SATU
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Suara nyanyian yang seperti menimbulkan kesan
maut itu bergema, menyelusup ke dalam hutan dan
lembah. Alunan denting kecapi mengiringinya, dengan
irama tidak tetap. Terkadang petikan kecapi itu
mengalun lembut laksana hembusan angin gunung
yang sejuk dan membawa kedamaian. Namun di lain
saat, berubah garang bagai amukan badai di lautan
yang siap menelan korban.
Beberapa petani yang saat itu tengah mengerja-
kan sawahnya, berhenti sejenak sambil mengerutkan
kening. Mereka merayapi daerah sekitarnya, seolah-
olah ingin mencari asal nyanyian dan petikan kecapi
itu.
"Nyanyian aneh? Petikan kecapinya pun terdengar
aneh dan lain dari biasanya? Dan yang lebih aneh
lagi, suara itu seolah-olah berasal dari segala
penjuru? Mungkinkah yang membawakannya adalah
manusia?" gumam salah seorang petani yang berusia
sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang kehitaman
karena selalu terpanggang sinar matahari itu tampak
menegang, karena mencium sesuatu yang tidak wajar
dari nyanyian itu.
"Kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Tentu saja
yang memainkannya pasti manusia! Lagi pula, mana
ada setan yang dapat memainkan kecapi? Apa lagi
siang hari seperti ini. Sudahlah! Lebih baik kita
selesaikan pekerjaan ini, agar bisa pulang cepat,"
timpal petani lain yang bertubuh kurus bagaikan
tulang terbungkus kulit.
Dari nada suara dan wajahnya yang agak
memucat, jelas sekali kalau dia mulai terpengaruh
ucapan kawannya. Hanya saja hal itu berusaha
disembunyikannya agar tidak membuat panik yang
lain.
"Hei? Mengapa kalian tampaknya begitu
ketakutan? Dengarlah. Suara petikan kecapi itu
begitu merdu dan terasa menyegarkan!" seru petani
yang lainnya lantang.
Memang, saat itu irama alunan kecapi itu
demikian merdu dan melenakan. Sehingga para
petani yang semula merasa lelah, terbangkit
semangatnya. Dan kini mereka pun bekerja semakin
giat.
"Wah! Hebat sekali kepandaian orang itu. Rasa-
rasanya pemain-pemain kecapi di desa kita tidak ada
yang bisa menyamainya. Kalau saja kepala desa kita
mendengar, mungkin orang itu akan dijadikan pem-
bantunya agar senantiasa memainkan musik kecapi
itu untuknya," ujar petani yang pertama kali membuka
pembicaraan. Dan kini rasa takutnya mulai hilang
ketika mendengar petikan kecapi yang bersuara
merdu dan menyegarkan itu.
"Hm... Kurasa ia belum tentu mau. Karena, kalau
melihat dari permainannya, paling tidak ia biasa
bermain di istana," timpal kawannya yang rupanya
lebih mengerti tentang kecapi.
Para petani itu pun menghentikan pembicaraan-
nya ketika beberapa orang wanita mendatangi
mereka. Kalau dihhat dari bawaan para wanita itu,
pastilah mereka adalah anak-anak atau istri petani
yang datang membawakan makanan. Dan kini para
petani itu terlihat bergegas naik dan mencuci
tangannya yang penuh lumpur.
Para petani itu pun tidak menyadari kalau saat itu
suara kecapi yang mereka nikmati tadi telah lenyap.
Dan suasana pun kembali hening dan sepi.
***
Matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya yang
semula memancar garang, kini tampak meredup.
Sesosok tubuh berambut meriap tampak duduk
bersila di bawah sebatang pohon yang berdaun
rindang. Jari-jari tangannya tampak menari-nari di
atas dawai kecapi di depannya. Wajahnya menunduk
dalam seolah benar-benar tengah menikmati alunan
musik yang dimainkannya itu.
Sesaat kemudlan, kepalanya terdongak menatap
cakrawala biru. Terdengar tarikan napasnya yang
berat. Sesaat kemudlan, nyanyiannya kembali ter-
dengar.
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Suara nyanyian terdengar bergetar, seolah-olah
apa yang tengah dirasakannya ditumpahkan dalam
nyanyian itu. Maka orang-orang yang mendengarnya
seperti ikut terhanyut dalam kedukaan. Tapi ketika
orang mendengar nyanyian baris ketiga dan keempat,
bulu kuduk pun merinding. Bisa ditebak kalau suara
lelaki itu terdengar jelas mengandung dendam yang
dalam!
Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam
melangkah dengan tergesa-gesa keluar dari dalam
gerbang Perguruan Jalak Hitam. Kemudian mereka
menghampiri seorang lelaki pemetik kecapi yang
terpisah sejauh enam tombak dari pintu gerbang
perguruan itu.
"Kisanak. Jika saja kau suka mengubah syairmu
dengan kata-kata yang lebih indah, aku yakin per-
mainan musikmu akan lebih terasa kenikmatannya,"
tegur salah satu dari kedua orang itu ketika tiba di
depan si pemetik kecapi.
"Benar, Kisanak. Syair-syair yang kau nyanyikan itu
terasa tidak enak di hati kami. Cobalah rubah dengan
kata-kata yang lebih indah. Pasti nanti kami akan
memberi bayaran tinggi. Bagaimana?" usul orang
yang bertubuh pendek dan gemuk.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya
menatap tajam ke arah kecapi yang dimiliki orang itu.
Kecapi yang berwarna perak itu tampak berkilatan
tertimpa cahaya matahari. Diam-diam hatinya merasa
heran melihat kecapi itu.
Lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak
menyahut. Jemarinya terus saja digerakkan di atas
dawai-dawai kecapi. Dan sepertinya, ia memang tidak
peduli dengan kedua orang itu.
"Kisanak. Apakah kau tuli sehingga tidak men-
dengar kata-kata kami?" tanya orang yang bertubuh
kurus, mulai merasa tersinggung karena ucapannya
tidak ditanggapi.
"Sabarlah, Kakang. Siapa tahu orang ini benar-
benar tuli," bujuk orang yang bertubuh gemuk.
Kemudian tubuhnya pun dibungkukkan untuk
melihat lebih jelas wajah orang itu. Namun ia menjadi
penasaran karena wajah orang itu tertutup rambut
yang meriap. Sehingga wajahnya tidak bisa terlihat
jelas.
"Kisanak. Apakah kau memang tidak mendengar
suara kami? Atau sengaja ingin mempermainkan
kami?" tanya orang bertubuh gemuk itu dengan suara
agak keras. Namun pemetik kecapi itu tetap saja
membungkam, bahkan sama sekali tidak meng-
angkat kepalanya.
"Huh! Aku tidak peduli apakah kau tuli atau tidak!
Sekarang cepat tinggalkan tempat ini, sebelum
kesabaran kami hilang!" bentak orang pertama,
gusar. Wajahnya tampak gelap karena hawa
kemarahan telah naik ke kepalanya.
Mendengar bentakan itu, si pemetik kecapi
perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Sepasang
matanya tampak mencorong tajam, membuat kedua
orang itu bergerak mundur tanpa sadar.
"Hm.... Apakah kalian murid Ki Suta yang berjuluk
Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki berambut
meriap itu. Suaranya terdengar dingin dan kaku,
sehingga membuat tubuh kedua orang itu semakin
gemetar hebat
"Siapa..., siapa kau? Apa maksudmu menanyakan
guru kami?" tanya orang yang bertubuh kurus dengan
suara gagap. Sedangkan kakinya terus melangkah
mundur seraya meraba gagang pedang, meskipun
dengan tangan gemetar.
"Jawab saja pertanyaanku kalau kau masih sayang
nyawamu," sahut si pemetik kecapi. Nada suaranya
datar, namun mengandung ancaman maut
Setelah berkata demikian, jemari tangan kanannya
bergerak memetik dawai kecapi secara berbarengan.
Creeeng!
"Aaah...!"
Dua orang itu berteriak kaget. Tubuh mereka
langsung terjengkang bagai didorong kekuatan hebat
yang tak tampak.
Sambil menekap dada yang berguncang akibat
suara petikan kecapi, keduanya bergerak bangkit.
Wajah mereka nampak semakin pucat! Mereka
benar-benar terkejut karena tidak melihat orang itu
menggerakkan tangannya. Kelihatannya kedua orang
itu belum tahu kalau yang membuat mereka jatuh
adalah suara petikan kecapi.
"Katakan kepada gurumu kalau ada seorang
pemetik kecapi yang datang menagih hutang sepuluh
tahun yang lalu. Pergilah sebelum aku berubah
pikiran dan menjatuhkan tangan kejam kepada
kalian," ancam lelaki berambut meriap itu datar.
Setelah berkata demikian, wajahnya kembali
ditundukkan. Sedangkan jemari tangannya kembali
menari-nari di atas dawai kecapi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang lelaki itu
pun bergegas berbalik. Mereka kemudian melangkah,
masuk ke dalam perguruan. Dengan langkah lebar-
lebar mereka langsung menghadap guru besar
mereka yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti.
***
"Hm.... Apakah orang itu tidak menyebutkan nama
dan daerah asalnya?" tanya Ki Suta setelah men-
dengar penuturan kedua orang muridnya.
Lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu
beranjak dari kursinya. Ia berjalan hilir mudik dengan
kening berkerut.
"Ampun, Guru. Kami tidak berani banyak bertanya,
karena orang itu akan membunuh kami," jawab salah
satu dari dua orang murid yang melapor.
Wajah mereka tertunduk dalam-dalam, dan tidak
berani menatap wajah Ki Suta yang terlihat keruh itu.
"Bangkil, Wirja! Coba kalian lihat dan tanyakan,
apa maunya orang itu menanyakan aku. Kalau dia
berbuat macam-macam, beri pelajaran agar lain kali
tidak meremehkan orang lain!" perintah Ki Suta
kepada dua orang murid utama yang duduk bersila di
sampingnya.
Orang yang dipanggil Bangkil dan Wirja itu
bergegas bangkit berdiri.
"Baik, Guru," sahut keduanya.
Mereka menjura untuk memberi hormat,
kemudian segera melangkah keluar. Setibanya di luar
bangunan perguruan, kedua orang itu meng-
isyaratkan kepada beberapa orang murid untuk
mengikutinya.
"Hm... Diakah yang kalian maksud?" tanya Bangkil
kepada kedua orang yang tadi melaporkan kejadian
itu.
"Betul, Kakang. Hati-hatilah! Sepertinya orang itu
memiliki kepandaian tinggi. Buktinya kami tadi dapat
dijatuhkan dengan mudah," jawab laki-laki bertubuh
gemuk pendek itu setengah berbisik.
"Hm...."
Orang yang bernama Bangkil itu hanya bergumam
tak jelas. Kelihatan sekali kalau dia tidak memandang
sebelah mata pun kepada lelaki berambut meriap
yang masih asyik memainkan kecapinya. Sepertinya
kedatangan murid-murid Perguruan Jalak Hitam sama
sekali tidak diketahui. Kepalanya pun tetap saja
menunduk tanpa mempedulikan keadaan di
sekelilingnya.
"Hm.... Siapakah di antara kalian yang berjuluk
Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki pemetik kecapi
itu tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun. Sedang-
kan jari-jarinya tetap saja menari-nari di atas dawai
kecapi.
"Siapa kau, Kisanak. Dan apa keperluanmu
mencari guruku?! Apakah kau sedemikian pengecut-
nya, sehingga tidak berani memperkenalkan nama?!"
bentak Bangkil.
Laki-laki berbadan tegap dan berusia sekitar tiga
puluh tahun ini merasa tersinggung sekali melihat
cara orang itu menghadapinya. Wajahnya berubah
gelap, karena seumur hidupnya baru sekali inilah ada
orang yang demikian rendah memandangnya. Ingin
rasanya Bangkil menebas putus leher orang itu kalau
tidak ingat pesan gurunya.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian.
Sebaiknya panggil saja guru kalian," tegas orang itu
lagi yang masih saja memainkan kecapinya.
Meskipun dalam nada suaranya terdengar biasa,
namun jelas sekali kalau dia telah menganggap
remeh orang-orang yang mendatanginya.
"Keparat, kau! Apakah kau kira dirimu raja yang
dapat memerintah seenak perutnya! Huh...! Kau
memang pantas untuk diberi pelajaran!" bentak
Bangkil yang sudah menjadi kalap.
Srettt!
Bangkil melolos pedangnya dengan sikap meng-
ancam. Meskipun dalam keadaan marah, namun
Bangkil tetap saja tidak sudi berbuat curang. Laki-laki
ini belum juga melancarkan serangan, karena pemain
kecapi itu masih saja menundukkan kepalanya.
Sikapnya benar-benar tidak peduli.
"Beri dia pelajaran agar lain kali tidak bersikap
sombong dan memandang rendah orang lain!"
perintah Bangkil mengisyaratkan beberapa orang
murid Perguruan Jalak Hitam untuk menghajar lelaki
pemetik kecapi itu.
"Haaat..!"
Wuttt! Wuttt...!
Enam batang senjata berkelebat mengancam
seluruh tubuh lelaki berambut meriap itu. Namun
dengan masih bersila, tubuh orang itu mendadak
melayang dan berpindah ke tempat lain. Maka
senjata orang-orang itu hanya membabat rerumputan
kering.
"Hm.... Kuperingatkan sekali lagi, pergilah! Panggil
gurumu! Jangan sampai kesabaranku habis!" ancam
lelaki berambut riapan, seraya berdiri tegak sambil
menenteng kecapinya.
Ternyata, orang itu baru berusia sekitar tiga puluh
tahun. Wajahnya tampak dingin dan kaku. Garis-garis
penderitaan tampak jelas di wajahnya yang kokoh itu.
"Keparat kau, Jembel Busuk! Rupanya kau
memang sengaja hendak mencari keributan!" maki
Bangkil, seraya melangkah maju dengan pedang
terhunus.
"Hm...."
Dimaki demikian, orang itu sama sekali tidak
menunjukkan kemarahan. Wajahnya tetap datar
tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya saja yang
mencorong menggetarkan jantung. Maka tidak satu
pun dari mereka yang berani menatap mata lelaki itu
secara langsung.
"Yeaaat..!"
Bangkil berseru nyaring disertai sambaran pedang
yang berdesing tajam. Nampaknya, murid utama Ki
Suta ini sudah tidak mempedulikan lagi, apakah
serangannya dapat membunuh orang itu atau hanya
melukainya. Ia benar-benar telah marah melihat sikap
angkuh yang diperlihatkan pemetik kecapi itu.
Melihat saudara seperguruannya sudah mulai
meneejang, Wirja juga bergegas menyusul. Senjata-
nya yang juga berupa sepasang pedang, berkelebat
cepat mengancam beberapa bagian tubuh lawan
yang mematikan.
Lelaki pemetik kecapi itu hanya menggeser
tubuhnya sedikit untuk menghindari sambaran
pedang Bangkil. Kemudian tubuhnya diliukkan,
menggunakan kuda-kuda harimau. Maka, serangan
Wirja hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya.
Lalu secara tak terduga kaki kanannya terangkat naik
menghantam punggung Wirja yang saat itu sudah
berada di depannya.
Zebbb!
"Heaaah...!"
Tapi Wirja bukan orang bodoh. Mendapat
serangan yang tak terduga itu, dia segera bergulingan
menjauhi lawan sambil berteriak keras. Kemudian,
cepat sekali pedangnya disabetkan ke a rah kaki
lawan.
"Mampus kau!" teriak Wirja yang merasa yakin
kalau babatan pedangnya itu pasti akan memutuskan
kaki lawan.
Namun untuk menjatuhkan si pemetik kecapi
tidaklah semudah yang dibayangkannya. Karena pada
saat yang tepat, kaki si pemetik kecapi telah lebih
dulu menendang cepat ke arah punggung.
Bettt!
Dugkh!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung kaki lelaki
pemetik kecapi itu menghantam punggung Wirja
tepat dan keras. Tubuh murid Perguruan Jalak Hitam
itu langsung terpental hingga beberapa tombak ke
belakang. Wirja bergegas bangkit berdiri. Wajahnya
tam pak menyeringai menahan rasa nyeri yang hebat
di punggung.
"Uhhh...! Bangsat kau...!" umpat Wirja sambil
menggigit bibirnya kuat-kuat, untuk menahan rasa
sakit yang dideritanya.
***
Bangkil dan teman-temannya begitu terkejut
melihat Wirja dapat dilumpuhkan hanya dalam
beberapa jurus saja. Dengan kemarahan yang
meledak-ledak, laki-laki bertubuh sedang itu kembali
menyerbu.
Demikian pula enam orang murid lainnya, yang
turut menerjang secara berbarengan. Mereka ber-
pencar dan bersiap menghabisi si pemetik kecapi
dengan penyerangan dari segala penjuru.
Tapi lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak
gentar. Dengan gerakan tenang, ia malah duduk di
atas rerumputan. Alat musik kecapi diletakkan di
depannya. Sesaat kemudian, jemari tangannya
bergerak semakin cepat. Hingga permainan kecapi itu
tak ubahnya ombak samudera yang bergemuruh
dahsyat!
"Aaa...!"
Seketika Bangkil dan enam orang murid Perguruan
Jalak Hitam mendadak menghentikan serangan. Dan
memang, ternyata dari depan mereka seolah-olah
ada sebuah kekuatan yang mendorong ke belakang.
Bukan itu saja. Dada dan telinga mereka bagaikan
digedor dari dalam. Akibatnya, tubuh mereka bergetar
hebat bagaikan terserang demam.
Ketujuh orang berseragam hitam itu berteriak dan
menjerit-jerit kesakitan. Kedua tangan mereka
masing-masing menekap telinga yang terasa bagai
hendak pecah, disertai gerakan limbung. Seolah-olah,
saat itu tengah terjadi gempa yang mengguncangkan
jagat!
Sedangkan alunan suara kecapi yang dimainkan
orang itu semakin kacau dan tak beraturan. Sebentar
terdengar lambat, namun di lain saat berubah cepat
dan bergemuruh. Akibatnya ketujuh orang yang
semula hendak mengeroyoknya semakin kelabakan
bagaikan cacing kepanasan.
"Hentikan...!"
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat disertai bentakan menggelegar!
Bayangan itu menjejakkan kaki dalam jarak enam
tombak dari lelaki pemetik kecapi yang segera meng-
hentikan permainannya. Rupanya bayangan itu
adalah Ki Suta, Ketua Perguruan Jalak Hitam. Dia
juga ditemani beberapa muridnya.
Begitu irama permainan kecapi berhenti, ketujuh
orang itu langsung roboh bagai sebatang pohon
lapuk. Mereka langsung bergeletakan pingsan, dan
tidak ingat apa-apa lagi.
"Hm.... Sepertinya kau sengaja tidak bermaksud
membunuh murid-muridku. Sebenarnya kalau mau,
kau dapat saja mengerahkan tenaga dalam lebih kuat
lagi. Maka akan tamatlah riwayat tujuh orang muridku
itu. Mengapa tidak kau lakukan? Apa sebenarnya
yang kau inginkan dariku, Kisanak?" tanya sosok yang
baru datang itu dengan suara berwibawa. Lelaki
setengah baya itu menatap wajah si pemetik kecapi
lekat-lekat Sepertinya dia tengah berusaha meng-
ingat, siapa gerangan tokoh ini.
"He he he.... Matamu ternyata tajam sekali, Ki
Suta. Tapi apakah ingatanmu juga setajam matamu?"
kata lelaki berambut meriap sambil tertawa dingin.
Meskipun bibirnya bergerak bagaikan orang ter-
tawa, namun wajahnya tetap dingin dan beku
sehingga kesan yang ditimbulkan semakin menye-
ramkan.
"Tidak perlu berteka-teki denganku, Kisanak.
Sebut saja siapa namamu, dan apa keperluanmu
mencariku? Cepatlah! Kalau kau tidak mau berterus-
terang, maka aku tidak akan sudi melayanimu!
Namun, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus
bertanggung jawab atas kekacauan yang kau
timbulkan di tempat ini!" tegas Ki Suta. Meskipun
nada suaranya tetap terdengar tenang, namun nyata
sekali kalau tersirat suatu ancaman.
"Hm.... Kalau kau memang sudah melupakannya,
aku akan membantumu untuk mengingat-ingatnya di
akhirat nanti. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk
melayat ke neraka!" ancam lelaki berambut meriap
itu sambil memasang kuda-kuda, siap menghadapi
sebuah pertempuran mati-matian.
"Kurang ajar! Kau benar-benar tidak memandang
muka kepadaku. Bedebah! Apakah kau pikir aku akan
takut melihat ilmu silat pasaran yang kau per-
tunjukkan itu! Huh! Jangan merasa sombong dulu,
Kisanak. Kalau memang sebuah pertempuran yang
diinginkan, aku tidak akan menolaknya!" sahut Ki
Suta sambil meraba gagang pedangnya yang ter-
sampir di punggung.
Srek!
Perlahan-lahan selarik sinar kebiruan muncul
ketika pedang Ki Suta mulai tercabut. Rupanya sinar
kebiruan itu muncul dari badan pedang, sehingga
begitu menyilaukan mata.
Cwiiit! Swiiing!
Terdengar suara sambaran angin tajam ketika Ki
Suta menggerakkan senjata di depan tubuhnya. Lalu
lelaki setengah baya yang berjuluk Pendekar Pedang
Sakti itu melangkahkan kaki kanannya mundur ke
belakang. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri
menekuk. Pedangnya tampak melintang di depan
muka dengan mata pedang menuju ke bawah.
Sedangkan tangan kirinya teracung lurus ke depan
menunjuk wajah lawan. Itulah pembukaan jurus 'Ilmu
Pedang Delapan Arah Mata Angin' yang merupakan
ilmu andalan Ki Suta. Dan kini ilmu itu dikerahkan
karena disadari kalau lawannya bukanlah orang
sembarangan. Dan itu sudah disaksikan ketika lelaki
berambut meriap itu tengah menghadapi keroyokan
murid-muridnya.
"Hm...."
Lelaki gagah pemetik kecapi itu bergumam lirih,
dan sepasang matanya mencorong tajam meneliti
setiap gerakan lawannya. Sepertinya ia sudah dapat
menebak kalau jurus yang akan digunakan Ki Suta
bukanlah jurus-jurus pasaran, melainkan sebuah ilmu
silat tinggi yang tidak bisa dianggap remeh.
Sesaat kemudian, laki-laki muda berwajah dingin
dan kaku itu menggeser tubuhnya beberapa langkah
ke belakang. Dengan pandangan mata tetap tertuju
ke depan, segera dibentuknya kuda-kuda serong
dengan posisi menyamping. Kecapi yang berwarna
perak itu terangkat tinggi di atas kepalanya.
Sedangkan tangan kirinya yang jari-jarinya terbuka
berada di sisi pinggang. Rupanya si pemetik kecapi
itu telah pula menyiapkan ilmu andalannya yang
cukup dahsyat
Dan untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh itu
hanya saling pandang sambil melangkah berputar ke
arah yang berlawanan.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan menggelegar, tubuh lelaki
pemetik kecapi itu melompat tinggi hingga dua
tombak. Kecapi perak di tangannya bergerak cepat
membuat putaran. Sesaat kemudian, kecapi itu
meluncur deras menuju batok kepala lawan.
Wuttt!
Ki Suta bukan tidak tahu akan bahaya yang tengah
mengancamnya. Begitu melihat lawannya mulai
membuka serangan, pedangnya segera digerakkan
membentuk gulungan sinar biru yang berpendar dan
membungkus tubuhnya. Dan begitu melompat
menyambut serangan lawan, ujung pedang di
tangannya tiba-tiba saja muncul dari dalam lingkaran
dan langsung melancarkan serangan sebanyak lima
kali berturut-turut.
Cwiiit! Swiiit...!
Mata pedang yang membentuk gulungan sinar biru
itu meluncur mengancam lima buah jalan darah di
tubuh lawan.
Melihat serangan yang mematikan, lelaki muda
berwajah dingin itu menarik pulang serangannya.
Cepat-cepat gerakannya dirubah untuk memapak
lima buah serangan Ki Suta dengan menggunakan
badan alat musik kecapinya.
Trang! Trang! Trang!
"Aaah...!"
Terdengar benturan nyaring yang disusul teriakan
kaget dari mulut Ki Suta. Tubuh laki-laki setengah
baya itu terpental ke belakang akibat tangkisan
lawan. Namun dengan sebuah gerakan indah, dia
berputar sebanyak tiga kali di udara, dan hinggap di
atas tanah dengan indahnya. Hanya saja, wajahnya
agak sedikit pucat
Sedangkan gerakan lelaki berambut meriap itu
sama sekali tidak terpengaruh benturan keras tadi.
Bahkan ia kembali meluncur dan melancarkan
serangan yang mematikan ke arah Pendekar Pedang
Sakti.
Ki Suta yang belum sempat memperbaiki posisi-
nya, bergegas melempar tubuh dan bergulingan
hingga sejauh tiga tombak. Kemudian ia kembali
melenting bangkit dan mengatur kuda-kudanya.
Begitu serangan lawan kembali datang, pedangnya
diayunkan untuk menyambut serangan lawan. Dan
kini pertarungan pun kembali berlangsung semakin
sengit.
Ketua Perguruan Jalak Hitam itu melancarkan
serangannya dengan cepat dan ganas. Sebagai
seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti,
tentu saja permainan pedangnya tidak bisa
dipandang rendah. Serangan-serangan yang dilancar-
kan tampak demikian hebat dan menggetarkan.
Cahaya kebiruan yang terpancar dari batang pedang-
nya tampak bergulung-gulung dan menyambar-
nyambar di sekeliling tubuh lawan. Tampaknya Ki
Suta telah menguras seluruh kepandaiannya untuk
mengalahkan orang itu.
Di lain pihak, lelaki berambut meriap itu ternyata
memang bukan orang sembarangan. Senjata yang
digunakannya sebenarnya tidak lumrah bagi seorang
pesilat. Namun ternyata, ia dapat mengimbangi
permainan lawan dengan baik. Bahkan serangan-
serangan balasannya tidak kalah berbahaya dengan
sambaran pedang lawan.
Setelah menghabiskan kurang lebih lima puluh
jurus, mulai nampak kalau ilmu yang dimiliki lelaki
berwajah dingin itu ternyata masih lebih tinggi
dibanding Ki Suta. Hingga memasuki jurus kelima
puluh tiga, tampak Pendekar Pedang Kilat semakin
terdesak oteh serangan-serangan lawan yang
semakin gencar dan berhawa maut itu.
Wukkk!
"Aihhh...!"
Ki Suta berseru tertahan ketika pada jurus
keenam puluh hampir saja tubuhnya terkena
hantaman kecapi perak lawan. Untunglah tubuhnya
masih sempat digulingkan, sehingga hantaman
senjata lawan hanya mengenai tempat kosong.
Namun wajah Ketua Perguruan Jalak Hitam itu
mendadak pucat. Karena pada saat tubuhnya
melenting bangkit, tahu-tahu saja kecapi yang
terlapisi perak itu telah meluncur mengancam
kepalanya. Cepat orang tua itu meliukkan tubuhnya
dengan kuda-kuda rendah. Untunglah serangan itu
lewat di atas kepalanya. Dan baru saja Ki Suta
hendak menarik napas lega, telapak tangan kiri lawan
telah menggedor dada kirinya.
Blakkk!
"Huaghkkk..!"
Pendekar Pedang Sakti langsung memuntahkan
darah segar ketika hantaman telapak tangan yang
berisi tenaga dalam tinggi itu mengenai dadanya.
Tubuh orang tua itu terjengkang ke belakang tanpa
dapat dicegah lagi. Belum lagi tubuhnya terjatuh ke
tanah, kecapi perak di tangan lawan kembali terayun
ke arah kepalanya.
Wukkk!
Prakkk!
"Hugkh...!"
Sungguh malang nasib orang tua itu. Kini kecapi
perak itu telah menghantam kepalanya hingga pecah!
Darah segar bercampur cairan putih kental langsung
memercik membasahi bumi. Tubuh tanpa kepala
milik Ki Suta langsung ambruk ke atas tanah. Setelah
berkelojotan sesaat, tubuh Ketua Perguruan Jalak
Hitam itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Lelaki berambut meriap itu berdiri tegak meng-
awasi mayat lawannya. Bibirnya tampak menyung-
gingkan senyum puas. Lalu tangannya diulurkan,
merobek sabuk Ki Suta. Dengan tenang, dibersih-
kannya alat musik kecapi di tangannya dengan
sobekan kain itu. Setelah bersih, orang aneh itu pun
melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Guru...!"
Belasan orang laki-laki berseragam hitam dengan
bagian dada bergambar burung jalak itu menghambur
ke arah mayat gurunya. Beberapa di antaranya berlari
memburu orang yang telah membunuh gurunya itu.
Rupanya mereka baru tersadar setelah melihat
kepergian si pemetik kecapi. Belasan orang murid
yang menyaksikan pertarungan tadi sempat ter-
kesima melihat kematian Ki Suta. Mereka hampir
tidak mempercayai kalau sang Guru telah roboh di
tangan orang itu.
"Jahanam! Mau lari ke mana kau, Pembunuh
Keji?! Kau harus menebus kematian guruku dengan
darahmu!" bentak salah seorang murid yang telah
mengepung lelaki pemetik kecapi itu.
"Maaf. Aku tidak mempunyai urusan dengan
kalian. Lebih baik urus mayat gurumu itu," kilah orang
itu sambil terus melangkahkan kakinya tanpa
mempedulikan orang-orang yang menghadangnya
dengan senjata terhunus.
"Huh! Enak saja bicara! Langkahi dulu mayat kami
baru kau dapat meninggalkan tempat ini!" teriak yang
lainnya dengan kemarahan yang meluap-luap
Dan tanpa mempedulikan keselamatan lagi, orang
itu pun melompat menerjang dengan sambaran
pedangnya.
Wuttt!
"Hm...."
Sambil tetap menenteng kecapi peraknya, lelaki
itu melangkah mundur menghindari sambaran
pedang yang mengancam perutnya. Begitu sambaran
pedang luput, kakinya kembali bergerak melakukan
tendangan ke dada murid Perguruan Jalak Hitam itu.
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh penyerang itu
terjungkal disertai semburan darah dari mulutnya,
dan langsung tergeletak tak berdaya dengan napas
satu-satu.
Melihat kejadian itu, yang lainnya tanpa sadar
bergerak mundur! Dan kesempatan itu tidak disia-
siakan lelaki berambut meriap. Sesaat kemudian,
tubuhnya pun melesat meninggalkan tempat itu
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang
sudah cukup sempurna. Beberapa saat saja, tubuh-
nya hanya berupa bayangan samar yang bergerak di
antara pepohonan. Sedangkan murid-murid Ki Suta
hanya dapat memandang tanpa mampu mengejar-
nya.
"Keparat! Tunggu saja pembalasanku nanti!" teriak
salah seorang murid, geram dan penuh dendam.
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan Jalak
Hitam bergegas mengangkat tubuh Bangkil dan tujuh
orang lainnya yang masih tergeletak pingsan. Sedang-
kan murid yang Iain membawa mayat guru mereka ke
dalam bangunan perguruan. Sehingga dalam be-
berapa saat saja, halaman depan gedung perguruan
itu tampak sunyi dan hening.
***
DUA
Di bawah siraman cahaya matahari pagi, tampak dua
orang pengendara kuda bergerak menuju ke arah
Barat. Mereka menggebah kudanya agar berlari
semakin cepat, sehingga menimbulkan kepulan debu
yang membumbung ke angkasa. Padahal, kuda-kuda
itu sudah mendengus-dengus kelelahan.
Kedua orang penunggang kuda itu menarik tali
kekang ketika tiba pada sebuah pertigaan jalan.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengamati
jalan yang terbentang di depan mereka. Sepertinya,
keraguan mereka mulai timbul ketika melihat jalan
yang terpecah, antara belok kiri dan belok kanan.
"Mengapa berhenti, Kakang? Apakah kau telah
lupa jalannya?" tanya penunggang kuda yang ber-
tubuh kurus seraya menatap wajah kawannya yang
bertubuh kekar itu.
"Hm..., entahlah. Sebaiknya kita ambil jalan yang
ke kiri saja. Kalau bertemu desa nanti, aku akan ber-
tanya kepada penduduk. Mari, kita berangkat!" ajak
lelaki bertubuh kekar itu.
Dia kemudian melarikan kudanya perlahan,
karena jalan yang dilewati itu banyak ditebari baru
yang bertonjolan. Kalaupun dipaksa cepat, mungkin
kuda mereka akan terperosok.
"Huh! Jalanan rusak seperti ini, apa mungkin di
depan sana ada pedesaan?" gumam lelaki bertubuh
kurus mengomel tak karuan.
"Seingatku, di depan sana memang terdapat
sebuah desa, Adi," sahut lelaki bertubuh kekar itu
Tidak berapa lama kemudian, jalan yang dilalui
kembali mulus. Dan mereka kembali membedal kuda
mereka agar berlari lebih cepat
"Nah, betulkan kataku. Lihatlah! Bukankah itu
mulut sebuah desa," ujar lelaki bertubuh kekar sambil
menunjuk ke sebuah tanda yang menunjukkan ada-
nya desa yang hanya beberapa ratus batang tombak
lagi.
Laki-laki kurus yang diajak bicara hanya meng-
angguk dengan wajah cerah. Sepertinya hatinya
merasa gembira karena apa yang diduga kawannya
itu benar. Dan kini desa itu tidak jauh lagi di depan
mereka.
"Berarti perjalanan kita tidak akan lama lagi,
bukan?" laki-laki bertubuh kurus itu minta penegasan,
seraya menyusut keringat yang menitik di kening.
"Hm...," gumam orang bertubuh gemuk itu meng-
iyakan.
Kemudian kudanya segera digebah agar berlari
semakin cepat. Sepertinya dia sudah tidak sabar
untuk mencapai mulut desa.
"Heya, heya, heyaaa...!"
Lelaki bertubuh kurus yang berada di belakang,
bergegas membedal kuda, menyusul kawannya yang
telah melesat ke depan. Hingga tidak berapa lama
kemudian, rumah-rumah penduduk pun mulai
nampak.
"Kita beristirahat dulu sejenak di kedai itu untuk
menyegarkan tubuh. Setelah itu, baru kita lanjutkan
perjalanan," usul orang bertubuh kekar itu seraya
membelokkan kudanya ke arah kedai yang terlihat
agak ramai oleh pengunjung. Maka, kawannya pun
bergegas mengikuti.
***
Laki-laki bertubuh kekar dan yang bertubuh kurus
telah keluar dari kedai dengan wajah lebih cerah dan
segar. Mereka bergerak menuju kuda masing-masing.
"Kau tidak jadi bertanya kepada penduduk di sini,
Kakang?" tanya si kurus mengingatkan kawannya,
sambil melangkah.
"Hm.... Tidak perlu! Karena setelah bertemu desa
ini, aku yakin tujuan kita sudah dapat ditemukan,"
sahut laki-laki bertubuh kekar itu.
Dia kemudian segera melompat ke atas punggung
kuda, diikuti temannya. Begitu ringannya gerakan
mereka. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah
cukup tinggi. Kini kuda mereka kembali berlari
menuju batas akhir desa itu.
Tidak berapa lama, kedua penunggang kuda itu
tiba di sebuah bangunan yang cukup besar.
Kelihatannya bangunan itu adalah sebuah perguruan.
Mereka tampak berhenti sejenak sambil meng-
edarkan panda ngan ke sekitar tempat itu, seolah-
olah hendak meyakini kalau tempat itu memang yang
dituju. Dan belum lagi mereka berbuat sesuatu, tiba-
tiba....
"Hei, berhenti! Siapa kalian?! Dan apa maksud
kalian datang ke tempat ini?!" tanya seorang laki-laki
yang sepertinya penjaga pintu gerbang perguruan.
Sedangkan penjaga yang seorang lagi tampak
menyelidiki wajah kedua orang itu dengan teliti.
"Namaku Bangkil, dan ini Wirja. Kami adalah
utusan dari Perguruan Jalak Hitam. Kedatangan kami
kemari bermaksud akan menemui Ketua Perguruan
Jari Besi," jawab lelaki kekar yang ternyata adalah
Bangkil itu. Tubuhnya yang tinggi besar tampak
membungkuk hormat kepada penjaga itu.
"Maksudmu, kau murid Pendekar Pedang Sakti!"
tanya si penjaga menegasi. Wajahnya tampak ber-
ubah begitu mendengar asal kedua orang itu.
"Benar. Dan kedatangan kami kemari membawa
sebuah berita yang sangat penting!" jawab Bangkil
cepat.
"Ah! Kalau begitu, mari, mari silakan masuk!"
Kemudian Bangkil dan temannya bergegas
memasuki pintu perguruan itu, diiringi dua penjaga
tadi.
"Kami akan melapor kedatangan kalian kepada
guru kami. Jadi, tunggulah di sini," ujar penjaga itu
lagi sambil melangkahkan kaki meninggalkan kedua
orang tamunya untuk melapor kepada guru mereka.
"Baik," jawab Bangkil dan Wirja sambil merayapi
daerah sekitar bangunan besar itu.
Mereka menganggukkan kepala ke arah para
murid yang tengah hilir-mudik mengerjakan
kesibukan masing-masing.
Tidak berapa lama kemudian, penjaga yang
melapor tadi telah muncul dan mempersilakan
Bangkil dan Wirja memasuki bangunan utama
berguman.
Bangkil dan Wirja bergegas memasuki bangunan
utama Perguruan Jari Besi. Ternyata, di situ telah
menunggu seorang laki-laki setengah baya yang
berwajah bulat. Dialah yang menjadi ketua perguruan
di sini. Maka Bangkil dan Wirja segera menjura mem-
beri hormat layaknya orang persilatan.
"Hm.... Kalian murid utama Ki Suta? Pesan apa
yang kalian bawa dari Ki Suta?" tanya Ketua
Perguman Jari Besi seraya mempersilakan duduk
kedua tamunya.
Namun, dua orang murid Perguruan Jalak Hitam
itu tidak segera menjawab. Mata mereka malah
terarah ke satu tempat. Di situ memang ada seorang
lagi yang usianya kira-kira empat puluh tahun.
"Tidak perlu khawatir. Dia ini juga sahabat guru-
mu!" lanjut lelaki setengah baya itu seperti bisa mem-
baca pikiran mereka.
Sinar keraguan di wajah Bangkil dan Wirja pun
lenyap setelah mendapat keterangan Ketua
Perguruan Jari Besi. Lalu mereka segera men-
ceritakan maksud kedatangan kepada kedua orang
sahabat guru mereka itu.
"Apa?! Guru kalian mati terbunuh?! Siapa yang
telah membunuhnya?" tanya lelaki setengah baya itu
terbangkit dari kursinya.
Sepertinya orang itu belum sepenuhnya mem-
percayai keterangan Bangkil. Karena ia tahu betul
sampai di mana kepandaian Ki Suta. Dan rasanya
sulit dapat dipercaya kalau ada orang yang berani
membunuh sahabatnya itu.
"Betul, Ki. Kami melihatnya dengan mata kepala
sendiri," timpal Wirja, ikut menegaskan.
"Dan kami tidak tahu, siapa orang yang telah
membunuh guru kami. Karena dia sama sekali tidak
memberitahukan namanya. Menurut yang kulihat,
orang itu memiliki sebuah alat kecapi yang bagian
luarnya dilapisi perak. Dalam sebuah syair yang
dinyanyikannya, disebut-sebut kalau ia membawa
dendam dari Selatan. Entah, kami tidak tahu apa
maksud syair yang selalu dinyanyikannya itu," tutur
Bangkil melengkapi keterangannya.
"Hm.... Bersenjata sebuah kecapi perak dan
datang dari daerah Selatan?" gumam Ketua
Perguruan Jari Besi mengerutkan keningnya, seraya
melangkah perlahan. Dia berusaha untuk mengingat
seorang tokoh yang memiliki senjata aneh itu. "Kau
dapat menerka, siapa tokoh itu, Adi Sura?"
Laki-laki bertubuh sedang yang dipanggil Sura itu
hanya menggelengkan kepalanya, karena memang
belum pernah mendengar tentang seorang tokoh
yang bersenjatakan sebuah kecapi berwarna perak.
"Entahlah, Kakang Ranggit. Mungkin orang itu
tokoh yang baru muncul di dunia persilatan! Rasanya
aku sama sekali belum pernah mendengarnya?"
sahut Sura setelah berpikir beberapa saat. Seperti-
nya, hatinya juga merasa penasaran ketika men-
dengar cerita Bangkil tadi.
"Bangsat! Siapa pula manusia keparat itu?! Ingin
rasanya aku melihat wajahnya!" ujar lelaki setengah
baya yang bernama Ki Ranggit sambil mengepalkan
tinjunya kuat-kuat. Terdengar suara buku-buku jarinya
berderak keras ketika tangannya dikepalkan.
"Hm.... Kalau memang Ki Suta sampai tewas di
tangannya, berarti kepandaian orang itu tidak bisa
dipandang ringan, Kakang. Mungkin ia seorang tokoh
tua yang baru turun dari pertapaan. Entah, apa
masalahnya hingga ia sampai bentrok dengan Ki
Suta?" gumam Sura yang telah bangkit berdiri.
Kakinya melangkah perlahan menghampiri Ki Ranggit
"Menurut penglihatanku, orang itu belum terlalu
tua. Mungkin usianya sekitar tiga puluh tahun. Dan
rambutnya panjang meriap," Bangkil yang mendengar
ucapan orang bernama Sura itu kembali memberi
gambaran tentang lelaki aneh yang telah membunuh
gurunya.
"Jadi orang yang membunuh gummu itu masih
muda?" tanya Sura semakin bertambah heran.
"Betul! Aku melihat jelas ketika ia mengangkat
wajahnya yang selalu menunduk itu," jawab Bangkil
cepat.
"Hm..., aneh!" gumam Ki Ranggit.
***
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
Pada saat Ki Ranggit dan Ki Sura tengah berpikir
keras untuk mengingat tokoh itu, tiba-tiba terdengar
alunan musik kecapi disertai nyanyian yang
menyelusup masuk ke dalam ruangan bangunan
Perguruan Jari Besi.
Mendengar suara nyanyian itu, tubuh Bangkil dan
Wirja menggigil hebat. Wajah mereka langsung pucat
bagai tak berdarah.
"Itulah! Itulah nyanyian orang itu, Ki! Dialah orang
yang telah membunuh guru kami!" kata Bangkil
dengan suara gemetar karena rasa takut dan tegang.
Ki Ranggit dan Sura yang semula hanya heran
mendengar suara nyanyian itu, jadi terkejut. Rasa
penasaran dan kemarahan semakin melecut hati
mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya ber-
gegas melangkah keluar.
"Sepertinya suara itu berasal dari samping
perguruan," duga Sura begitu mereka berhenti di
depan bangunan utama untuk mencari sumber suara
nyanyian dan alunan kecapi itu.
"Hm.... Mari kita lihat! Aku semakin tak mengerti,
mengapa orang aneh itu bisa sampai kemari?"
gumam Ki Ranggit sambil mempercepat langkahnya
melewati pintu gerbang perguruan.
Bangkil dan Wirja bergegas mengikuti kedua orang
itu dari belakang. Mereka ingin melihat, apa yang
akan dilakukan oleh kedua orang sahabat gurunya
itu.
Begitu tiba di halaman samping bangunan
perguruan, tampaklah seorang lelaki berambut
meriap tengah asyik memetik kecapinya di bawah
sebatang pohon. Ki Ranggit pun melihat empat orang
muridnya sudah berada di situ. Namun, sepertinya si
pemetik kecapi sama sekali tidak mempedulikan
ucapan dan bentakan empat murid Ki Ranggit.
Bahkan tetap saja menunduk sambil menggerakkan
jemarinya dengan lincah dan teratur.
Keempat murid Perguruan Jari Besi menoleh
ketika mendengar langkah kaki mendatangi tempat
itu. Begitu melihat kalau salah seorang dari mereka
adalah gurunya, keempat orang itu segera berlari
menyambutnya.
"Ampun, Guru. Kami sudah berusaha mengusirnya.
Tapi orang itu sama sekali tidak peduli. Kami tidak
tahu, apakah dia memang tuli atau sengaja mem-
bandel," lapor salah seorang murid Ki Ranggit yang
sudah bersimpuh di hadapan lelaki setengah baya itu.
"Hm.... Jadi dia memang sengaja tidak mau pergi?"
tanya Ki Ranggit penuh wibawa. Kemudian, jenggot-
nya yang sudah mulai berubah warna itu dielus-
elusnya.
"Betul, Guru. Kami tidak tahu, dari mana
datangnya. Karena tahu-tahu saja ia telah duduk di
bawah pohon itu dan memainkan kecapinya," jawab
orang itu lagi.
"Kalian menyingkirlah! Biar kulihat, apa sebenar-
nya yang dikehendaki orang itu!" ujar Ki Ranggit yang
segera melangkahkan kakinya mendekati orang itu.
Sedangkan si pemetik kecapi masih tetap saja
menunduk, seolah-olah sama sekali tidak mem-
pedulikan kedatangan orang-orang itu. Kecapinya
terus dipetik sambil memperdengarkan nyanyian yang
menimbulkan kesedihan dan keseraman itu.
"Kisanak. Apa sebenarnya tujuanmu datang ke
tempat ini?" tanya Ki Ranggit sambil meneliti sosok
tubuh yang tengah duduk di hadapannya itu. Jarak
keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak.
Mendengar teguran yang bernada mengancam itu,
si pemetik kecapi segera menghentikan permainan-
nya. Setelah menghembuskan napasnya kuat-kuat,
kepalanya perlahan-lahan diangkat.
"Eh...!?"
Ki Ranggit berseru tertahan. Hatinya benar-benar
terkejut melihat sinar mata orang itu yang mencorong
tajam dan mengandung kekuatan dahsyat.
"Hm.... Kau pasti si Jari Besi yang tersohor itu,
bukan?" tanya lelaki pemetik kecapi itu dengan suara
dingin menyeramkan. Sedangkan wajahnya tetap
beku dan tidak menggambarkan perasaan apa-apa.
Hanya sinar matanya saja menyiratkan dendam dan
sakit hati.
"Betul. Akulah si Jari besi. Kau sudah mengenalku,
Kisanak? Siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki
Ranggit lagi. Memang sejak tadi orang itu belum men-
jawab pertanyaannya.
"Hm.... Terserah, julukan apa yang hendak kau
berikan kepadaku. Aku tidak peduli! Yang pasti,
kedatanganku kemari adalah untuk menagih hutang
darah pada sepuluh tahun silam!" sahut orang itu
dengan wajah berubah gelap.
Setelah berkata demikian, jemari tangannya ber
gerak memetik dawai kecapinya secara berbarengan.
Jreeeng!
"Aaah...!"
Ki Ranggit berseru kaget karena tubuhnya terasa
bergetar akibat serangan suara kecapi itu. Cepat ia
melompat mundur sambil menyedot napas dalam-
dalam. Kemudian tenaga dalamnya dikerahkan untuk
melawan pengaruh suara petikan kecapi yang telah
menggetarkan dadanya itu. Diam-diam laki-laki
setengah baya itu semakin merasa terkejut melihat
kehebatan tenaga dalam pemetik kecapi yang dapat
disalurkan melalui kecapinya.
Sedangkan orang-orang lain yang ada di sekitar
situ sudah berlompatan mundur. Memang suara itu
juga mempengaruhi mereka. Bahkan empat orang
murid Perguruan Jari Besi sampai jatuh terjengkang.
Dari sudut bibir mereka nampak cairan merah
merembes keluar. Hebat sekali tenaga serangan yang
dilontarkan melalui dawai-dawai kecapi itu.
"Kisanak. Mungkin kau salah alamat! Kami sama
sekali tidak mengenalmu. Jadi, bagaimana mungkin
kalau mempunyai urusan denganmu? Jika kau
memang sengaja ingin mencari gara-gara, tidak perlu
menggunakan alasan! Kami akan melayani
tantanganmu!" tegas Sura.
Sura yang sudah bangkit kemarahannya bergegas
melangkah maju. Di tangannya telah tergenggam dua
batang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing.
Sepertinya ia telah siap untuk menghadapi orang itu.
"Hm... Pendekar Tombak Kembar, jadi kau sudah
berada di sini? Bagus kalau begitu. Jadi aku tidak
perlu susah-susah lagi mencarimu," kata lelaki
berambut meriap itu agak terkejut melihat adanya
Sura di tempat itu. Rupanya tadi ia sama sekali tidak
memperhatikan keberadaan Sura.
Bukan main terkejutnya Sura ketika orang itu
ternyata sudah mengenalnya. Dan hal itu mem-
buatnya semakin keheranan. Dan seingatnya, ia
sama sekali belum pernah bertemu pemetik kecapi
itu.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Dan dari
mana kau mengetahui kalau aku adalah Pendekar
Tombak Kembar? Jangan jadi seorang pengecut yang
mencari selamat, dengan menyembunyikan nama
atau julukan?" bentak Sura semakin penasaran.
Meskipun Sura telah berusaha mengingat, namun
tetap saja tidak dapat menebak lelaki aneh pemetik
kecapi itu. Dan hatinya semakin heran, karena orang
itu mengenalinya.
"Hm.... Tidak kusangka kalian telah menjadi
seorang pengecut! Dan meskipun kalian telah
melupakan peristiwa berdarah di kaki Gunung Balak
pada sepuluh tahun yang lalu, bagiku hutang itu tetap
harus dibayar lunas! Dan hari ini aku datang
menagihnya!" sahut orang itu yang tetap saja tidak
bersedia menyebutkan namanya.
"Hei!"
Ki Ranggit dan Sura berseru kaget berbarengan.
Mereka melangkah mundur dengan wajah pucat.
Kedua tokoh itu seperti terpukul setelah diingatkan
tentang kejadian itu.
"Dari.... Dari mana kau mengetahui peristiwa itu,
Kisanak? Dan rasanya, kami tidak mengenalmu?"
tanya Ki Ranggit.
Wajah orang tua itu nampak sedih. Sepertinya dia
merasa menyesal dengan kejadian yang telah
membuat hati mereka terpukul.
"Maaf. Bukan aku ingin menyembunyikan namaku,
tapi memang telah lama tidak kuingat lagi. Sepuluh
tahun aku menyembunyikan diri untuk dapat mem-
balaskan dendam sakit hati ini. Segala penderitaan
dan kesengsaraan tidak kupedulikan demi hutang
darah yang telah kalian perbuat. Dan kini aku datang
menagihnya!" tegas orang itu. Suaranya bergetar,
membayangkan peristiwa berdarah yang masih
melekat di benaknya.
"Kisanak. Kami memang bersalah saat itu. Dan
rasa bersalah itu terus mengganggu sehingga hidup
kami tidak memperoleh ketenangan. Namun kami
tidak mengelak dari tanggung jawab. Marilah per-
soalan ini diselesaikan dengan ujung senjata,"
tantang Sura yang rupanya juga tidak mau tanggung-
tanggung lagi. Dan sepertinya ia pun tidak takut
menerima pembalasan akibat perbuatan sepuluh
tahun yang silam.
"Aku tidak peduli, apakah kalian sudah menyesal
atau belum. Tugasku adalah membalas dendam! Jadi
jangan berharap dosa kalian akan kuampuni. Karena
penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi!" tegas
lelaki berambut meriap itu yang segera bersiap
menghadapi Ki Ranggit dan Sura.
"Kami tidak mengharap belas kasihanmu, Kisanak.
Dan kami pun tidak takut menerima hukuman,
karena hal itu akan lebih baik lagi. Dengan demikian
perasaan berdosa itu akan berkurang," sahut Ki
Ranggit yang juga sudah bersiap menghadapi
pembalasan yang akan dilakukan laki-laki pemetik
kecapi yang sama sekali tidak dikenal itu.
***
"Bersiaplah!" ujar lelaki bersenjata kecapi perak,
memperingatkan kedua orang lawannya. Sesaat
kemudian, tubuhnya telah melesat disertai teriakan
nyaring.
"Heaaat...!"
Melihat lawan sudah membuka serangan, Sura
segera memutar sepasang tombak pendeknya secara
berlawanan. Kemudian tubuhnya melompat
menyambut serangan.
"Yeaaat...!"
Menyadari kalau lelaki berambut meriap itu bukan
orang sembarangan, maka Ki Ranggit sudah pula
maju menyerbu. Meskipun hanya menggunakan
tangan kosong, namun serangannya jangan dianggap
remeh. Karena jari-jari tangannya itu sanggup
menembus tubuh lawan. Bahkan serangan tangannya
dapat lebih berbahaya daripada senjata tajam. Itulah
sebabnya, mengapa dia dijuluki Pendekar Jari Besi.
"Heaaah...!"
Lelaki pemetik kecapi membentak keras dan
melempar tubuhnya ke belakang. Karena pada saat
itu, serangan dari kedua orang lawannya datang
secara berbarengan. Begitu kakinya menginjak tanah,
tubuhnya langsung melesat kembali ke arah lawan-
lawannya. Senjata di tangannya mengaung dahsyat
bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah.
Wuttt! Wuttt...!
Selarik sinar keperakan berkilatan menyilaukan
mata ketika kecapi perak di tangan laki-laki berambut
meriap menyambar dengan kecepatan menggiriskan!
Ki Ranggit yang menjadi sasaran utama serangan
itu, bergegas menarik mundur kaki kanan sambil
mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Begitu
serangan lawan luput, kaki kanannya kembali
melangkah maju disertai tusukan jari-jari tangannya
yang meluncur deras menuju lambung dan iga lawan.
Namun hal itu sama sekali tidak membuat si pemetik
kecapi gugup. Dengan tenang kakinya digeser ke
samping disertai gerakan tubuh. Sementara, tangan
kirinya langsung terlontar ke lambung lawan yang
terbuka.
Tentu saja hati Ki Ranggit menjadi tercekat
melihat gerakan yang sama sekali tidak diduga itu.
Cepat kedua serangannya ditarik pulang dan
langsung tubuhnya dilempar hingga bergulingan
beberapa tombak.
Pada saat yang bersamaan, serangan tombak
kembar Sura meluncur datang. Dari sambaran
anginnya dapat ditebak kalau pendekar itu mengerah-
kan seluruh tenaga dalamnya. Sepasang mata
tombak kembar itu bergerak saling susul-menyusul
dengan kecepatan menggetarkan.
Swiiit! Swiiit...!
Si pemetik kecapi yang semula hendak mengejar
Ki Ranggit, terpaksa menarik tubuhnya. Ujung tombak
kembar pertama lewat di depan tubuhnya beberapa
jari. Sedangkan tombak yang lain bergerak menyilang
ke arah leher.
"Hmh...!"
Sambil mendengus mengejek, si pemetik kecapi
meliukkan tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu ia telah
berada di belakang tubuh Sura. Saat itu juga kecapi
peraknya terayun deras menghantam punggung
Pendekar Tombak Kembar.
Bugkh!
"Huaaagkh...!"
Hantaman yang telak dan keras itu membuat
tubuh Sura tersuruk ke depan, dan langsung
memuntahkan darah segar. Dan sebelum tubuhnya
sempat mencium tanah, sebuah tendangan keras
kembali menghajar punggungnya.
Desss!
"Hugkh...!"
Tubuh Sura langsung terpental deras ke depan.
Sepasang tombak yang semula tergenggam di
tangannya kontan terpental entah ke mana.
Sedangkan tubuhnya terus meluncur dengan kepala
terlebih dahulu mengarah ke sebatang pohon besar.
Derrr!
"Aaakh...!"
Terdengar bunyi berderak tulang patah, ketika
kepala Pendekar Tombak Kembar menghantam
batang pohon itu. Diiringi jerit kesakitan, tubuhnya
langsung ambruk ke tanah. Darah segar kontan
mengalir deras dari ubun-ubun kepalanya yang retak
akibat tumbukan yang keras tadi. Setelah meregang
nyawa beberapa saat, tubuh Sura pun diam tak
bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan luka-luka yang
amat parah di bagian kepala.
"Adi Sura...!" Ki Ranggit berteriak parau memanggil
nama sahabatnya.
Tubuh laki-laki setengah baya itu menggigil hebat
melihat kematian kawannya yang mengenaskan.
Untuk beberapa saat lamanya ia hanya dapat berdiri
kaku dengan sepasang mata membelalak dan wajah
pucat
"Jahanam kau, Manusia Iblis! Kau harus bayar
mahal kematian sahabatku itu!" bentak Ki Ranggit
dengan kemarahan menggelegak, memenuhi rongga
dadanya. Bagaikan orang kerasukan setan, Ki Ranggit
menerjang lawannya dengan serangan-serangan
ganas.
"Yeaaat..!"
Sambil memekik nyaring, jari-jari sepasang tangan-
nya yang terbuka menusuk susul-menyusul.
Swittt! Wuttt..!
Angin tajam berdesiran mengiringi tusukan jari
tangan yang keras bagaikan besi itu. Dalam waktu
singkat saja, Ki Ranggit telah melancarkan tujuh buah
serangan mematikan. Kalau saja lawannya tidak
berilmu tinggi, pasti sudah tergeletak tewas dengan
tubuh dipenuhi lubang.
Tapi sayang, kali ini Ki Ranggit harus menelan
kenyataan pahit. Serangan-serangannya yang
demikian gencar itu, ternyata dapat dihalau lawan
tanpa kesulitan berarti. Gerakan lawan yang demikian
lincah dan gesit, membuat kemarahannya semakin
meledak-ledak. Hatinya benar-benar merasa
penasaran sekali melihat serangan-serangannya
sama sekali tidak ada artinya bagi si pemetik kecapi.
Sehingga hal itu semakin membuat Pendekar Jari
Besi itu semakin kalap! Serangan-serangannya pun
semakin membabi buta dan tidak lagi terarah.
"Haaat..!"
Pada jurus yang keempat puluh, tiba-tiba lelaki
berambut meriap itu mengeluarkan bentakan keras
dan mengejutkan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
bergeser ke kiri dan langsung mengirimkan sebuah
tendangan kilat ke dada lawan. Tidak sampai di situ
saja. Kecapi perak di tangan kanannya juga terayun
deras menyusuli tendangannya.
Zebbb!
"Uh...!"
Ki Ranggit memiringkan tubuh untuk menghindari
tendangan yang kekuatannya tidak diragukan lagi itu.
Kemudian tubuhnya dilempar, lalu berputar beberapa
kali di udara untuk menghindari sambaran kecapi
perak yang mengancam pinggulnya. Begitu kedua
kaki menjejak tanah, Ki Ranggit kembali bersalto ke
belakang untuk menjaga kalau-kalau lawan akan
menyusuli serangan.
Tapi lelaki bersenjata kecapi perak itu sama sekali
tidak berusaha mengejar lawan. Dia malah berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang. Sepasang
matanya mencorong tajam menatap lawannya yang
terpisah sejauh lima batang tombak. Tampak lelaki
aneh itu menarik napas panjang, disertai geseran
kedua kakinya membentuk kuda-kuda. Tubuhnya
merendah dengan kedua lutut hampir bersentuhan.
Sepertinya ia tengah menyiapkan sebuah ilmu baru
yang merupakan andalannya.
"Bersiaplah menghadapi ilmu 'Kecapi Maut
Perenggut Sukma'ku, Jari Besi! Berbanggalah kau!
Karena, kaulah orang pertama yang akan merasa-
kannya!" desis si pemetik kecapi, dingin.
Wuuusss...!
Tak lama kemudian, angin keras berhembus
memenuhi daerah sekitar pertarungan. Ki Ranggit
terlihat gelisah karena merasakan ada suatu
pengaruh luar biasa yang menguasainya. Seketika itu
juga bulu kuduknya meremang karena dicekam
kengerian hebat
"Gila! Ilmu iblis macam apa lagi ini...?" desis Ki
Ranggit dengan perasaan gentar dan ngeri. Dan
tanpa malu-malu lagi, murid-muridnya segera di-
perintahkan untuk mengeroyok lelaki aneh berambut
meriap itu.
"Hei! Kenapa kalian diam saja seperti patung!
Serang dan bunuh manusia iblis, itu, Goblok!"
Puluhan murid Perguruan Jari Besi yang sejak tadi
sudah berkumpul di tempat itu, menjadi pucat ketika
mendengar bentakan gurunya. Dengan perasaan
takut-takut, mereka segera mencabut senjata dan
siap mengeroyok laki-laki bersenjata kecapi perak itu.
Bahkan empat orang murid utama Ki Ranggit sudah
mengambil kesempatan untuk menerjang lebih dulu.
"Yeaaat...!"
Sambil berteriak keras, salah seorang dari mereka
memberi isyarat untuk segera menyerang. Empat
batang pedang pun berkelebat mengancam dari
empat penjuru.
Wuttt! Wuttt..!
Suara sambaran angin pedang sama sekali tidak
mengganggu lelaki aneh itu. Bahkan terus saja
melaku-kan gerakan perlahan yang semakin lama
semakin cepat. Sesekali jemari tangan kanannya
bergerak menyentil dawai-dawai kecapi yang terasa
menggetarkan dada.
Creeeng! Jreeeng!
Hembusan angin bergemuruh semakin keras
mengiringi alunan kecapi yang kini digunakan untuk
menyerang. Pepohonan di sekitar tempat itu berderak
ribut bagaikan dilanda angin topan. Bahkan tembok-
tembok bangunan perguruan juga terlihat bergetar
bagaikan hendak roboh.
"Aaakh...!"
Empat orang murid utama Ki Ranggit terpental
balik bagaikan didorong sebuah kekuatan yang tidak
tampak. Tubuh mereka terbanting mencium tanah
disertai mengalirnya darah dari mulut, hidung, dan
telinga. Tubuh keempat orang itu berkelojotan bagai
mengalami siksaan hebat!
Demikian pula halnya dengan puluhan orang murid
yang tengah bersiap melakukan pengeroyokan.
Mereka berteriak dan menjerit-jerit kesakitan sambil
menutupi daun telinga yang terasa sakit bagaikan
ditusuk-tusuk ratusan jarum. Tubuh mereka ber-
jatuhan bagaikan pohon lapuk. Bahkan beberapa
belas orang di antaranya sudah diam tak bergerak,
tewas akibat serangan yang dilancarkan melalui
petikan dawai kecapi.
Untunglah Bangkil dan Wirja sempat melarikan diri
ketika melihat lelaki bersenjata kecapi itu mulai
merubah gerakan. Mereka yang pernah merasakan
kelihaian orang itu sudah mendapat firasat tidak enak
melihat gerakan-gerakan yang dilakukan si pemetik
kecapi.
Ki Ranggit yang mengalami serangan secara
langsung dari lawannya, menjadi menggigil hebat.
Orang tua itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya untuk mempertahankan isi dada yang
seperti terguncang hebat akibat petikan kecapi.
Keringat nampak semakin banyak membanjiri
tubuhnya. Wajahnya pucat dan merah berganti-ganti.
Sepertinya tidak lama lagi orang tua itu akan
mengalami nasib yang serupa dengan murid-
muridnya.
"Haaat..!"
Tiba-tiba saja, Ki Ranggit berteriak mengguntur
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Saat itu
juga tubuhnya meluncur melancarkan serangan.
Wuttt! Wuttt..!
Ki Ranggit terus bergerak maju sambil
menggerakkan kedua tangannya yang menimbulkan
angin berkesiutan. Telapak tangan yang jari-jarinya
terbuka meluncur bergantjan secara bersilangan.
"Yeaaat..!"
Lelaki muda bersenjata kecapi perak itu berteriak
nyaring. Tubuhnya melayang menyambut serangan Ki
Ranggit. Petikan kecapinya semakin keras dan meng-
getarkan jantung.
Creeeng!
"Aaargh...!"
Ki Ranggit menjerit ngeri ketika lawan semakin
memperkuat tenaganya dalam petikan kecapi itu.
Tubuh orang tua itu terlonjak ke belakang bagai
disentakkan sebuah tenaga raksasa yang tak tampak.
Selagi tubuhnya melambung ke udara, si pemetik
kecapi segera melompat tinggi disertai ayunan kecapi
perak ke arah kepala Ki Ranggit.
Wukkk! Prakkk!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, kepala orang tua itu
kontan berderak pecah. Cairan merah yang ber-
campur otak, berhamburan membasahi rerumputan
di sekitar tempat itu. Tubuh Ketua Perguman Jari Besi
ambruk menimbulkan suara berdebuk keras. Kini
tewaslah Pendekar Jari Besi dalam keadaan yang
lebih menyedihkan daripada sahabatnya.
"Mampuslah kau, Manusia Busuk! Susullah dua
orang kawanmu yang telah pergi lebih dulu," maki
lelaki berambut meriap itu dengan suara dingin
namun bernada maut.
Setelah berdiri beberapa saat sambil memandangi
mayat lawan-lawannya, ia pun melesat pergi
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa
lompatan saja, tubuhnya telah lenyap ditelan
keremangan bayangan-bayangan pepohonan.
Tak lama setelah kepergian orang itu, Bangkil dan
Wirja muncul dan berlari mendatangi tempat itu.
Cepat diperiksanya sosok-sosok tubuh yang ber-
geletakan. Beberapa orang yang masih bernapas
bergegas dibawa masuk.
"Bangsat kau, Pemetik Kecapi! Tunggu saja
pembalasanku nanti!" seru Bangkil sembari
memandang ke arah perginya orang bersenjata
kecapi perak itu. "Marilah kita kuburkan mereka, Adi.
Sedangkan yang masih hidup diobati nanti."
***
TIGA
Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya memancar
terik dan terasa panas menyengat kulit. Sepertinya
sang raja siang itu ingin menampakkan kekuasaan-
nya pada seluruh makhluk bumi.
"Huh.... Panas sekali udara siang ini," desis
seorang gadis jelita berpakaian hijau.
Sebentar-sebentar dia menyusut peluh yang
membasahi dahi dan lehernya. Wajahnya yang bersih
dan cantik nampak kemerahan. Namun keadaan itu
malah semakin menambah kecantikan parasnya.
"Yahhh. Seperti terpanggang di atas tumpukan
bara api saja layaknya. Ayolah bergegas, agar kita
bisa tiba lebih cepat di desa depan sana itu," seorang
pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di
sebelahnya menimpali.
Seusai berkata demikian, pemuda itu pun
melangkah lebih cepat memasuki daerah hutan karet
yang cukup luas.
Gadis jelita berpakaian hijau itu juga bergegas
mempercepat langkahnya menjajari pemuda ber-
jubah putih. Mereka terus melangkah menyusuri jalan
yang cukup lebar di tengah-tengah hutan karet. Hawa
panas yang menyengat kulit itu mulai berkurang
ketika angin berhembus menyegarkan.
"Masih jauhkah desa yang kau maksud itu,
Kakang?" tanya gadis jelita itu, tak sabar. Sepertinya
ia kini ingin segera tiba di pedesaan untuk
melepaskan rasa lelahnya.
"Entahlah, Kenanga. Aku hanya menduga-duga
saja. Tapi dengan adanya hutan karet ini, pasti ada
perkampungan di daerah ini," sahut pemuda tampan
berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau yang
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Huh! Kalau hanya menduga-duga saja, aku pun
bisa," tukas gadis jelita itu, cemberut.
Panji hanya tersenyum saja melihat kekasihnya
merajuk. Dibiarkannya saja ketika gadis itu
melangkah mendahuluinya. Pemuda itu tahu,
Kenanga hanya merasa jengkel dengan ucapannya
tadi.
"Hei, Kakang. Lihat ini!" teriak Kenanga sambil
membungkukkan tubuhnya seperti menemukan
sesuatu.
Panji bergegas menghampiri. Dan memang jarak
antara mereka terpisah sekitar sepuluh tombak lebih,
sehingga pemuda itu belum sempat mengetahui apa
yang telah ditemukan kekasihnya itu.
"Kenapa orang itu, Kenanga?" tanya Panji yang
segera mempercepat langkahnya ketika melihat gadis
itu tengah memandangi sesosok tubuh yang
tergeletak tak bergerak.
"Ia telah meninggal, Kakang. Entah siapa yang
telah berbuat sekejam ini? Seluruh tubuhnya penuh
luka bacokan," sahut Kenanga sambil memeriksa
sosok mayat yang sepertinya belum lama tewas itu.
"Hm.... Sepertinya sebelum tewas, ia telah disiksa
mati-matian," gumam Panji setelah memeriksa mayat
itu beberapa saat. Sedangkan Kenanga sudah
melangkah lagi mengikuti ceceran darah yang telah
hampir mengering.
"Rupanya orang itu telah berusaha melarikan diri,
sebelum akhirnya tewas kehabisan darah," duga
gadis itu sambil terus mengikuti bercak-bercak darah
di atas permukaan tanah berbatu itu. "Kakang! Cepat
kemari!" teriak Kenanga keras.
Mendengar seruan kekasihnya, Panji bergegas
melesat meninggalkan sosok tubuh yang telah kaku.
Dari teriakan gadis itu, Panji yakin kalau Kenanga
telah menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi.
Pemuda itu semakin terkejut ketika melihat belasan
sosok mayat bergelimpangan beberapa tombak di
depannya.
"Sepertinya mereka rombongan pemusik
panggilan, Kakang. Lihat saja pedati-pedati ini!" jelas
Kenanga lagi sambil memperlihatkan beberapa alat
musik terdapat di dalam pedati itu.
"Hm... Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
gumam Panji bertanya kepada dirinya sendiri.
Segera diperiksanya sosok-sosok mayat yang
bergelimpangan tak karuan itu. Di antaranya juga
terdapat mayat wanita.
"Mungkinkah mereka telah bertemu perampok di
tempat ini?" duga pemuda itu.
"Tidak mungkin, Kakang," Kenanga yang men-
dengar kata-kata pemuda itu cepat menyahuti.
"Karena semua barang-barang mereka sepertinya
masih utuh. Dan lagi kalau betul bertemu perampok,
pasti wanita-wanita itu tidak akan dibunuh.
Perampok-perampok itu pasti akan menawannya,
karena wajah mereka cukup cantik-cantik juga."
"Kalau bukan perampok, lalu siapa yang telah
membantai mereka sedemikian kejam? Rasanya
tidak mungkin kalau mereka dibunuh tanpa sebab
yang jelas?"
"Bisa saja rombongan pemusik lain yang merasa iri
dengan mereka. Mungkin robongan pemusik ini lebih
terkenal dan lebih disukai daripada yang lainnya?"
sahut Kenanga.
Gadis itu rupanya lebih mengerti soal rombongan-
rombongan pemusik panggilan. Karena sebagai putri
kepala desa, semasa ayahnya masih hidup, ia pun
sering mengundang rombongan pemusik apabila
ayahnya mengadakan pesta. Jadi ia pun tahu pula
kalau ada persaingan di antara rombongan pemusik
panggilan itu.
"Hm.... Kalau hanya masalah persaingan mereka
sampai dibantai habis begini, rasanya sudah melewati
batas. Dan ini sudah merupakan suatu kejahatan
yang tidak bisa didiamkan saja," sahut Panji geram.
***
Setelah sekian lama meneliti namun tidak juga
mendapatkan petunjuk tentang pembunuh
rombongan pemusik itu, Panji yang dibantu
kekasihnya segera membuat sebuah lubang besar
untuk mengubur belasan mayat itu.
"Kita harus menyelidikinya, Kakang. Pembunuh
biadab itu tidak boleh bebas berkeliaran begitu saja!
Terlalu enak bagi mereka! Kita harus memberikan
hukuman yang setimpal!" tegas gadis itu.
Kenanga memang merasa marah, tapi tak tahu
harus ke mana menyalurkannya. Sepasang matanya
yang indah nampak mengeluarkan sinar berkilat yang
menggetarkan jantung. Jemarinya yang lentik terkepal
erat hingga menimbulkan suara berderak.
"Sabarlah, Kenanga. Masalah ini masih gelap bagi
kita. Jadi kita tidak bisa melemparkan tuduhan
sembarangan. Bisa saja rombongan pemusik itu yang
bersalah," bujuk Panji menyabarkan kekasihnya.
Dibelainya jemari gadis itu untuk menenangkan
kemarahan yang bergejolak dalam dada kekasihnya.
"Hhh...," Kenanga menghela napas panjang.
Kemarahan gadis itu terlihat mulai reda. Memang,
ucapan pemuda itu ada benarnya juga. Dan
kemarahannya tidak boleh diumbar dalam meng-
hadapi masalah yang sama sekali belum diketahuinya
Panji membelai rambut yang hitam lembut milik
kekasihnya. Dipandanginya wajah jelita yang sudah
kembali seperti sediakala itu. Ia tahu kalau Kenanga
telah dapat menguasai perasaannya kembali. Panji
pun tersenyum melihatnya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku terlalu cepat meng-
ambil kesimpulan. Padahal kita sama sekali tidak
mengetahui, apa masalahnya hingga orang-orang itu
sampai terbunuh secara kejam," desah Kenanga
sambil merebahkan kepalanya di dada bidang milik
Panji.
"Lupakanlah, Kenanga. Aku pun sempat merasa-
kan, apa yang kau rasakan. Hanya saja aku dapat
lebih cepat menyadarinya," sahut Panji menghibur.
"Lebih baik kita mempercepat perjalanan agar
tidak kemalaman di tengah hutan karet yang luas ini."
"Ayolah, Kakang. Siapa tahu kita bisa mencari
keterangan di desa-desa yang kita temui nanti. Aku
masih tetap penasaran kalau belum dapat meng-
ungkapkan misteri ini," sahut Kenanga yang rupanya
masih belum puas.
Tidak lama kemudian, kedua pendekar muda itu
telah berlari meninggalkan tempat itu memper-
gunakan ilmu meringankan tubuh. Sayang, pedati-
pedati itu sudah tidak ada kudanya lagi. Mungkin
para pembunuh itulah yang telah mengusirnya.
Sehingga keduanya terpaksa harus mengerahkan
ilmu lari cepat untuk tiba lebih cepat di desa yang
dimaksud.
Senja mulai menapak ketika kedua orang
pendekar muda memasuki mulut sebuah desa. Di
jalan utama desa tampak ramai oleh para petani dan
pedagang yang pulang ke rumah masing-masing.
Kedua pendekar itu telah menghentikan larinya, agar
tidak terlalu menarik perhatian penduduk desa.
"Mudah-mudahan saja di desa ini ada
penginapan?" ujar Kenanga, berharap.
Gadis itu terus melangkah mengikuti Panji. Tidak
dipedulikannya pandangan beberapa orang pemuda
yang menatapnya penuh kagum. Bahkan seperti
terpesona. Dan memang, kecantikan Kenanga sangat
menyolok. Sehingga, hampir setiap lelaki yang
berpapasan dengannya selalu melempar pandangan
meskipun sembunyi-sembunyi. Sepertinya mereka
merasa rugi kalau melewatkannya begitu saja.
"Kalaupun tidak ada, kita bisa menginap di sebuah
rumah penduduk dengan memberikan bayaran yang
cukup. Mereka pasti akan menerimanya dengan
senang hati," usul Panji menyahuti kata-kata
kekasihnya.
Setelah berkata demikian, Panji membelokkan
langkahnya ke arah sebuah rumah. Dihampirinya
seorang wanita setengah baya yang nampak tengah
menyapu halaman.
"Maaf, Nisanak. Apakah di desa ini ada sebuah
penginapan?" tanya Panji, sopan.
Wanita setengah baya itu mengangkat wajahnya
meneliti pemuda tampan berjubah putih yang berdiri
di depannya. Kemudian wanita itu menunjukkan apa
yang diinginkan Panji.
Setelah memperoleh petunjuk, Panji dan Kenanga
kembali melangkah menyusuri jalan utama desa.
Menurut keterangan wanita setengah baya tadi,
penginapan yang dimaksud terletak hampir di tengah
desa.
"Kalau saja wanita itu masih muda, kau tentu akan
berlama-lama berbicara dengannya. Sayang sekali,
wanita itu sudah tua. Tadi sempat kulihat, bagaimana
ia memandangi wajahmu dengan sinar mata berseri-
seri," goda Kenanga dengan senyum dikulum.
"Yahhh, sayang sudah tua. Coba kalau masih
muda sepertimu, mungkin akan kutanyakan, apakah
ia sudah bersuami? Dan kalau dijawab belum, pasti
aku akan melamarnya untuk menjadi istriku yang
kedua," balas Panji dengan wajah sungguh-sungguh.
"Istri yang kedua? Memangnya kau sudah
mempunyai istri pertama?"
"Oh, iya. Apakah aku belum melamarmu?" Panji
balik bertanya hingga membuat selebar wajah
Kenanga menjadi merah karena jengah.
"Sudah, ah. Kakang semakin ngaco!" sergah gadis
jelita itu, seraya menundukkan wajahnya yang tersipu.
"Sayang ayahmu sudah tiada. Kalau tidak, tentu
hari ini juga aku akan menghadap beliau untuk
melamarmu. Kira-kira, diterima apa tidak ya?" goda
Panji lagi.
Kali ini Pendekar Naga Putih tersenyum sambil
memandang wajah kekasihnya yang tertunduk itu.
Panji semakin senang melihat sepasang pipi yang
kemerahan bagai buah tomat masak.
"Tidak tahu, ah...," ujar Kenanga sambil menepis-
kan tangan Panji yang hendak menggenggam tangan-
nya. "Kita sudah sampai, Kakang. Jadi tidak kita
menginap?"
Kenanga memang sengaja mengalihkan pem-
bicaraan untuk mengurangi rasa jengahnya. Bukan
saja jengah. Bahkan wajahnya semakin memerah.
"Ya..., jadilah," sahut Panji.
Kemudian, mereka bergegas memasuki rumah
penginapan itu. Kenanga mengetahuinya setelah
membaca papan yang tergantung di atas pintu rumah
itu. Mereka lalu memesan dua buah kamar yang
letaknya berdampingan.
Malam semakin larut ketika keduanya telah
memasuki kamar masing-masing. Suara binatang
malam semakin ramai dan menyemarak. Hembusan
angin bersilir lembut membuat kedua orang pendekar
itu cepat terlelap.
***
EMPAT
Seorang gadis yang berusia sekitar delapan belas
tahun, melangkah riang menyusuri jalan utama Desa
Dadapan. Wajahnya yang bulat telur itu nampak
selalu dihiasi senyum cerah. Sepasang matanya
bersinar bagaikan bintang dinihari. Menandakan
kalau gadis itu memiliki sifat periang dan jenaka.
Gadis cantik itu membelokkan langkahnya ketika
melihat sebuah kedai makan yang cukup besar.
Sebentar kemudian, dimasukinya kedai itu. Beberapa
orang pengunjung yang tengah menikmati hidangan
langsung menoleh sejenak. Beberapa di antaranya
malah menyapa dengan sikap hormat.
Pemilik kedai makan yang semula tengah sibuk
melayani pelanggan, bergegas menyambut gadis itu
dengan terbungkuk-bungkuk. Jelas sekali kalau gadis
yang baru datang itu sangat dihormatinya.
"Ah, Nini Kencana Wungu. Ada keperluan apa
sampai-sampai Nini sendiri yang datang ke tempat
ini?" sambut pemilik kedai sambil membungkuk
hormat. Wajahnya yang tampak mulai dijamah
ketuaan itu tampak berseri-seri.
"Tidak ada keperluan apa-apa, Paman. Aku hanya
ingin mengambil pesanan ayah. Habis, pembantu
ayah yang biasa mengambil pesanan sedang ada
keperluan lain. Apakah pesanan ayah sudah siap,
Paman?" tanya gadis yang dipanggil Kencana Wungu
itu ramah. Kelihatan sekali kalau sikapnya tidak
merasa sombong walaupun orang-orang yang berada
di dalam kedai sangat hormat kepadanya.
"Oh! Sudah, sudah. Sebentar Paman ambilkan.
Nini duduklah dulu," sahut lelaki berusia enam puluh
tahun itu cepat. Kemudian dia bergegas mengambil
pesanan yang dimaksudkan oleh gadis cantik itu.
Kencana Wungu duduk tenang sambil merayapi
sekelilingnya. Senyum manisnya tak pernah lepas dan
selalu menghias wajahnya. Sikapnya pun bebas lepas
dan tidak ragu-ragu menegur orang yang dikenalnya.
Maka wajar saja kalau penduduk Desa Dadapan
menyukai dan menghormatinya. Apalagi gadis itu
adalah putri kepala desa.
Beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu muncul
kembali membawa pesanan kepala desanya yang
selalu disiapkan tengah hari. Dan itu sudah ber-
langsung lama. Hanya bedanya, kali ini yang meng-
ambilnya justru putri kepala desa itu sendiri. Sudah
pasti hal itu membuat pemilik kedai menjadi sibuk
dibuatnya
"Terima kasih, Paman. Aku pulang dulu," pamit
gadis itu setelah menerima sebuah bungkusan yang
diserahkan pemilik kedai.
"Ya, ya.... Sering-seringlah kemari, Nini. Paman
akan merasa senang sekali," kata pemilik kedai
sambil membungkuk hormat.
Kencana Wungu hanya tersenyum mendengar
ucapan orang tua itu. Kakinya segera melangkah
melewati pintu kedai. Namun gadis cantik itu meng-
hentikan langkahnya sejenak ketika terdengar alunan
musik kecapi yang terbawa angin. Untuk beberapa
saat ia terdiam, seolah-olah hendak mencari sumber
suara itu.
Setelah memastikan asal suara petikan kecapi
yang mendayu-dayu itu, Kencana Wungu bergegas
menghampirinya. Hatinya sempat tergetar mendengar
alunan irama yang terasa menyentuh perasaan itu.
Merambah hutan membawa duka
Mendaki gunung membawa luka
Dari Selatan dendam membara
Mencari durjana penyebab sengsara
"Ihhh, Paman. Mengapa lagu yang kau nyanyikan
demikian sedih dan menyeramkan? Mengapa tidak
memainkan lagu gembira saja? Bukankah ke-
dengarannya akan lebih enak?"
Kencana Wungu yang tahu-tahu telah tiba di
tempat si pemetik kecapi langsung saja mencela.
Diperhatikannya pemetik kecapi yang berambut
meriap itu tanpa merasa takut sedikit pun. Sepertinya
gadis lincah ini sama sekali tidak berprasangka buruk
terhadap orang itu. Bahkan enak saja ia berjongkok di
depan si pemetik kecapi.
Lelaki pemetik kecapi yang duduk di bawah pohon
rindang di tepi jalan itu, tersentak kaget. Karena yang
menegur adalah seorang gadis. Terbawa rasa
penasaran, maka kepalanya segera diangkat. Dia
ingin melihat, siapa gerangan gadis yang telah berani
menegurnya.
"Ahhh...!"
Lelaki pemetik kecapi itu tersentak kaget begitu
melihat wajah gadis yang menegurnya. Hampir saja
tubuhnya terjengkang. Untung keseimbangan tubuh-
nya segera terkuasai. Sepasang matanya yang sayu
itu membelalak bagaikan melihat hantu di siang
bolong.
"Ada apa, Paman? Mengapa Paman memandang
ku seperti itu? Maaf kalau aku telah membuatmu
terkejut," ucap Kencana Wungu, seraya bangkit
berdiri.
Gadis itu benar-benar tidak mengerti, mengapa si
pemetik kecapi sampai sedemikian terkejutnya.
Padahal, kata-katanya tadi tidak terlalu keras. Gadis
itu terus berpikir tak habis mengerti.
"Siapa kau...?" tanya si pemetik kecapi. Suara laki-
laki berusia tiga puluh tahun itu bergetar dan hampir
tidak terdengar. Dengan kedua kaki gemetar, dia
beranjak bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada
batang pohon.
"Kalau sikap Paman masih seperti itu, aku tidak
sudi menjawabnya!" sungut Kencana Wungu tanpa
perasaan canggung sedikit pun.
Dan memang, dia sama sekali belum pernah
bertemu orang itu sebelumnya. Namun sikap yang
ditunjukkan tak ubahnya tengah berhadapan dengan
orang yang telah lama dikenal. Bahkan sudah pula
bisa mengancam! Benar-benar gadis yang luar biasa.
"Ah! Aku..., aku..."
Si pemetik kecapi semakin gugup melihat sikap
yang ditunjukkan gadis cantik berpakaian kuning
cerah itu. Cepat-cepat perasaannya yang memang
tidak semestinya itu ditekan. Setelah beberapa saat
kemudian, barulah hatinya dapat dikuasai. Itu pun
belum sepenuhnya berhasil.
"Oh! Gadis ini benar-benar mirip Wirani. Sikapnya
yang lincah dan matanya yang bening itu hampir tidak
berbeda sedikit pun! Tapi, tidak mungkin! Wirani telah
tewas sepuluh tahun yang lalu. Dan aku masih ingat
dengan kejadian itu. Jadi, siapakah gadis yang kini
berada di depanku? Dan apa yang dikehendakinya
dariku?" bermacam pertanyaan timbul, memenuhi
benak si pemetik kecapi. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya ia hanya berdiri terpaku menatap gadis
itu.
"Ada apa, Paman? Apakah wajahku aneh? Kalau
tidak, mengapa Paman memandangku seperti itu?"
tanya Kencana Wungu sambil bertolak pinggang.
Kemarahan gadis itu mulai timbul melihat sikap
lelaki berambut meriap yang sepertinya tidak waras
itu. Atau mungkin orang ini memang kurang waras?
Rasanya kasihan sekali kalau orang segagah itu
ternyata pikirannya terganggu. Benak Kencana
Wungu terus digayuti dugaan.
"Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nisanak.
Aku..., aku hanya merasa terkejut melihatmu yang
tahu-tahu sudah berada di depanku. Siapakah kau,
Nisanak? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?"
tanya lelaki itu menyadari kesalahannya.
Diam-diam ia merasa heran sendiri kepada dirinya.
Sebab, tidak bisanya ia berbicara begitu banyak dan
lancar. Padahal, biasanya dia enggan sekali
mengeluarkan kata-kata. Dan itu sudah lama terjadi
semenjak tunangannya dibunuh secara kejam,
setelah terlebih dahulu dinodai musuh-musuh
gurunya. Tapi menghadapi gadis ini, ia benar-benar
merasa lain. Memang sulit dicari penyebabnya
"Hm..., baiklah. Kumaafkan sikapmu tadi, Paman.
Dan sebaiknya kaulah yang lebih dulu mem-
perkenalkan namamu. Bukankah sudah sepantasnya
demikian?" ujar Kencana Wungu dengan sikap wajar.
Kemarahan di hati gadis itu telah lenyap ketika
mendengar permintaan maaf laki-laki yang semula
disangka sinting itu. Diam-diam gadis itu mengagumi
wajah lelaki gagah yang tampak matang dan penuh
garis-garis penderitaan itu.
"Ya, ya.... Memang begitu seharusnya. Namaku
Rimang. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan
lewat di desa ini," jawab si pemetik kecapi mem-
perkenalkan dirinya.
"Namaku Kencana Wungu, dan biasa dipanggil
Kencana saja. Aku adalah penduduk desa ini yang
kebetulan lewat dan tertarik dengan permainan
kecapimu yang menyedihkan itu. Mengapa sih, kau
suka sekali menyanyikan lagu sedih? Hm.... Sebaik-
nya aku memanggilmu apa ya? Rasanya kau belum
terlalu tua. Jadi, tidak pantas menyebutmu paman.
Bagaimana kalau kau kupanggil dengan sebutan
kakang saja. Setuju?" gadis yang memang pandai
bicara itu terus nyerocos, seperti tak mau berhenti.
Mendengar ucapan gadis cantik yang lincah dan
pandai bicara itu, mau tak mau Rimang tersenyum.
Kembali hatinya dijalari perasaan aneh? Buktinya, ia
sudah bisa pula tersenyum! Padahal, rasanya ia
sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Dan
memang, hal itu sudah tidak pernah lagi dilaku-
kannya. Yang ada, selama ini hanyalah kebekuan dan
hati yang mati. Tapi menghadapi gadis cantik ini,
rasanya dirinya telah hidup kembali. Gadis itu
ternyata sanggup menghidupkan semangatnya yang
telah mati. Dan hal itu benar-benar membuatnya
heran.
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku?"
tanya lelaki itu kepada dirinya sendiri.
***
"Kau tidak keberatan, Kakang Rimang?" tanya
Kencana Wungu lagi, ingin penegasan. Memang,
gadis itu melihat Rimang hanya terpaku disertai
pandangan mata kosong dan menerawang jauh.
Sementara bibirnya mengulas senyum sehingga
membuat Kencana Wungu menahan tawanya.
"Oh! Eh, apa..., apa?" tanya Rimang tersentak dari
lamunannya. Pemetik kecapi itu menjadi rikuh
menyadari sikapnya.
"Hi hi hi...!" gadis itu tak dapat lagi menahan
tawanya melihat wajah Rimang yang ketolol-tololan
itu. "Aku tadi hanya bertanya, apa boleh
memanggilmu dengan sebutan kakang?"
"Oh...," desah Rimang lega. "Terserah bagaimana
baiknya menurutmu, Kencana. Bagiku tidak menjadi
soal."
Rimang juga menjadi tersenyum melihat kegem-
biraan gadis itu.
"Nah! Sekarang, kuminta agar Kakang menyanyi-
kan lagu gembira. Mau, kan? Aku tidak suka lagu
sedih, karena akan membuatku jadi teringat
almarhum ibuku," ujar gadis cantik itu seraya
menundukkan wajahnya.
"Oh! Jadi, ibumu sudah tiada?" sentak Rimang.
Si pemetik kecapi itu menjadi iba melihat wajah
yang semula riang itu mendadak tertutup mendung.
Ingin sekali rasanya membelai rambut gadis itu dan
menghiburnya agar tidak bersedih lagi.
"Ya, sejak aku berusia lima tahun," jawab Kencana
Wungu seraya mengangkat wajahnya. "Ah, sudahlah,
Kakang. Untuk apa mengingat hal-hal yang sudah
lalu. Ayolah, mainkan kecapimu."
Melihat mendung di wajah gadis itu sudah mulai
hilang, Rimang segera menggerakkan jemarinya
memetik dawai-dawai kecapi. Maka terdengarlah
alunan denting kecapi yang merdu merayu. Kencana
Wungu memandangi jemari laki-laki itu yang menari-
nari lincah di atas papan kecapi. Matanya berbinar-
binar memancarkan kegembiraan yang amat sangat
Senyum di bibir Rimang semakin melebar melihat
kegembiraan yang terpancar dari sepasang mata
indah itu. Maka dia semakin bersemangat memain-
kan lagu-lagu gembira. Padahal selama ini lagu-lagu
itu belum pernah dimainkannya. Rimang merasa
seolah-olah baru terlahir ke bumi, dan baru dapat
melihat betapa indahnya hidup ini. Dan yang
membuatnya heran, adalah keinginan untuk berlama-
lama bersama gadis lincah yang baru dikenalnya itu.
Entah apa yang ada dalam diri gadis itu, sehingga
membuatnya bersemangat dan bergairah meng-
hadapi hidup. Hanya saja Rimang jadi takut begitu
mengetahui, kalau dia memiliki suatu perasaan
terhadap Kencana Wungu.
Dan kini kegembiraan dan kebahagiaan yang
mereka rasakan itu tidak berlangsung lama, dan tiba-
tiba direnggut begitu saja oleh dua orang berseragam
hitam yang menghampiri mereka.
"Nini Kencana. Ayahmu menyuruh kami untuk
segera menjemputmu," kata salah seorang di
antaranya, penuh hormat. Alisnya nampak berkerut
ketika memandang orang berambut meriap yang
bersama putri majikannya itu.
Kencana Wungu menoleh kepada dua orang itu
dengan kening berkerut. Sepertinya gadis itu merasa
tak senang dengan kehadiran kedua orang pembantu
ayahnya yang telah merusak kegembiraan itu.
"Nih! Bawalah pesanan ayah. Dan pulanglah! Aku
akan menyusul nanti!" kata gadis itu, ketus.
Sambil berkata demikian, diserahkannya
bungkusan yang dibawa kepada kedua orang pem-
bantu ayahnya yang nampak heran dengan sikap
putri majikannya itu.
"Tapi, kami juga disuruh menjemputmu, Nini
Kencana. Dan kami tidak berani kembali tanpa Nini,"
ucap salah satu dari kedua orang itu, bingung.
"Ya. Sebaiknya Nini pulang saja dulu agar kami
tidak kena marah oleh beliau," timpal yang seorang
lagi dengan nada memohon pengertian putri
majikannya itu.
Kerutan di kening gadis itu nampak semakin
dalam. Wajahnya yang selalu cerah seketika berubah
gelap setelah mendengar bantahan kedua orang
pembantu ayahnya itu. Kencana Wungu sudah
bergerak bangkit dan siap menumpahkan
kemarahannya.
Rimang yang melihat kemarahan pada wajah gadis
cantik itu menjadi tidak enak hati. Cepat-cepat dia
bergerak bangkit untuk ikut membujuk Kencana
Wungu agar mengikuti kata-kata kedua orang yang
diduga adalah pembantu-pembantu ayah gadis itu.
Hal itu tertangkap jelas dari pembicaraan maupun
sikap kedua orang itu yang terlihat hormat
"Pulanglah, Kencana. Jangan membuat cemas
ayahmu. Siapa tahu beliau saat ini tengah me-
nunggumu dengan perasaan gelisah," desah Rimang
sambil menghela napas berat.
"Jadi kau pun tidak menyukai kehadiranku di sini,
Kakang? Kalau memang kehadiranku telah mem-
buatmu terganggu, baiklah. Aku akan pergi!" sahut
Kencana Wungu, seraya membalikkan tubuhnya
menghadapi Rimang. Terlihat kekecewaan di
wajahnya.
"Jangan salah mengerti, Kencana. Aku merasa
sangat beruntung kau suka bersahabat denganku.
Dan sikap bersahabatmu telah membuat aku sadar
kalau tidak seharusnya tenggelam dalam kedukaan
dan memandang dunia ini dari sisi yang pahit. Tapi,
kau juga harus pula memikirkan kekhawatiran
ayahmu. Aku tidak ingin kau mendapat marah hanya
karena gara-gara aku. Pulanglah. Masih banyak waktu
untuk kita bertemu," bujuk Rimang mencoba memberi
pengertian kepada Kencana Wungu.
Meskipun untuk mengucapkan kata-kata itu harus
menahan rasa nyeri dalam hatinya, namun Rimang
sadar kalau tidak mempunyai hak untuk menahan
gadis itu. Padahal hatinya merasa berat untuk
berpisah.
Mendengar ucapan Rimang, Kencana Wungu jadi
sadar akan keadaan dirinya. Ia tahu kalau ayahnya
pasti akan marah apabila menemukannya tengah
berduaan dengan orang asing. Dan gadis itu tidak
ingin kalau Rimang akan terkena kemarahan ayahnya
pula.
"Maafkan sikapku yang kekanak-kanakan, Kakang.
Baiklah. Aku pulang dulu, dan besok akan kemari lagi.
Berjanjilah, bahwa Kakang akan menungguku di
tempat ini," pinta Kencana Wungu penuh
permohonan.
"Aku berjanji," sahut Rimang cepat disertai
senyuman.
Namun demikian, si pemetik kecapi itu berusaha
menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya.
Memang diakui kalau dirinya merasa berat berpisah
dengan gadis yang telah mampu membangkitkan
kegembiraan dalam hidupnya yang telah kosong.
"Aku pergi dulu, Kakang," pamit gadis itu sembari
melangkah mengikuti kedua orang pembantu
ayahnya.
Beberapa langkah kemudian, Kencana Wungu
menoleh dan melemparkan senyumnya kepada
Rimang yang masih berdiri menatap kepergiannya.
Rimang melambaikan tangannya dengan keharuan
yang menyesakkan dada. Diam-diam hatinya
mengeluh begitu menyadari kalau ada suatu
perasaan terhadap gadis itu. Gadis itu masih terlalu
muda serta sangat polos. Sikapnya pun dapat
berubah-ubah setiap saat. Betapa mudahnya untuk
jatuh cinta kepada gadis itu. Dan Rimang memang
tidak boleh berharap terlalu banyak. Hanya dia
sendirilah yang tahu, perasaan apa yang terkandung
dalam dadanya. Dia tidak ingin Kencana Wungu
mengetahuinya.
"Hhh..."
Rimang menghela napas berat menyadari kalau
dirinya terlalu tua untuk gadis seusia Kencana
Wungu. Ia tidak ingin menderita kekecewaan untuk
yang kedua kali.
"Aku tidak boleh menyalahartikan kebaikan serta
sikap gadis itu. Siapa tahu dia hanya merasa suka
dengan permainan kecapiku dan bukan kepada
diriku!" kata hati Rimang kepada dirinya sendiri.
Setelah bayangan ketiga orang itu sudah tidak
kelihatan, Rimang pun melangkahkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Telah diputuskan kalau dia
tidak akan menemui gadis itu lagi setelah urusannya
di Desa Dadapan ini selesai. Karena, Rimang takut
kalau-kalau perasaan cintanya terhadap gadis itu
akan semakin berkembang. Ia tidak ingin menderita
kekecewaan lagi, yang mungkin saja akan jauh lebih
parah daripada yang pertama.
Rimang melangkah perlahan sambil memperhati-
kan bayangan tubuhnya yang memanjang. Ditatapnya
cakrawala yang sebentar lagi akan gelap. Kembali
terdengar helaan napas beratnya.
LIMA
"Ampuni aku, Tuan. Apa salahku?" rintih seorang laki-
laki setengah baya yang wajahnya berlumuran darah.
Ia berusaha merangkak bangkit dengan susah-
payah. Wajahnya menatap memohon belas kasihan
kepada seorang laki-laki tegap yang berdiri di
hadapannya dengan kedua kaki terpentang lebar.
"Hmh...! Merengeklah sepuasmu sebelum ku-
bunuh, Tua Bangka! Siapa pun di dunia ini yang
memainkan alat kecapi, akan kubunuh!" bentak laki-
laki tegap itu.
Wajahnya bengis dan penuh dendam. Ia sama
sekali tidak tergerak hatinya melihat wajah lelaki tua
yang tampak sangat menderita akibat siksaannya.
Malah hal itu membuatnya semakin senang.
"Tapi, apa salahku kepada Tuan? Bukankah kita
tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu
sebelumnya," tukas lelaki setengah baya itu dengan
seribu pertanyaan yang tergambar di wajahnya.
Sepertinya ia memang tidak mengetahui sama sekali
apa yang menyebabkan dirinya sampai disiksa
sedemikian rupa.
"Kau memang tidak bersalah, Orang Tua! Tapi
jahanam keparat itu telah membunuh guruku, kawan-
kawanku, dan juga guru kawanku ini. Dan pembunuh
itu juga seorang pemain kecapi, tahu?! Pembunuh
keji itu mengaku datang dari daerah Selatan, dan
memiliki sebuah alat musik kecapi berwarna perak!
Nah! Karena kesalahannya itulah, maka aku ber-
sumpah untuk membunuh dan menyiksa semua
orang yang suka mainkan alat kecapi dan alat-alat
lainnya. Kau boleh menyumpah dan mengutuk
keparat jahanam itu! Karena perbuatannya itulah,
maka kau menderita!" jelas laki-laki tegap itu lagi,
tanpa rasa kasihan sedikit pun. Setelah berkata
demikian, kembali ditendangnya tubuh lelaki
setengah baya yang sudah hampir berdiri itu.
Desss!
"Aaakh...!"
Lelaki setengah baya yang ternyata seorang
pemain kecapi itu menjerit kesakitan. Tubuhnya yang
kurus terlempar dan menabrak bilik rumah hingga
jebol. Darah segar kembali menyembur dari mulutnya.
"Ya, Tuhan! Ada apa ini?" teriak seorang wanita
bertubuh gemuk yang bergegas memasuki rumah itu.
"Manusia biadab! Apa kesalahan suamiku hingga kau
tega menyiksa sedemikian kejam?"
Wanita gemuk itu rupanya istri lelaki setengah
baya yang tengah merintih dan mengerang kesakitan.
"Mengapa..., mengapa kesalahan Kecapi Perak
dari Selatan ditimpakan kepadaku, Kisanak?
Mengapa bukan orang itu saja yang kau cari dan kau
siksa? Mengapa harus orang lain yang tidak berdosa
yang harus menanggung akibat perbuatannya itu?"
tanya lelaki setengah baya itu.
Sambil bertanya demikian, dia menekap
lambungnya yang terasa bagaikan remuk tulang-
tulangnya. Sedangkan wanita gemuk itu sudah
menubruk suaminya yang sepertinya sudah tidak
mampu bangkit lagi. Wajah wanita gemuk itu telah
dipenuhi air mata melihat penderitaan suaminya.
"He he he.... Baiklah. Aku tidak akan menyiksamu
lagi, Ki. Dan aku pun akan mengurangi rasa sakit
yang kau derita itu!" tegas lelaki tegap itu dengan
wajah sinis, sambil mencabut keluar pedang yang
tergantung di pinggangnya.
Sret!
Sinar putih berkilatan langsung memendar ketika
pedang lelaki itu tercabut dari sarungnya. Tentu saja
hal ini membuat suami istri itu semakin ketakutan.
Wajah mereka mendadak pucat bagai tak dialiri
darah.
"Oh...! Binatang, kau! Mengapa kesalahan orang
lain kau timpakan kepada suamiku?! Apakah kau
takut untuk membalas kepada orang itu?" teriak
wanita gemuk itu dengan wajah bersimbah air mata.
Dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya
lagi, wanita itu segera menubruk si lelaki tegap dan
melontarkan pukulan.
"Nyai, jangan...!" teriak laki-laki setengah baya itu
mencegah perbuatan istrinya. Sambil mengerang
menahan sakit, tubuhnya berusaha bangkit karena
mengkhawatirkan keselamatan istrinya.
Si lelaki tegap sudah kalap mendengar ucapan
yang dilontarkan perempuan gemuk itu tadi.
Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan
geram. Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera disambarnya
tubuh perempuan itu dengan tendangan keras.
"Perempuan jelek! Rasakan ini, hih!"
Bukkk!
"Aaah...!"
Tubuh perempuan malang itu langsung terlempar
ke belakang ketika tendangan yang keras itu hinggap
di perutnya. Terdengar jerit kesakitan yang berbareng
dengan menyemburnya darah segar dari mulut
perempuan itu.
Brakkk!
Tubuh gemuk itu terus meluncur menabrak tiang
bambu yang menopang bilik rumahnya. Seketika
dinding rumahnya yang terbuat dari bilik itu langsung
jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh
perempuan itu sendiri terlempar ke luar.
"Nyai...!" si suami berteriak parau.
Laki-laki itu segera berlari terpincang-pincang
memburu tubuh istrinya. Dipeluknya tubuh wanita
gemuk yang rebah dengan napas satu-satu itu.
Rupanya perempuan itu telah pingsan karena tidak
kuat menahan bobot tendangan yang melebihi
kekuatan tubuhnya.
"Biadab! Kalian benar-benar sudah seperti
binatang! Tidak berperikemanusiaan!" maki lelaki
setengah baya itu yang menjadi kalap demi melihat
istrinya telah rebah tak bergerak.
Sambil berkata demikian, dia memeluk dan
memanggil-manggil nama istrinya dengan suara
parau.
Dengan sorot mata penuh dendam, lelaki bertubuh
tegap itu perlahan-lahan melangkah keluar diikuti
lima orang kawannya, dengan sikap mengancam.
Pedang telanjang di tangan kanannya ditimang-
timang, membuat sepasang mata lelaki setengah
baya itu membelalak lebar. Karena dia tidak mampu
berbuat apa-apa lagi, dan hanya pasrah menanti
datangnya maut.
"Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Dan
sumpahilah si Kecapi Perak dari Selatan itu
sepuasmu!" bentak lelaki tegap itu yang sudah tiba di
dekat sepasang suami istri yang malang. Dengan
gerakan perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi,
siap untuk memenggal leher orang itu. Namun tiba-
tiba....
Wuttt! Trang!
"Akh...!"
Tubuh lelaki tegap itu terjengkang ke belakang
diiringi teriakan kagetnya. Pedang di tangannya
terlempar akibat benturan sebuah batu kecil yang
melesat dengan kecepatan tinggi. Cepat tubuhnya
dilempar dan bersalto beberapa kali hingga tidak
sampai terbanting ke tanah.
Dengan wajah yang berubah pucat, lelaki itu
melotot ke arah seorang pemuda berjubah putih yang
melangkah tenang menghampiri sepasang suami istri
yang tengah meringkuk menanti ajal. Bersama
pemuda tampan itu, nampak seorang gadis jelita
berpakaian serba hijau. Sepasang matanya yang
indah menatap geram kepada lelaki tegap dan lima
orang kawannya yang hanya mampu memandang
bengong. Mereka seperti terkesima melihat
kecantikan gadis itu. Beberapa di antaranya bahkan
menelan air liur, penuh nafsu.
Untuk beberapa saat lamanya keenam orang itu
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Mereka hanya berdiri terpaku bagai patung.
Sementara itu, pemuda tampan berjubah putih
membungkuk menyentuh tubuh lelaki setengah baya
yang masih memejamkan mata.
"Aaah...!"
Lelaki setengah baya itu terlonjak bagai tersengat
kalajengking. Karena dikira, sentuhan tangan itu
adalah mata pedang yang siap memenggal lehernya.
Tubuh kurus itu pun semakin merungkut ketakutan.
Keringat dingin sudah membanjir membasahi
pakaiannya.
"Bangunlah, Ki. Tidak ada lagi yang perlu ditakuti,"
ujar pemuda berjubah putih itu dengan suara lembut
dan halus.
Perlahan-lahan lelaki setengah baya itu membuka
matanya begitu mendengar suara yang sangat jauh
berbeda dari suara lelaki yang menyiksanya. Dan
hatinya pun merasa heran ketika melihat seraut
wajah bersih dan tampan tengah membungkuk dan
memegang bahunya. Lalu ia pun bergerak bangkit
sambil mengedarkan pandangannya. Tampak
keenam orang yang menyiksanya tengah berdiri
terpaku berhadapan dengan seorang gadis yang
membelakanginya.
Dengan wajah yang hampir tidak percaya, orang
tua itu kembali mengalihkan pandangan matanya
kepada pemuda berjubah putih yang mengangguk
dan tersenyum padanya. Kini sadarlah orang tua itu,
kalau nyawanya telah diselamatkan kedua orang
muda itu.
"Marilah kita ke dalam, Ki," ajak pemuda itu sambil
mengangkat tubuh wanita gemuk yang masih
pingsan.
Dengan langkah terpincang-pincang, lelaki
setengah baya itu mengikuti langkah pemuda tampan
memasuki rumahnya. Ia pun duduk di tepi balai-balai
bambu, tempat tubuh istrinya dibaringkan pemuda
tampan berjubah putih itu.
***
ENAM
Pemuda berjubah putih yang tak lain adalah
Pendekar Naga Putih, bergegas mengurut beberapa
bagian jalan darah di tubuh perempuan gemuk.
Kemudian, diberikannya pengobatan kepada lelaki
setengah baya yang terluka parah itu. Setelah
menyuruh orang tua itu agar beristirahat Panji ber-
gegas melangkah ke luar. Namun baru saja sampai di
ambang pintu, laki-laki setengah baya itu bangkit dan
menghampirinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda.
Kau telah menyelamatkan kami dari kematian," ucap
orang tua itu, mencoba tersenyum. Namun bagi Panji
senyum itu terlihat seperti seringai kesakitan. Dan
pemuda itu membalasnya dengan senyum tulus.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling
menolong, Ki. Sebaiknya beristirahatlah dulu.
Sebentar lagi juga istrimu segera sadar. Biarlah
mereka aku yang mengurusnya, karena memang
telah lama kucari-cari sehubungan dengan
pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan,"
jelas Panji.
Kemudian, Pendekar Naga Putih melangkahkan
kakinya ke arah enam orang laki-laki yang tengah
berhadapan dengan gadis jelita berpakaian hijau
yang sudah pasti Kenanga adanya. Sementara laki-
laki setengah baya itu kembali mendekati istrinya.
"Tidak salah lagi, Kakang, Merekalah yang telah
melakukan pembunuhan terhadap rombongan
pemusik panggilan dan para pemetik kecapi," jelas
Kenanga begitu Panji mendekat. Gadis itu berbicara
sambil tetap menatap keenam orang calon lawannya.
"Aku pun telah menduganya," sahut Panji pelan.
Pendekar Naga Putih melangkah semakin men-
dekati keenam orang laki-laki yang sepertinya
dipimpin lelaki yang bertubuh tegap. Dialah yang baru
saja hendak memenggal kepala suami istri tadi.
"Siapakah kalian? Apa maksud kalian membunuhi
dan menganiaya orang-orang yang tak berdosa?"
tegur Panji, dingin.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih mencorong
tajam, menimbulkan perbawa yang kuat. Maka
seketika keenam orang itu melangkah mundur
dengan sikap waspada. Tangan-tangan mereka
serentak meraba gagang senjata yang menyembul di
balik pakaian.
"Bangsat! Mestinya akulah yang mengajukan
pertanyaan kepadamu, manusia usil! Mengapa kau
mencampuri urusan kami? Lebih baik kau tinggalkan
tempat ini sebelum aku berniat jelek kepadamu!"
bentak lelaki tegap itu tak kalah gertak.
Sambil berkata demikian matanya melirik ke arah
Kenanga. Cepat pandang matanya dialihkan begitu
melihat sinar mata gadis itu yang tidak kalah
tajamnya dengan sepasang mata pemuda berjubah
putih.
"Huh! Jangan banyak tingkah kau, Iblis Laknat!
Hari ini kau akan merasakan bagaimana rasanya
sebuah siksaan! Bersiaplah!" geram Kenanga.
Gadis ini rupanya sudah tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Karena setelah sekian lama
menyelidiki, baru kali inilah bertemu pembunuh yang
dicari-cari itu. Selama ini ia dan Pendekar Naga Putih
hanya menemukan bekas-bekas kejahatan yang
mereka lakukan. Dan hal itu tentu saja telah
membangkitkan rasa penasaran di hati gadis jelita ini.
Itulah sebabnya, mengapa Kenanga sudah tidak
dapat menahan kesabarannya lagi begitu bertemu
orang-orang itu.
"Sabarlah, Kenanga. Biar aku yang akan meng-
hadapi mereka."
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih
menyentuh lembut bahu Kenanga untuk me-
nenangkan perasaannya. Dan memang, Panji ingin
mengorek keterangan keenam orang itu lebih dahulu.
Ia ingin tahu, apa sebabnya orang-orang itu berbuat
demikian.
Melihat tingkah laku serta penampilan keenam
orang itu, Pendekar Naga Putih tahu kalau mereka
tidak dapat disamakan dengan para penjahat atau
perampok yang pernah ditemuinya. Dan Panji merasa
yakin kalau ada suatu sebab yang membuat keenam
orang itu melakukan kejahatan.
"Tidak, Kakang! Kali ini, berilah kesempatan
padaku. Percayalah, aku tidak akan membunuh
mereka, tapi hanya memberi sedikit pelajaran agar
lain kali tidak sembarangan berbuat kejam," sahut
Kenanga yang terpaksa membantah kata-kata
Pendekar Naga Putih. Hanya saja, nada suaranya
hampir mirip permohonan. Demikian juga dengan
pandang matanya, yang seperti meminta pengertian
Panji.
"Hm...," Panji hanya memperdengarkan gumaman
yang tak diketahui maknanya.
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga
Putih menatap wajah Kenanga dengan pandangan
menyelidik. Sesaat kemudian, senyum di wajah
pemuda itu pun mengembang begitu melihat sinar
kesungguhan di mata kekasihnya. Dan Panji tahu
kalau gadis itu akan menepati janjinya untuk tidak
sampai membunuh orang-orang itu.
"Kurang ajar! Apakah kalian pikir aku ini sebuah
mainan yang dapat kalian perebutkan begitu saja!"
teriak lelaki tegap itu, merah padam.
Hati laki-laki tegap itu benar-benar tersinggung
melihat pembicaraan dua orang di depannya. Dan
memang jelas, mereka membicarakan dirinya dengan
seenaknya saja. Seolah-olah ia adalah seorang lemah
yang tidak mempunyai daya sama sekali.
"Hm.... Kau pikir dirimu itu apa? Bagiku kau tak
lebih dari orang sinting yang harus segera diberi
pengobatan. Dan akulah orang yang akan
mengobatimu!" sambut Kenanga yang sudah
melangkah maju sehingga berjarak sekitar dua
batang tombak.
Bibir gadis itu menyunggingkan senyuman manis
yang membuat wajah keenam orang itu menjadi
panas. Langkah kakinya dibuat sedemikian rupa
laksana algojo yang hendak melaksanakan hukuman.
Kedua tangannya bertolak pinggang dengan sikap
santai.
"Keparat kau, Gadis Sombong! Kalau tertangkap,
hmh.... Kau akan rasakan sendiri akibatnya!" bentak
yang lain. Mereka juga menjadi geram melihat sikap
gadis itu yang demikian meremehkan.
"Hi hi hi...! Laki-laki besar mulut yang hanya bisa
menyiksa orang lemah! Ayo, majulah! Ingin kulihat,
sampai di mana kepandaianmu!" ejek Kenanga yang
semakin menjadi-jadi begitu melihat lawan-lawannya
mencak-mencak bagai cacing kepanasan.
"Setan! Kuntilanak kuburan!" teriak lelaki bertubuh
tegap yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya
segera melayang disertai sambaran pedang yang
berputaran cepat
Wuttt! Wuttt..!
"Eit, tidak kena! Hayo tambah kecepatan, Kerbau
Dungu! Mengapa demikian lamban? Apakah kau
merasa sayang untuk melukai tubuhku?"
Sambil mengejek memanaskan telinga lawan,
tubuh gadis jelita itu meliuk menghindari dua buah
serangan lawan. Tentu saja hal itu membuat darah
lawannya semakin mendidih.
"Kubunuh kau!" bentak lelaki bertubuh tegap itu
yang kemarahannya semakin meledak-ledak.
Sepertinya ia benar-benar sudah lupa kalau yang
dihadapinya itu adalah seorang dara jelita yang amat
memikat. Sehingga serangan-serangannya tampak
semakin gencar dan menderu-deru.
"Yeaaat..!"
Lima orang kawan lelaki tegap itu segera
berlompatan mengeroyok Kenanga. Karena, mereka
melihat betapa kawannya demikian sibuk meng-
hadapi gadis jelita itu. Dan kini mereka memang baru
sadar kalau kepandaian gadis itu ternyata hebat
sekali.
Meskipun serangan yang dilancarkan enam orang
laki-laki itu demikian menderu-deru, namun enak saja
tubuh gadis itu menyelinap di antara sambaran
senjata enam orang lawan yang berbau maut itu. Dan
anehnya, tak satu pun yang dapat menyentuh
pakaiannya. Apalagi menyentuh kulit tubuhnya.
Wuttt! Wukkk...!
"Eit.. sedikit lagi!" ejek Kenanga ketika dua buah
senjata lawannya menyambar dari kiri-kanan, dan
berhasil dihindarinya. "Ayo, teruskan! Masak menghadapi seorang wanita saja kalian tidak mampu
berbuat apa-apa? Mana kehebatan kalian? Ayo
tunjukkan?"
Sambil terus berlompatan, mulut gadis jelita itu tak
henti-hentinya mengejek. Akibatnya hati keenam
orang pengeroyoknya semakin kalap bagaikan kakek-
kakek kebakaran jenggot.
"Keparat! Heaaat..!"
Sambil berteriak memaki, salah seorang dari
pengeroyok menusukkan pedang membentuk garis
lurus. Sinar pedang berpendar menyilaukan mata.
Sedangkan dari belakang, pengeroyok yang lainnya
melompat tinggi sambil membabatkan pedang
menebas leher yang jenjang dan mulus itu.
Wuttt! Wuttt!
Menghadapi dua buah serangan dari arah berbeda
itu, sama sekali tidak membuat Kenanga gugup.
Dengan gerakan tenang, tubuhnya dimiringkan sambil
kakinya diputar ke kanan. Maka serangan dari depan
itu pun mengenai tempat kosong.
Gerakan gadis itu tidak hanya sampai di situ saja.
Berikutnya, tubuhnya berputar dengan menggunakan
tenaga pinggang dengan kepala ikut berputar.
Dengan demikian, bacokan pedang lawan yang
mengancam kepala lewat beberapa jari di atasnya.
"Hi hi hi..! Kerbau-kerbau tolol! Masak kalian
berenam tidak mampu menjatuhkanku? Mana
kehebatan yang kalian bangga-banggakan itu?" ejek
Kenanga kembali sehingga membuat keenam orang
pengeroyoknya semakin kalap.
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pun sejak
tadi hanya bisa mengejek tanpa mampu membalas
serangan-serangan kami! Kalau memang hebat,
tunjukkanlah kehebatanmu!" teriak lelaki bertubuh
tegap, mencoba membalas ejekan lawan. Rupanya ia
baru sadar kalau orang yang mereka keroyok itu
sama sekali belum pernah membalas serangan.
Mendengar ucapan lawannya, Kenanga hanya
tertawa terkikik. Sesaat kemudian wajahnya berubah
galak. Dengan tatapan setajam mata pedang, gadis
itu berdiri tegak setelah melenting menjauhi para
pengeroyok itu. Sepertinya Kenanga sudah merasa
puas mempermainkan musuh-musuhnya.
"Hm.... Kau menagih, Kerbau Dungu? Kalau begitu,
bersiaplah untuk menerima hajaranku!" kata gadis itu
dengan suara da tar. Kemudian sepasang tangannya
bergerak, siap melancarkan serangan.
Mendengar ucapan gadis yang sudah berdiri
dengan sepasang mata mengancam, mau tak mau
keenam lelaki itu melangkah mundur. Wajah mereka
langsung berubah tegang. Sewaktu gadis itu bertahan
saja, mereka sudah merasa kewalahan sekali. Entah
apa jadinya kalau gadis itu mulai mengumbar pukulan
dan tendangannya. Sanggupkah mereka bertahan?
***
Kenanga yang tidak ingin keenam orang lawannya
bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan, segera
melesat dibarengi teriakan nyaring dan meng-
getarkan.
"Haiiit...!"
Bagaikan seekor elang yang siap menyambar anak
ayam, tubuh gadis itu meluncur dengan kecepatan
kilat ke arah lawan-lawannya. Sepasang tangannya
siap melakukan cengkeraman-cengkeraman maut
yang akan merenggut nyawa lawan.
Wuttt! Wuttt!
"Aaakh...!"
Dua orang dari pengeroyok yang menjadi sasaran
cengkeraman jari-jari mungil itu, bergegas melempar
tubuhnya ke belakang. Mereka terus melakukan
beberapa kali salto untuk menjaga dari serangan
susulan yang mungkin masih akan mengancam.
Sedangkan lelaki tegap bersama kawannya yang
pada tangan kanannya menggunakan cakar baja,
bergegas menyabetkan pedang untuk menahan
serangan Kenanga. Mata pedang dan cakar baja itu
bergerak menyilang dan mendatar, memapak
serangan gadis itu.
Melihat ancaman yang cukup berbahaya, Kenanga
menarik pulang tangannya. Dan secepat kilat tubuh-
nya berputar sambil melontarkan tendangan kilat ke
dagu si lelaki tegap. Sedangkan, tangannya siap
melakukan serangan susulan.
"Heaaah...!"
Dugkh...!
"Aaakh...!"
Tubuh lelaki tegap itu terdongak ketika tendangan
kaki Kenanga mencium dagunya. Seketika terdengar
jerit kesakitan. Darah pun menetes dari bibirnya yang
pecah.
Kenanga tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Cakarnya yang memang siap terlontar itu segera
meluncur ke arah seorang lagi yang sama sekali tidak
menduga ada serangan. Maka dia berusaha untuk
mengelakkannya. Tapi sayang, serangan yang dilaku-
kan gadis itu terlihat demikian matang dan penuh
perhitungan. Apalagi kecepatan gerak lawan kalah
cepat. Maka...
Brettt!
"Aaakh...!"
Dibarengi jerit kesakitan, tubuh orang itu terlempar
dan terbanrjng keras di atas tanah. Darah segar
tampak mengucur dari luka memanjang yang meng-
hias dadanya. Orang itu hanya dapat merintih sambil
berusaha bangkit
Sementara itu, lelaki bertubuh tegap sudah
bangkit berdiri dan slap melontarkan pukulannya.
Tapi sayang, gerakan yang dilakukan Kenanga masih
jauh melebihi kecepatannya. Sehingga pada saat
baru bersiap melakukan penyerangan, tahu-tahu saja
telapak kaki gadis itu telah telak menghantam
dadanya.
Bugkh!
"Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu kembali
terbanting keras di atas tanah. Darah segar semakin
banyak mengucur membasahi pakaiannya. Ia hanya
telentang sambil menekap dadanya yang terasa
remuk tulang-tulangnya.
Amukan gadis jelita itu tidak berhenti sampai di
situ saja. Empat orang lainnya ternyata juga men-
dapat bagian yang sama. Rupanya dalam hal mem-
bagi pukulan dan tendangan, gadis jelita itu dapat
pula bersikap adil dan tidak pilih kasih. Sehingga
dalam beberapa jurus saja, keenam orang
pengeroyoknya sudah bergeletakan tanpa mampu
bangkit. Dari mulut mereka terdengar rintihan
memelas.
"Ampunkan kami, Nini Pendekar. Kami lakukan ini
terdorong rasa dendam yang tidak mungkin dapat
kami balas. Sehingga kami melakukan pembalasan
dengan jalan menyiksa dan membunuh orang-orang
yang segolongan dengan musuh kami," rintih lelaki
tegap itu sambil menundukkan wajah dalam-dalam.
"Hm.... Aku tidak peduli dengan semua urusan
kalian! Yang penting sekarang kalian harus menerima
hukuman atas perbuatan-perbuatan kejam yang telah
dilakukan!" bentak Kenanga.
Gadis itu sepertinya tidak mau memberi ampunan
kepada keenam orang laki-laki yang telah melakukan
kejahatan dengan membunuh dan menyiksa orang-
orang yang menjadi pemusik. Terutama para pemain
kecapinya.
"Sudahlah, Kenanga. Bukankah kau berjanji hanya
akan memberikan pelajaran saja kepada mereka?
Lalu, mengapa sekarang hendak membunuh
mereka?" tanya Panji mengingatkan gadis itu akan
janjinya.
"Aku tidak menyalahi janjiku, Kakang. Dan yang
akan memberi keputusan hukuman bukan aku, tapi
kau. Meskipun ingin rasanya aku membunuh mereka
semua sekaligus! Paling tidak mereka akan berpikir
dua kali apabila hendak melakukan perbuatan jahat
lagi!" sahut Kenanga yang dari nada suaranya jelas
masih belum puas dengan apa yang telah dilaku-
kannya terhadap keenam orang itu.
Panji hanya tersenyum memandangi wajah
kekasihnya yang cemberut itu. Kemudian kakinya
melangkah menghampiri lelaki tegap yang merupa-
kan pimpinan keenam orang itu.
"Kisanak. Bersediakah kau menerangkan sebab-
sebab perbuatanmu itu? Ceritakanlah. Mungkin
setelah mendengarnya, aku bisa mengambil
keputusan yang lebih baik," pinta Panji kepada orang
itu.
Melihat sikap dan kata-kata pemuda itu yang halus
dan sopan, lelaki tegap itu melihat adanya
kemungkinan untuk lolos dari kematian. Maka
meskipun dengan suara terpatah-patah, diceritakan-
lah duduk persoalannya.
"Demikianlah. Karena tidak sanggup melawan
Kecapi Perak dari Selatan yang memang memiliki
kesaktian hebat itu, maka kami melakukan pem-
balasan dengan cara kami sendiri. Meskipun kami
tahu kalau perbuatan itu salah," lelaki tegap yang
ternyata bernama Bangkil itu menutup ceritanya
dengan helaan napas berat.
"Hm.... Apakah kalian tahu, apa yang menyebab-
kan guru kalian sampai dibunuh orang itu?" tanya
Panji kepada keenam orang yang tiga di antaranya
adalah murid Ki Ranggit dari Perguruan Jari Besi yang
telah dihasut Bangkil dan Wirja.
"Entahlah, Kisanak. Kami tidak mengetahuinya.
Sebab menurut laki-laki pemetik kecapi itu, ia datang
untuk menagih hutang pada sepuluh tahun yang lalu,"
jawab Bangkil yang sempat mendengar ucapan
Kecapi Perak dari Selatan sewaktu berhadapan
dengan gurunya.
"Bolehkan kami tahu nama ataupun julukan
Kisanak?" tanya salah seorang murid Ki Ranggit
takut-takut
Mendengar pertanyaan itu, yang lain serentak
memandang Panji. Rupanya mereka baru tersadar
ketika mendengar pertanyaan salah seorang kawan-
nya.
"Huh...! Ketahuilah, orang yang berada di hadapan
kalian itu adalah pendekar muda yang saat ini telah
menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat
'Naga Sakti'nya!" sahut Kenanga tak sabar.
"Hahhh?! Pendekar Naga Putih...!"
Keenam orang itu berteriak dengan wajah pucat.
Namun dalam sepasang mata mereka memancar
sinar penuh harapan. Tanpa ragu-ragu lagi, keenam
orang itu segera berlutut di hadapan Pendekar Naga
Putih. Mereka membentur-benturkan kepalanya di
tanah sambil memohon ampun berulang-ulang.
"Ampunkan kami.... Ampunkan kami..," ucap
keenam orang itu berbarengan.
"Hm... Bangkitlah kalian!" ujar Panji dengan suara
halus, namun mengandung ketegasan yang tidak bisa
dibantah. Maka meskipun agak takut-takut keenam
orang itu bergerak bangkit dengan kepala tertunduk
dalam-dalam.
"Pendekar Naga Putih. Perbuatan kami memang
sudah keterlaluan. Dan setelah bertemu denganmu,
maka kami rela menyerahkan nyawa di tanganmu.
Kami siap menerima hukuman," sahut Bangkil
mewakili teman-temannya. Karena, mereka memang
merasa tidak ada muka untuk berhadapan dengan
pendekar besar itu. Apalagi untuk meminta per-
tolongan. Mereka tidak berani.
"Hm.... Aku tidak akan menghukum apabila kalian
memang telah benar-benar menyadari perbuatan-
kalian. Dan aku pun akan mencoba untuk mencari
pembunuh guru kalian itu," tegas Panji, tenang.
Sehingga, enam orang itu saling pandang setengah
tak percaya.
"Apakah itu berarti kami mendapat ampunan?"
tanya Bangkil ragu.
"Asalkan kalian bersedia kembali ke jalan yang
benar," tegas Panji lagi.
"Kami berjanji... kami berjanji...!" sambut mereka
serempak sambil kembali berlutut
"Nah! Sekarang kalian kembalilah ke perguruan
masing-masing. Aku akan mencoba menemui Kecapi
Perak dari Selatan," kata Panji.
Tanpa menunggu lama, keenam orang itu ber-
gegas meninggalkan tempat itu sambil berkali-kali
mengucapkan terima kasih.
***
TUJUH
Malam itu bulan bersinar penuh, menerangi
permukaan bumi. Cahayanya yang keemasan
membuat keadaan alam yang gelap itu menjadi
terang dan indah. Beberapa anak desa tampak
berlarian bermain petak umpet. Rupanya, suasana
terang bulan seperti itu membuat mereka merasa
betah untuk berlama-lama berada di luar rumah.
Bukan hanya anak-anak saja. Orang-orang tua pun
tampak berkumpul di beranda rumah, menikmati
purnama yang indah. Sepertinya suasana seperti ini
membangkitkan rasa gembira di hati mereka.
Agak jauh dari keramaian itu, sesosok tubuh
melangkah lambat sambil menenteng sebuah alat
musik kecapi. Rambutnya yang panjang terurai, ber-
kibaran dipermainkan angin. Sebagian wajahnya yang
biasanya selalu tersembunyi, tampak tersibak jelas
karena hembusan angin yang menyibakkan rambut-
nya.
Pakaiannya yang berwarna biru gelap dan
sederhana terlihat bersih. Demikian pula ikat
kepalanya yang juga berwarna biru tua. Ia terus me-
langkah tanpa mempedulikan suasana malam yang
indah itu.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Rimang atau
lebih dikenal berjuluk Kecapi Perak dari Selatan itu
menghentikan langkahnya di samping sebuah rumah
besar. Perlahan-lahan ia pun duduk di atas se-
bongkah batu pipih yang berada di bawah sebatang
pohon besar. Tak berapa lama kemudian, terdengar
alunan musik kecapinya yang mendayu-dayu
menyentuh dinding-dinding kalbu.
Seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun
tampak gelisah di dalam rumahnya. Wajahnya yang
semula tenang dan berwibawa, tampak dibasahi
keringat ketika mendengar petikan kecapi yang
disertai nyanyiannya yang bergetar dan menyelusup
ke dalam setiap ruangan bangunan besar itu.
"Gila! Kecapi keparat itu telah sampai di sini juga
rupanya!" desis lelaki gagah itu semakin gelisah.
"Tuan! Ada apa, Tuan...?" tanya salah seorang
lelaki berpakaian hitam yang datang bersama
seorang kawannya. Mereka adalah dua orang
kepercayaan Kepala Desa Dadapan yang bergegas
menghadap begitu mendengar nama mereka
dipanggil.
"Hm...," lelaki gagah yang usianya hampir setengah
baya itu menggumam tidak jelas.
Kepala Desa Dadapan itu tengah berjalan hilir-
mudik. Kepalanya segera menoleh kepada dua orang
pembantunya. Lekaki yang bernama Ki Burga itu
segera mengulapkan tangannya sebagai isyarat agar
kedua orang pembantunya datang mendekat.
Tentu saja kedua orang itu menjadi bingung
melihat sikap majikan mereka yang nampak gelisah
itu. Setelah berpandangan sejenak, mereka bergegas
menghampiri majikannya yang tengah kebingungan.
Begitu keduanya tiba, Ki Burga lalu berbisik
kepada keduanya. Sepertinya pembicaraan itu tidak
ingin didengar orang lain.
Sementara di salah satu kamar rumah besar itu,
seorang gadis cantik bergegas bangkit dari
pembaringannya. Setelah merapikan rambut dan
pakaiannya, dia cepat meninggalkan kamarnya dan
langsung menuju samping luar bangunan. Karena
diduga, tempat itulah suara petikan kecapi terdengar.
Tak lama kemudian, dari kejauhan gadis itu
melihat sesosok tubuh yang tengah asyik memainkan
kecapinya di atas sebongkah batu pipih di bawah
pohon besar. Kilauan kecapi perak yang tertimpa
cahaya rembulan, menimbulkan bias-bias yang
berpendar sehingga menyelubungi sosok tubuh itu.
Sepertinya, sosok tubuh itu bagai seorang dewa yang
tengah menghibur penduduk bumi.
"Kakang Rimang...!" sapa gadis itu dengan suara
merdu dan lembut.
Setelah melihat orang yang disapanya menoleh,
gadis itu melangkah mendekati tanpa keraguan lagi.
Karena diyakini kalau orang yang tengah memainkan
kecapi itu telah dikenalnya.
"Kencana Wungu! Kau... kaukah itu...?" sahut
Rimang menghentikan permainannya.
Sejenak laki-laki berambut meriap itu hanya berdiri
termenung memandangi gadis cantik yang tengah
melangkah ke arahnya.
"Celaka! Bagaimana Kencana Wungu bisa berada
di tempat ini? Apakah rumahnya tidak berjauhan
dengan rumah si keparat itu? Apakah ia datang ketika
mendengar irama alunan kecapiku?" pikir Rimang
yang begitu terkejut melihat kedatangan Kencana
Wungu.
"Kau... kau sedang apa, Kakang?" tanya gadis yang
memang Kencana Wungu adanya. Ia memandangi
wajah tampan berambut meriap yang juga tengah
memandangnya.
"Aku... aku hanya sedang menikmati keindahan
sinar rembulan, Kencana. Dan aku tergugah memetik
dawai-dawai kecapiku karena merasa terpukau oleh
keindahan pumama malam ini," setelah beberapa
lama terdiam, akhirnya Rimang dapat juga menemu-
kan suatu alasan yang sangat tepat "Di manakah
rumahmu, Kencana?"
"Eh, jadi Kakang belum tahu?" sahut Kencana
Wungu menutupi mulutnya karena hampir saja tawa-
nya meledak mendengar pertanyaan yang baginya
terdengar sangat lucu dan menggelitik perut itu.
"Aku.., aku sama sekali belum tahu," kata Rimang.
Laki-laki itu hanya bisa menatap wajah Kencana
Wungu dengan wajah ketololan. Tentu saja ia tidak
mengerti, mengapa gadis itu menertawakannya.
Apakah ada sesuaru yang aneh di wajahnya.
"Hi hi hi...! Kau membuat perutku sakit, Kakang.
Kau menanyakan rumahku. Padahal, saat ini tengah
berada di sampingnya. Kukira kau sengaja datang
untuk bertemu denganku. Ah! Ternyata aku salah
menduga. Tapi aku senang dapat bertemu lagi
denganmu, Kakang," desah Kencana Wungu.
Sungguh tidak diperhatikannya betapa wajah pemuda
berusia tiga puluh tahun yang berdiri di depannya itu
telah pucat.
Bagaimana Rimang tidak menjadi terkejut?
Karena, saat itu ia bermaksud menyatroni musuh
terakhir gurunya. Dan orang itu diketahuinya telah
memegang jabatan sebagai Kepala Desa Dadapan.
Malam ini, dia memang bermaksud menyelesaikan
dendam gurunya yang telah tewas membawa
penasaran yang dalam. Tapi, siapa sangka gadis yang
telah membuat semangat hidupnya bangkit itu tahu-
tahu telah berada di dekatnya. Dan diduga....
"Siapakah nama ayahmu, Kencana?" tanya
Rimang dengan suara gemetar penuh ketegangan.
Hati laki-laki itu menjerit mengharapkan agar
wanita cantik ini bukanlah anak musuh besarnya.
Rimang menanti jawaban yang keluar dari mulut
gadis itu dengan dada berdebar bagai badai di lautan.
Tentu saja Kencana Wungu jadi heran mendengar
pertanyaan itu. Meskipun sebenarnya hal itu suatu
yang wajar, tapi mengapa pada saat yang seperti ini
dia malah menanyakan ayahnya? Ada apa sebenar-
nya? Tapi demi melihat ketegangan yang terpancar di
wajah si pemetik kecapi itu, mau tak mau Kencana
Wungu jadi berdebar hatinya.
"Mengapa... mengapa kau tanyakan itu, Kakang?
Apakah... apakah kau mempunyai maksud tertentu?"
akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.
Melihat wajah gadis itu menjadi tegang, Rimang
juga menyadari akan sikapnya. Ditariknya napas
panjang berulang-ulang untuk menenteramkan hati-
nya yang dilanda ketegangan. Dicobanya untuk me-
nahan gejolak dalam dadanya dan kembali bersikap
wajar.
Sejenak suasana jadi hening.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mempunyai maksud
tertentu. Aku berada di tempat ini hanya suatu
kebetulan saja. Maaf kalau aku telah membuatmu
terkejut dengan pertanyaan tadi," kilah Rimang. Dia
merasa bersyukur karena telah dapat bersikap wajar
kembali.
"Tapi, apa maksudmu menanyakan nama ayahku?
Apakah kau hanya sekadar ingin tahu?" tanya
Kencana Wungu yang masih penasaran dengan
pertanyaan yang tadi dilontarkan pemuda itu.
Sepasang matanya yang indah memandang penuh
selidik.
"Hanya sekadar ingin tahu saja. Karena aku
menduga, kau pasti putri seorang yang terpandang di
desa ini. Jadi aku merasa penasaran ingin
mengetahui nama orang tuamu. Tapi kalau merasa
keberatan, tidak perlu kau jawab pertanyaanku itu.
Lupakanlah," sahut Rimang mengajukan alasan yang
kira-kira dapat diterima gadis yang telah menarik
hatinya itu.
"Kalau memang benar-benar ingin mengetahuinya,
aku tidak keberatan, Kakang. Seperti yang pernah
kuceritakan kepadamu, ibuku sudah lama meninggal.
Dan aku tinggal bersama ayahku yang bernama Ki
Burga dan menjadi kepala desa ini. Nah! Apakah kau
sudah puas dengan jawabanku? Kalau sudah puas,
sekarang aku ingin mendengar riwayat hidupmu.
Boleh?" jelas Kencana Wungu.
Mendengar kalau gadis itu adalah anak Ki Burga,
seketika gemetar seluruh anggota tubuh Rimang.
Kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat dan
mata terbelalak lebar. Keterangan yang meluncur dari
mulut gadis itu bagai ledakan petir di telinganya. Kali
ini Rimang tidak dapat lagi menyembunyikan rasa
terkejutnya.
"Kau... kau kenapa, Kakang?" seru Kencana
Wungu lirih dan bergetar.
Wajah gadis ini langsung berubah pucat melihat
laki-laki itu terhuyung mundur sambil menekap
dadanya. Gadis cantik ini semakin tak mengerti
melihat wajah Rimang yang berkerut-kerut seperti
hendak menangis juga hendak tertawa. Jelas sekali
kalau pemuda itu tengah dilanda penderitaan hebat
Sedangkan Rimang terus terhuyung mundur.
Sesekali terdengar keluhan yang keluar dari bibirnya.
Tangan kanannya terjulur ke depan seperti hendak
menghalangi gadis itu agar tidak melangkah men-
dekatinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat pergi
sambil memperdengarkan jeritan melengking memilu-
kan. Dari nada suara jeritannya, jelas sekali kalau dia
tengah mengalami suatu pukulan dalam hatinya yang
sama sekali tidak dimengerti Kencana Wungu. Dan
gadis itu hanya dapat memandang bingung.
"Kakang Rimang...!" Kencana Wungu berteriak
memanggil nama pemuda itu setelah terbebas dari
keterpakuannya.
Sambil berteriak memanggil, tubuh gadis cantik itu
cepat melesat ke arah perginya pemuda pemetik
kecapi itu. Namun hatinya jadi kecewa ketika tidak
berhasil menemukan pemuda itu meskipun telah
berlari dalam jarak yang cukup jauh. Rimang yang
berjuluk Kecapi Perak dari Selatan lenyap bagaikan
ditelan bumi saja.
"Kakang.... Apakah sebenarnya yang terjadi de-
nganmu? Mengapa tiba-tiba saja kau meninggalkan
aku?" keluh Kencana Wungu dengan tubuh lunglai.
Tiba-tiba saja gadis itu merasa begitu sepi dan
nelangsa. Sepertinya seluruh hati dan semangatnya
ikut terbang bersama kepergian pemuda yang telah
menimbulkan rasa kagum dan simpati dalam hatinya.
Ingin rasanya dia berteriak sekuat-kuatnya memanggil
nama pemuda pemetik kecapi itu. Dan kini dadanya
terasa sesak oleh berbagai perasaan yang bercampur
aduk di dalam hatinya saat itu.
"Oh, Kakang...," Kencana Wungu kembali
mengeluh, menyebut nama pemuda yang telah
mencuri sekeping hatinya.
Dilangkahkan kakinya perlahan-lahan meninggal-
kan tempat itu. Lambat sekali kakinya melangkah
dengan kepala tertunduk. Air mata yang hendak
runtuh ditahan dengan sekuat hatinya. Baru kali
inilah ia benar-benar merasa sepi dan sendiri dalam
dunia ini. Hatinya terasa kosong dan pedih mengingat
kepergian pemuda itu yang telah membawa kesan
pada dirinya. Tanpa sadar, dua butir air bening
menggelinding di kiri kanan pipinya.
***
Kencana Wungu baru tersentak ketika mendengar
langkah langkah kaki yang mendatanginya. Dengan
hati berdebar, gadis itu menunggu dan berharap
kalau orang yang datang itu adalah Rimang, pemuda
yang telah menimbulkan getar-getar aneh di dalam
hatinya. Namun hatinya menjadi kecewa ketika orang
yang datang itu ternyata dua orang pembantu
ayahnya. Cepat air mata yang membasahi wajahnya
dihapus dengan punggung tangan. Ditariknya napas
berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya dan
berusaha bersikap wajar.
"Nini Kencana? Nini... sedang apa di sini?" tegur
salah seorang dari mereka dengan perasaan heran.
Karena, tidak biasanya gadis itu berada di luar pada
saat malam seperti itu, meskipun saat itu bulan
purnama.
Kedua orang pembantu utama Ki Burga itu saling
pandang satu sama lain dengan wajah bingung.
Keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tak
mengerti. Mereka kembali mengalihkan pandang ke
arah gadis yang tampak berusaha tersenyum. Tapi
sayang, senyum di wajah cantik itu tampak getir
sehingga seperti sebuah seringai.
"Hm.... Apakah aku tidak boleh menikmati
keindahan purnama malam ini? Dan Paman berdua
mengapa pula berada di tempat ini?" tanya Kencana
Wungu.
Gadis itu rupanya telah dapat menyembunyikan
perasaannya dari pandangan kedua orang pembantu
ayahnya itu. Ia mencoba bersikap wajar dan
melangkah menghampiri keduanya dengan senyum
yang dibuat semanis mungkin untuk menutupi
kedukaan.
"Ah, tidak apa-apa. Kami berdua diperintahkan
ayahmu untuk mengamati daerah sekitar tempat ini.
Karena kami tadi mendengar suara nyanyian dan
alunan kecapi," sahut salah seorang, sambil mencoba
bersikap wajar. Meskipun bagi sepasang mata
Kencana Wungu jelas terlihat kalau mereka
menyembunyikan sesuatu.
"Apakah Nini juga mendengar suara itu?" tanya
yang lain dengan pandangan menyelidik.
"Tidak. Memangnya kenapa, Paman? Apakah
nyanyian itu mengganggu perasaan ayah?" Kencana
Wungu berbalik bertanya.
Memang, tidak biasanya kedua orang itu meronda.
Padahal biasanya mereka hanya disuruh menjaga
saja. Dan sebagai seorang gadis cerdik, ia pun mulai
dapat meraba kalau ada sesuatu yang tidak wajar
yang tengah dialami ayahnya. Hal itu terlihat dari
sikap ayahnya yang nampak gelisah dan selalu
marah-marah waktu belakangan ini. Dan ketika ia
melihat keanehan pada si pemetik kecapi tadi, maka
gadis yang banyak akal ini pun mulai merangkai dan
menduga-duga. Meskipun ia belum dapat menemu-
kan apa yang terjadi penyebab semua itu, Kencana
Wungu bemiat menyelidikinya.
"Ah! Sama sekali tidak, Nini. Sebaiknya kita lekas
kembali. Siapa tahu, saat ini ayahmu tengah mencari-
carimu. Dan kami bisa mendapat marah besar kalau
beliau mengetahui Nini ada di sini," ajak salah satu
dari keduanya dengan sikap hormat dan tidak terlalu
berani mendesak.
"Hm.... Baiklah, Paman. Ayo kita pulang!" setelah
berkata demikian, gadis itu melangkah mendahului
kedua orang pembantu ayahnya itu. Tanpa berkata
sepatah pun, kedua orang itu bergegas mengikuti
langkah kaki putri majikannya meninggalkan tempat
itu.
***
DELAPAN
Setelah merasa cukup jauh, Rimang segera
memperlambat larinya dan kemudian berhenti.
Pemuda gagah berusia tiga puluh tahun itu menghela
napas panjang berulang-ulang, lalu duduk di atas
sebongkah batu besar di luar perbatasan Desa
Dadapan.
"Hhh.... Mengapa kejadian ini harus terulang lagi?
Haruskah aku mengalami kehancuran hati untuk yang
kedua kali? Apakah Wirani tidak rela kalau aku jatuh
cinta lagi?" keluh pemuda itu dengan suara bergetar
penuh kedukaan.
Terbayang kembali di pelupuk matanya, peristiwa
sepuluh tahun lalu. Waktu itu dia diperintah gurunya
untuk membasmi para perampok yang mengganggu
dusun yang terletak cukup jauh dari tempat tinggal
gurunya. Betapa terkejut dan hancurnya hati Rimang.
Ketika kembali dari tugas, dia menemukan tubuh
guru dan istri gurunya, serta Wirani, telah terkapar
mandi darah! Sedihnya lagi, Wirani yang anak gurunya
itu, adalah juga tunangannya.
Tiba-tiba Rimang tersentak bangkit dengan
sepasang mata nyalang. Pendengarannya yang
terlatih menangkap suara berkeresek di belakangnya.
Namun pemuda itu menghela napas lega, dan
kembali duduk tenang ketika melihat seekor kelinci
gemuk berlari ke arah semak-semak.
"Guru. Mengapa derita ini tak habisnya mendera
jiwaku?" keluh pemuda itu.
Wajah Rimang semakin berduka. Karena di saat
tugas pembalasan dendamnya hampir tuntas, ia
dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat sulit.
Betapa tidak? Sebab ternyata musuh besarnya yang
hanya tinggal Ki Burga seorang itu, mempunyai
seorang putri cantik dan telah dikenalnya. Bahkan
mereka telah bersahabat. Selain itu, gadis putri
musuh besarnya justru telah menebarkan benih kasih
di dalam hatinya yang selama ini kering dan hampa.
Rimang benar-benar bingung menghadapi keadaan
itu. Ia harus memilih antara perasaan cinta dan bakti
terhadap gurunya sekeluarga.
"Hhh...," pemuda itu menghembuskan napasnya
kuat-kuat seolah ingin membuang semua kekalutan
melalui hembusan napas beratnya itu.
Hati Rimang kembali terbakar dendam dan
kemarahan mengingat kalau orang yang telah
membunuh dan menodai tunangannya itu masih
tersisa seorang lagi. Dan orang itu adalah ayah dari
gadis yang telah membangkitkan gairah dan
semangat hidupnya kembali.
"Tidak! Apa pun yang terjadi, aku harus melunasi
dendam penasaran guruku sekeluarga! Aku tidak
peduli, meskipun hal itu membuatku menderita
selamanya. Tunggulah, Ki Burga! Aku akan datang
untuk mengambil nyawamu!" geram Rimang yang
segera bangkit dengan sorot mata penuh dendam.
Pemuda itu memang harus mengenyampingkan
perasaan pribadi demi bakti terhadap gurunya dan
demi kecintaannya terhadap kekasihnya yang telah
dibunuh dan dinodai secara biadab.
Setelah mengambil keputusan bulat, dia
melangkah memasuki mulut desa sambil menenteng
kecapi peraknya. Wajahnya yang gagah dan cukup
tampan itu kembali dingin dan beku. Demi guru dan
tunangannya, semua perasaan terhadap Kencana
Wungu ditekan dan dimatikannya. Tubuhnya ber-
kelebat cepat di antara bayang-bayang pepohonan
yang memanjang tertimpa cahaya pumama malam
itu.
Tubuh pemuda yang kini terbakar dendam itu
berlompatan di atas atap rumah-rumah penduduk
menuju kediaman kepala Desa Dadapan. Begitu tiba
di tempat tujuan, tubuhnya segera menyelinap
memasuki bangunan besar rumah kepala desa.
Wuuut!
Tangan pemuda itu bergerak melemparkan sebilah
pisau ke arah tiang penyangga rumah yang berada di
ruangan depan. Setelah itu tubuhnya kembali ber-
kelebat lenyap meninggalkan rumah kediaman Ki
Burga.
Tappp!
"Hei, apa itu...?" teriak lelaki gagah yang bukan lain
dari Ki Burga sendiri.
Tubuh Ki Burga langsung mencelat bangkit dari
kursinya. Gerakan ini diikuti pula oleh dua orang
pembantunya, karena saat itu mereka memang
tengah berbicara di ruang depan.
Ki Burga melangkah hati-hati ke arah tiang yang
menjadi sasaran sinar putih yang tadi dilihatnya itu.
Dua orang pengawalnya ikut melangkah di belakang
majikannya, siap dengan senjata di tangan.
"Lihat, Ki! Di gagang pisau itu sepertinya ada
selembar daun lontar!" kata salah seorang dari kedua
pengawal kepala desa itu.
"Ambillah, dan bawa kemari!" perintah Ki Burga
dengan hati tegang dan diliputi tanda tanya.
Seorang penjaga kemudian mengambil pisau yang
tertancap, kemudian membuka gulungan daun lontar.
Diserahkannya daun lontar itu, yang kemudian
diambil Ki Burga. Dengan hati-hati, kepala desa itu
membuka gulungan daun lontar yang kemudian
segera dibacanya.
Ia yang sudah mendengar kabar terbunuhnya tiga
orang sahabatnya, langsung dapat menerka.
Mungkinkah ini perbuatan orang yang dijuluki Kecapi
Perak dari Selatan? Kalau benar, mengapa mengirim-
kan surat ini? Mengapa tidak datang langsung
menemuinya seperti yang dilakukan terhadap ketiga
orang kawannya?
Dengan tangan gemetar karena dilanda
ketegangan hebat, Ki Burga pun mulai membaca
tulisan di dalam surat itu.
Ki Burga! Kutunggu kau malam ini juga!
Datanglah ke sebuah lapangan rumput di Selatan
desa.
Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan-
mu!
Wajah Ki Burga mendadak gelap sesudah
membaca isi surat itu. Diremasnya surat itu dengan
penuh geram, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
"Huh! Jangan kau kira aku takut kepadamu,
Manusia Keparat! Akan kuremas hancur batang
lehermu!" geram Ki Burga dengan suara lirih. "Kalian
berdua ikut aku!"
Dengan diiringi dua pembantu utamanya, lelaki
gagah berusia empat puluh lima tahun itu bergegas
memenuhi tantangan Kecapi Perak dari Selatan.
***
Tiga orang tampak berkelebat menuju suatu
tempat Mereka adalah, Ki Burga dan dua orang
pengawal pribadinya. Kini mereka telah tiba di
lapangan yang dimaksud di dalam surat. Dari
kejauhan, mereka melihat sesosok tubuh berambut
meriap berdiri angker sambil menyandang sebuah
kecapi berwarna perak.
"Hm.... Ternyata kau cukup gagah dan jantan, Ki
Burga!" puji sosok tubuh yang tak lain Rimang itu.
Suara si pemetik kecapi itu terdengar dingin dan
angker. Sehingga hati ketiga orang itu berdebar dan
semakin tegang. Dan memang mereka sudah
mendengar sepak terjang tokoh itu yang meng-
giriskan.
"Hmh...! Aku tidak akan lari dari tanggung jawab,
Kisanak. Kedatanganku kemari bukan bermaksud
untuk membela tiga orang kawanku yang telah kau
bunuh itu, tapi justru untuk menebus dosa-dosa
akibat kekhilafanku dulu. Dulu aku telah dibujuk Ki
Suta untuk mengeroyok dan membunuh gurumu itu.
Selama sepuluh tahun aku menyesali perbuatanku
yang telah membuat dosa besar terhadap gurumu.
Kini, aku datang untuk menebusnya," tegas Ki Burga
sambil melangkah perlahan mendekati Rimang.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku datang untuk
menagih hutang nyawa guruku?" tanya Rimang.
"Tidak perlu heran, Kisanak. Aku sudah mulai
menduga ketika mendengar kematian tiga orang
sahabatku itu. Sebab, peristiwa itu sampai saat ini
masih tetap mengganggu pikiranku. Itulah sebabnya,
mengapa aku dapat memastikan dirimu sesungguh-
nya," sahut Ki Burga yang telah dapat menenangkan
dirinya.
"Hm.... Meskipun begitu, jangan harap aku akan
mengampunimu, Orang Tua! Meskipun kau mengata-
kan sangat menyesali perbuatanmu itu, namun aku
akan tetap mengirimmu ke liang kubur!" bentak
Rimang yang tak tergerak hatinya oleh pengakuan Ki
Burga.
"Hm.... Apakah kau tahu, apa yang menyebabkan
gurumu sampai tewas di tangan kami?" tanya Ki
Burga.
"Tentu! Pada saat usai pembantaian, aku datang.
Kutemui kalau ternyata guruku masih belum tewas.
Beliau menceritakan kalau perbuatan itu dilakukan
oleh seorang yang pernah menjadi tunangan istri
guruku. Tapi istri guruku menolaknya, dan memilih
beliau sebagai suaminya. Tapi, rupanya orang yang
bernama Ki Suta itu mendendam. Maka diajaknya
tiga orang kawannya untuk membunuh guruku
sekeluarga, setelah dua puluh tahun menahan
dendam. Bahkan salah seorang dari kalian telah
menodai tunanganku sebelum membunuhnya!"
Rimang berhenti sebentar. Dihirupnya napas
dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Dada-
nya terasa bergemuruh, menahan gejolak amarah.
Sedangkan Ki Burga tetap mendengarkan dengan
sabar, walau hatinya juga tidak menentu.
"Beliau telah mewariskan aku sebuah kitab dan
kecapi perak yang kupelajari selama sepuluh tahun
untuk membalaskan dendam. Ia juga menyebutkan
nama-nama orang yang mengeroyoknya. Itulah sebab-
nya, mengapa aku tidak terlalu sulit mencari keempat
orang pembunuh biadab itu. Aku memang tidak tahu,
siapa di antara kalian yang telah menodai tunangan-
ku. Namun, aku telah cukup puas bisa melenyapkan
kalian dari muka bumi ini!" tegas Rimang dengan
suara bergetar mengingat kematian gurunya
sekeluarga.
"Ah! Aku sama sekali tidak mengetahui kalau salah
seorang dari kami telah menodai putri gurumu itu."
desah Ki Burga agak kaget
"Sudahlah, Ki Burga. Sekarang bersiaplah untuk
menerima hukuman atas perbuatanmu itu!" bentak
Rimang yang segera bersiap untuk melakukan
serangan.
Pemuda itu menggeser kaki kanannya ke samping
membentuk kuda-kuda silang. Tangan kirinya ditekuk
di atas kepala. Sedangkan tangan kanannya yang
memegang kecapi berada di depan dada.
"Menepilah kalian. Jangan mencampuri urusan
ini," perintah orang tua itu kepada kedua orang
pembantunya. "Kalau aku tewas, bawa mayatku
pulang!"
"Baik, Ki," sahut kedua orang itu serempak.
Meskipun dengan hati dipenuhi tanda tanya, namun
kedua orang pembantu yang setia itu pun melangkah
ke tepi arena.
"Aku sudah siap, Kisanak!" seru Ki Burga yang
sudah mencabut sepasang pedang yang tergantung
di punggung.
Wuuut! Wuuut..!
Ki Burga memutar pedang secara bersilangan.
Sepasang pedang itu berkesiutan membentuk
gulungan sinar putih yang bergerak cepat turun naik.
"Yeaaat..!"
Diiringi teriakan keras, Rimang mulai membuka
serangan. Tubuhnya yang tinggi tegap itu meluncur
cepat ke arah lawannya.
Wuuut!
Kecapi perak yang berada di tangan kanannya
menyambar cepat dengan kekuatan menggiriskan,
tertuju ke arah kepala Ki Burga. Laki-laki kepala desa
itu segera menggerakkan pedangnya untuk me-
nangkis. Namun, serangan itu ternyata hanyalah
sebuah tipuan. Karena pada saat hampir mencapai
sasaran, tiba-tiba kecapi perak itu tertarik pulang.
Rimang segera menggantikannya dengan tusukan
jari-jari tangan kiri yang terbuka mengancam lambung
lawan.
Zebbb!
"Aaah...!"
Ki Burga yang tidak mengira gerakan lawan
demikian cepatnya, cepat melompat ke belakang
untuk menghindari serangan berbahaya itu. Sambil
melompat, dikirimkannya sebuah bacokan yang tidak
kalah berbahayanya. Pedang di tangan kanannya
menyambar ganas mengancam leher lawan.
Rimang pun bukanlah orang bodoh. Kaki kanannya
segera digeser ke samping disertai liukan tubuhnya,
maka serangan Ki Burga hanya mengenai tempat
kosong. Kemudian dilancarkannya serangkai
serangan balasan yang mengancam jalan-jalan darah
kematian di tubuh orang tua itu. Dengan tidak kalah
ganas, sepasang pedang di tangan kepala Desa
Dadapan menyambar, menyambut serangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin sengit. Kedua
tokoh itu saling menyerang dahsyat. Dalam waktu
singkat, mereka telah bertarung lebih kurang empat
puluh jurus. Namun, masih terlihat sama-sama
seimbang.
"Yeaaat...!"
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, Ki
Burga berteriak melengking tinggi. Sepasang pedang-
nya berkelebat membentuk gulungan sinar yang
menyilaukan mata. Nampaknya, orang tua itu telah
mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera
menjatuhkan lawan. Serangannya kali ini benar-benar
hebat dan menggiriskan.
Wukkk! Wukkk!
"Haiiit...!"
Sambil membentak keras, Rimang berkelebat
cepat menghindari sambaran pedang yang berhawa
maut itu. Di sini diperlihatkannya kehebatan ilmu
meringankan tubuhnya yang jarang ada duanya.
Setiap kali pedang di tangan lawan menyambar,
selalu saja hanya mengenai tempat kosong. Dan
memang, gerakan tubuh pemuda itu masih jauh lebih
cepat daripada sambaran pedang lawan. Bukan
hanya itu saja. Dalam setiap elakannya, laki-laki tinggi
tegap itu selalu mengisinya dengan sambaran kecapi
peraknya maupun tusukan jari-jari tangan yang dapat
meremukkan batu karang. Sehingga dalam beberapa
jurus kemudian, Rimang kini sudah mulai dapat
mendesak lawannya. Ki Burga terus dipaksa bermain
mundur dan semakin dipersempit ruang geraknya.
Memasuki jurus kelima puluh tiga, Ki Burga sudah
tidak mampu lagi membalas serangan. Setiap kali
pedangnya menyambar, selalu membentur kecapi
perak yang bergulung-gulung membentuk gundukan
sinar bagai benteng baja yang kokoh. Setiap kali
membentur gundukan sinar perak itu, pedangnya
selalu terpental balik dan tangannya kontan terasa
nyeri. Hal itu menandakan kalau kekuatan tenaga
dalam lawan ternyata masih beberapa tingkat di
atasnya. Dan hal itu membuatnya semakin
kewalahan.
"Gila! Kepandaian pemuda ini benar-benar hebat.
Pantas saja kalau ketiga orang kawanku sampai
tewas di tangannya. Dan rasa-rasanya, aku pun tidak
akan bertahan lebih lama lagi," keluh Ki Burga yang
seluruh tubuhnya sudah dibasahi peluh yang mem-
banjir keluar. Bahkan napasnya pun terlihat mulai
memburu karena harus mengerahkan seluruh tenaga
untuk mempertahankan nyawa.
"Heaaat..!"
Pada saat pertarungan memasuki jurus yang
kelima puluh lima, Rimang berteriak nyaring disertai
sentilan jari-jarinya pada dawai kecapi. Hebat sekali
akibat yang ditimbulkan oleh petikan kecapi yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sekitar
arena pertarungan bagai dilanda angin ribut, hingga
membuat pepohonan berderak bagaikan hendak
roboh! Bahkan dua orang pembantu Ki Burga yang
menyaksikan pertarungan dari tepi arena sampai
terjengkang ke belakang. Mereka terkejut bukan main
ketika merasakan sebuah getaran yang amat kuat
seperti menghantam bagian dalam dada. Maka
kedua orang itu cepat mengerahkan tenaga untuk
melindungi tubuh mereka dengan jalan melakukan
semadi dan mengatur jalan napas.
Kejadian itu juga dialami Ki Burga. Bahkan akibat
yang dialaminya lebih hebat lagi, karena serangan itu
memang ditujukan kepadanya. Tubuh orang tua itu
gemetar bagai orang terserang demam tinggi.
Padahal dirinya sudah dilindungi tenaga dalam
penuh. Namun tetap saja suara itu mem-
pengaruhinya. Dari mulut, hidung, dan telinganya
nampak mengalir darah segar. Jelas kalau Ki Burga
mengalami luka dalam yang cukup parah.
"Hiaaa...!"
Karena tidak sanggup bertahan lebih lama, tiba-
tiba Ki Burga mengeluarkan lengkingan tinggi yang
nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat disertai
sambaran sepasang pedangnya. Orang tua itu tidak
sadar kalau keadaannya yang lemah telah mem-
perlambat gerakannya. Sehingga pada saat
melompat, ia tidak sempat lagi menghindari
sambaran kecapi perak yang menghantam
punggungnya.
Desss!
"Huagkh...!"
Tubuh Ki Burga langsung terjengkang disertai
semburan darah segar dari mulut. Sepasang
pedangnya pun terlempar entah ke mana. Sebelum
tubuhnya menyentuh permukaan tanah, Rimang
sudah menyusul dengan tusukan jari-jari tangan yang
meluncur ke arah leher orang tua itu. Rasanya, nyawa
Ki Burga hanya sampai di sini. Laki-laki tua itu hanya
dapat memejamkan mata, menunggu ajal tiba.
Sikapnya sudah benar-benar pasrah.
***
SEMBILAN
"Aaah...!"
Tubuh Rimang terpental balik ketika tusukan jari
tangannya membentur lengan kokoh bagai sebatang
baja yang mengeluarkan hawa dingin menggigit
tulang. Cepat tubuhnya bersalto beberapa kali di
udara untuk mematahkan daya luncur tubuhnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Rimang.
Laki-laki pemetik kecapi itu terkejut melihat
sesosok tubuh sedang dan berjubah putih tengah
berdiri tegak beberapa langkah di depan Ki Burga.
Orang itu dikenalnya betul karena sekujur tubuhnya
dikelilingi selapis kabut yang bersinar putih
keperakan. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan
Pendekar Naga Putih.
Sementara tubuh Ki Burga yang terluka, tengah
dipapah ke tepi oleh seorang gadis jelita berpakaian
serba hijau. Gadis itu tak lain adalah Kenanga yang
datang bersama Panji.
"Hm.... Mengapa kau mencampuri urusanku,
Pendekar Naga Putih?! Bukankah hal ini tidak ada
sangkut pautnya denganmu? Lagi pula keparat itu
adalah musuh besarku yang telah membantai guruku
sekeluarga," tegur Rimang dengan suara tak senang.
Keningnya berkerut dalam, melihat campur tangan
pendekar muda itu.
"Kisanak. Membunuh musuh yang sudah tidak
berdaya bukanlah suatu sifat bijaksana," sahut Panji
yang menjadi semakin bijak karena pengalaman
pengalamannya dalam petualangan. "Adalah merupa-
kan sikap terpuji apabila kita sudi memaafkan lawan
yang sudah tidak berdaya. Siapa tahu ia akan men-
jadi sadar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,"
"Jangan coba menasihatiku, Pendekar Naga Putih!
Biarpun kau seorang pendekar besar, namun usiaku
jauh lebih tua darimu. Dan aku tidak membutuhkan
nasihatmu! Lebih baik serahkan orang tua itu
kepadaku, dan kau boleh pergi tanpa kuganggu!"
bentak Rimang.
Dia memang menjadi tersinggung mendapat
nasihat dari Pendekar Naga Putih yang dianggapnya
sebagai anak kemarin sore. Sepasang matanya
memancarkan sinar berkilat dan penuh ancaman.
***
"Kakang, orang tua itu terluka cukup parah. Dan
menurut keterangan dua orang yang mungkin
pembantunya, dia memang sengaja datang ke sini
untuk memenuhi tantangan Kecapi Perak dari
Selatan. Hal ini dilakukan untuk menebus dosa-dosa
yang telah dilakukannya pada masa silam," jelas
Kenanga yang sudah berada di samping Panji. Gadis
jelita itu melemparkan pandang sejenak kepada
Rimang yang tengah berdiri dengan sikap menantang.
"Nah! Kau dengar itu, Kisanak. Orang tua yang
menjadi musuh besarmu itu telah lama menyesali
perbuatannya. Apakah kau tidak sudi mengampuni
dan memaafkannya?" bujuk Panji dengan suara
halus.
Meskipun demikian, Panji tetap tidak meninggal-
kan kewaspadaannya. Karena dari benturan tadi, bisa
diduga kalau kepandaian lelaki berambut meriap itu
tidak bisa dipandang remeh.
"Tidak perlu banyak cakap, Pendekar Naga Putih!
Kalau kau hendak membelanya, bersiaplah! Aku ingin
tahu, apakah kepandaianmu sehebat perkataanmu?"
tantang Rimang yang tidak ingin berpanjang kata lagi.
"Tunggu dulu, Kisanak. Bagaimana kalau kita ber-
taruh saja?" usul Panji yang rupanya telah mendapat
jalan keluar untuk memecahkan persoalan.
"Apa maksudmu?" tanya Rimang mengerutkan
kening.
"Hm.... Aku terima tantanganmu, tapi dengan satu
syarat. Apabila dalam pertarungan nanti aku kalah,
kau boleh membunuhku dan juga orang tua itu. Tapi
sebaliknya, apabila kau yang kalah, kau harus
mengampuni dan memaafkan orang tua itu.
Bagaimana? Setuju?"
Rimang tidak segera menjawab. Ia termenung
sejenak memikirkan usul yang diajukan Pendekar
Naga Putih. Sekilas terbayang mayat ibu guru dan
tunangannya yang bermandi darah. Masih terngiang
di telinganya rintihan kesakitan sang Guru saat
menjelang ajal dan menyerahkan kecapi perak
berikut sebuah kitab. Terbayang juga wajah Kencana
Wungu, gadis yang telah mempu membangkitkan
gairah hidupnya yang telah lama marl.
Apa yang akan dilakukan Kencana Wungu yang
telah mencuri sekeping hatinya, apabila mengetahui
kalau dirinya yang membunuh orang tua satu-satunya
yang masih tinggal? Apakah mungkin kalau gadis itu
akan berduka dan kemudian melakukan pembalasan
terhadapnya?
Rimang meringis menahan rasa nyeri yang tiba-
tiba menusuk jantungnya. Karena ia tidak mungkin
sanggup membayangkan kesedihan dan kedukaan
gadis yang telah dicintainya itu. Apalagi untuk
menghadapinya. Ia tidak akan sanggup.
"Hhh...," Rimang menghembuskan napasnya kuat-
kuat untuk menghilangkan rasa pening akibat
pertentangan batinnya. Ia benar-benar bingung dan
tak tahu harus memilih yang mana.
"Kisanak, aku percaya kalau mendiang gurumu
adalah seorang yang bijaksana. Dan aku pun percaya
apabila saat ini beliau masih ada, pasti akan
mengampuni dan memaafkan musuhnya yang telah
sadar akan kesalahannya," bujuk Panji yang membuat
Rimang mengangkat kepalanya dan menatap
pemuda berjubah putih itu lekat-lekat
"Betulkah ucapanmu itu, Pendekar Naga Putih?"
tanya Rimang yang hatinya telah dilanda keraguan.
"Untuk apa berbohong," sahut Panji tersenyum.
"Lagi pula dengan melukai orang tua itu, bukankah
kau telah memberikan ganjaran atas perbuatannya?
Dan itu, sama artinya bahwa kau telah menunaikan
tugasmu dengan baik."
"Hm.... Kurasa ucapanmu itu cukup masuk akal,"
gumam Rimang seraya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Baiklah. Aku setuju dengan usulmu tadi.
Nah, sekarang bersiaplah!"
Laki-laki pemetik kecapi itu segera memasang
kuda-kuda, siap menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Sudah kuduga, kalau kau sebenarnya memiliki
sifat bijaksana, Kisanak. Aku kagum padamu," jawab
Pendekar Naga Putih yang segera bersiap meng-
hadapi Kecapi Perak dari Selatan.
"Jangan terlalu memujiku, Pendekar Naga Putih,"
sahut Rimang.
Terus terang, diam-diam si Pemetik Kecapi dari
Selatan merasa malu. Karena keputusan yang
diambilnya itu bukan dari kebijaksanaan. Keputusan
itu diambil karena ia takut akan kemarahan dan
kedukaan putri musuh besarnya yang telah mencuri
sekeping hatinya itu.
Sesudah mengeluarkan ucapan itu, Rimang mulai
bergerak maju dengan sikap hati-hati. Karena
disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukanlah
orang sembarangan. Mau tak mau dia harus berjuang
keras untuk mengalahkannya. Bahkan, jarinya sudah
digerakkan memetik dawai kecapi dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Mendengar irama kecapi yang kian lama kian
menggetarkan dan melengking itu, Kenanga dan tiga
orang lainnya bergegas menjauhi arena pertarungan.
Sedangkan Panji sendiri sudah melolos Pedang Naga
Langit yang tersandang di punggungnya. Cepat-cepat
pedang itu diputar untuk menindih suara kecapi yang
mengaung dan melengking menggetarkan dadanya.
Wuuuk!Wuuuk...!
Segunduk sinar putih keperakan bergulung-gulung
menimbulkan deruan angin dahsyat. Gundukan sinar
itu bergerak turun naik, bagai seekor naga yang
melayang-layang di angkasa. Suaranya mengaung
dahsyat bagai pekikan naga yang marah!
Rimang tercekat ketika merasakan suara
mengaung yang ditimbulkan putaran pedang lawan
ternyata mampu menindih irama petikan kecapinya.
Dibarengi teriakan nyaring, laki-laki gagah itu
melompat menerjang Panji dengan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya.
"Heaaat..!"
Wuuuk!
Angin tajam berhembus keras ketika Rimang
mengayunkan kecapi peraknya untuk menerjang
Panji. Namun Pendekar Naga Putih bergegas
menyambut dengan sambaran Pedang Naga Langit
yang mengaung menggetarkan sukma. Sesaat
kemudian, kedua orang tokoh sakti itu sudah terlibat
pertarungan dahsyat
Trang!
"Aaah...!"
Terdengar benturan keras yang memekakkan
telinga ketika pedang di tangan Panji membentur
kecapi perak lawan. Tubuh Rimang terdorong sejauh
hampir dua tombak dan wajahnya terlihat agak pucat
Sedangkan Panji hanya terjajar mundur sejauh tiga
langkah. Dari sini saja sudah dapat ditakar kalau
tenaga dalam yang dimiliki si Pemetik Kecapi dari
Selatan cukup lumayan juga. Paling tidak, ini
membuat Pendekar Naga Putih harus mengakui
kehebatan lawannya.
"Sudah kuduga kalau kau pasti memiliki tenaga
dalam hebat, Kisanak," puji Pendekar Naga Putih
tulus tanpa bermaksud menghina.
"Hhh...!"
Rimang hanya menggeram sambil menyedot
napas dalam-dalam. Tubuhnya tampak bergetar,
pertanda kalau laki-laki gagah itu tengah mengerah-
kan seluruh tenaga saktinya untuk penyerangan
selanjutnya. Dengan sebuah bentakan menggeledek,
tubuh Rimang kembali melayang ke arah Panji.
"Hiaaa...!"
Wuuut! Wuuut..!
Dalam sekejapan mata saja, laki-laki gagah
berambut meriap itu telah melancarkan serangkai
serangan maut yang membahayakan nyawa lawan.
Sepertinya, kali ini Rimang benar-benar marah dan
bermaksud menjatuhkan lawan secepat mungkin.
Maka serangannya kali ini tidak bisa dipandang
enteng.
Wuuut! Derrr!
Sambaran kecapi perak yang mengandung
kekuatan dahsyat itu hanya menghantam sebatang
pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa.
Pohon itu langsung tumbang sehingga menimbulkan
suara berderak ribut. Untung gerakan Panji lebih
cepat dalam menghindari hantaman maut itu. Kalau
tidak, niscaya tubuhnya akan terkena hantaman yang
kuat dari lawannya itu.
"Haiiit...!"
Panji memutar pedang di tangannya dengan 'Ilmu
Pedang Naga Sakti' yang sudah tersohor itu. Sinar
emas pun bergulung semakin cepat, menimbulkan
terpaan angin dingin yang dapat membekukan jalan
darah di tubuh lawan yang tidak memiliki tenaga
dalam tinggi. Gulungan sinar itu menukik cepat
menyambar lambung Rimang yang sudah bersiap
menghadapinya.
Wuuut!
Sambil melompat menghindari sambaran pedang
lawan, tangan kiri Rimang bergerak cepat melakukan
tusukan dengan jari-jari terbuka ke arah ubun-ubun
Pendekar Naga Putih. Bergegas Panji memiringkan
tubuh dengan kuda-kuda rendah ketika merasakan
sambaran angin tajam di atas kepalanya. Dengan
sebuah gerakan indah dan kuat kaki kiri Panji
mencelat naik melakukan tendangan kilat ke dada
lawan. Namun Rimang pun bergerak cepat memapak
tendangan itu dengan hantaman kecapi perak ke
lutut lawan.
Wuuut!
Tendangan Panji yang ternyata hanya sebuah
tipuan, menekuk cepat hingga hantaman kecapi
perak lawan hanya mengenai tempat kosong. Sambil
menarik pulang tendangannya, tubuh pemuda
tampan itu berputar setengah lingkaran. Dan tahu-
tahu saja tumit kanannya telah mencelat menuju
pelipis lawan. Memang, gerakan berputar yang
dilakukan Pendekar Naga Putih diiringi pula dengan
lompatan.
Dungngng!
Rimang terjajar mundur ketika berhasil menangkis
tendangan Panji dengan bagian samping kecapi
peraknya. Ia segera melakukan beberapa kali salto ke
belakang, karena khawatir kalau-kalau lawan akan
melakukan serangan berikut. Dan ternyata apa yang
diduganya menjadi kenyataan
Panji yang sempat merasa tergetar akibat
tangkisan kecapi perak lawan, segera melesat.
Bahkan pedangnya langsung ditusukkan ke arah
dada lawan. Serangkum angin dingin yang menggigit
kulit mendahului sambaran Pedang Naga Langitnya.
Wuuut! Trangngng!
"Ahhh...!"
Meskipun berhasil menangkis tusukan pedang
dengan senjatanya, namun tubuh si Pemetik Kecapi
dari Selatan hampir terjengkang karenanya. Dan
sebelum sempat merubah posisi kuda-kuda, sebuah
tendangan kilat telah hinggap di tubuhnya.
Desss!
"Hugkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Rimang terbanting jatuh
dengan suara berdebuk keras. Darah segar tampak
mengucur dari mulut, sehingga membasahi pakaian-
nya. Sedangkan kecapi peraknya sudah terlepas dari
pegangan. Namun sebagai seorang yang ber
kepandaian tinggi, ia pun cepat menguasai keadaan.
Tubuhnya melenting bangkit, lalu bergulingan men-
jauhi lawannya.
"Hhh.... Kau hebat Pendekar Naga Putih. Tapi aku
belum kalah!" kata Rimang terengah-engah sambil
menekap perutnya yang terkena tendangan tadi.
"Hm...."
Panji hanya bergumam sambil menyimpan
senjatanya. Memang, Pendekar Naga Putih tidak ingin
dikatakan mendapatkan kemenangan dengan meng-
andalkan senjata. Apalagi, lawannya kini sudah tidak
memegang senjata lagi. Dan kini kedua tangannya
bergerak membentuk cakar naga.
"Sambutlah ini, Kisanak!" ujar Panji mem-
peringatkan lawannya.
Saat itu juga tubuh Pendekar Naga Putih melesat
menerjang lawan yang sudah mempersiapkan jurus-
jurus tangan kosongnya.
Wuuut! Wuuut!
Dua buah cakar Panji yang mengarah lambung
dan dada, berhasil dihindari Rimang dengan
menggeser tubuhnya ke samping. Sambil mengelak,
dilepaskannya sebuah pukulan dan tendangan secara
berturut-turut. Meskipun dalam keadaan terluka,
ternyata pukulan dan tendangan si Pemetik Kecapi
dari Selatan masih tetap berbahaya. Akibatnya, Panji
tidak mau bersikap ayal-ayalan, dan cepat menggeser
tubuhnya dua langkah ke belakang.
"Yeaaat..!"
Begitu serangan lawan mengenai tempat kosong,
tubuh Panji kembali melesat sambil mendorong
sepasang telapak tangannya yang meluncur deras
dan menghantam dada lawan.
Bresss!
"Aaakh...!"
Rimang menjerit ketika sepasang telapak tangan
Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
itu telak menghantam dadanya. Tubuhnya langsung
terjungkal dan tak mampu bangkit lagi.
"Kau.... Kau..., benar-benar..., hebat, Pendekar
Naga Putih. Aku..., mengaku kalah...," kata Rimang
dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya tampak
kehijauan akibat serangan hawa dingin yang telah
merasuk ke dalam tubuhnya akibat hantaman Panji.
Melihat lawannya sudah mengaku kalah dan tidak
berdaya, Panji bergegas menghampirinya. Cepat-
cepat Pendekar Naga Putih menotok dan mengurut di
beberapa jalan darah tubuh Rimang untuk
menyembuhkan luka akibat pukulannya tadi. Ini
dimaksudkan agar laki-laki gagah itu tidak sampai
tewas oleh pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya
tadi.
"Nah! Sekarang, beristiraharlah untuk memulihkan
tenagamu," ujar Panji setelah memberi obat penawar
luka yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kau benar-
benar seorang pendekar sejati yang bijaksana," ucap
Rimang.
Si Pemetik Kecapi dari Selatan benar-benar
terharu melihat, betapa bekas lawannya itu ternyata
malah mengobatinya. Dan sebagai seorang pendekar,
Rimang pun tahu maksud dari kata 'istirahat' yang
dilontarkan Panji. Maka, matanya pun mulai
dipejamkan, lalu bersemadi.
***
Saat itu kegelapan sudah sirna. Semburat ke
menahan mulai tampak menghias kaki langit sebelah
Timur. Seorang gadis tampak berlari mendatangi
tempat itu.
"Ayah...!
Begitu melihat sesosok tubuh yang tengah
terduduk, gadis yang tak lain dari Kencana Wungu itu
langsung berteriak dan hendak menubruk ayahnya.
"Tahan dulu, Adik Manis. Ayahmu tengah ber-
semadi untuk mengobati luka dalamnya," Kenanga
buru-buru mencegah gadis itu agar tidak mengganggu
ayahnya.
"Siapa..., siapa yang telah melukai ayah?" tanya
Kencana Wungu seraya mengedarkan pandangannya
ke sekeliling tempat itu.
Dan gadis itu semakin terkejut ketika melihat
sosok tubuh tegap tiba-tiba bergerak bangkit setelah
menyelesaikan semadinya.
"Aku yang telah melukainya, Kencana!" sahut
Rimang sambil menahan debaran dalam dadanya.
Rimang terpaksa mengakui perbuatannya karena
tidak mau menanggung beban perasaan yang terlalu
berat. Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata
sayu. Wajahnya yang semula telah segar kembali
pucat. Rupanya laki-laki tegap itu telah siap
menghadapi pukulan yang seberat apa pun.
"Kau yang melukai ayahku?" tanya gadis cantik itu
lirih dan tak percaya.
Sepertinya Kencana Wungu akan lebih percaya
kalau pemuda tampan berjubah putih itu yang
melukai ayahnya, karena dia sama sekali belum
mengenalnya.
"Tapi..., mengapa, Kakang?" tanya gadis itu
menuntut jawaban.
"Karena aku dahulu adalah salah seorang
pembunuh gurunya sekeluarga!" tiba-tiba terdengar
suara berat menyahuti.
"Ayah...!"
Begitu melihat ayahnya tengah bergerak bangkit
Kencana Wungu segera berlari menghambur ke
dalam pelukan ayahnya. Orang tua yang sangat
mengasihi putri satu-satunya itu memeluk dan
membelai rambut kepala anak gadisnya.
"Mengapa, Ayah?" tanya gadis itu seraya meng-
angkat wajahnya yang bersimbah air mata.
Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak penuh
garis-garis penderitaan.
Setelah menarik napas sejenak, Ki Burga
kemudian menceritakan duduk persoalan yang
sebenarnya. Ditumpahkannya seluruh beban yang
selama sepuluh tahun mengganjal hatinya itu.
"Oh, Ayah...."
Tangis gadis itu kembali melesak begitu men-
dengar cerita ayahnya. Sekilas terbayang di benaknya
seraut wajah gagah milik Rimang yang selalu pucat
dan tak bergairah itu. Kini baru dimengerti, mengapa
laki-laki itu seperti tidak mempunyai gairah hidup.
Rupanya hatinya penuh beban derita yang sangat
berat. Kencana Wungu mengangkat kepalanya ketika
teringat akan laki-laki itu.
"Ke mana dia...? Mana, Kakang Rimang?" tanya
Kencana Wungu yang segera melepaskan pelukan
ayahnya. Gadis itu mencari-cari orang yang dimaksud
bagai seorang ibu yang kehilangan anaknya.
"Dia telah pergi," sahut Kenanga yang melangkah
mendekati gadis itu. Sebagai seorang gadis, ia pun
tahu apa yang terkandung di dalam perasaan
Kencana Wungu. "Kulihat ia pun sangat mencintaimu.
Kau susullah. Karena dia tidak mungkin mendatangi-
mu. Ia merasa terlalu tua untukmu."
Kenanga rupanya telah dapat menyelami perasaan
Rimang. Rupanya dalam perantauan bersama Panji,
gadis ini telah banyak melihat pengalaman yang
dipetik sebagai pelajaran. Dan salah satunya adalah
persoalan yang terjadi antara Rimang dengan
Kencana Wungu. Buktinya, si Pemetik Kecapi dari
Selatan itu bergegas pergi begitu Kencana Wungu
datang. Tentunya, setelah mengakui perbuatannya
terlebih dahulu.
"Oh."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kencana
Wungu bergegas menyusul ke arah yang ditunjukkan
Kenanga. Sementara Ki Burga memandanginya
dengan hati terharu. Dan orang tua itu pun berharap
agar putrinya dapat menyusul Rimang. Sepertinya, ia
setuju karena hal itu bisa mengurangi rasa ber-
salahnya.
***
"Kakang...!" Kencana Wungu berseru ketika
melihat sosok tubuh tegap tampak melangkah lesu
beberapa tombak di depannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis cantik itu segera
memeluk tubuh Rimang yang menjadi terkejut
setengah mati. Ia hanya berdiri terpaku dengan tubuh
gemetar. Benar-benar sulit untuk mempercayai
keadaan itu.
"Tidak perlu banyak bicara dan alasan lagi. Aku
bersedia menerimamu, walaupun kau telah melukai
ayahku. Ayo, kita menghadap ayah!" ajak gadis itu.
Kencana Wungu sama sekali tidak memberi
kesempatan kepada Rimang untuk berbicara.
Ditariknya tangan laki-laki itu untuk menemui
ayahnya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tersenyum
melihat kedua orang itu sudah kembali sambil
bergandengan tangan. Selagi seluruh perhatian Ki
Burga dan dua orang pembantunya tercurah kepada
Rimang dan Kencana Wungu, mereka bergegas
meninggalkan tempat itu. Memang, sepasang
pendekar itu harus menyelesaikan tugas lain yang masih menunggu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar