DUEL JAGO-JAGO
PERSILATAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Duel Jago-Jago Persilatan
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Langit yang itu tampak kelam. Awan hitam bera-
rak membawa titik-titik air. Tak berapa lama kemu-
dian, rintik hujan pun menerpa bumi yang disertai ti-
upan angin keras. Butiran air hujan itu makin lama
makin besar dan deras. Hembusan angin pun bertam-
bah kencang, membuat pepohonan berderak ribut.
Di tengah terpaan hujan lebat itu, tampak tiga
sosok tubuh bergerak cepat melintasi jalan yang ba-
sah. Kelihatan mereka tidak merasa terganggu dengan
cuaca seperti itu. Bahkan, langkah-langkahnya terlihat
ringan, meskipun jalan yang dilalui tergenang air hu-
jan dan licin. Agaknya, ketiga sosok tubuh itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di
depan sebuah pintu gerbang bangunan perguruan. Da-
ri luasnya bentuk bangunan menunjukkan perguruan
itu sangat besar.
Dugaan itu memang tidak meleset! Bangunan
yang sangat besar itu milik Perguruan Rimba Kecil.
Nama perguruan itu sudah sangat terkenal di kalan-
gan persilatan. Bahkan bisa dikatakan merupakan gu-
dangnya orang-orang sakti. Tidak sedikit murid-murid
perguruan itu yang kini jadi tokoh-tokoh terkenal. Se-
hingga, nama Perguruan Rimba Kecil makin harum
dan disegani kaum rimba persilatan.
Kembali pada tiga sosok tubuh yang kini telah
berdiri tegak di depan pintu Perguruan Rimba Kecil.
Salah seorang dari mereka, yang menggenggam seba-
tang tongkat baja putih di tangan kanannya melang-
kah maju dua tindak.
Whuuuttt..!
Dengan kecepatan gerak yang sangat menga-
gumkan, diputarnya tongkat baja putih itu di atas ke-
pala hingga menerbitkan sambaran angin kuat. Se-
hingga, air hujan yang berjatuhan ke bumi tidak men-
genai sosok tubuhnya.
"Haaahhh...!"
Disertai bentakan keras, tongkat baja putih di
tangannya digerakkan ke depan. Dan....
Blarrr...!
Terdengar ledakan menggelegar ketika tongkat
baja putih itu menghantam pintu gerbang. Serpihan
kayu tebal bertebaran menandakan betapa hebatnya
hantaman tongkat itu. Hingga, terlihat sebagian daun
pintu gerbang hancur berantakan menjadi serpihan
kecil. Dapat dibayangkan, betapa kuatnya pukulan
tongkat baja putih itu!
Tanpa menunggu serpihan-serpihan itu berjatu-
han ke tanah, ketiga sosok tubuh itu masuk dengan
lompatan panjang dan ringan. Tapi, begitu sosok me-
reka yang berpakaian serba hitam itu menjejakkan ka-
kinya di halaman Perguruan Rimba Kecil, mereka dis-
ambut suara genta yang bertalu-talu.
"Setan mana yang berani mengacau di tempat
ini...?!" terdengar bentakan menggema, disusul me-
layangnya sesosok tubuh tinggi besar yang langsung
berdiri menghadang jalan ketiga sosok tubuh itu. Se-
pasang matanya menyorot tajam meneliti wajah-wajah
di depannya. Tanpa mempedulikan air hujan yang ja-
tuh membasahi sekujur tubuhnya. Sosok itu berdiri
gagah, siap mengusir ketiga pengacau itu.
Kemunculan lelaki gagah bermata tajam itu sege-
ra diikuti dengan puluhan sosok tubuh lainnya, yang
langsung berloncatan mengepung. Mereka adalah mu-
rid-murid Perguruan Rimba Kecil. Perguruan itu me
mang memiliki murid yang sangat banyak. Sebab, Per-
guruan Rimba Kecil merupakan partai persilatan ter-
besar di antara partai-partai lainnya. Dan, dari jumlah
muridnya yang hampir seratus lima puluh orang lebih
itu kini muncul setengahnya untuk melakukan penge-
pungan.
"Tunggu...!" lelaki gagah berpakaian serba putih
yang bermata tajam itu berseru sambil mengangkat
tangannya. Sehingga, puluhan murid yang melakukan
kepungan itu tidak berani membantah perintah yang
dikeluarkan dengan dorongan tenaga dalam tinggi itu.
"Hm.... Bukankah kalian Pendekar Tongkat Sak-
ti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang Pemecah Lan-
git..? Apa maksud kalian datang kemari dengan cara
menjebol pintu gerbang perguruan kami...?" tegur lela-
ki gagah itu yang rupanya telah mengenal ketiga orang
tamunya:
Ketiga sosok tubuh yang tidak lain Pendekar
Tongkat Sakti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang
Pemecah Langit terlihat saling bertukar pandang satu
sama lain. Seperti telah mendapat kata sepakat, lelaki
bertubuh jangkung yang berjuluk Pedang Pemecah
Langit melangkah maju menghadapi lelaki gagah ber-
pakaian serba putih.
"Kami datang untuk meminjam kitab dan senjata
pusaka perguruan ini. Kabarnya Perguruan Rimba Ke-
cil banyak menyimpan pusaka ampuh dan kitab-kitab
ilmu silat tinggi. Kami berharap kau tidak terlalu pelit
untuk meminjamkannya kepada kami, Harjana...," ujar
Pedang Pemecah Langit dengan sikap sangat angkuh.
Seolah bukan hendak meminjam, tapi meminta milik-
nya yang berada di tangan orang. Sehingga, lelaki yang
bernama Harjana melenggak kaget!
Meskipun namanya banyak dikenal orang, Harjana tidak merasa heran. Apalagi, lelaki di hadapannya
itu memang bukan orang sembarangan. Bahkan terhi-
tung tokoh persilatan yang punya nama besar, hingga
dirinya yang merupakan tokoh tingkat tiga dalam Per-
guruan Rimba Kecil. Hanya yang membuat lelaki gagah
itu kelihatan marah adalah maksud kedatangan Pe-
dang Pemecah Langit yang hendak meminjam pusaka
perguruannya. Jelas permintaan itu tidak mungkin di-
luluskannya. Sebab pusaka Perguruan Rimba Kecil ti-
dak untuk dipinjamkan kepada siapa pun.
Harjana semakin menajamkan pandangannya.
Mata lelaki gagah itu tampak berkilat menyiratkan ke-
curigaan. Harjana dapat meraba ada yang tidak beres
pada ketiga tokoh besar itu. Sebab, mereka pasti tahu
peraturan yang berlaku di setiap perguruan.
"Hm.... Jika aku tidak salah, kalian telah cukup
lama menghilang semasa Penculik-Penculik Misterius
berkeliaran? Sangat aneh kalau tiba-tiba kalian mun-
cul membawa maksud yang rasanya tidak mungkin
kami kabulkan. Jangan-jangan kalian telah berse-
kongkol dengan Penculik-Penculik itu...?" ujar Harja-
na.
"Kami tidak membutuhkan khotbah mu, Harja-
na! Kalau kau tidak bersedia memenuhi permintaan
itu, maka jangan menyesal jika kami terpaksa bertin-
dak keras...!" jawab Ki Adiwarsa yang berjuluk Pende-
kar Tongkat Sakti. Sepasang mata tokoh itu tampak
menyiratkan ancaman maut Bahkan tongkat baja di
tangan kanannya sudah bergetar, pertanda siap untuk
digunakan.
"Hm.... Kalian rupanya sudah tersesat jauh...!
Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan mengabulkan
permintaan kalian...," tegas Harjana seraya melangkah
mundur sambil meloloskan pedang di punggungnya,
mengingat lawan yang dihadapinya tokoh-tokoh ter-
kenal yang berkepandaian tinggi.
"Hmmm...," Pedang Pemecah Langit menggeram
gusar. Kakinya bergeser ke kanan. Sedang pedang di
tangan kanannya yang entah kapan tercabut dari sa-
rungnya telah bergetar, menimbulkan decitan tajam
menusuk telinga.
Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Golok
Kembar pun telah bergerak ke kiri-kanan. Nampaknya
mereka hendak menghadapi keroyokan puluhan mu-
rid-murid Perguruan Rimba Kecil.
Melihat gelagat itu, Harjana langsung mengang-
gukkan kepala memberi isyarat untuk segera meng-
gempur ketiga pengacau itu,
"Heaaattt...!"
Pedang Pemecah Langit kelihatannya sudah tidak
sabar lagi. Diiringi teriakan yang melengking tinggi,
tubuh jangkung itu langsung melayang disertai keleba-
tan pedang yang berciutan, mengalahkan suara gemu-
ruh air hujan.
Harjana yang sadar akan kehebatan serangan
lawan, segera menggeser tubuhnya ke samping dua
langkah. Kemudian mengibaskan pedangnya dengan
kecepatan tinggi membabat iga lawan!
Bweeettt..!
Tapi, yang kali ini dihadapinya adalah Pedang
Pemecah Langit Seorang jago pedang kawakan yang te-
lah malang-melintang selama puluhan tahun. Ilmu pe-
dangnya sudah sangat matang. Hingga serangan Har-
jana dapat ditepiskan dengan mudah.
Trangngng...!
Benturan kedua batang pedang yang sama-sama
didorong kekuatan tenaga dalam tinggi saling berben-
turan keras, menimbulkan percikan bunga api yang
menyilaukan mata.
"Aaahhh...?!"
Harjana mengeluh tertahan. Tubuhnya terdorong
mundur sejauh empat langkah, dan tangan kanannya
terasa agak nyeri. Meski demikian, lelaki gagah berpa-
kaian serba putih itu dapat memperbaiki kuda-
kudanya dan kembali siap bertempur.
Pedang Pemecah Langit menggeram gusar. Tu-
buh lelaki jangkung itu pun terdorong mundur. Meski
hanya dua langkah, namun benturan tadi mempenga-
ruhi kuda-kudanya. Hingga tergempur mundur.
"Hm...."
Harjana kelihatan kaget melihat tokoh jangkung
itu tergempur kuda-kudanya. Kenyataan itu membuat
Harjana agak lega, meskipun ada bias keheranan di
wajahnya. Setahunya Pedang Pemecah Langit tokoh
yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi, dan tenaga
dalam yang sangat hebat. Sedangkan ilmu pedang
maupun tenaganya tidak sehebat Pedang Pemecah.
Langit Tapi, setelah melihat kenyataan itu ia menjadi
ragu. Kini dirinya merasa yakin dapat mengimbangi
kehebatan Pedang Pemecah Langit. Bahkan mungkin
mengalahkannya, mengingat ilmu pedang dan kekua-
tan pendekar itu sudah mulai menurun.
Kedua tokoh itu kembali saling berhadapan, dan
beradu pandang dengan sorot mata tajam. Kaki mere-
ka bergerak perlahan diiringi suara sambaran angin
pedang yang menderu-deru, menindih gemuruh hujan
yang belum juga reda.
***
Di tempat lain, Pendekar Tongkat Sakti menga-
muk berat, membuat murid-murid Perguruan Rimba
Kecil kalang-kabut. Meski demikian, mereka tetap be-
rusaha membendung putaran tongkat baja putih di
tangan kakek itu. Kedua ujung tongkat itu bermandi-
kan darah segar setelah memakan beberapa kepala
murid-murid Perguruan Rimba Kecil.
"Heeeahhh...!"
Namun, semangat dan kesetiaan murid-murid
Perguruan Rimba Kecil memang patut mendapat acun-
gan jempol. Mereka tetap gigih dan pantang mundur.
Meskipun untuk itu mereka harus mempertaruhkan
selembar nyawa. Sehingga pertarungan tetap berlang-
sung seru.
Amukan Sepasang Golok Kembar tak kalah he-
bat. Sepasang senjata yang terbuat dari baja pilihan
itu telah hilang warna aslinya. Terbalut lumuran darah
lawan. Belasan mayat bergelimpangan menjadi kor-
bannya. Meski demikian, kepungan murid-murid Per-
guruan Rimba Kecil tidak merenggang. Bahkan terlihat
semakin bertambah rapat. Tampaknya makin banyak
korban berjatuhan, makin tinggi semangat mereka un-
tuk menggempur lawan.
"Heeeaaattt..!"
Di tengah gemuruh hujan dan ramainya dentang
senjata serta teriakan-teriakan, tiba-tiba terdengar
lengkingan panjang yang menulikan telinga. Seiring
dengan lengkingan itu sesosok tubuh melayang dari
dalam bangunan induk perguruan!
Bagai seekor burung besar yang melayang-layang
di angkasa, sosok tubuh itu berputaran dan langsung
terjun ke dalam kancah pertarungan, tempat Pendekar
Tongkat Sakti mengamuk hebat!
"Heeeahhh...!"
Begitu tiba, sosok berpakaian serba merah itu
langsung melontarkan kepalan kanannya ke dada
Pendekar Tongkat Sakti. Gerakannya cepat dan man-
tap. Hingga membuat kakek itu menarik mundur tu-
buhnya.
Whuuuttt..!
Pukulan pertama dapat dihindarkan dengan
baik. Tapi, betapa terkejutnya tokoh itu ketika melihat
serangan lawan masih berlanjut. Bahkan sepasang
tangan itu terus mengejarnya tanpa henti. Sehingga, ia
terpaksa memutar tongkatnya untuk memapaki dan
menghentikan serangan yang bertubi-tubi itu.
Dukkk!
"Aaahhh...?!"
Pendekar Tongkat Sakti kembali mengeluarkan
pekik tertahan, ketika merasakan kuatnya tenaga pu-
kulan lawan. Tubuhnya sampai tergetar mundur dan
tangannya terasa kesemutan! Meski demikian, Ki Adi-
warsa boleh bernapas lega. Karena tangkisan tongkat-
nya telah membuat serangan itu terhenti.
"Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh terhormat
seperti Pendekar Tongkat Sakti sampai berbuat hal
yang sungguh memalukan! Apa yang telah membuat-
mu meninggalkan jalan lurus dan berpaling ke jalan
sesat, Ki Adiwarsa...?" tegur sosok berpakaian serba
merah tak senang. Bahkan, tersirat kemarahan dalam
ucapannya.
Ki Adiwarsa tak menanggapi ucapan itu. Lelaki
itu sudah memutar tongkat di tangannya dengan se-
penuh tenaga. Sepasang matanya menyala penuh ke-
marahan. Sikap Ki Adiwarsa tak ubahnya seekor bina-
tang buas yang diganggu kesenangannya.
"Hmmmhhh...!"
Begitu geramannya terdengar, saat itu juga tong-
kat baja putih di tangannya bergerak membabat secara
mendatar!
Whuuukkk...!
Lelaki tinggi kurus berpakaian serba merah pun
sadar akan bahaya yang mengancam. Hingga tidak
memandang rendah serangan lawan. Maka, lelaki itu
memilih mundur daripada memapaki sambaran tong-
kat baja lawan. Kemudian mencabut sepasang , trisula
di kiri-kanan pinggangnya. Dan, menggempur dengan
serangan balasan yang sangat cepat!
Cwiiittt! Cwiiittt..!
Kilatan sinar perak memancar, membuat Ki Adi-
warsa harus menarik serangannya. Tubuh kakek itu
bergerak mundur sambil merendahkan kuda-kudanya.
Kemudian tongkat di tangannya bergerak dari atas ke
bawah seperti mencongkel.
Tringngng! Tringngng...!
Tubuh Ki Adiwarsa kembali terjajar mundur, ke-
tika benturan keras itu terjadi. Saat itu juga lawan
langsung menyusuli serangannya. Agaknya, lelaki ber-
pakaian serba merah tidak memberi kesempatan pada
Pendekar Tongkat Sakti untuk membangun serangan
baru.
"Yeaaa...!"
Sepasang trisula lawan bersinar menyilaukan
mata, mengancam tubuh Ki Adiwarsa. Tampaknya,
kali ini dirinya tidak mungkin menghindari serangan
maut itu!
"Haaaiiittt..!"
Namun, pada saat yang genting itu, tiba-tiba me-
layang sesosok tubuh yang langsung menyelamatkan-
nya dari incaran sepasang trisula lawan!
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiii...?!"
Lelaki berpakaian serba merah memekik terta-
han. Tubuhnya terdorong balik terkena tangkisan yang
sangat kuat. Untunglah tokoh itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat baik. Sehingga, dapat me-
luncur turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dulu.
"Sepasang Naga Laut..?!" desis lelaki berpakaian
serba merah terkejut saat mengenali orang yang meng-
genggam sepasang pedang kehijauan. Tokoh berpa-
kaian kulit ular hijau hanya tersenyum mengejek.
'Tinggalkan tempat ini...! Kita sudah berhasil
mendapatkan benda yang kita cari...!" bisik lelaki ber-
pakaian kulit ular pada Ki Adiwarsa.
Ki Adiwarsa menyunggingkan senyum kepuasan.
Sepasang matanya mengerling ke punggung Sepasang
Naga Laut, yang menggendong sebuah bungkusan cu-
kup besar.
"Hendak lari ke mana pencuri laknat..!" tiba-tiba
terdengar teriakan keras yang membuat Sepasang Na-
ga Laut menoleh. Tampak seorang lelaki tua berusia
sekitar lima puluh tahun tengah berlari ke arah mere-
ka. Rupanya, yang dimaksud pencuri itu adalah Sepa-
sang Naga Laut.
Tanpa mengindahkan pengejarnya, Sepasang Na-
ga Laut mengeluarkan suitan panjang melengking
mengatasi gemuruh hujan dan suara pertempuran.
Kemudian, melesat pergi setelah menganggukkan ke-
pala kepada Ki Adiwarsa yang segera mengikutinya.
Pedang Pemecah Langit yang saat itu telah dapat
menekan lawan, tampak tertegun sejenak. Kemudian,
menghentikan tekanannya dan melesat pergi mening-
galkan Harjana yang jatuh terduduk lemas. Agaknya
pertarungan barusan telah menguras seluruh tena-
ganya.
'Tahan mereka...! Jangan biarkan lolos! Sepasang
Naga Laut telah mencuri pusaka perguruan kita...!" le-
laki gagah berusia lima puluh tahun itu berteriak
teriak memerintahkan murid-murid Perguruan Rimba.
Kecil mencegah kepergian lawan-lawannya.
Mendengar teriakan itu, para murid perguruan
yang tengah mengeroyok Sepasang Golok Kembar ma-
kin memperhebat serangan mereka. Meskipun untuk
itu mereka harus merelakan nyawanya.
"Heeeaaattt..!"
Empat orang murid Perguruan Rimba Kecil me-
mekik keras, menghadang Sepasang Golok Kembar
yang hendak melarikan diri. Pedang di tangan mereka
berkelebatan mencegah kepergian lawan.
"Setan...!"
Sepasang Golok Kembar sangat jengkel melihat
perbuatan mereka. Senjatanya bergerak cepat dengan
kekuatan hebat. Dan....
Whuuuttt...!
Brettt, brettt...!
"Aaakhhh...!"
"Oughhh...!"
Pekik kematian terdengar berturut-turut ketika
Sepasang Golok Kembar bergerak membeset tubuh
keempat lawannya. Begitu tubuh korban terbanting ke
tanah, tokoh itu pun melesat pergi.
"Hiiiaaattt..!"
Melihat pencuri-pencuri itu melarikan diri, Har-
jana bangkit dan berusaha mencegah kepergian Sepa-
sang Golok Kembar. Sebab, hanya tokoh itu yang ter-
tinggal di halaman perguruan. Sedangkan yang lainnya
sudah menghilang dari tempat itu.
Trangngng...!
Terdengar benturan keras ketika Sepasang Golok
Kembar memapaki serangan pedang Harjana. Tubuh
keduanya terlempar balik hampir sejauh satu tombak.
Jelas menunjukkan kekuatan mereka berimbang!
"Hm.... Hendak lari ke mana, Maling Hina...!" ge-
ram Harjana kembali bergerak maju. Melihat para mu-
rid perguruannya telah mengepung Sepasang Golok
Kembar, yang mulai dilanda kecemasan.
***
DUA
Sepasang Golok Kembar memutar senjatanya,
membentuk gulungan sinar putih menyelimuti sekujur
tubuhnya. Tokoh gemuk itu sadar untuk menerobos
kepungan lawan, dirinya harus mengerahkan seluruh
kemampuannya. Apalagi, murid-murid Perguruan
Rimba Kecil dibantu Harjana yang merupakan tokoh
tingkat tiga di perguruan itu.
"Hmmmhhh...!"
Sepasang Golok Kembar memutar tubuhnya.
Senjata di tangannya bergerak menyilang menimbul-
kan suara berdecitan tajam, membuat be berapa pen-
gepungnya bergerak mundur.
"Sebaiknya kau menyerah, Manusia Sesat!
Mungkin guru kami akan mempertimbangkan kesala-
hanmu, mengingat jasa-jasamu pada orang banyak...,"
Harjana mencoba membujuk Sepasang Golok Kembar
menyerah. Tokoh Perguruan Rimba Kecil itu masih
memandang lawannya sebagai tokoh terhormat, dan
baru kali ini berbuat kejahatan.
"Heeeaaattt..!"
Jawaban Sepasang Golok Kembar ternyata tidak
seperti yang diharapkan. Bujukan Harjana malah dis-
ambutnya dengan sebuah serangan maut!
Beuttt, bwettt..!
Sambaran Sepasang Golok Kembar di tangan to-
koh gemuk itu demikian cepat dan kuat. Hingga Har-
jana yang menyadari dirinya terancam bahaya. Cepat
bergerak mundur sambil menyilangkan pedangnya se-
kuat tenaga.
Trangngng...!
Keduanya terjajar mundur akibat benturan keras
itu. Sepasang Golok Kembar tampak semakin ganas.
Lelaki gemuk itu kembali menerjang dengan serangan-
serangan mautnya.
Harjana pun tidak mau kalah. Pedang di tangan-
nya berputaran laksana baling-baling. Disertai gulun-
gan sinar pedang yang menimbulkan suara menderu-
deru, tokoh tingkat tiga Perguruan Rimba Kecil itu me-
lesat ke depan menyambut serangan lawan. Sebentar
kemudian, kedua tokoh itu sudah terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit! .
Sementara itu, Pendekar Tongkat Sakti, Pedang
Pemecah Langit, dan Sepasang Naga Laut ternyata
bernasib sama dengan Sepasang Golok Kembar. Dua
orang tokoh tingkat dua Perguruan. Rimba Kecil ru-
panya tidak sudi membiarkan pencuri-pencuri itu me-
larikan pusaka perguruan mereka. Dengan sepenuh
tenaga mereka berusaha melakukan pengejaran. Dan
upaya itu tidak sia-sia. Pencuri-pencuri itu dapat dis-
usul setelah be berapa tombak melewati pintu gerbang
perguruan.
"Hm.... Jangan harap kalian dapat pergi begitu
saja setelah mencuri pusaka perguruan kami...!" geram
lelaki tegap berpakaian serba merah dengan tatapan
tajam menikam jantung. Di tangan kanan dan kirinya
tergenggam sepasang trisula.
Demikian dengan lelaki gagah berusia sekitar li-
ma puluh tahun itu. Di tangan kanannya tergenggam
sebatang penggada dari baja putih. Senjata berat itu
terlihat ringan di tangannya. Membuktikan pemegang-
nya memiliki tenaga dalam kuat!
Whuuukkk...!
Senjata maut itu mengaung saat pemiliknya
mengibaskan ke depan menghalangi jalan pencuri-
pencuri itu.
Pendekar Tongkat Sakti dan kawan-kawannya
semakin terkejut, melihat tiga orang tokoh tingkat dua
bergabung dengan para penghadangnya.
"Celaka! Rasanya, kita tidak mungkin dapat me-
larikan diri tanpa merobohkan mereka lebih dahulu.
Sedangkan untuk melakukannya kita membutuhkan
waktu yang banyak...!" desis Pendekar Tongkat Sakti
cemas. Agaknya, tokoh itu tahu betul siapa lawan-
lawannya kali ini.
"Hm.... Sebelum kita sempat merobohkan mere-
ka, Ki Sangga Langit pasti sudah datang. Kalau sampai
kakek hebat itu muncul, habislah harapan kita dapat
melarikan diri...," timpal Sepasang Naga Laut tidak ka-
lah cemas, melihat tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil mengepung mereka.
"Kalau begitu, salah seorang dari kita harus bisa
meninggalkan tempat ini dengan membawa pusaka-
pusaka itu...," usul Pedang Pemecah Langit Ucapan itu
dikeluarkan dengan berbisik. Sedangkan sepasang ma-
tanya tetap terarah pada para pengepungnya.
Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Pedang
Naga terlihat menganggukkan. Keduanya langsung
menyetujui usul Pedang Pemecah Langit Mereka ber-
sepakat dan menunjuk Sepasang Naga Laut untuk me-
larikan pusaka-pusaka itu.
Sementara itu, tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil sudah kehilangan kesabaran. Mereka mu
lai bergerak mempersempit kepungan.
"Haaattt..!"
Lelaki tegap berpakaian serba merah membuka
serangan dengan sepasang trisulanya. Senjata itu ber-
kelebat cepat laksana sambaran kilat di angkasa.
"Yeaaattt..!"
Pedang Pemecah Langit segera melesat menyam-
but serangan tokoh itu. Pedang di tangannya men-
gaung tajam bagai hendak merobohkan langit Sebentar
saja, keduanya terlibat dalam sebuah pertarungan ma-
ti-matian.
Sesaat setelah pertarungan itu berlangsung, to-
koh-tokoh Perguruan Rimba Kecil lainnya segera melu-
ruk ke arah Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Na-
ga Laut Sehingga arena pertarungan semakin bertam-
bah ramai!
"Haaattt..!"
Sepasang Naga Laut mengeluarkan seluruh ke-
pandaiannya untuk menghadapi dua orang tokoh Per-
guruan Rimba Kecil. Pedang di tangannya yang meru-
pakan pusaka ampuh berkelebat mencari sasaran.
Sayang, lawan yang dihadapinya kali ini bukan tokoh
sembarangan. Sebagai tokoh puncak perguruan ter-
kenal, mereka telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Meski-
pun Sepasang Naga Laut telah mengerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja ia tidak bisa berbuat ba-
nyak. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ke-
dua puluh tujuh, tokoh itu mulai dapat ditekan lawan-
lawannya.
"Hm.... Rupanya kepandaianmu telah banyak
menurun, Sepasang Naga Laut Mana kehebatan 'Ilmu
Pedang Sepasang Naga'mu...," ejek lelaki gagah berwa-
jah berewok. Lelaki gagah itu tampaknya cukup men-
genal baik ilmu silat lawan. Sehingga kelihatan heran
ketika merasakan ilmu pedang Sepasang Naga Laut
tak sehebat dan sedahsyat dulu.
"Jangan banyak bicara, Gumaranta! Ayo, roboh-
kan aku kalau memang kau sanggup...!" geram Sepa-
sang Naga Laut mendengar ejekan lawan.
Lelaki tua bertubuh gagah yang wajahnya terhias
berewok hanya memperdengarkan kekehnya. Tokoh
tingkat dua Perguruan Rimba Kecil itu terus melontar-
kan serangan-serangannya dibantu kawannya. Se-
hingga, lawan semakin tak mampu melakukan seran-
gan balasan. Dan, hanya bisa membentengi diri den-
gan sepasang pedangnya yang ampuh.
Nasib serupa juga dialami Pedang Pemecah Lan-
git Lelaki berpakaian serba merah yang bersenjatakan
sepasang trisula ternyata sangat hebat! Dalam jurus ke
empat puluh, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai
terdesak lawan. Sehingga, lelaki jangkung itu lebih ba-
nyak bertahan.
"Eh...?!"
Lelaki gagah berpakaian serba merah itu tampak
heran melihat permainan lawan yang terkadang mela-
kukan gerak-gerak aneh dan sangat asing baginya.
Bahkan, jurus-jurus pedang lelaki jangkung itu sem-
pat membuat keningnya berkerut dalam. Ilmu pedang
pendekar jangkung itu banyak memiliki kelemahan.
Padahal Pedang Pemecah Langit bukan tokoh kemarin
sore. Dan, ilmu pedangnya terkenal sangat tangguh di
kalangan luas. Lelaki gagah itu jadi tak mengerti meli-
hat keganjilan jurus-jurus lawannya.
"Pedang Pemecah Langit! Mengapa jurus-jurus
ampuh mu seperti sudah tidak bergigi lagi? Apa kau
terlalu banyak mengumbar nafsu, hingga kepan-
daianmu menurun...?" seru lelaki gagah berpakaian
serba merah tidak bisa menahan keheranan. hatinya.
Perasaan itu pun terlontar dari mulutnya.
Pedang Pemecah Langit seperti tidak peduli den-
gan ejekan lawan. Kesempatan selagi lawan berbicara
dipergunakannya untuk membalas serangan. Sehing-
ga, lelaki gagah berpakaian serba merah terpaksa me-
nelan semua keheranan harinya. Dan, kembali mene-
kan Pedang Pemecah Langit dengan serangan-
serangan mautnya.
"Hua ha ha...!"
Pada saat Sepasang Naga Laut, Pedang Pemecah
Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti mulai dapat diku-
asai lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar suara tawa
parau yang bergema menggetarkan jantung. Seketika
itu juga pertempuran terhenti. Mereka yang bertempur
bergerak mundur dan mengerahkan hawa murni un-
tuk melindungi isi dada. Suara tawa itu dikeluarkan
dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sia-
pa yang tak sanggup menahannya akan tewas dengan
isi dada pecah!
Untung gema tawa itu tidak berlangsung lama.
Karena memang hanya digunakan untuk menghenti-
kan pertempuran. Begitu pertempuran terhenti, angin
keras pun bertiup. Disusul dengan melayangnya seso-
sok tubuh tinggi besar berjubah merah, dengan pa-
kaian serba hitam.
Jleggg!
Tanah di sekitar tempat itu bagai terguncang
saat sosok tinggi besar itu menjejakkan kakinya ke ta-
nah. Agaknya tokoh itu sengaja hendak memamerkan
kekuatan tenaga dalamnya.
"Salam kepada Ketua Yang Perkasa...!"
Begitu melihat siapa yang datang, Pedang Peme-
cah Langit, Pendekar Tongkat Sakti, dan Sepasang Na-
ga Laut langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan tokoh tinggi besar itu.
"Hua ha ha...! Apakah tugas kalian berhasil den-
gan baik...?" tegur sosok tinggi besar sambil memper-
dengarkan tawa yang menggelegar. Sepasang matanya
yang besar dan tajam menatap ketiga sosok di bawah-
nya.
"Nyaris gagal Ketua, meskipun pusaka-pusaka
itu sudah berada di tangan kami...," lapor Sepasang
Naga Laut seraya membuka bungkusan besar yang ta-
di tergantung di punggungnya. Kemudian menyerah-
kannya pada lelaki tinggi besar itu.
Melihat bungkusan besar yang berisi kitab-kitab
ilmu silat serta pusaka Perguruan Rimba Kecil, Ki Gu-
maranta dan lelaki berpakaian serba merah tidak bisa
menahan marah. Keduanya langsung melesat berba-
rengan hendak merebut bungkusan besar itu.
"Hmmm...."
Sosok tinggi besar itu memperdengarkan guma-
man perlahan. Tangan kanannya dikibaskan ke samp-
ing untuk menghalau serangan dua orang tokoh ting-
kat dua Perguruan Rimba Kecil.
Whusss...!
Gerakan yang kelihatannya sangat perlahan ter-
nyata berakibat parah bagi Ki Gumaranta dan saudara
seperguruannya! Serangkum angin keras berhembus
membentur tubuh mereka.
"Aaahhh...?!"
"Heiii...?!"
Terkejut bukan main kedua tokoh puncak Pergu-
ruan Rimba Kecil merasakan tubuh mereka terdorong
ke belakang. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh ke-
duanya jatuh berguling-guling sejauh tiga tombak. Ra-
sanya, mereka tidak pernah bermimpi dapat diroboh-
kan lawan dalam satu gebrakan saja. Meskipun itu
akibat kecerobohan mereka yang menganggap remeh
lawan.
"Gila...?!" desis Ki Gumaranta belum dapat per-
caya dengan kejadian yang baru dialaminya.
"Mustahil...?!" lelaki tegap berpakaian serba me-
rah pun tidak bisa menerima kenyataan itu. Dirinya
merasa seperti orang yang tengah bermimpi. Hingga
rasa penasarannya bangkit seketika itu juga.
"Sabar Adi Jinggala...!" cegah Ki Gumaranta me-
lihat lelaki berpakaian serba merah itu bersiap hendak
menerjang sosok tinggi besar itu.
Lelaki berpakaian serba merah semula hendak
membantah. Tapi ketika melihat sinar mata Ki Guma-
ranta yang penuh permohonan. Jinggala hanya bisa
menghela napas panjang. Tubuhnya terasa lemas ba-
gai tak bertenaga. Lelaki itu menyimpan rasa penasa-
ran dalam hatinya.
***
Dengan sikap tenang, lelaki tinggi besar berjubah
merah meneliti isi bungkusan besar. Dan, tawanya
kembali terdengar.
"Bagus..., bagus...! Kalian telah melaksanakan
tugas dengan sangat baik...!" puji lelaki tinggi besar
yang kelihatan sangat puas dengan hasil kerja Sepa-
sang Naga Laut dan kawan-kawannya.
'Terima kasih, Ketua...," hormat ketiga pendekar
itu seraya menganggukkan kepala bersamaan.
"Hm..., sebaiknya segera kita tinggalkan tempat
ini sebelum Ki Sangga Langit muncul dan merebut
kembali benda-benda pusaka ini...," lanjut lelaki tinggi
besar kemudian membalikkan tubuh hendak mening-
galkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Ki Gumaranta tentu tidak tinggal diam melihat
perbuatan lelaki tinggi besar itu. Sambil berteriak
mencegah, tubuhnya dan tubuh Ki Jinggala melayang
menghadang jalan. Keduanya telah siap dengan senja-
ta masing-masing.
Demikian dengan tiga orang adik seperguruan
mereka, yang berdiri berjajar dengan senjata tergeng-
gam dan siap mempertaruhkan nyawa merebut kem-
bali pusaka-pusaka perguruan mereka.
"Hm.... Saat ini aku merasa gembira dengan apa
yang ku peroleh. Maka aku tak ingin mengotori tangan
dengan membunuh kalian. Tapi jika kalian memaksa,
jangan salahkan aku...," gumam lelaki tinggi besar
dengan sorot mata tajam, membuat Ki Gumaranta dan
kawan-kawannya tergetar mundur.
"Siapa kau sebenarnya berani mencari permusu-
han dengan perguruan kami? Sebutkan namamu...?"
ujar Ki Gumaranta yang mewakili saudara-
saudaranya.
"Hm.... Panggil saja aku Hantu Jubah Merah.
Guru kalian, Ki Sangga Langit pasti kenal siapa aku....'
Nah, sekarang menyingkirlah! Kalian bukan tandin-
ganku...!" sahut lelaki tinggi besar tidak memandang
sebelah mata pun pada tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil.
Belum lagi Ki Gumaranta menimpali, terdengar
langkah berderap. Tak lama kemudian, muncullah
Harjana bersama tiga puluh orang murid perguruan.
Melihat kemunculan mereka, dapat ditebak kalau Se-
pasang Golok Kembar sudah mereka robohkan.
"Ketua..., Sepasang Golok Kembar...," desis Pe-
dang Pemecah Langit yang rupanya menyadari kema-
tian kawannya.
"Hm...," Hantu Jubah Merah hanya mendengus
perlahan. Kelihatan sekali ia tidak begitu menyesali
kematian Sepasang Golok Kembar.
"Ayo, kita pergi...!" ajak lelaki tinggi besar kemba-
li melangkah lebar tanpa peduli di depannya telah ber-
diri menghadang Ki Gumaranta dan tokoh-tokoh lain-
nya.
"Seraaang...!"
Sadar bahwa tak ada jalan lain kecuali bertem-
pur, Ki Gumaranta segera memerintahkan saudara-
saudaranya menerjang lawan.
"Haaattt..!"
Lelaki gagah berwajah berewok itu menggerak-
kan penggadanya dengan sepenuh tenaga. Sasarannya
adalah Hantu Jubah Merah.
Bwettt! Bettt..!
Dua kali serangan lelaki gagah itu dapat dihinda-
ri lawan dengan memiringkan tubuhnya ke kanan kiri.
Dan, langsung melepaskan hantaman telapak tangan-
nya ke dada Ki Gumaranta.
Deeesss...! ,
"Hukkkhhh...!"
Serangan balasan yang datang laksana sambaran
kilat itu tak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh Ki
Gumaranta terjengkang memuntahkan darah!
"Heeeahhh...!"
Dua orang tokoh tingkat dua yang datang menye-
rang kemudian, langsung terpental balik terkena pu-
kulan jarak jauh Hantu Jubah Merah.
Bressshhh...!
Tanpa ampun lagi, pukulan sangat kuat itu me-
mutuskan nyawa mereka dengan dada remuk.
Kejadian yang berlangsung dalam beberapa keja-
pan mata itu membuat gempar murid-murid Perguruan Rimba Kecil. Tanpa diperintah lagi, mereka ber-
lompatan mundur menjauhi Hantu Jubah Merah yang
tertawa berkakakan.
"Hm.... Bagus, rupanya kalian sayang dengan
nyawa yang selembar itu...," dengus tokoh bertubuh
tinggi besar dengan suara berat penuh ejekan.
"Keparat...! Kulumat tubuhmu...!" Ki Jinggala
hampir meledak isi dadanya karena melihat kematian
saudara-saudaranya, memekik parau. Sepasang trisu-
lanya bergerak melakukan serangan. Harjana dan yang
lainnya pun tak mau ketinggalan Mereka ikut mener-
jang maju dengan senjata di tangan.
"Hm.... Biar kuhadapi cecunguk-cecunguk ini...!
Kalian pergilah lebih dulu...," perintah Hantu Jubah
Merah kepada Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Peme-
cah Langit, dan Sepasang Naga Laut.
"Baik, Ketua.. ," sahut ketiga tokoh itu segera
berkelebat meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka
tidak mengkhawatirkan nasib ketuanya.
"Heeeaaattt...!"
Ketika melihat beberapa murid Perguruan Rimba
Kecil hendak mencegah kepergian ketiga pemban-
tunya, Hantu Jubah Merah pun membentak keras. Se-
pasang tangannya berkelebat dan mematuk-matuk ba-
gas seekor ular hidup. Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam segebrakan, enam murid Perguruan Rim-
ba Kecil roboh terpelanting dengan tenggorokan berlu-
bang. Patukan jari-jari tangan tokoh itu membuat
nyawa mereka melayang.
Bukan main marahnya Ki Jinggala. Bagai orang
kesetanan, sepasang trisulanya bergerak cepat dengan
serangan-serangan maut!
Plakkk! Plakkk!
"Aaahhh...?!"
Tepisan telapak tangan Hantu Jubah Merah san-
gat kuat. Akibatnya, tubuh Ki Jinggala melintir seperti
sebuah gangsing. Sedangkan murid-murid lainnya
yang datang membantu, terpelanting ke kiri-kanan
terkena tamparan keras tokoh tinggi besar itu. Karuan
saja amukan Hantu Jubah Merah membuat yang lain-
nya menjadi gentar!
"Hmmm...,"
Melihat lawan-lawannya berlompatan mundur,
Hantu Jubah Merah berkelebat ke depan. Dan lenyap
dari pandangan setelah menutupi tubuhnya dengan
jubah merahnya.
"Iblis...?!" desis Ki Jinggala yang terkejut melihat
tubuh Hantu Jubah Merah lenyap bersama gumpalan
asap putih, asap itu muncul seiring dengan lenyapnya
sosok tinggi besar itu.
"Bagaimana ini, Kakang...?" Harjana yang merasa
tak sanggup mempertanggungjawabkan kejadian ini
pada gurunya meminta pendapat Ki Jinggala.
"Biar aku yang akan melaporkannya kepada
guru. Sebaiknya kau bereskan tempat ini...," ujar Ki
Jinggala kemudian meninggalkan tempat itu.
***
TIGA
Di bawah siraman sinar matahari yang redup
tampak tiga sosok tubuh melangkah menyusuri tanah
becek. Genangan air pada tanah berlubang memaksa
mereka harus berlompatan menghindarinya. Hingga
memperlambat perjalanan ketiga orang itu.
"Hhh.... Untung hujan sudah reda. Kalau tidak,
terpaksa kita harus bermalam di dalam hutan...," ujar
seorang lelaki kurus berusia sekitar empat puluh lima
tahun. Pakaiannya agak basah. Demikian pula dua
orang temannya.
"Bukan hanya di dalam hutan, Ki. Kita juga ha-
rus mencari tempat berteduh. Paling tidak sebuah goa
untuk melewatkan malam dalam keadaan hujan...,"
timpal pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Agak-
nya, ketiga orang itu baru saja melewati hutan yang
kini tertinggal di belakang. Dan sempat berteduh saat
hujan lebat tadi.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja di depan sana
kita bisa menjumpai sebuah desa. Dengan begitu, kita
bisa mencari tempat penginapan. Tidak enak rasanya
bermalam di udara terbuka dalam cuaca sedingin
ini...," tambah sosok ketiga yang bertubuh ramping.
Tangannya terlipat di depan dada. Seolah ingin me-
nunjukkan bahwa udara saat itu memang sangat din-
gin.
"Keinginanmu sama denganku, Pujawati. Aku
pun enggan jika harus bermalam di alam terbuka da-
lam cuaca seperti ini...," ucap pemuda gagah berpa-
kaian kuning cerah pada gadis manis di sebelahnya.
Tidak sulit untuk mengetahui siapa pemuda ga-
gah dan lelaki kurus yang berjalan bersama Pujawati.
Mereka adalah Malela dan Ki Danara. Yang tengah me-
lakukan perjalanan mencari guru dan ayah mereka
yang lenyap tanpa jejak. (Baca episode: 'Penculik-
Penculik Misterius').
Pujawati, putri tunggal Pedang Pemecah Langit
menoleh dan tersenyum. Perjalanan itu tampaknya te-
lah menambah akrab ketiganya. Apalagi mereka mera-
sa senasib dan setujuan. Sehingga setelah berhari-hari
melakukan perjalanan bersama, kekakuan di antara
mereka berganti dengan keakraban.
Malela, pemuda gagah pewaris Pendekar Tongkat
Sakti melebarkan senyumnya. Kemudian membuang
pandang ke arah lain. Menyembunyikan getaran ha-
tinya saat melihat senyum Pujawati. Malela tahu diri
untuk tidak menunjukkan perasaan hatinya pada ga-
dis manis itu. Menjaga suasana di antara mereka agar
tidak menjadi canggung. Itu sebabnya, Malela lebih
suka menyembunyikan perasaannya. Meskipun ia
menduga gadis manis itu kemungkinan mempunyai
perasaan yang sama dengannya.
"Ada orang datang...!" seru Malela perlahan. Ke-
mudian melesat ke semak-semak di tepi jalan, setelah
memberi isyarat agar Ki Danara dan Pujawati mengi-
kutinya.
Tanpa banyak tanya lagi, gadis itu langsung ber-
sembunyi di semak-semak. Kemudian diam menunggu
dengan hati berdebar.
Tapi tidak dengan Ki Danara. Lelaki tua bertu-
buh kurus yang memiliki kepandaian paling rendah di
antara mereka, kelihatan bingung, ketika melihat Ma-
lela dan Pujawati menyelinap ke dalam semak-semak.
Baru setelah Malela memberikan isyarat, Ki Danara
segera mencelat dan bersembunyi. Lelaki tua itu me-
nahan napas agar tidak terdengar orang lain.
Tidak berapa lama kemudian, tampak tiga sosok
tubuh berlarian melintasi jalan yang dilalui Ki Danara
dan kawan-kawannya. Gerakan mereka yang ringan
menunjukkan ketinggian ilmu larinya. Membuat hati
ketiga orang yang bersembunyi itu makin berdebar.
Dan, ketika ketiga sosok itu semakin dekat...
"Ayaaahhh...?!"
Pujawati yang menyelinap di balik alang-alang
lebat, mendesis dengan dada berdebar. Gadis manis
itu mengenali salah satu dari ketiga sosok itu sebagai
ayahnya. Meski agak heran, namun perasaan gembira
membuatnya keluar dari tempat persembunyian.
"Ayah...!" seru gadis manis itu dengan mata mu-
lai basah oleh rasa haru yang menghimpit dada. Tanpa
ragu-ragu lagi, Pujawati berlari menyongsong ketiga
sosok itu.
Ternyata bukan hanya Pujawati yang berbuat
demikian. Malela dan Ki Danara pun keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Melihat ada Ki Adiwarsa di an-
tara ketiga sosok lelaki tua itu, Malela langsung mele-
sat Seolah berlomba dengan Pujawati yang tengah me-
nyongsong ayahnya.
Mendengar teriakan Pujawati, ketiga sosok tubuh
yang tidak lain Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Peme-
cah Langit, dan Sepasang Naga Laut menghentikan la-
rinya. Mereka menoleh ke arah datangnya suara lang-
kah dan panggilan itu.
"Hm...!" Pendekar Tongkat Sakti bergumam per-
lahan. Sepasang matanya memancarkan kilatan tajam.
Kemudian kembali tenang seperti biasa. Lelaki tua itu
menunggu kedatangan pemuda gagah berpakaian kun-
ing cerah yang tengah berlari ke arahnya.
Demikian pula Pedang Pemecah Langit Meski
hanya sesaat, terlihat kilatan aneh pada sepasang ma-
tanya. Jago pedang kenamaan itu menanti kedatangan
Pujawati.
Sedangkan Sepasang Naga Laut berdiri di bela-
kang kedua kawannya. Sepasang matanya bergerak-
gerak memperhatikan kejadian itu. Sesekali beralih ke
arah Ki Danara yang melangkah paling belakang den-
gan tenang.
"Ayah...."
Pujawati mengurungkan niatnya untuk memeluk
orangtua yang sangat dicintainya itu. Langkahnya ter-
henti dalam jarak empat langkah dari tubuh Pedang
Pemecah Langit Sikap dingin lelaki tua itu membuat
Pujawati ragu. Karena selama ini ayahnya sangat me-
nyayangi dirinya, maka tidak heran jika melihat peru-
bahan sikap ayahnya. Apalagi mereka baru bertemu
kembali setelah berpisah cukup lama. Hal itu menim-
bulkan rasa curiga di hati gadis itu.
"Hm.... Mengapa tidak memeluk ku, Pujawati?
Apa kau sudah tidak sayang pada ayahmu lagi...?" te-
gur Pedang Pemecah Langit tak senang. Sehingga, ken-
ing gadis manis itu tampak semakin berkerut dalam.
"Kau... Dari mana saja, Ayah...?" ucapan bodoh
itu meluncur dari bibir Pujawati. Gadis itu sungguh ti-
dak tahu apa yang harus dikatakannya saat itu.
Pujawati tidak bergerak meskipun ayahnya su-
dah menegur. Dan menoleh ke arah Malela yang tidak
bersujud di depan gurunya. Agaknya pemuda berpa-
kaian kuning cerah itu pun tengah dilanda keraguan.
"Hm.... Mengapa memandangku seperti itu, Male-
la? Apakah sejak aku hilang kau tak menganggapku
lagi sebagai gurumu?"
Pendekar Tongkat Sakti menegur perbuatan Ma-
lela yang menatapnya penuh selidik. Entah apa yang
dipikirkan Malela saat itu. Wajahnya tidak menunjuk-
kan bias kegembiraan setelah bertemu dengan gu-
runya. Padahal, perjalanan yang dilakukannya selama
ini untuk menemukan guru yang dihormatinya itu.
"Aku... aku...," Malela kelihatan bingung menja-
wab teguran Pendekar Tongkat Sakti. Rasa hormatnya
tidak hilang, meskipun hatinya diselimuti keraguan.
"Berlutut padaku...!" bentak Pendekar Tongkat
Sakti dengan wajah merah padam. Orang tua itu kelihatan marah melihat sikap lancang Malela.
"Ampun, Guru...."
Tanpa ragu-ragu lagi, Malela langsung menja-
tuhkan tubuhnya berlutut di depan Pendekar Tongkat
Sakti. Tokoh itu mengangguk-anggukkan kepala sam-
bil mempermainkan jenggotnya yang berwarna dua.
Ada rasa senang terbersit di wajahnya.
Demikian pula Pujawati. Keraguan gadis manis
itu luntur oleh kesayuan pandang mata Pedang Peme-
cah Langit. Seolah lelaki tua itu merasa sedih melihat
sikap Pujawati. Hingga, akhirnya Pujawati berlari me-
meluk tubuh lelaki tua itu.
"Anakku...," gumam Pedang Pemecah Langit se-
raya mengelus rambut gadis manis itu. Tapi....
"Aaahhh...?!"
Mendadak Pujawati menyentakkan tubuhnya da-
ri pelukan lelaki tua itu. Gadis manis itu merasakan
sikap dan belaian tangan ayahnya mengandung geta-
ran aneh. Merasa berada dalam pelukan lelaki asing
yang menyembunyikan hasrat tertentu, Pujawati pun
menarik tubuhnya.
"Kau... kau bukan ayahku...?.'" pekik dara manis
itu tertahan. Sepasang matanya terbelalak lebar. Gadis
itu penasaran. Tidak bisa membuktikan lelaki tua itu
bukan Pedang Pemecah Langit yang sebenarnya.
Pedang Pemecah Langit pun tidak tinggal diam.
Begitu melihat Pujawati meronta dari pelukannya, to-
koh itu segera melancarkan totokan kilat ke tubuh Pu-
jawati.
"Ooohhh...!"
Tubuh gadis manis itu jatuh terkulai. Kekalutan
hatinya membuat Pujawati tidak bisa menghindari to-
tokan Pedang Pemecah Langit.
"Pujawati...?!"
Melihat kejadian itu, Malela tersentak kaget. Apa-
lagi, saat melihat tubuh gadis manis yang diam-diam
telah merebut hatinya itu terkulai ke tanah. Dan sebe-
lum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba pe-
muda itu merasakan ada sambaran angin kuat dari
sebelah atas.
"Malela! Awaaasss...!" Ki Danara yang sejak tadi
menyaksikan pertemuan itu, berteriak memperin-
gatkan. Pada saat itu Pendekar Tongkat Sakti tengah
melancarkan pukulan telapak tangan miring ke bela-
kang leher Malela. Sambaran angin pukulan itulah
yang dirasakan Malela.
Menyadari dirinya terancam bahaya, Malela lang-
sung mengangkat tangan kanannya ke atas. Meskipun
demikian, tenaganya tidak dikerahkan sepenuhnya.
Karena serangan itu begitu tiba-tiba, dan dilakukan
dalam jarak dekat. Sehingga....
Dukkk!
"Aaahhh...?!"
Kedudukannya yang lemah membuat tubuh pe-
muda itu terjerembab dan jatuh ke atas tanah basah.
Tangan kanannya terasa linu. Malela memang tidak
siap menghadapi serangan itu. Kedudukannya pun ti-
dak menguntungkan.
"Heahhh...!"
Pendekar Tongkat Sakti tidak mau memberi ke-
sempatan pada pemuda itu untuk menyiapkan jurus-
nya. Tokoh itu segera menyusul serangannya dengan
hantaman tongkat baja putih.
Whukkk...!
Senjata maut itu meluncur cepat dari atas ke
bawah, siap meremukkan batok kepala Malela. Kali ini
Pendekar Tongkat Sakti bermaksud membunuh pemu-
da gagah berpakaian kuning cerah itu.
"Haaattt..!"
Ki Danara tidak bisa tinggal diam melihat Malela
terancam maut Tubuh lelaki tua itu melesat ke depan
dengan sambaran pedangnya. Ki Danara langsung
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk men-
gimbangi kepandaian Pendekar Tongkat Sakti yang
sangat tinggi.
Bwettt... trangngng...!
"Aaahhh...?!"
Meskipun berhasil menyelamatkan Malela, tapi
tubuh lelaki tua itu terlempar ke belakang. Ternyata
tenaga dalam Ki Danara kalah jauh dengan lawan. Pe-
dangnya terlepas dan jatuh entah di mana.
Biarpun begitu, tindakan Ki Danara tidak sia-sia.
Malela segera bergulingan menjauh saat benturan ke-
ras itu terjadi.
"Haaaittt...!"
Begitu melenting bangkit, Malela langsung mele-
sat. ke arah Ki Danara. Ditariknya tubuh orang tua itu
bangkit berdiri. Ki Danara mengurut urut lengannya
yang terasa linu.
'Terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Bagaima-
na keadaanmu...?" tanya Malela. Wajah pemuda itu
terlihat cemas melihat seringai kesakitan di wajah Ki
Danara.
'Tenaga dalam gurumu sungguh hebat sekali,
Malela. Rasanya tulang-tulang lenganku patah akibat
benturan tadi...," jawab Ki Danara sambil tetap memi-
jat lengannya.
"Aku belum tahu pasti siapa sebenarnya lelaki
tua itu, Ki. Kalau ia benar guruku, pasti ada sesuatu
yang tidak beres dengannya. Jika tidak, bagaimana
mungkin ia demikian tega hendak membunuhku...,"
tandas Malela seraya memandang sosok gurunya.
"Siapa pun dia, kita harus tetap berhati-hati, Ma-
lela...," bisik Ki Danara mengingatkan. Malela men-
ganggukkan kepala. Lalu melesat ke rumpun bambu
kuning yang tumbuh di tepi jalan. Dipilihnya bambu
yang terbaik, kemudian ditebas dengan pedangnya.
"Gunakanlah pedangku untuk melindungi diri,
Ki. Aku akan menggunakan batang bambu ini sebagai
senjata. Meskipun ilmu yang kudapat belum sempur-
na, tapi Mudah-mudahan bisa kupergunakan untuk
menjaga diri...," ujar Malela seraya menyerahkan pe-
dangnya pada Ki Danara. Sebagai murid utama Pende-
kar Tongkat Sakti, tentu Malela telah mewarisi hampir
seluruh ilmu-ilmu silat gurunya.
Tanpa banyak tanya, Ki Danara segera menyam-
but pedang Malela. Sebab, dirinya memang sangat
membutuhkan senjata itu untuk membela diri dari se-
rangan lawan. Maka, keduanya pun bersiap mengha-
dapi lawan-lawannya.
***
"Hm.... Berani kau melawan gurumu, Malela...?"
tegur Ki Adiwarsa dengan wajah merah padam. Sepa-
sang matanya berkilat tajam penuh kemarahan. Ka-
kinya melangkah beberapa tindak menghampiri Malela
dan Ki Danara.
"Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, Orang
Tua? Mengapa kau mirip guruku. Dan, apa alasanmu
hendak membunuhku tadi...?" tanya Malela penasa-
ran. Sampai saat itu dirinya masih ragu.
Siapa sesungguhnya orang tua itu? Jika bukan
gurunya, mengapa wajahnya demikian mirip? Padahal
setahunya Ki Adiwarsa tidak mempunyai saudara
kembar. Sangat aneh jika lelaki tua itu mengaku berjuluk Pendekar Tongkat Sakti, yang jelas-jelas merupa-
kan julukan gurunya. Malela bingung dibuatnya.
"Jangan dengarkan ucapan busuknya, Malela!
Orang tua itu bukan gurumu yang asli. Seperti halnya
lelaki tua yang mirip guruku itu. Mana ada seorang
guru tega membunuh murid-muridnya. Padahal, sang
Murid merupakan pewaris tunggal perguruan serta il-
mu-ilmunya itu. Mereka adalah tokoh-tokoh palsu...!"
tandas Ki Danara, berusaha mengingatkan Malela agar
tidak terpengaruh bujukan lelaki tua itu.
Malela pun lebih mempercayai ucapan Ki Dana-
ra. Sehingga, pemuda itu menyiapkan jurus tongkat-
nya. Siap menghadapi serangan Pendekar Tongkat
Sakti dan kawan-kawannya.
Bettt! Bettt!
Tongkat bambu di tangannya dikibaskan hingga
menimbulkan suara sambaran angin kuat. Bambu se-
panjang lima jengkal dengan bulatan sebesar gagang
pedang itu, siap digunakan Malela sebagai senjata.
"Hm..,," Pendekar Tongkat Sakti bergumam lirih.
Sepasang matanya bergerak liar. Kemudian,
tongkat baja putihnya diputar di depan dada. Terden-
gar suara menderu-deru yang menerbangkan bebatuan
kecil di dekatnya. Ki Adiwarsa tidak tanggung-
tanggung untuk mengarahkan segenap tenaganya.
"Majulah, Murid Murtad...!" geram kakek itu.
Pandangannya tertuju lurus pada sepasang bola mata
Malela. Pemuda itu segera membuang pandang ke arah
lain. Tatapan mata lelaki tua itu tak ubahnya pandan-
gan seorang guru yang hendak menghukum muridnya.
Agaknya, itu dilakukan untuk membuat hati Malela ge-
lisah.
"Haaattt...!"
Dengan sebuah teriakan nyaring. Malela melesat;
ke depan. Tongkat bambu di tangannya bergerak cepat
Terkadang hanya dipegang satu tangan saja. Gerakan-
nya yang berubah-ubah itu membuat lawan tertegun
sejenak.
Bwettt..!
"Haiiittt..!"
Pendekar Tongkat Sakti memiringkan tubuhnya
untuk menghindari sodokan ujung tongkat bambu Ma-
lela yang mengarah tenggorokannya. Kemudian, mem-
balas dengan hantaman telapak tangan kirinya. Dis-
usul hantaman tongkatnya dari atas ke bawah. Tapi,
semua serangan itu dapat digagalkan Malela dengan
mudah. Sebentar kemudian, keduanya terlibat dalam
sebuah perkelahian sengit!
Setelah dua puluh jurus lebih, Malela semakin
bertambah yakin lelaki tua itu bukan gurunya yang as-
li. Permainan tongkat orang tua itu dicampur dengan
ilmu-ilmu silat lain yang tidak dikenalnya. Apalagi,
ternyata dirinya dapat mengimbangi permainan lawan.
Keyakinan Malela semakin menjadi-jadi. Hanya saja
pemuda itu tidak mengerti. Bagaimana mungkin lelaki
tua itu memiliki wajah yang serupa dengan gurunya?
Bahkan, ia memiliki ilmu tongkat perguruannya, meski
di bawah ilmu Malela.
"Keparat! Sekarang aku yakin. Kaulah yang telah
menculik guruku. Ilmu dan tongkat guruku itu buk-
tinya!" seru Malela di tengah hujan serangan lawan.
Tubuh pemuda itu berkelit ke kiri-kanan. Sesekali
tongkat bambu di tangannya melontarkan serangan
balasan yang tidak kalah cepat
Sebagai pewaris Perguruan Tongkat Sakti, pemu-
da gagah itu telah mewarisi hampir seluruh ilmu Ki
Adiwarsa. Selain memiliki sikap gagah dan jujur, Male-
la pun seorang murid berbakat Hingga tidak aneh bila
ia dapat mengimbangi permainan lawan, yang meng-
gunakan ilmu tongkat perguruannya.
Satu keuntungan Malela adalah pemuda itu telah
melatihnya sejak kecil. Sehingga, dapat mengenali ilmu
lawan dengan baik. Itulah salah satu keuntungan Ma-
lela. Maka, pada jurus keenam puluh pemuda itu mu-
lai dapat menekan lawan.
"Haaattt...!"
Seraya membabatkan tongkat bambunya ke leher
lawan, pemuda itu berteriak nyaring. Malela ingin me-
mecah perhatian lawan.
Bwettt..!
Ketika sambaran tongkat bambunya gagal, Male-
la langsung mengirimkan sebuah tendangan miring
yang telak mengenai sasaran.
Bukkk!
"Uuuhhh...!"
Meskipun tidak terlalu kuat, namun tendangan
pemuda itu sempat membuat lawan terdorong dan
nyaris terpelanting jatuh. Untung kedudukan tokoh
tua itu cukup kuat. Hingga dapat mengimbangi gerak
tubuhnya dengan baik.
"Yeeeaaa...!"
Kesempatan itu tidak disia-siakan Malela. Tu-
buhnya melambung ke udara. Dari atas tongkat bam-
bunya bergerak menghantam tubuh di bawahnya!
Bweeettt..!
Trakkk!
"Aaahhh...?!"
Malela memekik kaget. Tubuhnya terpental balik.
Dan tongkat bambu di tangannya terpotong menjadi
dua. Beruntung pemuda itu bertindak sigap dengan
melempar tubuh ke belakang. Kalau tidak, bukan
mustahil tubuhnya ikut terpotong menjadi dua!
Seorang lelaki yang bersenjatakan sepasang pe-
dang bersinar kehijauan, telah berdiri di depan Pende-
kar Tongkat Sakti. Orang itu adalah Sepasang Naga
Laut!
"Hm...," Malela bergumam sambil memperbaiki
kuda-kudanya. Sadar bahwa lawannya kali ini memili-
ki kepandaian yang jauh lebih hebat, Malela pun lebih
bersikap hati-hati. Langkahnya diputar seperti hendak
meneliti kelemahan lawan.
"Malela! Pakai pedang ini...!"
Melihat Malela tidak bersenjata, Ki Danara segera
melemparkan pedang yang tadi diberikan pemuda itu
kepadanya. Rupanya, orang tua itu pun tahu kalau
lawan Malela berkepandaian lebih tinggi dari Pendekar
Tongkat Sakti gadungan.
"Haaaiiittt...!"
Celaka! Saat Ki Danara melemparkan pedangnya,
Sepasang Naga Laut langsung melambung ke udara.
Sepasang pedang di tangannya berputar cepat mence-
gah pedang itu sampai di tangan Malela.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Disusul run-
tuhnya pedang Malela yang terpotong tiga. Sepasang
pedang di tangan lelaki berpakaian kulit ular berwarna
hijau itu memang merupakan sebuah pusaka ampuh.
"Gila...!" desis Malela kagum melihat ketajaman
dan keampuhan sepasang pedang lawan. Tapi, bukan
berarti dirinya gentar bertarung dengan tangan ko-
song. Tidak! Malela akan tetap menghadapi Sepasang
Naga Laut, meskipun dengan ilmu tangan kosongnya!
"Hm...," Sepasang Naga Laut mendengus seraya
menatap tajam Malela. Dan pemuda itu membalasnya.
Kedua belah pihak sudah siap saling gebrak!
EMPAT
Malela yang sadar akan kepandaian lawan, tidak
mau bertindak ceroboh. Ditunggunya lawan mulai me-
nyerang. Dirinya akan bertahan dengan mengandalkan
sepasang tangannya. Seluruh kekuatan tenaga dalam-
nya dikerahkan. Malela siap bertarung habis-habisan!
Sepasang Naga Laut rupanya dapat membaca ja-
lan pikiran lawan. Tapi tampaknya ia tidak peduli. To-
koh berpakaian kulit ular itu merasa yakin dapat me-
nundukkan murid Pendekar Tongkat Sakti itu. Meski-
pun dengan menyerang lebih dulu berarti ia memperli-
hatkan kelemahan pertahanannya.
Bweeettt…, bwettt..!
Sepasang pedang pusaka bersinar kehijauan
berkilau saat tokoh itu memutarnya di depan tubuh.
Sambaran angin berhawa dingin memenuhi arena per-
tarungan. Dan....
"Haiiittt..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki
berpakaian kulit ular itu melesat ke depan dengan
sambaran pedang yang berdesingan tajam. Kilatan si-
nar kehijauan itu bagai tangan-tangan maut yang siap
mencabut nyawa lawan.
Bettt..., bettt!
"Hahhh...!"
Sambil membentak Malela menghindari samba-
ran sepasang pedang lawan. Seluruh kelincahannya
dikeluarkan untuk menyelamatkan selembar nya-
wanya. Dan membalas sesekali dengan pukulan serta
bacokan sisi telapak tangannya. Bahkan, tidak jarang
kakinya melancarkan tendangan-tendangan kilat yang
cepat dan kuat Sehingga, sebentar saja keduanya telah
bertarung sengit!
Tapi julukan Sepasang Naga Laut memang bu-
kan nama kosong. Tokoh itu membuktikan keheba-
tannya. Setelah lewat dua puluh tiga jurus Malela mu-
lai terdesak. Ruang geraknya semakin sempit, seolah
terkurung hujan pedang!
Breeettt..!
"Aaahhh...?!" ,
Sebuah sambaran senjata lawan membuat pe-
muda itu memekik kesakitan. Meskipun luka di pang-
kal lengannya tidak terlalu dalam, namun cukup
mengganggu gerakannya. Sehingga, tekanan lawan te-
rasa semakin berat!
"Malela, aku akan membantumu...!"
Ki Danara yang sejak tadi hanya sebagai penon-
ton, tak dapat menahan diri lagi ketika melihat pemu-
da itu terdesak. Tubuhnya segera melayang ke dalam
arena pertarungan. Walau kepandaiannya tidak begitu
tinggi, tapi Ki Danara bukan seorang pengecut. Ia rela
mempertaruhkan nyawa untuk membantu Malela yang
terkurung pedang lawan.
Whukkk...!
Begitu memasuki arena pertarungan, Ki Danara
langsung melontarkan sebuah pukulan ke arah Sepa-
sang Naga Laut. Melihat sambaran angin yang cukup
kuat Ki Danara agaknya telah mengerahkan seluruh
tenaganya untuk melancarkan serangan itu.
"Hmmmhhh...!" Sepasang Naga Laut mengelua-
rkan dengusan mengejek.
Tubuhnya berkelit menghindari pukulan lelaki
tua itu. Kemudian, mengalihkan serangannya ke arah
Ki Danara. Dengan gerakan menggunting, sepasang
pedangnya mengancam leher lelaki tua itu!
"Aaahhh...?!"
Terkejut bukan main Ki Danara. Ia merasa nya-
wanya akan segera melayang dengan kepala terpisah
dari badan!
"Ki Danara...?!"
Wajah Malela pucat melihat serangan maut itu.
Nyawa Ki Danara tidak mungkin dapat diselamatkan
lagi. Jarak mereka terpisah sekitar satu tombak lebih.
Sulit bagi Malela untuk menyelamatkan kawannya.
Apalagi, gerakan Sepasang Naga Laut masih berada di
atas kecepatannya.
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiiihhh...?!"
Pada saat yang sangat gawat itu, mendadak ber-
kelebat sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung
memapaki sepasang pedang yang nyaris membabat pu-
tus leher Ki Danara. Tubuh Sepasang Naga Laut pun
terdorong mundur terkena tangkisan sosok bayangan
putih.
Sepasang Naga Laut segera memperbaiki kuda-
kudanya. Lalu menatap sosok pemuda tampan yang
mengenakan jubah panjang putih. Yang ditatapnya
berdiri tegak dengan sepotong bambu di tangannya.
Potongan bambu itu milik Malela yang terpapas putus
oleh pedangnya!
"Gila...?! Benarkah potongan bambu itu yang di-
gunakan untuk menyambut pedangku...?" desis Sepa-
sang Naga Laut tak percaya. Tidak masuk di akal jika
sepasang pedang pusakanya dapat terpukul mundur
oleh sepotong bambu. Jelas itu tidak mungkin!
"Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh besar se-
pertimu demikian mudah mencabut nyawa orang
lain...," gumam pemuda tampan berjubah putih yang
kelihatan terkejut saat mengenali lawan-lawan orang
yang ditolongnya. Sepanjang pengetahuannya mereka
adalah tokoh-tokoh besar golongan putih.
"Pendekar Naga Putih...?!" . Ki Danara gembira
bukan main ketika mengenali sosok pemuda tampan
berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawanya.
Lelaki tua itu telah mengenal siapa penolongnya. (Un-
tuk mengetahui perkenalan Ki Danara, Malela serta
Pujawati dengan Panji dan Kenanga, silakan ikuti epi-
sode sebelumnya dalam: 'Penculik-Penculik Misterius').
Pemuda tampan berjubah putih yang memang
Panji, menganggukkan kepala menyapa Ki Danara dan
Malela. Di dekat mereka terlihat seorang dara jelita
berpakaian serba hijau. Gadis itu adalah Kenanga
yang datang bersama Panji. Pasangan pendekar muda
itu belum lama bertemu. Ketika Kenanga terluka ma-
tanya oleh serbuk racun Penculik-Penculik Misterius,
gadis itu tinggal bersama Dewa Tangan Salju di perta-
paan kakek itu. Dewa Tangan Salju lah yang mengoba-
ti luka Kenanga dengan petunjuk Panji. Sedangkan
Panji sendiri pergi mencari Penculik-Penculik Miste-
rius. Setelah Kenanga sembuh dan Panji belum kem-
bali, gadis itu mencarinya. Mereka bertemu di sebuah
desa.
"Mereka... orang-orang jahat yang menyamar se-
bagai guruku, dan guru Ki Danara, Pendekar Naga Pu-
tih...," jelas Malela sebelum pemuda tampan itu ber-
tanya. Panji tampak kaget mendengar keterangan itu.
"Betulkah demikian...?" Panji meminta ketega-
san.
Pemuda itu merasa heran melihat Sepasang Naga
Laut hendak membunuh Ki Danara. Padahal di tempat
itu ada Pedang Pemecah Langit, yang merupakan guru
lelaki tua bertubuh kurus itu.
"Lalu..., bagaimana dengan Pujawati...?" Kenanga
melihat gadis manis itu berada dalam gendongan Pedang Pemecah Langit. Tokoh bertubuh jangkung itu
menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya.
Malela segera menceritakan kejadiannya yang
menimpa Pujawati. Hingga gadis itu berada dalam de-
kapan Pedang Pemecah Langit. Pasangan pendekar
muda itu pun mulai mengerti duduk perkara yang se-
benarnya.
"Hm.... Kalau begitu, kita harus menyelamatkan
Pujawati dari cengkeraman ayah palsunya itu...," bisik
Panji seraya melemparkan pandang ke arah Pedang
Pemecah Langit.
Sementara itu, Sepasang Naga Laut, Pedang Pe-
mecah Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti telah ber-
kumpul. Mereka tampak gentar melihat pemuda tam-
pan berjubah putih. Agaknya, ketiga tokoh gadungan
itu telah mengenal siapa Panji. Mereka pun bersepakat
untuk meninggalkan tempat itu dengan membawa lari
Pujawati.
"Heiii...!"
Panji berusaha mencegah ketika melihat ketiga
tokoh gadungan itu hendak melarikan diri. Tubuhnya
melesat ke depan, dan berputaran beberapa kali di
udara. Kemudian....
Jleggg!
Tubuh pemuda itu mendarat di tanah dalam ja-
rak dua tombak di depan ketiga tokoh gadungan itu.
Mereka segera menahan langkah dengan wajah tegang!
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manusia-manusia
Jahat! Lebih baik serahkan gadis itu, dan menyerahlah
secara baik-baik jika tidak ingin terjadi hal-hal buruk
menimpa kalian...!" ancam Panji dengan sinar mata ta-
jam menikam jantung, membuat hati lawan-lawannya
berdebar keras.
Ketiga tokoh gadungan itu tidak menanggapi
ucapan Pendekar Naga Putih. Mereka malah memba-
likkan tubuh untuk mencari jalan meloloskan diri.
Namun di belakang mereka telah berdiri Kenanga, Ma-
lela, dan Ki Danara.
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti
segera memutar senjatanya. Lalu, menerjang ketiga
penghadang itu. Mereka mengira gadis berpakaian ser-
ba hijau itu tidak terlalu berbahaya. Tidak seperti Pen-
dekar Naga Putih. Maka, mereka pun memilih kabur
dengan menerjang Kenanga dan kawan-kawannya.
"Haaattt..!"
"Yeeeaaattt..!"
Ketiga senjata yang telah dialiri kekuatan hebat
itu, meluruk maju menerjang Kenanga dan kawan-
kawannya.
Kenanga tidak tinggal diam. Cepat tangannya
bergerak meloloskan pedang. Dan dikibaskan ke depan
menyambut serangan lawan!
"Yeeeaaa...!"
Trang, trang, trangngng!
"Aiii...?!"
"Aaahhh...?!"
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti
gadungan terpekik kaget Senjata mereka dapat dipa-
paki pedang gadis jelita itu. Akibat tangkisan yang
sangat kuat itu, keduanya terdorong mundur.
"Gila...! Ternyata gadis itu memiliki kepandaian
tinggi...!" desis Sepasang Naga Laut Harapannya untuk
dapat meloloskan diri semakin menipis.
"Hm.... Sebaiknya kalian turuti saja permintaan
Pendekar Naga Putih. Dan jangan berharap dapat le-
pas dari tangan kami...," ujar Kenanga mengejek. Pe-
dang Sinar Bulan melintang di depan dada, siap
menghadapi gempuran tokoh-tokoh gadungan itu.
"Kalau kalian tetap bersikeras tidak mau mem-
biarkan kami pergi, nyawa gadis ini terpaksa ku ca-
but..!" Pedang Pemecah Langit berkata sambil mene-
kan mata pedangnya ke leher Pujawati. Gadis manis
itu masih terkulai pingsan dalam gendongannya. An-
caman Pedang Pemecah Langit sempat membuat Panji
dan .yang lainnya tertegun sesaat.
"Gadis itu tidak mempunyai hubungan dengan-
ku," sahut Panji setelah berpikir sesaat "Kalau kalian
ingin membunuhnya, bunuhlah! Tapi setelah itu, aku
tidak akan memberi ampun pada kalian bertiga...,"
pemuda berjubah putih balas mengancam dengan ta-
tapan mata mencorong tajam, menyiratkan kegeraman
hatinya.
Ki Danara dan Malela tentu saja kaget menden-
gar perkataan Pendekar Naga Putih. Namun, keduanya
membungkam setelah Kenanga memberi isyarat diam.
Mereka menunggu tanggapan Pedang Pemecah Langit
yang kelihatan ragu setelah mendengar ancaman Panji.
Di saat itulah Panji segera bertindak cepat me-
manfaatkan kelengahan lawan. Tubuhnya melesat se-
cepat kilat. Tangan kanannya meluncur ke depan me-
lancarkan totokan jarak jauh dengan mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan....
Taaasss!
"Aaakkkhhh...?!"
Pedang Pemecah Langit yang tidak menyangka
Pendekar Naga Putih akan berbuat senekat itu, menje-
rit kesakitan. Pedang di tangannya terlepas dan geng-
gaman. Lengan kanannya terkena kilatan sinar putih
yang sangat kuat Lengan itu terasa lumpuh seketika.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera
menyambar tubuh Pujawati yang melorot ke tanah.
Bersamaan dengan itu, telapak tangan kirinya didorong ke depan mengirim pukulan jarak jauh.
Deeesss...!
"Aaaghhh...?!"
Pedang Pemecah Langit yang tengah terhuyung
mundur, langsung terjengkang dan jatuh terbanting ke
tanah! Pukulan jarak jauh Panji menggedor dada ki-
rinya. Tokoh gadungan itu pun memuntahkan darah
segar!
"Ooouhhh...."
Terdengar rintihan perlahan Pujawati ketika Pan-
ji menyerahkan gadis manis itu pada Kenanga, yang
segera membebaskan totokan di tubuh gadis manis
itu.
"Kenanga...?!" desis Pujawati lemah saat matanya
menangkap wajah gadis jelita itu.
"Syukurlah kau tidak terluka, Pujawati...," ucap
Kenanga tersenyum lebar kepada gadis manis itu.
Begitu tersadar dari pingsannya, Pujawati lang-
sung bangkit dan menatap berkeliling. Sepasang mata
gadis remaja itu tampak berbinar ketika menemukan
sosok yang dicarinya.
"Sudah kuduga kau pasti datang bersama Pen-
dekar Naga Putih...," gumam dara remaja tidak me-
nyembunyikan rasa gembiranya. Pujawati merasa lega
dan gembira melihat sosok pendekar muda yang dika-
guminya itu.
"Hhh...," Malela menghela napas panjang. Hingga
terdengar Ki Danara yang berada di sebelahnya.
"Ada apa, Malela...?" tanya lelaki tua itu berpura-
pura bodoh. Agaknya, Ki Danara sudah dapat memba-
ca perasaan hati pemuda itu terhadap putri tunggal
gurunya.
"Tidak apa-apa, Ki.... Aku hanya merasa lega me-
lihat Pujawati telah selamat..," sahut Malela sedikit gugup.
Ki Danara tersenyum tipis mendengar jawaban
Malela. Dan, perhatiannya kembali dialihkan pada so-
sok Pendekar Naga Putih yang tengah berhadapan
dengan ketiga lawannya. Saat itu Pedang Pemecah
Langit telah berdiri. Meski wajah jago pedang itu keli-
hatan agak pucat, namun pedang di tangannya me-
nandakan ia siap bertempur. Rupanya, kelumpuhan di
tangan kanannya telah sembuh. Walau masih sedikit
lemah, jago pedang gadungan itu bersatu dengan ka-
wan-kawannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih.
Panji tetap tegak di tempatnya, meskipun ketiga
lawannya telah mengepung dirinya. Nampaknya ketiga
tokoh gadungan itu nekat menghadapi Pendekar Naga
Putih. Sebab, untuk meloloskan diri dari tempat itu je-
las tidak mungkin. Satu-satunya pilihan bagi mereka
adalah menghadapi pendekar muda yang digdaya itu.
***
LIMA
"Haaattt...!"
Sepasang Naga Laut, yang memiliki kepandaian
paling tinggi di antara mereka bertiga, membuka se-
rangan dengan sepasang pedangnya. Menyusul Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit
Bwettt, bettt, whuttt...!
Panji menyelinap di antara sambaran senjata la-
wan. Sepasang tangannya bergerak cepat melepaskan
serangan balasan yang tidak kalah bahayanya. Se-
hingga, dalam waktu singkat keempat tokoh persilatan
itu telah bertarung sengit!
"Heeeahhh...!"
Sepasang Naga Laut tampak paling bernafsu me-
lancarkan serangan. Kelebatan sepasang pedangnya
demikian gencar mencari sasaran. Memaksa Panji le-
bih memperhatikan lelaki gagah berpakaian kulit ular
itu daripada dua lawannya yang lain.
Whuttt... Bwettt...!
Dengan kuda-kuda rendah, Panji mengelakkan
sambaran sepasang pedang lawan yang mengincar leh-
er dan iganya. Kemudian melompat pendek ke bela-
kang, saat ujung tongkat baja Ki Adiwarsa gadungan
mengancam dadanya. Serangan kedua lawannya pun
luput dan membentur angin kosong!
Saat itu juga Panji bergerak ke depan dengan ke-
cepatan yang sulit ditangkap mata. Sepasang tangan-
nya bergerak ke kiri-kanan dengan mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Bukkk! Desss...!
"Hukkkhhh...!"
"Aaakhhh...!"
Kecepatan gerak Panji membuat Sepasang Naga
Laut dan Pendekar Tongkat Sakti tak sempat mengelak
lagi. Akibatnya, tubuh kedua tokoh gadungan itu ter-
jengkang ke belakang memuntahkan darah segar.
Hantaman lengan Pendekar Naga Putih yang laksana
palu godam telah menghajar telak tubuh mereka.
"Haaattt..!"
Ketika Panji hendak melumpuhkan kedua la-
wannya, Pedang Pemecah Langit melancarkan seran-
gan. Hingga pemuda itu terpaksa menunda gerakan-
nya.
Bwettt... Bwettt..!
Putaran senjata Pedang Pemecah Langit memang
sungguh hebat! Panji harus menarik mundur tubuh-
nya untuk menghindari serangan itu. Serangan pedang
lawan pun lewat di depannya. Panji langsung memba-
las serangan lawan dengan sambaran tangan kanan
yang meliuk cepat menggedor dada Pedang Pemecah
Langit!
Buggg!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tokoh tua itu terpental ke be-
lakang sejauh dua tombak lebih! Hantaman itu mem-
buat Pedang Pemecah Langit tidak sanggup untuk se-
gera bangkit Darah segar kembali termuntah saat ia
terbatuk Bagian dalam dadanya terasa remuk akibat
gedoran telapak tangan pemuda berjubah putih.
Melihat Pedang Pemecah Langit gadungan tidak
segera bangkit, Pendekar Naga Putih segera melayang
ke arah dua lawan lainnya yang telah bersiap dengan
senjata di tangan.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor naga sakti yang meliuk-liuk di
angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke
arah Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti.
Tubuh pemuda itu terbungkus sinar putih keperakan
yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Kedua
tokoh gadungan itu terpana dan hanya bisa terpaku
menanti kedatangan maut yang siap menjemput
"Haaaiii...!"
Saat tubuh Panji tinggal beberapa tindak dari
kedua lawannya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi
yang menggetarkan dada. Bersamaan dengan itu, se-
sosok bayangan hitam melayang datang memotong se-
rangan Panji.
Whusss...!
Sambaran angin keras berhembus mengiringi do
rongan sepasang tangan sosok serba hitam. Sehing-
ga....
Blarrr...!
Luar biasa sekali akibat benturan dua gelombang
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Bumi di sekitar tempat
itu bagai diguncang gempa! Hingga pepohonan berde-
rak ribut!
"Aaahhh...?!"
"Aiii...?!"
Akibat yang dirasakan Pendekar Naga Putih dan
sosok berpakaian serba hitam pun tak kalah menge-
jutkan. Keduanya terpental balik dilempar tangan-
tangan raksasa yang tak nampak. Seruan-seruan ka-
get keluar dari mulut mereka.
"Haaattt...!"
Untuk mematahkan daya dorong itu, Panji berte-
riak keras. Tubuhnya melenting ke udara dan berputa-
ran tujuh kali sebelum mendarat di tanah. Tubuh pe-
muda itu agak bergoyang saat kedua kakinya menjejak
tanah. Daya dorong benturan dahsyat itu ternyata
sangat kuat
Demikian pula sosok tinggi besar terbungkus pa-
kaian serba hitam. Tubuh tinggi besar itu terlempar
balik dengan deras. Tapi, lagi-lagi sosok berpakaian
serba hitam menunjukkan ketangguhannya. Tubuhnya
melenting ke udara dan mendarat di tanah setelah
berputaran be berapa kali. Kakinya tampak melangkah
mundur meski telah mendarat dengan baik. Pada sela-
sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir turun. Tu-
buh bagian dalam sosok tinggi besar itu agaknya"
sempat terguncang oleh benturan dahsyat tadi.
***
"Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih...?" tegur sosok tinggi besar. Matanya menatap ta-
jam sosok pemuda tampan berjubah putih yang juga
tengah menatapnya lekat-lekat
"Dugaanmu tidak meleset Kisanak. Demikian
orang-orang memberi julukan kepadaku. Siapakah
kau? Dan apa hubunganmu dengan tokoh-tokoh ga-
dungan itu...?" tanya Panji. Kening pemuda itu berke-
rut dalam. Rupanya, Panji tengah berusaha mengenali
sosok yang berkepandaian sangat tinggi itu.
Aku berjuluk Hantu Jubah Merah. Mengenai hu-
bungan dengan mereka, aku rasa kau dapat mener-
kanya sendiri, Pendekar Naga Putih...," desis sosok
tinggi besar dengan dada membusung. Kelihatan sekali
ia sangat bangga akan julukan itu.
"Hantu Jubah Merah... ?" gumam Panji mencoba
mengingat-ingat julukan itu, "Hm.... Sayang aku belum
pernah mendengar julukanmu, Hantu Jubah Merah.
Tapi, aku sudah dapat menebak. Dirimu adalah biang
keladi penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh
persilatan. Apa sebenarnya yang kau inginkan dari to-
koh-tokoh itu...?" lanjut Panji seraya meneliti sosok
tinggi besar yang sudah melangkah maju. Jarak kedu-
anya kini terpisah dua tombak lebih.
"Sudahlah! Aku tidak ingin memperpanjang kata
denganmu, Pendekar Naga Putih! Kunasihatkan agar
kau tidak mencampuri urusanku. Jika tidak, kau pasti
akan menyesal seumur hidup!" tandas sosok berjubah
merah yang berjuluk Hantu Jubah Merah. Tampaknya
tokoh itu sudah siap untuk menggempur Pendekar Na-
ga Putih.
"Hm.... Tidak ada kata menyesal untuk merun-
tuhkan segala bentuk kejahatan, Hantu Jubah Me-
rah...," tegas Panji. Langkahnya digeser saat melihat
lawan mulai mempersiapkan jurus-jurus serangannya.
Hantu Jubah Merah terus bergerak perlahan. Di-
dekatinya kedua orang pengikutnya yang masih tam-
pak pucat.
"Pergilah kalian dari tempat ini. Dan, bawa ka-
wanmu yang tewas itu," bisik Hantu Jubah Merah pa-
da Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Naga Laut
Kedua tokoh itu menganggukkan kepala. Kemudian,
bergerak mendekati tubuh Pedang Pemecah Langit
yang tewas oleh pukulan Panji.
"Tahan...!" Panji membentak sambil melesat. Pe-
muda itu mengejar Sepasang Naga Laut dan Pendekar
Tongkat Sakti, yang hendak meninggalkan tempat itu
dengan membawa mayat Pedang Pemecah Langit
"Biarkan mereka pergi, Pendekar Naga Putih...!"
Hantu Jubah Merah segera menghadang Panji yang
hendak mengejar ketiga pengikutnya untuk mening-
galkan tempat itu.
Kenanga, Malela, dan Ki Danara pun tidak ting-
gal diam. Cepat ketiganya mengejar tokoh-tokoh ga-
dungan yang hendak melarikan diri itu. Tapi...
"Heaaahhh...!"
Melihat gelagat yang tidak baik, Hantu Jubah
Merah segera mengayunkan tangannya ke arah ketiga
pendekar itu. Dan....
"Awaaasss...!"
Kenanga berteriak memperingatkan Malela dan
Ki Danara, ketika merasa ada sambaran angin kuat
menghadang mereka. Menyadari pukulan jarak jauh
yang dilontarkan Hantu Jubah Merah sangat berba-
haya, Kenanga pun segera mengingatkan kawan-
kawannya untuk menghindar.
Darrr...!
"Aaahhh...?!"
Memang hebat pukulan jarak jauh Hantu Jubah
Merah. Tanah di depan ketiga pendekar itu meledak,
membentuk sebuah lubang sebesar kubangan kerbau.
Untunglah mereka sudah melompat ke belakang lebih
dulu. Sehingga meskipun Malela dan Ki Danara sem-
pat terjatuh, tapi tidak mengalami luka yang
mengkhawatirkan. Mereka berdua hanya terkejut me-
rasakan ledakan yang menggetarkan itu.
"Ku cabut nyawa kalian...!" geram Hantu Jubah
Merah segera melesat ke arah Ki Danara dan Malela
yang hendak bangkit
"Akulah lawanmu, Hantu Jubah Merah...!"
Panji tentu tidak tinggal diam melihat kedua
orang itu dalam bahaya. Cepat tubuh pemuda itu me-
lesat memapaki serangan Hantu Jubah Merah.
Bwettt!
Hantu Jubah Merah terpaksa memutar arah se-
rangan. Pukulannya kini meluncur ke arah Pendekar
Naga Putih. Tapi, Panji sudah memperhitungkan gera-
kannya dengan cermat Maka begitu pukulan lawan ti-
ba, tubuhnya langsung berputar. Sedangkan tangan
kanannya dikibaskan memapaki pukulan lawan.
Plakkk!
Tubuh kedua tokoh hebat itu terjajar mundur.
Kemudian, kembali bersiap dengan jurus-jurus anda-
lannya. Kepandaian kedua tokoh itu tampaknya be-
rimbang. Sehingga, mereka sama-sama memperhi-
tungkan serangan-serangan berikutnya.
"Yeaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah melipatgandakan
kekuatannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih, yang dirasakannya sangat tangguh. Sepasang tan-
gannya berputaran bagai baling-baling. Hingga tan-
gannya tampak demikian banyak dan menimbulkan
angin yang menderu-deru.
Dengan menggunakan 'Ilmu Silat Naga Putih'nya,
Panji langsung meluncur menyambut serangan lawan.
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu telah saling ter-
jang dengan jurus-jurus andalannya!
Kenanga, Malela, dan Ki Danara bergegas me-
nyingkir dari arena perkelahian. Mereka tahu akan ba-
haya pertarungan tingkat tinggi itu. Jangan sampai
terkena pukulan. Angin pukulannya saja bisa mem-
buat napas mereka putus seketika. Hal itu terlihat dari
robohnya beberapa batang pohon yang tumbuh di de-
kat arena pertarungan. Bahkan bebatuan kecil pun be-
terbangan, dan terasa sakit mengenai tubuh mereka.
"Luar biasa...! Selama hidupku baru sekali ini
aku melihat pertempuran yang demikian mengeri-
kan...!" desis Malela takjub dan juga gentar melihat
pertarungan kedua tokoh puncak itu. Kedua matanya
tidak berkedip melihat jalannya pertarungan. Sayang,
perkelahian itu berlangsung sangat cepat Hingga pan-
dangan pemuda gagah itu kadang kabur, dan tidak bi-
sa membedakan satu dengan yang lainnya.
Bukan hanya Malela yang mengalami kesulitan
seperti itu. Kenanga pun seringkali terkecoh, dan tidak
dapat membedakan mana tubuh Hantu Jubah Merah
dan mana sosok kekasihnya. Arena pertarungan agak
gelap oleh debu dan rerumputan yang beterbangan.
Kenanga hanya bisa berharap, agar kekasihnya dapat
segera menundukkan tokoh sesat yang berkepandaian
menggetarkan itu.
Sementara Panji mulai dapat menebak secara
pasti. Hantu Jubah Merah adalah dalang penculikan-
penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan. Terasa
dari jurus-jurus yang dimainkan lelaki tinggi besar itu.
Pemuda itu menemukan gerakan-gerakan yang pernah
dikenalnya. Hantu Jubah Merah melakukan penculi-
kan untuk menyadap ilmu-ilmu andalan korbannya.
Kesimpulan itu membuat Panji makin memperhebat
serangan. Agaknya, ia sudah tidak sabar ingin segera
menundukkan lawan secepatnya.
"Hafiittt..!"
Saat pertarungan telah melewati lima puluh ju-
rus, Pendekar Naga Putih tiba-tiba mengeluarkan
'Pekikan Naga Merah'! Bersamaan dengan itu, tubuh-
nya mencelat tinggi. Kemudian meluncur turun bagai
seekor naga sakti yang baru turun dari langit
"Heeeaaattt..!"
Melihat kedahsyatan serangan lawan. Hantu Ju-
bah Merah pun mengeluarkan pekikan melengking
tinggi. Jubah merahnya dikibaskan seperti hendak
menyelimuti tubuhnya dengan jubah yang panjang dan
lebar itu.
Blasss!
Luar biasa sekali! Begitu jubah merah itu menye-
limuti sekujur tubuhnya, terdengar suara meletup.
Muncullah asap putih yang tebal hingga tubuh tinggi
besar itu lenyap di dalamnya. Asap putih itu membuat
pandangan Panji terhalang. Meski demikian, seran-
gannya tetap dilanjutkan!
Darrr...!
Sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih
yang berputaran kemudian didorong ke depan, me-
nimbulkan ledakan keras yang menggetarkan bumi di
sekitarnya. Asap putih itu langsung buyar. Tanah tem-
pat Hantu Jubah Merah berdiri, berlubang besar ter-
kena hantaman telapak tangan pendekar muda itu.
Tapi...
"Kurang ajar...! Ke mana manusia licik itu... ?!"
geram Panji ketika tidak menemukan sosok lawan dalam gumpalan asap putih yang telah buyar. Rupanya
Hantu Jubah Merah telah menghilang saat serangan
dahsyat Panji tiba. Agaknya, tokoh itu tidak sanggup
menghadapi gempuran maut Pendekar Naga Putih.
Hingga ia memilih melarikan diri dari tempat itu.
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa parau yang menggetarkan
dada. Cepat Panji menoleh.
"Keparat busuk...!" desis Panji tidak habis men-
gerti, melihat sosok lawan telah berada jauh dari tem-
patnya semula.
Hantu Jubah Merah berdiri tegak sambil mem-
perdengarkan tawa yang menggelegar. Sosoknya yang
kini berada dalam jarak sekitar sepuluh tombak, terli-
hat demikian gagah dan menyeramkan. Dan ketika
melihat pemuda itu hendak mengejarnya, tokoh jahat
itu kembali menutupi sekujur tubuhnya dengan jubah
merahnya. Sosoknya kembali lenyap tertelan gumpalan
asap tebal putih.
"Pengecut..!" desis Panji. Lawannya ternyata me-
miliki jubah ajaib yang bisa membuat tubuh pemilik-
nya lenyap dari pandangan.
"Hua ha ha...! Selamat tinggal, Pendekar Naga
Putih! Aku bukan melarikan diri, tapi hanya menunda
pertemuan kita. Kelak aku akan datang untuk menca-
but nyawamu...!" terdengar suara parau yang seperti
datang dari empat penjuru.
Panji hanya bisa menahan kegeraman hatinya.
Sedangkan sosok lawannya telah lenyap entah ke ma-
na. Panji berdiri tegak menghela napas panjang. Ke-
ningnya tampak berkerut seperti tengah memikirkan
sesuatu.
"Kakang...," Kenanga berlari mendatanginya ber-
sama Malela dan Ki Danara.
"Ke mana perginya Hantu Jubah Merah, Pende-
kar Naga Putih?" tanya Malela.
"Ia telah lari jauh dari tempat ini...," sahut Panji
tanpa menoleh.
"Sungguh berbahaya tokoh yang berjuluk Hantu
Jubah Merah itu, Kakang. Kita harus menemukan ra-
hasia ilmu melenyapkan diri itu. Kalau tidak, akan su-
lit sekali untuk mengalahkannya...," ujar Kenanga
yang sempat melihat bagaimana cara tokoh sakti itu
meninggalkan pertempuran.
"Ya.... Memang sulit menghadapi seorang tokoh
yang memiliki ilmu melenyapkan diri demikian sem-
purna...," sahut Panji mirip sebuah desahan panjang.
Pikiran pemuda itu agaknya masih terpaut kepada il-
mu aneh yang digunakan lawan.
"Hantu Jubah Merah pasti menggunakan ilmu
sihir...," timpal Ki Danara.
"Hhh...," Panji hanya menghela napas panjang.
Kemudian melangkah perlahan diikuti Kenanga, Male-
la, dan Ki Danara.
"Benarkah Hantu Jubah Merah seorang ahli si-
hir, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya merasa
penasaran mendengar ucapan Ki Danara.
"Rasanya tidak. Biasanya seorang ahli sihir akan
mengucapkan mantera bila hendak menggunakan ilmu
sihirnya. Hantu Jubah Merah hanya menutupi sekujur
tubuhnya dengan jubah. Setelah itu, tubuhnya beru-
bah menjadi gumpalan asap tebal berwarna putih. Me-
nurut dugaanku, jubah merah yang dikenakannya itu
pasti bukan jubah sembarangan...," ujar Panji. Pemuda
itu tidak sependapat dengan Ki Danara.
"Jubah ajaib...," desis Ki Danara dan Malela. Ke-
nanga hanya mengangguk-angguk. Gadis jelita itu le-
bih percaya dugaan kekasihnya daripada ucapan Ki
Danara.
"Ya. Jubah itu pasti merupakan benda pusaka
yang mempunyai keampuhan tersendiri. Dan bukan
tidak mungkin jubah itu pun mampu menahan baco-
kan pedang...," Panji melanjutkan dugaannya, mem-
buat Kenanga dan yang lainnya kagum.
"Bisa menahan bacokan pedang...?!" desis Male-
la. Pemuda itu tampak terkejut mendengar keterangan
Pendekar Naga Putih tentang keampuhan jubah merah
yang dikenakan tokoh sesat menggiriskan itu, "Apakah
itu mungkin...?" gumamnya perlahan
'Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Ma-
lela. Melihat jubah itu sanggup membuat pemiliknya
menghilang, aku menduga kemungkinan besar jubah
itu masih memiliki keampuhan lain...," jelas Panji yang
merasa yakin dengan dugaannya.
'Termasuk membuat tubuh pemiliknya kebal ter-
hadap segala macam senjata...?" kali ini Ki Danara
yang meminta penegasan Pendekar Naga Putih.
"Ya. Termasuk bisa membuat tubuh tokoh tinggi
besar itu sanggup menahan bacokan senjata, bila
menggunakan jubah merah itu sebagai pelindung tu-
buhnya...," tandas Panji.
"Jadi..., jubah yang dikenakannya itu semacam
Jubah Mustika?" tanya Malela setelah berpikir bebera-
pa saat
"Tepat sekali istilah yang kau pergunakan itu,
Malela," tukas Panji, membuat pemuda gagah berpa-
kaian kuning cerah itu menggeleng takjub.
"Kalau benar demikian, akan sulit sekali bagi ki-
ta untuk dapat mengalahkannya...," keluh Malela. Pe-
muda itu seperti merasa putus asa setelah mendengar
penjelasan Panji.
"Memang sangat sulit Malela. Biarpun demikian,
kita harus berusaha menemukan kelemahannya.
Hingga kita bisa merobohkannya...," sahut Panji beru-
saha membangkitkan semangat pemuda gagah itu,
"Sebaiknya sekarang kita mencari tempat beristirahat
sambil memikirkan cara merobohkan Hantu Jubah
Merah...," ajak Panji lalu melangkah mendahului yang
lainnya.
Kenanga, Malela, Ki Danara, dan Pujawati yang
telah pulih tenaganya segera mengikuti langkah pen-
dekar muda itu. Sebab, hanya Panji lah satu-satunya
harapan mereka untuk menyelamatkan tokoh-tokoh
persilatan yang lenyap diculik, termasuk ayah dan
guru mereka.
Hari sudah mulai gelap ketika kelima sosok tu-
buh itu melangkah menyusuri tanah becek. Tampak-
nya mereka akan kemalaman di jalan sebelum mene-
mukan tempat yang cocok untuk bermalam.
"Sebaiknya kita bergegas. Siapa tahu di depan
sana ada desa yang bisa kita gunakan untuk berma-
lam…," usul Panji yang segera disetujui yang lainnya.
Panji langsung melesat setelah melihat anggukan
mereka. Pemuda itu tentu saja tidak menggunakan se-
penuh tenaganya untuk berlari. Dengan begitu mereka
dapat berlari dalam jarak yang tidak terpaut jauh.
Apa yang mereka harapkan ternyata terkabul.
Tak berapa lama mereka berlari tampak sebuah batu
yang merupakan batas desa, berdiri tegak di tepi jalan.
Mereka pun mempercepat lari untuk segera tiba di De-
sa Karapan.
***
ENAM
Desa Karapan tampak ramai. Hembusan angin
masih terasa dingin menyentuh kulit Namun pendu-
duk desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani, te-
lah berangkat untuk menggarap sawah ladangnya. Se-
hingga, pagi itu jalan utama yang membelah Desa Ka-
rapan tampak ramai.
Bukan hanya jalan-jalan desa saja yang dipenuhi
orang yang berlalu-lalang. Di sebuah kedai yang terle-
tak di pinggir jalan dekat mulut desa pun telah dipada-
ti pengunjung. Pemilik kedai dan pelayannya sibuk
melayani pesanan.
Di sudut kiri ruangan kedai tampak tiga orang le-
laki dan dua orang wanita tengah menikmati hidangan
mereka. Sesekali mereka melemparkan pandang ke
arah pintu kedai.
"Ada apa, Malela...?" pemuda tampan berjubah
putih yang duduk menghadap pintu kedai, bertanya
pada pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Wajah
pemuda gagah bernama Malela itu membiaskan rasa
gelisah.
Malela tidak segera menjawab pertanyaan pemu-
da tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Dihe-
lanya napas panjang dan melemparkan pandang ke
sekeliling ruangan kedai. Baru kemudian menoleh ke
arah Panji.
'Pendekar Naga Putih. Tidakkah sebaiknya kita
melanjutkan perjalanan? Menurutku kita harus segera
mencari tempat persembunyian Hantu Jubah Merah
dan kawan-kawannya. Bentrokan kemarin membuat
hatiku cemas...," jawab Malela.
"Aku mengerti perasaanmu, Malela. Aku menduga gurumu dan ayah Pujawati kemungkinan besar be-
lum mereka bunuh," ujar Panji yang dapat menebak
penyebab kegelisahan hati Malela. Ucapan pemuda itu
membuat yang lainnya mengangkat kepala dan me-
mandang Panji penuh tanda tanya.
" "Benarkah ucapanmu, Pendekar Naga Putih...?"
Pujawati yang sangat mengkhawatirkan keselamatan
ayahnya menjadi berdebar hatinya. Gadis manis itu
belum yakin akan hal itu.
"Ya. Mengapa kau menduga demikian, Pendekar
Naga Putih? Apa alasanmu...?" Ki Danara yang duduk
di sebelah Malela melontarkan pertanyaan. Orang tua
itu pun belum bisa mempercayai ucapan Panji.
"Jawablah pertanyaan mereka, Malela. Aku ingin
mendengar alasanmu?" Panji tidak menjawab dan me-
nyerahkannya kepada Malela. Rupanya, pemuda itu
ingin tahu lebih dahulu alasan Malela.
"Alasan ku mungkin tidak begitu kuat Tapi, aku
merasa sangat yakin tokoh-tokoh yang diculik Hantu
Jubah Merah masih hidup. Meskipun tidak mustahil
mereka tengah menderita," Malela berhenti sebentar
seperti hendak melihat tanggapan yang lainnya, "Kita
semua sudah tahu, Pendekar Tongkat Sakti dan Pe-
dang Pemecah Langit yang kita hadapi kemarin adalah
palsu. Tapi, senjata dan ilmu yang mereka gunakan
milik guru kita yang sesungguhnya. Dan itu hanya
mempunyai satu arti. Mereka telah menyadap ilmu-
ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Tapi, belum
sempurna hingga masih banyak kekurangan di sana
sini. Itu berarti mereka belum membunuh tokoh-tokoh
itu. Karena mereka harus menyerap ilmu-ilmu itu lebih
banyak lagi...," jelas Malela kemudian memandang wa-
jah-wajah di hadapannya yang terlihat mengangguk-
kan kepala.
"Alasan Malela sama dengan dugaanku," ujar
Panji setelah suasana hening be berapa saat lamanya,
"Ketika aku bertarung dengan Hantu Jubah Merah, ia
menggunakan beberapa jenis ilmu yang cukup kukenal
dasar-dasar gerakannya. Jelas terlihat tokoh itu telah
menyadap ilmu pendekar-pendekar yang diculiknya.
Berbeda dengan tokoh-tokoh gadungan yang kalian
hadapi. Hantu Jubah Merah telah menggabungkan se-
demikian rupa ilmu-ilmu para pendekar itu. Sehingga,
tercipta sebuah ilmu baru yang sukar dicari bandin-
gannya. Meskipun begitu, aku menemukan beberapa
gerakan yang terlihat ragu-ragu. Itu berarti Hantu Ju-
bah Merah belum merampungkan ilmu gabungan itu!
Dengan demikian, besar kemungkinan tokoh itu masih
memerlukan para pendekar yang diculiknya," lanjut
Panji. Ki Danara, Pujawati, dan Kenanga sama men-
ganggukkan kepala. Agaknya, mereka menerima ala-
san yang dikemukakan Panji dan Malela.
"Jika benar demikian, memang sebaiknya kita
harus bergegas. Sebab, bukan tidak mungkin Hantu
Jubah Merah berubah pikiran, dan membunuh tokoh-
tokoh itu. Kejadian kemarin jelas akan membuatnya
lebih berhati-hati...," Ki Danara akhirnya mengajukan
pikiran yang serupa dengan Malela.
"Aku setuju...," sambut Pujawati dengan wajah
agak tegang. Perkataan Ki Danara membangkitkan ra-
sa cemas gadis itu.
Mereka pun bersepakat untuk segera melan-
jutkan perjalanan. Kelimanya bergerak bangkit dan
meninggalkan kedai sesudah membayar pesanan me-
reka.
"Hmmm...," saat kelimanya hendak keluar kedai,
terdengar dengusan kasar. Mereka menoleh ke arah
asal suara.
Panji dan kawan-kawannya terlihat mengerutkan
kening. Yang mengeluarkan dengusan kasar itu adalah
salah satu dari lima orang lelaki gagah. Satu di anta-
ranya seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun. Sikap dan pandangan mereka membuat Panji dan
kawan-kawannya terkejut. Mereka pun sadar orang-
orang itu bukan tokoh sembarangan!
"Orang-orang Perguruan Rimba Kecil...?!" desis
Malela yang rupanya mengenali kelima lelaki gagah
dan angker itu.
Wajah pemuda itu menegang. Sikap tokoh-tokoh
Perguruan Rimba Kecil jelas tak menunjukkan persa-
habatan kepada mereka. Mendengar ucapan Malela,
Panji segera mengenali kelima sosok lelaki itu.
"Hm.... Dunia benar-benar sudah terbalik! To-
koh-tokoh terkenal dan menjadi sanjungan orang ba-
nyak ternyata telah berpaling ke jalan sesat. Sulit da-
pat kupercaya...," suara kakek berusia tujuh puluh ta-
hun lebih yang bergetar dan mengandung perbawa
kuat, membuat Panji menahan langkah. Pemuda itu
menunda niatnya untuk menyapa kelima lelaki gagah
itu.
"Kalau tidak salah, aku tengah berhadapan den-
gan Ki Sangga Langit dan orang-orang gagah dari Per-
guruan Rimba Kecil. Maaf, kalau sambutan ku kurang
berkenan di hati kalian...," meski agak heran dengan
perkataan Ki Sangga Langit, Panji tetap berusaha me-
nyapa seraya membungkuk hormat
"Anak Muda. Kaukah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih...?" tanya orang tua itu tanpa menanggapi
ucapan Panji. Nada suaranya terdengar tidak bersaha-
bat Bahkan, terkesan menyembunyikan kemarahan.
"Benar, Ki. Demikianlah orang-orang memberi ju-
lukan pada diriku yang bodoh ini...," sahut Panji kembali membungkuk hormat, tanpa peduli dengan sikap
orang tua itu yang kelihatan sangat sinis dan tidak
menyukainya.
"Sungguh sayang sekali...," desah orang tua itu
seraya menggeleng dengan wajah sedih.
"Orang Tua...!" Kenanga jengkel melihat sikap
sombong Ki Sangga Langit Gadis jelita itu melangkah
maju dan menuding kakek itu dengan sikap yang tidak
menunjukkan rasa hormat Kenanga tidak sudi keka-
sihnya diejek dan dianggap rendah kakek tinggi kurus
itu, "Meskipun kau seorang tokoh besar yang dihorma-
ti, tapi tidak sepantasnya kau berbuat demikian terha-
dap Pendekar Naga Putih! Sikapmu tidak bisa kuteri-
ma! Apa salah kami hingga kau demikian sinis pa-
danya? Perlu kau ketahui! Sikap hormat Pendekar Na-
ga Putih bukan berarti ia takut kepadamu!" bentak da-
ta jelita itu tanpa peduli kekasihnya telah berusaha
mencegah.
"Hm...," Ki Sangga Langit kembali memperden-
garkan dengusannya yang kasar, "Sikapmu semakin
membuatku yakin. Kalian benar-benar telah berpaling
dari jalan lurus! Dan, telah bersekongkol dengan Pen-
dekar Tongkat Sakti serta yang lainnya untuk meng-
ganggu perguruan kami...," lanjut Ki Sangga Langit
Ucapan itu membuat Panji dan kawan-kawannya se-
makin tidak mengerti.
"Maaf, Ki Sangga Langit Selama ini aku sangat
menghormatimu sebagai tokoh besar! Tapi karena kau
menghina guruku, terpaksa aku melupakan kebodo-
han ku. Aku akan membela nama guruku dengan ta-
ruhan nyawa...!"
Mendengar penghinaan Ki Sangga Langit Malela
langsung melangkah maju sambil mencabut pedang-
nya. Panji cepat mencegah. Pemuda tampan itu ingin
mengetahui secara jelas duduk perkaranya.
"Ki Sangga Langit. Kami tidak tahu apa yang se-
dang kau bicarakan. Kuharap kau mau menjelaskan-
nya agar kami mengerti duduk persoalannya...," pinta
Panji tetap menunjukkan sikap hormat Pemuda itu
menduga ada kesalahpahaman di antara. mereka. Itu
sebabnya, ia masih bersabar.
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Pende-
kar Tongkat Sakti, Pedang Pemecah Langit serta tokoh-
tokoh lainnya telah menjadi pengikut Hantu Jubah
Merah. Mereka mencuri kitab dan senjata-senjata pu-
saka dari gedung perpustakaan perguruan kami. Se-
bagai murid dan anaknya, mereka bertiga pasti menge-
tahui di mana pusaka-pusaka itu disembunyikan...,"
Ki Sangga Langit menuding Malela, Pujawati, dan Ki
Danara, yang tentu saja terkejut mendengar ucapan
itu.
'Tidak mungkin! Itu semua fitnah!" Pujawati tidak
bisa menerima tuduhan Ki Sangga Langit Gadis manis
itu langsung membela nama ayahnya. Ia mengenal
baik sifat-sifat ayahnya yang tidak mungkin sampai
melakukan hal tercela itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan se-
mua itu hanya fitnah! Kami menyaksikan dengan mata
kepala sendiri dan bertempur dengan mereka! Salah
satu dari mereka, yang berjuluk Pendekar Golok Kem-
bar tewas di tangan murid-murid perguruan kami! Jadi
tidak ada gunanya kau membantah!"
Lelaki gagah berusia lima puluh tahun lebih den-
gan wajah berewok, melangkah maju. Dihampirinya
Pujawati yang wajahnya terlihat pucat Suasana sema-
kin menegang!
'Tunggu...!" Panji cepat menengahi, "Apa yang di-
katakan Pujawati benar. Semua itu hanya fitnah belaka. Kami pun sempat bertempur dengan tokoh-tokoh
itu yang ternyata palsu. Ini semua adalah ulah Hantu
Jubah Merah yang hendak memecah belah golongan
putih. Kuharap kalian mengerti dan mempercayai uca-
panku ini...."
"Hua ha ha...!"
Ucapan Panji malah disambut dengan gelak tawa
oleh tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil. Mereka jelas
tidak mempercayai bantahan Pendekar Naga Putih.
"Percayalah, Ki Sangga Langit Semua yang kuka-
takan benar! Sebagai tokoh tua yang bijaksana, seha-
rusnya kau bisa mempertimbangkan tindakanmu...,"
ujar Panji seraya merentangkan kedua tangannya ke
samping. Mencegah keempat kawannya yang telah
mencabut senjata untuk menggempur orang-orang
Perguruan Rimba Kecil.
"Hmh! Tidak perlu membantah lagi, Pendekar
Naga Putih!" tukas lelaki gagah berwajah berewok yang
tidak lain Ki Gumaranta, "Sekarang kau tinggal pilih!
Menyerahkan diri dan mengembalikan pusaka kami,
atau terpaksa kami melenyapkanmu dari muka bumi
ini...!"
"Keparat sombong!" Kenanga yang sudah tidak
bisa menahan sabar, membentak gusar. Tubuh dara
jelita itu melesat ke arah Ki Gumaranta. Menurutnya
sudah tidak ada gunanya lagi berdebat Maka gadis itu
segera membuka serangannya.
Beuttt..!
Pedang bersinar putih keperakan yang meman-
carkan hawa dingin itu, sempat membuat Ki Gumaran-
ta terkejut! Lelaki berewok itu melompat ke belakang
menghindari sambaran Pedang Sinar Bulan. Dicabut-
nya senjata, lalu balas menerjang Kenanga.
"Heaaattt..!"
Whuttt..!
Suara desingan tajam yang disertai kilatan ca-
haya putih mengincar tubuh Kenanga. Dara jelita itu
mendengus. Senjatanya diputar untuk memapaki se-
rangan pedang lawan.
Trangngng!
"Uuuhhh...!"
Kaget bukan main hati Ki Gumaranta. Lengan-
nya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Sadarlah le-
laki berewok itu kalau lawannya ternyata memiliki te-
naga dalam yang sangat kuat Bahkan, melebihi kekua-
tannya sendiri. Sungguh tidak pernah diduganya.
"Haaaiiittt..!"
Singngng...!
Pedang di tangan Kenanga menyusuli gerakan-
nya. Senjata ampuh itu meliuk sebentar, kemudian
meluncur kurus mengarah ulu hati Ki Gumaranta!
"Aaahhh...?!"
Ki Gumaranta terpekik kaget! Dalam keadaan
masih terhuyung, tentu sangat sulit baginya untuk
menghindar. Untuk menangkis pun rasanya tidak
mungkin. Lengan kanannya masih sukar untuk dige-
rakkan karena rasa nyeri yang dideritanya. Wajah lela-
ki berewok itu langsung berubah pucat! Sedang pe-
dang lawan meluncur dengan kecepatan tinggi. Siap
merenggut selembar nyawanya.
"Yiaaahhh...!"
Pada saat yang gawat itu, lelaki tinggi tegap yang
berada di belakangnya langsung membentak nyaring.
Tubuhnya melejit ke depan disertai tamparan keras
sepasang lengannya. Satu mengarah pelipis Kenanga,
dan satu lagi tertuju ke pergelangan lengan dara jelita
itu. Sebuah serangan yang hebat dan mengagumkan!
Tapi Kenanga bukanlah gadis sembarangan. Serangan yang cepat dan kuat itu tidak membuat nya
gugup. Dengan tenang dara jelita itu memiringkan tu-
buh sambil memutar kepalanya. Bersamaan dengan
itu, pedang di tangannya berputar dan berbalik mem-
bacok pergelangan lengan lawan.
"Hebat..!"
Mau tidak mau lelaki tinggi tegap itu memuji ge-
rakan Kenanga yang memang sangat mengagumkan.
Cepat ditariknya pulang tamparan yang mengarah pe-
lipis. Kemudian tangannya diputar menepis bacokan
pedang dara jelita itu. Sehingga....
Plakkk!
Lagi-lagi lelaki tinggi tegap itu berseru memuji.
Tepisan telapak tangannya pada pergelangan dara jeli-
ta itu, membuat sekujur lengannya bergetar. Kekuatan
dara jelita berpakaian serba hijau itu memang tidak
berada di bawahnya. Kenyataan itu sempat membuat-
nya terkagum-kagum!
Kenanga yang juga merasakan lengannya berge-
tar, menarik mundur langkahnya. Gadis jelita itu sa-
dar lawan yang dihadapinya kali ini tidak bisa dipan-
dang ringan.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak, dara jelita itu memutar pe-
dangnya membuka jurus baru. Kali ini ia tidak mau
bertindak ceroboh. Kenanga langsung menggunakan
jurus andalannya untuk menghadapi lawan.
Demikian pula lelaki tinggi tegap yang merupa-
kan tokoh tingkat satu Perguruan Rimba Kecil Meski-
pun usianya jauh lebih muda dari Ki Gumantara, na-
mun lelaki tinggi tegap yang bernama Warsita itu ada-
lah kakak seperguruan Ki Gumantara. Tentu saja ke-
pandaiannya pun sudah sangat tinggi. Jadi, wajar saja
bila Kenanga sempat dibuat terkejut oleh kekuatannya.
"Haaattt..!"
Kenanga kembali membuka serangan. Pedang di
tangan kanannya bergulung-gulung membentuk kilat
sinar putih keperakan. Sekali menyerang, ujung pe-
dangnya langsung mengancam lima titik jalan darah di
tubuh lawan! Warsita tidak bisa membiarkan dan sege-
ra mencabut pedang di pinggangnya. Sebentar kemu-
dian, kedua tokoh itu telah bertarung sengit!
Sementara itu, tokoh-tokoh lain dari Perguruan
Rimba Kecil telah menghunus senjata. Mereka adalah
Ki Gumaranta, Ki Jinggala, dan Harjana. Lawan yang
akan dihadapi yaitu Malela, Pujawati, dan Ki Danara,
yang juga telah bersiap.
Melihat tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil su-
dah siap menggempur kawan-kawannya, Panji segera
melesat untuk melindungi mereka bertiga.
"Biarkan, Pendekar Naga Putih...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan perlahan,
namun mengandung getaran yang amat kuat. Bersa-
maan dengan itu, sesosok tubuh tinggi kurus me-
layang. Panji terpaksa menunda gerakannya.
"Ki Sangga Langit..?!" Panji berseru kaget ketika
melihat pucuk pimpinan Perguruan Rimba Kecil ikut
terjun ke arena. Pemuda itu terpaksa membiarkan ka-
wan-kawannya bertarung. Sebab, kakek tua yang he-
bat itu siap mencegahnya bila dirinya nekat mencam-
puri pertempuran itu.
"Biarkan mereka bermain-main beberapa puluh
jurus. Jika kau keberatan, aku yang akan melayani-
mu...," ucapan Ki Sangga Langit jelas berbau tantan-
gan. Hingga Panji menghela napas panjang penuh pe-
nyesalan.
"Ki, pertempuran ini tidak semestinya terjadi.
Sadarlah bahwa kita semua telah menjadi korban kelicikan Hantu Jubah Merah dan kawan-kawannya! Bu-
kan tidak mungkin sekarang mereka tengah tertawa-
tawa melihat kita saling bertempur!" Panji masih men-
coba menyadarkan Ki Sangga Langit dari kekeliruan
itu. Pemuda itu yakin, mereka telah menjadi korban
kelicikan Hantu Jubah Merah.
Tapi, tanggapan Ki Sangga Langit benar-benar
membuat Panji putus asa. Lelaki tua bertubuh kurus
itu hanya tersenyum tipis dengan tatapan dingin. Uca-
pan Pendekar Naga Putih tidak dipedulikan.
Panji tidak bisa berbuat lain. Apalagi, saat itu ia
melihat Ki. Danara terdesak hebat oleh salah seorang
tokoh Perguruan Rimba Kecil. Jika sepuluh jurus lagi
ia tidak bertindak menyelamatkan lelaki tua itu, dapat
dipastikan Ki Danara tewas di ujung senjata lawan.
"Maaf, Ki. Aku terpaksa...," desis Panji. Tubuh-
nya langsung melayang ke arah pertarungan Ki Danara
dan Harjana. Ia harus menyelamatkan orang tua kurus
itu dari kematian.
"Bagus...!" Ki Sangga Langit memuji kecepatan
gerak Pendekar Naga Putih. Saat itu juga tubuh ku-
rusnya melayang hendak mencegah perbuatan pemuda
itu.
Whuttt..!
Tamparan Ki Sangga Langit tidak bisa disamakan
dengan tamparan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Te-
naga dalam kakek itu sudah mencapai titik kesempur-
naan. Sehingga meskipun kelihatan perlahan, namun
menimbulkan sambaran angin yang mencicit tajam.
Menunjukkan kekuatan yang tersimpan di telapak
tangan kakek itu.
Panji pun tahu akan hal itu. Tapi, tak urung ter-
kejut juga ketika mendengar sambaran angin bersi-
utan datang dari samping kanannya. Cepat lengannya
dikibaskan menyambut tamparan itu.
Bressshhh...!
Akibat benturan dua gelombang tenaga dalam itu
sungguh dahsyat sekali! Tanah di sekitarnya bergetar.
Hingga pertempuran lain terganggu. Sedangkan Pen-
dekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit terjajar mun-
dur.
"Kau memang seorang pemuda yang sangat men-
gagumkan, Pendekar Naga Putih. Sayang kau masih
sangat muda, hingga mudah terseret ke jalan sesat..."
puji orang tua itu, yang kelihatan sangat menyayang-
kan sikap Panji yang menurutnya telah menyeberang
ke jalan sesat.
"Sudah kukatakan berkali-kali bahwa semua ini
hanya kesalahpahaman saja. Tapi, belum terlambat
bagi Aki untuk menyadarinya...," tukas Panji berusaha
mempergunakan kesempatan itu untuk menyadarkan
Ki Sangga Langit dari kekeliruannya.
Lagi-lagi Ki Sangga Langit tidak menanggapi
ucapan Pendekar Naga Putih. Kakek itu malah me-
nyiapkan ilmu andalannya untuk pertempuran selan-
jutnya. Sehingga, Panji terpaksa mengeluarkan 'Ilmu
Silat Naga Sakti'nya untuk menghadapi ilmu lawan
yang ia tahu sangat hebat.
***
TUJUH
"Sambut jurus 'Pengacau Lautan'ku, Pendekar
Naga Putih...!" seru Ki Sangga Langit seraya melesat
dengan kedua tangan berputaran, hingga menimbul-
kan deruan angin puyuh.
"Haaattt..!"
Melihat kehebatan ilmu lawan, Panji segera men-
gerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' yang menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
Hawa yang ditimbulkannya menyebar dan memenuhi
setengah arena pertarungan. Sedangkan sepasang tan-
gan pemuda itu bergerak cepat laksana sambaran ki-
lat. Dan, meliuk-liuk bagai ular besar yang siap mema-
tuk mangsanya.
Sebentar saja, kedua tokoh hebat itu sudah sat-
ing gempur. Pendekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit
berusaha sating merobohkan satu sama lain. Kedua-
nya menggunakan ilmu-ilmu pilihan yang sebelumnya
hampir tidak pernah mereka pergunakan. Hingga per-
tempuran itu terlihat sangat mengerikan. Sulit untuk
dikenali, mana sosok Pendekar Naga Putih dan mana
sosok Ki Sangga Langit. Apalagi, keduanya mengena-
kan jubah panjang putih.
Setelah bertarung selama tujuh puluh jurus, Ki
Sangga Langit terlihat semakin bersemangat Kakek itu
merasa gembira menemukan lawan tanding yang tang-
guh seperti Pendekar Naga Putih. Sehingga, tidak se-
gan-segan mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya untuk
merobohkan pemuda itu. Sebagai tokoh yang sejak ke-
cil gemar bermain ilmu silat, tentu hatinya senang
mendapat seorang lawan tangguh. Apalagi, selama be-
berapa belas tahun ini ia tidak pernah menemuinya.
Ketangguhan Panji membuat orang tua itu semakin
lupa diri.
Berbeda dengan Pendekar Naga Putih. Selama
pengembaraannya pemuda itu berkali-kali menemui
lawan yang sangat tangguh. Bahkan, beberapa kali
nyaris dikalahkan lawan. Sehingga dalam menghadapi
Ki Sangga Langit, Panji tidak terlalu kaget Meskipun
kepandaian kakek itu memang harus diakuinya sangat
hebat. Kendati demikian, Panji masih dapat mengim-
bangi permainan lawan sampai jurus keseratus. Se-
jauh itu, belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan
keluar sebagai pemenang.
"Yeaaattt..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Merah'!
Seketika itu juga tubuhnya melesat naik, dengan sepa-
sang tangan bergerak susul-menyusul.
Pemuda itu tak ubahnya seekor naga sakti yang
tengah bermain-main di angkasa. Angin dingin yang
keluar dari badannya, membuat udara di sekitar arena
pertempuran seperti tengah dilanda badai salju. Hing-
ga Ki Sangga Langit sempat berseru kaget! .
"Tahaaannn..!"
Tubuh Pendekar Naga Putih tengah meluncur
dari atas dengan cakar-cakar yang membawa hawa
maut Ketika tiba-tiba terdengar seruan keras mengge-
tarkan udara. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh
berkelebat menyambut serangan Pendekar Naga Putih!
Panji segera mengurangi kekuatan serangannya.
Pemuda tampan itu tidak ingin mencelakakan orang
lain yang belum diketahui jati dirinya. Akibatnya....
Bressshhh...!
Baik tubuh Panji maupun sosok jangkung itu
terlempar ke belakang. Meski demikian, keduanya da-
pat berputaran di udara dan meluncur turun dengan
selamat.
"Dewa Tangan Salju...?!"
Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut
Panji dan Ki Sangga Langit Kini perhatian keduanya
beralih ke arah sosok jangkung kurus berusia sekitar
tujuh puluh tahun lebih. Tokoh itu adalah Dewa Tangan Salju, yang pernah diselamatkan Panji sewaktu di-
datangi Penculik-Penculik Misterius. (Untuk mengeta-
hui pertemuan Panji dengan Dewa Tangan Salju, sila-
kan baca episode sebelumnya dalam judul: 'Penculik-
Penculik Misterius').
"Untung pada saat terakhir tadi kau sempat me-
narik sebagian tenaga seranganmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah tidak
bernyawa lagi...," ujar Dewa Tangan Salju tersenyum
ke arah Panji. Pemuda itu tampak terkejut mendengar
ucapan kakek itu. Tokoh itu memang memiliki ketaja-
man mata luar biasa, hingga tahu tindakannya saat
hampir berbentrokan tadi.
"Ah.... Kau terlalu merendah, Dewa Tangan Saba
Aku malah beruntung. Sebab, kau tidak menggunakan
seluruh kekuatanmu. Jika ya, niscaya tubuhku sudah
berubah kaku...," ujar Panji merendah.
"Siapa bilang aku tidak bersungguh-sungguh ta-
di?" tukas Dewa Tangan Salju membantah. Ia memang
telah menggunakan hampir seluruh tenaga dalamnya
untuk memapaki serangan Panji. Namun, kakek itu ti-
dak melanjutkan ucapannya. Rupanya, ia tahu akan
sifat Panji yang tidak ingin menonjolkan kelebihannya.
"Dewa Tangan Salju. Apa maksudmu mencampu-
ri urusan ini? Apakah kau pun telah berpaling ke jalan
sesat!" teguran Ki Sangga Langit membuat Dewa Tan-
gan Salju menoleh, dan mengangguk sedikit kepada
tokoh puncak Perguruan Rimba Kecil itu.
"Sebenarnya aku belum tahu jelas masalah ka-
lian. Tapi, aku menduga telah terjadi kesalahpahaman
di antara kalian berdua. Itu sebabnya, aku langsung
mencampuri pertempuran ini. Aku tidak ingin jatuh
korban lagi karena kesalahpahaman ini..," sahut Dewa
Tangan Salju sambil menoleh kan ke arah pertempuran lain yang terpisah kurang lebih delapan tombak.
Ucapan Dewa Tangan Salju membuat Panji terin-
gat pada kawan-kawannya. Wajah pemuda itu berubah
tegang ketika melihat sesosok tubuh terkapar mandi
darah. Segera dapat dikenalinya siapa korban kesalah-
pahaman itu.
"Ki Danara...!" desis Panji penuh kesedihan dan
penyesalan. Kemudian, berpaling ke arah Ki Sangga
Langit yang tampak tidak menyesal sedikit pun. Kawan
Pendekar Naga Putih itu dikenalinya sebagai murid Pe-
dang Pemecah Langit, salah seorang pencuri pusaka
perguruannya.
"Hm.... Telah sepantasnya ia menerima hukuman
untuk menebus dosa gurunya...," ujar Ki Sangga Lan-
git seolah hendak menjawab tatapan mata Pendekar
Naga Putih.
"Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Mengapa
kalian sampai bertarung hingga jatuh korban...?" tanya
Dewa Tangan Salju menatap wajah Panji dan Ki Sang-
ga Langit berganti-ganti.
'Tanyakanlah pada Ki Sangga Langit...?" Panji
menyerahkan jawabannya kepada Ketua Perguruan
Rimba Kecil. Kakek itulah yang lebih berhak menjawab
pertanyaan Dewa Tangan Salju. Sedangkan Panji sen-
diri sudah bergerak menjauh dan membentak keras?
"Hentikan pertempuran....'" seru Panji menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk menghentikan pertem-
puran yang masih berlangsung. Karuan saja seruan
yang mengguncangkan dada itu menghentikan per-
tempuran. Kedua belah pihak tampak saling pandang.
Kemudian, bergerak ke arah kawan masing-masing
dan berkumpul di dekat ketiga tokoh itu.
Sementara itu, Ki Sangga Langit telah menje-
laskan perselisihan di antara mereka. Dewa Tangan
Salju terlihat sangat menyesali bentrokan yang terjadi.
Apalagi, salah seorang dari mereka telah melayang
nyawanya menjadi korban
"Jadi, dalam hal ini kau menyalahkan Pendekar
Naga Putih. Sedangkan aku sangat yakin dirinya tidak
akan pernah berpaling ke jalan sesat Mengapa tidak
kau bicarakan masalah ini secara baik-baik, Ki Sangga
Langit? Mana kebijaksanaan mu?" ujar Dewa Tangan
Salju. Mendengar penuturan Ki Sangga Langit yang
menuduh Panji bersekongkol dengan Hantu Jubah Me-
rah Untuk mencuri pusaka Perguruan Rimba Kecil.
"Bagaimana denganmu, Pendekar Naga Putih?
Mengapa kau tidak berusaha mencari penyelesaian
dengan jalan damai, tanpa harus jatuh korban...?" De-
wa Tangan Salju bertanya pada Panji yang kini telah
menghadapi kedua kakek itu.
"Kakang Panji sudah berusaha menjelaskan,
Eyang. Tapi kakek itu tetap tidak mau mengerti, dan
berkeras hendak meminta tanggung jawab kami atas
lenyapnya benda-benda pusaka perguruannya. Padah-
al, semua itu terjadi karena kelalaian dan ketidakbe-
cusan mereka sendiri...!" yang menyahuti ucapan De-
wa Tangan Salju adalah Kenanga. Rasa jengkel di hati
gadis jelita itu belum lenyap. Apalagi setelah Ki Danara
menjadi korban peristiwa itu.
"Hm.... Jadi, kau berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit ti-
dak mau dipersalahkan. Kakek itu malah menuduh
Dewa Tangan Salju yang kelihatan lebih condong
membela Pendekar Naga Putih.
"Dengar, Ki Sangga Langit Aku tidak memihak
pada siapa pun. Tapi, berpihak pada kebenaran! Aku
pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih, saat Pen-
culik-Penculik Misterius mendatangi pertapaanku. Mereka hendak menculik ku. Seperti yang dilakukan me-
reka terhadap tokoh-tokoh yang kau katakan telah
mencuri pusaka perguruanmu. Itu sebabnya, aku me-
rasa yakin Pendekar Naga Putih tidak berpaling ke ja-
lan sesat," tandas Dewa Tangan Salju yang kelihatan
mulai jengkel melihat sikap keras kepala Ki Sangga
Langit
'Tapi aku sungguh tidak berdusta, Dewa Tangan
Salju! Orang-orang yang mencuri pusaka perguruanku
memang nama-nama yang kusebutkan tadi!" bantah Ki
Sangga Langit membela diri.
"Ya. Kami pun tidak menyangkalnya! Tapi, kami
telah menjelaskan sejak awal bahwa orang-orang yang
menculik pusaka perguruanmu tokoh-tokoh gadungan!
Kau sama sekali tidak percaya, dan tetap meminta pu-
saka-pusaka itu dikembalikan!" tukas Kenanga kemba-
li menyahuti perkataan Ki Sangga Langit Lelaki tua itu
jadi serba salah. Tampak ia mulai merasa ragu dengan
keyakinan yang sejak awal dipegang teguh.
"Hm.... Baiklah. Kita lupakan persoalan ini untuk
sementara. Sebaiknya kita selidiki dulu kebenaran
ucapan Pendekar Naga Putih dan kawan-kawannya.
Untuk membuktikannya tidak terlalu sulit Kita tinggal
mendatangi markas Hantu Jubah Merah," ujar Dewa
Tangan Salju membuat kedua belah pihak tertegun.
"Sayang kami belum menemukan tempat per-
sembunyiannya, Dewa Tangan Salju. Diperlukan wak-
tu yang cukup lama untuk menemukan persembu-
nyian manusia-manusia sesat yang sangat licik itu...,"
sahut Panji seraya menatap Dewa Tangan Salju den-
gan wajah agak menyesal.
"Hm.... Setelah kepergian Kenanga, aku mening-
galkan pertapaan untuk menyelidiki Penculik-Penculik
Misterius itu. Syukurlah kalian berdua telah berkumpul kembali dengan selamat Aku pun telah menemu-
kan markas mereka. Sayang, aku tidak sanggup meng-
gempur manusia-manusia sesat itu. Bahkan nyaris ce-
laka di tangan Hantu Jubah Merah, pimpinan mereka.
Untunglah aku berhasil meloloskan diri, dan bertemu
dengan kalian di tempat ini...," jelas Dewa Tangan Sal-
ju, membuat semua yang mendengarnya terkejut ber-
campur gembira.
"Jadi kau telah menemukan markas mereka...?"
tanya Panji menegasi.
"Ya. Aku telah menemukan markas Hantu Jubah
Merah beberapa hari yang lalu...," jawab Dewa Tangan
Salju singkat Meski tahu mereka semua menunggu ke-
lanjutan ucapannya.
"Di mana markas manusia-manusia jahat itu,
Dewa Tangan Salju? Kami pun hams segera mengambil
pusaka-pusaka kami, sebelum mereka sempat mempe-
lajari dan mempergunakannya...," tanya Ki Sangga
Langit yang kelihatan sangat bernafsu untuk menda-
patkan pusakanya kembali.
"Karena ini menyangkut kepentingan orang ba-
nyak, sebaiknya kita bersama-sama menghancurkan
markas itu...," usul Dewa Tangan Salju mengajak ke-
dua belah pihak untuk bersatu.
"Baiklah...," jawab Ki Sangga Langit setelah ber-
pikir sesaat.
Dewa Tangan Salju tersenyum puas. Usahanya
untuk menjernihkan perselisihan itu berhasil. Maka,
diajaknya mereka untuk segera mendatangi markas
Hantu Jubah Merah.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar seruan halus
yang membuat langkah Dewa Tangan Salju terhenti.
Kakek itu menoleh ke arah asal suara. Tampak
Pujawati tengah berdiri di dekat mayat Ki Danara.
Tangan kanan gadis manis itu menggenggam erat pe-
dangnya. Sedangkan sepasang matanya memancarkan
api dendam terhadap tokoh-tokoh Perguruan Rimba
Kecil.
"Aku hendak meminta tanggung jawab orang-
orang Perguruan Rimba Kecil, yang telah membunuh
Paman Danara...!" desis gadis itu dingin berbau den-
dam yang dalam.
"Sabarlah, Pujawati. Kita buktikan dulu bahwa
ayahmu benar-benar tidak bersalah. Setelah itu, baru
kita minta pertanggungjawaban mereka...," ujar Ke-
nanga, membuat Pujawati mengalihkan pandangannya
ke arah dara jelita itu. Dan akhirnya menurut ketika
melihat Kenanga mengangguk.
Tak berapa lama kemudian, rombongan itu ber-
gerak meninggalkan Desa Karapan. Baik Panji maupun
Ki Sangga Langit serta yang lainnya, bergerak mengi-
kuti langkah Dewa Tangan Salju menuju ke selatan
desa itu.
"Kau belum mengatakan di mana letak markas
mereka, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit tidak
bisa menyimpan rasa penasaran di hatinya. Ketika
menyeberangi sebuah sungai, pertanyaan itu terlontar
dari mulutnya.
Dewa Tangan Salju tidak segera menjawab. Kepa-
lanya ditolehkan ke arah Pendekar Naga Putih. Seolah
ingin melihat apakah pemuda itu juga menyimpan rasa
penasaran yang sama.
"Markas Hantu Jubah Merah terletak di sebuah
perbukitan yang bernama Bukit Hitam. Letaknya se-
tengah hari perjalanan dari tempat ini," jawab Dewa
Tangan Salju setelah melihat anggukan kepala Pende-
kar Naga Putih. Pemuda itu pun ingin mengetahui le-
tak markas Hantu Jubah Merah.
"Kalau demikian, sebaiknya kita percepat perja-
lanan...," usul Ki Sangga Langit Tampaknya orang tua
itu ingin segera tiba di tempat tujuan. Kemudian, me-
rebut kembali benda-benda pusakanya yang tercuri.
Tanpa menyahut lagi, Dewa Tangan Salju lang-
sung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Yang
lain menyusul di belakang kakek itu. Kecuali, Panji
dan Ki Sangga Langit yang berlari di kiri-kanan Dewa
Tangan Salju.
***
DELAPAN
Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, tidak
sampai tengah hari. Bukit Hitam sudah terlihat di de-
pan mereka. Para tokoh itu pun memperlambat la-
rinya. Mereka tidak ingin kedatangannya diketahui la-
wan. Bahkan, Panji mengusulkan agar mereka menga-
tur rencana terlebih dahulu.
"Apa lagi yang mesti kita tunggu? Dengan kekua-
tan seperti ini, aku yakin mereka dapat lata hancur-
kan...." .
Ki Sangga Langit tidak begitu setuju dengan usul
Panji. Kakek itu merasa yakin dapat menghancurkan
Hantu Jubah Merah dan para pengikutnya. Mengingat
mereka terdiri dari tokoh-tokoh hebat yang sukar dica-
ri tandingannya.
'Itu memang tidak kusangsikan lagi, Ki Sangga
Langit Tapi, kita harus memikirkan keselamatan to-
koh-tokoh yang telah mereka culik. Tujuan kita bukan
hanya sekadar menumpas kejahatan atau mengambil
kembali pusaka-pusaka perguruanmu. Tapi juga menyelamatkan para tokoh itu. Apa jadinya bila tokoh-
tokoh itu mereka jadikan tameng untuk menghadapi
kita? Jika itu sampai terjadi, bukankah kedatangan ki-
ta akan sia-sia...?" tukas Panji menjelaskan usulnya.
Ki Sangga Langit tampak menyadari kekeliruannya.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku merasa
bodoh sekali. Yang ku pikirkan hanya mengambil
kembali pusaka-pusaka perguruanku. Sama sekali ti-
dak kuingat keselamatan tokoh-tokoh yang ditawan
Hantu Jubah Merah...," ucap Ki Sangga Langit memin-
ta maaf.
Panji tersenyum tulus sebagai tanda memaklumi
kekeliruan Ki Sangga Langit Kemudian, rencana pun
diatur bersama-sama.
Setelah agak lama, didapat kata sepakat Panji
dan Dewa Tangan Salju akan menyelinap melalui sebe-
lah selatan bukit Sedangkan Ki Sangga Langit memim-
pin yang lainnya. Tugas mereka memancing perhatian
lawan dengan menyerang dari sebelah utara, yang
menjadi pintu gerbang markas Hantu Jubah Merah.
"Kami akan berusaha menyelamatkan tokoh-
tokoh itu. Mudah-mudahan Pendekar Tongkat Sakti
dan yang lainnya masih hidup...," ujar Panji sebelum
mereka berpisah untuk melaksanakan tugas masing-
masing.
Ki Sangga Langit dan yang lainnya mengiyakan.
Tak lama setelah Panji dan Dewa Tangan Salju berpa-
mitan, Ki Sangga Langit dan kelompoknya mulai berge-
rak mendekati Bukit Hitam.
Dengan gerakan yang lincah dan ringan, Ki
Sangga Langit memimpin kawan-kawannya mendekati
bukit Mereka mendatangi markas Hantu Jubah Merah
dengan terang-terangan. Dengan begitu, seluruh per-
hatian lawan tercurah kepada mereka. Sehingga, Panji
dan Dewa Tangan Salju dapat bergerak leluasa untuk
membebaskan para tawanan.
"Berhenti...!"
Saat itu Ki Sangga Langit dan kawan-kawannya
tiba di pintu gerbang pertama, yang terletak di pung-
gung bukit. Suara bentakan itu membuat mereka me-
nahan langkah.
"Hm...," Ki Sangga Langit bergumam ketika meli-
hat delapan orang penjaga gerbang pertama berdiri te-
gak menghadang jalan mereka. Tubuh kakek itu lang-
sung melesat saat mengetahui salah seorang dari pen-
jaga hendak pergi melapor.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor burung besar, tubuh kakek ting-
gi kurus itu melayang melewati kepala kawan-
kawannya. Kemudian, berputar beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya di tanah. Satu tombak lebih dari
hadapan penjaga yang hendak melapor.
"Heeeaaahhh...!" ,
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuh Ki
Sangga Langit kembali melambung menerjang lawan.
Telapak tangan kanannya terulur ke depan, siap
menghajar lawan.
Whuttt..!
Kaget juga hati kakek itu ketika serangan perta-
manya dapat dihindari. Bahkan, penjaga itu sanggup
melepaskan serangan balasan dengan gerak yang aneh
dan cukup kuat
Sekilas pandang saja Ki Sangga Langit dapat
mengenali dasar-dasar gerakan ilmu silat penjaga itu.
Hatinya geram bukan main ketika menemukan dasar
gerak ilmu silat Pendekar Tongkat Sakti. Kakek itu pun
tahu Hantu Jubah Merah telah menyadap ilmu tokoh-
tokoh yang diculiknya, untuk memperkuat para pengikutnya.
"Hihhh!"
Rasa geram Ki Sangga Langit membuatnya lupa
diri. Tanpa berusaha mengelakkan serangan itu, se-
buah tendangan kilat dilepaskan ke dada lawan
Bukkk!
Tubuh penjaga itu langsung terjengkang ke bela-
kang dengan kerasnya. Dan, tewas dengan batok kepa-
la retak. Kepalanya terbentur batu padas.
Sementara Kenanga dan para tokoh lainnya su-
dah bergerak maju Ketujuh penjaga pintu gerbang per-
tama bergeletakan dengan tubuh bermandikan darah.
Ki Sangga Langit segera mengajak mereka menuju
bangunan utama markas Hantu Jubah Merah.
***
Dua sosok tubuh itu bergerak cepat menerobos
rimbunan semak. Mereka terus berlari dengan kecepa-
tan yang mengagumkan Tidak jarang keduanya me-
layang di udara, bagai dua ekor burung besar yang
tengah mengangkasa. Kadang terlihat berloncatan me-
lewati bebatuan besar. Hingga, akhirnya mereka tiba di
sebuah tempat yang bertanah datar.
"Menurut dugaanku, bangunan kecil yang terle-
tak di samping bangunan utama itulah tempat para
tahanan...," bisik kakek berusia tujuh puluh tahun
yang bertubuh jangkung. Saat itu keduanya bersandar
di sebatang pohon, sambil meneliti keadaan sekitar
bangunan yang berada sepuluh tombak di depan me-
reka.
"Kita tunggu saja sampai Ki Sangga Langit dan
kawan-kawannya tiba. Setelah keributan terjadi, baru
kita bergerak:..," ujar sosok pemuda tampan berjubah
putih, yang tidak lain Panji. Dewa Tangan Salju men-
ganggukkan kepala. Diam-diam kakek itu semakin
bertambah kagum pada Pendekar Naga Putih. Ternyata
pemuda itu cukup cermat dalam mengatur rencana.
Setelah agak lama menunggu, samar-samar ter-
dengar suara dentang senjata dan bentakan bentakan
nyaring. Dewa Tangan Salju dan Pendekar Naga Putih
saling bertukar pandang. Kemudian, melesat ke arah
bangunan kecil yang mereka duga sebagai tempat un-
tuk menyembunyikan tawanan.
"Hei..?!"
Dua orang lelaki berseragam hitam yang kebetu-
lan keluar dari bagian belakang bangunan utama,
langsung membentak ketika melihat Panji dan Dewa
Tangan Salju. Namun sebelum kedua orang itu sempat
berbuat sesuatu, sebuah pukulan telak menghajar me-
reka. Tubuh keduanya terjengkang muntah darah!
Dan, belum lagi sempat bangkit, Panji dan Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan riwayat mereka dengan
mematahkan tulang lehernya.
Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekati
bangunan kecil. Begitu tiba, Panji langsung melontar-
kan pukulan ke pintu yang terbuat dari kayu tebal.
Brakkk...!
Sekali hantam pintu bangunan itu pecah berkep-
ing-keping. Tanpa menunggu serpihan kayu berjatu-
han ke tanah, tubuh kedua tokoh hebat itu sudah me-
lesat ke dalam bangunan.
"Siapa...?!" salah satu dari empat penjaga yang
tengah bertugas, menegur sambil mencabut senjata.
Ketika Panji dan Dewa Tangan Salju tidak menjawab,
keempat penjaga itu langsung menyerbu dengan senja-
ta di tangan.
"Haaattt...!"
Kilatan dua batang pedang yang mengancam tu-
buh Pendekar Naga Putih, dielakkan pemuda itu den-
gan memiringkan tubuhnya sedikit Kemudian, mele-
paskan dua buah pukulan sekaligus.
Bettt, bettt!
"Ehhh...?!" Panji berseru tertahan melihat seran-
gannya dapat dielakkan lawan.
Pemuda itu segera mengenali gerakan kedua la-
wannya. Itu adalah gerak dasar ilmu Pedang Pemecah
Langit yang digabungkan dengan ilmu lain. Panji men-
jadi geram. Tangannya diputar untuk melancarkan se-
rangan berikutnya.
Darah segar termuntah dari mulut lawan ketika
kepalan Panji bersarang di tubuh mereka. Dan, gedo-
ran telapak tangan pemuda itu membuat nyawa mere-
ka jalan-jalan ke akherat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan dua orang lawannya.
Kemudian, mereka memeriksa kamar tahanan
yang berjajar di ruangan itu. Kamar tahanan itu keba-
nyakan kosong. Akhirnya, mereka menemukan dua
orang lelaki gagah yang tampak sangat lemah. Dewa
Tangan Salju berbisik kepada Panji. Rupanya, kakek
itu mengenali kedua sosok lelaki yang tubuhnya kurus
dan tak terawat baik.
"Pendekar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah
Langit...," ujarnya memberitahukan. Setelah berkata
demikian, didobraknya pintu tahanan Pendekar Tong-
kat Sakti. Kemudian, memutuskan rantai yang mengi-
kat kedua pergelangan tokoh itu dan membawanya ke-
luar.
"Dewa Tangan Salju...?! Benarkah kau yang me-
nyelamatkan aku...?" desis Pendekar Tongkat Sakti li-
rih, mirip sebuah desahan panjang.
"Tidak salah, Adiwarsa. Ke mana Sepasang Golok
Kembar dan Sepasang Naga Laut..?" tanya Dewa Tan-
gan Salju. Kakek itu tidak menemukan kedua tokoh
itu di seluruh ruang tahanan.
"Hantu Jubah Merah telah membunuhnya.... Ka-
rena semua ilmu mereka telah disadap habis...," jawab
Ki Adiwarsa dengan napas terengah-engah.
Dewa Tangan Salju menahan pertanyaan selan-
jutnya. Saat itu Panji tengah menghampirinya sambil
menggendong tubuh kurus Pedang Pemecah Langit.
"Hantu Jubah Merah memaksa mereka berta-
rung, agar dapat menyadap ilmu-ilmu andalan tokoh-
tokoh yang diculiknya. Sungguh keji sekali manusia
jahat itu. Ia sama sekali tidak peduli betapa para ta-
wanannya tidak terurus dengan baik...," ujar Panji
menjelaskan bagaimana cara Hantu Jubah Merah me-
nyadap ilmu para pendekar itu. Rupanya, pemuda itu
telah bertanya cukup banyak kepada Pedang Pemecah
Langit yang keadaannya lebih baik dibanding Ki Adi-
warsa.
"Hm...," Dewa Tangan Salju bergumam marah,
"Sebaiknya kita sembunyikan mereka di tempat yang
aman. Setelah itu, kita bantu Ki Sangga Langit dan
yang lainnya. Siapa tahu mereka tengah menghadapi
musuh-musuh tangguh...," usul Dewa Tangan Salju.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengikuti
Dewa Tangan Salju. Mereka menuju semak-semak
tempat tadi mereka mendatangi markas. Tapi...
"Hua ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa pa-
rau yang menggetarkan jantung. Bersamaan dengan
itu, muncullah sesosok tubuh tinggi besar berpakaian
hitam dengan jubah merah di belakang tubuhnya.
"Hantu Jubah Merah...!" seru Panji dan Dewa
Tangan Salju hampir berbarengan. Kedua tokoh itu
tampak agak terkejut melihat kedatangan Hantu Ju-
bah Merah. Sungguh tidak disangka tokoh itu akan
muncul menghadang.
"Kalian memang cerdik sekali! Sementara kawan-
kawanku menyerang dari depan, kalian menyusup dari
belakang seperti maling hina! Benar-benar sebuah ren-
cana yang sangat bagus...!" ejek Hantu Jubah Merah
tertawa parau tanpa melepaskan pandang matanya da-
ri sosok Panji dan Dewa Tangan Salju.
"Maaf, Ki. Biarlah aku yang menghadapi Hantu
Jubah Merah. Kau bawalah Pendekar Tongkat Sakti
dan Pedang Pemecah Langit ke tempat yang aman...,"
bisik Panji segera melepaskan tubuh Pedang Pemecah
Langit dari bahunya, dan menyerahkannya kepada
Dewa Tangan Salju.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih! Jubah merah-
nya memiliki mukjizat yang ampuh...," Dewa Tangan
Salju mengingatkan sebelum meninggalkan Panji.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba Hantu Jubah Merah bertepuk tangan
tiga kali. Sesaat kemudian, muncullah tokoh-tokoh ga-
dungan dan beberapa pengikutnya. Mereka langsung
menutup jalan Dewa Tangan Salju. Bagi orang yang
memiliki kepandaian dan kemampuan ilmu sihir yang
tinggi seperti Hantu Jubah Merah, tidak terlalu sulit
baginya menciptakan tokoh-tokoh palsu. Dengan
menggunakan kepandaian dan ilmu sihirnya, tokoh itu
mengubah wajah pengikutnya hingga mirip dengan to-
koh-tokoh yang dipalsukan. Lalu mereka diberi ilmu
dan senjata andalan tokoh-tokoh itu. Jadilah, mereka
tokoh-tokoh gadungan yang sempat menggemparkan
kaum persilatan golongan putih.
"Kau benar-benar iblis licik, Hantu Jubah Me-
rah...!" desis Panji geram menyaksikan kejadian itu.
Kakinya melangkah empat tindak dengan sorot mata
tajam menikam jantung.
"Haaattt..!"
Mendadak, delapan pengikut Hantu Jubah Me-
rah membuka serangan dan menerjang Dewa Tangan
Salju. Kakek itu menjadi sibuk mengelakkan sambaran
ujung senjata lawan. Cepat ia berkelit dan membalas
dengan tendangan kedua kakinya. Sedangkan kedua
tangannya digunakan untuk memegang tubuh Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit Kakek
itu agak kewalahan menghadapi gempuran penge-
royoknya.
"Haaaiiittt..!"
Saat Dewa Tangan Salju tengah kerepotan, ter-
dengar pekikan nyaring. Disusul dengan berkelebatnya
sesosok bayangan hijau yang langsung menggempur
kedelapan pengeroyoknya. Kakek itu menjadi lega.
Melihat Dewa Tangan Salju telah mendapat ban-
tuan Kenanga, Panji pun merasa lega. Seluruh perha-
tiannya kini dapat tercurah kepada Hantu Jubah Me-
rah.
"Hm.... Man kita lanjutkan pertempuran tempo
hari, Pendekar Naga Putih...," tantang Hantu Jubah
Merah yang kali ini terlihat agak sering mempermain-
kan jubahnya untuk menutupi tubuh.
Panji mengerutkan kening melihat tingkah la-
wan. Pemuda itu segera dapat menduga Hantu Jubah
Merah akan menggunakan keampuhan jubahnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memusatkan
pikiran dan memanggil keluar Pedang Pemecah Langit
yang mengeram di dalam tubuhnya. Panji percaya
bahwa pedang mukjizatnya akan mampu mengatasi
jubah mukjizat lawan.
Swingngng...! Entah dari mana datangnya, tahu
tahu tangan Pendekar Naga Putih telah menggenggam
sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning
keemasan. Pedang itu digerakkan ke depan, hingga
menimbulkan suara berdesing menggetarkan jantung!
Hantu Jubah Merah agak kaget melihat pedang
di tangan Pendekar Naga Putih. Ukuran pedang itu le-
bih besar dari biasa, serta berhawa aneh yang mengge-
tarkan hati. Tokoh tinggi besar itu melangkah mundur.
Wajahnya kelihatan agak tegang!
"Mustahil...!" desis Hantu Jubah Merah. Ru-
panya, tokoh itu mengenali pedang di tangan lawan.
"Hm.... Bersiaplah, Hantu Jubah Merah...!" ujar
Pendekar Naga Putih. Pedangnya dilintangkan di depan
dada. Sikapnya itu menunjukkan bahwa Panji telah
siap bertarung!
"Hmmmhhh...!"
Hantu Jubah Merah mengeluarkan dengusan ka-
sar. Kemudian, mencabut keluar sebilah pedang tipis
lentur. Mirip Pedang Sinar Bulan yang kini dipakai Ke-
nanga. Panji pun tahu kalau senjata itu merupakan
pusaka ampuh.
Cwittt, cwittt, cwittt!
Pedang di tangan Hantu Jubah Merah berdecitan
saat tokoh itu mencoret-coret udara dengan senja-
tanya. Kaki kanannya melangkah ke belakang setin-
dak, dan ditekuk rendah. Sedangkan pedangnya melin-
tang di atas kepala.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Pu-
tih mengibaskan pedangnya menerjang ke depan. Kila-
tan sinar kuning keemasan berhawa panas, menyerbu
datang. Hantu Jubah Merah menggeser langkahnya,
kemudian membalas dengan tidak kalah ganasnya!
Trangngng! Trangngng!
Terdengar benturan nyaring, menimbulkan per-
cikan bunga api yang mewarnai pertarungan kedua to-
koh itu. Keduanya tergetar mundur untuk kembali
mengatur kuda-kuda masing-masing.
"Hiaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah yang memulai se-
rangan. Senjata di tangannya bersuitan menyakitkan
telinga. Kilatan cahaya putih bergulung-gulung turun
naik dan mendengung dengung bagai ratusan lebah
marah.
Bwettt! Whuttt!
Panji menggeser mundur tubuhnya dengan lang-
kah menyilang. Setelah serangan lawan lolos. pedang-
nya bergerak dengan kecepatan kilat membabat datar!
Brettt!
"Aaahhh...?!"
Untung Hantu Jubah Merah sempat berkelit
dengan memiringkan tubuhnya. Hingga hanya jubah
ampuhnya yang tersambar pedang lawan. Meski demi-
kian, wajah tokoh sesat itu berubah pucat! Jubahnya
dapat disobek senjata Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut ketika
merasa ada perlawanan aneh dari jubah mukjizat la-
wan. Kalau saja senjata di tangannya bukan pusaka
langka mungkin sudah patah. Jubah lawan terasa ke-
nyal dan sangat kuat.
"Keparat! Kau telah merobek jubah kesayangan-
ku...!" teriak Hantu Jubah Merah. Lelaki tinggi besar
itu murka bukan main melihat jubahnya robek oleh
sambaran pedang lawan.
"Haaattt..!"
Dengan sangat bernafsu Hantu Jubah Merah
menerjang maju! Pedang di tangannya berkelebat cepat
laksana sambaran kilat yang susul menyusul. Sehing
ga dalam beberapa jurus, Panji terpaksa bermain
mundur dan memperkuat pertahanan.
Blasss!
Mendadak. Di saat tokoh sesat itu tengah gencar
menerjang Panji, tiba-tiba bayangan Hantu Jubah Me-
rah lenyap. Sosok itu berganti dengan asap putih tebal
yang menghalangi pandang mata Panji. Kejadian itu
sangat mengejutkan!
Whuuuttt..!
"Heiii...?!"
Panji sempat tercekat mendengar desingan senja-
ta tanpa wujud! Dan, bergerak mundur dengan lompa-
tan panjang. Kemudian, membentak keras sambil pe-
dangnya disabetkan ke depan.
Srattt!
Aneh. Kali ini Pedang Naga Langit menyebarkan
sinar kuning keemasan yang melebar. Kemudian ter-
dengar letupan kecil. Seolah sinar pedang pusaka itu
membentur suatu gelombang yang tak nampak Sosok
Hantu Jubah Merah kembali muncul dalam jarak seki-
tar satu setengah tombak. Pedang pusaka di tangan
Pendekar Naga Putih ternyata mampu melawan kekua-
tan sihir jubah pusaka lawan. Hingga tubuh lawan
yang semula lenyap, kini muncul di depan mata.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Panji langsung
menggebrak lawan. Pusaka Naga Langit berkesiutan
menyambar-nyambar dengan kecepatan menggetar-
kan! Hantu Jubah Merah yang belum sadar dirinya
sudah terlihat lawan, sangat kaget mendapati pedang
pemuda berjubah putih meluncur deras ke arahnya.
Dan....
Brettt!
"Aaakkkhhh...?!"
Hantu Jubah Merah terpekik kaget bercampur
kesakitan. Tubuhnya melintir dan terhuyung sejauh
satu setengah tombak Darah segar mengucur keluar
dari luka memanjang di atas pusarnya. Sungguh sulit
dipercaya!
Pendekar Naga Putih tidak memberi kesempatan
kepada lawan. Pemuda itu menyusuli serangannya
dengan sebuah tusukan kilat yang mengancam jan-
tung Hantu Jubah Merah.
Syuttt... cappp!
"Aaarghhh...!"
Jerit kematian yang menggetarkan jantung ke-
luar dari mulut tokoh bertubuh tinggi besar itu. Pe-
dang Naga Langit tertancap di dada kiri tokoh itu, te-
pat mengenai jantungnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
tokoh sesat itu pun tersungkur ketika Pedang Naga
Langit dicabut.
Setelah menggelegar sesaat, Hantu Jubah Merah
yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan
ulahnya tewas dengan mata mendelik. Kemudian, Pen-
dekar Naga Putih menghela napas lega. Satu lagi kewa-
jibannya untuk melenyapkan manusia yang memba-
hayakan keselamatan orang banyak telah dijalankan.
Pemuda itu menoleh ke arah Kenanga yang baru saja
menyelesaikan pertarungan.
Panji melihat Ki Sangga Langit dan yang lainnya
telah berada di tempat ini. Rupanya, mereka telah ber-
hasil menghancurkan markas Hantu Jubah Merah. Pa-
ra tokoh persilatan itu kelihatan sangat terharu me-
nyaksikan pertemuan Pujawati dan Malela dengan
guru dan ayahnya. Apalagi, keadaan tubuh kedua to-
koh persilatan itu sangat menyedihkan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Pendekar Tong-
kat Sakti dan Pedang Pemecah Langit memerlukan perawatan segera...," ujar Panji kepada kawan-kawannya.
Tak seorang pun membantah ucapan pemuda
tampan itu. Beberapa saat kemudian, tokoh-tokoh per-
silatan itu bergerak meninggalkan Bukit Hitam.... Saat
itu, matahari sudah bergeser jauh ke barat...
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar