..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE DUEL JAGO JAGO PERSILATAN

Matjenuh khairil

 

DUEL JAGO-JAGO 
PERSILATAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Duel Jago-Jago Persilatan 
128 hal; 12 x 18 cm


SATU

Langit yang itu tampak kelam. Awan hitam bera-
rak membawa titik-titik air. Tak berapa lama kemu-
dian, rintik hujan pun menerpa bumi yang disertai ti-
upan angin keras. Butiran air hujan itu makin lama 
makin besar dan deras. Hembusan angin pun bertam-
bah kencang, membuat pepohonan berderak ribut.
Di tengah terpaan hujan lebat itu, tampak tiga 
sosok tubuh bergerak cepat melintasi jalan yang ba-
sah. Kelihatan mereka tidak merasa terganggu dengan 
cuaca seperti itu. Bahkan, langkah-langkahnya terlihat 
ringan, meskipun jalan yang dilalui tergenang air hu-
jan dan licin. Agaknya, ketiga sosok tubuh itu memiliki 
ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di 
depan sebuah pintu gerbang bangunan perguruan. Da-
ri luasnya bentuk bangunan menunjukkan perguruan 
itu sangat besar.
Dugaan itu memang tidak meleset! Bangunan 
yang sangat besar itu milik Perguruan Rimba Kecil.
Nama perguruan itu sudah sangat terkenal di kalan-
gan persilatan. Bahkan bisa dikatakan merupakan gu-
dangnya orang-orang sakti. Tidak sedikit murid-murid 
perguruan itu yang kini jadi tokoh-tokoh terkenal. Se-
hingga, nama Perguruan Rimba Kecil makin harum 
dan disegani kaum rimba persilatan.
Kembali pada tiga sosok tubuh yang kini telah 
berdiri tegak di depan pintu Perguruan Rimba Kecil. 
Salah seorang dari mereka, yang menggenggam seba-
tang tongkat baja putih di tangan kanannya melang-
kah maju dua tindak.
Whuuuttt..!

Dengan kecepatan gerak yang sangat menga-
gumkan, diputarnya tongkat baja putih itu di atas ke-
pala hingga menerbitkan sambaran angin kuat. Se-
hingga, air hujan yang berjatuhan ke bumi tidak men-
genai sosok tubuhnya.
"Haaahhh...!"
Disertai bentakan keras, tongkat baja putih di 
tangannya digerakkan ke depan. Dan.... 
Blarrr...!
Terdengar ledakan menggelegar ketika tongkat 
baja putih itu menghantam pintu gerbang. Serpihan 
kayu tebal bertebaran menandakan betapa hebatnya 
hantaman tongkat itu. Hingga, terlihat sebagian daun 
pintu gerbang hancur berantakan menjadi serpihan 
kecil. Dapat dibayangkan, betapa kuatnya pukulan 
tongkat baja putih itu!
Tanpa menunggu serpihan-serpihan itu berjatu-
han ke tanah, ketiga sosok tubuh itu masuk dengan 
lompatan panjang dan ringan. Tapi, begitu sosok me-
reka yang berpakaian serba hitam itu menjejakkan ka-
kinya di halaman Perguruan Rimba Kecil, mereka dis-
ambut suara genta yang bertalu-talu.
"Setan mana yang berani mengacau di tempat 
ini...?!" terdengar bentakan menggema, disusul me-
layangnya sesosok tubuh tinggi besar yang langsung 
berdiri menghadang jalan ketiga sosok tubuh itu. Se-
pasang matanya menyorot tajam meneliti wajah-wajah 
di depannya. Tanpa mempedulikan air hujan yang ja-
tuh membasahi sekujur tubuhnya. Sosok itu berdiri 
gagah, siap mengusir ketiga pengacau itu.
Kemunculan lelaki gagah bermata tajam itu sege-
ra diikuti dengan puluhan sosok tubuh lainnya, yang 
langsung berloncatan mengepung. Mereka adalah mu-
rid-murid Perguruan Rimba Kecil. Perguruan itu me

mang memiliki murid yang sangat banyak. Sebab, Per-
guruan Rimba Kecil merupakan partai persilatan ter-
besar di antara partai-partai lainnya. Dan, dari jumlah 
muridnya yang hampir seratus lima puluh orang lebih 
itu kini muncul setengahnya untuk melakukan penge-
pungan.
"Tunggu...!" lelaki gagah berpakaian serba putih
yang bermata tajam itu berseru sambil mengangkat 
tangannya. Sehingga, puluhan murid yang melakukan 
kepungan itu tidak berani membantah perintah yang 
dikeluarkan dengan dorongan tenaga dalam tinggi itu.
"Hm.... Bukankah kalian Pendekar Tongkat Sak-
ti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang Pemecah Lan-
git..? Apa maksud kalian datang kemari dengan cara 
menjebol pintu gerbang perguruan kami...?" tegur lela-
ki gagah itu yang rupanya telah mengenal ketiga orang 
tamunya:
Ketiga sosok tubuh yang tidak lain Pendekar 
Tongkat Sakti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang 
Pemecah Langit terlihat saling bertukar pandang satu 
sama lain. Seperti telah mendapat kata sepakat, lelaki 
bertubuh jangkung yang berjuluk Pedang Pemecah 
Langit melangkah maju menghadapi lelaki gagah ber-
pakaian serba putih.
"Kami datang untuk meminjam kitab dan senjata 
pusaka perguruan ini. Kabarnya Perguruan Rimba Ke-
cil banyak menyimpan pusaka ampuh dan kitab-kitab
ilmu silat tinggi. Kami berharap kau tidak terlalu pelit 
untuk meminjamkannya kepada kami, Harjana...," ujar 
Pedang Pemecah Langit dengan sikap sangat angkuh. 
Seolah bukan hendak meminjam, tapi meminta milik-
nya yang berada di tangan orang. Sehingga, lelaki yang 
bernama Harjana melenggak kaget!
Meskipun namanya banyak dikenal orang, Harjana tidak merasa heran. Apalagi, lelaki di hadapannya 
itu memang bukan orang sembarangan. Bahkan terhi-
tung tokoh persilatan yang punya nama besar, hingga 
dirinya yang merupakan tokoh tingkat tiga dalam Per-
guruan Rimba Kecil. Hanya yang membuat lelaki gagah 
itu kelihatan marah adalah maksud kedatangan Pe-
dang Pemecah Langit yang hendak meminjam pusaka 
perguruannya. Jelas permintaan itu tidak mungkin di-
luluskannya. Sebab pusaka Perguruan Rimba Kecil ti-
dak untuk dipinjamkan kepada siapa pun.
Harjana semakin menajamkan pandangannya. 
Mata lelaki gagah itu tampak berkilat menyiratkan ke-
curigaan. Harjana dapat meraba ada yang tidak beres 
pada ketiga tokoh besar itu. Sebab, mereka pasti tahu 
peraturan yang berlaku di setiap perguruan.
"Hm.... Jika aku tidak salah, kalian telah cukup 
lama menghilang semasa Penculik-Penculik Misterius 
berkeliaran? Sangat aneh kalau tiba-tiba kalian mun-
cul membawa maksud yang rasanya tidak mungkin 
kami kabulkan. Jangan-jangan kalian telah berse-
kongkol dengan Penculik-Penculik itu...?" ujar Harja-
na.
"Kami tidak membutuhkan khotbah mu, Harja-
na! Kalau kau tidak bersedia memenuhi permintaan 
itu, maka jangan menyesal jika kami terpaksa bertin-
dak keras...!" jawab Ki Adiwarsa yang berjuluk Pende-
kar Tongkat Sakti. Sepasang mata tokoh itu tampak 
menyiratkan ancaman maut Bahkan tongkat baja di 
tangan kanannya sudah bergetar, pertanda siap untuk 
digunakan.
"Hm.... Kalian rupanya sudah tersesat jauh...! 
Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan mengabulkan 
permintaan kalian...," tegas Harjana seraya melangkah 
mundur sambil meloloskan pedang di punggungnya,

mengingat lawan yang dihadapinya tokoh-tokoh ter-
kenal yang berkepandaian tinggi.
"Hmmm...," Pedang Pemecah Langit menggeram 
gusar. Kakinya bergeser ke kanan. Sedang pedang di 
tangan kanannya yang entah kapan tercabut dari sa-
rungnya telah bergetar, menimbulkan decitan tajam 
menusuk telinga.
Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Golok 
Kembar pun telah bergerak ke kiri-kanan. Nampaknya 
mereka hendak menghadapi keroyokan puluhan mu-
rid-murid Perguruan Rimba Kecil.
Melihat gelagat itu, Harjana langsung mengang-
gukkan kepala memberi isyarat untuk segera meng-
gempur ketiga pengacau itu,
"Heaaattt...!"
Pedang Pemecah Langit kelihatannya sudah tidak 
sabar lagi. Diiringi teriakan yang melengking tinggi, 
tubuh jangkung itu langsung melayang disertai keleba-
tan pedang yang berciutan, mengalahkan suara gemu-
ruh air hujan.
Harjana yang sadar akan kehebatan serangan 
lawan, segera menggeser tubuhnya ke samping dua 
langkah. Kemudian mengibaskan pedangnya dengan 
kecepatan tinggi membabat iga lawan!
Bweeettt..!
Tapi, yang kali ini dihadapinya adalah Pedang 
Pemecah Langit Seorang jago pedang kawakan yang te-
lah malang-melintang selama puluhan tahun. Ilmu pe-
dangnya sudah sangat matang. Hingga serangan Har-
jana dapat ditepiskan dengan mudah.
Trangngng...!
Benturan kedua batang pedang yang sama-sama
didorong kekuatan tenaga dalam tinggi saling berben-
turan keras, menimbulkan percikan bunga api yang

menyilaukan mata.
"Aaahhh...?!"
Harjana mengeluh tertahan. Tubuhnya terdorong 
mundur sejauh empat langkah, dan tangan kanannya 
terasa agak nyeri. Meski demikian, lelaki gagah berpa-
kaian serba putih itu dapat memperbaiki kuda-
kudanya dan kembali siap bertempur.
Pedang Pemecah Langit menggeram gusar. Tu-
buh lelaki jangkung itu pun terdorong mundur. Meski 
hanya dua langkah, namun benturan tadi mempenga-
ruhi kuda-kudanya. Hingga tergempur mundur. 
"Hm...."
Harjana kelihatan kaget melihat tokoh jangkung 
itu tergempur kuda-kudanya. Kenyataan itu membuat 
Harjana agak lega, meskipun ada bias keheranan di 
wajahnya. Setahunya Pedang Pemecah Langit tokoh 
yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi, dan tenaga 
dalam yang sangat hebat. Sedangkan ilmu pedang 
maupun tenaganya tidak sehebat Pedang Pemecah. 
Langit Tapi, setelah melihat kenyataan itu ia menjadi 
ragu. Kini dirinya merasa yakin dapat mengimbangi 
kehebatan Pedang Pemecah Langit. Bahkan mungkin 
mengalahkannya, mengingat ilmu pedang dan kekua-
tan pendekar itu sudah mulai menurun.
Kedua tokoh itu kembali saling berhadapan, dan 
beradu pandang dengan sorot mata tajam. Kaki mere-
ka bergerak perlahan diiringi suara sambaran angin 
pedang yang menderu-deru, menindih gemuruh hujan 
yang belum juga reda.
***
Di tempat lain, Pendekar Tongkat Sakti menga-
muk berat, membuat murid-murid Perguruan Rimba

Kecil kalang-kabut. Meski demikian, mereka tetap be-
rusaha membendung putaran tongkat baja putih di 
tangan kakek itu. Kedua ujung tongkat itu bermandi-
kan darah segar setelah memakan beberapa kepala 
murid-murid Perguruan Rimba Kecil.
"Heeeahhh...!"
Namun, semangat dan kesetiaan murid-murid
Perguruan Rimba Kecil memang patut mendapat acun-
gan jempol. Mereka tetap gigih dan pantang mundur. 
Meskipun untuk itu mereka harus mempertaruhkan 
selembar nyawa. Sehingga pertarungan tetap berlang-
sung seru.
Amukan Sepasang Golok Kembar tak kalah he-
bat. Sepasang senjata yang terbuat dari baja pilihan 
itu telah hilang warna aslinya. Terbalut lumuran darah 
lawan. Belasan mayat bergelimpangan menjadi kor-
bannya. Meski demikian, kepungan murid-murid Per-
guruan Rimba Kecil tidak merenggang. Bahkan terlihat
semakin bertambah rapat. Tampaknya makin banyak 
korban berjatuhan, makin tinggi semangat mereka un-
tuk menggempur lawan.
"Heeeaaattt..!"
Di tengah gemuruh hujan dan ramainya dentang 
senjata serta teriakan-teriakan, tiba-tiba terdengar 
lengkingan panjang yang menulikan telinga. Seiring 
dengan lengkingan itu sesosok tubuh melayang dari 
dalam bangunan induk perguruan!
Bagai seekor burung besar yang melayang-layang 
di angkasa, sosok tubuh itu berputaran dan langsung 
terjun ke dalam kancah pertarungan, tempat Pendekar 
Tongkat Sakti mengamuk hebat!
"Heeeahhh...!"
Begitu tiba, sosok berpakaian serba merah itu 
langsung melontarkan kepalan kanannya ke dada

Pendekar Tongkat Sakti. Gerakannya cepat dan man-
tap. Hingga membuat kakek itu menarik mundur tu-
buhnya.
Whuuuttt..!
Pukulan pertama dapat dihindarkan dengan 
baik. Tapi, betapa terkejutnya tokoh itu ketika melihat 
serangan lawan masih berlanjut. Bahkan sepasang 
tangan itu terus mengejarnya tanpa henti. Sehingga, ia 
terpaksa memutar tongkatnya untuk memapaki dan 
menghentikan serangan yang bertubi-tubi itu.
Dukkk!
"Aaahhh...?!"
Pendekar Tongkat Sakti kembali mengeluarkan 
pekik tertahan, ketika merasakan kuatnya tenaga pu-
kulan lawan. Tubuhnya sampai tergetar mundur dan 
tangannya terasa kesemutan! Meski demikian, Ki Adi-
warsa boleh bernapas lega. Karena tangkisan tongkat-
nya telah membuat serangan itu terhenti.
"Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh terhormat 
seperti Pendekar Tongkat Sakti sampai berbuat hal 
yang sungguh memalukan! Apa yang telah membuat-
mu meninggalkan jalan lurus dan berpaling ke jalan 
sesat, Ki Adiwarsa...?" tegur sosok berpakaian serba 
merah tak senang. Bahkan, tersirat kemarahan dalam 
ucapannya.
Ki Adiwarsa tak menanggapi ucapan itu. Lelaki 
itu sudah memutar tongkat di tangannya dengan se-
penuh tenaga. Sepasang matanya menyala penuh ke-
marahan. Sikap Ki Adiwarsa tak ubahnya seekor bina-
tang buas yang diganggu kesenangannya.
"Hmmmhhh...!"
Begitu geramannya terdengar, saat itu juga tong-
kat baja putih di tangannya bergerak membabat secara 
mendatar!

Whuuukkk...!
Lelaki tinggi kurus berpakaian serba merah pun 
sadar akan bahaya yang mengancam. Hingga tidak 
memandang rendah serangan lawan. Maka, lelaki itu 
memilih mundur daripada memapaki sambaran tong-
kat baja lawan. Kemudian mencabut sepasang , trisula 
di kiri-kanan pinggangnya. Dan, menggempur dengan 
serangan balasan yang sangat cepat!
Cwiiittt! Cwiiittt..!
Kilatan sinar perak memancar, membuat Ki Adi-
warsa harus menarik serangannya. Tubuh kakek itu 
bergerak mundur sambil merendahkan kuda-kudanya. 
Kemudian tongkat di tangannya bergerak dari atas ke 
bawah seperti mencongkel.
Tringngng! Tringngng...!
Tubuh Ki Adiwarsa kembali terjajar mundur, ke-
tika benturan keras itu terjadi. Saat itu juga lawan 
langsung menyusuli serangannya. Agaknya, lelaki ber-
pakaian serba merah tidak memberi kesempatan pada 
Pendekar Tongkat Sakti untuk membangun serangan 
baru.
"Yeaaa...!"
Sepasang trisula lawan bersinar menyilaukan 
mata, mengancam tubuh Ki Adiwarsa. Tampaknya, 
kali ini dirinya tidak mungkin menghindari serangan 
maut itu!
"Haaaiiittt..!"
Namun, pada saat yang genting itu, tiba-tiba me-
layang sesosok tubuh yang langsung menyelamatkan-
nya dari incaran sepasang trisula lawan!
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiii...?!"
Lelaki berpakaian serba merah memekik terta-
han. Tubuhnya terdorong balik terkena tangkisan yang

sangat kuat. Untunglah tokoh itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sangat baik. Sehingga, dapat me-
luncur turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dulu.
"Sepasang Naga Laut..?!" desis lelaki berpakaian 
serba merah terkejut saat mengenali orang yang meng-
genggam sepasang pedang kehijauan. Tokoh berpa-
kaian kulit ular hijau hanya tersenyum mengejek.
'Tinggalkan tempat ini...! Kita sudah berhasil 
mendapatkan benda yang kita cari...!" bisik lelaki ber-
pakaian kulit ular pada Ki Adiwarsa.
Ki Adiwarsa menyunggingkan senyum kepuasan. 
Sepasang matanya mengerling ke punggung Sepasang 
Naga Laut, yang menggendong sebuah bungkusan cu-
kup besar.
"Hendak lari ke mana pencuri laknat..!" tiba-tiba
terdengar teriakan keras yang membuat Sepasang Na-
ga Laut menoleh. Tampak seorang lelaki tua berusia 
sekitar lima puluh tahun tengah berlari ke arah mere-
ka. Rupanya, yang dimaksud pencuri itu adalah Sepa-
sang Naga Laut.
Tanpa mengindahkan pengejarnya, Sepasang Na-
ga Laut mengeluarkan suitan panjang melengking
mengatasi gemuruh hujan dan suara pertempuran. 
Kemudian, melesat pergi setelah menganggukkan ke-
pala kepada Ki Adiwarsa yang segera mengikutinya.
Pedang Pemecah Langit yang saat itu telah dapat 
menekan lawan, tampak tertegun sejenak. Kemudian, 
menghentikan tekanannya dan melesat pergi mening-
galkan Harjana yang jatuh terduduk lemas. Agaknya 
pertarungan barusan telah menguras seluruh tena-
ganya.
'Tahan mereka...! Jangan biarkan lolos! Sepasang 
Naga Laut telah mencuri pusaka perguruan kita...!" le-
laki gagah berusia lima puluh tahun itu berteriak

teriak memerintahkan murid-murid Perguruan Rimba. 
Kecil mencegah kepergian lawan-lawannya.
Mendengar teriakan itu, para murid perguruan 
yang tengah mengeroyok Sepasang Golok Kembar ma-
kin memperhebat serangan mereka. Meskipun untuk 
itu mereka harus merelakan nyawanya.
"Heeeaaattt..!"
Empat orang murid Perguruan Rimba Kecil me-
mekik keras, menghadang Sepasang Golok Kembar 
yang hendak melarikan diri. Pedang di tangan mereka 
berkelebatan mencegah kepergian lawan.
"Setan...!"
Sepasang Golok Kembar sangat jengkel melihat 
perbuatan mereka. Senjatanya bergerak cepat dengan 
kekuatan hebat. Dan....
Whuuuttt...!
Brettt, brettt...!
"Aaakhhh...!"
"Oughhh...!"
Pekik kematian terdengar berturut-turut ketika 
Sepasang Golok Kembar bergerak membeset tubuh 
keempat lawannya. Begitu tubuh korban terbanting ke 
tanah, tokoh itu pun melesat pergi.
"Hiiiaaattt..!"
Melihat pencuri-pencuri itu melarikan diri, Har-
jana bangkit dan berusaha mencegah kepergian Sepa-
sang Golok Kembar. Sebab, hanya tokoh itu yang ter-
tinggal di halaman perguruan. Sedangkan yang lainnya 
sudah menghilang dari tempat itu.
Trangngng...!
Terdengar benturan keras ketika Sepasang Golok 
Kembar memapaki serangan pedang Harjana. Tubuh 
keduanya terlempar balik hampir sejauh satu tombak. 
Jelas menunjukkan kekuatan mereka berimbang!

"Hm.... Hendak lari ke mana, Maling Hina...!" ge-
ram Harjana kembali bergerak maju. Melihat para mu-
rid perguruannya telah mengepung Sepasang Golok 
Kembar, yang mulai dilanda kecemasan.
***
DUA


Sepasang Golok Kembar memutar senjatanya, 
membentuk gulungan sinar putih menyelimuti sekujur 
tubuhnya. Tokoh gemuk itu sadar untuk menerobos 
kepungan lawan, dirinya harus mengerahkan seluruh 
kemampuannya. Apalagi, murid-murid Perguruan 
Rimba Kecil dibantu Harjana yang merupakan tokoh 
tingkat tiga di perguruan itu.
"Hmmmhhh...!"
Sepasang Golok Kembar memutar tubuhnya. 
Senjata di tangannya bergerak menyilang menimbul-
kan suara berdecitan tajam, membuat be berapa pen-
gepungnya bergerak mundur.
"Sebaiknya kau menyerah, Manusia Sesat! 
Mungkin guru kami akan mempertimbangkan kesala-
hanmu, mengingat jasa-jasamu pada orang banyak...," 
Harjana mencoba membujuk Sepasang Golok Kembar 
menyerah. Tokoh Perguruan Rimba Kecil itu masih 
memandang lawannya sebagai tokoh terhormat, dan 
baru kali ini berbuat kejahatan.
"Heeeaaattt..!"
Jawaban Sepasang Golok Kembar ternyata tidak 
seperti yang diharapkan. Bujukan Harjana malah dis-
ambutnya dengan sebuah serangan maut! 
Beuttt, bwettt..!

Sambaran Sepasang Golok Kembar di tangan to-
koh gemuk itu demikian cepat dan kuat. Hingga Har-
jana yang menyadari dirinya terancam bahaya. Cepat 
bergerak mundur sambil menyilangkan pedangnya se-
kuat tenaga.
Trangngng...!
Keduanya terjajar mundur akibat benturan keras 
itu. Sepasang Golok Kembar tampak semakin ganas. 
Lelaki gemuk itu kembali menerjang dengan serangan-
serangan mautnya.
Harjana pun tidak mau kalah. Pedang di tangan-
nya berputaran laksana baling-baling. Disertai gulun-
gan sinar pedang yang menimbulkan suara menderu-
deru, tokoh tingkat tiga Perguruan Rimba Kecil itu me-
lesat ke depan menyambut serangan lawan. Sebentar 
kemudian, kedua tokoh itu sudah terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit! .
Sementara itu, Pendekar Tongkat Sakti, Pedang 
Pemecah Langit, dan Sepasang Naga Laut ternyata
bernasib sama dengan Sepasang Golok Kembar. Dua 
orang tokoh tingkat dua Perguruan. Rimba Kecil ru-
panya tidak sudi membiarkan pencuri-pencuri itu me-
larikan pusaka perguruan mereka. Dengan sepenuh 
tenaga mereka berusaha melakukan pengejaran. Dan 
upaya itu tidak sia-sia. Pencuri-pencuri itu dapat dis-
usul setelah be berapa tombak melewati pintu gerbang 
perguruan.
"Hm.... Jangan harap kalian dapat pergi begitu 
saja setelah mencuri pusaka perguruan kami...!" geram 
lelaki tegap berpakaian serba merah dengan tatapan 
tajam menikam jantung. Di tangan kanan dan kirinya 
tergenggam sepasang trisula.
Demikian dengan lelaki gagah berusia sekitar li-
ma puluh tahun itu. Di tangan kanannya tergenggam


sebatang penggada dari baja putih. Senjata berat itu 
terlihat ringan di tangannya. Membuktikan pemegang-
nya memiliki tenaga dalam kuat!
Whuuukkk...! 
Senjata maut itu mengaung saat pemiliknya 
mengibaskan ke depan menghalangi jalan pencuri-
pencuri itu.
Pendekar Tongkat Sakti dan kawan-kawannya 
semakin terkejut, melihat tiga orang tokoh tingkat dua 
bergabung dengan para penghadangnya.
"Celaka! Rasanya, kita tidak mungkin dapat me-
larikan diri tanpa merobohkan mereka lebih dahulu. 
Sedangkan untuk melakukannya kita membutuhkan 
waktu yang banyak...!" desis Pendekar Tongkat Sakti 
cemas. Agaknya, tokoh itu tahu betul siapa lawan-
lawannya kali ini.
"Hm.... Sebelum kita sempat merobohkan mere-
ka, Ki Sangga Langit pasti sudah datang. Kalau sampai 
kakek hebat itu muncul, habislah harapan kita dapat 
melarikan diri...," timpal Sepasang Naga Laut tidak ka-
lah cemas, melihat tokoh-tokoh puncak Perguruan 
Rimba Kecil mengepung mereka.
"Kalau begitu, salah seorang dari kita harus bisa 
meninggalkan tempat ini dengan membawa pusaka-
pusaka itu...," usul Pedang Pemecah Langit Ucapan itu 
dikeluarkan dengan berbisik. Sedangkan sepasang ma-
tanya tetap terarah pada para pengepungnya.
Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Pedang 
Naga terlihat menganggukkan. Keduanya langsung 
menyetujui usul Pedang Pemecah Langit Mereka ber-
sepakat dan menunjuk Sepasang Naga Laut untuk me-
larikan pusaka-pusaka itu.
Sementara itu, tokoh-tokoh puncak Perguruan 
Rimba Kecil sudah kehilangan kesabaran. Mereka mu

lai bergerak mempersempit kepungan.
"Haaattt..!"
Lelaki tegap berpakaian serba merah membuka 
serangan dengan sepasang trisulanya. Senjata itu ber-
kelebat cepat laksana sambaran kilat di angkasa.
"Yeaaattt..!"
Pedang Pemecah Langit segera melesat menyam-
but serangan tokoh itu. Pedang di tangannya men-
gaung tajam bagai hendak merobohkan langit Sebentar 
saja, keduanya terlibat dalam sebuah pertarungan ma-
ti-matian.
Sesaat setelah pertarungan itu berlangsung, to-
koh-tokoh Perguruan Rimba Kecil lainnya segera melu-
ruk ke arah Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Na-
ga Laut Sehingga arena pertarungan semakin bertam-
bah ramai!
"Haaattt..!"
Sepasang Naga Laut mengeluarkan seluruh ke-
pandaiannya untuk menghadapi dua orang tokoh Per-
guruan Rimba Kecil. Pedang di tangannya yang meru-
pakan pusaka ampuh berkelebat mencari sasaran. 
Sayang, lawan yang dihadapinya kali ini bukan tokoh 
sembarangan. Sebagai tokoh puncak perguruan ter-
kenal, mereka telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Meski-
pun Sepasang Naga Laut telah mengerahkan seluruh 
kemampuannya, tetap saja ia tidak bisa berbuat ba-
nyak. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ke-
dua puluh tujuh, tokoh itu mulai dapat ditekan lawan-
lawannya.
"Hm.... Rupanya kepandaianmu telah banyak 
menurun, Sepasang Naga Laut Mana kehebatan 'Ilmu 
Pedang Sepasang Naga'mu...," ejek lelaki gagah berwa-
jah berewok. Lelaki gagah itu tampaknya cukup men-
genal baik ilmu silat lawan. Sehingga kelihatan heran

ketika merasakan ilmu pedang Sepasang Naga Laut 
tak sehebat dan sedahsyat dulu.
"Jangan banyak bicara, Gumaranta! Ayo, roboh-
kan aku kalau memang kau sanggup...!" geram Sepa-
sang Naga Laut mendengar ejekan lawan.
Lelaki tua bertubuh gagah yang wajahnya terhias 
berewok hanya memperdengarkan kekehnya. Tokoh 
tingkat dua Perguruan Rimba Kecil itu terus melontar-
kan serangan-serangannya dibantu kawannya. Se-
hingga, lawan semakin tak mampu melakukan seran-
gan balasan. Dan, hanya bisa membentengi diri den-
gan sepasang pedangnya yang ampuh.
Nasib serupa juga dialami Pedang Pemecah Lan-
git Lelaki berpakaian serba merah yang bersenjatakan 
sepasang trisula ternyata sangat hebat! Dalam jurus ke 
empat puluh, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai 
terdesak lawan. Sehingga, lelaki jangkung itu lebih ba-
nyak bertahan.
"Eh...?!"
Lelaki gagah berpakaian serba merah itu tampak 
heran melihat permainan lawan yang terkadang mela-
kukan gerak-gerak aneh dan sangat asing baginya. 
Bahkan, jurus-jurus pedang lelaki jangkung itu sem-
pat membuat keningnya berkerut dalam. Ilmu pedang 
pendekar jangkung itu banyak memiliki kelemahan. 
Padahal Pedang Pemecah Langit bukan tokoh kemarin 
sore. Dan, ilmu pedangnya terkenal sangat tangguh di 
kalangan luas. Lelaki gagah itu jadi tak mengerti meli-
hat keganjilan jurus-jurus lawannya.
"Pedang Pemecah Langit! Mengapa jurus-jurus
ampuh mu seperti sudah tidak bergigi lagi? Apa kau 
terlalu banyak mengumbar nafsu, hingga kepan-
daianmu menurun...?" seru lelaki gagah berpakaian 
serba merah tidak bisa menahan keheranan. hatinya.

Perasaan itu pun terlontar dari mulutnya.
Pedang Pemecah Langit seperti tidak peduli den-
gan ejekan lawan. Kesempatan selagi lawan berbicara 
dipergunakannya untuk membalas serangan. Sehing-
ga, lelaki gagah berpakaian serba merah terpaksa me-
nelan semua keheranan harinya. Dan, kembali mene-
kan Pedang Pemecah Langit dengan serangan-
serangan mautnya.
"Hua ha ha...!"
Pada saat Sepasang Naga Laut, Pedang Pemecah 
Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti mulai dapat diku-
asai lawan-lawannya, tiba-tiba terdengar suara tawa 
parau yang bergema menggetarkan jantung. Seketika 
itu juga pertempuran terhenti. Mereka yang bertempur 
bergerak mundur dan mengerahkan hawa murni un-
tuk melindungi isi dada. Suara tawa itu dikeluarkan 
dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sia-
pa yang tak sanggup menahannya akan tewas dengan 
isi dada pecah!
Untung gema tawa itu tidak berlangsung lama. 
Karena memang hanya digunakan untuk menghenti-
kan pertempuran. Begitu pertempuran terhenti, angin 
keras pun bertiup. Disusul dengan melayangnya seso-
sok tubuh tinggi besar berjubah merah, dengan pa-
kaian serba hitam.
Jleggg!
Tanah di sekitar tempat itu bagai terguncang 
saat sosok tinggi besar itu menjejakkan kakinya ke ta-
nah. Agaknya tokoh itu sengaja hendak memamerkan 
kekuatan tenaga dalamnya.
"Salam kepada Ketua Yang Perkasa...!"
Begitu melihat siapa yang datang, Pedang Peme-
cah Langit, Pendekar Tongkat Sakti, dan Sepasang Na-
ga Laut langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan tokoh tinggi besar itu.
"Hua ha ha...! Apakah tugas kalian berhasil den-
gan baik...?" tegur sosok tinggi besar sambil memper-
dengarkan tawa yang menggelegar. Sepasang matanya 
yang besar dan tajam menatap ketiga sosok di bawah-
nya.
"Nyaris gagal Ketua, meskipun pusaka-pusaka
itu sudah berada di tangan kami...," lapor Sepasang 
Naga Laut seraya membuka bungkusan besar yang ta-
di tergantung di punggungnya. Kemudian menyerah-
kannya pada lelaki tinggi besar itu.
Melihat bungkusan besar yang berisi kitab-kitab
ilmu silat serta pusaka Perguruan Rimba Kecil, Ki Gu-
maranta dan lelaki berpakaian serba merah tidak bisa 
menahan marah. Keduanya langsung melesat berba-
rengan hendak merebut bungkusan besar itu.
"Hmmm...."
Sosok tinggi besar itu memperdengarkan guma-
man perlahan. Tangan kanannya dikibaskan ke samp-
ing untuk menghalau serangan dua orang tokoh ting-
kat dua Perguruan Rimba Kecil.
Whusss...!
Gerakan yang kelihatannya sangat perlahan ter-
nyata berakibat parah bagi Ki Gumaranta dan saudara 
seperguruannya! Serangkum angin keras berhembus 
membentur tubuh mereka.
"Aaahhh...?!"
"Heiii...?!"
Terkejut bukan main kedua tokoh puncak Pergu-
ruan Rimba Kecil merasakan tubuh mereka terdorong 
ke belakang. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh ke-
duanya jatuh berguling-guling sejauh tiga tombak. Ra-
sanya, mereka tidak pernah bermimpi dapat diroboh-
kan lawan dalam satu gebrakan saja. Meskipun itu

akibat kecerobohan mereka yang menganggap remeh 
lawan. 
"Gila...?!" desis Ki Gumaranta belum dapat per-
caya dengan kejadian yang baru dialaminya.
"Mustahil...?!" lelaki tegap berpakaian serba me-
rah pun tidak bisa menerima kenyataan itu. Dirinya 
merasa seperti orang yang tengah bermimpi. Hingga 
rasa penasarannya bangkit seketika itu juga.
"Sabar Adi Jinggala...!" cegah Ki Gumaranta me-
lihat lelaki berpakaian serba merah itu bersiap hendak 
menerjang sosok tinggi besar itu.
Lelaki berpakaian serba merah semula hendak 
membantah. Tapi ketika melihat sinar mata Ki Guma-
ranta yang penuh permohonan. Jinggala hanya bisa 
menghela napas panjang. Tubuhnya terasa lemas ba-
gai tak bertenaga. Lelaki itu menyimpan rasa penasa-
ran dalam hatinya.
***
Dengan sikap tenang, lelaki tinggi besar berjubah 
merah meneliti isi bungkusan besar. Dan, tawanya 
kembali terdengar.
"Bagus..., bagus...! Kalian telah melaksanakan 
tugas dengan sangat baik...!" puji lelaki tinggi besar 
yang kelihatan sangat puas dengan hasil kerja Sepa-
sang Naga Laut dan kawan-kawannya.
'Terima kasih, Ketua...," hormat ketiga pendekar 
itu seraya menganggukkan kepala bersamaan.
"Hm..., sebaiknya segera kita tinggalkan tempat 
ini sebelum Ki Sangga Langit muncul dan merebut 
kembali benda-benda pusaka ini...," lanjut lelaki tinggi 
besar kemudian membalikkan tubuh hendak mening-
galkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Ki Gumaranta tentu tidak tinggal diam melihat 
perbuatan lelaki tinggi besar itu. Sambil berteriak 
mencegah, tubuhnya dan tubuh Ki Jinggala melayang 
menghadang jalan. Keduanya telah siap dengan senja-
ta masing-masing.
Demikian dengan tiga orang adik seperguruan 
mereka, yang berdiri berjajar dengan senjata tergeng-
gam dan siap mempertaruhkan nyawa merebut kem-
bali pusaka-pusaka perguruan mereka.
"Hm.... Saat ini aku merasa gembira dengan apa 
yang ku peroleh. Maka aku tak ingin mengotori tangan 
dengan membunuh kalian. Tapi jika kalian memaksa, 
jangan salahkan aku...," gumam lelaki tinggi besar 
dengan sorot mata tajam, membuat Ki Gumaranta dan 
kawan-kawannya tergetar mundur.
"Siapa kau sebenarnya berani mencari permusu-
han dengan perguruan kami? Sebutkan namamu...?" 
ujar Ki Gumaranta yang mewakili saudara-
saudaranya.
"Hm.... Panggil saja aku Hantu Jubah Merah. 
Guru kalian, Ki Sangga Langit pasti kenal siapa aku....' 
Nah, sekarang menyingkirlah! Kalian bukan tandin-
ganku...!" sahut lelaki tinggi besar tidak memandang 
sebelah mata pun pada tokoh-tokoh puncak Perguruan 
Rimba Kecil.
Belum lagi Ki Gumaranta menimpali, terdengar 
langkah berderap. Tak lama kemudian, muncullah 
Harjana bersama tiga puluh orang murid perguruan. 
Melihat kemunculan mereka, dapat ditebak kalau Se-
pasang Golok Kembar sudah mereka robohkan.
"Ketua..., Sepasang Golok Kembar...," desis Pe-
dang Pemecah Langit yang rupanya menyadari kema-
tian kawannya.
"Hm...," Hantu Jubah Merah hanya mendengus 
perlahan. Kelihatan sekali ia tidak begitu menyesali 
kematian Sepasang Golok Kembar.
"Ayo, kita pergi...!" ajak lelaki tinggi besar kemba-
li melangkah lebar tanpa peduli di depannya telah ber-
diri menghadang Ki Gumaranta dan tokoh-tokoh lain-
nya.
"Seraaang...!"
Sadar bahwa tak ada jalan lain kecuali bertem-
pur, Ki Gumaranta segera memerintahkan saudara-
saudaranya menerjang lawan.
"Haaattt..!"
Lelaki gagah berwajah berewok itu menggerak-
kan penggadanya dengan sepenuh tenaga. Sasarannya 
adalah Hantu Jubah Merah.
Bwettt! Bettt..!
Dua kali serangan lelaki gagah itu dapat dihinda-
ri lawan dengan memiringkan tubuhnya ke kanan kiri. 
Dan, langsung melepaskan hantaman telapak tangan-
nya ke dada Ki Gumaranta.
Deeesss...! ,
"Hukkkhhh...!"
Serangan balasan yang datang laksana sambaran 
kilat itu tak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh Ki 
Gumaranta terjengkang memuntahkan darah!
"Heeeahhh...!"
Dua orang tokoh tingkat dua yang datang menye-
rang kemudian, langsung terpental balik terkena pu-
kulan jarak jauh Hantu Jubah Merah.
Bressshhh...!
Tanpa ampun lagi, pukulan sangat kuat itu me-
mutuskan nyawa mereka dengan dada remuk.
Kejadian yang berlangsung dalam beberapa keja-
pan mata itu membuat gempar murid-murid Perguruan Rimba Kecil. Tanpa diperintah lagi, mereka ber-
lompatan mundur menjauhi Hantu Jubah Merah yang 
tertawa berkakakan.
"Hm.... Bagus, rupanya kalian sayang dengan 
nyawa yang selembar itu...," dengus tokoh bertubuh 
tinggi besar dengan suara berat penuh ejekan.
"Keparat...! Kulumat tubuhmu...!" Ki Jinggala
hampir meledak isi dadanya karena melihat kematian 
saudara-saudaranya, memekik parau. Sepasang trisu-
lanya bergerak melakukan serangan. Harjana dan yang 
lainnya pun tak mau ketinggalan Mereka ikut mener-
jang maju dengan senjata di tangan.
"Hm.... Biar kuhadapi cecunguk-cecunguk ini...! 
Kalian pergilah lebih dulu...," perintah Hantu Jubah 
Merah kepada Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Peme-
cah Langit, dan Sepasang Naga Laut.
"Baik, Ketua.. ," sahut ketiga tokoh itu segera 
berkelebat meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka 
tidak mengkhawatirkan nasib ketuanya.
"Heeeaaattt...!"
Ketika melihat beberapa murid Perguruan Rimba 
Kecil hendak mencegah kepergian ketiga pemban-
tunya, Hantu Jubah Merah pun membentak keras. Se-
pasang tangannya berkelebat dan mematuk-matuk ba-
gas seekor ular hidup. Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam segebrakan, enam murid Perguruan Rim-
ba Kecil roboh terpelanting dengan tenggorokan berlu-
bang. Patukan jari-jari tangan tokoh itu membuat 
nyawa mereka melayang.
Bukan main marahnya Ki Jinggala. Bagai orang 
kesetanan, sepasang trisulanya bergerak cepat dengan 
serangan-serangan maut!
Plakkk! Plakkk!

"Aaahhh...?!"
Tepisan telapak tangan Hantu Jubah Merah san-
gat kuat. Akibatnya, tubuh Ki Jinggala melintir seperti 
sebuah gangsing. Sedangkan murid-murid lainnya 
yang datang membantu, terpelanting ke kiri-kanan
terkena tamparan keras tokoh tinggi besar itu. Karuan 
saja amukan Hantu Jubah Merah membuat yang lain-
nya menjadi gentar!
"Hmmm...,"
Melihat lawan-lawannya berlompatan mundur, 
Hantu Jubah Merah berkelebat ke depan. Dan lenyap 
dari pandangan setelah menutupi tubuhnya dengan 
jubah merahnya.
"Iblis...?!" desis Ki Jinggala yang terkejut melihat 
tubuh Hantu Jubah Merah lenyap bersama gumpalan 
asap putih, asap itu muncul seiring dengan lenyapnya 
sosok tinggi besar itu.
"Bagaimana ini, Kakang...?" Harjana yang merasa 
tak sanggup mempertanggungjawabkan kejadian ini 
pada gurunya meminta pendapat Ki Jinggala.
"Biar aku yang akan melaporkannya kepada 
guru. Sebaiknya kau bereskan tempat ini...," ujar Ki 
Jinggala kemudian meninggalkan tempat itu.
***
TIGA


Di bawah siraman sinar matahari yang redup 
tampak tiga sosok tubuh melangkah menyusuri tanah 
becek. Genangan air pada tanah berlubang memaksa 
mereka harus berlompatan menghindarinya. Hingga 
memperlambat perjalanan ketiga orang itu.
"Hhh.... Untung hujan sudah reda. Kalau tidak, 
terpaksa kita harus bermalam di dalam hutan...," ujar 
seorang lelaki kurus berusia sekitar empat puluh lima 
tahun. Pakaiannya agak basah. Demikian pula dua 
orang temannya.
"Bukan hanya di dalam hutan, Ki. Kita juga ha-
rus mencari tempat berteduh. Paling tidak sebuah goa 
untuk melewatkan malam dalam keadaan hujan...," 
timpal pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Agak-
nya, ketiga orang itu baru saja melewati hutan yang 
kini tertinggal di belakang. Dan sempat berteduh saat 
hujan lebat tadi.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja di depan sana 
kita bisa menjumpai sebuah desa. Dengan begitu, kita 
bisa mencari tempat penginapan. Tidak enak rasanya 
bermalam di udara terbuka dalam cuaca sedingin 
ini...," tambah sosok ketiga yang bertubuh ramping. 
Tangannya terlipat di depan dada. Seolah ingin me-
nunjukkan bahwa udara saat itu memang sangat din-
gin.
"Keinginanmu sama denganku, Pujawati. Aku 
pun enggan jika harus bermalam di alam terbuka da-
lam cuaca seperti ini...," ucap pemuda gagah berpa-
kaian kuning cerah pada gadis manis di sebelahnya.
Tidak sulit untuk mengetahui siapa pemuda ga-
gah dan lelaki kurus yang berjalan bersama Pujawati. 
Mereka adalah Malela dan Ki Danara. Yang tengah me-
lakukan perjalanan mencari guru dan ayah mereka 
yang lenyap tanpa jejak. (Baca episode: 'Penculik-
Penculik Misterius').
Pujawati, putri tunggal Pedang Pemecah Langit 
menoleh dan tersenyum. Perjalanan itu tampaknya te-
lah menambah akrab ketiganya. Apalagi mereka mera-
sa senasib dan setujuan. Sehingga setelah berhari-hari
melakukan perjalanan bersama, kekakuan di antara 
mereka berganti dengan keakraban.
Malela, pemuda gagah pewaris Pendekar Tongkat 
Sakti melebarkan senyumnya. Kemudian membuang 
pandang ke arah lain. Menyembunyikan getaran ha-
tinya saat melihat senyum Pujawati. Malela tahu diri 
untuk tidak menunjukkan perasaan hatinya pada ga-
dis manis itu. Menjaga suasana di antara mereka agar 
tidak menjadi canggung. Itu sebabnya, Malela lebih 
suka menyembunyikan perasaannya. Meskipun ia 
menduga gadis manis itu kemungkinan mempunyai 
perasaan yang sama dengannya.
"Ada orang datang...!" seru Malela perlahan. Ke-
mudian melesat ke semak-semak di tepi jalan, setelah 
memberi isyarat agar Ki Danara dan Pujawati mengi-
kutinya.
Tanpa banyak tanya lagi, gadis itu langsung ber-
sembunyi di semak-semak. Kemudian diam menunggu 
dengan hati berdebar.
Tapi tidak dengan Ki Danara. Lelaki tua bertu-
buh kurus yang memiliki kepandaian paling rendah di 
antara mereka, kelihatan bingung, ketika melihat Ma-
lela dan Pujawati menyelinap ke dalam semak-semak. 
Baru setelah Malela memberikan isyarat, Ki Danara 
segera mencelat dan bersembunyi. Lelaki tua itu me-
nahan napas agar tidak terdengar orang lain.
Tidak berapa lama kemudian, tampak tiga sosok 
tubuh berlarian melintasi jalan yang dilalui Ki Danara 
dan kawan-kawannya. Gerakan mereka yang ringan 
menunjukkan ketinggian ilmu larinya. Membuat hati 
ketiga orang yang bersembunyi itu makin berdebar. 
Dan, ketika ketiga sosok itu semakin dekat...
"Ayaaahhh...?!"
Pujawati yang menyelinap di balik alang-alang

lebat, mendesis dengan dada berdebar. Gadis manis 
itu mengenali salah satu dari ketiga sosok itu sebagai 
ayahnya. Meski agak heran, namun perasaan gembira 
membuatnya keluar dari tempat persembunyian.
"Ayah...!" seru gadis manis itu dengan mata mu-
lai basah oleh rasa haru yang menghimpit dada. Tanpa 
ragu-ragu lagi, Pujawati berlari menyongsong ketiga 
sosok itu.
Ternyata bukan hanya Pujawati yang berbuat 
demikian. Malela dan Ki Danara pun keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Melihat ada Ki Adiwarsa di an-
tara ketiga sosok lelaki tua itu, Malela langsung mele-
sat Seolah berlomba dengan Pujawati yang tengah me-
nyongsong ayahnya.
Mendengar teriakan Pujawati, ketiga sosok tubuh 
yang tidak lain Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Peme-
cah Langit, dan Sepasang Naga Laut menghentikan la-
rinya. Mereka menoleh ke arah datangnya suara lang-
kah dan panggilan itu.
"Hm...!" Pendekar Tongkat Sakti bergumam per-
lahan. Sepasang matanya memancarkan kilatan tajam. 
Kemudian kembali tenang seperti biasa. Lelaki tua itu 
menunggu kedatangan pemuda gagah berpakaian kun-
ing cerah yang tengah berlari ke arahnya.
Demikian pula Pedang Pemecah Langit Meski 
hanya sesaat, terlihat kilatan aneh pada sepasang ma-
tanya. Jago pedang kenamaan itu menanti kedatangan 
Pujawati.
Sedangkan Sepasang Naga Laut berdiri di bela-
kang kedua kawannya. Sepasang matanya bergerak-
gerak memperhatikan kejadian itu. Sesekali beralih ke 
arah Ki Danara yang melangkah paling belakang den-
gan tenang.
"Ayah...."

Pujawati mengurungkan niatnya untuk memeluk 
orangtua yang sangat dicintainya itu. Langkahnya ter-
henti dalam jarak empat langkah dari tubuh Pedang 
Pemecah Langit Sikap dingin lelaki tua itu membuat 
Pujawati ragu. Karena selama ini ayahnya sangat me-
nyayangi dirinya, maka tidak heran jika melihat peru-
bahan sikap ayahnya. Apalagi mereka baru bertemu 
kembali setelah berpisah cukup lama. Hal itu menim-
bulkan rasa curiga di hati gadis itu.
"Hm.... Mengapa tidak memeluk ku, Pujawati? 
Apa kau sudah tidak sayang pada ayahmu lagi...?" te-
gur Pedang Pemecah Langit tak senang. Sehingga, ken-
ing gadis manis itu tampak semakin berkerut dalam.
"Kau... Dari mana saja, Ayah...?" ucapan bodoh 
itu meluncur dari bibir Pujawati. Gadis itu sungguh ti-
dak tahu apa yang harus dikatakannya saat itu.
Pujawati tidak bergerak meskipun ayahnya su-
dah menegur. Dan menoleh ke arah Malela yang tidak 
bersujud di depan gurunya. Agaknya pemuda berpa-
kaian kuning cerah itu pun tengah dilanda keraguan.
"Hm.... Mengapa memandangku seperti itu, Male-
la? Apakah sejak aku hilang kau tak menganggapku 
lagi sebagai gurumu?"
Pendekar Tongkat Sakti menegur perbuatan Ma-
lela yang menatapnya penuh selidik. Entah apa yang 
dipikirkan Malela saat itu. Wajahnya tidak menunjuk-
kan bias kegembiraan setelah bertemu dengan gu-
runya. Padahal, perjalanan yang dilakukannya selama 
ini untuk menemukan guru yang dihormatinya itu.
"Aku... aku...," Malela kelihatan bingung menja-
wab teguran Pendekar Tongkat Sakti. Rasa hormatnya 
tidak hilang, meskipun hatinya diselimuti keraguan.
"Berlutut padaku...!" bentak Pendekar Tongkat 
Sakti dengan wajah merah padam. Orang tua itu kelihatan marah melihat sikap lancang Malela.
"Ampun, Guru...."
Tanpa ragu-ragu lagi, Malela langsung menja-
tuhkan tubuhnya berlutut di depan Pendekar Tongkat 
Sakti. Tokoh itu mengangguk-anggukkan kepala sam-
bil mempermainkan jenggotnya yang berwarna dua. 
Ada rasa senang terbersit di wajahnya.
Demikian pula Pujawati. Keraguan gadis manis 
itu luntur oleh kesayuan pandang mata Pedang Peme-
cah Langit. Seolah lelaki tua itu merasa sedih melihat 
sikap Pujawati. Hingga, akhirnya Pujawati berlari me-
meluk tubuh lelaki tua itu.
"Anakku...," gumam Pedang Pemecah Langit se-
raya mengelus rambut gadis manis itu. Tapi....
"Aaahhh...?!"
Mendadak Pujawati menyentakkan tubuhnya da-
ri pelukan lelaki tua itu. Gadis manis itu merasakan 
sikap dan belaian tangan ayahnya mengandung geta-
ran aneh. Merasa berada dalam pelukan lelaki asing 
yang menyembunyikan hasrat tertentu, Pujawati pun 
menarik tubuhnya.
"Kau... kau bukan ayahku...?.'" pekik dara manis 
itu tertahan. Sepasang matanya terbelalak lebar. Gadis 
itu penasaran. Tidak bisa membuktikan lelaki tua itu 
bukan Pedang Pemecah Langit yang sebenarnya.
Pedang Pemecah Langit pun tidak tinggal diam. 
Begitu melihat Pujawati meronta dari pelukannya, to-
koh itu segera melancarkan totokan kilat ke tubuh Pu-
jawati.
"Ooohhh...!"
Tubuh gadis manis itu jatuh terkulai. Kekalutan 
hatinya membuat Pujawati tidak bisa menghindari to-
tokan Pedang Pemecah Langit.
"Pujawati...?!"

Melihat kejadian itu, Malela tersentak kaget. Apa-
lagi, saat melihat tubuh gadis manis yang diam-diam
telah merebut hatinya itu terkulai ke tanah. Dan sebe-
lum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba pe-
muda itu merasakan ada sambaran angin kuat dari 
sebelah atas.
"Malela! Awaaasss...!" Ki Danara yang sejak tadi 
menyaksikan pertemuan itu, berteriak memperin-
gatkan. Pada saat itu Pendekar Tongkat Sakti tengah 
melancarkan pukulan telapak tangan miring ke bela-
kang leher Malela. Sambaran angin pukulan itulah 
yang dirasakan Malela.
Menyadari dirinya terancam bahaya, Malela lang-
sung mengangkat tangan kanannya ke atas. Meskipun 
demikian, tenaganya tidak dikerahkan sepenuhnya. 
Karena serangan itu begitu tiba-tiba, dan dilakukan 
dalam jarak dekat. Sehingga.... 
Dukkk! 
"Aaahhh...?!"
Kedudukannya yang lemah membuat tubuh pe-
muda itu terjerembab dan jatuh ke atas tanah basah. 
Tangan kanannya terasa linu. Malela memang tidak 
siap menghadapi serangan itu. Kedudukannya pun ti-
dak menguntungkan. 
"Heahhh...!"
Pendekar Tongkat Sakti tidak mau memberi ke-
sempatan pada pemuda itu untuk menyiapkan jurus-
nya. Tokoh itu segera menyusul serangannya dengan 
hantaman tongkat baja putih.
Whukkk...!
Senjata maut itu meluncur cepat dari atas ke 
bawah, siap meremukkan batok kepala Malela. Kali ini 
Pendekar Tongkat Sakti bermaksud membunuh pemu-
da gagah berpakaian kuning cerah itu.

"Haaattt..!"
Ki Danara tidak bisa tinggal diam melihat Malela 
terancam maut Tubuh lelaki tua itu melesat ke depan 
dengan sambaran pedangnya. Ki Danara langsung 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk men-
gimbangi kepandaian Pendekar Tongkat Sakti yang 
sangat tinggi.
Bwettt... trangngng...!
"Aaahhh...?!"
Meskipun berhasil menyelamatkan Malela, tapi 
tubuh lelaki tua itu terlempar ke belakang. Ternyata
tenaga dalam Ki Danara kalah jauh dengan lawan. Pe-
dangnya terlepas dan jatuh entah di mana.
Biarpun begitu, tindakan Ki Danara tidak sia-sia. 
Malela segera bergulingan menjauh saat benturan ke-
ras itu terjadi. 
"Haaaittt...!"
Begitu melenting bangkit, Malela langsung mele-
sat. ke arah Ki Danara. Ditariknya tubuh orang tua itu 
bangkit berdiri. Ki Danara mengurut urut lengannya 
yang terasa linu.
'Terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Bagaima-
na keadaanmu...?" tanya Malela. Wajah pemuda itu 
terlihat cemas melihat seringai kesakitan di wajah Ki 
Danara.
'Tenaga dalam gurumu sungguh hebat sekali, 
Malela. Rasanya tulang-tulang lenganku patah akibat 
benturan tadi...," jawab Ki Danara sambil tetap memi-
jat lengannya.
"Aku belum tahu pasti siapa sebenarnya lelaki 
tua itu, Ki. Kalau ia benar guruku, pasti ada sesuatu 
yang tidak beres dengannya. Jika tidak, bagaimana 
mungkin ia demikian tega hendak membunuhku...," 
tandas Malela seraya memandang sosok gurunya.

"Siapa pun dia, kita harus tetap berhati-hati, Ma-
lela...," bisik Ki Danara mengingatkan. Malela men-
ganggukkan kepala. Lalu melesat ke rumpun bambu 
kuning yang tumbuh di tepi jalan. Dipilihnya bambu 
yang terbaik, kemudian ditebas dengan pedangnya.
"Gunakanlah pedangku untuk melindungi diri, 
Ki. Aku akan menggunakan batang bambu ini sebagai 
senjata. Meskipun ilmu yang kudapat belum sempur-
na, tapi Mudah-mudahan bisa kupergunakan untuk 
menjaga diri...," ujar Malela seraya menyerahkan pe-
dangnya pada Ki Danara. Sebagai murid utama Pende-
kar Tongkat Sakti, tentu Malela telah mewarisi hampir 
seluruh ilmu-ilmu silat gurunya.
Tanpa banyak tanya, Ki Danara segera menyam-
but pedang Malela. Sebab, dirinya memang sangat 
membutuhkan senjata itu untuk membela diri dari se-
rangan lawan. Maka, keduanya pun bersiap mengha-
dapi lawan-lawannya.
***
"Hm.... Berani kau melawan gurumu, Malela...?" 
tegur Ki Adiwarsa dengan wajah merah padam. Sepa-
sang matanya berkilat tajam penuh kemarahan. Ka-
kinya melangkah beberapa tindak menghampiri Malela 
dan Ki Danara.
"Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, Orang 
Tua? Mengapa kau mirip guruku. Dan, apa alasanmu 
hendak membunuhku tadi...?" tanya Malela penasa-
ran. Sampai saat itu dirinya masih ragu.
Siapa sesungguhnya orang tua itu? Jika bukan 
gurunya, mengapa wajahnya demikian mirip? Padahal 
setahunya Ki Adiwarsa tidak mempunyai saudara 
kembar. Sangat aneh jika lelaki tua itu mengaku berjuluk Pendekar Tongkat Sakti, yang jelas-jelas merupa-
kan julukan gurunya. Malela bingung dibuatnya.
"Jangan dengarkan ucapan busuknya, Malela! 
Orang tua itu bukan gurumu yang asli. Seperti halnya 
lelaki tua yang mirip guruku itu. Mana ada seorang 
guru tega membunuh murid-muridnya. Padahal, sang 
Murid merupakan pewaris tunggal perguruan serta il-
mu-ilmunya itu. Mereka adalah tokoh-tokoh palsu...!" 
tandas Ki Danara, berusaha mengingatkan Malela agar 
tidak terpengaruh bujukan lelaki tua itu.
Malela pun lebih mempercayai ucapan Ki Dana-
ra. Sehingga, pemuda itu menyiapkan jurus tongkat-
nya. Siap menghadapi serangan Pendekar Tongkat 
Sakti dan kawan-kawannya.
Bettt! Bettt!
Tongkat bambu di tangannya dikibaskan hingga 
menimbulkan suara sambaran angin kuat. Bambu se-
panjang lima jengkal dengan bulatan sebesar gagang 
pedang itu, siap digunakan Malela sebagai senjata.
"Hm..,," Pendekar Tongkat Sakti bergumam lirih.
Sepasang matanya bergerak liar. Kemudian, 
tongkat baja putihnya diputar di depan dada. Terden-
gar suara menderu-deru yang menerbangkan bebatuan 
kecil di dekatnya. Ki Adiwarsa tidak tanggung-
tanggung untuk mengarahkan segenap tenaganya.
"Majulah, Murid Murtad...!" geram kakek itu. 
Pandangannya tertuju lurus pada sepasang bola mata 
Malela. Pemuda itu segera membuang pandang ke arah 
lain. Tatapan mata lelaki tua itu tak ubahnya pandan-
gan seorang guru yang hendak menghukum muridnya. 
Agaknya, itu dilakukan untuk membuat hati Malela ge-
lisah.
"Haaattt...!"
Dengan sebuah teriakan nyaring. Malela melesat;

ke depan. Tongkat bambu di tangannya bergerak cepat 
Terkadang hanya dipegang satu tangan saja. Gerakan-
nya yang berubah-ubah itu membuat lawan tertegun 
sejenak.
Bwettt..!
"Haiiittt..!"
Pendekar Tongkat Sakti memiringkan tubuhnya 
untuk menghindari sodokan ujung tongkat bambu Ma-
lela yang mengarah tenggorokannya. Kemudian, mem-
balas dengan hantaman telapak tangan kirinya. Dis-
usul hantaman tongkatnya dari atas ke bawah. Tapi, 
semua serangan itu dapat digagalkan Malela dengan 
mudah. Sebentar kemudian, keduanya terlibat dalam 
sebuah perkelahian sengit!
Setelah dua puluh jurus lebih, Malela semakin 
bertambah yakin lelaki tua itu bukan gurunya yang as-
li. Permainan tongkat orang tua itu dicampur dengan 
ilmu-ilmu silat lain yang tidak dikenalnya. Apalagi, 
ternyata dirinya dapat mengimbangi permainan lawan. 
Keyakinan Malela semakin menjadi-jadi. Hanya saja 
pemuda itu tidak mengerti. Bagaimana mungkin lelaki 
tua itu memiliki wajah yang serupa dengan gurunya? 
Bahkan, ia memiliki ilmu tongkat perguruannya, meski 
di bawah ilmu Malela.
"Keparat! Sekarang aku yakin. Kaulah yang telah 
menculik guruku. Ilmu dan tongkat guruku itu buk-
tinya!" seru Malela di tengah hujan serangan lawan. 
Tubuh pemuda itu berkelit ke kiri-kanan. Sesekali 
tongkat bambu di tangannya melontarkan serangan 
balasan yang tidak kalah cepat
Sebagai pewaris Perguruan Tongkat Sakti, pemu-
da gagah itu telah mewarisi hampir seluruh ilmu Ki 
Adiwarsa. Selain memiliki sikap gagah dan jujur, Male-
la pun seorang murid berbakat Hingga tidak aneh bila

ia dapat mengimbangi permainan lawan, yang meng-
gunakan ilmu tongkat perguruannya.
Satu keuntungan Malela adalah pemuda itu telah 
melatihnya sejak kecil. Sehingga, dapat mengenali ilmu 
lawan dengan baik. Itulah salah satu keuntungan Ma-
lela. Maka, pada jurus keenam puluh pemuda itu mu-
lai dapat menekan lawan. 
"Haaattt...!"
Seraya membabatkan tongkat bambunya ke leher 
lawan, pemuda itu berteriak nyaring. Malela ingin me-
mecah perhatian lawan.
Bwettt..!
Ketika sambaran tongkat bambunya gagal, Male-
la langsung mengirimkan sebuah tendangan miring 
yang telak mengenai sasaran.
Bukkk!
"Uuuhhh...!"
Meskipun tidak terlalu kuat, namun tendangan 
pemuda itu sempat membuat lawan terdorong dan 
nyaris terpelanting jatuh. Untung kedudukan tokoh 
tua itu cukup kuat. Hingga dapat mengimbangi gerak 
tubuhnya dengan baik.
"Yeeeaaa...!"
Kesempatan itu tidak disia-siakan Malela. Tu-
buhnya melambung ke udara. Dari atas tongkat bam-
bunya bergerak menghantam tubuh di bawahnya!
Bweeettt..!
Trakkk! 
"Aaahhh...?!"
Malela memekik kaget. Tubuhnya terpental balik. 
Dan tongkat bambu di tangannya terpotong menjadi 
dua. Beruntung pemuda itu bertindak sigap dengan 
melempar tubuh ke belakang. Kalau tidak, bukan 
mustahil tubuhnya ikut terpotong menjadi dua!

Seorang lelaki yang bersenjatakan sepasang pe-
dang bersinar kehijauan, telah berdiri di depan Pende-
kar Tongkat Sakti. Orang itu adalah Sepasang Naga 
Laut!
"Hm...," Malela bergumam sambil memperbaiki 
kuda-kudanya. Sadar bahwa lawannya kali ini memili-
ki kepandaian yang jauh lebih hebat, Malela pun lebih 
bersikap hati-hati. Langkahnya diputar seperti hendak 
meneliti kelemahan lawan.
"Malela! Pakai pedang ini...!"
Melihat Malela tidak bersenjata, Ki Danara segera 
melemparkan pedang yang tadi diberikan pemuda itu 
kepadanya. Rupanya, orang tua itu pun tahu kalau 
lawan Malela berkepandaian lebih tinggi dari Pendekar 
Tongkat Sakti gadungan.
"Haaaiiittt...!"
Celaka! Saat Ki Danara melemparkan pedangnya, 
Sepasang Naga Laut langsung melambung ke udara. 
Sepasang pedang di tangannya berputar cepat mence-
gah pedang itu sampai di tangan Malela.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Disusul run-
tuhnya pedang Malela yang terpotong tiga. Sepasang 
pedang di tangan lelaki berpakaian kulit ular berwarna 
hijau itu memang merupakan sebuah pusaka ampuh.
"Gila...!" desis Malela kagum melihat ketajaman 
dan keampuhan sepasang pedang lawan. Tapi, bukan 
berarti dirinya gentar bertarung dengan tangan ko-
song. Tidak! Malela akan tetap menghadapi Sepasang 
Naga Laut, meskipun dengan ilmu tangan kosongnya!
"Hm...," Sepasang Naga Laut mendengus seraya 
menatap tajam Malela. Dan pemuda itu membalasnya. 
Kedua belah pihak sudah siap saling gebrak!


EMPAT

Malela yang sadar akan kepandaian lawan, tidak 
mau bertindak ceroboh. Ditunggunya lawan mulai me-
nyerang. Dirinya akan bertahan dengan mengandalkan 
sepasang tangannya. Seluruh kekuatan tenaga dalam-
nya dikerahkan. Malela siap bertarung habis-habisan!
Sepasang Naga Laut rupanya dapat membaca ja-
lan pikiran lawan. Tapi tampaknya ia tidak peduli. To-
koh berpakaian kulit ular itu merasa yakin dapat me-
nundukkan murid Pendekar Tongkat Sakti itu. Meski-
pun dengan menyerang lebih dulu berarti ia memperli-
hatkan kelemahan pertahanannya.
Bweeettt…, bwettt..!
Sepasang pedang pusaka bersinar kehijauan
berkilau saat tokoh itu memutarnya di depan tubuh. 
Sambaran angin berhawa dingin memenuhi arena per-
tarungan. Dan....
"Haiiittt..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki 
berpakaian kulit ular itu melesat ke depan dengan 
sambaran pedang yang berdesingan tajam. Kilatan si-
nar kehijauan itu bagai tangan-tangan maut yang siap 
mencabut nyawa lawan.
Bettt..., bettt!
"Hahhh...!"
Sambil membentak Malela menghindari samba-
ran sepasang pedang lawan. Seluruh kelincahannya 
dikeluarkan untuk menyelamatkan selembar nya-
wanya. Dan membalas sesekali dengan pukulan serta 
bacokan sisi telapak tangannya. Bahkan, tidak jarang 
kakinya melancarkan tendangan-tendangan kilat yang 
cepat dan kuat Sehingga, sebentar saja keduanya telah

bertarung sengit!
Tapi julukan Sepasang Naga Laut memang bu-
kan nama kosong. Tokoh itu membuktikan keheba-
tannya. Setelah lewat dua puluh tiga jurus Malela mu-
lai terdesak. Ruang geraknya semakin sempit, seolah 
terkurung hujan pedang!
Breeettt..!
"Aaahhh...?!" ,
Sebuah sambaran senjata lawan membuat pe-
muda itu memekik kesakitan. Meskipun luka di pang-
kal lengannya tidak terlalu dalam, namun cukup 
mengganggu gerakannya. Sehingga, tekanan lawan te-
rasa semakin berat!
"Malela, aku akan membantumu...!"
Ki Danara yang sejak tadi hanya sebagai penon-
ton, tak dapat menahan diri lagi ketika melihat pemu-
da itu terdesak. Tubuhnya segera melayang ke dalam 
arena pertarungan. Walau kepandaiannya tidak begitu 
tinggi, tapi Ki Danara bukan seorang pengecut. Ia rela 
mempertaruhkan nyawa untuk membantu Malela yang 
terkurung pedang lawan.
Whukkk...!
Begitu memasuki arena pertarungan, Ki Danara 
langsung melontarkan sebuah pukulan ke arah Sepa-
sang Naga Laut. Melihat sambaran angin yang cukup 
kuat Ki Danara agaknya telah mengerahkan seluruh 
tenaganya untuk melancarkan serangan itu.
"Hmmmhhh...!" Sepasang Naga Laut mengelua-
rkan dengusan mengejek.
Tubuhnya berkelit menghindari pukulan lelaki 
tua itu. Kemudian, mengalihkan serangannya ke arah 
Ki Danara. Dengan gerakan menggunting, sepasang 
pedangnya mengancam leher lelaki tua itu!
"Aaahhh...?!"

Terkejut bukan main Ki Danara. Ia merasa nya-
wanya akan segera melayang dengan kepala terpisah 
dari badan!
"Ki Danara...?!"
Wajah Malela pucat melihat serangan maut itu. 
Nyawa Ki Danara tidak mungkin dapat diselamatkan 
lagi. Jarak mereka terpisah sekitar satu tombak lebih. 
Sulit bagi Malela untuk menyelamatkan kawannya. 
Apalagi, gerakan Sepasang Naga Laut masih berada di 
atas kecepatannya.
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiiihhh...?!"
Pada saat yang sangat gawat itu, mendadak ber-
kelebat sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung 
memapaki sepasang pedang yang nyaris membabat pu-
tus leher Ki Danara. Tubuh Sepasang Naga Laut pun 
terdorong mundur terkena tangkisan sosok bayangan 
putih.
Sepasang Naga Laut segera memperbaiki kuda-
kudanya. Lalu menatap sosok pemuda tampan yang 
mengenakan jubah panjang putih. Yang ditatapnya 
berdiri tegak dengan sepotong bambu di tangannya. 
Potongan bambu itu milik Malela yang terpapas putus 
oleh pedangnya!
"Gila...?! Benarkah potongan bambu itu yang di-
gunakan untuk menyambut pedangku...?" desis Sepa-
sang Naga Laut tak percaya. Tidak masuk di akal jika 
sepasang pedang pusakanya dapat terpukul mundur 
oleh sepotong bambu. Jelas itu tidak mungkin!
"Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh besar se-
pertimu demikian mudah mencabut nyawa orang 
lain...," gumam pemuda tampan berjubah putih yang 
kelihatan terkejut saat mengenali lawan-lawan orang 
yang ditolongnya. Sepanjang pengetahuannya mereka

adalah tokoh-tokoh besar golongan putih.
"Pendekar Naga Putih...?!" . Ki Danara gembira 
bukan main ketika mengenali sosok pemuda tampan 
berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawanya. 
Lelaki tua itu telah mengenal siapa penolongnya. (Un-
tuk mengetahui perkenalan Ki Danara, Malela serta 
Pujawati dengan Panji dan Kenanga, silakan ikuti epi-
sode sebelumnya dalam: 'Penculik-Penculik Misterius').
Pemuda tampan berjubah putih yang memang 
Panji, menganggukkan kepala menyapa Ki Danara dan 
Malela. Di dekat mereka terlihat seorang dara jelita 
berpakaian serba hijau. Gadis itu adalah Kenanga 
yang datang bersama Panji. Pasangan pendekar muda 
itu belum lama bertemu. Ketika Kenanga terluka ma-
tanya oleh serbuk racun Penculik-Penculik Misterius, 
gadis itu tinggal bersama Dewa Tangan Salju di perta-
paan kakek itu. Dewa Tangan Salju lah yang mengoba-
ti luka Kenanga dengan petunjuk Panji. Sedangkan 
Panji sendiri pergi mencari Penculik-Penculik Miste-
rius. Setelah Kenanga sembuh dan Panji belum kem-
bali, gadis itu mencarinya. Mereka bertemu di sebuah 
desa.
"Mereka... orang-orang jahat yang menyamar se-
bagai guruku, dan guru Ki Danara, Pendekar Naga Pu-
tih...," jelas Malela sebelum pemuda tampan itu ber-
tanya. Panji tampak kaget mendengar keterangan itu.
"Betulkah demikian...?" Panji meminta ketega-
san.
Pemuda itu merasa heran melihat Sepasang Naga 
Laut hendak membunuh Ki Danara. Padahal di tempat 
itu ada Pedang Pemecah Langit, yang merupakan guru 
lelaki tua bertubuh kurus itu.
"Lalu..., bagaimana dengan Pujawati...?" Kenanga 
melihat gadis manis itu berada dalam gendongan Pedang Pemecah Langit. Tokoh bertubuh jangkung itu 
menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya.
Malela segera menceritakan kejadiannya yang 
menimpa Pujawati. Hingga gadis itu berada dalam de-
kapan Pedang Pemecah Langit. Pasangan pendekar 
muda itu pun mulai mengerti duduk perkara yang se-
benarnya.
"Hm.... Kalau begitu, kita harus menyelamatkan 
Pujawati dari cengkeraman ayah palsunya itu...," bisik 
Panji seraya melemparkan pandang ke arah Pedang 
Pemecah Langit.
Sementara itu, Sepasang Naga Laut, Pedang Pe-
mecah Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti telah ber-
kumpul. Mereka tampak gentar melihat pemuda tam-
pan berjubah putih. Agaknya, ketiga tokoh gadungan 
itu telah mengenal siapa Panji. Mereka pun bersepakat 
untuk meninggalkan tempat itu dengan membawa lari 
Pujawati. 
"Heiii...!"
Panji berusaha mencegah ketika melihat ketiga 
tokoh gadungan itu hendak melarikan diri. Tubuhnya 
melesat ke depan, dan berputaran beberapa kali di 
udara. Kemudian....
Jleggg!
Tubuh pemuda itu mendarat di tanah dalam ja-
rak dua tombak di depan ketiga tokoh gadungan itu. 
Mereka segera menahan langkah dengan wajah tegang!
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manusia-manusia 
Jahat! Lebih baik serahkan gadis itu, dan menyerahlah 
secara baik-baik jika tidak ingin terjadi hal-hal buruk 
menimpa kalian...!" ancam Panji dengan sinar mata ta-
jam menikam jantung, membuat hati lawan-lawannya 
berdebar keras.
Ketiga tokoh gadungan itu tidak menanggapi

ucapan Pendekar Naga Putih. Mereka malah memba-
likkan tubuh untuk mencari jalan meloloskan diri. 
Namun di belakang mereka telah berdiri Kenanga, Ma-
lela, dan Ki Danara.
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti 
segera memutar senjatanya. Lalu, menerjang ketiga 
penghadang itu. Mereka mengira gadis berpakaian ser-
ba hijau itu tidak terlalu berbahaya. Tidak seperti Pen-
dekar Naga Putih. Maka, mereka pun memilih kabur 
dengan menerjang Kenanga dan kawan-kawannya.
"Haaattt..!"
"Yeeeaaattt..!"
Ketiga senjata yang telah dialiri kekuatan hebat 
itu, meluruk maju menerjang Kenanga dan kawan-
kawannya.
Kenanga tidak tinggal diam. Cepat tangannya 
bergerak meloloskan pedang. Dan dikibaskan ke depan 
menyambut serangan lawan!
"Yeeeaaa...!"
Trang, trang, trangngng!
"Aiii...?!"
"Aaahhh...?!"
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti 
gadungan terpekik kaget Senjata mereka dapat dipa-
paki pedang gadis jelita itu. Akibat tangkisan yang 
sangat kuat itu, keduanya terdorong mundur.
"Gila...! Ternyata gadis itu memiliki kepandaian 
tinggi...!" desis Sepasang Naga Laut Harapannya untuk 
dapat meloloskan diri semakin menipis.
"Hm.... Sebaiknya kalian turuti saja permintaan
Pendekar Naga Putih. Dan jangan berharap dapat le-
pas dari tangan kami...," ujar Kenanga mengejek. Pe-
dang Sinar Bulan melintang di depan dada, siap 
menghadapi gempuran tokoh-tokoh gadungan itu.

"Kalau kalian tetap bersikeras tidak mau mem-
biarkan kami pergi, nyawa gadis ini terpaksa ku ca-
but..!" Pedang Pemecah Langit berkata sambil mene-
kan mata pedangnya ke leher Pujawati. Gadis manis 
itu masih terkulai pingsan dalam gendongannya. An-
caman Pedang Pemecah Langit sempat membuat Panji 
dan .yang lainnya tertegun sesaat.
"Gadis itu tidak mempunyai hubungan dengan-
ku," sahut Panji setelah berpikir sesaat "Kalau kalian 
ingin membunuhnya, bunuhlah! Tapi setelah itu, aku 
tidak akan memberi ampun pada kalian bertiga...," 
pemuda berjubah putih balas mengancam dengan ta-
tapan mata mencorong tajam, menyiratkan kegeraman 
hatinya.
Ki Danara dan Malela tentu saja kaget menden-
gar perkataan Pendekar Naga Putih. Namun, keduanya 
membungkam setelah Kenanga memberi isyarat diam. 
Mereka menunggu tanggapan Pedang Pemecah Langit 
yang kelihatan ragu setelah mendengar ancaman Panji.
Di saat itulah Panji segera bertindak cepat me-
manfaatkan kelengahan lawan. Tubuhnya melesat se-
cepat kilat. Tangan kanannya meluncur ke depan me-
lancarkan totokan jarak jauh dengan mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan.... 
Taaasss!
"Aaakkkhhh...?!"
Pedang Pemecah Langit yang tidak menyangka 
Pendekar Naga Putih akan berbuat senekat itu, menje-
rit kesakitan. Pedang di tangannya terlepas dan geng-
gaman. Lengan kanannya terkena kilatan sinar putih 
yang sangat kuat Lengan itu terasa lumpuh seketika.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera 
menyambar tubuh Pujawati yang melorot ke tanah. 
Bersamaan dengan itu, telapak tangan kirinya didorong ke depan mengirim pukulan jarak jauh.
Deeesss...!
"Aaaghhh...?!"
Pedang Pemecah Langit yang tengah terhuyung 
mundur, langsung terjengkang dan jatuh terbanting ke 
tanah! Pukulan jarak jauh Panji menggedor dada ki-
rinya. Tokoh gadungan itu pun memuntahkan darah 
segar!
"Ooouhhh...."
Terdengar rintihan perlahan Pujawati ketika Pan-
ji menyerahkan gadis manis itu pada Kenanga, yang 
segera membebaskan totokan di tubuh gadis manis 
itu.
"Kenanga...?!" desis Pujawati lemah saat matanya 
menangkap wajah gadis jelita itu.
"Syukurlah kau tidak terluka, Pujawati...," ucap 
Kenanga tersenyum lebar kepada gadis manis itu.
Begitu tersadar dari pingsannya, Pujawati lang-
sung bangkit dan menatap berkeliling. Sepasang mata 
gadis remaja itu tampak berbinar ketika menemukan 
sosok yang dicarinya.
"Sudah kuduga kau pasti datang bersama Pen-
dekar Naga Putih...," gumam dara remaja tidak me-
nyembunyikan rasa gembiranya. Pujawati merasa lega 
dan gembira melihat sosok pendekar muda yang dika-
guminya itu.
"Hhh...," Malela menghela napas panjang. Hingga 
terdengar Ki Danara yang berada di sebelahnya.
"Ada apa, Malela...?" tanya lelaki tua itu berpura-
pura bodoh. Agaknya, Ki Danara sudah dapat memba-
ca perasaan hati pemuda itu terhadap putri tunggal 
gurunya.
"Tidak apa-apa, Ki.... Aku hanya merasa lega me-
lihat Pujawati telah selamat..," sahut Malela sedikit gugup.
Ki Danara tersenyum tipis mendengar jawaban 
Malela. Dan, perhatiannya kembali dialihkan pada so-
sok Pendekar Naga Putih yang tengah berhadapan 
dengan ketiga lawannya. Saat itu Pedang Pemecah 
Langit telah berdiri. Meski wajah jago pedang itu keli-
hatan agak pucat, namun pedang di tangannya me-
nandakan ia siap bertempur. Rupanya, kelumpuhan di 
tangan kanannya telah sembuh. Walau masih sedikit 
lemah, jago pedang gadungan itu bersatu dengan ka-
wan-kawannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih.
Panji tetap tegak di tempatnya, meskipun ketiga 
lawannya telah mengepung dirinya. Nampaknya ketiga 
tokoh gadungan itu nekat menghadapi Pendekar Naga 
Putih. Sebab, untuk meloloskan diri dari tempat itu je-
las tidak mungkin. Satu-satunya pilihan bagi mereka 
adalah menghadapi pendekar muda yang digdaya itu.
***
LIMA


"Haaattt...!"
Sepasang Naga Laut, yang memiliki kepandaian 
paling tinggi di antara mereka bertiga, membuka se-
rangan dengan sepasang pedangnya. Menyusul Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit
Bwettt, bettt, whuttt...!
Panji menyelinap di antara sambaran senjata la-
wan. Sepasang tangannya bergerak cepat melepaskan 
serangan balasan yang tidak kalah bahayanya. Se-
hingga, dalam waktu singkat keempat tokoh persilatan

itu telah bertarung sengit!
"Heeeahhh...!"
Sepasang Naga Laut tampak paling bernafsu me-
lancarkan serangan. Kelebatan sepasang pedangnya 
demikian gencar mencari sasaran. Memaksa Panji le-
bih memperhatikan lelaki gagah berpakaian kulit ular 
itu daripada dua lawannya yang lain.
Whuttt... Bwettt...!
Dengan kuda-kuda rendah, Panji mengelakkan
sambaran sepasang pedang lawan yang mengincar leh-
er dan iganya. Kemudian melompat pendek ke bela-
kang, saat ujung tongkat baja Ki Adiwarsa gadungan 
mengancam dadanya. Serangan kedua lawannya pun 
luput dan membentur angin kosong!
Saat itu juga Panji bergerak ke depan dengan ke-
cepatan yang sulit ditangkap mata. Sepasang tangan-
nya bergerak ke kiri-kanan dengan mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Bukkk! Desss...!
"Hukkkhhh...!"
"Aaakhhh...!"
Kecepatan gerak Panji membuat Sepasang Naga 
Laut dan Pendekar Tongkat Sakti tak sempat mengelak
lagi. Akibatnya, tubuh kedua tokoh gadungan itu ter-
jengkang ke belakang memuntahkan darah segar. 
Hantaman lengan Pendekar Naga Putih yang laksana 
palu godam telah menghajar telak tubuh mereka.
"Haaattt..!"
Ketika Panji hendak melumpuhkan kedua la-
wannya, Pedang Pemecah Langit melancarkan seran-
gan. Hingga pemuda itu terpaksa menunda gerakan-
nya.
Bwettt... Bwettt..!
Putaran senjata Pedang Pemecah Langit memang

sungguh hebat! Panji harus menarik mundur tubuh-
nya untuk menghindari serangan itu. Serangan pedang 
lawan pun lewat di depannya. Panji langsung memba-
las serangan lawan dengan sambaran tangan kanan 
yang meliuk cepat menggedor dada Pedang Pemecah 
Langit! 
Buggg!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tokoh tua itu terpental ke be-
lakang sejauh dua tombak lebih! Hantaman itu mem-
buat Pedang Pemecah Langit tidak sanggup untuk se-
gera bangkit Darah segar kembali termuntah saat ia 
terbatuk Bagian dalam dadanya terasa remuk akibat 
gedoran telapak tangan pemuda berjubah putih.
Melihat Pedang Pemecah Langit gadungan tidak 
segera bangkit, Pendekar Naga Putih segera melayang 
ke arah dua lawan lainnya yang telah bersiap dengan 
senjata di tangan.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor naga sakti yang meliuk-liuk di 
angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke 
arah Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti. 
Tubuh pemuda itu terbungkus sinar putih keperakan 
yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Kedua 
tokoh gadungan itu terpana dan hanya bisa terpaku 
menanti kedatangan maut yang siap menjemput
"Haaaiii...!"
Saat tubuh Panji tinggal beberapa tindak dari 
kedua lawannya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi 
yang menggetarkan dada. Bersamaan dengan itu, se-
sosok bayangan hitam melayang datang memotong se-
rangan Panji.
Whusss...!
Sambaran angin keras berhembus mengiringi do

rongan sepasang tangan sosok serba hitam. Sehing-
ga....
Blarrr...!
Luar biasa sekali akibat benturan dua gelombang 
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Bumi di sekitar tempat 
itu bagai diguncang gempa! Hingga pepohonan berde-
rak ribut!
"Aaahhh...?!"
"Aiii...?!"
Akibat yang dirasakan Pendekar Naga Putih dan 
sosok berpakaian serba hitam pun tak kalah menge-
jutkan. Keduanya terpental balik dilempar tangan-
tangan raksasa yang tak nampak. Seruan-seruan ka-
get keluar dari mulut mereka.
"Haaattt...!"
Untuk mematahkan daya dorong itu, Panji berte-
riak keras. Tubuhnya melenting ke udara dan berputa-
ran tujuh kali sebelum mendarat di tanah. Tubuh pe-
muda itu agak bergoyang saat kedua kakinya menjejak 
tanah. Daya dorong benturan dahsyat itu ternyata
sangat kuat
Demikian pula sosok tinggi besar terbungkus pa-
kaian serba hitam. Tubuh tinggi besar itu terlempar 
balik dengan deras. Tapi, lagi-lagi sosok berpakaian 
serba hitam menunjukkan ketangguhannya. Tubuhnya 
melenting ke udara dan mendarat di tanah setelah 
berputaran be berapa kali. Kakinya tampak melangkah 
mundur meski telah mendarat dengan baik. Pada sela-
sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir turun. Tu-
buh bagian dalam sosok tinggi besar itu agaknya" 
sempat terguncang oleh benturan dahsyat tadi.
***

"Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih...?" tegur sosok tinggi besar. Matanya menatap ta-
jam sosok pemuda tampan berjubah putih yang juga 
tengah menatapnya lekat-lekat
"Dugaanmu tidak meleset Kisanak. Demikian 
orang-orang memberi julukan kepadaku. Siapakah 
kau? Dan apa hubunganmu dengan tokoh-tokoh ga-
dungan itu...?" tanya Panji. Kening pemuda itu berke-
rut dalam. Rupanya, Panji tengah berusaha mengenali 
sosok yang berkepandaian sangat tinggi itu.
Aku berjuluk Hantu Jubah Merah. Mengenai hu-
bungan dengan mereka, aku rasa kau dapat mener-
kanya sendiri, Pendekar Naga Putih...," desis sosok 
tinggi besar dengan dada membusung. Kelihatan sekali 
ia sangat bangga akan julukan itu.
"Hantu Jubah Merah... ?" gumam Panji mencoba 
mengingat-ingat julukan itu, "Hm.... Sayang aku belum 
pernah mendengar julukanmu, Hantu Jubah Merah. 
Tapi, aku sudah dapat menebak. Dirimu adalah biang 
keladi penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh
persilatan. Apa sebenarnya yang kau inginkan dari to-
koh-tokoh itu...?" lanjut Panji seraya meneliti sosok 
tinggi besar yang sudah melangkah maju. Jarak kedu-
anya kini terpisah dua tombak lebih.
"Sudahlah! Aku tidak ingin memperpanjang kata 
denganmu, Pendekar Naga Putih! Kunasihatkan agar 
kau tidak mencampuri urusanku. Jika tidak, kau pasti 
akan menyesal seumur hidup!" tandas sosok berjubah 
merah yang berjuluk Hantu Jubah Merah. Tampaknya 
tokoh itu sudah siap untuk menggempur Pendekar Na-
ga Putih.
"Hm.... Tidak ada kata menyesal untuk merun-
tuhkan segala bentuk kejahatan, Hantu Jubah Me-
rah...," tegas Panji. Langkahnya digeser saat melihat

lawan mulai mempersiapkan jurus-jurus serangannya.
Hantu Jubah Merah terus bergerak perlahan. Di-
dekatinya kedua orang pengikutnya yang masih tam-
pak pucat.
"Pergilah kalian dari tempat ini. Dan, bawa ka-
wanmu yang tewas itu," bisik Hantu Jubah Merah pa-
da Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Naga Laut 
Kedua tokoh itu menganggukkan kepala. Kemudian, 
bergerak mendekati tubuh Pedang Pemecah Langit 
yang tewas oleh pukulan Panji.
"Tahan...!" Panji membentak sambil melesat. Pe-
muda itu mengejar Sepasang Naga Laut dan Pendekar 
Tongkat Sakti, yang hendak meninggalkan tempat itu 
dengan membawa mayat Pedang Pemecah Langit
"Biarkan mereka pergi, Pendekar Naga Putih...!" 
Hantu Jubah Merah segera menghadang Panji yang 
hendak mengejar ketiga pengikutnya untuk mening-
galkan tempat itu.
Kenanga, Malela, dan Ki Danara pun tidak ting-
gal diam. Cepat ketiganya mengejar tokoh-tokoh ga-
dungan yang hendak melarikan diri itu. Tapi...
"Heaaahhh...!"
Melihat gelagat yang tidak baik, Hantu Jubah 
Merah segera mengayunkan tangannya ke arah ketiga 
pendekar itu. Dan.... 
"Awaaasss...!"
Kenanga berteriak memperingatkan Malela dan 
Ki Danara, ketika merasa ada sambaran angin kuat 
menghadang mereka. Menyadari pukulan jarak jauh 
yang dilontarkan Hantu Jubah Merah sangat berba-
haya, Kenanga pun segera mengingatkan kawan-
kawannya untuk menghindar.
Darrr...!
"Aaahhh...?!"

Memang hebat pukulan jarak jauh Hantu Jubah 
Merah. Tanah di depan ketiga pendekar itu meledak, 
membentuk sebuah lubang sebesar kubangan kerbau. 
Untunglah mereka sudah melompat ke belakang lebih 
dulu. Sehingga meskipun Malela dan Ki Danara sem-
pat terjatuh, tapi tidak mengalami luka yang 
mengkhawatirkan. Mereka berdua hanya terkejut me-
rasakan ledakan yang menggetarkan itu.
"Ku cabut nyawa kalian...!" geram Hantu Jubah 
Merah segera melesat ke arah Ki Danara dan Malela 
yang hendak bangkit
"Akulah lawanmu, Hantu Jubah Merah...!"
Panji tentu tidak tinggal diam melihat kedua 
orang itu dalam bahaya. Cepat tubuh pemuda itu me-
lesat memapaki serangan Hantu Jubah Merah.
Bwettt!
Hantu Jubah Merah terpaksa memutar arah se-
rangan. Pukulannya kini meluncur ke arah Pendekar 
Naga Putih. Tapi, Panji sudah memperhitungkan gera-
kannya dengan cermat Maka begitu pukulan lawan ti-
ba, tubuhnya langsung berputar. Sedangkan tangan 
kanannya dikibaskan memapaki pukulan lawan.
Plakkk!
Tubuh kedua tokoh hebat itu terjajar mundur. 
Kemudian, kembali bersiap dengan jurus-jurus anda-
lannya. Kepandaian kedua tokoh itu tampaknya be-
rimbang. Sehingga, mereka sama-sama memperhi-
tungkan serangan-serangan berikutnya.
"Yeaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah melipatgandakan 
kekuatannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih, yang dirasakannya sangat tangguh. Sepasang tan-
gannya berputaran bagai baling-baling. Hingga tan-
gannya tampak demikian banyak dan menimbulkan

angin yang menderu-deru.
Dengan menggunakan 'Ilmu Silat Naga Putih'nya, 
Panji langsung meluncur menyambut serangan lawan. 
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu telah saling ter-
jang dengan jurus-jurus andalannya!
Kenanga, Malela, dan Ki Danara bergegas me-
nyingkir dari arena perkelahian. Mereka tahu akan ba-
haya pertarungan tingkat tinggi itu. Jangan sampai 
terkena pukulan. Angin pukulannya saja bisa mem-
buat napas mereka putus seketika. Hal itu terlihat dari 
robohnya beberapa batang pohon yang tumbuh di de-
kat arena pertarungan. Bahkan bebatuan kecil pun be-
terbangan, dan terasa sakit mengenai tubuh mereka.
"Luar biasa...! Selama hidupku baru sekali ini 
aku melihat pertempuran yang demikian mengeri-
kan...!" desis Malela takjub dan juga gentar melihat 
pertarungan kedua tokoh puncak itu. Kedua matanya 
tidak berkedip melihat jalannya pertarungan. Sayang, 
perkelahian itu berlangsung sangat cepat Hingga pan-
dangan pemuda gagah itu kadang kabur, dan tidak bi-
sa membedakan satu dengan yang lainnya.
Bukan hanya Malela yang mengalami kesulitan 
seperti itu. Kenanga pun seringkali terkecoh, dan tidak 
dapat membedakan mana tubuh Hantu Jubah Merah 
dan mana sosok kekasihnya. Arena pertarungan agak 
gelap oleh debu dan rerumputan yang beterbangan. 
Kenanga hanya bisa berharap, agar kekasihnya dapat 
segera menundukkan tokoh sesat yang berkepandaian 
menggetarkan itu.
Sementara Panji mulai dapat menebak secara 
pasti. Hantu Jubah Merah adalah dalang penculikan-
penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan. Terasa 
dari jurus-jurus yang dimainkan lelaki tinggi besar itu. 
Pemuda itu menemukan gerakan-gerakan yang pernah

dikenalnya. Hantu Jubah Merah melakukan penculi-
kan untuk menyadap ilmu-ilmu andalan korbannya. 
Kesimpulan itu membuat Panji makin memperhebat 
serangan. Agaknya, ia sudah tidak sabar ingin segera 
menundukkan lawan secepatnya.
"Hafiittt..!"
Saat pertarungan telah melewati lima puluh ju-
rus, Pendekar Naga Putih tiba-tiba mengeluarkan 
'Pekikan Naga Merah'! Bersamaan dengan itu, tubuh-
nya mencelat tinggi. Kemudian meluncur turun bagai 
seekor naga sakti yang baru turun dari langit
"Heeeaaattt..!"
Melihat kedahsyatan serangan lawan. Hantu Ju-
bah Merah pun mengeluarkan pekikan melengking 
tinggi. Jubah merahnya dikibaskan seperti hendak 
menyelimuti tubuhnya dengan jubah yang panjang dan 
lebar itu.
Blasss!
Luar biasa sekali! Begitu jubah merah itu menye-
limuti sekujur tubuhnya, terdengar suara meletup. 
Muncullah asap putih yang tebal hingga tubuh tinggi 
besar itu lenyap di dalamnya. Asap putih itu membuat 
pandangan Panji terhalang. Meski demikian, seran-
gannya tetap dilanjutkan!
Darrr...!
Sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih 
yang berputaran kemudian didorong ke depan, me-
nimbulkan ledakan keras yang menggetarkan bumi di 
sekitarnya. Asap putih itu langsung buyar. Tanah tem-
pat Hantu Jubah Merah berdiri, berlubang besar ter-
kena hantaman telapak tangan pendekar muda itu. 
Tapi...
"Kurang ajar...! Ke mana manusia licik itu... ?!" 
geram Panji ketika tidak menemukan sosok lawan dalam gumpalan asap putih yang telah buyar. Rupanya 
Hantu Jubah Merah telah menghilang saat serangan 
dahsyat Panji tiba. Agaknya, tokoh itu tidak sanggup 
menghadapi gempuran maut Pendekar Naga Putih. 
Hingga ia memilih melarikan diri dari tempat itu.
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa parau yang menggetarkan 
dada. Cepat Panji menoleh.
"Keparat busuk...!" desis Panji tidak habis men-
gerti, melihat sosok lawan telah berada jauh dari tem-
patnya semula.
Hantu Jubah Merah berdiri tegak sambil mem-
perdengarkan tawa yang menggelegar. Sosoknya yang 
kini berada dalam jarak sekitar sepuluh tombak, terli-
hat demikian gagah dan menyeramkan. Dan ketika 
melihat pemuda itu hendak mengejarnya, tokoh jahat 
itu kembali menutupi sekujur tubuhnya dengan jubah 
merahnya. Sosoknya kembali lenyap tertelan gumpalan 
asap tebal putih.
"Pengecut..!" desis Panji. Lawannya ternyata me-
miliki jubah ajaib yang bisa membuat tubuh pemilik-
nya lenyap dari pandangan.
"Hua ha ha...! Selamat tinggal, Pendekar Naga 
Putih! Aku bukan melarikan diri, tapi hanya menunda 
pertemuan kita. Kelak aku akan datang untuk menca-
but nyawamu...!" terdengar suara parau yang seperti 
datang dari empat penjuru.
Panji hanya bisa menahan kegeraman hatinya. 
Sedangkan sosok lawannya telah lenyap entah ke ma-
na. Panji berdiri tegak menghela napas panjang. Ke-
ningnya tampak berkerut seperti tengah memikirkan 
sesuatu.
"Kakang...," Kenanga berlari mendatanginya ber-
sama Malela dan Ki Danara.

"Ke mana perginya Hantu Jubah Merah, Pende-
kar Naga Putih?" tanya Malela.
"Ia telah lari jauh dari tempat ini...," sahut Panji 
tanpa menoleh.
"Sungguh berbahaya tokoh yang berjuluk Hantu 
Jubah Merah itu, Kakang. Kita harus menemukan ra-
hasia ilmu melenyapkan diri itu. Kalau tidak, akan su-
lit sekali untuk mengalahkannya...," ujar Kenanga 
yang sempat melihat bagaimana cara tokoh sakti itu 
meninggalkan pertempuran.
"Ya.... Memang sulit menghadapi seorang tokoh 
yang memiliki ilmu melenyapkan diri demikian sem-
purna...," sahut Panji mirip sebuah desahan panjang. 
Pikiran pemuda itu agaknya masih terpaut kepada il-
mu aneh yang digunakan lawan.
"Hantu Jubah Merah pasti menggunakan ilmu 
sihir...," timpal Ki Danara. 
"Hhh...," Panji hanya menghela napas panjang. 
Kemudian melangkah perlahan diikuti Kenanga, Male-
la, dan Ki Danara.
"Benarkah Hantu Jubah Merah seorang ahli si-
hir, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya merasa 
penasaran mendengar ucapan Ki Danara.
"Rasanya tidak. Biasanya seorang ahli sihir akan 
mengucapkan mantera bila hendak menggunakan ilmu 
sihirnya. Hantu Jubah Merah hanya menutupi sekujur 
tubuhnya dengan jubah. Setelah itu, tubuhnya beru-
bah menjadi gumpalan asap tebal berwarna putih. Me-
nurut dugaanku, jubah merah yang dikenakannya itu 
pasti bukan jubah sembarangan...," ujar Panji. Pemuda 
itu tidak sependapat dengan Ki Danara.
"Jubah ajaib...," desis Ki Danara dan Malela. Ke-
nanga hanya mengangguk-angguk. Gadis jelita itu le-
bih percaya dugaan kekasihnya daripada ucapan Ki

Danara.
"Ya. Jubah itu pasti merupakan benda pusaka 
yang mempunyai keampuhan tersendiri. Dan bukan 
tidak mungkin jubah itu pun mampu menahan baco-
kan pedang...," Panji melanjutkan dugaannya, mem-
buat Kenanga dan yang lainnya kagum.
"Bisa menahan bacokan pedang...?!" desis Male-
la. Pemuda itu tampak terkejut mendengar keterangan 
Pendekar Naga Putih tentang keampuhan jubah merah 
yang dikenakan tokoh sesat menggiriskan itu, "Apakah 
itu mungkin...?" gumamnya perlahan
'Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Ma-
lela. Melihat jubah itu sanggup membuat pemiliknya 
menghilang, aku menduga kemungkinan besar jubah 
itu masih memiliki keampuhan lain...," jelas Panji yang 
merasa yakin dengan dugaannya.
'Termasuk membuat tubuh pemiliknya kebal ter-
hadap segala macam senjata...?" kali ini Ki Danara 
yang meminta penegasan Pendekar Naga Putih.
"Ya. Termasuk bisa membuat tubuh tokoh tinggi 
besar itu sanggup menahan bacokan senjata, bila 
menggunakan jubah merah itu sebagai pelindung tu-
buhnya...," tandas Panji.
"Jadi..., jubah yang dikenakannya itu semacam 
Jubah Mustika?" tanya Malela setelah berpikir bebera-
pa saat
"Tepat sekali istilah yang kau pergunakan itu, 
Malela," tukas Panji, membuat pemuda gagah berpa-
kaian kuning cerah itu menggeleng takjub.
"Kalau benar demikian, akan sulit sekali bagi ki-
ta untuk dapat mengalahkannya...," keluh Malela. Pe-
muda itu seperti merasa putus asa setelah mendengar 
penjelasan Panji.
"Memang sangat sulit Malela. Biarpun demikian,

kita harus berusaha menemukan kelemahannya. 
Hingga kita bisa merobohkannya...," sahut Panji beru-
saha membangkitkan semangat pemuda gagah itu, 
"Sebaiknya sekarang kita mencari tempat beristirahat 
sambil memikirkan cara merobohkan Hantu Jubah 
Merah...," ajak Panji lalu melangkah mendahului yang 
lainnya.
Kenanga, Malela, Ki Danara, dan Pujawati yang 
telah pulih tenaganya segera mengikuti langkah pen-
dekar muda itu. Sebab, hanya Panji lah satu-satunya 
harapan mereka untuk menyelamatkan tokoh-tokoh
persilatan yang lenyap diculik, termasuk ayah dan 
guru mereka.
Hari sudah mulai gelap ketika kelima sosok tu-
buh itu melangkah menyusuri tanah becek. Tampak-
nya mereka akan kemalaman di jalan sebelum mene-
mukan tempat yang cocok untuk bermalam.
"Sebaiknya kita bergegas. Siapa tahu di depan
sana ada desa yang bisa kita gunakan untuk berma-
lam…," usul Panji yang segera disetujui yang lainnya.
Panji langsung melesat setelah melihat anggukan 
mereka. Pemuda itu tentu saja tidak menggunakan se-
penuh tenaganya untuk berlari. Dengan begitu mereka 
dapat berlari dalam jarak yang tidak terpaut jauh.
Apa yang mereka harapkan ternyata terkabul. 
Tak berapa lama mereka berlari tampak sebuah batu 
yang merupakan batas desa, berdiri tegak di tepi jalan. 
Mereka pun mempercepat lari untuk segera tiba di De-
sa Karapan.
***

ENAM

Desa Karapan tampak ramai. Hembusan angin 
masih terasa dingin menyentuh kulit Namun pendu-
duk desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani, te-
lah berangkat untuk menggarap sawah ladangnya. Se-
hingga, pagi itu jalan utama yang membelah Desa Ka-
rapan tampak ramai.
Bukan hanya jalan-jalan desa saja yang dipenuhi 
orang yang berlalu-lalang. Di sebuah kedai yang terle-
tak di pinggir jalan dekat mulut desa pun telah dipada-
ti pengunjung. Pemilik kedai dan pelayannya sibuk 
melayani pesanan.
Di sudut kiri ruangan kedai tampak tiga orang le-
laki dan dua orang wanita tengah menikmati hidangan 
mereka. Sesekali mereka melemparkan pandang ke 
arah pintu kedai.
"Ada apa, Malela...?" pemuda tampan berjubah 
putih yang duduk menghadap pintu kedai, bertanya 
pada pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Wajah 
pemuda gagah bernama Malela itu membiaskan rasa 
gelisah.
Malela tidak segera menjawab pertanyaan pemu-
da tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Dihe-
lanya napas panjang dan melemparkan pandang ke 
sekeliling ruangan kedai. Baru kemudian menoleh ke 
arah Panji.
'Pendekar Naga Putih. Tidakkah sebaiknya kita 
melanjutkan perjalanan? Menurutku kita harus segera 
mencari tempat persembunyian Hantu Jubah Merah 
dan kawan-kawannya. Bentrokan kemarin membuat 
hatiku cemas...," jawab Malela.
"Aku mengerti perasaanmu, Malela. Aku menduga gurumu dan ayah Pujawati kemungkinan besar be-
lum mereka bunuh," ujar Panji yang dapat menebak 
penyebab kegelisahan hati Malela. Ucapan pemuda itu 
membuat yang lainnya mengangkat kepala dan me-
mandang Panji penuh tanda tanya.
" "Benarkah ucapanmu, Pendekar Naga Putih...?" 
Pujawati yang sangat mengkhawatirkan keselamatan 
ayahnya menjadi berdebar hatinya. Gadis manis itu 
belum yakin akan hal itu.
"Ya. Mengapa kau menduga demikian, Pendekar 
Naga Putih? Apa alasanmu...?" Ki Danara yang duduk 
di sebelah Malela melontarkan pertanyaan. Orang tua 
itu pun belum bisa mempercayai ucapan Panji.
"Jawablah pertanyaan mereka, Malela. Aku ingin 
mendengar alasanmu?" Panji tidak menjawab dan me-
nyerahkannya kepada Malela. Rupanya, pemuda itu 
ingin tahu lebih dahulu alasan Malela.
"Alasan ku mungkin tidak begitu kuat Tapi, aku 
merasa sangat yakin tokoh-tokoh yang diculik Hantu 
Jubah Merah masih hidup. Meskipun tidak mustahil 
mereka tengah menderita," Malela berhenti sebentar 
seperti hendak melihat tanggapan yang lainnya, "Kita 
semua sudah tahu, Pendekar Tongkat Sakti dan Pe-
dang Pemecah Langit yang kita hadapi kemarin adalah 
palsu. Tapi, senjata dan ilmu yang mereka gunakan 
milik guru kita yang sesungguhnya. Dan itu hanya 
mempunyai satu arti. Mereka telah menyadap ilmu-
ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Tapi, belum 
sempurna hingga masih banyak kekurangan di sana 
sini. Itu berarti mereka belum membunuh tokoh-tokoh
itu. Karena mereka harus menyerap ilmu-ilmu itu lebih 
banyak lagi...," jelas Malela kemudian memandang wa-
jah-wajah di hadapannya yang terlihat mengangguk-
kan kepala.
"Alasan Malela sama dengan dugaanku," ujar 
Panji setelah suasana hening be berapa saat lamanya, 
"Ketika aku bertarung dengan Hantu Jubah Merah, ia 
menggunakan beberapa jenis ilmu yang cukup kukenal 
dasar-dasar gerakannya. Jelas terlihat tokoh itu telah 
menyadap ilmu pendekar-pendekar yang diculiknya. 
Berbeda dengan tokoh-tokoh gadungan yang kalian 
hadapi. Hantu Jubah Merah telah menggabungkan se-
demikian rupa ilmu-ilmu para pendekar itu. Sehingga, 
tercipta sebuah ilmu baru yang sukar dicari bandin-
gannya. Meskipun begitu, aku menemukan beberapa 
gerakan yang terlihat ragu-ragu. Itu berarti Hantu Ju-
bah Merah belum merampungkan ilmu gabungan itu! 
Dengan demikian, besar kemungkinan tokoh itu masih 
memerlukan para pendekar yang diculiknya," lanjut 
Panji. Ki Danara, Pujawati, dan Kenanga sama men-
ganggukkan kepala. Agaknya, mereka menerima ala-
san yang dikemukakan Panji dan Malela.
"Jika benar demikian, memang sebaiknya kita 
harus bergegas. Sebab, bukan tidak mungkin Hantu 
Jubah Merah berubah pikiran, dan membunuh tokoh-
tokoh itu. Kejadian kemarin jelas akan membuatnya 
lebih berhati-hati...," Ki Danara akhirnya mengajukan 
pikiran yang serupa dengan Malela.
"Aku setuju...," sambut Pujawati dengan wajah 
agak tegang. Perkataan Ki Danara membangkitkan ra-
sa cemas gadis itu.
Mereka pun bersepakat untuk segera melan-
jutkan perjalanan. Kelimanya bergerak bangkit dan 
meninggalkan kedai sesudah membayar pesanan me-
reka.
"Hmmm...," saat kelimanya hendak keluar kedai, 
terdengar dengusan kasar. Mereka menoleh ke arah 
asal suara.
Panji dan kawan-kawannya terlihat mengerutkan 
kening. Yang mengeluarkan dengusan kasar itu adalah 
salah satu dari lima orang lelaki gagah. Satu di anta-
ranya seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun. Sikap dan pandangan mereka membuat Panji dan 
kawan-kawannya terkejut. Mereka pun sadar orang-
orang itu bukan tokoh sembarangan!
"Orang-orang Perguruan Rimba Kecil...?!" desis 
Malela yang rupanya mengenali kelima lelaki gagah 
dan angker itu.
Wajah pemuda itu menegang. Sikap tokoh-tokoh
Perguruan Rimba Kecil jelas tak menunjukkan persa-
habatan kepada mereka. Mendengar ucapan Malela, 
Panji segera mengenali kelima sosok lelaki itu.
"Hm.... Dunia benar-benar sudah terbalik! To-
koh-tokoh terkenal dan menjadi sanjungan orang ba-
nyak ternyata telah berpaling ke jalan sesat. Sulit da-
pat kupercaya...," suara kakek berusia tujuh puluh ta-
hun lebih yang bergetar dan mengandung perbawa 
kuat, membuat Panji menahan langkah. Pemuda itu 
menunda niatnya untuk menyapa kelima lelaki gagah 
itu.
"Kalau tidak salah, aku tengah berhadapan den-
gan Ki Sangga Langit dan orang-orang gagah dari Per-
guruan Rimba Kecil. Maaf, kalau sambutan ku kurang 
berkenan di hati kalian...," meski agak heran dengan 
perkataan Ki Sangga Langit, Panji tetap berusaha me-
nyapa seraya membungkuk hormat
"Anak Muda. Kaukah yang berjuluk Pendekar 
Naga Putih...?" tanya orang tua itu tanpa menanggapi
ucapan Panji. Nada suaranya terdengar tidak bersaha-
bat Bahkan, terkesan menyembunyikan kemarahan.
"Benar, Ki. Demikianlah orang-orang memberi ju-
lukan pada diriku yang bodoh ini...," sahut Panji kembali membungkuk hormat, tanpa peduli dengan sikap 
orang tua itu yang kelihatan sangat sinis dan tidak 
menyukainya.
"Sungguh sayang sekali...," desah orang tua itu 
seraya menggeleng dengan wajah sedih.
"Orang Tua...!" Kenanga jengkel melihat sikap 
sombong Ki Sangga Langit Gadis jelita itu melangkah 
maju dan menuding kakek itu dengan sikap yang tidak 
menunjukkan rasa hormat Kenanga tidak sudi keka-
sihnya diejek dan dianggap rendah kakek tinggi kurus 
itu, "Meskipun kau seorang tokoh besar yang dihorma-
ti, tapi tidak sepantasnya kau berbuat demikian terha-
dap Pendekar Naga Putih! Sikapmu tidak bisa kuteri-
ma! Apa salah kami hingga kau demikian sinis pa-
danya? Perlu kau ketahui! Sikap hormat Pendekar Na-
ga Putih bukan berarti ia takut kepadamu!" bentak da-
ta jelita itu tanpa peduli kekasihnya telah berusaha 
mencegah.
"Hm...," Ki Sangga Langit kembali memperden-
garkan dengusannya yang kasar, "Sikapmu semakin 
membuatku yakin. Kalian benar-benar telah berpaling 
dari jalan lurus! Dan, telah bersekongkol dengan Pen-
dekar Tongkat Sakti serta yang lainnya untuk meng-
ganggu perguruan kami...," lanjut Ki Sangga Langit 
Ucapan itu membuat Panji dan kawan-kawannya se-
makin tidak mengerti.
"Maaf, Ki Sangga Langit Selama ini aku sangat 
menghormatimu sebagai tokoh besar! Tapi karena kau 
menghina guruku, terpaksa aku melupakan kebodo-
han ku. Aku akan membela nama guruku dengan ta-
ruhan nyawa...!"
Mendengar penghinaan Ki Sangga Langit Malela 
langsung melangkah maju sambil mencabut pedang-
nya. Panji cepat mencegah. Pemuda tampan itu ingin
mengetahui secara jelas duduk perkaranya.
"Ki Sangga Langit. Kami tidak tahu apa yang se-
dang kau bicarakan. Kuharap kau mau menjelaskan-
nya agar kami mengerti duduk persoalannya...," pinta 
Panji tetap menunjukkan sikap hormat Pemuda itu 
menduga ada kesalahpahaman di antara. mereka. Itu 
sebabnya, ia masih bersabar.
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Pende-
kar Tongkat Sakti, Pedang Pemecah Langit serta tokoh-
tokoh lainnya telah menjadi pengikut Hantu Jubah 
Merah. Mereka mencuri kitab dan senjata-senjata pu-
saka dari gedung perpustakaan perguruan kami. Se-
bagai murid dan anaknya, mereka bertiga pasti menge-
tahui di mana pusaka-pusaka itu disembunyikan...," 
Ki Sangga Langit menuding Malela, Pujawati, dan Ki 
Danara, yang tentu saja terkejut mendengar ucapan 
itu.
'Tidak mungkin! Itu semua fitnah!" Pujawati tidak 
bisa menerima tuduhan Ki Sangga Langit Gadis manis 
itu langsung membela nama ayahnya. Ia mengenal 
baik sifat-sifat ayahnya yang tidak mungkin sampai 
melakukan hal tercela itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan se-
mua itu hanya fitnah! Kami menyaksikan dengan mata 
kepala sendiri dan bertempur dengan mereka! Salah 
satu dari mereka, yang berjuluk Pendekar Golok Kem-
bar tewas di tangan murid-murid perguruan kami! Jadi 
tidak ada gunanya kau membantah!"
Lelaki gagah berusia lima puluh tahun lebih den-
gan wajah berewok, melangkah maju. Dihampirinya 
Pujawati yang wajahnya terlihat pucat Suasana sema-
kin menegang!
'Tunggu...!" Panji cepat menengahi, "Apa yang di-
katakan Pujawati benar. Semua itu hanya fitnah belaka. Kami pun sempat bertempur dengan tokoh-tokoh
itu yang ternyata palsu. Ini semua adalah ulah Hantu 
Jubah Merah yang hendak memecah belah golongan 
putih. Kuharap kalian mengerti dan mempercayai uca-
panku ini...." 
"Hua ha ha...!"
Ucapan Panji malah disambut dengan gelak tawa 
oleh tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil. Mereka jelas 
tidak mempercayai bantahan Pendekar Naga Putih.
"Percayalah, Ki Sangga Langit Semua yang kuka-
takan benar! Sebagai tokoh tua yang bijaksana, seha-
rusnya kau bisa mempertimbangkan tindakanmu...," 
ujar Panji seraya merentangkan kedua tangannya ke 
samping. Mencegah keempat kawannya yang telah 
mencabut senjata untuk menggempur orang-orang
Perguruan Rimba Kecil.
"Hmh! Tidak perlu membantah lagi, Pendekar 
Naga Putih!" tukas lelaki gagah berwajah berewok yang 
tidak lain Ki Gumaranta, "Sekarang kau tinggal pilih! 
Menyerahkan diri dan mengembalikan pusaka kami, 
atau terpaksa kami melenyapkanmu dari muka bumi 
ini...!"
"Keparat sombong!" Kenanga yang sudah tidak 
bisa menahan sabar, membentak gusar. Tubuh dara 
jelita itu melesat ke arah Ki Gumaranta. Menurutnya
sudah tidak ada gunanya lagi berdebat Maka gadis itu 
segera membuka serangannya.
Beuttt..!
Pedang bersinar putih keperakan yang meman-
carkan hawa dingin itu, sempat membuat Ki Gumaran-
ta terkejut! Lelaki berewok itu melompat ke belakang 
menghindari sambaran Pedang Sinar Bulan. Dicabut-
nya senjata, lalu balas menerjang Kenanga.
"Heaaattt..!"

Whuttt..!
Suara desingan tajam yang disertai kilatan ca-
haya putih mengincar tubuh Kenanga. Dara jelita itu 
mendengus. Senjatanya diputar untuk memapaki se-
rangan pedang lawan.
Trangngng!
"Uuuhhh...!"
Kaget bukan main hati Ki Gumaranta. Lengan-
nya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Sadarlah le-
laki berewok itu kalau lawannya ternyata memiliki te-
naga dalam yang sangat kuat Bahkan, melebihi kekua-
tannya sendiri. Sungguh tidak pernah diduganya.
"Haaaiiittt..!" 
Singngng...!
Pedang di tangan Kenanga menyusuli gerakan-
nya. Senjata ampuh itu meliuk sebentar, kemudian 
meluncur kurus mengarah ulu hati Ki Gumaranta!
"Aaahhh...?!"
Ki Gumaranta terpekik kaget! Dalam keadaan
masih terhuyung, tentu sangat sulit baginya untuk 
menghindar. Untuk menangkis pun rasanya tidak 
mungkin. Lengan kanannya masih sukar untuk dige-
rakkan karena rasa nyeri yang dideritanya. Wajah lela-
ki berewok itu langsung berubah pucat! Sedang pe-
dang lawan meluncur dengan kecepatan tinggi. Siap 
merenggut selembar nyawanya. 
"Yiaaahhh...!"
Pada saat yang gawat itu, lelaki tinggi tegap yang 
berada di belakangnya langsung membentak nyaring. 
Tubuhnya melejit ke depan disertai tamparan keras 
sepasang lengannya. Satu mengarah pelipis Kenanga, 
dan satu lagi tertuju ke pergelangan lengan dara jelita 
itu. Sebuah serangan yang hebat dan mengagumkan!
Tapi Kenanga bukanlah gadis sembarangan. Serangan yang cepat dan kuat itu tidak membuat nya 
gugup. Dengan tenang dara jelita itu memiringkan tu-
buh sambil memutar kepalanya. Bersamaan dengan 
itu, pedang di tangannya berputar dan berbalik mem-
bacok pergelangan lengan lawan.
"Hebat..!"
Mau tidak mau lelaki tinggi tegap itu memuji ge-
rakan Kenanga yang memang sangat mengagumkan. 
Cepat ditariknya pulang tamparan yang mengarah pe-
lipis. Kemudian tangannya diputar menepis bacokan 
pedang dara jelita itu. Sehingga....
Plakkk!
Lagi-lagi lelaki tinggi tegap itu berseru memuji. 
Tepisan telapak tangannya pada pergelangan dara jeli-
ta itu, membuat sekujur lengannya bergetar. Kekuatan 
dara jelita berpakaian serba hijau itu memang tidak 
berada di bawahnya. Kenyataan itu sempat membuat-
nya terkagum-kagum!
Kenanga yang juga merasakan lengannya berge-
tar, menarik mundur langkahnya. Gadis jelita itu sa-
dar lawan yang dihadapinya kali ini tidak bisa dipan-
dang ringan.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak, dara jelita itu memutar pe-
dangnya membuka jurus baru. Kali ini ia tidak mau 
bertindak ceroboh. Kenanga langsung menggunakan 
jurus andalannya untuk menghadapi lawan.
Demikian pula lelaki tinggi tegap yang merupa-
kan tokoh tingkat satu Perguruan Rimba Kecil Meski-
pun usianya jauh lebih muda dari Ki Gumantara, na-
mun lelaki tinggi tegap yang bernama Warsita itu ada-
lah kakak seperguruan Ki Gumantara. Tentu saja ke-
pandaiannya pun sudah sangat tinggi. Jadi, wajar saja 
bila Kenanga sempat dibuat terkejut oleh kekuatannya.

"Haaattt..!"
Kenanga kembali membuka serangan. Pedang di 
tangan kanannya bergulung-gulung membentuk kilat 
sinar putih keperakan. Sekali menyerang, ujung pe-
dangnya langsung mengancam lima titik jalan darah di 
tubuh lawan! Warsita tidak bisa membiarkan dan sege-
ra mencabut pedang di pinggangnya. Sebentar kemu-
dian, kedua tokoh itu telah bertarung sengit!
Sementara itu, tokoh-tokoh lain dari Perguruan 
Rimba Kecil telah menghunus senjata. Mereka adalah 
Ki Gumaranta, Ki Jinggala, dan Harjana. Lawan yang 
akan dihadapi yaitu Malela, Pujawati, dan Ki Danara, 
yang juga telah bersiap.
Melihat tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil su-
dah siap menggempur kawan-kawannya, Panji segera 
melesat untuk melindungi mereka bertiga.
"Biarkan, Pendekar Naga Putih...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan perlahan, 
namun mengandung getaran yang amat kuat. Bersa-
maan dengan itu, sesosok tubuh tinggi kurus me-
layang. Panji terpaksa menunda gerakannya.
"Ki Sangga Langit..?!" Panji berseru kaget ketika 
melihat pucuk pimpinan Perguruan Rimba Kecil ikut 
terjun ke arena. Pemuda itu terpaksa membiarkan ka-
wan-kawannya bertarung. Sebab, kakek tua yang he-
bat itu siap mencegahnya bila dirinya nekat mencam-
puri pertempuran itu.
"Biarkan mereka bermain-main beberapa puluh 
jurus. Jika kau keberatan, aku yang akan melayani-
mu...," ucapan Ki Sangga Langit jelas berbau tantan-
gan. Hingga Panji menghela napas panjang penuh pe-
nyesalan.
"Ki, pertempuran ini tidak semestinya terjadi. 
Sadarlah bahwa kita semua telah menjadi korban kelicikan Hantu Jubah Merah dan kawan-kawannya! Bu-
kan tidak mungkin sekarang mereka tengah tertawa-
tawa melihat kita saling bertempur!" Panji masih men-
coba menyadarkan Ki Sangga Langit dari kekeliruan 
itu. Pemuda itu yakin, mereka telah menjadi korban 
kelicikan Hantu Jubah Merah.
Tapi, tanggapan Ki Sangga Langit benar-benar
membuat Panji putus asa. Lelaki tua bertubuh kurus 
itu hanya tersenyum tipis dengan tatapan dingin. Uca-
pan Pendekar Naga Putih tidak dipedulikan.
Panji tidak bisa berbuat lain. Apalagi, saat itu ia 
melihat Ki. Danara terdesak hebat oleh salah seorang 
tokoh Perguruan Rimba Kecil. Jika sepuluh jurus lagi 
ia tidak bertindak menyelamatkan lelaki tua itu, dapat 
dipastikan Ki Danara tewas di ujung senjata lawan.
"Maaf, Ki. Aku terpaksa...," desis Panji. Tubuh-
nya langsung melayang ke arah pertarungan Ki Danara 
dan Harjana. Ia harus menyelamatkan orang tua kurus 
itu dari kematian.
"Bagus...!" Ki Sangga Langit memuji kecepatan 
gerak Pendekar Naga Putih. Saat itu juga tubuh ku-
rusnya melayang hendak mencegah perbuatan pemuda 
itu. 
Whuttt..!
Tamparan Ki Sangga Langit tidak bisa disamakan 
dengan tamparan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Te-
naga dalam kakek itu sudah mencapai titik kesempur-
naan. Sehingga meskipun kelihatan perlahan, namun 
menimbulkan sambaran angin yang mencicit tajam. 
Menunjukkan kekuatan yang tersimpan di telapak 
tangan kakek itu.
Panji pun tahu akan hal itu. Tapi, tak urung ter-
kejut juga ketika mendengar sambaran angin bersi-
utan datang dari samping kanannya. Cepat lengannya

dikibaskan menyambut tamparan itu.
Bressshhh...!
Akibat benturan dua gelombang tenaga dalam itu 
sungguh dahsyat sekali! Tanah di sekitarnya bergetar. 
Hingga pertempuran lain terganggu. Sedangkan Pen-
dekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit terjajar mun-
dur.
"Kau memang seorang pemuda yang sangat men-
gagumkan, Pendekar Naga Putih. Sayang kau masih 
sangat muda, hingga mudah terseret ke jalan sesat..." 
puji orang tua itu, yang kelihatan sangat menyayang-
kan sikap Panji yang menurutnya telah menyeberang 
ke jalan sesat.
"Sudah kukatakan berkali-kali bahwa semua ini 
hanya kesalahpahaman saja. Tapi, belum terlambat 
bagi Aki untuk menyadarinya...," tukas Panji berusaha 
mempergunakan kesempatan itu untuk menyadarkan 
Ki Sangga Langit dari kekeliruannya.
Lagi-lagi Ki Sangga Langit tidak menanggapi 
ucapan Pendekar Naga Putih. Kakek itu malah me-
nyiapkan ilmu andalannya untuk pertempuran selan-
jutnya. Sehingga, Panji terpaksa mengeluarkan 'Ilmu 
Silat Naga Sakti'nya untuk menghadapi ilmu lawan 
yang ia tahu sangat hebat.
***
TUJUH


"Sambut jurus 'Pengacau Lautan'ku, Pendekar 
Naga Putih...!" seru Ki Sangga Langit seraya melesat 
dengan kedua tangan berputaran, hingga menimbul-
kan deruan angin puyuh.

"Haaattt..!"
Melihat kehebatan ilmu lawan, Panji segera men-
gerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' yang menerbitkan hawa dingin menusuk tulang. 
Hawa yang ditimbulkannya menyebar dan memenuhi 
setengah arena pertarungan. Sedangkan sepasang tan-
gan pemuda itu bergerak cepat laksana sambaran ki-
lat. Dan, meliuk-liuk bagai ular besar yang siap mema-
tuk mangsanya.
Sebentar saja, kedua tokoh hebat itu sudah sat-
ing gempur. Pendekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit 
berusaha sating merobohkan satu sama lain. Kedua-
nya menggunakan ilmu-ilmu pilihan yang sebelumnya 
hampir tidak pernah mereka pergunakan. Hingga per-
tempuran itu terlihat sangat mengerikan. Sulit untuk 
dikenali, mana sosok Pendekar Naga Putih dan mana 
sosok Ki Sangga Langit. Apalagi, keduanya mengena-
kan jubah panjang putih.
Setelah bertarung selama tujuh puluh jurus, Ki 
Sangga Langit terlihat semakin bersemangat Kakek itu 
merasa gembira menemukan lawan tanding yang tang-
guh seperti Pendekar Naga Putih. Sehingga, tidak se-
gan-segan mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya untuk 
merobohkan pemuda itu. Sebagai tokoh yang sejak ke-
cil gemar bermain ilmu silat, tentu hatinya senang 
mendapat seorang lawan tangguh. Apalagi, selama be-
berapa belas tahun ini ia tidak pernah menemuinya. 
Ketangguhan Panji membuat orang tua itu semakin 
lupa diri.
Berbeda dengan Pendekar Naga Putih. Selama 
pengembaraannya pemuda itu berkali-kali menemui 
lawan yang sangat tangguh. Bahkan, beberapa kali 
nyaris dikalahkan lawan. Sehingga dalam menghadapi 
Ki Sangga Langit, Panji tidak terlalu kaget Meskipun
kepandaian kakek itu memang harus diakuinya sangat 
hebat. Kendati demikian, Panji masih dapat mengim-
bangi permainan lawan sampai jurus keseratus. Se-
jauh itu, belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan 
keluar sebagai pemenang. 
"Yeaaattt..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus 
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Merah'! 
Seketika itu juga tubuhnya melesat naik, dengan sepa-
sang tangan bergerak susul-menyusul.
Pemuda itu tak ubahnya seekor naga sakti yang 
tengah bermain-main di angkasa. Angin dingin yang 
keluar dari badannya, membuat udara di sekitar arena 
pertempuran seperti tengah dilanda badai salju. Hing-
ga Ki Sangga Langit sempat berseru kaget! .
"Tahaaannn..!"
Tubuh Pendekar Naga Putih tengah meluncur 
dari atas dengan cakar-cakar yang membawa hawa 
maut Ketika tiba-tiba terdengar seruan keras mengge-
tarkan udara. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh 
berkelebat menyambut serangan Pendekar Naga Putih!
Panji segera mengurangi kekuatan serangannya. 
Pemuda tampan itu tidak ingin mencelakakan orang 
lain yang belum diketahui jati dirinya. Akibatnya....
Bressshhh...!
Baik tubuh Panji maupun sosok jangkung itu 
terlempar ke belakang. Meski demikian, keduanya da-
pat berputaran di udara dan meluncur turun dengan 
selamat.
"Dewa Tangan Salju...?!"
Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut 
Panji dan Ki Sangga Langit Kini perhatian keduanya 
beralih ke arah sosok jangkung kurus berusia sekitar 
tujuh puluh tahun lebih. Tokoh itu adalah Dewa Tangan Salju, yang pernah diselamatkan Panji sewaktu di-
datangi Penculik-Penculik Misterius. (Untuk mengeta-
hui pertemuan Panji dengan Dewa Tangan Salju, sila-
kan baca episode sebelumnya dalam judul: 'Penculik-
Penculik Misterius').
"Untung pada saat terakhir tadi kau sempat me-
narik sebagian tenaga seranganmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah tidak 
bernyawa lagi...," ujar Dewa Tangan Salju tersenyum 
ke arah Panji. Pemuda itu tampak terkejut mendengar 
ucapan kakek itu. Tokoh itu memang memiliki ketaja-
man mata luar biasa, hingga tahu tindakannya saat 
hampir berbentrokan tadi.
"Ah.... Kau terlalu merendah, Dewa Tangan Saba 
Aku malah beruntung. Sebab, kau tidak menggunakan 
seluruh kekuatanmu. Jika ya, niscaya tubuhku sudah 
berubah kaku...," ujar Panji merendah.
"Siapa bilang aku tidak bersungguh-sungguh ta-
di?" tukas Dewa Tangan Salju membantah. Ia memang 
telah menggunakan hampir seluruh tenaga dalamnya 
untuk memapaki serangan Panji. Namun, kakek itu ti-
dak melanjutkan ucapannya. Rupanya, ia tahu akan 
sifat Panji yang tidak ingin menonjolkan kelebihannya.
"Dewa Tangan Salju. Apa maksudmu mencampu-
ri urusan ini? Apakah kau pun telah berpaling ke jalan 
sesat!" teguran Ki Sangga Langit membuat Dewa Tan-
gan Salju menoleh, dan mengangguk sedikit kepada 
tokoh puncak Perguruan Rimba Kecil itu.
"Sebenarnya aku belum tahu jelas masalah ka-
lian. Tapi, aku menduga telah terjadi kesalahpahaman 
di antara kalian berdua. Itu sebabnya, aku langsung 
mencampuri pertempuran ini. Aku tidak ingin jatuh 
korban lagi karena kesalahpahaman ini..," sahut Dewa 
Tangan Salju sambil menoleh kan ke arah pertempuran lain yang terpisah kurang lebih delapan tombak.
Ucapan Dewa Tangan Salju membuat Panji terin-
gat pada kawan-kawannya. Wajah pemuda itu berubah 
tegang ketika melihat sesosok tubuh terkapar mandi 
darah. Segera dapat dikenalinya siapa korban kesalah-
pahaman itu.
"Ki Danara...!" desis Panji penuh kesedihan dan 
penyesalan. Kemudian, berpaling ke arah Ki Sangga 
Langit yang tampak tidak menyesal sedikit pun. Kawan 
Pendekar Naga Putih itu dikenalinya sebagai murid Pe-
dang Pemecah Langit, salah seorang pencuri pusaka 
perguruannya.
"Hm.... Telah sepantasnya ia menerima hukuman 
untuk menebus dosa gurunya...," ujar Ki Sangga Lan-
git seolah hendak menjawab tatapan mata Pendekar 
Naga Putih.
"Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Mengapa 
kalian sampai bertarung hingga jatuh korban...?" tanya 
Dewa Tangan Salju menatap wajah Panji dan Ki Sang-
ga Langit berganti-ganti.
'Tanyakanlah pada Ki Sangga Langit...?" Panji 
menyerahkan jawabannya kepada Ketua Perguruan 
Rimba Kecil. Kakek itulah yang lebih berhak menjawab 
pertanyaan Dewa Tangan Salju. Sedangkan Panji sen-
diri sudah bergerak menjauh dan membentak keras?
"Hentikan pertempuran....'" seru Panji menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk menghentikan pertem-
puran yang masih berlangsung. Karuan saja seruan 
yang mengguncangkan dada itu menghentikan per-
tempuran. Kedua belah pihak tampak saling pandang. 
Kemudian, bergerak ke arah kawan masing-masing 
dan berkumpul di dekat ketiga tokoh itu.
Sementara itu, Ki Sangga Langit telah menje-
laskan perselisihan di antara mereka. Dewa Tangan

Salju terlihat sangat menyesali bentrokan yang terjadi. 
Apalagi, salah seorang dari mereka telah melayang 
nyawanya menjadi korban
"Jadi, dalam hal ini kau menyalahkan Pendekar 
Naga Putih. Sedangkan aku sangat yakin dirinya tidak 
akan pernah berpaling ke jalan sesat Mengapa tidak 
kau bicarakan masalah ini secara baik-baik, Ki Sangga 
Langit? Mana kebijaksanaan mu?" ujar Dewa Tangan 
Salju. Mendengar penuturan Ki Sangga Langit yang 
menuduh Panji bersekongkol dengan Hantu Jubah Me-
rah Untuk mencuri pusaka Perguruan Rimba Kecil.
"Bagaimana denganmu, Pendekar Naga Putih? 
Mengapa kau tidak berusaha mencari penyelesaian 
dengan jalan damai, tanpa harus jatuh korban...?" De-
wa Tangan Salju bertanya pada Panji yang kini telah 
menghadapi kedua kakek itu.
"Kakang Panji sudah berusaha menjelaskan, 
Eyang. Tapi kakek itu tetap tidak mau mengerti, dan 
berkeras hendak meminta tanggung jawab kami atas 
lenyapnya benda-benda pusaka perguruannya. Padah-
al, semua itu terjadi karena kelalaian dan ketidakbe-
cusan mereka sendiri...!" yang menyahuti ucapan De-
wa Tangan Salju adalah Kenanga. Rasa jengkel di hati 
gadis jelita itu belum lenyap. Apalagi setelah Ki Danara 
menjadi korban peristiwa itu.
"Hm.... Jadi, kau berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit ti-
dak mau dipersalahkan. Kakek itu malah menuduh 
Dewa Tangan Salju yang kelihatan lebih condong 
membela Pendekar Naga Putih.
"Dengar, Ki Sangga Langit Aku tidak memihak
pada siapa pun. Tapi, berpihak pada kebenaran! Aku 
pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih, saat Pen-
culik-Penculik Misterius mendatangi pertapaanku. Mereka hendak menculik ku. Seperti yang dilakukan me-
reka terhadap tokoh-tokoh yang kau katakan telah 
mencuri pusaka perguruanmu. Itu sebabnya, aku me-
rasa yakin Pendekar Naga Putih tidak berpaling ke ja-
lan sesat," tandas Dewa Tangan Salju yang kelihatan 
mulai jengkel melihat sikap keras kepala Ki Sangga 
Langit
'Tapi aku sungguh tidak berdusta, Dewa Tangan 
Salju! Orang-orang yang mencuri pusaka perguruanku 
memang nama-nama yang kusebutkan tadi!" bantah Ki 
Sangga Langit membela diri.
"Ya. Kami pun tidak menyangkalnya! Tapi, kami 
telah menjelaskan sejak awal bahwa orang-orang yang 
menculik pusaka perguruanmu tokoh-tokoh gadungan! 
Kau sama sekali tidak percaya, dan tetap meminta pu-
saka-pusaka itu dikembalikan!" tukas Kenanga kemba-
li menyahuti perkataan Ki Sangga Langit Lelaki tua itu 
jadi serba salah. Tampak ia mulai merasa ragu dengan 
keyakinan yang sejak awal dipegang teguh.
"Hm.... Baiklah. Kita lupakan persoalan ini untuk 
sementara. Sebaiknya kita selidiki dulu kebenaran 
ucapan Pendekar Naga Putih dan kawan-kawannya. 
Untuk membuktikannya tidak terlalu sulit Kita tinggal 
mendatangi markas Hantu Jubah Merah," ujar Dewa 
Tangan Salju membuat kedua belah pihak tertegun.
"Sayang kami belum menemukan tempat per-
sembunyiannya, Dewa Tangan Salju. Diperlukan wak-
tu yang cukup lama untuk menemukan persembu-
nyian manusia-manusia sesat yang sangat licik itu...," 
sahut Panji seraya menatap Dewa Tangan Salju den-
gan wajah agak menyesal.
"Hm.... Setelah kepergian Kenanga, aku mening-
galkan pertapaan untuk menyelidiki Penculik-Penculik
Misterius itu. Syukurlah kalian berdua telah berkumpul kembali dengan selamat Aku pun telah menemu-
kan markas mereka. Sayang, aku tidak sanggup meng-
gempur manusia-manusia sesat itu. Bahkan nyaris ce-
laka di tangan Hantu Jubah Merah, pimpinan mereka. 
Untunglah aku berhasil meloloskan diri, dan bertemu 
dengan kalian di tempat ini...," jelas Dewa Tangan Sal-
ju, membuat semua yang mendengarnya terkejut ber-
campur gembira.
"Jadi kau telah menemukan markas mereka...?" 
tanya Panji menegasi.
"Ya. Aku telah menemukan markas Hantu Jubah 
Merah beberapa hari yang lalu...," jawab Dewa Tangan 
Salju singkat Meski tahu mereka semua menunggu ke-
lanjutan ucapannya.
"Di mana markas manusia-manusia jahat itu,
Dewa Tangan Salju? Kami pun hams segera mengambil 
pusaka-pusaka kami, sebelum mereka sempat mempe-
lajari dan mempergunakannya...," tanya Ki Sangga 
Langit yang kelihatan sangat bernafsu untuk menda-
patkan pusakanya kembali.
"Karena ini menyangkut kepentingan orang ba-
nyak, sebaiknya kita bersama-sama menghancurkan 
markas itu...," usul Dewa Tangan Salju mengajak ke-
dua belah pihak untuk bersatu.
"Baiklah...," jawab Ki Sangga Langit setelah ber-
pikir sesaat.
Dewa Tangan Salju tersenyum puas. Usahanya 
untuk menjernihkan perselisihan itu berhasil. Maka, 
diajaknya mereka untuk segera mendatangi markas 
Hantu Jubah Merah.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar seruan halus 
yang membuat langkah Dewa Tangan Salju terhenti.
Kakek itu menoleh ke arah asal suara. Tampak 
Pujawati tengah berdiri di dekat mayat Ki Danara.

Tangan kanan gadis manis itu menggenggam erat pe-
dangnya. Sedangkan sepasang matanya memancarkan 
api dendam terhadap tokoh-tokoh Perguruan Rimba 
Kecil.
"Aku hendak meminta tanggung jawab orang-
orang Perguruan Rimba Kecil, yang telah membunuh 
Paman Danara...!" desis gadis itu dingin berbau den-
dam yang dalam.
"Sabarlah, Pujawati. Kita buktikan dulu bahwa 
ayahmu benar-benar tidak bersalah. Setelah itu, baru 
kita minta pertanggungjawaban mereka...," ujar Ke-
nanga, membuat Pujawati mengalihkan pandangannya 
ke arah dara jelita itu. Dan akhirnya menurut ketika 
melihat Kenanga mengangguk.
Tak berapa lama kemudian, rombongan itu ber-
gerak meninggalkan Desa Karapan. Baik Panji maupun 
Ki Sangga Langit serta yang lainnya, bergerak mengi-
kuti langkah Dewa Tangan Salju menuju ke selatan 
desa itu.
"Kau belum mengatakan di mana letak markas 
mereka, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit tidak 
bisa menyimpan rasa penasaran di hatinya. Ketika 
menyeberangi sebuah sungai, pertanyaan itu terlontar 
dari mulutnya.
Dewa Tangan Salju tidak segera menjawab. Kepa-
lanya ditolehkan ke arah Pendekar Naga Putih. Seolah 
ingin melihat apakah pemuda itu juga menyimpan rasa 
penasaran yang sama.
"Markas Hantu Jubah Merah terletak di sebuah 
perbukitan yang bernama Bukit Hitam. Letaknya se-
tengah hari perjalanan dari tempat ini," jawab Dewa 
Tangan Salju setelah melihat anggukan kepala Pende-
kar Naga Putih. Pemuda itu pun ingin mengetahui le-
tak markas Hantu Jubah Merah.

"Kalau demikian, sebaiknya kita percepat perja-
lanan...," usul Ki Sangga Langit Tampaknya orang tua 
itu ingin segera tiba di tempat tujuan. Kemudian, me-
rebut kembali benda-benda pusakanya yang tercuri.
Tanpa menyahut lagi, Dewa Tangan Salju lang-
sung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Yang 
lain menyusul di belakang kakek itu. Kecuali, Panji 
dan Ki Sangga Langit yang berlari di kiri-kanan Dewa 
Tangan Salju.
***
DELAPAN


Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, tidak 
sampai tengah hari. Bukit Hitam sudah terlihat di de-
pan mereka. Para tokoh itu pun memperlambat la-
rinya. Mereka tidak ingin kedatangannya diketahui la-
wan. Bahkan, Panji mengusulkan agar mereka menga-
tur rencana terlebih dahulu.
"Apa lagi yang mesti kita tunggu? Dengan kekua-
tan seperti ini, aku yakin mereka dapat lata hancur-
kan...." .
Ki Sangga Langit tidak begitu setuju dengan usul 
Panji. Kakek itu merasa yakin dapat menghancurkan 
Hantu Jubah Merah dan para pengikutnya. Mengingat 
mereka terdiri dari tokoh-tokoh hebat yang sukar dica-
ri tandingannya.
'Itu memang tidak kusangsikan lagi, Ki Sangga 
Langit Tapi, kita harus memikirkan keselamatan to-
koh-tokoh yang telah mereka culik. Tujuan kita bukan 
hanya sekadar menumpas kejahatan atau mengambil 
kembali pusaka-pusaka perguruanmu. Tapi juga menyelamatkan para tokoh itu. Apa jadinya bila tokoh-
tokoh itu mereka jadikan tameng untuk menghadapi 
kita? Jika itu sampai terjadi, bukankah kedatangan ki-
ta akan sia-sia...?" tukas Panji menjelaskan usulnya. 
Ki Sangga Langit tampak menyadari kekeliruannya.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku merasa 
bodoh sekali. Yang ku pikirkan hanya mengambil 
kembali pusaka-pusaka perguruanku. Sama sekali ti-
dak kuingat keselamatan tokoh-tokoh yang ditawan 
Hantu Jubah Merah...," ucap Ki Sangga Langit memin-
ta maaf.
Panji tersenyum tulus sebagai tanda memaklumi 
kekeliruan Ki Sangga Langit Kemudian, rencana pun 
diatur bersama-sama.
Setelah agak lama, didapat kata sepakat Panji 
dan Dewa Tangan Salju akan menyelinap melalui sebe-
lah selatan bukit Sedangkan Ki Sangga Langit memim-
pin yang lainnya. Tugas mereka memancing perhatian 
lawan dengan menyerang dari sebelah utara, yang 
menjadi pintu gerbang markas Hantu Jubah Merah.
"Kami akan berusaha menyelamatkan tokoh-
tokoh itu. Mudah-mudahan Pendekar Tongkat Sakti 
dan yang lainnya masih hidup...," ujar Panji sebelum 
mereka berpisah untuk melaksanakan tugas masing-
masing.
Ki Sangga Langit dan yang lainnya mengiyakan. 
Tak lama setelah Panji dan Dewa Tangan Salju berpa-
mitan, Ki Sangga Langit dan kelompoknya mulai berge-
rak mendekati Bukit Hitam.
Dengan gerakan yang lincah dan ringan, Ki 
Sangga Langit memimpin kawan-kawannya mendekati 
bukit Mereka mendatangi markas Hantu Jubah Merah 
dengan terang-terangan. Dengan begitu, seluruh per-
hatian lawan tercurah kepada mereka. Sehingga, Panji
dan Dewa Tangan Salju dapat bergerak leluasa untuk 
membebaskan para tawanan.
"Berhenti...!"
Saat itu Ki Sangga Langit dan kawan-kawannya 
tiba di pintu gerbang pertama, yang terletak di pung-
gung bukit. Suara bentakan itu membuat mereka me-
nahan langkah.
"Hm...," Ki Sangga Langit bergumam ketika meli-
hat delapan orang penjaga gerbang pertama berdiri te-
gak menghadang jalan mereka. Tubuh kakek itu lang-
sung melesat saat mengetahui salah seorang dari pen-
jaga hendak pergi melapor.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor burung besar, tubuh kakek ting-
gi kurus itu melayang melewati kepala kawan-
kawannya. Kemudian, berputar beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya di tanah. Satu tombak lebih dari 
hadapan penjaga yang hendak melapor.
"Heeeaaahhh...!" ,
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuh Ki 
Sangga Langit kembali melambung menerjang lawan. 
Telapak tangan kanannya terulur ke depan, siap 
menghajar lawan.
Whuttt..!
Kaget juga hati kakek itu ketika serangan perta-
manya dapat dihindari. Bahkan, penjaga itu sanggup 
melepaskan serangan balasan dengan gerak yang aneh 
dan cukup kuat
Sekilas pandang saja Ki Sangga Langit dapat 
mengenali dasar-dasar gerakan ilmu silat penjaga itu. 
Hatinya geram bukan main ketika menemukan dasar 
gerak ilmu silat Pendekar Tongkat Sakti. Kakek itu pun 
tahu Hantu Jubah Merah telah menyadap ilmu tokoh-
tokoh yang diculiknya, untuk memperkuat para pengikutnya.
"Hihhh!"
Rasa geram Ki Sangga Langit membuatnya lupa 
diri. Tanpa berusaha mengelakkan serangan itu, se-
buah tendangan kilat dilepaskan ke dada lawan
Bukkk!
Tubuh penjaga itu langsung terjengkang ke bela-
kang dengan kerasnya. Dan, tewas dengan batok kepa-
la retak. Kepalanya terbentur batu padas.
Sementara Kenanga dan para tokoh lainnya su-
dah bergerak maju Ketujuh penjaga pintu gerbang per-
tama bergeletakan dengan tubuh bermandikan darah. 
Ki Sangga Langit segera mengajak mereka menuju 
bangunan utama markas Hantu Jubah Merah.
***
Dua sosok tubuh itu bergerak cepat menerobos 
rimbunan semak. Mereka terus berlari dengan kecepa-
tan yang mengagumkan Tidak jarang keduanya me-
layang di udara, bagai dua ekor burung besar yang 
tengah mengangkasa. Kadang terlihat berloncatan me-
lewati bebatuan besar. Hingga, akhirnya mereka tiba di 
sebuah tempat yang bertanah datar.
"Menurut dugaanku, bangunan kecil yang terle-
tak di samping bangunan utama itulah tempat para 
tahanan...," bisik kakek berusia tujuh puluh tahun 
yang bertubuh jangkung. Saat itu keduanya bersandar 
di sebatang pohon, sambil meneliti keadaan sekitar 
bangunan yang berada sepuluh tombak di depan me-
reka.
"Kita tunggu saja sampai Ki Sangga Langit dan 
kawan-kawannya tiba. Setelah keributan terjadi, baru 
kita bergerak:..," ujar sosok pemuda tampan berjubah

putih, yang tidak lain Panji. Dewa Tangan Salju men-
ganggukkan kepala. Diam-diam kakek itu semakin 
bertambah kagum pada Pendekar Naga Putih. Ternyata
pemuda itu cukup cermat dalam mengatur rencana.
Setelah agak lama menunggu, samar-samar ter-
dengar suara dentang senjata dan bentakan bentakan
nyaring. Dewa Tangan Salju dan Pendekar Naga Putih 
saling bertukar pandang. Kemudian, melesat ke arah 
bangunan kecil yang mereka duga sebagai tempat un-
tuk menyembunyikan tawanan.
"Hei..?!"
Dua orang lelaki berseragam hitam yang kebetu-
lan keluar dari bagian belakang bangunan utama, 
langsung membentak ketika melihat Panji dan Dewa 
Tangan Salju. Namun sebelum kedua orang itu sempat 
berbuat sesuatu, sebuah pukulan telak menghajar me-
reka. Tubuh keduanya terjengkang muntah darah! 
Dan, belum lagi sempat bangkit, Panji dan Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan riwayat mereka dengan 
mematahkan tulang lehernya.
Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekati 
bangunan kecil. Begitu tiba, Panji langsung melontar-
kan pukulan ke pintu yang terbuat dari kayu tebal.
Brakkk...!
Sekali hantam pintu bangunan itu pecah berkep-
ing-keping. Tanpa menunggu serpihan kayu berjatu-
han ke tanah, tubuh kedua tokoh hebat itu sudah me-
lesat ke dalam bangunan.
"Siapa...?!" salah satu dari empat penjaga yang 
tengah bertugas, menegur sambil mencabut senjata. 
Ketika Panji dan Dewa Tangan Salju tidak menjawab, 
keempat penjaga itu langsung menyerbu dengan senja-
ta di tangan.
"Haaattt...!"

Kilatan dua batang pedang yang mengancam tu-
buh Pendekar Naga Putih, dielakkan pemuda itu den-
gan memiringkan tubuhnya sedikit Kemudian, mele-
paskan dua buah pukulan sekaligus.
Bettt, bettt!
"Ehhh...?!" Panji berseru tertahan melihat seran-
gannya dapat dielakkan lawan.
Pemuda itu segera mengenali gerakan kedua la-
wannya. Itu adalah gerak dasar ilmu Pedang Pemecah 
Langit yang digabungkan dengan ilmu lain. Panji men-
jadi geram. Tangannya diputar untuk melancarkan se-
rangan berikutnya.
Darah segar termuntah dari mulut lawan ketika 
kepalan Panji bersarang di tubuh mereka. Dan, gedo-
ran telapak tangan pemuda itu membuat nyawa mere-
ka jalan-jalan ke akherat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan dua orang lawannya.
Kemudian, mereka memeriksa kamar tahanan 
yang berjajar di ruangan itu. Kamar tahanan itu keba-
nyakan kosong. Akhirnya, mereka menemukan dua 
orang lelaki gagah yang tampak sangat lemah. Dewa 
Tangan Salju berbisik kepada Panji. Rupanya, kakek 
itu mengenali kedua sosok lelaki yang tubuhnya kurus 
dan tak terawat baik.
"Pendekar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah 
Langit...," ujarnya memberitahukan. Setelah berkata 
demikian, didobraknya pintu tahanan Pendekar Tong-
kat Sakti. Kemudian, memutuskan rantai yang mengi-
kat kedua pergelangan tokoh itu dan membawanya ke-
luar.
"Dewa Tangan Salju...?! Benarkah kau yang me-
nyelamatkan aku...?" desis Pendekar Tongkat Sakti li-
rih, mirip sebuah desahan panjang.

"Tidak salah, Adiwarsa. Ke mana Sepasang Golok 
Kembar dan Sepasang Naga Laut..?" tanya Dewa Tan-
gan Salju. Kakek itu tidak menemukan kedua tokoh
itu di seluruh ruang tahanan.
"Hantu Jubah Merah telah membunuhnya.... Ka-
rena semua ilmu mereka telah disadap habis...," jawab 
Ki Adiwarsa dengan napas terengah-engah.
Dewa Tangan Salju menahan pertanyaan selan-
jutnya. Saat itu Panji tengah menghampirinya sambil 
menggendong tubuh kurus Pedang Pemecah Langit.
"Hantu Jubah Merah memaksa mereka berta-
rung, agar dapat menyadap ilmu-ilmu andalan tokoh-
tokoh yang diculiknya. Sungguh keji sekali manusia 
jahat itu. Ia sama sekali tidak peduli betapa para ta-
wanannya tidak terurus dengan baik...," ujar Panji 
menjelaskan bagaimana cara Hantu Jubah Merah me-
nyadap ilmu para pendekar itu. Rupanya, pemuda itu 
telah bertanya cukup banyak kepada Pedang Pemecah 
Langit yang keadaannya lebih baik dibanding Ki Adi-
warsa.
"Hm...," Dewa Tangan Salju bergumam marah, 
"Sebaiknya kita sembunyikan mereka di tempat yang 
aman. Setelah itu, kita bantu Ki Sangga Langit dan 
yang lainnya. Siapa tahu mereka tengah menghadapi 
musuh-musuh tangguh...," usul Dewa Tangan Salju.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengikuti 
Dewa Tangan Salju. Mereka menuju semak-semak
tempat tadi mereka mendatangi markas. Tapi...
"Hua ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa pa-
rau yang menggetarkan jantung. Bersamaan dengan 
itu, muncullah sesosok tubuh tinggi besar berpakaian 
hitam dengan jubah merah di belakang tubuhnya.
"Hantu Jubah Merah...!" seru Panji dan Dewa 
Tangan Salju hampir berbarengan. Kedua tokoh itu

tampak agak terkejut melihat kedatangan Hantu Ju-
bah Merah. Sungguh tidak disangka tokoh itu akan 
muncul menghadang.
"Kalian memang cerdik sekali! Sementara kawan-
kawanku menyerang dari depan, kalian menyusup dari 
belakang seperti maling hina! Benar-benar sebuah ren-
cana yang sangat bagus...!" ejek Hantu Jubah Merah 
tertawa parau tanpa melepaskan pandang matanya da-
ri sosok Panji dan Dewa Tangan Salju.
"Maaf, Ki. Biarlah aku yang menghadapi Hantu 
Jubah Merah. Kau bawalah Pendekar Tongkat Sakti 
dan Pedang Pemecah Langit ke tempat yang aman...," 
bisik Panji segera melepaskan tubuh Pedang Pemecah 
Langit dari bahunya, dan menyerahkannya kepada 
Dewa Tangan Salju.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih! Jubah merah-
nya memiliki mukjizat yang ampuh...," Dewa Tangan 
Salju mengingatkan sebelum meninggalkan Panji.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba Hantu Jubah Merah bertepuk tangan 
tiga kali. Sesaat kemudian, muncullah tokoh-tokoh ga-
dungan dan beberapa pengikutnya. Mereka langsung
menutup jalan Dewa Tangan Salju. Bagi orang yang 
memiliki kepandaian dan kemampuan ilmu sihir yang 
tinggi seperti Hantu Jubah Merah, tidak terlalu sulit 
baginya menciptakan tokoh-tokoh palsu. Dengan 
menggunakan kepandaian dan ilmu sihirnya, tokoh itu 
mengubah wajah pengikutnya hingga mirip dengan to-
koh-tokoh yang dipalsukan. Lalu mereka diberi ilmu 
dan senjata andalan tokoh-tokoh itu. Jadilah, mereka 
tokoh-tokoh gadungan yang sempat menggemparkan 
kaum persilatan golongan putih.
"Kau benar-benar iblis licik, Hantu Jubah Me-
rah...!" desis Panji geram menyaksikan kejadian itu.

Kakinya melangkah empat tindak dengan sorot mata 
tajam menikam jantung.
"Haaattt..!"
Mendadak, delapan pengikut Hantu Jubah Me-
rah membuka serangan dan menerjang Dewa Tangan 
Salju. Kakek itu menjadi sibuk mengelakkan sambaran 
ujung senjata lawan. Cepat ia berkelit dan membalas 
dengan tendangan kedua kakinya. Sedangkan kedua 
tangannya digunakan untuk memegang tubuh Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit Kakek 
itu agak kewalahan menghadapi gempuran penge-
royoknya.
"Haaaiiittt..!"
Saat Dewa Tangan Salju tengah kerepotan, ter-
dengar pekikan nyaring. Disusul dengan berkelebatnya 
sesosok bayangan hijau yang langsung menggempur 
kedelapan pengeroyoknya. Kakek itu menjadi lega.
Melihat Dewa Tangan Salju telah mendapat ban-
tuan Kenanga, Panji pun merasa lega. Seluruh perha-
tiannya kini dapat tercurah kepada Hantu Jubah Me-
rah.
"Hm.... Man kita lanjutkan pertempuran tempo 
hari, Pendekar Naga Putih...," tantang Hantu Jubah 
Merah yang kali ini terlihat agak sering mempermain-
kan jubahnya untuk menutupi tubuh.
Panji mengerutkan kening melihat tingkah la-
wan. Pemuda itu segera dapat menduga Hantu Jubah 
Merah akan menggunakan keampuhan jubahnya. 
Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memusatkan 
pikiran dan memanggil keluar Pedang Pemecah Langit 
yang mengeram di dalam tubuhnya. Panji percaya 
bahwa pedang mukjizatnya akan mampu mengatasi 
jubah mukjizat lawan.
Swingngng...! Entah dari mana datangnya, tahu

tahu tangan Pendekar Naga Putih telah menggenggam 
sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning 
keemasan. Pedang itu digerakkan ke depan, hingga 
menimbulkan suara berdesing menggetarkan jantung!
Hantu Jubah Merah agak kaget melihat pedang 
di tangan Pendekar Naga Putih. Ukuran pedang itu le-
bih besar dari biasa, serta berhawa aneh yang mengge-
tarkan hati. Tokoh tinggi besar itu melangkah mundur. 
Wajahnya kelihatan agak tegang!
"Mustahil...!" desis Hantu Jubah Merah. Ru-
panya, tokoh itu mengenali pedang di tangan lawan.
"Hm.... Bersiaplah, Hantu Jubah Merah...!" ujar 
Pendekar Naga Putih. Pedangnya dilintangkan di depan 
dada. Sikapnya itu menunjukkan bahwa Panji telah 
siap bertarung!
"Hmmmhhh...!"
Hantu Jubah Merah mengeluarkan dengusan ka-
sar. Kemudian, mencabut keluar sebilah pedang tipis 
lentur. Mirip Pedang Sinar Bulan yang kini dipakai Ke-
nanga. Panji pun tahu kalau senjata itu merupakan 
pusaka ampuh.
Cwittt, cwittt, cwittt!
Pedang di tangan Hantu Jubah Merah berdecitan 
saat tokoh itu mencoret-coret udara dengan senja-
tanya. Kaki kanannya melangkah ke belakang setin-
dak, dan ditekuk rendah. Sedangkan pedangnya melin-
tang di atas kepala.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Pu-
tih mengibaskan pedangnya menerjang ke depan. Kila-
tan sinar kuning keemasan berhawa panas, menyerbu 
datang. Hantu Jubah Merah menggeser langkahnya, 
kemudian membalas dengan tidak kalah ganasnya!
Trangngng! Trangngng!


Terdengar benturan nyaring, menimbulkan per-
cikan bunga api yang mewarnai pertarungan kedua to-
koh itu. Keduanya tergetar mundur untuk kembali
mengatur kuda-kuda masing-masing.
"Hiaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah yang memulai se-
rangan. Senjata di tangannya bersuitan menyakitkan 
telinga. Kilatan cahaya putih bergulung-gulung turun 
naik dan mendengung dengung bagai ratusan lebah 
marah.
Bwettt! Whuttt!
Panji menggeser mundur tubuhnya dengan lang-
kah menyilang. Setelah serangan lawan lolos. pedang-
nya bergerak dengan kecepatan kilat membabat datar!
Brettt!
"Aaahhh...?!"
Untung Hantu Jubah Merah sempat berkelit 
dengan memiringkan tubuhnya. Hingga hanya jubah 
ampuhnya yang tersambar pedang lawan. Meski demi-
kian, wajah tokoh sesat itu berubah pucat! Jubahnya 
dapat disobek senjata Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut ketika 
merasa ada perlawanan aneh dari jubah mukjizat la-
wan. Kalau saja senjata di tangannya bukan pusaka 
langka mungkin sudah patah. Jubah lawan terasa ke-
nyal dan sangat kuat.
"Keparat! Kau telah merobek jubah kesayangan-
ku...!" teriak Hantu Jubah Merah. Lelaki tinggi besar 
itu murka bukan main melihat jubahnya robek oleh 
sambaran pedang lawan.
"Haaattt..!"
Dengan sangat bernafsu Hantu Jubah Merah 
menerjang maju! Pedang di tangannya berkelebat cepat 
laksana sambaran kilat yang susul menyusul. Sehing

ga dalam beberapa jurus, Panji terpaksa bermain 
mundur dan memperkuat pertahanan.
Blasss!
Mendadak. Di saat tokoh sesat itu tengah gencar 
menerjang Panji, tiba-tiba bayangan Hantu Jubah Me-
rah lenyap. Sosok itu berganti dengan asap putih tebal 
yang menghalangi pandang mata Panji. Kejadian itu 
sangat mengejutkan!
Whuuuttt..!
"Heiii...?!"
Panji sempat tercekat mendengar desingan senja-
ta tanpa wujud! Dan, bergerak mundur dengan lompa-
tan panjang. Kemudian, membentak keras sambil pe-
dangnya disabetkan ke depan.
Srattt!
Aneh. Kali ini Pedang Naga Langit menyebarkan 
sinar kuning keemasan yang melebar. Kemudian ter-
dengar letupan kecil. Seolah sinar pedang pusaka itu 
membentur suatu gelombang yang tak nampak Sosok 
Hantu Jubah Merah kembali muncul dalam jarak seki-
tar satu setengah tombak. Pedang pusaka di tangan 
Pendekar Naga Putih ternyata mampu melawan kekua-
tan sihir jubah pusaka lawan. Hingga tubuh lawan 
yang semula lenyap, kini muncul di depan mata.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Panji langsung
menggebrak lawan. Pusaka Naga Langit berkesiutan 
menyambar-nyambar dengan kecepatan menggetar-
kan! Hantu Jubah Merah yang belum sadar dirinya 
sudah terlihat lawan, sangat kaget mendapati pedang 
pemuda berjubah putih meluncur deras ke arahnya. 
Dan....
Brettt!
"Aaakkkhhh...?!"
Hantu Jubah Merah terpekik kaget bercampur 
kesakitan. Tubuhnya melintir dan terhuyung sejauh 
satu setengah tombak Darah segar mengucur keluar 
dari luka memanjang di atas pusarnya. Sungguh sulit 
dipercaya!
Pendekar Naga Putih tidak memberi kesempatan 
kepada lawan. Pemuda itu menyusuli serangannya 
dengan sebuah tusukan kilat yang mengancam jan-
tung Hantu Jubah Merah.
Syuttt... cappp!
"Aaarghhh...!"
Jerit kematian yang menggetarkan jantung ke-
luar dari mulut tokoh bertubuh tinggi besar itu. Pe-
dang Naga Langit tertancap di dada kiri tokoh itu, te-
pat mengenai jantungnya. Tanpa ampun lagi, tubuh 
tokoh sesat itu pun tersungkur ketika Pedang Naga 
Langit dicabut.
Setelah menggelegar sesaat, Hantu Jubah Merah 
yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan 
ulahnya tewas dengan mata mendelik. Kemudian, Pen-
dekar Naga Putih menghela napas lega. Satu lagi kewa-
jibannya untuk melenyapkan manusia yang memba-
hayakan keselamatan orang banyak telah dijalankan. 
Pemuda itu menoleh ke arah Kenanga yang baru saja 
menyelesaikan pertarungan.
Panji melihat Ki Sangga Langit dan yang lainnya 
telah berada di tempat ini. Rupanya, mereka telah ber-
hasil menghancurkan markas Hantu Jubah Merah. Pa-
ra tokoh persilatan itu kelihatan sangat terharu me-
nyaksikan pertemuan Pujawati dan Malela dengan 
guru dan ayahnya. Apalagi, keadaan tubuh kedua to-
koh persilatan itu sangat menyedihkan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Pendekar Tong-
kat Sakti dan Pedang Pemecah Langit memerlukan perawatan segera...," ujar Panji kepada kawan-kawannya.
Tak seorang pun membantah ucapan pemuda 
tampan itu. Beberapa saat kemudian, tokoh-tokoh per-
silatan itu bergerak meninggalkan Bukit Hitam.... Saat 
itu, matahari sudah bergeser jauh ke barat...


                              SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar