..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE SERIGALA SILUMAN

Serigala Siluman

 

SATU

Kotaraja Batu Jajar yang biasanya ramai, kini semakin ber-
tambah ramai. Ini terjadi sejak adanya pengumuman kalau Raja 
Agung Kandi Lajang membuka kesempatan bagi para tokoh 
persilatan dan murid-murid perguruan terkemuka untuk 
menjadi perwira kerajaan. Mereka berbondong-bondong men-
datangi kotaraja, karena kesempatan itu memang terbuka untuk 
umum. Jadi, tidak heran kalau hari itu kotaraja tampak semakin 
ramai. 
Tentu saja yang gembira pada saat-saat seperti itu adalah 
mereka-mereka yang membuka usaha penginapan atau kedai 
makan. Dengan dibukanya kesempatan untuk menjadi perwira 
kerajaan, berarti penginapan dan kedai makan sudah pasti akan 
memperoleh keuntungan besar dan jauh lebih banyak dari 
biasanya. 
“Silakan... silakan, Tuan-tuan...,” sambut seorang pelayan 
kedai makan sambil tak henti-hentinya mengumbar senyum. 
Pelayan itu berdiri dekat pintu masuk. Bibirnya terus 
memasang senyum yang menurutnya paling manis. Hal itu 
dilakukan untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Para 
pelanggan yang tidak mendapat tempat di bawah, bisa di-
tempatkan di tingkat atas. Dan rumah makan yang dinding-
dindingnya dari papan itu memang menyediakan tempat dua 
tingkat. 
“Wah! Rumah makanmu ramai sekali, Paman. Tentu kau 
akan untung besar hari ini,” kata seorang pemuda tampan 
bertubuh sedang yang tahu-tahu sudah muncul di ambang pintu 
kedai. 
Dia kemudian melenggang memasuki rumah makan itu. 
Wajahnya yang halus dan putih dihiasi senyum manis dengan


sepasang mata berbinar. Pada bahu kanannya tampak sebuah 
buntalan pakaian. Dari sini bisa ditebak kalau pemuda itu adalah 
seorang pendatang. 
“Yah! Beginilah, Tuan Muda. Untunglah keramaian seperti 
ini hanya terjadi setahun sekali. Kalau setiap hari, wah, bisa 
susah aku,” sahut pelayan bertubuh tinggi kurus itu sembari 
menyusut peluh dengan sehelai kain yang berbentuk seperti 
saputangan. Kelihatan sekali kalau ia sangat kelelahan. 
“Hei? Mengapa, Paman? Bukankah kalau ramai setiap hari 
kau akan cepat menjadi kaya?” tanya pemuda berwajah tampan 
itu agak heran mendengar penuturan pelayan itu. 
“Tentu saja, Tuan Muda. Kalau setiap hari ramai seperti ini, 
lalu kapan aku bisa beristirahat dan berkumpul dengan anak 
istriku? Nah, bukankah itu susah namanya?” jawab pelayan itu 
sambil terkekeh. Dipersilakannya pemuda tampan itu untuk 
naik ke tingkat atas, karena ruangan bawah sudah tidak bisa 
menampung pengunjung lagi. 
Pemuda tampan itu tersenyum mendengar gurauan si 
pelayan bertubuh tinggi kurus yang dikenal bernama Ki Diran. 
Ia lalu melangkah menuju tempat yang ditunjukkan Ki Diran. 
Langkahnya terlihat ringan menandakan kalau pemuda itu 
bukan orang lemah. Mungkin ia seorang tokoh persilatan yang 
datang ke kotaraja untuk mengikuti atau melihat-lihat 
pemilihan calon perwira kerajaan. Memang tidak sedikit di 
antaranya yang hanya datang untuk menonton. Mereka adalah 
orang yang merasa belum memiliki kepandaian cukup untuk 
mengikuti ujian itu. 
Tidak lama setelah pemuda tampan itu duduk, datang 
seorang pemuda lain. Tubuhnya lebih tinggi dan lebih tegap 
dari pemuda tampan itu. Dia mengenakan pakaian berwarna 
biru cerah. Segera dihampiri kursi yang masih kosong, tempat 
pemuda tampan tadi duduk menunggu pesanan. 
“Bolehkah aku duduk di meja ini, Kisanak?” tegur pemuda

berpakaian biru cerah itu ramah dan sopan 
“Oh, silakan,” sahut pemuda tampan itu. 
Setelah mempersilakan, diamatinya pemuda yang tengah 
menarik kursi itu, kemudian kembali menunduk menekuri 
meja. 
Pemuda berpakaian cerah itu segera memanggil pelayan 
anak buah Ki Diran. Pelayan datang menghampiri dengan 
langkah terbungkuk-bungkuk penuh hormat. Lalu, dipesannya 
beberapa makanan. Setelah pelayan itu pergi, pandangannya 
pun beralih pada pemuda tampan yang telah lebih dulu duduk 
di situ. Diam-diam dikaguminya juga wajah pemuda di 
hadapannya itu. Wajah yang halus dan tampan. Bahkan terlalu 
tampan untuk wajah seorang pria. Hidungnya yang mancung 
dan bulu mata yang lentik itu lebih tepat kalau untuk wanita. 
“Hei, mengapa kau memandangiku begitu rupa? Apakah kau 
tidak mempunyai pekerjaan lain?” ujar pemuda tampan itu 
setengah membentak. Mau tak mau beberapa orang 
pengunjung menolehkan kepala dengan kening berkerut tak 
senang. 
Pemuda berbaju biru cerah itu rupanya tak sadar kalau 
orang yang tengah dinilainya telah mengangkat kepalanya. 
Hingga perbuatannya tertangkap basah. 
“Eh, oh..., maaf. Aku..., aku sedang melamun. Sama sekali 
aku tidak memandangimu seperti yang kau sangka itu. Maaf 
kalau hal itu telah mengganggumu,” ucap pemuda berpakaian 
biru cerah itu tergagap. 
Untunglah dia dapat berpikir cepat dan mengajukan alasan 
yang masuk akal, sehingga tidak menjadi malu karenanya. 
Si pemuda tampan hanya mendengus mendengar jawaban 
itu. Dia memang tidak bisa berbuat apa-apa, karena pemuda 
berpakaian biru cerah itu terlihat seperti orang yang tengah 
termenung. Jadi tidak ada alasan untuk marah-marah. 
Kemudian kepalanya ditolehkan untuk melihat apakah

pesanannya sudah disiapkan. 
“Hmh! Mengapa lama sekali mereka menyiapkan pesanan-
ku?” keluh pemuda tampan itu, lirih. Dia memang tengah 
berbicara pada dirinya sendiri. 
“Sabarlah, Kisanak. Mungkin saat ini mereka tengah meng-
antarkannya. Maklumlah keadaan begini ramai. Jadi, jika 
terlambat sedikit, kita harus me-makluminya,” sahut pemuda 
berpakaian biru cerah yang rupanya mendengar keluhan teman 
semejanya itu. “Mmm... Kau pasti datang kemari karena ter-
tarik dengan ujian calon perwira itu, bukan? Bolehkah aku tahu 
namamu, Kisanak? Daripada kita duduk melamun, bukankah 
ada baiknya kalau saling memperkenalkan diri?” 
Pemuda tampan itu menatap kawan semejanya dalam-
dalam. Ketika tidak melihat adanya maksud-maksud tertentu di 
wajah orang itu, hatinya sedikit tenang. 
“Jadi laki-laki jangan terlalu cerewet! Kalau ingin ber-
kenalan, aku pun tidak keberatan. Tapi kalau hendak bertanya, 
jangan nyerocos seperti itu! Bagaimana aku bisa menjawabnya?” 
dengus pemuda tampan itu. Meskipun demikian, jelas kalau dia 
bukan seorang pemuda sombong. Hal itu terbukti dari sikapnya 
yang mau menerima perkenalan. 
Pemuda berpakaian biru cerah itu tersenyum senang. Ia 
sama sekali tidak tersinggung oleh kata-kata pemuda tampan 
yang terdengar agak ketus itu. Bahkan sebaliknya malah 
semakin tertarik. 
“Maafkan aku, Kisanak. Perkenalkan, namaku Balira. 
Seorang pemuda gunung yang datang ingin menonton 
keramaian di sini. Siapakah namamu, Kisanak?” tanya pemuda 
berpakaian biru cerah yang mengaku bernama Balira tanpa 
meninggalkan senyumnya. 
“Hm.... Namamu cukup gagah. Cocok dengan wajah dan 
penampilanmu,” puji pemuda tampan itu. 
Tanpa perasaan canggung, diamatinya wajah Balira dengan

sikap lucu. Dan memang, cara pemuda itu memperhatikan 
Balira, persis seperti seorang pembeli yang teliti. Hingga mau 
tidak mau, Balira jadi tersenyum lebar. 
“Namaku Lunjita. Kedatanganku kemari juga sama seperti-
mu,” lanjut pemuda tampan yang ternyata bernama Lunjita. 
Setelah saling memperkenalkan nama, kedua pemuda itu 
pun asyik bercerita sehingga sampai terlupa dengan pesanannya. 
Mereka baru teringat ketika seorang pelayan datang mem-
bawakan makanan yang dipesan tadi. Dan tanpa banyak cakap 
lagi, mereka bergegas menyantap makanan yang terhidang di 
atas meja. 
*** 
Balira dan Lunjita kini terlihat melangkah keluar dari rumah 
makan itu. Mereka melangkah bersisian menyusuri jalan yang 
masih terlihat ramai. 
“Kita harus mencari tempat bermalam,” kata Balira ketika 
keduanya melewati pasar yang sudah mulai sepi. Memang, saat 
itu hari sudah menjelang sore. 
“Ya. Kita harus cepat-cepat, Kakang Balira,” sahut Lunjita 
seraya menatap wajah pemuda yang usianya dua tahun lebih tua 
darinya. Setelah mereka saling menceritakan riwayat masing-
masing meskipun serba singkat, baru diketahui kalau Balira 
lebih tua daripada Lunjita. 
“Ayolah! Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai kalau sampai 
tidak mendapatkan tempat bermalam. Maklumlah saat ini 
kotaraja banyak didatangi orang dari segala penjuru. Dan sudah 
pasti penginapan-penginapan di sini akan diserbu mereka,” 
keluh Balira agak khawatir. 
Dua orang pemuda yang terlihat sudah akrab itu kemudian 
berkeliling mencari penginapan yang masih kosong. Namun 
setiap kali memasuki rumah penginapan, selalu saja ditolak.

Karena hampir semua penginapan sudah penuh. 
“Celaka! Sebentar lagi hari mulai gelap. Bisa-bisa kita tidur 
di emperan kedai seperti katamu tadi, Kakang,” keluh Lunjita. 
Pemuda itu benar-benar kesal, karena sampai kakinya lelah, 
belum juga mendapatkan tempat menginap. 
“Sabarlah, Adi Lunjita. Ayo kita coba di rumah penginapan 
itu. Siapa tahu nasib kita sedang baik,” ajak Balira menghibur 
hati kawannya yang jelas-jelas mulai kesal. 
Sambil berkata demikian, disambarnya tangan Lunjita. 
Kemudian diseretnya tubuh pemuda itu ke rumah penginapan 
yang dimaksud. 
“Iiih! Apa-apaan sih, kau ini! Mengapa pakai pegang-pegang 
tangan seperti ini! Kau pikir aku pacarmu, ya?!” bentak Lunjita 
sambil menyentakkan tangannya dengan gerakan kasar. 
Wajah pemuda tampan itu nampak merah. Bahkan sepasang 
matanya mengeluarkan sinar berkilat, seperti tidak suka. 
“Eh?!” 
Balira tersentak kaget dan menolehkan kepalanya dengan 
wajah ketololan. Wajah kawannya itu dipandangi dengan 
kening berkerut. Pemuda itu semakin terkejut melihat sinar 
kemarahan yang terpancar dari sepasang mata Lunjita. Dia 
benar-benar heran dan tak mengerti, mengapa kawannya 
sampai sedemikian marahnya. Padahal, hanya karena tangannya 
dipegang! Benar-benar aneh pemuda yang satu ini! 
Balira yang sepertinya sudah mulai dapat meraba sikap 
sahabat barunya itu, tersenyum kecut. 
“Maafkan aku, Adi Lunjita. Mengapa baru begitu saja, kau 
harus marah-marah dan seperti hendak menelanku hidup-
hidup? Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Dan lagi, apa 
sih anehnya? Kita kan sama-sama laki-laki. Tidak ada salahnya, 
bukan?” tanya pemuda gagah itu dengan suara halus. Meskipun 
dalam nada suaranya jelas terkandung rasa keheranan yang amat 
besar, tapi berusaha disembunyikannya.

“Bagimu memang tidak apa-apa! Tapi aku sama sekali tidak 
suka! Sekali lagi kau berbuat seperti itu, terpaksa kau akan ku-
tinggalkan dan aku akan mencari penginapan lain!” sahut 
Lunjita. 
Suara pemuda itu benar-benar ketus, disertai kemarahan 
yang masih tersisa. Setelah berkata demikian, kakinya bergegas 
melangkah menuju rumah penginapan yang hanya beberapa 
langkah di depan mereka. 
Mendengar ucapan sahabatnya yang baginya terdengar aneh 
itu, Balira hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala dan 
tersenyum sabar. Benar-benar seorang pemuda aneh dan galak! 
Kemudian Balira melangkahkan kakinya menyusul Lunjita yang 
sudah lebih dulu memasuki rumah penginapan. 
*** 
Balira mempercepat langkahnya ketika mendengar suara-
suara bentakan orang yang bertengkar mulut. Dan pemuda 
gagah bertubuh tegap itu menjadi terkejut ketika melihat 
Lunjita tengah mencekal leher baju seorang yang berpakaian 
pelayan. Tangan kanannya sudah terangkat siap meninju wajah 
pelayan setengah baya yang menjadi gemetar dan pucat. 
“Tahan, Adi Lunjita!” cegah Balira sambil berlari mendekati 
mereka. 
Tangan kanan pemuda tegap itu sudah siap hendak 
menangkap lengan Lunjita. Namun begitu teringat akan 
peristiwa yang dialami ketika memegang tangan sahabatnya, 
tangannya segera ditarik kembali. Akhirnya Balira hanya berdiri 
di samping Lunjita dan membujuknya untuk bersabar. 
“Huh! Siapa yang tidak menjadi marah?! Sudah lelah kakiku 
mengelilingi kotaraja ini untuk mencari penginapan yang masih 
kosong. Eh, pemilik rumah penginapan butut ini seenak perut-
nya saja memasang harga. Masih untung aku tidak langsung

memukul dan melemparkan tubuh gendutnya keluar!” Lunjita 
bersungut-sungut dan menyumpah-nyumpah lelaki gendut 
pemilik rumah makan itu. 
Si pemilik rumah makan menarik napas lega setelah leher 
bajunya dilepaskan Lunjita. Lelaki setengah baya itu 
memandang Balira, dengan sinar mata penuh ucapan terima 
kasih. 
“Maafkan kelakuan sahabatku itu, Paman. Kami memang 
sangat membutuhkan tempat menginap. Dan seperti yang 
dikatakan sahabatku tadi, kami sudah berkeliling sampai lelah 
namun belum juga mendapatkannya. Jadi wajarlah kalau ia 
marah-marah mendengar harga sewa yang menurut kami sangat 
mahal itu. Tolonglah, Paman. Kami benar-benar sangat 
membutuhkan tempat beristirahat,” pinta Balira, sopan dan 
ramah. Sehingga si pemilik kedai merasa suka dengan pemuda 
gagah yang ramah itu. 
“Jangan lupa! Satu kamar dengan dua tempat tidur!” timpal 
Lunjita bernada agak mengancam, sambil bertolak pinggang. 
Matanya menatap tajam si pemilik rumah penginapan yang 
wajahnya sudah menjadi pucat kembali. 
“Tapi... Tapi..., Tuan Muda... Kami...” 
“Turuti saja kata-kataku atau rumah penginapan ini akan 
kuratakan dengan tanah!” ancam Lunjita memotong ucapan 
lelaki setengah baya yang menjadi gemetar ketakutan. 
“Baik... Baik, Tuan Muda...,” kata pemilik rumah 
penginapan itu mengangguk-angguk seperti burung pelatuk. 
Setelah berkata demikian, diajaknya kedua orang tamunya 
itu ke dalam. Balira dan Lunjita bergegas mengikuti. 
“Tidak semestinya kau menakut-nakuti orang tua itu, 
Lunjita. Setidaknya, jangan mencari keributan di kotaraja ini. 
Bisa-bisa kita akan mendapat kesulitan nanti,” Balira kembali 
menasihati sahabatnya ketika mereka melangkah di belakang si 
pemilik penginapan.

Pemuda bertubuh tegap itu merendahkan suaranya agar 
tidak terdengar orang lain. Karena saat itu mereka tengah 
melewati lorong yang di kiri-kanannya merupakan kamar 
tempat tamu menginap. 
“Huh! Orang serakah seperti dia itu, harus diberi pelajaran 
sekali-kali. Enak saja memasang harga sewa semaunya. Apa 
dikiranya kita anak hartawan yang hendak pelesir?” Lunjita yang 
masih belum merasa puas itu mengomel menyatakan 
kedongkolan hatinya. 
“Hhh..., sudahlah. Yang penting kita harus berhati-hati dan 
jangan memancing keributan. Karena pada waktu-waktu 
seperti ini, di kotaraja berkumpul tokoh persilatan dari ber-
bagai aliran. Dan aku yakin, kepandaian mereka pasti sangat 
tinggi. Belum lagi tokoh-tokoh kerajaan yang kabarnya banyak 
memiliki tokoh sakti yang berkepandaian hebat. Dan kalau kita 
membuat keributan di kotaraja ini, bukankah sama artinya 
mengusik harimau sedang tidur?” bisik Balira lagi menasihati 
sahabatnya. 
“Kau takut dengan tokoh persilatan yang saat ini berkumpul 
di kotaraja? Dan kau juga takut mendengar kesaktian tokoh-
tokoh istana? Kalau begitu, mengapa datang ke kotaraja ini, 
Kakang?” tanya Lunjita. 
Pemuda tampan itu menatap wajah sahabatnya yang diam-
diam sangat dikaguminya karena memiliki sikap tenang dan 
penuh kesabaran. Tentu saja pandangan yang penuh selidik itu 
membuat Balira mau tak mau menolehkan kepalanya dan 
tersenyum sabar. 
“Hm.... Kau salah, Adi. Kata-kataku itu sama sekali tidak 
berarti aku takut Tapi sikap hati-hati dan menjaga kelakuan 
adalah lebih bijaksana. Dan hal itulah yang selalu kulakukan 
setiap kali berkunjung ke suatu tempat,” sahut Balira 
mengemukakan alasannya. 
“Hah! Ucapanmu seperti seorang kakek-kakek saja, Kakang.

Mendengar kata-katamu, rasanya seperti tengah berjalan 
bersama guruku,” ujar Lunjita seraya tersenyum menggoda. 
“Silakan... silakan, Tuan-tuan Muda,” pemilik penginapan 
segera mempersilakan kedua orang tamunya untuk memasuki 
kamar yang disediakan. Setelah itu, dia pamit untuk kembali ke 
ruang depan. 
“Terima kasih, Paman,” Balira mengangguk ramah kepada 
pemilik penginapan itu. Lalu keduanya bergegas memasuki 
kamar untuk beristirahat 
*** 
“Auuungngng...!” 
Lolongan serigala terdengar melengking memecah 
keheningan malam. Lolongan itu benar-benar mendirikan bulu 
roma. Apalagi ditambah angin dingin yang berhembus 
menggigit kulit, menyambut lolongan yang memilukan itu. 
Balira yang tengah tidur telentang, tersentak bangkit. 
Nalurinya sebagai seorang tokoh persilatan menangkap suatu 
keganjilan dari lolongan serigala itu. Pemuda gagah itu duduk 
bersila, lalu me-mejamkan matanya rapat-rapat. Sepertinya, dia 
ingin menangkap lebih jelas lagi, dari mana asal suara itu. 
“Aneh! Padahal wilayah Kotaraja Batu Jajar cukup jauh dari 
hutan? Mengapa lolongan serigala itu sampai terdengar 
kemari?” desah Lunjita. 
Ternyata pemuda tampan itu juga sudah bangkit duduk di 
atas pembaringannya. Dan dia rupanya merasa terganggu oleh 
lolongan yang melengking itu. Kepalanya ditolehkan ke arah 
Balira yang bersemadi dalam keremangan kamar penginapan. 
“Kakang, apakah kau juga mendengar lolongan itu?” bisik 
Lunjita yang tidak bisa menahan rasa herannya. Pemuda tampan 
berwatak aneh itu sepertinya juga menangkap sesuatu yang 
ganjil.

“Ya. Aku juga mendengarnya, Adi,” sahut Balira juga 
dengan suara berbisik. 
Pemuda gagah itu membuka mata, kemudian menolehkan 
kepalanya ke arah sahabatnya yang saat itu juga tengah 
menatapnya. 
Belum lagi mereka sempat mengutarakan perasaan masing-
masing atas keganjilan itu, tiba-tiba terdengar suara ribut yang 
membuat keduanya mencelat bangkit dari atas pembaringan. 
Bagaikan telah bersepakat, mereka segera melesat melalui 
jendela kamar penginapan. 
Begitu tiba di luar, mereka langsung melompat naik ke atas 
atap penginapan. Begitu ringannya mereka melompat, sehingga 
tidak terdengar suara sedikit pun. Jelas, ilmu meringankan 
tubuh mereka telah mencapai taraf tinggi. Mereka kemudian 
berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat 
itu. Dan mereka memang yakin kalau suara ribut tadi berasal 
dari sekitar penginapan itu. Dan bukan tidak mungkin kalau 
suara itu berasal dari salah satu, atau beberapa kamar di 
penginapan ini. 
“Hei, tunggu...!” teriak Lunjita. 
Sepasang mata Lunjita sempat melihat empat sosok 
bayangan berkelebat menuju perbatasan kotaraja. Maka 
pemuda itu bergegas mengejarnya. Pemuda tampan itu juga 
sudah menghunus pedang yang memang sengaja dibawa ketika 
keluar dari kamar penginapan. 
Balira pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung 
melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar 
keempat sosok bayangan hitam itu. Pemuda gagah itu sempat 
terkejut ketika mendapat kenyataan kalau keempat sosok 
bayangan hitam itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh 
yang cukup tinggi. Sehingga ia dan sahabatnya harus mengerah-
kan seluruh tenaga agar bisa mengejar. 
Setelah cukup lama mengejar, Balira dan Lunjita mampu

memperpendek jarak dengan empat bayangan itu. Begitu 
melewati tembok kotaraja sebelah Timur, mereka melambung 
tinggi, lalu melakukan beberapa kali salto di udara melewati 
atas kepala keempat sosok bayangan hitam itu. Kemudian kaki 
mereka mendarat ringan, menghadang jalan orang-orang yang 
dicurigai itu. 
“Siapa kalian?! Dan mengapa kalian melarikan diri seperti 
pencuri?!” bentak Lunjita dengan sepasang mata mengancam. 
Tangan kiri pemuda itu bertolak pinggang. Sedangkan 
tangan kanannya yang memegang pedang yang ditudingkan ke 
muka empat sosok berpakaian serba hitam. Kening pemuda 
tampan itu berkerut ketika melihat wajah keempat orang yang 
tertutup kain hitam. Sehingga yang tampak hanya matanya saja. 
Tentu saja hal itu membuat kecurigaan Lunjita semakin kuat. 
Keempat orang berpakaian serba hitam itu saling ber-
pandangan satu sama lain, seperti tengah berembuk. Sesaat 
kemudian, salah seorang dari mereka tampak menganggukkan 
kepalanya. 
Cring! Cring...! 
Tanpa banyak bicara lagi, keempat orang berpakaian serba 
hitam yang juga mengenakan kerudung hitam itu mencabut 
senjata. 
“Yeaaat..!” 
Sambil berteriak nyaring, salah seorang yang berada paling 
depan langsung melompat dan menyabetkan pedang meng-
ancam Lunjita. Dan memang, pemuda tampan itulah yang 
paling dekat dengan sasaran. 
Wuuut! 
Sambaran angin pedang menderu tajam menandakan kalau 
itu digerakkan oleh tenaga dalam tingkat tinggi. Namun Lujinta 
sama sekali tidak merasa gentar. Dengan gerakan yang hampir 
tidak terlihat mata, pedang yang tergenggam di tangan pemuda 
itu diangkat untuk memapak senjata lawan.

Trangngng! 
Bunga api seketika memercik menerangi sekitarnya akibat 
benturan dua batang senjata yang dikerahkan lewat tenaga 
dalam tinggi. Sosok berpakaian serba hitam itu terpekik kaget 
ketika merasakan tangannya seperti kesemutan akibat benturan 
itu. Tubuhnya terjajar mundur sejauh empat langkah. 
“Keparat!” maki Lunjita yang juga terjajar mundur sejauh 
dua langkah. 
Pemuda tampan itu terkejut juga ketika merasa-kan 
tangannya bergetar. Mendapat kenyataan kalau tenaganya hanya 
menang sedikit dari orang itu, Lunjita menjadi marah! Cepat-
cepat pedangnya diputar hingga membentuk gulungan sinar 
putih yang bergerak cepat turun naik. 
Belum lagi Lunjita sempat menerjang lawannya, sosok 
berpakaian hitam lainnya lagi sudah menusukkan pedang ke 
lambung pemuda itu. Bergegas tubuhnya dimiringkan sambil 
menggeser kaki kanan ke samping. Langsung dilancarkannya 
serangan balasan. 
Terjadilah pertarungan seru antara Lunjita yang dikeroyok 
dua orang berseragam hitam itu. Terpaksa seluruh ke-
pandaiannya harus dikerahkan untuk menghadapi kedua orang 
lawannya. Pemuda tampan yang berwatak keras itu meng-
andalkan kelebihannya dalam hal kecepatan. Tubuhnya ber-
kelebatan cepat disertai sambaran pedang yang membuat kedua 
lawan harus menguras tenaga menghadapinya. 
Balira yang juga berhadapan dengan dua orang berseragam 
hitam lainnya, sudah mengeluarkan senjata dalam menghadapi 
keroyokan itu. Tiga batang tongkat pendek yang digabungkan 
sehingga berbentuk ruyung itu menyambar-nyambar mem-
bendung serangan lawan-lawannya. Gerakannya yang mantap 
dan mengandung kekuatan hebat, ternyata mampu membuat 
kedua orang pengeroyok itu sibuk dan tidak berani bertindak 
ceroboh. Maka meskipun pertarungan sudah melewati dua

puluh jurus, kedua orang lawan masih juga belum mampu 
mendesaknya. 
“Heaaat..!” 
Wuuuk! Wuuuk! 
Sambil membentak keras, ruyung di tangan Balira meluncur 
cepat menyambar salah seorang lawan. Orang itu menarik 
mundur kaki depannya, lalu mendoyongkan tubuhnya ke 
belakang. Namun jurus-jurus serangan yang dilancarkan 
pemuda gagah itu ternyata memiliki perubahan-perubahan yang 
tak terduga. Dan tahu-tahu saja, ruyung di tangan pemuda itu 
berputar dan menyambar kaki lawannya. 
“Akh...!” 
Bukan main terperanjatnya orang itu. Cepat-cepat tubuhnya 
dilempar ke belakang untuk menyelamatkan kakinya dari 
hantaman ruyung lawan. Orang itu bersalto sebanyak tiga kali 
sebelum mendarat di atas tanah. 
Sedangkan saat itu, Balira yang sudah menarik pulang 
senjatanya bergegas menggulingkan tubuhnya ke samping. 
Karena pada saat yang hampir bersamaan, pedang lawan yang 
lain sudah meluncur ke arah dada. Sambil bergulingan, pemuda 
gagah itu melancarkan serangan balasan dengan lontaran ujung 
ruyungnya, menotok dada kiri lawan. 
Bugkh! 
“Aaakh...!” 
Orang itu menjerit kesakitan ketika dada kirinya terhantam 
ujung ruyung lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya 
terjengkang ke belakang dan roboh dalam keadaan tertotok 
kaku. 
Balira yang semula hendak mengejar, terpaksa menunda 
gerakannya. Karena saat itu, teriakan sahabatnya terdengar. 
Pemuda tinggi tegap itu terkejut ketika melihat tubuh 
sahabatnya terlempar ke belakang dengan derasnya. 
“Adi Lunjita...!”

Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Balira segera 
melesat ke arah tubuh sahabatnya yang terkapar tak bergerak. 
Bukan main cemasnya hati pemuda itu melihat keadaan 
sahabatnya. Maka terpaksa ketika orang-orang berpakaian serba 
hitam melarikan diri, dia tidak berusaha dikejar. Mereka kabur 
sambil memondong salah seorang yang tertotok lumpuh oleh 
Balira. 
“Adi Lunjita...!” seru Balira sambil berjongkok dan 
memeriksa tubuh sahabatnya. 
Pemuda gagah itu menarik napas lega ketika mendapati 
sahabatnya masih bernapas. Rupanya Lunjita langsung pingsan 
begitu terkena tendangan salah seorang lawan yang sangat 
keras. Pada bagian atas dadanya pun terlihat luka yang agak 
panjang. Sepertinya pemuda tampan itu juga telah terkena 
sambaran pedang. 
Karena cuaca di tempat itu agak gelap, dan Balira juga tidak 
bisa melihat jelas luka sahabatnya, maka tubuh sahabatnya 
segera diangkat. Tubuh Lunjita kemudian dibawa ke tempat 
yang agak terang. Pemuda berwajah gagah itu kembali 
melompati tembok dan memasuki kotaraja. Direbahkannya 
tubuh Lunjita di bawah sebatang obor yang tertancap di 
dinding. 
Balira meloloskan sabuk yang melilit pinggang sahabatnya. 
Lalu, dibersihkannya darah yang terdapat di sekitar luka 
bacokan pedang pada tubuh Lunjita. Untunglah luka itu tidak 
terlalu dalam, sehingga Lunjita tidak sampai tewas karenanya. 
Pemuda gagah itu menyingkap baju bagian atas sahabatnya 
untuk membersihkan luka. Namun matanya menjadi terbelalak 
ketika melihat buah dada ranum milik seorang gadis remaja 
yang menyembul dari balik pakaian sahabatnya itu. Sungguh 
tidak disangka kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis! 
Balira langsung terpaku bagai patung! Cepat-cepat ditutupnya 
kembali pakaian sahabatnya, ketika dia tersadar dari rasa

kagetnya. 
“Ahhh.... Pantas saja sikapnya demikian aneh! Rupanya ia 
adalah seorang wanita! Aku baru mengerti sekarang, mengapa 
Lunjita begitu marah ketika tangannya kupegang sewaktu 
hendak memasuki tempat penginapan.” gumam Balira sambil 
beranjak bangkit dari duduknya, lalu berdiri mematung 
memandangi cakrawala yang pekat. 
Setelah merenung dan menimbang-nimbang sebentar, 
akhirnya Balira memutuskan untuk segera kembali ke 
penginapan. Dipondongnya tubuh sahabatnya yang ternyata 
seorang gadis dengan tangan yang agak gemetar. Meskipun 
usianya lebih dari dua puluh satu tahun, namun baru kali inilah 
Balira berdekatan, bahkan sampai membopong tubuh seorang 
gadis. Tentu saja hal itu menimbulkan perasaan lain, sehingga 
membuat tubuhnya panas dingin. Apalagi ketika merasakan 
betapa lembut dan hangatnya tubuh gadis yang berada dalam 
pondongannya itu. Semakin kacaulah pikiran Balira. 
“Hhh....” 
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu menghembuskan 
napas kuat-kuat sambil menggelengkan kepala mengusir 
bayangan yang mengganggu. Sambil menekan debaran dalam 
dada, tubuh Balira segera berkelebat untuk kembali ke 
penginapan. 
*** 
“Hei? Apa yang telah tejadi di tempat itu?” gumam Balira 
ketika melihat rumah penginapan tempatnya bermalam tampak 
terang benderang oleh puluhan batang obor. Karena merasa 
curiga, maka tubuh Lunjita disembunyikannya di tempat yang 
agak gelap dan tersamar. Kemudian, Balira bergegas meng-
hampiri rumah penginapan itu untuk mencari tahu, apa yang 
terjadi di sini sehingga rumah penginapan itu dipenuhi orang.

“Semua tamu yang menginap di tempat ini, harap kembali 
ke kamar masing-masing! Tidak ada seorang pun yang boleh 
meninggalkan tempat ini sebelum diperiksa terlebih dahulu!” 
teriak seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun. Laki-
laki yang mengenakan pakaian perwira itu lalu memerintahkan 
agar para bawahannya menyebar dan menjaga di sekitar rumah 
penginapan itu. 
Balira yang mendengar ucapan perwira itu menjadi terkejut. 
Didekatinya salah seorang yang berada di tempat itu. 
“Apakah yang terjadi di tempat ini, Kisanak? Mengapa 
banyak sekali prajurit kerajaan yang berjaga-jaga?” tanya 
pemuda gagah itu dengan suara rendah. 
“Hm.... Aku pun tidak mengetahuinya secara jelas. Apalagi 
tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk. Tapi, aku 
sempat mendengar dari seorang prajurit kalau di dalam rumah 
penginapan ini telah terjadi pembunuhan. Delapan orang tokoh 
persilatan yang menginap di tempat ini, kedapatan tewas 
dengan kepala terpisah dari badan,” jelas lelaki setengah baya 
itu. Wajahnya tampak membayangkan perasaan ngeri. 
“Hei? Siapa yang telah berbuat sedemikian kejam itu, 
Kisanak? Dan apakah pembunuhnya telah diketahui?” 
Meskipun Balira sudah mulai dapat menduga orang yang 
telah melakukan pembunuhan biadab itu, namun berpura-pura 
tidak mengetahuinya. 
“Entahlah! Tidak ada seorang pun yang melihatnya,” jawab 
orang itu lagi sambil menggelengkan kepala. 
Pemuda gagah berusia dua puluh dua tahun yang telah 
memiliki banyak pengalaman itu, segera memutar otaknya. Dia 
sadar kalau kembali ke kamar dan mengambil buntalan 
pakaiannya, adalah perbuatan bodoh. Jelas hal itu bisa jadi akan 
menambah kesulitan dan kemungkinan akan dicurigai sebagai 
pembunuh kedelapan orang tokoh persilatan itu. Dan tentu saja 
hal ini sama sekali tidak diinginkannya.

Mendapat pikiran demikian, Balira segera mengurungkan 
niatnya untuk kembali ke penginapan. Terpaksa buntalan 
pakaian miliknya dan milik sahabatnya harus ditinggalkan di 
tempat itu. Lalu, Balira segera kembali ke tempat tubuh 
sahabatnya disembunyikan. 
“Maaf, Sahabatku. Aku terpaksa harus membawamu pergi 
meninggalkan kotaraja ini,” gumam Balira sambil mengangkat 
tubuh sahabatnya ke atas pundak. 
Setelah mengetahui kalau Lunjita ternyata adalah seorang 
gadis, pemuda gagah itu menjadi canggung untuk menyebut 
nama sahabatnya itu. Makanya, ia hanya menyebut dengan 
panggilan sahabat saja. Dan memang Balira tidak tahu nama 
sebenarnya dari gadis yang mengaku bernama Lunjita itu. 
Sambil memondong tubuh sahabatnya, Balira melesat 
meninggalkan tempat itu. Ia terus berlari mempergunakan ilmu 
meringankan tubuh, meninggalkan kotaraja. Pemuda gagah itu 
berlari melewati tempat dia tadi mengejar empat orang 
berseragam hitam yang menurutnya adalah pembunuh delapan 
orang tokoh persilatan di rumah penginapan tempatnya 
bermalam. Memang, untuk keluar melalui pintu gerbang, 
sudah tidak mungkin. Balira memang tidak ingin mendapat 
pertanyaan macam-macam dari penjaga pintu gerbang. Itulah 
sebabnya, mengapa ia mengambil jalan yang bukan semestinya. 
*** 
Saat itu sinar kemerahan sudah mulai muncul di kaki langit 
sebelah Timur. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan 
menyambut sang pagi yang mulai menjelang. 
Balira terus berlari menjauhi kotaraja. Tidak lama kemudian 
pemuda itu memperlambat langkahnya ketika di hadapannya 
terlihat sebuah anak sungai. Bergegas diseberanginya sungai 
yang tidak terlalu lebar itu. Kedua kakinya berkali-kali

menotok batu-batu yang menonjol ke permukaan. Begitu 
sampai di seberang sungai, diturunkan tubuh sahabatnya. 
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu terkejut ketika 
melihat luka sahabatnya tampak mulai membengkak. Sejenak ia 
berdiri karena tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi Balira sama 
sekali buta tentang ilmu pengobatan. Akhirnya, diputuskan 
untuk menyadarkan sahabatnya saja. Siapa tahu sahabatnya itu 
mengetahui tentang ilmu pengobatan. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Balira segera me-
mencet jalan darah yang terletak di antara hidung dan mulut. 
Tak berapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari mulut 
Lunjita. 
“Ohhh...!” Lunjita mengerang sambil memegang bahu 
kanannya yang terasa sakit ketika hendak bangkit. Akibatnya, 
kepalanya kembali terkulai di atas tanah berumput. 
“Jangan bergerak dulu, Adi... Lunjita,” cegah Balira yang 
menjadi canggung untuk menyebut nama sahabatnya itu setelah 
mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik baju Lunjita. 
Namun Balira berusaha untuk bersikap wajar agar tidak 
menimbulkan kecurigaan. 
“Di mana kita, Kakang?” tanya Lunjita ketika pandangan 
matanya sudah tidak kabur lagi. Sambil bertanya demikian, 
pandangannya beredar ke sekitar tempat itu dengan kening 
berkerut. 
“Nantilah kalau kau sudah sehat, baru aku akan men-
ceritakannya,” sahut Balira lembut. 
Nada suara pemuda itu terdengar agak bergetar. Memang, 
sejak mengetahui bahwa sahabatnya itu adalah seorang gadis, 
ada suatu perasaan aneh yang dialaminya. Dalam pandangannya, 
Lunjita bukan lagi seorang pemuda tampan yang berwatak 
aneh, melainkan seorang gadis yang menimbulkan getaran aneh 
dalam dirinya. Pemuda yang telah lama terjun ke dunia ramai 
itu pun sadar sepenuhnya kalau dirinya sudah jatuh cinta kepada

'pemuda' sahabatnya itu. Namun hal itu berusaha disembunyi-
kan. Kelak apabila sahabatnya itu telah membuka rahasia 
tentang dirinya, barulah isi hatinya berani diutarakan. 
***
DUA

Sinar matahari pagi mulai menebar ke seluruh permukaan 
mayapada. Angin pagi bertiup silir-silir membawa kesegaran. 
Tampak Balira masih duduk menunggui Lunjita yang terlihat 
masih terbaring lemah. Pemuda itu duduk bersandar pada 
sebatang pohon yang ada tidak jauh dari pinggir sungai. 
“Uhhh.... Aku haus sekali, Kakang,” rintih Lunjita dengan 
suara bergetar lemah. Bibirnya tampak pucat dan tubuhnya 
menggigil bagaikan orang yang terserang demam. 
Mendengar keluhan sahabatnya, Balira membuka mata yang 
semula terpejam. Dia memang tengah melakukan semadi untuk 
memulihkan tubuhnya. Begitu matanya terbuka, wajahnya 
terlihat khawatir. Terutama ketika melihat keadaan Lunjita 
yang sepertinya semakin memburuk. Bergegas diraba kening 
sahabatnya dengan hati cemas. Ia menjadi terkejut ketika 
merasakan tubuh sahabatnya panas. 
“Sebentar, Adi Lunjita. Aku akan mencarikan air untukmu,” 
sahut pemuda itu. 
Balira bergegas bangkit menuju sungai yang tidak jauh dari 
tempat mereka. Dipetiknya selembar daun yang akan diguna-
kan untuk menampung air sungai yang jernih itu. Sambil 
menyendok air sungai, otaknya berputar memikirkan keadaan 
sahabatnya yang diduga telah terserang demam. Mungkinkah 
senjata yang digunakan empat orang berseragam hitam itu 
mengandung racun? Kalau tidak, mengapa sahabatnya terserang 
demam? Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena luka yang 
tidak terlalu parah, Lunjita sampai terserang demam. Pasti 
senjata orang-orang itu mengandung racun meskipun bukan 
jenis yang mematikan. 
Balira tersentak dari lamunannya ketika lapat-lapat men

dengar suara erangan Lunjita. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, pemuda itu segera melesat meninggalkan sungai 
“Jahanam! Apa yang telah kalian lakukan?! Lepaskan dia!” 
bentak Balira. 
Pemuda itu menjadi terkejut ketika melihat sahabatnya 
terguling akibat tendangan yang cukup keras dari seorang laki-
laki kurus bertampang licik. Dengan penuh kemarahan, ia 
langsung melompat menerjang orang itu. 
Wuuut! 
Balira semakin geram ketika tendangannya berhasil 
dielakkan orang itu. Tubuhnya berputar cepat, diiringi sabetan 
kaki mengancam kuda-kuda lawan untuk menjatuhkannya. 
Pemuda berwajah gagah itu ternyata memiliki perhitungan 
cermat. Karena begitu tubuh lawan melompat menghindari 
sambaran kakinya, tangan kanannya meluncur melakukan 
dorongan ke dada lawan. 
Desss! 
“Hugkh...! 
Tubuh orang bertubuh kurus itu langsung terjengkang 
akibat hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam 
penuh. Balira sempat terkejut ketika orang itu ternyata masih 
dapat melakukan salto beberapa kali hingga tubuhnya tidak 
sampai terbanting di tanah. Namun demikian, tak luput dari 
sudut bibir lawan tampak darah segar menetes dan membasahi 
pakaian. 
Sebelum pemuda itu tersadar dari kekagumannya, saat itu 
sebuah serangan sisi telapak tangan telah menghantam 
tubuhnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Balira terlempar 
sejauh dua tombak. Namun dia cepat melenting berdiri sambil 
meringis menahan rasa nyeri di punggung yang terkena pukulan 
telak itu. 
“Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan dari kami?!” tanya 
Balira.

Dia menjadi tegang melihat belasan orang laki-laki berwajah 
angker telah mengepung tempat itu. Kekhawatiran semakin 
nampak di wajahnya, mengingat keadaan sahabatnya yang 
tengah menderita sakit itu. Dengan sorot mata tajam, Balira 
berdiri tegak di samping Lunjita. Kelihatannya, pemuda itu siap 
melindungi sahabatnya dari ancaman belasan orang yang sama 
sekali tidak dikenalnya itu. 
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak! Apakah 
kalian pikir setelah melakukan pembunuhan terhadap delapan 
orang tokoh persilatan di penginapan itu kalian akan dapat 
lolos?! Hmh! Jangan mimpi, Kisanak! Lebih baik kau dan 
kawanmu itu menyerah untuk kemudian kuserahkan kepada 
prajurit kerajaan!” ujar orang berwajah brewok dan memiliki 
codet di pipi kirinya, sambil meraba gagang pedang yang 
menyembul di pinggang dengan sikap mengancam. 
“Bangsat! Jaga mulutmu, Kisanak! Apa maksudmu 
melemparkan tuduhan keji kepada kami? Kami sama sekali 
tidak melakukan apa-apa!” sahut Balira. 
Pemuda gagah itu benar-benar menjadi terkejut mendengar 
tuduhan orang berwajah brewok. Wajahnya yang dilanda 
ketegangan langsung berubah pucat. Otaknya berputar mencari 
jawaban, apa yang menyebabkan orang itu menuduhnya telah 
melakukan pembunuhan keji terhadap delapan tokoh per-
silatan. 
“Ooohhh...” 
Tiba-tiba terdengar erangan lirih yang keluar dari bibir 
pucat milik Lunjita. Wajah tampan itu tampak semakin pucat 
dengan butir-butir keringat yang mengalir deras. Tubuh gadis 
yang menyamar menjadi pemuda tampan itu bergerak-gerak 
gelisah sambil sekali memperdengarkan erangan lirih dan rintih 
kesakitan. 
“Adi Lunjita.... Kau..., kau... Apa yang kau rasakan? Bagai-
mana... keadaanmu?” tanya Balira, cemas.

Pemuda itu membungkuk, memeriksa tubuh sahabatnya 
yang semakin panas. Dan hal itu membuatnya makin khawatir 
dan bingung. Belum lagi penyakit sahabatnya itu sembuh, 
kesulitan lain muncul. Membuat pikirannya semakin kalut. 
“Nah! Lihatlah keadaan sahabatmu yang tengah sekarat itu. 
Ia harus segera mendapatkan pertolongan dan perawatan 
secepatnya. Lebih baik, menyerah saja. Kemudian akui segala 
perbuatanmu itu, sebelum keadaan kawanmu semakin 
memburuk. Tidakkah kau merasa kasihan kepadanya?” ujar si 
brewok seraya tersenyum penuh kemenangan. “Dan perlu kau 
ketahui, sahabatmu itu telah terkena racun yang akan dapat 
menewaskannya dalam waktu dua hari.” 
“Keparat! Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?!” bentak 
Balira tersentak bangkit dan memandang tajam kepada orang 
itu. 
“Hm.... Mudah saja bagiku untuk menebaknya. Lihatlah. 
Bukankah wajahnya telah dijalari warna kehijauan?” sahut lelaki 
brewok itu lagi. 
Balira tersentak kaget dan secepat kilat menoleh ke arah 
sahabatnya. Hatinya benar-benar tercekat melihat kebenaran 
ucapan lelaki brewok yang kurang lebih berusia empat puluh 
tahun itu. 
“Sudahlah, Ki. Mengapa kita harus mengulur-ulur waktu? 
Kalau memang tidak mau menyerah, bunuh saja. Lalu, mayat 
mereka kita bawa, dan serahkan kepada para prajurit Kerajaan 
Batu Jajar. Kita bisa katakan kepada para prajurit kalau mereka 
berdualah yang telah melakukan pembunuhan terhadap delapan 
orang tokoh persilatan di penginapan itu,” usul seorang 
pengikut si brewok yang sudah tidak sabar mendengar 
percakapan itu. 
“Benar, Ki. Dan lagi kalau mereka kita tangkap hidup-
hidup, pasti akan membantah tuduhan itu. Bahkan jangan-
jangan malah melemparkan tuduhan kepada kita. Bukankah hal


itu malah akan menyulitkan?” timpal yang lainnya, mem-
benarkan ucapan kawannya. 
“Hm.... Benar juga ucapan kalian itu,” gumam si brewok 
sambil mengusap-usap dagunya dengan kening berkerut. 
Rupanya hal itu baru disadarinya. “Kalau begitu, tunggu apa 
lagi? Bunuh kedua orang pemuda itu!” 
Mendengar perintah pemimpinnya, belasan orang laki-laki 
angker itu serentak berlompatan mengurung Balira dan Lunjita. 
Sementara pemuda itu segera mencabut ruyungnya. Dia telah 
bersiap mempertahankan nyawa, dan nyawa sahabatnya. 
“Heaaat..!” 
Dibarengi teriakan nyaring, empat orang berseragam hitam 
yang berada di sebelah kiri, melompat sambil mengayunkan 
pedang yang menderu tajam. 
Trakkk! Trakkk! 
Balira mengayun ruyungnya sekuat tenaga, untuk menangkis 
dua batang pedang yang menyambar punggung dan lambung-
nya. Dua orang penyerang itu langsung terjajar mundur. 
Bahkan pedang mereka telah terpental akibat tangkisan itu. 
Kemudian, Balira melompat ke samping menghindari dua 
batang senjata lainnya. Sambil melompat, kaki kanannya 
melakukan tendangan hingga membuat salah seorang lawan 
terjungkal ke belakang. 
“Majulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Jangan harap 
aku akan menyerah begitu saja!” tantang Balira. 
Sambil berkata demikian, Balira memutar ruyungnya hingga 
membentuk lingkaran sinar merah yang melebar melindungi 
tubuhnya dan juga tubuh sahabatnya. Sementara, pada saat itu 
Lunjita hanya dapat mengerang dan merintih kesakitan. 
Belasan orang berseragam hitam itu sama sekali tidak 
mempedulikan kemarahan Balira. Mereka kembali menerjang 
dan mengirimkan serangan-serangan maut yang mematikan. 
Mau tak mau Balira menjadi sibuk dan terdesak hebat. Namun

sambil menggertakkan gigi, pemuda bertubuh tinggi tegap itu 
terus memberi perlawanan. Segenap kemampuan yang dimiliki-
nya, langsung dikerahkan. 
Wuuuttt! 
Desss! Desss! 
“Aaakh...!” 
Dua orang pengeroyok yang hendak membunuh Lunjita 
terpental bergulingan akibat hantaman ruyung yang mengenai 
dada dan punggung mereka. Balira terus memutar ruyungnya, 
mengamuk bagai harimau luka. Namun para pengoroyoknya itu 
bukanlah orang lemah. Tidak heran meskipun pemuda gagah itu 
telah mengerahkan seluruh kepandaian, tetap saja masih ter-
desak hebat 
Bukkk! Brettt! 
“Aaakh...!” 
Balira menjerit kesakitan ketika sebuah hantaman kaki salah 
seorang lawan menghantam keras pinggulnya. Sebelum sempat 
memperbaiki keadaannya, sebuah kilatan pedang menyambar 
tubuhnya. Untunglah badannya masih sempat dimiringkan, 
sehingga hanya menyerempet bahu kanannya. Tubuh pemuda 
itu terhuyung sambil mendekap lukanya yang mengucurkan 
darah segar. 
“He he he.... Bersiaplah untuk melayat ke neraka, Kisanak!” 
ejek salah seorang pengeroyoknya seraya terkekeh gembira. 
Setelah berkata demikian, kembali diterjangnya Balira. 
Sambaran pedang orang itu tampak mengarah leher Balira. 
Wuuuttt! 
Sambaran pedang itu berhasil dielakkan Balira dengan 
merendahkan tubuh dan menggeser kaki kanannya yang 
membentuk kuda-kuda serong. Kemudian tubuhnya dilempar 
jauh ke belakang untuk menghindari sambaran pedang lain. 
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebatang pedang lain 
menusuk dengan kecepatan tak terduga. Cepat pemuda itu

mengayunkan ruyungnya untuk menangkis senjata lawan. 
Trakkk! 
Sambaran ruyung pemuda itu berhasil menggagalkan 
serangan itu. Namun, sebuah tendangan yang datang dari 
samping kiri tak sempat dihindarinya lagi. 
Bukkk! 
“Aaakh...!” 
Tubuh Balira terlempar disertai jerit kesakitannya. Pemuda 
gagah itu bergulingan sejauh empat batang tombak untuk 
menghindari serangan para pengeroyoknya yang lain. Darah 
segar mulai menetes dari sudut bibirnya. Balira terhuyung 
limbung karena luka-luka yang diderita. Bibirnya tampak digigit 
kuat-kuat, lalu kembali ruyungnya diputar untuk melindungi 
tubuh. 
Belasan orang pengeroyok itu kembali menerjang Balira 
dengan ganas dan tanpa ampun. Karena terlalu bernafsu 
membunuh pemuda gagah yang telah terluka, belasan orang 
pengeroyok itu sepertinya sudah melupakan Lunjita yang 
terbaring lemah tanpa daya. 
Bukkk! Desss! Brettt! 
''Aaakh...!” 
Balira jatuh terguling-guling akibat tendangan dan pukulan 
lawan yang telak mengenai tubuhnya. Sebuah sambaran golok 
lawan juga telah merobek paha kirinya, meskipun tidak terlalu 
dalam. Balira masih juga berusaha bangkit walau terpincang-
pincang. 
“Jangan bunuh dulu! Lebih baik dia kita siksa hingga mau 
mengakui perbuatannya!” usul salah seorang pengeroyok yang 
sudah menyarungkan senjatanya. 
Kawan-kawannya serentak mengangguk setuju dan ikut 
menyarungkan senjata. Kemudian mereka kembali menerjang 
dengan tendangan dan pukulan ke seluruh tubuh Balira. 
Namun, rupanya pemuda gagah itu masih juga mampu mem

beri perlawanan. 
Salah seorang pengeroyok terguling roboh terkena 
hantaman ruyung pemuda gagah itu. Namun pada saat itu juga, 
tubuh Balira terkena pukulan dan tendangan beberapa orang 
lawan. 
Plakkk! Desss! Bukkk! 
Balira kembali jatuh terguling-guling akibat hantaman keras 
yang menghajar tubuh dan wajahnya. Darah pun semakin 
banyak mengalir dari mulut dan wajahnya yang telah biru 
lebam. Sebelum dapat bangkit, kembali para pengeroyok 
menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan. 
“Oooh...!” Balira merintih dan mengerang menahan rasa 
sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. 
Kali ini pemuda itu tidak mampu lagi bangkit. Luka-luka 
yang dideritanya benar-benar sudah sedemikian parah. Juga 
keadaan tubuhnya telah sangat lemah, sehingga Balira hanya 
dapat pasrah menanti ajal yang datang menjemput. Tubuhnya 
telentang dengan napas tersengal. Keadaannya benar-benar 
sangat menyedihkan. 
*** 
“Ha ha ha...! Bersiaplah menerima kematianmu, Anak Muda 
Sial!” ujar salah seorang pengeroyok yang sudah mencabut 
pedangnya, siap dihunjamkan ke tubuh Balira yang sudah tak 
berdaya. Namun, begitu pedang hampir menyentuh kaki Balira, 
tiba-tiba.... 
Trang! 
“Aaakh...!” 
Laki-laki berseragam hitam yang siap menghunjamkan 
pedang, tiba-tiba terpental deras ke belakang. Pedangnya juga 
terlepas akibat hantaman sebuah kerikil sebesar ibu jari. 
Tampak sosok tubuh berjubah putih tahu-tahu sudah

melangkah tenang mendekati tempat itu. Sorot matanya begitu 
tajam dan menggetarkan, sehingga membuat belasan orang 
lelaki berwajah angker yang siap membunuh Balira langsung 
mundur. Langkah pemuda itu tampak tegap bagai langkah 
seekor harimau jantan nan perkasa. 
“Siapa kau, Kisanak...?” tanya salah seorang dari belasan 
laki-laki itu. Suaranya agak bergetar karena pengaruh tatapan 
mata yang menggetarkan jantung. Sedangkan yang lain hanya 
terpaku bagai patung. 
Pemuda tampan yang mengenakan jubah putih sama sekali 
tidak menjawab. Bahkan kakinya terus saja melangkah men-
dekati Balira yang tengah merintih menahan sakit. Tanpa 
mempedulikan belasan orang itu, ia berjongkok dan memeriksa 
tubuh Balira. Kemudian diberikannya beberapa totokan pada 
bagian tubuh pemuda gagah yang tergolek tak berdaya akibat 
luka yang diderita. 
“Luka-lukamu cukup parah, Kisanak. Sebaiknya telanlah 
obat ini agar kesehatanmu cepat pulih,” ujar pemuda tampan itu 
sambil menyerahkan sebutir obat pulung berwarna putih 
seperti salju. 
Balira memandangi penolongnya penuh rasa terima kasih. 
Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera ditelannya obat yang diberikan 
penolongnya itu. Pemuda tinggi tegap berwajah gagah itu 
membelalak heran ketika merasakan adanya hawa hangat yang 
berputar di sekitar pusarnya. Hatinya menjadi girang bukan 
main, karena hawa yang berputar itu terasa nikmat dan 
menghilangkan segala rasa nyeri akibat luka-lukanya. 
“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Dan kuharap 
kau juga sudi menolong sahabatku yang tengah keracunan itu,” 
ucap Balira lirih dan penuh permohonan. 
Sambil berkata demikian, kepalanya menoleh ke tempat 
sahabatnya yang tengah tergeletak tadi. Wajah Balira berubah 
cemas ketika tidak melihat sosok tubuh Lunjita.

“Jangan khawatir. Sahabatmu itu sudah berada di tempat 
aman. Marilah kita melihatnya,” ajak pemuda tampan berjubah 
putih itu. 
Setelah berkata demikian, pemuda itu memapah bangkit 
tubuh Balira. Karena biarpun luka-luka yang diderita pemuda 
gagah itu sudah tidak terasa nyeri, namun masih belum mampu 
bangkit. 
Pemuda tampan yang ternyata Panji atau berjuluk Pendekar 
Naga Putih itu bergerak mendekati tubuh Lunjita yang 
terbaring ditemani seorang gadis jelita berpakaian serba hijau. 
Gadis itu cantik sekali! Wajahnya yang putih dan jelita itu 
terhias senyum manis, membuat orang tak akan pernah puas 
untuk memandanginya. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan 
Kenanga, yang sudah pasti datang bersama Panji. Baru beberapa 
tindak Panji dan Balira melangkah, laki-laki brewok yang sejak 
tadi hanya menonton pertarungan, berteriak nyaring mengejut-
kan. Dan pada saat itu juga, tubuhnya melayang sambil 
melakukan dorongan dengan kedua telapak tangan ke punggung 
Pendekar Naga Putih. 
Wuuusss! 
Panji yang merasakan adanya terpaan angin tajam yang 
menuju punggungnya, cepat mengibaskan tangan kanan tanpa 
menoleh sedikit pun. Sedangkan, tangan kirinya tetap 
memapah Balira. Seketika.... 
***

TIGA

Bresss! 
“Aaakh...! 
Tubuh lelaki brewok itu terpental balik ketika sepasang 
telapak tangannya terasa bagai membentur dinding yang amat 
kokoh. Bahkan dapat menolak balik tenaganya. Cepat-cepat 
tubuhnya dilempar ke belakang, lalu melakukan beberapa kali 
salto di udara. Dan kini, kedua kakinya mendarat di atas tanah 
dengan selamat meskipun agak terhuyung. 
Terdengar helaan napasnya yang berat disertai dorongan 
sepasang tangan ke depan. Laki-laki brewok itu berusaha 
menghilangkan rasa sesak di dada akibat kibasan tangan Panji 
tadi. Setelah beberapa kali menyedot dan membuang napas 
disertai gerakan tangan, dia berdiri tegak menatap punggung 
kedua orang pemuda yang terpisah beberapa batang tombak di 
depannya. Si brewok tidak berani melancarkan serangan lagi 
setelah merasakan akibat perbuatan curangnya itu. 
Si brewok berdiri terpaku bagaikan orang yang tengah 
dilanda mimpi buruk. Benar-benar tidak disangka kejadian yang 
barusan dialaminya. Bagai-mana mungkin kibasan tangan 
pemuda seusia itu dapat membuat dirinya terpental? Mungkin-
kah pemuda berjubah putih itu memiliki tenaga dalam tinggi 
yang melebihi tenaga dalamnya? 
“Nah! Sekarang beristirahatlah dulu, Kisanak. Hm.... 
Bagaimana keadaan orang itu, Kenanga?” kata Panji begitu tiba 
di dekat Lunjita dan Kenanga. Kemudian Pendekar Naga Putih 
melangkah mendekati kekasihnya. 
“Nampaknya masih bisa tertolong, Kakang. Meskipun racun 
yang merasuk di tubuhnya termasuk ganas, namun daya 
kerjanya sangat lambat. Sehingga, sampai saat ini belum terlalu

membahayakan nyawanya,” sahut Kenanga sambil memandang 
kekasihnya. 
“Hm.... Kalau begitu, tunggulah di sini. Biar akan ku-
selesaikan urusan ini dengan mereka,” desah Panji. 
Pendekar Naga Putih kemudian segera membalikkan 
tubuhnya. Kini kakinya melangkah mendekati lelaki brewok 
dan para pengikutnya. Mereka rupanya masih penasaran 
terhadap pemuda berjubah putih itu. 
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang 
tombak. Kemudian, pandangannya beredar menyapu wajah-
wajah angker yang saat itu juga tengah menatapnya. 
“Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang telah menyebabkan 
kalian begitu tega menyiksa kedua orang pemuda itu?” tanya 
Panji. 
Suara Pendekar Naga Putih terdengar ramah dan nadanya 
bersahabat. Meskipun dapat diduga kalau wajah mereka bukan-
lah wajah orang baik-baik, namun pemuda itu berusaha untuk 
mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebab hal itu 
sangat berguna untuk dapat memutuskan sikap yang akan 
diambil nanti. Sepertinya, Panji mencoba untuk menjadi 
penengah di antara kedua belah pihak. Dan kalau tadi Pendekar 
Naga Putih telah bersikap membela kedua orang pemuda itu, 
hal itu dikarenakan tidak sampai hati melihat Balira dikeroyok 
dan disiksa. Jadi, bukan berarti kalau ia membela kedua 
pemuda itu sepenuhnya. 
“Hm.... Ketahuilah, Kisanak. Kedua orang pemuda itu 
adalah pembunuh biadab. Dan saat ini, mereka tengah dicari-
cari prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kedua orang itu adalah 
buronan pemerintah! Jadi kalau kau membelanya, maka akan 
menjadi buronan pemerintah juga! Kalau kau tidak ingin 
terlibat, serahkanlah kedua orang pemuda itu. Kemudian, kami 
akan menyerahkannya kepada prajurit kerajaan,” jelas laki-laki 
brewok itu yang membuat kening Panji berkerut dalam.

“Betulkah ucapanmu itu, Kisanak? Apakah kau melihatnya 
dengan mata kepala sendiri?” tanya Panji meminta ketegasan. 
Memang Pendekar Naga Putih sebenarnya tidak yakin akan 
keterangan yang diberikan lelaki brewok itu. Sebab kalau 
menilai penampilan kedua pemuda yang kini bersamanya, 
penjelasan laki-laki itu benar-benar disangsikannya. Sepertinya, 
Pendekar Naga Putih akan lebih percaya kalau belasan orang 
itulah yang telah melakukan kejahatan. Karena dari lagak dan 
nada bicara, jelas kalau belasan orang itu bukanlah dari 
golongan putih. 
“Bangsat! Rupanya kau tidak mempercayai kata-kataku, 
Kisanak! Kalau kau ingin bukti yang lebih jelas, tanyakanlah 
kepada pemilik rumah penginapan tempat peristiwa itu terjadi. 
Kedua orang pemuda itu pun menginap di sana. Dan mereka 
melarikan diri setelah pembunuhan itu terjadi. Apakah semua 
bukti itu masih belum cukup?” bentak lelaki brewok itu dengan 
wajah gelap karena amarahnya mulai terbakar. 
“Bukan aku tidak mempercayai kata-katamu, Kisanak. Tapi 
aku tidak bisa mendengar keterangan sepihak saja. Lebih baik 
kalian tunggu saja di sini. Aku akan mencoba mengobati salah 
seorang pemuda yang tengah menderita keracunan itu. Dan 
setelah mereka sembuh, kita bisa dengar keterangan mereka. 
Bagaimana? Apakah kau setuju dengan usulku?” tanya Panji 
meminta pendapat dari lelaki brewok berwajah codet itu. 
“Tidak bisa! Kedua orang pemuda itu adalah iblis biadab 
yang sangat lihai. Kalau mereka telah sembuh, pasti akan 
melarikan diri! Aku tidak bisa menerima usulmu itu! Lebih baik 
kau tinggalkan saja tempat ini, dan jangan mencampuri urusan 
kami. Biar kami yang akan menyelesaikannya sendiri! Kalau kau 
tidak mau menyerahkan kedua pemuda itu, kami terpaksa 
merebut dengan jalan kekerasan!” sergah si brewok yang tidak 
mau menerima usul Panji. Kemudian dia cepat mencabut 
keluar pedang yang terselip di pinggang.

“Maaf, aku terpaksa membela mereka. Apa lagi, luka-luka 
mereka masih belum sembuh. Sekali lagi aku mohon maaf,” 
ucap Panji. 
Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang, meskipun 
belasan orang itu telah berlompatan mengurungnya. Wajah 
tampan itu tetap tersenyum sabar dan sama sekali tidak 
bergerak dari tempatnya. Bahkan pemuda itu tidak terlihat 
memasang kuda-kuda sebagaimana layaknya orang yang 
menghadapi sebuah pertempuran. 
“Bangsat! Rupanya kau harus mampus seperti halnya yang 
akan dialami dua orang pemuda pembunuh itu!” bentak si 
brewok menggeram penuh kegusaran. “Habisi pemuda usilan 
itu!” 
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki berseragam 
hitam segera berlompatan menerjang Panji. Senjata-senjata 
mereka berkelebat dan menyambar-nyambar dengan ganasnya. 
Wuuuttt! Wuuuttt..! 
Panji menggeser tubuhnya ke kanan-kiri, menghindari 
sambaran senjata pengeroyoknya. Kemudian tubuhnya ber-
kelebatan dan menyelinap di antara belasan senjata itu. Maka 
meskipun para pengeroyok-nya melancarkan serangan secara 
bergelombang, namun sampai sepuluh jurus lebih belum satu 
pun senjata yang dapat menyentuh tubuhnya. Jangankan 
melukai tubuh pendekar muda itu. Bahkan ujung bajunya saja, 
tidak dapat tersentuh! Tentu saja hal itu membuat para 
pengeroyoknya semakin gemas dan penasaran. 
Laki-laki berwajah brewok yang merupakan pimpinan 
belasan orang berseragam itu sudah pula ikut membantu. Tapi, 
tetap saja ia tidak mampu merubah keadaan. Kelihatannya saja 
Panji terdesak hingga tidak mampu balas menyerang. Padahal 
justru para pengeroyoknya yang kalang-kabut dan mulai dijalari 
perasaan gentar. 
“Heaaat..!”


Pada jurus yang kelima belas, si brewok berseru nyaring. 
Tubuhnya kemudian melompat disertai sambaran pedang yang 
langsung mengancam empat jalan darah kematian di tubuh 
Panji. Lima orang pengikutnya juga membarenginya dengan 
tusukan pedang yang mengarah ke beberapa bagian tubuh 
pemuda berjubah putih itu. 
Crakkk! Crakkk...! 
“Hahhh...!” 
Keenam orang penyerang itu menjadi terkejut ketika tidak 
mendapati lawan yang tiba-tiba lenyap begitu saja. Akibatnya, 
senjata-senjata mereka hanya mengenai batu dan tanah 
berumput. 
“Aku di sini, Sahabat-sahabat!” seru Panji. 
Ternyata Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak sejauh 
tiga tombak di belakang para pengeroyoknya. Tentu saja hal itu 
menjadikan para pengeroyoknya terkejut setengah mati. 
Apalagi setelah mendengar suara pemuda itu, yang datang dari 
arah belakang mereka. 
“Gila! Jangan-jangan pemuda berjubah putih itu bukan 
manusia! Mana mungkin manusia dapat menghilang seperti 
setan?” gumam salah seorang pengeroyok yang semakin gentar 
dan ngeri melihat kesaktian pemuda berjubah putih itu. 
“Setan! Mengapa kau bisanya hanya mengelak saja?! Kalau 
kau memang memiliki kepandaian, hayo! Seranglah kami! 
Tunjukkan kehebatanmu, Jahanam!” maki lelaki berwajah 
brewok dengan penuh kebencian. Hatinya benar-benar 
penasaran, karena setelah melancarkan serangan selama dua 
puluh jurus, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan membuatnya 
benar-benar lelah. 
“Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud 
bertarung dengan kalian. Sebab, di antara kita tidak terdapat 
permusuhan. Tapi kalau kalian memang menginginkannya, 
bersiaplah! Sambutlah seranganku!” sahut Panji tenang.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar 
Naga Putih berkelebat lenyap, hingga yang tampak hanyalah 
bayangan putih yang berkelebat cepat bagaikan hantu. 
Plak! Plak! Plak...! 
“Aaakh...!” 
Setelah Panji melancarkan serangan kurang lebih sebanyak 
tiga jurus, enam orang di antara pengeroyoknya sudah ber-
tumbangan saling tumpang tindih. Mereka semua rebah pingsan 
akibat tamparan yang dilancarkan pendekar muda itu, yang 
dialiri tenaga dalam lumayan. 
Si brewok semakin murka hatinya melihat akibat serangan 
yang dilancarkan pemuda tampan itu. Disertai pekik 
kemarahan, diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan jurus-
jurus andalan yang sangat jarang digunakan. 
Wuuut! Wuuut! 
Pedang di tangan si brewok berkelebat hingga bentuknya 
lenyap, sehingga menyerupai sebentuk sinar yang bergulung-
gulung. Sinar pedang itu bergerak turun naik bagai gelombang 
ombak yang menyerbu pantai. Kalau saja bukan Pendekar Naga 
Putih, pasti akan tewas dan tidak mampu menghindari jurus 
maut yang mematikan itu. 
Menghadapi serangan laki-laki brewok yang memang 
memiliki kepandaian paling tinggi di antara lainnya, Panji 
bersikap lebih hati-hati. Kedua kakinya melangkah mundur 
menghindari sambaran lawan. Sesekali sepasang tangannya 
bergerak bergantian, menangkis pukulan tangan kiri dan 
tendangan. Dan setiap kali tangannya bergerak menangkis, 
tendangan dan pukulan lawan terpental balik. Bahkan tubuhnya 
juga terjajar mundur ke belakang. Untunglah Panji sampai saat 
itu masih belum menggunakan seluruh tenaganya. 
Pada jurus yang ketiga puluh dua, Panji menggeser kakinya 
ke kanan disertai egosan tubuhnya. Begitu sambaran pedang si 
brewok lewat, tangan kirinya bergerak cepat menangkap

pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Seketika 
pemuda membarenginya dengan hantaman sikut kanan ke iga 
lawan. Gerakan yang cepat dan tidak terduga itu membuat 
lawan tidak mampu lagi menghindar. Dan.... 
Tappp! Desss! 
“Aaakh...!” 
Tubuh laki-laki brewok itu terpental ke belakang akibat 
hantaman sikut yang cukup keras itu. Tanpa dapat ditahan lagi, 
tubuhnya terbanting di atas tanah berumput dan berbatu. Laki-
laki itu berusaha bangkit sambil menekap iganya yang terasa 
remuk. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah. 
Wajah-nya yang agak pucat itu menyeringai menahan sakit. 
Sedangkan sepasang matanya berputar mencari senjatanya yang 
terlepas dari genggaman. 
Panji yang saat itu sudah mendapat gempuran dari 
pengeroyok lain, segera menyelinap di antara empat batang 
senjata yang mengancam tubuhnya. Tangan dan kakinya ber-
gerak melakukan tamparan dan tendangan ke arah empat 
penyerang. Terdengar teriakan-teriakan ngeri, yang disusul 
terpentalnya tubuh para pengeroyok. 
Keempat orang itu merintih dan mengaduh menahan rasa 
sakit akibat pukulan dan tendangan Panji yang cukup keras tadi. 
Mereka tidak mampu lagi bergerak, apalagi bangkit berdiri. 
Para pengeroyok lainnya yang tinggal tujuh orang langsung 
bergerak mundur dengan hati gentar. Tak seorang pun dari 
mereka yang terlihat hendak menyerang kembali. Sepertinya, 
mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kawan-kawannya 
yang lain. Kini mereka hanya berdiri sambil menatap pemuda 
berjubah putih dalam jarak empat tombak. 
Pendekar Naga Putih yang melihat lawannya tidak bergerak 
menyerang, hanya tersenyum tenang. Sepasang matanya yang 
tajam menyapu wajah ketujuh orang yang kembali bergerak 
mundur dengan hati diliputi ketegangan.

Laki-laki brewok yang menjadi pimpinan dari orang-orang 
berseragam hitam itu melangkah terbungkuk-bungkuk sambil 
sesekali menyeringai menahan sakit. Ia melewati pengikutnya 
yang hanya dapat memandang khawatir. 
“Hm.... Kali ini kami mengaku kalah kepadamu, Kisanak. 
Sebutkan namamu agar kelak kami dapat melunasi hutang ini,” 
kata lelaki brewok itu sambil melemparkan pandangan tajam. 
“Maaf, Kisanak. Bukan maksudku untuk membuat per-
musuhan dengan kalian. Tapi tentu saja aku tidak akan lari dari 
tanggung jawab ini. Namaku Panji, seorang pengembara yang 
tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Orang-orang rimba 
persilatan memberi julukan padaku sebagai Pendekar Naga 
Putih,” sahut Panji dengan suara tenang dan mantap. 
Sama sekali tidak terdengar nada kesombongan ataupun 
kebanggaan pada saat Panji menyebutkan julukannya yang 
terkenal itu. Julukannya disebutkan agar apabila orang-orang 
itu hendak mencarinya akan menjadi lebih mudah. Sebagai 
seorang pendekar yang berjiwa bersih, maka Pendekar Naga 
Putih siap menerima akibat perbuatannya itu. 
“Kau... Pendekar Naga Putih...!” teriak lelaki brewok itu 
dengan wajah berubah pucat. Tanpa sadar kedua kakinya 
melangkah mundur, menjauhi pemuda berjubah putih yang 
hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat membuatnya 
takluk. 
“Pendekar Naga Putih...!” 
Beberapa orang pengikut si brewok yang pernah mendengar 
julukan itu langsung kaget. Rasa gentar hati mereka semakin 
bertambah, setelah mendengar julukan pemuda berjubah putih 
yang sangat lihai itu. 
“Benar, Kisanak. Akulah Pendekar Naga Putih,” tegas Panji 
yang menarik napas lega ketika melihat orang-orang ber-
seragam hitam itu memandangnya dengan hati gentar. 
Diam-diam pemuda itu mencatat dalam hati kalau nama

besar kadang-kadang dapat menyelesaikan persoalan tanpa 
harus menggunakan kekerasan. Hal itu dapat dirasakannya dari 
pandangan orang-orang yang terlihat segan dan menaruh rasa 
hormat setelah julukannya diperkenalkan. 
Si brewok yang semula belum dapat menerima kekalahan-
nya itu, mengangguk-angguk puas. Sepertinya kekecewaan 
akibat kekalahan itu dapat terobati begitu mengetahui siapa 
sebenarnya anak muda yang telah mampu mengalahkannya. 
Terbersit rasa kebanggaan di hatinya setelah mengetahui kalau 
pemuda yang telah mengalahkannya, ternyata seorang pendekar 
muda yang telah tersohor kedigdayaannya. Namun demikian, 
dalam hati kecilnya tetap tersimpan rasa dendam, karena 
pendekar muda itu telah mencampuri dan menggagalkan 
urusannya. 
“Baiklah, Pendekar Naga Putih. Kau boleh membawa kedua 
orang pemuda itu karena kami telah kalah. Tapi, ingat suatu 
hari nanti, kami akan datang untuk membalas perbuatan usilmu 
ini,” ancam laki-laki brewok itu lirih, namun mengandung 
dendam yang dalam. 
Setelah berkata demikian, si brewok meninggalkan tempat 
itu sambil memerintahkan para pengikutnya untuk membawa 
teman-teman mereka yang terluka akibat pertarungan tadi. 
Panji berdiri tegak memandangi kepergian belasan orang 
laki-laki berseragam hitam itu. Pemuda tampan itu meng-
hembuskan napasnya kuat-kuat seolah merasa kecewa dengan 
kejadian yang baru saja dialaminya. 
“Hm.... Sulit sekali untuk menghindari permusuhan meski-
pun aku telah berusaha mengalah dan tidak membuat mereka 
luka berat,” desah Pendekar Naga Putih penuh sesal. 
Tiba-tiba saja pemuda itu tersentak dari lamunan, karena 
telah lupa menanyakan perihal orang itu. Terutama, siapa dan 
dari mana mereka. Cepat-cepat Panji melompat ke atas 
sebongkah baru yang agak tinggi. Namun belasan orang itu
tidak dapat ditemukan. Pada kenyataannya, orang-orang itu 
memang memasuki hutan lebat yang tidak jauh di depannya. 
Panji membatalkan niatnya untuk mengejar karena sama 
sekali belum mengetahui keadaan hutan di depannya itu. Dan 
hal itu sangat berbahaya, sebab mungkin saja di sana banyak 
terdapat jebakan yang dipasang mereka. Dan bukan tidak 
mungkin kalau sarang mereka juga di dalam hutan lebat itu. 
***

EMPAT

Balira membuka mata ketika tenaganya terasa sudah hampir 
pulih. Luka bacokan di paha dan bahu kanannya sudah terbalut 
rapi. Hanya beberapa luka memar yang masih tergambar di 
wajahnya. Pemuda gagah itu bangkit berdiri, lalu memandang 
berkeliling. Kemudian, dihampirinya gadis jelita yang saat itu 
tengah menunggui Lunjita. 
“Nisanak, namaku Balira. Aku mengucapkan ribuan terima 
kasih atas pertolonganmu dan kawanmu itu. Entah, bagaimana 
kami bisa membalas kebaikan kalian berdua,” ucap Balira sambil 
memperkenalkan diri. Tubuhnya juga membungkuk hormat ke 
arah Kenanga yang tersenyum manis. 
“Namaku, Kenanga. Oh, ya. Kau tidak perlu sungkan-
sungkan, Ki... eh! Balira. Bukankah sudah menjadi kewajiban 
kita untuk saling tolong-menolong selama hal itu masih berada 
dalam jalan yang lurus? Siapa tahu aku dan Kakang Panji akan 
membutuhkan pertolongan kalian kelak?” sahut Kenanga juga 
memperkenalkan diri. Gadis itu juga bangkit dan membalas 
penghormatan Balira, selayaknya orang persilatan. Keduanya 
menoleh kepada Panji yang saat itu tengah melangkah 
mendekati mereka. 
“Betul apa yang diucapkan Kenanga, Balira. Dan janganlah 
merasa berhutang budi. Kami tidak mengharapkan balas budi 
dari pertolongan kami ini, karena hal itu akan mendatangkan 
beban bagi hati kalian,” timpal Panji dengan wajah terhias 
senyum cerah. Pemuda berjubah putih itu cepat mem-
bungkuk, ketika Balira memberi penghormatan padanya. 
“Terima kasih atas kebaikanmu, Kisanak. Bolehkah aku 
mengetahui nama besarmu?” tanya Balira. 
Rupanya pemuda gagah itu belum mengetahui siapa adanya


pemuda tampan yang telah menolongnya. Karena pada saat 
pertempuran berlangsung, ia tengah tenggelam dalam semadi 
sehingga tidak mendengar pembicaraan Panji dengan orang-
orang berseragam hitam yang mengeroyok dan menyiksanya 
tadi. 
“Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberi 
julukan Pendekar Naga Putih kepadaku,” sahut Panji seraya 
tersenyum. 
“Aaahhh...! Maafkan sikapku yang kurang hormat kepada-
mu, Pendekar Naga Putih. Sudah lama aku mengagumi 
namamu. Siapa sangka kalau hari ini dapat berjumpa langsung 
dengan orangnya. Rasanya aku patut mengucapkan terima kasih 
kepada orang-orang berseragam hitam yang telah menyiksaku,” 
ucap Balira gembira. 
Pemuda gagah itu, kembali membungkuk hormat kepada 
Panji. Wajahnya seketika berubah cerah, seolah-olah benar-
benar telah melupakan rasa sakit akibat penyiksaan belasan 
orang yang telah mengeroyoknya. 
“Hei? Mengapa harus berterima kasih kepada mereka, 
Balira? Apakah kau merasa senang dengan penyiksaan yang 
dilakukan orang-orang itu?” 
Kenanga tak dapat lagi menahan keheranan hatinya, men-
dengar ucapan pemuda itu. Gadis jelita itu menatap wajah 
Balira lekat-lekat. Kenanga menduga, jangan-jangan pemuda ini 
menjadi gila karena luka-lukanya. Tapi, tidak mungkin! Sebab 
gadis itu melihat wajah Balira nampak sehat dan tidak 
menunjukkan kelainan apa-apa. Tapi mengapa berkata 
demikian? 
“Ha ha ha...! Tentu saja aku harus mengucapkan terima 
kasih kepada mereka, Kenanga. Bukankah karena perbuatan 
mereka aku dapat berjumpa dan bicara langsung dengan 
Pendekar Naga Putih? Aku benar-benar merasa gembira sekali!” 
sahut Balira.

Pemuda itu tertawa hingga tubuhnya yang tegap ber-
guncang-guncang. Sepertinya ia benar-benar merasa gembira 
dapat berjumpa pendekar muda yang sudah lama dikaguminya. 
“Ooo...,” hanya itu yang keluar dari mulut Kenanga. 
Gadis itu juga menutupi mulutnya dengan telapak tangan 
setelah mendengar jawaban Balira. Tawanya terdengar terkikik 
karena tidak tahan mendengarnya. Benar-benar menggelikan. 
“Ah! Kau membuatku malu saja, Balira. Sudahlah. 
Hentikanlah pujianmu itu. Aku takut kalau-kalau kepalaku akan 
semakin besar saja karena pujianmu,” desah Panji tersipu 
mendengar jawaban jujur dari Balira. “Oh, ya. Bagaimana 
keadaan pemuda yang satunya lagi itu, Kenanga?” tanya Panji. 
Pendekar Naga Putih sengaja mengalihkan perhatian, dan 
ternyata pancingannya berhasil baik. Mendengar pertanyaan 
itu, secara serempak Kenanga dan Balira menoleh ke arah sosok 
tubuh yang tengah tergolek pulas itu. 
“Oh, ya. Bagaimana keadaan Adi Lunjita, Kenanga?” Balira 
juga bergegas mengikuti Kenanga yang sudah melangkah 
mendekati tubuh Lunjita yang terlihat masih agak pucat itu. 
Mendengar pertanyaan Balira, Kenanga langsung berhenti. 
Ditolehkan kepalanya dengan kening berkerut. Dipandanginya 
wajah pemuda gagah itu tajam-tajam, seolah-olah belum 
mendengar jelas ucapan pemuda itu. 
“Adi Lunjita...?” gumam Kenanga, seperti bertanya pada 
dirinya sendiri. Nampaknya, dia merasa heran mendengar 
sebutan itu. 
“Ya. Namanya Lunjita. Dan karena usianya masih lebih 
muda dariku, maka aku memanggilnya Adi Lunjita,” sahut 
Balira yang merasa heran melihat sikap Kenanga. Gadis itu 
seperti merasa bingung mendengar pertanyaan dan sebutan 
terhadap pemuda tampan yang bernama Lunjita. 
“Oh,” Kenanga menganggukkan kepalanya, lalu memaksa 
untuk tersenyum. “Aku sudah mengeluarkan semua racun yang

mengendap dalam tubuhnya. Ia hanya memerlukan sedikit 
pengobatan lagi untuk memulihkan tenaganya.” 
“Kakang, apakah kau masih menyimpan obat untuk 
memulihkan tenaga?” tanya Kenanga mengalihkan perhatian 
kepada Panji yang saat itu juga tengah melangkah di belakang-
nya. 
Sepertinya gadis jelita itu hendak mengobati Lunjita sendiri. 
Meskipun telah mendapatkan pelajaran ilmu pengobatan dari 
Panji selama pengembaraan mereka, namun tidak biasanya 
gadis itu berbuat demikian. Biasanya ia selalu meminta Panji 
untuk mengobati siapa saja yang membutuhkan pertolongan. 
Dan biasanya pula Kenanga hanya menonton, bagaimana cara-
nya Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan. 
Panji pun sempat tertegun mendengar permintaan gadis 
jelita itu. Ditatapnya wajah kekasihnya tajam-tajam. Seolah-olah 
ingin memastikan isi hati gadis itu. 
“Mengapa kau menatapku seperti itu, Kakang? Tidak boleh-
kah aku mencoba menerapkan ilmu pengobatan yang kau ajari 
selama pengembaraan kita?” desak Kenanga. 
Gadis itu sama sekali tidak tersinggung melihat cara Panji 
saat menatapnya. Malah gadis itu tersenyum melihat ada sinar 
kecemburuan dalam tatapan mata kekasihnya. Hal itu wajar 
saja, karena orang yang akan diobati Kenanga itu adalah seorang 
pemuda. Apalagi dia sangat tampan, dan berkulit halus, meski-
pun usianya paling jauh baru sekitar delapan belas tahun. 
Namun tetap saja hati Panji merasa tidak enak. 
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa heran melihat kau 
sudah bisa menyembuhkan orang yang terluka karena racun,” 
sahut Panji, menyembunyikan perasaan hatinya yang 
sesungguhnya. 
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Naga Putih bergegas 
mengambil sebutir obat pulung berwama putih seperti salju. 
Persis seperti yang tadi diberikan kapada Balira.

“Terima kasih, Kakang. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu, 
dan tidak perlu mengikuti aku. Bisa-bisa aku jadi gugup dan 
salah mengobati orang jika ditemani,” kilah gadis jelita itu, 
sehingga membuat Panji dan Balira menahan langkahnya. 
Panji dan Balira memutar langkahnya menjauhi Kenanga. 
Mereka kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang 
berdaun lebat, sehingga tubuh teriindung dari sengatan sinar 
matahari yang memancar terik. 
“Nah, Balira. Sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan 
kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang itu?” tanya 
Panji mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang meng-
ganggunya. 
Pemuda itu berusaha menekan cemburunya. Karena biar 
bagaimanapun, Pendekar Naga Putih adalah manusia biasa yang 
juga bisa dihinggapi rasa cemburu. Dan rasa cemburu itu adalah 
wajar, selama tidak berlebihan dan tidak buta. 
Balira yang memang sudah berniat untuk menceritakan 
persoalannya, menarik napas panjang sejenak. Lalu mulai 
diceritakannya sebab-sebab orang-orang berseragam hitam itu 
mengeroyoknya. Pemuda gagah yang berwatak jujur itu 
menceritakan apa adanya, tanpa mengurangi atau menambah-
kan ceritanya. 
“Sejak semula aku memang sudah merasa ragu kalau kalian 
yang melakukan perbuatan yang dituduhkan orang-orang itu. 
Dan aku pun dapat memaklumi, mengapa kau sampai 
meninggalkan penginapan itu secara diam-diam. Sebab apabila 
kalian berdua tetap kembali ke penginapan itu, bukan tidak 
mungkin akan semakin nyatalah tuduhan itu. Karena hanya kau 
dan sahabatmu itulah yang meninggalkan penginapan. Apalagi 
kalian berdua membawa-bawa senjata, dan keadaan Lunjita 
tengah mengalami luka parah,” kata Panji setelah mendengar 
cerita Balira secara keseluruhan. 
Dan Pendekar Naga Putih berjanji untuk menyelidiki

kejadian itu. Paling tidak agar kedua pemuda itu dapat tenang 
dan tidak menjadi buronan pemerintah kerajaan. 
Balira berkali-kali mengucapkan terima kasih mendengar 
kesediaan Pendekar Naga Putih membantu penyelidikan. 
Mereka kemudian kembali terlibat pembicaraan lain tentang 
belasan orang itu. Juga, tentang keadaan dunia persilatan yang 
mungkin akan menjadi gempar oleh peristiwa pembunuhan 
delapan orang tokoh persilatan yang masih merupakan rahasia 
yang belum terungkap. 
Matahari sudah semakin naik tinggi. Balira dan Panji sama-
sama termenung dan merayapi daerah sekitarnya dengan 
pandangan kosong. Sepertinya kedua orang itu tengah terbawa 
arus pikiran masing-masing. 
Pendekar Naga Putih dan Balira sama-sama menolehkan 
kepala ketika mendengar langkah kaki yang mendatangi tempat 
mereka. 
“Bagaimana keadaan sahabatku, Kenanga?” tanya Balira yang 
segera bangkit dan menyambut kedatangan gadis jelita itu. 
Melihat dari wajah dan sikapnya, jelas sekali kalau dia sangat 
mengkhawatirkan keadaan sahabatnya. Dan hal itu kembali 
membuat kening Kenanga jadi berkerut. Karena sebagai 
seorang gadis, ia pun dapat merasakan apa yang saat itu tengah 
dirasakan Balira. Kenanga kembali keheranan melihat sikap dan 
suara Balira yang terdengar agak bergetar. 
“Hm.... Rupanya kau sangat memperhatikan sekali keadaan 
sahabatmu itu, Balira? Apakah kalian sudah lama menjadi 
sahabat?” tanya Kenanga seperti memancing tanggapan pemuda 
gagah itu. 
Mendengar pertanyaan gadis itu, selebar wajah Balira 
berubah kemerahan. Segera ditatapnya wajah Kenanga lekat-
lekat, seolah-olah ingin mengetahui maksud gadis itu yang 
berkata demikian. Balira semakin salah tingkah ketika melihat 
sinar mata penolongnya yang mengandung godaan.

“Apa..., apa maksudmu bertanya demikian, Kenanga?” tanya 
Balira gugup. Pemuda gagah itu berusaha menekan gejolak 
dalam dadanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. 
“Hei? Kau kenapa, Balira? Apakah pertanyaanku ada yang 
salah?” Kenanga malah balik bertanya sambil melemparkan 
senyum. Sementara Panji hanya berdiri bingung melihat sikap 
kedua orang itu yang sama sekali tidak dimengerti olehnya. 
Balira menyadari kesalahannya ketika mendengar per-
tanyaan gadis jelita itu. 
“Betapa bodohnya aku! Mengapa harus gugup hanya karena 
pertanyaan yang sebenarnya wajar itu?” umpat Balira dalam 
hati. 
Berpikir demikian, Balira tersenyum dan berusaha bersikap 
wajar seperti biasa. Sebab pemuda itu tidak ingin kalau sampai 
rahasianya terbongkar oleh gadis jelita yang sepertinya sangat 
cerdik itu. 
“Ah! Sama sekali tidak, Kenanga. Pertanyaanmu tidak ada 
yang salah. Aku memang belum terlalu lama mengenalnya. 
Tapi kami berdua sudah seperti saudara saja layaknya,” jawab 
Balira setelah dapat menenangkan perasaannya dan kembali 
bersikap wajar seperti biasa. 
“O, begitu?” kata Kenanga sambil tersenyum menggoda. 
Sepertinya gadis jelita itu memang sengaja hendak meng-
goda Balira. Dan memang Balira jelas terlihat salah tingkah 
dengan perkataannya itu. 
“Ya.... Kira-kira begitulah,” desah Balira. 
Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke tempat 
sahabatnya yang terlihat tengah melakukan semadi. Balira yang 
tidak mau rahasia hatinya diketahui orang lain, bergegas meng-
hindari Kenanga yang nyata-nyata sengaja menggoda dan me-
mancingnya. 
“Kau hendak ke mana, Balira?” tanya Panji yang melihat 
pemuda gagah itu tengah melangkah turun ke sungai yang

memang berada tepat di bawah mereka. 
“Aku..., aku hendak mencuci muka supaya segar,” jawab 
Balira yang terus melangkah tanpa mem-pedulikan kedua orang 
penolongnya. 
Kenanga hanya tersenyum melihat sikap Balira yang salah 
tingkah itu. Lalu pandangannya dialihkan kepada Panji yang saat 
itu tengah memandangnya. 
Panji mengalihkan pandangannya kepada Balira. Ia tidak 
ingin melihat Kenanga mengetahui perasaan yang terpancar di 
matanya. Rupanya bagaimanapun kuatnya batin pendekar muda 
itu, tapi tetap saja tidak mampu menahan rasa cemburu di 
hatinya. Meskipun hal itu berusaha ditekan dengan mem-
bayangkan hal-hal lain, namun hati kecilnya tetap saja belum 
dapat menerima perbuatan Kenanga yang jelas-jelas sangat 
memperhatikan Lunjita, si pemuda berwajah halus dan tampan 
itu. 
“Kau kenapa, Kakang?” tanya gadis jelita itu seraya 
memegang lembut lengan Panji. 
Wajah gadis itu nampak terhias senyum meski sikap Panji 
yang dirasakan agak lain dari biasanya. Namun, sebagai orang 
yang paling dekat dengan pemuda itu, Kenanga sudah dapat 
menduga perasaan kekasihnya saat itu. 
“Aku tidak apa-apa,” sahut Panji. 
Pendekar Naga Putih segera menolehkan kepalanya dan 
menentang pandangan mata kekasihnya. Sebagai seorang 
pendekar yang terlatih lahir dan batin pemuda itu dapat 
menekan rasa cemburunya meskipun dengan sekuat tenaga. 
“Hm... Kau membohongi dirimu sendiri, Kakang. Meski-
pun kau tidak mengatakannya, namun aku tahu apa yang kau 
rasakan saat ini,” desah gadis jelita itu lembut sambil memegang 
kedua tangan Panji. Sepasang matanya laksana bintang timur 
itu, menatap penuh kasih. 
“Sungguh! Aku tidak apa-apa, Kenanga,” tegas Panji masih

berusaha untuk mengelak. Pemuda itu mencoba tersenyum, 
namun sayang terlihat agak getir. 
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Buanglah 
rasa-cemburu di hatimu. Percayalah! Hanya kau laki-laki yang 
kucintai di dunia ini. Lagi pula, yang kau cemburui itu adalah 
seorang wanita yang saat ini tengah menyamar sebagai pria,” 
bisik gadis jelita itu dengan suara lirih. 
“Maksudmu pemuda yang bernama Lunjita itu....” 
“Ya. Dia Seorang wanita. Aku mengetahuinya pada saat 
tengah melakukan pengobatan pertama tadi. Itulah sebabnya, 
mengapa aku tidak memperbolehkan kau untuk mengobatinya. 
Sebab apabila kau yang mengobatinya, sudah pasti akan lama 
sembuhnya,” potong Kenanga, cepat 
“Hei? Mengapa bisa begitu?” tanya Panji dengan wajah 
bingung. 
“Ya! Sebab sudah pasti Kakang akan berlama-lama 
mengobatinya. Selain gadis itu cantik, kulitnya pun halus. Nah! 
Lelaki mana yang tidak suka berlama-lama memandangi kulit 
tubuh yang halus?” jelas Kenanga seraya tertawa terkikik. 
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji sama sekali tidak 
marah. Sebaliknya, dia malah tertawa terbahak-bahak. Sehingga 
mau tak mau Kenanga menjadi heran dibuatnya. 
“Ah! Mudah-mudahan saja lain kali dia terluka kembali, dan 
berjumpa lagi denganku. Dengan begitu, bukankah aku mem-
punyai kesempatan untuk mengobatinya? Wah! Sudah pasti 
akan menyenangkan sekali!” ledek Panji sambil tertawa 
terbahak-bahak. 
“Aaa...,” Kenanga merengek manja sambil memukuli dada 
bidang Pendekar Naga Putih. Sebentar kemudian mereka 
tertawa gembira. 
Balira yang masih berada di sungai mengerutkan keningnya 
ketika mendengar tawa kedua orang penolongnya itu. Hatinya 
menduga-duga, mungkin saja Kenanga sudah mengetahui

rahasia sahabatnya dan mengatakan kepada Panji. Dan kini 
mereka berdua menertawakan dirinya. Seketika seluruh wajah 
Balira berubah merah saat memikirkan hal itu. Dan ia menjadi 
bertambah malu ketika teringat, bagaimana dia sangat meng-
khawatirkan keselamatan sahabatnya di depan Kenanga tadi. 
Bahkan gadis jelita itu sempat pula menggodanya meski tidak 
terlalu kentara. 
Pemuda tegap berwajah gagah itu semakin kikuk ketika 
melihat Panji, Kenanga, dan Lunjita tengah melangkah meng-
hampirinya. Untuk menenangkan hatinya, maka Balira berpura-
pura sibuk menggosok-gosokkan wajah dengan air sungai yang 
disendok menggunakan kedua tangannya. 
“Cepatlah, Balira. Bukankah kita hendak menyelidiki pem-
bunuhan itu?” tegur Panji mengingatkan akan rencana mereka. 
“Ya, tunggulah sebentar!” sahut Balira tanpa berani 
menolehkan wajahnya. “Ah, kau sudah sembuh, Adi Lunjita? 
Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku sudah merasa khawatir 
sekali melihat keadaanmu yang kian memburuk itu. Untunglah, 
kedua orang penolong kita yang berkepandaian tinggi ini juga 
memiliki ilmu pengobatan, sehingga nyawamu masih bisa 
diselamatkan. Berterima kasihlah kepada mereka, Adi Lunjita,” 
kata Balira yang merasa girang karena dapat bersikap wajar dan 
bebas seperti biasa. 
Pemuda gagah itu tersenyum penuh kemenangan ketika 
melihat wajah Kenanga. Gadis itu tampak agak bingung melihat 
sikap pemuda itu yang wajar dan tidak dibuat-buat 
“Tentu saja aku sudah berterima kasih kepada mereka, 
Kakang. Lebih-lebih terhadap Nini Kenanga yang telah rela 
bersusah-payah menyelamatkan diriku,” sahut Lunjita seraya 
tersenyum manis. 
Sikapnya tampak wajar, karena memang belum mengetahui 
kalau rahasia penyamarannya telah diketahui Balira dan 
Kenanga. Kalau saja ia mengetahuinya, tentu tidak akan

bersikap sewajar itu. Bahkan mungkin akan pergi meninggalkan 
sahabatnya. 
Kenanga yang semula menduga kalau Balira sudah 
mengetahui rahasia itu, juga meragukan dugaannya. Ia hanya 
berdiri menatap wajah kedua orang sahabat itu dengan 
pandangan penuh selidik. Gadis itu baru tersadar dari 
lamunannya ketika mendengar ajakan Panji. 
“Ayolah kita ke kotaraja,” ajak Panji kepada ketiga orang itu. 
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkah-
kan kakinya mendahului mereka. 
Tanpa berkata sepatah pun, ketiga orang itu bergegas 
melangkah mengikuti Panji yang tengah menyeberangi sungai. 
Saat itu hari sudah menjelang sore. 
***

LIMA

Malam telah menampakkan kekuasaannya di permukaan bumi. 
Bulan sepotong yang menggantung menghiasi sang malam, 
sinarnya tak kuasa menerobos kepekatan. Angin berhembus 
kencang, menebarkan hawa aneh. Sehingga suasana malam 
terasa semakin mencekam. 
“Auuungngng...!” 
Lolongan serigala yang disertai hembusan angin dingin, 
semakin menimbulkan keseraman. Apalagi, saat itu suasana 
Kotaraja Batu Jajar tengah dicekam oleh pembunuhan yang 
belum terungkapkan. Maka, semakin lengkaplah suasana yang 
mencekam itu. Karena, ternyata korbannya juga meluas ke 
beberapa penduduk. 
Semenjak berita pembunuhan tersebar, para penduduk di 
kota itu sudah menutup pintu rapat-rapat begitu kegelapan 
mulai menyelimuti bumi. Para suami menyuruh anak istrinya 
untuk segera tidur, sementara dirinya sendiri berjaga-jaga 
dengan senjata terhunus. Peristiwa berdarah itu membuat 
penduduk kotaraja dicekam ketakutan hebat. Dan sedikit 
ketukan pintu di rumah mereka saja, telah sanggup untuk 
membuat kalang-kabut. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya 
ketakutan yang melanda hati mereka. 
Lain halnya dengan para prajurit kerajaan. Semenjak 
peristiwa itu, mereka semakin giat berjaga-jaga. Bahkan para 
prajurit yang meronda pun semakin diperbanyak. Tentu saja hal 
itu dimaksudkan untuk menenangkan hati penduduk yang 
tengah dicekam ketakutan. Dan dengan banyaknya peronda 
yang berkeliaran, diharapkan para penduduk menjadi sedikit 
tenang. 
“Hei? Kalian dengar lolongan serigala itu?” tanya salah

seorang prajurit peronda kepada kawannya. 
“Ya! Aku pun mendengarnya. Sepertinya, peristiwa itu akan 
terulang kembali. Bukankah menurut keterangan salah seorang 
yang melihat, lolongan itu juga terdengar sebelum terjadinya 
pembunuhan?” timpal kawannya. Suaranya terdengar kering, 
karena hatinya mulai dilanda ketegangan. 
“Jangan ribut! Yang penting saat ini, kita harus lebih 
meningkatkan kewaspadaan!” bentak seorang perwira yang 
mengepalai para prajurit. Suaranya ditekan sedemikian rupa 
sehingga tidak terlalu keras. Lalu, anak buahnya yang berjumlah 
tujuh orang itu diajak untuk mencari sumber lolongan serigala 
tadi. 
Tujuh orang prajurit itu bergegas mengikuti pemimpinnya 
tanpa banyak bicara lagi. Mereka terus berputar menuju 
perbatasan sebelah Barat yang memang agak sepi. Dari situ 
mereka terus ke gardu penjagaan. 
Ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sebelah 
Barat, sang Pemimpin mengisyaratkan untuk berhenti dengan 
menggerakkan tangan kirinya. Wajahnya berubah tegang ketika 
lapat-lapat tercium bau anyir darah yang dibawa angin. Dengan 
gerakan perlahan, segera pedang yang tergantung di pinggang 
dicabutnya. Lalu, kakinya melangkah hati-hati menuju gardu 
jaga yang hanya tinggal sepuluh tombak di depannya. 
Keningnya seketika berkerut ketika tidak melihat adanya obor 
di tempat itu. 
“Aneh? Mengapa mereka tidak menggunakan obor?” gumam 
sang Pemimpin semakin bertambah curiga. 
Pemimpin itu menoleh ke belakang, lalu meminta sebuah 
obor yang dipegang salah seorang anak buahnya dengan meng-
gunakan isyarat. Kemudian langkahnya diteruskan dengan 
lambat-lambat, mendekati gardu jaga. 
“Ah...!” 
Sambil berseru tertahan, perwira itu melompat mundur

sejauh setengah tombak lebih. Sepasang matanya membelalak 
lebar memandang sesosok tubuh yang tergeletak di depannya. 
Hampir saja kakinya menginjak mayat tanpa kepala, karena 
perhatiannya tertuju ke gardu jaga. 
Tujuh orang prajurit yang mengiringi di belakang, tentu saja 
juga jadi terkejut melihat pemimpin mereka melompat ke 
belakang. Tanpa diperintah lagi, mereka segera menyebar 
sambil menodongkan ujung tombak dan siap menghadapi 
kemungkinan yang bakal terjadi. 
“Gila!” maki perwira itu dengan wajah agak pucat 
Hati perwira itu kini bertambah geram ketika menemukan 
lima mayat lain yang juga tanpa kepala. 
Keenam mayat itu ditemukannya di sepanjang jalan menuju 
gerbang sebelah Barat. Hati laki-laki gemuk berusia sekitar 
empat puluh lima tahun itu semakin bertambah cemas akan 
nasib para penjaga perbatasan. 
Setelah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk maju, 
laki-laki bertubuh gemuk itu melangkahkan kakinya. Sikapnya 
tampak semakin hati-hati. Dan apa yartg dikhawatirkan 
ternyata beralasan. Sebab di dekat gardu penjagaan itu, terlihat 
belasan sosok tubuh berseragam prajurit tengah bergeletakan 
tumpang tindih. Namun hatinya menjadi lega, karena ternyata 
belasan prajurit itu hanya pingsan. 
“Bawa mereka masuk!” perintah perwira itu. Sementara ia 
sendiri segera mengangkat tubuh kepala jaga yang juga 
tergeletak pingsan. Kemudian segera disadarkannya mereka 
satu-persatu. 
“Kakang Dirjalaga...!” seru si kepala jaga begitu tersadar 
dari pingsannya. 
Cepat-cepat kepala jaga itu memberi hormat dengan 
merapatkan kedua telapak di depan hidung kepada perwira 
yang ternyata bernama Dirjalaga. 
“Hm.... Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di tempat ini,

Adi?” tanya Dirjalaga. Suaranya terdengar beat karena masih 
merasa geram dengan adanya kejadian itu. 
Kepala jaga itu menarik napas panjang berulang-ulang untuk 
menenangkan dirinya. Seolah-olah, apa yang akan disampaikan 
itu adalah cerita yang sangat menyeramkan. Sehingga, mau tak 
mau Dirjalaga menjadi tegang juga. 
Dengan penuh perhatian, Dirjalaga mendengarkan 
penuturan kepala jaga itu. Sedikit pun, ia tidak memotong 
cerita orang itu. Tentu saja agar didapat keterangan lengkap 
dan terperinci. 
“Menurut dugaanku, mereka yang terbunuh pasti tokoh 
persilatan. Mereka berniat menyelidiki tentang pembunuhan 
delapan tokoh persilatan lain yang terjadi kemarin malam,” jelas 
si kepala jaga menutup ceritanya. 
“Apakah kau tidak mendengar ribut-ribut sebelum keenam 
orang itu terbunuh?” tanya Dirjalaga seraya, mengerutkan 
keningnya. 
“Sama sekali tidak, Kakang. Semua itu terjadi demikian 
cepat. Baru saja kami hendak keluar untuk melihatnya, tahu-
tahu saja telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar bersama 
seekor serigala besar bermata merah menakutkan. Dan setelah 
itu kami tidak ingat apa-apa lagi, sampai tahu-tahu Kakang telah 
berada di sini,” lanjut kepala jaga itu sungguh-sungguh. 
“Jadi, kau tidak tahu apa yang telah membuat kau dan anak 
buahmu pingsan?” desak Dirjalaga dengan wajah membayang-
kan keheranan besar. 
“Aku tidak tahu, Kakang. Aku hanya melihat sosok tinggi 
besar itu melompat ke arahku dengan kecepatan luar biasa. 
Itulah yang kuingat,” jawab orang itu sambil menghela napas 
berat. Sepertinya ia masih merasa ngeri dengan kejadian yang 
dialaminya. 
“Hm.... Aneh! Mengapa orang itu tidak membunuh kalian?” 
gumam Dirjalaga yang kemudian beranjak bangkit dan berjalan

ke arah pintu. Laki-laki gemuk berkumis lebat itu memutar 
otaknya berusaha mencari jawaban. 
“Mungkin ia tidak ingin berurusan dengan tentara kerajaan, 
sehingga tidak membunuh kami semua. Sepertinya ia hanya 
membunuhi semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja ini, 
Kakang. Hanya saja, untuk apa mereka membunuh, kami 
belum tahu,” sahut kepala jaga itu mengemukakan pendapat-
nya. 
“Hm.... Dugaanmu itu cukup beralasan, Adi. Tapi, dengan 
melakukan pembunuhan di wilayah kotaraja, bukankah itu sama 
artinya menantang pihak pemerintah?” kata Dirjalaga, meminta 
pendapat 
“Sepertinya ia tidak berpikir sejauh itu, Kakang,” kata kepala 
jaga sambil mengangguk-angguk membenarkan ucapan 
Dirjalaga. 
“Sudahlah. Apa pun maksud pembunuh itu, ia tetap harus 
berhadapan dengan kita! Aku harus segera kembali. Uruslah 
mayat-mayat itu baik-baik. Kasihan sekali tokoh-tokoh 
persilatan itu. Jauh-jauh mereka datang, ternyata hanya untuk 
menjadi korban pembunuh biadab itu.” 
Setelah berkata demikian, Dirjalaga segera mengajak anak 
buahnya untuk meninggalkan tempat itu. 
*** 
Dirjalaga dan pasukan kecilnya bergegas kembali ke pusat 
kota. Mereka menduga, si pembunuh itu pasti telah berada di 
dalam kotaraja. Maka mereka harus bergegas untuk mencegah 
perbuatan orang biadab itu yang mungkin akan melakukan 
pem-bunuhan lagi! 
Belum lagi Dirjalaga dan pasukannya sempat memasuki 
pusat kota, tiba-tiba saja sepasang matanya menangkap 
kelebatan beberapa sosok bayangan di depannya. Cepat-cepat ia

melompat menghadang. 
“Hei, berhenti...!” bentak Dirjalaga. 
Sambil melompat menghadang, Dirjalaga mencabut keluar 
senjatahya. Dan perwira itu begitu terkejut melihat sosok tubuh 
tinggi besar bersama seekor serigala besar yang nampak sangat 
buas. Di belakangnya, terlihat empat sosok tubuh berseragam 
hitam yang mengenakan penutup kepala. 
“Grrhhh...!” 
Serigala bermata merah saga itu menggereng, sambil 
menatap Dirjalaga. Binatang buas yang siap menerkam itu 
melangkah mundur sambil menggereng lirih ketika mendengar 
siulan majikannya. Meskipun begitu, sepasang matanya yang 
memancarkan kekuatan gaib itu tetap menatap ke arah 
Dirjalaga. 
“Binatang iblis...!” desis Dirjalaga. 
Tubuh perwira itu bergetar, bahkan terasa lemah ketika 
sempat beradu pandang dengan sepasang mata liar yang merah 
dan menakutkan itu. Segera dapat diduga kalau binatang buas 
itu pasti bukan binatang sembarangan dan tidak dapat disama-
kan dengan serigala-serigala hutan lainnya. Hal itu terlihat jelas 
dari perbawa yang terpancar dari penampilannya. Bahkan suara 
gerengannya pun terasa mengandung kekuatan aneh. 
Sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak mem-
pedulikan Dirjalaga. Tangannya digerakkan, agar empat orang 
berseragam hitam yang berada di belakangnya mengatasi 
Dirjalaga. Sedangkan ia dan serigala bermata merah itu siap 
meninggalkan tempat. 
“Tunggu...!” teriak Dirjalaga yang segera melompat meng-
hadang sosok tubuh tinggi besar itu. “Kau tidak boleh 
meninggalkan tempat ini tanpa seizinku, Kisanak! Siapakah 
kalian? Dan apa maksud kalian berkeliaran pada tengah malam 
seperti ini?” 
Dirjalaga berusaha menekan rasa gentar di hatinya. Meski

pun tahu kalau wajahnya saat itu sangatlah tegang, namun 
Dirjalaga berusaha menunjukkan tanggung jawabnya terhadap 
tugas. 
“Hei, Prajurit! Lebih baik jangan mencampuri urusan kami! 
Dan biarkanlah ketua kami pergi!” bentak salah seorang 
berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus. Suaranya 
terdengar melengking bagai suara wanita. 
Dirjalaga menjadi marah melihat empat orang yang telah 
berdiri menghadang dengan senjata terhunus. Sedangkan orang 
tinggi besar yang disebut sebagai ketua itu berdiri tegak di 
belakang empat orang anak buahnya. Tatapan matanya tajam ke 
arah Dirjalaga yang seketika itu juga jadi gemetar tubuhnya. 
Sehingga tanpa sadar, kakinya bergerak mundur dengan wajah 
pucat. Hebat sekali perbawa yang keluar dari sepasang mata 
tersembunyi di balik kerudung yang menutupi kepala itu. 
Tujuh orang anak buah Dirjalaga yang semula menodongkan 
tombak, jatuh terduduk dengan kaki terasa bagai lumpuh. 
Tubuh mereka bahkan menggigil hebat bagaikan orang 
terserang demam. Tentu saja hal itu membuat sang Pemimpin 
semakin terkejut. 
“Pergilah kalian, Prajurit-Prajurit Bodoh! Tinggalkan 
tempat ini sebelum pikiranku berubah!” ancam sosok tubuh 
tinggi besar itu dengan suara serak dan berat. Nadanya pun 
terdengar dingin dan kaku sehingga sanggup membuat seorang 
penakut menjadi pingsan seketika itu juga. 
“Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup menjadi seorang 
pengecut yang hanya jadi bahan tertawaan orang lain!” teriak 
Dirjalaga mengeraskan hatinya. 
Sebagai seorang prajurit yang telah terlatih baik, tentu saja 
ia tidak takut mengorbankan nyawa demi kepentingan negara-
nya. 
Mendengar bantahan Dirjalaga, orang tinggi besar itu ter-
dengar menggeram gusar. Lalu keempat anak buahnya di

perintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kemudian, 
pandangannya kembali dialihkan kepada Dirjalaga yang telah 
melintangkan pedang di depan dada. 
“Bagus...! Hatimu ternyata cukup berani. Hati orang-orang 
sepertimulah yang sangat dibutuhkan sahabatku ini untuk 
menambah kekuatan,” kata orang tinggi besar itu, yang 
kemudian disambut gerengan serigala yang berada di samping-
nya. 
“Apa..., apa maksudmu...?” tanya Dirjalaga dengan wajah 
semakin pucat. Hatinya bergidik ngeri karena sudah dapat 
menduga maksud ucapan orang itu. 
“Auuungngng...!” 
Serigala itu tiba-tiba melolong panjang, seperti sudah 
mengerti ucapan majikannya. 
“Nah, dengarlah. Sahabatku ini sudah tidak sabar untuk 
segera mengunyah hatimu.” 
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu pun 
bersuit perlahan. 
“Ahhh...!” 
Dirjalaga melangkah mundur ketika melihat serigala itu 
sudah melangkah perlahan mendekatinya. Sedangkan orang 
tinggi besar itu malah tertawa terbahak-bahak. 
“Hiaaa...!” 
Untuk menguatkan hatinya, Dirjalaga berteriak sekuat-
kuatnya. Kemudian senjatanya digerakkan untuk melindungi 
tubuh. 
“Grrhhh...!” 
Serigala buas itu menggereng lirih sambil memperlihatkan 
taringnya yang runcing bagaikan ujung-ujung pedang yang siap 
merobek tubuh. Sepasang matanya yang merah itu menatap 
calon korbannya lekat-lekat Sesaat kemudian, tubuh binatang 
itu melompat menerkam. 
“Yeaaah...!”


Melihat serigala itu sudah mulai menerjang, Dirjalaga 
mengayunkan senjata untuk menebas putus tubuh binatang itu. 
Namun laki-laki gemuk itu menjadi terkejut bukan main ketika 
serigala itu ternyata mampu mengelakkan sambaran senjatanya. 
Bahkan kecepatannya benar-benar di luar dugaan. Sehingga 
Dirjalaga terpaksa harus melompat mundur untuk menghindari 
terkaman binatang itu. 
“Binatang keparat, mampuslah!” bentak Dirjalaga kembali 
mengayunkan senjata ketika serigala itu mengejarnya. “ 
Bagaikan orang kemasukan setan, pedangnya diayunkan 
berkali-kali dengan membabi buta. Namun setiap kali 
senjatanya menyambar, selalu saja dapat dihindari binatang itu. 
Dan setelah melakukan serangan selama sepuluh jurus tanpa 
hasil, akhirnya laki-laki gemuk itu tidak mampu lagi untuk 
menghindari taring, serigala yang menghunjam urat lehernya. 
“Aaargh...!” 
Dirjalaga meraung panjang ketika binatang itu merajam 
tubuh dan mengambil hatinya. Darah seketika menyembur dari 
perutnya yang koyak. Lalu, serigala itu melahapnya dengan 
rakus di depan tujuh orang prajurit yang hanya dapat 
memandang terbelalak penuh kengerian. 
“Auuungngng...!” 
Serigala siluman itu melolong panjang setelah menelan habis 
hati Dirjalaga yang tewas dalam keadaan menyedihkan. 
Tubuh ketujuh orang anak buah Dirjalaga menggigil hebat. 
Tiga orang di antaranya langsung menggeletak pingsan karena 
tidak sanggup menahan rasa takut yang hebat. Bahkan ada yang 
sampai terkencing-kencing. 
“Hm.... Tikus-tikus tidak berguna! Sebaiknya kalian pun 
kukirim ke akhirat untuk menemani pemimpinmu itu!” ancam 
laki-laki tinggi besar sambil melangkah maju mendekati ketujuh 
orang prajurit itu. 
Tanpa mempedulikan rasa takut mereka, tangan orang itu

bergerak cepat. Terdengar suara keras yang disertai percikan 
darah segar, bercampur warna putih kental. 
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kelima orang 
prajurit yang masih sadar, langsung tewas dengan kepala pecah. 
Demikian pula kedua orang lainnya yang semula masih ter-
geletak pingsan. Mereka juga mengalami nasib yang serupa 
dengan kelima orang kawannya. 
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya, sosok tubuh tinggi 
besar itu berkelebat lenyap bersama anak buah dan binatang 
peliharaannya yang mengerikan. 
Malam pun kembali hening. Hanya suara binatang-binatang 
malam saja yang masih setia menemani kepekatan. Bau anyir 
darah mulai menyebar ke sekitarnya. 
***
ENAM

Keesokan harinya suasana kotaraja kembali terjadi kegemparan. 
Kejadian kali ini bahkan lebih berat dari sebelumnya. Masalah-
nya, bukan saja mayat dua puluh orang tokoh persilatan saja 
yang tewas dengan kepala terpisah. Bahkan kini terdapat tujuh 
mayat prajurit dan seorang perwira. Keadaan di tempat 
kejadian memang telah dikerumuni orang. Sebagian, malah ada 
yang muntah-muntah. Di antara kerumunan itu tampak seorang 
pemuda berjubah putih dan seorang gadis berpakaian serba 
hijau. Di samping itu, ada pula dua orang pemuda. Seorang 
bertubuh gagah. Dan seorang lagi berwajah tampan. 
“Gila! Ini sudah keterlaluan!” teriak seorang lelaki gagah 
yang mengenakan pakaian perwira. Dia memang telah men-
dapat laporan dari anak buahnya. Makanya, dia langsung men-
datangi tempat itu. Dan kini hatinya benar-benar marah setelah 
menyaksikan kekejaman itu. 
“Kita harus segera mengambil tindakan. Kalau tidak, maka 
iblis itu akan semakin mengganas!” tegas laki-laki lain yang ber-
pakaian perwira juga. Laki-laki bertubuh kekar berusia lima 
puluh tahun lebih itu mengepalkan tinjunya dengan wajah 
terbakar. 
“Ya! Kita harus mengadakan pembersihan! Mulai hari ini, 
tidak ada seorang pun yang boleh membawa-bawa senjata. Bagi 
mereka yang akan mengikuti ujian, akan kita kembalikan 
senjatanya di waktu ujian nanti. Sekarang juga kita harus 
menyita setiap senjata yang dibawa tokoh-tokoh persilatan.” 
Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk segera 
menguburkan mayat-mayat, kedua orang perwira itu bergegas 
meninggalkan tempat. Mereka juga segera menyiapkan pasukan 
untuk mengadakan pembersihan besar-besaran.

“Celaka! Kita harus segera meninggalkan kotaraja sekarang 
juga, Kakang!” bisik seorang gadis cantik berpakaian serba hijau 
kepada seorang pemuda tampan berjubah putih. 
Kemudian keduanya bergegas menyeruak di antara 
kerumunan orang yang tengah menyaksikan puluhan sosok 
mayat yang mengerikan itu. Dua orang pemuda lainnya ber-
gegas mengikuti kedua orang itu. 
“Hhh..., keadaan sudah semakin gawat! Dengan adanya 
peraturan yang baru dikeluarkan itu, kita tidak bisa bergerak 
leluasa untuk melakukan penyelidikan. Entah apa yang harus 
diperbuat sekarang?” desah pemuda tegap berwajah gagah, 
dengan suara rendah. 
“Tenanglah, Balira. Yang terpenting sekarang, kita harus 
keluar dari kotaraja secepatnya. Setelah itu, baru dipikirkan 
langkah apa yang akan kita ambil,” sahut pemuda berjubah putih 
yang tak lain adalah Panji. 
“Kakang Panji benar, Kakang Balira,” timpal pemuda 
tampan berwajah halus yang tak lain Lunjita. “Ayolah kita 
bergegas sebelum perintah itu menyebar luas. Masalahnya kalau 
sudah demikian, kita pasti akan kesulitan keluar dari wilayah 
kotaraja ini.” 
Keempat orang sahabat itu segera mengerahkan ilmu lari 
cepatnya begitu tiba di tempat yang agak sepi. Setidaknya agar 
tidak menimbulkan kecurigaan. 
Panji, Kenanga, Balira dan Lunjita rnenjadi terkejut ketika 
tahu kalau yang akan meninggalkan kotaraja ternyata bukan 
hanya mereka berempat. Tapi banyak juga tokoh persilatan 
lainnya yang sudah bergerak meninggalkan kota itu. Mereka 
rata-rata bergerak menuju pintu gerbang sebelah Barat, karena 
hanya di situlah tempat yang sepi dan jarang dilewati orang. 
Para tokoh persilatan yang hendak meninggalkan kotaraja 
semakin mempercepat larinya ketika mendengar suara derap 
kaki kuda di belakang mereka.

“Saudara-saudara harap berhenti sebentar...!” 
Terdengar sebuah seruan yang mengandung pengerahan 
tenaga dalam. Sehingga sebelum si empunya suara muncul, 
suaranya sudah terdengar jauh ke depan. 
Namun tokoh-tokoh persilatan itu sama sekali tidak mem-
pedulikannya. Bahkan mereka semakin mempercepat larinya 
menuju pintu gerbang yang hanya tinggal beberapa belas 
tombak lagi itu. Mereka sebenarnya bukan karena takut 
menghadapi, tapi hanya sekadar menghindar. Ini dilakukan agar 
senjata mereka tidak dirampas prajurit. Dan kalau mereka 
melawan, akan dituduh memberontak. 
Bagi Panji dan Kenanga, sebenarnya mudah saja untuk 
segera melewati pintu gerbang itu. Dan memang, dengan 
kepandaian yang dimiliki, mereka dapat bergerak jauh lebih 
cepat daripada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Ini karena ilmu 
meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf kesempurna-
an. Namun karena merasa tidak tega terhadap kedua orang 
sahabatnya, maka mereka tidak melakukan hal itu. Keduanya 
tetap berlari di samping Balira dan Lunjita. 
“Sahabat-sahabat, sekali lagi kami peringatkan! Berhenti atau 
kalian semua akan ditangkap dan dituduh sebagai pem-
berontak!” 
Teriakan itu kembali terdengar. Bahkan kali ini disertai 
sebuah ancaman yang mau tak mau membuat para tokoh 
persilatan itu agak memperlambat larinya. Beberapa orang di 
antaranya menoleh ke belakang, untuk melihat rombongan 
berkuda yang tengah mengejar. 
“Persetan dengan ancaman itu! Kalau senjata-senjata kita 
disita, lalu bagaimana harus melindungi diri dari ancaman 
pembunuh biadab itu?” rungut salah seorang tokoh. 
Dia rupanya tidak bersedia mengikuti perintah itu, dan 
malah semakin mempercepat larinya. Apa lagi pintu gerbang 
sudah tinggal sekitar sepuluh tombak. Tentu saja ucapan orang
itu membuat yang lain kembali mempercepat larinya. Lagi 
pula, bagi seorang tokoh persilatan, senjata merupakan nyawa 
kedua. Dan ingatan itu membuat para tokoh persilatan kembali 
mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mencapai pintu gerbang. 
Lelaki gagah berpakaian perwira yang memimpin dua puluh 
lebih prajurit, menjadi geram ketika melihat para tokoh 
persilatan tetap membandel. Maka kejengkelannya pun semakin 
menjadi-jadi. 
“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan seorang pun dari 
mereka yang melewati pintu gerbang!” teriak perwira itu 
disertai pengerahan tenaga dalamnya. Akibatnya, suaranya 
dapat terdengar jelas oleh para prajurit yang menjaga gerbang 
sebelah Barat itu. 
Para prajurit pintu gerbang yang semula tidak mengerti 
mengapa orang-orang itu berlari menuju pintu gerbang, 
tersentak kaget setelah mendengar perintah itu. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, beberapa orang dari penjaga itu 
bergegas menutup pintu gerbang. Sedangkan kepala jaga pintu 
gerbang dan prajurit lainnya berdiri menghadang jalan dengan 
senjata terhunus. Meskipun mereka sama sekali belum 
mengetahui penyebab para tokoh persilatan itu berlarian, 
namun gerakan mereka begitu sigap, menuruti perintah 
atasannya. 
Serentak para tokoh persilatan itu menghentikan larinya 
ketika melihat pintu gerbang telah bergerak menutup. 
Beberapa orang tokoh persilatan menolehkan kepalanya ke 
belakang, ke arah rombongan berkuda yang mengeluarkan 
perintah itu. 
“Tenang, Saudara-Saudara! Aku sama sekali tidak ber-
maksud buruk. Tapi kalau boleh bertanya, apakah yang 
menyebabkan kalian hendak meninggalkan kotaraja ini? Apakah 
kalian tidak berniat untuk mengikuti ujian yang akan dibuka 
Gusti Prabu? Bukankah itu yang menjadi tujuan utama kalian

untuk datang ke kotaraja ini?” tanya perwira bertubuh tegap 
dan gagah itu sambil melompat turun dari atas punggung kuda. 
Salah seorang tokoh persilatan bergegas maju dan meng-
hadapi perwira gagah itu. 
“Tuan Perwira. Memang betul, beberapa orang di antara 
kami mempunyai tujuan seperti yang Tuan katakan itu. Tapi 
yang membuat kami hendak meninggalkan kotaraja dan 
membatalkan niat itu, adalah rasa keberatan untuk menyerah-
kan senjata yang kami miliki. Dan menurut hamba, semua 
tokoh yang sekarang ada di sini sudah pasti merasa keberatan 
dengan keputusan yang diambil itu,” jelas tokoh persilatan itu. 
Dia berwajah tampan dan masih termasuk muda. Usianya 
paling banyak baru sekitar tiga puluh tahun. Kata-katanya 
dikeluarkan dengan suara lantang, meskipun tetap penuh rasa 
hormat. Karena yang dihadapinya itu adalah seorang pembesar 
kerajaan yang memang harus dihormati. 
“Maaf, Kisanak. Keputusan yang kuambil itu tentu saja 
bukan karena mencurigai kalian semua. Tapi semua ini 
dilakukan demi kebaikan semua tokoh persilatan yang saat ini 
berada di dalam kotaraja. Hal itu kuambil agar tidak terjadi 
perpecahan dan saling curiga di antara kalian. Sedangkan senjata 
kalian akan kami kembalikan pada saat ujian dilangsungkan. 
Sedangkan bagi para tokoh yang datang hanya untuk 
menyaksikan, maka senjatanya akan dikembalikan setelah ujian 
selesai. Nah, apakah keputusan yang kuambil itu salah?” jelas si 
perwira itu. 
Dia sama sekali tidak marah mendengar bantahan tokoh 
muda itu. Karena semua yang dikatakannya memang sebuah 
kebenaran. 
“Maaf, Tuan Perwira, bukan hamba bermaksud membantah 
ataupun menentang keputusan yang telah diambil itu. Tapi 
perlu diketahui, pedang atau senjata lainnya bagi seorang tokoh 
persilatan merupakan nyawa kedua. Dan lagi, kalau tanpa


senjata di tangan, lalu bagaimana kami harus menghadapi si 
pembunuh apabila datang kepada kami? Sedangkan dengan 
menggunakan senjata saja kami masih ragu untuk dapat 
mempertahankan nyawa. Lalu, bagaimana kalau kami tidak 
bersenjata?” kilah tokoh muda berwajah gagah itu. Dan 
memang, secara tidak langsung para tokoh lainnya seperti telah 
menunjuk pemuda itu sebagai wakil mereka. Sehingga, mereka 
hanya ikut mendengar perdebatan yang berlangsung cukup seru 
itu. 
“Tapi maaf, Kisanak. Sayangnya keputusan itu bukan hanya 
datang dari seorang saja. Ketentuan itu sudah menjadi 
keputusan rapat beberapa orang perwira yang bertugas menjaga 
keamanan penduduk maupun orang-orang yang berada dalam 
lingkungan kotaraja. Namun demikian, kami juga berjanji akan 
menjaga keselamatan semua tokoh persilatan yang datang ke 
kotaraja dengan taruhan nyawa. Jadi, diharap sudilah saudara-
saudara menolong kami untuk menyingkap tabir pembunuh 
yang selama ini masih belum berhasil ditemukan,” sanggah 
perwira itu dengan suara tenang dan lembut 
Sikap perwira itu, sama sekali tidak menunjukkan 
kesombongan. Padahal kalau mau, ia dapat saja memaksa 
dengan menggunakan kekerasan. 
Mendengar ucapan perwira dan janji yang diberikan perwira 
gagah berusia setengah baya itu, beberapa orang tokoh 
persilatan segera melangkah maju ke arah rombongan prajurit 
berkuda itu. 
“Baiklah. Kami bersedia kembali dan menyerahkan senjata 
untuk dititipkan kepada Tuan,” kata salah seorang tokoh 
persilatan mewakili kawan-kawannya, sambil membungkuk 
hormat kepada si perwira. 
“Terima kasih atas kebijaksanaan saudara-saudara sekalian. 
Bagaimana dengan yang lainnya?” kata perwira itu sambil 
tersenyum. Matanya memandang penuh permohonan ke arah

delapan orang tokoh persilatan yang masih belum bersedia 
menyerahkan senjatanya. Termasuk Panji, Kenanga, Balira, dan 
Lunjita. 
Empat orang tokoh itu saling bertukar pandang, seolah-olah 
meminta pendapat. Sedangkan Panji, Kenanga, dan dua orang 
sahabatnya menjadi gelisah. Dan memang, niat mereka me-
masuki kotaraja adalah untuk menyelidiki tentang 
pembunuhan. Apalagi pedang yang berada pada punggung 
Pendekar Naga Putih bukanlah senjata sembarangan. Dan 
bukan tidak mungkin apabila pedang pusakanya diserahkan, 
para perwira kerajaan akan tertarik dan menahan pedangnya. 
Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Panji menjadi cemas. 
Mestikah menyerahkan diri? Atau terpaksa melarikan diri dan 
dianggap sebagai pemberontak? Pemuda berjubah putih itu 
berpikir keras mencari penyelesaian dalam menghadapi keadaan 
yang sangat sulit ini. 
Dada Panji berdebar ketika melihat keempat orang tokoh 
persilatan yang semula bertahan bersamanya, mulai melangkah 
mendekati pasukan yang dipimpin perwira gagah itu. Seperti-
nya keempat orang tokoh itu sudah mengambil keputusan yang 
menurut mereka jalan satu-satunya yang paling baik. 
“Aku tidak mungkin menyerahkan senjataku ini, Kenanga. 
Aku takut mereka akan berpikiran lain begitu melihat pedang 
pusaka ini,” bisik Panji kepada kekasihnya. 
Mendengar bisikan itu, Kenanga baru sadar kalau pedang 
yang dimiliki kekasihnya bukan pedang sembarangan. Dan 
mungkin tidak ada duanya dalam dunia persilatan. Sadar kalau 
pemuda itu menyerahkan keputusan di tangannya, Kenanga 
terpaksa mengambil keputusan. Padahal, dia semula telah me-
mutuskan untuk menyerahkan diri. Cepat kepalanya menoleh 
kepada Balira dan Lunjita. 
“Bagaimana dengan kalian? Apakah sudah mengambil 
keputusan?” tanya Kenanga.

Dia memang ingin mengetahui, keputusan apa yang akan 
diambil kedua orang yang pernah diselamatkannya itu. 
Sepasang matanya yang bening dan indah menatap, menuntut 
jawaban secepatnya. Sebab saat itu mereka sudah tidak 
memiliki banyak waktu. 
“Nah! Sekarang, tinggal kalian berempat. Bagaimana? 
Apakah kalian tidak ingin berkorban sedikit demi kepentingan 
kita bersama?” tanya perwira gagah itu sambil memandangi 
keempat orang pemuda yang masih belum memberi keputusan. 
Melihat Balira dan Lunjita belum juga mengambil 
keputusan, maka Panji segera melangkahkan kakinya ke depan. 
Wajah pemuda itu tetap tenang meskipun dadanya berdebar 
tegang. Ia sadar kalau kotaraja bukanlah tempat yang dapat 
dibuat main-main. Sebab kota itu boleh dikatakan tempat 
berkumpulnya orang sakti yang mengabdikan dirinya untuk 
kepentingan kerajaan. Biar bagaimanapun tabahnya hati 
Pendekar Naga Putih, namun tetap merasa tegang mengingat 
akan hal itu. 
“Maaf, Tuan Perwira. Dengan sangat terpaksa, kami tidak 
bisa memenuhi permintaan itu. Tapi bukan berarti kami tidak 
bersedia berkorban. Kami rela menyerahkan nyawa demi 
kepentingan kerajaan. Tapi untuk yang satu ini, kami terpaksa 
tidak bisa menurutinya. Sekali lagi, mohon maaf,” ucap 
Pendekar Naga Putih dengan suara lembut dan sopan. 
Perwira itu tertegun sejenak mendengar kata-kata Panji 
yang berani menolak perintahnya. Tapi karena kata-kata 
pemuda itu sangat sopan dan hormat, ia tidak mempunyai 
alasan untuk marah. Laki-laki gagah berpakaian perwira itu 
termenung sejenak seperti hendak mencari jalan yang terbaik 
untuk menyelesaikan masalah itu. 
“Kau tentu mempunyai alasan yang kuat untuk itu, Anak 
Muda. Boleh kutahu, apa alasanmu itu?” tanya perwira itu 
seraya tersenyum sabar.

“Maaf, Tuan. Karena beberapa orang yang terbunuh adalah 
sahabat kami, maka kami telah bertekad untuk mencari 
pembunuh itu dan menyelesaikannya dengan cara kami sendiri. 
Selain itu, juga ada alasan kami yang lain. Tapi sayang, hal itu 
tidak bisa dijelaskan saat ini,” jelas Panji Pendekar Naga Putih 
sama sekali tidak berdusta. Sebab menurutnya, setiap tokoh 
persilatan yang berada pada jalan lurus adalah sahabatnya. 
Sedangkan alasan yang tidak bisa diceritakannya adalah tentang 
keterkaitannya kedua orang sahabatnya yaitu Balira dan Lunjita, 
dengan tuduhan pembunuhan atas delapan tokoh persilatan 
yang menjadi korban pertama. Masalahnya, kalau hal itu 
diceritakannya, ada kemungkinan kedua orang sahabatnya akan 
dibawa dan diperiksa oleh para perwira kerajaan. Begitu 
mendengar jawaban pemuda berjubah putih itu, seorang 
perwira lainnya melompat turun dari atas punggung kuda. Dari 
raut wajahnya yang gelap, jelas kalau dia merasa marah dengan 
alasan Pendekar Naga Putih. 
“Anak muda! Sadarkah kau dengan ucapanmu itu?! Dengan 
ingin menyelesaikan masalah ini sendiri, berarti telah membuat 
para perwira kerajaan merasa terhina! Kata-katamu itu sama 
artinya dengan merendahkan kemampuan kami. Itu sama saja 
menuduh, kalau kami tidak becus untuk menangkap pembunuh 
biadab itu! Hm.... Aku jadi ingin mengetahui, sampai di mana 
kepandaian yang kau miliki sehingga bersikap sombong di 
hadapan kami, para petugas kerajaan.” 
Setelah berkata demikian, perwira yang sepertinya bersifat 
berangasan itu melangkah maju dan siap bertempur. 
Sementara itu, perwira gagah yang tadi berbicara dengan 
Panji tidak berkata apa-apa. Bahkan terlihat bergerak mundur 
seperti hendak memberikan peluang kepada rekannya. 
Sepertinya perwira gagah itu juga ingin melihat, sampai di mana 
kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berjubah putih 
sehingga ingin menangkap si pembunuh dengan tangannya

sendiri. 
“Bersiaplah, Anak Muda! Aku hendak menguji 
kesombonganmu. Dan kalau kepandaianmu ternyata tidak 
sebesar omonganmu, lebih baik belajar lagi selama sepuluh 
tahun. Setelah itu, mungkin kau baru boleh menyombongkan 
diri,” tantang perwira berangasan berwajah kecoklatan itu. 
Raut wajah perwira itu terlihat keras membayangkan sifat 
aslinya. Tubuhnya tinggi besar dan terlihat kokoh dan kuat. 
Sekali melihat saja, Panji sudah dapat menilai kalau dia pasti 
memiliki tenaga luar yang besar. Hal itu terlihat jelas dari 
bentuk tubuhnya yang bagai sebongkah batu karang. 
“Maaf, Tuan. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. 
Dan aku mohon maaf apabila ucapanku tadi telah 
menyinggungmu,” ucap Panji dengan suara masih tetap tenang 
dan sopan. 
***

TUJUH

Perwira berangasan yang tinggi besar dan kokoh itu sama sekali 
tidak mempedulikan ucapan Panji. Kakinya yang kokoh, terus 
saja melangkah mendekati pemuda berjubah putih itu. Langkah-
nya baru berhenti ketika jarak di antara mereka hanya tinggal 
satu batang tombak lagi. 
“Tidak perlu banyak cakap! Dan jangan khawatir! Aku maju 
bukan atas nama kerajaan, tapi atas namaku sendiri! Kau tidak 
akan dituduh sebagai pemberontak apabila sanggup mengalah-
kan aku. Jadi, tidak ada yang perlu ditakuti!” tegas perwira itu 
sambil memasang kuda-kuda. “Lihat serangan!” 
Setelah berkata bernada peringatan, perwira itu melompat 
dan melancarkan pukulan yang menimbulkan desir angin tajam. 
Bettt! Bettt! 
Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang, meng-
hindari pukulan-pukulan yang mendatangkan angin kuat. Tentu 
saja hal itu membuat si perwira jadi penasaran. Ternyata 
pukulannya yang bertubi-tubi dapat dihindari lawan dengan 
mudah. Maka kini serangan-serangannya semakin dipergencar. 
Bahkan kali ini sudah menggunakan kaki untuk membantu 
serangan. 
Melihat betapa lawannya semakin ganas dalam melancarkan 
serangan, Panji mulai membalas sesekali. Masalahnya, Pendekar 
Naga Putih tidak ingin dianggap merendahkan lawan. Serangan 
balasannya itu dimaksudkan hanya untuk menghalau gelombang 
serangan lawan yang semakin dahsyat dan menggebu-gebu. 
Dugkh! 
“Uhhh...!” 
Perwira tinggi besar itu terjajar mundur beberapa langkah 
ke belakang ketika pukulannya yang mengarah dada ditangkis

Pendekar Naga Putih. Lengannya seketika terasa bagai 
dibenturkan pada sebatang logam bulat yang kuat dan dingin. 
Dan kini, wajahnya terlihat agak meringis menahankan rasa 
nyeri akibat tangkisan itu. Namun hal itu tidak membuatnya 
jera. Malah sebaliknya hatinya semakin penasaran. Perwira itu 
masih merasa ragu, kalau rasa nyerinya disebabkan tenaga 
lawan. Dia kemudian menghibur diri dengan menyalahkan 
kedudukannya yang memang agak lemah pada saat menyerang 
tadi. Perwira itu kembali bersiap melancarkan serangan 
berikut. 
Pendekar Naga Putih sendiri sebenarnya sempat dibuat 
terkejut ketika merasakan betapa kuatnya tenaga yang dimiliki 
perwira itu. Buktinya, tangannya sempat terasa bergetar ketika 
menangkis pukulan lawan tadi. Dan itu membuatnya lebih 
berhati-hati dalam melayani serangan-serangan selanjutnya. 
“Hmh...!” 
Sambil menggeram keras, perwira tinggi besar itu men-
dorong telapak tangannya ke atas. Kemudian diturunkan, dan 
disilangkan di depan dada untuk diteruskan dengan dorongan 
ke depan disertai hembusan napasnya. Setelah itu, kaki kanan-
nya ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tangan 
kirinya yang membentuk kepalan, disejajarkan dengan muka 
dan agak bengkok pada bagian sikutnya. Sedangkan kepalan 
tangan kanannya dilintangkan di atas kepala dengan punggung 
kepalan berada di dalam. Sepertinya, kali ini perwira itu telah 
menyiapkan ilmu andalan untuk menghadapi Panji. 
Pendekar Naga Putih yang menyadari akan kekuatan tenaga 
lawan telah pula mempersiapkan jurusnya. Pemuda itu pun 
mulai mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. 
Semangatnya dikempos, dan sebagian tenaganya dikerahkan 
yang kemudian disalurkan ke seluruh anggota tubuhnya. Sesaat 
kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan pun muncul 
menyelimuti sekujur tubuhnya. Maka pemuda itu kini bagaikan

makhluk asing yang turun ke permukaan bumi. 
“Pendekar Naga Putih...!” 
Beberapa orang tokoh persilatan yang pernah mendengar 
tentang ciri-ciri pendekar muda itu, berseru tertahan. Nada 
suara mereka jelas menggambarkan perasaan kagum, girang, 
dan juga kelegaan. Sebersit harapan mulai tergambar di wajah 
mereka. Dan memang, dengan kehadiran pendekar muda yang 
telah mengguncangkan dunia persilatan itu, mereka berharap 
agar kekacauan yang terjadi di kotaraja segera dapat di-
tanggulangi Pendekar Naga Putih. 
Perwira gagah berwajah lembut dan perwira tinggi besar 
berwatak berangasan, tertegun sejenak. Mereka juga sempat 
terkejut melihat lapisan kabut putih keperakan yang menye-
limuti tubuh pemuda berjubah putih itu. Keterkejutan mereka 
semakin bertambah ketika mendengar seruan tokoh-tokoh 
persilatan yang menyebut Pendekar Naga Putih disertai 
gambaran perasaan masing-masing. Diam-diam mereka merasa 
kagum terhadap ilmu tingkat tinggi yang dimiliki pendekar 
kondang itu. 
“Ha ha ha...! Bagus... Bagus! Setelah aku mengetahui siapa 
adanya kau, keinginanku untuk mengujimu semakin besar. 
Tunjukkanlah kesaktianmu, Pendekar Naga Putih! Sebab, aku 
memang sudah lama ingin menguji sampai di mana kepandaian 
tokoh muda yang telah menggegerkan rimba persilatan itu. 
Ayolah, Pendekar Naga Putih. Jangan kecewakan aku,” pinta 
perwira tinggi besar itu. 
Dia memang semakin gembira setelah mengetahui jati diri 
pemuda berjubah putih yang menjadi lawannya. Hal itu 
ternyata membuatnya semakin bersemangat. 
“Heaaat..!” 
Diiringi teriakan nyaring, tubuh perwira tinggi besar itu 
melompat. Dia melancarkan serangan lewat kaki dan tangan-
nya. Serangkum angin berkesiutan mengiringi pukulan dan

tendangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi itu. 
Namun Pendekar Naga Putih sudah bisa menebak serangan itu. 
Maka, tubuhnya langsung bergerak ke kiri dan ke kanan 
menghindari terjangan-terjangan lawan. Sesekali tangannya 
bergerak menangkis pukulan dan tendangan yang tidak sempat 
dielakkan. Dan setiap kali pukulan maupun tendangan si 
perwira itu tertangkis, tubuh tinggi besar itu terdorong 
mundur dengan wajah meringis menahan sakit. Bahkan 
beberapa kali terlihat tubuhnya menggigil apabila terkena 
tangkisan Pendekar Naga Putih yang cukup kuat. Meskipun 
demikian, perwira itu sama sekali tidak gentar. Serangan-
serangannya tetap menggebu-gebu. Maka, mau tak mau Panji 
menjadi mangkel dibuatnya. 
Wuuut! Bettt! 
Pendekar Naga Putih memiringkan tubuh ke kiri mem-
biarkan pukulan dan tendangan lawan lewat sisi tubuhnya. Saat 
itu juga tangan kiri pemuda itu melakukan serangan balasan ke 
dada lawan yang terbuka. Perwira tinggi besar itu terlihat 
kaget, karena sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan 
membalas serangan demikian mendadak. Cepat-cepat tubuhnya 
dilempar ke belakang untuk menghindari hantaman punggung 
tangan lawan. Namun sayang, gerakan Pendekar Naga Putih 
ternyata jauh lebih cepat. Sehingga meskipun tidak terlalu 
telak, tetap saja tubuh tinggi besar itu terdorong mundur ketika 
kepalan Panji mengenai dadanya. 
Bugkh! 
“Heghk...!” 
Tubuh tinggi besar itu terdorong sejauh dua batang tombak 
lebih disertai jeritan kesakitan. Wajah perwira itu memucat dan 
giginya bergemeletuk menahan hawa dingin yang menyelusup 
ke dalam tubuhnya, akibat pukulan Pendekar Naga Putih. Dari 
kedua sudut bibirnya tampak mengalir cairan kental berwarna 
merah.

“Hhh..., hhh.... Kau hebat, Pendekar Naga Putih. Rasanya 
aku tidak perlu melanjutkan pertarungan ini. Kini aku yakin 
kalau aku tidak mungkin dapat menandingimu. Kupikir, kalau 
kau bertangan kejam, pasti tubuhku akan terbujur kaku. Itukah 
ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang telah tersohor di dunia 
persilatan?” kata perwira bertubuh tinggi besar itu jujur. 
Namun dengan napas tersengal 
Ternyata di balik kekerasan dan keberangasannya, perwira 
itu merupakan seorang yang jujur hingga mau mengakui 
kesalahannya. Dan itu jarang sekali didapat dalam diri tokoh-
tokoh persilatan. 
“Benar, Tuan Perwira. Maaf kalau aku telah berlaku lancang 
kepadamu,” ucap Panji sambil membungkuk hormat kepada 
perwira itu. 
Permintaan maaf pemuda itu karena dua hal. Pertama 
karena lelaki tinggi besar itu adalah seorang perwira kerajaan 
yang sudah sepatutnya dihormati rakyat. Kedua, karena 
meskipun sifatnya kasar, namun ternyata memiliki kejujuran 
hingga tidak malu mengakui kekalahannya. Dan itu membuat 
Pendekar Naga Putih merasa kagum dan semakin menaruh 
hormat kepada lawannya. 
“Pendekar Naga Putih. Karena kau telah berhasil mengalah-
kan kawanku, maka kau kuberikan pengecualian. Kau dan 
ketiga kawanmu, kami izinkan untuk menyimpan senjata. Satu 
permintaan kami, kuharap tidak menolak untuk tetap berada 
dalam kotaraja. Kita akan bekerja sama untuk menangkap si 
pembunuh. Bagaimana?” tanya perwira lain yang berwajah 
lembut dan penyabar itu. 
Melihat sikap dan kata-kata kedua orang perwira kerajaan 
itu, Panji merasa tidak enak menolak. Pemuda berjubah putih 
itu menoleh ke arah tiga orang lainnya, seolah-olah meminta 
persetujuan. Dan ketika melihat Kenanga, Balira, dan Lunjita 
mengangguk setuju, maka Pendekar Naga Putih memberi

keputusan. Meskipun, tanpa perlu dengan kata-kata. 
“Baiklah, Tuan Perwira. Dengan senang hati, kami bersedia 
membantu Tuan untuk membekuk si pembunuh yang telah 
mengganggu ketenangan penduduk kotaraja dan tokoh 
persilatan yang saat ini tengah berkumpul di sini,” kata Panji 
sambil membungkuk penuh hormat 
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Dengan bantuanmu, 
kami yakin pembunuh keji itu akan segera dapat dibekuk. 
Sekarang aku akan mengundang kalian berempat ke rumahku. 
Marilah,” ajak perwira berwajah lembut itu seraya tersenyum. 
Setelah mengucapkan terima kasih, Panji, Kenanga, dan dua 
orang sahabatnya, segera meninggalkan gerbang Barat. Mereka 
mengikuti kedua orang perwira Kerajaan Baru Jajar itu. 
*** 
Malam itu bulan menampakkan diri seutuhnya. Sinarnya 
yang kuning keemasan, seperti menimbulkan kedamaian. 
Paling tidak, akan membuat hati menjadi tenteram. Namun 
malam purnama yang biasanya ramai oleh anak-anak yang 
berlarian dan bersenda gurau itu, kini nampak sunyi dan 
mencekam. Bahkan para orang tua telah menyuruh anak dan 
istrinya segera masuk dan mengunci pintu serta jendela rumah 
rapat-rapat. Karena si pembunuh yang menurut kabar selalu 
ditemani seekor serigala siluman itu masih berkeliaran dan 
mencari korban lain. 
Angin dingin berhembus keras di saat malam sudah semakin 
larut. Sedangkan para prajurit kerajaan tetap menunaikan 
tugasnya, meronda ke seluruh pelosok kotaraja. Hembusan 
angin dingin tak lagi dirasakan. Mereka memang sudah terbiasa 
dengan keadaan seperti itu. Hanya saja, hati mereka selalu 
dicekam rasa takut. Apalagi bila teringat si pembunuh keji yang 
belum tertangkap itu.

Di saat malam sudah semakin larut, terdengar lolongan 
serigala yang memecah keheningan dan kesunyian malam. 
Suaranya yang merintih dan panjang itu, membuat hati para 
penduduk semakin dicekam rasa takut yang menghebat. 
“Hm.... Sepertinya pembunuh itu mulai bergerak, Tuan 
Perwira,” gumam seorang pemuda tampan berjubah putih yang 
tak lain adalah Panji, kepada perwira di sebelahnya. Saat itu 
mereka memang masih berkumpul di rumah perwira berwajah 
gagah dan lembut itu. 
“Benar. Dan kini sudah waktunya kita berpencar. Dan ingat, 
apabila di antara kita ada yang memergoki, harap memberikan 
tanda. Dan kalau bisa tahan mereka sekuat tenaga sampai yang 
lain datang. Ayolah kita bergegas,” ajak perwira itu sambil 
beranjak bangkit dari kursinya. 
Setelah tiba di luar rumah, rombongan itu dipecah menjadi 
beberapa kelompok. Panji dan Lunjita bergerak ke sebelah 
Barat kotaraja, ditemani dua puluh prajurit kerajaan. Sementara 
Kenanga dan Balira bergerak ke Timur, ditemani dua puluh 
orang prajurit. Sedangkan kedua orang perwira itu memimpin 
enam puluh orang prajurit, dan bergerak ke Selatan kotaraja. 
Di bagian Utara sengaja tidak dilakukan perondaan, karena 
tidak seorang tokoh persilatan pun yang menginap di Utara 
kotaraja. 
“Lunjita, tetaplah pimpin mereka menuju arah Barat. Aku 
akan berkeliling sebentar, dan akan segera kembali. Kalau salah 
satu dari kalian menemukan sesuatu yang mencurigakan, beri 
tanda kepadaku,” kata Panji yang segera melesat begitu melihat 
Lunjita menganggukkan kepala. 
Tubuh Pendekar Naga Putih segera melambung ke atas atap 
rumah penduduk begitu Lunjita dan para prajurit sudah tidak 
terlihat lagi. Kemudian Panji berloncatan dari atap rumah yang 
satu ke atap rumah lainnya. Rombongannya ditinggalkan bukan 
karena merasa memiliki kepandaian tinggi. Tapi, Pendekar

Naga Putih berpikir kalau terus mengikuti para prajurit itu, 
maka perjalanan akan lambat. Bahkan bisa-bisa pembunuh itu 
telah melakukan rencananya. Itulah sebabnya, mengapa 
Pendekar Naga Putih sengaja memisahkan diri. Hal itu tak lain 
agar ia dapat bertindak lebih leluasa lagi. Dan apabila telah 
menemukan pembunuh itu, maka ia akan segera memberi 
tanda secepatnya. Pendekar Naga Putih memang tidak ingin 
dianggap sombong. Apalagi menganggap rendah orang lain. 
Belum lagi Panji berlari jauh, tiba-tiba sepasang matanya 
yang tajam menangkap gerakan beberapa sosok tubuh dekat 
sebuah rumah penginapan yang cukup luas. Sosok-sosok tubuh 
itu bergerak melalui taman belakang penginapan yang dipenuhi 
berbagai macam tanaman hias. Cepat pemuda itu meluncur 
turun dari atas atap, lalu mengintai keempat sosok tubuh itu. 
“Hm.... Rupanya keempat orang berseragam itulah yang 
dulu pernah bentrok dengan Balira dan Lunjita. Tapi, ke mana 
orang tinggi besar yang ditemani serigala siluman seperti yang 
dilaporkan penjaga gerbang Barat itu? Rasanya tidak mungkin 
kalau keempat orang itu hanya perampok rendah yang meng-
gunakan kesempatan ini? Dari gerak-gerik, jelas mereka 
berkepandaian rata-rata cukup tinggi,” gumam Panji pelan. 
Pandangan Pendekar Naga Putih beredar ke sekeliling, 
kalau-kalau orang yang dimaksud telah berada di sekitar tempat 
itu. Masalahnya, Panji tidak melihat adanya orang tinggi besar 
yang selalu ditemani seekor serigala. Maka kini pemuda 
berjubah putih itu bergerak gesit menyelinap masuk ke dalam 
rumah penginapan. 
“Eh!” 
Pendekar Naga Putih menarik tubuhnya ke tempat yang 
agak tersembunyi ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar 
tengah melangkah tenang. Di samping kanannya tampak seekor 
binatang yang hampir sebesar anak kuda! 
“Berhenti...!” seru Panji.


Sosok tubuh itu langsung berpaling cepat. Namun begitu 
melihat kalau yang menghentikannya hanya seorang pemuda, 
tawanya langsung meledak. Hanya saja, bernada menghina. 
Serigala yang memiliki mata semerah darah itu, menatap 
Panji sambil menggereng lirih memperlihatkan taringnya yang 
runcing dan bagaikan ujung pedang. 
“Grrhhh...!” 
Bukan main terkejutnya Panji ketika merasakan semangat-
nya bagai terbang akibat pengaruh pandangan mata serigala itu. 
Cepat napasnya disedot dalam-dalam, dan tenaga dalamnya 
dikerahkan untuk melawan pengaruh itu. 
“Auuungngng...!” 
Tiba-tiba saja serigala berbulu hitam yang ukurannya 
melebihi serigala biasa itu melolong menggetarkan sukma. 
Hebat sekali pengaruh lolongan itu. Akibatnya, tubuh Panji 
yang semula berdiri tegak, nampak terhuyung limbung sambil 
menekap dadanya yang berdebar keras. 
“Heaaah...!” 
Pendekar Naga Putih langsung mengeluarkan pekikan keras 
yang menggetarkan jantung. Selapis kabut bersinar putih 
keperakan nampak mulai menyelimuti tubuhnya. Rupanya 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah dikerahkannya. Ilmu dahsyat 
itu digunakan untuk melawan pengaruh pandangan maupun 
lolongan yang mengandung ilmu hitam. 
“Keparat! Kiranya kau Pendekar Naga Putih! Pantas saja kau 
berani mencegahku!” bentak orang tinggi besar berkerudung 
yang mengenakan jubah hitam pekat itu. Suaranya yang serak 
dan sember itu bergetar penuh kemarahan. Sepasang matanya 
berkilat tajam seakan-akan hendak menelan tubuh Panji bulat-
bulat. 
Sementara para penghuni rumah penginapan itu serentak 
berhamburan keluar, ketika mendengar pekikan Panji dan 
lolongan serigala. Para tokoh persilatan yang bermalam di

rumah penginapan itu berlari keluar dari kamar masing-masing 
dengan senjata terhunus. Keadaan semakin bertambah kacau 
ketika tiba-tiba saja sebagian dari para tokoh persilatan, 
menyerang sebagian yang lain. Sehingga pertempuran sengit 
yang semrawut pun segera pecah. 
Di tempat lain, para penduduk yang tengah dicengkeram 
ketakutan, semakin bertambah kalang-kabut. Bahkan tidak 
sedikit yang menyembunyikan diri di kolong tempat tidur 
dengan tubuh menggigil hebat. Dapat dibayangkan, betapa 
tersiksanya hati para penduduk kotaraja saat itu. 
Sementara itu, tanpa diduga, orang bertubuh tinggi besar 
bersama serigalanya melesat cepat keluar penginapan. Hal itu 
dilakukan pada saat Pendekar Naga Putih sedikit lengah akibat 
kegaduhan yang terjadi di dalam penginapan. 
***

DELAPAN

Pendekar Naga Putih yang melihat orang bertubuh tinggi besar 
itu melarikan diri bersama binatang peliharaannya, bergegas 
mengejar. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Seluruh ilmu 
larinya memang telah dikerahkan. Ini dilakukan karena merasa 
khawatir kalau orang itu sampai lolos dari tangannya. 
Namun belum lagi jauh melakukan pengejaran, tahu-tahu 
saja empat sosok bayangan hitam berkelebat menghadangnya. 
Tanpa banyak bicara lagi, keempat bayangan itu langsung 
menyerang dengan pedang telanjang. Dari suara sambaran 
pedang yang menderu tajam, Pendekar Naga Putih tahu kalau 
serangan itu tidak bisa dianggap main-main. 
“Heaaat..!” 
Disertai pengerahan ilmu 'Pekikan Naga Marah', tubuh 
pemuda itu melambung ke udara beberapa jengkal di atas 
kepala lawan-lawannya yang tengah terhuyung-huyung. Ini 
adalah akibat pekikannya yang juga merupakan serangan melalui 
suara. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah. Tubuhnya 
kembali melambung dan melesat bagai anak panah yang ter-
lepas dari busur. 
Hati Pendekar Naga Putih semakin marah ketika sempat 
melihat belasan orang prajurit yang dipimpin Lunjita ber-
geletakan tewas berlumuran darah. Sedangkan pemuda tampan 
itu sendiri terlihat tengah berjuang keras mempertahankan 
selembar nyawanya dari ancaman serangan serigala siluman. 
Keadaan delapan orang prajurit yang masih hidup itu juga 
terlihat tengah terancam maut. Ini terbukti ketika sosok tubuh 
tinggi besar yang berkerudung kepala dan berjubah hitam itu 
telah melompat menyerang dengan tamparan yang menimbul-
kan suara mencicit tajam. Sudah dapat dipastikan kalau sisa para

prajurit itu pastilah tidak berumur panjang. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera berkelebat 
menerjang orang tinggi besar itu dengan pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Tangan kanannya meluncur, melakukan tamparan 
untuk menyelamatkan nyawa kedelapan orang prajurit dari 
kematian. 
“Heaaat..!” 
Plarrr! 
Tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih disambut 
telapak tangan lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat. 
Delapan orang prajurit itu terhuyung mundur sambil menekap 
kedua telinga masing-masing. Memang, suara yang ditimbulkan 
oleh beradunya dua telapak tangan yang sama-sama 
mengandung tenaga dalam tinggi itu begitu dahsyat. Bahkan 
mampu membuat udara di sekitar tempat itu bergetar hebat 
Akibat yang dialami kedua orang tokoh itu juga tidak kalah 
hebatnya. Tubuh mereka satu sama lain terpental ke belakang 
sejauh tiga tombak. Namun keduanya bergerak indah, lalu 
melakukan beberapa kali putaran di udara. Dan kini mereka 
mendarat manis di tanah. Satu sama lain tampak saling tatap, 
seperti menunggu serangan berikut. 
“Gila! Tenaga orang itu hebat sekali!” desis Panji. 
Pendekar Naga Putih merasa terkejut bukan main ketika 
merasakan lengannya nyeri dan ngilu akibat pertemuan tenaga 
tadi. Untunglah kepandaiannya telah meningkat jauh. Meskipun 
dalam pengembaraan, Pendekar Naga Putih tidak pemah 
melewatkan waktu-waktu luangnya untuk melatih ilmu-
ilmunya maupun tenaga dalamnya. Latihan-latihan yang sering 
dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Kepandaian dan tenaganya 
dirasa telah meningkat jauh. 
“He he he...! Ternyata kau boleh juga, Pendekar Naga 
Putih!” puji orang tinggi besar itu sambil memperdengarkan 
tawanya.

Panji sama sekali tidak mempedulikan pujian lawannya. 
Justru, Pendekar Naga Putih malah merasa khawatir dengan 
keselamatan Lunjita. Maka kepalanya langsung ditolehkan 
untuk melihat keadaan sahabatnya. Bergegas Panji melompat 
dengan kecepatan luar biasa ke arah Lunjita. Dan memang, 
pada saat itu sahabatnya terlihat dalam bahaya. 
“Hiaaa...!” 
Wusss! 
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Naga Putih mendorong 
sepasang telapak tangannya ke arah serigala siluman yang saat 
itu tengah melompat mengancam leher Lunjita. Sementara 
pemuda tampan itu hanya dapat berteriak ngeri, tanpa berbuat 
sesuatu. Tubuhnya serasa kaku akibat raungan serigala itu yang 
terasa menggetarkan jantung. 
Bugkh! 
“Khaiiiingngng...!” 
Hantaman sepasang telapak tangan Panji tepat menghantam 
tubuh serigala itu hingga terlempar beberapa tombak ke 
samping. Binatang buas itu menguik, lalu terbanting di atas 
tanah. Namun Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika 
serigala itu ternyata dapat langsung bangkit, dan tidak 
terpengaruh oleh pukulannya. Padahal, pukulannya itu 
sebenarnya sanggup untuk membunuh seorang tokoh persilatan 
tingkat pertengahan. Tapi bagi binatang itu sama sekali tidak 
berarti apa-apa. 
“Binatang siluman...!” desis Panji yang sudah memapah 
tubuh Lunjita. 
Sepertinya hati pemuda tampan itu terguncang hebat. 
Setelah lolos dari maut, sekujur tubuhnya terasa lemas bagaikan 
tak bertulang. Untunglah Panji sempat menangkapnya sehingga 
tidak sampai terjatuh. 
Saat itu terdengar derap langkah orang berlari yang ber-
gemuruh. Panji menjadi lega ketika melihat rombongan

Kenanga dan dua orang perwira yang juga bersama 
rombongannya telah tiba pula di tempat itu. Rupanya kedua 
rombongan itu segera berdatangan ketika mendengar pekikan 
Pendekar Naga Putih pada waktu berada di penginapan. Tentu 
saja Panji merasa bersyukur dengan datangnya kedua 
rombongan itu. 
Begitu tiba, delapan puluh orang prajurit langsung bergerak 
membentuk lingkaran. Mereka kini telah mengepung orang 
tinggi besar yang berkerudung dan berjubah hitam, bersama 
serigala dan empat orang anak buahnya yang juga mengenakan 
pakaian serba hitam dan penutup kepala yang juga berwarna 
hitam. 
Tiba-tiba terdengar teriakan panjang dan melengking 
menusuk telinga. Pada saat yang sama, tubuh orang tinggi besar 
itu berkelebat dan membagi-bagi pukulan-pukulan mautnya 
kepada puluhan prajurit yang mengepung tempat itu. Sekali 
menggerakkan tangan saja, enam orang prajurit terdepan 
langsung roboh dengan kepala pecah. Sedangkan beberapa 
orang lain yang terkena sambaran angin pukulannya terpental 
dan pingsan seketika itu juga. 
Demikian pula empat orang berseragam hitam dan serigala 
bermata semerah darah itu. Mereka ternyata juga telah 
mengamuk dan merobohkan beberapa orang prajurit kerajaan. 
Sehingga, mau tak mau kepungan itu pun semakin merenggang. 
Betapa tidak? Karena para prajurit itu merasa ngeri juga melihat 
sepak terjang orang-orang itu yang sangat ganas dan 
mengandung maut. 
Pendekar Naga Putih yang melihat keadaan itu tentu saja 
menjadi cemas bukan main. Kemudian, kepalanya menoleh 
kepada Balira yang saat itu juga tengah memandangnya. Panji 
segera bergerak menghampiri Balira. 
“Balira! Jagalah sahabatmu ini dan bawa ke tepi!” perintah 
Panji yang segera menyerahkan tubuh Lunjita kepada Balira.

“Kenanga! Hadapi serigala siluman itu! Hati-hati, ia berbahaya 
sekali. Binatang itu mempunyai pengaruh gaib yang hebat, 
sehingga dapat melumpuhkan lawan lewat tatapan dan 
lolongannya!” 
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih sendiri lalu 
melesat ke arah sosok tubuh tinggi besar yang saat itu tengah 
dikeroyok dua orang perwira dan para prajurit. 
“Akulah lawanmu, Manusia Ibiis!” bentak Panji. 
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung menerjang sosok 
tinggi besar itu dengan serangan serangan yang cepat dan 
dahsyat. Begitu menyerang, Panji langsung menggunakan 'Ilmu 
Naga Sakti'nya. Hasilnya, serangannya itu sangat dahsyat dan 
menggiriskan. Keduanya kini segera terlibat dalam 
pertempuran sengit dan mati-matian. 
Sedangkan dua orang perwira kerajaan sudah memimpin 
anak buahnya untuk mengeroyok empat orang berseragam 
hitam yang sepertinya merupakan pembantu utama tokoh tinggi 
besar yang selalu membawa serigala itu. Mereka juga segera 
terlibat pertarungan yang seru dan sengit. 
Bahkan Kenanga juga telah mencabut keluar 'Pedang Sinar 
Bulan' yang menebarkan angin dingin itu. Gadis jelita itu 
memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar putih 
keperakan yang bergerak turun-naik melindungi tubuhnya. 
Sambil memekik nyaring, gadis berpakaian serba hijau itu 
langsung menyerang serigala siluman. Tentu saja dia meng-
hindari pandangan mata binatang siluman itu, sebagaimana yang 
dipesankan Panji. Karena kalau sampai memandang, ia akan 
terpengaruh kekuatan ilmu hitam yang terpancar dari sepasang 
bola mata buas berwarna merah bagaikan darah. Pertempuran 
ini pun tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuran-
pertempuran lainnya. 
***

Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan lelaki tinggi 
besar yang mengenakan kerudung dan jubah hitam itu, semakin 
lama semakin terkejut melihat kesaktian lawannya. Sehingga 
untuk dapat mengalahkan, rasanya pemuda itu harus menguras 
seluruh ilmu yang dimiliki. 
“He he he...! Keluarkan seluruh kesaktianmu, Pendekar 
Naga Putih! Akulah si Mata Iblis Perenggut Nyawa yang akan 
segera mengakhiri petualanganmu!” ejek orang tinggi besar 
yang mengaku berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa sambil 
terkekeh seram. 
Panji sempat terkejut begitu mengetahui orang yang kini 
menjadi lawannya. Julukan itu memang pernah didengarnya. 
Mata Iblis Perenggut Nyawa adalah seorang tokoh sesat yang 
memiliki kepandaian dan kekejaman melebihi iblis. Tapi, 
mengapa tokoh sesat itu tiba-tiba muncul ke dunia ramai dan 
membuat kekacauan? Bukankah menurut kabar yang pemah 
didengar, tokoh sesat itu telah lama menghilang dan kabarnya 
menjadi seorang pertapa yang mengasingkan diri. Apakah berita 
yang pernah didengarnya itu salah? Atau orang tinggi besar ini 
hanya mengaku-aku saja untuk membuat lawan menjadi 
terpecah perhatiannya? 
“Haaat..!” 
Berbagai pertanyaan yang memenuhi pikiran Panji kontan 
lenyap seketika. Karena saat perhatiannya sedang terpecah itu, 
si Mata Iblis Perenggut Nyawa telah melancarkan serangan 
secara licik. 
Plakkk! Bughk! 
Pukulan tangan kiri yang mengarah kepala Pendekar Naga 
Putih berhasil ditangkis. Tapi tusukan jari-jari tangan kanan 
iblis licik itu telah menyusul dan mematuk keras dadanya. 
Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar mundur hingga dua 
batang tombak jauhnya. Sepasang kakinya terlihat agak goyah

hingga membuat tubuhnya limbung. Untunglah 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan'nya kini telah meningkat jauh dan telah mampu 
melindungi tubuh dari pukulan yang bagaimana kuatnya! 
Meskipun tenaga itu masih belum sempurna, namun telah 
mampu menolak pukulan, sehingga tidak membuatnya terluka. 
Hanya saja, dadanya yang terkena tusukan jari-jari tangan lawan 
yang sekeras baja itu agak terasa nyeri dan sesak. Meskipun 
tidak membuatnya terluka dalam, tapi cukup membuat 
gerakannya agak terhambat. 
Wusss! 
Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya ke belakang 
ketika lawan telah mendorong sepasang telapak tangannya 
dengan pukulan yang mematikan. Pemuda itu langsung ber-
jungkir-balik di udara beberapa kali, lalu mendarat sejauh 
empat batang tombak dari tempat lawannya berdiri. 
Sadar kalau lawannya memang memiliki kepandaian yang 
sangat tinggi, Pendekar Naga Putih segera menyedot napas 
banyak-banyak. Ini dilakukan untuk mengerahkan seluruh 
tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih 
keperakan yang menyelimuti tubuhnya semakin melebar dan 
berpendar menebarkan hawa dingin yang menggigit tulang. 
Maka seketika orang-orang yang bertempur di dekatnya, 
serentak berlari menghindar. Tentu saja, mereka tidak tahan 
oleh hawa dingin yang terpancar keluar dari tubuh pendekar 
muda yang digdaya itu. 
Mata Iblis Perenggut Nyawa mau tak mau harus mengakui 
kehebatan ilmu yang dimiliki pemuda itu. Terus terang, ia pun 
semakin bertambah kagum terhadap Pendekar Naga Putih yang 
ternyata memang bukan sebuah julukan kosong itu. 
Bagaikan seekor naga yang murka, tubuh Panji bergerak 
cepat menyerbu lawannya. Kedua tangannya yang berbentuk 
cakar naga menyambar-nyambar menimbulkan desiran angin 
yang mencicit tajam. Sepertinya, kali ini Pendekar Naga Putih

sudah tidak main-main lagi. Mau tak mau, lawannya harus 
semakin waspada dalam menghadapi hujan serangan yang 
mengancam nyawanya. 
Makin lama serangan yang dilancarkan Pendekar Naga Putih 
semakin ganas dan menggiriskan. Tubuhnya kadang-kadang 
berkelebat menyerang tubuh bagian atas lawannya. Dan di lain 
saat, juga sudah menukik turun dengan kecepatan meng-
getarkan. Serangannya tak ubahnya amukan seekor naga murka. 
Maka, tokoh sakti seperti Mata Iblis Perenggut Nyawa sempat 
juga dibuat bergetar, ngeri oleh amukan pendekar muda itu. 
“Hiyaaa...!” 
Dibarengi teriakan nyaring yang disertai pengerahan ilmu 
'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji yang tengah berada di udara 
tiba-tiba menukik cepat dan langsung melancarkan serangan. 
Dikerahkannya jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang 
merupakan jurus terakhir dari rangkaian 'Ilmu Naga Sakti' yang 
dimilikinya. 
Plakkk! Desss! Brettt! 
“Aaargh...!” 
Mata Iblis Perenggut Nyawa meraung dahsyat merobek 
angkasa yang pekat. Meskipun berhasil menangkis serangan, 
namun tetap saja tubuhnya terkena cakaran dan hantaman 
telapak tangan Pendekar Naga Putih yang berkekuatan dahsyat! 
Tubuh tinggi besar itu terlempar disertai percikan darah yang 
keluar dari luka di dadanya yang memanjang dan cukup dalam 
akibat cakar naga lawannya. 
Mata Iblis Perenggut Nyawa terbanting keras menimbulkan 
suara berdebuk nyaring. Tubuhnya tampak menggigil hebat 
akibat hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Wajahnya 
terlihat agak membiru dan cairan merah tampak menetes keluar 
dari sela-sela bibirnya. Pukulan yang dilancarkan Pendekar 
Naga Putih ternyata telah membuat luka dalam di tubuhnya. 
Dan kini manusia iblis itu tak mampu bangkit! Dia tergeletak

dengan napas terengah-engah. Sepasang matanya bahkan mem-
belalak lebar. 
Sedangkan empat orang berseragam hitam yang merupakan 
pengawal-pengawal Mata Iblis Perenggut Nyawa, sudah ter-
geletak dengan tubuh mandi darah akibat amukan prajurit 
kerajaan yang dipimpin dua orang perwira gagah yang ternyata 
berkepandaian tinggi itu. 
Panji menarik napas lega melihat keadaan sudah dikuasai 
pihaknya. Setelah menotok lumpuh musuhnya yang belum 
tewas itu, Pendekar Naga Putih bergegas melangkah ke arah 
Kenanga, Balira, dan Lunjita yang tengah mengeroyok serigala 
siluman. 
Pendekar Naga Putih yang semula berniat hendak mem-
bantu, mengurungkan niatnya. Pada kenyataannya, tampak 
ketiga orang itu sudah hampir menyelesaikan pertarungan yang 
melelahkan. 
“Hiaaat..!” 
Kenanga, Balira, dan Lunjita serentak berteriak nyaring dan 
melompat menusukkan senjata secara berbarengan pada saat 
binatang siluman itu tengah melompat menerjang salah seorang 
dari mereka. 
Serigala siluman yang mengerikan itu langsung menguik dan 
melolong panjang ketika tiga batang senjata telah memanggang 
tubuhnya di tiga tempat. Hampir bersamaan, ketiganya men-
cabut senjata masing-masing untuk kemudian dibacokkan ke 
tubuh serigala itu. Darah seketika berhamburan ketika tubuh 
binatang yang ditakuti itu terbelah menjadi tiga bagian! 
Tiga pendekar muda itu memandangi mayat serigala siluman 
dengan tarikan napas lega. Setelah pertarungan selesai, mereka 
baru merasa lelah. Terus terang, mereka bergidik ngeri 
membayangkan apa jadinya jika menghadapi binatang siluman 
itu seorang diri. Sedangkan dengan keroyokan saja, mereka 
baru dapat membunuh binatang itu setelah bertarung lebih dari

lima puluh jurus! Benar-benar binatang yang luar biasa! 
“Hei, Balira! Apakah kau masih mengenali orang ini?” seru 
Panji yang saat itu tengah berdiri memandangi mayat-mayat 
yang baru saja dikeluarkan dari rumah penginapan. 
“Hei!? Bukankah orang-orang ini yang mengeroyok dan 
menyiksaku di dekat aliran sungai beberapa hari yang lalu!” seru 
Balira sambil memandangi mayat orang-orang yang pemah 
mengeroyoknya, di antara mayat yang berjumlah kurang lebih 
tiga puluh orang. 
“Aku tahu sekarang!” kata Balira sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. “Mereka sengaja memfitnahku untuk 
menghilangkan jejak. Dan aku yakin, orang-orang ini pasti 
mempunyai hubungan dengan pembunuh yang selalu membawa 
serigala siluman itu. Betul kan?” 
“Benar! Mereka memang anak buah pembunuh itu yang 
rupanya telah menyusup ke kotaraja dan berbaur dengan para 
tokoh persilatan yang hendak mengikuti ujian,” yang menyahuti 
kali ini adalah perwira tinggi tegap berwatak berangasan namun 
berhati jujur. Dia adalah perwira yang pernah dikalahkan Panji 
belum lama ini 
***

SEMBILAN

“Menurut dugaan Paman Perwira, kira-kira apa yang 
menyebabkan mereka melakukan kekacauan ini?” tanya Panji 
yang sudah menyebut perwira itu dengan panggilan 'paman' 
atas kehendak perwira itu sendiri. 
Saat itu, Pendekar Naga Putih, Kenanga, Balira, dan Lunjita 
memang sudah berkumpul di dekat bekas arena pertempuran. 
Mereka dikelilingi dua orang perwira dan beberapa prajurit 
yang tersisa. 
Sementara, tokoh-tokoh persilatan yang bertarung di rumah 
penginapan sudah pula berkumpul di situ. Mereka tampak 
berbincang-bincang satu sama lain. 
“Hm.... Menurut keterangan beberapa orang tawanan yang 
kami paksa berbicara, mereka mengaku sebagai murid 
Perguruan Harimau Hitam. Sedangkan empat orang ber-
seragam hitam itu adalah pemimpin mereka di empat penjuru 
yang bekerja sama untuk melakukan kekacauan ini. Mungkin 
karena merasa kurang yakin, lalu mereka mengundang tokoh 
sesat berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa yang telah kau 
pecundangi itu, Panji,” jelas perwira tinggi gagah itu. 
“Tapi, apa yang menjadi tujuan utama mereka?” selak Balira 
yang jadi tidak sabar ketika perwira itu menghentikan 
ceritanya. 
“Keempat pemimpin Perguruan Harimau Hitam itu 
meminta pertolongan kepada paman guru mereka, yaitu Mata 
Iblis Perenggut Nyawa untuk melakukan kekacauan. Tokoh 
sesat itu kemudian membunuhi tokoh-tokoh persilatan yang 
datang untuk mengikuti ujian. Dengan kepandaian yang 
dimiliki tokoh sesat itu, pekerjaan mereka akan menjadi lebih 
mudah. Iblis itu memang dapat melakukan pembunuhan secara

gelap dan tanpa kesulitan. Sedangkan tujuan mereka sudah 
jelas, agar para peserta ujian menjadi ketakutan dan segera 
meninggalkan kotaraja tanpa berani kembali. Dengan demikian, 
maka hanya murid-murid Perguruan Harimau Hitam itulah 
yang akan mengikuti ujian calon perwira. Dan jika sudah men-
jadi perwira di kerajaan ini, maka akan semakin kuatlah 
kedudukan serta pengaruh perguruan mereka. Untunglah kita 
telah dapat menggagalkan rencana mereka. Sungguh aku tidak 
bisa membayangkan, apa jadinya kelak apabila Kerajaan Baru 
Jajar dikuasai tokoh-tokoh sesat yang kejam seperti mereka. 
Aku merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu, Pendekar 
Naga Putih. Tanpa bantuanmu, aku rasa belum tentu kejahatan 
ini dapat dibongkar,” jelas perwira itu. Matanya memandang 
Panji penuh rasa terima kasih. 
“Ah! Tanpa bantuan yang lain, apa artinya kepandaianku, 
Paman Perwira,” elak Panji merendah, sehingga membuat si 
perwira semakin bertambah kagum. 
“Dengan jasa kalian yang besar ini, aku dapat memohonkan 
jabatan kepada kalian tanpa harus melalui ujian. Bagaimana?” 
tanya perwira itu sambil memandang Panji, Balira, dan Lunjita 
bergantian. 
“Terima kasih, Paman Perwira. Rasanya aku lebih suka 
hidup bebas tanpa harus terikat,” ucap Panji, menolak jabatan 
yang disodorkan perwira bertubuh tinggi dan gagah yang 
berwatak jujur itu. 
Ada terbersit sinar kekecewaan di mata perwira itu. Tapi 
dia cukup memahami. Memang sebagai pendekar pengembara, 
jarang ada yang bersedia terikat oleh aturan-aturan kerajaan. 
“Karena urusan ini sudah selesai, maka kami mohon pamit,” 
kata Panji sambil memegang lengan Kenanga yang sejak tadi 
hanya mendengarkan pembicaraan itu 
Setelah berpamitan kepada Balira dan Lunjita, maka kedua 
orang pendekar muda itu bergegas meninggalkan tempat itu.

“Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih!” cegah perwira satu-
nya lagi yang memiliki wajah gagah dan berwatak harus 
menahan langkah Panji dan Kenanga. 
Panji seketika menahan langkahnya, dan menoleh ke arah 
perwira yang tengah berdiri di dekat tubuh Mata Iblis 
Perenggut Nyawa yang masih tertotok lumpuh. Bergegas 
pemuda itu menghampiri bersama kekasihnya. 
“Bagaimana dengan tokoh sesat ini? Aku khawatir setelah 
sembuh nanti, dia akan mudah meloloskan diri dari tahanan. 
Karena selain memiliki kepandaian tinggi, tokoh ini juga 
memiliki ilmu hitam yang mengerikan,” kata perwira gagah 
berwatak lembut, meminta pendapat Pendekar Naga Putih. 
“Bagaimana kalau kita lenyapkan saja kepandaiannya, Paman 
Perwira?” sahut Panji setelah termenung beberapa saat lama-
nya. 
Ketika pemuda itu melihat si perwira mengangguk, maka 
Pendekar Naga Putih menghantamkan sisi telapak tangannya 
pada kedua jalan darah besar yang terletak pada kedua bahu 
tokoh sesat itu. Seketika terdengar teriakan kesakitan dari 
mulut tokoh itu, yang kemudian pingsan akibat kelumpuhan 
pada kedua lengannya. 
“Nah! Sekarang, dia tidak mungkin dapat mempergunakan 
kepandaiannya lagi. Sebab sedikit saja tenaga dalamnya di-
kerahkan, maka seketika itu juga dia akan tewas dengan rasa 
sakit yang hebat. Maka dengan demikian, ilmu hitamnya juga 
tidak berguna lagi. Karena, ilmu itu harus disertai pengerahan 
tenaga dalam,” jelas Pendekar Naga Putih. 
Setelah menyelesaikan persoalan itu, maka kedua pendekar 
itu langsung melesat pergi meninggalkan kotaraja. 
Setelah kepergian Panji dan Kenanga, Balira dan Lunjita 
segera minta diri kepada kedua orang perwira kerajaan yang 
baik hati itu. 
“Baiklah, Balira, Lunjita. Dan kalau suatu hari nanti kalian

berniat untuck mengabdikan diri kepada kerajaan, temuilah 
kami berdua. Jangan ragu-ragu,” pesan perwira tinggi tegap 
berwatak berangasan itu. 
“Baik, Paman Perwira. Sekarang kami mohon diri,” pinta 
Balira dan Lunjita seraya mengangguk hormat kepada kedua 
perwira itu. 
Kemudian keduanya pun melesat meninggalkan tempat itu 
diiringi pandangan mata kedua perwira Kerajaan Batu Jajar. 
*** 
Kita berpisah di sini saja, Kakang Balira. Aku akan 
mengambil jalan ke arah Selatan,” pamit Lunjita tiba-tiba, 
ketika keduanya telah jauh meninggalkan gerbang kotaraja. 
Saat itu mereka tengah menyusuri daerah yang di kiri-
kanannya terdapat hamparan sawah yang luas. 
“Mengapa, Adi Lunjita? Apakah kau tidak suka jalan 
bersamaku? Kau hendak ke mana?” desak Balira. 
Pemuda gagah itu langsung menoleh ke arah Lunjita dengan 
wajah berubah karena merasa terkejut mendengar ucapan 
sahabatnya. 
“Mmm.... Aku sudah memutuskan untuk kembali ke 
perguruan. Rasanya, sudah tidak ada keinginan lagi untuk 
melihat keramaian atau melakukan pengembaraan. Setelah 
mengalami peristiwa-peristiwa itu, baru kusadari kalau 
kepandaian yang kumiliki masih sangat rendah. Dan aku harus 
berlatih lebih giat lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmuku. 
Kau sendiri hendak ke mana, Kakang?” tanya Lunjita yang 
merasa heran melihat perubahan wajah sahabatnya itu. 
Balira mengalihkan pandangannya ke langit cerah membiru. 
Jelas sekali kalau hatinya merasa berat berpisah dengan pemuda 
sahabatnya itu. Sepasang matanya menerawang jauh ke depan 
dengan tatapan hampa.

“Kau kenapa, Kakang? Apakah kau sakit?” tanya Lunjita 
seraya menatap wajah pemuda gagah itu dengan hati cemas. 
Dipegangnya lengan pemuda itu, disertai tatapan menyelidik. 
Mendengar pertanyaan yang bernada penuh kekhawatiran 
itu, Balira menolehkan kepalanya dan memandang sayu ke arah 
Lunjita. Tangan kanannya bergerak memegang tangan sahabat-
nya yang masih menggenggam lengan kirinya. 
“Setelah semua kejadian yang kita alami bersama-sama ini, 
haruskah kita berpisah, Lunjita?” tanya Balira. 
Suara pemuda gagah itu terdengar bergetar. Sedangkan 
tangan kanannya sudah menggenggam jemari tangan Lunjita 
dengan hangat. Tatapan matanya pun sayu, menyiratkan sinar 
aneh yang membuat sahabatnya terkejut. 
“Apa..., apa maksudmu, Kakang Balira...?” desak Lunjita 
sambil menarik tangannya yang digenggam Balira. Nada 
suaranya terdengar ketus dan agak bergetar. 
Pemuda tampan berkulit halus itu tersentak mundur dengan 
wajah agak memucat. Hatinya benar-benar terkejut melihat 
perubahan sikap Balira terhadap dirinya. 
“Apakah..., kau..., kau....” 
Lunjita melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk-
nya ke wajah sahabatnya dengan bibir bergetar. Wajah tampan 
itu semakin pucat begitu mulai dapat menduga, apa yang 
membuat pemuda gagah itu tiba-tiba bersikap aneh. 
“Maafkan aku, Adi Lunjita,” ucap Balira yang merasa 
lidahnya kelu untuk menyebutkan nama sahabat yang rahasianya 
telah diketahui itu. “Aku... tidak sengaja melakukannya. Aku 
sungguh tidak sengaja melakukannya. Aku baru mengetahui 
kalau kau sebenarnya seorang wanita pada saat berniat 
mengobati lukamu yang cukup parah beberapa waktu yang lalu. 
Maafkan aku....” 
Balira menundukkan wajahnya, tidak berani menentang 
pandang mata sahabatnya.

“Kurang ajar...!” seru Lunjita di antara isak tangisnya. 
Jelas, dia merasa malu karena rahasianya telah diketahui 
Balira. Selebar wajahnya menjadi merah teringat apa yang telah 
dilakukan pemuda itu di saat dirinya pingsan. 
Plakkk! 
Balira mengeluh pendek ketika tahu-tahu saja telapak tangan 
sahabatnya mendarat di wajahnya. Tubuh pemuda itu ter-
pelanting karena dalam kemarahannya, Lunjita telah mengerah-
kan tenaga dalam saat melakukan tamparan keras tadi. Darah 
langsung menetes dari sudut bibirnya. Pemuda gagah itu 
bergerak bangkit tanpa berani mengangkat wajahnya yang sudah 
pucat itu. 
“Hukumlah aku kalau memang perbuatanku yang terdorong 
rasa cemas akan keselamatanmu itu kau anggap salah,” kata 
Balira. 
Pemuda gagah itu segera mengangkat kepalanya dan 
menatap wajah Lunjita dengan perasaan cinta yang dalam dan 
tulus. Hatinya terasa pedih melihat wajah sahabatnya yang telah 
dibasahi air mata. 
Lunjita jatuh terduduk dan menutup wajahnya dengan 
kedua telapak tangan. Bahu 'pemuda' itu berguncang-guncang 
menahan tangis. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengalir 
air bening. 
Hati Balira semakin dilanda rasa bersalah, ketika melihat 
akibat perbuatannya yang tanpa sengaja telah menimbulkan 
kedukaan hebat dalam diri sahabatnya. Terdorong rasa cintanya 
yang dalam, pemuda gagah itu melangkah menghampiri Lunjita 
yang sebenarnya adalah seorang gadis. Balira menduga, 
mengapa gadis itu melakukan penyamaran. Ini dilakukannya 
agar perjalanannya akan lebih aman dan tidak perlu merasa 
khawatir diganggu orang-orang jahat. Berbeda apabila ia 
melakukan perjalanan sebagai seorang wanita yang sudah pasti 
akan menarik perhatian.

Setelah tangisnya agak mereda, mendadak Lunjita bangkit 
sambil menghapus air matanya. Ditatapnya dalam-dalam wajah 
Balira yang masih berdiri tegak di depannya. Ia sempat tertegun 
melihat betapa pucat dan sedihnya wajah pemuda gagah itu. 
“Sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa itu. Maafkan atas 
kekasaranku tadi” 
Sesudah berkata demikian, Lunjita membalikkan tubuhnya 
dan melangkah meninggalkan tempat itu. 
“Lunjita, tunggu...!” cegah Balira sambil melompat dan 
menangkap tangan sahabatnya itu. 
“Ada apa lagi? Mengapa kau menahanku?” tanya Lunjita 
tanpa membalikkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, 
cekalan tangan Balira pada lengannya dilepaskan. 
“Lunjita, atau siapa pun kau sebenarnya. Aku..., aku 
mencintaimu.” 
Akhirnya keluar juga pengakuan itu dari mulut Balira. 
Suaranya demikian lirih, bahkan hampir tidak terdengar. 
Tubuh gadis yang menyamar sebagai laki-laki itu bergetar 
begitu mendengar pengakuan Balira. Dadanya bergelombang 
menahan sedu-sedan yang terasa menyesakkan dadanya. 
Balira melangkah perlahan dan berdiri di hadapan gadis itu 
yang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Pemuda gagah itu 
memberanikan diri mengulurkan tangannya, memegang kedua 
bahu yang masih terguncang lembut 
“Aku menunggu keputusanmu,” desah pemuda gagah itu 
dengan suara bergetar penuh ketegangan. “Jawablah. Aku akan 
menerimanya meskipun keputusan itu adalah sesuatu yang 
menyakitkan.” 
Gadis yang masih dalam keadaan menyamar itu mengangkat 
kepalanya lambat-lambat. Sepasang mata indah yang dibasahi 
genangan air mata itu menatap sayu mengungkapkan perasaan 
hatinya. Hati Balira berdebar melihat sinar mata yang berbicara 
tanpa kata itu. Tanpa perasaan ragu lagi, pemuda gagah itu

menarik tubuh Lunjita dengan gerakan perlahan. 
Bukan main gembiranya hati Balira ketika tidak merasakan 
adanya perlawanan dari gadis itu. Dipeluknya tubuh gadis itu 
penuh kehangatan dan kasih sayang. 
“Ahhhh... Betapa bahagianya hatiku,” bisik Balira yang 
semakin mempererat pelukannya. 
“Kakang! Tentunya kau bertanya-tanya, mengapa aku 
melakukan penyamaran, bukan?” tiba-tiba Lunjita seperti 
membuat pengakuan. 
Balira langsung menjauhkan wajahnya, dari wajah Lunjita. 
Ditatapnya dalam-dalam wajah gadis itu. 
“Sebenarnya, namaku Lestari. Aku berniat ingin ikut ujian 
calon perwira. Dan karena ujian itu untuk kaum laki-laki, maka 
aku menyamar sebagai laki-laki. Tapi sebelum ujian ber-
langsung, aku telah terluka oleh empat orang berseragam hitam 
itu. Dan sebenarnya, aku mengikuti ujian itu hanya untuk 
menguji ilmu-ilmu yang kumiliki. Namun ternyata, aku belum 
berarti apa-apa,” jelas Lunjita yang ternyata bernama Lestari 
itu. 
“Ah, sudahlah. Apa pun alasanmu, kau tetap seorang gadis. 
Dan yang penting sekarang, perdalamlah ilmu-ilmumu. Suatu 
saat nanti, kita juga harus menjadi pendekar sejati seperti 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga.” 
Lestari tersenyum. Seketika dipeluknya Balira kembali. Dan 
ini membuat hati pemuda itu gembira. 
Hembusan angin bersilir lembut, menyirami bunga-bunga 
cinta yang semakin mekar di hati kedua insan yang bahagia itu. 


                           SELESAI






Share:

0 comments:

Posting Komentar