GENDRUWO RIMBA DANDARA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Gendruwo Rimba Dandara
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
"Hiii...!"
Terdengar lengkingan tinggi menusuk telinga, seiring dengan terlihatnya titik-titik
kecil bergerak di keremangan senja itu. Semakin dekat makin terlihat jelas. Titik-titik kecil
yang bergerak cepat itu adalah sosok-sosok tubuh kerdil yang hanya mengenakan cawat
sebagai penutup tubuhnya. Kepala mereka gundul pelontos, berkilat tertimpa cahaya
bulan yang mulai muncul di langit kelam. Sosok-sosok tubuh aneh dan tidak lumrah!
Beberapa waktu kemudian, sosok-sosok kerdil itu menghentikan larinya di depan
sebuah bangunan perguruan. Bangunan itu berdiri tegak diselimuti kegelapan malam.
Pada bagian sudut bangunan terlihat cahaya samar yang berasal dari obor di dinding kayu.
Selebihnya gelap, hanya diterangi cahaya bulan.
Setelah beberapa saat memperhatikan sosok bangunan itu, tubuh-tubuh kerdil itu
bergerak mendekat. Cara mereka mendekati bangunan tampak aneh dan tidak wajar. Satu
persatu bergerak maju berurutan, membentuk barisan yang agak panjang. Karena jumlah
mereka kurang lebih tiga belas orang. Dan...
Hebat dan aneh sekali cara tubuh-tubuh kerdil itu memasuki bangunan! Mereka
berloncatan dengan menggunakan tubuh kawannya sebagai landasan. Sosok pertama yang
tiba lebih dulu di atas pagar bangunan menangkap kedua pergelangan kaki kawannya.
Gerakan itu terus dilakukan secara berurutan sampai pada giliran terakhir. Sosok kerdil
yang berada paling bawah dilemparkan ke atas!
"Hiii...!"
Terdengar lengkingannya yang panjang dan mendirikan bulu roma. Sosok kerdil itu
berjumpalitan dan meluncur turun dengan ringan di halaman sebelah dalam bangunan
perguruan. Begitu mereka lanjutkan sampai ketiga belas manusia kerdil itu dapat
memasuki tempat itu dengan selamat.
Tubuh-tubuh kerdil dengan kulit hitam dan sinar mata mencorong tajam
menggetarkan melangkah tenang melewati pekarangan yang tampak sepi. Suasana di
dalam bangunan agak terang oleh cahaya obor yang terdapat di beberapa buah tiang.
Kelihatannya penghuni bangunan itu sengaja menempatkan obor agak banyak untuk
menerangi sekitar tempat itu.
"Hei...?!"
Belum lagi ketiga belas manusia kerdil tiba di depan pintu bangunan utama, tiba-
tiba terdengar bentakan. Disusul dengan munculnya murid-murid perguruan. Rupanya
mereka murid-murid yang tengah meronda. Jumlah mereka enam orang. Dua di antaranya
membawa obor.
Kemunculan enam orang murid perguruan tidak membuat sosok-sosok kerdil itu
terkejut. Kendati langkah mereka terhenti, namun sikap orang-orang cebol itu tetap
tenang, bagai orang yang tidak bersalah. Bahkan menyiratkan kesan dingin dan
meremehkan keenam peronda itu.
"Anak-anak... siapa kalian? Mengapa bermain di tempat ini...?" tegur pemimpin
peronda merendahkan suaranya.
Ketiga belas sosok kerdil itu memang seperti bocah-bocah tanggung, berusia
sepuluh tahun. Hanya saja sikap maupun cara berpakaian mereka jauh berbeda dengan
anak-anak seusianya. Sikap dan pandangan mereka sangat aneh, mengundang rasa seram
bagi yang melihatnya. Perasaan itu juga dialami keenam murid-murid perguruan yang
tengah meronda dan memergoki bocah-bocah aneh itu.
Pimpinan ronda malam itu, yang bertubuh tegap dan berdada, bidang, tampak
menunggu jawaban bocah-bocah aneh itu. Tapi sudah cukup lama menunggu, tak satu
pun dari ketiga belas bocah itu kelihatan akan menjawab. Sepertinya mereka tidak berniat
menjawab pertanyaan itu.
"Hei, apakah kalian tuli?" karena tidak sabar, lelaki tegap berdada bidang itu
berkata setengah membentak "Hayo, kalian pergi dari sini! Tidak baik anak-anak seusia
kalian bermain di malam selarut ini...."
Tapi, untuk kedua kalinya para peronda itu kembali dibuat jengkel. Selain tidak
memperoleh tanggapan, sikap bocah-bocah aneh itu pun membuat bulu tengkuk mereka
meremang. Ketiga belas pasang mata itu menatap wajah-wajah para peronda dengan
tatapan dingin dan sorot mata kehijauan. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan!
"Eh...?! Mungkinkah mereka bocah-bocah keturunan setan yang tersesat..?!" desis
lelaki tegap melangkah mundur dengan wajah berubah tegang. Rupanya ia baru menyadari
keanehan bocah-bocah itu setelah melihat sinar kehijauan pada mata mereka.
"Sebaiknya kita usir saja mereka dari tempat ini, Kakang. Aku merasa seram
melihat sinar mata mereka yang aneh dan tidak lumrah itu...," salah seorang peronda
berbisik kepada pimpinannya. Orang itu rupanya merasakan juga adanya ketidakwajaran
pada bocah-bocah berkulit hitam yang hanya mengenakan cawat itu.
"Ya, terpaksa aku harus bersikap agak kasar pada bocah-bocah aneh itu...," sahut
lelaki tegap. Kemudian melangkah maju sambil melintangkan tombak di tangannya.
Agaknya ia hendak mendorong keluar bocah-bocah ftu dengan gagang tombaknya. Tapi,
apa yang dialami oleh pemimpin peronda itu membuat yang lainnya tercengang dengan
mata melotot seperti hendak keluar! Tubuh bocah-bocah itu tidak bergerak, meski lelaki
tegap itu telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong mereka!
"Uuuhhh...!"
Merasa penasaran dan menganggap hal itu mustahil, lelaki tegap itu kembali
mengerahkan tenaganya sampai terdengar suara ah-uh dari mulutnya. Wajahnya tampak
dibanjiri keringat!
Apa yang terjadi selanjutnya lebih sukar lagi untuk diterima akal. Salah seorang
bocah aneh, yang berdiri paling depan, mengulurkan tangannya memegang batang
tombak. Kemudian mengangkatnya ke atas. Perbuatan itu kelihatan tidak sulit dan tanpa
pengerahan tenaga sedikit pun. Akibatnya benar-benar menakjubkan!
"Heiii...?!"
Lelaki tegap itu berteriak kaget merasakan kedua kakinya tidak lagi menginjak
tanah! Tubuhnya terangkat dan mengambang di udara. Karuan saja ia berteriak-teriak
ketakutan. Kejadian itu sangat mengejutkan dan sulit dipercaya!
Tapi sebelum lelaki tegap berdada bidang dan kawan-kawannya menyadari
sepenuhnya kejadian itu, tiba-tiba....
"Hiii...!"
Diiringi lengkingan tinggi yang aneh, bocah mengerikan itu mengayun tangannya
melemparkan tubuh yang tengah diangkatnya.
"Aaa...!"
Sebenarnya lelaki tegap itu bukanlah seorang penakut. Tapi karena kejadiannya
terlalu mengejutkan, teriakannya pun terdengar saat tubuhnya melayang dan jatuh
menimpa kelima orang kawannya. Sehingga, keenam peronda itu jatuh terjerembab saling
tumpang tindih!
"Bangsat! Bocah keparat..! Iblis gundul...!"
Lelaki tegap itu memaki geram! Sumpah serapahnya meluncur karena kemarahan
yang menggumpal di dadanya. Ia bangkit dengan wajah terbakar! Sepasang matanya
menyala murka dan dendam!
"Kita hajar saja bocah-bocah kurang ajar itu, Kakang! Kalau sudah begini, kita
tidak bisa mendiamkan saja!" geram peronda lainnya yang sudah mengepalkan tinju, dan
siap menghajar bocah-bocah aneh itu.
Tanpa peduli kalau yang diserangnya bocah-bocah berusia sepuluh tahun, seorang
peronda melancarkan kepalanya ke tubuh bocah terdepan.
Bukkk!
"Aaakh...?!"
Kepalan itu tepat menghantam dada. Tapi, yang terjadi kemudian benar-benar
membuat peronda itu terkejut bukan main. Tubuh bocah itu sedikit pun tidak bergeming.
Kepalannya seperti menghantam besi! Karuan saja peronda bertubuh gemuk itu menjerit
kesakitan!
"Bocah iblis...!"
"Anak setan..?!"
Setelah kejadian itu, barulah keenam peronda itu sadar bocah-bocah yang tengah
mereka hadapi bukan hanya berpenampilan aneh dan mengerikan! Mereka ternyata
memiliki kekuatan yang hampir tidak masuk akal! Bocah-bocah gundul berkulit hitam itu
bukan anak-anak sembarangan. Kemungkinan besar mereka anak-anak siluman atau
sebangsanya yang kesasar ke tempat itu. Anehnya, bocah-bocah itu tidak bergerak ketika
diserang. Mereka tetap diam seperti patung.
"Pukul tanda bahaya! Yang lainnya ikut aku menangkap bocah-bocah setan itu...!"
perintah lelaki tegap berdada bidang kepada kawan-kawannya. Kemudian bergerak maju
memimpin empat orang kawannya untuk meringkus bocah-bocah aneh itu. Tapi sebelum
murid-murid perguruan memulai serangannya, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar diiringi hembusan angin keras hingga kelima
murid perguruan itu terjajar mundur! Dan ketika suara tawa itu masih terus
berkepanjangan, mereka terguling jatuh. Suara tawa itu berisi serangan tenaga dalam yang
hebat! Sehingga mereka tidak sanggup mempertahankan diri. Untungnya tidak berapa
lama kemudian, suara tawa itu lenyap secara mendadak. Kalau tidak, kelima murid
perguruan itu pasti tidak akan sanggup bertahan, dan terpaksa harus merelakan
nyawanya terbang ke alam baka.
Sesaat setelah tawa yang menggetarkan itu lenyap, angin berhembus semakin
keras. Disusul dengan melayangnya sesosok bayangan hitam. Sosok itu meluncur turun
beberapa langkah di depan bocah-bocah aneh itu.
Lima orang murid perguruan yang tengah merangkak bangkit dengan wajah pucat
menatap heran. Ketiga belas bocah menyeramkan itu tampak membungkukkan tubuh
dengan penuh hormat kepada bayangan yang baru tiba.
"Hm...."
Sosok bayangan hitam itu ternyata seorang lelaki gemuk pendek dengan kepala
gundul mengkilat, terkena cahaya obor. Raut wajahnya tidak lumrah. Kendati terlihat
seperti wajah seorang bocah, namun jelas lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun.
Sungguh tidak sepadan dengan suara tawanya yang berat dan parau, la mendengus
sebagai balasan atas penghormatan bocah-bocah aneh itu.
"Sssiapa..., kau...?" tanya lelaki tegap menatap penuh selidik. Akhirnya ia menyerah
karena sepanjang hidupnya belum pernah berjumpa dengan sosok lelaki gemuk berkepala
gundul pelontos itu.
"Hm.... Cecunguk-cecunguk seperrimu tidak pantas mengenai aku! Sebaiknya lekas
kau beritahu Ki Parwana! Katakan kalau Gendruwo Rimba Dandara hendak menagih
hutang sepuluh tahun yang lalu...!" ujar lelaki gemuk pendek dengan suara berat dan
dalam. Sinar matanya yang kehijauan tampak sangat berpengaruh, membuat lelaki tegap
tanpa sadar menganggukkan kepala.
"Kakang, untuk apa mengikuti ucapan manusia jelek itu? Sebaiknya kita hajar saja
dan usir dari tempat ini...!" seorang kawannya mengingatkan lelaki tegap berdada bidang.
Sehingga, pengaruh yang menguasai pikirannya lenyap seketika. Ia kembali sadar seperti
sediakala.
"Kurang ajar...! Iblis gundul itu pasti menggunakan ilmu siluman untuk
mempengaruhi pikiranku...!" geram lelaki tegap berdada bidang marah.
"Hm...!"
Mendengar ucapan itu, Gendruwo Rimba Dandara mendengus kasar. Entah siapa
yang memberikan julukan demikian seram kepada lelaki berkepala gundul itu. Sebab,
seharusnya julukan itu dimiliki oleh seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk yang
menyeramkan. Tidak seperti sosok lelaki itu, yang pendek gemuk dan berkepala botak.
Tanpa berkata apa-apa, lelaki gundul itu maju dengan langkah perlahan. Tatapan
matanya yang bersinar kehijauan memandang lurus lima orang murid perguruan yang kini
telah meloloskan pedang. Tampaknya mereka telah siap menghadapi Gendruwo Rimba
Dandara.
"Kemari kau...!" ujar Gendruwo Rimba Dandara kepada lelaki tegap yang tadi
memakinya. Tangannya terjulur dan berangkat sejajar dengan wajahnya. Suaranya hanya
perlahan, namun mengandung kekuatan aneh yang sulit dilawan!
Tampak, lelaki tegap berdada bidang itu melangkah maju mematuhi perintah
Gendruwo Rimba Dandara. Sikapnya sepera kerbau dicucuk hidungnya.
"Kau telah berkata kurang ajar kepada Gendruwo Rimba Dandara! Sebagai
hukumannya, goroklah lehermu sendiri...!" kembali suara dingin berkekuatan aneh itu
terdengar.
"Aaah...?!"
Empat orang kawan lelaki tegap berseru kaget! Pemimpinnya hendak mematuhi
perintah Gendruwo Rimba Dandara!
"Lakukan...!"
Dengan perlahan, lelaki tegap berdada bidang mengangkat pedangnya dan
menempelkan di tenggo-rokan. Kemudian....
Srattt...!
Darah segar mengucur deras dari luka memanjang di lehernya. Tubuh lelaki tegap
melorot jatuh. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga!
"Iblis...?!"
Keempat orang lawannya terpekik dengan wajah terlihat pucat! Mereka sungguh
tidak menyangka pemimpinnya akan mematuhi segala perintah Gendruwo Rimba Dandara.
Karuan saja mereka menjadi gentar. Sebab, bukan mustahil mereka akan menjadi korban
berikut dari lelaki gemuk berkepala gundul pelontos itu.
"Berhenti...!"
Gendruwo Rimba Dandara berkata mencegah ketika keempat orang peronda
hendak meninggalkan tempat itu. Langkah mereka seketika tertunda, seperti tertahan oleh
suatu kekuatan yang tidak nampak. Kenyataan itu membuat hati mereka menjadi takut
bukan main!
"Kembali...!"
Bagai pesuruh-pesuruh yang patuh, keempat lelaki itu membalikkan tubuh. Dan
melangkah menghampiri Gendruwo Rimba Dandara.
"Sekarang angkat senjata kalian, dan lakukan perintahku untuk memenggal kepala
kalian masing-masing...!" suara aneh Gendruwo Rimba Dandara yang mengandung
pengaruh gaib kembali terdengar menggeletar.
Tanpa banyak tanya, keempat orang yang telah terpengaruh kekuatan gaib lelaki
gundul itu, segera menjambak rambutnya dan siap memenggal kepalanya sendiri.
"Tahan...!"
Sebelum keempat orang itu sempat melaksanakan perintah Gendruwo Rimba
Dandara, tiba-tiba terdengar bentakan keras yang mengejutkan. Keempat lelaki itu
tersentak kaget, dan terbelalak pucat saat menyadari ujung pedang mereka telah berada di
tengkuk masing-masing. Mereka tidak sadar kalau perbuatan itu terjadi karena pengaruh
kekuatan gaib Gendruwo Rimba Dandara.
Belum lagi suara bentakan itu lenyap, sesosok bayangan meluncur turun. Kedua
kakinya menjejak tanah di depan empat lelaki yang nyaris kehilangan kepala.
"Guru...."
Melihat siapa lelaki tinggi kurus itu, keempatnya langsung menekuk lutut bersujud
di hadapan gurunya. Lelaki tinggi kurus itu adalah Ki Parwana, Ketua Perguruan Kepalan
Sakti. Rupanya dia yang menyelamatkan nyawa murid-muridnya dari kematian yang
mengerikan!
"He he he...!"
Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan kekehnya yang parau ketika melihat
orang yang baru datang. Memang lelaki tinggi kurus itulah yang dicarinya.
Ki Parwana menatap sosok di depannya dengan pandangan penuh selidik.
Keningnya berkerut dalam pertanda ia tengah menguras ingatannya untuk mengenali
siapa lelaki gemuk pendek berkepala gundul itu.
"Siapakah kau, Kisanak? Apa maksudmu datang mengacau di tempatku ini...?"
tegur Ki Parwana setelah gagal untuk mengenali tamu tidak diundangnya itu.
"Guru, iblis itu mengaku berjuluk Gendruwo Rimba Dandara. Ia telah melakukan
pembunuhan keji tanpa sebab yang jelas...," lapor salah seorang dari keempat murid
Perguruan Kepalan Sakti.
"Gendruwo Rimba Dandara...?!" gumam Ki Parwana dengan kening berkerut
mengulang julukan itu. Kembali ia berpikir keras untuk mengingat julukan yang rasanya
tidak asing di telinganya. Sayang ia masih belum juga ingat di mana pernah mendengar
julukan itu.
"He he he...! Meskipun kau telah lupa kepadaku, tapi aku tidak akan melupakan
peristiwa sepuluh tahun silam di Bukit Mata Setan! Kau ingat apa yang terjadi di puncak
bukit itu, Parwana...?" ujar Gendruwo Rimba Dandara, memberikan gambaran untuk
membantu ingatan Ki Parwana.
"Aaah?! Aku bani mengingatnya sekarang!" ujar Ki Parwana agak tersentak. Tetapi
seingatku orang yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tidak sepertimu, Kisanak? Apa
hubunganmu dengan tokoh sesat itu? Kalau tidak salah, manusia sesat itu tinggal di
daerah utara. Apakah kau juga datang dari daerah itu...?"
"Hua ha ha...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Kepalanya mendongak menatap
langit kelam yang ditaburi gemintang. Entah apa yang membuatnya demikian gembira.
"Jadi kau benar-benar telah lupa padaku, Parwana? Baiklah. Itu bisa kumaklumi.
Wajah dan kepalaku memang telah berubah. Tapi, perlu kau ketahui aku adalah
Gendruwo Rimba Dandara yang sebenarnya...," jelas lelaki gundul itu.
"Tapi...?"
"Rambut, kumis, dan jenggotku telah rontok semua, Parwana. Semua itu karena
aku harus menyiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhku. Salah satu di antaranya
adalah kau. Jelasnya, perubahan ini karena ilmu yang sekarang kuanut dan kuyakini."
Ki Parwana kelihatan agak kaget mendengar penjelasan itu. Sekarang ia benar-
benar yakin lelaki gundul itu Gendruwo Rimba Dandara, musuh lama yang dianggapnya
telah tewas di dalam jurang. Ki Parwana sadar kalau kemunculan tokoh sesat itu tentu
ingin membalas dendam.
"Hm.... Jadi pekerjaan sepuluh tahun silam itu belum tuntas! Tidak kusangka kau
masih hidup meski terjatuh ke dalam jurang tak berdasar itu...," ujar Ki Parwana tidak
habis mengerti bagaimana manusia sesat itu dapat lolos dari kematian. Padahal menurut
perhitungan, tubuh Gendruwo Rimba Dandara remuk di dasar jurang berbatu cadas di
Bukit Mata Setan. Tapi, kenyataannya tokoh itu masih segar-bugar.
"He he he..! Pekerjaanmu tidak akan pernah selesai, Parwana! Sebentar lagi kau
akan menerima kematian sebagai balasan perbuatanmu sepuluh tahun silam. Kuharap
kau sudah mempersiapkan segala perlengkapan kematianmu..," ujar Gendruwo Rimba
Dandara dengan sombongnya. Tokoh sesat itu merasa yakin akan dapat menundukkan Ki
Parwana.
"Jangan mengumbar kesombongan dulu, Genderuwo Rimba Dandara! Mari kita
buktikan, siapa yang akan pergi ke neraka...!"
Selesai berkata, Ki Parwana menggeser mundur langkahnya. Dengan kedua tangan
terkepal di atas kepala dan di depan dada, lelaki tinggi kurus itu siap menghadapi lawan.
DUA
"He he he...!"
Gendruwo Rimba Dandara hanya tertawa. Diperintahkannya bocah-bocah aneh di
belakangnya untuk menjauh. Kemudian langkahnya digeser ke kanan. Sikapnya terlihat
demikian sombong, sedikit pun tidak menganggap Ki Parwana. Padahal di daerah selatan
nama Ketua Perguruan Kepalan Sakti sangat terkenal dan disegani kalangan persilatan.
Agak bangkit juga kemarahan Ki Parwana melihat sikap lawan yang jelas-jelas
sangat meremehkannya. Kendari ia sadar lawannya termasuk salah satu tokoh kaum
sesat, namun Ki Parwana telah meningkatkan ilmu-ilmunya. Ki Parwana yang sekarang
tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun silam. Tampaknya Gendruwo Rimba Dandara
tidak mengetahui hal itu.
"Mulailah, Gendruwo Rimba Dandara...!" ujar Ki Parwana memberi kesempatan
kepada lawan untuk mulai menyerang.
"He he he...! Sebagai tuan rumah, seharusnya kaulah yang lebih dulu memulainya,
Parwana. Silakan, kau kuberi kesempatan untuk menyerang sebanyak sepuluh jurus.
Setelah itu, kesempatan untukmu sudah habis. Kau tinggal menunggu datangnya
kematian...," tukas Gendruwo Rimba Dandara menolak. Ia mempersilakan Ki Parwana,
sebagai tuan rumah untuk memulainya.
"Kalau memang itu maumu, bersiaplah...," sahut Ki Parwana tidak ingin
berbantahan lagi. Dan...
"Haaat...!"
Disertai teriakan keras, Ki Parwana meluncur dengan kepalan-kepalannya yang
bergerak susul-menyusul. Angin pukulannya menandakan tenaga dalam lelaki tua itu
tidak bisa dipandang remeh!
Tapi, lagi-lagi Gendruwo Rimba Dandara memperdengarkan tawa mengejek.
Serangan hebat lawan sedikit pun tidak membuatnya gentar. Kesombongan tokoh sesat itu
ternyata memang bukan hanya lagak saja. Serangkaian serangan Ki Parwana dapat diatasi
dengan baik.
"Satu...!"
Gendruwo Rimba Dandara mulai menghitung serangan Ki Parwana. Rupanya tokoh
sesat itu memang hendak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang sampai
sepuluh jurus. Mungkin ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menahan serangan
Ki Parwana sampai jurus yang ditentukan.
Sikap tokoh sesat itu tentu saja membuat hari Ki Parwana panas. Sebisa mungkin
kemarahan yang menyesakkan dadanya ditahan, ia sadar kalau hal itu dibiarkan akan
membuatnya lengah. Maka meskipun Gendruwo Rimba Dandara terus melanjutkan
hitungannya, Ki Parwana berusaha untuk tidak peduli. Pikirannya tetap terpusat pada
serangan-serangannya.
"Tujuh...!"
Kembali terdengar suara hitungan Gendruwo Rimba Dandara. Sampai sejauh itu
serangan Ki Parwana dapat dipatahkannya. Gerakan tokoh sesat itu ternyata sangat gesit.
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Ki Parwana dapat dielakkan atau ditangkis. Hingga Ki
Parwana menjadi penasaran!
"Haaat...!"
Kali ini Ki Parwana mengerahkan seluruh kecepatan dan kekuatannya, ia tidak lagi
mempedulikan pertahanan dirinya. Hitungan Gendruwo Rimba Dandara membuat Ki
Parwana mengira ia tidak memerlukan pertahanan. Karena Gendruwo Rimba Dandara
hanya mengelak dan menangkis!
Bwet bwet bwettt...!
Serangkaian serangan yang mendatangkan angin menderu tajam datang
mengancam tubuh lawan. Demikian cepat gerakan Ki Parwana, hingga kedua lengannya
terlihat seperti banyak! Perubahan geraknya sukar ditebak. Dalam jurus-jurus terakhir itu
Gendruwo Rimba Dandara agak sibuk mengatasi serangan lawan. Tapi....
"Hiaaah...!"
Bukkk!
Tanpa disangka-sangka, Gendruwo Rimba Dandara melancarkan serangan balasan!
Karena pertahanan Ki Parwana sangat lemah, maka serangan itu telak bersarang di dada
Ketua Perguruan Kepalan Sakti!
"Hukh...!"
Tubuh Ki Parwana terhuyung mundur hampir satu tombak! Darah mengalir dari
sudut bibirnya. Pukulan Gendruwo Rimba Dandara mengguncangkan bagian dalam
dadanya.
"Keparat! Kau licik...!" desis Ki Parwana sambil menekan dadanya yang terasa
sesak. Lelaki tua itu kelihatan sangat geram. Kalau saja Ki Parwana tahu lawannya akan
membalas, tentu ia tidak akan melupakan pertahanan dirinya. Sehingga tidak kecolongan
seperti itu.
"He he he...!" Gendruwo Rimba Dandara tertawa serak. Sinar matanya berkilat
gembira karena berhasil memperdayai lawan, "Salahmu sendiri, Parwana. Bukankah aku
tidak berjanji tidak akan membalas seranganmu?" ujarnya penuh ejekan.
"Tapi, kau mengatakan akan memberiku kesempatan sebanyak sepuluh jurus...,"
tukas Ki Parwana terlambat menyadari dirinya telah terjebak tipuan lawannya.
"Benar, aku memang mengatakan demikian. Tapi, coba kau ingat baik-baik.
Apakah aku mengatakan tidak akan membalas seranganmu dalam sepuluh jurus...?"
bantah Gendruwo Rimba Dandara seraya memperdengarkan kekehnya yang parau dan
menyebalkan.
"Keparat licik...!" maki Ki Parwana tidak bisa membantah ucapan Gendruwo Rimba
Dandara. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri yang mau saja dibodohi tokoh sesat
itu.
"Guru...!"
Tiga orang murid utama Ki Parwana menghampiri dengan wajah cemas. Namun,
ketiganya melangkah mundur ketika melihat tangan gurunya bergerak mengusirnya.
Mereka hanya dapat menatap dari tempat yang agak jauh dengan wajah gelisah.
Sementara murid-murid Perguruan Kepalan Sakti yang berjumlah sekitar lima
puluh orang sudah menggenggam senjata erat-erat. Mereka siap mengeroyok Gendruwo
Rimba Dandara jika tadi Ki Parwana tidak segera memberi isyarat mundur dan jangan
mencampuri perkelahian itu.
Ki Parwana segera mengatur jalan napas dan mengerahkan hawa murni untuk
menekan rasa nyeri di dalam dadanya. Kemudian mengempos semangatnya dengan
tarikan napas yang panjang dan berat. Setelah merasa luka itu tidak lagi terlalu
mengganggu, lelaki tua itu kembali menyiapkan jurus-jurusnya.
Tapi, untuk kali ini Gendruwo Rimba Dandara tidak lagi tinggal diam. Mendadak
tokoh sesat itu menyilangkan kedua lengannya di depan dada dengan mata terpejam rapat-
rapat. Kemudian....
"Hah...!"
Dengan bentakan keras, Gendruwo Rimba Dandara mengibaskan lengannya ke kiri-
kanan sambil membuka kedua matanya. Sinar kehijauan semakin nyata mewarnai bola
mata tokoh sesat itu. Ada hawa dingin aneh menyebar di sekitar arena pertarungan,
membuat beberapa murid Perguruan Kepalan Saka menggigil kedinginan.
"Parwana! Kau adalah budakku, kau harus tunduk dengan perintahku!" ujar
Gendruwo Rimba Dandara dengan suara bergetar mengandung daya gaib yang sangat
kuat!
Ki Parwana tersentak mendengar ucapan lawannya, yang jelas-jelas mengandung
kekuatan sihir hebat! Pengaruhnya pun langsung terlihat. Ki Parwana mendadak
menurunkan kedua tangannya dengan gerakan lemah. Kemudian berdiri tegak dengan
tatapan kosong ke depan.
"Aku adalah budakmu. Aku akan menurua semua perintahmu...," ujar Ketua
Perguruan Kepalan Saka dengan suara lemah seperti orang kehilangan semangat.
"Hm.... Sekarang kuperintahkan kepadamu! Merangkaklah seperti anjing dan
menyalaklah sekuatmu...!"
Pengaruh ucapan Gendruwo Rimba Dandara benar-benar hebat! Ki Parwana
langsung merangkak setelah sebelumnya tergetar hebat karena perlawanan lelaki tua itu.
Sesaat kemudian, terdengarlah suara menyalak keras dari mulut Ki Parwana. Ketua
Perguruan Kepalan Sakti yang dihormati dan disegani banyak orang telah berubah menjadi
anjing yang patuh.
Bukan hanya Ki Parwana yang melakukan perbuatan hina itu. Beberapa murid
Perguruan Kepalan Sakti pun tiba-tiba merasakan kedua lututnya goyah. Mereka tidak
dapat menahan keinginan untuk merangkak sambil menyalak seperti seekor anjing!
Kejadian itu jelas menandakan betapa hebatnya pengaruh sihir Gendruwo Rimba Dandara.
"Hua ha ha...!"
"Hiii...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa terbahak-bahak. Diikuti bocah-bocah aneh yang
menjadi pengikutnya. Tampaknya tokoh sesat itu sangat puas dengan hasil kerjanya.
"Berhenti kalian, Anjing-anjing Goblok...!" bentak tokoh sesat itu setelah puas
mempermainkan Ki Parwana dan murid-muridnya.
Ki Parwana yang terus menyalak hingga suaranya parau segera bangkit berdiri.
Tidak ada lagi tanda-tanda perlawanan dalam dirinya Lelaki tua itu telah sepenuhnya
berada di bawah pengaruh sihir.
"Hm..., sekarang cabut pedang di pinggangmu! Penggal kepala muridmu satu
persatu...!"
Mendengar perintah itu, Ki Parwana langsung meloloskan pedangnya. Kemudian
menghampiri murid-muridnya yang hanya bisa memandang dengan wajah pucat! Mereka
tidak, tahu harus berbuat apa. Yang hendak melakukan perbuatan keji itu adalah guru
mereka, yang telah mendidik mereka dengan baik!
"Guru...!"
Tiga orang murid utama Ki Parwana bergerak mendekat. Mereka berusaha
mencegah perbuatan orang tua itu.
"Penggal kepala mereka, Parwana...!" terdengar suara Gendruwo Rimba Dandara.
Hingga langkah Ki Parwana yang semula ragu kembali bergerak maju. Dan....
Crakkk, crakkk!
Dua orang murid utama yang tidak sempat menyadari perbuatan gurunya roboh
dengan kepala putus! Yang seorang bergerak mundur dengan wajah pucat bagai mayat.
Butir-butir keringat sebesar biji jagung meluncur turun dari wajahnya.
"Guru...!"
Dengan nada putus asa, murid utama itu berusaha menyadarkan Ki Parwana. Tapi
lelaki tua yang sudah kehilangan seluruh kesadarannya itu tampak tidak peduli. Pedang di
tangannya kembali berkelebat!
"Aaah...?!"
Sadar jika dibiarkan kepalanya akan putus oleh sambaran pedang gurunya, lelaki
tegap berusia tiga puluh tahun itu melompat mundur. Sepasang matanya terbelalak penuh
ketegangan dan kegelisahan. Untuk melawan gurunya yang sangat dihormati itu jelas ia
tidak berani. Akhirnya, kesetiaannya yang tinggi harus ditebus dengan nyawa!
"Heaaah...!"
Crakkk!
Serangan yang kedua tidak dapat lagi dielakkannya. Meski dalam pengaruh sihir,
kepandaian Ki Parwana tidak berkurang sedikit pun! Murid utamanya yang tinggal seorang
itu pun menyusul dua saudaranya yang telah tewas lebih dulu.
"Hua ha ha...!"
Gelak tawa Gendruwo Rimba Dandara semakin keras. Hari tokoh sesat itu benar-
benar puas dengan kejadian yang berlangsung di depan matanya.
Ki Parwana melanjutkan pembantaian terhadap murid-muridnya. Tak satu pun dari
murid-murid itu sanggup menghalangi tindakan gurunya. Korban pun semakin banyak
berjatuhan. Darah mengalir membasahi tanah lembab halaman depan Perguruan Kepalan
Sakti yang biasa digunakan untuk berlatih.
Pada saat pedang Ki Parwana siap memenggal kepala muridnya entah yang
keberapa, tiba-tiba Gendruwo Rimba Dandara menarik pengaruh sihirnya. Perbuatan
tokoh sesat itu begitu tiba-tiba datangnya. Sehingga, pedang Ki Parwana menggantung di
udara, tepat di belakang leher salah seorang muridnya.
"Aaah...?!"
Kesadaran yang tiba-tiba datangnya itu membuat Ki Parwana terbelalak pucat!
Bagaikan orang tolol, ia menatap pedang di tangannya yang masih tergantung di udara.
Darah segar melumuri senjata itu, membuat Ki Parwana menyadari apa yang telah
dilakukannya.
"Hua ha ha...! Hebat sekali perbuatanmu, Parwana! Lihatlah korban-korban
kekejamanmu...!"
Ki Parwana berbalik secepat kilat! Ditatapnya Gendruwo Rimba Dandara dengan
wajah seputih kertas! Kemudian beralih pada mayat-mayat tanpa kepala yang bergeletakan
di tanah berkubang darah merah!
"Aku yang melakukannya...?" desis Ki Parwana seperti baru terbangun dari mimpi
buruk. Lalu kembali dipandangnya Gendruwo Rimba Dandara.
"Hua ha ha...!"
Gendruwo Rimba Dandara tertawa berkakakan. Itu sudah merupakan jawaban.
Mata lelaki tua itu tiba-tiba menjadi liar. Jiwa Ki Parwana terguncang hebat!
"Tidaaak...!"
Ki Parwana berteriak setinggi langit seraya melemparkan pedangnya jauh-jauh.
Seolah senjata yang berlumuran darah itu benda yang sangat menakutkannya.
"Tidak tidak tidaaak...!"
Dengan kedua tangannya, Ki Parwana menutupi telinga. Tatapan murid-muridnya
yang belum sempat terbantai membuat jiwa lelaki itu terguncang hebat! Tatapan itu seperti
tudingan atas segala perbuatannya. Lelaki tinggi kurus itu jatuh berlutut sambil menutup
wajahnya rapat-rapat. Kedua bahu Ki Parwana berguncang-guncang keras.
"Kau manusia kejam, Parwana! Mengapa murid-murid yang tak bersalah itu kau
bunuh secara keji? Seharusnya akulah yang menjadi sasaranmu, bukan mereka...."
Suara cemoohan Gendruwo Rimba Dandara merasuk telinga Ki Parwana, membuat
rasa bersalah di dalam hati lelaki tua itu semakin besar. Sehingga....
"Aaa...!"
Mendadak, tubuh Kl Parwana bangkit seiring dengan teriakannya. Setelah
memperhatikan sekelilingnya dengan mata gelisah, Ki Parwana berlari sekuat-kuatnya
meninggalkan tempat itu.
"Aku bukan pembunuuuh...!"
Gendruwo Rimba Dandara mengiringi kepergian Ki Parwana dengan gelak-tawa
berkepanjangan Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu bersama para pengikutnya,
bocah-bocah aneh yang mengerikan itu.
***
"Aku Bukan pembunuh...!"
Lelaki tinggi kurus itu melangkah tertatih-tatih menyusuri jalan utama sebuah
desa. Ucapan itu mengiringi setiap langkah kakinya. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Ki
Parwana, yang menjadi hilang ingatan karena guncangan batin yang sangat hebat! la
meninggalkan perguruannya, dan melangkah tanpa tujuan.
Beberapa penduduk yang berpapasan dengan orang tua itu bergegas menyingkir
dengan wajah cemas. Meskipun agak takut-takut ada juga yang melemparkan pandang
penuh rasa iba. Bahkan beberapa di antaranya berani menatap langsung dengan kepala
menggeleng-geleng.
Ki Parwana yang batinnya didera rasa bersalah tak terampunkan itu tiba-tiba
menoleh. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan beberapa penduduk yang berdiri
menatapnya.
"Aku bukan pembunuh...," rintih Ki Parwana merasa setiap pandangan orang
menuding dirinya, ia menganggap pandangan orang-orang desa itu ikut menyalahkannya.
Bahkan dalam bayangannya, mereka menuding dirinya dan memakinya sebagai manusia
paling jahat di dunia.
Bayangan-bayangan itu membuat Ki Parwana menjadi kalap! Sepasang matanya
bergerak semakin liar. la menggeram dan mendengus dengan mara semerah saga.
"Kau menyalahkan aku...?! Kau... kau...?" Ki Parwana menuding penduduk yang
memandangnya penuh kecemasan Kelihatannya lelaki tua itu siap mengamuk
menumpahkan kemarahannya.
Enam orang penduduk yang semula menatap Ki Parwana menjadi ketakutan.
Ketika kaki orang tua gila itu bergerak maju, mereka segera menjauhi tempat itu.
Lain yang dilakukan penduduk desa, lain pula pandangan Ki Parwana. Dalam
bayangannya, para penduduk itu kelihatan seperti hendak mengeroyok dirinya. Karuan
saja Ki Parwana melesat secepat terbang, dan menyambar leher seorang penduduk yang
tengah berlari.
"Keparat! Kalian, manusia-manusia jahat! Kalian telah membunuh orang-orang tak
bersalah...!" maki Ki Parwana. Jari-jari tangannya segera mencekik orang sial itu.
Penduduk desa itu pun tewas dengan mata melotot seperti hendak keluar dari tempatnya.
"Jahat kau...!"
Dibantingnya tubuh orang itu ke tanah dengan sekuat tenaga. Kemudian, Ki
Parwana tertawa tergelak-gelak.
"Ada orang gila mengamuuuk...!"
"Awaaas, ada pembunuh gila masuk desa...!"
Kejadian yang tidak disangka-sangka para penduduk desa itu membuat mereka
berlarian ketakutan! Terdengar teriakan-teriakan mereka memperingatkan yang lainnya.
"Hmmmrrr...!"
Seperti telah kemasukan setan liar, Ki Parwana menggeram berkali-kali. Air liurnya
menetes membasahi pakaiannya yang kotor dan robek di sana-sini. Tindakan penduduk
yang lari berserabutan justru mengundang kegilaan Ki Parwana.
Celakanya, orang gila itu bukanlah tokoh sembarangan. Ia merupakan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti yang namanya cukup disegani kalangan persilatan. Akibatnya,
tentu saja jauh lebih hebat ketimbang orang gila yang tidak memiliki kepandaian silat.
Untuk menaklukkannya pasti tidak mudah!
Melihat orang gila itu dapat membunuh dan mengejar dengan mudah, penduduk
semakin bertambah kalap! Tapi, semua itu justru semakin menambah kegilaan Ki
Parwana. Korban pun mulai berjatuhan!
Peristiwa yang cukup menggegerkan itu mengundang perhatian beberapa lelaki
berpakaian serba hitam. Mereka langsung berlompatan hendak mencegah jatuhnya korban
lebih banyak.
"Kurang ajar! Orang gila dari mana yang berlaku demikian kejam...!" geram salah
seorang dari enam lelaki berseragam hitam. Mereka mengepung Ki Parwana untuk
meringkus lelaki tua itu.
"Grrrngngng...!"
Ki Parwana menggeram dengan tatapan liar. Kegilaannya benar-benar sudah tidak
bisa dikendalikan lagi. Nafsu membunuhnya kian menyentak-nyentak hatinya.
"Hei...?! Bukankah ia Ketua Perguruan Kepalan Sakti?! Aku pernah bertemu
dengannya beberapa kali...!" salah seorang dari mereka berseru kaget, la mengenali Ki
Parwana. Ucapan itu tentu saja mengagetkan kawan-kawannya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti...? Apa kau tidak salah? Mana mungkin ketua
perguruan yang terkenal itu tiba-tiba menjadi gila...?" bantah yang lainnya tak percaya.
Nama Perguruan Kepalan Sakti cukup terkenal di desa itu. Tentu saja mereka tidak
percaya orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak! Aku yakin orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti! Mengenai
kegilaannya jelas aku tidak tahu! Tapi, aku merasa yakin ia ketua perguruan itu...!" lelaki
kekar berkumis lebat yang sepertinya cukup mengenal Ki Parwana tetap mempertahankan
pendiriannya. Sehingga, kawan-kawannya agak ragu.
"Mungkin orang gila itu kebetulan memiliki wajah yang serupa dengan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti...," kawannya masih tetap membantah dan tidak percaya.
Perdebatan yang cukup seru itu membuat mereka tidak sadar orang yang tengah
dibicarakan sudah bergerak mendekat. Mereka baru tersadar ketika mendengar salah
seorang kawannya berteriak keras!
"Aaa...!"
Orang yang malang itu berteriak ketakutan, ketika Ki Parwana menangkap dan
melemparkan tubuhnya kuat-kuat hingga jatuh terjerembab ke tanah!
"Orang gila keparat...!"
Peristiwa itu tentu saja membuat yang lainnya marah. Khawatir kalau dugaan
kawannya bahwa orang gila itu seorang ketua perguruan ternyata benar, mereka segera
menghunus senjata dan mengurung Ki Parwana dari tiga arah.
"Yaaakh...!"
"Yaaakh...!" Ki Parwana yang dianggap orang gila itu mencelat dengan sepasang
tangan terulur dan mencengkeram salah seorang pengepungnya.
"Heaaah...!" Menyadari dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya.
Namun...
Plakkk, kreppp! Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan
pedang lawan.
Ki Parwana memekik aneh dan parau. Tubuhnya mencelat dengan sepasang tangan
terulur siap mencengkeram salah seorang pengepung yang ada di sebelah kanannya.
"Heaaah...!"
Sadar kalau dirinya terancam, orang itu mengibaskan pedangnya menyambut
serangan Ki Parwana. Tapi....
Plakkk, kreppp!
"Heeeah…!"
Tanpa kesulitan sedikit pun, Ki Parwana menepiskan tebasan pedang lawan.
Kemudian menjambret leher orang itu dan meremasnya tanpa ampun! Lelaki itu
menggelepar seperti ayam disembelih. Dan tewas seketika dengan tulang leher patah!
"Gila...?!"
Yang lainnya menjadi kaget bercampur gentar! Mereka berloncatan mundur dengan
wajah pucat, menatap sosok orang gila yang kembali menggeram bagai binatang luka.
TIGA
Empat lelaki berpakaian serba hitam yang tersisa segera bergerak mundur, ketika
Ki Parwana melangkah mendekati. Sikap orang tua itu membuat mereka gentar. Gerakan
Ki Parwana demikian cepat. Mereka segera sadar kalau orang gila itu bukan tokoh
sembarangan. Hingga mereka tidak berani bertindak gegabah lagi.
Tapi meskipun keempat lelaki itu tidak lagi menyerang, sikap Ki Parwana tidak
berubah. Kelihatannya ia tidak akan berhenti sebelum melenyapkan lawan-lawannya.
Benar-benar celaka nasib keempat orang itu. Karena untuk menundukkan tokoh seperti Ki
Parwana tentu saja tidak mudah. Sehingga, sulit dipastikan mereka dapat selamat dari
cengkeraman orang gila itu.
"Jaaakh...!"
Setelah beberapa langkah kakinya berjalan, tubuh Ki Parwana mencelat ke udara
disertai pekikan aneh. Sepasang tangannya siap merenggut korban berikutnya! Tapi...
"Haaaiiit...!"
Pada saat yang menentukan itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring. Sesosok
tubuh melayang dan langsung memapaki serangan Ki Parwana. Maka....
Plakkk!
"Heeekh...!"
Sungguh hebat gerakan sosok tubuh itu! Ia bukan saja dapat menggagalkan
serangan Ki Parwana. Bahkan sanggup membuat tubuh Ketua Perguruan Kepalan Sakti
terpental balik! Untung Ki Parwana bukan orang gila sembarangan! Hingga dapat
mengatasi keseimbangan tubuhnya dengan baik.
"Hebat...!" seru sosok berjubah putih memuji gerakan Ki Parwana. Tentu saja
pujian itu bukan ejekan. Cara Ki Parwana mengatasi keseimbangan tubuhnya memang
sangat mengagumkan.
Helaan napas lega terdengar dari mulut keempat lelaki berpakaian serba hitam.
Mereka sungguh tidak mengira dapat lolos dari ancaman serangan orang gila yang
berkepandaian tinggi itu. Dipandanginya sosok berjubah putih yang berdiri membelakangi
mereka dengan penuh rasa terima kasih.
Sedangkan sosok berjubah putih yang ternyata seorang pemuda tampan menatap
tenang sosok Ki Parwana. Keningnya agak berkerut menyaksikan kehebatan orang gila itu.
Ia merasa heran orang gila mempunyai kepandaian sehebat itu.
"Kisanak harap berhati-hati! Dia bukan orang gila sembarangan! Entah apa yang
membuat orang sehebat Ketua Perguruan Kepalan Sakti sampai menjadi demikian...," ujar
lelaki kekar berkumis lebat yang mengenali orang gila itu sebagai Ki Parwana. Ia tidak me-
ngenali namanya, hanya wajahnya.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti...?!" gumam pemuda tampan berjubah putih
mengulangi. "Apakah kau yakin orang gila itu ketua sebuah perguruan...?" tanyanya
berbalik menatap lelaki kekar yang tadi mengingatkannya.
"Aku yakin, Kisanak. Beberapa kali aku pernah berjumpa dengannya saat
mengantarkan surat atau pesan dari Kepala Desa Tunjil ini...," jelasnya. Pemuda tampan
itu menganggukkan kepala. Tampaknya keterangan itu dapat dipercaya.
Percakapan keduanya tertunda dengan munculnya sesosok tubuh dara jelita
berpakaian serba hijau. Ia meluncur turun di samping pemuda tampan berjubah putih.
Terdengar suaranya yang merdu dan bening.
"Diakah orang gila yang dikabarkan penduduk mengamuk dan membunuhi orang,
Kakang...?"
"Benar, Kenanga," sahut pemuda itu menatap wajah jelita di sampingnya. "Menurut
salah seorang keamanan desa, orang gila itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti...," lanjutnya
menjelaskan.
"Ketua Perguruan Kepalan Sakti? Bukankah nama itu cukup terkenal dan disegani
orang...?" tanya dara jelita itu lagi kelihatan belum percaya penuh dengan keterangan
pemuda tampan berjubah putih.
"Itu yang membuatku heran...," tukas pemuda tampan berjubah putih yang tidak
lain Panji, yang dalam kalangan rimba persilatan berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Kita perlu menyelidiki kebenarannya, Kakang...," tukas dara jelita yang tidak lain
adalah Kenanga. Kelihatannya ia agak penasaran dengan orang gila itu.
Panji hanya mengangguk tanpa kata. Jelas ia sangat setuju dengan usul
kekasihnya. Secara tidak langsung persoalan itu merupakan tanggung jawabnya. Ia harus
menyelidiki untuk memperoleh kepastian tentang orang gila itu.
Sementara itu, Ki Parwana bergerak menghampiri. Tubuhnya yang terpental sejauh
dua tombak lebih, membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi. Kini ia siap membalas
perlakuan pemuda berjubah putih itu.
"Kelihatannya ia sukar dikendalikan, Kakang...," ujar Kenanga seolah hendak
mengingatkan kekasihnya agar berhati-hati menghadapi orang gila itu.
"Aku akan berusaha merobohkannya tanpa melukai...," janji Panji segera bergerak
maju untuk melumpuhkan Ki Parwana. Karena tidak ingin jatuh korban lagi.
Meskipun gila, Ki Parwana mengerti kalau yang dihadapinya tidak dapat disamakan
dengan lawan-lawan sebelumnya. Ia langsung menggunakan ilmu andalannya untuk
menyerang Panji.
Bwet bwet bwettt…!
Terdengar suara angin menderu saat Ki Parwana menggerakkan sepasang
kepalannya. Kedua lengan itu bergetar, menyimpan kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
"Hm... Aku yakin orang gila itu memang Ketua Perguruan Kepalan Sakti. Aku
mengenali jurus-jurus yang tengah dipersiapkannya..," ujar Panji agak perlahan, tapi
tertangkap telinga Kenanga. Dara jelita itu berada setengah tombak di belakang
kekasihnya.
"Aku pun mulai percaya, Kakang..," sahut Kenanga yang juga memperhatikan
gerakan tangan Ki Parwana. Dari bentuk tangannya yang mengepal kemungkinan besar
orang gila itu merupakan orang Perguruan Kepalan Sakti. Dan melihat kekuatannya,
memang bukan mustahil ia ketua perguruan itu yang cukup terkenal di wilayah selatan.
Sementara itu, Panji sudah menggeser langkahnya ke kanan. Pemuda itu hendak
menjauhi Ki Parwana dari jalan utama Desa Tunjil. Dan membawanya ke sebuah tanah
lapang yang cukup luas.
Ki Parwana sendiri kelihatannya sudah tidak sabar ingin segera merobohkan
pemuda berjubah putih itu. Dengan sebuah lompatan panjang, lelaki tua bertubuh tinggi
kurus itu meluncur turun dalam jarak sekitar satu setengah tombak dari tempat Panji
berdiri.
"Heaaakh...!"
Seraya membentak aneh, Ki Parwana meluncur dengan serangan-serangannya!
Sambaran angin keras menyertai tibanya kepalan-kepalan yang berisi kekuatan hebat itu.
Beuttt...!
Panji memiringkan tubuhnya ketika pukulan lawan datang mengancam dada. Dan
terus menggeser langkahnya ke belakang menghindari serangan susulan yang datang,
bertubi-tubi. Sejauh itu Panji hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengatasi
sergapan lawan. Itu berlangsung sampai enam jurus.
Kegagalan serangan-serangan membuat Ki Parwana semakin bernafsu. Ia terus
menambah kecepatan dalam serangan berikutnya.
"Haaakh...!"
Bwet bwettt..!
Plakkk!
Dua serangan pertama dielakkan Panji dengan menggunakan kelincahan tubuhnya.
Lalu tangan kirinya diangkat memapaki pukulan ketiga yang datang mengancam
pelipisnya. Akibatnya, tubuh Ki Parwana terjajar mundur setengah tombak lebih. Wajah
orang tua itu menyeringai sambil mengusap lengannya yang terasa nyeri.
"Hyaaat...!"
Kali ini Panji tidak lagi sekadar mengelak atau menangkis. Serangan lawan
berikutnya langsung disambut dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Sehingga,
keduanya segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai akhirnya Ki Parwana kewalahan
mengimbangi permainan Panji. Beberapa kali tubuh orang tua itu nyaris menjadi sasaran
tamparan dan tendangan pemuda itu. Untung lelaki tua itu masih sempat mengelak atau
menangkis, meski lengannya terasa nyeri ketika terpaksa menangkis serangan yang tidak
sempat dielakkan.
Tapi, ketika pertarungan meningkat pada jurus keempat puluh, Ki Parwana tidak
bisa lagi membalas. Gerakannya semakin sempit. Seolah-olah lelaki tua itu dikeroyok
beberapa orang lawan. Ke mana saja tubuhnya bergerak menghindar pasti serangan lawan
datang mengejar. Lelaki tua yang tidak waras itu menggeram-geram ribut. Sampai
akhirnya....
Bukkk!
Hukh...!
Sebuah hantaman telapak tangan kanan Panji bersarang telak di tubuh Ki
Parwana. Akibatnya tubuh lelaki tua itu terjajar limbung. Panji memang sengaja
mengurangi tenaga pukulannya sewaktu mengenai tubuh lawan.
"Hyaaat…!"
Selagi lawannya terhuyung mencari keseimbangan, Panji melesat dengan totokan-
totokan yang cepat dan kuat. Tentu saja orang gila itu tidak sempat mengelak. Dan...
Tukkk, tukkk!
"Ukh...!"
Tubuh Ki Parwana melorot ke tanah tanpa dapat dicegah lagi. Dua kali berturut-
turut totokan Panji bersarang di tubuh Ki Parwana. Lelaki tua itu mengeluh dan tak
sadarkan diri.
Robohnya orang gila itu mengejutkan keempat keamanan desa. Terlebih yang telah
mengenal siapa orang gila itu. Kemenangan pemuda berjubah putih menyadarkan mereka
bahwa kepandaian penolongnya tidak bisa diragukan lagi. Pujian pun segera meluncur
dari mulut mereka.
"Wah, benar-benar hebat, Kisanak! Padahal kepandaian Ketua Perguruan Kepalan
Sakti sangat terkenal di daerah selatan ini. Orang-orang yang sanggup menghadapinya
bisa dihitung dengan jari. Tapi, kau ternyata mampu melumpuhkannya tanpa terlukai.
Benar-benar sukar dipercaya...!" puji lelaki kekar berkumis lebat kagum bukan main atas
kehebatan Panji.
"Terima kasih atas pujianmu, Kisanak. Maaf, aku harus segera membawa orang gila
ini...," ujar Panji tersenyum. Kemudian mengangkat tubuh Ki Parwana ke bahunya, dan
mengajak Kenanga segera meninggalkan tempat itu. Panji melihat penduduk desa yang
semula bersembunyi dan melarikan diri telah berdatangan ke tempat itu. Pemuda itu tidak
ingin dihujani pertanyaan dan pujian penduduk Desa Tunjil.
Kenanga sedikit pun tidak membantah. Tubuhnya segera melesat mengikuti
langkah Panji yang telah berlari lebih dulu. Sebentar saja bayangan pasangan pendekar
muda itu telah jauh meninggalkan tempat itu.
Siapakah pemuda tampan berjubah putih dan gadis jelita itu...? Mereka pasti
bukan orang sembarangan! Bukan mustahil pemuda tampan itu tokoh terkenal dalam
kalangan persilatan...? Gumam lelaki kekar berkumis lebat dalam hati, yang kelihatan
sangat terkesan dengan perbuatan Panji. Terutama kehebatan pemuda itu yang mampu
merobohkan Ketua Perguruan Kepalan Sakti tanpa melukai orang gila itu. Menurutnya itu
sulit dilakukan tokoh lain.
Orang-orang Desa Tunjil masih saja memandangi sosok yang semakin kecil dan
kemudian lenyap di kejauhan itu. Baru kemudian mereka bergerak satu persatu
meninggalkan tempat itu. Mereka berbicara satu sama lain mengenai kehebatan pemuda
tampan berjubah putih. Sedangkan keempat keamanan desa mengurus mayat-mayat
korban amukan Ki Parwana, termasuk dua orang kawan mereka yang juga tewas di tangan
orang tua gila itu.
EMPAT
Dengan membawa tubuh Ki Parwana di aras bahu kanannya, Panji terus berlari
meninggalkan Desa Tunjil. Berkat ilmu lari cepatnya yang tinggi sebentar saja ia sudah
berada jauh di luar perbatasan desa. Dan bani menghentikan larinya ketika menemui
persimpangan jalan.
Kenanga yang berlari di sebelah kirinya segera menahan langkah. Dara jelita itu
kelihatan agak bingung melihat pertigaan jalan di depannya.
"Ke mana kita, Kakang...?" tanya dara jelita itu menatap wajah Panji yang tengah
memilih jalan mana yang akan dilalui.
"Aku hendak membawa orang gila ini ke Perguruan Kepalan Sakti untuk
memastikan apakah benar ia ketua perguruan itu. Tapi aku tidak tahu jalan mana yang
harus kita ambil...?" sahut Panji, kemudian melangkah dan berhenti di tengah pertigaan,
la memandang ke kiri-kanan agak lama, berharap bertemu orang yang bisa ditanyainya.
Mendengar jawaban kekasihnya, Kenanga tidak bisa memberikan pilihan. Ia sendiri
tidak tahu di mana letak Perguruan Kepalan Sakti Gadis itu hanya bisa mengikuti apa
yang dilakukan kekasihnya.
"Hm.... Sayang tidak ada orang yang dapat kita tanyai...," desah Kenanga menghela
napas panjang. Kedua jalan itu tampak sunyi. Tak seorang pun melintas di jalan itu.
"Kalau melihat keadaan orang gila ini yang kotor dan pakaiannya robek di beberapa
tempat, jelas ia telah melakukan perjalanan yang cukup jauh. Paling tidak untuk mencapai
Desa Tunjil, ia telah berjalan sehari penuh. Itu berarti letak Perguruan Kepalan Sakti
cukup jauh...," ujar Panji mencoba mereka-reka.
"Apakah itu sudah pasti, Kakang...?" tanya Kenanga kurang setuju dengan
pendapat kekasihnya. Agaknya dara jelita itu mempunyai dugaan lain.
"Tentu saja belum. Kau mempunyai pikiran lain? Coba katakan, barangkali
perkiraanmu bisa kupertimbangkan...."
Kenanga terlihat agak merenung. Sebelum menjawab, dara jelita itu melangkah ke
tepi jalan yang cukup lebar dan berbatu-batu tak teratur. Kemudian duduk di atas
sebatang akar pohon yang menyembul dari dalam tanah.
Panji mengikuti langkah kekasihnya, dan melakukan perbuatan serupa. Sedangkan
tubuh orang gila itu tetap di bahu kanannya. Untuk meletakkan di tanah berbatu begitu
saja, Panji tidak tega. Kendati orang itu gila, tapi Panji tetap memperlakukannya dengan
baik dan tidak sembarangan.
"Menurut perkiraanku, bisa saja letak Perguruan Kepalan Saka tidak terlalu jauh
dari Desa Tunjil. Siapa tahu orang gila ini sebelumnya menyembunyikan diri di dalam
hutan, dan baru memasuki desa saat hari terang. Jelasnya, keadaan orang gila ini yang
kotor belum tentu karena melakukan perjalanan jauh...," Kenanga mengutarakan
dugaannya. Dan itu tampaknya bisa diterima Panji.
"Hm...."
Panji menghela napas panjang dan termenung memikirkan dugaan kekasihnya.
Namun itu tidak berlangsung lama. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak halus
di kejauhan. Ia bisa memastikan dari jalan sebelah mana suara itu berasal.
"Mudah-mudahan kita bernasib baik...," gumam Panji segera bangkit dan berdiri
menatap jalan di sebelah kanannya.
Melihat sikap kekasihnya, Kenanga tidak banyak bertanya. Dara jelita itu dapat
menduga apa yang tengah dilakukan Panji dengan berdiri dan menatap jalan seperti
menunggu sesuatu.
Tidak berapa lama kemudian, dari belokan jalan yang terhalang rimbunan alang-
alang muncullah sebuah iring-iringan kuda. Semua berjumlah lima ekor. Pada punggung
kuda tidak kelihatan penunggang. Karena dipenuhi kantung-kantung yang cukup besar
dan banyak. Orang yang seharusnya berada di atas punggung kuda berjalan di samping
binatang itu, menuntunnya.
"Kelihatannya mereka rombongan pedagang keliling, Kakang...," gumam Kenanga
melihat banyaknya beban di atas lima ekor kuda itu.
"Kurasa memang demikian. Mudah-mudahan mereka dapat menunjukkan letak
Perguruan Kepalan Sake. Biasanya pedagang keliling banyak mengetahui tempat-tempat
terpencil dan jauh dari keramaian...," sahut Panji penuh harap.
Tapi pemikiran rombongan kecil pedagang keliling itu berbeda jauh dengan
pasangan pendekar muda itu. Melihat sepasang orang muda berdiri menghadang jalan,
kecurigaan pun timbul di kepala mereka. Pedagang keliling yang berjumlah lima orang itu
saling melempar pandang dengan wajah tegang. Mereka menduga sepasang orang muda
itu tidak bermaksud baik.
"Hati-hati...! Meskipun mereka mungkin akan berbicara sopan dan baik-baik, kita
harus waspada dan jangan percaya begitu saja. Siapa tahu mereka sepasang perampok
muda yang hendak menjarah barang-barang dagangan kita...!" orang berwajah kehitaman
yang berada paling depan mengingatkan kawan-kawannya. Ia sendiri sudah meraba
gagang pedang yang tersimpan di salah satu kantung besar di atas punggung kuda, dan
menampakkannya sedikit.
"Kurang ajar! Mereka mencurigai kita, Kakang. Apakah wajah kita pantas menjadi
perampok...?"
Kenanga yang rupanya dapat membaca pikiran pedagang-pedagang itu mengumpat
jengkel. Ia tidak bisa menerima dugaan orang-orang yang dianggapnya buta itu. Untunglah
Panji yang menyadari sikap kekasihnya segera mengingatkan. Kalau tidak, bisa jadi dara
jelita itu akan menunjukkan sikap kasar terhadap pedagang-pedagang keliling itu.
"Mereka tidak bisa disalahkan, Adikku. Sebaiknya kau serahkan saja kepadaku.
Biar aku yang akan bertanya baik-baik kepada mereka...."
Kenanga menghela napas berat. Kemudian melangkah ke tepi jalan dan kembali
duduk di atas akar pohon. Ia sengaja menjauh agar tidak kelepasan bicara. Sebab, bisa
saja orang-orang itu akan menanggapi pertanyaan kekasihnya dengan sikap kasar.
"Paman sekalian, harap dimaafkan kalau keberadaanku membuat kalian
terganggu...," sapa Panji ramah dengan senyum di bibir. "Aku hanya hendak bertanya
sedikit...," lanjutnya menatap wajah-wajah kehitaman di depannya yang sudah berdiri
berjajar dengan sikap waspada.
Sikap Panji yang ramah dan tampak tidak menyembunyikan kepura-puraan
membuat orang-orang itu saling bertukar pandang. Kelihatannya mereka agak terpengaruh
dengan sikap sopan pemuda tampan berjubah putih itu Apalagi wajah Panji tidak
menggambarkan watak licik dan kejam. Mereka ragu kalau pemuda itu perampok yang
sengaja menghadang perjalanan mereka.
"Hm.... Apa yang hendak kau ketahui dari kami, Sahabat Muda...?" sambut salah
seorang dari lima lelaki yang menghadapi Panji. Agaknya orang itu pimpinan rombongan
kecil itu.
"Begini, Paman," ujar Panji melanjutkan ucapannya. "Kami hendak menuju
Perguruan Kepalan Sakti. Sayangnya letak tempat itu tidak kami ketahui. Bisakah Paman
sekalian memberi petunjuk kepada kami…?"
Untuk kesekian kalinya, para pedagang keliling itu saling bertukar pandang.
Mereka tidak menduga pemuda tampan berjubah putih itu hanya sekadar bertanya.
"Kalau benar sahabat muda hendak mencari Perguruan Kepalan Sakti, silakan
mengambil jalan yang baru saja kami lalui. Sampai di tempat yang banyak ditumbuhi
pohon bambu kuning, barulah berbelok ke kanan. Lalu ikuti jalan setapak yang di kiri-
kanannya ditumbuhi ilalang setinggi dada. Setelah itu akan terlihat bangunan Perguruan
Kepalan Sakti." Lelaki berewok pimpinan pedagang keliling itu menjelaskan panjang lebar.
"Terima kasih, Paman. Maaf, kalau aku telah merepotkan...," ujar Panji tersenyum
sambil menganggukkan kepala. Lalu menyingkir ke tepi jalan mempersilakan mereka
melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Para pedagang keliling itu tersenyum dan membalas anggukan kepala pemuda itu.
Hati mereka merasa lega. Sebab dugaan mereka ternyata keliru. Perjalanan pun kembali
dilanjutkan tanpa ketegangan lagi.
"Mari kita pergi, Kenanga...,"ajak Panji yang telah mendapat gambaran akan jalan
yang harus dilaluinya. Sebentar saja pasangan pendekar muda itu telah melanjutkan
perjalanannya menuju Perguruan Kepalan Sakti.
***
Bangunan Perguruan Kepalan Sakti tampak sunyi bagai tak berpenghuni. Di
beberapa bagian pagar bangunan terlihat rusak. Rupanya setelah kepergian Ki Parwana,
bangunan itu tidak terawat baik. Halaman depannya dipenuhi dedaunan kering, membuat
tempat itu kelihatan kotor dan tidak terurus.
"Aneh...?!"
Pemuda tampan berjubah putih yang pada bahu kanannya memondong sesosok
tubuh itu bergumam lirih. Sepasang matanya menatap bagian-bagian bangunan yang
rusak. Suasana sepi seperti mati itu membuat keningnya berkerut.
"Kalau melihat tempat ini, rasanya sukar dipercaya bahwa salah satu tokoh
terkemuka rimba persilatan tinggal di dalamnya...," dara jelita berpakaian serba hijau
mengutarakan keheranannya. Keningnya berkerut pertanda hatinya merasa tidak suka
dengan tempat yang kotor itu.
"Sebaiknya kita mencoba mencari keterangan. Apakah tempat ini sudah tidak
berpenghuni? Atau..., mungkin benar orang gila ini Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
Tempat ini tidak terawat setelah ketuanya menjadi gila den meninggalkan murid-muridnya
begitu saja...," ujar pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji.
Dara jelita yang sudah pasti Kenanga mengangguk setuju. Kemudian melangkah
mengikuti kekasihnya mendekati pintu gerbang perguruan. Keduanya berhenti sesaat dan
menengadah memandang sebuah papan nama yang tergantung di atas pintu gerbang.
Ukiran yang bertuliskan 'Perguruan Kepalan Sakti' tampak kotor oleh debu. Sehingga,
pasangan pendekar muda itu menggeleng tidak mengerti.
"Sahabat-sahabat yang ada di dalam bangunan, harap sudi membukakan pintu
untukku...!" Panji berseru mengerahkan tenaga dalamnya Gelombang suaranya bergema
sampai melewati bagian belakang bangunan. Sudah pasti penghuni bangunan itu akan
mendengarnya dengan jelas.
Panji menunggu ada orang yang membukakan pintu gerbang dengan sabar.
Beberapa waktu kemudian, terdengar suara langkah mendekati pintu gerbang dari sebelah
dalam. Diiringi suara berderit, pintu gerbang itu terkuak lebar.
Dua orang lelaki menatap heran. Kening mereka berkerut merasa belum pernah
mengenal Panji dan Kenanga.
"Maaf, kalau kehadiranku mengganggu ketenangan kalian...," ujar Panji
menganggukkan kepala dengan hormat.
"Ada keperluan apakah, Kisanak...?" tegur salah seorang dari kedua lelaki itu agak
ramah. Sikap sopan dan hormat Panji mendapat sambutan yang baik dari penghuni
bangunan.
"Hm.... Kalau diizinkan, aku hendak berjumpa dengan Ketua Perguruan Kepalan
Sakti...," Panji menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada keperluan apa kau hendak berjumpa dengan guru kami, Kisanak?" kembali
lelaki bertubuh tinggi kurus melontarkan tanya. Sesekali matanya mengerling pada sosok
tubuh yang berada di bahu Panji.
"Ada suatu keperluan yang sangat penting, dan hanya bisa kubicarakan dengan
ketua kalian. Harap kalian mau memaklumi...," ujar Panji yang tentu saja tidak bisa
mengatakan keperluannya. Niatnya datang ke tempat itu hanya untuk memastikan
kebenaran sosok tubuh yang dibawanya. Sebab ia belum yakin sepenuhnya orang gila
yang dilumpuhkannya itu Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Tidak bisa! Kalau kau memang mempunyai keperluan, katakan saja kepada kami.
Beliau telah mewakilkan segala urusannya kepada kami," lelaki kurus itu bersikeras tidak
bersedia mempertemukan Panji dengan ketuanya. Tentu saja lelaki itu berbohong. Sebab
ketua perguruannya tidak berada di tempat.
Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas panjang. Sebentar kemudian
pemuda itu termenung. Ia tahu akan percuma bila tetap memaksa.
"Perlihatkan saja orang gila itu kepada mereka, Kakang. Siapa tahu mereka dapat
mengenalinya..." Melihat kekasihnya termenung, Kenanga segera saja mengajukan usul.
Itulah jalan satu-satunya untuk meredakan ketegangan di antara mereka.
"Hm.... Baiklah Kalau begitu, coba perhatikan baik-baik. Apakah kalian mengenali
orang ini...?" akhirnya Panji menyetujui usul kekasihnya, dan memperlihatkan wajah
orang gila itu kepada kedua murid Perguruan Kepalan Sakti.
"Aaah...?!"
Kedua lelaki itu terperangah melihat raut wajah yang sangat mereka kenal dengan
baik.
"Guru...?!"
Akhirnya keluar juga ucapan yang diharapkan Panji dan Kenanga. Ucapan yang
secara tidak langsung merupakan pengakuan itu membuat Panji dan Kenanga merasa
lega.
"Jadi benar orang ini guru kalian...?" tanya Panji menegasi kendati telah mendapat
kepastian.
"Benar, Kisanak. Apa... apa yang telah terjadi dengan guru kami? Di mana kalian
menemukannya...?" tanya lelaki tinggi kurus membuka suara, meski dengan kerongkongan
terasa kering dan terpaksa harus menelan air liur berkali-kali.
"Jika demikian, marilah kita bicara di dalam...," usul Panji yang tanpa menunggu
jawaban langsung membawa tubuh Ki Parwana ke dalam bangunan.
Kedua murid Perguruan Kepalan Sakti tidak bisa menahan langsung pemuda
tampan berjubah putih itu. Mereka masih terkejut melihat keadaan gurunya yang nyaris
tidak bisa dikenali lagi. Setelah pasangan pendekar itu lewat beberapa tombak dari pintu
gerbang, barulah mereka berlari mengejar.
"Tolong tunjukkan kamar ketua kalian...," ujar Panji setelah memasuki bangunan
induk Perguruan Kepalan Sakti. Kemudian membawa Ki Parwana masuk ke dalam kamar
dan merebahkannya di atas pembaringan. "Biarkan beliau beristirahat. Aku telah
memberikan pel untuk menenangkan jiwanya...."
Kedua murid Ki Parwana hanya mengangguk. Lalu mengikuti langkah Panji menuju
ruangan depan. Sedangkan belasan murid lainnya hanya memandang lewat pintu tanpa
berani bertanya.
"Aku bernama Kaliawang. Sedangkan kawanku ini Balitang. Kuharap Kisanak suka
memperkenalkan diri, dan menceritakan bagaimana kalian dapat berjumpa dengan guru
kami...," ujar lelaki tinggi kurus setelah mereka duduk di ruangan depan.
Karena ingin segera mengetahui penyebab kegilaan Ki Parwana, Panji segera
menceritakan apa adanya. Kedua murid yang mengambil alih pimpinan sejak Ki Parwana
pergi, tampak terkejut dan merasa menyesal atas kejadian itu.
"Kasihan sekali penduduk Desa Tunjil. Mereka harus tewas di tangan guru kami
yang tengah terguncang jiwanya...," sesal Kaliawang menggelengkan kepala dengan wajah
keruh. Kelihatan sekali lelaki tinggi kurus itu sangat menyesalkan perbuatan gurunya.
"Tidak perlu merasa berdosa, Kaliawang. Apa yang dilakukan gurumu jelas di luar
kesadaran. Kami pun pernah mendengar nama besar guru kalian. Apa yang kami dengar
telah membuat kami kagum. Ki Parwana terkenal berani dan tegas dalam menindak orang-
orang jahat. Itu sebabnya kami ingin mengetahui apa yang menyebabkan beliau menjadi
gila...," ujar Panji berusaha menghibur Kaliawang.
Kaliawang tidak segera memberikan tanggapan kepada Panji yang telah
memperkenalkan namanya. Lebih dahulu ditatapnya wajah dan sosok pemuda tampan
berjubah putih itu lekat-lekat. Sepertinya ia hendak mempertimbangkan apakah Panji
pantas mendapat keterangan atau tidak.
"Hhh..."
Terdengar helaan napas berat Kaliawang seraya mengalihkan pandangan ke luar
bangunan melalui jendela yang terbuka, la masih ragu untuk memberikan penjelasan
kepada pasangan pendekar muda yang belum begitu dikenalnya itu.
"Kaliawang...," panggil Kenanga tidak sabar melihat keraguan lelaki tinggi kurus
itu. "Kedatangan kami ke tempat ini dengan membawa guru kalian justru hendak memberi
bantuan. Tentu saja sebatas kemampuan kami. Tapi kalau kau merasa kami tidak pantas
mengetahuinya, terserahlah...,"
"Bukan begitu, Kenanga...," bantah Kaliawang tidak enak mendapat sindiran dara
jelita itu. Tapi, ucapannya hanya berhenti sampai di situ. Wajah Kaliawang kelihatan
gelisah. Seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan lelaki tinggi kurus itu.
"Lalu..., mengapa kau tidak segera menceritakannya kepada kami? Apa sebenarnya
yang menyebabkan guru kalian menjadi gila? Apakah kalian tidak ingin melihat Ki
Parwana sembuh seperti sediakala dan kembali memimpin perguruan ini..?" desak
Kenanga tetap dengan nada tinggi. Rupanya dara jelita itu agak, tersinggung merasa
diremehkan. Ia tidak sadar kalau Kaliawang dan Balitang tidak mengetahui siapa mereka
sebenarnya.
"Kami hanya merasa khawatir akan keselamatan kalian...," akhirnya Kaliawang
mengutarakan juga ganjalan di hatinya.
"Mengkhawatirkan keselamatan kami...?!" kali ini Panji yang menyahuti. Kening
pemuda itu tampak berkerut. Ia semakin tidak mengerti dengan sikap Kaliawang yang
dirasanya semakin aneh.
"Ya. Karena penyebab kegilaan guru kami ada hubungannya dengan seorang tokoh
sesat berhati kejam yang kepandaiannya boleh dibilang hampir menyamai datuk-datuk
sesat di empat penjuru...," ujar Kaliawang agak bergetar. Jelas kelihatan gambaran
kegelisahan di wajahnya.
"Hm...."
Panji rupanya mulai mengerti jalan pikiran Kaliawang. Pemuda itu bergumam pelan
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Ditatapnya wajah lelaki tinggi kurus itu lekat-
lekat.
"Dengarlah, Kaliawang Dan kau, Balitang!" ujar Panji dengan berwibawa. Kedua
murid Ki Parwana menundukkan kepala tidak berani menentang pandang mata pemuda
itu, yang berkilat tajam menggetarkan dada.
"Kami mau peduli dengan penderitaan Ki Parwana dan kalian semua karena kami
merasa kita orang-orang segolongan. Kalau bukan sahabat-sahabat yang mau menolong,
lalu siapa yang hendak kalian harapkan? Mengenai keselamatan kami berdua, kalian tidak
perlu khawatir. Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan selalu
menegakkan keadilan, kami jauh-jauh hari sudah merelakan bila satu hari nanti kematian
datang menjemput! Bahkan kami merasa berharga bila mati dalam menegakkan
kebenaran! Jadi, kekhawatiran kalian jelas tidak beralasan!"
Ucapan Panji yang menunjukkan keluhuran budinya membuat Kaliawang dan
Balitang terharu. Sungguh tidak disangka, pemuda dan dara jelita yang baru mereka kenal
telah berani mempertaruhkan nyawa untuk membela Perguruan Kepalan Sakti. Sehingga,
baik Kaliawang maupun Balitang merasa malu kepada diri sendiri. Sebagai murid-murid Ki
Parwana, mereka tidak berdaya dan tidak melakukan tindakan apa-apa. Bahkan tak
seorang pun yang mencoba mencari Ki Parwana saat beliau pergi meninggalkan perguruan.
"Maaf, kalau kami telah salah menduga...." Hanya ucapan itu yang keluar dari
mulut Kaliawang setelah keadaan sunyi beberapa saat lamanya.
"Nah, sekarang kuminta dengan sangat kalian bersedia menceritakan penyebab
kegilaan Ki Parwana. Apa pun yang akan terjadi kami tidak akan menyesal atau
menyalahkan kalian...," tegas Panji menekan kata-katanya.
"Baiklah...," Kaliawang menyerah dan bersedia menceritakan penyebab kegilaan
gurunya.
Tak seorang pun dari pasangan pendekar muda itu memotong cerita Kaliawang.
Keduanya mendengarkan dengan teliti sampai lelaki tinggi kurus itu menyelesaikan
ceritanya.
"Begitulah, Panji. Soal permusuhan beliau dengan tokoh sesat yang berjuluk
Gendruwo Rimba Dandara, kami tidak tahu pasti." Kaliawang mengakhiri ceritanya dengan
helaan napas panjang. Lelaki tinggi kurus itu seperti baru saja melepaskan beban berat
yang menghimpitnya selama ini.
Panji baru memaklumi penderitaan yang dialami Ki Parwana. Yang dilakukan Ketua
Perguruan Kepalan Sakti, meski tidak sadar, memang merupakan pukulan batin yang
sangat berat. Wajar saja kalau tokoh setangguh Ki Parwana sampai mengalami goncangan
batin dan menjadi tidak waras. Panji mengerti orang tua itu didera rasa bersalah yang
sangat besar. Bahkan mungkin tak berampun, menurut pikiran Ki Parwana.
"Tokoh sesat itu pasti menggunakan ilmu sihir, Kakang...," Kenanga yang ikut
menyimak penjelasan Kaliawang mengutarakan dugaannya. Apa yang dipaparkan
Kaliawang demikian jelas. Sehingga, Kenanga dapat mengambil kesimpulan mengenai
kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Kepalan Sakti.
"Itu sudah pasti. Kalau tidak, mana mungkin Ki Parwana sampai tega membantai
murid-muridnya dengan cara yang demikian kejam. Hm..., sungguh keji perbuatan
Gendruwo Rimba Dandara...," tukas Panji yang rupanya mempunyai dugaan sama dengan
kekasihnya.
"Menurut ingatanku, tokoh yang berjuluk Gendruwo Rimba Dandara tinggal di
daerah utara. Hanya di daerah itulah ada Rimba Dandara. Apa kau mempunyai rencana,
Kang...?" tanya Kenanga.
"Mengenai hal itu, biarlah kita pikirkan nanti. Yang penting sekarang kesembuhan
Ki Parwana. Setelah mendapat penjelasan tentang permusuhan Ki Parwana dengan tokoh
sesat itu, baru kita mengatur rencana dan mencari Gendruwo Rimba Dandara..," ujar Panji
yang bermaksud mengobati Ki Parwana.
Kaliawang dan Balitang tidak berkata apa-apa. Mereka tidak berani lagi
menganggap remeh kedua orang muda itu dan mulai menduga Panji dan Kenanga bukan
orang sembarangan. Terbukti mereka berdua mengenal Gendruwo Rimba Dandara.
Bahkan tahu letak belantara itu.
"Aku akan menyiapkan kamar untuk kalian menginap...," Kaliawang bergerak
bangkit dari duduknya. Dan bergegas meninggalkan tempat itu untuk menyiapkan kamar
Panji dan Kenanga.
"Jangan terlalu merepotkan Kaliawang. Kami sudah terbiasa tidur di hutan
terbuka...," ujar Panji kepada lelaki tinggi kurus itu yang menanggapi dengan senyum.
Tidak berapa lama kemudian, Kaliawang kembali muncul dengan wajah cerah.
Kelihatannya ia tidak merasa keberatan dan menerima Panji dan Kenanga dengan hati
ikhlas.
"Silakan kalian melepas lelah. Setelah itu baru kita membicarakan pengobatan guru
kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu dengan hormat.
Merasa sudah kepalang basah, Panji maupun Kenanga tidak menolak permintaan
Kaliawang. Keduanya bergerak bangkit dan mengikuti langkah lelaki tinggi kurus itu ke
kamar yang telah disediakan. Kaliawang mohon diri setelah kedua orang muda itu
memasuki kamarnya masing-masing.
LIMA
Memang tidak mudah Panji menyembuhkan kegilaan Ki Parwana. Sebab
penyebabnya bukan racun atau yang sejenisnya. Pemuda itu memerlukan waktu yang
cukup lama dan harus menggunakan kekuatan batinnya untuk menghilangkan rasa
bersalah yang mendera jiwa Ki Parwana. Untuk menggunakan kekuatan batin, Panji
memerlukan banyak tenaga dalam.
Kaliawang dan Balitang setiap hari melihat perkembangan kesehatan gurunya.
Kedua lelaki yang mengambil alih pimpinan perguruan itu telah menaruh kepercayaan
penuh kepada Panji dan Kenanga. Mereka menyerahkan kesembuhan Ki Parwana pada
Panji. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan. Meski tidak segera pulih seperti sediakala,
namun kemajuan Ki Parwana terlihat nyata.
"Bagaimana perkembangan guru kami, Panji...?" tanya Kaliawang mendatangi Panji
di taman belakang perguruan. Saat itu Panji baru saja selesai bersemadi untuk
memulihkan tenaga dalamnya yang banyak terkuras selama mengobati Ki Parwana.
"Saat ini beliau sedang tidur. Kuharap kalian menunggu sampai beliau terbangun.
Kelihatannya ada harapan yang cukup besar. Kemungkinan dalam beberapa hari lagi
beliau akan sembuh," jawab Panji seraya menyusut peluh yang membasahi wajah dan
tubuhnya yang bertelanjang dada.
Lega hati Kaliawang dan Balitang mendengar penjelasan Panji. Itu terlihat jelas dari
tarikan napas mereka yang panjang dan ringan.
"Entah bagaimana kami harus membalas budi haikmu, Panji. Rasanya seumur
hidup kami tidak akan sanggup membayar budi baik kalian berdua...," ujar Kaliawang.
Panji tertawa pelan. Seraya menjatuhkan tubuhnya pada sebuah batu pipih yang
dibentuk seperti kursi panjang, terdengar helaan napasnya saat tawanya berhenti.
"Kaliawang," ujar Panji kemudian. "Kalau seseorang memberikan pertolongan
dengan mengharapkan balasan, jelas itu tidak benar. Kalau memang ingin menolong harus
benar-benar ikhlas dan rela berkorban tenaga dan pikiran bahkan mungkin nyawa. Jadi,
sebaiknya kau tidak perlu memikirkan balasan untuk kami berdua. Apa yang kami
lakukan adalah hal yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Melihat Ki Parwana
sembuh saja, senang rasanya hatiku. Lagi pula, menolong sesama manusiaa sudah
menjadi kewajiban kita semua. Nah, apakah perkataanku salah?"
Kaliawang dan Balitang hanya bisa menatap kagum pemuda tampan berbudi luhur
itu. Mereka merasa sangat kecil bila dibandingkan dengan Panji. Selain kalah dalam
pengalaman, pemuda itu pun berpandangan luas dan pandai menyusun kata-kata. Itu
merupakan pengalaman baru bagi mereka. Diam-diam keduanya berjanji dalam hati akan
mencontoh sikap dan perbuatan pemuda tampan itu. Pemuda itu memang pantas
dijadikan contoh mereka, bahkan oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya yang mengaku
pendekar pembela keadilan.
"Kami benar-benar harus belajar banyak darimu, Panji...," ujar Kaliawang mewakili
Balitang.
"Sudahlah. Kalian hanya membuatku malu saja...," elak Panji mengibaskan
tangannya perlahan. "Sebaiknya sekarang kita lihat keadaan Ki Parwana. Mudah-mudahan
beliau sudah bangun...."
Kendari keduanya sadar Panji sengaja mengalihkan pembicaraan, tapi mereka
sedikit pun tidak membantah. Keduanya mengayun langkah mengikuti Panji dan Kenanga
yang membawa mereka ke kamar Ki Parwana.
Ki Parwana tengah duduk termenung di atas pembaringan. Berturut-turut
masuklah Panji, Kenanga, dan kedua murid lelaki tua itu setelah mengetuk pintu per-
lahan. Kedatangan mereka tidak membuat Ki Parwana bangkit. Sepasang matanya tetap
mengawasi pemandangan di luar jendela kamar.
"Guru...."
Kaliawang dan Balitang segera menjatuhkan diri berlutut di bawah pembaringan Ki
Parwana. Suara itu rupanya sanggup menyadarkan Ki Parwana kembali ke alam nyata.
Sepasang matanya beralih pada dua lelaki yang masih berlutut di bawah kakinya.
Sementara Panji dan Kenanga berdiri memperhatikan sikap orang tua itu. Mereka
ingin melihat tanggapan Ki Parwana. Pada hari-hari kemarin, orang tua itu hanya
memandang kosong pada Kaliawang dan Balitang. Tapi, kali ini tampaknya ada
perubahan. Kening lelaki tua itu berkerut. Seolah tengah mengerahkan ingatannya untuk
mengenali kedua lelaki itu.
"Kalian siapa...?"
Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulut Ki Parwana. Kendati belum bisa
mengenali kedua orang muridnya, tapi suara itu jelas merupakan tanggapan atas sikap
Kaliawang dan Balitang. Panji dan Kenanga saling berpandangan dan bertukar senyum.
"Ki Parwana," ujar Panji mengerahkan kekuatan batinnya. Suaranya terdengar
penuh perbawa dan menelusup ke dalam jaringan otak lelaki tua itu, membuat Ki Parwana
mengangkat kepala.
"Perhatikan baik-baik. Mereka adalah kedua muridmu yang setia dan penuh
tanggung jawab...!" kembali suara Panji bergema menggetarkan sekujur tubuh Ki Parwana
untuk beberapa saat. Hal itu hanya diketahui Panji dan Kenanga.
"Mereka murid-muridku...?" desis Ki Parwana. Kerut di keningnya semakin terlihat
nyata. Pandangan matanya beralih ke bawah setelah bertatapan dengan sepasang mata
Panji yang mengandung kekuatan gaib.
"Katakan, Ki Parwana! Apakah sekarang kau bisa mengenali mereka?"
Ki Parwana kembali menoleh ke arah Panji. Lalu kembali memperhatikan Kaliawang
dan Balitang yang menengadah agar mudah dikenali lelaki tua itu.
"Ya. Mereka memang murid-muridku. Tapi, aku tidak tahu siapa mereka...," ujar Ki
Parwana perlahan, mirip keluhan putus asa. Kemudian lelaki tua itu meremas rambutnya
dengan jari-jari tangan bergetar. Sepertinya ia merasa kecewa karena tidak bisa mengenali
kedua muridnya.
Melihat sikap Ki Parwana, Panji segera bertindak cepat. Ia tahu orang tua itu belum
mampu mengingat dengan baik. Jika dipaksakan bisa-bisa pecah pembuluh darah di
kepala lelaki tua itu.
"Tubuhmu masih lelah, Ki Parwana! Sebaiknya kau beristirahat. Jangan paksa
dirimu...!"
Kendati Panji tidak mempelajari atau memiliki ilmu sihir, namun dengan kekuatan
batinnya yang terlatih baik ia sanggup membuat suaranya berpengaruh kalau memang
dikehendaki. Itu terbukti dari sikap yang diperlihatkan Ki Parwana.
"Aku sangat lelah.... Aku ingin istirahat...," ujar Ki Parwana seraya merebahkan
tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya mengerjap berkali-kali seperti orang yang
sangat kelelahan.
"Minumlah obat ini, Ki Parwana! Setelah bangun nanti, kau akan ingat segalanya
dengan baik...!" ujar Panji tetap menggunakan kekuatan batinnya sambil menyerahkan
sebutir pil kepada orang tua itu, yang langsung menelannya tanpa membantah.
"Aku akan ingat segalanya..... Ya, aku akan ingat segalanya setelah terbangun
nanti...."
Sambil memejamkan matanya, setelah menelan pil pemberian Panji, Ki Parwana
mengulang kata-kata yang diucapkah Panji. Sampai akhirnya lelaki tua itu jatuh tertidur.
"Mari kita pergi agar istirahatnya tidak terganggu. Mudah-mudahan ia akan
memperlihatkan kemajuan setelah terbangun nanti...," Panji mengajak Kenanga dan kedua
murid Ki Parwana untuk meninggalkan tempat itu.
"Kelihatannya beliau hampir sembuh, Panji...," bisik Kaliawang gembira, meski Ki
Parwana baru mengingatnya sebagai murid tanpa menyebut nama mereka.
Tapi itu sudah mendatangkan harapan bagi mereka untuk melihat bagaimana
gurunya sembuh seperti semula.
***
Hari yang dinantikan murid-murid Perguruan Kepalan Sakti pun tiba juga.
Pengobatan yang dilakukan Panji membawa hasil yang menggembirakan Ki Parwana
sembuh dari kegilaannya, meski terkadang masih suka termenung dan lebih senang
menyendiri. Kesembuhan Ki Parwana membuat murid-muridnya gembira.
Ki Parwana duduk di kursi bergagang gading di ruangan depan yang terbuka. Di
kiri-kanan lelaki tua itu duduk Panji dan Kenanga. Sedangkan beberapa langkah di depan
Ki Parwana terlihat Kaliawang dan Balitang duduk bersila dengan wajah cerah. Sepasang
mata kedua lelaki itu berkilat menggambarkan kegembiraan yang sangat.
"Murid-muridku sekalian...!" ujar Ki Parwana mengedarkan pandangannya ke arah
belasan murid yang berdiri di halaman depan, tempat beriatih silat "Aku berharap kalian
mau memaafkan perbuatanku yang telah membantai kawan-kawan kalian...," ucap Ki
Parwana terhenti, seperti menunggu tanggapan.
"Guru...." Kaliawang merangkap kedua tangannya dengan sikap penuh hormat
"Kami semua tidak menyalahkan Guru. Sebab kami sadar perbuatan Guru dilakukan
karena pengaruh sihir, seperti yang dikatakan Panji dan Kenanga. Jadi, Guru tidak perlu
meminta maaf kepada kami. Kami tetap setia dan hormat kepada Guru...."
Ki Parwana tersenyum tipis mendengar ucapan Kaliawang yang mewakili suara hati
murid-murid lainnya. Hati orang tua itu merasa lega, kendati masih kelihatan agak lemah.
Kesehatannya memang belum pulih sepenuhnya. Hal itu tentu saja tidak terlalu
mengkhawatirkan. Untuk memulihkan tenaganya, Ki Parwana hanya tinggal
memperbanyak semadi. Setelah itu, tidak ada persoalan lagi.
"Terima kasih...," Ki Parwana memandang wajah murid-muridnya yang tinggal
tujuh belas orang. "Perlu kalian ketahui, semua ini berkat pertolongan seorang pendekar
muda yang duduk di sebelah kananku. Apakah kalian sudah mengenal pemuda ini...?"
Tujuh belas murid Ki Parwana menganggukkan kepala. Mereka memang telah
mengenal pemuda yang bernama Panji itu. Kaliawang dan Balitang pun ikut mengangguk
mendengar pertanyaan gunanya.
"Tidak. Kalian belum mengenal siapa sebenarnya pemuda perkasa ini," lajut Ki
Parwana, membuat murid-muridnya mengerutkan kening. Khawatir orang tua itu kembali
tidak bisa mengingat dengan baik.
"Guru...!" Kaliawang yang terlihat cemas buru-buru memanggil lelaki tua itu,
seperti hendak membawanya kembali ke alam sadar.
"Kau tidak periu cemas, Kaliawang. Yang akan kukatakan pasti akan membuat
kalian terbelalak!"
Ki Parwana terkekeh hingga murid-muridnya khawatir, dan memandang Panji yang
menggeleng-gelengkan kepala mencegah ucapan Ki Parwana. Panji tahu apa yang
dimaksud orang tua itu.
Gelengan kepala Panji ternyata ditanggapi lain oleh murid-murid Ki Parwana,
termasuk Kaliawang dan Balitang. Mereka mengira Panji merasa tidak sanggup lagi
mengobati guru mereka. Dan menganggap gelengan pemuda itu sebagai ungkapan
keputusasaan-nya.
"Dengarlah, Murid-muridku! Pemuda ini adalah seorang pendekar besar yang telah
mengguncang rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya! Nah, apakah kalian dapat
menebak siapa pemuda yang bernama Panji ini...?" tanpa mempedulikan kekhawatiran
murid-muridnya, Ki Parwana melanjutkan perkataannya.
"Aaah...?! Benarkah... Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
Kaliawang rupanya telah banyak mendengar tentang Pendekar Naga Putih dari
cerita gurunya. Ia segera dapat menebak dengan tepat setelah memperhatikan sosok
pemuda tampan berjubah putih itu. Hanya Pendekar Naga Putih-lah yang memiliki ciri-ciri
persis seperti sosok pemuda bernama Panji itu. Kaliawang sedikit pun tidak menduganya.
"Benar, Kaliawang. Kalau bukan Pendekar Naga Putih, mana mungkin ia sanggup
menyembuhkan kegilaanku yang sangat parah ini...," Ki Parwana terkekeh gembira
mendengar Kaliawang dapat menebak dengan tepat.
Panji sendiri menjadi risih ketika melihat sikap murid-murid Perguruan Kepalan
Sakti semakin menunjukkan kekaguman, bahkan ada beberapa di antaranya menyanjung-
nyanjung pemuda itu.
"Kuharap kalian jangan membuatku jadi besar kepala! Julukan itu hanya sebuah
nama kosong belaka...!" ujar Panji merendah. Pujian-pujian itu tidak membuatnya menjadi
sombong. Malah semakin membuatnya rendah hati.
"Maafkan sikapku yang kurang hormat selama ini, Pendekar Naga Putih...."
Kaliawang memperlihatkan perubahan yang nyata. Itu karena ia tahu Panji adalah
Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, tentu sikapnya akan tetap seperti biasa, dan tidak
terlalu sungkan. Apalagi mengagung-agungkan pemuda tampan berjubah putih itu.
Ternyata nama besar dalam kalangan persilatan mendatangkan pandangan lain pada
orang banyak.
"Sikap dan keluhuran budi pendekar muda ini patut kalian contoh!"
Ki Parwana menasihati murid-muridnya. Lelaki tua itu tampak tidak peduli walau
Panji berusaha mencegahnya. Dan terus memberikan wejangan-wejangan kepada
muridnya dengan sosok Pendekar Naga Putih sebagai contoh nyata.
"Sudahlah, Ki. Jangan diteruskan. Aku khawatir tidak bisa membawa beban berat
ini. Sebab, manusia sewaktu-waktu berubah. Aku tidak ingin mereka menyesal di
kemudian hari karena terlalu memujiku...," ujar Panji berusaha mengingatkan Ki Parwana
saat lelaki tua itu menghentikan ucapannya untuk menarik napas.
Kali ini Ki Parwana tampaknya mengerti akan perasaan pemuda tampan itu. Ia
tidak lagi melanjutkan wejangannya. Karena memang yang hendak disampaikannya telah
selesai.
Saat itu hari sudah menjelang sore. Ki Parwana segera membubarkan murid-
muridnya dan mengingatkan akan tugas masing-masing. Lalu mempersilakan Panji dan
Kenanga untuk beristirahat. Tapi Panji menolak. Ada sesuatu yang hendak diketahuinya
dari orang tua itu.
"Kau hendak menanyakan sesuatu kepadaku, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki
Parwana seperti dapat membaca pikiran, pemuda tampan itu.
"Benar, Ki...," sahut Panji cepat setelah murid-murid Ki Parwana meninggalkan
tempat itu. Yang tinggal hanya Kaliawang dan Balitang. Mereka dianggap sudah pantas
untuk mengetahui semua yang berhubungan dengan Perguruan Kepalan Sakti.
"Tanyakanlah, Pendekar Naga Putih. Aku akan menjawabnya sebisaku." Ki Parwana
menatap wajah pemuda tampan itu lekat-lekat.
"Tidak banyak yang ingin kuketahui, Ki. Tapi kalau kau menganggapnya terlalu
ptibadi, tidak perlu dijawab...."
Ki Parwana mengangguk-angguk. Sepasang matanya tetap mengawasi wajah
Pendekar Naga Putih yang telah lama dikaguminya. Memang pemuda seperti Panji-lah
yang diharapkan dapat menggantikan tokoh-tokoh tua seperti dirinya. Ia bangga dengan
kepandaian maupun budi pekertinya yang luhur. Ki Parwana percaya Pendekar Naga Putih
dapat mengemban tugas-tugas berat yang menjadi kewajiban setiap orang gagah.
"Apa yang membuat Gendruwo Rimba Dandara sangat mendendam pada Ki
Parwana...?" Panji langsung mengutarakan pertanyaan yang mengganjal di benaknya sejak
mengetahui orang yang menyebabkan kegilaan Ki Parwana.
"Hm.... Sebenarnya yang terjadi di antara kami adalah hal yang biasa dalam
kalangan persilatan. Sebagai orang gagah, tentu saja aku tidak bisa mendiamkan
kekejaman Gendruwo Rimba Dandara. Saat itu aku masih tinggal di daerah utara.
Bersama seorang rekan, aku menantang tokoh sesat itu bertarung. Gendruwo Rimba
Dandara terlempar ke jurang oleh pukulan kami yang dilontarkan bersamaan. Siapa
sangka tokoh yang kuanggap telah tewas itu, tiba-tiba muncul di daerah selatan ini dengan
ilmunya yang luar biasa! Hingga akhirnya ia berhasil membalas dendam dengan
menyiksaku," papar Ki Parwana menceritakan permusuhannya dengan Gendruwo Rimba
Dandara.
"Kalau begitu, rekan Ki Parwana pun pasti akan didatanginya," ujar Panji.
"Tidak mungkin! Rekanku itu telah tewas. Ia mengalami luka dalam yang cukup
parah sewaktu bertempur menghadapi Gendruwo Rimba Dandara. Mungkin tokoh jahat
itu belum mengetahuinya. Rekanku tewas setahun setelah pertarungan di puncak Bukit
Mata Setan...," ucap Ki Parwana membuat Panji merasa lega.
"Jika demikian, izinkanlah aku dan Kenanga mohon diri. Kami hendak mencoba
menghentikan kejahatan tokoh sesat itu...," ujar Panji segera bangkit dari duduknya.
"Mengapa terburu-buru, Pendekar Naga Putih...?" kaget juga Ki Parwana.
Permintaan Panji sangat mendadak dan tidak disangka-sangka.
"Bukannya kami tidak kerasan tinggal di tempat ini, Ki. Tapi, sebaiknya kita
bertindak cepat dalam memberantas kejahatan. Dengan begitu, korban yang akan jatuh
bisa kita cegah...." Panji mengajukan alasan yang tepat hingga Ki Parwana tidak bisa
berkata apa-apa Ucapan Panji dapat dimakluminya.
"Berjanjilah untuk singgah ke tempat ini, Pendekar Naga Putih. Keberadaanmu
akan sangat baik bagi perkembangan murid-muridku...," pinta Ki Parwana yang tahu tidak
mungkin bisa menahan kepergian pemuda yang sangat dikaguminya itu.
"Bila persoalan ini telah selesai, aku berjanji akan singgah dan bermalam beberapa
hari...," janji Panji. Ki Parwana tampak puas. Janji orang seperti Pendekar Naga Putih
bukanlah janji kosong.
Matahari sudah bergeser semakin ke barat saat Panji dan Kenanga bergerak
meninggalkan Perguruan Kepalan Sakti. Ki Parwana mengantarkan sampai ke pintu
gerbang bersama murid-muridnya. Mereka baru bergerak masuk setelah bayangan
pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan
ENAM
"Kakang, kau dengar suara lengkingan aneh yang mendirikan bulu roma itu...?"
Kenanga yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas rumput dengan berbantalkan
buntalan pakaian bergegas bangkit.
"Hm.... Seperti suara lengkingan binatang malam atau sebangsanya. Tapi,
mengandung kekuatan aneh yang menggetarkan jantung.... Binatang apa yang memiliki
suara seseram itu...?" gumam Panji menyahuti ucapan kekasihnya.
Panji bangkit dari duduknya di atas akar pohon seraya mengerahkan indera
pendengarannya, ia merasa penasaran dan agak curiga dengan suara lengkingan aneh
yang menurutnya tidak wajar.
Dengan pendengarannya yang tajam, Panji dapat menangkap suara lengkingan itu
lebih jelas dari semula. Keningnya tampak berkerut. Seolah sedang berpikir keras. Panji
mulai dapat menduga suara lengkingan itu bukan berasal dari binatang malam. Selama ini
ia belum pernah mendengar suara seperti itu.
"Lengkingan itu bergerak ke arah timur! Kita harus mengikutinya, Kenanga.
Firasatku mengatakan suara lengkingan itu pertanda buruk,.," Panji mengajak kekasihnya
mengikuti suara lengkingan itu.
Tanpa mempedulikan suasana malam yang agak gelap, Panji melesat bersama
kekasihnya menuju ke arah timur. Pancaran cahaya bulan yang muncul penuh sangat
membantu gerakan mereka. Meskipun agak samar, namun mereka dapat bergerak lebih
leluasa dengan bantuan sinar bulan.
Dengan kepandaian ilmu lari cepatnya yang sangat tinggi, pasangan pendekar
muda itu bergerak mengikuti suara lengkingan yang semakin jelas terdengar. Jalan yang
mereka lintas pun semakin diterangi cahaya bulan. Jalan berbatu yang cukup lebar itu
memang tidak banyak terlindung pepohonan Tapi setelah suara itu, semakin dekat
jaraknya dengan mereka, tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Hingga mereka kehilangan arah
dan tidak tahu harus ke mana.
"Hm... Apa sebenarnya yang mengeluarkan lengkingan aneh itu? Mengapa tiba-tiba
lenyap saat kita sudah dekat dengan pemilik suara itu?" Panji memperlambat larinya.
Pemuda itu tidak bisa menduga ke mana pemilik lengkingan aneh itu pergi.
Kenanga pun tidak kalah penasarannya dengan Panji. Kendati demikian, dara jelita
itu tidak menghentikan gerakannya. Langkahnya tetap terayun di samping Panji.
Sementara otaknya bekerja keras mencari jawaban.
Meskipun telah kehilangan arah, pasangan pendekar muda itu terus bergerak
menerobos keremangan malam. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah jalan yang rata
dan lebar.
Hm.... Jalan ini pasti berhubungan dengan sebuah perkampungan. Sebaiknya kita
mengikuti jalan ini. Mungkin lengkingan aneh itu menuju perkampungan di sebelah timur
Ku..., gumam Panji dalam hari menduga-duga. Pemuda itu melihat tiang batu yang
merupakan batas desa. Langsung saja larinya dipercepat agar segera tiba di desa sebelah
timur itu.
"Apa mungkin lengkingan itu suara hantu-hantu yang bergentayangan, Kakang...?"
tiba-tiba Kenanga bertanya demikian, membuat Panji menoleh sambil tenis berlari.
"Tidak mungkin...," sahut Panji setelah terdiam beberapa saat.
Suara lengkingan itu terdengar jelas dan nyata. Selain itu, tidak ada rasa takut
dalam hatinya. Kalau lengkingan itu milik makhluk-makhluk halus, ia dapat merasakan
perbedaannya. Suara alam gaib dapat menimbulkan rasa takut yang aneh, yang tidak
dimengerti manusia. Sedangkan suara lengkingan itu, meskipun menyeramkan, tapi tidak
mendatangkan perasaan takut yang aneh atau pun getaran kengerian dalam hatinya. Panji
yakin lengkingan itu berasal dari makhluk-makhluk nyata seperti mereka berdua.
"Aaa...!"
Keyakinan Panji diperkuat oleh suara jeritan melengking seorang manusia. Jeritan
itu menunjukkan pemiliknya tengah menghadapi sesuatu yang mengerikan atau kematian.
"Suara jeritan orang yang tengah menghadapi maut...?!" desis Kenanga segera
menambah kecepatan larinya, mengikuti langkah Panji yang telah lebih dulu melesat
dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Kenanga tertinggal sejauh satu setengah
tombak. Dara jelita itu maklum akan sikap kekasihnya yang harus secepatnya tiba di
tempat jeritan itu berasal.
Namun, Panji tidak periu bersusah-payah mencari penyebab lengkingan maut itu.
Sebelum ia sampai di mulut desa, di depannya rampak enam sosok bayangan hitam
bergerak ke arahnya. Tiga dari enam sosok yang kelihatan kecil itu seperti membawa
beban di bahu kanannya. Panji juga mendengar teriakan orang banyak yang rupanya
sedang mengejar keenam sosok itu. Tahulah Panji kalau sosok yang bergerak ke arahnya
itu orang-orang jahat yang baru saja melaksanakan kejahatannya.
Apa yang kemudian disaksikan Panji benar-benar membuatnya hampir tidak
percaya. Keenam sosok hitam itu orang-orang kerdil yang kemudian diketahuinya bocah-
bocah tanggung berusia sekitar sepuluh tahun. Dan beban yang berada di aras pundak
tiga bocah-bocah itu anak-anak kecil yang diduganya baru berusia empat atau lima tahun!
Tampaknya mereka baru saja melakukan penculikan!
"Kuminta kalian berhenti...!" seru Panji menghentikan larinya dan berdiri tegak
menghadang jalan.
Tapi, bocah-bocah berkulit hitam dan berkepala gundul pelontos itu tidak
menghiraukan peringatan Panji. Tiga bocah terdepan bahkan mengirim serangan kilat yang
menyebarkan hawa panas menyengat! Panji terkejut bukan main!
"Gila! Mana mungkin bocah sekecil itu memiliki tenaga dalam yang demikian
hebat...!" desis Panji. 'Tenaga Sakti Geihana Bulan'nya langsung bergerak melindungi
sekujur tubuh pemuda itu. Sebentar saja lapisan kabut bersinar putih keperakan melapisi
seluruh tubuh Panji. Sehingga....
Tas tas tasss...!
"Heiii...!"
Panji berseru kaget menerima tiga pukulan jarak jauh berhawa panas! Kuda-
kudanya terjajar tiga langkah! Jelas itu tidak bisa didiamkan begitu saja.
"Hiii...!"
Tiga bocah aneh dengan sorot mata kehijauan itu kembali menerjang Panji dengan
ganasnya! Padahal saat pukulan mereka membentur tubuh pemuda itu ketiganya terpental
balik. Namun mereka dapat menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik dan kembali
melesat dengan serangan yang jauh lebih ganas dan berbahaya!
"Luar biasa...! Mungkinkah mereka bocah-bocah siluman yang tengah mencari
mangsa...?!" desis Panji yang telah siap menghadapi serangan bocah-bocah aneh
menyeramkan itu. Lengkingan tadi menjelaskan kepada Panji bahwa suara aneh yang
tengah dicarinya ternyata berasal dari bocah-bocah menyeramkan itu.
Bwet bwettt...!
Dua buah serangan yang tiba lebih dulu dielakkan Panji dengan lompatan ke
samping. Pemuda itu masih merasa sungkan untuk membalas, mengingat lawannya hanya
bocah-bocah kecil. Tapi....
Plarrr...!
Serangan bocah ketiga yang dipapaki Panji membuat pemuda itu sadar bahwa
mereka bukan bocah-bocah biasa yang patut dikasihani. Karena pada saat lengannya
membentur serangan salah seorang bocah, Panji mendapat kenyataan bocah-bocah itu
sangat kuat! Maka, pemuda itu segera mengirim serangan balasan dengan kecepatan kilat!
Plakkk!
"Eaakh...!"
Salah satu dari ketiga bocah aneh itu, yang kembali menerjang Panji, terpental
balik terkena tamparan cukup keras pemuda itu. Hingga jatuh berdebuk di atas tanah
berbatu! Tapi....
"Heiii...?!"
Bukan main kagetnya Panji melihat bocah itu langsung melenting bangkit seperti
tidak merasakan apa-apa. Padahal tamparannya sanggup memecahkan batu sebesar
kerbau! Tapi, bagi bocah itu tak lebih dari sebuah tepukan sayang. Kenyataan itu
membuat Panji semakin sadar bahwa bocah-bocah itu harus dilawannya dengan sungguh-
sungguh! Maka, Panji mulai mempersiapkan serangan-serangannya.
***
Sementara itu, Kenanga yang tiba belakangan mengerutkan kening melihat
kekasihnya dikeroyok tiga orang bocah gundul yang sangat ganas dalam melontarkan
setiap serangan. Belum lagi Kenanga menyadari sepenuhnya, tiba-tiba tiga bocah lainnya
yang memondong korbannya, menerjang dara jelita itu dengan sebelah tangan.
"Heiii...?!"
Kaget bukan main hati dara jelita itu mendengar suara angin menderu disertai
hawa panas menyengat! Sadarlah Kenanga tiga serangan itu bisa mendatangkan kematian
bila sampai mengenai tubuhnya. Tentu saja dara jelita itu tidak sudi tubuhnya menjadi
sasaran pukulan maut itu.
"Haiiit...!"
Diiringi teriakan melengking, Kenanga berlompatan mengandalkan kegesitan
tubuhnya untuk menyelamatkan diri. Tapi karena ia masih belum memberikan serangan
balasan, dara jelita itu menjadi sibuk ketika serangan lawan semakin gencar berdatangan
tak ubahnya gelombang lautan yang mengamuk!
"Kurang ajar...!"
Kenanga memaki geram. Cepat ia mempersiapkan jurus-jurusnya untuk
menghadapi bocah-bocah kurang ajar itu. Sepasang tangannya bergerak cepat. Serangan-
serangan balasannya meluncur datang. Sebentar saja Kenanga telah terlibat sebuah
pertarungan yang sangat seru!
"Kenanga, hati-hati! Jangan pandang remeh bocah-bocah itu! Mereka sangat hebat
dan memiliki kekebalan tubuh yang tangguh!" Panji yang melihat Kenanga juga telah
bertarung melawan tiga orang bocah gundul segera memperingatkan. Kalau tidak,
kekasihnya bisa mendapat celaka bahkan mungkin kematian. Bocah-bocah gundul
berkulit hitam itu tangguh luar biasa dan sangat gesit.
Setelah mendengar peringatan Panji, Kenanga tidak lagi ragu-ragu melontarkan
serangan balasan.
Kali ini dara jelita itu bersungguh-sungguh. Karena setelah bertarung selama
belasan jurus Kenanga mendapati bocah-bocah itu memang sangat berbahaya!
"Hm.... Kalian benar-benar harus diajar sopan santun..!" geram dara jelita itu mulai
mengerahkan jurus-jurus ampuhnya menghadapi keroyokan tiga bocah aneh itu.
Plakkk, plakkk!
Dua orang bocah yang tidak sempat menghindari tamparan Kenanga langsung
terpelanting jatuh mencium tanah! Tapi, mereka segera melenting bangkit. Kenanga
hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bocah-bocah itu tampak tidak merasa
sakit sedikit pun, apalagi terluka. Seolah Kenanga bukan melakukan tamparan, tapi
belaian hangat yang membuat bocah-bocah gundul itu semakin bertambah ganas!
"Celaka! Kalau terus-terusan begini, bisa-bisa aku yang celaka di tangan mereka...!"
Kenanga segera mengempos semangatnya dan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Lawan yang dihadapinya tidak bisa dibuat main-main lagi!
"Hiii...!"
Tapi, ketiga bocah gundul berkulit hitam itu tidak memperlihatkan sikap gentar.
Dibarengi teriakan melengking aneh yang mendirikan bulu roma, tubuh ketiga bocah itu
menerjang Kenanga dengan pukulan yang menyebarkan hawa panas menyengat!
Kenanga kelihatan tidak lagi bertindak tanggung-tanggung. Sebentar saja
pertarungan kembali berlanjut! Bahkan jauh lebih seru!
Sementara Panji mulai kewalahan menghadapi bocah-bocah tangguh itu. 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'nya seperti tidak mempunyai arti bagi lawan-lawannya. Kenyataan itu
membuat Panji penasaran. Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak tega membunuh
bocah-bocah itu dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Panji menduga bocah-
bocah itu mempunyai majikan, atau paling tidak ada yang mengendalikan. Ia ingin
menyingkap rahasia itu.
Hm... Satu-satunya jalan untuk merobohkan mereka tanda menciderainya adalah
dengan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sikap bocah-bocah ini kelihatan tidak wajar...,
gumam Panji dalam hati, kemudian melompat jauh menghindari gempuran ketiga bocah
gundul itu.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, Panji menyilangkan kedua tangannya di
depan dada dengan mata terpejam. Sebentar kemudian, terciptalah sinar kuning keemasan
membungkus sekujur tubuh Panji. Lalu terus bergerak ke kedua telapak tangannya.
Hanya sebatas pergelangan tangannya saja yang diwarnai sinar keemasan berhawa panas
itu.
"Haiiit!" Bocah-bocah gundul itu menerjang Pendekar Naga Putih dari tiga arah
yang berbeda, Panji pun segera mendorongkan kedua telapak tangannya.
Breshhh...!
"Kaaakh...! Kaaakh,..!" Disertai pekikan keras, tubuh bocah-bocah aneh itu
terjerembab ke tanah terkena hantaman sinar kuning keemasan milik Panji!
"Haiiit...!"
Ketika bocah-bocah gundul itu datang menerjang dari tiga arah yang berbeda, Panji
mendorong telapak tangannya kedua arah sekaligus!
Breshhh...!
"Kaaakh...!"
"Kaaakh...!"
Sinar kuning keemasan yang meluncur dari sepasang telapak tangan Panji
langsung menghajar dua dari tiga bocah itu! Akibatnya, tubuh bocah-bocah aneh itu
terjerembab ke tanah. Kali ini mereka tidak sanggup bangkit lagi. Sinar keemasan yang
menerpa tubuh mereka berpendar melingkari tubuh kedua bocah yang rebah tak bergerak
itu. Sinar itu terus berputaran mengecil. Sampai akhirnya lenyap seperti masuk ke dalam
tubufi bocah-bocah gundul itu.
"Hiiikh...!"
Bocah yang tinggal seorang kelihatan gentar setelah menyaksikan sinar kuning
keemasan yang menghantam pingsan kedua kawannya. Dengan memperdengarkan suara
aneh, bocah itu bergerak mundur menarik pulang serangannya. Dan hendak melarikan
diri dari tempat itu.
"Hm.... Rupanya kau masih memiliki rasa takut juga, Bocah…," ujar Panji melihat
sikap lawannya yang tinggal seorang itu.
Tentu saja Panji tidak mau melepaskan lawannya begitu saja. Cepat pemuda itu
melesat mencegah kepergiannya. Dan melontarkan pukulan 'Tenaga Inti Panas Bumi' yang
telak menghantam tubuh belakang bocah itu!
Tanpa ampun lagi, tubuh bocah itu terjerembab ke tanah. Kejadian serupa yang
dialami kedua kawannya juga terjadi pada bocah itu, yang rebah pingsan akibat pukulan
Panji.
Apa yang terjadi pada ketiga bocah gundul itu tidak aneh! Kekuatan gaib jelmaan
Pedang Naga Langit memang suatu kekuatan mukjizat yang tidak ada duanya. Tenaga itu
dapat hidup dan dikendalikan menurut pikiran pemiliknya. Panji bermaksud sekadar
melumpuhkan lawan-lawannya tanpa mencederai. Tenaga mukjizat itu pun bekerja seperti
yang diinginkan Panji. Sehingga, ketiga bocah gundul itu hanya pingsan tanpa mengalami
luka yang berbahaya bagi keselamatan nyawanya.
Setelah berhasil dengan ketiga lawannya, Panji segera melesat ke tempat Kenanga
bertarung. Pemuda itu hendak melakukan perbuatan serupa pada tiga bocah lainnya.
"Kenanga, menyingkirlah! Biar aku yang melumpuhkan mereka!" seru Panji yang
tengah melayang di udara.
Mendengar seruan itu, Kenanga segera melompat jauh ke belakang. Selama
pertempuran gadis jelita itu memang belum menggunakan Pedang Sinar Bulan. Biar
bagaimanapun hatinya tidak tega membunuh bocah-bocah tanggung itu. Teriakan Panji
membuat dara jelita itu menarik napas lega. Beberapa jurus lagi Kenanga sudah
memutuskan untuk menggunakan pedangnya.
Panji yang meluncur ke tengah arena langsung menerjang ketiga bocah gundul
yang menjadi lawan kekasihnya. Kali ini Panji tidak melakukan pukulan jarak jauh.
Karena ada tubuh lain di bahu ketiga bocah itu. Panji harus lebih berhati-hati agar tidak
melukai tubuh anak-anak berusia empat atau lima tahun yang diculik bocah-bocah
gundul itu. Untuk melakukan itu tentu saja tidak mudah. Membutuhkan waktu yang agak
lama. Tidak seperti waktu merobohkan lawan-lawannya tadi.
TUJUH
Kenanga yang menyaksikan jalannya pertempuran mau tidak mau harus
menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak! Pemandangan yang disaksikannya benar-
benar sukar diterima akal sehat. Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, Kenanga tidak akan percaya. Bagaimana mungkin seorang pendekar yang telah
menggemparkan rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya yang langka sampai
harus mengerahkan kepandaiannya yang tertinggi untuk melumpuhkan tiga orang bocah
berusia sepuluh tahun! Sekali lagi, tiga orang bocah berusia sepuluh tahun! Jelas itu
mustahil terjadi! Tapi, kenyataannya Kenanga menyaksikan peristiwa ganjil itu!
Gila...! Kalau bocah-bocah gundul itu sampai bebas berkeliaran rasanya sulit
mencari orang yang mampu menundukkan mereka! Kakang Panji sendiri mengalami
kesulitan merobohkan bocah-bocah aneh itu! Hhh.... Betapa rimba persilatan akan geger
jika bocah-bocah itu berkeliaran.., gumam Kenanga dalam hati dengan perasaan tak
menentu. Dara jelita itu sendiri nyaris tidak berdaya menghadapi bocah-bocah gundul
yang menyeramkan itu.
"Haaaiiit..!"
Menghadapi tiga bocah gundul itu, Panji harus menggunakan seluruh kelincahan
tubuhnya. Mereka seperti dapat membaca pikiran Panji yang mengkhawatirkan
keselamatan tubuh-tubuh mungil di bahu mereka. Baru setelah lewat dari dua puluh
jurus. Panji dapat merobohkan salah satu lawannya dengan sebuah tamparan telak!
Plaggg...!
Begitu tubuh lawan terpental, Panji melesat menyambar bocah yang berada dalam
pondongannya. Sekali mengulur tangan korban penculikan itu pun berhasil diselamatkan.
Tapi....
Bukkk, desss...!
"Hukh...!"
Panji terjajar limbung terkena hantaman dua orang bocah lainnya saat tengah
menyelamatkan korban penculikan itu. Belakang tubuhnya terasa nyeri. Ada cairan merah
merembas dari sudut bibir pemuda perkasa itu.
"Hiii...!"
Dua bocah gundul itu mengeluarkan lengkingan tinggi yang mendirikan bulu roma.
Keduanya melesat cepat hendak menyusuli serangannya untuk merobohkan pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Hm...."
Panji cepat berbalik dan meliukkan tubuhnya menghindari dua serangan maut
lawan!
Bwettt, whusss...!
Serangan-serangan itu lewat di samping tubuh Panji. Kendati demikian, sambaran
angin pukulannya menggoyahkan kuda-kuda Panji. Tapi, kedua bocah itu harus
membayar mahal kecerobohan mereka. Panji segera melancarkan serangan balasan
dengan kecepatan laksana kilat menyambar!
Bukkk!
"High...!"
Saat tubuh bocah gundul itu terlempar roboh, tangan Panji kembali terulur
menangkap sosok yang terlepas dari pondongan lawan. Kemudian bergerak mundur ke
arah tempat Kenanga berdiri.
"Jaga kedua anak ini baik-baik...!" pesan Panji lalu melemparkan dua anak dalam
dekapannya.
Bukan pekerjaan yang sulit bagi Kenanga menangkap kedua tubuh mungil itu.
Sekali melayang kedua tangannya telah memeluk tubuh mungil itu erat-erat. Kemudian
meluncur turun dengan ringan.
Sementara Panji harus menghadapi serangan lawannya yang tinggal seorang.
Karena sudah berhasil mengetahui cara merobohkan lawannya, tidak sulit lagi bagi
pemuda itu untuk menyelesaikan pertempuran. Dengan mengandalkan kecepatan
geraknya yang memang sulit dicari tandingan, bocah gundul itu terpelanting roboh terkena
hantaman telapak tangan Panji pada tubuh bagian depannya.
"Huppp!"
Sekejap sebelum tubuh lawan terbanting ke tanah, Panji melompat menangkap
tubuh mungil yang terlepas dari pegangan bocah gundul itu. Dan pemuda itu berhasil
menyelamatkannya.
Bersamaan dengan robohnya bocah-bocah gundul itu terdengar suara langkah
orang banyak mendatangi tempat itu Teriakan-teriakan ribut meningkahi datangnya
rombongan orang desa. Dalam sekejap tempat itu menjadi terang-benderang oleh cahaya
api obor.
"Itu dia bocah-bocah iblis itu...?!"
Terdengar seruan heran seorang penduduk seraya menudingkan telunjuknya ke
sosok bocah-bocah gundul yang rebah pingsan di tanah berbatu.
"Bunuh bocah iblis itu...!"
"Cincang! Jadikan perkedel...!"
Suara teriakan-teriakan marah penduduk desa membuat Panji segera melesat
mencegah. Tubuhnya melayang bagai seekor burung besar. Dan meluncur turun beberapa
langkah di hadapan rombongan yang berjumlah tidak kurang dari empat puluh orang.
"Tunggu..!"
Panji mengulurkan tangannya disertai bentakan yang sangat berpengaruh. Orang-
orang desa yang dipimpin para keamanan desa itu pun tersentak mundur. Wajah mereka
berubah pucat, mengira sosok Panji adalah hantu. Selain gerakannya tidak terlihat,
pemuda itu mengenakan pakaian serba putih!
"Saudara-saudara sekalian, harap jangan turutkan kemarahan yang bisa
merugikan kalian sendiri...," Panji menggunakan kesempatan selagi mereka terkejut untuk
mengingatkan tindakan mereka.
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih yang menggendong seorang
bocah korban penculikan, para penduduk saling berpandangan. Mereka tidak tahu siapa
pemuda itu, dan berasal dari mana. Tapi melihat tubuh bocah-bocah gundul bergeletakan
di atas tanah, mereka dapat menduga pemuda tampan itulah yang menyelamatkan putra-
putri penduduk desanya. Apalagi salah satu korban penculikan ada dalam gendongan
Panji.
Setelah beberapa saat, dari kelompok penduduk melangkah maju seorang lelaki
berwajah cukup berwibawa. Meski terlihat agak pucat, lelaki bertubuh tegap itu berusaha
bersikap tenang. Langkahnya terhenti setengah tombak di hadapan Panji. Rupanya sikap
dan raut wajah Panji membuat hati lelaki tegap itu agak tenang dan percaya pemuda di
depannya bukan orang jahat.
"Kisanak yang gagah, siapakah kiranya! Mengapa bocah-bocah iblis itu
bergeletakan di tanah? Kisanak-kah yang melakukannya...?" tanya lelaki bertubuh tegap
yang rupanya kepala keamanan desa. Itu dapat dilihat dari sikapnya yang penuh tanggung
jawab dan pakaiannya yang hitam-hitam.
"Paman," sahut Panji tenang dan ramah. "Secara kebetulan kami mendengar suara
teriakan seram bocah-bocah gundul itu. Kami berusaha mencari asal lengkingan. Siapa
sangka kami justru berbentrokan dengan mereka yang ternyata baru saja melakukan tin-
dak kejahatan. Syukurlah kami bisa melumpuhkannya dan menyelamatkan korban-
korban penculikan ini...."
Lelaki tegap itu kelihatan agak ragu ketika Panji menyodorkan tubuh mungil yang
ada dalam pondongannya. Namun melihat wajah tampan itu tersenyum dan mengangguk,
lelaki tegap itu pun mengulur tangannya menyambut tubuh mungil yang diserahkan Panji.
Perbuatan Panji diikuti Kenanga. Dua tubuh mungil yang ada dalam dekapannya,
yang tengah pingsan akibat totokan, segera diserahkan kepada dua orang penduduk yang
menyambutnya tanpa ragu. Sebab yang menyerahkannya seorang dara jelita dengan bibir
tersenyum manis, membuat mereka yakin dara itu pasti bukan orang jahat. Mereka lebih
percaya bila dara itu seorang bidadari penyelamat ketimbang wanita iblis yang jahat.
"Kisanak muda yang gagah...." Kembali terdengar lelaki tegap, kepala keamanan
desa itu, berkata, "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan kalian. Tapi, kami mohon
maaf karena tidak bisa mengampuni bocah-bocah gundul itu begitu saja. Mereka bukan
cuma menculik, bahkan membunuh ibu dari anak-anak itu dengan cara yang sangat
kejam! Karena itu, kami minta kalian tidak keberatan bila kami membawa penculik-
penculik itu untuk dihukum...."
"Maaf, Paman. Bukannya aku menolak atau hendak membela orang-orang yang
telah melakukan kejahatan. Tapi, ada baiknya jika Paman mau mendengarkan
pertimbangan yang akan kami utarakan...," tukas Panji yang tentu saja maklum akan
perasaan lelaki tegap itu maupun penduduk desa. Apalagi mengingat bocah-bocah gundul
itu juga membunuh selain menculik. Hanya karena ada dugaan tertentu sajalah, Panji
berusaha mencegah keinginan mereka.
Mendengar perkataan pemuda tampan berjubah putih itu, yang sama artinya
dengan penolakan, kening lelaki tegap itu tampak berkerut. Jelas hatinya tidak senang
dengan ucapan Panji.
"Kisanak yang gagah. Meskipun kami sadar kau sudah berjasa besar terhadap
penduduk desa dengan menyelamatkan anak-anak itu, tapi bukan berarti kami mau saja
menuruti kehendakmu yang jelas tidak benar itu! Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari
bocah-bocah iblis itu?" lelaki tegap itu menuntut jawaban atas sikap Panji yang jelas-jelas
tidak mau menyerahkan bocah-bocah gundul itu kepada mereka.
"Paman," ujar Panji tetap tenang tidak terpengaruh kemarahan yang diperlihatkan
lelaki tegap itu. "Apa yang kulakukan ini demi kebaikan Paman dan penduduk desa. Aku
tidak ingin kalian akan mengutuki diri sendiri karena telah menjatuhkan hukuman kepada
bocah-bocah kecil yang kemungkinan besar telah digunakan orang-orang sesat untuk
melakukan tindak kejahatan."
"Apa maksud perkataanmu, Kisanak?"
"Begini, Paman," ujar Panji tetap dengan tekanan suara yang wajar. "Menurut kami,
penculik-pencullk itu tidak berbeda dengan anak-anak lainnya yang seusia mereka.
Bedanya mereka telah dipengaruhi suatu kekuatan aneh hingga sifat mereka berubah
mengerikan. Nah, sekarang katakanlah dengan jujur, Paman. Apakah kalian tega
menghukum atau membunuh bocah-bocah tak berdosa yang tidak sadar akan segala
perbuatannya?" Panji mengakhiri ucapannya dengan tekanan suara yang agak berat,
membuat lelaki tegap maupun penduduk desa terkejut.
"Jadi...," lelaki tegap itu mulai ragu. Tentu saja ia tidak akan pernah sudi
menghukum bocah-bocah gundul itu. Apalagi membunuhnya, seperti yang telah mereka
kehendaki bersama.
"Kalau Paman dan penduduk lainnya tidak keberatan, aku ingin membawa mereka
ke desa. Bila kau tidak bisa menyadarkan mereka dan mengembalikannya seperti semula,
anggaplah dugaanku keliru. Kalian boleh melakukan apa saja terhadap bocah-bocah
gundul itu...," usul Panji
Lelaki tegap itu kelihatan bimbang. Kemudian menoleh ke arah rombongan yang
sedang berbicara satu sama lain. Sehingga terdengar suara-suara mendengung.
"Bagaimana, Paman? Kami tidak bisa menunggu lama. Khawatir mereka keburu
sadar. Aku hanya membuat mereka pingsan untuk sementara waktu saja...," Panji
menuntut jawaban secepatnya. Sebab ia tidak bisa memastikan sampai kapan bocah-
bocah itu akan terkapar tak sadarkan diri.
Karena tidak mungkin meminta pendapat kawan-kawannya yang saat itu tengah
sibuk berbicara satu sama lain, lelaki tegap itu pun berkata kepada Panji.
"Tapi, bagaimana seandainya mereka sadar dan kembali melakukan pembunuhan?
Aku..., tidak berani bertanggung jawab...."
"Kami berdua bersedia menanggung segala akibatnya, Paman. Kalau mereka sadar
dan kembali mengamuk, kami yang akan maju mempertaruhkan nyawa lebih dulu...!"
Kenanga yang merasa tidak sabar oleh sikap ragu-ragu lelaki tegap itu, langsung menukas
dengan nada tinggi.
Agak kaget juga lelaki tegap itu. Ia menoleh ke arah Kenanga dengan wajah
kemerahan. Jelas sekali hatinya merasa malu. Yang berbicara adalah seorang dara muda
berparas jelita. Dara jelita itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk orang-orang yang
tidak dikenalnya. Ucapan itu membuat kepala keamanan desa sadar bahwa ia tengah
berhadapan dengan orang-orang gagah.
"Baiklah, Kisanak. Aku akan menanggung segala akibat yang akan terjadi!" tegas
lelaki tegap itu merasa terpanggil mendengar ucapan Kenanga. Kemudian ia menoleh ke
arah rombongan penduduk dan keamanan desa yang tengah berkumpul di belakangnya.
"Bawa bocah-bocah gundul itu ke balai desa...!"
Panji dan Kenanga bertukar pandang dengan senyum di bibir. Mereka merasa lega
mendengar keputusan lelaki tegap itu Panji bisa menduga apa yang membuat lelaki tegap
itu berani mengambil tindakan itu. Panji merasa kagum dengan tanggung jawab lelaki
tegap itu.
"Terima kasih, Paman...," ucapan Panji dibalas dengan anggukan kepala oleh
kepala keamanan desa.
"Mari ikut bersama kami..," ujarnya mempersilakan Panji ikut ke balai desa.
Sikapnya kelihatan lebih ramah dan kesan segan kepada pasangan muda yang diduganya
pendekar-pendekar pembela kebenaran.
Tanpa banyak cakap, keduanya mengikuti kepala keamanan desa bersama
rombongannya. Tentu saja orang-orang itu baru berani menyentuh bocah-bocah gundul
setelah diperiksa Panji. Pemuda itu berkeyakinan bocah-bocah gundul itu tidak akan sadar
dalam waktu singkat.
Tapi meskipun Panji dan Kenanga merasa yakin bocah-bocah gundul itu akan
pingsan paling tidak sampai tengah hari, mereka tetap berjaga-jaga di samping enam lelaki
yang membawa tubuh-tubuh bocah itu. Pasangan pendekar muda itu siap bertindak bila
perkiraan mereka meleset.
Dengan diterangai sinar obor, rombongan itu bergerak memasuki desa yang terletak
cukup jauh dari tempat Panji merobohkan bocah-bocah aneh itu. Rombongan itu rupanya
telah dinanti-nanti oleh puluhan penduduk Desa Kalang. Suasana desa yang terang-
benderang oleh sinar obor membuat suasana malam tak ubahnya siang hari. Peristiwa
penculikan dan pembunuhan yang dilakukan bocah-bocah gundul berkulit hitam itu telah
menggegerkan Desa Kalang! Hampir seluruh penghuni desa keluar dari rumah.
***
Setelah merebahkan bocah-bocah gundul itu di sebuah ruangan di balai desa, Panji
segera melakukan pemeriksaan dengan teliti. Pemuda itu hanya ditemani Kenanga serta
dua orang keamanan desa, termasuk lelaki tegap yang menjadi kepala keamanan desa.
Panji bertindak cepat karena khawatir bocah itu keburu tersadar.
Kekhawatiran Panji memang sangat beralasan, mengingat bocah-bocah itu memiliki
ketangguhan yang melebihi tokoh-tokoh persilatan terlatih. Bukan tidak mungkin daya
tahan tubuh yang luar biasa itu bisa menyadarkan mereka lebih cepat dari perkiraan
Panji.
"Bagaimana, Panji...?" tanya kepala keamanan desa yang bernama Ki Ganjira, dan
telah saling berkenalan dengan Panji maupun Kenanga. Lelaki itu segera melangkah maju
melihat Panji selesai melakukan pemeriksaan.
Ki Ganjira, Kenanga, dan keamanan desa yang lain kelihatan tegang ketika melihat
kepala pemuda tampan berjubah putih itu menggeleng berkali-kali. Tampaknya usaha
pengobatan yang hendak dilakukan Panji menemui jalan buntu.
"Hhh...," Panji menghela napas berat yang berkepanjangan sebelum memberikan
jawaban, membuat ketiga orang itu semakin penasaran!
"Apakah mereka sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup secara wajar,
Kakang...?" tanya Kenanga tidak sabar melihat sikap kekasihnya yang belum juga
memberikan jawaban.
"Menurut pengamatanku, bocah-bocah ini telah diberi makanan dan minuman
yang mengandung racun serta kekuatan gaib. Semua itu telah merusak jaringan urat saraf
di kepala mereka. Bahkan racun maupun pengarah gaib yang ditanamkan itu telah
menyatu dengan darah dan perasaannya. Sehingga, mustahil bagiku untuk
mengembalikan mereka ke dalam kehidupan yang wajar seperti bocah-bocah lainnya...,"
Panji menjelaskan disertai helaan napas berulang-ulang. Kelihatannya pengobatan itu
memang tidak mungkin dapat dilaksanakan.
"Jadi...?" Ki Ganjira meminta ketegasan Panji.
"Karena jika dibiarkan terlalu berbahaya, sebaiknya mereka memang harus kita
bunuh. Dengan begitu berarti kita telah menolong mereka terbebas dari penderitaan
hidup...," sahut Panji mengambil keputusan.
"Kakang, apakah...?"
Kenanga terpaksa menggantung ucapannya yang belum selesai. Dara jelita itu
melihat kepala kekasihnya menggeleng lemah. Kemudian terdengar jawabannya yang
membuat Kenanga merasa lebih pasti kalau Panji mengetahui maksud ucapannya yang
belum selesai.
"Pedang Naga Langit memang bisa melenyapkan racun serta pengaruh kekuatan
gaib yang ada dalam tubuh bocah-bocah itu, meskipun membutuhkan waktu yang sangat
lama. Tapi urat saraf yang telah rusak tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Kalaupun
aku berhasil menolong mereka, rasanya lebih baik mereka meninggalkan dunia yang
penuh penderitaan dan penyiksaan. Aku tidak bisa membuat mereka waras...."
Bukan main kagetnya dara jelita itu mendengar penjelasan kekasihnya. Sungguh
tidak disangka yang dialami bocah-bocah gundul itu ternyata sangat menyedihkan.
Kenanga hanya bisa menghela napas panjang dengan perasaan iba.
Kedua keamanan desa itu pun tidak berkata apa-apa. Mereka merasa bersyukur
Panji telah bersikeras mencegah saat mereka hendak menindak bocah-bocah gundul itu.
Kalau tidak, Ki Ganjira dan seluruh penduduk Desa Kalang pasti akan menyesali dosanya
seumur hidup. Kalaupun sekarang mereka harus membunuh bocah-bocah itu, karena rasa
kasihan dan ingin melepaskan mereka dari penderitaan. Jelas ada perbedaan yang
menyolok, meski yang akan mereka lakukan sama-sama membunuh!
DELAPAN
Malam itu keadaan Desa Kalang tampak sepi. Penduduk telah sejak sore masuk ke
dalam rumah dan mengunci pintu serta jendela rapat-rapat. Jalan-jalan desa lengang dan
sunyi. Tak satu makhluk pun terlihat melintas. Jangankan manusia, kucing pun enggan
berada di luar. Padahal malam itu bulan bersinar penuh menerangi bumi di bawahnya.
Tapi tidak semua rumah tertutup rapat. Rumah terbesar di desa itu tampak terang
oleh sinar lampu. Beberapa sosok tubuh duduk di beranda depan. Rumah besar itu adalah
tempat kediaman Kepala Desa Kalang.
"Bagaimana kalau perkiraanmu meleset, Kakang...?" sosok tubuh terbungkus
pakaian serba hijau bertanya kepada pemuda tampan berjubah putih yang duduk di
seberang meja berhadapan dengannya.
"Kemungkinan besar tidak, Kenanga," sahut pemuda tampan berjubah putih yang
tidak lain Panji. Kemudian kembali melanjutkan ucapannya. "Menurut perhitunganku,
anak-anak yang diculik bocah-bocah aneh itu akan dijadikan korban pada malam bulan
purnama ini. Karena bocah-bocah aneh itu belum kembali, majikannya pasti akan mencari
dan mendatangi Desa Kalang. Lebih baik kita bersiap menyambut kedatangan dalang
penculikan itu daripada mencarinya tanpa petunjuk. Aku yakin tokoh itu akan muncul
malam ini...."
Kenanga menganggukkan kepala menerima alasan kekasihnya. Apa yang
diperkirakan Panji kemungkinan besar memang bisa terjadi. Itu sebabnya mereka berdua
bermalam di Desa Kalang. Khawatir jika majikan bocah-bocah aneh itu muncul di desa itu.
Panji dan Kenanga tidak ingin melihat penduduk Desa Kalang menjadi sasaran kemarahan
tokoh yang belum diketahui siapa adanya itu.
"Bagaimana kalau tokoh yang menjadi dalang penculikan itu datang dengan
membawa para pengikutnya...?" pertanyaan itu datang dari seorang lelaki tegap yang tidak
lain Ki Ganjira, Kepala Desa Kalang.
Panji menoleh ke arah lelaki tegap itu. Ki Ganjira menemani mereka berdua karena
Kepala Desa Kalang sedang pergi mengunjungi kerabatnya yang menderita sakit di desa
lain. Hingga Ki Ganjira bertanggung jawab penuh atas keselamatan warga Desa Kalang.
Selama kepala desanya tidak berada di tempat, semua yang terjadi menjadi tanggung
jawab Ki Ganjira sepenuhnya.
"Semua sudah kuperhitungkan, Paman. Itu sebabnya aku mengusulkan agar
penduduk mengunci pintu dan jendela rapat-rapat dan tidur sore-sore. Apa pun yang akan
terjadi mereka harus tetap berada di dalam rumah. Dengan demikian, keselamatan mereka
dapat lebih terjamin. Apakah Paman sudah memberitahukan kepada semua penduduk
desa ini...?" tanya Panji setelah menjawab pertanyaan Ki Ganjira.
"Semua sudah kusampaikan, Panji. Aku yakin mereka akan menuruti pesan itu...,"
sahut Ki Ganjira tanpa keraguan sedikit pun.
"Syukurlah kalau begitu," tukas Panji menghela napas lega. Kemudian
menengadahkan kepala menatap langit yang ditaburi gemintang. "Sudah hampir tengah
malam. Sebaiknya kita segera bersiap dengan tugas masing-masing...," lanjut Panji
memandang orang-orang yang berada di ruangan itu.
Mendengar ucapan Panji, Ki Ganjira beserta dua puluh orang keamanan Desa
Kalang segera bangkit. Mereka siap menjalankan rencana yang sudah diatur oleh pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Seperti yang telah kita rencanakan, aku dan Kenanga akan meronda sebelah timur
dan barat. Ki Ganjira bersama sepuluh orang ke selatan. Dan lainnya mengambil arah
utara. Beri tanda jika salah seorang dari kita menemukan sesuatu yang mencurigakan,"
jelas Panji kembali mengutarakan rencananya.
"Ingat! Jangan sembarangan memberi tanda bila belum pasti…!"
Ki Ganjira dan dua puluh orang keamanan Desa Kalang menganggukkan kepala.
Mereka bergerak setelah Panji memberikan beberapa petunjuk lagi.
"Hati-hati, Kenanga! Jangan bertindak ceroboh. Ingat pesanku...!" Panji
mengingatkan kekasihnya setelah rombongan Ki Ganjira meninggalkan tempat itu.
"Beres, Kakang...," sahut Kenanga tersenyum menggoda. Kemudian melesat ke arah
timur seperti yang telah direncanakan Panji.
Panji sendiri tidak segera beranjak dari tempatnya. Pemuda itu menunggu sampai
bayangan kekasihnya hilang dari pandangan. Kemudian baru menggenjot tubuhnya
menuju ke barat. Beberapa kali lompatan saja bayangan Panji telah jauh meninggalkan
tempat kediaman Kepala Desa Kalang, dan lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Dengan ilmu larinya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Panji bergerak di
atas rumah-rumah penduduk. Sepasang matanya mengawasi jalan di bawahnya. Di
tempat-tempat yang terlindung kegelapan pemuda itu menghentikan larinya, dan baru
kembali melesat setelah memperhatikan sekitarnya agak lama.
Setelah mencapai tepi desa, Panji memutar tubuhnya kembali ke arah semula. Kali
ini ia tidak terlalu bergegas. Bahkan seringkali berhenti mengawasi sekitar.
Pendengarannya dikerahkan untuk menangkap suara gerakan yang mencurigakan. Belum
lagi jauh pemuda itu meninggalkan tepi desa, telinganya yang tajam menangkap suara
yang membuatnya tersentak!
Hm....
Panji bergumam dalam hati seraya menajamkan pendengaran. Meski suara itu
tidak begitu jelas terdengar, namun Panji yakin ia pernah mendengarnya.
"Hiii...!"
Tidak salah lagi! Suara lengkingan itu pasti milik bocah-bocah aneh?! Itu berarti
bocah-bocah itu masih ada yang lain lagi. Berapa banyak jumlah bocah-bocah itu
sebenarnya...? Gumam Panji dalam hati. Kemudian bergegas melesat ke tepi desa. Dari
sanalah suara lengkingan itu berasal.
Karena tidak ingin suara itu membuat gelisah penduduk Desa Kalang, Panji berniat
menghadangnya di tepi desa. Dengan demikian penduduk tidak perlu terbangun dari
tidurnya. Meski Panji tidak yakin benar penduduk dapat terielap dalam suasana yang
penuh ketegangan itu.
Bagai hantu yang keluar mencari mangsa, tubuh Panji bergerak cepat menuju asal
suara lengkingan. Sepasang matanya yang tajam dan mampu menembus kegelapan malam
bergerak menjelajahi tempat-tempat di sekitarnya.
Hm....
Panji kembali bergumam dalam hati, saat sepasang matanya menangkap gerakan
titik-titik hitam di depannya, ia dapat menduga titik-titik hitam yang kian nyata itu sosok
bocah-bocah yang memiliki ketangguhan tidak lumrah.
Tujuh orang...? Jumlah bocah itu ternyata lebih banyak dari kemarin. Tapi, tidak
kulihat sosok lain di antara mereka. Mungkinkah mereka tidak mempunyai majikan? Atau
salah satu dari ketujuh bocah itu yang menjadi pimpinannya...? Gumam Panji dengan
kening berkerut seraya memperhatikan ketujuh sosok bocah aneh itu.
Namun Panji tidak bisa lama-lama memikirkan hal itu. Sosok bocah-bocah aneh itu
sudah semakin dekat dari tempatnya berada. Tubuhnya segera meluncur turun dari atas
pohon dan menghadang jalan menuju Desa Kalang.
"Hiii...!"
Lengkingan yang diperdengarkan bocah-bocah aneh itu terdengar semakin tinggi
seperti hendak merobek langit kelam. Mereka marah melihat ada yang menghadang
jalannya.
"Anak-anak baik, harap berhenti sebentar...!" Panji berdiri tegak menghadang
bocah-bocah aneh itu. Sepasang matanya bersinar di kegelapan malam, menatap sosok di
depannya satu persatu.
"Gila...?!" ucap Panji terkejut melihat sinar mata bocah-bocah aneh itu bersorot
kehijauan. Ada suatu kekuatan aneh terpancar dari sana, membuat dada Panji agak
bergetar. Tatapan mata-mata itu mendatangkan suatu keinginan untuk segera tunduk dan
menyembah mereka. Tahulah Panji kalau bocah-bocah aneh itu memiliki kekuatan sihir
yang ampuh! Kalau saja ia tidak terdidik dengan baik dan memiliki kekuatan gaib yang
mukjizat, mungkin Panji sudah bertekuk lutut menyembah bocah-bocah aneh itu.
Hm....
Panji bergumam pelan mengerahkan kekuatan mukjizatnya untuk melumpuhkan
kekuatan sihir bocah-bocah gundul itu Dan mencoba mengembalikan pengaruh sihir itu
agar berbalik hingga merekalah yang takluk.
Lagi-lagi Panji harus mengakui kehebatan bocah-bocah aneh itu. Usahanya sia-sia.
Bocah-bocah itu tetap tegak, bahkan tanpa melepaskan tatapan dari wajahnya. Sadarlah
Panji kalau perbuatannya tidak berarti bagi mereka.
Ketujuh bocah gundul berkulit hitam itu bergerak maju disertai lengkingan-
lengkingan yang menggetarkan jantung. Mereka bergerak mengelilingi Panji.
Bocah-bocah itu tampaknya cukup tahu lawan yang dihadapinya tidak bisa
diremehkan begitu saja. Mereka kelihatan berhati-hati dan tidak segera melancarkan
serangan.
Baru saja Panji hendak mengajukan pertanyaan kepada bocah-bocah aneh itu,
tiba-tiba terdengar lengkingan lain yang membuat parasnya berubah tegang!
"Suiiit...!"
Siulan panjang itu sangat dikenal baik oleh Panji. Itu adalah siulan Kenanga yang
berarti kekasihnya tengah menghadapi lawan berat! Karuan saja pemuda itu terkejut
bukan main! Wajahnya sempat diliputi ketegangan.
Celaka...! Kenanga memerlukan bantuan secepatnya…! Sedangkan ketujuh bocah
ini tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Untuk melumpuhkannya memerlukan waktu yang
tidak sedikit! Desis Panji dalam hati, gelisah bukan main. Di satu pihak ia
mengkhawatirkan keselamatan Kenanga. Sedang di pihak lain, Panji tidak bisa
meninggalkan ketujuh bocah aneh itu begitu saja. Mereka akan menyebar malapetaka bila
tidak segera ditundukkan.
Sadar bahwa ia harus mengambil keputusan, Panji segera menyiapkan jurusnya
untuk melumpuhkan bocah-bocah aneh itu. Kalau tidak kekasihnya akan celaka. Panji
hanya bisa berharap agar kedua rombongan lain mendengar siulan kekasihnya. Dengan
begitu, ia bisa menghilangkan kecemasannya.
"Maaf, Anak-anak Baik. Aku terpaksa harus merobohkan kalian selekasnya...,"
gumam Panji langsung mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Hanya tenaga
mukjizat itulah yang dapat melumpuhkan bocah-bocah aneh yang tangguh itu!
"Haiiit...!"
Seiring dengan lengkingan panjang yang menggetarkan jantung, Panji berkelebat
mengirimkan serangan ke arah dua bocah yang berada di depannya.
Whusss...!
Serangkum angin keras membawa hawa panas membakar, menyebar ke sekitar
tempat itu. Kali ini Panji tidak lagi sekadar merobohkan, tapi langsung menghabisi nyawa
lawan-lawannya. Sebab bocah-bocah itu tidak dapat disembuhkan dari keadaannya
sekarang.
"Hiii...!"
Namun, bocah-bocah itu bukan sasaran yang empuk! Selain memiliki kekebalan
tubuh yang aneh, mereka dapat bergerak secepat angin. Dua buah serangan pembukaan
yang dilontarkan Panji hanya mengenai tempat kosong. Bocah-bocah itu sudah
berlompatan menghindar!
"Hiii...!"
Lima bocah yang berada di sekitarnya, melontarkan serangan dengan bersamaan.
Keadaan itu sempat menyulitkan Panji, ia harus mengelak sekaligus mengirimkan
serangan balasan dengan cepat! Kalau tidak, kemungkinan besar ia akan terkena pukulan
salah seorang pengeroyoknya. Tentu saja hal itu tidak diinginkan. Maka....
"Yeaaah...!"
Sambil memejamkan mata rapat-rapat, Panji menyilangkan kedua tangannya di
depan dada. Pemuda itu menyiapkan jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' yang
merupakan salah satu jurus ampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti' warisan Eyang Tirta Yasa
alias Malaikat Petir!
Dibarengi 'Pekikan Naga Marah' Panji mengibaskan kedua lengannya ke kiri-kanan!
Dan....
Werrr...!
Sebentuk angin dahsyat tercipta dari kibasan sepasang lengan Pendekar Naga
Putih! Akibatnya bukan main hebatnya! Tubuh bocah-bocah aneh itu terdorong deras ke
belakang! Hawa panas membakar membuat bocah-bocah itu menjerit setinggi langit! Dan
jatuh ke tanah dengan tubuh hangus seperti terpanggang api! Kemudian luluh menjadi
debu yang beterbangan ditiup angin. Bocah-bocah aneh yang menggiriskan itu tewas tanpa
bekas!
Panji termenung tanpa rasa puas sedikit pun pada wajahnya. Bahkan ada bias
sesal tergambar samar. Jurus 'Naga Sakti Ciptakan Topan Prahara' memang belum pernah
dipergunakannya. Sebagaimana pesan gurunya, jurus itu tidak boleh dipergunakan
kecuali dalam keadaan genting dan sangat terpaksa. Apa yang dipesankan Malaikat Petir
ternyata bukan omong kosong! Panji sendiri bergidik melihat akibat jurus dahsyatnya itu.
Semua dilakukannya dengan sangat terpaksa. Selain musuh-musuhnya sangat tangguh, ia
khawatir akan nasib kekasihnya yang mungkin tengah terancam maut!
"Kenanga...." Teringat akan kekasihnya, Panji berdesis cemas. Tubuhnya berkelebat
menuju arah timur!
Rasa cemas akan keselamatan kekasihnya membuat Panji mengerahkan seluruh
kepandaian ilmu lari cepatnya. Tubuh pemuda itu tidak dapat lagi tertangkap mata.
Sosoknya berubah menjadi seberkas sinar putih yang meluncur di atas tanah.
Kecepatannya yang sangat luar biasa membuat semak perdu yang dilaluinya tercabut dari
tanah dan beterbangan kian kemari! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kecepatan
ilmu lari pemuda itu. Semua terjadi karena ia merasa khawatir akan keselamatan dara
yang sangat dicintainya.
Apa yang dilihat Panji kemudian benar-benar mendidihkan darah pemuda itu!
Kedatangannya nyaris terlambat! Saat itu Kenanga tengah bergerak mendekati seorang
lelaki gemuk pendek berkepala gundul. Langkah Kenanga seperti orang kehilangan
semangat! Panji tahu kekasihnya berada dalam pengaruh sihir lelaki gundul yang
sepasang matanya bersinar kehijauan.
"Keparat busuk...!" desis Panji tak dapat menahan kemarahan yang menyesakkan
dadanya. Apalagi di sekitar tempat itu mayat-mayat keamanan desa bergeletakan dengan
kepala pecah! Maka....
"Kreeeaaakh...!"
Diiringi 'Pekikan Naga Marah' yang laksana ledakan puluhan petir di angkasa,
tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke arah sosok gemuk pendek yang nyaris memeluk
kekasihnya.
Bukan main dahsyatnya pekikan yang diperdengarkan Panji! Angin keras bagai
putaran topan berhembus! Pepohonan di sekitar tempat itu berderak seperti hendak
tumbang. Ranting-ranting pohon dan dedaunan beterbangan. Bahkan mayat-mayat yang
bergeletakan di sekitar tempat itu terseret sejauh satu tombak lebih!
Tubuh Kenanga yang beberapa jengkal lagi berada dalam pelukan lelaki pendek
gemuk itu terdorong ke belakang dan jatuh bergulingan! Untunglah dara jelita itu dalam
pengaruh kekuatan sihir. Sehingga 'Pekikan Naga Marah' yang diperdengarkan Panji
dengan pengerahan tenaga gabungannya tidak membuat dara jelita itu terluka. Hanya
melenyapkan pengaruh sihir yang menguasainya.
Lain halnya dengan sosok gemuk pendek berkepala gundul itu. Teriakan Panji
bukan saja seketika melumpuhkan kekuatan sihirnya. Tubuh gemuk itu terdorong keras
sejauh dua tombak lebih. Meskipun kedudukannya tetap tegak sewaktu terdorong, namun
guratan tanah sedalam setengah jengkal, bekas tapak kaki lelaki gemuk pendek itu,
membuktikan betapa hebatnya pengaruh yang dirasakan sosok itu.
"Gilaaa...! Ini benar-benar gila...!"
Sosok pendek gemuk memaki geram. Wajah diliputi keheranan besar. Apa yang
terjadi pada dirinya hampir tidak dapat diterima akal. Sosok itu baru berani mengangkat
wajahnya setelah geseran tubuhnya terhenti.
Panji sendiri tidak peduli dengan sosok pendek gemuk itu. Tubuhnya langsung
meluruk ke arah Kenanga yang jatuh bergulingan. Kemudian menyambar tubuh
kekasihnya dan melompat agak jauh, khawatir jika sosok pendek gemuk itu
membokongnya.
"Kenanga...?!"
Panji mendesis menyebut nama kekasihnya. Dara jelita itu tidak sadarkan diri.
Rupanya dua kekuatan yang bertemu dalam dirinya membuat gadis itu jatuh pingsan.
Cepat Panji memeriksanya.
"Kenanga...," bisik Panji dengan hati lega ketika tidak menemukan tanda-tanda
kekasihnya mengalami luka yang mengkhawatirkan. Baru saja ia hendak merebahkan
dara jelita itu di atas rerumputan, terdengar langkah suara banyak orang mendatangi
tempat itu membuat Panji menoleh.
"Panji...?! Apa yang terjadi...?"
Seorang lelaki tegap datang menghampiri. Pemuda itu merasa lega melihat
kedatangan Ki Ganjira bersama keamanan desa lainnya. Rupanya Ki Ganjira terlambat tiba
di tempat itu karena jarak yang harus ditempuhnya cukup jauh.
"Tolong jaga Kenanga, Ki. Aku akan menghadapi iblis jahat itu..," ujar Panji tidak
menjawab pertanyaan Ki Ganjira. Pemuda itu menyerahkan tubuh kekasihnya kepada
lelaki tua itu. Kemudian bergerak menghampiri sosok gemuk pendek yang saat itu tengah
menatap Panji dengan penuh selidik.
"Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tegur sosok gemuk pendek
yang adalah Gendruwo Rimba Dandara. Tokoh sesat itu langsung dapat menebak siapa
pemuda tampan berjubah putih itu. Tokoh muda berkepandaian tinggi dalam rimba
persilatan memang tidak begitu banyak. Selain itu nama besar Pendekar Naga Putih telah
banyak didengar orang.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua...?" tanya Panji dengan mengabaikan pertanyaan
Gendruwo Rimba Dandara. Karena hal itu dianggapnya tidak perlu.
"Keparat! Rupanya kepandaianmu telah membuat kau menjadi sombong. Hingga
tidak mau menjawab pertanyaanku. Ketahuilah, saat ini kau sedang berhadapan dengan
Gendruwo Rimba Dandara...!" bentak lelaki gemuk pendek dengan suara parau
menggelegar.
"Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi majikan bocah-bocah gundul itu...! Benar-
benar keji perbuatanmu, Gendruwo Rimba Dandara! Yang kau lakukan terhadap bocah-
bocah tak berdosa itu sudah melewati batas! Hanya kematian yang pantas untuk orang
sepertimu...!" geram Panji tak kalah garangnya. Ditentangnya pandangan mata Gendruwo
Rimba Dandara tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Ha ha ha...! Mereka adalah hasil didikanku, Pendekar Naga Putih! Dengan
meminumkan ramuan ciptaanku yang kucampur dengan darah-darah bocah kecil, mereka
memiliki tubuh kebal dan kekuatan sihir yang tangguh. Sayang hasil pekerjaanku yang
memakan waktu tidak sedikit itu telah kau lumpuhkan. Entah cara apa yang kau
pergunakan untuk mengalahkan mereka...?"
"Mereka tidak dapat kusembuhkan lagi. Jadi terpaksa kulenyapkan agar
penderitaan mereka tidak berkepanjangan. Sekarang bersiaplah untuk menebus dosa-
dosamu, Gendruwo Rimba Dandara...!"
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera menyiapkan jurus-jurusnya. Sepasang
matanya menatap tajam sosok Gendruwo Rimba Dandara yang segera menyiapkan
ilmunya. Lelaki gemuk itu tahu Pendekar Naga Putih tidak ingin berpanjang kata lagi.
"Haiiit...!"
Panji yang ingin menyelesaikan pertarungan selekas mungkin melesat dengan
serangan-serangan mautnya! Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga datang
susul-menyusul disertai hembusan angin dingin menusuk tulang!
Gendruwo Rimba Dandara tampaknya tidak ingin main-main menghadapi Pendekar
Naga Putih. Ilmu-ilmu tinggi hasil ciptaannya di dalam goa yang terletak di bibir jurang
langsung dikerahkan. Sepuluh tahun lebih ia mempersiapkan diri di dalam goa untuk
menebus kekalahannya. Kini ilmu itu dipergunakan untuk menghadapi Pendekar Naga
Putih yang kepandaiannya telah menggetarkan rimba persilatan.
"Yeaaat...!"
Hawa panas menyengat menyebar saat Gendruwo Rimba Dandara menyambut
serangan Pendekar Naga Putih. Sebentar saja kedua tokoh itu telah terlibat sebuah
pertarungan mati-matian!
Melihat kedahsyatan pertarungan dua tokoh tingkat tinggi itu, Ki Ganjira
memerintahkan kawan-kawannya untuk menjauh. Hawa dingin dan panas yang berganti-
ganti terasa sampai tiga tombak lebih jauhnya.
"Haaat...!"
Ketika pertempuran menginjak jurus kedelapan puluh lima, Pendekar Naga Putih
kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'. Meskipun tanpa menggunakan tenaga
gabungan, namun kedahsyatannya tidak bisa dipandang remeh! Apalagi Panji mengiringi
dengan juris 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan salah satu jurus
pamungkas dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Whut whut whuttt...!
"Aaaiii...?!"
Gendruwo Rimba Dandara terperanjat ketika sepasang matanya tidak dapat
melihat gerakan lawan. Tubuh Panji terbungkus sinar putih keperakan yang berpendar
menyilaukan mata. Sehingga....
Bret bret breshhh...!
"Aaargh...!"
Darah segar berhamburan saat cakar-cakar naga Panji merobek tubuh lawan. Lalu
mengakhirinya dengan gedoran sepasang telapak tangannya! Tanpa ampun lagi, tubuh
Gendruwo Rimba Dandara terlempar deras. Dan jatuh berdebum di tanah berumput
dengan napas putus! Berakhirlah riwayat tokoh sesat yang menggiriskan itu di tangan
Pendekar Naga Putih.
Setelah merasa yakin lawannya telah binasa, Panji bergegas menghampiri
rombongan Ki Ganjira. Mereka kembali ke tempat kediaman Kepala Desa Kalang dengan
membawa tubuh Kenanga yang belum sadarkan diri.
***
Tok tok tok...!
Panji bergerak bangkit dari atas pembaringan ketika pintu kamarnya diketuk orang.
Pertarungan semalam yang sangat melelahkan membuat Panji terlelap dengan pulas.
"Siapa...?" tanya Panji bergerak menghampiri pintu.
"Aku, Kenanga...."
"Ada apa. Kenanga? Pagi sekali kau bangun...?" tanya Panji begitu pintu kamarnya
terbuka. Didapatinya dara jelita itu tengah tersenyum manis dengan wajah segar bersinar-
sinar.
"Kakang, dua orang murid Perguruan Kepalan Sakti datang membawa sesuatu
untukmu. Cepatlah kita temui mereka...," beritahu Kenanga.
Meski agak heran, Panji bergegas menemui dua orang murid Perguruan Kepalan
Sakti setelah membersihkan tubuhnya terlebih dulu. Didapatinya Balitang dan seorang
murid yang tidak dikenalnya sedang ditemani Ki Ganjira.
"Pendekar Naga Putih...," sambut kedua orang itu membungkuk hormat, membuat
kening Ki Ganjira berkerut. Pemuda tampan bernama Panji itu ternyata Pendekar Naga
Putih yang telah menggemparkan rimba persilatan.
"Kami menyampaikan amanat dari guru. Beliau telah tewas kemarin petang di
tangan Gendruwo Rimba Dandara. Surat ini ditulis beliau sebelum bertarung dengan iblis
jahat itu...," jelas Balitang menyerahkan segulung surat kepada Panji.
Bukan main terkejutnya Panji mendengar kematian Ki Parwana. Rupanya
Gendruwo Rimba Dandara telah mendatangi Perguruan Kepalan Sakti sebelum
menyantroni Desa Kalang. Tanpa banyak cakap lagi, dibukanya lembaran kulit kayu itu.
Dan dibacanya tulisan yang tertera di dalamnya.
"Apa pesan Ki Parwana, Kakang...?" tanya Kenanga setelah Panji menggulung
kembali surat itu.
"Beliau berpesan agar aku bersedia menurunkan sedikit kepandaian kepada murid-
muridnya...."
"Lalu...?" Kenanga meminta kepastian kekasihnya.
"Pesan seseorang yang sudah meninggal tidak bisa kita abaikan begitu saja. Aku
akan tinggal di Perguruan Kepalan Saku untuk beberapa lama...," sahut Panji membuat
Kenanga mengangguk maklum.
Pagi hari itu juga Panji mohon diri kepada Ki Ganjira. Kemudian berangkat bersama
Balitang dan seorang murid Perguruan Kepalan Sakti. Kenanga ikut serta. Karena ke mana
kekasihnya pergi, dara jelita itu selalu menyertai. Tidak peduli harus mengarungi
kesusahan sekalipun.
Ki Ganjira dan warga Desa Kalang mengantar kepergian Panji hingga perbatasan desa.
Mereka baru bergerak pulang setelah bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar