun tidak akan berhenti sebelum 
pembunuh Kakang Jalasena dapat diringkus! Ini men-
jadi tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang 
yang paling dekat dengannya. Aku akan menemanimu 
untuk mencari tahu orang itu, Kakang Wanggala," 
sambut lelaki berusia empat puluh tahun, sambil 
menggenggam telapak tangan lelaki setengah baya 
berkening lebar, yang bernama Wanggala.
Orang yang dipanggil Wanggala itu tersenyum 
dan menggenggam erat telapak tangan sahabatnya.
"Bukan hanya aku dan kau saja, Adi Jabrang. 
Tapi, kita bertigalah yang harus melaksanakan tugas 
berat ini. Bukankah begitu, Adi Legawa?" tegas Ki 
Wanggala seraya menolehkan kepalanya ke arah Pen-
dekar Tongkat Maut
"Tentu, Kakang. Memang sudah seharusnya hal 
itu kita lakukan," sahut Pendekar Tongkat Maut yang 
bernama asli Legawa itu. Ia pun segera mengulurkan 
tangannya, dan menggenggam telapak tangan kedua 
orang sahabatnya.
Tanpa setahu ketiga orang tokoh persilatan itu, 
tampak seorang pemuda tampan berjubah putih ikut 
mendengarkan pembicaraan mereka.
Lelaki muda berwajah tampan yang duduk 
agak ke sudut itu rupanya merasa tertarik dengan 
pembicaraan mereka. Meskipun terlihat tengah me-
nunduk menikmati hidangannya, namun pendengaran 
tajam pemuda itu dapat menangkap jelas pembicaraan 
Ki Wanggala, Ki Legawa, dan Ki Jabrang.
Pemuda tampan itu mengangkat wajah ketika 
pendengarannya tidak lagi menangkap pembicaraan

yang menarik hatinya itu. Sepasang matanya menatap 
ke arah Ki Wanggala dan kawan-kawannya yang terpi-
sah beberapa meja dari tempat duduknya. Kedai yang 
saat itu cukup ramai, membuatnya leluasa untuk me-
neliti dan menilai ketiga orang itu.
"Ada apa, Kakang...?" tanya seorang gadis jelita 
berpakaian serba hijau yang duduk bersama pemuda 
itu.
Gadis itu melayangkan pandangan, mengikuti 
arah tatapan pemuda tampan yang duduk di seberang 
mejanya.
"Tidak ada apa-apa, Kenanga. Habiskanlah ma-
kananmu, nanti keburu dingin," sahut pemuda tam-
pan itu.
Dia sudah pasti adalah Panji, yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih. Suara pendekar muda ini ter-
dengar rendah, karena tidak ingin terdengar ketiga 
orang yang diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
Kenanga yang sudah hafal tindak-tanduk keka-
sihnya, segera meneruskan makannya. Hatinya sama 
sekali tidak tersinggung atas ketidakterusterangan 
pemuda itu. Namun ia tahu betul, kekasihnya pasti 
menyimpan sesuatu yang tidak mungkin dikatakan di 
tempat itu. Dan itu bisa dimengerti olehnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat sikap 
yang ditunjukkan kekasihnya itu. Hatinya merasa lega 
melihat wajah jelita itu sama sekali tidak menunjuk-
kan perasaan apa-apa. Diam-diam, ia merasa bersyu-
kur memiliki gadis jelita yang penuh pengertian. Di-
pandanginya wajah Kenanga yang tengah menunduk 
itu dengan rasa cinta mendalam.
Kenanga yang merasakan tatapan mata penuh 
kasih itu, perlahan mengangkat wajahnya. Ada rasa 
hangat yang seketika menjalari permukaan wajahnya

saat melihat tatapan kekasihnya yang jelas-jelas me-
mancarkan kasih kepadanya.
Darah di tubuh gadis jelita itu berdesir nikmat 
ketika jemari tangannya digenggam lembut telapak 
tangan Panji. Kenanga terpaksa menundukkan wajah-
nya yang dijalari rona merah.
"Makin lama, semakin bertambah saja perasaan 
cintaku kepadamu, Kenanga," kata Panji perlahan, 
sambil meremas-remas jemari lentik gadis jelita itu.
"Kakang, ini bukan di hutan! Ini kedai makan. 
Malu kan, kalau dilihat orang," Kenanga mengingatkan 
sambil menarik jemari tangannya dengan gerakan per-
lahan.
Genggaman telapak tangan Panji mengendur. 
Bukan teguran gadis itu yang menyebabkannya, me-
lainkan karena pandangan Pendekar Naga Putih tertu-
ju kepada ketiga orang tokoh persilatan yang saat itu 
sudah bersiap hendak meninggalkan kedai makan.
Begitu Ki Wanggala dan dua orang kawannya 
lenyap di balik pintu sebelah luar kedai, Panji cepat 
mengulapkan tangan kanannya memanggil pelayan 
dan membayar harga makanan.
"Mengapa terburu-buru, Kakang? Bukankah ki-
ta akan bermalam di Desa Lawatan ini?" tegur Kenan-
ga yang merasa heran atas sikap Panji.
"Nantilah..., sambil jalan kuceritakan," sahut 
Panji perlahan
Kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas men-
gajak kekasihnya meninggalkan kedai makan itu. Ke-
nanga pun mengikutinya tanpa membantah lagi.
Panji mengajak Kenanga menuju perbatasan 
Desa Lawatan, karena ketiga orang tokoh persilatan itu 
tampak tengah bergegas meninggalkan desa. Sambil 
berjalan, pemuda itu mulai menceritakan apa yang te

lah didengarnya dari pembicaraan Ki Wanggala dan 
teman-temannya tadi.
Kenanga mendengarkan penuturan Panji tanpa 
sedikit pun memotong.
"Hm.... Jadi itu yang menyebabkan Kakang 
berniat menguntit perjalanan mereka. Apa Kakang ya-
kin, kalau ketiga orang itu akan dapat menemukan je-
jak pembunuh keji itu?" tanya Kenanga setelah Panji 
menyelesaikan ceritanya.
"Menurut apa yang kudengar tadi, aku menarik 
kesimpulan kalau Ki Wanggala dan kedua orang te-
mannya adalah sahabat dekat Pendekar Macan Putih. 
Meskipun saat ini mereka belum mengetahui penyebab 
musnahnya Perguruan Macan Liwung, tapi lama-
kelamaan pasti akan dapat mengetahuinya. Sebab, se-
bagai sahabat dekat Pendekar Macan Putih, ada ke-
mungkinan mereka pun tahu musuh-musuh Ki Jala-
sena itu. Jadi untuk memudahkan penyelidikan, tidak 
ada salahnya kalau mereka kita ikuti," jawab Panji 
panjang lebar.
"Apakah tidak sebaiknya kalau kita memperke-
nalkan diri kepada mereka, Kakang? Aku yakin, mere-
ka akan menerima dengan senang hati. Lebih-lebih ka-
lau kau memperkenalkan julukanmu. Pasti mereka 
akan menyambut gembira," usul Kenanga yang ru-
panya lebih suka bersikap terbuka.
Panji tidak segera menjawab usul yang diaju-
kan kekasihnya. Sambil terus melangkah, pemuda 
tampan berjubah putih itu mempertimbangkan juga 
anjuran Kenanga.
"Untuk sementara, biarlah kita melakukannya 
secara sembunyi, Kenanga. Aku khawatir, kalau mem-
perkenalkan diri kepada mereka, belum tentu akan di-
terima dengan hati terbuka. Bukan maksudku untuk

berprasangka buruk. Tapi, tidak semua tokoh persila-
tan dapat menerima kelebihan orang lain. Bukankah 
para tokoh persilatan adalah juga manusia biasa, yang 
memiliki perasaan sama dengan yang lainnya? Kalau 
aku memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Pu-
tih, ada dua kemungkinan yang akan kuterima. Per-
tama, mereka mungkin menerima secara wajar dan bi-
sa juga menyambut gembira kedatangan kita."
Sebentar Panji terdiam. Sementara Kenanga se-
perti terkesan oleh alasan kekasihnya itu. Gadis itu 
masih terdiam, seperti berharap agar Pendekar Naga 
Putih meneruskan penjelasannya.
"Tapi, bagaimana kalau perkenalan kita diang-
gap sebagai suatu kesombongan? Apalagi, aku harus 
memperkenalkan julukan! Bukankah hal itu akan me-
nimbulkan rasa iri, dan mungkin saja mereka akan 
menguji kepandaianku? Kemungkinan kedua inilah 
yang tidak kuinginkan," lanjut Panji.
"Yah, mudah saja. Beri pelajaran agar mereka
sadar kalau di atas gunung masih ada langit. Kan, 
beres," sambut Kenanga ringan.
Ucapan itu dikeluarkan tanpa rasa ragu sedikit 
pun. Dan memang, sudah menjadi sifat Kenanga yang 
tidak ingin dipandang remeh orang lain. Meski, orang 
itu dari golongan putih sekalipun.
"Ha ha ha...! Kau ini aneh, Kenanga. Kalau kau 
selalu menuruti perasaanmu, bisa-bisa akan mempu-
nyai banyak musuh. Dan tentu saja hal itu akan me-
rugikanmu sendiri," Panji tertawa bergelak mendengar 
ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tahu betul, Kenanga me-
mang memiliki sifat keras. Berbeda dengan dirinya 
yang berusaha mengalah, dan sebisa mungkin me-
nyembunyikan julukannya. Karena ia yakin hal itu bisa menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan 
bagi tokoh-tokoh persilatan.
"Aku tidak takut..!" sahut Kenanga sungguh-
sungguh. "Tokoh persilatan yang mempunyai sifat jelek 
seperti itu, matanya harus dibuka. Mereka harus tahu, 
bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling dig-
daya. Apakah pendapatku salah, Kakang?" bantah Ke-
nanga mempertahankan pendapatnya.
"Tidak...," sahut Panji seraya tersenyum.
"Nah...," seru Kenanga dengan wajah berseri.
"Ya, tidak betul...!" sambung Panji lagi seraya 
tertawa bergelak.
"Aaa...," rengek Kenanga manja. Bergegas dike-
jarnya Panji, ketika pemuda itu melarikan diri meng-
hindari cubitannya.
***
"Tolooong...!"
Di bawah siraman garangnya cahaya matahari, 
sesosok tubuh penuh luka berlari terpincang-pincang 
menerobos dedaunan. Tangan kanannya yang meng-
genggam sebilah pedang dikibaskan ke kanan dan ke 
kiri untuk memapas ranting yang menghalangi jalan-
nya.
"Aaah...."
Sosok tubuh lelaki itu terguling ketika kaki ka-
nannya tersangkut akar pohon yang menyembul di 
atas permukaan tanah. Sambil mengaduh menahan 
sakit, bergegas dia bangkit meskipun gerakannya su-
sah payah.
Wajahnya yang pucat nampak berkerinyut me-
nahan rasa sakit pada dada yang ditekap telapak tan-
gan kiri. Dari sudut bibirnya, tampak mengalir cairan

merah. Demikian juga dari kedua lubang telinganya. 
Jelas, kalau lelaki itu mengalami luka yang tidak rin-
gan. Namun daya tahan tubuhnya yang cukup kuat, 
menandakan kalau lelaki itu memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Itu terlihat dari kemampuannya untuk ber-
tahan, meski dengan luka yang bisa menewaskan 
orang berkepandaian rendah.
"Kau dengar teriakan itu?" tanya Ki Wanggala 
seraya menolehkan kepalanya kepada Jabrang dan Le-
gawa yang saat itu juga tengah memandang ke arah-
nya.
Tanpa berpikir dua kali, Legawa dan Jabrang 
langsung mengangguk. Memang, teriakan itu pun 
sempat tertangkap pendengaran mereka yang telah ter-
latih baik.
Begitu melihat anggukan kepala kedua orang 
temannya, Ki Wanggala bergegas melesat menuju asal 
teriakan tadi. Kedua orang temannya pun langsung sa-
ja menyusul tanpa banyak cakap lagi.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Wanggala yang 
berlari paling depan melihat sesosok tubuh yang ten-
gah berusaha bangkit berdiri. Sekali lompatan saja, 
orang tua itu telah berdiri tegak di depan sosok tubuh 
yang tengah menderita luka itu.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Wanggala. Dia 
segera berjongkok, memeriksa luka-luka yang diderita 
orang itu.
"Hantu.... Hantu.... Kematian..., aaakh...!"
Setelah berkata demikian, orang itu langsung 
terguling dengan mata mendelik. Dari mulut, telinga, 
dan hidungnya mengalir darah segar. Orang itu tewas 
di pangkuan Ki Wanggala karena luka-lukanya yang 
diderita.
"Hei...?! Rasanya aku kenal orang ini. Kalau ti

dak salah, ia adalah salah seorang murid utama Ki 
Jemparang yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Pu-
tih. Apa yang terjadi dengannya, Ki?" seru Legawa atau 
yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Tongkat
Maut.
"Ki Jemparang.... Di mana pusat perguruan itu, 
Adi Legawa?" tanya Ki Wanggala, tanpa mempedulikan 
pertanyaan sahabatnya.
Sepasang mata orang tua itu menatap tajam 
menuntut jawaban secepatnya. Memang, dalam hal 
mengenal tokoh-tokoh persilatan, Pendekar Tongkat 
Maut lebih banyak tahu daripadanya. Itu dapat dimak-
lumi, sebab Pendekar Tongkat Maut adalah pendekar 
pengembara. Dia selalu mengadakan perjalanan, un-
tuk meluaskan pengalaman.
Berbeda dengan Ki Wanggala maupun Jabrang 
yang lebih banyak tinggal untuk mengurus perguruan 
masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa Ki Wangga-
la dan Jabrang tidak mengenali lelaki yang tewas di 
pangkuan Ki Wanggala itu.
"Perguruan Tangan Putih berpusat di dekat 
Sungai Legong. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat 
ini," sahut Legawa yang segera dapat menduga, apa 
yang telah menimpa perguruan sahabatnya itu.
"Ikut aku...!" ajak Ki Wanggala yang segera me-
lesat meninggalkan mayat lelaki malang itu.
Gerakan orang tua itu demikian cepat, sehingga 
dalam beberapa kali lompatan saja sudah jauh me-
ninggalkan kedua orang sahabatnya.
Sadar kalau harus secepatnya untuk tiba di 
Perguruan Tangan Putih, maka Legawa dan Jabrang 
pun segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari 
cepat yang dimiliki. Sesaat saja, tubuh mereka sudah 
berkelebat bagaikan bayangan hantu yang sating berkejaran berebut mangsa.
***
Ki Wanggala tiba lebih dulu daripada kedua te-
mannya, di depan pintu gerbang Perguruan Tangan 
Putih. Darah di tubuh orang tua itu mendidih ketika di 
depannya terhampar suatu pemandangan mengerikan. 
Belasan sosok mayat tampak bergelimpangan tumpang 
tindih dalam keadaan hampir tidak bisa dikenali. 
"Biadab...!" desis Ki Wanggala.
Kemarahan laki-laki tua itu seketika menggele-
gak. Wajahnya merah padam terbakar api kemarahan 
yang hampir meledakkan dadanya.
Setelah memperhatikan mayat-mayat itu seje-
nak, Ki Wanggala menggenjot tubuhnya melewati pintu 
gerbang yang telah hancur berkeping-keping. Ia lang-
sung melesat, menuju balai utama perguruan itu.
Pemandangan serupa kembali membuat tu-
buhnya terpaku di halaman depan bangunan pergu-
ruan. Di tempat ini pun, puluhan sosok tubuh berge-
limpangan bermandikan darah yang menggenangi seki-
tarnya. Cepat orang tua itu melesat ke dalam bangu-
nan besar yang beberapa tiang penyangganya sudah 
patah.
Sepasang kaki orang tua bertubuh tegap itu 
berlompatan di antara mayat-mayat yang rebah tak be-
raturan. Keningnya berkerut, dan giginya bergemere-
tak melihat sosok-sosok tubuh wanita telanjang ber-
mandikan darahnya sendiri. Bahkan seorang di anta-
ranya yang memiliki wajah cantik dan berkulit halus, 
tergeletak dalam keadaan sangat menyedihkan.
Tubuh wanita yang usianya kira-kira sekitar ti-
ga puluh tahun itu sama sekali tidak tertutup pakaian.

Dia tewas dengan tengkorak kepala retak. Ki Wanggala 
dapat menduga kalau wanita itu telah diperkosa, sebe-
lum dibunuh oleh manusia biadab yang melakukan 
pembantaian di perguruan ini.
"Keparat! Keji...!" kutuk Ki Wanggala mendesis 
geram.
Laki-laki tua itu tak sampai hati melihat pe-
mandangan di sekitarnya. Ia lalu melepaskan jubah 
luarnya untuk menutupi tubuh mulus yang tanpa se-
helai benang pun menutupinya.
Lama tokoh setengah baya itu terpaku dengan 
wajah muram. Tak lama kemudian, tubuhnya pun 
kembali berkelebat untuk memeriksa sekitar pergu-
ruan itu.
"Bagaimana, Kakang...?" sebuah suara menge-
jutkan Ki Wanggala yang saat itu tengah berdiri tegak, 
menatapi empat sosok mayat di halaman samping ka-
nan Perguruan Tangan Putih.
Pendekar Tongkat Maut dan Jabrang yang ber-
juluk Harimau Cakar Besi, melangkah mendekati 
orang tua yang tengah termenung dengan wajah mu-
ram.
"Sepertinya kita terlambat...," desah Ki Wangga-
la dengan suara hampir tidak terdengar. Setelah berka-
ta demikian, orang tua itu melangkah perlahan sambil 
menengadahkan kepalanya menatap langit. Terdengar 
helaan napas berat yang berkepanjangan dari mulut 
dan hidungnya.
"Benar! Orang tua ini adalah Ki Jemparang 
yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Putih. Heran, 
bagaimana orang tua sakti ini sampai dapat tewas de-
mikian cepat? Padahal, ia masih dibantu tiga orang 
murid utamanya? Entah seberapa tingginya kepan-
daian manusia keji yang melakukan pembantaian ini?"

kata Pendekar Tongkat Maut, seperti untuk dirinya 
sendiri.
Laki-laki bernama Legawa itu penasaran meli-
hat tewasnya Ki Jemparang. Karena, ia tahu betul ke-
pandaian Ketua Perguruan Tangan Putih itu. Patut di-
akui, dirinya sendiri pun pernah dikalahkan Ki Jempa-
rang dalam waktu kurang dari lima puluh jurus. Be-
nar-benar tidak bisa diukur, sampai berapa hebat ke-
pandaian musuh Ki Jemparang itu. Hal lain yang 
membuatnya tidak habis mengerti adalah, tidak dite-
mukannya mayat lawan di antara mayat murid-murid 
Perguruan Tangan Putih. Legawa benar-benar pusing 
dibuatnya.
"Kau masih ingat tokoh sesat berjuluk Hantu 
Kematian yang telah kita bunuh kurang lebih setahun 
yang lewat?" tanya Ki Wanggala tiba-tiba, dan sangat
mengejutkan Legawa.
"Maksud, Kakang...?" tanya Legawa dan Ja-
brang hampir bersamaan.
"Menurut keterangan laki-laki yang kita temu-
kan dekat mulut hutan tadi, pelakunya adalah Hantu 
Kematian," jelas Ki Wanggala lirih.
"Mana mungkin, Kakang! Aku yakin betul kalau 
iblis itu telah tewas setahun yang lalu. Mungkin saja 
ada tokoh lain yang mencoba menakut-nakuti, dengan 
menyamar sebagai Hantu Kematian," bantah Harimau 
Cakar Besi, tak percaya.
"Sudahlah. Hal itu dipikirkan nanti. Sekarang, 
marilah kita kuburkan semua mayat ini," ajak Ki 
Wanggala yang segera bergegas melakukan penggalian.
***

LIMA

"Ihhh...."
Kenanga menahan jeritannya ketika melihat 
hamparan mayat yang bertebaran memenuhi halaman 
depart Perguruan Tangan Putih. Tentu saja jerit terta-
han yang keluar dari pendekar wanita itu bukanlah je-
rit ketakutan. Tapi, ia hanya terkejut melihat hampa-
ran mayat yang keadaannya sangat mengerikan.
"Gila...! Bagaimana seorang manusia sampai 
tega melakukan kekejaman seperti ini? Orang seperti 
itu tidak lagi pantas disebut manusia. Tapi, lebih pan-
tas sebagai iblis berwujud manusia! Kebiadaban seper-
ti ini tidak bisa didiamkan begitu saja," Panji yang ikut 
melihat hamparan mayat murid Perguruan Tangan Pu-
tih menggeram penuh kemarahan.
Kedua pendekar muda itu menoleh bersamaan
ke arah kanan. Saat itu, terlihat tiga orang yang mere-
ka ikuti kini mendatangi. Rupanya, Ki Wanggala dan 
dua orang kawannya sempat mendengar jeritan Ke-
nanga. Maka mereka pun menunda pekerjaan, lalu 
berlari mendatangi asal jeritan tertahan tadi.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang menatapi 
kedua orang di depannya dengan sinar mata, penuh 
selidik. Kerut di kening mereka semakin dalam ketika 
tidak mengenali Kenanga dan Panji.
"Siapa kalian berdua...?" tegur Ki Wanggala 
mewakili dua orang temannya.
Sikap orang tua itu tampak hati-hati sekali. 
Memang, sebagai seorang tokoh tua yang masa hidup-
nya dihabiskan untuk menggali ilmu silat, dapat didu-
ga kalau pemuda tampan berjubah putih dan gadis je

lita itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu dapat didu-
ga dari langkah kaki maupun sinar mata mereka.
"Maafkan kelancanganku, Ki. Seperti halnya 
kalian, kedatanganku ke tempat ini juga bertujuan 
sama. Dan maaf kalau jeritan kawanku ini telah meng-
ganggu kalian," Panji mendahului Kenanga menjawab 
pertanyaan Ki Wanggala.
Pemuda itu sengaja tidak menyebutkan nama 
Ki Wanggala, meskipun telah mengetahuinya. Karena, 
ia tidak ingin urusannya akan semakin panjang apabi-
la menyebut nama orang tua itu.
"Hm.... Ki Wanggala belum menanyakan keper-
luan kalian. Yang ingin kami ketahui, siapa dan dari 
mana kalian berdua?" selak Harimau Cakar Besi yang 
berwatak berangasan, tak sabar.
Melihat sinar mata yang mengandung anca-
man, Panji tersenyum sabar dan membungkuk hor-
mat. Ia sadar kalau dalam keadaan seperti itu, apalagi 
wajah ketiga orang itu nampak menyiratkan dendam, 
Panji harus menjawab hati-hati. Sebab, ia tidak ingin 
kalau di antara mereka terjadi bentrokan hanya kare-
na salah paham.
"Namaku Panji, dan ini Kenanga. Kami berdua 
adalah perantau yang tidak terikat partai manapun. 
Kami sampai ke tempat ini juga karena tertarik berita 
tentang musnahnya Perguruan Macan Liwung pada 
beberapa hari yang lalu. Sayang, di sini pun kami ter-
lambat," jelas Panji yang memang sesungguhnya san-
gat menyesali keterlambatannya itu.
"Anak muda! Kalau kau seorang ksatria, se-
butkan julukanmu," pinta Pendekar Tongkat Maut
Mata pendekar itu menatap tajam, bagaikan 
hendak menjenguk isi hati pemuda tampan di hada-
pannya. Sepertinya, Legawa mulai dapat menduga sia

pa adanya pemuda tampan itu.
Sepasang mata lelaki gagah yang kumis dan 
jenggotnya terawat rapi itu mengeluarkan cahaya, ke-
tika matanya tertumbuk pada sebuah gagang pedang 
yang menyembul dari balik punggung Pendekar Naga 
Putih.
"Aku hanyalah orang bodoh. Orang menjuluki 
diriku sebagai Pendekar Naga Putih," sahut Panji, 
kembali membungkuk hormat kepada ketiga orang le-
laki gagah itu.
Pendekar Tongkat Maut dan Ki Wanggala terse-
nyum gembira ketika mendengar disebutnya julukan 
yang telah lama menimbulkan rasa kagum di hati. Me-
reka langsung percaya terhadap pengakuan pemuda 
berjubah putih itu. Sebab, dari sikap maupun sua-
ranya, pemuda itu sama sekali tidak bermaksud mem-
banggakan julukannya yang tersohor itu.
Tapi sebelum kedua orang tokoh itu menyam-
but tokoh muda yang dikaguminya, mendadak Hari-
mau Cakar Besi melompat disertai suaranya yang be-
rat dan dalam.
"Hm.... Aku tidak semudah itu mempercayai 
pengakuanmu, Anak Muda. Buktikanlah, kalau kau 
memang benar-benar Pendekar Naga Putih! Bersiap-
lah!" tantang Jabrang yang sudah mempersiapkan ju-
rus andalan. Itu dilakukan untuk membuktikan kebe-
naran ucapan Panji.
Melihat hal itu, Ki Wanggala maupun Legawa 
sama sekali tidak berusaha mencegah perbuatan Ja-
brang. Mereka juga ingin mengetahui, sampai di mana 
kelihaian pendekar muda yang telah mengguncangkan 
dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat 
itu. Kedua tokoh itu melangkah ke tepi, sengaja mem-
berikan kesempatan kepada kawannya untuk menguji

kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Biar aku yang melayaninya, Kakang," 
pinta Kenanga.
Gadis itu merasa dongkol bukan main melihat 
kekasaran sikap orang di depannya. Namun, langkah-
nya tertahan ketika telapak tangan Panji menepuk ba-
hunya sebagai isyarat untuk mundur.
"Tidak, Kenanga. Orang ini tidak akan puas ka-
lau belum menjajal kemampuanku. Jadi, percuma saja 
kau menghadapinya," bisik Panji lirih, hingga tidak 
sampai terdengar yang lainnya.
"Aku sudah siap, Paman...," sahut Panji setelah 
Kenanga melangkah ke tepi.
Pendekar muda itu berdiri tegak, siap menyam-
but serangan lawan.
"Bagus...! Nah, sambutlah seranganku...!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh Jabrang su-
dah maju. Langkah kakinya menggeser hingga menim-
bulkan goresan-goresan dalam di atas permukaan ta-
nah.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya, hingga doyong ke 
belakang menghindari serangan cakar lawan yang su-
sul-menyusul. Sambaran angin kuat yang ditimbulkan 
membuat pemuda itu berhati-hati dalam menghadapi 
setiap serangan yang mengincar bagian-bagian tubuh-
nya yang terlemah.
Plak!
"Uhhh...!"
Memasuki jurus ke sepuluh, Panji mengangkat 
tangan kirinya ke alas untuk menangkis serangan la-
wan yang mengancam pelipis. 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan' yang dikerahkan pemuda itu membuat tubuh 
Jabrang terdorong dan hampir terpelanting dibuatnya


Untunglah Harimau Cakar Besi bertindak ce-
pat. Tubuhnya dilempar ke belakang, dan langsung 
melakukan salto beberapa kali di udara. Dengan ma-
nis, kedua kakinya mendarat ringan di atas permu-
kaan tanah.
"Hebat..!" puji Harimau Cakar Besi tulus.
Setelah berkata demikian, ia menarik napas 
berkali-kali sambil menggerak-gerakkan kedua tangan 
untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke tubuh-
nya. Sebab, tangkisan tangan Pendekar Naga Putih ta-
di sempat membuat tubuhnya menggigil bagai orang 
terserang demam.
Beberapa saat kemudian, Jabrang menatap 
Panji yang saat itu tubuhnya telah terlapisi kabut ber-
sinar putih keperakan. Pemuda tampan itu masih ber-
diri, menatap tajam ke arahnya.
Dugaan Panji yang mengira lawannya puas, 
ternyata salah. Sebagai seorang ahli silat yang haus 
ilmu, Jabrang tentu saja menjadi girang ketika melihat 
kelihaian pemuda tampan itu. Ia bagaikan bocah yang
baru saja dibelikan mainan. Dan akibatnya bisa dite-
bak. Jabrang ternyata tidak ingin berhenti sampai di 
situ saja. Ia pun kembali menantang Panji.
"He he he...! Jangan bertindak kepalang tang-
gung, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan perta-
rungan menyenangkan ini!" tantang Harimau Cakar 
Besi seraya terkekeh gembira. Lupa sudah ia akan jan-
jinya semula, yang hanya ingin menguji kepandaian 
Pendekar Naga Putih.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Janganlah terlalu 
pelit memberi pelajaran pada kawanku ini. Sedikit ba-
nyak, tentu kami akan dapat memetik pelajaran dari 
pertarungan ini," desak Ki Wanggala yang juga merasa 
tertarik terhadap kepandaian pemuda itu.

Demikian pula halnya dengan Pendekar Tong-
kat Maut. Lelaki gagah berusia empat puluh tahun ini 
pun mengajukan alasan yang sama. Dia meminta ke-
pada Pendekar Naga Putin agar bersedia melanjutkan 
pertarungan, yang baginya memang sangat menarik 
dan berarti itu.
Pendekar Naga Putih hanya mengangkat ba-
hunya, tanda pasrah. Ia tidak sampai hati menolak 
permintaan itu. Apalagi, sikap yang ditunjukkan Hari-
mau Cakar Besi bukanlah sikap permusuhan. Melain-
kan sikap seperti seorang sahabat yang meminta pe-
tunjuk darinya. Akhirnya, Panji pun menerima tantan-
gan itu.
"Baiklah, Paman. Dan kuharap Paman suka 
bersikap lunak kepadaku," kata Panji merendah.
Agar tidak dituduh memandang rendah lawan, 
Pendekar Naga Putih memasang kuda-kuda dap 
menghadapi gempuran Harimau Cakar Besi.
"Hm.... Anak ini benar-benar memiliki jiwa pen-
dekar sejati. Ia tetap saja merendah, meskipun tahu 
kalau kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dariku. 
Hebat..!" gumam Harimau Cakar Besi dalam hati kecil-
nya.
"Haiiit..!"
Jabrang atau yang lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Cakar Besi kembali melompat menerjang lawan. 
Sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau 
menyambar-nyambar bagian tubuh lawan yang terle-
mah, disertai angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya ke belakang disertai 
langkah-langkah kakinya yang beraturan dan terlihat 
kokoh. Terkadang, kedua tangannya bergerak me-
nangkis.

Tubuh Harimau Cakar Besi beberapa kali ber-
getar mundur apabila serangannya tertangkis lengan 
pemuda itu. Jelas sekali kalau dalam hal tenaga da-
lam, Jabrang masih jauh berada di bawah kekuatan 
lawannya yang masih muda itu. Dan ia pun bukan ti-
dak tahu kalau Panji tidak menggunakan tenaga dalam 
sepenuhnya. Namun, itu saja sudah membuatnya ka-
lang kabut
Setelah pertarungan itu lewat dari empat puluh 
jurus, terlihat Panji mulai menguasai pertarungan.
Pemuda itu mendesak dan memaksa lawannya 
untuk bermain mundur. Dan rasanya, Jabrang tidak 
akan mampu bertahan lebih dari lima jurus lagi.
Melihat keadaan Harimau Cakar Besi yang su-
dah tidak mampu lagi untuk membalas serangan la-
wan. Maka Ki Wanggala dan Legawa tampak saling 
bertukar pandang sejenak. Kemudian....
"Yeaaat..!"
Bagaikan telah sepakat, Ki Wanggala dan Pen-
dekar Tongkat Maut melesat memasuki arena perta-
rungan Begitu tiba, mereka langsung mengirim seran-
gan dahsyat ke arah Panji.
Ki Wanggala melancarkan pukulan-pukulan 
maut, sehingga menimbulkan angin berkesiutan tajam. 
Kadang-kadang tangannya meliuk dengan jari-jari ter-
buka, dan mematuk-matuk bagaikan dua ekor ular hi-
dup. Jemari tangannya yang sanggup menghancurkan 
batu karang itu langsung mengancam leher dan lam-
bung Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Legawa sudah memutar tongkat 
mautnya, sehingga kain lebar yang semula melibat ba-
tang tongkat itu pun berkibar menghalangi pandangan 
mata lawan
Wukkk! Wrrr!

Angin keras menderu ketika Legawa mengibar-
kan tongkat mautnya untuk menyerang Pendekar Naga 
Putih. Serangan itu tentu saja tidak bisa dipandang 
ringan. Karena di balik kibaran tongkat mautnya, ter-
nyata tersembunyi tendangan dan pukulan yang dapat 
meremukkan tubuh lawan. Itulah sebabnya, mengapa 
Legawa dijuluki Pendekar Tongkat Maut
Dengan masuknya kedua orang tokoh yang ti-
dak kalah lihai dengan Harimau Cakar Besi, tentu saja 
sempat membuat Panji kewalahan. Bahkan Panji terli-
hat terdesak menghadapi keroyokan mereka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih 
melempar tubuhnya hingga sejauh empat batang tom-
bak ke belakang. Begitu kedua kakinya hinggap di atas 
tanah, tubuhnya kembali melesat menerjang lawan-
lawannya. Kali ini tiga perempat bagian tenaganya di-
kerahkan untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh 
sakti itu. Bahkan Panji pun telah memainkan 'Silat 
Naga Sakti' yang menjadi jurus andalannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru 
dan menegangkan. Jurus 'Silat Naga Sakti' yang di-
mainkan Panji benar-benar membuat ketiga orang la-
wannya menjadi ciut nyalinya. Sepasang tangan yang 
berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dahsyat. 
Apalagi setiap sambaran tangan Pendekar Naga Putih 
juga menebarkan hawa dingin menusuk. Tentu saja 
hal itu membuat ketiga tokoh itu semakin terkejut.
"Heaaah...!"
Ki Wanggala membentak keras sambil membu-
ka kedua tangannya ke samping, untuk membuyarkan 
hawa dingin yang terasa membekukan seluruh jalan 
darah di tubuhnya. Namun sama sekali tidak disang-
ka, ternyata perbuatan itu justru membahayakan di

rinya. Karena dengan berbuat demikian, berarti perta-
hanan dirinya dibiarkan kosong.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji yang 
memiliki pandangan tajam. Saat itu juga, tubuhnya 
meliuk mendekati Ki Wanggala. Dan sebelum lawan 
sempat menyadarinya, tahu-tahu saja tubuh pemuda 
itu muncul di depan orang tua itu. Langsung dikirim-
kannya hantaman ke dada Ki Wanggala dengan tela-
pak tangan terbuka.
Desss!
"Hugkh...!"
Tubuh Ki Wanggala yang kuda-kudanya ter-
gempur itu langsung terjajar mundur sejauh lima ba-
tang tombak. Dari sudut bibirnya tampak cairan me-
rah mengalir. Padahal, Panji telah menekan tenaganya 
sekecil mungkin agar tidak melukai orang tua itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, sambaran 
Harimau Cakar Besi datang dari sebelah kanannya. 
Sepertinya, sambaran itu hendak mengancam lam-
bung!
Pendekar Tongkat Maut pun tidak ingin keting-
galan. Saat itu juga, tongkat maut di tangannya men-
deru mengancam leher Pendekar Naga Putih. Bahkan 
masih disusulinya dengan sebuah tendangan miring ke 
arah dada pemuda itu. Benar-benar gawat sekali kea-
daan Panji saat itu.
Namun, Panji yang sekarang tentu saja berbeda 
dengan Panji yang dulu. Semenjak sembuh dari pe-
nyakit yang diderita, tenaga sakti pemuda itu telah 
meningkat jauh (Untuk jelasnya, baca serial Pendekar 
Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung 
Kembaran"). Apalagi, ia memang tidak pernah lupa me-
latih ilmu-ilmu di setiap kesempatan. Maka kepan-
daian yang dimilikinya pun semakin sukar diukur.

Dalam menghadapi serangan berbahaya dari 
dua arah yang berlawanan itu pun, Panji tidak menjadi 
gugup. Maka kaki kanannya segera digeser jauh ke 
samping, disertai liukan tubuhnya yang membentuk 
setengah lingkaran. Dengan demikian, Pendekar Naga 
Putih bukan saja berhasil menghindari serangan Ha-
rimau Cakar Besi. Bahkan telah menghindari serangan 
Legawa sekaligus.
Gerakan Panji tidak hanya berhenti sampai di 
situ saja. Tubuhnya yang meliuk itu tiba-tiba saja te-
lah berada di samping kiri Jabrang. Maka langsung di-
kirimkannya hantaman sikut ke arah iga Harimau Ca-
kar Besi.
Bukkk!
"Ugkh...!"
Setelah itu, tubuh Pendekar Naga Putih kemba-
li berputar dan mengirimkan tendangan lewat jurus 
'Sabetan Ekor Naga'nya yang mendarat telak di dada 
Pendekar Tongkat Maut
Desss!
"Akh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang 
pendekar itu terlempar hingga satu setengah tombak 
jauhnya. Tubuh mereka langsung terbanting di atas 
tanah. Dari sela-sela bibir tampak mengalir darah se-
gar.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku sama sekali tidak 
bermaksud melukai kalian," ucap Panji sambil mem-
bungkuk hormat kepada ketiga orang tokoh itu.
Sementara itu, ketiga pendekar itu sudah 
bangkit dan melangkah ke arah Pendekar Naga Putih. 
Bergegas Panji menyerahkan kepada mereka masing-
masing, sebutir obat pulung berwarna putih salju.
"Mengapa harus meminta maaf, Pendekar Naga

Putih? Justru seharusnya kami berterima kasih kare-
na kau sudi memberi pelajaran tambahan kepada kami 
bertiga," sahut Ki Wanggala sambil mengulur tangan 
menerima obat pulung pemberian Panji.
"Kau benar-benar hebat, Panji. Aku yakin, kau 
belum seluruhnya mengeluarkan kepandaianmu ketika 
menghadapi keroyokan kami tadi. Aku benar-benar 
kagum kepadamu. Dalam usia semuda ini, kau ternya-
ta telah memiliki ilmu kesaktian yang sukar sekali di-
cari bandingannya," puji Harimau Cakar Besi dengan 
wajah berseri gembira.
"Sudahlah, Paman. Bisa-bisa kepalaku semakin 
bertambah besar nanti. Kalau begitu, bukankah aku 
sendiri yang kerepotan? Bagaimana aku harus mem-
bawanya?" gurau Panji yang membuat ketiga orang to-
koh persilatan itu tergelak.
Kenanga yang sudah berada di antara mereka, 
ikut terkekeh ketika mendengar ucapan Panji yang te-
rasa menggelitik perutnya.
"Lebih baik, kalian beristirahat dulu untuk 
memulihkan kesehatan," usul Panji kepada ketiga 
orang tokoh persilatan yang masing-masing telah me-
nelan obat pemberiannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Pendekar Naga 
Putih?" tanya Ki Wanggala.
Tampaknya orang tua itu begitu gembira kare-
na kehadiran pendekar muda itu telah membawa seti-
tik harapan. Dan orang tua itu merasa yakin, Pendekar 
Naga Putih pasti akan dapat menyelesaikan persoalan 
yang tengah dihadapinya. Maka ia pun berniat menga-
jak Panji melakukan penyelidikan terhadap pembunuh 
keji yang saat ini tengah berkeliaran menebarkan ben-
cana.
"Aku dan Kenanga akan menunggu kalian da

lam memulihkan kesehatan. Setelah itu, kita atur ren-
cana untuk menjebak iblis keji pembantai manusia 
itu," sahut Panji, sehingga membuat ketiga orang to-
koh persilatan itu menarik napas lega.
Ketiga orang tokoh persilatan itu pun bergegas 
melakukan semadi untuk memulihkan tenaga mereka. 
Sementara Panji bersama Kenanga duduk menanti di 
bawah pohon, tidak jauh dari mereka.
***
ENAM


Seorang gadis cantik mengenakan pakaian 
berwarna kuning cerah tengah duduk termenung di 
tepi sungai berair jernih. Wajahnya tampak pucat, dan 
tatapan matanya sedingin es. Tubuh yang sebenarnya 
indah itu terlihat kurus, seperti orang yang tengah 
mengalami penderitaan batin yang sangat berat. Siapa 
lagi gadis cantik itu kalau bukan Wurati? Seorang ga-
dis yang telah menjadi korban kebuasan nafsu bina-
tang Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas. Namun, 
Wurati memang belum tahu kalau Tiga Setan Kali 
Brantas juga ikut mencicipi dirinya. Karena waktu itu
dia dalam keadaan pingsan.
Selama beberapa hari setelah kejadian terkutuk 
yang menimpa dirinya, Wurati telah menjelajahi selu-
ruh wilayah hutan dan Bukit Mentawak. Tapi, orang 
yang dicarinya ternyata lenyap tanpa jejak bagai dite-
lan bumi. Dalam keadaan putus asa, gadis itu duduk 
termenung di tepi sungai, tempat pertama kali berjum-
pa Samanggala.

Butir-butir air bening mengalir menuruni pi-
pinya yang pucat Hatinya merintih pilu mengingat di-
rinya yang kini sudah tidak berharga lagi. Masa de-
pannya hancur direnggut manusia iblis yang tidak 
berperi-kemanusiaan itu.
"Ohhh...," Wurati mengeluh putus asa.
Suasana pagi yang indah ini, tidak lagi dapat 
dinikmati gadis itu. Semuanya kini terlihat buruk da-
lam pandangan matanya. Karena, hatinya telah mati 
dan jiwanya telah kosong semenjak tahu kalau dirinya 
telah ternoda. Semangat yang mendorongnya untuk te-
tap hidup, adalah melakukan pembalasan atas kebia-
daban Samanggala yang kini menjadi musuh besarnya 
dalam dunia ini. Dan juga membalaskan kematian gu-
runya.
Ketika matahari semakin naik tinggi, Wurati be-
ranjak bangkit dari duduknya. Ia tidak tahu lagi, ke 
mana harus pergi untuk mencari manusia yang telah 
merusak hidupnya. Asal-usul pemuda itu sama sekali 
tidak diketahui. Dan bukan tidak mungkin kalau nama 
pemuda itu pun nama samaran yang sengaja diguna-
kan sewaktu menjebak dirinya. Jadi sebenarnya, sega-
la sesuatu mengenai musuh besarnya itu masih gelap.
"Tidak! Aku tidak boleh berputus asa! Aku ha-
rus mencarinya biar sampai ke ujung langit sekalipun! 
Aku harus menemukan Samanggala dan mencincang 
tubuhnya sampai halus. Dan lagi, aku harus memba-
laskan kematian guru!" tekad Wurati dengan tubuh 
menggigil menahan kemarahan yang meluap-luap.
Sepasang mata yang semula indah dan mempe-
sona itu kini menjadi menyeramkan. Terkadang, kedua 
bola mata gadis cantik itu berputar liar bagai orang 
kurang waras. Hal itu dapat dimaklumi, karena jiwa 
Wurati memang mengalami tekanan sangat berat. Masih bagus ia tidak menjadi gila. Untunglah gadis itu ti-
dak tahu, kalau selagi dirinya pingsan, tubuhnya di-
permainkan Tiga Setan Kali Brantas. Kalau saja tidak 
dalam keadaan pingsan, mungkin perbuatan ketiga la-
ki-laki itu bisa membuatnya gila!
Setelah mengambil keputusan demikian, Wurati 
bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan 
tempat itu.
***
Wurati tidak tahu, ke mana harus mencari ma-
nusia keji yang telah menghancurkan hidupnya itu. Ia 
pun tidak peduli ketika sepasang kakinya melangkah 
menuju wilayah Selatan.
Hembusan angin sejuk yang biasanya selalu 
dinikmati, kini tidak lagi membuat hatinya damai. Ga-
dis cantik yang tengah mengalami tekanan batin itu te-
rus saja melangkahkan kakinya dengan tatapan lurus 
ke depan. Sedikit pun hatinya tidak tertarik untuk 
menikmati pemandangan indah di sekitarnya. Bahkan 
ketika memasuki wilayah Hutan Tiga Iblis, sama sekali 
tidak merasa gentar. Padahal, suasana hutan itu san-
gat sunyi dan menyeramkan.
Pohon-pohon yang akar-akarnya bersembulan 
di atas permukaan tanah dan telah berumur hampir 
mencapai seratus tahun, tidak lagi menimbulkan rasa 
takut sedikit pun di hati gadis itu. Wurati tetap saja 
melangkah, dengan sorot mata dingin lurus ke depan.
Tiba-tiba saja, Wurati menghentikan langkah-
nya. Gadis itu memiringkan kepalanya untuk mena-
jamkan pendengaran. Secara samar-samar tadi, telin-
ganya menangkap jeritan minta tolong dari kejauhan. 
Rasa penasaran membuat langkah kakinya semakin

dipercepat, sehingga semakin jauh ke dalam hutan.
"Hhh.... Mungkin yang kudengar tadi hanya de-
sau angin," desah Wurati kecewa, karena jeritan sa-
mar-samar tadi tidak lagi terdengar.
Baru saja ia memutuskan untuk tidak memi-
kirkan jeritan samar-samar tadi, tiba-tiba saja jeritan 
itu kembali terdengar. Dan kali ini lebih jelas.
"Ohhh.... Jangaan..! Tolooong...!"
Jeritan wanita bernada ketakutan itu membuat 
Wurati tidak berpikir dua kali lagi. Tubuhnya yang 
agak kurus langsung melesat menuju asal jeritan tadi.
Apa yang disaksikan gadis cantik berwajah pu-
cat itu membuat darahnya mendidih. Untuk beberapa 
saat lamanya, ia hanya berdiri mematung teringat 
akan keadaan dirinya.
Beberapa tombak di hadapan Wurati, terben-
tang sebuah pemandangan yang membuat sepasang 
matanya jadi basah.
"Begitukah Samanggala memperlakukan 
aku...?" gumam Wurati.
Gadis itu melihat tiga orang wanita setengah te-
lanjang tengah meronta-ronta dalam pelukan tiga 
orang lelaki kasar, Dan dia mengenali betul ketiga 
orang lelaki itu. Mereka adalah orang-orang yang per-
nah mengganggunya ketika mandi di sungai dekat Hu-
tan Mentawak.
"He he he...! Merontalah terus, Manis. Itu akan 
membuatku semakin bersemangat!" kata lelaki ber-
cambang bauk, sambil terus menciumi wajah manis 
dalam dekapannya yang meronta liar.
"Jangan, Tuan. Kasihanilah aku...," rintih gadis 
berwajah bulat telur dan berkulit kuning langsat itu 
memohon. Sedang tubuhnya masih terus meronta, be-
rusaha melepaskan pelukan orang yang tak lain ada

lah Setan Kepalan Besi.
Rintihan gadis manis itu, membuat Wurati ter-
sadar dari keterpakuannya.
"Bangsat keji! Lepaskan gadis-gadis itu...!" ben-
tak Wurati.
Seketika gadis itu melolos pedang yang tergan-
tung di pinggangnya. Tubuhnya langsung melesat ke 
dekat tempat itu.
"Eh?!"
Tiga Setan Kali Brantas terkejut begitu men-
dengar bentakan. Mereka sama sekali tidak menduga 
kalau di dalam hutan yang sunyi dan menyeramkan 
masih ada orang yang memergoki perbuatan mereka. 
Bergegas mereka melepaskan ketiga orang wanita mu-
da itu, lalu menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Dewi Cantik! 
Rupanya kau rindu kepada kami, sehingga ingin men-
gulangi kemesraan kita," tegur Setan Kepalan Besi 
sambil terkekeh memuakkan.
"Keparat! Apa maksud ucapanmu itu...?!" ben-
tak Wurati sambil menudingkan ujung pedangnya ke 
wajah penuh cambang bauk itu. Hatinya berdebar te-
gang, mendengar ucapan Setan Kepalan Besi yang me-
nimbulkan berbagai dugaan.
"Ah! Kau berpura-pura lupa kepadaku, Ni sa-
nak. Bukankah kita pernah bercumbu di dalam pon-
dok dekat Hutan Mentawak beberapa waktu yang lalu? 
Malah, kedua temanku ini pun ikut pula menikmati 
tubuhmu," sahut Setan Kepalan Besi.
Laki-laki itu tanpa sadar memang telah mem-
buka persekongkolan nya yang diatur bersama Sa-
manggala. Apalagi, dia memang terlalu sombong, se-
hingga menganggap rendah kepandaian Wurati. Jadi, 
dia pun tidak takut kalau-kalau gadis cantik yang wajahnya sudah semakin pucat itu akan membalas den-
dam.
Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau 
terkekeh seperti membenarkan ucapan Setan Kepalan 
Besi. Kedatangan Wurati membuat mereka lupa terha-
dap ketiga orang wanita yang hampir juga menjadi 
korban nafsu bejat Tiga Setan Kali Brantas. Memang, 
Wurati jauh lebih cantik dan lebih menarik ketimbang 
ketiga orang gadis yang mereka culik dari desa sekitar 
daerah itu.
"Apa..., apa yang kalian maksudkan...?" desis 
Wurati dengan jantung hampir copot. Tubuh gadis itu 
menggigil, takut dengan bayangan buruk yang melin-
tas di benaknya.
"He he he...! Mungkin ia tidak ingat, Kakang. 
Sebab waktu itu dia masih pingsan. Tapi kalau seka-
rang ingin mengulanginya, tentu akan lebih nikmat 
bagi kita," ujar Setan Muka Putih yang wajahnya putih 
bagaikan kapur.
Wajah putihnya itu disebabkan menjalani lati-
han ilmu keji yang mengandung racun ganas. Dan se-
telah ilmu itu berhasil diselesaikan, maka wajahnya 
pun berubah putih bagaikan kapur. Selain itu, kepan-
daiannya juga meningkat jauh.
"Jadi..., jadi kalian...! Oh, tidaaak...!" Wurati 
menjerit sambil menutupi wajahnya yang kini dibasahi 
air mata. Pengakuan Tiga Setan Kali Brantas itu benar-
benar telah memukul dan membuat luka hatinya kem-
bali berdarah.
Wurati jatuh ke atas tanah, bertopang pada lu-
tutnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemah bagai-
kan tak bertenaga. Alam di sekitarnya terasa berputar, 
seperti menertawakan dirinya. Hingga, ia hanya bisa 
menangis sesenggukan menyesali nasibnya. Sebab biar

bagaimanapun, ia lebih memilih Samanggala saja yang 
telah menodai dirinya. Bukan ketiga orang kasar yang 
menyeramkan itu. Membayangkan saja, telah cukup 
untuk membuatnya jijik. Selain wajah mereka yang 
kasar dan menyeramkan, tubuh mereka pun terlihat 
kotor tidak terurus.
"He he he...! Tidak perlu menangis, Dewi Can-
tik. Kalau kau memang ingin mengulanginya lagi, ten-
tu aku akan bersedia melakukannya dengan senang 
hati. Bukan begitu, Kawan-kawan?" ledek Setan Kepala 
Besi yang merupakan orang tertua dari Tiga Setan Kali 
Brantas.
Ketiga tokoh terkenal itu memang beraliran se-
sat, dan sangat ditakuti karena kepandaian dan keke-
jamannya. Akibatnya, mereka pun semakin merajalela 
menebarkan kejahatan. Satu hal yang paling mereka 
sukai, menculik gadis-gadis sebagai pemuas nafsu se-
tan mereka.
Ketika mendengar kata-kata Setan Kepalan Be-
si, Wurati seperti diingatkan akan tujuannya semula. 
Cepat gadis itu bangkit dan menghapus air matanya.
Disambarnya pedang yang tergeletak di sam-
pingnya. Kemudian, ia berdiri tegak dengan tatapan ta-
jam.
"Hm... dengarlah manusia-manusia terkutuk! 
Aku memang sengaja mencari kalian dan juga pemuda 
iblis yang bernama Samanggala. Dan tujuanku adalah 
untuk mencabut nyawa manusia-manusia biadab 
penghancur hidup wanita macam kalian! Sekarang, 
bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut!" geram 
Wurati sambil menggerakkan pedangnya menyilang di 
depan dada.
"Heaaat..!"
Tanpa menunggu jawaban dari Tiga Setan Kali

Brantas, gadis itu langsung melompat disertai ayunan 
senjatanya.
Wuttt! Wuttt...!
Sambaran pedang yang menimbulkan suara 
berdesing itu membuat Setan Kepalan Besi dan kawan-
kawannya melompat mundur.
"Kalian jaga tiga orang wanita itu! Biar aku saja 
yang menghadapi gadis liar ini!" perintah Setan Kepa-
lan Besi.
Setelah berkata demikian, Setan Kepalan Besi 
pun melompat memapak serangan Wurati yang saat 
itu tengah melompat
"Mampus kau, Iblis Keparat...!" maki Wurati se-
raya menyabetkan senjatanya berkali-kali hingga 
membuat Setan Kepalan Besi sesaat menjadi kerepo-
tan.
Swiiit!
Setan Kepalan Besi merendahkan tubuhnya ke 
kanan dengan kepala terdongak. Sambaran ujung pe-
dang itu lewat satu jari di atas kulit lehernya. Secepat 
kilat, tubuh lelaki gemuk itu berputar melingkar diser-
tai ayunan kaki kiri. Maksudnya untuk menyapu kaki 
depan lawannya. 
Wuttt!
Meskipun dalam keadaan jiwa terguncang, na-
mun Wurati ternyata bermata awas. Sambil menarik 
tubuh ke belakang, gadis itu mengangkat kaki depan-
nya dengan lutut tertekuk. Secepat kakinya ditarik, se-
cepat itu pula dilancarkan tendangan lurus mengan-
cam pelipis kiri lawan dengan totokan ujung jari ka-
kinya. Sebuah serangan balasan yang sangat berba-
haya. Sudah dapat dipastikan kalau tubuh gemuk itu 
akan menggelepar apabila terkena totokan ujung jari 
kaki yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Sayang perhitungan Wurati meleset! Totokan 
ujung jari kakinya hanya mengenai angin kosong. Ka-
rena, tubuh Setan Kepalan Besi tiba-tiba saja bergerak 
meliuk disertai geseran kakinya. Sebelum Wurati sem-
pat menyadarinya, tahu-tahu saja perutnya terasa ba-
gaikan dihantam palu godam.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Hantaman telapak tangan Setan Kepalan Besi 
yang hinggap di perut, membuat tubuh Wurati terlem-
par sejauh dua batang tombak ke belakang. Kemudian, 
dia terbanting keras di atas tanah berumput
"Ohhh...," Wurati mengerang menahan rasa sa-
kit yang mengaduk-aduk isi perutnya.
Gadis cantik bernasib malang itu mencoba 
bangkit sambil menghapus cairan merah di sudut bi-
birnya. Sepasang matanya berputar, mencari-cari pe-
dangnya yang terlempar entah ke mana.
"He he he...! Gadis binal! Kali ini kau akan me-
rasakan cumbuanku dalam keadaan sadar. Tidak usah 
malu-malu untuk mengulangi kemesraan kita," ujar 
Setan Kepalan Besi seraya terkekeh.
Laki-laki gemuk itu menyeringai buas menatap 
Wurati yang tidak mampu bangkit. Memang, rasa sakti 
pada perutnya masih terasa menyiksa.
Namun sebelum Setan Kepalan Besi sempat 
menjamah tubuh gadis cantik itu, sebuah bayangan 
putih melesat disertai bentakan menggelegar.
"Tunggu, Setan Kepalan Besi! Gadis itu bagian-
ku...!" seru sosok tubuh berpakaian putih yang sudah 
berdiri tegak menghadang di depan lelaki gemuk ber-
cambang bauk lebat itu.
"Oh! Kiranya Tuan Muda Samanggala yang da-
tang. Kuserahkan betina liar itu kepadamu, Tuan Mu

da. Aku masih mempunyai satu lagi."
Setelah membungkuk hormat, Setan Kepalan 
Besi meninggalkan sosok pemuda tampan yang tak 
lain adalah Samanggala.
"Silakan kalian bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita itu," ucap Samanggala kepada Tiga Setan 
Kali Brantas.
Sementara, ia sendiri sudah memondong tubuh 
Wurati. Tentu saja setelah terlebih dahulu menotok 
lumpuh tubuh gadis itu. Kemudian, dijejalkannya se-
butir obat ke mulut Wurati yang tak kuasa menolak-
nya.
Samanggala melemparkan tubuh gadis cantik 
itu di atas rerumputan tebal di balik semak-semak. Di-
terkamnya tubuh Wurati yang saat itu sudah menge-
rang dan merintih akibat pengaruh obat yang dijejal-
kan pemuda itu. Kejadian terkutuk itu pun kembali te-
rulang menimpa Wurati.
Di tempat lain, Tiga Setan Kali Brantas pun 
tengah terkekeh menikmati tubuh korban-korbannya. 
Tiga orang gadis desa yang lemah itu hanya bisa me-
nangis, menerima nasib buruk yang menimpa.
Suasana Hutan Tiga Iblis yang semula riuh oleh 
hembusan angin, kini mendadak sunyi. Sepertinya, 
alam ikut berduka atas nasib malang yang menimpa 
keempat orang wanita itu. Hutan Tiga Iblis menjadi 
sunyi dan mencekam tanpa seekor binatang pun yang 
menyemarakkannya. Hanya suara kekeh dan desah 
napas manusia-manusia bejat itu yang terdengar sal-
ing bersahutan.
***
Wurati tersadar dari pingsannya ketika cahaya

matahari siang menerobos rimbunan dedaunan, lalu 
menimpa wajahnya. Gadis cantik bernasib malang itu 
menangis pilu, dengan hati hancur luluh. Dikenakan-
nya pakaian yang berserakan di sekitar tubuhnya. Air 
matanya mengalir, hingga seluruh wajahnya yang pu-
cat menjadi basah.
"Ohhh.... Apa lagi artinya hidup bagiku? Men-
gapa manusia-manusia iblis itu tidak membunuhku 
saja sekalian? Mengapa mereka membiarkan aku hi-
dup? Oh, Tuhan! Dosa apa yang telah hamba lakukan, 
sehingga sedemikian buruk nasib yang harus hamba 
terima?" rintih Wurati sambil melangkah tertatih-tatih 
meninggalkan tempat itu. Kini, tidak ada lagi niatan di 
hatinya untuk tetap hidup di dalam dunia yang menu-
rutnya sangat kejam. Segala tekadnya pun hancur.
"Oh, Guru.... Maafkan muridmu ini. Rasanya 
aku tak mampu membalaskan dendammu. Aku telah 
hancur sebelum bertarung, Guru. Rasanya, hidupku 
tak ada gunanya lagi di dunia ini. Maafkan aku, 
Guru...," rintih Wurati.
Sepasang mata sayu itu terlihat semakin redup 
ketika menemukan mayat tiga orang gadis yang berlu-
muran darah. Rupanya tiga orang gadis desa yang ma-
lang itu dibunuh, setelah Tiga Setan Kali Brantas puas 
menodai mereka.
"Nasib kalian masih lebih baik dariku. Kalian 
tidak lagi merasakan derita yang berkepanjangan, se-
perti yang kualami. Rasanya, kematian memang meru-
pakan jalan satu-satunya yang paling baik. Daripada 
hidup hanya untuk menanggung derita dan cemoohan 
orang banyak," gumam Wurati, pilu.
Dengan tangan gemetar, Wurati mengeluarkan 
pedang yang tadi diselipkan di pinggangnya.
Sret!

Sinar pedang yang berwarna kebiruan, berke-
redep ketika gadis itu mengeluarkan dari sarungnya. 
Sambil menahan isak, Wurati mengangkat pedangnya 
tinggi-tinggi. Ujung pedang tajam berkilat itu ditempel-
kan di belahan dadanya. Gadis cantik yang sarat pen-
deritaan itu memutuskan untuk menghabisi nya-
wanya. Dia benar-benar sudah melupakan tekadnya. 
Membalaskan kematian gurunya, dan membunuh Sa-
manggala.
Wurati memejamkan mata, sehingga air ma-
tanya pun kembali mengalir menuruni pipinya yang 
cekung dan pucat. Ditariknya napas dalam-dalam. Se-
pasang tangannya tampak bergetar, siap menghun-
jamkan ujung pedang ke dadanya.
Tak lama kemudian, Wurati menggerakkan pe-
dang yang segera meluncur turun menuju dadanya.
Sebelum ujung pedang menembus kulit da-
danya, seberkas sinar putih meluncur dengan bagai ki-
lat!
Wuttt! Trang!
Seberkas sinar itu langsung membentur ujung 
pedang yang sempat menggores permukaan kulit dada 
gadis cantik itu.
"Akh...!"
Gadis cantik itu memekik tertahan ketika tan-
gannya terasa lumpuh sebatas bahu. Sedangkan pe-
dangnya sendiri terpental sejauh dua batang tombak 
dari tempatnya berdiri. Dapat dibayangkan, betapa he-
batnya tenaga dalam orang yang menggagalkan niat-
nya. Padahal, benda yang dipergunakan hanya sebuah 
batu kerikil sebesar ibu jari tangan!
Sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat 
dan tahu-tahu telah berdiri di samping Wurati.
"Bunuh diri adalah perbuatan sesat, Ni sanak.

Dan setiap persoalan dapat dicari jalan keluarnya," 
sergah sosok berjubah putih yang ternyata adalah seo-
rang pemuda tampan dan terlihat bijaksana.
"Keparat keji! Berani kau datang lagi setelah 
menodai diriku! Mengapa tidak kau bunuh saja aku 
sekalian, Manusia Iblis!" maki Wurati begitu melihat 
kedatangan sosok pemuda berjubah putih itu.
Begitu ucapannya selesai, gadis cantik itu lang-
sung melancarkan serangan bertubi-tubi. Pukulan dan 
tendangannya meluncur deras, meskipun tidak beratu-
ran. Karena saat itu jiwanya memang tengah menga-
lami guncangan yang sangat parah.
"Eh, eh! Tunggu dulu, Ni sanak. Aku sama se-
kali tidak mengerti maksudmu itu!" cegah pemuda ber-
jubah putih itu sambil berusaha mengelak dari seran-
gan Wurati.
Sadar kalau serangan gadis itu tidak mungkin 
dapat dicegah dengan kata-kata, maka pemuda tam-
pan yang tak lain Panji itu pun bergerak cepat meno-
tok lumpuh tubuh Wurati.
Tukkk!
"Uhhh...!"
Wurati mengeluh pendek ketika totokan Panji 
tepat mengenai sasarannya. Tubuh gadis cantik berna-
sib malang itu pun langsung roboh, tanpa mampu ber-
gerak lagi.
"Bunuh saja aku! Bunuh saja aku...!" Wurati 
berteriak-teriak ketika seluruh tubuhnya terasa lum-
puh.
"Ni sanak, lihat baik-baik. Apakah memang aku 
orang yang kau maksudkan itu!" tanya Panji sambil 
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga, suaranya 
terdengar jelas dan mengandung pengaruh kuat
Pada saat itu, terlihat empat sosok tubuh berla

rian mendatangi. Mereka adalah Kenanga, Ki Wangga-
la, Legawa, dan Jabrang. Mereka memang tertinggal 
oleh Panji, yang melesat bagai anak panah ketika pen-
dengarannya yang tajam mendengar rintihan Wurati 
dari kejauhan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda itu 
tiba lebih awal daripada yang lainnya.
"Mengapa dia, Kakang...?" tanya Kenanga sam-
bil memandang iba pada Wurati.
Sekali pandang saja, Kenanga tahu kalau gadis 
cantik yang tertotok lumpuh itu tengah mengalami 
penderitaan batin yang sangat berat. Itu terlihat dari 
raut wajah dan sinar matanya yang membayangkan 
keputusasaan.
Wurati menjadi sadar ketika mendengar ucapan 
Panji yang mengandung perbawa dahsyat. Dipandan-
ginya wajah pemuda tampan di depannya itu lekat-
lekat. Ia pun segera tahu kalau pemuda di hadapannya 
itu bukanlah Samanggala, meskipun bentuk tubuh 
keduanya hampir sama. Demikian pula warna pakaian 
yang dikenakan. Dan secara sekilas, rasanya kedua 
pemuda itu hampir mirip. Hanya saja, wajah Panji le-
bih tenang dan penuh senyum. Sedangkan Samangga-
la, meskipun penuh senyum, tapi wajahnya agak ke-
ras.
"Tidak..., kau bukan dia.... Kau bukan dia...," 
Setelah berkata demikian, Wurati menutup matanya 
rapat-rapat. Butiran air bening kembali mengalir 
membasahi wajahnya.
"Hm... Biar kutangani gadis ini, Kakang. Ra-
sanya aku dapat menduga, apa yang telah menyebab-
kannya jadi begini," pinta Kenanga.
Kemudian gadis itu meminta agar membiar-
kannya berdua saja dengan Wurati. Karena, ia yakin 
kalau gadis itu akan lebih terbuka kepadanya. Sebagai

wanita seperti halnya Wurati, tentu mereka memiliki 
perasaan yang sama. Hal itulah yang membuatnya me-
rasa yakin.
Saat itu, Panji dan ketiga orang lainnya tengah 
sibuk menutupi mayat tiga orang gadis yang tanpa be-
nang sehelai pun menempel di tubuh mereka. Hati 
keempat orang pendekar itu merasa geram melihat 
mayat ketiga orang wanita desa yang malang itu. Me-
reka pun dapat menduga, apa yang telah menimpa 
wanita-wanita ini sebelum kematiannya.
"Benar-benar manusia keji! Tega benar orang 
yang melakukan perbuatan biadab ini!" kutuk Ki 
Wanggala sambil mengepal tangannya kuat-kuat
"Entah siapa yang sampai hati melakukan ke-
kejaman seperti ini? Yang jelas, ia pasti manusia ber-
hati binatang!"
Jabrang yang berwatak berangasan, mengger-
takkan giginya kuat-kuat. Rasanya batok kepala pem-
bunuh keji itu ingin dihancurkannya.
Sedangkan Panji dan Legawa tidak memberikan 
sambutan. Pemuda berjubah putih itu malah melang-
kah, meneliti keadaan sekitarnya. Ia menghela napas 
berat sambil menyandarkan tubuhnya di sebatang po-
hon.
***
TUJUH


Matahari sudah semakin tinggi ketika Kenanga 
selesai mengorek keterangan dari Wurati. Sikap dan 
tutur kata lembut gadis jelita itu ternyata berhasil me-
lunakkan hati Wurati yang semula tertutup itu. Sehingga, gadis cantik bernasib malang itu tidak ragu-
ragu lagi menumpahkan segala penderitaan yang di-
alaminya kepada Kenanga.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Kenan-
ga. Rasanya, aku sudah tidak pantas lagi hidup di du-
nia ini. Diriku sudah kotor dan tidak berharga lagi. 
Pemuda biadab itu telah menghancurkan hidupku...," 
Wurati menutupi wajahnya dengan kedua telapak tan-
gan. Totokan yang tadi dilakukan Panji memang sudah 
dibebaskan Kenanga, sehingga Wurati dapat bergerak 
leluasa seperti semula.
"Menangislah, jika hal itu memang bisa mele-
gakan rasa sesak yang menggumpal dalam dadamu," 
bisik Kenanga sambil mengembangkan tangannya 
memeluk tubuh Wurati yang tangisnya semakin teri-
sak.
Setelah tangis Wurati benar-benar reda, Kenan-
ga lalu mengajaknya menghampiri Panji dan yang 
lainnya. Diperkenalkan nya Wurati kepada keempat 
orang itu. Wajah pucat itu pun terlihat agak cerah, ka-
rena Kenanga telah berjanji untuk membantunya 
membalaskan dendam kesumatnya kepada Samangga-
la. Juga, mencari pembunuh gurunya.
Tanpa menyinggung persoalan Wurati, Kenanga 
lalu menceritakan penyebab kematian tiga orang wani-
ta itu. Dan orang-orang yang telah melakukannya.
"Hm..., Tiga Setan Kali Brantas.... Rasanya ju-
lukan itu pernah kudengar. Tapi, mengapa mereka 
membawa ketiga wanita desa itu ke tempat ini? Bu-
kankah tempat tinggal mereka di tepi Kali Brantas!" 
gumam Panji sambil memutar otak mencari jawaban 
dari pertanyaannya.
"Mereka bersekongkol dengan pemuda yang 
bernama Samanggala. Adanya ketiga tokoh sesat itu di
sini, mungkin karena Samanggala tinggal di sekitar 
tempat ini," Wurati yang memang lebih tahu, segera 
menyahuti pertanyaan Panji.
"Seingatku, wilayah Hutan Tiga Iblis ini terma-
suk kekuasaan Hantu Kematian. Dia juga menguasai 
Bukit Tiga Iblis, yang sekaligus tempat tinggalnya. Dan 
tokoh iblis yang sakti itu tidak pernah suka terhadap 
orang lain yang tinggal di sekitar daerah kekuasaan-
nya. Jadi, ada kemungkinan juga kalau pemuda ber-
nama Samanggala itu memiliki hubungan dengan Han-
tu Kematian. Kalau tidak demikian, tokoh iblis itu pas-
ti sudah mengusirnya jauh-jauh," timpal Ki Wanggala 
yang tidak asing dengan tempat itu
Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar 
Besi mengangguk-anggukkan kepala menyetujui uca-
pan Ki Wanggala. Memang, setahun yang lalu, kedua-
nya ikut membantu melenyapkan Hantu Kematian di 
Bukit Tiga Iblis. Mereka datang kembali, karena menu-
rut keterangan salah seorang murid Utama Perguruan 
Tangan Putih yang telah tewas, Hantu Kematian lah
penyebab musnahnya Perguruan Macan Liwung dan 
Perguruan Tangan Putih. Dan ketiga pendekar itu in-
gin menyelidiki kebenarannya, sehingga meminta ban-
tuan Panji. Tentu saja setelah terlebih dahulu menceri-
takan duduk persoalannya kepada pemuda sakti itu.
Panji pun menyanggupi permintaan ketiga 
orang tokoh persilatan itu. Dan sebenarnya, ia me-
mang ingin menyelidiki tentang pembunuhan yang ra-
mai dibicarakan orang.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Bukit 
Tiga Iblis, sebelum hari gelap. Kalau Hantu Kematian 
benar-benar bangkit dari kubur, sudah pasti ia akan 
tetap tinggal di tempatnya yang lama. Apalagi ia meru-
pakan seorang tokoh sesat yang berkemampuan tinggi,

tentu saja tidak sudi untuk pindah tempat, karena ti-
dak ingin dituduh pengecut," usul Panji setelah semu-
anya terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing.
"Yah, memang sebaiknya begitu. Ayolah kita be-
rangkat," ajak Ki Wanggala.
Orang tua itu kemudian melangkahkan kakinya me-
ninggalkan tempat itu. Panji dan yang lainnya bergegas 
mengikuti dari belakang.
Tinggallah tiga buah gundukan tanah basah 
tempat ketiga orang gadis malang itu dikuburkan.
Sepeninggal keenam orang itu, Hutan Tiga Iblis 
kembali dicekam kesunyian.
***
Bukit Tiga Iblis berdiri angker dengan jejeran 
pohon besar yang berdiri kokoh bagaikan penjaga-
penjaganya. Pohon-pohon itu tampak tua sekali, se-
hingga beberapa di antaranya telah mengelupas kulit 
luarnya. Akar-akarnya bersembulan di atas permu-
kaan tanah, membuat tempat itu semakin sulit dilewa-
ti.
Lerengnya yang terjal dan hampir tegak lurus, 
membuat Bukit Tiga Iblis hampir tidak pernah dida-
tangi orang. Siapa pula yang sudi menjejakkan ka-
kinya di atas batu-batu berlumut itu? Rasanya me-
mang tepat kalau bukit itu dinamakan Bukit Tiga Iblis. 
Sebab dari kejauhan, bukit itu terlihat terpecah men-
jadi tiga bentuk kepala yang berwarna pekat dan me-
nyeramkan. Belum lagi penghuninya, yang tidak kalah 
seram dengan nama dan suasana bukit itu sendiri. 
Lengkaplah sudah keangkeran bukit yang tidak sebe-
rapa besar itu.
Enam orang pendekar yang berniat mendatangi

bukit itu menghentikan langkah di kaki bukit. Mereka 
berdiri tegak menatap ke atas puncak yang ditumbuhi 
pepohonan besar.
Ki Wanggala menarik napas panjang untuk 
menekan debaran keras yang memukul dadanya. Ha-
tinya menjadi tegang mengingat peristiwa setahun 
yang lalu. Masih terbayang di benaknya, bagaimana 
waktu itu dia harus membantu kawan-kawannya un-
tuk melenyapkan Hantu Kematian. Seorang tokoh se-
sat yang selain berkepandaian tinggi, juga terkenal se-
bagai pembunuh berdarah dingin.
Ki Wanggala harus kehilangan tiga orang ka-
wannya sebelum berhasil menamatkan riwayat Hantu 
Kematian. Ciut juga hatinya membayangkan, kalau to-
koh sesat yang mengiriskan itu memang benar telah 
bangkit kembali dari kuburnya. Dan terus terang ha-
tinya menjadi ragu, apakah dapat menumpas manusia 
iblis itu sekarang ini. Apalagi, tokoh sesat itu telah me-
lakukan pembantaian-pembantaian tokoh silat berke-
pandaian tinggi beberapa hari belakangan ini. Sukar 
dibayangkan, sampai di mana kesaktian Hantu Kema-
tian sekarang ini. Ki Wanggala mengusap wajahnya 
yang berpeluh karena memikirkan hal itu.
Bukan hanya Ki Wanggala saja yang mengalami 
ketegangan itu. Harimau Cakar Besi dan Pendekar 
Tongkat Maut pun mengalami hal serupa. Mereka yang 
dulu pernah ikut mengeroyok Hantu Kematian, menja-
di ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kedatan-
gan mereka justru hanya untuk mengantarkan nyawa 
saja. Kekhawatiran itu timbul akibat dugaan, kalau 
Hantu Kematian telah bangkit dari kuburnya! Hal itu 
bisa saja terjadi, mengingat tokoh sesat yang menye-
ramkan itu memang banyak memiliki ilmu tinggi yang 
aneh dan sangat dahsyat. Maka wajah keduanya pun

agak memucat memikirkan hal itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita segera mendaki 
Bukit Tiga Iblis ini, Ki?" tanya Panji, memecah kehe-
ningan sesaat itu.
Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa heran 
melihat Ki Wanggala dan dua orang lainnya hanya 
berdiri termenung memandangi puncak bukit itu. Tapi 
ketika melihat perubahan pada wajah ketiga orang to-
koh persilatan itu, Panji sadar kalau hati mereka ten-
gah diliputi ketegangan. Hal itu dapat dimakluminya, 
karena Ki Wanggala pernah bercerita tentang perta-
rungannya dengan Hantu Kematian. Bahkan orang tua 
itu harus berjuang keras, sehingga harus kehilangan 
tiga orang kawannya sebelum menghabisi Hantu Ke-
matian.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang, tersentak 
dari lamunan ketika mendengar teguran Panji. Wajah 
mereka pun berseri ketika teringat ada Pendekar Naga 
Putih, yang kesaktiannya tidak diragukan lagi.
"Hm... Marilah kita segera berangkat!" ajak Ki 
Wanggala setelah agak lama terdiam menenangkan ha-
ti agar kegelisahan dan ketegangannya tidak terlihat 
Panji. Lalu, orang tua itu pun melangkahkan kakinya 
siap mendaki Bukit Tiga Iblis.
Panji tersenyum, namun pura-pura tidak men-
getahui apa yang tengah dirasakan ketiga orang pen-
dekar itu. Langkahnya pun terayun, mengikuti Ki 
Wanggala yang dianggapnya sebagai pimpinan. Kare-
na, dialah orang yang paling tua di antara mereka. Se-
dangkan Panji yang tidak suka menonjolkan kepan-
daiannya, memilih sebagai pengikut Dan itu lebih dis-
ukainya.
***

"Berhenti! Hendak ke mana kalian...?!" terden-
gar bentakan yang disusul berloncatannya tiga sosok 
tubuh menghadang perjalanan Ki Wanggala dan ka-
wan-kawan.
Ternyata mereka adalah Tiga Setan Kali Bran-
tas yang saat itu hendak meninggalkan Bukit Tiga Ib-
lis. Hingga berpapasan dengan rombongan yang hen-
dak mendaki lereng bukit itu.
Tiga Setan Kali Brantas berdiri tegak sambil 
menatap wajah-wajah di depannya. Mereka tampak 
terkejut ketika mengenali Wurati dan tiga orang tokoh 
persilatan itu. Dan memang, Ki Wanggala dan dua 
orang temannya tidaklah asing bagi mereka. Hal itu 
wajar, karena ketiga orang itu merupakan pendekar 
digdaya dalam dunia persilatan. Tentu saja Tiga Setan 
Kali Brantas dapat cepat mengenalinya.
"Oh! Kiranya kau, Ki Wanggala, Pendekar Tong-
kat Maut, dan Harimau Cakar Besi! Apakah kalian 
sengaja datang untuk mengantarkan dewi cantik itu 
kepadaku? Atau si dara jelita yang sangat molek itu?" 
ejek Setan Kepalan Besi yang menatap Kenanga dari 
ujung kaki hingga ke ujung rambut.
"Bangsat keji! Manusia kotor! Kini aku harus 
membalas kekalahanku waktu itu! Bersiaplah. 
Heaaat...!" 
"Tahan, Wurati!" Wurati yang melihat kemun-
culan Tiga Setan Kali Brantas langsung kalap. Dia ber-
siap menyerang, namun pergelangan tangannya lang-
sung dicekal Pendekar Naga Putih. Gadis itu hanya bi-
sa memendam perasaannya, lalu memeluk Kenanga.
"Sabarlah, Wurati. Biar Ki Wanggala dan yang 
lainnya menghadapi Tiga Setan Kali Brantas itu. Bu-
kankah kami sudah berjanji untuk membantumu?"

bujuk Kenanga sambil merangkul erat gadis itu. Nada 
suaranya lembut, sehingga membuat kemarahan di 
hati Wurati lenyap seketika.
Sementara Tiga Setan Kali Brantas hanya ter-
senyum memuakkan. Apalagi Setan Kepalan Besi. La-
ki-laki gemuk bercambang bauk lebat itu seperti lupa 
kepada yang lainnya. Ia benar-benar terpesona dengan 
kecantikan dan kejelitaan Kenanga. Hingga tanpa sa-
dar, mulutnya sampai ternganga dan hampir mene-
teskan air liur. Untung saja keburu disadarinya.
"Setan Kepalan Besi! Kedatanganku kemari 
memang berniat hendak mengantarkan," sahut Ki 
Wanggala tenang. "Dan nyawamu lah yang akan kuan-
tarkan ke akhirat! Rupanya kau sudah tahu akan hal 
itu. Dan kelihatannya memang sudah siap!"
"Keparat sombong! Besar sekali mulutmu, Ki 
Wanggala! Justru sebaliknya aku yang akan mengirim 
nyawamu ke neraka!" bentak Setan Kepalan Besi mur-
ka. Sepasang tangannya tampak terkepal erat hingga 
menimbulkan bunyi berkerotokan nyaring.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sama se-
kali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Sebab se-
kali lihat saja, pemuda itu sudah dapat menilai kepan-
daian Tiga Setan Kali Brantas. Ia tahu kalau Ki Wang-
gala dan kawan-kawannya mampu mengatasi tiga to-
koh sesat itu, meskipun harus dengan susah payah.
Sementara itu, enam orang tokoh dari dua ali-
ran yang berbeda sudah berdiri saling berhadapan! Ki 
Wanggala yang memang memiliki keistimewaan dalam 
ilmu silat tangan kosong, berhadapan dengan Setan 
Kepalan Besi yang juga lebih menyukai tangan kosong.
Kedua orang tokoh itu sudah menyiapkan ju-
rus-jurus untuk saling menyerang. Nampaknya perta-
rungan sudah tidak bisa dihindari lagi. Terlihat kedu

anya sudah melangkah saling mendekat dengan lang-
kah-langkah yang kokoh dan kuat. 
"Hiyaaat..!"
Setan Kepalan Besi yang sudah tidak sabar 
menunggu itu berteriak keras membuka serangan. Se-
pasang kakinya bergerak maju membentuk kuda-kuda 
kokoh. Sedangkan sepasang tangannya bergerak cepat 
menimbulkan deru angin tajam. Jelas kalau lelaki ge-
muk itu telah mengerahkan seluruh tenaga, karena 
sadar kalau lawan kali ini bukanlah tokoh sembaran-
gan.
"Yeaaat..!"
Ki Wanggala pun tidak mau menunggu datang-
nya serangan lawan. Orang tua itu sudah melompat 
menyambut terjangan dahsyat Setan Kepalan Besi. Da-
lam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarun-
gan seru dan menegangkan.
Wuttt! Wukkk...!
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Setan Ke-
palan Besi mengaung, menimbulkan deru angin keras. 
Sepertinya, tokoh sesat bertubuh gemuk itu ingin sege-
ra menundukkan lawannya. Hal itu terlihat jelas dari 
serangannya yang menggunakan jurus-jurus pilihan.
Namun yang dihadapi Setan Kepalan Besi kali 
ini bukanlah tokoh sembarangan. Meskipun serangan-
serangan yang dilancarkannya sangat cepat dan ganas, 
ternyata Ki Wanggala mampu mengimbanginya. Bah-
kan orang tua itu pun dapat balas menyerang tidak 
kalah berbahayanya. Sehingga, pertarungan kedua 
orang tokoh itu pun semakin seru dan menegangkan.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua per-
tempuran lain pun sudah pula berlangsung. Pendekar 
Tongkat Maut yang berhadapan dengan Setan Muka 
Putih sudah menggunakan senjata andalannya untuk

menghalau pukulan-pukulan beracun yang dilancar-
kan lawan.
Wuttt! Wuttt..!
Kain yang berada di ujung tongkat milik Legawa 
berkibaran membuyarkan serangan-serangan lawan-
nya. Pukulan dan tendangan yang tersembunyi di balik 
kibaran senjatanya, membuat Setan Muka Putih tidak 
berani bertindak ceroboh. Sebab dari sambaran angin 
pukulan itu dapat diduga kalau serangan-serangan itu 
tidak bisa dianggap enteng.
"Haiiit..!"
Sambil berseru nyaring, Setan Muka Putih me-
lompat tinggi menghindari sambaran ujung senjata la-
wan. Dibarengi gerakan itu, tangan kanannya meng-
hantam ke depan dengan jari-jari terbuka.
Wusss!
Serangkum angin dingin yang menebarkan bau 
amis meluncur mengancam dada Legawa yang terbu-
ka. Pendekar itu cepat memutar senjata dengan kedua
tangan membentuk setengah lingkaran.
Blub!
Terdengar suara begitu dua gelombang tenaga 
yang saling berlawanan berbenturan. Kedua orang to-
koh itu berseru tertahan, dan bergetar mundur bebe-
rapa langkah ke belakang. Dilihat sepintas, jelas kalau 
kekuatan mereka berimbang.
Untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya 
berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka persis 
seperti dua ekor ayam jago yang tengah berlaga.
"Yeaaat..!" 
"Haaat..!"
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali 
saling menerjang hebat. Masing-masing mengeluarkan 
ilmu-ilmu pilihan untuk mendesak lawannya.

Sementara itu, Jabrang atau yang lebih dikenal 
berjuluk Harimau Cakar Besi bertarung seru melawan 
Setan Kelabang Hijau. Di arena ini pun tercium bau 
amis yang memualkan perut. Sebab sesuai julukannya 
pukulan-pukulan Setan Kelabang Hijau juga mengan-
dung racun ganas. Sekali saja orang terkena pukulan 
'Kelabang Hijau'nya, sudah pasti tidak akan berumur 
panjang.
Itulah sebabnya, mengapa pertarungan yang 
berlangsung di arena itu terlihat agak lamban. Hari-
mau Cakar Besi bertindak sangat hati-hati, dan penuh 
perhitungan. Sebab disadari, betapa berbahayanya 
pukulan beracun yang dilancarkan lawan. Sehingga, 
pendekar itu lebih banyak menghindar daripada mela-
kukan serangan. Akibatnya, pertarungan itu kelihatan 
tidak menarik dan terkesan membosankan.
"He he he...! Mana ilmu yang kau bangga-
banggakan itu, Harimau Cakar Buntung? Hayo, kelua-
rkan! Atau, kau memang bisanya hanya berlari-lari se-
perti maling?" ejek Setan Kelabang Hijau terkekeh ke-
tika melihat lawannya hanya banyak menghindar dari-
pada melakukan serangan balasan.
Namun, Harimau Cakar Besi sama sekali tidak 
meladeni ejekan lawannya. Perhatiannya tetap terpusat 
kepada serangan-serangan lawan. Sebab sekali saja 
lengah, bukan tidak mungkin pukulan beracun lawan 
akan mengenai tubuhnya. Tentu saja hal itu sama se-
kali tidak diinginkannya. 
"Haaat..!"
Apa yang diduga Jabrang, terbukti. Selesai me-
lontarkan kata-kata ejekan, tubuh Setan Kelabang Hi-
jau melompat dengan dorongan sepasang telapak tan-
gannya. Bau amis menebar, membuat Harimau Cakar 
Besi melompat mundur. Cepat-cepat ia menahan napas, agar hawa beracun yang menyertai serangan la-
wan tidak sampai tercium. Sambil melompat, sepasang 
telapak tangannya didorongkan ke depan untuk mele-
paskan pukulan jarak jauhnya.
Wusss!
Serangkum angin kuat menghantam buyar ha-
wa beracun yang dilontarkan Setan Kelabang Hijau.
Tubuh Setan Kelabang Hijau yang baru me-
nyentuh tanah dengan ujung kakinya, kembali melent-
ing mengejar Harimau Cakar Besi. Sepasang tangan-
nya bergerak bersilangan, dan berputar mengaburkan 
pandangan lawan.
Bukan main terkejutnya hati Jabrang melihat 
kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga 
itu. Cepat-cepat tubuhnya bergulingan ke kiri meng-
hindari sepasang tangan lawan yang susul-menyusul 
mengincar tubuhnya.
Sayang, gerakan Harimau Cakar Besi kalah ce-
pat dengan lawannya. Pada saat tubuhnya hendak me-
lenting bangkit, tahu-tahu saja kaki kanan lawan su-
dah tiba mengancam perutnya.
Bukkk!
"Hugh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Jabrang terhempas keras 
ke belakang ketika telapak kaki lawan tepat menghan-
tam perut pendekar itu.
Harimau Cakar Besi jatuh terguling-guling se-
jauh dua batang tombak. Sebelum dapat bangkit te-
gak, serangan lawan kembali meluncur mengincar da-
danya.
Wuttt!
Dorongan telapak tangan yang menebarkan bau 
amis itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Rasanya 
serangan itu tidak mungkin lagi dapat dihindari Hari

mau Cakar Besi. Tokoh berwatak berangasan itu 
hanya dapat pasrah menanti datangnya maut
Pada saat yang gawat itu, sesosok bayangan 
putih berkelebat bagai kilat menuju ke tengah arena. 
Langsung telapak tangan kanannya dihantamkan ke 
arah Setan Kelabang Hijau.
Plakkk!
"Ugkh...!"
Terdengar benturan keras dan jerit tertahan 
yang keluar dari mulut Setan Kelabang Hijau, kemu-
dian disusul terlemparnya tubuh tokoh sesat itu. Sua-
ra berdebuk keras mengiringi jatuhnya Setan Kelabang 
Hijau ke tanah.
Setan Kelabang Hijau mengerang tertahan. Tu-
buhnya tampak menggigil hebat. Dari mulutnya keluar 
gumpalan darah segar akibat luka dalam yang dideri-
tanya. Kemudian perlahan wajahnya berubah kehi-
jauan.
Tangkisan yang dilakukan sosok bayangan pu-
tih itu ternyata demikian kuat. Dan akibatnya, tenaga 
beracun yang dikerahkan Setan Kelabang Hijau berba-
lik, hingga melukai dirinya sendiri. Dapat dibayang-
kan, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sosok 
bayangan putih itu. Ia bukan saja mampu menolak ra-
cun yang dikerahkan tokoh sesat itu, bahkan mampu 
membuat tenaga lawan berbalik dan melukai pemilik-
nya.
Sosok berjubah putih yang tak lain Pendekar 
Naga Putih itu sama sekali tidak memperhatikan Setan 
Kelabang Hijau yang telah menghembuskan napas te-
rakhirnya. Tokoh sesat bertubuh sedang itu mengejang 
kaku, dengan sekujur tubuh berwarna kehijauan. Lu-
ka dalam yang dideritanya telah membuat dia tewas 
seketika itu juga.

Pendekar Naga Putih kemudian menghampiri 
Harimau Cakar Besi yang masih mengerang memegan-
gi perutnya.
"Bagaimana lukamu, Paman...?" tanya Panji 
dengan nada khawatir.
"Tidak terlalu mengkhawatirkan. Rasanya, aku 
bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih atas pertolon-
ganmu, Pendekar Naga Putih," ucap Harimau Cakar 
Besi yang wajahnya masih agak pucat
Bukan hanya Panji dan Jabrang saja yang tidak 
mengetahui kematian Setan Kelabang Hijau. Keempat 
tokoh lainnya pun juga tidak menyadari hal itu. Mere-
ka terlalu sibuk dengan lawan masing-masing. 
***
DELAPAN


Tubuh Setan Kelabang Hijau yang diam tak 
bergerak itu menarik perhatian Kenanga dan Wurati. 
Kedua orang gadis yang semenjak tadi hanya berdiri 
menonton itu melangkahkan kaki dengan benak dipe-
nuhi pertanyaan. Matikah tokoh sesat yang berbahaya 
itu? Atau cuma pingsan?
"Ingat, Wurati. Jangan bertindak ceroboh...!" 
bisik Kenanga ketika melihat Wurati tengah melolos 
pedangnya dengan sorot mata penuh dendam.
Wurati yang semula hendak membantah, ter-
paksa menurut ketika melihat sepasang mata Kenanga 
yang menatapnya lembut. Apalagi ketika lengan dara 
jelita itu menggenggam hangat telapak tangannya. Se-
ketika luluhlah kekerasan hatinya.

Pedang yang semula terhunus itu perlahan di-
masukkan ke sarungnya. Setelah itu dikutinya lang-
kah Kenanga yang menuju mayat Setan Kelabang Hi-
jau yang terbaring menelungkup.
"Jangan kau sentuh tubuhnya...." Kenanga 
mengingatkan sahabatnya, ketika melihat Wurati hen-
dak menyentuh tubuh kehijauan yang menelungkup. 
"Tubuh orang ini sudah dicemari racun ganas. Sedikit 
saja kau sentuh, mungkin aku tidak akan sanggup 
menyelamatkan nyawamu."
Kenanga melangkah maju sejauh dua langkah.
Setelah beberapa saat memperhatikan, tahulah 
dara jelita itu kalau Setan Kelabang Hijau telah tewas. 
Melihat keadaan mayatnya, gadis itu sadar kalau 
orang itu telah termakan ilmunya sendiri. Meskipun 
belum diketahui secara pasti, namun dapat diterka ka-
lau kematian orang itu disebabkan tangkisan kekasih-
nya tadi.
Wurati yang belum mengetahui kalau orang itu 
telah tewas, timbul niatnya untuk membalas dendam 
atas perlakuan orang itu terhadapnya.
"Inilah kesempatan baik bagiku," kata hati ga-
dis yang dipenuhi dendam kesumat itu.
Tanpa setahu Kenanga, gadis cantik berwajah 
pucat itu melolos pedangnya tanpa menimbulkan sua-
ra. 
"Terimalah pembalasanku, Manusia Jaha-
nam...!" sambil membentak nyaring, Wurati men-
gayunkan pedangnya ke leher Setan Kelabang Hijau 
yang telah menjadi mayat
"Wurati, jangan,..!" cegah Kenanga yang sama 
sekali tidak menduga gerakan gadis itu.
Terlambat! Wurati yang bagaikan orang kema-
sukan setan telah mencincang seluruh tubuh Setan

Kelabang Hijau. Terlebih dulu, dipenggalnya leher 
mayat itu.
"Mampus kau, Biadab! Pergilah ke neraka...!" 
Wurati berteriak-teriak di antara isak tangisnya. Pe-
dang dl tangannya berkali-kali menghunjam tubuh 
yang telah kaku.
"Dia memang telah tewas sebelumnya, Wura-
ti...," seru Kenanga di antara teriakan-teriakan gadis 
itu.
Setelah berseru demikian, tangannya bergerak 
menangkap pergelangan tangan gadis cantik yang ke-
setanan itu.
"Lepaskan aku...! Lepaskan! Biar kucincang 
hancur tubuh jahanam keparat itu...!" Wurati berte-
riak-teriak sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari 
pelukan Kenanga.
Tangan kiri Kenanga melingkar semakin erat 
menjepit pinggang gadis cantik itu. Sedangkan tangan 
kanannya menjepit pergelangan Wurati yang meme-
gang pedang.
Panji yang mendengar teriakan-teriakan kedua 
orang wanita itu, membalikkan tubuhnya. Pendekar 
Naga Putih langsung melesat ke arah Kenanga dan 
Wurati yang masih memberontak.
"Ada apa, Kenanga...?" tegur Panji demi melihat 
keadaan itu.
Pemuda itu baru mengerti ketika melihat tubuh 
Setan Kelabang Hijau yang tergeletak dalam keadaan 
tidak utuh. Pantas saja Kenanga tidak mau mele-
paskan pelukannya pada tubuh Wurati. Rupanya gadis 
jelita itu hendak mencegah perbuatan Wurati.
"Lepaskan aku...! Lepaskan...," teriak Wurati 
kian melemah.
Tak lama kemudian, kepala gadis cantik itu

pun terkulai. Wurati kini pingsan dalam pelukan Ke-
nanga.
Belum lagi Kenanga dan Panji dapat menarik 
napas lega, tiba-tiba terdengar tawa menggema berke-
panjangan. Hebatnya, suara tawa itu seolah-olah da-
tang dari berbagai penjuru. Sehingga, Panji sendiri su-
lit untuk menentukan arah suara tawa itu berasal.
Saking hebatnya tenaga dalam yang terkan-
dung di dalam suara tawa itu, sampai-sampai keempat 
orang tokoh yang tengah bertarung sengit sama-sama 
melompat ke belakang. Mereka cepat mengerahkan 
hawa mumi untuk melawan pengaruh tawa yang sem-
pat mengguncangkan isi dada.
Untunglah saat itu Wurati dalam keadaan ping-
san. Kalau tidak, gadis yang memiliki kepandaian pal-
ing rendah di antara yang lain, pasti tidak akan kuat 
menahan pengaruh tenaga dalam yang dikerahkan me-
lalui tawa itu.
Panji yang memiliki kepandaian paling tinggi di 
antara mereka, tidak membiarkan keadaan itu ber-
langsung terus. Bukan tidak mungkin kalau kawan-
kawannya akan mendapat luka dalam yang cukup pa-
rah. Cepat-cepat ditariknya napas dalam-dalam sambil 
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang 
dahsyat itu
Sinar putih keperakan mulai berpendar menye-
limuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Sesaat ke-
mudian, terdengar lengkingan dari kerongkongannya. 
Lengkingan itu berusaha menindih suara tawa yang 
masih menggema berkepanjangan.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga 
Putih ketika mendapat kenyataan yang sungguh di 
luar dugaannya. Sebab setelah seluruh tenaga sak-
tinya dikerahkan, barulah ia dapat menindih suara ta

wa yang benar-benar luar biasa itu. Kenyataan itu 
sempat membuat jantungnya berdebar-debar. Karena, 
lawan yang mungkin bakal dihadapinya sudah jelas 
memiliki kepandaian tinggi dan sukar diukur.
Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan 
Panji, angin dingin bertiup keras yang disusul berkele-
batnya sesosok tubuh tinggi kurus.
Sebelum sepasang kaki sosok tinggi kurus itu 
menyentuh permukaan bumi, sosok bayangan lainnya 
datang menyusul.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak kusangka! Rupanya 
tempatku ini mendapat kehormatan dikunjungi seo-
rang tokoh muda yang telah mengguncangkan rimba 
persilatan! Selamat datang, Pendekar Naga Putih," 
ucap sosok tinggi kurus.
Dia ternyata seorang kakek, berusia kira-kira 
tujuh puluh tahun lebih. Suaranya terdengar serak 
dan parau. Meskipun kata-katanya memuji, namun ta-
rikan bibirnya jelas membuktikan kalau meremehkan 
Pendekar Naga Putih.
Sedangkan pemuda tampan berbaju putih di 
sebelah kiri kakek itu memandang sinis kepada Panji. 
Sepasang matanya yang penuh ejekan itu berubah liar, 
begitu menangkap seraut wajah jelita yang penuh pe-
sona. Senyum sinis di bibirnya berganti dengan se-
nyum kelicikan.
"Hm.... Gadis seperti inilah yang patut jadi is-
triku," gumam pemuda tampan yang tak lain dari Sa-
manggala. Matanya terus saja menjilati sekujur wajah 
dan tubuh Kenanga tanpa malu-malu.
Panji sama sekali tidak mempedulikan Sa-
manggala. Memang, kakek tinggi kurus itu lebih mena-
rik perhatiannya daripada pemuda cabul itu. Dugaan-
nya pun tertuju kepada kakek itu, yang pasti orang

yang mengeluarkan suara tawa tadi.
"Terima kasih atas pujianmu itu, Ki. Sayang 
aku tidak seperti yang kau bayangkan. Kuharap kau 
tidak kecewa, karena pendekar yang diagung-
agungkan orang hanyalah seorang pemuda dusun 
yang bodoh," ujar Panji.
Suara dan wajah Pendekar Naga Putih tetap te-
nang, meskipun di dalam hatinya merasa tegang. Ka-
rena, kakek itu jelas seorang yang memiliki kepan-
daian sangat tinggi. Sehingga, hatinya pun merasa ra-
gu-ragu, apakah dapat menandingi kesaktian kakek 
itu.
"Berhati-hatilah, Pendekar Naga Putih. Ternyata 
kabar yang semula kukira hanya isapan jempol, benar 
adanya. Dialah yang berjuluk Hantu Kematian. Entah 
bagaimana caranya hingga sampai dapat bangkit dari 
kuburnya. Pada setahun lewat, ia telah kami bunuh. 
Padahal kami yakin, saat itu ia telah tewas," bisik Ki 
Wanggala yang saat itu telah berada di samping kanan 
Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu terlihat agak 
pucat dan tegang.
Bukan hanya Ki Wanggala seorang yang merasa 
tegang. Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar 
Besi yang berada di sebelah kiri Panji pun mengalami 
hal serupa. Wajah mereka nampak gelisah dan agak 
pucat
Lain halnya Kenanga. Setelah terbebas dari 
pengaruh suara tawa yang menggetarkan hati tadi, ga-
dis jelita itu langsung sibuk mengurus Wurati yang 
tengah pingsan. Sama sekali tidak dipedulikan yang 
lainnya.
Dan memang, dara jelita itu menaruh keper-
cayaan penuh pada kekasihnya. Dia yakin, Pendekar 
Naga Putih akan dapat mengatasi semuanya.

Meskipun Panji tidak menyahuti, namun bukan 
berarti tidak memperhatikan ucapan Ki Wanggala. Dan 
dugaannya ternyata tidak meleset Kakek itu memang 
Hantu Kematian seperti dugaannya. Hal itu membuat-
nya semakin berhati-hati. Apalagi menurut Ki Wangga-
la, Hantu Kematian telah tewas terbunuh pada seta-
hun lewat. Hal itu telah membuktikan kalau kakek ku-
rus itu sudah tentu memiliki kepandaian jauh lebih 
tinggi dari sebelumnya. Dan ini sudah dibuktikannya 
ketika melawan pengaruh suara tawa kakek berwajah 
pucat bagai mayat itu.
"Apakah kau pernah mendengar sebuah ilmu 
yang dapat membangkitkan orang mati, Pendekar Naga 
Putih?" tanya Pendekar Tongkat Maut, berbisik lirih ke 
telinga Panji.
"Ilmu seperti itu memang pernah kudengar, 
Paman. Tapi, yang satu ini rasanya lain. Ia tidak seper-
ti kebanyakan mayat hidup yang pernah kudengar, se-
bab dapat berbicara dan bertindak menurut kemaua-
nnya sendiri. Bukan atas perintah orang lain," sahut 
Panji dengan suara rendah, tanpa menoleh.
Mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih, 
Pendekar Tongkat Maut hanya mengangguk-
anggukkan kepala saja. Patut diakui kalau pengeta-
huannya tidak sampai sejauh itu.
"Hm.... Guruku pernah bercerita tentang suatu 
ilmu yang hanya dapat disempurnakan saat orang itu 
mengalami sekarat. Cara menyempurnakannya pun 
harus dengan mengubur diri selama beberapa bulan. 
Kalau tidak salah, ilmu itu bernama 'Ilmu Memecah 
Sukma'. Tapi menurut guruku, ilmu itu telah lama le-
nyap dari dunia persilatan. Apakah mungkin, kakek 
itu sekarang memilikinya," gumam Panji setengah tak 
percaya.

Pembicaraan mereka terhenti ketika kakek 
tinggi kurus itu melangkah sejauh enam tindak, men-
dekati Panji dan kawan-kawannya.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus! Rupanya kalian 
bertiga pun telah datang untuk mengantarkan nyawa! 
Bersiaplah menyusul kedua orang kawan kalian yang 
telah lebih dulu kuantarkan ke neraka," ancam Hantu 
Kematian kepada Ki Wanggala, Pendekar Tongkat 
Maut, dan Harimau Cakar Besi yang merupakan mu-
suh lamanya.
Begitu ucapannya selesai, Hantu Kematian 
langsung melompat menerjang Ki Wanggala yang bera-
da di sebelah kanan Panji. Gerakannya demikian ce-
pat, sehingga Panji dan kawan-kawannya hampir tidak 
menduga.
Sadar akan bahaya yang mengancam Ki Wang-
gala, Panji menggenjot tubuhnya memapak serangan 
Hantu Kematian. Selapis kabut bersinar putih kepera-
kan berpendar menyelimuti tubuhnya. Rupanya, pe-
muda itu langsung mengerahkan hampir seluruh tena-
ga dalam untuk memapak serangan Hantu Kematian 
yang memiliki kepandaian tinggi.
Wusss!
Hawa dingin yang sanggup membekukan tu-
buh, berhembus keras mengiringi tamparan telapak 
tangan Pendekar Naga Putih. Tamparan itu dimaksud-
kan untuk menggagalkan serangan Hantu Kematian 
yang mengancam pelipis Ki Wanggala.
Hantu Kematian rupanya sudah memperhi-
tungkan, apa yang bakal dilakukan Panji. Tangan yang 
semula berniat melakukan totokan kepada Ki Wangga-
la, berputar setengah lingkaran. Tangan itu kemudian 
langsung bergerak mencengkeram lengan Panji. Gera-
kannya demikian cepat dan tak terduga, sehingga

sempat membuat Panji terkejut
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah orang 
yang mudah gugup oleh perubahan gerak tipu lawan. 
Telapak tangan yang semula menampar, kini sudah 
membentuk cakar naga. Setelah bergerak melingkar 
secara mengejutkan, cakar naga Panji langsung me-
nyambar lambung kanan Hantu Kematian.
Wuttt!
"Bagus...!" puji Hantu Kematian sambil melom-
pat mundur menghindari cakaran yang mengandung 
hawa dingin kuat itu.
Diam-diam Pendekar Naga Putih memuji kehe-
batan ilmu meringankan tubuh lawannya yang me-
mang hebat luar biasa itu. Tubuh kakek itu terlihat 
demikian ringan, hingga tak ubahnya sehelai kapas 
yang terbang tertiup angin. Benar-benar sebuah per-
tunjukan ilmu meringankan tubuh yang tidak ada du-
anya
"Hm.... Aku tidak mempunyai urusan dengan-
mu, Pendekar Naga Putih! Tapi kalau memang ingin 
mengadu kepandaian denganku, tunggulah sampai ke-
tiga musuh lamaku itu kubereskan!" geram Hantu Ke-
matian yang rupanya tidak suka melihat campur tan-
gan Pendekar Naga Putih.
"Memang benar aku tidak mempunyai persoa-
lan denganmu secara pribadi, Hantu Kematian. Tapi 
perbuatanmu yang telah membantai dua partai persila-
tan, membuatku tidak bisa berpangku tangan saja. 
Sudah menjadi kewajibanku untuk menumpas segala 
kejahatan di muka bumi ini," sahut Panji berwibawa. 
Saat itu keduanya berdiri dalam jarak tidak lebih dari 
dua batang tombak jauhnya.
"Hm.... Kalau kau memang sudah ingin meng-
hadapi Malaikat Maut, baiklah! Aku bersedia membantumu! Sambutlah...!" ancam Hantu Kematian dengan 
suara parau dan sember.
Panji menggeser kakinya ke belakang, siap 
menghadapi serangan Hantu Kematian kembali. Sadar 
kalau yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan, 
maka pemuda itu pun sudah mengeluarkan jurus 
'Naga Sakti'nya.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulut 
Hantu Kematian. Kakek kurus itu berdiri tegak dengan 
sepasang mata menyorot menyeramkan. Perlahan-
lahan, sepasang tangannya bergerak naik ke atas ke-
pala.
"Rebah...!" bentak Hantu Kematian dengan sua-
ra mengguntur, dibarengi tepukan tangannya di atas 
kepala.
Pengaruh gerakan sederhana itu hebat bukan 
main! Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat ba-
gaikan orang terserang demam! Sedangkan Ki Wangga-
la dan dua orang kawannya, termasuk juga Kenanga, 
terhuyung mundur dengan wajah pucat dan napas 
memburu. Dari sudut bibir mereka, nampak cairan 
merah mengalir turun. Untunglah mereka memiliki te-
naga dalam kuat, sehingga tidak sampai terjatuh kare-
na serangan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikerahkan 
Hantu Kematian untuk menundukkan Panji.
Sadar akan kedahsyatan pertarungan yang ten-
gah berlangsung itu, mereka pun bergegas menjauh.
Samanggala, Setan Kepalan Besi, dan Setan 
Muka Putih pun tidak ingin mengalami celaka. Keti-
ganya segera berlari menjauhi arena pertarungan yang 
mengerikan itu.
Kedua kelompok yang sama-sama menjauh, 
akhirnya bertemu. Samanggala yang memang sejak ta-
di mengincar Kenanga, langsung menerkam gadis jelita

itu.
Kenanga yang tengah memondong tubuh Wura-
ti, bergegas meletakkan tubuh gadis itu. Ia yang sejak 
semula memang sudah marah oleh cara Samanggala 
menatapnya, langsung saja menyambut dengan seran-
gan yang tidak kalah ganas. Dalam waktu yang sing-
kat, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarun-
gan sengit.
Demikian pula halnya Ki Wanggala dan Pende-
kar Tongkat Maut Keduanya melompat menyambut Se-
tan Kepalan Besi dan Setan Muka Putih yang saat itu 
juga sudah menerjang. Keempat orang tokoh dari ali-
ran berbeda itu segera terlibat dalam pertarungan ma-
ti-matian. Mereka saling menyerang ganas untuk men-
jatuhkan lawan secepat mungkin.
Tinggallah Harimau Cakar Besi berdiri menon-
ton.
Sebagai seorang berjiwa ksatria, tentu saja ia 
tidak sudi melakukan pengeroyokan. Karena, ia yakin 
kalau kawan-kawannya pasti akan dapat menguasai 
lawan masing-masing. Tokoh berwatak berangasan itu 
berdiri tegak menyaksikan pertarungan yang berlang-
sung antara Panji dan Hantu Kematian. Dan memang, 
perkelahian kedua orang tokoh sakti itu lebih menarik 
perhatiannya.
***
"Heaaa...!"
Hantu Kematian berteriak nyaring sambil me-
mutar kedua tangan secara bersilangan. Serangkum 
angin kuat menderu mengiringi pukulan dan tampa-
rannya,
Plok, plok, plok!

Sambil merangsek maju, kakek kurus itu ka-
dang-kadang menepukkan kedua tangannya berkali-
kali. Bagi orang yang tidak mengetahui kehebatan te-
pukan itu, tentu saja terlihat lucu dan menggelikan. 
Sebab, mana ada orang yang berkelahi sambil berte-
puk tangan?
Lain halnya Panji, yang berhadapan langsung 
dengan kakek itu. Pengaruh tepukan itu ternyata san-
gat merugikannya. Sebab, setiap kali suara tepukan 
terdengar, tubuhnya bagai dijalari pengaruh aneh 
hingga membuatnya bergetar. Bukan hanya itu yang 
dirasakannya. Jurus-jurus yang digunakannya pun 
menjadi kacau, dan tidak beraturan seperti biasanya.
Karena jurus-jurusnya berantakan dan tidak 
terarah, maka Hantu Kematian mulai dapat mendesak 
Pendekar Naga Putih. Bahkan beberapa kali pukulan 
maupun tendangannya hampir mencelakai pendekar 
muda itu.
"Gila! Mengapa bisa begini...!?" desis Panji tak 
habis mengerti.
Otak Pendekar Naga Putih seperti tidak bekerja 
dengan baik. Gerakan-gerakannya semakin kacau dan 
terlihat ragu-ragu, apabila balas menyerang. Panji be-
nar-benar tidak mengerti, apa yang telah membuatnya 
demikian bodoh.
Wuttt! Wuttt!
Memasuki jurus yang kelima puluh, sebuah 
tendangan keras membuat tubuh Panji terjungkal ke-
ras ke belakang. Cepat-cepat pemuda itu bergulingan 
menghindari serangan susulan lawan.
"Ugkh...!"
Panji mengerang lirih menahan rasa sakit yang 
melilit perutnya. Tendangan yang keras dari lawannya 
bagaikan mengaduk-aduk seluruh isi perut, dan membuatnya mual.
Sebelum Panji sempat menekan rasa sakit den-
gan pengerahan hawa murni, serangan lawan sudah 
meluncur datang.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang mengincar dada dan 
pelipis dapat dielakkan Panji dengan memutar tubuh 
sambil merendah. Kemudian, ia melompat mundur 
sambil menepiskan tendangan yang mengancam ulu 
hati.
Plakkk!
Panji mengeluh ketika merasakan telapak tan-
gannya bagai bertemu sebatang baja yang amat kuat. 
Sehingga, telapak tangannya yang digunakan untuk 
menepis tendangan lawan terasa nyeri bukan main
Tepukan tangan yang menimbulkan pengaruh 
aneh kembali terdengar. Akibatnya kepala Pendekar 
Naga Putih bagaikan terbentur dinding baja. Tubuh 
pemuda itu tampak limbung ke belakang. Otaknya pun 
terasa buntu, dan tidak dapat berpikir jernih.
Hantu Kematian tentu saja tidak menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Sepasang tangannya 
mendorong ke depan dengan pengerahan seluruh te-
naga.
Wusss! Blaggg!
"Hugkh...!"
Sepasang telapak tangan mengandung kekua-
tan dahsyat itu telak menghantam dada Pendekar Na-
ga Putih. Tubuh pemuda tampan itu terlempar deras, 
dibarengi jeritnya yang melengking. Darah segar lang-
sung menyembur dari mulutnya.
Tubuh Panji terbanting keras di atas tanah be-
rumput Pendekar Naga Putih berusaha bangkit, 
meskipun tulang-tulang dadanya terasa hancur. Kembali ia terbatuk-batuk hebat mengeluarkan darah se-
gar yang agak kental.
"Hm.... Selamat tinggal, Pendekar Naga Pu-
tih...," ejek Hantu Kematian seraya mengangkat tan-
gannya, siap dihantamkan ke tubuh Panji yang tengah 
berusaha bangkit
Wukkk!
Bummm!
Debu, tanah, dan rumput beterbangan ketika 
telapak tangan Hantu Kematian menghantam tanah 
tempat tubuh Panji semula tergeletak.
Untunglah dengan seluruh sisa-sisa tenaganya, 
Panji masih sempat menggulingkan tubuhnya untuk 
menghindari hantaman maut itu. Kalau saja terkena, 
sudah pasti dia akan tewas tanpa bentuk!
"Kakek ini benar-benar luar biasa! Mungkin pe-
tualanganku tamat sampai di sini...," gumam Panji 
yang sudah merasa tidak mampu untuk melawan Han-
tu Kematian yang jelas-jelas memiliki kepandaian san-
gat tinggi.
"Hm.... Kali ini kau tidak akan lolos, Pendekar 
Naga Putih!" ancam Hantu Kematian, seraya melang-
kah mendekati Panji.
Yakin kalau lawannya sudah benar-benar tidak 
berdaya, kakek itu sengaja memperlambat langkahnya 
untuk menakut-nakuti lawan.
Pada saat-saat gawat itu, Panji teringat akan 
pedang pusakanya yang tergantung di punggung. Tan-
pa membuang-buang waktu lagi, Pedang Naga Langit 
dicabut dari sarungnya.
Sring!
Cahaya kekuningan berpendar menyilaukan 
mata ketika pedang yang tidak ada duanya itu tercabut 
keluar.

"Pedang Naga Langit,..!" seat Hantu Kematian 
antara perasaan kagum dan terkejut bercampur men-
jadi satu melihat perbawa pedang itu.
Sebagai seorang tokoh tua yang berpengala-
man, tentu saja ia pun mengetahui tentang senjata pu-
saka yang tergenggam di tangan lawannya.
"Yeaaat..!"
Bagai memperoleh sebuah kekuatan baru, Panji 
berseru nyaring dan menyabetkan pedangnya dengan 
jurus 'Ilmu Pedang Naga Sakti'nya.
Wuttt! Wukkk!
Angin pedang mengaung tajam menimbulkan 
getaran aneh di dalam hati Hantu Kematian. Kakek itu 
semakin terkejut ketika melihat lawannya sama sekali 
tidak terpengaruh oleh tepukannya. Dan tentu saja hal 
itu membuatnya menjadi heran.
Sebenarnya hal itu tidaklah aneh. Sebab, pe-
dang yang kini berada di tangan Panji memiliki keisti-
mewaan melumpuhkan semua pengaruh ilmu hitam. 
Sedangkan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikuasai Han-
tu Kematian, adalah gabungan dari ilmu hitam. Maka 
dengan demikian, ilmu yang telah membuat Panji tidak 
berdaya itu tidak lagi berguna.
Pertarungan sengit itu sepertinya tidak akan 
berlangsung lama. Serangan Panji yang menderu-deru 
membuat Hantu Kematian kelabakan menyelamatkan 
diri dari sambaran ujung pedang. Apalagi ilmunya su-
dah tidak dapat digunakan lagi. Akibatnya kakek itu 
pun semakin terdesak hebat
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh satu, 
Panji berseru nyaring. Tubuhnya mendadak meluncur 
disertai putaran pedangnya yang membentuk bulatan. 
Dari bulatan sinar kekuningan itu terkadang menyembul ujung-ujung pedang secara tak terduga. Itulah ju-
rus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang meru-
pakan salah satu jurus terdahsyat dari rangkaian 'Ilmu 
Silat Naga Sakti'.
Terkejut bukan main hati Hantu Kematian me-
lihat dahsyatnya serangan lawan. Sepasang tangannya 
bergerak mendorong, dengan maksud untuk mengha-
lau.
Wungngng! Wungngng!
Crakkk! Jresss!
"Aaa...!"
Hantu Kematian meraung merobek angkasa ke-
tika sepasang tangannya terpapas buntung sebatas si-
ku. Dan selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, Pe-
dang Naga Langit kembali menyambar batang leher-
nya.
Crakkk!
Darah segar langsung menyembur membasahi 
permukaan tanah berumput. Seketika kepala tokoh 
sesat yang mengiriskan itu menggelinding, terpisah da-
ri tubuhnya. Hantu Kematian akhirnya tewas di tangan 
Panji dengan kepala terpisah!
Tindakan Pendekar Naga Putih yang secara ti-
dak sengaja itu memang tepat sekali. Sebab, seorang 
yang telah berhasil merampungkan 'Ilmu Memecah 
Sukma', tidak akan bisa mati kecuali dengan cara se-
perti yang dilakukan Panji. Dengan kepala terpisah da-
ri badan, barulah ia akan tewas tanpa dapat bangkit 
lagi.
"Kakang...!"
Kenanga yang sejak tadi telah menyelesaikan 
pertarungannya, berlari menghambur ke arah Panji 
yang tengah terduduk dengan wajah agak pucat
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Kakang,..?" tanya

gadis jelita itu, cemas
"Tidak ada yang perlu dicemaskan.... Aku su-
dah menelan obat luka dalam. Jadi..., hanya tinggal 
memulihkan tenaga saja," sahut Panji terputus-putus, 
karena napasnya masih memburu.
"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Kenanga, 
lega.
"Hei? Ke mana Wurati? Bukankah dia tadi ber-
samamu?" tanya Panji ketika tidak melihat gadis itu 
bersama kekasihnya. 
"Gadis malang itu telah tewas setelah berhasil 
melampiaskan dendamnya kepada Samanggala," jawab 
Kenanga dengan wajah penuh sesal.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi, Kenanga?" 
tanya Panji, heran. Karena Pendekar Naga Putih tahu 
kalau Kenanga bisa melumpuhkan Samanggala sekali-
gus melindungi Wurati.
"Saat itu aku telah berhasil melumpuhkan Sa-
manggala. Leher pemuda itu ku todongkan dengan pe-
dangku. Lalu, aku mengorek keterangan darinya, ten-
tang pembunuh Ki Bala Dewa, guru Wurati. Ternyata, 
Samanggala mengakui kalau telah membunuh Ki Bala 
Dewa. Itu dilakukannya, karena dia tidak diterima 
menjadi murid, sebelum Wurati menjadi murid Pergu-
ruan Cakar Naga. Dan ketika aku sedang mendengar 
pengakuan Samanggala, ternyata Wurati telah siuman 
dan mendengar juga penuturan pemuda bejat itu. 
Amarah Wurati pun tak tertahankan. Maka Wurati 
langsung menubruk dan menusukkan pedangnya 
hingga menembus punggung Samanggala. Tapi, 
sayangnya, Samanggala pun sempat menghunjamkan 
pisau yang tersembunyi ke tubuh Wurati di saat te-
rakhirnya," jelas Kenanga panjang lebar, tapi disertai 
rasa menyesal karena tidak dapat menjaga Wurati.

"Mungkin itu memang jalan yang paling baik 
menurutnya. Andaikata selamat, belum tentu ia sang-
gup menjalani kehidupan yang menurutnya sudah tak 
berarti itu," desah Panji sambil mengelus rambut kepa-
la kekasihnya yang hitam pekat Ki Wanggala, Legawa, 
dan Jabrang yang juga telah berhasil membasmi mu-
suh-musuhnya, tengah berdiri tegak di dekat kedua 
orang muda itu.
"Syukurlah kalian selamat...," ujar Panji yang 
baru menyadari kehadiran ketiga orang tokoh itu.
"Tanpa pertolonganmu, rasanya kami tidak 
mungkin masih bisa selamat, Pendekar Naga Putih. 
Sekali lagi, kami bertiga mengucapkan terima kasih 
kepadamu, dan juga kepada Kenanga. Sekarang kami 
mohon diri. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi 
kelak," pamit Ki Wanggala dan yang lainnya.
Memang mereka sadar kalau saat itu Panji dan 
Kenanga mungkin tidak ingin diganggu oleh kehadiran 
mereka.
Setelah berpamitan, ketiga orang tokoh persila-
tan golongan putih itu pun meninggalkan kaki Bukit 
Tiga Iblis.
"Kita pun harus segera pergi dari tempat ini, 
Kenanga. Tapi, sebelumnya lebih baik kuburkan dulu 
mayat-mayat mereka, termasuk juga mayat Wurati," 
ajak Panji sambil bergegas bangkit
"Tidak perlu repot-repot, Kakang. Mayat Wurati 
dan yang lainnya sudah kami kuburkan bersama-sama 
tadi. Jadi, yang tinggal hanya mayat Hantu Kematian 
saja. Kau istirahat lah dulu, Kakang. Biar aku saja 
yang mengerjakannya," ujar Kenanga sambil mele-
paskan pelukannya pada tubuh Panji.
"Terserah kau sajalah...," sahut Panji sambil 
memandangi punggung kekasihnya yang tengah melangkah ke arah mayat Hantu Kematian.
Selesai menguburkan mayat tokoh sesat itu, 
sepasang pendekar itu pun meninggalkan kaki Bukit 
Tiga Iblis.
"Sampai kapan kita akan terus melakukan pe-
tualangan ini, Kakang?" tanya Kenanga sambil me-
langkah di sisi kekasihnya.
Jemari tangan gadis itu menggenggam erat te-
lapak tangan Panji. Sepertinya, gadis itu tidak ingin 
melepaskan lengannya dari genggaman kekasihnya.
"Hm.... Sampai aku sudah tidak tahan...," Panji 
menggantung kata-katanya dan tersenyum penuh arti.
"Tidak tahan...?" sambut Kenanga heran. "Tidak 
tahan untuk apa, Kakang?" tanyanya penasaran.
"Ya..., tidak tahan untuk segera mengawini-
mu...."
Selesai berkata demikian, Panji memeluk tubuh 
kekasihnya erat-erat
"Ihhh...! Kakang nakal!"
"Aduh...!" Panji memekik ketika cubitan Kenan-
ga hinggap di pinggangnya.
Terdengar tawa berderai penuh kebahagiaan 
mewarnai langkah keduanya.


                             SELESAI


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar