T. Hidayat
KUMBANG MERAH
CINTAMEDIA
penerbit buku silat bermutu
KUMBANG MERAH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku Ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Kumbang Merah
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Haiiit...!"
Suasana pagi yang tenang di Hutan Ranggat, di-
sentakkan suara teriakan yang nyaring dan meng-
getarkan. Beberapa ekor burung yang tengah ber-
cengkerama di atas dahan-dalah pohon, beterba-ngan
karena terganggu ketenangannya.
Sedangkan sosok tubuh langsing, yang mengena-kan
pakaian berwarna biru muda itu, mengiringi teriakannya
dengan sebuah lesatan kilat. Selarik sinar putih
berkeredep menyertai sambaran tangan-nya.
"Aih...!"
Dua orang lelaki bertampang kasar berteriak kaget
ketika mellhat datangnya sambaran senjata dari sosok
berpakaian biru muda itu. Meskipun dengan wajah
pucat, keduanya berusaha mengelak-kan serangan maut
itu dengan melempar tubuhnya ke belakang, dan
bersalto di udara.
Namun, sosok berpakaian biru muda itu bergerak
lebih gesit. Begitu serangannya luput, sosok tubuh
langsing itu menotolkan kakinya ke tanah. Seketika itu
juga, tubuhnya melenting dengan disertai sam-baran
senjatanya yang mengeluarkan sinar putih.
Wuttt! Wuttt!
Hebat dan cepat sekali putaran senjata yang di-
lakukan sosok berpakaian biru muda itu. Samba-ran
angin pedangnya menimbulkan bunyi menga-ung tajam.
Jelas kalau tenaga yang dimilikinya cukup kuat
Sementara, dua orang lawannya yang masih ber-putar
di udara, semakin pucat wajahnya. Sadar kalau
keselamatan mereka terancam, maka kedua-nya nekat
memapaki pedang lawan dengan lontaran pukulan.
Rupanya mereka memilih cacat daripada harus tewas di
tangan sosok tubuh langsing itu.
"Hmh...!"
Terdengar dengus penuh ejekan dan sosok ber-
pakaian biru muda itu. Dengan gerakan cepat dan tak
terduga, pedang di tangannya diputar dengan gerakan
melingkar. Kemudian menyambar cepat ke arah perut
kedua orang lelaki bertampang kasar itu. Dan...
Bret! Bret!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sambaran senjata maut Itu merobek bagian de-pan
tubuh mereka. Darah segar menyembur mem-basahi
tanah berumput kering yang berada di bawahnya.
Dengan diiringi jerit kematian yang menyayat, tubuh
kedua orang itu terbanting dan tewas seketika.
“Tahu rasa kau, Manusia-manusia Busuk...!" Desis
sosok berpakaian biru muda itu dengan sinar mata
galak. Rupanya ia seorang gadis muda yang cantik dan
penuh daya pikat.
Namun, kelegaan di hati gadis cantik itu tidak
berlangsung lama. Beberapa lelaki bertampang ka-sar
lainnya, tampak kembali bergerak dan menge-pungnya.
Sorot kebencian tergambar jelas pada wajah-wajah kasar
itu.
"Wanita cantik ini tidak boleh dikasih hati! Ter-lalu
enak kalau dibunuh begitu saja. Kita harus
menangkapnya hidup-hidup. Kemudian kita nikmati
tubuhnya beramai-ramai, baru kita cincang Kunti-lanak
itu!" terdengar suara bernada geram yang di-ucapkan
salah seorang dan lelaki kasar itu. Wajah-nya yang
kehitaman tampak semakin gelap karena hawa marah.
"Benar, Kakang. Kuntilanak ini harus kita siksa
sebelum dibunuh!" timpal lelaki bermata picak yang
berada di sebelah kanannya. Menilik dari sorot matanya,
jelas ucapan itu bukan sekadar gertakan belaka.
"Hm..„" lelaki brewok berkepala botak itu mende-ngus
kasar. Melihat dari sikapnya, dapat dipastikan kalau
lelaki itu merupakan pimpinan mereka.
"Serbu...!"
Sambil berteriak, lelaki brewok dan berkepala botak
itu meluruk dengan gerakan menyilang. Golok besar
yang bergerigi pada bagian matanya, diputar se-demikian
rupa sehingga membersitkan kilatan-kilatan maut.
Sedangkan sebelas orang pengikutnya, tidak mau
ketinggalan. Mereka bergerak menyebar dengan di-sertai
teriakan-teriakan ribut. Kemudian, mereka langsung
menyerbu gadis cantik itu dari segala penjuru.
"Hmh!"
Gadis cantik bermata galak itu mengeluarkan
dengusan tajam. Tubuhnya yang langsing dan padat itu,
berdiri dalam posisi kuda-kuda harimau. Sedangkan
pedangnya menyilang didepan dada dengan tangan kiri
berada di sebelah dalam.
Kefika kawanan lelaki kasar itu tepat berada dalam
jarak beberapa tindak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba
tubuh langsing itu melesat dengan kecepa-tan tak
terduga.
"Haiiit..!"
Terdengar teriakan gadis itu yang melengking panjang.
Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan
sinar yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Trang!
'Bret'
Terdengar jerit kematian ketika sambaran pedang di
tangan gadis cantik itu merobek dada salah seorang
lawannya, yang berada di sebelah kanan. Tubuh lelaki
malang itu terjungkal dan roboh mandi darah. Saat itu
juga nyawanya melayang meninggal-kan raga.
Bukan main murkanya lelaki berkepala botak itu
ketika menyaksikan pengikutnya tewas bersimbah
darah. Sambil mengeluarkan geraman keras, tubuh
tinggi besar itu langsung melesat maju mengibaskan
sen-jatanya.
Wuttt!
Serangkum angin tajam merobek udara. Kilatan badan
golok besar yang tertimpa cahaya matahari, bagaikan
tangan-tangan maut yang siap menerkam tubuh
lawannya.
Tapi, lelaki brewok berkepala botak itu lagi-lagi harus
menelan kedongkolannya. Karena sambaran gotoknya
hanya menerpa angin kosong. Sedangkan tubuh langsing
yang terbungkus pakaian biru muda itu, melesat dengan
gesit ke sampingnya. Bahkan, pedang di tangannya
mengancam lambung iawan. Jelas, kepandaian yang
dimilikinya tidak bisa diang-gap enteng.
"Setan...!" maki lelaki brewok itu sambil meng-
gulingkan tubuh, menghindari ancaman pedang Iawan.
Dengan akal licik, dilontarkannya beberapa pisau kecil
seraya tetap bergulingan menjauhi inca-ran senjata
Iawan.
"Keparat curang...!"
Sosok yang terbungkus pakaian biru muda itu memaki
kelicikan lawannya. Pedang di tangannya kembali
diputar dan membentuk gulungan sinar yang
menyelimuri sekujur tubuhnya. Terdengar suara
gemerincing nyaring ketika pisau-pisau se-panjang satu
jengkal itu membentur gulungan sinar pedangnya.
"Mampuslah kau...!" maki gadis itu sambil mengi-
baskan pedangnya, sehingga membentur dua pisau
lawannya. Gerakan itu memang dimaksudkan un-tuk
mengembalikan senjata rahasia yang dilepaskan
lawannya.
Cappp!
Crakkk!
" "Ughhh...!"
Lelaki berkepala botak yang baru saja bangkit itu
menjerit ngeri. Senjata rahasia yang dilepaskannya
menancap di kening dan belahan dadanya. Karuan saja
tubuh tinggi besar itu langsung ambruk, dan
menggelepar menanti ajal. Darah bercucuran di ta-nah,
dan nyawanya terbang dengan mata terbelalak.
Menyaksikan pemimpin mereka tewas di tangan gadis
itu, tanpa diberi perintah lagi, para pengikut-nya yang
masih selamat berhamburan melarikan diri.
Sedangkan gadis berpakaian biru muda itu, sama
sekali tidak berusaha mengejar lawan-lawannya. Hanya
matanya tak berkedip mengikuti bayangan tubuh
lawannya yang melarikan diri. Seulas senyum mengejek
membayang di wajai cantik itu.
Mendadak, gadis berpakaian biru muda itu me-mutar
tubuhnya ketika mendengar suara tepukan di
belakangnya. Dan, sepasang matanya yang indah itu
tertegun menatap sosok pemuda berpakaian sutera
putih.
"Hebat, sungguh membuat hatiku benar-benar kagum
sekali. Kali ini, kawanan anjing-anjing kelaparan itu
benar-benar terkena batunya," sambil mengeluarkan
kata-kata yang bernada pujian, kaki-nya melangkah
menghampiri. Bahkan, sepasang matanya yang bersinar
tajam itu, sama sekali tidak menyembunyikan
kekagumannya.
***
Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru
muda itu berdiri bengong. Bukan ketampanan sosok
berpakaian sutera putih itu yang membuat-nya terpaku
seperti patung. Tapi, kehadiran sosok itu yang
membuatnya terheran-heran. Karena, sama sekali tidak
diketahuinya, sejak kapan orang itu datang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak? Dan, apa maksud
ucapanmu itu?" tegur gadis itu dengan suara tajam, dan
tidak bersahabat Bahkan sinar mata dan tari-kan
wajahnya menampakkan rasa curiga.
"Ah! Maaf..., maaf.... Apakah kau benar-benar seorang
manusia biasa...?" ujar sosok yang temyata seorang
pemuda tampan itu dengan suara gagap. Bahkan, raut
wajahnya jelas memancarkan ketidak-percayaan. Seolah-
olah bukan gadis itu yang tengah berdiri di hadapannya.
Melainkan sesuatu yang telah membuatnya terpesona
sekaligus gentar.
Tentu saja gadis itu menjadi heran melihat kelakuan
pemuda tampan yang berbicara gagap itu. Namun,
sesaat kemudian, sinar matanya kembali berkilat penuh
ancaman.
"Kurang ajar...! Apakah kau mengira aku sebang-sa
siluman?" geram gadis cantik itu marah.
"Ah! Bukan..., bukan itu maksudku. Tapi, kau..., kau
cantik sekali. Seperti... seperti seorang dewi dari langit...
Maafkan kalau aku bersikap kurang patut," pinta
pemuda tampan itu, sambil merangkapkan telapak
tangannya dan membungkuk dalam-dalam. Nyata sekali
kalau ia tidak bermaksud main-main. Karena semua itu
terlihat jelas di wajahnya.
"Kau..., kau kurang ajar...," maki gadis itu, de-ngan
wajah kemerahan dan bibir menyembunyikan senyum
senang. Jelas, ia tengah berusaha menutupi rasa bangga
karena dipuji pemuda tampan itu. Se-hingga, tekanan
pada ucapannya tidak sekeras dan seketus semula.
Apa yang dirasakan gadis berpakaian biru muda itu,
memang wajar dan bisa terjadi dengan wanita mana
saja. Hati wanita mana yang tidak merasa bangga
mendengar pujian tentang kecantikannya yang
menyamai dewi dari langit? Apalagi yang me-lontarkan
pujian itu seorang pemuda tampan. Tentu saja pujian itu
membuat hatinya berbunga.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku ber-maksud
kurang sopan. Tapi, terus terang apa yang kuucapkan
itu, memang keluar dari lubuk hatiku yang paling dalam,
tanpa berniat kurang ajar sedikit pun. Maafkan atas
keterusteranganku ini, mmm...," ujar pemuda tarnpan
itu menggantung ucapannya. Sepertinya, gadis itu
tengah dipancingnya untuk memperkenalkan diri.
"Sudahlah. Di antara kita tidak ada urusan. Aku
pergi...," pamit gadis itu yang segera membalikkan
tuuhnya hendak meninggalkan Hutan Ranggat.
"Nisanak, tungguuu...!" cegah pemuda tampan itu
sambil berlari mengejar. Dan, sekali berkelebat saja,
tubuhnya telah berada beberapa tombak dari tem-pat
aemula.
Gadis berpakaian biru muda itu menunda lari-nya,
ketika merasakan sambaran angin lewat di samping
kanannya. Dan, tanpa diketahuinya pemu-da berpakaian
sutera berwarna putih itu, telah ber-diri di hadapanriya
dalam jarak satu tombak.
"Hra... Rupanya kau memiliki kepandaian, dan akan
berbuat kurang ajar padaku? Hm..., jangan kau kira,
aku takut dengan kepandaianmu yang tinggi itu?
Majulah...," tantang gadis cantik itu de-ngan sikap siap
tempur. Bahkan, tangan kanannya terlihat sudah
meraba gagang pedang di pinggang-nya.
"Sabar, sabar dulu, Nisanak," ucap pemuda tam-pan
itu sambil menggoyang-goyangkan telapak ta-ngannya
mencegah. "Aku sama sekali tidak bermak-sud jelek.
Hanya..., kalau boleh, aku ingin menge-tahui namamu
dan tujuanmu," lanjut pemuda itu dengan nada yang
sopan dan simpatik.
Sebenarnya gadis itu sudah merasa marah dan ingin
memberikan pelajaran kepada pemuda itu. Namun,
melihat sikapnya yang sopan, diam-diam timbul rasa
suka di hati gadis itu. Tapi, perasaan itu ditutupinya
dengan ucapan ketus dan sinar mata yang dibuat
segalak mungkin. Dan, ia pun tidak segera menjawab
pertanyaan pemuda itu.
Pemuda tampan itu rupanya menyadari kekeli-ruan
yang dibuatnya. Maka, cepat-cepat ia melan-jutkan kata-
katanya dan memperkenalkan diri ter-lebih dahulu.
"Mmm..., maaf. Namaku adalah Pradipta. Tujuan
perjalananku ke Selatan. Nah, apakah keterangan
tentang diriku sudah cukup memenuhi syarat untuk
mengenalmu...?" ujar pemuda tampan itu dengan sikap
yang sopan dan tidak mencerminkan watak seorang
pemuda ceriwis. Sehingga, rasa simpati di hati gadis itu
kian bertambah.
"Hm..., sebenarnya aku tidak ingin berkenalan dengan
sembarang orang Tapi, melihat sikapmu yang sopan, aku
memberi sedikit kelonggaran untuk mengenalku.
Namaku Trijanti. Aku tidak mempu-nyai tujuan yang
pasti. Tapi perjalanan kita satu arah. Nah, apakah sudah
cukup keterangan tentang diriku?" balas gadis itu
tersenyum.
"Wah, kalau begitu, kita setujuan!" sambut Pra-dipta,
dengan senyum gembira. "Mmm..., bagaimana kalau kita
melakukan perjalanan bersama-sama...? Tentu saja
kalau Nisanak tidak keberatan?" sam-bung Pradipta
masih dengan gayanya yang enak di-pandang mata.
"Maaf, sebagai seorang wanita, aku tidak bisa me-
lakukan perjalanan dengan orang yang sama sekali tidak
kukenal. Jadi, sebaiknya kita mengambil jalan sendiri-
sendiri saja," sahut Trijanti yang segera me-langkahkan
kakinya melewati pemuda tampan di depannya itu.
'Tapi, bukankah kita sudah berkenalan, Tri-janti...?"
desak Pradipta yang mengekor di belakang gadis cantik
Itu.
Kali ini gadis berpakaian biru muda bernama Trijanti
itu tidak mempedulikannya sama sekali. Kakinya terus
diayunkan, kemudian berlari cepat meninggalkan
pemuda ita Bahkan ia tidak menoleh ke belakang satu
kali pun.
'Trijanti...!" panggil Pradipta tanpa berusaha me-ngejar
gadis cantik itu. la hanya berdiri memandangi bayangan
Trijanti yang lenyap di balik rimbunnya pepohonan
hutan.
***
Saat itu, kemilau jingga telah merona di ufuk Barat
Sebentar kemudian, senja pun merayap me-nyelimuti
permukaan bumi ini. Suara-suara bina-tang malam pun
terdengar menyambut kedatangan sang malam.
Trijanti yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di
atas pembaringan kayu, menatap kosong ke langit-langit
kamar tem-patnya melewatkan malam ini. Namun,
sepasang mata bening itu tampak me-nyembunyikan
segumpal resah. Semua itu terlihat dari sorot matanya
yang hampir tidak berkedip menatapi langit-langit
"Hhh...."
Terdengar sebuah tarikan napas panjang sebagai
ungkapan rasa resah. Kemurungan tampak semakin
nyata tergambar di wajahnya. Kemudian ia bergerak
bangkit dan duduk di atas pembaringan. Masih de-ngan
wajah murung, gadis cantik itu kembali terme-nung.
"Gila...!" desis gadis cantik itu menghela napas berat
"Mengapa wajah pemuda tampan itu tidak mau hilang
dari benakku? Apa sebenarnya yang terjadi denganku?
Belum pernah aku merasakan keanehan ini. Atau...,
apakah aku telah tertarik dengan pemuda bernama
Pradipta itu...?"
Setelah bergumam demikian, tubuhnya dilurus-kan
sejenak, kemudian kakinya melangkah gontai ketuar
dari dalam kamarnya.
Sejak berjumpa Pradipta dua hari yang lalu, Tri-janti
merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya.
Mulanya ia tidak begitu mempedulikannya, dan
menganggap hal itu sesuatu yang wajar. Namun, makin
lama perasaan aneh itu kian ber-kembang, dan
membuat hatinya selalu resah. Dan, ia pun mulai
menyadari, apa sebenarnya yang te-ngah dialami. Dalam
usianya yang sudah mencapai sembilan belas tahun,
Trijanti segera dapat mene-bak perasaan yang
lerkandung dalam hatinya.
Dengan langkah perlahan, gadis cantik yang memiliki
kepandaian tinggi itu bergerak menuju taman belakang
rumah penginapan yang terletak di Desa Waru itu.
Dengan gerakan yang tanpa sema-ngat, Trijanti
menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah bangku bambu di
dalam taman itu.
"Aneh, mengapa sekarang aku begitu mudah ter-tarik
kepada seorang pemuda?" kembali batin Tri-janti
bergumam. "Padahal bukan hanya Pradipta saja yang
kukenal. Cukup banyak pemuda-pemuda yang jagah dan
tampan berkunjung ke tempatku semasa aku berada di
Gunung Buntar. Karena sahabat-sahabat guruku kerap
berkunjung dan membawa murid-muridnya. Tapi, aku
tidak pernah mengalami perasaan seperti saat ini.
Perkenalan dengan murid-murid sahabat guruku itu,
sama sekali tidak menggangguku, meskipun mereka
telah pergi meninggalkan Gunung Buntar. Tapi,
mengapa perasaan aneh ini timbul setelah berjumpa
dengan Pradipta...?"
Trijanti kembali menghela napas resah. Bayangan
pemuda tampan yang telah membuat hatinya geli-sah,
benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Setiap kali
pandangannya diarahkan ke satu benda, selalu saja
bayangan Pradipta muncul dengan gaya dan senyumnya
yang sangat simpatik itu. Semua gangguan itu tentu saja
membuatnya jengkel. Se-hingga, tidak jarang wanita
cantik itu memukul ke-ningnya perlahan, atau
menggoyangkan kepalanya keras-keras. Seolah-olah
dengan berbuat demikian, bayangan Pradipta dapat
hilang dari benaknya.
Setelah dua hari bayangan itu tidak mau juga le-nyap.
Kini sadarlah Trijanti kalau dirinya telah jatuh hati
kepada pemuda tampan itu. Terkadang ucapan-ucapan
pemuda itu terngiang kembali di telinganya. Dan,
ingatan itu mau tak mau membuatnya terse-nyum
seorang diri.
Demikian pula halnya dengan malam itu. Keresa-han
dan rasa ingin berjumpa dengan Pradipta, membuat
gadis cantik itu tidak bisa memicingkan mata sekejap
pun. Bahkan, kegembiraannya selama ini seperti lenyap.
Sehingga, ia merasa hari-hari yang dilaluinya kosong dan
tidak menyenangkan.
"Siapa...?"
Tiba-tiba saja Trijanti bergerak bangkit ketika
mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Telinga
gadis itu sangat jelas menangkapnya. Pada-hal, saat itu
ia tengah tenggelam dalam lamunan-nya.
Tapi, semua itu bukan karena pendengaran Tri-janti
yang tajam. Melainkan, langkah kaki itu se-ngaja
diberatkan agar gadis itu dapat mendengar-nya.
Sehingga, meskipun tengah tenggelam dalam lamunan,
suara langkah berat itu pasti tertangkap oleh
pendengarannya.
"Sss... siapa...?"
Trijanti mengulang pertanyaannya. Dengan suara yang
agak gagap dan tegang. Karena, sepasang matanya
menangkap sosok berpakaian sutera putih yang tampak
gemerlap ditimpa cahaya rembulan.
Sosok tegap berpakaian sutera putih itu melang-kah
tenang menghampiri Trijanti yang bagaikan tersihir.
Gadis itu hanya berdiri dan menatap seperti patung.
Sedangkan dadanya bergemuruh dilanda ketegangan.
"Kau...?" jerit hati Trijanti setengah tak percaya.
Namun, ucapan itu tidak sampai terucap di bibir-nya.
Tentu saja, sosok berpakaian putih itu sama sekali tidak
mendengarnya.
Sepasang mata Trijanti terbelalak ketika melihat raut
wajah sosok tubuh itu. Apalagi pancaran sinar bulan
tepat menerangi-nya. Sehingga, wajah sosok tubuh tegap
itu bagaikan mengeluarkan sinar. Di-tambah lagi dengan
jubah sutera putihnya yang semakin bercahaya. Semua
itu benar-benar merupa-kan pemandangan yang sangat
mempesona. Wajar kalau beberapa saat lamanya gadis
itu hanya bisa memandang dengan sepasang mata
penuh kagum.
***
DUA
"Apa kabar, Dik Trijanti...?" sapa Pradipta lembut Uca-
pannya lebih mirip dengan suara bisikan.
Namun, bagi Trijanti sendiri, sapaan itu telah
membuatnya sadar dari sikap bodohnya Karuan sa-ja
gadis cantik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Tampak rona kemerahan pada kedua pipi-nya. Pertanda
ia merasa malu dengan kelakuannya sendiri. Tapi,
semua itu merupakan ungkapan pera-saan hatinya yang
terdalam. Itu yang membuat Trijanti semakin merasa
jengah. Sehingga, ia tetap menyembunyikan wajahnya
seraya menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh.
"Mengapa kau berada di tempat ini? Apa kau me-mang
sengaja menguntitku...?" tegur Trijanti tajam sambii
tetap menyembunyikan wajahnya. la tidak ingin pemuda
itu mengetahui apa yang tersimpan di matanya. Apabila
ia mengangkat wajahnya, tentu saja pemuda itu akan
mengetahui perasaannya yang melekat pandangan
matanya.
"Maafkan aku, Trijanti... Aku tidak bisa membo-hongi
perasaanku. Secara jujur kuakui semenjak pertemuan
kita di Hutan Ranggat, aku benar-benar tidak bisa
melupakanmu. Karena itu aku mengikuti perjalananmu.
Sekali lagi aku mohon maaf apabila perbuatanku kau
anggap tidak sopan...," sahut pemuda tampan
berpakaian sutera putih itu, yang tak lain adalah
Pradita.
Tak mengherankan bila pemuda tampan itu me-
ngetahui tempat Trjanti menginap. Rupanya ia sengaja
menguntit perjalanan gadis cantik itu. Tidak aneh kalau
tiba-tiba Pradipta muncul di hadapan Trijanti
"Kau... apa... apa maksudmu sebenarnya..? Ta-nya
Trijanti dengan suara bergetar karena menahan
perasaannya. Ucapan pemuda tampan itu telah
membuatnya terpaksa mengangkat kepala, dan menata
tajam bola mata Pradipta. Seolah ia ingin mencari bukti
dari bola mata pemuda yang telah menimbulkan
perasaan resah di hatinya itu.
"Trijanti... kau cantik sekali malam ini...," ter-dengar
suara pujian bernada lembut, yang meluncur begitu saja
dari mulut Pradipta. Sambil berkata de-mikian, pemuda
itu kembali melangkah mendekati gadis cantik itu, yang
membuat hatinya berdebar tak karuan.
"Kau laki-Iaki tidak sopan...! Rupanya kau se-orang
perayu ulung. Dan, kau sengaja ingin meng-goda dan
menjeratku! Huh! Sayang, kau salah me-nilai orang!
Rayuan mautmu tidak akan dapat men-jebakku...!"
Desis Trijanti ketus. Setelah berkata demikian, gadis itu
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak tahan
melihat sinar mata pemuda itu, yang sama sekali tidak
menyembunyikan rasa kagumnya. Sehingga, wajah gadis
cantik itu pun kembali dijalari warna kemerahan.
"Trijanti..., begitu rendahkah penilaianmu terha-dap
diriku? Salahkah kalau aku tertarik kepada-mu?"
dengan suara bergetar Pradipta terus melang-kah.
Tampak wajahnya agak pucat ketika ia berhen-ti
beberapa langkah di depan gadis cantik itu. Di-tatapnya
wajah Trijanti dan sinar matanya seolah-olah menuntut
jawaban.
"Hm.... Kita baru saja bertemu dan itu pun hanya
sekilas. Mengapa kau begitu mudah melontarkan kata-
kata pujian? Aku yakin pujian-pujianmu itu selalu
kauucapkan setiap kali berjumpa dengan ga-dis-gadis
cantik lainnya. Nah, apa kau mau me-nyangkal...?"
kembali terdengar suara ketus Trijanti dengan disertai
dengusan mengejek. Sedang wajah-nya tetap berpaling
dan sama sekali tidak menoleh ke arah Pradipta.
"Hhh..., apa pun penilaianmu tentang diriku, itu
adalah hakmu. Tapi, cobalah kau jawab pertanya-anku
Ini. Salahkah bila kita melihat sesuatu yang indah
kemudian memujinya? Ataukah kau lebih suka dengan
sikap munafik dan berpura-pura men-cemooh. Padahal,
kau bisa melihat pujiannya dari pancaran sinar
matanya? Haruskah dia mengatakan kau jelek dan
berpura-pura membencimu, tapi Ke-nyataan yang
sesungguhnya justru berlawanan?" ujar Pradipta
kembali menyeret langkahnya, sehing-ga jarak di antara
mereka tinggal terpaut satu lang-kah.
Dengan sangat pandainya, Pradipta terus mende-sak
Trijanti dengan ucapan dan sikap yang simpa-tik. Sekilas
terlihat kilatan aneh di mata pemuda tampan itu.
Sayang, gadis cantik itu tidak melihat-nya, karena ia
masih saja tidak menoleh ke arah Pradipta. Sehingga, ia
pun tidak menyadari bibir pemuda tampan Itu tampak
menyunggingkan senyum yang mempunyai makna
beragam.
"Trijanti...," panggil Pradipta sambil tangannya
menyentuh bahu gadis cantik itu. Melihat dari sikap dan
caranya menghadapi Trijanti, pemuda itu sudah dapat
menebak isi hati gadis cantik di depannya. Tak heran
kalau ia semakin berani menyentuh bahu Trijanti.
Trijanti yang ekor matanya melihat gerakan ta-ngan
pemuda itu, bergegas melangkah mundur. Di-tatapnya
wajah pemuda itu dalam jarak empat lang-kah. Sekilas
terlihat sinar berkilat pada sepasang matanya yang
bening. Jelas, kalau ia tidak suka dengan apa yang akan
dilakukan Pradipta terhadap dirinya.
Tatapan mata Trijanti yang semula menyiratkan
kemarahan itu, mendadak lembut ketika beradu
pandang dengan pemuda tampan di depannya.
"Pandanglah mataku, Trijanti. Lihatlah, apakah kau
menemukan kebohonganku?" ujar Pradipta de-ngan
nada lembut, namun mengandung getar-getar aneh yang
tidak mengerti oleh Trijanti. Tanpa mem-bantah, gadis
itu balas menatap sepasang mata tajam pumuda tampan
itu.
"Dengarlah, Trijanti. Aku sayang padamu, dan tidak
ingin melihat kau murung," desis pemuda tampan itu
dengan sepasang mata melekat pada bola mata Trijanti.
Sambil berkata demikian, sepa-sang tangannya
memegang kedua bahu gadis cantik itu.
Ucapan lembut yang mengandung getar-getar uneh itu
sepertinya mampu meluluhkan hati Tri-janti. Sinar
matanya tampak mulal meredup. Dan ia tidak herusaha
mengelakkan sentuhan tangan Pra-dipta. Malah gadis
cantik itu tidak kuasa lagi mena-han perasaan hatinya.
Sehingga, ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan
pemuda tampan itu, ia sama sekali tidak memberontak.
"Katakan, Trijanti, apakah kau memiliki perasaan yang
sama denganku,..?" bisik Pradipta sambil me-meluk
lembut tubuh gadis cantik itu. Bahkan, uca-pannya
diakhiri dengan sebuah kecupan lembut pada rambut
Trijanti, yang kepalanya sudah dire-bahkan ke dada
pemuda tampan itu.
"Ya, Kakang, aku pun mempunyai perasaan yang
sama denganmu," sahut Trijanti tanpa mengangkat
kepalanya dari dada. Ucapannya terdengar seperti
sebuah bisikan. Namun, tertangkap jelas di telinga
pemuda tampan yang semakin mempererat pelukan-nya.
"Kau sayang padaku...?" desak Pradipta lagi, te-tap
dengan nada yang lembut dan menggetarkan.
"Aku sayang padamu, Kakang...," kembali terde-ngar
jawaban Trijanti menyahuti.
"Ah, syukurlah kalau begitu," desah Pradipta se-raya
membelai lembut punggung gadis cantik itu. "Hm....
Udara di luar terasa semakin dingin, Adikku. Mari kita
kembali ke kamarmu...," ajak pemuda tampan itu sambii
mendekatkan bibirnya ke telinga Trijanti. Dan, ajakan
itu dijawabnya dengan anggu-kan kepala.
Dengan sebelah tangan tetap merengkuh tubuh
Trijanti, Pradipta melangkah menuju kamar gadis itu.
Sedangkan Trijanti sendiri tetap merebahkan kepalanya
di bahu pemuda tegap itu. Sebentar ke-mudian kedua
tubuh insan berlainan jenis itu lenyap di balik pintu
kamar penginapan Trijanti
Sementara di luar malam semakin bertambah la-rut.
Hembusan angin yang dingin semakin keras. Tampak
titjk-titik air mulai berjatuhan membasahi bumi.
***
"Ohhh...."
Gadis cantik itu mengeluh pendek sambil meng-
geliatkan tubuhnya yang hanya tertutup selembar kain.
Sepasang matanya terlihat mengerjap bebe-rapa kali,
untuk kemudian terbuka lebar.
"Aaah...!"
Tiba-tiba saja, gadis cantik yang tak lain Trijanti Itu
tersentak bangkit seperti disengat kalajengking. Dcngan
sepasang mata membelalak lebar, ia menu-tup mulutnya
dengan telapak tangan kiri. Sehingga, jeritannya
tertahan dan tidak sampai melengking.
"Oh, apa... apa yang telah terjadi dengan diriku?
Mengapa... mengapa... ohhh...," Trijanti tak sempat Ingin
meneruskan ucapannya. Karena ketika ia hen-dak
bergerak bangkit, sekujur tubuhnya dirasakan linu dan
nyeri. Sadar kalau sesuatu yang mengeri-kan telah
terjadi tanpa sepengetahuannya, gadis itu pun merintih
dan terisak.
Secara samar-samar, Trijanti mulai dapat meng-ingat
apa yang telah dialaminya semalam. Dan, ingatan itu
membuat air matanya semakin deras mengalir.
Ditahannya tangis yang hen-dak meledak, agar tidak
sampai terdengar penghuni kamar pengi-napan yang
lainnya. Sehingga, hanya terdengar sua-ra isak yang
memilukan mengalir dari kerongko-ngannya.
"Jahanam kau, Pradipta! Pasti kau yang telah
melakukan perbuatan keji terhadap diriku!" desis bibir
mungil itu bergetar.
Meskipun ia tidak tahu pasti mengapa dan bagai-
mana kejadian itu menimpa dirinya, Trijanti berge-gas
bangkit dan menyambar pakaiannya yang ber-serakan di
lantai. Dengan air mata yang masih tetap bercucuran,
gadis cantik itu segera mengenakan pakaiannya. Dan,
tanpa merapikan rambutnya ter-lebih dahulu, tubuh
gadis itu telah melesat melalui jendela, terus pergi
meninggalkan rumah pengina-pan, setelah meninggalkan
uang sewa kamarnya di atas meja kecil, yang terletak di
samping pembari-ngannya.
Trijanti berlari terus tanpa menghiraukan panda-ngan
mata beberapa orang petani, yang sempat berpapasan
dengannya di jalan. Hati gadis cantik itu benar-benar
hancur ketika teringat aib yang telah menimpa dirinya.
Langkah kakinya terhenti setelah ia berjalan cukup jauh,
dan kini ia telah berada di luar perbatasan Desa Waru.
Kemudian, ia langsung menjatuhkan kedua lututnya di
atas rerumputan yang masih dibasahi embun pagi.
"Guru..., ampunilah kelalaian muridmu yang bo-doh
dan tak berguna ini..," rintih Trijanti sambil menutupi
wajahnya dengan kedua telapak tangan. Butir-butir air
mengalir melalui celah-celah jemari-nya yang halus dan
lentik itu. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan
hati.
Entah sudah berapa lama Trijanti tenggelam dalam
penyesalan dan kedukaan yang dalam itu. Sedusedannya
sesekali masih terdengar, meski tubuhnya tetap
bersimpuh. Gadis cantik yang bernasib malang itu masih
tetap menyesali kecerobohannya.
Ketika raut wajah Pradipta melintas di benaknya, tiba-
tiba Trijanti bangkit dengan pandangan liar. Ia berdiri
tegak sambil menengadahkan kepalanya menatap langit
yang mulai cerah. Perlahan-lahan tangan kanannya
meraba hulu pedang Terdengar suara nemerincing ketika
senjata itu tercabut dari sarungnya.
"Pradipta, Manusia Terkutuk! Demi langit dan bumi,
aku bersumpah akan membalas hinaan ini dengan
taruhan nyawaku! Sampai ke ujung dunia, aku akan
mencarimu, Manusia Keji! Dan, noda yang melekat di
rubuhku ini, hanya dapat dicuci dengan darahmu!" ujar
Trijanti dengan suara parau dan bergetar. Sumpah itu
diucapkannya sambil mene-ngadahkan kepala dan
mengacungkan pedangnya ke langit
Usai mengucapkan sumpahnya, Trijanti kembali
menyarungkan senjatanya. Wajah cantik yang ma-sih
basah oleh genangan air mata itu, kini nampak pucat.
Sepasang mata beningnya tidak lagi meman-carkan
cahaya kehidupan, dingin dan tanpa pera-saan. Jelas
kalau kejadian yang menimpanya telah membuat Trijanti
seperti membenci segala apa yang terlihat matanya.
"Manusia keji tunggulah pembalasanku...!" geram
gadis cantik itu, kembali melanjutkan perjalanannya
dengan menggunakan ilmu lari yang dimilikinya.
Cukup lama gadis cantik bemasib malang itu ber-lari
seperti tidak mengenal lelah. Sebuah aliran sungai yang
membentang di depannya, membuat langkah Trijanti
terhenti. Sambil berdiri tegak, gadis cantik itu menatapi
sekelilingnya dengan pandangan tajam.
Mendadak saja. Sepasang mata sayu itu, terbela-lak
ketika secara samar matanya menangkap seso-sok
bayangan putih yang tengah berlari di seberang sungai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis cantik itu
langsung melesat melompati sungai yang cukup lebar
itu. Gerakannya yang gesit dan lincah, membuatnya
tidak mengalami kesulitan menyebe-rangi aliran sungai
itu. Sebentar saja, ia telah ber-ada di seberang sungai,
dan langsung memburu sosok bayangan putih yang
dilihatnya tadi.
Geram bukan main hati Trijanti ketika tiba di se-
berang sungai, sosok bayangan putih itu lenyap dari
pandangannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
ia hanya berdiri sambil mengerutkan keningnya seperti
tengah memikirkan sosok baya-ngan putih yang berlari
cepat tadi.
"Jahanam kau, Pradipta! Rupanya kau sengaja ingin
mempermainkan aku...!" desis Trijanti sambil
mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian diputus-
kannya untuk mencari sosok bayangan putih, yang
diduganya Pradipta itu. Tubuh ramping itu segera
berkelebat mengejar ke arah Barat.
Usaha gadis cantik itu tidak sia-sia. Sepasang
matanya menangkap sosok bayangan putih yang di-
lihatnya tadi. Cepat Trijanti memutar langkah dan
bergegas menyusul sosok bayangan itu, yang tengah
melintasi daerah perbukitan.
"Jahanam keparat! Jangan lari kau, Iblis...!" teriak
Trijanti sambil mengerahkan seluruh ilmu ke-
pandaiannya dalam berlari Karena sosok bayangan putih
itu terpisah beberapa puluh tombak di depan-nya,
tampak berlari dengan ringan dan gesit. Se-hingga, gadis
itu hanya berjuang keras agar dapat mengejarnya.
Trijanti semakin mempercepat larinya ketika ia melihat
sosok bayangan putih itu berhenti berlari, dan menoleh
ke arahnya. Karena sosok tubuh itu sempat menangkap
suara teriakan gadis itu. Sehing-ga ia menunggu
kedatangan Trijanti.
"Hm... mau lagi ke mana kau, Manusia Keji! Per-
buatan terkutukmu harus kau tebus dengan nya-wa!"
geram Trijanti. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung
melesat dengan putaran senjatanya.
"Eh...?!"
Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pe-muda
tampan itu, tampak mengerutkan keningnya ketika
melihat serangan Trijanti. Sadar kalau sera-ngan Itu
cukup berbahaya, cepat ia menggeser lang-kahnya ke
belakang dan melanjutkan dengan sebuah lompatan
panjang.
"Nisanak, ada apa ini...?" Cegah pemuda tampan Itu
sambil mengulurkan tangannya kedepan seperti mau
menghentikan serangan gadis cantik itu. Si-kapnya
mpak tetap tenang, dan sepasang matanya yang lembut
menyiratkan rasa heran.
Namun, uluran tangan pemuda itu disalahartikan
Trijanti. Dikiranya Iawan akan membalas serangan,
maka gadis cantik berwajah pucat itu segera memutar
senjatanya sampai menimbulkan suara mengaung tajam.
"Mampus kau, Bangsat Keji...!" maki Trijanti sam-bil
melompat dan melontarkan serangkaian sera-ngan yang
cepat dan ganas!
Whuuut! Whuuut!
Sambaran mata pedang yang berkelebatan itu
mengandung bahaya maut, tampak bergulung-gulung
mengincar tubuh sosok berjubah putih itu. Sehingga,
pemuda tampan itu kembali harus ber-lompatan untuk
menyelamatkan tubuhnya dari kibasan senjata Trijanti.
"Nisanak, tunggu! Apa salahku...?" seru pemuda
tampan itu sambil terus berlompatan ke kiri-kanan guna
menghindari sam-baran pedang yang cepat dan ganas
itu.
Hampir menangis Trijanti ketika hampir sepuluh jurus
melakukan serangan bertubi-tubi, tapi tak satu pun
serangannya mengenal tubuh Iawan. Sepertinya sosok
tubuh berjubah putih itu hanya bayangan yang selalu
mengikuti ke mana senjatanya berkelebat. Jangankan
untuk melukai sosok berju-bah putih itu, untuk
menyentuh jubahnya saja Tri-janti tidak mampu
melakukannya. Tak heran kalau gadis cantik itu
semakin marah dan penasaran dibuatnya.
"Mengapa kau tidak membalas seranganku, Ja-hanam!
Apa kau kira dengan berbaik hati seperti itu aku akan
mengampuni dosa-dosamu? Huh! Jangan harap,
Manusia Kotor...!" maki Trijanti sambil tetap
melontarkan serangannya.
Sosok berjubah putih, yang semula hanya menge-lak
tanpa melontarkan serangan balasan itu, rupa-nya mulai
kehilangan sabar. Sehingga ketika pedang Trijanti
meluncur lurus dan mengancam lambung-nya, pemuda
tampan itu segera menggeser tubuh-nya dengan posisi
miring. Ditolaknya pedang di tangan gadis itu dengan
sebuah sentilan yang tepat mengenai badan pedang
Trijanti.
Terdengar suara bergemerincing nyaring ketika
sentilan tangan pemuda itu mengenai pedang di tangan
Trijanti, sehingga senjata gadis itu terpental balik dengan
kerasnya! Bahkan kuda-kuda gadis cantik itu tergempur
sampai mundur. Dapat diba-yangkan, betapa hebatnya
kekuatan yang tersembu-nyi di balik sentilan jari tangan
pemuda Itu. Dan rasanya mudah sekali, kalau ia ingin
melumpuhkan gadis cantik yang tengah kesetanan itu
Tapi, pe-muda itu tidak mau melakukannya. Ia tetap
berdiri tegak menatapi tubuh Trijanti yang tengah
sempoyo-ngan akibat sentilan jari tangannya.
Trijanti sendiri terbelalak menyaksikan cara pe-muda
itu melumpuhkan serangan pedangnya. Dan, kalau saja
ia tidak menyaksikan dengan mata ke-palanya sendiri,
rasanya sukar sekali untuk per-caya. Trijanti menyadari
kepandaian yang dimiliki-nya. Jangankan seorang
pemuda seperti lawannya itu, bahkan gurunya sendiri ia
tidak yakin berani melakukan tangkisan dengan cara
seperti itu. Kare-na tenaga dalam yang dimilikinya boleh
dikatakan jarang dipunyai gadis seusianya. Wajar kalau
Tri-janti terbengong-bengong menatapi pemuda tampan
itu.
Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika dili-
hatnya wajah pemuda itu. Karena sosok tubuh ber-jubah
putih itu sama sekali bukan Pradipta seperti yang
diduganya, meskipun pemuda itu juga sangat tampan,
bahkan memiliki perbawa yang amat kuat
"Nisanak, mengapa kau menyerangku demikian
ganas? Rasanya kita belum pernah saling jumpa," ujar
pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara yang
lembut dan tenang. Hanya sepasang matanya saja yang
tajam menatap sosok Trijanti. Sehingga, gadis cantik itu
sempat tergetar hatinya.
"Kau... kau bukan Pradipta.... Bukan..., ya, kau bukan
pemuda iblis itu...," desis bibir mungil Tri-janti dengan
gagap dan bergetar. Bahkan, dalam nada ucapannya
terkandung isak dan sedu-sedan, yang membuat
pemuda itu mengerutkan keningnya, heran.
"Aku memang bukan Pradipta seperti yang kau duga.
Namaku Panji. Ada apa sebenarnya, Nisa-nak?" Tanya
pemuda berjubah putih yang ternyata bernama Panji.
Sekilas saja, ia sudah dapat meraba, penyebab gadis
cantik berwajah pucat itu menye-rangnya mati-matian.
"Bukan... kau bukan dia, aku harus mencari iblis
lerkutuk itu...," setelah bergumam dengan suara yang
hampir tak jelas, Trijanti membalikkan tubuh-nya dan
berlari meninggalkan Panji.
"Nisanak, tunggu...!" Panji yang melihat ketidak-
beresan pada wanita yang berpenampilan kusut itu,
segera berteriak mencegah, dan langsung melesat
mengejarnya.
Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dari pemuda
berjubah putih itu, membuatnya mampu bergerak
secepat kilat. Sekali lompatan saja, Panji telah berdiri
tegak menghadang jalan Trijanti.
"Mau apa kau...? Kau pasti sama jahatnya dengan
bangsat Pradipta itu! Dan, kau pun ingin menggunakan
ketampanan dan kepandalanmu un-tuk mencelakai aku,
begitu?" bentak Trijanti seraya melompat dengan disertai
serangan pedangnya. Se-hingga, Panji terpaksa
menghindarinya.
"Pergi kau! Pergi...!" sambil berteriak-teriak seperti
orang gila, Trijanti mengayunkan senjatanya secara
serampangan.
Dan, ketika Panji melompat menjauh, gadis cantik
yang hampir gila karena tekanan batin Itu, segera
melesat melarikan diri. Tampaknya ia merasa takut
kalau kejadian yang menimpa dirinya akan terulang
kembali.
Panji tidak berusaha melakukan pengejaran. Pe-muda
itu hanya berdiri tegak, sambil memandangi sosok
Trijanti yang kian menjauh.
"Kasihan.... Rupanya gadis cantik itu mengalami
kejadian yang mengerikan. Entah siapa orang yang
disebutnya dengan Nama Pradipta itu. Bisa saja orang
itu kekasihnya, dan telah mengkhianatinya, atau
mungkin juga ia telah tertimpa kemalangan dari seorang
penjahat cabul. Hm..., sayang ia masih sulit untuk
didekati. Sebaiknya kuikuti saja gadis malang itu. Siapa
tahu ia memerlukan bantuan," gumam Panji menduga-
duga. Setelah mengambil ke-putusan begitu, pemuda
tampan itu bergegas me-nyusul Trijanti dan
menguntitnya.
***
TIGA
Pemuda itu duduk di atas sebuah batu besar, sambil
mengawasi beberapa orang yang tengah men-cuci dan
membersihkan diri di sungai. Sepasang matanya yang
tajam, memancarkan pengaruh aneh, dan berputaran
liar mengawasi wanita-wanita desa itu. Pada wajah yang
tampan itu, tersungging se-nyum manis ketika
telinganya mendengar celoteh gadis-gadis desa yang
tampak lugu itu.
"Kenapa terburu-buru, Arum? Matahari belum lagi
naik tinggi, lebih baik kita ngobrol-ngobrol saja dulu,"
ujar seorang gadis berwajah bulat telur, yang pada dagu
sebelah kirinya terdapat tahi lalat.
Gadis berwajah mungil dengan bentuk hidung yang
mancung, menoleh dan sejenak tersenyum manis.
Sedang di pinggang kanannya tersampir keranjang
tempat pakaian yang telah dicucinya.
"Sebenarnya aku ingin ikut bergembira dengan kalian.
Tapi, aku harus memasak makanan dan
mengantarkannya untuk ayahku yang bekerja di ladang.
Sebab, ibuku sedang sakit Jadi, akulah yang
menggantikannya. Sudah ya, aku pulang duiu," pa-mit
gadis berwajah mungil yang segera melempar-kan
senyum. Manisnya. Kemudian terus meleng-gang naik ke
atas tepian sungai.
"Hati-hafi, Arum. Siapa tahu di tengah jalan kau
dibawa lari orang," goda wanita bertahi lalat itu yang
disambut tawa ber-derai gadis-gadis lainnya.
"Biarlah kalau yang menculiknya pemuda tampan dan
baik hati...," seru gadis bernama Arum dari tepi sungai.
"Ngaco kamu, mana ada penculik yang baik hati..!"
sambut gadis yang lainnya menertawakan.
Namun, gadis manis bernama Arum itu tidak lagi
mempedulikan ocehan kawan-kawannya. Dengan wajah
yang masih terhias senyum manis, ia berge-gas menuju
desa.
Arum tidak merasa khawatir sama sekali, kendati la
berjalan pulang seorang diri. Karena desanya selama ini
dikenal paling aman di antara desa-desa yang lainnya.
Apalagi setelah kepala desanya di-gantikan dengan
seorang lelaki setengah baya ber-nama Ki Ringgo.
Keadaan desanya semakin bertam-bah aman, dan tidak
pemah terjadi tindak kejaha-tan.
Ki Ringgo, seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi
besar dan memiliki sikap tegas. Konon orang tua itu
pernah menjadi seorang perwira kepercayaan Adipati.
Meskipun penduduk Desa Magetan, tempat Arum tinggal
tidak ada yang mengetahuinya secara pasti, namun
melihat kepandaian dan sikap tegas Ki Ringgo, tentu saja
para penduduk desa itu memper-cayainya. Apalagi selain
terkenal kebaikan dan ke-dermawanan, orang tua itu
pun datang ke Desa Ma-getan dengan kekayaan yang
berlimpah. Sehingga, ketika ada penggantian kepala
desa, banyak pendu-duk yang menunjuk lelaki gagah itu
sebagai peng-ganti kepala desa lama.
Senyum di bibir Arum semakin melebar ketika teringat
kepala desanya yang baru itu. Tapi, bukan orang tua
gagah itu yang membuatnya tersenyum. Melainkan,
putra sulung kepala desa itulah yang membuatnya
tersenyum Dan, hampir semua pendu-duk tahu kalau
putra sulung kepala desa menaruh perhatian
terhadapnya. Biasanya pemuda yang menjadi
kekasihnya itu, selalu setia menunggunya hingga selesai
mencuci. Baru kali ini putra sulung Ki Ringgo itu tidak
menemaninya. Karena pemuda itu pergi bersama
keluarganya, menjenguk sanak saudaranya yang tengah
menderita sakit keras. Itu-lah sebabnya Arum tidak
ditemani pujaan hatinya.
"Aaaw...!"
Mendadak Arum mengeluarkan jeritan tertahan.
Sedangkan tempat cuciannya langsung terlempar,
karena tangan kanannya digunakan untuk menu-tupi
mulutnya. Sehingga jeritannya tidak terdengar sampai
jauh.
Tubuh Arum yang langsing padat, dan hanya ter-tutup
kain sebatas dada itu, menggigil hebat. Sepa-sang
matanya terbelalak lebar ketika melihat makh-luk
sebesar lengannya berdiri tegak menghadang di tengah
jalan setapak yang akan dilaluinya.
"Uuu... ularrr...," desisnya gemetar, sambil me-langkah
mundur perlahan. Sedang makhluk sepan-jang satu
setengah tombak itu, berdesis-desis men-julur-julurkan
lidahnya yang merah bagaikan darah.
Binatang berbisa itu menatap tajam ke arah Arum.
Sejauh itu ia tetap tidak bergeming dari tempatnya, dan
hanya menatap penuh ancaman.
Arum yang sekujur tubuhnya mulai dialiri keri-ngat
dingin itu, melangkah perlahan menjauhi bina-tang
berbahaya itu. Malang, ia tidak sempat mem-perhatikan
sebuah batu di belakangnya. Sehingga, tubuh gempal Itu
terjerembab ketika kakinya ter-sandung batu itu.
"Ohhh...!" terdengar suara jeritan lirih dan ber-getar
yang keluar dari tabirnya. Pada saat ia tengah bergerak
bangkit, ular beracun itu langsung melesat bagai kilat ke
arah Arum, yang hanya mampu me-mandang dengan
wajah seputih kertas.
Tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok
bayangan putih berkelebat cepat, dan langsung
tangannya menangkap ular tersebut. Kemudian, kepala
ular beracun itu dihantamkannya ke sebuah batu yang
terletak di tepi jalan.
Terdengar suara berderak nyaring yang disertai
percikan darah segar. Tanpa ampun lagi, kepala ular itu
langsung pecah, dan mati seketika itu juga. Hebatnya,
semua gerakan itu hanya dilakukan seke-jap mata saja.
Sehingga, Arum sendiri tidak menge-tahui, ular itu tiba-
tiba saja mati dengan kepala pecah. Karena matanya
memang tidak mampu me-nangkap apa yang dilakukan
sosok bayangan putih itu.
Setelah melempar bangkai ular itu jauh-jauh, so-sok
bayangan putih yang ternyata seorang pemuda tampan
itu, bergegas menoleh ke arah Arum. Senyumnya yang
penuh pesona terukir bersamaan dengan tangannya
teralur untuk menolong gadis itu bangkit.
Karena belum terlepas dari rasa takut yang
menguasainya, Arum mengulurkan tangannya bagai
orang linglung. Kedua kakinya terlihat masih geme-tar
ketika ia mencoba untuk berdiri. Tentu saja tu-buhnya
jadi limbung, mungkin saja tubuhnya ter-jatuh kalau
saja tangan pemuda tampan itu tidak keburu
menangkapnya. Dan, secara tak sengaja, tubuh ramping
yang padat dan berkulit lembut itu jatuh ke dalam
pelukan pemuda penolongnya itu.
Arum yang belum hilang dari rasa terkejutnya ituj
langsung menyembunyikan kepalanya di dada pemuda
itu. Sebentar kemudian, terdengar sedu-sedannya, yang
membuat dadanya turun nalk dan tergeser ke tubuh
penolongnya. Hal itu dilakukan-nya dalam keadaan
setengah sadar.
"Sudahlah, Arum. Hentikan tangismu. Bukankah
bahaya itu sudah lewat...?" bujuk pemuda tampan itu
dengan nada lembut dan terdengar penuh kasih. Sambil
berkata demikian, jemari tangannya berge-rak membelai
punggung gadis desa itu, yang sama sekali tidak
terlindung pakaian.
Karena selama hidupnya, Arum belum pernah
merasakan sentuhan tangan laki-laki, karuan saja gadis
desa yang Iugu itu tersentak kaget. Cepat ia
menyentakkan tubuhnya dari pelukan penolongnya itu,
ketika merasakan getaran aneh menyelusup ke seluruh
bagian tubuhnya.
"Maafkan aku.... Aku..., aku telah lupa diri, hing-ga
lelah...," Arum tidak mampu melanjutkan uca-pannya,
karena rasa jengah telah membuat kedua pipinya
bersemu merah. Sehingga, gadis desa itu terpaksa
menundukkan wajahnya sambil memilin-milin kainnya,
tanpa sadar.
Dan, Arum sendiri tidak menyadari sama sekali kalau
kain yang dikenakan sebatas dada itu telah melorot,
tampak gumpalan buah dadanya yang ra-num.
Sehingga, pemuda tampan itu sempat mena-tap
gumpalan bukit kembarnya dengan sinar mata berkilat
aneh.
"Tidak mengapa, Arum. Aku memaklumi keada-anmu
yang masih terkejut oleh ular tadi," sahut pemuda
tampan itu dengan gaya yang sangat memi-kat dan tutur
katanya yang lembut.
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui namaku...?"
Tanya Arum yang merasa heran mendengar peno-
longnya itu telah mengetahui namanya. Sehingga, gadis
desa itu terpaksa mengangkat kepalanya me-natap
pemuda tampan itu.
Deggg!
Jantung di dalam dada Arum berdebar ketika me-lihat
ketampanan wajah penolongnya. Tanpa sadar,
ditatapnya sekujur tubuh pemuda itu. Rasa kagum-nya
semakin bertambah, melihat tubuh penolong-nya yang
tegap dan gagah. Apalagi pakaian yang dikenakannya
terlihat dari bahan mahal.
"Mengapa, Arum? Apakah diriku menakutkan,
sehingga kau menjadi terkejut?" kembali terdengar suara
lembut pemuda tampan itu, menyadarkan Arum dari
pesona yang menguasainya.
"Tuan pasti orang kota. Pakaian yang Tuan kena-kan
bagus sekali. Harganya pasti mahal," ucap bibir mungil
Arum yang rupanya telah lupa kalau per-tanyaannya
belum dijawab pemuda tampan itu.
"Kalau kau suka, aku bisa membelikannya ke kota.
Kau mau...?" ujar pemuda tampan itu sambil
melemparkan senyum manisnya. Ucapan itu disertai
dengan uluran kedua tangannya yang langsung me-
megang kedua bahunya yang telanjang.
Pemuda tampan yang tak lain Pradipta itu, ter-senyum
senang ketika merasakan bahu lembut ber-kulit halus
itu tampak bergetar karena sentuhan-nya. Kenyataan itu
membuat Pradipta tambah be-rani dan meremas
perlahan bahu gadis desa yang lugu itu.
"Ah, tidak..., jangan, Tuan. Aku..., aku...."
'Tidak mengapa, Arum. Kalau kau suka, katakan saja.
Aku akan membelikannya dengan senang hati," ujar
Pradipta yang masih terus meremas ke-dua bahu Arum.
Sehingga tubuh gadis itu kian menggeletar. Dan sebagai
orang yang berpengala-man dalam menghadapi wanita,
Pradipta pun tahu kalau Arum telah tertarik padanya.
Hanya mungkin karena ia adalah seorang gadis desa.
Maka, pera-saan malunya telah membuat gadis itu
bertahan sekuat tenaga.
"Bukan..., bukan itu maksudku, Tuan. Tapi..., aku
malu kalau sampai terlihat orang...," ucap gadis manis
Itu dengan napas serasa sesak. Dengan perlahan, Arum
mencoba meronta dari pegangan penolongnya Itu.
Kemudian melangkah mundur beberapa tindak dengan
wajah pucat bercampur merah.
Arum kembali mundur empat langkah, ketika
bayangan wajah kekasihnya melintas di benaknya.
Meskipun kekasihnya memang tidak setampan dan
segagah pemuda penolongnya itu. Namun kesetia-annya
membuat hati gadis itu tidak terpedaya oleh
penolongnya.
Pradipta kembali tersenyum memikat. la sama sekali
tidak mengejar Arum. Pemuda tampan berwatak cabul
yang menyembunyikan silat aslinya di balik kelembutan
dan pakaian indah itu, hanya menatap gadis itu dengan
sinar mata kagum. Melihat dari sikapnya yang tidak
kasar dan tidak terburu nafsu itu, jelas Pradipta
merupakan seorang Pemetik Bunga yang telah
berpengalaman.
Meskipun dalam dunia persilatan ia dijuluki se-bagai
Kumbang Merah. Namun, orang jarang me-ngetahui
tentang dirinya. Siapa yang mau percaya kalau pemuda
setampan dan segagah Pradipta suka menodai anak-
anak gadis orang. Dengan wajah tampan dan
penampilannya yang mewah itu, gadis mana yang tidak
akan tertarik kepadanya. Ditam-bah lagi dengan
sikapnya yang lembut dan pandai merayu. Sukar
rasanya untuk dipercaya kalau Pradipta sebenarnya si
Kumbang Merah yang telah menggemparkan wilayah
Selatan dengan ulahnya.
Karena di Wilayah Selatan ruang geraknya kian
terbatas, maka pemuda tampan berwatak keji itu
merantau ke Wilayah Barat. Di daerah yang baru ini
tidak banyak orang yang mengetahui tentang diri-nya.
Dan, ia pun kembali membuat ulah. Kali ini sasarannya
adalah Arum, gadis Desa Magetan yang lugu, dan tidak
tahu sifat licik kaum persilatan golongan sesat itu.
Apalagi gadis desa itu sama sekali tidak mengetahu
tentang persilatan. Maka, wajar saja kalau ia tidak sadar
bahwa dirinya te-ngah diincar pemuda penolongnya itu.
Dan, Arum pun sama sekali tidak mengetahui kalau
munculnya ular beracun itu. Karena ulah dan
kecerdikan Pra-dipta. Meskipun Pradipta dikenal sebagai
penjahat Pemetik Bunga, namun ia tidak mau memaksa
kor-bannya. Semua korban-korbannya secara suka rela
menyerahkan diri ke dalam pelukannya. Juka ia
menemukan gadis yang menimbulkan hasratnya, tapi
sulit ditundukkannya, maka Pradipta tidak se-gan-segan
menggunakan ilmu sihirnya.
Tapi, pemuda berwatak cabul itu tidak ingin
menggunakan ilmu sihirnya. Karena sekali pandang saja,
ia sudah dapat me-nebak kalau gadis desa itu akan suka
menyerahkan dirinya, bila ia mencoba menjerat gadis
desa yang Iugu itu dengan ketampa-nan dan kelembutan
sikapnya. Dan, ia yakin akan berhasil baik.
"Kau takut kepadaku, Arum?" ujar Pradipta dengan
senyum yang menghias wajahnya. "Apakah diriku mirip
dengan seorang penjahat yang suka mengganggu
wanita? Dan, bukankah kalau aku mau hal itu sangat
mudah kulakukan dengan kepandaianku?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Tapi..., aku sudah
mempunyai ke-kasih. Aku tidak ingin kalau per-buatan
Tuan tadi dilihat penduduk desa ini. Mereka pasti akan
mengadukannya kepada kekasihku," bantah Arum yang
merasa tidak enak karena telah berhutang budi dengan
pemuda tampan, yang telah menyelamatkan dirinya dari
bahaya.
"Ah, kekasihmu itu pasti sangat tampan dan ka-ya.
Tentu saja aku tidak ada artinya jika diban-dingkan
dengan pria pujaanmu itu. Ah, betapa ber-untungnya
pria yang mendapatkan cintamu itu. Arum. Andai saja
pria yang mendapatkan cintamu itu adalah aku,
alangkah bahagianya," ucap Pradip-ta yang mulai
melancarkan aksinya dengan ucapan-ucapan berupa
penyesalan. "Sayang kita terlambat berjumpa. Kalau saja
aku bertemu denganmu lebih dulu, tentu aku tdak akan
membiarkanmu sendi-rian melewati tempat ini. Engkau
terlalu cantik un-tuk dilepaskan seorang diri, Arum,"
lanjut pemuda berwatak cabul itu dengan disertai
desahan napas panjang. Bahkan, dengan pandainya
Pradipta meru-bah raut wajahnya menjadi murung dan
tampak sangat sedih.
"Tapi, Tuan, aku hanyalah gadis desa yang bosoh dan
miskin. Sedangkan Tuan hanya pantas men-dampingi
wanita-wanita kota atau putri seorang adi-pati.
Bagaimana mungkin aku dapat disamakan dengan
mereka?" bantah Arum yang mulai terpan-cing dengan
ucapan-ucapan Pradipta.
Bantahan itu dilontarkan Arum untuk menyem-
bunyikan perasaan hatinya yang tengah dilanda rasa
kasmaran. Wanita mana yang tidak bangga mendapat
seorang pemuda tampan seperti Pradipta? Apalagi gadis
desa seperti Arum, tentu saja hatinya melambung
mendengar kata-kata penolongnya itu.
"Ah, aku tidak tahu. Meskipun wajah gadis-gadis kota
cantik-cantik, namun tidak ada sinar yang menghiasi
parasnya. Dan, semua itu hanya terlihat pada wajahmu.
Arum. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta
begitu melihatmu. Kalau saja aku bisa mendapatkan
cintamu, hari ini juga aku akan melamar ke orang
tuamu. Dan, tidak akan ku-biarkan kau berjalan seorang
diri seperti sekarang ini," ujar Pradipta melangkah maju
perlahan-lahan. Karena gadis itu memperhatikan
ucapannya, maka langkah kaki pemuda itu tidak begitu
diper-hatikan Arum.
Sedangkan hati gadis desa yang lugu itu, se-makin
berdebar mendengar kata-kata penolongnya itu.
Sehingga, Arum semakin lupa dengan bayangan
kekasihnya. Jelas, gadis desa itu semakin terpenga-ruh
dengan rayuan pemuda cabul itu.
"Arum..., maukah kau menerima cintaku...?" Ta-nya
Pradipta yang telah berada dua tidak didepan gadis itu.
Sedangkan Arum sendiri tidak mendengar pertanyaan
pemuda tampan itu. Karena ia tengah terbuai dengan
lamunan-lamunan yang indah tentang kehidupan
penolongnya yang diduganya anak orang hartawan yang
kaya raya.
"Tapi, bagaimana dengan...."
"Pemuda itu tidak mencintaimu dengan sepenuh hati,
Arum. Buktinya ia tidak mau menjagamu. Le-bih baik
ikutlah bersamaku, Arum. Aku akan selalu menjagamu,
dan tidak akan pernah meninggalkan-mu seorang diri,"
bujuk Pradipta memotong kalimat yang akan diucapkan
gadis itu. Sedangkan sepa-sang tangannya kembali
berada di kedua bahu gadis desa yang lugu itu.
Hati pemuda cabul itu bersorak ketika ia tidak la
merasakan perlawanan dari Arum. Dibalasnya tata-pan
mata gadis desa itu dengan sorot mata lembut
membayangkan kasih yang dalam. Sehingga, hati gadis
itu semakin terbuai.
"Tapi, apakah kau benar-benar menyayangiku,
Kakang...?" Tanya Arum dengan wajah bodoh.
"Katakanlah, apa bukti yang kau inginkan? Apa-kah
aku harus mengeluarkan hatiku dengan cara membelah
dadaku ini? Katakanlah, aku akan menu-rutinya, demi
kau, Arum," tegas Pradipta yang sudah merasa yakin
kalau korbannya telah masuk kedalam perangkapnya.
"Iiih, jangan, Kakang. Aku ngeri membayangkan-nya,"
sergah gadis desa yang lugu itu dengan mimik wajah
yang diliputi perasaan ngeri.
"Kalau begitu biarlah kubuktikan dengan ini.”
setelah berkata demikian, sebelum Arum menya-
darinya, Pradipta telah mengecup bibir Arum den sangat
perlahan dan penuh perasaan. Kemudian di-lepaskannya
kembali. Lalu, dipandangnya bibir yang merona merah
itu lekat-lekat.
Kecupan lembut yang belum pemah dirasakan gadis
itu, selama hidupnya. Membuat diri gadis desa itu
bagaikan melambung ke angkasa. Sayang, sebe-lum
menyadari kenikmatan itu sepenuhnya, Pra-dipta telah
melepaskannya. Diam-diam hati Arum mengharapkan
agar penolongnya itu mengulangi perbuatannya lebih
lama. Semua keinginannya itu tentu saja tidak
diucapkan melalui kata-kata. Na-mun, semua itu dapat
dilihat Pradipta.
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Pradipta
kembali mengulangi perbuatannya. Pemuda itu se-ngaja
melakukannya lebih lama dari semula, dengan maksud
untuk memancing sambutan gadis desa yang lugu itu.
Hati pemuda cabul itu bersorak ke-tika sepasang lengan
Arum memeluk erat tubuhnya. Sepertinya gadis itu tidak
ingin membiarkan sang Penolongnya melepaskan
ciumannya sebelum ia sempat merasakannya.
Sadar kalau pancingannya telah mengena, maka
Pradipta pun mulai menimbulkan rangsangan gadis desa
itu. Setelah Arum benar-benar terlena dibuat-nya,
dibawanya tubuh ramping yang padat itu ke tepi jalan
dan direbahkannya di atas rerumputan te-bal.
Selanjutnya, si Kumbang Merah pun menghisap sari
madu bunga desa itu dengan lahapnya. Sedang sang
bunga tidak sadar kalau kumbang itu hanya sekadar
singgah untuk kemudian kembali terbang mencari bunga
segar lainnya.
***
EMPAT
Lelaki setengah baya itu tergesa-gesa berjalan
menyusuri tegalan menuju ke Desa Magetan. Saat itu
hari baru saja menjelang petang. Menilik dari pakaian
yang penuh Iumpur dan cangkul di bahu kanannya jelas
kalau lelaki itu adalah seorang pe-tani. Sepertinya petani
tua itu terburu-buru pulang ke rumah. Sedangkan para
petani lainnya tampak masih sibuk mengurus sawahnya.
Begitu memasuki Desa Magetan, petani tua itu
langsung memasuki tempat tinggalnya. Tak lama
kemudian, terlihat ia tergo-poh-gopoh keluar dengai
wajah cemas.
"Kau tidak melihat Arum, Nyai...?" Tanya petani
setengah baya itu kepada seorang wanita berwajah bulat
telur, yang mempunyai tali lalat pada dagi kirinya.
"Tadi sewaktu di sungai, Arum pulang lebih da-hulu,
Ki Aku kira ia telah di rumah," jawab wanita itu dengan
wajah bingung. Karena jelas temannya itu telah kembali
lebih dahulu, dan berpamitan kepadanya.
"Aiiih, ke mana anak itu? Tidak biasanya ia pergi tanpa
pamit? Istriku bilang ia belum pulang dari mencuci di
sungai. Hm... Apakah Ki Ringgo sudah pulang dari
menjenguk sanak keluarganya yang di kota?" Tanya
petani bertubuh kekar itu dengan wajah penuh liarap.
"Ah, benar! Siapa tahu Tuan Muda Jiwala telah
menjemputnya, atau mengajak ke rumahnya, Ki," lawab
wanita itu seraya melanjutkan menyapu hala-man,
setelah petani tua itu pergi tanpa pamit.
Kedatangan orang tua Arum, tentu saja membuat Ki
Ringgo sekeluarga menjadi terkejut. Apalagi, le-laki
bernama Ki Sukriya itu menanyakan perihal anak
gadisnya. Karuan saja Jiwala yang berdiri de-kat dengan
ayahnya menjadi kalang-kabut. Karena la baru saja mau
menjenguk kekasihnya dengan menenteng hadiah yang
dibawanya dari kota.
"Kapan Arum pergi, Paman...?" Tanya Jiwala yang
ingin mengetahui perihal kepergian kekasihnya. Tampak
kecemasan membayang pada wajah pemu-da itu, karena
hatinya merasa tidak enak mende-ngar kekasihnya
lenyap tanpa diketahui seorang pun.
"Hm..., kalau sampai sore ini ia belum kembali, pasti
ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya. Apa-lagi kau
bilang, anakmu itu pulang lebih dulu sebe-lum kawan-
kawannya selesai mencuci. Hayo, kita harus segera
mencarinya...!" terdengar Ki Ringgo mengeluarkan
perintahnya. Sedangkan ia sendiri langsung nyiapkan
para pembantunya.
Ki Ringgo segera memecah para pembantunya menjadi
tiga kelompok. Masing-masing dari mereka, terdiri
sekitar sepuluh atau lima belas orang.
"Kau tunggulah di rumahmu, Ki Sukriya. Begitu kami
menemukannya, langsung dikabarkan kepada-mu," ujar
Ki Ringgo sebelum melakukan pencarian.
"Baik, Ki..." sahut petani setengah baya itu dengan
wajah tetap mencerminkan rasa cemas.
Namun, ia agak sedikit tenang setelah melihat kepala
desanya sendiri langsung turun tangan men-cari
putrinya. Dan, petani tua itu hanya dapat me-ngiringi
kepergian orang-orang Ki Ringgo dengan tatapan penuh
harap.
Jiwala, putra sulung Ki Ringgo yang menjadi ke-kasih
Arum, bergerak ke sebelah Timur desa dengan membawa
dua belas orang pembantu ayahnya. Pemuda bertubuh
sedang dan berwajah keras itu, sengaja menyusuri jalan
yang biasanya digunakan gadis itu lewat seusai mencuci
pakaian dari sungai.
Sebagai orang yang paling dekat dengan Arum, dan
sering jalan bersama dengan gadis itu. Jiwala pun tahu,
jalan-jalan yang sering dilalui kekasihnya itu.
Ketika melewati jalan setapak, yang hanya cukup
dilalui seekor kuda, tiba-tiba Jiwala mengangkat ta-ngan
kanannya sebagai tanda agar rombongannya berhenti.
Kemudian, pemuda itu bergegas melompat turun dari
punggung kudanya. Dengan pandangan curiga,
diamatinya sebuah batu di tepi jalan yang tampak
bernoda darah itu. Melihat dari sikapnya, tentu saja
putra sulung Ki Ringgo itu merupakan orang yang sangat
teliti. Sehingga, dalam melaku-kan pencarian, ia benar-
benar sangat memperhati-kan keadaan sekelilingnya.
"Hm...."
Jiwala bergumam tak jelas ketika selesai meme-riksa
noda darah di batu itu. Seraya mengedarkan
pandangannya berkeliling dengan penuh ketelitian.
Laksana seorang pencari jejak yang ulung, pemu-da
bertubuh sedang dan padat itu, bergegas bangkit dan
memeriksa rerumputan di sekitarnya. Meskipun tidak
mengetahui secara jelas tentang darah di batu itu,
namun kecurigaannya membuat pemuda itu meneliti
lebih seksama. Menurutnya, dalam melaku-kan
pencarian atau penyelidikan, orang harus men-curigai
segala sesuatu. Kendati sesuatu itu tidak berarti bagi
orang lain.
Kening pemuda itu berkerut ketika menyibak se-buah
rumput semak betukar, ditemukannya rerum-putan
yang rebah dan terlihat cukup lebar. Sekilas pandang
saja, Jiwala dapat menduga kalau di tem-pat itu telah
terjadi pergumulan.
Setelah agak lama duduk meneliti, kembali Ji-wala
bergerak bangkit dan meneliti jejak-jejak yang tertinggal
di sekitar tempat yang dicurigainya itu. Ketika la
menemukan jejak telapak kaki menuju ke Barat Desa
Magetan, cepat diperintahkan rombo-ngannya untuk
menerobos semak belukar dan mengikuti jejak telapak
kaki itu. Untunglah tanah di sekitar tempat itu sangat
lembab, sehingga orang yang melintasinya akan
meninggalkan bekas-bekas telapak kaki.
Karena semenjak berusia lima belas tahun ia telah
sering bermain-main di sekitar desanya, maka tidak
heran kalau Jiwala mengenai baik seluruh wilayah desa
kekuasaan ayahnya itu.
Ketika arah yang ditempuhnya mulai memasuki
sebuah hutan kecil di sebelah Barat desa ini, inga-tan
Jiwala langsung tertuju pada sebuah pondok sederhana,
tempat yang sering digunakan untuk melepas lelati
setelah berburu.
Jiwala dengan cekatan menghubung-hubungkan
segala se-suatu penemuannya, segera timbul rasa cemas
dalam dirinya terhadap nasib yang menimpa kekasihnya.
Sejenak pemuda itu memejamkan ma-tanya, takut
membayangkan kalau dugaannya itu menjadi kenyataan.
Segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu, meskipun
semua yang ditemukannya mendekati ciri-ciri
dugaannya.
"Heyaaa...!" kecemasannya yang semakin hebat itu,
membuat Jiwala membedal kudanya sambil me-mukul
keras bagian belakang tubuh binatang tung-gangannya
itu. Sehingga, kudanya melonjak kaget dan langsung
melesat menerobos jalan setapak, yang di kiri-kanannya
banyak menjulur dahan-dahan pohon
Bagaikan orang yang hilang ingatan, pemuda itu
membedal kudanya sambil mengobat-abitkan pe-dang
untuk menghalau semak belukar di kiri-kanannya. Tidak
dipedulikannya duri-duri halus yang menggores lengan
dan tubuhnya. Karena yang terlintas dalam benaknya,
segera menemukan Arum.
Setibanya di halaman sebuah gubuk kayu, yang
tampak rusak di sana-sini karena hampir tidak ter-pakai
lagi, Jiwala melompat turun dari atas pung-gung
kudanya. Dengan pedang telanjang, pemuda itu
melangkah hati-hati mendekati pintu pondok yang
setengah terbuka.
Hati Jiwala bergemuruh bagai ombak di lautan ketika
melihat adanya tanda-tanda penghuni di da-lam gubuk
setengah reyot itu. Semua itu tampak dari Jejak-jejak
baru yang tertinggal di lantai papan dengan gubuk itu.
Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat
agar rombongannya segera menyebar dan mengepung
gubuk kayu itu. Setelah gubuk itu dikepung ketat,
Jiwala langsung mendobrak pintu kayu itu dengan
sebuah tendangan keras.
Terdengar suara berderak ribut ketika tendangan
Jiwala menghancurkan pintu kayu gubuk itu. Se-
dangkan pemuda itu sendiri langsung melompat dan
menjejakkan kedua kakinya ruangan di tengah.
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan tubuh-nya
hampir terlompat keluar ketika menyaksikan apa yang
terjadi di tengah gubuk itu.
"Arum...!"
Bagaikan orang yang hilang ingatan, Jiwala ber-teriak
melengking menyaksikan pemandangan yang
terpampang didepan matanya. Kulit wajah pemuda itu
tampak merah dan pucat. Giginya bergemele-tukan
menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam
dirinya. Sehingga, Jiwala sendiri tidak tahu apa yang
dirasakannya saat itu.
Empat langkah di depannya, tampak tubuh keka-
sihnya tergeletak dengan kain yang tidak karuan.
Sementara wajah gadis itu terlihat pucat dan kusut.
Jelas, kalau kekasihnya itu telah mengalami suatu
kejadian yang sangat mengerikan! Dan, apa yang
diduganya tidak meleset sama sekali!
Bagaikan harimau luka, Jiwala meraung keras. Entah
menangis atau berteriak marah. Karena sua-ra yang
keluar dari kerongkongannya terdengar seperti rintihan,
dan teriakan marah. Semua itu aki-bat pukulan batin
yang terlampau berat dialaminya.
Belasan orang pengikut Jiwala terkejut mende-ngar
suara raungan keras itu. Beberapa di antara mereka
yang pemberani, langsung berlompatan ma-suk. Karena
mereka mengkhawatirkan sesuatu yang menimpa putra
kepala desanya.
Ketika mereka tiba di ruangan tengah, ternyata yang
dilihatnya tubuh Jiwala, tengah terbungkuk dan
mendekap tubuh seorang wanita.
"Den...," seorang di antara enam lelaki pengikut Jiwala
itu, memberanikan diri menegur. "Lebih baik kita bawa
saja tubuh Arum ke desa. Biar Ki Sukriya dan Ki Ringgo
dapat memeriksanya. Siapa tahu Arum masih bisa
disembuhkan. Bukankah ia masih hidup?" Tanya lelaki
berkumis lebat itu ragu-ragu.
Jiwala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun.
Dengan tubuh yang tegang, pemuda itu bang-kit
perlahan. Meskipun tidak ada suara isak yang keluar
dari kerongkongannya, namun jelas Jiwala mengalami
kesedihan yang sangat hebat. Tercermin dari butir-butir
air bening yang membasahi wajah-nya.
"Bangsat keji...! Biadaaab...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, tiba-tiba Jiwa-la
berteriak mengguntur, dan langsung melompat ke arah
dinding kayu pondok itu. Tanpa peduli dengan
pandangan heran serta cemas para pengikutnya,
pemuda itu mengamuk seperti ingin merobohkan gubuk
tua itu.
Sadar kalau tidak segera bertindak cepat tubuh Arum
bisa terkena pecahan-pecahan kayu yang ber-hamburan,
maka para pengikut Jiwala pun segera membawa tubuh
gadis desa yang malang itu keluar. Lalu,
membaringkannya di atas rerumputan tebal di bawah
sebatang pohon besar.
Tidak berapa lama kemudian, di antara gemuruh-nya
suara pondok yang hendak roboh itu, melesat bayangan
Jiwala menerobos kepingan-kepingan kayu. Kemudian,
tubuh pemuda itu terjatuh dengan bertumpukan pada
kedua lututnya. Sedangkan se-kujur tubuhnya terlihat
bersimbah peluh.
"Den...," lelaki gemuk berkumis tebal yang meru-
pakan pembantu setianya itu, bergegas menangkap
tubuh Jiwala yang tiba-tiba saja roboh ke tanah.
Jiwala yang melampiaskan kesedihan dan kema-
rahannya terhadap kejadian yang menimpa kekasih-nya
itu, telah kehabisan tenaga. Meskipun lelaki berkumis
tebal itu berusaha membantunya bang-kit, namun kedua
kaki pemuda itu tidak juga mau tegak. Terpaksa tubuh
majikan mudanya itu dipon-dong, dinaikkan ke
punggung kudanya dengan posisi tengkurap.
Lelaki berkumis lebat itu, segera mengambil alih
pimpilnan rombongan, dan bergerak meninggalkan
pondok tua yang telah hancur diamuk Jiwala. Se-
dangkan Arum yang sudah menjadi mayat itu, di-
naikkan ke atas punggung kuda lainnya. Lalu, rom-
bongan itu bergerak menuju desa.
***
Ki Ringgo yang telah tiba di desa lebih awal, langsung
me-nyambut kedatangan rombongan putra sulungnya.
Wajah orang tua itu mengelam ketika menyaksikan dua
sosok tubuh tergantung lemah di atas punggung kuda.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tua gagah
itu segera memerintahkan pembantu-pembantunya
untuk mengangkat tubuh Jiwala dan Arum ke dalam
bangunan rumahnya.
Hati Kepala Desa Magetan geram sekali ketika
mengetahui apa yang telah menimpa Arum, sebelum
gadis itu tewas. Wajah lelaki tua yang masih nam-pak
gagah itu menjadi keruh. Sorot matanya tampak tajam
dan menyiratkan kemarahan yang terpendam di hatinya.
"Apa yang kau ketahui dari kejadian yang me-nimpa
kekasihmu ini, Jiwala? Apa kau tidak mene-mukan
tanda-tanda yang mungkin dapat menun-jukkan pelaku
yang bertindak biadab ini?" Tanya Ki Ringgo menatap
tajam wajah putranya yang pucat itu.
Jiwala yang telah disadarkan ayahnya, sejenak
menundukkan kepala dengan helaan napas berat.
Ditekannya rasa sakit dalam dadanya dengan tarikan
napas panjang.
"Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ayah.
Sebab, tidak ada sesuatu tanda-tanda di tempat Itu yang
bisa dijadikan petunjuk. Ini pasti bukan ulah orang-
orang desa, Ayah," jawab Jiwala menatap orang tuanya
dengan wajah sayu.
"Hm..., mungkin tanpa sepengetahuan kita, desa ini
telah kedatangan seorang penjahat cabul. Dan, secara
kebetulan ia melihat Arum berjalan seorang diri setelah
mencuci di sungai. Gadis malang ini pasti diseret dan
dibawa dengan paksa ke gubuk di tengah hutan ini," ujar
Ki Ringgo dengan wajah muram. Sejenak lelaki tua itu
menoleh ke arah pembantu yang bertubuh kekar dan
bercambang bauk lebat.
"Sepengetahuanku, selama Aki dan Den Jiwa pergi,
desa ini tidak kedatangan tamu dari luar. Jadi kalau
memang ada dugaan tindakan biadab itu dilakukan oleh
orang asing, tentu ia kebetulan lewat dan tidak mungkin
singgah di Desa Magetan ini," sahut lelaki bertubuh
kekar itu tanpa ditanya lagi. Karena selama kepergian
kedua majikannya Itu, ia dilimpakan wewenang untuk
memimpin desa.
Pada saat mereka tengah berbincang-bincang, seorang
lelaki setengah baya menerobos masuk dengan wajah
bersimbah peluh. Dari deru napasnya yang tersengal-
sengal, dapat diduga kalau orang tua itu datang dengan
berlari-lari. Dan, lelaki tua itu tidak lain ayahnya Arum,
Ki Sukriya.
"Mana..., mana anakku...?" Ki Sukriya langsung
berteriak-teriak sambii mengedarkan pandangannya ke
sekeliling ruangan tengah itu. Dan, ketika di sudut
sebelah kiri ruangan itu matanya melihat sesosok tubuh
tertutup kain putih, orang tua Itu segera menghambur
dan menyingkapnya. Kemu-dian, terdengar suara
keluhan dan rintihannya yang tertahan. Arum adalah
anak petani itu satu-satunya, dan yang menjadi
tumpuan hidup mereka di hari tua.
"Sudahlah, Ki. Meskipun kejadian ini tidak seo-rang
pun yang mengetahuinya, tapi aku bertekad untuk
mencari manusia keji itu. Dan, aku berjanji akan
menghukum manusia bejad itu," ucap Ki Ring-go sambil
menepuk perlahan punggung Ki Sukriya.
"Aku ikut, Ayah...," Jiwala langsung menyahuti begitu
mendengar niat ayahnya.
"Tidak, Jiwala. Biar aku saja yang pergi. Sebab, aku
tidak ingin kejadian seperti ini sampai terulang lagi di
desa kita. Dan, selama kapergianku, kuharap kau dan
Wisna dapat menjaga keamanan dan keten-teraman desa
kita ini," jawab Ki Ringgo dengan nada yang tidak ingin
dibantah. Dan, Jiwala pun me-ngerti, sehingga ia tidak
memaksakan kehendaknya. Apalagi alasan yang
dikemukakan orang tua itu memang sangat tepat.
"Kapan Ayah berangkat?!" Lanjut Jiwala tanpa
maksud-maksud tersembunyi.
"Hari ini juga. Sebab, menilik dari keadaan mayat
Arum, pasti orang yang melakukan kebiadaban itu
belum pergi jauh. Dengan berangkat secepatnya, aku
berharap dapat menyusulnya. Dan, kalau me-mang
diperlukan, aku akan minta pertolongan ka-wan-kawan
dari rimba persilatan," jawab Ki Ringgo yang segera
melangkah keluar untuk menyiapkan kudanya, setelah
menyiapkan perbekalan yang diperlukannya dalam
perjalanan panjang itu.
"Percayalah, Ki. Aku akan berusaha membekuk
bangsat keji itu...," kembali Ki Ringgo menghibur orang
tua Arum, yang tengah duduk termenung seperti orang
hilang ingatan.
Bahkan ketika Ki Ringgo pamit, Ki Sukriya masih tetap
membisu seolah-olah tidak memperhatikan lagi keadaan
sekelilingnya. Setelah Ki Ringgo lenyap, Jiwala
mengajaknya menguburkan mayat Arum, dan orang tua
itu pun bangkit dengan langkah lesu.
Sore itu juga, Jiwala dengan dibantu lelaki ber-
cambang bauk bernama Wisna, segera menyiapkan
penguburan. Atas persetujuan Ki Sukriya, Jiwala
menanam tubuh kekasihnya di halaman belakang
gedung ayahnya.
Alam mulai diselimuti kegelapan, ketika upacara
penguburan itu selesai. Hanya angin dingin dan suara
binatang malam yang masih menemani ma-kam Arum
Sedang orang-orang yang mengantarnya ke
peristirahatan terakhir, ayahnya dan Jiwala telah
kembali ke rumah masing-masing.
***
LIMA
"Hm..., kali ini bidikanku pasti tidak akan me-
leset...,"gumam sosok bertubuh ramping dan beram-but
panjang, seraya membidikkan anak panahnya ke tubuh
seekor kijang muda.
Twingngng!
Anak panah yang terlepas dari busurnya itu, langsung
melesat dengan suara berdesing nyaring, dan menuju
sasarannya.
Sayang, kijang muda yang tengah melepaskan dahaga
di sebuah aliran sungai itu, sepertinya tahu bahaya yang
tengah mengancamnya. Seketika itu juga, la langsung
terlonjak, dan melesat dengan ke-cepatan kilat. Lalu,
menghilang di balik gerombolan semak belukar.
"Kurang ajar...!" desis sosok tubuh ramping itu
mengumpat dengan wajah masam. "Rupanya hari ini
nasibku sedang sial. Sudah lebih dari tiga kali membidik
kijang, tapi aku gagal," sambil tak henti-hentinya
mengumpat, sosok ramping yang ternyata seorang gadis
muda itu, bergegas keluar dari balik sebuah pohon
besar.
"Sabarlah, Den Ayu," hibur salah seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun dengan nada hormat.
Menilik dari sikap dan nada bicaranya, jelas lelaki itu
seorang pembantunya.
"Paman yakin kalau bidikan Den ayu sudah tepat
sasarannya, dan pasti tidak akan meleset," sambung
lelaki yang satunya lagi ikut menyahuti.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat yang pernah
Paman ceritakan kepadaku? Bukankah di lembah
sebelah Selatan hutan ini banyak terdapat binatang
buruan? Mengapa kita tidak ke tempat itu saja? Ujar
gadis berambut panjang dan berwajah cantik itu
mengingatkan janji salah seorang pem-bantunya. Dan
tanpa menunggu jawaban lagi, ia se-gera melangkah
mendahuluinya.
Kedua orang lelaki yang usianya tidak berjauhan itu,
saling bertukar pandang sejenak. Nyata sekali
kebimbangan di wajah mereka. Bahkan, ada kegeli-
sahan dalam sorot mata kedua lelaki itu ketika me-lihat
gadis junjungannya itu sudah melangkah lebih dulu.
"Salahmu, Bawung. Mengapa tempat berbahaya
seperti itu kau ceritakan kepada junjungan kita?
Bagaimana kalau dia berkeras akan ke Sana? Ke-pala
kita bisa terpisah dari badan, kelau sampai ter-jadi
sesuatu dengan Gusti Ayu!" jelas lelaki bertu-buh sedang
yang wajahnya ditumbuhi kumis jarang.
Orang dipanggil dengan nama Bawung itu tidak
membela diri. Kerena ia memang merasa bersalah, dan
tidak mau mengingkari. Hanya saja wajah lelaki yang
tinggi dan agak kurus itu, manjadi gelap dan resah.
"Hei, mengapa kalian diam saja? Ayo, cepat...!" gadis
cantik yang disebut-sebut sebagai Gusti Ayu itu, berseru
ke arah kedua orang pembantunya.
Lelaki yang bernama Bawung, bergegas menda-hului
kawannya. Kemudian, ia langsung saja memo-hon maaf
kepada junjungannya itu. Bawung tidak berusaha sama
sekali menyembunyikan kegelisa-hannya. Dengan begitu,
ia berharap dapat mence-gah niat Gusti Ayunya itu.
"Ada apa, Bawung? Mengapa kau seperti orang
terserang demam?" Tegur gadis cantik bermata galak itu
yang merasa heran melihat kegelisahan pembantunya.
"Anu, maaf, Gusti Ayu. Tempat itu..., terlalu ber-
bahaya. Kabarnya tempat itu telah didiami segerom-
bolan perampok kejam. Jadi, bagaimana kalau kita
mencari tempat lain saja?" ujar Bawung mengusul-kan.
"Kalau memang ada tempat yang lain, boleh saja,
Paman," sahut gadis cantik yang berambut panjang itu
tersenyum, sekadar untuk menenangkan pera-saan
pembantunya.
"Tapi..., untuk hari ini, aku belum bisa menun-
jukkannya, Gusti Ayu. Sebab, tempat Itu... tempat itu...,"
Bawung tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kerena
niatnya hanya untuk mengalihkan perhatian
junjungannya saja. Maka, ketika didesak, lelaki ber-
kumis jarang itu pun, hanya dapat tersenyum kecut.
"Kalau begitu, kita tetap ke tujuan semula...," te-gas
gadis cantik itu sambil melangkah melewati Bawung.
"Tapi..., Gusti Ayu...," Bawung masih berusaha
mencegah keinginan junjungannya itu, sambil ber-lari
dan mencoba kembali membujuknya.
"Sudah! Kalau kalian berdua takut, aku bisa per-gi
sendiri." Tiba-tiba saja gadis cantik Itu mendam-prat
pembantunya dengan nada ketus. Kemudian, tanpa
berkata apa-apa lagi, ia terus mengayun langkahnya.
Bawung dan Gumpita terpaksa mengikuti langkah
Gusti Ayu meski dengan perasaan cemas. Karena ikut
atau tidak kemungkinannya sama saja bagi mereka
berdua. Sehingga, mau tidak mau ke-dua lelaki itu
menguntit di belakang junjungannya itu.
"Berhenti...!"
Ketika ketiganya mulai melintasi daerah perbuki-tan,
mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring yang
menggetarkan. Belum lagi ketiganya sempat menyadari,
sosok-sosok bayangan hitam berlompa-tan dari balik
batu dan atas pohon. Sekejap kemu-dian, ketiganya
telah terkepung puluhan lelaki kasar yang berpakaian
lusuh.
"Hm..., rupanya hari ini aku ketiban untung besar.
Pantas saja semalam aku bermimpi memeluk rembulan
Aiiih, tidak tahunya pertanda datangnya seorang dewi ke
tempatku ini," salah seorang lelaki bertampang kasar itu
berkata sambii melangkah ke arah gadis cantik bermata
galak itu. Kemudian, langsung menguturkan tangan
dengan maksud hen-dak menyentuh wajah gadis itu.
"Hm..., mau apa kau, Orang Kasar?" Ujar gadis cantik
itu dengan suara ketus, sambil menarik mundur
tubuhnya sejauh dua langkah. Sehingga, uluran tangan
lelaki itu tidak sampai menjangkau-nya.
"Eh!?"
Lelaki kasar yang memimpin puluhan orang itu,
sempat ter-kejut ketika uluran tangannya luput.
Padahal, meskipun terlihat sembarangan, namun jarang
ia melihat orang yang mampu untuk meng-hindari
uluran tangannya itu. Karena, bagi orang biasa, uluran
tangan lelaki itu terlihat cepat dan sukar ditangkap
mata.
"Huh! Kau akan lebih terkejut lagi bila tahu dengan
siapa kau sedang berhadapan saat Ini!" ucap gadis
cantik itu lagi mencoba untuk menggertak le-laki kasar
itu. Bahkan bibirnya yang merah, tampak
menyunggingkan senyum sinis.
"He he he..., jangan coba-coba untuk menggertak-ku,
gadis cantik. Justru karena kau putri Adipati Sunggara,
maka aku sengaja menghadang di sini. Dengan kau
berada di tanganku, maka tua bangka itu tidak dapat
lagi berbuat semaunya, mengirim pasukan untuk
memberantas dan mengusir pergi kami dari daerah ini.
Dan, ia pun harus mau mene-rimaku sebagai
menantunya," sahut lelaki kasar yang rupanya seorang
kepala rampok sambil ter-kekeh serak.
"Hik hik hik...! Dasar orang hutan! Apa kau kira
mudah menangkapku? Hm! Jangan-jangan justru kau
sendiri yang akan terpanggang anak panahku ini," ujar
gadis cantik tidak mau kalah gertak. Usai berkata
demikian, ia langsung menarik tali busur-nya.
Namun, lelaki bertubuh tinggi kekar dan beram-but
acak-acakan itu, sama sekali tidak merasa gen-tar.
Sambil memperdengarkan tawa seraknya, ke-dua
tangannya bergerak memberikan Isyarat agar segera
menyerbu ketiga orang itu.
Tanpa diperintah dua kali, gerombolan perampok yang
berjumlah sekitar tiga puluh orang itu, lang-sung
meluruk maju. Mereka berteriak-teriak seperti
sekumpulan monyet lapar yang dilemparkan pisang.
Namun, gadis cantik yang ternyata putri Adipati
Sunggara itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dua buah
anak panah yang terpasang di busurnya segera melesat,
dan menembus leher dua orang pe-rampok, yang
langsung berkelojotan tewas. Karena tidak mungkin
menggunakan panahnya karena mu-suhnya kian dekat,
maka gadis itu pun mencabut pedang yang tergantung di
pinggang kirinya.
Swingngng!
Terdengar suara berdesing ketika senjata itu tercabut
keluar dari sarungnya. Kemudian, diputar sedemikian
rupa hingga membentuk gulungan sinar, yang
bergulung-gulung dengan hebatnya.
"He he he.... Ayo, mari perlihatkan kepandaianmu di
hadapan Raja Kera Kulit Baja, Manisku...," ujar lelaki
kekar berambut acak-acakan itu menyeringai buas.
Sekali lompat saja, tubuh kekar itu telah ber-diri
didepan gadis cantik itu.
"Haiitt...!"
Si gadis yang sadar kalau lelaki itu tidak mung-kin lagi
untuk diajak damai, berseru nyaring dan langsung
menusukkan pedangnya dengan kecepa-tan kilat!
Whuuut!
Serangkum angin tajam berdesing mengiringi luncuran
ujung pedang gadis cantik itu, yang meng-ancam
lambung kanan lawannya.
Takkk!
"Aaah...!"
Terkejut bukan main hati gadis itu ketika me-rasakan
ujung pedangnya benar-benar seperti mem-bentur
lempengan baja. Bukan hanya tubuh lawan-nya yang
tidak terluka, tapi lengannya yang diguna-kan untuk
menyerang terasa nyeri hingga ke pang-kal lengannya.
Tentu saja hal itu sama sekali tidak pernah disangka-
nya.
"He he he.... Mengapa terkejut, Manis? Ayo, puaskan
hatimu. Dan, kau boleh pilih bagian yang paling lunak,"
ejek Raja Kera Kulit Baja sambil memperdengarkan
kekehnya yang serak.
"Keparat! Jangan merasa sombong dulu kau, Monyet
Kudisan!" maki gadis cantik itu yang merasa jengkel
mendengar ejekan lawannya.
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, tubuh gadis
itu kembali meluncur ke arah lawannya. Pe-dang di
tangannya menyambar-nyambar ke sekeli-ling tubuh
lawannya. Jelas, kalau gadis cantik itu tengah berusaha
mencari bagian terlemah di tubuh lawannya. Namun,
sampai lewat dua puluh jurus, ia belum juga berhasil
mengetahui kelemahan di tubuh Raja Kera Kulit Baja.
Sehingga, serangan-serangannya pun tampak mulai me-
ngendur.
Sedangkan lawannya hanya tertawa terkekeh se-rak,
sambil sesekali membalas serangan lawannya. Semenjak
pertama kepala rampok itu memang se-ngaja tidak
membalas serangan lawannya. la hanya mengelak jika
bagian matanya diincar ujung pedang gadis itu.
Sedangkan bagian-bagian lainnya, sama sekali tidak
dipedulikan. Dan, ketika tenaga gadis itu mulai terlihat
surut, Raja Kera Kulit Baja mulai meluncurkan
serangan-serangannya.
Whuuut! Whuuut!
Sepasang tangan kepala rampok yang panjang itu
seperti tangan seekor gorila, menyambar-nyambar
dengan cengkeraman atau totokan-totokan cepat.
Sehingga, semakin lama, makin bertambah sibuklah
gadis itu menghindari serangan lawannya. Sedang
serangan-serangan balasannya tidak mempunyai arti
sama sekali. Karena kekebalan tubuh yang di-miliki
lawannya seolah-olah tidak mempunyai kele-mahan. Itu
yang menyulitkan putri Adipari Sura-ngga. Maka, ia pun
terpaksa harus pasrah untuk didesak lawannya.
Di tempat lain, Bawung dan Gumpita tampak
menderita luka di sekujur tubuhnya. Kedua orang lelaki
gagah yang bertugas menjaga keselamatan putri
junjungannya itu, bertarung seperti banteng luka.
Pedang di tangan keduanya menyambar-nyambar
bagaikan langan-tangan maut, yang siap mengirim
nyawa la-wannya melayat ke akhirat.
Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahan-kan dirinya, namun kedua orang
pengawal setia itu, terpaksa harus menyerah setelah
bertempur hampir seratus jurus. Itu pun terjadi karena
mereka hampir kehabisan tenaga. Sehingga, terpaksa
mereka harus merasa puas dengan kor-ban-korban
senjata mereka yang tidak kurang dari delapan orang
Iawan.
Bawung dan Gumpita menjerit setinggi langit, ketika
masing-masing tubuh mereka ditusuk empat batang
senjata dari segala arah! Darah segar memercik dan
membasahi bumi seiring dengan terbangnya nyawa
kedua orang pengawal setia putri Ambar Sukma itu.
Tubuh keduanya melorot ke tanah dengan mata
terbelalak lebar.
"Bawung...! Gumpita...!" gadis cantik itu berteriak
kaget ketika mendengar jerit kematian kedua orang
pengawalnya. Sementara, ia sendiri tengah berjuang
keras untuk menyelamatkan dirinya dari serangan Raja
Kera Kulit Baja, yang terus menyambar-nyambar
mengincar tubuhnya.
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keem-pat
puluh, gadis cantik bernama Ambar Sukma itu, memekik
tertahan. Dan pedang di tangannya ter-pental akibat
sampokan telapak tangan lawannya. Belum lagj gadis
cantik itu sempat menyadari bahaya, tiba-tiba
pinggangnya telah kena cekal. Lalu, tubuhnya diangkat
tinggi-tinggi oleh lawannya.
"Aaah...!"
Ambar Sukma menjerit ngeri. Tapi, jeritan itu bukan
karena rasa takut akan kematian, melainkan disebabkan
cekalan jari-jari tangan Iawan pada ping-gangnya.
Sehingga, tubuh putri Adipati Surangga itu gemetar
ketakutan.
"He he he.... Sekarang kau tahu bukan, kalau Raja
Kera Kulit Baja seorang lelaki perkasa. Nah setelah kau
mengetahui, apakah kau masih ingin menolak? Atau kau
lebih suka kalau aku melaku-kan paksaan?" ujar lelaki
kepala rampok itu menye-ringai dari meneteskan air liur
bagaikan binatang lapar.
"Lepaskan gadis itu...!"
Belum lagi Ambar Sukma menjawab ancaman kepala
rampok itu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan yang
menggetarkan. Bahkan, rasa ngeri yang dialami gadis itu
sampai lupa. la menolehkan kepalanya dengan wajah
penuh harap.
Raja Kera Kulit Baja pun menoleh ke arah asal suara
dengan kening berkerut gusar. Seringainya yang semula
lenyap karena bentakan keras tadi, kembali melebar.
Karena yang dilihatnya hanyalah seorang pemuda
tampan berpakaian mewah. Karuan saja kepala rampok
itu memperdengarkan suara tawa mengandung ejekan.
Kemudian kembali melanjutkan perbuatannya tanpa
mempedulikan ke-hadiran pemuda tampan itu.
Namun, lelaki tinggi besar dengan tubuh dipenuhi otot
yang menyembul itu menoleh penuh kegeraman. Ketika
ia mendengar jerit kematian yang membuatnya menjadi
murka. Menolehkan kepala-nya nampak sesosok tubuh
melayang ke arahnya. Tanpa pikir panjang lagi,
disambutnya luncuran so-sok tubuh itu dengan
hantaman telapak tangannya dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya.
Buggg!
Kepala rampok bertubuh kekar itu merasa heran.
Karena hantaman telapak tangan mengenai sosok tubuh
itu, namun tak sedikit pun sosok tubuh itu mengeluh
apa-apa. Padahal jelas sosok tubuh itu terlempar dengan
semburan darah segar dari mulut-nya.
Belum lagi rasa keheranan kepala rampok itu le-nyap,
kembali ia dikejutkan oleh sambaran angin tajam, yang
berasal dari sebelah belakangnya. Sadar kalau serangan
itu tidak bisa dipandang ringan, Raja Kera Kulit Baja
bergegas menarik tubuhnya ke samping dengan langkah
silang, dan setengah ber-putar.
Bukkk!
"Aaaih...!"
Kaget bukan main hati kepala rampok itu! Karena
usahanya untuk menghindar sia-sia, dan tetap saja
terkena tendangan keras yang membuatnya mundur
sampai menyeringai dan mengusap-usap dadanya.
Kemarahan Raja Kera Kulit Baja semakin bertam-bah
meluap ketika gadis cantik yang berada dalam
cekalannya, tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan, kini
ia berada dalam kekuasaan pemuda tampan yang
memperingatkannya agar melepaskan Ambar Sukma.
Karuan saja darah lelaki kekar berwajah kasar mendidih
di buatnya.
"Keparat..!" desis Raja Kera sambil menolehkan
kepalanya untuk memastikan orang yang dihantam
dengan telapak tangannya. Sebab, pemuda itu ter-nyata
telah berhasil membebaskan gadis cantik yang menjadi
tawanannya.
"Setan...!"
Kali ini kemurkaan kepala rampok itu benar-benar
sudah melewati batas! Karena sosok tubuh yang
disambutnya dengan hantaman telapak tangannya,
ternyata salah seorang pengikutnya sendiri. Dan, orang
Itu tewas seketika. Entah karena hantaman telapak
tangannya, atau memang telah tewas sewaktu melayang
ke arahnya. Tapi, Raja Kera Kulit Baja tidak mau ambil
peduli. Yang kini menjadi perhatiannya untuk
menumpahkan kema-rahannya itu, justru pemuda
tampan berpakaian mewah, yang kini membalas
menatapnya dengan tidak kalah tajam.
Ha ha ha.... Mengapa terkejut, Raja Beruk...?" tegur
pemuda tampan itu sambii memperdengarkan suara
tawanya yang lunak. Wajah tampan itu tam-pak semakin
menarik ketika la tengah tertawa. Se-hingga, mau tidak
mau Ambar Sukma yang berada di samping pemuda
tampan itu menatap penuh kagum.
Sedangkan kepala rampok itu sendiri, sudah
menggereng bagai binatang luka. Tampak tubuhnya
mulai direndahkan, persis seperti seekor kera besar yang
sedang murka. Sesekali tubuh kekar itu me-lompat-
lompat sambil menggaruk dan berteriak-teriak.
Ambar Sukma yang melihat tingkah-laku kepala
rampok itu, tak dapat menahan tawanya. Karena apa
yang dilakukan lelaki kekar itu benar-benar sangat lucu
dan menggelikan hatinya.
Sedangkan kening pemuda tampan itu tampak
berkerut, dan menatap penuh perhatian. la sama sekali
tidak tertawa sebagaimana halnya Ambar Sukma.
"Jurus Kera Gila...," desis bibir pemuda itu tetap tidak
menunjukkan rasa gentar, meski keningnya masih
berkerut.
"Jurus Kera Gila...? Eh, kau mengenal gerakan monyet
buruk itu, Kisanak? Ah, betapa tololnya aku. Kukira
semua gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan dan
tidak bermakna," gumam Ambar Sukma dengan wajah
keheranan. Bahkan, suara tawanya pun lenyap, dan
berganti dengan kekhawa-tiran. "Kita lari saja. Monyet
buruk itu memiliki kepandaian yang tinggi, dan kebal
terhadap senjata tajam. Aku takut kau celaka nanti,
hanya ingin menolongku...," lanjut gadis cantik itu
mengusul-kan.
"Ah, terima kasih atas kecemasanmu terhadap diriku,
Gusti Ayu. Tapi, demi keselamatan Gusti Ayu yang
kupuja dan kujunjung tinggi, rasanya mati adalah suatu
kehormatan besar bagiku. Apalagi Gusti Ayu berada di
sampingku. Ah, tidak ada lagi yang bisa membuat
Pradipta gentar, kendati harus menghadapi malaikat
maut sekalipun!" sahut pemu-da tampan tersenyum,
sambil menoleh dan menatap wajah canti Ambar Sukma.
Terkejut dan juga bangga hati Ambar Sukma
mendengar kata-kata yang diucapkan pemuda tam-pan
itu. Namun, sebagai seorang putri Adipati, tentu saja
perangai Ambar Sukma tidak bisa disamakan denga
gadis-gadis umumnya. Apalagi ia sudah ter-biasa dengan
lingkungan orang-orang yang selalu tunduk dan
mentaati perintahnya. Dan, kebiasaan itu membuatnya
tak segan-segan mendesak pemuda tampan itu guna
memberikan alasan yang tepat, sehubungan dengan
ucapan-ucapannya.
"Jadi, hanya karena aku seorang putri Adipati, maka
kau ber-sedia menolongku? Dengan kata lain, kau tidak
akan bersedia menolong kalau aku hanya gadis biasa,
begitu...?" Tanya Ambar Sukma seperti ingin mengetahui
isi hati pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
'Tidak, Gusti Ayu. Alasan yang sebenarnya, karena
aku jatuh hati melihatmu. Dan, demi mem-bela gadis
yang telah mencuri hatiku, mati bukan-lah sesuatu yang
harus ditakuti. Maaf, kalau aku telah lancang, Gusti
Ayu...," ucap pemuda tampan, yang ter-nyata Pradipta
itu, dengan nada halus.
Ambar Sukma yang tidak mengenai sama sekali siapa
sesungguhnya pemuda tampan itu, tentu saja hatinya
berdebar girang. Namun, perasaan itu disembunyikan
karena ia ingin mengetahui sampai sejauh mana rasa
cinta pemuda itu. la tidak ingin pemuda itu mengetahui
perasaannya, sebelum ia dapat memastikan
kesungguhan hatinya untuk me-ngorbankan nyawa demi
membela gadis yang dipujanya.
"Hm..., kalau begitu, kau hadapilah Raja Kera Kulit
Baja itu untuk membuktikan cintamu pada-ku...," ujar
Ambar Sukma tanpa senyum. Seolah-olah pemuda itu
adalah pembantunya, dan bukan penolongnya. Bahkan,
sikap gadis cantik itu ber-ubah. Sepertinya ingin
menunjukkan siapa diri yang sebenarnya, dan pemuda
seperti apa yang pantas mendampinginya.
Pradipta yang berjuluk si Kumbang Merah bu-kanlah
orang bodoh. la sadar dengan keinginan dan maksud
tersembunyi gadis cantik itu. Tapi, kali ini ia tentu saja
tidak mau main-main. Sebab. Apabila ia bisa menarik
gadis seperti Ambar Sukma ke da-lam pelukannya,
kehidupannya maupun martabat-nya pasti akan naik.
Maka, ketika mendengar uca-pan Ambar Sukma
Pradipta pun segera menyahuti.
"Baik, Gusti Ayu. Akan hamba hadapi manusia kera
itu...," setelah berkata demikian, Pradipta me-langkah
maju menghampiri Raja Kera Kulit Baja. Kemudian
berhenti dalam jarak sekitar satu tombak dengan
tatapan tajam, diawasinya gerak-gerik lelaki kekar itu.
***
ENAM
Raja Kera Kulit Baja pun membalas tatapan pemuda
tampan itu dengan tidak kalah tajamnya. Bahkan,
sepasang mata yang berwarna merah saga itu,
menyiratkan hawa maut.
"Heaaat..!"
Dibarengi pekikan nyaring yang melengking tinggi,
tubuh kekar itu melesat bagai kilat ke arah Pradipta.
Sepasang tangannya, yang panjang dan ditumbuhi bulu-
bulu kasar itu, menyambar-nyam-bar dan menimbulkan
deruan angin yang tajam ber-kesiutan. Jelas, tenaga
yang tersembunyi di dalam sepasang lengan Itu sangat
kuat dan berbahaya.
Pradipta tetap berdiri dengan tenang tanpa gera-kan.
Setelah memperhatikan tingkah laku dan gera-kan-
gerakan lelaki tinggi kekar itu, segera menge-tahui inti
ilmu silat lawannya. Maka, ketika lawan-nya
melancarkan gebrakan, pemuda tampan itu hanya
menggeser tubuhnya sedikit, dan langsung mengirimkan
serangan balasan dengan tamparan-tamparan maut.
Terkejut bukan main hati Raja Kera ketika me-rasakan
sambaran angin pukulan lawannya. Ia yang semula
memandang rendah pemuda tampan itu, menjadi
berdebar. Karena hatinya tidak tenang, maka lelaki
kekar itu menjadi sibuk dan terdesak oleh serangan-
serangan balasan lawannya yang me-ngandung
kekuatan hebat itu.
Namun, kepala rampok itu temyata tidak dapat
disamakan dengan penjahat-penjahat kasar biasa.
Begitu merasakan kelihai-annya, ia cepat merubah
gerakannya. Serangan-serangannya kali ini tampak
kacau dan aneh. Persis seperti kera buas yang sedang
murka.
"Haaait..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke dua
puluh satu, Raja Kera Kulit Baja mengeluarkan pe-kikan
keras yang menggetarkan. Sepasang tangan-nya
menyambar cepat, dan menimbulkan deruan angin yang
tajam laksana sambaran pedang. Dan, langsung meluruk
deras mengancam tubuh lawan-nya.
Whuuut! Whuuut!
Pradipta menarik mundur tubuhnya dengan lang-kah
pendek. Sambaran cakar lawannya yang meng-ancam
lambung dan tengkuknya, luput dan lewat sejengkal
didepan tubuhnya.
"Hiaaah...!"
Gerakan Pradipta tidak hanya berhenti sampai disitu
saja. Mendadak bentakan nyaring dilontarkan pemuda
itu, dan langsung memutar tubuhnya deng tendangan
melingkar.
Bukkk!
Hebat dan sangat cepat sekali tendangan yang
dilontarkan pemuda tampan itu! Tubuh lawannya
terpental seketika. Karena telapak kaki pemuda ttu
menghantam telak dadanya.
Namun, Kumbang Merah mau tidak mau harus
mengakui kekebalan tubuh lawannya. Tendangan-nya
yang keras dan menghantam telak, ternnyata hanya
mampu membuat tubuh lelaki kekar itu ter-jajar
mundur sejauh enam langkah. Padahal, me-nurut
perhitungan, tubuh lelaki itu harus terjungkal jatuh dan
memuntahkan darah segar. Ternyata tidak dialami sama
sekali oleh kepala rampok itu. Hanya gerengan gusar
yang terdengar meluncur dari sela-sela bibirnya yang
bergetar Itu.
Seperti tidak merasakan tendangan lawannya, lelaki
kekar itu melompat dengan serangan yang lebih dahsyat
dan berbahaya! Tubuhnya yang tinggi besar itu,
terkadang melompat-lompat seperti seekor kera gila.
Bahkan, terkadang bergulingan di atas tanah, sambii
melontarkan cengkeraman-cengkera-man yang
berbahaya dan mengandung kekuatan yang bebat.
Kali ini Pradipta tidak mau bertindak tanggung-
tanggung. Kedua tangannya diputar cepat hingga
menimbulkan sambaran angin yang menerbangkan
dedaunan kering. Seketika itu juga, tubuhnya yang tegap
melesat bagai kilat, dan langsung mengirim-kan
serangan-serangan dahsyat!
Bukan main terperanjatnya hati kepala rampok itu
ketika merasakan serbuan lawannya. Tangan pe-muda
Itu seolah-olah menjadi puluhan banyaknya. Sehingga,
la bagaikan terkurung di dalam lingkaran serangan
pemuda Itu.
"Gila...! Setan...!" Raja Kera kulit Baja memaki kalang-
kabut. Karena ruang geraknya semakin me-nyempit
Bahkan, setiap kali melontarkan serangan balasan,
sepasang tangannya selalu terpental. Se-olah-olah tubuh
lawannya telah dikelilingi oleh ben-teng yang sangat
kokoh.
Pada saat pertarungan menginjak jurus yang ketiga
puluh lima, Raja Kera Kulit Baja yang sudah tidak
mampu lagi melontarkan serangan balasan, terpaksa
merelakan tubuhnya digedor oleh telapak tangan
lawannya yang mengandung kekuatan hebat itu.
Maka...,
Blakkk!
"Hukh...!"
Raja Kera Kulit Baja mengeluh pendek ketika te-lapak
tangan Kumbang Merah singgah di perutnya. Belum
sempat ia mengatur posisi kudanya-kudanya, kembali
sebuah pukulan Iawan menghantam telak dadanya.
Desss...!
"Huakh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kekar itu lang-sung
terlempar hingga dua tombak jauhnya. Darah segar
menyembur dari dalam mulutnya. Lalu, tubuh raksasa
itu terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk
keras.
Namun, kepala rampok itu lagi-lagi menunjukkan
kekuatan daya tahan tubuhnya. Meskipun darah di
sudut bibirnya telah meleleh dan menyeringai ke-
sakitan, namun lelaki itu berusaha bangkit dan ber-diri
dengan tatapan mata yang mengancam.
Pradipta sendiri, tidak ingin memberikan peluang
kepada lawannya. Saat Itu juga, langsung melesat
tubuhnya dengan dorongan sepasang tangannya. Dan....
Blaggg...!
Hebat sekali akibat dorongan sepasang telapak tangan
pemuda tampan itu! Tubuh Raja Kera Kulit Baja yang
tinggi besar itu, tersentak bagai dilempar-kan tangan
raksasa! Tubuh kekar itu melayang dan menghantam
pohon sebesar dua pelukan orang dewasa!
Pohon besar itu berderak ribut, meskipun tidak roboh
oleh benturan keras itu. Namun daun-daun-nya
langsung berguguran ke tanah, berbareng de-ngan
melorotnya tubuh kekar Raja Kera Kulit Baja. Sepertinya
tubuh kepala rampok itu tidak mungkin dapat bangkit
lagi. Tubuh kekar itu tidak bergerak, kecuali suara
rintihannya yang terdengar perlahan.
Pradipta berdiri tegak sambil menatap tubuh lawannya
yang sudah tidak berdaya itu. Diam-diam ia merasa
sayang melihat tubuh yang mempunyai daya tahan yang
hebat itu. Sejenak lelaki muda ber-wajah tampan,
namun berhati licik itu, menunduk. Beberapa saat
kemudian, ia kembali berdiri tegak, lalu melangkah
menghampiri Ambar Sukma yang tidak jauh di
belakangnya.
***
"Bagaimana? Apakah lelaki kurang ajar itu sudah
tewas?" Tanya Ambar Sukma ketika melihat tubuh Raja
Kera Kulit Baja sudah tidak bergerak-gerak lagi.
"Tenangkanlah hati Gusti Ayu. Kepala rampok itu
sudah tidak akan mengganggu lagi," sahut Pradipta
sambil sepasang matanya menatap lekat-lekat. Se-
pertinya ia tengah menunggu ucapan lain yang akan
keluar dari sela-sela bibir indah itu.
"Hm... ke mana tujuanmu, Pradipta?" kembali Ambar
Sukma bertanya seperti sambil lalu, dan tidak menuntut
jawaban pasti.
"Entahlah, Gusti Ayu. Tapi, kalau memang aku tidak
diperlukan lagi, biarlah aku pamit..," ujar pemuda
tampan itu sambil membalikkan tubuhnya dan
melangkah gontai meninggalkan putri Ambar Sukma
yang menjadi tertegun dibuatnya.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis cantik itu berdiri
ter-mangu dengan wajah bingung. la benar-benar tidak
mengerti sifat pemuda tampan yang menolongnya itu,
Padahal waktu pertama kali ber-temu, jelas ia
mendengar pemuda itu mengucapkan kata-kata cinta
kepadanya. Lalu, mengapa ia pergi begitu saja. Seolah-
olah Pradipta sudah lupa dengan apa yang yang
diucapkannya.
Semula, Ambar Sukma mendiamkan saja keeper-gian
penolongnya itu. Pikirannya baru berubah keti-ka
ingatannya melayang bahwa pemuda seperti Pra-dipta
itu sangat jarang ditemuinya. Seketika Itu juga, timbul
keinginan gadis cantik itu untuk me-ngetahui perasaan
penolongnya lebih jauh lagi.
"Pradipta, tunggu...!"
Kumbang Merah yang memang sengaja melang-kah
perlahan, menghentikan ayunan kakinya. Na-mun, la
tidak berusaha untuk menoleh ke arah Am-bar Sukma.
Karena ia masih merasa ragu dengan pendengarannya.
Ambar Sukma, yang masih tetap berdiri tegak itu,
mengerutkan keningnya ketika melihat pemuda itu tidak
menoleh. Lalu, ia segera memanggil nama pemuda itu,
Pradipta pun menolehkan kepalanya, meski tidak
berusaha untuk menghampiri.
Kedua orang Itu saling tatap dalam jarak lima tombak.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka hanya berdiri
tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun. Juga, tidak
satu pun dari mereka yang ber-usaha maju mendekat
Sepertinya mereka masih saling menahan diri.
Tidak lama kemudian, Pradipta melangkah per-lahan
dengan pandangan mata tetap tidak terlepas dari wajah
Ambar Sukma. Langkah pemuda itu baru terhenti ketika
jarak di antara mereka hanya tinggal setengah
jangkauan tangan.
"Ada apa, Gusti Ayu...? Apakah aku masih di-perlukan
di sini?" Tanya pemuda tampan itu sambil menelusuri
wajah cantik di hadapannya. Jelas se-kali terlihat
sepasang mata pemuda tampan itu me-nyiratkan sinar
kekaguman yang tidak disembunyi-kannya. Pradipta
memang sengaja ingin menunjuk-kan perasaannya
kepada gadis itu.
Ambar Sukma bukannya tidak tahu apa yang ada
dalam pikiran Pradipta. Maka, tanpa malu-malu lagi,
ditentangnya pandangan mata pemuda itu. Per-lahan-
lahan senyum manis terukir di bibirnya. Per-tanda putri
Adipati Sunggara itu membalas pera-saan hati Pradipta.
Semua itu tercermin baik dalam pandangan matanya
maupun raut wajahnya.
"Mengapa kau ingin pergi, Pradipta? Tidakkah kau
ingin mengantarkan aku pulang ke kadipaten?" Tanya
Ambar Sukma dengan senyum yang semakin melebar.
"Aku tidak berani, Gusti Ayu. Tapi kalau memang
Gusti Ayu menginginkannya, tentu saja aku tidak bisa
menolaknya. Bahkan, dengan senang hati aku akan
mengawal hingga ke kadipaten," sahut Pradipta dengan
wajah bersinar-sinar.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu..?" ucap
Ambar Sukma tertawa kecil.
"Silakan, Gusti Ayu...," ujar Pradipta menyisih.
Pemuda itu membungkukkan tubuhnya, dan mem-
persilakan Ambar Sukma berjalan lebih dahulu.
Ambar Sukma tersenyum melihat lagak yang
ditunjukkan Pradipta. Persis seperti seorang pelayan
tulen yang siap mengantarkan majikannya. Sehing-ga,
tawanya yang renyah pun kembali terdengar.
'Tidak perlu banyak peradatan, Pradipta. Kita ja-lan
bersama saja seperti halnya dua orang sahabat,
ayolah...," ajak Ambar Sukma yang segera melang-
kahkan kakinya tanpa terburu-buru.
"Gusti Ayu...," panggil Pradipta tiba-tiba dengan suara
bergetar aneh. Sedangkan kakinya tetap tidak
melangkah. Terlihat wajah pemuda itu tidak lagi seriang
semula.
"Ada apa lagi...?" Tanya Ambar Sukma yang sege-ra
membalikkan tubuhnya dengan kening berkerut.
Namun, hati gadis cantik itu menjadi berdebar ketika
melihat wajah Pradipta agak pucat. Bahkan, ketika
Ambar Sukma menatap tepat di kedua bola mata
pemuda itu, ia melihat pancaran sinar aneh yang
membuat hatinya bergetar. Dan, ia tahu makna sorot
mata pemuda itu.
Sambil menekan debaran dalam dadanya, Ambar
Sukma mencoba tersenyum meski dadanya dirasa-kan
berdebar tak karuan. Dan, ia berusaha tetap bersikap
wajar. Seolah tidak tahu perasaan yang dialami pemuda
itu.
"Ada apa, Pradipta? Mengapa sikapmu tampak aneh?
Apakah kau tidak bersedia mengantarkan aku?
Katakanlah? Kalau memang kau keberatan, biarlah aku
pulang sendiri," ujar Ambar Sukma ketika jarak di antar
mereka, hanya terpisah tiga langkah.
"Ah, bukan..., bukan itu, Gusti Ayu.... Tapi, aku...
aku..., ingin menanyakan sesuatu kepada Gusti Ayu.
Dan, aku harap agar Gusti Ayu tidak menjadi marah
karenanya," dengan pandainya Pradipta
menyembunyikan sifat-sifat di hadapan gadis cantik itu.
Sehingga, baik lagak maupun mimik wajahnya,
mengesankan seorang pemuda hijau yang sama sekali
belum berpengalaman. Padahal, semua itu merupakan
sandiwara saja. Karena semua yang dilakukannya
semata-mata ingin menjerat putri Adi-pati Sunggara.
"Sampaikanlah, Pradipta. Kalau memang apa yang kau
ucapkan itu bukan penghinaan, mengapa aku harus
marah? Lagi pula kau adalah penolongku Dan, aku tidak
bisa membayangkan apa yang terjadi pada diriku, jika
kau tidak datang menolong?" sahut Ambar Sukma
mencoba bersikap wajar, meskipun debaran da-lam
dadanya kian bergemuruh. Menilik dari sikapnya dan
nada suara pemuda itu, ia dapat menebak apa yang
akan diucapkan Pradipta kepadanya.
"Betul Gusti Ayu tidak marah...?" tegas pemuda itu
dengan Bngkah yang kian gelisah. Bahkan, ter-lihat
beberapa kali pemuda itu menundukkan wa-jahnya,
sambii menggoyang-goyangkan kakinya kesana-kemari.
Sehingga, Ambar Sukma terpaksa menahan tawanya
agar tidak menyinggung perasaan penolong-nya itu.
"Katakanlah Aku berjanji tidak akan marah...," sahut
Ambar Sukma seraya menahan senyumnya.
"Gusti Ayu..., sebenarnya..., sejak pertama me-
lihatmu, aku... aku telah jatuh hati kepadamu. Tapi,
terus terang semua ini tidak ada hubungannya de-ngan
kesediaanku mengantarkan Gusti Ayu ke kadi-paten.
Maaf, kalau pernyataanku membuatmu ter-kejut...
Sekali lagi aku mohon maaf...," ujar Pradipta dengan
suara menggeletar, dan tarikan napas ber-kali-kali.
Seolah-olah apa yang disampaikannya itu merupakan
sesuatu yang sangat sulit dan berat terucapkan.
Sikap Pradipta nampak tenang kembali setelah apa
yang mengganjal di hatinya, telah diucapkan meski
suaranya terdengar gugup, dan patah-patah.
Ambar Sukma sendiri tidak terlalu terkejut, na-mun
wajahnya terlihat berubah sekilas. Senyum di wajah
cantik itu semakin melebar. Dan, sepasang mata yang
indah menyiratkan sinar kebahagiaan. Namun, semua
itu berusaha ditutupinya.
"Setelah melihatku dan jatuh hati kepadaku. Lalu, apa
yang kau inginkan selanjutnya? Apakah kau ingin pergi
meninggalkan aku, karena aku putri seorang adipati?"
ucap Ambar sukma yang sikapnya sudah tenang dan
riang. Sehingga, gadis cantik itu berani mengungkapkan
apa yang ada dalam hatinya saat itu.
Pertanyaan yang meluncur dari bibir gadis cantik itu,
tentu saja sempat membuat gelagapan lelaki muda yang
berjuluk Kumbang Merah itu. Karena, apa yang
ditanyakan Ambar Sukma sama sekali di luar
perhitungan Pradipta. Sehingga, untuk sesaat lamanya,
pemuda itu hanya berdiri dengan wajah bingung, dan
tidak mampu mengucap sepatah kata pun.
Pradipta sama sekali tidak mengetahui, kalau sifat
gadis Itu tidak dapat disamakan dengan putri-putri
istana lainnya. Sikap-nya yang bebas dan ter-kadang
ugal-ugalan itu, bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab,
semenjak kecil putri Adipati Sunggara itu lebih suka
bergaul dengan orang-orang persila-tan, yang mengabdi
di kepada ayahnya ketimbang dengan pelayan-
pelayannya. Dan, Adipati Sunggara sendiri tahu akan
sifat putri tunggalnya. Sehingga, orang tua itu
membicarakan apa yang menjadi kesenangan putrinya.
Bahkan, Adipati Sunggara mengizinkan putrinya untuk
mempelajari ilmu silat dari tokoh-tokoh Kadipaten.
Itulah sebabnya, sikap putri Adipati Sunggara berbeda
sekali dengan putri-putri pejabat kadipaten kebanyakan.
"Gusti Ayu. Kau tidak buta, dan bisa meniadakan
jurang pemisah di antara kita. Meskipun demikian, aku
telah mencoba mengutarakan apa yang meng-ganjal di
hatiku. Barulah hariku merasa lega dan tenang. Walau
sebenarnya aku ingin selalu berada di dekatmu, dan
mengawalmu ke mana saja. Maaf, kalau semua ini
terpaksa kusampaikan," saat meng-ucapkan kata-kata
itu, Pradipta mengangkat wajah-nya, dan menatap wajah
gadis cantik itu dengan mata agak sayu.
"Pradipta, ini perintah! Katakanlah dengan jujur, apa
keinginanmu sebenarnya? Katakanlah aku tidak akan
marah," tiba-tiba saja wajah Ambar Sukma berubah
keras dan memancarkan perbawa yang mengejutkan hati
Pradipta. Sehingga, pemuda tam-pan itu kembali
melengak, dan hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
"Baiklah, Gusti Ayu...," sahut Pradipta setelah be-
berapa kali menarik napas panjang. "Aku men-cintaimu,
dan ingin mendampingimu sebagai sua-mi...," lanjut
Kumbang Merah sambil menatap wajah Ambar Sukma
lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menemukan Jawaban
pada wajah dan mata gadis cantik itu.
"Hm..., kalau begitu, ayo kita menghadap ayah-ku...,"
sahut Ambar Sukma yang tanpa berkata apa-apa lagi,
langsung melangkah pergi.
"Tapi... tapi..., Gusti Ayu...," Pradipta terkejut se-kali
dengan sikap Ambar Sukma, tentu saja ia men-jadi
bingung. Cepat ia berlari dan mengejar gadis itu. Tanpa
sadar, disambarnya tangan Ambar Suk-ma, lalu
digenggamnya erat-erat.
"Sudah, tidak perlu banyak tanya lagi. Kalau kau ingin
aku menjadi istrimu, kita harus menghadap ayahku,"
jawab Ambar Sukma tanpa mempedulikan Pradipta yang
kebingungan.
Pradipta, yang dapat menduga kalau ucapan cintanya
mendapat sambutan seperti yang diingin-kannya, segera
melangkah di samping Ambar Suk-ma tanpa berkata-
kata lagi. Namun, dari sorot ma-tanya, pemuda tampan
berwatak cabul itu terlihat sangat gembira sekali.
Tidak lama kemudian, tubuh kedua insan itu le-nyap
ditelan kelebatan hutan. Kesunyian pun kem-bali
menyelimuti alam di sekitar tempat itu....
***
TUJUH
Kicau burung terdengar bersahutan, menyambut
datangnya matahari pagi. Hembusan angin yang lembut
mengiringi langkah kaki sosok tubuh ram-ping, yang
memasuki Kota Kadipaten Kedawung. Wajahnya tetap
terangkat lurus. Sedangkan sepa-sang matanya
menyorot dingin dan tajam.
Langkah kedua kaki sosok tubuh ramping itu, terlihat
kokoh dan menyimpan kekuatan hebat. Kemudian,
langkahnya berbelok ketika telah cukup jauh memasuki
kota kadipaten. Tidak dipedulikan pandangan heran
beberapa orang warga kota kadi-paten itu. Karena di
tangan kanannya memang ter-genggam sebilah pedang
panjang. Dengan sikap dingin dan tenang, sosok tubuh
ramping itu menyi-bakkan daun pintu setinggi pinggang-
nya. Dan, te-rus mengambil tempat duduk di sudut
ruang kedai makan yang cukup besar itu.
Tanpa mempedulikan pengunjung kedai yang me-
noleh sekilas ke arahnya, sosok tubuh ramping itu
membuka tudung bambu yang menyembunyikan
wajahnya. Pedang pun diletakkan begitu saja di atas
meja. Beberapa pengunjung yang terkejut melihat wajah
dan pedang yang diletakkan di atas meja, ber-gegas
memalingkan muka. Hati mereka sempat ter-getar ketika
memandang sorot mata yang dingin dari sosok tubuh
ramping itu.
Tetap dengan air muka tidak berubah, sosok tubuh
ramping yang ternyata seorang wanita itu, mengulapkan
tangannya dan memanggil pelayan kedai Lalu,
dipesannya beberapa jenis makanan. Se-telah itu,
wajahnya kembali menatap lurus dengan sorot mata
yang tetap dingin. Sepertinya ia memang tidak peduli
dengan keadaan di sekelilingnya.
Wajah yang tampak agak pucat, dan tanpa gam-baran
perasaan itu, mendadak tegang ketika telinga-nya
menangkap pembicaraan dua orang lelaki, yang terpisah
beberapa meja dari tempatnya duduk. Dan, seperti ingin
mendengarkan secara teliti, maka wa-nita itu pun
menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Yah..., apalah daya kita yang hanya rakyat biasa ini?"
keluh sebuah suara yang mengandung rasa kesal dan
ketidak-berdayaan itu.
“Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dengan ke-adaan
ini Setelah adipati yang bergelar Setya Bumi itu
memimpin kadipaten, rasanya banyak peraturan yang
berubah. Bahkan, pajak untuk para pedagang pun
dinaikkan dua kali lipat Hhh..., sayang Adipati Sungga
tidak berumur panjang. Kalau beliau masih menjadi
pemimpin kadipaten ini, rasanya tidak mungkin
kehidupan rakyat akan sengsara seperti sekarang. Sebab
aku tahu betul sifat dan perangai beliau yang lebih
mementingkan orang banyak ke-timbang dirinya sendiri
itu baru namanya pemim-pin!" sahut suara lainnya yang
terdengar bersema-ngat memuji-muji Adipati Sunggara,
dan menjatuh-kan Adipati Setya Bumi.
"Satu lagi yang membuat aku sebal dan muak melihat
adipati kita yang baru ini...," tiba-tiba suara lainnya yang
semenjak tadi tidak mendengar, ikut mencampuri.
"Adipati yang sekarang ini, sepertinya tidak boleh
melihat wanita cantik. Walaupun wanita itu istri orang,
ia tidak putus semangat. dan men-cari jalan untuk
memilikinya meskipun hanya un-tuk semalam. Tapi,
kabar itu baru kudengar. Dan, belum diketahui secara
pasti kebenarannya. Kalau melihat ketampanan Adipati
Setya Bumi, rasanya setiap wanita pasti akan bertekuk
lutut di bawah kakinya. Apalagi kata-katanya yang
lembut dan pe-nuh madu, Wah... pokoknya sulit mencari
seorang pemuda seperti dia...."
"Ssst..., sudah cukup, apa yang kita bicarakan.
Sepertinya ada orang lain yang memperhatikan ting-kah
laku kita. Jangan-jangan dia pun mendengar cerita
kita...? Wah.... Ayo kita segera pergi dari sini..."
Wanita cantik berwajah dingin itu tersentak ka-get,
ketika melihat salah seorang dari mereka yang berkumis
tebal, menoleh ke arahnya. Bahkan, uca-pan laki-laki itu
sangat jelas terdengar di telinganya. Sehingga, ketika
kehga orang lelaki itu bangkit, ia segera bergegas bangkit
tanpa menyentuh hidangan yang telah dipesannya.
Tanpa banyak cakap lagi, wanita yang kalau di-lihat
dari wajahnya berusia sekitar sembilan belas atau dua
puluh tahun itu, bergegas mengikuti ketiga orang laki-
laki yang ceritanya menarik hati wanita itu.
"Paman... berhenti sebentar...!" terdengar suara
panggilan lirih, namun jelas tertangkap oleh telinga
ketiga orang lelaki itu yang tengah melintasi sebuah
jalan sepi.
Namun, suara panggilan itu bukannya membuat
langkah me-reka terhenti, tapi sebaliknya. Ketiga orang
lelaki yang berusia sekitar empat puluh atau lima puluh
tahun itu, semakin mempercepat lang-kahnya, dan tidak
menoleh sedikit pun. Kenyataan itu tentu saja membuat
gadis berwajah pucat men-jadi heran.
Sadar kalau ketiga orang lelaki itu menduga diri-nya
sebagai lawan, maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, gadis berwajah pucat itu berseru nya-ring.
Berbarengan dengan itu, tubuhnya melambung dan
berputaran beberapa kali. Sebelum mendarat didepan
ketiga orang lelaki itu, yang kontan pucat wajahnya.
"Jangan takut, Paman.... Aku cuma ingin berta-nya
sedikit, dan bukan mau melukai atau mence-lakakan
kalian Sebaliknya aku malah membutuh-kan keterangan
dari kalian, yang mungkin sangat besar artinya bagiku.
Maukah Paman membantu-ku...?" ujar gadis berwajah
pucat yang mengenakan pakaian biru muda itu dengan
suara halus, dan tidak terkandung sama sekali sifat
yang keji, baik dan pancaran matanya maupun tutur
katanya.
Meskipun demikian, ketiga lelaki itu masih me-rasa
ragu dengan ucapan gadis di depannya, yang menurut
mereka dapat terbang seperti setan. Se-hingga, untuk
beberapa saat lamanya, ketiganya hanya berdiri dan
saling berpandangan satu sama lain. Kemudian mereka
menatap gadis berpakaian biru muda Itu, seperti tengah
menilainya.
"Percayalah kepadaku, Paman. Kalau aku berniat
mencelakai kalian bertiga, tentu sudah kulakukan sejak
tadi. Tapi, semua itu tidak kulakukan, karena aku
membutuhkan beberapa jawaban dari kalian bertiga.
Bagaimana...?" lanjut gadis cantik berwajah pucat itu
mencoba menunjuk itikad baiknya. Sambil berkata
demikian, pedangnya segera diselipkan ke sabuk yang
melilit pinggangnya. Lalu, lalu gadis itu dengan tenang
maju beberapa tindak.
"Baikiah, apa yang Nisanak inginkan dari ka-mi...?"
akhirnya lelaki berkumis tebal yang bertubuh gemuk,
memberanikan diri menanyakan keperluan gadis
berwajah pucat itu.
"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Pertama,
sudah berapa lama Adipati Kedawung yang baru
memerintah? Kedua, berapa usianya? Terakhir...,
siapakah nama adipati itu sebelum menjabat pe-mimpin
kadipaten ini...? Hanya itu yang kuperlukan dari Paman
bertiga. Kuharap kalian tidak terlalu sulit memberikan
keterangan," ujar gadis cantik ber-wajah pucat itu
dengan suara, yang agak lain dari biasa. Sepertinya ada
kesan ketegangan dalam suaranya kali ini.
"Aaah..., sayang sekali kami hanya rakyat biasa,
Nisanak. Jadi, semua jawabanmu itu sulit kami jawab,
kecuali kalau kau menanyakannya kepada salah seorang
prajurit kadipaten. Mungkin mereka bisa memberikan
jawaban atas semua pertanyaan-mu itu. Sekali lagi kami
minta maaf, dan kami harus pergi...," sahut lelaki
berkumis tebal itu dengan wajah pucat seperti kapas,
bahkan, kata katanya ketika menjawab pun, terdengar
bergetar seperti orang dilanda ketakutan. Padahal, perta-
nyaan gadis berwajah pucat ttu tidak perlu ditakuti.
Dan, ia pun tidak akan marah bila memang mereka
betul-betul tidak mengetahuinya.
Tapi, gadis cantik berwajah pucat itu bukanlah orang
bodoh yang menerima begitu saja Jawaban mereka.
Tiba-tiba saja pedangnya, tercabut keluar. Sehingga
menimbutkan sinar berkeredep yang me-nyilaukan mata.
Dan, serta merta pedang itu telah melintang didepan
dada lelaki berkumis tebal yang hendak melewatinya.
Karena gadis itu berdiri bebe-rapa langkah didepan
mereka.
"Ah...!? Ap... apa ini? Kami... ampunkan kami... Ni-
sanak...," rintih lelaki gemuk berkumis tebal dengan
tubuh gemetar. Keringat dingin mulai mengalir ke-tika
pedang yang berkilat-kilat itu, merayap hingga ke
lehernya.
"Jawab pertanyaanku, atau terpaksa kepalamu akan
kupenggal...," ancam gadis cantik berwajah pucat itu
dengan suara sungguh-sungguh. "Dengar!" ucap gadis
itu lagi "Aku bukan orang dari kadipaten ini. Jadi, kalian
tidak perlu merasa takut kepada-ku...?"
"Adipati Setya Bumi sebelumnya bernama Pradip-ta. la
masih muda, sekitar dua puluh tiga tahun. Wajahnya
sangat tampan dan gagah. Jabatan adi-pati
disandangnya baru sekitar tiga bulan. Sebenar-nya apa
keperluan Nyai ingin mengetahui tentang penguasa
Kadipaten Kedawung ini...?" Tanya lelaki berkumis tebal
itu setelah menjawab semua perta-nyaan gadis berwajah
pucat itu.
"Aku ingin membunuh jahanam licik itu...!" ge-ram
gadis berwajah pucat yang tidak lain Trijanti itu.
Dilepaskannya lelaki berkumis tebal itu setelah
memperoleh Jawaban.
Ketiga orang lelaki itu berubah pucat wajahnya. Untuk
beberapa saat lamanya, mereka saling pan-dang. Satu
sama lain. Jelas, rasa khawatir trepan-car di wajah
ketiganya.
"Nyai, tunggu...!" seru lelaki berkumis tebal itu ketika
melihat Trijanti akan meninggalkan tempat itu.
Trijanti terpaksa menahan langkahnya, dan berbalik
mengha-dapi ketiga orang lelaki yang segera menge-
rumuninya. Kening wanita berwajah pucat itu ber-kerut,
ketika melihat kekhawatiran di wajah mereka.
"Nyai, sangat berbahaya sekali bila niatmu dilak-
sanakan. Selain istana kadipaten dijaga prajurit-prajurit
tangguh, juga terdapat beberapa tokoh sakti yang
mengabdikan diri di istana itu. Sebaiknya niat-mu itu
diurungkan saja. Kami pun sebenarnya tidak menyukai
adipati yang baru itu, tapi kami merasa khawatir
terhadap keselamatanmu. Meskipun kami tidak tahu apa
yang membuat Nyai mendendam kepada beliau...," ujar
lelaki berkumis tebal itu me-nasihati.
"Hm..., meskipun manusia laknat itu dijaga oleh raja
iblis sekalipun, aku tidak takut! Dan, aku tetap akan
melaksanakan niatku. Terima kasih atas nasi-hat
kalian...," usai berkata demikian, Trijanti kem-bali
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun,
langkahnya kembali terhenti ketika lelaki berkumis tebal
itu memanggilnya.
"Hm.., ada apa lagi, Paman?" Tanya Trijanti me-
ngerutkan keningnya, tak senang.
"Mmm..., kalau memang niat Nyai sudah tidak bisa
ditahan lagi, kami mempunyai sedikit berita yang
mudah-mudahan bisa mempermudah niatmu itu...," ujar
lelaki berkumis tebal itu, yang kembali berhadapan
dengan Trijanti.
"Apa Itu, Paman...?" Dengan wajah penuh harap,
Trijanti menatap lelaki berkumis tebal itu lekat-lekat.
"Kami memperoleh kabar, dalam satu dua hari ini
Adipati Setya Bumi akan berburu di hutan sebelah
Barat. Biasanya beliau hanya ditemani dua orang
pembantu setianya. Nah, pada saat itu, rasanya akan
lebih mudah bagimu untuk melaksanakan niat itu...,"
sahut lelaki gemuk berkumis tebal itu lagi menjelaskan.
"Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Paman se-
kalian yang sudi menolongku. Sekarang, aku mohon
pamit..," tanpa menoleh lagi, Trijanti langsung
menggenjot tubuhnya Dan segera melesat mening-galkan
ketiga orang lelaki itu.
"Hhh..., mudah-mudahan saja ia tidak sampai celaka.
Sebab, Adipati Setya Bumi konon memiliki kepandaian
yang sangat tinggi..," gumam lelaki berkumis tebal itu
cemas.
Sedang dua orang lainnya hanya menganggukkan
kepala tanpa kata. Mereka masih menatapi sosok
bayangan Trijanti yang kian samar.
***
Suara berderap terdengar dan membuat suasana di
sekitar Hutan Jonggol menjadih riuh. Beberapa ekor
burung beterba-ngan meninggalkan pepoho-nan.
Sepertinya mereka merasa terganggu dengan suara
derap kaki-kaki kuda Itu.
Seorang pemuda tampan yang mengenakan pakaian
mewah, duduk di atas punggung kuda berbulu pu-tih.
Senyum keangkuhan tampak menghiasi wajah-nya.
Pemuda tampan itu tidak lain Pradipta, yang kini
menjabat sebagai adipati dengan gelar Setya Bumi.
Dengan kelicikan dan kepandaiannya mengambil hati
Adipati Sunggara, pemuda itu berhasil menjadi suami
dari putri tunggal sang Adipati, yang pernah ditolongnya
dari cengkeraman perampok.
Ketika Adipati Sunggara ditemukan tewas saat
berburu di Hutan Jonggol, maka Pradipta pun di-tunjuk
sebagai penggantinya. Karena sang Adipati sendiri tidak
mempunyai anak laki-laki.
Tidak ada seorang pun yang menduga kala Pra-dipta
seorang pemuda licik dan serakah. Juga tak seorang pun
yang tahu kalau pemuda tampan itu seorang yang
mempunyai watak cabul. Baru bebe-rapa bulan
menduduki jabatan adipati, sifat asli Pradipta mulai
terlihat. Tapi, semua itu sudah ter-lambat! Ambar
Sukma sendiri, putri Almarhum Adi-pati Sunggara,
hanya bisa menyesali nasibnya.
Setelah Pradipta menjabat sebagai adipati, maka tak
seorang pun yang dapat menghalangj tindakan pemuda
itu. Dan, Ambar Sukma sendiri tidak bisa berbuat apa-
apa.
Adipati Setya Bumi yang selalu menggunakan tangan
besi dalam menindak para pembangkang, tentu saja
membuat rakyat terpaksa mentaatinya. Sejak pimpinan
Kadipaten Kedawung dipegangnya, entah sudah berapa
banyak rakyat yang menjadi korban kekejaman pemuda
itu, karena setiap pem-bangkang tidak pemah luput dari
hukuman mati. Bahkan, tidak sedikit yang dihukum
gantung di alun-alun istana Kadipaten. Semua itu
ditunjukkan kepada rakyat sebagai contoh bagi
pembangkang-pembangkang lainnya.
Selain kejam, Adipati Setya Bumi hampir tidak pernah
mengurusi rakyatnya. Segala sesuatu yang berurusan
dengan kadipaten diwakilkannya. Se-dangkan kerja
adipati muda itu hanya bersenang-senang setiap hari. la
tidak mau ambil peduli de-ngan segala urusan
Kadipaten. Menurutnya, semua itu hanya membuat
pusing kepalanya. Sehingga, Adipati Setya Bumi lebih
suka bersenang-senang, ketimbang mengurusi
rakyatnya. Dan, salah satu kesenangannya adalah
berburu.
Pradipta yang kini dikenal sebagai Adipati Setya Bumi,
men-jalankan kuda putihnya agak perlahan. Karena saat
Itu ia telah berada jauh dari mulut hutan. Sedangkan
dua orang pembantu setianya mengiringi di belakangnya.
Seperti halnya sang Majikan, mereka pun mengendarai
kuda-kuda pilihan.
Ketika ketiga orang itu semakin jauh menerobos
hutan, men-dadak Adipati Setya Bumi mengangkat
tangan kanannya perlahan. Dengan gerakan ringan,
tubuhnya melompat turun dari atas punggung kuda.
Setelah menyiapkan anak panahnya, pemuda tampan
bertubuh tegap itu melangkah perlahan menerobos
semak belukar.
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang pembantu setia
itu melompat turun dari punggung kudanya masing-
masing. Namun, keduanya tetap menunggu di tempat
itu, dan tidak mengikuti langkah Adipati Setya Bumi.
Sementara, pemuda tampan itu sendiri, sudah
merunduk di balik semak-semak sambil memben-
tangkan anak panahnya. Yang menjadi sasarannya,
seekor kijang muda. Binatang itu sama sekali tidak
mengetahui bahaya yang mengancamnya. Karena angin
yang bertiup saat itu, berhembus ke arah Adipati Setya
Bumi. Sehingga, binatang itu tidak mencium sama sekali
bahaya yang mengintainya.
Namun, selagi pemuda itu tersenyum memba-yangkan
tubuh kijang muda itu terpanggang anak panahnya,
tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan nyaring seiring
dengan meluncurnya anak panah yang dilepaskan
pemuda itu.
"Haiiit...!"
Berbarengan dengan suara bentakan yang nya-ring
itu, secer-cah sinar putih berkeredep meng-ancam
tenggorokan Adipati Setya Bumi. Karuan saja adipati
muda itu menjadi geram. Karena binatang buruannya
telah melesat lebih dulu ketika men-dengar suara yang
mengejutkan itu.
Merasa kesenangannya terganggu, pemuda itu
menjadi marah bukan main! Sambii menarik mun-dur
tubuhnya, dan merendahkan kaki belakang, serangan
pedang lawan pun tuput dari sasarannya. Sedangkan
kaki depannya yang terjulur lurus, lang-sung melakukan
serangan balasan dengan sebuah tendangan ujung
sepatunya!
Zebbb!
Gerakan sosok tubuh berpakaian biru muda yang
menyerangnya itu, ternyata cukup gesit! Dengan sebuah
gerakan yang berputar indah, sosok tubuh itu berhasil
menghindari sambaran kaki lawannya. Bahkan dengan
gerakan itu, ia sempat menyilang-kan senjatanya, hingga
membentuk goresan menyi-lang di udara!
"Haiiit...!"
Sambil membentak keras, tubuh Adipati Setya Bumi
melambung dan berjumpalitan beberapa kali ke
belakang. Dengan demikian, serangan sosok tu-buh
ramping itu kembali tuput, dan hanya menyam-bar
daerah yang kosong.
"Keparat bosan hidup! Siapa kau...!" bentak Adi-pati
Setya Bumi begitu kedua kakinya mendarat di atas
tanah berumput tebal. Sepasang mata pemuda tampan
itu terbelalak ketika mengenali sosok tubuh ramping,
yang telah berani mati membokongnya itu.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, pemuda
hanya berdiri termangu, tanpa sepatah kata pun terucap
dari mulutnya.
"Hm..., begitu mudahnya kau melupakan aku,
Jahanam Busuk! Jangan harap kau bisa hidup tenteram
di dunia ini! Dan, kau harus menebusnya dengar
kematian!" geram sosok tubuh ramping yang
mengenakan pakaian biru muda itu. la tidak lain adalah
Trijanti, si gadis pendekar yang telah diper-daya Pradipta
beberapa waktu lalu.
Namun, keterkejutan Pradipta hanya berlaku se-saat
saja. Wajah tampan itu kembali tersenyum ma-nis.
Bahkan, sepasang matanya bersinar gembira. Seolah
pertemuan itu memang sudah lama dinan-tikannya.
"Ah..., Adik Trijanti...! Lama sekali kita tidak ber-
jumpa. Maaf, aku terpaksa pergi tanpa pamit kepadamu,
karena ada urusan penting dan sangat mendadak. Ah...,
berapa rindunya aku kepadamu, Adikku...," ujar
Pradipta sambil melangkah maju de-ngan wajah berseri-
seri. Pemuda itu sepertinya sama sekali tidak merasa
bersalah dengan apa yang diperbuatnya terhadap diri
Trijanti.
Sambutan pemuda itu, membuat Trijanti sejenak
bingung. Gadis cantik berwajah pucat itu berdiri ter-
paku, seolah ia tak percaya dengan apa yang disak-
sikannya. Namun, ketika teringat akan perbuatan
pemuda itu, wajahnya kembali gelap dengan sorot mata
yang dingin penuh dendam.
"Huh! Jangan berpura-pura kau, Jahanam Keji!
Apakah kau kira aku akan tergoda dengan mulut
manismu itu! Maaf saja. Keputusanku telah bulat untuk
mencuci aib di tubuhku ini dengan darahmu.
Bersiaplah...," desis Trijanti mencoba mengusir bayangan
indah yang sempat melintas di benaknya.
Memang gadis cantik berwajah pucat itu jatuh hati
kepada Pradipta. Perasaan itu pula yang meng-
ganggunya. Sehingga, gadis itu agak resah hatinya ketika
melihat sikap pemuda tampan yang sangat gembira
berjumpa dengan dirinya.
"Apa maksud ucapanmu itu, Adik Trijanti? Bu-kankah
apa yang kita lakukan itu atas dasar suka sama suka?
Aku sama sekali tidak memaksamu se-dikit pun. Dan,
aku yakin kau pun tahu akan hal itu. Bersikaplah
tenang, Trijanti. Apakah kau meng-inginkan semua
orang tahu dengan apa yang telah kita perbuat itu?
Lihatlah, aku masih menyayangi-mu, dan bersedia
menerimamu sebagai istriku. Kau akan kujadikan
permaisuriku di Istana Kadipaten Kedawung. Tahukah
kau kalau aku telah menjabat sebagai adipati di daerah
ini? Ayolah, Trijanti, jangan bodoh...," bujuk Pradipta
atau Adipati Setya Bumi sambil meng-ayunkan
langkahnya mengham-piri gadis cantik itu.
Melihat sinar mata yang hangat, kata-kata yang manis
dan sikap lembut pemuda tampan itu, pendi-rian Trijanti
pun menjadi goyah. Bagai orang tolol, gadis cantik itu
menatap Pradipta dengan penuh selidik.
Sepertinya ia ingin memastikan semua ucapan
pemuda itu melalui sinar matanya. Dan, hati Tri-janti
sempat berdebar ketika melihat kehangatan cinta kasih,
yang terpancar dari sepasang mata pe-muda tampan
yang telah menjatuhkan hatinya itu.
"Benarkah... kau mencintaiku, Pradipta...? Da-patkah
kata-katamu kupercaya...?" desah gadis can-tik berwajah
pucat itu dengan bibir gemetar karena terbawa
perasaannya. Bahkan, sepasang mata indah itu telah
digenangi air bening. Jelas, kalau saat itu Trijanti tengah
berperang dalam batinnya.
"Haiiih..., mengapa kau masih meragukan ucapanku,
Adik Trijanti? Apa yang harus kulakukan untuk
mendapatkan kepercayaanmu? Katakanlah, Adikku. Aku
siap melaksanakannya...," bujuk Pra-dipta lagi.
Sementara jarak di antara mereka berdua sudah tinggal
beberapa langkah lagi. Bahkan, dengan pandainya
Pradipta mengembangkan kedua lengannya untuk
meyakinkan dan siap menyambut tubuh gadis itu ke
dalam pelukannya.
"Tapi... tapi...," Trijanti masih merasa ragu meski-pun
pemuda itu jelas telah siap menerima dirinya. Bahkan,
dua titik air bening mulai bergulir mem-basahi pipinya
yang halus. Hati gadis cantik itu sa-ngat terharu dengan
apa yang diucapkan Pradipta. Nada suara yang
dikeluarkan pemuda itu demikian lembut, dan
memancarkan perasaan kasih yang mendalam.
Sehingga, getaran di dalam dada Trijanti semakin
bergemuruh, dan membuat bukit dadanya
bergelombang,
"Katakanlah, Adik Trjanti..., apa yang kau ingin-kan
sebagai bukti cintaku yang tulus kepadamu...?
Katakanlah...?" sambil tetap berkata demikian, Pra-dipta
terus melangkah maju semakin mendekat.
Sementara, Trijanti hanya dapat berdiri dengan tubuh
bergetar menahan keharuan. Pedang yang semula siap
untuk merejam tubuh pemuda tampan itu, kini
tergantung lumpuh di tubuhnya.
***
DELAPAN
Sambil terus mengucapkan kata-kata manis, Pradipta,
tokoh sesat berjuluk Kumbang Merah, yang kini
menjabat sebagai Adipati Setya Bumi di Kadipaten
Kedawung itu, melangkah semakin dekat Jarak antara
mereka pun tinggal dua langkah lagi.
Trijanti sendiri, yang pada dasarnya mencintai
pemuda tampan itu, terisak tertahan. Kewaspadaan
gadis cantik itu lenyap, berganti rasa haru yang
menguasai hatinya. Dan, ketika Pradipta mengulur
tangannya, gadis itu sama sekali tidak berusaha
mengelak.
Namun, sebagai seorang gadis yang semenjak kecil
digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi, Tri-janti dapat
merasakan sambaran angin yang tajam mengiringi
uluran sepasang tangan pemuda itu. Sayangnya, saat itu
jarak antara mereka hanya ter-pisah dua tindak.
Sehingga, gadis cantik itu hanya dapat mena-han
jeritannya dengan sepasang mata terbelalak.
"Mampuslah kau, Gadis Dungu...!" geram Adpati Setya
Bu-mi yang rupanya telah menyiapkan tenaga dalam
secara diam-diam. Dan, kini sepasang ta-ngannya, yang
membentuk cakar itu, siap mereng-gut nyawa Trijanti.
Karena menurut pemikirannya, gadis itu hanya akan
mendatangkan kesulitan pada dirinya.
"Aaah...?!"
Gadis cantik berwajah pucat itu hanya dapat
mengeluarkan jerit tertahan. Sadar kalau dirinya tidak
mungkin lagi selamat, maka Trijanti pasrah dengan
memejamkan matanya. Hatinya terasa sakit sekali ketika
melihat kekejaman pemuda yang dicintainya itu.
Namun, pada saat yang gawat itu, tiba-tiba seber-kas
sinar hitam berkeredep menyambut cengke-raman
tangan Pradipta. Dari suara berdesing yang
ditimbulkannya, jelas kalau sinar hitam itu mengan-
dung kekuatan hebat, dan sulit untuk diukur. Maka,
wajar kalau kecepatannya pun hampir tidak tertangkap
oleh mata Kumbang Merah, yang sangat kejam dan licik
itu.
Tukkk!
"Aaakh...!"
Adipati Setya Bumi memekik kesakitan, dan wa-
jahnya berubah pucat! Scdangkan tubuhnya terjajar
mundur sejauh enam langkah. Tampak pemuda tampan
itu meringis seraya mengurut jemari tangannya yang
terasa nyeri dan linu.
"Ada apa, Gusti Adipati...?" tegur salah seorang
pembantunya, yang telah berdiri di samping pemuda
tampan itu. Sedangkan yang satunya lagi telah ber-diri
di samping kanannya sambil menatap kedepan.
Kening lelaki setengah tua, yang tubuhnya masih
nampak kokoh itu, berkerut dalam. Sepasang mata-nya
menatap sosok berjubah putih, segera ia me-nundukkan
kepalanya ketika sepasang mata sosok tubuh itu
menentang pandangan matanya. Diam-diam hati lelaki
setengah baya itu, yang merupakan orang kepercayaan
Pradipta terkejut ketika merasa-kan pengaruh aneh
merasuk ke dalam jiwanya.
"Gila...! Siapa pemuda tampan berjubah putih itu..?
Menilik dari sorot matanya, jelas ia memiliki tenaga
dalam yang sukar diukur. Bahkan, sepasang matanya
mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sinar mata yang
dimiliki pemuda itu rasanya hanya ada dalam dongeng,"
gumam batin lelaki setengah baya itu dengan wajah
berubah pucat.
Sementara, sosok tubuh berjubah putih itu, entah dari
mana datangnya, tahu-tahu telah berada di samping
Trijanti. Dialah yang bernama Panji, yang berjuluk
Pendekar Naga Putih. Wajar kalau pertolongan pemuda
sakti itu datang tepat pada waktunya. Karena Panji
memang menguntit perjala-nan gadis cantik itu
semenjak pertama mereka ber-temu. Sehingga, nyawa
Trijanti pun dapat disela-matkannya.
"Kau...," desis Trijanti ketika mengenali sosok
berjubah putih yang telah menolongnya itu. Sepa-sang
mata yang bersimbah air mata itu, menatap wajah Panji
dengan rasa tak percaya.
"Ya, aku, Panji.... Maaf kalau selama ini aku meng-ikuti
perjalananmu. Karena sejak pertama kali ber-jumpa, kau
menyerangku tanpa sebab, membuat aku curiga. Jadi,
aku terpaksa mengikuti perja-lananmu, sekadar ingin
mengetahui masalah apa sebenar-nya yang tengah kau
hadapi," jelas Panji dengan wajah tengang. Seulas
senyum penuh kesabaran menghias wajah tampannya.
"Betapapun, aku harus mengucapkan terima ka-sih
kepadamu, Kisanak," ucap Trijanti dengan suara
perlahan, dan hampir tidak terdengar. Sepasang mata
gadis cantik itu nampak sayu, dan menyem-bunyikan
luka hatinya yang dalam.
Setelah menghapus butir air mata yang jatuh di
pipinya. Gadis cantik itu kembali memandang
penolongnya. Kali ini dia meneliti wajah dan pakaian
pemuda tampan itu dengan seksama. Sepasang ma-
tanya menjelajahi sekujur tubuh penolongnya, dan
semakin jelas ketegangan tergambar pada wajahnya.
Tiba-tiba meluncur kata-kata dari bibir mungil yang
agak pucat ttu.
"Kau... apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga
Putih...?" Tanya gadis cantik itu dengan nada agak ragu.
Namun, sorot matanya berharap kalau peno-longnya itu
adalah Pendekar Naga Putih.
"Benar, Trijanti...," sahut Panji yang mengenal nama
gadis cantik berpakaian biru muda itu dari percakapan
antara Trijanti dan Pradipta yang sem-pat didengarnya.
"Sayang apa yang selama ini kau dengar mungkin jauh
berbeda dengan apa yang sekarang kau saksikan."
Trijanti menutup mulutnya dengan kedua telapak
tangan guna menahan seruannya. Hanya sepasang
matanya yang sayu terbelalak ketika mendengar jawaban
Panji.
"Ah, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-jumpa
denganmu, Pendekar Naga Putih! Selama ini, hanya
namamu saja yang sering kudengar dari cerita guruku.
Tapi, dugaanmu salah besar. Karena yang selama ini
diceritakan guruku, sama sekali tidak meleset. Dan, apa
yang kulihat sekarang, persis seperti yang digambarkan
beliau. Kalau saja guruku ikut bersamaku saat ini,
beliau tentu sangat gembira sekali...," ujar Trijanti yang
mengetahui mengenai diri penolongnya. Sepertinya ia
lupa akan keadaan sekelilingnya. Bahkan, pandangan
matanya terlihat berbinar-binar menandakan gadis
cantik itu sangat gembira dapat bertemu dengan
pendekar muda, yang selama ini dikagumi gurunya.
"Keparat! Jadi kau kiranya manusia usil itu, Pen-dekar
Naga Putih! Hm.... Orang lain boleh merasa gentar
mendengar julukanmu yang mentereng itu. Tapi,
Pradipta yang sekarang bergelar Adipati Setya Bumi,
tidak akan mundur selangkah pun! Dan, kau akan
membayar mahal akibat keusilanmu itu. Ber-siaplah...!"
geram Adipati Setya Bumi yang segera mencabut
sebatang suling perak dari balik bajunya.
Singngng!
Terdengar suara berdesing nyaring ketika suling perak
di tangan Pradipta bergerak menyilang di depan dada.
Menilik dari suara desingan senjata itu, jelas
mencerminkan tenaga sakti yang hebat dimiliki pemuda
itu.
“Trijanti, kau menyingkir dulu. Biar aku meng-hadapi
serbuan Adipati Setya Bumi."
Trijanti yang sadar kalau kepandaian pemuda tampan
berwatak cabul itu jauh berada di atas tingkat
kepandaiannya, bergegas melangkah mun-dur tanpa
membantah. Hanya sepasang matanya yang menatap
tajam dan menyiratkan dendam.
"Burja, Sadira, kalian berdua bereskan gadis itu.
Pemuda usil ini bagianku, ingat! Kalau kalian dapat
menundukkannya, lang-sung bunuh saja. Gadis gila itu
sangat berbahaya bagai kelangsungan jabatan-ku...,'
terdengar perintah Adipati Setya Bumi kepada kedua
orang pengawal setianya.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki setengah baya yang
dipanggil dengan nama Burja itu, langsung melangkah
menghampiri Trijanti. Di sebelah bela-kangnya Sadira,
lelaki berusia tiga puluh lima tahun, yang menyeliki
tubuh tinggi kurus dan ber-mata cerdik, mengikutinya.
Panji yang mengetahui kepandaian Trijanti me-lalui
ilmu lari cepatnya tentu saja merasa, khawatir. Cepat ia
menghadang jalan Burja dan Sadira dengan maksud
untuk melindungi gadis itu dari ancaman kematian.
Sepasang mata pemuda berjubah putih itu menatap
tajam bagai hendak menembus tubuh kedua orang
pengawal Adipati Setya Bumi.
"Jangan kalian hiraukan pemuda sombong itu!" seru
Adipati Setya Bumi kepada kedua pengawal setianya.
Kemudian ia berpaling ke arah Panji de-ngan sorot mata
tajam, dan penuh nafsu membu-nuh. "Akulah lawanmu,
Pendekar Naga Putih. Biar-kan rnereka mengurus gadis
gila itu...," geramnya gusar.
***
"Heaaat...!"
Adipati Setya Bumi yang melihat Pendekar Naga Putih
tidak mempedulikan ucapannya menjadi marah! Diiringi
dengan teriakan nyaring, tubuh pemuda tampan
berwatak cabul itu melesat seperti kilat, dan disertai
suara berdesing tajam.
Whuuut! Whuuut!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri-kanan, guna
menghindari serangan maut lawannya. Gerakan pemuda
berjubah putih itu nampak sangat lincah. Sehingga,
dalam gebrakan pertama, serangan-serangan Pradipta
hanya mampu menyambar angin kosong.
"Bangsat! Apa kau cuma bisa mengelak dengan cara
menari-nari seperti badut? Kalau memang kau
mempunyai kepandaian, hayo balas seranganku...!"
umpat Adipati Setya Bumi yang menjadi kalap karena
merasa dipermainkan lawannya.
Namun, Panji sama sekali tidak mempedulikan
kemarahan lawannya. Tubuhnya tetap bergerak lincah di
antara sambaran senjata Pradipta. Kemu-dian, sesekali
ia melontarkan serangan-serangan balasan, Walaupun
tidak berlalu berbahaya, tapi sanggup membendung dan
mengurangi desakan Iawan.
"Setan!"
Sambii tetap memaki tak habis-habisnya, Adipati
Setya bumi terus melontarkan serangan yang kian lama
bertambah cepat dan kuat. Tampak Pradipta ingin
secepatnya menghabisi nyawa pemuda, yang telah
menggagalkan rencananya itu.
"Haiiit...!"
Memasuki jurus yang kedua puluh lima, men-dadak
Adipati Setya Bumi mengeluarkan pekikan nyaring yang
mengejutkan! Detik itu juga, senjata-nya berkeredep
dengan kecepatan kilat. Sekali ber-gerak saja, Pemuda
berwatak cabul itu telah me-lancarkan serangkaian
serangan yang mematikan. Bahkan, beberapa totokan
dilancarkan susul me-nyusul dengan kecepatan yang
tinggi!
"Hiaaah...!"
Plakkk...!
Panji yang melihat serangan lawannya semakin hebat
dan berbahaya, bergegas memapaki sebuah totokan yang
meluncur cepat dan mengancam teng-gorokannya.
Sehingga, tubuh lawannya terjajar mundur sejauh
delapan langkah dengan wajah me-ringis. Jelas, kalau
Adipati Setya Bumi masih kalah tenaga melawan
pendekar muda itu.
Pendekar Naga Putih tidak ingin menunda-nunda
pertempuran itu. Begitu tubuh lawannya kembali
meluncur dengan serangan-serangan mautnya, ber-
gegas Panji menyambutnya dengan 'Ilmu Silat Naga
Sakti' yang telah membuat namanya dikenal dalam
rimba persilatan.
Bagaikan seekor ular raksasa, tubuh Pendekar Naga
Putih meliuk-liuk dan mengejutkan lawannya. Sedang
sepasang tangannya, yang telah membentuk cakar naga,
menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat! Hembusan
angin dingin selalu menyertai setiap sambaran
tangannya.
Pradipta yang selama ini hanya mendengar kehe-batan
pendekar itu, menjadi terkejut bukan main! Ruang
geraknya dirasakan semakin sempit. Bahkan, kaki dan
tangannya terasa agak kaku. Karuan saja pemuda
berwatak cabul itu mengomel panjang.
"Jahanam! Hawa dingin keparat ini benar-benar
membuat gerakanku terhambat...!" geram Adipati Setya
Bumi yang semakin marah terhadap lawan-nya.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke-tujuh
puluh enam, Adipati Setya Bumi merasakan tubuhnya
kian sukar bergerak, dan tak sanggup lagi menghindari
sebuah hantaman telapak tangan lawannya. Sehingga,
hantaman itu menghajar telak dadanya! Dan....
Blaggg!
"Huakhhh...!"
Dibarengi darah segar muncrat dari mulutnya, tubuh
pemuda berwatak cabul itu terjungkal ke belakang.
Terdengarlah suara berdebuk keras ketika tubuh Adipati
Setya Bumi terbanting di atas tanah.
"Hmrrr...."
Pemuda tampan berwatak cabul, yang selalu
menebarkan bencana bagi gadis-gadis cantik itu,
menggigil hebat! Pukulan telapak tangan Panji yang
mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan", tak sanggup
ditahannya. Akibatnya, pemuda itu tidak mampu lagi
bangkit dan berdiri.
Panji yang tidak bermaksud membunuh lawan-nya,
segera melompat dan menotok lumpuh pemuda tampan
berwatak cabul itu. Pendekar Naga Putih yang tengah
merunduk dekat tubuh Pradipta, berge-gas menoleh
ketika mendengar beberapa langkah kaki datang
menghampirinya.
"Trijanti, kau tidak apa-apa...?" Tanya Panji cemas.
Kemudian sepasang matanya beralih me-mandang dua
orang lelaki yang mendampingi gadis cantik itu.
"Kenalkan, Pendekar Naga Putih. Kedua orang ini
bemama Ki Ringgo. dan Ki Banggali. Merekalah yang
telah menolongku dari ancaman kedua pembantu
pemuda iblis itu," jelas Trijanti segera memperkenal-kan
kedua lelaki setengah baya yang mendampingi-nya,
ketika menangkap sinar keheranan di mata Panji.
"Aku sendiri bernama Ambar Sukma, istri jaha-nam
keparat itu," terdengar suara merdu yang menyimpan
duka dari sebelah belakang Trijanti, Ki Ringgo dan Ki
Banggali.
"Ah, maaf, aku sampai melupakan Gusti Ayu...," ucap
Trijanti tersenyum malu. "Beliau ini putri Adi-pati
Sunggara, yang menurut keterangan Paman Banggali,
Adipati Sunggara dibunuh oleh pemuda jahanam yang
berhati jahat itu...," jelas Trijanti kepada Panji.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Pemuda keji ini pan-dai
sekali menyembunyikan sifat aslinya. Sehingga, Adipati
Sunggara bersedia menerimanya sebagai menantu.
Selama tinggal di Istana Kadipaten, ia se-lalu
menunjukkan sifat yang menyenangkan. Tapi, itu hanya
kurang lebih sebulan. Selebihnya pemuda iblis yang
bernama Pradipta itu menampakkan sifat aslinya. Ketika
Gusri Adipati berniat berburu ke Hutan Jonggol, beliau
meminta Pradipta untuk mengawalnya. Tapi dengan
alasan yang cerdik, pemuda itu mengatakan ia ingin
tinggal di istana. Sewaktu aku, Gusti Adipati, dan
seorang pengawal lainnya tiba di dalam hutan, tiba-tiba
muncul perampok yang dipimpin oleh lelaki tinggi besar
yang berjuluk Raja Kera Kulit Baja itu," Ki Banggali
menunda cerrtanya, dan menarik napas.
Panji tidak berusaha sama sekali mendesak ke-
lanjutan cerita itu. Ditunggunya ucapan lelaki sete-ngah
tua, yang ternyata salah seorang pembantu setia
Almarhum Adipati Sunggara, sepertinya Ki Banggali tahu
persis tentang kematian Adipati Keda-wung itu.
"Meskipun kepala rampok itu memiliki kepan-daian
yang tinggi, kami bertiga masih mampu mengatasinya.
Tapi, saat kami berada di atas angin, tiba-tiba
muncullah pemuda biadab itu. Semula kami menduga
kedatangannya bermaksud membela kami. Namun,
dengan liciknya, Pradipta menikam tubuh Gusti Adipati
Sunggara dari belakang. Maka, Gusti Adipati Sunggara
pun tewas. Aku dan kawan-ku berusaha melawan sekuat
tenaga. Tapi, karena kepandaian pemuda sangat tinggi,
kami berdua pun dapat ditundukkannya. Sayang,
pemuda biadab itu tidak sempat memperhatikan secara
jeli. Kalau tidak tewas karena tusukan senjatanya.
Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan
gerombolan pe-rampok itu. Ternyata mereka dibantai
habis untuk menghilangkan jejaknya. Baru setelah
pemuda iblis itu lenyap, aku bangkit dan mencoba
bertahan hidup. Untunglah pada saat tubuhku
menderita luka parah, Ki Ringgo datang menolongku.
Setelah saling menceritakan persoalan masing-masing,
kami mengerti kalau orang yang dicari Ki Ringgo adalah
Pradipta," jelas Ki Banggali menutup ceritanya.
"Lalu, bagaimana Paman bisa sampai di tempat ini
bersama dengan prajurit kadipaten...?" Tanya Panji
sambil mengedarkan pandangannya ke bari-san prajurit
berkuda, yang tengah berkumpul di belakang Ki
Banggali.
"Tak berapa lama Pradipta pergi, Ki Banggali dan Ki
Ringgo rupanya selalu mengikuti perkembangan di
kadipaten dan segera mendatangiku," kali ini yang
menyahuti adalah Ambar Sukma. "Ketika men-dengar
keterangan Paman Banggali, aku langsung
mempercayainya. Karena beliau selalu setia men-
dampingi ayahku. Selain itu, aku pun sudah lama
mengetahui tentang sifat-sifat jelek suamiku itu. Dengan
membawa prajurit-prajurit pilihan, kami berniat hendak
menghukum Pradipta. Tapi, ter-nyata semua telah dapat
diselesaikan oleh Pendekar Naga Putih," senyum gadis
cantik putri Adipati Sunggara itu melebar ketika
mengucapkan kata-kata terakhirnya.
"Sekarang kami akan membawa pemuda biadab ini,
untuk dihukum gantung di depan rakyat Kadi-paten
Kedawung. Dan, kami mengucapkan terima kasih atas
bantuanmu, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu
kami mengalami kesulitan untuk me-nundukkan
pemuda yang memiliki kepandaian yang tinggi itu," ujar
Ki Banggali lagi sambil memerintah-kan beberapa orang
prajurit untuk mengangkat tubuh Pradipta yang sudah
tidak berdaya itu.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang prajurit bergegas
membawa tubuh Pradipta, dan disatukan dengan tubuh
Burja serta Sadira.
"Eh, ke mana perginya, Pendekar Naga Putih...?" Ki
Banggali yang sempat terlupa akan keberadaan pemuda
itu karena tengah sibuk memperhatikan kerja para
prajuritnya, menjadi terkejut ketika tidak menemukan
sosok pemuda yang menimbulkan rasa kagumnya itu.
Ki Ringgo, Trijanti, dan Ambar Sukma pun sama
mengerutkan keningnya. Pendekar Naga Putih telah
lenyap tanpa pamit. Sehingga, untuk beberapa saat
lamanya, mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran
mereka masing-masing.
"Ah, pemuda itu benar-benar seorang pendekar sejati,
yang selalu mengulurkan tangannya meno-long orang
lain tanpa pamrih...," desah Trijanti ter-ingat akan
pertolongan pemuda tampan itu ketika dirinya tengah
terancam maut.
Sedang yang lainnya hanya mengangguk tanpa kata.
Pikiran mereka masih dipenuhi oleh sosok Pendekar
Naga Putih, yang lenyap begitu saja saat orang lain
sibuk, dan tidak memperhatikannya.
***
Nun jauh di luar Hutan Jonggol, sesosok tubuh
berjubah putih melangkah lambat menyusuri jalan
berbatu. Dialah Pendekar Naga Putih, yang kembali
melanjutkan perjalanannya untuk mencari kekasih-nya.
"Kenanga..., entah bagaimana nasibmu. Mung-kinkah
engkau selamat dari kebuasan alam ketika terjadi
musibah di kapal dagang itu...?" desah panji sambil
menengadahkan kepalanya dan menatap gumpalan
awan. Hati pemuda itu semakin gundah ketika teringat
nasibnya. (Untuk lebih jelas tentang lenyapnya Kenanga,
baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode
"Terdampar di Pulau Asing").
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar