DARAH PERAWAN
SUCI
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Darah Perawan Suci
128 Hal ; 12 x 18 cm
SATU
Sesosok tubuh berjubah putih mengayun lang-
kahnya lambat-lambat Hembusan angin pagi yang
lembut mengiringinya menelusuri jalan berumput tebal
yang masih basah oleh butiran embun. Kicauan bu-
rung masih ramai menghiasi pagi itu. Beberapa saat
kemudian, tampaklah wajah sang matahari yang baru
saja bangkit dari peraduannya.
Dengan tubuh tegak dan wajah penuh senyum,
sosok yang ternyata seorang pemuda itu terus membe-
lokkan langkahnya saat tiba di persimpangan jalan.
Dipilihnya jalan lebar di sebelah kanan. Beberapa tom-
bak di depannya, tampak sebuah tiang batu setinggi
bahu laki-laki dewasa. Tulisan besar-besar yang ber-
bunyi “Desa Pegatan” terlihat jelas tertera.
“Hem...”
Sosok pemuda gagah berwajah bersih dan tam-
pan itu bergumam perlahan. Langkahnya terhenti ke-
tika tiba di dekat tiang batu perbatasan desa. Alisnya
yang tebal hitam dengan bentuk melengkung tampak
berkerut, seolah tengah membayangkan sesuatu yang
pernah dialaminya.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat pemuda
gagah dan tampan itu kembali melanjutkan perjala-
nannya. Diikutinya jalan lebar yang akan memba-
wanya ke Desa Pegatan.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyapa pa-
ra petani yang kebetulan berpapasan dengannya di ja-
lan. Para petani itu pun tampak merasa senang meli-
hat pemuda tampan yang ramah itu. Malah, terlihat
pula mereka membungkukkan badan dalam-dalam se-
bagai tanda hormat mereka kepada pemuda itu
Tidak berapa lama kemudian, tibalah pemuda itu
di mulut Desa Pegatan. Keadaan desa yang saat itu
kebetulan sedang ramai membuat kehadirannya tidak
begitu menarik perhatian orang. Pekan yang kebetulan
tengah berlangsung di Desa Pegatan itu tampak sangat
ramai. Pekan seperti itu memang hanya diadakan se-
kali dalam seminggu. Jadi, wajar saja kalau hampir se-
luruh warga Desa Pegatan datang mengunjunginya.
Pemuda tampan berjubah putih melangkah lam-
bat di antara keramaian. Senyumnya tampak men-
gembang saat melihat hampir semua pedagang sibuk
melayani pembeli. Tapi, ia terus melangkah, seolah-
olah pekan itu sama sekali tidak menarik perhatian-
nya.
Tidak berapa lama kemudian, setelah terbebas
dari keramaian pekan di mulut desa itu, tibalah pemu-
da tampan berjubah putih di sebuah bangunan besar
yang berhalaman luas. Sejenak ia berdiri ragu, seperti
hendak membatalkan niatnya memasuki rumah besar
di hadapannya ini.
Bangunan besar itu tidak terlalu megah, bahkan
sepertinya sudah cukup tua. Di sana-sini terlihat atap-
atap yang menghitam dan rusak. Meskipun demikian,
halamannya tampak bersih dan terawat dengan baik.
Jelas, penghuni bangunan besar itu sangat memperha-
tikan kebersihan.
“Hm..., pohon bambu kuning itu masih tetap se-
perti dulu, sama sekali tidak terlihat berubah kecuali
beberapa di antaranya mulai tua....”
Pemuda tampan berjubah putih bergumam, seo-
lah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Sambil bergu-
mam demikian, tangannya menyentuh ujung dedau-
nan bambu kuning di depan wajahnya.
“Tuan..., ada perlu apakah...?”
Tiba-tiba saja datang seorang lelaki berpakaian
seperti tukang kebun, yang langsung menegur pemuda
itu.
Herannya pemuda tampan berjubah putih sama
sekali tidak kelihatan terkejut. Meskipun tidak melihat,
sepertinya pemuda itu telah tahu kalau ada orang yang
datang menghampirinya. Tampak jelas sekali, sikapnya
tetap tenang dan ramah.
“Hm..., maaf kalau aku telah mengejutkanmu,
Kisanak,” ujar pemuda tampan berjubah putih kemu-
dian, sambil menatap penuh selidik ke arah tukang
kebun yang usianya tampak hanya sedikit lebih tua
darinya. Tentu saja, lelaki yang wajah dan pakaiannya
memang tampak dikotori tanah itu menjadi risih. Pa-
dahal, pemuda tampan berjubah putih tentu saja tidak
bermaksud menilai pakaian yang dikenakan orang di
depannya ini. Hanya saja, tampaknya ia merasa heran,
bagaikan melihat seseorang yang pernah dikenalnya.
“Ada yang bisa kubantu..., Tuan...?” ujar lelaki
berusia kira-kira sekitar dua puluh lima tahun itu. Tu-
buhnya yang terlihat agak tegap tampak selalu mem-
bungkuk. Sepertinya sikap seperti itu memang sudah
menjadi bagian dari dirinya.
“Mmm..., sebenarnya kedatanganku kemari ingin
berjumpa dengan pemilik rumah ini, yaitu Ki Ganda
Buana. Apakah kau bekerja untuknya...?” tanya pe-
muda tampan berjubah putih dengan nada bersahabat
dan sama sekali tidak terlihat menunjukkan dirinya
lebih tinggi dan terhormat daripada tukang kebun itu.
“Benar. Aku memang bekerja untuk Tuan Besar
Ganda Buana. Kalau Tuan ingin bertemu, biar ku
panggilkan...,” sahut tukang kebun itu.
Kelihatan sekali, tukang kebun itu menyukai pe-
muda tampan berjubah putih di depannya ini, walau
pun mereka baru bercakap-cakap sebentar. Tampak-
nya sikap ramah dan tidak sombong yang diperli-
hatkan pemuda tampan berjubah putih membuatnya
merasa senang dan lebih menaruh hormat.
“Kalau kau tidak keberatan, bolehlah...,” jawab
pemuda tampan berjubah putih sambil tersenyum dan
menepuk bahu tukang kebun muda itu.
Tukang kebun itu pun masuk ke dalam rumah
memberitahukan kedatangan pemuda tampan berju-
bah putih. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih
melangkah memasuki halaman depan rumah besar
itu. Halaman ini dihiasi oleh bunga-bunga yang sedang
mekar dan terawat baik. Sehingga, siapa pun yang
memandangnya tentu akan merasa tertarik.
Karena terlalu asyik memperhatikan bunga-
bunga cantik yang bermekaran, tanpa sadar kaki pe-
muda tampan berjubah putih memasuki sebuah ta-
man kecil yang ditata dengan sangat indah. Bahkan,
bunga-bunga di taman itu lebih banyak dan beraneka
warna.
“Bukan main...,” decak pemuda tampan berjubah
putih, kagum. “Siapakah yang telah membentuk taman
seindah ini...? Rasanya tidak mungkin kalau tukang
kebun itu yang melakukannya. Sebab, tangannya ter-
lalu kasar untuk dapat menata seindah ini. Pasti yang
memiliki kebun ini seorang wanita. Mungkinkah Adik
Wulandari yang mengerjakan dan memiliki kebun
mungil ini..?”
Pemuda tampan berjubah putih terus menatapi
bunga-bunga yang bermekaran. Tampak ia terkagum-
kagum melihat kebun cantik yang teratur rapi itu.
“Hei, siapa kau...? Sedang apa di situ...?” Tiba-
tiba saja terdengar teriakan merdu yang membuat pe-
muda berjubah putih menolehkan kepalanya. Seorang
gadis cantik berusia tujuh belas tahun terlihat berlari-
lari kecil menghampiri pemuda tampan itu. Rambut-
nya yang panjang dan dikepang dua bergoyang-goyang
ke kiri dan ke kanan mengikuti irama langkah ka-
kinya. Meskipun suaranya barusan terdengar agak ke-
tus, tampaknya wajah gadis itu sama sekali tidak me-
nunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa marah meli-
hat kehadiran pemuda tampan berjubah putih.
Gadis cantik yang tampaknya bersifat periang itu
berdiri menatap wajah pemuda tampan berjubah putih
dengan berani. Sikapnya yang kelihatan bebas tanpa
terikat peraturan tentu saja membuat pemuda itu ter-
senyum-senyum.
“Hm..., kau sudah semakin besar dan bertambah
cantik, Adik Wulandari. Bagaimana keadaan kakak-
mu? Apakah baik-baik saja...?” sapa pemuda tampan
berubah putih dengan nada akrab.
Gadis cantik yang dipanggilnya dengan nama
Wulandari itu terkejut keheranan. Sebab, ia sendiri ti-
dak mengenali pemuda tampan di depannya ini.
Wulandari menatap wajah tampan itu dengan
penuh selidik. Semakin lama ia meneliti wajah dan so-
sok pemuda di depannya, semakin membulatlah sepa-
sang matanya. Hingga akhirnya, ia berteriak dan lang-
sung memeluk tubuh pemuda tampan itu.
“Kau... Kakang Panjiii...!” jerit Wulandari begitu
mengenali pemuda tampan di depannya ini. Memang,
pemuda tampan berjubah putih tak lain adalah sauda-
ra sepupu Wulandari. Tentu saja, tanpa ragu, Wulan-
dari langsung memeluk tubuh pemuda yang pernah
menyelamatkan nyawa keluarganya itu. (Baca: Serial
Pendekar Naga Putih dalam kisah ‘Kelabang Hitam’).
“Wulandari..., kau tidak berubah sama sekali.
Kau masih tampak lincah dan nakal....” Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain dari Panji itu me-
nyambut pelukan saudara sepupunya tanpa ragu.
Meskipun pertemuan mereka yang pertama dulu tidak
terlalu lama, keduanya telah saling menyukai satu sa-
ma lain. Itulah sebabnya Wulandari tidak merasa malu
untuk memeluk Panji. Pemuda itu memang sudah di-
anggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
“Kakang Panji sengaja berkunjung kemari atau
sekedar singgah?” tanya Wulandari setelah mele-
paskan pelukannya pada tubuh pemuda itu.
Dari binar-binar yang terpancar di matanya, jelas
sekali bahwa Wulandari sangat gembira dengan keda-
tangan Panji. Sehingga, Panji sendiri merasa senang
melihat kegembiraan gadis itu.
“Aku sengaja hendak bertemu dengan kalian.
Dan, aku berniat tinggal beberapa hari, untuk mele-
paskan rasa rindu kepada kalian semua...,” jawab Pan-
ji sambil tersenyum dan meletakkan tangannya ke ba-
hu Wulandari.
“Betul, Kakang...?” tanya Wulandari, seolah-olah
belum percaya penuh akan ucapan pemuda itu, kare-
na dia memang sadar bahwa saudaranya ini adalah
seorang pendekar yang selalu mengembara tanpa tu-
juan. “Kalau begitu, aku akan meminta Kakang untuk
mengajariku ilmu silat Aku ingin menjadi pandai se-
perti Kakak Kenanga.... Eh, mengapa aku tidak meli-
hatnya, Kakang? Apa kau tidak mengajak Kakak Ke-
nanga kemari?”
Wulandari melepaskan rangkulan Panji dan me-
natap wajah pemuda itu lekat-lekat
“Hm... sayang sekali ia tidak bisa ikut bersama-
ku. Sebenarnya dia ingin sekali bertemu denganmu.
Tapi ada suatu urusan yang tidak bisa ditinggalkan-
nya....” Jawaban Panji sempat membuat Wulandari
agak kecewa. Tapi, sebentar kemudian wajah gadis itu
kembali cerah setelah Panji menghiburnya dan mem-
beri pengertian.
Dan, ketika keduanya tengah bertukar cerita
sambil menatapi bunga-bunga yang bermekaran, tiba-
tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Cepat-
cepat keduanya menoleh ke belakang.
“Ayah, Ibu...!” Wulandari langsung berlari me-
nyambut sepasang suami istri yang tengah mengham-
piri.
Panji sendiri sudah bergerak bangkit dan me-
nyongsong kedatangan paman dan bibinya, yang tak
lain adalah Ki Ganda Buana dan istrinya.
“Paman, Bibi...,” sapa Panji sambil membungkuk
hormat kepada saudara satu-satunya dari ayahnya itu.
“Panji....”
Sepasang suami istri yang masing-masing beru-
sia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun
itu bergantian menepuk bahu Panji dengan penuh ka-
sih. Keduanya memang telah menganggap pemuda itu
seperti putra kandungnya sendiri.
“Ayo, mari kita ke dalam...,” ajak Ki Ganda Bua-
na, setelah mereka bertukar sapa mengenai keadaan
masing-masing.
Panji segera mengikuti langkah pamannya. Se-
dangkan Wulandari terus saja menempel padanya. Ga-
dis cantik itu tampaknya sangat menyukai Panji. Dan
sikapnya yang bebas dan tidak malu-malu itu mem-
buat Ki Ganda Buana dan istrinya hanya bisa mengge-
leng-gelengkan kepala saja. Mereka tahu, hubungan
antara Panji dan Wulandari memang tidak lebih dari
kasih sayang sesama saudara.
***
Malam sudah cukup lama jatuh. Panji, yang kini
menginap di rumah Ki Ganda Buana, semenjak tadi te-
lah memasuki kamar yang disediakan untuknya. Letak
kamar itu berada di ruang belakang sesuai dengan
permintaan Panji sendiri, yang tidak bisa ditolak oleh
Ki Ganda Buana. Padahal, Ki Ganda Buana telah me-
minta keponakannya itu untuk tidur di kamar yang
terletak di ruang utama.
Di luar rumah, suasana agak gelap. Rembulan
yang muncul hanya sepotong tak mampu menebarkan
cahaya redupnya yang tertutup oleh gumpalan awan
kehitaman. Namun, tampak bias rembulan yang sa-
mar-samar cukup mampu juga membuat suasana ti-
dak terlalu gelap.
Dalam suasana seperti itu, tampak dari sebelah
Selatan desa, datang sesosok bayangan putih yang
berkelebat cepat Begitu cepat gerakannya. Sehingga,
siapapun akan merasa sangat sulit untuk menangkap
bayangan putih itu, apalagi untuk melihat bentuk tu-
buh dan raut wajah pemiliknya.
Sosok bayangan putih itu terus bergerak mema-
suki Desa Pegatan, lalu langsung menyelinap di antara
rumah-rumah penduduk dengan gerakan yang sangat
cepat Kemudian, dengan sangat cepat pula bayangan
putih itu lenyap di balik sebuah bangunan yang agak
besar.
“Aaa...!”
Tidak berapa lama setelah sosok tubuh bayangan
putih itu lenyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian
yang melengking merobek keheningan malam. Tentu
saja teriakan itu membuat para penduduk desa serta
para peronda berlarian mencari sumber suara. Dan,
sebentar saja daerah sebelah Selatan Desa Pegatan
menjadi ramai seketika.
Obor-obor bermunculan satu per satu hingga
kemudian berpuluh-puluh jumlahnya. Dengan berba-
gai macam senjata di tangan, para penduduk memu-
tuskan untuk berpencar. Karena, tidak seorang pun
yang mengetahui dari mana jeritan itu berasal.
Sementara itu di dalam bangunan tempat bera-
salnya jerit kematian tadi, empat orang centeng yang
juga mendengarnya segera berlompatan ke arah bela-
kang bangunan. Karena, suara itu mereka kenali seba-
gai jeritan majikan wanita mereka, yang disebut den-
gan nyonya besar.
Begitu tiba di belakang bangunan, keempat cen-
teng yang sudah menggenggam senjata telanjang sege-
ra saja berindap-indap untuk menyelidiki, apa yang
sebenarnya terjadi dengan nyonya besar mereka. Se-
bab, selama ini mereka tidak pernah mendengar maji-
kan mereka itu bertengkar dengan suaminya.
Salah seorang dari keempat centeng yang tam-
paknya merupakan pemimpinnya, segera saja memberi
isyarat kepada ketiga orang kawannya. Setelah itu,
ujung goloknya digunakan untuk mengungkit daun
jendela yang tertutup. Semua itu dilakukannya untuk
mengetahui, apa sebenarnya yang terjadi di dalam ka-
mar majikannya.
Tapi gerakan golok lelaki tegap berkumis jarang
itu terhenti ketika tangannya dipegang oleh salah seo-
rang kawannya. Jelas, kawannya itu tidak setuju den-
gan cara yang akan diperbuatnya.
“Kita harus tahu, apakah kedua majikan kita
baik-baik saja...,” desis lelaki tegap berkumis jarang
itu, yang kelihatan tidak senang dengan perbuatan
kawannya yang mencegahnya.
“Kita panggil saja. Kalau tidak menyahut, langsung kita dobrak jendela ini. Kurasa hal itu jauh lebih
baik dan kita tidak bisa dipersalahkan...,” usul lelaki
yang bertubuh sedang yang rupanya mempunyai piki-
ran lebih cemerlang. Dan langsung saja usul itu dija-
wab oleh anggukan ketiga orang kawannya.
“Tuan Besar...!” lelaki tegap berkumis jarang itu
mulai memanggil majikannya dari dekat jendela samp-
ing. Suaranya yang besar dan berat terdengar cukup
mengejutkan. Bahkan, kalau saja di tempat itu ada
seekor kucing yang sedang bengong, kucing itu pasti
akan terlonjak kaget.
Tapi, suara yang bisa mengagetkan kucing ben-
gong itu ternyata sama sekali tidak membuat majikan-
nya terbangun. Sehingga, lelaki tegap itu berdiri bin-
gung sambil menatap daun jendela yang tidak juga
terbuka.
“Lebih keras lagi, Kakang...,” ketiga orang ka-
wannya yang lain memberi semangat agar pemimpin-
nya tidak berputus asa.
Lelaki bertubuh tegap dan berkumis jarang tapi
terlihat agak bodoh itu segera menarik napas panjang-
panjang, hingga dadanya membusung. Dan....
“Tuan Besoooaaarrr...!”
Lelaki tegap itu memang benar-benar berotak
udang. Usulan kawannya tadi ternyata ditanggapi
sungguh-sungguh. Bahkan, bukan hanya sekedar le-
bih keras dari semula, teriakannya kali ini pun tak
ubahnya sebuah raungan binatang buas yang tengah
marah. Tentu saja ketiga kawannya terlonjak bangkit
dengan wajah pucat Mereka tampak sangat terkejut
begitu mendengar teriakan lelaki tegap berkumis ja-
rang itu.
Tapi, sayang sekali. Meskipun teriakan lelaki ber-
tubuh tegap itu sanggup membuat gajah bunting lari
terbirit-birit, majikannya tidak juga keluar. Rupanya
sang majikan tidak bisa disamakan dengan gajah
bunting. Dia sama sekali tidak terlihat lari terbirit-birit
akibat teriakan keras itu.
“Dasar tolol...!” umpat lelaki kurus yang tadi
mencegah lelaki tegap mencongkel daun jendela.
Jelas sekali, lelaki kurus itu jengkel melihat ke-
bodohan pemimpinnya. Memang, pemimpin centeng
itu dipilih berdasarkan kepandaian silatnya bukan ke-
pintaran otaknya. Dan, kepandaian silat lelaki tegap
berkumis jarang itu memang jauh lebih hebat diband-
ing ketiga centeng lainnya.
Begitu teriakan kerasnya dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tidak juga mendapat sahu-
tan, langsung saja lelaki bertubuh tegap itu melesat
dan mendobrak daun jendela setinggi setengah tombak
di atasnya.
“Yeeaatt..!”
Braakkk...!
Daun jendela kamar langsung jebol. Serpihan
kayu tampak berhamburan. Sedangkan tubuh lelaki
tegap itu sendiri telah lenyap ke dalam kamar maji-
kannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga cen-
teng lainnya segera menyusul. Tubuh mereka bergerak
ke arah daun jendela.
“Huppp!”
Sekali menjejak tanah, tubuh ketiganya melam-
bung bergantian dan langsung lenyap di balik jendela
kamar yang telah hancur itu.
***
DUA
“Hahhh...!?”
Begitu menjejakkan kakinya di lantai kamar, mu-
lut ketiga centeng itu langsung menganga lebar. Mere-
ka sangat terkejut melihat keadaan kamar yang beren-
takan. Karena tidak menjumpai lelaki bertubuh tegap
di dalam kamar itu, tentu saja ketiganya bertambah
heran dan saling tatap tak mengerti.
“Ke mana perginya Kakang Junara...?” desis sa-
lah seorang dari ketiga centeng itu sambil menatap se-
keliling kamar.
“Iya, ke mana pula perginya majikan kita...?”
sambung yang lain sambil juga menatapi sekeliling
kamar, seperti masih berharap dapat menemukan ke-
dua majikannya yang lenyap.
“Lebih baik kita cari di tempat lain. Atau... siapa
tahu nona muda kita juga tidak ada. Ayo, kita perik-
sa....”
Setelah berkata demikian, centeng bertubuh ku-
rus itu segera saja melangkah keluar dari kamar maji-
kannya. Dengan senjata di tangan, ia terus bergerak
diikuti centeng lainnya memeriksa seluruh ruangan di
rumah besar itu.
“Aaahhh!?”
Ketika centeng-centeng itu tiba di ruangan dekat
kamar nona muda mereka, ketiganya terjingkat berba-
rengan dan langsung melompat mundur dengan wajah
pucat. Beberapa langkah di depan pintu kamar putri
majikan mereka, tergeletak tiga sosok tubuh berlumu-
ran darah, yaitu kedua orang pemilik rumah beserta
centeng bertubuh tegap yang dijadikan kepala penjaga
rumah besar itu. Semuanya tewas dengan usus mem-
burai. Langsung saja ketiga centeng itu menekap mu-
lut yang hendak menumpahkan isinya ke luar.
“Hmhhhrrr...!”
Belum lagi centeng-centeng itu sempat mengua-
sai rasa mualnya, tiba-tiba terdengar gerungan lirih
dan serak yang menggetarkan jantung.
Tentu saja jantung ketiga centeng yang memang
tengah berdetak keras semakin bertambah terguncang.
Dan, rasa takut ketiganya semakin bertambah saat
melihat kelebatan sesosok bayangan di dinding dekat
pintu kamar majikan mereka.
“Aaahhh!”
Dengan wajah yang semakin bertambah pucat,
ketiga orang yang biasanya sangat galak itu langsung
kehilangan seluruh keberaniannya. Apalagi, mereka
pun melihat adanya tangan yang memiliki cakar-cakar
aneh yang runcing sepanjang satu jengkal.
“Hhmmmrrr!”
Belum lagi rasa takut mereka sempat berkurang,
tahu-tahu muncullah sesosok tubuh berpakaian serba
putih dengan rambut panjang riap-riapan. Dan, di ba-
hu kirinya terlihat sesosok tubuh ramping yang tak
berdaya. Sepertinya sosok yang tampak pingsan dalam
pondongan di bahunya ini adalah putri majikan ketiga
centeng itu.
Karena didesak oleh rasa takut yang sudah tidak
bisa ditahan lagi, tubuh ketiga orang itu pun melorot
jatuh. Tapi, sebelum mereka sempat pingsan, sosok
bayangan putih tadi dengan cepat berkelebat lewat di
depan ketiga centeng itu.
Breettt! Breettt!
“Aakkhhh...!”
Bagai orang yang kerongkongannya tercekik, ke-
tiga centeng itu hanya bisa mengeluh pendek. Darah
segar tampak menyembur keluar dari leher menganga
yang hampir putus terkena sambaran cakar sosok
bayangan putih tadi. Seketika itu juga, tewaslah ketiga
orang itu menyusul yang lainnya.
Tanpa mempedulikan korban-korbannya, sosok
bayangan putih tadi langsung saja bergerak mening-
galkan rumah besar ini sambil tetap memondong seo-
rang gadis cantik di bahu kirinya.
Namun, baru saja sosok bayangan putih itu
sampai di luar rumah, tiba-tiba saja terdengar teria-
kan-teriakan dari belasan orang lelaki yang rupanya
tengah meronda desa. Dengan obor-obor di tangan,
mereka langsung menghadang begitu melihat sesosok
bayangan putih melesat dari dalam bangunan di dekat
tempat peronda lewat.
“Berhenti...!”
Dengan diterangi sinar obor dan senjata di tan-
gan, tiga belas orang peronda Desa Pegatan langsung
menghadang jalan. Meskipun hati mereka sempat ber-
getar melihat sepasang cakar mengerikan milik sosok
bayangan putih, para peronda desa itu tetap mengha-
dang.
“Hmmm....”
Sosok berpakaian serba putih hanya bergumam
perlahan. Wajahnya yang tersembunyi di balik rambut
yang berjuntai ke sebagian wajahnya tampak me-
nyunggingkan senyum dingin. Para peronda desa sege-
ra menyebar dan langsung mengurung sosok berpa-
kaian putih itu.
Kisanak, siapakah kau? Mengapa kau malam-
malam begini keluyuran? Dan, siapa pula yang ada da-
lam pondonganmu itu...? Jawablah, sebelum kami terpaksa harus bertindak keras....”
Seorang lelaki gagah berdada bidang berkata
dengan nada memperingatkan. Sedangkan pedang di
tangan kanannya telah siap untuk membuktikan uca-
pannya barusan. Tapi, sosok berpakaian serba putih
sama sekali tidak menyahut. Dengan tenang, kakinya
melangkah melewati lelaki gagah itu. Jelas, sikap itu
merupakan sebuah tantangan halus.
“Diam di tempatmu...! Selangkah lagi kau maju,
jangan salahkan aku kalau senjata ini terpaksa melu-
kai tubuhmu...,” bentak lelaki gagah berdada bidang
itu sambil melintangkan senjatanya di depan dada.
Jelas, ancaman lelaki gagah itu bukan sekedar
gertakan kosong. Dan, sosok tubuh berpakaian putih
pun tampaknya tahu akan kesungguhan ancaman itu.
Meskipun demikian, sosok berpakaian serba pu-
tih berambut panjang riap-riapan itu tetap saja tidak
peduli. Setelah mengeluarkan dengusan kasar, ka-
kinya kembali melangkah dengan tenang. Tentu saja
sikap ini membuat hati kepala ronda itu semakin pa-
nas.
“Heaaattt..!”
Merasa sudah cukup memberikan peringatan,
kini lelaki gagah berdada bidang tidak lagi sungkan-
sungkan. Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, ia
langsung melesat dengan putaran pedangnya yang
langsung menusuk ke arah punggung sosok berpa-
kaian serba putih.
Wuuuettt..!
Bukan main jengkelnya hati lelaki gagah berdada
bidang. Ternyata tanpa kesulitan sedikit pun, sosok
berpakaian serba putih itu menggeser kaki kanannya
ke samping. Dan, begitu tusukan lelaki gagah itu le-
wat, tiba-tiba cakarnya yang panjang dan runcing
langsung bergerak menjambret lengan lawannya.
Dan....
Kreeppp!
“Aaahhh...!”
Hebat dan sangat cepat gerakan tangan sosok
berpakaian putih itu. Terbukti, tangan lawannya yang
menggenggam pedang langsung dapat dijambretnya
hanya dengan sekali menggerakkan tangan. Benar-
benar sebuah kepandaian yang mengagumkan.
“Hmhhh...!”
Dibarengi dengan sebuah dengusan kasar, sosok
berpakaian serba putih menarik cakarnya dari tangan
lawan.
Brrolll...!”
“Aaaa...!”
Lelaki gagah berdada bidang meraung kesakitan
ketika lengannya tercabut oleh cakar lawan hingga se-
batas siku. Rupanya, selain bisa digunakan untuk ca-
kar, jari-jari runcing itu pun dapat dijadikan pisau
yang bisa mencelakakan lawan-lawannya. Dan, lelaki
gagah berdada bidang sudah menjadi salah satu kor-
bannya.
Tubuh lelaki gagah berdada bidang terjajar lim-
bung sambil memegangi tangannya yang mengalirkan
darah tanpa henti. Wajahnya tampak berkerut-kerut
menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Se-
dangkan sosok berpakaian serba putih hanya tertawa
dingin, kemudian melangkah meninggalkan lawannya.
“Bunuh....!”
Ternyata, meskipun pemimpin peronda malam
itu sudah tak dapat berbuat apa-apa karena sibuk me-
rasakan sakit, ada salah seorang anggota yang bertin-
dak mengambil alih pimpinan. Dan, langsung diteriak-
kannya perintah membunuh sosok bayangan putih itu.
Tanpa diperintah dua kali, dua belas orang ang-
gota peronda malam itu langsung bergerak menerjang
dari segala arah. Sedangkan sosok berambut riap-
riapan itu hanya mengeluarkan suara tawa dingin
yang berkepanjangan.
“Heeaaahhh.. !”
Dibarengi bentakan nyaring, sosok berpakaian
serba putih merunduk. Dibiarkannya beberapa batang
senjata lewat di atas kepalanya. Kemudian, tangan ka-
nannya yang berkuku runcing dan sangat tajam itu
langsung berkelebat ke arah empat orang penyerang
yang berada paling dekat dengannya.
Wuuuttt...! Brreettt!
“Aakkhh...!”
Terdengar jerit kematian susul-menyusul mana-
kala cakar-cakar maut sosok berpakaian serba putih
merobek tubuh empat orang peronda. Tanpa ampun
lagi, tubuh keempat peronda malang itu langsung ter-
jungkal dengan usus memburai. Dan, tampak darah
segar membasahi permukaan tanah yang menjadi ba-
sah seketika.
Kek kek kek...!”
Terdengar tawa yang mendirikan bulu roma. Ke-
pala sosok berpakaian serba putih terangkat ke atas.
Ditatapnya rembulan redup. Kemudian, ditatapinya si-
sa-sisa lawannya yang saat itu telah berloncatan mun-
dur karena dicekam kengerian.
Sosok berpakaian serba putih tampaknya me-
mang sengaja hendak menunjukkan dirinya kepada
penduduk Desa Pegatan. Buktinya, dia sama sekali ti-
dak mengganggu para peronda yang hanya dapat me-
natap kepergian pembunuh keji itu dengan wajah pu-
cat. Setelah sosok mengerikan itu lenyap, baru mereka
dapat bergerak kembali untuk mengurus mayat kawan-kawannya.
***
“Hm..., kejadian ini tidak bisa kita diamkan!”
Seorang lelaki gagah berusia kira-kira enam pu-
luh tahun berkata geram sambil mengepalkan tin-
junya. Jelas sekali, lelaki tua itu tengah marah besar.
Terdengar teriakan-teriakan riuh-rendah me-
nyambut suara lelaki gagah itu. Mereka adalah pendu-
duk Desa Pegatan yang merasa marah dengan peristi-
wa semalam. Sebab, Desa Pegatan yang selama ini ten-
tram dan damai tiba-tiba ditimpa musibah yang meng-
gegerkan. Kematian Juragan Wanaba beserta istri dan
keempat centengnya benar-benar memukul hati warga
desa. Belum lagi, beberapa peronda malam yang sem-
pat menangkap basah pembunuh keji itu telah tewas
pula dengan cara yang mengerikan. Sudah pasti peris-
tiwa ini membuat penduduk Desa Pegatan menjadi
marah besar.
“Mulai hari ini, kita akan tingkatkan perondaan.
Siapa saja yang memiliki anak gadis harap berhati-
hati. Karena, putri Juragan Wanaba telah lenyap. Dan
menurut keterangan para peronda, dia diculik oleh si
pembunuh biadab itu.”
Kembali lelaki gagah berusia enam puluh tahun
itu memperingatkan warga desanya.
Sementara itu, di antara kerumunan warga Desa
Pegatan, tampak seorang pemuda berjubah putih ber-
diri menyaksikan lelaki gagah itu menceritakan keja-
dian semalam.
Di samping pemuda tampan berjubah putih itu,
tampak seorang gadis cantik yang lincah dan manja.
Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Pendekar Naga
Putih dan Wulandari. Rupanya merekapun ingin mendengar cerita tentang kejadian yang menggemparkan
semalam.
“Lelaki tua itu Ki Sangaji. Beliaulah yang me-
mimpin Desa Pegatan dengan bijaksana dan penuh
perhatian pada warganya.”
Wulandari menjelaskan perihal laki-laki gagah itu
kepada Panji. Panji hanya mengangguk mengiyakan.
“Hmmm....”
Panji, yang matanya selalu bergerak melihat
orang-orang di sekelilingnya, tertegun melihat sepa-
sang bola mata berapi yang sedang menatap tajam ke
arahnya. Tentu saja kening pemuda itu berkerut kehe-
ranan. Namun, Panji segera berpura-pura bodoh dan
mengalihkan perhatian. Diam-diam, otak pemuda
tampan mencatat wajah dan bentuk tubuh sosok yang
menatap dengan mata terbakar itu.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangaji segera
membubarkan warganya untuk melanjutkan tugas
masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, warga Desa
Pegatan pun beranjak meninggalkan balai desa. Demi-
kian pula halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu
melangkah mengikuti Wulandari yang menuntunnya
mengitari desa.
Wulandari tampak sangat suka menemani Panji
berjalan-jalan. Karena, di saat istirahat, selalu saja
Panji menyempatkan diri untuk mengajarkan gadis itu
beberapa jurus silat, atau membenarkan gerakan-
gerakannya yang masih terlalu lemah dan mudah dis-
erang.
Pada hari ini pun, setelah meninggalkan balai de-
sa, Wulandari mengajak Panji ke sebuah tempat yang
sunyi. Dan, di sebuah lapangan rumput yang cukup
luas, gadis cantik itu menghentikan langkahnya, lalu
memandang ke arah Panji.
Melihat sinar mata Wulandari, Panji pun tahu,
apa yang diinginkan gadis ini. Pemuda itu tersenyum
dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. Langsung
saja Wulandari berseri gembira.
“Haaiittt..!”
Diawali dengan sebuah seruan nyaring, Wulan-
dari mulai melakukan gerakan yang diajarkan Panji.
Kaki kanannya bergeser ke belakang dengan dibarengi
sebuah tusukan jari-jari tangan setinggi leher. Jelas,
tujuannya adalah tenggorokan lawan. Kemudian, den-
gan gerakan pinggang yang luwes, gadis itu merunduk
sambil melakukan putaran cepat, lalu terus menyem-
bul sembari melontarkan sebuah cengkeraman ke peli-
pis. Setelah itu, Wulandari melompat panjang dengan
kedua lutut menekuk ke dada. Sedangkan sepasang
tangannya yang membentuk cakar harimau bergerak
susul-menyusul menimbulkan sambaran angin yang
cukup kuat. Kekuatan tenaga Wulandari tampaknya
telah bisa diandalkan.
“Heyyaahhh...!”
Setelah menyelesaikan jurusnya, Wulandari
kembali berseru sambil melesatkan tubuhnya dan ber-
jumpalitan di udara beberapa kali, lalu mendarat rin-
gan beberapa langkah di belakang Panji yang langsung
tersenyum sambil bertepuk tangan keras. Pemuda itu
tampak sangat puas melihat kemajuan yang diperoleh
gadis cantik ini.
“Bagus sekali, Wulandari. Tampaknya kau me-
mang sangat berbakat. Gerakanmu demikian luwes
dan teratur baik. Kalau kau sering berlatih, dalam
waktu singkat siapapun akan kesulitan mencari lawan
yang cocok untukmu...” puji Panji dengan wajah berse-
ri.
Gerakan-gerakan silat yang dilakukan Wulandari
tadi memang sangat mengagumkan. Sehingga, mau ti-
dak mau Panji harus mengakui, betapa berbakatnya
gadis cantik saudara sepupunya ini.
“Ah, Kakang tidak bersungguh-sungguh. Gera-
kanku tadi tentunya masih jelek dan kasar, tidak se-
perti kalau Kakang yang memainkannya. Kalau me-
mang kurang bagus, mengapa harus disembunyikan,
Kakang? Katakan saja terus terang, aku tidak akan
marah...,” ujar Wulandari yang masih saja tampak ti-
dak mempercayai pujian Panji.
Memang, Wulandari selalu tidak suka jika ada
orang lain menyembunyikan hal yang sebenarnya. Ta-
pi, terhadap Panji, gadis itu bukannya tidak percaya.
Sesungguhnya ia terlalu manja dan selalu ingin men-
dengar pujian Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar bantahan Wu-
landari. Gadis cantik itu, memang sangat manja kepa-
danya. Tapi, ada satu hal yang sangat disukai Panji
dari Wulandari, yaitu gadis ini tidak pernah memban-
tah suatu kebenaran, juga selalu mau mengikuti nasi-
hatnya. Sifat itulah yang membuat Panji semakin ber-
tambah sayang kepada Wulandari. Apalagi, pemuda
tampan ini memang tidak mempunyai seorang pun
adik.
Tentu saja kehadiran Wulandari dalam hidupnya
membuat Panji menganggap gadis cantik putri paman-
nya itu sebagai adik kandungnya sendiri. Hal ini pun
sering kali diungkapkannya kepada Wulandari dalam
kesempatan mereka bercerita.
Demikian pula halnya dengan Wulandari. Gadis
ini juga menganggap Panji sebagai kakak kandungnya.
Wulandari memang mempunyai kakak kandung yang
bernama Wira Buana, tapi kakak kandungnya itu telah
tiada semenjak setahun yang lalu, sebelum kedatangan Panji yang sekarang ini. Itulah sebabnya, mengapa
semenjak Panji tinggal di tempat kediaman pamannya
hanya Wulandari yang menemaninya bermain silat dan
melihat keindahan alam pedesaan.
Panji mengulurkan tangannya. Diacak-acaknya
rambut Wulandari. Bibirnya terlihat tersenyum melihat
mimik tidak puas di wajah gadis itu.
“Mengapa aku harus berbohong kepadamu,
Adikku? Kalau itu kulakukan, tentunya aku sendirilah
yang akan rugi. Sebab, apabila aku memuji gerakan-
mu, padahal sebenarnya gerakanmu buruk, bagaima-
na nanti bila kau bertemu dengan seorang lawan un-
tuk kemudian kalah? Selain aku sendiri yang merasa
malu, tentunya kau pun tidak luput dari celaka. Nah,
dengan alasan ini kau masih menyangka aku akan
berbohong...?”
Panji menarik tubuh gadis cantik itu ke dalam
pelukannya. Sedangkan Wulandari sama sekali tidak
berusaha untuk menghindar, tapi malah menyurukkan
kepalanya ke dalam pelukan pemuda itu.
“Kakang...” panggil Wulandari yang masih me-
nyembunyikan wajahnya di dada Panji.
“Hmmm...,” gumam Panji sambil menatap langit
yang masih cerah.
“Kalau Kakang mempunyai seorang sahabat yang
berwajah tampan, berhati lembut, dan penuh perha-
tian seperti Kakang, tolong kenalkan aku, ya...?” pinta
gadis itu dengan wajah kemerahan. Terlihat Wulandari
merasa malu juga untuk menyampaikan hal seperti
ini, seberapa dekatnya pun dia dengan Panji.
Panji terdiam sejenak. Bibirnya mengulas se-
nyum. Diketatkan pelukannya dengan penuh kasih.
Lalu dia menyahuti ucapan Wulandari dengan suara
berbisik lembut.
“Mengapa, Wulandari...?”
“Aku ingin mempunyai seorang pelindung seperti
Kakang...,” desah Wulandari yang kini berani men-
gangkat kepalanya menatap wajah pemuda itu.
“Hush...” tukas Panji, bergurau. Keduanya ter-
diam sesaat. Panji menatap bola mata gadis di depan-
nya.
“Kelak kau akan menemukan orang yang kau
cintai tanpa harus membandingkannya denganku. Ji-
ka kau bertemu dengannya kelak, terimalah ia apa
adanya dan jangan terlalu banyak menuntut. Dengan
begitu, ia akan semakin sayang dan menaruh perha-
tian yang besar kepadamu...” jelas Panji, menasihati.
“Betul, Kakang...?” Wulandari masih belum per-
caya.
“Tentu saja betul. Sekarang, ayo kita pulang. Se-
bentar lagi hari akan senja...” ajak Panji sambil mena-
rik tangan gadis itu agar tidak semakin terseret dalam
lamunannya.
Wulandari tidak membantah. Gadis cantik ini
mengikuti Panji dengan menggunakan ilmu larinya
yang semakin tinggi setelah diajarkan pemuda itu.”
***
TIGA
Suatu iring-iringan kereta kuda bergerak lambat
menyusuri jalan lebar. Dilihat dari bentuknya yang
cukup besar, jelas kereta-kereta itu merupakan kereta
barang.
“Heyyys...!”
Kusir kereta terdepan yang berusia sekitar lima
puluh tahun memecuti kuda-kudanya ketika roda kereta terjeblos dalam sebuah ceruk tanah yang cukup
dalam. Namun, kedua ekor kuda yang menariknya
hanya meringkik keras, karena tak mampu mengelua-
rkan roda. kereta yang terjeblos itu.
“Hayo, kuda-kuda tolol! Makan saja kalian kuat!
Baru terjeblos ke lubang kecil saja, kereta ini tidak
mampu kalian tarik! Apalagi terjeblos ke dalam jurang!
Pasti tidak mungkin lagi kalian bisa menariknya....”
Kusir kereta terdepan itu mengomel panjang-
pendek. Sedangkan tiga kereta yang berada di bela-
kangnya segera berhenti, karena tidak bisa lewat. Se-
lain itu, kereta terdepan memang merupakan pemim-
pin iring-iringan kecil itu.
“Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut. Percuma saja
kuda-kuda itu dimaki-maki.”
Terdengar suara lembut seorang lelaki empat pu-
luh tahunan. Wajahnya bersih dan penampilannya
tampak gagah. Sedangkan pakaian yang dikenakannya
adalah pakaian seorang pendeta agama. Pantaslah ka-
lau nada bicaranya pun lembut.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu me-
langkah turun. Rupanya ia berada di bagian belakang
kereta yang tertutup rapat oleh kain lebar itu. Bersama
dengannya, tampak masih ada beberapa orang lelaki,
berusia tiga puluh sampai lima puluh tahun. Wajah
mereka rata-rata menunjukkan kesabaran dan penuh
pancaran kasih.
“Hayo, Paman, siap-siaplah menjalankan kere-
ta...,” ujar lelaki gagah berpakaian pendeta itu sambil
memegang bagian samping kereta.
“Satu... dua... ti... ga...!”
Seiring dengan hitungan ketiga yang diserukan
pendeta muda itu, kereta pun terangkat pada bagian
yang terperosok. Sedangkan tubuh pendeta muda itu
tampak bergetar dengan otot-otot lengan mengembung.
Pendeta muda itu rupanya telah mengerahkan tenaga
sakti dalam usaha mengangkat roda kereta dari dalam
lubang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kusir kereta
segera melecutkan cambuknya berkali-kali ke pung-
gung kedua ekor kudanya pada waktu mendengar hi-
tungan ketiga. Sebentar kemudian, roda kereta itu pun
telah terbebas dari lubang yang menjeratnya.
“Wah..., tenagamu semakin hebat saja, Adi Wa-
lung. Rupanya kau telah memperoleh kemajuan yang
pesat...,” puji salah seorang pendeta yang ada di dalam
kereta itu.
Pujian yang diucapkan salah seorang pendeta itu
memang tidak terlalu berlebihan. Sebab, selain me-
nanggung beban barang, kereta itu pun masih men-
gangkut sekitar enam orang penumpang lagi. Tentu sa-
ja, terangkatnya roda kereta dengan beban seberat itu
bukan merupakan hasil pekerjaan yang ringan.
“Ah..., kau terlalu memuji, Kakang Kalpa Wira.
Kalau dibandingkan denganmu, tentu saja aku tidak
ada apa-apanya,” sahut pendeta muda yang dipanggil
dengan nama Adi Walung itu, merendah.
Pendeta yang dipanggil dengan nama Kalpa Wira
hanya tertawa terkekeh. Tampaknya ia tidak mau
membantah pujian yang dilontarkan terhadap dirinya.
Tanpa banyak bicara lagi, Walung segera naik
kembali ke atas kereta, yang terus bergerak menyusuri
jalan lebar. Tiga kereta lainnya pun mulai bergerak
mengikuti kereta terdepan.
Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tibalah
di mulut Desa Pegatan. Tapi, iring-iringan itu tidak di-
perbolehkan masuk ke dalam desa. Tampak di mulut
desa telah berjaga-jaga belasan orang dalam keadaan
waspada semenjak kejadian menggemparkan yang me-
nimpa desa itu baru-baru ini. Ki Sangajilah yang telah
memberi perintah untuk memperketat penjagaan. Dan,
tanpa diperintah pun para penduduk sesungguhnya
telah bertekad memperketat keamanan Desa Pegatan.
“Hm..., dapatkah kami berjumpa dengan kepala
desa ini? Tolonglah, ada sesuatu yang sangat penting
yang ingin kami sampaikan. Harap Kisanak berkenan
mempertemukan kami dengan beliau...,” ujar Walung
dengan sopan.
Tampaknya karena tidak diperbolehkan mema-
suki desa, Walung memutuskan untuk bertemu lang-
sung dengan kepala desa. Dengan demikian, ia bisa
membicarakan keperluannya dengan penguasa Desa
Pegatan itu.
“Baiklah, satu orang saja. Yang lain tinggal di si-
ni. Kalau tidak, terpaksa kami tidak akan memberikan
izin kepada siapa pun untuk menemuinya...,” ujar seo-
rang lelaki gagah yang menjadi pemimpin di batas desa
itu. Kekerasan hatinya sama sekali tidak berubah,
meskipun orang-orang yang dihadapinya adalah para
pendeta.
Akhirnya Walung menganggukkan kepala dan
melangkah mengikuti laki-laki anggota penjaga perba-
tasan. Pendeta muda itu segera dihadapkan kepada
Kepala Desa Pegatan.
“Maaf, kalau kedatangan kami mengganggu kete-
nangan Ki Sangaji. Tapi, kami sangat memerlukan
bantuan kepala desa. Jadi, kami datang menghadap
untuk membicarakan hal itu...,” ujar Walung begitu
bertemu dengan seorang lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun yang masih terlihat gagah.
“Hm..., apa yang bisa aku bantu untuk kalian...?”
tanya Ki Sangaji setelah memperhatikan pendeta muda
itu sejenak.
“Kami ingin membuat tempat ibadah di sekitar
daerah ini. Untuk itu, tentu saja kami memerlukan
bantuanmu, Ki Sangaji. Sebab, tanpa izin darimu, su-
kar rasanya untuk mencari daerah yang baru. Untuk
itu, kami mohon dengan sangat....”
Penuturan Walung terdengar cukup singkat dan
jelas. Tapi Ki Sangaji tidak bisa memberi jawaban sege-
ra. Lelaki gagah itu termenung. Tampaknya ia tengah
mencari keputusan yang tepat.
Walung duduk tenang menunggu. Lelaki muda
berwajah bersih itu terlihat agak termenung memikir-
kan jawaban yang bakal diterimanya. Ia hanya terus
duduk menunggu tanpa berani mengganggu keasyikan
Ki Sangaji yang tengah mencari jawaban bagi permo-
honannya tadi.
“Hm..., apa maksud kalian hendak membangun
tempat ibadah di sekitar desa ini...? Sedangkan di desa
ini kalian tidak mempunyai seorang penganut pun. La-
lu, di mana kalian hendak mendirikannya kira-kira.
Kalian pasti sudah mengira-ngiranya, kan...?” tanya Ki
Sangaji, yang ingin mengetahui secara pasti tujuan
orang-orang itu datang ke tempatnya.
“Sudah pasti untuk beribadah, Ki. Dan, kami
berniat membuatnya agak ke ujung desa, agar tidak
mengganggu Ki Sangaji dengan persoalan-persoalan
kami. Untuk itu, kami mohon Ki Sangaji mau menga-
bulkannya...,” jelas Walung, berusaha membujuk Ki
Sangaji.
Ki Sangaji kembali terdiam. Untuk kedua kalinya,
Walung pun harus diam menunggu.
“Baiklah. Kami akan memberikan izin. Tapi ingat,
aku akan selalu memeriksanya setiap hari. Untuk itu,
kalian harus melaksanakannya dengan sungguh
sungguh,” tegas Ki Sangaji kemudian mengajukan per-
syaratan yang dianggap tidak terlalu berat
“Terima kasih, Ki. Semoga kau diberkahi....”
Dengan wajah cerah, Walung melangkah lebar ke
arah mulut desa, tempat kawan-kawannya masih ting-
gal. Kemudian dia memberitahukan pada mereka un-
tuk siap berangkat.
Begitu pintu batas desa dibuka atas perintah Ki
Sangaji, kereta-kereta itu pun bergerak menyusuri ja-
lan utama Desa Pegatan, lalu melangkah pelan ke
ujung desa.
“Sebentar, aku akan memeriksa kalian...!”
Ki Sangaji yang sengaja menunggu di pinggir ja-
lan, mengingatkan bahwa ia belum memeriksa semua
isi kereta. Walung menganggukkan kepalanya sambil
membungkukkan tubuh.
***
Suasana malam yang hening, kembali mencekam
Desa Pegatan. Meskipun di dalam keheningan itu Ki
Sangaji dan para penduduk telah bersiap untuk men-
cegah terulangnya malapetaka, ternyata sosok berpa-
kaian serba putih tetap muncul mencari korban. Kali
ini sosok bayangan putih itu bergerak ke sebelah timur
Desa Pegatan, tempat Ki Ganda Buana tinggal.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, sosok berpa-
kaian serba putih berkelebatan cepat menuju Timur
desa. Bahkan para peronda malam tidak melihat atau
pun mendengarnya saat sosok bayangan putih itu me-
lintas di atas mereka. Dari sini saja dapat diukur beta-
pa hebat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Sebentar kemudian, tubuh pembunuh biadab itu
lenyap di balik rumah salah seorang petani. Entah ba-
gaimana caranya, tiba-tiba sosoknya telah berada di
dalam sebuah kamar yang cukup luas. Di atas pemba-
ringan dalam kamar itu tampak seraut wajah manis
tengah terlelap. Sosok berpakaian serba putih itu ter-
senyum dingin. Kemudian, dia mengulurkan tangan-
nya untuk memberikan sebuah totokan pelumpuh. Se-
telah itu, tubuhnya kembali berkelebat lenyap tanpa
diketahui oleh seorang pun penghuni rumah.
Rupanya sosok berpakaian serba putih itu tidak
segera meninggalkan desa, meskipun ia telah menda-
patkan korbannya. Ia masih terus berkeliling memasu-
ki rumah-rumah penduduk lainnya sambil memon-
dong tubuh gadis tawanannya.
Sementara itu, tanpa setahu sosok berpakaian
serba putih yang tengah berkelebatan sambil memon-
dong gadis itu, ada sesosok bayangan putih lain yang
membayanginya. Sosok bayangan putih kedua ini
tampaknya sengaja menjaga jarak dan tidak segera
menangkap ataupun memergoki penculik perawan itu.
Dia terlihat terus membayangi, meskipun sesungguh-
nya dirinya merasa aneh melihat sosok berpakaian
serba putih yang keluar masuk rumah-rumah pendu-
duk dengan membawa-bawa tubuh gadis yang tertotok
pingsan di bahunya.
Baru ketika sosok berpakaian serba putih mele-
sat hendak meninggalkan desa, sosok berpakaian pu-
tih yang berada di belakangnya segera bergerak me-
nambah kecepatan larinya. Kemudian, tampak tubuh-
nya berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum ka-
kinya menjejakkan tanah di depan pencuri perawan
yang memiliki cakar runcing mengerikan itu.
Sosok rambut panjang riap-riapan yang sebelah
bahunya menyandang tubuh seorang gadis itu tampak
terkejut. Dan, ia berusaha meloloskan diri dari kejaran
sosok berjubah putih yang gerakannya demikian cepat
bagaikan sambaran kilat di angkasa.
“Berhenti...!”
Disertai bentakan keras, sosok berjubah putih itu
kembali melenting ke udara dan berputaran beberapa
kali. Kemudian, tubuhnya dijatuhkan tepat di depan
sosok berpakaian serba putih yang menculik gadis de-
sa itu.
“Bangsat! Mau apa kau? Siapa kau yang begitu
berani menghalangiku? Menyingkirlah sebelum me-
nyesal...!”
Sosok penculik putri petani itu mengancam den-
gan nada geram. Rupanya ia benar-benar jengkel meli-
hat sosok berjubah putih yang ternyata memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tidak kalah dengan dirinya
sendiri. Bahkan, sosok berpakaian serba putih mau ti-
dak mau harus mengakui bahwa ilmu meringankan
tubuh pengejarnya itu masih lebih tinggi beberapa
tingkat. Tentu saja kenyataan ini membuatnya hampir
tak percaya.
“Dengar, Kisanak. Siapa pun kau di balik pe-
nampilanmu yang seram ini, lebih baik menyerahlah
atau hentikan kejahatanmu. Lebih baik kau perguna-
kan ilmu kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah,
kau pasti akan merasa lebih tenteram ketimbang me-
lakukan kebiadaban seperti sekarang ini....”
Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pe-
muda tampan itu mencoba menasihati lawannya. Na-
mun, yang didapat hanyalah tawa dingin dan dengu-
san kasar.
“Hm..., tidak perlu mengguruiku, Bocah! Sebaik-
nya kau memang harus diberi pelajaran biar kapok!”
Baru saja ucapannya itu selesai, sosok yang memiliki sepasang cakar maut itu langsung mengulurkan
cakar-cakarnya ke arah pemuda tampan itu.
Wuuuttt! Wuuuttt!
“Maaf, aku tidak memerlukan pelajaranmu....”
Sambil berkata demikian, pemuda tampan itu
bergerak menghindar seraya menepiskan telapak tan-
gannya. Sehingga, cakar maut lawan pun melenceng
ke arahnya.
“Hiaahhh...!
Zzeebbb...!
Sebuah serangan balasan yang berupa tendangan
kilat terlontar cepat mengancam perut lawannya. Ten-
tu saja sosok berpakaian serba putih terkejut bukan
main. Cepat ia bergerak mundur ke belakang dengan
lompatan panjang.
Tapi, pemuda berjubah putih itu tidak tinggal di-
am. Begitu tendangannya luput, tubuhnya terus me-
luncur melakukan pengejaran. Telapak tangannya
yang juga membentuk cakar berkelebatan cepat susul-
menyusul. Tentu saja serangan yang bagaikan gelom-
bang badai di lautan itu membuat lawannya terdesak.
Dan....
Plakkk...!
“Uuuhhh...!”
Ternyata serangan itu hanya mengenai pangkal
lengan lawannya. Dan, pada saat yang tepat cengke-
raman cakar pemuda itu terlihat berubah menjadi
hantaman telapak tangan, sehingga akibatnya tidaklah
terlalu parah. Sosok tubuh berpakaian serba putih
yang bertangan cakar runcing mengerikan itu hanya
terjajar mundur beberapa langkah. Meskipun, ia sem-
pat meringis merasakan kenyerian yang mengigit tu-
lang.
“Bedebah! Kau... kau Pendekar Naga Putih...!?”
seru sosok bercakar maut itu dengan suara terkejut.
Rupanya ia baru dapat mengenali siapa lawannya sete-
lah melihat gerakan pemuda itu, yang memang telah
menggunakan jurus-jurus ‘Naga Sakti’nya.
“Benar. Untuk itulah petualanganmu harus di-
akhiri. Karena, orang sepertimu tidak akan pernah
mengenal kata tobat,” desis sosok berjubah putih yang
ternyata memang Panji itu.
Panji kemudian melangkah perlahan-lahan dan
bersiap melanjutkan pertarungan.
“Tunggu...!” cegah sosok berpakaian serba putih
yang masih memondong gadis desa itu seraya melang-
kah mundur dan menatap Panji dengan sepasang ma-
tanya yang tajam.
“Hm..., apa lagi yang hendak kau sampaikan,
manusia licik. Atau kau ingin menyerahkan diri...?”
tanya Panji menatap sorot mata lawannya dengan ti-
dak kalah tajam.
“Hm..., bagaimana kalau kita adakan pertaru-
han...?”
Tiba-tiba saja terdengar ucapan aneh dari mulut
sosok berpakaian serba putih. Tentu saja kening Panji
berkerut mendengarnya.
“Pertaruhan...? Apa maksudnya, Kisanak...? Jan-
gan bertele-tele. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untukmu...,” ujar Panji, yang kelihatan berpikir keras
mencari tahu maksud ataupun arah pikiran lawannya.
“Benar. Aku bersedia bertarung denganmu den-
gan syarat yang ku ajukan ini. Jika kau menang, am-
billah gadis ini, dan aku tidak akan pernah lagi kemba-
li ke desa ini. Tapi, jika aku menang, kau harus pergi
dari desa ini, Pendekar Naga Putih, dan tidak boleh
kembali lagi. Bagaimana? Kalau kau takut, tak apalah.
Segeralah kau pergi dari sini. Aku akan tetap merajai
daerah sekitar Desa Pegatan. Dengan tidak menyam-
but tantanganku, berarti kau telah kalah, Pendekar
Naga Putih!” ujar sosok berpakaian serba putih, men-
gajukan syarat seenaknya.
“Aku tidak menerima persyaratanmu dan tidak
akan pernah bertaruh denganmu. Ingat, kita berada di
tempat yang berbeda. Kau selalu mengumbar kejaha-
tan dengan membunuhi dan mencelakai orang-orang
yang tidak berdosa. Sedangkan aku berada di pihak
yang mempunyai kewajiban mencegahmu. Dengan be-
gitu, tanpa taruhan pun aku akan tetap mengusir atau
bahkan membunuhmu. Peduli kau terima atau tidak.
Nah, bersiaplah...,” desis Panji sambil melangkahkan
kaki mengitari lawannya.
“Bangsat! Manusia Sombong! Apa kau kira aku
takut kepadamu, Bocah Tengik! Berani-beraninya kau
menantang si Cakar Setan! Lihatlah, akan kurobek-
robek tubuhmu dengan cakarku...!”
Cakar Setan segera menurunkan tubuh gadis
yang dibawanya. Kemudian, kakinya melangkah maju
dengan sepasang tangan runcingnya bergerak ke de-
pan. Terdengar suara berdecitan saat dia memutar
tangannya yang kini telah siap merencah tubuh la-
wannya.
“Hemmhhh...!”
Sambil menggeram lirih, Cakar Setan mulai ber-
gerak maju dengan langkah-langkah yang cepat dan
bersilangan, sepasang tangannya yang meruncing dan
berkilat tertimpa cahaya rembulan bergerak kian ke-
mari menimbulkan decitan angin yang menulikan te-
linga. Jelas, sosok berpakaian serba putih itu telah
siap mengerahkan tenaga dalamnya setelah mengeta-
hui siapa lawannya.
Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda itu
pun sudah bergerak maju dengan sekujur tubuh yang
terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Sepasang
tangannya yang sudah membentuk cakar naga tampak
berkelabatan menimbulkan sambaran angin mencicit
tajam. Rupanya Pendekar Naga Putih pun tidak ingin
menganggap enteng lawannya. Sebab, biar pun belum
mengenal betul si Cakar Setan. Panji sadar bahwa la-
wannya ini sebenarnya memang memiliki kepandaian
yang tinggi, yang terlihat dari gerak-gerik ataupun se-
rangannya ketika bertarung beberapa jurus tadi. Un-
tuk itu, Pendekar Naga Putih harus berhati-hati. Apa-
lagi, di pihak lawannya masih ada seorang gadis tawa-
nan. Mungkin saja, dalam keadaan terdesak, Cakar
Setan akan menggunakan gadis itu sebagai sandera.
“Yiiaaat..!”
“Haaiiittt...!”
Sebentar kemudian, kedua sosok tubuh yang
sama-sama berupa bayangan putih itu pun saling
menggempur dengan hebatnya. Ilmu meringankan tu-
buh mereka yang hampir seimbang membuat keleba-
tan-kelebatan tubuh keduanya bagaikan kilatan ca-
haya putih. Apalagi, tubuh Panji memang mengelua-
rkan pendaran sinar putih keperakan. Tentu saja, dili-
hat secara sepintas, pertarungan itu merupakan se-
buah pertunjukan yang sangat menarik. Tapi, bagi to-
koh-tokoh berpengalaman, pandangannya tentu akan
lain lagi.
“Heeaattt...!”
Untuk kesekian kalinya, kembali Cakar Setan
membentak nyaring. Sepasang cakar bajanya bergerak
kian kemari mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun, pemuda tampan itu selalu dapat menghindari
serangan lawan dan bahkan membalasnya pada waktu
yang tepat Sehingga, meskipun Panji kelihatan agak
terdesak, justru Cakar Setan lah yang selalu kelabakan
setiap kali menerima serangan balasan dari Pendekar
Naga Putih.
“Heeaaahhh..!”
Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
yang mengancam dada lawannya berhasil dielakkan.
Tapi, Panji tidak berhenti sampai di situ. Sepasang ca-
kar naganya yang terkadang berubah bentuk itu terus
mencecar Cakar Setan hingga makin terdesak.
Breettt.!
“Aakkhhh...!”
Cakar Setan memekik kesakitan. Tubuhnya me-
lintir ketika ia tidak dapat lagi menghindari sambaran
cakar naga Panji. Namun, lagi-lagi tokoh sesat itu tidak
kehabisan akal. Dengan tubuh yang pura-pura lim-
bung, Cakar Setan segera mengangkat tubuh gadis
yang tadi diletakkannya begitu saja. Kemudian, dengan
pengerahan tenaga dalamnya, dilemparkannya tubuh
gadis itu ke udara.
“Huak hak hak...! Kau tangkaplah aku, Pendekar
Naga Putih, dan tubuh gadis tak berdosa itu akan
hancur berantakan....”
Sambil berkata demikian, Cakar Setan melang-
kah meninggalkan tempat itu. Kemudian sosoknya
langsung berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
“Keparat licik...!”
Panji hanya bisa memaki karena ia tidak mung-
kin membiarkan tubuh gadis itu terbanting hancur.
Akhirnya, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk
menolongnya. Sekali menjejak tanah, tubuh Panji
langsung melambung ke udara. Kemudian ditangkap-
nya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan diba-
wanya melayang turun.
***
EMPAT
Tepat pada saat tubuh Panji meluncur turun
dengan tubuh gadis dalam pondonganya, sejarak dua
tombak dari dirinya tampak sinar terang yang disusul
dengan munculnya para peronda desa. Rupanya mere-
ka mendengar suara ribut-ribut dan segera langsung
bergegas mencari sumber suara itu. Kemunculan me-
reka yang bertepatan dengan sosok Panji yang meng-
gendong seorang gadis tentu saja menimbulkan pra-
sangka yang tidak pernah terduga oleh Panji sebelum-
nya.
“Kepung manusia iblis itu...!”
Terdengar suara perintah yang bergaung. Seben-
tar kemudian, tubuh Panji telah terkurung dalam ling-
karan puluhan orang peronda Desa Pegatan. Tentu sa-
ja kenyataan ini membuat Panji terkejut.
“Tahan...! Kalian salah mengenali orang. Aku bu-
kanlah orang yang kalian maksudkan...!” ujar Panji,
berusaha menjelaskan persoalan yang sebenarnya.
Tapi, para peronda desa yang pernah melihat so-
sok berjubah putih tentu saja tidak mau mendengar-
kan omongan pemuda itu. Segalanya sudah tampak je-
las bagi orang-orang itu. Di depan mereka kini berdiri
sosok berjubah putih bersama seorang gadis dalam
pondongannya. Bahkan, pada saat itu rambut Panji
tampak agak berantakan. Sehingga, para peronda Desa
Pegatan itu tak mau mengerti walaupun Panji berusa-
ha menerangkan keadaan yang sebenarnya.
“Ayo, tangkap iblis keji itu...!”
Seorang lelaki bertubuh sedang yang memiliki
sepasang mata tajam bagai mata elang segera saja
memberi perintah. Dan, tanpa diperintah dua kali, pa-
ra peronda Desa Pegatan pun serentak menghambur
dengan senjata terhunus ke arah Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Panji menjadi semakin bertambah geram
terhadap Cakar Setan. Jelas, iblis licik itulah yang te-
lah membuatnya susah.
“Yeeaaa...!”
Diiringi teriakan-teriakan yang membahana, hu-
jan senjata pun tidak lagi dapat dicegah oleh Panji. Be-
lasan batang pedang para peronda desa datang dengan
suara berdesing-desing. Panji, yang khawatir kalau ga-
dis dalam pondongannya terluka, segera berlompatan
menghindari serangan senjata-senjata itu.
Sayang, ke mana pun Panji mengelak, selalu saja
ada sambaran senjata tajam yang mengancam tubuh-
nya. Pemuda itu pun terpaksa mengerahkan ‘Tenaga
Sakti Gerhana Bulan’ untuk melindungi kulit tubuh-
nya dari luka bacokan pedang. Dan, munculnya kabut
putih keperakan yang berpendar menyelubungi tubuh
Pendekar Naga Putih dan gadis dalam pondongannya
sempat memancing berbagai seruan dari orang-orang
desa yang mengeroyoknya.
“Aaahhh...!?”
Beberapa pengeroyok terdekat yang berada dalam
jarak setengah tombak dari Panji langsung berlarian
mundur. Mereka tampak ketakutan melihat lapisan
kabut bersinar putih keperakan yang menebarkan ha-
wa dingin menggigit tulang. Sedangkan para penge-
royok yang sempat menghindarkan diri terlihat berja-
tuhan dengan tubuh menggigil.
“Mundur...! Iblis itu mulai menggunakan ilmu si-
hirnya...!”
Lelaki bertubuh sedang bermata setajam elang
rupanya menjadi pemimpin para peronda Desa Pegatan segera berteriak memerintahkan kawan-kawannya
untuk mundur. Karena, lapisan kabut berhawa dingin
yang muncul dari dalam tubuh Pendekar Naga Putih
telah membuat para pengepungnya porak poranda.
Sedangkan lelaki bermata elang itu sendiri bergerak
maju dengan ditemani beberapa peronda lainnya.
Tampak, mereka yang memiliki tenaga dalam cukup
tinggi untuk melawan pengaruh hawa dingin itu mem-
beranikan diri menghadapi Panji yang dianggap seba-
gai pembunuh keji.
“Sahabat, tahan senjata kalian! Dengarkanlah
dahulu kata-kataku. Setelah itu, barulah kalian boleh
menyerangku....”
Panji kembali mencoba menyadarkan para pe-
ronda desa dengan menyuruh mereka mendengarkan
penjelasannya lebih dulu. Tapi, tak seorang pun yang
mau mendengarkan kata-kata Pendekar Naga Putih.
Sebab, pada saat mereka menemukan Panji, penampi-
lan pemuda itu memang sangat mirip dengan Cakar
Setan yang telah banyak memakan korban. Kalaupun
ada beberapa perbedaan, mana mau orang-orang desa
itu memusingkannya.
“Tidak perlu banyak cakap lagi, Iblis Keji! Se-
baiknya kau serahkan wanita itu pada kami. Setelah
itu, mungkin aku akan mendengarkan kata-
katamu....”
Lelaki bermata elang yang menjadi pemimpin pa-
ra peronda Desa Pegatan mencoba membujuk Panji
yang disangkanya sebagai iblis jahat. Tentu saja lelaki
gagah ini mengharapkan pemuda itu dapat terbujuk
dan menyerahkan gadis dalam pondongannya.
“Jangan khawatir, Kisanak. Gadis yang kutolong
dari cengkeraman pembunuh keji ini sama sekali tidak
terluka. Ia hanya pingsan terkena totokan. Nah, kau
sambutlah tubuh gadis ini....”
Panji yang sedikit lega mendengar janji lelaki ga-
gah bermata elang itu segera saja menuruti perintah
tadi. Dilemparkannya tubuh gadis yang tengah tak sa-
darkan diri itu kepada para peronda Desa Pegatan.
“Huuppp!”
Dengan gerakan yang tangkas, lelaki gagah ber-
mata elang segera menyambut tubuh gadis itu. Kemu-
dian, tubuhnya kembali melayang turun dengan gera-
kan yang ringan. Wajah lelaki gagah bermata elang itu
tampak berbinar gembira, karena ia dapat membujuk
pemuda yang dianggapnya sebagai iblis keji itu untuk
menyerahkan wanita yang ditawannya.
“Nah, sekarang kuharap kalian mau percaya dan
mendengarkan keteranganku...”
Tapi, baru saja Panji hendak menerangkan per-
soalan yang sebenarnya, tiba-tiba lelaki gagah bermata
elang itu menukas cepat, “Ayo, bunuh pemuda iblis
itu. Jangan biarkan dia lolos...!”
Setelah berseru demikian, lelaki bermata elang
itu sendiri langsung mencabut kembali senjata yang
sempat disimpannya saat menangkap gadis yang di-
lemparkan Panji.
“Kurang ajar! Apa artinya ini, Kisanak? Mengapa
kau mengingkari kata-katamu? Keparat! Ternyata kau
bukanlah orang gagah yang lebih bersedia mati dari-
pada harus menjilat ludahnya sendiri,” umpat Panji.
Pendekar Naga Putih tampak geram karena me-
rasa dibohongi oleh lelaki gagah bermata elang. Benar-
benar ia tidak mengerti, kenapa orang itu sampai ber-
buat demikian.
“Cuhh! Jangan menyebut-nyebut orang gagah,
Iblis Keji! Kami orang-orang gagah memang patut di-
percaya. Tapi, kami tidak akan pernah mau mempercayai iblis terkutuk sepertimu. Kami pun tidak bodoh
untuk kau tipu mentah-mentah...,” sahut lelaki gagah
bermata elang, yang memang belum mempercayai Pan-
ji, atau bahkan mungkin tidak akan pernah percaya
pada keterangan pemuda itu.
Panji tersentak mendengar ejekan lelaki itu. Na-
mun, ia segera menyadari kedudukannya saat ini.
Ucapan lelaki gagah bermata elang memang tidak sa-
lah. Jangankan lelaki itu yang hanya seorang kepala
peronda desa. Panji sendiri, kalau berada di pihak le-
laki di hadapannya ini, tidak akan mau percaya pada
keterangannya sendiri, sebab sama sekali tidak ada
bukti yang mendukungnya.
“Yeeaaat..! Mampus kau, Iblis Terkutuk...!”
Lelaki gagah bermata elang memulai serangan
dengan kelebatan pedangnya. Senjata di tangan lelaki
gagah itu berdesing mengancam beberapa bagian tu-
buh Panji dengan gerakan yang cepat dan kuat
Beuuuttt! Wuueett..!
Namun, serangan yang sebenarnya sangat ber-
bahaya itu, ternyata belum apa-apa bagi Pendekar Na-
ga Putih. Bagi Panji, gerakan lelaki itu masih terlalu
lambat dan tidak terlalu sulit untuk diatasi. Tapi, bu-
kan itu yang tengah dipikirkannya. Ia hendak mencari
jalan untuk meloloskan diri tanpa harus melukai para
peronda desa itu. Sebab, biar bagaimanapun, menurut
Panji, orang-orang itu sama sekali tidak bersalah. Me-
reka hanya tidak tahu. Dan, Panji pun harus memaaf-
kannya.
“Heeaatt..!”
Wuuut! Beeet! Beeet!
Belasan senjata kembali berkeredepan dari segala
penjuru mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi,
Panji sama sekali tidak merasa gentar. Cepat bagaikan
kilat, tubuh pemuda itu berkelebatan di antara samba-
ran belasan batang pedang pengeroyoknya. Dan, ter-
nyata tak satu pun senjata yang mampu melukai tu-
buhnya. Jangankan mengenai, menyerempet pun ti-
dak. Tentu saja semua itu tidak aneh. Sebab, ilmu me-
ringankan tubuh Pendekar Naga Putih memang tidak
ada bandingannya dalam dunia persilatan.
Setelah merasa terbebas dari kurungan sinar pe-
dang, Panji terus melompat jauh dan langsung melari-
kan diri menerobos kegelapan malam. Maka para pen-
geroyoknya hanya bisa berdiri bengong, menatap tem-
pat yang kosong ditinggalkan pemuda itu.
“Aku kenal pemuda itu. Kalau tidak salah, ia
tinggal di kediaman Ki Ganda Buana. Dan, kegempa-
ran ini terjadi semenjak pemuda itu tinggal di Desa Pe-
gatan. Jelas, dialah pelaku dari semua kejadian yang
menimpa desa kita...” kata seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh dua tahun yang bertubuh tegap ke-
pada lelaki gagah bermata elang, yang tampak lega
mendengar keterangan pemuda itu.
“Jadi, Tuan Muda Gutawa pernah melihatnya...?”
tanya lelaki gagah bermata elang sambil menatap ta-
jam wajah pemuda yang ternyata adalah putra Ki San-
gaji, Kepala Desa Pegatan.
“Benar. Aku pernah melihatnya setelah peristiwa
terbantainya Juragan Wanaba. Saat itu dia ada bersa-
ma putri Ki Ganda Buana yang bernama Wulandari,”
jelas Gutawa lagi dengan sorot mata memancarkan ke-
bencian.
“Hm..., kalau begitu, besok pagi kita geledah
tempat kediaman Ki Ganda Buana. Biarpun orang tua
itu merupakan orang terpandang di desa kita, kita te-
tap harus bertindak...” ujar lelaki gagah bermata elang
yang dikenal dengan nama Ki Bawung Sati.
Setelah berkata demikian, Ki Bawung Sati segera
mengajak kawannya kembali meronda Desa Pegatan.
***
Matahari pagi baru saja muncul menampakkan
kekuasaannya. Cahayanya masih redup dan belum
menyinari bumi secara merata. Dalam suasana seperti
itu, serombongan lelaki bergerak menuju tempat ke-
diaman Ki Ganda Buana. Mereka dipimpin oleh seo-
rang lelaki gagah yang merupakan kepala keamanan
Desa Pegatan.
Di sebelah kanan lelaki gagah itu, terlihat seo-
rang pemuda bertubuh tegap yang melangkah agak
terburu-buru. Tampaknya pemuda itulah yang paling
berkepentingan dalam masalah ini. Sorot matanya ta-
jam dengan kilatan kebencian dan dendam.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah rombongan
yang terdiri dari sekitar lima puluh orang itu di depan
rumah Ki Ganda Buana. Bawung Sati, lelaki gagah
bermata elang yang bertindak sebagai pemimpin
orang-orang itu segera saja mengangkat tangan ka-
nannya sebagai isyarat untuk berhenti. Ia sendiri ke-
mudian melangkah beberapa tindak mendekati pintu
utama rumah besar itu.
“Ki Ganda Buana, keluar kau...! Kami utusan Ki
Sangaji ingin bertemu...!” Teriakan lelaki gagah berma-
ta elang itu bergaung, karena disertai dengan pengera-
han tenaga dalamnya. Dan, gaung suara Bawung Sati
ini tentu saja terdengar hingga ke dalam rumah. Tidak
lama kemudian, muncullah Ki Ganda Buana, Wulan-
dari dan Panji. Ketiganya tampak melangkah tenang
menghampiri rombongan keamanan desa yang disertai
beberapa belas orang penduduk yang ikut bergabung.
Ki Ganda Buana melangkah maju beberapa tin-
dak mendekati Bawung Sati. Sedangkan Panji dan Wu-
landari dicegah oleh orang tua itu agar tidak mengiku-
tinya. Sehingga, baik Panji maupun Wulandari hanya
dapat menatap dari jarak dua tombak.
“Ah, Ki Bawung Sati, selamat datang. Ada keper-
luan apakah hingga sepagi ini kau sudah datang ber-
kunjung? Dan, mengapa membawa orang begitu ba-
nyak? Apakah keperluanmu itu begitu penting hingga
melibatkan banyak orang...?” tanya Ki Ganda Buana
setelah menyapa lelaki gagah itu dengan sedikit meng-
hormat.
Padahal sesungguhnya Ki Ganda Buana telah
mengetahui, apa keinginan Ki Bawung Sati dan orang-
orangnya. Karena, Panji telah menceritakan semua pe-
ristiwa yang dialaminya semalam kepada ayah Wulan-
dari ini.
“Hm..., maaf kalau kedatanganku sepagi ini
membuatmu terkejut, Ki Ganda Buana. Baiklah, lang-
sung saja ku utarakan maksud kedatanganku. Aku in-
gin agar kau menyerahkan pemuda berjubah putih itu
kepadaku! Karena, semua kejadian yang menimpa De-
sa Pegatan adalah akibat ulahnya. Kau tidak perlu
mungkir lagi. Aku telah menangkap basah pemuda ib-
lis itu semalam....”
Ki Bawung Sati langsung saja menyatakan keper-
luannya tanpa basa-basi. Sehingga, Ki Ganda Buana
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Jelas, orang tua
itu tentu berpihak kepada Panji.
“Ki Bawung Sati, harap kau teliti dulu sebelum
menjatuhkan tuduhanmu. Sebab, keponakanku sama
sekali tidak melakukan segala perbuatan yang kau tu-
duhkan itu. Dan, tahukah kau, siapa adanya pemuda
yang kau tuduh sebagai orang jahat ini...?” ujar Ki
Ganda Buana dengan nada yang tetap tenang.
“Kami tidak peduli siapa pun adanya pemuda itu!
Yang jelas, ia telah bersalah dan patut dihukum gan-
tung! Kalau kau tidak bersedia menyerahkannya, kami
terpaksa akan menggunakan kekerasan...!”
Gutawa, yang semenjak tadi menatap sosok Panji
dengan penuh kebencian, berkata dengan nada penuh
emosi. Tentu saja ucapan ini membuat Ki Ganda Bua-
na agak tersinggung.
“Ki Bawung Sati dan para sahabat sekalian, ka-
lian ingin tahu, siapa adanya pemuda yang kalian tu-
duh sebagai penjahat keji ini? Dia adalah seorang pen-
dekar besar yang namanya telah menggetarkan rimba
persilatan. Adakah di antara kalian yang belum men-
genal nama Pendekar Naga Putih...?” ujar Ki Ganda
Buana lagi tanpa memperdulikan ucapan Gutawa,
bahkan sama sekali tidak memandangnya.
“Hahh...?” Ki Ganda Buana, maksudmu pemuda
itu adalah orang yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih...?” desah Ki Bawung Sati dengan wajah agak pu-
cat.
Tentu saja lelaki gagah bermata elang itu telah
mendengar nama Pendekar Naga Putih. Semalam pun
sebenarnya ia telah merasa curiga ketika melihat ka-
but bersinar putih keperakan yang menyelubungi tu-
buh pemuda itu. Tapi, karena suasananya tidak tepat,
tentu saja Ki Bawung Sati segera mengusir dugaannya
sendiri. Dan, kali ini Ki Bawung Sati benar-benar ter-
kejut. Ditatapinya wajah dan penampilan pemuda yang
berdiri tenang di belakang Ki Ganda Buana. Lelaki ga-
gah bermata elang itu yakin, semua ciri-ciri Pendekar
Naga Putih memang ada pada pemuda tampan berju-
bah putih itu.
“Tapi... tapi....”
Ki Bawung Sati sampai tidak bisa berbicara lagi.
Ia tampaknya benar-benar terpukul oleh kejadian se-
malam. Ia telah menuduh pendekar besar itu, bahkan
sempat pula memaki-makinya dengan kata-kata yang
sangat menyakitkan. Teringat kesabaran yang diperli-
hatkannya semalam, sadarlah Ki Bawung Sati bahwa
pemuda yang berdiri dengan tenang agak jauh di ha-
dapannya ini adalah Pendekar Naga Putih.
“Tidak bisa...!”
Tiba-tiba Gutawa membentak keras hingga men-
gejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Seca-
ra serempak semua mata menoleh dan langsung me-
mandang Gutawa dengan sinar mata penuh perta-
nyaan.
“Apa maksudmu Gutawa...?” tanya Ki Bawung
Sati, dengan sorot mata yang menunjukkan rasa he-
ran.
“Siapa pun pemuda itu adanya, dia tetap meru-
pakan seorang manusia keji yang berlindung di balik
kependekarannya. Dan aku sama sekali tidak takut!
Kita harus tetap membawa dia untuk dihukum, Ki.
Jangan kau terpengaruh hanya karena pemuda itu
merupakan seorang pendekar besar yang disanjung
banyak orang. Biar bagaimanapun, kita telah melihat
buktinya sendiri semalam. Lalu, apa lagi yang kita ra-
gukan...?” ujar Gutawa, yang masih berkeras tidak
mau menarik tuduhannya terhadap Panji.
Sesungguhnya semua itu diucapkan Gutawa ka-
rena ia memang merasa benci kepada Panji semenjak
pertama kali melihatnya.
Namun, terlihat Panji sama sekali tidak terpenga-
ruh oleh kata-kata penuh emosi tadi. Dan, Panji pun
langsung teringat pada sepasang mata penuh kebencian yang disaksikannya ketika Kepala Desa Pegatan
tengah berbicara tentang kejadian yang menimpa ke-
luarga Juragan Wanaba.
Setelah mengenali pemuda yang berkata keras
tadi, Panji melangkahkan kakinya dengan sikap yang
tetap tenang mendekati pemuda itu. Sehingga, Gutawa
segera mencabut pedang di pinggangnya. Rupanya ia
mengira Panji akan menyerangnya.
“Sabar, Gutawa...,” cegah Panji sambil mengang-
kat tangannya tinggi-tinggi.
Pendekar Naga Putih rupanya ingin menunjuk-
kan bahwa ia sama sekali tidak bermaksud untuk ber-
kelahi. Meskipun demikian, Gutawa tetap menggeng-
gam pedangnya erat-erat dengan sorot mata tajam me-
nikam jantung.
“Hm..., meskipun kau adalah seorang pendekar
besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih, aku tidak
takut menghadapimu! Menurutku, kau tetap manusia
keji yang bersembunyi di balik nama besarmu. Dengan
nama besar itu, tentu tak seorang pun yang akan per-
nah menduga kalau penjahat keji yang selama bebera-
pa hari ini berkeliaran di Desa Pegatan adalah Pende-
kar Naga Putih...,” desis Gutawa.
“Gutawa! Jaga mulutmu...!”
Karena merasa terkejut, Ki Bawung Sati sampai
membentak Gutawa begitu saja. Tampaknya orang tua
itu khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Putih menjadi
marah dan menghajar putra kepala desanya.
“Paman, kalau memang gentar menghadapi Pen-
dekar Naga Putih, tidak mengapa. Tapi, jangan coba
kau mempengaruhiku. Aku tetap berkeyakinan bahwa
pemuda inilah yang menjadi biang keladi semua ke-
gemparan di Desa Pegatan...,” tegas Gutawa.
Entah, masalah apa yang membuat Gutawa demikian membenci Panji. Sementara itu, Panji tetap ter-
senyum sabar menatap pemuda itu. Sebagai orang
yang banyak pengalaman, Pendekar Naga Putih sadar
bahwa kebencian Gutawa bukan semata-mata dis-
ebabkan oleh peristiwa yang terjadi di Desa Pegatan,
tapi oleh suatu masalah pribadi yang mulai bisa tera-
ba.
“Gutawa, semua apa yang kau ucapkan sama se-
kali tidak salah. Tapi, tentu saja kalau kau memang
berdiri pada jalan kebenaran,” ujar Panji dengan wajah
tetap tenang dan bibir tersenyum.
Gutawa tampak menjadi salah tingkah melihat
tatapan Panji yang seperti bisa membaca isi hatinya.
“Apa maksudmu, Pendekar Naga Putih...?”
Dalam kegugupannya, Gutawa sampai terlupa
hingga ia menyebut nama julukan Panji. Tentu saja
ucapan itu membuat senyum Panji semakin merekah.
“Maksudku, janganlah kau membenciku karena
persoalan pribadi,” jawab Panji dengan tenang. “Aku
tidak ingin menjelaskannya di tempat ini. Tapi, kalau
kau ingin berbicara secara pribadi denganku, tentu sa-
ja aku tidak akan menolak....”
Gutawa merasa ditelanjangi isi hatinya menjadi
merah padam wajahnya karena malu. Jelas Panji telah
tahu, apa sebabnya putra kepala desa itu memben-
cinya. Maka, tanpa banyak cakap lagi, Gutawa berge-
gas meninggalkan kediaman Ki Ganda Buana tanpa
pamit kepada siapa pun. Tapi, meski hanya sekilas,
Panji sempat melihat pemuda itu melirik khawatir ke
arah Wulandari.
“Kami mohon maaf, Ki, Pendekar Naga Putih....
Mungkin malam nanti aku akan berkunjung lagi dalam
suasana yang lebih baik...,” kata Ki Bawung Sati.
Lelaki gagah bermata elang itu pun segera saja
berpamitan begitu melihat putra kepala desanya telah
bergegas tanpa diketahui sebabnya.
Ki Ganda Buana dan Panji menganggukkan kepa-
la ketika Ki Bawung Sati berpamitan. Mereka menatapi
kepergian rombongan itu dengan perasaan lega karena
masalahnya telah bisa diselesaikan.
***
LIMA
Matahari siang itu memancar terik. Sinarnya
yang kuning keemasan menerobos dedaunan memang-
gang permukaan bumi. Namun, dua orang lelaki gagah
yang tengah melangkah tegap sama sekali tidak mera-
sa terganggu oleh teriknya sang Mentari. Mereka terli-
hat begitu terburu-buru menuju sebelah Timur Desa
Pegatan.
Tidak berapa lama kemudian, langkah kedua
orang itu pun mulai memasuki sebuah rumah besar
yang halaman sebelah kirinya dipenuhi pepohonan
bambu kuning.
“Selamat datang, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati,”
sambut seorang lelaki gagah kira-kira berusia lima pu-
luh tahunan, dengan nada bersahabat. “Mari, sila kan
masuk....”
Dua orang lelaki gagah yang ternyata memang Ki
Sangaji dan Ki Bawung Sati itu membalas penghorma-
tan tuan rumah yang tidak lain dari Ki Ganda Buana.
Segera saja keduanya bergegas mengikuti Ki Ganda
Buana memasuki ruang tengah.
“Maaf mengenai kejadian pagi tadi yang mungkin
telah mengganggu ketenanganmu, Ganda Buana.
Hm...., kalau kau tidak keberatan, aku ingin bertemu
dengan keponakanmu yang kabarnya berjuluk Pende-
kar Naga Putih...,” Ki Sangaji langsung saja menguta-
rakan maksud kedatangannya setelah basa-basi se-
bentar.
“Ah, tidak perlu terlalu dipikirkan, Kakang San-
gaji. Kesalahpahaman itu tentu saja merupakan hal
yang wajar. Tapi, kalau Kakang hendak berjumpa den-
gan Pendekar Naga Putih sendiri, tunggulah sebentar.
Dia sedang melatih adiknya, Wulandari. Mungkin se-
bentar lagi selesai...,” ujar Ki Ganda Buana.
“Kalau begitu, biarlah kami tunggu..,” sahut Ki
Sangaji.
Baru beberapa saat Ki Sangaji memutuskan un-
tuk menunggu, terdengarlah langkah-langkah dua
orang mendatangi ruang tengah, tempat ketiga tokoh
itu berkumpul.
Panji dan Wulandari muncul di ambang pintu
dengan wajah cerah. Keduanya mengangguk hormat ke
arah Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati yang segera berdiri
menyambut kedatangan pemuda tampan itu. Panji pun
segera mengambil tempat di antara ketiga lelaki gagah
itu.
“Maaf kalau kedatangan kami telah membuatmu
terganggu, Pendekar Naga Putih.... Dan, harap engkau
tidak sakit hati dengan sikap kasar orang-orangku da-
lam beberapa hari ini...,” kata Ki Sangaji sambil mena-
tap sosok di hadapannya dengan penuh kekaguman.
Ki Sangaji yang semula merasa ragu mendengar
keterangan Ki Bawung Sati, kini benar-benar gembira
begitu melihat sosok Pendekar Naga Putih. Sebab, pe-
nampilan pemuda itu memang mengingatkan Ki San-
gaji akan ciri-ciri Pendekar Naga Putih.
“Ah, jangan terlalu dipikirkan, Ki. Aku pun tidak
menyalahkan Ki Bawung Sati dan yang lainnya. Sebab,
mereka menemukan aku memang persis di malam ke-
jadian itu. Dan, pada saat itu ada seorang gadis dalam
pondonganku. Apalagi, warna pakaian dan potongan
tubuhku tidak jauh berbeda dengan Cakar Setan. Wa-
jar kalau mereka melemparkan tuduhan itu kepada-
ku...,” jelas Panji yang memang sama sekali tidak me-
rasa kecewa ataupun dendam terhadap Ki Bawung Sati
dan orang-orang Desa Pegatan lainnya.
“Terima kasih atas pengertianmu, Panji . Selain
itu, aku ingin juga memberitahukan bahwa ternyata
tidak hanya sekedar penculikan terhadap gadis yang
kau tolong itu. Tapi, tadi pagi, setelah kepergian Ki
Bawung Sati dan yang lainnya ke tempat ini, aku me-
nerima laporan empat orang wargaku. Putri mereka
yang rata-rata berusia sekitar tujuh belas atau delapan
belas tahun telah tewas dalam keadaan yang benar-
benar mengerikan. Aah..., malang sekali nasib gadis-
gadis yang tak berdosa itu. Mereka tewas tanpa setetes
pun darah yang masih tersisa di tubuhnya. Semuanya
habis terhisap oleh makhluk biadab yang sempat kau
pergoki itu...!” Benar-benar keji!” desis Ki Sangaji.
Kepala Desa Pegatan itu menundukkan wajahnya
yang terlihat jelas menggambarkan kedukaan. Sedang-
kan Panji tampak terkejut begitu mendengarnya.
“Hm...,” Gumam lirih Panji menatap ke depan.
Pendekar Naga Putih teringat ketika membayangi
pembunuh keji itu semalam. Saat itu, meskipun dalam
pondongan sosok berpakaian putih itu telah ada tubuh
gadis yang dibawanya, terlihat ia masih memasuki ru-
mah-rumah penduduk dan keluar lagi tanpa membawa
gadis lain. Rupanya manusia licik itu telah membunuh
korbannya dengan cara menghisap seluruh darah di
tubuh mereka.
“Kurang ajar....!” desis Panji tanpa sadar bahwa
saat itu ia berada bersama Ki Sangaji, Ki Bawung Sati,
dan Ki Ganda Buana. Tentu saja desis kemarahan
Pendekar Naga Putih membuat ketiga tokoh itu tersen-
tak kaget.
“Ada apa, Panji...?” Ki Ganda Buana langsung
mencekal lengan Panji ketika melihat pemuda itu se-
perti merenung.
“Ah, tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya terin-
gat kejadian semalam. Betapa iblis keji itu telah men-
gecohku, hingga aku tertangkap basah seperti pencuri
oleh Ki Bawung Sati dan para penduduk desa lainnya,
sahut Panji seraya tersenyum.
Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh ke arah
Ki Sangaji.
“Kata Ki Sangaji tadi, gadis-gadis tewas tanpa se-
tetes pun darah yang tersisa di dalam tubuhnya. Lalu,
adakah tanda-tanda luka di tubuh gadis-gadis yang
tewas itu...?”
“Hm..., ya. Aku menemukan luka yang kau mak-
sudkan itu. Tapi, hanya berupa dua buah tanda kecil
seperti bekas tusukan jarum pada bagian lehernya.
Mungkinkah makhluk yang kau temukan itu merupa-
kan iblis peminum darah...?” Ki Sangaji balas ber-
tanya, karena ia memang merasa sangat bingung da-
lam menghadapi kejadian beberapa hari ini yang telah
meminta korban beberapa nyawa gadis desanya.
“Aneh...,” desah Panji setelah mendengar penjela-
san Ki Sangaji tentang tanda-tanda luka yang terdapat
pada leher korban.
Pendekar Naga Putih menduga, tidak mungkin
kalau pembunuh yang dipergokinya semalam merupa-
kan iblis peminum darah. Kalau memang betul, men-
gapa gadis itu tidak dibunuhnya? Ataukah ada pembunuh lain yang menghisap darah korbannya?
Melihat Pendekar Naga Putih kembali termenung
setelah mendengar keterangan Ki Sangaji, ketiga tokoh
itu tampak berpandangan dengan wajah bodoh. Tentu
saja mereka tidak tahu, apa yang tengah dipikirkan
Panji saat itu.
“Hm..., Pendekar Naga Putih...,” panggil Ki Sanga-
ji hati-hati, seperti enggan mengganggu lamunan pe-
muda itu. Sebab, mungkin saja Panji tengah berusaha
menyingkap rahasia pembunuhan keempat gadis yang
baru diceritakannya itu.
“Ya..,” sahut Panji sambil menolehkan kepalanya
ke arah Ki Sangaji.
Ketenangan wajah dan sorot mata Pendekar Naga
Putih membuat Kepala Desa Pegatan semakin bertam-
bah kagum. Pemuda tampan berjubah putih itu sama
sekali tidak tampak terpengaruh, meskipun Ki Sangaji
dan dua tokoh lainnya terlihat berwajah tegang karena
sama-sama menduga ada seorang pembunuh baru lagi
yang berkeliaran di Desa Pegatan.
“Kedatanganku kemari sebenarnya hendak me-
minta bantuanmu untuk menangani masalah ini. Kami
harap, kau tidak keberatan. Dan semoga kau juga ti-
dak sakit hati dengan kejadian yang tidak mengenak-
kan di antara kita sebelum ini...”
Ki Sangaji akhirnya menyampaikan juga, apa tu-
juan kedatangannya ke tempat Ki Ganda Buana.
“Tentu saja aku bersedia, Ki. Menurutku, persoa-
lan ini bukan saja merupakan tanggung jawab kepala
desa ataupun tetua desa lainnya. Tapi, justru merupa-
kan kewajiban kita semua yang merasa terganggu den-
gan kejadian-kejadian seperti ini. Aku akan berusaha
semampu ku. Mudah-mudahan saja semua kejadian
ini dapat kita selesaikan bersama-sama...,” jawab Pendekar Naga Putih tanpa nada kesombongan sedikit
pun.
Ucapan Pendekar Naga Putih terdengar agak me-
rendah. Sehingga, baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung
Sati semakin bertambah kagum terhadap kebesaran
hati pemuda itu. Semakin lama berbicara dengan Pen-
dekar Naga Putih, semakin yakinlah mereka bahwa
pemuda itu memang pantas dikagumi dan disanjung
oleh tokoh-tokoh rimba persilatan. Selain sikapnya se-
lalu tenang, Panji pun memiliki kesabaran yang tinggi
dan pandangan yang luas.
Lega hati Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati setelah
mendengar jawaban Panji. Mereka pun berpamitan pa-
da saat hari menjelang sore. Tentu saja semua rencana
telah mereka atur bersama-sama. Terlihat tadi, Ki
Ganda Buana pun begitu bersemangat ingin memban-
tu menyelesaikan masalah ini.
***
Ketika malam telah datang dan kegelapan merata
menyelimuti permukaan bumi Desa Pegatan, Panji ke-
luar dari tempat kediaman pamannya. Pemuda itu
berharap, pembunuh yang pernah dipergokinya itu
muncul kembali. Meskipun harapan itu sangat tipis,
Panji tidak berkecil hati. Memang, bukan tidak mung-
kin pembunuh keji itu menghentikan tindakan jahat-
nya setelah dipergokinya semalam.
Panji berputar-putar meronda desa. Hatinya se-
dikit lega ketika pada sudut-sudut yang dianggap ra-
wan, pemuda itu banyak melihat peronda yang berja-
ga-jaga. Bahkan, tampak lebih banyak peronda desa
yang berkeliling malam ini dibanding hari-hari sebe-
lumnya. Mereka bergerombol dalam jumlah cukup banyak dengan membawa kentongan yang akan dibunyi-
kan sebagai tanda apabila bertemu dengan orang-
orang yang mencurigakan.
Rupanya, Pendekar Naga Putih yang ikut menan-
gani persoalan ini membuat para keamanan desa se-
makin bertambah berani. Sebab, mereka telah mera-
sakan sendiri betapa hebatnya kepandaian pemuda
itu. Mereka tidak perlu merasa takut apabila bertemu
dengan pembunuh yang berkeliaran di Desa Pegatan.
Pendekar Naga Putih berputar hingga ke ujung
Selatan desa. Dalam kegelapan yang semakin pekat
karena cahaya rembulan terhalang awan hitam, Panji
terus bergerak tanpa merasa bosan. Ketika hampir tiba
di ujung Desa Pegatan sebelah Selatan, pemuda itu
bergerak merunduk di semak-semak. Sepasang ma-
tanya yang tajam memandang lurus ke arah depannya.
“Hm..., iblis itu rupanya kali ini membawa ka-
wan-kawannya. Mungkinkah kedua temannya itu me-
lakukan pembunuhan dengan cara menghisap darah
korban...?” desah Panji saat pandangannya menang-
kap tiga sosok bayangan yang bergerak menuju tengah
desa.
Tubuh Pendekar Naga Putih kemudian bergerak
cepat memotong jalan tiga sosok berjubah putih yang
dilihatnya. Dan, ketiga sosok bayangan putih yang
bergerak menuju ke tengah Desa Pegatan sama-sama
menahan langkahnya saat melihat sosok bayangan pu-
tih lain berdiri tegak menghadang jalan mereka. Jelas,
pemuda tampan berjubah putih itu memang sengaja
menghadang.
“Hm.., selamat bertemu lagi Cakar Setan. Ru-
panya kali ini kau membawa serta dua orang rekanmu.
Kau takut untuk melakukan kejahatan sendirian, bu-
kan...?” sap” Panji saat ketiga sosok bayangan putih
menghentikan langkah dalam jarak sekitar dua tom-
bak dari dirinya.
Sinar bulan yang tampaknya tidak lagi terhalang
awan hitam menyoroti wajah ketiga sosok bayangan
putih. Meskipun tidak terlalu jelas, rupanya Panji da-
pat melihat sosok mereka.
Lelaki tegap yang bercakar baja runcing sepan-
jang satu jengkal pada kedua jari tangannya itu tam-
pak menatap Panji dengan sorot mata penuh dendam.
Jelas bahwa kejadian semalam yang membuat dirinya
hampir dipecundangi pemuda itu menjadikannya sakit
hati dan ingin segera membalas.
Sementara itu dua sosok bayangan putih di kiri
kanan Cakar Setan ikut pula menatap Panji dengan
sorot mata tajam. Wajah keduanya hampir tidak jauh
berbeda dengan Cakar Setan. Panji menduga, usia ke-
duanya sekitar empat puluh tahun. Rambut mereka
yang hitam tampak tergerai jatuh di atas bahu. Ru-
panya ketiga orang pembunuh itu memang sengaja
berdandan mirip satu sama lain. Hal ini membuat Pan-
ji menduga, adanya kelompok orang sesat yang ber-
sembunyi di sekitar daerah Desa Pegatan.
“Pendekar Naga Putih, desis Cakar Setan dengan
suara menggetar penuh kegeraman, “Namamu boleh
jadi ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan. Tapi, kami
akan menamatkan petualanganmu malam ini....”
Cakar Setan segera bergerak mendekati Panji.
Dan, kedua orang berpakaian putih lainnya ikut berge-
rak menyebar ke kiri kanan. Di tangan mereka masing-
masing telah menggenggam senjata berbentuk aneh.
Orang kedua Cakar Setan berwajah putih. Jelas
sekali kalau orang itu menggunakan cat agar wajahnya
tidak begitu dikenali. Di tangan kanannya, tergenggam
sebuah senjata berupa golok bergerigi tajam. Sedang
kan wajah orang ketiga memakai cat merah. Senjata
yang tergenggam di tangan kanannya berupa sebuah
bola berduri yang diikat dengan tali. Kini ketiganya te-
lah mengepung Panji dari tiga penjuru.
“Hm....”
Panji hanya bergumam melihat lawannya menge-
pung dan siap menggempurnya. Pemuda itu terlihat
sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Hal ini bu-
kan dikarenakan ia menganggap lawannya enteng. Ta-
pi, selama ini Pendekar Naga Putih memang jarang se-
kali menggunakan pedangnya kalau tidak betul-betul
merasa perlu. Kali ini pun, Panji memutuskan untuk
menghadapi lawannya dengan tangan kosong.
Whuuuk! Whuuuk!
Bandul besi berduri di tangan sosok berwajah
merah berputar di atas kepalanya hingga menimbul-
kan suara mengaung-ngaung bising. Orang sesat itu
bergerak dengan langkah-langkah menyilang mendeka-
ti Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Cakar Setan bergerak dari sebelah
depan. Cakar baja di tangannya menimbulkan suara
ribut ketika tokoh itu menggerakkan jarinya membuka
dan menutup. Jelas, hal itu dimaksudkan untuk
membuyarkan pikiran lawan, karena bisa dipastikan
siapa pun akan terpana melihat bentuk senjata yang
mengerikan itu.
“Yeeaatt...!”
Pembunuh bermuka putih bergerak melesat
sambil memutar-mutar golok bergeriginya sedemikian
rupa. Suara mengaung tajam mengiringi datangnya se-
rangan orang sesat itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, pembunuh
bermuka merah telah pula membuka serangan dengan
bandul berduri di tangannya. Senjata itu siap meluncur ke arah batok kepala Pendekar Naga Putih. Kalau
saja senjata itu sampai mengenai sasarannya, otak
Panji pasti akan berceceran di tanah.
Demikian pula halnya dengan Cakar Setan. Sen-
jata cakar baja di tangannya berdecit-decit saat tokoh
sesat itu bergerak maju dari arah depan Panji. Senjata
itu terus bergerak kian kemari dengan kecepatan yang
sulit ditangkap dengan mata biasa. Kilatan cahayanya
yang tertimpa sinar rembulan membuat pandangan
lawan akan sulit untuk menangkap dari mana datang-
nya serangan sepasang cakar baja itu.
“Hm....”
Sambil bergumam dengan sepasang mata yang
tak lepas menatap ketiga lawannya, Panji menarik
mundur kaki kanannya dengan kuda-kuda rendah.
Tangan kanannya bergerak melewati wajahnya dalam
bentuk cakar. Sedangkan tangan kirinya yang juga
berbentuk cakar bergerak turun secara bersamaan.
Itulah jurus pembukaan yang keenam dari ‘Ilmu Silat
Naga Sakti’ yang menjadi andalan Pendekar Naga Pu-
tih.
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Dengan langkah pendek dalam kedudukan tela-
pak kaki menjinjit, Pendekar Naga Putih melangkah
maju diiringi sambaran cakarnya yang menyelubungi
tubuh pemuda itu, membentuk sebuah benteng hawa
dingin yang kokoh.
Swiinggg!
Panji menarik tubuhnya ke samping kanan saat
serangan golok bergerigi datang menyambar tubuhnya
dari sebelah kiri. Lolos dari ancaman golok pembunuh
bermuka putih, bandul berduri dari sebelah kanan da-
tang mengincar batok kepala pemuda itu. Dan, pada
saat yang hampir bersamaan, Cakar Setan melontar
kan sambaran cakar bajanya dengan suara mengaung.
“Heeaahhh!”
Sikap Panji dalam menyambut kedua serangan
pengeroyoknya itu sempat membuat kening lawan-
lawannya berkerut. Sebab, biasanya lawan akan berge-
rak menghindar apabila datang serangan. Dan, pasti
lawan akan melakukannya dengan mundur ke bela-
kang atau menggeser tubuhnya ke samping. Tapi, yang
dilakukan Pendekar Naga Putih justru sangat berlawa-
nan. Tubuh pemuda itu malah bergerak ke depan me-
nyongsong sambaran cakar baja lawannya. Tentu saja
gerakan pemuda itu membuat Cakar Setan terkejut.
Sebab, pada saat cakar bajanya hampir menyentuh
lawan, Pendekar Naga Putih mengegos secara tiba-tiba,
yang tentu saja di luar dugaan. Belum lagi Cakar Setan
menyadari serangannya yang luput, tubuh Panji sudah
melenting ke atas menekuk kedua kakinya hingga me-
lekat di dada.
“Yiiaahhh...!”
Dari sebelah atas, panji mengarahkan cakar ka-
nannya ke batok kepala Cakar Setan. Lelaki bertubuh
sedang itu menjadi terkejut. Sebab, dari suara samba-
ran cakar pemuda itu, Cakar Setan bisa menduga,
pasti batok kepalanya akan remuk apabila ia tidak se-
gera menyelamatkan diri.
Wuueettt..!
Rupanya nasib Cakar Setan masih beruntung.
Dengan menggulingkan tubuhnya ke tanah, serangan
lawan pun luput dan hanya mengenai angin kosong.
Panji sendiri, yang masih hendak melanjutkan seran-
gannya, terpaksa menahan langkah ketika bola berduri
dari pembunuh bermuka merah datang meluncur
mengancam dadanya.
“Haaiittt...!”
Tubuh Pendekar Naga Putih melenting dan ber-
jumpalitan melampaui luncuran bandul berduri yang
mengerikan itu. Dan, baru saja kedua kakinya me-
nyentuh permukaan tanah, sambaran golok bergerigi
dari pembunuh bermuka putih datang mengaung
membabat ke arah kedua kakinya. Panji pun harus
kembali melenting ke udara guna menghindari anca-
man maut itu.
Pertarungan terlihat semakin seru dan mende-
barkan. Ketiga pembunuh itu kelihatannya sangat
bernafsu untuk membunuh Pendekar Naga Putih. Pan-
ji sendiri tentu saja tidak sudi jika tubuhnya dijadikan
sasaran senjata lawan-lawannya. Pemuda itu bergerak
cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buhnya yang memang sukar dicari bandingannya.
Meskipun hanya menggunakan tangan kosong,
Panji sama sekali tidak kelihatan terdesak. Malah, ia
sudah mulai membagi-bagikan serangannya yang dis-
ertai suara mencicit tajam. Jelas bahwa pemuda itu te-
lah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengimbangi
ketiga orang lawannya yang memang rata-rata memili-
ki kepandaian tinggi. Ketiga pengeroyoknya pun tam-
pak tidak berani menganggap remeh setiap serangan
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih.
***
ENAM
“Haiiit...!”
Pertarungan seru yang telah berlangsung dari li-
ma puluh jurus itu tampaknya membuat Cakar Setan
semakin penasaran. Maka, seiring dengan teriakannya,
tubuh tokoh sesat itu meluncur deras disertai samba-
ran cakar bajanya yang susul menyusul.
Bwettt! Bwettt!
“Hm....”
Panji menggumam lirih melihat serangan maut
itu. Segera saja pemuda itu menarik kedua tangannya
dalam keadaan menyilang di depan dada. Dan, begitu
serangan lawan datang, Pendekar Naga Putih langsung
menyambut dengan dorongan kedua telapak tangan-
nya.
Whuttt! Bressshhh...!
“Aaahhh...!”
Hebat sekali benturan keras yang terjadi ketika
sepasang tangan Panji tepat menyambut datangnya se-
rangan lawan. Cakar Setan langsung memekik terta-
han dengan tubuh terdorong ke belakang hingga se-
jauh dua tombak lebih. Wajahnya tampak pucat dan
berkerut-kerut menahan sakit pada bagian dalam tu-
buhnya
“Huaakkhhh...!”
Segumpal darah segar yang kental menyembur
keluar dari mulut Cakar Setan. Rupanya hal inilah
yang menyebabkan wajahnya tampak berkerut-kerut
Jelas bahwa tokoh sesat itu telah mengalami luka pa-
rah akibat dorongan telapak tangan lawannya. Bah-
kan, tubuhnya terlihat masih menggigil, karena hawa
dingin yang menusuk tulang telah menyerap masuk.
Untungnya saat itu Cakar Setan tidak sendirian
menghadapi Panji. Kalau tidak, mungkin nyawanya ti-
dak akan berumur panjang. Sebab, Panji yang saat itu
siap melontarkan pukulan mautnya untuk mengakhiri
riwayat Cakar Setan terpaksa menunda serangannya.
Sepasang tangan Pendekar Naga Putih yang semula
siap merenggut nyawa Cakar Setan segera beralih begi
tu melihat sambaran golok bergerigi dan bandul berdu-
ri telah mengancam dari dua arah.
Whuttt...!
Whunggg...!
“Yeahhh...!”
Kedua senjata maut itu berhasil dielakkan Panji
dengan menggeser tubuhnya dalam kuda-kuda ren-
dah. Sesaat setelah kedua senjata itu lewat, tubuh pe-
muda itu langsung bergerak dengan geseran langkah
cepat yang mengejutkan. Pembunuh bermuka putih
yang melihat tubuh Pendekar Naga Putih bergerak ke
arahnya segera menyambut dengan tebasan golok.
Namun, Panji telah memperhitungkan hal itu masak-
masak. Begitu serangan golok lawan datang menyam-
butnya, dengan cepat Panji merendahkan tubuh. Ke-
mudian, tangan kirinya dikibaskan menepis pergelan-
gan tangan pembunuh bermuka putih. Lalu, hanta-
man telapak tangan kanannya langsung dilontarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Plakkk! Deesss...!
“Aaakkhhh...!”
Terdengar teriakan parau ketika telapak tangan
Panji telak menggedor dada pembunuh itu. Akibatnya,
tubuh tokoh sesat itu terlempar diiringi jerit kematian,
lalu terbanting jatuh ke tanah dengan suara berde-
bum.
Untuk beberapa saat lamanya, tubuh pembunuh
bermuka putih tampak berselimut lapisan kabut putih
keperakan. Itulah suatu tanda hantaman telapak tan-
gan Panji mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’
tingkat tinggi, yang bisa menewaskan lawan.
“Aahhh...!?”
Pembunuh bermuka merah terkejut bukan main
melihat lawannya tewas dengan tubuh kaku terselimut
kabut Kenyataan seperti ini tentu saja tidak pernah
terbayang di benaknya.
“Bangsat! Kau .harus membayar mahal kematian
kawanku, Pendekar Naga Putih...!” teriak pembunuh
bermuka merah sambil memutar-mutar bandul berdu-
rinya di atas kepala.
“Heaattt..!”
Dibarengi teriakan yang menggelegar, pembunuh
bermuka merah melontarkan bandul berdurinya ke
arah Pendekar Naga Putih.
Whuuung!
Senjata mengerikan itu terdengar mengaung ba-
gaikan suara sekelompok lebah yang sedang marah,
kemudian meluncur turun ke arah Panji.
Buuummm...!
Debu mengepul tinggi seiring dengan debumam
jatuhnya senjata maut itu. Ternyata Panji telah lebih
dulu lompat ke samping. Sehingga, bola berduri itu
hanya menghantam tanah tempat Panji berpijak tadi.
“Bedebah...! Kali ini kau tidak akan luput lagi da-
ri kematian...!” ujar pembunuh bermuka merah, kesal.
Diawali teriakan nyaring, pembunuh bermuka
merah kembali memutar bandulnya.
“Hm....”
Panji menggumam lirih melihat datangnya kem-
bali serangan lawan. Kali ini pemuda itu tampak sama
sekali tidak berniat menghindarkan diri. Dengan tata-
pan tajam, Panji menanti datangnya bandul berduri
yang berderu mengancam tubuhnya.
Whuuunng...!
Senjata maut itu kembali mengaung menuju sa-
sarannya. Panji tetap tenang. Ditunggunya kedatangan
senjata maut itu dengan tatapan tajam.
“Heaattt...!”
Pada saat bandul tinggal sejengkal di depan ke-
palanya, Panji merunduk dengan gerakan secepat ki-
lat. Kemudian, dengan hentakan keras, tangan kanan-
nya menangkap rantai yang mengikat senjata maut itu.
Wrrttt...!
Begitu rantai bandul berduri melibat di dalam
lengannya, Panji menyentakkannya sambil berteriak
nyaring.
“Heaaahhh...!”
“Hekkk...!”
Pembunuh bermuka merah tampak terkejut bu-
kan main menyaksikan perbuatan pemuda itu. Segera
ia memaku kuda-kudanya di atas tanah begitu mera-
sakan ada sentakan yang membetot tubuhnya.
“Aaahhh...!?”
Bukan main kagetnya tokoh sesat itu ketika tu-
buhnya masih juga tertarik ke depan. Meskipun ia te-
lah menggunakan ilmu untuk memberatkan tubuh,
ternyata Panji tetap dapat menariknya ke depan.
Tubuh tokoh sesat itu terus bergerak ke depan
tanpa mampu dicegah. Guratan-guratan sedalam satu
jengkal tampak jelas di atas tanah karena pembunuh
bermuka merah itu berusaha menanamkan kaki-
kakinya ke dalam bumi. Kekuatan tenaganya memang
masih berada jauh di bawah Panji. Sehingga, tetap saja
ia tidak mampu mempertahankan diri.
Namun nasib pembunuh bermuka merah ru-
panya masih lebih beruntung ketimbang pembunuh
bermuka putih. Sebab, pada saat yang gawat itu, Ca-
kar Setan telah bangkit kembali langsung menerjang
dengan cakar-cakar bajanya untuk menyelamatkan re-
kannya.
“Yeaaattt...!”
Diiringi teriakan panjang, tubuh Cakar Setan meluncur dengan cakar-cakar mautnya ke arah Pendekar
Naga Putih.
Panji pun bukan tidak sadar akan keadaannya
yang cukup sulit ini. Dengan disertai sebuah bentakan
mengguntur, pemuda itu menyentakkan rantai yang
melibat tangannya dengan sekuat tenaga.
“Yeaaahhh...!”
Bukan main hebatnya akibat yang terjadi dari
hentakan keras Pendekar Naga Putih kali ini. Tubuh
pembunuh bermuka merah yang semula masih men-
coba bertahan langsung terangkat naik dan meluncur
deras ke arah Cakar Setan. Rupanya Pendekar Naga
Putih hendak menggunakan tubuh lawannya itu untuk
menghadang serangan Cakar Setan.
“Aaaa...!”
Pembunuh bermuka merah berteriak ngeri sam-
bil memejamkan kedua matanya. Jelas, ia merasa ke-
takutan melihat tubuhnya meluncur deras tanpa dapat
dicegah lagi.
Bukan hanya pembunuh bermuka merah yang
merasa ketakutan. Cakar Setan pun membelalak begi-
tu melihat tubuh kawannya meluncur menyambut ca-
kar-cakar bajanya. Karena tidak mungkin menarik
kembali serangannya, Cakar Setan segera menekuk
cakar bajanya ke dalam.
Blaggg...!
Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh
pembunuh bermuka merah membentur punggung tan-
gan Cakar Setan. Keduanya telah menarik kembali se-
rangannya, tentu saja benturan itu tidak membuat ke-
duanya terluka dalam. Sehingga, begitu terjatuh, me-
reka kembali segera bangkit dengan cepat.
“Lari...!”
Sadar bahwa mereka tidak mungkin menang
menghadapi Pendekar Naga Putih, Cakar Setan segera
mengajak pembunuh bermuka merah untuk mening-
galkan lawannya. Tubuh keduanya pun langsung me-
lesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya, terlihat
Cakar Setan menaburkan bubuk berwarna hijau ke
tubuh mayat pembunuh bermuka putih.
“Berhenti...! Mau lari ke mana kalian, Bangsat-
bangsat Keji...!”
Pendekar Naga Putih yang tidak ingin melihat
pembunuh-pembunuh itu lolos, segera berlari melaku-
kan pengejaran. Tubuhnya melesat bagai melebihi
sambaran kilat.
Karena tingkat ilmu lari Pendekar Naga Putih itu
memang masih berada di atas lawan-lawannya. Maka,
dalam waktu yang tidak terlalu lama, jarak di antara
mereka pun sudah semakin dekat. Sekali lompatan la-
gi, Pendekar Naga Putih berhasil menghadang kedua
lawannya.
Cakar Setan pun bukan tidak tahu akan hal itu.
Secepat kilat, tiba-tiba tubuhnya membalik dan tan-
gannya langsung mengibas ke arah Panji.
Whuuusss...!
Terkejut juga Panji begitu melihat bubuk berwar-
na hijau bagaikan gumpalan kabut telah menghadang
larinya.
“Aaahhh...!?”
Panji menahan langkahnya ketika dadanya terasa
sesak akibat bubuk berwarna hijau itu terhisap mela-
lui hidungnya. Pendekar Naga Putih pun terpaksa
menghentikan pengejaran terhadap lawan-lawannya.
***
Sementara itu, tidak jauh dari tempat Panji me-
nahan sakit dalam dadanya, terdengar derap langkah
bergemuruh mendatangi tempat pertarungan maut ta-
di. Rupanya pertempuran itu sempat terdengar oleh
orang-orang yang tengah meronda desa. Sebentar ke-
mudian, terlihat cahaya obor yang terang benderang
mengusir kegelapan di tempat bekas pertarungan.
Tiga orang lelaki gagah yang tidak lain adalah Ki
Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati tampak
memimpin para penjaga keamanan desa mendatangi
tempat itu.
“Hm..., Pendekar Naga Putih rupanya berhasil
memergoki pembunuh itu. Tapi, ke mana perginya pe-
muda itu sekarang...?” desah Ki Sangaji sambil mena-
tap sesosok tubuh berpakaian putih yang tergeletak
tak bernyawa.
Namun, ketika tubuh mayat berpakaian putih itu
hendak diperiksa oleh Ki Bawung Sati, tiba-tiba saja Ki
Ganda Buana berteriak mencegah. Sebab, orang tua
gagah itu sempat melihat adanya lapisan asap tipis
yang mengepul dari tubuh mayat.
“Jangan mendekat..!”.
Sambil berkata demikian, Ki Ganda Buana cepat-
cepat menarik tubuh Ki Bawung Sati agar menjauhi
mayat berpakaian serba putih itu. Dan, semua orang
yang berada di tempat itu sama-sama membelalakkan
mata saat melihat kepulan asap yang berasal dari tu-
buh mayat itu semakin menebal dan menebarkan bau
busuk yang menyengat.
“Mundur...!” Ki Ganda Buana kembali berseru
memperingatkan yang lainnya agar menjauhi mayat
itu.
Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati
sama-sama membelalakkan mata begitu menyaksikan
apa yang tengah terjadi dengan sosok mayat itu.
Kepulan asap yang semakin menebal kini diiringi
bunyi seperti air mendidih. Kemudian, tubuh mayat itu
sendiri tampak mulai basah berlendir. Lendir-lendir itu
lalu membentuk gelembung-gelembung seperti air yang
tengah masak.
“Awaaass...!”
Untuk ketiga kalinya, Ki Ganda Buana berteriak.
Orang tua itu mengembangkan tangannya dan lang-
sung bergerak mundur. Orang-orang lainnya pun ter-
dorong mundur semakin menjauhi mayat yang sangat
mengerikan itu.
Gelembung-gelembung lendir itu kemudian mele-
tup-letup menimbulkan ledakan-ledakan kecil. Untun-
glah Ki Ganda Buana telah menarik mundur semua
orang yang berada di belakangnya. Kalau tidak, mung-
kin akan ada di antara mereka yang terkena lendir ke-
hijauan yang berpercikan ke segala arah itu.
“Gila...!” desis Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan
Ki Bawung Sati hampir bersamaan.
Tubuh mayat yang semula utuh itu kini hanya
tinggal seonggok tulang yang tidak mungkin bisa dike-
nali lagi. Rupanya bubuk yang ditebarkan Cakar Setan
sebelum melarikan diri tadi memang dimaksudkan un-
tuk menghapus jejak agar mereka tidak bisa dikenali
lagi. Mayat pembunuh bermuka putih benar-benar le-
nyap dan kini berganti dengan cairan hijau berbau bu-
suk dan seonggok tulang. Baik kulit daging maupun
pakaian pembunuh bermuka putih telah mencair aki-
bat terkena racun ganas si Cakar Setan.
“Aahhh...!”
Teriakan parau yang jelas keluar dari mulut se-
seorang yang sedang merasa kesakitan tiba-tiba ter-
dengar menggetarkan keheningan malan. Ki Ganda
Buana dan orang-orang yang lainnya terkejut dengan
dada berdebar tegang. Baik Ki Ganda Buana, Ki Sanga-
ji, maupun Ki Bawung Sati rupanya tahu teriakan itu
adalah suara Pendekar Naga Putih. Ketiganya tampak
saling bertukar pandang dengan hati berdebar tegang.
Seperti mendapat perintah, ketiga tokoh itu sege-
ra melesat ke arah sumber jeritan memilukan itu. Dan,
tanpa diperintah lagi para peronda yang lainnya pun
segera mengikuti ketiga orang pemimpin mereka.
“Panji....!?”
Ki Ganda Buana, yang melihat tubuh Panji berge-
rak limbung bagaikan orang mabuk, bergegas meng-
hampiri. Jelas bahwa orang tua itu sangat cemas meli-
hat keadaan keponakan yang telah dianggapnya seba-
gai putra kandung sendiri itu.
“Pendekar Naga Putih...!?”
Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati pun tidak kalah
terkejutnya begitu melihat keadaan Panji yang seperti
orang kesetanan itu. Segera saja mereka mengiringi Ki
Ganda Buana yang tengah bergerak mendekat.
“Jangan mendekat...!”
Ketika jarak ketiga tokoh Desa Pegatan itu tinggal
dua tombak lagi dari Panji tiba-tiba pendekar muda itu
berseru mencegah. Kedua tangannya tampak dikibas-
kibaskan menyuruh mereka segera menjauhinya.
Tentu saja ketiga orang itu menjadi semakin bin-
gung. Apa lagi, saat itu tubuh Panji tampak merah
membara, dengan hawa panas menebar hingga sejarak
satu setengah tombak. Bahkan, kedua tangan pemuda
itu mengibas dengan maksud mencegah mereka men-
dekatinya, ada sambaran angin panas yang membuat
ketiganya tersentak kaget.
Tanpa diperintahkan dua kali, Ki Ganda Buana
dan yang lainnya segera saja bergerak mundur menjauhi pemuda itu. Untung saja yang maju mendekat
tadi hanya ketiga orang yang memiliki tenaga sakti un-
tuk menahan hawa panas kibasan tangan Panji. Kalau
saja tenaga dalam mereka belum kuat betul, ketiganya
tentu akan tewas terkena hawa panas yang luar biasa
itu.
Ki Ganda Buana dan yang lainnya memandang
sosok Panji dengan hati tegang. Mereka hanya dapat
menatap bingung tanpa tahu harus berbuat apa. Dan,
mereka pun tidak tahu, apa yang saat itu tengah di-
alami Pendekar Naga Putih. Bahkan, mereka merasa
ngeri melihat tubuh Pendekar Naga Putih yang berko-
baran api itu.
“Kakang Panji...!”
Tiba-tiba saja terdengar suara nyaring yang men-
gejutkan semua orang yang berada di tempat itu. Seca-
ra serentak, mereka berpaling ke arah asal suara nyar-
ing itu.
“Wulandari...!?”
Ki Ganda Buana, yang mengenali sosok putrinya,
langsung menghambur menyambut kedatangan seo-
rang gadis cantik yang ternyata adalah putrinya sendi-
ri. Tentu saja orang tua itu menjadi heran melihat ke-
hadiran Wulandari.
“Ayah..., apa yang terjadi dengan Kakang Panji...?
Mengapa Ayah tidak berusaha menolongnya...?”
Wulandari meronta hendak melepaskan diri dari
ayahnya. Hatinya cemas bukan main melihat tubuh
Panji seperti terbakar itu. Tapi yang membuat Wulan-
dari heran, api itu justru tidak membakar Panji. Api itu
terlihat hanya berkobar di luar tubuh Pendekar Naga
Putih.
“Tenanglah, Wulandari. Ayah pun tidak tahu, apa
sebenarnya yang tengah terjadi dengan kakangmu itu.
Kami semua pun baru saja tiba dan melihat keadaan-
nya sudah demikian. Ketika Ayah dan yang lainnya
hendak mendekat, Panji malah menyuruh agar kami
menjauh. Ah, mudah-mudahan saja ia selamat. Ber-
doalah, Anakku...,” ujar Ki Ganda Buana dengan pera-
saan yang juga sangat cemas.
“Ayah..., aku takut Kakang Panji akan mati....”
Wulandari menangis sambil menyandarkan kepa-
lanya di dada Ki Ganda Buana. Orang tua itu pun si-
buk menghibur anaknya yang tinggal seorang ini.
“Aarrrkkhhh...!”
Untuk kesekian kalinya, terdengar Panji meraung
dahsyat. Ki Ganda Buana dan tokoh lainnya terjajar
limbung. Bahkan, Wulandari sampai jatuh terduduk
dengan wajah pucat. Sedangkan para keamanan desa
lainnya terbanting pingsan akibat mendengar teriakan
dahsyat tadi.
Seiring dengan teriakan dahsyat itu, api yang
mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih kian berkobar,
untuk kemudian mengecil dan lenyap. Panji sendiri ja-
tuh terduduk bagai orang yang tidak lagi mempunyai
tulang.
“Kakang...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, Wulandari berlari
menghambur ke arah Panji. Gadis itu sama sekali ti-
dak merasa takut. Rasa takut akan kehilangan Panji
tampaknya jauh lebih besar daripada rasa takutnya
akan kematiannya sendiri.
Panji mengangkat kepalanya dan mencoba terse-
nyum ketika mengenali Wulandari. Pemuda itu mem-
biarkan saja ketika Wulandari menubruk dan menan-
gis di dadanya.
“Tenanglah, Adikku. Bahaya sudah lewat. Aku ti-
dak apa-apa,” bisik Panji seraya membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih. Hatinya sempat merasa
terharu melihat kekhawatiran Wulandari terhadap ke-
selamatannya.
“Aku takut kehilanganmu, Kakang...” sahut Wu-
landari di sela-sela isak tangisnya yang terputus-
putus.
“Apa sebenarnya yang sudah terjadi, Panji? Kami
sungguh tidak mengerti dengan kejadian barusan...?”
Ki Ganda Buana yang sudah duduk di dekat pu-
tri dan keponakannya itu menatap Panji dengan mata
menuntut jawaban. Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati ju-
ga telah duduk di dekat pemuda itu. Mereka sama-
sama memandang dan menunggu keterangan Pende-
kar Naga Putih sehubungan dengan peristiwa yang ba-
ru mereka saksikan tadi.
“Tidak perlu cemas, Paman. Ketika aku tengah
mengejar Cakar Setan dan kawannya, tiba-tiba saja
manusia licik itu berbalik dan langsung menaburkan
bubuk beracun yang sangat ganas ke tubuhku. Tenaga
saktiku yang biasanya mampu memusnahkan segala
jenis racun rupanya belum terbiasa dengan racun yang
amat ganas itu. Sehingga, untuk memusnahkannya,
aku membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pun
sedikit tersiksa tadi. Hehh...” untunglah bahaya sudah
lewat...” desah Panji, lega.
Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati
mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar ke-
terangan Pendekar Naga Putih. Meskipun tidak begitu
paham akan keterangan Panji, setidaknya mereka te-
lah dapat meraba, apa yang telah menimpa pemuda
itu.
“Panji, tadi aku melihat mayat orang berpakaian
putih meleleh hancur hingga tubuhnya hanya tinggal
berupa cairan hijau berbau busuk dan seonggok tulang. Kami pun tidak mengerti dengan kejadian itu,”
ujar Ki Ganda Buana.
“Yahhh...,” racun itu pulalah yang telah ditebar-
kan ke tubuhku oleh si Cakar Setan...,” desah Panji,
agak kecewa.
“Lebih baik kita kembali saja ke desa sekarang.
Kita pikirkan langkah berikutnya....”
Akhirnya Ki Sangaji, yang semenjak tadi hanya
diam mendengarkan, membuka suara dengan nada
mengingatkan. Semua orang yang berada di tempat itu
langsung saja menyetujuinya. Mereka tentu saja ingin
menghilangkan rasa tegang setelah mengetahui keja-
dian yang mengerikan itu.
Panji merangkul tubuh Wulandari yang masih sa-
ja tidak mau melepaskan pelukannya. Keduanya pun
melangkah sambil berangkulan. Sebentar kemudian,
tempat itu pun kembali sunyi.
***
TUJUH
Seorang pemuda bertubuh tegap melangkah lam-
bat menyusuri tanah berumput tebal. Kepalanya tam-
pak tertunduk dengan ayunan langkah lesu. Sesekali
tangannya mengambil batu-batu kecil di bawah ka-
kinya. Dengan hentakan napas berat, dilontarkannya
batu itu sejauh-jauhnya. Ia seolah-olah ingin melon-
tarkan perasaan gundah di hatinya.
Setibanya di tepian sungai, pemuda itu meng-
hempaskan tubuhnya di bawah pohon rindang. Bebe-
rapa orang gadis yang tengah mencuci menoleh ke
arahnya sambil tersenyum-senyum genit. Jelas bahwa
mereka telah mengenal baik pemuda itu. Bahkan, be-
berapa di antara gadis itu tampak saling berbisik
membicarakannya.
Ketika matahari sudah beranjak naik, gadis-gadis
yang telah menyelesaikan pekerjaannya segera berge-
gas naik ke atas sungai. Rupanya mereka hendak pu-
lang. Pada saat lewat di dekat pemuda tampan bertu-
buh tegap itu, mereka menoleh dan mengangguk hor-
mat, kemudian berlalu cepat-cepat seraya tertawa-
tawa genit. Tapi, tampaknya pemuda itu sama sekali
tidak peduli. Setelah membalas anggukan gadis-gadis
yang hendak kembali ke desa itu, pandangannya kem-
bali beralih ke sungai.
Di pinggiran sungai masih ada empat gadis lagi
yang tengah mencuci. Dua di antaranya kemudian
bergerak bangkit dan meninggalkan sungai. Tidak be-
rapa lama setelah itu, dua gadis yang lainnya bergegas
pula hendak meninggalkan sungai.
Pemuda tegap berwajah tampan itu bergerak
bangkit ketika melihat dua gadis terakhir hendak be-
rangkat pulang.
“Sumi...,” panggil pemuda itu kepada salah seo-
rang dari kedua gadis yang lewat dan mengangguk
hormat kepadanya.
Gadis berwajah manis berkulit kuning langsat
yang dipanggil dengan nama Sumi menoleh tersipu.
“Aku duluan, Sumi. Mari, Kakang Gutawa....”
Gadis yang satunya lagi, yang merasa tidak diper-
lukan, segera berpamitan kepada keduanya. Kemudian
Kakinya berlari-lari kecil agar dapat menyusul teman-
temannya.
“Kau takut tinggal di sini bersamaku, Sumi...?”
tanya pemuda tegap yang ternyata adalah Gutawa, pu-
tra Kepala Desa Pegatan.
Pertanyaan Gutawa terlontar ketika melihat gadis
itu tampak tertunduk malu. Sumi mengangkat wajah-
nya agak pucat, sehingga senyumnya terlihat agak
hambar. Rupanya Sumi dilanda ketegangan.
Gutawa pun sesungguhnya tidak tahu akan pe-
rasaan gadis manis itu. Sebab, tidak sedikit gadis Desa
Pegatan yang mengincarnya dan mencari kesempatan
berdekatan dengan pemuda tampan yang gagah itu.
Namun, selama ini Gutawa tidak pernah melade-
ni tawa genit atau pun senyum menggoda dari gadis
yang diam-diam menyukainya.
Kini, entah kenapa Gutawa tiba-tiba saja ingin
mendekati gadis yang diam-diam menaruh hati kepa-
danya. Dan salah satunya adalah Sumi, gadis berwa-
jah manis dan berkulit kuning langsat yang sekarang
berdiri di hadapannya. Tapi, Gutawa berpura-pura bo-
doh ketika melihat wajah gadis desa manis itu tertun-
duk. Rupanya ia mencoba untuk mengetahui isi hati
gadis manis itu yang sesungguhnya.
Sumi hanya menjawab pertanyaan Gutawa den-
gan gelengan kepala perlahan. Kemudian wajahnya
kembali menunduk sambil menyembunyikan senyum
malu.
“Apa artinya gelenganmu itu, Sumi? Kalau kau
memang takut berada berdua di tempat sepi ini ber-
samaku, ayo, aku antar kau pulang,” ujar Gutawa,
memancing perasaan hati gadis manis itu.
Sumi mengangkat kepalanya dengan tatapan ce-
mas. Tampaknya ia takut kalau pemuda itu sampai
membuktikan ucapannya.
“Tidak, Kakang. Aku tidak takut. Aku percaya
kepada Kakang...,” tukas Sumi, yang tanpa sadar me-
nunjukkan rasa khawatirnya kalau-kalau pemuda itu
akan mengantarkannya pulang.
Tentu saja Sumi lebih suka tinggal bersama Gu-
tawa di tempat yang paling sepi sekalipun.
“Benar kau tidak takut..? tanya Gutawa lagi,
meminta ketegasan.
“Tidak, Kakang...,” sahut gadis itu, yang kini ti-
dak lagi menundukkan kepalanya.
Sumi bahkan mulai berani membalas tatapan
mata pemuda itu. Sebab, hal seperti ini memang sudah
lama diimpikan oleh Sumi ataupun gadis-gadis lain-
nya. Tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan
baik ini.
Gutawa tersenyum mendengar jawaban tegas ga-
dis manis itu. Tanpa ragu lagi, tangannya segera teru-
lur. Digenggamnya jemari tangan Sumi yang terasa
agak bergetar karena hatinya memang sedang berde-
bar diliputi perasaan bangga dan bahagia.
Dengan perlahan, Gutawa membimbing Sumi,
gadis desa yang lugu dan menaruh kepercayaan penuh
kepada pemuda itu. Sumi tidak takut kalau-kalau Gu-
tawa akan berbuat macam-macam. Karena, pemuda
itu telah dikenalnya semenjak kecil. Dan, selama dike-
nalnya, tidak pernah sekalipun Sumi melihat atau
mendengar Gutawa mempermainkan gadis-gadis yang
menaruh hati padanya. Meskipun, kalau pemuda itu
mau, akan banyak kesempatan baginya. Pemuda itu
selama ini tetap tenang dan ramah. Semua itulah yang
membuat Sumi tidak merasa khawatir.
Sumi sama sekali tidak menolak ketika Gutawa
mengajaknya duduk di bawah pohon rindang di tepi
sungai, yang agak tersembunyi dan tidak mudah terli-
hat orang lain. Bahkan, ketika pemuda itu merebah-
kan kepala Sumi ke dalam pelukannya, gadis manis
itu malah merangkulkan tangannya. Dia tampaknya
takut kalau pemuda itu sampai berubah pikiran dan
melepaskan pelukannya.
Gutawa semakin mengembangkan senyumnya
melihat betapa gadis manis itu menyambutnya dengan
hangat Ketika pemuda itu mencoba mencium bibir
Sumi, gadis itu pun membalas dengan tidak kalah
hangatnya. Baru ketika hari semakin bergeser, Gutawa
mengajak Sumi meninggalkan tempat itu.
“Nanti ayah dan ibumu mencari-cari...,” kata Gu-
tawa ketika melihat Sumi seperti masih enggan me-
ninggalkan tempat itu. Gadis manis itu tampaknya
khawatir kalau-kalau pertemuan ini tidak berlanjut la-
gi.
“Tentu, setelah hari ini, Kakang akan melupa-
kanku. Sebab, masih banyak gadis yang lebih cantik
dari aku. Mereka pun akan menyambut apabila Ka-
kang mengajak...,” ujar Sumi, mengungkapkan pera-
saan khawatirnya.
Gutawa tersenyum mendengar kekhawatiran
Sumi. Dipeluknya tubuh sintal itu, lalu dikecupnya bi-
bir yang cemberut itu lembut-lembut.
“Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Sumi. Se-
mua itu hanya membuat hatiku sakit. Sebaiknya kita
pulang sekarang. Hari esok masih banyak waktu un-
tuk kita...,” bujuk Gutawa sambil memeluk erat tubuh
sintal berkuning langsat itu. Sumi pun tersenyum ma-
nis. Tampaknya ia termakan rayuan Gutawa. Kemu-
dian, sambil berangkulan, keduanya meninggalkan te-
pian sungai.
***
“Gutawa, dari mana saja, kau...? Beberapa hari
ini kulihat kau selalu bepergian tanpa pamit. Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?” Ki Sangaji langsung
menegur putranya ketika pemuda itu datang dengan
wajah kuyu.
“Aku sudah besar, Ayah. Apakah masih perlu
pamit hanya untuk bermain dengan kawan-kawanku?”
bantah Gutawa sambil bergegas hendak memasuki
kamarnya.
“Tunggu dulu, aku belum selesai bicara...! ujar
orang tua itu dengan hati jengkel melihat Gutawa hen-
dak memasuki kamarnya pada saat ia masih hendak
berbicara.
“Aku ingin beristirahat, Ayah. Apa lagi yang hen-
dak ayah bicarakan...?” tukas Gutawa, yang telah
membalikkan tubuhnya menatap wajah Ki Sangaji
dengan kilatan aneh.
“Hm..., beginikah sikapmu apabila berhadapan
dengan orang” tua? Ke mana saja kau seharian, hingga
sepagi ini baru pulang...?” tanya Ki Sangaji sambil me-
narik tubuh pemuda itu dan mendudukannya ke kur-
si.
Gutawa sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu
membisu seraya menantang tatapan ayahnya. Tentu
saja sikap ini membuat Ki Sangaji semakin marah. Se-
hingga, tanpa berpikir panjang, orang tua gagah itu
langsung mengayunkan tangannya. Dan....
Plakkk...!
“Uuuhhh...!”
Tubuh Gutawa langsung terjungkal terkena tam-
paran keras Ki Sangaji. Dari sudut bibirnya mengalir
darah segar. Gutawa bangkit dan menghapus darah
itu dengan sepasang mata yang tak lepas menatap wa-
jah ayahnya. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun,
pemuda itu langsung melarikan diri.
“Gutawa, kembali...!”
Ki Sangaji membentak keras untuk mencegah
kepergian putranya. Namun, pemuda itu tidak mem-
pedulikan lagi panggilan ayahnya. Gutawa terus berla-
ri, hingga bayangannya lenyap di kejauhan.
Ki Sangaji berdiri bengong melihat kelakuan Gu-
tawa. Orang tua itu tidak mengerti, mengapa sikap pu-
tranya tahu-tahu berubah. Padahal, selama ini Gutawa
sangat penurut dan tidak pernah berani melawannya.
Ki Sangaji sendiri memang tidak pernah mengatur ke-
hidupan pemuda itu. Tapi, sekarang....
“Ki....”
Teguran halus membuyarkan lamunan Ki Sanga-
ji. Lelaki gagah itu menoleh ke arah asal suara. Dili-
hatnya Ki Bawung Sati, Ki Ganda Buana, Panji, dan
Wulandari tengah berdiri di halaman depan rumahnya.
Ki Sangaji merasa agak malu. Karena, mungkin saja
keempat orang itu melihatnya tadi dan mungkin juga
telah lama berdiri menyaksikan tingkahnya.
“Tadi aku melihat Tuan Muda Gutawa berlari ba-
gaikan orang kesetanan. Apa yang terjadi dengannya,
Ki? Akhir-akhir ini kulihat sikapnya tampak aneh,” ka-
ta Ki Bawung Sati.
Ki Sangaji diam saja. Tampaknya kemarahan ke-
pada putranya belum benar-benar reda. Kemudian ia
memberi isyarat dengan tangan kepada tamu-tamunya
untuk memasuki ruang dalam. Sedangkan Ki Bawung
Sati masih menunggu beberapa saat sebelum menya-
takan keperluan sebenarnya hingga mereka datang ke
rumah ini.
“Aku mendapat laporan dari seseorang warga de-
sa, Ki. Seorang anak gadisnya yang bernama Sumi be-
lum kembali sejak kemarin. Teman-temanya mengata-
kan bahwa kemarin siang Sumi menemani Gutawa di
tepian sungai. Tapi, ketika tadi pagi kutanyakan kepa
da Tuan Muda Gutawa, menurutnya gadis itu sudah
diantarkan ke rumahnya. Katanya saat itu di rumah
Sumi tidak ada orang, sehingga Tuan Muda Gutawa
langsung pamit setelah mengantarkan Sumi sampai di
depan pintu. Anehnya, tak seorang pun yang melihat
gadis itu pulang sejak kemarin...” lapor Ki Bawung Sa-
ti.
Tentu saja Ki Sangaji terkejut mendengar kete-
rangan itu.
“Hhhh..., Gutawa sendiri baru saja kembali sejak
kemarin. Entah ke mana saja anak itu pergi. Ketika
kutanyakan, ia bungkam dan memilih kabur...,” jawab
Ki Sangaji, tanpa mengatakan bahwa mereka sempat
bertengkar dan bahkan Ki Sangaji sempat menampar
wajah putranya. “Tapi, apakah mungkin tingkah anak-
ku itu berhubungan dengan hilangnya Sumi? Aku ra-
sa, gadis itu telah menjadi korban si Cakar Setan se-
perti yang sudah-sudah.”
“Hm..., aku baru saja kembali menyelidiki ke de-
sa tetangga kita. Dan, menurut apa yang kudengar,
mereka pun mengalami musibah yang serupa dengan
kita. Bahkan, korbannya sudah banyak. Dan, persis
dengan yang terjadi di sini, yang lenyap dan terbunuh
adalah gadis-gadis muda...,” ujar Panji, menjelaskan
apa yang diketahuinya. Sesungguhnya, kepergian Panji
ke desa tetangga memang atas usul mereka bersama
setelah terjadinya peristiwa itu.
“Lalu, apa yang mereka lakukan? Dan, keteran-
gan apa lagi yang kau dapat dari Desa Kawung, Pende-
kar Naga Putih...?”
Ki Sangaji ingin tahu lebih jelas tentang penyeli-
dikan Panji ke Desa Kawung, yang letaknya hanya se-
hari perjalanan dari Desa Pegatan. Tapi, tentu saja ti-
dak selama itu ketika Panji yang melakukan perjala
nan. Panji menempuh jarak sejauh itu hanya dalam
waktu beberapa jam.
“Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, me-
nurut nya, pembunuh keji itu sangat sakti dan tak ada
seorang pun sanggup melawannya. Bahkan, Kepala
Desa Kawung hampir tewas ketika sempat bertarung
menghadapinya. Jadi, aku putuskan untuk singgah
dan mencoba mengobati luka kepala desa itu. Syukur-
lah keadaannya masih belum terlalu parah, sehingga
ada kemungkinan ia bisa sembuh...,” jelas Panji.
“Hm..., apakah di Desa Kawung pun terdapat ga-
dis-gadis muda yang tewas dengan tubuh kering keha-
bisan darah...,” tanya Ki Sangaji, yang memang belum
mendengar tentang kejadian di Desa tetangganya.
“Benar, Ki. Dan, satu hal lagi, putramu yang ber-
nama Gutawa itu kabarnya juga pernah membawa be-
berapa orang gadis Desa Kawung. Dan, gadis-gadis itu
pun lenyap tanpa jejak...,” ujar Panji.
Pendekar Naga Putih tampak sedikit ragu saat
menyampaikan berita itu. Sebab, dia tidak ingin hati Ki
Sangaji terpukul mendengarnya.
“Apa...!? Ini pasti fitnah, Pendekar Naga Putih!
Aku... aku tidak percaya...!” bentak Ki Sangaji benar-
benar terpukul. Orang tua itu tidak segera memper-
cayai kata-kata Pendekar Naga Putih, bahkan kemara-
hannya sempat terbangkit.
“Lalu, ke mana gadis bernama Sumi yang kema-
rin bersama Gutawa seharian? Apakah kawan-kawan
Sumi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri
itu juga telah menyebar fitnah? Dan, ke manakah Gu-
tawa seharian kemarin? Mengapa ia tidak bicara, dan
bahkan malah melarikan diri? Pikirkanlah dengan ke-
pala dingin, Ki. Aku pun belum mempercayai hal ini
sepenuhnya. Tapi aku berjanji akan menyelidikinya,”
desak Panji sambil bangkit berdiri menatap pandang
mata Ki Sangaji yang wajahnya kelihatan agak pucat.
Panji dapat melihat bahwa Ki Sangaji sebenarnya
mulai meragukan tingkah putranya. Tapi, karena me-
rasa malu, orang tua itu masih mencoba membela pu-
tra tunggalnya.
“Hhhh....”
Ki Sangaji terduduk lesu disertai helaan napas
berat yang berkepanjangan.
“Apa sebenarnya yang telah menimpa putraku?
Mungkinkah dia tega mencoreng muka ayahnya? Men-
gapa beberapa hari belakangan ini dia begitu beru-
bah...?” desah Ki Sangaji, seperti berkata pada dirinya
sendiri.
“Bersabarlah, Ki. Aku berjanji akan menyelidiki
hal ini. Aku pun tidak akan bertindak sebelum menge-
tahui keadaan sebenarnya secara jelas. Dan, ada satu
hal yang belum kusampaikan kepada kalian. Meskipun
hal ini hanya berupa dugaan, aku mencurigai pendeta-
pendeta yang membangun tempat ibadat di ujung de-
sa,” ujar Panji dengan suara yang agak pelan.
Pendekar Naga Putih tampak terdiam beberapa
saat, seolah-olah menanti pendapat dari ketiga lelaki
tua gagah itu.
“Gila...!”
Hampir bersamaan, Ki Sangaji dan Ki Bawung
Sati berseru sampai terbangkit dari kursinya. Sedang-
kan Ki Ganda Buana hanya menatap Panji dengan
kening berkerut. Hanya Wulandari yang tampak per-
caya sepenuhnya pada Panji.
“Itu memang sebuah pikiran gila. Tapi, tidak be-
rarti bahwa kecurigaanku mustahil, bukan?” ujar Panji
lagi dengan suara dan wajah tetap tenang. Sehingga,
baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati kembali ke
kursinya masing-masing.
“Pendekar Naga Putih, mereka tinggal di desa ini
hanya untuk sementara dan ingin menyebarkan aga-
ma. Untuk itulah mereka membangun sebuah rumah
ibadat. Tujuan mereka sudah jelas. Penduduk Desa
Pegatan tertarik dengan agama mereka bisa beribadah
di tempat itu, kelak apabila mereka telah pergi. Jadi,
maaf kalau aku tidak sependapat denganmu,” ujar Ki
Sangaji dengan wajah agak kecewa, karena Pendekar
Naga Putih telah menuduh pendeta-pendeta yang di-
anggapnya sebagai orang suci itu.
“Hm..., tahukah kalian dari mana mereka sebe-
lum singgah dan membangun rumah ibadat di Desa
Pegatan...?” tanya Panji.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab perta-
nyaan Pendekar Naga Putih. Setelah menunggu bebe-
rapa saat tapi tak ada seorangpun yang berbicara,
Panji segera melanjutkan kata-katanya.
“Ketahuilah. Sebelum pindah ke Desa Pegatan,
mereka lebih dahulu menetap di Desa Kawung. Dan,
peristiwanya pun persis. Mereka meminta izin untuk
membuat rumah ibadat. Lalu pendeta-pendeta itu me-
netap beberapa lama di Desa Kawung, menyebarkan
agama dan memberi nasihat yang baik-baik. Kemu-
dian, pendeta-pendeta itu mengadakan upacara agama
untuk mengusir setan yang menurut mereka telah me-
lakukan perbuatan-perbuatan keji di Desa Kawung.
Setelah itu, memang tidak ada kejadian lagi, karena
orang-orang itu telah pindah ke desa lain, yaitu Desa
Pegatan,” tandas Panji. Sehingga, ketiga tokoh yang
mendengarkan keterangannya sama-sama membela-
lakkan mata dengan wajah setengah tak percaya.
“Betulkah itu, Panji...?” tanya Ki Ganda Buana
yang masih saja tampak terkejut mendengar penjela
san keponakannya.
“Mungkin dugaanmu ada benarnya, Pendekar
Naga Putih. Sebab, pada bulan ketiga tepat di malam
purnama nanti, mereka telah meminta izin kepadaku
untuk membuat upacara agama besar-besaran. Dan,
menurut kepala pendeta itu, gunanya untuk mengusir
musibah yang dilakukan setan-setan jahat...,” ujar Ki
Sangaji.
Kepala Desa Pegatan akhirnya teringat bahwa
utusan pendeta pernah menyampaikan hal itu kepa-
danya. Hal ini baru diingatnya setelah Panji menying-
gung-nyinggung soal upacara agama.
“Hm..., kalau begitu, mereka telah bersiap-siap
untuk pindah ke desa lain. Kita harus cepat bertindak
mencegahnya. Kalau tidak, mereka akan terus mela-
kukan kebiadaban di desa-desa yang akan mereka
singgahi nanti..., usul Panji, yang kini mulai merasa
semakin yakin setelah mendengar ucapan Ki Sangaji.
“Nanti dulu, Pendekar Naga Putih...,” tukas Ki
Bawung Sati tiba-tiba, “Seingatku, peristiwa yang me-
nimpa desa ini telah terjadi beberapa hari sebelum pa-
ra pendeta itu datang. Jadi, mana mungkin mereka
yang melakukannya jika mereka sendiri belum tiba di
Desa Pegatan ini...?” lanjut Ki Bawung Sati.
Perkataan Ki Bawung Sati membuat Ki Ganda
Buana dan Ki Sangaji menatap Panji dalam-dalam. Me-
reka ingin mendengar pendapat pemuda sakti itu.
“Menurutku, mereka sengaja menyamarkannya.
Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang
menduga kalau merekalah yang sesungguhnya telah
membuat bencana ini. Untuk membuktikan hal itu,
nanti malam aku akan menyelidiki tempat ibadah itu,”
ujar Panji lagi.
Ketiga tokoh Desa Pegatan kembali bertukar
pandang satu sama lain.
“Aku ikut, Kakang...!”
Tiba-tiba Wulandari, yang semenjak tadi hanya
diam mendengarkan, langsung menyahuti ucapan Pan-
ji. Tentu saja Pendekar Naga Putih terkejut
“Tidak, Adikku. Kali ini aku akan melakukannya
sendiri. Sebab, aku sama sekali belum tahu sampai
seberapakah kekuatan lawan. Untuk itu, ku mohon
agar kalian semua tetap bertindak seperti biasa. Dan,
kalau sampai besok pagi aku belum kembali, itu tan-
danya aku menemui bahaya. Maka, kalian pun harus
segera mendatangi tempat ibadat itu. Bagaimana...?”
ujar Panji menahan niat Wulandari sekaligus meminta
pendapat ketiga tokoh Desa Pegatan.
“Baiklah. Tapi, kau harus berhati-hati...,” ujar Ki
Ganda Buana, setelah melihat Ki Sangaji dan Ki Ba-
wung Sati sama-sama menganggukkan kepala menye-
tujui usul Panji.
Tak berapa lama kemudian, Ki Ganda Buana,
Panji, dan Wulandari pun berpamitan. Ketiganya be-
ranjak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa
Pegatan.
***
DELAPAN
Rembulan telah cukup lama muncul saat Panji
keluar dari dalam rumah kediaman Ki Ganda Buana.
Begitu melesat keluar, kegelapan malam langsung me-
nyergap tubuh pemuda tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih, yang berniat menyelidiki kuil di
ujung Desa Pegatan, langsung saja bergerak melintasi
kegelapan.
Jarak yang sebenarnya cukup jauh bagi orang
biasa ternyata tidak begitu lama ditempuh pemuda itu.
Dengan ilmu kepandaiannya yang telah mencapai titik
kesempurnaan, Panji dapat melesat secepat terbang.
Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sosok-
nya pun sudah tiba di daerah yang ditujunya.
Dengan menyembunyikan sosoknya di antara ke-
gelapan bayang pepohonan, tubuh Panji bergerak me-
nyelinap mendekati sebuah anak bukit. Di atas anak
bukit itulah berdiri sebuah kuil yang belum lama di-
bangun. Diam-diam hati pemuda itu merasa kagum
melihat bangunan yang hampir sempurna itu. Ru-
panya tempat yang pada mulanya adalah sebuah ban-
gunan kuno yang tak terpakai lagi itu hanya diperbaiki
beberapa bagiannya.
Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati men-
dekati kuil yang cukup besar itu. Beberapa buah obor
yang terpancang di hampir setiap sudut kuil dihinda-
rinya, agar dirinya tidak tertangkap basah.
“Uuuhhh...!”
Tiba-tiba tubuh Panji tersentak mundur saat
hampir mendekati tembok kuil itu. Dengan perasaan
heran, pemuda itu menatapi sekelilingnya dalam kea-
daan merunduk.
“Aneh...? Sepertinya ada yang mendorongku ba-
rusan...?” desis panji yang menjadi heran bukan main
ketika tidak menemukan satu makhluk pun di sekelil-
ing dirinya.
Setelah beberapa saat memperhatikan, pemuda
itu kembali bergerak maju. Dan....
“Aaakkhhh...!”
Untuk kedua kalinya, tubuh Panji tersentak ke
belakang. Bahkan, kali ini dorongnya jauh lebih kuat.
Sehingga, tubuh pemuda itu hampir terguling dibuat-
nya. Untunglah Panji bertindak sigap dengan mena-
namkan kuda-kudanya ke tanah. Meskipun demikian,
pemuda itu merasakan adanya suatu keanehan pada
tubuhnya. Ya, dadanya memang agak terasa sesak
akibat dorongan itu.
Dengan keheranan yang semakin memuncak,
Pendekar Naga Putih akhirnya berdiri tegak tanpa ta-
kut akan ada yang melihatnya. Ditatapinya daerah se-
keliling dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam-
nya. Sehingga, sepasang mata pemuda itu menyala
kemerahan bagaikan sorot mata naga di kegelapan.
Lagi-lagi pemuda itu harus kecewa dan geram. Karena,
di sekelilingnya tetap tak tampak satu makhluk pun.
“Kurang ajar...! Mungkinkah ada orang yang
mempermainkan aku?” batin Pendekar Naga Putih.
Hati Panji benar-benar jengkel setelah dua kali
dibuat hampir terbanting, tanpa tahu siapa yang mela-
kukannya. Terbawa oleh rasa penasaran, akhirnya
pemuda itu melangkah lambat-lambat mendekati dind-
ing kuil yang berjarak kira-kira dua tombak di depan-
nya.
“Uuuhh...!?”
Panji kembali terkejut. Heran benar hati pemuda
itu ketika ia merasakan adanya sebuah dinding yang
tak tampak oleh mata. Dan, baru sekaranglah hal itu
baru dirasakannya. Semua itu dapat diketahuinya ka-
rena Pendekar Naga Putih maju dengan langkah perla-
han-lahan, sehingga keberadaan dinding yang seperti
membentengi daerah di sekitar kuil benar-benar tera-
sa.
“Gila! Apa yang telah mereka lakukan hingga
mampu membuat dinding gaib seperti ini...?” desis
Panji sambil meraba-raba dengan tangannya. Pemuda
itu semakin terkejut ketika mengetahui bahwa dinding
itu ternyata mengitari bangunan kuil.
Panji terpaksa melangkah mundur. Otaknya be-
kerja keras agar bisa masuk melewati dinding gaib itu.
Namun, semuanya sia-sia belaka. Sebab, Panji sama
sekali tidak berpengalaman dalam masalah ilmu gaib
ataupun ilmu sihir. Pemuda itu pun hanya bisa mere-
nung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya untuk
dapat menembus dinding gaib itu.
“Cucuku, dalam dunia ini banyak terdapat ilmu
gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Ke-
banyakan ilmu seperti itu dimiliki oleh para pertapa
yang mengasingkan diri dari dunia ramai, ataupun pa-
ra pendeta, baik yang sesat maupun yang berjalan di
jalur putih....”
Tiba-tiba saja di telinga Panji terngiang kembali
wejangan gurunya, si Malaikat Petir Eyang Tirta Yasa.
Cepat-cepat pemuda itu mencoba untuk mengingat
semua wejangan tentang ilmu yang pernah dikatakan
oleh gurunya.
“Untuk mendapatkan ilmu-ilmu seperti itu, para
pertapa maupun pendeta-pendeta suci melakukannya
dengan jalan bersemadi selama bertahun-tahun. Dan,
kadang-kadang mereka menjalaninya dengan jalan
berpuasa untuk menguatkan batin. Sedangkan para
pendeta-pendeta sesat melakukannya dengan berbagai
cara. Kebanyakan dari mereka menggunakan darah
dan mantera-mantera suci. Tapi, ilmu-ilmu mereka
memiliki kelemahan, karena digunakan pada jalur
yang salah....”
“Darah perawan suci...,” desis Panji, teringat
akan kejadian-kejadian yang menimpa gadis-gadis
muda yang mati tanpa setitik pun darah yang tersisa
di tubuhnya. Jelas sekarang bagi Panji bahwa para
pendeta itulah yang telah melakukan perbuatan-
perbuatan biadab selama ini.
Pemuda itu berdiri tegak dengan kening berkerut.
Kini ia mulai mengerti, apa yang telah menghalanginya
mendekati bangunan kuil itu.
“Hm..., sekeliling kuil ini pasti disirami darah
yang telah dimanterai. Rupanya inilah salah satu ke-
gunaan darah-darah perawan suci itu...,” desah Panji,
bergumam seorang diri.
“Hhh..., sayang Eyang tidak pernah menjelaskan,
bagaimana cara memusnahkan ilmu-ilmu gaib yang
sesat itu...,” desah Panji, agak kecewa.
Namun, sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih
tiba-tiba teringat akan tenaga gaib yang tersimpan di
dalam tubuhnya.
“Ya, mengapa aku tidak mencobanya,” gumam
Panji dengan penuh harap.
Begitu teringat akan ‘Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi’ yang memang gaib itu, segera saja Pendekar Na-
ga Putih mengerahkan ilmu tenaga dalamnya. Seben-
tar kemudian, Panji pun mulai merasakan adanya ha-
wa panas di sekujur tubuhnya, lalu, muncullah sinar
kuning keemasan yang menyelimuti tubuhnya.
Kini, sambil terus mengerahkan ‘Tenaga Sakti In-
ti Panas Bumi’, Panji bergerak maju melewati dinding
gaib itu. Dan... betapa leganya hati pemuda itu ketika
ia tidak merasakan ada dinding yang menghalanginya
lagi. Segera saja ditariknya tenaga sakti itu setelah di-
rinya berada di dalam lingkaran dinding gaib.
Cepat bagaikan kilat, Panji melenting melewati
tembok batu kuno, lalu mendaratkan kakinya di sebe-
lah bangunan tanpa ada yang melihatnya. Panji terus
bergerak menyelinap ke dalam bangunan kuil. Pende-
kar muda itu memeriksa ruangan demi ruangan den
gan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan
suara yang mencurigakan.
“Gutawa...!”
Panji mendesah terkejut melihat Gutawa, putra
Ki Sangaji, berada di salah satu ruangan yang cukup
besar. Ruangan itu mengingatkan Panji akan upacara-
upacara pemujaan seperti yang pernah didengar dan
disaksikannya selama bertualang. Cepat pemuda itu
menahan napasnya saat melihat seorang kakek tua
berjubah merah tengah bersila di depan Gutawa.
Kakek yang kira-kira berusia sekitar delapan pu-
luh tahun itu tampak mengangguk-anggukkan kepa-
lanya saat mendengarkan kata-kata Gutawa. Rupanya
putra kepala Desa Pegatan itu telah tersesat jauh, ka-
rena merasa telah tersaingi oleh Panji dalam merebut
hati Wulandari. Panji tahu akan perasaan pemuda itu.
Namun, ia menyayangkan bahwa hanya karena cem-
buru, Gutawa membencinya dan bahkan berpaling da-
ri kebenaran.
“Hm...,kalau memang ingin masuk, mengapa ha-
rus bersembunyi di luar? Masuklah. Aku tahu akan
kedatanganmu....”
Suara itu terdengar jelas di telinga Panji. Dada
Pendekar Naga Putih pun berdebar keras. Ditatapnya
kakek itu. Dan, yakinlah dia bahwa pendeta tua itulah
yang mengirimkan suara untuknya.
“Pendeta palsu, jangan kau kira aku tidak men-
getahui kebusukan mu! Rahasiamu sudah terbongkar.
Jadi, tidak perlu lagi kau berpura-pura baik. Malam
ini, aku akan mengakhiri kebiadaban pendeta-pendeta
palsu di kuil mesum ini...!” ujar Panji dengan suara
dingin sambil melangkah memasuki ruangan lebar itu.
Tak sedikit pun terlihat kegentaran pada wajah
Pendekar Naga Putih. Jelas, hati Panji sudah mantap
untuk menghentikan kejahatan pendeta-pendeta sesat
itu.
“Pendekar Naga Putih...!?”
Gutawa bangkit dengan penuh kebencian. Dica-
butnya pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu,
diterjangnya Panji dengan serangan-serangan ganas.
Beeet! Beeet! Beeet!
Panji bergerak ke kiri dan ke kanan dengan te-
nang. Dihindarinya serangan Gutawa yang bertubi-
tubi. Pendekar muda itu tetap tidak berusaha memba-
las meskipun serangan Gutawa terlihat semakin ga-
nas. Dan, setelah melewati sepuluh jurus, baru Panji
memberikan pelajaran kepada pemuda itu.
“Sadarlah dari kesesatan mu, Gutawa...,” ujar
Panji sambil menghantamkan telapak tangannya ke
bahu pemuda itu.
Plakkk...!
“Aakkhhh...!”
Gutawa langsung jatuh terguling terkena tampa-
ran keras Pendekar Naga Putih. Pemuda tegap putra
kepala desa itu bergerak bangkit meskipun tangan ka-
nannya terasa lumpuh. Seringai di wajahnya menan-
dakan bahwa pemuda itu menderita rasa nyeri yang
menyakitkan.
Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Gu-
tawa, di ruangan itu bermunculan belasan orang ber-
pakaian merah. Dua di antaranya berdiri tidak jauh
dari Panji. Salah satu dari kedua pendeta itu menggu-
nakan cakar baja pada jari-jarinya. Tahulah Panji,
pendeta itulah yang selama ini melakukan pemban-
taian terhadap gadis-gadis muda yang tak berdosa.
Sedangkan yang seorang lagi pastilah pembunuh ber-
muka merah, pikir Panji sambil menatap tajam pada
kedua orang yang berdiri paling dekat di hadapannya.
“Hm..., rupanya kau telah tersasar hingga kema-
ri, Pendekar Naga Putih. Bagus. Jadi, kau sengaja da-
tang untuk mengantarkan nyawa...!” geram Cakar Se-
tan dengan tatapan penuh dendam.
“Kalpa Wira, Walung, minggirlah. Pemuda ini bu-
kan lawan kalian. Dari cara ia melewati ‘Benteng Gaib’
kita, aku sudah dapat menilai kemampuannya...,” ujar
kakek yang rupanya pemimpin para pendeta di kuil itu
ketika Cakar Setan dan Walung hendak menggempur
Panji.
“Mari kita keluar...,” lanjut kakek itu seraya me-
noleh ke arah Panji.
Tanpa merasa ragu sedikit pun, Panji segera
mengikuti langkah para pendeta berjubah merah itu
keluar dari bangunan kuil. Pemuda itu berdiri tegak di
halaman depan dengan kedua kaki terpentang. Jelas
bahwa Pendekar Naga Putih telah siap bertarung mati-
matian menegakkan kebenaran di atas bumi ini.
“Hm....”
Pendeta tua berjubah merah itu bergumam me-
natap sosok Pendekar Naga Putih.
“Sudah kuduga, akhirnya kau pasti akan menge-
tahui rahasia ini. Semenjak Kalpa Wira mengatakan
tentang adanya Pendekar Naga Putih di desa ini, aku
sudah dapat merabanya bahwa kau pasti akan dapat
menyingkap rahasia pembunuhan gadis-gadis di desa
ini,” lanjut kakek itu, tenang.
Dari sorot mata pendeta tua berjubah merah
yang tajam mencorong, Panji pun dapat mengetahui,
betapa hebatnya tenaga dalam yang dimilikinya.
“Tidak perlu banyak bicara lagi! Aku datang bu-
kan untuk berbincang denganmu. Tapi, justru ingin
melenyapkan manusia-manusia sesat sepertimu, Pen-
deta Palsu. Bersiaplah...!” desis Panji.
Pendekar Naga Putih memejamkan matanya un-
tuk memusatkan kekuatan batin. Sebentar kemudian,
tampaklah sebilah pedang tergenggam di tangannya.
“Pedang Naga Langit...!?”
Pendeta tua berjubah merah berseru kaget den-
gan wajah agak pucat. Jelas bahwa kakek itu telah
mengetahui keampuhan Pedang Naga Langit. Hal ini
dapat terbaca pada wajahnya yang kelihatan cemas.
“Benar, inilah Pedang Naga Langit. Jadi, percuma
saja kalau kau menggunakan racun ataupun ilmu sihir
mu menghadapiku,” sahut Panji sambil mengibaskan
pedangnya dengan kekuatan penuh. Kilatan sinar kun-
ing keemasan pun tampak bergulung-gulung menyi-
laukan mata.
“Bunuh pemuda itu! Rebut pedang di tangannya!”
perintah pendeta tua berjubah merah dengan suara
yang sangat keras. Tampaknya ia gentar melihat pe-
dang mukjizat yang tergenggam di tangan Pendekar
Naga Putih.
Tanpa diperintah dua kali, Kalpa Wira, Walung,
Gutawa, dan belasan pendeta berjubah merah lainnya
langsung bergerak mengepung Panji. Mereka yang
memang merasa geram dan menunggu-nunggu perin-
tah itu tentu saja tak ragu-ragu lagi untuk menyerang
begitu mendengar perintah pendeta berjubah merah.
Dengan disertai seruan-seruan marah, para pengepung
itu pun bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri memang sudah memperhitungkan
semua itu. Sehingga, ia tidak terkejut lagi ketika men-
dengar pendeta tua berjubah merah menyuruh para
pengikutnya untuk mengeroyok dirinya. Maka dengan
Pedang Naga Langit di tangannya, Panji pun bergerak
menyambut serbuan lawan.
Belasan batang pedang yang datang mengancam
dari segala penjuru sama sekali tak membuat Panji gu-
gup. Dengan tenang, pemuda itu menggerakkan pe-
dang sambil mengerahkan ‘Ilmu Pedang Naga Sakti’.
“Heeaattt...!”
Trannng! Trakkk!
Enam bilah pedang yang tiba lebih dulu langsung
terpental dalam keadaan patah. Sedangkan pedang
Panji terus bergerak melingkar menyambar tubuh para
pengeroyoknya. Akibatnya....
“Aaaa...!”
“Wuuaaa...!”
Delapan orang pendeta berjubah merah langsung
terguling roboh tersambar pedang di tangan Pendekar
Naga Putih. Mereka langsung tewas dengan tubuh
bermandikan darah. Tentu saja kenyataan itu mem-
buat pendeta yang lainnya bergerak mundur.
“Haaiittt...!”
“Yiiaattt...!”
Kalpa Wira atau yang dikenal Panji sebagai Cakar
Setan berseru nyaring sambil menggerakkan cakar-
cakar bajanya ke tubuh Pendekar Naga Putih. Berba-
rengan dengan itu, Walung juga telah menggunakan
bandul berdurinya datang menerjang.
Begitu serangan datang, cepat bagaikan samba-
ran kilat, tubuh Panji menyelinap di antara kedua sen-
jata lawan-lawannya. Kemudian, pendekar muda itu
membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyat-
nya.
“Hiiaattt...!”
Tranggg! Tranggg!
Cakar Setan, yang menyambut serangan pedang
Panji dengan sambaran cakar bajanya, merasa terkejut
bukan main. Upaya penyelamatan dirinya dengan me-
nangkis pedang Pendekar Naga Putih tentu saja berakibat cukup parah. Tubuh lelaki tegap itu langsung
terpental hingga sejauh dua batang tombak. Wajahnya
tampak menyeringai merasakan linu pada jari-jari tan-
gannya.
Sementara itu Gutawa, yang sadar akan kepan-
daiannya masih kalah jauh dibanding Panji, hanya se-
sekali menyerang di saat pendekar muda itu mengha-
dapi Kalpa Wira dan Walung. Sayangnya, usaha putra
kepala desa itu selalu saja gagal. Sebab, untuk mengi-
kuti gerakan Panji memang jelas sangat sulit baginya,
sehingga dia terpaksa menelan kejengkelannya.
“Heeaaattt...!”
Pada saat Panji telah kembali bertarung dengan
Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan orang pen-
deta, terdengar teriakan nyaring yang menggetarkan
jantung. Seiring dengan teriakan itu, tampak sosok
bayangan merah melesat cepat dengan sepasang tan-
gan terulur lurus ke aras Pendekar Naga Putih. Dan....
Blakkk!
“Huukkhhh...!”
Seketika itu juga, tubuh Panji langsung terpental
ke belakang sejauh dua batang tombak lebih. Untun-
glah hantaman telak dari sosok bayangan merah itu
sanggup diredam oleh lapisan kabut putih yang mem-
bentengi tubuh Pendekar Naga Putih. Kalau tidak,
mungkin Panji bisa lumpuh seketika. Atau paling ti-
dak, pemuda itu akan mengalami luka dalam yang
sangat parah.
“Licik...!”
Geram Panji ketika mengetahui bahwa penye-
rangnya adalah pendeta berjubah merah.
Tentu saja terjunnya tokoh sesat yang sakti itu
membuat keadaan berbalik. Kini Panjilah yang terde-
sak oleh keroyokan lawan-lawannya.
“Heeaaattt...!”
Pada saat Pendekar Naga Putih sedang dalam
keadaan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring melengking tinggi. Seiring dengan teriakan itu,
muncullah sesosok bayangan hijau yang langsung me-
nerjunkan dirinya ke kancah pertempuran. Tentu saja
kehadiran sosok bayangan hijau itu membuat para
pengeroyok Panji terkejut setengah mati.
Breettt! Breettt!
Begitu tiba dalam kancah pertempuran, sosok
berpakaian hijau langsung mengibaskan pedangnya ke
kiri dan ke kanan. Terdengar jeritan kematian yang
disusul dengan robohnya beberapa orang pengeroyok
dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja perbua-
tan sosok bayangan hijau membuat pertempuran tam-
pak kacau.
Cakar Setan dan Walung, yang semula menge-
royok Panji, segera saja melesat untuk mencegah sosok
bayangan hijau agar tak menjatuhkan lebih banyak
korban lagi. Keduanya langsung menghadapi sosok
bayangan hijau dengan serangan-serangan yang ga-
nas.
Namun, kepandaian sosok bayangan hijau ter-
nyata tidak bisa dipandang ringan. Dengan pedang
yang mengeluarkan sinar putih keperakan, sosok
bayangan hijau ternyata mampu melayani kedua la-
wannya dengan baik. Pertarungan terpecah menjadi
dua. Dan para pengikut pendeta berjubah merah men-
jadi bingung, tidak tahu harus membantu yang mana.
Panji sendiri merasa lega melihat kehadiran so-
sok bayangan hijau yang membantunya itu. Meskipun
ia tidak dapat melihat wajahnya, Pendekar Naga Putih
dapat mengetahui, siapa sosok bayangan hijau yang
membantunya itu.
“Hm..., kini tinggal kita berdua, Pendeta Palsu.
Jangan harap kau dapat lolos lagi dariku...!” geram
Panji seraya memutar pedangnya sedemikian rupa.
“Keparat...! Kau pikir Pendeta Jubah Merah takut
menghadapimu, hah!” desis pendeta berjubah merah
yang segera melompat mundur jauh ke belakang. Se-
kejap kemudian, di tangannya telah tergenggam seba-
tang tongkat hitam berkepala ular.
Whuukkk! Whuukkk!
Tongkat hitam berkepala ular itu langsung dipu-
tarnya di depan dada hingga menimbulkan angin men-
deru. Orang-orang yang bertempur di dekatnya pun
langsung menjauhkan diri. Karena, putaran tongkat
itu membuat daerah sekitarnya bagaikan terkena an-
gin ribut.
“Heeaaattt. .!”
Disertai putaran pedangnya yang mengaung ta-
jam, Panji segera melesat menerjang lawannya. Tam-
pak gulungan sinar kuning bergerak turun-naik den-
gan cepatnya bagaikan tubuh seekor naga yang tengah
mengamuk. Tentu saja serangan itu langsung disam-
but Pendeta Jubah Merah dengan sambaran tongkat-
nya. Sebentar saja pertempuran pun berlangsung den-
gan dahsyatnya.
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak memiliki Pe-
dang Naga Langit, pemuda itu belum tentu mampu
menghadapi Pendeta Jubah Merah lebih dari seratus
jurus. Tapi, dengan adanya pedang mukjizat itu, tentu
saja Pendeta Jubah Merah yang lebih banyak memiliki
ilmu gaib itu bagaikan mati kutu. karena, Pedang Naga
Langit dapat memusnahkan seluruh ilmu gaib yang
dimiliki pendeta tua itu. Dengan demikian, baik keke-
balan yang dimilikinya maupun ilmu sihirnya yang
tinggi, benar-benar tidak bisa digunakan untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
“Hiaaahhh...!”
Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin ber-
tambah sengit. Jurus demi jurus mereka lewati dengan
kekuatan yang tampak berimbang. Dan, ketika mema-
suki jurus ketujuh puluh, Pendeta Jubah Merah mem-
bentak nyaring disertai tenaga sihirnya. Tentu saja
pengaruh itu sangat luar biasa. Sampai-sampai sosok
bayangan hijau yang datang membantu Panji untuk
menghadapi keroyokan tadi terjajar limbung agak di
kejauhan sambil memegangi kepalanya yang terasa
hendak pecah. Panji tampak sangat cemas melihat
keadaan sosok bayangan hijau.
“Yeaaa...!”
Pendekar Naga Putih membentak nyaring sambil
memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Suara
mengaung yang laksana dengungan ratusan lebah me-
rah langsung melenyapkan kekuatan sihir yang digu-
nakan Pendeta Jubah Merah. Sehingga, Panji dapat
menarik napas lega melihat sosok bayangan hijau su-
dah bisa menghadapi lawan-lawannya lagi.
Namun, pada saat itu juga, ujung tongkat Pende-
ta Jubah Merah terlihat meluncur deras dari atas
mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih.
Whuuukkk!
Panji yang memang tidak pernah meninggalkan
kewaspadaannya segera bergerak ke samping, lalu
langsung melakukan serangan balas dengan tusukan
lurus ke jantung lawan.
Whuuttt..!
Pendeta tua itu ternyata sangat gesit Tusukan
ujung pedang yang menimbulkan sinar menyilaukan
itu dapat dihindarinya dengan lompatan panjang ke
samping. Kemudian, ujung tongkatnya ditudingkan ke
arah Panji. Dan....
Seerrr...! Seerrr...!
Seketika itu juga, meluncurlah jarum-jarum ha-
lus menebarkan bau wangi memabukkan.
“Licik...!” desis Panji begitu melihat ratusan ja-
rum halus mengancam sekujur tubuhnya.
Pendekar Naga Putih segera menambah kekuatan
putaran pedangnya. Dan, jarum-jarum halus itu pun
langsung terserap melekat di badan Pedang Naga Lan-
git Semua ini dilakukan Panji agar jarum-jarum itu ti-
dak melukai orang lain yang berada di sekitarnya. Ta-
pi, bukan keselamatan pengikut pendeta sesat itu ten-
tunya yang dikhawatirkan Panji. Karena, menurut du-
gaannya, para pengikut pendeta sesat sudah kebal
terhadap racun-racun mereka. Keselamatan bayangan
hijaulah yang dicemaskan oleh pendekar muda itu. Se-
telah gagal melakukan penyerangan dengan jarum-
jarum beracunnya, Pendeta Jubah Merah terlihat ber-
diri tegak dengan mulut berkomat-kamit. Sebentar
kemudian, terdengarlah suaranya yang bergetar dan
mengandung kekuatan gaib yang sangat mengerikan.
“Pendekar Naga Putih! Kau adalah seekor anjing
yang setia! Maka menyalaklah seperti seekor anjing ke-
laparan...!”
Suara menggetarkan yang mengandung kekuatan
sihir tingkat tinggi itu bergema, hingga mempengaruhi
semua orang yang berada di sekitar lingkungan kuil.
Panji sendiri sempat tergoyah kuda-kudanya be-
gitu mendengar suara Pendeta Jubah Merah. Ada se-
suatu kekuatan aneh yang memaksa kedua kakinya
untuk menekuk dan merangkak serta menyalak seperti
seekor anjing. Tapi, tidak percuma Pedang Naga Langit
berada di tangannya. Sebab, seketika itu juga, sinar
kuning keemasan yang semula berpendar di badan pedang langsung menebar dan menyelimuti sekujur tu-
buh Panji. Semua itu membuat Pendekar Naga Putih
kembali tersadar dari pengaruh jahat.
“Hhhh...,” benar-benar keji iblis itu...” desis Panji
saat melihat sosok bayangan hijau serta orang-orang
lainnya tengah merangkak sambil menyalak sekeras-
kerasnya. Jelas, semua orang itu telah terkena penga-
ruh sihir jahat Pendeta Jubah Merah.
Dalam kemarahannya, Panji segera menarik pe-
dangnya menyilang dengan kuda-kuda rendah. Pemu-
da itu siap melontarkan jurus terampuhnya, ‘Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi’.
“Yeaattt..!”
Seiring dengan suara Pendekar Naga Putih yang
menggetarkan, lenyaplah pengaruh sihir pendeta sesat
itu. Sedangkan tubuh Panji sendiri telah meluncur ke
arah lawannya.
Whuukkk! Whuukkk!
Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Pu-
tih berdesing mencicit dan mengaung-ngaung tajam.
Sebuah lingkaran pendaran sinar kekuningan yang
menyilaukan mata membuat Pendeta Jubah Merah
terkejut menyaksikannya. Kilatan-kilatan ujung pe-
dang yang sesekali muncul dari dalam lingkaran sinar
kekuningan itu membuatnya terdesak hebat Sibuklah
dia menahan serbuan pedang lawannya.
Panji sendiri tidak sekalipun menghentikan se-
rangannya kali ini. Pedang di tangannya yang seakan-
akan menimbulkan badai angin ribut benar-benar
membuat Pendeta Jubah Merah harus mengakui ke-
hebatan pendekar muda itu. Maka, setelah melewati
seratus lima puluh jurus, pendeta sesat itu pun tidak
mampu lagi untuk menyelamatkan dirinya dari kedah-
syatan ‘Ilmu Naga Sakti’ Panji.
“Yeaattt..!”.
“Aaahhh...!”
Pendeta Jubah Merah terpekik kaget ketika tahu-
tahu saja ujung pedang lawan telah muncul di depan
tubuhnya. Pendaran sinar keemasan yang menyilau-
kan mata itu membuat Pendeta Jubah Merah harus
bertekuk lutut di hadapan lawannya. Dan....
Craattt! Craattt!
“Aarrrkkhhh...!”
Pendeta Jubah Merah yang selama ini kebal ter-
hadap segala jenis senjata akibat kehebatan ilmu-ilmu
hitamnya ternyata tak mampu melindungi tubuhnya
dari ketajaman Pedang Naga Langit. Ketika ujung pe-
dang lawan merobek-robek tubuhnya, pendeta sesat
itu pun langsung meraung dahsyat Darah segar me-
nyembur keluar dari luka-lukanya. Sedangkan tubuh-
nya yang tengah limbung, langsung jatuh terjungkal
mencium tanah ketika Panji melontarkan sebuah ten-
dangan keras yang menyusuli sambaran Pedang Naga
Langit.
Deesss...!
“Huaakkhhh!”
Diiringi semburan darah segar yang memercik
mengotori tanah, tubuh kakek itu terbanting hingga
menjebol dinding kuno yang menjadi pagar kuil.
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendeta Jubah Merah
ambruk dengan sekujur tubuh dipenuhi darah segar.
Kepala botak kakek itu tampak retak akibat benturan
keras dengan dinding batu kuno tadi. Rupanya keke-
balannya benar-benar musnah terkena pedang mukji-
zat di tangan Panji. Pendeta Jubah Merah akhirnya te-
was di tangan Pendekar Naga Putih.
“Kenanga..., jangan...!”
Panji berseru ketika melihat sosok bayangan hijau hendak membunuh pemuda tegap yang telah tak
berdaya. Pemuda tegap itu sendiri tengah rebah mene-
lentang di atas tanah, seolah-olah menunggu ujung
pedang gadis berpakaian hijau itu menembus dadanya.
Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara ribut-
ribut agak jauh di luar kuil. Sebentar kemudian, tam-
paklah Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, Ki Bawung Sati
dan para penjaga keamanan desa datang memasuki
halaman kuil.
Panji sendiri telah mengangkat bangkit tubuh
Gutawa, pemuda tegap yang hendak dibunuh Kenan-
ga, sosok berpakaian hijau itu. Kemudian dibawanya
tubuh putra kepala desa itu menghadap Ki Sangaji.
Sedangkan Cakar Setan dan Walung sudah sejak tadi
menggeletak dengan tubuh bermandi darah. Keduanya
telah tewas di tangan Kenanga.
“Gutawa...!” seru Ki Sangaji yang merasa terkejut
melihat putranya berada di tempat itu. Wajah orang
tua itu berkerut saat melihat wajah Gutawa yang tam-
pak dipenuhi luka bekas pukulan.
“Lebih baik kita kembali ke desa. Rupanya Guta-
wa masih terkena pengaruh sihir. Mudah-mudahan
aku masih bisa mengobatinya...,” ujar Panji dengan
suara merendah.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sangaji langsung
memerintahkan orang-orangnya untuk segera me-
nangkap sisa pendeta yang tinggal sepuluh orang. Ke-
mudian rombongan, itu pun berangkat meninggalkan
kuil.
“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat
ini? Apakah kau sudah pamit kepada bibimu?” tanya
Panji saat keduanya berjalan di barisan paling bela-
kang.
“Aku bosan hidup dalam lingkungan Kadipaten,
Kakang. Lagi pula, Kakang terlalu lama pergi. Jadi,
aku putuskan untuk menyusul. Ketika tiba di tempat
Ki Ganda Buana, Pamanmu itu mengatakan bahwa
kau pergi menyelidik ke sebuah kuil di ujung desa ini.
Ya..., langsung saja aku menyusul..., jawab Kenanga
sambil tersenyum dengan sinar mata penuh kerin-
duan.
Panji tersenyum seraya merangkul kekasihnya. Ia
memang telah berjanji kepada Kenanga untuk kembali
menemui gadis itu, yang tinggal bersama bibinya, istri
seorang perwira kadipaten. Beberapa hari lalu Kenanga
memang diminta oleh bibinya, yang telah lama tidak
berjumpa dengannya, untuk tinggal sementara waktu
di kadipaten. Panji, yang tidak ingin mengganggu per-
temuan itu, pamit untuk mengunjungi pamannya di
Desa Pegatan dan berjanji akan kembali dalam waktu
dekat. Rupanya Kenanga tidak sabar, karena Panji ter-
lalu lama pergi. Gadis jelita itu nekat menyusul,
meskipun ia harus tiba di Desa Pegatan saat hari telah
lewat tengah malam. Kedatangan gadis jelita itu sendi-
ri, justru tepat pada saat Panji sangat memerlukan
bantuannya.
“Kakang sendiri kapan hendak melanjutkan pe-
tualangan...?” tanya Kenanga, memecah kesunyian di
antara mereka.
“Setelah Gutawa sembuh, kita langsung berpami-
tan dan melakukan petualangan bersama-sama seperti
biasa...,” jawab Panji seraya tersenyum, membuat wa-
jah gadis jelita itu terlihat lega.
Beberapa hari kemudian, Gutawa telah pulih ke-
sehatannya. Putra kepala desa itu menceritakan bah-
wa sebelum masuk menjadi pengikut, ia diperbolehkan
untuk menyaksikan upacara-upacara para pendeta
itu, yang antara lain mengorbankan wanita muda sebagai persembahan. Beberapa di antara wanita-wanita
muda itu ada pula yang dijadikan sebagai pelampiasan
nafsu binatang mereka, untuk kemudian dibunuh se-
telah mereka bosan.
“Apakah Sumi telah mereka bunuh juga...?” Ki
Sangaji langsung menanyakan warga desanya yang
pernah dibawa oleh putranya itu.
“Sumi... Sumi...,” bibir Gutawa menggerimit men-
gucapkan nama itu, “Ya..., ada samar-samar kuingat
nama itu. Sayang..., semua gadis itu telah dibunuh,
termasuk juga Sumi....”
Ki Sangaji dan orang-orang lainnya yang men-
dengar keterangan Gutawa hanya bisa menghela napas
berat. Tidak berapa lama kemudian, suasana pun hen-
ing. Semua orang yang berada di tempat itu seperti
sengaja membiarkan diri terbawa alam pikiran masing-
masing. Sementara itu, Pendekar Naga Putih dan Ke-
nanga tampak telah siap melanjutkan petualangan mereka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar