..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE KUMBANG MERAH

matjenuh

 

T. Hidayat 
KUMBANG MERAH 
CINTAMEDIA 
penerbit buku silat bermutu 
KUMBANG MERAH 
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Gambar sampul oleh Herros 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku Ini 
tanpa Izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Kumbang Merah 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

"Haiiit...!" 
Suasana pagi yang tenang di Hutan Ranggat, di-
sentakkan suara teriakan yang nyaring dan meng-
getarkan. Beberapa ekor burung yang tengah ber-
cengkerama di atas dahan-dalah pohon, beterba-ngan 
karena terganggu ketenangannya. 
Sedangkan sosok tubuh langsing, yang mengena-kan 
pakaian berwarna biru muda itu, mengiringi teriakannya 
dengan sebuah lesatan kilat. Selarik sinar putih 
berkeredep menyertai sambaran tangan-nya. 
"Aih...!" 
Dua orang lelaki bertampang kasar berteriak kaget 
ketika mellhat datangnya sambaran senjata dari sosok 
berpakaian biru muda itu. Meskipun dengan wajah 
pucat, keduanya berusaha mengelak-kan serangan maut 
itu dengan melempar tubuhnya ke belakang, dan 
bersalto di udara. 
Namun, sosok berpakaian biru muda itu bergerak 
lebih gesit. Begitu serangannya luput, sosok tubuh 
langsing itu menotolkan kakinya ke tanah. Seketika itu 
juga, tubuhnya melenting dengan disertai sam-baran 
senjatanya yang mengeluarkan sinar putih. 
Wuttt! Wuttt! 
Hebat dan cepat sekali putaran senjata yang di-
lakukan sosok berpakaian biru muda itu. Samba-ran 
angin pedangnya menimbulkan bunyi menga-ung tajam. 
Jelas kalau tenaga yang dimilikinya cukup kuat 
Sementara, dua orang lawannya yang masih ber-putar 
di udara, semakin pucat wajahnya. Sadar kalau 
keselamatan mereka terancam, maka kedua-nya nekat 
memapaki pedang lawan dengan lontaran pukulan.

Rupanya mereka memilih cacat daripada harus tewas di 
tangan sosok tubuh langsing itu. 
"Hmh...!" 
Terdengar dengus penuh ejekan dan sosok ber-
pakaian biru muda itu. Dengan gerakan cepat dan tak 
terduga, pedang di tangannya diputar dengan gerakan 
melingkar. Kemudian menyambar cepat ke arah perut 
kedua orang lelaki bertampang kasar itu. Dan... 
Bret! Bret! 
"Aaakh...!" 
"Hugkh...!" 
Sambaran senjata maut Itu merobek bagian de-pan 
tubuh mereka. Darah segar menyembur mem-basahi 
tanah berumput kering yang berada di bawahnya. 
Dengan diiringi jerit kematian yang menyayat, tubuh 
kedua orang itu terbanting dan tewas seketika. 
“Tahu rasa kau, Manusia-manusia Busuk...!" Desis 
sosok berpakaian biru muda itu dengan sinar mata 
galak. Rupanya ia seorang gadis muda yang cantik dan 
penuh daya pikat. 
Namun, kelegaan di hati gadis cantik itu tidak 
berlangsung lama. Beberapa lelaki bertampang ka-sar 
lainnya, tampak kembali bergerak dan menge-pungnya. 
Sorot kebencian tergambar jelas pada wajah-wajah kasar 
itu. 
"Wanita cantik ini tidak boleh dikasih hati! Ter-lalu 
enak kalau dibunuh begitu saja. Kita harus 
menangkapnya hidup-hidup. Kemudian kita nikmati 
tubuhnya beramai-ramai, baru kita cincang Kunti-lanak 
itu!" terdengar suara bernada geram yang di-ucapkan 
salah seorang dan lelaki kasar itu. Wajah-nya yang 
kehitaman tampak semakin gelap karena hawa marah. 
"Benar, Kakang. Kuntilanak ini harus kita siksa 
sebelum dibunuh!" timpal lelaki bermata picak yang

berada di sebelah kanannya. Menilik dari sorot matanya, 
jelas ucapan itu bukan sekadar gertakan belaka. 
"Hm..„" lelaki brewok berkepala botak itu mende-ngus 
kasar. Melihat dari sikapnya, dapat dipastikan kalau 
lelaki itu merupakan pimpinan mereka. 
"Serbu...!" 
Sambil berteriak, lelaki brewok dan berkepala botak 
itu meluruk dengan gerakan menyilang. Golok besar 
yang bergerigi pada bagian matanya, diputar se-demikian 
rupa sehingga membersitkan kilatan-kilatan maut. 
Sedangkan sebelas orang pengikutnya, tidak mau 
ketinggalan. Mereka bergerak menyebar dengan di-sertai 
teriakan-teriakan ribut. Kemudian, mereka langsung 
menyerbu gadis cantik itu dari segala penjuru. 
"Hmh!" 
Gadis cantik bermata galak itu mengeluarkan 
dengusan tajam. Tubuhnya yang langsing dan padat itu, 
berdiri dalam posisi kuda-kuda harimau. Sedangkan 
pedangnya menyilang didepan dada dengan tangan kiri 
berada di sebelah dalam. 
Kefika kawanan lelaki kasar itu tepat berada dalam 
jarak beberapa tindak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba 
tubuh langsing itu melesat dengan kecepa-tan tak 
terduga. 
"Haiiit..!" 
Terdengar teriakan gadis itu yang melengking panjang. 
Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan 
sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya. 
Trang! 
'Bret' 
Terdengar jerit kematian ketika sambaran pedang di 
tangan gadis cantik itu merobek dada salah seorang 
lawannya, yang berada di sebelah kanan. Tubuh lelaki

malang itu terjungkal dan roboh mandi darah. Saat itu 
juga nyawanya melayang meninggal-kan raga. 
Bukan main murkanya lelaki berkepala botak itu 
ketika menyaksikan pengikutnya tewas bersimbah 
darah. Sambil mengeluarkan geraman keras, tubuh 
tinggi besar itu langsung melesat maju mengibaskan 
sen-jatanya. 
Wuttt! 
Serangkum angin tajam merobek udara. Kilatan badan 
golok besar yang tertimpa cahaya matahari, bagaikan 
tangan-tangan maut yang siap menerkam tubuh 
lawannya. 
Tapi, lelaki brewok berkepala botak itu lagi-lagi harus 
menelan kedongkolannya. Karena sambaran gotoknya 
hanya menerpa angin kosong. Sedangkan tubuh langsing 
yang terbungkus pakaian biru muda itu, melesat dengan 
gesit ke sampingnya. Bahkan, pedang di tangannya 
mengancam lambung iawan. Jelas, kepandaian yang 
dimilikinya tidak bisa diang-gap enteng. 
"Setan...!" maki lelaki brewok itu sambil meng-
gulingkan tubuh, menghindari ancaman pedang Iawan. 
Dengan akal licik, dilontarkannya beberapa pisau kecil 
seraya tetap bergulingan menjauhi inca-ran senjata 
Iawan. 
"Keparat curang...!" 
Sosok yang terbungkus pakaian biru muda itu memaki 
kelicikan lawannya. Pedang di tangannya kembali 
diputar dan membentuk gulungan sinar yang 
menyelimuri sekujur tubuhnya. Terdengar suara 
gemerincing nyaring ketika pisau-pisau se-panjang satu 
jengkal itu membentur gulungan sinar pedangnya. 
"Mampuslah kau...!" maki gadis itu sambil mengi-
baskan pedangnya, sehingga membentur dua pisau 
lawannya. Gerakan itu memang dimaksudkan un-tuk

mengembalikan senjata rahasia yang dilepaskan 
lawannya. 
Cappp! 
Crakkk! 
" "Ughhh...!" 
Lelaki berkepala botak yang baru saja bangkit itu 
menjerit ngeri. Senjata rahasia yang dilepaskannya 
menancap di kening dan belahan dadanya. Karuan saja 
tubuh tinggi besar itu langsung ambruk, dan 
menggelepar menanti ajal. Darah bercucuran di ta-nah, 
dan nyawanya terbang dengan mata terbelalak. 
Menyaksikan pemimpin mereka tewas di tangan gadis 
itu, tanpa diberi perintah lagi, para pengikut-nya yang 
masih selamat berhamburan melarikan diri. 
Sedangkan gadis berpakaian biru muda itu, sama 
sekali tidak berusaha mengejar lawan-lawannya. Hanya 
matanya tak berkedip mengikuti bayangan tubuh 
lawannya yang melarikan diri. Seulas senyum mengejek 
membayang di wajai cantik itu. 
Mendadak, gadis berpakaian biru muda itu me-mutar 
tubuhnya ketika mendengar suara tepukan di 
belakangnya. Dan, sepasang matanya yang indah itu 
tertegun menatap sosok pemuda berpakaian sutera 
putih. 
"Hebat, sungguh membuat hatiku benar-benar kagum 
sekali. Kali ini, kawanan anjing-anjing kelaparan itu 
benar-benar terkena batunya," sambil mengeluarkan 
kata-kata yang bernada pujian, kaki-nya melangkah 
menghampiri. Bahkan, sepasang matanya yang bersinar 
tajam itu, sama sekali tidak menyembunyikan 
kekagumannya. 
***

Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru 
muda itu berdiri bengong. Bukan ketampanan sosok 
berpakaian sutera putih itu yang membuat-nya terpaku 
seperti patung. Tapi, kehadiran sosok itu yang 
membuatnya terheran-heran. Karena, sama sekali tidak 
diketahuinya, sejak kapan orang itu datang. 
"Hm.... Siapa kau, Kisanak? Dan, apa maksud 
ucapanmu itu?" tegur gadis itu dengan suara tajam, dan 
tidak bersahabat Bahkan sinar mata dan tari-kan 
wajahnya menampakkan rasa curiga. 
"Ah! Maaf..., maaf.... Apakah kau benar-benar seorang 
manusia biasa...?" ujar sosok yang temyata seorang 
pemuda tampan itu dengan suara gagap. Bahkan, raut 
wajahnya jelas memancarkan ketidak-percayaan. Seolah-
olah bukan gadis itu yang tengah berdiri di hadapannya. 
Melainkan sesuatu yang telah membuatnya terpesona 
sekaligus gentar. 
Tentu saja gadis itu menjadi heran melihat kelakuan 
pemuda tampan yang berbicara gagap itu. Namun, 
sesaat kemudian, sinar matanya kembali berkilat penuh 
ancaman. 
"Kurang ajar...! Apakah kau mengira aku sebang-sa 
siluman?" geram gadis cantik itu marah. 
"Ah! Bukan..., bukan itu maksudku. Tapi, kau..., kau 
cantik sekali. Seperti... seperti seorang dewi dari langit... 
Maafkan kalau aku bersikap kurang patut," pinta 
pemuda tampan itu, sambil merangkapkan telapak 
tangannya dan membungkuk dalam-dalam. Nyata sekali 
kalau ia tidak bermaksud main-main. Karena semua itu 
terlihat jelas di wajahnya. 
"Kau..., kau kurang ajar...," maki gadis itu, de-ngan 
wajah kemerahan dan bibir menyembunyikan senyum 
senang. Jelas, ia tengah berusaha menutupi rasa bangga

karena dipuji pemuda tampan itu. Se-hingga, tekanan 
pada ucapannya tidak sekeras dan seketus semula. 
Apa yang dirasakan gadis berpakaian biru muda itu, 
memang wajar dan bisa terjadi dengan wanita mana 
saja. Hati wanita mana yang tidak merasa bangga 
mendengar pujian tentang kecantikannya yang 
menyamai dewi dari langit? Apalagi yang me-lontarkan 
pujian itu seorang pemuda tampan. Tentu saja pujian itu 
membuat hatinya berbunga. 
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku ber-maksud 
kurang sopan. Tapi, terus terang apa yang kuucapkan 
itu, memang keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam, 
tanpa berniat kurang ajar sedikit pun. Maafkan atas 
keterusteranganku ini, mmm...," ujar pemuda tarnpan 
itu menggantung ucapannya. Sepertinya, gadis itu 
tengah dipancingnya untuk memperkenalkan diri. 
"Sudahlah. Di antara kita tidak ada urusan. Aku 
pergi...," pamit gadis itu yang segera membalikkan 
tuuhnya hendak meninggalkan Hutan Ranggat. 
"Nisanak, tungguuu...!" cegah pemuda tampan itu 
sambil berlari mengejar. Dan, sekali berkelebat saja, 
tubuhnya telah berada beberapa tombak dari tem-pat 
aemula. 
Gadis berpakaian biru muda itu menunda lari-nya, 
ketika merasakan sambaran angin lewat di samping 
kanannya. Dan, tanpa diketahuinya pemu-da berpakaian 
sutera berwarna putih itu, telah ber-diri di hadapanriya 
dalam jarak satu tombak. 
"Hra... Rupanya kau memiliki kepandaian, dan akan 
berbuat kurang ajar padaku? Hm..., jangan kau kira, 
aku takut dengan kepandaianmu yang tinggi itu? 
Majulah...," tantang gadis cantik itu de-ngan sikap siap 
tempur. Bahkan, tangan kanannya terlihat sudah 
meraba gagang pedang di pinggang-nya.

"Sabar, sabar dulu, Nisanak," ucap pemuda tam-pan 
itu sambil menggoyang-goyangkan telapak ta-ngannya 
mencegah. "Aku sama sekali tidak bermak-sud jelek. 
Hanya..., kalau boleh, aku ingin menge-tahui namamu 
dan tujuanmu," lanjut pemuda itu dengan nada yang 
sopan dan simpatik. 
Sebenarnya gadis itu sudah merasa marah dan ingin 
memberikan pelajaran kepada pemuda itu. Namun, 
melihat sikapnya yang sopan, diam-diam timbul rasa 
suka di hati gadis itu. Tapi, perasaan itu ditutupinya 
dengan ucapan ketus dan sinar mata yang dibuat 
segalak mungkin. Dan, ia pun tidak segera menjawab 
pertanyaan pemuda itu. 
Pemuda tampan itu rupanya menyadari kekeli-ruan 
yang dibuatnya. Maka, cepat-cepat ia melan-jutkan kata-
katanya dan memperkenalkan diri ter-lebih dahulu. 
"Mmm..., maaf. Namaku adalah Pradipta. Tujuan 
perjalananku ke Selatan. Nah, apakah keterangan 
tentang diriku sudah cukup memenuhi syarat untuk 
mengenalmu...?" ujar pemuda tampan itu dengan sikap 
yang sopan dan tidak mencerminkan watak seorang 
pemuda ceriwis. Sehingga, rasa simpati di hati gadis itu 
kian bertambah. 
"Hm..., sebenarnya aku tidak ingin berkenalan dengan 
sembarang orang Tapi, melihat sikapmu yang sopan, aku 
memberi sedikit kelonggaran untuk mengenalku. 
Namaku Trijanti. Aku tidak mempu-nyai tujuan yang 
pasti. Tapi perjalanan kita satu arah. Nah, apakah sudah 
cukup keterangan tentang diriku?" balas gadis itu 
tersenyum. 
"Wah, kalau begitu, kita setujuan!" sambut Pra-dipta, 
dengan senyum gembira. "Mmm..., bagaimana kalau kita 
melakukan perjalanan bersama-sama...? Tentu saja

kalau Nisanak tidak keberatan?" sam-bung Pradipta 
masih dengan gayanya yang enak di-pandang mata. 
"Maaf, sebagai seorang wanita, aku tidak bisa me-
lakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali tidak 
kukenal. Jadi, sebaiknya kita mengambil jalan sendiri-
sendiri saja," sahut Trijanti yang segera me-langkahkan 
kakinya melewati pemuda tampan di depannya itu. 
'Tapi, bukankah kita sudah berkenalan, Tri-janti...?" 
desak Pradipta yang mengekor di belakang gadis cantik 
Itu. 
Kali ini gadis berpakaian biru muda bernama Trijanti 
itu tidak mempedulikannya sama sekali. Kakinya terus 
diayunkan, kemudian berlari cepat meninggalkan 
pemuda ita Bahkan ia tidak menoleh ke belakang satu 
kali pun. 
'Trijanti...!" panggil Pradipta tanpa berusaha me-ngejar 
gadis cantik itu. la hanya berdiri memandangi bayangan 
Trijanti yang lenyap di balik rimbunnya pepohonan 
hutan. 
*** 
Saat itu, kemilau jingga telah merona di ufuk Barat 
Sebentar kemudian, senja pun merayap me-nyelimuti 
permukaan bumi ini. Suara-suara bina-tang malam pun 
terdengar menyambut kedatangan sang malam. 
Trijanti yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di 
atas pembaringan kayu, menatap kosong ke langit-langit 
kamar tem-patnya melewatkan malam ini. Namun, 
sepasang mata bening itu tampak me-nyembunyikan 
segumpal resah. Semua itu terlihat dari sorot matanya 
yang hampir tidak berkedip menatapi langit-langit 
"Hhh...."

Terdengar sebuah tarikan napas panjang sebagai 
ungkapan rasa resah. Kemurungan tampak semakin 
nyata tergambar di wajahnya. Kemudian ia bergerak 
bangkit dan duduk di atas pembaringan. Masih de-ngan 
wajah murung, gadis cantik itu kembali terme-nung. 
"Gila...!" desis gadis cantik itu menghela napas berat 
"Mengapa wajah pemuda tampan itu tidak mau hilang 
dari benakku? Apa sebenarnya yang terjadi denganku? 
Belum pernah aku merasakan keanehan ini. Atau..., 
apakah aku telah tertarik dengan pemuda bernama 
Pradipta itu...?" 
Setelah bergumam demikian, tubuhnya dilurus-kan 
sejenak, kemudian kakinya melangkah gontai ketuar 
dari dalam kamarnya. 
Sejak berjumpa Pradipta dua hari yang lalu, Tri-janti 
merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. 
Mulanya ia tidak begitu mempedulikannya, dan 
menganggap hal itu sesuatu yang wajar. Namun, makin 
lama perasaan aneh itu kian ber-kembang, dan 
membuat hatinya selalu resah. Dan, ia pun mulai 
menyadari, apa sebenarnya yang te-ngah dialami. Dalam 
usianya yang sudah mencapai sembilan belas tahun, 
Trijanti segera dapat mene-bak perasaan yang 
lerkandung dalam hatinya. 
Dengan langkah perlahan, gadis cantik yang memiliki 
kepandaian tinggi itu bergerak menuju taman belakang 
rumah penginapan yang terletak di Desa Waru itu. 
Dengan gerakan yang tanpa sema-ngat, Trijanti 
menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah bangku bambu di 
dalam taman itu. 
"Aneh, mengapa sekarang aku begitu mudah ter-tarik 
kepada seorang pemuda?" kembali batin Tri-janti 
bergumam. "Padahal bukan hanya Pradipta saja yang 
kukenal. Cukup banyak pemuda-pemuda yang jagah dan

tampan berkunjung ke tempatku semasa aku berada di 
Gunung Buntar. Karena sahabat-sahabat guruku kerap 
berkunjung dan membawa murid-muridnya. Tapi, aku 
tidak pernah mengalami perasaan seperti saat ini. 
Perkenalan dengan murid-murid sahabat guruku itu, 
sama sekali tidak menggangguku, meskipun mereka 
telah pergi meninggalkan Gunung Buntar. Tapi, 
mengapa perasaan aneh ini timbul setelah berjumpa 
dengan Pradipta...?" 
Trijanti kembali menghela napas resah. Bayangan 
pemuda tampan yang telah membuat hatinya geli-sah, 
benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Setiap kali 
pandangannya diarahkan ke satu benda, selalu saja 
bayangan Pradipta muncul dengan gaya dan senyumnya 
yang sangat simpatik itu. Semua gangguan itu tentu saja 
membuatnya jengkel. Se-hingga, tidak jarang wanita 
cantik itu memukul ke-ningnya perlahan, atau 
menggoyangkan kepalanya keras-keras. Seolah-olah 
dengan berbuat demikian, bayangan Pradipta dapat 
hilang dari benaknya. 
Setelah dua hari bayangan itu tidak mau juga le-nyap. 
Kini sadarlah Trijanti kalau dirinya telah jatuh hati 
kepada pemuda tampan itu. Terkadang ucapan-ucapan 
pemuda itu terngiang kembali di telinganya. Dan, 
ingatan itu mau tak mau membuatnya terse-nyum 
seorang diri. 
Demikian pula halnya dengan malam itu. Keresa-han 
dan rasa ingin berjumpa dengan Pradipta, membuat 
gadis cantik itu tidak bisa memicingkan mata sekejap 
pun. Bahkan, kegembiraannya selama ini seperti lenyap. 
Sehingga, ia merasa hari-hari yang dilaluinya kosong dan 
tidak menyenangkan. 
"Siapa...?"

Tiba-tiba saja Trijanti bergerak bangkit ketika 
mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Telinga 
gadis itu sangat jelas menangkapnya. Pada-hal, saat itu 
ia tengah tenggelam dalam lamunan-nya. 
Tapi, semua itu bukan karena pendengaran Tri-janti 
yang tajam. Melainkan, langkah kaki itu se-ngaja 
diberatkan agar gadis itu dapat mendengar-nya. 
Sehingga, meskipun tengah tenggelam dalam lamunan, 
suara langkah berat itu pasti tertangkap oleh 
pendengarannya. 
"Sss... siapa...?" 
Trijanti mengulang pertanyaannya. Dengan suara yang 
agak gagap dan tegang. Karena, sepasang matanya 
menangkap sosok berpakaian sutera putih yang tampak 
gemerlap ditimpa cahaya rembulan. 
Sosok tegap berpakaian sutera putih itu melang-kah 
tenang menghampiri Trijanti yang bagaikan tersihir. 
Gadis itu hanya berdiri dan menatap seperti patung. 
Sedangkan dadanya bergemuruh dilanda ketegangan. 
"Kau...?" jerit hati Trijanti setengah tak percaya. 
Namun, ucapan itu tidak sampai terucap di bibir-nya. 
Tentu saja, sosok berpakaian putih itu sama sekali tidak 
mendengarnya. 
Sepasang mata Trijanti terbelalak ketika melihat raut 
wajah sosok tubuh itu. Apalagi pancaran sinar bulan 
tepat menerangi-nya. Sehingga, wajah sosok tubuh tegap 
itu bagaikan mengeluarkan sinar. Di-tambah lagi dengan 
jubah sutera putihnya yang semakin bercahaya. Semua 
itu benar-benar merupa-kan pemandangan yang sangat 
mempesona. Wajar kalau beberapa saat lamanya gadis 
itu hanya bisa memandang dengan sepasang mata 
penuh kagum. 
***

DUA

"Apa kabar, Dik Trijanti...?" sapa Pradipta lembut Uca-
pannya lebih mirip dengan suara bisikan. 
Namun, bagi Trijanti sendiri, sapaan itu telah 
membuatnya sadar dari sikap bodohnya Karuan sa-ja 
gadis cantik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. 
Tampak rona kemerahan pada kedua pipi-nya. Pertanda 
ia merasa malu dengan kelakuannya sendiri. Tapi, 
semua itu merupakan ungkapan pera-saan hatinya yang 
terdalam. Itu yang membuat Trijanti semakin merasa 
jengah. Sehingga, ia tetap menyembunyikan wajahnya 
seraya menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh. 
"Mengapa kau berada di tempat ini? Apa kau me-mang 
sengaja menguntitku...?" tegur Trijanti tajam sambii 
tetap menyembunyikan wajahnya. la tidak ingin pemuda 
itu mengetahui apa yang tersimpan di matanya. Apabila 
ia mengangkat wajahnya, tentu saja pemuda itu akan 
mengetahui perasaannya yang melekat pandangan 
matanya. 
"Maafkan aku, Trijanti... Aku tidak bisa membo-hongi 
perasaanku. Secara jujur kuakui semenjak pertemuan 
kita di Hutan Ranggat, aku benar-benar tidak bisa 
melupakanmu. Karena itu aku mengikuti perjalananmu. 
Sekali lagi aku mohon maaf apabila perbuatanku kau 
anggap tidak sopan...," sahut pemuda tampan 
berpakaian sutera putih itu, yang tak lain adalah 
Pradita. 
Tak mengherankan bila pemuda tampan itu me-
ngetahui tempat Trjanti menginap. Rupanya ia sengaja 
menguntit perjalanan gadis cantik itu. Tidak aneh kalau 
tiba-tiba Pradipta muncul di hadapan Trijanti 
"Kau... apa... apa maksudmu sebenarnya..? Ta-nya 
Trijanti dengan suara bergetar karena menahan

perasaannya. Ucapan pemuda tampan itu telah 
membuatnya terpaksa mengangkat kepala, dan menata 
tajam bola mata Pradipta. Seolah ia ingin mencari bukti 
dari bola mata pemuda yang telah menimbulkan 
perasaan resah di hatinya itu. 
"Trijanti... kau cantik sekali malam ini...," ter-dengar 
suara pujian bernada lembut, yang meluncur begitu saja 
dari mulut Pradipta. Sambil berkata de-mikian, pemuda 
itu kembali melangkah mendekati gadis cantik itu, yang 
membuat hatinya berdebar tak karuan. 
"Kau laki-Iaki tidak sopan...! Rupanya kau se-orang 
perayu ulung. Dan, kau sengaja ingin meng-goda dan 
menjeratku! Huh! Sayang, kau salah me-nilai orang! 
Rayuan mautmu tidak akan dapat men-jebakku...!" 
Desis Trijanti ketus. Setelah berkata demikian, gadis itu 
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak tahan 
melihat sinar mata pemuda itu, yang sama sekali tidak 
menyembunyikan rasa kagumnya. Sehingga, wajah gadis 
cantik itu pun kembali dijalari warna kemerahan. 
"Trijanti..., begitu rendahkah penilaianmu terha-dap 
diriku? Salahkah kalau aku tertarik kepada-mu?" 
dengan suara bergetar Pradipta terus melang-kah. 
Tampak wajahnya agak pucat ketika ia berhen-ti 
beberapa langkah di depan gadis cantik itu. Di-tatapnya 
wajah Trijanti dan sinar matanya seolah-olah menuntut 
jawaban. 
"Hm.... Kita baru saja bertemu dan itu pun hanya 
sekilas. Mengapa kau begitu mudah melontarkan kata-
kata pujian? Aku yakin pujian-pujianmu itu selalu 
kauucapkan setiap kali berjumpa dengan ga-dis-gadis 
cantik lainnya. Nah, apa kau mau me-nyangkal...?" 
kembali terdengar suara ketus Trijanti dengan disertai 
dengusan mengejek. Sedang wajah-nya tetap berpaling 
dan sama sekali tidak menoleh ke arah Pradipta.

"Hhh..., apa pun penilaianmu tentang diriku, itu 
adalah hakmu. Tapi, cobalah kau jawab pertanya-anku 
Ini. Salahkah bila kita melihat sesuatu yang indah 
kemudian memujinya? Ataukah kau lebih suka dengan 
sikap munafik dan berpura-pura men-cemooh. Padahal, 
kau bisa melihat pujiannya dari pancaran sinar 
matanya? Haruskah dia mengatakan kau jelek dan 
berpura-pura membencimu, tapi Ke-nyataan yang 
sesungguhnya justru berlawanan?" ujar Pradipta 
kembali menyeret langkahnya, sehing-ga jarak di antara 
mereka tinggal terpaut satu lang-kah. 
Dengan sangat pandainya, Pradipta terus mende-sak 
Trijanti dengan ucapan dan sikap yang simpa-tik. Sekilas 
terlihat kilatan aneh di mata pemuda tampan itu. 
Sayang, gadis cantik itu tidak melihat-nya, karena ia 
masih saja tidak menoleh ke arah Pradipta. Sehingga, ia 
pun tidak menyadari bibir pemuda tampan Itu tampak 
menyunggingkan senyum yang mempunyai makna 
beragam. 
"Trijanti...," panggil Pradipta sambil tangannya 
menyentuh bahu gadis cantik itu. Melihat dari sikap dan 
caranya menghadapi Trijanti, pemuda itu sudah dapat 
menebak isi hati gadis cantik di depannya. Tak heran 
kalau ia semakin berani menyentuh bahu Trijanti. 
Trijanti yang ekor matanya melihat gerakan ta-ngan 
pemuda itu, bergegas melangkah mundur. Di-tatapnya 
wajah pemuda itu dalam jarak empat lang-kah. Sekilas 
terlihat sinar berkilat pada sepasang matanya yang 
bening. Jelas, kalau ia tidak suka dengan apa yang akan 
dilakukan Pradipta terhadap dirinya. 
Tatapan mata Trijanti yang semula menyiratkan 
kemarahan itu, mendadak lembut ketika beradu 
pandang dengan pemuda tampan di depannya.

"Pandanglah mataku, Trijanti. Lihatlah, apakah kau 
menemukan kebohonganku?" ujar Pradipta de-ngan 
nada lembut, namun mengandung getar-getar aneh yang 
tidak mengerti oleh Trijanti. Tanpa mem-bantah, gadis 
itu balas menatap sepasang mata tajam pumuda tampan 
itu. 
"Dengarlah, Trijanti. Aku sayang padamu, dan tidak 
ingin melihat kau murung," desis pemuda tampan itu 
dengan sepasang mata melekat pada bola mata Trijanti. 
Sambil berkata demikian, sepa-sang tangannya 
memegang kedua bahu gadis cantik itu. 
Ucapan lembut yang mengandung getar-getar uneh itu 
sepertinya mampu meluluhkan hati Tri-janti. Sinar 
matanya tampak mulal meredup. Dan ia tidak herusaha 
mengelakkan sentuhan tangan Pra-dipta. Malah gadis 
cantik itu tidak kuasa lagi mena-han perasaan hatinya. 
Sehingga, ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan 
pemuda tampan itu, ia sama sekali tidak memberontak. 
"Katakan, Trijanti, apakah kau memiliki perasaan yang 
sama denganku,..?" bisik Pradipta sambil me-meluk 
lembut tubuh gadis cantik itu. Bahkan, uca-pannya 
diakhiri dengan sebuah kecupan lembut pada rambut 
Trijanti, yang kepalanya sudah dire-bahkan ke dada 
pemuda tampan itu. 
"Ya, Kakang, aku pun mempunyai perasaan yang 
sama denganmu," sahut Trijanti tanpa mengangkat 
kepalanya dari dada. Ucapannya terdengar seperti 
sebuah bisikan. Namun, tertangkap jelas di telinga 
pemuda tampan yang semakin mempererat pelukan-nya. 
"Kau sayang padaku...?" desak Pradipta lagi, te-tap 
dengan nada yang lembut dan menggetarkan. 
"Aku sayang padamu, Kakang...," kembali terde-ngar 
jawaban Trijanti menyahuti.

"Ah, syukurlah kalau begitu," desah Pradipta se-raya 
membelai lembut punggung gadis cantik itu. "Hm.... 
Udara di luar terasa semakin dingin, Adikku. Mari kita 
kembali ke kamarmu...," ajak pemuda tampan itu sambii 
mendekatkan bibirnya ke telinga Trijanti. Dan, ajakan 
itu dijawabnya dengan anggu-kan kepala. 
Dengan sebelah tangan tetap merengkuh tubuh 
Trijanti, Pradipta melangkah menuju kamar gadis itu. 
Sedangkan Trijanti sendiri tetap merebahkan kepalanya 
di bahu pemuda tegap itu. Sebentar ke-mudian kedua 
tubuh insan berlainan jenis itu lenyap di balik pintu 
kamar penginapan Trijanti 
Sementara di luar malam semakin bertambah la-rut. 
Hembusan angin yang dingin semakin keras. Tampak 
titjk-titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. 
*** 
"Ohhh...." 
Gadis cantik itu mengeluh pendek sambil meng-
geliatkan tubuhnya yang hanya tertutup selembar kain. 
Sepasang matanya terlihat mengerjap bebe-rapa kali, 
untuk kemudian terbuka lebar. 
"Aaah...!" 
Tiba-tiba saja, gadis cantik yang tak lain Trijanti Itu 
tersentak bangkit seperti disengat kalajengking. Dcngan 
sepasang mata membelalak lebar, ia menu-tup mulutnya 
dengan telapak tangan kiri. Sehingga, jeritannya 
tertahan dan tidak sampai melengking. 
"Oh, apa... apa yang telah terjadi dengan diriku? 
Mengapa... mengapa... ohhh...," Trijanti tak sempat Ingin 
meneruskan ucapannya. Karena ketika ia hen-dak 
bergerak bangkit, sekujur tubuhnya dirasakan linu dan 
nyeri. Sadar kalau sesuatu yang mengeri-kan telah

terjadi tanpa sepengetahuannya, gadis itu pun merintih 
dan terisak. 
Secara samar-samar, Trijanti mulai dapat meng-ingat 
apa yang telah dialaminya semalam. Dan, ingatan itu 
membuat air matanya semakin deras mengalir. 
Ditahannya tangis yang hen-dak meledak, agar tidak 
sampai terdengar penghuni kamar pengi-napan yang 
lainnya. Sehingga, hanya terdengar sua-ra isak yang 
memilukan mengalir dari kerongko-ngannya. 
"Jahanam kau, Pradipta! Pasti kau yang telah 
melakukan perbuatan keji terhadap diriku!" desis bibir 
mungil itu bergetar. 
Meskipun ia tidak tahu pasti mengapa dan bagai-
mana kejadian itu menimpa dirinya, Trijanti berge-gas 
bangkit dan menyambar pakaiannya yang ber-serakan di 
lantai. Dengan air mata yang masih tetap bercucuran, 
gadis cantik itu segera mengenakan pakaiannya. Dan, 
tanpa merapikan rambutnya ter-lebih dahulu, tubuh 
gadis itu telah melesat melalui jendela, terus pergi 
meninggalkan rumah pengina-pan, setelah meninggalkan 
uang sewa kamarnya di atas meja kecil, yang terletak di 
samping pembari-ngannya. 
Trijanti berlari terus tanpa menghiraukan panda-ngan 
mata beberapa orang petani, yang sempat berpapasan 
dengannya di jalan. Hati gadis cantik itu benar-benar 
hancur ketika teringat aib yang telah menimpa dirinya. 
Langkah kakinya terhenti setelah ia berjalan cukup jauh, 
dan kini ia telah berada di luar perbatasan Desa Waru. 
Kemudian, ia langsung menjatuhkan kedua lututnya di 
atas rerumputan yang masih dibasahi embun pagi. 
"Guru..., ampunilah kelalaian muridmu yang bo-doh 
dan tak berguna ini..," rintih Trijanti sambil menutupi 
wajahnya dengan kedua telapak tangan. Butir-butir air 
mengalir melalui celah-celah jemari-nya yang halus dan


lentik itu. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan 
hati. 
Entah sudah berapa lama Trijanti tenggelam dalam 
penyesalan dan kedukaan yang dalam itu. Sedusedannya 
sesekali masih terdengar, meski tubuhnya tetap 
bersimpuh. Gadis cantik yang bernasib malang itu masih 
tetap menyesali kecerobohannya. 
Ketika raut wajah Pradipta melintas di benaknya, tiba-
tiba Trijanti bangkit dengan pandangan liar. Ia berdiri 
tegak sambil menengadahkan kepalanya menatap langit 
yang mulai cerah. Perlahan-lahan tangan kanannya 
meraba hulu pedang Terdengar suara nemerincing ketika 
senjata itu tercabut dari sarungnya. 
"Pradipta, Manusia Terkutuk! Demi langit dan bumi, 
aku bersumpah akan membalas hinaan ini dengan 
taruhan nyawaku! Sampai ke ujung dunia, aku akan 
mencarimu, Manusia Keji! Dan, noda yang melekat di 
rubuhku ini, hanya dapat dicuci dengan darahmu!" ujar 
Trijanti dengan suara parau dan bergetar. Sumpah itu 
diucapkannya sambil mene-ngadahkan kepala dan 
mengacungkan pedangnya ke langit 
Usai mengucapkan sumpahnya, Trijanti kembali 
menyarungkan senjatanya. Wajah cantik yang ma-sih 
basah oleh genangan air mata itu, kini nampak pucat. 
Sepasang mata beningnya tidak lagi meman-carkan 
cahaya kehidupan, dingin dan tanpa pera-saan. Jelas 
kalau kejadian yang menimpanya telah membuat Trijanti 
seperti membenci segala apa yang terlihat matanya. 
"Manusia keji tunggulah pembalasanku...!" geram 
gadis cantik itu, kembali melanjutkan perjalanannya 
dengan menggunakan ilmu lari yang dimilikinya. 
Cukup lama gadis cantik bemasib malang itu ber-lari 
seperti tidak mengenal lelah. Sebuah aliran sungai yang 
membentang di depannya, membuat langkah Trijanti

terhenti. Sambil berdiri tegak, gadis cantik itu menatapi 
sekelilingnya dengan pandangan tajam. 
Mendadak saja. Sepasang mata sayu itu, terbela-lak 
ketika secara samar matanya menangkap seso-sok 
bayangan putih yang tengah berlari di seberang sungai. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis cantik itu 
langsung melesat melompati sungai yang cukup lebar 
itu. Gerakannya yang gesit dan lincah, membuatnya 
tidak mengalami kesulitan menyebe-rangi aliran sungai 
itu. Sebentar saja, ia telah ber-ada di seberang sungai, 
dan langsung memburu sosok bayangan putih yang 
dilihatnya tadi. 
Geram bukan main hati Trijanti ketika tiba di se-
berang sungai, sosok bayangan putih itu lenyap dari 
pandangannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, 
ia hanya berdiri sambil mengerutkan keningnya seperti 
tengah memikirkan sosok baya-ngan putih yang berlari 
cepat tadi. 
"Jahanam kau, Pradipta! Rupanya kau sengaja ingin 
mempermainkan aku...!" desis Trijanti sambil 
mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian diputus-
kannya untuk mencari sosok bayangan putih, yang 
diduganya Pradipta itu. Tubuh ramping itu segera 
berkelebat mengejar ke arah Barat. 
Usaha gadis cantik itu tidak sia-sia. Sepasang 
matanya menangkap sosok bayangan putih yang di-
lihatnya tadi. Cepat Trijanti memutar langkah dan 
bergegas menyusul sosok bayangan itu, yang tengah 
melintasi daerah perbukitan. 
"Jahanam keparat! Jangan lari kau, Iblis...!" teriak 
Trijanti sambil mengerahkan seluruh ilmu ke-
pandaiannya dalam berlari Karena sosok bayangan putih 
itu terpisah beberapa puluh tombak di depan-nya,


tampak berlari dengan ringan dan gesit. Se-hingga, gadis 
itu hanya berjuang keras agar dapat mengejarnya. 
Trijanti semakin mempercepat larinya ketika ia melihat 
sosok bayangan putih itu berhenti berlari, dan menoleh 
ke arahnya. Karena sosok tubuh itu sempat menangkap 
suara teriakan gadis itu. Sehing-ga ia menunggu 
kedatangan Trijanti. 
"Hm... mau lagi ke mana kau, Manusia Keji! Per-
buatan terkutukmu harus kau tebus dengan nya-wa!" 
geram Trijanti. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung 
melesat dengan putaran senjatanya. 
"Eh...?!" 
Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pe-muda 
tampan itu, tampak mengerutkan keningnya ketika 
melihat serangan Trijanti. Sadar kalau sera-ngan Itu 
cukup berbahaya, cepat ia menggeser lang-kahnya ke 
belakang dan melanjutkan dengan sebuah lompatan 
panjang. 
"Nisanak, ada apa ini...?" Cegah pemuda tampan Itu 
sambil mengulurkan tangannya kedepan seperti mau 
menghentikan serangan gadis cantik itu. Si-kapnya 
mpak tetap tenang, dan sepasang matanya yang lembut 
menyiratkan rasa heran. 
Namun, uluran tangan pemuda itu disalahartikan 
Trijanti. Dikiranya Iawan akan membalas serangan, 
maka gadis cantik berwajah pucat itu segera memutar 
senjatanya sampai menimbulkan suara mengaung tajam. 
"Mampus kau, Bangsat Keji...!" maki Trijanti sam-bil 
melompat dan melontarkan serangkaian sera-ngan yang 
cepat dan ganas! 
Whuuut! Whuuut! 
Sambaran mata pedang yang berkelebatan itu 
mengandung bahaya maut, tampak bergulung-gulung 
mengincar tubuh sosok berjubah putih itu. Sehingga,

pemuda tampan itu kembali harus ber-lompatan untuk 
menyelamatkan tubuhnya dari kibasan senjata Trijanti. 
"Nisanak, tunggu! Apa salahku...?" seru pemuda 
tampan itu sambil terus berlompatan ke kiri-kanan guna 
menghindari sam-baran pedang yang cepat dan ganas 
itu. 
Hampir menangis Trijanti ketika hampir sepuluh jurus 
melakukan serangan bertubi-tubi, tapi tak satu pun 
serangannya mengenal tubuh Iawan. Sepertinya sosok 
tubuh berjubah putih itu hanya bayangan yang selalu 
mengikuti ke mana senjatanya berkelebat. Jangankan 
untuk melukai sosok berju-bah putih itu, untuk 
menyentuh jubahnya saja Tri-janti tidak mampu 
melakukannya. Tak heran kalau gadis cantik itu 
semakin marah dan penasaran dibuatnya. 
"Mengapa kau tidak membalas seranganku, Ja-hanam! 
Apa kau kira dengan berbaik hati seperti itu aku akan 
mengampuni dosa-dosamu? Huh! Jangan harap, 
Manusia Kotor...!" maki Trijanti sambil tetap 
melontarkan serangannya. 
Sosok berjubah putih, yang semula hanya menge-lak 
tanpa melontarkan serangan balasan itu, rupa-nya mulai 
kehilangan sabar. Sehingga ketika pedang Trijanti 
meluncur lurus dan mengancam lambung-nya, pemuda 
tampan itu segera menggeser tubuh-nya dengan posisi 
miring. Ditolaknya pedang di tangan gadis itu dengan 
sebuah sentilan yang tepat mengenai badan pedang 
Trijanti. 
Terdengar suara bergemerincing nyaring ketika 
sentilan tangan pemuda itu mengenai pedang di tangan 
Trijanti, sehingga senjata gadis itu terpental balik dengan 
kerasnya! Bahkan kuda-kuda gadis cantik itu tergempur 
sampai mundur. Dapat diba-yangkan, betapa hebatnya 
kekuatan yang tersembu-nyi di balik sentilan jari tangan

pemuda Itu. Dan rasanya mudah sekali, kalau ia ingin 
melumpuhkan gadis cantik yang tengah kesetanan itu 
Tapi, pe-muda itu tidak mau melakukannya. Ia tetap 
berdiri tegak menatapi tubuh Trijanti yang tengah 
sempoyo-ngan akibat sentilan jari tangannya. 
Trijanti sendiri terbelalak menyaksikan cara pe-muda 
itu melumpuhkan serangan pedangnya. Dan, kalau saja 
ia tidak menyaksikan dengan mata ke-palanya sendiri, 
rasanya sukar sekali untuk per-caya. Trijanti menyadari 
kepandaian yang dimiliki-nya. Jangankan seorang 
pemuda seperti lawannya itu, bahkan gurunya sendiri ia 
tidak yakin berani melakukan tangkisan dengan cara 
seperti itu. Kare-na tenaga dalam yang dimilikinya boleh 
dikatakan jarang dipunyai gadis seusianya. Wajar kalau 
Tri-janti terbengong-bengong menatapi pemuda tampan 
itu. 
Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika dili-
hatnya wajah pemuda itu. Karena sosok tubuh ber-jubah 
putih itu sama sekali bukan Pradipta seperti yang 
diduganya, meskipun pemuda itu juga sangat tampan, 
bahkan memiliki perbawa yang amat kuat 
"Nisanak, mengapa kau menyerangku demikian 
ganas? Rasanya kita belum pernah saling jumpa," ujar 
pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara yang 
lembut dan tenang. Hanya sepasang matanya saja yang 
tajam menatap sosok Trijanti. Sehingga, gadis cantik itu 
sempat tergetar hatinya. 
"Kau... kau bukan Pradipta.... Bukan..., ya, kau bukan 
pemuda iblis itu...," desis bibir mungil Tri-janti dengan 
gagap dan bergetar. Bahkan, dalam nada ucapannya 
terkandung isak dan sedu-sedan, yang membuat 
pemuda itu mengerutkan keningnya, heran. 
"Aku memang bukan Pradipta seperti yang kau duga. 
Namaku Panji. Ada apa sebenarnya, Nisa-nak?" Tanya

pemuda berjubah putih yang ternyata bernama Panji. 
Sekilas saja, ia sudah dapat meraba, penyebab gadis 
cantik berwajah pucat itu menye-rangnya mati-matian. 
"Bukan... kau bukan dia, aku harus mencari iblis 
lerkutuk itu...," setelah bergumam dengan suara yang 
hampir tak jelas, Trijanti membalikkan tubuh-nya dan 
berlari meninggalkan Panji. 
"Nisanak, tunggu...!" Panji yang melihat ketidak-
beresan pada wanita yang berpenampilan kusut itu, 
segera berteriak mencegah, dan langsung melesat 
mengejarnya. 
Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dari pemuda 
berjubah putih itu, membuatnya mampu bergerak 
secepat kilat. Sekali lompatan saja, Panji telah berdiri 
tegak menghadang jalan Trijanti. 
"Mau apa kau...? Kau pasti sama jahatnya dengan 
bangsat Pradipta itu! Dan, kau pun ingin menggunakan 
ketampanan dan kepandalanmu un-tuk mencelakai aku, 
begitu?" bentak Trijanti seraya melompat dengan disertai 
serangan pedangnya. Se-hingga, Panji terpaksa 
menghindarinya. 
"Pergi kau! Pergi...!" sambil berteriak-teriak seperti 
orang gila, Trijanti mengayunkan senjatanya secara 
serampangan. 
Dan, ketika Panji melompat menjauh, gadis cantik 
yang hampir gila karena tekanan batin Itu, segera 
melesat melarikan diri. Tampaknya ia merasa takut 
kalau kejadian yang menimpa dirinya akan terulang 
kembali. 
Panji tidak berusaha melakukan pengejaran. Pe-muda 
itu hanya berdiri tegak, sambil memandangi sosok 
Trijanti yang kian menjauh. 
"Kasihan.... Rupanya gadis cantik itu mengalami 
kejadian yang mengerikan. Entah siapa orang yang

disebutnya dengan Nama Pradipta itu. Bisa saja orang 
itu kekasihnya, dan telah mengkhianatinya, atau 
mungkin juga ia telah tertimpa kemalangan dari seorang 
penjahat cabul. Hm..., sayang ia masih sulit untuk 
didekati. Sebaiknya kuikuti saja gadis malang itu. Siapa 
tahu ia memerlukan bantuan," gumam Panji menduga-
duga. Setelah mengambil ke-putusan begitu, pemuda 
tampan itu bergegas me-nyusul Trijanti dan 
menguntitnya. 
***
TIGA

Pemuda itu duduk di atas sebuah batu besar, sambil 
mengawasi beberapa orang yang tengah men-cuci dan 
membersihkan diri di sungai. Sepasang matanya yang 
tajam, memancarkan pengaruh aneh, dan berputaran 
liar mengawasi wanita-wanita desa itu. Pada wajah yang 
tampan itu, tersungging se-nyum manis ketika 
telinganya mendengar celoteh gadis-gadis desa yang 
tampak lugu itu. 
"Kenapa terburu-buru, Arum? Matahari belum lagi 
naik tinggi, lebih baik kita ngobrol-ngobrol saja dulu," 
ujar seorang gadis berwajah bulat telur, yang pada dagu 
sebelah kirinya terdapat tahi lalat. 
Gadis berwajah mungil dengan bentuk hidung yang 
mancung, menoleh dan sejenak tersenyum manis. 
Sedang di pinggang kanannya tersampir keranjang 
tempat pakaian yang telah dicucinya. 
"Sebenarnya aku ingin ikut bergembira dengan kalian. 
Tapi, aku harus memasak makanan dan 
mengantarkannya untuk ayahku yang bekerja di ladang. 
Sebab, ibuku sedang sakit Jadi, akulah yang 
menggantikannya. Sudah ya, aku pulang duiu," pa-mit 
gadis berwajah mungil yang segera melempar-kan 
senyum. Manisnya. Kemudian terus meleng-gang naik ke 
atas tepian sungai. 
"Hati-hafi, Arum. Siapa tahu di tengah jalan kau 
dibawa lari orang," goda wanita bertahi lalat itu yang 
disambut tawa ber-derai gadis-gadis lainnya. 
"Biarlah kalau yang menculiknya pemuda tampan dan 
baik hati...," seru gadis bernama Arum dari tepi sungai. 
"Ngaco kamu, mana ada penculik yang baik hati..!" 
sambut gadis yang lainnya menertawakan.

Namun, gadis manis bernama Arum itu tidak lagi 
mempedulikan ocehan kawan-kawannya. Dengan wajah 
yang masih terhias senyum manis, ia berge-gas menuju 
desa. 
Arum tidak merasa khawatir sama sekali, kendati la 
berjalan pulang seorang diri. Karena desanya selama ini 
dikenal paling aman di antara desa-desa yang lainnya. 
Apalagi setelah kepala desanya di-gantikan dengan 
seorang lelaki setengah baya ber-nama Ki Ringgo. 
Keadaan desanya semakin bertam-bah aman, dan tidak 
pemah terjadi tindak kejaha-tan. 
Ki Ringgo, seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi 
besar dan memiliki sikap tegas. Konon orang tua itu 
pernah menjadi seorang perwira kepercayaan Adipati. 
Meskipun penduduk Desa Magetan, tempat Arum tinggal 
tidak ada yang mengetahuinya secara pasti, namun 
melihat kepandaian dan sikap tegas Ki Ringgo, tentu saja 
para penduduk desa itu memper-cayainya. Apalagi selain 
terkenal kebaikan dan ke-dermawanan, orang tua itu 
pun datang ke Desa Ma-getan dengan kekayaan yang 
berlimpah. Sehingga, ketika ada penggantian kepala 
desa, banyak pendu-duk yang menunjuk lelaki gagah itu 
sebagai peng-ganti kepala desa lama. 
Senyum di bibir Arum semakin melebar ketika teringat 
kepala desanya yang baru itu. Tapi, bukan orang tua 
gagah itu yang membuatnya tersenyum. Melainkan, 
putra sulung kepala desa itulah yang membuatnya 
tersenyum Dan, hampir semua pendu-duk tahu kalau 
putra sulung kepala desa menaruh perhatian 
terhadapnya. Biasanya pemuda yang menjadi 
kekasihnya itu, selalu setia menunggunya hingga selesai 
mencuci. Baru kali ini putra sulung Ki Ringgo itu tidak 
menemaninya. Karena pemuda itu pergi bersama 
keluarganya, menjenguk sanak saudaranya yang tengah

menderita sakit keras. Itu-lah sebabnya Arum tidak 
ditemani pujaan hatinya. 
"Aaaw...!" 
Mendadak Arum mengeluarkan jeritan tertahan. 
Sedangkan tempat cuciannya langsung terlempar, 
karena tangan kanannya digunakan untuk menu-tupi 
mulutnya. Sehingga jeritannya tidak terdengar sampai 
jauh. 
Tubuh Arum yang langsing padat, dan hanya ter-tutup 
kain sebatas dada itu, menggigil hebat. Sepa-sang 
matanya terbelalak lebar ketika melihat makh-luk 
sebesar lengannya berdiri tegak menghadang di tengah 
jalan setapak yang akan dilaluinya. 
"Uuu... ularrr...," desisnya gemetar, sambil me-langkah 
mundur perlahan. Sedang makhluk sepan-jang satu 
setengah tombak itu, berdesis-desis men-julur-julurkan 
lidahnya yang merah bagaikan darah. 
Binatang berbisa itu menatap tajam ke arah Arum. 
Sejauh itu ia tetap tidak bergeming dari tempatnya, dan 
hanya menatap penuh ancaman. 
Arum yang sekujur tubuhnya mulai dialiri keri-ngat 
dingin itu, melangkah perlahan menjauhi bina-tang 
berbahaya itu. Malang, ia tidak sempat mem-perhatikan 
sebuah batu di belakangnya. Sehingga, tubuh gempal Itu 
terjerembab ketika kakinya ter-sandung batu itu. 
"Ohhh...!" terdengar suara jeritan lirih dan ber-getar 
yang keluar dari tabirnya. Pada saat ia tengah bergerak 
bangkit, ular beracun itu langsung melesat bagai kilat ke 
arah Arum, yang hanya mampu me-mandang dengan 
wajah seputih kertas. 
Tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok 
bayangan putih berkelebat cepat, dan langsung 
tangannya menangkap ular tersebut. Kemudian, kepala

ular beracun itu dihantamkannya ke sebuah batu yang 
terletak di tepi jalan. 
Terdengar suara berderak nyaring yang disertai 
percikan darah segar. Tanpa ampun lagi, kepala ular itu 
langsung pecah, dan mati seketika itu juga. Hebatnya, 
semua gerakan itu hanya dilakukan seke-jap mata saja. 
Sehingga, Arum sendiri tidak menge-tahui, ular itu tiba-
tiba saja mati dengan kepala pecah. Karena matanya 
memang tidak mampu me-nangkap apa yang dilakukan 
sosok bayangan putih itu. 
Setelah melempar bangkai ular itu jauh-jauh, so-sok 
bayangan putih yang ternyata seorang pemuda tampan 
itu, bergegas menoleh ke arah Arum. Senyumnya yang 
penuh pesona terukir bersamaan dengan tangannya 
teralur untuk menolong gadis itu bangkit. 
Karena belum terlepas dari rasa takut yang 
menguasainya, Arum mengulurkan tangannya bagai 
orang linglung. Kedua kakinya terlihat masih geme-tar 
ketika ia mencoba untuk berdiri. Tentu saja tu-buhnya 
jadi limbung, mungkin saja tubuhnya ter-jatuh kalau 
saja tangan pemuda tampan itu tidak keburu 
menangkapnya. Dan, secara tak sengaja, tubuh ramping 
yang padat dan berkulit lembut itu jatuh ke dalam 
pelukan pemuda penolongnya itu. 
Arum yang belum hilang dari rasa terkejutnya ituj 
langsung menyembunyikan kepalanya di dada pemuda 
itu. Sebentar kemudian, terdengar sedu-sedannya, yang 
membuat dadanya turun nalk dan tergeser ke tubuh 
penolongnya. Hal itu dilakukan-nya dalam keadaan 
setengah sadar. 
"Sudahlah, Arum. Hentikan tangismu. Bukankah 
bahaya itu sudah lewat...?" bujuk pemuda tampan itu 
dengan nada lembut dan terdengar penuh kasih. Sambil 
berkata demikian, jemari tangannya berge-rak membelai

punggung gadis desa itu, yang sama sekali tidak 
terlindung pakaian. 
Karena selama hidupnya, Arum belum pernah 
merasakan sentuhan tangan laki-laki, karuan saja gadis 
desa yang Iugu itu tersentak kaget. Cepat ia 
menyentakkan tubuhnya dari pelukan penolongnya itu, 
ketika merasakan getaran aneh menyelusup ke seluruh 
bagian tubuhnya. 
"Maafkan aku.... Aku..., aku telah lupa diri, hing-ga 
lelah...," Arum tidak mampu melanjutkan uca-pannya, 
karena rasa jengah telah membuat kedua pipinya 
bersemu merah. Sehingga, gadis desa itu terpaksa 
menundukkan wajahnya sambil memilin-milin kainnya, 
tanpa sadar. 
Dan, Arum sendiri tidak menyadari sama sekali kalau 
kain yang dikenakan sebatas dada itu telah melorot, 
tampak gumpalan buah dadanya yang ra-num. 
Sehingga, pemuda tampan itu sempat mena-tap 
gumpalan bukit kembarnya dengan sinar mata berkilat 
aneh. 
"Tidak mengapa, Arum. Aku memaklumi keada-anmu 
yang masih terkejut oleh ular tadi," sahut pemuda 
tampan itu dengan gaya yang sangat memi-kat dan tutur 
katanya yang lembut. 
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui namaku...?" 
Tanya Arum yang merasa heran mendengar peno-
longnya itu telah mengetahui namanya. Sehingga, gadis 
desa itu terpaksa mengangkat kepalanya me-natap 
pemuda tampan itu. 
Deggg! 
Jantung di dalam dada Arum berdebar ketika me-lihat 
ketampanan wajah penolongnya. Tanpa sadar, 
ditatapnya sekujur tubuh pemuda itu. Rasa kagum-nya 
semakin bertambah, melihat tubuh penolong-nya yang

tegap dan gagah. Apalagi pakaian yang dikenakannya 
terlihat dari bahan mahal. 
"Mengapa, Arum? Apakah diriku menakutkan, 
sehingga kau menjadi terkejut?" kembali terdengar suara 
lembut pemuda tampan itu, menyadarkan Arum dari 
pesona yang menguasainya. 
"Tuan pasti orang kota. Pakaian yang Tuan kena-kan 
bagus sekali. Harganya pasti mahal," ucap bibir mungil 
Arum yang rupanya telah lupa kalau per-tanyaannya 
belum dijawab pemuda tampan itu. 
"Kalau kau suka, aku bisa membelikannya ke kota. 
Kau mau...?" ujar pemuda tampan itu sambil 
melemparkan senyum manisnya. Ucapan itu disertai 
dengan uluran kedua tangannya yang langsung me-
megang kedua bahunya yang telanjang. 
Pemuda tampan yang tak lain Pradipta itu, ter-senyum 
senang ketika merasakan bahu lembut ber-kulit halus 
itu tampak bergetar karena sentuhan-nya. Kenyataan itu 
membuat Pradipta tambah be-rani dan meremas 
perlahan bahu gadis desa yang lugu itu. 
"Ah, tidak..., jangan, Tuan. Aku..., aku...." 
'Tidak mengapa, Arum. Kalau kau suka, katakan saja. 
Aku akan membelikannya dengan senang hati," ujar 
Pradipta yang masih terus meremas ke-dua bahu Arum. 
Sehingga tubuh gadis itu kian menggeletar. Dan sebagai 
orang yang berpengala-man dalam menghadapi wanita, 
Pradipta pun tahu kalau Arum telah tertarik padanya. 
Hanya mungkin karena ia adalah seorang gadis desa. 
Maka, pera-saan malunya telah membuat gadis itu 
bertahan sekuat tenaga. 
"Bukan..., bukan itu maksudku, Tuan. Tapi..., aku 
malu kalau sampai terlihat orang...," ucap gadis manis 
Itu dengan napas serasa sesak. Dengan perlahan, Arum 
mencoba meronta dari pegangan penolongnya Itu.

Kemudian melangkah mundur beberapa tindak dengan 
wajah pucat bercampur merah. 
Arum kembali mundur empat langkah, ketika 
bayangan wajah kekasihnya melintas di benaknya. 
Meskipun kekasihnya memang tidak setampan dan 
segagah pemuda penolongnya itu. Namun kesetia-annya 
membuat hati gadis itu tidak terpedaya oleh 
penolongnya. 
Pradipta kembali tersenyum memikat. la sama sekali 
tidak mengejar Arum. Pemuda tampan berwatak cabul 
yang menyembunyikan silat aslinya di balik kelembutan 
dan pakaian indah itu, hanya menatap gadis itu dengan 
sinar mata kagum. Melihat dari sikapnya yang tidak 
kasar dan tidak terburu nafsu itu, jelas Pradipta 
merupakan seorang Pemetik Bunga yang telah 
berpengalaman. 
Meskipun dalam dunia persilatan ia dijuluki se-bagai 
Kumbang Merah. Namun, orang jarang me-ngetahui 
tentang dirinya. Siapa yang mau percaya kalau pemuda 
setampan dan segagah Pradipta suka menodai anak-
anak gadis orang. Dengan wajah tampan dan 
penampilannya yang mewah itu, gadis mana yang tidak 
akan tertarik kepadanya. Ditam-bah lagi dengan 
sikapnya yang lembut dan pandai merayu. Sukar 
rasanya untuk dipercaya kalau Pradipta sebenarnya si 
Kumbang Merah yang telah menggemparkan wilayah 
Selatan dengan ulahnya. 
Karena di Wilayah Selatan ruang geraknya kian 
terbatas, maka pemuda tampan berwatak keji itu 
merantau ke Wilayah Barat. Di daerah yang baru ini 
tidak banyak orang yang mengetahui tentang diri-nya. 
Dan, ia pun kembali membuat ulah. Kali ini sasarannya 
adalah Arum, gadis Desa Magetan yang lugu, dan tidak 
tahu sifat licik kaum persilatan golongan sesat itu.

Apalagi gadis desa itu sama sekali tidak mengetahu 
tentang persilatan. Maka, wajar saja kalau ia tidak sadar 
bahwa dirinya te-ngah diincar pemuda penolongnya itu. 
Dan, Arum pun sama sekali tidak mengetahui kalau 
munculnya ular beracun itu. Karena ulah dan 
kecerdikan Pra-dipta. Meskipun Pradipta dikenal sebagai 
penjahat Pemetik Bunga, namun ia tidak mau memaksa 
kor-bannya. Semua korban-korbannya secara suka rela 
menyerahkan diri ke dalam pelukannya. Juka ia 
menemukan gadis yang menimbulkan hasratnya, tapi 
sulit ditundukkannya, maka Pradipta tidak se-gan-segan 
menggunakan ilmu sihirnya. 
Tapi, pemuda berwatak cabul itu tidak ingin 
menggunakan ilmu sihirnya. Karena sekali pandang saja, 
ia sudah dapat me-nebak kalau gadis desa itu akan suka 
menyerahkan dirinya, bila ia mencoba menjerat gadis 
desa yang Iugu itu dengan ketampa-nan dan kelembutan 
sikapnya. Dan, ia yakin akan berhasil baik. 
"Kau takut kepadaku, Arum?" ujar Pradipta dengan 
senyum yang menghias wajahnya. "Apakah diriku mirip 
dengan seorang penjahat yang suka mengganggu 
wanita? Dan, bukankah kalau aku mau hal itu sangat 
mudah kulakukan dengan kepandaianku?" 
"Sama sekali tidak, Tuan. Tapi..., aku sudah 
mempunyai ke-kasih. Aku tidak ingin kalau per-buatan 
Tuan tadi dilihat penduduk desa ini. Mereka pasti akan 
mengadukannya kepada kekasihku," bantah Arum yang 
merasa tidak enak karena telah berhutang budi dengan 
pemuda tampan, yang telah menyelamatkan dirinya dari 
bahaya. 
"Ah, kekasihmu itu pasti sangat tampan dan ka-ya. 
Tentu saja aku tidak ada artinya jika diban-dingkan 
dengan pria pujaanmu itu. Ah, betapa ber-untungnya 
pria yang mendapatkan cintamu itu. Arum. Andai saja

pria yang mendapatkan cintamu itu adalah aku, 
alangkah bahagianya," ucap Pradip-ta yang mulai 
melancarkan aksinya dengan ucapan-ucapan berupa 
penyesalan. "Sayang kita terlambat berjumpa. Kalau saja 
aku bertemu denganmu lebih dulu, tentu aku tdak akan 
membiarkanmu sendi-rian melewati tempat ini. Engkau 
terlalu cantik un-tuk dilepaskan seorang diri, Arum," 
lanjut pemuda berwatak cabul itu dengan disertai 
desahan napas panjang. Bahkan, dengan pandainya 
Pradipta meru-bah raut wajahnya menjadi murung dan 
tampak sangat sedih. 
"Tapi, Tuan, aku hanyalah gadis desa yang bosoh dan 
miskin. Sedangkan Tuan hanya pantas men-dampingi 
wanita-wanita kota atau putri seorang adi-pati. 
Bagaimana mungkin aku dapat disamakan dengan 
mereka?" bantah Arum yang mulai terpan-cing dengan 
ucapan-ucapan Pradipta. 
Bantahan itu dilontarkan Arum untuk menyem-
bunyikan perasaan hatinya yang tengah dilanda rasa 
kasmaran. Wanita mana yang tidak bangga mendapat 
seorang pemuda tampan seperti Pradipta? Apalagi gadis 
desa seperti Arum, tentu saja hatinya melambung 
mendengar kata-kata penolongnya itu. 
"Ah, aku tidak tahu. Meskipun wajah gadis-gadis kota 
cantik-cantik, namun tidak ada sinar yang menghiasi 
parasnya. Dan, semua itu hanya terlihat pada wajahmu. 
Arum. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta 
begitu melihatmu. Kalau saja aku bisa mendapatkan 
cintamu, hari ini juga aku akan melamar ke orang 
tuamu. Dan, tidak akan ku-biarkan kau berjalan seorang 
diri seperti sekarang ini," ujar Pradipta melangkah maju 
perlahan-lahan. Karena gadis itu memperhatikan 
ucapannya, maka langkah kaki pemuda itu tidak begitu 
diper-hatikan Arum.

Sedangkan hati gadis desa yang lugu itu, se-makin 
berdebar mendengar kata-kata penolongnya itu. 
Sehingga, Arum semakin lupa dengan bayangan 
kekasihnya. Jelas, gadis desa itu semakin terpenga-ruh 
dengan rayuan pemuda cabul itu. 
"Arum..., maukah kau menerima cintaku...?" Ta-nya 
Pradipta yang telah berada dua tidak didepan gadis itu. 
Sedangkan Arum sendiri tidak mendengar pertanyaan 
pemuda tampan itu. Karena ia tengah terbuai dengan 
lamunan-lamunan yang indah tentang kehidupan 
penolongnya yang diduganya anak orang hartawan yang 
kaya raya. 
"Tapi, bagaimana dengan...." 
"Pemuda itu tidak mencintaimu dengan sepenuh hati, 
Arum. Buktinya ia tidak mau menjagamu. Le-bih baik 
ikutlah bersamaku, Arum. Aku akan selalu menjagamu, 
dan tidak akan pernah meninggalkan-mu seorang diri," 
bujuk Pradipta memotong kalimat yang akan diucapkan 
gadis itu. Sedangkan sepa-sang tangannya kembali 
berada di kedua bahu gadis desa yang lugu itu. 
Hati pemuda cabul itu bersorak ketika ia tidak la 
merasakan perlawanan dari Arum. Dibalasnya tata-pan 
mata gadis desa itu dengan sorot mata lembut 
membayangkan kasih yang dalam. Sehingga, hati gadis 
itu semakin terbuai. 
"Tapi, apakah kau benar-benar menyayangiku, 
Kakang...?" Tanya Arum dengan wajah bodoh. 
"Katakanlah, apa bukti yang kau inginkan? Apa-kah 
aku harus mengeluarkan hatiku dengan cara membelah 
dadaku ini? Katakanlah, aku akan menu-rutinya, demi 
kau, Arum," tegas Pradipta yang sudah merasa yakin 
kalau korbannya telah masuk kedalam perangkapnya.

"Iiih, jangan, Kakang. Aku ngeri membayangkan-nya," 
sergah gadis desa yang lugu itu dengan mimik wajah 
yang diliputi perasaan ngeri. 
"Kalau begitu biarlah kubuktikan dengan ini.” 
 setelah berkata demikian, sebelum Arum menya-
darinya, Pradipta telah mengecup bibir Arum den sangat 
perlahan dan penuh perasaan. Kemudian di-lepaskannya 
kembali. Lalu, dipandangnya bibir yang merona merah 
itu lekat-lekat. 
Kecupan lembut yang belum pemah dirasakan gadis 
itu, selama hidupnya. Membuat diri gadis desa itu 
bagaikan melambung ke angkasa. Sayang, sebe-lum 
menyadari kenikmatan itu sepenuhnya, Pra-dipta telah 
melepaskannya. Diam-diam hati Arum mengharapkan 
agar penolongnya itu mengulangi perbuatannya lebih 
lama. Semua keinginannya itu tentu saja tidak 
diucapkan melalui kata-kata. Na-mun, semua itu dapat 
dilihat Pradipta. 
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Pradipta 
kembali mengulangi perbuatannya. Pemuda itu se-ngaja 
melakukannya lebih lama dari semula, dengan maksud 
untuk memancing sambutan gadis desa yang lugu itu. 
Hati pemuda cabul itu bersorak ke-tika sepasang lengan 
Arum memeluk erat tubuhnya. Sepertinya gadis itu tidak 
ingin membiarkan sang Penolongnya melepaskan 
ciumannya sebelum ia sempat merasakannya. 
Sadar kalau pancingannya telah mengena, maka 
Pradipta pun mulai menimbulkan rangsangan gadis desa 
itu. Setelah Arum benar-benar terlena dibuat-nya, 
dibawanya tubuh ramping yang padat itu ke tepi jalan 
dan direbahkannya di atas rerumputan te-bal. 
Selanjutnya, si Kumbang Merah pun menghisap sari 
madu bunga desa itu dengan lahapnya. Sedang sang 
bunga tidak sadar kalau kumbang itu hanya sekadar
singgah untuk kemudian kembali terbang mencari bunga 
segar lainnya. 
***
EMPAT

Lelaki setengah baya itu tergesa-gesa berjalan 
menyusuri tegalan menuju ke Desa Magetan. Saat itu 
hari baru saja menjelang petang. Menilik dari pakaian 
yang penuh Iumpur dan cangkul di bahu kanannya jelas 
kalau lelaki itu adalah seorang pe-tani. Sepertinya petani 
tua itu terburu-buru pulang ke rumah. Sedangkan para 
petani lainnya tampak masih sibuk mengurus sawahnya. 
Begitu memasuki Desa Magetan, petani tua itu 
langsung memasuki tempat tinggalnya. Tak lama 
kemudian, terlihat ia tergo-poh-gopoh keluar dengai 
wajah cemas. 
"Kau tidak melihat Arum, Nyai...?" Tanya petani 
setengah baya itu kepada seorang wanita berwajah bulat 
telur, yang mempunyai tali lalat pada dagi kirinya. 
"Tadi sewaktu di sungai, Arum pulang lebih da-hulu, 
Ki Aku kira ia telah di rumah," jawab wanita itu dengan 
wajah bingung. Karena jelas temannya itu telah kembali 
lebih dahulu, dan berpamitan kepadanya. 
"Aiiih, ke mana anak itu? Tidak biasanya ia pergi tanpa 
pamit? Istriku bilang ia belum pulang dari mencuci di 
sungai. Hm... Apakah Ki Ringgo sudah pulang dari 
menjenguk sanak keluarganya yang di kota?" Tanya 
petani bertubuh kekar itu dengan wajah penuh liarap. 
"Ah, benar! Siapa tahu Tuan Muda Jiwala telah 
menjemputnya, atau mengajak ke rumahnya, Ki," lawab 
wanita itu seraya melanjutkan menyapu hala-man, 
setelah petani tua itu pergi tanpa pamit. 
Kedatangan orang tua Arum, tentu saja membuat Ki 
Ringgo sekeluarga menjadi terkejut. Apalagi, le-laki 
bernama Ki Sukriya itu menanyakan perihal anak 
gadisnya. Karuan saja Jiwala yang berdiri de-kat dengan 
ayahnya menjadi kalang-kabut. Karena la baru saja mau

menjenguk kekasihnya dengan menenteng hadiah yang 
dibawanya dari kota. 
"Kapan Arum pergi, Paman...?" Tanya Jiwala yang 
ingin mengetahui perihal kepergian kekasihnya. Tampak 
kecemasan membayang pada wajah pemu-da itu, karena 
hatinya merasa tidak enak mende-ngar kekasihnya 
lenyap tanpa diketahui seorang pun. 
"Hm..., kalau sampai sore ini ia belum kembali, pasti 
ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Apa-lagi kau 
bilang, anakmu itu pulang lebih dulu sebe-lum kawan-
kawannya selesai mencuci. Hayo, kita harus segera 
mencarinya...!" terdengar Ki Ringgo mengeluarkan 
perintahnya. Sedangkan ia sendiri langsung nyiapkan 
para pembantunya. 
Ki Ringgo segera memecah para pembantunya menjadi 
tiga kelompok. Masing-masing dari mereka, terdiri 
sekitar sepuluh atau lima belas orang. 
"Kau tunggulah di rumahmu, Ki Sukriya. Begitu kami 
menemukannya, langsung dikabarkan kepada-mu," ujar 
Ki Ringgo sebelum melakukan pencarian. 
"Baik, Ki..." sahut petani setengah baya itu dengan 
wajah tetap mencerminkan rasa cemas. 
 Namun, ia agak sedikit tenang setelah melihat kepala 
desanya sendiri langsung turun tangan men-cari 
putrinya. Dan, petani tua itu hanya dapat me-ngiringi 
kepergian orang-orang Ki Ringgo dengan tatapan penuh 
harap. 
Jiwala, putra sulung Ki Ringgo yang menjadi ke-kasih 
Arum, bergerak ke sebelah Timur desa dengan membawa 
dua belas orang pembantu ayahnya. Pemuda bertubuh 
sedang dan berwajah keras itu, sengaja menyusuri jalan 
yang biasanya digunakan gadis itu lewat seusai mencuci 
pakaian dari sungai.

Sebagai orang yang paling dekat dengan Arum, dan 
sering jalan bersama dengan gadis itu. Jiwala pun tahu, 
jalan-jalan yang sering dilalui kekasihnya itu. 
Ketika melewati jalan setapak, yang hanya cukup 
dilalui seekor kuda, tiba-tiba Jiwala mengangkat ta-ngan 
kanannya sebagai tanda agar rombongannya berhenti. 
Kemudian, pemuda itu bergegas melompat turun dari 
punggung kudanya. Dengan pandangan curiga, 
diamatinya sebuah batu di tepi jalan yang tampak 
bernoda darah itu. Melihat dari sikapnya, tentu saja 
putra sulung Ki Ringgo itu merupakan orang yang sangat 
teliti. Sehingga, dalam melaku-kan pencarian, ia benar-
benar sangat memperhati-kan keadaan sekelilingnya. 
"Hm...." 
Jiwala bergumam tak jelas ketika selesai meme-riksa 
noda darah di batu itu. Seraya mengedarkan 
pandangannya berkeliling dengan penuh ketelitian. 
Laksana seorang pencari jejak yang ulung, pemu-da 
bertubuh sedang dan padat itu, bergegas bangkit dan 
memeriksa rerumputan di sekitarnya. Meskipun tidak 
mengetahui secara jelas tentang darah di batu itu, 
namun kecurigaannya membuat pemuda itu meneliti 
lebih seksama. Menurutnya, dalam melaku-kan 
pencarian atau penyelidikan, orang harus men-curigai 
segala sesuatu. Kendati sesuatu itu tidak berarti bagi 
orang lain. 
Kening pemuda itu berkerut ketika menyibak se-buah 
rumput semak betukar, ditemukannya rerum-putan 
yang rebah dan terlihat cukup lebar. Sekilas pandang 
saja, Jiwala dapat menduga kalau di tem-pat itu telah 
terjadi pergumulan. 
Setelah agak lama duduk meneliti, kembali Ji-wala 
bergerak bangkit dan meneliti jejak-jejak yang tertinggal 
di sekitar tempat yang dicurigainya itu. Ketika la

menemukan jejak telapak kaki menuju ke Barat Desa 
Magetan, cepat diperintahkan rombo-ngannya untuk 
menerobos semak belukar dan mengikuti jejak telapak 
kaki itu. Untunglah tanah di sekitar tempat itu sangat 
lembab, sehingga orang yang melintasinya akan 
meninggalkan bekas-bekas telapak kaki. 
Karena semenjak berusia lima belas tahun ia telah 
sering bermain-main di sekitar desanya, maka tidak 
heran kalau Jiwala mengenai baik seluruh wilayah desa 
kekuasaan ayahnya itu. 
Ketika arah yang ditempuhnya mulai memasuki 
sebuah hutan kecil di sebelah Barat desa ini, inga-tan 
Jiwala langsung tertuju pada sebuah pondok sederhana, 
tempat yang sering digunakan untuk melepas lelati 
setelah berburu. 
Jiwala dengan cekatan menghubung-hubungkan 
segala se-suatu penemuannya, segera timbul rasa cemas 
dalam dirinya terhadap nasib yang menimpa kekasihnya. 
Sejenak pemuda itu memejamkan ma-tanya, takut 
membayangkan kalau dugaannya itu menjadi kenyataan. 
Segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu, meskipun 
semua yang ditemukannya mendekati ciri-ciri 
dugaannya. 
"Heyaaa...!" kecemasannya yang semakin hebat itu, 
membuat Jiwala membedal kudanya sambil me-mukul 
keras bagian belakang tubuh binatang tung-gangannya 
itu. Sehingga, kudanya melonjak kaget dan langsung 
melesat menerobos jalan setapak, yang di kiri-kanannya 
banyak menjulur dahan-dahan pohon 
Bagaikan orang yang hilang ingatan, pemuda itu 
membedal kudanya sambil mengobat-abitkan pe-dang 
untuk menghalau semak belukar di kiri-kanannya. Tidak 
dipedulikannya duri-duri halus yang menggores lengan

dan tubuhnya. Karena yang terlintas dalam benaknya, 
segera menemukan Arum. 
Setibanya di halaman sebuah gubuk kayu, yang 
tampak rusak di sana-sini karena hampir tidak ter-pakai 
lagi, Jiwala melompat turun dari atas pung-gung 
kudanya. Dengan pedang telanjang, pemuda itu 
melangkah hati-hati mendekati pintu pondok yang 
setengah terbuka. 
Hati Jiwala bergemuruh bagai ombak di lautan ketika 
melihat adanya tanda-tanda penghuni di da-lam gubuk 
setengah reyot itu. Semua itu tampak dari Jejak-jejak 
baru yang tertinggal di lantai papan dengan gubuk itu. 
Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat 
agar rombongannya segera menyebar dan mengepung 
gubuk kayu itu. Setelah gubuk itu dikepung ketat, 
Jiwala langsung mendobrak pintu kayu itu dengan 
sebuah tendangan keras. 
Terdengar suara berderak ribut ketika tendangan 
Jiwala menghancurkan pintu kayu gubuk itu. Se-
dangkan pemuda itu sendiri langsung melompat dan 
menjejakkan kedua kakinya ruangan di tengah. 
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan tubuh-nya 
hampir terlompat keluar ketika menyaksikan apa yang 
terjadi di tengah gubuk itu. 
"Arum...!" 
Bagaikan orang yang hilang ingatan, Jiwala ber-teriak 
melengking menyaksikan pemandangan yang 
terpampang didepan matanya. Kulit wajah pemuda itu 
tampak merah dan pucat. Giginya bergemele-tukan 
menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam 
dirinya. Sehingga, Jiwala sendiri tidak tahu apa yang 
dirasakannya saat itu. 
Empat langkah di depannya, tampak tubuh keka-
sihnya tergeletak dengan kain yang tidak karuan.

Sementara wajah gadis itu terlihat pucat dan kusut. 
Jelas, kalau kekasihnya itu telah mengalami suatu 
kejadian yang sangat mengerikan! Dan, apa yang 
diduganya tidak meleset sama sekali! 
Bagaikan harimau luka, Jiwala meraung keras. Entah 
menangis atau berteriak marah. Karena sua-ra yang 
keluar dari kerongkongannya terdengar seperti rintihan, 
dan teriakan marah. Semua itu aki-bat pukulan batin 
yang terlampau berat dialaminya. 
Belasan orang pengikut Jiwala terkejut mende-ngar 
suara raungan keras itu. Beberapa di antara mereka 
yang pemberani, langsung berlompatan ma-suk. Karena 
mereka mengkhawatirkan sesuatu yang menimpa putra 
kepala desanya. 
Ketika mereka tiba di ruangan tengah, ternyata yang 
dilihatnya tubuh Jiwala, tengah terbungkuk dan 
mendekap tubuh seorang wanita. 
"Den...," seorang di antara enam lelaki pengikut Jiwala 
itu, memberanikan diri menegur. "Lebih baik kita bawa 
saja tubuh Arum ke desa. Biar Ki Sukriya dan Ki Ringgo 
dapat memeriksanya. Siapa tahu Arum masih bisa 
disembuhkan. Bukankah ia masih hidup?" Tanya lelaki 
berkumis lebat itu ragu-ragu. 
Jiwala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun. 
Dengan tubuh yang tegang, pemuda itu bang-kit 
perlahan. Meskipun tidak ada suara isak yang keluar 
dari kerongkongannya, namun jelas Jiwala mengalami 
kesedihan yang sangat hebat. Tercermin dari butir-butir 
air bening yang membasahi wajah-nya. 
"Bangsat keji...! Biadaaab...!" 
Bagaikan orang kemasukan setan, tiba-tiba Jiwa-la 
berteriak mengguntur, dan langsung melompat ke arah 
dinding kayu pondok itu. Tanpa peduli dengan 
pandangan heran serta cemas para pengikutnya,

pemuda itu mengamuk seperti ingin merobohkan gubuk 
tua itu. 
Sadar kalau tidak segera bertindak cepat tubuh Arum 
bisa terkena pecahan-pecahan kayu yang ber-hamburan, 
maka para pengikut Jiwala pun segera membawa tubuh 
gadis desa yang malang itu keluar. Lalu, 
membaringkannya di atas rerumputan tebal di bawah 
sebatang pohon besar. 
Tidak berapa lama kemudian, di antara gemuruh-nya 
suara pondok yang hendak roboh itu, melesat bayangan 
Jiwala menerobos kepingan-kepingan kayu. Kemudian, 
tubuh pemuda itu terjatuh dengan bertumpukan pada 
kedua lututnya. Sedangkan se-kujur tubuhnya terlihat 
bersimbah peluh. 
"Den...," lelaki gemuk berkumis tebal yang meru-
pakan pembantu setianya itu, bergegas menangkap 
tubuh Jiwala yang tiba-tiba saja roboh ke tanah. 
Jiwala yang melampiaskan kesedihan dan kema-
rahannya terhadap kejadian yang menimpa kekasih-nya 
itu, telah kehabisan tenaga. Meskipun lelaki berkumis 
tebal itu berusaha membantunya bang-kit, namun kedua 
kaki pemuda itu tidak juga mau tegak. Terpaksa tubuh 
majikan mudanya itu dipon-dong, dinaikkan ke 
punggung kudanya dengan posisi tengkurap. 
Lelaki berkumis lebat itu, segera mengambil alih 
pimpilnan rombongan, dan bergerak meninggalkan 
pondok tua yang telah hancur diamuk Jiwala. Se-
dangkan Arum yang sudah menjadi mayat itu, di-
naikkan ke atas punggung kuda lainnya. Lalu, rom-
bongan itu bergerak menuju desa. 
***

Ki Ringgo yang telah tiba di desa lebih awal, langsung 
me-nyambut kedatangan rombongan putra sulungnya. 
Wajah orang tua itu mengelam ketika menyaksikan dua 
sosok tubuh tergantung lemah di atas punggung kuda. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tua gagah 
itu segera memerintahkan pembantu-pembantunya 
untuk mengangkat tubuh Jiwala dan Arum ke dalam 
bangunan rumahnya. 
Hati Kepala Desa Magetan geram sekali ketika 
mengetahui apa yang telah menimpa Arum, sebelum 
gadis itu tewas. Wajah lelaki tua yang masih nam-pak 
gagah itu menjadi keruh. Sorot matanya tampak tajam 
dan menyiratkan kemarahan yang terpendam di hatinya. 
"Apa yang kau ketahui dari kejadian yang me-nimpa 
kekasihmu ini, Jiwala? Apa kau tidak mene-mukan 
tanda-tanda yang mungkin dapat menun-jukkan pelaku 
yang bertindak biadab ini?" Tanya Ki Ringgo menatap 
tajam wajah putranya yang pucat itu. 
Jiwala yang telah disadarkan ayahnya, sejenak 
menundukkan kepala dengan helaan napas berat. 
Ditekannya rasa sakit dalam dadanya dengan tarikan 
napas panjang. 
"Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ayah. 
Sebab, tidak ada sesuatu tanda-tanda di tempat Itu yang 
bisa dijadikan petunjuk. Ini pasti bukan ulah orang-
orang desa, Ayah," jawab Jiwala menatap orang tuanya 
dengan wajah sayu. 
"Hm..., mungkin tanpa sepengetahuan kita, desa ini 
telah kedatangan seorang penjahat cabul. Dan, secara 
kebetulan ia melihat Arum berjalan seorang diri setelah 
mencuci di sungai. Gadis malang ini pasti diseret dan 
dibawa dengan paksa ke gubuk di tengah hutan ini," ujar 
Ki Ringgo dengan wajah muram. Sejenak lelaki tua itu

menoleh ke arah pembantu yang bertubuh kekar dan 
bercambang bauk lebat. 
"Sepengetahuanku, selama Aki dan Den Jiwa pergi, 
desa ini tidak kedatangan tamu dari luar. Jadi kalau 
memang ada dugaan tindakan biadab itu dilakukan oleh 
orang asing, tentu ia kebetulan lewat dan tidak mungkin 
singgah di Desa Magetan ini," sahut lelaki bertubuh 
kekar itu tanpa ditanya lagi. Karena selama kepergian 
kedua majikannya Itu, ia dilimpakan wewenang untuk 
memimpin desa. 
Pada saat mereka tengah berbincang-bincang, seorang 
lelaki setengah baya menerobos masuk dengan wajah 
bersimbah peluh. Dari deru napasnya yang tersengal-
sengal, dapat diduga kalau orang tua itu datang dengan 
berlari-lari. Dan, lelaki tua itu tidak lain ayahnya Arum, 
Ki Sukriya. 
"Mana..., mana anakku...?" Ki Sukriya langsung 
berteriak-teriak sambii mengedarkan pandangannya ke 
sekeliling ruangan tengah itu. Dan, ketika di sudut 
sebelah kiri ruangan itu matanya melihat sesosok tubuh 
tertutup kain putih, orang tua Itu segera menghambur 
dan menyingkapnya. Kemu-dian, terdengar suara 
keluhan dan rintihannya yang tertahan. Arum adalah 
anak petani itu satu-satunya, dan yang menjadi 
tumpuan hidup mereka di hari tua. 
"Sudahlah, Ki. Meskipun kejadian ini tidak seo-rang 
pun yang mengetahuinya, tapi aku bertekad untuk 
mencari manusia keji itu. Dan, aku berjanji akan 
menghukum manusia bejad itu," ucap Ki Ring-go sambil 
menepuk perlahan punggung Ki Sukriya. 
"Aku ikut, Ayah...," Jiwala langsung menyahuti begitu 
mendengar niat ayahnya. 
"Tidak, Jiwala. Biar aku saja yang pergi. Sebab, aku 
tidak ingin kejadian seperti ini sampai terulang lagi di


desa kita. Dan, selama kapergianku, kuharap kau dan 
Wisna dapat menjaga keamanan dan keten-teraman desa 
kita ini," jawab Ki Ringgo dengan nada yang tidak ingin 
dibantah. Dan, Jiwala pun me-ngerti, sehingga ia tidak 
memaksakan kehendaknya. Apalagi alasan yang 
dikemukakan orang tua itu memang sangat tepat. 
"Kapan Ayah berangkat?!" Lanjut Jiwala tanpa 
maksud-maksud tersembunyi. 
"Hari ini juga. Sebab, menilik dari keadaan mayat 
Arum, pasti orang yang melakukan kebiadaban itu 
belum pergi jauh. Dengan berangkat secepatnya, aku 
berharap dapat menyusulnya. Dan, kalau me-mang 
diperlukan, aku akan minta pertolongan ka-wan-kawan 
dari rimba persilatan," jawab Ki Ringgo yang segera 
melangkah keluar untuk menyiapkan kudanya, setelah 
menyiapkan perbekalan yang diperlukannya dalam 
perjalanan panjang itu. 
"Percayalah, Ki. Aku akan berusaha membekuk 
bangsat keji itu...," kembali Ki Ringgo menghibur orang 
tua Arum, yang tengah duduk termenung seperti orang 
hilang ingatan. 
Bahkan ketika Ki Ringgo pamit, Ki Sukriya masih tetap 
membisu seolah-olah tidak memperhatikan lagi keadaan 
sekelilingnya. Setelah Ki Ringgo lenyap, Jiwala 
mengajaknya menguburkan mayat Arum, dan orang tua 
itu pun bangkit dengan langkah lesu. 
Sore itu juga, Jiwala dengan dibantu lelaki ber-
cambang bauk bernama Wisna, segera menyiapkan 
penguburan. Atas persetujuan Ki Sukriya, Jiwala 
menanam tubuh kekasihnya di halaman belakang 
gedung ayahnya. 
Alam mulai diselimuti kegelapan, ketika upacara 
penguburan itu selesai. Hanya angin dingin dan suara 
binatang malam yang masih menemani ma-kam Arum

Sedang orang-orang yang mengantarnya ke 
peristirahatan terakhir, ayahnya dan Jiwala telah 
kembali ke rumah masing-masing. 
***
LIMA

"Hm..., kali ini bidikanku pasti tidak akan me-
leset...,"gumam sosok bertubuh ramping dan beram-but 
panjang, seraya membidikkan anak panahnya ke tubuh 
seekor kijang muda. 
Twingngng! 
Anak panah yang terlepas dari busurnya itu, langsung 
melesat dengan suara berdesing nyaring, dan menuju 
sasarannya. 
Sayang, kijang muda yang tengah melepaskan dahaga 
di sebuah aliran sungai itu, sepertinya tahu bahaya yang 
tengah mengancamnya. Seketika itu juga, la langsung 
terlonjak, dan melesat dengan ke-cepatan kilat. Lalu, 
menghilang di balik gerombolan semak belukar. 
"Kurang ajar...!" desis sosok tubuh ramping itu 
mengumpat dengan wajah masam. "Rupanya hari ini 
nasibku sedang sial. Sudah lebih dari tiga kali membidik 
kijang, tapi aku gagal," sambil tak henti-hentinya 
mengumpat, sosok ramping yang ternyata seorang gadis 
muda itu, bergegas keluar dari balik sebuah pohon 
besar. 
"Sabarlah, Den Ayu," hibur salah seorang lelaki 
berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada hormat. 
Menilik dari sikap dan nada bicaranya, jelas lelaki itu 
seorang pembantunya. 
"Paman yakin kalau bidikan Den ayu sudah tepat 
sasarannya, dan pasti tidak akan meleset," sambung 
lelaki yang satunya lagi ikut menyahuti. 
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat yang pernah 
Paman ceritakan kepadaku? Bukankah di lembah 
sebelah Selatan hutan ini banyak terdapat binatang 
buruan? Mengapa kita tidak ke tempat itu saja? Ujar 
gadis berambut panjang dan berwajah cantik itu


mengingatkan janji salah seorang pem-bantunya. Dan 
tanpa menunggu jawaban lagi, ia se-gera melangkah 
mendahuluinya. 
Kedua orang lelaki yang usianya tidak berjauhan itu, 
saling bertukar pandang sejenak. Nyata sekali 
kebimbangan di wajah mereka. Bahkan, ada kegeli-
sahan dalam sorot mata kedua lelaki itu ketika me-lihat 
gadis junjungannya itu sudah melangkah lebih dulu. 
"Salahmu, Bawung. Mengapa tempat berbahaya 
seperti itu kau ceritakan kepada junjungan kita? 
Bagaimana kalau dia berkeras akan ke Sana? Ke-pala 
kita bisa terpisah dari badan, kelau sampai ter-jadi 
sesuatu dengan Gusti Ayu!" jelas lelaki bertu-buh sedang 
yang wajahnya ditumbuhi kumis jarang. 
Orang dipanggil dengan nama Bawung itu tidak 
membela diri. Kerena ia memang merasa bersalah, dan 
tidak mau mengingkari. Hanya saja wajah lelaki yang 
tinggi dan agak kurus itu, manjadi gelap dan resah. 
"Hei, mengapa kalian diam saja? Ayo, cepat...!" gadis 
cantik yang disebut-sebut sebagai Gusti Ayu itu, berseru 
ke arah kedua orang pembantunya. 
Lelaki yang bernama Bawung, bergegas menda-hului 
kawannya. Kemudian, ia langsung saja memo-hon maaf 
kepada junjungannya itu. Bawung tidak berusaha sama 
sekali menyembunyikan kegelisa-hannya. Dengan begitu, 
ia berharap dapat mence-gah niat Gusti Ayunya itu. 
"Ada apa, Bawung? Mengapa kau seperti orang 
terserang demam?" Tegur gadis cantik bermata galak itu 
yang merasa heran melihat kegelisahan pembantunya. 
"Anu, maaf, Gusti Ayu. Tempat itu..., terlalu ber-
bahaya. Kabarnya tempat itu telah didiami segerom-
bolan perampok kejam. Jadi, bagaimana kalau kita 
mencari tempat lain saja?" ujar Bawung mengusul-kan.

"Kalau memang ada tempat yang lain, boleh saja, 
Paman," sahut gadis cantik yang berambut panjang itu 
tersenyum, sekadar untuk menenangkan pera-saan 
pembantunya. 
"Tapi..., untuk hari ini, aku belum bisa menun-
jukkannya, Gusti Ayu. Sebab, tempat Itu... tempat itu...," 
Bawung tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kerena 
niatnya hanya untuk mengalihkan perhatian 
junjungannya saja. Maka, ketika didesak, lelaki ber-
kumis jarang itu pun, hanya dapat tersenyum kecut. 
"Kalau begitu, kita tetap ke tujuan semula...," te-gas 
gadis cantik itu sambil melangkah melewati Bawung. 
"Tapi..., Gusti Ayu...," Bawung masih berusaha 
mencegah keinginan junjungannya itu, sambil ber-lari 
dan mencoba kembali membujuknya. 
"Sudah! Kalau kalian berdua takut, aku bisa per-gi 
sendiri." Tiba-tiba saja gadis cantik Itu mendam-prat 
pembantunya dengan nada ketus. Kemudian, tanpa 
berkata apa-apa lagi, ia terus mengayun langkahnya. 
Bawung dan Gumpita terpaksa mengikuti langkah 
Gusti Ayu meski dengan perasaan cemas. Karena ikut 
atau tidak kemungkinannya sama saja bagi mereka 
berdua. Sehingga, mau tidak mau ke-dua lelaki itu 
menguntit di belakang junjungannya itu. 
"Berhenti...!" 
Ketika ketiganya mulai melintasi daerah perbuki-tan, 
mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring yang 
menggetarkan. Belum lagi ketiganya sempat menyadari, 
sosok-sosok bayangan hitam berlompa-tan dari balik 
batu dan atas pohon. Sekejap kemu-dian, ketiganya 
telah terkepung puluhan lelaki kasar yang berpakaian 
lusuh. 
"Hm..., rupanya hari ini aku ketiban untung besar. 
Pantas saja semalam aku bermimpi memeluk rembulan


Aiiih, tidak tahunya pertanda datangnya seorang dewi ke 
tempatku ini," salah seorang lelaki bertampang kasar itu 
berkata sambii melangkah ke arah gadis cantik bermata 
galak itu. Kemudian, langsung menguturkan tangan 
dengan maksud hen-dak menyentuh wajah gadis itu. 
"Hm..., mau apa kau, Orang Kasar?" Ujar gadis cantik 
itu dengan suara ketus, sambil menarik mundur 
tubuhnya sejauh dua langkah. Sehingga, uluran tangan 
lelaki itu tidak sampai menjangkau-nya. 
"Eh!?" 
Lelaki kasar yang memimpin puluhan orang itu, 
sempat ter-kejut ketika uluran tangannya luput. 
Padahal, meskipun terlihat sembarangan, namun jarang 
ia melihat orang yang mampu untuk meng-hindari 
uluran tangannya itu. Karena, bagi orang biasa, uluran 
tangan lelaki itu terlihat cepat dan sukar ditangkap 
mata. 
"Huh! Kau akan lebih terkejut lagi bila tahu dengan 
siapa kau sedang berhadapan saat Ini!" ucap gadis 
cantik itu lagi mencoba untuk menggertak le-laki kasar 
itu. Bahkan bibirnya yang merah, tampak 
menyunggingkan senyum sinis. 
"He he he..., jangan coba-coba untuk menggertak-ku, 
gadis cantik. Justru karena kau putri Adipati Sunggara, 
maka aku sengaja menghadang di sini. Dengan kau 
berada di tanganku, maka tua bangka itu tidak dapat 
lagi berbuat semaunya, mengirim pasukan untuk 
memberantas dan mengusir pergi kami dari daerah ini. 
Dan, ia pun harus mau mene-rimaku sebagai 
menantunya," sahut lelaki kasar yang rupanya seorang 
kepala rampok sambil ter-kekeh serak. 
"Hik hik hik...! Dasar orang hutan! Apa kau kira 
mudah menangkapku? Hm! Jangan-jangan justru kau 
sendiri yang akan terpanggang anak panahku ini," ujar

gadis cantik tidak mau kalah gertak. Usai berkata 
demikian, ia langsung menarik tali busur-nya. 
Namun, lelaki bertubuh tinggi kekar dan beram-but 
acak-acakan itu, sama sekali tidak merasa gen-tar. 
Sambil memperdengarkan tawa seraknya, ke-dua 
tangannya bergerak memberikan Isyarat agar segera 
menyerbu ketiga orang itu. 
Tanpa diperintah dua kali, gerombolan perampok yang 
berjumlah sekitar tiga puluh orang itu, lang-sung 
meluruk maju. Mereka berteriak-teriak seperti 
sekumpulan monyet lapar yang dilemparkan pisang. 
Namun, gadis cantik yang ternyata putri Adipati 
Sunggara itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dua buah 
anak panah yang terpasang di busurnya segera melesat, 
dan menembus leher dua orang pe-rampok, yang 
langsung berkelojotan tewas. Karena tidak mungkin 
menggunakan panahnya karena mu-suhnya kian dekat, 
maka gadis itu pun mencabut pedang yang tergantung di 
pinggang kirinya. 
Swingngng! 
Terdengar suara berdesing ketika senjata itu tercabut 
keluar dari sarungnya. Kemudian, diputar sedemikian 
rupa hingga membentuk gulungan sinar, yang 
bergulung-gulung dengan hebatnya. 
"He he he.... Ayo, mari perlihatkan kepandaianmu di 
hadapan Raja Kera Kulit Baja, Manisku...," ujar lelaki 
kekar berambut acak-acakan itu menyeringai buas. 
Sekali lompat saja, tubuh kekar itu telah ber-diri 
didepan gadis cantik itu. 
"Haiitt...!" 
Si gadis yang sadar kalau lelaki itu tidak mung-kin lagi 
untuk diajak damai, berseru nyaring dan langsung 
menusukkan pedangnya dengan kecepa-tan kilat! 
Whuuut!

Serangkum angin tajam berdesing mengiringi luncuran 
ujung pedang gadis cantik itu, yang meng-ancam 
lambung kanan lawannya. 
Takkk! 
"Aaah...!" 
Terkejut bukan main hati gadis itu ketika me-rasakan 
ujung pedangnya benar-benar seperti mem-bentur 
lempengan baja. Bukan hanya tubuh lawan-nya yang 
tidak terluka, tapi lengannya yang diguna-kan untuk 
menyerang terasa nyeri hingga ke pang-kal lengannya. 
Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangka-
nya. 
"He he he.... Mengapa terkejut, Manis? Ayo, puaskan 
hatimu. Dan, kau boleh pilih bagian yang paling lunak," 
ejek Raja Kera Kulit Baja sambil memperdengarkan 
kekehnya yang serak. 
"Keparat! Jangan merasa sombong dulu kau, Monyet 
Kudisan!" maki gadis cantik itu yang merasa jengkel 
mendengar ejekan lawannya. 
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, tubuh gadis 
itu kembali meluncur ke arah lawannya. Pe-dang di 
tangannya menyambar-nyambar ke sekeli-ling tubuh 
lawannya. Jelas, kalau gadis cantik itu tengah berusaha 
mencari bagian terlemah di tubuh lawannya. Namun, 
sampai lewat dua puluh jurus, ia belum juga berhasil 
mengetahui kelemahan di tubuh Raja Kera Kulit Baja. 
Sehingga, serangan-serangannya pun tampak mulai me-
ngendur. 
Sedangkan lawannya hanya tertawa terkekeh se-rak, 
sambil sesekali membalas serangan lawannya. Semenjak 
pertama kepala rampok itu memang se-ngaja tidak 
membalas serangan lawannya. la hanya mengelak jika 
bagian matanya diincar ujung pedang gadis itu. 
Sedangkan bagian-bagian lainnya, sama sekali tidak

dipedulikan. Dan, ketika tenaga gadis itu mulai terlihat 
surut, Raja Kera Kulit Baja mulai meluncurkan 
serangan-serangannya. 
Whuuut! Whuuut! 
Sepasang tangan kepala rampok yang panjang itu 
seperti tangan seekor gorila, menyambar-nyambar 
dengan cengkeraman atau totokan-totokan cepat. 
Sehingga, semakin lama, makin bertambah sibuklah 
gadis itu menghindari serangan lawannya. Sedang 
serangan-serangan balasannya tidak mempunyai arti 
sama sekali. Karena kekebalan tubuh yang di-miliki 
lawannya seolah-olah tidak mempunyai kele-mahan. Itu 
yang menyulitkan putri Adipari Sura-ngga. Maka, ia pun 
terpaksa harus pasrah untuk didesak lawannya. 
Di tempat lain, Bawung dan Gumpita tampak 
menderita luka di sekujur tubuhnya. Kedua orang lelaki 
gagah yang bertugas menjaga keselamatan putri 
junjungannya itu, bertarung seperti banteng luka. 
Pedang di tangan keduanya menyambar-nyambar 
bagaikan langan-tangan maut, yang siap mengirim 
nyawa la-wannya melayat ke akhirat. 
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk 
mempertahan-kan dirinya, namun kedua orang 
pengawal setia itu, terpaksa harus menyerah setelah 
bertempur hampir seratus jurus. Itu pun terjadi karena 
mereka hampir kehabisan tenaga. Sehingga, terpaksa 
mereka harus merasa puas dengan kor-ban-korban 
senjata mereka yang tidak kurang dari delapan orang 
Iawan. 
Bawung dan Gumpita menjerit setinggi langit, ketika 
masing-masing tubuh mereka ditusuk empat batang 
senjata dari segala arah! Darah segar memercik dan 
membasahi bumi seiring dengan terbangnya nyawa 
kedua orang pengawal setia putri Ambar Sukma itu.

Tubuh keduanya melorot ke tanah dengan mata 
terbelalak lebar. 
"Bawung...! Gumpita...!" gadis cantik itu berteriak 
kaget ketika mendengar jerit kematian kedua orang 
pengawalnya. Sementara, ia sendiri tengah berjuang 
keras untuk menyelamatkan dirinya dari serangan Raja 
Kera Kulit Baja, yang terus menyambar-nyambar 
mengincar tubuhnya. 
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keem-pat 
puluh, gadis cantik bernama Ambar Sukma itu, memekik 
tertahan. Dan pedang di tangannya ter-pental akibat 
sampokan telapak tangan lawannya. Belum lagj gadis 
cantik itu sempat menyadari bahaya, tiba-tiba 
pinggangnya telah kena cekal. Lalu, tubuhnya diangkat 
tinggi-tinggi oleh lawannya. 
"Aaah...!" 
Ambar Sukma menjerit ngeri. Tapi, jeritan itu bukan 
karena rasa takut akan kematian, melainkan disebabkan 
cekalan jari-jari tangan Iawan pada ping-gangnya. 
Sehingga, tubuh putri Adipati Surangga itu gemetar 
ketakutan. 
"He he he.... Sekarang kau tahu bukan, kalau Raja 
Kera Kulit Baja seorang lelaki perkasa. Nah setelah kau 
mengetahui, apakah kau masih ingin menolak? Atau kau 
lebih suka kalau aku melaku-kan paksaan?" ujar lelaki 
kepala rampok itu menye-ringai dari meneteskan air liur 
bagaikan binatang lapar. 
"Lepaskan gadis itu...!" 
Belum lagi Ambar Sukma menjawab ancaman kepala 
rampok itu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang 
menggetarkan. Bahkan, rasa ngeri yang dialami gadis itu 
sampai lupa. la menolehkan kepalanya dengan wajah 
penuh harap.

Raja Kera Kulit Baja pun menoleh ke arah asal suara 
dengan kening berkerut gusar. Seringainya yang semula 
lenyap karena bentakan keras tadi, kembali melebar. 
Karena yang dilihatnya hanyalah seorang pemuda 
tampan berpakaian mewah. Karuan saja kepala rampok 
itu memperdengarkan suara tawa mengandung ejekan. 
Kemudian kembali melanjutkan perbuatannya tanpa 
mempedulikan ke-hadiran pemuda tampan itu. 
Namun, lelaki tinggi besar dengan tubuh dipenuhi otot 
yang menyembul itu menoleh penuh kegeraman. Ketika 
ia mendengar jerit kematian yang membuatnya menjadi 
murka. Menolehkan kepala-nya nampak sesosok tubuh 
melayang ke arahnya. Tanpa pikir panjang lagi, 
disambutnya luncuran so-sok tubuh itu dengan 
hantaman telapak tangannya dengan pengerahan tenaga 
sepenuhnya. 
Buggg! 
Kepala rampok bertubuh kekar itu merasa heran. 
Karena hantaman telapak tangan mengenai sosok tubuh 
itu, namun tak sedikit pun sosok tubuh itu mengeluh 
apa-apa. Padahal jelas sosok tubuh itu terlempar dengan 
semburan darah segar dari mulut-nya. 
Belum lagi rasa keheranan kepala rampok itu le-nyap, 
kembali ia dikejutkan oleh sambaran angin tajam, yang 
berasal dari sebelah belakangnya. Sadar kalau serangan 
itu tidak bisa dipandang ringan, Raja Kera Kulit Baja 
bergegas menarik tubuhnya ke samping dengan langkah 
silang, dan setengah ber-putar. 
Bukkk! 
"Aaaih...!" 
Kaget bukan main hati kepala rampok itu! Karena 
usahanya untuk menghindar sia-sia, dan tetap saja 
terkena tendangan keras yang membuatnya mundur 
sampai menyeringai dan mengusap-usap dadanya.

Kemarahan Raja Kera Kulit Baja semakin bertam-bah 
meluap ketika gadis cantik yang berada dalam 
cekalannya, tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan, kini 
ia berada dalam kekuasaan pemuda tampan yang 
memperingatkannya agar melepaskan Ambar Sukma. 
Karuan saja darah lelaki kekar berwajah kasar mendidih 
di buatnya. 
"Keparat..!" desis Raja Kera sambil menolehkan 
kepalanya untuk memastikan orang yang dihantam 
dengan telapak tangannya. Sebab, pemuda itu ter-nyata 
telah berhasil membebaskan gadis cantik yang menjadi 
tawanannya. 
"Setan...!" 
Kali ini kemurkaan kepala rampok itu benar-benar 
sudah melewati batas! Karena sosok tubuh yang 
disambutnya dengan hantaman telapak tangannya, 
ternyata salah seorang pengikutnya sendiri. Dan, orang 
Itu tewas seketika. Entah karena hantaman telapak 
tangannya, atau memang telah tewas sewaktu melayang 
ke arahnya. Tapi, Raja Kera Kulit Baja tidak mau ambil 
peduli. Yang kini menjadi perhatiannya untuk 
menumpahkan kema-rahannya itu, justru pemuda 
tampan berpakaian mewah, yang kini membalas 
menatapnya dengan tidak kalah tajam. 
Ha ha ha.... Mengapa terkejut, Raja Beruk...?" tegur 
pemuda tampan itu sambii memperdengarkan suara 
tawanya yang lunak. Wajah tampan itu tam-pak semakin 
menarik ketika la tengah tertawa. Se-hingga, mau tidak 
mau Ambar Sukma yang berada di samping pemuda 
tampan itu menatap penuh kagum. 
Sedangkan kepala rampok itu sendiri, sudah 
menggereng bagai binatang luka. Tampak tubuhnya 
mulai direndahkan, persis seperti seekor kera besar yang

sedang murka. Sesekali tubuh kekar itu me-lompat-
lompat sambil menggaruk dan berteriak-teriak. 
Ambar Sukma yang melihat tingkah-laku kepala 
rampok itu, tak dapat menahan tawanya. Karena apa 
yang dilakukan lelaki kekar itu benar-benar sangat lucu 
dan menggelikan hatinya. 
Sedangkan kening pemuda tampan itu tampak 
berkerut, dan menatap penuh perhatian. la sama sekali 
tidak tertawa sebagaimana halnya Ambar Sukma. 
"Jurus Kera Gila...," desis bibir pemuda itu tetap tidak 
menunjukkan rasa gentar, meski keningnya masih 
berkerut. 
"Jurus Kera Gila...? Eh, kau mengenal gerakan monyet 
buruk itu, Kisanak? Ah, betapa tololnya aku. Kukira 
semua gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan dan 
tidak bermakna," gumam Ambar Sukma dengan wajah 
keheranan. Bahkan, suara tawanya pun lenyap, dan 
berganti dengan kekhawa-tiran. "Kita lari saja. Monyet 
buruk itu memiliki kepandaian yang tinggi, dan kebal 
terhadap senjata tajam. Aku takut kau celaka nanti, 
hanya ingin menolongku...," lanjut gadis cantik itu 
mengusul-kan. 
"Ah, terima kasih atas kecemasanmu terhadap diriku, 
Gusti Ayu. Tapi, demi keselamatan Gusti Ayu yang 
kupuja dan kujunjung tinggi, rasanya mati adalah suatu 
kehormatan besar bagiku. Apalagi Gusti Ayu berada di 
sampingku. Ah, tidak ada lagi yang bisa membuat 
Pradipta gentar, kendati harus menghadapi malaikat 
maut sekalipun!" sahut pemu-da tampan tersenyum, 
sambil menoleh dan menatap wajah canti Ambar Sukma. 
Terkejut dan juga bangga hati Ambar Sukma 
mendengar kata-kata yang diucapkan pemuda tam-pan 
itu. Namun, sebagai seorang putri Adipati, tentu saja 
perangai Ambar Sukma tidak bisa disamakan denga

gadis-gadis umumnya. Apalagi ia sudah ter-biasa dengan 
lingkungan orang-orang yang selalu tunduk dan 
mentaati perintahnya. Dan, kebiasaan itu membuatnya 
tak segan-segan mendesak pemuda tampan itu guna 
memberikan alasan yang tepat, sehubungan dengan 
ucapan-ucapannya. 
"Jadi, hanya karena aku seorang putri Adipati, maka 
kau ber-sedia menolongku? Dengan kata lain, kau tidak 
akan bersedia menolong kalau aku hanya gadis biasa, 
begitu...?" Tanya Ambar Sukma seperti ingin mengetahui 
isi hati pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu. 
'Tidak, Gusti Ayu. Alasan yang sebenarnya, karena 
aku jatuh hati melihatmu. Dan, demi mem-bela gadis 
yang telah mencuri hatiku, mati bukan-lah sesuatu yang 
harus ditakuti. Maaf, kalau aku telah lancang, Gusti 
Ayu...," ucap pemuda tampan, yang ter-nyata Pradipta 
itu, dengan nada halus. 
Ambar Sukma yang tidak mengenai sama sekali siapa 
sesungguhnya pemuda tampan itu, tentu saja hatinya 
berdebar girang. Namun, perasaan itu disembunyikan 
karena ia ingin mengetahui sampai sejauh mana rasa 
cinta pemuda itu. la tidak ingin pemuda itu mengetahui 
perasaannya, sebelum ia dapat memastikan 
kesungguhan hatinya untuk me-ngorbankan nyawa demi 
membela gadis yang dipujanya. 
"Hm..., kalau begitu, kau hadapilah Raja Kera Kulit 
Baja itu untuk membuktikan cintamu pada-ku...," ujar 
Ambar Sukma tanpa senyum. Seolah-olah pemuda itu 
adalah pembantunya, dan bukan penolongnya. Bahkan, 
sikap gadis cantik itu ber-ubah. Sepertinya ingin 
menunjukkan siapa diri yang sebenarnya, dan pemuda 
seperti apa yang pantas mendampinginya. 
Pradipta yang berjuluk si Kumbang Merah bu-kanlah 
orang bodoh. la sadar dengan keinginan dan maksud

tersembunyi gadis cantik itu. Tapi, kali ini ia tentu saja 
tidak mau main-main. Sebab. Apabila ia bisa menarik 
gadis seperti Ambar Sukma ke da-lam pelukannya, 
kehidupannya maupun martabat-nya pasti akan naik. 
Maka, ketika mendengar uca-pan Ambar Sukma 
Pradipta pun segera menyahuti. 
"Baik, Gusti Ayu. Akan hamba hadapi manusia kera 
itu...," setelah berkata demikian, Pradipta me-langkah 
maju menghampiri Raja Kera Kulit Baja. Kemudian 
berhenti dalam jarak sekitar satu tombak dengan 
tatapan tajam, diawasinya gerak-gerik lelaki kekar itu. 
***

ENAM

Raja Kera Kulit Baja pun membalas tatapan pemuda 
tampan itu dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan, 
sepasang mata yang berwarna merah saga itu, 
menyiratkan hawa maut. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi pekikan nyaring yang melengking tinggi, 
tubuh kekar itu melesat bagai kilat ke arah Pradipta. 
Sepasang tangannya, yang panjang dan ditumbuhi bulu-
bulu kasar itu, menyambar-nyam-bar dan menimbulkan 
deruan angin yang tajam ber-kesiutan. Jelas, tenaga 
yang tersembunyi di dalam sepasang lengan Itu sangat 
kuat dan berbahaya. 
Pradipta tetap berdiri dengan tenang tanpa gera-kan. 
Setelah memperhatikan tingkah laku dan gera-kan-
gerakan lelaki tinggi kekar itu, segera menge-tahui inti 
ilmu silat lawannya. Maka, ketika lawan-nya 
melancarkan gebrakan, pemuda tampan itu hanya 
menggeser tubuhnya sedikit, dan langsung mengirimkan 
serangan balasan dengan tamparan-tamparan maut. 
Terkejut bukan main hati Raja Kera ketika me-rasakan 
sambaran angin pukulan lawannya. Ia yang semula 
memandang rendah pemuda tampan itu, menjadi 
berdebar. Karena hatinya tidak tenang, maka lelaki 
kekar itu menjadi sibuk dan terdesak oleh serangan-
serangan balasan lawannya yang me-ngandung 
kekuatan hebat itu. 
Namun, kepala rampok itu temyata tidak dapat 
disamakan dengan penjahat-penjahat kasar biasa. 
Begitu merasakan kelihai-annya, ia cepat merubah 
gerakannya. Serangan-serangannya kali ini tampak 
kacau dan aneh. Persis seperti kera buas yang sedang 
murka.

"Haaait..!" 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke dua 
puluh satu, Raja Kera Kulit Baja mengeluarkan pe-kikan 
keras yang menggetarkan. Sepasang tangan-nya 
menyambar cepat, dan menimbulkan deruan angin yang 
tajam laksana sambaran pedang. Dan, langsung meluruk 
deras mengancam tubuh lawan-nya. 
Whuuut! Whuuut! 
Pradipta menarik mundur tubuhnya dengan lang-kah 
pendek. Sambaran cakar lawannya yang meng-ancam 
lambung dan tengkuknya, luput dan lewat sejengkal 
didepan tubuhnya. 
"Hiaaah...!" 
Gerakan Pradipta tidak hanya berhenti sampai disitu 
saja. Mendadak bentakan nyaring dilontarkan pemuda 
itu, dan langsung memutar tubuhnya deng tendangan 
melingkar. 
Bukkk! 
Hebat dan sangat cepat sekali tendangan yang 
dilontarkan pemuda tampan itu! Tubuh lawannya 
terpental seketika. Karena telapak kaki pemuda ttu 
menghantam telak dadanya. 
Namun, Kumbang Merah mau tidak mau harus 
mengakui kekebalan tubuh lawannya. Tendangan-nya 
yang keras dan menghantam telak, ternnyata hanya 
mampu membuat tubuh lelaki kekar itu ter-jajar 
mundur sejauh enam langkah. Padahal, me-nurut 
perhitungan, tubuh lelaki itu harus terjungkal jatuh dan 
memuntahkan darah segar. Ternyata tidak dialami sama 
sekali oleh kepala rampok itu. Hanya gerengan gusar 
yang terdengar meluncur dari sela-sela bibirnya yang 
bergetar Itu. 
Seperti tidak merasakan tendangan lawannya, lelaki 
kekar itu melompat dengan serangan yang lebih dahsyat

dan berbahaya! Tubuhnya yang tinggi besar itu, 
terkadang melompat-lompat seperti seekor kera gila. 
Bahkan, terkadang bergulingan di atas tanah, sambii 
melontarkan cengkeraman-cengkera-man yang 
berbahaya dan mengandung kekuatan yang bebat. 
Kali ini Pradipta tidak mau bertindak tanggung-
tanggung. Kedua tangannya diputar cepat hingga 
menimbulkan sambaran angin yang menerbangkan 
dedaunan kering. Seketika itu juga, tubuhnya yang tegap 
melesat bagai kilat, dan langsung mengirim-kan 
serangan-serangan dahsyat! 
Bukan main terperanjatnya hati kepala rampok itu 
ketika merasakan serbuan lawannya. Tangan pe-muda 
Itu seolah-olah menjadi puluhan banyaknya. Sehingga, 
la bagaikan terkurung di dalam lingkaran serangan 
pemuda Itu. 
"Gila...! Setan...!" Raja Kera kulit Baja memaki kalang-
kabut. Karena ruang geraknya semakin me-nyempit 
Bahkan, setiap kali melontarkan serangan balasan, 
sepasang tangannya selalu terpental. Se-olah-olah tubuh 
lawannya telah dikelilingi oleh ben-teng yang sangat 
kokoh. 
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ketiga 
puluh lima, Raja Kera Kulit Baja yang sudah tidak 
mampu lagi melontarkan serangan balasan, terpaksa 
merelakan tubuhnya digedor oleh telapak tangan 
lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu. 
Maka..., 
Blakkk! 
"Hukh...!" 
Raja Kera Kulit Baja mengeluh pendek ketika te-lapak 
tangan Kumbang Merah singgah di perutnya. Belum 
sempat ia mengatur posisi kudanya-kudanya, kembali 
sebuah pukulan Iawan menghantam telak dadanya.

Desss...! 
"Huakh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kekar itu lang-sung 
terlempar hingga dua tombak jauhnya. Darah segar 
menyembur dari dalam mulutnya. Lalu, tubuh raksasa 
itu terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk 
keras. 
Namun, kepala rampok itu lagi-lagi menunjukkan 
kekuatan daya tahan tubuhnya. Meskipun darah di 
sudut bibirnya telah meleleh dan menyeringai ke-
sakitan, namun lelaki itu berusaha bangkit dan ber-diri 
dengan tatapan mata yang mengancam. 
Pradipta sendiri, tidak ingin memberikan peluang 
kepada lawannya. Saat Itu juga, langsung melesat 
tubuhnya dengan dorongan sepasang tangannya. Dan.... 
Blaggg...! 
Hebat sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan 
pemuda tampan itu! Tubuh Raja Kera Kulit Baja yang 
tinggi besar itu, tersentak bagai dilempar-kan tangan 
raksasa! Tubuh kekar itu melayang dan menghantam 
pohon sebesar dua pelukan orang dewasa! 
Pohon besar itu berderak ribut, meskipun tidak roboh 
oleh benturan keras itu. Namun daun-daun-nya 
langsung berguguran ke tanah, berbareng de-ngan 
melorotnya tubuh kekar Raja Kera Kulit Baja. Sepertinya 
tubuh kepala rampok itu tidak mungkin dapat bangkit 
lagi. Tubuh kekar itu tidak bergerak, kecuali suara 
rintihannya yang terdengar perlahan. 
Pradipta berdiri tegak sambil menatap tubuh lawannya 
yang sudah tidak berdaya itu. Diam-diam ia merasa 
sayang melihat tubuh yang mempunyai daya tahan yang 
hebat itu. Sejenak lelaki muda ber-wajah tampan, 
namun berhati licik itu, menunduk. Beberapa saat 
kemudian, ia kembali berdiri tegak, lalu melangkah

menghampiri Ambar Sukma yang tidak jauh di 
belakangnya. 
*** 
"Bagaimana? Apakah lelaki kurang ajar itu sudah 
tewas?" Tanya Ambar Sukma ketika melihat tubuh Raja 
Kera Kulit Baja sudah tidak bergerak-gerak lagi. 
"Tenangkanlah hati Gusti Ayu. Kepala rampok itu 
sudah tidak akan mengganggu lagi," sahut Pradipta 
sambil sepasang matanya menatap lekat-lekat. Se-
pertinya ia tengah menunggu ucapan lain yang akan 
keluar dari sela-sela bibir indah itu. 
"Hm... ke mana tujuanmu, Pradipta?" kembali Ambar 
Sukma bertanya seperti sambil lalu, dan tidak menuntut 
jawaban pasti. 
"Entahlah, Gusti Ayu. Tapi, kalau memang aku tidak 
diperlukan lagi, biarlah aku pamit..," ujar pemuda 
tampan itu sambil membalikkan tubuhnya dan 
melangkah gontai meninggalkan putri Ambar Sukma 
yang menjadi tertegun dibuatnya. 
Untuk beberapa saat lamanya, gadis cantik itu berdiri 
ter-mangu dengan wajah bingung. la benar-benar tidak 
mengerti sifat pemuda tampan yang menolongnya itu, 
Padahal waktu pertama kali ber-temu, jelas ia 
mendengar pemuda itu mengucapkan kata-kata cinta 
kepadanya. Lalu, mengapa ia pergi begitu saja. Seolah-
olah Pradipta sudah lupa dengan apa yang yang 
diucapkannya. 
Semula, Ambar Sukma mendiamkan saja keeper-gian 
penolongnya itu. Pikirannya baru berubah keti-ka 
ingatannya melayang bahwa pemuda seperti Pra-dipta 
itu sangat jarang ditemuinya. Seketika Itu juga, timbul


keinginan gadis cantik itu untuk me-ngetahui perasaan 
penolongnya lebih jauh lagi. 
"Pradipta, tunggu...!" 
Kumbang Merah yang memang sengaja melang-kah 
perlahan, menghentikan ayunan kakinya. Na-mun, la 
tidak berusaha untuk menoleh ke arah Am-bar Sukma. 
Karena ia masih merasa ragu dengan pendengarannya. 
Ambar Sukma, yang masih tetap berdiri tegak itu, 
mengerutkan keningnya ketika melihat pemuda itu tidak 
menoleh. Lalu, ia segera memanggil nama pemuda itu, 
Pradipta pun menolehkan kepalanya, meski tidak 
berusaha untuk menghampiri. 
Kedua orang Itu saling tatap dalam jarak lima tombak. 
Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiri 
tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun. Juga, tidak 
satu pun dari mereka yang ber-usaha maju mendekat 
Sepertinya mereka masih saling menahan diri. 
Tidak lama kemudian, Pradipta melangkah per-lahan 
dengan pandangan mata tetap tidak terlepas dari wajah 
Ambar Sukma. Langkah pemuda itu baru terhenti ketika 
jarak di antara mereka hanya tinggal setengah 
jangkauan tangan. 
"Ada apa, Gusti Ayu...? Apakah aku masih di-perlukan 
di sini?" Tanya pemuda tampan itu sambil menelusuri 
wajah cantik di hadapannya. Jelas se-kali terlihat 
sepasang mata pemuda tampan itu me-nyiratkan sinar 
kekaguman yang tidak disembunyi-kannya. Pradipta 
memang sengaja ingin menunjuk-kan perasaannya 
kepada gadis itu. 
Ambar Sukma bukannya tidak tahu apa yang ada 
dalam pikiran Pradipta. Maka, tanpa malu-malu lagi, 
ditentangnya pandangan mata pemuda itu. Per-lahan-
lahan senyum manis terukir di bibirnya. Per-tanda putri 
Adipati Sunggara itu membalas pera-saan hati Pradipta.

Semua itu tercermin baik dalam pandangan matanya 
maupun raut wajahnya. 
"Mengapa kau ingin pergi, Pradipta? Tidakkah kau 
ingin mengantarkan aku pulang ke kadipaten?" Tanya 
Ambar Sukma dengan senyum yang semakin melebar. 
"Aku tidak berani, Gusti Ayu. Tapi kalau memang 
Gusti Ayu menginginkannya, tentu saja aku tidak bisa 
menolaknya. Bahkan, dengan senang hati aku akan 
mengawal hingga ke kadipaten," sahut Pradipta dengan 
wajah bersinar-sinar. 
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu..?" ucap 
Ambar Sukma tertawa kecil. 
"Silakan, Gusti Ayu...," ujar Pradipta menyisih. 
Pemuda itu membungkukkan tubuhnya, dan mem-
persilakan Ambar Sukma berjalan lebih dahulu. 
Ambar Sukma tersenyum melihat lagak yang 
ditunjukkan Pradipta. Persis seperti seorang pelayan 
tulen yang siap mengantarkan majikannya. Sehing-ga, 
tawanya yang renyah pun kembali terdengar. 
'Tidak perlu banyak peradatan, Pradipta. Kita ja-lan 
bersama saja seperti halnya dua orang sahabat, 
ayolah...," ajak Ambar Sukma yang segera melang-
kahkan kakinya tanpa terburu-buru. 
"Gusti Ayu...," panggil Pradipta tiba-tiba dengan suara 
bergetar aneh. Sedangkan kakinya tetap tidak 
melangkah. Terlihat wajah pemuda itu tidak lagi seriang 
semula. 
"Ada apa lagi...?" Tanya Ambar Sukma yang sege-ra 
membalikkan tubuhnya dengan kening berkerut. 
Namun, hati gadis cantik itu menjadi berdebar ketika 
melihat wajah Pradipta agak pucat. Bahkan, ketika 
Ambar Sukma menatap tepat di kedua bola mata 
pemuda itu, ia melihat pancaran sinar aneh yang

membuat hatinya bergetar. Dan, ia tahu makna sorot 
mata pemuda itu. 
Sambil menekan debaran dalam dadanya, Ambar 
Sukma mencoba tersenyum meski dadanya dirasa-kan 
berdebar tak karuan. Dan, ia berusaha tetap bersikap 
wajar. Seolah tidak tahu perasaan yang dialami pemuda 
itu. 
"Ada apa, Pradipta? Mengapa sikapmu tampak aneh? 
Apakah kau tidak bersedia mengantarkan aku? 
Katakanlah? Kalau memang kau keberatan, biarlah aku 
pulang sendiri," ujar Ambar Sukma ketika jarak di antar 
mereka, hanya terpisah tiga langkah. 
"Ah, bukan..., bukan itu, Gusti Ayu.... Tapi, aku... 
aku..., ingin menanyakan sesuatu kepada Gusti Ayu. 
Dan, aku harap agar Gusti Ayu tidak menjadi marah 
karenanya," dengan pandainya Pradipta 
menyembunyikan sifat-sifat di hadapan gadis cantik itu. 
Sehingga, baik lagak maupun mimik wajahnya, 
mengesankan seorang pemuda hijau yang sama sekali 
belum berpengalaman. Padahal, semua itu merupakan 
sandiwara saja. Karena semua yang dilakukannya 
semata-mata ingin menjerat putri Adi-pati Sunggara. 
"Sampaikanlah, Pradipta. Kalau memang apa yang kau 
ucapkan itu bukan penghinaan, mengapa aku harus 
marah? Lagi pula kau adalah penolongku Dan, aku tidak 
bisa membayangkan apa yang terjadi pada diriku, jika 
kau tidak datang menolong?" sahut Ambar Sukma 
mencoba bersikap wajar, meskipun debaran da-lam 
dadanya kian bergemuruh. Menilik dari sikapnya dan 
nada suara pemuda itu, ia dapat menebak apa yang 
akan diucapkan Pradipta kepadanya. 
"Betul Gusti Ayu tidak marah...?" tegas pemuda itu 
dengan Bngkah yang kian gelisah. Bahkan, ter-lihat 
beberapa kali pemuda itu menundukkan wa-jahnya,

sambii menggoyang-goyangkan kakinya kesana-kemari. 
Sehingga, Ambar Sukma terpaksa menahan tawanya 
agar tidak menyinggung perasaan penolong-nya itu. 
"Katakanlah Aku berjanji tidak akan marah...," sahut 
Ambar Sukma seraya menahan senyumnya. 
"Gusti Ayu..., sebenarnya..., sejak pertama me-
lihatmu, aku... aku telah jatuh hati kepadamu. Tapi, 
terus terang semua ini tidak ada hubungannya de-ngan 
kesediaanku mengantarkan Gusti Ayu ke kadi-paten. 
Maaf, kalau pernyataanku membuatmu ter-kejut... 
Sekali lagi aku mohon maaf...," ujar Pradipta dengan 
suara menggeletar, dan tarikan napas ber-kali-kali. 
Seolah-olah apa yang disampaikannya itu merupakan 
sesuatu yang sangat sulit dan berat terucapkan. 
Sikap Pradipta nampak tenang kembali setelah apa 
yang mengganjal di hatinya, telah diucapkan meski 
suaranya terdengar gugup, dan patah-patah. 
Ambar Sukma sendiri tidak terlalu terkejut, na-mun 
wajahnya terlihat berubah sekilas. Senyum di wajah 
cantik itu semakin melebar. Dan, sepasang mata yang 
indah menyiratkan sinar kebahagiaan. Namun, semua 
itu berusaha ditutupinya. 
"Setelah melihatku dan jatuh hati kepadaku. Lalu, apa 
yang kau inginkan selanjutnya? Apakah kau ingin pergi 
meninggalkan aku, karena aku putri seorang adipati?" 
ucap Ambar sukma yang sikapnya sudah tenang dan 
riang. Sehingga, gadis cantik itu berani mengungkapkan 
apa yang ada dalam hatinya saat itu. 
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis cantik itu, 
tentu saja sempat membuat gelagapan lelaki muda yang 
berjuluk Kumbang Merah itu. Karena, apa yang 
ditanyakan Ambar Sukma sama sekali di luar 
perhitungan Pradipta. Sehingga, untuk sesaat lamanya,

pemuda itu hanya berdiri dengan wajah bingung, dan 
tidak mampu mengucap sepatah kata pun. 
Pradipta sama sekali tidak mengetahui, kalau sifat 
gadis Itu tidak dapat disamakan dengan putri-putri 
istana lainnya. Sikap-nya yang bebas dan ter-kadang 
ugal-ugalan itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, 
semenjak kecil putri Adipati Sunggara itu lebih suka 
bergaul dengan orang-orang persila-tan, yang mengabdi 
di kepada ayahnya ketimbang dengan pelayan-
pelayannya. Dan, Adipati Sunggara sendiri tahu akan 
sifat putri tunggalnya. Sehingga, orang tua itu 
membicarakan apa yang menjadi kesenangan putrinya. 
Bahkan, Adipati Sunggara mengizinkan putrinya untuk 
mempelajari ilmu silat dari tokoh-tokoh Kadipaten. 
Itulah sebabnya, sikap putri Adipati Sunggara berbeda 
sekali dengan putri-putri pejabat kadipaten kebanyakan. 
"Gusti Ayu. Kau tidak buta, dan bisa meniadakan 
jurang pemisah di antara kita. Meskipun demikian, aku 
telah mencoba mengutarakan apa yang meng-ganjal di 
hatiku. Barulah hariku merasa lega dan tenang. Walau 
sebenarnya aku ingin selalu berada di dekatmu, dan 
mengawalmu ke mana saja. Maaf, kalau semua ini 
terpaksa kusampaikan," saat meng-ucapkan kata-kata 
itu, Pradipta mengangkat wajah-nya, dan menatap wajah 
gadis cantik itu dengan mata agak sayu. 
"Pradipta, ini perintah! Katakanlah dengan jujur, apa 
keinginanmu sebenarnya? Katakanlah aku tidak akan 
marah," tiba-tiba saja wajah Ambar Sukma berubah 
keras dan memancarkan perbawa yang mengejutkan hati 
Pradipta. Sehingga, pemuda tam-pan itu kembali 
melengak, dan hampir tidak percaya dengan apa yang 
dilihatnya. 
"Baiklah, Gusti Ayu...," sahut Pradipta setelah be-
berapa kali menarik napas panjang. "Aku men-cintaimu,

dan ingin mendampingimu sebagai sua-mi...," lanjut 
Kumbang Merah sambil menatap wajah Ambar Sukma 
lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menemukan Jawaban 
pada wajah dan mata gadis cantik itu. 
"Hm..., kalau begitu, ayo kita menghadap ayah-ku...," 
sahut Ambar Sukma yang tanpa berkata apa-apa lagi, 
langsung melangkah pergi. 
"Tapi... tapi..., Gusti Ayu...," Pradipta terkejut se-kali 
dengan sikap Ambar Sukma, tentu saja ia men-jadi 
bingung. Cepat ia berlari dan mengejar gadis itu. Tanpa 
sadar, disambarnya tangan Ambar Suk-ma, lalu 
digenggamnya erat-erat. 
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Kalau kau ingin 
aku menjadi istrimu, kita harus menghadap ayahku," 
jawab Ambar Sukma tanpa mempedulikan Pradipta yang 
kebingungan. 
Pradipta, yang dapat menduga kalau ucapan cintanya 
mendapat sambutan seperti yang diingin-kannya, segera 
melangkah di samping Ambar Suk-ma tanpa berkata-
kata lagi. Namun, dari sorot ma-tanya, pemuda tampan 
berwatak cabul itu terlihat sangat gembira sekali. 
Tidak lama kemudian, tubuh kedua insan itu le-nyap 
ditelan kelebatan hutan. Kesunyian pun kem-bali 
menyelimuti alam di sekitar tempat itu.... 
***

TUJUH

Kicau burung terdengar bersahutan, menyambut 
datangnya matahari pagi. Hembusan angin yang lembut 
mengiringi langkah kaki sosok tubuh ram-ping, yang 
memasuki Kota Kadipaten Kedawung. Wajahnya tetap 
terangkat lurus. Sedangkan sepa-sang matanya 
menyorot dingin dan tajam. 
Langkah kedua kaki sosok tubuh ramping itu, terlihat 
kokoh dan menyimpan kekuatan hebat. Kemudian, 
langkahnya berbelok ketika telah cukup jauh memasuki 
kota kadipaten. Tidak dipedulikan pandangan heran 
beberapa orang warga kota kadi-paten itu. Karena di 
tangan kanannya memang ter-genggam sebilah pedang 
panjang. Dengan sikap dingin dan tenang, sosok tubuh 
ramping itu menyi-bakkan daun pintu setinggi pinggang-
nya. Dan, te-rus mengambil tempat duduk di sudut 
ruang kedai makan yang cukup besar itu. 
 Tanpa mempedulikan pengunjung kedai yang me-
noleh sekilas ke arahnya, sosok tubuh ramping itu 
membuka tudung bambu yang menyembunyikan 
wajahnya. Pedang pun diletakkan begitu saja di atas 
meja. Beberapa pengunjung yang terkejut melihat wajah 
dan pedang yang diletakkan di atas meja, ber-gegas 
memalingkan muka. Hati mereka sempat ter-getar ketika 
memandang sorot mata yang dingin dari sosok tubuh 
ramping itu. 
Tetap dengan air muka tidak berubah, sosok tubuh 
ramping yang ternyata seorang wanita itu, mengulapkan 
tangannya dan memanggil pelayan kedai Lalu, 
dipesannya beberapa jenis makanan. Se-telah itu, 
wajahnya kembali menatap lurus dengan sorot mata 
yang tetap dingin. Sepertinya ia memang tidak peduli 
dengan keadaan di sekelilingnya.

Wajah yang tampak agak pucat, dan tanpa gam-baran 
perasaan itu, mendadak tegang ketika telinga-nya 
menangkap pembicaraan dua orang lelaki, yang terpisah 
beberapa meja dari tempatnya duduk. Dan, seperti ingin 
mendengarkan secara teliti, maka wa-nita itu pun 
menundukkan wajahnya dalam-dalam. 
"Yah..., apalah daya kita yang hanya rakyat biasa ini?" 
keluh sebuah suara yang mengandung rasa kesal dan 
ketidak-berdayaan itu. 
 “Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dengan ke-adaan 
ini Setelah adipati yang bergelar Setya Bumi itu 
memimpin kadipaten, rasanya banyak peraturan yang 
berubah. Bahkan, pajak untuk para pedagang pun 
dinaikkan dua kali lipat Hhh..., sayang Adipati Sungga 
tidak berumur panjang. Kalau beliau masih menjadi 
pemimpin kadipaten ini, rasanya tidak mungkin 
kehidupan rakyat akan sengsara seperti sekarang. Sebab 
aku tahu betul sifat dan perangai beliau yang lebih 
mementingkan orang banyak ke-timbang dirinya sendiri 
itu baru namanya pemim-pin!" sahut suara lainnya yang 
terdengar bersema-ngat memuji-muji Adipati Sunggara, 
dan menjatuh-kan Adipati Setya Bumi. 
"Satu lagi yang membuat aku sebal dan muak melihat 
adipati kita yang baru ini...," tiba-tiba suara lainnya yang 
semenjak tadi tidak mendengar, ikut mencampuri. 
"Adipati yang sekarang ini, sepertinya tidak boleh 
melihat wanita cantik. Walaupun wanita itu istri orang, 
ia tidak putus semangat. dan men-cari jalan untuk 
memilikinya meskipun hanya un-tuk semalam. Tapi, 
kabar itu baru kudengar. Dan, belum diketahui secara 
pasti kebenarannya. Kalau melihat ketampanan Adipati 
Setya Bumi, rasanya setiap wanita pasti akan bertekuk 
lutut di bawah kakinya. Apalagi kata-katanya yang

lembut dan pe-nuh madu, Wah... pokoknya sulit mencari 
seorang pemuda seperti dia...." 
"Ssst..., sudah cukup, apa yang kita bicarakan. 
Sepertinya ada orang lain yang memperhatikan ting-kah 
laku kita. Jangan-jangan dia pun mendengar cerita 
kita...? Wah.... Ayo kita segera pergi dari sini..." 
 Wanita cantik berwajah dingin itu tersentak ka-get, 
ketika melihat salah seorang dari mereka yang berkumis 
tebal, menoleh ke arahnya. Bahkan, uca-pan laki-laki itu 
sangat jelas terdengar di telinganya. Sehingga, ketika 
kehga orang lelaki itu bangkit, ia segera bergegas bangkit 
tanpa menyentuh hidangan yang telah dipesannya. 
Tanpa banyak cakap lagi, wanita yang kalau di-lihat 
dari wajahnya berusia sekitar sembilan belas atau dua 
puluh tahun itu, bergegas mengikuti ketiga orang laki-
laki yang ceritanya menarik hati wanita itu. 
"Paman... berhenti sebentar...!" terdengar suara 
panggilan lirih, namun jelas tertangkap oleh telinga 
ketiga orang lelaki itu yang tengah melintasi sebuah 
jalan sepi. 
Namun, suara panggilan itu bukannya membuat 
langkah me-reka terhenti, tapi sebaliknya. Ketiga orang 
lelaki yang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh 
tahun itu, semakin mempercepat lang-kahnya, dan tidak 
menoleh sedikit pun. Kenyataan itu tentu saja membuat 
gadis berwajah pucat men-jadi heran. 
Sadar kalau ketiga orang lelaki itu menduga diri-nya 
sebagai lawan, maka tanpa membuang-buang waktu 
lagi, gadis berwajah pucat itu berseru nya-ring. 
Berbarengan dengan itu, tubuhnya melambung dan 
berputaran beberapa kali. Sebelum mendarat didepan 
ketiga orang lelaki itu, yang kontan pucat wajahnya. 
 "Jangan takut, Paman.... Aku cuma ingin berta-nya 
sedikit, dan bukan mau melukai atau mence-lakakan

kalian Sebaliknya aku malah membutuh-kan keterangan 
dari kalian, yang mungkin sangat besar artinya bagiku. 
Maukah Paman membantu-ku...?" ujar gadis berwajah 
pucat yang mengenakan pakaian biru muda itu dengan 
suara halus, dan tidak terkandung sama sekali sifat 
yang keji, baik dan pancaran matanya maupun tutur 
katanya. 
Meskipun demikian, ketiga lelaki itu masih me-rasa 
ragu dengan ucapan gadis di depannya, yang menurut 
mereka dapat terbang seperti setan. Se-hingga, untuk 
beberapa saat lamanya, ketiganya hanya berdiri dan 
saling berpandangan satu sama lain. Kemudian mereka 
menatap gadis berpakaian biru muda Itu, seperti tengah 
menilainya. 
"Percayalah kepadaku, Paman. Kalau aku berniat 
mencelakai kalian bertiga, tentu sudah kulakukan sejak 
tadi. Tapi, semua itu tidak kulakukan, karena aku 
membutuhkan beberapa jawaban dari kalian bertiga. 
Bagaimana...?" lanjut gadis cantik berwajah pucat itu 
mencoba menunjuk itikad baiknya. Sambil berkata 
demikian, pedangnya segera diselipkan ke sabuk yang 
melilit pinggangnya. Lalu, lalu gadis itu dengan tenang 
maju beberapa tindak. 
"Baikiah, apa yang Nisanak inginkan dari ka-mi...?" 
akhirnya lelaki berkumis tebal yang bertubuh gemuk, 
memberanikan diri menanyakan keperluan gadis 
berwajah pucat itu. 
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Pertama, 
sudah berapa lama Adipati Kedawung yang baru 
memerintah? Kedua, berapa usianya? Terakhir..., 
siapakah nama adipati itu sebelum menjabat pe-mimpin 
kadipaten ini...? Hanya itu yang kuperlukan dari Paman 
bertiga. Kuharap kalian tidak terlalu sulit memberikan 
keterangan," ujar gadis cantik ber-wajah pucat itu

dengan suara, yang agak lain dari biasa. Sepertinya ada 
kesan ketegangan dalam suaranya kali ini. 
"Aaah..., sayang sekali kami hanya rakyat biasa, 
Nisanak. Jadi, semua jawabanmu itu sulit kami jawab, 
kecuali kalau kau menanyakannya kepada salah seorang 
prajurit kadipaten. Mungkin mereka bisa memberikan 
jawaban atas semua pertanyaan-mu itu. Sekali lagi kami 
minta maaf, dan kami harus pergi...," sahut lelaki 
berkumis tebal itu dengan wajah pucat seperti kapas, 
bahkan, kata katanya ketika menjawab pun, terdengar 
bergetar seperti orang dilanda ketakutan. Padahal, perta-
nyaan gadis berwajah pucat ttu tidak perlu ditakuti. 
Dan, ia pun tidak akan marah bila memang mereka 
betul-betul tidak mengetahuinya. 
Tapi, gadis cantik berwajah pucat itu bukanlah orang 
bodoh yang menerima begitu saja Jawaban mereka. 
Tiba-tiba saja pedangnya, tercabut keluar. Sehingga 
menimbutkan sinar berkeredep yang me-nyilaukan mata. 
Dan, serta merta pedang itu telah melintang didepan 
dada lelaki berkumis tebal yang hendak melewatinya. 
Karena gadis itu berdiri bebe-rapa langkah didepan 
mereka. 
"Ah...!? Ap... apa ini? Kami... ampunkan kami... Ni-
sanak...," rintih lelaki gemuk berkumis tebal dengan 
tubuh gemetar. Keringat dingin mulai mengalir ke-tika 
pedang yang berkilat-kilat itu, merayap hingga ke 
lehernya. 
"Jawab pertanyaanku, atau terpaksa kepalamu akan 
kupenggal...," ancam gadis cantik berwajah pucat itu 
dengan suara sungguh-sungguh. "Dengar!" ucap gadis 
itu lagi "Aku bukan orang dari kadipaten ini. Jadi, kalian 
tidak perlu merasa takut kepada-ku...?" 
"Adipati Setya Bumi sebelumnya bernama Pradip-ta. la 
masih muda, sekitar dua puluh tiga tahun. Wajahnya

sangat tampan dan gagah. Jabatan adi-pati 
disandangnya baru sekitar tiga bulan. Sebenar-nya apa 
keperluan Nyai ingin mengetahui tentang penguasa 
Kadipaten Kedawung ini...?" Tanya lelaki berkumis tebal 
itu setelah menjawab semua perta-nyaan gadis berwajah 
pucat itu. 
"Aku ingin membunuh jahanam licik itu...!" ge-ram 
gadis berwajah pucat yang tidak lain Trijanti itu. 
Dilepaskannya lelaki berkumis tebal itu setelah 
memperoleh Jawaban. 
Ketiga orang lelaki itu berubah pucat wajahnya. Untuk 
beberapa saat lamanya, mereka saling pan-dang. Satu 
sama lain. Jelas, rasa khawatir trepan-car di wajah 
ketiganya. 
"Nyai, tunggu...!" seru lelaki berkumis tebal itu ketika 
melihat Trijanti akan meninggalkan tempat itu. 
Trijanti terpaksa menahan langkahnya, dan berbalik 
mengha-dapi ketiga orang lelaki yang segera menge-
rumuninya. Kening wanita berwajah pucat itu ber-kerut, 
ketika melihat kekhawatiran di wajah mereka. 
"Nyai, sangat berbahaya sekali bila niatmu dilak-
sanakan. Selain istana kadipaten dijaga prajurit-prajurit 
tangguh, juga terdapat beberapa tokoh sakti yang 
mengabdikan diri di istana itu. Sebaiknya niat-mu itu 
diurungkan saja. Kami pun sebenarnya tidak menyukai 
adipati yang baru itu, tapi kami merasa khawatir 
terhadap keselamatanmu. Meskipun kami tidak tahu apa 
yang membuat Nyai mendendam kepada beliau...," ujar 
lelaki berkumis tebal itu me-nasihati. 
"Hm..., meskipun manusia laknat itu dijaga oleh raja 
iblis sekalipun, aku tidak takut! Dan, aku tetap akan 
melaksanakan niatku. Terima kasih atas nasi-hat 
kalian...," usai berkata demikian, Trijanti kem-bali 
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun,

langkahnya kembali terhenti ketika lelaki berkumis tebal 
itu memanggilnya. 
"Hm.., ada apa lagi, Paman?" Tanya Trijanti me-
ngerutkan keningnya, tak senang. 
"Mmm..., kalau memang niat Nyai sudah tidak bisa 
ditahan lagi, kami mempunyai sedikit berita yang 
mudah-mudahan bisa mempermudah niatmu itu...," ujar 
lelaki berkumis tebal itu, yang kembali berhadapan 
dengan Trijanti. 
"Apa Itu, Paman...?" Dengan wajah penuh harap, 
Trijanti menatap lelaki berkumis tebal itu lekat-lekat. 
"Kami memperoleh kabar, dalam satu dua hari ini 
Adipati Setya Bumi akan berburu di hutan sebelah 
Barat. Biasanya beliau hanya ditemani dua orang 
pembantu setianya. Nah, pada saat itu, rasanya akan 
lebih mudah bagimu untuk melaksanakan niat itu...," 
sahut lelaki gemuk berkumis tebal itu lagi menjelaskan. 
"Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Paman se-
kalian yang sudi menolongku. Sekarang, aku mohon 
pamit..," tanpa menoleh lagi, Trijanti langsung 
menggenjot tubuhnya Dan segera melesat mening-galkan 
ketiga orang lelaki itu. 
"Hhh..., mudah-mudahan saja ia tidak sampai celaka. 
Sebab, Adipati Setya Bumi konon memiliki kepandaian 
yang sangat tinggi..," gumam lelaki berkumis tebal itu 
cemas. 
Sedang dua orang lainnya hanya menganggukkan 
kepala tanpa kata. Mereka masih menatapi sosok 
bayangan Trijanti yang kian samar. 
*** 
Suara berderap terdengar dan membuat suasana di 
sekitar Hutan Jonggol menjadih riuh. Beberapa ekor

burung beterba-ngan meninggalkan pepoho-nan. 
Sepertinya mereka merasa terganggu dengan suara 
derap kaki-kaki kuda Itu. 
Seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian 
mewah, duduk di atas punggung kuda berbulu pu-tih. 
Senyum keangkuhan tampak menghiasi wajah-nya. 
Pemuda tampan itu tidak lain Pradipta, yang kini 
menjabat sebagai adipati dengan gelar Setya Bumi. 
Dengan kelicikan dan kepandaiannya mengambil hati 
Adipati Sunggara, pemuda itu berhasil menjadi suami 
dari putri tunggal sang Adipati, yang pernah ditolongnya 
dari cengkeraman perampok. 
Ketika Adipati Sunggara ditemukan tewas saat 
berburu di Hutan Jonggol, maka Pradipta pun di-tunjuk 
sebagai penggantinya. Karena sang Adipati sendiri tidak 
mempunyai anak laki-laki. 
Tidak ada seorang pun yang menduga kala Pra-dipta 
seorang pemuda licik dan serakah. Juga tak seorang pun 
yang tahu kalau pemuda tampan itu seorang yang 
mempunyai watak cabul. Baru bebe-rapa bulan 
menduduki jabatan adipati, sifat asli Pradipta mulai 
terlihat. Tapi, semua itu sudah ter-lambat! Ambar 
Sukma sendiri, putri Almarhum Adi-pati Sunggara, 
hanya bisa menyesali nasibnya. 
Setelah Pradipta menjabat sebagai adipati, maka tak 
seorang pun yang dapat menghalangj tindakan pemuda 
itu. Dan, Ambar Sukma sendiri tidak bisa berbuat apa-
apa. 
Adipati Setya Bumi yang selalu menggunakan tangan 
besi dalam menindak para pembangkang, tentu saja 
membuat rakyat terpaksa mentaatinya. Sejak pimpinan 
Kadipaten Kedawung dipegangnya, entah sudah berapa 
banyak rakyat yang menjadi korban kekejaman pemuda 
itu, karena setiap pem-bangkang tidak pemah luput dari

hukuman mati. Bahkan, tidak sedikit yang dihukum 
gantung di alun-alun istana Kadipaten. Semua itu 
ditunjukkan kepada rakyat sebagai contoh bagi 
pembangkang-pembangkang lainnya. 
Selain kejam, Adipati Setya Bumi hampir tidak pernah 
mengurusi rakyatnya. Segala sesuatu yang berurusan 
dengan kadipaten diwakilkannya. Se-dangkan kerja 
adipati muda itu hanya bersenang-senang setiap hari. la 
tidak mau ambil peduli de-ngan segala urusan 
Kadipaten. Menurutnya, semua itu hanya membuat 
pusing kepalanya. Sehingga, Adipati Setya Bumi lebih 
suka bersenang-senang, ketimbang mengurusi 
rakyatnya. Dan, salah satu kesenangannya adalah 
berburu. 
Pradipta yang kini dikenal sebagai Adipati Setya Bumi, 
men-jalankan kuda putihnya agak perlahan. Karena saat 
Itu ia telah berada jauh dari mulut hutan. Sedangkan 
dua orang pembantu setianya mengiringi di belakangnya. 
Seperti halnya sang Majikan, mereka pun mengendarai 
kuda-kuda pilihan. 
Ketika ketiga orang itu semakin jauh menerobos 
hutan, men-dadak Adipati Setya Bumi mengangkat 
tangan kanannya perlahan. Dengan gerakan ringan, 
tubuhnya melompat turun dari atas punggung kuda. 
Setelah menyiapkan anak panahnya, pemuda tampan 
bertubuh tegap itu melangkah perlahan menerobos 
semak belukar. 
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang pembantu setia 
itu melompat turun dari punggung kudanya masing-
masing. Namun, keduanya tetap menunggu di tempat 
itu, dan tidak mengikuti langkah Adipati Setya Bumi. 
Sementara, pemuda tampan itu sendiri, sudah 
merunduk di balik semak-semak sambil memben-
tangkan anak panahnya. Yang menjadi sasarannya,

seekor kijang muda. Binatang itu sama sekali tidak 
mengetahui bahaya yang mengancamnya. Karena angin 
yang bertiup saat itu, berhembus ke arah Adipati Setya 
Bumi. Sehingga, binatang itu tidak mencium sama sekali 
bahaya yang mengintainya. 
Namun, selagi pemuda itu tersenyum memba-yangkan 
tubuh kijang muda itu terpanggang anak panahnya, 
tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan nyaring seiring 
dengan meluncurnya anak panah yang dilepaskan 
pemuda itu. 
"Haiiit...!" 
Berbarengan dengan suara bentakan yang nya-ring 
itu, secer-cah sinar putih berkeredep meng-ancam 
tenggorokan Adipati Setya Bumi. Karuan saja adipati 
muda itu menjadi geram. Karena binatang buruannya 
telah melesat lebih dulu ketika men-dengar suara yang 
mengejutkan itu. 
Merasa kesenangannya terganggu, pemuda itu 
menjadi marah bukan main! Sambii menarik mun-dur 
tubuhnya, dan merendahkan kaki belakang, serangan 
pedang lawan pun tuput dari sasarannya. Sedangkan 
kaki depannya yang terjulur lurus, lang-sung melakukan 
serangan balasan dengan sebuah tendangan ujung 
sepatunya! 
Zebbb! 
Gerakan sosok tubuh berpakaian biru muda yang 
menyerangnya itu, ternyata cukup gesit! Dengan sebuah 
gerakan yang berputar indah, sosok tubuh itu berhasil 
menghindari sambaran kaki lawannya. Bahkan dengan 
gerakan itu, ia sempat menyilang-kan senjatanya, hingga 
membentuk goresan menyi-lang di udara! 
"Haiiit...!" 
Sambil membentak keras, tubuh Adipati Setya Bumi 
melambung dan berjumpalitan beberapa kali ke

belakang. Dengan demikian, serangan sosok tu-buh 
ramping itu kembali tuput, dan hanya menyam-bar 
daerah yang kosong. 
"Keparat bosan hidup! Siapa kau...!" bentak Adi-pati 
Setya Bumi begitu kedua kakinya mendarat di atas 
tanah berumput tebal. Sepasang mata pemuda tampan 
itu terbelalak ketika mengenali sosok tubuh ramping, 
yang telah berani mati membokongnya itu. 
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda 
hanya berdiri termangu, tanpa sepatah kata pun terucap 
dari mulutnya. 
"Hm..., begitu mudahnya kau melupakan aku, 
Jahanam Busuk! Jangan harap kau bisa hidup tenteram 
di dunia ini! Dan, kau harus menebusnya dengar 
kematian!" geram sosok tubuh ramping yang 
mengenakan pakaian biru muda itu. la tidak lain adalah 
Trijanti, si gadis pendekar yang telah diper-daya Pradipta 
beberapa waktu lalu. 
Namun, keterkejutan Pradipta hanya berlaku se-saat 
saja. Wajah tampan itu kembali tersenyum ma-nis. 
Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Seolah 
pertemuan itu memang sudah lama dinan-tikannya. 
"Ah..., Adik Trijanti...! Lama sekali kita tidak ber-
jumpa. Maaf, aku terpaksa pergi tanpa pamit kepadamu, 
karena ada urusan penting dan sangat mendadak. Ah..., 
berapa rindunya aku kepadamu, Adikku...," ujar 
Pradipta sambil melangkah maju de-ngan wajah berseri-
seri. Pemuda itu sepertinya sama sekali tidak merasa 
bersalah dengan apa yang diperbuatnya terhadap diri 
Trijanti. 
Sambutan pemuda itu, membuat Trijanti sejenak 
bingung. Gadis cantik berwajah pucat itu berdiri ter-
paku, seolah ia tak percaya dengan apa yang disak-
sikannya. Namun, ketika teringat akan perbuatan

pemuda itu, wajahnya kembali gelap dengan sorot mata 
yang dingin penuh dendam. 
"Huh! Jangan berpura-pura kau, Jahanam Keji! 
Apakah kau kira aku akan tergoda dengan mulut 
manismu itu! Maaf saja. Keputusanku telah bulat untuk 
mencuci aib di tubuhku ini dengan darahmu. 
Bersiaplah...," desis Trijanti mencoba mengusir bayangan 
indah yang sempat melintas di benaknya. 
Memang gadis cantik berwajah pucat itu jatuh hati 
kepada Pradipta. Perasaan itu pula yang meng-
ganggunya. Sehingga, gadis itu agak resah hatinya ketika 
melihat sikap pemuda tampan yang sangat gembira 
berjumpa dengan dirinya. 
"Apa maksud ucapanmu itu, Adik Trijanti? Bu-kankah 
apa yang kita lakukan itu atas dasar suka sama suka? 
Aku sama sekali tidak memaksamu se-dikit pun. Dan, 
aku yakin kau pun tahu akan hal itu. Bersikaplah 
tenang, Trijanti. Apakah kau meng-inginkan semua 
orang tahu dengan apa yang telah kita perbuat itu? 
Lihatlah, aku masih menyayangi-mu, dan bersedia 
menerimamu sebagai istriku. Kau akan kujadikan 
permaisuriku di Istana Kadipaten Kedawung. Tahukah 
kau kalau aku telah menjabat sebagai adipati di daerah 
ini? Ayolah, Trijanti, jangan bodoh...," bujuk Pradipta 
atau Adipati Setya Bumi sambil meng-ayunkan 
langkahnya mengham-piri gadis cantik itu. 
Melihat sinar mata yang hangat, kata-kata yang manis 
dan sikap lembut pemuda tampan itu, pendi-rian Trijanti 
pun menjadi goyah. Bagai orang tolol, gadis cantik itu 
menatap Pradipta dengan penuh selidik. 
Sepertinya ia ingin memastikan semua ucapan 
pemuda itu melalui sinar matanya. Dan, hati Tri-janti 
sempat berdebar ketika melihat kehangatan cinta kasih,

yang terpancar dari sepasang mata pe-muda tampan 
yang telah menjatuhkan hatinya itu. 
"Benarkah... kau mencintaiku, Pradipta...? Da-patkah 
kata-katamu kupercaya...?" desah gadis can-tik berwajah 
pucat itu dengan bibir gemetar karena terbawa 
perasaannya. Bahkan, sepasang mata indah itu telah 
digenangi air bening. Jelas, kalau saat itu Trijanti tengah 
berperang dalam batinnya. 
"Haiiih..., mengapa kau masih meragukan ucapanku, 
Adik Trijanti? Apa yang harus kulakukan untuk 
mendapatkan kepercayaanmu? Katakanlah, Adikku. Aku 
siap melaksanakannya...," bujuk Pra-dipta lagi. 
Sementara jarak di antara mereka berdua sudah tinggal 
beberapa langkah lagi. Bahkan, dengan pandainya 
Pradipta mengembangkan kedua lengannya untuk 
meyakinkan dan siap menyambut tubuh gadis itu ke 
dalam pelukannya. 
"Tapi... tapi...," Trijanti masih merasa ragu meski-pun 
pemuda itu jelas telah siap menerima dirinya. Bahkan, 
dua titik air bening mulai bergulir mem-basahi pipinya 
yang halus. Hati gadis cantik itu sa-ngat terharu dengan 
apa yang diucapkan Pradipta. Nada suara yang 
dikeluarkan pemuda itu demikian lembut, dan 
memancarkan perasaan kasih yang mendalam. 
Sehingga, getaran di dalam dada Trijanti semakin 
bergemuruh, dan membuat bukit dadanya 
bergelombang, 
"Katakanlah, Adik Trjanti..., apa yang kau ingin-kan 
sebagai bukti cintaku yang tulus kepadamu...? 
Katakanlah...?" sambil tetap berkata demikian, Pra-dipta 
terus melangkah maju semakin mendekat. 
Sementara, Trijanti hanya dapat berdiri dengan tubuh 
bergetar menahan keharuan. Pedang yang semula siap
untuk merejam tubuh pemuda tampan itu, kini 
tergantung lumpuh di tubuhnya. 
***
DELAPAN

Sambil terus mengucapkan kata-kata manis, Pradipta, 
tokoh sesat berjuluk Kumbang Merah, yang kini 
menjabat sebagai Adipati Setya Bumi di Kadipaten 
Kedawung itu, melangkah semakin dekat Jarak antara 
mereka pun tinggal dua langkah lagi. 
Trijanti sendiri, yang pada dasarnya mencintai 
pemuda tampan itu, terisak tertahan. Kewaspadaan 
gadis cantik itu lenyap, berganti rasa haru yang 
menguasai hatinya. Dan, ketika Pradipta mengulur 
tangannya, gadis itu sama sekali tidak berusaha 
mengelak. 
Namun, sebagai seorang gadis yang semenjak kecil 
digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi, Tri-janti dapat 
merasakan sambaran angin yang tajam mengiringi 
uluran sepasang tangan pemuda itu. Sayangnya, saat itu 
jarak antara mereka hanya ter-pisah dua tindak. 
Sehingga, gadis cantik itu hanya dapat mena-han 
jeritannya dengan sepasang mata terbelalak. 
"Mampuslah kau, Gadis Dungu...!" geram Adpati Setya 
Bu-mi yang rupanya telah menyiapkan tenaga dalam 
secara diam-diam. Dan, kini sepasang ta-ngannya, yang 
membentuk cakar itu, siap mereng-gut nyawa Trijanti. 
Karena menurut pemikirannya, gadis itu hanya akan 
mendatangkan kesulitan pada dirinya. 
"Aaah...?!" 
Gadis cantik berwajah pucat itu hanya dapat 
mengeluarkan jerit tertahan. Sadar kalau dirinya tidak 
mungkin lagi selamat, maka Trijanti pasrah dengan 
memejamkan matanya. Hatinya terasa sakit sekali ketika 
melihat kekejaman pemuda yang dicintainya itu. 
Namun, pada saat yang gawat itu, tiba-tiba seber-kas 
sinar hitam berkeredep menyambut cengke-raman

tangan Pradipta. Dari suara berdesing yang 
ditimbulkannya, jelas kalau sinar hitam itu mengan-
dung kekuatan hebat, dan sulit untuk diukur. Maka, 
wajar kalau kecepatannya pun hampir tidak tertangkap 
oleh mata Kumbang Merah, yang sangat kejam dan licik 
itu. 
Tukkk! 
"Aaakh...!" 
Adipati Setya Bumi memekik kesakitan, dan wa-
jahnya berubah pucat! Scdangkan tubuhnya terjajar 
mundur sejauh enam langkah. Tampak pemuda tampan 
itu meringis seraya mengurut jemari tangannya yang 
terasa nyeri dan linu. 
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tegur salah seorang 
pembantunya, yang telah berdiri di samping pemuda 
tampan itu. Sedangkan yang satunya lagi telah ber-diri 
di samping kanannya sambil menatap kedepan. 
Kening lelaki setengah tua, yang tubuhnya masih 
nampak kokoh itu, berkerut dalam. Sepasang mata-nya 
menatap sosok berjubah putih, segera ia me-nundukkan 
kepalanya ketika sepasang mata sosok tubuh itu 
menentang pandangan matanya. Diam-diam hati lelaki 
setengah baya itu, yang merupakan orang kepercayaan 
Pradipta terkejut ketika merasa-kan pengaruh aneh 
merasuk ke dalam jiwanya. 
"Gila...! Siapa pemuda tampan berjubah putih itu..? 
Menilik dari sorot matanya, jelas ia memiliki tenaga 
dalam yang sukar diukur. Bahkan, sepasang matanya 
mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sinar mata yang 
dimiliki pemuda itu rasanya hanya ada dalam dongeng," 
gumam batin lelaki setengah baya itu dengan wajah 
berubah pucat. 
Sementara, sosok tubuh berjubah putih itu, entah dari 
mana datangnya, tahu-tahu telah berada di samping

Trijanti. Dialah yang bernama Panji, yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih. Wajar kalau pertolongan pemuda 
sakti itu datang tepat pada waktunya. Karena Panji 
memang menguntit perjala-nan gadis cantik itu 
semenjak pertama mereka ber-temu. Sehingga, nyawa 
Trijanti pun dapat disela-matkannya. 
"Kau...," desis Trijanti ketika mengenali sosok 
berjubah putih yang telah menolongnya itu. Sepa-sang 
mata yang bersimbah air mata itu, menatap wajah Panji 
dengan rasa tak percaya. 
"Ya, aku, Panji.... Maaf kalau selama ini aku meng-ikuti 
perjalananmu. Karena sejak pertama kali ber-jumpa, kau 
menyerangku tanpa sebab, membuat aku curiga. Jadi, 
aku terpaksa mengikuti perja-lananmu, sekadar ingin 
mengetahui masalah apa sebenar-nya yang tengah kau 
hadapi," jelas Panji dengan wajah tengang. Seulas 
senyum penuh kesabaran menghias wajah tampannya. 
"Betapapun, aku harus mengucapkan terima ka-sih 
kepadamu, Kisanak," ucap Trijanti dengan suara 
perlahan, dan hampir tidak terdengar. Sepasang mata 
gadis cantik itu nampak sayu, dan menyem-bunyikan 
luka hatinya yang dalam. 
Setelah menghapus butir air mata yang jatuh di 
pipinya. Gadis cantik itu kembali memandang 
penolongnya. Kali ini dia meneliti wajah dan pakaian 
pemuda tampan itu dengan seksama. Sepasang ma-
tanya menjelajahi sekujur tubuh penolongnya, dan 
semakin jelas ketegangan tergambar pada wajahnya. 
Tiba-tiba meluncur kata-kata dari bibir mungil yang 
agak pucat ttu. 
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih...?" Tanya gadis cantik itu dengan nada agak ragu. 
Namun, sorot matanya berharap kalau peno-longnya itu 
adalah Pendekar Naga Putih.
"Benar, Trijanti...," sahut Panji yang mengenal nama 
gadis cantik berpakaian biru muda itu dari percakapan 
antara Trijanti dan Pradipta yang sem-pat didengarnya. 
"Sayang apa yang selama ini kau dengar mungkin jauh 
berbeda dengan apa yang sekarang kau saksikan." 
Trijanti menutup mulutnya dengan kedua telapak 
tangan guna menahan seruannya. Hanya sepasang 
matanya yang sayu terbelalak ketika mendengar jawaban 
Panji. 
"Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-jumpa 
denganmu, Pendekar Naga Putih! Selama ini, hanya 
namamu saja yang sering kudengar dari cerita guruku. 
Tapi, dugaanmu salah besar. Karena yang selama ini 
diceritakan guruku, sama sekali tidak meleset. Dan, apa 
yang kulihat sekarang, persis seperti yang digambarkan 
beliau. Kalau saja guruku ikut bersamaku saat ini, 
beliau tentu sangat gembira sekali...," ujar Trijanti yang 
mengetahui mengenai diri penolongnya. Sepertinya ia 
lupa akan keadaan sekelilingnya. Bahkan, pandangan 
matanya terlihat berbinar-binar menandakan gadis 
cantik itu sangat gembira dapat bertemu dengan 
pendekar muda, yang selama ini dikagumi gurunya. 
"Keparat! Jadi kau kiranya manusia usil itu, Pen-dekar 
Naga Putih! Hm.... Orang lain boleh merasa gentar 
mendengar julukanmu yang mentereng itu. Tapi, 
Pradipta yang sekarang bergelar Adipati Setya Bumi, 
tidak akan mundur selangkah pun! Dan, kau akan 
membayar mahal akibat keusilanmu itu. Ber-siaplah...!" 
geram Adipati Setya Bumi yang segera mencabut 
sebatang suling perak dari balik bajunya. 
Singngng! 
Terdengar suara berdesing nyaring ketika suling perak 
di tangan Pradipta bergerak menyilang di depan dada. 
Menilik dari suara desingan senjata itu, jelas

mencerminkan tenaga sakti yang hebat dimiliki pemuda 
itu. 
“Trijanti, kau menyingkir dulu. Biar aku meng-hadapi 
serbuan Adipati Setya Bumi." 
Trijanti yang sadar kalau kepandaian pemuda tampan 
berwatak cabul itu jauh berada di atas tingkat 
kepandaiannya, bergegas melangkah mun-dur tanpa 
membantah. Hanya sepasang matanya yang menatap 
tajam dan menyiratkan dendam. 
"Burja, Sadira, kalian berdua bereskan gadis itu. 
Pemuda usil ini bagianku, ingat! Kalau kalian dapat 
menundukkannya, lang-sung bunuh saja. Gadis gila itu 
sangat berbahaya bagai kelangsungan jabatan-ku...,' 
terdengar perintah Adipati Setya Bumi kepada kedua 
orang pengawal setianya. 
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki setengah baya yang 
dipanggil dengan nama Burja itu, langsung melangkah 
menghampiri Trijanti. Di sebelah bela-kangnya Sadira, 
lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang menyeliki 
tubuh tinggi kurus dan ber-mata cerdik, mengikutinya. 
Panji yang mengetahui kepandaian Trijanti me-lalui 
ilmu lari cepatnya tentu saja merasa, khawatir. Cepat ia 
menghadang jalan Burja dan Sadira dengan maksud 
untuk melindungi gadis itu dari ancaman kematian. 
Sepasang mata pemuda berjubah putih itu menatap 
tajam bagai hendak menembus tubuh kedua orang 
pengawal Adipati Setya Bumi. 
"Jangan kalian hiraukan pemuda sombong itu!" seru 
Adipati Setya Bumi kepada kedua pengawal setianya. 
Kemudian ia berpaling ke arah Panji de-ngan sorot mata 
tajam, dan penuh nafsu membu-nuh. "Akulah lawanmu, 
Pendekar Naga Putih. Biar-kan rnereka mengurus gadis 
gila itu...," geramnya gusar.

*** 
"Heaaat...!" 
Adipati Setya Bumi yang melihat Pendekar Naga Putih 
tidak mempedulikan ucapannya menjadi marah! Diiringi 
dengan teriakan nyaring, tubuh pemuda tampan 
berwatak cabul itu melesat seperti kilat, dan disertai 
suara berdesing tajam. 
Whuuut! Whuuut! 
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan, guna 
menghindari serangan maut lawannya. Gerakan pemuda 
berjubah putih itu nampak sangat lincah. Sehingga, 
dalam gebrakan pertama, serangan-serangan Pradipta 
hanya mampu menyambar angin kosong. 
"Bangsat! Apa kau cuma bisa mengelak dengan cara 
menari-nari seperti badut? Kalau memang kau 
mempunyai kepandaian, hayo balas seranganku...!" 
umpat Adipati Setya Bumi yang menjadi kalap karena 
merasa dipermainkan lawannya. 
Namun, Panji sama sekali tidak mempedulikan 
kemarahan lawannya. Tubuhnya tetap bergerak lincah di 
antara sambaran senjata Pradipta. Kemu-dian, sesekali 
ia melontarkan serangan-serangan balasan, Walaupun 
tidak berlalu berbahaya, tapi sanggup membendung dan 
mengurangi desakan Iawan. 
"Setan!" 
Sambii tetap memaki tak habis-habisnya, Adipati 
Setya bumi terus melontarkan serangan yang kian lama 
bertambah cepat dan kuat. Tampak Pradipta ingin 
secepatnya menghabisi nyawa pemuda, yang telah 
menggagalkan rencananya itu. 
"Haiiit...!" 
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, men-dadak 
Adipati Setya Bumi mengeluarkan pekikan nyaring yang

mengejutkan! Detik itu juga, senjata-nya berkeredep 
dengan kecepatan kilat. Sekali ber-gerak saja, Pemuda 
berwatak cabul itu telah me-lancarkan serangkaian 
serangan yang mematikan. Bahkan, beberapa totokan 
dilancarkan susul me-nyusul dengan kecepatan yang 
tinggi! 
"Hiaaah...!" 
Plakkk...! 
Panji yang melihat serangan lawannya semakin hebat 
dan berbahaya, bergegas memapaki sebuah totokan yang 
meluncur cepat dan mengancam teng-gorokannya. 
Sehingga, tubuh lawannya terjajar mundur sejauh 
delapan langkah dengan wajah me-ringis. Jelas, kalau 
Adipati Setya Bumi masih kalah tenaga melawan 
pendekar muda itu. 
Pendekar Naga Putih tidak ingin menunda-nunda 
pertempuran itu. Begitu tubuh lawannya kembali 
meluncur dengan serangan-serangan mautnya, ber-
gegas Panji menyambutnya dengan 'Ilmu Silat Naga 
Sakti' yang telah membuat namanya dikenal dalam 
rimba persilatan. 
Bagaikan seekor ular raksasa, tubuh Pendekar Naga 
Putih meliuk-liuk dan mengejutkan lawannya. Sedang 
sepasang tangannya, yang telah membentuk cakar naga, 
menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat! Hembusan 
angin dingin selalu menyertai setiap sambaran 
tangannya. 
Pradipta yang selama ini hanya mendengar kehe-batan 
pendekar itu, menjadi terkejut bukan main! Ruang 
geraknya dirasakan semakin sempit. Bahkan, kaki dan 
tangannya terasa agak kaku. Karuan saja pemuda 
berwatak cabul itu mengomel panjang.

"Jahanam! Hawa dingin keparat ini benar-benar 
membuat gerakanku terhambat...!" geram Adipati Setya 
Bumi yang semakin marah terhadap lawan-nya. 
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke-tujuh 
puluh enam, Adipati Setya Bumi merasakan tubuhnya 
kian sukar bergerak, dan tak sanggup lagi menghindari 
sebuah hantaman telapak tangan lawannya. Sehingga, 
hantaman itu menghajar telak dadanya! Dan.... 
Blaggg! 
"Huakhhh...!" 
Dibarengi darah segar muncrat dari mulutnya, tubuh 
pemuda berwatak cabul itu terjungkal ke belakang. 
Terdengarlah suara berdebuk keras ketika tubuh Adipati 
Setya Bumi terbanting di atas tanah. 
"Hmrrr...." 
Pemuda tampan berwatak cabul, yang selalu 
menebarkan bencana bagi gadis-gadis cantik itu, 
menggigil hebat! Pukulan telapak tangan Panji yang 
mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan", tak sanggup 
ditahannya. Akibatnya, pemuda itu tidak mampu lagi 
bangkit dan berdiri. 
Panji yang tidak bermaksud membunuh lawan-nya, 
segera melompat dan menotok lumpuh pemuda tampan 
berwatak cabul itu. Pendekar Naga Putih yang tengah 
merunduk dekat tubuh Pradipta, berge-gas menoleh 
ketika mendengar beberapa langkah kaki datang 
menghampirinya. 
"Trijanti, kau tidak apa-apa...?" Tanya Panji cemas. 
Kemudian sepasang matanya beralih me-mandang dua 
orang lelaki yang mendampingi gadis cantik itu. 
"Kenalkan, Pendekar Naga Putih. Kedua orang ini 
bemama Ki Ringgo. dan Ki Banggali. Merekalah yang 
telah menolongku dari ancaman kedua pembantu 
pemuda iblis itu," jelas Trijanti segera memperkenal-kan


kedua lelaki setengah baya yang mendampingi-nya, 
ketika menangkap sinar keheranan di mata Panji. 
"Aku sendiri bernama Ambar Sukma, istri jaha-nam 
keparat itu," terdengar suara merdu yang menyimpan 
duka dari sebelah belakang Trijanti, Ki Ringgo dan Ki 
Banggali. 
"Ah, maaf, aku sampai melupakan Gusti Ayu...," ucap 
Trijanti tersenyum malu. "Beliau ini putri Adi-pati 
Sunggara, yang menurut keterangan Paman Banggali, 
Adipati Sunggara dibunuh oleh pemuda jahanam yang 
berhati jahat itu...," jelas Trijanti kepada Panji. 
"Benar, Pendekar Naga Putih. Pemuda keji ini pan-dai 
sekali menyembunyikan sifat aslinya. Sehingga, Adipati 
Sunggara bersedia menerimanya sebagai menantu. 
Selama tinggal di Istana Kadipaten, ia se-lalu 
menunjukkan sifat yang menyenangkan. Tapi, itu hanya 
kurang lebih sebulan. Selebihnya pemuda iblis yang 
bernama Pradipta itu menampakkan sifat aslinya. Ketika 
Gusri Adipati berniat berburu ke Hutan Jonggol, beliau 
meminta Pradipta untuk mengawalnya. Tapi dengan 
alasan yang cerdik, pemuda itu mengatakan ia ingin 
tinggal di istana. Sewaktu aku, Gusti Adipati, dan 
seorang pengawal lainnya tiba di dalam hutan, tiba-tiba 
muncul perampok yang dipimpin oleh lelaki tinggi besar 
yang berjuluk Raja Kera Kulit Baja itu," Ki Banggali 
menunda cerrtanya, dan menarik napas. 
Panji tidak berusaha sama sekali mendesak ke-
lanjutan cerita itu. Ditunggunya ucapan lelaki sete-ngah 
tua, yang ternyata salah seorang pembantu setia 
Almarhum Adipati Sunggara, sepertinya Ki Banggali tahu 
persis tentang kematian Adipati Keda-wung itu. 
"Meskipun kepala rampok itu memiliki kepan-daian 
yang tinggi, kami bertiga masih mampu mengatasinya. 
Tapi, saat kami berada di atas angin, tiba-tiba

muncullah pemuda biadab itu. Semula kami menduga 
kedatangannya bermaksud membela kami. Namun, 
dengan liciknya, Pradipta menikam tubuh Gusti Adipati 
Sunggara dari belakang. Maka, Gusti Adipati Sunggara 
pun tewas. Aku dan kawan-ku berusaha melawan sekuat 
tenaga. Tapi, karena kepandaian pemuda sangat tinggi, 
kami berdua pun dapat ditundukkannya. Sayang, 
pemuda biadab itu tidak sempat memperhatikan secara 
jeli. Kalau tidak tewas karena tusukan senjatanya. 
Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan 
gerombolan pe-rampok itu. Ternyata mereka dibantai 
habis untuk menghilangkan jejaknya. Baru setelah 
pemuda iblis itu lenyap, aku bangkit dan mencoba 
bertahan hidup. Untunglah pada saat tubuhku 
menderita luka parah, Ki Ringgo datang menolongku. 
Setelah saling menceritakan persoalan masing-masing, 
kami mengerti kalau orang yang dicari Ki Ringgo adalah 
Pradipta," jelas Ki Banggali menutup ceritanya. 
"Lalu, bagaimana Paman bisa sampai di tempat ini 
bersama dengan prajurit kadipaten...?" Tanya Panji 
sambil mengedarkan pandangannya ke bari-san prajurit 
berkuda, yang tengah berkumpul di belakang Ki 
Banggali. 
"Tak berapa lama Pradipta pergi, Ki Banggali dan Ki 
Ringgo rupanya selalu mengikuti perkembangan di 
kadipaten dan segera mendatangiku," kali ini yang 
menyahuti adalah Ambar Sukma. "Ketika men-dengar 
keterangan Paman Banggali, aku langsung 
mempercayainya. Karena beliau selalu setia men-
dampingi ayahku. Selain itu, aku pun sudah lama 
mengetahui tentang sifat-sifat jelek suamiku itu. Dengan 
membawa prajurit-prajurit pilihan, kami berniat hendak 
menghukum Pradipta. Tapi, ter-nyata semua telah dapat 
diselesaikan oleh Pendekar Naga Putih," senyum gadis

cantik putri Adipati Sunggara itu melebar ketika 
mengucapkan kata-kata terakhirnya. 
"Sekarang kami akan membawa pemuda biadab ini, 
untuk dihukum gantung di depan rakyat Kadi-paten 
Kedawung. Dan, kami mengucapkan terima kasih atas 
bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu 
kami mengalami kesulitan untuk me-nundukkan 
pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi itu," ujar 
Ki Banggali lagi sambil memerintah-kan beberapa orang 
prajurit untuk mengangkat tubuh Pradipta yang sudah 
tidak berdaya itu. 
Tanpa diperintah dua kali, empat orang prajurit bergegas 
membawa tubuh Pradipta, dan disatukan dengan tubuh 
Burja serta Sadira. 
"Eh, ke mana perginya, Pendekar Naga Putih...?" Ki 
Banggali yang sempat terlupa akan keberadaan pemuda 
itu karena tengah sibuk memperhatikan kerja para 
prajuritnya, menjadi terkejut ketika tidak menemukan 
sosok pemuda yang menimbulkan rasa kagumnya itu. 
Ki Ringgo, Trijanti, dan Ambar Sukma pun sama 
mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih telah 
lenyap tanpa pamit. Sehingga, untuk beberapa saat 
lamanya, mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran 
mereka masing-masing. 
"Ah, pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati, 
yang selalu mengulurkan tangannya meno-long orang 
lain tanpa pamrih...," desah Trijanti ter-ingat akan 
pertolongan pemuda tampan itu ketika dirinya tengah 
terancam maut. 
Sedang yang lainnya hanya mengangguk tanpa kata. 
Pikiran mereka masih dipenuhi oleh sosok Pendekar 
Naga Putih, yang lenyap begitu saja saat orang lain 
sibuk, dan tidak memperhatikannya.
*** 
 Nun jauh di luar Hutan Jonggol, sesosok tubuh 
berjubah putih melangkah lambat menyusuri jalan 
berbatu. Dialah Pendekar Naga Putih, yang kembali 
melanjutkan perjalanannya untuk mencari kekasih-nya. 
"Kenanga..., entah bagaimana nasibmu. Mung-kinkah 
engkau selamat dari kebuasan alam ketika terjadi 
musibah di kapal dagang itu...?" desah panji sambil 
menengadahkan kepalanya dan menatap gumpalan 
awan. Hati pemuda itu semakin gundah ketika teringat 
nasibnya. (Untuk lebih jelas tentang lenyapnya Kenanga, 
baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode 
"Terdampar di Pulau Asing"). 


                           SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar