..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE ASMARA DI UJUNG PEDANG

Asmara Di Ujung Pedang

 

ASMARA DI UJUNG PEDANG
Oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode 19: 
Asmara di Ujung Pedang 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Sebuah kereta kuda tampak tengah merangkak perlahan 
menyusuri jalan berliku. Batu-batu berserakan di jalan, 
membuat laju kereta menjadi lambat. Tidak jarang kusir 
kereta yang berusia sekitar lima puluh tahun itu harus 
turun dan menarik keretanya karena terperosok lubang 
yang banyak terdapat di jalan itu. 
Di kiri-kanan kereta kuda itu tampak empat orang 
lelaki gagah mengiringinya sambil menunggang kuda. 
Melihat dari sikap keempat orang penunggang kuda itu, 
jelas kalau mereka bertugas melindungi kereta kuda itu. 
Di dalam kereta kuda, duduk seorang laki-laki berusia 
sekitar tiga puluh lima tahun. Di sampingnya, duduk 
seorang wanita cantik bersama seorang bocah perempuan 
yang berada di tengah-tengah mereka berdua. Kelihatan-
nya, mereka inilah yang harus dilindungi. Sebentar 
kemudian, laki-laki itu membuka tirai jendela kereta 
kuda. Kepalanya dijulurkan ke luar. 
“Tidak adakah jalan yang lebih baik daripada jalan ini, 
Jantar?” tanya lelaki yang berada dalam kereta kuda, 
kepada seseorang yang dipanggil Jantar. Dialah yang 
menjadi kusir kereta kuda ini. 
“Maaf, Tuan Besar. Memang hanya jalan inilah satu-
satunya yang lebih dekat ke kadipatan. Tapi, kesulitan ini 
tidak akan berlangsung lama. Karena, sebentar lagi kita 
akan tiba pada jalan rata,” jelas Ki Jantar sambil menyusut 
peluh yang menganak sungai membasahi wajahnya.

Memang, saat itu matahari berada tepat di atas kepala. 
Sinarnya begitu terik, memancar garang dan terasa 
menyengat kulit. 
“Ranta! Coba lihat ke depan. Berapa jauh lagi kita harus 
berada di jalan neraka ini?” perintah lelaki berkumis tipis 
yang dipanggil tuan besar itu, kepada penunggang kuda 
yang berada di sebelah kin kereta. 
“Baik, Tuan Besar,” sahut lelaki tinggi tegap berwajah 
brewok yang dipanggil Ranta, menyahuti. Kemudian 
kudanya digebah sehingga melesat mendahului kereta 
kuda. 
Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara ketika 
kuda Ranta meluncur ke depan. Tidak berapa lama 
kemudian, binatang beserta penunggangnya itu lenyap di 
balik sebuah tikungan yang terhalang pohon-pohon besar 
di tepi jalan. 
Sementara itu kereta kuda terns merayap perlahan 
melintasi jalan yang rusak. Namun, sampai mereka tiba di 
tikungan jalan, lelaki berwajah brewok tadi belum juga 
terlihat kembali. Padahal untuk mencapai tikungan jalan 
itu, mereka telah memakan waktu yang cukup lama. 
“Mengapa Ranta begitu lama? Bukankah tadi kau 
katakan kalau tidak lama lagi jalan rusak ini dapat kita 
lewati? Apa ucapanmu tadi hanya untuk menghiburku, 
Jantar?” tegur lelaki yang berada di dalam kereta, kembali 
menjulurkan kepalanya. Sambil berkata demikian, lelaki 
itu menatap Ki Jantar lekat-lekat. Sinar matanya jelas 
memancarkan kekesalan hati. 
“Betul, Tuan Besar. Aku sama sekali tidak berhohong. 
Setelah melewati dua belokan lagi, maka jalanan rusak ini

akan berakhir. Aku sendiri merasa heran, mengapa Ranta 
begitu lama?” sahut Ki Jantar. 
Ki Jantar tidak berani membalas tatapan tuan besarnya. 
Karena dari nada suaranya, dia tahu kalau majikannya 
sedang kesal. 
“Biar aku yang akan menyusulnya, Tuan Besar. Siapa 
tahu Adi Ranta mengalami kesulitan,” pinta pengawal 
yang berada di sebelah kanannya, agak keras. 
“Hm.... Pergilah. Tapi jangan terlalu lama!” sahut laki-
laki yang dipanggil tuan besar itu, cepat 
Kemudian, kepalanya kembali ditarik dari jendela 
kereta. Lalu, tubuhnya disandarkan, disertai hembusan 
napas berat 
“Sudahlah, Kakang. Mengapa harus kesal? Bukankah 
Kakang sendiri yang meminta kepada Ki Jantar supaya 
mengambil jalan pintas,” hibur wanita cantik yang 
memang istri tuan besar itu dengan lembut. 
“Hhh....” 
Lelaki itu hanya mendesah lirih sambil membelai 
kepala anaknya yang berusia sekitar tujuh tahun, dan 
nampak tertidur lelap. Sepertinya, ia sama sekali tidak 
merasa terganggu oleh guncangan-guncangan kereta kuda 
yang ditumpanginya. 
Ketika kereta membelok lagi, lelaki yang kelihatannya 
adalah seorang saudagar kaya itu kembali menjulurkan 
kepala, memandang keluar. 
“Apakah kedua orang itu belum juga kembali, Jantar?” 
tanya saudagar itu dengan kening berkerut. 
Di wajahnya terbayang keheranan besar. 
“Belum, Tuan Besar. Entah apa yang mereka lihat

sampai begitu lama belum juga kembali,” sahut Ki Jantar 
yang juga merasa heran dengan keanehan itu. 
“Hm..., aneh!” gumam saudagar itu sambil mengusap-
usap dagunya. 
Sementara itu, tampak dua orang pengawal hendak 
bergerak menyusul kedua rekannya. 
“Kalian tetap saja berjaga-jaga di belakang dan tidak 
perlu menyusul mereka. Mungkin mereka sengaja 
menunggu kita di perbatasan jalanan buruk ini,” cegah 
saudagar itu kepada kedua orang pengawal tadi. 
Kedua orang lelaki itu mengangguk hormat dari ter-
paksa membatalkan niatnya. Keduanya kembali memutar 
kuda tunggangannya dan kembali mengiringi kereta dari 
belakang. 
“Ah..., Tuan Besar. Lihat..., lihat itu...!” teriak Ki 
Jantar dengan wajah pucat bagai mayat. 
“Ada apa, Jantar...? Ahhh...!” saudagar itu menahan 
seruannya. Sepasang matanya terbelalak lebar melihat apa 
yang terbentang di depan mereka. 
Dua orang pengawal yang mengiringi kereta dari 
belakang itu pun terkejut ketika mendengar teriakan Ki 
Jantar. Keduanya cepat membedal kuda masing-masing, 
sehingga segera melesat ke depan. Dan apa yang disaksi-
kan, benar-benar membuat hati mereka berdebar tegang. 
“Ranta.... Langsat..!? Apa yang terjadi dengan 
mereka...?!” kata salah seorang pengawal itu ketika 
melihat tubuh kedua orang kawannya tergeletak di tengah 
jalan dalam keadaan tewas. Tubuh keduanya tampak 
digenangi darah yang membasahi bumi. 
“Mereka..., mereka telah tewas, Kakang...,” jelas

pengawal yang seorang lagi dengan suara bergetar penuh 
kemarahan. Hampir dia tidak mempercayai kejadian itu. 
Hatinya berharap bahwa hal itu hanya merupakan sebuah 
mimpi buruk yang menakutkan. 
Belum lagi kedua orang pengawal itu bangkit, tiba-tiba 
terdengar teriakan-teriakan parau dari sekeliling mereka. 
Kemudian, disusul berloncatannya belasan sosok tubuh 
yang segera mengepung mereka. 
Secepat kilat, kedua orang pengawal itu bergegas 
bangkit sambil melolos senjata masing-masing. Mereka 
bergegas melompat menghindari sambaran senjata yang 
mengancam. Dan tanpa banyak tanya lagi, kedua orang 
pengawal itu segera menyambut serangan-serangan yang 
dilancarkan orang-orang tak dikenal. Maka sebentar saja, 
pertarungan pun terjadi. 
Kedua orang pengawal itu berusaha mati-matian untuk 
menghampiri kereta kuda. Mereka mengamuk hebat, 
karena khawatir akan keselamatan majikan dan keluarga-
nya. Sehingga, tidak lagi dipedulikan selembar nyawa 
mereka masing-masing. 
Tapi sayang, belasan orang kasar yang sudah jelas 
perampok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi. 
Sehingga lama kelamaan, kedua orang pengawal itu pun 
terdesak hebat. 
Brettt! Brettt! 
“Aaakh...!” 
Jerit kematian berkumandang ketika tubuh kedua 
orang pengawal itu terbanting ke atas tanah, dan sudah 
berlumuran darah. Kedua pengawal setia itu tewas di 
ujung pedang pengeroyoknya.

*** 
Bukan main terperanjatnya hati saudagar muda itu 
ketika mendengar jeritan tadi. Sudah bisa diduga, itu 
jeritan kemauan kedua orang pengawalnya. Kejadian yang 
sama sekali tidak diduga itu membuat otaknya tidak dapat 
berpikir untuk beberapa saat lamanya. Ia baru tersadar 
ketika mendengar teriakan-teriakan para perampok itu. 
“Serbu...!” 
Seorang lelaki berperut buncit dan berkepala botak, 
meluruk maju setelah memberi aba-aba kepada anak 
buahnya. Maka, tanpa diperintah dua kali, belasan orang 
perampok itu langsung menghambur ke arah kereta yang 
ditumpangi saudagar muda dan keluarganya. 
“Jantar, lariii...!” teriak saudagar muda itu dengan 
wajah pucat bagai tak dialiri darah. Setelah itu, kepalanya 
ditarik ke dalam kereta dan memeluk tubuh anak istrinya 
yang menjerit-jerit ketakutan. 
Ki Jantar yang sudah dapat meraba maksud belasan 
orang lelaki kasar itu, bergegas melecutkan cambuknya 
kuat-kuat ke tubuh dua ekor kuda yang menghela kereta 
itu. 
Siuuut... Tappp! 
Ujung cambuk yang meluncur deras itu tiba-tiba saja 
tertahan di udara. Ki Jantar semakin pucat wajahnya 
ketika melihat lelaki gendut berkepala botak lelah 
menangkap ujung cambuk dengan jemari tangannya. 
“Hih...!” 
Sebelum Ki Jantar sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba 
lelaki gendut itu membentak sambil menyentak cambuk di

tangan lelaki setengah baya itu. 
“Aaa...!” 
Bukan main ngerinya hati Ki Jantar ketika tubuhnya 
terasa melambung akibat sentakan kuat itu. Dan sebelum 
menyentuh permukaan tanah, sebuah pukulan keras mem-
buat tubuhnya terpental balik disertai jerit kematiannya. 
Tubuh kusir malang itu ambruk ke tanah disertai 
semburan darah segar yang mengalir deras dari mulut-
nya. Setelah berkelojotan sesaat, dia pun diam tak 
bergerak-gerak lagi. Ki Jantar tewas seketika. 
“Jangan...! Lepaskan! Jangan ganggu kami! Kakang, 
tolooong...!” wanita cantik istri saudagar yang berusia 
sekitar dua puluh tujuh tahun menjerit-jerit dalam 
dekapan seorang anak buah perampok. 
Namun meskipun meronta sekuat tenaga, tetap saja ia 
masih kalah kuat dengan perampok yang seperti kerasukan 
setan itu. 
“Biadab! Kalian boleh ambil semua barang-barang yang 
ada dalam kereta itu, asalkan jangan ganggu anak istriku!” 
saudagar muda itu berteriak-teriak marah sambil berlari 
menghambur ke arah istrinya. Namun sebuah kelebatan 
senjata membuat langkahnya terhenti seketika. Tubuhnya 
bergerak limbung sambil menekap perut yang berlumuran 
darah. Ternyata sebuah bacokan membuat saudagar muda 
itu ambruk ke atas tanah. 
“Ough.... Nyai..., Anggini...,” rintih saudagar muda 
itu seraya menggapaikan tangannya dengan wajah ber-
simbah darah. 
“Kakaaang...!” wanita cantik itu menjerit memilukan 
ketika melihat kepala suaminya terkulai lemah dan tak

bergerak lagi. 
“Ayaaah...!” bocah perempuan berusia tujuh tahun ber-
teriak-teriak memanggil ayahnya. Ia meronta-ronta dalam 
pondongan salah seorang perampok. 
“Diam kau, Bocah...!” bentak perampok itu tanpa rasa 
iba sedikit pun melihat bocah kecil itu menjerit-jerit 
sambil menangis. 
Plakkk! 
Karena bocah perempuan itu masih juga menjerit-jerit, 
akhimya perampok bertubuh kurus dan berwajah licik itu 
melayangkan tamparan yang cukup keras. Akibatnya, 
tubuh kecil itu terpelanting dan pingsan seketika. 
“Manusia jahat! Kau apakan anakku...?!” 
Wanita cantik itu kembali meronta dari dekapan 
anggota perampok. Sadar kalau masih kalah tenaga dari 
perampok yang mendekap tubuhnya, akhimya ia terpaksa 
menggigit orang itu. 
“Aaakh...!” 
Anggota perampok itu menjerit kesakitan sambil me-
lepaskan dekapannya pada tubuh wanita itu. 
“Anggini...!” 
Begitu teriepas dari pelukan lelaki kasar itu, ia pun 
langsung menghambur ke arah tubuh anak perempuannya 
yang masih tergeletak dengan bibir berdarah. 
Namun belum juga sampai, mendadak saja.... 
“Hait...! Ha ha ha.... Mau lari ke mana kau, Manis...?” 
cegah lelaki botak berperut gendut, sambil merentangkan 
tangannya menghadang lari wanita cantik itu. 
Sepasang mata bulat indah itu melirik ke kiri-kanan 
bagaikan mata kelinci yang ketakutan.

“Oh..., kasihanilah kami, Tuan. Lepaskanlah kami. 
Ambillah semua harta milik suamiku yang ada dalam 
kereta itu,” rintih wanita malang itu dengan wajah ber-
simbah air mata. 
“He he he.... Tidak mungkin, Manis. Kau tidak akan 
kulepaskan begitu saja. Ikutlah bersamaku, dan jadilah 
istriku. Pasti kau akan senang,” bujuk lelaki berkepala 
botak itu seraya meneguk air liurnya sendiri melihat 
kecantikan dan keindahan tubuh wanita di hadapannya itu. 
“Ha ha ha...! Tunggu apa lagi, Kakang Gandil? Tubruk 
saja kijang muda yang menggiurkan itu. Kan, beres,” ujar 
seorang anggota perampok, tak sabar melihat sikap 
pemimpinnya. 
“Betul, Kakang. Tidak usah membujuk-bujuk. Seret 
saja wanita cantik itu. Buat apa membuang-buang waktu,” 
timpal yang lain ikut memanasi. 
Sedangkan para anggota perampok lainnya tengah 
sibuk menguras seluruh isi kereta kuda itu. Setelah semua 
barang-barang berharga dikeluarkan, salah seorang 
anggota perampok membawa kereta kuda itu ke tepi 
jurang. Kemudian, dia menceburkan nya setelah terlebih 
dahulu memasukkan tubuh Ki Jantar dan keempat mayat 
pengawal di dalamnya. Terdengar suara yang ramai ketika 
badan kereta beserta dua ekor kuda penghelanya 
meluncur menghantam bebatuan yang bertonjolan di 
dinding jurang. 
Sementara, lelaki berkepala botak yang merupakan 
pimpinan perampok itu sudah menerkam tubuh wanita 
cantik yang hanya mampu menjerit ketakutan. 
“He he he...! Tidak ada gunanya meronta-ronta,

Manis. Lebih baik nikmati saja babak pertama ini,” ujar 
lelaki berkepala botak yang bemama Gandil itu. 
Diciuminya seluruh wajah wanita itu penuh nafsu. 
Belum lagi nafsu iblisnya terlampiaskan, tiba-tiba 
terdengar suara ribut-ribut yang disusul jerit kesakitan! 
Brukkk! 
“Bangsat, berani kau mengganggu kesenanganku!” 
bentak Gandil. 
Langsung dikirimkannya tamparan keras ke arah sosok 
yang menerjang tubuhnya. 
Sosok tubuh berpakaian kumal itu melintir akibat 
tamparan keras yang menghantam pelipisnya. Namun 
orang itu sama sekali tidak melakukan perlawanan sedikit 
pun. Dia langsung ambruk, tak bergerak lagi. Melihat hal 
ini, Gandil terkejut bukan main. Bahkan orang itu sama 
sekali tidak menjerit ketika tamparannya tepat mengenai 
pelipis. 
Merasa curiga, Gandil bergegas menghampiri, lalu 
membalikkan tubuh orang yang menelungkup itu. Bukan 
main terkejutnya lelaki bengis berkepala botak itu ketika 
mengenali kalau orang itu ternyata anak buahnya sendiri. 
“Bangsat! Siapa yang berani main-main dengan Macan 
Bukit Setan!” bentak lelaki gundul itu. 
Gandil kemudian melompat keluar dari balik semak-
semak. Kemarahan yang menggumpal dadanya, mem-
buatnya jadi lupa pada calon korbannya yang terisak 
dengan pakaian tak karuan. 
“Akulah yang datang untuk menghentikan 
kebiadabanmu, Macan Ompong!” sahut sesosok tubuh 
tinggi tegap yang berdiri gagah dalam jarak tujuh batang

tombak dari tempat Gandil berdiri. 
Kemarahan di hati Gandil berubah menjadi rasa 
terkejut yang amat sangat. Puluhan mayat anak buahnya 
yang bergeletakan saling tumpang tindih itu, membuat 
Macan Bukit Setan termangu untuk beberapa saat 
lamanya. 
“Bersiaplah menyusul mayat-mayat pengikutmu!” 
ancam sosok berpakaian putih yang ternyata seorang 
pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu Suaranya 
terdengar pelan, namun mengandung wibawa yang kuat. 
Tersentak Gandil ketika mendengar ucapan itu. 
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gundul itu 
melangkah maju menghampiri pemuda itu. 
“Siapa kau, Anak Muda?! Sebutkan namamu sebelum 
tubuhmu kurobek-robek!” bentak Macan Bukit Setan 
menggereng murka. 
“Kau ingin tahu namaku? Ketahuilah. Aku adalah 
Malaikat Maut yang mendapat tugas untuk mencabut 
nyawamu saat ini juga,” sahut pemuda gagah itu bernada 
mengejek. 
“Keparat..! Terimalah kematianmu, haaat...!” 
Diiringi pekik kemarahannya, tubuh lelaki gendut itu 
melompat maju disertai cakamya yang menimbul-kan 
angin berkesiutan. 
“Hmh...!” 
Pemuda berpakaian putih itu bergumam tak jelas. Dan 
begitu serangan lawannya tiba, tubuhnya digeser dan 
langsung dikirimkan serangan yang tidak kalah hebatnya. 
Wuuut! 
Gandil memiringkan kepalanya menghindari sebuah

pukulan yang menimbulkan angin menderu tajam. Begitu 
pukulan lawan lewat di samping kepalanya, tubuh gendut 
yang ternyata dapat bergerak gesit itu meliuk dengan 
kuda-kuda rendah. 
“Hiaaah...!” 
Sambil membentak keras, tubuh Macan Bukit Setan 
berputar melakukan serangan. Maksudnya agar dapat 
membongkar kuda-kuda lawan. 
Sapuan kaki Gandil ternyata hanya membabat tanah 
berumput, karena kaki lawan yang menjadi sasarannya 
telah terangkat naik dan ditarik ke belakang. Tapi 
serangan lelaki gundul itu ternyata tidak hanya berhenti 
sampai di situ saja. Sapuannya yang tidak mengenai 
sasaran, kembali berputar cepat bagai baring-baling hingga 
menimbulkan deru angin kuat 
Wuuut! Wuuuk...! 
Berkali-kali sapuan Gandil mengibas dengan kecepatan 
mengagumkan. Namun untuk yang kesekian kalinya, ia 
harus menelan kekecewaan. Memang lawannya yang 
meskipun berusia jauh lebih muda itu, ternyata sangat 
lincah. Sehingga setiap kali Macan Bukit Setan berputar, 
selalu saja dapat dielakkannya tanpa kesulitan. 
Kenyataan itu membuat Gandil semakin bertambah 
penasaran. Ketika untuk yang kesekian kali serangannya 
mengenai tempat kosong, tiba-tiba saja tubuh lelaki 
berkepala gundul itu melenting disertai sambaran cakar 
yang mengancam leher dan lambung lawan. 
Plakkk! Plakkk! 
Terdengar ledakan keras sebanyak dua kali ketika 
pemuda gagah itu menggerakkan kedua tangannya

memapak serangan Gandil. Dan sebagai akibatnya, tubuh 
lelaki gendut itu terdorong mundur dan hampir 
terjengkang. Untung saja dia segera menguasai tubuhnya 
dengan cara melenting dan melakukan beberapa kali salto 
di udara. 
“Bangsat! Pantas saja berani berlagak! Rupanya kau 
memiliki kepandaian lumayan!” geram Macan Bukit Setan 
menyembunyikan rasa terkejutnya. 
Memang, dari tangkisan lawannya tadi, ia dapat 
merasakan kalau tenaga pemuda itu kuat sekali. Bahkan 
menurut penilaiannya, mungkin masih jauh lebih kuat 
daripada tenaganya sendiri. Kenyataan itu benar-benar 
membuatnya tergetar. 
“Hm.... Jangan hanya memaki saja, Macan Ompong! 
Kalau memang memiliki kepandaian, majulah!” sahut 
pemuda gagah bertubuh tegap itu, tenang. Jelas ia sama 
sekali tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga tadi. 
Macan Bukit Setan tidak segera menanggapi ucapan 
lawannya. Rupanya, pertarungan yang berlangsung 
hamprr tiga puluh jurus tadi telah membuat matanya 
terbuka. Sadar kalau untuk memperoleh kemenangan 
terlalu tipis baginya, maka ia pun segera melesat menuju 
semak-semak tempat wanita cantik istri saudagar muda 
yang dirampoknya itu ditinggalkan. 
“Hei! Mau lari ke mana kau, Macan Ompong...?!” 
teriak pemuda gagah itu yang segera melesat melakukan 
pengejaran. Dugaannya, lawannya itu berniat hendak 
melarikan diri. 
***

DUA

“Ha ha ha...! Majulah kalau ingin melihat tubuh wanita ini 
kurobek dengan cakarku!” ancam Macan Bukit Setan. 
Tahu-tahu saja, dia telah memeluk tubuh wanita cantik 
yang wajahnya dibasahi air mata itu. 
Karena tidak menduga perbuatan licik lawannya, 
pemuda itu menjadi tertegun. Untuk beberapa saat 
lamanya, ia hanya dapat menatap Macan Bukit Setan 
dengan penuh kegeraman. 
“Tuan, jangan pedulikan diriku! Aku rela mati asalkan 
kau sudi memenuhi permintaanku,” ujar wanita malang 
itu dengan suara bercampur isak. Sepasang mata sayu itu 
menatap wajah penolongnya, penuh permohonan. 
“Apa permintaanmu, Nyai? Kalau memang aku 
mampu, akan kulaksanakan dengan senang hati,” sahut 
pemuda gagah itu sambil memutar otak untuk dapat 
melepaskan wanita itu dari cengkeraman Macan Bukit 
Setan. 
“Selamatkanlah anakku. Peliharalah dia baik-baik. Aku 
percaya, anakku akan aman berada dalam lindunganmu,” 
pinta wanita malang itu. Air matanya kembali menetes 
mengingat kematJan suaminya. 
“Aku akan memenuhi permintaanmu itu, Nyai. Bocah 
perempuan itu masih selamat dan tidak kurang suatu apa. 
Ia kusembunyikan di tempat aman. Tapi, kau pun harus 
kuselamatkan. Karena biar bagaimanapun, anak itu lebih 
memerlukanmu ketimbang aku,” sahut pemuda gagah itu

setelah terdiam sejenak ketika mendengar permintaan 
wanita dalam cengkeraman Macan Bukit Setan. 
“He he he.... Selangkah lagi maju, maka tubuh 
perempuan molek ini akan kucabik-cabik!” ancam Gandil 
ketika melihat pemuda itu mendekatinya. 
Pemuda itu terpaksa menghentikan langkah ketika 
melihat cakar lelaki gundul itu bergetar, dan slap 
merencah tubuh molek dalam cengkeramannya. 
“Hm.... Silakan kau cabik-cabik tubuh wanita itu, 
Macan Ompong. Bukankah kau sudah dengar sendiri 
penegasannya tadi?” tantang pemuda berpakaian putih itu 
tidak kalah gertak. 
“Eh...!” 
Macan Bukit Setan berseru heran mendengar jawaban 
pemuda itu. Akibatnya, kewaspadaannya pun mengendur 
ketika melihat pemuda gagah itu kelihatan malah mem-
balikkan tubuh seolah-olah tak peduli. 
Namun, keheranan Gandil berubah menjadi rasa 
terkejut yang amat sangat! Betapa tidak? Sebab, pemuda 
yang semula membalikkan tubuhnya itu tiba-tiba bersalto 
bagai kilat. Langsung dikirimkannya serangan maut ke 
kepalanya. 
Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu 
membuat Macan Bukit Setan terperangah kelabakan. 
Cepat-cepat tubuhnya ditarik sambil menyentakkan 
wanita cantik tawanannya. 
Plakkk... Desss! 
Tubuh Macan Bukit Setan terpental ke belakang jauh 
tiga batang tombak. Meskipun berhasil menangkis 
pukulan tangan kiri lawannya, namun hantaman tangan

kanan lawan telak menghunjam dadanya. 
“Huagkh...!” 
Darah segar terlompat dari mulut lelaki gundul itu. 
Macan Bukit Setan berusaha merangkak bangkit sambil 
menekap dada yang terasa remuk. Baru saja tubuhnya 
berdiri tegak, sebuah tendangan kilat disertai pengerahan 
tenaga yang amat kuat kembali menggedor dadanya. 
Bugkh! 
“Hugkh...!” 
Tak ayal lagi, tubuh Macan Bukit Setan terjengkang ke 
belakang dan menghantam batu besar di belakangnya. 
Akibatnya, kepala gundul itu berderak keras disertai 
percikan darah yang bercampur cairan putih. Maka tamat-
lah riwayat Macan Bukit Setan. 
“Ohhh...!” 
Pemuda berpakaian putih itu menoleh ke arah asal 
keluhan lirih yang tertangkap telinganya. Cepat dihampiri-
nya, ketika matanya melihat tubuh wanita cantik itu 
tergeletak berlumuran darah. 
“Nyai.... Kau..., kau kenapa...?” tanya pemuda itu 
sambil membungkuk memeriksa tubuh wanita itu. 
Terkejut hati pemuda itu ketika melihat kepala wanita 
di hadapannya retak akibat terbentur batu. Darah segar 
mengalir deras dari luka di belakang kepalanya. 
Rupanya, sentakan tangan Macan Bukit Setan yang 
dalam keadaan kalap tadi, secara tak sadar telah membuat 
tubuh wanita malang itu terlempar menghantam batu 
cadas di tepi jalan. 
“Tolong jaga, dan pelihara anakku Anggini..., 
Tu...an....”

Setelah berpesan demikian, wanita malang itu pun 
menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuan tuan 
penolongnya. Sedangkan pemuda gagah itu hanya dapat 
menghela napas disertai kekesalan. Setelah agak lama 
termenung, dia pun bergerak bangkit sambil memondong 
mayat wanita itu. Kemudian dikuburkannya mayat itu 
pada sebuah tempat yang cukup baik. 
Dengan peluh yang masih berlelehan, pemuda gagah 
itu melangkah ke tempat bocah perempuan yang masih 
pingsan, yang tadi disembunyikannya. 
“Untung seluruh kejadian tadi tidak disaksikannya. 
Kalau dia melihat, mungkin perkembangan jiwanya akan 
terganggu kelak,” gumam pemuda itu merasa bersyukur. 
Diangkatnya tubuh mungil itu setelah terlebih dahulu 
diobati dan dibuatnya tertidur. Kemudian, ditinggal-
kannya tempat itu bersama tubuh mungil Anggini dalam 
pondongannya. 
Matahari semakin naik tinggi dengan pancaran sinarnya 
yang terik. Hembusan angin tetap bersilir lembut, seolah-
olah tak peduli terhadap peristiwa berdarah itu. Jalan 
berbatu itu pun kembali lengang dan sunyi. 
*** 
Di bawah siraman cahaya matahari yang memancar 
terik, tampak sesosok tubuh bergerak mendaki lereng 
Gunung Tangger. Di bahu kanannya tampak seorang anak 
kecil yang tengah terlelap. Gerakan sosok itu demikian 
gesit dan ringan. Seolah-olah lereng gunung yang terjal 
dan licin itu sudah tidak asing lagi baginya.

Setelah melalui jalanan yang berkelok dan terjal, sosok 
tubuh itu berdiri tegak memandang ke arah lembah di 
bawahnya. Agak lama juga dia berdiri di atas sebongkah 
batu besar itu, seolah-olah timbul keraguan dalam hatinya. 
Tak lama kemudian, sosok tubuh itu pun bergerak 
turun ke dalam lembah. Jalanan yang menurun dan licin 
itu pun tidak menjadi halangan. Bagaikan seekor burung 
besar menyambar mangsa, tubuhnya melayang ke bawah. 
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali 
melambung ke udara. Itu dilakukannya berkali-kari. 
Gerakannya sama sekali tidak membuat anak yang 
dipondongnya terbangua Dari sini saja sudah dapat 
diketahui, betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh orang 
itu. 
Setelah menyeberangi sebuah aliran sungai, tak lama 
kemudian tibalah sosok itu di depan sebuah pondok 
sederhana. 
“Hm ... Siapa lagi yang kau bawa kali ini, Kembara?” 
sebuah suara lembut bernada teguran menyapa sosok 
tubuh itu. 
“Ampun, Guru....” sahut sosok tubuh yang ternyata 
bernama Kembara. Dia masih muda dan berwajah gagah. 
Kembara cepat meletakkan sosok mungil yang di-
pondongnya. Bergegas, dia menjatuhkan diri berlutut di 
bawah tangga yang menghubungkan ke pintu pondok. 
Dalam hati, Kembara mengagumi ilmu pembeda gerak 
dan suara yang dimiliki orang yang dipanggil guru olehnya 
itu. Walaupun pintu pondok tertutup, dia bisa tahu kalau 
Kembara datang tidak sendiri. Tapi, bersama seseorang 
dalam pondongannya.

Tidak berapa lama kemudian, seraut wajah seorang 
kakek tersembul dari balik pintu yang terkuak. Kakek itu 
tersenyum lembut sambil mengelus jenggot putihnya yang 
panjang. Sebelum kakek itu sempat menuruni anak 
tangga, sesosok tubuh mungil berlari mendahuluinya. 
“Horeee..., Paman sudah kembali....!” Sambil ber-
sorak gembira, seorang anak laki-laki berumur delapan 
tahun berlari menyongsong kedatangan lelaki muda itu. 
Dia langsung menghambur ke dalam pelukan Kembara. 
Tanpa merubah berlututnya, lelaki muda berusia 
sekitar dua puluh satu tahun itu mengembangkan 
tangannya menyambut pelukan si bocah. 
“Hm.... Kau sudah semakin besar, Samba. Apakah kau 
masih suka menyusahkan eyang?” tanya Kembara sambil 
mengelus rambut kepala bocah lelaki itu penuh kasih. 
“Tidak, Paman. Aku selalu menuruti perintah eyang. 
Dan tidak menyusahkannya!” sahut bocah bemama Samba 
itu dengan suaranya yang bening dan nyaring, seraya 
menoleh ke arah kakek itu. 
“Sudahlah, Samba. Pamanmu jangan diganggu dulu. 
Dia masih lelah. Sebaiknya, temani kakangmu yang tengah 
berlatih di tepi hutan sana!” ujar kakek itu. Suaranya 
lembut, namun bernada tegas. 
“Baik, Eyang,” sahut bocah itu cepat. 
Setelah pamitan pada pamannya, Samba pun berlari-
lari kecil menuju hutan yang terdapat di belakang pondok. 
“Bawalah bocah itu naik, Kembara!” perintah kakek itu 
lagi, seraya membalikkan tubuhnya masuk kembali ke 
dalam pondok. 
Kembara segera bangkit dan menaiki tangga memasuki

pondok Diangkatnya tubuh mungil yang tadi diletakkan di 
sebelahnya. 
*** 
“Maaf, Eyang. Aku terpaksa membawa bocah 
perempuan ini ke sini. Kedua orang tuanya telah tiada 
lagi, karena dibunuh sekawanan perampok yang kerap 
mengganggu desa,” ujar Kembara, memberikan alasan 
mengapa bocah perempuan berusia sekitar tujuh tahun itu 
dibawanya. 
“Hm.... Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apakah kau 
masih ingin meneruskan pengembaraanmu?” tanya sang 
Guru sambil mengelus jenggotnya perlahan. 
Wajah kakek itu tampak menggambarkan perasaan iba 
ketika melihat wajah muridnya yang selalu tersaput 
mendung tebal itu. Namun hal itu berusaha disembunyi-
kan. 
“Tidak, Eyang. Aku sudah mengambil keputusan untuk 
menetap di sini, dan merawat ketiga bocah itu,” jawab 
Kembara perlahan. 
Jelas sekali kalau pemuda berwajah gagah itu berusaha 
menyembunyikan perasaan hatinya. 
“Apakah keputusanmu sudah tetap? Aku tidak akan 
memaksamu kalau kau memang masih menginginkan 
mengembara,” kata kakek itu. Pandangan matanya tajam, 
seolah-olah ingin menyelami perasaan muridnya. 
“Terima kasih, Eyang. Tapi keputusanku sudah bulat 
untuk menetap di Lembah Gunung Tangger ini,” sahut si 
pemuda, tetap tidak merubah keputusannya.


“Hm...,” kakek itu menggumam tak jelas. 
Hati laki-laki tua berjenggot putih itu terenyuh 
mengingat penderitaan yang pemah dialami muridnya. 
Terbayang kembali di benaknya ketika setahun yang lalu 
muridnya kembali dari pengembaraan, dengan membawa 
hati yang patah. Setelah be berapa bulan, akhirnya dia tak 
tahan melihat keadaan murid satu-satunya itu selalu 
termenung dan menyendiri. Dan kakek itu masih ingat 
ketika dengan terpatah-patah Kembara menceritakan pen-
deritaan batinnya, yang mengalami patah hati karena 
ditinggal kekasihnya. Untuk menghibur hati muridnya, 
kakek itu pun menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang 
selama ini disimpannya. 
Setelah menamatkan pelajaran, muridnya itu kembali 
diizinkan untuk turun gunung. Padahal, sang Guru tahu 
kalau luka di hati Kembara belum sembuh. Bahkan rasanya 
memang tidak mungkin disembuhkan. 
Sekembalinya dari pengembaraan, Kembara membawa 
dua orang bocah laki-laki yang kemudian dititipkan 
kepadanya. Dan yang terakhir, ia kembali ke lembah 
dengan membawa seorang bocah perempuan. 
“Eyang...,” panggil Kembara yang membuat la-munan 
kakek itu terhenti. 
“Hhh....” 
Sang Guru yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai 
Begawan Madapati itu menghela napas panjang. Wajahnya 
kembali tenang tanpa menggambarkan perasaan apa pun. 
“Ada apa, Eyang...?” tanya Kembara setelah men-
dengar helaan napas gurunya. Sepertinya, laki-laki tua itu 
tengah memikirkan sesuatu.

“Tidak ada apa-apa, Kembara. Hanya menurut 
pikiranku, ada baiknya kalau kita membuat sebuah pondok 
lagi untuk tempat bernaung ketiga bocah yang kau bawa 
itu. Bagaimana menurutmu?” tanya Begawan Madapati. 
“Balk sekali, Eyang. Aku akan segera membuatnya. 
Biarlah untuk sementara bocah perempuan itu tidur di 
sini. Memang, ia kelihatannya lelah sekali,” sahut 
Kembara, mendukung sekali pernyataan kakek itu. 
Begawan Madapati hanya mengangguk dan tersenyum 
lembut Laki-laki tua itu mengangguk kembali ketika 
muridnya minta izin untuk segera membuat pondok yang 
dimaksudkan gurunya. 
“Paman...!” terdengar sebuah seruan. 
Salah seorang dari dua bocah lelaki segera meng-
hambur ke dalam pelukan Kembara yang baru saja 
menginjakkan kakinya pada anak tangga terakhir. 
“Ah, Wirasaba. Kau sudah bertambah besar. 
Bagaimana latihanmu?” tanya Kembara seraya membalas 
pelukan bocah lelaki berumur sembilan tahun itu. 
Dibelainya rambut kepala bocah bernama Wirasaba 
dengan perasaan kasih yang mendalam. 
“Seperti pesan Paman, aku dan Samba tidak pernah 
mengeluh meskipun latihan-latihan yang diberikan eyang 
terasa sangat berat. Bukankah Paman mengatakan kalau 
kami harus rajin berlatih agar kelak menjadi seorang 
pendekar hebat dan dapat mengusir orang-orang jahat?” 
sahut Wirasaba dengan suara nyaring, dan menimbulkan 
kegembiraan di hati Kembara. 
“Bagus, kalau kalian masih ingat perkataan Paman itu. 
Nah! Sekarang, bersihkan tubuh kalian. Karena Paman

masih ada keperluan lain yang harus cepat-cepat 
diselesaikan!” ujar Kembara sambil melepaskan pelukan 
Wirasaba. 
“Apakah Paman akan meninggalkan kami lagi?” Samba 
yang sejak tadi hanya membisu, tiba-tiba mengeluarkan 
pertanyaan itu dengan sepasang mata cemas. 
“Hm.... Apakah kalian tidak senang tinggal bersama 
eyang?” tanya Kembara yang ingin mengetahui perasaan 
kedua bocah itu selama ini. Diraihnya tubuh Samba ke 
dalam pelukannya. 
“Tentu saja kami senang, Paman. Tapi, kami akan lebih 
senang lagi kalau Paman tinggal juga di sini untuk 
menemani kami berlatih,” sahut Samba seraya menatap 
wajah Kembara penuh harap. 
“Baiklah. Paman akan tinggal, dan menemani kalian 
berlatih. Sekarang, kalian harus membersihkan tubuh 
dulu. Paman hendak membuat sebuah pondok untuk 
tempat tinggal kita,” ujar Kembara. 
Persetujuan Kembara itu ternyata membuat dua orang 
bocah itu semakin mengetatkan pelukannya. Kemudian, 
sambil terrawa-tawa gembira mereka berkejaran menuju 
aliran sungai yang hanya beberapa tombak dari pondok 
itu. 
Kembara memandangi kedua orang bocah itu dengan 
sinar mata iba. Memang, keadaannya dulu pun tidak 
berbeda jauh dengan ketiga orang bocah yang ditolongnya 
itu. Dia dulu juga ditolong Begawan Madapati, lalu 
dibawa ke Lembah Gunung Tangger. Sepuluh tahun 
kemudian, ia pun menjelma menjadi seorang pemuda 
tangguh setelah digembleng kakek sakti itu.

“Hhh.... Kasihan sekali mereka,” desah Kembara yang 
menjadi lupa akan keadaan dirinya sendiri. 
Sesaat kemudian, ia pun beranjak meninggalkan tempat 
itu untuk segera membuat pondok baru. 
Dalam beberapa hari saja, sebuah pondok sederhana 
pun telah berdiri tidak jauh dari pondok lama. Kembara 
memandangi hasil kerjanya diiringi senyum puas. 
Meskipun saat itu masih tersisa kelelahan wajahnya, 
namun hal itu sama sekali tidak dirasakan. 
***

TIGA

Sang waktu terus bergulir. Minggu, bulan, dan tahun pun 
melintas cepat. Tanpa terasa, sepuluh tahun sudah 
Kembara menetap di Lembah Gunung Tangger bersama 
tiga anak asuhnya. 
“Haiiit..!” 
Teriakan nyaring namun merdu itu terasa meng-
getarkan lembah yang semula hening dan sepi. Kemudian, 
disusul berkelebatnya sesosok tubuh ramping mengenakan 
pakaian serba kuning. Rambutnya yang panjang dan 
berkepang dua itu bergoyang-goyang mengikuti gerakan 
tubuhnya. Dilihat dari bentuk tubuh serta pakaiannya, 
jelas dia adalah seorang gadis. 
Bettt! Bettt! 
Dua buah pukulan yang menimbulkan sambaran angin 
kuat dilontarkan sosok berpakaian kuning itu. Akibatnya, 
pemuda tegap yang menjadi lawannya cepat menggeser 
tubuh ke samping. Berbarengan dengan gerakan itu, kaki 
kirinya mencelat melakukan tendangan kilat ke arah 
lambung gadis berpakaian kuning itu. Namun dengan 
gerakan yang tidak kalah gesitnya, tangan kanan gadis itu 
bergerak turun menepiskan tendangan lawan. 
Plak! 
“Uhhh...!” 
Keduanya tersentak mundur beberapa langkah ke 
belakang. Memang, pertemuan tenaga itu telah membuat 
keduanya bergetar sesaat.

“Cukup...!” 
Terdengar bentakan yang menggetarkan isi dada kedua 
orang yang tengah bertarung itu. Suara itu berasal dari 
seorang laki-laki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun 
lebih. 
“Wah! Kau hebat sekali, Adik Anggini! Ternyata aku 
tidak mampu menundukkanmu,” puji pemuda tampan 
bertubuh tegap itu. Tubuhnya segera dibungkukkan 
sebagai tanda hormat. Senyumnya merekah sehingga 
semakin membuatnya tampak menarik. 
“Ah! Kau terlalu memuji, Kakang Wirasaba. Nyatanya, 
aku sendiri pun tidak mampu mendesakmu. Nah! 
Pujianmu tidak berlaku, bukan?” sahut si gadis bernama 
Anggini itu seraya tersenyum menggoda. 
Wajah gadis itu yang memang sudah cantik, tampak 
semakin menarik. Hal ini membuat pemuda yang 
dipanggil Wirasaba itu terpaku menatapnya. 
“Sudahlah. Kalian beristirahat dulu,” lelaki gagah yang 
tak lain dari Kembara itu menengahi. 
“Ya. Sekarang giliranku yang akan berlatih bersama 
Paman Kembara. Ayo, kalian menyingkir!” timpal seorang 
pemuda lain. 
Perawakan pemuda itu sedang, dan berwajah tampan. 
Bahkan terlalu halus hingga tak ubahnya wajah wanita. 
Kalau wajahnya tidak dihiasi sebaris kumis tipis, pastilah 
orang akan menyangka dirinya seorang wanita. 
Wirasaba dan Anggini bergegas menepi untuk mem-
berikan kesempatan kepada kedua orang itu. 
“Kau sudah siap, Samba?!” tanya Kembara kepada 
pemuda tampan yang ternyata Samba.

“Siap, Paman!” sahut Samba cepat. 
Setelah berkata demikian, pemuda itu menggerakkan 
tangannya disertai tarikan napas yang teratur halus. 
“Hiaaat..!” 
*** 
Kembara dan Samba terus berlatih memainkan jurus-
jurus dahsyat. Sedangkan Anggini dan Wirasaba hanya jadi 
penonton saja. Tak ada yang tahu kalau di situ telah hadir 
seorang laki-laki tua berjenggot putih. Siapa lagi kalau 
bukan Begawan Madapati. 
“He he he...! Kau tampak semakin matang, Kembara!” 
tiba-tiba saja terdengar suara berat berwibawa. Kembara 
dan Samba langsung menghentikan latihannya. Sementara 
Wirasaba dan Anggini menoleh ke arah asal suara. 
“Eyang...!” 
Serentak keempat orang itu menjatuhkan diri dan 
berlutut begitu mengetahui siapa yang datang. Hanya 
Kembara yang kemudian bangkit, lalu melangkah meng-
hampiri gurunya. 
Begawan Madapati, yang menjadi guru mereka, hanya 
tersenyum lembut sambil merayapi wajah murid-
muridnya. Meskipun bukan guru langsung bagi Wirasaba, 
Samba, dan Anggini, namun mereka tetap meng-
hormatinya. Sebab ketiga orang itu berlatih di bawah 
bimbingan Kembara. Sedangkan Kembara adalah murid 
Begawan Madapati. 
“Bangkitlah. Aku merasa bangga sekali melihat 
kemajuan yang telah kalian capai sekarang. Meskipun aku

tidak mendidik Samba, Wirasaba, dan Anggini secara 
langsung, namun ternyata hasil yang diperoleh telah 
memuaskan hatiku. Dan rasanya, hasil didikanku pun 
tidak akan lebih baik daripada guru kalian ini,” ujar 
Begawan Madapati sambil menepuk-nepuk bahu Kembara 
yang sudah berdiri di sebelahnya. Apa yang dikatakan 
kakek itu bukanlah sebuah pujian kosong. Tapi memang 
suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah. 
Kembara hanya menunduk tersipu mendengar pujian 
gurunya. Diam-diam hatinya merasa bersyukur, karena 
telah menunaikan tugas yang diberikan gurunya dengan 
baik. Dan semua itu bisa terlihat dari seraut wajah tua 
yang tampak tersenyum penuh kepuasan. 
'Teruskanlah latihan kalian. Aku ada keperluan dengan 
pamanmu ini,” lanjut Begawan Madapati, sambil mengajak 
Kembara meninggalkan ketiga anak muda itu. 
“Baik, Eyang...!” sahut ketiganya patuh. 
Untuk beberapa saat lamanya ketiga anak muda itu 
hanya berdiri memandang kepergian eyang guru dan 
pamannya itu. 
*** 
Malam baru saja menguasai mayapada. Kepekatan yang 
menyelimuti permukaan bumi, periahan-lahan disibakkan 
oleh sinar sang dewi malam. Sinarnya tampak temaram, 
menemani sang malam. Bintang-bintang pun ber-
munculan, ikut meramaikan cakrawala kdam. 
Dalam suasana malam indah itu, Kembara terbaring di 
atas balai-balai bambu di pondoknya yang didiaminya

seorang diri. Karena semenjak ketiga anak asuhnya 
menanjak remaja, mereka pun mendiami pondok masing-
masing yang dibuat bersama-sama. Maka di Lembah 
Gunung Tengger itu kini berdiri lima buah pondok 
sederhana. 
“Hhh....” 
Laki-laki yang sudah tidak muda lagi, namun masih 
nampak gagah itu menghela napas panjang. Ingatannya 
menerawang sewaktu Begawan Madapati membawanya 
untuk membicarakan sesuatu. Dan apa yang dibicarakan 
sang Guru itu benar-benar membebani pikirannya. 
Karena, Begawan Madapati tidak mengizinkan Kembara 
untuk menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepada tiga 
orang muridnya. 
“Ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu bukanlah 
ilmu sembarangan, Muridku. Tanpa memiliki pengalaman 
cukup, maka orang itu tidak akan pernah sempurna dalam 
menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi perguruan kita. Ini 
bukan berarti aku tidak sayang kepada mereka. Tapi 
rasanya akan percuma kalau ilmu-ilmu itu diturunkan 
sekarang. Mereka belum matang, Muridku. Mereka masih 
terlalu hijau dalam menghadapi kehidupan dunia yang 
penuh permainan dan tipu daya. Kau mengerti maksudku, 
Kembara?” 
Demikian yang dipesankan Begawan Madapati kepada 
muridnya. Dan Kembara harus mematuhi pesan sang 
Guru, meskipun hal itu menjadi ganjalan bagi hatinya. 
Ketika teringat ketiga orang anak asuhannya, yang 
terbayang jelas hanyalah wajah cantik manis Anggini. Dia 
memang telah menjelma menjadi seorang dara yang sangat

memikat. Mendung tebal yang selalu menutupi wajahnya 
yang gagah, langsung lenyap, dan berganti senyum bahagia 
apabila teringat akan dara cantik itu. 
“Hhh....” 
Kembara menyentak tubuhnya, dan langsung bangkit 
dari tidurnya. Diusimya bayangan dara manis yang 
melekat di benaknya itu. Ia duduk termenung di tepian 
balai-balai bambu. Pandangannya kembali menerawang, 
menembus awang-awang sehingga menciptakan bayang-
bayang. Perasaan itu disadarinya betul, terutama semenjak 
Anggini tumbuh dan semakin menampakkan kecantikan 
yang memikat setiap hati pria. 
Kembara pun bukannya tidak tahu kalau kedua orang 
pemuda gagah dan tampan yang diasuhnya diam-diam 
mencintai Anggini. Dan sebagai seorang laki-laki yang 
sehat jasmani maupun rohani, ia pun terkadang merasa 
cemburu terhadap Samba dan Wirasaba. Namun tentu saja 
hal itu berusaha ditekan dan disembunyikannya agar tidak 
diketahui mereka dan juga gurunya. 
“Yahhh.... Tidak ada seorang pun yang boleh 
mengetahui isi hatiku yang amat memalukan ini!” desis 
hati Kembara sambil memejamkan mata menahan rasa 
nyeri yang menusuk jantung. 
Karena hatinya masih juga diliputi keresahan, maka 
Kembara melangkahkan kakinya menuju ke luar pondok. 
Langkahnya terayun periahan sambil menatapi langit yang 
nampak jemih karena terhias ribuan bintang. Tanpa sadar, 
ia melangkah menuju ke aliran sungai yang terpisah 
beberapa puluh tombak di belakang pondoknya. 
Disertai helaan napas be rat, Kembara menghenyakkan

pantatnya pada sebongkah batu yang cukup besar di tepi 
sungai. Wajahnya menengadah menatap langit biru jernih. 
“Tuhan.... Mengapa perasaan ini kembali menyiksa 
hatiku? Dan mengapa justru Anggini yang harus kucintai? 
Mengapa bukan gadis lain saja? Ah...! Betapa akan malu-
nya kalau sampai perasaanku ini diketahui orang lain? Dan 
bagaimana kalau guru mengetahuinya? Mengapa aku tidak 
bisa mencintai gadis lain di desa, di bawah gunung ini? 
Betapapun perasaan hatiku ini berusaha disembunyikan, 
aku yakin pada akhirnya akan diketahui yang lain!” 
Berbagai pertanyaan dan keluhan bermunculan di 
benak Kembara. Meskipun demikian, tetap saja ia tidak 
mampu mengusir pergi bayangan Anggini yang selalu 
mengganggunya. 
“Hhh....” 
Kembara kembali menghembuskan napas kuat-kuat. 
Seolah-olah dengan berbuat begitu, perasaan yang kian 
menyesak di dadanya diharapkan dapat terusir. Disapunya 
wajah dengan kedua tangan, seakan-akan ingin meng-
hapuskan bayangan Anggini. 
“Paman...!” tiba-tiba saja sebuah suara merdu dan 
lembut menyapanya perlahan. 
Bukan main kagetnya hati Kembara. Tubuhnya 
mencelat sejauh tiga batang tombak. Bahkan wajahnya 
pucat bagai melihat hantu di siang bolong. Sepasang 
kakinya terasa lemas bagaikan tak bertulang ketika melihat 
gadis yang selalu mengganggu pikirannya tahu-tahu saja 
telah berada di depannya. 
“Ada apa, Paman...?” tanya gadis yang ternyata 
memang Anggini.

Gadis itu segera menjauhi batu yang tadi diduduki 
pamannya, karena melihat Kembara begitu terkejut, 
sepasang matanya yang indah menatap tajam. 
Pandangannya begitu curiga dan waspada ke arah batu itu. 
Karena, dikira sang Paman terpatuk ular ataupun binatang 
berbisa lainnya. 
“Ah! Tid..., tidak.... Tidak ada apa-apa. .!” sahut 
Kembara yang menjadi gugup dalam menghadapi anak 
asuhnya, sambil menghapus butiran keringat yang 
membasahi keningnya. 
“Paman mengejutkan aku saja! Atau aku yang membuat 
Paman terkejut tadi?” tanya Anggini. 
Gadis itu segera melangkah menghampiri pamannya. 
Dan tanpa canggung-canggung lagi, ditariknya tangan sang 
Paman untuk diajak duduk kembali di atas batu. 
Anggini yang memang sejak kecil diasuh Kembara, 
sama sekali tidak mengetahui kemelut yang tengah dialami 
sang Paman. Gadis itu memang sudah menganggap 
Kembara sebagai orang tuanya sendiri. Jadi, tentu saja dia 
tidak malu-malu untuk memegang atau memeluk tubuh 
pamannya. Apalagi hal itu memang sudah merupakan 
kebiasaannya sejak kecil. Hanya sang Paman itulah tempat 
ia mengadu dan bermanja. 
Sedangkan bagi Kembara, rupanya jadi lain lag! 
Semenjak gadis itu tumbuh semakin besar, perasaan 
hatinya mulai tak menentu. Ia tidak lagi berani menatap 
wajah gadis itu secara langsung. Apalagi semenjak setahun 
yang lalu, saat mulai memiliki perasaan lain terhadap gadis 
itu. Maka, Kembara mengambil keputusan untuk jangan 
terlalu sering bertemu. Paling tidak agar rahasia hati yang

memalukan itu tidak diketahui Anggini. 
“Paman. Apakah Paman sakit?” tanya Anggini. Gadis 
itu benar-benar terkejut melihat tubuh pamannya 
gemetar. 
Anggini kemudian menghapus keringat yang mem-
basahi kening pamannya dengan saputangan miliknya. 
Tentu saja hal itu membuat tubuh Kembara seperti 
terserang demam tinggi. Dan gadis itu pun semakin cemas 
ketika merasakan deburan dalam dada pamannya demikian 
keras. 
“Aku..., aku memang agak kurang sehat,” sahut 
Kembara memberi alasan yang didapat dari pertanyaan 
dara itu. 
“Kalau begitu, mari kita kembali saja ke dalam 
pondokmu, Paman. Kesehatan Paman akan bertambah 
buruk kalau tetap berada di sini,” ajak Anggini. Gadis itu 
telah bersiap-siap membawanya ke pondok. 
“Tidak, Anggini Aku tidak apa-apa. Penyakit ini tidak 
terlalu mengganggu,” sahut Kembara. 
Cepat-cepat laki-laki gagah itu menarik tangannya ynng 
dipegang telapak tangan Anggini yang sudah mulai 
bangkit. Memang, ketika telapak tangan mereka ber-
sentuhan, Kembara merasakan aliran darahnya berdesir 
semakin cepat. Maka itulah ia cepat-cepat inelepaskannya. 
“Betul, Paman tidak apa-apa...?” tanya Anggini 
memastikan. 
“Benar. Aku tidak apa -apa,” jawab Kembara pasti. 
Diam-diam, Kembara memaki perasaan hatinya itu. 
Dan perasaan takut kehilangan, tiba-tiba muncul begitu 
saja di hatinya. Sehingga tanpa sadar, ia telah menahan

agar gadis itu tidak pergi. Terus terang, Kembara lebih 
suka berada di tempat ini bersama Anggini, daripada di 
dalam pondoknya yang dicekam kesepian. Hanya saja, kali 
ini Kembara tidak mampu mencegah perasaan hatinya 
yang memalukan itu. 
“Paman, mengapa belakangan ini hampir tidak nernah 
menemani kami berlatih? Apakah Paman sudah merasa 
bosan melatih kami?” tanya Anggini sambil merapatkan 
duduknya ke tubuh Kembara. Sepasang matanya yang 
bening dan jernih itu menatap lekat-lekat, seolah-olah 
ingin menjenguk ke dalam dada sang Paman. 
“Hhh.... Kalian sudah semakin bertambah besar, 
Anggini. Dan rasanya, sudah bisa berlatih sendiri. Lagi 
pula, semua ilmu yang kumiliki sudah kuturunkan semua 
kepada kalian. Jadi tidak perlu lagi aku menemani kalian 
setiap hari,” jawab Kembara, memberi alasan. 
Anggini menatap wajah pamannya lekat-lekat. Hatinya 
menjadi semakin heran ketika melihat pamannya tidak 
berani mengangkat wajahnya yang selalu tertutup 
mendung itu ketika berbicara. Dan itu melahirkan 
berbagai pertanyaan di hati gadis cantik ini. 
“Tapi, menurutku lain. Paman sepertinya berusaha 
menghindari kami. Apakah salah seorang dari kami telah 
berbuat salah? Katakanlah, Paman? Agar hatiku, maupun 
hati Kakang Wirasaba dan Samba menjadi tenang,” desak 
gadis itu. 
Mendengar pertanyaan itu, hati Kembara menjadi 
terkejut. Perlahan-lahan wajahnya terangkat. Seketika 
kilatan sinar aneh terpancar dari sepasang mata lelaki 
gagah itu. Meskipun hal itu hanya sekejap, namun telah

cukup membuat hati Anggini berdebar aneh. 
“Hm.... Tidak betul itu, Anggini. Tidak seorang pun 
dari kalian yang telah berbuat kesalahan. Jadi, hilang-
kanlah perasaan bersalah dalam dirimu dan juga kedua 
saudara seperguruanmu itu. Percayalah, aku tidak apa-
apa,” sahut Kembara yang sudah dapat menguasai 
perasaannya. “Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Maaf, 
aku harus kembali ke pondok.” 
Kemudian tanpa menunggu jawaban gadis itu lagi, 
Kembara pun segera meninggalkan Anggini yang menjadi 
terpaku dibuatnya. 
“Hm.... Aku yakin pasti ada sesuatu yang mengganggu 
perasaan Paman Kembara. Tapi, entah apa yang telah 
mengganggu pikirannya?” desah hati Anggini masih belum 
mengerti keanehan tingkah laku pamannya. 
*** 
Pagi harinya, setelah selesai berlatih, Anggini segera 
berlari menuju pondok pamannya. Sama sekali tidak 
dipedulikan tatapan heran kedua orang kakak 
seperguruannya. Gadis cantik yang lincah itu terus saja 
berlari-lari kecil meninggalkan tempat latihannya. 
Wirasaba berdebar hatinya ketika mengetahui, kemana 
arah yang dituju gadis itu. 
“Ah! Jangan-jangan ia hendak mengadukan per-
buatanku semalam kepada paman! Bisa celaka kalau 
sampai paman menjadi marah karena tahu aku meng-
ungkapkan perasaan cinta pada Anggini. Tapi, mudah-
mudahan saja paman memaklumi perasaanku. Bukankah

paman pun seorang laki-laki? Dan sudah pasti dia juga 
pernah mengalami seperti yang kurasakan saat ini,” kata 
Wirasaba dalam hati. 
Wirasaba yang semula cemas karena takut ditegur 
pamannya, menjadi tenang kembali. Rupanya dia telah 
mendapat jawaban apabila sang Paman menanyakan 
tentang perbuatannya. 
Tidak lama kemudian, Wirasaba dan Samba ber-
tambah heran melihat Anggini berlari ke arahnya dengan 
wajah berduka. 
“Kakang! Apakah kalian melihat Paman Kembara?” 
tanya Anggini begitu tiba di dekat kedua kakak seper-
guruannya. Nada suara gadis cantik itu jelas meng-
gambarkan kejengkelan. 
“Tidak. Memangnya ada apa, Adik Anggini?” tanya 
Wirasaba yang menjadi tenang hatinya. Rupanya sikap 
gadis itu seperti sudah melupakan kejadian semalam. 
“Hm.... Kalau begitu, aku harus menemui eyang. 
Mungkin paman berada di sana,” ujar Anggini seperti 
berkata pada dirinya sendiri. Suaranya demikian lirih, dan 
hampir tidak terdengar. 
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera 
melesat menuju pondok eyang gurunya yang terletak di 
dekat aliran sungai. 
Wirasaba dan Samba saling berpandangan sejenak. 
Mereka sama-sama mengangkat bahu, tanda tak mengerti. 
Sesaat kemudian, kedua orang pemuda itu bergegas 
menyusul adik seperguruannya. 
Anggini yang telah tiba di depan pondok Begawan 
Madapati, bergegas masuk setelah mengetuk pintu

teriebih dahulu. Tampak Begawan Madapati tengah duduk 
bersila di atas balai-balai bambu. Sepertinya kakek itu 
memang sudah mengetahui, dan menunggu kedatangan 
murid perempuan satu-satunya ini. 
“Eyang...!” sapa Anggini yang langsung bersujud 
beberapa langkah di bawah balai-balai tempat kakek itu 
duduk. 
“Hm.... Bangkitlah, Cucuku,” ujar Begawan Madapati 
tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang semakin 
panjang. Sepasang matanya menatap lembut dan penuh 
kasih. 
“Eyang, aku....” 
Begawan Madapati mengangkat tangannya mencegah 
gadis itu berbicara. Rupanya kakek itu pun sudah 
mengetahui apa yang akan diutarakan muridnya. Dan pada 
saat itu, tampak dua orang pemuda yang juga menjadi 
muridnya tengah melangkah masuk. 
“Eyang...!” sapa kedua orang pemuda itu sambil 
menjatuhkan diri, berlutut di dekat Anggini. 
“Hm.... Ada apa kalian datang menghadap kepadaku, 
Cucuku?” tanya Begawan Madapati kepada kedua orang 
pemuda yang tak lain Wirasaba dan Samba. 
“Tidak ada apa-apa, Eyang. Kami hanya merasa 
bingung melihat sikap Adik Anggini yang seperti tengah 
menghadapi persoalan. Kami minta maaf karena telah 
berani menghadap Eyang tanpa dipanggil,” sahut Wirasaba 
mewakili Samba yang hanya terdiam menatapnya. 
“He he he...! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, 
Cucuku. Kalian berdua boleh pergi untuk melanjutkan 
latihan kalian,” kilah Begawan Madapati tersenyum


lembut. 
“Baiklah, Eyang. Kami berdua mohon pamit” Setelah 
melemparkan pandang ke arah Anggini sejenak, kedua 
orang pemuda itu pun bergegas keluar. 
Begawan Madapati hanya menganggukkan kepala 
sambil tangannya tak lepas dari jenggot yang berwarna 
putih itu. Setelah Wirasaba dan Samba pergi, kakek itu 
mengalihkan perhatiannya pada Anggini. Gadis itu 
memang tengah menatapnya seperti mohon penjelasan. 
“Kau mencari pamanmu, bukan?” tanya kakek itu 
seraya tersenyum lembut. 
“Betul, Eyang. Karena paman telah berjanji akan 
menceritakan tentang pengalamannya kepadaku. Tapi 
ketika aku menemuinya, ternyata sudah tidak ada di 
pondoknya.. Aku mohon petunjuk Eyang. Di manakah 
Paman Kembara bisa kutemui?” pinta Anggini. Suaranya 
agak menggeletar karena mulai merasa sesuatu yang 
terjadi dengan pamannya itu. 
'Hm.... Ia telah minta maaf kepadamu, Cucuku. 
Pamanmu terpaksa belum bisa memenuhi janji, karena 
pagi-pagi sekali telah kuperintahkan untuk melihat 
beberapa desa yang tengah dilanda musibah,” Begawan 
Madapati. 
“Di manakah itu, Eyang. Bolehkah aku menyusulnya?” 
tanya Anggini disertai wajah sedih karena sang Paman 
ternyata sudah pergi meninggalkan lembah. 
“Sebaiknya jangan, Cucuku. Tempat itu sangat jauh. 
Dan lagi, Eyang tidak tahu desa mana yang akan ditujunya 
lebih dulu. Lebih baik tunggu saja kedatangannya. Di 
samping itu, kau harus tetap berlatih untuk

menyempurnakan semua yang diajarkan pamanmu. Tentu 
dia akan gembira apabila sekembalinya nanti, kepandaian-
mu telah jauh lebih sempurna. Tapi Eyang tidak dapat 
memastikan, kapan pamanmu akan kembali,” jawab 
Begawan Madapati. 
Memang, ucapan Begawan Madapati adalah pesan 
Kembara kepada gadis itu. Meskipun kakek itu sudah 
dapat menerka apa yang saat itu dirasakan; muridnya, 
namun ia berpura-pura tidak tahu. 
Anggini terdiam untuk beberapa saat lamanya. Hatinya 
merasa berduka sekali atas kepergian paman sekaligus 
gurunya. Kini mulai disadari, betapa sunyi dan tidak 
bergairah tanpa Paman Kembara. Dia telah pergi tanpa 
diketahui di mana pastinya berada. Ingin rasanya Anggini 
menangis untuk menumpahkan segala perasaan yang 
bercampur aduk di hatinya. Namun ia berusaha menahan 
jatuhnya air mata. Rasanya memang tidak pantas menangis 
di hadapan eyang gurunya. 
“Eyang, izinkanlah aku melihat-lihat keramaian di desa 
yang berada di bawah lembah? Aku.... Aku ingin sekali, 
Eyang,” pinta Anggini 
Gadis itu sudah hampir tidak kuat lagi menahan 
kesedihannya. Maka, cepat-cepat wajahnya ditundukkan 
untuk menyembunyikan sepasang matanya yang mulai 
tergenang air. 
Begawan Madapati bukannya tidak mengetahui npa 
yang tengah dirasakan cucu muridnya. Meskipun Kembara 
dan gadis itu tidak pernah menceritakan apa-apa 
kepadanya, namun melihat sikap Anggini, kakek itu yakin 
kalau di antara mereka telah terjalin suatu hubungan yang

belum diketahui seberapa jauhnya. 
“Baiklah. Mintalah kepada kedua orang kakak 
seperguruanmu untuk menemani. Hal itu akan lebih baik 
bagimu. Karena selain kau seorang gadis, kau juga belum 
pernah terjun ke dunia ramai,” ujar Begawan Madapati 
mengizinkan permintaan gadis itu. 
Laki-laki tua itu bukan tidak mengetahui kalau Anggini 
hanya sekadar ingin menghibur hati saja. Itulah ebabnya, 
mengapa ia memberi izin. Dan sebelum gadis itu 
meninggalkan pondoknya, kakek itu memberi nasihat-
nasihat yang sekiranya perlu. Gadis itu juga diperintahkan 
untuk memanggil kedua orang kakak seperguruannya. 
Anggini segera pamitan untuk menjalankan perintah 
eyang gurunya. Sesampainya di luar pondok, gadis cantik 
itu segera berlari ke tepi sungai. Di sana segala kepedihan 
hatinya ditumpahkan. Hal itu dilakukannya di tempat 
tersembunyi, karena tidak ingin ada seorang pun yang 
tahu. Termasuk, kedua orang kakak seperguruannya. 
Setelah puas menumpahkan segala kesedihannya, gadis 
itu pun merendam tubuhnya di dalam air sungai yang 
sejuk dan jernih. Seluruh tubuhnya dibersihkan agar tidak 
terlalu kentara kalau baru saja habis menangis. Begitu 
tubuhnya terasa agak segar, Anggini kembali mengenakan 
pakaiannya. Bergegas dia memberitahukan dua orang 
kakak seperguruannya tentang pesan Begawan Madapati. 
Kini mereka bersama-sama menuju pondok Begawan 
Madapati Setelah memberi hormat sebcntar, mereka 
kemudian duduk berdampingan. 
Begawan Madapati lalu memberi nasihat-nasihat yang 
mungkin akan diperlukan dalam perjalanan murid
muridnya itu. Sesudah merasa yakin kalau ketiga orang 
muridnya telah benar-benar memahami, maka kakek itu 
pun segera melepas ketiga ny. 
“Kuberi waktu kalian selama satu bulan untuk melihat-
lihat desa. Dan setelah itu, walaupun apa yang terjadi, 
kalian harus kembali. Mengerti?!” pesan Begawan 
Madapati. 
“Baik, Eyang. Dan kami akan selalu mengingat pesan-
pesan Eyang. Kami mohon pamit, Eyang,” ucap mereka 
bertiga mantap. 
***

EMPAT

Belasan pasang mata di dalam kedai makan itu inemandang 
ke arah pintu yang terbuka lebar. Saat itu tampak tiga 
sosok tubuh melangkah tenang memasuki tempat itu. 
Beberapa orang di antara pengunjung segera menunduk-
kan kepala ketika salah seorang dari tiga sosok tubuh itu 
berbisik lirih. Rupanya pengunjung kedai itu sudah dapat 
menduga, siapa ketiga orang muda yang memasuki kedai. 
Sedangkan ketiga anak muda yang tak lain dari 
Wirasaba, Samba, dan Anggini itu terus saja mengambil 
tempat tanpa mempedulikan orang-orang itu. 
Wirasaba mengulapkan tangannya memanggil pelayan 
kedai yang kemudian segera menghampiri. Setelah 
menerima pesanan dari pemuda gagah itu, pelayan itu pun 
kembali berlaiu. 
“Hm.... Rasanya senang sekali bisa melihat tempat 
ramai seperti ini. Bagaimana dengan kalian?” tanya 
Wirasaba memecah keheningan di antara mereka. 
Wajah pemuda gagah itu nampak berseri-seri. Seakan-
akan, ia memang benar-benar menikmati perjalanan ini. 
“Aku pun merasa gembira, Kakang. Di sini bisa melihat 
wajah-wajah asing yang menyenangkan. Sedangkan selama 
ini aku hanya dapat melihat wajah-wajah kalian yang 
membosankan,” gurau Samba. 
Seperti halnya Wirasaba, dia pun begitu menyenangi 
perjalanan ini. Pemuda bertubuh sedang dan berwajah 
halus itu mengakhiri ucapannya dengan gelak
berkepanjangan. 
Sedangkan Anggini yang semula hanya menunduk 
menatap lantai, mengangkat kepalanya begitu mendengar 
gurauan Samba. Gadis cantik itu mencoba mengimbangi 
kegembiraan kedua orang kakak seperguruannya dengan 
berusaha memperdengarkan suara tawanya. Tapi sayang, 
Anggini tidak berhasil. Karena, suara tawanya terdengar 
demikian getir dan sumbang. Gadis yang biasanya selalu 
lincah dan pandai bicara itu seperti masih merasa sedih. 
Terutama bila teringat kepergian Kembara yang tanpa 
pamit itu. 
Wirasaba dan Samba saling tukar pandang ketika 
mendengar nada getir dalam tawa adik seperguruannya 
itu. Mereka yang tidak mengetahui duduk persoalannya, 
tentu saja jadi bingung. 
“Ada apa, Adik Anggini? Sepertinya kau tidak 
menikmati perjalanan kita ini?” tegur Samba lembut 
Pemuda berwajah halus ini mencoba mencari tahu, apa 
yang menyebabkan gadis itu tidak gembira. Sebab, ia tidak 
ingin kalau kegembiraan itu hanya milik dirinya dengan 
kakak seperguruannya. Samba pun ingin agar Anggini ikut 
pula merasa kan kegembiraan seperti mereka. 
“Hhh.... Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sedikit 
pusing. Sebentar juga akan segera pulih,” kilah Anggini. 
Gadis itu juga segera melebarkan senyumnya untuk 
menghilangkan rasa kecurigaan kedua orang kakak 
seperguruannya itu. 
“Hei! Itu pesanan kita sudah datang!” seru Anggini 
kemudian. Rupanya saat itu si pelayan kedai sudah mem-
bawa pesanan ketiga orang itu dan menghidangkannya di

atas meja. 
Tanpa banyak cakap lagi, mereka segera menyantap 
hidangan yang jarang mereka nikmati di lembah. Wirasaba 
dan Samba tampak betul-betul menikmati makanan itu. 
Sehingga, sama sekali tidak memperhatikan betapa 
Anggini menatap keduanya dengan hati tergelitik. 
Merasakan adanya suatu keanehan, Wirasaba dan 
Samba menolehkan kepala berbarengan. Mereka menjadi 
heran melihat Anggini tengah memandang sambil 
menyembunyikan senyum dengan telapak tangan. 
“Ada apa, Anggini?” tanya Wirasaba agak tersipu, 
karena mulai dapat menduga apa yang menyebabkan jadis 
cantik itu tersenyum. 
“Hi hi hi..! Kalian seperti orang yang tidak pernah 
makan saja. Memalukan!” sahut gadis itu. Anggini benar-
benar tidak dapat lagi menahan tawanya. 
Samba dan Wirasaba saling berpandangan sejenak, 
kemudian sama-sama tergelak ketika tersadar akan 
kelakuannya yang persis seperti orang kelaparan itu. 
Selain itu, mereka gembira karena melihat Anggini yang 
sudah mendapatkan kegembiraannya kembali. 
Mendadak saja, kegembiraan mereka terganggu dengan 
masuknya seorang pemuda jangkung berkulit coklat Di 
belakangnya tampak dua orang berseragam hitam 
mengiringi. Begitu masuk, ia langsung menatap ke arah 
Wirasaba, Samba, dan Anggini. 
“Hm.... Mengapa ribut sekali? Seperti kerbau saja? 
Atau memang kedai ini sudah berubah menjadi kandang 
kerbau?” ejek laki-laki jangkung itu, menghina. 
Setelah berkata demikian sepasang matanya men

jelajahi tubuh dan wajah Anggini. Sesaat ia nampak 
termangu melihat kecantikan gadis itu. Namun sesaat 
kemudian, pemuda itu mengedikkan kepalanya dengan 
sikap sombong. 
Anggini dan dua orang kakak seperguruannya saling 
bertukar pandang sejenak. Wirasaba dan Samba 
mengisyaratkan adik seperguruannya agar tidak mem-
pedulikan pemuda sombong itu. Namun Anggini yang 
merasa kegembiraannya terganggu, sudah menjadi marah. 
Sama sekali tidak digubris isyarat yang diberikan kedua 
orang kakak seperguruannya itu. Gads cantik itu sudah 
bangkit dan memandang dengan sinar mata galak. 
“Hei, Lutung Kesasar! Apakah kau tidak tahu jalan 
pulang menuju hutan, sehingga berkaok-kaok tidak 
karuan!” bentak Anggini sambil bertolak pinggang, seraya 
melangkah menghampiri pemuda jangkung yang 
melontarkan hinaan itu. 
“Kurang ajar kau, Setan Betina! Jangan mentang-
mentang cantik, lalu bisa berbuat semaumu! Ketahuilah! 
Aku adalah putra penguasa di desa ini, dan bisa 
menangkapmu karena telah berani menghinaku di depan 
orang banyak!” bentak pemuda itu, pongah. Memang, 
sebagai seorang putra kepala desa, ia biasa diperlakukan 
secara hormat oleh para penduduk di sekitarnya. 
'Tuan muda! Biar kami tangkapkan setan betina cantik 
itu untukmu,” kata salah seorang laki-laki berpakaian 
hitam yang menjadi tukang pukulnya. Sepertinya, dia 
ingin mencari jasa di hadapan tuan mudanya itu. 
“Hmh...!” 
Terdengar suara dengusan dari pemuda jangkung itu.

Tangannya segera dikibaskan untuk mencegah tukang 
pukulnya yang sudah bergerak maju. Sepasang matanya 
menjelajah liar setiap jengkal tubuh padat berisi milik 
Anggini. 
“Biar aku saja yang akan menundukkannya. Kalian 
berjaga-jaga sajalah. Siapa tahu, kedua kerbau itu akan 
membelanya,” ujar si pemuda jangkung dengan sikap 
sangat memandang rendah. 
“Anggini. Jangan mencari keributan di sini, Adikku. 
Marilah kita pergi. Jangan ladeni lutung hitam itu,” bujuk 
Wirasaba mencoba mencegah perkelahian yang akan 
terjadi. 
Setelah meletakkan beberapa uang logam di atas meja, 
pemuda gagah itu pun bergegas menarik lengan Anggini 
dan membawanya ke luar. Sementara Samba mengikuti 
dari belakang sambil berjaga-jaga kalau-kalau dua orang 
tukang pukul pemuda jangkung itu berbuat curang. 
“Tunggu...!” cegah pemuda jangkung itu sambil 
melintangkan tangan di depan pintu kedai. Wajahnya yang 
kecoklatan itu tampak semakin gelap ketika mendengar 
pemuda gagah itu memakinya sebagai lutung hitam. 
“Biarkanlah kami lewat, Kisanak. Kami tidak ingin 
mencari keributan di sini,” kata Samba halus. 
Samba berusaha menekan kemarahannya melihat 
kesombongan pemuda jangkung yang memuakkan itu. Hal 
ini karena ia teringat akan pesan eyang gurunya agar tidak 
mencari keributan dan berusaha sebisa mungkin untuk 
menghindarinya. 
“Hm.... boleh saja. Tapi ada syaratnya,” sahut pemuda 
jangkung putra kepala desa itu sinis dan angkuh.

“Apa syaratnya?” tanya Wirasaba yang sudah hampir 
tidak bisa menahan rasa sebal melihat wajah yang angkuh 
itu. 
Memang, baru menjadi putra kepala desa, pemuda itu 
sudah sedemikian sombongnya. Entah bagaimana jadinya 
kalau jadi putra seorang raja atau adipati? Mungkin ia akan 
semakin bertambah besar kepala. 
“He he he.... Kalian berdua boleh meninggalkan 
tempat ini dengan cara merangkak di bawah kakiku! Tapi, 
tinggalkan gadis cantik yang galak itu untukku!” pemuda 
jangkung itu terkekeh penuh ejekan. 
“Betul.... Betul...!” sambut dua orang tukang pukul 
pemuda itu sambil mengangguk-anggukkan kepala per-
tanda gembira. 
Merah selebar wajah Wirasaba dan Samba ketika 
mendengar ucapan pemuda jangkung itu. Tubuh mereka 
gemetar menahan kemarahan yang menyesakkan dada. 
Sedangkan tanggapan Anggini lain lagi. Begitu men-
dengar syarat yang diajukan pemuda jangkung itu, tubuh-
nya langsung melesat dan melakukan dua kali tamparan 
berturut-turut. Gerakannya demikian cepat dan tiba-tiba, 
sehingga tak seorang pun yang sempat menyadarinya. 
Plakl Plak! 
“Akh...!” 
Si pemuda jangkung menjerit kesakitan. Tubuhnya 
langsung terjerembab menabrak meja yang berada di 
belakangnya. Darah segar tampak mengucur membasahi 
wajah. Rupanya selain bibimya pecah, beberapa buah 
giginya pun tanggal akibat tamparan kuat yang dilepaskan 
Anggini.

“Bangsat kau, Setan Betina! Kau akan membayar mahal 
akibat perbuatanmu ini!” ancam pemuda jangkung itu 
dengan suara terpatah-patah sambil memegangi wajahnya. 
Tangannya bergerak meraba gagang golok yang 
menyembul di balik bajunya. 
Dua orang berseragam hitam yang menjadi tukang 
pukul putra kepala desa itu terpaku bingung. Mereka 
benar-benar tidak mengerti, bagaimana gadis itu tahu-tahu 
bisa menampar wajah majikannya. Dan yang lebih mem-
bingungkan, kedua orang itu sampai tidak mengetahui 
kapan gadis itu melakukan tamparan. Sebab, tadi mereka 
hanya melihat sebuah bayangan melesat cepat dan sukar 
diikuti pandang mata. 
“Rasakanlah, Pemuda Bobrok! Untung aku masih 
bermurah hati tidak langsung membunuhmu! Ayo kita 
pergi, Kakang!” ajak Anggini yang segera beranjak 
meninggalkan kedai makan itu. 
“Tangkap ketiga orang pengacau itu!” teriak si pemuda 
jangkung itu. 
Seketika kedua orang tukang pukulnya pun langsung 
melesat melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak 
memanggil kawan-kawannya. 
“Berhenti..!” 
Wirasaba, Samba, dan Anggini menghentikan larinya 
ketika belasan sosok tubuh berdiri menghadang jalan 
mereka. Belasan laki-laki itu telah menghunus senjata 
masing-masing dengan sikap mengancam. 
Ketiga orang murid Lembah Gunung Tangger itu 
bergegas membalikkan tubuhnya untuk mencari jalan lain. 
Namun mereka kembali terkejut ketika di belakang pun

telah berdiri belasan orang yang juga mengenakan seragam 
hitam. Tampaknya, tidak ada jalan lolos lagi bagi ketiga 
anak muda itu. 
“Hm.... Mau lari ke mana kalian? Jangan harap bisa 
keluar dari desa ini dalam keadaan hidup!” ujar salah 
seorang dari tukang pukul pemuda jangkung itu. Seperti 
nya, dia merupakan pimpinan para pengepung itu. 
Sadar kalau tidak mungkin dapat lolos, maka Samba, 
Wirasaba, dan Anggini pun mulai bersiap menghadapi 
keroyokan orang-orang itu. Tadi pun mereka lari bukan 
karena takut, tapi karena berusaha untuk menghindari 
keributan. Hal ini merupakan pesan Begawan Madapati, 
sebelum mereka berangkat. Namun, kali ini sepertinya 
mereka tidak memiliki pilihan lain. 
“Bunuh kedua orang pemuda keparat itu! Dan tangkap 
gadis galak yang binal itu!” perintah salah seorang dari 
tukang pukul putra kepala desa sambil bergerak maju 
mengibas-ngibaskan goloknya. 
“Heaaat..!” 
Tukang pukul yang berjumlah sekitar tiga puluh orang 
lebih itu berlompatan sambil mengayunkan senjata, siap 
merencah tubuh kedua orang pemuda itu. 
“Hati-hati! Jangan sampai kesalahan tangan hingga 
sampai membunuh mereka, Samba, Anggini,” bisik 
Wirasaba kepada kedua orang adik seperguruannya. 
“Jangan khawatir, Kakang,” sahut Samba. 
Pemuda itu tidak merasa gentar sedikit pun. Padahal, 
jumlah lawan lebih banyak. Memang, hal itu telah 
menimbulkan kegembiraan di hatinya. Sebab, baru kali 
inilah ia terlibat dalam sebuah pertarungan sung-guh

sungguh. Yang jelas, bukan pertarungan main-main 
seperti yang sering dilakukan bersama saudara-saudara 
seperguruannya atau dengan pamannya. 
Wuuut! Wuuut' 
Dua buah sambaran golok yang datang dari sebelah 
kiri, dielakkan dengan mudah oleh Samba. Kedua kakinya 
langsung mencelat bergantian melakukan tendangan kilat 
Bukkk! Desss! 
“Hughk...!” 
Dua orang pengeroyok Itu kontan terjungkal ketika 
tubuhnya tercium ujung kaki Samba. Mereka langsung 
terjerembab, pingsan seketika itu juga. Memang 
tendangan yang dilakukan pemuda itu telak mengenai ulu 
hati dan dada lawannya. 
“Bangsat! Mampuslah!” bentak yang lain begitu melihat 
lawan telah menjatuhkan dua orang kawannya hanya 
dengan sekali gebrak saja. 
Samba yang tidak ingin tubuhnya dijadikan sasaran 
senjata tajam lawannya, cepat mengegoskan tubuhnya. 
Namun sebelum sempat membalas, pengeroyok lain 
sudah datang mengancam. Terpaksa pemuda itu harus 
kembali berkelit, dan melompat ke belakang. 
Sementara itu, para penduduk yang menyaksikan 
pertempuran dari tempat yang agak jauh, terlihat men-
cemaskan ketiga anak muda yang tidak mereka kenal itu. 
Sepertinya, para penduduk memang tidak begitu suka 
terhadap putra kepala desa dan para tukang pukulnya. Hal 
itu terbukti dari pembicaraan beberapa penduduk yang 
menonton pertarungan itu. 
“Kasihan sekali ketiga anak muda itu, Ki. Mereka pasti

akan tewas di tangan tukang-tukang pukul itu,” bisik salah 
seorang pemuda berwajah kehitaman karena terlalu sering 
terpanggang sinar matahari. 
“Yahhh! Tapi mudah-mudahan saja mereka dapat 
menyelamatkan diri. Kelihatannya, mereka bukan orang-
orang sembarangan. Mungkin, mereka itulah yang disebut 
sebagai pendekar. Lihat saja. Bukankah mereka tidak 
menggunakan senjata? Malahan para tukang pukul itu 
hanya dipukul roboh. Jelas, ketiga anak muda itu adalah 
orang baik-baik,” sahut laki-laki berusia sekitar lima puluh 
tahun, menimpali ucapan pemuda berwajah kehitaman 
itu. 
Beberapa batang tombak dari kedua orang penduduk 
yang tengah menyaksikan pertarungan itu, tampak 
seorang pemuda tampan berjubah putih, dan seorang gadis 
cantik berpakaian ketat serba hijau. Pandang mata mereka 
bergerak mengikurJ jalannya pertarungan. Wajah mereka 
juga tampak tenang, tidak seperti kedua orang penduduk 
yang berbicara tadi. 
“Hm.... Sepertinya ketiga anak muda itu adalah murid 
orang sakti. Dan mereka pasti baru saja turun gunung, 
Kakang. Sebenarnya mereka dapat menjatuhkan musuh-
musuhnya lebih cepat. Jelas sekali kalau ketiga orang itu 
memiliki ilmu-ilmu tingkat tinggi. Ini bisa dilihat dari 
gerakan mereka. Hanya saja, mereka tampak masih ragu-
ragu dalam setiap melontarkan serangan balasan,” kata 
gadis jelita laksana bidadari itu. Sepasang matanya yang 
tajam dan berbentuk indah, tak pernah lepas dari arena 
pertarungan. 
“Hm...!” gumam pemuda tampan berjubah putih itu

tak jelas. Walaupun demikian, tampak kepala pemuda itu 
terangguk-angguk sebagai tanda kalau mempunyai 
pendapat yang sama dengan gadis itu. Siapa lagi kedua 
orang itu, kalau bukan Pendekar Naga Putih dan 
kekasihnya, Kenanga. 
***

LIMA

“Haaat..!” Wuuur! 
Wirasaba menarik kaki kanannya ke belakang sambil 
memutar tubuhnya. Begitu sambaran golok itu lewat, 
secepat kilat tangan kirinya terayun menghajar dagu 
lawan. 
Desss! 
“Aaakh...!” 
Orang itu kontan terjengkang ke belakang. Dan 
sebelum tubuhnya terjatuh, Wirasaba kembali mengirim-
kan tendangan ke dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh 
orang itu ambruk tak bangun-bangun lagi. Kini Wirasaba 
mengarahkan serangan pada dua orang pengeroyoknya. 
Maka akibatnya.... 
Bugkh! Dugkh! 
“Ugkh...!” 
Dua orang pengeroyok seketika terpelanting pingsan 
saat pelipis dan ulu hati mereka terkena sambaran tangan 
pemuda gagah itu. Meskipun dalam keadaan sibuk, 
Wirasaba tetap menjaga pukulan agar jangan sampai 
membuat pengeroyok tewas. 
Di tempat lain, Anggini pun sudah pula menjatuhkan 
dua orang pengeroyoknya. Seperti halnya Wirasaba dan 
Samba, gadis itu juga mematuhi pesan gurunya agar tidak 
mudah menurunkan tangan kejam terhadap setiap lawan. 
“Yeaaah...!” 
Dua orang pengeroyok melompat tinggi sambil

mengayunkan golok bersilangan. Namun gadis itu cepat 
menyambut dengan gerakan berputar. Kaki dan tangannya 
bergerak melakukan tamparan dan tendangan. 
Plakkk! Desss! 
Kedua orang itu terpental balik disertai semburan 
darah segar yang membasahi bumi. Setelah merasakan 
sakit sesaat, tubuh keduanya tak berkutik lagi. Pingsan. 
Salah seorang pimpinan pengeroyok yang berseragam 
hitam dan berkumis tebal, marah bukan main. Golok 
panjang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga 
menimbulkan deru angin keras. 
''Haaat..!” 
Wuuut! Wuuut! 
Golok panjang di tangan si kumis tebal menusuk dan 
membacok berkali-kali. Di sini, Anggini tampak 
memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Kedua kakinya ber-
gerak lincah, berlompatan menghindari ancaman mata 
golok lawan. Sehingga, serangan si kumis tebal selalu 
mengenai tempat kosong. 
Setelah lima jurus menyerang tanpa hasil, napas orang 
itu terlihat mulai memburu. Hal itu dikarenakan ia terlalu 
bernafsu dalam melancarkan serangan. Dan tentu saja hal 
itu membuatnya cepat menjadi lelah. 
Melihat serangan lawan mulai mengendur, Anggini 
pun merubah gerakannya. Tubuh gadis itu berkelebatan 
cepat sambil melontarkan pukulan dan tendangan keras. 
Dalam dua jurus saja, sebuah pukulan sisi telapak 
tangannya singgah di batang leher lawan. 
Desss! 
“Hegkh...!”

Kedua mata si kumis tebal itu mendelik. Darah 
seketika meleleh di sudut bibimya. Tubuhnya yang agak 
gemuk itu pun langsung roboh tanpa dapat bangkit lagi. 
“Anggini, lari...!” tiba-tiba terdengar teriakan 
Wirasaba. 
Gadis cantik itu pun bergegas menolehkan kepalanya. 
Begitu kedua orang kakak seperguruannya teriihat 
meninggalkan tempat itu, maka Anggini pun segera 
melesat meninggalkan empat orang lawannya yang hanya 
berdiri bengong memandang mereka. 
“Keparat! Tunggulah kau, Gadis Culas! Suatu hari, 
pasti kau akan dapat ditemukan! Dan pada saat itu kau 
akan tahu, siapa sebenarnya aku!” si pemuda jangkung 
putra kepala desa itu berteriak-teriak kalang-kabut. Dari 
sinar matanya yang dipenuhi dendam, jelas bahwa itu 
bukan hanya gertakan! 
Namun ketiga anak muda itu sama sekali tidak mem-
pedulikan si pemuda jangkung. Mereka terus saja berlari 
melewati mulut desa. 
“Wah! Bagaimana ini, Kakang? Apakah kita harus 
kembali ke lembah?” tanya Samba meminta pendapat 
Wirasaba. 
Rupanya pemuda tampan itu belum puas dengan 
perjalanannya. Dan semuanya memang tidak ada yang bisa 
menjawab. Mereka benar-benar bingung, ke mana harus 
pergi. Atau, sebaiknya kembali saja? 
“Hm.... Awas kau putra kepala desa yang manja! Suatu 
hari, aku akan datang untuk mengambil nyawamu!” 
gumam Samba geram. 
Sepasang mata pemuda tampan itu mengeluarkan sinar

berkilat ketika teringat pemuda jangkung yang inerusak 
kegembiraan dan perjalanan mereka. Dan ini mereka 
harus berpikir dua kali bila ingin melanjutkan perjalanan. 
“Aku pun baru sekarang merasa geram kepada pemuda 
sombong itu. Ingin rasanya batang lehemya kupuntir agar 
tidak mempunyai kepala lagi! Dengan begitu, ia tidak akan 
dapat sombong lagi!” kata Wirasaba sambil memukulkan 
tinju kanan ke telapak tangan kirinya. Jelas kalau bukan 
hanya Samba saja yang merasa dendam. 
“Ahhh! Kalian ini bagaimana, sih? Tadi mati-matian 
ingin meloloskan diri dan tidak mau memberi pelajaran 
kepada pemuda itu. Lalu, mengapa sekarang berubah 
pikiran?” tanya Anggini yang menjadi tidak mengerti 
melihat sikap kedua orang saudara seperguruannya. 
“Karena baru sekarang aku sadar kalau pemuda 
sombong itu telah merebut kegembiraan kita! Orang 
seperti itu sepantasnya memang tidak boleh dibiarkan 
hidup lama-lama. Sebab, ia hanya akan mendatangkan 
kesusahan saja bagi orang lain!” sahut Samba yang belum 
hilang rasa jengkelnya. 
“Sudahlah. Kita lihat-lihat desa lain saja. Mudah-
mudahan saja sebelum malam kita sudah menemukan 
desa,” usul Wirasaba. 
“Kalau kemalaman di jalan, tidur di dalam hutan saja. 
Bukankah itu lebih enak?” timpal Samba. 
“Hm.... Rasanya tidak terlalu jelek,” gumam Anggini 
sambil tersenyum. 
Namun, senyum gadis itu ternyata tidak mendapat 
sambutan. Karena, sepertinya baik Samba maupun 
Wirasaba masih teringat akan kejadian yang baru saja

dialami tadi. 
“Ayolah. Lebih baik kita percepat perjalanan.” 
Sambil berkata demikian, Wirasaba pun segera meng-
genjot tubuhnya yang langsung melesat cepat. Samba dan 
Anggini pun tidak mau ketinggalan. Mereka bergegas 
menyusul Wirasaba yang telah berada cukup jauh di 
depan. 
*** 
Dalam keremangan cahaya rembulan, sesosok tubuh 
tinggi kekar tampak berloncatan di antara atap-atap rumah 
penduduk. Pakaian serba hitam yang dikenakan, semakin 
menyamarkan sosok tubuhnya yang bergerak demikian 
gesit dan ringan. Pijakan kakinya sama sekali tidak 
menimbulkan suara yang berarti. 
Sosok bayangan hitam itu terus bergerak dari satu atap 
rumah ke atap rumah lainnya. Tak berapa lama kemudian, 
sosok itu pun menghentikan larinya di atas sebuah rumah 
yang paling besar di Desa Banjar. Jika dilihat dari adanya 
beberapa penjaga di halaman, dapat ditebak kalau itu pasti 
rumah kediaman Kepala Desa Banjar. 
Pada sebuah pelataran yang sepi dan agak gelap, sosok 
itu pun melayang turun. Satu persatu, ditelitinya kamar 
yang terdapat di dalam rumah itu dari luar. Kemudian, 
tubuhnya menyelinap melalui pintu samping. Hebat! 
Hanya dengan menempelkan telapak tangannya, maka 
pintu itu langsung terbuka! Rupanya dia tidak mengalami 
kesulitan untuk membuka pintu yang semula terkunci. 
Dengan mengendap-endap, sosok itu pun melangkah

hari-hari menuju ke sebuah kamar. Kemudian telapak 
tangannya kembali ditempelkan pada pintu kamar, dan 
didorongnya periahan. Pintu itu pun terbuka. Dari 
caranya membuka pintu, sudah dapat diduga kalau dia 
memiliki tenaga dalam tinggi! 
Perlahan-lahan dihampirinya sesosok tubuh jangkung 
yang tengah terbaring di atas tempat tidur dari kayu jati 
berukir. Sejenak dipandanginya wajah berkulit kecoklatan 
yang tengah terlelap itu. Wajah yang tak lain milik si 
pemuda jangkung, putra Kepala Desa Banjar. 
“Bangun kau, Keparat!” bisik sosok tubuh itu. Suaranya 
lirih, namun mengandung kegeraman yang amat sangat. 
Tentu saja pemuda jangkung yang tengah terlelap itu 
tersentak kaget! Ia merasa heran, bagaimana orang itu 
dapat masuk ke dalam kamarnya yang terkunci rapat? 
“Si... siapa kau...? Apa..., apa maksudmu datang ke 
sini...?” tanya si pemuda jangkung gugup. 
Keringat dingin membasahi tubuh pemuda itu ketika 
goloknya yang digantung di dinding kamar ternyata telah 
tergenggam di tangan orang itu. 
“Hm.... Pemuda culas! Kau tidak pantas hidup lebih 
lama di permukaan bumi ini! Berdoalah, agar tidak masuk 
ke dalam neraka!” geram sosok tubuh itu bernada maut 
Setelah berkata demikian, golok itu diangkatnya tinggi-
tinggi siap dihunjamkan ke tubuh si pemuda jangkung 
yang menjadi pucat ketakutan. 
Wuuut! 
“Aaah...!” 
Si pemuda jangkung terpekik tertahan. Cepat-cepat 
tubuhnya dilempar ke belakang untuk menghindari

sambaran golok itu. 
“Tolooong...! Ada pembunuh...!” teriak pemuda itu 
ketakutan. Lupalah sudah dia akan kesombongannya. Rasa 
takut ternyata telah mengalahkan nyalinya. 
“Hm.... Berteriaklah sepuasmu, Bangsat Rendah! Biar 
bagaimana pun, kematian tetap menjemputmu malam 
ini!” ancam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu. Sama 
sekali hatinya tidak merasa khawatir dengan teriakan 
pemuda jangkung itu. 
Dan memang, di luar sana terdengar suara-suara ribut, 
ditingkahi langkah-langkah kaki orang yang berlari 
mencari sumber teriakan tadi. Sua sana sepi di rumah 
besar itu seketika gempar. 
“Nah, terimalah kematianmu!” 
Setelah berkata demikian, sosok tubuh itu pun 
menggerakkan golok di tangannya dengan kecepatan 
begitu tinggi. Sinar putih bergulung-gulung menimbulkan 
suara angin yang menderu. Satu dua serangan memang 
masih berhasil dielakkan pemuda jangkung yang memang 
bukan orang lemah itu. Namun, kepandaian sosok berbaju 
hitam itu memang jauh lebih tinggi darinya. Akibatnya, ia 
pun tidak mampu untuk menyelamatkan diri dari serangan 
selanjutnya. 
Bret! Bret! 
“Aaa...!” 
Si pemuda jangkung menjerit setinggi langit ketika dua 
kali sambaran golok berhasil membeset tubuhnya. Darah 
segar seketika menyembur membasahi lantai dan tempat 
tidumya. Tubuh jangkung itu pun terhempas, tewas di 
atas pembaringan. Dua buah luka menganga tampak pada

bagian perutnya. 
Pada saat yang bersamaan, pintu kamar yang tadi telah 
ditutup, ditendang oleh seseorang dari luar. Dan kini 
empat orang penjaga berlompatan masuk. 
“Keparat! Iblis dari mana kau hingga berani membuat 
kerusuhan di tempat ini?” bentak salah seorang penjaga. 
Seketika mata penjaga itu terbelalak saat melihat tubuh 
majikan mudanya terbujur berlumuran darah di atas 
pembaringan. 
“Hmh...!” 
Sosok tubuh berpakaian hitam itu hanya bergumam 
periahan. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa khawatir 
atas kedatangan para penjaga itu. Disertai bentakan keras, 
tubuhnya meluncur ke arah pintu. Kedua tangannya 
berputaran menimbulkan angin keras. 
kiri-kanan akibat tamparan dan tendangan sosok 
berpakaian hitam itu. Para penjaga itu tak mampu bangkit 
lagi. Pingsan! 
Begitu tiba di luar kamar, sosok itu menengadahkan 
kepala ke langit-langit rumah. Sesaat kemudian, tubuhnya 
digenjot untuk menjebol atap rumah besar itu. Dengan 
menggunakan kepandaian ilmu meringankan tubuhnya, 
sosok berpakaian hitam itu kembali berloncatan dari satu 
atap ke atap rumah lainnya. Tidak lama kemudian, dia 
lenyap ditelan kegelapan malam. 
Sementara itu, kentongan tanda bahaya telah bergema 
memenuhi seluruh penjuru desa. Obor pun tampak 
bermunculan dari dalam rumah-rumah penduduk. Hanya 
dalam sekejap saja, malam yang semula hening dan sepi 
menjadi ramai oleh suara kentongan yang ditingkahi

teriakan-teriakan ribut. 
Sedangkan saat itu, si pembuat keributan dan 
kegemparan telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. 
Puluhan penduduk berbondong-bondong mendatangi 
rumah kepala desa. Dalam sekejap saja, halaman rumah 
besar yang semula sepi itu telah dipenuhi penduduk desa. 
Memang, mereka ingin mengetahui, apa sebenarnya yang 
telah terjadi di rumah kepala desa mereka itu. 
Seorang laki-laki tinggi kurus yang berusia sekitar lima 
puluh tahun berdiri tegak di serambi yang terletak di 
depan rumah. Matanya merayapi orang-orang di sekitar-
nya, sambil menarik napas panjang berulang-ulang. 
“Saudara-saudara! Kalian boleh pulang ke rumah 
masing-masing, karena tidak ada yang dapat diperbuat di 
sini!” ujar laki-laki tinggi kurus itu yang rupanya adalah 
Kepala Desa Banjar. 
“Apa sebenamya yang sudah terjadi, Ki? Bolehkah kami 
mengetahuinya?” tanya salah seorang laki-laki berwajah 
bulat. Sepertinya, ia masih merasa penasaran kalau belum 
mengetahui kejadian yang menimpa keluarga kepala 
desanya. 
“Hm.... Entah kesalahan apa yang telah diperbuat 
putraku, sehingga malam ini ada seorang pembunuh yang 
telah menghukumnya secara kejam!” sahut kepala desa, 
dengan wajah berduka. “Nah! Sekarang, kalian pulanglah. 
Jangan-jangan si pembunuh itu mendatangi rumah kalian!” 
Mendengar ucapan itu, para penduduk pun segera 
berlarian kembali ke rumah masing-masing. Wajah-wajah 
mereka tampak dibayangi kecemasan hebat. 
Sedangkan di dalam kamar tempat pembunuhan itu

terjadi, terdengar tangisan yang memilukan. Empat orang 
penjaga yang tadi tergeletak pingsan telah digotong ke 
luar. Hanya mayat si pemuda jangkung itulah yang masih 
tetap terbujur di atas pembaringan. Seorang wanita 
gemuk berusia sekitar empat puluh tahun tampak 
merintih sambil membelai wajah mayat yang mulai 
membeku. 
Sementara malam semakin bertambah larut. Sang 
rembulan tetap memancarkan sinarnya, tanpa mempeduli-
kan kejadian yang menimpa anak manusia di permukaan 
bumi. 
Seorang pemuda tampan mengenakan jubah berwarna 
putih yang ditemani seorang gadis jelita, nampak masih 
berdiri di halaman rumah besar itu. Mereka tak lain adalah 
Panji dan Kenanga. 
“Mengapa Kisanak masih juga belum pulang?” tanya 
seorang penjaga sambil menghampiri pasangan muda itu. 
Rupanya ia mengira kedua orang itu adalah penduduk 
desanya. 
“Maaf. Kami berdua adalah seorang kelana, dan malam 
ini kebetulan menginap di desa ini. Mmm.... Kalau boleh, 
aku ingin bertemu kepala desamu,” pinta Panji. Suaranya 
terdengar sopan. 
“Wah! Aku tidak berani, Kisanak,” desah penjaga itu 
yang sesekali mencuri pandang ke arah Kenanga. Rupanya 
kecantikan gadis itu telah membuatnya tidak bisa diam. 
***

ENAM

“Hm.... Ada keperluan apa kau ingin menemuiku, Anak 
Muda?” tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat 
ketiga orang itu menoleh. 
“Ah! Maaf, Ki. Kalau diperkenankan, aku ingin melihat 
mayat orang yang baru saja terbunuh itu. Barangkali saja 
pembunuh itu dapat kukenali melalui anda-tanda yang 
terdapat di tubuh korban,” sahut Panji, sehingga membuat 
kening lelaki setengah baya itu berkerut 
“Hm.... Bagaimana kau dapat mengetahui pembunuh 
itu, bila hanya melihat dari tanda-tandanya saja, Anak 
Muda? Siapakah kau sebenamya?” tanya kepala desa itu. 
Rupanya, dia mulai mencurigai Panji. Pertama, 
pemuda itu bukan penduduk desanya. Kedua, kedatangan 
pemuda itu persis saat kematian putranya. Maka ia pun 
mulai bersikap waspada menghadapi pemuda berjubah 
putih itu. 
“Ketahuilah, Ki. Setiap tokoh persilatan mempunyai 
ciri pada ilmunya. Biasanya, apabila si pembunuh itu 
berasal dari kalangan persilatan, maka akan meninggalkan 
tanda ilmunya. Nah! Dengan begitu, mudah bagi kita 
untuk mencari pembunuh itu. Sedangkan pemuda yang 
kini berada di depan Aki ini adalah Pendekar Naga Putih. 
Dan kebersihan jiwanya tidak perlu diragukan lagi!” tandas 
Kenanga. Gadis itu] memang merasa tidak senang melihat 
sinar mata Kepala Desa Banjar yang mengandung 
kecurigaan itu!

“Ah...! Betulkah..., betulkah kau Pendekar Putih yang 
tersohor itu, Anak Muda?” tanya kepala, desa itu, penuh 
harap. Kemudian, dia melangkah semakin dekat untuk 
menegasi wajah pendekar muda yang telah menggetarkan 
rimba persilatan sekarang ini. 
“Demikianlah orang-orang persilatan memberi julukan 
padaku, Ki,” jawab Panji tenang, tanpa kesombongan 
sedikit pun. 
“Ah! Mari.., mari silakan Pendekar Naga Putih!” kepala 
Desa Banjar itu mengajak Panji met rumahnya. 
Panji dan Kenanga segera melangkah mengikuti laki-
laki setengah baya itu di belakangnya. Lalu, mereka pun 
memasuki sebuah kamar. Di dalamnya, tampak seorang 
wanita yang tengah menangisi mayat putranya. 
“Sudahlah, Nyai. Pergilah beristirahat. Biarlah tuan 
pendekar ini yang akan memeriksanya. Siapa tahu 
pembunuh putra kita bisa ditemukannya,” bujuk kepala 
desa itu sambil menggandeng tangan istrinya, dibawanya 
pergi meninggalkan kamar itu. 
Setelah mengantarkan istrinya ke kamar, ia pun segera 
kembali ke tempat mayat anaknya terbaring. Sebentar 
ditatapnya mayat itu, kemudian perhatiannya beralih pada 
Panji dan Kenanga. 
“Bagaimana, Pendekar Naga Putih? Apakah kau sudah 
bisa menduga, siapa pembunuh keji itu?” tanya lelaki 
setengah baya itu. Pada wajah tuanya tampak tersirat 
setitik harapan. 
“Hhh.... Sayang sekali, Ki. Pembunuh itu ternyata 
orang yang sangat berpengalaman. Sengaja dia tidak mem-
pergunakan pukulan atau senjatanya sendiri, melainkan

menggunakan senjata yang tergantung di dinding itu,” 
jelas Panji sambil menunjuk ke arah sarung golok yang 
masih tergantung di binding. Sedangkan golok yang 
digunakan untuk membunuh, entah berada di mana. 
“Hhh.... Benar-benar licik bangsat keji itu! Mung-
kinkah ia seorang pembunuh bayaran?” gumam orang tua 
itu geram. 
“Entahlah. Tapi aku pernah melihat putramu ini di 
kedai, dekat mulut desa. Saat itu ia dan orang-orangnya 
tengah mengeroyok dua orang laki-laki dan seorang 
perempuan muda. Tapi aku tidak tahu, apakah pem-
bunuhan ini ada hubungannya dengan kejadian pagi tadi 
atau tidak,” jelas Panji lagi. Rupanya, Pendekar Naga 
Putih sempat mengenali sewaktu pemuda jangkung dan 
anak buahnya mengeroyok Wirasaba, Samba, dan 
Anggini. 
“Ah! Jadi, tadi pagi anakku telah membuat keributan? 
Hhh.... Dasar anak keras kepala! Padahal, sudah ber-
ulangkali aku menasihatinya agar tidak memancing-
mancing keributan. Oh, ya. Tahukah kau, siapakah yang 
memulai perseBsihan itu, Anak Muda? Jawablah, tanpa 
harus merasa tidak enak kepadaku. Karena aku tahu, 
anakku memang keras kepala dan tidak mau kalah kepada 
orang lain,” tanya orang tua itu. 
“Hm.... Kalau melihat dari sikap ketiga orang anak 
muda yang dikeroyoknya, dapat diambil kesimpulan kalau 
kesalahan itu terletak pada putra Aki. Buktinya, jika 
melihat gerakannya, jelas ketiga orang itu memiliki 
kepandaian tinggi. Dan kalau ingin, mungkin mereka 
dapat membunuh para pengeroyoknya. Tapi, hal itu tidak

merela lakukan. Sebaliknya, malah ketiga orang itu 
berusaha meloloskan diri. Begitulah kejadian yang kulihat 
tadi pagi, Ki,” jelas Panji. 
“Hhh.... Aku yakin, pembunuhan ini merupa buntut 
dari peristiwa pengeroyokan itu. Mungkin anakku telah 
melakukan kesalahan besar yang menyakitkan hati ketiga 
orang itu. Sebab, pembunuh itu hanya meminta korban 
anakku saja. Padahal kalau mau, dapat juga membunuh 
keempat orang penjagaku. Jadi, jelas anakkulah yang 
menjadi tujuannya,” kata kepala desa itu. 
Tampaknya orang tua itu menyesali perbuatan 
putranya yang justru telah membahayakan dirinya sendiri. 
Dan kini, menyesal rasanya sudah terlambat. Diam-diam, 
dia menyalahkan diri sendiri, karena terlalu memanjakan 
putra satu-satunya itu. 
“Aku akan menyelidiki hal ini, Ki. Aku juga ingin tahu, 
siapa sebenarnya yang melakukan pembunuhan ini Dan 
apa yang menyebabkan orang itu melakukannya?” janji 
Panji. 
Kepala Desa Banjar itu hanya bisa mengangguk-angguk 
sambil mengucapkan terima kasih berulang kali. 
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga pun 
pamitan untuk kembali ke penginapan. Sekali lagi orang 
tua itu mengucapkan rasa terima kasihnya. Kemudian, ia 
mengantarkan kepergian kedua orang mendekar muda itu 
hingga gerbang rumahnya. 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkahkan 
kaidnya menerobos kegelapan malam yang mulai men-
jelang pagi. Kokok ayam jantan terdengar bersahut-
sahutan menyambut datangnya pagi.

*** 
“Tolong...! Kantung uangku dicuri! Oh, tolong...!” 
Seorang wanita setengah baya berteriak-teriak minta 
tolong. Sedang tangannya menunjuk ke arah seorang laki-
laki kurus berwajah kumal yang berlari dan menyelinap di 
antara keramaian pasar. 
Sedangkan orang-orang yang tengah berbelanja dan 
berdagang di pasar hanya menolehkan kepala jenak, 
kemudian kembali melanjutkan kegiatan tanpa mem-
pedulikan kejadian itu. Sepertinya, orang-orang di pasar 
telah mengenal betul lelaki kurus yang nencuri kantung 
uang wanita itu. Mereka tidak ingin nencampurinya, 
karena takut akan akibatnya. Paling tidak, pencuri itu akan 
mencegat dan menganiaya bersama kawan-kawannya. 
Maka, orang-orang itu terpaksa menulikan telinganya dan 
berpura-pura tidak tahu. 
Dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang 
tengah menikmati keramaian pasar, tersentak ketika nen-
dengar jeritan minta tolong. Mereka langsung menoleh ke 
arah asal teriakan tadi. Kening mereka berkerut dalam 
ketika melihat seorang laki-laki kurus dan kumal berlari 
cepat. Di tangan kanannya tampak tergenggam kantung 
uang. 
“Hm.... Mengapa orang-orang di pasar ini hanya diam 
saja?” gumam Wirasaba. Pemuda itu benar-benar heran 
ketika tidak melihat seorang pun yang berusaha mengejar 
si pencuri. 
“Mungkin mereka takut, Kakang,” sahut Samba. 
Lain halnya dengan wanita cantik yang tak lain!

Anggini. Tanpa berkata sepatah pun, dia segera melesat 
mengejar lelaki kurus itu. Hanya beberapa kali lompatan 
saja, tubuh gadis itu telah berdiri menghadang jalan lari 
pencuri itu. 
“Berhenti! Atau, kupatahkan kakimu!” ancaml Anggini 
sambil berdiri bertolak pinggang. Wajahnya! tampak 
kemerahan menahan amarah yang meluap-luap dalam 
dada. 
“Hm.... Minggirlah kau, Nisanak! Sayangilah ke-
cantikanmu. Jangan sampai wajahmu yang cantik itu 
kurusak!” pencuri itu rupanya merasa lucu mendengar 
ancaman Anggini, sehingga berbalik mengancam. 
“Oh! Rupanya kau minta diberi pelajaran! Baik. Nah, 
sambutlah kepalanku ini. Lumayan untuk sarapan pagi!” 
ujar gadis cantik itu geram melihat ke bandelan si pencuri. 
Maka kedua tangannya cepat bergerak. Dan tahu-tahu 
saja.... 
Brettt! Plakkk! Desss! 
“Akh...!” 
Lelaki kurus berwajah kumal itu menjerit, dan! Tubuh-
nya langsung terbanting jatuh. Cairan merah tampak 
merembes di sudut bibimya Sepasang matanya sampai 
terbelalak memandang gadis di depannya. Ia benar-benar 
tidak mengert, mengapa tahu-tahu saja wajah dan 
perutnya terasa sakit. Bahkan kantung uang di tangannya 
pun telah berpindah ke tangan gadis cantik itu. Rupanya 
kecepatan gerak pukulan dan tendangan tadi tidak terlihat 
matanya, sehingga ia tidak lahu kalau wajah dan perutnya 
telah menjadi sasaran tangan kaki gadis cantik itu. 
“Bedebah kau, Kuntilanak! Rupanya kau tidak patut

disayangi! Rasakanlah pembalasanku! Heaaat..!” 
Disertai sebuah pekikan marah, tubuh kurus itu segera 
melompat menerjang Anggini. 
Mau tak mau, Anggini terpaksa tersenyum melihat 
gerakan orang itu. Karena, ia tahu persis kalau gerakan 
lelaki kurus itu hanya asal-asalan. Sama sekali tidak 
mengandung unsur silat cabang mana pun. Tentu saja 
serangan orang itu tidak ada artinya bagi gadis cantik 
murid tokoh sakti macam Anggini. Hanya dengan satu 
tangan saja, maka tubuh orang itu kembali terpelanting 
akibat sambaran pukulan lawan. Akibatnya, dada orang itu 
terasa rontok. 
Sadar kalau yang dihadapinya bukanlah gadis 
sembarangan, maka tanpa malu-malu lagi laki-laki kurus 
itu bergegas melarikan diri. Sehingga, Anggini pun ter-
senyum melihatnya. 
“Hebat..! Hebat..!” tiba-tiba terdengar seruan bernada 
memuji. 
Tampak seorang pemuda tampan mengenakan pakaian 
dari sutra halus berwama coklat muda telah berdiri tidak 
jauh dari Anggini. Ia berseru sambil bertepuk tangan 
keras-keras. Sepertinya, ia telah menyaksikan gebrakan 
gadis itu saat melumpuhkan si pencuri. 
“Apa maksudmu, Kisanak? Dan mengapa kau tidak 
berusaha mencegah perbuatannya tadi?” tanya Anggini. 
Keningnya berkerut, menatap pemuda pesolek yang 
sebenarnya cukup gagah dan menarik itu. 
“Maaf, Nisanak. Namaku Gutala. Tapi sayang sekali, 
aku tidak memiliki keberanian sepertimu. Mmm.... 
Bolehkah aku tahu namamu?” tanya pemuda tampan

pesolek itu, setelah lebih dulu memperkenalkan nama-
nya. Sama sekali da tidak berusaha menyembunyikan rasa 
kagumnya melihat kecantikan dan kepandaian Anggini. 
Kerutan di kening Anggini semakin dalam. 
Dipandanginya wajah pemuda itu penuh selidik. Seolah-
olah dia mencoba mencari jawaban, mengapa pemuda itu 
sedemikian mudahnya memperkenalkan diri. Sepertinya, 
hal itu memang sudah diatur olehnya. Namun karena 
sikap pemuda itu sangat sopan, maka tidak enak untuk 
menyambutnya. 
“Aku Anggini. Dan...” 
Gaols itu menghentikan ucapannya ketika terdengar 
jerit kesakhan yang menyayat. Anggini semakin terkejut 
melihat tubuh wanita setengah baya yang baru saja 
kantung uangnya dikembalikan, tersungkur roboh mandi 
darah. Dua bilah belati tampak menancap di dada dan 
lehernya. 
“Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau, Pembunuh!” 
seru Wirasaba marah. Tanpa membuang-buang waktu 
lagi, pemuda tinggi tegap itu segera mengejar si 
pembunuh. 
Samba yang tidak ingin ketinggalan, bergegas pula 
mengejar dua orang laki-laki yang melemparkan senjata 
tadi. Kedua pemuda itu melesat cepat penuh kemarahan, 
sehingga melupakan Anggini yang masih berada di tempat 
itu. 
“Sabarlah, Nisanak. Apakah dua orang temanmu itu 
masih belum cukup untuk menangkap mereka? Lebih baik 
tunggu saja di sini. Aku yakin, tidak lama lagi pasti kedua 
orang temanmu sudah kembali sambil menyeret dua orang

yang dikejarnya. Mereka memang teman si pencuri yang 
kau robohkan tadi. Marilah kita tunggu mereka di dekat 
pohon itu,” ajak si pemuda yang mengaku bernama Gutala 
sambil menunjuk sebatang pohon yang cukup besar. 
“Hm.... Jadi, kau pun sudah pula mengenal banyak 
kawanan pencuri itu? Lalu mengapa tidak kau beri 
hajaran, agar mereka kapok?” tanya Anggini, seraya 
melangkah ke sebuah bangku panjang di bawah pohon 
besar itu. 
Si pemuda pesolek hanya tersenyum memikat. 
Kembali dijelajahinya seluruh wajah Anggini yang cantik 
itu dengan matanya. Sinar kekaguman semakin nyata 
terlihat pada sepasang mata pemuda itu. 
“Ihhh! Mengapa kau memandangiku seperti itu, 
Gutala?” sergah Anggini sambil memalingkan wajahnya. 
Dia memang jengah melihat pandangan yang tajam 
menusuk itu. 
“Hm..., Anggini. Sebuah nama yang indah dan antik. 
Sungguh sesuai dengan kecantikannya. Kau tidak ubahnya 
seperti dewi, Anggini,” gumam Gutala. Suaranya ter-
dengar agak menggeletar. 
“Apa... Apa maksudmu, Gutala. Kau..., kau..., ah! 
Aku tidak suka mendengar ucapan itu! Sekali lagi kata itu 
diucapkan, aku akan pergi meninggalkanmu!” bentak 
Anggini yang sudah bangkit dari duduknya. 
Sepasang matanya menyiratkan kemarahan hatinya. 
“Aduh...! Sabar dulu, Anggini. Mengapa marah-marah 
begitu? Apa yang kukatakan itu adalah yang sebenarnya. 
Apakah salah kalau aku mengatakan kau cantik? Tidak 
bolehkah kita mengagumi sesuatu yang indah dan cantik?

Hhh.... Kau aneh sekali, Anggini?” bantah Gutala. Suara-
nya demikian lemah, sehingga membuat kemarahan di hati 
gadis itu lenyap. 
“Maafkan aku, Gutala. Tapi aku benar-benar tidak suka 
mendengar ucapan itu. Dan kuminta, jangan kau ulangi 
lagi,” desah Anggini. 
Gutala tersenyum lega. Ternyata Anggini adalah gadis 
yang pemaaf. Hal ini makin membuatnya tertarik. Diam-
diam, semakin dikaguminya gadis itu. 
“Eh, mengapa mereka lama sekali? Ke mana saja 
mereka?” tanya gadis itu yang mulai merasa tidak enak 
ketika kedua orang saudara seperguruannya tidak muncul-
muncul. Dan lagi, pertanyaan itu memang untuk mem-
belokkan ketertarikan Gutala padanya. 
“Sabarlah. Sebentar lagi mereka pasti kembali,” bujuk 
Gutala sambil menyuruh gadis itu duduk kembali. 
“Tidak, Gutala. Aku harus menyusul mereka!” 
Setelah berkata demikian, Anggini pun mulai meng-
gerakkan kakinya meninggalkan Gutala. 
“Eh, eh! Sabar dulu, Anggini! Kita tunggu saja di sini!” 
cegah Gutala kaget. Cepat-cepat disambarnya lengan gadis 
itu, sehingga gerakannya jadi tertahan. 
“Apa-apaan kau, Gutala!” bentak Anggini sambil 
menepiskan tangan pemuda itu yang telah menggenggam 
jemarinya. 
Hati gadis cantik itu sempat tergetar ketika merasakan 
betapa lembut dan hangatnya genggaman tangan lelaki 
pesolek itu. 
“Jangan pergi, Anggini. Sejak melihatmu tadi, aku.... 
Aku telah jatuh cinta kepadamu,” Gutala terpaksa

mengutarakan perasaan hatinya. Dia pikir, mungkin 
pengakuannya pada Anggini akan membatalkan niat gadis 
itu untuk mencari kedua orang saudara seperguruannya. 
Tapi sayang, dugaan Gutala salah besar! Dugaannya 
semula, gadis itu akan tertunduk malu mendengar 
pengakuannya. Tapi, ternyata tidak! Anggini malah 
menentang pandang mata Gutala dengan wajah merah! 
Bukan karena rasa malu ataupun jengah, tapi sebaliknya 
malah merasa marah. 
“Hm.... Jadi itu maksudmu, mengapa kau menahanku 
di sini? Dan kau pilar, keberadaanku di sini karena tertarik 
kepadamu? Huh! Kau salah, Gutala! Selamat tinggal!” 
dengus Anggini. 
Gadis itu segera melesat meninggalkan Gutala yang 
terpaku dengan wajah merah. Pemuda itu merasa malu 
dan terhina sekali mendengar kata-kata yang teratur 
menusuk hatinya tadi. Kata-kata yang terucap dari mulut 
gadis yang telah mencuri sekeping hatinya. 
“Anggini, tunggu...!” seru Gutala, bersiap mengejar. 
Namun sebelum kakinya melangkah, tiba-tiba.... 
“Tidak pertu mengejar gadis itu, Perayu Busuk! Karena 
telah berani mengganggu gadis itu, berarti kau pun telah 
berani untuk menghadap malaikat maut!” ancam sebuah 
suara berat. 
Gutala langsung menahan langkahnya. Kepalanya 
langsung dipalingkan ke arah asal suara. 
Tampak lelaki tinggl tegap berwajah buruk dan tua 
telah berdiri di dekatnya. Rambutnya yang telah berwarna 
dua tampak meriap dan menutupi sebagian wajah. 
Penampilan orang itu benar-benar menggetarkan hati

Gutala. 
“Siapa... siapa kau? Dan apa maksud kata-katamu itu?” 
tanya Gutala agak gugup mendengar kata-kata berbau 
maut itu. 
'Tidak perlu banyak cakap! Bersiaplah! Kau kuberi 
kesempatan untuk membela diri!” lanjut suara berat itu 
tanpa mengenal belas kasihan. 
Gutala segera mencabut pedang yang terselip di 
pinggangnya. Memang disadarinya kalau lelaki setengah 
baya berwajah buruk itu tidak main-main dengan 
ancamannya. Maka, ia pun bersiap untuk membela diri. 
“Haaat..!” 
Dibarengi sebuah teriakan parau, tubuh lelaki buruk 
itu meluncur disertai sambaran pedangnya menimbulkan 
deru angin keras. 
Wuuut! Wuuut! 
Sambaran pedang yang membawa hawa maut 
berkelebatan mengancam tubuh Gutala. Cepat-cepat 
pemuda itu berkelit dan melempar tubuhnya ke belakang. 
Memang, serangan orang aneh itu demikian gencar sekali. 
Maka Gutala pun kalang-kabut dibuatnya. 
***

TUJUH

“Orang gila! Apa sebenarnya maumu?” teriak Gutala 
sambil berlompatan, menghindari serangan yang 
menderu-deru dari orang aneh itu. 
“Jangan banyak bacot! Keluarkan semua kepandaian-
mu, kalau masih ingin hidup lebih lama lagi!” bentak lelaki 
aneh berwajah buruk itu, semakin mempergencar 
serangannya. 
Wuuut! 
“Aaah...!” 
Gutala berteriak kaget ketika ujung pedang lawan 
hampir saja membeset kulit tubuhnya. Untunglah 
tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga ujung pedang 
orang aneh itu hanya mengenai bajunya. Pemuda itu 
segera melempar tubuhnya, lalu bergulingan menjauhkan 
diri dari lelaki buruk yang berkepandaian tinggi itu. 
“Huh! Percuma melarikan diri, Pemuda Busuk!” seru 
lelaki aneh itu ketika melihat lawannya hendak melarikan 
diri. Setelah berkata demikian, tubuhnya vang tegap dan 
kokoh itu melayang mengejar calon korbannya. Senjata di 
tangannya diputar sedemikan rupa, sehingga menimbul-
kan gulungan sinar yang menyilaukan mata. 
Wuuut! Crasss! 
“Aaargh...!” 
Terdengar jerit kematian yang menyayat pedang di 
tangan lelaki buruk yang aneh itu membeset tubuh Gutala 
sebanyak tiga kali. Darah segar memercik membasahi

permukaan bumi. Tubuh Gutala kemudian ambruk di 
tanah. Dia meraung-raung berkelojotan meregang nyawa. 
Dada, perut, dan lehernya terdapat luka memanjang yang 
cukupdalam. Tidak berapa lama kemudian, tubuh Gutala 
diam bergerak. Mati. 
Setelah merasa yakin kalau korbannya telah tewas, 
lelaki buruk yang aneh itu segera melesat meninggalkan 
mayat yang bersimbah darah. 
“Pembunuhan...! Pembunuhan...!” 
Terdengar teriakan dari beberapa penduduk melihat 
mayat Gutala. Mereka telah mengerumuni mayat itu. Tak 
seorang pun yang berani mendekat apalagi sampai 
menyentuhnya. Mereka hanya gerombol dalam jarak 
empat batang tombak. 
Seorang gadis berkepang dua dan berwajah cantik, 
segera berlari mempercepat langkahnya mendekati 
kerumunan orang itu. Ia tak lain adalah Anggini. Gadis itu 
memang bermaksud menanyakan tempat berkumpulnya 
kawanan pencuri yang biasanya menjarah pasar. Pada 
waktu mengejar tadi, Anggini tidak berhasil menemukan 
kedua orang saudara seperguruannya, meskipun telah 
bertanya ke sana kemari. 
“Hm.... Ada apa lagi itu? Sepertinya ada kejadian yang 
menarik?” gumam Anggini dalam 
Gadb itu pun mempercepat langkahnya. Kemudian, 
dia segera menyeruak di antara kerumunan penduduk. 
Orang-orang yang tengah berkerumun memberikan 
jalan kepada Anggini. Mereka memang tahu kalau gadis 
cantik itu memiliki kepandaian hebat, karena sempat 
menyaksikan pertarungan Anggini melawan pencuri di

tengah pasar tadi. 
“Ada apa, Kisanak?” tanya Anggini kepada seorang laki-
laki setengah baya yang menyingkir memberi jalan. 
“Ada orang terbunuh! Kata orang yang melihat 
pertarungan korban tadi, pembunuhnya berumur setengah 
baya, juga wajahnya buruk. Tapi ia sudah menghilang 
sejak tadi,” jelas lelaki itu. 
“Hah...!?” 
Sepasang mata Anggini terbelalak lebar. Hampir sata 
gadis itu tidak mempercayai pandangan matanya. Benar-
benar tidak disangka kalau mayat itu tak lain adalah 
Gutala. Padahal, belum lama tadi ia berada bersamanya. 
Lalu, bagaimana mungkin pemuda itu dapat terbunuh 
sedemikian mudah? Apa yang menyebab Gutala sampai 
terbunuh? Aneh! Anggini benar-benar tak habis mengert. 
“Nisanak kenal orang itu?” tanya seorang pemuda ber-
jubah putih yang juga ada dalam kerumunan penduduk, 
dekat dengan Anggini. Nada pertanyaannya demikian 
wajar dan tidak mengandung kecurigaan. 
Anggini tidak segera menjawab pertanyaan itu. 
Kepalanya menoleh, dan keningnya berkerut. Sekilas saja 
gadis itu tahu kalau pemuda berjubah putih itu 
berkepandaian tinggi. Kemudian pandangannya dialihkan 
kepada seorang wanita jelita yang menghampiri. 
“Aku mengenalnya baru beberapa saat yang lalu. Tapi 
aku tidak tahu, siapa dia sebenarnya? Dan penyebabnya 
sehingga ia sampai terbunuh? Padahal kelihatannya dia 
orang baik,” sahut Anggini. 
“Apa dia pernah bercerita kalau mempunyai musuh?” 
tanya wanita jelita berpakaian hijau, ikut menimpali.

“Hm..., tidak. Perkenalan kami belum lama. Lagi pula, 
tidak baik menceritakan persoalan kepada orang yang baru 
dikenal,” jawab Anggini. Matanya masih memandang 
wanita jelita itu penuh kagum. Sekali melihat saja, ia 
sudah menyukainya. sudah dapat diduga kalau wanita jelita 
itu bukan orang sembarangan. 
“Hm.... Aneh!” gumam pemuda tampan berjubah 
putih yang tak lain Pendekar Naga Putih. Sedangkan 
wanita jelita itu pasti Kenanga. 
Kedua pendekar muda itu hanya mengamati sambil 
menatap kepergian Anggini. Lalu, mereka segera berlalu 
setelah berpesan kepada penduduk mengurusi mayat 
pemuda pesolek itu. 
“Apakah kau akan mengikuti gadis itu, Kakang?' tanya 
Kenanga setelah mereka meninggalkan keramaian pasar. 
Saat itu, mereka berjalan menyusuri utama desa. 
“Hm..., begitulah. Kau tahu, saat ini kita tidak mem-
punyai petunjuk lain selain gadis itu dan orang pemuda 
yang bersamanya,” sahut Panji. 
“Kau mencurigai mereka sebagai pembunuhnya?' tanya 
Kenanga lagi. 
“Yah! Itu hanya dugaan, Kenanga. Tapi yang jelas, 
sumber pembunuhan itu pasti berasal mereka. Dan satu-
satunya jalan untuk membekuk pembunuh aneh itu adalah 
melalui ketiga orang itu,” jawab Panji yang bertekad 
untuk menyelidiki pembunuh-pembunuh gelap yang 
mereka temui. 
“Kalau begitu, marilah kita ikuti gadis cantik itu!” ajak 
Kenanga bersemangat. Memang dia pun sudah tidak sabar 
untuk segera membekuk pembunuh itu.

“Ayolah!” sahut Panji Pendekar Naga Putih segera 
mengikuti Kenanga yang sudah berlari mendahuluinya. 
Cepat sekali! 
Mereka kemudian melesat cepat seperti saling 
berkejar-kejaran. Jelas, mereka telah mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh yang mendekati kesempurnaan. Yang 
terlihat kini hanyalah bayangan putih dan hijau. Bagi orang 
yang tak memiliki kepandaian tinggi, sulit untuk 
menebak, bayangan apa yang tengah berkelebat dengan 
kecepatan tinggi itu. 
Sebentar kemudian, Pendekar Naga Putih dan Kenanga 
telah tiba di tempat Anggini tadi menuju. Namun, mereka 
menjadi heran ketika tidak menemukan gadis itu. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, Panji segera menanyakan 
orang yang dicarinya kepada seorang laki-laki yang tengah 
berdiri di pintu rumah dan memandang ke arahnya. 
“Maaf, Kisanak. Apakah kau melihat gadis cantik yang 
rambutnya berkepang dua?” tanya Panji sopan. 
“Apakah yang kau maksud, gadis berbaju kuning dan 
bercelana hitam?” orang itu bafik bertanya. 
Begitu kepala Panji terlihat mengangguk, orang itu 
menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke satu arah. 
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka segera 
melesat ke arah yang ditunjuk orang itu. Rupanya Anggini 
telah meninggalkan desa itu. 
*** 
“Berhenti..!” terdengar bentakan nyaring, disertai ber-
lompatannya belasan sosok tubuh dari balik semak-semak.

Gadis cantik berkepang dua itu melangkah mundur 
dengan sikap waspada. Satu persatu, dipandanginya orang-
orang yang berdiri menghadang jalannya itu. Dapat diduga 
kalau orang-orang yang terlihat kasar itu mempunyai niat 
yang tidak baik terhadapnya. 
“Maaf, Kisanak. Apa keperiuan kalian hingga meng-
hadang jalanku? “ tanya gadis cantik yang tak lain Anggini 
itu, curiga. 
Gadis cantik yang belum berpengalaman ini sama sekali 
tidak mengetahui kalau saat itu tengah berhadapan dengan 
para perampok. 
“Ha ha ha...!” 
Laki-laki berkepala botak yang merupakan pimpinan 
para perampok itu tertawa mendengar pertanyaan 
Anggini. Sepertinya, pertanyaan yang dilontarkan gadis itu 
lucu. Sebab bukan hanya si botak yang tertawa, tapi 
hampir semua laki-laki kasar itu tergelak mendengarnya. 
“Hei, Nisanak yang cantik. Mestinya kau tahu 
keperluan tuanmu ini. Ketahuilah, aku dan pasukanku 
sengaja datang menyambutmu. Karena, sebentar lagi kau 
akan menjadi permaisuriku! Kau tidak keberatan, bukan?” 
ujar si botak seraya memperdengarkan tawanya yang 
memuakkan. 
“Maaf, Kisanak. Aku sama sekali tidak mengerti 
ucapanmu itu? Lebih baik, kalian menyingkir! Biarkan aku 
lewat!” tegas Anggini bemada mengancam. 
“Hei? Apakah kau lebih suka kalau aku menggunakan 
kekerasan? Hm.... Sebaiknya, kau menurut saja, Nisanak. 
Kujamin, kau akan hidup senang,” ujar si botak lagi tanpa 
mempedulikan ancaman gadis itu.

“Sudahlah, Ki. Untuk apa bertele-tele? Tangkap saja! 
Kan, beres!” selak lelaki tinggi kurus dan berwajah 
brewok. 
Sepasang mata laki-laki yang agak sipit itu berputar liar 
menjelajahi sekujur tubuh Anggini. Air liurnya nampak 
menetes, tak ubahnya seekor harimau yang melihat kijang 
muda. 
“Hm.... Rupanya kalian menganggap aku main-main! 
Baiklah. Kalau kalian masih juga tidak mau menyingkir, 
jangan salahkan kalau kepala kalian akan terpisah dari 
badan!” geram Anggini. 
Gadis itu langsung mencabut pedangnya yang terselip 
di pinggang. Ketika melihat sinar mata si brewok, Anggini 
pun tahu keinginan orang-orang kasar itu sebenarnya. 
Sret! 
Selarik sinar berkilatan keluar dari mata pedang yang 
tercabut keluar dan tergenggam di tangan gadis cantik itu. 
Wajahnya yang putih halus nampak kemerahan karena 
kemarahannya mulai bangidt Bagaimana ia tidak akan 
jengkel? Belum lagi kedua orang kakak seperguruannya 
dapat ditemukan, kini ada lagi persoalan yang membuat 
kepalanya tambah pusing. 
Sementara itu, tanpa sepengetahuan kedua belah pihak, 
dua sosok tubuh tampak memperhatikan dari bafik 
rimbunan pohon bambu kuning. 
“Kakang, bagaimana kalau gadis itu terdesak? Apakah 
kita akan mendiamkannya saja?” tanya sosok tubuh 
ramping itu. Sementara sepasang matanya yang indah 
tetap menatap ke arah orang-orang itu. 
“Kita tunggu saja perkembangannya,” sahut yang

seorang tanpa menolehkan kepala. 
“Tapi kalau dia tertangkap, bagaimana?” tanya sosok 
tubuh ramping itu lagi. 
Sepertinya dia tidak tega melihat Anggini yang hanya 
seorang dhi, siap dikeroyok oleh kawanan perampok yang 
jumlahnya lebih dari lima belas orang. Belum lagi kalau 
mereka masih mempunyai kawan yang tengah ber-
sembunyi di semak-semak. 
“Sudahlah. Jangan terlalu khawatir dulu, Kenanga. Dan 
jangan sekali-kali bergerak sebelum ada isyarat dariku,” 
sahut sosok yang satunya. Siapa lagi kedua orang itu, kalau 
bukan Kenanga dan Panji yang rupanya sudah pula tiba di 
tempat itu. 
Sementara itu, ketegangan di kedua belah pihak 
semakin memuncak. Pemimpin perampok yang berkepala 
botak itu sudah memerintahkan anak buahnya menyebar 
mengelilingi Anggini Beberapa di antaranya tampak sudah 
memutar-mutar tambang yang pada bagian tengahnya 
dibentuk sebuah bulatan. Sepertinya, mereka memang 
bermaksud untuk menangkap gadis itu hidup-hidup. 
“Heaaat..!” 
Dibarengi bentakan nyaring, pemimpin perampok itu 
bergerak maju tanpa menggunakan senjata. Sesaat 
kemudian, lelaki kurus berwajah brewok yang merupakan 
wakilnya, ikut pula bergerak maja la juga menggunakan 
tangan kosong. 
“Haiitt...!” 
Anggini melompat tinggi menyambut serangan kedua 
orang pimpinan perampok itu. Gadis yang berjiwa bersih 
ini sudah pula menyimpan senjata begitu melihat kedua

orang lawannya hanya bertangan kosong. 
Dengan gerakan indah, Anggini memutar tubuhnya 
menghindari dua buah serangan yang dilancarkan lelaki 
berkepala botak itu. Sambil memutar tubuh, tangan 
kirinya terayun ke leher lawan. Begitu hantaman tangan 
kirinya berhasil dielakkan lawan, gadis itu pun segera 
menyusuli dengan sebuah tendangan kilat 
Lelaki berkepala botak itu terkejut sekali melihat 
kecepatan gerak lawan. Cepat-cepat tubuhnya dilempar 
ke belakang karena tidak ingin dadanya dijejak kaki mungil 
yang menyimpan tenaga hebat itu. 
Pada saat yang bersamaan, serangan dari lawan lain 
meluncur datang. Jari-jari tangan yang berbentuk akar 
dari laki-laki brewok itu menyambar-nyambar cepat 
mengincar beberapa bagian tubuh gadis itu. 
Anggini bergerak mundur dengan menggeser kedua 
kakinya bergantian. Sepasang matanya bergerak lincah 
mencari-cari kelemahan lawan. Gadis cantik yang cukup 
cerdik itu terus bergerak mundur sambil mencari celah 
yang kira-krra dapat dimanfaatkannya. Namun sampai 
beberapa jurus lamanya, titik kelemahan dari jurus-jurus 
lawan belum juga terlihat. Sepertinya, pertahanan si 
brewok cukup rapat dan kuat 
Setelah menyerang selama lima jurus namun belum 
juga berhasil menyentuh tubuh lawannya, lelaki brewok 
itu pun bangkit kemarahannya. Jurus-jurus serangannya 
pun semakin dipercepat Cengkeraman tangannya kadang-
kadang berubah membentuk kepalan. Namun kepalan itu 
tidak kalah berbahayanya dengan cengkeramannya. Malah 
mungkin akibatnya akan lebih parah apabila terkena tubuh

lawan! 
Pada suatu saat, gadis cantik itu berteriak nyaring 
mengagetkan lawan. Serangan-serangan yang semakin 
cepat itu justru telah menyebabkan pertahanan si brewok 
agak melemah. Anggini pun menyadari akan hal itu. Maka 
ketika cengkeraman dan kepalan lawan meluncur 
mengancam dada dan perutnya, tubuh gadis itu meliuk 
dengan jurus 'Harimau Lapar Menerkam Kambing'. 
Wuuut' 
Kepalan dan cengkeraman si brewok temyata hanya 
mengenai angin kosong karena tubuh Anggini telah lebih 
dulu meliuk ke kanan. Dan tanpa membuang-buang waktu 
lagi, tangan kanan gadis terulur mengancam dada. 
Gerakannya dibarengi pula dengan tendangan kaki kanan 
yang mengarah perut 
Dapat dibayangkan, beta pa kagetnya hati si brewok 
melihat serangan tiba-tiba itu. Apalagi, dia tidak 
mempunyai kesempatan untuk menghindar. Maka si 
brewok cepat mengerahkan tenaganya untuk melindungi 
bagian tubuh yang menjadi sasaran serangan la wan. 
Desss! Bukkk! 
“Aaakh...!” 
Disertai jeritan ngeri, tubuh kurus itu pun ter-
jengkang beberapa tombak ke belakang! Darah segar 
langsung memercik membasahi rerumputan yang kering. 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kurus itu pun terbanting 
keras menimbulkan suara berdebuk! 
Sambil menekap dada dan perutnya, lelaki brewok itu 
berusaha bangidt meskipun dengan susah-payah. Kembali 
ia terbatuk, langsung memuntahkan darah segar! Rupanya

ia salah perhitungan! Sungguh sama sekali tidak diduga 
kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis cantik itu ternyata 
demikian tinggi. Maka tentu saja tenaga yang diper-
gunakan untuk melindungi tubuhnya itu tidak berarti. 
Akibatnya, pukulan dan tendangan gadis itu tetap saja 
melukai tubuhnya. 
“Gunakan tali! Kuntilanak ini benar-benar patut diberi 
pelajaran!” perintah laki-laki botak. 
Pemimpin perampok itu menjadi marah melihat 
kawannya telah dilukai gadis ini Sebagian nafsunya telah 
lenyap, dan telah berganti dengan kemarahan. Golok 
besar yang tergantung di punggung dicabutnya. 
“Yeaaat..!” 
Disertai bentakan keras, tubuh si botak melambung ke 
atas dengan bacokannya. Kali ini ia tidak peduli lagi, 
apakah si gadis akan terluka atau tidak. Satunya-satunya 
yang diinginkan saat itu adalah melumpuhkan Anggini. 
Trangngng! Trangngng! 
“Aaah...” 
Entah kapan dilakukannya, tahu-tahu saja di tangan 
Anggini telah tergenggam sebatang pedang. Langsung 
pedangnya dikerahkan untuk memapak ayunan golok si 
botak. Maka terdengarlah benturan yang keras disertai 
jeritan kaget lelaki berkepala botak itu. 
Benturan yang cukup kuat itu telah membuat kuda-
kuda si botak tergempur. Tubuhnya terjajar mundur, 
hingga beberapa langkah ke belakang. Meskipun 
demikian, golok besarnya tetap tergenggam erat di 
tangannya. 
Anggini tidak mau membuang-buang waktu lag! Saat

itu juga tubuhnya melesat ke arah pimpinan perampok 
yang tengah terhuyung itu. Pedang di tangannya berputar 
cepat menimbulkan deru angin keras. 
Tapi sayang Anggini tidak memperhatikan lawan 
lainnya. Pada saat tubuhnya melompat, beberapa utas 
tambang yang ujungnya berbentuk bulatan itu melayang 
ke arahnya! 
Rrrttt! Rrrttt! 
“Aaah...!” 
Anggini berteriak kaget ketika dirasakan ada sesuatu 
benda yang menjerat keduanya kakinya. Baru saja 
pedangnya hendak diayunkan untuk membabat tambang-
tambang itu, kedua pergelangan tangannya kembali 
terjerat tambang yang lain. Tanpa dapat dicegah lagi, 
tubuhnya pun meluncur ke bawah. Jatuh, tak berdaya. 
Brukkk! 
“Uuugkh...!” 
Rrrttt! Rrrttt! 
Terdengar suara berdebuk ketika tubuh gadis itu ter-
banting di atas rerumputan. Anggini mengeluh menahan 
rasa nyeri pada tubuhnya. Cepat ia bergerak bangkit 
sambil mengerahkan tenaga pada lengan dan kakinya. 
Namun betapa terkejutnya gadis itu ketika kaki tangannya 
tidak mampu digerakkan. Pandangan gadis itu beredar. 
Dia kini mendapati tali-tali yang semula dipegang 
gerombolan perampok itu telah dilibatkan ke pohon-
pohon besar. Maka Anggini hanya bisa pasrah, untuk 
melihat apa yang akan diperbuat orang-orang itu terhadap 
dirinya. 
Kenanga yang melihat gadis cantik itu sudah berdaya,

segera bergerak bangkit hendak menolongnya. Memang 
sebagai seorang wanita, dia sudah dapat menduga maksud 
perampok-perampok liat itu. Namun, gerakan Kenanga 
tertahan telapak tangan Panji, yang menekan bahunya. 
Semula gadis jelita itu hendak membantah, tapi langsung 
bungkam ketika Panji nunjuk ke arah tempat terjadinya 
pertempuran. 
Rupanya di arena pertempuran terjadi perubahan 
mendadak. Temyata di sana telah muncul dua orang 
pemuda yang tampak gagah. Sedangkan gadis yang terikat 
tadi telah pula terbebas. Malah kini telah di samping dua 
orang pemuda gagah itu. 
“Hhh.... Hampir saja aku berbuat kesalahan!' desah 
Kenanga menghela napas lega. Dipandanginya Panji, 
dengan sinar mata penuh permohonan maaf. 
***
DELAPAN

“Hm.... Siapa kau, Anak Muda?! Mengapa berani 
mencampuri urusanku?!” bentak orang berkepala botak 
itu dengan suara menggelegar. 
Ia benar-benar marah sekali melihat mangsa yang sudah 
berada di depan mulut terlepas begitu saja karena per-
buatan dua orang itu. 
“Ha ha ha...! Hei, Perampok-perampok Busuk! 
Dengarlah! Kami adalah Dua Harimau Cakar Besi! Dan 
hari ini, malaikat maut akan datang hendak mencabut 
nyawa kalian!” ancam salah seorang dari dua pemuda 
gagah itu, dingin. 
“Ahhh...!” 
Mendengar disebutnya nama Dua Harimau Cakar Besi, 
para perampok itu bergerak mundur dengan wajah pucat 
Memang mereka telah banyak mendengar tentang sepak-
terjang dua pendekar muda yang sering membasmi para 
perampok di sekitar daerah itu tanpa kenal ampun. Tak 
seorang pun perampok yang pernah lolos dari hukuman 
mereka. Sehingga kedua orang pendekar itu dijuluki 
sebagai Dua Harimau Cakar Besi. Tidak heran bila setiap 
perampok yang bertemu kedua orang itu, pasti akan 
tewas! 
“Lari....!” tanpa malu-malu lagi, si kepala perampok 
memerintahkan anak buahnya untuk menyelamatkan diri 
dari hukuman kedua pendekar yang tak mengenal kata 
ampun itu.

Melihat gerombolan perampok itu hendak melarikan 
diri, dua orang pemuda gagah itu segera bergerak 
mengejar. 
“Jangan kejar...!” terdengar seruan halus yang 
membuat Dua Harimau Cakar Besi menghentikan 
langkahnya. 
“Mengapa, Nisanak? Mereka adalah orang-orang kejam 
dan buas. Hanya kematianlah jalan satu-satunya bagi 
mereka,” tegas salah seorang dari pemuda itu. Dia merasa 
heran mendengar gadis yang ditolongnya itu mencegah 
mereka. 
“Betul, Nisanak. Kalau tidak dibunuh, lain kali mereka 
pasti akan mengganggu orang lagi,” timpal yang seorang 
lagi, membenarkan ucapan kawannya. 
Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu 
lekat-lekat. Dan ia pun baru sadar, betapa cantiknya gadis 
yang ditolongnya itu. Sinar kekaguman pun nampak di 
matanya. 
'Tapi, siapa tahu setelah berjumpa dengan kalian 
menjadi sadar? Nah, bukankah hal itu akan' lebih baik?” 
bantah Anggini. 
Gadis itu terpaksa menundukkan matanya melihat sinar 
kekaguman yang tak disembunyikan terpancar dari mata 
kedua orang pemuda penolongnya. 
“Yahhh, sudahlah. Apa yang perlu diributkan lagi? 
Andaikan kita kejar pun, sudah tidak ada gunanya lagi. 
Mereka pasti sudah menyembunyikan diri di dalam hutan 
lebat di depan sana. Oh, ya. Kau hendak ke manakah, 
Nisanak? Mengapa berada sendirian di tempat ini?” tanya 
pemuda yang memiliki kumis tipis di wajahnya. Dia ter

senyum, sehingga membuat wajahnya semakin menarik. 
Anggini pun lalu menceritakan kejadiannya hingga 
sampai berada di daerah itu. Ia berusaha menerangkan 
sejelas-jelasnya dengan harapan kedua orang itu bisa 
memberi petunjuk. Bukankah mereka berasal dari sekitar 
daerah ini? Atau paling tidak, mereka pasti sudah lama 
tinggal di sekitar sini. 
Kedua orang pemuda itu saling berpandangan begitu 
Anggini menyelesaikan ceritanya. Sepertinya, kedua orang 
itu tidak bisa memberi petunjuk apa-apa kepada gadis itu. 
“Hm.... Kalau begitu, biarlah aku pergi saja. Siapa tahu 
kedua orang saudara seperguruanku itu sudah kembali ke 
perguruan. Atau kalau tidak, aku akan melaporkan hal ini 
kepada guru,” gumam Anggini, seperti untuk dirinya 
sendiri. 
“Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Nisanak. 
Kelihatannya bahaya sekali melakukan perjalanan di 
malam hari. Apalagi, Nisanak seorang gadis muda dan 
hanya seorang diri. Sebaiknya untuk malam ini, biarlah 
Nisanak menginap di pondok kami. Besok, baru me-
lanjutkan perjalanan. Bagaimana?” tanya pemuda yang 
berkumis tipis memberikan usul. 
“Betul, Nisanak. Bukannya kami hendak memaksa agar 
Nisanak tidak pergi. Tapi ada baiknya pertimbangkanlah 
tawaran kami,” sambut satunya, mendukung usul yang 
diajukan kawannya. 
Anggini bimbang sejenak. Disadari juga kebenaran 
ucapan kedua orang itu. Tapi hatinya juga ragu karena 
tidak begitu mengenai kedua pemuda itu. 
“Yahhh...! Kalau memang tidak ada pilihan lain, apa

boleh buat!” sahut Anggini yang akhirnya menyetujui usul 
kedua orang pemuda itu. 
“Nah, itu lebih baik! Ayolah!” ajak pemuda berkumis 
tipis, seraya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat 
itu. Anggini dan pemuda yang satu lagi bergegas 
mengikutinya. 
*** 
Kegelapan malam mulai turun menyelimuti per-
mukaan bumi. Suara jangkrik mulai terdengar ramai 
bersahut-sahutan. Bintang-bintang tampak bertaburan 
bagaikan pelita menghiasi malam. 
Di depan halaman sebuah pondok sederhana, tampak 
nyala api berkobar menghangatkan suasana malam yang 
dingin. Lapat-lapat terdengar gemercik air yang mengalir. 
Sepertinya, pondok itu berdiri di dekat sebuah aliran 
sungai. Hal itu terbukti dari suara-suara katak yang ber-
nyanyi menyemarakkan suasana malam. 
Di dekat api yang menjilat-jilat, terlihat seorang 
pemuda berkumis tipis. Sesekali tangannya memutar-
mutar sebatang dahan kayu yang terjilat api. Di tengah 
dahan kayu itu terdapat seekor ayam yang telah dikuliti 
tengah terjilat api. Baunya begitu menebar ke sekitarnya. 
Jelas pemuda itu tengah memanggang seekor ayam yang 
aromanya menerbitkan air bur dan mem-buat perut terasa 
lapar. 
Pemuda itu memalingkan wajahnya ketika mendengar 
ada desah napas di depan pintu pondoknya. 
“Eh. Kau belum tidur, Nisanak? Apakah ada sesuatu

yang mengganggu pikiranmu?” tanya pemuda berkumis 
tipis itu. Saat itu, sesosok tubuh ramping tampak tengah 
melangkah menghampirinya. 
“Hm.... Bau harum panggang ayam itulah yang telah 
menggangguku,” sahut sosok tubuh ramping yang rambut-
nya dikepang dua. 
Siapa lagi orang itu kalau bukan Anggini. Gadis yang 
memang memiliki sifat lincah dan periang itu, enak saja 
melontarkan kata-katanya. Padahal, ia baru saja mengenal 
pemuda itu. Tapi, gadis itu sudah mengeluarkan gurauan 
seolah-olah sudah lama saling mengenal. 
“Wah, maaf kalau begitu. Aku sebenamya tidak 
bermaksud mengganggumu. Tapi, perut yang tak tahu 
adat ini sudah berkeruyuk sejak tadi. Jadi... yaaah! 
Terpaksa aku harus membuat makanan,” sahut pemuda itu 
tanpa malu-malu lagi. 
“Dari mana kau peroleh ayam itu sehingga menimbul-
kan bau harum ayam panggang yang menggoda selera?” 
tanya gadis itu lagi. 
“Entahlah. Mungkin ini ayam hutan kesasar. Atau 
mungkin memang sengaja datang, karena tahu aku sedang 
kelaparan? Nah, menurutmu yang manakah yang lebih 
masuk akal, Nisanak?” sahut pemuda itu seraya 
melebarkan senyumnya karena merasa gembira. 
“Panggil saja aku Anggini. Rasanya canggung sekali 
mendengar sebutanmu itu. Oh, ya. Menurutku, mungkin 
saja ayam hutan itu memang sengaja datang. Dikira 
keruyuk di perutmu itu adalah si betina,” sahut Anggini 
terkekeh gembira. “Eh, ke manakah kawanmu yang 
seorang itu?”

“Hm. Tadi kami berdua sengaja hendak mencari ayam 
hutan. Lalu, kami berpencar untuk mendapatkannya. Yah, 
mungkin saja nasibnya tidak seberuntung aku. Tapi, 
sebentar lagi juga kembali Oh, ya. Kau boleh 
memanggilku Benta saja. Cukup, kan?” jelas pemuda 
berkumis tipis itu yang matanya tak lepas dari wajah 
Anggini. 
“Hei! Aku seperti mendengar suara orang bertarung? 
Apakah kau tidak mendengamya, Benta?” tanya Anggini 
tiba-tiba. Gadis itu segera mengerahkan indra 
pendengarannya agar dapat menangkap lebih jelas. 
“Ah, ya. Aku pun mendengarnya! Mari kita lihat, 
Anggini. Siapa tahu Kakang Ginta mendapat kesukaran!” 
Setelah berkata demikian, keduanya pun segera 
melesat mencari sumber suara pertarungan yang ter-
dengar itu. 
Keduanya terus berlari cepat menerobos kegelapan 
malam dan semak belukar. Meskipun tanpa kata sepakat, 
ternyata mereka menuju arah yang sama. 
“Wah! Suara pertempuran itu sudah tidak terdengar 
lagi! Sepertinya pertempuran itu sudah berakhir, 
Anggini?” desah Benta, harap-harap cemas. 
Diam-diam ia pun mulai mengkhawatirkan nasib 
saudaranya yang sampai saat itu belum juga kembali. 
Jangan-jangan... Benta berusaha mengusir bayangan-
bayangan buruk yang muncul di benaknya. 
“He!?! Lihat itu, Benta! Rupanya salah seorang telah 
berhasil membunuh lawannya,” ujar Anggini ketika 
melihat sesosok tubuh tergeletak tak bergerak beberapa 
langkah di depannya.

“Kakang Ginta...!” Benta berteriak kalap begitu 
mengenali sosok tubuh yang tergeletak itu. 
Memang orang yang tergeletak itu adalah kakak 
seperguruannya. Maka cepat diraihnya sosok tubuh yang 
masih dibasahi darah segar itu. Bukan main hancurnya hati 
pemuda itu melihat kematian kakak seperguruannya. 
“Ah, siapa yang telah membunuhnya...?” gumam 
Anggini dengan suara lirih. 
Gadis cantik itu pun turut bersedih atas kematian salah 
seorang penolongnya. Meskipun merasa tidak suka dengan 
pandangan mata yang terlihat hangat dan mesra dari kedua 
orang itu, namun ia pun bukanlah seorang yang tidak tahu 
berterima kasih. Gadis itu tetap menghargai dan menyukai 
mereka sebagai sahabat yang menyenangkaa Dan kini 
tahu-tahu saja salah seorang dari penolongnya terbunuh. 
Bahkan tidak seorang pun dari mereka yang sempat 
melihat pembunuh itu. Maka tentu saja kejadian itu 
menimbulkan rasa penasaran di hati Anggini. 
Sementara Benta masih tetap memeluk tubuh kakak 
seperguruannya yang sudah tewas itu. Terdengar keluhan-
keluhan lirih dari mulut pemuda berkumis itu. Sepertinya 
hatinya benar-benar merasa terpukul atas kejadian itu. 
“Hm.... Akan kucari bangsat itu sampai dapat! Akan 
kucabik-cabik tubuhnya sampai hancur dan tidak 
berbentuk lagi!” geram Benta. 
Pemuda itu segera bangkit dengan sepasang mata 
mencorong menakutkan. Hingga Anggini sendiri pun 
sampai bergetar harinya. 
“Benta. Lebih baik kuburkan dulu mayat kakakmu itu. 
Besok, baru kita selidiki orang yang telah berbuat sekejam

itu,” Anggini mengajukan usulnya ketika melihat Benta 
melangkah sambil memondong mayat Ginla. 
'Tidak, Anggini. Aku akan membawanya ke pondok. 
Malam ini aku akan menemaninya. Besok, baru dikubur-
kan,” sahut Benta dengan suara serak dan bergetar. 
Kemudian langkahnya pun diteruskan menuju pondok. 
Untuk beberapa saat lamanya, Anggini hanya terpaku 
di tempatnya. Dimaklumi, apa yang saat tengah dirasakan 
Benta. Dan mungkin ia pun akan melakukan hal yang sama 
apabila kejadian itu menimpa dua orang kakak 
seperguruannya. 
Tak berapa lama kemudian, gadis itu pun melang-
kahkan kakinya perlahan. Karena ia sadar, kalaiu pada 
saat-saat seperti itu biasanya orang tidak ingin ditemani. 
Maka langkahnya segera diperlambat. 
Anggini menghentikan langkahnya sejenak. Dihelanya 
napas perlahan-lahan ketika teringat akan kedua orang 
saudara seperguruannya yang belum juga dapat ditemu-
kan. Kekhawatiran mulai menyelinap di hatinya. 
“Ah! Mudah-mudahan kejadian ini tidak menimpa diri 
kedua orang saudara seperguruanku! Kalau sampai terjadi 
apa-apa terhadap mereka, bagaimana aku harus mengata-
kannya kepada eyang guru. Bisa-bisa aku kena marah 
nanti,” pikir gadis itu dengan perasaan kacau, 
Tanpa sadar langkah kakinya mengarah ke tepi sungai 
yang mengalir membelah hutan. Dengan hati semakin 
resah, gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas sebongkah 
batu yang cukup besar. Dipandanginya pantulan sinar 
bulan yang jatuh di atas permukaan air yang mengalir 
bening. Pildrannya kembali menerawang kepada kedua

orang kakak seperguruannya, yang entah di mana saat ini. 
“Eh...?!” 
Gadis cantik itu kembali menolehkan kepala dengan 
wajah tegang. Lapat-lapat telinganya yang terlatih 
menangkap suara-suara pertarungan yang diselingi 
teriakan marah. Dan Anggini semakin terkejut ketika 
mengenali bentakan Benta. 
“Apakah.... Apakah...?!” 
Wajah gadis itu mendadak pucat begitu teringat akan 
kematian Ginta yang masih jadi tanda tanya di harinya. 
Dan kini terdengar kembali suara orang bertarung. Entah 
siapa yang tengah bertarung dengan Denta itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Anggini pun 
segera melesat menuju arah pondok. Tapi sayang, 
langkahnya tadi telah membawanya cukup jauh dari 
pondok tempat kedua orang pendekar muda itu tinggal. 
Sehingga, larinya harus tertunda-tunda untuk mencari 
arah suara orang yang tengah bertarung itu. 
Sedangkan di pondok tempat kediaman Ginta dan 
Benta, tampak dua sosok tubuh tengah bertarung sengit! 
Tempat di sekitar arena pertarungan sudah porak-
poranda. Sepertinya orang yang tengah bertarung dengan 
Benta itu memang memifiki kepandaian tinggi. Sehingga, 
biarpun Benta telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, 
tetap saja terdesak hebat. 
“Keparat! Siapa kau sebenamya? Mengapa kau 
memusuhi kami?” Benta berteriak-teriak marah sambil 
berlompatan menghindari serangan orang aneh itu. 
Hatinya benar-benar terkejut melihat kepandaian orang 
yang sama sekali tidak dikenalnya.

“Hm.... Siapa pun yang berani mendekati gadis itu, 
harus mati! Termasuk juga kau, Pemuda Mata Keranjang!” 
bentak lelaki tegap yang mengenakan pakaian serba hitam 
itu. 
Sesekali cahaya rembulan tampak menerangi wajahnya 
yang buruk dan menakutkan itu. Rambutnya yang panjang 
riap-riapan dan berwarna dua itu semakin menambah 
keangkerannya. 
“Bangsat! Kau harus menebus kematian saudaraku!” 
bentak Benta semakin kalap. 
Pemuda itu cepat melempar tubuhnya jauh belakang 
ketika pedang di tangan lawan menyambar ke arah tiga 
bagian tubuhnya sekaligus. 
“Huh! Jangan harap akan dapat lolos dari tanganku!” 
geram orang aneh itu. Dia memang menyangka Benta 
akan melarikan diri. Sesaat kemudian, tubuh orang itu 
pun melayang disertai ayunan pedangnya. 
Wuuut! Wuuut' 
“Akh...!” 
Benta kembali harus melempar tubuhnya, dan melaku-
kan beberapa kali salto di udara. Diam-diam kegentaran di 
hati Benta mulai timbul melihat keganasan dan kehebatan 
lawannya. Namun perasaan itu berusaha ditekannya ketika 
teringat akan kematian kakak seperguruannya di tangan 
laki-laki aneh berwajah buruk itu. 
“Hmh...!” 
Sambil menggeram gusar, Benta memutar senjatanya 
sedemikian rupa hingga membentuk gulungan sinar yang 
menyelimuti tubuhnya. 
“Yeaaat..!”

Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh pemuda 
berkumis apis itu melesat menerjang lawannya. Pedang di 
tangannya berkelebatan cepat meng-ancam beberapa 
bagian tubuh yang mematikan. 
“Huh...!” 
Laki-laki aneh berwajah buruk itu mengumpat. Dan 
pada saat itu juga pedang di tangannya bergerak cepat 
menimbulkan deru angin tajam. Sepertinya, ilmu 
pamungkasnya yang paling tinggi tengah dipersiapkan. 
Tubuhnya tampak agak membungkuk dengan kuda-kuda 
rendah. 
“Hiaaah...!” 
Sambil membentak keras, tubuh orang itu melayang 
menyambut serangan Benta. Serangkum angin keras 
menyertai ayunan pedangnya. Dari tiupan angin yang 
menderu itu, dapat diduga betapa hebatnya tenaga dalam 
yang dimiliki orang aneh itu. 
***

SEMBILAN

Pada saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba dari 
belakang Benta melesat sesosok bayangan putih. Sinar 
keemasan yang menyilaukan mata tampak menyertainya. 
Daa... 
 Trangngng! 
 “Akh...!” 
Benturan keras yang memekakkan telinga seketika 
terjadi bagaikan guntur menggelegar. Tubuh orang aneh 
itu terlempar disertai teriakan kagetnya. Namun dengan 
gerakan indah, tubuhnya berputar beberapa kali di udara 
untuk kemudian mendarat empuk di atas tanah. 
Hal itu pun dialami pula oleh sosok jubah yang 
menyelamatkan Benta dari kematian. Setelah berputar 
beberapa kali, tubuhnya pun mendarat ringan dengan 
kuda-kuda kokoh. 
“Siapa kau, Keparat! Aku sama sekali tidak mempunyai 
urusan denganmu! Sebaiknya, menyingkirlah sebelum aku 
berubah pikiran!” ancam orang aneh berwajah buruk itu, 
geram. 
Sepasang mata orang aneh itu tampak mengeluarkan 
sinar berkilat yang menggetarkan jantung. Jelas sekali 
kalau dia merasa gusar atas campur tangan sosok tubuh 
berjubah putih itu. 
“Hm.... Aku memang tidak mempunyai urusan secara 
langsung denganmu. Tapi perbuatanmu yang telah mem-
bunuhi orang-orang secara kejam, menyebabkan aku

terpaksa harus mencampurinya. Apakah alasanmu mem-
bunuhi mereka, Kisanak?” tanya sosok berjubah putih itu 
tanpa gentar sedikit pun. Bahkan sepasang matanya 
menentang pandangan mata si orang aneh dengan tidak 
kalah tajamnya. 
“Apa pedulimu, Pemuda Sombong!? Kalau memang 
ingin menghentikanku, lakukanlah! Karena, hanya 
kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku ini!” 
sahut laki-laki berwajah buruk itu. 
Seketika dia mehntangkan pedang di depan dada. Kali 
ini sikapnya terlihat lebih hati-hati. Mungkin baru 
menyadari kalau lawannya kali ini tidak dapat disamakan 
dengan korban-korbannya yang lain. 
Sosok berjubah putih yang menggenggam pedang 
bersinar kuning keemasan itu pun telah pula bersiap 
menghadapi lawannya. Pedang di tangannya terangkat 
naik ke atas kepala. Bersamaan dengan gerakan itu, selapis 
kabut putih keperakan mulai menyelimuti seluruh 
tubuhnya. 
“Pendekar Naga Putih...!” seru orang aneh itu terkejut. 
Meskipun demikian, wajah orang itu sama sekali tidak 
menampakkan suatu gejala sedikit pun. Sedangkan kedua 
kakinya sudah melangkah mundur begitu mengetahui, 
siapa orang yang menjadi lawannya. 
“Hm.... Pantas saja berani mencari urusanku. Rupanya 
kau pendekar muda yang tersohor itu!” geram laki-laki 
berwajah buruk itu sinis. Suaranya terdengar agak 
bergetar karena kekagetan yang bercampur kegentaran. 
“Maaf, Kisanak. Sebenarnya aku tidak ada permusuhan 
denganmu. Dan kalau kau mau berjanji untuk meng


hentikan kekejamanmu itu, aku akan merasa senang 
sekali. Bagaimana, Kisanak?” tanya pemuda berjubah putih 
yang tak lain Panji itu. 
“Huh! Apakah dikira aku akan lari terbirit-birit karena 
nama besarmu? Tidak, Sobat! Adalah suatu kehormatan 
besar apabila aku tewas di tanganmu. Namun, jangan 
harap kau dapat menghentikanku, kecuali bisa mem-
bunuhku. Itulah jalan satu-satunya yang harus kau 
lakukan,” jawab orang aneh itu yang rupanya salah duga 
dengan ucapan Panji. 
“Jangan salah mengerti, Kisanak,” tiba-tiba terdengar 
suara merdu yang disusul munculnya sesosok tubuh 
ramping berparas jelita. 
Gadis cantik itu melangkahkan kakinya mendekati 
Panji. Siapa lagi gadis jelita itu kalau bukan Kenanga. 
“Dengarlah, Kisanak. Pendekar Naga Putih sama sekali 
tidak bermaksud merendahkan ataupun menghinamu. 
Rasanya, jalan damai memang lebih baik daripada sebuah 
pertarungan. Dan Pendekar Naga Putih telah menawarkan 
jalan itu kepadamu. Bagaimana?” tanya gadis jelita itu lebih 
lanjut 
“Hm.... Jangan coba membujukku, Nisanak. Apakah 
kau pikir dengan kecantikanmu itu dapat melemahkan 
hatiku? Hmh..., kau keliru. Sudah kukatakan tadi, hanya 
kematianlah yang dapat menghentikan perbuatanku! Jadi 
percuma saja kalau kau berniat membujukku!” sahut orang 
aneh itu tetap pada pendiriannya. Sepertinya, tekadnya 
memang sudah tidak bisa dirubah lagi. 
“Kakang Benta! Kau..., kau tidak apa-apa...?” tiba-tiba 
saja terdengar seruan kecemasan. Begitu muncul, Anggini

langsung menghampiri Benta yang wajahnya masih 
nampak pucat itu. 
“Hhh... Aku tidak apa-apa, Anggini Pendekar Naga 
Putih telah menyelamatkanku dari keganasan laki-laki 
buruk itu,” desah Benta sambil menggerakkan kepala ke 
arah si orang aneh yang tampak mulai salah tingkah ketika 
melihat kedatangan Anggini. 
Mendengar jawaban pemuda berkumis itu, barulah 
Anggini sadar kalau mereka tidak hanya berdua di tempat 
itu. Lalu, pandangannya dialihkan kepada orang-orang 
yang berada di sekitar tempat itu. Terakhir, dipandangnya 
laki-laki berwajah buruk itu lekat-lekat. 
Dipandang sedemikian rupa oleh Anggini, orang aneh 
itu tampak semakin tidak bisa diam. Pandangannya 
kemudian dibuang ke arah lain. Sepertinya ia tidak suka 
dipandangi sedemikian tegas oleh Anggini. 
Panji yang memang sejak semula sudah dapat menduga 
kalau laki-laki buruk itu sepertinya mempunyai hubungan 
dengan gadis cantik itu, mulai menduga-duga sebabnya. 
“Diakah yang membunuh Gutala dan Kakang Ginta, 
Kakang Benta?” tanya Anggini tanpa mengalihkan 
pandangannya dari sosok tubuh laki-laki aneh itu. 
“Aku tidak tahu, siapa yang kau maksudkan dengan 
Gutala itu. Tapi yang jelas, orang aneh itulah yang telah 
membunuh Kakang Ginta. Kepandaiannya memang sangat 
tinggi. Pantas saja kalau Kakang Ginta sampai tewas di 
tangannya. Jangankan hanya seorang diri. Bahkan berdua 
pun rasanya aku masih ragu untuk dapat mengalah-
kannya,” sahut Benta hrih. Dari nada suaranya jelas sekali 
kalau Benta merasa kecewa.

“Nisanak. Apakah kau dapat mengenali lelaki aneh itu? 
Kelihatannya, ia agak gentar menghadapimu,” tanya Panji 
seraya menolehkan kepalanya memandang Anggini. 
Anggini mengerutkan keningnya begitu mendengar 
pertanyaan orang yang disebut Benta sebagai Pendekar 
Naga Putih. Diam-diam harinya mengagumi pemuda 
tampan itu. Apalagi dalam usia yang semuda itu, ia telah 
mampu membuat nama besar dalam dunia persilatan. 
Tanpa sadar Anggini mulai membanding-bandingkan 
pemuda tampan itu dengan pamannya. 
“Nisanak. Apakah kau mendengar pertanyaanku?” tanya 
Panji lagi ketika gadis cantik itu hanya memandanginya 
dengan sinar mata menerawang jauh. 
“Oh, apa...?” Anggini menjadi tergagap ketika men-
engar teguran Panji. Seketika lamunannya buyar. Wajah-
ya pun menjadi kemerahan teringat akan siapnya tadi. 
“Aku tadi bertanya, apakah kau dapat mengenali tau 
pern berkenalan dengan orang itu?” Panji mengulangi 
pertanyaannya. 
“Oh, tidak. Aku sama sekali tidak pemah mengenalnya. 
Bahkan melihatnya pun baru kali ini,” jawab Anggini yang 
menjadi tidak mengerti, mengapa pendekar muda itu 
mengajukan pertanyaan yang terdengar aneh. 
“Hei, berhenti! Mau lari ke mana kau?!” teriak endekar 
Naga Putih tiba-tiba. 
Panji langsung menggenjot tubuhnya ketika laki-laki 
berwajah buruk itu hendak melarikan diri. Melihat 
kecepatan gerak lawannya, Panji bergegas mengerahkan 
ilmu lari cepatnya agar dapat mengejar orang aneh itu. 
Pendekar Naga Putih semakin mempercepat larinya

ketika orang aneh itu berlri semakin cepat.Meskipun 
semula sudah dapat menduga kepandaian lawannya, 
namun harinya pun sempat terkejut juga ketika melhat 
kehebatan ilmu lari orang aneh itu. Sehingga, Panji 
terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga agar dapat 
menyusul laki-laki berwajah buruk itu. 
“Jangan harap dapat meloloskan diri dariku, Pengecut!” 
bentak Panji gusar. Sesaat kemudian, tubuhnya 
melambung dan bersalto beberapa kali di udara. 
Jleg! 
Orang aneh itu terpaksa menghentikan langkahnya 
ketika tubuh Pendekar Naga Putih telah berdiri tegak 
menghadang jalannya. Sadar kalau tidak mungkin dapat 
lolos dari kejaran pendekar muda itu, maka senjatanya 
langsung digerakkan ke arah Panji. 
“Yeaaat..!” 
Wuuut! Wuuut..! 
Panji bergegas melempar tubuhnya ke belakang meng-
indari serangan beruntun yang dilancarkan orang aneh itu. 
Namun Panji semakin terkejut ketika pedang lawan terus 
saja mengincarnya. Sepertinya, ia tidak ingin memberi 
peluang lawannya untuk membalas serangan. Maka Panji 
terpaksa harus memapak pedang lawan untuk mem-
bendung serangan orang aneh itu. 
Trangngng! Trangngng! 
Baik Panji maupun orang aneh sama-sama terjajar 
mundur beberapa langkah ke belakang. Sepertinya, usaha 
Panji untuk menghentikan serangan gencar orang itu 
berhasil baik. Buktinya setelah benturan keras itu, orang 
aneh itu menghentikan serangan. Sepasang matanya

menatap Panji tajam. Pedang di tangannya tampak 
bergetar karena dialiri tenaga sakti yang kuat. Orang aneh 
itu kini kembali menyiapkan serangan berikutnya. 
“Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa tidak 
kau biarkan saja aku pergi!” geram orang aneh itu. Dia 
merasa gusar sekali atas ulah Panji yang masih juga 
mengejarnya. 
“Maaf, Kisanak. Aku terpaksa harus mengejarmu. 
Karena kalau kubiarkan, maka korban kekejamanmu akan 
bertambah lagi. Dan aku tidak menginginkan hal itu 
terjadi,” tegas Panji, dingin. Suaranya terdengar tenang, 
namun tetap waspada kalau-kalau lawannya akan berbuat 
curang. 
“Keparat kau! Heaaat..!” 
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh orang aneh itu 
kembali menerjang Panji. Pedang di tangannya diputar 
sedemikian rupa, hingga menimbulkan gulungan sinar 
yang menderu bagai angin puting beliung. 
“Haaat..!” 
Panji yang semakin menyadari kehebatan lawan, tidak 
ingin berbuat kesalahan. Pedangnya segera diputar meng-
gunakan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' yang merupakan ilmu 
pedang andalan. 
Wrrr! Wrrr...! 
Serangkum angin dingin yang sanggup membekukan 
jalan darah di tubuh lawan, berhembus keras mengiringi 
ayunan pedang Pendekar Naga Putin. Sinar kuning 
keemasan tampak bergulung-gulung bagaikan seekor naga 
yang turun dari langit Tentu saja hal itu membuat 
lawannya terkejut.

“Gila! Kabar tentang kehebatan Pendekar Naga Putjh 
ternyata bukan hanya isapan jempol belaka!” desis orang 
bermuka buruk itu penuh kagum. 
Sadar akan kehebatan lawannya, orang aneh itu pun 
bergegas mengerahkan seluruh tenaganya. 
Sesaat kemudian, kedua orang tokoh sakti itu pun 
sudah saling menerjang hebat Dalam beberapa jurus saja, 
daun-daun kering dan bebatuan kecil beterbangan ke 
segala arah. Bukan hanya itu saja. Bahkan beberapa 
pepohonan di sekitarnya langsung bertumbangan terkena 
sambaran angin pedang kedua tokoh yang berilmu tinggi 
itu. Maka dalam sekejap saja, tempat itu telah porak-
poranda bagai tergilas topan hebat. 
Makin lama, Pendekar Naga Putin semakin bertambah 
kagum atas kehebatan lawan. Meskipun sebelumnya sudah 
diduga, namun sama sekali tidak disangka kalau orang 
bermuka buruk itu dapat menahan serangannya selama 
lebih dari tiga puluh jurus. Padahal, jurus-jurusnya 
sekarang ini merupakan jurus andalan. Maka tentu saja hal 
itu membuatnya penasaran. 
Demikian pula halnya dengan orang aneh itu. 
Walaupun sudah sering mendengar tentang kehebatan 
Pendekar Naga Putih, namun tak urung terkejut juga. 
Memang, apa yang dirasakannya kali ini benar-benar di 
luar dugaannya. Sehingga, seluruh ilmu simpannya harus 
dikeluarkan kalau tidak ingin dipecundangi pemuda itu. 
Sementara itu, Kenanga, Anggini, dan Benta telah tiba 
di dekat arena pertarungan. Anggini dan Benta ternganga 
kagum melihat pertarungan yang selama hidup belum 
pernah mereka saksikan. Keduanya sampai terbelalak

pucat tanpa mampu mengeluarkan suara. Anggini dan 
Benta benar-benar dibuat takjub! 
Sedangkan bagi Kenanga, pertarungan dahsyat itu 
bukanlah hal yang aneh. Dia memang telah sering melihat 
pertarungan kekasihnya, bahkan lebih hebat dari yang 
disaksikannya kali ini. Gadis jelita itu kemudian mem-
peringatkan Anggini dan Benta agar tidak terlalu dekat 
dengan pertarungan. Karena bisa-bisa sambaran angin 
pukulan dan pedang dapat melukai mereka. 
“Heaaat..!” 
Laki-laki berwajah buruk yang semakin penasaran itu 
tiba-tiba memekik nyaring. Saat itu juga tubuhnya 
berputar setengah lingkaran, disertai ayunan pedangnya. 
Cwiiit! Swing! Wuuut..! 
Ayunan pedang orang aneh itu menyambar cepat 
secara bersilangan. Secercah sinar berkilat yang disertai 
sambaran angin tajam mencicit memekakkan telinga, 
mengiringi serangan itu. Tiga buah serangan sekaligus 
meluncur mengancam tiga jalan darah kematian di tubuh 
Panji. 
Pendekar Naga Putih sempat tercekat melihat serangan 
maut yang menggiriskan itu. Namun sebagai orang yang 
telah berpengalaman, ia tidak merasa gugup dalam 
menghadapi serangan dahsyat itu. Dengan tenang, tubuh 
Panji meliuk dan bergerak mundur. Begitu serangan 
lawan lewat, pedang di tangannya meluncur melakukan 
tusukan ke lambung lawan. Ujung pedang yang 
mengeluarkan sinar berpendar itu tampak bergetar mem-
bingungkan pandangan lawan. 
Swingngng!

“Heaaah...!” 
Sadar kalau serangan itu sangat berbahaya, lelaki 
berwajah buruk itu bergegas melempar tubuhnya ke 
belakang disertai bentakan. Maksudnya, agar serangan 
lawan terpengaruh. 
Namun Pendekar Naga Putih telah meraba gerakan 
lawan. Dan begitu tubuh lawan menghindar dengan 
membuat putaran ke belakang, tubuh pendekar muda itu 
pun bergerak menyusulinya disertai sambaran tangan 
kirinya yang membentuk cakar naga. Jari-jari yang telah 
terisi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' itu meluncur cepat 
mengancam dada lawannya. 
Orang aneh itu berseru tertahan melihat dadanya tahu-
tahu telah terancam cakar lawan. Cepat-cepat tubuhnya 
dimiringkan sambil menepiskan serangan itu dengan 
tangan kiri. Namun tanpa disangka-sangka, cakar itu 
langsung berputar dan kembali menyambar mukanya. 
Brettt! 
“Akh...!” 
Lelaki berwajah buruk itu menjerit tertahan ketika 
sambaran cakar Panji merobek pipi kirinya. Namun 
meskipun begitu, ia masih juga dapat menjaga keseim-
bangan tubuhnya. Hasilnya, kakinya dapat didaratkan di 
atas tanah dengan selamat . 
“Eh...?!” 
Panji tersentak kaget ketika tangan kirinya yang 
mencengkeram wajah orang aneh itu ternyata telah 
menggenggam sebuah topeng karet yang amat tipis. 
Cepat-cepat pandangannya dilemparkan ke arah orang 
aneh yang telah menjelma menjadi seorang laki-laki gagah

yang cukup tampan. Dan sepertinya, orang itu belum 
menyadari kalau penyamarannya telah terbuka. Tak heran 
kalau ia masih tetap menatap Panji dengan sorot mata 
tajam mengandung dendam. 
*** 
“Paman Kembara...!” 
Tiba-tiba saja terdengar seruan Anggini yang lirih. 
Namun gadis cantik itu belum yakin sepenuhnya akan 
pandang matanya itu. Makanya, ia hanya menatap dengan 
sinar mata terbelalak. 
“Ahhh...!” 
Orang aneh yang tak lain Kembara itu tersentak 
bagaikan mendengar ledakan petir di telinganya. Wajah 
yang bersih dan gagah mendadak pucat Dengan tangan 
gemetar, wajahnya diraba. Dan ketika tidak merasakan 
adanya topeng yang selama ini menurupi wajahnya, 
tubuhnya pun semakin gemetar hebat. 
“Paman...!” 
Setelah yakin kalau orang itu memang pamannya, 
Anggini pun bergegas menghambur ke arah Kembara. 
Terdengar isaknya yang lirih. Gadis itu benar-benar telah 
lupa akan perbuatan pamannya yang telah begitu tega 
membunuh orang-orang yang mengganggu dan men-
dekarinya. Yang teringat saat ini adalah, kasih sayang 
pamannya yang telah merawatnya sejak kecil. Tentu saja 
hal itu tidak mungkin akan dapat dilupakannya. 
“Ah...!” 
Kembara merasa kan hatinya hancur. Rasanya ia lebih

baik mati saat ini, daripada harus menanggung malu 
karena penyamarannya telah terbongkar. Begitu melihat 
Anggini berlari ke arahnya, laki-laki gagah berusia tiga 
puluh satu tahun itu pun segera melesat pergi 
meninggalkan tempat itu. 
“Pamaaan...!” Anggini berteriak mencegah kepergian 
Kembara. 
Namun Kembara tidak mempedulikannya. Dia terus 
saja berlari tanpa menoleh lagi. Lemas rasanya seluruh 
persendian tubuh Anggini. Gadis itu hanya dapat terduduk 
sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. 
Terdengar suara isaknya yang lirih. 
Tinggallah Panji, dan Benta yang terpaku saling 
berpandangan. Pendekar Naga Putih pun tidak mengejar 
laki-laki gagah yang dipanggil Paman Kembara itu. 
Mereka benar-benar bingung melihat perubahan yang 
sama sekali tidak pernah diduga itu. Sehingga untuk 
beberapa saat, mereka hanya terpaku tanpa suara. 
Tidak berapa lama kemudian, Anggini bergerak 
bangkit Gadis cantik itu menyusut air matanya sejenak, 
lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah tiga orang 
yang masih berdiri menatapnya dengan heran. Mereka 
memang tidak mengerti, apa yang membuat gadis itu 
menangis. Rasanya tidak mungkin kalau hanya karena 
ditinggalkan pamannya. Pasti ada sesuatu penyebab yang 
lebih dari itu. 
Dengan langkah gontai, Anggini melangkah meng-
hampiri Panji, Kenanga, dan Benta. Pandang matanya 
yang redup tampak tertuju kepada Benta. Gadis cantik itu 
menghentikan langkahnya dalam jarak satu batang tombak

“Kakang Benta, ketahuilah. Bahwa orang yang telah 
membunuh saudaramu itu adalah pamanku. Aku tidak 
tahu, apa yang telah menyebabkannya hingga berbuat 
demikian. Tapi kalau kau ingin membalaskan kematian 
saudara seperguruanmu itu, lampiaskanlah padaku. Hal ini 
kulakukan bukan semata-mata karena aku keponakan 
ataupun muridnya yang telah diasuh sejak kecil. Ini hanya 
karena aku yakin kalau perbuatan pamanku itu ada 
sangkut-pautnya dengan diriku. Dan demi orang yang 
telah mendidikku sejak kecil, aku rela menebus dosanya 
dengan darahku. Dan aku percaya, pamanku tidak akan 
melakukan perbuatan seperti ini lagi,” ujar Anggini 
dengan sinar mata pasrah. 
Benta hanya berdiri kaku menatap wajah cantik yang 
telah menyentuh hatinya itu. Sehingga untuk beberapa 
saat, ia hanya berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat 
apa. Meskipun dendam di hatinya belum mampu dihilang-
kan, namun ia tidak akan tega untuk membalaskan 
dendam terhadap gadis itu. 
'Pendekar Naga Putih! Kau sebagai orang yang lebih 
berpengalaman, tentunya bisa mengambil jalan tengah. 
Sekarang, apa pendapatmu? Rasanya saat ini aku mem-
butuhkan nasihatmu,” pinta Benta seraya menolehkan 
kepalanya ke arah Panji yang berada tidak jauh di 
sebelahnya. 
Panji tidak langsung menjawab. Kemudian kakinya 
melangkah perlahan. Dipandanginya kaki langit sebelah 
Timur yang dijalari wama kemerahan. Rupanya, saat itu 
pagi sudah mulai menjelang. 
“Benta, kau meminta pendapatku, atau menyerahkan

persoalan ini kepadaku?” tanya Pendekar Naga Putih yang 
segera mengalihkan pandangan. Ditatapnya Benta lekat-
lekat. 
“Mmm.... Aku menyerahkan persoalan ini kepadamu. 
Apa pun yang menjadi keputusanmu, akan kusetujui,” 
sahut Benta tanpa ragu-ragu sedikit pun. Sepertinya 
pemuda itu telah menaruh kepercayaan penuh kepada 
Pendekar Naga Putih. 
“Menurut pendapatku, kejadian seperti ini rasanya 
tidak akan terulang lagi. Pembunuh aneh yang ternyata 
adalah paman gadis ini, tidak mungkin akan melakukannya 
lagi. Sebab, rahasia yang selama ini menyelimuti dirinya 
sudah terungkap. Dan menurut penglihatanku, pada 
dasarnya orang itu tidaklah sejahat yang kita duga. Jadi, 
alangkah baiknya kalau kita lupakan saja persoalan ini. 
Bagaimana, Benta?” tanya Panji setelah menerangkan 
panjang lebar tentang pendapatnya. 
“Aku menyetujuinya, Pendekar Naga Putih. Biarlah 
persoalan ini dihabiskan sampai di sini saja. Nah! Kalau 
begitu, aku pergi dulu untuk mengurus jenazah kakak 
seperguruanku. Selamat tinggal!” pamit Benta seraya 
melangkah meninggalkan tempat itu. 
“Selamat jalan, Kakang Benta. Terima kasih atas 
kebaikan hatimu yang mau memaafkan kekhilafan 
pamanku!” ucap Anggini dengan wajah agak berseri. 
“Maaf, Pendekar Naga Putih. Aku pun harus menyusul 
pamanku.” 
Panji dan Kenanga hanya menganggukkan kepala 
dengan senyum terkembang. Kemudian gadis itu cepat 
melesat pergi. Makin lama, bayangan tubuhnya yang

ramping kian hilang ditelan kejauhan. 
“Sepertinya antara orang yang dipanggil Paman 
Kembara dan gadis itu ada sesuatu yang aneh, Kakang? 
Apakah kau pun melihatnya?” tanya Kenanga setelah 
Anggini tak terlihat lagi. 
“Hm.... Ya. Aku jadi ingin tahu, ada apa sebenarnya di 
antara kedua orang itu. Ayo, kita ikuti gadis itu,” ajak 
Panji. 
Pendekar Naga Putih segera mengayunkan kakinya 
mengejar Anggini. Kenanga yang juga merasa penasaran, 
bergegas mengikuti langkah kekasihnya. 
*** 
“Demikianlah, Eyang. Setelah memberi pelajaran 
kepada kedua orang pembunuh itu, maka kami bergegas 
kembali menemui Adik Anggini. Tapi sayang, kami tidak 
berhasil menemukannya. Setelah mengitari seluruh desa 
tanpa hasil, maka kami pun memutuskan untuk kembali 
ke lembah. Dugaan kami, mungkin Adik Anggini telah 
kembali ke sini,” lapor salah seorang dari kedua pemuda 
yang tengah duduk di hadapan seorang kakek renta. 
“Hm...,” kakek yang tak lain adalah Begawan Madapati 
itu hanya bergumam sambil mengelus jenggotnya yang 
panjang dan berwama putih. 
“Ampunkanlah kami, Eyang. Kami mengaku salah,” 
ucap pemuda yang satunya, lirih. Wajahnya yang gagah 
tampak menunduk penuh penyesalan. 
“Sebaiknya kalian beristirahat dulu. Nanti Eyang akan 
menyuruh pamanmu untuk mencarinya. Mudah-mudahan

saja ia segera kembali,” ujar kakek itu lembut, penuh 
harap. 
Lega hati kedua pemuda itu ketika tidak mendengar 
adanya nada kemarahan dalam suara kakek itu. Mereka 
pun segera berpamitan untuk kembali ke pondok masing-
masing. 
Setelah kepergian kedua orang muridnya itu, Begawan 
Madapati bergegas meninggalkan pondok-nya. Begitu tiba 
di luar pondok, tubuh kakek itu melesat menuju ke suatu 
tempat yang hanya diketahui Kembara dan dirinya sendiri. 
Tak lama kemudian, Begawan Madapati tiba di sebuah 
mulut gua yang agak tertutup semak-semak. Untuk 
beberapa saat lamanya, kakek itu hanya berdiri mengawasi 
mulut gua. Lalu kakinya melangkah memasuki mulut gua 
itu. 
“Aku telah mengetahui kedatanganmu, Kembara. 
Mengapa kau tidak langsung menghadapku, tapi kau malah 
menyembunyikan diri di tempat ini?” tanya kakek itu 
sambil mengawasi sosok tubuh yang telah mem-
belakanginya. 
“Ampunkan aku, Eyang. Aku... aku telah membuat 
kesalahan yang besar,” sahut sosok tubuh yang tak lain 
adalah Kembara itu. Rupanya ia pun telah mengetahui 
kedatangan gurunya. Kembara menundukkan wajahnya 
yang pucat di depan kakek itu. 
“Ceritakanlah, Muridku. Jangan kau simpan kedukaan 
itu dalam hatimu. Sebab kedukaan itu dapat meracuni 
tubuhmu dan merusak batin,” ujar Begawan Madapati 
yang memang sangat menyayangi murid turiggalnya itu. 
Memang, hanya Kembara-lah yang merupakan murid

langsung hasil didikannya. 
Kembara yang sudah lama mengetahui akan perasaan 
gurunya itu, segera menceritakan apa-apa yang telah 
diperbuatnya. Sedangkan Begawan Madapati hanya men-
dengarkan disertai helaan napas panjang. Orang tua itu 
hampir-hampir sulit mempercayai cerita yang didengar-
nya. 
“Hhh.... Mengapa kau sampai tersesat sedemikian jauh, 
Kembara? Sadarkah kau bahwa perbuatanmu itu bisa 
menimbulkan kesulitan buat kita semua,” desah Begawan 
Madapati. Laki-laki tua itu merasa agak terpukul men-
dengar perbuatan murid satu-satunya yang amat disayangi 
itu. 
“Ampunkan aku, Eyang. Hukumlah aku,” rintih 
Kembara dengan wajah yang semakin pucat bagaikan tak 
berdarah. 
“Sudahlah. Penyesalan itu tidak mungkin akan dapat 
menghidupkan orang-orang yang telah kau bunuh. 
Sebaiknya, tetaplah di sini. Bersihkanlah hatimu dari 
segala nafsu jahat yang masih menguasai dirimu,” ujar 
Begawan Madapati. Kemudian, laki-laki tua itu melang-
kahkan kakinya keluar dari tempat ini. Terdengar helaan 
napas berat yang mewakili kekecewaan hatinya. 
“Baik, Eyang,” sahut Kembara yang segera melihat 
kedua kakinya untuk melakukan semadi seperti yang 
diperintah gurunya. 
***

“Eyang...!” begitu memasuki pondok, Anggini 
langsung menjatuhkan dirinya berlutut di depan Begawan 
Madapati. 
Wajah gadis itu tampak pucat. Rambutnya yang biasa-
nya selalu terkepang dua, kini nampak terurai kusut. 
“Anggini! Kau sudah kembali, Cucuku. Syukurlah kau 
selamat,” sambut kakek itu seraya mengelus rambut 
kepala Anggini 
“Eyang! Paman.., Paman Kembara di mana, Eyang?” 
tanya Anggini, langsung. Sepasang matanya tampak masih 
merah dan agak membengkak karena terlalu banyak 
menangis. 
“Mengapa datang-datang langsung menanyakan paman-
mu, Anggini? Apakah ada sesuatu yang terjadi terhadap 
pamanmu? Di mana kau bertemu dengannya?” tanya 
Begawan Madapati, memancing keterangan gadis itu. 
Dengan terbata-bata, Anggini segera menceritakan 
mengenai pengalamannya selama meninggalkan Lembah 
Gunung Tangger. 
“Hm.... Kemarin pamanmu telah kembali, tapi 
kemudian pergi lagi untuk membersihkan hatinya yang 
ternyata masih bisa diracuni perasaannya itu. Dan hal itu 
lebih baik baginya,” ujar Begawan Madapati sengaja 
menyembunyikan hal yang sebenamya. 
“Tapi, Eyang. Aku harus bertemu paman. Aku ingin 
tahu, mengapa paman melakukan perbuatan-perbuatan 
seperti itu? Aku ingin mendengar alasannya, Eyang,” 
rintih Anggini lirih. 
Air mata gadis ttu kembali mengalir membasahi 
prpinya. Harinya sedih sekali ketika mendengar kala


pamannya kembali telah pergi meninggalkannya. Anggini 
merasakan dunianya semakin sempit. Semangat hidupnya 
pun langsung lenyap bersama kepergian sang Paman. 
“Anggini..!” 
Tiba-tiba terdengar suara serak yang bergetar dari arah 
pintu pondok. Seorang lelaki gagah berusia sekitar tiga 
puluh tahun berdiri di muka pintu dengan wajah pucat 
“Pamaa..!” 
Begitu mengenali, Anggini langsung menghambur ke 
dalam pelukan orang itu. Tangisnya pun meledak 
memilukan. Hingga untuk beberapa saat lamanya ruangan 
pondok itu menjadi hening. Yang terdengar hanya suara 
tangis Anggini yang semakin lemah. 
“Paman! Apakah yang membuat Paman melakukan 
perbuatan-perbuatan itu? Katakanlah, Paman. Aku ingin 
mendengamya,” desak Anggini. Suaranya terdengar lirih, 
namun penuh tuntutan. Gadis cantik itu menengadahkan 
wajahnya memandangi wajah pamannya lekat-lekat 
“Anggini, aku..., aku...,” Kembara tergagap karena apa 
yang akan diucapkannya adalah sesuatu yang tidak pantas 
menurutnya. 
“Katakanlah, Paman,” desak Anggini. 
“Maafkan aku, Anggini. Aku..., aku tidak bisa 
mengatakannya,” sahut Kembara yang wajahnya menjadi 
pucat dan merah berganti-ganti. 
“Paman melakukannya karena mencintaiku, bukan? 
Mengapa harus disembunyikan? Mengapa Paman tidak 
pernah mengatakannya kepadaku? Mengapa Paman malah 
menjauhiku? Tidakkah Paman sadar kalau aku pun 
mencintaimu. Dan betapa tersiksanya aku menunggu

nunggu pengakuan Paman. Apakah Paman tidak 
mengetahui hal itu?” Anggini tahu-tahu saja begitu lancar 
berbicara. 
“Tidak, Anggini. Aku sudah terlalu tua untukmu. 
Lebih baik kau pilih salah seorang di antara kakak 
seperguruanmu. Mereka adalah pemuda pilihan yang lebih 
baik daripada aku,” jawab Kembara berusaha mengelak 
karena perbedaan umur mereka yang terlalu jauh. “Aku 
tahu, kedua orang saudaramu itu sangat mencintaimu, 
Anggini. Dan aku percaya, mereka pasti akan menjagamu 
dengan baik.” 
“Tidak, Paman. Pamanlah yang lebih tepat untuk 
menjaga Adik Anggini. Kami berdua rela. Dan kami 
sadar, hanya Pamanlah lelaki satu-satunya yang dicintai 
Anggini. Dan lagi menurut kami, Paman tidaklah setua 
seperti yang Paman rasakan. Jadi rasanya tidak ada lagi 
yang patut dipersoalkan,” ujar salah seorang dari kedua 
pemuda yang tak lain adalah Wirasaba dan Samba. 
Mereka memang tahu-tahu saja telah muncul di 
belakang pamannya. Rupanya seperti halnya Kembara, 
mereka pun tak sengaja datang ke tempat itu. Niat mereka 
semula hanyalah ingin menghadap Begawan Madapati 
untuk menanyakan kabar Anggini dan pamannya. 
“Ah, Wirasaba, Samba. Kalian pun sudah ada di sini 
rupanya,” sapa Kembara yang segera menyuruh kedua 
orang muridnya itu masuk. Setelah itu, Kembara 
mengalihkan pandangannya kepada Begawan Madapati 
yang hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk. 
“Nan! Kali ini kau tidak ada alasan lagi, Paman. Eh, 
Kakang. Mereka semua sudah setuju. Jadi, aku pun tidak

sudi lagi untuk memanggil paman. Maka, biarlah kau 
kupanggil dengan Kakang Kembara saja. Agar kau tidak 
merasa tua.” 
Sambil berkata demikian, Anggini segera menarik 
tangan Kembara menuju keluar pondok. Langsung 
dlbawanya laki-laki itu ke tepi sungai. 
Bagaikan kerbau yang dicucuk hldungnya, Kembara 
pun hanya menurut saja, ke mana gadis cantik itu 
membawanya. Wajahnya yang semula pucat nampak 
mulai berseri. Kebahagiaan jelas terpancar dari mata 
keduanya. 
Begawan Madapati hanya tersenyum melihat ke-
pergian kedua orang itu. Demikian pula dengan Wirasaba 
dan Samba. Mereka semua berharap agar Kembara bisa 
menebus dosa-dosanya dengan berbuat baik d1 kemudian 
hari. Mereka pun sadar, cinta memang mampu 
mengalahkan segalanya. Termasuk menutup mata dan jhva 
kependekaran Kembara. Perasaan cemburunya terlalu 
berkobar-kobar! Padahal sesungguhnya Kembara adalah 
seorang laki-laki yang berjiwa baik dan jujur. 
*** 
“Nah! Betul kan, dugaanku. Mereka pasti saling cinta,” 
ujar seorang gadis jelita yang tengah berdiri berdampingan 
di atas sebongkah batu besar di seberang sungai. Rupanya 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga telah sampai pula di 
Lembah Gunung Tangger. Dan mereka memperhatikan 
semua kejadian itu dari jauh. 
“Ya. Mudah-mudahan saja, mereka pun berbahagia

seperti kita,” sahut Panji yang berada di sebelah Kenanga. 
Setelah berkata demikian, kedua tangan Pendekar Naga 
Putih langsung bergerak menyambar tubuh gadis jelita itu. 
Seketika, Kenanga dibawanya lari meninggalkan lembah. 
“Aih! Apa-apaan ini, Kakang? Sudah mulai genit, ya?” 
seru Kenanga manja. 
Meskipun bibirnya berkata demikian, namun gadis itu 
tidak berusaha melepaskan tubuhnya dari pondongan 
Pendekar Naga Putih.


                            SELESAI 
 


Share:

0 comments:

Posting Komentar