PENDEKAR NAGA PUTIH
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Jari Maut Pencabut Nyawa
128 hal.; 12 x 18 cm
SATU
“Hait... hiaaat...!”
Keheningan pagi yang sejuk, tiba-tiba saja dipecahkan
teriakan-teriakan orang yang sedang berlatih silat.
Untunglah suara teriakan itu sama sekali tidak merusak
keindahan sang pagi. Seolah-olah suara itu memang
bagian dari pagi itu sendiri, sehingga semakin menambah
semarak suasana hari ini.
Sesosok tubuh ramping tampak bergerak lincah disertai
ayunan pedang hitamnya yang menimbulkan hawa maut.
Dari gerakannya yang ringan dan bertenaga kuat, dapat
diduga kalau sosok tubuh ramping itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah.
“Hiaaat...!”
Dibarengi sebuah pekikan tinggi, tubuh ramping itu
meluncur dan berputar ke depan bagai baling-baling.
Sedangkan pedang hitam di tangannya menusuk dengan
kecepatan yang menggetarkan!
Wuuung! Wuuung...!
Prasss! Prasss...!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan gerakan itu.
Sebuah dahan pohon setinggi tiga tombak, terpapas habis
daun-daunnya tanpa sebuah goresan pun terdapat di
batangnya. Sebuah ilmu pedang yang tidak bisa dianggap
enteng.
Setelah bersalto tiga kali di udara, sosok tubuh ramping
itu mendaratkan kakinya ringan di tanah. Ternyata dia
seorang gadis yang berparas sangat cantik! Kalau dilihat
dari raut wajah, paling jauh usianya sekitar delapan belas
tahun. Namun, kepandaian yang dimilikinya sudah
demikian hebat! Benar-benar seorang gadis tak ada
“Ha ha ha...! Bagus...! Bagus, Cucuku! ‘Ilmu Pedang
Bidadari Menabur Bunga’ yang kau mainkan tadi sudah
cukup baik. Hanya saja dalam gerakan-gerakanmu tadi
ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki.” Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu di belakang gadis itu telah
berdiri seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun.
“Eyang...!”
Gadis bertubuh ramping yang mengenakan pakaian
serba hijau itu berseru gembira. Dengan wajah beseri-seri,
ia berlari menghampiri kakek itu. Rambutnya yang
panjang dan berwarna hitam pekat itu bergoyang lembut
mengikuti ayunan langkahnya. Langsung dijatuhkan
dirinya, berlutut di hadapan kakek itu.
“Eyang, aku mohon petunjuk...,” pinta gadis jelita itu
sambil berlutut. Suara yang keluar dari sela-sela bibir
mungil itu demikian merdu, tak ubahnya nyanyian indah.
“Kenanga, Cucuku. Sifatmu yang selalu merendah dan
tidak suka menonjolkan kelebihan, membuat Eyang
semakin yakin bahwa engkau tidak mungkin akan
menyalahgunakan kepandaian yang kuturunkan
kepadamu. Dan sifat itu pulalah yang akan menjauhkan
dirimu dari segala bencana dalam pengembaraanmu di
dunia persilatan nanti,” ucap kakek itu sambil mengusap
rambut kepala gadis yang bernama Kenanga. Kedua mata
kakek itu sejenak meredup ketika mengucapkan kata-kata
terakhir yang membuat hatinya bergetar.
“Eyang. Apa..., apa maksud Eyang...? Apakah Eyang
sudah tidak menyayangiku lagi?” tanya Kenanga terkejut.
Dengan gerakan pelahan, gadis itu segera bangkit berdiri.
Ditatapnya sepasang mata tua di hadapannya itu, penuh
ketidakmengertian.
Kakek tua itu cepat menguasai perasaan agar muridnya
tidak mengetahui apa yang tengah dirasakannya saat ini.
Dengan penuh kasih sayang diusap-usapnya rambut
kepala muridnya. Tubuh tua itu kemudian berbalik dan
melangkah pelahan-lahan menuju sebuah pondok kayu
yang letaknya tidak jauh dari tempat muridnya biasa
berlatih silat.
Kenanga yang hatinya masih dipenuhi tanda tanya itu
termenung sejenak. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis
itu pun bergegas menyusul gurunya. Disejajarkan
langkahnya di sisi gurunya dengan kepala tertunduk
dalam-dalam. Wajahnya yang semula berseri penuh
kegembiraan, kini terlihat muram. Bahkan sang mentari
pagi yang semula bersinar cerah mendadak meredup,
seolah-olah ikut merasakan kemurungan dara jelita ini.
Sementara tanpa disadari mereka, tiga pasang mata
tengah mengawasi dari balik semak-semak yang berjarak
kurang lebih lima belas tombak di belakang.
“Duduklah, Cucuku,” ujar kakek itu lembut. “Angkatlah
kepalamu. Janganlah suasana pagi yang indah ini dirusak
oleh kemurunganmu. Tersenyumlah, Cucuku. Kuasailah
hatimu dan janganlah mudah terhanyut oleh perasaan.”
Kenanga tersentak ketika mendengar ucapan gurunya.
“Ahhh, mengapa aku jadi lupa pada pelajaran yang
selalu Eyang berikan? Yahhh, Eyang benar! Aku tidak
boleh terlalu larut dalam perasaan. Apalagi itu merupakan
pantangan bagi orang yang memiliki ilmu silat,” ucap gadis
jelita itu dalam hati.
Kakek tua itu tersenyum lebar ketika melihat wajah
muridnya cerah kembali. Kegembiraan kakek itu bukanlah
disebabkan berserinya wajah Kenanga, tapi karena
muridnya ternyata telah mengerti maksud yang
terkandung dalam ucapannya tadi.
“Maafkan aku, Eyang. Aku terlalu mengikuti perasaan.
Habis ucapan Eyang tadi terlalu tiba-tiba datangnya,” ucap
Kenanga dengan suara pelahan. Namun, wajahnya sudah
berseri kembali karena sudah dapat menguasai
perasaannya.
“Kenanga, kau masih muda dan masih punya banyak
keinginan. Apakah ingin tinggal di hutan ini selamanya,
dan tidak ingin melihat dunia ramai lagi? Kalau begitu,
untuk apa gunanya mempelajari ilmu silat? Bukankah
segala ilmu yang dimiliki harus diamalkan? Lalu,
bagaimana akan mengamalkannya di tempat terasing
seperti ini?” kakek itu melontarkan pertanyaan bertubi-
tubi dengan lembut, namun mengandung kebenaran yang
tidak bisa dibantah oleh Kenanga.
“Tapi, siapakah yang akan mengurus keperluan Eyang?”
tanya gadis itu, masih berusaha mencari alasan karena
hatinya masih merasa berat untuk meninggalkan gurunya.
“Ha ha ha...! Bukankah sebelum ada dirimu aku telah
dapat memenuhi kebutuhanku sehari-hari? Nah, apa lagi
alasanmu sekarang?”
“Tapi.... Tapi, Eyang....”
“Aaah! Sudahlah, Cucuku. Lebih baik sekarang
persiapkan segala keperluanmu untuk bekal di perjalanan
nanti. Lagipula, bukankah kau ingin cepat-cepat bertemu
pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih yang dulu
pernah kau ceritakan padaku,” goda kakek itu sambil
tersenyum.
“Ah, Eyang...,” Kenanga tertunduk malu ketika
diingatkan tentang Panji (Bagi Anda yang ingin mengetahui
kisah pertemuan Kenanga dengan Panji, silakan baca
serial Pendekar Naga Putih dalam episode “Tiga Iblis
Gunung Tandur”). Wajahnya dijalari rona merah ketika
teringat pemuda pujaannya itu. Selintas tersirat di mata
dara jelita itu butir-butir kerinduan yang telah lama
terpendam dalam hati. Samar-samar terdengar helaan
napas berat berhembus dari hidungnya yang berbentuk
indah itu.
Begitu indahnya lamunan yang menghanyutkan gadis
itu sehingga tidak sadar kalau gurunya telah
meninggalkannya beberapa saat yang lalu. Ketika tersadar,
gadis jelita itu pun bergegas meninggalkan tempat itu
untuk menyusul gurunya yang telah kembali ke tempat
tinggal mereka.
***
Pada hari kedua setelah kepergian Kenanga, dua orang
laki-laki tinggi besar melangkah mendatangi pondok
tempat tinggal guru gadis itu.
“Hei, Raja Pedang Pemutus Urat! Keluar kau!” teriak
salah satu dari mereka dengan suara mengguntur.
Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari kawannya. Wajahnya
dipenuhi bulu hitam lebat sehingga nampak gagah dan
menyeramkan.
Setelah hening sejenak, pintu pondok pun terkuak.
Maka muncullah kakek tua yang menjadi guru Kenanga.
Ternyata, dia berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Sebuah
julukan yang tidak asing lagi bagi kaum persilatan. Kening
kakek itu agak berkerut seolah berusaha mengenali kedua
pendatang itu.
“Hm.... Siapakah Kisanak berdua, dan ada keperluan
apa mencariku?” tegur Raja Pedang Pemutus Urat,
suaranya tenang dan lembut.
“Kami adalah dua saudara, berjuluk Gorilla Batu. Dan
maksud kedatangan kami untuk meminjam Kitab Jari
Maut yang kau miliki,” kali ini yang berbicara adalah orang
yang berkepala gundul.
Raja Pedang Pemutus Urat terkejut bukan main
mendengar permintaan yang di luar dugaan itu. Cepat
kakek itu menekan debaran dalam dadanya.
“Hm..., apa maksud perkataanmu itu, Kisanak? Sama
sekali tidak kumengerti?”
“Huh!” dengus laki-laki bercambang bawuk bagaikan
seekor kerbau liar. “Jangan memancing-mancing
kemarahan kami, kakek peot! Cepat serahkan kitab itu,
atau ingin merasakan kepalan kami terlebih dahulu?”
“Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang kitab yang
kau sebutkan itu. Kalaupun tahu, aku tidak akan
memberikannya kepadamu!” jawab Raja Pedang Pemutus
Urat tegas.
“Bangsat, tua bangka tidak tahu diuntung! Mampuslah
kau! Hiaaat..!”
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, laki-laki
bercambang bawuk itu menerjang Raja Pedang Pemutus
Urat. Kepalannya yang sebesar kepala bayi itu mengaung
dahsyat menuju dada lawan.
Wuuuttt!
Kepalan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu
mengenai tempat kosong ketika kakek itu menggeser
tubuhnya ke belakang. Dan sebelum si brewok
memperbaiki posisi, Raja Pedang Pemutus Urat langsung
melancarkan tiga buah serangan beruntun.
Buk!
“Ugh...!”
“Aaah...!”
Tubuh tinggi besar itu terjajar mundur sejauh delapan
langkah akibat tendangan kaki kanan lawan yang
menghantam dadanya. Meskipun tidak terluka, namun si
brewok cukup terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang
sama sekali tidak diduga itu.
Sedangkan Raja Pedang Pemutus Urat pun tidak kalah
terkejutnya. Kaki kanannya bagaikan menghantam
sebongkah besi padat sehingga menimbulkan rasa nyeri
yang menyengat dan menjalar hingga ke lutut. Padahal
sebagian tenaga dalamnya telah disalurkan waktu
menyerang tadi. Diam-diam kakek itu merasa terkejut
sekali melihat kekebalan tubuh lawan yang tinggi besar
itu.
“Tua bangka keparat! Rupanya kau lebih suka memilih
mati daripada menyerahkan Kitab Jari Maut itu. Kalau
memang itu yang menjadi kemauanmu, baiklah! Jangan
salahkan kalau kami berbuat kasar kepadamu,” ancam
laki-laki brewok itu menggeram marah
“Hm...,” gumam Raja Pedang Pemutus Urat pelahan
tanpa mempedulikan ucapan lawannya. Tanpa banyak
cakap lagi, kakek itu segera mencabut keluar pedang yang
tersampir di punggungnya.
Sriiing!
Sebilah pedang bersinar kuning keemasan telah
tergenggam di tangan Raja Pedang Pemutus Urat.
Terdengar suara mengaung tajam ketika pedang bersinar
kuning itu diputar-putar untuk melindungi dadanya.
Kedua kakinya bergerak membentuk kuda-kuda. Tangan
kirinya digerakkan ke depan dada, sedangkan tangan
kanannya yang memegang pedang berada di atas
kepalanya dengan siku ditekuk. Sebuah gerakan
pembukaan jurus ‘Pedang Pemutus Urat’ yang telah
menggegerkan rimba persilatan.
“Huh!” dengus laki-laki brewok itu kasar. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, orang tinggi besar itu segera
meloloskan sebuah rantai baja berat yang melilit
tubuhnya. Diputarnya rantai baja itu hingga menimbulkan
angin keras menderu-deru.
“Hati-hati, Kakang Soma! Kepandaian Raja Pedang
Pemutus Urat tidak boleh dipandang rendah,” seru
saudaranya yang berkepala gundul itu mengingatkan.
Sedangkan dia sendiri sudah pula mencabut keluar sebilah
golok besar yang terlihat sangat berat dari punggungnya.
“Kalau kau merasa gentar, lebih baik kau mundur, Adi
Ludira!” teriak laki-laki brewok yang ternyata bernama
Soma itu geram. Bagaimanapun juga, Soma tidak senang
mendengar adiknya membesar-besarkan lawannya
“Heaaa...!”
Tiba-tiba Soma membentak keras sambil mengayunkan
rantai baja ke arah Raja Pedang Pemutus Urat. Rantai baja
itu mengaung dahsyat mengancam tubuh lawan.
Melihat serangan dahsyat itu, Raja Pedang Pemutus
Urat segera merendahkan tubuhnya hingga serangan itu
lewat di atas kepalanya. Tapi begitu kepalanya diangkat,
datang serangan dari ujung rantai lain yang berdesing
cepat bagai kilat. Laki-laki tua guru Kenanga itu
mengayunkan senjatanya menangkis serangan yang
datang.
Trang!
Bunga api berpijar ketika dua senjata yang mengandung
tenaga dahsyat itu berbenturan keras. Keduanya terdorong
mundur akibat benturan itu.
Raja Pedang Pemutus Urat terdorong sejauh enam
langkah. Segera diperiksa senjatanya kalau-kalau rusak.
Hati kakek itu menjadi lega ketika mendapati senjatanya
masih utuh.
Sedangkan lawannya terdorong sejauh lima belas
langkah. Dari sini saja sudah dapat diukur kalau tenaga
Raja Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi dua tingkat
daripada laki-laki brewok yang bernama Soma itu. Dan hal
ini tentu saja sangat mengejutkan hatinya. Padahal selama
ini dia selalu mengagungkan tenaganya. Tapi kini, ternyata
laki-laki itu harus menerima kenyataan bahwa tenaga Raja
Pedang Pemutus Urat masih lebih tinggi.
Dan belum lagi kakek itu mempersiapkan serangan
berikut, tiba-tiba datang serangan dari adik si brewok itu
dengan golok besarnya. Namun dalam beberapa jurus saja,
laki-laki gundul itu sudah mulai kerepotan menghadapi
serangan balasan Raja Pedang Pemutus Urat yang
menggunakan ilmu andalannya. Ilmu yang tak ada duanya
dalam rimba persilatan. Dapat dipastikan, dalam beberapa
jurus lagi laki-laki gundul yang bernama Ludira itu tidak
akan mampu untuk melindungi dirinya dari serangan
ujung pedang yang selalu mengincar bagian-bagian tubuh
yang mematikan.
Melihat keadaan adiknya yang terdesak itu, Soma
langsung melompat dan melibatkan dirinya dalam
pertarungan itu. Begitu tiba, laki-laki brewok itu segera
melancarkan serangan dahsyat. Rantai bajanya meluncur
ke arah kepala Raja Pedang Pemutus Urat yang tengah
mendesak Ludira. Akibatnya, orang tua itu terpaksa
melompat ke belakang menghindari rantai baja Soma.
Rupanya serangan yang dilancarkan Soma tidak
berhenti sampai di situ saja. Sebab ke manapun Raja
Pedang Pemutus Urat menghindar, rantai baja itu masih
terus mencecarnya. Mau tidak mau kakek itu harus
mengakui kehebatan lawannya yang satu itu. Beberapa
kali senjata itu hampir menghajar tubuhnya, sehingga
harus terpaksa ditangkis demi menahan serangan
berbahaya itu.
Hati Soma bukan main terkejut ketika ujung rantai
bajanya berbalik ke arahnya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, segera dilempar tubuhnya ke belakang untuk
menyelamatkan diri dari ancaman ujung rantai miliknya
sendiri itu. Setelah melakukan salto sebanyak empat kali,
barulah laki-laki gundul itu terlepas dari ancaman maut
senjatanya sendiri. Namun belum lagi sempat menarik
napas lega, tahu-tahu saja pedang di tangan lawan sudah
datang mengancam tenggorokannya.
“Heh?! Bangsat!”
Terpaksa Soma menggulingkan tubuhnya menghindari
ancaman ujung pedang lawan. Untunglah pada saat yang
berbahaya itu, Ludira datang membantu sehingga dia
terhindar dari ancaman maut itu.
Trang!
“Uuuh...!”
Tubuh Ludira yang tinggi besar itu terjengkang ke
belakang ketika menangkis pedang bersinar kuning
keemasan yang dikibaskan Raja Pedang Pemutus Urat
disertai pengerahan tenaga dalam itu. Laki-laki gundul itu
langsung menggulingkan tubuh untuk berjaga-jaga dari
serangan lawan berikutnya. Tubuhnya melenting berdiri
ketika lawan tidak melakukan serangan susulan.
Saat itu Soma yang sudah dapat menguasai keadaan,
kembali menerjang Raja Pedang Pemutus Urat. Kali ini
laki-laki brewok itu benar-benar harus menguras seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang sangat lihai
itu.
Di pihak lain, Ludira pun sudah menggerakkan golok
besarnya dan langsung melancarkan serangan ganas.
Goloknya yang besar dan berat itu berdesingan di sekitar
tubuh lawan.
Raja Pedang Pemutus Urat sama sekali tidak merasa
gentar menghadapi keroyokan dua Gorilla Batu itu. Pedang
bersinar kuning keemasan di tangannya bergerak secepat
kilat membalas serangan dua orang lawannya.
Pertempuran pun berjalan semakin seru dan
mendebarkan!
Pada jurus yang ketiga puluh tujuh, rantai baja di
tangan Soma meluncur mengancam kepala Raja Pedang
Pemutus Urat. Melihat serangan tersebut, laki-laki tua itu
segera menjejak bumi, maka tubuhnya langsung
melambung tinggi. Sehingga serangan rantai baja lawan
hanya lewat di bawah kakinya. Raja Pedang Pemutus Urat
bersalto ke depan sambil menusukkan pedangnya ke dada
lawan.
Ludira yang melihat saudaranya terancam bahaya,
segera melompat memapak pedang lawan. Golok besarnya
diayunkan, menebas pinggang Raja Pedang Pemutus Urat
yang tengah meluncur ke arah Soma.
Menyadari akan bahaya yang mengancam dirinya, Raja
Pedang Pemutus Urat mengurungkan niatnya menyerang
Soma. Segera dikelebatkan pedangnya menyambut
serangan Ludira. Terdengar benturan yang memekakkan
telinga dibarengi jatuhnya tubuh Ludira yang tidak mampu
mengimbangi kekuatan tenaga lawan.
Sebelum laki-laki gundul itu dapat memperbaiki
keadaannya, pedang di tangan lawan sudah meluncur
datang mengancam tenggorokannya. Bergegas Ludira
melempar tubuhnya ke samping. Namun Raja Pedang
Pemutus Urat yang sudah telanjur jengkel itu terus
mencecar lewat serangan-serangan cepat bagai kilat.
“Aaakh...!”
Ludira meraung keras ketika pedang bersinar kuning
keemasan itu menggores lambungnya. Darah segar mulai
mengucur membasahi pakaiannya. Tubuhnya boleh jadi
kebal terhadap senjata lawan, tapi tidak untuk pedang
pusaka sinar emas yang berada di tangan Raja Pedang
Pemutus Urat. Sehingga meskipun tubuhnya terlindung
ilmu kebal, tetap saja tidak mampu menahan sabetan
pedang pusaka sinar emas. Apalagi pedang itu berada di
tangan tokoh sakti seperti Raja Pedang Pemutus Urat yang
tidak disangsikan lagi kelihaiannya dalam menggunakan
pedang.
Pada saat yang sama, rantai baja di tangan Soma
meluncur datang melibat tubuh Raja Pedang Pemutus
Urat.
Prat!
“Hehhh...!”
Rantai baja milik Soma itu cepat melibat tubuh Raja
Pedang Pemutus Urat. Kakek sakti itu bertindak cepat!
Kedua kakinya segera dipantek ke tanah, sedangkan rantai
baja itu dicengkeramnya kuat-kuat. Terjadilah tarik-
menarik yang menegangkan! Raja Pedang Pemutus Urat
mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk
mempertahankan dirinya agar tidak terseret tarikan Soma
yang memang memiliki tenaga dalam tinggi itu. Butir-butir
keringat mulai membasahi kening orang tua sakti itu.
Di lain pihak, keringat sebesar biji jagung mulai
mengalir membasahi sekujur tubuh Soma. Samar-samar
selapis uap tipis tampak mengepul dari ubun-ubun Soma.
Itu tandanya dia telah mengerahkan tenaganya habis-
habisan.
“Hiaaah...!”
Mendadak, Raja Pedang Pemutus Urat mengulur
tangannya menggenggam rantai yang melibat tubuhnya.
Lalu disentakkan rantai itu sekuat tenaganya.
“Akh...!”
Soma berteriak kaget, ketika secara tiba-tiba tubuhnya
yang tinggi besar itu tersentak dan meluncur ke arah Raja
Pedang Pemutus Urat. Dalam keadaan mengapung di
udara, sepasang kaki lawan yang mengandung tenaga
dalam dahsyat itu telak menghantam dadanya!
Buk!
“Ugh...!”
Tubuh Soma terpelanting keras! Darah segar muncrat
dari mulutnya. Namun kekuatan tubuh laki-laki brewok
itu benar-benar luar biasa. Meskipun gerakannya terlihat
limbung, namun masih bisa bangkit menghampiri Ludira
yang tengah berjalan ke arahnya.
“Tunggu pembalasan kami, Raja Pedang Pemutus
Urat...!” ancam Soma penuh kemarahan.
Raja Pedang Pemutus Urat termangu melihat kepergian
dua orang laki-laki tinggi besar yang terluka Itu.
Sementara angin lembut bertiup mempermainkan jenggot
kakek itu yang panjang dan telah memutih.
“Hhh.... Siapa sangka hari ini aku telah menanam bibit
permusuhan baru. Entah dari golongan mana mereka...?”
desah Raja Pedang Pemutus Urat sedih.
***
DUA
“Uhk... hughk...!”
Sosok laki-laki muda tampak tengah melangkah
tersuruk-suruk menerobos semak dan jalanan berbatu.
Sebentar-sebentar langkahnya terhenti, lalu terbatuk-
batuk hebat. Cairan merah menetes keluar dari celah-celah
bibirnya yang pucat. Kelihatannya laki-laki muda itu
terluka parah!
Bajunya yang berwarna kuning cerah itu tampak
dikotori noda darah di sana-sini. Beberapa bagian lainnya
telah koyak hingga terlihat kulit dagingnya yang
mengeluarkan darah. Jelas, itu bekas goresan benda
tajam!
Sambil terus melangkah dengan susah payah pemuda
itu terbatuk kembali dengan hebatnya. Tubuhnya
terbungkuk-bungkuk sambil menekap dadanya yang panas
bagai terbakar.
“Uhk... uhk... uuuhhh...!”
Mungkin karena tak sanggup menahan luka yang
diderita, pemuda itu terguling roboh di sebuah tanah
lapang berumput tebal. Dibarengi keluhan pendek,
kepalanya pun terkulai setelah terlebih dahulu
memuntahkan segumpal darah kehitaman. Laki-laki muda
berwajah tampan itu kini tergolek tak berdaya, pingsan.
Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri. [img]
Ketika matanya terbuka, terasa tubuhnya agak ringan dan
hanya sedikit rasa nyeri yang masih tersisa. Diam-diam
pemuda itu menjadi heran sekali. Bagaimana mungkin
luka-lukanya yang begitu parah tahu-tahu saja telah
hampir sembuh? Padahal ia tadi hanya pingsan.
Namun, ketika kedua matanya dapat melihat jelas,
pemuda itu menjadi heran. Ternyata dirinya terbaring pada
sebuah dipan kayu, di sebuah kamar yang cukup bersih.
Diedarkan pandang matanya berkeliling meneliti seluruh
isi kamar itu.
“Hhh.... Di manakah aku...?” keluh pemuda itu
mencoba bangkit dari pembaringan beralaskan tikar
pandan itu.
“Ahhh.... Syukurlah kau sudah siuman, Anak Muda.
Hampir setengah hari kau tak sadarkan diri. Apa yang
terjadi pada dirimu, Anak Muda? Kulihat luka-lukamu
parah sekali,” tiba-tiba terdengar suara yang begitu bijak.
Di depan pintu kamar yang telah terkuak itu, tampak
berdiri sosok tubuh renta. Suaranya terdengar halus dan
sabar. Di tangannya tergenggam sebuah cawan bambu.
“Siapakah engkau, Kakek? Dan di mana aku sekarang?”
tanya laki-laki muda itu.
“Tenanglah, Anak Muda. Jangan terlalu banyak
bergerak dulu, karena lukamu masih belum sembuh
benar. Nah, sekarang minumlah obat ini agar
kesehatanmu cepat pulih,” ujar kakek itu sambil
menyodorkan cawan berisi obat di tangannya.
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda itu langsung
menenggak habis obat yang diberikan penolongnya itu.
Sekilas, terlihat seringai di wajahnya karena obat itu terasa
pahit.
“Terima kasih, Kek. Entah apa jadinya diriku apabila
tidak ditolong Kakek”
“Sudahlah, Anak Muda. Sekarang tidurlah agar nanti
tubuhmu terasa segar kembali,” setelah berkata demikian,
kakek itu pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu merebahkan
tubuhnya. Beberapa saat kemudian terdengar dengkuran
halus, pertanda ia telah terlelap.
***
Menjelang sore, laki-laki muda itu terbangun. Dicoba
digerak-gerakkan lengan dan kakinya. Alangkah
senangnya hati pemuda itu ketika tidak merasakan lagi
kenyerian yang mengganggunya itu. Pelahan-lahan
dilangkahkan kakinya ke arah pintu, dan dibukanya
pelahan. Semburat kemerahan menerpa wajah sehingga
membuatnya menjadi silau.
“Ha ha ha.... Bagaimana perasaanmu sekarang, Anak
Muda?” tanya kakek penolongnya yang tiba-tiba muncul
dari balik semak belukar.
“Ahhh..., Kakek mengejutkanku saja. Terima kasih, Kek.
Rasanya tubuhku sudah mulai sehat. Sekali lagi
kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas kesediaan
Kakek menolongku,” ucap pemuda itu sambil
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. Suaranya
terdengar sopan dan teratur rapi bagai seorang terpelajar.
“Sudahlah. Lebih baik kau ceritakan, siapa dirimu dan
apa yang menyebabkan kau mengalami luka begitu
parah?” tanya kakek yang tak lain adalah Raja Pedang
Pemutus Urat.
Setelah menghela napas beberapa kali, barulah pemuda
itu menceritakan apa yang telah terjadi terhadap dirinya.
Waktu itu ia tiba-tiba saja dihadang dua orang laki-laki
bertubuh tinggi besar yang sama sekali tidak dikenalnya.
Tanpa bertanya-tanya lagi, kedua laki-laki itu langsung
saja menyerangnya. Walaupun pemuda itu berusaha
mengadakan perlawanan, namun karena kepandaiannya di
bawah kedua lawannya, akhirnya malah menjadi bulan-
bulanan.
“Kedua laki-laki tinggi besar itu baru berhenti
menganiaya ketika aku telah tak sadarkan diri Entah apa
sebabnya dia menyerangku? Dan tampaknya mereka juga
tengah menderita luka dalam cukup parah. Hhh... Benar-
benar berbahaya kedua orang itu...,” pemuda itu
mengakhiri ceritanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kakek sakti yang berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat
itu menghela napas dalam-dalam. Kini mulai dimengerti
duduk persoalannya. Dan ia pun tahu, apa yang
menyebabkan kedua orang laki-laki bertubuh tinggi besar
itu marah-marah.
“Yaaah.... Kedua orang itu memang sangat berbahaya.
Kepandaian mereka sangat tinggi. Rasanya jarang sekali
tokoh rimba persilatan yang dapat menandingi kepandaian
mereka berdua. Entah dari mana mereka datang, sebab
logatnya terdengar asing di telingaku.”
“Aaah! Kalau begitu, Kakek ini Raja Pedang Pemutus
Urat? Sebab, mereka menyebut-nyebut julukan Kakek.
Benarkah Kakek telah melukai mereka?” tanya pemuda
itu.
“Tidak salah. Memang, akulah yang telah melukai
mereka. Tapi itu pun baru dapat kulakukan setelah
melalui sebuah pertarungan melelahkan...,” tutur Raja
Pedang Pemutus Urat tak bergairah. Seolah-olah kejadian
itu telah mendatangkan kesedihan di hati kakek sakti itu.
“Eh! Siapa namamu, Anak Muda...?” tanya kakek itu
mengalihkan percakapan.
“Namaku Jaya Sukma, Kek.”
“Nah, Jaya Sukma. Tinggallah di tempat ini untuk
beberapa hari. Setelah kesehatanmu pulih, kau boleh
melanjutkan perjalananmu yang tertunda itu,” pinta Raja
Pedang Pemutus Urat halus.
“Mmm..., kalau Kakek mengijinkan, aku ingin tinggal di
sini untuk mengurus Kakek. Toh, sekarang ini aku tidak
mempunyai tujuan. Lagipula, kedua orang tuaku sudah
tiada. Jadi, ijinkanlah aku tinggal di sini menemani
Kakek..,” ucap Jaya Sukma sambil menundukkan kepala
dalam-dalam.
Mendengar permintaan Jaya Sukma, Raja Pedang
Pemutus Urat termenung sejenak. Dipandanginya wajah
tampan di hadapannya seolah-olah ingin mengetahui, apa
sebenarnya yang diingini pemuda itu. Beberapa saat
kemudian, barulah dapat diputuskan untuk menerima
permintaan Jaya Sukma.
“Yahhh.... Terserah kaulah, Jaya Sukma. Asal kau tahu,
kalau aku tidak akan menerima murid lagi!” jelas Raja
Pedang Pemutus Urat penuh ketegasan.
“Tak mengapa, Kek. Biarlah aku menjadi pelayan
Kakek daripada aku berkeliaran tanpa tujuan.”
***
Maka mulai hari itu Jaya Sukma tinggal di tempat
kediaman Raja Pedang Pemutus Urat. Pemuda yang
bertutur kata sopan itu tidak pernah mengeluh dalam
mengerjakan segala yang menjadi keperluan mereka
sehari-hari. Wataknya yang pendiam dan jarang berbicara,
sedikit banyak telah menimbulkan rasa simpati di hati
Raja Pedang Pemutus Urat. Namun kakek sakti itu
berusaha menyembunyikannya.
“Hait..., hiyaaa...!”
Seperti biasanya, setiap pagi Jaya Sukma selalu melatih
ilmu-ilmu yang dimilikinya. Gerakannya terlihat cukup
mantap dan bertenaga. Hampir setengah harian Jaya
Sukma berlatih. Meskipun keringat telah membanjiri
seluruh tubuhnya, tapi pemuda itu sama sekali tidak
mengenal lelah. Memang, dia seorang pemuda yang keras
hati.
Tanpa setahu Jaya Sukma, Raja Pedang Pemutus Urat
selalu memperhatikannya saat sedang berlatih. Semakin
lama diperhatikan, kakek itu semakin merasa suka dan
kagum melihat ketekunan pemuda itu. Padahal setahunya,
pemuda itu hanyalah melatih ilmu-ilmu biasa dan tidak
memiliki keistimewaan apa pun. Namun pemuda itu
demikian tekun, seakan-akan tengah melatih sebuah ilmu
dahsyat. Diam-diam timbul rasa haru dan kasihan dalam
hati Raja Pedang Pemutus Urat.
“Jaya...,” panggil Raja Pedang Pemutus Urat sambil
melangkah menghampiri pemuda itu yang telah
menyelesaikan latihannya. Rupanya kakek itu merasa
tertarik juga, dan tidak mampu menahan perasaan hati
terhadap pemuda itu.
“Ahhh..., Kakek,” seru pemuda itu terkejut. Bagaimana
Jaya Sukma tidak terkejut? Padahal, selama ini ilmunya
selalu dilatih di tempat tersembunyi yang letaknya cukup
jauh dari pondok mereka. Dan sekarang, tahu-tahu saja
Raja Pedang Pemutus Urat telah berada di dekatnya.
“Sedang apa kau, Jaya...?” tanya Raja Pedang Pemutus
Urat pura-pura bodoh.
“Oh...! Eh..., aku.... Aku sedang mengambil air, Kek..,”
jawab pemuda itu gugup.
“Hm.... Dari mana kau peroleh jurus-jurus itu, Jaya...?”
Mendengar pertanyaan itu, Jaya Sukma sadar kalau
tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Lagipula, bukankah
dia tidak melakukan kesalahan apa-apa? Jadi, mengapa
harus merasa takut?
“Hanya jurus-jurus biasa, Kek. Mendiang ayahku yang
mengajarinya,” jawab Jaya Sukma terus terang.
“Hm.... Sudah lebih dari satu bulan kau tinggal
bersamaku, bekerja mengurus segala keperluan sehari-
hari tanpa mengeluh sedikit pun. Biarlah sebagai
imbalannya, kau akan kuajarkan satu macam jurus. Tapi
ingat, aku tidak ingin mengangkat murid! Jadi jangan
sekali-kali memanggilku guru ataupun eyang!” kata Raja
Pedang Pemutus Urat yang rupanya sudah merasa suka
kepada Jaya Sukma.
“Oh..., terima kasih, Kek. Akan kutaati segala perintah
Kakek,” ucap Jaya Sukma gembira.
“Nah! Sekarang, perhatikanlah baik-baik...,” setelah
ucapannya selesai, Raja Pedang Pemutus Urat mulai
bergerak lambat agar gerakannya dapat ditangkap jelas.
Beberapa kali Raja Pedang Pemutus Urat mengulangi
gerakannya sehingga lama kelamaan Jaya Sukma pun
sudah dapat mengikuti secara pelahan.
“Hm.... Sekarang, cobalah sendiri.”
“Baik, Kek...!” jawab Jaya Sukma penuh kegembiraan.
Melihat wajah pemuda itu yang bersinar-sinar penuh
kegembiraan, diam-diam perasaan Raja Pedang Pemutus
Urat semakin trenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, kakek
itu bergegas meninggalkan Jaya Sukma yang masih terus
melatih ilmu yang diberikannya itu.
Raja Pedang Pemutus Urat sengaja berpura-pura
meninggalkan tempat itu, padahal dia tengah bersembunyi
di balik semak belukar untuk memperhatikan tanggapan
Jaya Sukma sepeninggalnya. Biar bagaimanapun, kakek
itu masih belum menaruh kepercayaan penuh terhadap
pemuda yang belum lama dikenalnya itu. Tapi kecurigaan
Raja Pedang Pemutus Urat rupanya tidak beralasan. Sebab
meskipun tanpa dirinya, ternyata pemuda itu tidak bosan-
bosannya melatih ilmu yang baru didapat itu.
Menyaksikan hal itu, Raja Pedang Pemutus Urat menarik
napas lega. Lalu segera melangkah meninggalkan tempat
itu.
***
Tiga bulan semenjak Raja Pedang Pemutus Urat
menurunkan satu macam ilmu kepada Jaya Sukma,
namun sifatnya sama sekali tidak berubah. Dia tetap
sopan, rendah hati, dan selalu tekun melatih ilmu yang
diberikan. Dan dalam tiga bulan terakhir ini, pemuda itu
telah menunjukkan kemajuan pesat.
Hingga pada suatu kesempatan, Raja Pedang Pemutus
Urat memanggil Jaya Sukma sehubungan dengan apa yang
menjadi pikirannya selama ini.
“Duduklah, Jaya...,” ujar kakek itu ketika Jaya Sukma
memasuki pondok
Jaya Sukma duduk di hadapan Raja Pedang Pemutus
Urat tanpa berkata sepatah pun. Pemuda itu
menundukkan wajahnya dalam-dalam. Dalam hati ia takut
kalau-kalau kakek sakti itu akan menyuruhnya pergi dari
tempat yang sudah telanjur disukai itu. Hati pemuda itu
berdebar menantikan ucapan yang keluar dari mulut Raja
Pedang Pemutus Urat
“Jaya..., sudah berapa lama kau tinggal di tempat ini?”
tiba-tiba Raja Pedang Pemutus Urat mengeluarkan
pertanyaan yang membuat hati Jaya Sukma semakin
berdebar kencang.
“Sudah lebih dari tiga bulan, Kek,” jawab pemuda itu
agak gugup.
“Hm.... Selama ini kulihat sikapmu tidak pernah
mengeluh. Bahkan aku tidak pernah menemukan satu
kesalahan pun dalam sikapmu, “ujar kakek itu. “Maka,
aku merasa yakin kalau kaulah yang pantas mendapat
ilmu ‘Jari Maut’.”
Nampak sekali kalau Jaya Sukma menjadi terkejut
bercampur girang, namun cepat-cepat menguasai
perasaannya. Wajah pemuda itu memucat, dan bibirnya
bergetar ketika mendengar kata-kata itu.
“Pewaris ilmu ‘Jari Maut’...!? Ahhh! Maafkan aku, Kek.
Mana mungkin aku berani menerima ilmu itu? Lagipula,
aku... aku....”
“Sudahlah...!” potong Raja Pedang Pemutus Urat cepat.
“Dengar, Jaya Sukma! Aku sudah tua, dan hanya
mempunyai seorang murid wanita. Ketahuilah, bahwa ilmu
itu tidak bisa dipelajari oleh seorang wanita. Karena
apabila dipelajari, maka wanita itu akan berubah menjadi
seorang wanita iblis yang keji dan tak kenal ampun, akibat
pengaruh ilmu ‘Jari Maut’ itu. Nah! Daripada ilmu itu jatuh
ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, bukankah
lebih baik kuturunkan kepadamu. Lagipula aku sudah
lama memperhatikanmu, Jaya Sukma. Rasanya kau cukup
pantas untuk mewarisi ilmu itu,” jelas Raja Pedang
Pemutus Urat panjang lebar.
“Baiklah, Kek. Kalau memang itu sudah menjadi
keputusan Kakek, aku akan bersedia mematuhinya,” jawab
pemuda itu tegas.
“Nah! Kalau kau sudah bersedia menerimanya, mari
ikut aku.”
Raja Pedang Pemutus Urat bergegas bangkit dari
duduknya. Kakek sakti itu melangkah ke luar, diikuti Jaya
Sukma. Mereka terus berjalan memasuki hutan yang
berada di samping kiri pondok.
Kakek sakti itu menghentikan langkahnya pada sebuah
batu besar yang menonjol menutupi sebuah mulut gua.
Ditekannya sebuah alat pada dinding gua sehingga batu
besar itu bergeser. Maka, tampaklah sebuah mulut gua
yang cukup besar dan agak gelap. Raja Pedang Pemutus
Urat melangkah memasukinya diikuti Jaya Sukma yang
terbengong-bengong keheranan.
Sama sekali tidak disangka kalau tempat yang sering
dilewatinya saat mengambil air itu, ternyata terdapat
sebuah gua. Dan lebih mengejutkan lagi, ternyata itu
adalah tempat penyimpanan Kitab Ilmu Jari Maut! Benar-
benar sebuah tempat yang rapi dan tak terduga.
Setelah melewati beberapa tikungan, mereka tiba pada
sebuah ruangan yang agak luas. Lima tombak di hadapan
mereka nampak sebuah kerangka yang dalam posisi
bersemadi di atas sebuah batu pipih berbentuk segi empat.
“Eyang..,” Raja Pedang Pemutus Urat berseru pelahan
sambil menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kerangka
itu. Rupanya kerangka manusia itu adalah kerangka guru
Raja Pedang Pemutus Urat.
Beberapa saat kemudian, kakek itu bangkit dan
berjalan ke arah sebuah peti yang berada tidak jauh dari
kerangka gurunya. Segera diulurkan tangannya membuka
tutup peti, lalu dikeluarkannya sebuah kitab berwarna
kuning yang bertuliskan “Kitab Ilmu Silat Jari Maut”. Raja
Pedang Pemutus Urat segera memeriksa isi kitab. Ketika
yakin kalau isi kitab itu masih utuh, kakek itu bergegas
menghampiri Jaya Sukma yang hanya diam berdiri
memperhatikannya.
“Nah, Jaya Sukma. Untuk mempelajari isi kitab ini, kau
harus berjanji di hadapan kerangka guruku. Berjanjilah
kalau ilmu yang akan kaupelajari ini akan dipergunakan
untuk kebaikan. Dan apabila janji itu dilanggar, maka kau
akan mati secara mengerikan termakan ilmu itu sendiri.
Bagaimana? Apakah kau bersedia?” tanya Raja Pedang
Pemutus Urat. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.
Jaya Sukma mengangguk cepat, dan tanpa ragu-ragu
lagi segera berlutut di hadapan kerangka manusia itu
sambil mengucapkan janji yang diajarkan Raja Pedang
Pemutus Urat tadi. Suara pemuda itu terdengar agak
bergetar ketika mengucapkan janji maut itu.
“Hm..., lega hatiku sekarang Terimalah kitab ini, Jaya.
Dan kau harus menguasai isinya dalam waktu satu bulan.
Setelah itu, barulah pelajari gerakannya. Ketahuilah,
bahwa ilmu yang dulu kuajarkan kepadamu adalah dasar-
dasar ilmu ‘Jari Maut’. Dan dengan demikian kau akan
lebih mudah mempelajarinya. Dan sekarang, pintu gua
akan kututup dari luar. Karena, apabila ilmu itu telah kau
pelajari secara sempurna, maka batu itu bukanlah
penghalang yang berarti bagimu. Kebutuhanmu selama
mempelajari ilmu itu jangan dipikirkan. Pokoknya, semua
sudah tersedia di dalam gua ini. Nah, sekarang aku akan
pergi.” Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus
Urat segera berkelebat lenyap dari pandangan Jaya
Sukma. Gerakannya demikian cepat. Jelas, kalau ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Tidak lama kemudian terdengar suara
bergemuruh tanda bahwa pintu gua telah tertutup
kembali.
“Ha ha ha...! Akhirnya usahaku selama ini tidak sia-sia!
Ha ha ha...!” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak, menari,
dan melompat-lompat bagaikan orang yang kehilangan
ingatan.
Sepeninggal Raja Pedang Pemutus Urat, Jaya Sukma
cepat memeriksa dan membaca isi kitab itu. Bukan main
gembira hatinya ketika mendapat kenyataan kalau ilmu
yang bernama ‘Jari Maut’ itu benar-benar sebuah ilmu
langka yang jarang terdapat di dunia persilatan. Pelahan-
lahan mulai dibaca dan dihapalkannya isi kitab yang
cukup tebal itu.
Dengan penuh ketekunan, Jaya Sukma mempelajari isi
kitab itu tanpa mengenal waktu. Pemuda itu hanya
berhenti apabila perutnya betul-betul terasa lapar. Apabila
rasa laparnya sudah tak tertahankan lagi, Jaya Sukma
bergegas memetik beberapa buah jamur yang banyak
terdapat di belakang gua. Jamur itu terasa manis dan
banyak mengandung air. Jadi dia tidak perlu takut
kelaparan.
Karena ketekunannya yang luar biasa, dalam waktu
kurang dari satu minggu, Jaya Sukma sudah dapat
menghapal seluruh isi Kitab Jari Maut. Kini ia hanya
tinggal mempelajari gerakan-gerakannya saja. Hal itu
tidaklah terlalu sukar, karena dia telah dibekali dasar-
dasar ilmu itu dari Raja Pedang Pemutus Urat. Benar-
benar suatu keberuntungan baginya. Apalagi, diam-diam
sebetulnya pemuda itu telah memiliki kepandaian yang
cukup tinggi juga.
***
TIGA
Waktu terus berputar, sesuai kodratnya. Tak terasa,
Jaya Sukma telah lebih dari lima bulan tinggal di dalam
gua. Dan memasuki bulan keenam, Jaya Sukma sudah
hampir menyempurnakan ilmu ‘Jari Maut’ yang dipelajari
tanpa mengenal lelah itu. Kemajuan yang diperolehnya
memang begitu pesat. Meskipun tubuhnya agak kurus
tidak terawat, namun dari sinar matanya yang mencorong
tajam, dapat diduga kalau tenaga sakti yang dimilikinya
telah meningkat jauh. Rambut, kumis dan jenggotnya
semakin panjang, sehingga membuat Jaya Sukma telah
berubah menjadi seorang pemuda menyeramkan.
Seperti biasanya Jaya Sukma terus melatih ilmu ‘Jari
Maut’ yang terus disempurnakannya itu. Sambaran angin
pukulannya yang berhawa panas itu benar-benar
menggiriskan. Kedua tangannya yang kadang-kadang
hanya menggunakan dua jari itu berkesiutan menyambar
dengan kecepatan yang menggetarkan!
Wut! Cuiiit!
“Hahhh!”
Suatu ketika pemuda itu membentak keras dibarengi
tusukan kedua jari tangannya yang mengandung hawa
panas itu. Bagaikan seekor ular hidup, tangan Jaya Sukma
meliuk cepat menusuk sebuah batu sebesar perut kerbau.
Creb!
Bagaikan segumpal benda lunak, batu besar itu mudah
sekali ditembus dua jari tangan Jaya Sukma yang berisi
tenaga tinggi sekali. Dengan wajah berseri-seri, pemuda itu
segera menarik pulang tangannya yang amblas ke dalam
batu besar itu.
Sambil tertawa didekatinya batu tadi, dan langsung
ditiupnya. Hebat! Batu besar itu kini hancur jadi tepung!
Buktinya, ketika ditiup, seketika beterbangan debu-debu
halus, hingga batu sebesar perut kerbau itu lenyap
seketika.
Begitu melihat hasil dari ilmu yang selama ini ditekuni,
Jaya Sukma terkesiap sebentar. Tak lama kemudian....
“Ha ha ha...! Sebentar lagi dunia akan terkejut dengan
kemunculanku! Ha ha ha...! Julukan yang cocok untukku
adalah.... Jari Maut Pencabut Nyawa!” suara pemuda itu
bergema ke seluruh dinding gua, kemudian memantul ke
tempat semula. Begitu lepas tawanya, dan begitu lepas
kepuasannya.
Jaya Sukma menyimpan Kitab Jari Maut di balik
bajunya, kemudian melangkah pelahan-lahan mendekati
mulut gua yang tertutup batu besar itu. Untuk beberapa
saat lamanya pemuda itu hanya meraba-raba dan
memeriksa batu besar yang menyumbati mulut gua.
Seolah-olah, ingin mengukur sampai di mana kekuatan
batu besar itu.
Setelah puas memeriksa, kakinya melangkah mundur
menjauhi mulut gua. Sinar matanya mencorong tajam
bagaikan hendak menembus dunia di luar sana. Dengan
kuda-kuda kokoh, Jaya Sukma mulai menyedot udara
sebanyak-banyaknya. Kedua tangannya bergetar,
sedangkan urat-urat di kedua lengannya nampak menonjol
biru, pertanda segenap tenaga saktinya tengah dikerahkan.
“Heaaa....!”
Dibarengi sebuah pekikan panjang, tubuh Jaya Sukma
melesat ke arah mulut gua. Kedua tangannya meliuk-liuk
susul-menyusul didahului terpaan angin panas menyengat
kulit. Tiba-tiba dari jari-jari tangannya meluncur seberkas
sinar kemerahan dan langsung menghantam batu besar
yang menyumbat mulut gua. Dan....
Glarrr!
Batu yang sangat besar itu hancur berkeping-keping
akibat hantaman sinar merah yang keluar dari jari tangan
Jaya Sukma. Itulah ilmu ‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang
telah sempurna dikuasai pemuda itu. Benar-benar sebuah
ilmu ganas dan amat mengerikan!
“Ha ha ha...! Akulah si Jari Maut Pencabut Nyawa yang
akan menguasai dunia persilatan. Ha ha ha...,” Jaya
Sukma tertawa terbahak-bahak tanpa mempedulikan
keadaan sekelilingnya.
Tanpa disadarinya, sesosok bayangan tinggi kurus tiba-
tiba berkelebat mendekati mulut gua yang telah terbuka
lebar itu.
“Jaya Sukma! Apa maksud perkataanmu Itu?” seru
sosok tinggi kurus yang ternyata Raja Pedang Pemutus
Urat. Kakek itu langsung melesat ke arah gua ketika
mendengar ledakan sangat dahsyat tadi. Dan dugaannya
ternyata benar. Jaya Sukma rupanya telah berhasil
mempelajari ilmu ‘Jari Maut’ lebih cepat dari waktu yang
diberikan.
Melihat kehadiran kakek yang telah memberinya kitab
sudah menghadang di mulut gua, Jaya Sukma sama sekali
tidak berlutut. Malah sebaliknya, pemuda itu berdiri
menantang. Sifat asli yang ditunjukkannya benar-benar
bagai langit dan bumi. Jauh sekali dengan sifat yang
selama ini diketahui Raja Pedang Pemutus Urat.
“Ha ha ha...! Selamat Tuan Muda. Selamat. Rupanya
Tuan Muda telah berhasil menguasai ilmu ‘Jari Maut’ yang
selama ini diidam-idamkan. Ha ha ha....” Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah muncul dua
sosok tubuh tinggi besar yang ternyata adalah dua saudara
Gorilla Batu.
Bukan main terkejutnya hati kakek itu melihat
kehadiran dua orang yang pernah dipecundanginya. Kini
baru disadari kalau dirinya telah salah memilih Jaya
Sukma sebagai pewaris tunggal ilmu ‘Jari Maut’ yang amat
ganas dan mengerikan itu.
“Hm.... Rupanya kaulah yang dulu menyuruh dua orang
itu untuk merebut Kitab Jari Maut dari tanganku. Hanya
satu yang tidak kumengerti, mengapa saat kau kutemukan
benar-benar mengalami luka dalam yang sesungguhnya?”
tanya Raja Pedang Pemutus Urat lirih, seakan-akan untuk
dirinya sendiri.
“Ha ha ha.... Untuk dapat memperdayai orang sakti
sepertimu, tubuhku harus rela dikorbankan oleh dua
orang pembantuku ini,” sahut Jaya Sukma disertai
senyuman penuh ejekan.
“Ahhh...! Betapa bodohnya aku si kakek pikun ini. Tapi
sebelum kau membuat malapetaka dalam rimba persilatan,
lebih baik sekarang kucabut saja ilmu ‘Jari Maut’ yang
telah kau peroleh secara licik itu!”
Setelah berkata demikian, Raja Pedang Pemutus Urat
mencabut keluar pedang bersinar kuning keemasan yang
selalu tersampir di punggungnya. Disadari sepenuhnya
kalau yang dihadapinya kali ini adalah orang yang telah
berilmu dahsyat!
“Ha ha ha...! Majulah jika memang ingin cepat-cepat
kukirim ke neraka, kakek peot,” ejek Jaya Sukma. Sinar
matanya mencorong tajam memancarkan kebengisan.
“Hm!”
Didahului sebuah dengusan pendek, Jaya Sukma
bergerak memainkan jurus pembuka ilmu ‘Jari Maut’.
Pemuda itu memang sengaja ingin mencoba keampuhan
ilmu itu terhadap Raja Pedang Pemutus Urat yang telah
dikenal dalam rimba persilatan.
“Heaaa...!”
Sambil berteriak keras, Jaya Sukma melompat dan
langsung melancarkan serangan-serangan yang
menimbulkan udara panas. Kedua tangannya menusuk
bergantian, memperdengarkan suara mencicit tajam.
Jangankan terkena tusukan jari tangannya, bahkan angin
pukulannya saja sudah cukup untuk membeset kulit
lawan! Memang betapa hebat ilmu ‘Jari Maut’ yang telah
dimiliki pemuda itu.
Raja Pedang Pemutus Urat terpaksa harus berlompatan
menghindari jari-jari tangan yang berhawa maut itu.
Sesekali kakek itu membalas dengan tusukan-tusukan
pedangnya yang tidak kalah dahsyat. Sekejap saja dua
tokoh berkepandaian tinggi itu sudah terlibat dalam suatu
pertarungan mati-matian!
Belasan jurus telah mereka lewati. Sampai sejauh itu
belum nampak tanda-tanda salah seorang yang terdesak.
Keduanya mulai bertarung dalam tempo cepat! Bahkan
mulai mengeluarkan ilmu-ilmunya pada tingkat yang lebih
tinggi. Pertarungan pun semakin seru dan menegangkan!
“Yeaaat...!”
Pada jurus kesembilan belas, Raja Pedang Pemutus Urat
memperdengarkan pekikan melengking menusuk telinga.
Bahkan disusul dengan kibasan pedang sinar emasnya
yang bergulung-gulung menyilaukan mata. Dan secara
tiba-tiba arena pertarungan tertutup sinar kuning
keemasan yang terpancar dari pedang di tangan kakek itu.
Mengkelap hati Jaya Sukma menyaksikan kesaktian
Raja Pedang Pemutus Urat yang jarang dipergunakan itu.
Pemuda itu semakin kecut hatinya ketika merasakan urat-
urat di seluruh tubuhnya melemah bagaikan lumpuh.
Itulah ‘Ilmu Pedang Pemutus Urat’ tingkat tinggi yang
menjadi andalan kakek sakti itu sehingga mendapat
julukan Raja Pedang Pemutus Urat.
“Bangsat! Kakek keparat!” Jaya Sukma memaki-maki
sambil terus mencoba melepaskan diri dari lingkaran sinar
keemasan yang mengurungnya itu. Namun semakin
berusaha untuk melepaskan diri, semakin kuat pula
pengaruh yang merasuk ke dalam tubuhnya.
Pelahan-lahan Jaya Sukma mulai merasakan tenaganya
makin berkurang. Darah di tubuhnya terasa semakin cepat
mengalir. Satu persatu urat-urat di tubuhnya mulai
mengembung dan menonjol ke luar. Rasanya tidak lama
lagi pemuda itu akan tewas dan urat-urat di tubuhnya
pasti putus!
Soma dan Ludira yang berjuluk Gorilla Batu itu
tersentak kaget melihat kejadian yang sama sekali tidak
diduga itu. Tanpa berpikir dua kali, kedua laki-laki
bertubuh tinggi besar itu langsung melompat ke dalam
arena pertarungan. Senjata-senjata di tangan mereka
meluncur deras, mengancam keselamatan Raja Pedang
Pemutus Urat yang tengah mendesak Jaya Sukma.
Trang! Tring!
“Uhhh...!”
Raja Pedang Pemutus Urat membabatkan senjatanya
dua kali berturut-turut untuk menangkis serangan dua
orang bertubuh tinggi besar itu. Terdengar keluhan pendek
keluar dari mulutnya. Tubuh kakek itu agak terhuyung
akibat benturan yang sangat keras itu. Karena pada saat
menangkis, pikirannya tengah terpusat kepada Jaya
Sukma. Akibatnya, tenaga tangkisan yang dipergunakan
pun banyak berkurang.
Demikian pula yang dialami Soma dan Ludira. Kedua
orang itu terdorong akibat tangkisan Raja Pedang Pemutus
Urat yang membuat lengan merek bergetar dan terasa
nyeri. Akibatnya untuk beberapa saat keduanya terdiam
sambil menyalurkan hawa murni untuk memunahkan rasa
nyeri yang diderita.
Lain halnya Jaya Sukma. Begitu merasa dirinya terlepas
dari pengaruh lawan, cepat-cepat pemuda itu melompat
mundur. Ditariknya napas dalam-dalam untuk
menghilangkan pengaruh yang mengerikan itu Diam-diam
hati pemuda itu bergidik ngeri membayangkan kesaktian
lawannya yang sudah tua itu.
Begitu tubuhnya terasa pulih, pemuda itu segera
menyiapkan seluruh kesaktian yang dimiliki untuk
menghadapi lawan yang juga sudah siap-siap melanjutkan
pertarungan.
“Paman berdua, menyingkirlah. Biar kuhadapi sendiri
kakek peot itu!” kata Jaya Sukma kepada kedua orang
pembantunya sambil melirik ke arah Raja Pedang Pemutus
Urat.
“Tuan Muda, jangan terlalu gegabah! Ilmu ‘Jari Maut’
yang Tuan Muda pelajari belum begitu sempurna.
Sedangkan kepandaian Raja Pedang Pemutus Urat tinggi
sekali, dan tidak bisa dibuat main-main. Bagaimana kami
dapat berpangku tangan melihat keselamatan Tuan Muda
terancam,” sergah Ludira.
“Benar, Tuan Muda!” timpal Soma. “Lagipula kita harus
segera menyingkirkan kakek peot ini agar berita jatuhnya
Kitab Jari Maut ke tangan Tuan Muda tidak cepat tersiar di
dunia persilatan. Kalau berita ini sampai tersebar, jelas
kita akan celaka. Paling tidak, banyak tokoh persilatan
yang akan mencari Tuan Muda. Bukankah itu berbahaya
sekali? Sedangkan ilmu ‘Jari Maut’ yang Tuan Muda
pelajari belum lagi sempurna.”
Mendengar alasan yang cukup masuk akal itu, Jaya
Sukma termangu beberapa saat. Diam-diam ia harus
berterima kasih sekali kepada dua orang pembantunya
yang demikian mengkhawatirkan keselamatannya itu.
“Baiklah! Kalau begitu, kalian berjaga-jaga saja kalau-
kalau aku membutuhkan bantuan,” akhirnya Jaya Sukma
mengalah juga. Sesudah berkata demikian Jaya Sukma
segera melompat menerjang Raja Pedang Pemutus Urat
yang sudah bersiap menyambut serangannya.
Kali ini kakek itu cukup terkejut melihat kecepatan dan
kekuatan yang terkandung dalam serangan lawan. Karena
telah mengetahui kehebatan ilmu ‘Jari Maut’, Raja Pedang
Pemutus Urat tidak ingin lagi bersikap main-main. Sambil
berteriak keras, pedangnya diputar-putar sepenuh tenaga.
Angin keras menderu-deru mengiringi ayunan senjatanya.
Dan kini kedua orang itu kembali bertarung hebat. Jaya
Sukma yang telah merasakan kehebatan lawan, mulai
bertindak lebih hati-hati. Lontaran-lontaran serangannya
tidak lagi membabi buta. Dan kini liukan-liukan tangannya
lebih terarah dan berbahaya.
Cuiiit! Cuiiit!
Raja Pedang Pemutus Urat mengegoskan tubuhnya
sehingga tusukan jari lawan yang menimbulkan angin
panas itu lewat beberapa rambut di samping pinggangnya.
Baju di bagian pinggang itu hancur bagai dimakan api.
Sedangkan kulit pinggangnya hanya terasa pedih sekejap
karena telah dilindunginya dengan penyaluran hawa
murni. Secepat kilat kakek sakti itu menggerakkan
pedangnya menebas siku lawan.
Singgg!
Tebasan Raja Pedang Pemutus Urat berhasil dihindari
Jaya Sukma yang bertindak cepat menarik pulang
tangannya. Pada saat yang bersamaan, jari-jari tangan
kanan pemuda itu meluncur ke tenggorokan lawan. Cepat-
cepat kakek sakti itu menggerakkan tangan kirinya
menangkis serangan Jaya Sukma, dan sekaligus
melepaskan tendangan kilat ke dada lawan.
Duk!
Bug!
“Hughk...!”
Tubuh Jaya Sukma terjungkal akibat tendangan Raja
Pedang Pemutus Urat yang begitu telak menghantam
dadanya. Pemuda itu berusaha bangkit sambil menekap
dadanya yang terasa remuk! Cairan merah merembes dari
celah-celah bibirnya. Memang hebat sekali daya tahan
tubuh anak muda itu! Hanya dengan beberapa tarikan
napas saja, tubuhnya telah kembali tegak seperti tidak
pernah terjadi suatu apa-apa.
Sebaliknya, Raja Pedang Pemutus Urat sangat terkejut
ketika melihat baju lengan kirinya telah hancur akibat
menangkis serangan pemuda itu.
“Hm.... Anak muda ini berbahaya sekali! Entah apa
jadinya kalau ilmu ‘Jari Maut’ itu telah
disempurnakannya? Pasti dunia persilatan akan gempar
apabila pemuda ini tidak segera dilenyapkan!” kata hati
Raja Pedang Pemutus Urat resah.
Dengan berpikiran demikian, kakek ini segera meluncur
ke arah Jaya Sukma yang bersiap menanti serangannya.
Kembali diputarnya pedang sinar emasnya dalam jurus
‘Pedang Pemutus Urat’. Sinar emas bergulung-gulung
mengiringi serangannya.
Jaya Sukma rupanya sudah pula mempersiapkan Ilmu
‘Jari Maut’ tingkat terakhir yang baru saja diselesaikannya
itu. Diiringi bentakan menggeledek, pemuda itu
mendorongkan tangan kanannya dengan tiga buah jari
diluruskan. Sebentuk sinar kemerahan meluncur keluar
dari jari tangan Jaya Sukma, dan langsung menghantam
sinar keemasan yang membungkus tubuh Raja Pedang
Pemutus Urat.
Wusss!
Bummm...!
“Arrrgh....!”
Hebat sekali akibat benturan dua tenaga dahsyat itu!
Bumi di sekitar pertarungan bagaikan dilanda gempa.
Bunga-bunga api memercik ke segala arah. Beberapa
pohon yang dekat dengan pertarungan berhamburan ke
mana-mana. Benar-benar mengerikan akibat ledakan itu!
Jaya Sukma sendiri terbanting pingsan! Dari sela-sela
bibirnya mengalir darah segar yang kental. Pemuda itu
mengalami luka dalam yang cukup parah!
Demikian pula halnya Raja Pedang Pemutus Urat.
Meskipun tidak terbanting sebagaimana halnya Jaya
Sukma, namun dalam usianya yang telah lanjut itu, Raja
Pedang Pemutus Urat tidak lagi sekuat dulu. Kakek sakti
itu terbatuk-batuk hebat! Sudah tidak diperhatikan lagi, ke
mana jatuhnya pedang pusaka sinar emas di tangannya.
Raja Pedang Pemutus Urat berdiri limbung. Ia berusaha
menahan rasa nyeri bagaikan ditusuki ribuan jarum pada
bagian dadanya. Diaturnya napas pelahan-lahan mengusir
nyeri yang menusuk itu.
Dan belum lagi dapat memulihkan kondisinya, tiba-tiba
telinga Raja Pedang Pemutus Urat mendengar desiran
angin tajam menuju lehernya. Segera saja direndahkan
kepala sebisanya untuk menghindari bacokan golok besar
Ludira. Untunglah serangan itu dapat dihindarinya. Tapi
dari lain jurusan, rantai baja di tangan Soma sudah
meluncur datang!
Wung...! Wung...!
Raja Pedang Pemutus Urat bergulingan menghindari
serangan rantai baja yang terus mengejarnya itu. Sayang
tubuh kakek itu dalam keadaan terluka. Kalau tidak,
serangan itu akan dapat diatasi dengan baik.
Bukkk!
Kakek Sakti itu terjengkang akibat hantaman rantai
baja milik Soma pada punggungnya. Segumpal darah
kental terlompat keluar dari bibirnya yang memucat.
Belum lagi sempat berdiri tegak, datang serangan dari
Ludira dengan bacokan yang mengarah bahu kanannya.
Untunglah Raja Pedang Pemutus Urat masih sempat
mengegoskan badannya sehingga golok besar itu hanya
menyerempet bahu. Dengan pengerahan sisa-sisa
tenaganya, kakek itu menghantamkan telapak tangannya
ke arah pelipis Ludira.
Plak!
“Aduuuhhh...!”
Tak ayal lagi tubuh Ludira berputar bagai gasing akibat
hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga dalam
tinggi itu. Ternyata, meskipun dalam keadaan luka parah,
kakek itu masih cukup berbahaya. Buktinya, Ludira
sendiri pun sampai kecolongan!
Namun kali ini Raja Pedang Pemutus Urat belum bisa
menarik napas lega, karena tiba-tiba....
Bukkk!
Kali ini kakek itu terjungkal akibat hantaman rantai
baja yang menghantam dadanya. Ketika tengah berusaha
bangkit kembali sebuah hantaman menghantam belakang
tubuhnya. Raja Pedang Pemutus Urat kembali terguling.
Darah semakin banyak menetes dari celah-celah bibirnya.
“Ha ha ha.... Raja Pedang Pemutus Urat! Terimalah
kematianmu!” geram Soma disertai seringai buasnya.
“Manusia licik! Pengecut!” teriak Raja Pedang Pemutus
Urat di sela-sela dengus napasnya yang memburu.
Sambil tertawa terbahak-bahak Soma menghantamkan
rantai bajanya berkali-kali ke tubuh Raja Pedang Pemutus
Urat yang sudah tidak berdaya itu. Darah seketika
memercik membasahi bumi. Rumput tebal yang semula
berwarna hijau itu kini berubah menjadi kemerahan.
Setelah melihat tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi,
Soma menghentikan gerakannya. Diamatinya sejenak
kalau-kalau lawannya masih hidup. Ketika tampaknya
napas Raja Pedang Pemutus Urat sudah terhenti, bergegas
dia meninggalkan tubuh tak berdaya itu.
Bersama Ludira yang sudah dapat menghilangkan rasa
pening di kepala akibat tamparan kakek sakti tadi, mereka
bergegas menghampiri tubuh Jaya Sukma yang sudah
mulai bergerak-gerak.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu bangkit duduk
sambil menekap dadanya yang terasa remuk! Dengan
dibantu kedua orang bertubuh tinggi besar itu, Jaya
Sukma meninggalkan tempat itu.
Kini sang bayu bertiup keras seolah-olah mengusir
ketiga orang manusia durjana yang telah menyebar maut
di tempat itu. Alam pun kembali sunyi.
***
EMPAT
Seorang pemuda tampan mengenakan jubah dan celana
berwarna putih melangkah tenang menyusuri jalan
setapak. Wajahnya yang bersih selalu menampakkan
senyum cerah. Siapa lagi kalau bukan Panji atau lebih
dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
“Hm.... Menurut keterangan Eyang Tirtayasa, kalau
tidak salah di daerah ini tinggal seorang tokoh sakti yang
berjuluk Raja Pedang Pemutus Urat. Rasanya tidak ada
salahnya kalau singgah sejenak untuk berkenalan dengan
tokoh itu,” gumam Panji sambil mengedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Mendapat pikiran demikian, Panji pun berbalik
menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi semak belukar.
Belum lagi jauh melangkah, pendengarannya yang tajam
menangkap suara-suara mencurigakan. Panji
menghentikan langkah sambil mempertajam indera
pendengarannya. Namun sampai beberapa saat lamanya
berdiam diri, tidak satu suara pun yang tertangkap
pendengarannya.
“Ahhh, mungkin hanya suara angin saja yang kudengar
tadi,” desah Pendekar Naga Putih. Lalu kembali
dilangkahkan kakinya memasuki wilayah hutan kecil itu
semakin dalam.
“Ooohhh..., uuuhhh....”
Kembali terdengar rintihan halus yang lirih. Sehingga
Panji menjadi tersentak dan berbalik penuh kesiagaan.
“Tidak salah lagi! Itu pasti rintihan orang terluka,” bisik
Pendekar Naga Putih pelan. Dengan penuh kewaspadaan
pemuda itu mulai mencari sumber suara itu.
Selang beberapa waktu kemudian, langkah Panji mulai
memasuki daerah berbatu cadas menuju sebuah bukit
kecil. Pemuda itu mengerutkan keningnya ketika melewati
bekas-bekas pertempuran yang masih baru.
“Eh! Siapakah yang melakukan pertarungan di tempat
ini? Kalau tidak salah, pastilah pertarungan ini demikian
hebat! Tentulah mereka bukan tokoh sembarangan,”
gumam Panji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
penuh kekaguman.
“Uuuhhh....”
Secepat kilat tubuh Panji berkelebat ke arah semak-
semak yang hanya beberapa-tombak terpisah di samping
kirinya. Alangkah terperanjatnya hati pemuda itu ketika
menemukan sesosok tubuh berlumuran darah yang tengah
menanti ajal.
“Siapakah, Kakek? Apa yang terjadi di tempat ini?!
Siapa yang melukai Kakek?” Panji memberondong dengan
pertanyaan sambil berjongkok dan meletakkan kepala
kakek itu ke atas pangkuannya.
Sekejap kakek yang tak lain adalah Raja Pedang
Pemutus Urat itu membuka matanya yang telah redup tak
bercahaya. Bibirnya bergerak-gerak seolah ingin berbicara.
Namun yang terdengar hanya suara mengorok, disusul
mengalirnya darah kehitaman dari sela-sela bibir yang
pucat. Rupanya darah telah menyumbat kerongkongannya
akibat luka dalam yang diderita itu.
Kedua tangan Panji bergerak cepat menotok beberapa
jalan darah di sekitar leher kakek itu. Pelahan-lahan mata
yang telah menutup kembali bergerak-gerak dan terbuka.
Ketika melihat mulut kakek itu bergetar, bergegas Panji
mendekatkan telinganya agar dapat mendengar lebih jelas.
“Ki... tab... Jari... Ma.... uuuttthhh... dddi... cuhhh...
riii...,” setelah berkata dengan susah payah dan terputus-
putus, kepala kakek itu terkulai di atas pangkuan
Pendekar Naga Putih. Raja Pedang Pemutus Urat tewas
dalam keadaan menyedihkan.
“Kek! Kakek...,” Panji mengguncang-guncang keras
tubuh kakek itu. Perbuatannya baru dihentikan ketika
menyadari kalau kakek itu telah tewas.
Panji memandangi wajah kakek itu dalam-dalam.
Ingatannya langsung tertuju pada ciri-ciri seseorang yang
diceritakan Eyang Tirtayasa, atau si Malaikat Petir.
“Apakah kakek tua ini yang berjuluk Raja Pedang
Pemutus Urat? Kalau memang benar dia, siapa pula yang
telah membunuhnya? Bukan main hebatnya kepandaian
orang itu. Hm.... Kitab Jari Maut.... Siapa pula
pencurinya...? Tapi, biarlah aku akan mewakili kakek Raja
Pedang Pemutus Urat ini untuk mencari dan menemukan
kitab itu,” janji Panji dalam hati.
Setelah menguburkan mayat Raja Pedang Pemutus Urat
sebagaimana layaknya, Panji bergegas meninggalkan
tempat itu untuk mencari Kitab Jari Maut. Sebenarnya
pemuda itu merasa bingung karena sama sekali tidak
mempunyai petunjuk sedikit pun tentang pencuri itu.
Maka mau tidak mau kepala pemuda tampan itu menjadi
pusing tujuh keliling memikirkan hal itu.
“Aaahhh.... Bagaimana nanti sajalah,” ujar Panji sambil
menepiskan pikiran yang memusingkan kepalanya itu.
***
Siang ini udara cukup panas. Bukit Kendeng yang
biasanya tersiram hujan, kini bagai terbakar. Namun
demikian, suasana di Perguruan Kera Putih tidak
terpengaruh oleh sengatan panas. Hanya ketenangan itu
dipecahkan oleh tingkah seseorang.
Brakkk!
Tiba-tiba pintu gerbang Perguruan Kera Putih yang
terbuat dari kayu tebal, hancur berantakan akibat tusukan
jari-jari bertenaga kuat. Tampak seorang pemuda tampan
bertubuh tinggi tegap melangkah memasuki halaman yang
cukup luas. Pakaiannya yang terbuat dari sutra halus
berwarna kuning gading itu melekat ketat di tubuhnya,
sehingga kelihatan semakin gagah dan menarik. Sayang
wajah tampan penuh brewok itu selalu terhias senyum
mengejek yang membuat orang merasa kurang suka
memandangnya.
Puluhan orang murid yang sedang berlatih ilmu silat,
begitu kaget mendengar pintu gerbang pecah berantakan.
Ketika melihat sosok pemuda itu, mereka serentak
mengurungnya. Wajah mereka merah padam karena
kemarahan telah memenuhi dada. Maka suasana yang
panas itu, makin bertambah panas oleh kehadiran pemuda
berbaju kuning gading itu. Namun, puluhan orang murid
Perguruan Kera Putih itu tersentak mundur ketika melihat
dua orang bertubuh tinggi besar berdiri angker di belakang
pemuda itu.
“Siapa kalian, dan apa maksudnya datang-datang
membuat onar di tempat kami?” tanya salah seorang murid
Perguruan Kera Putih memberanikan diri.
“Hm. Cepat suruh keluar Pendekar Kera Putih! Katakan,
si Jari Maut Pencabut Nyawa ingin mengadu kepandaian!”
seru pemuda tampan yang tak lain adalah Jaya Sukma,
penuh kesombongan.
Mendengar kata-kata yang bernada meremehkan itu,
salah seorang murid kepala Perguruan Kera Putih
melangkah ke depan. Meskipun rasa marah telah
memenuhi rongga dadanya, namun berusaha untuk tetap
tenang.
“Anak Muda! Siapa pun kau adanya, jangan bertindak
semaumu di perguruan ini. Lebih baik tinggalkan tempat
ini sebelum aku melempar tubuhmu ke luar,” ancam salah
seorang murid Perguruan Kera Putih.
Jaya Sukma menatap orang itu lekat-lekat. Sinar
matanya mencorong tajam menimbulkan perbawa yang
menyeramkan. Sehingga, tanpa sadar lawan bicaranya
melangkah mundur dengan bulu kuduk meremang.
“O, jadi begitu? Lalu, mengapa tidak cepat-cepat
dibuktikan kata-katamu itu,” dingin sekali suara yang
keluar dari bibir Jaya Sukma. Namun di balik kata-
katanya, terkandung ancaman mengerikan.
Walaupun kegentaran dan kengerian telah
mencengkeram hati murid Perguruan Kera Putih itu, tapi
rasa tanggung jawab yang besar terhadap perguruan
membuatnya membuang segala pikiran itu.
“Kau terlalu sombong, Anak Muda. Jangan salahkan
kalau aku berbuat kasar kepadamu!” nyata sekali kalau
murid kepala Perguruan Kera Putih itu masih merasa
gentar. Sehingga sengaja dilontarkan kata-katanya dengan
suara keras untuk menyembunyikan kegugupannya.
Namun, begitu ucapannya selesai, dia segera melompat ke
depan. Kedua tangannya seketika dikembangkan, siap
mencengkeram bahu Jaya Sukma.
“Hm...!”
Pemuda itu memperdengarkan suara mendengus
mengejek. Gerakannya terlihat sembarangan ketika
kakinya bergeser. Anehnya serangan lawan luput dan
mengenai tempat kosong. Tentu saja hal itu membuat
lawannya semakin berang. Beberapa buah serangan
kembali dilancarkannya secara berturut-turut, tapi tubuh
pemuda itu tetap saja tidak dapat dijamahnya.
“Hm..., hanya sampai di situ sajakah kepandaian yang
kau miliki?” ejek Jaya Sukma ketika melihat lawannya
menghentikan serangan. Napas orang itu semakin
memburu karena bercampur rasa marah dan penasaran.
Hatinya merasa terhina sekali karena hal itu disaksikan
puluhan pasang mata murid-murid lainnya.
“Bangsat! Rupanya kau sengaja hendak membuat
keonaran di sini!” Setelah berkata demikian, orang itu
kembali menerjang Jaya Sukma. Serangannya kali ini lebih
cepat dan berbahaya.
“Cukup!” bentak Jaya Sukma, suaranya terdengar
bagaikan ledakan halilintar di siang bolong.
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu tersentak
mundur seolah-olah terdorong kekuatan yang tak tampak.
Wajahnya pucat bagai mayat! Dadanya bergelombang cepat
karena debaran jantungnya bagai hendak copot. Dan
sebelum menyadari keadaannya, tahu-tahu saja jari-jari
tangan sekeras baja mencengkeram lehernya. Tubuh murid
kepala Perguruan Kera Putih itu terlempar bagai
disentakkan tenaga raksasa.
“Aaahhh...!”
Murid kepala Perguruan Kera Putih itu berteriak ngeri.
Setelah berkelojotan sesaat, dia diam tak bergerak lagi.
Tewas dengan tulang leher hancur!
Puluhan orang murid lainnya pelahan-lahan mulai
mundur dengan wajah pucat! Kejadian itu demikian
singkat, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka
hanya terpaku tak bergerak. Wajah-wajah mereka
terbayang kengerian hebat!
“Hm.... Siapa yang membuat keonaran di tempatku,”
tiba-tiba terdengar suara berat dan berwibawa. Dari
kejauhan terlihat seorang laki-laki gagah bertubuh kekar
melangkah cepat mendatangi. Sementara di belakangnya
terlihat dua orang murid perguruan mengikutinya.
Rupanya, dua orang murid itu telah mengadukan kejadian
tersebut kepada gurunya.
Laki-laki gagah bertubuh kekar dan berusia sekitar
empat puluhan tahun itu mengerutkan keningnya ketika
melihat muridnya tergeletak tewas dengan tulang leher
hancur. Ditariknya napas berulang-ulang untuk
menenteramkan hatinya yang terguncang. Sinar kesedihan
dan kegeraman sekilas terpancar di wajahnya. Pelahan-
lahan dilangkahkan kakinya mendekati mayat muridnya
tanpa menoleh kepada Jaya Sukma. Setelah mengamati
mayat itu sejenak, laki-laki gagah itu mengalihkan
pandangannya kepada Jaya Sukma.
“Apa kesalahan yang diperbuat muridku? Sehingga
demikian mudahnya kau menurunkan tangan kejam
padanya, Anak Muda?” tanya laki-laki gagah itu halus.
Dalam pertanyaan itu terkandung rasa penasaran dan
tuntutan yang dalam.
“Orang Tua, kaukah yang berjuluk Pendekar Kera
Putih?” Jaya Sukma sama sekali tidak mempedulikan
pertanyaan laki-laki gagah itu, dan malah balik bertanya
dengan angkuhnya.
Merah seluruh wajah laki-laki gagah itu karena tidak
dipandang sebelah mata pun oleh pemuda itu. Susah
payah hatinya berusaha ditenangkan agar kemarahannya
tidak terpancing.
“Kalau kulihat dari cara bicara dan pakaianmu, kau
pasti orang terpelajar, Anak Muda. Tapi hatiku menjadi
ragu melihat lagakmu yang seperti perampok kelas
rendah!”
Mendengar sindiran itu, dua orang tinggi besar yang
menjadi pengawal Jaya Sukma bergegas melangkah maju.
Kata-kata itu jelas menghina majikannya! Namun, mereka
mengurungkan niatnya ketika Jaya Sukma
mengembangkan tangannya menahan langkah mereka.
Maka Soma dan Ludira bergerak mundur dengan wajah
gusar.
“Tidak perlu banyak bicara! Jawab pertanyaanku, Orang
Tua! Kaukah yang berjuluk Pendekar Kera Putih?!” tanya
Jaya Sukma, suaranya terdengar semakin meninggi.
“Benar, Anak Muda. Akulah yang berjuluk Pendekar
Kera Putih. Apa keperluanmu mencariku?” balas laki-laki
gagah itu tegas.
“Hm..., kedatanganku ke sini karena tertarik oleh
julukanmu! Dan aku ingin membuktikan, apakah julukan
itu benar-benar patut kau sandang, atau hanya julukan
kosong belaka? Nah! Bersiap-siaplah, Pendekar Kera Putih!
Jari Maut Pencabut Nyawa akan menguji kepandaianmu!”
tegas Jaya Sukma sambil mengayunkan langkahnya ke
tengah-tengah halaman perguruan. Sebuah tantangan
terbuka yang tidak bisa ditolak Pendekar Kera Putih.
Diikuti puluhan pandang mata muridnya, Pendekar
Kera Putih melangkah tegap ke tempat Jaya Sukma
menanti. Biarpun hatinya berat, tapi sebagai ahli silat dia
juga ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda
sombong itu. Bukan mustahil kalau pemuda itu hanya
besar mulut saja, dan hanya mengandalkan dua orang
laki-laki tinggi besar yang menjadi pengawalnya itu.
Kedua tokoh persilatan itu berdiri berhadapan dalam
jarak lima tombak. Mereka saling berpandangan seolah-
olah ingin menilai kekuatan lawan masing-masing.
“Bersiaplah, Pendekar Kera Putih...,” ancam Jaya
Sukma memperingatkan lawannya. Sambil berkata
demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya secara
bersilang dalam posisi kuda-kuda rendah.
“Mulailah, Anak Muda. Sebagai tuan rumah, aku akan
berusaha melayanimu sebaik-baiknya,” jawab Pendekar
Kera Putih tenang. Sikap yang ditunjukkan pendekar itu
seolah-olah ingin menunjukkan kepada lawannya kalau ia
adalah seorang tokoh dari tingkat yang lebih tua. Dan
tentu saja hal itu membuat Jaya Sukma jengkel.
“Hiaaat...!”
Bagai anak panah lepas dari busur, tubuh Jaya Sukma
melesat ke arah lawannya. Kedua tangannya melancarkan
pukulan-pukulan dan tamparan, disertai angin pukulan
yang menderu. Ia sengaja tidak langsung mengeluarkan
ilmu ‘Jari Maut’, untuk menjajagi sampai di mana tingkat
kepandaian lawan.
Pendekar Kera Putih menganggukkan kepalanya penuh
kekaguman melihat gerakan pemuda itu yang cepat dan
bertenaga. Begitu pukulan itu tiba, segera digeser
tubuhnya sambil melepaskan tangkisan memapak pukulan
yang mengancam dadanya. Sengaja pukulan itu disambut
untuk mengukur tenaga lawannya.
Dukkk!
Masing-masing kedua orang itu melompat mundur
sambil memegang lengannya yang bergetar akibat
benturan tadi. Pada pertemuan tenaga itu, sama-sama
diketahui kalau tenaga mereka berimbang.
Rupangga atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar
Kera Putih itu cukup terkejut ketika mengetahui kalau
tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi. Diam-diam
pendekar itu berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati
dalam menghadapi lawan yang masih muda namun
memiliki kepandaian tinggi itu.
Saat itu Jaya Sukma kembali melancarkan serangannya
yang lebih cepat dan kuat. Dalam waktu yang bersamaan,
pemuda itu telah melancarkan tiga buah serangan
berturut-turut. Satu ke arah kepala, sedang lainnya
mengancam dada dan perut. Sebuah serangan yang cukup
berbahaya.
Kali ini Rupangga harus bertindak secara lebih cermat.
Serangan ke arah kepala dielakkan dengan memutar
kepalanya setengah lingkaran. Dibarengi putaran tubuh ke
samping, maka ketiga serangan itu berhasil dihindarinya.
Rupanya gerakan laki-laki gagah itu tidak hanya
berhenti sampai di situ saja. Bagaikan seekor kera yang
lincah, tubuh pendekar itu melenting ke atas, mengincar
ubun-ubun lawan menggunakan jari-jari tangan terbuka.
Wuttt!
Hantaman telapak tangan itu berhasil dihindari Jaya
Sukma yang langsung membalas dengan dorongan telapak
tangan larinya.
Buk!
Plak!
Pada saat yang berbahaya itu Pendekar Kera Putih
memiringkan tubuhnya, lalu melepaskan sebuah
tendangan kilat ke lambung lawan. Untunglah dorongan
telapak tangan lawan hanya menyerempet dadanya.
Namun itu pun telah cukup membuatnya terhuyung
beberapa langkah ke belakang, meski tidak menderita
luka.
Sebaliknya tubuh Jaya Sukma terdorong keras akibat
tendangan lawan yang telak mengenai lambungnya.
Pemuda itu mengusap lambungnya sambil menyeringai
menahan rasa nyeri. Sekejap kemudian wajahnya berubah
garang. Sinar matanya mencorong tajam menggetarkan
jantung, penuh hawa kematian.
Rupangga tersentak mundur ketika sepasang mata
mencorong itu menatap wajahnya lekat-lekat. Tangan
kanannya bergerak mengusap bulu kuduknya yang
meremang.
“Gila! Sinar mata anak muda ini benar-benar
mengandung perbawa yang mengerikan...!” desis Pendekar
Kera Putih lirih.
Sementara Jaya Sukma sudah mulai mempersiapkan
ilmu andalannya yang mengerikan. Ilmu ‘Jari Maut’.
Serangkum angin panas bertiup dari kedua tangannya
yang bergetar karena dipenuhi tenaga dahsyat. Diiringi
lengkingan tinggi, tubuh pemuda itu melesat menerjang
lawannya.
Sadar kalau serangan yang dilancarkan pemuda itu
mengandung hawa maut, Pendekar Kera Putih berloncatan
menghindar sambil sesekali melepaskan serangan balasan.
Meskipun tusukan-tusukan jari Jaya Sukma belum
berhasil menyentuh tubuhnya, namun pakaian yang
dikenakan pendekar itu sudah hancur di beberapa bagian
akibat hawa panas yang keluar dari tangan pemuda itu.
Cuiiit!
Crebbb!
“Auhhh...!”
Rupangga menjerit kesakitan ketika jari tangan lawan
menancap di paha kirinya. Pendekar itu melompat ke
belakang dengan langkah terpincang-pincang. Celana di
bagian pahanya hancur. Samar-samar tercium bau daging
terbakar. Darah kental berwarna kehitaman seketika
menetes deras membasahi celananya. Beberapa saat
kemudian, kelumpuhan mulai menjalari kaki kirinya.
“Guru...!”
Beberapa orang murid Perguruan Kera Putih berlari
memapah tubuh Pendekar Kera Putih yang hanya berdiri
mengandalkan kaki kanannya itu. Meskipun dalam
keadaan terluka, Rupangga tidak ingin murid-muridnya
terancam bahaya. Segera diusirnya murid-murid yang
mencoba memapahnya.
“Menyingkirlah kalian! Cepaaat...!” teriak laki-laki gagah
itu khawatir.
“Guru...!” kelima orang murid itu berteriak dengan
suara agak serak
Hati mereka bagai tersayat melihat keadaan gurunya
yang menyedihkan itu. Memang, hati siapa yang tidak
trenyuh melihat keadaan Pendekar Kera Putih yang dengan
pakaian compang-camping dan langkah terpincang-
pincang, namun masih memikirkan keselamatan murid-
muridnya.
Saat itu Jaya Sukma sudah bersiap melontarkan
pukulan maut untuk menghabisi lawannya. Urat-urat
lengannya menegang keras karena tenaga dalam yang
mengalir di kedua lengannya. Seberkas sinar kemerahan
yang berhawa panas menyelimuti telapak tangannya.
“Hiaaahhh...!”
Dibarengi teriakan mengguntur, pemuda itu
melontarkan pukulannya dengan dua jari ditekuk.
Wusss!
Blarrr!
“Aaa...!”
Pendekar Kera Putih berteriak menyayat ketika seberkas
sinar kemerahan yang amat panas menghantam dadanya.
Tubuh pendekar itu terhempas bagai sehelai daun kering
yang tertiup angin. Luncuran tubuhnya baru terhenti
ketika menghantam sebuah pohon besar yang langsung
berderak patah akibat kerasnya luncuran itu. Darah kental
berwarna kehitaman mengalir deras dari sela-sela bibirnya.
Pendekar Kera Putih langsung tewas! Seluruh kulit dan isi
dadanya telah hangus akibat pukulan ilmu ‘Jari Maut’
yang dahsyat dan mengerikan itu.
“Guru...!”
Belasan orang murid Perguruan Kera Putih berlarian ke
arah mayat guru mereka. Beberapa orang segera
berjongkok dan mengangkat mayat gurunya itu.
Sedangkan belasan lainnya segera menerjang Jaya Sukma
dengan serangan membabi buta.
“Ha ha ha.... Rupanya kalian sudah tidak sabar ingin
menyusul guru kalian. Ayo, majulah...!” seru Jaya Sukma
diiringi tawa iblisnya yang bergema menggetarkan jantung.
Sambil berkata demikian, pemuda itu segera membagi-
bagikan pukulannya secara kejam.
Sinar merah berkelebatan dari jari-jari tangan pemuda
itu menghantam siapa saja yang mendekati. Dalam waktu
singkat saja, belasan orang murid Pendekar Kera Putih
bergelimpangan tewas. Jaya Sukma benar-benar bagai iblis
yang menebarkan hawa maut! Setelah sebagian murid
Perguruan Kera Putih tidak ada yang menyerangnya,
pemuda itu juga segera menghentikan serangannya.
Kini pemuda itu pun melangkah tenang meninggalkan
Perguruan Kera Putih tanpa merasa berdosa sedikit pun.
Sedangkan dua orang laki-laki tinggi besar yang selalu
mengawalnya, bergegas mengikuti langkah tuan mudanya
tanpa banyak bicara.
***
LIMA
Tujuh orang laki-laki gagah itu melangkah tergesa-gesa.
Mereka adalah tokoh Perguruan Delapan Naga yang
mendapat tugas dari ketua mereka untuk menyelidiki
tokoh sesat yang berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa.
Memang, sejak kematian Pendekar Kera Putih di tangan
tokoh sesat itu, julukan Jari Maut Pencabut Nyawa telah
menggegerkan rimba persilatan. Dalam waktu singkat saja,
julukan itu telah menjadi buah bibir, baik dari golongan
putih maupun hitam. Apalagi dikabarkan kalau pemuda
itu telah mencuri Kitab Jari Maut.
Dua orang yang berjalan di depan adalah tokoh utama
perguruan itu. Sedangkan lima orang lainnya adalah
murid-murid kepala yang kepandaiannya dapat diandalkan
untuk tugas yang berbahaya itu.
Orang yang bertubuh jangkung dan kekar itu, dikenal
berjuluk Pendekar Tombak Sakti. Wajahnya terlihat keras.
Sebaris kumis tipis menghias wajahnya sehingga nampak
gagah dan menarik. Di tangan kanannya tergenggam
sebatang tombak terbuat dari baja putih sepanjang satu
setengah depa. Setengah jengkal dari mata tombak
terdapat sebuah kaitan tajam yang melengkung ke dalam.
Sedang tokoh yang lainnya berjuluk Pendekar Kapak
Maut. Tubuhnya agak lebih pendek sedikit. Wajahnya
lonjong, dihiasi bulu-bulu halus di kedua pipinya.
Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara. Kedua orang
inilah yang merupakan tokoh-tokoh tingkat satu.
Kepandaian mereka tidak kalah dengan ketua mereka
sendiri. Bahkan boleh dibilang setingkat.
“Seperti apakah orang yang berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa itu? Ingin sekali aku menjajal
kepandaiannya,” ujar Pendekar Tombak Sakti geram.
“Menurut kabar yang kudengar, orang itu masih sangat
muda, Kakang. Lagipula penampilannya seperti seorang
bangsawan,” sahut salah satu dari lima orang murid
kepala yang berjalan di belakangnya.
“Tapi kepandaiannya sangat hebat dan mengerikan,”
sahut yang lainnya menimpali.
“Ya! Bahkan Pendekar Kera Putih yang tersohor itu pun
sampai tewas di tangannya. Entah sampai di mana
tingginya kepandaian orang yang julukannya demikian
menyeramkan itu?” ujar yang lainnya lirih.
“Biarpun kepandaiannya seperti iblis sekalipun, aku
tidak takut!” tegas Pendekar Kapak Maut dingin. Rupanya
ia tidak suka mendengar pembicaraan yang memuji Jari
Maut Pencabut Nyawa itu.
Mendengar kata-kata yang bernada dingin itu,
pembicaraan pun terhenti seketika. Kelima orang murid
kepala itu saling pandang tak mengerti. Sedangkan
Pendekar Tombak Sakti hanya mengangguk-anggukkan
kepala tanda mengerti perasaan hati saudara
seperguruannya itu.
Selang beberapa waktu kemudian, tujuh tokoh
Perguruan Delapan Naga itu mulai memasuki perbatasan
Desa Talang Sari. Sebuah desa yang tak begitu ramai, tapi
cukup makmur.
“Bagaimana kalau kita singgah sejenak untuk mengisi
perut? Rasanya cacing-cacing di perutku ini sudah
menagih minta diisi,” usul Pendekar Tombak Sakti sambil
tersenyum.
Dan tanpa banyak bicara lagi, semuanya
menganggukkan kepalanya. Bergegas mereka memasuki
desa yang terlihat tertata apik. Setiap rumah, selalu dihiasi
taman indah pada halamannya. Dan pada sebuah
pengkolan tampak sebuah kedai makan yang tidak begitu
ramai. Bergegas mereka memasukinya.
Mereka segera memilih sebuah meja yang terletak agak
ke sudut dan menghadap ke arah jendela, sehingga dapat
memandang kesibukan di luar kedai. Memang kedai
makan itu terletak dekat sebuah pasar yang saat itu masih
didatangi pengunjung.
Seorang laki-laki tua segera menghampiri mereka untuk
menanyakan apa yang dipesan. Setelah Pendekar Tombak
Sakti menyebutkan beberapa jenis makanan, laki-laki tua
itu pergi ke belakang. Dan tak lama kemudian, dia kembali
lagi sambil membawa makanan yang dipesan.
Tengah mereka bersantap dengan lahap, tiba-tiba
menerobos masuk tiga orang laki-laki. Dilihat dari pakaian
yang dikenakan, sepertinya mereka berasal dari kaum
persilatan. Lagaknya terlihat sombong sekali, seolah-olah
merekalah yang berkuasa di desa itu.
Kelima orang murid kepala Perguruan Delapan Naga itu
menoleh sejenak ke arah tiga orang yang baru masuk itu.
Sekilas tertangkap sinar berkilat dari mata mereka. Namun
kelima orang murid kepala itu segera meneruskan
makannya ketika Pendekar Tombak Sakti memberi isyarat
agar tidak mencari keributan di tempat itu.
“Hm..., Pak Tua! Rupanya hari ini kedaimu cukup ramai
juga,” kata salah seorang dari ketiga laki-laki itu. Suaranya
terdengar lantang dan dibuat galak agar terdengar
menakutkan. “Apakah uang untuk kami sudah
disediakan?”
Laki-laki tua yang tadi melayani murid-murid
Perguruan Delapan Naga dan kelihatannya adalah pemilik
kedai, tergopoh-gopoh menyambut tiga orang itu.
Wajahnya terlihat cemas karena takut kalau-kalau mereka
akan membuat keributan di kedainya.
“Sudah, Tuan. Ini...,” sahut lelaki pemilik kedai seraya
menyerahkan tiga keping uang yang digenggamnya.
“Hm..., mengapa hanya sebesar ini? Jangan terlalu pelit,
Pak Tua. Hari ini kedaimu kulihat cukup ramai. Lekas
tambah tiga keping lagi!” pinta laki-laki brewok yang
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam,
sambil mengusap gagang golok panjang yang tersembul di
pinggangnya.
“Aduh. Kasihanilah kami, Tuan Maespati. Hanya itulah
yang baru kami dapat,” jawab pemilik kedai, gemetar.
Seorang pemuda tampan berjubah putih yang duduk di
sudut sebelah kiri menolehkan kepalanya sejenak,
kemudian kembali menikmati hidangannya dengan tenang.
“Baiklah kalau memang itu keinginanmu. Sekarang,
cepatlah kau minta kepada tamu-tamumu untuk segera
membayar harga makanan yang mereka pesan. Cepat...!”
“Tapi mereka belum selesai, Tuan...!” ratap pemilik
kedai itu lirih.
“Ahhh, banyak bacot!” bentak si brewok yang bernama
Maespati itu sambil mengayunkan kakinya menghantam
pinggul pemilik kedai.
Buk!
“Aduuuh...!”
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu terguling dan
menjerit kesakitan. Sambil mengusap-usap pinggulnya,
kakinya melangkah terpincang-pincang. Dia terpaksa
menuruti perintah Maespati. Beberapa orang tamu segera
membayar harga makanannya dan langsung keluar
melalui pintu belakang.
“Katakan pada orang itu agar ia sendiri yang mengambil
uang ini!” kata salah seorang murid kepala Perguruan
Delapan Naga. Sambil berkata demikian, ditekannya tiga
keping uang logam di tangannya ke atas permukaan meja,
hingga melesak sedalam dua rambut.
Menyaksikan kejadian yang tak disangka-sangka itu,
maka pemilik kedai itu terbelalak kaget. Dengan wajah
pucat, bergegas dihampiri laki-laki brewok yang
menyuruhnya tadi. Diceritakanlah kejadian itu padanya.
“Hm...!”
Sambil mendengus kasar, Maespati melangkah lebar
menghampiri meja tujuh tokoh Perguruan Delapan Naga.
“Ayo, berikan uang harga makanan itu kepadaku!”
bentak Maespati kasar.
“Ambillah sendiri,” jawab salah satu murid kepala
Perguruan Delapan Naga yang membenamkan uang itu ke
permukaan meja. Setelah berkata demikian, ia pun segera
bangkit mengikuti yang lainnya keluar dari kedai makan
itu.
Tinggallah Maespati berusaha setengah mati mencabut
tiga keping uang logam yang melesak di atas permukaan
meja. Setelah agak lama mencongkel dengan ujung golok
panjangnya, barulah uang-uang itu berhasil
dikeluarkannya.
“Bangsat! Rupanya mereka sengaja mempermainkan
aku. Kejar mereka!” perintah Maespati kepada dua orang
kawannya.
Tanpa diperintah dua kali, mereka segera berlari
mengejar tujuh orang murid Perguruan Delapan Naga. Di
belakangnya, Maespati ikut pula mengejar.
“Hei, tunggu! Berhenti kalian!” seru Maespati ketika
melihat tujuh orang itu beberapa langkah di depannya.
“Hm, mau apa lagi perampok kecil itu?” tanya salah
seorang murid kepala yang bercambang bawuk lebat.
Sementara, seluruh murid Perguruan Delapan Naga itu
berhenti seketika, namun tetap bersikap tenang.
“Ada apa, Kisanak?” tanya salah seorang ketika
Maespati sudah tiba di dekatnya.
“Huh! Kalian baru boleh pergi setelah menyerahkan
pundi-pundi uang kalian itu kepadaku,” bentak Maespati
dengan napas memburu.
“Bagaimana kalau kami tidak menuruti kemauanmu?”
kali ini yang bertanya adalah murid kepala yang bertubuh
pendek gempal.
“Akan kupaksa dengan kekerasan!” teriak Maespati
geram.
“Nah, kalau begitu lakukanlah!” tantang orang bertubuh
pendek gempal itu.
“Bangsat! Rupanya kalian sengaja mencari kematian!
Mampuslah!” sambil membentak keras, Maespati
mengayunkan golok panjangnya ke leher si pendek gempal.
Hanya dengan memiringkan tubuhnya ke belakang, mata
pedang lewat di depan wajah murid utama Perguruan
Delapan Naga itu.
Wajah Maespati semakin merah melihat serangannya
dapat dielakkan secara mudah. Sambil menggereng keras,
kembali diayunkan goloknya ke pinggang lawan. Cepat-
cepat si pendek gempal menggeser kaki kirinya ke
samping, disusul dengan sebuah tendangan kilat ke dada
Maespati.
Buk!
“Hughk...!”
Tak ayal lagi tubuh Maespati terjengkang ke belakang.
Laki-laki brewok itu terduduk lemas sambil menekap
dadanya yang terasa remuk. Darah mengalir pelahan dari
celah-celah bibirnya. Kelihatannya ia tak mampu bangkit
berdiri lagi.
Melihat keadaan Maespati yang kelihatan bisa
dicundangi, maka dua orang kawannya serentak
menerjang dengan bacokan mengancam tubuh si pendek
gempal. Laki-laki pendek murid kepala Perguruan Delapan
Naga itu merendahkan tubuhnya disertai kembangan
kedua tangannya untuk menangkis serangan itu.
Kemudian, kedua tangannya langsung berputar
mendorong dua orang lawannya sambil mengerahkan
separuh tenaga dalamnya.
Kedua orang kawan Maespati kontan terguling-guling
akibat hantaman telapak tangan yang mengandung tenaga
tinggi itu. Mereka merintih kesakitan tanpa mampu
bangkit lagi.
“Hm.... Sebelum aku berubah pikiran, sebaiknya kalian
cepat-cepat minggat dari hadapanku!” ancam si pendek
gempal itu geram.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Maespati dan dua
orang kawannya segera bergegas meninggalkan tempat itu.
“Tunggulah pembalasan pemimpin besar kami. Asal
tahu saja, pemimpin kami si Jari Maut Pencabut Nyawa
pasti tidak akan diam saja menerima penghinaan ini!”
teriak Maespati sambil melangkah tertatih-tatih.
Mendengar julukan itu disebut, Pendekar Kapak Maut
segera menggenjot tubuhnya, langsung melayang mengejar
ketiga orang itu. Dalam sekejap saja pendekar itu telah
dapat mengejar Maespati dan kawan-kawannya. Mereka
langsung terkejut setengah mati.
“Di mana orang yang berjuluk Jari Maut Pencabut
Nyawa itu berada?! Jawab!” bentak Pendekar Kapak Maut
sambil mencengkeram leher baju Maespati yang menjadi
ketakutan.
“Aku..., aku tidak tahu...,” jawab Maespati dengan
wajah pucat.
“Dusta! Kau tadi menyebut kalau si Jari Maut Pencabut
Nyawa itu adalah pemimpin besarmu. Mustahil kalau tidak
mengetahui di mana orang itu berada.”
“Aku betul-betul tidak tahu. Aku..., aku hanya
mendengar namanya saja.”
“Keparat!” maki Pendekar Kapak Maut berang.
Plak!
“Aduhhh...!”
Tubuh Maespati terbanting keras akibat tamparan
Pendekar Kapak Maut yang menjadi jengkel karenanya.
Darah mengucur deras karena bibirnya telah pecah akibat
tamparan keras itu.
“Sudahlah, Adi Barga. Rupanya ia hanya menakut-
nakuti saja. Mari kita pergi,” ajak Pendekar Tombak Sakti
sambil menepuk-nepuk bahu Pendekar Kapak Maut yang
ternyata bernama Barga itu.
“Huh!”
Pendekar Kapak Maut berbalik sambil mendengus
kasar, kemudian melangkah pergi bersama keenam orang
kawannya meninggalkan tempat itu.
Tidak lama setelah kepergian tujuh orang tokoh
Perguruan Delapan Naga, seorang pemuda tampan yang
mengenakan jubah putih melangkah keluar dari dalam
kedai. Jika melihat ciri-cirinya, jelas kalau pemuda tampan
itu adalah Pendekar Naga Putih.
“Pelahan dulu, Kisanak!” seru Panji menghentikan
langkah Maespati yang dipapah dua orang rekannya.
“Apa maksudmu menyuruh kami berhenti!?” bentak
Maespati marah. Rupanya kemarahannya ingin
ditumpahkan kepada pemuda yang menghadang
perjalanannya itu.
“Sabarlah, Kisanak. Aku hanya ingin bertanya sedikit,”
ujar Panji tersenyum sabar. Sambil berkata demikian,
digerakkan tangannya ke depan seolah-olah hendak
menyabarkan hati si brewok itu.
Maespati yang semula hendak menghajar pemuda itu
tersentak kaget ketika merasakan serangkum hawa dingin
menahan tubuhnya. Tubuh Maespati menggigil hebat.
Sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan orang
sembarangan, laki-laki brewok yang biasanya ditakuti
orang itu mengeluh putus asa.
“Apa.... Apa maumu, Anak Muda?” tanya Maespati tak
bersemangat.
“Benarkah kau tidak mengetahui, di mana orang yang
berjuluk Jari Maut Pencabut Nyawa itu? Jawablah
sejujurnya,” ujar Panji tanpa meninggalkan senyumnya.
“Aku.... Aku benar-benar tidak tahu, Anak Muda! Aku
hanya mendengar dari kawan-kawanku kalau orang itu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mengerikan.
Kabarnya ia selalu mendatangi tokoh-tokoh persilatan
yang berkepandaian tinggi untuk menguji ilmunya.”
“Apakah kau mengetahui ciri-cirinya?” tanya Panji lagi.
“Kalau tidak salah, orang itu masih muda dan selalu
mengenakan pakaian mewah. Dan ia juga selalu dikawal
dua orang yang bertubuh tinggi besar. Hanya itulah yang
kuketahui, Anak Muda,” jelas Maespati.
“Terima kasih atas keteranganmu, Kisanak. Satu lagi
permintaanku,” ujar Panji. Kali ini sikapnya tampak tegas
dan berpengaruh. “Tinggalkan pekerjaanmu selama ini,
karena hanya akan mendatangkan petaka bagi dirimu!
Camkan itu!”
Begitu ucapannya selesai, tubuh Panji berkelebat dan
lenyap seketika di antara lebatnya pepohonan.
Maespati dan kedua orang kawannya terbelalak. Mulut
mereka ternganga seolah-olah tak percaya dengan apa
yang disaksikannya.
“Apakah... apakah dia seorang dewa?” gumam Maespati
bagai orang kehilangan ingatan. Diam-diam hatinya
berjanji untuk merubah sikapnya yang tercela selama ini.
***
Pendekar Naga Putih menghentikan larinya setelah
melewati mulut Desa Talang Sari. Pemuda sakti itu tidak
terlalu tergesa-gesa meneruskan perjalanannya.
Dirayapinya daerah sekitarnya seolah ingin memastikan ke
mana arah yang diambil tujuh orang laki-laki gagah tadi.
Setelah berpikir sejenak, segera diambil keputusan
untuk menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah
hutan kecil. Panji mengerutkan keningnya ketika mencium
bau anyir darah yang masih segar, terbawa hembusan
angin lembut. Seluruh otot di tubuh pemuda itu
menegang! Secara alamiah tenaga saktinya mulai
menyebar, bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi.
Tidak begitu lama Panji berjalan, di hadapannya
terbentang sebuah padang rumput yang cukup luas.
Pendekar Naga Putih berdiri terpaku menatap lima sosok
tubuh yang tergeletak berlumuran darah. Bergegas
pemuda itu menghampiri dan memeriksanya.
“Hm, darah ini masih nampak segar. Berarti
pertempuran yang terjadi di sini belum lama berlalu,”
gumam pemuda itu pelahan. “Hei!? Bukankah mereka
adalah tujuh laki-laki gagah yang kulihat di kedai? Tapi,
mengapa mayat ini hanya berjumlah lima orang? Ke mana
yang dua orang lainnya?”
Belum lagi sempat Panji memikirkannya, tiba-tiba....
“Pembunuh keji! Terimalah hukuman dariku...!” bentak
sesosok bayangan hijau yang datang-datang langsung
menyerang dengan sambaran pedang hitamnya.
Panji bergerak cepat menghindari sabetan pedang hitam
yang menimbulkan hawa mengerikan itu. Namun sungguh
tidak disangka kalau gerakan pedang itu begitu cepat.
Setelah berhasil mengelakkan serangan yang pertama,
tahu-tahu pedang hitam itu berputar dan kembali
menyerangnya tiga kali berturut-turut.
“Eh! Eh.... Sabar dulu, Nini...!” cegah Panji sambil
mengelak dari sambaran pedang lawan.
“Huh! Manusia kejam sepertimu tidak perlu dikasih
hati!” bentak pemilik suara merdu itu yang terus mencecar
tanpa menghiraukan ucapan Panji.
Plak!
“Aihhh...!”
Wanita berpakaian serba hijau itu berseru tertahan
ketika Panji menepis pergelangannya. Tubuhnya terdorong
beberapa langkah ke belakang. Hawa dingin menjalar
melalui pergelangannya yang ditepis Pendekar Naga Putih.
Sementara itu Panji sudah melompat ke belakang
sejauh empat tombak. Pemuda itu berdiri tegak menatap
seorang gadis cantik bagai bidadari. Sejenak Panji
mengerutkan keningnya, untuk mencoba mengingat-ingat
gadis di depannya. Mungkin saja, dia pernah bertemu
sebelumnya.
Sedangkan wanita jelita yang mengenakan pakaian
serba hijau itu berdiri terpaku bagaikan patung. Gadis
jelita yang ternyata Kenanga itu menghentikan
serangannya karena kenal betul terhadap tenaga berhawa
dingin yang merasuk ke tubuhnya tadi. Bibir yang indah
itu bergetar membisikkan sebuah nama yang tak pernah
dilupakannya. Air mata kerinduan mulai menetes
membasahi pipinya.
“Kau.... Kau..., Kakang Panji...!” teriak gadis jelita itu
serak. Suaranya terdengar lirih karena butir-butir
kerinduan yang menyesakkan dadanya.
Panji yang telah yakin akan penglihatannya, justru
malah semakin tak percaya. Dia seperti terpaku, tak tahu
harus berbuat apa.
“Adik Kenanga...!” seru Panji seolah-olah tak
mempercayai pandangannya.
Entah siapa yang lebih dahulu bergerak, tahu-tahu saja
kedua muda-mudi itu telah berpelukan erat, seolah-olah
tidak ingin berpisah lagi.
Panji membelai rambut wanita yang selalu
diimpikannya itu. Dadanya terasa hangat oleh air mata
yang menetes, membasahi bajunya. Pelahan-lahan kedua
tangan Pendekar Naga Putih bergerak mengangkat wajah
jelita itu. Dipandanginya wajah gadis idamannya yang
dibasahi air mata. Panji menundukkan wajahnya
mengecup kedua mata indah yang menatapnya penuh
rindu.
“Kakang, jangan tinggalkan aku lagi...!” desah gadis
jelita itu lirih sambil memandang wajah Panji.
“Tidak, Adikku... tidak akan...,” bisik Panji. Kemudian
dikecupnya bibir indah itu penuh perasaan.
“Kakang, bukankah mereka adalah tokoh Perguruan
Delapan Naga? Aku pernah berjumpa dan berkenalan
dengan mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang
menjunjung tinggi kegagahan. Ah.... Sayang, mereka harus
tewas di tangan pembunuh biadab itu,” ujar Kenanga
penasaran.
“Maksudmu, kau tahu siapa yang melakukan ini
semua?” tanya Panji heran.
Bagaimana pemuda itu tidak heran melihat kekasihnya
tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian tinggi.
Padahal, baru satu tahun mereka tak bertemu. Bukan itu
saja. Gadis jelita itu nampaknya sudah cukup lama
berkecimpung dalam dunia persilatan. Buktinya, dia
mengenal tokoh-tokoh Perguruan Delapan Naga.
“Melihat orangnya secara langsung, memang aku belum
pernah. Tapi jika mendengar sepak terjangnya, aku yakin
kalau mereka dibunuh oleh orang yang berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa. Tokoh sesat yang baru muncul ini
kepandaiannya hebat sekali, Kakang. Entah sudah berapa
banyak tokoh persilatan golongan putih yang tewas di
tangannya. Orang itu harus cepat-cepat dilenyapkan dari
muka bumi. Kalau tidak, ia akan terus seenaknya
menyebar maut,” jelas Kenanga geram.
“Kenanga...,” panggil Panji tiba-tiba.
“Ya, Kakang...,” sahut gadis jelita itu lembut.
“Kulihat kepandaianmu sudah maju sedemikian
pesatnya. Siapakah yang mengajarkanmu? Dan bagaimana
kabarnya ayahmu sekarang?” tanya Panji sambil
memegang bahu gadis itu.
“Ahhh.... Panjang sekali ceritanya, Kakang. Tiga hari
setelah kepergianmu, desa kami didatangi segerombolan
perampok. Lalu....”
Kenanga menceritakan kejadian yang dialaminya
kepada pemuda pujaannya. Sementara Panji
mendengarkan penuh perhatian.
“Demikianlah, Kakang. Karena aku tidak mempunyai
siapa-siapa lagi, maka aku menerima ajakan Kakek Raja
Pedang Pemutus Urat dan tinggal bersamanya,” ujar gadis
jelita itu menutup ceritanya.
“Raja Pedang Pemutus Urat...?!” ulang Panji sambil
mengerutkan keningnya. “Apakah Kakek itu berusia
sekitar tujuh puluh tahun, dan...,” Panji menuturkan
semua ciri-ciri dan tempat tinggal Raja Pedang Pemutus
Urat.
“Benar! Bagaimana Kakang mengetahuinya? Apakah
Kakang sudah mengenal guruku? Ah..., sudah hampir
setahun dia tidak kukunjungi. Entah bagaimana kabarnya
Eyang sekarang,” gumam Kenanga, matanya memandang
jauh bagaikan hendak melewati hamparan rumput dan
bebukitan agar dapat mengetahui keadaan gurunya.
Panji menarik napas dalam-dalam melihat sinar mata
kekasihnya yang berbinar ketika mendengar nama
gurunya. Pendekar Naga Putih yang semula hendak
menceritakan kejadian sesungguhnya, terpaksa menelan
kembali kata-katanya karena tidak ingin merusak
kebahagiaan gadis yang dicintainya itu.
“Tidak! Aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku
hanya mendengar tentang kehebatan ilmu pedang beliau.
Ciri-ciri yang kuketahui pun juga dari Eyang Tirtayasa.
Hanya itu saja yang kuketahui, tidak lebih,” kilah Panji,
terpaksa berbohong.
“Ah! Matahari sudah semakin tinggi. Ayolah kita kubur
mayat-mayat ini, Kakang! Setelah itu, baru kita lanjutkan
perjalanan untuk mencari orang yang berjuluk si Jari Maut
Pencabut Nyawa itu,” ajak dara jelita itu sambil menarik
tangan Panji dengan sikap manja.
“Baik, ayolah!” sahut Panji tersenyum bahagia.
***
ENAM
“Berhenti!”
Panji dan Kenanga yang tengah berjalan sambil
berpegangan tangan itu menghentikan langkahnya. Di
hadapan mereka menghadang sesosok tubuh tinggi tegap
yang mengenakan pakaian indah. Rambutnya yang
panjang itu dibiarkan tergerai lepas. Sehelai sutra
berwarna kuning, menghias kepalanya. Wajahnya yang
brewok tertata rapi, sehingga menambah kejantanannya.
“Hei, Paman! Lihatlah! Bukankah bidadari ini murid si
Raja Pedang Pemutus Urat?” tanya laki-laki yang tak lain
adalah Jaya Sukma itu. Sengaja suaranya dibuat keras,
agar orang yang diajak bicara mendengarnya.
Dan tidak lama kemudian, muncullah dua orang
bertubuh tinggi besar menakutkan. Mereka adalah dua
Gorilla Batu.
“Mana.... Mana, Tuan Muda? Ahhh..., benar! Tidak
salah lagi, dialah murid kakek peot itu. Wah, cocok sekali
kalau dijadikan istri Tuan Muda,” ujar Soma bergelak.
“Hei, kerbau kudisan! Lancang sekali ucapanmu!
Apakah kau tidak pernah diajar adat!?” bentak Kenanga
dengan wajah merah. Kalau saja saat itu Panji tidak
mencegah, tentulah gadis jelita ini sudah melesat
menerjang laki-laki brewok yang menyebalkan itu.
“Ha ha ha...! Ternyata bidadari itu sangat liar, Tuan
Muda. Tuan tentu akan sukar sekali menjinakkannya!” kali
ini Ludira yang berbicara.
“Ha ha ha...,” Jaya Sukma tertawa terbahak-bahak.
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang kotor itu!” teriak
Kenanga, wajahnya semakin memerah.
“Sabarlah, Adikku. Kau lihatlah, siapa mereka itu,” bisik
Panji menyabarkan kekasihnya.
Sejenak gadis itu termangu sambil memperhatikan
ketiga orang yang menghadang di tengah jalan itu.
Pelahan-lahan wajah Kenanga berubah tenang ketika gadis
jelita itu berusaha menguasai hatinya.
“Kakang, apakah pemuda itu yang berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa?” tanya Kenanga berbisik lirih.
“Kurasa begitulah. Bukankah ciri-ciri Jari Maut
Pencabut Nyawa itu adalah masih muda, tampan,
berpakaian mewah, dan selalu dikawal dua orang tinggi
besar. Nah! Bukankah ciri-cirinya sudah betul?!” sahut
Panji masih dengan suara pelan.
“Hei, apa yang kalian rundingkan?! Paman, tolong
tangkap gadis itu untukku. Sedangkan pemuda itu biarlah
aku yang mengurusnya,” perintah Jaya Sukma kepada dua
orang pengawalnya.
“Baik, Tuan Muda!” seru mereka gembira seolah diberi
sebuah mainan menyenangkan.
“Tunggu...!” seru Kenanga keras dan tiba-tiba, sehingga
kedua orang laki-laki tinggi besar itu menunda
langkahnya.
“Hei, dua gorilla tolol! Kalian tahu, dengan siapa
berhadapan saat ini?!” tanya Kenanga sambil kepalanya
dilayangkan ke arah Panji.
“Aku sudah tahu tentang dirimu, Bidadari Cantik! Dan
aku tidak peduli dengan bocah ingusan itu! Lebih baik
menyerah saja secara baik-baik, Manis. Kelak kau pasti
akan senang bersama majikan kami. Ha ha ha...,” sahut
Soma seraya tertawa menyebalkan.
“Hm. Rupanya kau tidak peduli terhadap Pendekar Naga
Putih!” ujar Kenanga mencoba menggertak lawan
bicaranya.
“Eh! Apakah maksudmu bocah itu yang berjuluk
Pendekar Naga Putih?!” tanya Ludira tersentak mundur.
Biar bagaimanapun, nama Pendekar Naga Putih yang telah
mengguncang dunia persilatan cukup menggetarkan hati
mereka.
Soma dan Jaya Sukma pun tidak kalah terkejutnya.
Hati mereka berdebar tegang sambil meneliti sosok Panji.
“Hm..., jadi kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?”
tanya Jaya Sukma ragu. “Tahukah kau siapa adanya aku?”
“Benar! Akulah Pendekar Naga Putih. Sedangkan kau
adalah seorang pengecut yang mengaku berjuluk Jari Maut
Pencabut Nyawa. Apakah dugaanku keliru?” jawab Panji.
Suaranya terdengar tenang tanpa nafsu amarah sedikit
pun.
“Eh...!”
Jaya Sukma sampai terlonjak mendengar dirinya
disebut sebagai pengecut. Wajahnya seketika menjadi
merah bagaikan terbakar. Kedua lengannya bergemeletuk
karena tenaga saktinya mulai mengalir ke seluruh otot-
ototnya.
“Bangsat! Rupanya kau memiliki kesombongan juga,
Pendekar Naga Putih! Tapi jangan dikira aku akan menjadi
gentar mendengar nama besarmu itu. Nah! Sambutlah
seranganku! Hiaaat...!” tubuh Jaya Sukma meluncur ke
arah Panji disertai serangan dahsyat.
Wusss!
Serangkum angin panas menyergap seluruh tubuh
Pendekar Naga Putih. Untunglah, tenaga saktinya sudah
bergolak melindungi tubuh, sehingga hawa panas yang
menyerang Panji sama sekali tidak terasa. Cepat-cepat
pemuda itu menggeser tubuhnya ke kiri sambil
melepaskan sebuah pukulan disertai hawa dingin
menggigit.
Cusss!
Terdengar suara seperti bara api tersiram air ketika dua
pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga
dahsyat itu saling berbenturan keras. Tubuh mereka
masing-masing terdorong beberapa langkah ke belakang.
Ternyata pada pertemuan tenaga itu mereka berimbang.
Baik Panji maupun Jaya Sukma sama-sama terkejut
setelah mengetahui kekuatan masing-masing. Mereka
kembali berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam
tombak. Kedua pemuda sakti itu saling tatap dengan sinar
mata mencorong tajam.
“Paman! Cepat tangkap gadis itu, dan bawa ke pondok
tempat peristirahatanku!” perintah Jaya Sukma kepada
dua orang pengawalnya.
Tanpa diperintah dua kali, Soma dan Ludira segera
bergerak menangkap Kenanga yang juga sudah siap-siap
membela diri dengan pedang hitam yang tergenggam erat
di tangan kanannya.
Melihat kekasihnya terancam, Pendekar Naga Putih
melesat menyambut serangan dua orang laki-laki bertubuh
tinggi besar itu.
“Akulah lawanmu, Pendekar Naga Putih...!” sambil
berseru demikian, tubuh Jaya Sukma melesat memotong
luncuran tubuh Panji.
Melihat lawan memotong gerakannya, Panji segera
memutar lengannya menangkis serangan itu. Mereka
sama-sama kembali terpental ke udara. Namun dengan
sebuah gerakan berputar, masing-masing dapat
mendaratkan kakinya ke tanah.
Begitu kakinya menyentuh tanah, Pendekar Naga Putih
kembali melancarkan serangan ke arah Jaya Sukma.
Selapis kabut bersinar putih keperakan mulai menyelimuti
tubuhnya. Jelas, Panji mulai mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Hawa sedingin salju pun segera menebar
memenuhi arena pertarungan.
Jaya Sukma cukup terkejut menyaksikan tubuh lawan
mengeluarkan sinar yang benar-benar di luar dugaannya.
Cepat-cepat dikerahkan tenaganya untuk mengusir hawa
dingin yang terasa menggigit kulitnya itu. Sekejap
kemudian hawa panas pun mulai menebar dari tubuhnya.
Soma dan Ludira yang berusaha menangkap Kenanga,
cepat-cepat menjauhi arena pertempuran ketika
merasakan hawa dingin dan panas berganti-ganti merasuk
ke dalam tubuh. Dan demikian pula dengan Kenanga.
Diam-diam ketiganya bergidik merasakan pengaruh
pertarungan antara dua orang pemuda tampan yang sama-
sama memiliki kepandaian tinggi itu.
Kenanga hanya dapat memandang kekasihnya dengan
sinar mata cemas. Sesaat kemudian, perhatian gadis itu
tercurah kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang
kembali menyerangnya. Secepat kilat digerakkan
pedangnya untuk menghalau serangan lawan-lawannya.
Bahkan gadis itu juga menyusuli dengan tiga buah
tendangan berantai.
Wuttt! Wuttt!
Soma dan Ludira memiringkan tubuhnya sehingga
serangan gadis itu mengenai tempat kosong. Kemudian
mereka membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang
tidak kalah cepatnya. Kenanga memang cukup kewalahan
menghindari serbuan dua pasang lengan yang besar dan
berbulu lebat itu.
Sebenarnya kepandaian Soma maupun Ludira tidaklah
lebih tinggi dari Kenanga. Namun karena keduanya maju
secara bersamaan, maka cukup kewalahan juga gadis jelita
itu dibuatnya. Sehingga, lama-kelamaan kedua orang
bertubuh tinggi besar itu mulai mendesaknya.
Singgg!
Suatu ketika pedang hitam di tangan gadis jelita itu
bergerak mendatar membabat pinggang lawan. Suaranya
mengaung disertai hawa maut yang menggetarkan jantung.
Ludira yang menjadi sasaran pedang hitam itu berseru
kaget. Cepat-cepat dibuang tubuhnya ke belakang untuk
menghindari sambaran pedang yang menimbulkan hawa
mengerikan itu.
Crattt!
“Aaakh...!”
Ludira menjerit kesakitan ketika pedang hitam di
tangan Kenanga masih juga menyerempet lengan
kanannya. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa
tombak jauhnya. Kemudian dia berdiri limbung sambil
memegangi luka akibat goresan pedang yang terasa pedih
bukan main!
“Kakang Soma, awas! Pedang gadis itu mengandung
racun ganas...!” teriak Ludira memperingatkan saudaranya
yang kini menjadi sasaran pedang hitam milik Kenanga.
Setelah berkata demikian, tangan Ludira bergerak
mencabut golok besarnya. Sambil menggigit bibirnya kuat-
kuat, diayunkan golok besar itu membacok tangannya
sendiri hingga putus sebatas siku.
Ludira berdiri limbung, dan tangan kanannya sibuk
menotok untuk menghentikan darah yang mengalir dari
luka itu. Terpaksa tangan kirinya harus dikorbankan kalau
masih ingin hidup lebih lama. Karena, racun yang
terkandung dalam pedang gadis itu ternyata sangat ganas
dan cepat daya kerjanya.
Desss!
Tuk! Tuk!
“Aaakh...!”
Pedang hitam di tangan Kenanga terlempar akibat
tangkisan Soma. Dan sebelum gadis itu menyadari
keadaannya, dua buah totokan telah melumpuhkan
tubuhnya. Tubuh gadis jelita itu roboh disertai sebuah
keluhan pendek.
Bukan main cemasnya hati Panji ketika mendengar
keluhan yang keluar dari mulut kekasihnya. Cepat
kepalanya menoleh untuk memastikan apa yang telah
terjadi terhadap dara pujaannya itu. Dan wajahnya
terubah pucat ketika tampak tubuh kekasihnya sudah
berada dalam pondongan salah seorang pengawal
lawannya.
“Bangsat! Lepaskan gadis itu!” tiba-tiba saja tubuh
Pendekar Naga Putih melayang meninggalkan lawannya.
Ternyata kesempatan yang hanya sekejap itu tidak
disia-siakan Jaya Sukma. Selagi tubuh Panji melesat
melancarkan serangan ke arah Soma yang tengah
memondong Kenanga, Jari Maut Pencabut Nyawa segera
melepaskan sebuah tendangan kilat yang begitu telak
menghantam punggung Pendekar Naga Putih.
Desss!
“Aaakh...! Huakkk...!”
Tak pelak lagi, tubuh Panji terlempar deras dan
memuntahkan darah segar seketika. Tulang punggungnya
terasa remuk akibat tendangan lawan yang mengandung
tenaga dalam tinggi itu. Panji mencoba berdiri tegak
meskipun kepalanya rasanya seperti berputar. Pendekar
muda itu rupanya mengalami luka yang cukup parah.
“Pendekar Naga Putih! Kami datang membantu...!” tiba-
tiba terdengar seruan nyaring yang disertai berkelebatnya
dua sosok tubuh ke arena itu.
Jaya Sukma yang semula sudah bersiap melontarkan
pukulan selanjutnya, tertegun sesaat. Hatinya bimbang
ketika mengenali dua orang pendatang itu. “Hm.
Menghadapi Pendekar Naga Putih saja aku sudah merasa
repot, apalagi kalau ditambah mereka berdua,” kata
pemuda itu dalam hati.
“Paman, mari kita pergi...!” teriak Jaya Sukma sambil
melontarkan pukulan ‘Jari Maut’ ke arah dua orang yang
baru datang itu. Namun dua orang yang menjadi sasaran
itu cepat bergulingan menghindarinya.
Glarrr!
Pohon sepelukan orang dewasa yang berada di belakang
dua orang itu berderak patah ketika seberkas sinar
kemerahan menghantamnya.
“Bangsat! Pemuda iblis itu berhasil meloloskan diri...,”
ujar orang bertubuh tinggi kekar yang ternyata adalah
Pendekar Tombak Sakti sambil membersihkan rumput
kering yang melekat di pakaiannya.
“Hm.... Sampai ke ujung langit pun akan tetap kukejar!”
seru yang seorang lagi. Siapa lagi kalau bukan Pendekar
Kapak Maut. Suaranya terdengar geram sekali ketika
mengucapkan kata-kata itu.
“Uhhh.... Kenanga..., maafkan aku. Aku tak dapat
menolongmu. Kepandaian orang itu memang hebat sekali.
Pantas saja kalau banyak tokoh persilatan tewas di
tangannya,” tiba-tiba terdengar suara Pendekar Naga
Putih.
“Ahhh, Pendekar Naga Putih! Menyesal sekali kami tidak
dapat menyelamatkan gadis itu,” ucap Pendekar Tombak
Sakti penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa, Paman. Aku maklum. Tapi, lihat
pembalasanku nanti! Oh, ya. Terima kasih atas
pertolongan Paman berdua,” jawab Panji sambil
membungkuk hormat.
“Bagaimana lukamu, Pendekar Naga Putih?” tanya
Pendekar Kapak Maut secara sepintas.
“Sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, Paman...,”
jawab Panji tersenyum, namun seperti dipaksakan.
Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan Kenanga.
Biar bagaimanapun, gadis itu harus cepat-cepat
diselamatkan.
Suasana berubah hening sejenak. Ketiga orang
pendekar itu sama-sama termenung terbawa arus pikiran
masing-masing.
“Maaf, Paman. Bolehkah aku mengetahui nama besar
Paman berdua?” tanya Panji tiba-tiba, memecah
keheningan di antara mereka.
“Apalah artinya nama besar kami dibandingkan nama
besar yang kau sandang itu, Pendekar Naga Putih. Tapi
ada baiknya kalau memperkenalkan diri kepadamu. Aku
yang renta ini dijuluki orang sebagai Pendekar Tombak
Sakti. Sedang ini adalah saudara seperguruanku, berjuluk
Pendekar Kapak Maut. Dan kami bertujuh mendapat tugas
dari ketua untuk menghentikan kekejaman Jari Maut
Pencabut Nyawa yang saat ini tengah membuat kekacauan
di dunia persilatan. Sayang sekali lima orang kawan kami
telah tewas ketika kami meninggalkan mereka di hutan.
Dan dilihat dari luka-luka yang terdapat, kami yakin
bahwa yang membunuh mereka adalah si Jari Maut
Pencabut Nyawa. Oh, ya, Pendekar Naga Putih. Bolehkan
kami tahu nama besar gurumu?” tiba-tiba saja Pendekar
Tombak Sakti mengajukan pertanyaan yang membuat
Panji terkejut.
“Menyesal sekali, Paman. Beliau tidak memperbolehkan
aku untuk menceritakan apa pun tentang dirinya. Sekali
lagi aku mohon maaf,” jawab Panji penuh penyesalan.
“Ahhh, tidak apa-apa. Lupakan pertanyaan tadi,” sahut
Pendekar Tombak Sakti memaklumi.
“Baiklah. Aku pamit dulu, Paman. Aku harus cepat-
cepat mengejar mereka,” ujar Panji sambil
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Setelah
berkata demikian, pemuda itu bergegas melangkahkan
kakinya meninggalkan dua orang tokoh Perguruan
Delapan Naga itu.
“Hei! Pelahan dulu, Pendekar Naga Putih!” seru
Pendekar Tombak Sakti menahan langkah Pendekar Naga
Putih. “Apakah kau sudah mengetahui di mana iblis itu
tinggal?”
“Aku akan mencarinya, Paman,” jawab Panji seraya
tersenyum.
“Ke mana akan mencarinya?” tanya Pendekar Kapak
Maut tiba-tiba.
“Entahlah. Tapi, biar bagaimanapun aku akan berusaha
menemukan orang itu,” sahut Panji bersungguh-sungguh.
“Apakah kau keberatan kalau kami menyertaimu?
Rasanya kami sudah dapat menduga dari mana si Jari
Maut Pencabut Nyawa itu berasal,” usul Pendekar Tombak
Sakti.
“Tentu saja tidak, Paman. Malah sebaliknya aku merasa
berterima kasih sekali atas kesediaan Paman berdua
sudah membantuku,” jawab Panji gembira karena tidak
ingin menyinggung perasaan dua orang pendekar itu.
“Kalau begitu, marilah kita berangkat!” ajak Pendekar
Tombak Sakti.
Panji dan Pendekar Kapak Maut menganggukkan
kepalanya. Beberapa saat kemudian, ketiga orang
pendekar itu pun bergegas meninggalkan tempat tersebut
untuk menyusul kepergian Jari Maut Pencabut Nyawa.
***
TUJUH
Angin pagi bertiup lembut mengikuti ayunan langkah
tiga orang pendekar memasuki Desa Jati Larang. Mereka
adalah Panji, Pendekar Tombak Sakti, dan Pendekar Kapak
Maut.
“Aneh! Desa ini tampak begitu sepi dan mencurigakan,”
gumam Pendekar Tombak Sakti sambil merayapi keadaan
desa yang hanya beberapa tombak di hadapan mereka.
“Benar, Paman. Tampaknya kita harus hati-hati.
Sepertinya, desa ini baru saja mengalami musibah,” sahut
Panji yang juga merasa curiga.
“Eh! Kakang Rancapala, Panji, lihatlah! Beberapa buah
rumah dekat mulut desa itu tampaknya belum lama
terbakar. Asap-asap tipis masih tampak mengepul dari
puing-puingnya. Ah! Mudah-mudahan saja itu hanya
kebakaran yang disebabkan keteledoran penghuninya,”
seru Barga atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Kapak Maut sambil menunjuk beberapa buah
rumah. Rumah-rumah yang ditunjuk Barga itu tampak
menghitam dan samar-samar masih mengepulkan asap
tipis.
“Wah! Mudah-mudahan saja perjalanan kita tidak
mengalami hambatan karena hal itu,” keluh Rancapala
atau Pendekar Tombak Sakti disertai helaan napas berat.
“Panji, Adi Barga, kuharap kalian jangan bertindak dulu.
Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, biarlah aku saja
yang mencoba mengatasinya. Semua ini untuk
menghindarkan kesalahpahaman. Nah, bagaimana?” usul
Rancapala.
Baik Panji maupun Barga mengangguk setuju atas
keputusan yang diambil Pendekar Tombak Sakti. Mereka
berdua menyadari sepenuhnya bahwa saat ini berada di
daerah asing yang belum pernah didatangi sebelumnya.
Dan tentu saja mereka harus bisa membawa diri agar
terhindar dari segala sesuatu yang tidak diinginkan.
Setelah mengambil keputusan demikian, ketiganya
bergegas memasuki mulut desa tanpa meninggalkan
kewaspadaan. Begitu melewati mulut desa, tampak
puluhan pasang mata menatap ke arah mereka penuh
curiga.
Rancapala, Barga, dan Panji mencoba bersikap ramah
dan menganggukkan kepala kepada orang-orang itu.
Tanpa mempedulikan anggukan itu dibalas ataupun tidak,
ketiganya terus melangkah memasuki Desa Jati Larang.
Belum lagi jauh memasuki desa, tiba-tiba terdengar
suara bentakan nyaring yang disertai berlompatannya
sosok-sosok tubuh yang langsung mengurung tiga orang
pendekar itu.
“Berhenti...!”
Rancapala, Barga, dan Panji segera menghentikan
langkahnya. Ketiga orang pendekar itu tetap bersikap
tenang meskipun dikurung belasan orang dengan senjata
di tangan.
“Hei, orang asing! Siapa kalian dan apa maksudnya
mendatangi desa kami?!” tanya seorang laki-laki berkulit
hitam dan berhidung lebar. Suaranya terdengar lantang
dan sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat.
“Maafkan kami, Kisanak. Kami bertiga adalah perantau
yang secara kebetulan saja lewat di desa ini, tanpa
maksud-maksud tertentu,” jawab Pendekar Tombak Sakti
mencoba bersikap ramah. Sikap yang ditunjukkan
pendekar itu sama sekali bukan karena takut, melainkan
karena tidak ingin mencari keributan.
Lain yang diinginkan Pendekar Tombak Sakti lain pula
tanggapan laki-laki berkulit hitam itu. Sikap ramah yang
ditunjukkan pendekar itu malah membuatnya semakin
angkuh dan memandang rendah.
“Hm.... Kalian pasti mata-mata perampok hina yang
berjuluk Dedemit Jati Palas itu. Dan kedatangan kalian ke
sini untuk melihat hasil pekerjaan semalam, bukan? Kalau
itu yang ingin diketahui, katakan kepada Dedemit Jati
Palas, kami seluruh penduduk Desa Jati Larang tidak akan
sudi menyerah dan tunduk di bawah kekuasaannya. Nah,
sekarang pergilah, sebelum kami kehilangan kesabaran!”
bentak lelaki berkulit hitam itu sambil membusungkan
dada.
“Sudah, Kakang Balingka. Untuk apa bertanya lagi?
Bunuh saja mereka!” teriak seorang lelaki berwajah pucat
yang berada di belakang laki-laki berkulit hitam bernama
Balingka itu sambil mengacungkan goloknya.
“Ya, bunuh saja mereka...!” seru yang lainnya lagi.
“Tahan...!”
Tiba-tiba Pendekar Tombak Sakti berteriak keras. Suara
teriakannya terdengar bagaikan ledakan petir menggelegar.
Akibatnya, beberapa pengepungnya yang sudah melangkah
maju, terpental bagaikan didorong tenaga kuat. Sedangkan
yang lainnya tersurut mundur dengan wajah memucat,
termasuk lelaki berkulit hitam yang bernama Balingka.
“Dengar, saudara-saudara! Kami tidak mengenal siapa
itu Dedemit Jati Palas atau sebangsanya. Kalau kalian
masih tidak percaya, hadapkan kami kepada kepala desa
kalian! Bagaimana?” seru Rancapala sambil mengerahkan
tenaga dalamnya, sehingga suaranya terdengar nyaring
dan bergaung memekakkan telinga.
Balingka diam-diam merasa terkejut merasakan
kehebatan tenaga dalam yang ditunjukkan Pendekar
Tombak Sakti. Sejenak tergambar bayang keraguan di
wajahnya. Namun meskipun demikian, dia tetap belum
merasa yakin akan kebenaran ucapan laki-laki tinggi tegap
itu.
“Maafkan kami, Kisanak. Biar bagaimanapun kami
tetap belum dapat mempercayai kata-katamu. Dan apabila
Kisanak ingin menghadap kepala desa, maka kami minta
agar kalian suka menyerahkan senjata,” usul Balingka
yang mulai surut kegalakannya. Namun demikian, dia
berusaha menutupi dengan suaranya yang tenang.
“Tunggu...!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang
Pendekar Tombak Sakti. Teriakan itu rupanya berasal dari
mulut Barga yang sudah melangkah maju. Sementara
Balingka langsung melangkah mundur sambil
menyilangkan pedangnya menjaga kemungkinan.
“Hm, Kisanak. Kau boleh tidak mengenal dan
mencurigai kedatangan kami. Tapi bagaimana dengan
nama Pendekar Naga Putih? Apakah kedatangan pendekar
muda yang perkasa itu patut dicurigai?” tanya Barga yang
tiba-tiba saja menemukan cara yang baik untuk
meredakan ketegangan di antara mereka. Selain itu, dia
juga ingin mengetahui apakah nama besar Pendekar Naga
Putih sudah terdengar hingga ke daerah selatan ini.
“Oh! Pendekar Naga Putih...?!” Balingka dan beberapa
orang lainnya tersentak kaget. Rupanya kedigdayaan
pendekar muda yang memiliki ilmu-ilmu tinggi itu telah
sampai pula ke telinga mereka.
“Kisanak! Apakah maksudmu bahwa kau datang
bersama pendekar muda yang budiman itu...?” tanya
Balingka ragu-ragu. Sementara matanya menatap sosok
Panji penuh selidik. Pada sinar mata laki-laki berkulit
hitam itu terpancar secercah harapan. Sesaat kemudian
sinar mata dan raut wajah Balingka berubah mengeras.
“Hm, jangan kau coba menipu kami dengan menjual nama
pendekar muda itu. Tidak akan semudah itu kami dapat
mempercayai omonganmu!”
Meskipun Barga merasa kagum akan sikap laki-laki
berkulit hitam yang tidak mudah percaya begitu saja
terhadap ucapannya, namun jelas pendekar itu terlihat
agak jengkel.
“Saudara Panji, maukah kau memberikan bukti agar
mereka yakin bahwa saat ini sedang berhadapan dengan
Pendekar Naga Putih yang mereka kagumi itu?” pinta
Pendekar Kapak Maut sambil menolehkan kepalanya ke
arah Panji.
“Baiklah, Paman Barga. Akan kucoba meyakinkan agar
kesalahpahaman ini tidak berlanjut,” jawab Panji tenang.
Setelah berkata demikian, pemuda itu segera mengempos
seluruh tenaga dalamnya. Beberapa saat kemudian selapis
kabut bersinar putih keperakan nampak menyelimuti
seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Dan tubuh Panji
meliuk-liuk mirip seekor naga putih. Hawa dingin
berhembus membuat beberapa orang pengepung yang
berada tidak jauh dari pemuda itu menggigil kedinginan.
“Ahhh.... Pendekar Naga Putih...!” teriak Balingka dan
beberapa orang lainnya yang sudah mendengar tentang
ciri-ciri pendekar muda yang sakti itu. Di wajah mereka
jelas tergambar kegembiraan yang tidak dapat
disembunyikan.
“Bagaimana, Kisanak? Apakah masih meragukannya...,”
tanya Barga tersenyum bangga. Diam-diam hatinya juga
merasa kagum dengan tingginya ilmu yang dimiliki
pemuda itu.
“Ah, tentu saja tidak! Marilah, Pendekar Naga Putih.
Marilah, Kisanak. Ki Dirga Sura tentu akan merasa
gembira sekali melihat kehadiran kalian,” ajak Balingka
sambil tersenyum gembira. Bagaimana Balingka tidak
akan gembira? Dengan adanya pendekar muda itu, ia
merasa yakin kalau musibah yang selama ini menghantui
desanya akan dapat diatasi.
Dengan langkah tegap dan wajah berseri, Balingka
mengantarkan tamu-tamunya untuk menghadap Ki Dirga
Sura yang menjabat Kepala Desa Jati Larang
Panji, Rancapala, dan Barga yang ditemani Balingka
dan empat orang anak buahnya menghentikan langkahnya
di depan sebuah rumah yang cukup besar. Memang, itu
adalah kediaman Kepala Desa Jati Larang.
“Silakan tunggu di sini, Kisanak. Aku akan melaporkan
berita gembira ini kepada Ki Dirga Sura. Ha ha ha....
Beliau tentu akan merasa gembira sekali!” ujar Balingka
tertawa. Sambil berkata demikian, lelaki berkulit hitam itu
melangkah meninggalkan mereka.
“Hm.... Sudah kuduga kalau julukanmu akan terdengar
sampai ke daerah ini, Panji. Itulah sebabnya sengaja
kugunakan namamu untuk menghilangkan kecurigaan
mereka kepada kita,” jelas Barga yang semakin merasa
kagum atas sikap yang ditunjukkan Panji. Pemuda itu
sama sekali tidak terlihat bangga ataupun besar kepala
karena nama besarnya telah dikenal sampai sekian
jauhnya. Benar-benar sikap seorang pendekar sejati!
“Ah! Sudahlah, Paman Barga. Bisa-bisa kepalaku
meledak apabila sanjungan itu masih Paman teruskan,”
sahut Panji pelan.
Saat itu terdengar suara pintu terkuak, disusul
langkah-langkah kaki mendatangi tempat tiga orang
pendekar itu menanti. Keempat orang anak buah Balingka
mengangguk hormat kepada seorang laki-laki gagah
berusia sekitar lima puluh tahun.
Laki-laki gagah yang bernama Ki Dirga Sura itu
melangkah diiringi Balingka dan seorang gadis cantik yang
berusia kurang lebih sekitar delapan belas tahun.
“Selamat datang di desa kami, Kisanak. Maafkan kalau
sambutan anak buahku tidak ramah tadi,” ujar Ki Dirga
Sura. Suaranya terdengar halus dan ramah disertai
senyum cerah yang menghias wajahnya.
“Ah! Tidak apa-apa, Ki. Hal itu dilakukan karena
terpaksa,” jawab Rancapala sambil bangkit berdiri
menyambut kedatangan kepala desa itu. Sikapnya itu
diikuti pula oleh Barga dan Panji.
“Ah! Inikah pemuda tampan dan gagah yang dijuluki
Pendekar Naga Putih? Selamat datang, Pendekar Muda.
Merupakan suatu kehormatan besar bagi kami karena
saudara....”
“Panji, Ki!” jawab Panji memperkenalkan diri.
“Ya, Saudara Panji. Merupakan suatu kehormatan bagi
kami karena kau sudi untuk singgah di desa ini. Oh, ya,
perkenalkan anakku yang manja dan nakal ini,” ujar Ki
Dirga Sura sambil menoleh ke arah dara cantik yang hanya
tersenyum itu.
“Ah, Ayah...!” rungut gadis itu sambil mencubit lengan
ayahnya.
“Namanya Trijati...,” potong Ki Dirga Sura lagi tanpa
mempedulikan cubitan pada lengannya.
Barga, Rancapala, dan Panji menganggukkan kepala ke
arah gadis cantik yang bernama Trijati itu. Gadis itu
tersenyum manis membalas anggukan ketiga orang
pendekar itu.
“Kakang Panji, nama julukanmu sudah lama kami
dengar. Dan Ayah selalu memuji-muji sepak terjangmu.
Mmm..., bersediakah Kakang bermain-main denganku?
Sebentaaar... saja. Boleh kan, Ayah?” tiba-tiba gadis itu
berkata kepada Panji tanpa malu-malu. Tentu saja hal itu
mengejutkan hati mereka yang berada di tempat tersebut.
“Trijati, jangan kurang ajar! Kau kira sedemikian
hebatkah ilmu kepandaian yang kau miliki sehingga berani
menantang Pendekar Naga Putih?!” Ki Dirga Sura
memperingatkan putrinya yang sudah telanjur bicara itu.
“Maafkan anakku, Saudara Panji. Jangan hiraukan
ucapannya.”
“Ah! Tidak apa-apa, Ki,” sahut Panji maklum.
“Uuuh..., Ayah...!” Trijati memberengut manja sambil
membanting-banting kakinya ke lantai.
Ki Dirga Sura tidak mempedulikan sikap putrinya yang
memang sangat manja itu. Kembali ditolehkan kepalanya
ke arah tiga tamunya, lalu menceritakan tentang kejadian
yang telah menimpa Desa Jati Larang beberapa hari
terakhir ini.
“Semalam pun belasan orang anak buah Dedemit Jati
Palas kembali membuat kerusuhan di desa ini. Beberapa
buah rumah dibakar sebagai peringatan yang terakhir.
Dan apabila kami masih belum bersedia tunduk, malam
nanti Dedemit Jati Palas itu akan datang untuk
membumihanguskan Desa Jati Larang. Itulah sebabnya,
mengapa kedatangan Kisanak bertiga dicurigai,” jelas Ki
Dirga Sura menutup ceritanya.
“Jadi selama ini Dedemit Jati Palas itu hanya mengutus
anak buahnya saja?” tanya Rancapala menegaskan.
“Benar! Sedangkan menghadapi para pengikutnya saja
kami sudah kewalahan. Entah bagaimana nasib desa ini
apabila ia sendiri yang memimpin pengikutnya itu.
Mungkin desa ini sudah jatuh di bawah kekuasaannya,”
keluh Ki Dirga Sura sambil menghela napas berat dan
panjang. “Ah..., siapa sangka pada saat yang gawat seperti
ini Yang Maha Kuasa telah mengirimkan bantuannya
dengan mengirimkan tiga orang pendekar gagah.”
“Baiklah, Ki. Kami akan berusaha membantu penduduk
Desa Jati Larang ini sekuat tenaga,” ucap Pendekar
Tombak Sakti merendah.
“Ha ha ha.... Aku yakin dengan bantuan kalian,
Dedemit Jati Palas itu akan lari terbirit-birit.” kata kepala
desa itu tertawa gembira.
“Nah, sekarang marilah kita membuat rencana,” usul
Barga bersemangat.
***
Malam itu langit tampak cerah. Bintang bertaburan
bagaikan pelita penghias malam. Tiupan angin bersilir
lembut membuat suasana malam itu semakin terasa
indah.
Desa Jati Larang tampak sepi. Sesekali terdengar
lolongan anjing hutan di kejauhan. Beberapa sosok tubuh
nampak bergerak menuju perbatasan Desa Jati Larang.
Setelah keluar dari mulut desa, sosok-sosok bayangan itu
bersembunyi di antara gerombolan semak di tepi jalan.
Ketika suasana malam semakin larut, terdengar
gemuruh derap kaki kuda yang mendatangi Desa Jati
Larang. Puluhan ekor kuda itu terhenti ketika orang yang
berada di depan mengangkat tangan kanannya tinggi-
tinggi. Jarak antara puluhan penunggang kuda dengan
mulut desa hanya terpisah beberapa puluh tombak saja.
Belum lagi si pemimpin rombongan mengucapkan
sesuatu, tiba-tiba terdengar desingan tajam meluncur ke
arah rombongan orang berkuda itu. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, kuda-kuda tunggangan mereka meringkik
nyaring sambil mengangkat kedua kaki depannya. Sesaat
kemudian, belasan ekor kuda terdepan langsung roboh
setelah terlebih dahulu melemparkan penunggangnya.
Mendadak, di sekitar tempat itu telah bermunculan
puluhan batang obor yang tergenggam di tangan para
penduduk Desa Jati Larang. Sekejap saja, suasana di
mulut desa itu menjadi terang benderang tak ubahnya
seperti siang hari.
Tentu saja kejadian yang tak terduga itu telah membuat
para penunggang kuda itu menjadi terkejut setengah mati.
Si pemimpin yang bertubuh tinggi dan berperut gendut itu
berteriak menyumpah dan mengancam.
“Bangsat! Monyet jelek kau, Dirga Sura! Awas, kau!
Akan kucincang hancur tubuhmu nanti. Akan kuhirup
darahmu!” teriak laki-laki gendut itu sambil membanting
kakinya ke tanah berulang-ulang.
“Ha ha ha..., Dedemit Jati Palas. Jangan hanya
berteriak-teriak seperti nenek-nenek kehabisan sirih. Ayo,
buktikan ucapanmu itu,” tiba-tiba terdengar sahutan yang
disertai berkelebatnya beberapa sosok tubuh dari semak-
semak di tepi jalan.
“Sebaiknya Paman tetap di sini. Biar kami saja yang
menghadapi Dedemit Jati Palas itu sesuai janji kita,” ujar
Panji sambil melesat ke arah rombongan Dedemit Jati
Palas.
“Aku ikut, Kakang!” gadis cantik yang tak lain adalah
Trijati itu langsung melompat tanpa menanti persetujuan
Panji.
Ki Dirga Sura hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepalanya melihat putrinya sudah melesat ke arah
gerombolan tersebut. Hati orang tua itu baru menjadi
tenang ketika teringat adanya Pendekar Naga Putih
bersama putri tersayangnya itu.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung.
Balingka yang menjadi tangan kanan Ki Dirga Sura
mengamuk hebat dengan pedangnya. Setiap kali
pedangnya terayun, terdengar jeritan kematian dari
lawannya. Sepak terjang lelaki berkulit hitam itu benar
benar bagaikan algojo yang haus darah.
Rancapala atau Pendekar Tombak Sakti sudah pula
bertempur dengan dua orang lelaki kembar yang
merupakan pembantu utama dari Dedemit Jati Palas.
Pendekar Tombak Sakti sama sekali tidak menduga kalau
Dedemit Jati Palas ternyata banyak memiliki pembantu
yang tangguh. Sehingga, tokoh utama Perguruan Delapan
Naga itu harus mengeluarkan ilmu andalannya untuk
menghadapi dua orang lawan yang bertarung saling
mengisi itu.
Di bagian lain, tampak Pendekar Kapak Maut tengah
mendesak lawannya yang bersenjatakan sebuah clurit
yang dapat dilemparkan seperti bumerang. Namun
kepandaian orang itu tampak masih di bawah tokoh
Perguruan Delapan Naga itu. Terlihat jelas kalau orang
yang bersenjata clurit itu kerepotan menghadapi sambaran
sepasang kapak bermata dua yang merupakan senjata
andalan Barga.
Sedangkan orang yang berjuluk Dedemit Jati Palas
sendiri tengah mengamuk ganas! Teriakan-teriakan ngeri
terdengar setiap kali tangannya menyambar. Darah
berhamburan dan memercik membasahi pakaiannya yang
berwarna hitam itu. Pancaran sinar obor menerangi
wajahnya yang terlihat menyeringai penuh nafsu
membunuh. Dedemit Jati Palas tak ubahnya seperti iblis
yang tengah menebar maut.
“Akulah lawanmu, dedemit jelek!” teriak sesosok
bayangan ramping yang langsung membabatkan
pedangnya ke arah orang itu.
Tak!
“Ihhh...,” sosok ramping yang ternyata Trijati itu berseru
tertahan ketika mata pedangnya berbalik akibat sentilan
jari-jari Dedemit Jati Palas yang mengandung tenaga
dalam tinggi. Untunglah pada saat itu sesosok bayangan
putih berkelebat menyambar tubuh gadis itu. Kalau tidak,
tentu Trijati sudah terjatuh dalam tangan lawannya.
“Menyingkirlah, Adik Trijati. Biar aku yang
menghadapinya,” kata Panji setelah meletakkan tubuh
gadis itu ke tempat yang aman. Setelah berkata demikian,
tubuh Pendekar Naga Putih kembali berkelebat ke arah
Dedemit Jati Palas yang kembali tengah menyebar maut.
“Dedemit Jati Palas, sambutlah...!” sambil berteriak
memperingatkan lawan, tubuh Panji sudah meluncur
deras disertai sebuah pukulan yang menimbulkan desiran
angin tajam.
Kepala rombongan yang berjuluk Dedemit Jati Palas itu
mendengus mengejek. Meskipun tahu kalau angin pukulan
serangan itu cukup berbahaya, namun kesombongan telah
membutakan matanya. Dia benar-benar memandang
rendah melihat usia lawannya yang masih muda itu.
Duk!
“Ehhh...!” tubuh tinggi besar berperut gendut itu
tersentak mundur sejauh lima tindak. Dan hal itu benar-
benar telah membangkitkan kemarahan di hatinya.
“Siapa kau, Anak Muda?! Apa hubunganmu dengan
bangsat Dirga Sura itu?” bentak Dedemit Jati Palas.
Tampak wajahnya merah padam.
“Namaku Panji. Dan aku tidak punya hubungan apa-
apa dengan Ki Dirga Sura. Aku hanya seorang tamu yang
kebetulan lewat di sini. Dan sebagai tamu, tentu saja
harus membela tuan rumah yang sedang menghadapi
pengacau yang mengaku berjuluk Dedemit Jati Palas,”
jawab Panji tenang.
“Bangsat! Aku tidak butuh khotbahmu. Hm.... Apa
julukanmu sehingga berani menantangku?!” teriak
Dedemit Jati Palas geram.
“Ah! Itu tidak perlu ditanyakan. Dan rasanya tidak perlu
kujawab. Lebih baik, bersiaplah untuk kukirim ke neraka,”
jawab Panji yang membuat mata lawannya melotot
bagaikan hendak ke luar.
“Bangsat! Kubunuh kau...!” diiringi bentakan
menggeledek, tubuh Dedemit Jati Palas itu melesat ke arah
Panji. Kedua tangannya langsung melancarkan tiga buah
serangan secara berturut-turut.
Wut! Wut! Wut!
Panji memiringkan tubuhnya ke kiri dan kanan
sehingga serangan lawan mengenai tempat kosong. Dan
sebelum lawan menarik serangannya, kepalan Panji sudah
meluncur menghantam dadanya.
Buk!
“Heghk...!”
Dedemit Jati Palas terbanting ke tanah ketika dadanya
terkena hantaman tangan Panji. Tubuh yang tinggi besar
itu menggigil sesaat, dan baru dapat melepaskan pengaruh
hawa dingin yang menusuk itu setelah mengerahkan hawa
murninya. Diam-diam hati kepala gerombolan itu menjadi
terkejut sekali ketika merasakan pukulan yang
mengandung hawa dingin itu. Untunglah Panji hanya
mengerahkan seperempat tenaga dalamnya, sehingga
lawan masih dapat berdiri tegak.
“Siapa sebenarnya kau, Anak Muda...?!” tanya laki-laki
gendut itu sambil meneliti sosok Panji dari ujung kaki
hingga ke ujung rambut. Darah di tubuhnya berdesir
ketika teringat tentang seorang pendekar muda yang
memiliki pukulan sedingin es.
“Tidak perlu banyak cakap, Dedemit Jati Palas! Apakah
kalau kuberitahu julukanku kau akan mundur?” ledek
Panji.
“Bangsat! Setaaan...! Kubunuh kau..., hiaaat...!” teriak
Dedemit Jati Palas.
Bukan main murkanya hati laki-laki gendut itu karena
diejek sedemikian rupa. Diiringi teriakan nyaring, ia segera
menerjang Panji. Kali ini serangannya tidak dapat
dipandang remeh. Entah dengan cara bagaimana, tahu-
tahu saja di tangannya telah tergenggam sebuah senjata
berbentuk gada berduri.
“Hm...!”
Panji mendengus pelahan sambil menghindari serangan
lawan. Pemuda itu sengaja tidak membalas serangan.
Sehingga Dedemit Jati Palas semakin memuncak
kemarahannya. Memang itulah yang diinginkan Panji.
Karena pada saat kemarahan lawan semakin memuncak,
akan semakin hilanglah pertahanan dirinya.
Secara pelahan-lahan Pendekar Naga Putih mulai
membalas sesekali. Akibatnya, serangan Dedemit Jati
Palas seringkali berbalik akibat angin pukulan yang keluar
dari dua tangan Panji. Beberapa kali laki-laki gemuk itu
terdorong mundur dengan tubuh menggigil kedinginan,
untuk kemudian menyerang kembali secara kalap.
Sementara itu Pendekar Tombak Sakti yang sudah
menggunakan senjatanya, sudah mulai dapat mendesak
lawan. Secara pelahan tapi pasti, kedua lawannya
terkurung dalam serangan tombak baja putih pendekar
itu.
Bret!
“Aaakh...!”
Salah seorang lawan Pendekar Tombak Sakti menjerit
kesakitan ketika ujung tombak pendekar itu tertancap di
perutnya. Tubuh orang itu melambung setelah
disentakkan ke atas, lalu terbanting ke atas tanah dan
tewas seketika dengan perut hancur!
Pada saat yang bersamaan, ujung pedang lawannya
yang seorang lagi telah berhasil menggores bahu
Rancapala. Cepat-cepat pendekar itu menggulingkan
tubuhnya untuk menghindari serangan berikut dari lawan.
Dan ketika melihat lawannya melompat mengejarnya,
Rancapala cepat-cepat menusukkan tombaknya dari
bawah ke atas.
“Aaakh...!”
Tombak berkait milik Rancapala telah menembus tubuh
lawan. Langsung dicabut senjatanya sehingga kaitan yang
berada dekat ujung tombak merobek perut lawannya yang
tewas seketika itu juga. Darah langsung muncrat ke mana-
mana.
Di bagian lain, Pendekar Kapak Maut sudah pula
mengakhiri nyawa lawannya. Kapak yang memiliki mata
pada kedua ujungnya itu telah membabat putus leher
lawan! Begitu lawannya tewas, dia bergegas membantu
yang lainnya.
Tidak ketinggalan pula Ki Dirga Sura. Senjatanya yang
berupa golok panjang itu berkelebat mencari mangsa.
Pakaiannya yang semula berwarna putih itu sudah tidak
nampak warna aslinya, karena dipenuhi darah lawan.
Keringat sudah mengalir deras membasahi pakaiannya.
Namun Kepala Desa Jati Larang itu masih terus
mengamuk tanpa mengenal lelah.
Di sebelah kirinya, Trijati pun ikut pula membantu
ayahnya dengan pedang di tangan. Sesekali tangan dan
kakinya melepaskan sebuah tendangan maupun pukulan
yang langsung disusul sambaran pedangnya. Sehingga
dalam pancaran sinar obor, gadis cantik itu nampak bagai
seorang dewi yang sedang menyebar maut.
Setelah cukup lama pertempuran berlangsung, tampak
para penduduk Desa Jati Larang mulai menguasai arena
pertempuran. Untunglah para penduduk desa itu dibantu
tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Kalau tidak,
mana mungkin dapat memenangkan pertempuran itu?
Yang jelas, mereka bukanlah orang persilatan seperti
halnya musuh mereka.
Tidak lama kemudian, pertempuran pun berakhir. Para
pengikut Dedemit Jati Palas yang sudah kehilangan
keberaniannya terpaksa menyerah dan membuang
senjatanya. Para penduduk Desa Jati Larang pun bersorak
menyambut kemenangan itu.
Pada saat yang sama, pertempuran antara Pendekar
Naga Putih melawan Dedemit Jati Palas pun sudah pula
akan berakhir. Panji yang telah merasa cukup
mempermainkan lawannya, segera melompat ke belakang
dan bersiap mengakhiri pertarungan itu.
Dedemit Jati Palas yang mengira lawannya ingin
melarikan dia, bergegas mengejarnya. Tubuhnya meluncur
disertai ayunan gada berdurinya yang menimbulkan
desiran angin keras. Namun tubuh tinggi besar itu
terpental kembali ketika senjatanya terbentur selapis
kabut bersinar putih keperakan yang melindungi tubuh
Panji. Tubuh Dedemit Jati Palas menggigil karena hawa
dingin telah merasuk dalam tubuhnya.
“Pendekar Naga Putih...!” teriaknya parau. Hatinya
mulai dihinggapi rasa takut ketika mengetahui siapa
lawannya.
Pada saat itu tubuh Panji sudah melesat disertai
ayunan tangannya yang berbentuk cakar naga. Serangkum
angin dingin yang dapat membekukan tubuh, berhembus
keras mengiringi pukulan Panji.
Bret!
“Aaarghhh...!”
Diiringi raungan panjang menyayat, tubuh Dedemit Jati
Palas terlempar keras bagai dilempar tangan raksasa.
Tubuh yang tinggi besar itu jatuh deras menghantam
tanah. Napasnya kontan putus dengan mata terbeliak.
“Kau tidak apa-apa, Kakang Panji...!” sesosok bayangan
ramping yang tak lain adalah Trijati berlari menyongsong
Panji.
“Tidak, Adik Trijati. Mari kita temui ayahmu,” ajak Panji
yang jadi merasa kikuk mendapat perhatian begitu rupa
dari gadis itu.
Malam itu juga Ki Dirga Sura memerintahkan penduduk
desa untuk menguburkan mayat-mayat korban
pertarungan. Dan kini mereka pun kembali ke desa.
***
DELAPAN
Tiga sosok bayangan hitam tampak menyelinap di
antara bayang-bayang pepohonan. Mereka tak lain adalah
Panji, Rancapala, dan Barga. Ketiganya bergerak hati-hati
mendekati sebuah pintu gerbang yang dikelilingi tembok
tinggi.
“Tidak salah lagi! Inilah tempat kediaman si Jari Maut
Pencabut Nyawa, seperti yang dikatakan Ki Dirga Sura itu,”
bisik Rancapala.
“Tapi, mengapa tampak sepi sekali? Sedangkan
menurut keterangan Ki Dirga Sura, tempat ini dijaga
beberapa tukang pukul,” sergah Barga heran.
“Entahlah! Jangan-jangan mereka telah mengetahui
kedatangan kita. Dan siapa tahu, ini merupakan sebuah
jebakan!” sahut Rancapala seperti terpengaruh ucapan
Barga.
Sementara Pendekar Naga Putih masih terus meneliti
bagian luar gedung itu. Seolah-olah, pemuda itu tengah
mencari jalan masuk yang aman dan tak terjaga.
“Hm, rasanya sulit sekali menyelinap ke tempat itu
tanpa diketahui penghuninya. Bagaimana pendapat
Paman?” tanya Panji seraya menoleh kepada kedua orang
pendekar itu.
Untuk beberapa saat lamanya, baik Rancapala maupun
Barga hanya termenung mendengar pertanyaan Panji.
Kemudian pandangan mereka kembali beralih ke arah
bangunan itu.
“Yah! Memang sulit sekali untuk menyelinap masuk
tanpa diketahui penghuninya. Apalagi kita belum
mengetahui keadaan di balik pintu gerbang itu,” sahut
Rancapala sambil terus berpikir keras.
“Apakah kau ada usul, Saudara Panji...?” tanya Barga
tiba-tiba, seperti ingin mengetahui pikiran pemuda perkasa
itu.
“Bagaimana kalau kita menyelinap masuk secara
berpencar, Paman? Akan kucoba masuk melalui belakang
bangunan itu. Sedangkan Paman berdua dapat melompat
masuk melalui tembok di depan itu,” usul Panji sambil
menunjuk ke arah pohon besar yang tumbuh di samping
tembok.
Setelah berpikir sesaat lamanya, dua orang tokoh
Perguruan Delapan Naga itu pun mengangguk menyetujui.
Dan mereka langsung membuat rencana.
Tidak lama kemudian, tampak Panji meninggalkan
kedua orang itu, lalu melesat ke belakang bangunan
tempat tinggal Jari Maut Pencabut Nyawa. Pemuda itu
bergegas meneliti bagian belakang bangunan untuk
mencari tempat masuk yang aman.
Sekali menggenjotkan kakinya, tubuh Pendekar Naga
Putih langsung melambung dan hinggap di atas tembok
batu yang agak terlindung.
“Hm..., tepat seperti yang kuduga. Tempat seperti ini
pastilah mempunyai taman pada sudutnya,” gumam Panji
sambil tersenyum. Sejurus kemudian, tubuhnya sudah
meluncur turun ke bagian belakang taman.
Keberuntungan rupanya tengah menyertai Pendekar
Naga Putih. Di saat tengah kebingungan mencari tempat
Kenanga disekap, seorang laki-laki setengah baya
berpakaian seperti tukang kebun, melintas di dekatnya.
Tanpa banyak kesukaran, Panji melumpuhkan orang itu,
lalu menyeretnya ke semak-semak untuk mengorek
keterangan dari mulut orang itu.
Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda itu keluar dari
semak-semak. Panji berlari sambil sesekali merapatkan
tubuhnya ke dinding. Pendekar muda itu menyusuri
jalanan berbatu kerikil yang menuju ke kandang kuda.
Sebab menurut keterangan tukang kebun yang baru saja
dilumpuhkannya tadi, ada seorang gadis jelita yang
disekap di kamar yang letaknya dekat kandang kuda itu.
Siapa lagi kalau bukan Kenanga?!
Sedangkan di bagian depan, Pendekar Tombak Sakti
dan Pendekar Kapak Maut sudah memasuki halaman.
Mereka bergerak cepat tanpa menimbulkan suara,
menyelinap di balik batang pohon yang tumbuh di
halaman. Baru saja Rancapala dan Barga bergerak ke
samping gedung, tiba-tiba terdengar suara berdesing tajam
yang meluncur ke arah mereka.
Singgg! Singgg...!
Trak! Trak...!
Empat batang anak panah langsung runtuh dalam
keadaan patah! Di tangan masing-masing telah tergenggam
senjata andalan mereka. Keduanya langsung bersiaga
ketika menyadari kalau kedatangan mereka telah diketahui
lawan.
Ketika kembali terdengar suara desingan anak panah,
Rancapala dan Barga menyimpan senjatanya. Cepat-cepat
keduanya menangkis dengan menggunakan sisi telapak
tangan miring. Empat batang anak panah itu kontan
berbalik kepada tuannya.
“Aaakh...!”
Empat orang yang melepaskan anak panah itu langsung
terjungkal tewas. Dada dan leher masing-masing telah
ditembus sebatang anak panah yang mereka lepaskan tadi.
“Maling keparat! Siapa kalian?! Dan apa maksud kalian
menyusup ke dalam gedung ini?!” bentak seorang laki-laki
pendek gemuk sambil melintangkan senjatanya di depan
dada.
“Siapa pun kami, bukan urusanmu! Lebih baik laporkan
kepada majikanmu bahwa kami datang untuk mengambil
nyawanya!” teriak Pendekar Tombak Sakti tak kalah
garangnya.
“Bangsat! Kurobek mulutmu yang lancang itu!” setelah
berkata demikian, orang itu langsung menerjang dua orang
tokoh Perguruan Delapan Naga yang kemudian diikuti
kawan-kawannya yang lain.
Dalam sekejap saja di halaman samping gedung itu
telah terjadi pertempuran sengit! Rancapala dan Barga
tidak tanggung-tanggung lagi membalas serangan-
serangan lawannya. Senjata-senjata mereka berkelebatan
mengancam tubuh lawan yang berjumlah delapan orang
itu.
Ternyata kedelapan orang itu memiliki kepandaian yang
tidak rendah! Sepuluh jurus telah terlewati, namun dua
orang pendekar itu belum juga mampu merobohkan
seorang lawan pun. Tentu saja hal ini membuat Rancapala
dan Barga menjadi penasaran. Padahal mereka dikenal
sebagai tokoh-tokoh utama Perguruan Delapan Naga. Tapi,
sampai sekian lama belum juga dapat melukai lawan. Hal
itu benar-benar di luar perhitungan mereka.
“Hiaaat..!” Pendekar Kapak Maut berteriak melengking
disertai ayunan kapaknya dalam jurus ‘Kapak Maut
Pembelah Bumi’. Kedua mata kapak berkilatan
menyilaukan mata lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi....
Cras! Cras!
Sepasang kapak maut di tangan Barga membeset perut
dan leher seorang lawannya. Seketika itu juga, salah
seorang pengeroyok tewas tanpa sempat berteriak karena
kepalanya telah terpisah dari badan!
Tepat pada saat itu, tombak di tangan Rancapala meliuk
bagaikan seekor ular menuju sasaran. Lawannya berkelit
sehingga mata tombak itu tidak mengenai lehernya. Tapi
justru itulah yang diinginkan Rancapala. Tepat pada saat
itu, ditarik pulang tombaknya sehingga kaitan yang
melengkung ke dalam, membeset urat leher lawannya.
Darah segar menyembur keluar dari luka itu. Orang itu
berkelojotan meregang nyawa untuk kemudian diam tak
berkutik. Mati.
Dua orang tokoh utama Perguruan Delapan Naga itu
terus merangsek lawan-lawannya. Jurus-jurus pilihan
yang digunakan mereka benar-benar hebat dan
menggiriskan sekali. Lewat tiga jurus kemudian, kembali
dua orang pengeroyok itu menggelinding tewas.
Rancapala dan Barga seolah-olah sepakat untuk
berlomba membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka
seakan-akan bersaing dan saling mendahului merobohkan
lawan, sehingga tindakan mereka tidak kepalang tanggung.
Pada saat keduanya mulai mendesak lawannya, tiba-
tiba terdengar bentakan-bentakan mengguntur yang
dibarengi berkelebatnya dua sosok tubuh tinggi besar, dan
langsung menerjunkan dirinya ke dalam arena.
“Ha ha ha...! Rupanya cecurut-cecurut dari Perguruan
Delapan Naga telah berani mati memasuki sarang macan,”
salah seorang dari kedua laki-laki tinggi besar yang
ternyata adalah Soma itu tertawa mengejek.
“Ayo! Kita antarkan mereka ke neraka, Kakang,” seru
seorang lagi yang tak lain adalah Ludira. Setelah berkata
demikian, dia pun langsung menerjang Pendekar Kapak
Maut.
Dengan masuknya dua orang pengawal Jari Maut
Pencabut Nyawa itu, tentu saja Rancapala dan Barga
menjadi kelabakan. Dalam beberapa jurus saja kedua
orang pendekar itu terdesak hebat!
Buk!
“Akh...,” terdengar keluhan tertahan dari mulut
Pendekar Tombak Sakti.
Tampak tubuh Rancapala terpental bergulingan ketika
kepalan Soma yang hampir sebesar kepala bayi itu
menghantam dadanya. Pendekar itu cepat bangkit meski
agak terhuyung. Dari bibirnya mengalir cairan merah
membasahi pakaiannya. Rancapala menghirup udara
banyak-banyak untuk mengusir rasa sesak di dadanya.
Tombak berkaitnya melintang di depan dada, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Kapak Maut pun
terpelanting akibat tendangan Ludira yang hinggap di
lambungnya. Wajahnya menyeringai menahan sakit pada
lambungnya. Pendekar itu cepat menggulingkan tubuhnya
ke kiri ketika melihat lawannya kembali menerjang.
Derrr!
Tanah tempat Barga tadi terjatuh melesak akibat
injakan kaki yang hampir sebesar kaki gajah itu. Kalau
saja Barga tidak sempat menghindar, tentu perut pendekar
itu telah remuk akibat injakan kaki Ludira!
“Aaarghhh...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang dibarengi
terpentalnya empat orang pengeroyok pendekar itu.
Keempat orang itu berkelojotan tewas akibat goresan
dalam dan memanjang di tubuh mereka.
“Manusia-manusia pengecut!” bentak seorang wanita
cantik mengenakan pakaian serba merah. Sebilah pedang
bersinar kehijauan tergenggam erat di tangannya. Wanita
itu tampak bagaikan seorang dewi yang turun dari langit
untuk menyelamatkan mereka.
“Paman, aku datang membantu...!” seru seorang dara
lain yang tidak kalah cantiknya dengan si baju merah. Di
tangan dara itu pun tergenggam sebatang pedang bernoda
darah.
“Dewi Tangan Merah...!” seru Pendekar Tombak Sakti
gembira.
“Trijati...!? Mengapa kau menyusul kami?” teriak Barga
cemas.
Namun, mereka tidak sempat untuk berpanjang kata
lagi. Ternyata pada saat itu lawan sudah datang menyerbu.
Tanpa banyak cakap lagi, keempat orang itu segera
menyambut serangan lawan-lawan mereka. Pertarungan
pun kembali berlangsung seru dan sengit
***
“Ha ha ha...! Apa yang kau cari, Pendekar Naga Putih?”
tiba-tiba terdengar sebuah suara yang membuat Panji
tersentak kaget.
Pemuda itu cepat menoleh ke arah tempat penyimpanan
makanan kuda. Ditatapnya pemuda bertubuh tinggi tegap
yang wajahnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, namun tertata
apik itu. Dia memang Jaya Sukma, yang tengah
memandang sambil tersenyum mengejek.
“Jari Maut Pencabut Nyawa! Mari kita bertanding secara
jantan, jangan hanya pandai menculik wanita!” tantang
Panji. Wajahnya tetap tenang tanpa kemarahan. Hanya
sinar matanya saja yang mencorong tajam bagaikan mata
naga yang murka karena merasa terusik.
“Baik! Kita bertanding dengan taruhan gadis jelita itu.
Bagaimana?” usul Jaya Sukma sambil melangkah tenang
menghampiri Panji.
“Apa maksudmu, Jari Maut?” tanya Panji meski
sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan
orang itu.
“Begini. Kalau dalam pertandingan nanti aku kalah, kau
boleh ambil gadis itu. Tapi jika aku menang, maka kau
harus rela menyerahkannya untukku. Kalau kau merasa
takut, silakan tinggalkan tempat ini sekarang juga!” tegas
Jaya Sukma penuh kesombongan.
“Baik, aku terima usulmu,” jawab Panji setelah
termenung beberapa saat lamanya.
“Ikuti aku,” ajak Jari Maut Pencabut Nyawa sambil
melangkah ke sebuah tanah lapang berumput yang cukup
luas.
Kedua orang pemuda tampan yang sama-sama memiliki
kesaktian tinggi itu berdiri berhadapan dalam jarak empat
tombak. Mereka saling tatap dengan sinar mata yang dapat
merobohkan seorang berkemampuan rendah.
“Hiaaat..!” disertai teriakan melengking tinggi, Jaya
Sukma menerjang Panji yang berdiri tegak siap
menyambut serangan lawan. Serangkum angin panas
menyebar ke sekitar arena pertarungan.
Melihat lawan telah langsung mengeluarkan ilmu
andalan yang ganas dan mengerikan itu, bergegas Panji
mengerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang dahsyat.
Selapis kabut bersinar putih keperakan tampak mulai
menyelimuti tubuh. Hawa dingin menebar di sekitar
tubuhnya.
Wusss!
Tusukan jari Jaya Sukma yang berwarna kemerahan itu
cepat dielakkan Panji dengan menggeser tubuhnya ke kiri.
Sedangkan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang
berbentuk cakar naga itu menyambar cepat ke pelipis
lawan, disusul tendangan kaki kanannya ke arah lambung.
Mendapat serangan balasan secara beruntun itu, tidak
membuat Jaya Sukma gugup. Cepat-cepat ditarik kaki
kanannya ke belakang disertai liukan tubuhnya.
Sementara tangan kirinya meluncur ke arah tenggorokan
lawan, cepat dan tak terduga.
Duk!
Mereka masing-masing terdorong mundur ketika Panji
menggerakkan tangannya menangkis serangan itu. Baik
Pendekar Naga Putih maupun Jari Maut Pencabut Nyawa
sama-sama merasakan kalau lengannya tergetar akibat
pertemuan tenaga dalam tinggi itu.
“Hm...!”
Sambil mendengus kasar, Jari Maut Pencabut Nyawa
menarik kedua tangannya ke pinggang. Kemudian,
didorong tangannya ke atas secara pelahan-lahan dan
bersilangan. Terdengar suara bergemeletuk ketika tenaga
saktinya mengalir di kedua lengannya. Cahaya kemerahan
yang menebarkan hawa panas, menyelimuti lengan Jaya
Sukma sebatas bahu. Rupanya si Jari Maut Pencabut
Nyawa telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Merasakan hawa panas yang menyengat kulit semakin
kuat memenuhi arena pertarungan, bergegas Panji
menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lapisan kabut
bersinar putih keperakan yang menyelimuti tubuhnya
tampak semakin lebar dan menebal. Hawa dingin
berhembus keras, sehingga pohon yang tumbuh tidak jauh
dari situ tampak terlapisi butiran-butiran salju pada
batang dan daunnya.
“Yeaaaa...!” dengan teriakan membahana, Jaya Sukma
melesat ke arah Panji. Serangannya kali ini benar-benar
menggiriskan. Daun-daun pohon yang berjarak dua meter
dari tubuhnya langsung mengering akibat hawa panas
yang berhembus dari tubuhnya. Kedua jari tangannya
menusuk beberapa kali, sehingga menimbulkan suara
mencicit tajam.
Panji yang memang sudah menduga kalau lawannya
memiliki kepandaian sangat tinggi itu, bergerak cepat
mengelakkan serangan. Langsung saja dibalas serangan
itu dengan tidak kalah berbahayanya.
Pertempuran dua pemuda yang sama-sama memiliki
ilmu kesaktian luar biasa itu benar-benar hebat dan
mendebarkan. Pohon-pohon yang berada di sekitar arena
pertempuran itu satu-persatu tumbang dan saling
tumpang tindih.
Glarrr!
Sebuah pukulan Jari Maut Pencabut Nyawa
menghantam pohon yang berada di belakang Pendekar
Naga Putih. Pohon sepelukan orang dewasa itu langsung
tumbang dalam keadaan hangus! Untunglah, Panji cepat-
cepat menghindar jika tidak ingin tewas terlanggar
pukulan maut itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari
pertarungan telah memasuki jurus kesembilan puluh
tujuh. Namun sampai sekian jauh, belum ada tanda-tanda
siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara di tepi arena, terlihat Rancapala, Barga, dan
Trijati tengah menyaksikan pertarungan antara Panji
melawan Jaya Sukma. Rupanya mereka telah berhasil
mengakhiri perlawanan Soma, Ludira, dan para
pembantunya. Hanya Dewi Tangan Merah yang tidak
tampak.
Rancapala dan Barga tampak mengalami luka cukup
parah. Noda-noda darah tampak terlihat di beberapa
bagian pakaian mereka. Keduanya bersandar lemah pada
sebatang pohon. Rupanya meskipun berhasil menghabisi
lawan-lawannya, mereka pun tidak terlepas dari luka
akibat serangan lawan.
Sementara Trijati tampak memandang ke arah
pertarungan dengan wajah cemas. Sesekali dara cantik itu
menahan napas ketika Panji terdesak. Kemudian wajahnya
kembali berseri pada saat Panji dapat menguasai Jaya
Sukma.
“Trijati, jangan mendekat! Pertarungan itu berbahaya
sekali!” seru Pendekar Tombak Sakti lemah ketika melihat
dara itu hendak mendekati arena pertarungan maut itu.
Mendengar peringatan Rancapala, Trijati mengurungkan
niatnya. Tapi, matanya tak lepas-lepas memandang ke
arena pertarungan.
Pada saat itu pertarungan sudah melewati jurus yang
keseratus lima puluh, Jaya Sukma yang penasaran
semakin memperhebat serangannya. Hingga pada suatu
saat, pemuda itu melontarkan kedua tangannya ke dada
Pendekar Naga Putih. Padahal padi saat bersamaan, Panji
mendorongkan sepasang tangannya! Dan....
Blarrr!
“Aaakh...!”
Kedua orang yang mengadu tangan itu berseru
tertahan. Ledakan keras yang terdengar begitu
memekakkan telinga. Bahkan tanah di sekitar arena
pertarungan bagaikan digoncang gempa!
Pendekar Naga Putih dan Jari Maut Pencabut Nyawa
terlempar terguling-guling akibat benturan yang
mahadahsyat itu. Cairan merah menetes dari sela-sela
bibir mereka. Tubuh Jaya Sukma menggigil kedinginan,
sedangkan Panji merasakan seluruh tubuhnya bagaikan
terpanggang.
Dan kini mereka kembali berhadapan meski kuda-kuda
masing-masing sudah tidak mantap lagi. Tiba-tiba Jaya
Sukma mengebutkan tangan kanannya. Maka tiga buah
sinar putih seketika meluncur deras ke arah Panji. Pada
saat Pendekar Naga Putih melempar tubuhnya
menghindari terjangan tiga buah sinar putih yang ternyata
jarum beracun itu, Jaya Sukma melontarkan pukulan ‘Jari
Maut’ secara licik. Seberkas sinar kemerahan menyambar
tubuh Panji.
Cusss!
“Akh...!” Panji mengeluh tertahan.
Meskipun Panji mencoba berkelit, namun sinar
kemerahan itu masih juga menyerempet bahunya.
Untunglah tubuhnya masih terlindung lapisan kabut
keperakan, sehingga ilmu pukulan ‘Jari Maut’ tidak sampai
[img] melukai tubuhnya. Pemuda sakti itu terjajar mundur
sambil memegangi bahu kirinya yang terasa nyeri dan agak
panas.
“Hiyaaa...!”
Disertai teriakan nyaring, tubuh Panji melesat dengan
jurus ‘Naga Mengguncang Bumi’. Kedua tangannya
bergerak cepat menimbulkan angin dingin yang menderu-
deru.
Jaya Sukma terjajar mundur, dan tubuhnya bagaikan
dikelilingi dinding-dinding salju yang tak tampak. Jari
Maut Pencabut Nyawa itu tak sempat lagi menghindar
ketika tangan kanan Panji telah menghantam lambungnya.
Bret!
“Aaargh...,” Jaya Sukma menjerit kesakitan, dan
tubuhnya terlempar sejauh tiga batang tombak.
Lambungnya yang terkoyak akibat cakaran tangan kanan
Panji tampak meneteskan darah kental berwarna agak
kehitaman. Dan selagi berusaha bangkit, kedua tangan
Pendekar Naga Putih telah menghantam dadanya.
Desss!
Bukkk!
“Aaakh...!”
“Hughk..!”
Tubuh Jari Maut Pencabut Nyawa terhempas bagai
sehelai daun kering diiringi jeritan menyayat. Setelah
bergetar sesaat, tubuhnya diam tak berkutik lagi. Mati.
Namun akibat yang dialami Panji juga cukup parah.
Tubuhnya terpelanting akibat tendangan kaki lawannya.
Rupanya pada saat-saat terakhirnya, Jaya Sukma masih
sempat melepaskan tendangan ke lambung Pendekar Naga
Putih. Untunglah Panji bertindak cepat dengan menelan
sebutir pil berwarna putih untuk mengobati luka di
lambung. Dikerahkannya hawa murni untuk mempercepat
penyembuhan luka dalam yang dideritanya.
“Kakang Panji! Kau..., kau terluka...?” tiba-tiba Trijati
yang sejak tadi mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu
segera berlari mendekati Panji yang sudah bergerak
bangkit dari duduknya.
“Ohhh, hanya luka sedikit. Hei? Trijati! Mengapa kau
berada di tempat ini?” tanya Panji terkejut. Pemuda itu
merasa kikuk sekali ketika menyadari kedua lengan gadis
itu bergayut di bahunya. Tangan Panji bergerak,
menurunkan tangan gadis itu dari bahunya.
Namun, rupanya Trijati salah mengerti. Ketika merasa
tangannya dipegang pemuda itu, gadis itu segera
menyambut dan meremas tangan pemuda yang sangat
dikaguminya itu. Sehingga secara sepintas, keduanya
seperti sepasang kekasih yang sedang menumpahkan
rindu.
Kenanga yang saat itu sedang menghampiri ditemani
Dewi Tangan Merah yang telah membebaskannya dari
kamar tempat dia disekap, menatap kaget, bibirnya
bergetar penuh kemarahan. Terdengar isak tertahan keluar
dari kerongkongannya. Dara jelita itu langsung berbalik
dan berlari. Samar-samar terdengar isaknya yang
memilukan.
Panji cepat menoleh ketika mendengar langkah orang
berlari dari arah belakangnya. Wajah pemuda itu berubah
pucat ketika mengenali gadis yang sedang berlari sambil
terisak itu.
“Kenanga...!” teriak Panji sambil berlari mengejar
Kenanga yang terlihat mengecil karena mereka sudah
terpisah cukup jauh.
“Kakang! Kau..., kau mau ke mana?” tiba-tiba sepasang
tangan halus memegang erat lengan kanan Panji, sehingga
pemuda itu terpaksa menahan langkahnya.
“Maafkan aku, Trijati. Gadis itu adalah tunanganku,
dan aku harus mengejarnya,” jelas Panji. Wajahnya terlihat
sedih. “Adik Sundari, tolong berikan obat ini kepada
Paman Rancapala dan Paman Barga untuk mengobati luka
mereka. Maaf, aku harus pergi dulu.”
Panji cepat menyerahkan dua buah pil berwarna putih
kepada Dewi Tangan Merah. Setelah menemukan Kitab
Jari Maut yang berada di balik jubah Jaya Sukma, Panji
pun bergegas menyusul Kenanga. Dan sekali berkelebat,
tubuh Pendekar Naga Putih hanya tinggal bayangan yang
semakin lama semakin mengecil. Panji terus mengejar
Kenanga yang berusaha menghindar darinya.
“Kakang Panji...!” tinggal Trijati berdesah lemah di
antara isaknya. Dia menyadari bahwa Pendekar Naga Putih
bukan miliknya. Ternyata pendekar itu telah memiliki wanita pujaannya sendiri.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar