251
“Pangeran, apa artinya ini? Engkau masuk begitu saja tanpa
kupanggil dan memukuli para pengawal dan dayang kami?” Bu
Cek Thian menegur, namun suaranya tetap lembut.
Sementara itu, dalam keadaan masih berlutut, diam-diam Liong-li
memperhatikan pangeran itu. Seorang pemuda yang usianya
kurang lebih tigapuluh tahun, tinggi kurus, wajahnya tampan dan
pesolek, matanya tajam dan lagaknya congkak.
Dari gerak geriknya, Liong-li menduga bahwa pangeran ini bukan
seorang lemah, dan agaknya memiliki kepandaian silat. Hal ini
dapat diketahui dari langkahnya. Sinar mata yang tajam itu
membayangkan kecerdikan dan seketika Liong-li tahu bahwa ia
harus berhati-hati terhadap orang ini.
“Selamat pagi, Ibu Permaisuri!” katanya dan suaranya juga
lembut namun nyaring dan penuh semangat. “Para pengawal dan
dayang itu yang tidak tahu diri. Bagaimana mereka berani
mencegah saya masuk ke sini menghadap paduka? Ibunda
adalah ibuku, dan sudah selayaknya kalau saya sebagai
puteranda datang pada pagi hari ini untuk menghaturkan selamat
pagi, bukan? Saya harus mematuhi pelajaran yang saya
dapatkan dari Bouw Sianseng (bapak guru Bouw)......”
“Hemmm, pelajaran apa yang kaudapatkan dari Bouw Sianseng
yang menjemukan itu?” Permaisuri Bu Cek Thian bertanya, nada
suaranya ingin tahu sekali.
“Bahwa seorang kun-cu (budiman) mengenal tiga macam hauw
(bakti), yaitu pertama berbakti kepada Thian (Tuhan), kedua
berbakti kepada Negara, dan ketiga berbakti kepada orang tua,
252
terutama ibu. Nah, kalau pagi-pagi saya mencari ibunda untuk
menghaturkan selamat pagi, itu adalah untuk memenuhi Hauw
yang ketiga itulah.”
Diam-diam Liong-li memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda
yang amat cerdik, pikirnya, akan tetapi juga ia merasa geli
mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
“Huh! Pelajaran dari orang yang menjemukan itu bisa
menyesatkanmu, Souw Cun! Buktinya, engkau ingin berbakti,
akan tetapi telah melanggar peraturan, menggangguku dengan
hadir di sini tanpa kupanggil!”
Pemuda itu membelalakkan mata dan mengangkat sepasang
alisnya, lalu memandang ke sekeliling. “Aih, kiranya saya telah
mengganggu paduka, ibunda Permaisuri? Akan tetapi saya tidak
melihat paduka sedang bercengkerama, tidak mengadakan rapat
atau persidangan, bahkan hanya ditemani si kembar dan ini......
ah, siapakah gadis jelita ini, ibunda?”
Kini Pangeran Souw Cun memandang kepada Liong-li yang
masih berlutut dan menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar
tegang karena ia merasa seolah-olah sikap pangeran itu dibuat-
buat. Bukan tidak mungkin kalau pangeran ini sudah tahu atau
dapat menduga siapa ia, atau setidaknya menaruh curiga
kepadanya!
“Ah, ia dayangku yang baru, namanya Siauw Cu,” kata sang
Permaisuri dengan sikap acuh.
253
“Siauw Cu? Mustika kecil? Wah, nama yang cocok sekali dengan
orangnya. Manis, coba kau angkat mukamu, aku ingin
melihatnya!” kata pangeran itu.
Dengan sikap seorang gadis yang bodoh dan penakut, Liong-li
semakin menundukkan mukanya dan suaranya gemetar ketika ia
menjawab lirih.
“Ampun...... hamba..... tidak berani......”
“Hemm, berani engkau membantah?” Tiba-tiba tangan kanan
pangeran itu menangkap dagu Liong-li dan wanita ini merasa
betapa jari-jari tangan itu mengandung tenaga kuat dan kalau ia
mengerahkan tenaganya, tentu jari-jari tangan itu akan
mencengkeram. Ia bersikap wajar saja, nampak ketakutan dan
menurut saja ketika dagunya didorong naik sehingga mukanya
tengadah.
“Hmm, cantik jelita...... manis sekali dayang ini, ibunda
Permaisuri!” kata Pangeran Souw Cun sambil tertawa.
“Souw Cun, lepaskan dayangku!” teriak sang Permaisuri dengan
suara marah.
Pangeran itu melepaskan tangannya sehingga Liong-li menunduk
kembali dan kini ibu tiri dan pangeran itu saling pandang dengan
sinar mata saling menentang.
“Ibunda, dayang yang satu ini berikan saja kepada saya.
Puteranda suka sekali melihat wajahnya,” kata pangeran itu.
254
“Tidak! Tidak boleh! Siauw Cu baru saja kuangkat menjadi
dayang dan ia akan kujadikan dayang pribadiku. Dan engkau
tidak boleh mengganggunya, pangeran!”
Pangeran Souw Cun tertawa, dan ketika dia tertawa, jelas bahwa
sikap hormatnya tadi kepada sang permaisuri hanya pura-pura
saja. Ketika tertawa nampak bahwa sesungguhnya, di balik sikap
hormat itu dia tidak suka kepada ibu tirinya ini! Hal itu tampak
jelas sekali oleh Liong-li yang melirik dari bawah.
“Ha-ha, mohon paduka mengampuni saya, ibunda. Kalau saya
tadi meraba mukanya, hal itu hanya untuk melihat kecantikannya,
dan untuk membuktikan bahwa ia benar seorang wanita!”
“Pangeran! Apa maksud ucapanmu itu?” sang permaisuri
membentak.
“Ibunda permaisuri yang mulia, seorang pemuda yang tampan
dan lembut mudah saja menyamar aebagai seorang gadis.
Ibunda, Puteranda mohon mengundurkan diri!”
Dan tersenyum lebar pangeran itu meninggalkan ruangan setelah
menjura dengan sikap hormat sekali kepada Permaisuri yang
memandang dengan mata melotot dan muka merah karena
marah.
“TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan
siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum
kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah sekali
sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.
255
Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya
untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya menunjukkan
betapa besar kemarahannya.
Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu
hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal
pribadi gadis kembar dan Liong-li.
Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik
napas panjang. “Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu
makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya
seperti kepada dirinya sendiri.
“Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya...... Pangeran
Souw Cun kurang..... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah
dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.
Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal
pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua
orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela,
memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di
belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat
bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada
orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.
Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liong-
li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk
bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.
“Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku,
juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang
256
pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui
semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”
Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia
istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di
istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan
oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana
dan keluarga kaisar.
“Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk
menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada
Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka
tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”
“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa
engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana
Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang
mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas
ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk
mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan
demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga
menjadi anak buahku. Mengerti?”
Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita
tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini
membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita
yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang
kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa
heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan
seluruh penghuni istana! Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini
257
menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat
merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu.
Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu
malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua,
sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa
pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan
pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!
Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini,
Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah
nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali
kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar
kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang
kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita
yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan
lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja
merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka
sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa
mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka
lewat penyelewengan.
“Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua
keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.
“Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw
Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ.”
Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk
di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang
permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka
258
dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan
dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empatpuluh
tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang
putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi
sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya
mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.
Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya
sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah
bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan
dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak
diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya
mengandung cengkeraman. maut!
Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan
keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li.
Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga
kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-
diam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun
semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap
berkeluarga dan taat kepada kaisar!
“Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu
Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang
Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan
ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku
sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran
lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.
259
“Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan
kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati
Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk
saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka,
tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar
terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi
untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga
keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam
kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-
pembunuhan yang misterius itu.”
Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia
nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang
cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi.
“Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhan-
pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu
dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li
memancing.
“Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan
persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja
yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin
lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan
keselamatan diriku sendiri terancam!”
Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak
dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam.
“Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?”
260
Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan
sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka
berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan
pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih
ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah
Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar
kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu
melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia
beracun yang agaknya tercecer.”
“Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di
dalam istana?”
Permaisuri itu menggeleng kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin
pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di
istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah untuk
menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan
gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang
yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orang-
orang yang berkepandaian tinggi.”
“Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan
mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana,
Yang Mulia.”
“Bagaimana engkau dapat yakin?”
“Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar
para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat
menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa
Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang
261
tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di
mana lagi kalau bukan dl istana? Dan setelah mendengar
keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam
istana induk, di bagian putera!”
“Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”
“Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian
puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan
paduka yang arif bijaksana?”
Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa
ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. “Siauw Cu,
engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan
dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam
istana, tentu dia berada di bagian putera!”
“Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka.
Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai,
yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”
Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Inilah yang
membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin
menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang
terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun
mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin
mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap
penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku,
tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang
mungkin bersembunyi di dalam istana.”
262
“Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar
sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang
kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau
anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan
pendapat hamba ini.”
“Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di
akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia
ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam
istana induk bagian pria.”
Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. “Akan tetapi. Yang
Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang wanita dan........”
“Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak
mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau
terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus
masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir.....”
“Tapi......!” Liong-li terkejut.
“Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan
menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun
engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para
pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap
perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan
mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru
engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin
mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta
agar engkau dijadikan selirnya yang baru?”
263
Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela
menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia
sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun
pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita
ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong
membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya
membayangkan kepalsuan dan kekejian.
“Ampun, Yang Mulia. Hamba...... hamba mengabdikan diri
dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba.
Hamba...... tidak suka menjadi selir pangeran itu......” lalu
disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri
kepada pria manapun yang tidak hamba sukai......”
Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan
marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian
tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh
ke belakang.
“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang
bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau
tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar
kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku
percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau
tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu.”
Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin
di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran,
yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah
264
menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri
dengan suka rela?
Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang
dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak
diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius,
dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap
segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran
itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.
“Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?”
“Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan
berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum
mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang
menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang
diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan
seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga
tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan
menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu
dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan
dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu.”
“Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai
selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau
akan menolak.”
“Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir
kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan
dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan
265
tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu
angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?”
Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran
yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali
melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau
curiga kepada hamba?”
“Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau
mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya
bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki
Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi
kepadamu.”
“Baiklah kalau begitu, Yang Mulia.”
◄Y►
Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya
berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda
sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya
demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan
santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang
mengundangnya.
Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja
menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya
atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut
dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan
dada.
266
“Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat
dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya juga lembut dan halus,
dengan kata-kata yang indah.
Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat
mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa
canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani
terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang
kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan
Sang Permaisuri itu.
Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih
duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan
tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang
sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya
menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.
Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan
sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium
semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi.
Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan
pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.
Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti
wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk
golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang
pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.
Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan
kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti
267
pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung,
sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir
Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir
itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu
memang merah karena segar dan sehat.
Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun
menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan
bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu
berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-
benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan
tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia
terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan
kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang
demikian tampannya! Seperti gambar saja!
“Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau
menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan
engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu?
Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan
seni.”
“Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan
dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”
“Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku
mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin
sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi
sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting
sekali.”
268
Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah
sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang
lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh
pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting
dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya
sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.
“Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?“
“Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong
aku?”
“Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati
perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan
segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar
dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera
paduka, Ibunda.”
Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar,
akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau
permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan
lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.
“Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu
akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-
eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”
Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa
pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. “Ibunda
Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak
269
mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para
petugas keamanan.”
“Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para
petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu
berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah
sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula
membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu
tertangkap?”
Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar
itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang Mulia, bagaimana
seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang
penjahat yang demikian lihainya?”
“Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku
menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk
membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!”
Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk
dengan kepala tunduk.
“Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu.
Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan
ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis,
bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia
lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk,
dibagian putera......”
“Ehhh? Jadi menurut Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di
dalam istana?” Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.
270
“Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki
benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu
ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan
penyelidikan dengan leluasa.”
“Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?”
“Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan
Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!”
“Ahh......!” Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi
merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak
pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa
pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan
dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.
“Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba....
hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir.....!
Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran
lain yang mempunyai banyak selir?”
Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. “Aku tidak percaya
kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan
engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran
Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah
satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi
ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah
kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”
“Tapi...... tapi..... ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu.
Akan tetapi....... selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai
271
dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai
lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak
mencurigakan.”
“Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur
bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak
leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu,
tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat
melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain.”
“Tapi...... tapi.... Ibunda.......”
“Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa
engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar
bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka
bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun
selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan
menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!
“Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir
sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah
kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang
menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini
adalah seorang pendekar wanita.
“Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan
iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu
pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau
tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria.
Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir,
272
menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan
ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”
Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan
penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah
selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau
dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya,
diapun kagum.
“Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda
Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati
oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil
mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu
pelajaran hamba!”
Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang
pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan hati,
Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau
mengganggu paduka sedetikpun!”
Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu
bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan
jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata
harimau di malam hari!
“Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran.
Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus
berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru
saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam
orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa
selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu.”
273
Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang
dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan
cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar
dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm,
tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar
jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.
Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran
Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir
akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap
seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar,
tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan
tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm...... jantungnya
berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga
dirinya sendiri.
Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang
lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim,
lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya
dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias,
memandang kagum.
“Nona...... sungguh cantik jelita......” kata dayang itu.
Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang
gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan
berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu
gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan
semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya
seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga
274
yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah
bagaimana nasibnya kelak.
Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang
pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai
akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan
kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang
dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.
“Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu
menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan iapun bangkit
setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali
ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw
Han masih menantinya.
Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali
nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang
kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih
mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.
“Siauw Cu, sungguh...... sudah kuduga....., engkau cantik jelita
sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main,
sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita
yang memiliki kecantikan luar biasa!”
Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya
memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya
sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan
sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa
penasaran dan kecewa!
275
Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti
ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal
biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.
“Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka
ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada
nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat
memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba
harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu
terganggu.”
Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang
walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu
merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus
mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja
demikian.
“Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau
selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau
membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja
dari istana ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi
matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.
Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut
pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau begitu,
lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah
siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?”
“Sudah,” kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah
berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi
276
“pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw
Han!
Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil.
Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah
menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang
mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan
sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan
dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang
ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di
belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam
barisan dua-dua yang rapi.
Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran
Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah
dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang
berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat,
dari bagian puteri memasuki istana induk.
Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa
pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh
Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada
semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja
menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal
Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali
tidak mau berdekatan dengan wanita!
Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat
seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran
yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari
277
dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah
melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir
Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita
seperti bidadari!
◄Y►
Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li
kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di
dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada
beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung
juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia
seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-
ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh
“suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang
dayang, ia merasa canggung bukan main.
Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran
itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita
biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang
sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa
semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya
sebagai wanita.
Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam
benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi
hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh
membuat ia merasa rendah diri.
Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas
penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang
278
dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu.
Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati
terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah
seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat
banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak
memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!
Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya
untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam
kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia
pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika
pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi
begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini
nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam
gelisah.
Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti
gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali,
juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di
dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah,
bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Pangeran,” ia memanggil lirih.
Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena
dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan
memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang
dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya
yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li
menjadi semakin geli.
279
“Pangeran, saya...... saya tidak ingin mengganggu paduka.
Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal?
Di mana kamar saya?”
“Di mana lagi?” Pangeran itu berkata, bukan menjawab
melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing
cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang
mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin
cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku,
kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para
dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”
Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri
duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam
jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul,
Pangeran Souw Han cemberut.
Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti
empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas
itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah
tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang
bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar
sekali kalau hanya untuk dua orang!
Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku,
almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan
tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal.
Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan
seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini
muram dan mulut yang indah itu cemberut.
280
“Tempat tidurnya....... hanya sebuah......?” Ia bertanya, hanya
untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah
jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.
Pangeran itu mengangguk. “Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku
sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!”
“Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar
sebelah saja, Pange- ran.”
“Itu baik sekali!” Pangeran Souw Han berseru gembira sambil
bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal
hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.
“Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku.
Bagaimana mungkin seorang....... selir tidur di kamar dayang?
Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan
orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja
menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan
marah kepadaku!”
“Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang
hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan
membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya
sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap
keluar dan melakukan penyelidikan.......”
“Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam
kembali ke kamar ini.......”
281
“Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu,
di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan
mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas
pembaringan paduka dan......”
Tiba-tiba pangeran itu bangklt berdiri dan memandang kepada
Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. “Siauw Cu!
Kaukira aku ini orang apa?”
Liong-li terbelalak. “Paduka? Paduka seorang pangeran yang
terhormat......”
“Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu
engkau?”
Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil
mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah
bicara.
“Dan kaukira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-
enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita
menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku
seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu
menghargai kaum wanita yang lemah?”
Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan
tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh
kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui
segala kekagumannya!
282
“Lalu...... lalu.... bagaimana maksud paduka? Saya..... hamba...
hanya menurut saja.....”
“Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di
atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?”
Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi
mengandung perintah yang tidak mau dibantah.
Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya
pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama
saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!
“Aku yang akan tidur di atas lantai!”
Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi,
memandang aneh.
“Tapi...... tapi.... bagaimana mungkin hamba tidur di atas
pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran...... tidur di
lantai.....?” Liong-li benar-benar terkejut.
“Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di
lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa?
Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”
Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng
tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis,
hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan
dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka.......
paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!”
283
Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, “Hushh,
jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita
bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal
benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?”
Liong-li tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang
pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi
bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara
seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang
yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw
Han.
“Nama saya? Siauw Cu........” ia masih mencoba.
“Huh, kaukira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu
adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku.
Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu
tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh
menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan
dari mana engkau datang?”
Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak
segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang
mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi.
“Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu
dan saya tinggal di kota Lok-yang.”
Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati
wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang
284
mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung
kecabulan atau kekurangajaran sama sekali.
“Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?”
Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat
dengan membungkuk. “Paduka memang hebat, Pangeran. Benar,
sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana
paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat,
bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan
tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri,
paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni.”
Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti
ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian
manisnya dari seorang pria!
“Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar
istana, li-hiap (pendekar wanita).”
“Ihhh......! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apa
lagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!”
“Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah
kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku.”
“Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun.”
“Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua
tahun dari aku. Aku sudah duapuluh tahun.”
285
Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya
belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen!
“Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru
duapuluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan
yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran
Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia
Permaisuri.”
“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap
pangeran yang satu itu, Cu cici!” Diam-diam Liong-li girang sekali
mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat
akrab dari seorang pangeran!
“Dia kenapakah, Pangeran?”
Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan
Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak
dua meter saja.
“Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk
membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan
tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula
bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk
menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di
istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk
menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk
menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”
“Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga
kerajaan, Pangeran?”
286
“Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari
sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si
Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang
dingin.”
“Perang Dingin?” tanya Liong-li heran. “Maksud paduka......”
“Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian
karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau
terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling
menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan
perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua
itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku
lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni.”
“Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci?
Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si
Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa
kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka
dalam hal ini, Pangeran.”
“Nanti dulu!” kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh
selidik. “Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri
dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi
kepentingan Ibunda Permaisuri?”
Liong-li menggeleng kepala. “Tidak, Pangeran. Terus terang saja,
saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya
diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia
Permaisuri mengetahui rahasia saya.”
287
Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung,
“Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di
istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan
membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi
terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan
pembunuhan-pembunuhan gelap.”
“Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala
yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri.
Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di
istana!”
“Ehhh......??” Liong-li terkejut dan terbelalak.
Pangeran itu menarik napas panjang. “Aku merasa diriku sebagai
seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah
mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena
aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan
mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami.
“Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar
sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di
kerajaan. Ayahku...... semoga Thian mengampuninya, ayahku
seperti...... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri.
“Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi......
kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam
terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang
ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus,
mempunyai jagoan-jagoan........”
288
“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi
pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai.”
“Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa
saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan
harap dapat hidup! Selain itu...... ah, bagaimana, ya? Rasanya
aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”
Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika
Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa
ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui
bahkan disindirkan oleh pangeran itu.
Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia
busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan
kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu
bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis.
Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar
memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan
Iblis.
“Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik
jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut
penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam
diselundupkan ke istana bagian puteri?”
Pangeran itu membelalakkan matanya, “Kau...... kau....... sudah
tahu?”
Liong-li tersenyum. “Saya hanya menduga saja, Pangeran.”
289
Pangeran Souw Han menghela napas. “Sudahlah, engkau sudah
tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau......
ah, bagaimana, ya..... sungguh memalukan. Beliau suka kepada
pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan
pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat
berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk
melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”
“Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa
korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis
terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar,
dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban
yang menentang beliau...... sungguh membingungkan.”
“Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang
Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri.
Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau,
aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan
memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini,
Enci Cu.”
“Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain
yang kiranya patut dicurigai?”
“Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga
banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda
Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak
membutuhkan kedudukan!”
“Bagaimana dengan pangeran Souw Cun
290
“Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan
kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya,
mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta
setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan
urusan negara?”
“Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?”
“Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu
ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu
silat.”
Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang
dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung
dalam jari-jari tangan itu!
“Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti
paduka?”
“Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun
kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw
Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam
huruf saja, lagaknya seperti seorang mahaguru, akan tetapi tata
susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw
Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang
menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang
dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan
Si Bayangan Iblis.”
“Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut
saya selidiki, Pangeran?”
291
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
“Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet,
juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis.
Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling
memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah,
benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat
menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan
kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua
rahasianya yang kotor.”
Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw
Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar
Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping
permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal
yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada
Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu.
Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan
persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah
memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh
bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban
kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki
keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir
atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap
tanpa ketahuan jejaknya!
Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri
mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran
Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan
yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han
292
menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah
putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang
bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para
pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk,
menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar
kesenangan.
“Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui
bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah
manusia-manusia yang tiada gunanya!”
“Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat
yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para
bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi
derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.”
Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan
kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi
ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak
penasaran.
“Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan
dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah
hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu
kaudermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu?
Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki
duapuluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh
kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura,
munafik, bangsawan pakaian saja!”
293
Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua
keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu
bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga
membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang
sebelumnya tak pernah disangkanya.
Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak
membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis.
Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar
keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir,
bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai
sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!
Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya
adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat
menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana.
Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat
itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat
ditangkapnya!
“Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai
malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan
melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si
Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”
“Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau
berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah
dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu,
pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
berbahaya sekali.”
294
“Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati
sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”
Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari
duduknya.
“Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu.
Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan
makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun
melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-
milih.
Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak
mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di
pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada
di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan
mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau
meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu!
Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di
dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku
lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang
mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan
baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat
baik buatannya.
Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan
sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang
dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah,
namanya lagu itu “Badai”.
295
Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula
membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin
lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak,
nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai
yang semakin mendahsyat.
Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab
sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk
dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya
tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang
memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu
dan segera dia mengenal lagunya.
Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira
bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat,
seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di
dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik
jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai
sekali memainkan alat musik yang-kim!
Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya,
bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia
melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter
dan memandang dari samping.
Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak
pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya
dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang
sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung
dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin
296
agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya.
Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!
Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti
datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam
saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam
itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang
melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah
kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.
Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga
dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak
berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun
menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya
yang merdu!
“Badai menderu
mengamuklah air dan salju
angin puyuh menyapu bumi
segala pohon dipaksa menari
betapa buas dan gagah
betapa indah!
Badai dahsyat di bukit itu
akhirnyapun, lewat, berlalu
sunyi, hening, sayu
kelu, lelah, lembut tenang
aman dan betapa indahnya
297
Lagu “Badai” itu memang indah sekali, dimulai dengan suara
yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar,
akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan
akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan
alam hening setelah badai lewat.
Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling
yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling
itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu “Badai”. Suara suling
itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari
tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu
itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu
terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat
serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.
Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak
bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main.
Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu
bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di
bibir Liong-li.
Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata
pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya,
menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa,
seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.
“Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran.”
“Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-
kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran......”
298
“Kenapa paduka heran, Pangeran?”
“Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu
berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain
pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan,
bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi
demikian merdunya, sedemikian lembutnya......”
“Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari
manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat
keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat
apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai
mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar,
namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di
sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga
terdapat keindahan di sana.
“Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja
mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh
kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana
terdapat pula keindahan?”
“Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan
apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah.
Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah
engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab
filsafat?”
Liong-li tersenyum. “Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku
saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama
(Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran
299
“Amboiii......! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula
bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus,
enci Cu!”
“Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari
itu semua.”
“Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu!
Hebat!”
Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu
seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan
pula pertapa!
“Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran.”
Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong
orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan
tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah
seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li
berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia
mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!
Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa
orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi
marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi
hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun.
Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat
hatiku terkejut saja.”
300
Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik
tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua
saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling
kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi?
Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu,
adikku.”
Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak
pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura
tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi
diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.
“Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda
datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”
“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara
engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada
keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar
biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”
“Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang
mendatangkan bermacam perasaan?”
“Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk
menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar
biasa itu?”
Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan. ”Benar,
kakanda. Apa anehnya itu?”
301
“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu
merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat
menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang
selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul
dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para
dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang
kaujamah seorangpun.
“Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak
aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi
penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita
yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai
seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita
itu.
“Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling,
yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun
dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah
selirmu yang hebat itu?” Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh
ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka
di atas meja.
“Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda
Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya,”
kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau
selirnya itu.
Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil
menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat.
“Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat
302
menyambut kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus,
akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap
ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.
Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang
cantik jelita itu. “Ah-ahhh...... kiranya engkau? Bukankah engkau
dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”
Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk. “Kami
memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”
Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada
wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau
menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari. dan masih
amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha,
sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali
kepadamu, adikku!”
“Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula
merasa kasihan kepadaku?”
“Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat
jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah
engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”
Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan
tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia
mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu
akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan
rahasia gadis itu?
303
“Aku cinta padanya, kakanda.”
“Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita?
Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan
engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku
tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia
sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia
cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona,
siapakah namamu?”
“Siauw Cu......” jawab Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di
dalam hatinya timbul perasaan panas bukan main.
“Siauw Cu, katakan dengan sejujurnya, berapa usiamu
sekarang?”
Biarpun hatinya panas, namun Siauw Cu menjawab sejujurnya
dan di dalam suaranya yang lembut terkandung ketegasan dan
tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang
sebenarnya.
“Usia saya sudah duapuluh lima tahun, Pangeran.”
“Duapuluh lima tahun? Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda
Souw Han! Dan engkau belum genap duapuluh tahun! Dan
seorang wanita berusia duapuluh lima tahun tidak mungkin
menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw
Cu. Engkau bukan gadis lagi. Tidak benarkah begitu
304
Souw Han memandang kepada “selirnya” dengan hati penuh iba.
Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat menyakitkan
perasaan seorang wanita, maka diapun berkata.
“Kakanda Souw Cun, harap kakanda jangan bertanya hal-hal
seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau engkau tidak suka,
aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan
kakanda Souw Cun tadi.”
“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak mau menjawabnya, atau kalau
menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw Cun
tertawa.
Kini Liong-li mengangkat mukanya, memandang kepada
Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang, lalu
keluarlah jawaban dari bibirnya.
“Saya tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan kenyataan.
Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika saya menjadi
dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda......”
Liong-li mengerling ke arah muka Pangeran Souw Han, akan
tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak perubahan apapun.
Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir”
Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia
masih perawan atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya?
Akan tetapi Pangeran Souw Cun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, apa kukata tadi, adinda? Ia bukan hanya tidak
perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang pangeran
yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu
305
kepada seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun?
Bodoh, adikku, bodoh sekali dan itu rugi namanya. Juga
memalukan keluarga! Aku ikut malu!”
Souw Han merasa tidak enak sekali kepada Liong-li. Akan tetapi,
dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di balik wanita itu terdapat
suatu rahasia yang harus dilindunginya.
“Kakanda Souw Cun, mengapa kakanda mencampuri urusan
pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih lama
lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah
membikin malu keluarga!”
“Adinda! Engkau hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada
seorang janda, dan kau bilang tidak membikin malu keluarga?“
“Habis, apa maksud dan kehendak kakanda sekarang?” Souw
Han mulai marah.
“Begini, adinda. Aku sayang padamu, dan aku tidak rela kalau
engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua ini. Kutukar
saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru
limabelas tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia
masih perawan. Nah, ialah yang lebih pantas menjadi selirmu,
atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang wanita ini, serahkan saja
kepadaku untuk kujadikan dayang.”
“Mendengar ini, Pangeran Souw Han terkejut bukan main. Dia
bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti Liong-li yang
sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya.
Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi
306
dia segera teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata
dengan suara gelisah.
“Ah, kakanda Souw Cun, bagaimana mungkin aku dapat
menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda, Siauw Cu ini
adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku..... aku suka sekali
padanya.”
Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran
Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya dengan ujung
lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar
penuh isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba..... hamba lebih
baik mati kalau harus meninggalkan paduka......”
Diam-diam Pangeran Souw Han menjadi semakin kagum. Dia
tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi sandiwara
itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia
sendiripun sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu
berpura-pura. Maka, diapun memandang kepada Pangeran Souw
Cun.
“Kakanda Pangeran, kakanda lihat sendiri. Kami sudah saling
mencinta. Tidak ada wanita yang dapat menggantikannya. Aku
hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”
“Hem, benarkah itu?”
Ketika Liong-li mengerling dari sudut matanya yang ia tutupi
dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata Pangeran Souw
Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran
yang berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud
307
pangeran itu menghalangi ia diselir Pangeran Souw Han bukan
semata karena cemburu atau iri, bukan semata karena pangeran
itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain, yaitu
mencurigainya!
“Ah, jangan-jangan engkau kena dipengaruhi guna-guna adikku.”
“Tidak, kakanda. Aku memang cinta padanya, bukan hanya
karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia pandai
bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki
beberapa macam kepandaian lagi yang belum kuketahui.
Tentang usia dan tentang bukan perawan, aku tidak perduli!”
“Hemm, banyak kepandaiannya, ya? Eh, Siauw Cu, apakah
engkau juga pandai ilmu silat?”
“Ah, kakanda!” seru Pangeran Souw Han, terkejut dan
kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana seorang
wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau
menari mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”
Liong-li yang sudah menghapus air matanya kini memandang
kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang jelas
membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka......
apapun akan hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah
mempelajari ilmu menari.”
“TARIAN pedang ? “ tiba-tiba Pangeran Souw Cun bertanya.
“Ah, bukan, Pangeran. Tarian biasa,” jawab Siauw C'u atau
Liong-li tanpa berani mengangkat mukanya.
308
“Bagus, kalau begitu, suruh ia menari agar dapat kumelihatnya,
adinda Souw Han!”
Pangeran Souw Han mengerutkan alisnya. Dia ingin agar
kakaknya itu cepat pergi saja supaya tidak mengganggu Liong-li
lebih lama lagi. Pula, diapun tidak yakin apakah benar Liong-li
pandai menari, dan jangan-jangan gerak tarinya akan
mengandung gerak silat sehingga akan menimbulkan kecurigaan
pada kakaknya .
“Kakanda, ia baru saja datang, masih lelah. Biarlah lain hari saja
ia menari.”
“Tidak mengapa, Pangeran. Hambapun senang sekali kalau
paduka menggembirakan hati saudara tua paduka,” kata Liong-li.
Ucapan ini saja sudah cukup melegakan hati Pangeran Souw
Han.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengiringi tarianmu dengan
yang-kim. Engkau tentu mau meniup sulingnya, bukan,
kakanda?”
“Baik, Tapi, tarian apa yang akan ditarikan selirmu itu?”
“Hamba akan menarikan tarian rakyat dari daerah selatan, tarian
para petani bekerja di sawah ladang,” kata Liong-li.
Tak lama kemudian, terdengarlah paduan suara suling dan yang-
kim, dengan irama yang lambat dan halus. Liong-li sudah
mengambil sebuah sabuk sutera merah panjang dari almari
309
pakaian atas petunjuk Pangeran Souw Han dan iapun mulailah
menari, seirama suara suling dan yang-kim.
Dan kini kedua orang pangeran itu terpesona! Jangan Souw Cun
yang penuh curiga itu, bahkan Souw Han yang sudah tahu bahwa
“selirnya” itu seorang pendekar wanita, terbelalak kagum melihat
betapa tubuh wanita itu meliuk-liuk lemah gemulai, menarik
dengan amat indahnya! Bagaikan seorang bidadari saja selirnya
itu!
Setelah selesai menari dan dua orang pangeran itu menghentikan
permainan alat musik mereka, Pangeran Souw Cun bertepuk
tangan memuji.
“Wah, sekarang aku mengerti mengapa engkau suka kepada
selirmu ini, adinda. Ternyata suaranya merdu, permainan yang-
kimnya pandai, dan tariannya pun indah. Dan tubuhnya itu!
Amboi, betapa akan nikmatnya malam nanti akan kaurasakan
dalam pelukkannya, adindaku.”
“Kakanda! Harap jangan ganggu kami lagi dan kupersilakan
kakanda meninggalkan kami!” Pangeran Souw Han berseru
marah. Akan tetapi kakaknya hanya tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, hampir aku lupa! Engkau belum pernah bergaul
dengan wanita, tentu ia akan mengajarimu, atau kalau engkau
memang tidak suka, biarlah kalau malam ia bersamaku, kalau
siang ia bersamamu. Dan engkau pun boleh minta tukar untuk
malam ini dengan beberapa saja selirku. Boleh kau pilih dan
berapa banyaknya pun boleh untuk ditukar dengan ia
310
“Kakanda! Pergilah! Keluar dari sini!” Pangeran Souw Han
berteriak dan Pangeran Souw Cun tertawa, akan tetapi
meninggalkan kamar itu dengan langkah tenang dan berlenggang
penuh gaya.
Setelah pangeran itu pergi, Pangeran Souw Han menutup pintu
kamar, lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Dadanya
bergelombang, mukanya merah dan napasnya memburu karena
dia tadi menahan amarahnya.
Sejak tadi Liong-li mengamatinya, dan ia tersenyum lalu
menghampiri dan duduk di atas kursi dekat dengan pangeran itu.
“Sudahlah, Pangeran. Tenangkan hati paduka. Bahaya telah
lewat dan agaknya dia tidak mencurigai kita.
Pangeran Souw Han mengepal tinju. “Akan tetapi penghinaan-
penghinaan itu! Terutama sekali kepadamu! Sungguh tidak patut!”
Liong-li tersenyum. Memang tadi iapun merasa marah sekali.
Pangeran Souw Cun tidak pantas menjadi pangeran, pantasnya
menjadi seorang berandal, seorang penjahat yang tidak tahu
malu, yang siap menukarkan selir-selirnya dengan selir adiknya,
begitu cabul, begitu jorok dan hina.
“Bagaimanapun juga, paduka telah berhasil mengusirnya,
Pangeran, dan kita aman sudah. Saya yakin dia tidak akan berani
lagi datang mengganggu.”
“Hemm, aku belum begitu yakin. Engkau tidak mengenal siapa
Pangeran Souw Cun itu, enci Cu. Kalau sudah menginginkan
311
seorang wanita, sebelum berhasil, akan dia lakukan segala daya,
segala muslihat untuk mendapatkan wanita itu! Dan dia memiliki
tukang-tukang pukul yang lihai. Engkau sekarang harus lebih
berhati-hati, enci Cu, karena kulihat bahwa kakanda Souw Cun itu
sangat menginginkanmu tadi. Selain si Bayangan Iblis, engkau
akan menghadapi musuh lain, yaitu kakanda Souw Cun dan kaki
tangannya.”
Liong-li tersenyum. “Saya tidak khawatir, Pangeran. Sudah
terbiasa saya oleh kepungan orang-orang yang menjadi hamba
nafsu iblis, dan selalu saya dapat mengatasi mereka.”
“Mudah-mudahan begitulah. Hanya pesanku, malam nanti,
malam pertama engkau melakukan penyelidikan, engkau harus
berhati-hati. Bagaimanapun juga, aku takkan dapat tidur karena
gelisah sebelum engkau kembali ke kamar ini.”
“Aihh, kalau begitu, malam nanti bukan saya saja yang
bergadang, akan tetapi paduka juga rupanya!” Liong-li berkelakar.
“Sebaiknya sekarang paduka tidur mengaso agar malam nanti
tidak terlalu payah.”
“Dan engkau sendiri? Nanti malam engkau akan melakukan tugas
yang amat berat dan berbahaya! Engkaulah yang perlu
mengaso.”
Liong-li tersenyum. “Aku tidak pernah tidur siang, Pangeran. Dan
untuk memulihkan tenaga dan menguatkan tubuh, cukup dengan
samadhi beberapa jam saja sambil mengatur pernapasan.”
312
“Kalau begitu, lakukanlah samadhimu, dan aku akan tiduran
sambil membaca kitab.”
Liong-li tidak sungkan-sungkan lagi, melepaskan sepatunya dan
naik ke atas pembaringan, lalu duduk bersila dan mengatur
pernapasan. Pangeran Souw Han sendiri lalu membawa kitab
sajak dan membaca kitab sambil rebahan di atas lantai yang
bertilamkan permadani dan ditambah dengan beberapa buah
bantal.
Mereka hanya berhenti ketika dua orang dayang mengetuk pintu
kamar dan mengantar hidangan makan siang. Kemudian mereka
melanjutkan kesibukan masing-masing dan sampai hari menjadi
malam, sedikitpun juga sang pangeran tidak pernah mengganggu
Liong-li, baik dengan perbuatan, kata-kata bahkan dengan
pandang mata sekalipun.
Dan kembali ada perasaan penasaran dan kecewa di dalam hati
Liong-li. Ia merasa seperti menjadi sebuah kursi atau meja
kembali. Sebuah kitab sajak agaknya jauh lebih menarik bagi
pamgeran itu dari pada dirinya! Sungguh keterlaluan!
◄Y►
Malam tiba. Sejak sore tadi, sejak mereka makan malam
bersama, sang pangeran sudah nampak gelisah dan berulang
kali dia memperingatkan Liong-li agar berhati-hati. Kemudian,
setelah mendekati tengah malam, Liong-li mengenakan pakaian
serba hitam, menutupi pula mukanya dengan saputangan hitam,
tidak lupa membawa Hek-liong-kiam yang disembunyikan di balik
jubah hitam.
313
Melihat dandanan wanita itu, Pangeran Souw Han memandang
dengan kagum, akan tetapi juga dengan sinar mata gelisah.
“Engkau nampak gagah sekali, enci Cu, dan....... dan
mengerikan. Kuharap engkau dapat segera menyelesaikan
penyelidikanmu dan kembali ke kamar ini dengan selamat.”
“Tenangkanlah hati paduka dan tidurlah, Pangeran. Paling lambat
besok pagi-pagi sebelum matahari terbit saya sudah akan
kembali ke sini.”
“Engkau keluar melaksanakan tugas yang berat, menghadapi
ancaman bahaya dan aku disuruh tidur enak-enak di sini?
Bagaimana mungkin, enci Cu?”
“Akan tetapi, bukankah biasanya setiap malam paduka juga tidur
seorang diri di sini dan tidak pernah gelisah?”
“Ketika itu belum ada engkau di sini enci Cu. Sudahlah, harap
engkau berhati-hati dan aku ikut mendoakan.”
“Terima kasih, Pangeran. Aku pergi!” kata Liong-li yang sudah
membuka daun jendela, dan sekali berkelebat, ia sudah lenyap
dari depan pangeran itu, seperti seekor burung terbang saja lewat
jendela yang terbuka.
Pangeran Souw Han terbelalak, sejenak hanya melongo
memandang ke arah jendela, lalu menarik napas panjang dan
menutupkan kembali daun jendela. Sudah sering dia melihat
jagoan-jagoan istana bermain silat dan memamerkan kelihaian
mereka, akan tetapi baru sekarang dia melihat ada gadis dapat
menghilang begitu saja dari depan matanya.
314
Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah
mencapai tingkat tinggi sekali, Liong-li melompat ke luar jendela
dan langsung saja tubuhnya melayang ke atas genteng, Begitu
kedua kakinya menginjak genteng bangunan, ia mendekam dan
sepasang matanya yang tajam menyapu keadaan sekelilingnya.
Sunyi dan cuacanya remang-remang karena bulan sepotong
sudah naik tinggi.
Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di atas genteng
bangunan-bangunan besar di kompleks istana itu, ia lalu
mengeluarkan sehelai saputangan hitam dan ditutupnya mukanya
bagian bawah. Hanya dahi yang putih halus dan sepasang mata
yang tajam mencorong saja yang nampak dan ia sengaja
membiarkan sebagian anak rambut menutupi dahi. Takkan ada
orang yang mengenal wajahnya sekarang.
Bagaikan seekor burung walet saja, Liong-li meronda di atas atap
kelompok rumah besar itu. Tubuhnya berkelebat dan karena ia
memakai pakaian hitam, maka gerakannya sukar diikuti pandang
mata, apa lagi dari bawah.
Setiap kali meloncat dari satu ke lain wuwungan, ia mendekam
dan mengintai sampai puluhan menit lamanya. Hawa udara
malam itu dingin sekali, akan tetapi tidak dirasakan oleh Liong-li.
Ia mengintai dan menanti dengan penuh kesabaran. Beberapa
kali ia mendengus lirih dan mengomeli diri sendiri karena
pikirannya selalu teringat kepada Pangeran Souw Han! Gila
benar, ia sudah tergila-gila kepada pangeran itu!
315
Bukan main pangeran itu, dan kalau dipertimbangkan, tidak bisa
ia terlalu menyalahkan perasaannya yang tertarik kepada
pangeran itu. Baru pertama kali berjumpa, melihat wajahnya yang
tampan, sikapnya yang halus dan sopan, budi bahasanya yang
lembut itu saja sudah membuat ia kagum. Ketika mereka lebih
dekat, ia mendapat kenyataan bahwa bukan itu saja kelebihan
pangeran ini. Juga seorang sasterawan, seorang seniman, dan
baik budi, ramah dan penuh perhatian! Betapa mudahnya
membiarkan hati ini jatuh cinta kepada Pangeran Souw Han, ia,
melamun.
Huh, engkau bertugas, menghadapi urusan penting yang
berbahaya, bukan waktunya untuk melamunkan yang muluk-
muluk dan yang mesra-mesra! Demikian ia menegur diri sendiri
dan kembali perhatiannya ia tujukan ke luar, pandang matanya
mengamati dengan tajam keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba jantungnya berdebar. Sesosok bayanpan berkelebat
jauh di depan sana, di atas wuwungan atap bangunan lain.
Sekarang saatnya menangkap Si Bayangan lblis, pikirnya dan
dengan mengerahkan gin-kangnya, Liong-li meloncat dan berlari
cepat dengan loncatan-loncatan jauh menuju ke atap itu.
Bayangan hitam itu agaknya hendak membuka genteng untuk
melakukan pengintaian ke bawah. Terkejutlah bayangan itu ketika
tiba-tiba ada angin menyambar dan sebuah tangan meluncur ke
arah pundaknya. Akan tetapi, ternyata bayangan itu memiliki
gerakan yang cepat.
316
Tubuhnya sudah telentang dan bergulingan, lalu meloncat berdiri
dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Dia seorang yang
tubuhnya tinggi besar, pakaian serba hitam dan mukanya tertutup
topeng merah yang ada dua lubang kecil untuk matanya.
Sejenak Liong-li dan orang itu berdiri saling pandang. Sepasang
mata di balik kedok itu mencorong pula seperti mata Liong-li.
Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, bayangan hitam berkedok
itu menerjang ke arah Liong-li.
Dalam cuaca yang remang-remang itu, Liong-li masih dapat
melihat kilauan sebatang pedang yang menusuk perutnya. Iapun
mengelak dengan loncatan ke samping dan begitu sebelah
kakinya turun ke atas genteng, kaki yang lain sudah melayang
dengan tendangan layang ke arah kepala lawan! Orang itu
terkejut, namun dapat pula mengelak.
Melihat gerakan orang, Liong-li maklum bahwa lawannya cukup
lihai, namun tidak cukup untuk membuat ia harus mencabut
pokiamnya (pedang pusakanya). Kalau tidak perlu sekali, ia tidak
akan mencabut Hek-liong-kiam, karena sekali dicabut, ada
kemungkinan lawan akan mengenal pedang itu dan sekali
pedangnya dikenal, maka dirinyapun pasti akan dikenal sebagai
Hek-liong-li! Iapun mendesak dengan pukulan dan tendangan di
antara kilatan pedang lawan.
Bayangan hitam yang tinggi besar itu agaknya tidak begitu
bernafsu untuk berkelahi terus. Memang besar bahayanya kalau
berkelahi terlalu lama di atas wuwungan, karena tentu akan
317
menarik perhatian para penjaga keamanan dan kalau mereka
melihatnya, tentu keadaan menjadi berbahaya.
Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, tiba-tiba pedang itu
menyambar dengan ganasnya ke arah leher Liong-li. Pendekar
wanita ini terkejut. Ini merupakan serangan yang amat
berbahaya, maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang sambil
meloncat dan berjungkir balik sampai tiga kali sebelum tubuhnya
turun kembali ke atas genteng. Akan tetapi, ketika ia sudah turun,
dilihatnya lawannya tadi melarikan diri dengan cepat ke arah
timur.
Iapun mengejar sambil mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi
bayangan itu lenyap di balik pagar tembok yang memisahkan
istana bagian pria dengan istana bagian wanita. Bayangan itu
datang dari balik pagar, dari istana bagian wanita! Sejenak ia
berdiri termenung. Siapakah bayangan itu? Seorang wanitakah?
Akan tetapi tubuhnya begitu tinggi besar! Iapun teringat akan
keterangan Pangeran Souw Han bahwa Permaisuri mempunyai
banyak jagoan yang lihai!
Ia lalu berloncatan lagi dan bersembunyi di balik sebuah
wuwungan yang tinggi sambil mengenang peristiwa yang baru
saja terjadi. Mungkin seorang anak buah permaisuri, pikirnya.
Bagaimanapun juga, harus dicatat bahwa ada orang
mencurigakan di bagian puteri. Bukan tidak mungkin pemimpin
gerombolan, yaitu Kwi-eng-cu, berada di bagian puteri, mungkin
sang permaisuri sendiri! Siapa tahu?
318
Kini ia mendekam di atas wuwungan tempat tinggal Pangeran
Souw Cun. Ia sudah mempelajari letak tempat tinggal para
pangeran dari Pangeran Souw Han, maka kini ia dapat
mengetahui bahwa ia berada di atas atap bangunan tempat
tinggal Pangeran Souw Cun.
Dengan sabar ia mendekam dan mengintai di situ. Akhirnya,
lewat tengah malam, dia melihat sesosok bayangan meloncat
keluar dari dalam bangunan itu! Sekali ini, bayangan yang juga
berpakaian serba hitam, bertubuh tegap tidak begitu tinggi, akan
tetapi juga mukanya ditutup kedok yang berwarna hitam pula
walaupun berbeda modelnya dengan yang tadi.
Liong-li cepat menyergap untuk menangkapnya. Karena ia
muncul dengan tiba-tiba dan penuh perhitungan karena tidak mau
gagal lagi, Liong-li berhasil mencengkeram pundak orang itu.
“Ihhh......!” Liong-li berseru lirih saking kagetnya ketika jari-jari
tangannya bertemu dengan pundak yang keras dan licin seperti
besi sehingga cengkeramannya hanya merobek baju dan
meleset!
“Ahhhh.......!” Orang itu agaknya juga terkejut dan kakinya
menendang ke arah perut Liong-li. Namun Liong-li kini
mengerahkan tenaga dan sengaja menangkis untuk mengukur
tenaga lawan.
“Dukkk......!” Orang itu kembali mengeluarkan seruan kaget dan
tubuhnya terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia sudah meloncat
ke balik wuwungan dan ketika Liong-li cepat mengejar, bayangan
itu sudah lenyap, mungkin turun kembali ke dalam bangunan itu!
319
Liong-li termenung sejenak! Orang itu jelas bukan yang pertama
tadi, akan tetapi juga amat lihai! Kalau yang pertama tadi
menghilang di balik tembok istana bagian puteri, kini orang kedua
ini menghilang ke dalam bangunan tempat tinggal Pangeran
Souw Cun! Hemm, siapakah di antara mereka itu Kwi-eng-cu?
Ataukah hanya anak buah saja? Siapakah yang memiliki peran
dalam urusan rahasia Si Bayangan Iblis ini? Sang Permaisuri
ataukah Pangeran Souw Cun?
Kembali Liong-li melakukan perondaan dan pengintaian, Namun,
tidak ada sesuatu terjadi, tidak ada bayangan hitam muncul.
Ketika dari atas wuwungan ia melihat di ufuk timur sana ada
cahaya merah sang matahari, masih amat lembut, ia mengambil
keputusan untuk kembali ke tempat tinggal Pangeran Souw Han
sebelum fajar menyingsing. Akan tetapi tiba-tiba ia menyelinap ke
balik wuwungan.
Dari arah barat nampak sesosok bayangan hitam, berlari cepat
sekali, berloncatan dari wuwungan ke wuwungan yang lain. Kini
bayangan itu tubuhnya tinggi kurus, berbeda pula dengan yang
tadi. Liong-li tidak menyerang, hanya berniat membayangi. Akan
tetapi, bayangan yang satu inipun, lihai sekali. Agaknya tahu
bahwa ada orang yang membayanginya, maka tiba-tiba saja
tubuhnya meluncur ke arah Liong-li yang membayangi sambil
bersembunyi dan menyelinap di bilik wuwungan, Tiba-tiba si
bayangan hitam yang tinggi kurus sudah menerjangnya dari atas
seperti seekor burung garuda!
“Hemm.......!” Liong-li menyambut pukulan kedua tangan terbuka
itu dengan kedua tangannya sendiri yang juga dibuka
320
“Dessss.......!”Akibatnya, tubuh Liong-li terjengkang dan untung ia
masih mampu berjungkir balik sehingga tidak terbanting! Akan
tetapi lawannya yang tadi menyerangnya dari atas juga terpental
ke belakang dan seperti juga Liong-li, orang tinggi kurus ini
berjungkir balik dan dapat hinggap di atas genteng tanpa cidera.
Keduanya sejenak saling pandang dari balik topeng, kemudian
orang tinggi kurus itu, menggerakkan kedua tangan. Benda-
benda kecil hitam menyambar ke arah tubuh Liong-li, dari kepala
sampai kaki!
Pendekar ini kembali terkejut dan maklum betapa berbahayanya
senjata-senjata rahasia yang menyambar dengan cepat itu. Iapun
menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak dengan
loncatan ke samping, akan tetapi tangannya menyambar, dan ia
berhasil menangkap sebuah benda hitam yang ternyata hanyalah
pecahan genteng!
Senjata seperti ini dapat dipergunakan setiap orang dan tidak
dapat ia jadikan bukti untuk kelak mengenal siapa lawannya.” Ia
melihat tubuh lawan sudah melayang menjahuinya. Dengan
gemas ia lalu menggerakkan tangan, mengembalikan “senjata
rahasia” itu ke arah pemiliknya. Lalu ia mengejar.
Ternyata orang ketiga ini malah lebih lihai dibandingkan dua
orang pertama. Tanpa menoleh, sambil tetap berlari, ia
menjulurkan tangan ke belakang dan menangkis pecahan
genteng yang menyambarnya. Liong-li mengejar terus dan
melihat orang itu lenyap di balik wuwungan sebuah bangunan,
yang ia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, yaitu
seorang di antara mantu kaisar!
321
Liong-li tertegun. Malam ini ia bertemu tiga orang yang lihai dan ia
tahu bahwa di istana ini berkeliaran banyak jagoan yang lihai,
orang-orang berkedok yang penuh rahasia. Akan tetapi ia tidak
tahu yang mana Si Bayangan Iblis dan di mana sembunyinya.
Betapapun juga, ia merasa puas karena malam pertama ini ia
dapat bertemu dengan tiga orang berkedok yang melarikan diri ke
arah tiga tempat yang berlainan. Iapun cepat pulang dengan cara
menyelinap ke sana-sini dan yakin bahwa tidak ada orang yang
tahu ketika ia melayang turun ke tempat tinggal Pangeran Souw
Han. Ia membuka daun jendela tanpa menimbulkan suara,
meloncat ke dalam dengan hati-hati agar tidak mengejutkan
Pangeran Souw Han yang ia tahu pasti masih tidur nyenyak.
“Enci Cu.......! Akhirnya engkau kembali juga......!”
“Ehhh......” Liong-li melepas sapu tangan dari mukanya dan
memandang kepada pangeran itu dengan mata terbelalak.
Kiranya pangeran itu masih duduk di atas lantai dengan sebuah
kitab di tangannya. “Pangeran, sepagi ini paduka sudah bangun
dari tidur?”
Pangeran itu tersenyum. Masih ada kegelisahan yang bersisa di
sudut matanya, namun senyumnya cerah, wajahnya
membayangkan kegembiraan. “Enci Cu, bagaimana mungkin aku
dapat tidur? Semalam suntuk aku gelisah menanti-nanti
kembalimu!”
“Aduh, pangeran! Paduka bergadang pula semalam suntuk?” Ada
rasa haru dan gembira menyelinap di dalam hati wanita itu.
322
Bagaimana hatinya tidak akan terharu dan bangga, juga gembira
melihat kenyataan betapa pangeran yang ganteng ini begitu
mengkhawatirkan dirinya sehingga semalam suntuk tidak tidur
untuknya dan selalu mengharapkan kembalinya? Ini hanya
mempunyai satu arti, yaitu bahwa Pangeran Souw Han
mencintanya!
Pangeran itu agak tersipu. “Sudah kuusahakan untuk
memejamkan mata, namun sia- sia. Bahkan membacapun tidak
dapat kucerna, karena pikiran ini selalu membayangkan engkau
berada dalam ancaman bahaya besar. Enci Cu, kini hatiku
demikian lega dan aku merasa lelah dan mengantuk sekali.”
“Pangeran, paduka harus tidur. Kasihan sekali, tidurlah di atas
pembaringan itu, pangeran, dan saya.......” Liong-li tersenyum dan
menghentikan ucapannya, lalu menghampiri.
Pangeran itu telah tertidur! Tertidur dengan tarikan napas yang
halus dan mulutnya masih mengembangkan senyum, tangannya
masih memegang sebuah kitab. Dengan lembut, Liong-li
mengambil kitab yang hampir terlepas di tangan kiri itu, lalu
mengambil selimut dari atas pembaringan karena hawa udara
yang dingin menembus ke dalam kamar, lalu dengan hati-hati ia
menyelimuti tubuh pangeran itu dari kaki sampai ke leher.
Melihat betapa pangeran itu tidur pulas sekali, dan kepalanya
tidak berbantal, ia lalu mengambil sebuah bantal dari
pembaringan, dan dengan hati-hati ia memasukkan lengan kiri ke
bawah leher sang pangeran, mengangkat kepala itu dan
mendorongkan bantal ke bawah kepala. Kepala yang berada di
323
rangkulan lengan kiri itu ketika ia angkat, berada dekat sekali
dengan mukanya. Maka pangeran itu nampak demikian tampan,
demikian lembut.
Perasaan haru dan mesra menyelinap di dalam hati Liong-li
membuat ia makin menunduk dan hampir ia mencium pipi atau
bibir itu. Akan tetapi, keteguhan hatinya bergerak menolak dan
menentang. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang!
Ia perlahan-lahan menurunkan kepala itu ke atas bantal, lalu
cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dadanya masih tergetar oleh
gairah dan ia cepat melangkah mundur. Ia tidak boleh berada di
sini selagi sang pangeran tidur, bukan saja ia tidak mau
mengganggu pangeran yang kelelahan dan kurang tidur itu, juga
ia menganggap terlalu berbahaya. Ia juga takkan dapat
beristirahat kalau berada di kamar itu, harus selalu berjuang
melawan gairah nafsunya sendiri.
Setelah memandang sekali lagi ke arah wajah itu dan tersenyum,
dengan pandang mata menjadi lembut mengandung kasih
sayang. Liong-li berganti pakaian dan meninggalkan kamar itu,
menutupkan pintunya perlahan dan iapun pergi ke ruangan para
dayang.
Pagi itu lima orang dayang telah terbangun dan sedang sibuk
bekerja. Ada yang menyiapkan sarapan pagi untuk pangeran, ada
yang mencuci pakaian, membersihkan lantai, membersihkan
semua perabot rumah, menyapu pekarangan dan sebagainya.
Melihat sang “selir” pangeran sudah terbangun sepagi itu, mereka
merasa heran, akan tetapi menyambut majikan baru ini dengan
324
hormat dan ramah. Mereka menghaturkan selamat pagi dan
menawarkan sarapan pagi, tidak tahu apakah selir pangeran itu
akan sarapan pagi hersama pangeran nanti kalau sudah bangun
tidur, atau makan pagi sendirian.
“Aku ingin sarapan di sini saja, beberapa butir telur dan bubur,
dan air teh panas. Juga tolong sediakan air hangat, aku ingin
mandi. Pangeran masih tidur, harap jangan membuat gaduh
dekat kamar.”
Liong-li mandi air hangat dan merasa segar kembali walaupun
semalam ia tidak tidur sama sekali. Dan sarapan itu membuat
kekuatan tubuhnya pulih, akan tetapi sehabis makan, datanglah
rasa kantuk.
Selagi ia berniat untuk kembali ke kamar dan melepas kantuknya,
tiba-tiba muncul Pangeran Souw Cun bersama dua orang
pengawalnya, dua orang laki-laki berusia empatpuluh tahunan
yang berpakaian ringkas dan bertubuh tegap.
Lima orang dayang tentu saja terkejut dan mereka segera
memberi hormat dengan membungkuk hampir berlutut. Akan
tetapi Souw Cun tidak memperdulikan mereka, melainkan
memandang kepada Liong-li yang sedang duduk. Sikapnya tidak
seperti kemarin, ramah gembira. Kini wajahnya berkerut marah.
“Nah ini ia orangnya! Tangkap ia!” perintahnya kepada dua orang
pengawal. Agaknya ia sudah memberitahu kepada dua orang
pengawalnya bahwa yang akan ditangkap adalah seorang wanita
yang memiliki kepandaian tinggi, agar mereka berdua berhati-
hati.
325
Kini melihat bahwa yang harus mereka tangkap itu seorang
wanita yang cantik dan lembut, dua orang pengawal itu saling
pandang dan merasa heran. Akan tetapi mereka tidak berani
melanggar perintah majikan mereka dan sekali meloncat mereka
sudah berada di kanan kiri Liong-li dan sekali menggerakkan
tangan mereka sudah menangkap lengan Liong-li. Cengkeraman
mereka itu kuat sekali.
Kalau Liong-li menghendaki, tentu saja ia akan mampu membela
diri, bahkan merobohkan dua orang laki-laki itu, akan tetapi ia
tidak berani membocorkan rahasia dirinya, karena hal itu bukan
saja akan membahayakan dirinya sendiri, bahkan juga
membahayakan Pangeran Souw Han. Maka, biarpun
cengkeraman itu menyakitkan lengannya, ia tidak mau
mengerahkan tenaga sin-kang dan bahkan merintih kesakitan.
“Auhhh......, lepaskan... ah, apa kesalahanku, Pangeran?
Lepaskan saya!”
Ketika merasa betapa tangan mereka mencengkeram sebuah
lengan yang lunak dan tidak bertenaga, dua orang pengawal itu
merasa heran dan tentu saja mereka segera mengendurkan
cengkeraman. Mereka adalah jagoan-jagoan, tentu saja merasa
malu kalau harus menggunakan kepandaian untuk menghadapi
seorang wanita yang lemah.
Hemm, engkau mata-mata busuk! Diam kau!” bentak Pangeran
Souw Cun kepada. Liong-li, kemudian mengangguk kepada dua
orang pengawalnya, “Bawa ia!”
326
Liong-li meronta dan pura-pura ketakutan, namun dua orang
pengawal itu menarik dan setengah menyeretnya pergi dari situ,
diikuti oleh Pangeran Souw Cun. Diam-diam Liong-li merasa
girang karena ia mengharapkan terbongkarnya rahasia Kwi-eng-
cu. Apakah pangeran congkak ini yang memegang peran dalam
rahasia Si Bayangan Iblis?
Ia tentu akan tahu nanti. Ia tidak khawatir karena kalau tiba saat
terakhir, di mana nyawanya terancam, tentu ia akan
memberontak dan membela diri. Bahkan sekarangpun kalau ia
mau, ia dapat menjerit dan tentu Pangeran Souw Han akan
menolongnya. Akan tetapi ia sengaja tidak menjerit, pura-pura
tidak berani menjerit seperti halnya lima orang dayang itu. Belum
saatnya ia membutuhkan pertolongan Pangeran Souw Han.
Liong-li dibawa ke dalam tempat tinggal Pangeran Souw Cun,
dan ketika mereka memasuki ruangan dalam, dua orang
pengawal itu mendorongnya masuk. Dorongan itu cukup kuat dan
Liong-li terpaksa harus pura-pura tersungkur ke atas lantai
ruangan itu, merintih dan mengaduh.
“Heh-heh-heh, nona. Tidak perlu lagi bermain sandiwara seperti
itu, heh-heh!” terdengar suara parau.
Liong-li pura-pura terkejut ketakutan, mengangkat mukanya dan
memandang dalam keadaan masih terduduk di atas lantai.
Kiranya di dalam kamar itu terdapat seorang laki-laki tua berusia
enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang sasterawan.
Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok. Kakek ini adalah Bouw
327
Sian-seng, yaitu guru yang mengajarkan sastera kepada
Pangeran Souw Cun.
“Heh-heh, Pangeran. Ia hanya pura-pura. Jangan paduka terkena
tipuannya, heh-heh!” katanya lagi.
Kini dia sudah bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua
tangan yang berlengan lebar itu. Pakaiannya mewah, bahkan ada
hiasan emas pada kancing bajunya, dan juga pada rambutnya.
Akan tetapi Liong-li melihat betapa kumis dan jenggot orang ini
kotor dan tidak terawat baik, tanda bahwa di balik kemewahan
pakaian itu, sebenarnya dia seorang yang jorok.
“Ketika pertama kali bertemu, akupun sudah menduga begitu,
Sian-seng. Ia tentu berbahaya sekali, sudah berhasil
menyelundup ke istana!” Pangeran itu kini duduk di atas kursi,
dan dua orang pengawalnya berdiri di belakangnya, siap
membela majikan mereka. Hanya ada empat orang, pikir Liong-li
yang masih menangis lirih. Dua orang pengawal itu tidak ada
artinya baginya. Yang perlu dihadapi dengan hati-hati adalah
pangeran itu sendiri dan agaknya kakek inipun menyembunyikan
keadaan dirinya yang sebenarnya.
Ia mengingat-ingat siapakah gerangan kakek ini, apakah seorang
tokoh kang-ouw, tokoh dunia sesat? Ia tidak pernah bertemu
dengan kakek ini. Dia inikah yang menjadi dalang keributan Si
Bayangan Iblis itu? Semua kemungkinan ada selama rahasia itu
belum dapat ia pecahkan.
“Sudah, tidak perlu berpura-pura menangis, pura-pura sebagai
seorang wanita lemah!” bentak Pangeran Souw Cun. “Hayo
328
mengaku saja terus terang siapa engkau sebenarnya, dan apa
maksudmu menyelundup ke dalam istana?”
Dengan air mata bercucuran, Liong-li mengangkat muka
memandang pangeran itu. “Saya..... hamba...... tidak mengerti
apa maksud paduka...? Hamba bernama Siauw Cu, hamba
tadinya seorang dayang Yang Mulia Permaisuri...... hamba lalu
diberikan kepada Pangeran Souw Han..... hamba hanya
melaksanakan perintah.... dan semua sudah paduka ketahui.....”
“Bohong!” Pangeran Souw Cun membentak marah. “Semua itu
bohong! Engkau tentu mata-mata yang diselundupkan ke sini!”
“Hamba tidak berbohong......!”
“Heh-heh, ia memang pandai bersandiwara, Pangeran. Tentu ada
hubungannya dengan gadis yang bekerja di dapur istana itu.......
heh-heh......”
Diam-diam Liong-li terkejut. Kakek bongkok itu ternyata cerdik
sekali. Menghubungkan ia sebagai dayang dengan gadis di dapur
yang tentu dimaksudkan Akim, gadis penyamarannya pula.
“Hayo katakan, engkau tentu mengenal. Akim, gadis pelayan di
dapur itu, bukan?”
“Hamba tidak...... tidak tahu, hamba tidak mengenal siapapun di
dapur istana.”
329
“Heh-heh-heh, Pangeran, tidak ada cara yang lebih manjur untuk
memaksa seorang wanita muda mengaku dosanya dari pada
mengancamnya dengan perkosaan!”
“Hayo mengaku kau! Kalau tidak, aku akan menyuruh beberapa
orang pengawalku untuk memperkosamu bergiliran!” bentak pula
Pangeran Souw Cun, lalu dia menghampiri Liong-li, tangannya
meraih dan mencengkeram baju wanita itu di bagian dada. Liong-
li mempertahankan bajunya, berlagak ketakutan.
“Jangan, Pangeran...... ah, jangan......!”
Pangeran Souw Cun mengerahkan tenaga menarik baju itu
dengan sentakan kuat. “Brett......!” Baju itupun robek dan
nampaklah dada Liong-li yang sengaja tidak mempertahankan
bajunya. Ia hanya dapat menangis dan menutupi dada dengan
kedua tangannya, menarik-narik baju yang terobek itu untuk
menutupi dadanya yang terbuka.
“Ampun, Pangeran. Jangan perkosa saya...... ah, mengapa
paduka melakukan ini kepada hamba? Hamba sudah menjadi
selir Pangeran Souw Han, beliau amat mencinta hamba...... dan
hamba bekas dayang kesayangan Yang Mulia Permaisuri. Kalau
hamba diperkosa di sini, kalau hamba dibunuh, tentu Pangeran
Souw Han dan Permaisuri akan marah sekali......, jangan hamba
yang tidak berdosa ini disiksa......”
Pangeran Souw Cun bermain mata dengan Bouw Sian-seng.
Kakek itu memberi isyarat dengan gelengan kepala. Mereka
berdua tahu betapa benarnya ucapan wanita itu.
330
Kalau sampai ia diperkosa atau dibunuh, tentu akan mereka
hadapi akibatnya yang cukup hebat dan menambah kacau
keadaan. Tentu Pangeran Souw Han akan marah sekali, juga
permaisuri takkan tinggal diam. Hal itu amat merugikan.
“Huh, siapa yang mau memperkosa seorang mata-mata, seorang
wanita palsu seperti engkau? Aku hanya ingin memberi hajaran
agar engkau mengaku!” Lalu kepada dua orang pengawalnya,
Pangeran Souw Cun berkata, “Hajar ia dengan sepuluh kali
cambukan!”
Dua orang pengawal yang sudah biasa bertindak sebagai algojo
itu cepat maju. Seorang dari mereka memaksa Liong-li untuk
berlutut dan bertiarap dengan punggung dan pinggul telanjang,
dan seorang lagi lalu mengayun sebatang cambuk.
“Tarrr......!“ Pecut panjang itu untuk pertama kali menyambar dan
menyengat punggung Liong-li.
Nampak guratan merah pada kulit yang putih mulus itu. Liong-li
menjerit dan merintih kesakitan. Akan tetapi cambuk itu
menyambar lagi, dua kali, tiga kali, mengenai pinggul, punggung
sampai lima kali! Liong-li terkulai, dan Pangeran Souw Cun
mengangkat tangan.
“Cukup!” Dan cambukan keenam tidak dilakukan. Punggung dan
pinggul yang berkulit putih mulus itu kini penuh jalur-jalur merah,
bahkan di sana-sini terluka, kulitnya pecah berdarah.
“Engkau masih belum mau mengaku siapa dirimu sebenarnya
dan siapa yang memperalat kamu menjadi mata-mata. Kalau
331
tidak mau mengaku, akan kusuruh cambuk lagi sampai engkau
mampus!” kata Pangeran Souw Cun, kini kata-katanya tidak
“terpelajar” lagi, melainkan kasar.
Liong-li tidak bermain sandiwara kalau ia menyeringai kesakitan.
Memang bukan main nyerinya dicambuki seperti itu. Perih, panas
dan rasa nyeri hampir tak tertahankan. Ia menggeleng kepala.
“Hamba tidak bohong, hamba Siauw Cu....... dayang
permaisuri....... selir Pangeran Souw Han.......”
“Heh-heh, Pangeran. Saya mempunyai cara lain yang membuat
ia harus mengaku. Ia tidak akan dapat menahan rasa nyerinya!”
Terbongkok-bongkok Bouw Sian-seng menghampiri Liong-li, lalu
menjambak rambut pada pelipis kanan kiri dengan kedua
tangannya.
“Nona, kalau engkau tidak mau mengaku, akan kucabut rambut
ini dari pelipismu sampai kulitnya terkupas! Katanya sambil
menyeringai dan dia mulai menarik rambut di kedua pelipis itu.
Liong-li terbelalak saking nyerinya. Kiut miut rasanya, rasa nyeri
yang menyengat sampai ke ubun-ubun kepalanya. Hampir saja ia
menggerakkan tangan. Sekali pukul saja tentu ia akan dapat
membunuh kakek yang menyiksanya ini. Akan tetapi belum
saatnya. Ia tahu bahwa kakek itu hanya menggertak. Pelipisnya
tidak akan robek. Mereka tidak akan berani membunuhnya.
“Saya...... saya tidak..... tidak bohong.......”
“Kanda Souw Cun......!” Tiba-tiba terdengar teriakan di luar pintu.
332
Mendengar ini, Bouw Sian-seng cepat melepaskan rambut di
kedua pelipis Liong-li dan pendekar wanita inipun jatuh terkulai,
merintih lirih, akan tetapi hatinya lega bukan main mendengar
suara Pangeran Souw Han di pintu.
“Nah, dia datang......” bisik Souw Cun, pangeran yang kini
berbalik merasa khawatir.
“Katakan saja ia kurang ajar terhadap paduka, memandang
rendah......” bisik Bouw Sian-seng.
Daun pintu kamar itu didorong dari luar dan masuklah Pangeran
Souw Han dengan muka pucat. Dia segera melihat Liong-li yang
mendekam di atas lantai dengan tubuh bagian belakang telanjang
dan berdarah.
“Ya Tuhan! Kanda Souw Cun, apa yang kaulakukan ini? Siauw
Cu......!” Pangeran Souw Han menubruk dan merangkul Liong-li.
Wanita ini menangis tersedu-sedu.
“Pangeran.......”
Pangeran Souw Han menanggalkan baju luarnya dan
menyelimuti tubuh Liong-li dengan jubahnya, menariknya bangkit
berdiri. Dengan lunglai wanita itu bersandar kepadanya dan
Pangeran Souw Han merangkulnya, kemudian Pangeran Souw
Han kembali memandang Pangeran Souw Cun dengan mata
bernyala karena marah.
“Kanda Souw Cun, apa artinya ini? Engkau..... engkau sudah
berani menghinaku! Siauw Cu ini selirku, kenapa engkau berani
333
menangkapnya dan...... dan apa yang kaulakukan kepadanya ini?
Jawab! Kenapa? Atau kulaporkan kepada Ibunda Permaisuri,
kepada Sribaginda?”
Dan sinar matanya yang penuh kemarahan itu juga memandang
kepada Bouw Sian-seng yang berdiri agak jauh sambil
menundukkan mukanya. Dua orang pengawal Pangeran Souw
Cun juga diam seperti patung. Mereka tidak merasa khawatir
karena mereka hanyalah pelaksana perintah Pangeran Souw
Cun.
Pangeran Souw Cun tersenyum. “Adikku. yang baik, jangan salah
paham. Aku sama sekali tidak bermaksud menghinamu. Akan
tetapi sudah kuperingatkan engkau. Wanita ini..... ia bersikap
kurang ajar kepadaku, bahkan ia berani merayuku......”
“...... tidak benar, Pangeran.....!” Liong-li Membantah.
“Ha-ha-ha, tentu saja ia ingkar dan tidak berani mengaku. Akan
tetapi, Bouw Sian-seng, ini dan dua orang pengawalku menjadi
saksinya!”
Souw Han menegakkan kepalanya. Kalau dia melaporkan kepada
Permaisuri dan Kaisar tentu akan terjadi heboh, dan kakak tirinya
yang licik ini dapat mengajukan tiga orang itu sebagai saksi dan
dia akan tersudut.
“Hemm, kanda Souw Cun. Aku mengenal selirku, ia tidak
mungkin berani berbuat seperti itu! Siauw Cu, katakan, apa yang
telah dilakukan kanda Souw Cun kepadamu! Engkau tidak......
tidak dihina, di...... nodai, bukan? Aku tidak terima begitu saja!”
334
Liong-li maklum bahwa Pangeran Souw Han marah sekali. Tidak
baik kalau dibiarkan begini. Berbahaya sekali bagi pangeran yang
disayangnya itu.
“Tidak, Pangeran..... saya....... saya hanya dicambuk... lima kali!”
kata Liong-li lirih.
“Mana orangnya yang mencambukmu?”
Liong-li memandang kepada dua orang pengawal yang masih
berdiri tegak.
“Mereka itu? Jahanam busuk, kalian harus menerima
pembalasan!” Pangeran Souw Han mengambil cambuk yang
masih terletak di situ, lalu menggunakan cambuk itu untuk
mencambuki dua orang pengawal.
Dua orang pengawal itu tidak berani melawan, bahkan tidak
berani mengelak, terpaksa menerima cambukan-cambukan dari
pangeran yang sedang marah dan mengamuk itu. Sampai cabik-
cabik pakaian mereka dan ada jalur-jalur merah di muka mereka.
“Cukup dinda Souw Han! Selirmu dicambuk lima kali dan engkau
sudah membalas belasan kali!”
Souw Han melempar cambuk itu ke atas lantai. Mukanya merah
karena marah dan dia menuding kepada kakaknya dengan mata
melotot.
“Untung bukan engkau yang mencambuki Siauw Cu, kanda Souw
Cun. Kalau engkau sekali pun, pasti akan kubalas! Tak seorang
335
pun boleh menghina Siauw Cu, berarti menghina aku. Kanda tahu
bahwa aku tidak pernah memusuhimu atau siapapun. Aku pura-
pura tidak tahu saja akan segala kebusukkan yang terjadi di sini!
Aku tahu bahwa engkau juga bersaing memperebutkan
kekuasaan. Aku tidak perduli semua itu, akan tetapi mengapa
engkau berani mengganggu Siauw Cu?”
Liong-li melihat dari sudut matanya betapa Pangeran Souw Cun
bertukar pandang dengan Bouw Sian-seng. Ia tidak perlu melapor
kepada Pangeran Souw Han bahwa Bouw Sian-seng tadi
menyiksanya. Kakek itu berbahaya sekali.
“Adikku Souw Han. Engkau lebih memberatkan selirmu dari pada
kakakmu, aku? Aih, sudahlah. Maafkan. Kalau tadi aku
menghukumnya adalah karena aku merasa dihina, dan bukan
karena ia hanya seorang bekas dayang, seorang janda...... dan
ah, terus terang saja tadinya kami mencurigai selirmu ini. Kami
mengira bahwa ia seorang mata-mata yang menyelundup. Aku
melakukannya karena sayang kepadamu adikku.
“Kalau ia mata-mata yang menyelundup ke dalam istana dan
menipu Ibunda Permaisuri dan juga menipumu, bukankah itu
berbahaya sekali, dinda? Karena itu, hukuman cambuk tadi
sesungguhnya hanya untuk mengujinya, apakah ia seorang mata-
mata berbahaya yang memiliki kepandaian tinggi dan berniat
jahat atau bukan.”
“Hemm, betapa kejamnya! Dan bagaimana kenyataannya? Lihat,
punggung selirku luka-luka berdarah! Dan ia sama sekali tidak
336
berdosa. Ia wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta, dan
engkau menyuruh algojo-algojomu mencambukinya.”
“Sudahlah, adinda yang baik. Aku sudah minta maaf, bukan? Ini
hanya kesalah pahaman saja. Biarlah lain hari aku memberi
hadiah untuk selirmu ini, untuk menyatakan penyesalan dan
maafku.” .
“Hemm......!” Pangeran Souw Han menggandeng lengan dan
merangkul pundak Liong-li lalu dipapahnya wanita itu keluar dari
situ, terus menuju ke tempat tinggalnya sendiri. Dia menyesal
sekali mengapa para dayangnya tadi terlambat
membangunkannya.
Para dayang itu tadi kebingungan melihat Liong-li ditangkap
Pangeran Souw Cun. Untuk melaporkan hal itu kepadanya,
mereka tidak berani karena tidak berani mengganggu dia yang
sedang tidur.
Akhirnya, mereka itu setelah saling dorong, memberanikan diri
beramai-ramai memasuki kamarnya dan membangunkannya,
melaporkannnya. Dia terkejut sekali dan cepat berlari mengejar
ke tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Namun sudah agak
terlambat. Liong-li telah dicambuk lima kali sampai leher,
punggung dan pinggulnya luka-luka!
Setelah Souw Han dan selirnya pergi, Pangeran Souw Cun
mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sialan, ternyata
perempuan itu orang lemah, bukan seorang perempuan yang
berbahaya seperti yang kita sangka!”
337
Bouw Sian-seng mengangguk-angguk. “Biarpun tadinya
mencurigakan, akan tetapi setelah kita menyiksanya, jelas bahwa
ia seorang yang lemah, sama sekali tidak melawan. Kita telah
salah sangka, Pangeran.”
“Hemmm, justeru itu celakanya. Ia seorang perempuan biasa,
akan tetapi peristiwa ini mendatangkan bahaya baru yang hebat
dan yang mengancam kita! Aku khawatir sekali......!”
“Heh-heh-heh, paduka bersikap seolah-olah sudah tidak ada
hamba di sini, Pangeran. Apa yang menggelisahkan paduka,
katakan saja dan hamba yang akan membereskan!”
“Kaudengar tadi ucapan dinda Souw Han? Dia agaknya telah
mengetahui semua rahasiaku!”
“Beliau tadi sedang marah, Pangeran. Mungkin itu hanya
gertakan saja karena sedang marah.”
“Hemm, dinda Souw Han bukan seorang yang suka bicara
bohong atau menggertak. Kalau dia bicara, tentu hal itu benar.
Sungguh tidak kuaangka, dia nampaknya tidak perduli dan tidak
memperhatikan, akan tetapi dia tahu semua rahasiaku. Ini
berbahaya sekali!”
“Lalu, apa yang harus hamba lakukan, Pangeran?”
Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan menggeleng
kepala. “Jangan lakukan apa-apa, hal ini harus kupikirkan masak-
masak lebih dulu. Orang seperti Souw Han lebih baik dijadikan
sekutu dari pada lawan. Dia disuka oleh semua pangeran,
338
termasuk aku. Dan ibunda Permaisuri juga amat suka kepadanya.
Sulit....... sulit biar kupikirkan masak-masak hal ini.”
◄Y►
“Aih, kasihan sekali engkau, enci Cu.....!” kata Pangeran Souw
Han ketika dia memapah Liong-li memasuki kamarnya, disambut
oleh lima orang dayang yang memandang dengan mata
terbelalak dan hati tegang. Pangeran Souw Han memapah Liong-
li ke pembaringan. Akan tetapi, ketika pendekar wanita itu duduk,
ia mengeluh karena pinggulnya yang terkena lecutan tadi perih.
“Sakitkah, enci Cu?Engkau rebah dulu, aku akan memanggil
tabib......” Dia membantu Liong-li merebahkan diri, akan tetapi
begitu telentang, Liong-li merintih, lalu terpaksa miringkan
tubuhnya agar bagian yang luka-luka tidak terhimpit.
“Auhhhh......”
“Kasihan engkau, kalau tidak bisa untuk telentang, engkau miring
atau telungkup, enci Cu. Aku akan memanggil tabib sekarang.”
“Jangan, Pangeran. Tidak usah. Lebih baik keadaan saya ini tidak
diketahui orang luar, dan harap pesan kepada para dayang agar
merahasiakan peristiwa ini. Saya dapat mengobatinya sendiri,
saya mempunyai obat luka yang manjur......”
“Engkau benar, enci Cu. Akan kupanggil mereka semua.”
Pangeran Souw Han bertepuk tangan lima kali dan
bermunculanlah lima orang dayang itu memasuki kamar.
339
“Kalian berlima harus melupakan semua yang terjadi tadi, dan
tidak menceritakan kepada siapapun juga. Peristiwa yang
menimpa nyonya muda tadi tidak pernah terjadi. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Pangeran,” kata mereka.
“Tolong disediakan air hangat-hangat kuku dalam sebuah panci
dan bawa ke sini......” kata Liong-li kepada mereka. Mereka izin
pergi dan menutup kembali daun pintu kamar.
“Terima kasih, Pangeran. Untung paduka cepat datang.”
“Enci Cu, kenapa engkau membiarkan dirimu disiksa seperti itu?
Engkau seorang yang berilmu tinggi, kenapa tidak kau hajar saja
mereka itu?”
Liog-li tersenyum. “Harap paduka ingat bahwa tugas saya adalah
melakukan penyelidikan, bukan mengamuk dan membuat kacau
di istana. Mereka agaknya mencurigai saya, kalau saya saya
memperlihatkan kepandaian, berarti rahasia saya akan terbuka.
Kini mereka akan menganggap saya seorang wanita biasa yang
lemah, dan tidak akan mengganggu saya lagi sehingga saya
dapat bekerja dengan baik tanpa dicurigai dan diawasi.”
“Hemmm, tapi engkau membiarkan kulit punggung dan pinggulmu
pecah-pecah berdarah. Di mana obat luka itu?”
“Di dalam buntalan pakaian saya di almari, Pangeran. Biar saya
ambil sendiri dan akan saya obati setelah nanti air panas itu
tersedia......” Liong-li hendak bangkit, akan tetapi ia menyeringai
ketika bangkit duduk. Pangeran Souw Han cepat memegang
340
pundaknya dan dengan halus membantunya rebah miring
kembali.
“Aih, enci Cu. Engkau terluka dan menderita nyeri. Biarlah aku
yang mengambilkan obat dalam buntalan itu.”
“Terima kasih, Pangeran.”
Pangeran Souw Han, mencari buntalan dalam almari,
membukanya dan atas petunjuk Liong-li dia mengeluarkan
sebuah bungkusan kertas di mana terdapat obat bubuk putih.
“Saya dapat mengobati sendiri luka-luka ini, Pangeran.”
“Enci Cu, bagaimana mungkin engkau akan dapat mengobati luka
di punggung dan pinggulmu sendiri? Melihatnyapun tidak dapat.
Biar aku yang mengobati, enci Cu.”
“Ah, Pangeran. Saya hanya membikin repot paduka saja......,”
kata Liong-li, akan tetapi di dalam hatinya ia memaki diri sendiri.
Engkau munafik! Sejak tadi ia sudah bersandiwara. Kalau di
depan Pangeran Souw Cun ia bersandiwara, hal itu ia lakukan
demi tugasnya, demi rahasia dirinya agar jangan terbongkar.
Akan tetapi setelah bersama Pangeran Souw Han, ia masih saja
sejak tadi bersandiwara.
Luka-luka lecutan seperti itu saja bagi seorang pendekar wanita
seperti Liong-li, sedikitpun tidak ada artinya! Rasa nyeri seperti itu
saja tidak akan terasa olehnya. Jangankan sampai membuat ia
mengeluh dan merintih, berkedip pun tidak!
341
Ia sudah mengalami bahaya dan luka-luka yang lebih hebat lagi.
Akan tetapi bukan saja ia mengeluh dan merintih, juga ia pura-
pura tidak dapat duduk dan tidak dapat rebah telentang!
Makin sering Pangeran Souw Han memandangnya dengan sinar
mata mengandung iba besar dan mulut mengacapkan kata-kata
“kasihan”, rintihan yang keluar dari mulut Liong-li semakin
mengenaskan! Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berubah
demikian! Ingin rasanya ia menampar kepala sendiri, memaki diri
sendiri.
“Jangan sungkan enci Cu. Nah, itu air hangatnya datang.”
Seorang dayang, setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan
masuk, membawa panci besar terisi air yang masih mengepulkan
uap.
“Taruh di atas bangku ini, kemudian keluarlah dan jangan biarkan
siapapun masuk,” kata Pangeran Souw Han yang sudah
mempersiapkan sebuah bangku dekat pembaringan. Dayang itu
menaruh panci di situ, kemudian memberi hormat dan pergi.
“Pangeran, air panas itu untuk mencuci luka-luka, menggunakan
sebuah kain bersih. Sesudah dicuci dan dikeringkan, baru ditaburi
obat luka yang ditekan-tekan dengan jari tangan agar obat itu
melekat dan memasuki bagian yang kulitnya pecah.”
Pangeran itu mengangguk-angguk. “Engkau menelungkuplah,
agar lebih mudah mencuci dan mengobatinya,” katanya sambil
mengambil sehelai kain putih bersih dari almari.
342
Liong-li menelungkup, menggigit bibir menahan debaran
jantungnya yang mengeras. Ia merasa betapa pangeran itu duduk
di tepi pembaringan, dan terdengar suaranya yang lembut dan
sopan.
“Enci Cu, maafkan aku kalau terpaksa aku melihat tubuhmu
bagian belakang bertelanjang dan maafkan kalau jari-jari
tanganku menyentuhnya.”
Liong-li merasa geli. Belum pernah ia bertemu seorang pria yang
sudah dewasa begini canggung dan kikuk, begini pemalu. Sikap
ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini belum pernah
bergaul dekat, belum pernah bermesraan dengan wanita. Dugaan
ini saja sudah membuat jantungnya berdebar semakin kencang.
Hati-hati engkau, Liong-li, katanya kepada diri sendiri. Engkau
berada di tepi jurang yang akan menenggelamkanmu. Tugasmu
belum selesai, baru dimulai dan engkau hendak membiarkan
dirimu terbius keindahan dan kenikmatan nafsu?
“Pangeran, maafkan saya. Sebaiknya kalau..... kalau saya
mengobati sendiri luka-luka ini, atau...... menyuruh seorang
dayang saja yang melakukannya. Tidak baik merepotkan paduka,
dan pula...... akan membuat paduka menjadi rikuh dan membuat
saya menjadi malu saja......”
Hemm, munafik, ia memaki diri sendiri. Ia malu? Ia malah bangga
dan girang!
“Enci Cu, dalam hal yang gawat ini kita harus menyingkirkan
segala perasaan sungkan yang tidak ada gunanya. Engkau tidak
343
mungkin mengobati luka-luka di tubuh bagian belakang, kedua
tanganmu takkan dapat mencapainya.
“Kalau menyuruh dayang, tentu ia akan merasa heran sekali dan
siapa tahu keheranannya melihat tubuh belakangmu penuh luka
itu akan membuat, ia kelepasan bicara. Dan aku...... aku sama
sekali tidak merasa direpotkan atau rikuh karena memang engkau
membutuhkan pertolongan. Nah, maafkan, aku akan membuka
jubahku yang kuselimutkan padamu ini.”
Liong-li menahan senyumnya, menyembunyikan mukanya ke
dalam bantal sambil menelungkup ketika merasa betapa tangan
pangeran itu menyingkap penutup tubuh belakangnya.
“Aduh, betapa mengerikan......!” seru pangeran itu sambil
mengamati punggung dan pinggul yang penuh jalur-jalur merah
dan di sana-sini kulitnya pecah dan luka berdarah itu.
“Amat burukkah tubuh belakangku?”
Pangeran itu mengamati punggung dan pinggul itu. “Sama sekali
tidak buruk, enci Cu. Punggung dan pinggulmu indah sekali,
kulitnya putih halus. Ah, betapa kejamnya mencambuk kulit yang
putih mulus ini sampai pecah-pecah......!”
Pangeran itu mulai mencuci darah dari punggung dan pinggul itu,
menggunakan kain putih yang dicelupkan di air panas. Lembut
sekali tangan itu menggerakkan kain basah hangat di permukaan
kulit yang terluka, dan Liong-li merasakan kelembutan ini, dan
kalau kebetulan jari tangan itu menyentuh kulitnya, ia merasa
pula betapa tangan pangeran itu gemetar! Ia merintih lirih.
344
“Sakitkah, enci Cu?” tanya Pangeran Souw Han dengan hati iba.
Tentu saja hampir tidak terasa oleh Liong-li kalau hanya nyeri
seperti itu, akan tetapi ia merintih dan mengeluh seolah-olah
menderita nyeri hebat.
“Perih, Pangeran......” katanya lirih.
“Kasihan engkau, enci Cu.......”
Entah berapa kali pangeran itu mengatakan hal ini dan makin
sering rintihan keluar dari mulut Liong-li! Gila kau, ia memaki diri
sendiri. Bahaya semakin dekat! Ia sudah berusaha untuk tidak
membiarkan pangeran ini merawatnya, ia membela diri sendiri.
“Sekarang akan kutaburkan obat bubuk ini, enci Cu,” kata
pangeran itu setelah mengeringkan punggung dan pinggul
dengan kain kering.
Kedua tangannya semakin keras gemetar karena selama
hidupnya, belum pernah Pangeran Souw Han melihat punggung
dan pinggul seperti ini, apa lagi tubuh wanita, dan yang demikian
indahnya.
Obat bubuk itu buatan Liong-li sendiri dan amat manjur. Selain
luka akan segera mengering kalau diobati dengan obat ini, juga
begitu ditaburkan di atas luka, rasanya dingin dan sejuk,
menghilangkan rasa nyeri!
Akan tetapi Liong-li malah merintih-rintih, bukan karena nyeri
melainkan karena terbakar gairah yang makin berkobar karena
345
sentuhan-sentuhan tangan Pangeran Souw Han ketika pangeran
itu membalurkan obat bubuk itu. Akan tetapi pangeran itu mengira
bahwa Liong-li menderita nyeri yang hebat, maka dia merasa
terharu dan kasihan sekali.
“Enci Cu kenapa engkau lakukan ini? Kenapa engkau
membiarkan dirimu dihina dan disiksa? Kalau engkau mau, tentu
dengan mudah engkau dapat menghajar mereka lalu melarikan
diri.”
“Aih, pangeran. Bagaimana paduka dapat mengatakan demikian?
Kalau saya melarikan diri, tentu paduka akan menghadapi
tuntutan dan dakwaan hebat! Bagaimana mungkin saya dapat
melakukan itu, mencelakakan paduka? Dari pada mencelakakan
paduka, biarlah tubuh saya ini menderita, juga untuk
menyembunyikan rahasia saya.”
“Hemm, enci Cu. Engkau begini baik, engkau gagah perkasa,
cantik jelita, dan engkau pandai menari, bernyanyi, bermain
musik, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan
wanita seperti engkau. Enci Cu, sekarang aku tahu bahwa ketika
tadi aku mengaku kepada kanda Souw Cun bahwa engkau satu-
satunya wanita yang kucinta, maka pengakuan itu bukan sekedar
membelamu. Aku memang cinta padamu, enci Cu!”
“Pangeran...... ah, pangeran......!” Entah siapa yang bergerak
lebih dulu, akan tetapi seperti terdorong oleh kekuatan yang
hebat mereka saling rangkul. Mereka berangkulan dan ketika
pangeran itu menciumnya, Liong-li tahu bahwa ia sudah kalah.
346
Sebaliknya, dalam rangkulan wanita yang berpengalaman ini,
Pangeran Souw Han yang masih hijau itupun seperti mabok. Dia
lupa bahwa kini Liong-li dapat bergerak, leluasa dan kuat, dapat
menelentang tanpa keluhan. Akan tetapi pada detik terakhir tiba-
tiba Liong-li bangkit duduk dan menarik pangeran itu untuk duduk
pula.
Mereka duduk di atas pembaringan dan ketika pangeran itu
hendak merangkulnya, Liong-li menahannya dengan lembut.
“Nanti dulu, Pangeran. Sebelum terlanjur, saya mohon paduka
suka mendengarkan dulu kata-kata saya.”
Pangeran Souw Han memandang dengan sinar mata penuh
kasih sayang dan kemesraan, “Katakanlah, enci Cu!”
“Pangeran, paduka adalah Pangeran Souw Han yang selamanya
belum pernah bergaul dengan wanita. Sekarang paduka hendak
menumpahkan cinta kasih kepada saya, sepatutnya paduka
ketahui siapa saya ini.
“Pangeran, saya adalah seorang wanita yang mempunyai riwayat
tidak bersih, Pangeran. Ketika gadis, oleh mendiang ayah saya
dijual kepada seorang bangsawan. Saya diperkosa, kemudian
saya dijual ke rumah pelacuran di mana saya dipaksa menjadi
pelacur! Menjadi pelacur, Pangeran! Kemudian setelah saya
mendapatkan kepandaian, saya balas semua orang keji dan jahat
itu. Nah, saya bukan seorang wanita yang bersih. Benar seperti
dikatakan Pangeran Souw Cun, saya tidak pantas menjadi wanita
yang menerima kasih sayang paduka untuk pertama kalinya.......”
347
“Enci Cu, aku cinta padamu, tidak perduli siapa engkau ini dan
bagaimana masa lalumu. Aku tidak mencinta riwayatmu, aku
mencintai dirimu!” Pangeran itu hendak merangkul lagi, akan
tetapi dengan halus Liong-li memegang kedua lengannya.
“Masih belum habis apa yang hendak saya katakan, Pangeran.
Terus terang saja, begitu berjumpa dengan paduka, hati saya
terpikat. Saya suka sekali dan kagum kepada paduka dan tidak
ada kesenangan yang lebih saya inginkan sekarang ini kecuali
melayani paduka, saling menumpahkan kasih sayang dengan
paduka. Akan tetapi, saya dapat dan senang melakukan hal itu,
hanya dengan satu syarat, Pangeran.”
“Syarat? Orang bercinta dengan syarat?” Pangeran itu
mengerutkan alisnya.
“Syaratnya, saya tidak dapat menjadi isteri paduka, tidak dapat
menjadi selir paduka. Apa yang akan kita lakukan ini adalah suka
rela, tidak ada ikatan. Setelah selesai tugas saya di istana ini,
saya akan pergi meninggalkan paduka, dan paduka jangan
mengharapkan saya kembali apa lagi memaksa saya untuk
tinggal di sini. Nah, itulah syaratnya!”
“Terserah...... apa saja kehendakmu........ aku.... aku cinta
padamu, enci Cu......!” Pangeran itu merangkul dan Liong-li
menyambutnya dengan senyum manis.
Nafsu berahi, seperti semua nafsu memabokkan. Orang lupa
akan segala yang lain kalau sudah dicengkeram nafsu. Satu-
satunya yang diinginkan hanyalah terpuaskannya nafsu yang
sedang menggelora. Dan di antara segala macam nafsu, nafsu
348
berahi merupakan nafsu yang amat kuat dan sukar diatasi.
Bahkan banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa orang-orang
besar bertekuk lutut kepada nafsu berahi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang pendekar wanita yang
mampu melawan apa saja dan biasanya keluar sebagai
pemenang. Iapun bukan seorang budak nafsu. Akan tetapi, pada
saat nafsu berahi mencengkeramnya, iapun hanya seorang
manusia dari darah daging yang lupa diri dan lupa segala.
Biasanya, walaupun hatinya tertarik kepada seorang pria, ia tidak
akan begitu mudah menyerahkan diri, apa lagi ia sedang berada
di tengah-tengah tugas yang berat dan berbahaya. Kalau tugas
itu sudah selesai dan ia berada dalam keadaan santai, tentu ia
tidak akan menolak gairah berahinya yang hanya ditujukan
kepada orang yang benar-benar dikaguminya saja.
Pangeran Souw Han juga bukan seorang hamba nafsu. Buktinya,
biarpun dia seorang pangeran dan sudah dewasa, dia selalu
menahan diri dan tidak pernah mau menyerah, tidak pernah mau
bergaul dengan wanita walaupun akan mudah sekali baginya
untuk mendapatkan wanita yang cantik dan muda sekalipun.
Akan tetapi kini dia benar-benar kagum sekali kepada Liong-li
sehingga dia menyerah terlena dalam pelukan wanita itu.
Mereka tenggelam dam berenang dalam lautan madu asmara,
meneguk madu yang memabokkan itu sepuas-puasnya sehingga
sehari itu mereka tidak pernah keluar kamar, bahkan lupa makan.
Dalam diri Liong-li, pangeran itu menemukan seorang guru yang
pandai dan seorang kekasih yang penuh gairah.
349
◄Y►
Pria dan wanita itu merupakan pasangan yang serasi sekali.
Yang pria berusia duapuluh tujuh tahun, berwajah tampan dan
gagah. Tubuhnya sedang dan pakaiannya yang serba putih itu
bersih, terbuat dari sutera yang halus. Dagunya yang berlekuk
membayangkan keberanian dan matanya mencorong tajam, akan
tetapi lebih banyak menunduk. Yang wanita berusia sebaya,
hanya satu-dua tahun lebih muda, pakaiannya serba hijau, cantik
dengan mata dan mulut yang menggairahkan, tubuhnya ramping
dan gerakannya ketika melangkahkan kaki ringan dan tangkas.
Mereka itu Pek-liong dan Cu Sui In. Mereka melakukan
perjalanan cepat dan berjalan kaki ketika memasuki pintu
gerbang kota raja, agar jangan menarik perhatian. Para penjaga
pintu gerbang memandang penuh perhatian. Siapapun akan
tertarik kepada mereka, karena memang mereka itu nampak elok
dan gagah. Akan tetapi tidak ada penjaga pintu gerbang yang
menghadang atau mengganggu.
“Kita langsung saja menghadap paman Ciok,” kata Sui In.
“Sekarang sudah lewat tengah hari, tentu dia sudah pulang.”
Yang diajak bicara hanya mengangguk. Sui In merasa semakin
kagum kepada pendekar itu. Semenjak pendekar itu
menolongnya, kemudian mereka melakukan perjalanan bersama
ke kota raja. Setelah ia bermalam di rumah pendekar itu satu
malam, sampai melakukan perjalanan bersama, Pek-liong
bersikap sebagai seorang pendekar sejati yang mengagumkan!
350
Ia adalah seorang janda, dan Pek-liong seorang duda. Ia kagum
kepada duda itu dan mereka melakukan perjalanan bersama.
Akan tetapi, Pek-liong selalu bersikap sopan! Tak pernah pria
muda itu memperlihatkan perasaannya, baik melalui pandang
mata atau kata-kata. Selalu sopan, juga dia pendiam, tidak
banyak bicara bahkan tidak bicara kalau tidak ditanya.
Sikap seorang jantan sejati dan sejak pertemuan pertama kali,
hati janda muda itu sudah terusik dan ia merasa kagum bukan
main. Ia tentu tidak akan berani menyangkal kalau ada orang
mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepada Si Naga Putih.
Mendengar bahwa keponakannya pulang bersama seorang
pemuda berpakaian putih, Ciok Tai-jin, pembantu Menteri Pajak
yang sudah berusia limapuluh lima tahun itu, segera
memerintahkan penjaga untuk mempersilakan mereka memasuki
ruangan dalam di mana dia menanti seorang diri.
Sui In masuk diikuti Pek-liong. Setelah mereka masuk, penjaga
yang sudah dipesan oleh tuan rumah segera menutupkan daun
pintu dan menjaga di luar agar pertemuan dan percakapan
majikannya dengan dua orang muda itu tidak terganggu. Sui In
memberi hormat kepada pamannya, lalu memperkenalkan Pek-
liong.
“Paman, ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay, pendekar sakti
yang terkenal sekali dan yang telah menolongku ketika aku
dikeroyok oleh orang-orang jahat.”
“Tan tai-hiap......!” kata pembesar itu ketika Pek-liong memberi
hormat kepadanya. “Silakan duduk, silakan duduk!” Kemudian dia
351
memandang kepada keponakannya. “Sui In, mana susiokmu
yang katanya hendak kaupanggil dan mintai bantuan itu?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Susiok Giam Sun telah tewas
terbunuh orang pula, paman.”
“Ahhh? Terbunuh? Bagaimana....... oleh siapa......?”
Dengan singkat namun jelas Sui In lalu menceritakan semua
pengalamannya, betapa ia dikeroyok oleh Huang-ho Siang-houw
dan Pek-mau-kwi, dan diselamatkan oleh Pek-liong. Kemudian
betapa ia dan Pek-liong menemukan susioknya itu telah tewas
dan ada coret-coretan pesan terakhir susioknya yang menuliskan
dua buah nama yaitu Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu.
“Kwi-eng-cu........? Ah, bagaimana mendiang susiokmu itu tahu
tentang Si Bayangan Iblis?” Ciok Tai-jin berseru heran.
“Menurut dugaan kami, paman, susiok terbunuh oleh Pek-mau-
kwi dan teman-temannya, dan mungkin sebelum membunuhnya,
Pek-mau-kwi menyebut Kwi-eng-cu. Bagaimanapun juga, tentu
ada hubungannya antara Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu, mungkin
saja Pek-mau-kwi itu termasuk anak buahnya.”
Pembesar itu mengangguk-angguk, lalu dia memandang kepada
Pek-liong.
“Dan Tan tai-hiap ikut ke kota raja untuk membantu agar Si
Bayangan Iblis dapat ditangkap? Memang para pendekar harus
bangkit untuk menangkap pengacau yang amat berbahaya itu.
Aku sendiri hampir saja terbunuh oleh iblis.”
352
“Aihh...... paman. Kapan terjadinya dan bagaimana?” Sui In
terkejut bukan main.
“Tidak lama setelah engkau pergi. Ada pembunuh yang datang
untuk membunuhku tentu saja, akan tetapi ada bayangan lain
yang menyerangnya, sehingga Kwi-eng-cu gagal memasuki
rumah ini. Akan tetapi, para pengawal sudah siap dan andaikata
dia berani masuk, tentu kami akan mengepungnya.”
Pada saat itu, daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar. Ciok
Tai-jin mengerutkan alisnya, “Masuk!” katanya dengan suara
mengandung kemarahan.
“Hemm, berani engkau mengganggu kami? Sudah kukatakan
bahwa aku tidak ingin diganggu siapa pun juga dan engkau
berani mengetuk pintu?” katanya dengan nada suara marah
kepada pengawal itu. Pengawal itu memberi hormat.
“Harap Tai-jin suka memaafkan saya. Saya dipaksa untuk
memberitahu kepada Tai-jin bahwa Cian Hui Ciang-kun minta
menghadap Tai-jin. Katanya harus sekarang juga karena amat
penting. Saya tidak dapat dan tidak berani menolaknya lagi......!”
“Cian Ciang-kun? Persilakan dia masuk!” Ciok Taijin berkata dan
sikapnya berubah mendengar nama Cian Hui. “Orang inilah yang
diharapkan semua pihak akan dapat membongkar rahasia Kwi-
eng-cu, bahkan dia menerima tugas itu dari Sribaginda Kaisar
sendiri,” bisiknya kepada Pek-liong dan Sui In.
Mendengar nama ini, Sui In juga menaruh perhatian, karena ia
pernah pula mendengar nama besar Cian Ciang-kun sebaga
353
seorang perwira yang amat pandai dalam membongkar perkara
kejahatan. Hanya Pek-liong yang belum pernah mendengar nama
itu dan dia bersikap tenang saja.
Ketika pria itu masuk, diam-diam Pek-liong memperhatikan.
Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empatpuluh tahun
dan yang memiliki wajah dan pembawaan yang amat gagah.
Wajahnya yang bentuk persegi itu jantan, dengan dagu berlekuk
keras, alis yang tebal sekali dan hitam berbentuk golok,
hidungnya besar mancung, mulutnya membayangkan
keramahan!
Sepasang matanya jelas membayangkan kecerdasan dan
memiliki sinar yang hidup dan lincah. Tubuhnya tegap dan kokoh,
agak tinggi. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi menambah
kejantanan.
Dengan sikap gagah dan ramah dia mengangkat kedua
tangannya, memberi hormat kepada Ciok Tai-jin dan berkata.
“Ciok Tai-jin, harap maafkan saya yang datang mengganggu dan
memaksa para penjaga untuk melaporkan kedatangan saya
menghadap Tai-jin.”
Ciok Tai-jin cepat membalas penghormatan itu. “Ah, tidak
mengapa, Ciang-kun. Bahkan kami merasa senang sekali akan
kunjungan Ciang-kun ini karena kami yakin bahwa ciang-kun
tentu membawa berita penting.”
Cian Hui kini memandang kepada Sui In dan dia tidak
menyembunyikan rasa kagumnya. Berita yang didengarnya
bahwa keponakan pejabat tinggi ini cantik dan gagah perkasa,
354
ternyata tidak berlebihan. Wanita ini memang cantik jelita dan
nampak gagah, dan sudah janda pula.
Diapun mengangkat tangan memberi hormat kepada wanita itu
dan juga kepada Pek-liong yang sudah diamatinya dengan penuh
perhatian. Juga pandang matanya kepada Pek-liong tidak
menyembunyikan kekagumnnya.
“Nona Cu Sui In dan tai-hiap Pek-liong-eng, selamat bertemu dan
maafkan kalau aku mengganggu.”
Sui In terbelalak, dan Pek-liong diam-diam juga memandang
kaget.
“Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku? Pada hal kita belum
pernah saling bertemu, atau berkenalan,” tanya Sui In.
“Hemm, juga kita baru saja saling bertemu di sini, Ciang-kun.
Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku?”
Cian Hui tersenyum. “Ah, itu hanya permainan kanak-kanak.
Ketika ji-wi lewat di pintu gerbang, seorang penyelidikku yang
berpengalaman telah melihat ji-wi, (kalian berdua) dan setelah
menyuruh seorang kawannya melapor kepadaku, dia
membayangi kalian. Karena itulah, aku tahu bahwa kalian berada
di sini dan datang menyusul.”
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun,” kata Ciok Tai-jin. “Kami yakin
hanya kedatangan Ciang-kun ini tentu membawa suatu
kepentingan besar.”
355
“Memang benar, Tai-jin. Terutama sekali saya mempunyai
kepentingan dengan tai-hiap Pek-liong-eng Tan Cin Hay.”
Cin Hay merasa kagum. Orang ini memang cerdik dan cekatan
sekali. Cara kerjanya mengagumkan dan kalau hal itu ditambah
dengan ilmu silat yang tinggi, maka aneh kalau kekacauan di kota
raja tidak dapat diatasi olehnya.
“Kita baru saja saling jumpa, Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun
dapat mempunyai kepentingan dengan aku?” tanya Pek-liong
sambil memandang tajam penuh selidik.
“Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebaiknya kalau kusampaikan
saja surat ini kepadamu, tai-hiap. Tadinya aku memang hendak
mencarimu di dusun Pat-kwa-bun, akan tetapi kebetulan
penyelidikku melapor akan kemunculanmu di kota raja, maka
langsung saja aku menyusul ke sini untuk menyerahkan surat ini
kepadamu! Dari saku bajunya, Cian Ciang-kun mengeluarkan
surat dari Hek-liong-li yang dititipkan kepadanya.
Pek-liong menerima surat itu dan membuka sampulnya. Begitu
mengenal tulisan yang indah dan kuat itu, diapun tersenyum.
Kiranya pria yang gagah ini sudah lebih dulu mengadakan
hubungan dengan Liong-li! Dia segera membaca surat itu,
dipandang oleh tiga orang yang duduk di situ.
Pek-liong tercinta,
Kalau engkau membaca surat ini, berarti aku berada dalam
bahaya dan membutuhkan bantuanmu karena kupesan
kepada Cian Ciang-kun untuk menyerahkan surat ini
356
kepadamu kalau aku berada dalam bahaya. Selanjutnya
engkau dapat berunding dengan dia.
Hek-liong-li.
Begitu membaca surat ini, Pek-liong bagaikan seekor singa yang
mencium adanya musuh berbahaya. Wajahnya menjadi agak
kemerahan, sepasang matanya kini mencorong dan bergerak-
gerak dengan lincah, penuh semangat bertempur dan lenyaplah
semua sifat lain, yang tinggal hanyalah kekerasan, ketenangan,
dan kewaspadaan yang didukung semangat tempur yang luar
biasa kuatnya.
“Cian Ciang-kun, harap engkau cepat menceritakan di mana
adanya Liong-li dan bagaimana dapat bekerja sama denganmu.
Singkat saja namun jangan melewatkan sesuatu yang mungkin
penting!”
Dalam suara itu terdapat perubahan. Kini suara itu mengandung
wibawa yang kuat, seperti seorang panglima yang memberi
perintah rahasia penting kepada seorang pembantunya. Cian Hui
dapat merasakan benar wibawa ini dan diapun menjadi serius.
Dengan singkat namun padat, dia menceritakan tentang
pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja dan
tentang tugas yang diberikan kepadanya oleh Sribaginda Kaisar
untuk membongkar rahasia itu dan menangkap pengacaunya
yang hanya dikenal dengan sebutan Si Bayangan Iblis. Betapa
kemudian dia minta bantuan Hek-liong-li untuk melakukan
penyelidikan di dalam istana.
357
“Atas prakarsanya, kami berhasil menyelundupkaan Lie li-hiap ke
dalam istana sebagai seorang dayang dari Permaisuri, setelah li-
hiap menduga bahwa tentu rahasia itu berpusat dalam istana.
Akan tetapi, kami mendengar berita mengejutkan dari istana,
Hong-houw (Permaisuri) demikian cerdiknya sehingga
mengetahui rahasia penyamaran Lie li-hiap.”
Dia berhenti sebentar dan tiga orang pendengarnya menahan
napas saking tegangnya. Mereka semua sudah mendengar
bahwa Hong-houw adalah seorang wanita luar biasa yang amat
cerdik, bahkan kini menjadi orang yang paling berkuasa di
kerajaan karena Sribaginda Kaisar sendiri seperti boneka lilin di
tangannya.
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Pek-liong, sikapnya masih
tenang biarpun hatinya dicekam kekhawatiran.
Dia percaya sepenuhnya kepada Liong-li dan yakin akan
kemampuan wanita yang paling dipujanya di seluruh dunia itu.
Akan tetapi sekarang Liong-li berada di dalam istana! Betapapun
lihainya seseorang, kalau berada di dalam istana bagaikan
berada di dalam benteng baja yang kokoh dan kuat dan di dalam
istana terdapat banyak sekali orang-orang yang cerdik pandai
dan orang-orang yang berilmu tinggi, jagoan-jagoan yang amat
lihai.
“Entah bagaimana, dan entah akal apa yang dipergunakan oleh li-
hiap, akan tetapi menurut keterangan penyelidik yang kutugaskan
di sana, li-hiap tidak dihukum oleh Permaisuri, bahkan oleh
358
Permaisuri ia diberikan kepada Pangeran Souw Han sebagai
seorang selir.”
“Hemm, dan apa artinya peristiwa itu?” tanya Pek-liong yang
sama sekali tidak mengenal keadaan di dalam istana kaisar.
“Peristiwa itu menarik sekali untuk diselidiki,” kata Cian Hui,
“Banyak kejanggalan terjadi di sini. Pertama, semua orang tahu
bahwa tidak ada orang yang akan dapat lolos dari hukuman mati
apabila Hong-houw memusuhinya atau menganggapnya berdosa.
Kenyataannya bahwa li-hiap tidak dihukum membuktikan bahwa
Permaisuri tentu tidak memusuhinya walaupun
penyelundupannya diketahui.
“Dan kedua, li-hiap diserahkan kepada Pangeran Souw Han
sebagai selir, pada hal pangeran muda itu terkenal sebagai
seorang yang alim, yang sama sekali tidak pernah bergaul
dengan wanita seperti para pangeran lain. Kini tiba-tiba saja dia
mau menerima seorang selir!”
Kembali Cian Ciang-kun berhenti dan pandang matanya
mengamati wajah Pek-liong. Akan tetapi pendekar ini tidak
menunjukkan sesuatu pada wajahnya.
“Dan menurut Ciang-kun, apa artinya kejanggalan-kejanggalan
itu?”
“Kalau Hong-houw tidak menghukumnya, hal itu berarti bahwa
ada kerja sama antara li-hiap dan Hong-houw, atau lebih tepat
lagi Hong-houw, memanfaatkan kehadiran li-hiap di istana untuk
mengerjakan sesuatu. Agaknya, Hong-houw yang sengaja
359
menyelundupkan li-hiap ke dalam istana bagian pria dengan cara
menghadiahkannya kepada Pangeran Souw Han.”
“Kenapa kepada Pangeran Sauw Han?”
“Karena pangeran itu merupakan seorang yang paling disuka dan
paling dapat dipercaya, yang bersih dari pada persaingan yang
terjadi di istana. Selain itu, juga dia terkenal tidak suka bergaul
dengan wanita, dan hal ini yang membuat li-hiap suka
dihadiahkan sebagai selir. Tentu hanya luarnya saja demikian,
Pangeran Souw Han tidak akan mau mengganggunya, sehingga
li-hiap dapat leluasa mengadakan penyelidikan dengan sembunyi
di kamar pangeran itu sebagai selir, tidak menimbulkan
kecurigaan.”
Pek-liong mengangguk-angguk dan merasa kagum. Benar
dugaannya, orang she Cian ini memang cerdik sekali.
“Kalau begitu, kita boleh menghapus nama Permaisuri sebagai
orang yang boleh dicurigai memimpin komplotan Si Bayangan
Iblis?” tanyanya.
“Tentu saja! Sejak dulu akupun yakin bahwa Si Bayangan Iblis itu
bukan dikendalikan oleh Hong-houw. Beliau memegang tampuk
kekuasaan. Untuk melenyapkan orang yang tidak disukainya,
beliau tinggal menuding saja dan orang itu akan ditangkap dan
dibunuh. Tidak perlu beliau mempergunakan pembunuh gelap
seperti Si Bayangan Iblis, karena hal itu hanya akan merugikan
beliau sendiri.”
360
“Sekarang katakan mengapa engkau menyerahkan surat Liong-li
kepadaku, Ciang-kun? Bahaya apakah yang mengancam diri
Liong-li?”
“Inilah yang mencemaskan hatiku, tai-hiap. Dari penyelidik yang
kutugaskan di sana, aku mendapat kabar mengejutkan kemarin.
Menurut penyelidik itu, Liong li-hiap ditangkap oleh Pangeran
Souw Cun dan diberi hukuman cambuk. Pangeran Souw Han
datang menyelamatkannya dan agaknya terjadi ketegangan
antara kedua orang pangeran itu. Kabar yang disampaikan
penyelidik itu hanya mengatakan bahwa li-hiap mengalami luka-
luka di punggung karena lima kali cambukan, akan tetapi kini
telah diajak kembali oleh Pangeran Souw Han.”
“Ahhh......!” Sui In berseru khawatir.
AKAN tetapi Pek-liong menerima berita ini dengan tenang-tenang
saja. Kalau hanya hukuman cambuk lima kali, tidak ada artinya
bagi Liong-li, dan kalau sampai punggungnya berdarah, hal itu
tentu disengaja oleh Liong-li yang hendak menyembunyikan
kepandaiannya. Dia tahu benar kecerdikan rekannya itu.
“Siapakah Pangeran Souw Cun itu?”
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. “Hemm, bukan seorang
pemuda yang baik, tai-hiap. Bahkan tidak akan heran aku kalau
kemudian ternyata bahwa dia yang menjadi majikan dari para
pembunuh itu. Dia memang bisa berbahaya sekali.”
361
“Hemmm..... tahukah engkau kenapa dia menangkap dan
mencambuki Liong-li yang sudah menjadi selir Pangeran Souw
Han?”
Perwira itu menggeleng kepala. “Tidak ada, yang mengetahui apa
yang sebenarnya telah terjadi. Tahu-tahu li-hiap ditangkap
Pangeran Souw Cun sendiri yang datang bersama pengawalnya
selagi Pangeran Souw Han tidur dan li-hiap berada di ruangan
para dayang, lalu li-hiap dibawa ke kamar Pangeran Souw Cun.
Yang berada di sana hanya pangeran itu bersama pengawalnya
dan Bouw Sian-seng sehingga penyelidikku tidak dapat tahu apa
yang terjadi. Lalu Pangeran Souw Han datang dan membawa li-
hiap kembali ke tempat tinggalnya dalam keadaan luka-luka dari
pencambukan itu.”
“Kalau begitu, berarti bahaya sudah lewat. Liong-li tidak terancam
bahaya lagi.”
“Kurasa tidak demikian, tai-hiap. Hek-liong-lihiap memang
memesan kepadaku untuk menyerahkan surat itu kepada tai-hiap
kalau ia terancam bahaya dan aku melihat bahaya besar
mengancamnya, bukan hanya karena pencambukan itu,
melainkan akibatnya.
“Akibat dari peristiwa itu dapat hebat dan amat berbahaya, tai-
hiap. Jelas bahwa Pangeran Souw Cun mencurigai li-hiap dan
karena li-hiap secara resmi telah menjadi selir Pangeran Souw
Han, maka perbuatan Pangeran Souw Cun itu berarti penghinaan
terhadap Pangeran Souw Han. Hal ini dapat memancing
permusuhan secara terbuka.
362
“Mengingat bahwa Pangeran Souw Han adalah seorang
pangeran yang bersih dari persaingan di istana dan beliau tidak
mempunyai pengawal atau jagoan, sebaliknya Pangeran Souw
Cun amat kuat kedudukannya, maka tentu saja amat berbahaya
bagi li-hiap.”
Pek-liong mengerutkan alisnya. Dia sudah membuat perhitungan,
lalu tiba-tiba bertanya, “Cian Ciang-kun, dapatkah engkau
menyelundupkan aku ke istana, hari ini juga? Memang mungkin
sekali Liong-li membutuhkan bantuanku.”
“Hemm!”Cian Ciang-kun meraba-raba jenggotnya yang rapi,
alisnya berkerut. “Kurasa dapat, tai-hiap. Akan tetapi agar tidak
terlalu menyolok, tai-hiap dapat kuselundupkan sebagai seorang
tukang kuda yang bekerja di istal kuda istana yang letaknya di
bagian belakang kompleks istana bagian pria.”
“Bagus! Tolong buatkan gambar atau peta mengenai keadaan di
istana, di mana adanya istal itu dan di mana pula tempat tinggal
para pangeran, agar mudah bagiku untuk melakukan
penyelidikan.”
Sui In lalu cepat mengambilkan alat tulis dan tak lama kemudian,
Cian Hui sudah membuatkan peta untuk Pek-liong. Peta itu tidak
dibawa Pek-liong, melainkan dipelajari dan dihafalkan.
“Akupun ingin membantu,” kata Sui In. “Sungguh tidak enak
menunggu di rumah, sedangkan Hek-liong-lihiap dan Tan Tai-
hiap bekerja berat dan menghadapi bahaya di istana. Cian Ciang-
kun, dapatkah ciang-kun memberi saran bagaimana aku dapat
363
memasuki istana dan mengunjungi Lie li-hiap? Aku dapat
mengaku sebagai saudara sepupu!”
Cian Hui memandang dan dia melihat betapa wanita itu
bersungguh-sungguh. Mata yang bening itu memandang
kepadanya dengan penuh harapan. Ia dapat menjenguk isi hati
wanita ini.
Sebagai isteri seorang korban pembunuhan misterius itu, tentu
saja ia ingin membalas kematian suaminya dan sedapat mungkin
membantu agar pembunuh itu dapat tertangkap. Dan dia
mendengar bahwa Cu Sui In adalah seorang murid Kun-lun-pai
yang lihai sehingga tenaganya memang boleh diandalkan untuk
membantu Hek-liong-li.
“Sui In, apakah tidak akan terlalu berbahaya untukmu?” Ciok Tai-
jin yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja, kini bertanya
dengan nada suara khawatir.
Dia tidak hanya mengkhawatirkan keselamatan keponakan
isterinya itu, akan tetapi juga keselamatan keluarganya sendiri.
Kalau sampai Sui In terlibat dalam keributan di istana, kemudian
ketahuan bahwa ia masih keponakannya, bukan tidak mungkin
seluruh keluarganya akan terlibat.
Agaknya Sui In dapat menjenguk isi hati pamannya. “Harap
paman tidak khawatir. Saya tidak akan menyebut nama paman,
juga tidak akan mengaku sebagai anggauta keluarga paman.
Saya akan mengaku sebagai seorang saudara sepupu dari Lie li-
hiap...... ah, siapa tadi nama samarannya Cian Ciang-kun?”
364
“Ketika kuselundupkan sebagai dayang, namanya Akim, akan
tetapi setelah menjadi selir Pangeran Souw Han, ia diberi nama
Siauw Cu oleh Permaisuri.”
“Siauw Cu....... hemm, siapakah lebih tua antara kami, Ciang-
kun? Berapa usianya?”
Cian Hui tersenyum. “Aku sendiri tidak tahu berapa usianya.
Sungguh tidak mudah menaksir usia wanita, apa lagi Lie li-hiap.”
“Usianya duapuluh lima tahun,” kata Pek-liong.
“Dan aku duapuluh enam tahun. Biarlah aku akan mencari adik
Siauw Cu saudara sepupuku. Tentu saja harus ada surat
pengantarnya dan kuharap Cian Ciang-kun suka membantuku.”
Cian Ciang-kun memandang kepada Pek-liong seolah minta
pertimbangan pendekar itu.
Pek-liong mengerti dan diapun berkata, “Tingkat kepandaian adik
Cu Sui In cukup tinggi sehingga diharapkan ia akan mampu
menjaga diri sendiri, juga mungkin saja dapat membantu Liong-li.”
“Bagus kalau begitu! Baiklah, nona Cu, akan kuusahakan agar
engkau dapat memasuki istana sabagai tamu dari Lie li-hiap.
Sebetulnya hal ini bahkan baik sekali karena Lie li-hiap dan Tan
tai-hiap dapat berhubungan dengan aku yang di luar istana
melaluimu.
365
“Tan tai-hiap, jangan lupa untuk segera memberi kabar kepadaku
tentang keadaan di sana. Kalau ada bahaya, cepat kabarkan
sehingga aku dapat mengusahakan bantuan.”
“Hemm, kalau kami terancam bahaya, siapa yang akan dapat
membantu kami, Ciang-kun?” Pek-liong ingin tahu.
“Hanya ada satu orang yang akan dapat membantumu, yaitu
Sribaginda Kaisar sendiri! Kalau memang kalian dapat
mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan bahwa Si Bayangan
Iblis berada di istana, maka aku dapat menghadap Sribaginda
Kaisar yang tentu akan mengerahkan pasukan untuk
mengadakan pembersihan di istana!”
“Baik sekali. Memang itu satu-satunya jalan. Baiklah, Ciang-kun,
mari kita membuat persiapan karena aku harus berada di istana
hari atau malam ini juga agar jangan sampai terlambat.”
“Aku juga ingin cepat-cepat mengunjungi adik Siauw Cu,” kata Cu
Sui In sambil memandang ke arah Pek-liong.
Pendekar yang amat dikaguminya itu siap menempuh bahaya.
Mengapa ia tidak berani? Bukan saja untuk membalas kematian
suaminya, akan tetapi juga dan ini terutama sekali, agar dia dapat
bekerja sama dengan Pek-liong!
◄Y►
Pek-liong berhasil dimasukkan ke istana oleh Cian Hui dan
diterima oleh kepala bagian pemeliharaan kuda istana, seorang
pejabat istana yang menjadi sahabat Cian Ciang-kun, sebagai
366
seorang tukang memelihara kuda. Pek-liong menggunakan nama
A-cin dan dengan penyamarannya yang sempurna, dia membuat
mukanya yang tampan berubah menjadi penuh bopeng yaitu
totol-totol hitam seperti bekas penyakit cacar. Dan A-cin segera
diterima dengan baik oleh para pekerja di situ karena dia begitu
datang pada siang hari itu terus bekerja dengan rajinnya,
tenaganya kuat dan diapun cepat akrab dengan kuda-kuda yang
dipelihara di situ, tanda bahwa dia memang sudah biasa merawat
kuda.
Ketika makan sore, diapun makan hanya sedikit. Orang yang
sederhana, tidak banyak bicara, tidak banyak makan, akan tetapi
banyak bekerja seperti inilah yang disukai kawan-kawan
sekerjanya.
Diapun pendiam sekali, tidak bicara kalau tidak ditanya. Karena
itu, dia tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Siapa yang
akan curigai seorang laki-laki bermuka bopeng, sederhana dan
rajin bekerja seperti itu?
Ketika malam tiba, diapun lebih suka tidur di kandang kuda, di
atas rumput-rumput kering, dengan alasan bahwa dia tidak biasa
tidur di pembaringan yang lunak, apa lagi bersama orang lain.
Tentu saja kesederhanaannya itu ditertawakan orang, akan tetapi
mereka sama sekali tidak menaruh keberatan, bahkan girang
karena kuda-kuda itu ada yang menjaganya sehingga para
pekerja yang lain boleh enak tidur tanpa terganggu.
Biasanya, kalau ada kuda meringkik tidak wajar, mereka terpaksa
bangun untuk memerikaa kandang kuda. Sekarang, ada A-cin
367
tidur di istal, mereka tidak perlu bangun lagi kalau ada keperluan
di kandang itu.
Setelah malam sunyi dan semua pekerja pulas, A-cin berubah
menjadi sesosok bayangan yang berkelebat cepat. Pek-liong
selalu berpakaian serba putih, akan tetapi karena sekarang dia
sedang menyamar dan melakukan penyelidikan, dia menutupi
pakaian putih itu dengan jubah dan celana hitam, bahkan
menutupi hidung dan mulutnya dengan saputangan hitam pula.
Dengan beberapa loncatan saja diapun berkelebat lenyap dari
situ, ia mengambil jalan yang sudah dihafalnya dari peta yang
dibuat Cian Hui sebelum mereka memasuki istana tadi.
Dia sudah mempelajari semua keadaan keluarga Kaisar dari Cian
Hui. Dia tahu bahwa Sribaginda Kaisar Tang Kao Cung yang
usianya kurang lebih limapuluh tahun itu adalah seorang kaisar
yang lemah karena seolah-olah menjadi boneka di tangan
isterinya, Permaisuri Bu Cek Thian!
Biarpun kaisarnya masih Kaisar Tang Kao Cung, namun sudah
menjadi rahasia umum bagi para pejabat bahwa segala
keputusan keluar dari mulut Permaisuri melalui Kaisar. Juga
Putera Mahkota, Tiong Cung, putera kandung Bu Cek Thian,
tidak berbeda dari ayahnya, merupakan boneka yang dimainkan
oleh ibunya sehingga dia terkenal sebagai seorang pangeran
yang manja, malas dan tidak mempunyai semangat, tidak
memiliki prakarsa.
Segala keputusan penting yang diambil Kaisar tentu lebih dulu
melalui penyaringan Permaisuri. Karena itu, kekuasaan Bu Cek
368
Thian amat besarnya dan semua orang takut kepadanya. Dan
permaisuri ini terkenal keras dan kejam terhadap lawan-
lawannya, yaitu mereka yang menentang kekuasaannya, juga ia
memelihara banyak jagoan yang lihai.
Namun, di samping itu semua, Bu Cek Thian terkenal amat
cerdik. Satu di antara kecerdikannya yang membuat ia berhasil
dalam ambisinya adalah cara ia mendekati para panglima perang.
Ia teramat royal bahkan memanjakan para panglima sehingga
dapat dibilang semua panglima merasa berhutang budi dan suka
kepadanya, hal yang menimbulkan kesetiaan, dan sekali para
panglima mendukungnya, maka kekuasaan mutlak berada di
tangannya tanpa ada yang berani mengganggu gugat.
Di samping Pangeran Tiong Cung yang menjadi Putera Mahkota
dan yang menjadi seperti boneka di tangan ibunya, ada lagi
Pangeran Li Tan.Pangeran ini juga putera kandung Bu Cek
Thian, baru berusia tigabelas tahun. Pangeran ini lebih
bersemangat dari pada kakaknya, namun karena ia kehilangan
perhatian dari ibu kandungnya, ia menjadi nakal walaupun cerdik.
Pangeran Souw Cun adalah pangeran yang paling berbahaya di
antara semua pangeran, demikian Pek-liong mendengar dari Cian
Hui. Pangeran Souw Cun ini terkenal petualang dan mata
keranjang, bukan saja suka berkeliaran di luar istana dan
mendatangi tempat-tempat pelacuran, akan tetapi juga suka
berburu, berjudi dan mabok-mabokan. Akan tetapi diapun suka
belajar ilmu silat dan bergaul di antara orang-orang dari dunia
persilatan. Maka, pangeran itu patut diawasi dan diamati gerak
369
geriknya karena orang seperti dia besar sekali kemungkinannya
bersekongkol dengan tokoh-tokoh sesat.
Sebaliknya, Pangeran Souw Han terkenal sebagai pangeran yang
lembut dan baik, jujur dan disuka karena tidak memusuhi siapa
pun, tidak berambisi dan tidak ikut bersaing memperebutkan
kekuasaan. Tokoh ini amat penting dan menarik bagi Pek-liong,
terutama sekali karena kepada pangeran inilah Liong-li diberikan
sebagai selir! Dia dapat menduga bahwa tidak mungkin Liong-li
menjadi selir benar-benar. Tentu hal itu hanya merupakan siasat
saja dari Permaisuri untuk menyelundupkan Liong-li ke dalam
istana bagian pria dan hendak dijadikan mata-mata atau
penyelidik demi kepentingan Permaisuri sendiri tentunya.
Di antara banyak pangeran lain yang tidak begitu penting, ada
lagi seorang pangeran yang patut diperhatikan menurut
keterangan Cian Hui, yaitu Pangeran Kim Ngo Him, mantu dari
Sribaginda Kaisar. Menurut Cian Ciang-kun, pangeran yang
menjadi mantu kaisar inipun berambisi dan dia juga mempunyai
jagoan-jagoan. Hanya mereka itulah yang perlu mendapatkan
perhatian utama dari Pek-liong.
Malam itu, Pek-liong berlompatan sambil menyelinap di antara
wuwungan bangunan istana yang luas, menuju ke tempat tinggal
Pangeran Kim Ngo Him yang berada di pinggir. Sebagai seorang
mantu kaisar, tentu saja kedudukannya agak lebih rendah
dibandingkan dengan pangeran putera kaisar.
Tiba-tiba dengan cepat sekali dia mendekam di balik wuwungan
karena dia melihat berkelebatnya bayangan hitam dari arah kiri.
370
Bayangan itu ringan sekali gerakannya dan kakinya tidak
mengeluarkan suara sedikitpun ketika menginjak genteng. Hal ini
saja membuktikan bahwa bayangan itu memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang hebat. Dan bayangan itupun tiba-tiba
berhenti, membalik dan begitu tangannya bergerak, nampak
benda-benda hitam kecil meluncur ke arah tubuh Pek-liong!
Pendekar ini cepat mengelak dengan loncatan ke kanan, dan
terdengar suara berkelentingan ketika paku-paku itu jatuh ke atas
genteng. Dan sebelum Pek-liong sempat melarikan diri, bayangan
itu seperti terbang saja sudah meloncat dan menyerangnya
bagaikan seekor burung rajawali menyambar mangsanya! Kedua
tangannnya dijulurkan ke depan, menyerang ke arah kepala Pek-
liong.
Ketika ada angin menyambar membawa hawa panas, Pek-liong
maklum bahwa lawannya tidak boleh dipandang ringan. Diapun
mengerahkan tenaga sin-kang menyambut dengan kedua tangan
terbuka.
“Dessss......!!” Dua pasang telapak tangan bertemu di udara dan
akibatnya, bayangan hitam itu terdorong dan terlempar ke atas
sedangkan Pek-liong sendiri harus mempertahankan diri untuk
tidak terhuyung jatuh.
Dia merasa betapa tenaga lawan itu amat kuatnya, dan andaikata
mereka berdua sama-sama berpijak di atas tanah, belum tentu
dia akan menang tenaga. Orang itu terpental karena tubuhnya
masih berada di udara. Dan hebatnya orang yang terpental ke
371
atas itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuhnya melayang ke
bawah.
Ketika Pek-liong mengejar ke bawah, bayangan itu sudah lenyap.
Melihat keadaan sekelilingnya, Pek-liong merasa yakin bahwa
orang itu tentu menyelinap masuk ke dalam bangunan itu, tempat
tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar!
Tentu saja Pek-liong menjadi heran dan curiga. Tentu ada
hubungan antara si bayangan tadi, entah dia itu Si Bayangan Iblis
atau bukan, dengan Pangeran Kim Ngo Him. Kalau tidak begitu,
bagaimana mungkin orang tadi dapat bersembunyi di rumah itu.
Diapun menyelinap masuk pekarangan lalu memasuki taman di
sebelah rumah, dengan cepat namun hati-hati dia mendekati
jendela rumah yang berada di samping.
“Tolong......! Ada penjahat..........!!”
Tadinya Pek-liong terkejut dan mengira bahwa dia yang diteriaki,
maka dia sudah siap siaga kalau-kalau ada yang akan
menyerang atau mengeroyoknya. Akan tetapi tidak ada bayangan
orang, dan di dalam rumah itu terjadi keributan. Diapun meloncat
ke atas genteng dan melakukan pengintaian.
Di ruangan belakang dia melihat seorang nenek yang usianya
sudah enampuluh lima tahun lebih, kurus kering, sedang berdiri
gemetaran dan seorang pemuda tampan yang berpakaian
bangsawan bersama enam orang pengawal berdiri di depan
nenek itu. Pangeran itu agaknya marah kepada si nenek yang
nampak ketakutan.
372
“Lo-ma, engkau membikin kaget saja! Mana ada penjahat?
Kenapa engkau berteriak-teriak membangunkan seisi rumah
dengan teriakan penjahat?” tanya bangsawan muda yang bukan
lain adalah Pangeran Kim Ngo Him seperti yang sudah diduga
oleh Pek-liong itu.
Nenek kurus kering itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
pangeran. “Aduh, ampunkan hamba yang sudah tua ini,
pangeran. Bagaimana hamba berani mengacau dan membikin
ribut? Hamba berani bersumpah bahwa baru saja memang ada
penjahat masukke sini. Hamba terkejut melihat bayangan hitam
itu meloncat ke sini. Agaknya diapun tidak menduga bahwa
hamba belum tidur dan berada di sini, maka dia meloncat lagi dan
lenyap. Hamba lalu menjerit saking kaget dan takut. Ampunkan
hamba......”
“Sudahlah, Kui Lo-ma, jangan ribut lagi. Hayo kalian cepat
melakukan perondaan dan pemeriksaan!” kata pangeran itu
kepada para pengawalnya.
Mendengar ini, Pek-liong sudah mendahului meloncat pergi
meninggalkan tempat itu. Dia kini merasa yakin bahwa memang
ada penjahat yang lihai sekali berkeliaran di istana, dan agaknya
penjahat itu tidak mempunyai hubungan apapun dengan Kim Ngo
Him.
Namun hal ini bukan berarti bahwa nama Kim Ngo Him sudah
semestinya dihapus dari daftar orang-orang yang dia dicurigai.
Tidak, dia akan tetap mengamati pangeran mantu kaisar ini. Dia
lalu melakukan penyelidikan ke bagian lain, kini hendak
373
menyelidiki keadaan tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Karena
Cian Ciang-kun sudah memperingatkan bahwa di antara para
pangeran, Pangeran Souw Cun ini yang paling berbahaya, dan
dia memiliki banyak jagoan lihai, maka Pek-liong bersikap hati-
hati sekali.
Sementara itu, sejak sore tadi, Liong-li sudah sadar dari keadaan
mabok madu asmara sehari penuh ia dan Pangeran Souw Han
berenang dalam lautan madu asmara yang penuh kemesraan.
Biarpun ia sudah banyak bergaul dengan pria, harus diakuinya
bahwa baru pertama kali itu selama hidupnya ia merasakan
kemesraan yang penuh kelembutan sehingga amat mengharukan
hati. Mendekap pangeran itu dalam pelukan rasanya seperti
mendekap seorang bayi yang mulus dan murni.
Hal ini tidak mengherankan karena Pangeran Souw Han juga
selamanya baru sekali itu berdekatan penuh mesra dengan
seorang wanita. Dia mencurahkan semua perasaan cintanya
kepada Liong-li sehingga keduanya terbuai dan lupa diri, tak
pernah meninggalkan pembaringan, bahkan lupa makan!
Baru setelah keadaan cuaca di kamar itu gelap karena matahari
tidak lagi meneroboskan cahayanya ke situ, dan Pangeran Souw
Han menyalakan lampu penerangan, mereka seakan terseret
kembali ke dunia sadar. Keduanya baru mendengar keruyuk
perut mereka yang lapar.
“Aih, laparnya perutku!” Liong-li tertawa dan Pangeran Souw Han
merangkul perut yang kempes itu.
“Kasihan perutmu, enci Cu,” katanya sambil membelai.
374
Liong-li menggelinjang dan melompat turun dari pembaringan,
menyambar pakaiannya.
“Cukup, Pangeran. Jangan kaujamah lagi aku, tak kuat lagi
aku......”
Pangeran Souw Han juga tertawa. “Sehari kita tidak makan, enci
Cu. Mari kita makan!”
Setelah mereka berpakaian rapi, baru Pangeran Souw Han
membuka daun pintu dan bertepuk tangan memanggil para
dayangnya. Lima orang dayang itu datang menghadap dan
mereka saling pandang dengan sinar mata penuh pengertian
ketika mereka melihat betapa kusutnya kedua orang majikan
mereka itu, dan betapa wajah pangeran yang tampan itu agak
pucat, sedangkan wajah Liong-li kemerahan.
“Kami lapar, hidangkan makanan yang paling lezat!” perintah
Pangeran Souw Han.
Memang para dayang itu sudah sejak tadi mempersiapkan
makanan. Mereka menanti dengan hati gembira bercampur
tegang, karena pangeran dengan selirnya itu tidak pernah keluar
dari dalam kamar selama sehari penuh!
“Bagaimana dengan punggungmu, sayang?” tanya Pangeran
Souw Han sambil memegang kedua tangan Liong-li.
Liong-li tersenyum. “Sudah sembuh, pangeran. Ternyata belaian
tanganmu yang penuh kasih lebih manjur dari pada obatku.”
375
Kembali keduanya tersenyum dan Pangeran Souw Han
merangkul dan mencium wanita yang merupakan wanita pertama
dalam hidupnya itu. Akan tetapi, ciumannya tidak dapat
dipertahankan lama karena terdengar langkah kaki para dayang
yang memasuki kamar membawa hidangan yang mereka atur di
atas meja.
Tak lama kemudian, Liong-li dan Pangeran Souw Han sudah
makan minum dengan gembiranya. Sehari berenang di lautan
madu asmara membuat mereka merasa letih, lemas dan lapar
sekali. Lauk pauk yang paling lezat adalah hati senang, badan
sehat dan perut lapar! Apa lagi hidangan yang dibawa para
dayang itu merupakan hidangan yang serba lezat. Tidak aneh
kalau kedua orang itu makan dengan gembulnya.
Setelah malam tiba, Liong-li berkemas, berganti pakaian hitam,
siap untuk melaksanakan tugasnya. Melihat wanita yang
dikasihinya itu, yang kini seolah sudah melekat di hatinya dan di
dagingnya, Pangeran Souw Han merangkulnya.
“Tidak, enci Cu! Tidak! Engkau tidak boleh pergi. Engkau baru
saja menderita cambukan, dan sekarang hendak menghadapi
bahaya? Engkau sudah dicurigai, tentu mereka itu lebih waspada
dan selalu akan mengintai semua gerak gerikmu!”
Liong-li merasa betapa lembutnya rangkulan itu, betapa penuh
perasaan kasih sayang, betapa mesranya dan hatinya terharu.
Akan tetapi ia bukan seorang wanita lemah. Ia mengusir
keharuannya dengan senyum, senyum bahagia. Ia merasa
berbahagia sekali bahwa dirinya, seorang wanita kang-ouw yang
376
bahkan pernah dipaksa menjadi pelacur, seorang wanita dengan
tubuh yang sudah ternoda, kini bisa mendapatkan kasih sayang
yang demikian besarnya dari Pangeran Souw Han yang budiman
dan bijaksana ini.
Kenyataan itu saja adalah merupakan karunia yang amat besar
baginya, yang membuatnya bangga menjadi manusia! Akan
tetapi ia tidak mau membiarkan .dirinya tenggelam ke dalam
kebahagiaan dan kenikmatan hidup itu. Ia tidak ingin menyeret
pangeran yang demikian berbudi ke dalam jalan hidupnya yang
penuh kekerasan, penuh bahaya dan petualangan.
Dengan lembut iapun melepaskan diri dari rangkulan pangeran itu
dan melangkah mundur. Ia membereskan ikat pinggangnya,
menyelipkan pedang Hek-liong-kiam di balik jubahnya,
memperkuat ikatan rambutnya dan tersenyum memandang
kepada pangeran itu.
“Pangeran, ingatlah akan semua peringatan saya pagi tadi. Kita
memang telah minum anggur asmara bersama dan harus kuakui
bahwa saya sendiri hampir mabok, pangeran. Belum pernah saya
merasakan kebahagiaan yang demikian besar seperti tadi.”
“Itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh berpisah lagi, enci Cu.
Engkau harus menjadi isteriku, hidup bersamaku selamanya......”
kata pangeran itu penuh semangat.
Senyum Liong-li melebar, akan tetapi ia menggeleng kepala.
“Ingat ucapan saya tadi, Pangeran. Saya, tidak mungkin dapat
menjadi isterimu, bahkan selirmu pun tidak, walaupun saya akan
377
berbohong kalau mengatakan bahwa hati saya tidak
menginginkan hal itu.
“Hidup selamanya di sampingmu, betapa akan indahnya! Akan
tetapi tidak mungkin. Saya seorang tokoh kang-ouw, seorang
petualang yang terbiasa hidup bebas, hidup tanpa kekangan,
terbiasa menghadapi bahaya-bahaya maut, bermusuhan dengan
tokoh-tokoh sesat yang lihai dan berbahaya.
“Nah, saya harap paduka dapat menginsafi hal ini. Nanti apa bila
pengaruh anggur asmara tadi sudah agak mereda, tentu paduka
akan dapat melihat kebenaran pendapat saya, Betapapun juga,
Bumi dan Langit menjadi saksi bahwa selama hidup saya, saya
tidak akan dapat melupakan keindahan yang kita nikmati sehari
tadi, Pangeran. Nah, saya pergi, pangeran.”
Sekali berkelebat, Liong-li sudah lenyap dari depan pangeran itu
yang seketika merasa lemas dan dia pun menjatuhkan diri di atas
pembaringan yang masih kusut itu. Dipeluknya bantal yang masih
mencium bau badan yang khas dari Liong-li dan sejenak
pangeran itu seperti tertidur. Akan tetapi, akhirnya dia menarik
napas panjang dan bangkit duduk, termenung.
Semua ucapan wanita itu terngiang di telinganya dan beberapa
kali diapun mengangguk-angguk. Dia dapat menyelami
perasaaan wanita kang-ouw itu. Bagaikan seekor burung hutan,
yang akan mati lemas dan penuh duka kalau dikurung, walaupun
dalam kurungan emas, demikian pula Liong-li akan merana kalau
harus hidup sebagai seorang puteri di istana. Bunga mawar rimba
378
yang liar, mungkin bahkan akan menjadi kurus kalau dipindahkan
ke dalam taman yang indah terpelihara baik-baik.
Dia mengeluh. Dia merasa ragu apakah dia akan pernah dapat
jatuh cinta kepada wanita lain. Agaknya tidak mungkin di dunia ini
dia akan dapat menemukan Liong-li kedua yang bersedia menjadi
isterinya atau selirnya. Dan sejak saat itu, Pangeran Souw Han
merasa kehilangan sekali, bahkan merasa betapa hidup ini akan
menjadi sunyi dan tak berarti tanpa adanya Liong-li di
sampingnya.
Sementara itu, Liong-li keluar dari rumah Pangeran Souw Han
dengan hati-hati sekali. Sebelum ia memperlihatkan diri di tempat
terbuka di luar rumah, lebih dulu ia mengintai dan setelah merasa
yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya, baru ia
melompat keluar melalui taman bunga di belakang rumah. Ia
menyusup-nyusup di antara pohon dalam taman itu, kemudian
melompati pagar tembok di belakang dan baru ia berani
melompat ke atas genteng bangunan di luar kompleks
perumahan Pangeran Souw Han.
Sisa-sisa kemesraan yang masih melekat di perasaannya
ditanggalkannya setelah ia berada di udara terbuka, setelah
tubuhnya diterpa hawa dingin malam itu dan iapun sudah mampu
sama sekali melupakan bayangan Pangeran Souw Han, dan
sepenuhnya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk pelaksanaan
tugasnya. Malam ini ia harus berhasil meringkus Kwi-eng-cu, Si
Bayangan Iblis!
379
Malam ini ia akan menyelidiki tempat tinggal Pangeran Kim Ngo
Him, mantu kaisar itu. Ada pula bayangan menghilang di rumah
ini ketika ia melakukan penyelidikan yang lalu.
Untuk sementara ini agaknya Pangeran Souw Cun tidak akan
berani melakukan tindakan, setelah apa yang terjadi pagi tadi.
Kemarahan Pangeran Souw Han kepadanya, ancaman Pangeran
Souw Han untuk melapor kepada Kaisar dan Permaisuri, tentu
akan membuat Pangeran Souw Cun tidak berani banyak
membuat ulah untuk sementara ini. Maka, yang paling tepat untuk
diselidiki adalah Pangeran Kim Ngo Him.
Ketika ia tiba di dekat tembok pekarangan rumah tinggal
Pangeran Kim Ngo Him, ia melihat sesosok bayangan hitam
muncul dari dalam. Dengan gerakan lincah, bayangan itu
meloncat dari dalam ke atas wuwungan rumah itu, berdiri tegak
memandang ke sekeliling.
Bayangan itu mengenakan pakaian serba hitam dan kepalanya
dibungkus kain hitam pula. Ada dua ujung kain itu mencuat ke
atas sehingga nampaknya seperti tanduk. Bayangan itu memiliki
bentuk tubuh yang kurus agak jangkung.
Dengan jantung berdebar tegang Liong-li menahan diri untuk
tidak segera muncul turun tangan. Ia tidak ingin gagal kali ini,
tidak akan tergesa-gesa. Kalau ia muncul menyerang dan
bayangan itu lari lagi ke dalam gedung tempat tinggal Pangeran
Kim Ngo Him, tentu ia tidak akan melakukan pengejaran. Terlalu
berbahaya, karena selain sukar mencarinya di di dalam gedung
yang tidak dikenalnya, juga mungkin malah rahasianya akan
380
terbuka. Ia harus menanti saat yang baik dan akan membayangi
dulu.
Bayangan itu memandang ke sekeliling beberapa saat lamanya,
kemudian tubuhnya melayang turun dari atas genteng dengan
cepat bagaikan seekor burung saja. Liong-li kagum dan iapun
cepat melayang turun dari samping rumah yang berlawanan,
kemudian ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-
pohon dan bangunan ketika melihat bayangan itu keluar dari
pagar gedung Pangeran Kim Ngo Him lalu lari menuju ke bagian
belakang kompleks istana.
Bayangan itu terus berlari cepat menuju ke bagian paling
belakang dari kompleks istana di mana terdapat sebuah bukit
kecil. Di atas bukit ini terdapat sebuah hutan buatan di mana
dipelihara binatang-binatang hutan yang jinak seperti kijang,
kelinci dan sebagainya. Juga di puncaknya terdapat kuil istana.
Keluarga kaisar suka berpesiar di dalam hutan yang indah dan
tidak berbahaya ini dan kuil itu merupakan tempat sembahyang
dan pemujaan dari para anggauta keluarga kaisar.
Ketika tiba di tepi hutan, Liong-li yang tidak ingin kehilangan
orang yang dikejarnya itu, mempercepat larinya agar jaraknya
tidak terlampau jauh. Sejak tadi ia sudah kagum karena orang itu
harus diakuinya memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Ia harus
mengerahkan tenaganya untuk dapat membayangi terus orang itu
dan hal ini saja sudah memberi peringatan kepadanya bahwa ia
menghadapi lawan yang lihai.
381
Tiba-tiba bayangan itu membalikkan tubuhnya dan kedua
tangannya bergerak. Terdengar bunyi berdesingan dan Liong-li
cepat mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri karena
ada paku-paku yang menyambar-nyambar ke arahnya secara
berturut-turut.
Sungguh berbahaya sekali penyerangan itu. Paku pertama
menyambar dan ketika ia mengelak ke kiri, paku kedua
menyambar ke tempat ia mengelak. Ketika ia mengelak dari
sambaran paku kedua, paku ketiga mengejarnya! Sampai
berturut-turut ada tujuh buah paku menyambar dan tentu saja,
penyerangan ini amat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki
kelincahan gerakan seperti Liong-li.
Orang itu telah melihatnya. Inilah saatnya untuk turun tangan
menangkapnya, pikir Liong-li, maka elakan yang terakhir dari
paku ketujuh dilakukan dengan melayang ke depan dan langsung
tubuhnya meluncur bagaikan seekor naga melayang di angkasa
dan menubruk ke arah penyerangnya!
“Ehhh......!” Orang itu mengeluarkan seruan kaget dan agaknya
bayangan itu tidak mengira bahwa orang yang membayanginya
demikian lihainya, bukan saja mampu menghindarkan diri dari
tujuh batang pakunya, akan tetapi bahkan berbalik menyerang
sedahsyat itu!
Akan tetapi, tepat seperti yang diduga oleh Liong-li, bayangan itu
lihai sekali. Biarpun penyerangan Liong-li yang dilakukan dengan
tubuh melayang seperti itu amat berbahaya, namun orang itu
dengan lincahnya telah dapat menyingkir dengan loncatan ke
382
kanan dan begitu tubuh Liong-li turun ke atas tanah, dia malah
menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak
mencengkeram, yang kiri mencengkeram kepala, yang kanan
mencengkeram ke arah dada!
Liong-li menggerakkan kedua tangannya menangkis dari samping
dengan kedua lengan diputar melingkar ke atas dan bawah
sambil mengerahkan tenaga karena ia hendak mengukur
kekuatan lawan. Jelas bahwa lawan memiliki gin-kang yang hebat
dan hanya sedikit di bawah tingkatnya sendiri. Kini ia ingin
mengukur tenaga lawan.
“Dukkkk!” Dua pasang lengan ini bertemu dan akibatnya sungguh
mengejutkan kedua pihak.
Liong-li terdorong mundur dua langkah, akan tetapi orang itupun
terjengkang dan terhuyung. Kiranya dalam hal tenaga sinkang
merekapun seimbang dan hal ini tentu saja membuat Liong-li
amat berhati-hati. Tentu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) itu,
melihat akan kelihaiannya. Iapun mendesak dengan serangan-
serangan kilat yang nampaknya lemah lembut namun amat
berbahaya karena ia telah memainkan ilmu silat Bi-jin-kun (Silat
Wanita Cantik) yang nampaknya seperti orang menari-nari indah
saja namun setiap tamparan tangan atau tendangan kaki
merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Namun lawan itu lihai dan selain dapat menghindarkan semua
serangan Liong-li, juga mampu membalas dengan serangan
balasan yang takkalah ampuhnya, bahkan ketika tangannya
383
menyambar, Liong-li dapat mencium bau amis, tanda bahwa
tangan orang itu mengandung hawa beracun!
“Plakk! Plakk!” Kembali tangan mereka bertemu dan orang itu
mengeluarkan seruan kaget dan melangkah mundur.
Liong-li tersenyum di balik kedoknya. Tentu orang itu terkejut
karena merasa betapa telapak tangannya menjadi panas bertemu
dengan tangannya. Ia tadi telah mengerahkan tenaga Hiat-tok-
ciang (Tangan Darah Beracun)! Akan tetapi agaknya orang itu
mampu menolak pengaruh hawa beracun dari tangannya.
Buktinya orang itu tidak mundur, bahwa kini mencabut sebatang
pedang yang berkilauan dan mengamuk, menyerangnya bertubi-
tubi.
Liong-li belum mau mencabut Hek-liong-kiam. Ia tahu bahwa
sekali mencabutnya, tidak mungkin lagi ia menyembunyikan
keadaan dirinya. Wajahnya dapat ditutupi kedok, akan tetapi Hek-
liong-kiam pasti akan dikenal orang dan di dunia ini tidak ada dua
Hek-liong-kiam. Satu-satunya yang berada di tangan Hek-liong-li!
Maka, iapun hanya melindungi diri dengan ilmu Liu-seng-pouw
(langkah Ajaib Bintang Cemara). Dengan ilmu ini, sambaran
pedang lawan selalu dapat ia elakkan dengan geseran-geseran
kaki yang melangkah secara aneh.
Sudah ada tigapuluh jurus lebih mereka berkelahi dan tiba-tiba
bayangan yang lihai itu meloncat ke dalam hutan setelah
terdengar suitan lirih dari dalam hutan. Liong-li tidak berani
mengejar. Bukan saja karena hutan itu gelap dan mengejar orang
berbahaya dan lihai di dalam hutan yang gelap amatlah
384
berbahaya. Ia dapat dibokong dan dijebak, juga suara suitan tadi
membuktikan bahwa orang yang lihai itu masih mempunyai
kawan di dalam hutan!
Tiba-tiba wajah Liong-li berubah pucat. Orang tadi jangan-jangan
hanya memancing agar ia pergi lama meninggalkan Pangeran
Souw Han! Teringat ia akan peristiwa di pagi hari tadi. Pangeran
Souw Han telah mengeluarkan ancaman kepada Pangeran Souw
Cun, berarti bahwa pangeran yang disayangnya itu terancam
bahaya.
Ia tidak akan ingat tentang hal ini kalau saja ia tidak melihat sikap
bayangan yang mencurigakan tadi. Bayangan itu tidak
melanjutkan perkelahian dengannya, pada hal bayangan itu
belum kalah, bahkan di dalam hutan masih ada kawannya. Dan
suitan tadi, bukankah itu merupakan isyarat agar bayangan yang
melawannya itu pergi meninggalkannya? Agaknya ia sengaja
dipancing dengan akal “memancing harimau meninggalkan
sarang”, tentu untuk mengambil atau mengganggu anak harimau.
Pangeran Souw Han! Teringat ini, Liong-li meloncat,
meninggalkan tepi hutan itu dan kembali ke gedung tempat
tinggal Pangeran Souw Han. Jantungnya berdebar penuh
ketegangan ketika ia tiba di atas genteng rumah Pangeran Souw
Han. Dengan ringan tubuhnya lalu meluncur turun dan ia
memasuki rumah melalui pintu samping.
Ketika ia tiba di depan pintu kamar sang pangeran, hatinya lega
karena nampaknya tidak ada terjadi sesuatu dan sunyi saja di
situ. Tentu pangeran telah pulas, juga lima orang pelayan di
385
belakang. Kasihan sang pangeran, pikirnya sambil tersenyum.
Terlalu lelah dia sehari tadi sehingga kini tentu sedang pulas dan
bermimpi indah tentang pengalamannya siang tadi.
Ia tidak tega untuk mengetuk pintu menggugahnya, maka ia lalu
mengambil jalan memutar ke samping, dan mencoba untuk
membuka jendela dengan dorongan. Akan tetapi, daun jendela itu
terbuka dengan mudah. Tidak dikunci! Betapa sembrononya sang
pangeran, dan juga para pelayan dayang itu. Jendela dibiarkan
tidak dikunci dari dalam! Ia membuka jendela dan melompat ke
dalam.
Gelap di dalam. Ia lalu menyalakan lilin dan ketika memandang
ke arah pembaringan, tubuh pangeran nampak tidur miring
menghadap ke dinding. Kelambunya tertutup dan sepasang
sepatu pangeran itu berjajar rapi di bawah pembaringan.
Melihat tubuh pangeran itu rebah miring, bergolak pula darah di
tubuh Liong-li. Tidak, ia tidak akan menuruti nafsu berahinya.
Akan tetapi ia harus menjenguk sang pangeran, melihat bahwa
dia selamat dan setelah yakin, baru ia akan pergi lagi.
Dihampirinya pembaringan. Disingkapnya kelambu dan...... ia
terbelalak, mukanya berubah pucat sekali.
“Pangeran.......!” Ia menjerit lirih sambil menubruk. Akan tetapi, ia
terkulai lemas dan di lain saat ia telah merebahkan mukanya di
dada yang sudah tidak lagi berdetak atau bernapas itu. Pangeran
Souw Han telah tewas!
“Ya Tuhan.......! Pangeran Souw Han......!”
386
Liong-li menggigit bibirnya sendiri, menahan sekuatnya untuk
tidak menjerit dan menangis. Beberapa menit kemudian, setelah
ia merebahkan kepalanya di dada yang tak bernapas lagi itu, ia
bangkit, mengusap kedua mata yang sempat basah, lalu
memeriksa. Sebentar saja ia menemukan sebab kematian pria
itu. Pelipis kirinya retak oleh pukulan yang amat kuat dan dia
tentu tewas seketika tanpa mampu berteriak lagi. Dia telah
dibunuh secara kejam!
Ia bangkit berdiri, menatap wajah yang tampan itu, wajah yang
kini nampak lebih tenang dari pada biasanya, dan bibir itupun
mengembangkan senyum mati. “Pangeran, maafkan saya......
engkau mati karena terlibat penyelidikan saya. Tenangkan dirimu,
pangeran. Aku bersumpah untuk membalas kematianmu, akan
kubunuh orang yang telah menewaskanmu!” Setelah berkata
demikian, ia menyelimuti tubuh pangeran itu sampai ke lehernya,
kemudian ia mulai menyelidik.
Kamar itu jelas dimasuki orang dan nampak barang berserakan.
Terutama sekali lemari pakaian. Pakaian yang biasa ia pakai
terutama berserakan di luar lemari. Kemudian ia lari ke bagian
belakang dan makin gemaslah ia ketika melihat betapa lima
orang dayang pelayan itupun telah mati semua! Juga mati karena
pukulan pada kepala mereka!
“Jahanam Pangeran Souw Cun!” Liong-li mengepal tinju. Ia
merasa pasti bahwa tentu pangeran jahanam itu yang telah
membunuh Pangeran Souw Han dan enam orang dayang
pelayannya. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Souw Cun itu?
387
Pagi tadi mereka bertengkar. Pangeran Souw Han telah
mengeluarkan kata-kata ancaman. Dan untuk menjaga agar tidak
ada saksi bahwa dia pernah menculik selir Pangeran Souw Han,
maka lima orang dayang pelayan itupun dibunuh! Kalau ia berada
di kamar itu, tentu akan dibunuh pula. Dan kini, melihat bahwa ia
tidak berada di kamar, tentu Pangeran Souw Cun semakin curiga
dan tahu bahwa ia adalah seorang penyelundup dan penyelidik
yang menyamar selir Pangeran Souw Han.
“Keparat engkau Pangeran Souw Cun! Akan kubasmi engkau dan
semua antek-antekmu!” katanya dengan suara mendesis.
Biasanya Liong-li merupakan seorang yang dapat menguasai
perasaannya dan tidak mudah terseret oleh nafsu amarah. Akan
tetapi sekali ini, ia merasa demikian sedih dan marah sehingga ia
seperti lupa diri. Kedua matanya yang mencorong itu
mengeluarkan sinar berapi-api dan mata itu masih selalu basah
air mata yang ditahan-tahannya sehingga tidak sempat mengalir.
Cuping hidungnya kembang kempis dan bibirnya bergerak-gerak,
dagunya mengeras. Ia saat itu berubah menjadi Dewi Maut
sendiri!
Tengah malam telah lama lewat ketika bayangan Liong-li yang
dibakar kemarahan itu berkelebat di atas wuwungan rumah
pangeran Souw Cun. Seorang ahli silat yang mempunyai banyak
musuh, yang hidupnya selalu dibayangi bahaya, haruslah selalu
waspada. Dan perasaan duka dan marah mengurangi
kewaspadaan itu.
388
Demikianlah pula dengan Liong-li. Karena hatinya dibakar
dendam kemarahan, ia lupa akan keadaan dirinya, lupa bahwa ia
sedang dalam penyamaran, sedang melakukan tugas
penyelidikan. Yang memenuhi ingatannya hanyalah bahwa
pangeran yang disayangnya telah dibunuh secara kejam dan ia
harus membalas dendam terhadap pembunuhnya!
Hal ini mengurangi kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu sama
sekali bahwa ia seperti masuk dalam perangkap yang dipasang
orang-orang yang amat cerdik dan lihai. Tidak ada lagi
kecurigaan penuh kewaspadaan yang selalu menyertai dirinya,
dan ia menjadi semberono. Begitu saja ia melompat ke atas
wuwungan rumah, kemudian dengan penuh keberanian karena
marah ia melayang turun ke pekarangan samping gedung tempat
tinggal Pangeran Souw Cun.
Begitu kedua kakinya turun menginjak tanah, tiba-tiba terdengar
bentakan-bentakan nyaring dari sekelilingnya dan bermunculan
banyak sekali orang, ada belasan orang jumlahnya.
“Tangkap Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”
“Dia telah membunuh Pangeran Souw Han!”
“Tangkap penjahat!”
“Bunuh Si Bayangan Iblis!”
Liong-li yang tadinya marah sekali, kini terkejut bukan main
mendengar teriakan-terikan ini. Ia disangka Si Bayangan Iblis!
Bukan itu saja, ia malah dituduh pembunuh Pangeran Souw Han!
389
Ini merupakan perangkap yang berbahaya sekali! Jelas bahwa
mereka sudah tahu akan kematian Pangeran Souw Han dan ini
membuktikan bahwa pembunuhnya adalah Pangeran Souw Cun
dan antek-anteknya.
Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir tentang ini karena
pada saat itu dirinya sudah dikepung. Ketika ia hendak meloncat
kembali naik ke atas wuwungan, ia melihat di atas genteng telah
berdiri beberapa bayangan orang pula. Ia telah terkepung di
sekelilingnya, bahkan di atasnya! Dan pada saat itu, beberapa
orang sudah mulai menyerangnya dengan senjata tajam dan
melihat gerakan mereka, ia tahu bahwa mereka adalah orang-
orang yang lihai.
Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah pengawal-
pengawal dan jagoan- jagoan peliharaan Pangeran Souw Cun, Di
antara mereka terdapat pula dua orang yang pagi tadi
menangkapnya, bahkan kemudian mencambuknya. Masih
nampak jalur-jalur merah di muka mereka ketika Pangeran Souw
Han membalas dengan mencambuki mereka itu. Ingatan ini saja
mendatangkan kembali kenangan manis betapa Pangeran Souw
Han membelanya dan menyayangnya. Timbullah kemarahannya
lagi.
“Jahanam-jahanam busuk!” bentaknya dan sekali tangannya
bergerak, nampak sinar hitam berkelebat, disusul sinar itu
bergulung-gulung dan dua orang yang pagi tadi mencambukinya
itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan mereka pun jatuh
bergulingan, sengaja menggulingkan tubuh menjauh sambil
mengaduh-aduh karena lengan kanan yang memegang pedang
390
telah terbabat sinar hitam dan putus! Tentu saja hal ini
mengejutkan semua orang yang mengeroyoknya.
“Aha! Kiranya Hek-liong-li......!”
Liong-li membalik dan melihat siapa yang berseru itu. Sesosok
bayangan tinggi kurus agak bongkok melayang turun dari atas
genteng dan ketika bayangan itu tiba di depannya, ia
mengenalnya sebagai Bouw Sian-seng, guru sastra yang nampak
lemah dan tolol itu, yang pagi tadi juga telah menyiksanya!
Karena agaknya para pengawal terkejut dan gentar mendengar
disebutnya Hek-liong-li, apa lagi melihat betapa dua orang kawan
mereka kehilangan lengan kanan dalam segebrakan saja begitu
Hek-liong-li menggerakkan pedangnya, kini mereka menahan
serangan dan hanya memandang dengan penuh perhatian
kepada wanita yang mengenakan pakaian serba hitam,
bertopeng saputangan sutera hitam dan memegang sebatang
pedang hitam yang memiliki sinar mengiriskan itu.
“Dan kiranya engkau yang menyamar sebagai guru tolol yang
menjadi pemimpin para penjahat di istana!” Liong-li berseru.
“Ha-ha! Yang menjadi Si Bayangan Iblis ternyata Hek-liong-li.
Kepung! Tangkap atau bunuh!” Bouw Sian-seng dengan
suaranya yang parau berteriak dan dia sendiri sudah melolos
sebatang rantai baja yang tadinya dijadikan sabuk, lalu memutar
rantai baja itu, menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat
sekali.
391
Liong-li sudah menjadi marah bukan main. Ia datang untuk
membalas kematian Pangeran Souw Han kepada Pangeran
Souw Cun dan kaki tangannya, akan tetapi kini ia malah dituduh
sebagai pembunuh Pangeran Souw Han, dan juga dituduh
sebagai Kwi-eng-cu!
“Keparat!” bentak Liong-li dan iapun menggerakkan pedang Hek-
liong-kiam untuk menangkis, mengerahkan tenaga agar rantai
baja terbabat putus.
“Tranggg......!!” Bunga api berpijar dan Liong-li terkejut sekali.
Rantai baja itu tidak putus, membuktikan bahwa rantai itu terbuat
dari baja pilihan yang dapat menahan Hek-liong-kiam, juga ia
merasa betapa lengan kanannya tergetar.
Kiranya si kurus agak bongkok yang kelihatan sebagai seorang
sasterawan lemah ini memiliki sin-kang yang hebat,
mengingatkan ia akan bayangan hitam yang pernah dilawannya
dan yang menyerangnya dengan paku! Jelas bahwa bayangan
hitam yang tadi bertubuh kurus pendek, tidak jangkung seperti ini.
Akan tetapi, Bouw Sian-seng ini ternyata lihai sekali dan kini
rantai baja itu sudah menyambar-nyambar dengan ganas dan
dahsyatnya. Iapun memutar pedangnya menangkis dan balas
menyerang.
Anak buah Bouw Sian-seng yang datang mengeroyok rata-rata
memiliki kepandaian yang tinggi dan karena tingkat kepandaian
Bouw Sian-seng seimbang dengannya, maka dikeroyok belasan
orang lihai itu, Liong-li mulai terdesak. Akan tetapi begitu ia
menggerakkan pedangnya dan memainkan Sin-liong Kiam-sui
392
(Ilmu Pedang Naga Sakti), belasan orang pengeroyok itu terkejut
karena kembali ada dua orang pengeroyok yang terluka oleh
sambaran sinar pedang.
Ilmu pedang ini memang hebat sekali, apa lagi kalau dimainkan
bersama Pek-liong karena ilmu ini adalah hasil rekaan Liong-li
dan Pek-liong yang mengambil inti sari dari ilmu pedang masing-
masing, mengambil yang kuat membuang atau menutupi yang
lemah dan menggabungkannya menjadi ilmu pedang itu.
“Kepung ketat, jangan sampai lolos!” Bouw Sian-seng berseru
dengan marah sekali dan diapun mempercepat putaran rantai
bajanya, menyerang dengan marah. Para pembantunya
mendesak pula dan kepungan mereka semakin rapat sehingga
kembali Liong-li sibuk sekali karena datangnya serangan seperti
hujan membuat ia hampir tidak ada kesempatan sama sekali
untuk membalas.
“Trang-trang-tranggg.......!” Pedang pusaka Naga Hitam
menangkisi banyak senjata para pengeroyok dan dua batang
golok patah-patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akan
tetapi karena terpaksa menangkis banyak senjata, Liong-li tidak
sempat lagi mengelak dengan baik ketika rantai yang bergulung-
gulung itu menghantam dengan totokan maut ke arah dadanya. Ia
hanya mampu merendahkan tubuh dan miring sedikit, namun ini
tidak cukup dan ujung rantai masih mengenai pangkal lengan
kirinya bagian luar sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka
mengucurkan darah.
393
Liong-li terkejut dan mengelebatkan pedangnya ke arah leher
Bouw Sian-seng yang ternyata lihai sekali itu. Bouw Sian-seng
terpaksa harus mundur karena sambaran pedang itu dapat
memenggal lehernya dan dari belakang sebuah tendangan
menyambar keras dan biarpun sudah dielakkan tetap saja
mengenai paha kanan Liong-li bagian belakang.
Pendekar wanita itu terhuyung dan untung ia masih sempat
memutar pedangnya menghalau rantai yang kembali sudah
menyambar dahsyat. Akan tetapi, luka di pangkal lengannya
terasa nyeri dan juga bekas tendangan tadi cukup keras
membuat ia tidak leluasa lagi memainkan Liu-seng-pouw
sehingga gerakannya tidaklah selincah tadi. Ia dalam bahaya!
Melihat ini, Bouw Sian-seng tertawa, “Ha-ha-ha, Hek-liong-li,
sekali ini engkau tidak akan dapat lolos dari tanganku! Engkau
telah berani menjadi Kwi-eng-cu yang mengacaukan istana,
bahkan berani membunuh Pangeran Souw Han!”
Teriakan ini cukup lantang dan terdengarlah para pengawal itu
berteriak-teriak.
“Basmi Kwi-eng-cu!”
“Tangkap pembunuh Pangeran Souw Han!”
“Bunuh saja siluman ini!”
Gawat keadaannya, pikir Liong-li. Ia berada di situ untuk
menyelidiki Kwi-eng-cu, dan iapun hendak membalas dendam
atas kematian Pangeran Souw Han. Akan tetapi sebaliknya ia
394
malah dituduh membunuh Pangeran Souw Han dan disangka
Kwi-eng-cu. Sikap Bouw Sian-seng dan para anak buahnya itu,
pembantu-pembantu Pangeran Souw Cun, sungguh membuat ia
menjadi bingung. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka
tidak membunuh Pangeran Souw Han, juga Bouw Sian-seng
bukan Kwi-eng-cu. Ataukah semua itu hanya sandiwara belaka!
Pikirannya tidak dapat bekerja banyak, karena seluruh
perhatiannya harus ia curahkan kepada gerakan tubuhnya untuk
menyelamatkan diri dari pengepungan yang demikian ketatnya.
Tiba-tiba nampak sesosok bayangan hitam lain menyambar turun
dari atas genteng dan begitu bayangan ini meluncur turun
ketengah-tengah medan perkelahian, bagaikan seekor naga
menyambar turun dari angkasa, dua orang pengeroyok berseru
kaget dan merekapun roboh terpelanting ke kanan kiri oleh
tamparan tangan orang itu. Kemudian, orang itu sudah mencabut
sebatang pedang, memutarnya dan nampaklah gulungan sinar
putih membantu sinar hitam pedang Hek-liong-kiam. Melihat ini,
Bouw Sian-seng terkejut bukan main.
“Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)......!”
Mendengar ucapan ini, semua pengeroyok kembali terkejut.
Tentu saja mereka pernah mendengar nama besar Pek-liong-eng
yang merupakan pasangan dari Hek-liong-li!
Akan tetapi hanya sebentar saja Bouw Sian-seng terkejut. Kini
terdengar lagi suaranya, dan suara itu terdengar gembira
bercampur tegang, seperti pemburu yang melihat masuknya dua
ekor harimau ke dalam perangkap.
395
“Kurung mereka, jangan sampai lolos! Cepat pukul tanda bahaya
umum. Cepat......!” Dan Bouw Sian-seng sendiri menyerang Pek-
liong dengan rantai bajanya. Gerakannya memang dahsyat sekali
dan melihat ini, Pek-liong menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan Bouw
Sian-seng meloncat ke belakang, kaget karena lengannya yang
memegang rantai tergetar hebat. Juga Pek-liong maklum akan
kekuatan lawan, maka menggunakan kesempatan selagi lawan
mundur, dia mendekati Liong-li yang sudah mengamuk dan
merobohkan dua orang pengeroyok lagi itu.
“Mari kita pergi dari sini!”
Liong-li tadi tentu saja gembira bukan main melihat munculnya
orang yang paling dipercaya di dunia ini. Biarpun Pek-liong
mengenakan pakaian serba hitam dan, menutupi muka dengan
sapu tangan, pada hal biasanya dia selalu berpakaian putih,
namun belum juga pedang Pek-liong-kiam dicabut, baru melihat
gerakannya meluncur turun saja ia sudah menduga siapa
orangnya.
Tentu saja hatinya menjadi besar. Dengan Pek-liong di
sampingnya, ia berani menantang dan menentang siapapun juga!
Hatinya menjadi besar dan dengan bantuan Pek-liong, ia merasa
yakin akan mampu membasmi Pangeran Souw Cun dengan
semua kaki tangannya untuk membalaskan kematian Pangeran
Souw Han.
“Tidak! Bantu aku membasmi Pangeran Souw Cun dan semua
anteknya! Aku harus membalaskan kematian Pangeran Souw
396
Han!” serunya dan Pek-liong terkejut dan heran sekali mendengar
suara dan melihat sikap rekannya itu. Baru sekarang ini dia
melihat rekannya itu kehilangan ketenangannya, kehilangan
keseimbangannya dan dipengaruhi perasaan dendam dan marah
yang hebat!
“Heiiiii! Apa yang membuat engkau menjadi lemah? Jangan
tenggelam ke dalam perasaan, bangunlah dari mimpi dan lihat
bahwa kalau sampai tanda bahaya umum dipukul, kita berdua
takkan mampu menyelesaikan tugas dengan baik!”
Ucapan Pek-liong ini langsung menembus jantung Liong-li. Kalau
ia diingatkan akan ancaman bahaya, belum tentu ia akan menjadi
sadar. Akan tetapi, diingatkan bahwa ia menjadi lemah oleh
perasaannya, dan bahwa tugasnya belum selesai, Liong-li
merasa seperti kepalanya disiram air es! Ia segera menyadari
kebodohannya yang timbul karena emosi karena dendam dan
amarah.
“Engkau benar, mari kita pergi!” katanya pendek dan mereka
berdua menggabungkan sinar pedang hitam dan putih.
Begitu dua gulungan sinar pedang ini menyambar-nyambar,
Bouw Sian-seng dan para pembantunya terkejut dan mundur.
Ada kekuatan dahsyat dari dua gulungan sinar pedang yang
bergabung itu sehingga empat orang yang mencoba untuk
menerjangnya terlempar dan terbanting pingsan. Liong-li dan
Pek-liong melompat dan menghilang ke dalam kegelapan yang
masih bersisa.
397
“Kejar! Jangan sampai lolos!” Bouw Sian-seng berseru dan
memimpin anak buahnya untuk mengejar. Akan tetapi ia tidak
berani mendahului anak buahnya, karena kalau dia hanya
seorang diri saja menghadapi Liong-li dan Pek-liong, dia merasa
gentar.
Dan pada saat itu, tanda bahaya umum berupa canang yang
dipukul terdengar gencar, menggegerkan seluruh kompleks
istana di pagi buta itu.
Para jagoan dari semua pangeran keluar, juga pengawal dan
jagoan dari kaisar sehingga ramailah kompleks istana pada saat
itu. Akan tetapi mereka tidak melihat bayangan penjahat, tidak
melihat Si Bayangan Iblis walaupun semua orang menjadi geger
ketika mendengar bahwa yang menjadi Kwi-eng-cu atau Si
Bayangan Iblis adalah pasangan pendekar yang amat terkenal di
dunia persilatan, yaitu Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan Pek-
liong-eng (Pendekar Naga Putih)!
Dan lebih gager lagi keadaan di dalam istana ketika terdengar
berita bahwa Pangeran Souw Han dan lima orang dayang-
dayangnya telah dibunuh orang, juga bahwa wanita cantik yang
baru saja dijadikan selir pangeran itu telah lenyap.
Berita bersimpang siur dan kacau balau, akan tetapi mereka
mendengar bahwa selir itu bukan lain adalah Hek-liong-li atau
juga seorang dari Bayangas Iblis! Tentu saja keadaan menjadi
gempar.
◄Y►
398
Karena tidak mungkin kembali ke rumah Pangeran Souw Han
setelah kini diketahui rahasianya bahwa ia adalah Hek-liong-li,
bahkan ia dituduh membunuh pangeran itu di samping tuduhan
bahwa ia adalah Si Bayangan Iblis, juga tidak mungkin melarikan
diri ke luar dari kompleks istana karena tanda bahaya umum,
sudah dicanangkan dan semua jagoan istana sudah keluar, maka
terpaksa Liong-li menurut saja ketika Pek-liong mengajaknya
bersembunyi di bagian pemeliharaan kuda yang luas itu.
Di tempat itu dipelihara puluhan ekor kuda, tempatnya luas sekali
dan agak jauh dari istana karena baunya yang tentu akan
mengganggu para bangsawan.
Untung bahwa di tempat itu, para pekerja masih belum bangun.
Hari masih terlampau pagi. Liong-li diajak bersembunyi ke dalam
gudang ransum kuda di mana terdapat tumpukan jerami kering
dan banyak bahan makanan kuda. Setelah menutupkan daun
pintu gudang itu, Pek-liong baru mengajak Liong-li bercakap-
cakap dengan berbisik, sambil duduk di atas jerami.
Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan di
bawah sinar lampu yang masuk dari luar melalui lubang-lubang di
atas pintu. Kemudian Pek-liong, mengeluarkan seguci arak,
menuangkan dalam dua cawan dan mereka minum sedikit arak
untuk menghangatkan badan.
“Engkau luka?” dengan singkat Pek-liong bertanya.
“Luka kecil, tidak berarti. Pangkal lengan kiriku lecet dan paha
belakang yang kanan kena tendang.”
399
“Biar kuperiksa sebentar,” kata Pek-liong dan dua orang yang
sudah demikian akrab hubungan mereka secara batiniah itu
memang tidak pernah banyak bicara. Dari pandang mata dan
gerak gerik saja mereka seperti dapat mengetahui kehendak
masing-masing.
Liong-li menghabiskan arak dalam cawannya, lalu rebah
menelungkup, Pek-liong memeriksa luka di pangkal lengan kiri
melalui baju yang robek. Kulit pangkal lengan yang putih mulus
itu tersobek sepanjang satu jari, akan tetapi untung tidak begitu
dalam lukanya.
Pek-liong menggunakan obat bubuk untuk luka, ditaburkan luka-
luka itu sampai tertutup semua dan menekannya sedikit, lalu
membalut lengan itu dengan kain putih bersih setelah merobek
baju yang memang sudah robek bagian lengan itu. Ia
mengeluarkan sebuah baju hitam lain dan Liong-li segera
bertukar baju, lalu menelungkup kembali setelah melepaskan ikat
pinggangnya.
Tanpa raga-ragu sedikitpun nampak di antara keduanya, Pek-
liong menurunkan celana panjang dari pinggang yang ramping
itu. Biarpun kini pinggul dan paha nampak, sedikitpun Pek-liong
tidak memperhatikan, penglihatan yang pada umumnya amat
menarik hati pria itu. Dia bahkan seperti tidak melihat pinggul itu
dan yang kelihatan hanyalah luka di belakang paha kanan.
Memang telah terjalin hubungan yang amat aneh dan luar biasa
antara kedua orang muda ini. Mereka ita saling mencinta, saling
menyayang, saling mengagumi dan menghormati. Bagi Pek-liong
400
tidak ada wanita di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada
Liong-li, dan demikian sebaliknya. Akan tetapi, di dalam kasih
sayang ini, sedikitpun tidak pernah mereka membiarkan gairah
nafsu berahi memasukinya!
Bahkan mereka seperti telah merasa yakin bahwa sekali mereka
membiarkan gairah itu masuk dalam kasih sayang mereka, sekali
mereka saling mencinta seperti dua orang kekasih dan
menumpahkan perasaan mereka dalam hubungan asmara, maka
ikatan batin yang kokoh kuat itu akan putus atau goyah! Karena
itu, keduanya tidak pernah terjerumus. Lebih baik mereka
mencari pasangan lain untuk memenuhi kebutuhan gairah
mereka, dari pada mencemari hubungan mereka yang lebih dekat
dari pada suami isteri, lebih dekat dari pada saudara, lebih dekat
dari pada sahabat itu.
Aneh memang! Karena itulah, maka kini biarpun nampak pinggul
telanjang Liong-li, sedikitpun Pek-liong tidak tergerak gairahnya,
tidak terangsang, bahkan hebatnya, tidak melihatnya!
Diapun memeriksa luka memar itu. Kulit yang putih mulus di paha
belakang itu nampak dihiasi tanda membiru bekas tendangan.
Dia cepat menggunakan jari-jari tangannya yang ahli untuk
memijat sana-sini, mengurut sana-sini di sekitar tempat yang
tertendang, memperlancar jalan darah sehingga darah segar
dapat membanjiri daerah yang tertendang dan dalam waktu
singkat saja paha itupun pulih kembali, rasa nyeripun hilang.
“Terima kasih,” kata Liong-li singkat sambil membetulkan kembali
pakaiannya. “Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapa
401
muncul di sini. Apakah Cian Ciang-kun yang menyampaikan
suratku?”
Pek-liong mengangguk. “Baru pagi kemarin aku diselundupkan
masuk oleh Cian Ciang-kun sebagai pekerja di bagian
pemeliharaan kuda. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan
bertemu dengan bayangan hitam yang kemudian lari menyelinap
ke dalam bangunan Pangeran Kim Ngo Him.” Dengan singkat
Pek-liong menceritakan pengalaman malam tadi.
“Ketika aku hendak kembali ke istal, tadi aku melihat engkau
dikeroyok. Keadaan tadi berbahaya sekali dan terpaksa sehari ini
engkau harus bersembunyi di sini.”
Liong-li mengangguk dan menundukkan mukanya, menghela
napas panjang untuk menekan perasaan duka yang timbul ketika
ia teringat akan Pangeran Souw Han.
Pek-liong kembali mengerutkan alisnya. Belum pernah dia
melihat wanita yang dikaguminya ini, wanita yang diakuinya
bahkan lebih cerdik dari padanya, mungkin lebih berani dan
tabah, menghela napas seperti itu.
“Liong-li, engkau tadi bicara tentang kematian Pangeran Souw
Han......?”
Liong-li mengangkat mukanya dan benar saja. Melalui sinar yang
masuk ke gudang itu, Pek-liong melihat betapa sepasang mata
yang biasanya penuh semangat itu, kini nampak sayu!
402
Ini hanya berarti bahwa kematian pangeran itu amat mendukakan
hati Liong-li, berarti pula bahwa wanita luar biasa ini telah jatuh
cinta kepada Pangeran Souw Han! Sungguh hebat tentunya
pangeran itu, yang telah dapat menjatuhkan hati seorang wanita
seperti Liong-li!
“Dia terbunuh, Pek-liong. Pangeran itu...... ah, dia sama sekali
bersih, tidak berdosa seperti anak bayi, tidak ikut memperebutkan
kekuasaan, bahkan tidak perduli dan tidak berat sebelah, tidak
memihak, dia begitu baik budi, bijaksana dan lembut. Dan orang
tega membunuhnya, bersama lima orang pelayannya!” Liong-li
mengepal tinju tanda bahwa hatinya masih merasa nyeri sekali.
“Pangeran Souw Cun yang melakukannya?”
“Tadinya kusangka demikian. Kini aku ragu-ragu. Mereka itu tadi
mengenalku melalui pedang dan menuduh akulah Kwi-eng-cu
dan aku pula pembunuh Pangeran Souw Han.” Wanita itu
menggeleng kepala.
“Memang ada dua kemungkinan! Mereka sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan kematian Pangeran Souw Han atau
mereka itu pura-pura tidak tahu?”
Liong-li mengangguk. Begitu menyenangkan kalau ada Pek-liong
di dekatnya. Tidak perlu bicara berbelit-belit. Pria ini mampu
menangkap semua isi hatinya tanpa kata sekalipun!
“Akan tetapi aku condong dugaan kedua. Kematian Pangeran
Souw Han baru kuketahui sendiri. Semua penghuni rumah itu
tewas dan tidak ada orang lain yang tahu. Dan begitu mereka
403
mengeroyokku, ada yang meneriakkan bahwa aku telah
membunuh Pangeran Souw Han. Mereka telah tahu!”
Pek-liong meraba-raba dagunya dan Liong-li tahu bahwa gerakan
itu menunjukkan bahwa rekannya ini sedang berpikir keras. Iapun
membiarkan dia berpikir mengasah otak dan ia terus saja
mengalirkan keterangan-keterangan yang diperolehnya selama ia
melakukan penyelidikan. Tentang Permaisuri Bu Cek Thian,
tentang Pangeran Souw Han, tentang Pangeran Souw Cun, dan
tentang Pangeran Kim Ngo Him.
“Jadi kalau menurut pendapatmu, yang patut dicurigai menjadi
dalang semua kekacauan yang ditimbulkan Kwi-eng-cu, semua
pembunuhan, juga pembunuhan terhadap Pangeran Souw Han,
adalah dua orang, yaitu Pangeran Souw Cun atau Pangeran Kim
Ngo Him?”
“Tepat. Tadinya juga aku mencurigai Permaisuri, akan tetapi
setelah melihat dari dekat, aku tidak yakin bahwa ia terlibat. Jelas
bahwa ia menentang Kwi-eng-cu yang menggelisahkan hatinya
pula. Itulah sebabnya ia mempergunakan aku untuk menyelidik
dan menyerahkan aku kepada Pangeran Souw Han.”
“Atau ada kemungkinan ke tiga!”
Liong-li menatap wajah yang tampan gagah itu dengan penuh
selidik. Sinar matahari mulai muncul dan cuaca dalam gudang itu
semakin cerah. Melihat wajah pria ini saja sudah menimbulkan
ketenangan di hatinya dan mengingatkannya bahwa ia sedang
berada di tengah kancah pelaksanaan tugas yang berbahaya
404
sehingga tidak ada waktu untuk membiarkan diri terseret arus
perasaan.
“Pihak dari luar istana yang menyusup ke dalam?” tanyanya.
Pek-liong mengangguk. “Keadaan di istana, menurut cerita Cian
Ciang-kun sedang keruh. Menguntungkan sekali bagi mereka
yang suka mengail di air keruh.”
Liong-li mengangguk-angguk. “Engkau mempunyai alasan untuk
mencurigai sesuatu?”
“Nanti dulu. Coba jelaskan siapa orang tinggi kurus yang
memimpin pengeroyokkan terhadap dirimu tadi?”
“Yang bersenjata rantai baja?”
“Benar, dia lihai sekali.”
“Di hari-hari biasa, dia menyamar sebagai guru sastera dari
Pangeran Souw Cun. Namanya atau nama panggilannya Bouw
Sian-seng.”
“Jelas dia bukan orang biasa, bukan pula tokoh biasa dalam
dunia persilatan. Ilmu silatnya tinggi, tenaga sin-kangnya juga
amat kuat. Dia tentu seorang tokoh besar, seorang datuk! Coba,
kuingat-ingat. Siapa orang tua tinggi kurus yang agak bongkok,
bersenjata rantai baja dan..... pandai sastera......? Hemm, aku
ingat sekarang!”
405
Pendekar itu menatap wajah Liong-li penuh selidik sehingga
Liong-li merasa seolah-olah sinar mata itu menjenguk ke dalam
dadanya dan mengaduk-aduk di sana mencari sesuatu.
“Liong-li, katakan, apakah engkau mengenal suaranya? Katakan
dari mana kiranya dia berasal, kalau didengar dari logat
bicaranya?”
“Nanti dulu........” Liong-li mengerutkan alisnya dan tangan kirinya
menggosok, mengelus dan menggosok batang hidungnya yang
mancung, tanda bahwa ia sedang tenggelam ke dalam pemikiran
mendalam.
“Kalimatnya yang terpanjang hanya ketika tadi memerintahkan
anak buahnya mengepung ketat, tidak membiarkan aku lolos, dan
untuk memukul tanda bahaya umum. Dalam keadaan tegang itu
tentu dia tidak dapat menyembunyikan logat bicaranya yang aseli.
Ya, aku ingat! Dia tentu datang dari selatan, jelas ketika tadi ia
menyebut kata “kepung” dengan kata “kurung”. Itu kebiasaan
bahasa orang dari selatan!”
“Tepat dugaanku! Wah, Liong-li, kalau tidak keliru perhitunganku,
kita berhadapan dengan musuh besar. Pantas dia berusaha mati-
matian untuk membunuhmu. Keadaannya, senjatanya,
kelihaiannya, dan logat bicaranya mengingatkan aku akan Lam-
hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan)!”
Liong-li tertegun. “Aihhh! Seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan
Iblis Tua)?”
406
Tentu saja wanita perkasa ini terkejut bukan main mendengar
dugaan Pek-liong bahwa Bouw Sian-seng itu mungkin sekali
Lam-hai Mo-ong Pada waktu itu, sejak beberapa tahun yang lalu
di dunia kang-ouw muncul Kiu Lo-mo yang menggemparkan
dunia persilatan.
Mereka adalah sembilan orang datuk sesat yang selama
duapuluh tahun lebih menghilang dari dunia persilatan. Akan
tetapi, selama beberapa tahun ini mereka turun gunung dan
menjadi datuk-datuk sesat. Selama ini, Pek-liong dan Liong-li
pernah bertentangan dengan dua orang di antara mereka, yaitu
pertama dengan Hek Sim Lo-mo (Baca Sepasang Naga Penakluk
Iblis) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Baca Rahasia Patung Emas).
Masih ada tujuh orang lagi yang sewaktu-waktu dapat saja
muncul untuk memusuhi mereka karena tentu mereka itu tidak
akan tinggal diam saja mendengar bahwa Hek Sim Lo-mo dan
Siauw-bin Ciu-kwi, dua orang di antara mereka tewas di tangan
Pek-liong dan Liong-li. Dan kini, tiba-tiba saja dalam menyelidiki
Kwi-eng-cu, mereka dihadapkan kepada seorang di antara Kiu
Lo-mo. Walaupun ini baru dugaan saja dari Pek-liong, namun
kalau pendekar ini menduga, maka dugaan itu bukan hanya
ngawur belaka dan biasanya tentu tidak keliru.
Tiba-tiba pendengaran mereka yang tajam menangkap langkah
kaki di depan gudang. Pek-liong hendak memberi isyarat kepada
Liong-ji, namun wanita itu sudah tahu pula apa yang harus ia
lakukan dan tubuhnya bergerak cepat menyusup ke dalam
tumpukan jerami kering. Juga ia sudah menyambar dua batang
pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam yang tadi diletakkan
407
di atas lantai, juga pakaian hitam yang tadi dipakai Pek-liong,
dibawa masuk ke dalam tumpukan jerami.
“A-cin! Haii, A-cin, di mana kamu?” terdengar teriakan orang di
luar gudang itu.
Pek-liong tadi sudah menyambar sebatang garpu bergagang
panjang yang biasa dipergunakan untuk mengumpulkan dan
mengatur jerami kering.
“Aku di sini......!” jawabnya sambil menuju ke arah pintu gudang,
lalu membukanya dengan tangan kanan masih memegang
gagang garpu.
Kiranya orang itu adalah seorang mandor di bagian pemeliharaan
kuda itu, tubuhnya gendut dan matanya sipit, seperti mata babi.
Dengan mata sipitnya dia memeriksa keadaan dalam gudang itu,
lalu mengangguk-angguk. Mulutnya yang tadinya cemberut kini
menyeringai senang. Kini sikapnya seperti orang yang penuh
ketegangan akan tetapi juga kegembiraan bahwa dia datang
membawa berita yang mengejutkan.
“Kukira engkau masih tidur di gudang ini, A-cin. Kiranya sepagi ini
engkau telah menggarpu jerami!”
“Toako, kalau ingin maju orang harus kerja keras,” kata Pek-liong
dengan muka yang bodoh dan lugu. Untung dia tidak pernah
melepaskan penyamarannya sebagai seorang dusun yang
bodoh, dengan kulit badan yang kini berubah kecoklatan tanda
sering terbakar sinar matahari.
408
“Engkau benar dan aku girang memperoleh seorang pembantu
seperti engkau. Nah, hari ini kita menghadapi pekerjaan yang
banyak! Kita harus kerja keras, pagi-pagi ini harus
mempersiapkan kuda, memberi makan dan membersihkan bulu
mereka, mempersiapkan pelananya karena setiap waktu kuda-
kuda itu akan dipakai.”
“Eh? Apakah yang terjadi, toako? Apakah istana hendak
mengadakan pesta? Atau perburuan? Aku sering mendengar
bahwa kalau para bangsawan hendak pergi berburu, maka
hampir semua kuda di sini dipergunakan.”
“Pesta? Berburu? Ha-ha, memang ada benarnya. Apa bedanya
upacara kematian dengan upacara kelahiran atau pernikahan dan
yang lain? Ramai-ramai, makan-makan, perayaan dan upacara.
Dan memang ada perburuan besar, A-cin, bukan binatang buas
yang diburu, melainkan mahluk yang lebih menyeramkan lagi,
mahluk pembunuh yang......“ Si gendut itu menghentikan kata-
katanya dan menengok keluar seperti orang yang tiba-tiba
teringat dan menjadi ketakutan.
“Eh, kenapa toako? Siapa yang mati? Siapa pula yang diburu?”
“Sudahlah, A-cin. Aku tidak berani banyak bercerita. Jangan-
jangan kepalaku ini yang akan dipenggal kalau banyak
mengobrol. Akan tetapi, engkau orang baru dan tidak banyak
tahu, maka perlu kauketahui bahwa semalam, Pangeran Souw
Han dibunuh orang, dan sekarang seluruh jagoan dan pengawal
istana akan mencari pembunuh itu yang diduga masih
409
bersembunyi di dalam kompleks istana. Nanti dilakukan upacara
penguburan, maka banyak kuda akan dipakai.”
“Toako, siapakah itu Pangeran Souw Han; dan mengapa dia
dibunuh orang? Siapa pembunuhnya?” Dengan lagak yang bodoh
dan jujur, Pek-liong memancing.
“Pangeran Souw Han adalah pangeran yang paling baik di
seluruh istana. Dia tampan sekali, halus budi pekertinya,
dermawan. Bahkan terhadap pekerja-pekerja kasar seperti
kitapun dia bersikap ramah dan halus, sering memberi hadiah.
Entah kenapa ada orang yang tega membunuhnya. Kabarnya
yang membunuhnya adalah...... eh, Kwi- eng-cu yang diketahui
adalah seorang wanita cantik.”
“Ehhh.......?”
“Wanita itu kabarnya berjuluk Hek-liong-li, dan ia telah menyusup
ke dalam istana, bahkan menjadi seorang selir Pangeran Souw
Han yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita.
Heran, sungguh heran, bagaimana seorang wanita tega
membunuhnya....... eh, sudahlah, A-cin, engkau banyak bertanya
saja. Nah bekerjalah dengan baik. Setelah selesai membersihkan
gudang, cepat engkau bantu aku mempersiapkan kuda-kuda itu
bersama para pembantuku yang lain. Kita akan kekurangan
tenaga!” Setelah berkata demikian, si gendut meninggalkan Pek-
liong.
Pek-liong menutupkan lagi pintu gudang, lalu menghampiri Liong-
li yang sudah keluar dari tumpukan jerami. “Engkau sudah
mendengar semua tadi
410
Liong-li mengangguk sambil membersihkan pakaiannya dari
jerami yang menempel. “Tentu berita tentang aku menjadi Kwi-
eng-cu dan membunuh Pangeran Souw Han sudah mereka
sebar-sebarkan secara luas. Anehnya namamu tidak disebut,
pada hal mereka sudah mengenalmu pula dari pedangmu, Pek-
liong.”
“Mungkin juga si gendut itu tidak mendengarnya. Bagaimanapun
juga, untuk sementara ini engkau tidak boleh memperlihatkan diri,
Liong-li. Semua jagoan istana mencarimu. Di sini engkau aman
dan malam nanti kita lanjutkan penyelidikan kita. Kita menyelidiki
Bouw Sian-seng. Kalau benar dugaanku bahwa dia itu Lam-hai
Mo-ong, kita harus memperingatkan Pangeran Souw Cun, karena
mungkin saja dia sengaja diperalat oleh iblis tua itu.”
Liong-li mengangguk-angguk. “Dia diperalat atau memperalat. Itu
saja pilihannya. Betapapun juga, aku yakin bahwa yang
membunub pangeran Souw Han tentulah tidak ada bedanya
dengan pelaku pembunuhan yang terjadi selama ini.”
“Kwi-eng-cu?”
“Mungkin itu hanya nama palsu belaka. Bayangan Iblis tidak
pernah mengaku dengan nama itu. Nama itu hanya pemberian
mereka di kota raja saja. Siapa tahu dugaanmu benar? Lam-hai
Mo-ong menyamar sebagai Bouw Sian-seng di waktu siang,
sedangkan malamnya dia menjadi Si bayangan Iblis. Mungkin
diperalat Pangeran Souw Cun, mungkin juga dia memperalat
pangeran itu untuk menimbulkan kekacauan di istana.”
411
“Hemmm, memang bisa saja Pangeran Souw Cun ingin
menjatuhkan para saingannya. Akan tetapi juga amat mungkin
Lam-hai Mo-ong menimbulkan kekacauan dan kekeruhan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi.”
“Bagaimanapun juga, kita harus membongkar rahasia Si
Bayangan Iblis ini!” kata Liong-li mengepal tinju karena ia teringat
lagi kepada Pangeran Souw Han yang menjadi korban.
“Engkau sehari ini bersembunyi saja di gudang ini. Kalau ada
orang masuk, engkau menyusup ke dalam tumpukan jerami.
Bawa pula pedangku, dan nanti kukirimkan makanan. Aku masih
menanti berita dari Cian Ciang-kun, dan juga dari Cu Sui In.”
“Siapa ia? Engkau belum menceritakan.”
Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang keponakan isteri
Ciok Tai-jin itu, yang suaminya juga menjadi korban pembunuhan
Si Bayangan Iblis.
“Ia akan menyelundup ke dalam istana pula, menyamar sebagai
adik misanmu dan mencarimu, tadinya ia yang akan bertugas
menjadi perantara dari kita dan Cian Ciang-kun. Ia murid Kun-lun-
pai. Ilmu kepandaiannya lumayan, boleh diandalkan.”
“Bagus! Kalau begitu, kita menanti berita dari mereka sebelum
kita turun tangan. Malam nanti kita hanya melakukan penyelidikan
saja.”
“Aku juga ingin mencari, apakah di antara para jagoan di istana
ada Pek-mau-kwi Ciong Hu yang membunuh Giam Sun, paman
412
Cu Sui In itu. Dialah yang dapat menunjukkan siapa adanya Si
Bayangan Iblis karena sebelum mati, Giam Sun menuliskan dua
nama, yaitu Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu. Nah, sekarang aku
mau bekerja di luar membantu si gendut agar jangan
menimbulkan kecurigaan.”
Liong-li mengangguk, akan tetapi ketika Pek-liong hendak pergi,
ia memanggil lirih. Pek-liong menoleh.
“Pek-liong, kalau nanti kebetulan engkau dapat melihat peti
jenazah...... Pangeran Souw Han, tolong engkau bersembahyang
dalam hati untukku, katakan bahwa aku merasa menyesal dan
mohon maaf bahwa dia telah menjadi korban karena aku.”
Pek-liong memandang serius dan mengangguk, di dalam hatinya
merasa kasihan sekali kepada wanita yang paling disayang dan
dihormatinya itu. Diapun pergi dan Liong-li menyelinap di balik
tumpukan jerami, siap untuk sewaktu-waktu menyusup masuk ke
dalam tumpukan jerami itu kalau ada orang lain masuk gudang.
◄Y►
Cian Hui dan Cu Sui In diterima oleh Kaisar sendiri yang
didampingi Permaisuri Bu Cek Thian di dalam sebuah ruangan
khusus. Kaisar Tang Kao Cung dan Permaisuri Bu Cek Thian
duduk berdampingan di atas kursi gading berselaput emas dan
tidak ada seorang pun ponggawa diperkenankan hadir.
Hanya ada selosin pengawal pribadi Kaisar yang merupakan
orang-orang kepercayaan kaisar, lihai namun tuli dan gagu dan
yang tugasnya hanyalah menjaga keselamatan kaisar dan
413
menerima perintah melalui gerakan tangan, dan dua orang
pengawal pribadi Bu Cek Thian, yaitu gadis kembar Bi Cu dan Bi
Hwa. Hanya mereka ini yang hadir, berdiri di belakang kaisar dan
permaisuri.
Kaisar nampak marah. Alisnya berkerut dan mukanya merah,
sedangkan Cian Hui dan Cu Sui In berlutut sambil menundukkan
mukanya.
“Sekali lagi kami tekankan, Cian Hui!” kata Kaisar. “Kalau sekali
ini engkau tidak mampu menangkap iblis yang disebut Kwi-eng-
cu itu, tidak dapat menangkap pembunuh Pangeran Souw Han,
kami akan memberi hukuman berat kepadamu! Kami beri waktu
sampai tiga hari dan selama tiga hari kami beri wewenang
kepadamu untuk melakukan penggeledahan dan penangkapan di
komplek istana.
“CIAN CIANG-KUN,” kata pula permaisuri itu yang sejak tadi
mendengarkan saja. “Tindakan Kwi-eng-cu memang sudah
keterlaluan. Bahkan, usahamu menyelundupkan Hek-liong-li
nampaknya sia-sia belaka. Karena Hek-liong-li menyusup
sebagai selir Pangeran Souw Han, malah hal ini membuat Souw
Han menjadi korhan dan kini Hek- liong-li entah berada di mana.
Engkau harus membongkar semua rahasia ini!”
“Mohon yang mulia Hong-siang (Kaisar) dan Hong-houw
(Permaisuri) sudi melimpahkan pengampunan kepada hamba.
Hamba akan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan
hamba untuk membikin terang perkara ini. Hamba telah
menyelundupkan Hek-liong-li, bahkan Pek-liong-eng, dan hamba
414
mengandalkan kemampuan mereka untuk membantu hamba
menangkap Kwi-eng-cu.
“Di sini hamba menyertakan nona Cu Sui In untuk membantu
hamba. Biar ia yang akan mencari Hek-liong-li dan mengaku
sebagai saudara misan Liong-li yang menyamar sebagai Siauw
Cu. Sedangkan hamba sendiri bersama Pek-liong-eng akan
melakukan penyelidikan dengan seksama. Dan terima kasih atas
kepercayaan yang diberikan oleh paduka, mohon hamba diberi
wewenang untuk semua pasukan pengawal kalau saatnya tiba.”
“Permintaanmu kami kabulkan. Kamu akan kami beri tek-pai
(bambu bertulis tanda kekuasaan) dan dengan tanda wewenang
itu engkau boleh menghubungi para komandan pasukan
pengawal yang tentu akan melakukan semua perintahmu. Nah,
laksanakanlah!”
“Biarkan Sui In bersamaku. Ia dapat menyelundup ke bagian
putera bersama para dayang yang kuperintahkan untuk
membantu pengurusan upacara pemakaman jenazah Pangeran
Souw Han agar tidak kentara. Ia dapat menyamar sebagai
seorang di antara para dayangku,” kata sang permaisuri.
Setelah diperkenankan keluar, Cian Hui segera menghubungi
para komandan pasukan pengawal, memperlihatkan tek-pai itu
dan semua komandan menyambutnya dengan hormat sebagai
wakil kaisar sendiri. Bersama mereka, Cian Hui mengatur siasat.
Dia memerintahkan mereka membuat barisan tersembunyi, tidak
bergerak sebelum ada perintah khusus dan selanjutnya bersiap
siaga agar setiap saat dia dapat mengharapkan bantuan mereka.
415
Sementara itu, Cu Sui In diajak oleh permaisuri ke bagian puteri
dan setelah serombongan dayang ia perintahkan pergi ke tempat
tinggal Pangeran Souw Han untuk membantu segala pekerjaan
dalam upacara pemakaman jenazah pangeran itu, Sui In diikut
sertakan dengan nama baru Siauw In.
Biarpun tigabelas orang ini hanya merupakan dayang, yaitu
gadis-gadis pelayan, namun semua orang yang sedang sibuk
bekerja di rumah mendiang Pangeran Souw Han bersikap
hormat. Biarpun dayang-dayang, mereka adalah dayang yang
dikirim oleh permaisuri, maka tak seorangpun berani memandang
rendah apa lagi menghina kepada mereka. Demikian besar
kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian sehingga
para pangeranpun tidak berani bermain gila terhadap para
dayang ini, takut kalau sampai terdengar oleh sang permaisuri
dan mendapat marah.
Mula-mula memang Sui In membantu para dayang itu, ada yang
membuatkan rangkaian bunga, melipati kertas perak dan kertas
emas untuk korban sembahyang dan sebagainya. Akan tetapi
setelah mendapatkan kesempatan, dengan dalih membersihkan
rumah bekas tempat tinggal Pangeran Souw Han, ia memasuki
kamar pangeran itu dan sambil menyapu dan membersihkan
semua perabotan. Ia melakukan pemeriksaan dengan teliti,
mencari kalau-kalau ada petunjuk tentang pembunuhan itu atau
tentang hilangnya Hek-liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu,
selir mendiang Pangeran Souw Han.
Ketika ia membersihkan tempat tidur, tanpa disengaja ia
menemukan sebuah kipas di bawah bantal dan di permukaan
416
kipas ini terdapat tulisan yang masih baru. Huruf-hurufnya amat
indah dan rapi.
“Enci Cu kekasihku tercinta
aku akan selalu berdoa
biar dalam kehidupan ini
kita tak dapat hidup bersama
dalam kehidupan mendatang
aku menjadi anjingmu setia.”
Sui In cepat menyimpan kipas itu ke dalam balik bajunya dan
hatinya merasa terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu
kipas ini milik mendiang Pangeran Souw Han dan tulisan inipun
tulisannya karena pangeran itu terkenal seorang sastrawan yang
pandai. Dan iapun mendengar bahwa Hek-liong-li menyamar
sebagai selirnya dengan nama Siauw Cu.
Kepada siapa lagi sajak itu ditujukan kalau tidak kepadanya?
Agaknya pangeran itu menyebut Liong-li sebagai “enci Cu” dan
kalau benar demikian ia menduga bahwa tentu sang pangeran
amat mencinta wanita itu!
Ketika ia membersihkan dalam almari pakaian, ia menemukan
sebuah gulungan kain dan ketika ia membuka gulungan itu,
ternyata itu merupakan sebuah peta yang lengkap dari kompleks
istana! Cepat ia mempelajarinya dan yang amat menarik
perhatiannya adalah gambaran sebuah bukit kecil penuh hutan di
bagian belakang kompleks itu di mana terdapat sebuah kuil. Kuil
istana! Tempatnya di puncak bukit kecil yang penuh hutan.
417
Menarik sekali. Tentu kalau ia menjadi Hek-liong-li, ia akan
tertarik untuk menyelidiki tempat itu. Sebuah tempat yang amat
baik untuk menjadi persembunyian orang-orang yang tidak ingin
kehadirannya diketahui orang lain. Seperti misalnya Si Bayangan
Iblis dan anak buahnya! Atau, seperti halnya Hek-liong-li sendiri
yang sekarang dituduh menjadi Si Bayangan Iblis dan membunuh
Pangeran Souw Han.
Ia tidak percaya bahwa Hek-liong-li yang membunuh Pangeran
Souw Han. Dan tentang Si Bayangan Iblis, penjahat itu sudah
lama mengacau di kota raja sebelum Hek-liong-li dan Pek-liong-
eng mencampuri urusan itu!
Matahari telah condong ke barat ketika Sui In berhasil menyelinap
ke luar dari rumah Pangeran Souw Han. Sebagai seorang dayang
yang dikirim permaisuri, ia tidak pernah dicurigai orang dan
dengan leluasa ia dapat menyelinap keluar. Ia harus cepat
mencari Hek-liong-li seperti yang telah menjadi tugasnya.
Dan ia tidak takut karena ia merasa bahwa yang menyuruhnya
adalah Cian Ciang-kun, dan bahwa di belakangnya selain
terdapat Pek-liong-eng yang lebih dahulu menyelundup ke istana,
juga ia telah mendapat restu atau ijin dari Sribaginda Kaisar dan
Permaisuri sendiri!
Siapa yang akan berani mengganggunya? Apa lagi Permaisuri
yang cerdik itu sudah membekalinya sebuah tanda kebesaran
berupa cincin yang menurut permaisuri itu akan dikenal oleh
semua petugas keamanan di istana dan semua orang akan tidak
418
berani mengganggunya, bahkan akan membantu dan mentaati
perintahnya!
Setelah tadi mempelajari peta yang didapatkannya di lemari
pakaian di kamar Pangeran Souw Han, kini dengan mudah Sui In
dapat menemukan bukit yang dimaksudkan. Ketika ia tiba di luar
hutan di bukit itu, tiba-tiba saja dari kanan kiri bermunculan lima
orang perajurit pengawal yang agaknya melakukan perondaan
sampai di situ.
“Berhenti!” bentak mereka dan lima orang itu telah berdiri tegak di
depan Sui In. Mereka saling pandang ketika mengenal gadis ini
berpakaian dayang, bahkan kemudian mengenal bentuk sanggul
dan hiasan rambutnya sebagai dayang dari Permaisuri. Sikap
mereka berubah. Kalau tadinya mereka senyum-senyum nakal,
kini mereka bersikap hormat, lalu seorang di antara mereka yang
berkumis tipis berkata dengan hormat.
“Bukankah nona seorang dayang dari Yang Mulia Permaisuri
yang diperbantukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han?”
“Benar sekali,” jawab Sui In, sikapnya angkuh, sesuai dengan
sikap dayang Sang Permaisuri yang merasa mempunyai
kedudukan dan kehormatan.
“Kalau begitu, maafkan kami. Kenapa nona berada di sini bukan
di rumah mendiang Pangeran Souw Han? Hendaknya nona
ketahui bahwa di mana-mana pasukan pengawal sedang sibuk
mencari penjahat. Tempat seperti ini amat berbahaya bagi nona,
karena sepi dan terdapat banyak hutan.”
419
Sui In maklum bahwa ia menghadapi kesulitan, maka iapun
mengeluarkan cincin itu dari saku bajunya, memperlihatkannya
kepada mereka sambil berkata, “Aku membawa tugas dari Yang
Mulia Permaisuri!”
Melihat cincin itu, lima orang perajurit Pengawal itu cepat
memberi hormat dan melangkah mundur dengan sikap segan.
“Kami menanti perintah paduka!”
Cu Sui In adalah keponakan seorang bangsawan tinggi, Ciok Tai-
jin. Pamannya adalah Pembantu Menteri Pajak, dan mendiang
suaminya juga seorang pejabat, maka ia tidak asing dengan
kebiasaan ini, ketaatan orang-orang bawahan kepada atasan.
Akan tetapi biarpun demikian, melihat sikap lima orang ini, diam-
diam ia merasa girang sekali. Cincin itu sungguh merupakan
pelindung yang ampuh sekali!
“Aku tidak memerlukan bantuan. Minggirlah, biarkan aku lewat
dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun tentang
kehadiranku di sini!”
Lima orang itu lalu bergerak minggir dan memberi jalan. Sui In
melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu dan berkata lagi
kepada mereka sambil menahan langkahnya. “Oya, kalian tentu
mengenal Cian Ciang-kun, bukan?”
“Nona maksudkan perwira Cian Hui? Tentu kami mengenalnya.
Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami.”
420
“Bagus. Kalau bertemu dengan dia, katakan bahwa nona Siauw
In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini hendak
menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?”
Mereka memberi hormat, “Baik, nona!”
Dengan hati lapang dan bangga Sui In melanjutkan
perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada
sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk
para keluarga Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri
jalan terdapat tanaman berbagai bunga, indah sekali. Juga
pohon-pohon di hutan itu terpelihara.
Di sepanjang perjalanan, Sui In melihat beberapa ekor kijang
berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian menyelinap ke
balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah,
begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan
tenteram.
Ia sudah mulai merasa kecewa dan menyesal. Betapa bodohnya
mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk hutan buatan,
penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini
tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan.
Tidak mungkin menjadi tempat persembunyian penjahat. Paling-
paling hanya menjadi tempat persembunyian muda-mudi istana
yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan!
Akan tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke
puncak. Ia ingin melihat bagaimana macamnya kuil istana yang
sudah banyak didengarnya itu, sebagai kuil yang indah dan dihuni
oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.
421
Kabarnya di luar istana, kuil ini manjur sekali, dapat memberi obat
yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat meramalkan nasib
dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak
diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ,
merupakan kesempatan baik untuk mengunjungi kuil itu, di
samping tugas penyelidikannya. Ia sudah pernah mendengar
bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong
Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai,
juga lihai ilmu silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.
Ketika ia tiba di kuil itu, ia disambut oleh beberapa orang hwesio
yang memandang heran walaupun mereka itu segera menyambut
dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan
dengan seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan
pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian bahkan sudah sampai ke kuil
itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang bersembahyang,
dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah
Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.
“Selamat datang, nona. Bantuan apakah yang dapat kami berikan
kepada nona?” tanya seorang di antara mereka dengan sikap
hormat.
“Aku ingin berjumpa dengan Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini,”
jawab Cu Sui In.
Empat orang hwesio itu saling pandang, kemudian pembicara tadi
menjawab, “Omituhud, toa-suhu Gwat Kong Hosiang tidak dapat
ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu suhu
422
Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke
tempat kematian.”
“Kalau begitu biarkan aku berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio,”
kata pula Sui In.
“Tapi, nona. Kwan-suhu sedang sibuk dan pula..... dengan
adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan berada di sana.
Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan......”
Hwesio itu berhenti bicara ketika melihat Sui In mengeluarkan
cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri. Melihat cincin itu, para
hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.
“Antarkan aku kepada Kwan Seng Hwesio sekarang juga,” kata
Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang berani
membantah. Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita
cantik itu masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu
mengantarkan Sui In memasuki ruangan dalam dan mengetuk
pintu ruangan itu.
Hwesio wakil kepala kuil itu Kwan Seng Hwesio yang berusia
limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka gelap
kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas
karena dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk
memimpin sembahyangan pada waktunya nanti.
Tentu saja dia terbelalak heran ketika membuka pintu dan melihat
hwesio penjaga pintu depan mengantar seorang wanita muda
yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang Permaisuri,
423
maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua
tangan di depan dada.
“Omitohud...... semoga nona selalu berada dalam lindungan Yang
Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona berkunjung dan
mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para
murid yang dapat melayani keperluan nona?”
Sui In segera mengeluarkan cincinnya dan melihat benda itu,
Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan membungkuk
sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio
membiarkan wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini
membawa tanda kekuasaan dari Sang Permaisuri!
“Omitohud! Apakah yang dapat pinceng lakukan untuk nona?”
“Kwan Seng Hwesio, aku ingin bertemu dan bicara dengan Gwat
Kong Hosiang.”
Hwesio tinggi kurus itu nampak terkejut, lalu menoleh kepada
hwesio penerima tamu dan berkata, “Cepat keluar dan beri kabar
bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan
bahwa sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!”
Hwesio itu memberi hormat dan keluar, menutupkan kembali
pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng Hwesio
mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya, “Ada
keperluan apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng
Gwat Kong Hosiang?”
424
“Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk bicara
dengan ketua kuil ini,” kata Sui In dengan singkat.
Kwan Seng Hwesio mengembangkan kedua lengannya. “Akan
tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa suheng
sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima
tamu! Nona, kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan
tanggung jawab pinceng yang mewakili, suheng! Bahkan Yang
Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui akan hal itu.”
“Begini, losuhu. Aku mendapat tugas dari Yang Mulia Permaisuri
untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk
membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan
Iblis. Dan aku ingin memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini,
maka, aku minta persetujuan losuhu untuk membiarkan aku
melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini.”
Kwan Seng Hwesio terbelalak memandang kepada gadis itu.
“Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci! Tidak ada
yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan
para hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat
bersembunyi di tempat seperti ini!
“Bagaimanapun juga, aku harus melakukan penggeledahan dulu,
baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada Yang Mulia
Permaisuri dengan penuh keyakinan.”
“Tapi, apakah nona tidak percaya kepada kami? Sedangkan
Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya kepada kami!”
425
“Maaf, losuhu. Tugas adalah tugas, tidak ada sangkut pautnya
dengan percaya atau tidak.”
Hwesio itu bangkit berdiri, wajahnya yang biasanya tenang itu kini
nampak gelisah. “Omitohud......, nona sungguh memaksa
pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona
mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita
sakit.”
Hwesio itu lalu membuka daun pintu ruangan itu dan melangkah
keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang merasa caaggung
dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada
seorang pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus
mencari Hek-liong-li, harus mencari jejak yang dapat membantu
Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi membantu Pek-liong,
pendekar yang dikaguminya itu.
Juga ia terdorong oleh perasaan dendamnya kepada Si
Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya, akan
tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong
perasaannya sebagai seorang murid Kun-lun-pai, seorang
pendekar yang harus menentang perbuatan jahat dan kejam
seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis. Maka iapun
membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu
wakil kepala kuil ini.
Ia mengikuti hwesio tinggi kurus itu menuju ke bagian belakang
kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di ruangan belakang yang
terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan Seng
Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.
426
“Di sinilah suheng Gwat Kong Hosiang beristirahat, akan tetapi
sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang sedang
menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi
kesehatannya kalau diajak bicara.”
“Biarkan aku melihatnya saja sebentar, losuhu.”
Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu dan Sui In melihat
seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang di atas
sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah
melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio
menutupkan kembali daun pintu itu dan Sui In sudah
menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke belakang dan
hendak membukanya.
“Nona, harap jangan buka pinta itu!” tiba-tiba Kwan Seng Hwesio
berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In menjadi terkejut.
“Eh? Kenapa? Rahasia apa yang tersembunyi di balik pintu ini,
losuhu?”
“Tidak ada rahasia! Hanya itu merupakan tempat pribadi yang
tidak boleh dibuka sembarangan orang!”
“Akan tetapi aku bukan sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini
utusan Yang Mulia Permaisuri yang telah diberi kekuasaan, dan
aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga.”
Sui In sudah memegang daun pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun
pintu terbuka dan nampak seorang laki-laki meloncat keluar dari
dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget.
427
Laki-laki itu berusia limapuluh tahun, rambutnya putih semua dan
wajahnya masih nampak muda, tubuhnya jangkung dan tangan
kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.
“Heh-heh, kiranya engkau lagi, nona. Sekali ini engkau tidak akan
mampu lolos!”
“Pek-mau-kwi.......! Engkau......! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh,
tahu sekarang aku! Engkau pembantu Si Bayangan Iblis dan kuil
ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan Seng
Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!”
“Omitohud......!” Kwan Seng Hwesio berseru bingung dan Pek-
mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan pedangnya.
Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang
yang ia sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang seru di tempat itu.
Sui In menyerang dengan gemas karena ia teringat akan
susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua buah
nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia
tahu bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya,
yaitu Huang-ho Siang-houw yang telah membunuh susioknya,
atas perintah seorang tokoh rahasia yang dijuluki Si Bayangan
Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu
pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi pria berambut putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui
In terlepas dari tangannya adalah karena muncul Pek-liong. Akan
tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu
menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak
428
mampu mendesaknya dan pertandingan dengan pedang itu
semakin seru dan mati-matian.
Tiba-tiba terdengar suara wanita terkekeh dan muncullah seorang
wanita tua yang usianya tidak kurang dari enampuluh lima tahun,
bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata
kucing!
“Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi. Tidak malukah engkau, sejak tadi
tidak mampu merobohkan seorang wanita muda? Dan engkau,
Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung
dan tidak membantu Pek-mau-kwi?”
“Omituhud......, maafkan pinceng...... kita sudah berjanji bahwa
pinceng tidak akan melibatkan diri dalam perkelahian......,
Omituhud!”
Nenek itu kembali terkekeh dan ia meloncat ke dalam medan
perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada angin pukulan
dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini
terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat
bukan main. Ia lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut
tangan yang menampar, menangkis dan sekaligus menyerang
untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.
“Dukkk!” Pedang itu terpental lepas dari pegangan Sui In dan
sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan nenek itu sudah
menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.
“Plakk!” Sui In terpelanting roboh dan pingsan.
429
Wanita itu kembali terkekeh. “Huh, segala macam budak ingusan
berani mengacau ke sini? Keram ia dalam ruangan bawah tanah!”
Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh
Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek
yang amat lihai itu menghardik, “Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau
engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak
buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu
tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana.
Mengerti?”
Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah
masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. “Baik, saya
mentaati perintah, Kui-bo.”
Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng
Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada
mengancam.
“Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini
pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang
mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu,
sebelum membunuh kalian semua!”
Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di
depan dada sambil membungkuk. “Omitohud, kami tidak berani
lancang mulut.”
Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun
pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong
tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.
430
Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang
menyebut “Omitohud......” sambil memandang ke arah tubuh
suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu.
Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat
penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek
itu, suhengnya akan tewas.
Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak
berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan
orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio
dan bersembunyi di kuil itu.
Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh
dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang
sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan)
seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun
orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya
adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua
orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo
(Sembilan Iblis Tua).
Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara
para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali
karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk
mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul
karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran.
Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.
Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama
diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo
431
ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang
pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu
sudah roboh semua oleh para “perampok” sehingga nyawa
Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai
Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para
“perampok” itu.
Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian
kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya,
bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-
ong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada
orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi
gurunya dalam hal sastera!
Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan
rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada
rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke
dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita
ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil
memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja
kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga
berambisi untuk memperebutkan kedudukan.
Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam
mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula
menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh
dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan
orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga
mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar
istana sebagai mata-mata
432
Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin
kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh
mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw
Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan
menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio,
kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma
lalu membuat dia pingsan dengan racun.
Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan
Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang
datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di
istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka
dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana
selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat
penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.
Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut.
Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan
pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi
penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak
berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In
dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka,
mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu,
akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.
Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya,
yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului
wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun!
Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul
Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.
433
Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu? Mereka
bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat
tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di
istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak
menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan
yang amat baik.
Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga
pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan
menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan
diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu
kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan,
kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!
Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw
Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini
adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan
bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat
apa-apa.
Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak
menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam
Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru
Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian,
menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar
pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji
yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan
dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.
434
Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang
datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu
dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi
halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para
pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa
semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang
tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan
terbunuh! Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama
sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak “bersih”, sama
sekali tidak ikut bersaing.
Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil
istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama
sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap
Si Bayangan Iblis gagal selalu.
Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam
kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma.
Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satu-
satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka.
Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya
membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai
membayangi komplotannya. Oleh karena itu, kalau ada orang
penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera
dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan
tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat
berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang
ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.
435
◄Y►
Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang
perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka
bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan
memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun
bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak
bukit.
Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana? Di sana hanya
ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya
sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam
pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga
setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar
laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda
muda yang cantik itu.
Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam
tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda
itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han,
di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia
mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun,
Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada
seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian
Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena
khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk
menjumpai Pek-liong. Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan
dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika
436
mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat
mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan
juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam
gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering.
Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita
itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.
Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri. “Aiihh, kenapa
aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin,
yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat
seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik!
Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang
amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka
ke sana? Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan
mengganggu para hwesio di kuil itu!
“Benar sekali, li-hiap,” kata Cian Hui. “Aku sendiripun selama
melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka.
Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang
pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu
saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus
digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya
peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai
sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya.”
“Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu
menengok keadaan kepala kuil itu,” kata Pek-liong-eng.
“Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap
dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!” ajak Cian Ciang-kun.
437
“Nanti dulu,” kata Liong-li. “Kita menghadapi pembunuh-
pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan
mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu,
membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita
menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap.
Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung
bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan
diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu.”
Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga
Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu
dengan ketat.
Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu
mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke
puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng
untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.
◄Y►
Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan
Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak
besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di
luar pekarangan kuil yang dipagari tembok.
Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya.
Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu,
akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para
hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara
mereka dari luar. Setidaknya akan terdengar suara ketukan
berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu
438
sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah
berubah menjadi kuburan.
Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di
kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohon-
pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu. Maklum,
kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya,
dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap
tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian
luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang
hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja.
Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama
para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi
orang lain.
Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela,
bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk
memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di
wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor
burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas
wuwungan tanpa menimbulkan suara.
Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini,
mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada
penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di
kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada
hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu
semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan
kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam
keadaan itu.
439
Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang
mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih
rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar
itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka
cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya
ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak
genteng, terdengar suara dari bawah.
“Omitohud......, penjahat dari manakah begitu berani mengotori
tempat suci ini?”
Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke
bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut
ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga
wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang
di atas meja di ruangan itu.
Sepasang pendekar ini terkejut karena mereka tidak mengira
bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang mereka
lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio
di bawah itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan
bahwa para hwesio di kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi!
Kembali sepasang pendekar itu saling pandang dan keduanya
sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan mereka ambil.
“Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami
ingin menghadap lo-suhu!” kata Pek-liong.
“Omitohud......, masuklah saja!” kata pula hwesio itu dengan
suara yang dalam dan lembut.
440
Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang
penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat
kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau
dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela,
hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup.
Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana
hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat
lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.
Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela,
sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui
pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap
yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat
memberi banyak keterangan kepada mereka.
“Kita turun,” bisik Liong-li.
Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li,
melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa,
tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang
belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau
sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan
Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara
mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang
seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.
Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak
terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong
memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-
li melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja
441
itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li
mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di
atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar
suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!
Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga.
Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang
melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di
tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka
begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah
menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hek-
liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liong-
kiam. Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah
mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia
kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh.
Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan
tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan
dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi
memang merupakan alat perangkap.
Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang
terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li
bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan
sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung
sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.
“Kau pakailah ini!” sutera hitam itu mengembang ketika meluncur
ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di
lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah
442
berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras
bersuara.
“Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar,”
bisik Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia
dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu
kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke
dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga
sin-kang mereka.
“Brakkkkk......!” Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan
menerjang masuk.
Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat
terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka
yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak
orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi
muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.
Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua
mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam
senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang,
atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya.
Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa
mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang,
hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan
masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka
443
mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan
bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua
pengepung dengan baik.
“Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di
sini!” kata Liong-li.
“Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis
dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu!
Dan engkau juga, Pek-liong-eng!” kata seorang diantara mereka
dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan
bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum
siapa dia.
Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang
tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya
pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja!
Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi
Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan
orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala
jurusan.
Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan
perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw
Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah
seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan
tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali
seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang
mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai
dari balik topengnya.
444
Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan
ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng
menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang
juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar
pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga
bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu
Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari
pakaian si kurus kering itu.
Seorang wanita? Begini lihai? Siapa gerangan wanita ini? Dan
iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan
penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo
Him.
Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering
seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke
dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya
seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti
halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang
penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai
seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.
Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena
hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang
si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia
masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan
bergulingan menyelamatkan diri.
“Kita pergi!” tiba-tiba Pek-liong berseru.
445
Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan
ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu
banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng
dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang
sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu
akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di
tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam.
Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari
kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun
mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat
menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus
melarikan diri.
Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan
sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata,
“Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi
pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan
sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu
dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada
lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka
memang di dalam kuil itu!”
Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para
jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan
naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan
tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun
manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari
446
pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta
bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!
Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat
mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia
mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang
mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa
khawatir sekali.
“Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!” katanya. “Kita harus
cepat menyerbu kuil itu!”
“Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak
akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting
bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan
keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin
mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu
ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para
penjahat,” kata Liong-li.
“Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku
mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula
kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka
semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati
mereka untuk menyelamatkan kepala kuil,” kata Pek-liong.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke
barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita
menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk
menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran
447
Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma
berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him.”
Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau
membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya
untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun
kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu
tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang
pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liong-
li tersenyum.
“Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang
disebut Bayangan Iblis!”
“Ehhh?” Kini Cian Ciang-kun memandang heran.
“Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal
gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan
yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo.
Bukankah begitu, Liong-li?”
“Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di
antara Kiu Lo-mo itu?”
Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum
bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima
penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar
lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.
◄Y►
448
Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan
istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu
depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk
dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio
yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang
mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui
memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari
kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai
merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah
menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.
“Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!”
teriak Cian Hui.
Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama
kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali
seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.
“Di mana Gwat Kong Hosiang? Hayo katakan, di mana dia?” Cian
Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan
bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau
setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat
dan pembunuh itu.
“Omitohud......!” Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan
memberi hormat. “Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio
ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini......”
“Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi
di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku
tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan
449
membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat
Kong Hosiang!“
“Dia sedang sakit......”
“Antarkan aku kepadanya!” hardik pula Cian Hui dengan tak
sabar.
”Omitohud...... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan
ke kamarnya......”
“Lo-suhu......!” Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat
dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat
dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh
para penjahat.
“Omitohud, itulah kesalahan kita,” kata Kwan Seng Hwesio. “Kita
tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa
sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang
Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia
ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang
Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu
membunuhnya.”
“Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan
aku!” kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para
pembantunya. “Geledah seluruh kuil!”
Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui.
Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong
450
yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali.
Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio
berhenti dan berkata dengan suara gelisah.
“Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit
parah dan pingsan, Ciang-kun.”
Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap
bersikap hati-hati. “Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu.”
Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng
Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap,
maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio,
menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan
dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.
Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun
gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih
mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak
tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku
mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.
Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia
dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio
memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan
bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan
mengguncang pundaknya. “Cian Ciang-kun, syukur engkau
sudah sadar......”
451
Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun
rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya
penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai
kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri.
Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia
mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih
hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya
menderita.
“Nona Sui In......” akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya
karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.
“Bagaimana rasanya. Ciang-kun? Sakit benarkah? Engkau
terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah
mencabutnya...... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih
pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau
dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki
tubuhmu.”
Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu
dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat
yang...... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang
wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik
seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu
dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat
Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat,
dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan
pingsan.
“Bagaimana dengan mereka?” tanyanya.
452
Sui In memandang gelisah. “Keadaan mereka sungguh
mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan
sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku
menancap di tubuhnya. Aku...... aku merasa ngeri dan tidak
berani mencabut paku-paku itu.”
Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng
Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun
wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena
tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada
sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu
menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.
“Engkau...... terluka......?”
Sui In mengangguk. “Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa
nyeri bukan main.....”
Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun,
sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan
sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan
mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.
Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ
seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia
enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut
seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya
kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya
mencorong hijau.
453
“Cian Ciangkun,” kata kakek itu dan suaranya juga lembut. “Kalau
engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan
semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari
istana.”
Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang
kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini
kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis
yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga
duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini
memandang kepada mereka dengan berani dan penuh
kemarahan.
Cian Hui tertawa. “Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah
tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan
untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa,
juga aku tidak sudi!”
“Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan
perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!”
Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia
berkata lirih. “Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah
semua pakaianmu tanpa hasil.”
Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati
sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia
menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya,
minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi
apa-apa dengan dia.
454
“Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku
tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong.”
Kakek itu terbelalak. “Kau sudah mengetahui siapa aku?”
“Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini
tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma!
Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-
mo!”
Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang
berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar,
ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas
dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi
sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak
mampu bergerak lagi.
“Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa
kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa
berkedip!”
“Hemm, siapa takut mati, nenek iblis? Lebih baik kami mati dari
pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung
pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan
ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini.
Kalianpun akan mampus!”
“Keparat!” Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram
pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. “Aku dapat
mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat
sebelum engkau mati!”
455
“Nanti dulu, Mo-ong!” kata Tiat-thouw Kui-bo. “Jangan bunuh dia
dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita
ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil
ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh
mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat
apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!”
Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi
pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka
percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan
kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat
menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus
mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya.
Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar.
Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau
tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan
bawah tanah itu?
“Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini
kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!”
Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu
melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun
mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter.
Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah
berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu.
Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga
Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis,
merasa aman dalam rangkulan perwira itu.
456
“Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama
engkau......”
“Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati......”
Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya
mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih
baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan
tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka
bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah
mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.
“Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu.
Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang
lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan
anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!” terdengar
suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu,
Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!
Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat
menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas, “Lam-hai Mo-
ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu
lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang
yang tidak bersalah.”
Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa,
akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya
membayangkan kegelisahan.
“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut,
akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya
457
berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang
besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang
gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu
pasukan akan mengeroyok kami!”
“Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!” terdengar lagi suara
Liong-li. “Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian
berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan.
Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian
boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus
berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan
Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!”
“Baik, kami berjanji. Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar
banyak orang. Nama kalian akan hancur dan menjadi bahan
ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!” kata Lam-
hai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kui-
bo untuk keluar.
Semua pengikut mereka juga mengikuti dua orang pimpinan ini
keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau ditinggalkan di
ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan
mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka
menang tentu mereka semua akan diperbolehkan lolos dari
lingkungan istana.
Cian Hui dan Sui In yang ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya
mampu menanti karena mereka menderita luka keracunan yang
cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka
mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu,
458
akan tetapi baru saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang
kini sudah terbuka, keduanya tidak kuat menahan lagi dan
mereka terguling roboh tak sadarkan diri.
◄Y►
Pek-liong-li, dan para perwira dan jagoan istana yang jumlahnya
belasan orang, memandang penuh perhatian ketika kakek dan
nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan orang
anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para
pengikutnya, tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah
mereka dapat dikenali.
Seperti yang telah diduga oleh Pek-liong, di antara para pengikut
itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis Rambut Putih dan dua
orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau
Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah
mereka itu adalah orang-orang dunia hitam yang sesat dan rata-
rata, memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bukan hanya Pek-liong-liong-li dan para perwira saja yang
memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana
sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata
dari para perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil
itu memandang dan mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika
mereka keluar dari kuil dan berada di pekarangan depan kuil di
mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira sedang
menanti.
Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi telah menerangi seluruh
pekarangan. Namun tidak ada wajah seorangpun di situ yang
459
cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana, juga
para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun
wajah gerombolan pengacau itu dibayangi kegelisahan dan
ketegangan.
Melihat mereka keluar tanpa membawa empat orang yang
mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas. '“Mo-ong
dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji!
Di mana empat orang tawanan itu?”
“Mereka berada di dalam, terluka. Kami tidak melanggar janji dan
kami siap melawan kalian orang-orang muda sombong!” kata
Lam-hai Mo-ong.
Liong-li menoleh kepada seorang perwira dan berkata, “Ciang-
kun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang itu dalam
keadaan selamat di dalam sana.”
“Baik,” jawab perwira itu yang segera memasuki pintu rahasia
yang kini sudah terbuka itu.
Liong-li tidak mau ditipu. Kalau empat orang itu telah dibunuh
oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak mau memegang
janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek
dan nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan
istana untuk mengeroyok dan menangkap gerombolan itu.
Tak lama kemudian, perwira itu muncul kembali dan diapun
melapor kepada Liong-li. “Li-hiap, mereka masih hidup walaupun
dalam keadaan terluka.”
460
“Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami adalah datuk-datuk persilatan yang
ternama. Kami tidak akan melanggar janji!” kata Tiat-thouw Kui-
bo.
“Kui-bo, seperti aku tidak tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo!
Kalian memenuhi janji hanya karena sudah tersudut!”
“Hek-liong-li, tidak perlu banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin
menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan? Masih
berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?”
“Tentu saja. Majulah, Kui-bo!” kata Liong-li yang sudah siap siaga
menandingi nenek yang ia tahu amat lihai dan berbahaya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan-seruan nyaring dan
nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat itu! Melihat kaisar
muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali gerombolan
penjahat, memberi hormat.
“Tangkap gerombolan Bayangan Iblis dan penggal leher mereka
semua!” bentak Kaisar dengan nada suara marah.
Kaisar memang marah sekali karena baru saja dia mendengar
laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran Souw Kian,
bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena
mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu
meninggalkan surat pengakuan bahwa gerombolan Si Bayangan
Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud agar
kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian,
dengan janji bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi
461
kaisar, pimpinan gerombolan itu akan mendapatkan kedudukan
tinggi.
Kiranya selir itu ketika mendengar bahwa gerombolan itu gagal
dan dikepung, ia meracuni puteranya dan diri sendiri. Lebih baik
mati dari pada menderita malu dan juga ngeri menghadapi
hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka.
Kaisar menjadi marah sekali dan mendengar laporan bahwa kini
gerombolan itu telah dikepung di sarang mereka, yaitu kuil istana
di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan
pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.
Ketika kaisar mengeluarkan perintah, Hek-liong-li dan Pek-liong-
eng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan dilaksanakan dan ini
berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk. Maka,
dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut
di depan kaisar.
“Ampunkan hamba berdua, Sribaginda!” kata Hek-liong-li,
“Hamba berdua sudah menantang dua orang pimpinan Si
Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon
paduka memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk
bertanding dengan dua orang pimpinan gerombolan Si Bayangan
Iblis.”
Kaisar mengerutkan alisnya, “Siapakah kalian?”
“Hamba bernama Lie Kim Cu, Sribaginda.”
“Hamba bernama Tan Cin Hay,” kata pula Pek-liong.
462
“Mereka adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, Sribaginda,”
seorang perwira melapor.
Kaisar mengangguk-angguk dan menghelus jenggotnya. Diam-
diam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar laporan, bahkan
dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang
diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak
disangkanya bahwa sepasang pendekar yang dikabarkan amat
lihai itu ternyata hanyalah sepasang orang yang masih muda.
“Mereka benar, Sribaginda. Mohon diberi kesempatan kepada
mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!” tiba-tiba
terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian
yang dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh
gadis kembar yang tak pernah terpisah dari samping permaisuri
itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa.
“Hamba sendiri yang mengutus Hek-liong-li untuk menyelidiki dan
menangkap Bayangan Iblis,” kata pula permaisuri itu setelah
memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera
menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal.
Kaisar dan permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton
pertunjukan yang menarik.
“Baik, kami setuju diadakan pertandingan itu. Akan tetapi, sekali
para penjahat itu berbuat curang, segera kepung dan robohkan
mereka semua!” kata kaisar penuh wibawa.
“Terima kasih, Sribaginda,” kata Liong-li dan Pek-liong berbareng
dan merekapun kini menghadapi lagi kakek dan nenek yang
berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan
463
orang anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan
ketakutan.
“Nah, engkau beruntung sekali, Kui-bo. Dalam kesempatan
terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk memamerkan
kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!” kata
Liong-li sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam
berkilauan. “Cabut senjatamu dan mulailah!”
Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa ia tidak dapat mengelak lagi,
tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan melawan Hek-
liong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar.
Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun
kedudukannya sungguh tidak menguntungkan, seolah ia berada
di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia lolos lagi.
Andaikata ia dapat menang melawan Liong-li, belum tentu kaisar
akan mau membebaskannya begitu saja. Akan tetapi kalau ia dan
Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada
harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh
atau lawan terberat bagi mereka hanyalah dua orang pendekar
muda itu.
“Baik, Hek-liong-li, engkau atau aku yang akan menjadi
pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!” kata Tiat-
thouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang
pedang yang berkilau saking tajamnya.
Pada saat itu, para pangeran berdatangan untuk menyaksikan
sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini mengacau
464
dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di
luar istana.
“Kui Lo-ma......! Apa yang kaulakukan ini? Benar engkaukah ini?”
Pangeran Kim Ngo Him yang baru tiba berseru dengan penuh
keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya dikenalnya
sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini
membuktikan bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar
tidak tahu menahu tentang gerakan gerombolan pembunuh Si
Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.
“Mundurlah, pangeran. Pangeran telah memelihara seekor srigala
dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma, melainkan Tiat-
thouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di
antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam,” kata Hek-liong-li.
Mendengar ini wajah pangeran itu menjadi pucat dan segerti
orang ketakutan diapun melangkah ke belakang menjauhi nenek
itu yang hanya menyeringai.
Ketika melihat munculnya Pangeran Souw Cun, Liong-li segera
teringat akan kematian Pangeran Souw Han, dan teringat pula
betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka ia
mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya
ke arah Pangeran Souw Cun dan berkata,
”Inilah dia pangeran yang bersekongkol dengan gerombolan
Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh Pangeran
Souw Han!”
465
Tentu saja ucapan Liong-li ini membuat semua mata memandang
kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan
permaisuri Bu Cek Thian.
“Bohong! Itu fitnah belaka. Seperti juga pangeran Kim Ngo Him,
aku tidak tahu menahu tentang gerombolan......”
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-hai Mo-ong tertawa memotong ucapan
Pangeran Souw Cun. “Kalau sudah begini, perlu apa berpura-
pura lagi, pangeran? Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal,
digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja
pangeran tidak menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum
tentu secepat ini kita mengalami kegagalan!”
Mendengar ucapan ini, Pangeran Souw Cun menjadi pucat
sekali.
“Tangkap pengkhianat itu!” Kaisar membentak marah dan
Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri berlutut
minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap
memberi isyarat kepada para pengawal yang segera menangkap
dan menyeret pangeran itu untuk ditawan. Bukan Pangeran Souw
Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh keluarganya termasuk
ibunya juga ditangkap.
“Nah, sekarang majulah, Kui-bo,” kata Liong-li.
Nenek itu memandang dengan mata mencorong, mata kehijauan
yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba saja tangan kirinya
bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah
tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui
466
bo mempunyai senjata rahasia paku beracun yang amat
berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan sekali Hek-liong-kiam
di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan
semua paku itupun runtuh.
SERANGAN paku ke arah tubuh bagian atas lawan itu
merupakan gertakan untuk mengalihkan perhatian saja, karena
begitu Liong-li memutar pedang menangkis, Kui-bo sudah
meloncat ke depan, tubuhnya merendah dan pedangnya
meluncur, menyapu ke arah kedua kaki Liong-li. Serangan tiba-
tiba ini amat berbahaya karena pada saat itu, Liong-li sedang
memutar pedang menangkis paku-paku itu.
Namun, Liong-li tidak pernah lengah dan begitu nampak sinar
pedang menyapu ke arah kakinya, dengan gerakan ringan sekali
tubuhnya sudah meloncat ke atas, berjungkir balik di udara dan
tubuh itu meluncur turun bagaikan seekor naga, kepala di depan
dan didahului putaran pedangnya menyerang ke arah kepala Kui-
bo. Nenek iblis terpaksa menggerakkan pedangnya menangkis
sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
“Tranggg......!” Tubuh Liong-li terpental dam wanita ini berjungkir
balik beberapa kali baru tubuhnya meluncur turun kembali ke atas
lantai di depan Tiat-thouw Kui-bo.
Nenek itu sendiri terhuyung ke belakang dan dari akibat benturan
pedang itu saja dapat diketahui bahwa dalam hal kekuatan sin-
kang, mereka berimbang! Hanya Liong-li lebih pandai mengatur
keseimbangan dirinya sehingga akibat benturan tenaga itu dapat
467
diatasinya dengan baik, membuat gerakannya nampak indah
sedangkan nenek itu terhuyung seperti hendak jatuh.
Tiat-thouw Kui-bo menjadi semakin marah. Ia memang amat
membenci Liong-li. Pendekar wanita itu bersama Pek-liong telah
membunuh dua orang rekannya, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua
Berhati Hitam) di daerah Lok-yang, dan Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis
Arak Muka Tertawa) di Bukit Merak daerah Po-yang. Seperti juga
ia dan Lam-hai Mo-ong, dua orang rekannya itu adalah anggauta
Kiu Lo-mo, maka tentu saja, Kui-bo mendendam kepada Liong-li.
Kalau selama ini ia dan Lam-hai Mo-ong belum bertindak
melakukan pembalasan, hal itu adalah karena ia sedikit banyak
merasa jerih terhadap pendekar wanita itu. Melakukan
penyerangan ke rumah pendekar wanita itu amat berbahaya
karena rumah itu diperlengkapi alat-alat rahasia dan perangkap
yang sukar diatasi. Ia dan Mo-ong hanya menanti kesempatan
baik saja.
Ketika melihat Liong-li di istana, kesempatan itu muncul, akan
tetapi ia dan Mo-ong sibuk dengan urusan yang lebih besar, yaitu
mencari kekuasaan di istana. Kini, kesempatan itu tiba, akan
tetapi keadaannya terjepit dan terkepung, bahkan disaksikan oleh
Kaisar dan Permaisuri. Tiada jalan lain baginya kecuali melawan
dengan nekat dan mati-matian.
“Hyaaattt......!” Nenek itu mengeluarkan suara melengking nyaring
dan pedangnya diputar cepat, berubah menjadi gulungan sinar
yang menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Namun, wanita cantik
berpakaian serba hitam itu menyambut dengan gerakan tenang
468
dan mantap. Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan
menimbulkan pijar bunga api.
Keduanya sudah saling serang dengan hebatnya. Hanya ahli-ahli
silat yang sudah tinggi tingkatnya dapat mengikuti gerakan
mereka yang amat cepat. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu
silat, dua orang .yang sedang bertanding itu seolah-olah
merupakan dua bayangan yang berkelebatan dan menjadi satu
digulung dua sinar pedang, sukar dibedakan mana Liong-li mana
Kui-bo.
Pada suatu saat, ketika Liong-li menyerang dengan bacokan
pedangnya dari atas menyambar ke arah kepala lawan. Kui-bo
menyambutnya dengan tangkisan ke atas. Kedua pedang
bertemu dan melekat karena pengerahan sin-kang kedua pihak.
Saat kedua pedang melekat di udara itu, Kui-bo menggerakkan
tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah
dada Liong-li. Pukulan maut ini berbahaya sekali karena
mengandung hawa beracun.
Namun, Liong-li sudah siap dan ia sudah mengerahkan tenaga
istimewa yang membuat tangan kirinya menjadi merah. Itulah
Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah), satu diantara ilmu-ilmu
yang dikuasai Liong-li.
“Desss......!” Dua buah telapak tangan bertemu, keduanya
mengandung pukulan beracun dan akibatnya, Kui-bo terhuyung
ke belakang sambil menyeringai karena telapak tangan kirinya
terasa panas. Sebaliknya, Liong-li juga tergetar hebat dan
469
keduanya kini sudah siap untuk melanjutkan pertandingan mati-
matian itu.
Melihat keadaan rekannya agaknya tidak akan dapat menang
dengan mudah, tentu saja Lam-hai Mo-ong merasa khawatir
sekali. Satu-satunya kawan yang dapat diandalkannya
menghadapi Pek-liong dan Liong-li hanyalah Kui-bo. Anak
buahnya, walaupun memiliki kepandaian cukup tinggi, bukanlah
tandingan sepasang pendekar itu. Maka, diapun sudah meloncat
ke depan Pek-liong.
“Pek-liong-eng, mari kita mengadu nyawa, bukan hanya menjadi
penonton saja!” teriaknya dan diapun sudah melolos rantai
bajanya.
“Hemm, majulah, Mo-ong,” kata Pek-liong dan sekali tangan
kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat dan Pedang
Naga Putih telah berada di tangannya.
Lam-hai Mo-ong tidak banyak cakap lagi, segera mengeluarkan
suara gerengan seperti seekor biruang dan diapun sudah
memutar rantai bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Namun,
Pek-liong sudah siap siaga dan dengan lincah sekali pendekar ini
sudah mengelak dari sambaran rantai dan membalas dengan
tusukan pedangnya.
Namun, lawannya adalah seorang datuk yang lihai, dan dapat
pula menghindarkan tusukan pedang dengan mudah sambil
menggerakkan rantainya menyapu ke arah kaki Pek-liong yang
meloncat ke atas. Perkelahian mati-matian segera terjadi antara
Lam-hai Mo-ong dan Pek-liong-eng.
470
Kini para penonton mengagumi dua perkelahian yang amat
hebat. Kaisar sendiri walaupun pernah mempelajari ilmu silat di
waktu mudanya, menjadi pening juga menyaksikan gerakan
empat orang itu yang terlalu cepat baginya. Namun, para jagoan
istana dan para perwira memandang penuh kagum. Belum
pernah mereka menyaksikan pertandingan silat yang demikian
hebatnya.
“Kui-bo, kita bertukar lawan!” tiba-tiba Mo-ong berteriak, rantainya
kini menyeleweng dan menyambar ke arah Liong-li ketika dua
orang wanita yang sedang bertanding itu tiba di dekatnya.
Tiat-thouw Kui-bo agaknya sudah mengenal benar siasat
rekannya itu, maka tubuhnya sudah mencelat ke kanan dan
pedangnya menyerang Pek-liong. Diserang secara mendadak
oleh musuh yang berganti tempat itu, baik Liong-li maupun Pek-
liong menjadi agak bingung dan hampir saja Liong-li terkena
sambaran rantai baja.
Biarpun ia sudah mengelak dengan cepat membanting tubuh ke
belakang lalu bergulingan, tetap saja ia terhuyung dan kini
dikurung oleh gulungan sinar rantai yang panjang. Akan tetapi,
wanita perkasa itu segera dapat menguasai dirinya, memutar
Hek-liong-kiam dan dapat mengimbangi rangkaian serangan
lawan. Demikian pula Pek-liong sempat terkejut dan terdesak
oleh pedang Kui-bo, namun diapun segera dapat mengembalikan
keseimbangannya.
Akan tetapi, beberapa kali kakek dan nenek iblis itu bertukar
tempat dan setiap mereka berganti tempat, Pek-liong dan Liong-li
471
dibuat bingung dari terdesak. Agaknya memang pertukaran
tempat yang berganti-ganti itu merupakan siasat kakek dan nenek
itu.
“Pek-liong, sudah tiba saatnya kita mainkan Sin-liong-kiam
(Pedang Naga Sakti)!” tiba-tiba Liong-li berseru dan iapun
meloncat ke dekat Pek-liong dan mereka saling membelakangi.
Kini baru kakek dan nenek itu tahu bahwa siasat mereka tadi
hanya memancing dua orang itu mengeluarkan ilmu pedang yang
mereka ciptakan bersama, yang merupakan inti dari kehebatan
sepasang naga putih dan naga hitam itu! Kalau saja Mo-ong
menantang Pek-liong untuk bertanding pula, belum tentu mereka
akan mengeluarkan ilmu ini.
Dan begitu Pek-liong dan Liong-li memainkan Sin-liong-kiam yang
mereka ciptakan bersama, dua orang kakek dam nenek itupun
menjadi terkejut dan terdesak hebat. Ilmu pedang itu memang
merupakan ilmu pedang gabungan dari semua kepandaian
mereka, dan dengan bekerja sama mereka itu seolah-olah hanya
mempunyai satu hati, satu pikiran dan satu perasaan!
Gulungan sinar pedang putih dan hitam itu saling membantu,
saling memperkuat dan mengisi kekosongan masing-masing dan
biarpun lawan mereka merupakan dua orang datuk yang lihai
sekali. Kini dua orang itu terdesak dan terkepung gulungan sinar
pedang hitam putih dan mereka hanya dapat menangkis saja
tanpa sempat membalas karena mereka masih bingung oleh
gerakan dua batang pedang yang saling bantu dengan gerakan
aneh dan hebat itu.
472
Agaknya, kalau saja dua orang pendekar ini tidak bekerja sama
dengan ilmu pedang ciptaan mereka, kiranya tidak akan mudah
bagi mereka mengalahkan lawan masing-masing, karena
kekuatan mereka sesungguhnya seimbang. Mereka memang
menang cepat karena memang masih muda, akan tetapi
kemenangan ini diimbangi oleh kemenangan pihak lawan dalam
hal pengalaman.
Setelah mereka bekerja sama, kekuatan mereka menjadi berlipat
ganda. Hal ini bukan hanya karena ilmu pedang Sin-liong-kiam-
sut, memang ciptaan mereka, namun antara Pek-liong dan Liong-
li memang terdapat hubungan yang amat aneh.
Mereka itu sekali saling pandang saja seperti telah dapat
membaca isi hati masing-masing, dan begitu mereka berdekatan,
mereka seperti sudah saling bantu dan jalan pikiran mereka
searah, juga perasaan mereka sama peka terhadap rekannya.
Inilah kelebihan Pek-liong dan Liong-li yang tidak ada pada kedua
orang lawan mereka sehingga mereka mampu membuat Kui-bo
dan Mo-ong menjadi repot sekali.
Ketika Kui-bo terhuyung oleh sambaran pedang Pek-liong,
kesempatan itu dipergunakan oleh Liong-li untuk menerjang ke
depan. Pedangnya diputar cepat ketika ia melihat Kui-bo yang
sudah kewalahan itu menangkis sehingga tanpa dapat dicegah
lagi, pedang di tangan Kui-bo terlepas.
Kui-bo menjadi terkejut dan marah, tangan kirinya bergerak dan
tiga batang paku beracun terakhir yang masih dimilikinya
meluncur dan menyambar ke arah Liong-li. Liong-li sudah
473
menduga akan hal ini, pedangnya berkelebat menangkis dengan
pukulan sehingga tiga batang paku itu membalik dan menyambar
ke arah Tiat-thouw Kui-bo sendiri.
“Aughhh......!” Nenek itu kena disambar pakunya sendiri yang
tepat mengenai lehernya. Ia terjengkang dan berkelonjotan
sekarat.
Sementara itu, melihat rekannya roboh, Lam-hai Mo-ong menjadi
gentar. Dia mencoba untuk meloncat ke kiri, untuk melarikan diri,
akan tetapi dia berhadapan dengan tombak para perajurit
pengawal. Dia memutar rantai mengamuk dan robohlah dua
orang perajurit. Akan, tetapi Pek-liong sudah menghadapinya lagi.
“Iblis tua, jangan pengecut! Engkau hendak lari ke mana?” Pek-
liong sudah mendesak dengan pedangnya.
Lam-hai Mo-ong menjadi semakin panik. Dia telah membunuh
dua orang perajurit, maka dia tahu bahwa tentu tidak ada ampun
baginya. Melihat Pek-liong menyerangnya, diapun meloncat ke
belakang, kemudian sambil mengambil ancang-ancang, dia
bahkan melompat tinggi ke arah Pek-liong dengan rantai baja
diputar.
Melihat ini, Pek-liong juga meloncat menyambutnya. Nampaknya
ke dua orang itu hendak berbenturan di udara. Akan tetapi,
akhirnya tubuh kakek itu terpelanting dan ketika tiba di atas
tanah, dia terbanting keras. Rantainya terlempar dan kedua
tangannya mendekap perut, matanya terbelalak dan ternyata
perutnya robek oleh pedang Pek-liong. Hanya sebentar kakek itu
sekarat, lalu tewas seperti rekannya, Tiat-thouw Kui-bo yang telah
474
tewas lebih dahulu karena paku beracun menancap di
tenggorokannya.
Melihat betapa dua orang pimpinan mereka itu tewas,
gerombolan penjahat itu menjadi ketakutan. Agaknya tadi Pek-
mau-kwi Ciong Hu dan dua orang bersaudara Huang-ho Siang-
houw sudah saling berbisik mengatur siasat untuk
menyelamatkan diri.
Begitu melihat Lam-hai Mo-ong roboh, mereka bertiga sudah
mencabut pedang dan serentak mereka meloncat ke arah tempat
duduk permaisuri Bu Cek Thian! Mereka tadi sudah mengatur
siasat bahwa untuk dapat meloloskan diri, mereka harus dapat
menyandera seorang penting.
Kaisar sendiri terjaga kuat, akan tetapi mereka melihat betapa
permaisuri hanya dilindungi oleh dua orang pengawal wanita, dua
orang gadis kembar. Mereka mengira bahwa tentu mereka akan
dapat dengan mudah menyandera permaisuri dan mereka akan
memaksa kaisar untuk membebaskan mereka, menukar nyawa
mereka dengan keselamatan sang permaisuri.
Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka meloncat
dekat Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang gadis kembar yang
menjadi pengawal pribadi permaisuri itu, menyambut Huang-ho
Siang-houw dengan pedang mereka dan gerakan dua orang
gadis kembar ini amat cepat dan kuat! Segera Huang-ho Siang-
houw terlibat dalam perkelahian pedang melawan dua orang
gadis kembar ini, sedangkan Pek-mau-kwi sendiri ternyata tahu-
tahu dihadang oleh Liong-li!
475
Pek-mau-kwi menyerang mati-matian karena maklum bahwa dia
menghadapi lawan yang amat tangguh, yang baru saja
merobohkan Tiat-thouw Kui-bo. Akan tetapi, memang tingkatnya
kalah jauh dibandingkan Liong-li, maka dalam beberapa gebrakan
saja Pek-mau-kwi roboh dengan dada tertembus pedang Naga
Hitam. Dua orang Huang-ho Siang-houw juga repot menghadapi
sepasang gadis kembar murid-murid Bu-tong-pai yang lihai itu.
Merekapun roboh dan tewas oleh pedang Bi Cu dan Bi Hwa.
Sementara itu, melihat robohnya tiga orang pembantu utama
pimpinan mereka, belasan orang anak buah gerombolan Si
Bayangan Iblis sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyerah.
Mereka semua ditangkap dan diseret ke dalam penjara untuk
diadili kelak.
Pek-liong dan Liong-li segera memasuki pintu rahasia, diikuti oleh
para jagoan istana. Dan di dalam ruangan di bawah tanah itu
mereka melihat Cian Hui dan Sui In yang roboh pingsan, juga dua
orang hwesio Gwat Kong Hosiang dan Kwan Seng Hwesio yang
terluka parah.
Seperti dengan sendirinya, Liong-li menghampiri Cian Hui dan
Pek-liong menghampiri Sui In. Setelah memeriksa dan
mendapatkan kenyataan bahwa Cian Hui dan Sui In menderita
luka dalam karena pukulan beracun, Liong-li dan Pek-liong
menotok beberapa jalan darah di tubuh mereka sehingga mereka
siuman, lalu kedua orang pendekar itu memapah mereka yang
terluka keluar dari ruangan bawah tanah.
476
Melihat Kaisar dan Permaisuri sendiri berada di kuil yang menjadi
medan perkelahian itu, Cian Hui yang terluka parah lalu
menjatuhkan diri berlutut, diikuti Sui In dan juga Pek-liong dan
Liong-li. Kaisar tersenyum, gembira dan memuji-muji mereka
berempat.
Ketika mendengar betapa Cian Hui dan Sui In. terluka pukulan
beracun dan bahwa Liong-li dan Pek-liong hendak mengobati
mereka, Kaisar memerintahkan untuk memberi kamar-kamar
untuk tamu agung bagi mereka. Juga dia memerintahkan
permaisuri untuk membagi-bagi hadiah yang layak bagi mereka
berempat yang sudah berjasa membongkar rahasia gerombolan
Si Bayangan Iblis, bahkan telah membasmi gerombolan itu.
Kemudian Kaisar dan Permaisuri kembali ke istana.
◄Y►
Semalam suntuk, baik Pek-liong maupun Liong-li, di kamar
masing-masing dalam istana, kamar yang besar dan indah,
mengerahkan sin-kang mereka dan mengobati Cian Hui dan Sui
In. Mereka melakukan cara pengobatan yang sama. Cian Hui
duduk bersila di atas pembaringan, Liong-li duduk di belakangnya
dan menempelkan telapak kedua tangannya di punggung perwira
itu dan menyalurkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun dan
memulihkan tubuh yang terluka.
Demikian pula cara Pek-liong mengobati Sui In di kamarnya. Bagi
orang lain, tentu terasa janggal dan aneh melihat betapa Pek-
liong yang mengobati Sui In dan bukan Liong-li, dan demikian
sebaliknya Liong-li yang mengobati Cian Hui. Akan tetapi bagi
477
sepasang pendekar itu, hal ini tidak ada halangannya. Liong-li
memang lebih dekat dengan Cian Hui, sedangkan Pek-liong
datang ke kota raja bersama Sui In.
Pada keesokan harinya, dua orang yang terluka itu sudah hampir
sembuh. Hawa beracun sudah dibersihkan dan mereka tinggal
beristirahat beberapa hari saja, maka mereka akan sembuh sama
sekali.
Di kamar Liong-li, Cian Hui memegang kedua tangan Liong-li
dengan pandang mata terharu. “Li-hiap, tanpa bantuanmu bukan
saja gerombolan Si Bayangan Iblis tidak mungkin dapat dibasmi,
bahkan akupun tentu sudah tewas. Bagaimana aku dapat
membalas budimu selain mengabdi kepadamu selama hidupku.
Li-hiap, sekali lagi kuulangi permohonanku kepadamu. Sudilah
kiranya engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi
isteriku, dan aku akan menumpahkan seluruh perasaan kasih
sayang dan baktiku kepadamu.”
Liong-li tersenyum dan dengan lembut melepaskan kedua
tangannya yang digenggam oleh perwira yang gagah perkasa itu.
Akan tetapi ia masih duduk di atas pembaringan berhadapan
dengan perwira itu. Senyumnya lembut dan manis sekali.
“Ciang-kun, sudah berkali-kali sejak malam tadi engkau
mengajukan lamaran dan sudah berkali-kali pula terpaksa aku
menolaknya. Aku tahu, setiap orang wanita yang bijaksana, akan
merasa bangga dan berbahagia sekali dapat menjadi isterimu.
Engkau seorang pria yang gagah perkasa dan setia, dan engkau
seorang pria yang hebat. Akan tetapi maafkan, aku tidak dapat
478
mengikatkan diriku dalam suatu pernikahan. Aku ingin bebas.
Terus terang saja Ciang-kun, akupun kagum kepadamu, dan aku
suka kepadamu. Kalau engkau menghendaki diriku, Ciang-kun,
akupun akan menyambutnya dengan gembira. Akan tetapi
pernikahan? Tidak! Aku tidak ingin terikat.”
Cian Hui mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang cantik
jelita itu dan dalam pandang matanya terbayang keheranan dan
keraguan.
“Akan tetapi, mengapa, li-hiap? Kalau engkau tidak menolakku,
berarti engkau cinta pula kepadaku. Kenapa tidak dengan
pernikahan?”
Liong-li tersenyum lagi dan menggeleng kepalanya. “Panjang
ceritanya, akan tetapi cukup kalau kauketahui bahwa aku tidak
berharga menjadi isterimu, Cian Ciang-kun. Aku seorang
petualang, hidupku penuh musuh penuh ancaman bahaya......”
“Kalau aku menjadi suamimu, aku akan melindungimu, li-hiap.
Aku akan mengubah hidupmu, menjadi seorang ibu rumah
tangga yang hidup tenang dan tenteram, penuh kasih sayang dari
suami dan anak-anakmu......”
Liong-li tertawa, tertawa lepas tanpa menutup mulutnya seperti
biasanya para wanita bersopan-sopan. Akan tetapi karena
kewajarannya itu, dalam pandangan Cian Hui yang sudah tergila-
gila, Liong-li nampak semakin menarik dan menggairahkan.
“Ha-ha, Ciang-kun. Membayangkan aku menjadi seperti itu
sungguh membuat aku merasa ngeri! Rasanya aku menjadi
479
seperti boneka hidup. Hidup penuh damai dan tenteram, tanpa
tantangan tanpa ancaman. Aih, betapa menjemukan kehidupan
seperti itu bagiku, Ciang-kun!
“Tidak, terus terang saja, aku suka padamu, aku suka bercintaan
denganmu, akan tetapi hanya itu, tidak ada ikatan cinta kasih
yang membuat kita menjadi suami isteri. Tidak, aku tidak dapat
menikah dan menjadi isterimu, Ciang-kun. Aku tidak cinta
padamu seperti itu, aku hanya suka kepadamu sebagai seorang
pria yang jantan dan mengairahkan.”
Cian Hui terbelalak. “Kalau begitu, engkau telah mencinta pria
lain, Li-hiap!”
Sepasang alis Liong-li yang indah itu berkerut. “Tidak tahulah.”
“Ah, sekarang aku mengerti! Li-hiap, engkau tentu mencinta Pek-
liong-eng! Dapat kurasakan itu, dapat kulihat dari sikap kalian.
Dan hal itu tidak aneh. Li-hiap kalian saling mencinta!”
Kerut merut di antara sepasang alis itu makin mendalam. “Pek-
liong? Ah, tentu saja aku sayang padanya, aku dan dia adalah
satu hati satu pikiran, Ciang-kun. Aku mau mengorbankan nyawa
untuknya dan diapun demikian. Hal itu kami anggap wajar.”
“Kalau begitu kenapa li-hiap tidak menikah dengan dia?
Pasangan yang amat serasi! Benar, kalian saling mencinta dan
kalian harus menjadi suami isteri......”
“Cukup! Tidak ada yang mengharuskan kami!! Dan hubungan
kami bahkan lebih akrab dari pada hanya sepasang kekasih.
480
Sudahlah, engkau tidak perlu mencampuri urusan kami. Aku
masih bersedia menyambutmu kalau engkau hendak
membuktikan kasih sayangmu kepadaku, Ciang-kun.”
Wanita itu memandang dan tersenyum dengan sikap menantang
dan penuh daya pikat. Sejenak jantung dalam dada Cian Hui
terguncang dan ingin sekali dia menubruk dan mendekap wanita
yang amat menggairahkan hatinya itu. Namun, dia menahan diri,
bahkan dia meloncat turun dari atas pembaringan.
“Li-hiap, kauanggap aku ini laki-laki yang tidak dapat menghargai
wanita? Li-hiap, aku cinta kepadamu. Cinta yang tumbuh dari
sanubariku, bukan sekedar hendak melampiaskan nafsu berahi
saja. Aku cinta padamu, ingin membahagiakanmu, ingin
berdampingan selamanya denganmu, ingin menjadi ayah anak-
anakmu. Aku menghormatimu, kagum kepadamu dan lebih baik
aku mati dari pada harus menghinamu dengan perbuatan yang
tidak sopan. Li-hiap, curahan cinta kasih hanya dapat kulakukan
jika li-hiap telah menjadi isteriku.”
Wajah Liong-li berubah merah. Baru sekarang ia bertemu
seorang pria yang menolak begitu saja, pada hal ia
melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati. Sungguh
perwira ini seorang pria yang hebat dan ucapannya yang lembut
itu seperti pedang menikam perasaannya, membuat ia merasa
malu, merasa rendah dan kotor. Akan tetapi, ia menyimpan
perasaan itu dan iapun tersenyum cerah.
“Lengkaplah sudah segala sifat baik pada dirimu, Ciang-kun.
Sungguh aku merasa kagum sekali dan ini juga membuktikan
481
betapa jauh bedanya antara kita, dan betapa aku sungguh tidak
patut menjadi isterimu. Nah, kalau begitu, selamat berpisah dan
selamat tinggal, Cian Ciang-kun. Hadiah dari Sribaginda untukku
kuberikan kepadamu. Kauterimalah sebagai tanda peringatan
dariku. Aku pergi, Ciang-kun!”
“Li-hiap........!” Cian Hui berseru, akan tetapi wanita itu hanya
menoleh sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, tanda
bahwa ia sama sekali tidak menyesal atau marah. Cian Hui
terhenyak di kursi dan termenung, berulang kali menghela napas
panjang dan dia merasa jantungnya kosong dan sunyi.
Sementara itu, di kamar lain yang tidak begitu jauh dari situ,
kamar yang sama indahnya, Pek-liong juga duduk berhadapan di
atas pembaringan dengan Cu Sui In. Janda muda ini sudah
sembuh dan kini ia memandang pendekar itu dengan sinar mata
penuh kagum dan terima kasih.
“Tai-hiap, sungguh besar budi yang telah tai-hiap limpahkan
kepadaku. Karena bantuan tai-hiap maka dendamku dapat
terbalas, dan kalau tidak ada tai-hiap yang menolongku berulang
kali, tentu aku sudah tewas di tangan orang jahat. Tai-hiap,
bagaimana aku dapat membalas budimu yang besar itu?”
Pek-liong menjulurkan lengan dan tangannya menyentuh dagu
yang halus meruncing manis itu. “Tidak ada budi tidak ada balas,
adik yang manis. Aku senang sekali dapat membantumu. Engkau
seorang wanita muda yang bernasib malang, masih muda sudah
menjadi janda. Engkau cantik jelita dan manis, bahkan memiliki
482
ilmu kepandaian yang cukup tinggi, cerdik dan berani. Aku suka
sekali kepadamu, adik Sui In.”
Wajah wanita itu menjadi kemerahan. Memang sejak pertama kali
bertemu dengan pendekar ini, ia sudah jatuh hati. Pria ini terlalu
hebat dan ia kagum sekali.
“Tai-hiap terlalu memuji. Sebaliknya, tai-hiap adalah seorang
pendekar besar yang amat mengagumkan. Tai-hiap, aku ingin
sekali membalas semua budimu. Kalau tai-hiap sudi menerimaku,
aku ingin melayanimu selama hidupku.”
“Aih, apa maksudmu, adik Sui In?” Pek-liong menyentuh kedua
pundak Sui In dan wanita itupun merebahkan diri dalam
dekapannya, menyandarkan muka di dada yang bidang itu.
“Tai-hiap, aku akan berbahagia sekali untuk menjadi sisihanmu,
menjadi isterimu, atau selirmu, atau pelayanmu......”
Pek-liong mengangkat muka yang bersandar di dadanya itu dan
mengecup bibirnya. Menerima ciuman ini, Sui In memejamkan
matanya dan langit bagaikan runtuh baginya. Ia sudah siap
menyerahkan segala-galanya untuk pria yang dikaguminya dan
dicintanya itu.
“Adik Sui In, apa yang kaukatakan itu, akupun kagum dan suka
padamu, engkau seorang wanita yang hebat. Akan tetapi
ketahuilah bahwa aku tidak mau terikat oleh siapapun. Kalau kita
berdua saling menyukai dan dengan suka rela menyerahkan diri
untuk saling mencinta, aku akan senang sekali. Akan tetapi aku
tidak mau diikat dengan pernikahan, atau dengan ikatan apapun.
483
Setelah ini, kita harus berpisah dan mengambil jalan masing-
masing, dan semua ini hanya merupakan kenangan indah saja
bagi kita.”
Mendengar ini, Sui In merasa seperti dilempar kembali ke bumi
dari langit ke tujuh. Ia membelalakkan matanya, memisahkan diri
dari dada Pek-liong, menghadapi pemuda itu dan memandang
seperti orang yang tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
“Tai-hiap, engkau tidak...... tidak cinta padaku........?”
Pek-liong tersenyum. “Aku suka padamu, aku cinta padamu, akan
tetapi bukan cinta yang harus dilanjutkan dengan ikatan.”
“Ahhh...... ahhh......!” Wanita muda itu terisak dan menutupi
mukanya dengan kedua tangan, menangis lirih.
Pek-liong mengerutkan alisnya dan diapun turun dari atas
pembaringan.
“Adik Sui In, kenapa engkau menangis?”
Dari balik kedua tangannya, Sui In menahan isaknya. “Tai-hiap,
maafkan aku....... Kusangka tai-hiap mencintaku seperti aku
mencintamu. Aku mengharapkan untuk dapat menghabiskan sisa
hidupku di sampingmu. Aku dengan bahagia akan menyerahkan
diri, menyerahkan segalanya untukmu, bukan sekedar membalas
budi, melainkan karena aku...... aku cinta padamu. Akan tetapi
tai-hiap tidak suka menerimaku.......”
484
Pek-liong mengangguk-angguk. “Aku tahu sekarang, Sui In.
Engkau memang seorang wanita yang amat baik, juga terhormat.
Dan aku akan mengutuk diri sendiri kalau menyeretmu
melakukan hal yang tidak kausukai, yang akan kauanggap
sebagai suatu perbuatan aib. Aku seorang petualang, adik In, aku
tidak ingin terikat dengan pernikahan, aku ingin hidup sendiri.
“Nah, selamat tinggal, adik Sui In, dan jangan menangis. Aku
semakin kagum dan hormat padamu. Sampaikan hormatku
kepada Sribaginda dan kalau aku diberi hadiah, biarlah hadiah itu
untuk engkau dan Cian Ciang-kun. Kalian lebih berhak
menerimanya!”
“Tai-hiap......!” Akan tetapi Pek-liong sudah meloncat keluar dan
lenyap.
Sui In menangis sedih. Ia merasa kehilangan. Ia tidak
mengharapkan hadiah. Ia hanya ingin dapat hidup di samping
pendekar yang dikagumi dan dicintanya itu, untuk selamanya.
Akan tetapi pendekar itu menolaknya!
Pek-liong mau bermesraan dengannya, akan tetapi tidak mau
menikahinya. Dan pendekar itu demikian jujur, berterus terang,
dan sama sekali tidak mau menjamahnya lagi setelah ia
mengharapkan ikatan. Pada hal, sekali saja pendekar itu
merangkulnya, ia akan jatuh bertekuk lutut, dengan atau tanpa
janji ikatan.
“Tai-hiap...... ah, tai-hiap......” Ia terhuyung keluar dari dalam
kamar itu, untuk mencarinya, untuk mobon kepada Pek-liong agar
485
mengasihani dirinya. Akan tetapi, ia tidak melihat pendekar itu di
luar.
Hatinya terasa perih dan kosong, dan ia tentu akan terhuyung
roboh kalau saja tidak ada lengan yang kuat merangkul
pinggangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang merangkulnya
sehingga tidak sampai roboh itu adalah Cian Hui!
“Tenangkan hatimu, In-moi...... kulihat Tan tai-hiap sudah
pergi......”
Karena kepalanya terasa pening, Sui In terpaksa bersandar
kepada perwira itu dan membiarkan dirinya dituntun masuk ke
dalam kamarnya kembali.
“Duduklah dan tenangkan dirimu, agaknya lukamu belum
sembuh, In-moi,” kata perwira itu dan membantu Sui In duduk di
atas pembaringan. Dia sendiri duduk di atas kursi yang
berdekatan.
“Dia...... dia menolakku..... dia tidak mau menerima
pengabdianku...... dia tidak cinta padaku........” seperti mengigau
Sui In berbisik.
Cian Hui tersenyum pahit. Betapa sama nasib wanita ini dengan
dia. Wanita ini seorang janda, diapun seorang duda. Wanita ini
agaknya tidak diterima ketika menyatakan ingin menjadi isteri
Pek-liong dan dia sendiri ditolak Liong-li yang tidak mau terikat
dengannya!
486
“In-moi, tenangkan hatimu. Mereka itu bukanlah orang-orang
biasa seperti kita. Mereka adalah petualang-petualang, pendekar-
pendekar yang tidak mau terikat dengan pernikahan, tidak mau
terkurung dalam rumah tangga.”
Sui In mengangkat muka menoleh ke arah perwira itu sambil
menyusut air matanya. “.......mereka......?” tanyanya.
Sambil tersenyum pahit perwira itu mengangguk. “Benar, mereka,
In-moi. Li-hiap Hek-liong-li juga menolak lamaranku untuk
menjadi isteriku! Mereka orang-orang aneh, In-moi, berbeda
dengan kita......”
Sui In terbelalak, tidak tahu harus tertawa atau menangis.
“Ahhh......, betapa sama nasib kita. Kalau begitu.... mereka itu,
mereka saling mencinta!”
Cian Hui mengangguk. “Aku yakin begitu. Akan tetapi mereka
orang-orang aneh, cinta merekapun aneh.”
Dua orang yang bernasib sama ini saling pandang, kemudian
keduanya tersenyum. Mereka sama maklum dan mereka merasa
terhibur mendengar nasib yang lain, seolah-olah dalam
penderitaan dan kekecewaan mereka, ada teman yang senasib,
ada kawan dan ini merupakan hiburan besar.
Mereka saling menghibur dan melihat betapa masa depan
mereka cerah, karena mereka saling merasa kasihan dan timbul
suatu niat ingin saling mengisi kekosongan hati masing-masing.
Yang seorang duda, seorang lagi janda, keduanya tidak
mempunyai anak. Apa lagi yang menghalang?
487
Dua orang pengawal datang mengetuk pintu dan menyampaikan
perintah kaisar yang memanggil mereka berdua, juga memanggil
Pek-liong dan Liong-li. Mereka segera menghadap, melaporkan
tentang kepergian dua orang pendekar itu dan betapa mereka itu
meninggalkan pesan bahwa mereka tidak mengharapkan imbalan
jasa.
Kaisar merasa kagum sekali dan melimpahkan semua
anugerahnya kepada Cian Hui dan Sui In. Duda dan janda ini
meninggalkan istana dengan hadiah mereka, dengan hati yang
gembira dan penuh harapan yang gemilang.
Mereka tidak tahu bahwa hancurnya gerombolan Si Bayangan
Iblis itu mendatangkan keuntungan yang besar sekali kepada
satu orang, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian! Peristiwa itu membuat
para pangeran menjadi jera dan tidak ada lagi yang berani
memperebutkan pengaruh di istana. Dengan demikian maka
kekuataan Bu Cek Thian menjadi semakin besar.
Sementara itu, jauh di luar kota raja, Pek-liong dan Liong-li
menunggang kuda berdampingan. Mereka menjalankan kuda
dengan perlahan dan sejak mereka bertemu di pintu gerbang
istana, Liong-li melihat betapa wajah Pek-liong agak muram, tidak
berseri seperti biasanya. Akan tetapi mereka tidak banyak bicara
dan mereka keluar istana, membeli dua ekor kuda dan
melanjutkan perjalanan naik kuda keluar dari kota raja.
“Bagaimana dengan Cu Sui In?” tiba-tiba Liong-li bertanya, untuk
memancing omongan.
Tanpa menoleh Pek-liong balas bertanya, “Ada apa dengannya?”
488
“Apakah ia merupakan seorang kekasih yang menyenangkan?”
Pek-liong menoleh dan pandang mata mereka bertemu sejenak,
lalu Pek-liong menunduk kembali. “Ia seorang wanita yang hebat,
wanita yang terhormat, aku kagum padanya.”
Wajah Liong-li herseri dan mulutnya membayangkan senyum
ditahan, ia sudah mengenal isi hati rekannya itu seperti mengenal
telapak tangannya sendiri. Pek-liong menyebut Sui In wanita
terhormat, dan wajahnya muram, dan ia teringat akan
pengalamannya sendiri dengan Cian Hui.
“Ahh? Ia...... ia menolak cintamu?”
“Tidak, ia hanya seorang wanita terhormat. Ia ingin menjadi
isteriku, terpaksa menolak dan kami berpisah sebagai sahabat,
bukan sebagai kekasih. Engkau tentu lebih berhasil.”
Liong-li tertawa sampai terkekeh-kekeh dan mula-mula Pek-liong
memandang heran dengan alis berkerut, akan tetapi tidak lama
kemudian diapun tertawa bergelak karena dari sikap wanita itu
diapun dapat menjenguk isi hatinya dan dapat menduga apa yang
telah terjadi,
“Ha-ha-ha, diapun menolak karena ingin melamarmu menjadi
isterinya?”
Liong-li mengangguk. “Nasib kita sama. Baru sekali ini aku ditolak
seorang pria.”
489
“Akupun demikian. Akan tetapi sungguh mengagumkan. Dia pria
dan dia sungguh cinta padamu. Akan tetapi dia mampu
menolakmu. Hebat!”
Liong-li menggeleng kepalanya, “Tidak ada yang hebat. Dia pria
yang terikat oleh hukum dan peraturan, tidak bebas seperti kita.
Hanya ada sedikit ucapannya yang sampai sekarang menjadi
pemikiran.”
“Ucapan apakah itu?”
“Dia bilang bahwa kita saling mencinta......”
“Memang kita saling mencinta!” kata Pek-liong cepat dan tegas
tanpa keraguan.
“Tapi dia bilang semestinya kita menikah!”
“Menikah?” Pek-liong menunduk dan mengerutkan alisnya seperti
orang yang sedang berpikir keras. Akan tetapi dia melarikan
kudanya sehingga Liong-li terpaksa juga harus melarikan
kudanya. Mereka berdiam diri, hanya melarikan kuda.
Dalam keadaan seperti itu, keduanya tidak dapat mengetahui apa
isi hati masing-masing. Tidak tahu akan persamaan perasaan
yang membuat mereka masing-masing menjadi bingung dan
melamun.
Setiap kali berada dalam pelukan seorang pria, Liong-li selalu
menganggap pria itu Pek-liong, atau setidaknya, ada sedikit
bagian dari Pek-liong berada pada pria itu! Sebaliknya, setiap kali
490
merangkul seorang wanita, Pek-liong juga selalu teringat kepada
Liong-li dan merasa bahwa seolah Liong-li yang dirangkulnya,
bukan wanita lain!
Mereka membalapkan kuda dengan lamunan masing-masing,
untuk kemudian berpencar kembali ke tempat tinggal masing-
masing, namun lamunan itu masih akan berkepanjangan dan
akan menimbulkan lain kisah sepasang pendekar itu.
T A M A T
Lereng Lawu, akhir Juni 198