..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE BADAI RIMBA PERSILATAN

matjenuh khairil

 

BADAI RIMBA PERSILATAN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Badai Rimba Persilatan
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Malam baru saja berganti pagi. Kegelapan yang se-
mula menyelimuti permukaan bumi, telah sirna oleh 
kehangatan cahaya sang mentari. Kicauan burung 
yang bercanda di dahan-dahan pohon, semakin me-
nambah keindahan dan keceriaan suasana pagi.
Namun, suasana indah itu tiba-tiba saja dirusak 
oleh derap kaki kuda yang bergemuruh.
“Heyyyaaa...! Heyyyaaa...!”
Suara derap kaki kuda itu masih diiringi pula oleh 
bentakan sesekali. Bahkan tidak jarang terdengar lecu-
tan ke tubuh binatang itu, Kelihatannya, penunggang 
kuda itu ingin cepat-cepat sampai.
Debu mengepul mengotori udara pagi yang segar. 
Tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi seo-
rang bertubuh tegap itu terus saja melaju membelah 
jalan berdebu. Suara gemuruh yang disertai bentakan 
serta lecutan, tentu saja membuat binatang-binatang 
yang tengah bercengkerama menyambut pagi merasa 
terganggu. Terbukti, suara-suara yang semula sema-
rak langsung sirna. Bahkan dari beberapa batang po-
hon rindang, tampak belasan ekor burung beterbangan 
meninggalkan pohon-pohon tempat bersenda-gurau. 
Tapi, keadaan seperti ini tentu saja tidak diperdulikan 
ketiga orang penunggang kuda itu. Mereka terus me-
macu binatang tunggangannya melewati jalan berdebu.
Matahari sudah mulai naik tinggi. Sedang ketiga 
orang penunggang kuda yang semuanya mengenakan 
pakaian berwarna kuning, saat itu mulai melintasi se-
buah hutan kecil. Dari sulaman bergambar seekor ular 
dari benang emas di bagian belakang pakaian, bisa di-
tebak kalau ketiga orang penunggang kuda itu berasal

dari Perguruan Ular Emas.
Dalam kalangan rimba persilatan, nama Perguruan 
Ular Emas bukanlah nama baru lagi. Malah, nama itu 
bukan saja terkenal sekadipaten, tapi sudah terdengar 
sampai ke separuh negeri. Dari sini saja sudah dapat 
diukur, sampai di mana kehebatan orang-orang pergu-
ruan itu.
Ketenaran nama Perguruan Ular Emas sebenarnya 
tidaklah aneh, melihat sang pendiri perguruan itu sen-
diri adalah tokoh yang berjuluk Pendekar Ular Emas. 
Bahkan julukan itu tidak asing lagi bagi kaum persila-
tan. Dan karena nama perguruan itu memang diambil 
dari julukannya, maka sudah barang tentu cepat di-
kenal orang.
Sementara itu, tiga orang penunggang kuda yang 
terdiri dari murid-murid Perguruan Ular Emas sudah 
keluar dari daerah hutan kecil. Kini, mereka menyusu-
ri jalan yang terdiri dari hamparan padang rumput hi-
jau. Meskipun sejauh mata memandang hanya ben-
tangan rumput, namun ketiga orang itu sama sekali 
tidak perduli. Mereka terus membedal kuda melintasi 
padang rumput itu.
Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati 
hamparan padang rumput hijau itu, ketiga penung-
gang kuda itu tiba pada jalan yang bersimpang tiga. 
Mereka sama-sama menolehkan kepala ketika men-
dengar suara derap lain yang datangnya dari arah kiri.
“Hm..., tampaknya orang-orang dari Perguruan Ca-
kar Besi pun baru muncul...,” gumam penunggang ku-
da terdepan ketika dari jalan sebelah kirinya muncul 
tiga penunggang kuda berseragam coklat tua.
Melihat adanya senyum kelegaan di wajah penung-
gang kuda ini, jelas kalau tiga orang berseragam coklat 
tua itu segolongan dengan mereka. Hal itu pun tampak

jelas dari keceriaan wajah mereka.
“Hoooppp...!”
Ketika tiba di dekat ketiga orang penunggang kuda 
berseragam kuning cerah, para penunggang kuda ber-
seragam coklat tua serentak menarik tali kekang ku-
danya. Diiringi suara ringkikan panjang, kuda-kuda 
itu terpaksa menghentikan larinya.
“Ha ha ha...! Kupikir kau sudah tiba di tempat tu-
juan lebih dulu, Jasminta. Rupanya kau sedikit ter-
lambat, heh? Atau memang sengaja datang terlambat? 
Sebab, biasanya Pendekar Ular Emas selalu tepat wak-
tu apabila berjanji...,” terdengar teguran lelaki gagah 
berjubah coklat, kepada penunggang kuda berjubah 
kuning yang berada paling depan.
Dari teguran itu, jelas kalau lelaki penunggang ku-
da terdepan yang berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun itu adalah Pendekar Ular Emas. Pendiri, dan seka-
ligus ketua perguruan yang tersohor itu.
Lelaki tua berjubah kuning yang bernama Ki Jas-
minta atau Pendekar Ular Emas tertawa pelan ketika 
mendengar teguran sahabatnya. Wajah yang masih 
nampak segar dengan sepasang mata yang setajam bu-
rung elang, membuat penampilan Ki Jasminta semakin 
bertambah angker dan penuh perbawa. Bahkan wa-
jahnya yang masih nampak gagah, masih pula terhias 
sebaris kumis tebal melintang. Meskipun telah ber-
warna dua, namun kumis tebal itu membuat wajah Ki 
Jasminta semakin berwibawa.
“Ha ha ha...! Kita sudah semakin tua, Raksa Mala. 
Jadi, wajar saja kalau semakin lama bertambah lam-
ban dalam menanggapi segala sesuatu. Kulihat kau 
pun sudah terlambat dari waktu yang ditentukan, bu-
kan? Nah, apakah kau juga telah malas, atau sengaja 
terlambat?” Ki Jasminta balik menegur penunggang

kuda terdepan yang berjubah coklat.
Tapi, orang tua yang usianya sedikit lebih tua dari 
Ki Jasminta itu hanya tertawa saja. Wajahnya yang 
sudah mulai dipenuhi garis ketuaan, terlihat berlipat 
ketika lelaki tua yang bernama Ki Raksa Mala tertawa. 
Dari keramahan yang diperlihatkan, dapat diduga ka-
lau orang tua itu merupakan sahabat lama.
Ki Raksa Mala atau lebih dikenal dengan julukan 
Cakar Penghancur Tulang, memang bukan orang baru 
dalam rimba persilatan. Meskipun tidak setenar dan 
seharum Pendekar Ular Emas, namun Cakar Penghan-
cur Tulang telah cukup terkenal dan ditakuti. Dan se-
perti halnya Pendekar Ular Emas, Cakar Penghancur 
Tulang juga telah mengundurkan diri setelah merasa 
terlalu tua untuk bertualang. Beberapa tahun setelah 
nama tokoh itu lenyap, lalu muncullah Perguruan Ca-
kar Besi yang didirikannya. Pamor Perguruan itu pun 
langsung naik ke permukaan, dan dikenal orang ba-
nyak. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari ketena-
ran nama ketuanya, Ki Raksa Mala.
Meskipun tinggal berjauhan, namun antara Ki Jas-
minta dan Ki Raksa Mala selalu mengadakan perte-
muan. Kadang, mereka sama-sama menguji kepan-
daian murid masing-masing, Kadang pula saling ber-
tandang agar persahabatan tetap terjalin baik. Demi-
kian pula dengan pagi itu. Mereka kembali mengada-
kan pertemuan dengan beberapa ketua persilatan. Se-
perti biasa, masalah yang dibicarakan adalah tentang 
kaum golongan sesat yang sering membuat ulah.
Setelah saling tukar sapa, kedua tokoh persilatan 
yang masing-masing memiliki sebuah perguruan itu 
menyusuri jalan lebar secara berdampingan. Sedang-
kan empat orang murid dari dua perguruan itu mas-
ing-masing mengiringi dari belakang.


***
Saat itu, matahari sudah berada di atas kepala. 
Rombongan Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sudah 
memasuki daerah perbukitan di luar Desa Lintang. Sa-
lah satu dari bukit itulah yang menjadi tujuan mereka. 
Di sana, tampak sebuah bangunan besar, mirip se-
buah perguruan.
“Hm..., tampaknya Adi Pasa Alam belum datang...?” 
desah Ki Jasminta bernada agak heran.
Kening lelaki gagah itu terlihat agak berkerut, se-
perti mencium sesuatu yang tak wajar.
Ki Raksa Mala yang juga merasa heran melihat ban-
gunan di salah satu bukit itu masih nampak sunyi, 
ikut mengerutkan kening. Meskipun demikian, mereka 
terus bergerak maju mendekati gerbang bangunan ku-
no itu. Hanya saja, langkah kaki kuda mereka terlihat 
agak perlahan. Bahkan terkesan sangat lambat Semua 
itu tentu saja didasari oleh rasa curiga dalam pikiran 
mereka.
Ketika kedua rombongan itu tiba di depan gerbang, 
Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala sama-sama bertukar 
pandang. Seperti telah memperoleh kata sepakat, tiba-
tiba saja kedua orang tokoh kawakan itu sama melom-
pat turun dari atas panggung kuda masing-masing. 
Setelah memberi isyarat kepada dua orang murid mas-
ing-masing, Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala melesat 
meninggalkan mereka. Rupanya, dua tokoh persilatan 
itu hendak memasuki bangunan ini dari bagian bela-
kang.
Sepeninggal Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, keem-
pat orang lelaki gagah murid utama dari dua pergu-
ruan berbeda itu, sama-sama melompat turun dari 
atas panggung kuda. Kemudian melangkah ke dekat 
gerbang yang masih tertutup.


Setelah untuk yang kesekian kalinya saling bertu-
kar pandangan, salah seorang yang berpakaian kuning 
mengulurkan tangannya dan mendorong pintu gerbang 
bangunan itu.
Gggrrrggg...!
Lelaki gagah berusia empat puluh tahun yang me-
rupakan murid ke dua dari Ki Jasminta itu bergerak 
mundur ketika pintu gerbang yang didorongnya ter-
nyata tidak terkunci. Keempatnya bersiap untuk 
menghadapi segala kemungkinan.
“Hhh...,”
Terdengar helaan napas lega dari keempat orang 
murid Perguruan Cakar Besi dan Perguruan Ular Emas 
itu.
Ternyata, apa yang dikhawatirkan sama sekali tidak 
beralasan.
“Hm..., mungkin kita hanya terbawa oleh rasa curi-
ga guru kita...,” kata lelaki gagah berpakaian kuning, 
disertai helaan napas panjang.
Dia merupakan murid pertama Ki Jasminta. Semen-
tara yang lainnya hanya menganggukkan kepala. Se-
pertinya, mereka pun merasa sependapat dengan lelaki 
gagah itu.
Setelah merasa yakin kalau tidak ada yang patut di-
curigai, maka keempat murid dua perguruan itu pun 
melangkah masuk. Tapi baru saja sebelah kaki men-
ginjak halaman gedung, tiba-tiba terdengar suara ber-
desingan yang menuju ke arah mereka.
“Awaaasss...!”
Lelaki gagah murid pertama Ki Jasminta itu lang-
sung saja berseru memperingatkan yang lain. Sedang-
kan ia sendiri sudah melenting ke udara dan berputa-
ran beberapa kali sambil memutar pedang yang sudah 
di cabut saat melompat.

Demikian pula dengan ketiga orang lainnya. Meski 
tanpa diperingatkan, mereka sudah tahu. Dan sedikit 
banyak, seruan itu telah membuat mereka langsung 
bertindak sigap. Dua orang murid Ki Raksa Mala yang 
berpakaian coklat tua saling berlompatan jauh ke be-
lakang. Sehingga, tanpa sadar mereka telah kembali ke 
luar bangunan kuno itu.
Lain halnya tindakan murid Ki Jasminta. Lelaki ber-
tubuh tegap berusia sekitar tiga puluh tahun itu men-
gambil keputusan sendiri, yang justru benar-benar 
berbahaya. Bahkan bisa dibilang terlalu berani. Justru 
sambaran pisau-pisau terbang itu dihindarinya dengan 
cara melompat ke depan. Sekilas, kelihatannya dia ne-
kad menyambut datangnya pisau-pisau terbang yang 
siap merenggut nyawa. Tapi bagi seorang ahli, perbua-
tannya bisa mendatangkan penilaian yang benar-benar 
mengagumkan!
“Haaaiiittt...!”
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh lelaki te-
gap itu melenting ketika jarak antara pisau-pisau ter-
bang dengan tubuhnya hanya tinggal dua langkah lagi. 
Meski untuk melakukan itu tidak terlalu sulit, namun 
keberanian dan ketepatan perhitungannya benar-
benar sangat langka.
Begitu pisau terbang yang berjumlah belasan itu 
lewat di bawahnya, tubuh lelaki muda itu meluncur 
turun di halaman dalam bangunan. Tepat ketika men-
ginjak tanah, tubuhnya kembali melejit ke samping 
kanan, sejauh setengah tombak. Ini dilakukannya un-
tuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan gelap su-
sulan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu.
Wajah tegang lelaki muda itu perlahan mulai tenang 
ketika serangan gelap tidak muncul lagi. Dengan tetap 
berdiri tegak mengawasi sekitarnya, dia menanti ketiga

orang kawannya yang masih di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, ketiga orang lainnya 
pun berloncatan masuk susul-menyusul. Begitu tiba di 
halaman dalam, lelaki gagah murid pertama Ki Jas-
minta itu langsung menghampiri adik seperguruannya.
“Kau tidak apa-apa, Adi? Tindakanmu tadi terlalu 
berani. Tapi, aku benar-benar kagum. Rasanya, apa 
yang guru katakan selama Ini baru bisa ku mengerti
sekarang. Dengan keberanian dan perhitungan cermat 
yang kau miliki, memang pantas kalau guru meramal-
kan kelak dirimu akan menjadi seorang pendekar yang 
sulit dicari bandingnya...,” puji lelaki gagah itu sambil 
menepuk bahu adik seperguruannya dengan tangan 
kanan. Sedangkan sepasang matanya tetap berputar 
mengawasi sekelilingnya. Dia sadar serangan susulan 
masih tetap mengintai. Makanya, walaupun sambil 
berbicara, kewaspadaannya tidak luntur.
“Ah, Kau terlalu berlebihan, Kakang. Apa yang ku-
lakukan tadi sebenarnya hanya untung-untungan. Ka-
rena tidak sempat menghindar ke belakang, terpaksa 
aku nekat menyambut senjata-senjata maut itu. Dan 
tentu saja aku juga ketakutan setengah mati...,” jawab 
lelaki bertubuh tegap itu merendah.
Sebenarnya, kakak seperguruannya tahu betul ka-
lau ucapan itu hanyalah sebagai tanda kerendahan ha-
ti adik seperguruannya saja.
“Hm.... Mudah-mudahan, apa yang guru ramalkan 
menjadi kenyataan. Sebagai kakak seperguruan, tentu 
hatiku akan sangat bangga apabila ramalan guru ter-
bukti, Adi Waluja...,” kata lelaki gagah itu lagi dengan 
nada lebih rendah. Sedangkan, lelaki tegap yang di-
panggil Waluja hanya tersenyum tanpa berkesan som-
bong sedikit pun.
Ternyata bukan hanya kakak seperguruannya saja

yang merasa kagum terhadap cara Waluja mematah-
kan pisau-pisau terbang tadi. Bahkan, kedua orang 
murid Ki Raksa Mala juga sama-sama memuji apa 
yang dilakukan Waluja. Tapi pujian itu justru mem-
buat bangga kakak seperguruan Waluja. Karena den-
gan memuji Waluja, sama artinya dengan memuji di-
rinya dan juga Pendekar Ular Emas.
“Sebaiknya kita terus memeriksa bagian dalam ban-
gunan ini, Kakang. Siapa tahu saja mereka sudah ke-
buru melarikan diri ketika melihat pisau-pisau ter-
bangnya tidak berguna....”
Waluja yang merasa tidak enak karena pujian-
pujian kedua orang itu segera saja mengalihkan perca-
kapan. Wajahnya langsung berseri ketika melihat keti-
ga temannya sama-sama menganggukkan kepala tan-
da setuju.
“Saudara Wira Yudha, biarlah aku dan Adi Sentaji 
memeriksa bagian samping kanan. Sedangkan kau dan 
Waluja bergerak dari samping kiri. Bagaimana...?” usul 
salah seorang dari murid Ki Raksa Mala terdengar 
mengajukan usul.
Kakak seperguruan Waluja yang bernama Wira 
Yudha itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala. 
Rupanya, usul itu tidak ditolaknya.
Kemudian, setelah saling memberikan isyarat den-
gan anggukan kepala, keempat lelaki gagah itu seren-
tak melesat ke arah yang berbeda. Wira Yudha dan 
Waluja ke sebelah kiri. Sedangkan kedua orang murid 
Ki Raksa Mala yang bernama Gala Campa dan Sentaji 
bergerak dari sebelah kanan bangunan.
Seeerrr! Seeerrr!
Baru saja keempat orang lelaki gagah itu melenting 
menuju arah masing-masing, mendadak terdengar su-
ara berdesiran halus menyambut tubuh mereka.

“Keparat licik...!”
Wira Yudha tentu saja menjadi jengkel mengetahui 
kalau dirinya diserang puluhan batang jarum halus 
berwarna putih keperakan. Senjata-senjata rahasia itu 
berkilatan tertimpa cahaya sinar matahari, sehingga 
membuat Wira Yudha menjadi silau.
“Heeeaaahhh...!
Kesal dan jengkel yang menggumpal di dadanya, 
membuat Wira Yudha nekat menghantamkan telapak 
tangannya ke depan dengan pukulan jarak jauh.
Whuuut..!
Praaasss! Praaasss!
Sambaran angin kuat yang keluar dari telapak tan-
gan Wira Yudha langsung meruntuhkan jarum-jarum 
yang meluncur ke arahnya. Sehingga, lelaki gagah itu 
pun terhindar dari bahaya.
Demikian pula halnya Waluja dan Gala Campa. Ke-
duanya berhasil menyelamatkan diri dengan melenting 
ke udara, untuk kemudian mendarat dalam kedudu-
kan siap bertarung.
Tapi, murid kedua Ki Raksa Mala yang bernama 
Sentaji ternyata kurang sigap. Meski telah berusaha 
menghindari serangan gelap itu, namun tak urung be-
berapa batang jarum sempat mengenai tubuhnya.
“Aaakkkh...!”
Teriakan Sentaji yang disusul suara berdebuk ke-
ras, tentu saja membuat yang lainnya terkejut Seren-
tak mereka sama-sama menolehkan kepala ke arah 
asal jeritan itu.
“Adi Sentaji...!”
Gala Campa yang melihat adik seperguruannya ter-
banting ke tanah, langsung menduga kalau Sentaji te-
lah kecolongan. Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki ber-
tubuh gemuk itu langsung meleset menolong Sentaji.

“Kakang Gala Campa, jangaaan...!” seru Waluja 
yang khawatir kalau Gala Campa kehilangan kendali 
karena rasa cemasnya.
Merasa seruannya tidak diperdulikan, Waluja sege-
ra saja mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung me-
lesat, seperti hendak melindungi Gala Campa. Dia 
khawatir kalau-kalau lelaki gemuk itu mendapat se-
rangan gelap selagi hendak menghampiri adik sepergu-
ruannya.
Apa yang dikhawatirkan Waluja, ternyata sama se-
kali tidak meleset Tepat pada waktu tubuh Gala Cam-
pa tengah mendekati adik seperguruannya, tiba-tiba 
kembali terdengar suara berdesingan yang datang dari 
dua arah. Karena tidak siap dalam menghadapi seran-
gan gelap itu, tentu saja Gala Campa agak gugup 
menghadapinya.
Seeeng! Seeeng!
Belasan kilatan cahaya putih yang bentuknya se-
panjang telapak tangan, berkeredepan susul-menyusul 
dari dua arah berbeda menuju Gala Campa yang terli-
hat tegang!
“Haaaiiittt..!”
Meski keadaannya benar-benar sulit, tapi sebagai 
seorang ahli silat yang telah terlatih secara baik, seke-
tika timbul gerakan tanpa sadar. Lelaki gemuk itu 
memang bisa menghindari delapan batang pisau ter-
bang yang mengincar dada dan kedua lambungnya. 
Tapi...,
“Aaahhh?!”
Gala Campa terbelalak dengan wajah pucat Baru 
saja kedua kakinya menginjak tanah, enam batang pi-
sau terbang yang datang dari arah lain telah tiba de-
kat, siap menembus tenggorokan dan kepalanya!
***

DUA

Waluja yang memang cekatan dan memiliki ketaja-
man naluri, tiba-tiba bertindak cepat, menyelamatkan 
Gala Campa dari bahaya maut. Dengan pedang yang 
memang telah dipersiapkan sejak semula, dia memekik 
nyaring!
“Heeeaaattt..!”
Traaang! Traaang!
Hebat dan memang patut mendapat acungan jempol 
murid kedua Ki Jasminta itu! Dengan putaran senja-
tanya, keenam pisau terbang yang mengancam murid 
tertua Ki Raksa Mala berhasil dipukul runtuh. Sehing-
ga, lelaki gemuk itu pun selamat dari bahaya maut
Dengan sepasang mata liar mengawasi sekitar, Wa-
luja berdiri tegak di depan Gala Campa. Jelas, apabila 
serangan-serangan gelap masih juga mengincar Gala 
Campa telah siap disambutnya.
“Terima kasih, Waluja.... Aku berhutang nyawa ke-
padamu...,” ucap Gala Campa dengan napas masih 
memburu. Hampir ia tidak percaya kalau nyawanya 
yang di ujung tanduk masih dapat terselamatkan.
“Jangan terlalu dipikirkan, Kakang. Sebaiknya, ce-
pat periksa luka Sentaji. Aku akan melindungimu...,” 
kata Waluja tanpa merasa telah melepas jasa.
“Ohhh...”
Bagai baru tersadar dari mimpi, Gala Campa tersen-
tak menghela napas panjang. Tanpa banyak cakap la-
gi, langsung saja kakinya melangkah ke arah Sentaji 
yang masih tertelungkup di tanah.
“Aaahhh?!”
Gala Campa yang baru saja membalikkan tubuh 
adik seperguruannya, tiba-tiba memekik dan terhuyung mundur. Ternyata, ketika tubuh Sentaji diba-
likkan, lelaki gagah itu telah tewas dengan wajah be-
rubah hitam!
“Gila...! Racun keji...!”
Wira Yudha yang saat itu juga telah bergerak ke 
tempat Waluja dan Gala Campa, mendesis geram. Wa-
jah lelaki gagah itu memerah menyaksikan kematian 
Sentaji yang mengenaskan. Bahkan Wira Yudha sam-
pai membanting kakinya dengan wajah terpukul.
“Bedebah...!”
Waluja yang juga menyempatkan dirinya menoleh 
ketika mendengar seruan kaget Gala Campa, mengge-
ram sambil mengepalkan tinju kirinya. Sehingga ter-
dengarlah suara berkerotokan. Urat-urat wajahnya 
tampak menyembul. Jelas, amarahnya telah terbakar 
hebat ke puncak ubun-ubun.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka harus dipaksa ke-
luar dari persembunyiannya...!” geram Gala Campa.
Laki-laki gemuk itu segera saja bangkit sambil 
menghunuskan senjatanya. Sepasang pedang yang te-
lah tergenggam erat di tangannya, diputar sedemikian 
rupa sehingga menimbulkan gulungan sinar yang
membungkus tubuhnya.
“Yeeeaaat...!”
Tanpa memperdulikan Waluja dan Wira Yudha yang 
memandang bingung, Gala Campa segera melesat ke 
arah gerombolan semak yang terpisah sekitar tiga 
tombak lebih dari tempatnya berpijak. Rupanya, nalu-
rinya yang tajam telah melihat sesuatu yang menjadi 
penyebabnya. Dengan cara bergerak cepat ke kiri-
kanan, lelaki gemuk itu pun berhasil mencapai tempat 
yang dituju. Tapi, sebenarnya bukan hal yang mudah 
untuk bisa mencapai tempat itu. Setelah sebelumnya 
berhasil memukul runtuh belasan pisau terbang yang

menyambut kedatangannya, barulah Gala Campa 
sampai di semak-semak itu.
“Heeeaaahhh...!”
Disertai bentakan nyaring, Gala Campa memba-
batkan sepasang pedangnya memapas semak yang di-
duga menjadi tempat persembunyian musuh-musuh 
gelapnya.
Craaasss! Craaasss!
“Aaa...!”
Seiring terpapasnya semak belukar itu, terdengar 
satu jerit kematian yang merobek angkasa! Darah se-
gar kontan memercik, karena salah satu pedang di 
tangan Gala Campa telah memakan korban! Sosok tu-
buh yang termakan senjata Gala Campa itu langsung 
terlempar bermandikan darahnya sendiri. Sedangkan 
sosok-sosok lainnya mulai bermunculan, bahkan lang-
sung mengurung dan menyerbu lelaki gemuk itu den-
gan tongkat di tangan.
Wukkk! Whuuuk!
“Haiiittt...!”
Gala Campa tentu saja tidak tinggal diam. Disertai 
pekikan nyaring, lelaki gemuk itu menyambut keroyo-
kan lawan dengan putaran pedangnya!
Whuuung!
Empat orang lawan yang terancam serangan ujung 
pedang mendatar, langsung berlompatan mundur. Se-
dang pengeroyok yang dari sebelah kiri Gala Campa, 
menghantamkan tongkatnya berturut-turut. Tiga ba-
tang tongkat yang terlihat berat itu mengaung men-
gancam tubuh dan kepala lelaki gemuk ini.
Waluja dan Wira Yudha sendiri bukan tidak mau 
menolong Gala Campa. Tapi, saat itu pun mereka telah 
dikeroyok delapan orang lawan. Sehingga, masing-
masing tengah sibuk dengan lawan-lawannya.

Tapi, Gala Campa juga bukan murid kemarin sore. 
Meskipun tidak terlalu berbakat dalam ilmu silat, na-
mun dia sangat tekun dalam mempelajari ilmu yang 
diturunkan gurunya. Sehingga, meskipun belum bisa 
menyamai/kepandaian Ki Raksa Mala, Gala Campa ti-
dak mudah begitu saja dapat ditundukkan sembarang 
orang.
Kini, datang ancaman tiga batang tongkat yang 
hampir bersamaan waktunya dengan serangan Gala 
Campa terhadap pengeroyok di sebelah kanan. Meski-
pun waktu untuk mengelak hanya sedikit, tapi dia ti-
dak kehilangan akal. Putaran pedang cepat-cepat di-
ikutinya. Dengan demikian, tubuhnya ikut berputar 
mengikuti ujung pedang. Gerakan itu tentu saja seka-
ligus merupakan serangan sangat berbahaya. Ujung 
pedangnya tampak menuju ke perut para pengeroyok-
nya. Sedangkan tubuhnya sendiri terus berputar ke 
belakang. Dengan demikian, tubuhnya sekaligus ter-
hindar dari ancaman ujung tongkat lawan.
Sayangnya, ketiga orang pengeroyok di sebelah kiri 
Gala Campa ternyata memiliki kegesitan yang menga-
gumkan! Sepertinya, mereka benar-benar telah diper-
siapkan untuk menghadapi murid-murid utama pergu-
ruan-perguruan terkenal. Tidak heran bila sambaran 
ujung pedang Gala Campa dapat dihindari.
“Hebat...!” desis Gala Campa. Mau tidak mau, di 
terpaksa harus mengeluarkan pujian ketika melihat 
cara lawan-lawannya menyelamatkan diri.
Tubuh ketiga pengeroyoknya itu melayang ke bela-
kang. Seolah-olah, tubuh mereka tak ubahnya seperti 
segumpal kapas yang bergerak karena tertiup angin 
pedang Gala Campa. Hal itu tentu saja menunjukkan 
kalau para pengeroyok memiliki ilmu meringankan tu-
buh yang cukup hebat.

Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Ketujuh 
orang pengeroyok Gala Campa mencoba mendesak le-
laki gemuk itu dengan mengandalkan ilmu meringan-
kan tubuh yang memang sudah cukup tinggi. Tapi 
tanpa merasa gugup, Gala Campa melawan dengan 
mengandalkan kekuatan serta kehebatan ilmu sepa-
sang pedangnya. Sehingga, pertempuran terlihat se-
makin seru!
Di lain tempat, Waluja pun tengah bertarung sengit 
melawan delapan orang pengeroyok. Waluja yang me-
miliki perhitungan matang dan kecerdikan, terlihat cu-
kup mampu membuat para pengeroyok tidak berani 
bertempur terlalu dekat. Selain gerakannya bisa beru-
bah secara mendadak, lelaki tegap itu pun sangat ce-
katan dalam menilai setiap serangan lawan. Bahkan 
dalam soal ilmu meringankan tubuh, boleh dibilang 
Waluja masih menang dari lawan-lawannya, meskipun 
hanya selisih sedikit. Kelebihan yang sedikit itulah ce-
pat dimanfaatkan, untuk mengecoh para pengeroyok-
nya dengan serangan-serangan tipuan. Cara yang di-
gunakannya tampaknya membawa hasil yang cukup 
baik. Buktinya, para pengeroyok tidak mampu terlalu 
menekan. Jelasnya, pertempuran terlihat seru dan 
seimbang!
Lain halnya pertarungan Wira Yudha. Lelaki gagah
yang memiliki tenaga dalam paling tinggi di antara me-
reka bertiga, telah mempergunakan kelebihannya itu. 
Akibatnya, para pengeroyok menjadi kocar-kacir dalam 
menghadapi murid utama Ki Jasminta itu. Serangan-
serangan pedang lelaki gagah itu tak ubahnya seperti 
tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan setiap 
saat Tentu saja hal itu membuat lawan-lawannya ha-
rus lebih berhati-hati.
“Mampus kalian manusia curang...!”

Terdengar bentakan geram Wira Yudha sambil me-
nusukkan ujung pedangnya lurus-lurus ke jantung sa-
lah seorang pengeroyok di depannya. Suara sambaran 
angin pedang dan bentakan Wira Yudha semakin 
memperhebat serangannya yang membawa perbawa 
itu. Sehingga, lawan terlihat agak gugup untuk meng-
hindari diri. Dan...,
Cappp!
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, salah seorang pengeroyok ter-
tembus ujung pedang Wira Yudha. Belum lagi kawan-
nya yang lain menyadari, Wira Yudha kembali berseru 
sambil menyentakkan pedangnya ke atas!
“Heeeaaah...!”
Terdengar raungan kematian yang memilukan! Tu-
buh orang itu terbelah sebagian, akibat sentakan pe-
dang Wira Yudha. Darah segera kontan menyembur 
seiring terlontarnya tubuh pengeroyok bernasib sial 
itu.
“Hm.... Tidak lama lagi kalian pun pasti akan men-
dapat bagian yang sama...!” desis Wira Yudha menatap 
tajam wajah kotor lawan-lawannya.
Namun, ketujuh orang lawannya sama sekali tidak 
kelihatan gentar. Bahkan membalas tatapan mata le-
laki gagah itu tidak kalah tajamnya, Kenyataan itu 
membuat Wira Yudha sadar kalau lawan-lawannya ini 
memang pembunuh yang telah dipersiapkan secara 
matang. Hanya sekilas saja, lelaki gagah itu langsung 
bisa menilai kalau mereka tak ubahnya binatang buas 
yang hanya memiliki naluri membunuh!
Selagi kedua belah pihak saling bertatapan dan siap 
saling gempur, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang 
panjang dan melengking tinggi.
“Eh...?!”

Baik Gala Campa, Waluja, maupun Wira Yudha sa-
ma menarik wajah dengan kening berkerut. Ternyata 
begitu siulan itu terdengar, lawan-lawannya langsung 
bergerak mundur teratur. Jelas, siulan itu merupakan 
isyarat dari pimpinan orang-orang berwajah kotor itu.
“Kakang, tahan...!”
Waluja cepat berseru memperingatkan Wira Yudha 
ketika melihat kakak seperguruannya hendak menge-
jar para pengeroyok yang terus mundur. Tentu saja pe-
ringatan adik seperguruannya membuat kening lelaki 
gagah itu berkerut Jelas, ia merasa tak enak. Apalagi 
hal itu terjadi di depan Gala Campa yang jelas-jelas 
merupakan orang luar.
“Mengapa, Adi? Kau takut..?” tukas Wira Yudha 
bernada tidak senang atas teguran Waluja.
“Maaf, Kakang. Bukan maksudku menasihati mu, 
tapi perbuatanmu berbahaya sekali. Apa kau tak sadar 
kalau sambil bergerak mundur, mereka telah menye-
barkan bubuk-bubuk beracun agar kita tidak bisa 
mengejarnya...,” jawab Waluja dengan wajah agak me-
nunduk, seolah-olah ingin agar Wira Yudha melihat 
tanah di depan mereka. Dia tadi memang sempat meli-
hat gerakan tangan para pengeroyok yang menyebar-
kan racun ke tanah.
“Hm..., dasar iblis-iblis licik! Sayang kita tidak tahu, 
siapa dan apa keinginan mereka? Lalu, siapa pula 
orang yang mengeluarkan siulan itu? Kalau mereka in-
gin membunuh kita, mengapa orang yang mengelua-
rkan siulan tidak langsung ikut bertindak? Mengapa ia 
malah menarik mundur pengikut-pengikutnya...?” 
tanya Wira Yudha seperti bicara sendiri.
Jelas-jelas, hatinya merasa penasaran terhadap 
orang-orang itu.
“Entahlah, Kakang. Tapi, aku mengkhawatirkan

keadaan guru, dan Ki Raksa Mala. Mengapa mereka 
sejak tadi tidak muncul-muncul? Mustahil suara per-
tempuran yang begini bising tidak terdengar sejak ta-
di...,” Waluja yang berpikiran lain, tentu saja membuat 
Wira Yudha dan Gala Campa tersentak kaget. Baru 
mereka sadar akan keganjilan itu.
“Ah...! Mengapa kita tidak pernah berpikir sejak ta-
di? Ayo, kita cari mereka...!”
Sambil berkata demikian, Wira Yudha segera saja 
berlari menuju bagian dalam gedung. Sedangkan Wa-
luja dan Gala Campa bergegas mengikutinya.
***
“Aaahhh...?”
Ketiga orang lelaki gagah itu kontan membelalakkan 
mata dengan wajah seputih kertas! Tanpa sadar, me-
reka bergerak mundur. Mereka seperti belum percaya 
sepenuhnya akan apa yang disaksikan di dalam salah 
satu kamar bangunan itu.
“Guru...!”
Waluja yang lebih dulu menguasai perasaan segera 
saja bergerak maju. Dia langsung bersimpuh di dekat 
dua sosok tubuh bermandikan darah.
Wira Yudha dan Gala Campa bergerak perlahan 
menghampiri. Mereka sama-sama menjatuhkan lutut-
nya di lantai kamar. Wajah keduanya tampak masih 
menggambarkan ketidakpercayaan akan apa yang ter-
lihat di dalam kamar.
“Mengapa..., dan siapa yang telah melakukan keke-
jian ini...?”
Terdengar suara parau Wira Yudha. Dia akhirnya 
dapat juga berbicara setelah beberapa saat lamanya.
Namun, tak seorang pun yang mampu menjawab 
pertanyaan Wira Yudha. Mereka memang sama-sama

tidak tahu terhadap kejadian yang telah menimpa ke-
dua guru mereka.
Setelah beberapa saat lamanya, ketiga orang lelaki 
gagah itu sama tercekam kebisuan, Waluja tiba-tiba 
bangkit Dengan agak gontai, kakinya melangkah me-
nuju jendela yang tampak terbuka. Beberapa bagian 
tembok kamar tampak terdapat lubang-lubang baru. 
Rupanya, di dalam kamar itu telah terjadi pertarungan 
sengit sebelumnya.
“Mungkin orang yang mengeluarkan suitan me-
lengking itulah yang telah membunuh kedua orang 
Guru kita...,”
Suara lirih itu terdengar keluar dari mulut Waluja. 
Kemudian lelaki tegap itu mengayunkan tinjunya 
menghajar tembok dekat jendela di depannya.
Brooolll...!
Terdengar suara berderak ribut ketika kepalan Wa-
luja menjebol dinding, hingga menimbulkan sebuah 
lubang baru sebesar kepalannya. Perbuatannya adalah 
sebagai ungkapan kedukaan yang mendalam di ha-
tinya.
“Hm.... Kalau begitu, aku akan cari manusia terku-
tuk itu! Biar sampai ke ujung langit sekalipun, akan 
kukejar...!”
Wira Yudha bangkit tegak dengan sorot mata me-
nyala tajam. Pancaran rasa dendam, sakit hati, dan 
penasaran, membuat lelaki gagah itu demikian menye-
ramkan pada saat ini.
“Tapi, ke mana kita harus mencarinya, Kakang? Se-
dangkan kita sendiri tidak tahu, siapa orang yang 
mengeroyok kita? Bahkan, kita sama sekali tidak bisa 
mengenali mereka. Apalagi orang yang mengeluarkan 
suitan melengking tinggi itu. Kita sama sekali tidak 
melihat sedikitpun...,” kata Waluja, mengingatkan Wira

Yudha akan keterbatasan mereka yang memang buta 
terhadap orang yang telah mencelakakan Ki Jasminta 
dan Ki Raksa Mala. Hingga, kedua orang pendekar ka-
wakan itu tewas dengan kepala pecah.
“Hm.... Mengenai orang-orang aneh itu, bisa kita 
kenali dari pakaian atau tanda-tanda di tubuh penge-
royok yang menjadi korban senjata kita tadi.
Dengan demikian kita bisa mengetahui golongan 
apa mereka sebenarnya. Dan, dari daerah mana asal-
nya...?” usul Gala Campa, yang sejak tadi hanya diam
saja.
Karena apa yang diusulkan lelaki gemuk itu me-
mang sangat tepat, maka kedua orang murid Ki Jas-
minta pun mengangguk setuju. Tanpa diperintah lagi, 
mereka bergerak melesat ke luar bangunan untuk 
memeriksa mayat para pengeroyok yang berhasil dibu-
nuh.
Namun, begitu ketiganya tiba di luar, untuk kese-
kian kalinya mereka kembali terkejut! Ternyata apa 
yang ditemukan di luar, benar-benar di luar dugaan!
“Ki Damang...?!”
Hampir berbarengan, Wira Yudha, Waluja, dan Gala 
Campa menyerukan satu nama. Sedangkan lelaki se-
tengah baya yang juga seperti terkejut melihat kemun-
culan ketiga orang itu, segera saja melebarkan se-
nyumnya.
“Aaahhh.... Bukankah kalian murid-murid Ki Jas-
minta dan Ki Raksa Mala? Mana guru-guru kalian...? 
Apakah orang-orang tua itu telah demikian sombong 
hingga tidak ingin berjumpa denganku...?” tegur laki-
laki setengah baya yang bernama Ki Damang.
Dia langsung saja menghampiri ketiga orang lelaki 
gagah yang dikenali sebagai murid-murid Perguruan 
Ular Emas dan Cakar Besi. Semua itu dapat dikenali

dari warna pakaian yang dikenakan Wira Yudha, Walu-
ja, dan Gala Campa. Sedangkan ketiga orang lelaki ga-
gah itu tampak menatap Ki Damang penuh curiga.
Wira Yudha yang merasa paling bertanggung jawab 
terhadap perguruan setelah ketiadaan Ki Jasminta, se-
gera saja melangkah maju mendekati Ki Damang. Se-
hingga, laki-laki setengah baya tinggi kurus berwajah 
lonjong itu menelengkan kepala melihat sikap tidak 
menyenangkan yang ditunjukkan murid sahabatnya.
“Ki Damang, apa yang kau lakukan di tempat ini...?”
Pertanyaan itu jelas mengandung ketidaksenangan. 
Meskipun demikian, Ki Damang merasa perlu lebih 
bersabar.
“Hm.... Kau benar-benar lucu sekali. Mmm.... Kalau 
tidak salah, kau, kau yang bernama Wira Yudha, bu-
kan...?” tanya Ki Damang setelah mengerutkan ke-
ningnya sesaat.
“Benar,” jawab Wira Yudha singkat dan tegas.
“Tahukah kau, siapa yang mengundang gurumu da-
tang ke tempat ini? Lalu, tahukah kalian bertiga, apa 
maksudku datang ke tempat ini? Apakah Ki Jasminta 
dan Ki Raksa Mala merahasiakannya kepada ka-
lian...?” Ki Damang bukannya menjawab, tapi malah 
melemparkan pertanyaan kepada Wira Yudha, Waluja, 
serta Gala Campa. Sehingga, ketiganya kembali men-
gerutkan kening.
Untuk beberapa saat lamanya, Wira Yudha, Waluja, 
dan Gala Campa saling bertukar pandangan. Kemu-
dian, mereka kembali menolehkan kepalanya ke arah 
Ki Damang.
“Ki Damang! Kami semua tahu, apa yang akan ber-
langsung di tempat ini. Tapi yang kumaksudkan, apa 
yang Ki Damang lakukan terhadap mayat-mayat yang 
tadi bergeletakan di tempat ini...?” kejar Wira Yudha
yang semakin mempertegas, ke mana sebenarnya arah 
pertanyaannya tadi.
Hua ha ha...!” Ki Damang tertawa berkakakan. Se-
hingga, baik Wira Yudha, Waluja, maupun Gala Campa 
sama-sama melangkah mundur seraya meraba gagang 
pedang masing-masing.
***
TIGA


Ki Damang menghentikan tawanya beberapa saat 
kemudian, lalu, menatapi wajah ketiga orang murid 
sahabatnya dengan bibir masih menyunggingkan se-
nyum tipis.
“Jadi, itu yang ingin kau ketahui, Wira Yudha? Aku 
memang melihat dua mayat bermuka kotor, dan satu 
mayat lagi mengenakan pakaian berwarna coklat tua 
seperti yang biasa dikenakan murid-murid Ki Raksa 
Mala. Lalu, dua orang muridku kusuruh untuk me-
lemparkannya ke sungai terdekat. Sebab, kupikir” 
mayat itu ditinggalkan begitu saja oleh kawan-
kawannya...,” jelas Ki Damang, panjang lebar.
Meskipun demikian, Wira Yudha dan yang lain tetap 
menaruh kecurigaan, terhadap orang tua itu. Boleh ja-
di Ki Damang merupakan seorang kawakan berkepan-
daian tinggi yang juga mempunyai perguruan. Tapi, 
kedatangan Ki Damang yang baru muncul setelah ke-
jadian selesai, benar-benar tidak bisa diterima ketiga 
orang murid yang baru saja mengalami pukulan berat 
akibat kematian gurunya. Dan mereka tidak bisa me-
nerima begitu saja keterangan Ki Damang.
“Hhh.... Lenyap sudah harapan untuk menemukan 
ciri-ciri orang-orang licik itu. Semua ini karena kecero

bohan mu, Ki Damang! Mayat-mayat yang bermuka 
kotor pada mulanya hendak digunakan sebagai petun-
juk untuk mengetahui, dari mana asal mereka, dan 
dari golongan apa mereka itu sebenarnya...? Sayang, 
sekarang semuanya kembali menjadi gelap...,” keluh 
Wira Yudha. Jelas, laki-laki itu menampakkan penye-
salan yang amat sangat atas tindakan Ki Damang yang 
dianggapnya salah besar.
“Hm.... Kalian sepertinya ingin menyimpan rahasia 
kepadaku. Baiklah. Kalau kalian memang tidak ingin 
aku mengetahuinya, ya sudah. Yang terpenting seka-
rang, bawa aku menemui guru-gurumu. Aku yakin, 
mereka telah datang ke tempat ini dan bukan mewa-
kilkannya kepada kalian. Kulihat, ada enam ekor kuda 
di depan bangunan ini. Itu artinya masih ada dua 
orang lagi yang belum kulihat, aku yakin, kedua orang 
itu pastilah Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala...,” potong 
Ki Damang.
“Hm....”
Wira Yudha bergumam tak jelas menanggapi uca-
pan Ki Damang. Bukan hanya Wira Yudha saja yang 
bersikap tidak menyenangkan. Bahkan Waluja dan Ga-
la Campa terlihat menampakkan wajah yang tidak se-
dap dipandang mata.
“Ki Damang.... benarkah kau tidak tahu, apa yang 
baru saja terjadi di tempat ini? Benarkah kau baru tiba 
setelah kami...?”
Gala Campa yang sejak tadi hanya diam menden-
garkan pembicaraan antara Ki Damang dan Wira Yud-
ha ikut angkat bicara. Nadanya benar-benar tidak 
enak. Bahkan lebih menjurus ke arah kecurigaan ter-
hadap Ki Damang. Sehingga, wajah orang tua itu terli-
hat agak gelap. Jelas, kalau tokoh kawakan itu mulai 
tersinggung diperlakukan secara demikian oleh ketiga


orang murid sahabatnya.
“Hm..., kau murid Ki Raksa Mala! Ketahuilah! Ki 
Damang tidak suka diperlakukan seperti orang pesaki-
tan! Sikapku yang mengalah ternyata telah membuat 
kalian semakin kurang ajar dan semakin berani men-
ginjak-injak kepalaku! Rasanya, sudah cukup kesaba-
ran yang kuperlihatkan semenjak tadi. Jadi, sekarang 
terserah kalian! Apa yang kalian inginkan, aku tidak 
menolak...!” terdengar jawaban Ki Damang. Jelas laki-
laki setengah baya itu terlihat menekan amarahnya 
sekuat tenaga. Suaranya yang mungkin akan mengge-
legar kalau tidak ditahan, terdengar bergetar. Tentu 
saja jawaban itu merupakan tantangan secara terang-
terangan!
“Ki Damang! Meskipun kau termasuk angkatan tua 
yang sepatutnya dihormati, tapi terpaksa hari ini rasa 
hormat kami lenyap karena kelicikanmu!”
“Heeeaaattt...!”
Begitu ucapannya selesai, Wira Yudha langsung
mencabut senjatanya. Dan dia langsung melesat me-
nerjang Ki Damang dengan serangan mematikan! Pa-
dahal permasalahan yang terjadi belum dijelaskan oleh 
Wira Yudha yang dilanda amarah menggelegak. Ki 
Damang yang merasa bingung juga, mau tak mau me-
layani serangan ini.
Beeet! Beeet! Beeet!
Kilatan cahaya pedang yang berkilauan tertimpa 
cahaya matahari, mengancam tubuh Ki Damang. 
Orang tua itu mendengus tajam sambil menggeser ka-
kinya satu persatu ke belakang. Sabetan-sabetan pe-
dang itu lewat di samping tubuhnya, Hal itu menanda-
kan betapa matang dan terlatihnya ilmu-ilmunya.
“Yeeeaaat..!”
Tapi, Gala Campa kelihatannya juga tidak tinggal

diam. Terbukti, lelaki gemuk itu langsung saja menyu-
suli, tepat setelah serangan Wira Yudha berhasil di-
kandaskan Ki Damang.
Whuuukkk!
“Hm...!”
Untuk kedua kalinya, Ki Damang mendengus tajam. 
Kedua kakinya kembali bergerak lincah dan kelihatan 
sembarangan. Hebatnya, setiap serangan ujung pe-
dang Gala Campa dengan mudah dapat dielakkannya. 
Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa se-
makin bertambah nafsu untuk melukai lawannya.
“Yeeeaaattt...!”
“Haaattt..!”
Dengan amarah yang semakin menggelegak, Wira 
Yudha dan Gala Campa kembali melesat disertai teria-
kan-teriakan saling susul. Pedang di tangan mereka 
berputaran, menimbulkan deru angin keras! Dari sini 
bisa ditebak, serangan kedua orang murid tokoh ka-
wakan itu bukan serangan main-main!
“Kurang ajar! Mereka memang perlu dikasih adat!” 
dengus Ki Damang, gusar melihat kedua orang murid 
sahabatnya sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan 
yang diketahuinya sangat berbahaya dan jarang digu-
nakan Ki Jasminta maupun Ki Raksa Mala. Dan tentu 
saja kenyataan itu membuatnya gusar bukan main!
Sementara itu, Waluja masih tetap berdiri bimbang 
di tepi arena pertempuran. Ada sedikit keraguan dalam 
hatinya terhadap tuduhan yang ditimpakan kepada Ki 
Damang. Tapi ketika memikirkan kemunculan orang 
tua itu dan juga sikap-sikapnya yang agak mencuriga-
kan, akhirnya Waluja mengambil keputusan untuk 
membantu kedua orang temannya.
“Yeeeaaattt...!”
Diiringi seruan nyaring, tubuh Waluja segera meluncur ke arena pertempuran. Saat itu, Ki Damang 
yang sudah kehilangan kesabaran tengah menggempur 
Wira Yudha dan Gala Campa dengan serangan-
serangan hebat Dari sini kelihatan kalau laki-laki se-
tengah baya itu telah pula menggunakan ilmu-ilmu 
andalannya untuk menundukkan kedua orang murid 
sahabatnya.
Saat serangan Waluja datang, Gala Campa tengah 
didesak sambaran-sambaran kepalan tangan Ki Da-
mang yang menimbulkan angin berkesiutan. Tentu sa-
ja tibanya pedang Waluja membuat lelaki gemuk itu 
bisa bernapas lega. Kini dia terbebas dari desakan Ki 
Damang yang bagai tidak memberi peluang sedikit 
pun.
“Hmmm!”
Ki Damang kembali mendengus ketika melihat Wa-
luja ikut menggempurnya pula. Sebagai seorang ahli 
silat kawakan, sekali lihat saja Ki Demang langsung 
dapat melihat bakat besar yang terpendam dalam diri 
Waluja. Menyadari hal itu, langsung saja perhatiannya 
lebih dipusatkan kepada serangan lelaki bertubuh te-
gap itu.
“Jiaaahhh...!”
Bweeet! Bweeet!
“Bagus...!” puji Ki Damang ketika melihat serangan 
pedang Waluja.
Serangan pedang itu tampak melingkar-lingkar 
dengan indahnya. Bahkan terkadang sambaran bisa 
bergetar hingga sulit dibedakan, mana pedang yang as-
li dan mana bayangannya. Ki Damang tahu betul kalau 
Ki Jasminta tidak memiliki gerakan itu. Makanya, ha-
tinya kini menjadi semakin kagum. Dugaannya, semua 
itu pasti hanya berdasarkan naluri yang diciptakan ke-
tekunan dan kecintaan pemuda tegap itu dalam bermain pedang. Sehingga tanpa sadar, terciptalah gera-
kan-gerakan yang merupakan pengisi kekosongan ilmu 
pedang aslinya.
Sambaran pedang Waluja yang melingkar-lingkar, 
dihindari Ki Damang dengan menarik tubuhnya ke be-
lakang dan terus bergerak memutar mengikuti ayunan 
pedang. Sehingga kalau dilihat secara sepintas, tubuh 
Ki Damang tak ubahnya segumpal kapas. Sedangkan 
pedang di tangan Waluja seperti hembusan angin yang 
terus mendorong terbang kapas itu. Ini berarti, pedang 
Waluja tidak akan bisa mencapai sasaran. Maka Walu-
ja pun segera sadar akan hal itu.
“Awaaasss...!”
Ketika telah lewat dari lima jurus, tahu-tahu laki-
laki gagah setengah baya itu membentak mengejutkan! 
Dan berbarengan dengan bentakan itu, tubuh Ki Da-
mang meluncur tegak lurus ke depan. Sepasang tan-
gannya yang membentuk kepalan meluncur cepat sal-
ing susul. Bahkan kecepatannya tidak tertangkap ma-
ta biasa!
Tapi Ki Damang tidak bisa melanjutkan serangan-
nya untuk mendesak Waluja, karena pada saat itu ju-
ga datang dua sambaran pedang dari kiri dan kanan-
nya. Rupanya, Wira Yudha dan Gala Campa sudah 
kembali memasuki arena pertarungan. Bahkan begitu 
tiba, mereka langsung mengancam tubuh Ki Damang 
dengan tusukan pedang!
Whuuuttt!
Whuuuttt!
“Haaaiiittt..!”
Untuk menghindari serangan kedua batang pedang 
yang mengancam tubuhnya, terpaksa Ki Damang me-
lenting ke udara disertai teriakan nyaring! Dari atas, 
kakinya bergerak berputar sambil melontarkan tendangan ke arah Gala Campa yang ada di bawahnya. 
Dan...,
Deeesss...!
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dicegah lagi, telapak kaki orang tua itu 
langsung hinggap pada sasarannya! Gala Campa yang 
terkena tendangan pada punggungnya, langsung terje-
runuk mencium tanah! Darah segar tampak mengalir 
dari sela-sela bibirnya setelah mendapat tendangan Ki 
Damang yang cukup kuat untuk menghasilkan luka 
dalam. Dan hal itu dialami Gala Campa, yang seketika 
merasakan dadanya sesak.
Sedangkan tubuh Ki Damang sendiri telah melent-
ing dan berputaran beberapa kali menjauhi lawan-
lawannya, begitu pada saat yang sama Waluja telah 
menusukkan ujung pedangnya ke arah perutnya.
Tapi baik Waluja maupun Wira Yudha rupanya su-
dah terlanjur penasaran terhadap Ki Damang. Buk-
tinya, mereka kembali meluruk ke arah lawan tanpa 
memperdulikan Gala Campa yang tampak tengah ter-
batuk sambil mengurut dadanya.
“Hm....”
Diiringi gumaman gusar, Ki Damang kembali mela-
deni lawan-lawannya. Meskipun sebenarnya sudah ti-
dak berminat bertempur, namun karena kedua orang 
murid Ki Jasminta memaksanya, Ki Damang juga ha-
rus membela diri. Sehingga, pertarungan pun kembali 
berlangsung sengit!
Wira Yudha dan Waluja benar-benar penasaran ter-
hadap kehebatan lawannya. Sehebat apapun meng-
gempur, laki-laki setengah baya itu selalu saja dapat 
mematahkan. Meskipun hal itu tidak mudah dilaku-
kan, namun selalu saja terbukti kalau pada akhirnya 
merekalah yang kembali terdesak oleh Ki Damang!

“Setan alas...!” saking geramnya karena sukar me-
nundukkan lawan, Wira Yudha berkali-kali mengelua-
rkan makian tanda kejengkelan hatinya.
“Hm.... Bisanya hanya memaki saja, manusia be-
rangasan! Tunjukkan kemampuanmu kalau memang 
ingin mengalahkanku!” dengus Ki Damang. Laki-laki 
setengah baya itu sangat gusar terhadap keuletan la-
wannya.
Pertarungan yang terkadang kelihatan berimbang 
itu memang benar-benar menjemukan untuk disaksi-
kan. Hal itu sebenarnya wajar saja. Sebagai murid-
murid utama, tentu saja kepandaian mereka tidak ber-
selisih jauh dari Ki Jasminta, gurunya. Dan meskipun 
untuk mengalahkan Ki Damang jelas tidak mampu, 
tapi bagi Ki Damang sendiri tidak begitu mudah mero-
bohkan murid-murid Ki Jasminta. Keadaan seperti in-
ilah yang membuat orang bosan untuk menyaksikan-
nya. Untunglah, tak seorang pun yang menyaksikan 
pertarungan mati-matian itu.
Sudah lebih dari tujuh puluh lima jurus berlang-
sung, namun keadaan tetap masih berimbang. Tidak 
terlihat, siapa yang akan keluar sebagai pemenang. 
Lamanya pertarungan berlangsung, membuat tenaga 
kedua belah pihak sudah mulai mengendur. Sehingga, 
baik pukulan maupun sambaran pedang tidak lagi se-
hebat semula. Pertempuran kian berjalan lambat.
Saat kedua belah pihak sudah semakin mengendur, 
tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi 
tempat itu. Tentu saja, hal itu membuat Waluja dan 
Wira Yudha tersentak kaget. Mereka menyangka yang 
datang itu pastilah pihak lawan. Sehingga, kecemasan 
pun mulai membayang di wajah mereka.
Bukan hanya Waluja dan Wira Yudha saja yang me-
rasa terkejut Gala Campa pun yang sejak tadi sibuk

bersemedi untuk mengobati lukanya, ikut terjengat 
dan bangkit dari duduknya. Sama seperti halnya Wa-
luja dan Wira Yudha, wajah lelaki gemuk itu pun tam-
pak dilanda kecemasan. Dan kalau benar yang datang 
pihak lawan, sudah dapat dipastikan mereka akan te-
was. Atau, paling tidak akan tertangkap.
***
“Guru...!”
Seruan itu benar-benar semakin melemaskan se-
mangat tempur Waluja dan Wira Yudha. Jelas, panggi-
lan itu ditujukan kepada Ki Damang. Dan itu, artinya 
yang datang adalah pihak musuh!
Hadirnya dua orang lelaki gagah yang langsung 
menghambur ke arah pertempuran, membuat kedua 
belah pihak sama-sama melompat mundur dan meng-
hentikan pertarungan untuk sementara.
Gala Campa sudah bergerak dengan pedang terhu-
nus menghampiri Waluja dan Wira Yudha. Tampak-
nya, lelaki gagah bertubuh gemuk itupun siap berkor-
ban nyawa.
“Guru..., apa yang terjadi...? Mengapa bisa terjadi 
pertempuran? Bukankah mereka murid-murid Ki Jas-
minta dan Ki Raksa Mala?”
Salah seorang murid Ki Damang langsung saja 
mengungkapkan perasaan herannya melihat kejadian 
itu. Jelas, lelaki gagah berwajah bersih dengan bulu-
bulu halus menghias wajahnya itu telah mengenal mu-
rid-murid Perguruan Ular Emas, dan Cakar Besi. Hal 
ini bisa dilihat dari pakaian yang melekat di tubuh ke-
tiga orang lelaki gagah itu.
“Hhh.... Aku pun tidak mengerti, Laung. Mereka da-
tang-datang langsung memojokkan dan mencurigaiku. 
Karena mereka terlalu menekan, akhirnya terpaksa

kulayani keinginan mereka...,” jelas Ki Damang dengan 
napas masih memburu.
Meskipun sebagai tokoh kawakan, tapi karena ja-
rang bertempur hingga seratus jurus lebih, tentu saja 
Ki Damang merasa lelah. Dan hal itu bukan sesuatu 
yang aneh.
Setelah mendengar jawaban gurunya, lelaki gagah 
bernama Laung itu membalikkan tubuhnya. Langsung 
menatap wajah ketiga lelaki gagah itu satu persatu.
“Hm..., Tuduhan apa yang telah kalian lemparkan 
kepada guruku? Sebagai murid-murid orang sakti, ten-
tunya kalian bukan hanya diajar ilmu silat. Kalian ten-
tu juga diajari tata kesopanan, bukan?” tegur Laung, 
bagaikan seorang penguasa yang tengah mengadili 
seorang pesakitan.
Suara laki-laki itu terdengar sangat berwibawa. 
Ucapan-ucapannya terdengar tegas dan tandas. Se-
hingga mau tidak mau, Waluja, Wira Yudha, dan Gala 
Campa memandang dengan penilaian lebih kepada le-
laki gagah bernama Laung itu.
“Kedatangan gurumu bukan pada waktu yang tepat 
Sekarang coba kau bayangkan, kau baru saja menga-
lami kejadian-kejadian dan musibah yang memukul 
batinmu. Lalu, tiba-tiba muncul seorang dengan lagak 
mencurigakan. Tidakkah kesalahan itu akan kau tim-
pakan kepada sosok yang baru muncul itu? Apalagi 
orang-orang yang membuat musibah itu sama sekali 
tidak kau kenali. Hm..., sekarang aku ingin mendengar 
pendapatmu....” Wira Yudha yang paling merasa pena-
saran, langsung saja angkat bicara.
“Ya.... Mungkin akupun akan bertindak sama den-
ganmu. Tapi, tentu saja setelah terlebih dahulu men-
dengar penjelasannya. Karena, orang itu pun memiliki 
hak membela diri. Meskipun yang kau lakukan tidak

salah, tapi juga tidak benar,” jawab Laung, mengung-
kapkan pendapatnya.
Tentu saja jawaban yang tidak memuaskan bagi Wi-
ra Yudha itu membuat lelaki gagah itu merasa tersing-
gung. Wajahnya kembali terlihat gelap menandakan 
kalau murid pertama Ki Jasminta itu kembali terbang-
kit kemarahannya.
“Hm.... Bagaimana kalau gurumu tahu-tahu terbu-
nuh secara aneh, kemudian aku dan kedua kawanku 
ini muncul. Apa kau tidak akan menyalahkan kami 
bertiga?” desah Wira Yudha kembali.
“Apa...?! Maksudmu..., Ki Jasminta dan Ki Raksa 
Mala telah terbunuh...? Bagaimana hal itu bisa terjadi? 
Siapa yang melakukan...?”
Pertanyaan-pertanyaan itu langsung saja terlontar 
dari mulut Ki Damang. Sebagai seorang yang telah 
memiliki banyak pengalaman, tentu saja kejadian yang 
telah menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala segera 
dapat disimpulkannya. Tanpa banyak cakap lagi, lang-
sung saja Ki Damang menghambur ke dalam bangu-
nan.
Perbuatan orang tua sakti itu tentu saja membuat 
yang lain menjadi bingung. Setelah saling melepaskan 
pandangan satu sama lain, kelima orang lelaki gagah 
itu segera saja menyusul Ki Damang menuju ke dalam 
bangunan.
***
EMPAT


“Bedebah...!”
Ki Damang membanting kaki kanannya dengan wa-
jah duka. Hati laki-laki setengah baya itu jelas sangat

terpukul oleh kematian kedua sahabatnya. Wajahnya 
yang biasa tenang, berubah merah dengan sepasang 
mata menyala tajam.
Laung dan yang lain tidak berani mengeluarkan su-
ara melihat keadaan Ki Damang. Kelihatannya lelaki 
setengah baya itu merasa bersalah atas kejadian yang 
menimpa Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.
“Akulah yang salah dalam kejadian ini. Menurut 
janji kami, akulah orang pertama yang harus tiba di 
tempat ini. Tapi, karena ada suatu hal yang sangat 
penting, tanpa ku sengaja aku terlambat Itulah sebab-
nya, mengapa aku baru tiba ketika kalian bertiga ke-
luar dari dalam bangunan. Tapi..., biarpun tidak meli-
hat orang yang telah membunuh Jasminta dan Raksa 
Mala, aku tahu kalau pembunuh itu memiliki kekeba-
lan ilmu tongkat” jelas Ki Damang, sambil menatap 
wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti.
“Kalau begitu, katakanlah kepada kami, Ki Kami 
akan mencari pembunuh itu walau apapun yang terja-
di!” tegas Wira Yudha langsung, penuh hawa marah. 
Sehingga, laki-laki separoh baya itu jadi tersenyum 
pahit melihat semangat yang terpancar pada wajah 
dan sikap Wira Yudha.
“Hhh.... Meski kuberitahu sekalipun, kalian tidak 
akan sanggup melawannya. Jangankan hanya kalian. 
Kita berenam sekalipun belum tentu sanggup mengha-
dapinya. Buktinya dapat kalian lihat sendiri, bukan? 
Kehebatan guru-guru kalian tidak pernah ku ragukan. 
Tapi, mereka telah tewas di tangan pembunuh itu. Dan 
itu sama artinya kalau dia seorang tokoh yang sulit di-
ukur kepandaiannya,” desah laki-laki setengah baya 
itu.
Ki Damang menarik napas berat tanda kegundahan
hatinya. Keningnya terlihat berkerut-kerut Jelas otak

nya tengah berpikir keras untuk mencari penyelesaian 
masalah itu.
“Katakan saja, siapa pembunuh itu, Ki...,” desak 
Waluja, ikut angkat bicara.
Desakan itu membuat Ki Damang semakin tidak ta-
hu harus berbuat apa. Karena dengan mengatakan 
siapa pembunuhnya kepada ketiga orang lelaki gagah 
itu, sama saja mendorong mereka ke dalam jurang 
kematian. Itulah yang membuatnya kebingungan.
“Tapi, semua ini baru hanya dugaan saja. Belum 
tentu orang itu yang melakukannya. Sebagai orang-
orang yang selama belasan tahun dididik oleh orang-
orang pandai, kuharap kalian bisa menahan diri. Jan-
gan bertindak gegabah...,” kembali Ki Damang membe-
ri nasihat kepada Wira Yudha, Waluja, dan Gala Cam-
pa.
Menurut dugaanmu, siapa orang itu, Ki...?” Gala 
Campa ikut mendesak.
Suaranya terdengar lebih tenang dan tidak lang-
sung bernada tuduhan, tapi hanya dugaan. Hal itu 
membuat Ki Damang mengangguk-anggukkan kepala.
“Berjanjilah untuk bertindak dengan pikiran. Bukan 
dengan kemarahan...,”
Dengan tarikan napas berat, akhirnya Ki Damang 
bersedia juga mengutarakan dugaannya.
“Baik, kami akan mencobanya...,”
Secara serempak, ketiga orang lelaki gagah itu lang-
sung saja menyetujui. Sementara Ki Damang kembali 
tersenyum mendengar sahutan ketiga orang murid sa-
habatnya.
“Setahuku, kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Ma-
la disebabkan pukulan benda tumpul yang mengan-
dung kekuatan luar biasa. Dan senjata itu mungkin 
berbentuk tongkat....”

“Benar... ya..., aku baru ingat sekarang...!” tiba-tiba 
saja Wira Yudha memekik memutuskan keterangan Ki 
Damang. Sehingga, laki-laki setengah baya itu meng-
hentikan ucapannya.
“Benar, Ki. Bukan hanya mungkin, tapi memang 
tongkat Buktinya, orang-orang yang mengeroyok kami 
bertiga juga bersenjatakan tongkat Lalu, siapa pembu-
nuh itu, Ki...?” timpal Gala Campa yang juga teringat 
akan hal itu.
“Ingat! Ini baru dugaan! Belum pasti kalau orang itu 
yang telah membunuh guru kalian. Pukulan dahsyat 
yang menghantam kepala Ki Jasminta dan Ki Raksa 
Mala adalah sejenis ilmu tongkat yang dimiliki Per-
kumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kalau benar pe-
lakunya dari pihak mereka, hanya yang berilmu tinggi-
lah yang mampu membunuh guru kalian...,”
Setelah berkata demikian, Ki Damang memandang 
wajah ketiga orang murid sahabatnya berganti-ganti. 
Sepertinya, ia ingin melihat apa yang tergambar dalam 
wajah mereka setelah mendengar keterangannya.
“Perkumpulan Pengemis Baju Hitam...?!” gumam 
Wira Yudha, dengan kening berkerut Sepertinya, ia 
tengah berpikir keras untuk mengingat nama itu. “Se-
tahuku, perkumpulan pengemis itu tidak berpihak ke 
mana-mana, Ki. Mereka bisa disebut golongan sesat, 
bisa juga disebut golongan putih. Selain itu, menurut 
pengetahuanku, mereka jarang sekali mau mencampu-
ri urusan orang lain. Biar kejahatan berlangsung di 
depan mata mereka, belum tentu mereka akan menin-
daknya. Kecuali hal itu bisa mendatangkan untung 
bagi mereka...,”
“Kau benar, Wira Yudha. Itulah yang membuatku 
tidak habis pikir, mengapa Ki Jasminta dan Ki Raksa 
Mala harus tewas oleh pukulan kalangan pengemis

itu? Kalaupun ada orang yang hendak mengadu dom-
ba kita dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam, 
mana mungkin ilmu pukulan yang demikian sempurna 
dimilikinya? Padahal, ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ 
hanya diturunkan kepada beberapa orang, sebelum ke-
tuanya yang lama meninggal karena usia tua. Tapi ke-
sempurnaan pukulan yang menewaskan guru kalian, 
tidak ku ragukan lagi Untuk itu kalian kuminta pergi 
menyelidiki keanehan ini Tapi, ingat! Apabila menemu-
kan sesuatu, laporkan kepadaku. Dan, jangan bertin-
dak ceroboh. Sebab, kalau kalian sampai bertindak ce-
roboh, lalu tertangkap, aku tidak bisa menjamin keu-
tuhan perguruan kalian...,” urai Ki Damang yang men-
gakhirinya dengan sebuah pesan yang ditekankan da-
lam-dalam.
“Baiklah, Ki. Pesan itu akan kami ingat baik-
baik...,” jawab Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa 
berbarengan.
Sepertinya ketiga lelaki gagah itu merasa khawatir 
juga. Sebab jika bertindak salah, jaminannya adalah 
perguruan mereka. Tentu saja mereka tidak ingin per-
guruan mereka hancur hanya karena kesalahan yang 
telah diperbuat.
“Nah, Kalau begitu, kita berpisah sekarang. Ingat, 
kalau ada sesuatu yang mencurigakan, laporkan pa-
daku...,” ujar Ki Damang kembali mengingatkan ketiga 
orang lelaki gagah itu.
Kemudian, merekapun berpisah untuk mencari 
pembunuh Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala.
***
Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa melangkah 
tegap menyusuri jalan lebar yang berbatu-batu. Dalam 
melaksanakan tugas mencari pembunuh Ki Jasminta

dan Ki Raksa Mala, mereka tidak lagi menggunakan 
kuda. Binatang tunggangan mereka telah dijual di se-
buah desa yang disinggahi. Hal ini dilakukan dengan 
alasan, kalau melakukan penyelidikan dengan meng-
gunakan kuda, tentu akan menyulitkan gerak mereka. 
Sehingga, ketiganya memutuskan untuk melanjutkan 
penyelidikan dengan berjalan kaki, disertai penggu-
naan ilmu meringankan tubuh.
Saat ini hari sudah siang. Sinar matahari yang me-
mancar terik, membuat udara terasa panas menyen-
gat. Sehingga, ketiga orang lelaki gagah itu memu-
tuskan untuk mempercepat perjalanan dengan meng-
gunakan ilmu lari cepat.
Sebentar kemudian, terlihatlah tiga sosok bayangan 
bergerak melintasi jalan yang ditumbuhi rumput tebal. 
Padang rumput yang cukup luas itu tentu saja dapat 
ditempuh lebih cepat, daripada orang-orang biasa. Se-
hingga, sebentar saja ketiganya telah menemukan se-
buah jalanan lebar. Sampai di situ, mereka menghen-
tikan lari. Dan perjalanan kini dilanjutkan dengan 
langkah biasa, karena sesekali berpapasan dengan 
orang-orang yang menggunakan jalan umum itu.
Tidak beberapa lama kemudian, Wira Yudha, Walu-
ja dan Gala Campa tiba di mulut sebuah desa yang 
cukup ramai dan agak besar. Kedai makan yang bi-
asanya hanya terdapat satu dalam sebuah desa, bisa 
ditemukan lebih dari dua di sini. Hal ini menunjukkan 
kalau desa itu sangat ramai.
“Kita singgah sebentar sambil mencari keterangan 
di desa ini. Tapi, ingat jangan terlalu menyolok..,” Wira 
Yudha mengingatkan kedua orang temannya, kemu-
dian melangkah memasuki sebuah kedai makan yang 
dipilihnya.
Sementara Waluja dan Gala Campa, ikut masuk kedalam kedai makan yang cukup besar itu.
Tiga orang pengemis berwajah kotor dan berpakaian 
berwarna hitam yang sengaja ditambal-tambal, tampak 
berdiri di dekat pintu kedai. Sikap mereka sama sekali 
tidak pantas disebut pengemis. Malah, lebih tepat ka-
lau dikatakan perampok.
“Berilah kami makan, Tuan. Cepatlah, kami sudah 
lapar...,” seorang pengemis yang bertubuh kurus den-
gan sepasang mata liar menadahkan sebuah mangkuk 
kaleng kepada seorang lelaki gemuk yang berdiri den-
gan wajah agak pucat Tampak sekali kalau lelaki ge-
muk itu ketakutan.
“Kisanak! Mengertilah sedikit. Baru beberapa saat 
yang lalu, empat orang temanmu datang meminta-
minta. Kini setelah mereka pergi, kau dan tiga orang 
kawanmu datang meminta-minta lagi. Kalau terus-
terusan begini, bisa-bisa jatuh pailit..,” jawab lelaki 
gemuk itu dengan agak memelas.
Tapi ucapan maupun wajah lelaki gemuk yang ter-
nyata adalah pemilik kedai, sama sekali tidak menda-
tangkan rasa pengertian bagi pengemis muda itu.
“Hm..., dasar gendut pelit! Rupanya kau lebih suka 
kehilangan kedaimu ketimbang empat mangkuk nasi 
dan beberapa keping uang! Kalau memang itu maumu, 
baiklah...,”
Setelah berkata dengan nada mengancam, pengemis 
berwajah kurus itu membalikkan tubuhnya hendak 
meninggalkan kedai. Sementara ketiga orang kawan-
nya bergerak mengikuti. Tinggallah si pemilik kedai 
terbengong-bengong dengan wajah semakin bertambah 
pucat.
“Hei...! Hei..., tunggulah...! Biar ku ambilkan...,”
Akhirnya karena takut oleh ancaman itu, si pemilik 
kedai segera saja berteriak memanggil keempat pengemis berbaju hitam. Seketika pengemis itu segera 
menahan langkahnya.
Pengemis bertubuh kurus yang usianya kira-kira ti-
ga puluh tahun itu memutar tubuhnya dengan tatapan 
sinis. Kemudian, dengan lagak sombong, dia maju be-
berapa tindak.
“Maaf! Karena kau sudah menolak permintaan kami 
barusan, maka aku tidak bisa menerima sedekahmu. 
Lebih baik simpan saja semua hartamu agar tidak ikut 
musnah nanti...,” ujar pengemis muda itu dengan wa-
jah dingin.
Setelah berkata demikian, ia kembali memutar tu-
buhnya meninggalkan kedai.
Semua kejadian itu tentu saja tidak lepas dari pan-
dangan dan pendengaran Wira Yudha, Waluja dan Ga-
la Campa. Ketiga lelaki gagah itu tentu saja menjadi 
geram melihat tingkah laku pengemis bermuka kurus 
tadi. Apalagi, ucapannya terdengar demikian angkuh 
dan penuh ancaman. Sampai-sampai si pemilik kedai
berlari mengejar dan berlutut sambil menangis minta 
maaf kepada keempat pengemis berbaju hitam itu.
Inilah yang membuat Wira Yudha dan kawan-
kawannya merasa heran. Meskipun kejadian itu disak-
sikan puluhan pasang mata, namun tak satu pun yang 
ambil perduli. Rata-rata, mereka langsung memaling-
kan wajah begitu melihat kejadian itu. Bahkan ketika 
si pemilik kedai bersimpuh sambil meratap mohon 
maaf, tak seorang pun yang mau peduli.
Wira Yudha pun sebelumnya agak ragu juga untuk 
ambil tindakan. Pikiran tentang kehancuran pergu-
ruannya, membuat lelaki gagah itu berpikir dua kali 
untuk mencampuri urusan pengemis berbaju hitam 
yang diduga dari Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. 
Namun, jiwa kependekarannya seketika bergolak. Dan

dia tak bisa menerima ketidakadilan yang berlangsung 
di depan matanya. Jiwa pendekar itulah yang memak-
sa Wira Yudha dan kawan-kawannya untuk mengam-
bil tindakan. Kalaupun mereka nanti harus kehilangan 
perguruan atau nyawa, itu akan lebih baik daripada 
hidup sebagai pengecut! Maka...,
“Kisanak! Rasanya tindakan kalian sudah keterla-
luan. Sikap yang kalian tunjukkan tidak lagi mencer-
minkan seorang pengemis, tapi sudah menjurus ke 
arah perampok. Dan, pekerjaan itu rasanya lebih tepat 
bagi kalian...,” tegur Wira Yudha, lantang. Kemudian, 
dia melangkah menghampiri keempat pengemis itu be-
rada.
Mendengar teguran itu, si pemilik kedai bukannya 
menjadi lega, karena ada orang yang sudi membelanya. 
Tapi, dia malah kembali menyembah-menyembah 
keempat pengemis itu. Bahkan meminta agar lelaki ga-
gah yang melontarkan penghinaan itu agar diampuni.
“Maafkanlah dia, Kisanak. Dia seorang pendatang 
yang tidak tahu, siapa Kisanak berempat Aku akan 
memberikan apa saja yang kalian inginkan, sebagai ra-
sa terima kasihku...,” bujuk si lelaki gemuk pemilik 
kedai sambil membentur-benturkan keningnya ke ta-
nah berkali-kali.
Tapi, ternyata semua itu malah membuat pengemis 
bermuka kurus itu semakin bertingkah. Dengan lagak 
seorang jagoan, ia bertolak pinggang.
“Hei, kau orang tua! Dengarlah! kau tadi sudah 
menghina kami. Dan itu tidak bisa dimaafkan! Kemu-
dian, ada lagi orang yang menghina kami secara lebih 
kasar. Dan kau pun memintakan ampun untuk mere-
ka dengan janji akan memberi apa yang kami minta. 
Sekarang, aku minta ketegasan darimu. Sungguh-
sungguhkah ucapanmu barusan?” tanya pengemis

muda berwajah kurus itu dengan suara lantang.
“Benar.... Benar...,” sahut pemilik kedai makan itu 
cepat, sambil mengangguk-anggukkan kepala dengan
wajah agak berseri. Pemilik kedai itu sengaja mengu-
capkannya jelas-jelas, dengan harapan permintaannya 
tadi dikabulkan.
“Kau akan memberikan semua milikmu yang kami 
minta...?” Kembali pengemis muda berwajah kurus itu 
menegasi.
“Betul! Aku akan menyerahkan semuanya yang ka-
lian minta, asalkan kesalahanku dan kesalahan orang 
itu dimaafkan...,” jawab pemilik kedai itu tanpa ragu-
ragu lagi, seraya menunjuk Wira Yudha.
Tentu saja pembelaan pemilik kedai itu membuat 
Wira Yudha dan kawan-kawannya merasa terharu. Se-
bab dalam kesulitannya, lelaki gemuk itu masih sudi 
juga memikirkan keselamatan orang lain. Sikap itu 
semakin membulatkan tekad Wira Yudha dan yang 
lain untuk menolong si pemilik kedai.
“Hm..., bagus. Kalau begitu, sekarang juga kami 
akan memenggal kepalamu. Karena, kepalamulah yang 
akan kami minta,”
Permintaan itu meluncur demikian enteng. Seolah-
olah, harga kepala manusia tidak ubahnya seperti ke-
pala ayam!
“Haaa...?!”
Karuan saja permintaan pengemis itu membuat si 
pemilik kedai terkejut setengah mati. Sama sekali tidak 
disangka kalau pengemis itu akan meminta kepalanya 
sebagai tanda kalau semua kesalahannya dimaafkan. 
Karuan saja, lelaki gemuk itu bungkam. Dan dia me-
mang telah berjanji untuk memberi apa saja, yang di-
minta para pengemis itu.
Tapi, tidak demikian halnya Wira Yudha, Waluja

dan Gala Campa. Ketiga orang lelaki gagah itu berge-
rak maju dengan langkah tenang. Terdengar suara Wa-
luja mengejutkan empat orang pengemis itu.
“Hm.... Kalau ku tahu Perkumpulan Pengemis Baju 
Hitam adalah perkumpulan anjing geladak yang rakus, 
sudah sejak dulu batang leher mereka kutebas putus 
dengan pedangku ini!” kata Waluja sambil meraba ga-
gang pedang yang tersembul di balik pakaiannya.
Karuan saja, ucapan itu membuat wajah keempat 
anggota Pengemis Baju Hitam menjadi pucat bagai ker-
tas.
“Bangsat! Kalian rupanya memang sengaja mencari 
gara-gara!”
Sambil berkata demikian, pengemis muda berwajah 
kurus itu mengangkat tongkat hitamnya melintang di 
atas kepala. Dengan menggunakan isyarat kepala, ka-
wan-kawannya diperintahkan untuk mengepung.
“Hm....”
Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa hanya bergu-
mam pelan melihat lawannya mengepung. Dengan si-
kap tenang, ketiga orang murid perguruan-perguruan 
terkenal itu menanti apa yang akan dilakukan kawa-
kan pengemis yang sudah mengepung.
“Haaattt...!”
Tiba-tiba, dibarengi teriakan keras, pengemis muda 
berwajah kurus itu menghantamkan tongkatnya se-
kuat tenaga ke kepala Waluja yang paling dekat den-
gannya!
Buuuttt..!
Waluja sama sekali tidak gugup melihat serangan 
itu. Sekali pandang saja, segera diketahui kalau keem-
pat orang pengemis itu hanyalah kelompok tingkat 
rendahan. Sehingga, untuk menghadapi serangan itu 
tampaknya tidak terlalu sulit.

Plaaakkk!
Dengan mengulurkan tangan kanan Waluja telah 
berhasil menangkap tongkat lawannya. Kemudian den-
gan sebuah bentakan keras, ujung tongkat yang di-
tangkapnya cepat dihentakkan.
“Heaaahhh!”
“Aaa...!“
Karuan saja pengemis muda berwajah kurus itu 
melolong panjang. Karena, tahu-tahu saja tubuhnya 
telah terlempar ke udara, dan terus menghantam seba-
tang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan!
Bruuukkk!
“Ngggekkk!”
Setelah membentur batang pohon hingga menim-
bulkan suara berderak keras, tubuh pengemis muda 
itu terbanting jatuh ke tanah. Terdengar rintihnya 
yang memilukan, karena beberapa tulang tubuhnya 
berpatahan! Bahkan sambungan bahu kanannya ter-
lepas akibat berbenturan keras dengan pohon besar 
tadi.
Kesialan itu rupanya bukan hanya dirasakan pen-
gemis bertubuh kurus yang telah rubuh di tanah tadi. 
Ketiga orang temannya yang lain pun mendapat bagian 
yang tidak kalah berbahaya. Bahkan dua di antaranya 
terpaksa menerima kematian di tangan Wira Yudha 
yang seperti sangat mendendam dan sangat membenci 
pengemis berbaju hitam ini. Sedangkan Gala Campa 
hanya mematahkan tulang kaki dan lengan seorang 
pengemis lainya.
Anehnya, semua kejadian itu bukannya membuat 
lelaki pemilik kedai dan para penduduk desa ini mera-
sa senang. Malah, beberapa di antara mereka langsung 
meninggalkan tempat itu. Sementara yang lain segera 
berlari pulang dan mengunci pintu rumah rapat-rapat

Jelas, perbuatan Wira Yudha dan kawan-kawannya te-
lah menimbulkan rasa takut yang semakin dalam di 
hati para penduduk desa.
Wira Yudha, Waluja dan Gala Campa menarik na-
pas panjang sebagai tanda kegundahan hati. Ketiganya 
menatap kedai yang tidak terlihat seorang pun, kecuali 
seorang pemuda tampan berpakaian putih dan seorang 
dara jelita berpakaian hijau yang masih duduk tenang 
di dalamnya.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga lelaki gagah 
itu seperti terpaku menatap wajah jelita dara berpa-
kaian serba hijau yang tampak sangat menyolok itu. 
Namun, mereka cepat menguasai diri, dan melangkah 
ke arah kedai. Sedangkan si pemilik kedai sudah sejak 
tadi lenyap, karena ketakutan.
***
LIMA


“Hm..., mengapa kalian berdua tidak ikut bersem-
bunyi? Apakah kalian bukan orang desa ini, dan be-
lum mengenal pengemis-pengemis yang lebih pantas 
disebut perampok tadi?” tanya Wira Yudha begitu me-
masuki kedai.
Sedangkan Waluja dan Gala Campa, menatap den-
gan sorot mata curiga. Hati mereka sedikit tegang keti-
ka melihat gagang pedang di pinggang kanan dara jeli-
ta berpakaian hijau itu.
“Hm.... Rupanya kalian orang-orang persilatan juga. 
Kalau boleh tahu, siapakah kalian? Dan, dari pergu-
ruan mana...?” Gala Campa ikut bertanya, karena di-
dorong rasa penasaran pada gagang pedang di ping-
gang gadis berbaju hijau itu.

“Atau..., jangan-jangan kalian adalah mata-mata 
dari perkumpulan pengemis jahat itu...?” dugaan te-
rakhir keluar dari mulut Waluja, namun nadanya ku-
rang enak didengar. Dan tentu saja, pertanyaan-
pertanyaan yang dilontarkan beruntun itu membuat 
pemuda berjubah putih ini tertawa lembut.
“Kisanak sekalian...,” panggil pemuda tampan ber-
jubah putih itu dengan suara dan wajah tenang, tidak 
mencerminkan rasa takut, “Maaf kalau aku jadi bin-
gung oleh pertanyaan-pertanyaan kalian bertiga. To-
long sebutkan, pertanyaan mana yang harus kujawab 
lebih dulu....”
Wira Yudha dan kawan-kawannya saling bertukar 
pandang sejenak. Mereka segera menyadari kesulitan 
pemuda itu dalam menjawab pertanyaan yang membe-
rondong tadi. Hanya saja kecurigaan mereka menjadi 
lebih besar ketika melihat sikap tenang pemuda berju-
bah putih itu. Bahkan dara jelita yang bersamanya 
tampak seperti tidak perduli terhadap keadaan seki-
tarnya. Dan dia masih saja menikmati hidangannya 
tanpa merasa terganggu sedikit pun.
“Kau boleh memulainya dari pertanyaanku...,” ujar 
Wira Yudha setelah terdiam beberapa saat lamanya.
“Baiklah, desah pemuda tampan berjubah putih itu 
tersenyum, dan tetap tenang, “Kami tidak ikut bersem-
bunyi, karena merasa tidak bersalah. Meskipun bukan 
orang desa ini, tapi sedikit banyak kami cukup tahu 
tentang pengemis-pengemis itu....”
“Hmmmm....”
Wira Yudha bergumam sambil mengangguk-angguk, 
merasa cukup puas dengan jawaban pemuda itu. 
“Apakah kau orang persilatan?” tanya Wira Yudha, 
mengulang pertanyaan Gala Campa. Nadanya kini le-
bih lunak dari semula. Memang entah mengapa, ia seperti merasa percaya sepenuhnya terhadap jawaban 
pemuda berjubah putih itu.
“Bisa dibilang, kami orang-orang persilatan. Tapi, 
bisa juga tidak. Namaku Panji. Sedangkan kawanku 
bernama Kenanga. Kami berdua tidak mempunyai per-
guruan, dan hanyalah perantau-perantau yang ingin 
memperluas pengalaman,” sahut pemuda tampan ber-
jubah putih itu.
Kini tampak ketiga tokoh itu mengangguk-angguk 
puas atas jawaban pemuda yang mengaku bernama 
Panji, Lalu, apa hubunganmu dengan pengemis-
pengemis tadi? Apakah kalian mata-mata mereka?” se-
lak Waluja dengan nada agak keras.
Sepertinya lelaki tegap itu selain ingin mengukur 
kesabaran Panji juga ingin mendengar bantahannya. 
Karena, pertanyaan Waluja memang lebih tepat sebuah 
tuduhan.
“Huh! benar-benar menjemukan! Kalian ini tidak 
ubahnya nenek-nenek nyinyir!”
Tiba-tiba, dara jelita berpakaian serba hijau yang 
bernama Kenanga menukas ketus dan tandas. Sehing-
ga, Wira Yudha dan kawan-kawan jadi saling berpan-
dangan dengan wajah agak memerah. Jelas telinga me-
reka merasa cukup tersentil mendengar ucapan gadis 
jelita itu.
“Maaf..., maaf. Kawanku ini memang terkadang 
mudah sekali tersinggung. Mungkin merasa jengkel 
karena pertanyaan Kisanak yang gagah ini lebih bersi-
fat menuduh, daripada bertanya.”
Untungnya, pemuda berjubah putih itu buru-buru 
meredakan suasana yang sedikit mulai hangat Dan 
rupanya, Kenanga nampaknya tidak berani memban-
tah ketika melihat isyarat Panji agar tidak mencampuri.
“Hm...,” Waluja hanya bergumam tak jelas, kemu-
dian kembali menatap wajah pemuda tampan itu lekat-
lekat Sepertinya, ia masih menunggu jawaban Panji.
“Kalau kalian percaya, kami sama sekali tidak 
mempunyai hubungan dengan pengemis-pengemis itu. 
Dan kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, maaf, ka-
mi harus melanjutkan perjalanan...,” pamit Panji se-
raya membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki 
gagah itu.
Sementara, Kenanga sama sekali tidak perduli. 
Bahkan sepasang matanya yang indah sempat men-
gerling tajam. Rupanya Kenanga masih merasa tidak 
puas oleh perlakuan ketiga orang lelaki gagah yang di-
anggapnya kurang sopan dan agak sombong. Tapi. ka-
rena Panji sendiri tidak merasa tersinggung, gadis jeli-
ta itupun tidak bisa berbuat apa-apa.
Demikian pula halnya Wira Yudha, Waluja, dan Ga-
la Campa. Mereka tidak bisa menahan kepergian sepa-
sang pendekar muda yang memang Pendekar Naga Pu-
tih dan kekasihnya. Selain pertanyaan-pertanyaan me-
reka sudah terjawab dengan baik, mereka pun tidak 
mempunyai hak mencegah kepergian Panji dan Kenan-
ga.
“Kisanak, tunggu dulu...!” tiba-tiba saja Wira Yudha 
berseru ketika Panji dan Kenanga baru sampai di am-
bang pintu kedai.
Bergegas lelaki gagah itu menghampiri ketika meli-
hat pasangan muda itu menunda langkah dan memu-
tar balik tubuhnya.
“Ada apa lagi, Kisanak...?” tanya Panji, tetap dengan 
nada dan raut wajah tidak berubah.
Pemuda tampan itu masih saja ramah dan tenang. 
Sehingga, Wira Yudha sendiri menjadi agak rikuh, ka-
rena lelaki merasa adanya pancaran perbawa pada wajah maupun sikap pemuda tampan bernama Panji itu.
“Hm ... Kami bertiga merasa khawatir sekali pada 
keselamatan kalian berdua. Dengan adanya kejadian 
tadi, rasa-rasanya para pengemis itu pasti akan men-
gamuk dan mencelakai apa yang ditemukannya. Dan 
jika kalian pergi dari desa ini, aku khawatir akan jadi 
sasaran mereka...,” jelas Wira Yudha.
Sebenarnya, dia memang merasa khawatir atas ke-
selamatan pasangan muda itu.
“Mengapa kau menduga demikian? Bukankah kami 
tidak punya kesalahan terhadap mereka?
Maka tidak ada alasan bagi pengemis-pengemis itu 
untuk mencelakai kami. Tapi biar bagaimanapun, aku 
merasa sangat berterima kasih atas perhatian kalian 
yang mau mencemaskan nasib kami. Maaf, aku harus 
pergi...,”
Setelah berkata demikian, Panji kembali memutar 
tubuhnya dan melangkah meninggalkan kedai bersa-
ma kekasihnya.
“Hhh.... Mudah-mudahan saja mereka tidak menja-
di sasaran kemarahan pengemis-pengemis keparat 
itu...,” Wira Yudha lirih disertai helaan napas beratnya.
Apa yang dikhawatirkan oleh Wira Yudha ternyata 
tidak berlebihan. Saat Panji dan Kenanga baru bebera-
pa tombak meninggalkan kedai, terlihat puluhan orang 
pengemis berlarian mendatangi tempat terjadinya awal 
perkelahian.
“Berhenti...!”
Terdengar hardikan salah seorang dari puluhan 
pengemis terhadap Panji dan Kenanga yang tengah 
menyusuri jalan utama desa. Tapi, kedua orang muda 
itu terus saja mengayun langkah, bagai tidak menden-
gar hardikan tadi. Karuan saja, sikap itu memancing 
kemarahan si pengemis.

“Bedebah! Rupanya, kalian lebih suka pada tongkat 
ini...!”
Sambil menggeram gusar, pengemis berbaju hitam 
yang usianya sekitar empat puluh tahun itu men-
gayunkan tongkat hitamnya ke arah kepala Panji. 
Maksudnya jelas, bukan sekedar memberikan hajaran, 
tapi memang ingin menamatkan riwayat pemuda tam-
pan berjubah putih itu dengan sekali pukul.
“Hei...!”
Wira Yudha yang sempat melihat kejadian itu berse-
ru mencegah. Tangannya hanya menggapai tanpa be-
rani mendekat, karena bisa berbahaya baginya. Masa-
lahnya, sebagian besar dari kelompok para pengemis 
telah berada di sekitar kedai. Sehingga, Wira Yudha 
dan kawan-kawan hanya bisa mengharap agar pemuda 
itu bisa menyelamatkan diri.
***
Panji sama sekali tidak berusaha menghindari sam-
baran tongkat pengemis itu. Bahkan Kenanga yang 
semula sudah hendak bergerak, terpaksa diam ketika 
jemari tangannya agak sedikit ditekan oleh kekasih-
nya. Terpaksa gadis jelita itu mengambil sikap tak per-
duli, dan terus mengayun langkah mengikuti kekasih-
nya.
Whuuukkk!
Tongkat hitam sebesar lengan yang terbuat dari 
kayu besi itu menderu tajam, mengancam kepala Pan-
ji. Sementara pemuda itu terlihat hanya menarik napas 
agak panjang, dan...,
Deeebbb!
“Aaakkkh...!”
Tongkat pengemis itu telak dan keras sekali meng-
hantam batok kepala Pendekar Naga Putih. Tapi aneh

nya, bunyi yang ditimbulkan pukulan tongkat seperti 
bunyi sebuah benda kenyal yang dihantam oleh puku-
lan keras. Dan yang dialami pengemis itu tubuhnya 
kontan terjajar ke belakang hingga beberapa langkah 
jauhnya. Sedangkan tongkat hitamnya entah terbang 
ke mana, karena ia sendiri tidak melihatnya.
“Uuuhhh...?!”
Sambil merintih kesakitan, pengemis bertubuh se-
dang itu memijat-mijat kedua tangannya bergantian. 
Jelas, ia merasa kesakitan setelah melancarkan puku-
lan ke arah Panji tadi. Regentaran mulai terbayang pa-
da sepasang matanya. Sehingga ketika pemuda itu me-
lanjutkan langkah, ia hanya memandang tanpa berani 
mencegah.
Ternyata, bukan hanya pengemis bertubuh sedang 
itu saja yang berusaha menyerang terhadap Panji. Se-
dangkan Kenanga sama sekali tidak pernah diganggu. 
Hal itu bisa saja, karena kecantikannya. Tidak heran 
bila berkali-kali pemuda itu menjadi sasaran pukulan 
tongkat para pengemis. Dan tentu saja Panji sadar 
akan maksud orang-orang itu.
Tapi, para pengemis yang melontarkan pukulan
tongkatnya ke arah Panji satu-persatu minggir men-
jauh. Betapa tidak? Meskipun melihat jelas-jelas kalau 
tongkat mereka mengenai sasaran, tapi pemuda itu te-
tap saja melangkah tenang tanpa mengalami cidera. 
Bahkan justru merekalah yang kesakitan.
“Pemuda itu pasti jelmaan malaikat! Bayangkan sa-
ja, dia sama sekali tidak merasa sakit meskipun kepa-
lanya telah dipukul berkali-kali dengan tongkat..!” kata 
salah seorang yang telah merasakan akibatnya, dengan 
suara bergetar.
“Mungkin juga ia orang sakti yang memiliki tenaga 
dalam tidak terukur. Aku merasakan sendiri, betapa

kuat tenaga dalamnya sehingga pukulanku berbalik. 
Bahkan telapak tanganku, sampai berdarah...,” timpal 
pengemis lain yang tubuhnya tampak kokoh bagai ba-
tu karang.
Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan tela-
pak tangannya yang pecah-pecah dan mengeluarkan 
darah. Hal itu terjadi karena kekuatan yang diguna-
kannya untuk memukul jauh lebih kuat dari pada ka-
wan-kawannya. Tentu saja, akibatnya pun lebih buruk 
lagi.
Akhirnya, satu-persatu pengemis-pengemis itu ber-
gerak meninggalkan Panji dan Kenanga. Sehingga, ti-
dak ada lagi yang mengganggu perjalanan mereka. Ke-
duanya melangkah tenang, menyusuri jalan utama de-
sa.
Sayangnya, saat itu Wira Yudha dan yang lain tidak 
sempat menyaksikan keanehan yang dialami para pe-
nyerang pemuda berjubah putih tadi. Karena, para 
pengemis berbaju hitam sudah bergerak mengurung 
kedai. Tentu saja, ketiga lelaki gagah yang tidak ingin 
isi kedai porak-poranda, segera melesat keluar untuk 
menghadapi mereka. Sementara di lain hal, para pen-
gemis berbaju hitam tampaknya sangat marah terha-
dap Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa yang telah 
mencelakai kawan-kawan mereka. Entah, dari mana 
datangnya para pengemis itu. Tak seorang pun yang 
tahu. Hal-hal seperti itulah yang ditakuti para pendu-
duk desa.
“Kau boleh pilih, manusia lancang. Menyerah secara 
suka rela, atau terpaksa kami menggunakan kekera-
san untuk menyeret tubuh kalian ke hadapan pimpi-
nan kami...?!”
Terdengar suara menggelegar dari seorang pengemis 
berkepala gundul yang selebar wajahnya dipenuhi

brewok. Nadanya terdengar demikian sombong. Seo-
lah-olah, dirinya .adalah seorang penguasa yang ten-
gah berbicara kepada rakyatnya.
“Hm.... aku tidak perduli cara apa yang akan kalian 
pergunakan! Kalau memang ingin dengan kekerasan, 
silakan lakukan. Jangan bisanya hanya mengumbar 
bacot yang tak berguna! Aku pun memang mempunyai 
urusan dengan kalian, pengemis-pengemis kurap!” 
tantang Wira Yudha sambil melolos pedang dari sa-
rungnya.
Memang, saat itu mereka bertiga telah dikepung 
oleh paling sedikit tujuh puluh orang pengemis. Mera-
sa sudah terlanjur, Wira Yudha, Waluja, dan Gala 
Campa memutuskan untuk melawan sampai titik da-
rah yang terakhir.
“Serbuuu...!”
Setelah mendengar tantangan Wira Yudha, lelaki 
berkepala botak yang selebar wajahnya ditumbuhi 
brewok langsung saja memberi aba-aba kepada kawan-
kawannya untuk menyerbu ketiga orang lelaki gagah 
itu.
Bagaikan semut-semut menemukan manisan, pu-
luhan pengemis berbaju hitam itu meluruk ke arah Wi-
ra Yudha dan kawan-kawannya. Sebentar saja, lenyap-
lah tubuh ketiga orang lelaki gagah itu ditelan keru-
munan sosok hitam. Sedangkan pengemis brewok ber-
kepala botak itu tidak ikut maju mengeroyok. Ia hanya 
tertawa-tawa menyaksikan amukan ketiga lawan yang 
tengah membendung serangan puluhan orang penge-
mis, anak buahnya.
“Heaaattt..!”
Waluja berteriak mengguntur sambil memutar se-
kuat tenaga pedang di tangannya. Maka terbentuklah 
gulungan sinar memanjang yang bergerak turun naik
membendung tusukan serta hantaman puluhan ba-
tang tongkat yang meluruk ke arahnya!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang dibarengi 
percikan darah segar, saat pedang di tangan Waluja 
mulai meminta korban. Meskipun begitu, para penge-
mis berbaju hitam sama sekali tidak bergerak mundur. 
Mereka terus menggempur maju, tanpa takut terkena 
sambaran pedang lelaki tegap itu. Maka tentu saja Wa-
luja agak terdesak karenanya.
Wira Yudha pun tidak ketinggalan. Pedang di tan-
gannya dikelebatkan dengan kekuatan menggetarkan. 
Setiap kali pedangnya berkelebat, selalu saja ada da-
rah memercik disertai robohnya lawan. Tapi karena 
jumlah lawan sangat banyak dan terus menggempur 
maju, lama-kelamaan Wira Yudha terpaksa bermain 
mundur sambil tetap mengelebatkan pedangnya.
Begitu juga Gala Campa. Lelaki gemuk murid tertua 
Perguruan Cakar Basi itu juga hanya bermain mun-
dur. Meskipun pedang di tangannya telah berlumuran 
darah segar, tapi jumlah lawan yang seperti tidak per-
nah habis itu membuatnya agak terdesak. Padahal 
sambaran pedangnya terus meminta korban.
Serbuan para pengemis berbaju hitam itu memang 
benar-benar hebat. Tanpa perduli terhadap kawan-
kawannya yang berjatuhan mandi darah, mereka terus 
menggusur ketiga orang lelaki gagah itu dengan han-
taman-hantaman tongkat. Dan ketika lawan-lawan te-
lah dapat dikepung, barulah serbuan para pengemis 
itu berkurang. Bahkan mereka terlihat bergerak mun-
dur meninggalkan Wira Yudha, Waluja, dan Gala 
Campa. Maka, kontan benak mereka dipenuhi berma-
cam pertanyaan.
Belum lagi ketiga orang lelaki gagah itu dapat me-
nemukan jawaban atas sikap aneh para pengeroyok,

para pengemis berbaju hitam telah bergerak dan mem-
bentuk barisan berlapis-lapis. Semua itu tentu saja 
atas perintah pengemis brewok berkepala gundul, yang 
sepertinya hanya mendapat tugas untuk berteriak-
teriak mengatur kawan-kawannya.
“Mulai...!”
Begitu mendapat perintah dari pengemis gundul, 
serentak saja barisan pengemis yang berlapis-lapis itu 
bergerak maju. Gerakan mereka benar-benar menge-
jutkan hati Wira Yudha dan kawan-kawannya.
“Gila...! Sepertinya mereka hendak menguras tenaga 
kita agar dapat di tangkap hidup-hidup...!” desis Wira 
Yudha.
Tampak barisan pengemis itu bergerak maju den-
gan tetap membentuk barisan. Tentu saja serangan 
seperti itu memang bisa membuat tenaga lawan terku-
ras habis.
“Hm.... Tidak perduli apa yang akan mereka laku-
kan! Yang penting, mereka kita babat habis...!” geram 
Gala Campa dengan semangat tinggi. Sehingga, kedua 
temannya merasa terbakar semangatnya.
“Kau benar, Kakang Gala Campa. Meskipun harus 
mati di tangan pengemis-pengemis biadab itu, tapi kita 
harus habisi mereka sebanyak mungkin!” Sahut Walu-
ja, tidak kalah bersemangatnya.
Setelah berkata demikian, lelaki tegap itu segera sa-
ja memutar senjatanya. Seketika, tubuhnya melesat 
menyambut kedatangan lawan.
“Heaaattt..!”
Beuuuttt..!
Selarik sinar putih berkeredep ketika pedang di tan-
gan Waluja bergerak mendatar, membabat perut lima 
orang pengeroyok di barisan depan.
“Haaaiiittt..!”

Barisan pengemis berbaju hitam di bagian depan itu 
berseru serentak sambil menarik tumbuhnya ke bela-
kang. Berbarengan dengan itu, para pengemis di bari-
san belakang berlompatan ke atas disertai babatan 
tongkat yang menderu tajam, mengancam kepala dan 
beberapa bagian tubuh Waluja.
Whuuuk! Whuuuk! Whuuuk! 
“Hm....;
Rupanya lelaki tegap itu sudah cermat memperhi-
tungkan serangannya. Maka, begitu melihat sasaran-
nya sama-sama bergerak mundur, Waluja sudah me-
mutar senjatanya dari bawah ke atas dengan kuda-
kuda rendah. Akibatnya...,
Traaakkk! Traaakkk!
Craaasss! Breeettt!
“Aaaakkk...!”
Terdengar benturan yang diselingi suara mata pe-
dang mengenai sasaran! Terdengar jerit kematian sal-
ing susul disertai semburan darah segar yang sebagian 
menodai pakaian dan pedang Waluja. Tiga orang pen-
gemis berbaju hitam kontan ambruk mandi darah! Se-
dangkan tiga lainnya terpental balik, akibat tangkisan 
lelaki tegap itu.
“Hm.... Majulah kalian, manusia-manusia busuk! 
Hari ini aku akan menghirup darah kalian satu persa-
tu dengan senjataku...!” desis Waluja, semakin ber-
tambah semangat begitu melihat gebrakannya telah 
memakan korban di pihak lawan.
Namun, pengemis berbaju hitam itu sama sekali ti-
dak menjadi gentar. Diiringi teriakan-teriakan ribut, 
mereka kembali menerjang lelaki gagah itu dengan 
tongkat-tongkat di tangan. Pertempuran pun kembali 
berlanjut dengan sengit!
***

ENAM

Perlawanan Wira Yudha dan kawan-kawannya 
membuat kening pengemis brewok berkepala gundul 
itu berkerut-kerut. Meskipun anak buahnya telah ba-
nyak yang menjadi korban, tapi belum juga terlihat 
ada keinginan di hatinya untuk maju. Ia masih saja 
berdiri tegak, menyaksikan anak buahnya menggem-
pur ketiga orang lelaki gagah itu.
“Hm.... Jadi mereka orang-orang Perguruan Cakar 
Besi dan Ular Emas...,” gumam lelaki gundul itu seo-
rang diri. Kepalanya tampak terangguk-angguk sambil 
mengelus jenggot yang meranggas di dagunya.
Saat itu, Wira Yudha , Waluja, dan Gala Campa ter-
lihat telah bermandikan darah dan keringat Meskipun 
darah itu bukan dari tubuh mereka, namun penampi-
lan ketiga orang tokoh persilatan itu benar-benar me-
nyeramkan. Mereka tak ubahnya manusia-manusia 
haus darah yang tidak pernah puas dengan korban-
nya. Korban-korban lain yang masih hidup terus dibu-
ru.
Meskipun saat itu jumlah pengemis berbaju hitam 
sudah separuh lebih yang menjadi korban, namun si-
sanya tetap saja menerjang maju tanpa rasa ngeri. Pa-
ra pengemis itu tetap melancarkan gempuran-
gempuran yang bagaikan gelombang di lautan. Selalu 
bersambungan dan tidak pernah putus!
Deeesss!
“Aaakkkh...!”
Suatu ketika, Gala Campa yang gerakannya terlihat 
mulai melambat karena lelah, terpaksa harus meneri-
ma hantaman sebatang tongkat. Akibatnya, punggungnya terasa panas. Dan belum lagi lelaki gemuk itu 
sempat membalasnya, sebuah tongkat lain datang me-
nubruk dada kanannya.
Duuuggg!
“Ughhh...!”
Tubuh Gala Campa terjajar limbung! Dari sudut bi-
birnya tampak lelehan darah segar. Jelas, hantaman 
dua batang tongkat yang sangat keras itu membuatnya 
tersiksa. Dadanya terasa sesak, dan napasnya jadi ter-
sengal.
“Bangsat..!”
Sambil memaki kalang kabut, Gala Campa menya-
betkan pedangnya ke depan secara serampangan. Hal 
itu dilakukan semata-mata hanya untuk membendung 
serangan lain yang kemungkinan menyusul. Tapi, ha-
silnya sungguh membuat hati lelaki gemuk bersorak! 
Ternyata sambaran pedang yang dilakukannya secara 
serampangan telah merobek tubuh dua orang penge-
mis yang memang tengah menyodokkan ujung tong-
katnya ke tubuh Gala Campa! Tanpa ampun lagi, ke-
dua orang pengemis itu ambruk bermandikan darah!
“Mampus kalian...!” dengus Gala Campa yang ke-
mudian tertawa berkakakan.
Lega hati lelaki gemuk itu, karena telah dapat 
membalas apa yang barusan dilakukan lawan terha-
dap dirinya.
“Gelombang surut...!”
Tiba-tiba saja terdengar seruan keras yang mening-
kahi ramainya teriakan-teriakan dan denting senjata di 
arena pertempuran.
Sesaat setelah teriakan itu berkumandang, barisan 
pengemis itu serentak bergerak mundur bagaikan ge-
lombang yang surut. Hal itu tentu saja membuat Wira 
Yudha, Waluja, dan Gala Campa menarik napas lega.

Meskipun belum merasa terbebas, namun waktu yang 
sedikit itu rasanya dapat dipergunakan untuk meng-
himpun tenaga yang telah menyusut jauh.
“Hei, orang-orang Perguruan Cakar Besi dan Ular 
Emas! Kali ini kalian kuberi napas. Tapi kuperin-
gatkan, setelah kejadian ini harap kalian berhati-hati. 
Karena, kami selalu siap mencabut nyawa kalian se-
tiap saat...!”
Setelah ucapan itu selesai, pengemis berkepala 
gundul ini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Ke-
mudian dia bergerak meninggalkan tempat itu diiringi 
para pengikutnya. Tentu saja hal itu membuat Wira 
Yudha, Waluja, dan Gala Campa menjadi setengah tak 
percaya. Padahal kalau saja pertarungan dilanjutkan, 
bisa-bisa mereka akan tewas di tangan para pengemis 
itu. Tapi tanpa disangka-sangka, para pengemis itu ju-
stru bergerak mundur dan meninggalkan lawan-
lawannya yang telah kepayahan.
“Hhh.... Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ka-
kang...?” tanya Waluja seraya menghempaskan tubuh-
nya ke atas tanah. Tanpa memperdulikan sekeliling, 
tubuhnya yang terasa lelah luar biasa langsung saja 
direbahkan.
Wira Yudha tidak menanggapi pertanyaan adik se-
perguruannya, karena juga tidak tahu apa yang harus 
dilakukan. Lelaki gagah itu ikut menjatuhkan tubuh-
nya, dan rebah terlentang kelelahan. Gala Campa juga 
melakukan hal serupa. Sehingga, tubuh mereka terja-
jar tak bergerak-gerak seperti tiga sosok mayat
“Ada sesuatu yang aneh terhadap para pengemis 
berbaju hitam itu...” tiba-tiba saja terdengar suara Wa-
luja yang memecah keheningan di antara mereka.
“Apa maksud ucapanmu itu, Adi Waluja...? Apakah 
sikap mereka yang tiba-tiba meninggalkan kita secara

tiba-tiba yang kau anggap aneh...?” timpal Gala Cam-
pa.
Lelaki gemuk itu pun masih belum mengerti, men-
gapa serangan para pengemis itu harus berhenti, dan 
kemudian meninggalkan mereka. Padahal kalau perta-
rungan dilanjutkan, pasti para pengemis itu dapat me-
nawan atau membunuh mereka. Maka tentu saja hal 
itu membuat benak ketiganya bertanya-tanya.
“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi, rasanya ada 
kelainan antara pengemis berbaju hitam yang kita ha-
dapi, dengan pengemis yang menggempur kita bebera-
pa waktu yang lalu. Padahal saat itu, jumlah mereka 
jauh lebih sedikit Tapi, kita harus mengerahkan ke-
mampuan sepenuhnya untuk dapat melawan. Selain 
itu, pengemis yang pernah mengeroyok kita dulu ba-
nyak menggunakan senjata beracun. Lalu, mengapa 
sekarang mereka tidak menggunakannya...?” Bukan-
kah itu aneh...?” desah Waluja yang segera bangkit 
duduk. Hal itu baru terpikir saat tubuhnya dibiarkan 
beristirahat tenang di atas rerumputan kering.
“Ah, benar! Mengapa aku tidak pernah berpikir ke 
arah itu. Jadi, apa kita telah salah menuduh? Jangan-
jangan penyelidikan kita selama ini sia-sia...,”
Gala Campa menepuk keningnya ketika Waluja 
mengingatkan tentang pengemis-pengemis yang per-
nah hampir membunuh mereka di tempat pertemuan 
beberapa waktu yang lalu.
“Hm.... Menurutku tidak begitu, Gala Campa. 
Mungkin saja pengemis-pengemis yang dikirim ke tem-
pat pertemuan guru-guru kita merupakan orang pili-
han yang memang bertugas untuk melakukan hal-hal 
seperti itu. Masalahnya kalau semua anggota pengemis 
berbaju hitam sehebat pengemis-pengemis yang per-
nah mengeroyok kita di tempat pertemuan, wah...! Ra

sa-rasanya, Perkumpulan Pengemis Baju Hitam bisa 
menjadi sebuah perkumpulan nomor satu di seluruh 
negeri. Bahkan bukan tidak mungkin kalau ketuanya 
menjadi jago nomor satu yang tak tertandingi. Jadi 
menurutku, penyelidikan kita belum bisa dibilang sia-
sia. Hanya saja, kita sama sekali belum jelas tentang 
tokoh yang telah membunuh guru-guru kita itu. Nah! 
Setelah kejadian barusan, apalagi yang harus kita la-
kukan...?” tanya Wira Yudha, setelah menguraikan 
pendapatnya secara panjang lebar. Dan penjelasan itu 
memang bisa diterima Waluja dan juga Gala Campa. 
Terbukti, kedua lelaki gagah itu sama-sama mengang-
guk-anggukkan kepala.
“Hhh.... Setelah mengalami pertempuran barusan, 
aku menjadi ragu. Apakah mungkin kita bisa memba-
las kematian guru-guru kita? Sebab, jumlah yang 
mengeroyok tadi masih belum sepersepuluhnya dari 
anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Sedang-
kan untuk mencari pembunuh itu, sudah pasti harus 
mendatangi pusat perkumpulan itu. Bukankah itu 
sama saja memasuki mulut harimau lapar...?” desah 
Waluja, yang meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sehingga, baik Wira Yudha maupun Gala Campa 
jadi termenung dengan wajah keruh. Jelas, mereka 
pun merasakan kesulitan itu.
“Hm..., sebaiknya kita temui saja Ki Damang. 
Mungkin dia bisa memberi jalan keluar. Kita memang 
butuh keterangannya, karena setelah kejadian baru-
san, untuk mendatangi markas pengemis itu sudah ti-
dak mungkin. Kita telah dianggap sebagai musuh oleh 
mereka. Apabila kita muncul, mungkin tanpa banyak 
tanya lagi mereka langsung akan menggempur habis-
habisan. Bagaimana? Apakah kalian setuju dengan 
usulku itu...?” tanya Wira Yudha, meminta pendapat

kedua orang itu.
“Yah.... Memang tidak ada jalan lain lagi. Satu-
satunya yang terbaik saat ini adalah usulmu itu. Wira 
Yudha. Aku jelas setuju sekali...,” sahut Gala Campa 
dengan wajah berseri.
“Kalau begitu, mengapa kita tidak berangkat seka-
rang saja?” kata Waluja seraya bangkit dan siap me-
ninggalkan tempat itu.
“Bagaimana dengan mayat-mayat pengemis itu...?”
Gala Campa merayapi mayat-mayat yang bergelim-
pangan saling tumpah tindih itu. Diam-diam hatinya 
bergidik menyaksikan korban mereka bertiga.
“Biarkan saja. Nanti pun ada orang yang mengu-
rusnya,” jawab Wira Yudha cepat
Kemudian, ketiganya pun berangkat meninggalkan 
tempat itu untuk menemui Ki Damang.
***
Sinar matahari pagi merambah permukaan bumi, 
menghangatkan enam sosok tubuh gagah yang me-
langkah ringan memasuki wilayah Hutan Grambang. 
Langkah mereka tampak begitu bergegas, seperti ten-
gah memburu sesuatu. Ranting-ranting pohon dan de-
daunan yang menghalangi jalan dikibaskan dengan 
tangan-tangan, mereka terus bergerak menuju hutan 
sebelah Barat.
Tidak berapa lama kemudian, keenam orang lelaki 
gagah itu mulai melintasi jalan yang agak rata dan le-
bih mudah dilewati. Di depan mereka, sudah tampak 
sebuah bangunan besar yang lebih mirip sebuah per-
guruan. Tampaknya tujuan mereka adalah Perkumpu-
lan Pengemis Baju Hitam. Namun, langkah mereka se-
gera tertunda ketika terdengar bentakan mengejutkan!
“Berhenti...!”

Melihat dari gerakan yang nampak sigap saat mela-
kukan langkah mundur, jelas kalau keenam orang itu 
merupakan tokoh-tokoh persilatan. Bahkan kelihatan-
nya kepandaian yang dimiliki tidak bisa dipandang 
ringan.
Sosok terdepan adalah lelaki setengah baya bertu-
buh kurus. Dia segera saja melangkah maju dan mem-
beri hormat kepada seorang lelaki gemuk berkepala bo-
tak yang memegang senjata tongkat yang matanya
berbentuk bulan sabit. Di kiri kanan lelaki gemuk ber-
pakaian hitam itu, tampak belasan orang pengemis 
siap dengan tongkat di tangan.
“Hm.... Kalau aku tidak salah lihat, kau pasti Ki 
Damang yang mempunyai perguruan Elang Putih?” te-
gur lelaki botak yang juga berpakaian hitam dan pe-
nuh tambalan dengan suara parau.
Anehnya, meskipun dipenuhi tambalan, namun 
tampak jelas kalau pakaian itu masih baru. Bahkan 
tambalannya seperti sengaja diatur sedemikian rupa. 
Sekali lihat saja, orang akan tahu kalau kain-kain pe-
nambal itu bukan dijahit, melainkan dilekatkan saja.
“Dugaanmu tidak meleset sama sekali, Kisanak. 
Dan kau pasti tokoh pengemis Tongkat Bulan Sabit. 
Julukanmu memang sangat dikenal oleh kalangan 
persilatan, karena permainan tongkatmu yang menga-
gumkan. Sungguh beruntung aku dapat berjumpa 
denganmu, Kisanak...,” balas lelaki kurus yang me-
mang tak lain dari Ki Damang, Ketua Perguruan Elang 
Putih yang sudah cukup tersohor di kalangan rimba 
persilatan.
“Hm.... Bagus kalau kau sudah mengenalku, Ki 
Damang. Sekarang, katakan apa tujuanmu datang ke 
wilayah kami ini? Ingat! Bila jawabanmu tidak jujur, 
tahu sendiri akibatnya...,” lanjut Tongkat Bulan Sabit

setengah mengancam.
Nada bicara laki-laki botak itu tidak lagi seramah 
semula. Sehingga, orang-orang di belakang Ki Damang 
tampak tegang. Mereka tentu saja dapat melihat gela-
gat tidak baik dari sorot mata lelaki gemuk berjuluk 
Tongkat Bulan Sabit itu.
“Kedatanganku ke wilayah kalian ini, sudah pasti 
mempunyai tujuan yang sangat penting. Sahabat-
sahabat baikku telah tewas terbunuh secara gelap pa-
da beberapa waktu yang lalu. Dan...,”
“Langsung saja Ki Damang, tidak perlu bertele-
tele...!” potong Tongkat Bulan Sabit cepat dengan wa-
jah menunjukkan keangkuhan. Sehingga, Ki Damang 
terpaksa harus menelan kedongkolannya.
“Baik! kedatanganku hendak meminta tanggung ja-
wab Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam,” tan-
das Ki Damang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya.
“Gila! Hati-hati bicaramu, Ki Damang! Tanpa hujan 
tanpa angin, tahu-tahu ingin meminta tanggung jawab 
ketua kami. Apa yang telah ketua atau anggota kami 
lakukan?” tanya Tongkat Bulan Sabit dengan wajah 
merah karena merasa geram mendengar tuduhan Ki 
Damang.
“Hm..., Kau sendiri yang meminta ku untuk menga-
takan langsung maksud kedatanganku ke sini, bukan? 
Nah, mengapa ketika kusampaikan kau malah ber-
tanya? Apa kau ingin agar aku bertele-tele?” tukas Ki 
Damang tidak mau kalah gertak.
Hasilnya, Tongkat Bulan Sabit langsung bungkam, 
karena merasa kalah dalam berbicara.
“Seperti yang kukatakan tadi, dua orang sahabat 
baikku yang berjuluk Pendekar Ular Emas dan Cakar 
Penghancur Tulang, terbunuh secara gelap. Mereka 
tewas dengan kepala pecah, karena ‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki Pengemis Berbaju 
Hitam. Itulah sebabnya aku datang ke tempat ini,” je-
las Ki Damang, sambil menandaskan ucapannya pada 
kalimat terakhir.
Tentu saja, keterangan itu membuat Tongkat Bulan
Sabit terperangah dengan wajah pucat! Jelas, hatinya 
sangat terkejut oleh penjelasan itu.
“Mustahil! Kau pasti salah, Ki Damang. Tidak 
mungkin!” sentak Tongkat Bulan Sabit sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Rupanya, dia tidak mau mene-
rima tuduhan itu.
“Tidak ada yang mustahil, dan aku tidak salah me-
nilai. Aku tahu betul tanda akibat pukulan ilmu tong-
kat itu. Nah! Karena ciri itulah, maka aku berani da-
tang ke tempat ini. Sekarang, bawa aku menghadap Ki 
Parewang, agar bisa menanyakan langsung kepada be-
liau,” bantah Ki Damang yang memang merasa yakin 
akan penilaiannya.
“Kubilang mustahil!” Tongkat Bulan Sabit pun tidak 
mau kalah. “Apa kau tahu apa sebabnya kubilang 
mustahil, orang tua goblok?! Sebab, yang memiliki ‘Il-
mu Tongkat Penakluk Naga’ hanya Ketua Pengemis Ba-
ju Hitam yaitu Ki Parewang. Sedangkan selama ini, 
aku tahu kalau ketua kami tidak pergi kemana-mana. 
Nah, sekarang kau mengerti, bukan?” sergah lelaki 
gemuk itu lagi.
Tapi, Ki Damang tetap tidak mengerti.
“Justru itulah bawa aku menghadap beliau untuk 
mendapat keterangan secara langsung dan lebih jelas. 
Kau tahu, kedua sahabatku itu bukan orang semba-
rangan. Dan hanya orang-orang tertentu sajalah yang 
sanggup membunuh mereka sekaligus!” Ki Damang ti-
dak mau mengalah dan tetap pada keputusannya.
“Kau menuduh ketua kami yang melakukan pembunuhan itu, Ki Damang...?” tanya Tongkat Bulan Sa-
bit yang segera mengerti, ke mana arah pembicaraan 
orang tua itu.
“Ya! Terus terang, aku merasa curiga. Mengingat 
kepandaian ketuamu memang pantas kalau kedua sa-
habatku sampai terbunuh. Untuk itu, aku harus ber-
bicara dengan Ki Parewang agar permasalahan ini 
menjadi lebih jelas lagi,” desak Ki Damang yang berke-
ras hendak menemui Ketua Pengemis Baju Hitam.
“Hm.... Karena kau keras kepala aku terpaksa men-
gatakannya. Sebenarnya, hal ini tidak boleh diketahui 
orang luar. Tapi karena masalah ini kuanggap sangat 
penting, biarlah kukatakan terus terang padamu. Se-
jak beberapa bulan yang lalu, ketua kami telah bertapa 
membersihkan hati dan pikirannya. Itu sebabnya, ku-
bilang mustahil kalau beliau melakukan pembunuhan. 
Dan semenjak memasuki ruang pertapaan, Ki Pare-
wang belum muncul sampai sekarang. Maka, sebaik-
nya kau kaji kembali dari awal. Siapa tahu, kau akan 
menemukan petunjuk lain...,” jelas Tongkat Bulan Sa-
bit menghela napas panjang. Sepertinya, apa yang dis-
ampaikan Tongkat Bulan Sabit barusan memang me-
rupakan rahasia yang tidak boleh dibocorkan.
“Pembohong! Kau pikir aku akan percaya dengan 
keterangan palsumu itu! Kau sengaja mengarang cerita 
bohong itu agar kami segera angkat kaki dari tempat 
ini. Hm.... Tidak semudah itu babi gendut! Aku tetap 
akan memaksa untuk memenuhi Ki Parewang. Setelah 
itu, baru aku merasa puas setelah mendapat keteran-
gan darinya!”
Tiba-tiba sebuah bentakan dan ucapan berapi-api 
memotong pembicaraan Tongkat Bulan Sabit Dan ru-
panya, bentakan itu datangnya dari Wira Yudha. Lelaki 
gagah berusia empat puluh lima tahun itu kemudian

melangkah sambil menatap tajam Tongkat Bulan Sa-
bit. Sementara, Ki Damang diam saja tidak berusaha 
mencegah. Sepertinya, dia memiliki dugaan yang sama 
dengan Wira Yudha.
“Bedebah! Siapa kau?! Tutup bacotmu yang semba-
rangan bicara itu! Meskipun kami bukan golongan ber-
sih seperti kalian, tapi untuk berdusta tak akan per-
nah kami lakukan! Buat kami, itu menandakan sikap 
seorang pengecut!” bentak Tongkat Bulan Sabit dengan 
tidak kalah kerasnya. Sehingga, suasana pun semakin 
bertambah runyam.
“Siapa yang percaya mulut pengemis busuk seperti 
kalian! Aku tetap akan menemui Ki Parewang, apapun 
yang terjadi...!” tegas Wira Yudha seraya melangkah 
hendak menuju bangunan besar yang merupakan 
tempat tinggal Pengemis Baju Hitam.
“Berhenti! Selangkah lagi kau menindak, jangan sa-
lahkan kalau kepalamu akan terpisah dari badan...!” 
ancam Tongkat Bulan Sabit sambil melintangkan 
tongkat di depan dada. Jelas, lelaki gemuk itu tidak 
main-main dengan ucapannya.
“Hm...!”
Tapi, ancaman itu disambut dengan kejantanan 
oleh Wira Yudha. Dengan sigapnya, lelaki gagah itu 
menarik gagang pedang yang tergantung di pinggang.
Sriiiing!
“Begitu lebih baik...!” jawab Wira Yudha yang lang-
sung memutar senjatanya secara bersilangan.
Suasana panas semakin memuncak. Sepertinya, 
perkelahian tidak mungkin dapat dihindari lagi. Bah-
kan kedua belah pihak sudah melangkah saling berpu-
tar, siap saling terjang!
***

TUJUH

“Heaaattt..!”
Wira Yudha yang sudah tidak bisa menahan sabar, 
segera saja melesat disertai putaran pedangnya yang 
menderu-deru. Ki Damang sama sekali tidak mence-
gah, karena sudah bisa menilai kepandaian murid ter-
tua Ki Jasminta. Dan ia yakin, Wira Yudha belum ten-
tu kalah oleh lawannya.
“Hmmmhhh...!”
Tongkat Bulan Sabit mendengus kasar melihat se-
rangan maut lawannya. Sesaat lamanya, ia masih te-
tap tidak bergeming dari tempatnya. Hanya sepasang 
matanya saja yang menyorot tajam, meneliti kelema-
han ilmu pedang lawannya.
“Yaaattt...!”
Tepat pada saat pedang di tangan Wira Yudha me-
nusuk dengan kecepatan kilat mengancam dada, 
Tongkat Bulan Sabit berseru nyaring. Tubuhnya lang-
sung melenting ke udara dan melakukan pukulan den-
gan tongkat mengancam punggung Wira Yudha. Be-
nar-benar sebuah perhitungan yang sangat cermat dan 
tepat. Sehingga, Ki Damang sempat mencemaskan na-
sib Wira Yudha.
Tapi Wira Yudha tentu saja tidak begitu mudah di-
kalahkan lawan dalam segebrakan saja. Cepat bagai 
kilat, tubuhnya digulingkan, menjauhi tempat itu. Se-
hingga, tongkat lawan hanya menghantam angin ko-
song.
“Hm.... Ternyata permainanmu lumayan juga, orang 
gagah...,” puji Tongkat Bulan Sabit.
Kelihatannya, laki-laki botak itu sangat senang 
mendapat lawan seperti Wira Yudha. Maka semangat

nya pun berpendar dari sepasang matanya. Jelas lelaki 
gemuk itu merupakan seorang pecandu ilmu silat
Sesaat kemudian, keduanya kembali saling berge-
rak mendekati. Mereka saling menatap tajam, dalam 
meneliti gerak langkah maupun gerak tangan satu sa-
ma lain.
“Haaattt...!”
“Yaaattt...!”
Seiring pekikan-pekikan membahana, kedua tokoh 
itu kembali saling menerjang hebat. Maka pertarungan 
pun kembali berlanjut lebih seru dan menegangkan!
Sementara itu, belasan anggota Perkumpulan Pen-
gemis Baju Hitam yang semula memang telah siap 
menghadapi perkelahian, menatap curiga ketika meli-
hat Ki Damang dan empat orang lainnya bergerak hen-
dak melewati mereka. Serentak, belasan pengemis itu 
menggenggam erat tongkat hitam masing-masing. Sa-
lah seorang dari mereka menengadah sambil memper-
dengarkan suara melengking sebagai panggilan kepada 
kawan-kawannya yang lain.
“Uuu...!”
Ki Damang yang sadar kalau siulan itu sangat ber-
bahaya artinya bagi keselamatan mereka, segera saja 
melesat dan melontarkan pukulan ke arah belasan 
orang pengemis yang telah siap tempur.
Deeesss! Bugggg!
Terdengar jerit kematian susul-menyusul ketika 
pukulan Ki Damang yang mengandung kekuatan tena-
ga dalam tinggi menghantam tubuh beberapa orang 
pengemis. Maka langsung saja korban pukulan maut 
berjatuhan dengan nyawa melayang.
“Heeeaaattt...!”
Melihat kawan-kawannya telah menjadi korban pu-
kulan maut lawan, para pengemis yang lain segera saja

berlompatan melayangkan pukulan tongkat ke arah le-
laki setengah baya bertubuh kurus itu!
Wuuukkk! Whuuukkk!
Enam batang tongkat berkelebatan mengancam tu-
buh Ki Damang. Tapi, Ketua Perguruan Elang Putih 
sama sekali tidak gugup. Dengan tenang, dinantinya 
sambaran tongkat lawannya. Kemudian cepat bagai ki-
lat, tubuhnya yang kurus merendah sambil mengang-
kat kedua tangannya secara menyilang.
Kraaakkk!
Enam batang tongkat yang terbuat dari kayu besi 
langsung berpatahan ketika bertemu lengan Ketua 
Perguruan Elang Putih.
“Heaaahhh!”
Sambil mengeluarkan bentakan keras, Ki Damang
membuka kedua lengannya bagaikan kepak sayap 
elang jantan. Akibatnya...,
“Aaa...!”
Enam orang pengemis berbaju hitam terpelanting ke 
segala arah, dan jatuh dengan suara berdebuk keras.
Namun, wajah-wajah cemas para pengemis itu be-
rubah lega ketika mendengar suara orang berlarian 
mendatangi tempat itu. Dan tak berapa lama kemu-
dian, muncullah puluhan orang pengemis berbaju hi-
tam yang langsung mengurung tempat pertarungan.
Cepat-cepat Ki Damang melompat mundur dan ber-
satu dengan yang lain. Sedangkan pertempuran antara 
Wira Yudha dan Tongkat Bulan Sabit masih terus ber-
langsung sengit.
“Hua ha ha...! Ternyata kita kedatangan tamu yang 
tak diundang. Benar-benar menggembirakan. Selamat 
datang Ketua Perguruan Elang Putih...!”
Terdengar suara yang melengking tinggi bagaikan 
suara seorang wanita. Sedangkan orang yang mengucapkannya sangat berlawanan dengan suaranya. 
Orang itu adalah lelaki pendek gemuk, hampir menye-
rupai bulatan. Pada wajah dan lehernya tampak lemak 
bergelantungan. Sehingga apabila tertawa sepasang 
matanya menjadi dua buah garis kecil yang terhimpit 
lemak-lemak di wajahnya.
“Tongkat Malaikat...?” seru Ki Damang dengan wa-
jah tegang.
Ketua Perguruan Elang Putih itu kenal betul dengan 
tokoh pengemis berbaju hitam yang satu ini. Tapi seke-
lebatan tadi, ia hampir-hampir tidak bisa mengena-
linya lagi. Sebab beberapa tahun yang lalu, Tongkat 
Malaikat tidak sampai segemuk sekarang. Maka tentu 
saja Ki Damang pangling karenanya.
“Hm...,” gumam lelaki pendek gemuk berjuluk 
Tongkat Malaikat.
Wajah bulat yang semula cerah, tampak berubah 
gelap ketika menerima laporan dari salah seorang pen-
gemis yang menyampaikan keperluan Ki Damang.
“Setan kurang ajar kau, Ki Damang! Berani benar 
menghina ketua kami dengan fitnah kejimu itu! Kalau 
begitu, kesalahanmu tidak bisa dimaafkan...!” dengus 
Tongkat Malaikat, langsung melesat dengan sambaran 
tongkat hitamnya yang mengaung tajam!
Luar biasa! Sungguh mengherankan kalau tubuh 
gemuk bagai bola itu dapat bergerak demikian cepat. 
Bahkan Ki Damang sendiri sempat terkejut dibuatnya. 
Sehingga, terlambat sedikit saja menyadari bahaya, be-
lum tentu nyawanya masih selamat!
Bweeeettt!
“Haaahhh!”
Disertai bentakan keras, Ki Damang melenting jauh 
ke belakang. Tubuhnya berputaran di udara sebelum 
mendarat di tanah! Tapi...,

Buuuggg!
“Huaaakh...!”
Darah segar langsung saja menyembur dari mulut 
Ki Damang! Tubuh orang tua itu terjerunuk deras ke 
depan. Untunglah, keseimbangan tubuhnya masih bi-
sa terjaga. Sehingga dia tidak sampai terbanting jatuh!
“Tongkat Setan Hitam...?!” seru Ki Damang kembali 
terperangah dengan wajah semakin tegang melihat ha-
dirnya tokoh-tokoh puncak Pengemis Baju Hitam.
Tokoh yang satu itu adalah kepala cabang di wi-
layah Selatan. Ki Damang menduga, tokoh itu mung-
kin datang ke pusat untuk melaporkan keadaan wi-
layah kekuasaanya. Maka semakin cemaslah Ki Da-
mang akan keselamatan kawan-kawannya.
“Bunuh orang-orang kurang ajar itu...!”
Tiba-tiba terdengar perintah Tongkat Malaikat yang 
menggeletar dan melengking bagai memenuhi seluruh 
pelosok hutan.
Tapi sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba saja ter-
dengar suara tawa berkepanjangan bagaikan menyam-
but perintah Tongkat Malaikat Karuan saja, suara ta-
wa yang didorong tenaga dalam maha dahsyat itu 
membuat semua orang yang berada di tempat ini men-
jadi terkejut setengah mati. Bahkan yang sedang berta-
rung, langsung menghentikan pertarungannya, dan 
kembali ke barisan masing-masing. Namun sebelum 
mereka sempat mengerahkan tenaga untuk menolak 
gelombang tenaga dahsyat itu, tiba-tiba saja suara ta-
wa itu lenyap secara mendadak. Sehingga, orang-orang 
yang hanya memiliki tenaga dalam rendah menjadi le-
ga. Dada mereka yang semula bagikan terhimpit batu 
besar, kini kembali terasa lapang.
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di arena 
menjadi hening. Seorang pun tak ada yang mengeluarkan suara. Sepertinya, mereka masih merasa belum 
terbebas dari pengaruh suara tawa yang maha dahsyat 
tadi.
Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, dan 
orang lainnya merasa sangat tersiksa oleh keheningan 
itu. Ketegangan dan kecemasan kian memuncak 
menggeluti perasaan mereka. Sebab mereka tidak ta-
hu, apakah yang datang itu masih dari pihak lawan, 
atau kawan.
“Menurut Ki Damang, siapakah orang yang menge-
luarkan suara tawa mengerikan itu...?”
Seperti tak tahan dengan suasana yang demikian 
mencekam, Wira Yudha berbisik lirih bagai tercekat di 
kerongkongan. Nyata sekali ketegangan hati lelaki ga-
gah itu dari suaranya.
“Entahlah. Tapi kemungkinan besar orang itu pasti 
dari pihak lawan. Karena, aku sendiri belum pernah 
mendengar ada seorang tokoh golongan putih yang 
memiliki tenaga sakti sedahsyat itu...,” sahut Ki Da-
mang, juga berupa bisikan. .
“Tapi.... Bukankah Pendekar Naga Putih kabarnya 
juga memiliki kesaktian dahsyat yang menggiriskan? 
Apa tidak mungkin kalau yang mengeluarkan suara 
tawa adalah pendekar besar itu, Ki...?” tanya Wira
Yudha.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja Wira 
Yudha teringat pendekar muda yang menggemparkan 
hampir seluruh pelosok negeri itu.
“Sulit untuk menjawab pertanyaanmu itu, Wira. Ta-
pi sebaiknya, kita berdoa saja. Mudah-mudahan, suara 
itu memang milik Pendekar Naga Putih...,” ujar Ki Da-
mang yang akhirnya mengharapkan kehadiran pende-
kar muda yang khabarnya memiliki kesaktian sangat
tinggi dan sulit dijajaki.
***
Kesunyian itu masih saja berlangsung bagai tak 
berkesudahan. Baru saja tokoh yang berjuluk Tongkat 
Malaikat hendak membuka suara, tiba-tiba semua ma-
ta menoleh ke arah dua sosok tubuh yang tampak ten-
gah menghampiri tempat itu. Sayang, kegelapan 
bayang pepohonan menyembunyikan bayang-bayang 
keduanya. Sehingga, tidak seorangpun yang bisa men-
duga, siapa kedua sosok tubuh itu.
“Hei...?!”
Hampir berbarengan suara itu keluar dari mulut 
Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa. Wajah mereka 
sama-sama tertegun, begitu kedua sosok tubuh itu 
sudah tidak terlindung bayang pohon. Mereka tentu 
saja segera dapat mengenali kedua sosok bayangan itu 
dengan baik.
“Bukankah pemuda itu yang pernah kita temui di 
kedai tempat pengemis-pengemis brengsek itu mencari 
perkara? Bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini? 
Ada keperluan apa pemuda itu dengan Perkumpulan 
Pengemis Baju Hitam? Atau..., jangan-jangan ia benar 
mata-mata mereka...?” desis Gala Campa. Dia tentu 
saja menjadi heran ketika mengenali kedua sosok tu-
buh pasangan muda itu.
Apa yang dikatakan Gala Campa memang tidak sa-
lah. Kedua sosok tubuh itu tak lain Panji dan Kenanga. 
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpa-
kaian hijau itu melangkah tenang, tanpa mempeduli-
kan tatapan mata orang-orang yang berada di tempat 
itu. Yang mengandung arti berlainan.
“Ah...! Sepertinya harapanmu terkabul, Wira Yud-
ha...,” ucap Ki Damang dengan helaan napas lega.

Wajah laki-laki setengah baya yang semula cemas, 
kini nampak berseri. Dengan langkah bergegas, segera 
disambutnya kedatangan Pendekar Naga Putih dan 
Kenanga, yang memang sangat diharapkan.
“Ki, apa maksudmu...?”
Wira Yudha yang merasa heran melihat tingkah Ki 
Damang, segera saja menyambar tangan orang tua itu. 
Hingga, langkah Ki Damang tertahan karenanya.
“Ah...! Dasar kau yang bodoh, Wira Yudha. Kau ka-
takan tadi sudah pernah bertemu dan berkenalan den-
gan pemuda itu. Lalu, sekarang malah bertanya. Jan-
gan katakan kalau kau tidak tahu tentang pemuda 
tampan berjubah putih itu...,” ujar Ki Damang cepat.
Begitu ucapannya selesai, lelaki setengah baya itu 
melepaskan cekalan tangan Wira Yudha. Kemudian, 
dia bergegas mendekati Panji dan Kenanga.
“Aku pasti tidak akan salah terka. Kau pastilah 
Pendekar Naga Putih yang tersohor itu, Anak muda...,” 
kata Ki Damang ketika telah dekat, seraya menjabat 
tangan Panji erat-erat. Ucapannya meluncur deras, 
menunjukkan betapa gembiranya perasaan Ki Damang 
saat itu.
“Dugaanmu tidak salah, Ki. Orang-orang memberi 
julukan itu kepadaku...,” sahut Pendekar Naga Putih 
tersenyum melihat wajah orang tua itu tampak berseri-
seri.
Meskipun saat itu tidak tengah mengunjungi se-
buah gedung megah, hangatnya sambutan Ki Damang 
benar-benar membuat Panji merasa senang.
“Jadi..., kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?” 
tanya Wira Yudha seperti meminta kepastian.
Sedangkan Waluja, Gala Campa, dan dua orang 
murid Ki Damang menatap wajah pemuda tampan itu 
penuh selidik.

“Benar, Kisanak...,” sahut Pendekar Naga Putih.
Panji tersenyum melihat wajah kelima lelaki gagah 
itu tampak demikian ketololan ketika mengangguk-
anggukkan kepala. Terlebih, ketiga orang yang pernah 
berjumpa dengan Panji dan Kenanga. Tentu saja mere-
ka merasa sangat tolol. Sebab meski sudah berjumpa 
dan saling bertegur sapa, ternyata mereka masih juga 
belum mengenali. Padahal, orang yang ditegur dan di-
ajak bicara itu sesungguhnya seorang pendekar besar 
yang sangat mereka kagumi sepak terjangnya. Mengin-
gat akan hal itu, baik Wira Yudha, Waluja, maupun 
Gala Campa merasa malu hati terhadap Panji.
“Tapi..., mengapa kau tidak memperkenalkan diri 
kepada kami saat itu, Panji...?”
Karena tidak tahu harus berkata apa, akhirnya 
hanya pertanyaan bodoh itulah yang keluar dari mulut 
Gala Campa.
“Hei? Bukankah aku sudah memperkenalkan diri 
kepada kalian. Bahkan kawanku ini juga telah ku per-
kenalkan kepada kalian, bukan? Jangan katakan ka-
lau kalian lupa...,” tukas Panji,
Hal ini jelas membuat Gala Campa bertambah ke-
bingungan. Karena, baru dirasakan kalau pertanyaan-
nya sangat bodoh.
“Maksudku..., mengapa kau tidak memperkenalkan 
julukanmu kepada kami? Bukankah kalau hal itu kau 
katakan, ceritanya tidak akan jadi sekacau ini?” tanya 
Gala Campa seperti hendak membela diri. Sayangnya, 
pertanyaan itu masih juga merupakan pengulangan 
kebodohannya.
“Tentu saja tidak, Kisanak. Apakah aku harus 
memperkenalkan julukanku kepada setiap orang yang 
bertanya tentang namaku? Lalu, apakah orang akan 
percaya dengan pengakuan ku? Aku khawatir orang

orang akan menuduhku sebagai pemuda gila...,” Panji 
tertawa perlahan setelah menjawab pertanyaan Gala 
Campa.
“Ooo...,”
Gala Campa sendiri hanya memonyongkan mulut-
nya, membentuk bulatan. Kepalanya terangguk-
angguk menyadari betapa pertanyaannya ini pun ter-
dengar sangat bodoh.
Sementara itu, Tongkat Malaikat, Tongkat Setan Hi-
tam, Tongkat Bulan Sabit, serta hampir dua ratus ang-
gota Pengemis Baju Hitam, seperti sengaja memberi 
kesempatan kepada orang-orang yang menamakan diri 
golongan putih itu untuk saling bertukar sapa. Ketiga 
orang pentolan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam 
hanya tertawa saja melihat kemunculan pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Meskipun mereka pernah 
mendengar julukan Pendekar Naga Putih diributkan 
orang, tapi karena belum menyaksikan kepandaian 
pemuda itu dengan tangan sendiri, tentu saja mereka 
belum percaya. Apalagi, penampilan Panji memang ti-
dak menunjukkan kekuatan hebat ada dalam dirinya. 
Sehingga, tokoh-tokoh berpakaian jembel itu hanya 
memandang remeh.
“Hua ha ha...! Kalau kalian sudah cukup puas sal-
ing bertegur sapa, minggirlah!” kata Tongkat Malaikat 
tiba-tiba dengan suara melengking tinggi. Sengaja sua-
ranya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga me-
nyakitkan telinga.
“Aaahhh...!”
Orang-orang yang tidak kuat tenaga dalamnya kon-
tan mengeluh dengan wajah berkerut-kerut Bahkan 
beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam 
ada yang langsung terjatuh akibat suara yang dikelua-
rkan Tongkat Malaikat. Sehingga tawanya semakin

menjadi-jadi, seolah-olah ingin membalas suara tawa 
yang mungkin berasal dari pemuda berjubah putih ta-
di.
“Hm.... kau sungguh keterlaluan, Tongkat Malaikat 
Untuk apa menunjukkan tenaga dalammu di depan-
ku? Sampai perutmu kempes pun, aku tidak akan ter-
pengaruh,” Pendekar Naga Putih sengaja mengucapkan 
kata-kata yang sedikit sombong, dengan maksud agar 
Tongkat Malaikat tidak melanjutkan perbuatannya.
“Bedebah! Kau sombong sekali, Pendekar Naga Pu-
tih! Apa dikira hanya kau yang memiliki tenaga dalam 
tinggi?! Huh! dasar pemuda ingusan yang tidak tahu 
luasnya dunia...!” maki Tongkat Malaikat
Rupanya dia merasa jengkel, karena kekuatan tena-
ga saktinya diremehkan pemuda yang pantas menjadi 
muridnya.
“Tongkat Malaikat,” sebut Panji dengan wajah dan 
sikap tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-
tanda permusuhan. “Ki Damang menceritakan padaku, 
kalau ingin berjumpa Ki Parewang yang menjadi ketua 
perkumpulan pengemis. Lalu, mengapa kau dan ka-
wan-kawanmu tidak mengijinkannya?”
“Dengar Pendekar Naga Putih, apapun keperluan 
kalian, aku tidak akan ijinkan guruku diganggu kero-
co-keroco macam kalian!” tegas Tongkat Malaikat den-
gan wajah gelap.
Tokoh itu sama sekali tidak tahu kalau Tongkat Bu-
lan Sabit telah menyampaikan kepada Ki Damang ten-
tang keadaan Ki Parewang.
“Hm.... Mengapa, Tongkat Malaikat? Padahal menu-
rut Ki Damang, persoalan ini sangat berat Bahkan bisa 
membuat tokoh-tokoh golongan putih marah, dan 
mungkin akan meratakan pusat perkumpulan penge-
mis. Jelas persoalan ini kupandang penting...,” desak

Pendekar Naga Putih lagi, yang memang sudah diceri-
takan tentang keperluan Ki Damang dan kawan-
kawannya datang ke tempat itu.
“Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kiamat pun 
tetap tidak! Dan apapun akibatnya akan kuhadapi!” 
tegas Tongkat Malaikat yang berkeras hati tidak ingin 
mengatakan tentang keadaan Ki Parewang.
Jelas Tongkat Malaikat bukan mempertahankan 
keadaan itu karena dirinya, tapi karena telah menda-
pat pesan dari Ki Parewang yang tidak ingin diganggu. 
Itulah sebabnya, mengapa Tongkat Malaikat tetap ber-
keras, meski untuk itu harus mengorbankan nya-
wanya. Dan memang, Tongkat Malaikat mendapat pe-
san langsung dari gurunya.
***
DELAPAN


Sikap keras kepala Tongkat Malaikat tentu saja 
membuat jengkel Pendekar Naga Putih. Apapun alasan 
yang mungkin menyebabkan Tongkat Malaikat bersi-
kap demikian, Panji tidak bisa lagi memakluminya. Ka-
rena yang didengarnya dari Ki Damang, persoalan itu 
sangat berat dan penting!
“Baiklah, Tongkat Malaikat. Karena kau tetap keras 
kepala, terpaksa harus kulakukan dengan jalan keke-
rasan...,” tegas Pendekar Naga Putih yang segera me-
nyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Seiring terdengarnya suara bercuitan yang ditim-
bulkan gerakan tangannya, muncullah lapisan sinar 
putih keperakan menyelimuti sekujur tubuh Pendekar 
Naga Putih. Ciri itulah yang membuat Ki Damang dan

tokoh-tokoh Perkumpulan Pengemis Baju Hitam sema-
kin bertambah yakin kalau pemuda itu memang berju-
luk Pendekar Naga Putih.
“Heaaahhh...!”
Seperti tidak mau kalah gertak, Tongkat Malaikat 
memutar senjata di tangan sekuat tenaga. Setelah me-
lihat adanya lapisan kabut yang menyelimuti sekujur
tubuh calon lawannya, Tongkat Malaikat terlihat mulai 
ada penilaian lain terhadap Panji. Itu sebabnya, tenaga 
saktinya langsung saja dikerahkan.
Weeerrr! Weeerrr!
Tidak percuma tokoh gemuk bulat itu dijuluki 
Tongkat Malaikat. Putaran senjatanya memang benar-
benar menggetarkan! Hal itu tergambar jelas pada ge-
rakan-gerakan pembuka yang dilakukannya. Selain 
bentuk tongkat jadi tak terlihat mata biasa, deru angin 
yang ditimbulkannya pun bukan main hebatnya. Se-
hingga, orang-orang yang berada dalam jarak satu 
tombak lebih harus bergerak mundur. Bahkan putaran 
angin yang ditimbulkannya membuat debu dan de-
daunan beterbangan. Jangankan daun-daun yang di 
tanah, bahkan yang masih di atas pohon pun ikut ter-
betot rontok dari rantingnya.
Menyaksikan kedua orang tokoh sakti itu sudah 
siap saling gempur, Ki Damang, segera memerintahkan 
kawan-kawan dan muridnya untuk mundur menjauh. 
Dan dia sendiri juga terlihat sudah menghunus senja-
ta, siap menghadapi pertempuran. Sepertinya, Ki Da-
mang sadar kalau pertempuran pasti akan segera pe-
cah!
Begitu pula halnya Kenanga. Dara jelita itu terlihat 
sudah menggenggam erat gagang Pedang Sinar Bulan-
nya. Sekali lihat saja, sudah dapat dipilih, siapa yang 
harus dihadapinya. Kenanga sudah mengincar Setan
Tongkat Hitam! Menurutnya, lelaki gemuk brewok ber-
kepala botak itulah yang paling berbahaya di antara 
tokoh Pengemis Baju Hitam, selain Tongkat Malaikat 
yang telah siap tempur dengan Pendekar Naga Putih.
“Yeaaattt...!”
Mendadak saja, suasana yang semakin tegang, se-
ketika pecah oleh teriakan melengking tinggi dari 
Tongkat Malaikat. Tubuh tokoh itu sendiri telah melu-
ruk ke arah Panji dengan kecepatan mengagumkan. 
Kalau saja tidak menyaksikan dengan mata kepala 
sendiri, mungkin Panji sukar mempercayainya! Sebab, 
tubuh pendek gemuk yang bulat seperti sebuah bola 
ternyata dapat bergerak cepat. Sungguh berlawanan 
dengan bentuk tubuhnya yang terlihat berat bila diba-
wa berjalan. Apalagi, untuk berlari. Tapi, nyatanya ge-
rakan Tongkat Malaikat sama sekali tidak lamban!
Beuuuttt...!
Pendekar Naga Putih menarik mundur kaki kanan-
nya ke belakang dengan kuda-kuda jinjit pada kaki ki-
ri. Sedangkan tubuhnya agak doyong ke belakang. Se-
pasang tangannya tampak bergerak berputar secara 
menyilang. Kemudian begitu sambaran tongkat lawan 
lewat di depan tubuhnya, Panji langsung bergerak ke 
depan. Seketika sepasang telapak tangannya dido-
rongkan ke tubuh lawan!
Whuuusss...!
Serangkum angin dingin menusuk tulang langsung 
berhembus keras, menerpa tubuh Tongkat Malaikat 
Untunglah tokoh pengemis yang merupakan orang ke-
dua dalam perkumpulannya, memiliki kegesitan dan 
perhitungan matang. Sehingga meskipun hantaman 
lawan meluncur siap menghajar tubuhnya, dia dapat 
bertindak cepat dengan lompatan pendek ke samping. 
Kemudian dengan gerakan sangat cepat, tongkat di

tangannya diputar setengah lingkaran, untuk kemu-
dian bergerak menyodok perut Pendekar Naga Putih!
“Bagus...!”
Panji yang, melihat serangan lawan memang sangat 
mengagumkan, tanpa ragu langsung saja mengelua-
rkan pujian. Memang, apa yang dilakukan Tongkat 
Malaikat merupakan sebuah gerakan bagus. Bahkan 
menunjukkan kejelian mata tokoh bertubuh pendek 
gemuk itu.
Kali ini, Pendekar Naga Putih sepertinya tidak ber-
niat menghindar. Tampak sikapnya tetap tenang me-
nanti datangnya sambaran tongkat yang meluncur lu-
rus ke arah perutnya. Desingan yang bagaikan membe-
lah udara itu, sama sekali tidak mengganggu pemusa-
tan pikirannya. Dan begitu ujung tongkat telah tiba 
dekat...,
Plaaak!
Tiba-tiba saja, Pendekar Naga Putih mengangkat te-
lapak tangannya dengan tubuh merendah. Karuan sa-
ja, terdengar ledakan keras yang bagai gelegar petir 
membelah angkasa!
“Aaahhh?!”
Tangkisan itu benar-benar mengejutkan bagi Tong-
kat Malaikat Tokoh pendek gemuk yang selama ini se-
lalu mengagungkan kepandaiannya, hampir tidak per-
caya kalau serangannya sampai tertangkis lawan. 
Bahkan kuda-kudanya pun sampai tergempur, hingga 
tubuhnya harus terhuyung limbung sampai satu tom-
bak lebih.
“Gila...! Bagaimana mungkin pemuda seusianya bi-
sa memiliki tenaga sakti yang demikian tinggi?! Rasa-
rasanya, tenaga sakti guru pun belum tentu di atas 
pemuda itu?! Benar-benar sukar dipercaya! Entah, ba-
gaimana caranya ia dapat menghimpun tenaga sakti

yang sedemikian hebat dalam waktu singkat..?” desis 
Tongkat Malaikat dengan mata terbelalak, menatap so-
sok Pendekar Naga Putih. Kini baru dipercayainya ka-
lau cerita tentang pendekar muda itu memang tidak 
berlebihan.
Tapi, Tongkat Malaikat tidak bisa berpikir panjang 
tentang lawannya. Panji yang memang ingin segera 
bertemu Ki Parewang untuk menyelesaikan masalah Ki 
Damang, sudah melesat dan menerjangnya dengan ju-
rus-jurus cepat dan berbahaya. Tanpa banyak berpikir 
lagi, Tongkat Malaikat pun menyambut terjangan la-
wan. Bedanya, kali ini tokoh bertubuh pendek itu ter-
lihat bertindak lebih hati-hati. Bahkan kelihatannya 
malah terlalu berhati-hati. Sehingga jarang sekali se-
rangannya terlontar, kecuali mencoba bertahan selama 
mungkin.
Tanpa disadari keduanya, arena pertempuran su-
dah bergeser jauh dari tempat semula. Sehingga, tidak 
ada lagi yang merasa khawatir oleh angin pukulan 
nyasar dari kedua tokoh sakti itu. Di samping itu per-
tempuran-pertempuran lain juga telah terpisah, bebe-
rapa tombak dari pertarungan semula
***
Sementara itu, Kenanga juga telah mendapat lawan 
yang cukup seimbang. Setan Tongkat Hitam ternyata 
memiliki ilmu tongkat yang cukup mengejutkan. Maka 
mau tak mau Kenanga harus mengerahkan jurus-
jurus andalan dalam mengimbangi permainan tongkat 
lawan.
“Yeaaattt..!”
Whuuukkk! Whuuukkk!
Dengan jurus-jurus pedang andalan, barulah Ke-
nanga dapat mengimbangi permainan lawan. Bahkan

pada jurus-jurus selanjutnya, dara jelita itu terlihat 
mulai berada di atas angin. Kini Tongkat Setan Hitam-
lah yang merasa kalang-kabut menyelamatkan diri dari 
sambaran pedang lawan.
“Keparat! Ilmu pedang gadis gila ini ternyata sangat 
tinggi! Entah murid siapa dia...?” maki Tongkat Setan 
Hitam panjang-pendek dalam hati Sebagai tokoh ka-
wakan nomor tiga dalam perkumpulannya, tentu saja 
Tongkat Setan Hitam belum bisa menerima kenyataan 
pahit itu. Apalagi hanya menghadapi seorang dara 
muda yang patut menjadi putrinya. Padahal, dia sudah 
malang-melintang dalam rimba persilatan, tapi dapat 
dibuat kalang-kabut Tentu saja kenyataan itu terlalu 
mengejutkan baginya.
“Heaaahhh!”
Ketika pertarungan mereka telah menginjak jurus 
keenam puluh, Tongkat Setan Hitam yang sudah tidak 
tahan akan tekanan-tekanan berat lawan tiba-tiba 
memekik keras mengejutkan. Berbarengan dengan itu, 
tubuhnya bergerak naik menghindari sebuah tusukan 
pedang yang mengancam jantungnya. Sambil melent-
ing ke udara, senjatanya diayunkan dengan kecepatan 
kilat ke arah batok kepala lawan.
Sayang, gerakan lawan jauh lebih cepat dan tidak 
pernah diduga. Ternyata pedang yang luput menusuk 
tubuhnya, langsung berputar ke atas dalam gerak 
membelah. Karuan saja, wajah Tongkat Setan Hitam 
pucat pasi seketika! Dan..., 
Whuuukkk! Breeettt! 
“Arggghhh...!”
Tongkat Setan Hitam meraung setinggi langit! Mata 
pedang gadis jelita itu kontan membeset tubuhnya 
dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya yang tersayat me-
manjang di bagian depan, kontan mengeluarkan darah

segar. Bahkan sampai membasahi pakaian Kenanga, 
karena saat itu memang tepat berada di bawah lawan-
nya.
Dengan suara berdebuk nyaring, tubuh Tongkat Se-
tan Hitam langsung ambruk ke tanah dan langsung 
tewas dengan mata mendelik. Kelihatannya tokoh itu 
mati penasaran!
Di pihak lain, Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala 
Campa, dan dua orang murid Elang Putih tengah 
mempertaruhkan nyawa menghadapi keroyokan pen-
gemis-pengemis yang bagaikan orang kemasukan se-
tan! Sehingga, keenam lelaki gagah itu harus memper-
tahankan diri mati-matian. Memang, sehebat apapun 
kepandaian yang mereka miliki, tentu saja mempunyai 
keterbatasan. Apabila hal itu sampai terjadi, rasanya 
mereka sukar selamat dari keroyokan Pengemis Baju 
Hitam itu.
Buuukkk! Deeesss!
“Aaakhhh...!”
Salah seorang murid Ki Damang tersungkur akibat 
hantaman dua batang tongkat pengeroyoknya. Lelaki 
muda berusia tiga puluh lima tahun itu sepertinya te-
lah kelelahan, sehingga tidak sempat lagi menghindari 
datangnya dua batang tongkat yang mengancam pung-
gung dan dada kirinya!
“Mampuuus kau, bangsat..!”
Terdengar teriakan-teriakan sumpah serapah dari 
pengemis-pengemis yang siap merejam hancur tubuh 
musuhnya. Puluhan batang tongkat meluncur seperti 
saling berebutan untuk menghantam tubuh lelaki mu-
da itu.
“Heaaattt...!”
Breeet! Breeet! 
“Aaa...!”
Tiba-tiba saja, terdengar jerit kematian susul-
menyusul berbarengan dengan beterbangannya tubuh 
pengemis-pengemis yang tengah siap merejam murid 
termuda Ki Damang. Darah segar kontan berhambu-
ran menyertai kilatan pedang bersinar putih keperakan 
yang tergenggam di tangan seorang gadis jelita berpa-
kaian hijau. Rupanya dalam keadaan yang sangat ber-
bahaya itu, Kenanga yang sudah menyelesaikan perta-
rungannya dengan Tongkat Setan Hitam cepat dang 
membaurkan dirinya ke dalam kancah pertempuran.
Perbuatan gadis jelita itu tentu saja membuat lega 
Ki Damang. Memang ia sendiri jelas tidak mungkin 
mampu menyelamatkan nyawa muridnya, karena ten-
gah sibuk menghadapi keroyokan lawan-lawannya.
Hadirnya Kenanga ke dalam kancah pertempuran 
berdarah itu, membuat yang lain merasa sedikit lega. 
Buktinya amukan gadis jelita itu benar-benar mengeri-
kan! Setiap kali Pedang Sinar Bulan di tangannya ber-
kelebat, paling sedikitnya dua atau tiga orang lawan 
akan roboh mandi darah. Tentu saja, hal itu membuat 
para pengemis enggan mengeroyoknya. Sepertinya, 
amukan Kenanga yang menggiriskan itu telah mem-
bangkitkan kegentaran di hati para anggota Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam.
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan 
Tongkat Malaikat telah mencapai puncaknya. Setelah 
bertarung selama enam puluh jurus, Tongkat Malaikat 
semakin sadar kalau kesaktian Pendekar Naga Putih 
ternyata memang bukan hanya khabar burung belaka. 
Sayangnya, pada saat tubuhnya telah dibuat jatuh 
bangun, kesadarannya baru bangkit Sehingga, untuk 
memperbaiki kesalahannya tentu sudah terlambat.
“Haaaiii...!”
Tiba-tiba Pendekar Naga Putih yang terus mencecar

lawan dengan jurus-jurus andalan, mengeluarkan pe-
kikan nyaring mengejutkan! Karuan saja, Tongkat Ma-
laikat terhuyung limbung dengan wajah berkerut-
kerut. Jelas, pekikan keras itu telah membuat gera-
kannya semakin kacau. Akibatnya...,
Plaaag! Breeettt!
“Aaakhhh...!”
Tanpa dapat menghindar lagi, Tongkat Malaikat ter-
paksa harus menerima sebuah hantaman pada dada, 
dan sambaran cakar pada lambungnya! Kontan saja 
tubuh gendut itu terbanting menggelinding di atas ta-
nah!
Pendekar Naga Putih yang ingin segera menyelesai-
kan pertempuran, cepat melesat hendak menyusuli se-
rangannya. Namun pada saat itu juga, tampak sesosok 
bayangan hitam melesat dari arah berlawanan. Lang-
sung saja serangan Pendekar Naga Putih dipapaknya.
Dan...,
Bressshhh...!
“Uuuhhh...!?”
“Aaahhh...!?”
Luar biasa sekali benturan yang terjadi kali ini! Dua 
gelombang tenaga raksasa yang bertemu pada satu ti-
tik itu, membuat tanah di sekitar Hutan Grambang 
laksana dilanda gempa! Sehingga, pertempuran berda-
rah yang tengah berlangsung beberapa belas tombak di 
sebelah kanannya, langsung kocar-kacir! Puluhan 
anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam berjatu-
han saling tumpang tindih. Untunglah, pihak Ki Da-
mang bertindak cepat. Mereka dapat menguasai diri, 
sehingga tidak sampai terjatuh akibat getaran itu.
Kejadian yang tidak disangka-sangka itu tentu saja 
membuat pertempuran berhenti mendadak. Tongkat 
Bulan Sabit yang merupakan satu-satunya tokoh di
barisan pengemis, mengedarkan pandangan seperti in-
gin mencari penyebab semua kejadian itu. Dan wajah 
pengemis bertubuh gemuk itu kontan berseri begitu 
sepasang matanya menangkap sosok tinggi kurus ber-
pakaian hitam penuh tambalan.
“Guru...,” desis Tongkat Bulan Sabit perlahan.
Kemudian, ia menoleh ke belakang, ke arah seratus 
lebih anggota Perkumpulan Pengemis Baju Hitam yang 
tersisa.
“Mundur...!”
Terdengar perintah Tongkat Bulan Sabit yang mem-
buat seratus lebih pengemis menjadi heran. Namun, 
mereka sama sekali tidak membantah perintah tokoh 
itu.
Melihat para pengeroyok telah bergerak mundur 
tanpa sebab yang dimengerti, Ki Damang dan Kenanga 
segera bergerak mundur bersama yang lain. Kening 
para tokoh itu agak berkerut ketika melihat ke arah 
pertempuran Pendekar Naga Putih yang juga telah ter-
henti. Tampak Tongkat Malaikat juga tengah melang-
kah tertatih-tatih ke arah seorang lelaki tua bertubuh 
tinggi kurus yang wajahnya kehitaman. Sedang orang 
tua itu tengah saling bertatapan dengan Pendekar Na-
ga Putih.
“Tongkat Sakti Tanpa Tanding...?!”
Ucapan terkejut penuh getaran keluar dari bibir Ki 
Damang. Jelas, dia mengenali sosok tinggi kurus itu.
“Apa maksudmu, Ki Damang...?” tanya Kenanga 
yang belum mengerti arti ucapan Ki Damang.
Gadis jelita itu memandang ke arah sosok tinggi ku-
rus yang tengah berhadapan dengan kekasihnya. Lalu, 
dia kembali menatap Ki Damang dengan sinar mata 
menuntut jawaban.
“Orang tua itu adalah Ki Parewang yang berjuluk

Tongkat Sakti Tanpa Tanding. Dialah Ketua Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam,” sahut Ki Damang.
Mendengar jawaban itu, Kenanga mengangguk-
anggukkan kepala. Kini baru dimengerti mengapa to-
koh pengemis bertubuh gemuk itu menarik mundur 
anggotanya dari arena pertempuran.
“Hm.... Aku ingin melihat lebih dekat..., kata Ke-
nanga.
Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis itu segera saja 
melesat ke arah kekasihnya. Memang, jarak antara 
tempatnya dengan pertarungan Panji terpisah sekitar 
enam tombak.
***
Saat itu, Ki Parewang atau yang terkenal sebagai 
Tongkat Sakti Tanpa Tanding tengah berdiri mengawa-
si pemuda tampan berjubah putih di depannya. Lelaki 
tinggi kurus berusia sekitar delapan puluh tahun itu 
tampak menatap penuh selidik sosok Pendekar Naga 
Putih. Dan dia memang hampir tidak percaya kalau 
pemuda yang pantas menjadi cucunya itu ternyata 
sanggup membuat tubuhnya terdorong pada perte-
muan tenaga dalam tadi. Kalau tidak merasakannya 
sendiri, sulit bagi kakek itu untuk dapat memper-
cayainya.
“Hm.... Pantas dalam waktu singkat namamu men-
julang mengalahkan tokoh-tokoh tua seperti aku. Ter-
nyata, kepandaian yang kau miliki memang sangat 
luar biasa. Meskipun aku baru merasakan segebrakan, 
tapi aku yakin kau masih menyimpan kejutan-kejutan 
lain yang belum kulihat Sekarang, terangkanlah kepa-
daku tentang kelakuanmu yang tidak menghormati 
tempatku ini? Apabila alasanmu tidak masuk akal, 
aku tidak akan ragu-ragu memotes batang lehermu...!”

ujar Ki Parewang dengan wajah dingin dan tanpa pera-
saan. Wajahnya yang berkulit kehitaman tetap kaku.
Pendekar Naga Putih menatap tenang wajah kakek 
tinggi kurus yang telah menyambut serangannya baru-
san. Diam-diam, hatinya juga sangat terkejut saat me-
rasakan kehebatan tenaga sakti yang dimiliki kakek 
itu. Meskipun Panji yakin tenaganya tidak akan kalah, 
tapi jarang sekali ada orang yang mampu membuatnya 
terdorong meski beberapa langkah. Dan, kakek itu bisa 
melakukannya.
“Orang tua! Kalau tidak salah, kau pasti Ki Pare-
wang yang menjadi Ketua Perkumpulan Pengemis Baju 
Hitam di negeri ini. Kau boleh dengar alasan kedatan-
ganku dan menggempur perguruanmu. Semula, aku 
sudah meminta secara baik-baik untuk berjumpa den-
ganmu. Tapi karena Tongkat Malaikat lebih suka ber-
tarung daripada mengijinkannya, kami terpaksa ber-
tempur. Ketahuilah, Ki Parewang. Dua orang ketua 
perguruan terkenal telah tewas oleh pukulan ‘Ilmu 
Tongkat Penakluk Naga’ yang hanya dimiliki olehmu. 
Maka tidak heran bila Ki Damang yang merupakan sa-
habat kedua ketua perguruan silat yang tewas itu da-
tang untuk meminta pertanggungjawaban mu. Karena, 
hanya kaulah yang dinilai mampu membunuh kedua 
tokoh itu sekaligus.” jelas Pendekar Naga Putih.
Panji terdiam sebentar menunggu tanggapan dari Ki 
Parewang. Tapi, kakek itu tetap saja terpaku bagai se-
batang tonggak yang ditancapkan ke dalam tanah. Wa-
jahnya pun tetap dingin tanpa hawa amarah.
“Nah! Karena Tongkat Malaikat tidak mengijinkan Ki 
Damang dan yang lain untuk dapat berjumpa den-
ganmu, kami menjadi lebih curiga. Kemudian, terjadi-
lah pertempuran berdarah ini...,” jelas Pendekar Naga 
Putih melanjutkan ceritanya yang barusan terhenti sejenak.
“Hm...,” Ki Parewang bergumam lirih sambil menge-
lus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada. Setelah 
penjelasan Panji memang benar-benar telah selesai, 
baru kakek itu terlihat akan membuka suara yang dis-
ertai rasa penasaran.
“Pendekar Naga Putih! Meskipun aku bukan golon-
gan putih, tapi tidak akan pernah melakukan kejaha-
tan seperti layaknya tokoh sesat. Darahku sendiri bu-
kan golongan sesat. Apabila aku memang harus mem-
bunuh, tentu ada alasan yang lebih tepat Tapi untuk 
membunuh kedua orang yang kau sebutkan barusan, 
rasanya aku tidak mempunyai alasan. Hanya karena 
terbunuhnya dua orang tokoh itulah maka kau dan 
kawan-kawanmu yang telah merusak tempat ini ku
maafkan. Sayang bukan aku yang melakukan pembu-
nuhan itu...,” desak kakek itu sambil menundukkan 
wajah seperti hendak mengingat sesuatu.
“Tapi hanya kaulah satu-satunya yang memiliki il-
mu itu, Ki, kalau bukan kau yang membunuh, lalu ke-
pada siapa tuduhan itu hendak kulemparkan?” tanya 
Pendekar Naga Putih.
Panji tentu saja tidak percaya dengan jawaban tadi, 
karena Ki Parewang tidak ubahnya seorang tokoh se-
sat. Tidak bisa dipercaya!
“Sudah kukatakan, bukan aku yang membunuh-
nya! Selain aku, masih ada seorang lagi yang memiliki 
‘Ilmu Tongkat Penakluk Naga’ Bahkan lebih sempurna 
dari yang kumiliki. Orang itu adalah Setan Tenaga Ga-
jah yang tak lain adalah adik seperguruanku sendiri. 
Dia adalah seorang tokoh sesat dan bertentangan den-
ganku. Entah, di mana dia sekarang?” jawab Ki Pare-
wang seraya melepaskan napas panjang seperti me-
nyesali sesuatu.

“Jadi, bagaimana kau mempertanggung-jawabkan 
hal ini, Ki?” desak Panji lagi.
“Bukan tanggung jawabku! Carilah setan sesat itu 
sendiri, Pendekar Naga Putih! Sekarang, tinggalkan 
tempat ini. Suatu hari kelak, setelah kau dapat mene-
mukan dan menundukkan Setan Tenaga Gajah, aku 
akan menentangmu bertarung,”
Setelah berkata demikian, Ki Parewang mengajak 
Tongkat Malaikat kembali ke markasnya. Demikian pu-
la Tongkat Bulan Sabit dan seluruh anggota Perkum-
pulan Pengemis Baju Hitam. Semuanya bergerak me-
ninggalkan Panji dan kawan-kawannya.
“Pendekar Naga Putih, apakah ucapan orang tua itu 
dapat dipercaya? Lalu, apa tindakan kita selanjut-
nya...?” tanya Ki Damang yang sepertinya belum per-
caya penuh akan ucapan Ki Parewang.
“Kali ini, aku melihat kesungguhan dalam matanya. 
Tindakan kita selanjutnya, mencari Setan Tenaga Ga-
jah. Dialah biang keladi semua kejadian ini. Dan seper-
tinya, Ki Parewang mempunyai masa lalu yang pahit 
dengan adik seperguruan itu. Ayolah kita segera men-
cari tempat persembunyian manusia keji itu...,” ajak 
Pendekar Naga Putih.
Kemudian Panji segera melangkah meninggalkan 
Hutan Grambang. Sementara, Kenanga segera saja 
mengiringi langkah kekasihnya. Sedangkan Ki Damang 
dan para tokoh lain berjalan di belakang sepasang 
pendekar muda itu.
Siapakah Setan Tenaga Gajah sesungguhnya? Apa 
maksudnya dia membantai Ki Jasminta dan Ki Raksa 
Mala? Berhasilkah Panji, Kenanga, Ki Damang, dan 
yang lain dalam menyelesaikan kemelut ini? Untuk ja-
wabannya silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih da-
lam episode Petualangan di Alam Roh.



                               SELESAI































Share:

0 comments:

Posting Komentar