ASMARA DI UJUNG PEDANG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 19:
Asmara di Ujung Pedang
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Sebuah kereta kuda tampak tengah merangkak perlahan
menyusuri jalan berliku. Batu-batu berserakan di jalan,
membuat laju kereta menjadi lambat. Tidak jarang kusir
kereta yang berusia sekitar lima puluh tahun itu harus
turun dan menarik keretanya karena terperosok lubang
yang banyak terdapat di jalan itu.
Di kiri-kanan kereta kuda itu tampak empat orang
lelaki gagah mengiringinya sambil menunggang kuda.
Melihat dari sikap keempat orang penunggang kuda itu,
jelas kalau mereka bertugas melindungi kereta kuda itu.
Di dalam kereta kuda, duduk seorang laki-laki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun. Di sampingnya, duduk
seorang wanita cantik bersama seorang bocah perempuan
yang berada di tengah-tengah mereka berdua. Kelihatan-
nya, mereka inilah yang harus dilindungi. Sebentar
kemudian, laki-laki itu membuka tirai jendela kereta
kuda. Kepalanya dijulurkan ke luar.
“Tidak adakah jalan yang lebih baik daripada jalan ini,
Jantar?” tanya lelaki yang berada dalam kereta kuda,
kepada seseorang yang dipanggil Jantar. Dialah yang
menjadi kusir kereta kuda ini.
“Maaf, Tuan Besar. Memang hanya jalan inilah satu-
satunya yang lebih dekat ke kadipatan. Tapi, kesulitan ini
tidak akan berlangsung lama. Karena, sebentar lagi kita
akan tiba pada jalan rata,” jelas Ki Jantar sambil menyusut
peluh yang menganak sungai membasahi wajahnya.
Memang, saat itu matahari berada tepat di atas kepala.
Sinarnya begitu terik, memancar garang dan terasa
menyengat kulit.
“Ranta! Coba lihat ke depan. Berapa jauh lagi kita harus
berada di jalan neraka ini?” perintah lelaki berkumis tipis
yang dipanggil tuan besar itu, kepada penunggang kuda
yang berada di sebelah kin kereta.
“Baik, Tuan Besar,” sahut lelaki tinggi tegap berwajah
brewok yang dipanggil Ranta, menyahuti. Kemudian
kudanya digebah sehingga melesat mendahului kereta
kuda.
Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara ketika
kuda Ranta meluncur ke depan. Tidak berapa lama
kemudian, binatang beserta penunggangnya itu lenyap di
balik sebuah tikungan yang terhalang pohon-pohon besar
di tepi jalan.
Sementara itu kereta kuda terns merayap perlahan
melintasi jalan yang rusak. Namun, sampai mereka tiba di
tikungan jalan, lelaki berwajah brewok tadi belum juga
terlihat kembali. Padahal untuk mencapai tikungan jalan
itu, mereka telah memakan waktu yang cukup lama.
“Mengapa Ranta begitu lama? Bukankah tadi kau
katakan kalau tidak lama lagi jalan rusak ini dapat kita
lewati? Apa ucapanmu tadi hanya untuk menghiburku,
Jantar?” tegur lelaki yang berada di dalam kereta, kembali
menjulurkan kepalanya. Sambil berkata demikian, lelaki
itu menatap Ki Jantar lekat-lekat. Sinar matanya jelas
memancarkan kekesalan hati.
“Betul, Tuan Besar. Aku sama sekali tidak berhohong.
Setelah melewati dua belokan lagi, maka jalanan rusak ini
akan berakhir. Aku sendiri merasa heran, mengapa Ranta
begitu lama?” sahut Ki Jantar.
Ki Jantar tidak berani membalas tatapan tuan besarnya.
Karena dari nada suaranya, dia tahu kalau majikannya
sedang kesal.
“Biar aku yang akan menyusulnya, Tuan Besar. Siapa
tahu Adi Ranta mengalami kesulitan,” pinta pengawal
yang berada di sebelah kanannya, agak keras.
“Hm.... Pergilah. Tapi jangan terlalu lama!” sahut laki-
laki yang dipanggil tuan besar itu, cepat
Kemudian, kepalanya kembali ditarik dari jendela
kereta. Lalu, tubuhnya disandarkan, disertai hembusan
napas berat
“Sudahlah, Kakang. Mengapa harus kesal? Bukankah
Kakang sendiri yang meminta kepada Ki Jantar supaya
mengambil jalan pintas,” hibur wanita cantik yang
memang istri tuan besar itu dengan lembut.
“Hhh....”
Lelaki itu hanya mendesah lirih sambil membelai
kepala anaknya yang berusia sekitar tujuh tahun, dan
nampak tertidur lelap. Sepertinya, ia sama sekali tidak
merasa terganggu oleh guncangan-guncangan kereta kuda
yang ditumpanginya.
Ketika kereta membelok lagi, lelaki yang kelihatannya
adalah seorang saudagar kaya itu kembali menjulurkan
kepala, memandang keluar.
“Apakah kedua orang itu belum juga kembali, Jantar?”
tanya saudagar itu dengan kening berkerut.
Di wajahnya terbayang keheranan besar.
“Belum, Tuan Besar. Entah apa yang mereka lihat
sampai begitu lama belum juga kembali,” sahut Ki Jantar
yang juga merasa heran dengan keanehan itu.
“Hm..., aneh!” gumam saudagar itu sambil mengusap-
usap dagunya.
Sementara itu, tampak dua orang pengawal hendak
bergerak menyusul kedua rekannya.
“Kalian tetap saja berjaga-jaga di belakang dan tidak
perlu menyusul mereka. Mungkin mereka sengaja
menunggu kita di perbatasan jalanan buruk ini,” cegah
saudagar itu kepada kedua orang pengawal tadi.
Kedua orang lelaki itu mengangguk hormat dari ter-
paksa membatalkan niatnya. Keduanya kembali memutar
kuda tunggangannya dan kembali mengiringi kereta dari
belakang.
“Ah..., Tuan Besar. Lihat..., lihat itu...!” teriak Ki
Jantar dengan wajah pucat bagai mayat.
“Ada apa, Jantar...? Ahhh...!” saudagar itu menahan
seruannya. Sepasang matanya terbelalak lebar melihat apa
yang terbentang di depan mereka.
Dua orang pengawal yang mengiringi kereta dari
belakang itu pun terkejut ketika mendengar teriakan Ki
Jantar. Keduanya cepat membedal kuda masing-masing,
sehingga segera melesat ke depan. Dan apa yang disaksi-
kan, benar-benar membuat hati mereka berdebar tegang.
“Ranta.... Langsat..!? Apa yang terjadi dengan
mereka...?!” kata salah seorang pengawal itu ketika
melihat tubuh kedua orang kawannya tergeletak di tengah
jalan dalam keadaan tewas. Tubuh keduanya tampak
digenangi darah yang membasahi bumi.
“Mereka..., mereka telah tewas, Kakang...,” jelas
pengawal yang seorang lagi dengan suara bergetar penuh
kemarahan. Hampir dia tidak mempercayai kejadian itu.
Hatinya berharap bahwa hal itu hanya merupakan sebuah
mimpi buruk yang menakutkan.
Belum lagi kedua orang pengawal itu bangkit, tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan parau dari sekeliling mereka.
Kemudian, disusul berloncatannya belasan sosok tubuh
yang segera mengepung mereka.
Secepat kilat, kedua orang pengawal itu bergegas
bangkit sambil melolos senjata masing-masing. Mereka
bergegas melompat menghindari sambaran senjata yang
mengancam. Dan tanpa banyak tanya lagi, kedua orang
pengawal itu segera menyambut serangan-serangan yang
dilancarkan orang-orang tak dikenal. Maka sebentar saja,
pertarungan pun terjadi.
Kedua orang pengawal itu berusaha mati-matian untuk
menghampiri kereta kuda. Mereka mengamuk hebat,
karena khawatir akan keselamatan majikan dan keluarga-
nya. Sehingga, tidak lagi dipedulikan selembar nyawa
mereka masing-masing.
Tapi sayang, belasan orang kasar yang sudah jelas
perampok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Sehingga lama kelamaan, kedua orang pengawal itu pun
terdesak hebat.
Brettt! Brettt!
“Aaakh...!”
Jerit kematian berkumandang ketika tubuh kedua
orang pengawal itu terbanting ke atas tanah, dan sudah
berlumuran darah. Kedua pengawal setia itu tewas di
ujung pedang pengeroyoknya.
***
Bukan main terperanjatnya hati saudagar muda itu
ketika mendengar jeritan tadi. Sudah bisa diduga, itu
jeritan kemauan kedua orang pengawalnya. Kejadian yang
sama sekali tidak diduga itu membuat otaknya tidak dapat
berpikir untuk beberapa saat lamanya. Ia baru tersadar
ketika mendengar teriakan-teriakan para perampok itu.
“Serbu...!”
Seorang lelaki berperut buncit dan berkepala botak,
meluruk maju setelah memberi aba-aba kepada anak
buahnya. Maka, tanpa diperintah dua kali, belasan orang
perampok itu langsung menghambur ke arah kereta yang
ditumpangi saudagar muda dan keluarganya.
“Jantar, lariii...!” teriak saudagar muda itu dengan
wajah pucat bagai tak dialiri darah. Setelah itu, kepalanya
ditarik ke dalam kereta dan memeluk tubuh anak istrinya
yang menjerit-jerit ketakutan.
Ki Jantar yang sudah dapat meraba maksud belasan
orang lelaki kasar itu, bergegas melecutkan cambuknya
kuat-kuat ke tubuh dua ekor kuda yang menghela kereta
itu.
Siuuut... Tappp!
Ujung cambuk yang meluncur deras itu tiba-tiba saja
tertahan di udara. Ki Jantar semakin pucat wajahnya
ketika melihat lelaki gendut berkepala botak lelah
menangkap ujung cambuk dengan jemari tangannya.
“Hih...!”
Sebelum Ki Jantar sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba
lelaki gendut itu membentak sambil menyentak cambuk di
tangan lelaki setengah baya itu.
“Aaa...!”
Bukan main ngerinya hati Ki Jantar ketika tubuhnya
terasa melambung akibat sentakan kuat itu. Dan sebelum
menyentuh permukaan tanah, sebuah pukulan keras mem-
buat tubuhnya terpental balik disertai jerit kematiannya.
Tubuh kusir malang itu ambruk ke tanah disertai
semburan darah segar yang mengalir deras dari mulut-
nya. Setelah berkelojotan sesaat, dia pun diam tak
bergerak-gerak lagi. Ki Jantar tewas seketika.
“Jangan...! Lepaskan! Jangan ganggu kami! Kakang,
tolooong...!” wanita cantik istri saudagar yang berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun menjerit-jerit dalam
dekapan seorang anak buah perampok.
Namun meskipun meronta sekuat tenaga, tetap saja ia
masih kalah kuat dengan perampok yang seperti kerasukan
setan itu.
“Biadab! Kalian boleh ambil semua barang-barang yang
ada dalam kereta itu, asalkan jangan ganggu anak istriku!”
saudagar muda itu berteriak-teriak marah sambil berlari
menghambur ke arah istrinya. Namun sebuah kelebatan
senjata membuat langkahnya terhenti seketika. Tubuhnya
bergerak limbung sambil menekap perut yang berlumuran
darah. Ternyata sebuah bacokan membuat saudagar muda
itu ambruk ke atas tanah.
“Ough.... Nyai..., Anggini...,” rintih saudagar muda
itu seraya menggapaikan tangannya dengan wajah ber-
simbah darah.
“Kakaaang...!” wanita cantik itu menjerit memilukan
ketika melihat kepala suaminya terkulai lemah dan tak
bergerak lagi.
“Ayaaah...!” bocah perempuan berusia tujuh tahun ber-
teriak-teriak memanggil ayahnya. Ia meronta-ronta dalam
pondongan salah seorang perampok.
“Diam kau, Bocah...!” bentak perampok itu tanpa rasa
iba sedikit pun melihat bocah kecil itu menjerit-jerit
sambil menangis.
Plakkk!
Karena bocah perempuan itu masih juga menjerit-jerit,
akhimya perampok bertubuh kurus dan berwajah licik itu
melayangkan tamparan yang cukup keras. Akibatnya,
tubuh kecil itu terpelanting dan pingsan seketika.
“Manusia jahat! Kau apakan anakku...?!”
Wanita cantik itu kembali meronta dari dekapan
anggota perampok. Sadar kalau masih kalah tenaga dari
perampok yang mendekap tubuhnya, akhimya ia terpaksa
menggigit orang itu.
“Aaakh...!”
Anggota perampok itu menjerit kesakitan sambil me-
lepaskan dekapannya pada tubuh wanita itu.
“Anggini...!”
Begitu teriepas dari pelukan lelaki kasar itu, ia pun
langsung menghambur ke arah tubuh anak perempuannya
yang masih tergeletak dengan bibir berdarah.
Namun belum juga sampai, mendadak saja....
“Hait...! Ha ha ha.... Mau lari ke mana kau, Manis...?”
cegah lelaki botak berperut gendut, sambil merentangkan
tangannya menghadang lari wanita cantik itu.
Sepasang mata bulat indah itu melirik ke kiri-kanan
bagaikan mata kelinci yang ketakutan.
“Oh..., kasihanilah kami, Tuan. Lepaskanlah kami.
Ambillah semua harta milik suamiku yang ada dalam
kereta itu,” rintih wanita malang itu dengan wajah ber-
simbah air mata.
“He he he.... Tidak mungkin, Manis. Kau tidak akan
kulepaskan begitu saja. Ikutlah bersamaku, dan jadilah
istriku. Pasti kau akan senang,” bujuk lelaki berkepala
botak itu seraya meneguk air liurnya sendiri melihat
kecantikan dan keindahan tubuh wanita di hadapannya itu.
“Ha ha ha...! Tunggu apa lagi, Kakang Gandil? Tubruk
saja kijang muda yang menggiurkan itu. Kan, beres,” ujar
seorang anggota perampok, tak sabar melihat sikap
pemimpinnya.
“Betul, Kakang. Tidak usah membujuk-bujuk. Seret
saja wanita cantik itu. Buat apa membuang-buang waktu,”
timpal yang lain ikut memanasi.
Sedangkan para anggota perampok lainnya tengah
sibuk menguras seluruh isi kereta kuda itu. Setelah semua
barang-barang berharga dikeluarkan, salah seorang
anggota perampok membawa kereta kuda itu ke tepi
jurang. Kemudian, dia menceburkan nya setelah terlebih
dahulu memasukkan tubuh Ki Jantar dan keempat mayat
pengawal di dalamnya. Terdengar suara yang ramai ketika
badan kereta beserta dua ekor kuda penghelanya
meluncur menghantam bebatuan yang bertonjolan di
dinding jurang.
Sementara, lelaki berkepala botak yang merupakan
pimpinan perampok itu sudah menerkam tubuh wanita
cantik yang hanya mampu menjerit ketakutan.
“He he he...! Tidak ada gunanya meronta-ronta,
Manis. Lebih baik nikmati saja babak pertama ini,” ujar
lelaki berkepala botak yang bemama Gandil itu.
Diciuminya seluruh wajah wanita itu penuh nafsu.
Belum lagi nafsu iblisnya terlampiaskan, tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut yang disusul jerit kesakitan!
Brukkk!
“Bangsat, berani kau mengganggu kesenanganku!”
bentak Gandil.
Langsung dikirimkannya tamparan keras ke arah sosok
yang menerjang tubuhnya.
Sosok tubuh berpakaian kumal itu melintir akibat
tamparan keras yang menghantam pelipisnya. Namun
orang itu sama sekali tidak melakukan perlawanan sedikit
pun. Dia langsung ambruk, tak bergerak lagi. Melihat hal
ini, Gandil terkejut bukan main. Bahkan orang itu sama
sekali tidak menjerit ketika tamparannya tepat mengenai
pelipis.
Merasa curiga, Gandil bergegas menghampiri, lalu
membalikkan tubuh orang yang menelungkup itu. Bukan
main terkejutnya lelaki bengis berkepala botak itu ketika
mengenali kalau orang itu ternyata anak buahnya sendiri.
“Bangsat! Siapa yang berani main-main dengan Macan
Bukit Setan!” bentak lelaki gundul itu.
Gandil kemudian melompat keluar dari balik semak-
semak. Kemarahan yang menggumpal dadanya, mem-
buatnya jadi lupa pada calon korbannya yang terisak
dengan pakaian tak karuan.
“Akulah yang datang untuk menghentikan
kebiadabanmu, Macan Ompong!” sahut sesosok tubuh
tinggi tegap yang berdiri gagah dalam jarak tujuh batang
tombak dari tempat Gandil berdiri.
Kemarahan di hati Gandil berubah menjadi rasa
terkejut yang amat sangat. Puluhan mayat anak buahnya
yang bergeletakan saling tumpang tindih itu, membuat
Macan Bukit Setan termangu untuk beberapa saat
lamanya.
“Bersiaplah menyusul mayat-mayat pengikutmu!”
ancam sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu Suaranya
terdengar pelan, namun mengandung wibawa yang kuat.
Tersentak Gandil ketika mendengar ucapan itu.
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gundul itu
melangkah maju menghampiri pemuda itu.
“Siapa kau, Anak Muda?! Sebutkan namamu sebelum
tubuhmu kurobek-robek!” bentak Macan Bukit Setan
menggereng murka.
“Kau ingin tahu namaku? Ketahuilah. Aku adalah
Malaikat Maut yang mendapat tugas untuk mencabut
nyawamu saat ini juga,” sahut pemuda gagah itu bernada
mengejek.
“Keparat..! Terimalah kematianmu, haaat...!”
Diiringi pekik kemarahannya, tubuh lelaki gendut itu
melompat maju disertai cakamya yang menimbul-kan
angin berkesiutan.
“Hmh...!”
Pemuda berpakaian putih itu bergumam tak jelas. Dan
begitu serangan lawannya tiba, tubuhnya digeser dan
langsung dikirimkan serangan yang tidak kalah hebatnya.
Wuuut!
Gandil memiringkan kepalanya menghindari sebuah
pukulan yang menimbulkan angin menderu tajam. Begitu
pukulan lawan lewat di samping kepalanya, tubuh gendut
yang ternyata dapat bergerak gesit itu meliuk dengan
kuda-kuda rendah.
“Hiaaah...!”
Sambil membentak keras, tubuh Macan Bukit Setan
berputar melakukan serangan. Maksudnya agar dapat
membongkar kuda-kuda lawan.
Sapuan kaki Gandil ternyata hanya membabat tanah
berumput, karena kaki lawan yang menjadi sasarannya
telah terangkat naik dan ditarik ke belakang. Tapi
serangan lelaki gundul itu ternyata tidak hanya berhenti
sampai di situ saja. Sapuannya yang tidak mengenai
sasaran, kembali berputar cepat bagai baring-baling hingga
menimbulkan deru angin kuat
Wuuut! Wuuuk...!
Berkali-kali sapuan Gandil mengibas dengan kecepatan
mengagumkan. Namun untuk yang kesekian kalinya, ia
harus menelan kekecewaan. Memang lawannya yang
meskipun berusia jauh lebih muda itu, ternyata sangat
lincah. Sehingga setiap kali Macan Bukit Setan berputar,
selalu saja dapat dielakkannya tanpa kesulitan.
Kenyataan itu membuat Gandil semakin bertambah
penasaran. Ketika untuk yang kesekian kali serangannya
mengenai tempat kosong, tiba-tiba saja tubuh lelaki
berkepala gundul itu melenting disertai sambaran cakar
yang mengancam leher dan lambung lawan.
Plakkk! Plakkk!
Terdengar ledakan keras sebanyak dua kali ketika
pemuda gagah itu menggerakkan kedua tangannya
memapak serangan Gandil. Dan sebagai akibatnya, tubuh
lelaki gendut itu terdorong mundur dan hampir
terjengkang. Untung saja dia segera menguasai tubuhnya
dengan cara melenting dan melakukan beberapa kali salto
di udara.
“Bangsat! Pantas saja berani berlagak! Rupanya kau
memiliki kepandaian lumayan!” geram Macan Bukit Setan
menyembunyikan rasa terkejutnya.
Memang, dari tangkisan lawannya tadi, ia dapat
merasakan kalau tenaga pemuda itu kuat sekali. Bahkan
menurut penilaiannya, mungkin masih jauh lebih kuat
daripada tenaganya sendiri. Kenyataan itu benar-benar
membuatnya tergetar.
“Hm.... Jangan hanya memaki saja, Macan Ompong!
Kalau memang memiliki kepandaian, majulah!” sahut
pemuda gagah bertubuh tegap itu, tenang. Jelas ia sama
sekali tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga tadi.
Macan Bukit Setan tidak segera menanggapi ucapan
lawannya. Rupanya, pertarungan yang berlangsung
hamprr tiga puluh jurus tadi telah membuat matanya
terbuka. Sadar kalau untuk memperoleh kemenangan
terlalu tipis baginya, maka ia pun segera melesat menuju
semak-semak tempat wanita cantik istri saudagar muda
yang dirampoknya itu ditinggalkan.
“Hei! Mau lari ke mana kau, Macan Ompong...?!”
teriak pemuda gagah itu yang segera melesat melakukan
pengejaran. Dugaannya, lawannya itu berniat hendak
melarikan diri.
***
DUA
“Ha ha ha...! Majulah kalau ingin melihat tubuh wanita ini
kurobek dengan cakarku!” ancam Macan Bukit Setan.
Tahu-tahu saja, dia telah memeluk tubuh wanita cantik
yang wajahnya dibasahi air mata itu.
Karena tidak menduga perbuatan licik lawannya,
pemuda itu menjadi tertegun. Untuk beberapa saat
lamanya, ia hanya dapat menatap Macan Bukit Setan
dengan penuh kegeraman.
“Tuan, jangan pedulikan diriku! Aku rela mati asalkan
kau sudi memenuhi permintaanku,” ujar wanita malang
itu dengan suara bercampur isak. Sepasang mata sayu itu
menatap wajah penolongnya, penuh permohonan.
“Apa permintaanmu, Nyai? Kalau memang aku
mampu, akan kulaksanakan dengan senang hati,” sahut
pemuda gagah itu sambil memutar otak untuk dapat
melepaskan wanita itu dari cengkeraman Macan Bukit
Setan.
“Selamatkanlah anakku. Peliharalah dia baik-baik. Aku
percaya, anakku akan aman berada dalam lindunganmu,”
pinta wanita malang itu. Air matanya kembali menetes
mengingat kematJan suaminya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu itu, Nyai. Bocah
perempuan itu masih selamat dan tidak kurang suatu apa.
Ia kusembunyikan di tempat aman. Tapi, kau pun harus
kuselamatkan. Karena biar bagaimanapun, anak itu lebih
memerlukanmu ketimbang aku,” sahut pemuda gagah itu
setelah terdiam sejenak ketika mendengar permintaan
wanita dalam cengkeraman Macan Bukit Setan.
“He he he.... Selangkah lagi maju, maka tubuh
perempuan molek ini akan kucabik-cabik!” ancam Gandil
ketika melihat pemuda itu mendekatinya.
Pemuda itu terpaksa menghentikan langkah ketika
melihat cakar lelaki gundul itu bergetar, dan slap
merencah tubuh molek dalam cengkeramannya.
“Hm.... Silakan kau cabik-cabik tubuh wanita itu,
Macan Ompong. Bukankah kau sudah dengar sendiri
penegasannya tadi?” tantang pemuda berpakaian putih itu
tidak kalah gertak.
“Eh...!”
Macan Bukit Setan berseru heran mendengar jawaban
pemuda itu. Akibatnya, kewaspadaannya pun mengendur
ketika melihat pemuda gagah itu kelihatan malah mem-
balikkan tubuh seolah-olah tak peduli.
Namun, keheranan Gandil berubah menjadi rasa
terkejut yang amat sangat! Betapa tidak? Sebab, pemuda
yang semula membalikkan tubuhnya itu tiba-tiba bersalto
bagai kilat. Langsung dikirimkannya serangan maut ke
kepalanya.
Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu
membuat Macan Bukit Setan terperangah kelabakan.
Cepat-cepat tubuhnya ditarik sambil menyentakkan
wanita cantik tawanannya.
Plakkk... Desss!
Tubuh Macan Bukit Setan terpental ke belakang jauh
tiga batang tombak. Meskipun berhasil menangkis
pukulan tangan kiri lawannya, namun hantaman tangan
kanan lawan telak menghunjam dadanya.
“Huagkh...!”
Darah segar terlompat dari mulut lelaki gundul itu.
Macan Bukit Setan berusaha merangkak bangkit sambil
menekap dada yang terasa remuk. Baru saja tubuhnya
berdiri tegak, sebuah tendangan kilat disertai pengerahan
tenaga yang amat kuat kembali menggedor dadanya.
Bugkh!
“Hugkh...!”
Tak ayal lagi, tubuh Macan Bukit Setan terjengkang ke
belakang dan menghantam batu besar di belakangnya.
Akibatnya, kepala gundul itu berderak keras disertai
percikan darah yang bercampur cairan putih. Maka tamat-
lah riwayat Macan Bukit Setan.
“Ohhh...!”
Pemuda berpakaian putih itu menoleh ke arah asal
keluhan lirih yang tertangkap telinganya. Cepat dihampiri-
nya, ketika matanya melihat tubuh wanita cantik itu
tergeletak berlumuran darah.
“Nyai.... Kau..., kau kenapa...?” tanya pemuda itu
sambil membungkuk memeriksa tubuh wanita itu.
Terkejut hati pemuda itu ketika melihat kepala wanita
di hadapannya retak akibat terbentur batu. Darah segar
mengalir deras dari luka di belakang kepalanya.
Rupanya, sentakan tangan Macan Bukit Setan yang
dalam keadaan kalap tadi, secara tak sadar telah membuat
tubuh wanita malang itu terlempar menghantam batu
cadas di tepi jalan.
“Tolong jaga, dan pelihara anakku Anggini...,
Tu...an....”
Setelah berpesan demikian, wanita malang itu pun
menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuan tuan
penolongnya. Sedangkan pemuda gagah itu hanya dapat
menghela napas disertai kekesalan. Setelah agak lama
termenung, dia pun bergerak bangkit sambil memondong
mayat wanita itu. Kemudian dikuburkannya mayat itu
pada sebuah tempat yang cukup baik.
Dengan peluh yang masih berlelehan, pemuda gagah
itu melangkah ke tempat bocah perempuan yang masih
pingsan, yang tadi disembunyikannya.
“Untung seluruh kejadian tadi tidak disaksikannya.
Kalau dia melihat, mungkin perkembangan jiwanya akan
terganggu kelak,” gumam pemuda itu merasa bersyukur.
Diangkatnya tubuh mungil itu setelah terlebih dahulu
diobati dan dibuatnya tertidur. Kemudian, ditinggal-
kannya tempat itu bersama tubuh mungil Anggini dalam
pondongannya.
Matahari semakin naik tinggi dengan pancaran sinarnya
yang terik. Hembusan angin tetap bersilir lembut, seolah-
olah tak peduli terhadap peristiwa berdarah itu. Jalan
berbatu itu pun kembali lengang dan sunyi.
***
Di bawah siraman cahaya matahari yang memancar
terik, tampak sesosok tubuh bergerak mendaki lereng
Gunung Tangger. Di bahu kanannya tampak seorang anak
kecil yang tengah terlelap. Gerakan sosok itu demikian
gesit dan ringan. Seolah-olah lereng gunung yang terjal
dan licin itu sudah tidak asing lagi baginya.
Setelah melalui jalanan yang berkelok dan terjal, sosok
tubuh itu berdiri tegak memandang ke arah lembah di
bawahnya. Agak lama juga dia berdiri di atas sebongkah
batu besar itu, seolah-olah timbul keraguan dalam hatinya.
Tak lama kemudian, sosok tubuh itu pun bergerak
turun ke dalam lembah. Jalanan yang menurun dan licin
itu pun tidak menjadi halangan. Bagaikan seekor burung
besar menyambar mangsa, tubuhnya melayang ke bawah.
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali
melambung ke udara. Itu dilakukannya berkali-kari.
Gerakannya sama sekali tidak membuat anak yang
dipondongnya terbangua Dari sini saja sudah dapat
diketahui, betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh orang
itu.
Setelah menyeberangi sebuah aliran sungai, tak lama
kemudian tibalah sosok itu di depan sebuah pondok
sederhana.
“Hm ... Siapa lagi yang kau bawa kali ini, Kembara?”
sebuah suara lembut bernada teguran menyapa sosok
tubuh itu.
“Ampun, Guru....” sahut sosok tubuh yang ternyata
bernama Kembara. Dia masih muda dan berwajah gagah.
Kembara cepat meletakkan sosok mungil yang di-
pondongnya. Bergegas, dia menjatuhkan diri berlutut di
bawah tangga yang menghubungkan ke pintu pondok.
Dalam hati, Kembara mengagumi ilmu pembeda gerak
dan suara yang dimiliki orang yang dipanggil guru olehnya
itu. Walaupun pintu pondok tertutup, dia bisa tahu kalau
Kembara datang tidak sendiri. Tapi, bersama seseorang
dalam pondongannya.
Tidak berapa lama kemudian, seraut wajah seorang
kakek tersembul dari balik pintu yang terkuak. Kakek itu
tersenyum lembut sambil mengelus jenggot putihnya yang
panjang. Sebelum kakek itu sempat menuruni anak
tangga, sesosok tubuh mungil berlari mendahuluinya.
“Horeee..., Paman sudah kembali....!” Sambil ber-
sorak gembira, seorang anak laki-laki berumur delapan
tahun berlari menyongsong kedatangan lelaki muda itu.
Dia langsung menghambur ke dalam pelukan Kembara.
Tanpa merubah berlututnya, lelaki muda berusia
sekitar dua puluh satu tahun itu mengembangkan
tangannya menyambut pelukan si bocah.
“Hm.... Kau sudah semakin besar, Samba. Apakah kau
masih suka menyusahkan eyang?” tanya Kembara sambil
mengelus rambut kepala bocah lelaki itu penuh kasih.
“Tidak, Paman. Aku selalu menuruti perintah eyang.
Dan tidak menyusahkannya!” sahut bocah bemama Samba
itu dengan suaranya yang bening dan nyaring, seraya
menoleh ke arah kakek itu.
“Sudahlah, Samba. Pamanmu jangan diganggu dulu.
Dia masih lelah. Sebaiknya, temani kakangmu yang tengah
berlatih di tepi hutan sana!” ujar kakek itu. Suaranya
lembut, namun bernada tegas.
“Baik, Eyang,” sahut bocah itu cepat.
Setelah pamitan pada pamannya, Samba pun berlari-
lari kecil menuju hutan yang terdapat di belakang pondok.
“Bawalah bocah itu naik, Kembara!” perintah kakek itu
lagi, seraya membalikkan tubuhnya masuk kembali ke
dalam pondok.
Kembara segera bangkit dan menaiki tangga memasuki
pondok Diangkatnya tubuh mungil yang tadi diletakkan di
sebelahnya.
***
“Maaf, Eyang. Aku terpaksa membawa bocah
perempuan ini ke sini. Kedua orang tuanya telah tiada
lagi, karena dibunuh sekawanan perampok yang kerap
mengganggu desa,” ujar Kembara, memberikan alasan
mengapa bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun itu
dibawanya.
“Hm.... Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apakah kau
masih ingin meneruskan pengembaraanmu?” tanya sang
Guru sambil mengelus jenggotnya perlahan.
Wajah kakek itu tampak menggambarkan perasaan iba
ketika melihat wajah muridnya yang selalu tersaput
mendung tebal itu. Namun hal itu berusaha disembunyi-
kan.
“Tidak, Eyang. Aku sudah mengambil keputusan untuk
menetap di sini, dan merawat ketiga bocah itu,” jawab
Kembara perlahan.
Jelas sekali kalau pemuda berwajah gagah itu berusaha
menyembunyikan perasaan hatinya.
“Apakah keputusanmu sudah tetap? Aku tidak akan
memaksamu kalau kau memang masih menginginkan
mengembara,” kata kakek itu. Pandangan matanya tajam,
seolah-olah ingin menyelami perasaan muridnya.
“Terima kasih, Eyang. Tapi keputusanku sudah bulat
untuk menetap di Lembah Gunung Tangger ini,” sahut si
pemuda, tetap tidak merubah keputusannya.
“Hm...,” kakek itu menggumam tak jelas.
Hati laki-laki tua berjenggot putih itu terenyuh
mengingat penderitaan yang pemah dialami muridnya.
Terbayang kembali di benaknya ketika setahun yang lalu
muridnya kembali dari pengembaraan, dengan membawa
hati yang patah. Setelah be berapa bulan, akhirnya dia tak
tahan melihat keadaan murid satu-satunya itu selalu
termenung dan menyendiri. Dan kakek itu masih ingat
ketika dengan terpatah-patah Kembara menceritakan pen-
deritaan batinnya, yang mengalami patah hati karena
ditinggal kekasihnya. Untuk menghibur hati muridnya,
kakek itu pun menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang
selama ini disimpannya.
Setelah menamatkan pelajaran, muridnya itu kembali
diizinkan untuk turun gunung. Padahal, sang Guru tahu
kalau luka di hati Kembara belum sembuh. Bahkan rasanya
memang tidak mungkin disembuhkan.
Sekembalinya dari pengembaraan, Kembara membawa
dua orang bocah laki-laki yang kemudian dititipkan
kepadanya. Dan yang terakhir, ia kembali ke lembah
dengan membawa seorang bocah perempuan.
“Eyang...,” panggil Kembara yang membuat la-munan
kakek itu terhenti.
“Hhh....”
Sang Guru yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai
Begawan Madapati itu menghela napas panjang. Wajahnya
kembali tenang tanpa menggambarkan perasaan apa pun.
“Ada apa, Eyang...?” tanya Kembara setelah men-
dengar helaan napas gurunya. Sepertinya, laki-laki tua itu
tengah memikirkan sesuatu.
“Tidak ada apa-apa, Kembara. Hanya menurut
pikiranku, ada baiknya kalau kita membuat sebuah pondok
lagi untuk tempat bernaung ketiga bocah yang kau bawa
itu. Bagaimana menurutmu?” tanya Begawan Madapati.
“Balk sekali, Eyang. Aku akan segera membuatnya.
Biarlah untuk sementara bocah perempuan itu tidur di
sini. Memang, ia kelihatannya lelah sekali,” sahut
Kembara, mendukung sekali pernyataan kakek itu.
Begawan Madapati hanya mengangguk dan tersenyum
lembut Laki-laki tua itu mengangguk kembali ketika
muridnya minta izin untuk segera membuat pondok yang
dimaksudkan gurunya.
“Paman...!” terdengar sebuah seruan.
Salah seorang dari dua bocah lelaki segera meng-
hambur ke dalam pelukan Kembara yang baru saja
menginjakkan kakinya pada anak tangga terakhir.
“Ah, Wirasaba. Kau sudah bertambah besar.
Bagaimana latihanmu?” tanya Kembara seraya membalas
pelukan bocah lelaki berumur sembilan tahun itu.
Dibelainya rambut kepala bocah bernama Wirasaba
dengan perasaan kasih yang mendalam.
“Seperti pesan Paman, aku dan Samba tidak pernah
mengeluh meskipun latihan-latihan yang diberikan eyang
terasa sangat berat. Bukankah Paman mengatakan kalau
kami harus rajin berlatih agar kelak menjadi seorang
pendekar hebat dan dapat mengusir orang-orang jahat?”
sahut Wirasaba dengan suara nyaring, dan menimbulkan
kegembiraan di hati Kembara.
“Bagus, kalau kalian masih ingat perkataan Paman itu.
Nah! Sekarang, bersihkan tubuh kalian. Karena Paman
masih ada keperluan lain yang harus cepat-cepat
diselesaikan!” ujar Kembara sambil melepaskan pelukan
Wirasaba.
“Apakah Paman akan meninggalkan kami lagi?” Samba
yang sejak tadi hanya membisu, tiba-tiba mengeluarkan
pertanyaan itu dengan sepasang mata cemas.
“Hm.... Apakah kalian tidak senang tinggal bersama
eyang?” tanya Kembara yang ingin mengetahui perasaan
kedua bocah itu selama ini. Diraihnya tubuh Samba ke
dalam pelukannya.
“Tentu saja kami senang, Paman. Tapi, kami akan lebih
senang lagi kalau Paman tinggal juga di sini untuk
menemani kami berlatih,” sahut Samba seraya menatap
wajah Kembara penuh harap.
“Baiklah. Paman akan tinggal, dan menemani kalian
berlatih. Sekarang, kalian harus membersihkan tubuh
dulu. Paman hendak membuat sebuah pondok untuk
tempat tinggal kita,” ujar Kembara.
Persetujuan Kembara itu ternyata membuat dua orang
bocah itu semakin mengetatkan pelukannya. Kemudian,
sambil terrawa-tawa gembira mereka berkejaran menuju
aliran sungai yang hanya beberapa tombak dari pondok
itu.
Kembara memandangi kedua orang bocah itu dengan
sinar mata iba. Memang, keadaannya dulu pun tidak
berbeda jauh dengan ketiga orang bocah yang ditolongnya
itu. Dia dulu juga ditolong Begawan Madapati, lalu
dibawa ke Lembah Gunung Tangger. Sepuluh tahun
kemudian, ia pun menjelma menjadi seorang pemuda
tangguh setelah digembleng kakek sakti itu.
“Hhh.... Kasihan sekali mereka,” desah Kembara yang
menjadi lupa akan keadaan dirinya sendiri.
Sesaat kemudian, ia pun beranjak meninggalkan tempat
itu untuk segera membuat pondok baru.
Dalam beberapa hari saja, sebuah pondok sederhana
pun telah berdiri tidak jauh dari pondok lama. Kembara
memandangi hasil kerjanya diiringi senyum puas.
Meskipun saat itu masih tersisa kelelahan wajahnya,
namun hal itu sama sekali tidak dirasakan.
***
TIGA
Sang waktu terus bergulir. Minggu, bulan, dan tahun pun
melintas cepat. Tanpa terasa, sepuluh tahun sudah
Kembara menetap di Lembah Gunung Tangger bersama
tiga anak asuhnya.
“Haiiit..!”
Teriakan nyaring namun merdu itu terasa meng-
getarkan lembah yang semula hening dan sepi. Kemudian,
disusul berkelebatnya sesosok tubuh ramping mengenakan
pakaian serba kuning. Rambutnya yang panjang dan
berkepang dua itu bergoyang-goyang mengikuti gerakan
tubuhnya. Dilihat dari bentuk tubuh serta pakaiannya,
jelas dia adalah seorang gadis.
Bettt! Bettt!
Dua buah pukulan yang menimbulkan sambaran angin
kuat dilontarkan sosok berpakaian kuning itu. Akibatnya,
pemuda tegap yang menjadi lawannya cepat menggeser
tubuh ke samping. Berbarengan dengan gerakan itu, kaki
kirinya mencelat melakukan tendangan kilat ke arah
lambung gadis berpakaian kuning itu. Namun dengan
gerakan yang tidak kalah gesitnya, tangan kanan gadis itu
bergerak turun menepiskan tendangan lawan.
Plak!
“Uhhh...!”
Keduanya tersentak mundur beberapa langkah ke
belakang. Memang, pertemuan tenaga itu telah membuat
keduanya bergetar sesaat.
“Cukup...!”
Terdengar bentakan yang menggetarkan isi dada kedua
orang yang tengah bertarung itu. Suara itu berasal dari
seorang laki-laki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun
lebih.
“Wah! Kau hebat sekali, Adik Anggini! Ternyata aku
tidak mampu menundukkanmu,” puji pemuda tampan
bertubuh tegap itu. Tubuhnya segera dibungkukkan
sebagai tanda hormat. Senyumnya merekah sehingga
semakin membuatnya tampak menarik.
“Ah! Kau terlalu memuji, Kakang Wirasaba. Nyatanya,
aku sendiri pun tidak mampu mendesakmu. Nah!
Pujianmu tidak berlaku, bukan?” sahut si gadis bernama
Anggini itu seraya tersenyum menggoda.
Wajah gadis itu yang memang sudah cantik, tampak
semakin menarik. Hal ini membuat pemuda yang
dipanggil Wirasaba itu terpaku menatapnya.
“Sudahlah. Kalian beristirahat dulu,” lelaki gagah yang
tak lain dari Kembara itu menengahi.
“Ya. Sekarang giliranku yang akan berlatih bersama
Paman Kembara. Ayo, kalian menyingkir!” timpal seorang
pemuda lain.
Perawakan pemuda itu sedang, dan berwajah tampan.
Bahkan terlalu halus hingga tak ubahnya wajah wanita.
Kalau wajahnya tidak dihiasi sebaris kumis tipis, pastilah
orang akan menyangka dirinya seorang wanita.
Wirasaba dan Anggini bergegas menepi untuk mem-
berikan kesempatan kepada kedua orang itu.
“Kau sudah siap, Samba?!” tanya Kembara kepada
pemuda tampan yang ternyata Samba.
“Siap, Paman!” sahut Samba cepat.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menggerakkan
tangannya disertai tarikan napas yang teratur halus.
“Hiaaat..!”
***
Kembara dan Samba terus berlatih memainkan jurus-
jurus dahsyat. Sedangkan Anggini dan Wirasaba hanya jadi
penonton saja. Tak ada yang tahu kalau di situ telah hadir
seorang laki-laki tua berjenggot putih. Siapa lagi kalau
bukan Begawan Madapati.
“He he he...! Kau tampak semakin matang, Kembara!”
tiba-tiba saja terdengar suara berat berwibawa. Kembara
dan Samba langsung menghentikan latihannya. Sementara
Wirasaba dan Anggini menoleh ke arah asal suara.
“Eyang...!”
Serentak keempat orang itu menjatuhkan diri dan
berlutut begitu mengetahui siapa yang datang. Hanya
Kembara yang kemudian bangkit, lalu melangkah meng-
hampiri gurunya.
Begawan Madapati, yang menjadi guru mereka, hanya
tersenyum lembut sambil merayapi wajah murid-
muridnya. Meskipun bukan guru langsung bagi Wirasaba,
Samba, dan Anggini, namun mereka tetap meng-
hormatinya. Sebab ketiga orang itu berlatih di bawah
bimbingan Kembara. Sedangkan Kembara adalah murid
Begawan Madapati.
“Bangkitlah. Aku merasa bangga sekali melihat
kemajuan yang telah kalian capai sekarang. Meskipun aku
tidak mendidik Samba, Wirasaba, dan Anggini secara
langsung, namun ternyata hasil yang diperoleh telah
memuaskan hatiku. Dan rasanya, hasil didikanku pun
tidak akan lebih baik daripada guru kalian ini,” ujar
Begawan Madapati sambil menepuk-nepuk bahu Kembara
yang sudah berdiri di sebelahnya. Apa yang dikatakan
kakek itu bukanlah sebuah pujian kosong. Tapi memang
suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah.
Kembara hanya menunduk tersipu mendengar pujian
gurunya. Diam-diam hatinya merasa bersyukur, karena
telah menunaikan tugas yang diberikan gurunya dengan
baik. Dan semua itu bisa terlihat dari seraut wajah tua
yang tampak tersenyum penuh kepuasan.
'Teruskanlah latihan kalian. Aku ada keperluan dengan
pamanmu ini,” lanjut Begawan Madapati, sambil mengajak
Kembara meninggalkan ketiga anak muda itu.
“Baik, Eyang...!” sahut ketiganya patuh.
Untuk beberapa saat lamanya ketiga anak muda itu
hanya berdiri memandang kepergian eyang guru dan
pamannya itu.
***
Malam baru saja menguasai mayapada. Kepekatan yang
menyelimuti permukaan bumi, periahan-lahan disibakkan
oleh sinar sang dewi malam. Sinarnya tampak temaram,
menemani sang malam. Bintang-bintang pun ber-
munculan, ikut meramaikan cakrawala kdam.
Dalam suasana malam indah itu, Kembara terbaring di
atas balai-balai bambu di pondoknya yang didiaminya
seorang diri. Karena semenjak ketiga anak asuhnya
menanjak remaja, mereka pun mendiami pondok masing-
masing yang dibuat bersama-sama. Maka di Lembah
Gunung Tengger itu kini berdiri lima buah pondok
sederhana.
“Hhh....”
Laki-laki yang sudah tidak muda lagi, namun masih
nampak gagah itu menghela napas panjang. Ingatannya
menerawang sewaktu Begawan Madapati membawanya
untuk membicarakan sesuatu. Dan apa yang dibicarakan
sang Guru itu benar-benar membebani pikirannya.
Karena, Begawan Madapati tidak mengizinkan Kembara
untuk menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepada tiga
orang muridnya.
“Ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu bukanlah
ilmu sembarangan, Muridku. Tanpa memiliki pengalaman
cukup, maka orang itu tidak akan pernah sempurna dalam
menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi perguruan kita. Ini
bukan berarti aku tidak sayang kepada mereka. Tapi
rasanya akan percuma kalau ilmu-ilmu itu diturunkan
sekarang. Mereka belum matang, Muridku. Mereka masih
terlalu hijau dalam menghadapi kehidupan dunia yang
penuh permainan dan tipu daya. Kau mengerti maksudku,
Kembara?”
Demikian yang dipesankan Begawan Madapati kepada
muridnya. Dan Kembara harus mematuhi pesan sang
Guru, meskipun hal itu menjadi ganjalan bagi hatinya.
Ketika teringat ketiga orang anak asuhannya, yang
terbayang jelas hanyalah wajah cantik manis Anggini. Dia
memang telah menjelma menjadi seorang dara yang sangat
memikat. Mendung tebal yang selalu menutupi wajahnya
yang gagah, langsung lenyap, dan berganti senyum bahagia
apabila teringat akan dara cantik itu.
“Hhh....”
Kembara menyentak tubuhnya, dan langsung bangkit
dari tidurnya. Diusimya bayangan dara manis yang
melekat di benaknya itu. Ia duduk termenung di tepian
balai-balai bambu. Pandangannya kembali menerawang,
menembus awang-awang sehingga menciptakan bayang-
bayang. Perasaan itu disadarinya betul, terutama semenjak
Anggini tumbuh dan semakin menampakkan kecantikan
yang memikat setiap hati pria.
Kembara pun bukannya tidak tahu kalau kedua orang
pemuda gagah dan tampan yang diasuhnya diam-diam
mencintai Anggini. Dan sebagai seorang laki-laki yang
sehat jasmani maupun rohani, ia pun terkadang merasa
cemburu terhadap Samba dan Wirasaba. Namun tentu saja
hal itu berusaha ditekan dan disembunyikannya agar tidak
diketahui mereka dan juga gurunya.
“Yahhh.... Tidak ada seorang pun yang boleh
mengetahui isi hatiku yang amat memalukan ini!” desis
hati Kembara sambil memejamkan mata menahan rasa
nyeri yang menusuk jantung.
Karena hatinya masih juga diliputi keresahan, maka
Kembara melangkahkan kakinya menuju ke luar pondok.
Langkahnya terayun periahan sambil menatapi langit yang
nampak jemih karena terhias ribuan bintang. Tanpa sadar,
ia melangkah menuju ke aliran sungai yang terpisah
beberapa puluh tombak di belakang pondoknya.
Disertai helaan napas be rat, Kembara menghenyakkan
pantatnya pada sebongkah batu yang cukup besar di tepi
sungai. Wajahnya menengadah menatap langit biru jernih.
“Tuhan.... Mengapa perasaan ini kembali menyiksa
hatiku? Dan mengapa justru Anggini yang harus kucintai?
Mengapa bukan gadis lain saja? Ah...! Betapa akan malu-
nya kalau sampai perasaanku ini diketahui orang lain? Dan
bagaimana kalau guru mengetahuinya? Mengapa aku tidak
bisa mencintai gadis lain di desa, di bawah gunung ini?
Betapapun perasaan hatiku ini berusaha disembunyikan,
aku yakin pada akhirnya akan diketahui yang lain!”
Berbagai pertanyaan dan keluhan bermunculan di
benak Kembara. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak
mampu mengusir pergi bayangan Anggini yang selalu
mengganggunya.
“Hhh....”
Kembara kembali menghembuskan napas kuat-kuat.
Seolah-olah dengan berbuat begitu, perasaan yang kian
menyesak di dadanya diharapkan dapat terusir. Disapunya
wajah dengan kedua tangan, seakan-akan ingin meng-
hapuskan bayangan Anggini.
“Paman...!” tiba-tiba saja sebuah suara merdu dan
lembut menyapanya perlahan.
Bukan main kagetnya hati Kembara. Tubuhnya
mencelat sejauh tiga batang tombak. Bahkan wajahnya
pucat bagai melihat hantu di siang bolong. Sepasang
kakinya terasa lemas bagaikan tak bertulang ketika melihat
gadis yang selalu mengganggu pikirannya tahu-tahu saja
telah berada di depannya.
“Ada apa, Paman...?” tanya gadis yang ternyata
memang Anggini.
Gadis itu segera menjauhi batu yang tadi diduduki
pamannya, karena melihat Kembara begitu terkejut,
sepasang matanya yang indah menatap tajam.
Pandangannya begitu curiga dan waspada ke arah batu itu.
Karena, dikira sang Paman terpatuk ular ataupun binatang
berbisa lainnya.
“Ah! Tid..., tidak.... Tidak ada apa-apa. .!” sahut
Kembara yang menjadi gugup dalam menghadapi anak
asuhnya, sambil menghapus butiran keringat yang
membasahi keningnya.
“Paman mengejutkan aku saja! Atau aku yang membuat
Paman terkejut tadi?” tanya Anggini.
Gadis itu segera melangkah menghampiri pamannya.
Dan tanpa canggung-canggung lagi, ditariknya tangan sang
Paman untuk diajak duduk kembali di atas batu.
Anggini yang memang sejak kecil diasuh Kembara,
sama sekali tidak mengetahui kemelut yang tengah dialami
sang Paman. Gadis itu memang sudah menganggap
Kembara sebagai orang tuanya sendiri. Jadi, tentu saja dia
tidak malu-malu untuk memegang atau memeluk tubuh
pamannya. Apalagi hal itu memang sudah merupakan
kebiasaannya sejak kecil. Hanya sang Paman itulah tempat
ia mengadu dan bermanja.
Sedangkan bagi Kembara, rupanya jadi lain lag!
Semenjak gadis itu tumbuh semakin besar, perasaan
hatinya mulai tak menentu. Ia tidak lagi berani menatap
wajah gadis itu secara langsung. Apalagi semenjak setahun
yang lalu, saat mulai memiliki perasaan lain terhadap gadis
itu. Maka, Kembara mengambil keputusan untuk jangan
terlalu sering bertemu. Paling tidak agar rahasia hati yang
memalukan itu tidak diketahui Anggini.
“Paman. Apakah Paman sakit?” tanya Anggini. Gadis
itu benar-benar terkejut melihat tubuh pamannya
gemetar.
Anggini kemudian menghapus keringat yang mem-
basahi kening pamannya dengan saputangan miliknya.
Tentu saja hal itu membuat tubuh Kembara seperti
terserang demam tinggi. Dan gadis itu pun semakin cemas
ketika merasakan deburan dalam dada pamannya demikian
keras.
“Aku..., aku memang agak kurang sehat,” sahut
Kembara memberi alasan yang didapat dari pertanyaan
dara itu.
“Kalau begitu, mari kita kembali saja ke dalam
pondokmu, Paman. Kesehatan Paman akan bertambah
buruk kalau tetap berada di sini,” ajak Anggini. Gadis itu
telah bersiap-siap membawanya ke pondok.
“Tidak, Anggini Aku tidak apa-apa. Penyakit ini tidak
terlalu mengganggu,” sahut Kembara.
Cepat-cepat laki-laki gagah itu menarik tangannya ynng
dipegang telapak tangan Anggini yang sudah mulai
bangkit. Memang, ketika telapak tangan mereka ber-
sentuhan, Kembara merasakan aliran darahnya berdesir
semakin cepat. Maka itulah ia cepat-cepat inelepaskannya.
“Betul, Paman tidak apa-apa...?” tanya Anggini
memastikan.
“Benar. Aku tidak apa -apa,” jawab Kembara pasti.
Diam-diam, Kembara memaki perasaan hatinya itu.
Dan perasaan takut kehilangan, tiba-tiba muncul begitu
saja di hatinya. Sehingga tanpa sadar, ia telah menahan
agar gadis itu tidak pergi. Terus terang, Kembara lebih
suka berada di tempat ini bersama Anggini, daripada di
dalam pondoknya yang dicekam kesepian. Hanya saja, kali
ini Kembara tidak mampu mencegah perasaan hatinya
yang memalukan itu.
“Paman, mengapa belakangan ini hampir tidak nernah
menemani kami berlatih? Apakah Paman sudah merasa
bosan melatih kami?” tanya Anggini sambil merapatkan
duduknya ke tubuh Kembara. Sepasang matanya yang
bening dan jernih itu menatap lekat-lekat, seolah-olah
ingin menjenguk ke dalam dada sang Paman.
“Hhh.... Kalian sudah semakin bertambah besar,
Anggini. Dan rasanya, sudah bisa berlatih sendiri. Lagi
pula, semua ilmu yang kumiliki sudah kuturunkan semua
kepada kalian. Jadi tidak perlu lagi aku menemani kalian
setiap hari,” jawab Kembara, memberi alasan.
Anggini menatap wajah pamannya lekat-lekat. Hatinya
menjadi semakin heran ketika melihat pamannya tidak
berani mengangkat wajahnya yang selalu tertutup
mendung itu ketika berbicara. Dan itu melahirkan
berbagai pertanyaan di hati gadis cantik ini.
“Tapi, menurutku lain. Paman sepertinya berusaha
menghindari kami. Apakah salah seorang dari kami telah
berbuat salah? Katakanlah, Paman? Agar hatiku, maupun
hati Kakang Wirasaba dan Samba menjadi tenang,” desak
gadis itu.
Mendengar pertanyaan itu, hati Kembara menjadi
terkejut. Perlahan-lahan wajahnya terangkat. Seketika
kilatan sinar aneh terpancar dari sepasang mata lelaki
gagah itu. Meskipun hal itu hanya sekejap, namun telah
cukup membuat hati Anggini berdebar aneh.
“Hm.... Tidak betul itu, Anggini. Tidak seorang pun
dari kalian yang telah berbuat kesalahan. Jadi, hilang-
kanlah perasaan bersalah dalam dirimu dan juga kedua
saudara seperguruanmu itu. Percayalah, aku tidak apa-
apa,” sahut Kembara yang sudah dapat menguasai
perasaannya. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Maaf,
aku harus kembali ke pondok.”
Kemudian tanpa menunggu jawaban gadis itu lagi,
Kembara pun segera meninggalkan Anggini yang menjadi
terpaku dibuatnya.
“Hm.... Aku yakin pasti ada sesuatu yang mengganggu
perasaan Paman Kembara. Tapi, entah apa yang telah
mengganggu pikirannya?” desah hati Anggini masih belum
mengerti keanehan tingkah laku pamannya.
***
Pagi harinya, setelah selesai berlatih, Anggini segera
berlari menuju pondok pamannya. Sama sekali tidak
dipedulikan tatapan heran kedua orang kakak
seperguruannya. Gadis cantik yang lincah itu terus saja
berlari-lari kecil meninggalkan tempat latihannya.
Wirasaba berdebar hatinya ketika mengetahui, kemana
arah yang dituju gadis itu.
“Ah! Jangan-jangan ia hendak mengadukan per-
buatanku semalam kepada paman! Bisa celaka kalau
sampai paman menjadi marah karena tahu aku meng-
ungkapkan perasaan cinta pada Anggini. Tapi, mudah-
mudahan saja paman memaklumi perasaanku. Bukankah
paman pun seorang laki-laki? Dan sudah pasti dia juga
pernah mengalami seperti yang kurasakan saat ini,” kata
Wirasaba dalam hati.
Wirasaba yang semula cemas karena takut ditegur
pamannya, menjadi tenang kembali. Rupanya dia telah
mendapat jawaban apabila sang Paman menanyakan
tentang perbuatannya.
Tidak lama kemudian, Wirasaba dan Samba ber-
tambah heran melihat Anggini berlari ke arahnya dengan
wajah berduka.
“Kakang! Apakah kalian melihat Paman Kembara?”
tanya Anggini begitu tiba di dekat kedua kakak seper-
guruannya. Nada suara gadis cantik itu jelas meng-
gambarkan kejengkelan.
“Tidak. Memangnya ada apa, Adik Anggini?” tanya
Wirasaba yang menjadi tenang hatinya. Rupanya sikap
gadis itu seperti sudah melupakan kejadian semalam.
“Hm.... Kalau begitu, aku harus menemui eyang.
Mungkin paman berada di sana,” ujar Anggini seperti
berkata pada dirinya sendiri. Suaranya demikian lirih, dan
hampir tidak terdengar.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera
melesat menuju pondok eyang gurunya yang terletak di
dekat aliran sungai.
Wirasaba dan Samba saling berpandangan sejenak.
Mereka sama-sama mengangkat bahu, tanda tak mengerti.
Sesaat kemudian, kedua orang pemuda itu bergegas
menyusul adik seperguruannya.
Anggini yang telah tiba di depan pondok Begawan
Madapati, bergegas masuk setelah mengetuk pintu
teriebih dahulu. Tampak Begawan Madapati tengah duduk
bersila di atas balai-balai bambu. Sepertinya kakek itu
memang sudah mengetahui, dan menunggu kedatangan
murid perempuan satu-satunya ini.
“Eyang...!” sapa Anggini yang langsung bersujud
beberapa langkah di bawah balai-balai tempat kakek itu
duduk.
“Hm.... Bangkitlah, Cucuku,” ujar Begawan Madapati
tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang semakin
panjang. Sepasang matanya menatap lembut dan penuh
kasih.
“Eyang, aku....”
Begawan Madapati mengangkat tangannya mencegah
gadis itu berbicara. Rupanya kakek itu pun sudah
mengetahui apa yang akan diutarakan muridnya. Dan pada
saat itu, tampak dua orang pemuda yang juga menjadi
muridnya tengah melangkah masuk.
“Eyang...!” sapa kedua orang pemuda itu sambil
menjatuhkan diri, berlutut di dekat Anggini.
“Hm.... Ada apa kalian datang menghadap kepadaku,
Cucuku?” tanya Begawan Madapati kepada kedua orang
pemuda yang tak lain Wirasaba dan Samba.
“Tidak ada apa-apa, Eyang. Kami hanya merasa
bingung melihat sikap Adik Anggini yang seperti tengah
menghadapi persoalan. Kami minta maaf karena telah
berani menghadap Eyang tanpa dipanggil,” sahut Wirasaba
mewakili Samba yang hanya terdiam menatapnya.
“He he he...! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,
Cucuku. Kalian berdua boleh pergi untuk melanjutkan
latihan kalian,” kilah Begawan Madapati tersenyum
lembut.
“Baiklah, Eyang. Kami berdua mohon pamit” Setelah
melemparkan pandang ke arah Anggini sejenak, kedua
orang pemuda itu pun bergegas keluar.
Begawan Madapati hanya menganggukkan kepala
sambil tangannya tak lepas dari jenggot yang berwarna
putih itu. Setelah Wirasaba dan Samba pergi, kakek itu
mengalihkan perhatiannya pada Anggini. Gadis itu
memang tengah menatapnya seperti mohon penjelasan.
“Kau mencari pamanmu, bukan?” tanya kakek itu
seraya tersenyum lembut.
“Betul, Eyang. Karena paman telah berjanji akan
menceritakan tentang pengalamannya kepadaku. Tapi
ketika aku menemuinya, ternyata sudah tidak ada di
pondoknya.. Aku mohon petunjuk Eyang. Di manakah
Paman Kembara bisa kutemui?” pinta Anggini. Suaranya
agak menggeletar karena mulai merasa sesuatu yang
terjadi dengan pamannya itu.
'Hm.... Ia telah minta maaf kepadamu, Cucuku.
Pamanmu terpaksa belum bisa memenuhi janji, karena
pagi-pagi sekali telah kuperintahkan untuk melihat
beberapa desa yang tengah dilanda musibah,” Begawan
Madapati.
“Di manakah itu, Eyang. Bolehkah aku menyusulnya?”
tanya Anggini disertai wajah sedih karena sang Paman
ternyata sudah pergi meninggalkan lembah.
“Sebaiknya jangan, Cucuku. Tempat itu sangat jauh.
Dan lagi, Eyang tidak tahu desa mana yang akan ditujunya
lebih dulu. Lebih baik tunggu saja kedatangannya. Di
samping itu, kau harus tetap berlatih untuk
menyempurnakan semua yang diajarkan pamanmu. Tentu
dia akan gembira apabila sekembalinya nanti, kepandaian-
mu telah jauh lebih sempurna. Tapi Eyang tidak dapat
memastikan, kapan pamanmu akan kembali,” jawab
Begawan Madapati.
Memang, ucapan Begawan Madapati adalah pesan
Kembara kepada gadis itu. Meskipun kakek itu sudah
dapat menerka apa yang saat itu dirasakan; muridnya,
namun ia berpura-pura tidak tahu.
Anggini terdiam untuk beberapa saat lamanya. Hatinya
merasa berduka sekali atas kepergian paman sekaligus
gurunya. Kini mulai disadari, betapa sunyi dan tidak
bergairah tanpa Paman Kembara. Dia telah pergi tanpa
diketahui di mana pastinya berada. Ingin rasanya Anggini
menangis untuk menumpahkan segala perasaan yang
bercampur aduk di hatinya. Namun ia berusaha menahan
jatuhnya air mata. Rasanya memang tidak pantas menangis
di hadapan eyang gurunya.
“Eyang, izinkanlah aku melihat-lihat keramaian di desa
yang berada di bawah lembah? Aku.... Aku ingin sekali,
Eyang,” pinta Anggini
Gadis itu sudah hampir tidak kuat lagi menahan
kesedihannya. Maka, cepat-cepat wajahnya ditundukkan
untuk menyembunyikan sepasang matanya yang mulai
tergenang air.
Begawan Madapati bukannya tidak mengetahui npa
yang tengah dirasakan cucu muridnya. Meskipun Kembara
dan gadis itu tidak pernah menceritakan apa-apa
kepadanya, namun melihat sikap Anggini, kakek itu yakin
kalau di antara mereka telah terjalin suatu hubungan yang
belum diketahui seberapa jauhnya.
“Baiklah. Mintalah kepada kedua orang kakak
seperguruanmu untuk menemani. Hal itu akan lebih baik
bagimu. Karena selain kau seorang gadis, kau juga belum
pernah terjun ke dunia ramai,” ujar Begawan Madapati
mengizinkan permintaan gadis itu.
Laki-laki tua itu bukan tidak mengetahui kalau Anggini
hanya sekadar ingin menghibur hati saja. Itulah ebabnya,
mengapa ia memberi izin. Dan sebelum gadis itu
meninggalkan pondoknya, kakek itu memberi nasihat-
nasihat yang sekiranya perlu. Gadis itu juga diperintahkan
untuk memanggil kedua orang kakak seperguruannya.
Anggini segera pamitan untuk menjalankan perintah
eyang gurunya. Sesampainya di luar pondok, gadis cantik
itu segera berlari ke tepi sungai. Di sana segala kepedihan
hatinya ditumpahkan. Hal itu dilakukannya di tempat
tersembunyi, karena tidak ingin ada seorang pun yang
tahu. Termasuk, kedua orang kakak seperguruannya.
Setelah puas menumpahkan segala kesedihannya, gadis
itu pun merendam tubuhnya di dalam air sungai yang
sejuk dan jernih. Seluruh tubuhnya dibersihkan agar tidak
terlalu kentara kalau baru saja habis menangis. Begitu
tubuhnya terasa agak segar, Anggini kembali mengenakan
pakaiannya. Bergegas dia memberitahukan dua orang
kakak seperguruannya tentang pesan Begawan Madapati.
Kini mereka bersama-sama menuju pondok Begawan
Madapati Setelah memberi hormat sebcntar, mereka
kemudian duduk berdampingan.
Begawan Madapati lalu memberi nasihat-nasihat yang
mungkin akan diperlukan dalam perjalanan murid
muridnya itu. Sesudah merasa yakin kalau ketiga orang
muridnya telah benar-benar memahami, maka kakek itu
pun segera melepas ketiga ny.
“Kuberi waktu kalian selama satu bulan untuk melihat-
lihat desa. Dan setelah itu, walaupun apa yang terjadi,
kalian harus kembali. Mengerti?!” pesan Begawan
Madapati.
“Baik, Eyang. Dan kami akan selalu mengingat pesan-
pesan Eyang. Kami mohon pamit, Eyang,” ucap mereka
bertiga mantap.
***
EMPAT
Belasan pasang mata di dalam kedai makan itu inemandang
ke arah pintu yang terbuka lebar. Saat itu tampak tiga
sosok tubuh melangkah tenang memasuki tempat itu.
Beberapa orang di antara pengunjung segera menunduk-
kan kepala ketika salah seorang dari tiga sosok tubuh itu
berbisik lirih. Rupanya pengunjung kedai itu sudah dapat
menduga, siapa ketiga orang muda yang memasuki kedai.
Sedangkan ketiga anak muda yang tak lain dari
Wirasaba, Samba, dan Anggini itu terus saja mengambil
tempat tanpa mempedulikan orang-orang itu.
Wirasaba mengulapkan tangannya memanggil pelayan
kedai yang kemudian segera menghampiri. Setelah
menerima pesanan dari pemuda gagah itu, pelayan itu pun
kembali berlaiu.
“Hm.... Rasanya senang sekali bisa melihat tempat
ramai seperti ini. Bagaimana dengan kalian?” tanya
Wirasaba memecah keheningan di antara mereka.
Wajah pemuda gagah itu nampak berseri-seri. Seakan-
akan, ia memang benar-benar menikmati perjalanan ini.
“Aku pun merasa gembira, Kakang. Di sini bisa melihat
wajah-wajah asing yang menyenangkan. Sedangkan selama
ini aku hanya dapat melihat wajah-wajah kalian yang
membosankan,” gurau Samba.
Seperti halnya Wirasaba, dia pun begitu menyenangi
perjalanan ini. Pemuda bertubuh sedang dan berwajah
halus itu mengakhiri ucapannya dengan gelak
berkepanjangan.
Sedangkan Anggini yang semula hanya menunduk
menatap lantai, mengangkat kepalanya begitu mendengar
gurauan Samba. Gadis cantik itu mencoba mengimbangi
kegembiraan kedua orang kakak seperguruannya dengan
berusaha memperdengarkan suara tawanya. Tapi sayang,
Anggini tidak berhasil. Karena, suara tawanya terdengar
demikian getir dan sumbang. Gadis yang biasanya selalu
lincah dan pandai bicara itu seperti masih merasa sedih.
Terutama bila teringat kepergian Kembara yang tanpa
pamit itu.
Wirasaba dan Samba saling tukar pandang ketika
mendengar nada getir dalam tawa adik seperguruannya
itu. Mereka yang tidak mengetahui duduk persoalannya,
tentu saja jadi bingung.
“Ada apa, Adik Anggini? Sepertinya kau tidak
menikmati perjalanan kita ini?” tegur Samba lembut
Pemuda berwajah halus ini mencoba mencari tahu, apa
yang menyebabkan gadis itu tidak gembira. Sebab, ia tidak
ingin kalau kegembiraan itu hanya milik dirinya dengan
kakak seperguruannya. Samba pun ingin agar Anggini ikut
pula merasa kan kegembiraan seperti mereka.
“Hhh.... Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit
pusing. Sebentar juga akan segera pulih,” kilah Anggini.
Gadis itu juga segera melebarkan senyumnya untuk
menghilangkan rasa kecurigaan kedua orang kakak
seperguruannya itu.
“Hei! Itu pesanan kita sudah datang!” seru Anggini
kemudian. Rupanya saat itu si pelayan kedai sudah mem-
bawa pesanan ketiga orang itu dan menghidangkannya di
atas meja.
Tanpa banyak cakap lagi, mereka segera menyantap
hidangan yang jarang mereka nikmati di lembah. Wirasaba
dan Samba tampak betul-betul menikmati makanan itu.
Sehingga, sama sekali tidak memperhatikan betapa
Anggini menatap keduanya dengan hati tergelitik.
Merasakan adanya suatu keanehan, Wirasaba dan
Samba menolehkan kepala berbarengan. Mereka menjadi
heran melihat Anggini tengah memandang sambil
menyembunyikan senyum dengan telapak tangan.
“Ada apa, Anggini?” tanya Wirasaba agak tersipu,
karena mulai dapat menduga apa yang menyebabkan jadis
cantik itu tersenyum.
“Hi hi hi..! Kalian seperti orang yang tidak pernah
makan saja. Memalukan!” sahut gadis itu. Anggini benar-
benar tidak dapat lagi menahan tawanya.
Samba dan Wirasaba saling berpandangan sejenak,
kemudian sama-sama tergelak ketika tersadar akan
kelakuannya yang persis seperti orang kelaparan itu.
Selain itu, mereka gembira karena melihat Anggini yang
sudah mendapatkan kegembiraannya kembali.
Mendadak saja, kegembiraan mereka terganggu dengan
masuknya seorang pemuda jangkung berkulit coklat Di
belakangnya tampak dua orang berseragam hitam
mengiringi. Begitu masuk, ia langsung menatap ke arah
Wirasaba, Samba, dan Anggini.
“Hm.... Mengapa ribut sekali? Seperti kerbau saja?
Atau memang kedai ini sudah berubah menjadi kandang
kerbau?” ejek laki-laki jangkung itu, menghina.
Setelah berkata demikian sepasang matanya men
jelajahi tubuh dan wajah Anggini. Sesaat ia nampak
termangu melihat kecantikan gadis itu. Namun sesaat
kemudian, pemuda itu mengedikkan kepalanya dengan
sikap sombong.
Anggini dan dua orang kakak seperguruannya saling
bertukar pandang sejenak. Wirasaba dan Samba
mengisyaratkan adik seperguruannya agar tidak mem-
pedulikan pemuda sombong itu. Namun Anggini yang
merasa kegembiraannya terganggu, sudah menjadi marah.
Sama sekali tidak digubris isyarat yang diberikan kedua
orang kakak seperguruannya itu. Gads cantik itu sudah
bangkit dan memandang dengan sinar mata galak.
“Hei, Lutung Kesasar! Apakah kau tidak tahu jalan
pulang menuju hutan, sehingga berkaok-kaok tidak
karuan!” bentak Anggini sambil bertolak pinggang, seraya
melangkah menghampiri pemuda jangkung yang
melontarkan hinaan itu.
“Kurang ajar kau, Setan Betina! Jangan mentang-
mentang cantik, lalu bisa berbuat semaumu! Ketahuilah!
Aku adalah putra penguasa di desa ini, dan bisa
menangkapmu karena telah berani menghinaku di depan
orang banyak!” bentak pemuda itu, pongah. Memang,
sebagai seorang putra kepala desa, ia biasa diperlakukan
secara hormat oleh para penduduk di sekitarnya.
'Tuan muda! Biar kami tangkapkan setan betina cantik
itu untukmu,” kata salah seorang laki-laki berpakaian
hitam yang menjadi tukang pukulnya. Sepertinya, dia
ingin mencari jasa di hadapan tuan mudanya itu.
“Hmh...!”
Terdengar suara dengusan dari pemuda jangkung itu.
Tangannya segera dikibaskan untuk mencegah tukang
pukulnya yang sudah bergerak maju. Sepasang matanya
menjelajah liar setiap jengkal tubuh padat berisi milik
Anggini.
“Biar aku saja yang akan menundukkannya. Kalian
berjaga-jaga sajalah. Siapa tahu, kedua kerbau itu akan
membelanya,” ujar si pemuda jangkung dengan sikap
sangat memandang rendah.
“Anggini. Jangan mencari keributan di sini, Adikku.
Marilah kita pergi. Jangan ladeni lutung hitam itu,” bujuk
Wirasaba mencoba mencegah perkelahian yang akan
terjadi.
Setelah meletakkan beberapa uang logam di atas meja,
pemuda gagah itu pun bergegas menarik lengan Anggini
dan membawanya ke luar. Sementara Samba mengikuti
dari belakang sambil berjaga-jaga kalau-kalau dua orang
tukang pukul pemuda jangkung itu berbuat curang.
“Tunggu...!” cegah pemuda jangkung itu sambil
melintangkan tangan di depan pintu kedai. Wajahnya yang
kecoklatan itu tampak semakin gelap ketika mendengar
pemuda gagah itu memakinya sebagai lutung hitam.
“Biarkanlah kami lewat, Kisanak. Kami tidak ingin
mencari keributan di sini,” kata Samba halus.
Samba berusaha menekan kemarahannya melihat
kesombongan pemuda jangkung yang memuakkan itu. Hal
ini karena ia teringat akan pesan eyang gurunya agar tidak
mencari keributan dan berusaha sebisa mungkin untuk
menghindarinya.
“Hm.... boleh saja. Tapi ada syaratnya,” sahut pemuda
jangkung putra kepala desa itu sinis dan angkuh.
“Apa syaratnya?” tanya Wirasaba yang sudah hampir
tidak bisa menahan rasa sebal melihat wajah yang angkuh
itu.
Memang, baru menjadi putra kepala desa, pemuda itu
sudah sedemikian sombongnya. Entah bagaimana jadinya
kalau jadi putra seorang raja atau adipati? Mungkin ia akan
semakin bertambah besar kepala.
“He he he.... Kalian berdua boleh meninggalkan
tempat ini dengan cara merangkak di bawah kakiku! Tapi,
tinggalkan gadis cantik yang galak itu untukku!” pemuda
jangkung itu terkekeh penuh ejekan.
“Betul.... Betul...!” sambut dua orang tukang pukul
pemuda itu sambil mengangguk-anggukkan kepala per-
tanda gembira.
Merah selebar wajah Wirasaba dan Samba ketika
mendengar ucapan pemuda jangkung itu. Tubuh mereka
gemetar menahan kemarahan yang menyesakkan dada.
Sedangkan tanggapan Anggini lain lagi. Begitu men-
dengar syarat yang diajukan pemuda jangkung itu, tubuh-
nya langsung melesat dan melakukan dua kali tamparan
berturut-turut. Gerakannya demikian cepat dan tiba-tiba,
sehingga tak seorang pun yang sempat menyadarinya.
Plakl Plak!
“Akh...!”
Si pemuda jangkung menjerit kesakitan. Tubuhnya
langsung terjerembab menabrak meja yang berada di
belakangnya. Darah segar tampak mengucur membasahi
wajah. Rupanya selain bibimya pecah, beberapa buah
giginya pun tanggal akibat tamparan kuat yang dilepaskan
Anggini.
“Bangsat kau, Setan Betina! Kau akan membayar mahal
akibat perbuatanmu ini!” ancam pemuda jangkung itu
dengan suara terpatah-patah sambil memegangi wajahnya.
Tangannya bergerak meraba gagang golok yang
menyembul di balik bajunya.
Dua orang berseragam hitam yang menjadi tukang
pukul putra kepala desa itu terpaku bingung. Mereka
benar-benar tidak mengerti, bagaimana gadis itu tahu-tahu
bisa menampar wajah majikannya. Dan yang lebih mem-
bingungkan, kedua orang itu sampai tidak mengetahui
kapan gadis itu melakukan tamparan. Sebab, tadi mereka
hanya melihat sebuah bayangan melesat cepat dan sukar
diikuti pandang mata.
“Rasakanlah, Pemuda Bobrok! Untung aku masih
bermurah hati tidak langsung membunuhmu! Ayo kita
pergi, Kakang!” ajak Anggini yang segera beranjak
meninggalkan kedai makan itu.
“Tangkap ketiga orang pengacau itu!” teriak si pemuda
jangkung itu.
Seketika kedua orang tukang pukulnya pun langsung
melesat melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak
memanggil kawan-kawannya.
“Berhenti..!”
Wirasaba, Samba, dan Anggini menghentikan larinya
ketika belasan sosok tubuh berdiri menghadang jalan
mereka. Belasan laki-laki itu telah menghunus senjata
masing-masing dengan sikap mengancam.
Ketiga orang murid Lembah Gunung Tangger itu
bergegas membalikkan tubuhnya untuk mencari jalan lain.
Namun mereka kembali terkejut ketika di belakang pun
telah berdiri belasan orang yang juga mengenakan seragam
hitam. Tampaknya, tidak ada jalan lolos lagi bagi ketiga
anak muda itu.
“Hm.... Mau lari ke mana kalian? Jangan harap bisa
keluar dari desa ini dalam keadaan hidup!” ujar salah
seorang dari tukang pukul pemuda jangkung itu. Seperti
nya, dia merupakan pimpinan para pengepung itu.
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos, maka Samba,
Wirasaba, dan Anggini pun mulai bersiap menghadapi
keroyokan orang-orang itu. Tadi pun mereka lari bukan
karena takut, tapi karena berusaha untuk menghindari
keributan. Hal ini merupakan pesan Begawan Madapati,
sebelum mereka berangkat. Namun, kali ini sepertinya
mereka tidak memiliki pilihan lain.
“Bunuh kedua orang pemuda keparat itu! Dan tangkap
gadis galak yang binal itu!” perintah salah seorang dari
tukang pukul putra kepala desa sambil bergerak maju
mengibas-ngibaskan goloknya.
“Heaaat..!”
Tukang pukul yang berjumlah sekitar tiga puluh orang
lebih itu berlompatan sambil mengayunkan senjata, siap
merencah tubuh kedua orang pemuda itu.
“Hati-hati! Jangan sampai kesalahan tangan hingga
sampai membunuh mereka, Samba, Anggini,” bisik
Wirasaba kepada kedua orang adik seperguruannya.
“Jangan khawatir, Kakang,” sahut Samba.
Pemuda itu tidak merasa gentar sedikit pun. Padahal,
jumlah lawan lebih banyak. Memang, hal itu telah
menimbulkan kegembiraan di hatinya. Sebab, baru kali
inilah ia terlibat dalam sebuah pertarungan sung-guh
sungguh. Yang jelas, bukan pertarungan main-main
seperti yang sering dilakukan bersama saudara-saudara
seperguruannya atau dengan pamannya.
Wuuut! Wuuut'
Dua buah sambaran golok yang datang dari sebelah
kiri, dielakkan dengan mudah oleh Samba. Kedua kakinya
langsung mencelat bergantian melakukan tendangan kilat
Bukkk! Desss!
“Hughk...!”
Dua orang pengeroyok Itu kontan terjungkal ketika
tubuhnya tercium ujung kaki Samba. Mereka langsung
terjerembab, pingsan seketika itu juga. Memang
tendangan yang dilakukan pemuda itu telak mengenai ulu
hati dan dada lawannya.
“Bangsat! Mampuslah!” bentak yang lain begitu melihat
lawan telah menjatuhkan dua orang kawannya hanya
dengan sekali gebrak saja.
Samba yang tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran
senjata tajam lawannya, cepat mengegoskan tubuhnya.
Namun sebelum sempat membalas, pengeroyok lain
sudah datang mengancam. Terpaksa pemuda itu harus
kembali berkelit, dan melompat ke belakang.
Sementara itu, para penduduk yang menyaksikan
pertempuran dari tempat yang agak jauh, terlihat men-
cemaskan ketiga anak muda yang tidak mereka kenal itu.
Sepertinya, para penduduk memang tidak begitu suka
terhadap putra kepala desa dan para tukang pukulnya. Hal
itu terbukti dari pembicaraan beberapa penduduk yang
menonton pertarungan itu.
“Kasihan sekali ketiga anak muda itu, Ki. Mereka pasti
akan tewas di tangan tukang-tukang pukul itu,” bisik salah
seorang pemuda berwajah kehitaman karena terlalu sering
terpanggang sinar matahari.
“Yahhh! Tapi mudah-mudahan saja mereka dapat
menyelamatkan diri. Kelihatannya, mereka bukan orang-
orang sembarangan. Mungkin, mereka itulah yang disebut
sebagai pendekar. Lihat saja. Bukankah mereka tidak
menggunakan senjata? Malahan para tukang pukul itu
hanya dipukul roboh. Jelas, ketiga anak muda itu adalah
orang baik-baik,” sahut laki-laki berusia sekitar lima puluh
tahun, menimpali ucapan pemuda berwajah kehitaman
itu.
Beberapa batang tombak dari kedua orang penduduk
yang tengah menyaksikan pertarungan itu, tampak
seorang pemuda tampan berjubah putih, dan seorang gadis
cantik berpakaian ketat serba hijau. Pandang mata mereka
bergerak mengikurJ jalannya pertarungan. Wajah mereka
juga tampak tenang, tidak seperti kedua orang penduduk
yang berbicara tadi.
“Hm.... Sepertinya ketiga anak muda itu adalah murid
orang sakti. Dan mereka pasti baru saja turun gunung,
Kakang. Sebenarnya mereka dapat menjatuhkan musuh-
musuhnya lebih cepat. Jelas sekali kalau ketiga orang itu
memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi. Ini bisa dilihat dari
gerakan mereka. Hanya saja, mereka tampak masih ragu-
ragu dalam setiap melontarkan serangan balasan,” kata
gadis jelita laksana bidadari itu. Sepasang matanya yang
tajam dan berbentuk indah, tak pernah lepas dari arena
pertarungan.
“Hm...!” gumam pemuda tampan berjubah putih itu
tak jelas. Walaupun demikian, tampak kepala pemuda itu
terangguk-angguk sebagai tanda kalau mempunyai
pendapat yang sama dengan gadis itu. Siapa lagi kedua
orang itu, kalau bukan Pendekar Naga Putih dan
kekasihnya, Kenanga.
***
LIMA
“Haaat..!” Wuuur!
Wirasaba menarik kaki kanannya ke belakang sambil
memutar tubuhnya. Begitu sambaran golok itu lewat,
secepat kilat tangan kirinya terayun menghajar dagu
lawan.
Desss!
“Aaakh...!”
Orang itu kontan terjengkang ke belakang. Dan
sebelum tubuhnya terjatuh, Wirasaba kembali mengirim-
kan tendangan ke dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh
orang itu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kini Wirasaba
mengarahkan serangan pada dua orang pengeroyoknya.
Maka akibatnya....
Bugkh! Dugkh!
“Ugkh...!”
Dua orang pengeroyok seketika terpelanting pingsan
saat pelipis dan ulu hati mereka terkena sambaran tangan
pemuda gagah itu. Meskipun dalam keadaan sibuk,
Wirasaba tetap menjaga pukulan agar jangan sampai
membuat pengeroyok tewas.
Di tempat lain, Anggini pun sudah pula menjatuhkan
dua orang pengeroyoknya. Seperti halnya Wirasaba dan
Samba, gadis itu juga mematuhi pesan gurunya agar tidak
mudah menurunkan tangan kejam terhadap setiap lawan.
“Yeaaah...!”
Dua orang pengeroyok melompat tinggi sambil
mengayunkan golok bersilangan. Namun gadis itu cepat
menyambut dengan gerakan berputar. Kaki dan tangannya
bergerak melakukan tamparan dan tendangan.
Plakkk! Desss!
Kedua orang itu terpental balik disertai semburan
darah segar yang membasahi bumi. Setelah merasakan
sakit sesaat, tubuh keduanya tak berkutik lagi. Pingsan.
Salah seorang pimpinan pengeroyok yang berseragam
hitam dan berkumis tebal, marah bukan main. Golok
panjang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga
menimbulkan deru angin keras.
''Haaat..!”
Wuuut! Wuuut!
Golok panjang di tangan si kumis tebal menusuk dan
membacok berkali-kali. Di sini, Anggini tampak
memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Kedua kakinya ber-
gerak lincah, berlompatan menghindari ancaman mata
golok lawan. Sehingga, serangan si kumis tebal selalu
mengenai tempat kosong.
Setelah lima jurus menyerang tanpa hasil, napas orang
itu terlihat mulai memburu. Hal itu dikarenakan ia terlalu
bernafsu dalam melancarkan serangan. Dan tentu saja hal
itu membuatnya cepat menjadi lelah.
Melihat serangan lawan mulai mengendur, Anggini
pun merubah gerakannya. Tubuh gadis itu berkelebatan
cepat sambil melontarkan pukulan dan tendangan keras.
Dalam dua jurus saja, sebuah pukulan sisi telapak
tangannya singgah di batang leher lawan.
Desss!
“Hegkh...!”
Kedua mata si kumis tebal itu mendelik. Darah
seketika meleleh di sudut bibimya. Tubuhnya yang agak
gemuk itu pun langsung roboh tanpa dapat bangkit lagi.
“Anggini, lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan
Wirasaba.
Gadis cantik itu pun bergegas menolehkan kepalanya.
Begitu kedua orang kakak seperguruannya teriihat
meninggalkan tempat itu, maka Anggini pun segera
melesat meninggalkan empat orang lawannya yang hanya
berdiri bengong memandang mereka.
“Keparat! Tunggulah kau, Gadis Culas! Suatu hari,
pasti kau akan dapat ditemukan! Dan pada saat itu kau
akan tahu, siapa sebenarnya aku!” si pemuda jangkung
putra kepala desa itu berteriak-teriak kalang-kabut. Dari
sinar matanya yang dipenuhi dendam, jelas bahwa itu
bukan hanya gertakan!
Namun ketiga anak muda itu sama sekali tidak mem-
pedulikan si pemuda jangkung. Mereka terus saja berlari
melewati mulut desa.
“Wah! Bagaimana ini, Kakang? Apakah kita harus
kembali ke lembah?” tanya Samba meminta pendapat
Wirasaba.
Rupanya pemuda tampan itu belum puas dengan
perjalanannya. Dan semuanya memang tidak ada yang bisa
menjawab. Mereka benar-benar bingung, ke mana harus
pergi. Atau, sebaiknya kembali saja?
“Hm.... Awas kau putra kepala desa yang manja! Suatu
hari, aku akan datang untuk mengambil nyawamu!”
gumam Samba geram.
Sepasang mata pemuda tampan itu mengeluarkan sinar
berkilat ketika teringat pemuda jangkung yang inerusak
kegembiraan dan perjalanan mereka. Dan ini mereka
harus berpikir dua kali bila ingin melanjutkan perjalanan.
“Aku pun baru sekarang merasa geram kepada pemuda
sombong itu. Ingin rasanya batang lehemya kupuntir agar
tidak mempunyai kepala lagi! Dengan begitu, ia tidak akan
dapat sombong lagi!” kata Wirasaba sambil memukulkan
tinju kanan ke telapak tangan kirinya. Jelas kalau bukan
hanya Samba saja yang merasa dendam.
“Ahhh! Kalian ini bagaimana, sih? Tadi mati-matian
ingin meloloskan diri dan tidak mau memberi pelajaran
kepada pemuda itu. Lalu, mengapa sekarang berubah
pikiran?” tanya Anggini yang menjadi tidak mengerti
melihat sikap kedua orang saudara seperguruannya.
“Karena baru sekarang aku sadar kalau pemuda
sombong itu telah merebut kegembiraan kita! Orang
seperti itu sepantasnya memang tidak boleh dibiarkan
hidup lama-lama. Sebab, ia hanya akan mendatangkan
kesusahan saja bagi orang lain!” sahut Samba yang belum
hilang rasa jengkelnya.
“Sudahlah. Kita lihat-lihat desa lain saja. Mudah-
mudahan saja sebelum malam kita sudah menemukan
desa,” usul Wirasaba.
“Kalau kemalaman di jalan, tidur di dalam hutan saja.
Bukankah itu lebih enak?” timpal Samba.
“Hm.... Rasanya tidak terlalu jelek,” gumam Anggini
sambil tersenyum.
Namun, senyum gadis itu ternyata tidak mendapat
sambutan. Karena, sepertinya baik Samba maupun
Wirasaba masih teringat akan kejadian yang baru saja
dialami tadi.
“Ayolah. Lebih baik kita percepat perjalanan.”
Sambil berkata demikian, Wirasaba pun segera meng-
genjot tubuhnya yang langsung melesat cepat. Samba dan
Anggini pun tidak mau ketinggalan. Mereka bergegas
menyusul Wirasaba yang telah berada cukup jauh di
depan.
***
Dalam keremangan cahaya rembulan, sesosok tubuh
tinggi kekar tampak berloncatan di antara atap-atap rumah
penduduk. Pakaian serba hitam yang dikenakan, semakin
menyamarkan sosok tubuhnya yang bergerak demikian
gesit dan ringan. Pijakan kakinya sama sekali tidak
menimbulkan suara yang berarti.
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak dari satu atap
rumah ke atap rumah lainnya. Tak berapa lama kemudian,
sosok itu pun menghentikan larinya di atas sebuah rumah
yang paling besar di Desa Banjar. Jika dilihat dari adanya
beberapa penjaga di halaman, dapat ditebak kalau itu pasti
rumah kediaman Kepala Desa Banjar.
Pada sebuah pelataran yang sepi dan agak gelap, sosok
itu pun melayang turun. Satu persatu, ditelitinya kamar
yang terdapat di dalam rumah itu dari luar. Kemudian,
tubuhnya menyelinap melalui pintu samping. Hebat!
Hanya dengan menempelkan telapak tangannya, maka
pintu itu langsung terbuka! Rupanya dia tidak mengalami
kesulitan untuk membuka pintu yang semula terkunci.
Dengan mengendap-endap, sosok itu pun melangkah
hari-hari menuju ke sebuah kamar. Kemudian telapak
tangannya kembali ditempelkan pada pintu kamar, dan
didorongnya periahan. Pintu itu pun terbuka. Dari
caranya membuka pintu, sudah dapat diduga kalau dia
memiliki tenaga dalam tinggi!
Perlahan-lahan dihampirinya sesosok tubuh jangkung
yang tengah terbaring di atas tempat tidur dari kayu jati
berukir. Sejenak dipandanginya wajah berkulit kecoklatan
yang tengah terlelap itu. Wajah yang tak lain milik si
pemuda jangkung, putra Kepala Desa Banjar.
“Bangun kau, Keparat!” bisik sosok tubuh itu. Suaranya
lirih, namun mengandung kegeraman yang amat sangat.
Tentu saja pemuda jangkung yang tengah terlelap itu
tersentak kaget! Ia merasa heran, bagaimana orang itu
dapat masuk ke dalam kamarnya yang terkunci rapat?
“Si... siapa kau...? Apa..., apa maksudmu datang ke
sini...?” tanya si pemuda jangkung gugup.
Keringat dingin membasahi tubuh pemuda itu ketika
goloknya yang digantung di dinding kamar ternyata telah
tergenggam di tangan orang itu.
“Hm.... Pemuda culas! Kau tidak pantas hidup lebih
lama di permukaan bumi ini! Berdoalah, agar tidak masuk
ke dalam neraka!” geram sosok tubuh itu bernada maut
Setelah berkata demikian, golok itu diangkatnya tinggi-
tinggi siap dihunjamkan ke tubuh si pemuda jangkung
yang menjadi pucat ketakutan.
Wuuut!
“Aaah...!”
Si pemuda jangkung terpekik tertahan. Cepat-cepat
tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindari
sambaran golok itu.
“Tolooong...! Ada pembunuh...!” teriak pemuda itu
ketakutan. Lupalah sudah dia akan kesombongannya. Rasa
takut ternyata telah mengalahkan nyalinya.
“Hm.... Berteriaklah sepuasmu, Bangsat Rendah! Biar
bagaimana pun, kematian tetap menjemputmu malam
ini!” ancam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu. Sama
sekali hatinya tidak merasa khawatir dengan teriakan
pemuda jangkung itu.
Dan memang, di luar sana terdengar suara-suara ribut,
ditingkahi langkah-langkah kaki orang yang berlari
mencari sumber teriakan tadi. Sua sana sepi di rumah
besar itu seketika gempar.
“Nah, terimalah kematianmu!”
Setelah berkata demikian, sosok tubuh itu pun
menggerakkan golok di tangannya dengan kecepatan
begitu tinggi. Sinar putih bergulung-gulung menimbulkan
suara angin yang menderu. Satu dua serangan memang
masih berhasil dielakkan pemuda jangkung yang memang
bukan orang lemah itu. Namun, kepandaian sosok berbaju
hitam itu memang jauh lebih tinggi darinya. Akibatnya, ia
pun tidak mampu untuk menyelamatkan diri dari serangan
selanjutnya.
Bret! Bret!
“Aaa...!”
Si pemuda jangkung menjerit setinggi langit ketika dua
kali sambaran golok berhasil membeset tubuhnya. Darah
segar seketika menyembur membasahi lantai dan tempat
tidumya. Tubuh jangkung itu pun terhempas, tewas di
atas pembaringan. Dua buah luka menganga tampak pada
bagian perutnya.
Pada saat yang bersamaan, pintu kamar yang tadi telah
ditutup, ditendang oleh seseorang dari luar. Dan kini
empat orang penjaga berlompatan masuk.
“Keparat! Iblis dari mana kau hingga berani membuat
kerusuhan di tempat ini?” bentak salah seorang penjaga.
Seketika mata penjaga itu terbelalak saat melihat tubuh
majikan mudanya terbujur berlumuran darah di atas
pembaringan.
“Hmh...!”
Sosok tubuh berpakaian hitam itu hanya bergumam
periahan. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa khawatir
atas kedatangan para penjaga itu. Disertai bentakan keras,
tubuhnya meluncur ke arah pintu. Kedua tangannya
berputaran menimbulkan angin keras.
kiri-kanan akibat tamparan dan tendangan sosok
berpakaian hitam itu. Para penjaga itu tak mampu bangkit
lagi. Pingsan!
Begitu tiba di luar kamar, sosok itu menengadahkan
kepala ke langit-langit rumah. Sesaat kemudian, tubuhnya
digenjot untuk menjebol atap rumah besar itu. Dengan
menggunakan kepandaian ilmu meringankan tubuhnya,
sosok berpakaian hitam itu kembali berloncatan dari satu
atap ke atap rumah lainnya. Tidak lama kemudian, dia
lenyap ditelan kegelapan malam.
Sementara itu, kentongan tanda bahaya telah bergema
memenuhi seluruh penjuru desa. Obor pun tampak
bermunculan dari dalam rumah-rumah penduduk. Hanya
dalam sekejap saja, malam yang semula hening dan sepi
menjadi ramai oleh suara kentongan yang ditingkahi
teriakan-teriakan ribut.
Sedangkan saat itu, si pembuat keributan dan
kegemparan telah lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Puluhan penduduk berbondong-bondong mendatangi
rumah kepala desa. Dalam sekejap saja, halaman rumah
besar yang semula sepi itu telah dipenuhi penduduk desa.
Memang, mereka ingin mengetahui, apa sebenarnya yang
telah terjadi di rumah kepala desa mereka itu.
Seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia sekitar lima
puluh tahun berdiri tegak di serambi yang terletak di
depan rumah. Matanya merayapi orang-orang di sekitar-
nya, sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
“Saudara-saudara! Kalian boleh pulang ke rumah
masing-masing, karena tidak ada yang dapat diperbuat di
sini!” ujar laki-laki tinggi kurus itu yang rupanya adalah
Kepala Desa Banjar.
“Apa sebenamya yang sudah terjadi, Ki? Bolehkah kami
mengetahuinya?” tanya salah seorang laki-laki berwajah
bulat. Sepertinya, ia masih merasa penasaran kalau belum
mengetahui kejadian yang menimpa keluarga kepala
desanya.
“Hm.... Entah kesalahan apa yang telah diperbuat
putraku, sehingga malam ini ada seorang pembunuh yang
telah menghukumnya secara kejam!” sahut kepala desa,
dengan wajah berduka. “Nah! Sekarang, kalian pulanglah.
Jangan-jangan si pembunuh itu mendatangi rumah kalian!”
Mendengar ucapan itu, para penduduk pun segera
berlarian kembali ke rumah masing-masing. Wajah-wajah
mereka tampak dibayangi kecemasan hebat.
Sedangkan di dalam kamar tempat pembunuhan itu
terjadi, terdengar tangisan yang memilukan. Empat orang
penjaga yang tadi tergeletak pingsan telah digotong ke
luar. Hanya mayat si pemuda jangkung itulah yang masih
tetap terbujur di atas pembaringan. Seorang wanita
gemuk berusia sekitar empat puluh tahun tampak
merintih sambil membelai wajah mayat yang mulai
membeku.
Sementara malam semakin bertambah larut. Sang
rembulan tetap memancarkan sinarnya, tanpa mempeduli-
kan kejadian yang menimpa anak manusia di permukaan
bumi.
Seorang pemuda tampan mengenakan jubah berwarna
putih yang ditemani seorang gadis jelita, nampak masih
berdiri di halaman rumah besar itu. Mereka tak lain adalah
Panji dan Kenanga.
“Mengapa Kisanak masih juga belum pulang?” tanya
seorang penjaga sambil menghampiri pasangan muda itu.
Rupanya ia mengira kedua orang itu adalah penduduk
desanya.
“Maaf. Kami berdua adalah seorang kelana, dan malam
ini kebetulan menginap di desa ini. Mmm.... Kalau boleh,
aku ingin bertemu kepala desamu,” pinta Panji. Suaranya
terdengar sopan.
“Wah! Aku tidak berani, Kisanak,” desah penjaga itu
yang sesekali mencuri pandang ke arah Kenanga. Rupanya
kecantikan gadis itu telah membuatnya tidak bisa diam.
***
ENAM
“Hm.... Ada keperluan apa kau ingin menemuiku, Anak
Muda?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat
ketiga orang itu menoleh.
“Ah! Maaf, Ki. Kalau diperkenankan, aku ingin melihat
mayat orang yang baru saja terbunuh itu. Barangkali saja
pembunuh itu dapat kukenali melalui anda-tanda yang
terdapat di tubuh korban,” sahut Panji, sehingga membuat
kening lelaki setengah baya itu berkerut
“Hm.... Bagaimana kau dapat mengetahui pembunuh
itu, bila hanya melihat dari tanda-tandanya saja, Anak
Muda? Siapakah kau sebenamya?” tanya kepala desa itu.
Rupanya, dia mulai mencurigai Panji. Pertama,
pemuda itu bukan penduduk desanya. Kedua, kedatangan
pemuda itu persis saat kematian putranya. Maka ia pun
mulai bersikap waspada menghadapi pemuda berjubah
putih itu.
“Ketahuilah, Ki. Setiap tokoh persilatan mempunyai
ciri pada ilmunya. Biasanya, apabila si pembunuh itu
berasal dari kalangan persilatan, maka akan meninggalkan
tanda ilmunya. Nah! Dengan begitu, mudah bagi kita
untuk mencari pembunuh itu. Sedangkan pemuda yang
kini berada di depan Aki ini adalah Pendekar Naga Putih.
Dan kebersihan jiwanya tidak perlu diragukan lagi!” tandas
Kenanga. Gadis itu] memang merasa tidak senang melihat
sinar mata Kepala Desa Banjar yang mengandung
kecurigaan itu!
“Ah...! Betulkah..., betulkah kau Pendekar Putih yang
tersohor itu, Anak Muda?” tanya kepala, desa itu, penuh
harap. Kemudian, dia melangkah semakin dekat untuk
menegasi wajah pendekar muda yang telah menggetarkan
rimba persilatan sekarang ini.
“Demikianlah orang-orang persilatan memberi julukan
padaku, Ki,” jawab Panji tenang, tanpa kesombongan
sedikit pun.
“Ah! Mari.., mari silakan Pendekar Naga Putih!” kepala
Desa Banjar itu mengajak Panji met rumahnya.
Panji dan Kenanga segera melangkah mengikuti laki-
laki setengah baya itu di belakangnya. Lalu, mereka pun
memasuki sebuah kamar. Di dalamnya, tampak seorang
wanita yang tengah menangisi mayat putranya.
“Sudahlah, Nyai. Pergilah beristirahat. Biarlah tuan
pendekar ini yang akan memeriksanya. Siapa tahu
pembunuh putra kita bisa ditemukannya,” bujuk kepala
desa itu sambil menggandeng tangan istrinya, dibawanya
pergi meninggalkan kamar itu.
Setelah mengantarkan istrinya ke kamar, ia pun segera
kembali ke tempat mayat anaknya terbaring. Sebentar
ditatapnya mayat itu, kemudian perhatiannya beralih pada
Panji dan Kenanga.
“Bagaimana, Pendekar Naga Putih? Apakah kau sudah
bisa menduga, siapa pembunuh keji itu?” tanya lelaki
setengah baya itu. Pada wajah tuanya tampak tersirat
setitik harapan.
“Hhh.... Sayang sekali, Ki. Pembunuh itu ternyata
orang yang sangat berpengalaman. Sengaja dia tidak mem-
pergunakan pukulan atau senjatanya sendiri, melainkan
menggunakan senjata yang tergantung di dinding itu,”
jelas Panji sambil menunjuk ke arah sarung golok yang
masih tergantung di binding. Sedangkan golok yang
digunakan untuk membunuh, entah berada di mana.
“Hhh.... Benar-benar licik bangsat keji itu! Mung-
kinkah ia seorang pembunuh bayaran?” gumam orang tua
itu geram.
“Entahlah. Tapi aku pernah melihat putramu ini di
kedai, dekat mulut desa. Saat itu ia dan orang-orangnya
tengah mengeroyok dua orang laki-laki dan seorang
perempuan muda. Tapi aku tidak tahu, apakah pem-
bunuhan ini ada hubungannya dengan kejadian pagi tadi
atau tidak,” jelas Panji lagi. Rupanya, Pendekar Naga
Putih sempat mengenali sewaktu pemuda jangkung dan
anak buahnya mengeroyok Wirasaba, Samba, dan
Anggini.
“Ah! Jadi, tadi pagi anakku telah membuat keributan?
Hhh.... Dasar anak keras kepala! Padahal, sudah ber-
ulangkali aku menasihatinya agar tidak memancing-
mancing keributan. Oh, ya. Tahukah kau, siapakah yang
memulai perseBsihan itu, Anak Muda? Jawablah, tanpa
harus merasa tidak enak kepadaku. Karena aku tahu,
anakku memang keras kepala dan tidak mau kalah kepada
orang lain,” tanya orang tua itu.
“Hm.... Kalau melihat dari sikap ketiga orang anak
muda yang dikeroyoknya, dapat diambil kesimpulan kalau
kesalahan itu terletak pada putra Aki. Buktinya, jika
melihat gerakannya, jelas ketiga orang itu memiliki
kepandaian tinggi. Dan kalau ingin, mungkin mereka
dapat membunuh para pengeroyoknya. Tapi, hal itu tidak
merela lakukan. Sebaliknya, malah ketiga orang itu
berusaha meloloskan diri. Begitulah kejadian yang kulihat
tadi pagi, Ki,” jelas Panji.
“Hhh.... Aku yakin, pembunuhan ini merupa buntut
dari peristiwa pengeroyokan itu. Mungkin anakku telah
melakukan kesalahan besar yang menyakitkan hati ketiga
orang itu. Sebab, pembunuh itu hanya meminta korban
anakku saja. Padahal kalau mau, dapat juga membunuh
keempat orang penjagaku. Jadi, jelas anakkulah yang
menjadi tujuannya,” kata kepala desa itu.
Tampaknya orang tua itu menyesali perbuatan
putranya yang justru telah membahayakan dirinya sendiri.
Dan kini, menyesal rasanya sudah terlambat. Diam-diam,
dia menyalahkan diri sendiri, karena terlalu memanjakan
putra satu-satunya itu.
“Aku akan menyelidiki hal ini, Ki. Aku juga ingin tahu,
siapa sebenarnya yang melakukan pembunuhan ini Dan
apa yang menyebabkan orang itu melakukannya?” janji
Panji.
Kepala Desa Banjar itu hanya bisa mengangguk-angguk
sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga pun
pamitan untuk kembali ke penginapan. Sekali lagi orang
tua itu mengucapkan rasa terima kasihnya. Kemudian, ia
mengantarkan kepergian kedua orang mendekar muda itu
hingga gerbang rumahnya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkahkan
kaidnya menerobos kegelapan malam yang mulai men-
jelang pagi. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-
sahutan menyambut datangnya pagi.
***
“Tolong...! Kantung uangku dicuri! Oh, tolong...!”
Seorang wanita setengah baya berteriak-teriak minta
tolong. Sedang tangannya menunjuk ke arah seorang laki-
laki kurus berwajah kumal yang berlari dan menyelinap di
antara keramaian pasar.
Sedangkan orang-orang yang tengah berbelanja dan
berdagang di pasar hanya menolehkan kepala jenak,
kemudian kembali melanjutkan kegiatan tanpa mem-
pedulikan kejadian itu. Sepertinya, orang-orang di pasar
telah mengenal betul lelaki kurus yang nencuri kantung
uang wanita itu. Mereka tidak ingin nencampurinya,
karena takut akan akibatnya. Paling tidak, pencuri itu akan
mencegat dan menganiaya bersama kawan-kawannya.
Maka, orang-orang itu terpaksa menulikan telinganya dan
berpura-pura tidak tahu.
Dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang
tengah menikmati keramaian pasar, tersentak ketika nen-
dengar jeritan minta tolong. Mereka langsung menoleh ke
arah asal teriakan tadi. Kening mereka berkerut dalam
ketika melihat seorang laki-laki kurus dan kumal berlari
cepat. Di tangan kanannya tampak tergenggam kantung
uang.
“Hm.... Mengapa orang-orang di pasar ini hanya diam
saja?” gumam Wirasaba. Pemuda itu benar-benar heran
ketika tidak melihat seorang pun yang berusaha mengejar
si pencuri.
“Mungkin mereka takut, Kakang,” sahut Samba.
Lain halnya dengan wanita cantik yang tak lain!
Anggini. Tanpa berkata sepatah pun, dia segera melesat
mengejar lelaki kurus itu. Hanya beberapa kali lompatan
saja, tubuh gadis itu telah berdiri menghadang jalan lari
pencuri itu.
“Berhenti! Atau, kupatahkan kakimu!” ancaml Anggini
sambil berdiri bertolak pinggang. Wajahnya! tampak
kemerahan menahan amarah yang meluap-luap dalam
dada.
“Hm.... Minggirlah kau, Nisanak! Sayangilah ke-
cantikanmu. Jangan sampai wajahmu yang cantik itu
kurusak!” pencuri itu rupanya merasa lucu mendengar
ancaman Anggini, sehingga berbalik mengancam.
“Oh! Rupanya kau minta diberi pelajaran! Baik. Nah,
sambutlah kepalanku ini. Lumayan untuk sarapan pagi!”
ujar gadis cantik itu geram melihat ke bandelan si pencuri.
Maka kedua tangannya cepat bergerak. Dan tahu-tahu
saja....
Brettt! Plakkk! Desss!
“Akh...!”
Lelaki kurus berwajah kumal itu menjerit, dan! Tubuh-
nya langsung terbanting jatuh. Cairan merah tampak
merembes di sudut bibimya Sepasang matanya sampai
terbelalak memandang gadis di depannya. Ia benar-benar
tidak mengert, mengapa tahu-tahu saja wajah dan
perutnya terasa sakit. Bahkan kantung uang di tangannya
pun telah berpindah ke tangan gadis cantik itu. Rupanya
kecepatan gerak pukulan dan tendangan tadi tidak terlihat
matanya, sehingga ia tidak lahu kalau wajah dan perutnya
telah menjadi sasaran tangan kaki gadis cantik itu.
“Bedebah kau, Kuntilanak! Rupanya kau tidak patut
disayangi! Rasakanlah pembalasanku! Heaaat..!”
Disertai sebuah pekikan marah, tubuh kurus itu segera
melompat menerjang Anggini.
Mau tak mau, Anggini terpaksa tersenyum melihat
gerakan orang itu. Karena, ia tahu persis kalau gerakan
lelaki kurus itu hanya asal-asalan. Sama sekali tidak
mengandung unsur silat cabang mana pun. Tentu saja
serangan orang itu tidak ada artinya bagi gadis cantik
murid tokoh sakti macam Anggini. Hanya dengan satu
tangan saja, maka tubuh orang itu kembali terpelanting
akibat sambaran pukulan lawan. Akibatnya, dada orang itu
terasa rontok.
Sadar kalau yang dihadapinya bukanlah gadis
sembarangan, maka tanpa malu-malu lagi laki-laki kurus
itu bergegas melarikan diri. Sehingga, Anggini pun ter-
senyum melihatnya.
“Hebat..! Hebat..!” tiba-tiba terdengar seruan bernada
memuji.
Tampak seorang pemuda tampan mengenakan pakaian
dari sutra halus berwama coklat muda telah berdiri tidak
jauh dari Anggini. Ia berseru sambil bertepuk tangan
keras-keras. Sepertinya, ia telah menyaksikan gebrakan
gadis itu saat melumpuhkan si pencuri.
“Apa maksudmu, Kisanak? Dan mengapa kau tidak
berusaha mencegah perbuatannya tadi?” tanya Anggini.
Keningnya berkerut, menatap pemuda pesolek yang
sebenarnya cukup gagah dan menarik itu.
“Maaf, Nisanak. Namaku Gutala. Tapi sayang sekali,
aku tidak memiliki keberanian sepertimu. Mmm....
Bolehkah aku tahu namamu?” tanya pemuda tampan
pesolek itu, setelah lebih dulu memperkenalkan nama-
nya. Sama sekali da tidak berusaha menyembunyikan rasa
kagumnya melihat kecantikan dan kepandaian Anggini.
Kerutan di kening Anggini semakin dalam.
Dipandanginya wajah pemuda itu penuh selidik. Seolah-
olah dia mencoba mencari jawaban, mengapa pemuda itu
sedemikian mudahnya memperkenalkan diri. Sepertinya,
hal itu memang sudah diatur olehnya. Namun karena
sikap pemuda itu sangat sopan, maka tidak enak untuk
menyambutnya.
“Aku Anggini. Dan...”
Gaols itu menghentikan ucapannya ketika terdengar
jerit kesakhan yang menyayat. Anggini semakin terkejut
melihat tubuh wanita setengah baya yang baru saja
kantung uangnya dikembalikan, tersungkur roboh mandi
darah. Dua bilah belati tampak menancap di dada dan
lehernya.
“Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau, Pembunuh!”
seru Wirasaba marah. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, pemuda tinggi tegap itu segera mengejar si
pembunuh.
Samba yang tidak ingin ketinggalan, bergegas pula
mengejar dua orang laki-laki yang melemparkan senjata
tadi. Kedua pemuda itu melesat cepat penuh kemarahan,
sehingga melupakan Anggini yang masih berada di tempat
itu.
“Sabarlah, Nisanak. Apakah dua orang temanmu itu
masih belum cukup untuk menangkap mereka? Lebih baik
tunggu saja di sini. Aku yakin, tidak lama lagi pasti kedua
orang temanmu sudah kembali sambil menyeret dua orang
yang dikejarnya. Mereka memang teman si pencuri yang
kau robohkan tadi. Marilah kita tunggu mereka di dekat
pohon itu,” ajak si pemuda yang mengaku bernama Gutala
sambil menunjuk sebatang pohon yang cukup besar.
“Hm.... Jadi, kau pun sudah pula mengenal banyak
kawanan pencuri itu? Lalu mengapa tidak kau beri
hajaran, agar mereka kapok?” tanya Anggini, seraya
melangkah ke sebuah bangku panjang di bawah pohon
besar itu.
Si pemuda pesolek hanya tersenyum memikat.
Kembali dijelajahinya seluruh wajah Anggini yang cantik
itu dengan matanya. Sinar kekaguman semakin nyata
terlihat pada sepasang mata pemuda itu.
“Ihhh! Mengapa kau memandangiku seperti itu,
Gutala?” sergah Anggini sambil memalingkan wajahnya.
Dia memang jengah melihat pandangan yang tajam
menusuk itu.
“Hm..., Anggini. Sebuah nama yang indah dan antik.
Sungguh sesuai dengan kecantikannya. Kau tidak ubahnya
seperti dewi, Anggini,” gumam Gutala. Suaranya ter-
dengar agak menggeletar.
“Apa... Apa maksudmu, Gutala. Kau..., kau..., ah!
Aku tidak suka mendengar ucapan itu! Sekali lagi kata itu
diucapkan, aku akan pergi meninggalkanmu!” bentak
Anggini yang sudah bangkit dari duduknya.
Sepasang matanya menyiratkan kemarahan hatinya.
“Aduh...! Sabar dulu, Anggini. Mengapa marah-marah
begitu? Apa yang kukatakan itu adalah yang sebenarnya.
Apakah salah kalau aku mengatakan kau cantik? Tidak
bolehkah kita mengagumi sesuatu yang indah dan cantik?
Hhh.... Kau aneh sekali, Anggini?” bantah Gutala. Suara-
nya demikian lemah, sehingga membuat kemarahan di hati
gadis itu lenyap.
“Maafkan aku, Gutala. Tapi aku benar-benar tidak suka
mendengar ucapan itu. Dan kuminta, jangan kau ulangi
lagi,” desah Anggini.
Gutala tersenyum lega. Ternyata Anggini adalah gadis
yang pemaaf. Hal ini makin membuatnya tertarik. Diam-
diam, semakin dikaguminya gadis itu.
“Eh, mengapa mereka lama sekali? Ke mana saja
mereka?” tanya gadis itu yang mulai merasa tidak enak
ketika kedua orang saudara seperguruannya tidak muncul-
muncul. Dan lagi, pertanyaan itu memang untuk mem-
belokkan ketertarikan Gutala padanya.
“Sabarlah. Sebentar lagi mereka pasti kembali,” bujuk
Gutala sambil menyuruh gadis itu duduk kembali.
“Tidak, Gutala. Aku harus menyusul mereka!”
Setelah berkata demikian, Anggini pun mulai meng-
gerakkan kakinya meninggalkan Gutala.
“Eh, eh! Sabar dulu, Anggini! Kita tunggu saja di sini!”
cegah Gutala kaget. Cepat-cepat disambarnya lengan gadis
itu, sehingga gerakannya jadi tertahan.
“Apa-apaan kau, Gutala!” bentak Anggini sambil
menepiskan tangan pemuda itu yang telah menggenggam
jemarinya.
Hati gadis cantik itu sempat tergetar ketika merasakan
betapa lembut dan hangatnya genggaman tangan lelaki
pesolek itu.
“Jangan pergi, Anggini. Sejak melihatmu tadi, aku....
Aku telah jatuh cinta kepadamu,” Gutala terpaksa
mengutarakan perasaan hatinya. Dia pikir, mungkin
pengakuannya pada Anggini akan membatalkan niat gadis
itu untuk mencari kedua orang saudara seperguruannya.
Tapi sayang, dugaan Gutala salah besar! Dugaannya
semula, gadis itu akan tertunduk malu mendengar
pengakuannya. Tapi, ternyata tidak! Anggini malah
menentang pandang mata Gutala dengan wajah merah!
Bukan karena rasa malu ataupun jengah, tapi sebaliknya
malah merasa marah.
“Hm.... Jadi itu maksudmu, mengapa kau menahanku
di sini? Dan kau pilar, keberadaanku di sini karena tertarik
kepadamu? Huh! Kau salah, Gutala! Selamat tinggal!”
dengus Anggini.
Gadis itu segera melesat meninggalkan Gutala yang
terpaku dengan wajah merah. Pemuda itu merasa malu
dan terhina sekali mendengar kata-kata yang teratur
menusuk hatinya tadi. Kata-kata yang terucap dari mulut
gadis yang telah mencuri sekeping hatinya.
“Anggini, tunggu...!” seru Gutala, bersiap mengejar.
Namun sebelum kakinya melangkah, tiba-tiba....
“Tidak pertu mengejar gadis itu, Perayu Busuk! Karena
telah berani mengganggu gadis itu, berarti kau pun telah
berani untuk menghadap malaikat maut!” ancam sebuah
suara berat.
Gutala langsung menahan langkahnya. Kepalanya
langsung dipalingkan ke arah asal suara.
Tampak lelaki tinggl tegap berwajah buruk dan tua
telah berdiri di dekatnya. Rambutnya yang telah berwarna
dua tampak meriap dan menutupi sebagian wajah.
Penampilan orang itu benar-benar menggetarkan hati
Gutala.
“Siapa... siapa kau? Dan apa maksud kata-katamu itu?”
tanya Gutala agak gugup mendengar kata-kata berbau
maut itu.
'Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah! Kau kuberi
kesempatan untuk membela diri!” lanjut suara berat itu
tanpa mengenal belas kasihan.
Gutala segera mencabut pedang yang terselip di
pinggangnya. Memang disadarinya kalau lelaki setengah
baya berwajah buruk itu tidak main-main dengan
ancamannya. Maka, ia pun bersiap untuk membela diri.
“Haaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan parau, tubuh lelaki buruk
itu meluncur disertai sambaran pedangnya menimbulkan
deru angin keras.
Wuuut! Wuuut!
Sambaran pedang yang membawa hawa maut
berkelebatan mengancam tubuh Gutala. Cepat-cepat
pemuda itu berkelit dan melempar tubuhnya ke belakang.
Memang, serangan orang aneh itu demikian gencar sekali.
Maka Gutala pun kalang-kabut dibuatnya.
***
TUJUH
“Orang gila! Apa sebenarnya maumu?” teriak Gutala
sambil berlompatan, menghindari serangan yang
menderu-deru dari orang aneh itu.
“Jangan banyak bacot! Keluarkan semua kepandaian-
mu, kalau masih ingin hidup lebih lama lagi!” bentak lelaki
aneh berwajah buruk itu, semakin mempergencar
serangannya.
Wuuut!
“Aaah...!”
Gutala berteriak kaget ketika ujung pedang lawan
hampir saja membeset kulit tubuhnya. Untunglah
tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga ujung pedang
orang aneh itu hanya mengenai bajunya. Pemuda itu
segera melempar tubuhnya, lalu bergulingan menjauhkan
diri dari lelaki buruk yang berkepandaian tinggi itu.
“Huh! Percuma melarikan diri, Pemuda Busuk!” seru
lelaki aneh itu ketika melihat lawannya hendak melarikan
diri. Setelah berkata demikian, tubuhnya vang tegap dan
kokoh itu melayang mengejar calon korbannya. Senjata di
tangannya diputar sedemikan rupa, sehingga menimbul-
kan gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Wuuut! Crasss!
“Aaargh...!”
Terdengar jerit kematian yang menyayat pedang di
tangan lelaki buruk yang aneh itu membeset tubuh Gutala
sebanyak tiga kali. Darah segar memercik membasahi
permukaan bumi. Tubuh Gutala kemudian ambruk di
tanah. Dia meraung-raung berkelojotan meregang nyawa.
Dada, perut, dan lehernya terdapat luka memanjang yang
cukupdalam. Tidak berapa lama kemudian, tubuh Gutala
diam bergerak. Mati.
Setelah merasa yakin kalau korbannya telah tewas,
lelaki buruk yang aneh itu segera melesat meninggalkan
mayat yang bersimbah darah.
“Pembunuhan...! Pembunuhan...!”
Terdengar teriakan dari beberapa penduduk melihat
mayat Gutala. Mereka telah mengerumuni mayat itu. Tak
seorang pun yang berani mendekat apalagi sampai
menyentuhnya. Mereka hanya gerombol dalam jarak
empat batang tombak.
Seorang gadis berkepang dua dan berwajah cantik,
segera berlari mempercepat langkahnya mendekati
kerumunan orang itu. Ia tak lain adalah Anggini. Gadis itu
memang bermaksud menanyakan tempat berkumpulnya
kawanan pencuri yang biasanya menjarah pasar. Pada
waktu mengejar tadi, Anggini tidak berhasil menemukan
kedua orang saudara seperguruannya, meskipun telah
bertanya ke sana kemari.
“Hm.... Ada apa lagi itu? Sepertinya ada kejadian yang
menarik?” gumam Anggini dalam
Gadb itu pun mempercepat langkahnya. Kemudian,
dia segera menyeruak di antara kerumunan penduduk.
Orang-orang yang tengah berkerumun memberikan
jalan kepada Anggini. Mereka memang tahu kalau gadis
cantik itu memiliki kepandaian hebat, karena sempat
menyaksikan pertarungan Anggini melawan pencuri di
tengah pasar tadi.
“Ada apa, Kisanak?” tanya Anggini kepada seorang laki-
laki setengah baya yang menyingkir memberi jalan.
“Ada orang terbunuh! Kata orang yang melihat
pertarungan korban tadi, pembunuhnya berumur setengah
baya, juga wajahnya buruk. Tapi ia sudah menghilang
sejak tadi,” jelas lelaki itu.
“Hah...!?”
Sepasang mata Anggini terbelalak lebar. Hampir sata
gadis itu tidak mempercayai pandangan matanya. Benar-
benar tidak disangka kalau mayat itu tak lain adalah
Gutala. Padahal, belum lama tadi ia berada bersamanya.
Lalu, bagaimana mungkin pemuda itu dapat terbunuh
sedemikian mudah? Apa yang menyebab Gutala sampai
terbunuh? Aneh! Anggini benar-benar tak habis mengert.
“Nisanak kenal orang itu?” tanya seorang pemuda ber-
jubah putih yang juga ada dalam kerumunan penduduk,
dekat dengan Anggini. Nada pertanyaannya demikian
wajar dan tidak mengandung kecurigaan.
Anggini tidak segera menjawab pertanyaan itu.
Kepalanya menoleh, dan keningnya berkerut. Sekilas saja
gadis itu tahu kalau pemuda berjubah putih itu
berkepandaian tinggi. Kemudian pandangannya dialihkan
kepada seorang wanita jelita yang menghampiri.
“Aku mengenalnya baru beberapa saat yang lalu. Tapi
aku tidak tahu, siapa dia sebenarnya? Dan penyebabnya
sehingga ia sampai terbunuh? Padahal kelihatannya dia
orang baik,” sahut Anggini.
“Apa dia pernah bercerita kalau mempunyai musuh?”
tanya wanita jelita berpakaian hijau, ikut menimpali.
“Hm..., tidak. Perkenalan kami belum lama. Lagi pula,
tidak baik menceritakan persoalan kepada orang yang baru
dikenal,” jawab Anggini. Matanya masih memandang
wanita jelita itu penuh kagum. Sekali melihat saja, ia
sudah menyukainya. sudah dapat diduga kalau wanita jelita
itu bukan orang sembarangan.
“Hm.... Aneh!” gumam pemuda tampan berjubah
putih yang tak lain Pendekar Naga Putih. Sedangkan
wanita jelita itu pasti Kenanga.
Kedua pendekar muda itu hanya mengamati sambil
menatap kepergian Anggini. Lalu, mereka segera berlalu
setelah berpesan kepada penduduk mengurusi mayat
pemuda pesolek itu.
“Apakah kau akan mengikuti gadis itu, Kakang?' tanya
Kenanga setelah mereka meninggalkan keramaian pasar.
Saat itu, mereka berjalan menyusuri utama desa.
“Hm..., begitulah. Kau tahu, saat ini kita tidak mem-
punyai petunjuk lain selain gadis itu dan orang pemuda
yang bersamanya,” sahut Panji.
“Kau mencurigai mereka sebagai pembunuhnya?' tanya
Kenanga lagi.
“Yah! Itu hanya dugaan, Kenanga. Tapi yang jelas,
sumber pembunuhan itu pasti berasal mereka. Dan satu-
satunya jalan untuk membekuk pembunuh aneh itu adalah
melalui ketiga orang itu,” jawab Panji yang bertekad
untuk menyelidiki pembunuh-pembunuh gelap yang
mereka temui.
“Kalau begitu, marilah kita ikuti gadis cantik itu!” ajak
Kenanga bersemangat. Memang dia pun sudah tidak sabar
untuk segera membekuk pembunuh itu.
“Ayolah!” sahut Panji Pendekar Naga Putih segera
mengikuti Kenanga yang sudah berlari mendahuluinya.
Cepat sekali!
Mereka kemudian melesat cepat seperti saling
berkejar-kejaran. Jelas, mereka telah mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang mendekati kesempurnaan. Yang
terlihat kini hanyalah bayangan putih dan hijau. Bagi orang
yang tak memiliki kepandaian tinggi, sulit untuk
menebak, bayangan apa yang tengah berkelebat dengan
kecepatan tinggi itu.
Sebentar kemudian, Pendekar Naga Putih dan Kenanga
telah tiba di tempat Anggini tadi menuju. Namun, mereka
menjadi heran ketika tidak menemukan gadis itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Panji segera menanyakan
orang yang dicarinya kepada seorang laki-laki yang tengah
berdiri di pintu rumah dan memandang ke arahnya.
“Maaf, Kisanak. Apakah kau melihat gadis cantik yang
rambutnya berkepang dua?” tanya Panji sopan.
“Apakah yang kau maksud, gadis berbaju kuning dan
bercelana hitam?” orang itu bafik bertanya.
Begitu kepala Panji terlihat mengangguk, orang itu
menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke satu arah.
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka segera
melesat ke arah yang ditunjuk orang itu. Rupanya Anggini
telah meninggalkan desa itu.
***
“Berhenti..!” terdengar bentakan nyaring, disertai ber-
lompatannya belasan sosok tubuh dari balik semak-semak.
Gadis cantik berkepang dua itu melangkah mundur
dengan sikap waspada. Satu persatu, dipandanginya orang-
orang yang berdiri menghadang jalannya itu. Dapat diduga
kalau orang-orang yang terlihat kasar itu mempunyai niat
yang tidak baik terhadapnya.
“Maaf, Kisanak. Apa keperiuan kalian hingga meng-
hadang jalanku? “ tanya gadis cantik yang tak lain Anggini
itu, curiga.
Gadis cantik yang belum berpengalaman ini sama sekali
tidak mengetahui kalau saat itu tengah berhadapan dengan
para perampok.
“Ha ha ha...!”
Laki-laki berkepala botak yang merupakan pimpinan
para perampok itu tertawa mendengar pertanyaan
Anggini. Sepertinya, pertanyaan yang dilontarkan gadis itu
lucu. Sebab bukan hanya si botak yang tertawa, tapi
hampir semua laki-laki kasar itu tergelak mendengarnya.
“Hei, Nisanak yang cantik. Mestinya kau tahu
keperluan tuanmu ini. Ketahuilah, aku dan pasukanku
sengaja datang menyambutmu. Karena, sebentar lagi kau
akan menjadi permaisuriku! Kau tidak keberatan, bukan?”
ujar si botak seraya memperdengarkan tawanya yang
memuakkan.
“Maaf, Kisanak. Aku sama sekali tidak mengerti
ucapanmu itu? Lebih baik, kalian menyingkir! Biarkan aku
lewat!” tegas Anggini bemada mengancam.
“Hei? Apakah kau lebih suka kalau aku menggunakan
kekerasan? Hm.... Sebaiknya, kau menurut saja, Nisanak.
Kujamin, kau akan hidup senang,” ujar si botak lagi tanpa
mempedulikan ancaman gadis itu.
“Sudahlah, Ki. Untuk apa bertele-tele? Tangkap saja!
Kan, beres!” selak lelaki tinggi kurus dan berwajah
brewok.
Sepasang mata laki-laki yang agak sipit itu berputar liar
menjelajahi sekujur tubuh Anggini. Air liurnya nampak
menetes, tak ubahnya seekor harimau yang melihat kijang
muda.
“Hm.... Rupanya kalian menganggap aku main-main!
Baiklah. Kalau kalian masih juga tidak mau menyingkir,
jangan salahkan kalau kepala kalian akan terpisah dari
badan!” geram Anggini.
Gadis itu langsung mencabut pedangnya yang terselip
di pinggang. Ketika melihat sinar mata si brewok, Anggini
pun tahu keinginan orang-orang kasar itu sebenarnya.
Sret!
Selarik sinar berkilatan keluar dari mata pedang yang
tercabut keluar dan tergenggam di tangan gadis cantik itu.
Wajahnya yang putih halus nampak kemerahan karena
kemarahannya mulai bangidt Bagaimana ia tidak akan
jengkel? Belum lagi kedua orang kakak seperguruannya
dapat ditemukan, kini ada lagi persoalan yang membuat
kepalanya tambah pusing.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan kedua belah pihak,
dua sosok tubuh tampak memperhatikan dari bafik
rimbunan pohon bambu kuning.
“Kakang, bagaimana kalau gadis itu terdesak? Apakah
kita akan mendiamkannya saja?” tanya sosok tubuh
ramping itu. Sementara sepasang matanya yang indah
tetap menatap ke arah orang-orang itu.
“Kita tunggu saja perkembangannya,” sahut yang
seorang tanpa menolehkan kepala.
“Tapi kalau dia tertangkap, bagaimana?” tanya sosok
tubuh ramping itu lagi.
Sepertinya dia tidak tega melihat Anggini yang hanya
seorang dhi, siap dikeroyok oleh kawanan perampok yang
jumlahnya lebih dari lima belas orang. Belum lagi kalau
mereka masih mempunyai kawan yang tengah ber-
sembunyi di semak-semak.
“Sudahlah. Jangan terlalu khawatir dulu, Kenanga. Dan
jangan sekali-kali bergerak sebelum ada isyarat dariku,”
sahut sosok yang satunya. Siapa lagi kedua orang itu, kalau
bukan Kenanga dan Panji yang rupanya sudah pula tiba di
tempat itu.
Sementara itu, ketegangan di kedua belah pihak
semakin memuncak. Pemimpin perampok yang berkepala
botak itu sudah memerintahkan anak buahnya menyebar
mengelilingi Anggini Beberapa di antaranya tampak sudah
memutar-mutar tambang yang pada bagian tengahnya
dibentuk sebuah bulatan. Sepertinya, mereka memang
bermaksud untuk menangkap gadis itu hidup-hidup.
“Heaaat..!”
Dibarengi bentakan nyaring, pemimpin perampok itu
bergerak maju tanpa menggunakan senjata. Sesaat
kemudian, lelaki kurus berwajah brewok yang merupakan
wakilnya, ikut pula bergerak maja la juga menggunakan
tangan kosong.
“Haiitt...!”
Anggini melompat tinggi menyambut serangan kedua
orang pimpinan perampok itu. Gadis yang berjiwa bersih
ini sudah pula menyimpan senjata begitu melihat kedua
orang lawannya hanya bertangan kosong.
Dengan gerakan indah, Anggini memutar tubuhnya
menghindari dua buah serangan yang dilancarkan lelaki
berkepala botak itu. Sambil memutar tubuh, tangan
kirinya terayun ke leher lawan. Begitu hantaman tangan
kirinya berhasil dielakkan lawan, gadis itu pun segera
menyusuli dengan sebuah tendangan kilat
Lelaki berkepala botak itu terkejut sekali melihat
kecepatan gerak lawan. Cepat-cepat tubuhnya dilempar
ke belakang karena tidak ingin dadanya dijejak kaki mungil
yang menyimpan tenaga hebat itu.
Pada saat yang bersamaan, serangan dari lawan lain
meluncur datang. Jari-jari tangan yang berbentuk akar
dari laki-laki brewok itu menyambar-nyambar cepat
mengincar beberapa bagian tubuh gadis itu.
Anggini bergerak mundur dengan menggeser kedua
kakinya bergantian. Sepasang matanya bergerak lincah
mencari-cari kelemahan lawan. Gadis cantik yang cukup
cerdik itu terus bergerak mundur sambil mencari celah
yang kira-krra dapat dimanfaatkannya. Namun sampai
beberapa jurus lamanya, titik kelemahan dari jurus-jurus
lawan belum juga terlihat. Sepertinya, pertahanan si
brewok cukup rapat dan kuat
Setelah menyerang selama lima jurus namun belum
juga berhasil menyentuh tubuh lawannya, lelaki brewok
itu pun bangkit kemarahannya. Jurus-jurus serangannya
pun semakin dipercepat Cengkeraman tangannya kadang-
kadang berubah membentuk kepalan. Namun kepalan itu
tidak kalah berbahayanya dengan cengkeramannya. Malah
mungkin akibatnya akan lebih parah apabila terkena tubuh
lawan!
Pada suatu saat, gadis cantik itu berteriak nyaring
mengagetkan lawan. Serangan-serangan yang semakin
cepat itu justru telah menyebabkan pertahanan si brewok
agak melemah. Anggini pun menyadari akan hal itu. Maka
ketika cengkeraman dan kepalan lawan meluncur
mengancam dada dan perutnya, tubuh gadis itu meliuk
dengan jurus 'Harimau Lapar Menerkam Kambing'.
Wuuut'
Kepalan dan cengkeraman si brewok temyata hanya
mengenai angin kosong karena tubuh Anggini telah lebih
dulu meliuk ke kanan. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, tangan kanan gadis terulur mengancam dada.
Gerakannya dibarengi pula dengan tendangan kaki kanan
yang mengarah perut
Dapat dibayangkan, beta pa kagetnya hati si brewok
melihat serangan tiba-tiba itu. Apalagi, dia tidak
mempunyai kesempatan untuk menghindar. Maka si
brewok cepat mengerahkan tenaganya untuk melindungi
bagian tubuh yang menjadi sasaran serangan la wan.
Desss! Bukkk!
“Aaakh...!”
Disertai jeritan ngeri, tubuh kurus itu pun ter-
jengkang beberapa tombak ke belakang! Darah segar
langsung memercik membasahi rerumputan yang kering.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu pun terbanting
keras menimbulkan suara berdebuk!
Sambil menekap dada dan perutnya, lelaki brewok itu
berusaha bangidt meskipun dengan susah-payah. Kembali
ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar! Rupanya
ia salah perhitungan! Sungguh sama sekali tidak diduga
kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis cantik itu ternyata
demikian tinggi. Maka tentu saja tenaga yang diper-
gunakan untuk melindungi tubuhnya itu tidak berarti.
Akibatnya, pukulan dan tendangan gadis itu tetap saja
melukai tubuhnya.
“Gunakan tali! Kuntilanak ini benar-benar patut diberi
pelajaran!” perintah laki-laki botak.
Pemimpin perampok itu menjadi marah melihat
kawannya telah dilukai gadis ini Sebagian nafsunya telah
lenyap, dan telah berganti dengan kemarahan. Golok
besar yang tergantung di punggung dicabutnya.
“Yeaaat..!”
Disertai bentakan keras, tubuh si botak melambung ke
atas dengan bacokannya. Kali ini ia tidak peduli lagi,
apakah si gadis akan terluka atau tidak. Satunya-satunya
yang diinginkan saat itu adalah melumpuhkan Anggini.
Trangngng! Trangngng!
“Aaah...”
Entah kapan dilakukannya, tahu-tahu saja di tangan
Anggini telah tergenggam sebatang pedang. Langsung
pedangnya dikerahkan untuk memapak ayunan golok si
botak. Maka terdengarlah benturan yang keras disertai
jeritan kaget lelaki berkepala botak itu.
Benturan yang cukup kuat itu telah membuat kuda-
kuda si botak tergempur. Tubuhnya terjajar mundur,
hingga beberapa langkah ke belakang. Meskipun
demikian, golok besarnya tetap tergenggam erat di
tangannya.
Anggini tidak mau membuang-buang waktu lag! Saat
itu juga tubuhnya melesat ke arah pimpinan perampok
yang tengah terhuyung itu. Pedang di tangannya berputar
cepat menimbulkan deru angin keras.
Tapi sayang Anggini tidak memperhatikan lawan
lainnya. Pada saat tubuhnya melompat, beberapa utas
tambang yang ujungnya berbentuk bulatan itu melayang
ke arahnya!
Rrrttt! Rrrttt!
“Aaah...!”
Anggini berteriak kaget ketika dirasakan ada sesuatu
benda yang menjerat keduanya kakinya. Baru saja
pedangnya hendak diayunkan untuk membabat tambang-
tambang itu, kedua pergelangan tangannya kembali
terjerat tambang yang lain. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuhnya pun meluncur ke bawah. Jatuh, tak berdaya.
Brukkk!
“Uuugkh...!”
Rrrttt! Rrrttt!
Terdengar suara berdebuk ketika tubuh gadis itu ter-
banting di atas rerumputan. Anggini mengeluh menahan
rasa nyeri pada tubuhnya. Cepat ia bergerak bangkit
sambil mengerahkan tenaga pada lengan dan kakinya.
Namun betapa terkejutnya gadis itu ketika kaki tangannya
tidak mampu digerakkan. Pandangan gadis itu beredar.
Dia kini mendapati tali-tali yang semula dipegang
gerombolan perampok itu telah dilibatkan ke pohon-
pohon besar. Maka Anggini hanya bisa pasrah, untuk
melihat apa yang akan diperbuat orang-orang itu terhadap
dirinya.
Kenanga yang melihat gadis cantik itu sudah berdaya,
segera bergerak bangkit hendak menolongnya. Memang
sebagai seorang wanita, dia sudah dapat menduga maksud
perampok-perampok liat itu. Namun, gerakan Kenanga
tertahan telapak tangan Panji, yang menekan bahunya.
Semula gadis jelita itu hendak membantah, tapi langsung
bungkam ketika Panji nunjuk ke arah tempat terjadinya
pertempuran.
Rupanya di arena pertempuran terjadi perubahan
mendadak. Temyata di sana telah muncul dua orang
pemuda yang tampak gagah. Sedangkan gadis yang terikat
tadi telah pula terbebas. Malah kini telah di samping dua
orang pemuda gagah itu.
“Hhh.... Hampir saja aku berbuat kesalahan!' desah
Kenanga menghela napas lega. Dipandanginya Panji,
dengan sinar mata penuh permohonan maaf.
***
DELAPAN
“Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa berani
mencampuri urusanku?!” bentak orang berkepala botak
itu dengan suara menggelegar.
Ia benar-benar marah sekali melihat mangsa yang sudah
berada di depan mulut terlepas begitu saja karena per-
buatan dua orang itu.
“Ha ha ha...! Hei, Perampok-perampok Busuk!
Dengarlah! Kami adalah Dua Harimau Cakar Besi! Dan
hari ini, malaikat maut akan datang hendak mencabut
nyawa kalian!” ancam salah seorang dari dua pemuda
gagah itu, dingin.
“Ahhh...!”
Mendengar disebutnya nama Dua Harimau Cakar Besi,
para perampok itu bergerak mundur dengan wajah pucat
Memang mereka telah banyak mendengar tentang sepak-
terjang dua pendekar muda yang sering membasmi para
perampok di sekitar daerah itu tanpa kenal ampun. Tak
seorang pun perampok yang pernah lolos dari hukuman
mereka. Sehingga kedua orang pendekar itu dijuluki
sebagai Dua Harimau Cakar Besi. Tidak heran bila setiap
perampok yang bertemu kedua orang itu, pasti akan
tewas!
“Lari....!” tanpa malu-malu lagi, si kepala perampok
memerintahkan anak buahnya untuk menyelamatkan diri
dari hukuman kedua pendekar yang tak mengenal kata
ampun itu.
Melihat gerombolan perampok itu hendak melarikan
diri, dua orang pemuda gagah itu segera bergerak
mengejar.
“Jangan kejar...!” terdengar seruan halus yang
membuat Dua Harimau Cakar Besi menghentikan
langkahnya.
“Mengapa, Nisanak? Mereka adalah orang-orang kejam
dan buas. Hanya kematianlah jalan satu-satunya bagi
mereka,” tegas salah seorang dari pemuda itu. Dia merasa
heran mendengar gadis yang ditolongnya itu mencegah
mereka.
“Betul, Nisanak. Kalau tidak dibunuh, lain kali mereka
pasti akan mengganggu orang lagi,” timpal yang seorang
lagi, membenarkan ucapan kawannya.
Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu
lekat-lekat. Dan ia pun baru sadar, betapa cantiknya gadis
yang ditolongnya itu. Sinar kekaguman pun nampak di
matanya.
'Tapi, siapa tahu setelah berjumpa dengan kalian
menjadi sadar? Nah, bukankah hal itu akan' lebih baik?”
bantah Anggini.
Gadis itu terpaksa menundukkan matanya melihat sinar
kekaguman yang tak disembunyikan terpancar dari mata
kedua orang pemuda penolongnya.
“Yahhh, sudahlah. Apa yang perlu diributkan lagi?
Andaikan kita kejar pun, sudah tidak ada gunanya lagi.
Mereka pasti sudah menyembunyikan diri di dalam hutan
lebat di depan sana. Oh, ya. Kau hendak ke manakah,
Nisanak? Mengapa berada sendirian di tempat ini?” tanya
pemuda yang memiliki kumis tipis di wajahnya. Dia ter
senyum, sehingga membuat wajahnya semakin menarik.
Anggini pun lalu menceritakan kejadiannya hingga
sampai berada di daerah itu. Ia berusaha menerangkan
sejelas-jelasnya dengan harapan kedua orang itu bisa
memberi petunjuk. Bukankah mereka berasal dari sekitar
daerah ini? Atau paling tidak, mereka pasti sudah lama
tinggal di sekitar sini.
Kedua orang pemuda itu saling berpandangan begitu
Anggini menyelesaikan ceritanya. Sepertinya, kedua orang
itu tidak bisa memberi petunjuk apa-apa kepada gadis itu.
“Hm.... Kalau begitu, biarlah aku pergi saja. Siapa tahu
kedua orang saudara seperguruanku itu sudah kembali ke
perguruan. Atau kalau tidak, aku akan melaporkan hal ini
kepada guru,” gumam Anggini, seperti untuk dirinya
sendiri.
“Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Nisanak.
Kelihatannya bahaya sekali melakukan perjalanan di
malam hari. Apalagi, Nisanak seorang gadis muda dan
hanya seorang diri. Sebaiknya untuk malam ini, biarlah
Nisanak menginap di pondok kami. Besok, baru me-
lanjutkan perjalanan. Bagaimana?” tanya pemuda yang
berkumis tipis memberikan usul.
“Betul, Nisanak. Bukannya kami hendak memaksa agar
Nisanak tidak pergi. Tapi ada baiknya pertimbangkanlah
tawaran kami,” sambut satunya, mendukung usul yang
diajukan kawannya.
Anggini bimbang sejenak. Disadari juga kebenaran
ucapan kedua orang itu. Tapi hatinya juga ragu karena
tidak begitu mengenai kedua pemuda itu.
“Yahhh...! Kalau memang tidak ada pilihan lain, apa
boleh buat!” sahut Anggini yang akhirnya menyetujui usul
kedua orang pemuda itu.
“Nah, itu lebih baik! Ayolah!” ajak pemuda berkumis
tipis, seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat
itu. Anggini dan pemuda yang satu lagi bergegas
mengikutinya.
***
Kegelapan malam mulai turun menyelimuti per-
mukaan bumi. Suara jangkrik mulai terdengar ramai
bersahut-sahutan. Bintang-bintang tampak bertaburan
bagaikan pelita menghiasi malam.
Di depan halaman sebuah pondok sederhana, tampak
nyala api berkobar menghangatkan suasana malam yang
dingin. Lapat-lapat terdengar gemercik air yang mengalir.
Sepertinya, pondok itu berdiri di dekat sebuah aliran
sungai. Hal itu terbukti dari suara-suara katak yang ber-
nyanyi menyemarakkan suasana malam.
Di dekat api yang menjilat-jilat, terlihat seorang
pemuda berkumis tipis. Sesekali tangannya memutar-
mutar sebatang dahan kayu yang terjilat api. Di tengah
dahan kayu itu terdapat seekor ayam yang telah dikuliti
tengah terjilat api. Baunya begitu menebar ke sekitarnya.
Jelas pemuda itu tengah memanggang seekor ayam yang
aromanya menerbitkan air bur dan mem-buat perut terasa
lapar.
Pemuda itu memalingkan wajahnya ketika mendengar
ada desah napas di depan pintu pondoknya.
“Eh. Kau belum tidur, Nisanak? Apakah ada sesuatu
yang mengganggu pikiranmu?” tanya pemuda berkumis
tipis itu. Saat itu, sesosok tubuh ramping tampak tengah
melangkah menghampirinya.
“Hm.... Bau harum panggang ayam itulah yang telah
menggangguku,” sahut sosok tubuh ramping yang rambut-
nya dikepang dua.
Siapa lagi orang itu kalau bukan Anggini. Gadis yang
memang memiliki sifat lincah dan periang itu, enak saja
melontarkan kata-katanya. Padahal, ia baru saja mengenal
pemuda itu. Tapi, gadis itu sudah mengeluarkan gurauan
seolah-olah sudah lama saling mengenal.
“Wah, maaf kalau begitu. Aku sebenamya tidak
bermaksud mengganggumu. Tapi, perut yang tak tahu
adat ini sudah berkeruyuk sejak tadi. Jadi... yaaah!
Terpaksa aku harus membuat makanan,” sahut pemuda itu
tanpa malu-malu lagi.
“Dari mana kau peroleh ayam itu sehingga menimbul-
kan bau harum ayam panggang yang menggoda selera?”
tanya gadis itu lagi.
“Entahlah. Mungkin ini ayam hutan kesasar. Atau
mungkin memang sengaja datang, karena tahu aku sedang
kelaparan? Nah, menurutmu yang manakah yang lebih
masuk akal, Nisanak?” sahut pemuda itu seraya
melebarkan senyumnya karena merasa gembira.
“Panggil saja aku Anggini. Rasanya canggung sekali
mendengar sebutanmu itu. Oh, ya. Menurutku, mungkin
saja ayam hutan itu memang sengaja datang. Dikira
keruyuk di perutmu itu adalah si betina,” sahut Anggini
terkekeh gembira. “Eh, ke manakah kawanmu yang
seorang itu?”
“Hm. Tadi kami berdua sengaja hendak mencari ayam
hutan. Lalu, kami berpencar untuk mendapatkannya. Yah,
mungkin saja nasibnya tidak seberuntung aku. Tapi,
sebentar lagi juga kembali Oh, ya. Kau boleh
memanggilku Benta saja. Cukup, kan?” jelas pemuda
berkumis tipis itu yang matanya tak lepas dari wajah
Anggini.
“Hei! Aku seperti mendengar suara orang bertarung?
Apakah kau tidak mendengamya, Benta?” tanya Anggini
tiba-tiba. Gadis itu segera mengerahkan indra
pendengarannya agar dapat menangkap lebih jelas.
“Ah, ya. Aku pun mendengarnya! Mari kita lihat,
Anggini. Siapa tahu Kakang Ginta mendapat kesukaran!”
Setelah berkata demikian, keduanya pun segera
melesat mencari sumber suara pertarungan yang ter-
dengar itu.
Keduanya terus berlari cepat menerobos kegelapan
malam dan semak belukar. Meskipun tanpa kata sepakat,
ternyata mereka menuju arah yang sama.
“Wah! Suara pertempuran itu sudah tidak terdengar
lagi! Sepertinya pertempuran itu sudah berakhir,
Anggini?” desah Benta, harap-harap cemas.
Diam-diam ia pun mulai mengkhawatirkan nasib
saudaranya yang sampai saat itu belum juga kembali.
Jangan-jangan... Benta berusaha mengusir bayangan-
bayangan buruk yang muncul di benaknya.
“He!?! Lihat itu, Benta! Rupanya salah seorang telah
berhasil membunuh lawannya,” ujar Anggini ketika
melihat sesosok tubuh tergeletak tak bergerak beberapa
langkah di depannya.
“Kakang Ginta...!” Benta berteriak kalap begitu
mengenali sosok tubuh yang tergeletak itu.
Memang orang yang tergeletak itu adalah kakak
seperguruannya. Maka cepat diraihnya sosok tubuh yang
masih dibasahi darah segar itu. Bukan main hancurnya hati
pemuda itu melihat kematian kakak seperguruannya.
“Ah, siapa yang telah membunuhnya...?” gumam
Anggini dengan suara lirih.
Gadis cantik itu pun turut bersedih atas kematian salah
seorang penolongnya. Meskipun merasa tidak suka dengan
pandangan mata yang terlihat hangat dan mesra dari kedua
orang itu, namun ia pun bukanlah seorang yang tidak tahu
berterima kasih. Gadis itu tetap menghargai dan menyukai
mereka sebagai sahabat yang menyenangkaa Dan kini
tahu-tahu saja salah seorang dari penolongnya terbunuh.
Bahkan tidak seorang pun dari mereka yang sempat
melihat pembunuh itu. Maka tentu saja kejadian itu
menimbulkan rasa penasaran di hati Anggini.
Sementara Benta masih tetap memeluk tubuh kakak
seperguruannya yang sudah tewas itu. Terdengar keluhan-
keluhan lirih dari mulut pemuda berkumis itu. Sepertinya
hatinya benar-benar merasa terpukul atas kejadian itu.
“Hm.... Akan kucari bangsat itu sampai dapat! Akan
kucabik-cabik tubuhnya sampai hancur dan tidak
berbentuk lagi!” geram Benta.
Pemuda itu segera bangkit dengan sepasang mata
mencorong menakutkan. Hingga Anggini sendiri pun
sampai bergetar harinya.
“Benta. Lebih baik kuburkan dulu mayat kakakmu itu.
Besok, baru kita selidiki orang yang telah berbuat sekejam
itu,” Anggini mengajukan usulnya ketika melihat Benta
melangkah sambil memondong mayat Ginla.
'Tidak, Anggini. Aku akan membawanya ke pondok.
Malam ini aku akan menemaninya. Besok, baru dikubur-
kan,” sahut Benta dengan suara serak dan bergetar.
Kemudian langkahnya pun diteruskan menuju pondok.
Untuk beberapa saat lamanya, Anggini hanya terpaku
di tempatnya. Dimaklumi, apa yang saat tengah dirasakan
Benta. Dan mungkin ia pun akan melakukan hal yang sama
apabila kejadian itu menimpa dua orang kakak
seperguruannya.
Tak berapa lama kemudian, gadis itu pun melang-
kahkan kakinya perlahan. Karena ia sadar, kalaiu pada
saat-saat seperti itu biasanya orang tidak ingin ditemani.
Maka langkahnya segera diperlambat.
Anggini menghentikan langkahnya sejenak. Dihelanya
napas perlahan-lahan ketika teringat akan kedua orang
saudara seperguruannya yang belum juga dapat ditemu-
kan. Kekhawatiran mulai menyelinap di hatinya.
“Ah! Mudah-mudahan kejadian ini tidak menimpa diri
kedua orang saudara seperguruanku! Kalau sampai terjadi
apa-apa terhadap mereka, bagaimana aku harus mengata-
kannya kepada eyang guru. Bisa-bisa aku kena marah
nanti,” pikir gadis itu dengan perasaan kacau,
Tanpa sadar langkah kakinya mengarah ke tepi sungai
yang mengalir membelah hutan. Dengan hati semakin
resah, gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sebongkah
batu yang cukup besar. Dipandanginya pantulan sinar
bulan yang jatuh di atas permukaan air yang mengalir
bening. Pildrannya kembali menerawang kepada kedua
orang kakak seperguruannya, yang entah di mana saat ini.
“Eh...?!”
Gadis cantik itu kembali menolehkan kepala dengan
wajah tegang. Lapat-lapat telinganya yang terlatih
menangkap suara-suara pertarungan yang diselingi
teriakan marah. Dan Anggini semakin terkejut ketika
mengenali bentakan Benta.
“Apakah.... Apakah...?!”
Wajah gadis itu mendadak pucat begitu teringat akan
kematian Ginta yang masih jadi tanda tanya di harinya.
Dan kini terdengar kembali suara orang bertarung. Entah
siapa yang tengah bertarung dengan Denta itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Anggini pun
segera melesat menuju arah pondok. Tapi sayang,
langkahnya tadi telah membawanya cukup jauh dari
pondok tempat kedua orang pendekar muda itu tinggal.
Sehingga, larinya harus tertunda-tunda untuk mencari
arah suara orang yang tengah bertarung itu.
Sedangkan di pondok tempat kediaman Ginta dan
Benta, tampak dua sosok tubuh tengah bertarung sengit!
Tempat di sekitar arena pertarungan sudah porak-
poranda. Sepertinya orang yang tengah bertarung dengan
Benta itu memang memifiki kepandaian tinggi. Sehingga,
biarpun Benta telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya,
tetap saja terdesak hebat.
“Keparat! Siapa kau sebenamya? Mengapa kau
memusuhi kami?” Benta berteriak-teriak marah sambil
berlompatan menghindari serangan orang aneh itu.
Hatinya benar-benar terkejut melihat kepandaian orang
yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Hm.... Siapa pun yang berani mendekati gadis itu,
harus mati! Termasuk juga kau, Pemuda Mata Keranjang!”
bentak lelaki tegap yang mengenakan pakaian serba hitam
itu.
Sesekali cahaya rembulan tampak menerangi wajahnya
yang buruk dan menakutkan itu. Rambutnya yang panjang
riap-riapan dan berwarna dua itu semakin menambah
keangkerannya.
“Bangsat! Kau harus menebus kematian saudaraku!”
bentak Benta semakin kalap.
Pemuda itu cepat melempar tubuhnya jauh belakang
ketika pedang di tangan lawan menyambar ke arah tiga
bagian tubuhnya sekaligus.
“Huh! Jangan harap akan dapat lolos dari tanganku!”
geram orang aneh itu. Dia memang menyangka Benta
akan melarikan diri. Sesaat kemudian, tubuh orang itu
pun melayang disertai ayunan pedangnya.
Wuuut! Wuuut'
“Akh...!”
Benta kembali harus melempar tubuhnya, dan melaku-
kan beberapa kali salto di udara. Diam-diam kegentaran di
hati Benta mulai timbul melihat keganasan dan kehebatan
lawannya. Namun perasaan itu berusaha ditekannya ketika
teringat akan kematian kakak seperguruannya di tangan
laki-laki aneh berwajah buruk itu.
“Hmh...!”
Sambil menggeram gusar, Benta memutar senjatanya
sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti tubuhnya.
“Yeaaat..!”
Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh pemuda
berkumis apis itu melesat menerjang lawannya. Pedang di
tangannya berkelebatan cepat meng-ancam beberapa
bagian tubuh yang mematikan.
“Huh...!”
Laki-laki aneh berwajah buruk itu mengumpat. Dan
pada saat itu juga pedang di tangannya bergerak cepat
menimbulkan deru angin tajam. Sepertinya, ilmu
pamungkasnya yang paling tinggi tengah dipersiapkan.
Tubuhnya tampak agak membungkuk dengan kuda-kuda
rendah.
“Hiaaah...!”
Sambil membentak keras, tubuh orang itu melayang
menyambut serangan Benta. Serangkum angin keras
menyertai ayunan pedangnya. Dari tiupan angin yang
menderu itu, dapat diduga betapa hebatnya tenaga dalam
yang dimiliki orang aneh itu.
***
SEMBILAN
Pada saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba dari
belakang Benta melesat sesosok bayangan putih. Sinar
keemasan yang menyilaukan mata tampak menyertainya.
Daa...
Trangngng!
“Akh...!”
Benturan keras yang memekakkan telinga seketika
terjadi bagaikan guntur menggelegar. Tubuh orang aneh
itu terlempar disertai teriakan kagetnya. Namun dengan
gerakan indah, tubuhnya berputar beberapa kali di udara
untuk kemudian mendarat empuk di atas tanah.
Hal itu pun dialami pula oleh sosok jubah yang
menyelamatkan Benta dari kematian. Setelah berputar
beberapa kali, tubuhnya pun mendarat ringan dengan
kuda-kuda kokoh.
“Siapa kau, Keparat! Aku sama sekali tidak mempunyai
urusan denganmu! Sebaiknya, menyingkirlah sebelum aku
berubah pikiran!” ancam orang aneh berwajah buruk itu,
geram.
Sepasang mata orang aneh itu tampak mengeluarkan
sinar berkilat yang menggetarkan jantung. Jelas sekali
kalau dia merasa gusar atas campur tangan sosok tubuh
berjubah putih itu.
“Hm.... Aku memang tidak mempunyai urusan secara
langsung denganmu. Tapi perbuatanmu yang telah mem-
bunuhi orang-orang secara kejam, menyebabkan aku
terpaksa harus mencampurinya. Apakah alasanmu mem-
bunuhi mereka, Kisanak?” tanya sosok berjubah putih itu
tanpa gentar sedikit pun. Bahkan sepasang matanya
menentang pandangan mata si orang aneh dengan tidak
kalah tajamnya.
“Apa pedulimu, Pemuda Sombong!? Kalau memang
ingin menghentikanku, lakukanlah! Karena, hanya
kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku ini!”
sahut laki-laki berwajah buruk itu.
Seketika dia mehntangkan pedang di depan dada. Kali
ini sikapnya terlihat lebih hati-hati. Mungkin baru
menyadari kalau lawannya kali ini tidak dapat disamakan
dengan korban-korbannya yang lain.
Sosok berjubah putih yang menggenggam pedang
bersinar kuning keemasan itu pun telah pula bersiap
menghadapi lawannya. Pedang di tangannya terangkat
naik ke atas kepala. Bersamaan dengan gerakan itu, selapis
kabut putih keperakan mulai menyelimuti seluruh
tubuhnya.
“Pendekar Naga Putih...!” seru orang aneh itu terkejut.
Meskipun demikian, wajah orang itu sama sekali tidak
menampakkan suatu gejala sedikit pun. Sedangkan kedua
kakinya sudah melangkah mundur begitu mengetahui,
siapa orang yang menjadi lawannya.
“Hm.... Pantas saja berani mencari urusanku. Rupanya
kau pendekar muda yang tersohor itu!” geram laki-laki
berwajah buruk itu sinis. Suaranya terdengar agak
bergetar karena kekagetan yang bercampur kegentaran.
“Maaf, Kisanak. Sebenarnya aku tidak ada permusuhan
denganmu. Dan kalau kau mau berjanji untuk meng
hentikan kekejamanmu itu, aku akan merasa senang
sekali. Bagaimana, Kisanak?” tanya pemuda berjubah putih
yang tak lain Panji itu.
“Huh! Apakah dikira aku akan lari terbirit-birit karena
nama besarmu? Tidak, Sobat! Adalah suatu kehormatan
besar apabila aku tewas di tanganmu. Namun, jangan
harap kau dapat menghentikanku, kecuali bisa mem-
bunuhku. Itulah jalan satu-satunya yang harus kau
lakukan,” jawab orang aneh itu yang rupanya salah duga
dengan ucapan Panji.
“Jangan salah mengerti, Kisanak,” tiba-tiba terdengar
suara merdu yang disusul munculnya sesosok tubuh
ramping berparas jelita.
Gadis cantik itu melangkahkan kakinya mendekati
Panji. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan Kenanga.
“Dengarlah, Kisanak. Pendekar Naga Putih sama sekali
tidak bermaksud merendahkan ataupun menghinamu.
Rasanya, jalan damai memang lebih baik daripada sebuah
pertarungan. Dan Pendekar Naga Putih telah menawarkan
jalan itu kepadamu. Bagaimana?” tanya gadis jelita itu lebih
lanjut
“Hm.... Jangan coba membujukku, Nisanak. Apakah
kau pikir dengan kecantikanmu itu dapat melemahkan
hatiku? Hmh..., kau keliru. Sudah kukatakan tadi, hanya
kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku! Jadi
percuma saja kalau kau berniat membujukku!” sahut orang
aneh itu tetap pada pendiriannya. Sepertinya, tekadnya
memang sudah tidak bisa dirubah lagi.
“Kakang Benta! Kau..., kau tidak apa-apa...?” tiba-tiba
saja terdengar seruan kecemasan. Begitu muncul, Anggini
langsung menghampiri Benta yang wajahnya masih
nampak pucat itu.
“Hhh... Aku tidak apa-apa, Anggini Pendekar Naga
Putih telah menyelamatkanku dari keganasan laki-laki
buruk itu,” desah Benta sambil menggerakkan kepala ke
arah si orang aneh yang tampak mulai salah tingkah ketika
melihat kedatangan Anggini.
Mendengar jawaban pemuda berkumis itu, barulah
Anggini sadar kalau mereka tidak hanya berdua di tempat
itu. Lalu, pandangannya dialihkan kepada orang-orang
yang berada di sekitar tempat itu. Terakhir, dipandangnya
laki-laki berwajah buruk itu lekat-lekat.
Dipandang sedemikian rupa oleh Anggini, orang aneh
itu tampak semakin tidak bisa diam. Pandangannya
kemudian dibuang ke arah lain. Sepertinya ia tidak suka
dipandangi sedemikian tegas oleh Anggini.
Panji yang memang sejak semula sudah dapat menduga
kalau laki-laki buruk itu sepertinya mempunyai hubungan
dengan gadis cantik itu, mulai menduga-duga sebabnya.
“Diakah yang membunuh Gutala dan Kakang Ginta,
Kakang Benta?” tanya Anggini tanpa mengalihkan
pandangannya dari sosok tubuh laki-laki aneh itu.
“Aku tidak tahu, siapa yang kau maksudkan dengan
Gutala itu. Tapi yang jelas, orang aneh itulah yang telah
membunuh Kakang Ginta. Kepandaiannya memang sangat
tinggi. Pantas saja kalau Kakang Ginta sampai tewas di
tangannya. Jangankan hanya seorang diri. Bahkan berdua
pun rasanya aku masih ragu untuk dapat mengalah-
kannya,” sahut Benta hrih. Dari nada suaranya jelas sekali
kalau Benta merasa kecewa.
“Nisanak. Apakah kau dapat mengenali lelaki aneh itu?
Kelihatannya, ia agak gentar menghadapimu,” tanya Panji
seraya menolehkan kepalanya memandang Anggini.
Anggini mengerutkan keningnya begitu mendengar
pertanyaan orang yang disebut Benta sebagai Pendekar
Naga Putih. Diam-diam harinya mengagumi pemuda
tampan itu. Apalagi dalam usia yang semuda itu, ia telah
mampu membuat nama besar dalam dunia persilatan.
Tanpa sadar Anggini mulai membanding-bandingkan
pemuda tampan itu dengan pamannya.
“Nisanak. Apakah kau mendengar pertanyaanku?” tanya
Panji lagi ketika gadis cantik itu hanya memandanginya
dengan sinar mata menerawang jauh.
“Oh, apa...?” Anggini menjadi tergagap ketika men-
engar teguran Panji. Seketika lamunannya buyar. Wajah-
ya pun menjadi kemerahan teringat akan siapnya tadi.
“Aku tadi bertanya, apakah kau dapat mengenali tau
pern berkenalan dengan orang itu?” Panji mengulangi
pertanyaannya.
“Oh, tidak. Aku sama sekali tidak pemah mengenalnya.
Bahkan melihatnya pun baru kali ini,” jawab Anggini yang
menjadi tidak mengerti, mengapa pendekar muda itu
mengajukan pertanyaan yang terdengar aneh.
“Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau?!” teriak endekar
Naga Putih tiba-tiba.
Panji langsung menggenjot tubuhnya ketika laki-laki
berwajah buruk itu hendak melarikan diri. Melihat
kecepatan gerak lawannya, Panji bergegas mengerahkan
ilmu lari cepatnya agar dapat mengejar orang aneh itu.
Pendekar Naga Putih semakin mempercepat larinya
ketika orang aneh itu berlri semakin cepat.Meskipun
semula sudah dapat menduga kepandaian lawannya,
namun harinya pun sempat terkejut juga ketika melhat
kehebatan ilmu lari orang aneh itu. Sehingga, Panji
terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga agar dapat
menyusul laki-laki berwajah buruk itu.
“Jangan harap dapat meloloskan diri dariku, Pengecut!”
bentak Panji gusar. Sesaat kemudian, tubuhnya
melambung dan bersalto beberapa kali di udara.
Jleg!
Orang aneh itu terpaksa menghentikan langkahnya
ketika tubuh Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak
menghadang jalannya. Sadar kalau tidak mungkin dapat
lolos dari kejaran pendekar muda itu, maka senjatanya
langsung digerakkan ke arah Panji.
“Yeaaat..!”
Wuuut! Wuuut..!
Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang meng-
indari serangan beruntun yang dilancarkan orang aneh itu.
Namun Panji semakin terkejut ketika pedang lawan terus
saja mengincarnya. Sepertinya, ia tidak ingin memberi
peluang lawannya untuk membalas serangan. Maka Panji
terpaksa harus memapak pedang lawan untuk mem-
bendung serangan orang aneh itu.
Trangngng! Trangngng!
Baik Panji maupun orang aneh sama-sama terjajar
mundur beberapa langkah ke belakang. Sepertinya, usaha
Panji untuk menghentikan serangan gencar orang itu
berhasil baik. Buktinya setelah benturan keras itu, orang
aneh itu menghentikan serangan. Sepasang matanya
menatap Panji tajam. Pedang di tangannya tampak
bergetar karena dialiri tenaga sakti yang kuat. Orang aneh
itu kini kembali menyiapkan serangan berikutnya.
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa tidak
kau biarkan saja aku pergi!” geram orang aneh itu. Dia
merasa gusar sekali atas ulah Panji yang masih juga
mengejarnya.
“Maaf, Kisanak. Aku terpaksa harus mengejarmu.
Karena kalau kubiarkan, maka korban kekejamanmu akan
bertambah lagi. Dan aku tidak menginginkan hal itu
terjadi,” tegas Panji, dingin. Suaranya terdengar tenang,
namun tetap waspada kalau-kalau lawannya akan berbuat
curang.
“Keparat kau! Heaaat..!”
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh orang aneh itu
kembali menerjang Panji. Pedang di tangannya diputar
sedemikian rupa, hingga menimbulkan gulungan sinar
yang menderu bagai angin puting beliung.
“Haaat..!”
Panji yang semakin menyadari kehebatan lawan, tidak
ingin berbuat kesalahan. Pedangnya segera diputar meng-
gunakan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' yang merupakan ilmu
pedang andalan.
Wrrr! Wrrr...!
Serangkum angin dingin yang sanggup membekukan
jalan darah di tubuh lawan, berhembus keras mengiringi
ayunan pedang Pendekar Naga Putin. Sinar kuning
keemasan tampak bergulung-gulung bagaikan seekor naga
yang turun dari langit Tentu saja hal itu membuat
lawannya terkejut.
“Gila! Kabar tentang kehebatan Pendekar Naga Putjh
ternyata bukan hanya isapan jempol belaka!” desis orang
bermuka buruk itu penuh kagum.
Sadar akan kehebatan lawannya, orang aneh itu pun
bergegas mengerahkan seluruh tenaganya.
Sesaat kemudian, kedua orang tokoh sakti itu pun
sudah saling menerjang hebat Dalam beberapa jurus saja,
daun-daun kering dan bebatuan kecil beterbangan ke
segala arah. Bukan hanya itu saja. Bahkan beberapa
pepohonan di sekitarnya langsung bertumbangan terkena
sambaran angin pedang kedua tokoh yang berilmu tinggi
itu. Maka dalam sekejap saja, tempat itu telah porak-
poranda bagai tergilas topan hebat.
Makin lama, Pendekar Naga Putin semakin bertambah
kagum atas kehebatan lawan. Meskipun sebelumnya sudah
diduga, namun sama sekali tidak disangka kalau orang
bermuka buruk itu dapat menahan serangannya selama
lebih dari tiga puluh jurus. Padahal, jurus-jurusnya
sekarang ini merupakan jurus andalan. Maka tentu saja hal
itu membuatnya penasaran.
Demikian pula halnya dengan orang aneh itu.
Walaupun sudah sering mendengar tentang kehebatan
Pendekar Naga Putih, namun tak urung terkejut juga.
Memang, apa yang dirasakannya kali ini benar-benar di
luar dugaannya. Sehingga, seluruh ilmu simpannya harus
dikeluarkan kalau tidak ingin dipecundangi pemuda itu.
Sementara itu, Kenanga, Anggini, dan Benta telah tiba
di dekat arena pertarungan. Anggini dan Benta ternganga
kagum melihat pertarungan yang selama hidup belum
pernah mereka saksikan. Keduanya sampai terbelalak
pucat tanpa mampu mengeluarkan suara. Anggini dan
Benta benar-benar dibuat takjub!
Sedangkan bagi Kenanga, pertarungan dahsyat itu
bukanlah hal yang aneh. Dia memang telah sering melihat
pertarungan kekasihnya, bahkan lebih hebat dari yang
disaksikannya kali ini. Gadis jelita itu kemudian mem-
peringatkan Anggini dan Benta agar tidak terlalu dekat
dengan pertarungan. Karena bisa-bisa sambaran angin
pukulan dan pedang dapat melukai mereka.
“Heaaat..!”
Laki-laki berwajah buruk yang semakin penasaran itu
tiba-tiba memekik nyaring. Saat itu juga tubuhnya
berputar setengah lingkaran, disertai ayunan pedangnya.
Cwiiit! Swing! Wuuut..!
Ayunan pedang orang aneh itu menyambar cepat
secara bersilangan. Secercah sinar berkilat yang disertai
sambaran angin tajam mencicit memekakkan telinga,
mengiringi serangan itu. Tiga buah serangan sekaligus
meluncur mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh
Panji.
Pendekar Naga Putih sempat tercekat melihat serangan
maut yang menggiriskan itu. Namun sebagai orang yang
telah berpengalaman, ia tidak merasa gugup dalam
menghadapi serangan dahsyat itu. Dengan tenang, tubuh
Panji meliuk dan bergerak mundur. Begitu serangan
lawan lewat, pedang di tangannya meluncur melakukan
tusukan ke lambung lawan. Ujung pedang yang
mengeluarkan sinar berpendar itu tampak bergetar mem-
bingungkan pandangan lawan.
Swingngng!
“Heaaah...!”
Sadar kalau serangan itu sangat berbahaya, lelaki
berwajah buruk itu bergegas melempar tubuhnya ke
belakang disertai bentakan. Maksudnya, agar serangan
lawan terpengaruh.
Namun Pendekar Naga Putih telah meraba gerakan
lawan. Dan begitu tubuh lawan menghindar dengan
membuat putaran ke belakang, tubuh pendekar muda itu
pun bergerak menyusulinya disertai sambaran tangan
kirinya yang membentuk cakar naga. Jari-jari yang telah
terisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu meluncur cepat
mengancam dada lawannya.
Orang aneh itu berseru tertahan melihat dadanya tahu-
tahu telah terancam cakar lawan. Cepat-cepat tubuhnya
dimiringkan sambil menepiskan serangan itu dengan
tangan kiri. Namun tanpa disangka-sangka, cakar itu
langsung berputar dan kembali menyambar mukanya.
Brettt!
“Akh...!”
Lelaki berwajah buruk itu menjerit tertahan ketika
sambaran cakar Panji merobek pipi kirinya. Namun
meskipun begitu, ia masih juga dapat menjaga keseim-
bangan tubuhnya. Hasilnya, kakinya dapat didaratkan di
atas tanah dengan selamat .
“Eh...?!”
Panji tersentak kaget ketika tangan kirinya yang
mencengkeram wajah orang aneh itu ternyata telah
menggenggam sebuah topeng karet yang amat tipis.
Cepat-cepat pandangannya dilemparkan ke arah orang
aneh yang telah menjelma menjadi seorang laki-laki gagah
yang cukup tampan. Dan sepertinya, orang itu belum
menyadari kalau penyamarannya telah terbuka. Tak heran
kalau ia masih tetap menatap Panji dengan sorot mata
tajam mengandung dendam.
***
“Paman Kembara...!”
Tiba-tiba saja terdengar seruan Anggini yang lirih.
Namun gadis cantik itu belum yakin sepenuhnya akan
pandang matanya itu. Makanya, ia hanya menatap dengan
sinar mata terbelalak.
“Ahhh...!”
Orang aneh yang tak lain Kembara itu tersentak
bagaikan mendengar ledakan petir di telinganya. Wajah
yang bersih dan gagah mendadak pucat Dengan tangan
gemetar, wajahnya diraba. Dan ketika tidak merasakan
adanya topeng yang selama ini menurupi wajahnya,
tubuhnya pun semakin gemetar hebat.
“Paman...!”
Setelah yakin kalau orang itu memang pamannya,
Anggini pun bergegas menghambur ke arah Kembara.
Terdengar isaknya yang lirih. Gadis itu benar-benar telah
lupa akan perbuatan pamannya yang telah begitu tega
membunuh orang-orang yang mengganggu dan men-
dekarinya. Yang teringat saat ini adalah, kasih sayang
pamannya yang telah merawatnya sejak kecil. Tentu saja
hal itu tidak mungkin akan dapat dilupakannya.
“Ah...!”
Kembara merasa kan hatinya hancur. Rasanya ia lebih
baik mati saat ini, daripada harus menanggung malu
karena penyamarannya telah terbongkar. Begitu melihat
Anggini berlari ke arahnya, laki-laki gagah berusia tiga
puluh satu tahun itu pun segera melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
“Pamaaan...!” Anggini berteriak mencegah kepergian
Kembara.
Namun Kembara tidak mempedulikannya. Dia terus
saja berlari tanpa menoleh lagi. Lemas rasanya seluruh
persendian tubuh Anggini. Gadis itu hanya dapat terduduk
sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Terdengar suara isaknya yang lirih.
Tinggallah Panji, dan Benta yang terpaku saling
berpandangan. Pendekar Naga Putih pun tidak mengejar
laki-laki gagah yang dipanggil Paman Kembara itu.
Mereka benar-benar bingung melihat perubahan yang
sama sekali tidak pernah diduga itu. Sehingga untuk
beberapa saat, mereka hanya terpaku tanpa suara.
Tidak berapa lama kemudian, Anggini bergerak
bangkit Gadis cantik itu menyusut air matanya sejenak,
lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah tiga orang
yang masih berdiri menatapnya dengan heran. Mereka
memang tidak mengerti, apa yang membuat gadis itu
menangis. Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena
ditinggalkan pamannya. Pasti ada sesuatu penyebab yang
lebih dari itu.
Dengan langkah gontai, Anggini melangkah meng-
hampiri Panji, Kenanga, dan Benta. Pandang matanya
yang redup tampak tertuju kepada Benta. Gadis cantik itu
menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang tombak
“Kakang Benta, ketahuilah. Bahwa orang yang telah
membunuh saudaramu itu adalah pamanku. Aku tidak
tahu, apa yang telah menyebabkannya hingga berbuat
demikian. Tapi kalau kau ingin membalaskan kematian
saudara seperguruanmu itu, lampiaskanlah padaku. Hal ini
kulakukan bukan semata-mata karena aku keponakan
ataupun muridnya yang telah diasuh sejak kecil. Ini hanya
karena aku yakin kalau perbuatan pamanku itu ada
sangkut-pautnya dengan diriku. Dan demi orang yang
telah mendidikku sejak kecil, aku rela menebus dosanya
dengan darahku. Dan aku percaya, pamanku tidak akan
melakukan perbuatan seperti ini lagi,” ujar Anggini
dengan sinar mata pasrah.
Benta hanya berdiri kaku menatap wajah cantik yang
telah menyentuh hatinya itu. Sehingga untuk beberapa
saat, ia hanya berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat
apa. Meskipun dendam di hatinya belum mampu dihilang-
kan, namun ia tidak akan tega untuk membalaskan
dendam terhadap gadis itu.
'Pendekar Naga Putih! Kau sebagai orang yang lebih
berpengalaman, tentunya bisa mengambil jalan tengah.
Sekarang, apa pendapatmu? Rasanya saat ini aku mem-
butuhkan nasihatmu,” pinta Benta seraya menolehkan
kepalanya ke arah Panji yang berada tidak jauh di
sebelahnya.
Panji tidak langsung menjawab. Kemudian kakinya
melangkah perlahan. Dipandanginya kaki langit sebelah
Timur yang dijalari wama kemerahan. Rupanya, saat itu
pagi sudah mulai menjelang.
“Benta, kau meminta pendapatku, atau menyerahkan
persoalan ini kepadaku?” tanya Pendekar Naga Putih yang
segera mengalihkan pandangan. Ditatapnya Benta lekat-
lekat.
“Mmm.... Aku menyerahkan persoalan ini kepadamu.
Apa pun yang menjadi keputusanmu, akan kusetujui,”
sahut Benta tanpa ragu-ragu sedikit pun. Sepertinya
pemuda itu telah menaruh kepercayaan penuh kepada
Pendekar Naga Putih.
“Menurut pendapatku, kejadian seperti ini rasanya
tidak akan terulang lagi. Pembunuh aneh yang ternyata
adalah paman gadis ini, tidak mungkin akan melakukannya
lagi. Sebab, rahasia yang selama ini menyelimuti dirinya
sudah terungkap. Dan menurut penglihatanku, pada
dasarnya orang itu tidaklah sejahat yang kita duga. Jadi,
alangkah baiknya kalau kita lupakan saja persoalan ini.
Bagaimana, Benta?” tanya Panji setelah menerangkan
panjang lebar tentang pendapatnya.
“Aku menyetujuinya, Pendekar Naga Putih. Biarlah
persoalan ini dihabiskan sampai di sini saja. Nah! Kalau
begitu, aku pergi dulu untuk mengurus jenazah kakak
seperguruanku. Selamat tinggal!” pamit Benta seraya
melangkah meninggalkan tempat itu.
“Selamat jalan, Kakang Benta. Terima kasih atas
kebaikan hatimu yang mau memaafkan kekhilafan
pamanku!” ucap Anggini dengan wajah agak berseri.
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku pun harus menyusul
pamanku.”
Panji dan Kenanga hanya menganggukkan kepala
dengan senyum terkembang. Kemudian gadis itu cepat
melesat pergi. Makin lama, bayangan tubuhnya yang
ramping kian hilang ditelan kejauhan.
“Sepertinya antara orang yang dipanggil Paman
Kembara dan gadis itu ada sesuatu yang aneh, Kakang?
Apakah kau pun melihatnya?” tanya Kenanga setelah
Anggini tak terlihat lagi.
“Hm.... Ya. Aku jadi ingin tahu, ada apa sebenarnya di
antara kedua orang itu. Ayo, kita ikuti gadis itu,” ajak
Panji.
Pendekar Naga Putih segera mengayunkan kakinya
mengejar Anggini. Kenanga yang juga merasa penasaran,
bergegas mengikuti langkah kekasihnya.
***
“Demikianlah, Eyang. Setelah memberi pelajaran
kepada kedua orang pembunuh itu, maka kami bergegas
kembali menemui Adik Anggini. Tapi sayang, kami tidak
berhasil menemukannya. Setelah mengitari seluruh desa
tanpa hasil, maka kami pun memutuskan untuk kembali
ke lembah. Dugaan kami, mungkin Adik Anggini telah
kembali ke sini,” lapor salah seorang dari kedua pemuda
yang tengah duduk di hadapan seorang kakek renta.
“Hm...,” kakek yang tak lain adalah Begawan Madapati
itu hanya bergumam sambil mengelus jenggotnya yang
panjang dan berwama putih.
“Ampunkanlah kami, Eyang. Kami mengaku salah,”
ucap pemuda yang satunya, lirih. Wajahnya yang gagah
tampak menunduk penuh penyesalan.
“Sebaiknya kalian beristirahat dulu. Nanti Eyang akan
menyuruh pamanmu untuk mencarinya. Mudah-mudahan
saja ia segera kembali,” ujar kakek itu lembut, penuh
harap.
Lega hati kedua pemuda itu ketika tidak mendengar
adanya nada kemarahan dalam suara kakek itu. Mereka
pun segera berpamitan untuk kembali ke pondok masing-
masing.
Setelah kepergian kedua orang muridnya itu, Begawan
Madapati bergegas meninggalkan pondok-nya. Begitu tiba
di luar pondok, tubuh kakek itu melesat menuju ke suatu
tempat yang hanya diketahui Kembara dan dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, Begawan Madapati tiba di sebuah
mulut gua yang agak tertutup semak-semak. Untuk
beberapa saat lamanya, kakek itu hanya berdiri mengawasi
mulut gua. Lalu kakinya melangkah memasuki mulut gua
itu.
“Aku telah mengetahui kedatanganmu, Kembara.
Mengapa kau tidak langsung menghadapku, tapi kau malah
menyembunyikan diri di tempat ini?” tanya kakek itu
sambil mengawasi sosok tubuh yang telah mem-
belakanginya.
“Ampunkan aku, Eyang. Aku... aku telah membuat
kesalahan yang besar,” sahut sosok tubuh yang tak lain
adalah Kembara itu. Rupanya ia pun telah mengetahui
kedatangan gurunya. Kembara menundukkan wajahnya
yang pucat di depan kakek itu.
“Ceritakanlah, Muridku. Jangan kau simpan kedukaan
itu dalam hatimu. Sebab kedukaan itu dapat meracuni
tubuhmu dan merusak batin,” ujar Begawan Madapati
yang memang sangat menyayangi murid turiggalnya itu.
Memang, hanya Kembara-lah yang merupakan murid
langsung hasil didikannya.
Kembara yang sudah lama mengetahui akan perasaan
gurunya itu, segera menceritakan apa-apa yang telah
diperbuatnya. Sedangkan Begawan Madapati hanya men-
dengarkan disertai helaan napas panjang. Orang tua itu
hampir-hampir sulit mempercayai cerita yang didengar-
nya.
“Hhh.... Mengapa kau sampai tersesat sedemikian jauh,
Kembara? Sadarkah kau bahwa perbuatanmu itu bisa
menimbulkan kesulitan buat kita semua,” desah Begawan
Madapati. Laki-laki tua itu merasa agak terpukul men-
dengar perbuatan murid satu-satunya yang amat disayangi
itu.
“Ampunkan aku, Eyang. Hukumlah aku,” rintih
Kembara dengan wajah yang semakin pucat bagaikan tak
berdarah.
“Sudahlah. Penyesalan itu tidak mungkin akan dapat
menghidupkan orang-orang yang telah kau bunuh.
Sebaiknya, tetaplah di sini. Bersihkanlah hatimu dari
segala nafsu jahat yang masih menguasai dirimu,” ujar
Begawan Madapati. Kemudian, laki-laki tua itu melang-
kahkan kakinya keluar dari tempat ini. Terdengar helaan
napas berat yang mewakili kekecewaan hatinya.
“Baik, Eyang,” sahut Kembara yang segera melihat
kedua kakinya untuk melakukan semadi seperti yang
diperintah gurunya.
***
“Eyang...!” begitu memasuki pondok, Anggini
langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan Begawan
Madapati.
Wajah gadis itu tampak pucat. Rambutnya yang biasa-
nya selalu terkepang dua, kini nampak terurai kusut.
“Anggini! Kau sudah kembali, Cucuku. Syukurlah kau
selamat,” sambut kakek itu seraya mengelus rambut
kepala Anggini
“Eyang! Paman.., Paman Kembara di mana, Eyang?”
tanya Anggini, langsung. Sepasang matanya tampak masih
merah dan agak membengkak karena terlalu banyak
menangis.
“Mengapa datang-datang langsung menanyakan paman-
mu, Anggini? Apakah ada sesuatu yang terjadi terhadap
pamanmu? Di mana kau bertemu dengannya?” tanya
Begawan Madapati, memancing keterangan gadis itu.
Dengan terbata-bata, Anggini segera menceritakan
mengenai pengalamannya selama meninggalkan Lembah
Gunung Tangger.
“Hm.... Kemarin pamanmu telah kembali, tapi
kemudian pergi lagi untuk membersihkan hatinya yang
ternyata masih bisa diracuni perasaannya itu. Dan hal itu
lebih baik baginya,” ujar Begawan Madapati sengaja
menyembunyikan hal yang sebenamya.
“Tapi, Eyang. Aku harus bertemu paman. Aku ingin
tahu, mengapa paman melakukan perbuatan-perbuatan
seperti itu? Aku ingin mendengar alasannya, Eyang,”
rintih Anggini lirih.
Air mata gadis ttu kembali mengalir membasahi
prpinya. Harinya sedih sekali ketika mendengar kala
pamannya kembali telah pergi meninggalkannya. Anggini
merasakan dunianya semakin sempit. Semangat hidupnya
pun langsung lenyap bersama kepergian sang Paman.
“Anggini..!”
Tiba-tiba terdengar suara serak yang bergetar dari arah
pintu pondok. Seorang lelaki gagah berusia sekitar tiga
puluh tahun berdiri di muka pintu dengan wajah pucat
“Pamaa..!”
Begitu mengenali, Anggini langsung menghambur ke
dalam pelukan orang itu. Tangisnya pun meledak
memilukan. Hingga untuk beberapa saat lamanya ruangan
pondok itu menjadi hening. Yang terdengar hanya suara
tangis Anggini yang semakin lemah.
“Paman! Apakah yang membuat Paman melakukan
perbuatan-perbuatan itu? Katakanlah, Paman. Aku ingin
mendengamya,” desak Anggini. Suaranya terdengar lirih,
namun penuh tuntutan. Gadis cantik itu menengadahkan
wajahnya memandangi wajah pamannya lekat-lekat
“Anggini, aku..., aku...,” Kembara tergagap karena apa
yang akan diucapkannya adalah sesuatu yang tidak pantas
menurutnya.
“Katakanlah, Paman,” desak Anggini.
“Maafkan aku, Anggini. Aku..., aku tidak bisa
mengatakannya,” sahut Kembara yang wajahnya menjadi
pucat dan merah berganti-ganti.
“Paman melakukannya karena mencintaiku, bukan?
Mengapa harus disembunyikan? Mengapa Paman tidak
pernah mengatakannya kepadaku? Mengapa Paman malah
menjauhiku? Tidakkah Paman sadar kalau aku pun
mencintaimu. Dan betapa tersiksanya aku menunggu
nunggu pengakuan Paman. Apakah Paman tidak
mengetahui hal itu?” Anggini tahu-tahu saja begitu lancar
berbicara.
“Tidak, Anggini. Aku sudah terlalu tua untukmu.
Lebih baik kau pilih salah seorang di antara kakak
seperguruanmu. Mereka adalah pemuda pilihan yang lebih
baik daripada aku,” jawab Kembara berusaha mengelak
karena perbedaan umur mereka yang terlalu jauh. “Aku
tahu, kedua orang saudaramu itu sangat mencintaimu,
Anggini. Dan aku percaya, mereka pasti akan menjagamu
dengan baik.”
“Tidak, Paman. Pamanlah yang lebih tepat untuk
menjaga Adik Anggini. Kami berdua rela. Dan kami
sadar, hanya Pamanlah lelaki satu-satunya yang dicintai
Anggini. Dan lagi menurut kami, Paman tidaklah setua
seperti yang Paman rasakan. Jadi rasanya tidak ada lagi
yang patut dipersoalkan,” ujar salah seorang dari kedua
pemuda yang tak lain adalah Wirasaba dan Samba.
Mereka memang tahu-tahu saja telah muncul di
belakang pamannya. Rupanya seperti halnya Kembara,
mereka pun tak sengaja datang ke tempat itu. Niat mereka
semula hanyalah ingin menghadap Begawan Madapati
untuk menanyakan kabar Anggini dan pamannya.
“Ah, Wirasaba, Samba. Kalian pun sudah ada di sini
rupanya,” sapa Kembara yang segera menyuruh kedua
orang muridnya itu masuk. Setelah itu, Kembara
mengalihkan pandangannya kepada Begawan Madapati
yang hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Nan! Kali ini kau tidak ada alasan lagi, Paman. Eh,
Kakang. Mereka semua sudah setuju. Jadi, aku pun tidak
sudi lagi untuk memanggil paman. Maka, biarlah kau
kupanggil dengan Kakang Kembara saja. Agar kau tidak
merasa tua.”
Sambil berkata demikian, Anggini segera menarik
tangan Kembara menuju keluar pondok. Langsung
dlbawanya laki-laki itu ke tepi sungai.
Bagaikan kerbau yang dicucuk hldungnya, Kembara
pun hanya menurut saja, ke mana gadis cantik itu
membawanya. Wajahnya yang semula pucat nampak
mulai berseri. Kebahagiaan jelas terpancar dari mata
keduanya.
Begawan Madapati hanya tersenyum melihat ke-
pergian kedua orang itu. Demikian pula dengan Wirasaba
dan Samba. Mereka semua berharap agar Kembara bisa
menebus dosa-dosanya dengan berbuat baik d1 kemudian
hari. Mereka pun sadar, cinta memang mampu
mengalahkan segalanya. Termasuk menutup mata dan jhva
kependekaran Kembara. Perasaan cemburunya terlalu
berkobar-kobar! Padahal sesungguhnya Kembara adalah
seorang laki-laki yang berjiwa baik dan jujur.
***
“Nah! Betul kan, dugaanku. Mereka pasti saling cinta,”
ujar seorang gadis jelita yang tengah berdiri berdampingan
di atas sebongkah batu besar di seberang sungai. Rupanya
Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah sampai pula di
Lembah Gunung Tangger. Dan mereka memperhatikan
semua kejadian itu dari jauh.
“Ya. Mudah-mudahan saja, mereka pun berbahagia
seperti kita,” sahut Panji yang berada di sebelah Kenanga.
Setelah berkata demikian, kedua tangan Pendekar Naga
Putih langsung bergerak menyambar tubuh gadis jelita itu.
Seketika, Kenanga dibawanya lari meninggalkan lembah.
“Aih! Apa-apaan ini, Kakang? Sudah mulai genit, ya?”
seru Kenanga manja.
Meskipun bibirnya berkata demikian, namun gadis itu
tidak berusaha melepaskan tubuhnya dari pondongan
Pendekar Naga Putih.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar