SATU
Kotaraja Batu Jajar yang biasanya ramai, kini semakin ber-
tambah ramai. Ini terjadi sejak adanya pengumuman kalau Raja
Agung Kandi Lajang membuka kesempatan bagi para tokoh
persilatan dan murid-murid perguruan terkemuka untuk
menjadi perwira kerajaan. Mereka berbondong-bondong men-
datangi kotaraja, karena kesempatan itu memang terbuka untuk
umum. Jadi, tidak heran kalau hari itu kotaraja tampak semakin
ramai.
Tentu saja yang gembira pada saat-saat seperti itu adalah
mereka-mereka yang membuka usaha penginapan atau kedai
makan. Dengan dibukanya kesempatan untuk menjadi perwira
kerajaan, berarti penginapan dan kedai makan sudah pasti akan
memperoleh keuntungan besar dan jauh lebih banyak dari
biasanya.
“Silakan... silakan, Tuan-tuan...,” sambut seorang pelayan
kedai makan sambil tak henti-hentinya mengumbar senyum.
Pelayan itu berdiri dekat pintu masuk. Bibirnya terus
memasang senyum yang menurutnya paling manis. Hal itu
dilakukan untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Para
pelanggan yang tidak mendapat tempat di bawah, bisa di-
tempatkan di tingkat atas. Dan rumah makan yang dinding-
dindingnya dari papan itu memang menyediakan tempat dua
tingkat.
“Wah! Rumah makanmu ramai sekali, Paman. Tentu kau
akan untung besar hari ini,” kata seorang pemuda tampan
bertubuh sedang yang tahu-tahu sudah muncul di ambang pintu
kedai.
Dia kemudian melenggang memasuki rumah makan itu.
Wajahnya yang halus dan putih dihiasi senyum manis dengan
sepasang mata berbinar. Pada bahu kanannya tampak sebuah
buntalan pakaian. Dari sini bisa ditebak kalau pemuda itu adalah
seorang pendatang.
“Yah! Beginilah, Tuan Muda. Untunglah keramaian seperti
ini hanya terjadi setahun sekali. Kalau setiap hari, wah, bisa
susah aku,” sahut pelayan bertubuh tinggi kurus itu sembari
menyusut peluh dengan sehelai kain yang berbentuk seperti
saputangan. Kelihatan sekali kalau ia sangat kelelahan.
“Hei? Mengapa, Paman? Bukankah kalau ramai setiap hari
kau akan cepat menjadi kaya?” tanya pemuda berwajah tampan
itu agak heran mendengar penuturan pelayan itu.
“Tentu saja, Tuan Muda. Kalau setiap hari ramai seperti ini,
lalu kapan aku bisa beristirahat dan berkumpul dengan anak
istriku? Nah, bukankah itu susah namanya?” jawab pelayan itu
sambil terkekeh. Dipersilakannya pemuda tampan itu untuk
naik ke tingkat atas, karena ruangan bawah sudah tidak bisa
menampung pengunjung lagi.
Pemuda tampan itu tersenyum mendengar gurauan si
pelayan bertubuh tinggi kurus yang dikenal bernama Ki Diran.
Ia lalu melangkah menuju tempat yang ditunjukkan Ki Diran.
Langkahnya terlihat ringan menandakan kalau pemuda itu
bukan orang lemah. Mungkin ia seorang tokoh persilatan yang
datang ke kotaraja untuk mengikuti atau melihat-lihat
pemilihan calon perwira kerajaan. Memang tidak sedikit di
antaranya yang hanya datang untuk menonton. Mereka adalah
orang yang merasa belum memiliki kepandaian cukup untuk
mengikuti ujian itu.
Tidak lama setelah pemuda tampan itu duduk, datang
seorang pemuda lain. Tubuhnya lebih tinggi dan lebih tegap
dari pemuda tampan itu. Dia mengenakan pakaian berwarna
biru cerah. Segera dihampiri kursi yang masih kosong, tempat
pemuda tampan tadi duduk menunggu pesanan.
“Bolehkah aku duduk di meja ini, Kisanak?” tegur pemuda
berpakaian biru cerah itu ramah dan sopan
“Oh, silakan,” sahut pemuda tampan itu.
Setelah mempersilakan, diamatinya pemuda yang tengah
menarik kursi itu, kemudian kembali menunduk menekuri
meja.
Pemuda berpakaian cerah itu segera memanggil pelayan
anak buah Ki Diran. Pelayan datang menghampiri dengan
langkah terbungkuk-bungkuk penuh hormat. Lalu, dipesannya
beberapa makanan. Setelah pelayan itu pergi, pandangannya
pun beralih pada pemuda tampan yang telah lebih dulu duduk
di situ. Diam-diam dikaguminya juga wajah pemuda di
hadapannya itu. Wajah yang halus dan tampan. Bahkan terlalu
tampan untuk wajah seorang pria. Hidungnya yang mancung
dan bulu mata yang lentik itu lebih tepat kalau untuk wanita.
“Hei, mengapa kau memandangiku begitu rupa? Apakah kau
tidak mempunyai pekerjaan lain?” ujar pemuda tampan itu
setengah membentak. Mau tak mau beberapa orang
pengunjung menolehkan kepala dengan kening berkerut tak
senang.
Pemuda berbaju biru cerah itu rupanya tak sadar kalau
orang yang tengah dinilainya telah mengangkat kepalanya.
Hingga perbuatannya tertangkap basah.
“Eh, oh..., maaf. Aku..., aku sedang melamun. Sama sekali
aku tidak memandangimu seperti yang kau sangka itu. Maaf
kalau hal itu telah mengganggumu,” ucap pemuda berpakaian
biru cerah itu tergagap.
Untunglah dia dapat berpikir cepat dan mengajukan alasan
yang masuk akal, sehingga tidak menjadi malu karenanya.
Si pemuda tampan hanya mendengus mendengar jawaban
itu. Dia memang tidak bisa berbuat apa-apa, karena pemuda
berpakaian biru cerah itu terlihat seperti orang yang tengah
termenung. Jadi tidak ada alasan untuk marah-marah.
Kemudian kepalanya ditolehkan untuk melihat apakah
pesanannya sudah disiapkan.
“Hmh! Mengapa lama sekali mereka menyiapkan pesanan-
ku?” keluh pemuda tampan itu, lirih. Dia memang tengah
berbicara pada dirinya sendiri.
“Sabarlah, Kisanak. Mungkin saat ini mereka tengah meng-
antarkannya. Maklumlah keadaan begini ramai. Jadi, jika
terlambat sedikit, kita harus me-makluminya,” sahut pemuda
berpakaian biru cerah yang rupanya mendengar keluhan teman
semejanya itu. “Mmm... Kau pasti datang kemari karena ter-
tarik dengan ujian calon perwira itu, bukan? Bolehkah aku tahu
namamu, Kisanak? Daripada kita duduk melamun, bukankah
ada baiknya kalau saling memperkenalkan diri?”
Pemuda tampan itu menatap kawan semejanya dalam-
dalam. Ketika tidak melihat adanya maksud-maksud tertentu di
wajah orang itu, hatinya sedikit tenang.
“Jadi laki-laki jangan terlalu cerewet! Kalau ingin ber-
kenalan, aku pun tidak keberatan. Tapi kalau hendak bertanya,
jangan nyerocos seperti itu! Bagaimana aku bisa menjawabnya?”
dengus pemuda tampan itu. Meskipun demikian, jelas kalau dia
bukan seorang pemuda sombong. Hal itu terbukti dari sikapnya
yang mau menerima perkenalan.
Pemuda berpakaian biru cerah itu tersenyum senang. Ia
sama sekali tidak tersinggung oleh kata-kata pemuda tampan
yang terdengar agak ketus itu. Bahkan sebaliknya malah
semakin tertarik.
“Maafkan aku, Kisanak. Perkenalkan, namaku Balira.
Seorang pemuda gunung yang datang ingin menonton
keramaian di sini. Siapakah namamu, Kisanak?” tanya pemuda
berpakaian biru cerah yang mengaku bernama Balira tanpa
meninggalkan senyumnya.
“Hm.... Namamu cukup gagah. Cocok dengan wajah dan
penampilanmu,” puji pemuda tampan itu.
Tanpa perasaan canggung, diamatinya wajah Balira dengan
sikap lucu. Dan memang, cara pemuda itu memperhatikan
Balira, persis seperti seorang pembeli yang teliti. Hingga mau
tidak mau, Balira jadi tersenyum lebar.
“Namaku Lunjita. Kedatanganku kemari juga sama seperti-
mu,” lanjut pemuda tampan yang ternyata bernama Lunjita.
Setelah saling memperkenalkan nama, kedua pemuda itu
pun asyik bercerita sehingga sampai terlupa dengan pesanannya.
Mereka baru teringat ketika seorang pelayan datang mem-
bawakan makanan yang dipesan tadi. Dan tanpa banyak cakap
lagi, mereka bergegas menyantap makanan yang terhidang di
atas meja.
***
Balira dan Lunjita kini terlihat melangkah keluar dari rumah
makan itu. Mereka melangkah bersisian menyusuri jalan yang
masih terlihat ramai.
“Kita harus mencari tempat bermalam,” kata Balira ketika
keduanya melewati pasar yang sudah mulai sepi. Memang, saat
itu hari sudah menjelang sore.
“Ya. Kita harus cepat-cepat, Kakang Balira,” sahut Lunjita
seraya menatap wajah pemuda yang usianya dua tahun lebih tua
darinya. Setelah mereka saling menceritakan riwayat masing-
masing meskipun serba singkat, baru diketahui kalau Balira
lebih tua daripada Lunjita.
“Ayolah! Bisa-bisa kita tidur di emperan kedai kalau sampai
tidak mendapatkan tempat bermalam. Maklumlah saat ini
kotaraja banyak didatangi orang dari segala penjuru. Dan sudah
pasti penginapan-penginapan di sini akan diserbu mereka,”
keluh Balira agak khawatir.
Dua orang pemuda yang terlihat sudah akrab itu kemudian
berkeliling mencari penginapan yang masih kosong. Namun
setiap kali memasuki rumah penginapan, selalu saja ditolak.
Karena hampir semua penginapan sudah penuh.
“Celaka! Sebentar lagi hari mulai gelap. Bisa-bisa kita tidur
di emperan kedai seperti katamu tadi, Kakang,” keluh Lunjita.
Pemuda itu benar-benar kesal, karena sampai kakinya lelah,
belum juga mendapatkan tempat menginap.
“Sabarlah, Adi Lunjita. Ayo kita coba di rumah penginapan
itu. Siapa tahu nasib kita sedang baik,” ajak Balira menghibur
hati kawannya yang jelas-jelas mulai kesal.
Sambil berkata demikian, disambarnya tangan Lunjita.
Kemudian diseretnya tubuh pemuda itu ke rumah penginapan
yang dimaksud.
“Iiih! Apa-apaan sih, kau ini! Mengapa pakai pegang-pegang
tangan seperti ini! Kau pikir aku pacarmu, ya?!” bentak Lunjita
sambil menyentakkan tangannya dengan gerakan kasar.
Wajah pemuda tampan itu nampak merah. Bahkan sepasang
matanya mengeluarkan sinar berkilat, seperti tidak suka.
“Eh?!”
Balira tersentak kaget dan menolehkan kepalanya dengan
wajah ketololan. Wajah kawannya itu dipandangi dengan
kening berkerut. Pemuda itu semakin terkejut melihat sinar
kemarahan yang terpancar dari sepasang mata Lunjita. Dia
benar-benar heran dan tak mengerti, mengapa kawannya
sampai sedemikian marahnya. Padahal, hanya karena tangannya
dipegang! Benar-benar aneh pemuda yang satu ini!
Balira yang sepertinya sudah mulai dapat meraba sikap
sahabat barunya itu, tersenyum kecut.
“Maafkan aku, Adi Lunjita. Mengapa baru begitu saja, kau
harus marah-marah dan seperti hendak menelanku hidup-
hidup? Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Dan lagi, apa
sih anehnya? Kita kan sama-sama laki-laki. Tidak ada salahnya,
bukan?” tanya pemuda gagah itu dengan suara halus. Meskipun
dalam nada suaranya jelas terkandung rasa keheranan yang amat
besar, tapi berusaha disembunyikannya.
“Bagimu memang tidak apa-apa! Tapi aku sama sekali tidak
suka! Sekali lagi kau berbuat seperti itu, terpaksa kau akan ku-
tinggalkan dan aku akan mencari penginapan lain!” sahut
Lunjita.
Suara pemuda itu benar-benar ketus, disertai kemarahan
yang masih tersisa. Setelah berkata demikian, kakinya bergegas
melangkah menuju rumah penginapan yang hanya beberapa
langkah di depan mereka.
Mendengar ucapan sahabatnya yang baginya terdengar aneh
itu, Balira hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala dan
tersenyum sabar. Benar-benar seorang pemuda aneh dan galak!
Kemudian Balira melangkahkan kakinya menyusul Lunjita yang
sudah lebih dulu memasuki rumah penginapan.
***
Balira mempercepat langkahnya ketika mendengar suara-
suara bentakan orang yang bertengkar mulut. Dan pemuda
gagah bertubuh tegap itu menjadi terkejut ketika melihat
Lunjita tengah mencekal leher baju seorang yang berpakaian
pelayan. Tangan kanannya sudah terangkat siap meninju wajah
pelayan setengah baya yang menjadi gemetar dan pucat.
“Tahan, Adi Lunjita!” cegah Balira sambil berlari mendekati
mereka.
Tangan kanan pemuda tegap itu sudah siap hendak
menangkap lengan Lunjita. Namun begitu teringat akan
peristiwa yang dialami ketika memegang tangan sahabatnya,
tangannya segera ditarik kembali. Akhirnya Balira hanya berdiri
di samping Lunjita dan membujuknya untuk bersabar.
“Huh! Siapa yang tidak menjadi marah?! Sudah lelah kakiku
mengelilingi kotaraja ini untuk mencari penginapan yang masih
kosong. Eh, pemilik rumah penginapan butut ini seenak perut-
nya saja memasang harga. Masih untung aku tidak langsung
memukul dan melemparkan tubuh gendutnya keluar!” Lunjita
bersungut-sungut dan menyumpah-nyumpah lelaki gendut
pemilik rumah makan itu.
Si pemilik rumah makan menarik napas lega setelah leher
bajunya dilepaskan Lunjita. Lelaki setengah baya itu
memandang Balira, dengan sinar mata penuh ucapan terima
kasih.
“Maafkan kelakuan sahabatku itu, Paman. Kami memang
sangat membutuhkan tempat menginap. Dan seperti yang
dikatakan sahabatku tadi, kami sudah berkeliling sampai lelah
namun belum juga mendapatkannya. Jadi wajarlah kalau ia
marah-marah mendengar harga sewa yang menurut kami sangat
mahal itu. Tolonglah, Paman. Kami benar-benar sangat
membutuhkan tempat beristirahat,” pinta Balira, sopan dan
ramah. Sehingga si pemilik kedai merasa suka dengan pemuda
gagah yang ramah itu.
“Jangan lupa! Satu kamar dengan dua tempat tidur!” timpal
Lunjita bernada agak mengancam, sambil bertolak pinggang.
Matanya menatap tajam si pemilik rumah penginapan yang
wajahnya sudah menjadi pucat kembali.
“Tapi... Tapi..., Tuan Muda... Kami...”
“Turuti saja kata-kataku atau rumah penginapan ini akan
kuratakan dengan tanah!” ancam Lunjita memotong ucapan
lelaki setengah baya yang menjadi gemetar ketakutan.
“Baik... Baik, Tuan Muda...,” kata pemilik rumah
penginapan itu mengangguk-angguk seperti burung pelatuk.
Setelah berkata demikian, diajaknya kedua orang tamunya
itu ke dalam. Balira dan Lunjita bergegas mengikuti.
“Tidak semestinya kau menakut-nakuti orang tua itu,
Lunjita. Setidaknya, jangan mencari keributan di kotaraja ini.
Bisa-bisa kita akan mendapat kesulitan nanti,” Balira kembali
menasihati sahabatnya ketika mereka melangkah di belakang si
pemilik penginapan.
Pemuda bertubuh tegap itu merendahkan suaranya agar
tidak terdengar orang lain. Karena saat itu mereka tengah
melewati lorong yang di kiri-kanannya merupakan kamar
tempat tamu menginap.
“Huh! Orang serakah seperti dia itu, harus diberi pelajaran
sekali-kali. Enak saja memasang harga sewa semaunya. Apa
dikiranya kita anak hartawan yang hendak pelesir?” Lunjita yang
masih belum merasa puas itu mengomel menyatakan
kedongkolan hatinya.
“Hhh..., sudahlah. Yang penting kita harus berhati-hati dan
jangan memancing keributan. Karena pada waktu-waktu
seperti ini, di kotaraja berkumpul tokoh persilatan dari ber-
bagai aliran. Dan aku yakin, kepandaian mereka pasti sangat
tinggi. Belum lagi tokoh-tokoh kerajaan yang kabarnya banyak
memiliki tokoh sakti yang berkepandaian hebat. Dan kalau kita
membuat keributan di kotaraja ini, bukankah sama artinya
mengusik harimau sedang tidur?” bisik Balira lagi menasihati
sahabatnya.
“Kau takut dengan tokoh persilatan yang saat ini berkumpul
di kotaraja? Dan kau juga takut mendengar kesaktian tokoh-
tokoh istana? Kalau begitu, mengapa datang ke kotaraja ini,
Kakang?” tanya Lunjita.
Pemuda tampan itu menatap wajah sahabatnya yang diam-
diam sangat dikaguminya karena memiliki sikap tenang dan
penuh kesabaran. Tentu saja pandangan yang penuh selidik itu
membuat Balira mau tak mau menolehkan kepalanya dan
tersenyum sabar.
“Hm.... Kau salah, Adi. Kata-kataku itu sama sekali tidak
berarti aku takut Tapi sikap hati-hati dan menjaga kelakuan
adalah lebih bijaksana. Dan hal itulah yang selalu kulakukan
setiap kali berkunjung ke suatu tempat,” sahut Balira
mengemukakan alasannya.
“Hah! Ucapanmu seperti seorang kakek-kakek saja, Kakang.
Mendengar kata-katamu, rasanya seperti tengah berjalan
bersama guruku,” ujar Lunjita seraya tersenyum menggoda.
“Silakan... silakan, Tuan-tuan Muda,” pemilik penginapan
segera mempersilakan kedua orang tamunya untuk memasuki
kamar yang disediakan. Setelah itu, dia pamit untuk kembali ke
ruang depan.
“Terima kasih, Paman,” Balira mengangguk ramah kepada
pemilik penginapan itu. Lalu keduanya bergegas memasuki
kamar untuk beristirahat
***
“Auuungngng...!”
Lolongan serigala terdengar melengking memecah
keheningan malam. Lolongan itu benar-benar mendirikan bulu
roma. Apalagi ditambah angin dingin yang berhembus
menggigit kulit, menyambut lolongan yang memilukan itu.
Balira yang tengah tidur telentang, tersentak bangkit.
Nalurinya sebagai seorang tokoh persilatan menangkap suatu
keganjilan dari lolongan serigala itu. Pemuda gagah itu duduk
bersila, lalu me-mejamkan matanya rapat-rapat. Sepertinya, dia
ingin menangkap lebih jelas lagi, dari mana asal suara itu.
“Aneh! Padahal wilayah Kotaraja Batu Jajar cukup jauh dari
hutan? Mengapa lolongan serigala itu sampai terdengar
kemari?” desah Lunjita.
Ternyata pemuda tampan itu juga sudah bangkit duduk di
atas pembaringannya. Dan dia rupanya merasa terganggu oleh
lolongan yang melengking itu. Kepalanya ditolehkan ke arah
Balira yang bersemadi dalam keremangan kamar penginapan.
“Kakang, apakah kau juga mendengar lolongan itu?” bisik
Lunjita yang tidak bisa menahan rasa herannya. Pemuda tampan
berwatak aneh itu sepertinya juga menangkap sesuatu yang
ganjil.
“Ya. Aku juga mendengarnya, Adi,” sahut Balira juga
dengan suara berbisik.
Pemuda gagah itu membuka mata, kemudian menolehkan
kepalanya ke arah sahabatnya yang saat itu juga tengah
menatapnya.
Belum lagi mereka sempat mengutarakan perasaan masing-
masing atas keganjilan itu, tiba-tiba terdengar suara ribut yang
membuat keduanya mencelat bangkit dari atas pembaringan.
Bagaikan telah bersepakat, mereka segera melesat melalui
jendela kamar penginapan.
Begitu tiba di luar, mereka langsung melompat naik ke atas
atap penginapan. Begitu ringannya mereka melompat, sehingga
tidak terdengar suara sedikit pun. Jelas, ilmu meringankan
tubuh mereka telah mencapai taraf tinggi. Mereka kemudian
berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat
itu. Dan mereka memang yakin kalau suara ribut tadi berasal
dari sekitar penginapan itu. Dan bukan tidak mungkin kalau
suara itu berasal dari salah satu, atau beberapa kamar di
penginapan ini.
“Hei, tunggu...!” teriak Lunjita.
Sepasang mata Lunjita sempat melihat empat sosok
bayangan berkelebat menuju perbatasan kotaraja. Maka
pemuda itu bergegas mengejarnya. Pemuda tampan itu juga
sudah menghunus pedang yang memang sengaja dibawa ketika
keluar dari kamar penginapan.
Balira pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya langsung
melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh mengejar
keempat sosok bayangan hitam itu. Pemuda gagah itu sempat
terkejut ketika mendapat kenyataan kalau keempat sosok
bayangan hitam itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh
yang cukup tinggi. Sehingga ia dan sahabatnya harus mengerah-
kan seluruh tenaga agar bisa mengejar.
Setelah cukup lama mengejar, Balira dan Lunjita mampu
memperpendek jarak dengan empat bayangan itu. Begitu
melewati tembok kotaraja sebelah Timur, mereka melambung
tinggi, lalu melakukan beberapa kali salto di udara melewati
atas kepala keempat sosok bayangan hitam itu. Kemudian kaki
mereka mendarat ringan, menghadang jalan orang-orang yang
dicurigai itu.
“Siapa kalian?! Dan mengapa kalian melarikan diri seperti
pencuri?!” bentak Lunjita dengan sepasang mata mengancam.
Tangan kiri pemuda itu bertolak pinggang. Sedangkan
tangan kanannya yang memegang pedang yang ditudingkan ke
muka empat sosok berpakaian serba hitam. Kening pemuda
tampan itu berkerut ketika melihat wajah keempat orang yang
tertutup kain hitam. Sehingga yang tampak hanya matanya saja.
Tentu saja hal itu membuat kecurigaan Lunjita semakin kuat.
Keempat orang berpakaian serba hitam itu saling ber-
pandangan satu sama lain, seperti tengah berembuk. Sesaat
kemudian, salah seorang dari mereka tampak menganggukkan
kepalanya.
Cring! Cring...!
Tanpa banyak bicara lagi, keempat orang berpakaian serba
hitam yang juga mengenakan kerudung hitam itu mencabut
senjata.
“Yeaaat..!”
Sambil berteriak nyaring, salah seorang yang berada paling
depan langsung melompat dan menyabetkan pedang meng-
ancam Lunjita. Dan memang, pemuda tampan itulah yang
paling dekat dengan sasaran.
Wuuut!
Sambaran angin pedang menderu tajam menandakan kalau
itu digerakkan oleh tenaga dalam tingkat tinggi. Namun Lujinta
sama sekali tidak merasa gentar. Dengan gerakan yang hampir
tidak terlihat mata, pedang yang tergenggam di tangan pemuda
itu diangkat untuk memapak senjata lawan.
Trangngng!
Bunga api seketika memercik menerangi sekitarnya akibat
benturan dua batang senjata yang dikerahkan lewat tenaga
dalam tinggi. Sosok berpakaian serba hitam itu terpekik kaget
ketika merasakan tangannya seperti kesemutan akibat benturan
itu. Tubuhnya terjajar mundur sejauh empat langkah.
“Keparat!” maki Lunjita yang juga terjajar mundur sejauh
dua langkah.
Pemuda tampan itu terkejut juga ketika merasa-kan
tangannya bergetar. Mendapat kenyataan kalau tenaganya hanya
menang sedikit dari orang itu, Lunjita menjadi marah! Cepat-
cepat pedangnya diputar hingga membentuk gulungan sinar
putih yang bergerak cepat turun naik.
Belum lagi Lunjita sempat menerjang lawannya, sosok
berpakaian hitam lainnya lagi sudah menusukkan pedang ke
lambung pemuda itu. Bergegas tubuhnya dimiringkan sambil
menggeser kaki kanan ke samping. Langsung dilancarkannya
serangan balasan.
Terjadilah pertarungan seru antara Lunjita yang dikeroyok
dua orang berseragam hitam itu. Terpaksa seluruh ke-
pandaiannya harus dikerahkan untuk menghadapi kedua orang
lawannya. Pemuda tampan yang berwatak keras itu meng-
andalkan kelebihannya dalam hal kecepatan. Tubuhnya ber-
kelebatan cepat disertai sambaran pedang yang membuat kedua
lawan harus menguras tenaga menghadapinya.
Balira yang juga berhadapan dengan dua orang berseragam
hitam lainnya, sudah mengeluarkan senjata dalam menghadapi
keroyokan itu. Tiga batang tongkat pendek yang digabungkan
sehingga berbentuk ruyung itu menyambar-nyambar mem-
bendung serangan lawan-lawannya. Gerakannya yang mantap
dan mengandung kekuatan hebat, ternyata mampu membuat
kedua orang pengeroyok itu sibuk dan tidak berani bertindak
ceroboh. Maka meskipun pertarungan sudah melewati dua
puluh jurus, kedua orang lawan masih juga belum mampu
mendesaknya.
“Heaaat..!”
Wuuuk! Wuuuk!
Sambil membentak keras, ruyung di tangan Balira meluncur
cepat menyambar salah seorang lawan. Orang itu menarik
mundur kaki depannya, lalu mendoyongkan tubuhnya ke
belakang. Namun jurus-jurus serangan yang dilancarkan
pemuda gagah itu ternyata memiliki perubahan-perubahan yang
tak terduga. Dan tahu-tahu saja, ruyung di tangan pemuda itu
berputar dan menyambar kaki lawannya.
“Akh...!”
Bukan main terperanjatnya orang itu. Cepat-cepat tubuhnya
dilempar ke belakang untuk menyelamatkan kakinya dari
hantaman ruyung lawan. Orang itu bersalto sebanyak tiga kali
sebelum mendarat di atas tanah.
Sedangkan saat itu, Balira yang sudah menarik pulang
senjatanya bergegas menggulingkan tubuhnya ke samping.
Karena pada saat yang hampir bersamaan, pedang lawan yang
lain sudah meluncur ke arah dada. Sambil bergulingan, pemuda
gagah itu melancarkan serangan balasan dengan lontaran ujung
ruyungnya, menotok dada kiri lawan.
Bugkh!
“Aaakh...!”
Orang itu menjerit kesakitan ketika dada kirinya terhantam
ujung ruyung lawan. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya
terjengkang ke belakang dan roboh dalam keadaan tertotok
kaku.
Balira yang semula hendak mengejar, terpaksa menunda
gerakannya. Karena saat itu, teriakan sahabatnya terdengar.
Pemuda tinggi tegap itu terkejut ketika melihat tubuh
sahabatnya terlempar ke belakang dengan derasnya.
“Adi Lunjita...!”
Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Balira segera
melesat ke arah tubuh sahabatnya yang terkapar tak bergerak.
Bukan main cemasnya hati pemuda itu melihat keadaan
sahabatnya. Maka terpaksa ketika orang-orang berpakaian serba
hitam melarikan diri, dia tidak berusaha dikejar. Mereka kabur
sambil memondong salah seorang yang tertotok lumpuh oleh
Balira.
“Adi Lunjita...!” seru Balira sambil berjongkok dan
memeriksa tubuh sahabatnya.
Pemuda gagah itu menarik napas lega ketika mendapati
sahabatnya masih bernapas. Rupanya Lunjita langsung pingsan
begitu terkena tendangan salah seorang lawan yang sangat
keras. Pada bagian atas dadanya pun terlihat luka yang agak
panjang. Sepertinya pemuda tampan itu juga telah terkena
sambaran pedang.
Karena cuaca di tempat itu agak gelap, dan Balira juga tidak
bisa melihat jelas luka sahabatnya, maka tubuh sahabatnya
segera diangkat. Tubuh Lunjita kemudian dibawa ke tempat
yang agak terang. Pemuda berwajah gagah itu kembali
melompati tembok dan memasuki kotaraja. Direbahkannya
tubuh Lunjita di bawah sebatang obor yang tertancap di
dinding.
Balira meloloskan sabuk yang melilit pinggang sahabatnya.
Lalu, dibersihkannya darah yang terdapat di sekitar luka
bacokan pedang pada tubuh Lunjita. Untunglah luka itu tidak
terlalu dalam, sehingga Lunjita tidak sampai tewas karenanya.
Pemuda gagah itu menyingkap baju bagian atas sahabatnya
untuk membersihkan luka. Namun matanya menjadi terbelalak
ketika melihat buah dada ranum milik seorang gadis remaja
yang menyembul dari balik pakaian sahabatnya itu. Sungguh
tidak disangka kalau Lunjita ternyata adalah seorang gadis!
Balira langsung terpaku bagai patung! Cepat-cepat ditutupnya
kembali pakaian sahabatnya, ketika dia tersadar dari rasa
kagetnya.
“Ahhh.... Pantas saja sikapnya demikian aneh! Rupanya ia
adalah seorang wanita! Aku baru mengerti sekarang, mengapa
Lunjita begitu marah ketika tangannya kupegang sewaktu
hendak memasuki tempat penginapan.” gumam Balira sambil
beranjak bangkit dari duduknya, lalu berdiri mematung
memandangi cakrawala yang pekat.
Setelah merenung dan menimbang-nimbang sebentar,
akhirnya Balira memutuskan untuk segera kembali ke
penginapan. Dipondongnya tubuh sahabatnya yang ternyata
seorang gadis dengan tangan yang agak gemetar. Meskipun
usianya lebih dari dua puluh satu tahun, namun baru kali inilah
Balira berdekatan, bahkan sampai membopong tubuh seorang
gadis. Tentu saja hal itu menimbulkan perasaan lain, sehingga
membuat tubuhnya panas dingin. Apalagi ketika merasakan
betapa lembut dan hangatnya tubuh gadis yang berada dalam
pondongannya itu. Semakin kacaulah pikiran Balira.
“Hhh....”
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu menghembuskan
napas kuat-kuat sambil menggelengkan kepala mengusir
bayangan yang mengganggu. Sambil menekan debaran dalam
dada, tubuh Balira segera berkelebat untuk kembali ke
penginapan.
***
“Hei? Apa yang telah tejadi di tempat itu?” gumam Balira
ketika melihat rumah penginapan tempatnya bermalam tampak
terang benderang oleh puluhan batang obor. Karena merasa
curiga, maka tubuh Lunjita disembunyikannya di tempat yang
agak gelap dan tersamar. Kemudian, Balira bergegas meng-
hampiri rumah penginapan itu untuk mencari tahu, apa yang
terjadi di sini sehingga rumah penginapan itu dipenuhi orang.
“Semua tamu yang menginap di tempat ini, harap kembali
ke kamar masing-masing! Tidak ada seorang pun yang boleh
meninggalkan tempat ini sebelum diperiksa terlebih dahulu!”
teriak seorang laki-laki gagah berusia empat puluh tahun. Laki-
laki yang mengenakan pakaian perwira itu lalu memerintahkan
agar para bawahannya menyebar dan menjaga di sekitar rumah
penginapan itu.
Balira yang mendengar ucapan perwira itu menjadi terkejut.
Didekatinya salah seorang yang berada di tempat itu.
“Apakah yang terjadi di tempat ini, Kisanak? Mengapa
banyak sekali prajurit kerajaan yang berjaga-jaga?” tanya
pemuda gagah itu dengan suara rendah.
“Hm.... Aku pun tidak mengetahuinya secara jelas. Apalagi
tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk. Tapi, aku
sempat mendengar dari seorang prajurit kalau di dalam rumah
penginapan ini telah terjadi pembunuhan. Delapan orang tokoh
persilatan yang menginap di tempat ini, kedapatan tewas
dengan kepala terpisah dari badan,” jelas lelaki setengah baya
itu. Wajahnya tampak membayangkan perasaan ngeri.
“Hei? Siapa yang telah berbuat sedemikian kejam itu,
Kisanak? Dan apakah pembunuhnya telah diketahui?”
Meskipun Balira sudah mulai dapat menduga orang yang
telah melakukan pembunuhan biadab itu, namun berpura-pura
tidak mengetahuinya.
“Entahlah! Tidak ada seorang pun yang melihatnya,” jawab
orang itu lagi sambil menggelengkan kepala.
Pemuda gagah berusia dua puluh dua tahun yang telah
memiliki banyak pengalaman itu, segera memutar otaknya. Dia
sadar kalau kembali ke kamar dan mengambil buntalan
pakaiannya, adalah perbuatan bodoh. Jelas hal itu bisa jadi akan
menambah kesulitan dan kemungkinan akan dicurigai sebagai
pembunuh kedelapan orang tokoh persilatan itu. Dan tentu saja
hal ini sama sekali tidak diinginkannya.
Mendapat pikiran demikian, Balira segera mengurungkan
niatnya untuk kembali ke penginapan. Terpaksa buntalan
pakaian miliknya dan milik sahabatnya harus ditinggalkan di
tempat itu. Lalu, Balira segera kembali ke tempat tubuh
sahabatnya disembunyikan.
“Maaf, Sahabatku. Aku terpaksa harus membawamu pergi
meninggalkan kotaraja ini,” gumam Balira sambil mengangkat
tubuh sahabatnya ke atas pundak.
Setelah mengetahui kalau Lunjita ternyata adalah seorang
gadis, pemuda gagah itu menjadi canggung untuk menyebut
nama sahabatnya itu. Makanya, ia hanya menyebut dengan
panggilan sahabat saja. Dan memang Balira tidak tahu nama
sebenarnya dari gadis yang mengaku bernama Lunjita itu.
Sambil memondong tubuh sahabatnya, Balira melesat
meninggalkan tempat itu. Ia terus berlari mempergunakan ilmu
meringankan tubuh, meninggalkan kotaraja. Pemuda gagah itu
berlari melewati tempat dia tadi mengejar empat orang
berseragam hitam yang menurutnya adalah pembunuh delapan
orang tokoh persilatan di rumah penginapan tempatnya
bermalam. Memang, untuk keluar melalui pintu gerbang,
sudah tidak mungkin. Balira memang tidak ingin mendapat
pertanyaan macam-macam dari penjaga pintu gerbang. Itulah
sebabnya, mengapa ia mengambil jalan yang bukan semestinya.
***
Saat itu sinar kemerahan sudah mulai muncul di kaki langit
sebelah Timur. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-sahutan
menyambut sang pagi yang mulai menjelang.
Balira terus berlari menjauhi kotaraja. Tidak lama kemudian
pemuda itu memperlambat langkahnya ketika di hadapannya
terlihat sebuah anak sungai. Bergegas diseberanginya sungai
yang tidak terlalu lebar itu. Kedua kakinya berkali-kali
menotok batu-batu yang menonjol ke permukaan. Begitu
sampai di seberang sungai, diturunkan tubuh sahabatnya.
Pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu terkejut ketika
melihat luka sahabatnya tampak mulai membengkak. Sejenak ia
berdiri karena tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi Balira sama
sekali buta tentang ilmu pengobatan. Akhirnya, diputuskan
untuk menyadarkan sahabatnya saja. Siapa tahu sahabatnya itu
mengetahui tentang ilmu pengobatan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Balira segera me-
mencet jalan darah yang terletak di antara hidung dan mulut.
Tak berapa lama kemudian, terdengar keluhan lirih dari mulut
Lunjita.
“Ohhh...!” Lunjita mengerang sambil memegang bahu
kanannya yang terasa sakit ketika hendak bangkit. Akibatnya,
kepalanya kembali terkulai di atas tanah berumput.
“Jangan bergerak dulu, Adi... Lunjita,” cegah Balira yang
menjadi canggung untuk menyebut nama sahabatnya itu setelah
mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik baju Lunjita.
Namun Balira berusaha untuk bersikap wajar agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
“Di mana kita, Kakang?” tanya Lunjita ketika pandangan
matanya sudah tidak kabur lagi. Sambil bertanya demikian,
pandangannya beredar ke sekitar tempat itu dengan kening
berkerut.
“Nantilah kalau kau sudah sehat, baru aku akan men-
ceritakannya,” sahut Balira lembut.
Nada suara pemuda itu terdengar agak bergetar. Memang,
sejak mengetahui bahwa sahabatnya itu adalah seorang gadis,
ada suatu perasaan aneh yang dialaminya. Dalam pandangannya,
Lunjita bukan lagi seorang pemuda tampan yang berwatak
aneh, melainkan seorang gadis yang menimbulkan getaran aneh
dalam dirinya. Pemuda yang telah lama terjun ke dunia ramai
itu pun sadar sepenuhnya kalau dirinya sudah jatuh cinta kepada
'pemuda' sahabatnya itu. Namun hal itu berusaha disembunyi-
kan. Kelak apabila sahabatnya itu telah membuka rahasia
tentang dirinya, barulah isi hatinya berani diutarakan.
***
DUA
Sinar matahari pagi mulai menebar ke seluruh permukaan
mayapada. Angin pagi bertiup silir-silir membawa kesegaran.
Tampak Balira masih duduk menunggui Lunjita yang terlihat
masih terbaring lemah. Pemuda itu duduk bersandar pada
sebatang pohon yang ada tidak jauh dari pinggir sungai.
“Uhhh.... Aku haus sekali, Kakang,” rintih Lunjita dengan
suara bergetar lemah. Bibirnya tampak pucat dan tubuhnya
menggigil bagaikan orang yang terserang demam.
Mendengar keluhan sahabatnya, Balira membuka mata yang
semula terpejam. Dia memang tengah melakukan semadi untuk
memulihkan tubuhnya. Begitu matanya terbuka, wajahnya
terlihat khawatir. Terutama ketika melihat keadaan Lunjita
yang sepertinya semakin memburuk. Bergegas diraba kening
sahabatnya dengan hati cemas. Ia menjadi terkejut ketika
merasakan tubuh sahabatnya panas.
“Sebentar, Adi Lunjita. Aku akan mencarikan air untukmu,”
sahut pemuda itu.
Balira bergegas bangkit menuju sungai yang tidak jauh dari
tempat mereka. Dipetiknya selembar daun yang akan diguna-
kan untuk menampung air sungai yang jernih itu. Sambil
menyendok air sungai, otaknya berputar memikirkan keadaan
sahabatnya yang diduga telah terserang demam. Mungkinkah
senjata yang digunakan empat orang berseragam hitam itu
mengandung racun? Kalau tidak, mengapa sahabatnya terserang
demam? Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena luka yang
tidak terlalu parah, Lunjita sampai terserang demam. Pasti
senjata orang-orang itu mengandung racun meskipun bukan
jenis yang mematikan.
Balira tersentak dari lamunannya ketika lapat-lapat men
dengar suara erangan Lunjita. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda itu segera melesat meninggalkan sungai
“Jahanam! Apa yang telah kalian lakukan?! Lepaskan dia!”
bentak Balira.
Pemuda itu menjadi terkejut ketika melihat sahabatnya
terguling akibat tendangan yang cukup keras dari seorang laki-
laki kurus bertampang licik. Dengan penuh kemarahan, ia
langsung melompat menerjang orang itu.
Wuuut!
Balira semakin geram ketika tendangannya berhasil
dielakkan orang itu. Tubuhnya berputar cepat, diiringi sabetan
kaki mengancam kuda-kuda lawan untuk menjatuhkannya.
Pemuda berwajah gagah itu ternyata memiliki perhitungan
cermat. Karena begitu tubuh lawan melompat menghindari
sambaran kakinya, tangan kanannya meluncur melakukan
dorongan ke dada lawan.
Desss!
“Hugkh...!
Tubuh orang bertubuh kurus itu langsung terjengkang
akibat hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam
penuh. Balira sempat terkejut ketika orang itu ternyata masih
dapat melakukan salto beberapa kali hingga tubuhnya tidak
sampai terbanting di tanah. Namun demikian, tak luput dari
sudut bibir lawan tampak darah segar menetes dan membasahi
pakaian.
Sebelum pemuda itu tersadar dari kekagumannya, saat itu
sebuah serangan sisi telapak tangan telah menghantam
tubuhnya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Balira terlempar
sejauh dua tombak. Namun dia cepat melenting berdiri sambil
meringis menahan rasa nyeri di punggung yang terkena pukulan
telak itu.
“Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan dari kami?!” tanya
Balira.
Dia menjadi tegang melihat belasan orang laki-laki berwajah
angker telah mengepung tempat itu. Kekhawatiran semakin
nampak di wajahnya, mengingat keadaan sahabatnya yang
tengah menderita sakit itu. Dengan sorot mata tajam, Balira
berdiri tegak di samping Lunjita. Kelihatannya, pemuda itu siap
melindungi sahabatnya dari ancaman belasan orang yang sama
sekali tidak dikenalnya itu.
“Hm.... Jangan berpura-pura bodoh, Kisanak! Apakah
kalian pikir setelah melakukan pembunuhan terhadap delapan
orang tokoh persilatan di penginapan itu kalian akan dapat
lolos?! Hmh! Jangan mimpi, Kisanak! Lebih baik kau dan
kawanmu itu menyerah untuk kemudian kuserahkan kepada
prajurit kerajaan!” ujar orang berwajah brewok dan memiliki
codet di pipi kirinya, sambil meraba gagang pedang yang
menyembul di pinggang dengan sikap mengancam.
“Bangsat! Jaga mulutmu, Kisanak! Apa maksudmu
melemparkan tuduhan keji kepada kami? Kami sama sekali
tidak melakukan apa-apa!” sahut Balira.
Pemuda gagah itu benar-benar menjadi terkejut mendengar
tuduhan orang berwajah brewok. Wajahnya yang dilanda
ketegangan langsung berubah pucat. Otaknya berputar mencari
jawaban, apa yang menyebabkan orang itu menuduhnya telah
melakukan pembunuhan keji terhadap delapan tokoh per-
silatan.
“Ooohhh...”
Tiba-tiba terdengar erangan lirih yang keluar dari bibir
pucat milik Lunjita. Wajah tampan itu tampak semakin pucat
dengan butir-butir keringat yang mengalir deras. Tubuh gadis
yang menyamar menjadi pemuda tampan itu bergerak-gerak
gelisah sambil sekali memperdengarkan erangan lirih dan rintih
kesakitan.
“Adi Lunjita.... Kau..., kau... Apa yang kau rasakan? Bagai-
mana... keadaanmu?” tanya Balira, cemas.
Pemuda itu membungkuk, memeriksa tubuh sahabatnya
yang semakin panas. Dan hal itu membuatnya makin khawatir
dan bingung. Belum lagi penyakit sahabatnya itu sembuh,
kesulitan lain muncul. Membuat pikirannya semakin kalut.
“Nah! Lihatlah keadaan sahabatmu yang tengah sekarat itu.
Ia harus segera mendapatkan pertolongan dan perawatan
secepatnya. Lebih baik, menyerah saja. Kemudian akui segala
perbuatanmu itu, sebelum keadaan kawanmu semakin
memburuk. Tidakkah kau merasa kasihan kepadanya?” ujar si
brewok seraya tersenyum penuh kemenangan. “Dan perlu kau
ketahui, sahabatmu itu telah terkena racun yang akan dapat
menewaskannya dalam waktu dua hari.”
“Keparat! Bagaimana kau bisa tahu tentang hal itu?!” bentak
Balira tersentak bangkit dan memandang tajam kepada orang
itu.
“Hm.... Mudah saja bagiku untuk menebaknya. Lihatlah.
Bukankah wajahnya telah dijalari warna kehijauan?” sahut lelaki
brewok itu lagi.
Balira tersentak kaget dan secepat kilat menoleh ke arah
sahabatnya. Hatinya benar-benar tercekat melihat kebenaran
ucapan lelaki brewok yang kurang lebih berusia empat puluh
tahun itu.
“Sudahlah, Ki. Mengapa kita harus mengulur-ulur waktu?
Kalau memang tidak mau menyerah, bunuh saja. Lalu, mayat
mereka kita bawa, dan serahkan kepada para prajurit Kerajaan
Batu Jajar. Kita bisa katakan kepada para prajurit kalau mereka
berdualah yang telah melakukan pembunuhan terhadap delapan
orang tokoh persilatan di penginapan itu,” usul seorang
pengikut si brewok yang sudah tidak sabar mendengar
percakapan itu.
“Benar, Ki. Dan lagi kalau mereka kita tangkap hidup-
hidup, pasti akan membantah tuduhan itu. Bahkan jangan-
jangan malah melemparkan tuduhan kepada kita. Bukankah hal
itu malah akan menyulitkan?” timpal yang lainnya, mem-
benarkan ucapan kawannya.
“Hm.... Benar juga ucapan kalian itu,” gumam si brewok
sambil mengusap-usap dagunya dengan kening berkerut.
Rupanya hal itu baru disadarinya. “Kalau begitu, tunggu apa
lagi? Bunuh kedua orang pemuda itu!”
Mendengar perintah pemimpinnya, belasan orang laki-laki
angker itu serentak berlompatan mengurung Balira dan Lunjita.
Sementara pemuda itu segera mencabut ruyungnya. Dia telah
bersiap mempertahankan nyawa, dan nyawa sahabatnya.
“Heaaat..!”
Dibarengi teriakan nyaring, empat orang berseragam hitam
yang berada di sebelah kiri, melompat sambil mengayunkan
pedang yang menderu tajam.
Trakkk! Trakkk!
Balira mengayun ruyungnya sekuat tenaga, untuk menangkis
dua batang pedang yang menyambar punggung dan lambung-
nya. Dua orang penyerang itu langsung terjajar mundur.
Bahkan pedang mereka telah terpental akibat tangkisan itu.
Kemudian, Balira melompat ke samping menghindari dua
batang senjata lainnya. Sambil melompat, kaki kanannya
melakukan tendangan hingga membuat salah seorang lawan
terjungkal ke belakang.
“Majulah kalian, Manusia-manusia Keparat! Jangan harap
aku akan menyerah begitu saja!” tantang Balira.
Sambil berkata demikian, Balira memutar ruyungnya hingga
membentuk lingkaran sinar merah yang melebar melindungi
tubuhnya dan juga tubuh sahabatnya. Sementara, pada saat itu
Lunjita hanya dapat mengerang dan merintih kesakitan.
Belasan orang berseragam hitam itu sama sekali tidak
mempedulikan kemarahan Balira. Mereka kembali menerjang
dan mengirimkan serangan-serangan maut yang mematikan.
Mau tak mau Balira menjadi sibuk dan terdesak hebat. Namun
sambil menggertakkan gigi, pemuda bertubuh tinggi tegap itu
terus memberi perlawanan. Segenap kemampuan yang dimiliki-
nya, langsung dikerahkan.
Wuuuttt!
Desss! Desss!
“Aaakh...!”
Dua orang pengeroyok yang hendak membunuh Lunjita
terpental bergulingan akibat hantaman ruyung yang mengenai
dada dan punggung mereka. Balira terus memutar ruyungnya,
mengamuk bagai harimau luka. Namun para pengoroyoknya itu
bukanlah orang lemah. Tidak heran meskipun pemuda gagah itu
telah mengerahkan seluruh kepandaian, tetap saja masih ter-
desak hebat
Bukkk! Brettt!
“Aaakh...!”
Balira menjerit kesakitan ketika sebuah hantaman kaki salah
seorang lawan menghantam keras pinggulnya. Sebelum sempat
memperbaiki keadaannya, sebuah kilatan pedang menyambar
tubuhnya. Untunglah badannya masih sempat dimiringkan,
sehingga hanya menyerempet bahu kanannya. Tubuh pemuda
itu terhuyung sambil mendekap lukanya yang mengucurkan
darah segar.
“He he he.... Bersiaplah untuk melayat ke neraka, Kisanak!”
ejek salah seorang pengeroyoknya seraya terkekeh gembira.
Setelah berkata demikian, kembali diterjangnya Balira.
Sambaran pedang orang itu tampak mengarah leher Balira.
Wuuuttt!
Sambaran pedang itu berhasil dielakkan Balira dengan
merendahkan tubuh dan menggeser kaki kanannya yang
membentuk kuda-kuda serong. Kemudian tubuhnya dilempar
jauh ke belakang untuk menghindari sambaran pedang lain.
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebatang pedang lain
menusuk dengan kecepatan tak terduga. Cepat pemuda itu
mengayunkan ruyungnya untuk menangkis senjata lawan.
Trakkk!
Sambaran ruyung pemuda itu berhasil menggagalkan
serangan itu. Namun, sebuah tendangan yang datang dari
samping kiri tak sempat dihindarinya lagi.
Bukkk!
“Aaakh...!”
Tubuh Balira terlempar disertai jerit kesakitannya. Pemuda
gagah itu bergulingan sejauh empat batang tombak untuk
menghindari serangan para pengeroyoknya yang lain. Darah
segar mulai menetes dari sudut bibirnya. Balira terhuyung
limbung karena luka-luka yang diderita. Bibirnya tampak digigit
kuat-kuat, lalu kembali ruyungnya diputar untuk melindungi
tubuh.
Belasan orang pengeroyok itu kembali menerjang Balira
dengan ganas dan tanpa ampun. Karena terlalu bernafsu
membunuh pemuda gagah yang telah terluka, belasan orang
pengeroyok itu sepertinya sudah melupakan Lunjita yang
terbaring lemah tanpa daya.
Bukkk! Desss! Brettt!
''Aaakh...!”
Balira jatuh terguling-guling akibat tendangan dan pukulan
lawan yang telak mengenai tubuhnya. Sebuah sambaran golok
lawan juga telah merobek paha kirinya, meskipun tidak terlalu
dalam. Balira masih juga berusaha bangkit walau terpincang-
pincang.
“Jangan bunuh dulu! Lebih baik dia kita siksa hingga mau
mengakui perbuatannya!” usul salah seorang pengeroyok yang
sudah menyarungkan senjatanya.
Kawan-kawannya serentak mengangguk setuju dan ikut
menyarungkan senjata. Kemudian mereka kembali menerjang
dengan tendangan dan pukulan ke seluruh tubuh Balira.
Namun, rupanya pemuda gagah itu masih juga mampu mem
beri perlawanan.
Salah seorang pengeroyok terguling roboh terkena
hantaman ruyung pemuda gagah itu. Namun pada saat itu juga,
tubuh Balira terkena pukulan dan tendangan beberapa orang
lawan.
Plakkk! Desss! Bukkk!
Balira kembali jatuh terguling-guling akibat hantaman keras
yang menghajar tubuh dan wajahnya. Darah pun semakin
banyak mengalir dari mulut dan wajahnya yang telah biru
lebam. Sebelum dapat bangkit, kembali para pengeroyok
menghujani tubuhnya dengan pukulan dan tendangan.
“Oooh...!” Balira merintih dan mengerang menahan rasa
sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya.
Kali ini pemuda itu tidak mampu lagi bangkit. Luka-luka
yang dideritanya benar-benar sudah sedemikian parah. Juga
keadaan tubuhnya telah sangat lemah, sehingga Balira hanya
dapat pasrah menanti ajal yang datang menjemput. Tubuhnya
telentang dengan napas tersengal. Keadaannya benar-benar
sangat menyedihkan.
***
“Ha ha ha...! Bersiaplah menerima kematianmu, Anak Muda
Sial!” ujar salah seorang pengeroyok yang sudah mencabut
pedangnya, siap dihunjamkan ke tubuh Balira yang sudah tak
berdaya. Namun, begitu pedang hampir menyentuh kaki Balira,
tiba-tiba....
Trang!
“Aaakh...!”
Laki-laki berseragam hitam yang siap menghunjamkan
pedang, tiba-tiba terpental deras ke belakang. Pedangnya juga
terlepas akibat hantaman sebuah kerikil sebesar ibu jari.
Tampak sosok tubuh berjubah putih tahu-tahu sudah
melangkah tenang mendekati tempat itu. Sorot matanya begitu
tajam dan menggetarkan, sehingga membuat belasan orang
lelaki berwajah angker yang siap membunuh Balira langsung
mundur. Langkah pemuda itu tampak tegap bagai langkah
seekor harimau jantan nan perkasa.
“Siapa kau, Kisanak...?” tanya salah seorang dari belasan
laki-laki itu. Suaranya agak bergetar karena pengaruh tatapan
mata yang menggetarkan jantung. Sedangkan yang lain hanya
terpaku bagai patung.
Pemuda tampan yang mengenakan jubah putih sama sekali
tidak menjawab. Bahkan kakinya terus saja melangkah men-
dekati Balira yang tengah merintih menahan sakit. Tanpa
mempedulikan belasan orang itu, ia berjongkok dan memeriksa
tubuh Balira. Kemudian diberikannya beberapa totokan pada
bagian tubuh pemuda gagah yang tergolek tak berdaya akibat
luka yang diderita.
“Luka-lukamu cukup parah, Kisanak. Sebaiknya telanlah
obat ini agar kesehatanmu cepat pulih,” ujar pemuda tampan itu
sambil menyerahkan sebutir obat pulung berwarna putih
seperti salju.
Balira memandangi penolongnya penuh rasa terima kasih.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera ditelannya obat yang diberikan
penolongnya itu. Pemuda tinggi tegap berwajah gagah itu
membelalak heran ketika merasakan adanya hawa hangat yang
berputar di sekitar pusarnya. Hatinya menjadi girang bukan
main, karena hawa yang berputar itu terasa nikmat dan
menghilangkan segala rasa nyeri akibat luka-lukanya.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Dan kuharap
kau juga sudi menolong sahabatku yang tengah keracunan itu,”
ucap Balira lirih dan penuh permohonan.
Sambil berkata demikian, kepalanya menoleh ke tempat
sahabatnya yang tengah tergeletak tadi. Wajah Balira berubah
cemas ketika tidak melihat sosok tubuh Lunjita.
“Jangan khawatir. Sahabatmu itu sudah berada di tempat
aman. Marilah kita melihatnya,” ajak pemuda tampan berjubah
putih itu.
Setelah berkata demikian, pemuda itu memapah bangkit
tubuh Balira. Karena biarpun luka-luka yang diderita pemuda
gagah itu sudah tidak terasa nyeri, namun masih belum mampu
bangkit.
Pemuda tampan yang ternyata Panji atau berjuluk Pendekar
Naga Putih itu bergerak mendekati tubuh Lunjita yang
terbaring ditemani seorang gadis jelita berpakaian serba hijau.
Gadis itu cantik sekali! Wajahnya yang putih dan jelita itu
terhias senyum manis, membuat orang tak akan pernah puas
untuk memandanginya. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan
Kenanga, yang sudah pasti datang bersama Panji. Baru beberapa
tindak Panji dan Balira melangkah, laki-laki brewok yang sejak
tadi hanya menonton pertarungan, berteriak nyaring mengejut-
kan. Dan pada saat itu juga, tubuhnya melayang sambil
melakukan dorongan dengan kedua telapak tangan ke punggung
Pendekar Naga Putih.
Wuuusss!
Panji yang merasakan adanya terpaan angin tajam yang
menuju punggungnya, cepat mengibaskan tangan kanan tanpa
menoleh sedikit pun. Sedangkan, tangan kirinya tetap
memapah Balira. Seketika....
***
TIGA
Bresss!
“Aaakh...!
Tubuh lelaki brewok itu terpental balik ketika sepasang
telapak tangannya terasa bagai membentur dinding yang amat
kokoh. Bahkan dapat menolak balik tenaganya. Cepat-cepat
tubuhnya dilempar ke belakang, lalu melakukan beberapa kali
salto di udara. Dan kini, kedua kakinya mendarat di atas tanah
dengan selamat meskipun agak terhuyung.
Terdengar helaan napasnya yang berat disertai dorongan
sepasang tangan ke depan. Laki-laki brewok itu berusaha
menghilangkan rasa sesak di dada akibat kibasan tangan Panji
tadi. Setelah beberapa kali menyedot dan membuang napas
disertai gerakan tangan, dia berdiri tegak menatap punggung
kedua orang pemuda yang terpisah beberapa batang tombak di
depannya. Si brewok tidak berani melancarkan serangan lagi
setelah merasakan akibat perbuatan curangnya itu.
Si brewok berdiri terpaku bagaikan orang yang tengah
dilanda mimpi buruk. Benar-benar tidak disangka kejadian yang
barusan dialaminya. Bagai-mana mungkin kibasan tangan
pemuda seusia itu dapat membuat dirinya terpental? Mungkin-
kah pemuda berjubah putih itu memiliki tenaga dalam tinggi
yang melebihi tenaga dalamnya?
“Nah! Sekarang beristirahatlah dulu, Kisanak. Hm....
Bagaimana keadaan orang itu, Kenanga?” kata Panji begitu tiba
di dekat Lunjita dan Kenanga. Kemudian Pendekar Naga Putih
melangkah mendekati kekasihnya.
“Nampaknya masih bisa tertolong, Kakang. Meskipun racun
yang merasuk di tubuhnya termasuk ganas, namun daya
kerjanya sangat lambat. Sehingga, sampai saat ini belum terlalu
membahayakan nyawanya,” sahut Kenanga sambil memandang
kekasihnya.
“Hm.... Kalau begitu, tunggulah di sini. Biar akan ku-
selesaikan urusan ini dengan mereka,” desah Panji.
Pendekar Naga Putih kemudian segera membalikkan
tubuhnya. Kini kakinya melangkah mendekati lelaki brewok
dan para pengikutnya. Mereka rupanya masih penasaran
terhadap pemuda berjubah putih itu.
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang
tombak. Kemudian, pandangannya beredar menyapu wajah-
wajah angker yang saat itu juga tengah menatapnya.
“Kisanak. Kalau boleh tahu, apakah yang telah menyebabkan
kalian begitu tega menyiksa kedua orang pemuda itu?” tanya
Panji.
Suara Pendekar Naga Putih terdengar ramah dan nadanya
bersahabat. Meskipun dapat diduga kalau wajah mereka bukan-
lah wajah orang baik-baik, namun pemuda itu berusaha untuk
mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebab hal itu
sangat berguna untuk dapat memutuskan sikap yang akan
diambil nanti. Sepertinya, Panji mencoba untuk menjadi
penengah di antara kedua belah pihak. Dan kalau tadi Pendekar
Naga Putih telah bersikap membela kedua orang pemuda itu,
hal itu dikarenakan tidak sampai hati melihat Balira dikeroyok
dan disiksa. Jadi, bukan berarti kalau ia membela kedua
pemuda itu sepenuhnya.
“Hm.... Ketahuilah, Kisanak. Kedua orang pemuda itu
adalah pembunuh biadab. Dan saat ini, mereka tengah dicari-
cari prajurit Kerajaan Batu Jajar. Kedua orang itu adalah
buronan pemerintah! Jadi kalau kau membelanya, maka akan
menjadi buronan pemerintah juga! Kalau kau tidak ingin
terlibat, serahkanlah kedua orang pemuda itu. Kemudian, kami
akan menyerahkannya kepada prajurit kerajaan,” jelas laki-laki
brewok itu yang membuat kening Panji berkerut dalam.
“Betulkah ucapanmu itu, Kisanak? Apakah kau melihatnya
dengan mata kepala sendiri?” tanya Panji meminta ketegasan.
Memang Pendekar Naga Putih sebenarnya tidak yakin akan
keterangan yang diberikan lelaki brewok itu. Sebab kalau
menilai penampilan kedua pemuda yang kini bersamanya,
penjelasan laki-laki itu benar-benar disangsikannya. Sepertinya,
Pendekar Naga Putih akan lebih percaya kalau belasan orang
itulah yang telah melakukan kejahatan. Karena dari lagak dan
nada bicara, jelas kalau belasan orang itu bukanlah dari
golongan putih.
“Bangsat! Rupanya kau tidak mempercayai kata-kataku,
Kisanak! Kalau kau ingin bukti yang lebih jelas, tanyakanlah
kepada pemilik rumah penginapan tempat peristiwa itu terjadi.
Kedua orang pemuda itu pun menginap di sana. Dan mereka
melarikan diri setelah pembunuhan itu terjadi. Apakah semua
bukti itu masih belum cukup?” bentak lelaki brewok itu dengan
wajah gelap karena amarahnya mulai terbakar.
“Bukan aku tidak mempercayai kata-katamu, Kisanak. Tapi
aku tidak bisa mendengar keterangan sepihak saja. Lebih baik
kalian tunggu saja di sini. Aku akan mencoba mengobati salah
seorang pemuda yang tengah menderita keracunan itu. Dan
setelah mereka sembuh, kita bisa dengar keterangan mereka.
Bagaimana? Apakah kau setuju dengan usulku?” tanya Panji
meminta pendapat dari lelaki brewok berwajah codet itu.
“Tidak bisa! Kedua orang pemuda itu adalah iblis biadab
yang sangat lihai. Kalau mereka telah sembuh, pasti akan
melarikan diri! Aku tidak bisa menerima usulmu itu! Lebih baik
kau tinggalkan saja tempat ini, dan jangan mencampuri urusan
kami. Biar kami yang akan menyelesaikannya sendiri! Kalau kau
tidak mau menyerahkan kedua pemuda itu, kami terpaksa
merebut dengan jalan kekerasan!” sergah si brewok yang tidak
mau menerima usul Panji. Kemudian dia cepat mencabut
keluar pedang yang terselip di pinggang.
“Maaf, aku terpaksa membela mereka. Apa lagi, luka-luka
mereka masih belum sembuh. Sekali lagi aku mohon maaf,”
ucap Panji.
Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang, meskipun
belasan orang itu telah berlompatan mengurungnya. Wajah
tampan itu tetap tersenyum sabar dan sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya. Bahkan pemuda itu tidak terlihat
memasang kuda-kuda sebagaimana layaknya orang yang
menghadapi sebuah pertempuran.
“Bangsat! Rupanya kau harus mampus seperti halnya yang
akan dialami dua orang pemuda pembunuh itu!” bentak si
brewok menggeram penuh kegusaran. “Habisi pemuda usilan
itu!”
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki berseragam
hitam segera berlompatan menerjang Panji. Senjata-senjata
mereka berkelebat dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Wuuuttt! Wuuuttt..!
Panji menggeser tubuhnya ke kanan-kiri, menghindari
sambaran senjata pengeroyoknya. Kemudian tubuhnya ber-
kelebatan dan menyelinap di antara belasan senjata itu. Maka
meskipun para pengeroyok-nya melancarkan serangan secara
bergelombang, namun sampai sepuluh jurus lebih belum satu
pun senjata yang dapat menyentuh tubuhnya. Jangankan
melukai tubuh pendekar muda itu. Bahkan ujung bajunya saja,
tidak dapat tersentuh! Tentu saja hal itu membuat para
pengeroyoknya semakin gemas dan penasaran.
Laki-laki berwajah brewok yang merupakan pimpinan
belasan orang berseragam itu sudah pula ikut membantu. Tapi,
tetap saja ia tidak mampu merubah keadaan. Kelihatannya saja
Panji terdesak hingga tidak mampu balas menyerang. Padahal
justru para pengeroyoknya yang kalang-kabut dan mulai dijalari
perasaan gentar.
“Heaaat..!”
Pada jurus yang kelima belas, si brewok berseru nyaring.
Tubuhnya kemudian melompat disertai sambaran pedang yang
langsung mengancam empat jalan darah kematian di tubuh
Panji. Lima orang pengikutnya juga membarenginya dengan
tusukan pedang yang mengarah ke beberapa bagian tubuh
pemuda berjubah putih itu.
Crakkk! Crakkk...!
“Hahhh...!”
Keenam orang penyerang itu menjadi terkejut ketika tidak
mendapati lawan yang tiba-tiba lenyap begitu saja. Akibatnya,
senjata-senjata mereka hanya mengenai batu dan tanah
berumput.
“Aku di sini, Sahabat-sahabat!” seru Panji.
Ternyata Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak sejauh
tiga tombak di belakang para pengeroyoknya. Tentu saja hal itu
menjadikan para pengeroyoknya terkejut setengah mati.
Apalagi setelah mendengar suara pemuda itu, yang datang dari
arah belakang mereka.
“Gila! Jangan-jangan pemuda berjubah putih itu bukan
manusia! Mana mungkin manusia dapat menghilang seperti
setan?” gumam salah seorang pengeroyok yang semakin gentar
dan ngeri melihat kesaktian pemuda berjubah putih itu.
“Setan! Mengapa kau bisanya hanya mengelak saja?! Kalau
kau memang memiliki kepandaian, hayo! Seranglah kami!
Tunjukkan kehebatanmu, Jahanam!” maki lelaki berwajah
brewok dengan penuh kebencian. Hatinya benar-benar
penasaran, karena setelah melancarkan serangan selama dua
puluh jurus, tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan membuatnya
benar-benar lelah.
“Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud
bertarung dengan kalian. Sebab, di antara kita tidak terdapat
permusuhan. Tapi kalau kalian memang menginginkannya,
bersiaplah! Sambutlah seranganku!” sahut Panji tenang.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuh Pendekar
Naga Putih berkelebat lenyap, hingga yang tampak hanyalah
bayangan putih yang berkelebat cepat bagaikan hantu.
Plak! Plak! Plak...!
“Aaakh...!”
Setelah Panji melancarkan serangan kurang lebih sebanyak
tiga jurus, enam orang di antara pengeroyoknya sudah ber-
tumbangan saling tumpang tindih. Mereka semua rebah pingsan
akibat tamparan yang dilancarkan pendekar muda itu, yang
dialiri tenaga dalam lumayan.
Si brewok semakin murka hatinya melihat akibat serangan
yang dilancarkan pemuda tampan itu. Disertai pekik
kemarahan, diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan jurus-
jurus andalan yang sangat jarang digunakan.
Wuuut! Wuuut!
Pedang di tangan si brewok berkelebat hingga bentuknya
lenyap, sehingga menyerupai sebentuk sinar yang bergulung-
gulung. Sinar pedang itu bergerak turun naik bagai gelombang
ombak yang menyerbu pantai. Kalau saja bukan Pendekar Naga
Putih, pasti akan tewas dan tidak mampu menghindari jurus
maut yang mematikan itu.
Menghadapi serangan laki-laki brewok yang memang
memiliki kepandaian paling tinggi di antara lainnya, Panji
bersikap lebih hati-hati. Kedua kakinya melangkah mundur
menghindari sambaran lawan. Sesekali sepasang tangannya
bergerak bergantian, menangkis pukulan tangan kiri dan
tendangan. Dan setiap kali tangannya bergerak menangkis,
tendangan dan pukulan lawan terpental balik. Bahkan tubuhnya
juga terjajar mundur ke belakang. Untunglah Panji sampai saat
itu masih belum menggunakan seluruh tenaganya.
Pada jurus yang ketiga puluh dua, Panji menggeser kakinya
ke kanan disertai egosan tubuhnya. Begitu sambaran pedang si
brewok lewat, tangan kirinya bergerak cepat menangkap
pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Seketika
pemuda membarenginya dengan hantaman sikut kanan ke iga
lawan. Gerakan yang cepat dan tidak terduga itu membuat
lawan tidak mampu lagi menghindar. Dan....
Tappp! Desss!
“Aaakh...!”
Tubuh laki-laki brewok itu terpental ke belakang akibat
hantaman sikut yang cukup keras itu. Tanpa dapat ditahan lagi,
tubuhnya terbanting di atas tanah berumput dan berbatu. Laki-
laki itu berusaha bangkit sambil menekap iganya yang terasa
remuk. Dari sudut bibirnya tampak mengalir cairan merah.
Wajah-nya yang agak pucat itu menyeringai menahan sakit.
Sedangkan sepasang matanya berputar mencari senjatanya yang
terlepas dari genggaman.
Panji yang saat itu sudah mendapat gempuran dari
pengeroyok lain, segera menyelinap di antara empat batang
senjata yang mengancam tubuhnya. Tangan dan kakinya ber-
gerak melakukan tamparan dan tendangan ke arah empat
penyerang. Terdengar teriakan-teriakan ngeri, yang disusul
terpentalnya tubuh para pengeroyok.
Keempat orang itu merintih dan mengaduh menahan rasa
sakit akibat pukulan dan tendangan Panji yang cukup keras tadi.
Mereka tidak mampu lagi bergerak, apalagi bangkit berdiri.
Para pengeroyok lainnya yang tinggal tujuh orang langsung
bergerak mundur dengan hati gentar. Tak seorang pun dari
mereka yang terlihat hendak menyerang kembali. Sepertinya,
mereka tidak ingin mengalami nasib seperti kawan-kawannya
yang lain. Kini mereka hanya berdiri sambil menatap pemuda
berjubah putih dalam jarak empat tombak.
Pendekar Naga Putih yang melihat lawannya tidak bergerak
menyerang, hanya tersenyum tenang. Sepasang matanya yang
tajam menyapu wajah ketujuh orang yang kembali bergerak
mundur dengan hati diliputi ketegangan.
Laki-laki brewok yang menjadi pimpinan dari orang-orang
berseragam hitam itu melangkah terbungkuk-bungkuk sambil
sesekali menyeringai menahan sakit. Ia melewati pengikutnya
yang hanya dapat memandang khawatir.
“Hm.... Kali ini kami mengaku kalah kepadamu, Kisanak.
Sebutkan namamu agar kelak kami dapat melunasi hutang ini,”
kata lelaki brewok itu sambil melemparkan pandangan tajam.
“Maaf, Kisanak. Bukan maksudku untuk membuat per-
musuhan dengan kalian. Tapi tentu saja aku tidak akan lari dari
tanggung jawab ini. Namaku Panji, seorang pengembara yang
tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Orang-orang rimba
persilatan memberi julukan padaku sebagai Pendekar Naga
Putih,” sahut Panji dengan suara tenang dan mantap.
Sama sekali tidak terdengar nada kesombongan ataupun
kebanggaan pada saat Panji menyebutkan julukannya yang
terkenal itu. Julukannya disebutkan agar apabila orang-orang
itu hendak mencarinya akan menjadi lebih mudah. Sebagai
seorang pendekar yang berjiwa bersih, maka Pendekar Naga
Putih siap menerima akibat perbuatannya itu.
“Kau... Pendekar Naga Putih...!” teriak lelaki brewok itu
dengan wajah berubah pucat. Tanpa sadar kedua kakinya
melangkah mundur, menjauhi pemuda berjubah putih yang
hanya dalam beberapa jurus saja telah dapat membuatnya
takluk.
“Pendekar Naga Putih...!”
Beberapa orang pengikut si brewok yang pernah mendengar
julukan itu langsung kaget. Rasa gentar hati mereka semakin
bertambah, setelah mendengar julukan pemuda berjubah putih
yang sangat lihai itu.
“Benar, Kisanak. Akulah Pendekar Naga Putih,” tegas Panji
yang menarik napas lega ketika melihat orang-orang ber-
seragam hitam itu memandangnya dengan hati gentar.
Diam-diam pemuda itu mencatat dalam hati kalau nama
besar kadang-kadang dapat menyelesaikan persoalan tanpa
harus menggunakan kekerasan. Hal itu dapat dirasakannya dari
pandangan orang-orang yang terlihat segan dan menaruh rasa
hormat setelah julukannya diperkenalkan.
Si brewok yang semula belum dapat menerima kekalahan-
nya itu, mengangguk-angguk puas. Sepertinya kekecewaan
akibat kekalahan itu dapat terobati begitu mengetahui siapa
sebenarnya anak muda yang telah mampu mengalahkannya.
Terbersit rasa kebanggaan di hatinya setelah mengetahui kalau
pemuda yang telah mengalahkannya, ternyata seorang pendekar
muda yang telah tersohor kedigdayaannya. Namun demikian,
dalam hati kecilnya tetap tersimpan rasa dendam, karena
pendekar muda itu telah mencampuri dan menggagalkan
urusannya.
“Baiklah, Pendekar Naga Putih. Kau boleh membawa kedua
orang pemuda itu karena kami telah kalah. Tapi, ingat suatu
hari nanti, kami akan datang untuk membalas perbuatan usilmu
ini,” ancam laki-laki brewok itu lirih, namun mengandung
dendam yang dalam.
Setelah berkata demikian, si brewok meninggalkan tempat
itu sambil memerintahkan para pengikutnya untuk membawa
teman-teman mereka yang terluka akibat pertarungan tadi.
Panji berdiri tegak memandangi kepergian belasan orang
laki-laki berseragam hitam itu. Pemuda tampan itu meng-
hembuskan napasnya kuat-kuat seolah merasa kecewa dengan
kejadian yang baru saja dialaminya.
“Hm.... Sulit sekali untuk menghindari permusuhan meski-
pun aku telah berusaha mengalah dan tidak membuat mereka
luka berat,” desah Pendekar Naga Putih penuh sesal.
Tiba-tiba saja pemuda itu tersentak dari lamunan, karena
telah lupa menanyakan perihal orang itu. Terutama, siapa dan
dari mana mereka. Cepat-cepat Panji melompat ke atas
sebongkah baru yang agak tinggi. Namun belasan orang itu
tidak dapat ditemukan. Pada kenyataannya, orang-orang itu
memang memasuki hutan lebat yang tidak jauh di depannya.
Panji membatalkan niatnya untuk mengejar karena sama
sekali belum mengetahui keadaan hutan di depannya itu. Dan
hal itu sangat berbahaya, sebab mungkin saja di sana banyak
terdapat jebakan yang dipasang mereka. Dan bukan tidak
mungkin kalau sarang mereka juga di dalam hutan lebat itu.
***
EMPAT
Balira membuka mata ketika tenaganya terasa sudah hampir
pulih. Luka bacokan di paha dan bahu kanannya sudah terbalut
rapi. Hanya beberapa luka memar yang masih tergambar di
wajahnya. Pemuda gagah itu bangkit berdiri, lalu memandang
berkeliling. Kemudian, dihampirinya gadis jelita yang saat itu
tengah menunggui Lunjita.
“Nisanak, namaku Balira. Aku mengucapkan ribuan terima
kasih atas pertolonganmu dan kawanmu itu. Entah, bagaimana
kami bisa membalas kebaikan kalian berdua,” ucap Balira sambil
memperkenalkan diri. Tubuhnya juga membungkuk hormat ke
arah Kenanga yang tersenyum manis.
“Namaku, Kenanga. Oh, ya. Kau tidak perlu sungkan-
sungkan, Ki... eh! Balira. Bukankah sudah menjadi kewajiban
kita untuk saling tolong-menolong selama hal itu masih berada
dalam jalan yang lurus? Siapa tahu aku dan Kakang Panji akan
membutuhkan pertolongan kalian kelak?” sahut Kenanga juga
memperkenalkan diri. Gadis itu juga bangkit dan membalas
penghormatan Balira, selayaknya orang persilatan. Keduanya
menoleh kepada Panji yang saat itu tengah melangkah
mendekati mereka.
“Betul apa yang diucapkan Kenanga, Balira. Dan janganlah
merasa berhutang budi. Kami tidak mengharapkan balas budi
dari pertolongan kami ini, karena hal itu akan mendatangkan
beban bagi hati kalian,” timpal Panji dengan wajah terhias
senyum cerah. Pemuda berjubah putih itu cepat mem-
bungkuk, ketika Balira memberi penghormatan padanya.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Kisanak. Bolehkah aku
mengetahui nama besarmu?” tanya Balira.
Rupanya pemuda gagah itu belum mengetahui siapa adanya
pemuda tampan yang telah menolongnya. Karena pada saat
pertempuran berlangsung, ia tengah tenggelam dalam semadi
sehingga tidak mendengar pembicaraan Panji dengan orang-
orang berseragam hitam yang mengeroyok dan menyiksanya
tadi.
“Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberi
julukan Pendekar Naga Putih kepadaku,” sahut Panji seraya
tersenyum.
“Aaahhh...! Maafkan sikapku yang kurang hormat kepada-
mu, Pendekar Naga Putih. Sudah lama aku mengagumi
namamu. Siapa sangka kalau hari ini dapat berjumpa langsung
dengan orangnya. Rasanya aku patut mengucapkan terima kasih
kepada orang-orang berseragam hitam yang telah menyiksaku,”
ucap Balira gembira.
Pemuda gagah itu, kembali membungkuk hormat kepada
Panji. Wajahnya seketika berubah cerah, seolah-olah benar-
benar telah melupakan rasa sakit akibat penyiksaan belasan
orang yang telah mengeroyoknya.
“Hei? Mengapa harus berterima kasih kepada mereka,
Balira? Apakah kau merasa senang dengan penyiksaan yang
dilakukan orang-orang itu?”
Kenanga tak dapat lagi menahan keheranan hatinya, men-
dengar ucapan pemuda itu. Gadis jelita itu menatap wajah
Balira lekat-lekat. Kenanga menduga, jangan-jangan pemuda ini
menjadi gila karena luka-lukanya. Tapi, tidak mungkin! Sebab
gadis itu melihat wajah Balira nampak sehat dan tidak
menunjukkan kelainan apa-apa. Tapi mengapa berkata
demikian?
“Ha ha ha...! Tentu saja aku harus mengucapkan terima
kasih kepada mereka, Kenanga. Bukankah karena perbuatan
mereka aku dapat berjumpa dan bicara langsung dengan
Pendekar Naga Putih? Aku benar-benar merasa gembira sekali!”
sahut Balira.
Pemuda itu tertawa hingga tubuhnya yang tegap ber-
guncang-guncang. Sepertinya ia benar-benar merasa gembira
dapat berjumpa pendekar muda yang sudah lama dikaguminya.
“Ooo...,” hanya itu yang keluar dari mulut Kenanga.
Gadis itu juga menutupi mulutnya dengan telapak tangan
setelah mendengar jawaban Balira. Tawanya terdengar terkikik
karena tidak tahan mendengarnya. Benar-benar menggelikan.
“Ah! Kau membuatku malu saja, Balira. Sudahlah.
Hentikanlah pujianmu itu. Aku takut kalau-kalau kepalaku akan
semakin besar saja karena pujianmu,” desah Panji tersipu
mendengar jawaban jujur dari Balira. “Oh, ya. Bagaimana
keadaan pemuda yang satunya lagi itu, Kenanga?” tanya Panji.
Pendekar Naga Putih sengaja mengalihkan perhatian, dan
ternyata pancingannya berhasil baik. Mendengar pertanyaan
itu, secara serempak Kenanga dan Balira menoleh ke arah sosok
tubuh yang tengah tergolek pulas itu.
“Oh, ya. Bagaimana keadaan Adi Lunjita, Kenanga?” Balira
juga bergegas mengikuti Kenanga yang sudah melangkah
mendekati tubuh Lunjita yang terlihat masih agak pucat itu.
Mendengar pertanyaan Balira, Kenanga langsung berhenti.
Ditolehkan kepalanya dengan kening berkerut. Dipandanginya
wajah pemuda gagah itu tajam-tajam, seolah-olah belum
mendengar jelas ucapan pemuda itu.
“Adi Lunjita...?” gumam Kenanga, seperti bertanya pada
dirinya sendiri. Nampaknya, dia merasa heran mendengar
sebutan itu.
“Ya. Namanya Lunjita. Dan karena usianya masih lebih
muda dariku, maka aku memanggilnya Adi Lunjita,” sahut
Balira yang merasa heran melihat sikap Kenanga. Gadis itu
seperti merasa bingung mendengar pertanyaan dan sebutan
terhadap pemuda tampan yang bernama Lunjita.
“Oh,” Kenanga menganggukkan kepalanya, lalu memaksa
untuk tersenyum. “Aku sudah mengeluarkan semua racun yang
mengendap dalam tubuhnya. Ia hanya memerlukan sedikit
pengobatan lagi untuk memulihkan tenaganya.”
“Kakang, apakah kau masih menyimpan obat untuk
memulihkan tenaga?” tanya Kenanga mengalihkan perhatian
kepada Panji yang saat itu juga tengah melangkah di belakang-
nya.
Sepertinya gadis jelita itu hendak mengobati Lunjita sendiri.
Meskipun telah mendapatkan pelajaran ilmu pengobatan dari
Panji selama pengembaraan mereka, namun tidak biasanya
gadis itu berbuat demikian. Biasanya ia selalu meminta Panji
untuk mengobati siapa saja yang membutuhkan pertolongan.
Dan biasanya pula Kenanga hanya menonton, bagaimana cara-
nya Pendekar Naga Putih melakukan pengobatan.
Panji pun sempat tertegun mendengar permintaan gadis
jelita itu. Ditatapnya wajah kekasihnya tajam-tajam. Seolah-olah
ingin memastikan isi hati gadis itu.
“Mengapa kau menatapku seperti itu, Kakang? Tidak boleh-
kah aku mencoba menerapkan ilmu pengobatan yang kau ajari
selama pengembaraan kita?” desak Kenanga.
Gadis itu sama sekali tidak tersinggung melihat cara Panji
saat menatapnya. Malah gadis itu tersenyum melihat ada sinar
kecemburuan dalam tatapan mata kekasihnya. Hal itu wajar
saja, karena orang yang akan diobati Kenanga itu adalah seorang
pemuda. Apalagi dia sangat tampan, dan berkulit halus, meski-
pun usianya paling jauh baru sekitar delapan belas tahun.
Namun tetap saja hati Panji merasa tidak enak.
“Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merasa heran melihat kau
sudah bisa menyembuhkan orang yang terluka karena racun,”
sahut Panji, menyembunyikan perasaan hatinya yang
sesungguhnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Naga Putih bergegas
mengambil sebutir obat pulung berwama putih seperti salju.
Persis seperti yang tadi diberikan kapada Balira.
“Terima kasih, Kakang. Kalian ngobrol-ngobrol saja dulu,
dan tidak perlu mengikuti aku. Bisa-bisa aku jadi gugup dan
salah mengobati orang jika ditemani,” kilah gadis jelita itu,
sehingga membuat Panji dan Balira menahan langkahnya.
Panji dan Balira memutar langkahnya menjauhi Kenanga.
Mereka kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang
berdaun lebat, sehingga tubuh teriindung dari sengatan sinar
matahari yang memancar terik.
“Nah, Balira. Sekarang ceritakanlah, apa yang menyebabkan
kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang itu?” tanya
Panji mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang meng-
ganggunya.
Pemuda itu berusaha menekan cemburunya. Karena biar
bagaimanapun, Pendekar Naga Putih adalah manusia biasa yang
juga bisa dihinggapi rasa cemburu. Dan rasa cemburu itu adalah
wajar, selama tidak berlebihan dan tidak buta.
Balira yang memang sudah berniat untuk menceritakan
persoalannya, menarik napas panjang sejenak. Lalu mulai
diceritakannya sebab-sebab orang-orang berseragam hitam itu
mengeroyoknya. Pemuda gagah yang berwatak jujur itu
menceritakan apa adanya, tanpa mengurangi atau menambah-
kan ceritanya.
“Sejak semula aku memang sudah merasa ragu kalau kalian
yang melakukan perbuatan yang dituduhkan orang-orang itu.
Dan aku pun dapat memaklumi, mengapa kau sampai
meninggalkan penginapan itu secara diam-diam. Sebab apabila
kalian berdua tetap kembali ke penginapan itu, bukan tidak
mungkin akan semakin nyatalah tuduhan itu. Karena hanya kau
dan sahabatmu itulah yang meninggalkan penginapan. Apalagi
kalian berdua membawa-bawa senjata, dan keadaan Lunjita
tengah mengalami luka parah,” kata Panji setelah mendengar
cerita Balira secara keseluruhan.
Dan Pendekar Naga Putih berjanji untuk menyelidiki
kejadian itu. Paling tidak agar kedua pemuda itu dapat tenang
dan tidak menjadi buronan pemerintah kerajaan.
Balira berkali-kali mengucapkan terima kasih mendengar
kesediaan Pendekar Naga Putih membantu penyelidikan.
Mereka kemudian kembali terlibat pembicaraan lain tentang
belasan orang itu. Juga, tentang keadaan dunia persilatan yang
mungkin akan menjadi gempar oleh peristiwa pembunuhan
delapan orang tokoh persilatan yang masih merupakan rahasia
yang belum terungkap.
Matahari sudah semakin naik tinggi. Balira dan Panji sama-
sama termenung dan merayapi daerah sekitarnya dengan
pandangan kosong. Sepertinya kedua orang itu tengah terbawa
arus pikiran masing-masing.
Pendekar Naga Putih dan Balira sama-sama menolehkan
kepala ketika mendengar langkah kaki yang mendatangi tempat
mereka.
“Bagaimana keadaan sahabatku, Kenanga?” tanya Balira yang
segera bangkit dan menyambut kedatangan gadis jelita itu.
Melihat dari wajah dan sikapnya, jelas sekali kalau dia sangat
mengkhawatirkan keadaan sahabatnya. Dan hal itu kembali
membuat kening Kenanga jadi berkerut. Karena sebagai
seorang gadis, ia pun dapat merasakan apa yang saat itu tengah
dirasakan Balira. Kenanga kembali keheranan melihat sikap dan
suara Balira yang terdengar agak bergetar.
“Hm.... Rupanya kau sangat memperhatikan sekali keadaan
sahabatmu itu, Balira? Apakah kalian sudah lama menjadi
sahabat?” tanya Kenanga seperti memancing tanggapan pemuda
gagah itu.
Mendengar pertanyaan gadis itu, selebar wajah Balira
berubah kemerahan. Segera ditatapnya wajah Kenanga lekat-
lekat, seolah-olah ingin mengetahui maksud gadis itu yang
berkata demikian. Balira semakin salah tingkah ketika melihat
sinar mata penolongnya yang mengandung godaan.
“Apa..., apa maksudmu bertanya demikian, Kenanga?” tanya
Balira gugup. Pemuda gagah itu berusaha menekan gejolak
dalam dadanya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Hei? Kau kenapa, Balira? Apakah pertanyaanku ada yang
salah?” Kenanga malah balik bertanya sambil melemparkan
senyum. Sementara Panji hanya berdiri bingung melihat sikap
kedua orang itu yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
Balira menyadari kesalahannya ketika mendengar per-
tanyaan gadis jelita itu.
“Betapa bodohnya aku! Mengapa harus gugup hanya karena
pertanyaan yang sebenarnya wajar itu?” umpat Balira dalam
hati.
Berpikir demikian, Balira tersenyum dan berusaha bersikap
wajar seperti biasa. Sebab pemuda itu tidak ingin kalau sampai
rahasianya terbongkar oleh gadis jelita yang sepertinya sangat
cerdik itu.
“Ah! Sama sekali tidak, Kenanga. Pertanyaanmu tidak ada
yang salah. Aku memang belum terlalu lama mengenalnya.
Tapi kami berdua sudah seperti saudara saja layaknya,” jawab
Balira setelah dapat menenangkan perasaannya dan kembali
bersikap wajar seperti biasa.
“O, begitu?” kata Kenanga sambil tersenyum menggoda.
Sepertinya gadis jelita itu memang sengaja hendak meng-
goda Balira. Dan memang Balira jelas terlihat salah tingkah
dengan perkataannya itu.
“Ya.... Kira-kira begitulah,” desah Balira.
Pemuda itu langsung mengalihkan pandangan ke tempat
sahabatnya yang terlihat tengah melakukan semadi. Balira yang
tidak mau rahasia hatinya diketahui orang lain, bergegas meng-
hindari Kenanga yang nyata-nyata sengaja menggoda dan me-
mancingnya.
“Kau hendak ke mana, Balira?” tanya Panji yang melihat
pemuda gagah itu tengah melangkah turun ke sungai yang
memang berada tepat di bawah mereka.
“Aku..., aku hendak mencuci muka supaya segar,” jawab
Balira yang terus melangkah tanpa mem-pedulikan kedua orang
penolongnya.
Kenanga hanya tersenyum melihat sikap Balira yang salah
tingkah itu. Lalu pandangannya dialihkan kepada Panji yang saat
itu tengah memandangnya.
Panji mengalihkan pandangannya kepada Balira. Ia tidak
ingin melihat Kenanga mengetahui perasaan yang terpancar di
matanya. Rupanya bagaimanapun kuatnya batin pendekar muda
itu, tapi tetap saja tidak mampu menahan rasa cemburu di
hatinya. Meskipun hal itu berusaha ditekan dengan mem-
bayangkan hal-hal lain, namun hati kecilnya tetap saja belum
dapat menerima perbuatan Kenanga yang jelas-jelas sangat
memperhatikan Lunjita, si pemuda berwajah halus dan tampan
itu.
“Kau kenapa, Kakang?” tanya gadis jelita itu seraya
memegang lembut lengan Panji.
Wajah gadis itu nampak terhias senyum meski sikap Panji
yang dirasakan agak lain dari biasanya. Namun, sebagai orang
yang paling dekat dengan pemuda itu, Kenanga sudah dapat
menduga perasaan kekasihnya saat itu.
“Aku tidak apa-apa,” sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera menolehkan kepalanya dan
menentang pandangan mata kekasihnya. Sebagai seorang
pendekar yang terlatih lahir dan batin pemuda itu dapat
menekan rasa cemburunya meskipun dengan sekuat tenaga.
“Hm... Kau membohongi dirimu sendiri, Kakang. Meski-
pun kau tidak mengatakannya, namun aku tahu apa yang kau
rasakan saat ini,” desah gadis jelita itu lembut sambil memegang
kedua tangan Panji. Sepasang matanya laksana bintang timur
itu, menatap penuh kasih.
“Sungguh! Aku tidak apa-apa, Kenanga,” tegas Panji masih
berusaha untuk mengelak. Pemuda itu mencoba tersenyum,
namun sayang terlihat agak getir.
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang. Buanglah
rasa-cemburu di hatimu. Percayalah! Hanya kau laki-laki yang
kucintai di dunia ini. Lagi pula, yang kau cemburui itu adalah
seorang wanita yang saat ini tengah menyamar sebagai pria,”
bisik gadis jelita itu dengan suara lirih.
“Maksudmu pemuda yang bernama Lunjita itu....”
“Ya. Dia Seorang wanita. Aku mengetahuinya pada saat
tengah melakukan pengobatan pertama tadi. Itulah sebabnya,
mengapa aku tidak memperbolehkan kau untuk mengobatinya.
Sebab apabila kau yang mengobatinya, sudah pasti akan lama
sembuhnya,” potong Kenanga, cepat
“Hei? Mengapa bisa begitu?” tanya Panji dengan wajah
bingung.
“Ya! Sebab sudah pasti Kakang akan berlama-lama
mengobatinya. Selain gadis itu cantik, kulitnya pun halus. Nah!
Lelaki mana yang tidak suka berlama-lama memandangi kulit
tubuh yang halus?” jelas Kenanga seraya tertawa terkikik.
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji sama sekali tidak
marah. Sebaliknya, dia malah tertawa terbahak-bahak. Sehingga
mau tak mau Kenanga menjadi heran dibuatnya.
“Ah! Mudah-mudahan saja lain kali dia terluka kembali, dan
berjumpa lagi denganku. Dengan begitu, bukankah aku mem-
punyai kesempatan untuk mengobatinya? Wah! Sudah pasti
akan menyenangkan sekali!” ledek Panji sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Aaa...,” Kenanga merengek manja sambil memukuli dada
bidang Pendekar Naga Putih. Sebentar kemudian mereka
tertawa gembira.
Balira yang masih berada di sungai mengerutkan keningnya
ketika mendengar tawa kedua orang penolongnya itu. Hatinya
menduga-duga, mungkin saja Kenanga sudah mengetahui
rahasia sahabatnya dan mengatakan kepada Panji. Dan kini
mereka berdua menertawakan dirinya. Seketika seluruh wajah
Balira berubah merah saat memikirkan hal itu. Dan ia menjadi
bertambah malu ketika teringat, bagaimana dia sangat meng-
khawatirkan keselamatan sahabatnya di depan Kenanga tadi.
Bahkan gadis jelita itu sempat pula menggodanya meski tidak
terlalu kentara.
Pemuda tegap berwajah gagah itu semakin kikuk ketika
melihat Panji, Kenanga, dan Lunjita tengah melangkah meng-
hampirinya. Untuk menenangkan hatinya, maka Balira berpura-
pura sibuk menggosok-gosokkan wajah dengan air sungai yang
disendok menggunakan kedua tangannya.
“Cepatlah, Balira. Bukankah kita hendak menyelidiki pem-
bunuhan itu?” tegur Panji mengingatkan akan rencana mereka.
“Ya, tunggulah sebentar!” sahut Balira tanpa berani
menolehkan wajahnya. “Ah, kau sudah sembuh, Adi Lunjita?
Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku sudah merasa khawatir
sekali melihat keadaanmu yang kian memburuk itu. Untunglah,
kedua orang penolong kita yang berkepandaian tinggi ini juga
memiliki ilmu pengobatan, sehingga nyawamu masih bisa
diselamatkan. Berterima kasihlah kepada mereka, Adi Lunjita,”
kata Balira yang merasa girang karena dapat bersikap wajar dan
bebas seperti biasa.
Pemuda gagah itu tersenyum penuh kemenangan ketika
melihat wajah Kenanga. Gadis itu tampak agak bingung melihat
sikap pemuda itu yang wajar dan tidak dibuat-buat
“Tentu saja aku sudah berterima kasih kepada mereka,
Kakang. Lebih-lebih terhadap Nini Kenanga yang telah rela
bersusah-payah menyelamatkan diriku,” sahut Lunjita seraya
tersenyum manis.
Sikapnya tampak wajar, karena memang belum mengetahui
kalau rahasia penyamarannya telah diketahui Balira dan
Kenanga. Kalau saja ia mengetahuinya, tentu tidak akan
bersikap sewajar itu. Bahkan mungkin akan pergi meninggalkan
sahabatnya.
Kenanga yang semula menduga kalau Balira sudah
mengetahui rahasia itu, juga meragukan dugaannya. Ia hanya
berdiri menatap wajah kedua orang sahabat itu dengan
pandangan penuh selidik. Gadis itu baru tersadar dari
lamunannya ketika mendengar ajakan Panji.
“Ayolah kita ke kotaraja,” ajak Panji kepada ketiga orang itu.
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih melangkah-
kan kakinya mendahului mereka.
Tanpa berkata sepatah pun, ketiga orang itu bergegas
melangkah mengikuti Panji yang tengah menyeberangi sungai.
Saat itu hari sudah menjelang sore.
***
LIMA
Malam telah menampakkan kekuasaannya di permukaan bumi.
Bulan sepotong yang menggantung menghiasi sang malam,
sinarnya tak kuasa menerobos kepekatan. Angin berhembus
kencang, menebarkan hawa aneh. Sehingga suasana malam
terasa semakin mencekam.
“Auuungngng...!”
Lolongan serigala yang disertai hembusan angin dingin,
semakin menimbulkan keseraman. Apalagi, saat itu suasana
Kotaraja Batu Jajar tengah dicekam oleh pembunuhan yang
belum terungkapkan. Maka, semakin lengkaplah suasana yang
mencekam itu. Karena, ternyata korbannya juga meluas ke
beberapa penduduk.
Semenjak berita pembunuhan tersebar, para penduduk di
kota itu sudah menutup pintu rapat-rapat begitu kegelapan
mulai menyelimuti bumi. Para suami menyuruh anak istrinya
untuk segera tidur, sementara dirinya sendiri berjaga-jaga
dengan senjata terhunus. Peristiwa berdarah itu membuat
penduduk kotaraja dicekam ketakutan hebat. Dan sedikit
ketukan pintu di rumah mereka saja, telah sanggup untuk
membuat kalang-kabut. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya
ketakutan yang melanda hati mereka.
Lain halnya dengan para prajurit kerajaan. Semenjak
peristiwa itu, mereka semakin giat berjaga-jaga. Bahkan para
prajurit yang meronda pun semakin diperbanyak. Tentu saja hal
itu dimaksudkan untuk menenangkan hati penduduk yang
tengah dicekam ketakutan. Dan dengan banyaknya peronda
yang berkeliaran, diharapkan para penduduk menjadi sedikit
tenang.
“Hei? Kalian dengar lolongan serigala itu?” tanya salah
seorang prajurit peronda kepada kawannya.
“Ya! Aku pun mendengarnya. Sepertinya, peristiwa itu akan
terulang kembali. Bukankah menurut keterangan salah seorang
yang melihat, lolongan itu juga terdengar sebelum terjadinya
pembunuhan?” timpal kawannya. Suaranya terdengar kering,
karena hatinya mulai dilanda ketegangan.
“Jangan ribut! Yang penting saat ini, kita harus lebih
meningkatkan kewaspadaan!” bentak seorang perwira yang
mengepalai para prajurit. Suaranya ditekan sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu keras. Lalu, anak buahnya yang berjumlah
tujuh orang itu diajak untuk mencari sumber lolongan serigala
tadi.
Tujuh orang prajurit itu bergegas mengikuti pemimpinnya
tanpa banyak bicara lagi. Mereka terus berputar menuju
perbatasan sebelah Barat yang memang agak sepi. Dari situ
mereka terus ke gardu penjagaan.
Ketika mereka hampir mencapai pintu gerbang sebelah
Barat, sang Pemimpin mengisyaratkan untuk berhenti dengan
menggerakkan tangan kirinya. Wajahnya berubah tegang ketika
lapat-lapat tercium bau anyir darah yang dibawa angin. Dengan
gerakan perlahan, segera pedang yang tergantung di pinggang
dicabutnya. Lalu, kakinya melangkah hati-hati menuju gardu
jaga yang hanya tinggal sepuluh tombak di depannya.
Keningnya seketika berkerut ketika tidak melihat adanya obor
di tempat itu.
“Aneh? Mengapa mereka tidak menggunakan obor?” gumam
sang Pemimpin semakin bertambah curiga.
Pemimpin itu menoleh ke belakang, lalu meminta sebuah
obor yang dipegang salah seorang anak buahnya dengan meng-
gunakan isyarat. Kemudian langkahnya diteruskan dengan
lambat-lambat, mendekati gardu jaga.
“Ah...!”
Sambil berseru tertahan, perwira itu melompat mundur
sejauh setengah tombak lebih. Sepasang matanya membelalak
lebar memandang sesosok tubuh yang tergeletak di depannya.
Hampir saja kakinya menginjak mayat tanpa kepala, karena
perhatiannya tertuju ke gardu jaga.
Tujuh orang prajurit yang mengiringi di belakang, tentu saja
juga jadi terkejut melihat pemimpin mereka melompat ke
belakang. Tanpa diperintah lagi, mereka segera menyebar
sambil menodongkan ujung tombak dan siap menghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi.
“Gila!” maki perwira itu dengan wajah agak pucat
Hati perwira itu kini bertambah geram ketika menemukan
lima mayat lain yang juga tanpa kepala.
Keenam mayat itu ditemukannya di sepanjang jalan menuju
gerbang sebelah Barat. Hati laki-laki gemuk berusia sekitar
empat puluh lima tahun itu semakin bertambah cemas akan
nasib para penjaga perbatasan.
Setelah memberi isyarat kepada anak buahnya untuk maju,
laki-laki bertubuh gemuk itu melangkahkan kakinya. Sikapnya
tampak semakin hati-hati. Dan apa yartg dikhawatirkan
ternyata beralasan. Sebab di dekat gardu penjagaan itu, terlihat
belasan sosok tubuh berseragam prajurit tengah bergeletakan
tumpang tindih. Namun hatinya menjadi lega, karena ternyata
belasan prajurit itu hanya pingsan.
“Bawa mereka masuk!” perintah perwira itu. Sementara ia
sendiri segera mengangkat tubuh kepala jaga yang juga
tergeletak pingsan. Kemudian segera disadarkannya mereka
satu-persatu.
“Kakang Dirjalaga...!” seru si kepala jaga begitu tersadar
dari pingsannya.
Cepat-cepat kepala jaga itu memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak di depan hidung kepada perwira
yang ternyata bernama Dirjalaga.
“Hm.... Ceritakanlah, apa yang telah terjadi di tempat ini,
Adi?” tanya Dirjalaga. Suaranya terdengar beat karena masih
merasa geram dengan adanya kejadian itu.
Kepala jaga itu menarik napas panjang berulang-ulang untuk
menenangkan dirinya. Seolah-olah, apa yang akan disampaikan
itu adalah cerita yang sangat menyeramkan. Sehingga, mau tak
mau Dirjalaga menjadi tegang juga.
Dengan penuh perhatian, Dirjalaga mendengarkan
penuturan kepala jaga itu. Sedikit pun, ia tidak memotong
cerita orang itu. Tentu saja agar didapat keterangan lengkap
dan terperinci.
“Menurut dugaanku, mereka yang terbunuh pasti tokoh
persilatan. Mereka berniat menyelidiki tentang pembunuhan
delapan tokoh persilatan lain yang terjadi kemarin malam,” jelas
si kepala jaga menutup ceritanya.
“Apakah kau tidak mendengar ribut-ribut sebelum keenam
orang itu terbunuh?” tanya Dirjalaga seraya, mengerutkan
keningnya.
“Sama sekali tidak, Kakang. Semua itu terjadi demikian
cepat. Baru saja kami hendak keluar untuk melihatnya, tahu-
tahu saja telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar bersama
seekor serigala besar bermata merah menakutkan. Dan setelah
itu kami tidak ingat apa-apa lagi, sampai tahu-tahu Kakang telah
berada di sini,” lanjut kepala jaga itu sungguh-sungguh.
“Jadi, kau tidak tahu apa yang telah membuat kau dan anak
buahmu pingsan?” desak Dirjalaga dengan wajah membayang-
kan keheranan besar.
“Aku tidak tahu, Kakang. Aku hanya melihat sosok tinggi
besar itu melompat ke arahku dengan kecepatan luar biasa.
Itulah yang kuingat,” jawab orang itu sambil menghela napas
berat. Sepertinya ia masih merasa ngeri dengan kejadian yang
dialaminya.
“Hm.... Aneh! Mengapa orang itu tidak membunuh kalian?”
gumam Dirjalaga yang kemudian beranjak bangkit dan berjalan
ke arah pintu. Laki-laki gemuk berkumis lebat itu memutar
otaknya berusaha mencari jawaban.
“Mungkin ia tidak ingin berurusan dengan tentara kerajaan,
sehingga tidak membunuh kami semua. Sepertinya ia hanya
membunuhi semua tokoh persilatan yang datang ke kotaraja ini,
Kakang. Hanya saja, untuk apa mereka membunuh, kami
belum tahu,” sahut kepala jaga itu mengemukakan pendapat-
nya.
“Hm.... Dugaanmu itu cukup beralasan, Adi. Tapi, dengan
melakukan pembunuhan di wilayah kotaraja, bukankah itu sama
artinya menantang pihak pemerintah?” kata Dirjalaga, meminta
pendapat
“Sepertinya ia tidak berpikir sejauh itu, Kakang,” kata kepala
jaga sambil mengangguk-angguk membenarkan ucapan
Dirjalaga.
“Sudahlah. Apa pun maksud pembunuh itu, ia tetap harus
berhadapan dengan kita! Aku harus segera kembali. Uruslah
mayat-mayat itu baik-baik. Kasihan sekali tokoh-tokoh
persilatan itu. Jauh-jauh mereka datang, ternyata hanya untuk
menjadi korban pembunuh biadab itu.”
Setelah berkata demikian, Dirjalaga segera mengajak anak
buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
***
Dirjalaga dan pasukan kecilnya bergegas kembali ke pusat
kota. Mereka menduga, si pembunuh itu pasti telah berada di
dalam kotaraja. Maka mereka harus bergegas untuk mencegah
perbuatan orang biadab itu yang mungkin akan melakukan
pem-bunuhan lagi!
Belum lagi Dirjalaga dan pasukannya sempat memasuki
pusat kota, tiba-tiba saja sepasang matanya menangkap
kelebatan beberapa sosok bayangan di depannya. Cepat-cepat ia
melompat menghadang.
“Hei, berhenti...!” bentak Dirjalaga.
Sambil melompat menghadang, Dirjalaga mencabut keluar
senjatahya. Dan perwira itu begitu terkejut melihat sosok tubuh
tinggi besar bersama seekor serigala besar yang nampak sangat
buas. Di belakangnya, terlihat empat sosok tubuh berseragam
hitam yang mengenakan penutup kepala.
“Grrhhh...!”
Serigala bermata merah saga itu menggereng, sambil
menatap Dirjalaga. Binatang buas yang siap menerkam itu
melangkah mundur sambil menggereng lirih ketika mendengar
siulan majikannya. Meskipun begitu, sepasang matanya yang
memancarkan kekuatan gaib itu tetap menatap ke arah
Dirjalaga.
“Binatang iblis...!” desis Dirjalaga.
Tubuh perwira itu bergetar, bahkan terasa lemah ketika
sempat beradu pandang dengan sepasang mata liar yang merah
dan menakutkan itu. Segera dapat diduga kalau binatang buas
itu pasti bukan binatang sembarangan dan tidak dapat disama-
kan dengan serigala-serigala hutan lainnya. Hal itu terlihat jelas
dari perbawa yang terpancar dari penampilannya. Bahkan suara
gerengannya pun terasa mengandung kekuatan aneh.
Sosok tubuh tinggi besar itu sama sekali tidak mem-
pedulikan Dirjalaga. Tangannya digerakkan, agar empat orang
berseragam hitam yang berada di belakangnya mengatasi
Dirjalaga. Sedangkan ia dan serigala bermata merah itu siap
meninggalkan tempat.
“Tunggu...!” teriak Dirjalaga yang segera melompat meng-
hadang sosok tubuh tinggi besar itu. “Kau tidak boleh
meninggalkan tempat ini tanpa seizinku, Kisanak! Siapakah
kalian? Dan apa maksud kalian berkeliaran pada tengah malam
seperti ini?”
Dirjalaga berusaha menekan rasa gentar di hatinya. Meski
pun tahu kalau wajahnya saat itu sangatlah tegang, namun
Dirjalaga berusaha menunjukkan tanggung jawabnya terhadap
tugas.
“Hei, Prajurit! Lebih baik jangan mencampuri urusan kami!
Dan biarkanlah ketua kami pergi!” bentak salah seorang
berseragam hitam yang bertubuh tinggi kurus. Suaranya
terdengar melengking bagai suara wanita.
Dirjalaga menjadi marah melihat empat orang yang telah
berdiri menghadang dengan senjata terhunus. Sedangkan orang
tinggi besar yang disebut sebagai ketua itu berdiri tegak di
belakang empat orang anak buahnya. Tatapan matanya tajam ke
arah Dirjalaga yang seketika itu juga jadi gemetar tubuhnya.
Sehingga tanpa sadar, kakinya bergerak mundur dengan wajah
pucat. Hebat sekali perbawa yang keluar dari sepasang mata
tersembunyi di balik kerudung yang menutupi kepala itu.
Tujuh orang anak buah Dirjalaga yang semula menodongkan
tombak, jatuh terduduk dengan kaki terasa bagai lumpuh.
Tubuh mereka bahkan menggigil hebat bagaikan orang
terserang demam. Tentu saja hal itu membuat sang Pemimpin
semakin terkejut.
“Pergilah kalian, Prajurit-Prajurit Bodoh! Tinggalkan
tempat ini sebelum pikiranku berubah!” ancam sosok tubuh
tinggi besar itu dengan suara serak dan berat. Nadanya pun
terdengar dingin dan kaku sehingga sanggup membuat seorang
penakut menjadi pingsan seketika itu juga.
“Tidak! Lebih baik aku mati daripada hidup menjadi seorang
pengecut yang hanya jadi bahan tertawaan orang lain!” teriak
Dirjalaga mengeraskan hatinya.
Sebagai seorang prajurit yang telah terlatih baik, tentu saja
ia tidak takut mengorbankan nyawa demi kepentingan negara-
nya.
Mendengar bantahan Dirjalaga, orang tinggi besar itu ter-
dengar menggeram gusar. Lalu keempat anak buahnya di
perintahkan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kemudian,
pandangannya kembali dialihkan kepada Dirjalaga yang telah
melintangkan pedang di depan dada.
“Bagus...! Hatimu ternyata cukup berani. Hati orang-orang
sepertimulah yang sangat dibutuhkan sahabatku ini untuk
menambah kekuatan,” kata orang tinggi besar itu, yang
kemudian disambut gerengan serigala yang berada di samping-
nya.
“Apa..., apa maksudmu...?” tanya Dirjalaga dengan wajah
semakin pucat. Hatinya bergidik ngeri karena sudah dapat
menduga maksud ucapan orang itu.
“Auuungngng...!”
Serigala itu tiba-tiba melolong panjang, seperti sudah
mengerti ucapan majikannya.
“Nah, dengarlah. Sahabatku ini sudah tidak sabar untuk
segera mengunyah hatimu.”
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi besar itu pun
bersuit perlahan.
“Ahhh...!”
Dirjalaga melangkah mundur ketika melihat serigala itu
sudah melangkah perlahan mendekatinya. Sedangkan orang
tinggi besar itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Hiaaa...!”
Untuk menguatkan hatinya, Dirjalaga berteriak sekuat-
kuatnya. Kemudian senjatanya digerakkan untuk melindungi
tubuh.
“Grrhhh...!”
Serigala buas itu menggereng lirih sambil memperlihatkan
taringnya yang runcing bagaikan ujung-ujung pedang yang siap
merobek tubuh. Sepasang matanya yang merah itu menatap
calon korbannya lekat-lekat Sesaat kemudian, tubuh binatang
itu melompat menerkam.
“Yeaaah...!”
Melihat serigala itu sudah mulai menerjang, Dirjalaga
mengayunkan senjata untuk menebas putus tubuh binatang itu.
Namun laki-laki gemuk itu menjadi terkejut bukan main ketika
serigala itu ternyata mampu mengelakkan sambaran senjatanya.
Bahkan kecepatannya benar-benar di luar dugaan. Sehingga
Dirjalaga terpaksa harus melompat mundur untuk menghindari
terkaman binatang itu.
“Binatang keparat, mampuslah!” bentak Dirjalaga kembali
mengayunkan senjata ketika serigala itu mengejarnya. “
Bagaikan orang kemasukan setan, pedangnya diayunkan
berkali-kali dengan membabi buta. Namun setiap kali
senjatanya menyambar, selalu saja dapat dihindari binatang itu.
Dan setelah melakukan serangan selama sepuluh jurus tanpa
hasil, akhirnya laki-laki gemuk itu tidak mampu lagi untuk
menghindari taring, serigala yang menghunjam urat lehernya.
“Aaargh...!”
Dirjalaga meraung panjang ketika binatang itu merajam
tubuh dan mengambil hatinya. Darah seketika menyembur dari
perutnya yang koyak. Lalu, serigala itu melahapnya dengan
rakus di depan tujuh orang prajurit yang hanya dapat
memandang terbelalak penuh kengerian.
“Auuungngng...!”
Serigala siluman itu melolong panjang setelah menelan habis
hati Dirjalaga yang tewas dalam keadaan menyedihkan.
Tubuh ketujuh orang anak buah Dirjalaga menggigil hebat.
Tiga orang di antaranya langsung menggeletak pingsan karena
tidak sanggup menahan rasa takut yang hebat. Bahkan ada yang
sampai terkencing-kencing.
“Hm.... Tikus-tikus tidak berguna! Sebaiknya kalian pun
kukirim ke akhirat untuk menemani pemimpinmu itu!” ancam
laki-laki tinggi besar sambil melangkah maju mendekati ketujuh
orang prajurit itu.
Tanpa mempedulikan rasa takut mereka, tangan orang itu
bergerak cepat. Terdengar suara keras yang disertai percikan
darah segar, bercampur warna putih kental.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kelima orang
prajurit yang masih sadar, langsung tewas dengan kepala pecah.
Demikian pula kedua orang lainnya yang semula masih ter-
geletak pingsan. Mereka juga mengalami nasib yang serupa
dengan kelima orang kawannya.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya, sosok tubuh tinggi
besar itu berkelebat lenyap bersama anak buah dan binatang
peliharaannya yang mengerikan.
Malam pun kembali hening. Hanya suara binatang-binatang
malam saja yang masih setia menemani kepekatan. Bau anyir
darah mulai menyebar ke sekitarnya.
***
ENAM
Keesokan harinya suasana kotaraja kembali terjadi kegemparan.
Kejadian kali ini bahkan lebih berat dari sebelumnya. Masalah-
nya, bukan saja mayat dua puluh orang tokoh persilatan saja
yang tewas dengan kepala terpisah. Bahkan kini terdapat tujuh
mayat prajurit dan seorang perwira. Keadaan di tempat
kejadian memang telah dikerumuni orang. Sebagian, malah ada
yang muntah-muntah. Di antara kerumunan itu tampak seorang
pemuda berjubah putih dan seorang gadis berpakaian serba
hijau. Di samping itu, ada pula dua orang pemuda. Seorang
bertubuh gagah. Dan seorang lagi berwajah tampan.
“Gila! Ini sudah keterlaluan!” teriak seorang lelaki gagah
yang mengenakan pakaian perwira. Dia memang telah men-
dapat laporan dari anak buahnya. Makanya, dia langsung men-
datangi tempat itu. Dan kini hatinya benar-benar marah setelah
menyaksikan kekejaman itu.
“Kita harus segera mengambil tindakan. Kalau tidak, maka
iblis itu akan semakin mengganas!” tegas laki-laki lain yang ber-
pakaian perwira juga. Laki-laki bertubuh kekar berusia lima
puluh tahun lebih itu mengepalkan tinjunya dengan wajah
terbakar.
“Ya! Kita harus mengadakan pembersihan! Mulai hari ini,
tidak ada seorang pun yang boleh membawa-bawa senjata. Bagi
mereka yang akan mengikuti ujian, akan kita kembalikan
senjatanya di waktu ujian nanti. Sekarang juga kita harus
menyita setiap senjata yang dibawa tokoh-tokoh persilatan.”
Setelah memerintahkan beberapa prajurit untuk segera
menguburkan mayat-mayat, kedua orang perwira itu bergegas
meninggalkan tempat. Mereka juga segera menyiapkan pasukan
untuk mengadakan pembersihan besar-besaran.
“Celaka! Kita harus segera meninggalkan kotaraja sekarang
juga, Kakang!” bisik seorang gadis cantik berpakaian serba hijau
kepada seorang pemuda tampan berjubah putih.
Kemudian keduanya bergegas menyeruak di antara
kerumunan orang yang tengah menyaksikan puluhan sosok
mayat yang mengerikan itu. Dua orang pemuda lainnya ber-
gegas mengikuti kedua orang itu.
“Hhh..., keadaan sudah semakin gawat! Dengan adanya
peraturan yang baru dikeluarkan itu, kita tidak bisa bergerak
leluasa untuk melakukan penyelidikan. Entah apa yang harus
diperbuat sekarang?” desah pemuda tegap berwajah gagah,
dengan suara rendah.
“Tenanglah, Balira. Yang terpenting sekarang, kita harus
keluar dari kotaraja secepatnya. Setelah itu, baru dipikirkan
langkah apa yang akan kita ambil,” sahut pemuda berjubah putih
yang tak lain adalah Panji.
“Kakang Panji benar, Kakang Balira,” timpal pemuda
tampan berwajah halus yang tak lain Lunjita. “Ayolah kita
bergegas sebelum perintah itu menyebar luas. Masalahnya kalau
sudah demikian, kita pasti akan kesulitan keluar dari wilayah
kotaraja ini.”
Keempat orang sahabat itu segera mengerahkan ilmu lari
cepatnya begitu tiba di tempat yang agak sepi. Setidaknya agar
tidak menimbulkan kecurigaan.
Panji, Kenanga, Balira dan Lunjita rnenjadi terkejut ketika
tahu kalau yang akan meninggalkan kotaraja ternyata bukan
hanya mereka berempat. Tapi banyak juga tokoh persilatan
lainnya yang sudah bergerak meninggalkan kota itu. Mereka
rata-rata bergerak menuju pintu gerbang sebelah Barat, karena
hanya di situlah tempat yang sepi dan jarang dilewati orang.
Para tokoh persilatan yang hendak meninggalkan kotaraja
semakin mempercepat larinya ketika mendengar suara derap
kaki kuda di belakang mereka.
“Saudara-saudara harap berhenti sebentar...!”
Terdengar sebuah seruan yang mengandung pengerahan
tenaga dalam. Sehingga sebelum si empunya suara muncul,
suaranya sudah terdengar jauh ke depan.
Namun tokoh-tokoh persilatan itu sama sekali tidak mem-
pedulikannya. Bahkan mereka semakin mempercepat larinya
menuju pintu gerbang yang hanya tinggal beberapa belas
tombak lagi itu. Mereka sebenarnya bukan karena takut
menghadapi, tapi hanya sekadar menghindar. Ini dilakukan agar
senjata mereka tidak dirampas prajurit. Dan kalau mereka
melawan, akan dituduh memberontak.
Bagi Panji dan Kenanga, sebenarnya mudah saja untuk
segera melewati pintu gerbang itu. Dan memang, dengan
kepandaian yang dimiliki, mereka dapat bergerak jauh lebih
cepat daripada tokoh-tokoh persilatan lainnya. Ini karena ilmu
meringankan tubuh mereka telah mencapai taraf kesempurna-
an. Namun karena merasa tidak tega terhadap kedua orang
sahabatnya, maka mereka tidak melakukan hal itu. Keduanya
tetap berlari di samping Balira dan Lunjita.
“Sahabat-sahabat, sekali lagi kami peringatkan! Berhenti atau
kalian semua akan ditangkap dan dituduh sebagai pem-
berontak!”
Teriakan itu kembali terdengar. Bahkan kali ini disertai
sebuah ancaman yang mau tak mau membuat para tokoh
persilatan itu agak memperlambat larinya. Beberapa orang di
antaranya menoleh ke belakang, untuk melihat rombongan
berkuda yang tengah mengejar.
“Persetan dengan ancaman itu! Kalau senjata-senjata kita
disita, lalu bagaimana harus melindungi diri dari ancaman
pembunuh biadab itu?” rungut salah seorang tokoh.
Dia rupanya tidak bersedia mengikuti perintah itu, dan
malah semakin mempercepat larinya. Apa lagi pintu gerbang
sudah tinggal sekitar sepuluh tombak. Tentu saja ucapan orang
itu membuat yang lain kembali mempercepat larinya. Lagi
pula, bagi seorang tokoh persilatan, senjata merupakan nyawa
kedua. Dan ingatan itu membuat para tokoh persilatan kembali
mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk mencapai pintu gerbang.
Lelaki gagah berpakaian perwira yang memimpin dua puluh
lebih prajurit, menjadi geram ketika melihat para tokoh
persilatan tetap membandel. Maka kejengkelannya pun semakin
menjadi-jadi.
“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan seorang pun dari
mereka yang melewati pintu gerbang!” teriak perwira itu
disertai pengerahan tenaga dalamnya. Akibatnya, suaranya
dapat terdengar jelas oleh para prajurit yang menjaga gerbang
sebelah Barat itu.
Para prajurit pintu gerbang yang semula tidak mengerti
mengapa orang-orang itu berlari menuju pintu gerbang,
tersentak kaget setelah mendengar perintah itu. Tanpa mem-
buang-buang waktu lagi, beberapa orang dari penjaga itu
bergegas menutup pintu gerbang. Sedangkan kepala jaga pintu
gerbang dan prajurit lainnya berdiri menghadang jalan dengan
senjata terhunus. Meskipun mereka sama sekali belum
mengetahui penyebab para tokoh persilatan itu berlarian,
namun gerakan mereka begitu sigap, menuruti perintah
atasannya.
Serentak para tokoh persilatan itu menghentikan larinya
ketika melihat pintu gerbang telah bergerak menutup.
Beberapa orang tokoh persilatan menolehkan kepalanya ke
belakang, ke arah rombongan berkuda yang mengeluarkan
perintah itu.
“Tenang, Saudara-Saudara! Aku sama sekali tidak ber-
maksud buruk. Tapi kalau boleh bertanya, apakah yang
menyebabkan kalian hendak meninggalkan kotaraja ini? Apakah
kalian tidak berniat untuk mengikuti ujian yang akan dibuka
Gusti Prabu? Bukankah itu yang menjadi tujuan utama kalian
untuk datang ke kotaraja ini?” tanya perwira bertubuh tegap
dan gagah itu sambil melompat turun dari atas punggung kuda.
Salah seorang tokoh persilatan bergegas maju dan meng-
hadapi perwira gagah itu.
“Tuan Perwira. Memang betul, beberapa orang di antara
kami mempunyai tujuan seperti yang Tuan katakan itu. Tapi
yang membuat kami hendak meninggalkan kotaraja dan
membatalkan niat itu, adalah rasa keberatan untuk menyerah-
kan senjata yang kami miliki. Dan menurut hamba, semua
tokoh yang sekarang ada di sini sudah pasti merasa keberatan
dengan keputusan yang diambil itu,” jelas tokoh persilatan itu.
Dia berwajah tampan dan masih termasuk muda. Usianya
paling banyak baru sekitar tiga puluh tahun. Kata-katanya
dikeluarkan dengan suara lantang, meskipun tetap penuh rasa
hormat. Karena yang dihadapinya itu adalah seorang pembesar
kerajaan yang memang harus dihormati.
“Maaf, Kisanak. Keputusan yang kuambil itu tentu saja
bukan karena mencurigai kalian semua. Tapi semua ini
dilakukan demi kebaikan semua tokoh persilatan yang saat ini
berada di dalam kotaraja. Hal itu kuambil agar tidak terjadi
perpecahan dan saling curiga di antara kalian. Sedangkan senjata
kalian akan kami kembalikan pada saat ujian dilangsungkan.
Sedangkan bagi para tokoh yang datang hanya untuk
menyaksikan, maka senjatanya akan dikembalikan setelah ujian
selesai. Nah, apakah keputusan yang kuambil itu salah?” jelas si
perwira itu.
Dia sama sekali tidak marah mendengar bantahan tokoh
muda itu. Karena semua yang dikatakannya memang sebuah
kebenaran.
“Maaf, Tuan Perwira, bukan hamba bermaksud membantah
ataupun menentang keputusan yang telah diambil itu. Tapi
perlu diketahui, pedang atau senjata lainnya bagi seorang tokoh
persilatan merupakan nyawa kedua. Dan lagi, kalau tanpa
senjata di tangan, lalu bagaimana kami harus menghadapi si
pembunuh apabila datang kepada kami? Sedangkan dengan
menggunakan senjata saja kami masih ragu untuk dapat
mempertahankan nyawa. Lalu, bagaimana kalau kami tidak
bersenjata?” kilah tokoh muda berwajah gagah itu. Dan
memang, secara tidak langsung para tokoh lainnya seperti telah
menunjuk pemuda itu sebagai wakil mereka. Sehingga, mereka
hanya ikut mendengar perdebatan yang berlangsung cukup seru
itu.
“Tapi maaf, Kisanak. Sayangnya keputusan itu bukan hanya
datang dari seorang saja. Ketentuan itu sudah menjadi
keputusan rapat beberapa orang perwira yang bertugas menjaga
keamanan penduduk maupun orang-orang yang berada dalam
lingkungan kotaraja. Namun demikian, kami juga berjanji akan
menjaga keselamatan semua tokoh persilatan yang datang ke
kotaraja dengan taruhan nyawa. Jadi, diharap sudilah saudara-
saudara menolong kami untuk menyingkap tabir pembunuh
yang selama ini masih belum berhasil ditemukan,” sanggah
perwira itu dengan suara tenang dan lembut
Sikap perwira itu, sama sekali tidak menunjukkan
kesombongan. Padahal kalau mau, ia dapat saja memaksa
dengan menggunakan kekerasan.
Mendengar ucapan perwira dan janji yang diberikan perwira
gagah berusia setengah baya itu, beberapa orang tokoh
persilatan segera melangkah maju ke arah rombongan prajurit
berkuda itu.
“Baiklah. Kami bersedia kembali dan menyerahkan senjata
untuk dititipkan kepada Tuan,” kata salah seorang tokoh
persilatan mewakili kawan-kawannya, sambil membungkuk
hormat kepada si perwira.
“Terima kasih atas kebijaksanaan saudara-saudara sekalian.
Bagaimana dengan yang lainnya?” kata perwira itu sambil
tersenyum. Matanya memandang penuh permohonan ke arah
delapan orang tokoh persilatan yang masih belum bersedia
menyerahkan senjatanya. Termasuk Panji, Kenanga, Balira, dan
Lunjita.
Empat orang tokoh itu saling bertukar pandang, seolah-olah
meminta pendapat. Sedangkan Panji, Kenanga, dan dua orang
sahabatnya menjadi gelisah. Dan memang, niat mereka me-
masuki kotaraja adalah untuk menyelidiki tentang
pembunuhan. Apalagi pedang yang berada pada punggung
Pendekar Naga Putih bukanlah senjata sembarangan. Dan
bukan tidak mungkin apabila pedang pusakanya diserahkan,
para perwira kerajaan akan tertarik dan menahan pedangnya.
Memikirkan kemungkinan itu, tentu saja Panji menjadi cemas.
Mestikah menyerahkan diri? Atau terpaksa melarikan diri dan
dianggap sebagai pemberontak? Pemuda berjubah putih itu
berpikir keras mencari penyelesaian dalam menghadapi keadaan
yang sangat sulit ini.
Dada Panji berdebar ketika melihat keempat orang tokoh
persilatan yang semula bertahan bersamanya, mulai melangkah
mendekati pasukan yang dipimpin perwira gagah itu. Seperti-
nya keempat orang tokoh itu sudah mengambil keputusan yang
menurut mereka jalan satu-satunya yang paling baik.
“Aku tidak mungkin menyerahkan senjataku ini, Kenanga.
Aku takut mereka akan berpikiran lain begitu melihat pedang
pusaka ini,” bisik Panji kepada kekasihnya.
Mendengar bisikan itu, Kenanga baru sadar kalau pedang
yang dimiliki kekasihnya bukan pedang sembarangan. Dan
mungkin tidak ada duanya dalam dunia persilatan. Sadar kalau
pemuda itu menyerahkan keputusan di tangannya, Kenanga
terpaksa mengambil keputusan. Padahal, dia semula telah me-
mutuskan untuk menyerahkan diri. Cepat kepalanya menoleh
kepada Balira dan Lunjita.
“Bagaimana dengan kalian? Apakah sudah mengambil
keputusan?” tanya Kenanga.
Dia memang ingin mengetahui, keputusan apa yang akan
diambil kedua orang yang pernah diselamatkannya itu.
Sepasang matanya yang bening dan indah menatap, menuntut
jawaban secepatnya. Sebab saat itu mereka sudah tidak
memiliki banyak waktu.
“Nah! Sekarang, tinggal kalian berempat. Bagaimana?
Apakah kalian tidak ingin berkorban sedikit demi kepentingan
kita bersama?” tanya perwira gagah itu sambil memandangi
keempat orang pemuda yang masih belum memberi keputusan.
Melihat Balira dan Lunjita belum juga mengambil
keputusan, maka Panji segera melangkahkan kakinya ke depan.
Wajah pemuda itu tetap tenang meskipun dadanya berdebar
tegang. Ia sadar kalau kotaraja bukanlah tempat yang dapat
dibuat main-main. Sebab kota itu boleh dikatakan tempat
berkumpulnya orang sakti yang mengabdikan dirinya untuk
kepentingan kerajaan. Biar bagaimanapun tabahnya hati
Pendekar Naga Putih, namun tetap merasa tegang mengingat
akan hal itu.
“Maaf, Tuan Perwira. Dengan sangat terpaksa, kami tidak
bisa memenuhi permintaan itu. Tapi bukan berarti kami tidak
bersedia berkorban. Kami rela menyerahkan nyawa demi
kepentingan kerajaan. Tapi untuk yang satu ini, kami terpaksa
tidak bisa menurutinya. Sekali lagi, mohon maaf,” ucap
Pendekar Naga Putih dengan suara lembut dan sopan.
Perwira itu tertegun sejenak mendengar kata-kata Panji
yang berani menolak perintahnya. Tapi karena kata-kata
pemuda itu sangat sopan dan hormat, ia tidak mempunyai
alasan untuk marah. Laki-laki gagah berpakaian perwira itu
termenung sejenak seperti hendak mencari jalan yang terbaik
untuk menyelesaikan masalah itu.
“Kau tentu mempunyai alasan yang kuat untuk itu, Anak
Muda. Boleh kutahu, apa alasanmu itu?” tanya perwira itu
seraya tersenyum sabar.
“Maaf, Tuan. Karena beberapa orang yang terbunuh adalah
sahabat kami, maka kami telah bertekad untuk mencari
pembunuh itu dan menyelesaikannya dengan cara kami sendiri.
Selain itu, juga ada alasan kami yang lain. Tapi sayang, hal itu
tidak bisa dijelaskan saat ini,” jelas Panji Pendekar Naga Putih
sama sekali tidak berdusta. Sebab menurutnya, setiap tokoh
persilatan yang berada pada jalan lurus adalah sahabatnya.
Sedangkan alasan yang tidak bisa diceritakannya adalah tentang
keterkaitannya kedua orang sahabatnya yaitu Balira dan Lunjita,
dengan tuduhan pembunuhan atas delapan tokoh persilatan
yang menjadi korban pertama. Masalahnya, kalau hal itu
diceritakannya, ada kemungkinan kedua orang sahabatnya akan
dibawa dan diperiksa oleh para perwira kerajaan. Begitu
mendengar jawaban pemuda berjubah putih itu, seorang
perwira lainnya melompat turun dari atas punggung kuda. Dari
raut wajahnya yang gelap, jelas kalau dia merasa marah dengan
alasan Pendekar Naga Putih.
“Anak muda! Sadarkah kau dengan ucapanmu itu?! Dengan
ingin menyelesaikan masalah ini sendiri, berarti telah membuat
para perwira kerajaan merasa terhina! Kata-katamu itu sama
artinya dengan merendahkan kemampuan kami. Itu sama saja
menuduh, kalau kami tidak becus untuk menangkap pembunuh
biadab itu! Hm.... Aku jadi ingin mengetahui, sampai di mana
kepandaian yang kau miliki sehingga bersikap sombong di
hadapan kami, para petugas kerajaan.”
Setelah berkata demikian, perwira yang sepertinya bersifat
berangasan itu melangkah maju dan siap bertempur.
Sementara itu, perwira gagah yang tadi berbicara dengan
Panji tidak berkata apa-apa. Bahkan terlihat bergerak mundur
seperti hendak memberikan peluang kepada rekannya.
Sepertinya perwira gagah itu juga ingin melihat, sampai di mana
kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berjubah putih
sehingga ingin menangkap si pembunuh dengan tangannya
sendiri.
“Bersiaplah, Anak Muda! Aku hendak menguji
kesombonganmu. Dan kalau kepandaianmu ternyata tidak
sebesar omonganmu, lebih baik belajar lagi selama sepuluh
tahun. Setelah itu, mungkin kau baru boleh menyombongkan
diri,” tantang perwira berangasan berwajah kecoklatan itu.
Raut wajah perwira itu terlihat keras membayangkan sifat
aslinya. Tubuhnya tinggi besar dan terlihat kokoh dan kuat.
Sekali melihat saja, Panji sudah dapat menilai kalau dia pasti
memiliki tenaga luar yang besar. Hal itu terlihat jelas dari
bentuk tubuhnya yang bagai sebongkah batu karang.
“Maaf, Tuan. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian.
Dan aku mohon maaf apabila ucapanku tadi telah
menyinggungmu,” ucap Panji dengan suara masih tetap tenang
dan sopan.
***
TUJUH
Perwira berangasan yang tinggi besar dan kokoh itu sama sekali
tidak mempedulikan ucapan Panji. Kakinya yang kokoh, terus
saja melangkah mendekati pemuda berjubah putih itu. Langkah-
nya baru berhenti ketika jarak di antara mereka hanya tinggal
satu batang tombak lagi.
“Tidak perlu banyak cakap! Dan jangan khawatir! Aku maju
bukan atas nama kerajaan, tapi atas namaku sendiri! Kau tidak
akan dituduh sebagai pemberontak apabila sanggup mengalah-
kan aku. Jadi, tidak ada yang perlu ditakuti!” tegas perwira itu
sambil memasang kuda-kuda. “Lihat serangan!”
Setelah berkata bernada peringatan, perwira itu melompat
dan melancarkan pukulan yang menimbulkan desir angin tajam.
Bettt! Bettt!
Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang, meng-
hindari pukulan-pukulan yang mendatangkan angin kuat. Tentu
saja hal itu membuat si perwira jadi penasaran. Ternyata
pukulannya yang bertubi-tubi dapat dihindari lawan dengan
mudah. Maka kini serangan-serangannya semakin dipergencar.
Bahkan kali ini sudah menggunakan kaki untuk membantu
serangan.
Melihat betapa lawannya semakin ganas dalam melancarkan
serangan, Panji mulai membalas sesekali. Masalahnya, Pendekar
Naga Putih tidak ingin dianggap merendahkan lawan. Serangan
balasannya itu dimaksudkan hanya untuk menghalau gelombang
serangan lawan yang semakin dahsyat dan menggebu-gebu.
Dugkh!
“Uhhh...!”
Perwira tinggi besar itu terjajar mundur beberapa langkah
ke belakang ketika pukulannya yang mengarah dada ditangkis
Pendekar Naga Putih. Lengannya seketika terasa bagai
dibenturkan pada sebatang logam bulat yang kuat dan dingin.
Dan kini, wajahnya terlihat agak meringis menahankan rasa
nyeri akibat tangkisan itu. Namun hal itu tidak membuatnya
jera. Malah sebaliknya hatinya semakin penasaran. Perwira itu
masih merasa ragu, kalau rasa nyerinya disebabkan tenaga
lawan. Dia kemudian menghibur diri dengan menyalahkan
kedudukannya yang memang agak lemah pada saat menyerang
tadi. Perwira itu kembali bersiap melancarkan serangan
berikut.
Pendekar Naga Putih sendiri sebenarnya sempat dibuat
terkejut ketika merasakan betapa kuatnya tenaga yang dimiliki
perwira itu. Buktinya, tangannya sempat terasa bergetar ketika
menangkis pukulan lawan tadi. Dan itu membuatnya lebih
berhati-hati dalam melayani serangan-serangan selanjutnya.
“Hmh...!”
Sambil menggeram keras, perwira tinggi besar itu men-
dorong telapak tangannya ke atas. Kemudian diturunkan, dan
disilangkan di depan dada untuk diteruskan dengan dorongan
ke depan disertai hembusan napasnya. Setelah itu, kaki kanan-
nya ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Tangan
kirinya yang membentuk kepalan, disejajarkan dengan muka
dan agak bengkok pada bagian sikutnya. Sedangkan kepalan
tangan kanannya dilintangkan di atas kepala dengan punggung
kepalan berada di dalam. Sepertinya, kali ini perwira itu telah
menyiapkan ilmu andalan untuk menghadapi Panji.
Pendekar Naga Putih yang menyadari akan kekuatan tenaga
lawan telah pula mempersiapkan jurusnya. Pemuda itu pun
mulai mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Semangatnya dikempos, dan sebagian tenaganya dikerahkan
yang kemudian disalurkan ke seluruh anggota tubuhnya. Sesaat
kemudian, lapisan kabut bersinar putih keperakan pun muncul
menyelimuti sekujur tubuhnya. Maka pemuda itu kini bagaikan
makhluk asing yang turun ke permukaan bumi.
“Pendekar Naga Putih...!”
Beberapa orang tokoh persilatan yang pernah mendengar
tentang ciri-ciri pendekar muda itu, berseru tertahan. Nada
suara mereka jelas menggambarkan perasaan kagum, girang,
dan juga kelegaan. Sebersit harapan mulai tergambar di wajah
mereka. Dan memang, dengan kehadiran pendekar muda yang
telah mengguncangkan dunia persilatan itu, mereka berharap
agar kekacauan yang terjadi di kotaraja segera dapat di-
tanggulangi Pendekar Naga Putih.
Perwira gagah berwajah lembut dan perwira tinggi besar
berwatak berangasan, tertegun sejenak. Mereka juga sempat
terkejut melihat lapisan kabut putih keperakan yang menye-
limuti tubuh pemuda berjubah putih itu. Keterkejutan mereka
semakin bertambah ketika mendengar seruan tokoh-tokoh
persilatan yang menyebut Pendekar Naga Putih disertai
gambaran perasaan masing-masing. Diam-diam mereka merasa
kagum terhadap ilmu tingkat tinggi yang dimiliki pendekar
kondang itu.
“Ha ha ha...! Bagus... Bagus! Setelah aku mengetahui siapa
adanya kau, keinginanku untuk mengujimu semakin besar.
Tunjukkanlah kesaktianmu, Pendekar Naga Putih! Sebab, aku
memang sudah lama ingin menguji sampai di mana kepandaian
tokoh muda yang telah menggegerkan rimba persilatan itu.
Ayolah, Pendekar Naga Putih. Jangan kecewakan aku,” pinta
perwira tinggi besar itu.
Dia memang semakin gembira setelah mengetahui jati diri
pemuda berjubah putih yang menjadi lawannya. Hal itu
ternyata membuatnya semakin bersemangat.
“Heaaat..!”
Diiringi teriakan nyaring, tubuh perwira tinggi besar itu
melompat. Dia melancarkan serangan lewat kaki dan tangan-
nya. Serangkum angin berkesiutan mengiringi pukulan dan
tendangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tinggi itu.
Namun Pendekar Naga Putih sudah bisa menebak serangan itu.
Maka, tubuhnya langsung bergerak ke kiri dan ke kanan
menghindari terjangan-terjangan lawan. Sesekali tangannya
bergerak menangkis pukulan dan tendangan yang tidak sempat
dielakkan. Dan setiap kali pukulan maupun tendangan si
perwira itu tertangkis, tubuh tinggi besar itu terdorong
mundur dengan wajah meringis menahan sakit. Bahkan
beberapa kali terlihat tubuhnya menggigil apabila terkena
tangkisan Pendekar Naga Putih yang cukup kuat. Meskipun
demikian, perwira itu sama sekali tidak gentar. Serangan-
serangannya tetap menggebu-gebu. Maka, mau tak mau Panji
menjadi mangkel dibuatnya.
Wuuut! Bettt!
Pendekar Naga Putih memiringkan tubuh ke kiri mem-
biarkan pukulan dan tendangan lawan lewat sisi tubuhnya. Saat
itu juga tangan kiri pemuda itu melakukan serangan balasan ke
dada lawan yang terbuka. Perwira tinggi besar itu terlihat
kaget, karena sama sekali tidak menyangka kalau lawan akan
membalas serangan demikian mendadak. Cepat-cepat tubuhnya
dilempar ke belakang untuk menghindari hantaman punggung
tangan lawan. Namun sayang, gerakan Pendekar Naga Putih
ternyata jauh lebih cepat. Sehingga meskipun tidak terlalu
telak, tetap saja tubuh tinggi besar itu terdorong mundur ketika
kepalan Panji mengenai dadanya.
Bugkh!
“Heghk...!”
Tubuh tinggi besar itu terdorong sejauh dua batang tombak
lebih disertai jeritan kesakitan. Wajah perwira itu memucat dan
giginya bergemeletuk menahan hawa dingin yang menyelusup
ke dalam tubuhnya, akibat pukulan Pendekar Naga Putih. Dari
kedua sudut bibirnya tampak mengalir cairan kental berwarna
merah.
“Hhh..., hhh.... Kau hebat, Pendekar Naga Putih. Rasanya
aku tidak perlu melanjutkan pertarungan ini. Kini aku yakin
kalau aku tidak mungkin dapat menandingimu. Kupikir, kalau
kau bertangan kejam, pasti tubuhku akan terbujur kaku. Itukah
ilmu 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang telah tersohor di dunia
persilatan?” kata perwira bertubuh tinggi besar itu jujur.
Namun dengan napas tersengal
Ternyata di balik kekerasan dan keberangasannya, perwira
itu merupakan seorang yang jujur hingga mau mengakui
kesalahannya. Dan itu jarang sekali didapat dalam diri tokoh-
tokoh persilatan.
“Benar, Tuan Perwira. Maaf kalau aku telah berlaku lancang
kepadamu,” ucap Panji sambil membungkuk hormat kepada
perwira itu.
Permintaan maaf pemuda itu karena dua hal. Pertama
karena lelaki tinggi besar itu adalah seorang perwira kerajaan
yang sudah sepatutnya dihormati rakyat. Kedua, karena
meskipun sifatnya kasar, namun ternyata memiliki kejujuran
hingga tidak malu mengakui kekalahannya. Dan itu membuat
Pendekar Naga Putih merasa kagum dan semakin menaruh
hormat kepada lawannya.
“Pendekar Naga Putih. Karena kau telah berhasil mengalah-
kan kawanku, maka kau kuberikan pengecualian. Kau dan
ketiga kawanmu, kami izinkan untuk menyimpan senjata. Satu
permintaan kami, kuharap tidak menolak untuk tetap berada
dalam kotaraja. Kita akan bekerja sama untuk menangkap si
pembunuh. Bagaimana?” tanya perwira lain yang berwajah
lembut dan penyabar itu.
Melihat sikap dan kata-kata kedua orang perwira kerajaan
itu, Panji merasa tidak enak menolak. Pemuda berjubah putih
itu menoleh ke arah tiga orang lainnya, seolah-olah meminta
persetujuan. Dan ketika melihat Kenanga, Balira, dan Lunjita
mengangguk setuju, maka Pendekar Naga Putih memberi
keputusan. Meskipun, tanpa perlu dengan kata-kata.
“Baiklah, Tuan Perwira. Dengan senang hati, kami bersedia
membantu Tuan untuk membekuk si pembunuh yang telah
mengganggu ketenangan penduduk kotaraja dan tokoh
persilatan yang saat ini tengah berkumpul di sini,” kata Panji
sambil membungkuk penuh hormat
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Dengan bantuanmu,
kami yakin pembunuh keji itu akan segera dapat dibekuk.
Sekarang aku akan mengundang kalian berempat ke rumahku.
Marilah,” ajak perwira berwajah lembut itu seraya tersenyum.
Setelah mengucapkan terima kasih, Panji, Kenanga, dan dua
orang sahabatnya, segera meninggalkan gerbang Barat. Mereka
mengikuti kedua orang perwira Kerajaan Baru Jajar itu.
***
Malam itu bulan menampakkan diri seutuhnya. Sinarnya
yang kuning keemasan, seperti menimbulkan kedamaian.
Paling tidak, akan membuat hati menjadi tenteram. Namun
malam purnama yang biasanya ramai oleh anak-anak yang
berlarian dan bersenda gurau itu, kini nampak sunyi dan
mencekam. Bahkan para orang tua telah menyuruh anak dan
istrinya segera masuk dan mengunci pintu serta jendela rumah
rapat-rapat. Karena si pembunuh yang menurut kabar selalu
ditemani seekor serigala siluman itu masih berkeliaran dan
mencari korban lain.
Angin dingin berhembus keras di saat malam sudah semakin
larut. Sedangkan para prajurit kerajaan tetap menunaikan
tugasnya, meronda ke seluruh pelosok kotaraja. Hembusan
angin dingin tak lagi dirasakan. Mereka memang sudah terbiasa
dengan keadaan seperti itu. Hanya saja, hati mereka selalu
dicekam rasa takut. Apalagi bila teringat si pembunuh keji yang
belum tertangkap itu.
Di saat malam sudah semakin larut, terdengar lolongan
serigala yang memecah keheningan dan kesunyian malam.
Suaranya yang merintih dan panjang itu, membuat hati para
penduduk semakin dicekam rasa takut yang menghebat.
“Hm.... Sepertinya pembunuh itu mulai bergerak, Tuan
Perwira,” gumam seorang pemuda tampan berjubah putih yang
tak lain adalah Panji, kepada perwira di sebelahnya. Saat itu
mereka memang masih berkumpul di rumah perwira berwajah
gagah dan lembut itu.
“Benar. Dan kini sudah waktunya kita berpencar. Dan ingat,
apabila di antara kita ada yang memergoki, harap memberikan
tanda. Dan kalau bisa tahan mereka sekuat tenaga sampai yang
lain datang. Ayolah kita bergegas,” ajak perwira itu sambil
beranjak bangkit dari kursinya.
Setelah tiba di luar rumah, rombongan itu dipecah menjadi
beberapa kelompok. Panji dan Lunjita bergerak ke sebelah
Barat kotaraja, ditemani dua puluh prajurit kerajaan. Sementara
Kenanga dan Balira bergerak ke Timur, ditemani dua puluh
orang prajurit. Sedangkan kedua orang perwira itu memimpin
enam puluh orang prajurit, dan bergerak ke Selatan kotaraja.
Di bagian Utara sengaja tidak dilakukan perondaan, karena
tidak seorang tokoh persilatan pun yang menginap di Utara
kotaraja.
“Lunjita, tetaplah pimpin mereka menuju arah Barat. Aku
akan berkeliling sebentar, dan akan segera kembali. Kalau salah
satu dari kalian menemukan sesuatu yang mencurigakan, beri
tanda kepadaku,” kata Panji yang segera melesat begitu melihat
Lunjita menganggukkan kepala.
Tubuh Pendekar Naga Putih segera melambung ke atas atap
rumah penduduk begitu Lunjita dan para prajurit sudah tidak
terlihat lagi. Kemudian Panji berloncatan dari atap rumah yang
satu ke atap rumah lainnya. Rombongannya ditinggalkan bukan
karena merasa memiliki kepandaian tinggi. Tapi, Pendekar
Naga Putih berpikir kalau terus mengikuti para prajurit itu,
maka perjalanan akan lambat. Bahkan bisa-bisa pembunuh itu
telah melakukan rencananya. Itulah sebabnya, mengapa
Pendekar Naga Putih sengaja memisahkan diri. Hal itu tak lain
agar ia dapat bertindak lebih leluasa lagi. Dan apabila telah
menemukan pembunuh itu, maka ia akan segera memberi
tanda secepatnya. Pendekar Naga Putih memang tidak ingin
dianggap sombong. Apalagi menganggap rendah orang lain.
Belum lagi Panji berlari jauh, tiba-tiba sepasang matanya
yang tajam menangkap gerakan beberapa sosok tubuh dekat
sebuah rumah penginapan yang cukup luas. Sosok-sosok tubuh
itu bergerak melalui taman belakang penginapan yang dipenuhi
berbagai macam tanaman hias. Cepat pemuda itu meluncur
turun dari atas atap, lalu mengintai keempat sosok tubuh itu.
“Hm.... Rupanya keempat orang berseragam itulah yang
dulu pernah bentrok dengan Balira dan Lunjita. Tapi, ke mana
orang tinggi besar yang ditemani serigala siluman seperti yang
dilaporkan penjaga gerbang Barat itu? Rasanya tidak mungkin
kalau keempat orang itu hanya perampok rendah yang meng-
gunakan kesempatan ini? Dari gerak-gerik, jelas mereka
berkepandaian rata-rata cukup tinggi,” gumam Panji pelan.
Pandangan Pendekar Naga Putih beredar ke sekeliling,
kalau-kalau orang yang dimaksud telah berada di sekitar tempat
itu. Masalahnya, Panji tidak melihat adanya orang tinggi besar
yang selalu ditemani seekor serigala. Maka kini pemuda
berjubah putih itu bergerak gesit menyelinap masuk ke dalam
rumah penginapan.
“Eh!”
Pendekar Naga Putih menarik tubuhnya ke tempat yang
agak tersembunyi ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar
tengah melangkah tenang. Di samping kanannya tampak seekor
binatang yang hampir sebesar anak kuda!
“Berhenti...!” seru Panji.
Sosok tubuh itu langsung berpaling cepat. Namun begitu
melihat kalau yang menghentikannya hanya seorang pemuda,
tawanya langsung meledak. Hanya saja, bernada menghina.
Serigala yang memiliki mata semerah darah itu, menatap
Panji sambil menggereng lirih memperlihatkan taringnya yang
runcing dan bagaikan ujung pedang.
“Grrhhh...!”
Bukan main terkejutnya Panji ketika merasakan semangat-
nya bagai terbang akibat pengaruh pandangan mata serigala itu.
Cepat napasnya disedot dalam-dalam, dan tenaga dalamnya
dikerahkan untuk melawan pengaruh itu.
“Auuungngng...!”
Tiba-tiba saja serigala berbulu hitam yang ukurannya
melebihi serigala biasa itu melolong menggetarkan sukma.
Hebat sekali pengaruh lolongan itu. Akibatnya, tubuh Panji
yang semula berdiri tegak, nampak terhuyung limbung sambil
menekap dadanya yang berdebar keras.
“Heaaah...!”
Pendekar Naga Putih langsung mengeluarkan pekikan keras
yang menggetarkan jantung. Selapis kabut bersinar putih
keperakan nampak mulai menyelimuti tubuhnya. Rupanya
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' telah dikerahkannya. Ilmu dahsyat
itu digunakan untuk melawan pengaruh pandangan maupun
lolongan yang mengandung ilmu hitam.
“Keparat! Kiranya kau Pendekar Naga Putih! Pantas saja kau
berani mencegahku!” bentak orang tinggi besar berkerudung
yang mengenakan jubah hitam pekat itu. Suaranya yang serak
dan sember itu bergetar penuh kemarahan. Sepasang matanya
berkilat tajam seakan-akan hendak menelan tubuh Panji bulat-
bulat.
Sementara para penghuni rumah penginapan itu serentak
berhamburan keluar, ketika mendengar pekikan Panji dan
lolongan serigala. Para tokoh persilatan yang bermalam di
rumah penginapan itu berlari keluar dari kamar masing-masing
dengan senjata terhunus. Keadaan semakin bertambah kacau
ketika tiba-tiba saja sebagian dari para tokoh persilatan,
menyerang sebagian yang lain. Sehingga pertempuran sengit
yang semrawut pun segera pecah.
Di tempat lain, para penduduk yang tengah dicengkeram
ketakutan, semakin bertambah kalang-kabut. Bahkan tidak
sedikit yang menyembunyikan diri di kolong tempat tidur
dengan tubuh menggigil hebat. Dapat dibayangkan, betapa
tersiksanya hati para penduduk kotaraja saat itu.
Sementara itu, tanpa diduga, orang bertubuh tinggi besar
bersama serigalanya melesat cepat keluar penginapan. Hal itu
dilakukan pada saat Pendekar Naga Putih sedikit lengah akibat
kegaduhan yang terjadi di dalam penginapan.
***
DELAPAN
Pendekar Naga Putih yang melihat orang bertubuh tinggi besar
itu melarikan diri bersama binatang peliharaannya, bergegas
mengejar. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat. Seluruh ilmu
larinya memang telah dikerahkan. Ini dilakukan karena merasa
khawatir kalau orang itu sampai lolos dari tangannya.
Namun belum lagi jauh melakukan pengejaran, tahu-tahu
saja empat sosok bayangan hitam berkelebat menghadangnya.
Tanpa banyak bicara lagi, keempat bayangan itu langsung
menyerang dengan pedang telanjang. Dari suara sambaran
pedang yang menderu tajam, Pendekar Naga Putih tahu kalau
serangan itu tidak bisa dianggap main-main.
“Heaaat..!”
Disertai pengerahan ilmu 'Pekikan Naga Marah', tubuh
pemuda itu melambung ke udara beberapa jengkal di atas
kepala lawan-lawannya yang tengah terhuyung-huyung. Ini
adalah akibat pekikannya yang juga merupakan serangan melalui
suara. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah. Tubuhnya
kembali melambung dan melesat bagai anak panah yang ter-
lepas dari busur.
Hati Pendekar Naga Putih semakin marah ketika sempat
melihat belasan orang prajurit yang dipimpin Lunjita ber-
geletakan tewas berlumuran darah. Sedangkan pemuda tampan
itu sendiri terlihat tengah berjuang keras mempertahankan
selembar nyawanya dari ancaman serangan serigala siluman.
Keadaan delapan orang prajurit yang masih hidup itu juga
terlihat tengah terancam maut. Ini terbukti ketika sosok tubuh
tinggi besar yang berkerudung kepala dan berjubah hitam itu
telah melompat menyerang dengan tamparan yang menimbul-
kan suara mencicit tajam. Sudah dapat dipastikan kalau sisa para
prajurit itu pastilah tidak berumur panjang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera berkelebat
menerjang orang tinggi besar itu dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tangan kanannya meluncur, melakukan tamparan
untuk menyelamatkan nyawa kedelapan orang prajurit dari
kematian.
“Heaaat..!”
Plarrr!
Tamparan telapak tangan Pendekar Naga Putih disambut
telapak tangan lawan yang mengandung tenaga dalam dahsyat.
Delapan orang prajurit itu terhuyung mundur sambil menekap
kedua telinga masing-masing. Memang, suara yang ditimbulkan
oleh beradunya dua telapak tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi itu begitu dahsyat. Bahkan
mampu membuat udara di sekitar tempat itu bergetar hebat
Akibat yang dialami kedua orang tokoh itu juga tidak kalah
hebatnya. Tubuh mereka satu sama lain terpental ke belakang
sejauh tiga tombak. Namun keduanya bergerak indah, lalu
melakukan beberapa kali putaran di udara. Dan kini mereka
mendarat manis di tanah. Satu sama lain tampak saling tatap,
seperti menunggu serangan berikut.
“Gila! Tenaga orang itu hebat sekali!” desis Panji.
Pendekar Naga Putih merasa terkejut bukan main ketika
merasakan lengannya nyeri dan ngilu akibat pertemuan tenaga
tadi. Untunglah kepandaiannya telah meningkat jauh. Meskipun
dalam pengembaraan, Pendekar Naga Putih tidak pemah
melewatkan waktu-waktu luangnya untuk melatih ilmu-
ilmunya maupun tenaga dalamnya. Latihan-latihan yang sering
dilakukannya ternyata tidak sia-sia. Kepandaian dan tenaganya
dirasa telah meningkat jauh.
“He he he...! Ternyata kau boleh juga, Pendekar Naga
Putih!” puji orang tinggi besar itu sambil memperdengarkan
tawanya.
Panji sama sekali tidak mempedulikan pujian lawannya.
Justru, Pendekar Naga Putih malah merasa khawatir dengan
keselamatan Lunjita. Maka kepalanya langsung ditolehkan
untuk melihat keadaan sahabatnya. Bergegas Panji melompat
dengan kecepatan luar biasa ke arah Lunjita. Dan memang,
pada saat itu sahabatnya terlihat dalam bahaya.
“Hiaaa...!”
Wusss!
Sambil berteriak nyaring, Pendekar Naga Putih mendorong
sepasang telapak tangannya ke arah serigala siluman yang saat
itu tengah melompat mengancam leher Lunjita. Sementara
pemuda tampan itu hanya dapat berteriak ngeri, tanpa berbuat
sesuatu. Tubuhnya serasa kaku akibat raungan serigala itu yang
terasa menggetarkan jantung.
Bugkh!
“Khaiiiingngng...!”
Hantaman sepasang telapak tangan Panji tepat menghantam
tubuh serigala itu hingga terlempar beberapa tombak ke
samping. Binatang buas itu menguik, lalu terbanting di atas
tanah. Namun Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika
serigala itu ternyata dapat langsung bangkit, dan tidak
terpengaruh oleh pukulannya. Padahal, pukulannya itu
sebenarnya sanggup untuk membunuh seorang tokoh persilatan
tingkat pertengahan. Tapi bagi binatang itu sama sekali tidak
berarti apa-apa.
“Binatang siluman...!” desis Panji yang sudah memapah
tubuh Lunjita.
Sepertinya hati pemuda tampan itu terguncang hebat.
Setelah lolos dari maut, sekujur tubuhnya terasa lemas bagaikan
tak bertulang. Untunglah Panji sempat menangkapnya sehingga
tidak sampai terjatuh.
Saat itu terdengar derap langkah orang berlari yang ber-
gemuruh. Panji menjadi lega ketika melihat rombongan
Kenanga dan dua orang perwira yang juga bersama
rombongannya telah tiba pula di tempat itu. Rupanya kedua
rombongan itu segera berdatangan ketika mendengar pekikan
Pendekar Naga Putih pada waktu berada di penginapan. Tentu
saja Panji merasa bersyukur dengan datangnya kedua
rombongan itu.
Begitu tiba, delapan puluh orang prajurit langsung bergerak
membentuk lingkaran. Mereka kini telah mengepung orang
tinggi besar yang berkerudung dan berjubah hitam, bersama
serigala dan empat orang anak buahnya yang juga mengenakan
pakaian serba hitam dan penutup kepala yang juga berwarna
hitam.
Tiba-tiba terdengar teriakan panjang dan melengking
menusuk telinga. Pada saat yang sama, tubuh orang tinggi besar
itu berkelebat dan membagi-bagi pukulan-pukulan mautnya
kepada puluhan prajurit yang mengepung tempat itu. Sekali
menggerakkan tangan saja, enam orang prajurit terdepan
langsung roboh dengan kepala pecah. Sedangkan beberapa
orang lain yang terkena sambaran angin pukulannya terpental
dan pingsan seketika itu juga.
Demikian pula empat orang berseragam hitam dan serigala
bermata semerah darah itu. Mereka ternyata juga telah
mengamuk dan merobohkan beberapa orang prajurit kerajaan.
Sehingga, mau tak mau kepungan itu pun semakin merenggang.
Betapa tidak? Karena para prajurit itu merasa ngeri juga melihat
sepak terjang orang-orang itu yang sangat ganas dan
mengandung maut.
Pendekar Naga Putih yang melihat keadaan itu tentu saja
menjadi cemas bukan main. Kemudian, kepalanya menoleh
kepada Balira yang saat itu juga tengah memandangnya. Panji
segera bergerak menghampiri Balira.
“Balira! Jagalah sahabatmu ini dan bawa ke tepi!” perintah
Panji yang segera menyerahkan tubuh Lunjita kepada Balira.
“Kenanga! Hadapi serigala siluman itu! Hati-hati, ia berbahaya
sekali. Binatang itu mempunyai pengaruh gaib yang hebat,
sehingga dapat melumpuhkan lawan lewat tatapan dan
lolongannya!”
Setelah berkata demikian, Pendekar Naga Putih sendiri lalu
melesat ke arah sosok tubuh tinggi besar yang saat itu tengah
dikeroyok dua orang perwira dan para prajurit.
“Akulah lawanmu, Manusia Ibiis!” bentak Panji.
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung menerjang sosok
tinggi besar itu dengan serangan serangan yang cepat dan
dahsyat. Begitu menyerang, Panji langsung menggunakan 'Ilmu
Naga Sakti'nya. Hasilnya, serangannya itu sangat dahsyat dan
menggiriskan. Keduanya kini segera terlibat dalam
pertempuran sengit dan mati-matian.
Sedangkan dua orang perwira kerajaan sudah memimpin
anak buahnya untuk mengeroyok empat orang berseragam
hitam yang sepertinya merupakan pembantu utama tokoh tinggi
besar yang selalu membawa serigala itu. Mereka juga segera
terlibat pertarungan yang seru dan sengit.
Bahkan Kenanga juga telah mencabut keluar 'Pedang Sinar
Bulan' yang menebarkan angin dingin itu. Gadis jelita itu
memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar putih
keperakan yang bergerak turun-naik melindungi tubuhnya.
Sambil memekik nyaring, gadis berpakaian serba hijau itu
langsung menyerang serigala siluman. Tentu saja dia meng-
hindari pandangan mata binatang siluman itu, sebagaimana yang
dipesankan Panji. Karena kalau sampai memandang, ia akan
terpengaruh kekuatan ilmu hitam yang terpancar dari sepasang
bola mata buas berwarna merah bagaikan darah. Pertempuran
ini pun tidak kalah dahsyatnya dengan pertempuran-
pertempuran lainnya.
***
Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan lelaki tinggi
besar yang mengenakan kerudung dan jubah hitam itu, semakin
lama semakin terkejut melihat kesaktian lawannya. Sehingga
untuk dapat mengalahkan, rasanya pemuda itu harus menguras
seluruh ilmu yang dimiliki.
“He he he...! Keluarkan seluruh kesaktianmu, Pendekar
Naga Putih! Akulah si Mata Iblis Perenggut Nyawa yang akan
segera mengakhiri petualanganmu!” ejek orang tinggi besar
yang mengaku berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa sambil
terkekeh seram.
Panji sempat terkejut begitu mengetahui orang yang kini
menjadi lawannya. Julukan itu memang pernah didengarnya.
Mata Iblis Perenggut Nyawa adalah seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian dan kekejaman melebihi iblis. Tapi,
mengapa tokoh sesat itu tiba-tiba muncul ke dunia ramai dan
membuat kekacauan? Bukankah menurut kabar yang pemah
didengar, tokoh sesat itu telah lama menghilang dan kabarnya
menjadi seorang pertapa yang mengasingkan diri. Apakah berita
yang pernah didengarnya itu salah? Atau orang tinggi besar ini
hanya mengaku-aku saja untuk membuat lawan menjadi
terpecah perhatiannya?
“Haaat..!”
Berbagai pertanyaan yang memenuhi pikiran Panji kontan
lenyap seketika. Karena saat perhatiannya sedang terpecah itu,
si Mata Iblis Perenggut Nyawa telah melancarkan serangan
secara licik.
Plakkk! Bughk!
Pukulan tangan kiri yang mengarah kepala Pendekar Naga
Putih berhasil ditangkis. Tapi tusukan jari-jari tangan kanan
iblis licik itu telah menyusul dan mematuk keras dadanya.
Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar mundur hingga dua
batang tombak jauhnya. Sepasang kakinya terlihat agak goyah
hingga membuat tubuhnya limbung. Untunglah 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'nya kini telah meningkat jauh dan telah mampu
melindungi tubuh dari pukulan yang bagaimana kuatnya!
Meskipun tenaga itu masih belum sempurna, namun telah
mampu menolak pukulan, sehingga tidak membuatnya terluka.
Hanya saja, dadanya yang terkena tusukan jari-jari tangan lawan
yang sekeras baja itu agak terasa nyeri dan sesak. Meskipun
tidak membuatnya terluka dalam, tapi cukup membuat
gerakannya agak terhambat.
Wusss!
Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya ke belakang
ketika lawan telah mendorong sepasang telapak tangannya
dengan pukulan yang mematikan. Pemuda itu langsung ber-
jungkir-balik di udara beberapa kali, lalu mendarat sejauh
empat batang tombak dari tempat lawannya berdiri.
Sadar kalau lawannya memang memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, Pendekar Naga Putih segera menyedot napas
banyak-banyak. Ini dilakukan untuk mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, lapisan kabut bersinar putih
keperakan yang menyelimuti tubuhnya semakin melebar dan
berpendar menebarkan hawa dingin yang menggigit tulang.
Maka seketika orang-orang yang bertempur di dekatnya,
serentak berlari menghindar. Tentu saja, mereka tidak tahan
oleh hawa dingin yang terpancar keluar dari tubuh pendekar
muda yang digdaya itu.
Mata Iblis Perenggut Nyawa mau tak mau harus mengakui
kehebatan ilmu yang dimiliki pemuda itu. Terus terang, ia pun
semakin bertambah kagum terhadap Pendekar Naga Putih yang
ternyata memang bukan sebuah julukan kosong itu.
Bagaikan seekor naga yang murka, tubuh Panji bergerak
cepat menyerbu lawannya. Kedua tangannya yang berbentuk
cakar naga menyambar-nyambar menimbulkan desiran angin
yang mencicit tajam. Sepertinya, kali ini Pendekar Naga Putih
sudah tidak main-main lagi. Mau tak mau, lawannya harus
semakin waspada dalam menghadapi hujan serangan yang
mengancam nyawanya.
Makin lama serangan yang dilancarkan Pendekar Naga Putih
semakin ganas dan menggiriskan. Tubuhnya kadang-kadang
berkelebat menyerang tubuh bagian atas lawannya. Dan di lain
saat, juga sudah menukik turun dengan kecepatan meng-
getarkan. Serangannya tak ubahnya amukan seekor naga murka.
Maka, tokoh sakti seperti Mata Iblis Perenggut Nyawa sempat
juga dibuat bergetar, ngeri oleh amukan pendekar muda itu.
“Hiyaaa...!”
Dibarengi teriakan nyaring yang disertai pengerahan ilmu
'Pekikan Naga Marah', tubuh Panji yang tengah berada di udara
tiba-tiba menukik cepat dan langsung melancarkan serangan.
Dikerahkannya jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang
merupakan jurus terakhir dari rangkaian 'Ilmu Naga Sakti' yang
dimilikinya.
Plakkk! Desss! Brettt!
“Aaargh...!”
Mata Iblis Perenggut Nyawa meraung dahsyat merobek
angkasa yang pekat. Meskipun berhasil menangkis serangan,
namun tetap saja tubuhnya terkena cakaran dan hantaman
telapak tangan Pendekar Naga Putih yang berkekuatan dahsyat!
Tubuh tinggi besar itu terlempar disertai percikan darah yang
keluar dari luka di dadanya yang memanjang dan cukup dalam
akibat cakar naga lawannya.
Mata Iblis Perenggut Nyawa terbanting keras menimbulkan
suara berdebuk nyaring. Tubuhnya tampak menggigil hebat
akibat hawa dingin yang merasuk ke tubuhnya. Wajahnya
terlihat agak membiru dan cairan merah tampak menetes keluar
dari sela-sela bibirnya. Pukulan yang dilancarkan Pendekar
Naga Putih ternyata telah membuat luka dalam di tubuhnya.
Dan kini manusia iblis itu tak mampu bangkit! Dia tergeletak
dengan napas terengah-engah. Sepasang matanya bahkan mem-
belalak lebar.
Sedangkan empat orang berseragam hitam yang merupakan
pengawal-pengawal Mata Iblis Perenggut Nyawa, sudah ter-
geletak dengan tubuh mandi darah akibat amukan prajurit
kerajaan yang dipimpin dua orang perwira gagah yang ternyata
berkepandaian tinggi itu.
Panji menarik napas lega melihat keadaan sudah dikuasai
pihaknya. Setelah menotok lumpuh musuhnya yang belum
tewas itu, Pendekar Naga Putih bergegas melangkah ke arah
Kenanga, Balira, dan Lunjita yang tengah mengeroyok serigala
siluman.
Pendekar Naga Putih yang semula berniat hendak mem-
bantu, mengurungkan niatnya. Pada kenyataannya, tampak
ketiga orang itu sudah hampir menyelesaikan pertarungan yang
melelahkan.
“Hiaaat..!”
Kenanga, Balira, dan Lunjita serentak berteriak nyaring dan
melompat menusukkan senjata secara berbarengan pada saat
binatang siluman itu tengah melompat menerjang salah seorang
dari mereka.
Serigala siluman yang mengerikan itu langsung menguik dan
melolong panjang ketika tiga batang senjata telah memanggang
tubuhnya di tiga tempat. Hampir bersamaan, ketiganya men-
cabut senjata masing-masing untuk kemudian dibacokkan ke
tubuh serigala itu. Darah seketika berhamburan ketika tubuh
binatang yang ditakuti itu terbelah menjadi tiga bagian!
Tiga pendekar muda itu memandangi mayat serigala siluman
dengan tarikan napas lega. Setelah pertarungan selesai, mereka
baru merasa lelah. Terus terang, mereka bergidik ngeri
membayangkan apa jadinya jika menghadapi binatang siluman
itu seorang diri. Sedangkan dengan keroyokan saja, mereka
baru dapat membunuh binatang itu setelah bertarung lebih dari
lima puluh jurus! Benar-benar binatang yang luar biasa!
“Hei, Balira! Apakah kau masih mengenali orang ini?” seru
Panji yang saat itu tengah berdiri memandangi mayat-mayat
yang baru saja dikeluarkan dari rumah penginapan.
“Hei!? Bukankah orang-orang ini yang mengeroyok dan
menyiksaku di dekat aliran sungai beberapa hari yang lalu!” seru
Balira sambil memandangi mayat orang-orang yang pemah
mengeroyoknya, di antara mayat yang berjumlah kurang lebih
tiga puluh orang.
“Aku tahu sekarang!” kata Balira sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. “Mereka sengaja memfitnahku untuk
menghilangkan jejak. Dan aku yakin, orang-orang ini pasti
mempunyai hubungan dengan pembunuh yang selalu membawa
serigala siluman itu. Betul kan?”
“Benar! Mereka memang anak buah pembunuh itu yang
rupanya telah menyusup ke kotaraja dan berbaur dengan para
tokoh persilatan yang hendak mengikuti ujian,” yang menyahuti
kali ini adalah perwira tinggi tegap berwatak berangasan namun
berhati jujur. Dia adalah perwira yang pernah dikalahkan Panji
belum lama ini
***
SEMBILAN
“Menurut dugaan Paman Perwira, kira-kira apa yang
menyebabkan mereka melakukan kekacauan ini?” tanya Panji
yang sudah menyebut perwira itu dengan panggilan 'paman'
atas kehendak perwira itu sendiri.
Saat itu, Pendekar Naga Putih, Kenanga, Balira, dan Lunjita
memang sudah berkumpul di dekat bekas arena pertempuran.
Mereka dikelilingi dua orang perwira dan beberapa prajurit
yang tersisa.
Sementara, tokoh-tokoh persilatan yang bertarung di rumah
penginapan sudah pula berkumpul di situ. Mereka tampak
berbincang-bincang satu sama lain.
“Hm.... Menurut keterangan beberapa orang tawanan yang
kami paksa berbicara, mereka mengaku sebagai murid
Perguruan Harimau Hitam. Sedangkan empat orang ber-
seragam hitam itu adalah pemimpin mereka di empat penjuru
yang bekerja sama untuk melakukan kekacauan ini. Mungkin
karena merasa kurang yakin, lalu mereka mengundang tokoh
sesat berjuluk Mata Iblis Perenggut Nyawa yang telah kau
pecundangi itu, Panji,” jelas perwira tinggi gagah itu.
“Tapi, apa yang menjadi tujuan utama mereka?” selak Balira
yang jadi tidak sabar ketika perwira itu menghentikan
ceritanya.
“Keempat pemimpin Perguruan Harimau Hitam itu
meminta pertolongan kepada paman guru mereka, yaitu Mata
Iblis Perenggut Nyawa untuk melakukan kekacauan. Tokoh
sesat itu kemudian membunuhi tokoh-tokoh persilatan yang
datang untuk mengikuti ujian. Dengan kepandaian yang
dimiliki tokoh sesat itu, pekerjaan mereka akan menjadi lebih
mudah. Iblis itu memang dapat melakukan pembunuhan secara
gelap dan tanpa kesulitan. Sedangkan tujuan mereka sudah
jelas, agar para peserta ujian menjadi ketakutan dan segera
meninggalkan kotaraja tanpa berani kembali. Dengan demikian,
maka hanya murid-murid Perguruan Harimau Hitam itulah
yang akan mengikuti ujian calon perwira. Dan jika sudah men-
jadi perwira di kerajaan ini, maka akan semakin kuatlah
kedudukan serta pengaruh perguruan mereka. Untunglah kita
telah dapat menggagalkan rencana mereka. Sungguh aku tidak
bisa membayangkan, apa jadinya kelak apabila Kerajaan Baru
Jajar dikuasai tokoh-tokoh sesat yang kejam seperti mereka.
Aku merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu, Pendekar
Naga Putih. Tanpa bantuanmu, aku rasa belum tentu kejahatan
ini dapat dibongkar,” jelas perwira itu. Matanya memandang
Panji penuh rasa terima kasih.
“Ah! Tanpa bantuan yang lain, apa artinya kepandaianku,
Paman Perwira,” elak Panji merendah, sehingga membuat si
perwira semakin bertambah kagum.
“Dengan jasa kalian yang besar ini, aku dapat memohonkan
jabatan kepada kalian tanpa harus melalui ujian. Bagaimana?”
tanya perwira itu sambil memandang Panji, Balira, dan Lunjita
bergantian.
“Terima kasih, Paman Perwira. Rasanya aku lebih suka
hidup bebas tanpa harus terikat,” ucap Panji, menolak jabatan
yang disodorkan perwira bertubuh tinggi dan gagah yang
berwatak jujur itu.
Ada terbersit sinar kekecewaan di mata perwira itu. Tapi
dia cukup memahami. Memang sebagai pendekar pengembara,
jarang ada yang bersedia terikat oleh aturan-aturan kerajaan.
“Karena urusan ini sudah selesai, maka kami mohon pamit,”
kata Panji sambil memegang lengan Kenanga yang sejak tadi
hanya mendengarkan pembicaraan itu
Setelah berpamitan kepada Balira dan Lunjita, maka kedua
orang pendekar muda itu bergegas meninggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih!” cegah perwira satu-
nya lagi yang memiliki wajah gagah dan berwatak harus
menahan langkah Panji dan Kenanga.
Panji seketika menahan langkahnya, dan menoleh ke arah
perwira yang tengah berdiri di dekat tubuh Mata Iblis
Perenggut Nyawa yang masih tertotok lumpuh. Bergegas
pemuda itu menghampiri bersama kekasihnya.
“Bagaimana dengan tokoh sesat ini? Aku khawatir setelah
sembuh nanti, dia akan mudah meloloskan diri dari tahanan.
Karena selain memiliki kepandaian tinggi, tokoh ini juga
memiliki ilmu hitam yang mengerikan,” kata perwira gagah
berwatak lembut, meminta pendapat Pendekar Naga Putih.
“Bagaimana kalau kita lenyapkan saja kepandaiannya, Paman
Perwira?” sahut Panji setelah termenung beberapa saat lama-
nya.
Ketika pemuda itu melihat si perwira mengangguk, maka
Pendekar Naga Putih menghantamkan sisi telapak tangannya
pada kedua jalan darah besar yang terletak pada kedua bahu
tokoh sesat itu. Seketika terdengar teriakan kesakitan dari
mulut tokoh itu, yang kemudian pingsan akibat kelumpuhan
pada kedua lengannya.
“Nah! Sekarang, dia tidak mungkin dapat mempergunakan
kepandaiannya lagi. Sebab sedikit saja tenaga dalamnya di-
kerahkan, maka seketika itu juga dia akan tewas dengan rasa
sakit yang hebat. Maka dengan demikian, ilmu hitamnya juga
tidak berguna lagi. Karena, ilmu itu harus disertai pengerahan
tenaga dalam,” jelas Pendekar Naga Putih.
Setelah menyelesaikan persoalan itu, maka kedua pendekar
itu langsung melesat pergi meninggalkan kotaraja.
Setelah kepergian Panji dan Kenanga, Balira dan Lunjita
segera minta diri kepada kedua orang perwira kerajaan yang
baik hati itu.
“Baiklah, Balira, Lunjita. Dan kalau suatu hari nanti kalian
berniat untuck mengabdikan diri kepada kerajaan, temuilah
kami berdua. Jangan ragu-ragu,” pesan perwira tinggi tegap
berwatak berangasan itu.
“Baik, Paman Perwira. Sekarang kami mohon diri,” pinta
Balira dan Lunjita seraya mengangguk hormat kepada kedua
perwira itu.
Kemudian keduanya pun melesat meninggalkan tempat itu
diiringi pandangan mata kedua perwira Kerajaan Batu Jajar.
***
Kita berpisah di sini saja, Kakang Balira. Aku akan
mengambil jalan ke arah Selatan,” pamit Lunjita tiba-tiba,
ketika keduanya telah jauh meninggalkan gerbang kotaraja.
Saat itu mereka tengah menyusuri daerah yang di kiri-
kanannya terdapat hamparan sawah yang luas.
“Mengapa, Adi Lunjita? Apakah kau tidak suka jalan
bersamaku? Kau hendak ke mana?” desak Balira.
Pemuda gagah itu langsung menoleh ke arah Lunjita dengan
wajah berubah karena merasa terkejut mendengar ucapan
sahabatnya.
“Mmm.... Aku sudah memutuskan untuk kembali ke
perguruan. Rasanya, sudah tidak ada keinginan lagi untuk
melihat keramaian atau melakukan pengembaraan. Setelah
mengalami peristiwa-peristiwa itu, baru kusadari kalau
kepandaian yang kumiliki masih sangat rendah. Dan aku harus
berlatih lebih giat lagi untuk menyempurnakan ilmu-ilmuku.
Kau sendiri hendak ke mana, Kakang?” tanya Lunjita yang
merasa heran melihat perubahan wajah sahabatnya itu.
Balira mengalihkan pandangannya ke langit cerah membiru.
Jelas sekali kalau hatinya merasa berat berpisah dengan pemuda
sahabatnya itu. Sepasang matanya menerawang jauh ke depan
dengan tatapan hampa.
“Kau kenapa, Kakang? Apakah kau sakit?” tanya Lunjita
seraya menatap wajah pemuda gagah itu dengan hati cemas.
Dipegangnya lengan pemuda itu, disertai tatapan menyelidik.
Mendengar pertanyaan yang bernada penuh kekhawatiran
itu, Balira menolehkan kepalanya dan memandang sayu ke arah
Lunjita. Tangan kanannya bergerak memegang tangan sahabat-
nya yang masih menggenggam lengan kirinya.
“Setelah semua kejadian yang kita alami bersama-sama ini,
haruskah kita berpisah, Lunjita?” tanya Balira.
Suara pemuda gagah itu terdengar bergetar. Sedangkan
tangan kanannya sudah menggenggam jemari tangan Lunjita
dengan hangat. Tatapan matanya pun sayu, menyiratkan sinar
aneh yang membuat sahabatnya terkejut.
“Apa..., apa maksudmu, Kakang Balira...?” desak Lunjita
sambil menarik tangannya yang digenggam Balira. Nada
suaranya terdengar ketus dan agak bergetar.
Pemuda tampan berkulit halus itu tersentak mundur dengan
wajah agak memucat. Hatinya benar-benar terkejut melihat
perubahan sikap Balira terhadap dirinya.
“Apakah..., kau..., kau....”
Lunjita melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk-
nya ke wajah sahabatnya dengan bibir bergetar. Wajah tampan
itu semakin pucat begitu mulai dapat menduga, apa yang
membuat pemuda gagah itu tiba-tiba bersikap aneh.
“Maafkan aku, Adi Lunjita,” ucap Balira yang merasa
lidahnya kelu untuk menyebutkan nama sahabat yang rahasianya
telah diketahui itu. “Aku... tidak sengaja melakukannya. Aku
sungguh tidak sengaja melakukannya. Aku baru mengetahui
kalau kau sebenarnya seorang wanita pada saat berniat
mengobati lukamu yang cukup parah beberapa waktu yang lalu.
Maafkan aku....”
Balira menundukkan wajahnya, tidak berani menentang
pandang mata sahabatnya.
“Kurang ajar...!” seru Lunjita di antara isak tangisnya.
Jelas, dia merasa malu karena rahasianya telah diketahui
Balira. Selebar wajahnya menjadi merah teringat apa yang telah
dilakukan pemuda itu di saat dirinya pingsan.
Plakkk!
Balira mengeluh pendek ketika tahu-tahu saja telapak tangan
sahabatnya mendarat di wajahnya. Tubuh pemuda itu ter-
pelanting karena dalam kemarahannya, Lunjita telah mengerah-
kan tenaga dalam saat melakukan tamparan keras tadi. Darah
langsung menetes dari sudut bibirnya. Pemuda gagah itu
bergerak bangkit tanpa berani mengangkat wajahnya yang sudah
pucat itu.
“Hukumlah aku kalau memang perbuatanku yang terdorong
rasa cemas akan keselamatanmu itu kau anggap salah,” kata
Balira.
Pemuda gagah itu segera mengangkat kepalanya dan
menatap wajah Lunjita dengan perasaan cinta yang dalam dan
tulus. Hatinya terasa pedih melihat wajah sahabatnya yang telah
dibasahi air mata.
Lunjita jatuh terduduk dan menutup wajahnya dengan
kedua telapak tangan. Bahu 'pemuda' itu berguncang-guncang
menahan tangis. Dari sela-sela jari tangannya tampak mengalir
air bening.
Hati Balira semakin dilanda rasa bersalah, ketika melihat
akibat perbuatannya yang tanpa sengaja telah menimbulkan
kedukaan hebat dalam diri sahabatnya. Terdorong rasa cintanya
yang dalam, pemuda gagah itu melangkah menghampiri Lunjita
yang sebenarnya adalah seorang gadis. Balira menduga,
mengapa gadis itu melakukan penyamaran. Ini dilakukannya
agar perjalanannya akan lebih aman dan tidak perlu merasa
khawatir diganggu orang-orang jahat. Berbeda apabila ia
melakukan perjalanan sebagai seorang wanita yang sudah pasti
akan menarik perhatian.
Setelah tangisnya agak mereda, mendadak Lunjita bangkit
sambil menghapus air matanya. Ditatapnya dalam-dalam wajah
Balira yang masih berdiri tegak di depannya. Ia sempat tertegun
melihat betapa pucat dan sedihnya wajah pemuda gagah itu.
“Sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa itu. Maafkan atas
kekasaranku tadi”
Sesudah berkata demikian, Lunjita membalikkan tubuhnya
dan melangkah meninggalkan tempat itu.
“Lunjita, tunggu...!” cegah Balira sambil melompat dan
menangkap tangan sahabatnya itu.
“Ada apa lagi? Mengapa kau menahanku?” tanya Lunjita
tanpa membalikkan tubuhnya. Dengan gerakan perlahan,
cekalan tangan Balira pada lengannya dilepaskan.
“Lunjita, atau siapa pun kau sebenarnya. Aku..., aku
mencintaimu.”
Akhirnya keluar juga pengakuan itu dari mulut Balira.
Suaranya demikian lirih, bahkan hampir tidak terdengar.
Tubuh gadis yang menyamar sebagai laki-laki itu bergetar
begitu mendengar pengakuan Balira. Dadanya bergelombang
menahan sedu-sedan yang terasa menyesakkan dadanya.
Balira melangkah perlahan dan berdiri di hadapan gadis itu
yang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Pemuda gagah itu
memberanikan diri mengulurkan tangannya, memegang kedua
bahu yang masih terguncang lembut
“Aku menunggu keputusanmu,” desah pemuda gagah itu
dengan suara bergetar penuh ketegangan. “Jawablah. Aku akan
menerimanya meskipun keputusan itu adalah sesuatu yang
menyakitkan.”
Gadis yang masih dalam keadaan menyamar itu mengangkat
kepalanya lambat-lambat. Sepasang mata indah yang dibasahi
genangan air mata itu menatap sayu mengungkapkan perasaan
hatinya. Hati Balira berdebar melihat sinar mata yang berbicara
tanpa kata itu. Tanpa perasaan ragu lagi, pemuda gagah itu
menarik tubuh Lunjita dengan gerakan perlahan.
Bukan main gembiranya hati Balira ketika tidak merasakan
adanya perlawanan dari gadis itu. Dipeluknya tubuh gadis itu
penuh kehangatan dan kasih sayang.
“Ahhhh... Betapa bahagianya hatiku,” bisik Balira yang
semakin mempererat pelukannya.
“Kakang! Tentunya kau bertanya-tanya, mengapa aku
melakukan penyamaran, bukan?” tiba-tiba Lunjita seperti
membuat pengakuan.
Balira langsung menjauhkan wajahnya, dari wajah Lunjita.
Ditatapnya dalam-dalam wajah gadis itu.
“Sebenarnya, namaku Lestari. Aku berniat ingin ikut ujian
calon perwira. Dan karena ujian itu untuk kaum laki-laki, maka
aku menyamar sebagai laki-laki. Tapi sebelum ujian ber-
langsung, aku telah terluka oleh empat orang berseragam hitam
itu. Dan sebenarnya, aku mengikuti ujian itu hanya untuk
menguji ilmu-ilmu yang kumiliki. Namun ternyata, aku belum
berarti apa-apa,” jelas Lunjita yang ternyata bernama Lestari
itu.
“Ah, sudahlah. Apa pun alasanmu, kau tetap seorang gadis.
Dan yang penting sekarang, perdalamlah ilmu-ilmumu. Suatu
saat nanti, kita juga harus menjadi pendekar sejati seperti
Pendekar Naga Putih dan Kenanga.”
Lestari tersenyum. Seketika dipeluknya Balira kembali. Dan
ini membuat hati pemuda itu gembira.
Hembusan angin bersilir lembut, menyirami bunga-bunga
cinta yang semakin mekar di hati kedua insan yang bahagia itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar