..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..
Tampilkan postingan dengan label KHO PIN HOO. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KHO PIN HOO. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Januari 2025

SI BAYANGAN IBLIS BAGIAN 2 (tamat)

matjenuh

 

251

“Pangeran, apa artinya ini? Engkau masuk begitu saja tanpa 

kupanggil dan memukuli para pengawal dan dayang kami?” Bu 

Cek Thian menegur, namun suaranya tetap lembut.

Sementara itu, dalam keadaan masih berlutut, diam-diam Liong-li 

memperhatikan pangeran itu. Seorang pemuda yang usianya 

kurang lebih tigapuluh tahun, tinggi kurus, wajahnya tampan dan 

pesolek, matanya tajam dan lagaknya congkak.

Dari gerak geriknya, Liong-li menduga bahwa pangeran ini bukan 

seorang lemah, dan agaknya memiliki kepandaian silat. Hal ini 

dapat diketahui dari langkahnya. Sinar mata yang tajam itu 

membayangkan kecerdikan dan seketika Liong-li tahu bahwa ia 

harus berhati-hati terhadap orang ini.

“Selamat pagi, Ibu Permaisuri!” katanya dan suaranya juga 

lembut namun nyaring dan penuh semangat. “Para pengawal dan 

dayang itu yang tidak tahu diri. Bagaimana mereka berani 

mencegah saya masuk ke sini menghadap paduka? Ibunda 

adalah ibuku, dan sudah selayaknya kalau saya sebagai 

puteranda datang pada pagi hari ini untuk menghaturkan selamat 

pagi, bukan? Saya harus mematuhi pelajaran yang saya 

dapatkan dari Bouw Sianseng (bapak guru Bouw)......”

“Hemmm, pelajaran apa yang kaudapatkan dari Bouw Sianseng 

yang menjemukan itu?” Permaisuri Bu Cek Thian bertanya, nada 

suaranya ingin tahu sekali.

“Bahwa seorang kun-cu (budiman) mengenal tiga macam hauw 

(bakti), yaitu pertama berbakti kepada Thian (Tuhan), kedua 

berbakti kepada Negara, dan ketiga berbakti kepada orang tua,


252

terutama ibu. Nah, kalau pagi-pagi saya mencari ibunda untuk 

menghaturkan selamat pagi, itu adalah untuk memenuhi Hauw 

yang ketiga itulah.”

Diam-diam Liong-li memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda 

yang amat cerdik, pikirnya, akan tetapi juga ia merasa geli 

mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.

“Huh! Pelajaran dari orang yang menjemukan itu bisa 

menyesatkanmu, Souw Cun! Buktinya, engkau ingin berbakti, 

akan tetapi telah melanggar peraturan, menggangguku dengan 

hadir di sini tanpa kupanggil!”

Pemuda itu membelalakkan mata dan mengangkat sepasang 

alisnya, lalu memandang ke sekeliling. “Aih, kiranya saya telah 

mengganggu paduka, ibunda Permaisuri? Akan tetapi saya tidak 

melihat paduka sedang bercengkerama, tidak mengadakan rapat 

atau persidangan, bahkan hanya ditemani si kembar dan ini...... 

ah, siapakah gadis jelita ini, ibunda?”

Kini Pangeran Souw Cun memandang kepada Liong-li yang 

masih berlutut dan menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar 

tegang karena ia merasa seolah-olah sikap pangeran itu dibuat-

buat. Bukan tidak mungkin kalau pangeran ini sudah tahu atau 

dapat menduga siapa ia, atau setidaknya menaruh curiga 

kepadanya!

“Ah, ia dayangku yang baru, namanya Siauw Cu,” kata sang 

Permaisuri dengan sikap acuh.


253

“Siauw Cu? Mustika kecil? Wah, nama yang cocok sekali dengan 

orangnya. Manis, coba kau angkat mukamu, aku ingin 

melihatnya!” kata pangeran itu.

Dengan sikap seorang gadis yang bodoh dan penakut, Liong-li 

semakin menundukkan mukanya dan suaranya gemetar ketika ia 

menjawab lirih.

“Ampun...... hamba..... tidak berani......”

“Hemm, berani engkau membantah?” Tiba-tiba tangan kanan 

pangeran itu menangkap dagu Liong-li dan wanita ini merasa 

betapa jari-jari tangan itu mengandung tenaga kuat dan kalau ia 

mengerahkan tenaganya, tentu jari-jari tangan itu akan 

mencengkeram. Ia bersikap wajar saja, nampak ketakutan dan 

menurut saja ketika dagunya didorong naik sehingga mukanya 

tengadah.

“Hmm, cantik jelita...... manis sekali dayang ini, ibunda 

Permaisuri!” kata Pangeran Souw Cun sambil tertawa.

“Souw Cun, lepaskan dayangku!” teriak sang Permaisuri dengan 

suara marah.

Pangeran itu melepaskan tangannya sehingga Liong-li menunduk 

kembali dan kini ibu tiri dan pangeran itu saling pandang dengan 

sinar mata saling menentang.

“Ibunda, dayang yang satu ini berikan saja kepada saya. 

Puteranda suka sekali melihat wajahnya,” kata pangeran itu.


254

“Tidak! Tidak boleh! Siauw Cu baru saja kuangkat menjadi 

dayang dan ia akan kujadikan dayang pribadiku. Dan engkau 

tidak boleh mengganggunya, pangeran!”

Pangeran Souw Cun tertawa, dan ketika dia tertawa, jelas bahwa 

sikap hormatnya tadi kepada sang permaisuri hanya pura-pura 

saja. Ketika tertawa nampak bahwa sesungguhnya, di balik sikap 

hormat itu dia tidak suka kepada ibu tirinya ini! Hal itu tampak 

jelas sekali oleh Liong-li yang melirik dari bawah.

“Ha-ha, mohon paduka mengampuni saya, ibunda. Kalau saya 

tadi meraba mukanya, hal itu hanya untuk melihat kecantikannya, 

dan untuk membuktikan bahwa ia benar seorang wanita!”

“Pangeran! Apa maksud ucapanmu itu?” sang permaisuri 

membentak.

“Ibunda permaisuri yang mulia, seorang pemuda yang tampan 

dan lembut mudah saja menyamar aebagai seorang gadis. 

Ibunda, Puteranda mohon mengundurkan diri!” 

Dan tersenyum lebar pangeran itu meninggalkan ruangan setelah 

menjura dengan sikap hormat sekali kepada Permaisuri yang 

memandang dengan mata melotot dan muka merah karena 

marah.

“TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan 

siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum 

kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah sekali 

sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.


255

Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya 

untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya menunjukkan 

betapa besar kemarahannya.

Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu 

hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal 

pribadi gadis kembar dan Liong-li.

Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik 

napas panjang. “Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu 

makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya 

seperti kepada dirinya sendiri.

“Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya...... Pangeran 

Souw Cun kurang..... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah 

dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.

Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal 

pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua 

orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela, 

memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di 

belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat

bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada 

orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.

Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liong-

li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk 

bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.

“Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku, 

juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang


256

pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui 

semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”

Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia 

istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di 

istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan 

oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana 

dan keluarga kaisar.

“Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk 

menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada 

Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka 

tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”

“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa 

engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana 

Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang 

mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas 

ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk 

mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan 

demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga 

menjadi anak buahku. Mengerti?”

Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita 

tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini 

membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita 

yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang 

kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa 

heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan 

seluruh penghuni istana! Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini


257

menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat 

merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu.

Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu 

malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua, 

sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa 

pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan 

pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!

Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini, 

Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah 

nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali 

kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar 

kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang 

kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita 

yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan 

lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja 

merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka 

sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa 

mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka 

lewat penyelewengan.

“Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua 

keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.

“Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw 

Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ.”

Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk 

di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang 

permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka


258

dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan 

dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empatpuluh 

tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang 

putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi 

sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya 

mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum. 

Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya 

sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah 

bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan 

dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak 

diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya 

mengandung cengkeraman. maut!

Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan 

keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li. 

Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga 

kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-

diam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun 

semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap 

berkeluarga dan taat kepada kaisar!

“Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu 

Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang 

Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan 

ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku 

sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran 

lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.


259

“Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan 

kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati 

Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk 

saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka, 

tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar 

terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi 

untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga 

keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam 

kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-

pembunuhan yang misterius itu.” 

Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia 

nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang 

cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi.

“Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhan-

pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu 

dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li 

memancing.

“Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan 

persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja 

yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin 

lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan 

keselamatan diriku sendiri terancam!”

Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak 

dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam.

“Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?”


260

Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan 

sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka 

berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan 

pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih 

ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah 

Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar 

kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu 

melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia 

beracun yang agaknya tercecer.”

“Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di 

dalam istana?”

Permaisuri itu menggeleng kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin 

pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di 

istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah untuk 

menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan 

gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang 

yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orang-

orang yang berkepandaian tinggi.”

“Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan 

mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana, 

Yang Mulia.”

“Bagaimana engkau dapat yakin?”

“Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar 

para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat 

menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa 

Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang


261

tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di 

mana lagi kalau bukan dl istana? Dan setelah mendengar 

keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam 

istana induk, di bagian putera!”

“Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”

“Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian 

puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan 

paduka yang arif bijaksana?”

Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa 

ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. “Siauw Cu, 

engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan 

dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam 

istana, tentu dia berada di bagian putera!”

“Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka. 

Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai, 

yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Inilah yang 

membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin 

menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang 

terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun 

mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin 

mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap 

penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku, 

tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang 

mungkin bersembunyi di dalam istana.”


262

“Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar 

sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang 

kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau 

anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan 

pendapat hamba ini.”

“Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di 

akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia 

ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam 

istana induk bagian pria.”

Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. “Akan tetapi. Yang 

Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang wanita dan........”

“Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak 

mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau 

terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus 

masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir.....”

“Tapi......!” Liong-li terkejut.

“Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan 

menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun 

engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para 

pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap 

perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan 

mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru 

engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin 

mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta 

agar engkau dijadikan selirnya yang baru?”


263

Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela 

menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia 

sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun 

pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita 

ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong

membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya 

membayangkan kepalsuan dan kekejian.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba...... hamba mengabdikan diri 

dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba. 

Hamba...... tidak suka menjadi selir pangeran itu......” lalu 

disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri 

kepada pria manapun yang tidak hamba sukai......” 

Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan 

marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian 

tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh 

ke belakang. 

“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang 

bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau 

tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar 

kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku 

percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau 

tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu.”

Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin 

di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran, 

yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah


264

menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri 

dengan suka rela? 

Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang 

dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak 

diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius, 

dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap 

segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran 

itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.

“Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?”

“Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan 

berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum 

mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang 

menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang 

diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan 

seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga 

tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan 

menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu 

dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan 

dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu.”

“Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai 

selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau 

akan menolak.”

“Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir 

kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan 

dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan


265

tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu 

angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?”

Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran 

yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali 

melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau 

curiga kepada hamba?”

“Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau 

mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya 

bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki 

Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi 

kepadamu.”

“Baiklah kalau begitu, Yang Mulia.”

◄Y►

Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya 

berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda 

sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya 

demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan 

santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang 

mengundangnya.

Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja 

menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya 

atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut 

dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan 

dada.


266

“Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat 

dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya juga lembut dan halus, 

dengan kata-kata yang indah. 

Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat 

mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa 

canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani 

terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang 

kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan 

Sang Permaisuri itu.

Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih 

duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan 

tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang 

sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya 

menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.

Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan 

sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium 

semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi. 

Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan 

pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.

Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah 

bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti 

wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk 

golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang 

pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.

Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan 

kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti


267

pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung, 

sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir 

Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir 

itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu 

memang merah karena segar dan sehat. 

Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun 

menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan 

bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu 

berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-

benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan 

tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia 

terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan 

kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang 

demikian tampannya! Seperti gambar saja!

“Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau 

menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan 

engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? 

Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan 

seni.”

“Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan 

dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”

“Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku 

mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin 

sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi 

sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting 

sekali.”


268

Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah 

sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang 

lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh 

pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting 

dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya 

sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.

“Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?“

“Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong 

aku?”

“Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati 

perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan 

segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar 

dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera 

paduka, Ibunda.”

Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar, 

akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau 

permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan 

lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.

“Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu 

akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-

eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”

Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa 

pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. “Ibunda 

Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak


269

mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para 

petugas keamanan.”

“Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para 

petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu 

berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah 

sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula 

membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu 

tertangkap?”

Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar 

itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang Mulia, bagaimana 

seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang 

penjahat yang demikian lihainya?”

“Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku 

menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk 

membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!” 

Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk 

dengan kepala tunduk.

“Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu. 

Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan 

ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis, 

bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia 

lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, 

dibagian putera......”

“Ehhh? Jadi menurut Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di 

dalam istana?” Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.


270

“Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki 

benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu 

ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan 

penyelidikan dengan leluasa.”

“Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?”

“Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan 

Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!”

“Ahh......!” Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi 

merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak 

pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa 

pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan 

dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.

“Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba.... 

hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir.....! 

Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran 

lain yang mempunyai banyak selir?”

Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. “Aku tidak percaya 

kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan 

engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran 

Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah 

satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi 

ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah 

kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”

“Tapi...... tapi..... ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. 

Akan tetapi....... selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai


271

dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai 

lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak 

mencurigakan.”

“Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur 

bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak 

leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, 

tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat 

melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain.”

“Tapi...... tapi.... Ibunda.......”

“Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa 

engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar 

bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka 

bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun 

selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan 

menjadi selirmu yang sungguh-sungguh! 

“Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir 

sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah 

kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang 

menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini 

adalah seorang pendekar wanita. 

“Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan 

iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu 

pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau 

tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. 

Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir,


272

menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan 

ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”

Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan 

penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah 

selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau 

dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, 

diapun kagum.

“Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda 

Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati 

oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil 

mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu 

pelajaran hamba!”

Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang 

pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan hati, 

Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau 

mengganggu paduka sedetikpun!”

Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu 

bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan 

jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata 

harimau di malam hari!

“Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran. 

Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus 

berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru 

saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam 

orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa 

selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu.”


273

Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang 

dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan 

cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar 

dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, 

tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar 

jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.

Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran 

Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir 

akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap 

seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, 

tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan 

tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm...... jantungnya 

berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga 

dirinya sendiri.

Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang 

lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim, 

lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya 

dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, 

memandang kagum. 

“Nona...... sungguh cantik jelita......” kata dayang itu.

Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang 

gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan 

berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu 

gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan 

semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya 

seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga


274

yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah 

bagaimana nasibnya kelak. 

Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang 

pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai 

akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan 

kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang 

dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.

“Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu 

menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan iapun bangkit 

setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali 

ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw 

Han masih menantinya.

Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali 

nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang 

kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih 

mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang. 

“Siauw Cu, sungguh...... sudah kuduga....., engkau cantik jelita 

sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main, 

sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita 

yang memiliki kecantikan luar biasa!”

Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya 

memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya 

sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan 

sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa 

penasaran dan kecewa!



275

Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti 

ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal 

biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.

“Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka 

ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada 

nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat 

memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba 

harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu 

terganggu.”

Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang 

walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu 

merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus 

mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja 

demikian.

“Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau 

selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau 

membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja 

dari istana ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi 

matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.

Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut 

pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau begitu, 

lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah 

siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?”

“Sudah,” kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah 

berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi


276

“pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw 

Han!

Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil. 

Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah 

menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang 

mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan 

sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan 

dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang 

ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di 

belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam 

barisan dua-dua yang rapi.

Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran 

Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah 

dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang 

berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, 

dari bagian puteri memasuki istana induk. 

Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa 

pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh 

Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada 

semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja 

menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal

Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali 

tidak mau berdekatan dengan wanita! 

Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat 

seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran 

yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari


277

dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah 

melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir 

Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita 

seperti bidadari!

◄Y►

Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li 

kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di 

dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada 

beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung 

juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia 

seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-

ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh 

“suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang 

dayang, ia merasa canggung bukan main. 

Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran 

itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita 

biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang 

sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa 

semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya 

sebagai wanita. 

Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam 

benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi 

hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh 

membuat ia merasa rendah diri. 

Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas 

penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang


278

dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. 

Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati 

terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah 

seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat 

banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak 

memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!

Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya 

untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam 

kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia 

pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika 

pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi 

begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini 

nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam 

gelisah.

Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti 

gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali, 

juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di 

dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, 

bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Pangeran,” ia memanggil lirih. 

Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena 

dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan 

memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang 

dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya 

yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li 

menjadi semakin geli.


279

“Pangeran, saya...... saya tidak ingin mengganggu paduka. 

Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal? 

Di mana kamar saya?”

“Di mana lagi?” Pangeran itu berkata, bukan menjawab 

melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing 

cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang 

mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin 

cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku, 

kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para 

dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri 

duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam 

jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul, 

Pangeran Souw Han cemberut.

Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti

empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas 

itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah 

tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang 

bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar 

sekali kalau hanya untuk dua orang! 

Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku, 

almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan 

tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal. 

Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan 

seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini 

muram dan mulut yang indah itu cemberut.


280

“Tempat tidurnya....... hanya sebuah......?” Ia bertanya, hanya 

untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah 

jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur. 

Pangeran itu mengangguk. “Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku 

sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!”

“Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar 

sebelah saja, Pange- ran.”

“Itu baik sekali!” Pangeran Souw Han berseru gembira sambil 

bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal 

hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali. 

“Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku. 

Bagaimana mungkin seorang....... selir tidur di kamar dayang? 

Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan 

orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja 

menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan 

marah kepadaku!”

“Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang 

hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan 

membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya 

sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap 

keluar dan melakukan penyelidikan.......”

“Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam 

kembali ke kamar ini.......”


281

“Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu, 

di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan 

mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas 

pembaringan paduka dan......” 

Tiba-tiba pangeran itu bangklt berdiri dan memandang kepada 

Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. “Siauw Cu! 

Kaukira aku ini orang apa?”

Liong-li terbelalak. “Paduka? Paduka seorang pangeran yang 

terhormat......”

“Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu 

engkau?”

Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil 

mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah 

bicara.

“Dan kaukira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-

enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita 

menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku 

seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu 

menghargai kaum wanita yang lemah?”

Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan 

tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh 

kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui 

segala kekagumannya!


282

“Lalu...... lalu.... bagaimana maksud paduka? Saya..... hamba... 

hanya menurut saja.....”

“Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di 

atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?” 

Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi 

mengandung perintah yang tidak mau dibantah.

Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya 

pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama 

saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!

“Aku yang akan tidur di atas lantai!” 

Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi, 

memandang aneh.

“Tapi...... tapi.... bagaimana mungkin hamba tidur di atas 

pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran...... tidur di 

lantai.....?” Liong-li benar-benar terkejut.

“Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di 

lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa? 

Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”

Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng 

tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis, 

hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan 

dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka....... 

paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!”


283

Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, “Hushh, 

jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita 

bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal 

benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?”

Liong-li tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang 

pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi 

bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara 

seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang 

yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw 

Han.

“Nama saya? Siauw Cu........” ia masih mencoba.

“Huh, kaukira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu 

adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku. 

Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu 

tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh 

menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan 

dari mana engkau datang?”

Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak 

segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang 

mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi.

“Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu 

dan saya tinggal di kota Lok-yang.”

Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati 

wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang



284

mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung

kecabulan atau kekurangajaran sama sekali.

“Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?”

Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat 

dengan membungkuk. “Paduka memang hebat, Pangeran. Benar, 

sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana 

paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, 

bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan 

tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri, 

paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni.”

Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti 

ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian 

manisnya dari seorang pria!

“Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar 

istana, li-hiap (pendekar wanita).”

“Ihhh......! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apa 

lagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!”

“Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah 

kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku.”

“Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun.”

“Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua 

tahun dari aku. Aku sudah duapuluh tahun.”


285

Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya 

belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen!

“Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru 

duapuluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan 

yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran 

Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia 

Permaisuri.”

“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap 

pangeran yang satu itu, Cu cici!” Diam-diam Liong-li girang sekali 

mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat 

akrab dari seorang pangeran!

“Dia kenapakah, Pangeran?”

Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan 

Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak 

dua meter saja.

“Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk 

membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan 

tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula 

bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk 

menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di 

istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk 

menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk 

menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”

“Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga 

kerajaan, Pangeran?”


286

“Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari 

sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si 

Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang 

dingin.”

“Perang Dingin?” tanya Liong-li heran. “Maksud paduka......” 

“Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian 

karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau 

terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling 

menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan 

perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua 

itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku 

lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni.”

“Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci? 

Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si 

Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa 

kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka 

dalam hal ini, Pangeran.”

“Nanti dulu!” kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh 

selidik. “Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri 

dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi 

kepentingan Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menggeleng kepala. “Tidak, Pangeran. Terus terang saja, 

saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya 

diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia 

Permaisuri mengetahui rahasia saya.”



287

Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung, 

“Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di 

istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan 

membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi 

terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan 

pembunuhan-pembunuhan gelap.”

“Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala 

yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri. 

Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di 

istana!”

“Ehhh......??” Liong-li terkejut dan terbelalak.

Pangeran itu menarik napas panjang. “Aku merasa diriku sebagai 

seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah 

mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena 

aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan 

mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami. 

“Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar 

sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di 

kerajaan. Ayahku...... semoga Thian mengampuninya, ayahku 

seperti...... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri. 

“Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi...... 

kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam 

terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang 

ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, 

mempunyai jagoan-jagoan........”


288

“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi 

pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai.”

“Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa 

saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan 

harap dapat hidup! Selain itu...... ah, bagaimana, ya? Rasanya 

aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”

Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika 

Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa 

ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui 

bahkan disindirkan oleh pangeran itu.

Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia 

busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan 

kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu 

bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. 

Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar 

memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan 

Iblis.

“Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik 

jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut 

penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam 

diselundupkan ke istana bagian puteri?”

Pangeran itu membelalakkan matanya, “Kau...... kau....... sudah 

tahu?”

Liong-li tersenyum. “Saya hanya menduga saja, Pangeran.”


289

Pangeran Souw Han menghela napas. “Sudahlah, engkau sudah 

tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau...... 

ah, bagaimana, ya..... sungguh memalukan. Beliau suka kepada 

pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan 

pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat 

berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk 

melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”

“Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa 

korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis 

terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar, 

dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban 

yang menentang beliau...... sungguh membingungkan.”

“Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang 

Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri. 

Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, 

aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan 

memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini, 

Enci Cu.”

“Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain 

yang kiranya patut dicurigai?”

“Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga 

banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda 

Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak 

membutuhkan kedudukan!” 

“Bagaimana dengan pangeran Souw Cun


290

“Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan 

kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya, 

mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta 

setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan 

urusan negara?”

“Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?”

“Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu 

ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu 

silat.” 

Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang 

dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung 

dalam jari-jari tangan itu!

“Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti 

paduka?”

“Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun 

kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw 

Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam 

huruf saja, lagaknya seperti seorang mahaguru, akan tetapi tata 

susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw 

Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang 

menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang 

dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan 

Si Bayangan Iblis.”

“Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut 

saya selidiki, Pangeran?”


291

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. 

“Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet, 

juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. 

Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling 

memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, 

benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat 

menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan 

kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua 

rahasianya yang kotor.”

Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw 

Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar 

Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping 

permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal 

yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada 

Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu. 

Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan 

persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah 

memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh 

bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban 

kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki 

keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir 

atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap 

tanpa ketahuan jejaknya!

Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri 

mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran 

Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan 

yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han


292

menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah 

putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang 

bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para 

pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk, 

menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar 

kesenangan. 

“Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui 

bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah 

manusia-manusia yang tiada gunanya!”

“Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat 

yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para 

bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi 

derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.” 

Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan 

kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi 

ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak 

penasaran.

“Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan 

dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah 

hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu 

kaudermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? 

Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki 

duapuluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh 

kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura, 

munafik, bangsawan pakaian saja!”


293

Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua 

keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu 

bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga 

membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang 

sebelumnya tak pernah disangkanya. 

Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak 

membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis. 

Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar 

keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir, 

bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai 

sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis! 

Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya 

adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat 

menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana. 

Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat 

itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat 

ditangkapnya! 

“Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai 

malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan 

melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si 

Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”

“Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau 

berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah 

dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, 

pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan 

berbahaya sekali.”


294

“Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati 

sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari 

duduknya.

“Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu. 

Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan 

makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun 

melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-

milih.

Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak 

mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di 

pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada 

di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan 

mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau 

meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu! 

Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di 

dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku 

lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang 

mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan 

baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat 

baik buatannya. 

Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan 

sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang 

dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah, 

namanya lagu itu “Badai”.


295

Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula 

membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin 

lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, 

nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai 

yang semakin mendahsyat.

Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab 

sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk 

dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya 

tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang 

memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu 

dan segera dia mengenal lagunya. 

Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira 

bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat, 

seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di 

dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik 

jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai 

sekali memainkan alat musik yang-kim!

Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya, 

bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia 

melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter 

dan memandang dari samping.

Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak 

pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya 

dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang 

sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung 

dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin


296

agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya. 

Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han! 

Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan 

kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti 

datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam 

saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam 

itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang 

melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah 

kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi. 

Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga 

dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak 

berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun 

menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya 

yang merdu!

“Badai menderu

mengamuklah air dan salju

angin puyuh menyapu bumi

segala pohon dipaksa menari

betapa buas dan gagah

betapa indah!

Badai dahsyat di bukit itu

akhirnyapun, lewat, berlalu

sunyi, hening, sayu

kelu, lelah, lembut tenang

aman dan betapa indahnya


297

Lagu “Badai” itu memang indah sekali, dimulai dengan suara 

yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar, 

akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan 

akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan 

alam hening setelah badai lewat.

Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling 

yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling 

itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu “Badai”. Suara suling 

itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari 

tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu 

itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu 

terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat 

serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.

Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak 

bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main. 

Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu 

bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di 

bibir Liong-li. 

Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata 

pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya, 

menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, 

seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.

“Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran.”

“Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-

kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran......”


298

“Kenapa paduka heran, Pangeran?”

“Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu 

berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain 

pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, 

bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi 

demikian merdunya, sedemikian lembutnya......”

“Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari 

manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat 

keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat 

apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai 

mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar, 

namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di 

sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga 

terdapat keindahan di sana. 

“Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja 

mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh 

kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana 

terdapat pula keindahan?”

“Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan 

apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah. 

Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah 

engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab 

filsafat?”

Liong-li tersenyum. “Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku 

saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama 

(Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran


299

“Amboiii......! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula 

bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus, 

enci Cu!”

“Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari 

itu semua.”

“Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu! 

Hebat!”

Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu 

seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan 

pula pertapa!

“Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran.”

Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong 

orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan 

tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah 

seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li 

berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia 

mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!

Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa 

orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi 

marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi 

hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun. 

Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat 

hatiku terkejut saja.”


300

Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik 

tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua 

saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling 

kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? 

Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu, 

adikku.” 

Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak 

pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura 

tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi 

diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.

“Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda 

datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara 

engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada 

keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar 

biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”

“Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang 

mendatangkan bermacam perasaan?”

“Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk 

menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar 

biasa itu?” 

Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan. ”Benar, 

kakanda. Apa anehnya itu?”


301

“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu 

merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat 

menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang 

selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul 

dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para 

dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang 

kaujamah seorangpun. 

“Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak 

aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi 

penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita 

yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai 

seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita 

itu. 

“Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling, 

yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun 

dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah 

selirmu yang hebat itu?” Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh 

ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka 

di atas meja.

“Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda 

Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya,” 

kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau 

selirnya itu.

Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil 

menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat. 

“Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat


302

menyambut kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus, 

akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap 

ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.

Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang 

cantik jelita itu. “Ah-ahhh...... kiranya engkau? Bukankah engkau 

dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk. “Kami 

memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”

Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada 

wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau 

menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari. dan masih 

amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, 

sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali 

kepadamu, adikku!”

“Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula 

merasa kasihan kepadaku?”

“Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat 

jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah 

engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”

Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan 

tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia 

mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu 

akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan 

rahasia gadis itu?


303

“Aku cinta padanya, kakanda.”

“Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita? 

Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan 

engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku 

tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia 

sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia 

cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona, 

siapakah namamu?”

“Siauw Cu......” jawab Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di 

dalam hatinya timbul perasaan panas bukan main.

“Siauw Cu, katakan dengan sejujurnya, berapa usiamu 

sekarang?”

Biarpun hatinya panas, namun Siauw Cu menjawab sejujurnya 

dan di dalam suaranya yang lembut terkandung ketegasan dan 

tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang 

sebenarnya. 

“Usia saya sudah duapuluh lima tahun, Pangeran.”

“Duapuluh lima tahun? Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda 

Souw Han! Dan engkau belum genap duapuluh tahun! Dan 

seorang wanita berusia duapuluh lima tahun tidak mungkin 

menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw 

Cu. Engkau bukan gadis lagi. Tidak benarkah begitu


304

Souw Han memandang kepada “selirnya” dengan hati penuh iba. 

Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat menyakitkan 

perasaan seorang wanita, maka diapun berkata.

“Kakanda Souw Cun, harap kakanda jangan bertanya hal-hal 

seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau engkau tidak suka, 

aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan 

kakanda Souw Cun tadi.”

“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak mau menjawabnya, atau kalau 

menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw Cun 

tertawa.

Kini Liong-li mengangkat mukanya, memandang kepada 

Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang, lalu 

keluarlah jawaban dari bibirnya. 

“Saya tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan kenyataan. 

Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika saya menjadi 

dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda......”

Liong-li mengerling ke arah muka Pangeran Souw Han, akan 

tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak perubahan apapun. 

Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir” 

Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia 

masih perawan atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya? 

Akan tetapi Pangeran Souw Cun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apa kukata tadi, adinda? Ia bukan hanya tidak 

perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang pangeran 

yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu


305

kepada seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun? 

Bodoh, adikku, bodoh sekali dan itu rugi namanya. Juga 

memalukan keluarga! Aku ikut malu!”

Souw Han merasa tidak enak sekali kepada Liong-li. Akan tetapi, 

dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di balik wanita itu terdapat 

suatu rahasia yang harus dilindunginya.

“Kakanda Souw Cun, mengapa kakanda mencampuri urusan 

pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih lama 

lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah 

membikin malu keluarga!”

“Adinda! Engkau hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada 

seorang janda, dan kau bilang tidak membikin malu keluarga?“

“Habis, apa maksud dan kehendak kakanda sekarang?” Souw 

Han mulai marah.

“Begini, adinda. Aku sayang padamu, dan aku tidak rela kalau 

engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua ini. Kutukar 

saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru 

limabelas tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia 

masih perawan. Nah, ialah yang lebih pantas menjadi selirmu, 

atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang wanita ini, serahkan saja 

kepadaku untuk kujadikan dayang.”

“Mendengar ini, Pangeran Souw Han terkejut bukan main. Dia 

bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti Liong-li yang 

sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya. 

Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi


306

dia segera teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata 

dengan suara gelisah. 

“Ah, kakanda Souw Cun, bagaimana mungkin aku dapat 

menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda, Siauw Cu ini 

adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku..... aku suka sekali 

padanya.”

Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran 

Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya dengan ujung 

lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar 

penuh isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba..... hamba lebih 

baik mati kalau harus meninggalkan paduka......”

Diam-diam Pangeran Souw Han menjadi semakin kagum. Dia 

tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi sandiwara 

itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia 

sendiripun sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu 

berpura-pura. Maka, diapun memandang kepada Pangeran Souw 

Cun.

“Kakanda Pangeran, kakanda lihat sendiri. Kami sudah saling 

mencinta. Tidak ada wanita yang dapat menggantikannya. Aku 

hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”

“Hem, benarkah itu?” 

Ketika Liong-li mengerling dari sudut matanya yang ia tutupi 

dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata Pangeran Souw 

Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran 

yang berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud


307

pangeran itu menghalangi ia diselir Pangeran Souw Han bukan 

semata karena cemburu atau iri, bukan semata karena pangeran 

itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain, yaitu 

mencurigainya!

“Ah, jangan-jangan engkau kena dipengaruhi guna-guna adikku.”

“Tidak, kakanda. Aku memang cinta padanya, bukan hanya 

karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia pandai 

bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki 

beberapa macam kepandaian lagi yang belum kuketahui. 

Tentang usia dan tentang bukan perawan, aku tidak perduli!”

“Hemm, banyak kepandaiannya, ya? Eh, Siauw Cu, apakah 

engkau juga pandai ilmu silat?”

“Ah, kakanda!” seru Pangeran Souw Han, terkejut dan 

kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana seorang 

wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau 

menari mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”

Liong-li yang sudah menghapus air matanya kini memandang 

kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang jelas 

membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka...... 

apapun akan hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah 

mempelajari ilmu menari.”

“TARIAN pedang ? “ tiba-tiba Pangeran Souw Cun bertanya.

“Ah, bukan, Pangeran. Tarian biasa,” jawab Siauw C'u atau 

Liong-li tanpa berani mengangkat mukanya.


308

“Bagus, kalau begitu, suruh ia menari agar dapat kumelihatnya, 

adinda Souw Han!”

Pangeran Souw Han mengerutkan alisnya. Dia ingin agar 

kakaknya itu cepat pergi saja supaya tidak mengganggu Liong-li 

lebih lama lagi. Pula, diapun tidak yakin apakah benar Liong-li 

pandai menari, dan jangan-jangan gerak tarinya akan 

mengandung gerak silat sehingga akan menimbulkan kecurigaan 

pada kakaknya .

“Kakanda, ia baru saja datang, masih lelah. Biarlah lain hari saja 

ia menari.”

“Tidak mengapa, Pangeran. Hambapun senang sekali kalau 

paduka menggembirakan hati saudara tua paduka,” kata Liong-li. 

Ucapan ini saja sudah cukup melegakan hati Pangeran Souw 

Han.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengiringi tarianmu dengan 

yang-kim. Engkau tentu mau meniup sulingnya, bukan, 

kakanda?”

“Baik, Tapi, tarian apa yang akan ditarikan selirmu itu?”

“Hamba akan menarikan tarian rakyat dari daerah selatan, tarian 

para petani bekerja di sawah ladang,” kata Liong-li. 

Tak lama kemudian, terdengarlah paduan suara suling dan yang-

kim, dengan irama yang lambat dan halus. Liong-li sudah 

mengambil sebuah sabuk sutera merah panjang dari almari


309

pakaian atas petunjuk Pangeran Souw Han dan iapun mulailah 

menari, seirama suara suling dan yang-kim.

Dan kini kedua orang pangeran itu terpesona! Jangan Souw Cun 

yang penuh curiga itu, bahkan Souw Han yang sudah tahu bahwa 

“selirnya” itu seorang pendekar wanita, terbelalak kagum melihat 

betapa tubuh wanita itu meliuk-liuk lemah gemulai, menarik 

dengan amat indahnya! Bagaikan seorang bidadari saja selirnya 

itu!

Setelah selesai menari dan dua orang pangeran itu menghentikan 

permainan alat musik mereka, Pangeran Souw Cun bertepuk 

tangan memuji.

“Wah, sekarang aku mengerti mengapa engkau suka kepada 

selirmu ini, adinda. Ternyata suaranya merdu, permainan yang-

kimnya pandai, dan tariannya pun indah. Dan tubuhnya itu! 

Amboi, betapa akan nikmatnya malam nanti akan kaurasakan 

dalam pelukkannya, adindaku.”

“Kakanda! Harap jangan ganggu kami lagi dan kupersilakan 

kakanda meninggalkan kami!” Pangeran Souw Han berseru 

marah. Akan tetapi kakaknya hanya tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, hampir aku lupa! Engkau belum pernah bergaul 

dengan wanita, tentu ia akan mengajarimu, atau kalau engkau 

memang tidak suka, biarlah kalau malam ia bersamaku, kalau 

siang ia bersamamu. Dan engkau pun boleh minta tukar untuk 

malam ini dengan beberapa saja selirku. Boleh kau pilih dan 

berapa banyaknya pun boleh untuk ditukar dengan ia


310

“Kakanda! Pergilah! Keluar dari sini!” Pangeran Souw Han 

berteriak dan Pangeran Souw Cun tertawa, akan tetapi 

meninggalkan kamar itu dengan langkah tenang dan berlenggang 

penuh gaya.

Setelah pangeran itu pergi, Pangeran Souw Han menutup pintu 

kamar, lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Dadanya 

bergelombang, mukanya merah dan napasnya memburu karena 

dia tadi menahan amarahnya. 

Sejak tadi Liong-li mengamatinya, dan ia tersenyum lalu 

menghampiri dan duduk di atas kursi dekat dengan pangeran itu.

“Sudahlah, Pangeran. Tenangkan hati paduka. Bahaya telah 

lewat dan agaknya dia tidak mencurigai kita.

Pangeran Souw Han mengepal tinju. “Akan tetapi penghinaan-

penghinaan itu! Terutama sekali kepadamu! Sungguh tidak patut!”

Liong-li tersenyum. Memang tadi iapun merasa marah sekali. 

Pangeran Souw Cun tidak pantas menjadi pangeran, pantasnya 

menjadi seorang berandal, seorang penjahat yang tidak tahu 

malu, yang siap menukarkan selir-selirnya dengan selir adiknya, 

begitu cabul, begitu jorok dan hina.

“Bagaimanapun juga, paduka telah berhasil mengusirnya, 

Pangeran, dan kita aman sudah. Saya yakin dia tidak akan berani 

lagi datang mengganggu.”

“Hemm, aku belum begitu yakin. Engkau tidak mengenal siapa 

Pangeran Souw Cun itu, enci Cu. Kalau sudah menginginkan


311

seorang wanita, sebelum berhasil, akan dia lakukan segala daya, 

segala muslihat untuk mendapatkan wanita itu! Dan dia memiliki 

tukang-tukang pukul yang lihai. Engkau sekarang harus lebih 

berhati-hati, enci Cu, karena kulihat bahwa kakanda Souw Cun itu 

sangat menginginkanmu tadi. Selain si Bayangan Iblis, engkau 

akan menghadapi musuh lain, yaitu kakanda Souw Cun dan kaki 

tangannya.”

Liong-li tersenyum. “Saya tidak khawatir, Pangeran. Sudah 

terbiasa saya oleh kepungan orang-orang yang menjadi hamba 

nafsu iblis, dan selalu saya dapat mengatasi mereka.”

“Mudah-mudahan begitulah. Hanya pesanku, malam nanti, 

malam pertama engkau melakukan penyelidikan, engkau harus 

berhati-hati. Bagaimanapun juga, aku takkan dapat tidur karena 

gelisah sebelum engkau kembali ke kamar ini.”

“Aihh, kalau begitu, malam nanti bukan saya saja yang 

bergadang, akan tetapi paduka juga rupanya!” Liong-li berkelakar. 

“Sebaiknya sekarang paduka tidur mengaso agar malam nanti 

tidak terlalu payah.”

“Dan engkau sendiri? Nanti malam engkau akan melakukan tugas 

yang amat berat dan berbahaya! Engkaulah yang perlu 

mengaso.”

Liong-li tersenyum. “Aku tidak pernah tidur siang, Pangeran. Dan 

untuk memulihkan tenaga dan menguatkan tubuh, cukup dengan 

samadhi beberapa jam saja sambil mengatur pernapasan.”


312

“Kalau begitu, lakukanlah samadhimu, dan aku akan tiduran 

sambil membaca kitab.”

Liong-li tidak sungkan-sungkan lagi, melepaskan sepatunya dan 

naik ke atas pembaringan, lalu duduk bersila dan mengatur 

pernapasan. Pangeran Souw Han sendiri lalu membawa kitab 

sajak dan membaca kitab sambil rebahan di atas lantai yang 

bertilamkan permadani dan ditambah dengan beberapa buah 

bantal.

Mereka hanya berhenti ketika dua orang dayang mengetuk pintu 

kamar dan mengantar hidangan makan siang. Kemudian mereka 

melanjutkan kesibukan masing-masing dan sampai hari menjadi 

malam, sedikitpun juga sang pangeran tidak pernah mengganggu 

Liong-li, baik dengan perbuatan, kata-kata bahkan dengan 

pandang mata sekalipun. 

Dan kembali ada perasaan penasaran dan kecewa di dalam hati 

Liong-li. Ia merasa seperti menjadi sebuah kursi atau meja 

kembali. Sebuah kitab sajak agaknya jauh lebih menarik bagi 

pamgeran itu dari pada dirinya! Sungguh keterlaluan!

◄Y►

Malam tiba. Sejak sore tadi, sejak mereka makan malam 

bersama, sang pangeran sudah nampak gelisah dan berulang 

kali dia memperingatkan Liong-li agar berhati-hati. Kemudian, 

setelah mendekati tengah malam, Liong-li mengenakan pakaian 

serba hitam, menutupi pula mukanya dengan saputangan hitam, 

tidak lupa membawa Hek-liong-kiam yang disembunyikan di balik 

jubah hitam.


313

Melihat dandanan wanita itu, Pangeran Souw Han memandang 

dengan kagum, akan tetapi juga dengan sinar mata gelisah. 

“Engkau nampak gagah sekali, enci Cu, dan....... dan 

mengerikan. Kuharap engkau dapat segera menyelesaikan 

penyelidikanmu dan kembali ke kamar ini dengan selamat.”

“Tenangkanlah hati paduka dan tidurlah, Pangeran. Paling lambat 

besok pagi-pagi sebelum matahari terbit saya sudah akan 

kembali ke sini.”

“Engkau keluar melaksanakan tugas yang berat, menghadapi 

ancaman bahaya dan aku disuruh tidur enak-enak di sini? 

Bagaimana mungkin, enci Cu?”

“Akan tetapi, bukankah biasanya setiap malam paduka juga tidur 

seorang diri di sini dan tidak pernah gelisah?”

“Ketika itu belum ada engkau di sini enci Cu. Sudahlah, harap 

engkau berhati-hati dan aku ikut mendoakan.”

“Terima kasih, Pangeran. Aku pergi!” kata Liong-li yang sudah 

membuka daun jendela, dan sekali berkelebat, ia sudah lenyap 

dari depan pangeran itu, seperti seekor burung terbang saja lewat 

jendela yang terbuka. 

Pangeran Souw Han terbelalak, sejenak hanya melongo 

memandang ke arah jendela, lalu menarik napas panjang dan 

menutupkan kembali daun jendela. Sudah sering dia melihat 

jagoan-jagoan istana bermain silat dan memamerkan kelihaian 

mereka, akan tetapi baru sekarang dia melihat ada gadis dapat 

menghilang begitu saja dari depan matanya.


314

Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah 

mencapai tingkat tinggi sekali, Liong-li melompat ke luar jendela 

dan langsung saja tubuhnya melayang ke atas genteng, Begitu 

kedua kakinya menginjak genteng bangunan, ia mendekam dan 

sepasang matanya yang tajam menyapu keadaan sekelilingnya. 

Sunyi dan cuacanya remang-remang karena bulan sepotong 

sudah naik tinggi.

Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di atas genteng 

bangunan-bangunan besar di kompleks istana itu, ia lalu 

mengeluarkan sehelai saputangan hitam dan ditutupnya mukanya 

bagian bawah. Hanya dahi yang putih halus dan sepasang mata 

yang tajam mencorong saja yang nampak dan ia sengaja 

membiarkan sebagian anak rambut menutupi dahi. Takkan ada 

orang yang mengenal wajahnya sekarang.

Bagaikan seekor burung walet saja, Liong-li meronda di atas atap 

kelompok rumah besar itu. Tubuhnya berkelebat dan karena ia 

memakai pakaian hitam, maka gerakannya sukar diikuti pandang 

mata, apa lagi dari bawah.

Setiap kali meloncat dari satu ke lain wuwungan, ia mendekam 

dan mengintai sampai puluhan menit lamanya. Hawa udara 

malam itu dingin sekali, akan tetapi tidak dirasakan oleh Liong-li. 

Ia mengintai dan menanti dengan penuh kesabaran. Beberapa 

kali ia mendengus lirih dan mengomeli diri sendiri karena 

pikirannya selalu teringat kepada Pangeran Souw Han! Gila 

benar, ia sudah tergila-gila kepada pangeran itu!


315

Bukan main pangeran itu, dan kalau dipertimbangkan, tidak bisa 

ia terlalu menyalahkan perasaannya yang tertarik kepada 

pangeran itu. Baru pertama kali berjumpa, melihat wajahnya yang 

tampan, sikapnya yang halus dan sopan, budi bahasanya yang 

lembut itu saja sudah membuat ia kagum. Ketika mereka lebih 

dekat, ia mendapat kenyataan bahwa bukan itu saja kelebihan 

pangeran ini. Juga seorang sasterawan, seorang seniman, dan 

baik budi, ramah dan penuh perhatian! Betapa mudahnya 

membiarkan hati ini jatuh cinta kepada Pangeran Souw Han, ia, 

melamun. 

Huh, engkau bertugas, menghadapi urusan penting yang 

berbahaya, bukan waktunya untuk melamunkan yang muluk-

muluk dan yang mesra-mesra! Demikian ia menegur diri sendiri 

dan kembali perhatiannya ia tujukan ke luar, pandang matanya 

mengamati dengan tajam keadaan sekelilingnya.

Tiba-tiba jantungnya berdebar. Sesosok bayanpan berkelebat 

jauh di depan sana, di atas wuwungan atap bangunan lain. 

Sekarang saatnya menangkap Si Bayangan lblis, pikirnya dan 

dengan mengerahkan gin-kangnya, Liong-li meloncat dan berlari 

cepat dengan loncatan-loncatan jauh menuju ke atap itu.

Bayangan hitam itu agaknya hendak membuka genteng untuk 

melakukan pengintaian ke bawah. Terkejutlah bayangan itu ketika 

tiba-tiba ada angin menyambar dan sebuah tangan meluncur ke 

arah pundaknya. Akan tetapi, ternyata bayangan itu memiliki 

gerakan yang cepat.


316

Tubuhnya sudah telentang dan bergulingan, lalu meloncat berdiri 

dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Dia seorang yang 

tubuhnya tinggi besar, pakaian serba hitam dan mukanya tertutup 

topeng merah yang ada dua lubang kecil untuk matanya.

Sejenak Liong-li dan orang itu berdiri saling pandang. Sepasang 

mata di balik kedok itu mencorong pula seperti mata Liong-li. 

Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, bayangan hitam berkedok 

itu menerjang ke arah Liong-li. 

Dalam cuaca yang remang-remang itu, Liong-li masih dapat 

melihat kilauan sebatang pedang yang menusuk perutnya. Iapun 

mengelak dengan loncatan ke samping dan begitu sebelah 

kakinya turun ke atas genteng, kaki yang lain sudah melayang 

dengan tendangan layang ke arah kepala lawan! Orang itu 

terkejut, namun dapat pula mengelak. 

Melihat gerakan orang, Liong-li maklum bahwa lawannya cukup 

lihai, namun tidak cukup untuk membuat ia harus mencabut 

pokiamnya (pedang pusakanya). Kalau tidak perlu sekali, ia tidak 

akan mencabut Hek-liong-kiam, karena sekali dicabut, ada 

kemungkinan lawan akan mengenal pedang itu dan sekali 

pedangnya dikenal, maka dirinyapun pasti akan dikenal sebagai 

Hek-liong-li! Iapun mendesak dengan pukulan dan tendangan di 

antara kilatan pedang lawan.

Bayangan hitam yang tinggi besar itu agaknya tidak begitu 

bernafsu untuk berkelahi terus. Memang besar bahayanya kalau 

berkelahi terlalu lama di atas wuwungan, karena tentu akan


317

menarik perhatian para penjaga keamanan dan kalau mereka 

melihatnya, tentu keadaan menjadi berbahaya. 

Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, tiba-tiba pedang itu 

menyambar dengan ganasnya ke arah leher Liong-li. Pendekar 

wanita ini terkejut. Ini merupakan serangan yang amat 

berbahaya, maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang sambil 

meloncat dan berjungkir balik sampai tiga kali sebelum tubuhnya 

turun kembali ke atas genteng. Akan tetapi, ketika ia sudah turun, 

dilihatnya lawannya tadi melarikan diri dengan cepat ke arah 

timur. 

Iapun mengejar sambil mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi 

bayangan itu lenyap di balik pagar tembok yang memisahkan 

istana bagian pria dengan istana bagian wanita. Bayangan itu 

datang dari balik pagar, dari istana bagian wanita! Sejenak ia 

berdiri termenung. Siapakah bayangan itu? Seorang wanitakah? 

Akan tetapi tubuhnya begitu tinggi besar! Iapun teringat akan 

keterangan Pangeran Souw Han bahwa Permaisuri mempunyai 

banyak jagoan yang lihai!

Ia lalu berloncatan lagi dan bersembunyi di balik sebuah 

wuwungan yang tinggi sambil mengenang peristiwa yang baru 

saja terjadi. Mungkin seorang anak buah permaisuri, pikirnya. 

Bagaimanapun juga, harus dicatat bahwa ada orang 

mencurigakan di bagian puteri. Bukan tidak mungkin pemimpin 

gerombolan, yaitu Kwi-eng-cu, berada di bagian puteri, mungkin 

sang permaisuri sendiri! Siapa tahu?


318

Kini ia mendekam di atas wuwungan tempat tinggal Pangeran 

Souw Cun. Ia sudah mempelajari letak tempat tinggal para 

pangeran dari Pangeran Souw Han, maka kini ia dapat 

mengetahui bahwa ia berada di atas atap bangunan tempat 

tinggal Pangeran Souw Cun.

Dengan sabar ia mendekam dan mengintai di situ. Akhirnya, 

lewat tengah malam, dia melihat sesosok bayangan meloncat 

keluar dari dalam bangunan itu! Sekali ini, bayangan yang juga 

berpakaian serba hitam, bertubuh tegap tidak begitu tinggi, akan 

tetapi juga mukanya ditutup kedok yang berwarna hitam pula 

walaupun berbeda modelnya dengan yang tadi.

Liong-li cepat menyergap untuk menangkapnya. Karena ia 

muncul dengan tiba-tiba dan penuh perhitungan karena tidak mau 

gagal lagi, Liong-li berhasil mencengkeram pundak orang itu.

“Ihhh......!” Liong-li berseru lirih saking kagetnya ketika jari-jari 

tangannya bertemu dengan pundak yang keras dan licin seperti 

besi sehingga cengkeramannya hanya merobek baju dan 

meleset!

“Ahhhh.......!” Orang itu agaknya juga terkejut dan kakinya 

menendang ke arah perut Liong-li. Namun Liong-li kini 

mengerahkan tenaga dan sengaja menangkis untuk mengukur 

tenaga lawan.

“Dukkk......!” Orang itu kembali mengeluarkan seruan kaget dan 

tubuhnya terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia sudah meloncat 

ke balik wuwungan dan ketika Liong-li cepat mengejar, bayangan 

itu sudah lenyap, mungkin turun kembali ke dalam bangunan itu!


319

Liong-li termenung sejenak! Orang itu jelas bukan yang pertama 

tadi, akan tetapi juga amat lihai! Kalau yang pertama tadi 

menghilang di balik tembok istana bagian puteri, kini orang kedua 

ini menghilang ke dalam bangunan tempat tinggal Pangeran 

Souw Cun! Hemm, siapakah di antara mereka itu Kwi-eng-cu? 

Ataukah hanya anak buah saja? Siapakah yang memiliki peran 

dalam urusan rahasia Si Bayangan Iblis ini? Sang Permaisuri 

ataukah Pangeran Souw Cun?

Kembali Liong-li melakukan perondaan dan pengintaian, Namun, 

tidak ada sesuatu terjadi, tidak ada bayangan hitam muncul. 

Ketika dari atas wuwungan ia melihat di ufuk timur sana ada 

cahaya merah sang matahari, masih amat lembut, ia mengambil 

keputusan untuk kembali ke tempat tinggal Pangeran Souw Han 

sebelum fajar menyingsing. Akan tetapi tiba-tiba ia menyelinap ke 

balik wuwungan. 

Dari arah barat nampak sesosok bayangan hitam, berlari cepat 

sekali, berloncatan dari wuwungan ke wuwungan yang lain. Kini 

bayangan itu tubuhnya tinggi kurus, berbeda pula dengan yang 

tadi. Liong-li tidak menyerang, hanya berniat membayangi. Akan 

tetapi, bayangan yang satu inipun, lihai sekali. Agaknya tahu 

bahwa ada orang yang membayanginya, maka tiba-tiba saja 

tubuhnya meluncur ke arah Liong-li yang membayangi sambil 

bersembunyi dan menyelinap di bilik wuwungan, Tiba-tiba si 

bayangan hitam yang tinggi kurus sudah menerjangnya dari atas 

seperti seekor burung garuda!

“Hemm.......!” Liong-li menyambut pukulan kedua tangan terbuka 

itu dengan kedua tangannya sendiri yang juga dibuka


320

“Dessss.......!”Akibatnya, tubuh Liong-li terjengkang dan untung ia 

masih mampu berjungkir balik sehingga tidak terbanting! Akan 

tetapi lawannya yang tadi menyerangnya dari atas juga terpental 

ke belakang dan seperti juga Liong-li, orang tinggi kurus ini 

berjungkir balik dan dapat hinggap di atas genteng tanpa cidera. 

Keduanya sejenak saling pandang dari balik topeng, kemudian 

orang tinggi kurus itu, menggerakkan kedua tangan. Benda-

benda kecil hitam menyambar ke arah tubuh Liong-li, dari kepala 

sampai kaki! 

Pendekar ini kembali terkejut dan maklum betapa berbahayanya 

senjata-senjata rahasia yang menyambar dengan cepat itu. Iapun 

menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak dengan 

loncatan ke samping, akan tetapi tangannya menyambar, dan ia 

berhasil menangkap sebuah benda hitam yang ternyata hanyalah 

pecahan genteng! 

Senjata seperti ini dapat dipergunakan setiap orang dan tidak 

dapat ia jadikan bukti untuk kelak mengenal siapa lawannya.” Ia 

melihat tubuh lawan sudah melayang menjahuinya. Dengan 

gemas ia lalu menggerakkan tangan, mengembalikan “senjata 

rahasia” itu ke arah pemiliknya. Lalu ia mengejar.

Ternyata orang ketiga ini malah lebih lihai dibandingkan dua 

orang pertama. Tanpa menoleh, sambil tetap berlari, ia 

menjulurkan tangan ke belakang dan menangkis pecahan 

genteng yang menyambarnya. Liong-li mengejar terus dan 

melihat orang itu lenyap di balik wuwungan sebuah bangunan, 

yang ia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, yaitu 

seorang di antara mantu kaisar!


321

Liong-li tertegun. Malam ini ia bertemu tiga orang yang lihai dan ia 

tahu bahwa di istana ini berkeliaran banyak jagoan yang lihai, 

orang-orang berkedok yang penuh rahasia. Akan tetapi ia tidak 

tahu yang mana Si Bayangan Iblis dan di mana sembunyinya. 

Betapapun juga, ia merasa puas karena malam pertama ini ia 

dapat bertemu dengan tiga orang berkedok yang melarikan diri ke 

arah tiga tempat yang berlainan. Iapun cepat pulang dengan cara 

menyelinap ke sana-sini dan yakin bahwa tidak ada orang yang 

tahu ketika ia melayang turun ke tempat tinggal Pangeran Souw 

Han. Ia membuka daun jendela tanpa menimbulkan suara, 

meloncat ke dalam dengan hati-hati agar tidak mengejutkan 

Pangeran Souw Han yang ia tahu pasti masih tidur nyenyak.

“Enci Cu.......! Akhirnya engkau kembali juga......!”

“Ehhh......” Liong-li melepas sapu tangan dari mukanya dan 

memandang kepada pangeran itu dengan mata terbelalak. 

Kiranya pangeran itu masih duduk di atas lantai dengan sebuah 

kitab di tangannya. “Pangeran, sepagi ini paduka sudah bangun 

dari tidur?”

Pangeran itu tersenyum. Masih ada kegelisahan yang bersisa di 

sudut matanya, namun senyumnya cerah, wajahnya 

membayangkan kegembiraan. “Enci Cu, bagaimana mungkin aku 

dapat tidur? Semalam suntuk aku gelisah menanti-nanti 

kembalimu!”

“Aduh, pangeran! Paduka bergadang pula semalam suntuk?” Ada 

rasa haru dan gembira menyelinap di dalam hati wanita itu.


322

Bagaimana hatinya tidak akan terharu dan bangga, juga gembira 

melihat kenyataan betapa pangeran yang ganteng ini begitu 

mengkhawatirkan dirinya sehingga semalam suntuk tidak tidur 

untuknya dan selalu mengharapkan kembalinya? Ini hanya 

mempunyai satu arti, yaitu bahwa Pangeran Souw Han 

mencintanya!

Pangeran itu agak tersipu. “Sudah kuusahakan untuk 

memejamkan mata, namun sia- sia. Bahkan membacapun tidak 

dapat kucerna, karena pikiran ini selalu membayangkan engkau 

berada dalam ancaman bahaya besar. Enci Cu, kini hatiku 

demikian lega dan aku merasa lelah dan mengantuk sekali.”

“Pangeran, paduka harus tidur. Kasihan sekali, tidurlah di atas 

pembaringan itu, pangeran, dan saya.......” Liong-li tersenyum dan 

menghentikan ucapannya, lalu menghampiri.

Pangeran itu telah tertidur! Tertidur dengan tarikan napas yang 

halus dan mulutnya masih mengembangkan senyum, tangannya 

masih memegang sebuah kitab. Dengan lembut, Liong-li 

mengambil kitab yang hampir terlepas di tangan kiri itu, lalu 

mengambil selimut dari atas pembaringan karena hawa udara 

yang dingin menembus ke dalam kamar, lalu dengan hati-hati ia 

menyelimuti tubuh pangeran itu dari kaki sampai ke leher. 

Melihat betapa pangeran itu tidur pulas sekali, dan kepalanya 

tidak berbantal, ia lalu mengambil sebuah bantal dari 

pembaringan, dan dengan hati-hati ia memasukkan lengan kiri ke 

bawah leher sang pangeran, mengangkat kepala itu dan 

mendorongkan bantal ke bawah kepala. Kepala yang berada di


323

rangkulan lengan kiri itu ketika ia angkat, berada dekat sekali 

dengan mukanya. Maka pangeran itu nampak demikian tampan, 

demikian lembut. 

Perasaan haru dan mesra menyelinap di dalam hati Liong-li 

membuat ia makin menunduk dan hampir ia mencium pipi atau 

bibir itu. Akan tetapi, keteguhan hatinya bergerak menolak dan 

menentang. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang! 

Ia perlahan-lahan menurunkan kepala itu ke atas bantal, lalu 

cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dadanya masih tergetar oleh 

gairah dan ia cepat melangkah mundur. Ia tidak boleh berada di 

sini selagi sang pangeran tidur, bukan saja ia tidak mau 

mengganggu pangeran yang kelelahan dan kurang tidur itu, juga 

ia menganggap terlalu berbahaya. Ia juga takkan dapat 

beristirahat kalau berada di kamar itu, harus selalu berjuang 

melawan gairah nafsunya sendiri.

Setelah memandang sekali lagi ke arah wajah itu dan tersenyum, 

dengan pandang mata menjadi lembut mengandung kasih 

sayang. Liong-li berganti pakaian dan meninggalkan kamar itu, 

menutupkan pintunya perlahan dan iapun pergi ke ruangan para 

dayang. 

Pagi itu lima orang dayang telah terbangun dan sedang sibuk 

bekerja. Ada yang menyiapkan sarapan pagi untuk pangeran, ada 

yang mencuci pakaian, membersihkan lantai, membersihkan 

semua perabot rumah, menyapu pekarangan dan sebagainya. 

Melihat sang “selir” pangeran sudah terbangun sepagi itu, mereka 

merasa heran, akan tetapi menyambut majikan baru ini dengan


324

hormat dan ramah. Mereka menghaturkan selamat pagi dan 

menawarkan sarapan pagi, tidak tahu apakah selir pangeran itu 

akan sarapan pagi hersama pangeran nanti kalau sudah bangun 

tidur, atau makan pagi sendirian.

“Aku ingin sarapan di sini saja, beberapa butir telur dan bubur, 

dan air teh panas. Juga tolong sediakan air hangat, aku ingin 

mandi. Pangeran masih tidur, harap jangan membuat gaduh 

dekat kamar.”

Liong-li mandi air hangat dan merasa segar kembali walaupun 

semalam ia tidak tidur sama sekali. Dan sarapan itu membuat 

kekuatan tubuhnya pulih, akan tetapi sehabis makan, datanglah 

rasa kantuk.

Selagi ia berniat untuk kembali ke kamar dan melepas kantuknya, 

tiba-tiba muncul Pangeran Souw Cun bersama dua orang 

pengawalnya, dua orang laki-laki berusia empatpuluh tahunan 

yang berpakaian ringkas dan bertubuh tegap. 

Lima orang dayang tentu saja terkejut dan mereka segera 

memberi hormat dengan membungkuk hampir berlutut. Akan 

tetapi Souw Cun tidak memperdulikan mereka, melainkan 

memandang kepada Liong-li yang sedang duduk. Sikapnya tidak 

seperti kemarin, ramah gembira. Kini wajahnya berkerut marah.

“Nah ini ia orangnya! Tangkap ia!” perintahnya kepada dua orang 

pengawal. Agaknya ia sudah memberitahu kepada dua orang 

pengawalnya bahwa yang akan ditangkap adalah seorang wanita 

yang memiliki kepandaian tinggi, agar mereka berdua berhati-

hati.


325

Kini melihat bahwa yang harus mereka tangkap itu seorang 

wanita yang cantik dan lembut, dua orang pengawal itu saling 

pandang dan merasa heran. Akan tetapi mereka tidak berani 

melanggar perintah majikan mereka dan sekali meloncat mereka 

sudah berada di kanan kiri Liong-li dan sekali menggerakkan 

tangan mereka sudah menangkap lengan Liong-li. Cengkeraman 

mereka itu kuat sekali. 

Kalau Liong-li menghendaki, tentu saja ia akan mampu membela 

diri, bahkan merobohkan dua orang laki-laki itu, akan tetapi ia 

tidak berani membocorkan rahasia dirinya, karena hal itu bukan 

saja akan membahayakan dirinya sendiri, bahkan juga 

membahayakan Pangeran Souw Han. Maka, biarpun 

cengkeraman itu menyakitkan lengannya, ia tidak mau 

mengerahkan tenaga sin-kang dan bahkan merintih kesakitan.

“Auhhh......, lepaskan... ah, apa kesalahanku, Pangeran? 

Lepaskan saya!”

Ketika merasa betapa tangan mereka mencengkeram sebuah 

lengan yang lunak dan tidak bertenaga, dua orang pengawal itu 

merasa heran dan tentu saja mereka segera mengendurkan 

cengkeraman. Mereka adalah jagoan-jagoan, tentu saja merasa 

malu kalau harus menggunakan kepandaian untuk menghadapi 

seorang wanita yang lemah.

Hemm, engkau mata-mata busuk! Diam kau!” bentak Pangeran 

Souw Cun kepada. Liong-li, kemudian mengangguk kepada dua 

orang pengawalnya, “Bawa ia!”


326

Liong-li meronta dan pura-pura ketakutan, namun dua orang 

pengawal itu menarik dan setengah menyeretnya pergi dari situ, 

diikuti oleh Pangeran Souw Cun. Diam-diam Liong-li merasa 

girang karena ia mengharapkan terbongkarnya rahasia Kwi-eng-

cu. Apakah pangeran congkak ini yang memegang peran dalam 

rahasia Si Bayangan Iblis? 

Ia tentu akan tahu nanti. Ia tidak khawatir karena kalau tiba saat 

terakhir, di mana nyawanya terancam, tentu ia akan 

memberontak dan membela diri. Bahkan sekarangpun kalau ia 

mau, ia dapat menjerit dan tentu Pangeran Souw Han akan 

menolongnya. Akan tetapi ia sengaja tidak menjerit, pura-pura 

tidak berani menjerit seperti halnya lima orang dayang itu. Belum 

saatnya ia membutuhkan pertolongan Pangeran Souw Han.

Liong-li dibawa ke dalam tempat tinggal Pangeran Souw Cun, 

dan ketika mereka memasuki ruangan dalam, dua orang 

pengawal itu mendorongnya masuk. Dorongan itu cukup kuat dan 

Liong-li terpaksa harus pura-pura tersungkur ke atas lantai 

ruangan itu, merintih dan mengaduh.

“Heh-heh-heh, nona. Tidak perlu lagi bermain sandiwara seperti 

itu, heh-heh!” terdengar suara parau. 

Liong-li pura-pura terkejut ketakutan, mengangkat mukanya dan 

memandang dalam keadaan masih terduduk di atas lantai. 

Kiranya di dalam kamar itu terdapat seorang laki-laki tua berusia 

enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang sasterawan. 

Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok. Kakek ini adalah Bouw


327

Sian-seng, yaitu guru yang mengajarkan sastera kepada 

Pangeran Souw Cun. 

“Heh-heh, Pangeran. Ia hanya pura-pura. Jangan paduka terkena 

tipuannya, heh-heh!” katanya lagi. 

Kini dia sudah bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua 

tangan yang berlengan lebar itu. Pakaiannya mewah, bahkan ada 

hiasan emas pada kancing bajunya, dan juga pada rambutnya. 

Akan tetapi Liong-li melihat betapa kumis dan jenggot orang ini 

kotor dan tidak terawat baik, tanda bahwa di balik kemewahan 

pakaian itu, sebenarnya dia seorang yang jorok.

“Ketika pertama kali bertemu, akupun sudah menduga begitu, 

Sian-seng. Ia tentu berbahaya sekali, sudah berhasil 

menyelundup ke istana!” Pangeran itu kini duduk di atas kursi, 

dan dua orang pengawalnya berdiri di belakangnya, siap 

membela majikan mereka. Hanya ada empat orang, pikir Liong-li 

yang masih menangis lirih. Dua orang pengawal itu tidak ada 

artinya baginya. Yang perlu dihadapi dengan hati-hati adalah 

pangeran itu sendiri dan agaknya kakek inipun menyembunyikan 

keadaan dirinya yang sebenarnya. 

Ia mengingat-ingat siapakah gerangan kakek ini, apakah seorang 

tokoh kang-ouw, tokoh dunia sesat? Ia tidak pernah bertemu 

dengan kakek ini. Dia inikah yang menjadi dalang keributan Si 

Bayangan Iblis itu? Semua kemungkinan ada selama rahasia itu 

belum dapat ia pecahkan.

“Sudah, tidak perlu berpura-pura menangis, pura-pura sebagai 

seorang wanita lemah!” bentak Pangeran Souw Cun. “Hayo


328

mengaku saja terus terang siapa engkau sebenarnya, dan apa 

maksudmu menyelundup ke dalam istana?”

Dengan air mata bercucuran, Liong-li mengangkat muka 

memandang pangeran itu. “Saya..... hamba...... tidak mengerti 

apa maksud paduka...? Hamba bernama Siauw Cu, hamba 

tadinya seorang dayang Yang Mulia Permaisuri...... hamba lalu 

diberikan kepada Pangeran Souw Han..... hamba hanya 

melaksanakan perintah.... dan semua sudah paduka ketahui.....”

“Bohong!” Pangeran Souw Cun membentak marah. “Semua itu 

bohong! Engkau tentu mata-mata yang diselundupkan ke sini!”

“Hamba tidak berbohong......!”

“Heh-heh, ia memang pandai bersandiwara, Pangeran. Tentu ada 

hubungannya dengan gadis yang bekerja di dapur istana itu....... 

heh-heh......”

Diam-diam Liong-li terkejut. Kakek bongkok itu ternyata cerdik 

sekali. Menghubungkan ia sebagai dayang dengan gadis di dapur 

yang tentu dimaksudkan Akim, gadis penyamarannya pula.

“Hayo katakan, engkau tentu mengenal. Akim, gadis pelayan di 

dapur itu, bukan?”

“Hamba tidak...... tidak tahu, hamba tidak mengenal siapapun di 

dapur istana.”


329

“Heh-heh-heh, Pangeran, tidak ada cara yang lebih manjur untuk 

memaksa seorang wanita muda mengaku dosanya dari pada 

mengancamnya dengan perkosaan!”

“Hayo mengaku kau! Kalau tidak, aku akan menyuruh beberapa 

orang pengawalku untuk memperkosamu bergiliran!” bentak pula 

Pangeran Souw Cun, lalu dia menghampiri Liong-li, tangannya 

meraih dan mencengkeram baju wanita itu di bagian dada. Liong-

li mempertahankan bajunya, berlagak ketakutan.

“Jangan, Pangeran...... ah, jangan......!”

Pangeran Souw Cun mengerahkan tenaga menarik baju itu 

dengan sentakan kuat. “Brett......!” Baju itupun robek dan 

nampaklah dada Liong-li yang sengaja tidak mempertahankan 

bajunya. Ia hanya dapat menangis dan menutupi dada dengan 

kedua tangannya, menarik-narik baju yang terobek itu untuk 

menutupi dadanya yang terbuka.

“Ampun, Pangeran. Jangan perkosa saya...... ah, mengapa 

paduka melakukan ini kepada hamba? Hamba sudah menjadi 

selir Pangeran Souw Han, beliau amat mencinta hamba...... dan 

hamba bekas dayang kesayangan Yang Mulia Permaisuri. Kalau 

hamba diperkosa di sini, kalau hamba dibunuh, tentu Pangeran 

Souw Han dan Permaisuri akan marah sekali......, jangan hamba 

yang tidak berdosa ini disiksa......”

Pangeran Souw Cun bermain mata dengan Bouw Sian-seng. 

Kakek itu memberi isyarat dengan gelengan kepala. Mereka 

berdua tahu betapa benarnya ucapan wanita itu.


330

Kalau sampai ia diperkosa atau dibunuh, tentu akan mereka 

hadapi akibatnya yang cukup hebat dan menambah kacau 

keadaan. Tentu Pangeran Souw Han akan marah sekali, juga 

permaisuri takkan tinggal diam. Hal itu amat merugikan. 

“Huh, siapa yang mau memperkosa seorang mata-mata, seorang 

wanita palsu seperti engkau? Aku hanya ingin memberi hajaran 

agar engkau mengaku!” Lalu kepada dua orang pengawalnya, 

Pangeran Souw Cun berkata, “Hajar ia dengan sepuluh kali 

cambukan!”

Dua orang pengawal yang sudah biasa bertindak sebagai algojo 

itu cepat maju. Seorang dari mereka memaksa Liong-li untuk 

berlutut dan bertiarap dengan punggung dan pinggul telanjang, 

dan seorang lagi lalu mengayun sebatang cambuk.

“Tarrr......!“ Pecut panjang itu untuk pertama kali menyambar dan 

menyengat punggung Liong-li. 

Nampak guratan merah pada kulit yang putih mulus itu. Liong-li 

menjerit dan merintih kesakitan. Akan tetapi cambuk itu 

menyambar lagi, dua kali, tiga kali, mengenai pinggul, punggung 

sampai lima kali! Liong-li terkulai, dan Pangeran Souw Cun 

mengangkat tangan.

“Cukup!” Dan cambukan keenam tidak dilakukan. Punggung dan 

pinggul yang berkulit putih mulus itu kini penuh jalur-jalur merah, 

bahkan di sana-sini terluka, kulitnya pecah berdarah.

“Engkau masih belum mau mengaku siapa dirimu sebenarnya 

dan siapa yang memperalat kamu menjadi mata-mata. Kalau


331

tidak mau mengaku, akan kusuruh cambuk lagi sampai engkau 

mampus!” kata Pangeran Souw Cun, kini kata-katanya tidak 

“terpelajar” lagi, melainkan kasar.

Liong-li tidak bermain sandiwara kalau ia menyeringai kesakitan. 

Memang bukan main nyerinya dicambuki seperti itu. Perih, panas 

dan rasa nyeri hampir tak tertahankan. Ia menggeleng kepala. 

“Hamba tidak bohong, hamba Siauw Cu....... dayang 

permaisuri....... selir Pangeran Souw Han.......” 

“Heh-heh, Pangeran. Saya mempunyai cara lain yang membuat 

ia harus mengaku. Ia tidak akan dapat menahan rasa nyerinya!” 

Terbongkok-bongkok Bouw Sian-seng menghampiri Liong-li, lalu 

menjambak rambut pada pelipis kanan kiri dengan kedua 

tangannya.

“Nona, kalau engkau tidak mau mengaku, akan kucabut rambut 

ini dari pelipismu sampai kulitnya terkupas! Katanya sambil 

menyeringai dan dia mulai menarik rambut di kedua pelipis itu.

Liong-li terbelalak saking nyerinya. Kiut miut rasanya, rasa nyeri 

yang menyengat sampai ke ubun-ubun kepalanya. Hampir saja ia 

menggerakkan tangan. Sekali pukul saja tentu ia akan dapat 

membunuh kakek yang menyiksanya ini. Akan tetapi belum 

saatnya. Ia tahu bahwa kakek itu hanya menggertak. Pelipisnya 

tidak akan robek. Mereka tidak akan berani membunuhnya.

“Saya...... saya tidak..... tidak bohong.......”

“Kanda Souw Cun......!” Tiba-tiba terdengar teriakan di luar pintu.


332

Mendengar ini, Bouw Sian-seng cepat melepaskan rambut di 

kedua pelipis Liong-li dan pendekar wanita inipun jatuh terkulai, 

merintih lirih, akan tetapi hatinya lega bukan main mendengar 

suara Pangeran Souw Han di pintu.

“Nah, dia datang......” bisik Souw Cun, pangeran yang kini 

berbalik merasa khawatir.

“Katakan saja ia kurang ajar terhadap paduka, memandang 

rendah......” bisik Bouw Sian-seng.

Daun pintu kamar itu didorong dari luar dan masuklah Pangeran 

Souw Han dengan muka pucat. Dia segera melihat Liong-li yang 

mendekam di atas lantai dengan tubuh bagian belakang telanjang 

dan berdarah.

“Ya Tuhan! Kanda Souw Cun, apa yang kaulakukan ini? Siauw 

Cu......!” Pangeran Souw Han menubruk dan merangkul Liong-li. 

Wanita ini menangis tersedu-sedu.

“Pangeran.......”

Pangeran Souw Han menanggalkan baju luarnya dan 

menyelimuti tubuh Liong-li dengan jubahnya, menariknya bangkit 

berdiri. Dengan lunglai wanita itu bersandar kepadanya dan 

Pangeran Souw Han merangkulnya, kemudian Pangeran Souw 

Han kembali memandang Pangeran Souw Cun dengan mata 

bernyala karena marah.

“Kanda Souw Cun, apa artinya ini? Engkau..... engkau sudah 

berani menghinaku! Siauw Cu ini selirku, kenapa engkau berani


333

menangkapnya dan...... dan apa yang kaulakukan kepadanya ini? 

Jawab! Kenapa? Atau kulaporkan kepada Ibunda Permaisuri, 

kepada Sribaginda?” 

Dan sinar matanya yang penuh kemarahan itu juga memandang 

kepada Bouw Sian-seng yang berdiri agak jauh sambil 

menundukkan mukanya. Dua orang pengawal Pangeran Souw 

Cun juga diam seperti patung. Mereka tidak merasa khawatir 

karena mereka hanyalah pelaksana perintah Pangeran Souw 

Cun.

Pangeran Souw Cun tersenyum. “Adikku. yang baik, jangan salah 

paham. Aku sama sekali tidak bermaksud menghinamu. Akan 

tetapi sudah kuperingatkan engkau. Wanita ini..... ia bersikap 

kurang ajar kepadaku, bahkan ia berani merayuku......” 

“...... tidak benar, Pangeran.....!” Liong-li Membantah.

“Ha-ha-ha, tentu saja ia ingkar dan tidak berani mengaku. Akan 

tetapi, Bouw Sian-seng, ini dan dua orang pengawalku menjadi 

saksinya!”

Souw Han menegakkan kepalanya. Kalau dia melaporkan kepada 

Permaisuri dan Kaisar tentu akan terjadi heboh, dan kakak tirinya 

yang licik ini dapat mengajukan tiga orang itu sebagai saksi dan 

dia akan tersudut.

“Hemm, kanda Souw Cun. Aku mengenal selirku, ia tidak 

mungkin berani berbuat seperti itu! Siauw Cu, katakan, apa yang 

telah dilakukan kanda Souw Cun kepadamu! Engkau tidak...... 

tidak dihina, di...... nodai, bukan? Aku tidak terima begitu saja!”


334

Liong-li maklum bahwa Pangeran Souw Han marah sekali. Tidak 

baik kalau dibiarkan begini. Berbahaya sekali bagi pangeran yang 

disayangnya itu.

“Tidak, Pangeran..... saya....... saya hanya dicambuk... lima kali!” 

kata Liong-li lirih.

“Mana orangnya yang mencambukmu?”

Liong-li memandang kepada dua orang pengawal yang masih 

berdiri tegak.

“Mereka itu? Jahanam busuk, kalian harus menerima 

pembalasan!” Pangeran Souw Han mengambil cambuk yang 

masih terletak di situ, lalu menggunakan cambuk itu untuk 

mencambuki dua orang pengawal. 

Dua orang pengawal itu tidak berani melawan, bahkan tidak 

berani mengelak, terpaksa menerima cambukan-cambukan dari 

pangeran yang sedang marah dan mengamuk itu. Sampai cabik-

cabik pakaian mereka dan ada jalur-jalur merah di muka mereka.

“Cukup dinda Souw Han! Selirmu dicambuk lima kali dan engkau 

sudah membalas belasan kali!”

Souw Han melempar cambuk itu ke atas lantai. Mukanya merah 

karena marah dan dia menuding kepada kakaknya dengan mata 

melotot.

“Untung bukan engkau yang mencambuki Siauw Cu, kanda Souw 

Cun. Kalau engkau sekali pun, pasti akan kubalas! Tak seorang


335

pun boleh menghina Siauw Cu, berarti menghina aku. Kanda tahu 

bahwa aku tidak pernah memusuhimu atau siapapun. Aku pura-

pura tidak tahu saja akan segala kebusukkan yang terjadi di sini! 

Aku tahu bahwa engkau juga bersaing memperebutkan 

kekuasaan. Aku tidak perduli semua itu, akan tetapi mengapa 

engkau berani mengganggu Siauw Cu?”

Liong-li melihat dari sudut matanya betapa Pangeran Souw Cun 

bertukar pandang dengan Bouw Sian-seng. Ia tidak perlu melapor 

kepada Pangeran Souw Han bahwa Bouw Sian-seng tadi 

menyiksanya. Kakek itu berbahaya sekali.

“Adikku Souw Han. Engkau lebih memberatkan selirmu dari pada 

kakakmu, aku? Aih, sudahlah. Maafkan. Kalau tadi aku 

menghukumnya adalah karena aku merasa dihina, dan bukan 

karena ia hanya seorang bekas dayang, seorang janda...... dan 

ah, terus terang saja tadinya kami mencurigai selirmu ini. Kami 

mengira bahwa ia seorang mata-mata yang menyelundup. Aku 

melakukannya karena sayang kepadamu adikku.

“Kalau ia mata-mata yang menyelundup ke dalam istana dan 

menipu Ibunda Permaisuri dan juga menipumu, bukankah itu 

berbahaya sekali, dinda? Karena itu, hukuman cambuk tadi 

sesungguhnya hanya untuk mengujinya, apakah ia seorang mata-

mata berbahaya yang memiliki kepandaian tinggi dan berniat 

jahat atau bukan.”

“Hemm, betapa kejamnya! Dan bagaimana kenyataannya? Lihat, 

punggung selirku luka-luka berdarah! Dan ia sama sekali tidak


336

berdosa. Ia wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta, dan 

engkau menyuruh algojo-algojomu mencambukinya.”

“Sudahlah, adinda yang baik. Aku sudah minta maaf, bukan? Ini 

hanya kesalah pahaman saja. Biarlah lain hari aku memberi 

hadiah untuk selirmu ini, untuk menyatakan penyesalan dan 

maafku.” .

“Hemm......!” Pangeran Souw Han menggandeng lengan dan 

merangkul pundak Liong-li lalu dipapahnya wanita itu keluar dari 

situ, terus menuju ke tempat tinggalnya sendiri. Dia menyesal 

sekali mengapa para dayangnya tadi terlambat 

membangunkannya. 

Para dayang itu tadi kebingungan melihat Liong-li ditangkap 

Pangeran Souw Cun. Untuk melaporkan hal itu kepadanya, 

mereka tidak berani karena tidak berani mengganggu dia yang

sedang tidur. 

Akhirnya, mereka itu setelah saling dorong, memberanikan diri 

beramai-ramai memasuki kamarnya dan membangunkannya, 

melaporkannnya. Dia terkejut sekali dan cepat berlari mengejar 

ke tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Namun sudah agak 

terlambat. Liong-li telah dicambuk lima kali sampai leher, 

punggung dan pinggulnya luka-luka!

Setelah Souw Han dan selirnya pergi, Pangeran Souw Cun 

mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sialan, ternyata 

perempuan itu orang lemah, bukan seorang perempuan yang 

berbahaya seperti yang kita sangka!”


337

Bouw Sian-seng mengangguk-angguk. “Biarpun tadinya 

mencurigakan, akan tetapi setelah kita menyiksanya, jelas bahwa 

ia seorang yang lemah, sama sekali tidak melawan. Kita telah 

salah sangka, Pangeran.”

“Hemmm, justeru itu celakanya. Ia seorang perempuan biasa, 

akan tetapi peristiwa ini mendatangkan bahaya baru yang hebat 

dan yang mengancam kita! Aku khawatir sekali......!”

“Heh-heh-heh, paduka bersikap seolah-olah sudah tidak ada 

hamba di sini, Pangeran. Apa yang menggelisahkan paduka, 

katakan saja dan hamba yang akan membereskan!”

“Kaudengar tadi ucapan dinda Souw Han? Dia agaknya telah 

mengetahui semua rahasiaku!”

“Beliau tadi sedang marah, Pangeran. Mungkin itu hanya 

gertakan saja karena sedang marah.”

“Hemm, dinda Souw Han bukan seorang yang suka bicara 

bohong atau menggertak. Kalau dia bicara, tentu hal itu benar. 

Sungguh tidak kuaangka, dia nampaknya tidak perduli dan tidak 

memperhatikan, akan tetapi dia tahu semua rahasiaku. Ini 

berbahaya sekali!”

“Lalu, apa yang harus hamba lakukan, Pangeran?”

Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan menggeleng 

kepala. “Jangan lakukan apa-apa, hal ini harus kupikirkan masak-

masak lebih dulu. Orang seperti Souw Han lebih baik dijadikan 

sekutu dari pada lawan. Dia disuka oleh semua pangeran,


338

termasuk aku. Dan ibunda Permaisuri juga amat suka kepadanya. 

Sulit....... sulit biar kupikirkan masak-masak hal ini.”

◄Y►

“Aih, kasihan sekali engkau, enci Cu.....!” kata Pangeran Souw 

Han ketika dia memapah Liong-li memasuki kamarnya, disambut 

oleh lima orang dayang yang memandang dengan mata 

terbelalak dan hati tegang. Pangeran Souw Han memapah Liong-

li ke pembaringan. Akan tetapi, ketika pendekar wanita itu duduk, 

ia mengeluh karena pinggulnya yang terkena lecutan tadi perih.

“Sakitkah, enci Cu?Engkau rebah dulu, aku akan memanggil 

tabib......” Dia membantu Liong-li merebahkan diri, akan tetapi 

begitu telentang, Liong-li merintih, lalu terpaksa miringkan 

tubuhnya agar bagian yang luka-luka tidak terhimpit.

“Auhhhh......”

“Kasihan engkau, kalau tidak bisa untuk telentang, engkau miring 

atau telungkup, enci Cu. Aku akan memanggil tabib sekarang.”

“Jangan, Pangeran. Tidak usah. Lebih baik keadaan saya ini tidak 

diketahui orang luar, dan harap pesan kepada para dayang agar 

merahasiakan peristiwa ini. Saya dapat mengobatinya sendiri, 

saya mempunyai obat luka yang manjur......” 

“Engkau benar, enci Cu. Akan kupanggil mereka semua.” 

Pangeran Souw Han bertepuk tangan lima kali dan 

bermunculanlah lima orang dayang itu memasuki kamar.


339

“Kalian berlima harus melupakan semua yang terjadi tadi, dan 

tidak menceritakan kepada siapapun juga. Peristiwa yang 

menimpa nyonya muda tadi tidak pernah terjadi. Mengerti?”

“Hamba mengerti, Pangeran,” kata mereka.

“Tolong disediakan air hangat-hangat kuku dalam sebuah panci 

dan bawa ke sini......” kata Liong-li kepada mereka. Mereka izin 

pergi dan menutup kembali daun pintu kamar.

“Terima kasih, Pangeran. Untung paduka cepat datang.”

“Enci Cu, kenapa engkau membiarkan dirimu disiksa seperti itu? 

Engkau seorang yang berilmu tinggi, kenapa tidak kau hajar saja 

mereka itu?”

Liog-li tersenyum. “Harap paduka ingat bahwa tugas saya adalah 

melakukan penyelidikan, bukan mengamuk dan membuat kacau 

di istana. Mereka agaknya mencurigai saya, kalau saya saya 

memperlihatkan kepandaian, berarti rahasia saya akan terbuka. 

Kini mereka akan menganggap saya seorang wanita biasa yang 

lemah, dan tidak akan mengganggu saya lagi sehingga saya 

dapat bekerja dengan baik tanpa dicurigai dan diawasi.”

“Hemmm, tapi engkau membiarkan kulit punggung dan pinggulmu 

pecah-pecah berdarah. Di mana obat luka itu?”

“Di dalam buntalan pakaian saya di almari, Pangeran. Biar saya 

ambil sendiri dan akan saya obati setelah nanti air panas itu 

tersedia......” Liong-li hendak bangkit, akan tetapi ia menyeringai 

ketika bangkit duduk. Pangeran Souw Han cepat memegang



340

pundaknya dan dengan halus membantunya rebah miring 

kembali.

“Aih, enci Cu. Engkau terluka dan menderita nyeri. Biarlah aku 

yang mengambilkan obat dalam buntalan itu.”

“Terima kasih, Pangeran.” 

Pangeran Souw Han, mencari buntalan dalam almari, 

membukanya dan atas petunjuk Liong-li dia mengeluarkan 

sebuah bungkusan kertas di mana terdapat obat bubuk putih. 

“Saya dapat mengobati sendiri luka-luka ini, Pangeran.”

“Enci Cu, bagaimana mungkin engkau akan dapat mengobati luka 

di punggung dan pinggulmu sendiri? Melihatnyapun tidak dapat. 

Biar aku yang mengobati, enci Cu.”

“Ah, Pangeran. Saya hanya membikin repot paduka saja......,” 

kata Liong-li, akan tetapi di dalam hatinya ia memaki diri sendiri. 

Engkau munafik! Sejak tadi ia sudah bersandiwara. Kalau di 

depan Pangeran Souw Cun ia bersandiwara, hal itu ia lakukan 

demi tugasnya, demi rahasia dirinya agar jangan terbongkar. 

Akan tetapi setelah bersama Pangeran Souw Han, ia masih saja 

sejak tadi bersandiwara. 

Luka-luka lecutan seperti itu saja bagi seorang pendekar wanita 

seperti Liong-li, sedikitpun tidak ada artinya! Rasa nyeri seperti itu 

saja tidak akan terasa olehnya. Jangankan sampai membuat ia 

mengeluh dan merintih, berkedip pun tidak!


341

Ia sudah mengalami bahaya dan luka-luka yang lebih hebat lagi. 

Akan tetapi bukan saja ia mengeluh dan merintih, juga ia pura-

pura tidak dapat duduk dan tidak dapat rebah telentang! 

Makin sering Pangeran Souw Han memandangnya dengan sinar 

mata mengandung iba besar dan mulut mengacapkan kata-kata 

“kasihan”, rintihan yang keluar dari mulut Liong-li semakin 

mengenaskan! Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berubah 

demikian! Ingin rasanya ia menampar kepala sendiri, memaki diri 

sendiri.

“Jangan sungkan enci Cu. Nah, itu air hangatnya datang.” 

Seorang dayang, setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan 

masuk, membawa panci besar terisi air yang masih mengepulkan 

uap.

“Taruh di atas bangku ini, kemudian keluarlah dan jangan biarkan 

siapapun masuk,” kata Pangeran Souw Han yang sudah 

mempersiapkan sebuah bangku dekat pembaringan. Dayang itu 

menaruh panci di situ, kemudian memberi hormat dan pergi.

“Pangeran, air panas itu untuk mencuci luka-luka, menggunakan 

sebuah kain bersih. Sesudah dicuci dan dikeringkan, baru ditaburi 

obat luka yang ditekan-tekan dengan jari tangan agar obat itu 

melekat dan memasuki bagian yang kulitnya pecah.”

Pangeran itu mengangguk-angguk. “Engkau menelungkuplah, 

agar lebih mudah mencuci dan mengobatinya,” katanya sambil 

mengambil sehelai kain putih bersih dari almari.


342

Liong-li menelungkup, menggigit bibir menahan debaran 

jantungnya yang mengeras. Ia merasa betapa pangeran itu duduk 

di tepi pembaringan, dan terdengar suaranya yang lembut dan 

sopan.

“Enci Cu, maafkan aku kalau terpaksa aku melihat tubuhmu 

bagian belakang bertelanjang dan maafkan kalau jari-jari 

tanganku menyentuhnya.”

Liong-li merasa geli. Belum pernah ia bertemu seorang pria yang 

sudah dewasa begini canggung dan kikuk, begini pemalu. Sikap 

ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini belum pernah 

bergaul dekat, belum pernah bermesraan dengan wanita. Dugaan 

ini saja sudah membuat jantungnya berdebar semakin kencang.

Hati-hati engkau, Liong-li, katanya kepada diri sendiri. Engkau 

berada di tepi jurang yang akan menenggelamkanmu. Tugasmu 

belum selesai, baru dimulai dan engkau hendak membiarkan 

dirimu terbius keindahan dan kenikmatan nafsu?

“Pangeran, maafkan saya. Sebaiknya kalau..... kalau saya 

mengobati sendiri luka-luka ini, atau...... menyuruh seorang 

dayang saja yang melakukannya. Tidak baik merepotkan paduka, 

dan pula...... akan membuat paduka menjadi rikuh dan membuat 

saya menjadi malu saja......”

Hemm, munafik, ia memaki diri sendiri. Ia malu? Ia malah bangga 

dan girang!

“Enci Cu, dalam hal yang gawat ini kita harus menyingkirkan 

segala perasaan sungkan yang tidak ada gunanya. Engkau tidak


343

mungkin mengobati luka-luka di tubuh bagian belakang, kedua 

tanganmu takkan dapat mencapainya. 

“Kalau menyuruh dayang, tentu ia akan merasa heran sekali dan 

siapa tahu keheranannya melihat tubuh belakangmu penuh luka 

itu akan membuat, ia kelepasan bicara. Dan aku...... aku sama 

sekali tidak merasa direpotkan atau rikuh karena memang engkau 

membutuhkan pertolongan. Nah, maafkan, aku akan membuka 

jubahku yang kuselimutkan padamu ini.”

Liong-li menahan senyumnya, menyembunyikan mukanya ke 

dalam bantal sambil menelungkup ketika merasa betapa tangan 

pangeran itu menyingkap penutup tubuh belakangnya.

“Aduh, betapa mengerikan......!” seru pangeran itu sambil 

mengamati punggung dan pinggul yang penuh jalur-jalur merah 

dan di sana-sini kulitnya pecah dan luka berdarah itu.

“Amat burukkah tubuh belakangku?”

Pangeran itu mengamati punggung dan pinggul itu. “Sama sekali 

tidak buruk, enci Cu. Punggung dan pinggulmu indah sekali, 

kulitnya putih halus. Ah, betapa kejamnya mencambuk kulit yang 

putih mulus ini sampai pecah-pecah......!”

Pangeran itu mulai mencuci darah dari punggung dan pinggul itu, 

menggunakan kain putih yang dicelupkan di air panas. Lembut 

sekali tangan itu menggerakkan kain basah hangat di permukaan 

kulit yang terluka, dan Liong-li merasakan kelembutan ini, dan 

kalau kebetulan jari tangan itu menyentuh kulitnya, ia merasa 

pula betapa tangan pangeran itu gemetar! Ia merintih lirih.


344

“Sakitkah, enci Cu?” tanya Pangeran Souw Han dengan hati iba.

Tentu saja hampir tidak terasa oleh Liong-li kalau hanya nyeri 

seperti itu, akan tetapi ia merintih dan mengeluh seolah-olah 

menderita nyeri hebat.

“Perih, Pangeran......” katanya lirih.

“Kasihan engkau, enci Cu.......” 

Entah berapa kali pangeran itu mengatakan hal ini dan makin 

sering rintihan keluar dari mulut Liong-li! Gila kau, ia memaki diri 

sendiri. Bahaya semakin dekat! Ia sudah berusaha untuk tidak 

membiarkan pangeran ini merawatnya, ia membela diri sendiri.

“Sekarang akan kutaburkan obat bubuk ini, enci Cu,” kata 

pangeran itu setelah mengeringkan punggung dan pinggul 

dengan kain kering. 

Kedua tangannya semakin keras gemetar karena selama 

hidupnya, belum pernah Pangeran Souw Han melihat punggung 

dan pinggul seperti ini, apa lagi tubuh wanita, dan yang demikian 

indahnya. 

Obat bubuk itu buatan Liong-li sendiri dan amat manjur. Selain 

luka akan segera mengering kalau diobati dengan obat ini, juga 

begitu ditaburkan di atas luka, rasanya dingin dan sejuk, 

menghilangkan rasa nyeri! 

Akan tetapi Liong-li malah merintih-rintih, bukan karena nyeri 

melainkan karena terbakar gairah yang makin berkobar karena



345

sentuhan-sentuhan tangan Pangeran Souw Han ketika pangeran 

itu membalurkan obat bubuk itu. Akan tetapi pangeran itu mengira 

bahwa Liong-li menderita nyeri yang hebat, maka dia merasa 

terharu dan kasihan sekali.

“Enci Cu kenapa engkau lakukan ini? Kenapa engkau 

membiarkan dirimu dihina dan disiksa? Kalau engkau mau, tentu 

dengan mudah engkau dapat menghajar mereka lalu melarikan 

diri.”

“Aih, pangeran. Bagaimana paduka dapat mengatakan demikian? 

Kalau saya melarikan diri, tentu paduka akan menghadapi 

tuntutan dan dakwaan hebat! Bagaimana mungkin saya dapat 

melakukan itu, mencelakakan paduka? Dari pada mencelakakan 

paduka, biarlah tubuh saya ini menderita, juga untuk 

menyembunyikan rahasia saya.”

“Hemm, enci Cu. Engkau begini baik, engkau gagah perkasa, 

cantik jelita, dan engkau pandai menari, bernyanyi, bermain 

musik, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan 

wanita seperti engkau. Enci Cu, sekarang aku tahu bahwa ketika 

tadi aku mengaku kepada kanda Souw Cun bahwa engkau satu-

satunya wanita yang kucinta, maka pengakuan itu bukan sekedar 

membelamu. Aku memang cinta padamu, enci Cu!”

“Pangeran...... ah, pangeran......!” Entah siapa yang bergerak 

lebih dulu, akan tetapi seperti terdorong oleh kekuatan yang 

hebat mereka saling rangkul. Mereka berangkulan dan ketika 

pangeran itu menciumnya, Liong-li tahu bahwa ia sudah kalah.


346

Sebaliknya, dalam rangkulan wanita yang berpengalaman ini, 

Pangeran Souw Han yang masih hijau itupun seperti mabok. Dia 

lupa bahwa kini Liong-li dapat bergerak, leluasa dan kuat, dapat 

menelentang tanpa keluhan. Akan tetapi pada detik terakhir tiba-

tiba Liong-li bangkit duduk dan menarik pangeran itu untuk duduk 

pula. 

Mereka duduk di atas pembaringan dan ketika pangeran itu 

hendak merangkulnya, Liong-li menahannya dengan lembut. 

“Nanti dulu, Pangeran. Sebelum terlanjur, saya mohon paduka 

suka mendengarkan dulu kata-kata saya.”

Pangeran Souw Han memandang dengan sinar mata penuh 

kasih sayang dan kemesraan, “Katakanlah, enci Cu!”

“Pangeran, paduka adalah Pangeran Souw Han yang selamanya 

belum pernah bergaul dengan wanita. Sekarang paduka hendak 

menumpahkan cinta kasih kepada saya, sepatutnya paduka 

ketahui siapa saya ini. 

“Pangeran, saya adalah seorang wanita yang mempunyai riwayat 

tidak bersih, Pangeran. Ketika gadis, oleh mendiang ayah saya 

dijual kepada seorang bangsawan. Saya diperkosa, kemudian 

saya dijual ke rumah pelacuran di mana saya dipaksa menjadi 

pelacur! Menjadi pelacur, Pangeran! Kemudian setelah saya 

mendapatkan kepandaian, saya balas semua orang keji dan jahat 

itu. Nah, saya bukan seorang wanita yang bersih. Benar seperti 

dikatakan Pangeran Souw Cun, saya tidak pantas menjadi wanita 

yang menerima kasih sayang paduka untuk pertama kalinya.......”


347

“Enci Cu, aku cinta padamu, tidak perduli siapa engkau ini dan 

bagaimana masa lalumu. Aku tidak mencinta riwayatmu, aku 

mencintai dirimu!” Pangeran itu hendak merangkul lagi, akan 

tetapi dengan halus Liong-li memegang kedua lengannya.

“Masih belum habis apa yang hendak saya katakan, Pangeran. 

Terus terang saja, begitu berjumpa dengan paduka, hati saya 

terpikat. Saya suka sekali dan kagum kepada paduka dan tidak 

ada kesenangan yang lebih saya inginkan sekarang ini kecuali 

melayani paduka, saling menumpahkan kasih sayang dengan 

paduka. Akan tetapi, saya dapat dan senang melakukan hal itu, 

hanya dengan satu syarat, Pangeran.”

“Syarat? Orang bercinta dengan syarat?” Pangeran itu 

mengerutkan alisnya.

“Syaratnya, saya tidak dapat menjadi isteri paduka, tidak dapat 

menjadi selir paduka. Apa yang akan kita lakukan ini adalah suka 

rela, tidak ada ikatan. Setelah selesai tugas saya di istana ini, 

saya akan pergi meninggalkan paduka, dan paduka jangan 

mengharapkan saya kembali apa lagi memaksa saya untuk 

tinggal di sini. Nah, itulah syaratnya!”

“Terserah...... apa saja kehendakmu........ aku.... aku cinta 

padamu, enci Cu......!” Pangeran itu merangkul dan Liong-li 

menyambutnya dengan senyum manis.

Nafsu berahi, seperti semua nafsu memabokkan. Orang lupa 

akan segala yang lain kalau sudah dicengkeram nafsu. Satu-

satunya yang diinginkan hanyalah terpuaskannya nafsu yang 

sedang menggelora. Dan di antara segala macam nafsu, nafsu


348

berahi merupakan nafsu yang amat kuat dan sukar diatasi. 

Bahkan banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa orang-orang 

besar bertekuk lutut kepada nafsu berahi.

Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang pendekar wanita yang 

mampu melawan apa saja dan biasanya keluar sebagai 

pemenang. Iapun bukan seorang budak nafsu. Akan tetapi, pada 

saat nafsu berahi mencengkeramnya, iapun hanya seorang 

manusia dari darah daging yang lupa diri dan lupa segala. 

Biasanya, walaupun hatinya tertarik kepada seorang pria, ia tidak 

akan begitu mudah menyerahkan diri, apa lagi ia sedang berada 

di tengah-tengah tugas yang berat dan berbahaya. Kalau tugas 

itu sudah selesai dan ia berada dalam keadaan santai, tentu ia 

tidak akan menolak gairah berahinya yang hanya ditujukan 

kepada orang yang benar-benar dikaguminya saja.

Pangeran Souw Han juga bukan seorang hamba nafsu. Buktinya, 

biarpun dia seorang pangeran dan sudah dewasa, dia selalu 

menahan diri dan tidak pernah mau menyerah, tidak pernah mau 

bergaul dengan wanita walaupun akan mudah sekali baginya 

untuk mendapatkan wanita yang cantik dan muda sekalipun. 

Akan tetapi kini dia benar-benar kagum sekali kepada Liong-li 

sehingga dia menyerah terlena dalam pelukan wanita itu. 

Mereka tenggelam dam berenang dalam lautan madu asmara, 

meneguk madu yang memabokkan itu sepuas-puasnya sehingga 

sehari itu mereka tidak pernah keluar kamar, bahkan lupa makan. 

Dalam diri Liong-li, pangeran itu menemukan seorang guru yang 

pandai dan seorang kekasih yang penuh gairah.


349

◄Y►

Pria dan wanita itu merupakan pasangan yang serasi sekali. 

Yang pria berusia duapuluh tujuh tahun, berwajah tampan dan 

gagah. Tubuhnya sedang dan pakaiannya yang serba putih itu 

bersih, terbuat dari sutera yang halus. Dagunya yang berlekuk 

membayangkan keberanian dan matanya mencorong tajam, akan 

tetapi lebih banyak menunduk. Yang wanita berusia sebaya, 

hanya satu-dua tahun lebih muda, pakaiannya serba hijau, cantik 

dengan mata dan mulut yang menggairahkan, tubuhnya ramping 

dan gerakannya ketika melangkahkan kaki ringan dan tangkas.

Mereka itu Pek-liong dan Cu Sui In. Mereka melakukan 

perjalanan cepat dan berjalan kaki ketika memasuki pintu 

gerbang kota raja, agar jangan menarik perhatian. Para penjaga 

pintu gerbang memandang penuh perhatian. Siapapun akan 

tertarik kepada mereka, karena memang mereka itu nampak elok 

dan gagah. Akan tetapi tidak ada penjaga pintu gerbang yang 

menghadang atau mengganggu.

“Kita langsung saja menghadap paman Ciok,” kata Sui In. 

“Sekarang sudah lewat tengah hari, tentu dia sudah pulang.” 

Yang diajak bicara hanya mengangguk. Sui In merasa semakin 

kagum kepada pendekar itu. Semenjak pendekar itu 

menolongnya, kemudian mereka melakukan perjalanan bersama 

ke kota raja. Setelah ia bermalam di rumah pendekar itu satu 

malam, sampai melakukan perjalanan bersama, Pek-liong 

bersikap sebagai seorang pendekar sejati yang mengagumkan!


350

Ia adalah seorang janda, dan Pek-liong seorang duda. Ia kagum 

kepada duda itu dan mereka melakukan perjalanan bersama. 

Akan tetapi, Pek-liong selalu bersikap sopan! Tak pernah pria 

muda itu memperlihatkan perasaannya, baik melalui pandang 

mata atau kata-kata. Selalu sopan, juga dia pendiam, tidak 

banyak bicara bahkan tidak bicara kalau tidak ditanya. 

Sikap seorang jantan sejati dan sejak pertemuan pertama kali, 

hati janda muda itu sudah terusik dan ia merasa kagum bukan 

main. Ia tentu tidak akan berani menyangkal kalau ada orang 

mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepada Si Naga Putih.

Mendengar bahwa keponakannya pulang bersama seorang 

pemuda berpakaian putih, Ciok Tai-jin, pembantu Menteri Pajak 

yang sudah berusia limapuluh lima tahun itu, segera 

memerintahkan penjaga untuk mempersilakan mereka memasuki 

ruangan dalam di mana dia menanti seorang diri.

Sui In masuk diikuti Pek-liong. Setelah mereka masuk, penjaga 

yang sudah dipesan oleh tuan rumah segera menutupkan daun 

pintu dan menjaga di luar agar pertemuan dan percakapan 

majikannya dengan dua orang muda itu tidak terganggu. Sui In 

memberi hormat kepada pamannya, lalu memperkenalkan Pek-

liong.

“Paman, ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay, pendekar sakti 

yang terkenal sekali dan yang telah menolongku ketika aku 

dikeroyok oleh orang-orang jahat.”

“Tan tai-hiap......!” kata pembesar itu ketika Pek-liong memberi 

hormat kepadanya. “Silakan duduk, silakan duduk!” Kemudian dia


351

memandang kepada keponakannya. “Sui In, mana susiokmu 

yang katanya hendak kaupanggil dan mintai bantuan itu?”

Sui In mengerutkan alisnya. “Susiok Giam Sun telah tewas 

terbunuh orang pula, paman.” 

“Ahhh? Terbunuh? Bagaimana....... oleh siapa......?”

Dengan singkat namun jelas Sui In lalu menceritakan semua 

pengalamannya, betapa ia dikeroyok oleh Huang-ho Siang-houw 

dan Pek-mau-kwi, dan diselamatkan oleh Pek-liong. Kemudian 

betapa ia dan Pek-liong menemukan susioknya itu telah tewas 

dan ada coret-coretan pesan terakhir susioknya yang menuliskan 

dua buah nama yaitu Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu.

“Kwi-eng-cu........? Ah, bagaimana mendiang susiokmu itu tahu 

tentang Si Bayangan Iblis?” Ciok Tai-jin berseru heran.

“Menurut dugaan kami, paman, susiok terbunuh oleh Pek-mau-

kwi dan teman-temannya, dan mungkin sebelum membunuhnya, 

Pek-mau-kwi menyebut Kwi-eng-cu. Bagaimanapun juga, tentu 

ada hubungannya antara Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu, mungkin 

saja Pek-mau-kwi itu termasuk anak buahnya.”

Pembesar itu mengangguk-angguk, lalu dia memandang kepada 

Pek-liong.

“Dan Tan tai-hiap ikut ke kota raja untuk membantu agar Si 

Bayangan Iblis dapat ditangkap? Memang para pendekar harus 

bangkit untuk menangkap pengacau yang amat berbahaya itu. 

Aku sendiri hampir saja terbunuh oleh iblis.”


352

“Aihh...... paman. Kapan terjadinya dan bagaimana?” Sui In 

terkejut bukan main.

“Tidak lama setelah engkau pergi. Ada pembunuh yang datang 

untuk membunuhku tentu saja, akan tetapi ada bayangan lain 

yang menyerangnya, sehingga Kwi-eng-cu gagal memasuki 

rumah ini. Akan tetapi, para pengawal sudah siap dan andaikata 

dia berani masuk, tentu kami akan mengepungnya.”

Pada saat itu, daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar. Ciok 

Tai-jin mengerutkan alisnya, “Masuk!” katanya dengan suara 

mengandung kemarahan.

“Hemm, berani engkau mengganggu kami? Sudah kukatakan 

bahwa aku tidak ingin diganggu siapa pun juga dan engkau 

berani mengetuk pintu?” katanya dengan nada suara marah 

kepada pengawal itu. Pengawal itu memberi hormat.

“Harap Tai-jin suka memaafkan saya. Saya dipaksa untuk 

memberitahu kepada Tai-jin bahwa Cian Hui Ciang-kun minta 

menghadap Tai-jin. Katanya harus sekarang juga karena amat 

penting. Saya tidak dapat dan tidak berani menolaknya lagi......!”

“Cian Ciang-kun? Persilakan dia masuk!” Ciok Taijin berkata dan 

sikapnya berubah mendengar nama Cian Hui. “Orang inilah yang 

diharapkan semua pihak akan dapat membongkar rahasia Kwi-

eng-cu, bahkan dia menerima tugas itu dari Sribaginda Kaisar 

sendiri,” bisiknya kepada Pek-liong dan Sui In. 

Mendengar nama ini, Sui In juga menaruh perhatian, karena ia 

pernah pula mendengar nama besar Cian Ciang-kun sebaga


353

seorang perwira yang amat pandai dalam membongkar perkara 

kejahatan. Hanya Pek-liong yang belum pernah mendengar nama 

itu dan dia bersikap tenang saja.

Ketika pria itu masuk, diam-diam Pek-liong memperhatikan. 

Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empatpuluh tahun 

dan yang memiliki wajah dan pembawaan yang amat gagah. 

Wajahnya yang bentuk persegi itu jantan, dengan dagu berlekuk 

keras, alis yang tebal sekali dan hitam berbentuk golok, 

hidungnya besar mancung, mulutnya membayangkan 

keramahan! 

Sepasang matanya jelas membayangkan kecerdasan dan 

memiliki sinar yang hidup dan lincah. Tubuhnya tegap dan kokoh, 

agak tinggi. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi menambah 

kejantanan. 

Dengan sikap gagah dan ramah dia mengangkat kedua 

tangannya, memberi hormat kepada Ciok Tai-jin dan berkata. 

“Ciok Tai-jin, harap maafkan saya yang datang mengganggu dan 

memaksa para penjaga untuk melaporkan kedatangan saya 

menghadap Tai-jin.”

Ciok Tai-jin cepat membalas penghormatan itu. “Ah, tidak 

mengapa, Ciang-kun. Bahkan kami merasa senang sekali akan 

kunjungan Ciang-kun ini karena kami yakin bahwa ciang-kun 

tentu membawa berita penting.”

Cian Hui kini memandang kepada Sui In dan dia tidak 

menyembunyikan rasa kagumnya. Berita yang didengarnya 

bahwa keponakan pejabat tinggi ini cantik dan gagah perkasa,


354

ternyata tidak berlebihan. Wanita ini memang cantik jelita dan 

nampak gagah, dan sudah janda pula.

Diapun mengangkat tangan memberi hormat kepada wanita itu 

dan juga kepada Pek-liong yang sudah diamatinya dengan penuh 

perhatian. Juga pandang matanya kepada Pek-liong tidak 

menyembunyikan kekagumnnya.

“Nona Cu Sui In dan tai-hiap Pek-liong-eng, selamat bertemu dan 

maafkan kalau aku mengganggu.”

Sui In terbelalak, dan Pek-liong diam-diam juga memandang 

kaget.

“Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku? Pada hal kita belum 

pernah saling bertemu, atau berkenalan,” tanya Sui In.

“Hemm, juga kita baru saja saling bertemu di sini, Ciang-kun. 

Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku?”

Cian Hui tersenyum. “Ah, itu hanya permainan kanak-kanak. 

Ketika ji-wi lewat di pintu gerbang, seorang penyelidikku yang 

berpengalaman telah melihat ji-wi, (kalian berdua) dan setelah 

menyuruh seorang kawannya melapor kepadaku, dia 

membayangi kalian. Karena itulah, aku tahu bahwa kalian berada 

di sini dan datang menyusul.”

“Silakan duduk, Cian Ciang-kun,” kata Ciok Tai-jin. “Kami yakin 

hanya kedatangan Ciang-kun ini tentu membawa suatu 

kepentingan besar.”


355

“Memang benar, Tai-jin. Terutama sekali saya mempunyai 

kepentingan dengan tai-hiap Pek-liong-eng Tan Cin Hay.”

Cin Hay merasa kagum. Orang ini memang cerdik dan cekatan 

sekali. Cara kerjanya mengagumkan dan kalau hal itu ditambah 

dengan ilmu silat yang tinggi, maka aneh kalau kekacauan di kota 

raja tidak dapat diatasi olehnya.

“Kita baru saja saling jumpa, Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun 

dapat mempunyai kepentingan dengan aku?” tanya Pek-liong 

sambil memandang tajam penuh selidik.

“Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebaiknya kalau kusampaikan 

saja surat ini kepadamu, tai-hiap. Tadinya aku memang hendak 

mencarimu di dusun Pat-kwa-bun, akan tetapi kebetulan 

penyelidikku melapor akan kemunculanmu di kota raja, maka 

langsung saja aku menyusul ke sini untuk menyerahkan surat ini 

kepadamu! Dari saku bajunya, Cian Ciang-kun mengeluarkan 

surat dari Hek-liong-li yang dititipkan kepadanya.

Pek-liong menerima surat itu dan membuka sampulnya. Begitu 

mengenal tulisan yang indah dan kuat itu, diapun tersenyum. 

Kiranya pria yang gagah ini sudah lebih dulu mengadakan 

hubungan dengan Liong-li! Dia segera membaca surat itu, 

dipandang oleh tiga orang yang duduk di situ.

Pek-liong tercinta,

Kalau engkau membaca surat ini, berarti aku berada dalam 

bahaya dan membutuhkan bantuanmu karena kupesan 

kepada Cian Ciang-kun untuk menyerahkan surat ini


356

kepadamu kalau aku berada dalam bahaya. Selanjutnya 

engkau dapat berunding dengan dia.

Hek-liong-li.

Begitu membaca surat ini, Pek-liong bagaikan seekor singa yang 

mencium adanya musuh berbahaya. Wajahnya menjadi agak 

kemerahan, sepasang matanya kini mencorong dan bergerak-

gerak dengan lincah, penuh semangat bertempur dan lenyaplah 

semua sifat lain, yang tinggal hanyalah kekerasan, ketenangan, 

dan kewaspadaan yang didukung semangat tempur yang luar 

biasa kuatnya.

“Cian Ciang-kun, harap engkau cepat menceritakan di mana 

adanya Liong-li dan bagaimana dapat bekerja sama denganmu. 

Singkat saja namun jangan melewatkan sesuatu yang mungkin 

penting!”

Dalam suara itu terdapat perubahan. Kini suara itu mengandung 

wibawa yang kuat, seperti seorang panglima yang memberi 

perintah rahasia penting kepada seorang pembantunya. Cian Hui 

dapat merasakan benar wibawa ini dan diapun menjadi serius. 

Dengan singkat namun padat, dia menceritakan tentang 

pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja dan 

tentang tugas yang diberikan kepadanya oleh Sribaginda Kaisar 

untuk membongkar rahasia itu dan menangkap pengacaunya 

yang hanya dikenal dengan sebutan Si Bayangan Iblis. Betapa 

kemudian dia minta bantuan Hek-liong-li untuk melakukan 

penyelidikan di dalam istana.


357

“Atas prakarsanya, kami berhasil menyelundupkaan Lie li-hiap ke 

dalam istana sebagai seorang dayang dari Permaisuri, setelah li-

hiap menduga bahwa tentu rahasia itu berpusat dalam istana. 

Akan tetapi, kami mendengar berita mengejutkan dari istana, 

Hong-houw (Permaisuri) demikian cerdiknya sehingga 

mengetahui rahasia penyamaran Lie li-hiap.”

Dia berhenti sebentar dan tiga orang pendengarnya menahan 

napas saking tegangnya. Mereka semua sudah mendengar 

bahwa Hong-houw adalah seorang wanita luar biasa yang amat 

cerdik, bahkan kini menjadi orang yang paling berkuasa di 

kerajaan karena Sribaginda Kaisar sendiri seperti boneka lilin di 

tangannya.

“Bagaimana selanjutnya?” tanya Pek-liong, sikapnya masih 

tenang biarpun hatinya dicekam kekhawatiran. 

Dia percaya sepenuhnya kepada Liong-li dan yakin akan 

kemampuan wanita yang paling dipujanya di seluruh dunia itu. 

Akan tetapi sekarang Liong-li berada di dalam istana! Betapapun 

lihainya seseorang, kalau berada di dalam istana bagaikan 

berada di dalam benteng baja yang kokoh dan kuat dan di dalam 

istana terdapat banyak sekali orang-orang yang cerdik pandai 

dan orang-orang yang berilmu tinggi, jagoan-jagoan yang amat 

lihai.

“Entah bagaimana, dan entah akal apa yang dipergunakan oleh li-

hiap, akan tetapi menurut keterangan penyelidik yang kutugaskan 

di sana, li-hiap tidak dihukum oleh Permaisuri, bahkan oleh


358

Permaisuri ia diberikan kepada Pangeran Souw Han sebagai 

seorang selir.”

“Hemm, dan apa artinya peristiwa itu?” tanya Pek-liong yang 

sama sekali tidak mengenal keadaan di dalam istana kaisar.

“Peristiwa itu menarik sekali untuk diselidiki,” kata Cian Hui, 

“Banyak kejanggalan terjadi di sini. Pertama, semua orang tahu 

bahwa tidak ada orang yang akan dapat lolos dari hukuman mati 

apabila Hong-houw memusuhinya atau menganggapnya berdosa. 

Kenyataannya bahwa li-hiap tidak dihukum membuktikan bahwa 

Permaisuri tentu tidak memusuhinya walaupun 

penyelundupannya diketahui. 

“Dan kedua, li-hiap diserahkan kepada Pangeran Souw Han 

sebagai selir, pada hal pangeran muda itu terkenal sebagai 

seorang yang alim, yang sama sekali tidak pernah bergaul 

dengan wanita seperti para pangeran lain. Kini tiba-tiba saja dia 

mau menerima seorang selir!” 

Kembali Cian Ciang-kun berhenti dan pandang matanya 

mengamati wajah Pek-liong. Akan tetapi pendekar ini tidak 

menunjukkan sesuatu pada wajahnya.

“Dan menurut Ciang-kun, apa artinya kejanggalan-kejanggalan 

itu?”

“Kalau Hong-houw tidak menghukumnya, hal itu berarti bahwa 

ada kerja sama antara li-hiap dan Hong-houw, atau lebih tepat 

lagi Hong-houw, memanfaatkan kehadiran li-hiap di istana untuk 

mengerjakan sesuatu. Agaknya, Hong-houw yang sengaja


359

menyelundupkan li-hiap ke dalam istana bagian pria dengan cara 

menghadiahkannya kepada Pangeran Souw Han.”

“Kenapa kepada Pangeran Sauw Han?”

“Karena pangeran itu merupakan seorang yang paling disuka dan 

paling dapat dipercaya, yang bersih dari pada persaingan yang 

terjadi di istana. Selain itu, juga dia terkenal tidak suka bergaul 

dengan wanita, dan hal ini yang membuat li-hiap suka 

dihadiahkan sebagai selir. Tentu hanya luarnya saja demikian, 

Pangeran Souw Han tidak akan mau mengganggunya, sehingga 

li-hiap dapat leluasa mengadakan penyelidikan dengan sembunyi 

di kamar pangeran itu sebagai selir, tidak menimbulkan 

kecurigaan.”

Pek-liong mengangguk-angguk dan merasa kagum. Benar 

dugaannya, orang she Cian ini memang cerdik sekali.

“Kalau begitu, kita boleh menghapus nama Permaisuri sebagai 

orang yang boleh dicurigai memimpin komplotan Si Bayangan 

Iblis?” tanyanya.

“Tentu saja! Sejak dulu akupun yakin bahwa Si Bayangan Iblis itu 

bukan dikendalikan oleh Hong-houw. Beliau memegang tampuk 

kekuasaan. Untuk melenyapkan orang yang tidak disukainya, 

beliau tinggal menuding saja dan orang itu akan ditangkap dan 

dibunuh. Tidak perlu beliau mempergunakan pembunuh gelap 

seperti Si Bayangan Iblis, karena hal itu hanya akan merugikan 

beliau sendiri.”


360

“Sekarang katakan mengapa engkau menyerahkan surat Liong-li 

kepadaku, Ciang-kun? Bahaya apakah yang mengancam diri 

Liong-li?”

“Inilah yang mencemaskan hatiku, tai-hiap. Dari penyelidik yang 

kutugaskan di sana, aku mendapat kabar mengejutkan kemarin. 

Menurut penyelidik itu, Liong li-hiap ditangkap oleh Pangeran 

Souw Cun dan diberi hukuman cambuk. Pangeran Souw Han 

datang menyelamatkannya dan agaknya terjadi ketegangan 

antara kedua orang pangeran itu. Kabar yang disampaikan 

penyelidik itu hanya mengatakan bahwa li-hiap mengalami luka-

luka di punggung karena lima kali cambukan, akan tetapi kini 

telah diajak kembali oleh Pangeran Souw Han.”

“Ahhh......!” Sui In berseru khawatir.

AKAN tetapi Pek-liong menerima berita ini dengan tenang-tenang 

saja. Kalau hanya hukuman cambuk lima kali, tidak ada artinya 

bagi Liong-li, dan kalau sampai punggungnya berdarah, hal itu 

tentu disengaja oleh Liong-li yang hendak menyembunyikan 

kepandaiannya. Dia tahu benar kecerdikan rekannya itu.

“Siapakah Pangeran Souw Cun itu?”

Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. “Hemm, bukan seorang 

pemuda yang baik, tai-hiap. Bahkan tidak akan heran aku kalau 

kemudian ternyata bahwa dia yang menjadi majikan dari para 

pembunuh itu. Dia memang bisa berbahaya sekali.”


361

“Hemmm..... tahukah engkau kenapa dia menangkap dan 

mencambuki Liong-li yang sudah menjadi selir Pangeran Souw 

Han?”

Perwira itu menggeleng kepala. “Tidak ada, yang mengetahui apa 

yang sebenarnya telah terjadi. Tahu-tahu li-hiap ditangkap 

Pangeran Souw Cun sendiri yang datang bersama pengawalnya 

selagi Pangeran Souw Han tidur dan li-hiap berada di ruangan 

para dayang, lalu li-hiap dibawa ke kamar Pangeran Souw Cun. 

Yang berada di sana hanya pangeran itu bersama pengawalnya 

dan Bouw Sian-seng sehingga penyelidikku tidak dapat tahu apa 

yang terjadi. Lalu Pangeran Souw Han datang dan membawa li-

hiap kembali ke tempat tinggalnya dalam keadaan luka-luka dari 

pencambukan itu.”

“Kalau begitu, berarti bahaya sudah lewat. Liong-li tidak terancam 

bahaya lagi.”

“Kurasa tidak demikian, tai-hiap. Hek-liong-lihiap memang 

memesan kepadaku untuk menyerahkan surat itu kepada tai-hiap 

kalau ia terancam bahaya dan aku melihat bahaya besar 

mengancamnya, bukan hanya karena pencambukan itu, 

melainkan akibatnya.

“Akibat dari peristiwa itu dapat hebat dan amat berbahaya, tai-

hiap. Jelas bahwa Pangeran Souw Cun mencurigai li-hiap dan 

karena li-hiap secara resmi telah menjadi selir Pangeran Souw 

Han, maka perbuatan Pangeran Souw Cun itu berarti penghinaan 

terhadap Pangeran Souw Han. Hal ini dapat memancing 

permusuhan secara terbuka.


362

“Mengingat bahwa Pangeran Souw Han adalah seorang 

pangeran yang bersih dari persaingan di istana dan beliau tidak 

mempunyai pengawal atau jagoan, sebaliknya Pangeran Souw 

Cun amat kuat kedudukannya, maka tentu saja amat berbahaya 

bagi li-hiap.”

Pek-liong mengerutkan alisnya. Dia sudah membuat perhitungan, 

lalu tiba-tiba bertanya, “Cian Ciang-kun, dapatkah engkau 

menyelundupkan aku ke istana, hari ini juga? Memang mungkin 

sekali Liong-li membutuhkan bantuanku.”

“Hemm!”Cian Ciang-kun meraba-raba jenggotnya yang rapi, 

alisnya berkerut. “Kurasa dapat, tai-hiap. Akan tetapi agar tidak 

terlalu menyolok, tai-hiap dapat kuselundupkan sebagai seorang 

tukang kuda yang bekerja di istal kuda istana yang letaknya di 

bagian belakang kompleks istana bagian pria.”

“Bagus! Tolong buatkan gambar atau peta mengenai keadaan di 

istana, di mana adanya istal itu dan di mana pula tempat tinggal 

para pangeran, agar mudah bagiku untuk melakukan 

penyelidikan.”

Sui In lalu cepat mengambilkan alat tulis dan tak lama kemudian, 

Cian Hui sudah membuatkan peta untuk Pek-liong. Peta itu tidak 

dibawa Pek-liong, melainkan dipelajari dan dihafalkan.

“Akupun ingin membantu,” kata Sui In. “Sungguh tidak enak 

menunggu di rumah, sedangkan Hek-liong-lihiap dan Tan Tai-

hiap bekerja berat dan menghadapi bahaya di istana. Cian Ciang-

kun, dapatkah ciang-kun memberi saran bagaimana aku dapat


363

memasuki istana dan mengunjungi Lie li-hiap? Aku dapat 

mengaku sebagai saudara sepupu!”

Cian Hui memandang dan dia melihat betapa wanita itu 

bersungguh-sungguh. Mata yang bening itu memandang 

kepadanya dengan penuh harapan. Ia dapat menjenguk isi hati 

wanita ini. 

Sebagai isteri seorang korban pembunuhan misterius itu, tentu 

saja ia ingin membalas kematian suaminya dan sedapat mungkin 

membantu agar pembunuh itu dapat tertangkap. Dan dia 

mendengar bahwa Cu Sui In adalah seorang murid Kun-lun-pai 

yang lihai sehingga tenaganya memang boleh diandalkan untuk 

membantu Hek-liong-li.

“Sui In, apakah tidak akan terlalu berbahaya untukmu?” Ciok Tai-

jin yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja, kini bertanya 

dengan nada suara khawatir. 

Dia tidak hanya mengkhawatirkan keselamatan keponakan 

isterinya itu, akan tetapi juga keselamatan keluarganya sendiri. 

Kalau sampai Sui In terlibat dalam keributan di istana, kemudian 

ketahuan bahwa ia masih keponakannya, bukan tidak mungkin 

seluruh keluarganya akan terlibat.

Agaknya Sui In dapat menjenguk isi hati pamannya. “Harap 

paman tidak khawatir. Saya tidak akan menyebut nama paman, 

juga tidak akan mengaku sebagai anggauta keluarga paman. 

Saya akan mengaku sebagai seorang saudara sepupu dari Lie li-

hiap...... ah, siapa tadi nama samarannya Cian Ciang-kun?”


364

“Ketika kuselundupkan sebagai dayang, namanya Akim, akan 

tetapi setelah menjadi selir Pangeran Souw Han, ia diberi nama 

Siauw Cu oleh Permaisuri.”

“Siauw Cu....... hemm, siapakah lebih tua antara kami, Ciang-

kun? Berapa usianya?”

Cian Hui tersenyum. “Aku sendiri tidak tahu berapa usianya. 

Sungguh tidak mudah menaksir usia wanita, apa lagi Lie li-hiap.”

“Usianya duapuluh lima tahun,” kata Pek-liong.

“Dan aku duapuluh enam tahun. Biarlah aku akan mencari adik 

Siauw Cu saudara sepupuku. Tentu saja harus ada surat 

pengantarnya dan kuharap Cian Ciang-kun suka membantuku.”

Cian Ciang-kun memandang kepada Pek-liong seolah minta 

pertimbangan pendekar itu. 

Pek-liong mengerti dan diapun berkata, “Tingkat kepandaian adik 

Cu Sui In cukup tinggi sehingga diharapkan ia akan mampu 

menjaga diri sendiri, juga mungkin saja dapat membantu Liong-li.”

“Bagus kalau begitu! Baiklah, nona Cu, akan kuusahakan agar 

engkau dapat memasuki istana sabagai tamu dari Lie li-hiap. 

Sebetulnya hal ini bahkan baik sekali karena Lie li-hiap dan Tan 

tai-hiap dapat berhubungan dengan aku yang di luar istana 

melaluimu.


365

“Tan tai-hiap, jangan lupa untuk segera memberi kabar kepadaku 

tentang keadaan di sana. Kalau ada bahaya, cepat kabarkan 

sehingga aku dapat mengusahakan bantuan.”

“Hemm, kalau kami terancam bahaya, siapa yang akan dapat 

membantu kami, Ciang-kun?” Pek-liong ingin tahu. 

“Hanya ada satu orang yang akan dapat membantumu, yaitu 

Sribaginda Kaisar sendiri! Kalau memang kalian dapat 

mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan bahwa Si Bayangan 

Iblis berada di istana, maka aku dapat menghadap Sribaginda 

Kaisar yang tentu akan mengerahkan pasukan untuk 

mengadakan pembersihan di istana!”

“Baik sekali. Memang itu satu-satunya jalan. Baiklah, Ciang-kun, 

mari kita membuat persiapan karena aku harus berada di istana 

hari atau malam ini juga agar jangan sampai terlambat.”

“Aku juga ingin cepat-cepat mengunjungi adik Siauw Cu,” kata Cu 

Sui In sambil memandang ke arah Pek-liong. 

Pendekar yang amat dikaguminya itu siap menempuh bahaya. 

Mengapa ia tidak berani? Bukan saja untuk membalas kematian 

suaminya, akan tetapi juga dan ini terutama sekali, agar dia dapat 

bekerja sama dengan Pek-liong!

◄Y►

Pek-liong berhasil dimasukkan ke istana oleh Cian Hui dan 

diterima oleh kepala bagian pemeliharaan kuda istana, seorang 

pejabat istana yang menjadi sahabat Cian Ciang-kun, sebagai


366

seorang tukang memelihara kuda. Pek-liong menggunakan nama 

A-cin dan dengan penyamarannya yang sempurna, dia membuat 

mukanya yang tampan berubah menjadi penuh bopeng yaitu 

totol-totol hitam seperti bekas penyakit cacar. Dan A-cin segera 

diterima dengan baik oleh para pekerja di situ karena dia begitu 

datang pada siang hari itu terus bekerja dengan rajinnya, 

tenaganya kuat dan diapun cepat akrab dengan kuda-kuda yang 

dipelihara di situ, tanda bahwa dia memang sudah biasa merawat 

kuda.

Ketika makan sore, diapun makan hanya sedikit. Orang yang 

sederhana, tidak banyak bicara, tidak banyak makan, akan tetapi 

banyak bekerja seperti inilah yang disukai kawan-kawan 

sekerjanya. 

Diapun pendiam sekali, tidak bicara kalau tidak ditanya. Karena 

itu, dia tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Siapa yang 

akan curigai seorang laki-laki bermuka bopeng, sederhana dan 

rajin bekerja seperti itu?

Ketika malam tiba, diapun lebih suka tidur di kandang kuda, di 

atas rumput-rumput kering, dengan alasan bahwa dia tidak biasa 

tidur di pembaringan yang lunak, apa lagi bersama orang lain. 

Tentu saja kesederhanaannya itu ditertawakan orang, akan tetapi 

mereka sama sekali tidak menaruh keberatan, bahkan girang 

karena kuda-kuda itu ada yang menjaganya sehingga para 

pekerja yang lain boleh enak tidur tanpa terganggu.

Biasanya, kalau ada kuda meringkik tidak wajar, mereka terpaksa 

bangun untuk memerikaa kandang kuda. Sekarang, ada A-cin


367

tidur di istal, mereka tidak perlu bangun lagi kalau ada keperluan 

di kandang itu.

Setelah malam sunyi dan semua pekerja pulas, A-cin berubah 

menjadi sesosok bayangan yang berkelebat cepat. Pek-liong 

selalu berpakaian serba putih, akan tetapi karena sekarang dia 

sedang menyamar dan melakukan penyelidikan, dia menutupi 

pakaian putih itu dengan jubah dan celana hitam, bahkan 

menutupi hidung dan mulutnya dengan saputangan hitam pula. 

Dengan beberapa loncatan saja diapun berkelebat lenyap dari 

situ, ia mengambil jalan yang sudah dihafalnya dari peta yang 

dibuat Cian Hui sebelum mereka memasuki istana tadi.

Dia sudah mempelajari semua keadaan keluarga Kaisar dari Cian 

Hui. Dia tahu bahwa Sribaginda Kaisar Tang Kao Cung yang 

usianya kurang lebih limapuluh tahun itu adalah seorang kaisar 

yang lemah karena seolah-olah menjadi boneka di tangan 

isterinya, Permaisuri Bu Cek Thian! 

Biarpun kaisarnya masih Kaisar Tang Kao Cung, namun sudah 

menjadi rahasia umum bagi para pejabat bahwa segala 

keputusan keluar dari mulut Permaisuri melalui Kaisar. Juga 

Putera Mahkota, Tiong Cung, putera kandung Bu Cek Thian, 

tidak berbeda dari ayahnya, merupakan boneka yang dimainkan 

oleh ibunya sehingga dia terkenal sebagai seorang pangeran 

yang manja, malas dan tidak mempunyai semangat, tidak 

memiliki prakarsa. 

Segala keputusan penting yang diambil Kaisar tentu lebih dulu 

melalui penyaringan Permaisuri. Karena itu, kekuasaan Bu Cek


368

Thian amat besarnya dan semua orang takut kepadanya. Dan 

permaisuri ini terkenal keras dan kejam terhadap lawan-

lawannya, yaitu mereka yang menentang kekuasaannya, juga ia 

memelihara banyak jagoan yang lihai.

Namun, di samping itu semua, Bu Cek Thian terkenal amat 

cerdik. Satu di antara kecerdikannya yang membuat ia berhasil 

dalam ambisinya adalah cara ia mendekati para panglima perang. 

Ia teramat royal bahkan memanjakan para panglima sehingga 

dapat dibilang semua panglima merasa berhutang budi dan suka 

kepadanya, hal yang menimbulkan kesetiaan, dan sekali para 

panglima mendukungnya, maka kekuasaan mutlak berada di 

tangannya tanpa ada yang berani mengganggu gugat.

Di samping Pangeran Tiong Cung yang menjadi Putera Mahkota 

dan yang menjadi seperti boneka di tangan ibunya, ada lagi 

Pangeran Li Tan.Pangeran ini juga putera kandung Bu Cek 

Thian, baru berusia tigabelas tahun. Pangeran ini lebih 

bersemangat dari pada kakaknya, namun karena ia kehilangan 

perhatian dari ibu kandungnya, ia menjadi nakal walaupun cerdik.

Pangeran Souw Cun adalah pangeran yang paling berbahaya di 

antara semua pangeran, demikian Pek-liong mendengar dari Cian 

Hui. Pangeran Souw Cun ini terkenal petualang dan mata 

keranjang, bukan saja suka berkeliaran di luar istana dan 

mendatangi tempat-tempat pelacuran, akan tetapi juga suka 

berburu, berjudi dan mabok-mabokan. Akan tetapi diapun suka 

belajar ilmu silat dan bergaul di antara orang-orang dari dunia 

persilatan. Maka, pangeran itu patut diawasi dan diamati gerak


369

geriknya karena orang seperti dia besar sekali kemungkinannya 

bersekongkol dengan tokoh-tokoh sesat.

Sebaliknya, Pangeran Souw Han terkenal sebagai pangeran yang 

lembut dan baik, jujur dan disuka karena tidak memusuhi siapa 

pun, tidak berambisi dan tidak ikut bersaing memperebutkan 

kekuasaan. Tokoh ini amat penting dan menarik bagi Pek-liong, 

terutama sekali karena kepada pangeran inilah Liong-li diberikan 

sebagai selir! Dia dapat menduga bahwa tidak mungkin Liong-li 

menjadi selir benar-benar. Tentu hal itu hanya merupakan siasat 

saja dari Permaisuri untuk menyelundupkan Liong-li ke dalam 

istana bagian pria dan hendak dijadikan mata-mata atau 

penyelidik demi kepentingan Permaisuri sendiri tentunya.

Di antara banyak pangeran lain yang tidak begitu penting, ada 

lagi seorang pangeran yang patut diperhatikan menurut 

keterangan Cian Hui, yaitu Pangeran Kim Ngo Him, mantu dari 

Sribaginda Kaisar. Menurut Cian Ciang-kun, pangeran yang 

menjadi mantu kaisar inipun berambisi dan dia juga mempunyai 

jagoan-jagoan. Hanya mereka itulah yang perlu mendapatkan 

perhatian utama dari Pek-liong.

Malam itu, Pek-liong berlompatan sambil menyelinap di antara 

wuwungan bangunan istana yang luas, menuju ke tempat tinggal 

Pangeran Kim Ngo Him yang berada di pinggir. Sebagai seorang 

mantu kaisar, tentu saja kedudukannya agak lebih rendah 

dibandingkan dengan pangeran putera kaisar.

Tiba-tiba dengan cepat sekali dia mendekam di balik wuwungan 

karena dia melihat berkelebatnya bayangan hitam dari arah kiri.



370

Bayangan itu ringan sekali gerakannya dan kakinya tidak 

mengeluarkan suara sedikitpun ketika menginjak genteng. Hal ini 

saja membuktikan bahwa bayangan itu memiliki gin-kang (ilmu 

meringankan tubuh) yang hebat. Dan bayangan itupun tiba-tiba 

berhenti, membalik dan begitu tangannya bergerak, nampak 

benda-benda hitam kecil meluncur ke arah tubuh Pek-liong!

Pendekar ini cepat mengelak dengan loncatan ke kanan, dan 

terdengar suara berkelentingan ketika paku-paku itu jatuh ke atas 

genteng. Dan sebelum Pek-liong sempat melarikan diri, bayangan 

itu seperti terbang saja sudah meloncat dan menyerangnya 

bagaikan seekor burung rajawali menyambar mangsanya! Kedua 

tangannnya dijulurkan ke depan, menyerang ke arah kepala Pek-

liong.

Ketika ada angin menyambar membawa hawa panas, Pek-liong 

maklum bahwa lawannya tidak boleh dipandang ringan. Diapun 

mengerahkan tenaga sin-kang menyambut dengan kedua tangan 

terbuka.

“Dessss......!!” Dua pasang telapak tangan bertemu di udara dan 

akibatnya, bayangan hitam itu terdorong dan terlempar ke atas 

sedangkan Pek-liong sendiri harus mempertahankan diri untuk 

tidak terhuyung jatuh. 

Dia merasa betapa tenaga lawan itu amat kuatnya, dan andaikata 

mereka berdua sama-sama berpijak di atas tanah, belum tentu 

dia akan menang tenaga. Orang itu terpental karena tubuhnya 

masih berada di udara. Dan hebatnya orang yang terpental ke


371

atas itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuhnya melayang ke 

bawah.

Ketika Pek-liong mengejar ke bawah, bayangan itu sudah lenyap. 

Melihat keadaan sekelilingnya, Pek-liong merasa yakin bahwa 

orang itu tentu menyelinap masuk ke dalam bangunan itu, tempat 

tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar!

Tentu saja Pek-liong menjadi heran dan curiga. Tentu ada 

hubungan antara si bayangan tadi, entah dia itu Si Bayangan Iblis 

atau bukan, dengan Pangeran Kim Ngo Him. Kalau tidak begitu, 

bagaimana mungkin orang tadi dapat bersembunyi di rumah itu. 

Diapun menyelinap masuk pekarangan lalu memasuki taman di 

sebelah rumah, dengan cepat namun hati-hati dia mendekati 

jendela rumah yang berada di samping.

“Tolong......! Ada penjahat..........!!”

Tadinya Pek-liong terkejut dan mengira bahwa dia yang diteriaki, 

maka dia sudah siap siaga kalau-kalau ada yang akan 

menyerang atau mengeroyoknya. Akan tetapi tidak ada bayangan 

orang, dan di dalam rumah itu terjadi keributan. Diapun meloncat 

ke atas genteng dan melakukan pengintaian.

Di ruangan belakang dia melihat seorang nenek yang usianya 

sudah enampuluh lima tahun lebih, kurus kering, sedang berdiri 

gemetaran dan seorang pemuda tampan yang berpakaian 

bangsawan bersama enam orang pengawal berdiri di depan 

nenek itu. Pangeran itu agaknya marah kepada si nenek yang 

nampak ketakutan.


372

“Lo-ma, engkau membikin kaget saja! Mana ada penjahat? 

Kenapa engkau berteriak-teriak membangunkan seisi rumah 

dengan teriakan penjahat?” tanya bangsawan muda yang bukan 

lain adalah Pangeran Kim Ngo Him seperti yang sudah diduga 

oleh Pek-liong itu. 

Nenek kurus kering itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki 

pangeran. “Aduh, ampunkan hamba yang sudah tua ini, 

pangeran. Bagaimana hamba berani mengacau dan membikin 

ribut? Hamba berani bersumpah bahwa baru saja memang ada 

penjahat masukke sini. Hamba terkejut melihat bayangan hitam 

itu meloncat ke sini. Agaknya diapun tidak menduga bahwa 

hamba belum tidur dan berada di sini, maka dia meloncat lagi dan 

lenyap. Hamba lalu menjerit saking kaget dan takut. Ampunkan 

hamba......” 

“Sudahlah, Kui Lo-ma, jangan ribut lagi. Hayo kalian cepat 

melakukan perondaan dan pemeriksaan!” kata pangeran itu 

kepada para pengawalnya. 

Mendengar ini, Pek-liong sudah mendahului meloncat pergi 

meninggalkan tempat itu. Dia kini merasa yakin bahwa memang 

ada penjahat yang lihai sekali berkeliaran di istana, dan agaknya 

penjahat itu tidak mempunyai hubungan apapun dengan Kim Ngo 

Him. 

Namun hal ini bukan berarti bahwa nama Kim Ngo Him sudah 

semestinya dihapus dari daftar orang-orang yang dia dicurigai. 

Tidak, dia akan tetap mengamati pangeran mantu kaisar ini. Dia 

lalu melakukan penyelidikan ke bagian lain, kini hendak


373

menyelidiki keadaan tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Karena 

Cian Ciang-kun sudah memperingatkan bahwa di antara para 

pangeran, Pangeran Souw Cun ini yang paling berbahaya, dan 

dia memiliki banyak jagoan lihai, maka Pek-liong bersikap hati-

hati sekali.

Sementara itu, sejak sore tadi, Liong-li sudah sadar dari keadaan 

mabok madu asmara sehari penuh ia dan Pangeran Souw Han 

berenang dalam lautan madu asmara yang penuh kemesraan. 

Biarpun ia sudah banyak bergaul dengan pria, harus diakuinya 

bahwa baru pertama kali itu selama hidupnya ia merasakan 

kemesraan yang penuh kelembutan sehingga amat mengharukan 

hati. Mendekap pangeran itu dalam pelukan rasanya seperti 

mendekap seorang bayi yang mulus dan murni. 

Hal ini tidak mengherankan karena Pangeran Souw Han juga 

selamanya baru sekali itu berdekatan penuh mesra dengan 

seorang wanita. Dia mencurahkan semua perasaan cintanya 

kepada Liong-li sehingga keduanya terbuai dan lupa diri, tak 

pernah meninggalkan pembaringan, bahkan lupa makan! 

Baru setelah keadaan cuaca di kamar itu gelap karena matahari 

tidak lagi meneroboskan cahayanya ke situ, dan Pangeran Souw 

Han menyalakan lampu penerangan, mereka seakan terseret 

kembali ke dunia sadar. Keduanya baru mendengar keruyuk 

perut mereka yang lapar.

“Aih, laparnya perutku!” Liong-li tertawa dan Pangeran Souw Han 

merangkul perut yang kempes itu.

“Kasihan perutmu, enci Cu,” katanya sambil membelai.


374

Liong-li menggelinjang dan melompat turun dari pembaringan, 

menyambar pakaiannya.

“Cukup, Pangeran. Jangan kaujamah lagi aku, tak kuat lagi 

aku......” 

Pangeran Souw Han juga tertawa. “Sehari kita tidak makan, enci 

Cu. Mari kita makan!” 

Setelah mereka berpakaian rapi, baru Pangeran Souw Han 

membuka daun pintu dan bertepuk tangan memanggil para 

dayangnya. Lima orang dayang itu datang menghadap dan 

mereka saling pandang dengan sinar mata penuh pengertian 

ketika mereka melihat betapa kusutnya kedua orang majikan 

mereka itu, dan betapa wajah pangeran yang tampan itu agak 

pucat, sedangkan wajah Liong-li kemerahan.

“Kami lapar, hidangkan makanan yang paling lezat!” perintah 

Pangeran Souw Han. 

Memang para dayang itu sudah sejak tadi mempersiapkan 

makanan. Mereka menanti dengan hati gembira bercampur 

tegang, karena pangeran dengan selirnya itu tidak pernah keluar 

dari dalam kamar selama sehari penuh!

“Bagaimana dengan punggungmu, sayang?” tanya Pangeran 

Souw Han sambil memegang kedua tangan Liong-li.

Liong-li tersenyum. “Sudah sembuh, pangeran. Ternyata belaian 

tanganmu yang penuh kasih lebih manjur dari pada obatku.”


375

Kembali keduanya tersenyum dan Pangeran Souw Han 

merangkul dan mencium wanita yang merupakan wanita pertama 

dalam hidupnya itu. Akan tetapi, ciumannya tidak dapat 

dipertahankan lama karena terdengar langkah kaki para dayang 

yang memasuki kamar membawa hidangan yang mereka atur di 

atas meja.

Tak lama kemudian, Liong-li dan Pangeran Souw Han sudah 

makan minum dengan gembiranya. Sehari berenang di lautan 

madu asmara membuat mereka merasa letih, lemas dan lapar 

sekali. Lauk pauk yang paling lezat adalah hati senang, badan 

sehat dan perut lapar! Apa lagi hidangan yang dibawa para 

dayang itu merupakan hidangan yang serba lezat. Tidak aneh 

kalau kedua orang itu makan dengan gembulnya.

Setelah malam tiba, Liong-li berkemas, berganti pakaian hitam, 

siap untuk melaksanakan tugasnya. Melihat wanita yang 

dikasihinya itu, yang kini seolah sudah melekat di hatinya dan di 

dagingnya, Pangeran Souw Han merangkulnya.

“Tidak, enci Cu! Tidak! Engkau tidak boleh pergi. Engkau baru 

saja menderita cambukan, dan sekarang hendak menghadapi 

bahaya? Engkau sudah dicurigai, tentu mereka itu lebih waspada 

dan selalu akan mengintai semua gerak gerikmu!”

Liong-li merasa betapa lembutnya rangkulan itu, betapa penuh 

perasaan kasih sayang, betapa mesranya dan hatinya terharu. 

Akan tetapi ia bukan seorang wanita lemah. Ia mengusir 

keharuannya dengan senyum, senyum bahagia. Ia merasa 

berbahagia sekali bahwa dirinya, seorang wanita kang-ouw yang


376

bahkan pernah dipaksa menjadi pelacur, seorang wanita dengan 

tubuh yang sudah ternoda, kini bisa mendapatkan kasih sayang 

yang demikian besarnya dari Pangeran Souw Han yang budiman 

dan bijaksana ini.

Kenyataan itu saja adalah merupakan karunia yang amat besar 

baginya, yang membuatnya bangga menjadi manusia! Akan 

tetapi ia tidak mau membiarkan .dirinya tenggelam ke dalam 

kebahagiaan dan kenikmatan hidup itu. Ia tidak ingin menyeret 

pangeran yang demikian berbudi ke dalam jalan hidupnya yang 

penuh kekerasan, penuh bahaya dan petualangan. 

Dengan lembut iapun melepaskan diri dari rangkulan pangeran itu 

dan melangkah mundur. Ia membereskan ikat pinggangnya, 

menyelipkan pedang Hek-liong-kiam di balik jubahnya, 

memperkuat ikatan rambutnya dan tersenyum memandang 

kepada pangeran itu.

“Pangeran, ingatlah akan semua peringatan saya pagi tadi. Kita 

memang telah minum anggur asmara bersama dan harus kuakui 

bahwa saya sendiri hampir mabok, pangeran. Belum pernah saya 

merasakan kebahagiaan yang demikian besar seperti tadi.”

“Itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh berpisah lagi, enci Cu. 

Engkau harus menjadi isteriku, hidup bersamaku selamanya......” 

kata pangeran itu penuh semangat.

Senyum Liong-li melebar, akan tetapi ia menggeleng kepala. 

“Ingat ucapan saya tadi, Pangeran. Saya, tidak mungkin dapat 

menjadi isterimu, bahkan selirmu pun tidak, walaupun saya akan


377

berbohong kalau mengatakan bahwa hati saya tidak 

menginginkan hal itu. 

“Hidup selamanya di sampingmu, betapa akan indahnya! Akan 

tetapi tidak mungkin. Saya seorang tokoh kang-ouw, seorang 

petualang yang terbiasa hidup bebas, hidup tanpa kekangan, 

terbiasa menghadapi bahaya-bahaya maut, bermusuhan dengan 

tokoh-tokoh sesat yang lihai dan berbahaya.

“Nah, saya harap paduka dapat menginsafi hal ini. Nanti apa bila 

pengaruh anggur asmara tadi sudah agak mereda, tentu paduka 

akan dapat melihat kebenaran pendapat saya, Betapapun juga, 

Bumi dan Langit menjadi saksi bahwa selama hidup saya, saya 

tidak akan dapat melupakan keindahan yang kita nikmati sehari 

tadi, Pangeran. Nah, saya pergi, pangeran.”

Sekali berkelebat, Liong-li sudah lenyap dari depan pangeran itu 

yang seketika merasa lemas dan dia pun menjatuhkan diri di atas 

pembaringan yang masih kusut itu. Dipeluknya bantal yang masih 

mencium bau badan yang khas dari Liong-li dan sejenak

pangeran itu seperti tertidur. Akan tetapi, akhirnya dia menarik 

napas panjang dan bangkit duduk, termenung.

Semua ucapan wanita itu terngiang di telinganya dan beberapa 

kali diapun mengangguk-angguk. Dia dapat menyelami 

perasaaan wanita kang-ouw itu. Bagaikan seekor burung hutan, 

yang akan mati lemas dan penuh duka kalau dikurung, walaupun 

dalam kurungan emas, demikian pula Liong-li akan merana kalau 

harus hidup sebagai seorang puteri di istana. Bunga mawar rimba


378

yang liar, mungkin bahkan akan menjadi kurus kalau dipindahkan 

ke dalam taman yang indah terpelihara baik-baik.

Dia mengeluh. Dia merasa ragu apakah dia akan pernah dapat 

jatuh cinta kepada wanita lain. Agaknya tidak mungkin di dunia ini 

dia akan dapat menemukan Liong-li kedua yang bersedia menjadi 

isterinya atau selirnya. Dan sejak saat itu, Pangeran Souw Han 

merasa kehilangan sekali, bahkan merasa betapa hidup ini akan 

menjadi sunyi dan tak berarti tanpa adanya Liong-li di 

sampingnya.

Sementara itu, Liong-li keluar dari rumah Pangeran Souw Han 

dengan hati-hati sekali. Sebelum ia memperlihatkan diri di tempat 

terbuka di luar rumah, lebih dulu ia mengintai dan setelah merasa 

yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya, baru ia 

melompat keluar melalui taman bunga di belakang rumah. Ia 

menyusup-nyusup di antara pohon dalam taman itu, kemudian 

melompati pagar tembok di belakang dan baru ia berani 

melompat ke atas genteng bangunan di luar kompleks 

perumahan Pangeran Souw Han. 

Sisa-sisa kemesraan yang masih melekat di perasaannya 

ditanggalkannya setelah ia berada di udara terbuka, setelah 

tubuhnya diterpa hawa dingin malam itu dan iapun sudah mampu 

sama sekali melupakan bayangan Pangeran Souw Han, dan 

sepenuhnya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk pelaksanaan 

tugasnya. Malam ini ia harus berhasil meringkus Kwi-eng-cu, Si 

Bayangan Iblis!



379

Malam ini ia akan menyelidiki tempat tinggal Pangeran Kim Ngo 

Him, mantu kaisar itu. Ada pula bayangan menghilang di rumah 

ini ketika ia melakukan penyelidikan yang lalu. 

Untuk sementara ini agaknya Pangeran Souw Cun tidak akan 

berani melakukan tindakan, setelah apa yang terjadi pagi tadi. 

Kemarahan Pangeran Souw Han kepadanya, ancaman Pangeran 

Souw Han untuk melapor kepada Kaisar dan Permaisuri, tentu 

akan membuat Pangeran Souw Cun tidak berani banyak 

membuat ulah untuk sementara ini. Maka, yang paling tepat untuk 

diselidiki adalah Pangeran Kim Ngo Him.

Ketika ia tiba di dekat tembok pekarangan rumah tinggal 

Pangeran Kim Ngo Him, ia melihat sesosok bayangan hitam 

muncul dari dalam. Dengan gerakan lincah, bayangan itu 

meloncat dari dalam ke atas wuwungan rumah itu, berdiri tegak 

memandang ke sekeliling. 

Bayangan itu mengenakan pakaian serba hitam dan kepalanya 

dibungkus kain hitam pula. Ada dua ujung kain itu mencuat ke 

atas sehingga nampaknya seperti tanduk. Bayangan itu memiliki 

bentuk tubuh yang kurus agak jangkung.

Dengan jantung berdebar tegang Liong-li menahan diri untuk 

tidak segera muncul turun tangan. Ia tidak ingin gagal kali ini, 

tidak akan tergesa-gesa. Kalau ia muncul menyerang dan 

bayangan itu lari lagi ke dalam gedung tempat tinggal Pangeran 

Kim Ngo Him, tentu ia tidak akan melakukan pengejaran. Terlalu 

berbahaya, karena selain sukar mencarinya di di dalam gedung 

yang tidak dikenalnya, juga mungkin malah rahasianya akan


380

terbuka. Ia harus menanti saat yang baik dan akan membayangi 

dulu.

Bayangan itu memandang ke sekeliling beberapa saat lamanya, 

kemudian tubuhnya melayang turun dari atas genteng dengan 

cepat bagaikan seekor burung saja. Liong-li kagum dan iapun 

cepat melayang turun dari samping rumah yang berlawanan, 

kemudian ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-

pohon dan bangunan ketika melihat bayangan itu keluar dari 

pagar gedung Pangeran Kim Ngo Him lalu lari menuju ke bagian 

belakang kompleks istana.

Bayangan itu terus berlari cepat menuju ke bagian paling 

belakang dari kompleks istana di mana terdapat sebuah bukit 

kecil. Di atas bukit ini terdapat sebuah hutan buatan di mana 

dipelihara binatang-binatang hutan yang jinak seperti kijang, 

kelinci dan sebagainya. Juga di puncaknya terdapat kuil istana. 

Keluarga kaisar suka berpesiar di dalam hutan yang indah dan 

tidak berbahaya ini dan kuil itu merupakan tempat sembahyang 

dan pemujaan dari para anggauta keluarga kaisar.

Ketika tiba di tepi hutan, Liong-li yang tidak ingin kehilangan 

orang yang dikejarnya itu, mempercepat larinya agar jaraknya 

tidak terlampau jauh. Sejak tadi ia sudah kagum karena orang itu 

harus diakuinya memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Ia harus 

mengerahkan tenaganya untuk dapat membayangi terus orang itu 

dan hal ini saja sudah memberi peringatan kepadanya bahwa ia 

menghadapi lawan yang lihai.


381

Tiba-tiba bayangan itu membalikkan tubuhnya dan kedua 

tangannya bergerak. Terdengar bunyi berdesingan dan Liong-li 

cepat mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri karena 

ada paku-paku yang menyambar-nyambar ke arahnya secara 

berturut-turut. 

Sungguh berbahaya sekali penyerangan itu. Paku pertama 

menyambar dan ketika ia mengelak ke kiri, paku kedua 

menyambar ke tempat ia mengelak. Ketika ia mengelak dari 

sambaran paku kedua, paku ketiga mengejarnya! Sampai 

berturut-turut ada tujuh buah paku menyambar dan tentu saja, 

penyerangan ini amat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki 

kelincahan gerakan seperti Liong-li.

Orang itu telah melihatnya. Inilah saatnya untuk turun tangan 

menangkapnya, pikir Liong-li, maka elakan yang terakhir dari 

paku ketujuh dilakukan dengan melayang ke depan dan langsung 

tubuhnya meluncur bagaikan seekor naga melayang di angkasa 

dan menubruk ke arah penyerangnya!

“Ehhh......!” Orang itu mengeluarkan seruan kaget dan agaknya 

bayangan itu tidak mengira bahwa orang yang membayanginya 

demikian lihainya, bukan saja mampu menghindarkan diri dari 

tujuh batang pakunya, akan tetapi bahkan berbalik menyerang 

sedahsyat itu!

Akan tetapi, tepat seperti yang diduga oleh Liong-li, bayangan itu 

lihai sekali. Biarpun penyerangan Liong-li yang dilakukan dengan 

tubuh melayang seperti itu amat berbahaya, namun orang itu 

dengan lincahnya telah dapat menyingkir dengan loncatan ke


382

kanan dan begitu tubuh Liong-li turun ke atas tanah, dia malah 

menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak 

mencengkeram, yang kiri mencengkeram kepala, yang kanan 

mencengkeram ke arah dada!

Liong-li menggerakkan kedua tangannya menangkis dari samping 

dengan kedua lengan diputar melingkar ke atas dan bawah 

sambil mengerahkan tenaga karena ia hendak mengukur 

kekuatan lawan. Jelas bahwa lawan memiliki gin-kang yang hebat 

dan hanya sedikit di bawah tingkatnya sendiri. Kini ia ingin 

mengukur tenaga lawan.

“Dukkkk!” Dua pasang lengan ini bertemu dan akibatnya sungguh 

mengejutkan kedua pihak. 

Liong-li terdorong mundur dua langkah, akan tetapi orang itupun 

terjengkang dan terhuyung. Kiranya dalam hal tenaga sinkang 

merekapun seimbang dan hal ini tentu saja membuat Liong-li 

amat berhati-hati. Tentu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) itu, 

melihat akan kelihaiannya. Iapun mendesak dengan serangan-

serangan kilat yang nampaknya lemah lembut namun amat 

berbahaya karena ia telah memainkan ilmu silat Bi-jin-kun (Silat 

Wanita Cantik) yang nampaknya seperti orang menari-nari indah 

saja namun setiap tamparan tangan atau tendangan kaki 

merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan. 

Namun lawan itu lihai dan selain dapat menghindarkan semua 

serangan Liong-li, juga mampu membalas dengan serangan 

balasan yang takkalah ampuhnya, bahkan ketika tangannya


383

menyambar, Liong-li dapat mencium bau amis, tanda bahwa 

tangan orang itu mengandung hawa beracun!

“Plakk! Plakk!” Kembali tangan mereka bertemu dan orang itu 

mengeluarkan seruan kaget dan melangkah mundur. 

Liong-li tersenyum di balik kedoknya. Tentu orang itu terkejut 

karena merasa betapa telapak tangannya menjadi panas bertemu 

dengan tangannya. Ia tadi telah mengerahkan tenaga Hiat-tok-

ciang (Tangan Darah Beracun)! Akan tetapi agaknya orang itu 

mampu menolak pengaruh hawa beracun dari tangannya. 

Buktinya orang itu tidak mundur, bahwa kini mencabut sebatang 

pedang yang berkilauan dan mengamuk, menyerangnya bertubi-

tubi. 

Liong-li belum mau mencabut Hek-liong-kiam. Ia tahu bahwa 

sekali mencabutnya, tidak mungkin lagi ia menyembunyikan 

keadaan dirinya. Wajahnya dapat ditutupi kedok, akan tetapi Hek-

liong-kiam pasti akan dikenal orang dan di dunia ini tidak ada dua 

Hek-liong-kiam. Satu-satunya yang berada di tangan Hek-liong-li! 

Maka, iapun hanya melindungi diri dengan ilmu Liu-seng-pouw 

(langkah Ajaib Bintang Cemara). Dengan ilmu ini, sambaran 

pedang lawan selalu dapat ia elakkan dengan geseran-geseran 

kaki yang melangkah secara aneh.

Sudah ada tigapuluh jurus lebih mereka berkelahi dan tiba-tiba 

bayangan yang lihai itu meloncat ke dalam hutan setelah 

terdengar suitan lirih dari dalam hutan. Liong-li tidak berani 

mengejar. Bukan saja karena hutan itu gelap dan mengejar orang 

berbahaya dan lihai di dalam hutan yang gelap amatlah



384

berbahaya. Ia dapat dibokong dan dijebak, juga suara suitan tadi 

membuktikan bahwa orang yang lihai itu masih mempunyai 

kawan di dalam hutan!

Tiba-tiba wajah Liong-li berubah pucat. Orang tadi jangan-jangan 

hanya memancing agar ia pergi lama meninggalkan Pangeran 

Souw Han! Teringat ia akan peristiwa di pagi hari tadi. Pangeran 

Souw Han telah mengeluarkan ancaman kepada Pangeran Souw 

Cun, berarti bahwa pangeran yang disayangnya itu terancam 

bahaya. 

Ia tidak akan ingat tentang hal ini kalau saja ia tidak melihat sikap 

bayangan yang mencurigakan tadi. Bayangan itu tidak 

melanjutkan perkelahian dengannya, pada hal bayangan itu 

belum kalah, bahkan di dalam hutan masih ada kawannya. Dan 

suitan tadi, bukankah itu merupakan isyarat agar bayangan yang 

melawannya itu pergi meninggalkannya? Agaknya ia sengaja 

dipancing dengan akal “memancing harimau meninggalkan 

sarang”, tentu untuk mengambil atau mengganggu anak harimau. 

Pangeran Souw Han! Teringat ini, Liong-li meloncat, 

meninggalkan tepi hutan itu dan kembali ke gedung tempat 

tinggal Pangeran Souw Han. Jantungnya berdebar penuh 

ketegangan ketika ia tiba di atas genteng rumah Pangeran Souw 

Han. Dengan ringan tubuhnya lalu meluncur turun dan ia 

memasuki rumah melalui pintu samping. 

Ketika ia tiba di depan pintu kamar sang pangeran, hatinya lega 

karena nampaknya tidak ada terjadi sesuatu dan sunyi saja di 

situ. Tentu pangeran telah pulas, juga lima orang pelayan di


385

belakang. Kasihan sang pangeran, pikirnya sambil tersenyum. 

Terlalu lelah dia sehari tadi sehingga kini tentu sedang pulas dan 

bermimpi indah tentang pengalamannya siang tadi. 

Ia tidak tega untuk mengetuk pintu menggugahnya, maka ia lalu 

mengambil jalan memutar ke samping, dan mencoba untuk 

membuka jendela dengan dorongan. Akan tetapi, daun jendela itu 

terbuka dengan mudah. Tidak dikunci! Betapa sembrononya sang 

pangeran, dan juga para pelayan dayang itu. Jendela dibiarkan 

tidak dikunci dari dalam! Ia membuka jendela dan melompat ke 

dalam. 

Gelap di dalam. Ia lalu menyalakan lilin dan ketika memandang 

ke arah pembaringan, tubuh pangeran nampak tidur miring 

menghadap ke dinding. Kelambunya tertutup dan sepasang 

sepatu pangeran itu berjajar rapi di bawah pembaringan.

Melihat tubuh pangeran itu rebah miring, bergolak pula darah di 

tubuh Liong-li. Tidak, ia tidak akan menuruti nafsu berahinya. 

Akan tetapi ia harus menjenguk sang pangeran, melihat bahwa 

dia selamat dan setelah yakin, baru ia akan pergi lagi.

Dihampirinya pembaringan. Disingkapnya kelambu dan...... ia 

terbelalak, mukanya berubah pucat sekali.

“Pangeran.......!” Ia menjerit lirih sambil menubruk. Akan tetapi, ia 

terkulai lemas dan di lain saat ia telah merebahkan mukanya di 

dada yang sudah tidak lagi berdetak atau bernapas itu. Pangeran 

Souw Han telah tewas!

“Ya Tuhan.......! Pangeran Souw Han......!”


386

Liong-li menggigit bibirnya sendiri, menahan sekuatnya untuk 

tidak menjerit dan menangis. Beberapa menit kemudian, setelah 

ia merebahkan kepalanya di dada yang tak bernapas lagi itu, ia 

bangkit, mengusap kedua mata yang sempat basah, lalu 

memeriksa. Sebentar saja ia menemukan sebab kematian pria 

itu. Pelipis kirinya retak oleh pukulan yang amat kuat dan dia 

tentu tewas seketika tanpa mampu berteriak lagi. Dia telah 

dibunuh secara kejam!

Ia bangkit berdiri, menatap wajah yang tampan itu, wajah yang 

kini nampak lebih tenang dari pada biasanya, dan bibir itupun 

mengembangkan senyum mati. “Pangeran, maafkan saya...... 

engkau mati karena terlibat penyelidikan saya. Tenangkan dirimu, 

pangeran. Aku bersumpah untuk membalas kematianmu, akan 

kubunuh orang yang telah menewaskanmu!” Setelah berkata 

demikian, ia menyelimuti tubuh pangeran itu sampai ke lehernya, 

kemudian ia mulai menyelidik. 

Kamar itu jelas dimasuki orang dan nampak barang berserakan. 

Terutama sekali lemari pakaian. Pakaian yang biasa ia pakai 

terutama berserakan di luar lemari. Kemudian ia lari ke bagian 

belakang dan makin gemaslah ia ketika melihat betapa lima 

orang dayang pelayan itupun telah mati semua! Juga mati karena 

pukulan pada kepala mereka!

“Jahanam Pangeran Souw Cun!” Liong-li mengepal tinju. Ia 

merasa pasti bahwa tentu pangeran jahanam itu yang telah 

membunuh Pangeran Souw Han dan enam orang dayang 

pelayannya. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Souw Cun itu?


387

Pagi tadi mereka bertengkar. Pangeran Souw Han telah 

mengeluarkan kata-kata ancaman. Dan untuk menjaga agar tidak 

ada saksi bahwa dia pernah menculik selir Pangeran Souw Han, 

maka lima orang dayang pelayan itupun dibunuh! Kalau ia berada 

di kamar itu, tentu akan dibunuh pula. Dan kini, melihat bahwa ia 

tidak berada di kamar, tentu Pangeran Souw Cun semakin curiga 

dan tahu bahwa ia adalah seorang penyelundup dan penyelidik 

yang menyamar selir Pangeran Souw Han.

“Keparat engkau Pangeran Souw Cun! Akan kubasmi engkau dan 

semua antek-antekmu!” katanya dengan suara mendesis.

Biasanya Liong-li merupakan seorang yang dapat menguasai 

perasaannya dan tidak mudah terseret oleh nafsu amarah. Akan 

tetapi sekali ini, ia merasa demikian sedih dan marah sehingga ia 

seperti lupa diri. Kedua matanya yang mencorong itu 

mengeluarkan sinar berapi-api dan mata itu masih selalu basah 

air mata yang ditahan-tahannya sehingga tidak sempat mengalir. 

Cuping hidungnya kembang kempis dan bibirnya bergerak-gerak, 

dagunya mengeras. Ia saat itu berubah menjadi Dewi Maut 

sendiri! 

Tengah malam telah lama lewat ketika bayangan Liong-li yang 

dibakar kemarahan itu berkelebat di atas wuwungan rumah 

pangeran Souw Cun. Seorang ahli silat yang mempunyai banyak 

musuh, yang hidupnya selalu dibayangi bahaya, haruslah selalu 

waspada. Dan perasaan duka dan marah mengurangi 

kewaspadaan itu.


388

Demikianlah pula dengan Liong-li. Karena hatinya dibakar 

dendam kemarahan, ia lupa akan keadaan dirinya, lupa bahwa ia 

sedang dalam penyamaran, sedang melakukan tugas 

penyelidikan. Yang memenuhi ingatannya hanyalah bahwa 

pangeran yang disayangnya telah dibunuh secara kejam dan ia 

harus membalas dendam terhadap pembunuhnya!

Hal ini mengurangi kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu sama 

sekali bahwa ia seperti masuk dalam perangkap yang dipasang 

orang-orang yang amat cerdik dan lihai. Tidak ada lagi 

kecurigaan penuh kewaspadaan yang selalu menyertai dirinya, 

dan ia menjadi semberono. Begitu saja ia melompat ke atas 

wuwungan rumah, kemudian dengan penuh keberanian karena 

marah ia melayang turun ke pekarangan samping gedung tempat 

tinggal Pangeran Souw Cun.

Begitu kedua kakinya turun menginjak tanah, tiba-tiba terdengar 

bentakan-bentakan nyaring dari sekelilingnya dan bermunculan 

banyak sekali orang, ada belasan orang jumlahnya.

“Tangkap Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”

“Dia telah membunuh Pangeran Souw Han!” 

“Tangkap penjahat!”

“Bunuh Si Bayangan Iblis!”

Liong-li yang tadinya marah sekali, kini terkejut bukan main 

mendengar teriakan-terikan ini. Ia disangka Si Bayangan Iblis! 

Bukan itu saja, ia malah dituduh pembunuh Pangeran Souw Han!


389

Ini merupakan perangkap yang berbahaya sekali! Jelas bahwa 

mereka sudah tahu akan kematian Pangeran Souw Han dan ini 

membuktikan bahwa pembunuhnya adalah Pangeran Souw Cun 

dan antek-anteknya.

Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir tentang ini karena 

pada saat itu dirinya sudah dikepung. Ketika ia hendak meloncat 

kembali naik ke atas wuwungan, ia melihat di atas genteng telah 

berdiri beberapa bayangan orang pula. Ia telah terkepung di 

sekelilingnya, bahkan di atasnya! Dan pada saat itu, beberapa 

orang sudah mulai menyerangnya dengan senjata tajam dan 

melihat gerakan mereka, ia tahu bahwa mereka adalah orang-

orang yang lihai. 

Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah pengawal-

pengawal dan jagoan- jagoan peliharaan Pangeran Souw Cun, Di 

antara mereka terdapat pula dua orang yang pagi tadi 

menangkapnya, bahkan kemudian mencambuknya. Masih 

nampak jalur-jalur merah di muka mereka ketika Pangeran Souw 

Han membalas dengan mencambuki mereka itu. Ingatan ini saja 

mendatangkan kembali kenangan manis betapa Pangeran Souw 

Han membelanya dan menyayangnya. Timbullah kemarahannya 

lagi.

“Jahanam-jahanam busuk!” bentaknya dan sekali tangannya 

bergerak, nampak sinar hitam berkelebat, disusul sinar itu 

bergulung-gulung dan dua orang yang pagi tadi mencambukinya 

itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan mereka pun jatuh 

bergulingan, sengaja menggulingkan tubuh menjauh sambil 

mengaduh-aduh karena lengan kanan yang memegang pedang


390

telah terbabat sinar hitam dan putus! Tentu saja hal ini 

mengejutkan semua orang yang mengeroyoknya.

“Aha! Kiranya Hek-liong-li......!”

Liong-li membalik dan melihat siapa yang berseru itu. Sesosok 

bayangan tinggi kurus agak bongkok melayang turun dari atas 

genteng dan ketika bayangan itu tiba di depannya, ia 

mengenalnya sebagai Bouw Sian-seng, guru sastra yang nampak 

lemah dan tolol itu, yang pagi tadi juga telah menyiksanya!

Karena agaknya para pengawal terkejut dan gentar mendengar 

disebutnya Hek-liong-li, apa lagi melihat betapa dua orang kawan 

mereka kehilangan lengan kanan dalam segebrakan saja begitu 

Hek-liong-li menggerakkan pedangnya, kini mereka menahan 

serangan dan hanya memandang dengan penuh perhatian 

kepada wanita yang mengenakan pakaian serba hitam, 

bertopeng saputangan sutera hitam dan memegang sebatang 

pedang hitam yang memiliki sinar mengiriskan itu.

“Dan kiranya engkau yang menyamar sebagai guru tolol yang 

menjadi pemimpin para penjahat di istana!” Liong-li berseru.

“Ha-ha! Yang menjadi Si Bayangan Iblis ternyata Hek-liong-li. 

Kepung! Tangkap atau bunuh!” Bouw Sian-seng dengan 

suaranya yang parau berteriak dan dia sendiri sudah melolos 

sebatang rantai baja yang tadinya dijadikan sabuk, lalu memutar 

rantai baja itu, menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat 

sekali.


391

Liong-li sudah menjadi marah bukan main. Ia datang untuk 

membalas kematian Pangeran Souw Han kepada Pangeran 

Souw Cun dan kaki tangannya, akan tetapi kini ia malah dituduh 

sebagai pembunuh Pangeran Souw Han, dan juga dituduh 

sebagai Kwi-eng-cu!

“Keparat!” bentak Liong-li dan iapun menggerakkan pedang Hek-

liong-kiam untuk menangkis, mengerahkan tenaga agar rantai 

baja terbabat putus.

“Tranggg......!!” Bunga api berpijar dan Liong-li terkejut sekali. 

Rantai baja itu tidak putus, membuktikan bahwa rantai itu terbuat 

dari baja pilihan yang dapat menahan Hek-liong-kiam, juga ia 

merasa betapa lengan kanannya tergetar.

Kiranya si kurus agak bongkok yang kelihatan sebagai seorang 

sasterawan lemah ini memiliki sin-kang yang hebat, 

mengingatkan ia akan bayangan hitam yang pernah dilawannya 

dan yang menyerangnya dengan paku! Jelas bahwa bayangan 

hitam yang tadi bertubuh kurus pendek, tidak jangkung seperti ini. 

Akan tetapi, Bouw Sian-seng ini ternyata lihai sekali dan kini 

rantai baja itu sudah menyambar-nyambar dengan ganas dan 

dahsyatnya. Iapun memutar pedangnya menangkis dan balas 

menyerang.

Anak buah Bouw Sian-seng yang datang mengeroyok rata-rata 

memiliki kepandaian yang tinggi dan karena tingkat kepandaian 

Bouw Sian-seng seimbang dengannya, maka dikeroyok belasan 

orang lihai itu, Liong-li mulai terdesak. Akan tetapi begitu ia 

menggerakkan pedangnya dan memainkan Sin-liong Kiam-sui


392

(Ilmu Pedang Naga Sakti), belasan orang pengeroyok itu terkejut 

karena kembali ada dua orang pengeroyok yang terluka oleh 

sambaran sinar pedang.

Ilmu pedang ini memang hebat sekali, apa lagi kalau dimainkan 

bersama Pek-liong karena ilmu ini adalah hasil rekaan Liong-li 

dan Pek-liong yang mengambil inti sari dari ilmu pedang masing-

masing, mengambil yang kuat membuang atau menutupi yang 

lemah dan menggabungkannya menjadi ilmu pedang itu.

“Kepung ketat, jangan sampai lolos!” Bouw Sian-seng berseru 

dengan marah sekali dan diapun mempercepat putaran rantai 

bajanya, menyerang dengan marah. Para pembantunya 

mendesak pula dan kepungan mereka semakin rapat sehingga 

kembali Liong-li sibuk sekali karena datangnya serangan seperti 

hujan membuat ia hampir tidak ada kesempatan sama sekali 

untuk membalas.

“Trang-trang-tranggg.......!” Pedang pusaka Naga Hitam 

menangkisi banyak senjata para pengeroyok dan dua batang 

golok patah-patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akan 

tetapi karena terpaksa menangkis banyak senjata, Liong-li tidak 

sempat lagi mengelak dengan baik ketika rantai yang bergulung-

gulung itu menghantam dengan totokan maut ke arah dadanya. Ia 

hanya mampu merendahkan tubuh dan miring sedikit, namun ini 

tidak cukup dan ujung rantai masih mengenai pangkal lengan 

kirinya bagian luar sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka 

mengucurkan darah.


393

Liong-li terkejut dan mengelebatkan pedangnya ke arah leher 

Bouw Sian-seng yang ternyata lihai sekali itu. Bouw Sian-seng 

terpaksa harus mundur karena sambaran pedang itu dapat 

memenggal lehernya dan dari belakang sebuah tendangan 

menyambar keras dan biarpun sudah dielakkan tetap saja 

mengenai paha kanan Liong-li bagian belakang.

Pendekar wanita itu terhuyung dan untung ia masih sempat 

memutar pedangnya menghalau rantai yang kembali sudah 

menyambar dahsyat. Akan tetapi, luka di pangkal lengannya 

terasa nyeri dan juga bekas tendangan tadi cukup keras 

membuat ia tidak leluasa lagi memainkan Liu-seng-pouw 

sehingga gerakannya tidaklah selincah tadi. Ia dalam bahaya!

Melihat ini, Bouw Sian-seng tertawa, “Ha-ha-ha, Hek-liong-li, 

sekali ini engkau tidak akan dapat lolos dari tanganku! Engkau 

telah berani menjadi Kwi-eng-cu yang mengacaukan istana, 

bahkan berani membunuh Pangeran Souw Han!”

Teriakan ini cukup lantang dan terdengarlah para pengawal itu 

berteriak-teriak.

“Basmi Kwi-eng-cu!” 

“Tangkap pembunuh Pangeran Souw Han!” 

“Bunuh saja siluman ini!”

Gawat keadaannya, pikir Liong-li. Ia berada di situ untuk 

menyelidiki Kwi-eng-cu, dan iapun hendak membalas dendam 

atas kematian Pangeran Souw Han. Akan tetapi sebaliknya ia


394

malah dituduh membunuh Pangeran Souw Han dan disangka 

Kwi-eng-cu. Sikap Bouw Sian-seng dan para anak buahnya itu, 

pembantu-pembantu Pangeran Souw Cun, sungguh membuat ia 

menjadi bingung. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka 

tidak membunuh Pangeran Souw Han, juga Bouw Sian-seng 

bukan Kwi-eng-cu. Ataukah semua itu hanya sandiwara belaka!

Pikirannya tidak dapat bekerja banyak, karena seluruh 

perhatiannya harus ia curahkan kepada gerakan tubuhnya untuk 

menyelamatkan diri dari pengepungan yang demikian ketatnya.

Tiba-tiba nampak sesosok bayangan hitam lain menyambar turun 

dari atas genteng dan begitu bayangan ini meluncur turun 

ketengah-tengah medan perkelahian, bagaikan seekor naga 

menyambar turun dari angkasa, dua orang pengeroyok berseru 

kaget dan merekapun roboh terpelanting ke kanan kiri oleh 

tamparan tangan orang itu. Kemudian, orang itu sudah mencabut 

sebatang pedang, memutarnya dan nampaklah gulungan sinar 

putih membantu sinar hitam pedang Hek-liong-kiam. Melihat ini, 

Bouw Sian-seng terkejut bukan main.

“Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)......!”

Mendengar ucapan ini, semua pengeroyok kembali terkejut. 

Tentu saja mereka pernah mendengar nama besar Pek-liong-eng 

yang merupakan pasangan dari Hek-liong-li!

Akan tetapi hanya sebentar saja Bouw Sian-seng terkejut. Kini 

terdengar lagi suaranya, dan suara itu terdengar gembira 

bercampur tegang, seperti pemburu yang melihat masuknya dua 

ekor harimau ke dalam perangkap.


395

“Kurung mereka, jangan sampai lolos! Cepat pukul tanda bahaya 

umum. Cepat......!” Dan Bouw Sian-seng sendiri menyerang Pek-

liong dengan rantai bajanya. Gerakannya memang dahsyat sekali 

dan melihat ini, Pek-liong menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg......!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan Bouw 

Sian-seng meloncat ke belakang, kaget karena lengannya yang 

memegang rantai tergetar hebat. Juga Pek-liong maklum akan 

kekuatan lawan, maka menggunakan kesempatan selagi lawan 

mundur, dia mendekati Liong-li yang sudah mengamuk dan 

merobohkan dua orang pengeroyok lagi itu.

“Mari kita pergi dari sini!”

Liong-li tadi tentu saja gembira bukan main melihat munculnya 

orang yang paling dipercaya di dunia ini. Biarpun Pek-liong 

mengenakan pakaian serba hitam dan, menutupi muka dengan 

sapu tangan, pada hal biasanya dia selalu berpakaian putih, 

namun belum juga pedang Pek-liong-kiam dicabut, baru melihat 

gerakannya meluncur turun saja ia sudah menduga siapa 

orangnya. 

Tentu saja hatinya menjadi besar. Dengan Pek-liong di 

sampingnya, ia berani menantang dan menentang siapapun juga! 

Hatinya menjadi besar dan dengan bantuan Pek-liong, ia merasa 

yakin akan mampu membasmi Pangeran Souw Cun dengan 

semua kaki tangannya untuk membalaskan kematian Pangeran 

Souw Han.

“Tidak! Bantu aku membasmi Pangeran Souw Cun dan semua 

anteknya! Aku harus membalaskan kematian Pangeran Souw


396

Han!” serunya dan Pek-liong terkejut dan heran sekali mendengar 

suara dan melihat sikap rekannya itu. Baru sekarang ini dia 

melihat rekannya itu kehilangan ketenangannya, kehilangan 

keseimbangannya dan dipengaruhi perasaan dendam dan marah 

yang hebat!

“Heiiiii! Apa yang membuat engkau menjadi lemah? Jangan 

tenggelam ke dalam perasaan, bangunlah dari mimpi dan lihat 

bahwa kalau sampai tanda bahaya umum dipukul, kita berdua 

takkan mampu menyelesaikan tugas dengan baik!”

Ucapan Pek-liong ini langsung menembus jantung Liong-li. Kalau 

ia diingatkan akan ancaman bahaya, belum tentu ia akan menjadi 

sadar. Akan tetapi, diingatkan bahwa ia menjadi lemah oleh 

perasaannya, dan bahwa tugasnya belum selesai, Liong-li 

merasa seperti kepalanya disiram air es! Ia segera menyadari 

kebodohannya yang timbul karena emosi karena dendam dan 

amarah.

“Engkau benar, mari kita pergi!” katanya pendek dan mereka 

berdua menggabungkan sinar pedang hitam dan putih. 

Begitu dua gulungan sinar pedang ini menyambar-nyambar, 

Bouw Sian-seng dan para pembantunya terkejut dan mundur. 

Ada kekuatan dahsyat dari dua gulungan sinar pedang yang 

bergabung itu sehingga empat orang yang mencoba untuk 

menerjangnya terlempar dan terbanting pingsan. Liong-li dan 

Pek-liong melompat dan menghilang ke dalam kegelapan yang 

masih bersisa.


397

“Kejar! Jangan sampai lolos!” Bouw Sian-seng berseru dan 

memimpin anak buahnya untuk mengejar. Akan tetapi ia tidak 

berani mendahului anak buahnya, karena kalau dia hanya 

seorang diri saja menghadapi Liong-li dan Pek-liong, dia merasa 

gentar. 

Dan pada saat itu, tanda bahaya umum berupa canang yang 

dipukul terdengar gencar, menggegerkan seluruh kompleks 

istana di pagi buta itu.

Para jagoan dari semua pangeran keluar, juga pengawal dan 

jagoan dari kaisar sehingga ramailah kompleks istana pada saat 

itu. Akan tetapi mereka tidak melihat bayangan penjahat, tidak 

melihat Si Bayangan Iblis walaupun semua orang menjadi geger 

ketika mendengar bahwa yang menjadi Kwi-eng-cu atau Si 

Bayangan Iblis adalah pasangan pendekar yang amat terkenal di 

dunia persilatan, yaitu Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan Pek-

liong-eng (Pendekar Naga Putih)! 

Dan lebih gager lagi keadaan di dalam istana ketika terdengar 

berita bahwa Pangeran Souw Han dan lima orang dayang-

dayangnya telah dibunuh orang, juga bahwa wanita cantik yang 

baru saja dijadikan selir pangeran itu telah lenyap. 

Berita bersimpang siur dan kacau balau, akan tetapi mereka 

mendengar bahwa selir itu bukan lain adalah Hek-liong-li atau 

juga seorang dari Bayangas Iblis! Tentu saja keadaan menjadi 

gempar.

◄Y►


398

Karena tidak mungkin kembali ke rumah Pangeran Souw Han 

setelah kini diketahui rahasianya bahwa ia adalah Hek-liong-li, 

bahkan ia dituduh membunuh pangeran itu di samping tuduhan 

bahwa ia adalah Si Bayangan Iblis, juga tidak mungkin melarikan 

diri ke luar dari kompleks istana karena tanda bahaya umum, 

sudah dicanangkan dan semua jagoan istana sudah keluar, maka 

terpaksa Liong-li menurut saja ketika Pek-liong mengajaknya 

bersembunyi di bagian pemeliharaan kuda yang luas itu. 

Di tempat itu dipelihara puluhan ekor kuda, tempatnya luas sekali 

dan agak jauh dari istana karena baunya yang tentu akan 

mengganggu para bangsawan.

Untung bahwa di tempat itu, para pekerja masih belum bangun. 

Hari masih terlampau pagi. Liong-li diajak bersembunyi ke dalam 

gudang ransum kuda di mana terdapat tumpukan jerami kering 

dan banyak bahan makanan kuda. Setelah menutupkan daun 

pintu gudang itu, Pek-liong baru mengajak Liong-li bercakap-

cakap dengan berbisik, sambil duduk di atas jerami.

Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan di 

bawah sinar lampu yang masuk dari luar melalui lubang-lubang di 

atas pintu. Kemudian Pek-liong, mengeluarkan seguci arak, 

menuangkan dalam dua cawan dan mereka minum sedikit arak 

untuk menghangatkan badan.

“Engkau luka?” dengan singkat Pek-liong bertanya.

“Luka kecil, tidak berarti. Pangkal lengan kiriku lecet dan paha 

belakang yang kanan kena tendang.”


399

“Biar kuperiksa sebentar,” kata Pek-liong dan dua orang yang 

sudah demikian akrab hubungan mereka secara batiniah itu 

memang tidak pernah banyak bicara. Dari pandang mata dan 

gerak gerik saja mereka seperti dapat mengetahui kehendak 

masing-masing.

Liong-li menghabiskan arak dalam cawannya, lalu rebah 

menelungkup, Pek-liong memeriksa luka di pangkal lengan kiri 

melalui baju yang robek. Kulit pangkal lengan yang putih mulus 

itu tersobek sepanjang satu jari, akan tetapi untung tidak begitu 

dalam lukanya. 

Pek-liong menggunakan obat bubuk untuk luka, ditaburkan luka-

luka itu sampai tertutup semua dan menekannya sedikit, lalu 

membalut lengan itu dengan kain putih bersih setelah merobek 

baju yang memang sudah robek bagian lengan itu. Ia 

mengeluarkan sebuah baju hitam lain dan Liong-li segera 

bertukar baju, lalu menelungkup kembali setelah melepaskan ikat 

pinggangnya.

Tanpa raga-ragu sedikitpun nampak di antara keduanya, Pek-

liong menurunkan celana panjang dari pinggang yang ramping 

itu. Biarpun kini pinggul dan paha nampak, sedikitpun Pek-liong 

tidak memperhatikan, penglihatan yang pada umumnya amat 

menarik hati pria itu. Dia bahkan seperti tidak melihat pinggul itu 

dan yang kelihatan hanyalah luka di belakang paha kanan.

Memang telah terjalin hubungan yang amat aneh dan luar biasa 

antara kedua orang muda ini. Mereka ita saling mencinta, saling 

menyayang, saling mengagumi dan menghormati. Bagi Pek-liong


400

tidak ada wanita di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada 

Liong-li, dan demikian sebaliknya. Akan tetapi, di dalam kasih 

sayang ini, sedikitpun tidak pernah mereka membiarkan gairah 

nafsu berahi memasukinya! 

Bahkan mereka seperti telah merasa yakin bahwa sekali mereka 

membiarkan gairah itu masuk dalam kasih sayang mereka, sekali 

mereka saling mencinta seperti dua orang kekasih dan 

menumpahkan perasaan mereka dalam hubungan asmara, maka 

ikatan batin yang kokoh kuat itu akan putus atau goyah! Karena

itu, keduanya tidak pernah terjerumus. Lebih baik mereka 

mencari pasangan lain untuk memenuhi kebutuhan gairah 

mereka, dari pada mencemari hubungan mereka yang lebih dekat 

dari pada suami isteri, lebih dekat dari pada saudara, lebih dekat 

dari pada sahabat itu. 

Aneh memang! Karena itulah, maka kini biarpun nampak pinggul 

telanjang Liong-li, sedikitpun Pek-liong tidak tergerak gairahnya, 

tidak terangsang, bahkan hebatnya, tidak melihatnya!

Diapun memeriksa luka memar itu. Kulit yang putih mulus di paha 

belakang itu nampak dihiasi tanda membiru bekas tendangan. 

Dia cepat menggunakan jari-jari tangannya yang ahli untuk 

memijat sana-sini, mengurut sana-sini di sekitar tempat yang 

tertendang, memperlancar jalan darah sehingga darah segar 

dapat membanjiri daerah yang tertendang dan dalam waktu 

singkat saja paha itupun pulih kembali, rasa nyeripun hilang.

“Terima kasih,” kata Liong-li singkat sambil membetulkan kembali 

pakaiannya. “Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapa


401

muncul di sini. Apakah Cian Ciang-kun yang menyampaikan 

suratku?”

Pek-liong mengangguk. “Baru pagi kemarin aku diselundupkan 

masuk oleh Cian Ciang-kun sebagai pekerja di bagian 

pemeliharaan kuda. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan 

bertemu dengan bayangan hitam yang kemudian lari menyelinap

ke dalam bangunan Pangeran Kim Ngo Him.” Dengan singkat 

Pek-liong menceritakan pengalaman malam tadi.

“Ketika aku hendak kembali ke istal, tadi aku melihat engkau 

dikeroyok. Keadaan tadi berbahaya sekali dan terpaksa sehari ini 

engkau harus bersembunyi di sini.”

Liong-li mengangguk dan menundukkan mukanya, menghela 

napas panjang untuk menekan perasaan duka yang timbul ketika 

ia teringat akan Pangeran Souw Han.

Pek-liong kembali mengerutkan alisnya. Belum pernah dia 

melihat wanita yang dikaguminya ini, wanita yang diakuinya 

bahkan lebih cerdik dari padanya, mungkin lebih berani dan 

tabah, menghela napas seperti itu. 

“Liong-li, engkau tadi bicara tentang kematian Pangeran Souw 

Han......?”

Liong-li mengangkat mukanya dan benar saja. Melalui sinar yang 

masuk ke gudang itu, Pek-liong melihat betapa sepasang mata 

yang biasanya penuh semangat itu, kini nampak sayu!



402

Ini hanya berarti bahwa kematian pangeran itu amat mendukakan 

hati Liong-li, berarti pula bahwa wanita luar biasa ini telah jatuh 

cinta kepada Pangeran Souw Han! Sungguh hebat tentunya 

pangeran itu, yang telah dapat menjatuhkan hati seorang wanita 

seperti Liong-li!

“Dia terbunuh, Pek-liong. Pangeran itu...... ah, dia sama sekali 

bersih, tidak berdosa seperti anak bayi, tidak ikut memperebutkan 

kekuasaan, bahkan tidak perduli dan tidak berat sebelah, tidak 

memihak, dia begitu baik budi, bijaksana dan lembut. Dan orang 

tega membunuhnya, bersama lima orang pelayannya!” Liong-li 

mengepal tinju tanda bahwa hatinya masih merasa nyeri sekali.

“Pangeran Souw Cun yang melakukannya?”

“Tadinya kusangka demikian. Kini aku ragu-ragu. Mereka itu tadi 

mengenalku melalui pedang dan menuduh akulah Kwi-eng-cu 

dan aku pula pembunuh Pangeran Souw Han.” Wanita itu 

menggeleng kepala. 

“Memang ada dua kemungkinan! Mereka sama sekali tidak ada 

sangkut pautnya dengan kematian Pangeran Souw Han atau 

mereka itu pura-pura tidak tahu?”

Liong-li mengangguk. Begitu menyenangkan kalau ada Pek-liong 

di dekatnya. Tidak perlu bicara berbelit-belit. Pria ini mampu 

menangkap semua isi hatinya tanpa kata sekalipun!

“Akan tetapi aku condong dugaan kedua. Kematian Pangeran 

Souw Han baru kuketahui sendiri. Semua penghuni rumah itu 

tewas dan tidak ada orang lain yang tahu. Dan begitu mereka



403

mengeroyokku, ada yang meneriakkan bahwa aku telah 

membunuh Pangeran Souw Han. Mereka telah tahu!”

Pek-liong meraba-raba dagunya dan Liong-li tahu bahwa gerakan 

itu menunjukkan bahwa rekannya ini sedang berpikir keras. Iapun 

membiarkan dia berpikir mengasah otak dan ia terus saja 

mengalirkan keterangan-keterangan yang diperolehnya selama ia 

melakukan penyelidikan. Tentang Permaisuri Bu Cek Thian, 

tentang Pangeran Souw Han, tentang Pangeran Souw Cun, dan 

tentang Pangeran Kim Ngo Him.

“Jadi kalau menurut pendapatmu, yang patut dicurigai menjadi 

dalang semua kekacauan yang ditimbulkan Kwi-eng-cu, semua 

pembunuhan, juga pembunuhan terhadap Pangeran Souw Han, 

adalah dua orang, yaitu Pangeran Souw Cun atau Pangeran Kim 

Ngo Him?”

“Tepat. Tadinya juga aku mencurigai Permaisuri, akan tetapi 

setelah melihat dari dekat, aku tidak yakin bahwa ia terlibat. Jelas 

bahwa ia menentang Kwi-eng-cu yang menggelisahkan hatinya 

pula. Itulah sebabnya ia mempergunakan aku untuk menyelidik 

dan menyerahkan aku kepada Pangeran Souw Han.”

“Atau ada kemungkinan ke tiga!”

Liong-li menatap wajah yang tampan gagah itu dengan penuh 

selidik. Sinar matahari mulai muncul dan cuaca dalam gudang itu 

semakin cerah. Melihat wajah pria ini saja sudah menimbulkan 

ketenangan di hatinya dan mengingatkannya bahwa ia sedang 

berada di tengah kancah pelaksanaan tugas yang berbahaya


404

sehingga tidak ada waktu untuk membiarkan diri terseret arus 

perasaan.

“Pihak dari luar istana yang menyusup ke dalam?” tanyanya.

Pek-liong mengangguk. “Keadaan di istana, menurut cerita Cian 

Ciang-kun sedang keruh. Menguntungkan sekali bagi mereka 

yang suka mengail di air keruh.”

Liong-li mengangguk-angguk. “Engkau mempunyai alasan untuk 

mencurigai sesuatu?” 

“Nanti dulu. Coba jelaskan siapa orang tinggi kurus yang 

memimpin pengeroyokkan terhadap dirimu tadi?”

“Yang bersenjata rantai baja?”

“Benar, dia lihai sekali.”

“Di hari-hari biasa, dia menyamar sebagai guru sastera dari 

Pangeran Souw Cun. Namanya atau nama panggilannya Bouw 

Sian-seng.”

“Jelas dia bukan orang biasa, bukan pula tokoh biasa dalam 

dunia persilatan. Ilmu silatnya tinggi, tenaga sin-kangnya juga 

amat kuat. Dia tentu seorang tokoh besar, seorang datuk! Coba, 

kuingat-ingat. Siapa orang tua tinggi kurus yang agak bongkok, 

bersenjata rantai baja dan..... pandai sastera......? Hemm, aku 

ingat sekarang!”


405

Pendekar itu menatap wajah Liong-li penuh selidik sehingga 

Liong-li merasa seolah-olah sinar mata itu menjenguk ke dalam 

dadanya dan mengaduk-aduk di sana mencari sesuatu. 

“Liong-li, katakan, apakah engkau mengenal suaranya? Katakan 

dari mana kiranya dia berasal, kalau didengar dari logat 

bicaranya?”

“Nanti dulu........” Liong-li mengerutkan alisnya dan tangan kirinya 

menggosok, mengelus dan menggosok batang hidungnya yang 

mancung, tanda bahwa ia sedang tenggelam ke dalam pemikiran 

mendalam. 

“Kalimatnya yang terpanjang hanya ketika tadi memerintahkan 

anak buahnya mengepung ketat, tidak membiarkan aku lolos, dan 

untuk memukul tanda bahaya umum. Dalam keadaan tegang itu 

tentu dia tidak dapat menyembunyikan logat bicaranya yang aseli. 

Ya, aku ingat! Dia tentu datang dari selatan, jelas ketika tadi ia 

menyebut kata “kepung” dengan kata “kurung”. Itu kebiasaan 

bahasa orang dari selatan!”

“Tepat dugaanku! Wah, Liong-li, kalau tidak keliru perhitunganku, 

kita berhadapan dengan musuh besar. Pantas dia berusaha mati-

matian untuk membunuhmu. Keadaannya, senjatanya, 

kelihaiannya, dan logat bicaranya mengingatkan aku akan Lam-

hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan)!”

Liong-li tertegun. “Aihhh! Seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan 

Iblis Tua)?”

406

Tentu saja wanita perkasa ini terkejut bukan main mendengar 

dugaan Pek-liong bahwa Bouw Sian-seng itu mungkin sekali 

Lam-hai Mo-ong Pada waktu itu, sejak beberapa tahun yang lalu 

di dunia kang-ouw muncul Kiu Lo-mo yang menggemparkan 

dunia persilatan. 

Mereka adalah sembilan orang datuk sesat yang selama 

duapuluh tahun lebih menghilang dari dunia persilatan. Akan 

tetapi, selama beberapa tahun ini mereka turun gunung dan 

menjadi datuk-datuk sesat. Selama ini, Pek-liong dan Liong-li 

pernah bertentangan dengan dua orang di antara mereka, yaitu 

pertama dengan Hek Sim Lo-mo (Baca Sepasang Naga Penakluk 

Iblis) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Baca Rahasia Patung Emas). 

Masih ada tujuh orang lagi yang sewaktu-waktu dapat saja 

muncul untuk memusuhi mereka karena tentu mereka itu tidak 

akan tinggal diam saja mendengar bahwa Hek Sim Lo-mo dan 

Siauw-bin Ciu-kwi, dua orang di antara mereka tewas di tangan 

Pek-liong dan Liong-li. Dan kini, tiba-tiba saja dalam menyelidiki 

Kwi-eng-cu, mereka dihadapkan kepada seorang di antara Kiu 

Lo-mo. Walaupun ini baru dugaan saja dari Pek-liong, namun 

kalau pendekar ini menduga, maka dugaan itu bukan hanya 

ngawur belaka dan biasanya tentu tidak keliru.

Tiba-tiba pendengaran mereka yang tajam menangkap langkah 

kaki di depan gudang. Pek-liong hendak memberi isyarat kepada 

Liong-ji, namun wanita itu sudah tahu pula apa yang harus ia 

lakukan dan tubuhnya bergerak cepat menyusup ke dalam 

tumpukan jerami kering. Juga ia sudah menyambar dua batang 

pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam yang tadi diletakkan


407

di atas lantai, juga pakaian hitam yang tadi dipakai Pek-liong, 

dibawa masuk ke dalam tumpukan jerami.

“A-cin! Haii, A-cin, di mana kamu?” terdengar teriakan orang di 

luar gudang itu.

Pek-liong tadi sudah menyambar sebatang garpu bergagang 

panjang yang biasa dipergunakan untuk mengumpulkan dan 

mengatur jerami kering.

“Aku di sini......!” jawabnya sambil menuju ke arah pintu gudang, 

lalu membukanya dengan tangan kanan masih memegang 

gagang garpu. 

Kiranya orang itu adalah seorang mandor di bagian pemeliharaan 

kuda itu, tubuhnya gendut dan matanya sipit, seperti mata babi. 

Dengan mata sipitnya dia memeriksa keadaan dalam gudang itu, 

lalu mengangguk-angguk. Mulutnya yang tadinya cemberut kini 

menyeringai senang. Kini sikapnya seperti orang yang penuh 

ketegangan akan tetapi juga kegembiraan bahwa dia datang 

membawa berita yang mengejutkan.

“Kukira engkau masih tidur di gudang ini, A-cin. Kiranya sepagi ini 

engkau telah menggarpu jerami!”

“Toako, kalau ingin maju orang harus kerja keras,” kata Pek-liong 

dengan muka yang bodoh dan lugu. Untung dia tidak pernah 

melepaskan penyamarannya sebagai seorang dusun yang 

bodoh, dengan kulit badan yang kini berubah kecoklatan tanda 

sering terbakar sinar matahari.


408

“Engkau benar dan aku girang memperoleh seorang pembantu 

seperti engkau. Nah, hari ini kita menghadapi pekerjaan yang 

banyak! Kita harus kerja keras, pagi-pagi ini harus 

mempersiapkan kuda, memberi makan dan membersihkan bulu 

mereka, mempersiapkan pelananya karena setiap waktu kuda-

kuda itu akan dipakai.”

“Eh? Apakah yang terjadi, toako? Apakah istana hendak 

mengadakan pesta? Atau perburuan? Aku sering mendengar 

bahwa kalau para bangsawan hendak pergi berburu, maka 

hampir semua kuda di sini dipergunakan.”

“Pesta? Berburu? Ha-ha, memang ada benarnya. Apa bedanya 

upacara kematian dengan upacara kelahiran atau pernikahan dan 

yang lain? Ramai-ramai, makan-makan, perayaan dan upacara. 

Dan memang ada perburuan besar, A-cin, bukan binatang buas 

yang diburu, melainkan mahluk yang lebih menyeramkan lagi, 

mahluk pembunuh yang......“ Si gendut itu menghentikan kata-

katanya dan menengok keluar seperti orang yang tiba-tiba 

teringat dan menjadi ketakutan.

“Eh, kenapa toako? Siapa yang mati? Siapa pula yang diburu?”

“Sudahlah, A-cin. Aku tidak berani banyak bercerita. Jangan-

jangan kepalaku ini yang akan dipenggal kalau banyak 

mengobrol. Akan tetapi, engkau orang baru dan tidak banyak 

tahu, maka perlu kauketahui bahwa semalam, Pangeran Souw 

Han dibunuh orang, dan sekarang seluruh jagoan dan pengawal 

istana akan mencari pembunuh itu yang diduga masih


409

bersembunyi di dalam kompleks istana. Nanti dilakukan upacara 

penguburan, maka banyak kuda akan dipakai.”

“Toako, siapakah itu Pangeran Souw Han; dan mengapa dia 

dibunuh orang? Siapa pembunuhnya?” Dengan lagak yang bodoh 

dan jujur, Pek-liong memancing.

“Pangeran Souw Han adalah pangeran yang paling baik di 

seluruh istana. Dia tampan sekali, halus budi pekertinya, 

dermawan. Bahkan terhadap pekerja-pekerja kasar seperti 

kitapun dia bersikap ramah dan halus, sering memberi hadiah. 

Entah kenapa ada orang yang tega membunuhnya. Kabarnya 

yang membunuhnya adalah...... eh, Kwi- eng-cu yang diketahui 

adalah seorang wanita cantik.”

“Ehhh.......?”

“Wanita itu kabarnya berjuluk Hek-liong-li, dan ia telah menyusup 

ke dalam istana, bahkan menjadi seorang selir Pangeran Souw 

Han yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita. 

Heran, sungguh heran, bagaimana seorang wanita tega 

membunuhnya....... eh, sudahlah, A-cin, engkau banyak bertanya 

saja. Nah bekerjalah dengan baik. Setelah selesai membersihkan 

gudang, cepat engkau bantu aku mempersiapkan kuda-kuda itu 

bersama para pembantuku yang lain. Kita akan kekurangan 

tenaga!” Setelah berkata demikian, si gendut meninggalkan Pek-

liong.

Pek-liong menutupkan lagi pintu gudang, lalu menghampiri Liong-

li yang sudah keluar dari tumpukan jerami. “Engkau sudah 

mendengar semua tadi


410

Liong-li mengangguk sambil membersihkan pakaiannya dari 

jerami yang menempel. “Tentu berita tentang aku menjadi Kwi-

eng-cu dan membunuh Pangeran Souw Han sudah mereka 

sebar-sebarkan secara luas. Anehnya namamu tidak disebut, 

pada hal mereka sudah mengenalmu pula dari pedangmu, Pek-

liong.”

“Mungkin juga si gendut itu tidak mendengarnya. Bagaimanapun 

juga, untuk sementara ini engkau tidak boleh memperlihatkan diri, 

Liong-li. Semua jagoan istana mencarimu. Di sini engkau aman 

dan malam nanti kita lanjutkan penyelidikan kita. Kita menyelidiki 

Bouw Sian-seng. Kalau benar dugaanku bahwa dia itu Lam-hai 

Mo-ong, kita harus memperingatkan Pangeran Souw Cun, karena 

mungkin saja dia sengaja diperalat oleh iblis tua itu.”

Liong-li mengangguk-angguk. “Dia diperalat atau memperalat. Itu 

saja pilihannya. Betapapun juga, aku yakin bahwa yang 

membunub pangeran Souw Han tentulah tidak ada bedanya 

dengan pelaku pembunuhan yang terjadi selama ini.”

“Kwi-eng-cu?”

“Mungkin itu hanya nama palsu belaka. Bayangan Iblis tidak 

pernah mengaku dengan nama itu. Nama itu hanya pemberian 

mereka di kota raja saja. Siapa tahu dugaanmu benar? Lam-hai 

Mo-ong menyamar sebagai Bouw Sian-seng di waktu siang, 

sedangkan malamnya dia menjadi Si bayangan Iblis. Mungkin 

diperalat Pangeran Souw Cun, mungkin juga dia memperalat 

pangeran itu untuk menimbulkan kekacauan di istana.”


411

“Hemmm, memang bisa saja Pangeran Souw Cun ingin 

menjatuhkan para saingannya. Akan tetapi juga amat mungkin 

Lam-hai Mo-ong menimbulkan kekacauan dan kekeruhan untuk 

mendapatkan keuntungan pribadi.”

“Bagaimanapun juga, kita harus membongkar rahasia Si 

Bayangan Iblis ini!” kata Liong-li mengepal tinju karena ia teringat 

lagi kepada Pangeran Souw Han yang menjadi korban.

“Engkau sehari ini bersembunyi saja di gudang ini. Kalau ada 

orang masuk, engkau menyusup ke dalam tumpukan jerami. 

Bawa pula pedangku, dan nanti kukirimkan makanan. Aku masih 

menanti berita dari Cian Ciang-kun, dan juga dari Cu Sui In.”

“Siapa ia? Engkau belum menceritakan.”

Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang keponakan isteri 

Ciok Tai-jin itu, yang suaminya juga menjadi korban pembunuhan 

Si Bayangan Iblis.

“Ia akan menyelundup ke dalam istana pula, menyamar sebagai 

adik misanmu dan mencarimu, tadinya ia yang akan bertugas 

menjadi perantara dari kita dan Cian Ciang-kun. Ia murid Kun-lun-

pai. Ilmu kepandaiannya lumayan, boleh diandalkan.”

“Bagus! Kalau begitu, kita menanti berita dari mereka sebelum 

kita turun tangan. Malam nanti kita hanya melakukan penyelidikan 

saja.”

“Aku juga ingin mencari, apakah di antara para jagoan di istana 

ada Pek-mau-kwi Ciong Hu yang membunuh Giam Sun, paman


412

Cu Sui In itu. Dialah yang dapat menunjukkan siapa adanya Si 

Bayangan Iblis karena sebelum mati, Giam Sun menuliskan dua 

nama, yaitu Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu. Nah, sekarang aku 

mau bekerja di luar membantu si gendut agar jangan 

menimbulkan kecurigaan.”

Liong-li mengangguk, akan tetapi ketika Pek-liong hendak pergi, 

ia memanggil lirih. Pek-liong menoleh.

“Pek-liong, kalau nanti kebetulan engkau dapat melihat peti 

jenazah...... Pangeran Souw Han, tolong engkau bersembahyang 

dalam hati untukku, katakan bahwa aku merasa menyesal dan 

mohon maaf bahwa dia telah menjadi korban karena aku.”

Pek-liong memandang serius dan mengangguk, di dalam hatinya 

merasa kasihan sekali kepada wanita yang paling disayang dan 

dihormatinya itu. Diapun pergi dan Liong-li menyelinap di balik 

tumpukan jerami, siap untuk sewaktu-waktu menyusup masuk ke 

dalam tumpukan jerami itu kalau ada orang lain masuk gudang.

◄Y►

Cian Hui dan Cu Sui In diterima oleh Kaisar sendiri yang 

didampingi Permaisuri Bu Cek Thian di dalam sebuah ruangan 

khusus. Kaisar Tang Kao Cung dan Permaisuri Bu Cek Thian 

duduk berdampingan di atas kursi gading berselaput emas dan 

tidak ada seorang pun ponggawa diperkenankan hadir.

Hanya ada selosin pengawal pribadi Kaisar yang merupakan 

orang-orang kepercayaan kaisar, lihai namun tuli dan gagu dan 

yang tugasnya hanyalah menjaga keselamatan kaisar dan


413

menerima perintah melalui gerakan tangan, dan dua orang 

pengawal pribadi Bu Cek Thian, yaitu gadis kembar Bi Cu dan Bi 

Hwa. Hanya mereka ini yang hadir, berdiri di belakang kaisar dan 

permaisuri.

Kaisar nampak marah. Alisnya berkerut dan mukanya merah, 

sedangkan Cian Hui dan Cu Sui In berlutut sambil menundukkan 

mukanya.

“Sekali lagi kami tekankan, Cian Hui!” kata Kaisar. “Kalau sekali 

ini engkau tidak mampu menangkap iblis yang disebut Kwi-eng-

cu itu, tidak dapat menangkap pembunuh Pangeran Souw Han, 

kami akan memberi hukuman berat kepadamu! Kami beri waktu 

sampai tiga hari dan selama tiga hari kami beri wewenang 

kepadamu untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan di 

komplek istana.

“CIAN CIANG-KUN,” kata pula permaisuri itu yang sejak tadi 

mendengarkan saja. “Tindakan Kwi-eng-cu memang sudah 

keterlaluan. Bahkan, usahamu menyelundupkan Hek-liong-li 

nampaknya sia-sia belaka. Karena Hek-liong-li menyusup 

sebagai selir Pangeran Souw Han, malah hal ini membuat Souw 

Han menjadi korhan dan kini Hek- liong-li entah berada di mana. 

Engkau harus membongkar semua rahasia ini!”

“Mohon yang mulia Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw 

(Permaisuri) sudi melimpahkan pengampunan kepada hamba. 

Hamba akan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan 

hamba untuk membikin terang perkara ini. Hamba telah 

menyelundupkan Hek-liong-li, bahkan Pek-liong-eng, dan hamba


414

mengandalkan kemampuan mereka untuk membantu hamba 

menangkap Kwi-eng-cu. 

“Di sini hamba menyertakan nona Cu Sui In untuk membantu 

hamba. Biar ia yang akan mencari Hek-liong-li dan mengaku 

sebagai saudara misan Liong-li yang menyamar sebagai Siauw 

Cu. Sedangkan hamba sendiri bersama Pek-liong-eng akan 

melakukan penyelidikan dengan seksama. Dan terima kasih atas 

kepercayaan yang diberikan oleh paduka, mohon hamba diberi 

wewenang untuk semua pasukan pengawal kalau saatnya tiba.”

“Permintaanmu kami kabulkan. Kamu akan kami beri tek-pai 

(bambu bertulis tanda kekuasaan) dan dengan tanda wewenang 

itu engkau boleh menghubungi para komandan pasukan 

pengawal yang tentu akan melakukan semua perintahmu. Nah, 

laksanakanlah!”

“Biarkan Sui In bersamaku. Ia dapat menyelundup ke bagian 

putera bersama para dayang yang kuperintahkan untuk 

membantu pengurusan upacara pemakaman jenazah Pangeran 

Souw Han agar tidak kentara. Ia dapat menyamar sebagai 

seorang di antara para dayangku,” kata sang permaisuri.

Setelah diperkenankan keluar, Cian Hui segera menghubungi 

para komandan pasukan pengawal, memperlihatkan tek-pai itu 

dan semua komandan menyambutnya dengan hormat sebagai 

wakil kaisar sendiri. Bersama mereka, Cian Hui mengatur siasat. 

Dia memerintahkan mereka membuat barisan tersembunyi, tidak 

bergerak sebelum ada perintah khusus dan selanjutnya bersiap 

siaga agar setiap saat dia dapat mengharapkan bantuan mereka.


415

Sementara itu, Cu Sui In diajak oleh permaisuri ke bagian puteri 

dan setelah serombongan dayang ia perintahkan pergi ke tempat 

tinggal Pangeran Souw Han untuk membantu segala pekerjaan 

dalam upacara pemakaman jenazah pangeran itu, Sui In diikut 

sertakan dengan nama baru Siauw In.

Biarpun tigabelas orang ini hanya merupakan dayang, yaitu 

gadis-gadis pelayan, namun semua orang yang sedang sibuk 

bekerja di rumah mendiang Pangeran Souw Han bersikap 

hormat. Biarpun dayang-dayang, mereka adalah dayang yang 

dikirim oleh permaisuri, maka tak seorangpun berani memandang 

rendah apa lagi menghina kepada mereka. Demikian besar 

kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian sehingga 

para pangeranpun tidak berani bermain gila terhadap para 

dayang ini, takut kalau sampai terdengar oleh sang permaisuri 

dan mendapat marah.

Mula-mula memang Sui In membantu para dayang itu, ada yang 

membuatkan rangkaian bunga, melipati kertas perak dan kertas 

emas untuk korban sembahyang dan sebagainya. Akan tetapi 

setelah mendapatkan kesempatan, dengan dalih membersihkan 

rumah bekas tempat tinggal Pangeran Souw Han, ia memasuki 

kamar pangeran itu dan sambil menyapu dan membersihkan 

semua perabotan. Ia melakukan pemeriksaan dengan teliti, 

mencari kalau-kalau ada petunjuk tentang pembunuhan itu atau 

tentang hilangnya Hek-liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu, 

selir mendiang Pangeran Souw Han.

Ketika ia membersihkan tempat tidur, tanpa disengaja ia 

menemukan sebuah kipas di bawah bantal dan di permukaan


416

kipas ini terdapat tulisan yang masih baru. Huruf-hurufnya amat 

indah dan rapi.

“Enci Cu kekasihku tercinta

aku akan selalu berdoa

biar dalam kehidupan ini

kita tak dapat hidup bersama

dalam kehidupan mendatang

aku menjadi anjingmu setia.”

Sui In cepat menyimpan kipas itu ke dalam balik bajunya dan 

hatinya merasa terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu 

kipas ini milik mendiang Pangeran Souw Han dan tulisan inipun 

tulisannya karena pangeran itu terkenal seorang sastrawan yang 

pandai. Dan iapun mendengar bahwa Hek-liong-li menyamar 

sebagai selirnya dengan nama Siauw Cu. 

Kepada siapa lagi sajak itu ditujukan kalau tidak kepadanya? 

Agaknya pangeran itu menyebut Liong-li sebagai “enci Cu” dan 

kalau benar demikian ia menduga bahwa tentu sang pangeran 

amat mencinta wanita itu! 

Ketika ia membersihkan dalam almari pakaian, ia menemukan 

sebuah gulungan kain dan ketika ia membuka gulungan itu, 

ternyata itu merupakan sebuah peta yang lengkap dari kompleks 

istana! Cepat ia mempelajarinya dan yang amat menarik 

perhatiannya adalah gambaran sebuah bukit kecil penuh hutan di 

bagian belakang kompleks itu di mana terdapat sebuah kuil. Kuil 

istana! Tempatnya di puncak bukit kecil yang penuh hutan.


417

Menarik sekali. Tentu kalau ia menjadi Hek-liong-li, ia akan 

tertarik untuk menyelidiki tempat itu. Sebuah tempat yang amat 

baik untuk menjadi persembunyian orang-orang yang tidak ingin 

kehadirannya diketahui orang lain. Seperti misalnya Si Bayangan 

Iblis dan anak buahnya! Atau, seperti halnya Hek-liong-li sendiri 

yang sekarang dituduh menjadi Si Bayangan Iblis dan membunuh 

Pangeran Souw Han. 

Ia tidak percaya bahwa Hek-liong-li yang membunuh Pangeran 

Souw Han. Dan tentang Si Bayangan Iblis, penjahat itu sudah 

lama mengacau di kota raja sebelum Hek-liong-li dan Pek-liong-

eng mencampuri urusan itu!

Matahari telah condong ke barat ketika Sui In berhasil menyelinap 

ke luar dari rumah Pangeran Souw Han. Sebagai seorang dayang 

yang dikirim permaisuri, ia tidak pernah dicurigai orang dan 

dengan leluasa ia dapat menyelinap keluar. Ia harus cepat 

mencari Hek-liong-li seperti yang telah menjadi tugasnya. 

Dan ia tidak takut karena ia merasa bahwa yang menyuruhnya 

adalah Cian Ciang-kun, dan bahwa di belakangnya selain 

terdapat Pek-liong-eng yang lebih dahulu menyelundup ke istana, 

juga ia telah mendapat restu atau ijin dari Sribaginda Kaisar dan 

Permaisuri sendiri! 

Siapa yang akan berani mengganggunya? Apa lagi Permaisuri 

yang cerdik itu sudah membekalinya sebuah tanda kebesaran 

berupa cincin yang menurut permaisuri itu akan dikenal oleh 

semua petugas keamanan di istana dan semua orang akan tidak


418

berani mengganggunya, bahkan akan membantu dan mentaati 

perintahnya!

Setelah tadi mempelajari peta yang didapatkannya di lemari 

pakaian di kamar Pangeran Souw Han, kini dengan mudah Sui In 

dapat menemukan bukit yang dimaksudkan. Ketika ia tiba di luar 

hutan di bukit itu, tiba-tiba saja dari kanan kiri bermunculan lima 

orang perajurit pengawal yang agaknya melakukan perondaan 

sampai di situ.

“Berhenti!” bentak mereka dan lima orang itu telah berdiri tegak di 

depan Sui In. Mereka saling pandang ketika mengenal gadis ini 

berpakaian dayang, bahkan kemudian mengenal bentuk sanggul 

dan hiasan rambutnya sebagai dayang dari Permaisuri. Sikap 

mereka berubah. Kalau tadinya mereka senyum-senyum nakal, 

kini mereka bersikap hormat, lalu seorang di antara mereka yang 

berkumis tipis berkata dengan hormat.

“Bukankah nona seorang dayang dari Yang Mulia Permaisuri 

yang diperbantukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han?”

“Benar sekali,” jawab Sui In, sikapnya angkuh, sesuai dengan 

sikap dayang Sang Permaisuri yang merasa mempunyai 

kedudukan dan kehormatan.

“Kalau begitu, maafkan kami. Kenapa nona berada di sini bukan 

di rumah mendiang Pangeran Souw Han? Hendaknya nona 

ketahui bahwa di mana-mana pasukan pengawal sedang sibuk 

mencari penjahat. Tempat seperti ini amat berbahaya bagi nona, 

karena sepi dan terdapat banyak hutan.”


419

Sui In maklum bahwa ia menghadapi kesulitan, maka iapun 

mengeluarkan cincin itu dari saku bajunya, memperlihatkannya 

kepada mereka sambil berkata, “Aku membawa tugas dari Yang 

Mulia Permaisuri!”

Melihat cincin itu, lima orang perajurit Pengawal itu cepat 

memberi hormat dan melangkah mundur dengan sikap segan.

“Kami menanti perintah paduka!”

Cu Sui In adalah keponakan seorang bangsawan tinggi, Ciok Tai-

jin. Pamannya adalah Pembantu Menteri Pajak, dan mendiang 

suaminya juga seorang pejabat, maka ia tidak asing dengan 

kebiasaan ini, ketaatan orang-orang bawahan kepada atasan. 

Akan tetapi biarpun demikian, melihat sikap lima orang ini, diam-

diam ia merasa girang sekali. Cincin itu sungguh merupakan 

pelindung yang ampuh sekali!

“Aku tidak memerlukan bantuan. Minggirlah, biarkan aku lewat 

dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun tentang 

kehadiranku di sini!”

Lima orang itu lalu bergerak minggir dan memberi jalan. Sui In 

melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu dan berkata lagi 

kepada mereka sambil menahan langkahnya. “Oya, kalian tentu 

mengenal Cian Ciang-kun, bukan?”

“Nona maksudkan perwira Cian Hui? Tentu kami mengenalnya. 

Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami.”


420

“Bagus. Kalau bertemu dengan dia, katakan bahwa nona Siauw 

In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini hendak 

menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?”

Mereka memberi hormat, “Baik, nona!” 

Dengan hati lapang dan bangga Sui In melanjutkan 

perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada 

sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk 

para keluarga Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri 

jalan terdapat tanaman berbagai bunga, indah sekali. Juga 

pohon-pohon di hutan itu terpelihara. 

Di sepanjang perjalanan, Sui In melihat beberapa ekor kijang 

berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian menyelinap ke 

balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah, 

begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan 

tenteram. 

Ia sudah mulai merasa kecewa dan menyesal. Betapa bodohnya 

mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk hutan buatan, 

penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini 

tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan. 

Tidak mungkin menjadi tempat persembunyian penjahat. Paling-

paling hanya menjadi tempat persembunyian muda-mudi istana 

yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan! 

Akan tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke 

puncak. Ia ingin melihat bagaimana macamnya kuil istana yang 

sudah banyak didengarnya itu, sebagai kuil yang indah dan dihuni 

oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.


421

Kabarnya di luar istana, kuil ini manjur sekali, dapat memberi obat 

yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat meramalkan nasib 

dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak 

diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ, 

merupakan kesempatan baik untuk mengunjungi kuil itu, di 

samping tugas penyelidikannya. Ia sudah pernah mendengar 

bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong 

Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai, 

juga lihai ilmu silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.

Ketika ia tiba di kuil itu, ia disambut oleh beberapa orang hwesio 

yang memandang heran walaupun mereka itu segera menyambut 

dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan 

dengan seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan 

pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian bahkan sudah sampai ke kuil 

itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang bersembahyang, 

dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah 

Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.

“Selamat datang, nona. Bantuan apakah yang dapat kami berikan 

kepada nona?” tanya seorang di antara mereka dengan sikap 

hormat.

“Aku ingin berjumpa dengan Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini,” 

jawab Cu Sui In.

Empat orang hwesio itu saling pandang, kemudian pembicara tadi 

menjawab, “Omituhud, toa-suhu Gwat Kong Hosiang tidak dapat 

ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu suhu


422

Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke 

tempat kematian.”

“Kalau begitu biarkan aku berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio,” 

kata pula Sui In.

“Tapi, nona. Kwan-suhu sedang sibuk dan pula..... dengan 

adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan berada di sana. 

Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan......”

Hwesio itu berhenti bicara ketika melihat Sui In mengeluarkan 

cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri. Melihat cincin itu, para 

hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.

“Antarkan aku kepada Kwan Seng Hwesio sekarang juga,” kata 

Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang berani 

membantah. Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita 

cantik itu masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu 

mengantarkan Sui In memasuki ruangan dalam dan mengetuk 

pintu ruangan itu. 

Hwesio wakil kepala kuil itu Kwan Seng Hwesio yang berusia 

limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka gelap 

kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas 

karena dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk 

memimpin sembahyangan pada waktunya nanti. 

Tentu saja dia terbelalak heran ketika membuka pintu dan melihat 

hwesio penjaga pintu depan mengantar seorang wanita muda 

yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang Permaisuri,


423

maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua 

tangan di depan dada.

“Omitohud...... semoga nona selalu berada dalam lindungan Yang 

Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona berkunjung dan 

mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para 

murid yang dapat melayani keperluan nona?”

Sui In segera mengeluarkan cincinnya dan melihat benda itu, 

Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan membungkuk 

sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio 

membiarkan wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini 

membawa tanda kekuasaan dari Sang Permaisuri!

“Omitohud! Apakah yang dapat pinceng lakukan untuk nona?”

“Kwan Seng Hwesio, aku ingin bertemu dan bicara dengan Gwat 

Kong Hosiang.”

Hwesio tinggi kurus itu nampak terkejut, lalu menoleh kepada 

hwesio penerima tamu dan berkata, “Cepat keluar dan beri kabar 

bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan 

bahwa sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!”

Hwesio itu memberi hormat dan keluar, menutupkan kembali 

pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng Hwesio 

mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya, “Ada 

keperluan apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng 

Gwat Kong Hosiang?”


424

“Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk bicara 

dengan ketua kuil ini,” kata Sui In dengan singkat.

Kwan Seng Hwesio mengembangkan kedua lengannya. “Akan 

tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa suheng 

sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima 

tamu! Nona, kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan 

tanggung jawab pinceng yang mewakili, suheng! Bahkan Yang 

Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui akan hal itu.”

“Begini, losuhu. Aku mendapat tugas dari Yang Mulia Permaisuri 

untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk 

membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan 

Iblis. Dan aku ingin memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini, 

maka, aku minta persetujuan losuhu untuk membiarkan aku 

melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini.”

Kwan Seng Hwesio terbelalak memandang kepada gadis itu. 

“Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci! Tidak ada 

yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan 

para hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat 

bersembunyi di tempat seperti ini!

“Bagaimanapun juga, aku harus melakukan penggeledahan dulu, 

baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada Yang Mulia 

Permaisuri dengan penuh keyakinan.”

“Tapi, apakah nona tidak percaya kepada kami? Sedangkan 

Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya kepada kami!”


425

“Maaf, losuhu. Tugas adalah tugas, tidak ada sangkut pautnya 

dengan percaya atau tidak.”

Hwesio itu bangkit berdiri, wajahnya yang biasanya tenang itu kini 

nampak gelisah. “Omitohud......, nona sungguh memaksa 

pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona 

mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita 

sakit.”

Hwesio itu lalu membuka daun pintu ruangan itu dan melangkah 

keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang merasa caaggung 

dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada 

seorang pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus 

mencari Hek-liong-li, harus mencari jejak yang dapat membantu 

Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi membantu Pek-liong, 

pendekar yang dikaguminya itu. 

Juga ia terdorong oleh perasaan dendamnya kepada Si 

Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya, akan 

tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong 

perasaannya sebagai seorang murid Kun-lun-pai, seorang 

pendekar yang harus menentang perbuatan jahat dan kejam 

seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis. Maka iapun 

membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu 

wakil kepala kuil ini. 

Ia mengikuti hwesio tinggi kurus itu menuju ke bagian belakang 

kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di ruangan belakang yang 

terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan Seng 

Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.


426

“Di sinilah suheng Gwat Kong Hosiang beristirahat, akan tetapi

sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang sedang 

menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi 

kesehatannya kalau diajak bicara.”

“Biarkan aku melihatnya saja sebentar, losuhu.”

Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu dan Sui In melihat 

seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang di atas 

sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah 

melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio 

menutupkan kembali daun pintu itu dan Sui In sudah 

menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke belakang dan 

hendak membukanya.

“Nona, harap jangan buka pinta itu!” tiba-tiba Kwan Seng Hwesio 

berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In menjadi terkejut.

“Eh? Kenapa? Rahasia apa yang tersembunyi di balik pintu ini, 

losuhu?”

“Tidak ada rahasia! Hanya itu merupakan tempat pribadi yang 

tidak boleh dibuka sembarangan orang!”

“Akan tetapi aku bukan sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini 

utusan Yang Mulia Permaisuri yang telah diberi kekuasaan, dan 

aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga.”

Sui In sudah memegang daun pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun 

pintu terbuka dan nampak seorang laki-laki meloncat keluar dari 

dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget.


427

Laki-laki itu berusia limapuluh tahun, rambutnya putih semua dan 

wajahnya masih nampak muda, tubuhnya jangkung dan tangan 

kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.

“Heh-heh, kiranya engkau lagi, nona. Sekali ini engkau tidak akan 

mampu lolos!”

“Pek-mau-kwi.......! Engkau......! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh, 

tahu sekarang aku! Engkau pembantu Si Bayangan Iblis dan kuil 

ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan Seng 

Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!”

“Omitohud......!” Kwan Seng Hwesio berseru bingung dan Pek-

mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan pedangnya. 

Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang 

yang ia sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang. 

Terjadilah perkelahian yang seru di tempat itu.

Sui In menyerang dengan gemas karena ia teringat akan 

susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua buah 

nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia 

tahu bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya, 

yaitu Huang-ho Siang-houw yang telah membunuh susioknya, 

atas perintah seorang tokoh rahasia yang dijuluki Si Bayangan 

Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu 

pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.

Akan tetapi pria berambut putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui 

In terlepas dari tangannya adalah karena muncul Pek-liong. Akan 

tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu 

menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak


428

mampu mendesaknya dan pertandingan dengan pedang itu

semakin seru dan mati-matian. 

Tiba-tiba terdengar suara wanita terkekeh dan muncullah seorang 

wanita tua yang usianya tidak kurang dari enampuluh lima tahun, 

bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata 

kucing!

“Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi. Tidak malukah engkau, sejak tadi 

tidak mampu merobohkan seorang wanita muda? Dan engkau, 

Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung 

dan tidak membantu Pek-mau-kwi?”

“Omituhud......, maafkan pinceng...... kita sudah berjanji bahwa 

pinceng tidak akan melibatkan diri dalam perkelahian......, 

Omituhud!”

Nenek itu kembali terkekeh dan ia meloncat ke dalam medan 

perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada angin pukulan 

dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini 

terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat 

bukan main. Ia lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut 

tangan yang menampar, menangkis dan sekaligus menyerang 

untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.

“Dukkk!” Pedang itu terpental lepas dari pegangan Sui In dan 

sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan nenek itu sudah 

menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.

“Plakk!” Sui In terpelanting roboh dan pingsan.



429

Wanita itu kembali terkekeh. “Huh, segala macam budak ingusan 

berani mengacau ke sini? Keram ia dalam ruangan bawah tanah!”

Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh 

Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek 

yang amat lihai itu menghardik, “Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau 

engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak 

buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu 

tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana. 

Mengerti?”

Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah 

masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. “Baik, saya 

mentaati perintah, Kui-bo.”

Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng 

Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada 

mengancam.

“Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini 

pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang 

mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu, 

sebelum membunuh kalian semua!”

Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di 

depan dada sambil membungkuk. “Omitohud, kami tidak berani 

lancang mulut.”

Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun 

pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong 

tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.


430

Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang 

menyebut “Omitohud......” sambil memandang ke arah tubuh 

suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu. 

Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat 

penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek 

itu, suhengnya akan tewas.

Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak 

berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan 

orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio 

dan bersembunyi di kuil itu.

Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh 

dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang 

sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan) 

seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun 

orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya 

adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua 

orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo 

(Sembilan Iblis Tua).

Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara 

para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali 

karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk 

mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul 

karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran. 

Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran. 

Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama 

diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo


431

ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang 

pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu 

sudah roboh semua oleh para “perampok” sehingga nyawa 

Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai 

Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para 

“perampok” itu. 

Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian 

kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya, 

bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-

ong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada 

orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi 

gurunya dalam hal sastera!

Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan 

rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada 

rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke 

dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita 

ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil 

memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja 

kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga 

berambisi untuk memperebutkan kedudukan.

Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam 

mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula 

menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh 

dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan 

orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga 

mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar 

istana sebagai mata-mata


432

Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin 

kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh 

mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw 

Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan 

menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio, 

kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma 

lalu membuat dia pingsan dengan racun. 

Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan 

Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang 

datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di

istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka 

dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana 

selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat 

penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.

Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut. 

Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan 

pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi 

penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak 

berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In 

dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka, 

mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu, 

akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.

Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya, 

yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului 

wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun! 

Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul 

Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.


433

Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu? Mereka 

bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat 

tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di 

istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak 

menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan 

yang amat baik. 

Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga 

pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan 

menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan 

diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu 

kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan, 

kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!

Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw 

Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini 

adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan 

bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat 

apa-apa.

Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak 

menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam 

Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru 

Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian, 

menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar 

pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji 

yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan 

dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.


434

Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang 

datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu 

dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi 

halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para 

pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa 

semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang 

tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan 

terbunuh! Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama 

sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak “bersih”, sama 

sekali tidak ikut bersaing. 

Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil 

istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama 

sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap 

Si Bayangan Iblis gagal selalu. 

Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam 

kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma. 

Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satu-

satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka. 

Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya 

membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai 

membayangi komplotannya. Oleh karena itu, kalau ada orang 

penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera 

dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan 

tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat 

berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang 

ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.

435

◄Y►

Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang 

perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka 

bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan 

memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun 

bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak 

bukit. 

Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana? Di sana hanya 

ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya 

sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam 

pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga 

setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar 

laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda 

muda yang cantik itu.

Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam 

tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda 

itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han, 

di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia 

mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun, 

Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak. 

Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada 

seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian 

Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena 

khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk 

menjumpai Pek-liong. Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan 

dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika


436

mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat 

mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan 

juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam 

gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering.

Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita 

itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit. 

Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri. “Aiihh, kenapa 

aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin, 

yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat 

seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik! 

Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang 

amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka 

ke sana? Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan 

mengganggu para hwesio di kuil itu!

“Benar sekali, li-hiap,” kata Cian Hui. “Aku sendiripun selama 

melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka. 

Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang 

pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu 

saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus 

digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya 

peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai 

sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya.”

“Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu 

menengok keadaan kepala kuil itu,” kata Pek-liong-eng.

“Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap 

dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!” ajak Cian Ciang-kun.


437

“Nanti dulu,” kata Liong-li. “Kita menghadapi pembunuh-

pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan 

mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu, 

membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita 

menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap. 

Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung 

bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan 

diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu.”

Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga 

Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu 

dengan ketat. 

Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu 

mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke 

puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng 

untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.

◄Y►

Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan 

Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak 

besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di 

luar pekarangan kuil yang dipagari tembok.

Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya. 

Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu, 

akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para 

hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara 

mereka dari luar. Setidaknya akan terdengar suara ketukan 

berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu


438

sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah 

berubah menjadi kuburan.

Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di 

kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohon-

pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu. Maklum, 

kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya, 

dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap 

tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian 

luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang 

hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja. 

Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama 

para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi 

orang lain.

Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela, 

bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk 

memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di 

wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor 

burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas 

wuwungan tanpa menimbulkan suara.

Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini, 

mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada 

penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di 

kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada 

hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu 

semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan 

kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam 

keadaan itu.



439

Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang 

mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih 

rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar 

itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka 

cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya 

ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak 

genteng, terdengar suara dari bawah.

“Omitohud......, penjahat dari manakah begitu berani mengotori 

tempat suci ini?”

Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke 

bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut 

ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga 

wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang 

di atas meja di ruangan itu. 

Sepasang pendekar ini terkejut karena mereka tidak mengira 

bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang mereka 

lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio 

di bawah itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan 

bahwa para hwesio di kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu 

kepandaian silat tinggi!

Kembali sepasang pendekar itu saling pandang dan keduanya 

sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan mereka ambil. 

“Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami 

ingin menghadap lo-suhu!” kata Pek-liong.

“Omitohud......, masuklah saja!” kata pula hwesio itu dengan 

suara yang dalam dan lembut.


440

Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang 

penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat 

kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau 

dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela, 

hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup. 

Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana 

hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat 

lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong. 

Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela, 

sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui 

pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap 

yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat 

memberi banyak keterangan kepada mereka.

“Kita turun,” bisik Liong-li. 

Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li, 

melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa, 

tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang 

belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau 

sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan 

Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara 

mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang 

seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya. 

Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak 

terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong 

memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-

li melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja


441

itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li 

mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di 

atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar 

suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!

Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga. 

Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang 

melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di 

tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka 

begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah 

menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hek-

liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liong-

kiam. Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah 

mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia 

kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh.

Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan 

tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan 

dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi 

memang merupakan alat perangkap. 

Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang 

terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li 

bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan 

sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung 

sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.

“Kau pakailah ini!” sutera hitam itu mengembang ketika meluncur 

ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di 

lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah



442

berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras 

bersuara.

“Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar,” 

bisik Liong-li. 

Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia 

dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu 

kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke 

dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga 

sin-kang mereka.

“Brakkkkk......!” Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan 

menerjang masuk. 

Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat 

terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka 

yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak 

orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi 

muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka. 

Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua 

mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam 

senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang, 

atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya. 

Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa 

mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang, 

hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan 

masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka


443

mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan 

bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua 

pengepung dengan baik.

“Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di 

sini!” kata Liong-li.

“Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis 

dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu! 

Dan engkau juga, Pek-liong-eng!” kata seorang diantara mereka 

dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan 

bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum 

siapa dia. 

Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang 

tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya 

pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja! 

Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi 

Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan 

orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala 

jurusan.

Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan 

perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw 

Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah 

seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan 

tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali 

seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang 

mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai 

dari balik topengnya.


444

Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan 

ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng 

menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang 

juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar 

pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga 

bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu 

Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari 

pakaian si kurus kering itu. 

Seorang wanita? Begini lihai? Siapa gerangan wanita ini? Dan 

iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan 

penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo 

Him. 

Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering 

seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke 

dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya 

seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti 

halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang 

penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai 

seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.

Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena 

hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang 

si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia 

masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan 

bergulingan menyelamatkan diri.

“Kita pergi!” tiba-tiba Pek-liong berseru.



445

Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan 

ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu 

banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng 

dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang 

sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu 

akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di 

tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam. 

Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari

kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun 

mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat 

menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus 

melarikan diri.

Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan 

sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata, 

“Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi 

pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan 

sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu 

dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada 

lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka 

memang di dalam kuil itu!”

Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para 

jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan 

naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan 

tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun 

manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari


446

pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta 

bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis! 

Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat 

mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia 

mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang 

mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa 

khawatir sekali.

“Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!” katanya. “Kita harus 

cepat menyerbu kuil itu!”

“Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak 

akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting 

bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan 

keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin 

mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu 

ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para 

penjahat,” kata Liong-li.

“Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku 

mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula 

kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka 

semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati 

mereka untuk menyelamatkan kepala kuil,” kata Pek-liong.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke 

barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita 

menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk 

menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran


447

Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma 

berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him.”

Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau 

membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya 

untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun 

kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu 

tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang 

pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liong-

li tersenyum.

“Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang 

disebut Bayangan Iblis!”

“Ehhh?” Kini Cian Ciang-kun memandang heran.

“Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal 

gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan 

yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo. 

Bukankah begitu, Liong-li?”

“Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di 

antara Kiu Lo-mo itu?”

Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum 

bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima 

penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar 

lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.

◄Y►


448

Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan 

istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu 

depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk 

dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio 

yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang 

mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui 

memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari 

kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai 

merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah 

menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.

“Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!” 

teriak Cian Hui. 

Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama 

kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali 

seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.

“Di mana Gwat Kong Hosiang? Hayo katakan, di mana dia?” Cian 

Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan 

bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau 

setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat 

dan pembunuh itu.

“Omitohud......!” Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan 

memberi hormat. “Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio 

ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini......” 

“Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi 

di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku 

tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan


449

membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat 

Kong Hosiang!“

“Dia sedang sakit......”

“Antarkan aku kepadanya!” hardik pula Cian Hui dengan tak 

sabar.

”Omitohud...... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan 

ke kamarnya......”

“Lo-suhu......!” Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat 

dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat 

dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh 

para penjahat.

“Omitohud, itulah kesalahan kita,” kata Kwan Seng Hwesio. “Kita 

tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa 

sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang 

Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia 

ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang 

Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada 

kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu 

membunuhnya.”

“Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan 

aku!” kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para 

pembantunya. “Geledah seluruh kuil!”

Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui. 

Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong


450

yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali. 

Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio 

berhenti dan berkata dengan suara gelisah.

“Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit 

parah dan pingsan, Ciang-kun.”

Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap 

bersikap hati-hati. “Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu.”

Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng 

Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap, 

maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio, 

menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan 

dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.

Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun 

gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih 

mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak 

tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku 

mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan. 

Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia 

dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio 

memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan 

bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.

Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan 

mengguncang pundaknya. “Cian Ciang-kun, syukur engkau 

sudah sadar......”


451

Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun 

rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya 

penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai 

kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri. 

Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia 

mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih 

hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya 

menderita.

“Nona Sui In......” akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya 

karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.

“Bagaimana rasanya. Ciang-kun? Sakit benarkah? Engkau 

terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah 

mencabutnya...... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih 

pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau 

dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki 

tubuhmu.”

Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu 

dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat 

yang...... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang 

wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik 

seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu 

dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat 

Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat, 

dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan 

pingsan.

“Bagaimana dengan mereka?” tanyanya.


452

Sui In memandang gelisah. “Keadaan mereka sungguh 

mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan 

sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku 

menancap di tubuhnya. Aku...... aku merasa ngeri dan tidak 

berani mencabut paku-paku itu.”

Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng 

Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun 

wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena 

tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada 

sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu 

menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya. 

“Engkau...... terluka......?”

Sui In mengangguk. “Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa 

nyeri bukan main.....”

Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun, 

sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan 

sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan 

mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.

Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ 

seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia 

enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut 

seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya 

kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya 

mencorong hijau.


453

“Cian Ciangkun,” kata kakek itu dan suaranya juga lembut. “Kalau 

engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan 

semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari 

istana.”

Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang 

kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini 

kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis 

yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga 

duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini 

memandang kepada mereka dengan berani dan penuh 

kemarahan.

Cian Hui tertawa. “Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah 

tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan 

untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa, 

juga aku tidak sudi!”

“Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan 

perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!”

Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia 

berkata lirih. “Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah 

semua pakaianmu tanpa hasil.”

Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati 

sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia 

menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya, 

minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi 

apa-apa dengan dia.


454

“Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku 

tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong.”

Kakek itu terbelalak. “Kau sudah mengetahui siapa aku?” 

“Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini 

tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma! 

Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-

mo!”

Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang 

berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar, 

ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas 

dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi 

sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak 

mampu bergerak lagi.

“Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa 

kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa 

berkedip!”

“Hemm, siapa takut mati, nenek iblis? Lebih baik kami mati dari 

pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung 

pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan 

ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini. 

Kalianpun akan mampus!”

“Keparat!” Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram 

pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. “Aku dapat 

mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat 

sebelum engkau mati!”


455

“Nanti dulu, Mo-ong!” kata Tiat-thouw Kui-bo. “Jangan bunuh dia 

dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita 

ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil 

ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh 

mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat 

apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!”

Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi 

pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka 

percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan 

kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat 

menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus 

mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya. 

Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar. 

Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau 

tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan 

bawah tanah itu?

“Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini 

kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!”

Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu 

melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun 

mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter. 

Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah 

berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu. 

Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga 

Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis, 

merasa aman dalam rangkulan perwira itu.


456

“Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama 

engkau......”

“Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati......”

Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya 

mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih 

baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan 

tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka 

bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah 

mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.

“Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu. 

Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang 

lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan 

anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!” terdengar 

suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu, 

Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!

Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat 

menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas, “Lam-hai Mo-

ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu 

lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang 

yang tidak bersalah.”

Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa, 

akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya 

membayangkan kegelisahan.

“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut, 

akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya


457

berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang 

besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang 

gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu 

pasukan akan mengeroyok kami!”

“Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!” terdengar lagi suara 

Liong-li. “Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian 

berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan. 

Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian 

boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus 

berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan 

Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!”

“Baik, kami berjanji. Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar 

banyak orang. Nama kalian akan hancur dan menjadi bahan 

ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!” kata Lam-

hai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kui-

bo untuk keluar. 

Semua pengikut mereka juga mengikuti dua orang pimpinan ini 

keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau ditinggalkan di 

ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan 

mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka 

menang tentu mereka semua akan diperbolehkan lolos dari 

lingkungan istana.

Cian Hui dan Sui In yang ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya 

mampu menanti karena mereka menderita luka keracunan yang 

cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka 

mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu,


458

akan tetapi baru saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang 

kini sudah terbuka, keduanya tidak kuat menahan lagi dan 

mereka terguling roboh tak sadarkan diri.

◄Y►

Pek-liong-li, dan para perwira dan jagoan istana yang jumlahnya 

belasan orang, memandang penuh perhatian ketika kakek dan 

nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan orang 

anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para 

pengikutnya, tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah 

mereka dapat dikenali.

Seperti yang telah diduga oleh Pek-liong, di antara para pengikut 

itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis Rambut Putih dan dua 

orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau 

Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah 

mereka itu adalah orang-orang dunia hitam yang sesat dan rata-

rata, memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Bukan hanya Pek-liong-liong-li dan para perwira saja yang 

memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana 

sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata 

dari para perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil 

itu memandang dan mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika 

mereka keluar dari kuil dan berada di pekarangan depan kuil di 

mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira sedang 

menanti.

Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi telah menerangi seluruh 

pekarangan. Namun tidak ada wajah seorangpun di situ yang



459

cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana, juga 

para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun 

wajah gerombolan pengacau itu dibayangi kegelisahan dan 

ketegangan.

Melihat mereka keluar tanpa membawa empat orang yang 

mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas. '“Mo-ong 

dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji! 

Di mana empat orang tawanan itu?”

“Mereka berada di dalam, terluka. Kami tidak melanggar janji dan 

kami siap melawan kalian orang-orang muda sombong!” kata 

Lam-hai Mo-ong.

Liong-li menoleh kepada seorang perwira dan berkata, “Ciang-

kun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang itu dalam 

keadaan selamat di dalam sana.”

“Baik,” jawab perwira itu yang segera memasuki pintu rahasia 

yang kini sudah terbuka itu. 

Liong-li tidak mau ditipu. Kalau empat orang itu telah dibunuh 

oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak mau memegang 

janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek 

dan nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan 

istana untuk mengeroyok dan menangkap gerombolan itu.

Tak lama kemudian, perwira itu muncul kembali dan diapun 

melapor kepada Liong-li. “Li-hiap, mereka masih hidup walaupun 

dalam keadaan terluka.”


460

“Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami adalah datuk-datuk persilatan yang 

ternama. Kami tidak akan melanggar janji!” kata Tiat-thouw Kui-

bo.

“Kui-bo, seperti aku tidak tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo! 

Kalian memenuhi janji hanya karena sudah tersudut!”

“Hek-liong-li, tidak perlu banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin 

menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan? Masih 

berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?”

“Tentu saja. Majulah, Kui-bo!” kata Liong-li yang sudah siap siaga 

menandingi nenek yang ia tahu amat lihai dan berbahaya itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan-seruan nyaring dan 

nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat itu! Melihat kaisar 

muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali gerombolan 

penjahat, memberi hormat.

“Tangkap gerombolan Bayangan Iblis dan penggal leher mereka 

semua!” bentak Kaisar dengan nada suara marah. 

Kaisar memang marah sekali karena baru saja dia mendengar 

laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran Souw Kian, 

bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena 

mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu 

meninggalkan surat pengakuan bahwa gerombolan Si Bayangan 

Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud agar 

kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian, 

dengan janji bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi


461

kaisar, pimpinan gerombolan itu akan mendapatkan kedudukan 

tinggi. 

Kiranya selir itu ketika mendengar bahwa gerombolan itu gagal 

dan dikepung, ia meracuni puteranya dan diri sendiri. Lebih baik

mati dari pada menderita malu dan juga ngeri menghadapi 

hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka. 

Kaisar menjadi marah sekali dan mendengar laporan bahwa kini 

gerombolan itu telah dikepung di sarang mereka, yaitu kuil istana 

di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan 

pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.

Ketika kaisar mengeluarkan perintah, Hek-liong-li dan Pek-liong-

eng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan dilaksanakan dan ini 

berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk. Maka, 

dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut 

di depan kaisar.

“Ampunkan hamba berdua, Sribaginda!” kata Hek-liong-li, 

“Hamba berdua sudah menantang dua orang pimpinan Si 

Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon 

paduka memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk 

bertanding dengan dua orang pimpinan gerombolan Si Bayangan 

Iblis.”

Kaisar mengerutkan alisnya, “Siapakah kalian?”

“Hamba bernama Lie Kim Cu, Sribaginda.”

“Hamba bernama Tan Cin Hay,” kata pula Pek-liong.


462

“Mereka adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, Sribaginda,” 

seorang perwira melapor.

Kaisar mengangguk-angguk dan menghelus jenggotnya. Diam-

diam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar laporan, bahkan 

dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang 

diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak 

disangkanya bahwa sepasang pendekar yang dikabarkan amat 

lihai itu ternyata hanyalah sepasang orang yang masih muda.

“Mereka benar, Sribaginda. Mohon diberi kesempatan kepada 

mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!” tiba-tiba 

terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian 

yang dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh 

gadis kembar yang tak pernah terpisah dari samping permaisuri 

itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa. 

“Hamba sendiri yang mengutus Hek-liong-li untuk menyelidiki dan 

menangkap Bayangan Iblis,” kata pula permaisuri itu setelah 

memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera 

menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal. 

Kaisar dan permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton 

pertunjukan yang menarik.

“Baik, kami setuju diadakan pertandingan itu. Akan tetapi, sekali 

para penjahat itu berbuat curang, segera kepung dan robohkan 

mereka semua!” kata kaisar penuh wibawa.

“Terima kasih, Sribaginda,” kata Liong-li dan Pek-liong berbareng 

dan merekapun kini menghadapi lagi kakek dan nenek yang 

berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan


463

orang anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan 

ketakutan.

“Nah, engkau beruntung sekali, Kui-bo. Dalam kesempatan 

terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk memamerkan 

kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!” kata 

Liong-li sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam 

berkilauan. “Cabut senjatamu dan mulailah!”

Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, 

tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan melawan Hek-

liong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar. 

Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun 

kedudukannya sungguh tidak menguntungkan, seolah ia berada 

di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia lolos lagi. 

Andaikata ia dapat menang melawan Liong-li, belum tentu kaisar 

akan mau membebaskannya begitu saja. Akan tetapi kalau ia dan 

Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada 

harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh 

atau lawan terberat bagi mereka hanyalah dua orang pendekar 

muda itu.

“Baik, Hek-liong-li, engkau atau aku yang akan menjadi 

pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!” kata Tiat-

thouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang 

pedang yang berkilau saking tajamnya.

Pada saat itu, para pangeran berdatangan untuk menyaksikan 

sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini mengacau


464

dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di 

luar istana.

“Kui Lo-ma......! Apa yang kaulakukan ini? Benar engkaukah ini?” 

Pangeran Kim Ngo Him yang baru tiba berseru dengan penuh 

keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya dikenalnya 

sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini 

membuktikan bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar 

tidak tahu menahu tentang gerakan gerombolan pembunuh Si 

Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.

“Mundurlah, pangeran. Pangeran telah memelihara seekor srigala 

dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma, melainkan Tiat-

thouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di 

antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam,” kata Hek-liong-li. 

Mendengar ini wajah pangeran itu menjadi pucat dan segerti 

orang ketakutan diapun melangkah ke belakang menjauhi nenek 

itu yang hanya menyeringai.

Ketika melihat munculnya Pangeran Souw Cun, Liong-li segera 

teringat akan kematian Pangeran Souw Han, dan teringat pula 

betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka ia 

mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya 

ke arah Pangeran Souw Cun dan berkata,

”Inilah dia pangeran yang bersekongkol dengan gerombolan 

Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh Pangeran 

Souw Han!”


465

Tentu saja ucapan Liong-li ini membuat semua mata memandang 

kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan 

permaisuri Bu Cek Thian.

“Bohong! Itu fitnah belaka. Seperti juga pangeran Kim Ngo Him, 

aku tidak tahu menahu tentang gerombolan......”

“Ha-ha-ha-ha!” Lam-hai Mo-ong tertawa memotong ucapan 

Pangeran Souw Cun. “Kalau sudah begini, perlu apa berpura-

pura lagi, pangeran? Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal, 

digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja 

pangeran tidak menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum 

tentu secepat ini kita mengalami kegagalan!”

Mendengar ucapan ini, Pangeran Souw Cun menjadi pucat 

sekali.

“Tangkap pengkhianat itu!” Kaisar membentak marah dan 

Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri berlutut 

minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap 

memberi isyarat kepada para pengawal yang segera menangkap 

dan menyeret pangeran itu untuk ditawan. Bukan Pangeran Souw 

Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh keluarganya termasuk 

ibunya juga ditangkap.

“Nah, sekarang majulah, Kui-bo,” kata Liong-li. 

Nenek itu memandang dengan mata mencorong, mata kehijauan 

yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba saja tangan kirinya 

bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah 

tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui


466

bo mempunyai senjata rahasia paku beracun yang amat 

berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan sekali Hek-liong-kiam 

di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan 

semua paku itupun runtuh.

SERANGAN paku ke arah tubuh bagian atas lawan itu 

merupakan gertakan untuk mengalihkan perhatian saja, karena 

begitu Liong-li memutar pedang menangkis, Kui-bo sudah 

meloncat ke depan, tubuhnya merendah dan pedangnya 

meluncur, menyapu ke arah kedua kaki Liong-li. Serangan tiba-

tiba ini amat berbahaya karena pada saat itu, Liong-li sedang 

memutar pedang menangkis paku-paku itu. 

Namun, Liong-li tidak pernah lengah dan begitu nampak sinar 

pedang menyapu ke arah kakinya, dengan gerakan ringan sekali 

tubuhnya sudah meloncat ke atas, berjungkir balik di udara dan 

tubuh itu meluncur turun bagaikan seekor naga, kepala di depan 

dan didahului putaran pedangnya menyerang ke arah kepala Kui-

bo. Nenek iblis terpaksa menggerakkan pedangnya menangkis 

sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

“Tranggg......!” Tubuh Liong-li terpental dam wanita ini berjungkir 

balik beberapa kali baru tubuhnya meluncur turun kembali ke atas 

lantai di depan Tiat-thouw Kui-bo. 

Nenek itu sendiri terhuyung ke belakang dan dari akibat benturan 

pedang itu saja dapat diketahui bahwa dalam hal kekuatan sin-

kang, mereka berimbang! Hanya Liong-li lebih pandai mengatur 

keseimbangan dirinya sehingga akibat benturan tenaga itu dapat


467

diatasinya dengan baik, membuat gerakannya nampak indah 

sedangkan nenek itu terhuyung seperti hendak jatuh.

Tiat-thouw Kui-bo menjadi semakin marah. Ia memang amat 

membenci Liong-li. Pendekar wanita itu bersama Pek-liong telah 

membunuh dua orang rekannya, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua 

Berhati Hitam) di daerah Lok-yang, dan Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis 

Arak Muka Tertawa) di Bukit Merak daerah Po-yang. Seperti juga 

ia dan Lam-hai Mo-ong, dua orang rekannya itu adalah anggauta 

Kiu Lo-mo, maka tentu saja, Kui-bo mendendam kepada Liong-li. 

Kalau selama ini ia dan Lam-hai Mo-ong belum bertindak 

melakukan pembalasan, hal itu adalah karena ia sedikit banyak 

merasa jerih terhadap pendekar wanita itu. Melakukan 

penyerangan ke rumah pendekar wanita itu amat berbahaya 

karena rumah itu diperlengkapi alat-alat rahasia dan perangkap 

yang sukar diatasi. Ia dan Mo-ong hanya menanti kesempatan 

baik saja. 

Ketika melihat Liong-li di istana, kesempatan itu muncul, akan 

tetapi ia dan Mo-ong sibuk dengan urusan yang lebih besar, yaitu 

mencari kekuasaan di istana. Kini, kesempatan itu tiba, akan 

tetapi keadaannya terjepit dan terkepung, bahkan disaksikan oleh 

Kaisar dan Permaisuri. Tiada jalan lain baginya kecuali melawan 

dengan nekat dan mati-matian.

“Hyaaattt......!” Nenek itu mengeluarkan suara melengking nyaring 

dan pedangnya diputar cepat, berubah menjadi gulungan sinar 

yang menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Namun, wanita cantik 

berpakaian serba hitam itu menyambut dengan gerakan tenang


468

dan mantap. Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan 

menimbulkan pijar bunga api. 

Keduanya sudah saling serang dengan hebatnya. Hanya ahli-ahli 

silat yang sudah tinggi tingkatnya dapat mengikuti gerakan 

mereka yang amat cepat. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu 

silat, dua orang .yang sedang bertanding itu seolah-olah 

merupakan dua bayangan yang berkelebatan dan menjadi satu 

digulung dua sinar pedang, sukar dibedakan mana Liong-li mana 

Kui-bo.

Pada suatu saat, ketika Liong-li menyerang dengan bacokan 

pedangnya dari atas menyambar ke arah kepala lawan. Kui-bo 

menyambutnya dengan tangkisan ke atas. Kedua pedang 

bertemu dan melekat karena pengerahan sin-kang kedua pihak. 

Saat kedua pedang melekat di udara itu, Kui-bo menggerakkan 

tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah 

dada Liong-li. Pukulan maut ini berbahaya sekali karena 

mengandung hawa beracun. 

Namun, Liong-li sudah siap dan ia sudah mengerahkan tenaga 

istimewa yang membuat tangan kirinya menjadi merah. Itulah 

Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah), satu diantara ilmu-ilmu 

yang dikuasai Liong-li.

“Desss......!” Dua buah telapak tangan bertemu, keduanya 

mengandung pukulan beracun dan akibatnya, Kui-bo terhuyung 

ke belakang sambil menyeringai karena telapak tangan kirinya 

terasa panas. Sebaliknya, Liong-li juga tergetar hebat dan


469

keduanya kini sudah siap untuk melanjutkan pertandingan mati-

matian itu.

Melihat keadaan rekannya agaknya tidak akan dapat menang 

dengan mudah, tentu saja Lam-hai Mo-ong merasa khawatir 

sekali. Satu-satunya kawan yang dapat diandalkannya 

menghadapi Pek-liong dan Liong-li hanyalah Kui-bo. Anak 

buahnya, walaupun memiliki kepandaian cukup tinggi, bukanlah 

tandingan sepasang pendekar itu. Maka, diapun sudah meloncat 

ke depan Pek-liong.

“Pek-liong-eng, mari kita mengadu nyawa, bukan hanya menjadi 

penonton saja!” teriaknya dan diapun sudah melolos rantai 

bajanya.

“Hemm, majulah, Mo-ong,” kata Pek-liong dan sekali tangan 

kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat dan Pedang 

Naga Putih telah berada di tangannya.

Lam-hai Mo-ong tidak banyak cakap lagi, segera mengeluarkan 

suara gerengan seperti seekor biruang dan diapun sudah 

memutar rantai bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Namun, 

Pek-liong sudah siap siaga dan dengan lincah sekali pendekar ini 

sudah mengelak dari sambaran rantai dan membalas dengan 

tusukan pedangnya. 

Namun, lawannya adalah seorang datuk yang lihai, dan dapat 

pula menghindarkan tusukan pedang dengan mudah sambil 

menggerakkan rantainya menyapu ke arah kaki Pek-liong yang 

meloncat ke atas. Perkelahian mati-matian segera terjadi antara 

Lam-hai Mo-ong dan Pek-liong-eng.


470

Kini para penonton mengagumi dua perkelahian yang amat 

hebat. Kaisar sendiri walaupun pernah mempelajari ilmu silat di 

waktu mudanya, menjadi pening juga menyaksikan gerakan 

empat orang itu yang terlalu cepat baginya. Namun, para jagoan 

istana dan para perwira memandang penuh kagum. Belum 

pernah mereka menyaksikan pertandingan silat yang demikian 

hebatnya.

“Kui-bo, kita bertukar lawan!” tiba-tiba Mo-ong berteriak, rantainya 

kini menyeleweng dan menyambar ke arah Liong-li ketika dua 

orang wanita yang sedang bertanding itu tiba di dekatnya. 

Tiat-thouw Kui-bo agaknya sudah mengenal benar siasat 

rekannya itu, maka tubuhnya sudah mencelat ke kanan dan 

pedangnya menyerang Pek-liong. Diserang secara mendadak 

oleh musuh yang berganti tempat itu, baik Liong-li maupun Pek-

liong menjadi agak bingung dan hampir saja Liong-li terkena 

sambaran rantai baja. 

Biarpun ia sudah mengelak dengan cepat membanting tubuh ke 

belakang lalu bergulingan, tetap saja ia terhuyung dan kini 

dikurung oleh gulungan sinar rantai yang panjang. Akan tetapi, 

wanita perkasa itu segera dapat menguasai dirinya, memutar 

Hek-liong-kiam dan dapat mengimbangi rangkaian serangan 

lawan. Demikian pula Pek-liong sempat terkejut dan terdesak 

oleh pedang Kui-bo, namun diapun segera dapat mengembalikan 

keseimbangannya.

Akan tetapi, beberapa kali kakek dan nenek iblis itu bertukar 

tempat dan setiap mereka berganti tempat, Pek-liong dan Liong-li


471

dibuat bingung dari terdesak. Agaknya memang pertukaran 

tempat yang berganti-ganti itu merupakan siasat kakek dan nenek 

itu.

“Pek-liong, sudah tiba saatnya kita mainkan Sin-liong-kiam 

(Pedang Naga Sakti)!” tiba-tiba Liong-li berseru dan iapun 

meloncat ke dekat Pek-liong dan mereka saling membelakangi.

Kini baru kakek dan nenek itu tahu bahwa siasat mereka tadi 

hanya memancing dua orang itu mengeluarkan ilmu pedang yang 

mereka ciptakan bersama, yang merupakan inti dari kehebatan 

sepasang naga putih dan naga hitam itu! Kalau saja Mo-ong 

menantang Pek-liong untuk bertanding pula, belum tentu mereka 

akan mengeluarkan ilmu ini. 

Dan begitu Pek-liong dan Liong-li memainkan Sin-liong-kiam yang 

mereka ciptakan bersama, dua orang kakek dam nenek itupun 

menjadi terkejut dan terdesak hebat. Ilmu pedang itu memang 

merupakan ilmu pedang gabungan dari semua kepandaian 

mereka, dan dengan bekerja sama mereka itu seolah-olah hanya 

mempunyai satu hati, satu pikiran dan satu perasaan! 

Gulungan sinar pedang putih dan hitam itu saling membantu, 

saling memperkuat dan mengisi kekosongan masing-masing dan 

biarpun lawan mereka merupakan dua orang datuk yang lihai 

sekali. Kini dua orang itu terdesak dan terkepung gulungan sinar 

pedang hitam putih dan mereka hanya dapat menangkis saja 

tanpa sempat membalas karena mereka masih bingung oleh 

gerakan dua batang pedang yang saling bantu dengan gerakan 

aneh dan hebat itu.


472

Agaknya, kalau saja dua orang pendekar ini tidak bekerja sama 

dengan ilmu pedang ciptaan mereka, kiranya tidak akan mudah 

bagi mereka mengalahkan lawan masing-masing, karena 

kekuatan mereka sesungguhnya seimbang. Mereka memang 

menang cepat karena memang masih muda, akan tetapi 

kemenangan ini diimbangi oleh kemenangan pihak lawan dalam 

hal pengalaman. 

Setelah mereka bekerja sama, kekuatan mereka menjadi berlipat 

ganda. Hal ini bukan hanya karena ilmu pedang Sin-liong-kiam-

sut, memang ciptaan mereka, namun antara Pek-liong dan Liong-

li memang terdapat hubungan yang amat aneh. 

Mereka itu sekali saling pandang saja seperti telah dapat 

membaca isi hati masing-masing, dan begitu mereka berdekatan, 

mereka seperti sudah saling bantu dan jalan pikiran mereka 

searah, juga perasaan mereka sama peka terhadap rekannya. 

Inilah kelebihan Pek-liong dan Liong-li yang tidak ada pada kedua 

orang lawan mereka sehingga mereka mampu membuat Kui-bo 

dan Mo-ong menjadi repot sekali.

Ketika Kui-bo terhuyung oleh sambaran pedang Pek-liong, 

kesempatan itu dipergunakan oleh Liong-li untuk menerjang ke 

depan. Pedangnya diputar cepat ketika ia melihat Kui-bo yang 

sudah kewalahan itu menangkis sehingga tanpa dapat dicegah 

lagi, pedang di tangan Kui-bo terlepas. 

Kui-bo menjadi terkejut dan marah, tangan kirinya bergerak dan 

tiga batang paku beracun terakhir yang masih dimilikinya 

meluncur dan menyambar ke arah Liong-li. Liong-li sudah



473

menduga akan hal ini, pedangnya berkelebat menangkis dengan 

pukulan sehingga tiga batang paku itu membalik dan menyambar 

ke arah Tiat-thouw Kui-bo sendiri.

“Aughhh......!” Nenek itu kena disambar pakunya sendiri yang 

tepat mengenai lehernya. Ia terjengkang dan berkelonjotan 

sekarat.

Sementara itu, melihat rekannya roboh, Lam-hai Mo-ong menjadi 

gentar. Dia mencoba untuk meloncat ke kiri, untuk melarikan diri, 

akan tetapi dia berhadapan dengan tombak para perajurit 

pengawal. Dia memutar rantai mengamuk dan robohlah dua 

orang perajurit. Akan, tetapi Pek-liong sudah menghadapinya lagi.

“Iblis tua, jangan pengecut! Engkau hendak lari ke mana?” Pek-

liong sudah mendesak dengan pedangnya. 

Lam-hai Mo-ong menjadi semakin panik. Dia telah membunuh 

dua orang perajurit, maka dia tahu bahwa tentu tidak ada ampun 

baginya. Melihat Pek-liong menyerangnya, diapun meloncat ke 

belakang, kemudian sambil mengambil ancang-ancang, dia

bahkan melompat tinggi ke arah Pek-liong dengan rantai baja 

diputar. 

Melihat ini, Pek-liong juga meloncat menyambutnya. Nampaknya 

ke dua orang itu hendak berbenturan di udara. Akan tetapi, 

akhirnya tubuh kakek itu terpelanting dan ketika tiba di atas 

tanah, dia terbanting keras. Rantainya terlempar dan kedua 

tangannya mendekap perut, matanya terbelalak dan ternyata 

perutnya robek oleh pedang Pek-liong. Hanya sebentar kakek itu 

sekarat, lalu tewas seperti rekannya, Tiat-thouw Kui-bo yang telah


474

tewas lebih dahulu karena paku beracun menancap di 

tenggorokannya.

Melihat betapa dua orang pimpinan mereka itu tewas, 

gerombolan penjahat itu menjadi ketakutan. Agaknya tadi Pek-

mau-kwi Ciong Hu dan dua orang bersaudara Huang-ho Siang-

houw sudah saling berbisik mengatur siasat untuk 

menyelamatkan diri. 

Begitu melihat Lam-hai Mo-ong roboh, mereka bertiga sudah 

mencabut pedang dan serentak mereka meloncat ke arah tempat 

duduk permaisuri Bu Cek Thian! Mereka tadi sudah mengatur 

siasat bahwa untuk dapat meloloskan diri, mereka harus dapat 

menyandera seorang penting. 

Kaisar sendiri terjaga kuat, akan tetapi mereka melihat betapa 

permaisuri hanya dilindungi oleh dua orang pengawal wanita, dua 

orang gadis kembar. Mereka mengira bahwa tentu mereka akan 

dapat dengan mudah menyandera permaisuri dan mereka akan 

memaksa kaisar untuk membebaskan mereka, menukar nyawa 

mereka dengan keselamatan sang permaisuri.

Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka meloncat 

dekat Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang gadis kembar yang 

menjadi pengawal pribadi permaisuri itu, menyambut Huang-ho 

Siang-houw dengan pedang mereka dan gerakan dua orang 

gadis kembar ini amat cepat dan kuat! Segera Huang-ho Siang-

houw terlibat dalam perkelahian pedang melawan dua orang 

gadis kembar ini, sedangkan Pek-mau-kwi sendiri ternyata tahu-

tahu dihadang oleh Liong-li!


475

Pek-mau-kwi menyerang mati-matian karena maklum bahwa dia 

menghadapi lawan yang amat tangguh, yang baru saja 

merobohkan Tiat-thouw Kui-bo. Akan tetapi, memang tingkatnya 

kalah jauh dibandingkan Liong-li, maka dalam beberapa gebrakan 

saja Pek-mau-kwi roboh dengan dada tertembus pedang Naga 

Hitam. Dua orang Huang-ho Siang-houw juga repot menghadapi 

sepasang gadis kembar murid-murid Bu-tong-pai yang lihai itu. 

Merekapun roboh dan tewas oleh pedang Bi Cu dan Bi Hwa. 

Sementara itu, melihat robohnya tiga orang pembantu utama 

pimpinan mereka, belasan orang anak buah gerombolan Si 

Bayangan Iblis sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyerah. 

Mereka semua ditangkap dan diseret ke dalam penjara untuk 

diadili kelak.

Pek-liong dan Liong-li segera memasuki pintu rahasia, diikuti oleh 

para jagoan istana. Dan di dalam ruangan di bawah tanah itu 

mereka melihat Cian Hui dan Sui In yang roboh pingsan, juga dua 

orang hwesio Gwat Kong Hosiang dan Kwan Seng Hwesio yang 

terluka parah.

Seperti dengan sendirinya, Liong-li menghampiri Cian Hui dan 

Pek-liong menghampiri Sui In. Setelah memeriksa dan 

mendapatkan kenyataan bahwa Cian Hui dan Sui In menderita 

luka dalam karena pukulan beracun, Liong-li dan Pek-liong 

menotok beberapa jalan darah di tubuh mereka sehingga mereka 

siuman, lalu kedua orang pendekar itu memapah mereka yang 

terluka keluar dari ruangan bawah tanah.


476

Melihat Kaisar dan Permaisuri sendiri berada di kuil yang menjadi 

medan perkelahian itu, Cian Hui yang terluka parah lalu 

menjatuhkan diri berlutut, diikuti Sui In dan juga Pek-liong dan 

Liong-li. Kaisar tersenyum, gembira dan memuji-muji mereka 

berempat. 

Ketika mendengar betapa Cian Hui dan Sui In. terluka pukulan 

beracun dan bahwa Liong-li dan Pek-liong hendak mengobati 

mereka, Kaisar memerintahkan untuk memberi kamar-kamar 

untuk tamu agung bagi mereka. Juga dia memerintahkan 

permaisuri untuk membagi-bagi hadiah yang layak bagi mereka 

berempat yang sudah berjasa membongkar rahasia gerombolan 

Si Bayangan Iblis, bahkan telah membasmi gerombolan itu. 

Kemudian Kaisar dan Permaisuri kembali ke istana.

◄Y►

Semalam suntuk, baik Pek-liong maupun Liong-li, di kamar 

masing-masing dalam istana, kamar yang besar dan indah, 

mengerahkan sin-kang mereka dan mengobati Cian Hui dan Sui 

In. Mereka melakukan cara pengobatan yang sama. Cian Hui 

duduk bersila di atas pembaringan, Liong-li duduk di belakangnya 

dan menempelkan telapak kedua tangannya di punggung perwira 

itu dan menyalurkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun dan 

memulihkan tubuh yang terluka.

Demikian pula cara Pek-liong mengobati Sui In di kamarnya. Bagi 

orang lain, tentu terasa janggal dan aneh melihat betapa Pek-

liong yang mengobati Sui In dan bukan Liong-li, dan demikian 

sebaliknya Liong-li yang mengobati Cian Hui. Akan tetapi bagi


477

sepasang pendekar itu, hal ini tidak ada halangannya. Liong-li 

memang lebih dekat dengan Cian Hui, sedangkan Pek-liong 

datang ke kota raja bersama Sui In.

Pada keesokan harinya, dua orang yang terluka itu sudah hampir 

sembuh. Hawa beracun sudah dibersihkan dan mereka tinggal 

beristirahat beberapa hari saja, maka mereka akan sembuh sama 

sekali.

Di kamar Liong-li, Cian Hui memegang kedua tangan Liong-li 

dengan pandang mata terharu. “Li-hiap, tanpa bantuanmu bukan 

saja gerombolan Si Bayangan Iblis tidak mungkin dapat dibasmi, 

bahkan akupun tentu sudah tewas. Bagaimana aku dapat 

membalas budimu selain mengabdi kepadamu selama hidupku. 

Li-hiap, sekali lagi kuulangi permohonanku kepadamu. Sudilah 

kiranya engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi 

isteriku, dan aku akan menumpahkan seluruh perasaan kasih 

sayang dan baktiku kepadamu.”

Liong-li tersenyum dan dengan lembut melepaskan kedua 

tangannya yang digenggam oleh perwira yang gagah perkasa itu. 

Akan tetapi ia masih duduk di atas pembaringan berhadapan 

dengan perwira itu. Senyumnya lembut dan manis sekali.

“Ciang-kun, sudah berkali-kali sejak malam tadi engkau 

mengajukan lamaran dan sudah berkali-kali pula terpaksa aku 

menolaknya. Aku tahu, setiap orang wanita yang bijaksana, akan 

merasa bangga dan berbahagia sekali dapat menjadi isterimu. 

Engkau seorang pria yang gagah perkasa dan setia, dan engkau 

seorang pria yang hebat. Akan tetapi maafkan, aku tidak dapat


478

mengikatkan diriku dalam suatu pernikahan. Aku ingin bebas. 

Terus terang saja Ciang-kun, akupun kagum kepadamu, dan aku 

suka kepadamu. Kalau engkau menghendaki diriku, Ciang-kun, 

akupun akan menyambutnya dengan gembira. Akan tetapi 

pernikahan? Tidak! Aku tidak ingin terikat.”

Cian Hui mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang cantik 

jelita itu dan dalam pandang matanya terbayang keheranan dan 

keraguan.

“Akan tetapi, mengapa, li-hiap? Kalau engkau tidak menolakku, 

berarti engkau cinta pula kepadaku. Kenapa tidak dengan 

pernikahan?”

Liong-li tersenyum lagi dan menggeleng kepalanya. “Panjang 

ceritanya, akan tetapi cukup kalau kauketahui bahwa aku tidak 

berharga menjadi isterimu, Cian Ciang-kun. Aku seorang 

petualang, hidupku penuh musuh penuh ancaman bahaya......”

“Kalau aku menjadi suamimu, aku akan melindungimu, li-hiap. 

Aku akan mengubah hidupmu, menjadi seorang ibu rumah 

tangga yang hidup tenang dan tenteram, penuh kasih sayang dari 

suami dan anak-anakmu......”

Liong-li tertawa, tertawa lepas tanpa menutup mulutnya seperti 

biasanya para wanita bersopan-sopan. Akan tetapi karena 

kewajarannya itu, dalam pandangan Cian Hui yang sudah tergila-

gila, Liong-li nampak semakin menarik dan menggairahkan.

“Ha-ha, Ciang-kun. Membayangkan aku menjadi seperti itu 

sungguh membuat aku merasa ngeri! Rasanya aku menjadi


479

seperti boneka hidup. Hidup penuh damai dan tenteram, tanpa 

tantangan tanpa ancaman. Aih, betapa menjemukan kehidupan 

seperti itu bagiku, Ciang-kun! 

“Tidak, terus terang saja, aku suka padamu, aku suka bercintaan 

denganmu, akan tetapi hanya itu, tidak ada ikatan cinta kasih 

yang membuat kita menjadi suami isteri. Tidak, aku tidak dapat 

menikah dan menjadi isterimu, Ciang-kun. Aku tidak cinta 

padamu seperti itu, aku hanya suka kepadamu sebagai seorang 

pria yang jantan dan mengairahkan.” 

Cian Hui terbelalak. “Kalau begitu, engkau telah mencinta pria 

lain, Li-hiap!”

Sepasang alis Liong-li yang indah itu berkerut. “Tidak tahulah.”

“Ah, sekarang aku mengerti! Li-hiap, engkau tentu mencinta Pek-

liong-eng! Dapat kurasakan itu, dapat kulihat dari sikap kalian. 

Dan hal itu tidak aneh. Li-hiap kalian saling mencinta!”

Kerut merut di antara sepasang alis itu makin mendalam. “Pek-

liong? Ah, tentu saja aku sayang padanya, aku dan dia adalah 

satu hati satu pikiran, Ciang-kun. Aku mau mengorbankan nyawa 

untuknya dan diapun demikian. Hal itu kami anggap wajar.”

“Kalau begitu kenapa li-hiap tidak menikah dengan dia? 

Pasangan yang amat serasi! Benar, kalian saling mencinta dan 

kalian harus menjadi suami isteri......”

“Cukup! Tidak ada yang mengharuskan kami!! Dan hubungan 

kami bahkan lebih akrab dari pada hanya sepasang kekasih.


480

Sudahlah, engkau tidak perlu mencampuri urusan kami. Aku 

masih bersedia menyambutmu kalau engkau hendak 

membuktikan kasih sayangmu kepadaku, Ciang-kun.” 

Wanita itu memandang dan tersenyum dengan sikap menantang 

dan penuh daya pikat. Sejenak jantung dalam dada Cian Hui 

terguncang dan ingin sekali dia menubruk dan mendekap wanita 

yang amat menggairahkan hatinya itu. Namun, dia menahan diri, 

bahkan dia meloncat turun dari atas pembaringan.

“Li-hiap, kauanggap aku ini laki-laki yang tidak dapat menghargai 

wanita? Li-hiap, aku cinta kepadamu. Cinta yang tumbuh dari 

sanubariku, bukan sekedar hendak melampiaskan nafsu berahi 

saja. Aku cinta padamu, ingin membahagiakanmu, ingin 

berdampingan selamanya denganmu, ingin menjadi ayah anak-

anakmu. Aku menghormatimu, kagum kepadamu dan lebih baik 

aku mati dari pada harus menghinamu dengan perbuatan yang 

tidak sopan. Li-hiap, curahan cinta kasih hanya dapat kulakukan 

jika li-hiap telah menjadi isteriku.”

Wajah Liong-li berubah merah. Baru sekarang ia bertemu 

seorang pria yang menolak begitu saja, pada hal ia 

melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati. Sungguh 

perwira ini seorang pria yang hebat dan ucapannya yang lembut 

itu seperti pedang menikam perasaannya, membuat ia merasa 

malu, merasa rendah dan kotor. Akan tetapi, ia menyimpan 

perasaan itu dan iapun tersenyum cerah.

“Lengkaplah sudah segala sifat baik pada dirimu, Ciang-kun. 

Sungguh aku merasa kagum sekali dan ini juga membuktikan


481

betapa jauh bedanya antara kita, dan betapa aku sungguh tidak 

patut menjadi isterimu. Nah, kalau begitu, selamat berpisah dan 

selamat tinggal, Cian Ciang-kun. Hadiah dari Sribaginda untukku 

kuberikan kepadamu. Kauterimalah sebagai tanda peringatan 

dariku. Aku pergi, Ciang-kun!”

“Li-hiap........!” Cian Hui berseru, akan tetapi wanita itu hanya 

menoleh sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, tanda 

bahwa ia sama sekali tidak menyesal atau marah. Cian Hui 

terhenyak di kursi dan termenung, berulang kali menghela napas 

panjang dan dia merasa jantungnya kosong dan sunyi.

Sementara itu, di kamar lain yang tidak begitu jauh dari situ, 

kamar yang sama indahnya, Pek-liong juga duduk berhadapan di 

atas pembaringan dengan Cu Sui In. Janda muda ini sudah 

sembuh dan kini ia memandang pendekar itu dengan sinar mata 

penuh kagum dan terima kasih.

“Tai-hiap, sungguh besar budi yang telah tai-hiap limpahkan 

kepadaku. Karena bantuan tai-hiap maka dendamku dapat 

terbalas, dan kalau tidak ada tai-hiap yang menolongku berulang 

kali, tentu aku sudah tewas di tangan orang jahat. Tai-hiap, 

bagaimana aku dapat membalas budimu yang besar itu?”

Pek-liong menjulurkan lengan dan tangannya menyentuh dagu 

yang halus meruncing manis itu. “Tidak ada budi tidak ada balas, 

adik yang manis. Aku senang sekali dapat membantumu. Engkau 

seorang wanita muda yang bernasib malang, masih muda sudah 

menjadi janda. Engkau cantik jelita dan manis, bahkan memiliki


482

ilmu kepandaian yang cukup tinggi, cerdik dan berani. Aku suka 

sekali kepadamu, adik Sui In.”

Wajah wanita itu menjadi kemerahan. Memang sejak pertama kali 

bertemu dengan pendekar ini, ia sudah jatuh hati. Pria ini terlalu 

hebat dan ia kagum sekali.

“Tai-hiap terlalu memuji. Sebaliknya, tai-hiap adalah seorang 

pendekar besar yang amat mengagumkan. Tai-hiap, aku ingin 

sekali membalas semua budimu. Kalau tai-hiap sudi menerimaku, 

aku ingin melayanimu selama hidupku.”

“Aih, apa maksudmu, adik Sui In?” Pek-liong menyentuh kedua 

pundak Sui In dan wanita itupun merebahkan diri dalam 

dekapannya, menyandarkan muka di dada yang bidang itu.

“Tai-hiap, aku akan berbahagia sekali untuk menjadi sisihanmu, 

menjadi isterimu, atau selirmu, atau pelayanmu......” 

Pek-liong mengangkat muka yang bersandar di dadanya itu dan 

mengecup bibirnya. Menerima ciuman ini, Sui In memejamkan 

matanya dan langit bagaikan runtuh baginya. Ia sudah siap 

menyerahkan segala-galanya untuk pria yang dikaguminya dan 

dicintanya itu.

“Adik Sui In, apa yang kaukatakan itu, akupun kagum dan suka 

padamu, engkau seorang wanita yang hebat. Akan tetapi 

ketahuilah bahwa aku tidak mau terikat oleh siapapun. Kalau kita 

berdua saling menyukai dan dengan suka rela menyerahkan diri 

untuk saling mencinta, aku akan senang sekali. Akan tetapi aku 

tidak mau diikat dengan pernikahan, atau dengan ikatan apapun.


483

Setelah ini, kita harus berpisah dan mengambil jalan masing-

masing, dan semua ini hanya merupakan kenangan indah saja 

bagi kita.”

Mendengar ini, Sui In merasa seperti dilempar kembali ke bumi 

dari langit ke tujuh. Ia membelalakkan matanya, memisahkan diri 

dari dada Pek-liong, menghadapi pemuda itu dan memandang 

seperti orang yang tidak percaya akan pendengarannya sendiri.

“Tai-hiap, engkau tidak...... tidak cinta padaku........?”

Pek-liong tersenyum. “Aku suka padamu, aku cinta padamu, akan 

tetapi bukan cinta yang harus dilanjutkan dengan ikatan.”

“Ahhh...... ahhh......!” Wanita muda itu terisak dan menutupi 

mukanya dengan kedua tangan, menangis lirih.

Pek-liong mengerutkan alisnya dan diapun turun dari atas 

pembaringan.

“Adik Sui In, kenapa engkau menangis?”

Dari balik kedua tangannya, Sui In menahan isaknya. “Tai-hiap, 

maafkan aku....... Kusangka tai-hiap mencintaku seperti aku 

mencintamu. Aku mengharapkan untuk dapat menghabiskan sisa 

hidupku di sampingmu. Aku dengan bahagia akan menyerahkan 

diri, menyerahkan segalanya untukmu, bukan sekedar membalas 

budi, melainkan karena aku...... aku cinta padamu. Akan tetapi 

tai-hiap tidak suka menerimaku.......”


484

Pek-liong mengangguk-angguk. “Aku tahu sekarang, Sui In. 

Engkau memang seorang wanita yang amat baik, juga terhormat. 

Dan aku akan mengutuk diri sendiri kalau menyeretmu 

melakukan hal yang tidak kausukai, yang akan kauanggap 

sebagai suatu perbuatan aib. Aku seorang petualang, adik In, aku 

tidak ingin terikat dengan pernikahan, aku ingin hidup sendiri. 

“Nah, selamat tinggal, adik Sui In, dan jangan menangis. Aku 

semakin kagum dan hormat padamu. Sampaikan hormatku 

kepada Sribaginda dan kalau aku diberi hadiah, biarlah hadiah itu 

untuk engkau dan Cian Ciang-kun. Kalian lebih berhak 

menerimanya!”

“Tai-hiap......!” Akan tetapi Pek-liong sudah meloncat keluar dan 

lenyap.

Sui In menangis sedih. Ia merasa kehilangan. Ia tidak 

mengharapkan hadiah. Ia hanya ingin dapat hidup di samping 

pendekar yang dikagumi dan dicintanya itu, untuk selamanya. 

Akan tetapi pendekar itu menolaknya! 

Pek-liong mau bermesraan dengannya, akan tetapi tidak mau 

menikahinya. Dan pendekar itu demikian jujur, berterus terang, 

dan sama sekali tidak mau menjamahnya lagi setelah ia 

mengharapkan ikatan. Pada hal, sekali saja pendekar itu 

merangkulnya, ia akan jatuh bertekuk lutut, dengan atau tanpa 

janji ikatan.

“Tai-hiap...... ah, tai-hiap......” Ia terhuyung keluar dari dalam 

kamar itu, untuk mencarinya, untuk mobon kepada Pek-liong agar


485

mengasihani dirinya. Akan tetapi, ia tidak melihat pendekar itu di 

luar. 

Hatinya terasa perih dan kosong, dan ia tentu akan terhuyung 

roboh kalau saja tidak ada lengan yang kuat merangkul 

pinggangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang merangkulnya 

sehingga tidak sampai roboh itu adalah Cian Hui!

“Tenangkan hatimu, In-moi...... kulihat Tan tai-hiap sudah 

pergi......” 

Karena kepalanya terasa pening, Sui In terpaksa bersandar 

kepada perwira itu dan membiarkan dirinya dituntun masuk ke 

dalam kamarnya kembali.

“Duduklah dan tenangkan dirimu, agaknya lukamu belum 

sembuh, In-moi,” kata perwira itu dan membantu Sui In duduk di 

atas pembaringan. Dia sendiri duduk di atas kursi yang 

berdekatan.

“Dia...... dia menolakku..... dia tidak mau menerima 

pengabdianku...... dia tidak cinta padaku........” seperti mengigau 

Sui In berbisik.

Cian Hui tersenyum pahit. Betapa sama nasib wanita ini dengan 

dia. Wanita ini seorang janda, diapun seorang duda. Wanita ini 

agaknya tidak diterima ketika menyatakan ingin menjadi isteri 

Pek-liong dan dia sendiri ditolak Liong-li yang tidak mau terikat 

dengannya!



486

“In-moi, tenangkan hatimu. Mereka itu bukanlah orang-orang 

biasa seperti kita. Mereka adalah petualang-petualang, pendekar-

pendekar yang tidak mau terikat dengan pernikahan, tidak mau 

terkurung dalam rumah tangga.”

Sui In mengangkat muka menoleh ke arah perwira itu sambil 

menyusut air matanya. “.......mereka......?” tanyanya.

Sambil tersenyum pahit perwira itu mengangguk. “Benar, mereka, 

In-moi. Li-hiap Hek-liong-li juga menolak lamaranku untuk 

menjadi isteriku! Mereka orang-orang aneh, In-moi, berbeda 

dengan kita......”

Sui In terbelalak, tidak tahu harus tertawa atau menangis. 

“Ahhh......, betapa sama nasib kita. Kalau begitu.... mereka itu, 

mereka saling mencinta!”

Cian Hui mengangguk. “Aku yakin begitu. Akan tetapi mereka 

orang-orang aneh, cinta merekapun aneh.”

Dua orang yang bernasib sama ini saling pandang, kemudian 

keduanya tersenyum. Mereka sama maklum dan mereka merasa 

terhibur mendengar nasib yang lain, seolah-olah dalam 

penderitaan dan kekecewaan mereka, ada teman yang senasib, 

ada kawan dan ini merupakan hiburan besar. 

Mereka saling menghibur dan melihat betapa masa depan 

mereka cerah, karena mereka saling merasa kasihan dan timbul 

suatu niat ingin saling mengisi kekosongan hati masing-masing. 

Yang seorang duda, seorang lagi janda, keduanya tidak 

mempunyai anak. Apa lagi yang menghalang?


487

Dua orang pengawal datang mengetuk pintu dan menyampaikan 

perintah kaisar yang memanggil mereka berdua, juga memanggil 

Pek-liong dan Liong-li. Mereka segera menghadap, melaporkan 

tentang kepergian dua orang pendekar itu dan betapa mereka itu 

meninggalkan pesan bahwa mereka tidak mengharapkan imbalan 

jasa. 

Kaisar merasa kagum sekali dan melimpahkan semua 

anugerahnya kepada Cian Hui dan Sui In. Duda dan janda ini 

meninggalkan istana dengan hadiah mereka, dengan hati yang 

gembira dan penuh harapan yang gemilang. 

Mereka tidak tahu bahwa hancurnya gerombolan Si Bayangan 

Iblis itu mendatangkan keuntungan yang besar sekali kepada 

satu orang, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian! Peristiwa itu membuat 

para pangeran menjadi jera dan tidak ada lagi yang berani 

memperebutkan pengaruh di istana. Dengan demikian maka 

kekuataan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.

Sementara itu, jauh di luar kota raja, Pek-liong dan Liong-li 

menunggang kuda berdampingan. Mereka menjalankan kuda 

dengan perlahan dan sejak mereka bertemu di pintu gerbang 

istana, Liong-li melihat betapa wajah Pek-liong agak muram, tidak 

berseri seperti biasanya. Akan tetapi mereka tidak banyak bicara 

dan mereka keluar istana, membeli dua ekor kuda dan 

melanjutkan perjalanan naik kuda keluar dari kota raja.

“Bagaimana dengan Cu Sui In?” tiba-tiba Liong-li bertanya, untuk 

memancing omongan. 

Tanpa menoleh Pek-liong balas bertanya, “Ada apa dengannya?”



488

“Apakah ia merupakan seorang kekasih yang menyenangkan?”

Pek-liong menoleh dan pandang mata mereka bertemu sejenak, 

lalu Pek-liong menunduk kembali. “Ia seorang wanita yang hebat, 

wanita yang terhormat, aku kagum padanya.”

Wajah Liong-li herseri dan mulutnya membayangkan senyum 

ditahan, ia sudah mengenal isi hati rekannya itu seperti mengenal 

telapak tangannya sendiri. Pek-liong menyebut Sui In wanita 

terhormat, dan wajahnya muram, dan ia teringat akan 

pengalamannya sendiri dengan Cian Hui.

“Ahh? Ia...... ia menolak cintamu?”

“Tidak, ia hanya seorang wanita terhormat. Ia ingin menjadi 

isteriku, terpaksa menolak dan kami berpisah sebagai sahabat, 

bukan sebagai kekasih. Engkau tentu lebih berhasil.”

Liong-li tertawa sampai terkekeh-kekeh dan mula-mula Pek-liong 

memandang heran dengan alis berkerut, akan tetapi tidak lama 

kemudian diapun tertawa bergelak karena dari sikap wanita itu 

diapun dapat menjenguk isi hatinya dan dapat menduga apa yang 

telah terjadi,

“Ha-ha-ha, diapun menolak karena ingin melamarmu menjadi 

isterinya?”

Liong-li mengangguk. “Nasib kita sama. Baru sekali ini aku ditolak 

seorang pria.”


489

“Akupun demikian. Akan tetapi sungguh mengagumkan. Dia pria 

dan dia sungguh cinta padamu. Akan tetapi dia mampu 

menolakmu. Hebat!”

Liong-li menggeleng kepalanya, “Tidak ada yang hebat. Dia pria 

yang terikat oleh hukum dan peraturan, tidak bebas seperti kita. 

Hanya ada sedikit ucapannya yang sampai sekarang menjadi 

pemikiran.”

“Ucapan apakah itu?”

“Dia bilang bahwa kita saling mencinta......” 

“Memang kita saling mencinta!” kata Pek-liong cepat dan tegas 

tanpa keraguan.

“Tapi dia bilang semestinya kita menikah!”

“Menikah?” Pek-liong menunduk dan mengerutkan alisnya seperti 

orang yang sedang berpikir keras. Akan tetapi dia melarikan 

kudanya sehingga Liong-li terpaksa juga harus melarikan 

kudanya. Mereka berdiam diri, hanya melarikan kuda.

Dalam keadaan seperti itu, keduanya tidak dapat mengetahui apa 

isi hati masing-masing. Tidak tahu akan persamaan perasaan 

yang membuat mereka masing-masing menjadi bingung dan 

melamun. 

Setiap kali berada dalam pelukan seorang pria, Liong-li selalu 

menganggap pria itu Pek-liong, atau setidaknya, ada sedikit 

bagian dari Pek-liong berada pada pria itu! Sebaliknya, setiap kali


490

merangkul seorang wanita, Pek-liong juga selalu teringat kepada 

Liong-li dan merasa bahwa seolah Liong-li yang dirangkulnya, 

bukan wanita lain!

Mereka membalapkan kuda dengan lamunan masing-masing, 

untuk kemudian berpencar kembali ke tempat tinggal masing-

masing, namun lamunan itu masih akan berkepanjangan dan 

akan menimbulkan lain kisah sepasang pendekar itu.


                              T A M A T


Lereng Lawu, akhir Juni 198


Share: