PERTARUNGAN DUA NAGA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Turi S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pertarungan Dua Naga
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Hmmm…"
Pemuda tampan berpakaian serba merah itu menggumam sinis. Alis matanya yang tebal
dan berbentuk golok terangkat sebelah. Pandangannya tertuju pada sebuah papan nama rumah
judi, yang terletak di Desa Kedung Jati.
"Dari tempat inilah kita mulai...," ujar gadis cantik yang juga berpakaian merah. Seperti
halnya pemuda tampan itu, ia pun tengah memandang papan nama di atas pintu gerbang yang
cukup besar setinggi dua tombak itu.
Pemuda tampan beralis tebal mengalihkan pandangan matanya pada gadis di
sebelahnya. Terdengar suaranya yang berat.
"Kau yakin rumah judi ini miliknya, Savitri...?"
"Tentu saja aku yakin. Karena tempat kediaman tokoh itu agak sulit dicari, maka aku
mengambil jalan pintas dengan mendatangi salah satu rumah judinya. Seluruh rumah judi di
daerah ini adalah miliknya...," jawab gadis yang tidak lain Savitri. Sedangkan pemuda tegap itu
Kelana, yang dikenal dengan Petualang Sakti (Untuk mengetahui lebih jelas mengenal kedua
orang itu, silakan ikuti episode "Petualang Sakti")
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita segera masuk...," ajak Kelana.
Savitri tersenyum, mengangguk. Kemudian melangkah masuk seraya melingkarkan
lengannya ke pinggang Kelana. Sedangkan Kelana telah merangkul bahu gadis itu. Sikap
keduanya tampak sangat mesra menunjukkan adanya jalinan kasih di antara mereka.
"He he he.... Apakah Tuan dan Nyonya muda ingin mengadu nasib di tempat kami...?"
sambut seorang lelaki berwajah hitam dan berhidung besar. Sepasang matanya menjorok keluar
seperti melotot marah. Bibirnya yang tebal mengukir senyum, kendati tidak sedap dipandang.
Kelana dan Savitri tidak segera masuk. Keduanya menatap lelaki bermuka hitam yang
bertubuh kekar. Kemudian beralih pada lelaki kedua yang tubuhnya tidak kalah besar dan
kekar. Sepertinya mereka tukang-tukang pukul rumah judi itu. Di pinggang keduanya tampak
gagang pedang. Kendati wajah dan perawakannya menyeramkan, kedua orang itu selalu
menyambut ramah setiap pengunjung. Tak terkecuali Kelana dan Savitri yang dianggapnya
pasangan suami istri muda.
Setelah puas menatap bagian luar bangunan dan kedua penjaganya, Kelana dan Savitri
menaiki anak tangga yang tersusun di dalam pintu. Kedua penjaga itu membungkukkan tubuh
ketika mereka melangkah masuk. Rupanya penjaga-penjaga itu menduga Savitri dan Kelana
orang-orang kaya yang hendak menghamburkan uang di rumah judi itu.
Pasangan muda-mudi itu memang sangat menyolok. Terlebih pakaian yang mereka
kenakan, dari bahan dan warna yang sama. Sehingga saat mereka bergerak masuk, banyak
mata yang menyambutnya.
"Kau ingin mencoba main, Kelana...?" tanya Savitri setelah puas melihat-lihat berbagai
macam permainan di ruangan yang cukup luas itu.
"Mmm.... Boleh-boleh saja...," sahut Kelana segera menghampiri meja permainan dadu.
"Ah. Silakan..., silakan, Tuan Muda...," ujar bandar sambil memutar-mutar tempat biji
dadu. Gerakannya terlihat sangat mahir. Lelaki kurus bermuka mirip tikus itu agaknya bandar
judi yang berpengalaman.
"Hm...."
Kelana meletakkan beberapa keping uang di atas nomor yang tertulis di sehelai kertas
di atas meja. Beberapa orang mengikuti nomor yang dipasang pemuda tegap berpakaian serba
merah itu. Sehingga, nomor itu banyak dipenuhi kepingan uang dibanding nomor-nomor lain.
"Nah, apakah semua sudah tetap dan tidak akan dipindah lagi? Kalau memang sudah,
nomor-nomor akan segera kami perlihatkan...," ujar lelaki kurus bermuka tikus menunggu
beberapa saat. Kedua telapak tangannya diletakkan di tepi meja.
Kelana yang saat itu memegang tepi meja kelihatan terkejut. Sebagai seorang pesilat
yang pandai, ia tahu ada orang yang tengah mengerahkan tenaga dalam pada meja itu. Dan
lebih terkejut lagi ketika telinganya menangkap guliran biji dadu di dalam tempurung kelapa.
Sadar ada yang bermain curang, pemuda itu memperhatikan wajah bandar dadu yang berdiri
berseberangan dengannya.
"Hmmm...," Kelana bergumam pelan ketika mengetahui siapa yang telah berani bermain
curang di hadapannya. Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu menekankan telapak tangan
kanannya pada meja. Dan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menggulirkan biji-
biji ke nomor semula.
Lelaki kurus bermuka tikus kelihatan kaget. Ada orang pandai hendak membuatnya
bangkrut. Maka kekuatannya ditambah. Namun sampai keningnya berkeringat, ia tidak mampu
melawan kekuatan tenaga lawan. Sekali pandang tahulah lelaki kurus itu siapa yang menjadi
lawannya.
"Hei, mengapa lama sekali? Bukankah semua telah menetapkan pasangan...?" tegur
Kelana tersenyum mengejek.
Beberapa pengunjung yang memasang taruhan ikut berteriak menuntut. Maka dengan
wajah agak pucat, lelaki kurus itu menusukkan nomor-nomor dadunya. Dan....
"Wah, rupanya aku sedang beruntung...!" ujar Kelana tersenyum, membuat wajah
bandar dadu menjadi kelam. Jelas ia tahu pemuda tampan berpakaian serba merah itu sengaja
menggodanya.
Tapi lelaki berwajah tikus itu tidak berkata apa-apa. Matanya mengawasi Kelana
dengan tajam.
Penjudi-penjudi lain yang ikut memasang taruhannya di nomor pasangan Kelana
bersorak senang. Kemenangan pertama itu membuat mereka yakin Kelana telah mendatangkan
keberuntungan. Sehingga, ketika Kelana kembali memasang taruhannya pada salah satu
nomor, penjudi lainnya segera memperhaturuhkan uang hasil kemenangannya tadi. Akibatnya
hanya satu nomor saja yang terpasang. Sedang nomor lainnya tidak satu pun yang memasang.
"Celaka...!" desis lelaki bermuka tikus.
Butir-butir keringat dingin semakin banyak mengalir membasahi wajahnya. Kalau
sampai taruhan itu mengena, habislah ia. Majikannya pasti akan marah besar.
Meskipun yakin kemenangan akan berada di pihak para petaruh, lelaki bermuka tikus
tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Biji-biji dadu kembali diputar. Dan....
"Horeee...!"
Para penjudi itu berteriak kegirangan! Beberapa di antara mereka melompat-lompat
seperti anak kecil. Kemenangan hari itu sungguh tidak pernah terbayang dalam pikiran mereka.
Tentu saja tak seorang pun tahu kemenangan itu karena perbuatan Kelana. Hanya bandar judi
yang mengetahui. Setelah beberapa kali bermain dan selalu kalah, akhirnya bandar dadu
menutup permaianannya.
"Hei! Mengapa berhenti, Kisanak? Bukankah biasanya permainan ini sampai larut
malam...?" tegur seorang petaruh yang telah mendapat kemenangan cukup banyak. Sehingga,
kantung uang di pinggangnya penuh.
"Maaf, aku tiba-tiba merasa pusing. Kuharap kalian bermain di meja lain saja...," jawab
bandar dadau lalu beranjak pergi, dan lenyap di baik pintu sebuah kamar.
"Rupanya hari ini kau sedang beruntung, Kelana. Banyak sekali uang hasil
kemenanganmu...!" ujar Savitri tersenyum lebar. Gadis cantik itu tidak menyangka Kelana
pandai berjudi.
Kelana tersenyum tanpa menjawab sepatah pun. Pemuda itu merasakan banyak mata
mengawasinya dengan sorot mengancam. Tapi ia pura-pura tidak tahu.
"Hm..., sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Savitri. Kelihatannya orang yang kita
tunggu-tunggu tidak akan muncul...," ujar Kelana yang rupanya merasa bosan berada lama-
lama di tempat pengap seperti itu.
"Maaf Tuan dan Nyonya Muda. Majikan kami ingin berjumpa dengan kalian. Mungkin
hendak mengucapkan selamat atas keberuntungan kalian hari ini...!" tiba-tiba seorang tukang
pukul rumah judi berkata kepada Kelana dan Savitri.
"Hm.... Baik. Kami akan segera datang...," sahut Kelana. Kemudian mengikuti langkah
tukang pukul memasuki sebuah ruangan. Savitri yang sudah menerka apa yang akan terjadi
segera mengayunkan langkah mengikuti kedua orang itu.
"Harap Nisanak tetap di tempat. Majikan kami hanya mengundang Tuan Muda ini...,"
cegah tukang pukul kepada Savitri.
"Biarkan dia ikut. Aku tidak akan memenuhi undangan majikan kalian tanpa istriku...,"
tukas Kelana terpaksa mengakui Savitri sebagai istrinya. Itu dilakukan agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
Tukang pukul bertubuh gemuk dengan kumis tebal melintang kelihatan tertegun
sejenak. Kemudian menganggukkan kepala dan membawa kedua orang itu menemui
majikannya.
Sebelum memasuki kamar tempat majikannya menunggu, dua orang tukang pukul yang
menyertai Kelana dan Savitri meminta agar uang yang dibawa Kelana dititipkan kepada
mereka. Setelah bertemu dengan pimpinannya, baru uang itu akan diserahkan kembali.
"Maaf. Biar aku saja yang membawanya...," bantah Kelana ingin mengetahui apa yang
akan dilakukan kedua tukang pukul itu bila ia membantah.
"Jangan khawatir, Tuan Muda. Kami akan menyimpannya baik-baik. Dan akan kami
berikan bila Tuan dan Nyonya Muda hendak meninggalkan tempat ini..," bujuk tukang pukul
gemuk berkumis tebal. Tangannya diulurkan hendak merampas kantung besar yang dipegang
Kelana.
"Harap kalian jangan memaksa...."
Kelana bersikeras dan menarik kantung uang itu ke samping kirinya. Sehingga,
terkaman lelaki gemuk berkumis tebal luput. Tapi tukang pukul itu memaksa. Kali ini ia benar-
benar berusaha merampas kantung itu. Sayang terkamannya selalu luput.
"Kisanak! Uang ini hasil kemenanganku yang sah! Tak seorang pun kuizinkan
menyentuhnya!" bentak Kelana tidak sabar.
"Siapa bilang kau menang secara sah, Kisanak! Kemenangan itu kau peroleh dengan
cara yang curang...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara. Muncullah lelaki bermuka tikus yang
tadi menjadi bandar dadu. Wajah lelaki itu kelihatan gelap menyiratkan kemarahan yang siap
ditumpahkan.
"Ooo.... Jadi kalian hendak merampas uang ini? Nah, silakan saja kalau memang
sanggup mengambilnya dari tanganku...!" tantang Kelana tersenyum sinis.
"Kurang ajar! Beri pelajaran kepada pemuda setan itu, agar lain kali bisa berlaku lebih
sopan...!" perintah lelaki bermuka tikus kepada tukang pukulnya. Kemudian ia sendiri bergerak
hendak merampas kantung uang di tangan Kelana. Tapi....
"Makanlah uang ini oleh kalian...!" sambil berkata, Kelana mengayunkan kantung uang
yang besar dan berat itu.
Des! Desss...!
"Augkhhh...!"
Kedua tukang pukul itu jatuh terjengkang seraya memegangi wajahnya. Keduanya
bergegas bangkit dengan hidung mengalirkan darah. Kemungkinan tulang hidungnya patah
terbentur kepingan uang yang berat itu. Rasa sakit malah membuat mereka semakin garang!
Tapi Kelana tidak mau bertindak tanggung-tanggung. Sebelum kedua tukang pukul itu
kembali menerjang, tendangannya sudah datang menghempaskan tubuh mereka hingga rebah
tak berkutik. Dada mereka remuk terkena tendangan keras yang dilancarkan Kelana.
"Pembunuh keji...!"
Lelaki bermuka tikus menjadi kalap. Ia berteriak-teriak dan menerjang dengan
serangan-serangan yang lebih terarah daripada kedua kawannya yang telah menjadi mayat.
"Hm...."
Kali ini Savitri yang mengambil tindakan. Belum lagi serangan lelaki bermuka tikus
tiba, Savitri melepaskan sebuah tamparan keras ke wajah lawan. Kemudian menyusuli dengan
tendangan keras!
Bukkk!
"Huakhhh...!"
Tubuh lelaki bermuka tikus terlempar menjebol dinding papan di belakangnya. Darah
segar termuntah dari mulutnya. Nyawanya pun melayang. Tendangan Savitri menghancurkan
bagian dalam dadanya.
"Keparat! Siapa yang berani kurang ajar mengacau di tempat ini...?!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam kamar majikan rumah judi. Seiring
dengan terkuaknya pintu kamar, muncul seorang lelaki berusia empat puluh tahun. Sepasang
matanya menyorot garang meneliti wajah Kelana dan Savitri. Bibirnya menyunggingkan
senyum penuh hasrat saat melihat wajah cantik Savitri. Bahkan lelaki itu meneguk air liurnya
beberapa kali. Agaknya sosok gadis cantik berpakaian serba merah itu telah menerbitkan
keinginan kotor di kepalanya.
Savitri sendiri malah tersenyum memikat. Sepasang matanya mengerjap jenaka. Gadis
itu sengaja memancing hasrat lawannya agar semakin menggebu. Rupanya Savitri suka
memikat laki-laki mabuk akan kecantikannya. Lain halnya dengan Kelana. Pemuda itu
menatap garang wajah lelaki berusia empat puluh tahun yang bagai serigala lapar menemukan
tulang-tulang lezat.
Tatapan tajam Kelana menyadarkan lelaki itu bahwa masih ada orang ketiga di antara
mereka, ia pun mengalihkan pandang pada sosok Kelana. Mereka saling bertatapan beberapa
saat.
***
"Kalian siapa...?" tegur lelaki dengan wajah terhias kumis tercukur rapi itu. Sepasang
matanya berkilat menyembunyikan kemarahan ketika melihat tiga mayat anak buahnya.
"Aku Kelana. Sedangkan gadisku bernama Savitri. Puas?" sahut Kelana tandas.
"Hm.... Kalian pasti datang ke tempat ini mempunyai maksud lain, bukan? Nah,
katakan apa maksud kalian sebenarnya...?" tanya lelaki itu dengan pandangan menyelidik.
"Hm.... Kabarnya rumah judi ini milik Raja Racun Muka Hitam. Dapatkah kau
memberitahu tempat kediaman tokoh itu...?" ujar Kelana mengutarakan maksud kedatangan
mereka.
Paras majikan rumah judi berubah tegang. Kalau sampai ada yang tahu siapa pemilik
rumah judi ini, pasti orang itu bukan tokoh sembarangan. Sebab, Raja Racun Muka Hitam
jarang dikenal tokoh sembarangan. Hanya tokoh-tokoh tertentu yang mengenal nama besar
tokoh golongan sesat itu. Sadar kalau kedua orang muda itu tengah memperhatikan perubahan
wajahnya, majikan rumah judi berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Kalau begitu, kalian salah alamat. Aku sungguh tidak mengenal nama aneh yang
kalian sebutkan. Tapi meskipun begitu kalian tidak bisa meninggalkan tempat ini begitu saja.
Kematian kawan-kawanku harus ada tebusannya...," mata lelaki itu mengerling ke arah Savitri.
Savitri yang tahu maksud ucapan majikan rumah judi segera melangkah maju.
Ditatapnya wajah yang cukup gagah itu beberapa saat. Kemudian terdengar suaranya yang
merdu memikat.
"Apa yang kau kehendaki dari kami...?" tanya Savitri tersenyum manis. Hingga lelaki itu
menduga hasratnya mendapat sambutan gadis itu.
"Asal kau bersedia menemaniku beberapa hari, cukuplah hal itu kuanggap sebagai
balasannya...," tanpa malu-malu, majikan rumah judi mengutarakan keinginannya. Senyumnya
tersungging membayangkan kenikmatan yang akan didapatnya dari gadis cantik itu.
"Hm.... Baik! Kalau begitu, kita mulai saja sekarang...," jawab Savitri membuat lelaki itu
terhentak heran.
"Sekarang...?" ulangnya tak percaya.
"Ya. Sekarang! Bukankah kau ingin secepatnya...?" lanjut Savitri menegasi.
"Betul..., betul...!" tukas lelaki itu cepat dengan senyum semakin lebar, ia benar-benar
tidak menyangka akan begitu mudah memperoleh gadis cantik yang menggiurkan itu.
"Kalau begitu, bersiaplah...!"
"Apa..., maksudmu...?"
Lelaki itu kelihatan kaget melihat Savitri melangkah maju. Kendati gadis itu hanya
berjalan biasa, namun ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi membuat sosok Savitri tahu-
tahu telah berada di dekat majikan rumah judi. Dan....
Plakkk!
"Aughhh...!"
Majikan rumah judi memekik kesakitan! Tubuhnya terpelanting ke kanan. Darah
mengalir dari bibirnya yang pecah. Bahkan tamparan itu telah menanggalkan beberapa giginya.
"Perempuan setan...!" maki lelaki itu sambil sesekali merintih dan menutup mulutnya
dengan telapak tangan. Terdengar teriakannya memanggil tukang-tukang pukul.
"Sekarang tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka Hitam! Atau kau ingin
tanganku kembali menemanimu...?" bentak Savitri siap memberikan tamparan berikutnya.
Saat itu enam orang tukang pukul berlompatan masuk. Namun, Kelana segera
menyambut dengan menghantamkan kantung uangnya ke wajah dua orang tukang pukul. Kali
ini Kelana menyalurkan tenaga dalamnya. Sehingga....
Prakkk, prakkk!
Tanpa sempat berteriak, kedua tukang pukul itu langsung tewas. Kepala mereka pecah
oleh hantaman kantung yang berat itu. Dan selagi empat tukang pukul lainnya tertegun, Kelana
kembali mengayunkan kantung uangnya. Maka....
Kembali dua orang tukang pukul menyusul dengan kepala pecah. Meski mereka
berusaha mengelak, namun kecepatan gerak Kelana membuat mereka tidak sempat
menyelamatkan diri. Kejadian itu memaksa yang lainnya bergerak mundur dengan wajah pucat.
Empat orang kawan mereka dapat dirobohkan pemuda berpakaian serba merah itu hanya
dengan dua kali gebrakan. Tentu saja mereka tidak menyangka hal itu terjadi demikian singkat.
"Hm.... Mengapa kalian tidak ikut maju...?" tantang pemuda tampan beralis tebal
dengan mengejek.
"Haaattt…!"
Merasa diremehkan, harga diri kedua tukang pukul itu pun bangkit. Keduanya bergerak
menerjang Kelana dengan putaran senjatanya yang men-aung tajam.
Bettt! Bettt...!
Kelana menarik kaki kanannya ke belakang. Kemudian berputar menghindari serangan
kedua orang itu. Dan terus menghindari sampai lima jurus. Baru kemudian Kelana memberikan
balasan dengan hangat!
Prakkk! Prakkk...!
Tidak sampai enam jurus tubuh kedua orang tukang pukul itu terjungkal roboh mandi
darah. Kepala kawan-kawannya pecah terhantam kantung uang yang besar dan berat itu.
Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Kelana bergerak menghampiri Savitri yang
sedang berhadapan dengan majikan rumah judi. Keduanya tampak bertarung cukup seru dalam
belasan jurus. Sejauh itu Savitri belum membalas. Kelihatannya gadis cantik itu sengaja hendak
mempermainkan lawan.
DUA
Kelana berdiri menonton perkelahian itu. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Bibirnya tersenyum melihat gerakan mengelak Savitri yang luwes dan indah. Baginya gadis
cantik itu bukan sedang bermain silat. Tapi tengah mempertunjukkan sebuah tarian yang
indah. Sehingga Kelana tak bosan menikmati gerakan gadis cantik itu.
"Mampus...!"
Majikan rumah judi membentak sambil melancarkan pukulan lurus ke arah dada
Savitri. Namun, lagi-lagi gadis cantik itu dapat menghindari. Kali ini ia melompat agak jauh ke
belakang.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu! Tunjukkan tempat kediaman Raja Racun Muka
Hitam, atau aku akan menghajarmu...!" ancam Savitri.
"Persetan denganmu! Haaattt...!"
Benar-benar keras kepala lelaki itu. Bukannya takut, malah ia kembali menerjang
dengan ganas. Sikap itu mengundang kemarahan Savitri!
"Hm...."
Kali ini Savitri tidak berusaha mengelak. Sambil menggumam dingin, tubuhnya tegak
menanti tibanya serangan lawan. Kemudian...
Plakkk!
Majikan rumah judi memekik ketika serangannya disambut lengan Savitri. Tubuhnya
terjajar mundur dengan wajah berkerut menahan sakit. Ia merasa lengannya membentur
sebatang besi, bukan lengan manusia.
"Hendak kulihat sampai seberapa keras kulit tubuhmu...!"
Belum lagi majikan rumah judi sempat memperbaiki kedudukan, Savitri sudah
melayang dengan sebuah tamparan mengancam dadanya.
Plakkk!
"Aughhh...!"
Tanpa ampun tubuh lelaki itu terjengkang membentur dinding di belakangnya. Dinding
batu itu jebol! Jelas itu menandakan betapa kuatnya tamparan Savitri.
"Uhhh...!"
Meski demikian, lelaki itu masih berusaha bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya terasa
remuk. Dadanya sesak dan sulit sekali bernapas. Cairan merah semakin banyak mengalir dari
mulutnya.
Savitri tak merasa tergerak untuk mengasihani lelaki itu. Langkahnya yang sengaja
dihentakkan keras ke lantai membuat lelaki itu menengadah. Ada kilatan ketakutan pada
sepasang matanya ketika melihat Savitri datang menghampiri.
Jebolnya dinding itu ternyata terdengar sampai ke ruangan tempat bermain judi.
Beberapa pengunjung mendorong daun pintu ruangan itu hendak melihat apa yang terjadi.
"Hei! Kembali ke tempat kalian, atau kukirim ke neraka...!" Kelana langsung
membentak. Bahkan bukan hanya mulutnya yang berbicara. Saat itu juga kakinya mengirim
tendangan ke sosok paling depan.
Desss...!
"Hukhhh...!"
Tubuh lelaki kurus itu terjengkang menimpa orang-orang di belakangnya. Mereka jatuh
saling tumpang tindih. Dan begitu bangkit langsung menghambur pergi. Bukan cuma
meninggalkan ruangan itu, tapi meninggalkan rumah judi.
Sepeninggal orang-orang itu, Kelana membalikkan tubuh. Sementara Savitri mencekal
leher baju majikan rumah judi dan memaksanya bangkit berdiri.
"Kuberi kau kesempatan terakhir. Kalau tidak, kulit tubuhmu akan kusayat-sayat
dengan ujung pedang...!" kembali Savitri mengancam.
Sekilas terbayang kilatan ngeri pada sepasang mata lelaki yang sudah tidak berdaya itu.
Namun ketika teringat siapa yang tengah dicari gadis cantik itu, hatinya menjadi tenang.
Dicobanya menggertak Savitri.
"Kalau kau sampai menyiksaku, itu sama artinya kau mencari mati, Perempuan Liar!
Raja Racun Muka Hitam tidak akan mendiamkan pengikutnya dipecundangi orang...!"
"Hik hik hik
Savitri memperdengarkan tawanya mendengar ancaman itu, seperti merupakan sesuatu
yang lucu baginya. Hingga lelaki itu menjadi heran dan tidak mengerti.
"Kau benar-benar bodoh, Kisanak! Justru kedatanganku mencari Raja Racun Muka
Hitam untuk memberi pelajaran kepadanya. Boleh lihat nanti ia akan menurut segala
perintahku!" ujar Savitri tidak gentar. Bahkan sesumbar hendak menaklukan Raja Racun Muka
Hitam. Padahal siapa pun tahu tokoh itu merupakan datuk golongan sesat di daerah utara.
"Dusta...! Justru kaulah yang akan dipermainkannya sampai puas!" bantah lelaki itu tak
percaya.
"Hm.... Kalau begitu, aku akan menunjukkan bukti pertama...," tukas Savitri dingin.
Kemudian meloloskan pedangnya yang memancarkan sinar kemerahan dan berhawa panas
menyengat.
"Kau...! Apa..., apa yang hendak kau lakukan...?"
"Hm.... Bukankah sudah kukatakan tadi? Apa kau tuli...?"
Savitri memperdengarkan kekehnya. Ujung pedangnya didekatkan ke tubuh majikan
rumah judi yang pucat selebar wajahnya.
"Kau tidak akan berani melakukannya...!"
Baru saja lelaki itu berteriak tidak percaya, tiba-tiba....
Srattt...!
"Aaa...!"
Darah segar mengalir dari tubuh majikan rumah judi yang terkelupas kulitnya. Lelaki
itu menjerit-jerit kesakitan. Karena luka itu mendatangkan rasa nyeri dan panas yang sangat
menyiksa!
"Hm...."
Savitri hanya menggumam dingin. Ujung pedangnya kembali terjulur. Hawa panas
menyengat yang lebih dulu tiba membuat lelaki itu berteriak kepanasan.
"Aaa.... Tobaaat...!"
Srattt...!"
Kembali kulit tubuh lelaki itu tersayat ujung pedang. Karuan saja majikan rumah judi
itu meraung setinggi langit. Apa yang dirasakannya benar-benar sangat menyakitkan.
"Aku akan mengatakannya...! Aku menyerah...!" akhirnya keluar juga ucapan itu dari
mulut nya.
"Bagus...! Kalau saja sejak tadi kau mengatakannya, tentu tidak perlu merasakan
penderitaan seperti ini...," ujar Savitri tersenyum dingin. Ujung pedangnya ditarik pulang
meski, tetap tergenggam di tangan.
Dengan suara tersendat-sendat menahan sakit, majikan rumah judi memberikan
keterangan. Savitri mengangguk-angguk puas. Dan ketika semuanya telah jelas....
"Selamat jalan, Kisanak...."
Crakhhh...!
Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu. Terdengar
tawanya yang dingin mendirikan bulu roma. Kemudian menoleh ke arah Kelana setelah
menyarungkan senjatanya.
"Mari kita berkunjung ke tempat Raja Racun Muka Hitam...," ajak Savitri mendahului
berkelebat. Kelana mengikuti.
***
Setelah majikan rumah judi itu memberi keterangan, Savitri mengangguk-angguk puas.
Lalu....
"Selamat jalan, Kisanak...," ucap Savitri
Crakhhh...!
Darah segar muncrat ketika pedang Savitri menebas putus leher orang itu. Lalu,
terdengar tawanya yang dingin mendirikan bulu roma.
Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam, tibalah Kelana dan Savitri di Kota
Kadipaten Tampak Serang. Saat itu senja mulai datang. Sinar kuning keemasan menyemburat
menghias cakrawala sebelah barat.
"Malam ini juga kita datangi Raja Racun Muka Hitam...," ujar Savitri tersenyum
membayangkan betapa terkejutnya tokoh sesat itu melihat kedatangan mereka.
"Kita harus hati-hati, Savitri. Raja Racun Muka Hitam tidak dapat disamakan dengan
tokoh-tokoh lainnya...," Kelana mengingatkan gadis cantik itu agar tidak bertindak ceroboh. Kali
ini yang dihadapi mereka adalah seorang datuk. Tentu saja ilmunya tidak bisa dipandang
ringan.
"Hm.... Setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah', apalagi yang harus kita takuti,
Kelana. Rimba persilatan akan kita kuasai. Bukankah itu sudah menjadi tekad kita bersama...?"
kilah Savitri sangat yakin akan kepandaiannya. Gadis itu terkesan agak takabur.
"Tapi kau jangan lupa apa yang harus kita lakukan pada purnama mendatang...."
"Bereslah...," sahut Savitri tertawa renyah, membuat Kelana menjadi gemas. Dan
kegemasan itu tidak dapat ditahan lagi.
"Eh, apa-apaan ini...?" pekik manja Savitri ketika merasakan tubuhnya dirangkul
Kelana. Kendati demikian, gadis cantik itu tidak berusaha meronta. Bahkan tidak melawan
ketika Kelana memondong tubuh moleknya.
Kelana yang sudah dibakar nafsu merebahkan tubuh Savitri di atas rerumputan. Hari
memang telah gelap sehingga pemuda itu tidak khawatir akan ada yang melihat perbuatannya.
Meski mereka telah berada dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Tampak Serang.
"Sabar dulu, Kelana...."
Saat nafsu dalam dada Kelana sudah mencapai puncak, Savitri tiba-tiba mendorong
tubuh Kelana yang menindihnya. Pakaian gadis cantik itu sudah tidak karuan.
"Mengapa, Savitri...? Kau tidak suka lagi kepadaku...?" Kelana yang sudah dikuasai
nafsu setan menatap wajah di bawahnya tajam-tajam. Kilatan tak senang terpancar pada
sepasang mata pemuda itu.
"Bukan begitu, Kelana. Tapi sebaiknya kita persiapkan tenaga untuk menghadapi Raja
Racun Muka Hitam. Aku tidak ingin menemui kegagalan...," sahut Savitri memberi penjelasan
atas penolakannya.
"Tapi aku sudah tidak bisa menahan lagi, Savitri...," Kelana masih membantah.
"Mengapa harus marah, Kelana? Bukankah selama ini aku tidak pernah menolak?
Kalau sekarang aku menolak, itu demi kepentingan kita berdua. Setelah urusan dengan Raja
Racun Muka Hitam selesai, terserah hendak kau apakan diriku...."
"Huhhh...!"
Kelana mendengus kesal seraya bangkit dan merapikan pakaiannya. Tampaknya ia
masih jengkel dengan penolakan Savitri, kendati maklum dengan alasan yang diberikan gadis
itu.
"Ayolah, Kelana. Mengapa mesti marah...? Bukankah aku sudah menyerahkan diriku
bulat-bulat kepadamu? Jangan buat aku sedih, Kelana...."
Savitri bergayut manja di bahu pemuda tegap itu. Kata-katanya yang mirip desahan
membuat hati Kelana tergelitik. Apalagi ia merasakan belaian jemari lembut di wajahnya.
Kalau sudah begitu, luluhlah kemarahan dan kejengkelan di hatinya.
"Nah, begitu baru betul...," seru Savitri tersenyum melihat wajah tampan itu kembali
cerah. Bahkan Kelana sudah tersenyum seperti sedia kala.
"Maafkan sikapku, Savitri. Marilah sekarang kita datangi Raja Racun Muka Hitam,
agar aku dapat bebas menumpahkan cintaku kepadamu...," ujar Kelana segera mengajak Savitri
meninggalkan tempat itu.
Begitu memasuki kota kadipaten, keduanya langsung menuju sebuah bangunan besar
yang di kiri-kanan gerbangnya terdapat patung ular kobra. Begitu menurut keterangan yang
didapat dari majikan rumah judi yang dibunuh Savitri.
Raja Racun Muka Hitam memang tidak dapat disamakan dengan datuk-datuk
persilatan lainnya. Kendati namanya telah menggetarkan rimba persilatan, namun jarang orang
pemah berjumpa atau melihat wajahnya. Bahkan tempat kediaman tokoh itu tidak banyak yang
tahu. Orang tidak akan pernah menyangka Raja Racun Muka Hitam memiliki tempat di dalam
Kota Kadipaten Tampak Serang. Bahkan merupakan salah satu orang terkaya di kadipaten itu.
Savitri dan Kelana yang merasa yakin bangunan besar itu tempat kediaman Raja Racun
Muka Hitam, segera bergerak masuk melalui atap rumah-rumah penduduk. Kemudian
melayang turun di halaman belakang yang merupakan sebuah taman.
"Kau tunggu di sini. Biar aku yang menyelusup dan memberikan surat tantangan ini
kepada datuk sesat...," ujar Kelana tegas tanpa ingin mendengar bantahan Savitri.
"Baiklah. Hati-hati...," pesan Savitri sebelum Kelana melesat meninggalkan taman.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak sulit bagi Kelana menyusup masuk
mencari Raja Racun Muka Hitam. Kalau melihat caranya bergerak, tampak jelas kepandaian
pemuda tegap itu telah maju pesat. Mungkin ilmu 'Silat Naga Merah' yang disebut-sebut Savitri
yang menjadi penyebabnya.
Saat itu Raja Racun Muka Hitam tengah terbahak bercengkerama dengan empat orang
gadis muda berwajah cantik. Tampaknya datuk sesat ini mengetahui dengan pasti bagaimana
menikmati kekayaan yang dimilikinya. Maka meskipun usianya telah mencapai lima puluh lima
tahun, namun semangat dan gairahnya tidak kalah dengan pemuda dua puluh tahun. Benar-
benar hebat datuk sesat itu.
Karena datuk sesat itu berada di tempat agak terbuka dan dapat terlihat dari taman
samping, tidak sulit bagi Kelana menemukannya. Apalagi tawa Raja Racun Muka Hitam sering
terdengar. Kelana menggeleng-geleng kepala melihat datuk sesat itu tengah bergelimang
kesenangan dunia. Cepat ia menyalurkan tenaga dalamnya dan melemparkan gulungan surat
ke arah Raja Racun Muka Hitam.
Wuttt...!
Sambaran angin halus yang ditimbulkan gulungan surat sepanjang satu jengkal itu
membuat Raja Racun Muka Hitam tersentak. Wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan yang
sangat.
"Keparat...!" desisnya geram. Tanpa bergerak dari tempat duduknya, datuk sesat itu
mengulur tangan dengan telapak membuka. Dan....
Tappp!
Enak saja gulungan surat itu tertanggap tangannya. Wajahnya yang hitam menyiratkan
kekagetan. Telapak tangan datuk sesat itu bergetar saat menerima gulungan suarat. Tahulah
Raja Racun Muka Hitam kalau pelempar surat itu bukan orang sembarangan.
"Kembalilah ke tempat kalian...!" ujar Raja Racun Hitam kepada empat orang wanita
muda yang menemaninya.
Meskipun wajah keempatnya menggambarkan keheranan, namun perintah lelaki
bertubuh gendut itu tidak dibantah. Mereka beranjak bangkit dan meninggalkan Raja Racun
Muka Hitam seorang diri di tempat itu.
Sepeninggal keempat gundiknya, Raja Racun Muka Hitam membuka gulungan surat di
tangannya. Wajah yang hitam itu tampak semakin gelap setelah membaca tulisan di dalamnya.
Raja Racun Muka Hitam! Kutunggu kedatanganmu di hutan sebelah utara kadipaten
ini. Datanglah jika tidak ingin kehidupanmu rusak!
Sepasang Naga Merah.
"Bedebah...!" desis Raja Racun Muka Hitam geram. Diremasnya pegangan kursi panjang
terbuat dari kayu jati pilihan yang didudukinya.
Kresss...!
Hebat bukan main! Pegangan kursi yang kuat itu hancur. Dapat dibayangkan betapa
hebat kekuatan tenaga dalam kakek gendut bermuka hitam itu.
Kelana yang berada beberapa tombak dari tempat itu menatap takjub. Kepandaian Raja
Racun Muka Hitam ternyata memang sangat tinggi. Cepat Kelana melangkah perlahan.
Kemudian melesat meninggalkan tempat itu.
"Hm..."
Raja Racun Muka Hitam menangkap desiran angin halus. Tapi tokoh sesat itu tidak
berusaha mengejar, ia tahu orang itu akan ditemuinya malam ini. Selain itu, calon lawannya
berkapandaian tinggi. Alasan-alasan itu membuatnya tidak berkeinginan untuk mengejar.
"Tunggulah! Kalian benar-benar mencari mati!" geram datuk sesat itu beranjak bangkit
untuk bersiap memenuhi undangan, ia sadar kehidupannya akan rusak bila tantangan itu
dipenuhi. Rahasia yang selama ini dipendamnya rapat-rapat akan terbongkar. Dan tidak
mungkin dapat tinggal di Kota Kadipaten Tampak Serang lagi dengan bergelimang kesenangan.
"Sepasang Naga Merah...? Mungkin mereka tokoh baru dalam kalangan persilatan. Aku
belum pernah mendengar namanya...," gumam datuk sesat itu seraya melangkah pergi.
TIGA
Raja Racun Muka Hitam melesat meninggalkan tempat kediamannya. Tujuannya
sebuah hutan di utara Kadipaten Tampak Serang. Rupanya Raja Racun Muka Hitam tidak akan
membiarkan Sepasang Naga Merah merusak kehidupannya. Siapa yang berani mengganggunya
berarti kematian, begitu jalan pikiran datuk sesat itu.
Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi, sebentar saja Raja Racun Muka Hitam telah
berada di tempat yang dituju. Langkahnya diperlambat saat melihat dua sosok tubuh
menantinya di sebuah tempat yang agak terbuka.
"Hm...."
Terdengar suara gumaman dingin Raja Racun Muka Hitam. Tokoh sesat itu
menghentikan langkahnya satu tombak di depan dua sosok bayangan yang menunggunya.
Ditatapnya wajah kedua penantangnya. Kening Raja Racun Muka Hitam agak berkerut. Kedua
orang yang mengaku Sepasang Naga Merah ternyata masih sangat muda.
"Kaliankah yang berjuluk Sepasang Naga Merah...?" tegur datuk sesat itu dengan
suaranya yang parau dan berat.
"Bagus kau mau datang memenuhi undangan kami, Raja Racun Muka Hitam. Itu
artinya kau masih menginginkan kehidupan seperti yang sekarang kau jalani..." ucapan itu
dikeluarkan sosok ramping berpakaian serba merah. Siapa lagi orang itu kalau bukan Savitri.
Kelana yang berdiri di sebelah kanan Savitri diam mendengarkan. Pemuda itu belum
ingin mencampuri. Matanya menegasi sosok Raja Racun Muka Hitam. Dugaannya tentang
seorang lelaki tinggi besar dengan wajah penuh brewok ternyata meleset. Sosok Raja Racun
Muka Hitam jauh dari dugaannya.
"Hmh...!" Raja Racun Muka Hitam mendengus kasar.
"Jadi, kalian yang berjuluk Sepasang Naga Merah..?" tanyanya meyakinkan. Sebab
bukan mustahil kedua orang itu hanya pengikut.
"Benar. Dan kami sengaja mengundangmu ke tempat ini," kali ini Kelana yang
menyahuti.
"Apakah kalian sadar bahwa mempermainkan Raja Racun Muka Hitam sama artinya
dengan bunuh diri...?" tukas Raja Racun Muka Hitam menatap wajah kedua orang itu penuh
ancaman.
"Maksudku bukan hendak mempermainkanmu, Raja Racun Muka Hitam. Tapi untuk
mengajak bergabung dengan kami. Tentu saja kau harus berada di bawah perintah kami...," lagi
Kelana menyahuti. Rupanya Savitri telah menyerahkan segala keputusan kepada pemuda
tampan yang telah menjadi kekasihnya.
"Hua ha ha...!"
Raja Racun Muka Hitam tergelak sampai perut buncitnya berguncang-guncang, ia
merasa lucu dengan ucapan Kelana.
"Kalian benar-benar menggelikan! Anak masih bau kencur sudah mau bertingkah
macam-macam. Sampai-sampai berani menggertak Raja Racun Muka Hitam. Tapi ingin
kudengar rencana kalian. Nah, katakanlah...?" pinta Raja Racun Muka Hitam bernada
memerintah.
"Sudah kubilang kami ingin mengajakmu bergabung. Kami akan menjadi pimpinan
seluruh tokoh golongan hitam di negeri ini...," jelas Kelana lantang dan yakin akan
kemampuannya.
"Bagus... bagus! Jalan pikiran kalian memang sangat baik dan patut mendapat
dukungan. Tapi hendak kulihat apakah kemampuan kalian juga sebesar sesumbarnya...! Nah,
bersiaplah...!"
Selesai berkata. Raja Racun Muka Hitam menggeser langkahnya. Datuk sesat itu
melontarkan serangan. Sadar siapa lelaki gemuk bermuka hitam itu, Kelana dan Savitri
merenggang. Mereka siap menghadapi Raja Racun Muka Hitam bersama-sama.
Kelana bergerak dari sebelah kanan. Kedua lengannya diputar dan kaki kanan diangkat
setinggi lutut. Jurus yang digunakan tampak aneh. Perubahan geraknya pun mengagumkan.
Raja Racun Muka Hitam sampai mengerutkan kening.
Savitri yang bergerak dari sebelah kiri juga melakukan gerakan serupa. Sehingga, Raja
Racun Muka Hitam yang menoleh ke arah gadis cantik itu mulai mengerti lawannya
menggunakan ilmu berpasangan.
"Hm.... Inikah ilmu 'Silat Naga Merah'...?" gumam Raja Racun Muka Hitam menggeser
tubuhnya ke kanan.
Raja Racun Muka Hitam sadar jurus yang dipergunakan kedua lawannya cukup ampuh
dan berbahaya. Tokoh sesat itu tidak berani memandang rendah. Itu dapat dilihat dari gerak
langkahnya yang hati-hati.
"Haiiittt...!"
Savitri memulai serangan dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan dada.
Gadis cantik itu mengerahkan tenaga dalamnya. Itu dilakukan untuk mengacaukan pikiran
lawan.
Bettt, bettt...!
Sekali bergerak Savitri melancarkan serangkaian serangan. Bagian-bagian yang
menjadi sasaran adalah jalan darah yang berbahaya.
Raja Racun Muka Hitam maklum akan serangan maut itu. Kendati terlihat lambat, Raja
Racun Muka Hitam langsung membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan
sambaran angin tajam.
"Haaattt...!"
Belum lagi serangan datuk sesat itu tiba, terdengar teriakan nyaring. Disusul dengan
meluncurnya tubuh Kelana ke arena pertempuran. Raja Racun Muka Hitam terpaksa menunda
serangan. Serangan Kelana sangatlah berbahaya. Jauh lebih berbahaya dari serangan yang
dilancarkan Savitri.
Plakkk, plakkk!
Raja Racun Muka Hitam memutar serangannya untuk menyambut gempuran Kelana.
Tokoh sesat itu tergetar mundur beberapa langkah. Benturan ke dua pasang lengan mereka
membuat wajah datuk sesat itu berubah.
"Hebat..!" puji Raja Racun Muka Hitam. Mau tidak mau ia harus mengakui kekuatan
tenaga dalam pemuda tampan berpakaian serba merah itu.
"Kau pun hebat Raja Racun Muka Hitam...!" seru Kelana yang juga merasakan
kehebatan datuk sesat itu. Dalam hal kekuatan tenaga dalam tampaknya mereka berimbang.
"Tapi jangan merasa bangga dulu, Bocah! Lihat seranganku selanjutnya...!" baru saja
ucapannya selesai, Raja Racun Muka Hitam melesat dengan sangat cepat laksana sambaran
kilat.
Bettt, bettt, bettt...!
Sepasang lengan datuk sesat itu bergerak susul-menyusul disertai decitan angin tajam.
Serangannya kali ini dilakukan dengan kekuatan penuh!
Namun Kelana sedikit pun tidak melayani. Savitri-lah yang datang menghadang dan
membendung gempuran lawan. Sesekali serangan balasan gadis cantik itu meluncur dengan
cepat. Tapi begitu Raja Racun Muka Hitam melancarkan serangan, Savitri menghindar
digantikan Kelana yang langsung melancarkan gempuran-gempuran maut. Kerja sama yang
baik itu membuat Raja Racun Muka Hitam kewalahan. Apalagi ketika Kelana dan Savitri
menyerbu bersamaan. Terpaksa Raja Racun Muka Hitam berloncatan menghindar. Ia tidak
diberi kesempatan untuk membalas. Datuk sesat itu harus puas bermain mundur.
"Heyaaahhh...!"
Rasa panasaran membuat Raja Racun Muka Hitam berbuat nekat dengan mengerahkan
seluruh kekuatannya, datuk sesat itu membentak keras. Kedua tangannya didorongkan ke
depan hingga menimbulkan deruan angin keras yang sanggup menghempaskan benda-benda di
depannya. Tapi...
"Haiiit...!"
"Hahhh...!"
Bersamaan dengan dorongan kedua telapak tangan Raja Racun Muka Hitam, Kelana
dan Savitri memekik nyaring. Tubuh keduanya melenting ke udara. Serangan dahsyat pun
mengenai angin kosong! Bahkan....
Brertt...!
Desss...!"
Raja Racun Muka Hitam mengeluh pendek. Kedua lawannya mengirim serangan telak
selagi mereka berada di udara. Akibatnya, tubuh gendut itu jatuh terguling. Bahu kanannya
berdarah terkena cakaran Savitri. Sedangkan punggungnya nyeri akibat tendangan Kelana.
"Kurang ajar...!" Raja Racun Muka Hitam menggeram murka. Tubuhnya melenting
bangkit. Wajah hitam itu semakin bertambah hitam. Sepasang matanya menyiratkan naisu
membunuh.
"Itu belum seberapa. Raja Racun Muka Hitam! Kalau kau masih belum mau tunduk,
kami akan memberi pelajaran yang lebih berat...!" ujar Savitri dengan tawa mengejek. Tentu
saja ucapan itu membuat darah Raja Racun Muka Merah semakin mendidih.
"Hmh...!"
Sambil memperdengarkan dengusan mirip banteng marah, lelaki gemuk itu menyiapkan
jurus-jurus selanjutnya. Sepasang tangannya bergerak ke kiri dan kanan menerbitkan
hembusan angin keras hingga menggoyangkan dedaunan. Tampaknya amukan Raja Racun
Muka Hitam kali ini sangat berbahaya.
Kelana dan Savitri sadar betul akan kedahsyatan ilmu lawan. Mereka tidak berpencar
seperti tadi. Tapi memainkan jurus-jurus semula dengan tubuh agak merapat saling baradu
punggung.
"Jeaaahhh...!"
"Haaahhh...!"
Seiring dengan bentakan-bentakan keras, tubuh keduanya bergerak maju. Kelihatannya
mereka telah menyatukan kekuatan untuk menghadapi Raja Racun Muka Hitam. Dan....
"Haaattt...!"
Raja Racun Muka Hitam datang menyerang dengan kedahsyatannya. Tanah di arena
pertarungan berguncang saat datuk sesat itu berlari. Daun-daun berguguran. Dan angin puting
beliung tercipta mengiringi serbuan Raja Racun Muka Hitam.
Wusss...!
Serbuan angin dahsyat itu tidak membuat Kelana dan Savitri gentar. Mereka
menyambutnya dengan dorongan tangan mereka dalam kuda-kuda silang yang kokoh!
"Heaaa...!"
Blarrr...!
Dua gelombang tenaga dalam tingkat tinggi saling berbenturan di udara. Ledakan
dahsyat laksana petir menggelegar. Tanah tempat terjadinya pertarungan bergetar hebat
digoncang gempa. Dan tubuh ketiga petarung terpental balik dua sampai tiga tombak ke
belakang!
Brukkk!
Raja Racun Muka Hitam tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Tubuh
gendutnya terbanting ke tanah dengan keras. Kemudian....
"Huakh...!"
Darah kental termuntah dari mulutnya. Raja Racun Muka Hitam mengalami luka dalam
yang cukup parah!
Lain halnya dengan Kelana dan Savitri. Mereka dapat mengatasi daya lontar itu dengan
baik. Diiringi bentakan nyaring, keduanya berputaran beberapa kali. Dan meluncur turun
dengan kedua kaki lebih dulu. Dari sini dapat dilihat kekuatan gabungan mereka jauh lebih
hebat dari kekuatan lawan.
Melihat pasangan muda yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah sedikit pun
tidak terluka, Raja Racun Muka Hitam melenggak kaget. Heran bukan main datuk sesat itu.
Dalam serangan terakhirnya ia kerahkan tenaga beracun. Tapi, Sepasang Naga Merah tetap
segar bugar!
"Kalian... memiliki ilmu penawar racun...?!" tanya Raja Racun Muka Hitam tidak
percaya dengan penglihatannya.
"Hm.... Tak ada satu racun pun mampu melukai kami, Raja Racun Muka Hitam. Kalau
tidak, untuk apa kami begitu tolol berani menentangmu yang terkenal sebagai raja racun. Perlu
kau ketahui bahwa jurus 'Naga Merah Bertapa' sanggup menawarkan segala jenis racun! Jurus
itulah yang kami pergunakan untuk menyambut seranganmu...," jelas Savitri membuat kerutan
pada kening Raja Racun Muka Hitam semakin dalam.
"Jurus 'Naga Merah Bertapa'...?" desis Raja Racun Muka Hitam mengulang ucapan
Savitri. "Rasanya aku pernah mendengar nama jurus itu...? Sayang aku lupa entah kapan dan di
mana...?"
"Hm.... Agar kau tidak penasaran, baiklah kami beritahu dari mana ilmu ini kami
dapat," lanjut Savitri tersenyum puas. "Kau pasti tahu sebuah perguruan besar yang kabarnya
merupakan pusat ilmu-ilmu tinggi, bukan...?"
"Perguruan Gunung Naga...?!"
Raja Racun Muka Hitam terkejut bukan main. Tentu saja ia mengenal dengan baik
nama perguruan itu. Bahkan hampir semua tokoh persilatan mengenalnya. Sayang Perguruan
Gunung Naga sangat tertutup bagi orang luar. Kebanyakan murid perguruan itu pertapa-
pertapa soleh. Mereka lebih suka mengucilkan diri daripada mengurusi kehidupan dunia yang
penuh kekerasan dan tipu muslihat.
Raja Racun Muka Hitam menatap tajam sepasang orang muda itu. Timbul satu dugaan
dalam pikirannya. Ilmu yang digunakan kedua orang berpakaian serba merah itu memperkuat
dugaannya.
"Kau kaget, Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Kelana yang rupanya dapat menebak
jalan pikiran datuk sesat itu.
"Jadi kalian berdua...."
"Ya. Kami berhasil mencuri sebuah kitab ilmu silat yang sangat langka," potong Kelana
sebelum Raja Racun Muka Hitam menyelesaikan kalimatnya, "Itu membuktikan kami pantas
menjadi pimpinan golongan hitam...," tandas Kelana.
"Hua ha ha.... Hebat.., hebat...! Aku benar-benar kagum dengan keberanian kalian! Aku
yakin pertapa-pertapa tolol itu akan kelabakan...!" Raja Racun Muka Hitam sangat puas dengan
cerita yang dituturkan Kelana.
"Jadi kau menerima kalau aku menjadi pimpinan golongan kita yang selalu dilecehkan
golongan putih...?" kali ini Savitri yang bertanya.
"Hm.... Melihat kehebatan kalian memang tidak diragukan lagi masa kejayaan golongan
hitam akan segera tiba...," ujar Raja Racun Muka Hitam. "Aku siap bantu mewujudkan cita-cita
mulia itu...."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya," tukas Kelana tersenyum.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya...?" tanya Raja Racun Muka Hitam.
"Setelah kawan-kawan yang lain terkumpul, tujuan pertama adalah melenyapkan
Pendekar Naga Putih! Ia merupakan halangan terbesar cita-cita kita. Mulai hari ini kumpulkan
semua pengikutmu. Aku akan datang menghubungimu," jelas Kelana memberi petunjuk.
"Baik," jawab Raja Racun Muka Hitam tanpa membantah.
"Sekarang kami akan pergi menundukkan tokoh-tokoh lain agar mereka mau bergabung
dengan kita. Laksanakan tugasmu dengan baik, Raja Racun Muka Hitam...!" ujar Kelana.
Kemudian melesat bersama Savitri meninggalkan tempat itu.
Raja Racun Muka Hitam mengangguk pasti. Tubuhnya baru bergerak setelah bayangan
Kelana dan Savitri lenyap ditelan kegelapan malam. Suasana di tempat itu kembali hening dan
sepi. Desiran angin lembut menemani nyanyian binatang-binatang malam.
***
"Ke mana kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau yang melangkah di
samping pemuda tampan berjubah putih. Mereka sudah pasti Panji dan Kenanga.
"Mencari keterangan tentang pemuda berpakaian serba merah yang memusuhiku. Kalau
tidak salah namanya Kelana. Aku penasaran ingin mengetahui penyebab ia memusuhiku...,"
sahut Panji tanpa menghentikan langkahnya. Saat itu mereka tengah menelusuri padang
rumput yang cukup luas (Bagi pembaca yang belum mengetahui permusuhan Panji dengan
Kelana, silakan mengikuti episode "Petulang Sakti" yang merupakan episode pertama "Sepasang
Naga Merah").
"Hm...." Kenanga bergumam tak jelas. Kening gadis itu tampak berkerut.
"Ada apa, Kenanga? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Panji menoleh
ketika mendengar Kenanga hanya bergumam menanggapi ucapannya.
"Aku memang sedang berpikir, Kakang. Rasanya ada yang janggal dalam diri Kelana...,"
sahut Kenanga memandang kekasihnya.
"Maksudmu..., Kelana telah terpengaruh Savitri...?" tanya Panji, ia pun menduga Kelana
tidak sejahat seperti yang mereka hadapi. Kalau pemuda itu kelihatan ganas, mungkin karena
ingin membalas dendam atas kematian kedua orangtuanya.
"Aku tidak bisa memastikan. Tapi kelihatannya memang begitu. Orang yang tengah
dikuasai dendam seperti Kelana akan mudah terjebak orang-orang sesat. Mungkin itu yang
terjadi pada diri Kelana...," jelas Kenanga.
"Ha... Aku baru ingat sekarang...!" tiba-tiba Panji berkata agak keras.
"Apa yang kau ingat, Kakang...?" tanya Kenanga penasaran. Karena dilihatnya wajah
Panji berubah cerah.
"Bukankah belakangan ini muncul seorang tokoh yang berjuluk Petualang Sakti? Nah,
ciri-ciri Kelana sangat cocok. Kemungkinan besar dialah Petualang Sakti...!" jawab Panji agak
lega. Dengan mengenal siapa pemuda berpakaian merah itu, ia akan lebih mudah mengusut
asal-usul Kelana. Dengan begitu mungkin dapat diketahui penyebab pemuda itu sangat
memusuhinya.
"Ah. Kau benar, Kakang. Tapi julukan Petualang Sakti telah lenyap dan tidak akan
muncul lagi. Kau mungkin tahu sebabnya...," tukas Kenanga yang juga pernah mendengar
mengenai seorang pemuda tegap berpakaian merah yang dijuluki Petualang Sakti.
"Maksudmu mereka telah mempunyai julukan baru, yang saat ini tengah ramai
dibicarakan orang...?" tegas Panji menatap kekasihnya lekat-lekat.
"Tidak salah, Kakang. Pasti merekalah yang belakangan ini terkenal sebagai Sepasang
Naga Merah. Sebab kalau melihat warna pakaian mereka yang sama, jelas mereka sangat tepat
menggunakan julukan itu. Sepertinya Kelana telah terseret semakin jauh...," tukas dara jelita
itu membenarkan dugaan Panji. Belakangan ini mereka memang sering mendengar tentang
Sepasang Naga Merah yang kabarnya memang sering banyak meminta korban.
"Hm..., Kalau begitu akan lebih mudah lagi kita mencari petunjuk asal-usul Kelana...,"
ujar Panji semakin lega. Karena menurutnya cukup banyak tokoh sesat yang mengenal pemuda
berpakaian serba merah itu.
"Benar, Kakang...."
"Ayolah kita bergegas...!"
Tanpa banyak cakap, Kenanga segera melesat mengikuti langkah Panji yang sudah lebih
dulu. Sebentar saja bayangan keduanya lenyap di kejauhan.
EMPAT
Sang Dewi Malam baru saja usai menunaikan tugasnya. Semburat kemerahan
menghiasi cakrawala timur. Suara kokok ayam jantan terdengar saling bersahutan. Dan
hembusan angin bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan.
Saat itu, sesosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih tampak berlari cepat
meninggalkan tepian sungai. Wajahnya yang segar dibasahi butiran air bening. Agaknya sosok
yang ternyata seorang pemuda tampan itu baru saja selesai membersihkan tubuh. Gerakannya
ringan saat ia berloncatan di atas jalan berbatu.
"Ada apa, Kakang? Mengapa berlari-lari seperti itu...?"
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menyambut kedatangan pemuda tampan
berjubah putih itu. Wajahnya yang segar menampakkan keheranan. Jelas sikap pemuda itu lain
dari biasanya. Kalau tidak, mana mungkin dara jelita itu merasa heran.
"Cepatlah ikut aku, Kenanga! Rasanya ada pertempuran di sekitar tempat ini...!" sahut
pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji atau Pendekar Naga Putih.
Meski gambaran keheranan masih terbayang di wajahnya, Kenanga tidak membantah.
Setelah menyambar buntalan pakaian, dara jelita itu melesat mengikuti langkah Panji.
"Di sebelah mana, Kakang...?" tanya dara jelita itu seraya mempercepat larinya untuk
menyejajari langkah Panji.
"Menurut perhitunganku mungkin berada di sebelah timur sungai...," sahut Panji tanpa
mengurangi kecepatan larinya.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, tidak sulit bagi pasangan pendekar muda
itu menemukan sumber suara pertempuran. Sebentar saja mereka telah tiba di sebuah dataran
yang agak tinggi. Di tanah yang tidak rata karena banyak bebatuan itu sebuah pertempuran
tengah berlangsung cukup seru. Panji dan Kenanga menghentikan larinya. Lalu berdiri
menonton dalam jarak dua tombak.
"Orang-orang kasar yang tengah melawan dua orang berpakaian pertapa itu jelas bukan
orang baik-baik, Kakang. Melihat buntalan-buntalan kain besar yang tergeletak di atas tanah,
tampaknya mereka baru saja menjarah desa. Mungkin dua orang tua yang berpakaian pertapa
itu memergokinya, kemudian mengejar sampat ke tempat ini...," ujar Kenanga mereka-reka.
"Hm.... Kemungkinan besar memang begitu. Mari kita lihat lebih dekat...," ajak Panji.
Belum lagi mereka melangkah maju, tiba-tiba terdengar teriakan kesakitan. Salah satu
dari belasan orang kasar terpental dan melayang ke arah Panji dan Kenanga. Meskipun tahu
yang terpental bukan orang baik-baik, tapi Panji mengulurkan tangan menangkap sosok itu
agar tidak terbanting ke tanah.
"Huppp!"
Dengan jari-jari tangan kanannya, Panji menyambar leher baju bagian belakang orang
itu. Tangannya dilemaskan mengikuti daya lontar tubuh lelaki itu. Kemudian menurunkannya
dengan kedua kaki lebih dulu. Tapi, sosok tubuh itu melorot jatuh.
"Hm.... Rupanya ia pingsan...," gumam Panji. Melihat lelehan darah di sudut bibir lelaki
kasar itu, Panji tahu ia terluka dalam yang parah.
Tubuh yang tak sadarkan diri itu ditinggalkan begitu saja. Kemudian mereka
melangkah lebih dekat. Mendadak...
"Hm.... Rupanya masih ada kawan cecunguk-cecunguk ini yang hendak memberi
bantuan...!" ucapan perlahan salah seorang pertapa segera disusul dengan lesatan tubuhnya.
Tanpa banyak bicara, diserangnya Panji yang berada sedikit di depan kekasihnya.
"Hei, tunggu...!"
Panji berseru mencegah. Pemuda itu sempat terkejut melihat kehebatan serangan
pertapa. Sayang serangan itu tidak bisa dicegah Panji terpaksa mengangkat lengan kanannya,
lalu diputar untuk memapaki serangan itu.
Plakkk, plakkk...!
"Aihhh...?!"
Karena tidak ingin menderita kerugian, Panji mengerahkan setengah lebih tenaga
dalamnya. Pukulan pertapa pun membalik bagai membentur hendak kenyal. Wajah pertapa itu
tampak kaget merasakan tubuhnya terpental ke belakang.
"Haiiit...!"
Terdengar bentakan nyaring disusul berputarnya tubuh pertapa. Lalu meluncur turun
dengan kedua kaki lebih dulu. Ditatapnya sosok Panji dengan tajam.
"Hm.... Rupanya yang datang gembong perampok-perampok busuk itu! Tapi jangan
berbesar hati dulu. Lihat seranganku berikutnya...!" desis pertapa berusia enam puluh lima
tahun itu. la menyiapkan jurus-jurus barunya untuk menghadapi Panji dan Kenanga yang
dikiranya kawan perampok-perampok itu.
"Tunggu dulu, Ki! Kau salah paham...!" Panji berseru mencegah. Tangannya terulur ke
depan dengan telapak membuka. Maksudnya hendak memberi keterangan. Tapi....
Pertapa itu rupanya beranggapan lain. Dikiranya gerakan itu sebuah serangan. Maka
dengan cepat langkahnya digeser. Kemudian kembali melesat dengan serangan yang jauh lebih
hebat.
"Haaat...!"
Bettt, bettt, bettt...!
Hebat dan cepat bukan main serangan pertapa itu. Panji terlihat agak kewalahan. Satu
dua pukulan dapat dielakkan. Tapi pada pukulan berikutnya....
Wuttt..., desss...!
"Uhhh...!"
Panji terjajar mundur setengah tombak. Wajah pemuda itu berkerut menahan sakit
pada dada kanannya. Untunglah pukulan itu tidak terlalu telak. Sehingga Panji tidak sampai
terluka dalam. Tapi darahnya sempat naik ke kepala.
"Eyang, sabarlah! Ini hanya salah paham saja...!" Panji kembali berseru menyadarkan
pertapa itu. Kendati kemarahannya sempat terpancing, ia masih berusaha mengingatkan.
"Tidak perlu banyak cakap. Aku tahu akal licikmu, Manusia Bejat. Sebaiknya siapkan
saja ilmumu agar tidak menyesal bila sampai tewas di tanganku...!" pertapa itu belum juga
menyadari kekeliruannya, ia kembali menyiapkan serangan-serangannya.
"Pertapa keras kepala...!" Kenanga geram melihat kekasihnya terkena pukulan lawan.
Jurusnya disiapkan untuk menghadapi pertapa itu. Tapi Panji cepat mencegah. Sehingga,
Kenanga hanya bisa memendam kejengkelannya.
"Hmh...!"
Sadar kalau pertapa itu harus diingatkan dengan kekerasan, Panji segera mengerahkan
"Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan saat serangan pertapa datang mengancam, ia segera
melayani dengan ilmu 'Silat Naga Putih'. Karena pertapa itu bukan orang sembarangan.
"Heaaat...!"
Panji berseru keras. Tubuhnya meluncur menyambut serangan lawan. Hawa dingin
yang menyebar dari tubuh maupun setiap gerakan tangannya membuat udara di sekitar tempat
itu berubah. Pancaran hangat sinar matahari pagi tidak lagi terasa. Yang ada hanya hawa
dingin mengigit tulang. Karuan saja pertapa itu kaget bukan main!
"Pendekar Naga Putih...?!" desisnya ketika mengetahui siapa lawan yang dihadapi.
Sayang kesadaran itu agak terlambat datangnya. Saat itu jarak mereka sudah sangat dekat.
Serangan-serangan Panji datang laksana badai salju. Sehingga, pertapa itu harus
membagi tenaganya untuk melawan serbuan hawa dingin dan melancarkan serangan.
Akibatnya ia kerepotan sendiri. Sampai akhirnya....
Plakkk, plakkk, plakkk...!
"Aaakh...!"
Meski dapat menepiskan dua serangan pertama, namun hantaman telapak tangan
kanan Panji berhasil menggempur pertahanan lawan, dan langsung menghajar dada kanan
pertapa tua itu. Tubuh tinggi kurus itu pun terlempar ke belakang. Untunglah Panji tidak
berniat membunuh. Pertapa itu masih dapat berputaran dan jatuh ke tanah dengan selamat,
walau cairan merah meleleh dari sudut bibirnya.
"Kakang Sarwa Dipa...?!"
Pertapa lain yang bertubuh gemuk pendek berseru kaget. Tubuhnya mencelat memburu,
ia agak lega ketika melihat kawannya tidak mengalami luka parah. Kendati demikian, rasa
cemas masih membayang di wajahnya
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?" tanya pertapa pendek gemuk itu kepada pertapa tinggi
kurus.
"Tidak perlu khawatir. Adi Garma Dipa. Rupanya pemuda itu tidak bersungguh-
sungguh melancarkan serangannya. Kalau tidak, bukan mustahil aku sudah tidak bisa bernapas
lagi...," jawab Ki Sarwa Dipa agak terengah. Tapi, bibirnya menyunggingkan senyum aneh.
Entah apa artinya?
Panji bergegas menghampiri kedua pertapa itu. Sekarang ia yakin mereka tidak akan
menyerangnya. Karena menurutnya mereka sudah dapat menduga siapa dirinya.
Tapi, Panji segera menahan langkahnya dengan sikap curiga. Dilihatnya kedua pertapa
itu menganggukkan kepala, kemudian bergerak merenggang. Sikap mereka jelas bukan
pertanda baik. Maka Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya untuk
menghadapi segala kemungkinan.
"Eyang berdua harap bersabar. Percayalah ini hanya kesalahpahaman...," Panji kembali
berusaha menerangkan. Tapi kedua pertapa tua itu tidak peduli. Mereka terus merenggang
mengambil sikap mengeroyok. Hingga kening Panji berkerut dalam.
"Jaga saja serangan kami, Pendekar Naga Putih...," ujar Ki Sarwa Dipa mengingatkan,
ia sudah bersiap melancarkan serangannya.
Kening Panji semakin berkerut dalam mendengar pertapa tinggi kurus itu menyebut
julukannya. Sebab melihat penampilannya, Panji tahu kedua pertapa itu orang-orang golongan
putih. Yang membuat Panji tak habis mengerti, mengapa mereka masih juga bersikap
memusuhi setelah mengetahui siapa dirinya.
Tapi kedua pertapa itu tidak membiarkan Panji terlalu lama tenggelam dalam
pikirannya. Keduanya sudah memberi tanda mereka akan mulai menyerang. Sehingga, Panji
segera menepiskan semua yang menggangu pikirannya, dan mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menghadapi mereka.
Sebentar saja, sekujur tubuh Panji dilapisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin
menggigit menyebar memenuhi arena pertarungan. Dan...
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Dibarengi lengkingan panjang menggetarkan dada, kedua pertapa melesat bersamaan.
Angin keras yang menerbitkan suara mencicit tajam mengiringi datangnya serangan mereka
Tampaknya kedua pertapa itu tidak main-main melancarkan serangannya.
"Hmmm...."
Panji bergumam pelan melihat serangan lawan. Tubuhnya direndahkan dengan kedua
lutut menekuk. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga bergerak ke kiri dan kanan.
Pemuda itu menggeser langkahnya ketika serangan Ki Sarwa Dipa datang mengancaam.
Kemudian langsung membalas dengan serangakaian serangan yang cepat laksana sambaran
kilat.
Ki Sarwa Dipa yang tahu betul siapa pemuda itu, tentu saja telah memperhitungkan
serangannya dengan baik. Sehingga, serangan balasan Panji dapat dipatahkan dengan kelitan.
Bahkan masih sempat mengirimkan serangan lanjutan.
Selagi kedua tokoh itu saling gempur, Ki Garma Dipa memasuki arena. Serangan-
serangannya yang tidak kalah hebat dengan serangan Ki Sarwa Dipa sempat membuat Panji
bergerak mundur. Sehingga, pemuda itu kelihatan agak terdesak. Padahal itu dilakukan dengan
perhitungan yang matang, ia tidak ingin menanggung akibat. Karena belum tahu maksud kedua
pertapa itu mengeroyok dirinya.
"Yeaaah...!"
Ketika pertempuran memasuki jurus kelima puluh delapan, Pendekar Naga Putih
mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya yang sangat hebat. Hingga kedua pertapa itu
berlompatan mundur dengan wajah agak pucat. Pekikan itu telah mengguncangkan bagian
dalam dada mereka.
Kesempatan selagi kedua lawannya berlompatan mundur tidak disia-siakan begitu saja
oleh Panji. Tubuhnya segera mencelat ke depan. Sepasang tangannya terkembang ke kiri dan
kanan, untuk kemudian melakukan pukulan-pukulan lurus dan menyilang. Kedua pertapa itu
terkejut bukan main!
"Aaah...?!"
"Hem...?!"
Tanpa sadar mereka mengeluarkan pekik tertahan. Keduanya berlompatan menjauh.
Sebab saat itu tubuh Pendekar Naga Putih sukar dilihat. Pendaran sinar putih keperakan
menghalangi pandang mata mereka. Sehingga, mereka tidak dapat melihat arah mana yang
menjadi sasaran serangan lawan. Itu tidak aneh. Panji telah menggunakan jurus 'Naga Sakti
Meluruk ke Dalam Bumi', yang merupakan salah satu jurus terampuh dari rangkaian ilmu 'Silat
Naga Putih'. Akibatnya....
Wuttt, desss, desss...!
"Hukh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh kedua pertapa itu jatuh bergulingan. Pukulan-pukulan Panji telak
menghantam tubuh mereka. Hingga kedua pertapa itu tidak sanggup mempertahankan kuda-
kudanya.
"Cukup, Pendekar Naga Putih...!" Ki Sarwa Dipa yang lebih dulu melompat bangkit
langsung berseru mencegah pemuda itu melanjutkan serangannya. Wajah orang tua itu tampak
pucat, ia berdiri sambil memegang perutnya yang terasa mual.
Panji sendiri memang tidak berniat melanjutkan serangan. Pemuda itu hanya berdiri
tegak menunggu kedua pertapa bangkit berdiri.
"Aku benar-benar puas dapat merasakan sendiri kehebatan pendekar muda yang telah
menggemparkan rimba persilatan. Aku bangga kepadamu, Pendekar Naga Putih," ucapan itu
dikeluarkan Ki Garma Dipa. Pertapa gemuk pendek itu mengukir senyum meski pada sudut
bibirnya mengalir darah segar.
"Kuharap Eyang berdua memaafkan tindakanku yang kasar ini...," ujar Panji dengan
wajah penuh sesal. Sekarang ia baru tahu kedua pertapa itu hanya ingin menguji
kepandaiannya.
Sebagai orang yang telah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Panji
maklum akan sifat golongan tua. Mereka selalu haus ilmu silat. Dan selalu gatal tangan ingin
menguji tokoh-tokoh muda untuk mengetahui kemampuannya. Padahal tidak jarang tindakan
itu menimbulkan korban nyawa. Tapi memang begitulah sifat kaum rimba persilatan. Mereka
lebih suka mati dalam pertempuran daripada digergoti usia tua.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pendekar Naga Putih. Sebagai kaum tua, kami benar-
benar puas dapat merasakan sendiri kelihaianmu. Orang-orang muda seperti kaulah yang akan
dapat menegakkan keadilan di atas muka bumi ini. Aku tahu kau tidak menggunakan seluruh
kekuatanmu saat menghadapi kami. Terutama saat melancarkan pukulan ke tubuh kami tadi..,"
ujar Ki Sarwa Dipa sangat puas. Pertapa tua itu sedikit pun tidak menyalahkan tindakan Panji.
"Tapi aku telah membuat Eyang berdua terluka. Kalau diizinkan, aku hendak mengobati
luka dalam itu. Meski aku yakin luka itu tidak berarti bagi Eyang...," lanjut Panji dengan tutur
kata yang halus yang menandakan kerendahan hatinya.
Mendengar ucapan itu, Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menganggukkan kepala.
Mereka, yang telah banyak pengalaman dan berpandangan luas, benar-benar bangga melihat
pendekar muda itu yang tangguh dan rendah hati. Semua itu menambah kekaguman mereka.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Tentu saja kami tidak menolak keinginanmu.
Kami dengar kau pun telah mewarisi ilmu pengobatan yang sangat langka. Sebab kemahiran
Dewa Obat mengatasi penyakit sudah bukan hal yang aneh lagi bagi kami...," kali ini Ki Garma
Dipa yang menyahuti. Tampaknya kedua pertapa itu benar-benar telah tunduk kepada
Pendekar Naga Putih. Bukan karena kepandaiannya saja. Terutama sikap rendah hati dan
tutur kata yang halus pemuda tampan itu.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan...," ujar Panji menarik napas lega. Ia
pun merasa kagum dan hormat kepada kedua pertapa itu. Mereka orang-orang tua yang
bijaksana dan mau menghormati orang muda seperti dirinya.
Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa menerima pel yang diberikan Panji tanpa keraguan
sedikit pun. Ditelannya obat itu dengan penuh kepercayaan. Sikap yang amat menggembirakan
itu membuat Panji bertambah kagum.
"Hebat...! Ternyata kau benar-benar telah mewarisi kepandaian Dewa Obat. Kami
sungguh kagum dan menaruh hormat kepadamu, Pendekar Naga Putih...," ucap Ki Sarwa Dipa
tulus, setelah merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya. Rasa nyeri dalam
dadanya lenyap. Sehingga jalan napasnya lancar kembali.
"Kau telah membuat kami yang tua-tua ini takluk, Pendekar Naga Putih. Lega rasanya
melihat orang muda sepertimu. Aku yakin dunia persilatan, khususnya kaum golongan putih,
bangga dengan kemunculanmu. Dengan begitu, orang-orang golongan hitam tidak berkutik...,"
ujar Ki Garma Dipa yang juga telah merasakan khasiat pel yang diberikan Panji.
"Jangan terlalu memuji, Eyang. Aku khawatir beban berat ini tak sanggup kupikul...,"
tukas Panji merendah, membuat kedua orang pertapa itu tertawa tergelak. Panji sendiri hanya
tersenyum tipis.
Kenanga yang mendengar kedua pertapa itu memuji-muji kekasihnya ikut bangga. Dara
jelita itu menghampiri ketiganya untuk bergabung.
LIMA
"Kau dan tunanganmu hendak pergi ke mana, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Sarwa
Dipa setelah saling memperkenalkan diri. Kendati demikian, pertapa tua itu lebih suka
memanggil julukan daripada nama. Karena menurut mereka lebih menimbulkan kesan dalam
hati. Dan Panji tidak keberatan.
"Sebenarnya kami hendak menyelidiki asal-usul seseorang, Eyang Sarwa Dipa. Secara
kebetulan kami mendengar suara orang bertempur. Merasa penasaran, kami mencari sumber
suara itu. Lalu menemukan Eyang berdua tengah bertarung. Kalau boleh tahu, siapa orang-
orang kasar itu, Eyang? Dan mengapa sampai terjadi perkelahian?" ujar Panji seraya menoleh
ke arah tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah.
Panji memperkirakan orang-orang kasar itu berjumlah dua puluh orang lebih. Beberapa
di antara mereka tewas di tangan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Sedang lainnya hanya
pingsan. Panji menduga yang tewas itu merupakan pimpinan atau pentolan-pentolan orang-
orang kasar itu.
"Hm.... Kami secara tak sengaja memergoki mereka melakukan tindak kejahatan di
sebuah desa yang letaknya tidak seberapa jauh dari tempat ini. Mereka bukan cuma merampok,
bahkan juga membunuh beberapa keluarga. Itu sebabnya pemimpin-pemimpin mereka terpaksa
kami bunuh. Karena sudah tidak bisa disadarkan lagi. Belakangan ini banyak sekali kami
temukan tindak kejahatan. Menurutku ini semua ada hubungannya dengan kemunculan
Sepasang Naga Merah yang kami dengar hendak menyatukan kaum golongan sesat.
Keberadaan kami di tempat ini pun karena tokoh yang meresahkan itu...," jelas Ki Sarwa Dipa.
Pasangan pendekar muda itu tampak mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang telah dilakukan Sepasang Naga Merah sampai Eyang berdua harus turun
meninggalkan pertapaan...?" Kenanga yang ingin mengetahui penyebab kedua orang tua itu
meninggalkan pertapaannya langsung saja mengajukan pertanyaan.
"Hhh.... Tokoh yang mengaku berjuluk Sepasang Naga Merah memang keterlaluan
sekali. Mereka berani menyatroni tempat kami dan mencuri sebuah kitab pusaka yang sangat
berbahaya. Karena ilmu itu dapat menyesatkan pemiliknya. Terutama pada bagian terakhir
yang merupakan jurus pamungkas ilmu 'Silat Naga Merah'. Maka kami berdua terpaksa
meninggalkan pertapaan untuk mencari dan mengambil kembali kitab pusaka itu...," papar Ki
Sarwa Dipa.
"Kitab ilmu 'Silat Naga Merah'...?!" desis Panji mengulang nama kitab yang telah dicuri
itu. "Kalau tidak salah, guruku pernah bercerita tentang kitab itu. Menurut beliau telah
berumur ratusan tahun dan disimpan di dalam perpustakaan Perguruan Gunung Naga. Kalau
begitu, Eyang berdua pertapa-pertapa dari Gunung Naga?"
"Benar. Kami berdua pengurus-pengurus Perguruan Gunung Naga...," jawab Ki Sarwa
Dipa membuat Panji dan Kenanga kaget. Mereka telah lama mendengar tentang perguruan
yang tersembunyi dan tertutup itu dari guru-guru mereka.
"Lalu, bagaimana kitab itu sampai bisa tercuri, Eyang? Bukankah Perguruan Gunung
Naga tidak bisa didatangi orang luar? Bahkan kabarnya perguruan itu merupakan pusat ilmu-
ilmu silat yang ada di dunia ini...?" tanya Panji seperti tidak percaya ada orang yang begitu
berani menyatroni bahkan mencuri kitab dari perguruan itu.
"Sebenarnya kitab itu tidak akan dapat dicuri orang kalau saja kami dan para tetua
perguruan berada di tempat itu. Rupanya pencuri-pencuri itu sudah lama mengintai kegiatan
kami. Mereka datang tepat pada saat rumah perguruan kosong. Kami dan para tetua perguruan
tengah mengadakan pemakaman ketua kami yang meninggal karena usia tua. Saat itu rumah
perguruan hanya dihuni pelayan-pelayan yang memiliki kepandaian tidak seberapa. Akibatnya
mereka semua tewas oleh pencuri laknat itu." Ki Sarwa Dipa menghela napas sedih. Tampaknya
ia benar-benar terpukul dengan kejadian itu. Kakek itu menutup ceritanya dengan menggeleng
perlahan.
"Pencurian itu terjadi karena keteledoran kami juga. Selama puluhan tahun tempat
kami tidak pernah didatangi orang. Itu membuat kami lengah. Sehingga tidak menaruh
kecurigaan akan ada orang yang berani datang mengacau. Ini merupakan pelajaran yang sangat
mahal bagi kami...," Ki Garma Dipa menyambung ketika melihat Ki Sarwa Dipa tidak
melanjutkan ceritanya.
"Hm.... Pantas julukan Sepasang Naga Merah baru terdengar belakangan ini. Rupanya
mereka baru memperkenalkan julukan setelah mempelajari ilmu 'Silat Naga Merah'. Sungguh
berbahaya sekali," ujar Panji menghela napas panjang. Salah satu dari Sepasang Naga Merah
adalah musuhnya. Jelas ia harus menghadapi lawan berat. Karena setelah menguasai ilmu yang
berbahaya itu, sudah pasti lawannya akan bertambah lihai.
"Apa Eyang berdua sudah menyelidiki siapa tokoh yang berjuluk Sepasang Naga Merah
itu...?" tanya Panji ingin mengetahui hasil penyelidikan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
Siapa tahu dengan begitu ia dapat mengungkapkan penyebab Kelana memusuhinya.
"Mmm.... Memang belum cukup banyak. Tapi, kami telah mengetahui salah satu dari
Sepasang Naga Merah pernah terkenal sebagai Petulang Sakti yang sering membela kaum
lemah. Tokoh itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Bernama Kelana. Dia berasal dari
sebuah desa dekat pegunungan. Desa Sendang Waringin. Di desa itu kami mencari keterangan
tentang orang tua Kelana...," jawab Ki Garma Dipa. Sedangkan Ki Sarwa Dipa diam dan
mendengarkan.
"Desa Sendang Waringin...?" gumam Panji mengulang nama desa tempat asal Kelana
yang memusuhinya mati-matian.
"Benar," sahut Ki Garma Dipa tanpa memperhatikan wajah maupun nada ucapan Panji.
Pertapa gemuk itu kembali melanjutkan. "Tapi Kelana tidak tinggal lama di desa itu. Sejak
berusia lima belas tahun ia telah pergi mengembara mencari guru-guru pandai. Begitu
keterangan yang kuperoleh di Desa Sendang Waringin. Kepala desa itu sendiri yang
menceritakan."
"Lalu, siapa yang telah mendidik Kelana, Eyang?" tanya Panji lagi.
"Menurut Kepala Desa Sedang Waringin, Kelana seorang pemuda yang sangat gemar
ilmu silat, ia tidak hanya belajar pada satu guru. Bahkan pemuda itu tidak peduli apakah yang
dipelajarinya ilmu golongan sesat. Kelana bertindak menurutkan kata hatinya. Kalau sifat
baiknya sedang timbul, ia akan melakukan tindakan sebagaimana layaknya seorang pendekar.
Tapi, tidak jarang berbuat kejahatan dan menentang kaum golongan putih. Sehingga, sulit
dipastikan di pihak mana sebenarnya pemuda itu berdiri...."
"Mungkin itu sebabnya ia dijuluki Petualang Sakti...," gumam Kenanga kepada diri
sendiri. Ucapan itu dikeluarkan dengan perlahan. Namun terdengar oleh Panji dan kedua
pertapa itu.
"Menurut kami pun demikian...," tukas Ki Sarwa Dipa.
"Kalau begitu, siapa sebenarnya orangtua Kelana, Eyang...?" tanya Panji setelah terdiam
beberapa saat.
"Menurut Kepala Desa Sendang Waringin, orangtua Kelana bernama Jalak Pari. Ia
telah tewas sekitar dua tahun silam...," jawab Ki Sarwa Dipa mendahului. Karena Ki Garma
Dipa kelihatan agak sulit mengingat nama itu.
"Jalak Pari.... Jalak Pari...," Panji mengulang nama itu beberapa kali, membuat Ki
Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa mengerutkan kening melihat sikap pendekar muda itu.
"Ada apa, Pendekar Naga Putih? Apa kau mengenal nama itu...?" tanya KiSatwa Dipa
menegasi.
"Hm.... Aku tidak begitu pasti, Eyang. Tapi, sepertinya aku pernah mendengar namanya.
Sayang aku lupa di mana dan kapan pernah berjumpa atau mendengar nama itu disebut
orang...," jawab Panji tidak ingin memberi kepastian, ia memang tidak begitu ingat dengan
nama Jalak Pari.
Ki Sarwa Dipa tidak mendesak. Pertapa itu percaya dengan kejujuran Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu tentu tidak akan menyembunyikannya dari mereka jika memang mengenal
Jalak Pari.
Untuk beberapa saat lamanya pembicaraan terhenti. Mereka tercekam dalam kebisuan
mengikuti arus pikiran masing-masing. Tak lama kemudian, Ki Sarwa Dipa kembali membuka
suara memecah keheningan di antara mereka.
"Kami hendak melanjutkan perjalanan untuk merebut kembali kitab pusaka itu.
Kuharap kalian sudi mengembalikan barang-barang penduduk Desa Warang yang letaknya di
sebelah timur tempat ini. Tentunya kalau kalian memang tidak satu arah dengan kami...," ujar
Ki Sarwa Dipa meminta kesediaan Panji dan Kenanga.
"Tentu saja kami tidak keberatan, Eyang. Kami memang hendak melewati desa itu.
Eyang berdua tidak perlu khawatir. Kami pun akan berusaha menemukan kitab pusaka
Perguruan Gunung Naga, dan akan mengembalikannya kepada Eyang berdua...," sahut Panji.
Pemuda itu memang akan melalui Desa Warang. Tujuannya sendiri tetap ke Desa
Sendang Waringin tempat kelahiran Kelana. Karena Panji masih belum ingat tentang Jalak
Pari, orangtua Kelana. Sedangkan menurut Kelana dirinyalah yang telah membunuh Jalak
Pari. Panji merasa perlu untuk mengunjungi Desa Sendang Waringin. Mungkin ia akan teringat
bila telah berada di desa itu.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kami menghargai niatmu yang luhur itu...," ujar
Ki Sarwa Dipa kemudian mohon diri kepada Panji dan Kenanga. Sebentar saja keduanya sudah
melesat jauh. Tinggal dua sosok bayangan samar yang semakin pudar. Lalu lenyap di kejauhan.
Panji dan Kenanga melambaikan tangan mengantar kepergian pertapa-pertapa
Perguruan Gunung Naga. Kemudian bergerak meninggalkan tempat itu dengan membawa hasil
rampokan yang telah diselamatkan Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa.
***
Di sepanjang jalan menuju Desa Sendang Waringin, Panji dan Kenanga mendengar
tentang sepak terjang kaum golongan sesat yang semakin ganas. Semua itu dikaitkan orang
dengan kemunculan tokoh berjuluk Sepasang Naga Merah. Dari pembicaraan-pembicaraan yang
didengar, tahulah pasangan pendekar muda itu orang yang berjuluk Sepasang Naga Merah
masih muda dan mengenakan pakaian serba merah. Semua itu semakin membuat mereka yakin
Sepasang Naga Merah adalah Kelana dan Savitri. Kedua orang itu mempunyai ciri-ciri sama
dengan tokoh yang namanya semakin menjulang itu.
"Tidak salah lagi, Kakang. Mereka Kelana dan Savitri. Tampaknya mereka hendak
menyatukan kaum golongan sesat setelah menguasai ilmu 'Silat Naga Merah' dari kitab curian
itu...," ujar Kenanga yang mulai berani memastikan siapa tokoh muda yang berjujuk Sepasang
Naga Merah.
"Kurasa memang merekalah orangnya. Selain ciri-cirinya sama dengan yang dituturkan
Pertapa Gunung Naga, memang hanya merekalah yang bernafsu ingin melenyapkan diriku.
Dengan menguasai ilmu dalam kitab curian itu, mereka kembali muncul untuk membalas
dendam yang belum tuntas...," timpal Panji.
Kenanga mengangguk-angguk. Tatapannya lurus ke depan. Saat itu mereka tengah
melintasi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu rapat ditumbuhi pepohonan.
"Kakang...," panggil Kenanga tiba-tiba seraya menatap wajah kekasihnya.
"Hm...," sahut Panji bergumam. Lalu menoleh dan balas menatap dara jelita itu. Sekejap
desiran halus menggetarkan dadanya saat Panji menatap sepasang mata yang bagai bintang
pagi itu.
"Apakah Kakang belum juga teringat tentang Jalak Pari...?" tanya Kenanga yang ingin
segera mengetahui penyebab kebencian Kelana terhadap kekasihnya.
"Rasanya belum, Kenanga. Selama dalam perjalanan aku berusaha mengingat-ingat
mengenai Jalak Pari. Tapi, belum seluruhnya dapat kuingat dengan baik. Aku masih ragu
mengutarakannya. Kalau sudah pasti, tentu kaulah orang pertama yang akan kuberi tahu...,"
jawab Panji.
Pemuda itu cukup sulit untuk dapat mengingatnya. Panji hanya bisa menerka Jalak
Pari bukanlah seorang tokoh besar. Sebab, setiap tokoh yang roboh di tangannya diingatnya
dengan baik. Di antara sekian banyak musuhnya yang tewas belum satu pun yang diduga Panji
sebagai orangtua Kelana. Kendati demikian ia terus mengingatnya. Karena hal itu sangat
penting baginya.
"Apakah mungkin Jalak Pari hanya salah seorang pengikut gerombolan atau anggota
perampok yang keberadaannya tidak begitu kita perhatikan...?"
"Mungkin saja begitu. Tapi seingatku tak ada gerombolan perampok di sekitar Desa
Sendang Waringin. Sebaiknya kita segera bergegas. Siapa tahu di desa itu kita bisa
mengingatnya dengan baik...," jawab Panji.
Kenanga menghela napas panjang. Karena sampai saat itu mereka belum, juga
menemukan siapa Jalak Pari, yang menurut Kelana telah dibunuh Pendekar Naga Putih.
"Mudah-mudahan saja begitu, Kakang...," gumam Kenanga penuh harap. Memang cukup
pusing memikirkan persoalan itu. Padahal masih banyak persoalan lain yang menunggu.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu telah melesat secepat terbang.
Keduanya seperti berlomba untuk segera tiba di Desa Sendang Waringin. Untuk itu mereka
tidak memerlukan waktu lama. Tempat yang mereka tuju sudah tidak jauh lagi.
"Kita sudah hampir mencapai perbatasan Desa Sendang Waringin, Kakang...," ujar
Kenanga tanpa menghentikan larinya. Dara jelita itu melihat dua buah gapura di kiri dan
kanan jalan yang menjadi tanda perbatasan sebuah desa.
"Hm.... Desa ini kelihatannya sudah jauh lebih maju. Saat pertama kali singgah di desa
ini aku tidak melihat adanya gapura, kecuali sebuah batu setinggi dada di tepi jalan...," tukas
Panji ketika melihat gapura setinggi satu tombak yang membentuk pintu gerbang. Tulisan pada
gapura diberi warna yang menarik. Tampaknya Desa Sendang Waringin telah mengalami
kemajuan pesat.
Kenanga mengangguk membenarkan. Ia sendiri tidak begitu memperhatikan. Mungkin
kalau Panji tidak mengatakannya, Kenanga tidak akan menyadari perubahan itu. Padahal saat
pertama kali Panji singgah ia menyertai.
Pasangan pendekar muda itu menghentikan larinya dan melangkah biasa memasuki
mulut Desa Sendang Waringin. Jalan utama desa terlihat cukup bagus dan dilapisi bebatuan
yang ditata rapi. Rumah-rumah penduduk di kiri dan kanan jalan kelihatan bersih dan terawat
baik. Jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya tidak terlalu rapat. Jelasnya Desa
Sendang Waringin telah berubah dari yang disaksikan Panji dan Kenanga.
Saat itu, warga desa yang melintas di jalan utama tidak terlalu banyak. Kebanyakan
penduduk desa masih bekerja di sawah dan ladang. Yang ada di dalam desa hanya perempuan
dan anak-anak. Kalaupun ada kaum lelaki, sudah berusia lanjut. Hingga Desa Sendang
Waringin terlihat agak sunyi.
"Ah, aku ingat sekarang!" seru Panji ketika mereka melintas di depan sebuah rumah
judi. Panji berdiri saat memandang rumah judi yang cukup besar itu.
"Benar. Di tempat inilah dulu kita bertemu dengan orang yang bernama Jalak Pari...!"
Kenanga pun tampak gembira. Persoalan yang memusingkan itu telah mendapat jawaban.
"Hm.... Kiranya Kelana putra majikan rumah judi yang kita musnahkan dulu. Jalak Pari
terpaksa kubunuh. Lelaki bengis itu tidak sudi menutup rumah perjudian yang akhirnya
dibakar penduduk desa. Mayatnya terbakar hangus bersama rumah judi yang dimilikinya. Tapi,
kelihatannya tempat perjudian di desa ini ikut berkembang pesat seiring dengan kemajuan
desa. Entah kali ini siapa pemiliknya...?" gumam Panji baru teringat siapa Jalak Pari. Orang itu
adalah pemilik rumah perjudian yang kejam dan bengis. Tidak sedikit sawah ladang maupun
putri penduduk Desa Sendang Waringin menjadi korban kekejamannya.
"Kalau saja Jalak Pari mau kembali ke jalan yang benar, tidak mungkin Kakang sampai
harus melenyapkannya. Selain itu, ia sudah sangat keterlaluan dan banyak menyengsarakan
penduduk desa. Rasanya memang sudah sepatutnya Jalak Pari dibinasakan...," timpal Kenanga
yang tentu saja ingat akan semua kejadian yang mereka alami di desa itu.
"Sekarang semua sudah menjadi jelas. Sebaiknya kita segera mencari Sepasang Naga
Merah. Aku akan mencoba menyadarkan Kelana dari kesesatannya. Mudah-mudahan ia mau
mengerti tentang apa yang telah diperbuat orangtuanya...," lanjut Panji penuh harap, ia
memang lebih suka menyelesaikan persoalan dengan jalan damai bila hal itu masih mungkin
dilakukan. Kalau tidak, baru digunakan jalan kekerasan.
"Bagaimana dengan rumah perjudian ini, Kakang? Mungkin saja majikan tempat ini
tidak jauh berbeda dengan Jalak Pari...," ujar Kenanga yang memang membenci segala bentuk
perjudian. Karena menurutnya hanya akan menyengsarakan orang.
"Hm.... Biarlah lain kali saja kita lakukan. Yang penting sekarang adalah mencari dan
menghentikan Sepasang Naga Merah. Sebab, kaum golongan sesat sudah semakin berani dalam
bertindak. Jika dibiarkan bukan tidak mungkin gerombolan perampok akan bebas berkeliaran
di desa-desa pada siang hari seperti ini. Menurutku yang menjadi biang keladi semua ini
Sepasang Naga Merah. Kalau mereka sudah dapat dihentikan, kejahatan-kejahatan lainnya
akan reda...," ujar Panji.
"Baiklah, Kakang. Penduduk Desa Sendang Waringin pun tampak hidup dalam
ketenteraman dan jauh lebih baik dari yang kita lihat satu setengah tahu silam...," Kenanga
menurut saja apa yang dianggap paling penting oleh kekasihnya. Karena ucapan itu pasti sudah
diperhitungkan dengan matang. Panji tidak pernah gegabah dalam bertindak.
Tidak berapa lama kemudian pasangan pendekar muda itu kembali melewati
perbatasan Desa Sendang Waringin. Saat semakin jauh meninggalkan batas desa keduanya
menggunakan ilmu lari cepat. Sebentar saja sosok mereka lenyap di kejauhan.
ENAM
"Bakaaar...!"
Teriakan keras itu menggema menyentakkan suasana pagi yang bening. Burung-burung
yang tengah bercanda di dahan-dahan pohon serentak beterbangan. Keremangan pagi itu
dipenuhi suara gemuruh kaki kuda yang diselingi pekikan-pekikan riuh-rendah. Rombongan
orang berkuda itu berderap memasuki mulut Desa Alur. Sebagian dari anggota rombongan
memegang obor.
"Heaaa...!"
"Haaa...!"
Disertai teriakan-teriakan ribut, obor-obor dilemparkan ke atap-atap rumah penduduk.
Sehingga....
Brrrlll...!
Seketika itu juga lidah api berkobar di atas rumah-rumah penduduk. Sebentar saja di
kiri dan kanan jalan utama Desa Alur telah menjadi lautan api. Karuan saja penduduk desa
panik!
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Belasan penduduk yang rumahnya dilalap si jago merah berlari keluar rumah membawa
harta bendanya. Tapi, justru kemalangan yang menyambut langkah mereka.
Brettt, brettt...!
"Aaa...!"
Lengkingan kematian yang panjang pun merobek suasana temaram. Darah segar
tumpah ke tanah. Tubuh-tubuh tanpa dosa berjatuhan dengan nyawa melayang. Mereka tewas
seketika di ujung senjata gerombolan berkuda.
"Kakaaang...!"
Perempuan-perempuan malang yang kehilangan kerabat atau suami memekik pilu.
Tapi, gerombolan berkuda sedikit pun tidak merasa iba. Bahkan pedang mereka kembali
berbicara menebas dan membeset wanita-wanita malang itu.
"Aaauuu...!"
Jeritan-jeritan menyayat terdengar di sana-sini mewarnai gemeretak atap-atap rumah
dilalap api. Suasana Desa Alur di pagi yang bening itu berubah seketika menjadi ajang
pembantaian dan kebuasan gerombolan berkuda. Tampaknya mereka tidak peduli siapa yang
menjadi korban selanjutnya. Demikian kejam dan ganas mereka berbuat tanpa terbetik sedikit
pun rasa iba di dalam hati mereka yang hitam, sehitam pagi di Desa Alur.
Perbuatan gerombolan berkuda tidak berhenti sampai di situ. Sebagian dari mereka
berlompatan turun dan memasuki rumah-rumah. Kemudian keluar dengan membawa harta
benda yang ditinggal mati pemiliknya. Terdengar tawa iblis mereka meningkahi jeritan tangis
dan lengkingan kematian.
Bukan cuma itu. Mereka menyeret gadis-gadis dan ibu muda yang bersembunyi di dalam
rumah dengan bengisnya tanpa belas kasihan sedikit pun. Tak peduli wanita yang diseretnya
tengah menggendong banyi mungil.
"Lemparkan saja bayi keparat itu...!" bentak seorang lelaki bertubuh kekar. Dan
seketika melihat perintahnya tidak dituruti, tangan kekar berjari-jari kasar itu merenggut
bocah malang dalam pelukan ibunya.
"Haaahhh...!"
Benar-benar luar biasa kekejaman yang diperlihatkan lelaki kekar, salah satu anggota
gerombolan itu. Tanpa perasaan sedikit pun, bayi mungil yang menjerit-jerit memilukan itu
dilemparkan ke dalam kobaran api! Rasanya perbuatan itu hanya pantas dilakukan iblis keji.
"Biadab...!" bentakan keras yang menggeletar yang menggambarkan kemarahan
menggelegak itu membuat anggota gerombolan menoleh. Seorang lelaki gagah berpakaian serba
hitam berdiri dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tapi, lelaki kekar yang bengis itu malah
mendengus kasar. Tampaknya ia memandang remeh lelaki gagah itu.
"Mampus kau...!" pekik lelaki kekar sambil berteriak, tubuhnya meluncur dengan
sambaran pedang yang mengaung tajam! Tapi...
"Kaulah yang mampus, Bangsat..!" pekik lelaki gagah berpakaian serba hitam, segera
mengelak kemudian membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Sehingga....
Brettt...!
"Aaa...!"
Anggota gerombolan yang naas itu menjerit setinggi langit tatkala mata pedang lawan
menyengat punggungnya, membuat belahan panjang yang dalam. Tanpa ampun lagi, tubuhnya
langsung roboh dengan nyawa meninggalkan raga.
"Nyai, pergilah. Selamatkan dirimu...!" ujar lelaki gagah mengangkat bangkit ibu muda
yang telah kehilangan bayi mungilnya.
"Anakku..., Kakang..... Anakku...!" rintih ibu muda itu memilukan. Hatinya hancur luluh
menyaksikan buah hatinya dilempar ke dalam kobaran api yang menelan apa saja yang tanpa
terkecuali.
"Anakmu tidak mungkin selamat, Nyai! Dan kalau kau tetap di sini, aku tidak bisa
menjamin kesemalatanmu. Mereka sangat kejam dan buas. Cepatlah pergi. Cari perlindungan
yang aman...!" tukas lelaki gagah. Lalu mendorong ibu muda itu untuk pergi. Karena saat itu
dua orang anggota gerombolan datang menerjang.
"Haaat...! Kubikin mampus kalian, Iblis-iblis Biadab...!" pekik lelaki gagah seraya
melesat disertai putaran pedangnya yang menerbitkan desingan angin tajam.
Dua orang anggota gerombolan itu kelihatan agak kaget juga. Serangan itu jelas
membuktikan pemiliknya memiliki kepandaian yang lumayan. Kendati demikian, mereka tidak
kelihatan gentar, dan segera menyambut bersama-sama.
Trang, trang...!
Terdengar suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api saat ketiga batang
senjata itu berbenturan. Tapi, lelaki gagah itu dapat bergerak cepat. Pedangnya segera diputar
ke bawah. Kemudian menyambar datar mengancam tubuh kedua lawannya. Dan...
Brettt, brettt...!
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa sempat mengelak lagi, pedang lelaki gagah itu merobek perut mereka. Darah
segar membanjir dari luka menganga itu. Kedua orang anggota gerombolan itu roboh ke tanah
dengan mata mendelik!
"Pergilah kalian ke neraka, Manusia-manusia Keji...!" desis lelaki gagah dengan hati
puas. Kemudian bergerak meninggalkan korbannya. Sikapnya terlihat gagah dan garang.
Tampaknya ia benar-benar marah melihat kekejaman gerombolan berkuda itu.
Lelaki gagah berpakaian serba hitam yang menjadi Kepala Keamanan Desa Alur
ternyata tidak datang seorang diri. Di beberapa tempat pertarungan berlangsung antara
anggota gerombolan berkuda dengan keamanan desa yang berseragam serba hitam. Agaknya
orang-orang Desa Alur tak membiarkan tempat kelahirannya dirusak gerombolan liar yang
mereka pastikan gerombolan perampok itu.
"Heh heh heh...! Perlahan sedikit langkahmu, Kisanak! Kulihat kau cukup tangkas dan
sudah merobohkan tiga orang anggotaku..!" tegur sesosok tubuh yang melayang turun
menghadang jalan Kepala Keamanan Desa Alur.
Lelaki gagah itu segera menahan langkahnya. Agak terkejut juga ia melihat gerakan
lawan yang terlihat ringan itu. Sadarlah lelaki gagah itu kalau lawannya tidak dapat disamakan
dengan tiga orang yang baru saja menjadi korban senjatanya.
"Hm.... Rupanya kau yang memimpin orang-orang buas itu...!" desis lelaki gagah itu
menudingkan ujung senjatanya ke wajah lelaki tinggi kurus bermata sayu, namun jelas
menyiratkan kelicikan dan kekejaman hatinya.
"Heh heh heh...! Orang sepertiku belum pantas menjadi pimpinan. Aku salah seorang
pembantu dari calon penguasa rimba persilatan. Dan kau boleh puas dengan menjadi salah satu
penghuni akherat!" tukas lelaki tinggi kurus memperdengarkan tawa iblisnya yang
memuakkan.
"Keparat! Selama aku masih hidup tidak akan kubiarkan orang berani menggangu
ketenteraman desa ini...!" geram lelaki gagah. Dan tanpa banyak cakap lagi, pedangnya
disilangkan di depan dada. Kemudian....
"Haaat...!"
Wuttt...!"
Pedang lelaki gagah berpakaian serba hitam mendesing tajam mencari sasaran.
Gerakannya tangkas dan gesit. Tapi...
Trang...!
"Uhhh...!"
Lelaki tinggi kurus bermata sayu ternyata bukan orang sembarangan! Sekali
menggerakkan pedang, tubuh lawan dipaksa terjajar mundur. Itu jelas menandakan tenaga
lelaki kurus itu jauh lebih kuat dari lawannya.
"Iblis keji...!" lelaki gagah itu menggeram. Terkejut bukan main merasakan kekuatan
lawan yang jauh berada di atasnya. Tapi, itu tidak membuatnya gentar.
Namun lelaki kurus bermata sayu kali ini tidak lagi hanya menunggu. Sebelum
lawannya bergerak, tubuhnya sudah melesat disertai kelebatan pedangnya yang berdesingan
membelah udara pagi.
Lelaki gagah itu pun tidak tinggal diam. Kendati sadar kekuatan lawan berada di
atasnya, ia tetap menyambut serangan lawan dengan kelebatan pedangnya. Sehingga, keduanya
segera terlibat pertempuran yang cukup seru!
Lelaki kurus bermata sayu ternyata memang hebat sekali. Serangannya sangat gencar
dan terarah dengan baik. Bahkan kecepatannya masih berada di atas lawan. Sehingga, dalam
lima belas jurus saja Kepala Keamanan Desa Alur dibuat tidak berdaya dan hanya bermain
mundur.
"Hiyaaat...!"
Melihat lawannya sudah tidak mampu membalas, lelaki tinggi kurus memekik keras.
Pedang di tangannya berkilat menyilaukan mata mengarah tenggorokan lawan.
"Putus kepalamu...!" serunya mengiringi sambaran pedang.
"Aaah...?!"
Lelaki gagah berpakaian serba hitam mengeluh putus asa. Matanya terbelalak
menunggu datangnya sinar putih memenggal batang lehernya. Tapi....
Saat nyawa lelaki gagah bagai telur di ujung tanduk, mendadak berkelebat sesosok
bayangan putih diserstai teriakannya yang menggetarkan jantung. Begitu tiba, lengannya
langsung menyampok mata pedang lelaki kurus. Sosok bayangan putih itu menyampok mata
pedang dengan lengan telanjang! Tapi, yang terjadi selanjutnya benar-benar sukar dipercaya.
Plaggg...!
Bukan lengan sosok bayangan putih yang tertebas putus. Tapi pedang di tangan lelaki
kurus yang terpental jauh lepas dari genggaman. Bahkan....
Bukkk...!
Dengan sebuah gerakan manis yang sukar diikuti mata, lengan sosok itu berputar dan
bersarang di dada lelaki kurus dengan telak!
"Huakh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi kurus bermata sayu memuntahkan darah kental. Tubuh
kurusnya terlempar dan tertelan kobaran api! Terdengar lengking kematiannya yang panjang.
"Aaa...!"
"Hm.... Kau memang pantas menerima kematian seperti itu, Manusia Biadab...!" desis
sosok tubuh sedang terbungkus jubah panjang putih. Sosoknya berdiri tegak menatap kobaran
api yang menelan tubuh anggota gerombolan itu.
***
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak yang gagah...," ujar lelaki gagah berpakaian
serba hitam dengan hati takjub. Hanya dengan sekali gebrakan tubuh anggota gerombolan itu
terlempar jauh ke atas rumah yang tengah berkobar. Kenyataan itu membuatnya sadar seorang
tokoh pandai telah menolongnya.
"Simpan ucapan terima kasihmu, Paman. Sebaiknya bergabunglah dengan kawan-
kawanmu. Aku akan mencari biang keladi semua kejadian ini...," tukas sosok berjubah putih
dengan suara menyiratkan kegeraman hatinya. Agaknya ia marah melihat pemandangan
mengerikan di sekitarnya. Di mana-mana tubuh tak berdosa bergeletakan bermandikan darah.
Kekejaman gerombolan itu telah membangkitkan kemarahannya.
"Baik…, baik...," ucap lelaki gagah. Kemudian ia bergerak meninggalkan sosok berjubah
putih. Tapi, baru beberapa langkah ia berlari angin keras bertiup mengibarkan pakaian dan
rambutnya. Ketika ia menoleh....
"Aaah...?!"
Lelaki gagah itu terpekik kaget. Sosok berjubah putih di belakangnya telah raib entah
ke mana. Bulu kuduk lelaki gagah itu berdiri seketika.
"Setankah dia...? Atau seorang tokoh sakti yang hanya ada dalam dongeng...?" gumam
lelaki gagah termangu-mangu bagai ayam sakit. Tapi, semua pikiran itu dibuangnya jauh-jauh.
Kemudian bergerak untuk membantu kawan-kawannya yang sebagain masih bertarung dengan
gerombolan liar itu.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang dikira setan oleh Kepala Keamanan Desa Alur
telah berada di antara gerombolan liar. Amukannya langsung membuat gerombolan perampok
dan pembunuh itu kalang-kabut!
"Aaa...!"
Lengkingan panjang jerit kematian terdengar susul-menyusul. Disertai dengan tubuh-
tubuh yang terlempar ke udara bagai diamuk angin topan. Tubuh orang-orang liar itu
terbanting jatuh dengan napas putus! Keributan itu membuat angota gerombolan yang lainnya
gentar. Tanpa mempedulikan perintah pimpinannya, mereka bergerak mundur menjauhi sosok
berjubah putih yang mengamuk seperti banteng liar.
Tapi, kejadian seperti itu rupanya bukan hanya terjadi di satu tempat. Di tempat lain
pun terjadi hal yang sama. Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau mengamuk
dengan pedang bersinar putih keperakan di tangan kanannya. Setiap senjata itu bergerak
terdengar jerit kematian anggota gerombolan yang mengeroyoknya. Sehingga, sisanya yang
masih selamat menjadi ragu untuk maju. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Seolah hendak melihat siapa yang berani maju lebih dulu mengantarkan nyawa.
"Majulah, manusia-manusia berhati iblis! Kalian tidak pantas menghuni dunia ini.
Kalian lebih pantas menjadi penghuni neraka jahanam...!" desis sosok ramping yang ternyata
seorang gadis muda berparas jelita. Tapi, saat itu tak seorang pun anggota gerombolan terpikat
kejelitaannya. Sebab pedang di tangan dara jelita itu siap mengantarkan nyawa siapa saja yang
maju mendekat!
Tantangan dara jelita itu tidak mendapat sambutan. Anggota gerombolan hanya berani
memandang dengan wajah pucat. Meskipun demikian mereka tetap mengepung.
"Hm.... Jangan dikira aku akan membiarkan kalian bebas berkeliaran lagi. Meskipun
tidak ada yang berani mendekat, pedangku ini tetap akan merobek tubuh kalian...!" geram dara
jelita itu dengan kilatan mata menikam jantung. Usai berkata, tubuhnya bergerak maju dengan
perlahan laksana singa betina siap menerkam mangsa. Dan....
"Yeaaa..!"
Dibarengi lengkingan panjang yang menggetarkan dada, tubuh ramping terbungkus
pakaian serba hijau itu melayang ke udara. Kemudian berputar dan meluncur turun.
Wuttt...!
Angin dingin berhembus keras menyertai kelebatan sinar putih keperakan. Beberapa
anggota gerombolan yang tak sempat menyelamatkan diri terpental roboh bermandikan darah.
Kejadian itu membuat kepungan menjadi berantakan. Anggota gerombolan berlarian mencari
keselamatan masing-masing.
Tapi, dara jelita itu tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Tubuhnya kembali
melayang disertai kelebatan pedang. Kembali empat orang anggota gerombolan terlempar
dengan luka menganga. Mereka tewas seketika itu juga.
"Kurang ajar...!" terdengar geraman keras yang membuat dara jelita itu menoleh cepat.
Sepasang matanya yang berkilat-kilat penuh kemarahan menyambar tajam sosok tubuh yang
bentuknya seperti kerbau dengan batok kepala mengkilat tertimpa nyala api.
"Hm.... Majulah, Kerbau Gundul! Pedangku siap menjagal lehermu...!" desis dara jelita
berpakaian serba hijau melangkah maju dengan perlahan. Kelihatan sekali dara itu tidak
bersikap ceroboh menghadapi lawannya kali ini.
"Hmhhh.... Kalau sampai tertangkap kau akan kupermainkan selama hidup, Perempuan
Liar...!" geram lelaki gemuk berkepala botak murka dimaki sebagai kerba gundul.
"Tidak perlu banyak bicara! Buktikan ucapanmu, Kerbau Buduk...!" kembali dara jelita
itu memaki lawannya.
"Hmhhh...!"
Murka bukan main lelaki gemuk berkepala botak itu. Ia segera bergerak maju dengan
langkah berdebum. Kapak bermata dua di tangan kanannya menyambar dengan gerakan
menyilang, menerbitkan sebentuk angin tajam.
"Haaaiiit...!"
Dara jelita itu rupanya tidak sabar menunggu kedatangan lawan. Tubuhnya melayang
ke udara. Dan baru meluncur turun setelah agak dekat dengan lawan. Pedang berhawa dingin
di tangan kanannya berkilau menggetarkan.
Bettt...!
Lelaki gemuk berkepala botak mendengus kasar. Tangan kanannya bergerak ke depan
hendak menyambut sambaran pedang dengan kapak mata duanya. Kelihatannya ia hendak
melumpuhkan dara jelita itu dengan mengandalkan tenaganya yang besar. Tapi...
Trang...!
"Aih...?!"
Terkejut bukan main lelaki botak itu mendapati kuda-kudanya tidak dapat
dipertahankan. Tubuhnya terjajar mundur terhuyung-huyung. Padahal semula ia mengira
tubuh dara itu yang akan terpelanting. Nyatanya dara jelita itu sedikit pun tidak terpengaruh.
Bahkan segera menyusuli serangannya.
Wuttt...!
Sinar putih yang disertai angin dingin menusuk tulang itu datang mengancam tubuh
gendut yang tengah sibuk memperbaiki kuda-kudanya. Karuan saja lelaki botak itu kelabakan!
Wukkk...!
Dengan nekat lelaki botak itu mengelebatkan kapak mata duanya untuk membentur
pedang lawan. Namun dengan gerakan yang indah pedang dara jelita itu berputar. Kemudian
terangkat naik mengancam iganya. Dan....
Crasss...!
"Aaakh...!"
Lelaki gemuk berkepala botak itu memekik kesakitan. Ujung pedang lawan yang
merobek iga kanannya membuat tubuh gemuk itu terjajar limbung. Sedangkan lawan kembali
meluncur dengan tusukan lurus ke arah jantung!
"Haiiit...!"
Lelaki botak itu hanya bisa memandang dengan penuh ngeri, ia tidak mungkin lagi
dapat menyelamatkan nyawanya. Sehingga....
Cappp...!
"Aaakh...!"
Terdengar raung kematian saat pedang dara jelita itu tertancap hingga menembus
tubuh lawan. Darah menyembur keluar dari lubang luka itu saat pedang dicabut dengan
sentakan keras! Tanpa ampun lagi, tubuh gemuk itu menggelepar sekarat. Beberapa saat
kemudian diam tak bergerak lagi. Nyawanya telah terbang meninggalkan raga.
Setelah mengakhiri nyawa lawannya, dara jelita itu kembali melesat menghajar semua
rombongan liar itu.
TUJUH
"Anak-anak, munduuur...!"
Tiba-tiba terdengar perintah seorang lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rompi
dari kulit buaya. Rupanya lelaki itu sadar pengikut-pengikutnya tidak akan mampu
menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Maka, diperintahkannya agar mereka segera
mundur meninggalkan arena.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain Panji kelihatannya telah sejak
tadi mengincar lelaki berompi kulit buaya. Ia memang tengah mencari-cari pimpinan
gerombolan liar itu. Tubuhnya segera melayang ke arah sosok yang diincar.
"Jangan harap dapat pergi dari tempat ini, Manusia-manusia Keparat...!" geram Panji
mengerahkan tenaga dalamnya. Sehingga, suaranya terdengar lantang dan dapat ditangkap
rombongan orang liar yang buas itu.
Lelaki gemuk pendek itu agak terkejut ketika melihat sesosok bayangan putih melayang
ke arahnya. Cepat ia bergerak menghindar saat merasakan ada sambaran angin dingin yang
amat kuat datang mengancam dirinya.
Bettt...!
Kendati tubuhnya gemuk lelaki itu ternyata gesit juga. Serangan Panji dapat
dielakkannya dengan baik. Sehingga pukulan telapak tagnan Panji mengenai angin kosong.
"Terima pukulanku, Pendekar Naga Putih...!" seru lelaki gemuk itu yang ternyata
mengenali pemuda tampan berjubah putih itu. Belum lagi gema suaranya lenyap, pukulannya
datang bertubi-tubi.
"Hm...."
Panji hanya menggumam menyaksikan serangan lawan. Kedua kakinya yang baru saja
menyentuh tanah bergerak dengan tendangan berputar. Sehingga, lelaki gemuk itu
membatalkan serangannya. Kalau tidak, kepalanya akan menjadi sasaran tendangan Panji.
Bettt...!
Tendangan Panji lewat sejengkal di atas kepala lawan. Begitu tendangan luput, lelaki
gemuk melangkahkan kaki kanannya ke depan sambil melontarkan dua buah pukulan berturut-
turut!
"Bagus...!" seru Panji memuji.
Gerakan lawannya begitu cepat dan penuh perhitungan. Tapi pujian itu bukan berarti
Panji tidak bisa mengatasi serangan lawan. Tendangannya cepat ditarik pulang. Kemudian
menjejak tanah. Seketika itu juga tubuhnya melompat ke belakang seraya mengibaskan lengan
kirinya dari atas ke bawah dengan gerakan menyilang. Dan....
Plakkk, plakkk..!
"Aaakh...?!"
Lelaki gemuk terkejut merasakan tubuhnya tergetar saat menerima tangkisan Pendekar
Naga Putih. Kuda-kudanya tergempur hingga tubuhnya agak terhuyung, meski cuma empat
langkah. Ini menunjukkan betapa hebat tenaga dalam lelaki gemuk itu.
"Hm.... Kau memang hebat, Buaya Sakti...!" kembali Panji memuji lawannya. Pemuda
itu kagum akan kehebatan tenaga lawan yang diketahuinya berjuluk Buaya Sakti.
Lelaki gemuk berompi kulit buaya memperdengarkan dengusan tajam. Pujian Panji
dianggapnya sebagai hinaan. Karena tubuhnya terdorong oleh kibasan tangan pemuda itu.
"Bagus kau sudah mengenaliku, Pendekar Naga Putih! Nah, sekarang kau akan melihat
kehebatan Buaya Sakti yang lainnya...!" desis lelaki gemuk pendek geram.
Panji menggeser langkahnya ke kanan melihat Buaya Sakti mempersiapkan serangan
berikutnya. Kuda-kuda tokoh sesat yang terkenal sebagai raja begal itu tampak kokoh dan kuat.
Kedua lengannya bergetar saat ia menyalurkan tenaganya. Agaknya lelaki gemuk itu hendak
mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Tunggu dulu, Buaya Sakti...! Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu...," ujar Panji
sebelum lawannya bergerak menerjang.
"Hm... Apa yang ingin kau ketahui dariku...?" tukas Buaya Sakti dengan tajam dan tidak
menghilangkan kewaspadaan.
"Apa maksudmu membawa pasukan dalam jumlah cukup besar hanya untuk mengacau
sebuah desa seperti ini? Apakah di sungai-sungai tidak ada lagi mangsa yang dapat kau
makan...?" tanya Panji yang merasa agak heran dengan kejadian itu. Sebab, Buaya Sakti
biasanya melakukan aksi kejahatannya di sungai-sungai. Itu sebabnya ia dijuluki Buaya Sakti.
"Heh heh heh...! Rupanya otakmu sudah tumpul, Pendekar Naga Putih. Apa yang kau
saksikan ini adalah pekerjaan kami sehari- hari. Mengapa heran...?" tanya Buaya Sakti
membuat pemuda itu termangu-mangu.
"Tapi tidak biasanya kau melakukan aksi di daratan. Bukankah wilayahmu ada di
sungai...?" desak Panji mencoba untuk mencari jawaban yang lebih jelas.
"Memang benar. Tapi, siapa yang berani mencegah kalau aku beraksi di daratan seperti
sekarang ini..?" ejek Buaya Sakti hingga Panji penasaran.
"Jadi penyerbuan ini atas kehendakmu sendiri...?"
"Heh heh heh...! Aku tahu apa yang kau inginkan. Pendekar Naga Putih. Tapi supaya
kau tidak penasaran, baiklah kukatakan bahwa kami memang bertindak atas perintah
pimpinan kami, kaum golongan hitam yang selalu dilecehkan kaum pendekar. Syukurlah
Sepasang Naga Merah muncul memimpin golongan hitam dan membangkitkannya untuk
menguasai dunia persilatan...," akhirnya Buaya Sakti menjelaskan. Kelihatannya lelaki gemuk
pendek itu sangat mendewa-dewakan Sepasang Naga Merah, yang dalam waktu singkat
namanya telah menjadi buah bibir orang..
"Lagi-lagi Sepasang Naga Merah...," gumam Panji yang memang ingin berjumpa dengan
tokoh yang namanya kian menjulang menenggelamkan tokoh-tokoh sesat lainnya.
"Sudahlah! Aku tidak mempunyai banyak waktu. Sekarang bersiap-siaplah untuk pergi
ke akherat...!" Buaya Sakti memotong ketika melihat Pendekar Naga Putih masih hendak
berbicara. Bahkan begitu ucapannya selesai, tubuh gemuk itu bergerak maju dengan geseran-
geseran kaki yang cepat dan lihai.
"Haiiit...!"
Kali ini Panji tidak main-main lagi. Ia merasa sudah waktunya memberi pelajaran
kepada raja begal itu. Maka begitu serangan lawan datang, Panji membuka telapak tangan
kirinya untuk menyambut serangan Buaya Sakti.
Tappp...!
Belum lagi Buaya Sakti sadar tangannya ditahan telapak tangan lawan, tahu-tahu
tangan kanan Pendekar Naga Putih bergerak cepat melakukan tamparan kilat!
Wuttt...!
Lagi-lagi tamparan Panji mengenai angin kosong. Gerakan lawannya memang terbukti
cukup cepat. Tapi meskipun demikian, perubahan gerak Panji tidak diketahui lawan.
Akibatnya....
Bukkk...!
Dengan kedudukan tubuh miring, Panji menyarangkan pukulan telapak tangan
kanannya ke dada Buaya Sakti. Tubuh gemuk itu terlempar ke belakang disertai tetesan darah
segar dari sudut bibirnya.
"Setan keparat...!" Buaya Sakti memaki geram. Tubuh gemuk itu melompat bangkit siap
melancarkan serangan. Dan...
"Haiiit...!"
Diam-diam Panji kagum akan kehebatan daya tahan Buaya Sakti. Pukulan yang
dilancarkannya tadi cukup keras, dan ia yakin lawan akan mengalami luka dalam yang parah.
Tapi, kenyataannya lelaki gemuk itu dapat segera bangkit dan kembali membangun serangan.
Serangkaian serangan Buaya Sakti dihindarkan Pendekar Naga Putih dengan
menggunakan kelincahan tubuhnya. Sesekali dibalasnya gempuran tokoh sesat itu dengan
sambaran kaki atau tamparan. Dan serangan balasan Panji bertambah gencar.
Bukkk, desss...!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji bersarang telak di tubuh Buaya Sakti. Hingga tubuh gemuk
itu terlempar dua tombak. Ketika bangkit darah kental kehitaman termuntah dari mulut tokoh
sesat itu. Tubuhnya kembali roboh ke tanah dan jatuh terduduk.
"Hm.... Sebaiknya kau segera angkat kaki dari tempat ini. Buaya Sakti. Jangan sampai
pikiranku berubah...!" perintah Panji.
Buaya Sakti bagai tak percaya dengan pendengarannya. Ia mengangkat kepala
memandang Pendekar Naga Putih, seperti hendak meminta kepastian.
"Pergilah! Bawa semua pengikutmu yang masih selamat..!" tandas Panji membuat
orang-orang yang berada di sekitar tempat itu heran. Terutama para keamanan desa dan dara
jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga.
Kenanga yang tahu sifat kekasihnya tak berkata apa-apa. Gadis itu yakin Panji
mempunyai rencana lain yang tidak diketahuinya. Dan Kenanga percaya dengan kematangan
perhitungan Panji.
"Kau tidak menyesal telah membebaskan aku, Pendekar Naga Putih...?" tegas Buaya
Sakti bergegas bangkit. Tentu saja ia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Hm...," Panji hanya mengangguk seraya bergumam tak jelas. Namun dapat dipastikan
ia memang hendak melepaskan raja begal itu.
Tanpa banyak cakap Buaya Sakti memerintahkan para pengikutnya meninggalkan
tempat itu. Ia sendiri sudah melompat ke atas punggung kuda. Diikuti para pengikutnya yang
meninggalkan barang rampokan. Karena tentu saja Panji tidak akan membiarkan mereka pergi
dengan membawa hasil rampokan.
Sepeninggal Buaya Sakti dan para pengikutnya, Kepala Keamanan Desa Alur
menghampiri Panji. Lelaki gagah itu sungguh tidak menyangka penolongnya seorang pendekar
besar yang namanya telah sering ia dengar. Baru kali ini ia mempunyai kesempatan bertemu
langsung dengan pendekar pujaan banyak orang itu.
"Sebaiknya tempat ini segera dibereskan, Paman. Kami berdua hendak pergi. Masih
banyak urusan yang harus kami selesaikan," ujar Panji kepada lelaki gagah itu.
"Tapi...."
Lelaki gagah berpakaian serba hitam itu tidak melanjutkan ucapannya. Tubuh Panji
dan Kenanga telah lenyap dari hadapannya diawali dengan hembusan angin keras.
"Hm.... Pendekar-pendekar gagah yang benar-benar sejati. Mereka tidak mengharapkan
balasan dari perbuatannya...," gumam lelaki gagah itu menatapi dua sosok bayangan yang
semakin samar. Lalu memerintah kawan-kawannya untuk membereskan tempat itu setelah
bayangan Panji dan Kenanga tidak terlihat lagi.
***
"Aku tahu kau mempunyai alasan dengan melepaskan mereka begitu saja, Kakang.
Coba katakan kepadaku, apa rencana yang ada dalam pikiranmu...," ujar Kenanga saat mereka
melangkah di tepian kali berair jernih. Matahari sudah naik tinggi.
"Hm.... Aku tahu kau pasti menanyakan hal itu, cepat atau lambat," tukas Panji tanpa
menghentikan langkahnya. Kemudian kembali melanjutkan.
"Kita belum tahu di mana Sepasang Naga Merah berada. Ia sengaja memerintahkan
para pengikutnya untuk membuat kekacauan, seperti yang dilakukan gerombolan Buaya Sakti.
Dengan membebaskan mereka, aku berharap dapat menemukan tempat persembunyian
Sepasang Naga Merah. Sebab, aku yakin Buaya Sakti akan datang menemui pimpinannya..."
Kenanga mengangguk-angguk mengerti. Dara jelita itu merasa lega yang
diperkirakannya ternyata tepat. Panji mempunyai rencana tersendiri dengan melepaskan
lawan-lawannya.
"Lalu, bagaimana kita bisa tahu kalau Buaya Sakti akan menemui Sepasang Naga
Merah untuk melapor...?" tanya Kenanga.
"Hm... Bukankah jalan ini yang baru saja dilalui gerombolan Buaya Sakti? Nah, kita
tinggal mengikuti. Bila perlu dalam jarak yang agak dekat. Aku yakin Buaya Sakti akan pergi
menemui Sepasang Naga Merah. Apalagi setelah bertemu dengan kita yang menggagalkan
perbuatan mereka," jelas Panji.
"Jika memang demikian rencana Kakang, ada baiknya kita tidak berada terlalu jauh
dengan rombongan orang liar itu. Aku khawatir kita akan ketinggalan...," Kenanga memberikan
pendapat
"Semua itu sudah kurencanakan. Sekarang marilah kita membayangi Buaya Sakti dan
kawan-kawannya dari tempat agak jauh. Dengan begitu, tidak merasa curiga ada orang yang
menguntit pekerjaannya," lanjut Panji mengutarakan rencananya.
Keduanya lalu melesat menyusuri jalan yang dilalui Buaya Sakti dan kawan-kawannya.
Tidak sulit bagi pasangan pendekar muda itu untuk menyusul. Beberapa saat saja jarak antara
mereka hanya elisih tiga tombak. Keduanya yakin Buaya Sakit tidak mengetahui perbuatan
mereka. Kenyataannya rombongan itu terus bergerak menuju timur.
Rombongan Buaya Sakti yang berjumlah kurang lebih delapan balas orang itu terus
bergerak tanpa tahu ada orang yang mengikuti perjalanan mereka. Itu terus berlangsung
sampai rombongan tiba di tepi sebuah sungai selebar delapan tombak dan mempunyai arus
cukup deras. Di tempat itu Buaya Sakti mengangkat tangan kanannya ke atas sebagai isyarat
berhenti.
"Mungkinkah mereka akan menyeberangi sungai itu Kakang...?" tanya Kenanga yang
bersembunyi bersama kekasihnya di atas sebatang pohon berdaun lebat.
"Entahlah. Kita lihat saja apa yang akan mereka lakukan...," sahut Panji.
Sampai beberapa saat lamanya rombongan itu belum juga bergerak. Beberapa di
antaranya berlompatan turun dari punggung kuda, termasuk Buaya Sakti. Tiba-tiba lelaki
gemuk berompi kulit buaya itu berbalik dan mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
Kemudian kembali menghadap pengikut-pengikutnya. Terdengar suaranya yang mengejutkan
anggota rombongan.
"Kalian semua lanjutkan perjalanan ke hilir. Aku tidak bisa menyertai kalian. Ada
utusan penting yang harus kuselesaikan. Mungkin aku tidak akan kembali dalam tiga hari...,"
ujar Buaya Sakti kepada anak buahnya.
"Lalu... Apa yang harus kami lakukan sebelum Ketua kembali..?" tanya seorang anggota
rombongan yang bingung mendengar keputusan Buaya Sakti.
"Kalian tidak perlu melakukan apa-apa selama aku belum kembali. Persediaan
makanan masih cukup untuk setengah bulan. Jadi, kalian tidak perlu mencari...," jawab Buaya
Sakti membuat para pengikutnya tertunduk lesu.
Untuk beberapa saat suasana hening. Buaya Sakti menatap anggotanya satu persatu.
Kemudian melanjutkan ucapannya.
"Ingat! Tak seorang pun kuizinkan meninggalkan perkampungan sebelum aku kembali.
Barang siapa berani melanggar akan menerima hukuman sangat berat!" tandas lelaki gemuk itu
tanpa ingin mendengar bantahan.
Karena keputusan ketua mereka tidak bisa dirubah lagi, anggota rombongan pun
bergerak meninggalkan tempat itu. Mereka menuju perkampungan yang dibangun di dalam
sebuah hutan lebat. Buaya Sakti menghela napas panjang. Setelah bayangan para pengikutnya
tidak nampak lagi, lelaki gemuk itu melompat ke atas punggung kuda dan melarikannya secepat
setan!
"Hm.... Mungkin ia hendak melapor kepada pimpinannya yang berjuluk Sepasang Naga
Merah...," gumam Panji. Lalu keluar dari tempat persembunyian. Di kejauhan tampak bayangan
samar kuda dan penunggangnya. Kepulan debu tebal menggumpal di belakang binatang itu.
"Kita ikuti, Kakang..?" tanya Kenanga agak ragu. Sebab Panji belum bergerak untuk
melakukan pengejaran.
"Tentu..," sahut Panji segera menggenjot tubuhnya. Pendekar Naga Putih melesat
dengan ilmu lari cepatnya. Kenanga menyusul dengan menggenjot tubuhnya menjajari langkah
Panji.
Buaya Sakti agaknya tidak sadar ia dikuntit pasangan pendekar muda itu. Ia terus
membedal binatang tunggangannya tanpa mengenal lelah. Raja begal itu agak tergesa untuk
bisa tiba di tempat tujuannya.
"Kelihatannya Buaya Sakti menuju Kadipaten Tampak Serang?" gumam Panji
mengerutkan kening. Kendati demikian, ia tidak mengurangi kecepatan larinya.
"Hm.... Ada urusan apa tokoh sesat itu memasuki kota kadipaten? Jangan-jangan kita
salah menduga, Kakang...?" timpal Kenanga melihat Buaya Sakti telah melewati pintu gerbang
kadipaten di bagian barat.
Kenyataan itu membuat mereka terpaksa memperlambat langkah. Akan sangat
mencurigakan bila mereka berlari-lari memasuki Kota Kadipaten Tampak Serang. Keduanya
melanjutkan dengan langkah-langkah yang agak bergegas.
Untung Buaya Sakti juga memperlambat lari kudanya saat melintas di jalan utama kota
kadipaten. Rupanya tokoh sesat itu pun tidak ingin mengundang perhatian. Sehingga, Panji dan
Kenanga tidak kehilangan jejak.
DELAPAN
"Pendekar Naga Putih...!"
Panggilan itu terdengar jelas di telinga Panji, membuat langkahnya terhenti. Namun ia
agak heran melihat Kenanga terus melanjutkan langkahnya, seolah tidak mendengar panggilan
itu. Sadarlah Panji ada orang yang menggunakan ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh' yang hanya
ditujukan kepada dirinya.
"Ada apa, Kakang..?" tegur Kenanga melihat kekasihnya berhenti dan berdiri dengan
kening berkerut. Kelihatan sekali Panji tengah memikirkan sesuatu.
"Sebentar...," sahut Panji segera mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat
itu. Kedai-kedai makan di seberang jalan pun tak lepas dari pengamatannya.
Kenanga yang tidak tahu mengapa kekasihnya tiba-tiba bersikap demikian aneh, tanpa
sadar mengikuti gerak-gerik Panji. Padahal dara jelita itu tidak tahu apa yang dicari
kekasihnya.
Tiba-tiba Panji tersenyum lebar. Di sebuah ruangan kedai dilihatnya Ki Sarwa Dipa dan
Ki Garma Dipa tengah duduk menikmati hidangan. Kedua pertapa itu tersenyum ke arah Panji.
Panji pun segera dapat menduga orang yang memanggilnya kedua Pertapa Gunung Naga itu.
"Kenanga, mari kita singgih sebentar di kedai itu..," ajak Panji tanpa menunggu jawaban
lagi segera melangkahkan kaki.
"Kakang, bagaimana dengan buruan kita...?" Kenanga yang tidak mengerti dengan
tingkah kekasihnya mencoba mengingatkan.
Dara jelita itu tentu saja tidak ingin melepas buruannya setelah mengejar satu hari
penuh. Tapi, tahu-tahu Panji mengajaknya singgah di kedai. Padahal mereka belum tahu ke
mana tujuan Buaya Sakti. Kenanga pun menjadi kesal.
Panji yang sudah melangkah beberapa tindak segera menghentikan langkahnya, ia
merasa Kenanga tidak mengikuti. Ketika Panji menoleh, benar saja. Dara jelita itu berdiri
dengan wajah masam. Panji segera dapat menduga apa yang menjadi penyebabnya. Bergegas
pemuda itu menghampiri kekasihnya yang tengah merajuk.
"Jangan marah dulu, Kenanga. Coba kau lihat siapa yang duduk di kedai itu...," ujar
Panji menggerakkan kepalanya seraya menyentuh lembut punggung dara jelita itu.
"Pertapa Gunung Naga...?!" desis Kenanga dengan kening berkerut ketika memandang
kedai yang ditunjuk Panji. Kenanga terpaksa tersenyum ketika melihat kedua kakek itu
melemparkan senyum ramah kepadanya.
"Nah, apakah kau sudah paham sekarang...?" tanya Panji.
"Tapi bagaimana dengan Buaya Sakti, Kakang? Bukankah kita belum tahu ke mana ia
akan pergi? Apakah tidak sebaiknya kita ikuti saja sampai raja begal itu tiba di tempat
tujuannya. Setelah itu, baru kita menemui Pertapa Gunung Naga...," ujar Kenanga yang tidak
ingin usaha yang telah mereka tempuh harus ditinggalkan begitu saja. Padahal sudah hampir
sampai pada tujuan.
"Ah, rupanya kau belum juga mengerti," tukas Panji menghela napas panjang. "Dengar
Kenanga. Kalau kedua pertapa itu berada di kota kadipaten ini, tentu ia telah cukup banyak
tahu apa yang mereka anggap penting untuk diketahui. Dan kalau Sepasang Naga Merah
tinggal di kota kadipaten ini, sudah pasti mereka mengetahuinya. Itu sebabnya aku tidak
merasa khawatir. Meski harus meninggalkan buruan kita...."
"Aiiih.... Mengapa aku menjadi tolol begini...?" desis Kenanga seraya menampar
keningnya perlahan. "Maafkan aku, Kakang. Mari kita temui mereka...," lanjut dara jelita itu
yang kekesalannya telah terbang entah ke mana.
Saat pasangan pendekar muda itu memasuki kedai dan menghampiri meja Ki Sarwa
Dipa dan Ki Garma Dipa, kedua pertapa itu bangkit menyambut Panji dan Kenanga. Wajah
keduanya terlihat cerah dan diwarnai senyum ramah.
"Silakan." ujar Ki Sarwa Dipa mempersilakan Panji dan Kenanga mengambil tempat
masing-masing.
Setelah mengucapkan terima kasih, Panji menghempaskan tubuhnya di kursi. Demikian
pula Kenanga. Mereka memesan hidangan kepada pelayan kedai.
"Kelihatannya kalian begitu terburu-buru. Ada apa?" tanya Ki Sarwa Dipa setelah
mereka terdiam beberapa saat.
Tanpa ragu-ragu, Panji segera menceritakan pengalamannya. Sampai ia dan Kenanga
melakukan pengejaran terhadap Buaya Sakti.
"Melihat Eyang berdua berada di sini, kami ikut bergabung. Karena kami yakin seluruh
pelosok kota kadipaten ini telah Eyang selidiki. Apakah dugaanku salah...?" tanya Panji
menutup ceritanya, membuat pertapa itu tertawa pelan.
"Tajam sekali cara berpikirmu. Pendekar Naga Putih. Sekali pandang kau langsung bisa
menebak isi kepala yang sudah peot ini," tukas Ki Sarwa Dipa menggeleng-gelengkan kepala
dengan penuh kagum.
"Bagaimana, Eyang? Apakah sudah mengetahui di mana Sepasang Naga Merah...?"
Panji langsung menukas ketika pertapa tua itu menyelesaikan ucapannya. Khawatir Ki Sarwa
Dipa akan terus memujinya. Maka Panji segera mengalihkan pembicaraan.
"Hm.... Tunggu saja malam nanti. Aku membuat kejutan untuk kalian berdua...," sahut
Ki Sarwa Dipa berteka-teki membuat Panji dan Kenanga terpaksa melebarkan senyum.
"Itu berarti malam ini kita harus menginap di kota kadipaten?" tegas Panji menatap Ki
Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa bergantian.
"Bisa juga begitu....," sahut Ki Garma Dipa tersenyum. Sedangkan Ki Sarwa Dipa
memperdengarkan tawa halus.
Beberapa saat kemudian, mereka kembali terdiam. Pelayan kedai datang membawa
pesanan dan menata rapi di atas meja. Tak satu pun yang berbicara saat menikmati hidangan.
***
Semula Panji dan Kenanga tidak mengerti ketika malam tiba Ki Sarwa Dipa dan Ki
Garma Dipa mengajak mereka pergi ke hutan yang terletak di sebelah utara kota kadipaten. Di
sebuah tanah lapang yang cukup luas dan jauh dari perumahan penduduk mereka berhenti.
"Jadi Eyang berdua telah mengirimkan surat tantangan kepada Sepasang Naga
Merah...?" tanya Panji yang segera dapat menduga maksud kedatangan mereka ke tempat itu.
"Bukan hanya Sepasang Naga Merah. Tapi dua orang datuk kaum sesat pun akan
datang ke tempat ini. Mereka telah bergabung dengan Sepasang Naga Merah...," sahut Ki Sarwa
Dipa menambahkan tokoh-tokoh yang ditantangnya.
"Siapa saja mereka, Eyang...?" desak Panji ingin segera tahu.
"Sabarlah, Pendekar Naga Putih. Nanti pun kau akan mengetahui. Sebaiknya kalian
berdua sembunyi. Aku khawatir mereka akan pergi bila melihat kalian berada di tempat ini...,"
tukas Ki Garma Dipa. Karena orang-orang yang mereka undang memiliki sifat licik dan bisa
saja tidak jadi datang jika melihat ada Pendekar Naga Putih di antara mereka.
Maklum akan kemungkinan itu, Panji tidak membantah. Pemuda itu segera mengajak
kekasihnya bersembunyi di balik sebatang pohon besar melebihi dua pelukan orang dewasa.
Dengan demikian, mereka berharap surat tantangan itu akan dipenuhi lawan. Rupanya kedua
Pertapa Gunung Naga itu tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat kemudian, tampak lima
orang bergerak dari sebelah depan.
"Bagus! Kalian mau datang juga akhirnya...," sambut Ki Sarwa Dipa ketika kelima
orang itu telah berada lebih dekat, kira-kira dua tombak lebih.
"Hua ha ha...! Pertapa Gunung Naga, kalian berdua hanya mengantar nyawa jika
hendak mencariku. Selain itu kitab ilmu 'Silat Naga Merah' telah lama kami musnahkan, begitu
seluruh isinya kami kuasai dengan baik. Jelas perjalanan kalian sia-sia...," ucap seorang
pemuda tampan bertubuh tegap yang berpakaian serba merah. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan Kelana.
Di sebelah Kelana terlihat Savitri tersenyum mengejek. Kemudian Raja Racun Muka
Hitam, Cambuk Penakluk Naga, dan Buaya Sakti. Ketiga tokoh sesat itu rupanya hadir
memenuhi tantangan Pertapa Gunung Naga.
"Meskipun begitu kau harus menebus semua dosa-dosamu, Pencuri. Kau akan kami
hadapkan kepada pimpinan kami untuk diadili dan dijatuhkan hukuman yang seadil-adilnya...,"
sahut Ki Sarwa Dipa agak kaget mendengar kitab ilmu 'Silat Naga Merah telah dimusnahkan
Kelana. Itu berarti mereka harus membawa salah satu dari Sepasang Naga Merah sebagai bukti
mereka telah melaksanakan tugas.
"Hm.... Sudahlah. Tidak perlu banyak cakap. Sebaiknya kalian bersiap untuk
menghadap raja maut...!" tukas Kelana tidak ingin berpanjang kata.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah
berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal
diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak
terlihat gentar. Mereka pun bersiap menyambut serangan lawan!
Perkataan Kelana seperti merupakan isyarat bagi kawan-kawannya. Raja Racun Muka
Hitam dan Cambuk Penakluk Naga sudah menyiapkan jurus-jurusnya.
"Tahan...!" Kelana tiba-tiba mencegah. Pemuda itu melangkah maju beberapa tindak.
"Mereka berdua bagianku. Sebaiknya kalian saksikan saja...," ujar Kelana segera
menyiapkan serangan.
Savitri yang menjadi pasangan Kelana tentu saja tidak berpangku tangan. Tubuhnya
bergerak ke depan menjajari Kelana. Kemudian membuka jurusnya yang mirip jurus Kelana,
bedanya mereka melakukan gerakan berlawanan. Satu ke kiri, satu ke kanan. Ilmu yang
mereka pergunakan memang merupakan ilmu berpasangan.
"Hiyaaat...!"
Disertai lengkingan panjang menyesakkan dada, tubuh Sepasang Naga Merah
berkelebat menerjang Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma Dipa. Kedua pertapa itu pun tidak tinggal
diam. Meski mereka sadar ilmu 'Silat Naga Merah' sangat hebat dan berbahaya, mereka tidak
kelihatan gentar. Tampaknya kedua pertapa itu lebih suka tewas dalam melaksanakan tugas
daripada tewas karena usia tua.
Saat serangan lawan datang, kedua pertapa itu segera menyambut Sebentar saja
keempatnya telah terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan!
Kedua Pertapa Gunung Naga sadar betul akan kedahsyatan ilmu 'Sepasang Naga
Merah'. Untuk mengimbangi mereka harus menguras seluruh tenaga dan kepandaian. Kalau
tidak, mereka akan celaka dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sepasang Naga Merah yang merasakan kedua lawannya melakukan gempuran mati-
matian tentu saja tidak tinggal diam. Dengan kerja sama yang baik sekali mereka mulai
memperlihatkan ketangguhannya. Sehingga saat pertarungan menginjak jurus keenam puluh,
kedua Pertapa Gunung Naga mulai merasakan betapa berat tekanan lawan. Setiap kali mereka
menangkis, tubuh tua pertapa-pertapa itu terjajar mundur. Jelas sudah mereka tidak mungkin
sanggup menghadapi Sepasang Naga Merah yang tangguh dan kuat.
Panji yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon tidak mau menunggu sampai kedua
pertapa itu celaka. Begitu melihat mereka terdesak, Panji melesat keluar dari
persembunyainnya dan memasuki arena pertempuran.
"Haiiit...!"
Kelana dan Savitri melompat mundur ketika serangkum angin dingin menusuk tulang
mendahului datangnya sesosok bayangan putih. Mereka terpaksa melepaskan kedua pertapa
yang sudah tidak sanggup lagi membangun serangan dan tinggal menghabisinya saja. Sayang
sosok berjubah putih datang mencegah. Mereka tidak berani memandang remeh sambaran
angin dingin yang sangat kuat itu.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Hampir bersamaan Kelana dan Savitri berseru menyebut julukan Panji. Mereka kaget
karena tidak menyangka pendekar muda itu akan muncul. Tapi, keterkejutan itu hanya
berlangsung sesaat. Lalu berganti dengan kemarahan.
"Bagus kau muncul, Pendekar Naga Putih! Dengan begitu, aku sekaligus membalas
dendam orangtuaku...!" geram Kelana kembali teringat kematian ayahnya di tangan Panji. Itu
diketahui dari penduduk desa tempat kelahirannya.
"Hm.... Ayahmu seorang pemeras dan penipu, Kelana, ia tega menyengsarakan
penduduk Desa Sendang Waringin dengan membuka rumah judi. Padahal seharusnya ia tahu
judi akan menghancurkan kehidupan semua orang. Karena ia tak mau sadar, terpaksa aku
melenyapkannya demi ketenteraman penduduk desa," sahut Panji membuat Kelana tersentak
kaget. Panji ternyata telah mengetahui tempat kelahirannya. Bukan tidak mungkin nama
orangtuanya juga diketahui pemuda itu.
"Biar bagaimanapun, aku tetap membalaskan kematian ayahku!" tandas Kelana tak
mau tahu baik buruknya tindakan orangtuanya. Ia bersikeras tetap akan membalaskan dendam
orangtuanya.
"Itu hakmu, Kelana. Aku tidak bisa memaksa bila kau memang tidak ingin sadar dari
kesesatanmu...!" tukas Panji segera menyiapkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan ilmu 'Silat
Naga Sakti'. Karena baik Kelana maupun Savitri telah siap menerjang.
"Hiyaaat...!"
"Haiiit...!"
Sepasang Naga Merah bergerak bersamaan menerjang Panji yang saat itu telah
menggabungkan kedua tenaga mukjizatnya. Karena lawan yang dipahadapinya sangat hebat!
Dengan ilmu silatnya yang langka dan jarang menemui tandingan, Panji menyambut
serangan kedua lawannya. Kendati Kelana dan Savitri menerjang dengan hebat, namun Panji
selalu dapat mengatasi. Bahkan melontarkan serangan balasan yang tidak kalah ampuh dan
berbahayanya. Arena pertarungan menjadi porak-poranda bagai diamuk angin ribut. Dalam
jurus-jurus awal terlihat kedua belah pihak masih seimbang. Sama-sama kuat dan sama
gesitnya.
Sementara itu, Raja Racun Muka Hitam sudah gatal tangan ingin maju bertarung.
Begitu juga Cambuk Penakluk Naga. Mereka langsung dihadapi Ki Sarwa Dipa dan Ki Garma
Dipa. Keempat tokoh tua itu membuat arena lain berjarak enam tombak dari pertempuran
Pendekar Naga Putih.
Demikian juga Kenanga. Melihat Buaya Sakti melirik dirinya, Kenanga menghampiri
raja begal itu. Meski agak gentar Buaya Sakti terpaksa melayani serangan-serangan dara jelita
itu yang sudah menggunakan pedangnya untuk menghadapi lawan. Mereka terlibat
pertarungan sengit!
***
Saat itu, pertarungan Pendekar Naga Putih dan Sepasang Naga Merah berjalan
semakin cepat. Kedua belah pihak berusaha mendesak lawan. Terlebih Kelana yang memang
ingin melenyapkan Pendekar Naga Putih, yang merupakan penghalang terbesar cita-citanya.
"Yaaat…!"
Ketika pertempuran memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji mengeluarkan
lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Tubuh pemuda itu bergerak cepat dengan
sepasang lengan saling susul-menyusul mencari sasaran.
"Gila...!"
Kelana memekik kaget merasakan angin pukulan lawan berubah-ubah hawanya.
Terkadang dingin seperti salju. Di lain saat panas membakar seperti api tungku. Hingga kedua
lawannya terdesak. Terlebih lagi sambaran cakar yang datang tak terduga dan memiliki
perubahan gerak yang mengejutkan. Kenyataan itu membuat Kelana dan Savitri penasaran!
Saat serangan Panji kembali datang bagai gelombang air laut yang susul-menyusul tak
pernah henti Kelana bertindak nekat. Sepasang tangannya diangkat ke atas memapaki
sepasang lengan Pendekar Naga Putih. Dan...
Plakkk, Plakkk...!
"Uhhh...?!"
Tangkisan itu justru mendatangkan kerugian bagi Kelana. Lengannya terasa linu dan
tubuhnya terjajar mundur setengah tombak. Meskipun begitu, Kelana masih dapat
mempertahankan kuda-kudanya dan tetap berdiri tegar.
Panji semula berniat menyusuli serangannya. Tapi niat itu ditunda ketika melihat
Savltri datang dengan serangan-serangan yang berbahaya. Hingga Panji terpaksa menghadapi
gadis cantik itu dan membalas setiap serangan Savitri. Bahkan dengan kecepatan yang jauh
melebihi gerak Savitri. Akibatnya, gadis cantik itu dipaksa bermain mundur. Sampai
akhirnya....
Bukkk...!
"Aiiih...!"
Savitri terpekik kesakitan ketika telapak tangan Panji singgah di bahu kirinya. Tubuh
gadis cantik itu melintir seperti baling-baling.
"Haaat...!"
Bettt...!
Kelana yang datang menyelamatkan Savitri melepaskan sebuah pukulan maut disertai
suara mencicit tajam. Cepat Pendekar Naga Putih menundukkan kepala. Kemudian menggeser
kaki kanannya ke belakang. Dan mengirimkan sikunya ke iga kiri Kelana.
Duggg!
"Hikh...!"
Kelana terjajar limbung dengan wajah meringis menahan sakit. Saat itu Panji melenting
ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai sinar berpendar pada sekujur tubuhnya,
membuat lawan di bawahnya sukar untuk melihat dengan jelas. Dan....
Bettt, desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun tubuh Kelana terpental. Cairan merah mengalir dari dada kirinya yang
robek oleh cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan perutnya terasa mual terkena tendangan
telak. Tubuh pemuda itu menggeliat memuntahkan darah segar yang agak kental.
"Kelana...?!"
Savitri kaget bukan main melihat tubuh sekutu sekaligus kekasihnya terbanting ke
tanah. Cepat ia melesat menerjang Panji dengan kemarahan memuncak. Tapi, itu justru
merupakan peluang baik bagi Pendekar Naga Putih. Dengan merundukkan kepala menghindari
sambaran tangan lawan, Panji menggeser maju kaki kirinya. Kemudian melepaskan dorongan
kedua telapak tangan dengan menggunakan tenaga gabungan.
Bressshhh...!
"Aaa...!"
Savitri terpental disertai jeritnya yang melengking tinggi. Gadis itu terbanting ke tanah
dengan sebelah tubuhnya hangus terbakar. Sedangkan sebagian lagi membeku bagai orang yang
menderita kedingin hebat.
"Savitri...!" Kelana bergegas bangkit.
"Kubunuh kau, Pendekar Naga Putih...!" pekiknya murka.
"Hiyaaahhhh...!"
Wukkk...!
Panji menggeser tubuhnya satu langkah ke belakang. Begitu pukulan lawan luput,
kepalan kiri dan kanannya datang bertubi-tubi menghantam tubuh Kelana!
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Huakhhh...!"
Tanpa ampun tubuh Kelana terpental ke udara. Darah menyembur dari mulutnya.
Kemudian jatuh berdebuk di tanah. Kelana tewas persis seperti keadaan Savitri yang terkena
hantaman gabungan tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih.
Rupanya pertempuran yang lainnya pun sudah pula berakhir. Cambuk Penakluk Naga
menggeletak di tanah dengan kepala pecah. Nampaknya pukulan Ki Garma Dipa terlalu kuat,
hingga meretakkan batok kepala tokoh sesat itu.
"Cambuk Penakluk Naga adalah guru Savitri. Ia membantu muridnya untuk menguasai
dunia persilatan...," jelas Ki Garma Dipa tanpa diminta Panji.
"Ke mana perginya Raja Racun Muka Hitam...?" tanya Panji yang tidak menemukan
mayat datuk sesat itu.
"Ia telah melarikan diri dengan sangat licik. Meskipun begitu datuk sesat itu tidak akan
berani muncul dalam waktu dekat..," Ki Sarwa Dipa yang menjadi lawan Raja Racun Muka
Hitam menjelaskan.
Kenanga sendiri sudah menamatkan riwayat Buaya Sakti. Dara jelita itu menggamit
lengan Panji. Lega hatinya melihat persoalan rumit yang memusingkan itu sudah selesai.
"Kita berpisah di sini, Eyang. Kami hendak melanjutkan perjalanan...," ujar Panji mohon
diri kepada kedua Pertapa Gunung Naga.
"Pendekar Naga Putih, tung...?!"
Ki Sarwa Dipa tidak menuntaskan kalimatnya, karena Pendekar Naga Putih telah
lenyap ditelan kegelapan malam. Semula dirinya hendak mengajak pendekar muda itu singgah
di Gunung Naga. Sayang, mereka telah lenyap. Sehingga kedua pertapa itu hanya bisa
termangu-mangu dalam kebisuan malam yang kian mencekam....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar