..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 10 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE KECAPI PERAK DARI SELATAN

Kecapi Perak Dari Selatan

 SATU


Merambah hutan membawa duka 
Mendaki gunung membawa luka 
Dari Selatan dendam membara 
Mencari durjana penyebab sengsara 
Suara nyanyian yang seperti menimbulkan kesan 
maut itu bergema, menyelusup ke dalam hutan dan 
lembah. Alunan denting kecapi mengiringinya, dengan 
irama tidak tetap. Terkadang petikan kecapi itu 
mengalun lembut laksana hembusan angin gunung 
yang sejuk dan membawa kedamaian. Namun di lain 
saat, berubah garang bagai amukan badai di lautan 
yang siap menelan korban. 
Beberapa petani yang saat itu tengah mengerja-
kan sawahnya, berhenti sejenak sambil mengerutkan 
kening. Mereka merayapi daerah sekitarnya, seolah-
olah ingin mencari asal nyanyian dan petikan kecapi 
itu. 
"Nyanyian aneh? Petikan kecapinya pun terdengar 
aneh dan lain dari biasanya? Dan yang lebih aneh 
lagi, suara itu seolah-olah berasal dari segala 
penjuru? Mungkinkah yang membawakannya adalah 
manusia?" gumam salah seorang petani yang berusia 
sekitar lima puluh tahun. Wajahnya yang kehitaman 
karena selalu terpanggang sinar matahari itu tampak 
menegang, karena mencium sesuatu yang tidak wajar 
dari nyanyian itu. 
"Kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Tentu saja 
yang memainkannya pasti manusia! Lagi pula, mana

ada setan yang dapat memainkan kecapi? Apa lagi 
siang hari seperti ini. Sudahlah! Lebih baik kita 
selesaikan pekerjaan ini, agar bisa pulang cepat," 
timpal petani lain yang bertubuh kurus bagaikan 
tulang terbungkus kulit. 
Dari nada suara dan wajahnya yang agak 
memucat, jelas sekali kalau dia mulai terpengaruh 
ucapan kawannya. Hanya saja hal itu berusaha 
disembunyikannya agar tidak membuat panik yang 
lain. 
"Hei? Mengapa kalian tampaknya begitu 
ketakutan? Dengarlah. Suara petikan kecapi itu 
begitu merdu dan terasa menyegarkan!" seru petani 
yang lainnya lantang. 
Memang, saat itu irama alunan kecapi itu 
demikian merdu dan melenakan. Sehingga para 
petani yang semula merasa lelah, terbangkit 
semangatnya. Dan kini mereka pun bekerja semakin 
giat. 
"Wah! Hebat sekali kepandaian orang itu. Rasa-
rasanya pemain-pemain kecapi di desa kita tidak ada 
yang bisa menyamainya. Kalau saja kepala desa kita 
mendengar, mungkin orang itu akan dijadikan pem-
bantunya agar senantiasa memainkan musik kecapi 
itu untuknya," ujar petani yang pertama kali membuka 
pembicaraan. Dan kini rasa takutnya mulai hilang 
ketika mendengar petikan kecapi yang bersuara 
merdu dan menyegarkan itu. 
"Hm... Kurasa ia belum tentu mau. Karena, kalau 
melihat dari permainannya, paling tidak ia biasa 
bermain di istana," timpal kawannya yang rupanya 
lebih mengerti tentang kecapi. 
Para petani itu pun menghentikan pembicaraan-
nya ketika beberapa orang wanita mendatangi

mereka. Kalau dihhat dari bawaan para wanita itu, 
pastilah mereka adalah anak-anak atau istri petani 
yang datang membawakan makanan. Dan kini para 
petani itu terlihat bergegas naik dan mencuci 
tangannya yang penuh lumpur. 
Para petani itu pun tidak menyadari kalau saat itu 
suara kecapi yang mereka nikmati tadi telah lenyap. 
Dan suasana pun kembali hening dan sepi. 
*** 
Matahari sudah semakin naik tinggi. Sinarnya yang 
semula memancar garang, kini tampak meredup. 
Sesosok tubuh berambut meriap tampak duduk 
bersila di bawah sebatang pohon yang berdaun 
rindang. Jari-jari tangannya tampak menari-nari di 
atas dawai kecapi di depannya. Wajahnya menunduk 
dalam seolah benar-benar tengah menikmati alunan 
musik yang dimainkannya itu. 
Sesaat kemudlan, kepalanya terdongak menatap 
cakrawala biru. Terdengar tarikan napasnya yang 
berat. Sesaat kemudlan, nyanyiannya kembali ter-
dengar. 
Merambah hutan membawa duka 
Mendaki gunung membawa luka 
Dari Selatan dendam membara 
Mencari durjana penyebab sengsara 
Suara nyanyian terdengar bergetar, seolah-olah 
apa yang tengah dirasakannya ditumpahkan dalam 
nyanyian itu. Maka orang-orang yang mendengarnya 
seperti ikut terhanyut dalam kedukaan. Tapi ketika 
orang mendengar nyanyian baris ketiga dan keempat,

bulu kuduk pun merinding. Bisa ditebak kalau suara 
lelaki itu terdengar jelas mengandung dendam yang 
dalam! 
Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam 
melangkah dengan tergesa-gesa keluar dari dalam 
gerbang Perguruan Jalak Hitam. Kemudian mereka 
menghampiri seorang lelaki pemetik kecapi yang 
terpisah sejauh enam tombak dari pintu gerbang 
perguruan itu. 
"Kisanak. Jika saja kau suka mengubah syairmu 
dengan kata-kata yang lebih indah, aku yakin per-
mainan musikmu akan lebih terasa kenikmatannya," 
tegur salah satu dari kedua orang itu ketika tiba di 
depan si pemetik kecapi. 
"Benar, Kisanak. Syair-syair yang kau nyanyikan itu 
terasa tidak enak di hati kami. Cobalah rubah dengan 
kata-kata yang lebih indah. Pasti nanti kami akan 
memberi bayaran tinggi. Bagaimana?" usul orang 
yang bertubuh pendek dan gemuk. 
Sambil berkata demikian, sepasang matanya 
menatap tajam ke arah kecapi yang dimiliki orang itu. 
Kecapi yang berwarna perak itu tampak berkilatan 
tertimpa cahaya matahari. Diam-diam hatinya merasa 
heran melihat kecapi itu. 
Lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak 
menyahut. Jemarinya terus saja digerakkan di atas 
dawai-dawai kecapi. Dan sepertinya, ia memang tidak 
peduli dengan kedua orang itu. 
"Kisanak. Apakah kau tuli sehingga tidak men-
dengar kata-kata kami?" tanya orang yang bertubuh 
kurus, mulai merasa tersinggung karena ucapannya 
tidak ditanggapi. 
"Sabarlah, Kakang. Siapa tahu orang ini benar-
benar tuli," bujuk orang yang bertubuh gemuk.

Kemudian tubuhnya pun dibungkukkan untuk 
melihat lebih jelas wajah orang itu. Namun ia menjadi 
penasaran karena wajah orang itu tertutup rambut 
yang meriap. Sehingga wajahnya tidak bisa terlihat 
jelas. 
"Kisanak. Apakah kau memang tidak mendengar 
suara kami? Atau sengaja ingin mempermainkan 
kami?" tanya orang bertubuh gemuk itu dengan suara 
agak keras. Namun pemetik kecapi itu tetap saja 
membungkam, bahkan sama sekali tidak meng-
angkat kepalanya. 
"Huh! Aku tidak peduli apakah kau tuli atau tidak! 
Sekarang cepat tinggalkan tempat ini, sebelum 
kesabaran kami hilang!" bentak orang pertama, 
gusar. Wajahnya tampak gelap karena hawa 
kemarahan telah naik ke kepalanya. 
Mendengar bentakan itu, si pemetik kecapi 
perlahan-lahan mendongakkan kepalanya. Sepasang 
matanya tampak mencorong tajam, membuat kedua 
orang itu bergerak mundur tanpa sadar. 
"Hm.... Apakah kalian murid Ki Suta yang berjuluk 
Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki berambut 
meriap itu. Suaranya terdengar dingin dan kaku, 
sehingga membuat tubuh kedua orang itu semakin 
gemetar hebat 
"Siapa..., siapa kau? Apa maksudmu menanyakan 
guru kami?" tanya orang yang bertubuh kurus dengan 
suara gagap. Sedangkan kakinya terus melangkah 
mundur seraya meraba gagang pedang, meskipun 
dengan tangan gemetar. 
"Jawab saja pertanyaanku kalau kau masih sayang 
nyawamu," sahut si pemetik kecapi. Nada suaranya 
datar, namun mengandung ancaman maut 
Setelah berkata demikian, jemari tangan kanannya


bergerak memetik dawai kecapi secara berbarengan. 
Creeeng! 
"Aaah...!" 
Dua orang itu berteriak kaget. Tubuh mereka 
langsung terjengkang bagai didorong kekuatan hebat 
yang tak tampak. 
Sambil menekap dada yang berguncang akibat 
suara petikan kecapi, keduanya bergerak bangkit. 
Wajah mereka nampak semakin pucat! Mereka 
benar-benar terkejut karena tidak melihat orang itu 
menggerakkan tangannya. Kelihatannya kedua orang 
itu belum tahu kalau yang membuat mereka jatuh 
adalah suara petikan kecapi. 
"Katakan kepada gurumu kalau ada seorang 
pemetik kecapi yang datang menagih hutang sepuluh 
tahun yang lalu. Pergilah sebelum aku berubah 
pikiran dan menjatuhkan tangan kejam kepada 
kalian," ancam lelaki berambut meriap itu datar. 
Setelah berkata demikian, wajahnya kembali 
ditundukkan. Sedangkan jemari tangannya kembali 
menari-nari di atas dawai kecapi. 
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang lelaki itu 
pun bergegas berbalik. Mereka kemudian melangkah, 
masuk ke dalam perguruan. Dengan langkah lebar-
lebar mereka langsung menghadap guru besar 
mereka yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti. 
*** 
"Hm.... Apakah orang itu tidak menyebutkan nama 
dan daerah asalnya?" tanya Ki Suta setelah men-
dengar penuturan kedua orang muridnya. 
Lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun itu 
beranjak dari kursinya. Ia berjalan hilir mudik dengan

kening berkerut. 
"Ampun, Guru. Kami tidak berani banyak bertanya, 
karena orang itu akan membunuh kami," jawab salah 
satu dari dua orang murid yang melapor. 
Wajah mereka tertunduk dalam-dalam, dan tidak 
berani menatap wajah Ki Suta yang terlihat keruh itu. 
"Bangkil, Wirja! Coba kalian lihat dan tanyakan, 
apa maunya orang itu menanyakan aku. Kalau dia 
berbuat macam-macam, beri pelajaran agar lain kali 
tidak meremehkan orang lain!" perintah Ki Suta 
kepada dua orang murid utama yang duduk bersila di 
sampingnya. 
Orang yang dipanggil Bangkil dan Wirja itu 
bergegas bangkit berdiri. 
"Baik, Guru," sahut keduanya. 
Mereka menjura untuk memberi hormat, 
kemudian segera melangkah keluar. Setibanya di luar 
bangunan perguruan, kedua orang itu meng-
isyaratkan kepada beberapa orang murid untuk 
mengikutinya. 
"Hm... Diakah yang kalian maksud?" tanya Bangkil 
kepada kedua orang yang tadi melaporkan kejadian 
itu. 
"Betul, Kakang. Hati-hatilah! Sepertinya orang itu 
memiliki kepandaian tinggi. Buktinya kami tadi dapat 
dijatuhkan dengan mudah," jawab laki-laki bertubuh 
gemuk pendek itu setengah berbisik. 
"Hm...." 
Orang yang bernama Bangkil itu hanya bergumam 
tak jelas. Kelihatan sekali kalau dia tidak memandang 
sebelah mata pun kepada lelaki berambut meriap 
yang masih asyik memainkan kecapinya. Sepertinya 
kedatangan murid-murid Perguruan Jalak Hitam sama 
sekali tidak diketahui. Kepalanya pun tetap saja

menunduk tanpa mempedulikan keadaan di 
sekelilingnya. 
"Hm.... Siapakah di antara kalian yang berjuluk 
Pendekar Pedang Sakti?" tanya lelaki pemetik kecapi 
itu tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun. Sedang-
kan jari-jarinya tetap saja menari-nari di atas dawai 
kecapi. 
"Siapa kau, Kisanak. Dan apa keperluanmu 
mencari guruku?! Apakah kau sedemikian pengecut-
nya, sehingga tidak berani memperkenalkan nama?!" 
bentak Bangkil. 
Laki-laki berbadan tegap dan berusia sekitar tiga 
puluh tahun ini merasa tersinggung sekali melihat 
cara orang itu menghadapinya. Wajahnya berubah 
gelap, karena seumur hidupnya baru sekali inilah ada 
orang yang demikian rendah memandangnya. Ingin 
rasanya Bangkil menebas putus leher orang itu kalau 
tidak ingat pesan gurunya. 
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. 
Sebaiknya panggil saja guru kalian," tegas orang itu 
lagi yang masih saja memainkan kecapinya. 
Meskipun dalam nada suaranya terdengar biasa, 
namun jelas sekali kalau dia telah menganggap 
remeh orang-orang yang mendatanginya. 
"Keparat, kau! Apakah kau kira dirimu raja yang 
dapat memerintah seenak perutnya! Huh...! Kau 
memang pantas untuk diberi pelajaran!" bentak 
Bangkil yang sudah menjadi kalap. 
Srettt! 
Bangkil melolos pedangnya dengan sikap meng-
ancam. Meskipun dalam keadaan marah, namun 
Bangkil tetap saja tidak sudi berbuat curang. Laki-laki 
ini belum juga melancarkan serangan, karena pemain 
kecapi itu masih saja menundukkan kepalanya.

Sikapnya benar-benar tidak peduli. 
"Beri dia pelajaran agar lain kali tidak bersikap 
sombong dan memandang rendah orang lain!" 
perintah Bangkil mengisyaratkan beberapa orang 
murid Perguruan Jalak Hitam untuk menghajar lelaki 
pemetik kecapi itu. 
"Haaat..!" 
Wuttt! Wuttt...! 
Enam batang senjata berkelebat mengancam 
seluruh tubuh lelaki berambut meriap itu. Namun 
dengan masih bersila, tubuh orang itu mendadak 
melayang dan berpindah ke tempat lain. Maka 
senjata orang-orang itu hanya membabat rerumputan 
kering. 
"Hm.... Kuperingatkan sekali lagi, pergilah! Panggil 
gurumu! Jangan sampai kesabaranku habis!" ancam 
lelaki berambut riapan, seraya berdiri tegak sambil 
menenteng kecapinya. 
Ternyata, orang itu baru berusia sekitar tiga puluh 
tahun. Wajahnya tampak dingin dan kaku. Garis-garis 
penderitaan tampak jelas di wajahnya yang kokoh itu. 
"Keparat kau, Jembel Busuk! Rupanya kau 
memang sengaja hendak mencari keributan!" maki 
Bangkil, seraya melangkah maju dengan pedang 
terhunus. 
"Hm...." 
Dimaki demikian, orang itu sama sekali tidak 
menunjukkan kemarahan. Wajahnya tetap datar 
tanpa perasaan. Hanya sepasang matanya saja yang 
mencorong menggetarkan jantung. Maka tidak satu 
pun dari mereka yang berani menatap mata lelaki itu 
secara langsung. 
"Yeaaat..!" 
Bangkil berseru nyaring disertai sambaran pedang

yang berdesing tajam. Nampaknya, murid utama Ki 
Suta ini sudah tidak mempedulikan lagi, apakah 
serangannya dapat membunuh orang itu atau hanya 
melukainya. Ia benar-benar telah marah melihat sikap 
angkuh yang diperlihatkan pemetik kecapi itu. 
Melihat saudara seperguruannya sudah mulai 
meneejang, Wirja juga bergegas menyusul. Senjata-
nya yang juga berupa sepasang pedang, berkelebat 
cepat mengancam beberapa bagian tubuh lawan 
yang mematikan. 
Lelaki pemetik kecapi itu hanya menggeser 
tubuhnya sedikit untuk menghindari sambaran 
pedang Bangkil. Kemudian tubuhnya diliukkan, 
menggunakan kuda-kuda harimau. Maka, serangan 
Wirja hanya lewat beberapa jari di atas kepalanya. 
Lalu secara tak terduga kaki kanannya terangkat naik 
menghantam punggung Wirja yang saat itu sudah 
berada di depannya. 
Zebbb! 
"Heaaah...!" 
Tapi Wirja bukan orang bodoh. Mendapat 
serangan yang tak terduga itu, dia segera bergulingan 
menjauhi lawan sambil berteriak keras. Kemudian, 
cepat sekali pedangnya disabetkan ke a rah kaki 
lawan. 
"Mampus kau!" teriak Wirja yang merasa yakin 
kalau babatan pedangnya itu pasti akan memutuskan 
kaki lawan. 
Namun untuk menjatuhkan si pemetik kecapi 
tidaklah semudah yang dibayangkannya. Karena pada 
saat yang tepat, kaki si pemetik kecapi telah lebih 
dulu menendang cepat ke arah punggung. 
Bettt! 
Dugkh!

"Aaakh...!" 
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung kaki lelaki 
pemetik kecapi itu menghantam punggung Wirja 
tepat dan keras. Tubuh murid Perguruan Jalak Hitam 
itu langsung terpental hingga beberapa tombak ke 
belakang. Wirja bergegas bangkit berdiri. Wajahnya 
tam pak menyeringai menahan rasa nyeri yang hebat 
di punggung. 
"Uhhh...! Bangsat kau...!" umpat Wirja sambil 
menggigit bibirnya kuat-kuat, untuk menahan rasa 
sakit yang dideritanya. 
*** 
Bangkil dan teman-temannya begitu terkejut 
melihat Wirja dapat dilumpuhkan hanya dalam 
beberapa jurus saja. Dengan kemarahan yang 
meledak-ledak, laki-laki bertubuh sedang itu kembali 
menyerbu. 
Demikian pula enam orang murid lainnya, yang 
turut menerjang secara berbarengan. Mereka ber-
pencar dan bersiap menghabisi si pemetik kecapi 
dengan penyerangan dari segala penjuru. 
Tapi lelaki berambut meriap itu sama sekali tidak 
gentar. Dengan gerakan tenang, ia malah duduk di 
atas rerumputan. Alat musik kecapi diletakkan di 
depannya. Sesaat kemudian, jemari tangannya 
bergerak semakin cepat. Hingga permainan kecapi itu 
tak ubahnya ombak samudera yang bergemuruh 
dahsyat! 
"Aaa...!" 
Seketika Bangkil dan enam orang murid Perguruan 
Jalak Hitam mendadak menghentikan serangan. Dan 
memang, ternyata dari depan mereka seolah-olah

ada sebuah kekuatan yang mendorong ke belakang. 
Bukan itu saja. Dada dan telinga mereka bagaikan 
digedor dari dalam. Akibatnya, tubuh mereka bergetar 
hebat bagaikan terserang demam. 
Ketujuh orang berseragam hitam itu berteriak dan 
menjerit-jerit kesakitan. Kedua tangan mereka 
masing-masing menekap telinga yang terasa bagai 
hendak pecah, disertai gerakan limbung. Seolah-olah, 
saat itu tengah terjadi gempa yang mengguncangkan 
jagat! 
Sedangkan alunan suara kecapi yang dimainkan 
orang itu semakin kacau dan tak beraturan. Sebentar 
terdengar lambat, namun di lain saat berubah cepat 
dan bergemuruh. Akibatnya ketujuh orang yang 
semula hendak mengeroyoknya semakin kelabakan 
bagaikan cacing kepanasan. 
"Hentikan...!" 
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok 
bayangan berkelebat disertai bentakan menggelegar! 
Bayangan itu menjejakkan kaki dalam jarak enam 
tombak dari lelaki pemetik kecapi yang segera meng-
hentikan permainannya. Rupanya bayangan itu 
adalah Ki Suta, Ketua Perguruan Jalak Hitam. Dia 
juga ditemani beberapa muridnya. 
Begitu irama permainan kecapi berhenti, ketujuh 
orang itu langsung roboh bagai sebatang pohon 
lapuk. Mereka langsung bergeletakan pingsan, dan 
tidak ingat apa-apa lagi. 
"Hm.... Sepertinya kau sengaja tidak bermaksud 
membunuh murid-muridku. Sebenarnya kalau mau, 
kau dapat saja mengerahkan tenaga dalam lebih kuat 
lagi. Maka akan tamatlah riwayat tujuh orang muridku 
itu. Mengapa tidak kau lakukan? Apa sebenarnya 
yang kau inginkan dariku, Kisanak?" tanya sosok yang

baru datang itu dengan suara berwibawa. Lelaki 
setengah baya itu menatap wajah si pemetik kecapi 
lekat-lekat Sepertinya dia tengah berusaha meng-
ingat, siapa gerangan tokoh ini. 
"He he he.... Matamu ternyata tajam sekali, Ki 
Suta. Tapi apakah ingatanmu juga setajam matamu?" 
kata lelaki berambut meriap sambil tertawa dingin. 
Meskipun bibirnya bergerak bagaikan orang ter-
tawa, namun wajahnya tetap dingin dan beku 
sehingga kesan yang ditimbulkan semakin menye-
ramkan. 
"Tidak perlu berteka-teki denganku, Kisanak. 
Sebut saja siapa namamu, dan apa keperluanmu 
mencariku? Cepatlah! Kalau kau tidak mau berterus-
terang, maka aku tidak akan sudi melayanimu! 
Namun, kau tidak bisa pergi begitu saja. Kau harus 
bertanggung jawab atas kekacauan yang kau 
timbulkan di tempat ini!" tegas Ki Suta. Meskipun 
nada suaranya tetap terdengar tenang, namun nyata 
sekali kalau tersirat suatu ancaman. 
"Hm.... Kalau kau memang sudah melupakannya, 
aku akan membantumu untuk mengingat-ingatnya di 
akhirat nanti. Nah! Sekarang, bersiaplah untuk 
melayat ke neraka!" ancam lelaki berambut meriap 
itu sambil memasang kuda-kuda, siap menghadapi 
sebuah pertempuran mati-matian. 
"Kurang ajar! Kau benar-benar tidak memandang 
muka kepadaku. Bedebah! Apakah kau pikir aku akan 
takut melihat ilmu silat pasaran yang kau per-
tunjukkan itu! Huh! Jangan merasa sombong dulu, 
Kisanak. Kalau memang sebuah pertempuran yang 
diinginkan, aku tidak akan menolaknya!" sahut Ki 
Suta sambil meraba gagang pedangnya yang ter-
sampir di punggung.

Srek! 
Perlahan-lahan selarik sinar kebiruan muncul 
ketika pedang Ki Suta mulai tercabut. Rupanya sinar 
kebiruan itu muncul dari badan pedang, sehingga 
begitu menyilaukan mata. 
Cwiiit! Swiiing! 
Terdengar suara sambaran angin tajam ketika Ki 
Suta menggerakkan senjata di depan tubuhnya. Lalu 
lelaki setengah baya yang berjuluk Pendekar Pedang 
Sakti itu melangkahkan kaki kanannya mundur ke 
belakang. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri 
menekuk. Pedangnya tampak melintang di depan 
muka dengan mata pedang menuju ke bawah. 
Sedangkan tangan kirinya teracung lurus ke depan 
menunjuk wajah lawan. Itulah pembukaan jurus 'Ilmu 
Pedang Delapan Arah Mata Angin' yang merupakan 
ilmu andalan Ki Suta. Dan kini ilmu itu dikerahkan 
karena disadari kalau lawannya bukanlah orang 
sembarangan. Dan itu sudah disaksikan ketika lelaki 
berambut meriap itu tengah menghadapi keroyokan 
murid-muridnya. 
"Hm...." 
Lelaki gagah pemetik kecapi itu bergumam lirih, 
dan sepasang matanya mencorong tajam meneliti 
setiap gerakan lawannya. Sepertinya ia sudah dapat 
menebak kalau jurus yang akan digunakan Ki Suta 
bukanlah jurus-jurus pasaran, melainkan sebuah ilmu 
silat tinggi yang tidak bisa dianggap remeh. 
Sesaat kemudian, laki-laki muda berwajah dingin 
dan kaku itu menggeser tubuhnya beberapa langkah 
ke belakang. Dengan pandangan mata tetap tertuju 
ke depan, segera dibentuknya kuda-kuda serong 
dengan posisi menyamping. Kecapi yang berwarna 
perak itu terangkat tinggi di atas kepalanya.

Sedangkan tangan kirinya yang jari-jarinya terbuka 
berada di sisi pinggang. Rupanya si pemetik kecapi 
itu telah pula menyiapkan ilmu andalannya yang 
cukup dahsyat 
Dan untuk beberapa saat lamanya kedua tokoh itu 
hanya saling pandang sambil melangkah berputar ke 
arah yang berlawanan. 
"Heaaat..!" 
Dibarengi teriakan menggelegar, tubuh lelaki 
pemetik kecapi itu melompat tinggi hingga dua 
tombak. Kecapi perak di tangannya bergerak cepat 
membuat putaran. Sesaat kemudian, kecapi itu 
meluncur deras menuju batok kepala lawan. 
Wuttt! 
Ki Suta bukan tidak tahu akan bahaya yang tengah 
mengancamnya. Begitu melihat lawannya mulai 
membuka serangan, pedangnya segera digerakkan 
membentuk gulungan sinar biru yang berpendar dan 
membungkus tubuhnya. Dan begitu melompat 
menyambut serangan lawan, ujung pedang di 
tangannya tiba-tiba saja muncul dari dalam lingkaran 
dan langsung melancarkan serangan sebanyak lima 
kali berturut-turut. 
Cwiiit! Swiiit...! 
Mata pedang yang membentuk gulungan sinar biru 
itu meluncur mengancam lima buah jalan darah di 
tubuh lawan. 
Melihat serangan yang mematikan, lelaki muda 
berwajah dingin itu menarik pulang serangannya. 
Cepat-cepat gerakannya dirubah untuk memapak 
lima buah serangan Ki Suta dengan menggunakan 
badan alat musik kecapinya. 
Trang! Trang! Trang! 
"Aaah...!"

Terdengar benturan nyaring yang disusul teriakan 
kaget dari mulut Ki Suta. Tubuh laki-laki setengah 
baya itu terpental ke belakang akibat tangkisan 
lawan. Namun dengan sebuah gerakan indah, dia 
berputar sebanyak tiga kali di udara, dan hinggap di 
atas tanah dengan indahnya. Hanya saja, wajahnya 
agak sedikit pucat 
Sedangkan gerakan lelaki berambut meriap itu 
sama sekali tidak terpengaruh benturan keras tadi. 
Bahkan ia kembali meluncur dan melancarkan 
serangan yang mematikan ke arah Pendekar Pedang 
Sakti. 
Ki Suta yang belum sempat memperbaiki posisi-
nya, bergegas melempar tubuh dan bergulingan 
hingga sejauh tiga tombak. Kemudian ia kembali 
melenting bangkit dan mengatur kuda-kudanya. 
Begitu serangan lawan kembali datang, pedangnya 
diayunkan untuk menyambut serangan lawan. Dan 
kini pertarungan pun kembali berlangsung semakin 
sengit. 
Ketua Perguruan Jalak Hitam itu melancarkan 
serangannya dengan cepat dan ganas. Sebagai 
seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Pedang Sakti, 
tentu saja permainan pedangnya tidak bisa 
dipandang rendah. Serangan-serangan yang dilancar-
kan tampak demikian hebat dan menggetarkan. 
Cahaya kebiruan yang terpancar dari batang pedang-
nya tampak bergulung-gulung dan menyambar-
nyambar di sekeliling tubuh lawan. Tampaknya Ki 
Suta telah menguras seluruh kepandaiannya untuk 
mengalahkan orang itu. 
Di lain pihak, lelaki berambut meriap itu ternyata 
memang bukan orang sembarangan. Senjata yang 
digunakannya sebenarnya tidak lumrah bagi seorang


pesilat. Namun ternyata, ia dapat mengimbangi 
permainan lawan dengan baik. Bahkan serangan-
serangan balasannya tidak kalah berbahaya dengan 
sambaran pedang lawan. 
Setelah menghabiskan kurang lebih lima puluh 
jurus, mulai nampak kalau ilmu yang dimiliki lelaki 
berwajah dingin itu ternyata masih lebih tinggi 
dibanding Ki Suta. Hingga memasuki jurus kelima 
puluh tiga, tampak Pendekar Pedang Kilat semakin 
terdesak oteh serangan-serangan lawan yang 
semakin gencar dan berhawa maut itu. 
Wukkk! 
"Aihhh...!" 
Ki Suta berseru tertahan ketika pada jurus 
keenam puluh hampir saja tubuhnya terkena 
hantaman kecapi perak lawan. Untunglah tubuhnya 
masih sempat digulingkan, sehingga hantaman 
senjata lawan hanya mengenai tempat kosong. 
Namun wajah Ketua Perguruan Jalak Hitam itu 
mendadak pucat. Karena pada saat tubuhnya 
melenting bangkit, tahu-tahu saja kecapi yang 
terlapisi perak itu telah meluncur mengancam 
kepalanya. Cepat orang tua itu meliukkan tubuhnya 
dengan kuda-kuda rendah. Untunglah serangan itu 
lewat di atas kepalanya. Dan baru saja Ki Suta 
hendak menarik napas lega, telapak tangan kiri lawan 
telah menggedor dada kirinya. 
Blakkk! 
"Huaghkkk..!" 
Pendekar Pedang Sakti langsung memuntahkan 
darah segar ketika hantaman telapak tangan yang 
berisi tenaga dalam tinggi itu mengenai dadanya. 
Tubuh orang tua itu terjengkang ke belakang tanpa 
dapat dicegah lagi. Belum lagi tubuhnya terjatuh ke

tanah, kecapi perak di tangan lawan kembali terayun 
ke arah kepalanya. 
Wukkk! 
Prakkk! 
"Hugkh...!" 
Sungguh malang nasib orang tua itu. Kini kecapi 
perak itu telah menghantam kepalanya hingga pecah! 
Darah segar bercampur cairan putih kental langsung 
memercik membasahi bumi. Tubuh tanpa kepala 
milik Ki Suta langsung ambruk ke atas tanah. Setelah 
berkelojotan sesaat, tubuh Ketua Perguruan Jalak 
Hitam itu pun diam tak bergerak-gerak lagi. Mati! 
Lelaki berambut meriap itu berdiri tegak meng-
awasi mayat lawannya. Bibirnya tampak menyung-
gingkan senyum puas. Lalu tangannya diulurkan, 
merobek sabuk Ki Suta. Dengan tenang, dibersih-
kannya alat musik kecapi di tangannya dengan 
sobekan kain itu. Setelah bersih, orang aneh itu pun 
melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. 
"Guru...!" 
Belasan orang laki-laki berseragam hitam dengan 
bagian dada bergambar burung jalak itu menghambur 
ke arah mayat gurunya. Beberapa di antaranya berlari 
memburu orang yang telah membunuh gurunya itu. 
Rupanya mereka baru tersadar setelah melihat 
kepergian si pemetik kecapi. Belasan orang murid 
yang menyaksikan pertarungan tadi sempat ter-
kesima melihat kematian Ki Suta. Mereka hampir 
tidak mempercayai kalau sang Guru telah roboh di 
tangan orang itu. 
"Jahanam! Mau lari ke mana kau, Pembunuh 
Keji?! Kau harus menebus kematian guruku dengan 
darahmu!" bentak salah seorang murid yang telah 
mengepung lelaki pemetik kecapi itu.

"Maaf. Aku tidak mempunyai urusan dengan 
kalian. Lebih baik urus mayat gurumu itu," kilah orang 
itu sambil terus melangkahkan kakinya tanpa 
mempedulikan orang-orang yang menghadangnya 
dengan senjata terhunus. 
"Huh! Enak saja bicara! Langkahi dulu mayat kami 
baru kau dapat meninggalkan tempat ini!" teriak yang 
lainnya dengan kemarahan yang meluap-luap 
Dan tanpa mempedulikan keselamatan lagi, orang 
itu pun melompat menerjang dengan sambaran 
pedangnya. 
Wuttt! 
"Hm...." 
Sambil tetap menenteng kecapi peraknya, lelaki 
itu melangkah mundur menghindari sambaran 
pedang yang mengancam perutnya. Begitu sambaran 
pedang luput, kakinya kembali bergerak melakukan 
tendangan ke dada murid Perguruan Jalak Hitam itu. 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh penyerang itu 
terjungkal disertai semburan darah dari mulutnya, 
dan langsung tergeletak tak berdaya dengan napas 
satu-satu. 
Melihat kejadian itu, yang lainnya tanpa sadar 
bergerak mundur! Dan kesempatan itu tidak disia-
siakan lelaki berambut meriap. Sesaat kemudian, 
tubuhnya pun melesat meninggalkan tempat itu 
disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang 
sudah cukup sempurna. Beberapa saat saja, tubuh-
nya hanya berupa bayangan samar yang bergerak di 
antara pepohonan. Sedangkan murid-murid Ki Suta 
hanya dapat memandang tanpa mampu mengejar-
nya. 
"Keparat! Tunggu saja pembalasanku nanti!" teriak

salah seorang murid, geram dan penuh dendam. 
Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan Jalak 
Hitam bergegas mengangkat tubuh Bangkil dan tujuh 
orang lainnya yang masih tergeletak pingsan. Sedang-
kan murid yang Iain membawa mayat guru mereka ke 
dalam bangunan perguruan. Sehingga dalam be-
berapa saat saja, halaman depan gedung perguruan 
itu tampak sunyi dan hening. 
***

DUA

Di bawah siraman cahaya matahari pagi, tampak dua 
orang pengendara kuda bergerak menuju ke arah 
Barat. Mereka menggebah kudanya agar berlari 
semakin cepat, sehingga menimbulkan kepulan debu 
yang membumbung ke angkasa. Padahal, kuda-kuda 
itu sudah mendengus-dengus kelelahan. 
Kedua orang penunggang kuda itu menarik tali 
kekang ketika tiba pada sebuah pertigaan jalan. 
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengamati 
jalan yang terbentang di depan mereka. Sepertinya, 
keraguan mereka mulai timbul ketika melihat jalan 
yang terpecah, antara belok kiri dan belok kanan. 
"Mengapa berhenti, Kakang? Apakah kau telah 
lupa jalannya?" tanya penunggang kuda yang ber-
tubuh kurus seraya menatap wajah kawannya yang 
bertubuh kekar itu. 
"Hm..., entahlah. Sebaiknya kita ambil jalan yang 
ke kiri saja. Kalau bertemu desa nanti, aku akan ber-
tanya kepada penduduk. Mari, kita berangkat!" ajak 
lelaki bertubuh kekar itu. 
Dia kemudian melarikan kudanya perlahan, 
karena jalan yang dilewati itu banyak ditebari baru 
yang bertonjolan. Kalaupun dipaksa cepat, mungkin 
kuda mereka akan terperosok. 
"Huh! Jalanan rusak seperti ini, apa mungkin di 
depan sana ada pedesaan?" gumam lelaki bertubuh 
kurus mengomel tak karuan. 
"Seingatku, di depan sana memang terdapat 
sebuah desa, Adi," sahut lelaki bertubuh kekar itu

Tidak berapa lama kemudian, jalan yang dilalui 
kembali mulus. Dan mereka kembali membedal kuda 
mereka agar berlari lebih cepat 
"Nah, betulkan kataku. Lihatlah! Bukankah itu 
mulut sebuah desa," ujar lelaki bertubuh kekar sambil 
menunjuk ke sebuah tanda yang menunjukkan ada-
nya desa yang hanya beberapa ratus batang tombak 
lagi. 
Laki-laki kurus yang diajak bicara hanya meng-
angguk dengan wajah cerah. Sepertinya hatinya 
merasa gembira karena apa yang diduga kawannya 
itu benar. Dan kini desa itu tidak jauh lagi di depan 
mereka. 
"Berarti perjalanan kita tidak akan lama lagi, 
bukan?" laki-laki bertubuh kurus itu minta penegasan, 
seraya menyusut keringat yang menitik di kening. 
"Hm...," gumam orang bertubuh gemuk itu meng-
iyakan. 
Kemudian kudanya segera digebah agar berlari 
semakin cepat. Sepertinya dia sudah tidak sabar 
untuk mencapai mulut desa. 
"Heya, heya, heyaaa...!" 
Lelaki bertubuh kurus yang berada di belakang, 
bergegas membedal kuda, menyusul kawannya yang 
telah melesat ke depan. Hingga tidak berapa lama 
kemudian, rumah-rumah penduduk pun mulai 
nampak. 
"Kita beristirahat dulu sejenak di kedai itu untuk 
menyegarkan tubuh. Setelah itu, baru kita lanjutkan 
perjalanan," usul orang bertubuh kekar itu seraya 
membelokkan kudanya ke arah kedai yang terlihat 
agak ramai oleh pengunjung. Maka, kawannya pun 
bergegas mengikuti.

*** 
Laki-laki bertubuh kekar dan yang bertubuh kurus 
telah keluar dari kedai dengan wajah lebih cerah dan 
segar. Mereka bergerak menuju kuda masing-masing. 
"Kau tidak jadi bertanya kepada penduduk di sini, 
Kakang?" tanya si kurus mengingatkan kawannya, 
sambil melangkah. 
"Hm.... Tidak perlu! Karena setelah bertemu desa 
ini, aku yakin tujuan kita sudah dapat ditemukan," 
sahut laki-laki bertubuh kekar itu. 
Dia kemudian segera melompat ke atas punggung 
kuda, diikuti temannya. Begitu ringannya gerakan 
mereka. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah 
cukup tinggi. Kini kuda mereka kembali berlari 
menuju batas akhir desa itu. 
Tidak berapa lama, kedua penunggang kuda itu 
tiba di sebuah bangunan yang cukup besar. 
Kelihatannya bangunan itu adalah sebuah perguruan. 
Mereka tampak berhenti sejenak sambil meng-
edarkan panda ngan ke sekitar tempat itu, seolah-
olah hendak meyakini kalau tempat itu memang yang 
dituju. Dan belum lagi mereka berbuat sesuatu, tiba-
tiba.... 
"Hei, berhenti! Siapa kalian?! Dan apa maksud 
kalian datang ke tempat ini?!" tanya seorang laki-laki 
yang sepertinya penjaga pintu gerbang perguruan. 
Sedangkan penjaga yang seorang lagi tampak 
menyelidiki wajah kedua orang itu dengan teliti. 
"Namaku Bangkil, dan ini Wirja. Kami adalah 
utusan dari Perguruan Jalak Hitam. Kedatangan kami 
kemari bermaksud akan menemui Ketua Perguruan 
Jari Besi," jawab lelaki kekar yang ternyata adalah 
Bangkil itu. Tubuhnya yang tinggi besar tampak

membungkuk hormat kepada penjaga itu. 
"Maksudmu, kau murid Pendekar Pedang Sakti!" 
tanya si penjaga menegasi. Wajahnya tampak ber-
ubah begitu mendengar asal kedua orang itu. 
"Benar. Dan kedatangan kami kemari membawa 
sebuah berita yang sangat penting!" jawab Bangkil 
cepat. 
"Ah! Kalau begitu, mari, mari silakan masuk!" 
Kemudian Bangkil dan temannya bergegas 
memasuki pintu perguruan itu, diiringi dua penjaga 
tadi. 
"Kami akan melapor kedatangan kalian kepada 
guru kami. Jadi, tunggulah di sini," ujar penjaga itu 
lagi sambil melangkahkan kaki meninggalkan kedua 
orang tamunya untuk melapor kepada guru mereka. 
"Baik," jawab Bangkil dan Wirja sambil merayapi 
daerah sekitar bangunan besar itu. 
Mereka menganggukkan kepala ke arah para 
murid yang tengah hilir-mudik mengerjakan 
kesibukan masing-masing. 
Tidak berapa lama kemudian, penjaga yang 
melapor tadi telah muncul dan mempersilakan 
Bangkil dan Wirja memasuki bangunan utama 
berguman. 
Bangkil dan Wirja bergegas memasuki bangunan 
utama Perguruan Jari Besi. Ternyata, di situ telah 
menunggu seorang laki-laki setengah baya yang 
berwajah bulat. Dialah yang menjadi ketua perguruan 
di sini. Maka Bangkil dan Wirja segera menjura mem-
beri hormat layaknya orang persilatan. 
"Hm.... Kalian murid utama Ki Suta? Pesan apa 
yang kalian bawa dari Ki Suta?" tanya Ketua 
Perguman Jari Besi seraya mempersilakan duduk 
kedua tamunya.

Namun, dua orang murid Perguruan Jalak Hitam 
itu tidak segera menjawab. Mata mereka malah 
terarah ke satu tempat. Di situ memang ada seorang 
lagi yang usianya kira-kira empat puluh tahun. 
"Tidak perlu khawatir. Dia ini juga sahabat guru-
mu!" lanjut lelaki setengah baya itu seperti bisa mem-
baca pikiran mereka. 
Sinar keraguan di wajah Bangkil dan Wirja pun 
lenyap setelah mendapat keterangan Ketua 
Perguruan Jari Besi. Lalu mereka segera men-
ceritakan maksud kedatangan kepada kedua orang 
sahabat guru mereka itu. 
"Apa?! Guru kalian mati terbunuh?! Siapa yang 
telah membunuhnya?" tanya lelaki setengah baya itu 
terbangkit dari kursinya. 
Sepertinya orang itu belum sepenuhnya mem-
percayai keterangan Bangkil. Karena ia tahu betul 
sampai di mana kepandaian Ki Suta. Dan rasanya 
sulit dapat dipercaya kalau ada orang yang berani 
membunuh sahabatnya itu. 
"Betul, Ki. Kami melihatnya dengan mata kepala 
sendiri," timpal Wirja, ikut menegaskan. 
"Dan kami tidak tahu, siapa orang yang telah 
membunuh guru kami. Karena dia sama sekali tidak 
memberitahukan namanya. Menurut yang kulihat, 
orang itu memiliki sebuah alat kecapi yang bagian 
luarnya dilapisi perak. Dalam sebuah syair yang 
dinyanyikannya, disebut-sebut kalau ia membawa 
dendam dari Selatan. Entah, kami tidak tahu apa 
maksud syair yang selalu dinyanyikannya itu," tutur 
Bangkil melengkapi keterangannya. 
"Hm.... Bersenjata sebuah kecapi perak dan 
datang dari daerah Selatan?" gumam Ketua 
Perguruan Jari Besi mengerutkan keningnya, seraya

melangkah perlahan. Dia berusaha untuk mengingat 
seorang tokoh yang memiliki senjata aneh itu. "Kau 
dapat menerka, siapa tokoh itu, Adi Sura?" 
Laki-laki bertubuh sedang yang dipanggil Sura itu 
hanya menggelengkan kepalanya, karena memang 
belum pernah mendengar tentang seorang tokoh 
yang bersenjatakan sebuah kecapi berwarna perak. 
"Entahlah, Kakang Ranggit. Mungkin orang itu 
tokoh yang baru muncul di dunia persilatan! Rasanya 
aku sama sekali belum pernah mendengarnya?" 
sahut Sura setelah berpikir beberapa saat. Seperti-
nya, hatinya juga merasa penasaran ketika men-
dengar cerita Bangkil tadi. 
"Bangsat! Siapa pula manusia keparat itu?! Ingin 
rasanya aku melihat wajahnya!" ujar lelaki setengah 
baya yang bernama Ki Ranggit sambil mengepalkan 
tinjunya kuat-kuat. Terdengar suara buku-buku jarinya 
berderak keras ketika tangannya dikepalkan. 
"Hm.... Kalau memang Ki Suta sampai tewas di 
tangannya, berarti kepandaian orang itu tidak bisa 
dipandang ringan, Kakang. Mungkin ia seorang tokoh 
tua yang baru turun dari pertapaan. Entah, apa 
masalahnya hingga ia sampai bentrok dengan Ki 
Suta?" gumam Sura yang telah bangkit berdiri. 
Kakinya melangkah perlahan menghampiri Ki Ranggit 
"Menurut penglihatanku, orang itu belum terlalu 
tua. Mungkin usianya sekitar tiga puluh tahun. Dan 
rambutnya panjang meriap," Bangkil yang mendengar 
ucapan orang bernama Sura itu kembali memberi 
gambaran tentang lelaki aneh yang telah membunuh 
gurunya. 
"Jadi orang yang membunuh gummu itu masih 
muda?" tanya Sura semakin bertambah heran. 
"Betul! Aku melihat jelas ketika ia mengangkat

wajahnya yang selalu menunduk itu," jawab Bangkil 
cepat. 
"Hm..., aneh!" gumam Ki Ranggit. 
*** 
Merambah hutan membawa duka 
Mendaki gunung membawa luka 
Dari Selatan dendam membara 
Mencari durjana penyebab sengsara 
Pada saat Ki Ranggit dan Ki Sura tengah berpikir 
keras untuk mengingat tokoh itu, tiba-tiba terdengar 
alunan musik kecapi disertai nyanyian yang 
menyelusup masuk ke dalam ruangan bangunan 
Perguruan Jari Besi. 
Mendengar suara nyanyian itu, tubuh Bangkil dan 
Wirja menggigil hebat. Wajah mereka langsung pucat 
bagai tak berdarah. 
"Itulah! Itulah nyanyian orang itu, Ki! Dialah orang 
yang telah membunuh guru kami!" kata Bangkil 
dengan suara gemetar karena rasa takut dan tegang. 
Ki Ranggit dan Sura yang semula hanya heran 
mendengar suara nyanyian itu, jadi terkejut. Rasa 
penasaran dan kemarahan semakin melecut hati 
mereka. Tanpa berkata apa-apa lagi, keduanya ber-
gegas melangkah keluar. 
"Sepertinya suara itu berasal dari samping 
perguruan," duga Sura begitu mereka berhenti di 
depan bangunan utama untuk mencari sumber suara 
nyanyian dan alunan kecapi itu. 
"Hm.... Mari kita lihat! Aku semakin tak mengerti, 
mengapa orang aneh itu bisa sampai kemari?" 
gumam Ki Ranggit sambil mempercepat langkahnya

melewati pintu gerbang perguruan. 
Bangkil dan Wirja bergegas mengikuti kedua orang 
itu dari belakang. Mereka ingin melihat, apa yang 
akan dilakukan oleh kedua orang sahabat gurunya 
itu. 
Begitu tiba di halaman samping bangunan 
perguruan, tampaklah seorang lelaki berambut 
meriap tengah asyik memetik kecapinya di bawah 
sebatang pohon. Ki Ranggit pun melihat empat orang 
muridnya sudah berada di situ. Namun, sepertinya si 
pemetik kecapi sama sekali tidak mempedulikan 
ucapan dan bentakan empat murid Ki Ranggit. 
Bahkan tetap saja menunduk sambil menggerakkan 
jemarinya dengan lincah dan teratur. 
Keempat murid Perguruan Jari Besi menoleh 
ketika mendengar langkah kaki mendatangi tempat 
itu. Begitu melihat kalau salah seorang dari mereka 
adalah gurunya, keempat orang itu segera berlari 
menyambutnya. 
"Ampun, Guru. Kami sudah berusaha mengusirnya. 
Tapi orang itu sama sekali tidak peduli. Kami tidak 
tahu, apakah dia memang tuli atau sengaja mem-
bandel," lapor salah seorang murid Ki Ranggit yang 
sudah bersimpuh di hadapan lelaki setengah baya itu. 
"Hm.... Jadi dia memang sengaja tidak mau pergi?" 
tanya Ki Ranggit penuh wibawa. Kemudian, jenggot-
nya yang sudah mulai berubah warna itu dielus-
elusnya. 
"Betul, Guru. Kami tidak tahu, dari mana 
datangnya. Karena tahu-tahu saja ia telah duduk di 
bawah pohon itu dan memainkan kecapinya," jawab 
orang itu lagi. 
"Kalian menyingkirlah! Biar kulihat, apa sebenar-
nya yang dikehendaki orang itu!" ujar Ki Ranggit yang

segera melangkahkan kakinya mendekati orang itu. 
Sedangkan si pemetik kecapi masih tetap saja 
menunduk, seolah-olah sama sekali tidak mem-
pedulikan kedatangan orang-orang itu. Kecapinya 
terus dipetik sambil memperdengarkan nyanyian yang 
menimbulkan kesedihan dan keseraman itu. 
"Kisanak. Apa sebenarnya tujuanmu datang ke 
tempat ini?" tanya Ki Ranggit sambil meneliti sosok 
tubuh yang tengah duduk di hadapannya itu. Jarak 
keduanya terpisah sekitar satu setengah tombak. 
Mendengar teguran yang bernada mengancam itu, 
si pemetik kecapi segera menghentikan permainan-
nya. Setelah menghembuskan napasnya kuat-kuat, 
kepalanya perlahan-lahan diangkat. 
"Eh...!?" 
Ki Ranggit berseru tertahan. Hatinya benar-benar 
terkejut melihat sinar mata orang itu yang mencorong 
tajam dan mengandung kekuatan dahsyat. 
"Hm.... Kau pasti si Jari Besi yang tersohor itu, 
bukan?" tanya lelaki pemetik kecapi itu dengan suara 
dingin menyeramkan. Sedangkan wajahnya tetap 
beku dan tidak menggambarkan perasaan apa-apa. 
Hanya sinar matanya saja menyiratkan dendam dan 
sakit hati. 
"Betul. Akulah si Jari besi. Kau sudah mengenalku, 
Kisanak? Siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki 
Ranggit lagi. Memang sejak tadi orang itu belum men-
jawab pertanyaannya. 
"Hm.... Terserah, julukan apa yang hendak kau 
berikan kepadaku. Aku tidak peduli! Yang pasti, 
kedatanganku kemari adalah untuk menagih hutang 
darah pada sepuluh tahun silam!" sahut orang itu 
dengan wajah berubah gelap. 
Setelah berkata demikian, jemari tangannya ber


gerak memetik dawai kecapinya secara berbarengan. 
Jreeeng! 
"Aaah...!" 
Ki Ranggit berseru kaget karena tubuhnya terasa 
bergetar akibat serangan suara kecapi itu. Cepat ia 
melompat mundur sambil menyedot napas dalam-
dalam. Kemudian tenaga dalamnya dikerahkan untuk 
melawan pengaruh suara petikan kecapi yang telah 
menggetarkan dadanya itu. Diam-diam laki-laki 
setengah baya itu semakin merasa terkejut melihat 
kehebatan tenaga dalam pemetik kecapi yang dapat 
disalurkan melalui kecapinya. 
Sedangkan orang-orang lain yang ada di sekitar 
situ sudah berlompatan mundur. Memang suara itu 
juga mempengaruhi mereka. Bahkan empat orang 
murid Perguruan Jari Besi sampai jatuh terjengkang. 
Dari sudut bibir mereka nampak cairan merah 
merembes keluar. Hebat sekali tenaga serangan yang 
dilontarkan melalui dawai-dawai kecapi itu. 
"Kisanak. Mungkin kau salah alamat! Kami sama 
sekali tidak mengenalmu. Jadi, bagaimana mungkin 
kalau mempunyai urusan denganmu? Jika kau 
memang sengaja ingin mencari gara-gara, tidak perlu 
menggunakan alasan! Kami akan melayani 
tantanganmu!" tegas Sura. 
Sura yang sudah bangkit kemarahannya bergegas 
melangkah maju. Di tangannya telah tergenggam dua 
batang tombak pendek yang kedua ujungnya runcing. 
Sepertinya ia telah siap untuk menghadapi orang itu. 
"Hm... Pendekar Tombak Kembar, jadi kau sudah 
berada di sini? Bagus kalau begitu. Jadi aku tidak 
perlu susah-susah lagi mencarimu," kata lelaki 
berambut meriap itu agak terkejut melihat adanya 
Sura di tempat itu. Rupanya tadi ia sama sekali tidak

memperhatikan keberadaan Sura. 
Bukan main terkejutnya Sura ketika orang itu 
ternyata sudah mengenalnya. Dan hal itu mem-
buatnya semakin keheranan. Dan seingatnya, ia 
sama sekali belum pernah bertemu pemetik kecapi 
itu. 
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak? Dan dari 
mana kau mengetahui kalau aku adalah Pendekar 
Tombak Kembar? Jangan jadi seorang pengecut yang 
mencari selamat, dengan menyembunyikan nama 
atau julukan?" bentak Sura semakin penasaran. 
Meskipun Sura telah berusaha mengingat, namun 
tetap saja tidak dapat menebak lelaki aneh pemetik 
kecapi itu. Dan hatinya semakin heran, karena orang 
itu mengenalinya. 
"Hm.... Tidak kusangka kalian telah menjadi 
seorang pengecut! Dan meskipun kalian telah 
melupakan peristiwa berdarah di kaki Gunung Balak 
pada sepuluh tahun yang lalu, bagiku hutang itu tetap 
harus dibayar lunas! Dan hari ini aku datang 
menagihnya!" sahut orang itu yang tetap saja tidak 
bersedia menyebutkan namanya. 
"Hei!" 
Ki Ranggit dan Sura berseru kaget berbarengan. 
Mereka melangkah mundur dengan wajah pucat. 
Kedua tokoh itu seperti terpukul setelah diingatkan 
tentang kejadian itu. 
"Dari.... Dari mana kau mengetahui peristiwa itu, 
Kisanak? Dan rasanya, kami tidak mengenalmu?" 
tanya Ki Ranggit. 
Wajah orang tua itu nampak sedih. Sepertinya dia 
merasa menyesal dengan kejadian yang telah 
membuat hati mereka terpukul. 
"Maaf. Bukan aku ingin menyembunyikan namaku,

tapi memang telah lama tidak kuingat lagi. Sepuluh 
tahun aku menyembunyikan diri untuk dapat mem-
balaskan dendam sakit hati ini. Segala penderitaan 
dan kesengsaraan tidak kupedulikan demi hutang 
darah yang telah kalian perbuat. Dan kini aku datang 
menagihnya!" tegas orang itu. Suaranya bergetar, 
membayangkan peristiwa berdarah yang masih 
melekat di benaknya. 
"Kisanak. Kami memang bersalah saat itu. Dan 
rasa bersalah itu terus mengganggu sehingga hidup 
kami tidak memperoleh ketenangan. Namun kami 
tidak mengelak dari tanggung jawab. Marilah per-
soalan ini diselesaikan dengan ujung senjata," 
tantang Sura yang rupanya juga tidak mau tanggung-
tanggung lagi. Dan sepertinya ia pun tidak takut 
menerima pembalasan akibat perbuatan sepuluh 
tahun yang silam. 
"Aku tidak peduli, apakah kalian sudah menyesal 
atau belum. Tugasku adalah membalas dendam! Jadi 
jangan berharap dosa kalian akan kuampuni. Karena 
penyesalan itu sudah tidak ada gunanya lagi!" tegas 
lelaki berambut meriap itu yang segera bersiap 
menghadapi Ki Ranggit dan Sura. 
"Kami tidak mengharap belas kasihanmu, Kisanak. 
Dan kami pun tidak takut menerima hukuman, 
karena hal itu akan lebih baik lagi. Dengan demikian 
perasaan berdosa itu akan berkurang," sahut Ki 
Ranggit yang juga sudah bersiap menghadapi 
pembalasan yang akan dilakukan laki-laki pemetik 
kecapi yang sama sekali tidak dikenal itu. 
***

"Bersiaplah!" ujar lelaki bersenjata kecapi perak, 
memperingatkan kedua orang lawannya. Sesaat 
kemudian, tubuhnya telah melesat disertai teriakan 
nyaring. 
"Heaaat...!" 
Melihat lawan sudah membuka serangan, Sura 
segera memutar sepasang tombak pendeknya secara 
berlawanan. Kemudian tubuhnya melompat 
menyambut serangan. 
"Yeaaat...!" 
Menyadari kalau lelaki berambut meriap itu bukan 
orang sembarangan, maka Ki Ranggit sudah pula 
maju menyerbu. Meskipun hanya menggunakan 
tangan kosong, namun serangannya jangan dianggap 
remeh. Karena jari-jari tangannya itu sanggup 
menembus tubuh lawan. Bahkan serangan tangannya 
dapat lebih berbahaya daripada senjata tajam. Itulah 
sebabnya, mengapa dia dijuluki Pendekar Jari Besi. 
"Heaaah...!" 
Lelaki pemetik kecapi membentak keras dan 
melempar tubuhnya ke belakang. Karena pada saat 
itu, serangan dari kedua orang lawannya datang 
secara berbarengan. Begitu kakinya menginjak tanah, 
tubuhnya langsung melesat kembali ke arah lawan-
lawannya. Senjata di tangannya mengaung dahsyat 
bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah. 
Wuttt! Wuttt...! 
Selarik sinar keperakan berkilatan menyilaukan 
mata ketika kecapi perak di tangan laki-laki berambut 
meriap menyambar dengan kecepatan menggiriskan! 
Ki Ranggit yang menjadi sasaran utama serangan 
itu, bergegas menarik mundur kaki kanan sambil 
mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Begitu 
serangan lawan luput, kaki kanannya kembali

melangkah maju disertai tusukan jari-jari tangannya 
yang meluncur deras menuju lambung dan iga lawan. 
Namun hal itu sama sekali tidak membuat si pemetik 
kecapi gugup. Dengan tenang kakinya digeser ke 
samping disertai gerakan tubuh. Sementara, tangan 
kirinya langsung terlontar ke lambung lawan yang 
terbuka. 
Tentu saja hati Ki Ranggit menjadi tercekat 
melihat gerakan yang sama sekali tidak diduga itu. 
Cepat kedua serangannya ditarik pulang dan 
langsung tubuhnya dilempar hingga bergulingan 
beberapa tombak. 
Pada saat yang bersamaan, serangan tombak 
kembar Sura meluncur datang. Dari sambaran 
anginnya dapat ditebak kalau pendekar itu mengerah-
kan seluruh tenaga dalamnya. Sepasang mata 
tombak kembar itu bergerak saling susul-menyusul 
dengan kecepatan menggetarkan. 
Swiiit! Swiiit...! 
Si pemetik kecapi yang semula hendak mengejar 
Ki Ranggit, terpaksa menarik tubuhnya. Ujung tombak 
kembar pertama lewat di depan tubuhnya beberapa 
jari. Sedangkan tombak yang lain bergerak menyilang 
ke arah leher. 
"Hmh...!" 
Sambil mendengus mengejek, si pemetik kecapi 
meliukkan tubuhnya berputar. Dan tahu-tahu ia telah 
berada di belakang tubuh Sura. Saat itu juga kecapi 
peraknya terayun deras menghantam punggung 
Pendekar Tombak Kembar. 
Bugkh! 
"Huaaagkh...!" 
Hantaman yang telak dan keras itu membuat 
tubuh Sura tersuruk ke depan, dan langsung

memuntahkan darah segar. Dan sebelum tubuhnya 
sempat mencium tanah, sebuah tendangan keras 
kembali menghajar punggungnya. 
Desss! 
"Hugkh...!" 
Tubuh Sura langsung terpental deras ke depan. 
Sepasang tombak yang semula tergenggam di 
tangannya kontan terpental entah ke mana. 
Sedangkan tubuhnya terus meluncur dengan kepala 
terlebih dahulu mengarah ke sebatang pohon besar. 
Derrr! 
"Aaakh...!" 
Terdengar bunyi berderak tulang patah, ketika 
kepala Pendekar Tombak Kembar menghantam 
batang pohon itu. Diiringi jerit kesakitan, tubuhnya 
langsung ambruk ke tanah. Darah segar kontan 
mengalir deras dari ubun-ubun kepalanya yang retak 
akibat tumbukan yang keras tadi. Setelah meregang 
nyawa beberapa saat, tubuh Sura pun diam tak 
bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan luka-luka yang 
amat parah di bagian kepala. 
"Adi Sura...!" Ki Ranggit berteriak parau memanggil 
nama sahabatnya. 
Tubuh laki-laki setengah baya itu menggigil hebat 
melihat kematian kawannya yang mengenaskan. 
Untuk beberapa saat lamanya ia hanya dapat berdiri 
kaku dengan sepasang mata membelalak dan wajah 
pucat 
"Jahanam kau, Manusia Iblis! Kau harus bayar 
mahal kematian sahabatku itu!" bentak Ki Ranggit 
dengan kemarahan menggelegak, memenuhi rongga 
dadanya. Bagaikan orang kerasukan setan, Ki Ranggit 
menerjang lawannya dengan serangan-serangan 
ganas.

"Yeaaat..!" 
Sambil memekik nyaring, jari-jari sepasang tangan-
nya yang terbuka menusuk susul-menyusul. 
Swittt! Wuttt..! 
Angin tajam berdesiran mengiringi tusukan jari 
tangan yang keras bagaikan besi itu. Dalam waktu 
singkat saja, Ki Ranggit telah melancarkan tujuh buah 
serangan mematikan. Kalau saja lawannya tidak 
berilmu tinggi, pasti sudah tergeletak tewas dengan 
tubuh dipenuhi lubang. 
Tapi sayang, kali ini Ki Ranggit harus menelan 
kenyataan pahit. Serangan-serangannya yang 
demikian gencar itu, ternyata dapat dihalau lawan 
tanpa kesulitan berarti. Gerakan lawan yang demikian 
lincah dan gesit, membuat kemarahannya semakin 
meledak-ledak. Hatinya benar-benar merasa 
penasaran sekali melihat serangan-serangannya 
sama sekali tidak ada artinya bagi si pemetik kecapi. 
Sehingga hal itu semakin membuat Pendekar Jari 
Besi itu semakin kalap! Serangan-serangannya pun 
semakin membabi buta dan tidak lagi terarah. 
"Haaat..!" 
Pada jurus yang keempat puluh, tiba-tiba lelaki 
berambut meriap itu mengeluarkan bentakan keras 
dan mengejutkan. Bersamaan dengan itu, tubuhnya 
bergeser ke kiri dan langsung mengirimkan sebuah 
tendangan kilat ke dada lawan. Tidak sampai di situ 
saja. Kecapi perak di tangan kanannya juga terayun 
deras menyusuli tendangannya. 
Zebbb! 
"Uh...!" 
Ki Ranggit memiringkan tubuh untuk menghindari 
tendangan yang kekuatannya tidak diragukan lagi itu. 
Kemudian tubuhnya dilempar, lalu berputar beberapa

kali di udara untuk menghindari sambaran kecapi 
perak yang mengancam pinggulnya. Begitu kedua 
kaki menjejak tanah, Ki Ranggit kembali bersalto ke 
belakang untuk menjaga kalau-kalau lawan akan 
menyusuli serangan. 
Tapi lelaki bersenjata kecapi perak itu sama sekali 
tidak berusaha mengejar lawan. Dia malah berdiri 
tegak dengan kedua kaki terpentang. Sepasang 
matanya mencorong tajam menatap lawannya yang 
terpisah sejauh lima batang tombak. Tampak lelaki 
aneh itu menarik napas panjang, disertai geseran 
kedua kakinya membentuk kuda-kuda. Tubuhnya 
merendah dengan kedua lutut hampir bersentuhan. 
Sepertinya ia tengah menyiapkan sebuah ilmu baru 
yang merupakan andalannya. 
"Bersiaplah menghadapi ilmu 'Kecapi Maut 
Perenggut Sukma'ku, Jari Besi! Berbanggalah kau! 
Karena, kaulah orang pertama yang akan merasa-
kannya!" desis si pemetik kecapi, dingin. 
Wuuusss...! 
Tak lama kemudian, angin keras berhembus 
memenuhi daerah sekitar pertarungan. Ki Ranggit 
terlihat gelisah karena merasakan ada suatu 
pengaruh luar biasa yang menguasainya. Seketika itu 
juga bulu kuduknya meremang karena dicekam 
kengerian hebat 
"Gila! Ilmu iblis macam apa lagi ini...?" desis Ki 
Ranggit dengan perasaan gentar dan ngeri. Dan 
tanpa malu-malu lagi, murid-muridnya segera di-
perintahkan untuk mengeroyok lelaki aneh berambut 
meriap itu. 
"Hei! Kenapa kalian diam saja seperti patung! 
Serang dan bunuh manusia iblis, itu, Goblok!" 
Puluhan murid Perguruan Jari Besi yang sejak tadi

sudah berkumpul di tempat itu, menjadi pucat ketika 
mendengar bentakan gurunya. Dengan perasaan 
takut-takut, mereka segera mencabut senjata dan 
siap mengeroyok laki-laki bersenjata kecapi perak itu. 
Bahkan empat orang murid utama Ki Ranggit sudah 
mengambil kesempatan untuk menerjang lebih dulu. 
"Yeaaat...!" 
Sambil berteriak keras, salah seorang dari mereka 
memberi isyarat untuk segera menyerang. Empat 
batang pedang pun berkelebat mengancam dari 
empat penjuru. 
Wuttt! Wuttt..! 
Suara sambaran angin pedang sama sekali tidak 
mengganggu lelaki aneh itu. Bahkan terus saja 
melaku-kan gerakan perlahan yang semakin lama 
semakin cepat. Sesekali jemari tangan kanannya 
bergerak menyentil dawai-dawai kecapi yang terasa 
menggetarkan dada. 
Creeeng! Jreeeng! 
Hembusan angin bergemuruh semakin keras 
mengiringi alunan kecapi yang kini digunakan untuk 
menyerang. Pepohonan di sekitar tempat itu berderak 
ribut bagaikan dilanda angin topan. Bahkan tembok-
tembok bangunan perguruan juga terlihat bergetar 
bagaikan hendak roboh. 
"Aaakh...!" 
Empat orang murid utama Ki Ranggit terpental 
balik bagaikan didorong sebuah kekuatan yang tidak 
tampak. Tubuh mereka terbanting mencium tanah 
disertai mengalirnya darah dari mulut, hidung, dan 
telinga. Tubuh keempat orang itu berkelojotan bagai 
mengalami siksaan hebat! 
Demikian pula halnya dengan puluhan orang murid 
yang tengah bersiap melakukan pengeroyokan.

Mereka berteriak dan menjerit-jerit kesakitan sambil 
menutupi daun telinga yang terasa sakit bagaikan 
ditusuk-tusuk ratusan jarum. Tubuh mereka ber-
jatuhan bagaikan pohon lapuk. Bahkan beberapa 
belas orang di antaranya sudah diam tak bergerak, 
tewas akibat serangan yang dilancarkan melalui 
petikan dawai kecapi. 
Untunglah Bangkil dan Wirja sempat melarikan diri 
ketika melihat lelaki bersenjata kecapi itu mulai 
merubah gerakan. Mereka yang pernah merasakan 
kelihaian orang itu sudah mendapat firasat tidak enak 
melihat gerakan-gerakan yang dilakukan si pemetik 
kecapi. 
Ki Ranggit yang mengalami serangan secara 
langsung dari lawannya, menjadi menggigil hebat. 
Orang tua itu mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 
dalamnya untuk mempertahankan isi dada yang 
seperti terguncang hebat akibat petikan kecapi. 
Keringat nampak semakin banyak membanjiri 
tubuhnya. Wajahnya pucat dan merah berganti-ganti. 
Sepertinya tidak lama lagi orang tua itu akan 
mengalami nasib yang serupa dengan murid-
muridnya. 
"Haaat..!" 
Tiba-tiba saja, Ki Ranggit berteriak mengguntur 
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam. Saat itu 
juga tubuhnya meluncur melancarkan serangan. 
Wuttt! Wuttt..! 
Ki Ranggit terus bergerak maju sambil 
menggerakkan kedua tangannya yang menimbulkan 
angin berkesiutan. Telapak tangan yang jari-jarinya 
terbuka meluncur bergantjan secara bersilangan. 
"Yeaaat..!" 
Lelaki muda bersenjata kecapi perak itu berteriak


nyaring. Tubuhnya melayang menyambut serangan Ki 
Ranggit. Petikan kecapinya semakin keras dan meng-
getarkan jantung. 
Creeeng! 
"Aaargh...!" 
Ki Ranggit menjerit ngeri ketika lawan semakin 
memperkuat tenaganya dalam petikan kecapi itu. 
Tubuh orang tua itu terlonjak ke belakang bagai 
disentakkan sebuah tenaga raksasa yang tak tampak. 
Selagi tubuhnya melambung ke udara, si pemetik 
kecapi segera melompat tinggi disertai ayunan kecapi 
perak ke arah kepala Ki Ranggit. 
Wukkk! Prakkk! 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, kepala orang tua itu 
kontan berderak pecah. Cairan merah yang ber-
campur otak, berhamburan membasahi rerumputan 
di sekitar tempat itu. Tubuh Ketua Perguman Jari Besi 
ambruk menimbulkan suara berdebuk keras. Kini 
tewaslah Pendekar Jari Besi dalam keadaan yang 
lebih menyedihkan daripada sahabatnya. 
"Mampuslah kau, Manusia Busuk! Susullah dua 
orang kawanmu yang telah pergi lebih dulu," maki 
lelaki berambut meriap itu dengan suara dingin 
namun bernada maut. 
Setelah berdiri beberapa saat sambil memandangi 
mayat lawan-lawannya, ia pun melesat pergi 
meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa 
lompatan saja, tubuhnya telah lenyap ditelan 
keremangan bayangan-bayangan pepohonan. 
Tak lama setelah kepergian orang itu, Bangkil dan 
Wirja muncul dan berlari mendatangi tempat itu. 
Cepat diperiksanya sosok-sosok tubuh yang ber-
geletakan. Beberapa orang yang masih bernapas

bergegas dibawa masuk. 
"Bangsat kau, Pemetik Kecapi! Tunggu saja 
pembalasanku nanti!" seru Bangkil sembari 
memandang ke arah perginya orang bersenjata 
kecapi perak itu. "Marilah kita kuburkan mereka, Adi. 
Sedangkan yang masih hidup diobati nanti." 
***
TIGA

Matahari semakin naik tinggi. Sinarnya memancar 
terik dan terasa panas menyengat kulit. Sepertinya 
sang raja siang itu ingin menampakkan kekuasaan-
nya pada seluruh makhluk bumi. 
"Huh.... Panas sekali udara siang ini," desis 
seorang gadis jelita berpakaian hijau. 
Sebentar-sebentar dia menyusut peluh yang 
membasahi dahi dan lehernya. Wajahnya yang bersih 
dan cantik nampak kemerahan. Namun keadaan itu 
malah semakin menambah kecantikan parasnya. 
"Yahhh. Seperti terpanggang di atas tumpukan 
bara api saja layaknya. Ayolah bergegas, agar kita 
bisa tiba lebih cepat di desa depan sana itu," seorang 
pemuda tampan berjubah putih yang berjalan di 
sebelahnya menimpali. 
Seusai berkata demikian, pemuda itu pun 
melangkah lebih cepat memasuki daerah hutan karet 
yang cukup luas. 
Gadis jelita berpakaian hijau itu juga bergegas 
mempercepat langkahnya menjajari pemuda ber-
jubah putih. Mereka terus melangkah menyusuri jalan 
yang cukup lebar di tengah-tengah hutan karet. Hawa 
panas yang menyengat kulit itu mulai berkurang 
ketika angin berhembus menyegarkan. 
"Masih jauhkah desa yang kau maksud itu, 
Kakang?" tanya gadis jelita itu, tak sabar. Sepertinya 
ia kini ingin segera tiba di pedesaan untuk 
melepaskan rasa lelahnya. 
"Entahlah, Kenanga. Aku hanya menduga-duga

saja. Tapi dengan adanya hutan karet ini, pasti ada 
perkampungan di daerah ini," sahut pemuda tampan 
berjubah putih yang tak lain adalah Panji atau yang 
lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih. 
"Huh! Kalau hanya menduga-duga saja, aku pun 
bisa," tukas gadis jelita itu, cemberut. 
Panji hanya tersenyum saja melihat kekasihnya 
merajuk. Dibiarkannya saja ketika gadis itu 
melangkah mendahuluinya. Pemuda itu tahu, 
Kenanga hanya merasa jengkel dengan ucapannya 
tadi. 
"Hei, Kakang. Lihat ini!" teriak Kenanga sambil 
membungkukkan tubuhnya seperti menemukan 
sesuatu. 
Panji bergegas menghampiri. Dan memang jarak 
antara mereka terpisah sekitar sepuluh tombak lebih, 
sehingga pemuda itu belum sempat mengetahui apa 
yang telah ditemukan kekasihnya itu. 
"Kenapa orang itu, Kenanga?" tanya Panji yang 
segera mempercepat langkahnya ketika melihat gadis 
itu tengah memandangi sesosok tubuh yang 
tergeletak tak bergerak. 
"Ia telah meninggal, Kakang. Entah siapa yang 
telah berbuat sekejam ini? Seluruh tubuhnya penuh 
luka bacokan," sahut Kenanga sambil memeriksa 
sosok mayat yang sepertinya belum lama tewas itu. 
"Hm.... Sepertinya sebelum tewas, ia telah disiksa 
mati-matian," gumam Panji setelah memeriksa mayat 
itu beberapa saat. Sedangkan Kenanga sudah 
melangkah lagi mengikuti ceceran darah yang telah 
hampir mengering. 
"Rupanya orang itu telah berusaha melarikan diri, 
sebelum akhirnya tewas kehabisan darah," duga 
gadis itu sambil terus mengikuti bercak-bercak darah


di atas permukaan tanah berbatu itu. "Kakang! Cepat 
kemari!" teriak Kenanga keras. 
Mendengar seruan kekasihnya, Panji bergegas 
melesat meninggalkan sosok tubuh yang telah kaku. 
Dari teriakan gadis itu, Panji yakin kalau Kenanga 
telah menemukan sesuatu yang lebih hebat lagi. 
Pemuda itu semakin terkejut ketika melihat belasan 
sosok mayat bergelimpangan beberapa tombak di 
depannya. 
"Sepertinya mereka rombongan pemusik 
panggilan, Kakang. Lihat saja pedati-pedati ini!" jelas 
Kenanga lagi sambil memperlihatkan beberapa alat 
musik terdapat di dalam pedati itu. 
"Hm... Apa yang telah terjadi dengan mereka?" 
gumam Panji bertanya kepada dirinya sendiri. 
Segera diperiksanya sosok-sosok mayat yang 
bergelimpangan tak karuan itu. Di antaranya juga 
terdapat mayat wanita. 
"Mungkinkah mereka telah bertemu perampok di 
tempat ini?" duga pemuda itu. 
"Tidak mungkin, Kakang," Kenanga yang men-
dengar kata-kata pemuda itu cepat menyahuti. 
"Karena semua barang-barang mereka sepertinya 
masih utuh. Dan lagi kalau betul bertemu perampok, 
pasti wanita-wanita itu tidak akan dibunuh. 
Perampok-perampok itu pasti akan menawannya, 
karena wajah mereka cukup cantik-cantik juga." 
"Kalau bukan perampok, lalu siapa yang telah 
membantai mereka sedemikian kejam? Rasanya 
tidak mungkin kalau mereka dibunuh tanpa sebab 
yang jelas?" 
"Bisa saja rombongan pemusik lain yang merasa iri 
dengan mereka. Mungkin robongan pemusik ini lebih 
terkenal dan lebih disukai daripada yang lainnya?"

sahut Kenanga. 
Gadis itu rupanya lebih mengerti soal rombongan-
rombongan pemusik panggilan. Karena sebagai putri 
kepala desa, semasa ayahnya masih hidup, ia pun 
sering mengundang rombongan pemusik apabila 
ayahnya mengadakan pesta. Jadi ia pun tahu pula 
kalau ada persaingan di antara rombongan pemusik 
panggilan itu. 
"Hm.... Kalau hanya masalah persaingan mereka 
sampai dibantai habis begini, rasanya sudah melewati 
batas. Dan ini sudah merupakan suatu kejahatan 
yang tidak bisa didiamkan saja," sahut Panji geram. 
*** 
Setelah sekian lama meneliti namun tidak juga 
mendapatkan petunjuk tentang pembunuh 
rombongan pemusik itu, Panji yang dibantu 
kekasihnya segera membuat sebuah lubang besar 
untuk mengubur belasan mayat itu. 
"Kita harus menyelidikinya, Kakang. Pembunuh 
biadab itu tidak boleh bebas berkeliaran begitu saja! 
Terlalu enak bagi mereka! Kita harus memberikan 
hukuman yang setimpal!" tegas gadis itu. 
Kenanga memang merasa marah, tapi tak tahu 
harus ke mana menyalurkannya. Sepasang matanya 
yang indah nampak mengeluarkan sinar berkilat yang 
menggetarkan jantung. Jemarinya yang lentik terkepal 
erat hingga menimbulkan suara berderak. 
"Sabarlah, Kenanga. Masalah ini masih gelap bagi 
kita. Jadi kita tidak bisa melemparkan tuduhan 
sembarangan. Bisa saja rombongan pemusik itu yang 
bersalah," bujuk Panji menyabarkan kekasihnya. 
Dibelainya jemari gadis itu untuk menenangkan

kemarahan yang bergejolak dalam dada kekasihnya. 
"Hhh...," Kenanga menghela napas panjang. 
Kemarahan gadis itu terlihat mulai reda. Memang, 
ucapan pemuda itu ada benarnya juga. Dan 
kemarahannya tidak boleh diumbar dalam meng-
hadapi masalah yang sama sekali belum diketahuinya 
Panji membelai rambut yang hitam lembut milik 
kekasihnya. Dipandanginya wajah jelita yang sudah 
kembali seperti sediakala itu. Ia tahu kalau Kenanga 
telah dapat menguasai perasaannya kembali. Panji 
pun tersenyum melihatnya. 
"Maafkan aku, Kakang. Aku terlalu cepat meng-
ambil kesimpulan. Padahal kita sama sekali tidak 
mengetahui, apa masalahnya hingga orang-orang itu 
sampai terbunuh secara kejam," desah Kenanga 
sambil merebahkan kepalanya di dada bidang milik 
Panji. 
"Lupakanlah, Kenanga. Aku pun sempat merasa-
kan, apa yang kau rasakan. Hanya saja aku dapat 
lebih cepat menyadarinya," sahut Panji menghibur. 
"Lebih baik kita mempercepat perjalanan agar 
tidak kemalaman di tengah hutan karet yang luas ini." 
"Ayolah, Kakang. Siapa tahu kita bisa mencari 
keterangan di desa-desa yang kita temui nanti. Aku 
masih tetap penasaran kalau belum dapat meng-
ungkapkan misteri ini," sahut Kenanga yang rupanya 
masih belum puas. 
Tidak lama kemudian, kedua pendekar muda itu 
telah berlari meninggalkan tempat itu memper-
gunakan ilmu meringankan tubuh. Sayang, pedati-
pedati itu sudah tidak ada kudanya lagi. Mungkin 
para pembunuh itulah yang telah mengusirnya. 
Sehingga keduanya terpaksa harus mengerahkan 
ilmu lari cepat untuk tiba lebih cepat di desa yang

dimaksud. 
Senja mulai menapak ketika kedua orang 
pendekar muda memasuki mulut sebuah desa. Di 
jalan utama desa tampak ramai oleh para petani dan 
pedagang yang pulang ke rumah masing-masing. 
Kedua pendekar itu telah menghentikan larinya, agar 
tidak terlalu menarik perhatian penduduk desa. 
"Mudah-mudahan saja di desa ini ada 
penginapan?" ujar Kenanga, berharap. 
Gadis itu terus melangkah mengikuti Panji. Tidak 
dipedulikannya pandangan beberapa orang pemuda 
yang menatapnya penuh kagum. Bahkan seperti 
terpesona. Dan memang, kecantikan Kenanga sangat 
menyolok. Sehingga, hampir setiap lelaki yang 
berpapasan dengannya selalu melempar pandangan 
meskipun sembunyi-sembunyi. Sepertinya mereka 
merasa rugi kalau melewatkannya begitu saja. 
"Kalaupun tidak ada, kita bisa menginap di sebuah 
rumah penduduk dengan memberikan bayaran yang 
cukup. Mereka pasti akan menerimanya dengan 
senang hati," usul Panji menyahuti kata-kata 
kekasihnya. 
Setelah berkata demikian, Panji membelokkan 
langkahnya ke arah sebuah rumah. Dihampirinya 
seorang wanita setengah baya yang nampak tengah 
menyapu halaman. 
"Maaf, Nisanak. Apakah di desa ini ada sebuah 
penginapan?" tanya Panji, sopan. 
Wanita setengah baya itu mengangkat wajahnya 
meneliti pemuda tampan berjubah putih yang berdiri 
di depannya. Kemudian wanita itu menunjukkan apa 
yang diinginkan Panji. 
Setelah memperoleh petunjuk, Panji dan Kenanga 
kembali melangkah menyusuri jalan utama desa.

Menurut keterangan wanita setengah baya tadi, 
penginapan yang dimaksud terletak hampir di tengah 
desa. 
"Kalau saja wanita itu masih muda, kau tentu akan 
berlama-lama berbicara dengannya. Sayang sekali, 
wanita itu sudah tua. Tadi sempat kulihat, bagaimana 
ia memandangi wajahmu dengan sinar mata berseri-
seri," goda Kenanga dengan senyum dikulum. 
"Yahhh, sayang sudah tua. Coba kalau masih 
muda sepertimu, mungkin akan kutanyakan, apakah 
ia sudah bersuami? Dan kalau dijawab belum, pasti 
aku akan melamarnya untuk menjadi istriku yang 
kedua," balas Panji dengan wajah sungguh-sungguh. 
"Istri yang kedua? Memangnya kau sudah 
mempunyai istri pertama?" 
"Oh, iya. Apakah aku belum melamarmu?" Panji 
balik bertanya hingga membuat selebar wajah 
Kenanga menjadi merah karena jengah. 
"Sudah, ah. Kakang semakin ngaco!" sergah gadis 
jelita itu, seraya menundukkan wajahnya yang tersipu. 
"Sayang ayahmu sudah tiada. Kalau tidak, tentu 
hari ini juga aku akan menghadap beliau untuk 
melamarmu. Kira-kira, diterima apa tidak ya?" goda 
Panji lagi. 
Kali ini Pendekar Naga Putih tersenyum sambil 
memandang wajah kekasihnya yang tertunduk itu. 
Panji semakin senang melihat sepasang pipi yang 
kemerahan bagai buah tomat masak. 
"Tidak tahu, ah...," ujar Kenanga sambil menepis-
kan tangan Panji yang hendak menggenggam tangan-
nya. "Kita sudah sampai, Kakang. Jadi tidak kita 
menginap?" 
Kenanga memang sengaja mengalihkan pem-
bicaraan untuk mengurangi rasa jengahnya. Bukan

saja jengah. Bahkan wajahnya semakin memerah. 
"Ya..., jadilah," sahut Panji. 
Kemudian, mereka bergegas memasuki rumah 
penginapan itu. Kenanga mengetahuinya setelah 
membaca papan yang tergantung di atas pintu rumah 
itu. Mereka lalu memesan dua buah kamar yang 
letaknya berdampingan. 
Malam semakin larut ketika keduanya telah 
memasuki kamar masing-masing. Suara binatang 
malam semakin ramai dan menyemarak. Hembusan 
angin bersilir lembut membuat kedua orang pendekar 
itu cepat terlelap. 
***
EMPAT

Seorang gadis yang berusia sekitar delapan belas 
tahun, melangkah riang menyusuri jalan utama Desa 
Dadapan. Wajahnya yang bulat telur itu nampak 
selalu dihiasi senyum cerah. Sepasang matanya 
bersinar bagaikan bintang dinihari. Menandakan 
kalau gadis itu memiliki sifat periang dan jenaka. 
Gadis cantik itu membelokkan langkahnya ketika 
melihat sebuah kedai makan yang cukup besar. 
Sebentar kemudian, dimasukinya kedai itu. Beberapa 
orang pengunjung yang tengah menikmati hidangan 
langsung menoleh sejenak. Beberapa di antaranya 
malah menyapa dengan sikap hormat. 
Pemilik kedai makan yang semula tengah sibuk 
melayani pelanggan, bergegas menyambut gadis itu 
dengan terbungkuk-bungkuk. Jelas sekali kalau gadis 
yang baru datang itu sangat dihormatinya. 
"Ah, Nini Kencana Wungu. Ada keperluan apa 
sampai-sampai Nini sendiri yang datang ke tempat 
ini?" sambut pemilik kedai sambil membungkuk 
hormat. Wajahnya yang tampak mulai dijamah 
ketuaan itu tampak berseri-seri. 
"Tidak ada keperluan apa-apa, Paman. Aku hanya 
ingin mengambil pesanan ayah. Habis, pembantu 
ayah yang biasa mengambil pesanan sedang ada 
keperluan lain. Apakah pesanan ayah sudah siap, 
Paman?" tanya gadis yang dipanggil Kencana Wungu 
itu ramah. Kelihatan sekali kalau sikapnya tidak 
merasa sombong walaupun orang-orang yang berada 
di dalam kedai sangat hormat kepadanya.

"Oh! Sudah, sudah. Sebentar Paman ambilkan. 
Nini duduklah dulu," sahut lelaki berusia enam puluh 
tahun itu cepat. Kemudian dia bergegas mengambil 
pesanan yang dimaksudkan oleh gadis cantik itu. 
Kencana Wungu duduk tenang sambil merayapi 
sekelilingnya. Senyum manisnya tak pernah lepas dan 
selalu menghias wajahnya. Sikapnya pun bebas lepas 
dan tidak ragu-ragu menegur orang yang dikenalnya. 
Maka wajar saja kalau penduduk Desa Dadapan 
menyukai dan menghormatinya. Apalagi gadis itu 
adalah putri kepala desa. 
Beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu muncul 
kembali membawa pesanan kepala desanya yang 
selalu disiapkan tengah hari. Dan itu sudah ber-
langsung lama. Hanya bedanya, kali ini yang meng-
ambilnya justru putri kepala desa itu sendiri. Sudah 
pasti hal itu membuat pemilik kedai menjadi sibuk 
dibuatnya 
"Terima kasih, Paman. Aku pulang dulu," pamit 
gadis itu setelah menerima sebuah bungkusan yang 
diserahkan pemilik kedai. 
"Ya, ya.... Sering-seringlah kemari, Nini. Paman 
akan merasa senang sekali," kata pemilik kedai 
sambil membungkuk hormat. 
Kencana Wungu hanya tersenyum mendengar 
ucapan orang tua itu. Kakinya segera melangkah 
melewati pintu kedai. Namun gadis cantik itu meng-
hentikan langkahnya sejenak ketika terdengar alunan 
musik kecapi yang terbawa angin. Untuk beberapa 
saat ia terdiam, seolah-olah hendak mencari sumber 
suara itu. 
Setelah memastikan asal suara petikan kecapi 
yang mendayu-dayu itu, Kencana Wungu bergegas 
menghampirinya. Hatinya sempat tergetar mendengar

alunan irama yang terasa menyentuh perasaan itu. 
Merambah hutan membawa duka 
Mendaki gunung membawa luka 
Dari Selatan dendam membara 
Mencari durjana penyebab sengsara 
"Ihhh, Paman. Mengapa lagu yang kau nyanyikan 
demikian sedih dan menyeramkan? Mengapa tidak 
memainkan lagu gembira saja? Bukankah ke-
dengarannya akan lebih enak?" 
Kencana Wungu yang tahu-tahu telah tiba di 
tempat si pemetik kecapi langsung saja mencela. 
Diperhatikannya pemetik kecapi yang berambut 
meriap itu tanpa merasa takut sedikit pun. Sepertinya 
gadis lincah ini sama sekali tidak berprasangka buruk 
terhadap orang itu. Bahkan enak saja ia berjongkok di 
depan si pemetik kecapi. 
Lelaki pemetik kecapi yang duduk di bawah pohon 
rindang di tepi jalan itu, tersentak kaget. Karena yang 
menegur adalah seorang gadis. Terbawa rasa 
penasaran, maka kepalanya segera diangkat. Dia 
ingin melihat, siapa gerangan gadis yang telah berani 
menegurnya. 
"Ahhh...!" 
Lelaki pemetik kecapi itu tersentak kaget begitu 
melihat wajah gadis yang menegurnya. Hampir saja 
tubuhnya terjengkang. Untung keseimbangan tubuh-
nya segera terkuasai. Sepasang matanya yang sayu 
itu membelalak bagaikan melihat hantu di siang 
bolong. 
"Ada apa, Paman? Mengapa Paman memandang 
ku seperti itu? Maaf kalau aku telah membuatmu 
terkejut," ucap Kencana Wungu, seraya bangkit

berdiri. 
Gadis itu benar-benar tidak mengerti, mengapa si 
pemetik kecapi sampai sedemikian terkejutnya. 
Padahal, kata-katanya tadi tidak terlalu keras. Gadis 
itu terus berpikir tak habis mengerti. 
"Siapa kau...?" tanya si pemetik kecapi. Suara laki-
laki berusia tiga puluh tahun itu bergetar dan hampir 
tidak terdengar. Dengan kedua kaki gemetar, dia 
beranjak bangkit dan menyandarkan tubuhnya pada 
batang pohon. 
"Kalau sikap Paman masih seperti itu, aku tidak 
sudi menjawabnya!" sungut Kencana Wungu tanpa 
perasaan canggung sedikit pun. 
Dan memang, dia sama sekali belum pernah 
bertemu orang itu sebelumnya. Namun sikap yang 
ditunjukkan tak ubahnya tengah berhadapan dengan 
orang yang telah lama dikenal. Bahkan sudah pula 
bisa mengancam! Benar-benar gadis yang luar biasa. 
"Ah! Aku..., aku..." 
Si pemetik kecapi semakin gugup melihat sikap 
yang ditunjukkan gadis cantik berpakaian kuning 
cerah itu. Cepat-cepat perasaannya yang memang 
tidak semestinya itu ditekan. Setelah beberapa saat 
kemudian, barulah hatinya dapat dikuasai. Itu pun 
belum sepenuhnya berhasil. 
"Oh! Gadis ini benar-benar mirip Wirani. Sikapnya 
yang lincah dan matanya yang bening itu hampir tidak 
berbeda sedikit pun! Tapi, tidak mungkin! Wirani telah 
tewas sepuluh tahun yang lalu. Dan aku masih ingat 
dengan kejadian itu. Jadi, siapakah gadis yang kini 
berada di depanku? Dan apa yang dikehendakinya 
dariku?" bermacam pertanyaan timbul, memenuhi 
benak si pemetik kecapi. Sehingga untuk beberapa 
saat lamanya ia hanya berdiri terpaku menatap gadis

itu. 
"Ada apa, Paman? Apakah wajahku aneh? Kalau 
tidak, mengapa Paman memandangku seperti itu?" 
tanya Kencana Wungu sambil bertolak pinggang. 
Kemarahan gadis itu mulai timbul melihat sikap 
lelaki berambut meriap yang sepertinya tidak waras 
itu. Atau mungkin orang ini memang kurang waras? 
Rasanya kasihan sekali kalau orang segagah itu 
ternyata pikirannya terganggu. Benak Kencana 
Wungu terus digayuti dugaan. 
"Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nisanak. 
Aku..., aku hanya merasa terkejut melihatmu yang 
tahu-tahu sudah berada di depanku. Siapakah kau, 
Nisanak? Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?" 
tanya lelaki itu menyadari kesalahannya. 
Diam-diam ia merasa heran sendiri kepada dirinya. 
Sebab, tidak bisanya ia berbicara begitu banyak dan 
lancar. Padahal, biasanya dia enggan sekali 
mengeluarkan kata-kata. Dan itu sudah lama terjadi 
semenjak tunangannya dibunuh secara kejam, 
setelah terlebih dahulu dinodai musuh-musuh 
gurunya. Tapi menghadapi gadis ini, ia benar-benar 
merasa lain. Memang sulit dicari penyebabnya 
"Hm..., baiklah. Kumaafkan sikapmu tadi, Paman. 
Dan sebaiknya kaulah yang lebih dulu mem-
perkenalkan namamu. Bukankah sudah sepantasnya 
demikian?" ujar Kencana Wungu dengan sikap wajar. 
Kemarahan di hati gadis itu telah lenyap ketika 
mendengar permintaan maaf laki-laki yang semula 
disangka sinting itu. Diam-diam gadis itu mengagumi 
wajah lelaki gagah yang tampak matang dan penuh 
garis-garis penderitaan itu. 
"Ya, ya.... Memang begitu seharusnya. Namaku 
Rimang. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan

lewat di desa ini," jawab si pemetik kecapi mem-
perkenalkan dirinya. 
"Namaku Kencana Wungu, dan biasa dipanggil 
Kencana saja. Aku adalah penduduk desa ini yang 
kebetulan lewat dan tertarik dengan permainan 
kecapimu yang menyedihkan itu. Mengapa sih, kau 
suka sekali menyanyikan lagu sedih? Hm.... Sebaik-
nya aku memanggilmu apa ya? Rasanya kau belum 
terlalu tua. Jadi, tidak pantas menyebutmu paman. 
Bagaimana kalau kau kupanggil dengan sebutan 
kakang saja. Setuju?" gadis yang memang pandai 
bicara itu terus nyerocos, seperti tak mau berhenti. 
Mendengar ucapan gadis cantik yang lincah dan 
pandai bicara itu, mau tak mau Rimang tersenyum. 
Kembali hatinya dijalari perasaan aneh? Buktinya, ia 
sudah bisa pula tersenyum! Padahal, rasanya ia 
sudah lupa bagaimana caranya tersenyum. Dan 
memang, hal itu sudah tidak pernah lagi dilaku-
kannya. Yang ada, selama ini hanyalah kebekuan dan 
hati yang mati. Tapi menghadapi gadis cantik ini, 
rasanya dirinya telah hidup kembali. Gadis itu 
ternyata sanggup menghidupkan semangatnya yang 
telah mati. Dan hal itu benar-benar membuatnya 
heran. 
"Apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku?" 
tanya lelaki itu kepada dirinya sendiri. 
*** 
"Kau tidak keberatan, Kakang Rimang?" tanya 
Kencana Wungu lagi, ingin penegasan. Memang, 
gadis itu melihat Rimang hanya terpaku disertai 
pandangan mata kosong dan menerawang jauh. 
Sementara bibirnya mengulas senyum sehingga

membuat Kencana Wungu menahan tawanya. 
"Oh! Eh, apa..., apa?" tanya Rimang tersentak dari 
lamunannya. Pemetik kecapi itu menjadi rikuh 
menyadari sikapnya. 
"Hi hi hi...!" gadis itu tak dapat lagi menahan 
tawanya melihat wajah Rimang yang ketolol-tololan 
itu. "Aku tadi hanya bertanya, apa boleh 
memanggilmu dengan sebutan kakang?" 
"Oh...," desah Rimang lega. "Terserah bagaimana 
baiknya menurutmu, Kencana. Bagiku tidak menjadi 
soal." 
Rimang juga menjadi tersenyum melihat kegem-
biraan gadis itu. 
"Nah! Sekarang, kuminta agar Kakang menyanyi-
kan lagu gembira. Mau, kan? Aku tidak suka lagu 
sedih, karena akan membuatku jadi teringat 
almarhum ibuku," ujar gadis cantik itu seraya 
menundukkan wajahnya. 
"Oh! Jadi, ibumu sudah tiada?" sentak Rimang. 
Si pemetik kecapi itu menjadi iba melihat wajah 
yang semula riang itu mendadak tertutup mendung. 
Ingin sekali rasanya membelai rambut gadis itu dan 
menghiburnya agar tidak bersedih lagi. 
"Ya, sejak aku berusia lima tahun," jawab Kencana 
Wungu seraya mengangkat wajahnya. "Ah, sudahlah, 
Kakang. Untuk apa mengingat hal-hal yang sudah 
lalu. Ayolah, mainkan kecapimu." 
Melihat mendung di wajah gadis itu sudah mulai 
hilang, Rimang segera menggerakkan jemarinya 
memetik dawai-dawai kecapi. Maka terdengarlah 
alunan denting kecapi yang merdu merayu. Kencana 
Wungu memandangi jemari laki-laki itu yang menari-
nari lincah di atas papan kecapi. Matanya berbinar-
binar memancarkan kegembiraan yang amat sangat

Senyum di bibir Rimang semakin melebar melihat 
kegembiraan yang terpancar dari sepasang mata 
indah itu. Maka dia semakin bersemangat memain-
kan lagu-lagu gembira. Padahal selama ini lagu-lagu 
itu belum pernah dimainkannya. Rimang merasa 
seolah-olah baru terlahir ke bumi, dan baru dapat 
melihat betapa indahnya hidup ini. Dan yang 
membuatnya heran, adalah keinginan untuk berlama-
lama bersama gadis lincah yang baru dikenalnya itu. 
Entah apa yang ada dalam diri gadis itu, sehingga 
membuatnya bersemangat dan bergairah meng-
hadapi hidup. Hanya saja Rimang jadi takut begitu 
mengetahui, kalau dia memiliki suatu perasaan 
terhadap Kencana Wungu. 
Dan kini kegembiraan dan kebahagiaan yang 
mereka rasakan itu tidak berlangsung lama, dan tiba-
tiba direnggut begitu saja oleh dua orang berseragam 
hitam yang menghampiri mereka. 
"Nini Kencana. Ayahmu menyuruh kami untuk 
segera menjemputmu," kata salah seorang di 
antaranya, penuh hormat. Alisnya nampak berkerut 
ketika memandang orang berambut meriap yang 
bersama putri majikannya itu. 
Kencana Wungu menoleh kepada dua orang itu 
dengan kening berkerut. Sepertinya gadis itu merasa 
tak senang dengan kehadiran kedua orang pembantu 
ayahnya yang telah merusak kegembiraan itu. 
"Nih! Bawalah pesanan ayah. Dan pulanglah! Aku 
akan menyusul nanti!" kata gadis itu, ketus. 
Sambil berkata demikian, diserahkannya 
bungkusan yang dibawa kepada kedua orang pem-
bantu ayahnya yang nampak heran dengan sikap 
putri majikannya itu. 
"Tapi, kami juga disuruh menjemputmu, Nini

Kencana. Dan kami tidak berani kembali tanpa Nini," 
ucap salah satu dari kedua orang itu, bingung. 
"Ya. Sebaiknya Nini pulang saja dulu agar kami 
tidak kena marah oleh beliau," timpal yang seorang 
lagi dengan nada memohon pengertian putri 
majikannya itu. 
Kerutan di kening gadis itu nampak semakin 
dalam. Wajahnya yang selalu cerah seketika berubah 
gelap setelah mendengar bantahan kedua orang 
pembantu ayahnya itu. Kencana Wungu sudah 
bergerak bangkit dan siap menumpahkan 
kemarahannya. 
Rimang yang melihat kemarahan pada wajah gadis 
cantik itu menjadi tidak enak hati. Cepat-cepat dia 
bergerak bangkit untuk ikut membujuk Kencana 
Wungu agar mengikuti kata-kata kedua orang yang 
diduga adalah pembantu-pembantu ayah gadis itu. 
Hal itu tertangkap jelas dari pembicaraan maupun 
sikap kedua orang itu yang terlihat hormat 
"Pulanglah, Kencana. Jangan membuat cemas 
ayahmu. Siapa tahu beliau saat ini tengah me-
nunggumu dengan perasaan gelisah," desah Rimang 
sambil menghela napas berat. 
"Jadi kau pun tidak menyukai kehadiranku di sini, 
Kakang? Kalau memang kehadiranku telah mem-
buatmu terganggu, baiklah. Aku akan pergi!" sahut 
Kencana Wungu, seraya membalikkan tubuhnya 
menghadapi Rimang. Terlihat kekecewaan di 
wajahnya. 
"Jangan salah mengerti, Kencana. Aku merasa 
sangat beruntung kau suka bersahabat denganku. 
Dan sikap bersahabatmu telah membuat aku sadar 
kalau tidak seharusnya tenggelam dalam kedukaan 
dan memandang dunia ini dari sisi yang pahit. Tapi,

kau juga harus pula memikirkan kekhawatiran 
ayahmu. Aku tidak ingin kau mendapat marah hanya 
karena gara-gara aku. Pulanglah. Masih banyak waktu 
untuk kita bertemu," bujuk Rimang mencoba memberi 
pengertian kepada Kencana Wungu. 
Meskipun untuk mengucapkan kata-kata itu harus 
menahan rasa nyeri dalam hatinya, namun Rimang 
sadar kalau tidak mempunyai hak untuk menahan 
gadis itu. Padahal hatinya merasa berat untuk 
berpisah. 
Mendengar ucapan Rimang, Kencana Wungu jadi 
sadar akan keadaan dirinya. Ia tahu kalau ayahnya 
pasti akan marah apabila menemukannya tengah 
berduaan dengan orang asing. Dan gadis itu tidak 
ingin kalau Rimang akan terkena kemarahan ayahnya 
pula. 
"Maafkan sikapku yang kekanak-kanakan, Kakang. 
Baiklah. Aku pulang dulu, dan besok akan kemari lagi. 
Berjanjilah, bahwa Kakang akan menungguku di 
tempat ini," pinta Kencana Wungu penuh 
permohonan. 
"Aku berjanji," sahut Rimang cepat disertai 
senyuman. 
Namun demikian, si pemetik kecapi itu berusaha 
menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya. 
Memang diakui kalau dirinya merasa berat berpisah 
dengan gadis yang telah mampu membangkitkan 
kegembiraan dalam hidupnya yang telah kosong. 
"Aku pergi dulu, Kakang," pamit gadis itu sembari 
melangkah mengikuti kedua orang pembantu 
ayahnya. 
Beberapa langkah kemudian, Kencana Wungu 
menoleh dan melemparkan senyumnya kepada 
Rimang yang masih berdiri menatap kepergiannya.

Rimang melambaikan tangannya dengan keharuan 
yang menyesakkan dada. Diam-diam hatinya 
mengeluh begitu menyadari kalau ada suatu 
perasaan terhadap gadis itu. Gadis itu masih terlalu 
muda serta sangat polos. Sikapnya pun dapat 
berubah-ubah setiap saat. Betapa mudahnya untuk 
jatuh cinta kepada gadis itu. Dan Rimang memang 
tidak boleh berharap terlalu banyak. Hanya dia 
sendirilah yang tahu, perasaan apa yang terkandung 
dalam dadanya. Dia tidak ingin Kencana Wungu 
mengetahuinya. 
"Hhh..." 
Rimang menghela napas berat menyadari kalau 
dirinya terlalu tua untuk gadis seusia Kencana 
Wungu. Ia tidak ingin menderita kekecewaan untuk 
yang kedua kali. 
"Aku tidak boleh menyalahartikan kebaikan serta 
sikap gadis itu. Siapa tahu dia hanya merasa suka 
dengan permainan kecapiku dan bukan kepada 
diriku!" kata hati Rimang kepada dirinya sendiri. 
Setelah bayangan ketiga orang itu sudah tidak 
kelihatan, Rimang pun melangkahkan kakinya 
meninggalkan tempat itu. Telah diputuskan kalau dia 
tidak akan menemui gadis itu lagi setelah urusannya 
di Desa Dadapan ini selesai. Karena, Rimang takut 
kalau-kalau perasaan cintanya terhadap gadis itu 
akan semakin berkembang. Ia tidak ingin menderita 
kekecewaan lagi, yang mungkin saja akan jauh lebih 
parah daripada yang pertama. 
Rimang melangkah perlahan sambil memperhati-
kan bayangan tubuhnya yang memanjang. Ditatapnya 
cakrawala yang sebentar lagi akan gelap. Kembali 
terdengar helaan napas beratnya.

LIMA

"Ampuni aku, Tuan. Apa salahku?" rintih seorang laki-
laki setengah baya yang wajahnya berlumuran darah. 
Ia berusaha merangkak bangkit dengan susah-
payah. Wajahnya menatap memohon belas kasihan 
kepada seorang laki-laki tegap yang berdiri di 
hadapannya dengan kedua kaki terpentang lebar. 
"Hmh...! Merengeklah sepuasmu sebelum ku-
bunuh, Tua Bangka! Siapa pun di dunia ini yang 
memainkan alat kecapi, akan kubunuh!" bentak laki-
laki tegap itu. 
Wajahnya bengis dan penuh dendam. Ia sama 
sekali tidak tergerak hatinya melihat wajah lelaki tua 
yang tampak sangat menderita akibat siksaannya. 
Malah hal itu membuatnya semakin senang. 
"Tapi, apa salahku kepada Tuan? Bukankah kita 
tidak saling mengenal dan belum pernah bertemu 
sebelumnya," tukas lelaki setengah baya itu dengan 
seribu pertanyaan yang tergambar di wajahnya. 
Sepertinya ia memang tidak mengetahui sama sekali 
apa yang menyebabkan dirinya sampai disiksa 
sedemikian rupa. 
"Kau memang tidak bersalah, Orang Tua! Tapi 
jahanam keparat itu telah membunuh guruku, kawan-
kawanku, dan juga guru kawanku ini. Dan pembunuh 
itu juga seorang pemain kecapi, tahu?! Pembunuh 
keji itu mengaku datang dari daerah Selatan, dan 
memiliki sebuah alat musik kecapi berwarna perak! 
Nah! Karena kesalahannya itulah, maka aku ber-
sumpah untuk membunuh dan menyiksa semua

orang yang suka mainkan alat kecapi dan alat-alat 
lainnya. Kau boleh menyumpah dan mengutuk 
keparat jahanam itu! Karena perbuatannya itulah, 
maka kau menderita!" jelas laki-laki tegap itu lagi, 
tanpa rasa kasihan sedikit pun. Setelah berkata 
demikian, kembali ditendangnya tubuh lelaki 
setengah baya yang sudah hampir berdiri itu. 
Desss! 
"Aaakh...!" 
Lelaki setengah baya yang ternyata seorang 
pemain kecapi itu menjerit kesakitan. Tubuhnya yang 
kurus terlempar dan menabrak bilik rumah hingga 
jebol. Darah segar kembali menyembur dari mulutnya. 
"Ya, Tuhan! Ada apa ini?" teriak seorang wanita 
bertubuh gemuk yang bergegas memasuki rumah itu. 
"Manusia biadab! Apa kesalahan suamiku hingga kau 
tega menyiksa sedemikian kejam?" 
Wanita gemuk itu rupanya istri lelaki setengah 
baya yang tengah merintih dan mengerang kesakitan. 
"Mengapa..., mengapa kesalahan Kecapi Perak 
dari Selatan ditimpakan kepadaku, Kisanak? 
Mengapa bukan orang itu saja yang kau cari dan kau 
siksa? Mengapa harus orang lain yang tidak berdosa 
yang harus menanggung akibat perbuatannya itu?" 
tanya lelaki setengah baya itu. 
Sambil bertanya demikian, dia menekap 
lambungnya yang terasa bagaikan remuk tulang-
tulangnya. Sedangkan wanita gemuk itu sudah 
menubruk suaminya yang sepertinya sudah tidak 
mampu bangkit lagi. Wajah wanita gemuk itu telah 
dipenuhi air mata melihat penderitaan suaminya. 
"He he he.... Baiklah. Aku tidak akan menyiksamu 
lagi, Ki. Dan aku pun akan mengurangi rasa sakit 
yang kau derita itu!" tegas lelaki tegap itu dengan

wajah sinis, sambil mencabut keluar pedang yang 
tergantung di pinggangnya. 
Sret! 
Sinar putih berkilatan langsung memendar ketika 
pedang lelaki itu tercabut dari sarungnya. Tentu saja 
hal ini membuat suami istri itu semakin ketakutan. 
Wajah mereka mendadak pucat bagai tak dialiri 
darah. 
"Oh...! Binatang, kau! Mengapa kesalahan orang 
lain kau timpakan kepada suamiku?! Apakah kau 
takut untuk membalas kepada orang itu?" teriak 
wanita gemuk itu dengan wajah bersimbah air mata. 
Dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya 
lagi, wanita itu segera menubruk si lelaki tegap dan 
melontarkan pukulan. 
"Nyai, jangan...!" teriak laki-laki setengah baya itu 
mencegah perbuatan istrinya. Sambil mengerang 
menahan sakit, tubuhnya berusaha bangkit karena 
mengkhawatirkan keselamatan istrinya. 
Si lelaki tegap sudah kalap mendengar ucapan 
yang dilontarkan perempuan gemuk itu tadi. 
Gerahamnya terdengar bergemeletuk menahan 
geram. Dan tanpa ragu-ragu lagi, segera disambarnya 
tubuh perempuan itu dengan tendangan keras. 
"Perempuan jelek! Rasakan ini, hih!" 
Bukkk! 
"Aaah...!" 
Tubuh perempuan malang itu langsung terlempar 
ke belakang ketika tendangan yang keras itu hinggap 
di perutnya. Terdengar jerit kesakitan yang berbareng 
dengan menyemburnya darah segar dari mulut 
perempuan itu. 
Brakkk! 
Tubuh gemuk itu terus meluncur menabrak tiang

bambu yang menopang bilik rumahnya. Seketika 
dinding rumahnya yang terbuat dari bilik itu langsung 
jebol menimbulkan suara ribut. Sedangkan tubuh 
perempuan itu sendiri terlempar ke luar. 
"Nyai...!" si suami berteriak parau. 
Laki-laki itu segera berlari terpincang-pincang 
memburu tubuh istrinya. Dipeluknya tubuh wanita 
gemuk yang rebah dengan napas satu-satu itu. 
Rupanya perempuan itu telah pingsan karena tidak 
kuat menahan bobot tendangan yang melebihi 
kekuatan tubuhnya. 
"Biadab! Kalian benar-benar sudah seperti 
binatang! Tidak berperikemanusiaan!" maki lelaki 
setengah baya itu yang menjadi kalap demi melihat 
istrinya telah rebah tak bergerak. 
Sambil berkata demikian, dia memeluk dan 
memanggil-manggil nama istrinya dengan suara 
parau. 
Dengan sorot mata penuh dendam, lelaki bertubuh 
tegap itu perlahan-lahan melangkah keluar diikuti 
lima orang kawannya, dengan sikap mengancam. 
Pedang telanjang di tangan kanannya ditimang-
timang, membuat sepasang mata lelaki setengah 
baya itu membelalak lebar. Karena dia tidak mampu 
berbuat apa-apa lagi, dan hanya pasrah menanti 
datangnya maut. 
"Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Dan 
sumpahilah si Kecapi Perak dari Selatan itu 
sepuasmu!" bentak lelaki tegap itu yang sudah tiba di 
dekat sepasang suami istri yang malang. Dengan 
gerakan perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi, 
siap untuk memenggal leher orang itu. Namun tiba-
tiba.... 
Wuttt! Trang!

"Akh...!" 
Tubuh lelaki tegap itu terjengkang ke belakang 
diiringi teriakan kagetnya. Pedang di tangannya 
terlempar akibat benturan sebuah batu kecil yang 
melesat dengan kecepatan tinggi. Cepat tubuhnya 
dilempar dan bersalto beberapa kali hingga tidak 
sampai terbanting ke tanah. 
Dengan wajah yang berubah pucat, lelaki itu 
melotot ke arah seorang pemuda berjubah putih yang 
melangkah tenang menghampiri sepasang suami istri 
yang tengah meringkuk menanti ajal. Bersama 
pemuda tampan itu, nampak seorang gadis jelita 
berpakaian serba hijau. Sepasang matanya yang 
indah menatap geram kepada lelaki tegap dan lima 
orang kawannya yang hanya mampu memandang 
bengong. Mereka seperti terkesima melihat 
kecantikan gadis itu. Beberapa di antaranya bahkan 
menelan air liur, penuh nafsu. 
Untuk beberapa saat lamanya keenam orang itu 
tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. 
Mereka hanya berdiri terpaku bagai patung. 
Sementara itu, pemuda tampan berjubah putih 
membungkuk menyentuh tubuh lelaki setengah baya 
yang masih memejamkan mata. 
"Aaah...!" 
Lelaki setengah baya itu terlonjak bagai tersengat 
kalajengking. Karena dikira, sentuhan tangan itu 
adalah mata pedang yang siap memenggal lehernya. 
Tubuh kurus itu pun semakin merungkut ketakutan. 
Keringat dingin sudah membanjir membasahi 
pakaiannya. 
"Bangunlah, Ki. Tidak ada lagi yang perlu ditakuti," 
ujar pemuda berjubah putih itu dengan suara lembut 
dan halus.


Perlahan-lahan lelaki setengah baya itu membuka 
matanya begitu mendengar suara yang sangat jauh 
berbeda dari suara lelaki yang menyiksanya. Dan 
hatinya pun merasa heran ketika melihat seraut 
wajah bersih dan tampan tengah membungkuk dan 
memegang bahunya. Lalu ia pun bergerak bangkit 
sambil mengedarkan pandangannya. Tampak 
keenam orang yang menyiksanya tengah berdiri 
terpaku berhadapan dengan seorang gadis yang 
membelakanginya. 
Dengan wajah yang hampir tidak percaya, orang 
tua itu kembali mengalihkan pandangan matanya 
kepada pemuda berjubah putih yang mengangguk 
dan tersenyum padanya. Kini sadarlah orang tua itu, 
kalau nyawanya telah diselamatkan kedua orang 
muda itu. 
"Marilah kita ke dalam, Ki," ajak pemuda itu sambil 
mengangkat tubuh wanita gemuk yang masih 
pingsan. 
Dengan langkah terpincang-pincang, lelaki 
setengah baya itu mengikuti langkah pemuda tampan 
memasuki rumahnya. Ia pun duduk di tepi balai-balai 
bambu, tempat tubuh istrinya dibaringkan pemuda 
tampan berjubah putih itu. 
***

ENAM


Pemuda berjubah putih yang tak lain adalah 
Pendekar Naga Putih, bergegas mengurut beberapa 
bagian jalan darah di tubuh perempuan gemuk. 
Kemudian, diberikannya pengobatan kepada lelaki 
setengah baya yang terluka parah itu. Setelah 
menyuruh orang tua itu agar beristirahat Panji ber-
gegas melangkah ke luar. Namun baru saja sampai di 
ambang pintu, laki-laki setengah baya itu bangkit dan 
menghampirinya. 
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. 
Kau telah menyelamatkan kami dari kematian," ucap 
orang tua itu, mencoba tersenyum. Namun bagi Panji 
senyum itu terlihat seperti seringai kesakitan. Dan 
pemuda itu membalasnya dengan senyum tulus. 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling 
menolong, Ki. Sebaiknya beristirahatlah dulu. 
Sebentar lagi juga istrimu segera sadar. Biarlah 
mereka aku yang mengurusnya, karena memang 
telah lama kucari-cari sehubungan dengan 
pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan," 
jelas Panji. 
Kemudian, Pendekar Naga Putih melangkahkan 
kakinya ke arah enam orang laki-laki yang tengah 
berhadapan dengan gadis jelita berpakaian hijau 
yang sudah pasti Kenanga adanya. Sementara laki-
laki setengah baya itu kembali mendekati istrinya. 
"Tidak salah lagi, Kakang, Merekalah yang telah 
melakukan pembunuhan terhadap rombongan 
pemusik panggilan dan para pemetik kecapi," jelas

Kenanga begitu Panji mendekat. Gadis itu berbicara 
sambil tetap menatap keenam orang calon lawannya. 
"Aku pun telah menduganya," sahut Panji pelan. 
Pendekar Naga Putih melangkah semakin men-
dekati keenam orang laki-laki yang sepertinya 
dipimpin lelaki yang bertubuh tegap. Dialah yang baru 
saja hendak memenggal kepala suami istri tadi. 
"Siapakah kalian? Apa maksud kalian membunuhi 
dan menganiaya orang-orang yang tak berdosa?" 
tegur Panji, dingin. 
Sepasang mata Pendekar Naga Putih mencorong 
tajam, menimbulkan perbawa yang kuat. Maka 
seketika keenam orang itu melangkah mundur 
dengan sikap waspada. Tangan-tangan mereka 
serentak meraba gagang senjata yang menyembul di 
balik pakaian. 
"Bangsat! Mestinya akulah yang mengajukan 
pertanyaan kepadamu, manusia usil! Mengapa kau 
mencampuri urusan kami? Lebih baik kau tinggalkan 
tempat ini sebelum aku berniat jelek kepadamu!" 
bentak lelaki tegap itu tak kalah gertak. 
Sambil berkata demikian matanya melirik ke arah 
Kenanga. Cepat pandang matanya dialihkan begitu 
melihat sinar mata gadis itu yang tidak kalah 
tajamnya dengan sepasang mata pemuda berjubah 
putih. 
"Huh! Jangan banyak tingkah kau, Iblis Laknat! 
Hari ini kau akan merasakan bagaimana rasanya 
sebuah siksaan! Bersiaplah!" geram Kenanga. 
Gadis ini rupanya sudah tak dapat lagi menahan 
kemarahannya. Karena setelah sekian lama 
menyelidiki, baru kali inilah bertemu pembunuh yang 
dicari-cari itu. Selama ini ia dan Pendekar Naga Putih 
hanya menemukan bekas-bekas kejahatan yang

mereka lakukan. Dan hal itu tentu saja telah 
membangkitkan rasa penasaran di hati gadis jelita ini. 
Itulah sebabnya, mengapa Kenanga sudah tidak 
dapat menahan kesabarannya lagi begitu bertemu 
orang-orang itu. 
"Sabarlah, Kenanga. Biar aku yang akan meng-
hadapi mereka." 
Sambil berkata demikian, Pendekar Naga Putih 
menyentuh lembut bahu Kenanga untuk me-
nenangkan perasaannya. Dan memang, Panji ingin 
mengorek keterangan keenam orang itu lebih dahulu. 
Ia ingin tahu, apa sebabnya orang-orang itu berbuat 
demikian. 
Melihat tingkah laku serta penampilan keenam 
orang itu, Pendekar Naga Putih tahu kalau mereka 
tidak dapat disamakan dengan para penjahat atau 
perampok yang pernah ditemuinya. Dan Panji merasa 
yakin kalau ada suatu sebab yang membuat keenam 
orang itu melakukan kejahatan. 
"Tidak, Kakang! Kali ini, berilah kesempatan 
padaku. Percayalah, aku tidak akan membunuh 
mereka, tapi hanya memberi sedikit pelajaran agar 
lain kali tidak sembarangan berbuat kejam," sahut 
Kenanga yang terpaksa membantah kata-kata 
Pendekar Naga Putih. Hanya saja, nada suaranya 
hampir mirip permohonan. Demikian juga dengan 
pandang matanya, yang seperti meminta pengertian 
Panji. 
"Hm...," Panji hanya memperdengarkan gumaman 
yang tak diketahui maknanya. 
Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Naga 
Putih menatap wajah Kenanga dengan pandangan 
menyelidik. Sesaat kemudian, senyum di wajah 
pemuda itu pun mengembang begitu melihat sinar

kesungguhan di mata kekasihnya. Dan Panji tahu 
kalau gadis itu akan menepati janjinya untuk tidak 
sampai membunuh orang-orang itu. 
"Kurang ajar! Apakah kalian pikir aku ini sebuah 
mainan yang dapat kalian perebutkan begitu saja!" 
teriak lelaki tegap itu, merah padam. 
Hati laki-laki tegap itu benar-benar tersinggung 
melihat pembicaraan dua orang di depannya. Dan 
memang jelas, mereka membicarakan dirinya dengan 
seenaknya saja. Seolah-olah ia adalah seorang lemah 
yang tidak mempunyai daya sama sekali. 
"Hm.... Kau pikir dirimu itu apa? Bagiku kau tak 
lebih dari orang sinting yang harus segera diberi 
pengobatan. Dan akulah orang yang akan 
mengobatimu!" sambut Kenanga yang sudah 
melangkah maju sehingga berjarak sekitar dua 
batang tombak. 
Bibir gadis itu menyunggingkan senyuman manis 
yang membuat wajah keenam orang itu menjadi 
panas. Langkah kakinya dibuat sedemikian rupa 
laksana algojo yang hendak melaksanakan hukuman. 
Kedua tangannya bertolak pinggang dengan sikap 
santai. 
"Keparat kau, Gadis Sombong! Kalau tertangkap, 
hmh.... Kau akan rasakan sendiri akibatnya!" bentak 
yang lain. Mereka juga menjadi geram melihat sikap 
gadis itu yang demikian meremehkan. 
"Hi hi hi...! Laki-laki besar mulut yang hanya bisa 
menyiksa orang lemah! Ayo, majulah! Ingin kulihat, 
sampai di mana kepandaianmu!" ejek Kenanga yang 
semakin menjadi-jadi begitu melihat lawan-lawannya 
mencak-mencak bagai cacing kepanasan. 
"Setan! Kuntilanak kuburan!" teriak lelaki bertubuh 
tegap yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuhnya 
segera melayang disertai sambaran pedang yang 
berputaran cepat 
Wuttt! Wuttt..! 
"Eit, tidak kena! Hayo tambah kecepatan, Kerbau 
Dungu! Mengapa demikian lamban? Apakah kau 
merasa sayang untuk melukai tubuhku?" 
Sambil mengejek memanaskan telinga lawan, 
tubuh gadis jelita itu meliuk menghindari dua buah 
serangan lawan. Tentu saja hal itu membuat darah 
lawannya semakin mendidih. 
"Kubunuh kau!" bentak lelaki bertubuh tegap itu 
yang kemarahannya semakin meledak-ledak. 
Sepertinya ia benar-benar sudah lupa kalau yang 
dihadapinya itu adalah seorang dara jelita yang amat 
memikat. Sehingga serangan-serangannya tampak 
semakin gencar dan menderu-deru. 
"Yeaaat..!" 
Lima orang kawan lelaki tegap itu segera 
berlompatan mengeroyok Kenanga. Karena, mereka 
melihat betapa kawannya demikian sibuk meng-
hadapi gadis jelita itu. Dan kini mereka memang baru 
sadar kalau kepandaian gadis itu ternyata hebat 
sekali. 
Meskipun serangan yang dilancarkan enam orang 
laki-laki itu demikian menderu-deru, namun enak saja 
tubuh gadis itu menyelinap di antara sambaran 
senjata enam orang lawan yang berbau maut itu. Dan 
anehnya, tak satu pun yang dapat menyentuh 
pakaiannya. Apalagi menyentuh kulit tubuhnya. 
Wuttt! Wukkk...! 
"Eit.. sedikit lagi!" ejek Kenanga ketika dua buah 
senjata lawannya menyambar dari kiri-kanan, dan 
berhasil dihindarinya. "Ayo, teruskan! Masak menghadapi seorang wanita saja kalian tidak mampu 
berbuat apa-apa? Mana kehebatan kalian? Ayo 
tunjukkan?" 
Sambil terus berlompatan, mulut gadis jelita itu tak 
henti-hentinya mengejek. Akibatnya hati keenam 
orang pengeroyoknya semakin kalap bagaikan kakek-
kakek kebakaran jenggot. 
"Keparat! Heaaat..!" 
Sambil berteriak memaki, salah seorang dari 
pengeroyok menusukkan pedang membentuk garis 
lurus. Sinar pedang berpendar menyilaukan mata. 
Sedangkan dari belakang, pengeroyok yang lainnya 
melompat tinggi sambil membabatkan pedang 
menebas leher yang jenjang dan mulus itu. 
Wuttt! Wuttt! 
Menghadapi dua buah serangan dari arah berbeda 
itu, sama sekali tidak membuat Kenanga gugup. 
Dengan gerakan tenang, tubuhnya dimiringkan sambil 
kakinya diputar ke kanan. Maka serangan dari depan 
itu pun mengenai tempat kosong. 
Gerakan gadis itu tidak hanya sampai di situ saja. 
Berikutnya, tubuhnya berputar dengan menggunakan 
tenaga pinggang dengan kepala ikut berputar. 
Dengan demikian, bacokan pedang lawan yang 
mengancam kepala lewat beberapa jari di atasnya. 
"Hi hi hi..! Kerbau-kerbau tolol! Masak kalian 
berenam tidak mampu menjatuhkanku? Mana 
kehebatan yang kalian bangga-banggakan itu?" ejek 
Kenanga kembali sehingga membuat keenam orang 
pengeroyoknya semakin kalap. 
"Keparat kau, Perempuan Siluman! Kau pun sejak 
tadi hanya bisa mengejek tanpa mampu membalas 
serangan-serangan kami! Kalau memang hebat, 
tunjukkanlah kehebatanmu!" teriak lelaki bertubuh

tegap, mencoba membalas ejekan lawan. Rupanya ia 
baru sadar kalau orang yang mereka keroyok itu 
sama sekali belum pernah membalas serangan. 
Mendengar ucapan lawannya, Kenanga hanya 
tertawa terkikik. Sesaat kemudian wajahnya berubah 
galak. Dengan tatapan setajam mata pedang, gadis 
itu berdiri tegak setelah melenting menjauhi para 
pengeroyok itu. Sepertinya Kenanga sudah merasa 
puas mempermainkan musuh-musuhnya. 
"Hm.... Kau menagih, Kerbau Dungu? Kalau begitu, 
bersiaplah untuk menerima hajaranku!" kata gadis itu 
dengan suara da tar. Kemudian sepasang tangannya 
bergerak, siap melancarkan serangan. 
Mendengar ucapan gadis yang sudah berdiri 
dengan sepasang mata mengancam, mau tak mau 
keenam lelaki itu melangkah mundur. Wajah mereka 
langsung berubah tegang. Sewaktu gadis itu bertahan 
saja, mereka sudah merasa kewalahan sekali. Entah 
apa jadinya kalau gadis itu mulai mengumbar pukulan 
dan tendangannya. Sanggupkah mereka bertahan? 
*** 
Kenanga yang tidak ingin keenam orang lawannya 
bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan, segera 
melesat dibarengi teriakan nyaring dan meng-
getarkan. 
"Haiiit...!" 
Bagaikan seekor elang yang siap menyambar anak 
ayam, tubuh gadis itu meluncur dengan kecepatan 
kilat ke arah lawan-lawannya. Sepasang tangannya 
siap melakukan cengkeraman-cengkeraman maut 
yang akan merenggut nyawa lawan. 
Wuttt! Wuttt!

"Aaakh...!" 
Dua orang dari pengeroyok yang menjadi sasaran 
cengkeraman jari-jari mungil itu, bergegas melempar 
tubuhnya ke belakang. Mereka terus melakukan 
beberapa kali salto untuk menjaga dari serangan 
susulan yang mungkin masih akan mengancam. 
Sedangkan lelaki tegap bersama kawannya yang 
pada tangan kanannya menggunakan cakar baja, 
bergegas menyabetkan pedang untuk menahan 
serangan Kenanga. Mata pedang dan cakar baja itu 
bergerak menyilang dan mendatar, memapak 
serangan gadis itu. 
Melihat ancaman yang cukup berbahaya, Kenanga 
menarik pulang tangannya. Dan secepat kilat tubuh-
nya berputar sambil melontarkan tendangan kilat ke 
dagu si lelaki tegap. Sedangkan, tangannya siap 
melakukan serangan susulan. 
"Heaaah...!" 
Dugkh...! 
"Aaakh...!" 
Tubuh lelaki tegap itu terdongak ketika tendangan 
kaki Kenanga mencium dagunya. Seketika terdengar 
jerit kesakitan. Darah pun menetes dari bibirnya yang 
pecah. 
Kenanga tidak hanya berhenti sampai di situ saja. 
Cakarnya yang memang siap terlontar itu segera 
meluncur ke arah seorang lagi yang sama sekali tidak 
menduga ada serangan. Maka dia berusaha untuk 
mengelakkannya. Tapi sayang, serangan yang dilaku-
kan gadis itu terlihat demikian matang dan penuh 
perhitungan. Apalagi kecepatan gerak lawan kalah 
cepat. Maka... 
Brettt! 
"Aaakh...!"

Dibarengi jerit kesakitan, tubuh orang itu terlempar 
dan terbanrjng keras di atas tanah. Darah segar 
tampak mengucur dari luka memanjang yang meng-
hias dadanya. Orang itu hanya dapat merintih sambil 
berusaha bangkit 
Sementara itu, lelaki bertubuh tegap sudah 
bangkit berdiri dan slap melontarkan pukulannya. 
Tapi sayang, gerakan yang dilakukan Kenanga masih 
jauh melebihi kecepatannya. Sehingga pada saat 
baru bersiap melakukan penyerangan, tahu-tahu saja 
telapak kaki gadis itu telah telak menghantam 
dadanya. 
Bugkh! 
"Hugkh...!" 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh orang itu kembali 
terbanting keras di atas tanah. Darah segar semakin 
banyak mengucur membasahi pakaiannya. Ia hanya 
telentang sambil menekap dadanya yang terasa 
remuk tulang-tulangnya. 
Amukan gadis jelita itu tidak berhenti sampai di 
situ saja. Empat orang lainnya ternyata juga men-
dapat bagian yang sama. Rupanya dalam hal mem-
bagi pukulan dan tendangan, gadis jelita itu dapat 
pula bersikap adil dan tidak pilih kasih. Sehingga 
dalam beberapa jurus saja, keenam orang 
pengeroyoknya sudah bergeletakan tanpa mampu 
bangkit. Dari mulut mereka terdengar rintihan 
memelas. 
"Ampunkan kami, Nini Pendekar. Kami lakukan ini 
terdorong rasa dendam yang tidak mungkin dapat 
kami balas. Sehingga kami melakukan pembalasan 
dengan jalan menyiksa dan membunuh orang-orang 
yang segolongan dengan musuh kami," rintih lelaki 
tegap itu sambil menundukkan wajah dalam-dalam.

"Hm.... Aku tidak peduli dengan semua urusan 
kalian! Yang penting sekarang kalian harus menerima 
hukuman atas perbuatan-perbuatan kejam yang telah 
dilakukan!" bentak Kenanga. 
Gadis itu sepertinya tidak mau memberi ampunan 
kepada keenam orang laki-laki yang telah melakukan 
kejahatan dengan membunuh dan menyiksa orang-
orang yang menjadi pemusik. Terutama para pemain 
kecapinya. 
"Sudahlah, Kenanga. Bukankah kau berjanji hanya 
akan memberikan pelajaran saja kepada mereka? 
Lalu, mengapa sekarang hendak membunuh 
mereka?" tanya Panji mengingatkan gadis itu akan 
janjinya. 
"Aku tidak menyalahi janjiku, Kakang. Dan yang 
akan memberi keputusan hukuman bukan aku, tapi 
kau. Meskipun ingin rasanya aku membunuh mereka 
semua sekaligus! Paling tidak mereka akan berpikir 
dua kali apabila hendak melakukan perbuatan jahat 
lagi!" sahut Kenanga yang dari nada suaranya jelas 
masih belum puas dengan apa yang telah dilaku-
kannya terhadap keenam orang itu. 
Panji hanya tersenyum memandangi wajah 
kekasihnya yang cemberut itu. Kemudian kakinya 
melangkah menghampiri lelaki tegap yang merupa-
kan pimpinan keenam orang itu. 
"Kisanak. Bersediakah kau menerangkan sebab-
sebab perbuatanmu itu? Ceritakanlah. Mungkin 
setelah mendengarnya, aku bisa mengambil 
keputusan yang lebih baik," pinta Panji kepada orang 
itu. 
Melihat sikap dan kata-kata pemuda itu yang halus 
dan sopan, lelaki tegap itu melihat adanya 
kemungkinan untuk lolos dari kematian. Maka


meskipun dengan suara terpatah-patah, diceritakan-
lah duduk persoalannya. 
"Demikianlah. Karena tidak sanggup melawan 
Kecapi Perak dari Selatan yang memang memiliki 
kesaktian hebat itu, maka kami melakukan pem-
balasan dengan cara kami sendiri. Meskipun kami 
tahu kalau perbuatan itu salah," lelaki tegap yang 
ternyata bernama Bangkil itu menutup ceritanya 
dengan helaan napas berat. 
"Hm.... Apakah kalian tahu, apa yang menyebab-
kan guru kalian sampai dibunuh orang itu?" tanya 
Panji kepada keenam orang yang tiga di antaranya 
adalah murid Ki Ranggit dari Perguruan Jari Besi yang 
telah dihasut Bangkil dan Wirja. 
"Entahlah, Kisanak. Kami tidak mengetahuinya. 
Sebab menurut laki-laki pemetik kecapi itu, ia datang 
untuk menagih hutang pada sepuluh tahun yang lalu," 
jawab Bangkil yang sempat mendengar ucapan 
Kecapi Perak dari Selatan sewaktu berhadapan 
dengan gurunya. 
"Bolehkan kami tahu nama ataupun julukan 
Kisanak?" tanya salah seorang murid Ki Ranggit 
takut-takut 
Mendengar pertanyaan itu, yang lain serentak 
memandang Panji. Rupanya mereka baru tersadar 
ketika mendengar pertanyaan salah seorang kawan-
nya. 
"Huh...! Ketahuilah, orang yang berada di hadapan 
kalian itu adalah pendekar muda yang saat ini telah 
menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat 
'Naga Sakti'nya!" sahut Kenanga tak sabar. 
"Hahhh?! Pendekar Naga Putih...!" 
Keenam orang itu berteriak dengan wajah pucat. 
Namun dalam sepasang mata mereka memancar

sinar penuh harapan. Tanpa ragu-ragu lagi, keenam 
orang itu segera berlutut di hadapan Pendekar Naga 
Putih. Mereka membentur-benturkan kepalanya di 
tanah sambil memohon ampun berulang-ulang. 
"Ampunkan kami.... Ampunkan kami..," ucap 
keenam orang itu berbarengan. 
"Hm... Bangkitlah kalian!" ujar Panji dengan suara 
halus, namun mengandung ketegasan yang tidak bisa 
dibantah. Maka meskipun agak takut-takut keenam 
orang itu bergerak bangkit dengan kepala tertunduk 
dalam-dalam. 
"Pendekar Naga Putih. Perbuatan kami memang 
sudah keterlaluan. Dan setelah bertemu denganmu, 
maka kami rela menyerahkan nyawa di tanganmu. 
Kami siap menerima hukuman," sahut Bangkil 
mewakili teman-temannya. Karena, mereka memang 
merasa tidak ada muka untuk berhadapan dengan 
pendekar besar itu. Apalagi untuk meminta per-
tolongan. Mereka tidak berani. 
"Hm.... Aku tidak akan menghukum apabila kalian 
memang telah benar-benar menyadari perbuatan-
kalian. Dan aku pun akan mencoba untuk mencari 
pembunuh guru kalian itu," tegas Panji, tenang. 
Sehingga, enam orang itu saling pandang setengah 
tak percaya. 
"Apakah itu berarti kami mendapat ampunan?" 
tanya Bangkil ragu. 
"Asalkan kalian bersedia kembali ke jalan yang 
benar," tegas Panji lagi. 
"Kami berjanji... kami berjanji...!" sambut mereka 
serempak sambil kembali berlutut 
"Nah! Sekarang kalian kembalilah ke perguruan 
masing-masing. Aku akan mencoba menemui Kecapi 
Perak dari Selatan," kata Panji.
Tanpa menunggu lama, keenam orang itu ber-
gegas meninggalkan tempat itu sambil berkali-kali 
mengucapkan terima kasih. 
***

TUJUH

Malam itu bulan bersinar penuh, menerangi 
permukaan bumi. Cahayanya yang keemasan 
membuat keadaan alam yang gelap itu menjadi 
terang dan indah. Beberapa anak desa tampak 
berlarian bermain petak umpet. Rupanya, suasana 
terang bulan seperti itu membuat mereka merasa 
betah untuk berlama-lama berada di luar rumah. 
Bukan hanya anak-anak saja. Orang-orang tua pun 
tampak berkumpul di beranda rumah, menikmati 
purnama yang indah. Sepertinya suasana seperti ini 
membangkitkan rasa gembira di hati mereka. 
Agak jauh dari keramaian itu, sesosok tubuh 
melangkah lambat sambil menenteng sebuah alat 
musik kecapi. Rambutnya yang panjang terurai, ber-
kibaran dipermainkan angin. Sebagian wajahnya yang 
biasanya selalu tersembunyi, tampak tersibak jelas 
karena hembusan angin yang menyibakkan rambut-
nya. 
Pakaiannya yang berwarna biru gelap dan 
sederhana terlihat bersih. Demikian pula ikat 
kepalanya yang juga berwarna biru tua. Ia terus me-
langkah tanpa mempedulikan suasana malam yang 
indah itu. 
Sosok tubuh yang tak lain adalah Rimang atau 
lebih dikenal berjuluk Kecapi Perak dari Selatan itu 
menghentikan langkahnya di samping sebuah rumah 
besar. Perlahan-lahan ia pun duduk di atas se-
bongkah batu pipih yang berada di bawah sebatang 
pohon besar. Tak berapa lama kemudian, terdengar

alunan musik kecapinya yang mendayu-dayu 
menyentuh dinding-dinding kalbu. 
Seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun 
tampak gelisah di dalam rumahnya. Wajahnya yang 
semula tenang dan berwibawa, tampak dibasahi 
keringat ketika mendengar petikan kecapi yang 
disertai nyanyiannya yang bergetar dan menyelusup 
ke dalam setiap ruangan bangunan besar itu. 
"Gila! Kecapi keparat itu telah sampai di sini juga 
rupanya!" desis lelaki gagah itu semakin gelisah. 
"Tuan! Ada apa, Tuan...?" tanya salah seorang 
lelaki berpakaian hitam yang datang bersama 
seorang kawannya. Mereka adalah dua orang 
kepercayaan Kepala Desa Dadapan yang bergegas 
menghadap begitu mendengar nama mereka 
dipanggil. 
"Hm...," lelaki gagah yang usianya hampir setengah 
baya itu menggumam tidak jelas. 
Kepala Desa Dadapan itu tengah berjalan hilir-
mudik. Kepalanya segera menoleh kepada dua orang 
pembantunya. Lekaki yang bernama Ki Burga itu 
segera mengulapkan tangannya sebagai isyarat agar 
kedua orang pembantunya datang mendekat. 
Tentu saja kedua orang itu menjadi bingung 
melihat sikap majikan mereka yang nampak gelisah 
itu. Setelah berpandangan sejenak, mereka bergegas 
menghampiri majikannya yang tengah kebingungan. 
Begitu keduanya tiba, Ki Burga lalu berbisik 
kepada keduanya. Sepertinya pembicaraan itu tidak 
ingin didengar orang lain. 
Sementara di salah satu kamar rumah besar itu, 
seorang gadis cantik bergegas bangkit dari 
pembaringannya. Setelah merapikan rambut dan 
pakaiannya, dia cepat meninggalkan kamarnya dan

langsung menuju samping luar bangunan. Karena 
diduga, tempat itulah suara petikan kecapi terdengar. 
Tak lama kemudian, dari kejauhan gadis itu 
melihat sesosok tubuh yang tengah asyik memainkan 
kecapinya di atas sebongkah batu pipih di bawah 
pohon besar. Kilauan kecapi perak yang tertimpa 
cahaya rembulan, menimbulkan bias-bias yang 
berpendar sehingga menyelubungi sosok tubuh itu. 
Sepertinya, sosok tubuh itu bagai seorang dewa yang 
tengah menghibur penduduk bumi. 
"Kakang Rimang...!" sapa gadis itu dengan suara 
merdu dan lembut. 
Setelah melihat orang yang disapanya menoleh, 
gadis itu melangkah mendekati tanpa keraguan lagi. 
Karena diyakini kalau orang yang tengah memainkan 
kecapi itu telah dikenalnya. 
"Kencana Wungu! Kau... kaukah itu...?" sahut 
Rimang menghentikan permainannya. 
Sejenak laki-laki berambut meriap itu hanya berdiri 
termenung memandangi gadis cantik yang tengah 
melangkah ke arahnya. 
"Celaka! Bagaimana Kencana Wungu bisa berada 
di tempat ini? Apakah rumahnya tidak berjauhan 
dengan rumah si keparat itu? Apakah ia datang ketika 
mendengar irama alunan kecapiku?" pikir Rimang 
yang begitu terkejut melihat kedatangan Kencana 
Wungu. 
"Kau... kau sedang apa, Kakang?" tanya gadis yang 
memang Kencana Wungu adanya. Ia memandangi 
wajah tampan berambut meriap yang juga tengah 
memandangnya. 
"Aku... aku hanya sedang menikmati keindahan 
sinar rembulan, Kencana. Dan aku tergugah memetik 
dawai-dawai kecapiku karena merasa terpukau oleh

keindahan pumama malam ini," setelah beberapa 
lama terdiam, akhirnya Rimang dapat juga menemu-
kan suatu alasan yang sangat tepat "Di manakah 
rumahmu, Kencana?" 
"Eh, jadi Kakang belum tahu?" sahut Kencana 
Wungu menutupi mulutnya karena hampir saja tawa-
nya meledak mendengar pertanyaan yang baginya 
terdengar sangat lucu dan menggelitik perut itu. 
"Aku.., aku sama sekali belum tahu," kata Rimang. 
Laki-laki itu hanya bisa menatap wajah Kencana 
Wungu dengan wajah ketololan. Tentu saja ia tidak 
mengerti, mengapa gadis itu menertawakannya. 
Apakah ada sesuaru yang aneh di wajahnya. 
"Hi hi hi...! Kau membuat perutku sakit, Kakang. 
Kau menanyakan rumahku. Padahal, saat ini tengah 
berada di sampingnya. Kukira kau sengaja datang 
untuk bertemu denganku. Ah! Ternyata aku salah 
menduga. Tapi aku senang dapat bertemu lagi 
denganmu, Kakang," desah Kencana Wungu. 
Sungguh tidak diperhatikannya betapa wajah pemuda 
berusia tiga puluh tahun yang berdiri di depannya itu 
telah pucat. 
Bagaimana Rimang tidak menjadi terkejut? 
Karena, saat itu ia bermaksud menyatroni musuh 
terakhir gurunya. Dan orang itu diketahuinya telah 
memegang jabatan sebagai Kepala Desa Dadapan. 
Malam ini, dia memang bermaksud menyelesaikan 
dendam gurunya yang telah tewas membawa 
penasaran yang dalam. Tapi, siapa sangka gadis yang 
telah membuat semangat hidupnya bangkit itu tahu-
tahu telah berada di dekatnya. Dan diduga.... 
"Siapakah nama ayahmu, Kencana?" tanya 
Rimang dengan suara gemetar penuh ketegangan. 
Hati laki-laki itu menjerit mengharapkan agar

wanita cantik ini bukanlah anak musuh besarnya. 
Rimang menanti jawaban yang keluar dari mulut 
gadis itu dengan dada berdebar bagai badai di lautan. 
Tentu saja Kencana Wungu jadi heran mendengar 
pertanyaan itu. Meskipun sebenarnya hal itu suatu 
yang wajar, tapi mengapa pada saat yang seperti ini 
dia malah menanyakan ayahnya? Ada apa sebenar-
nya? Tapi demi melihat ketegangan yang terpancar di 
wajah si pemetik kecapi itu, mau tak mau Kencana 
Wungu jadi berdebar hatinya. 
"Mengapa... mengapa kau tanyakan itu, Kakang? 
Apakah... apakah kau mempunyai maksud tertentu?" 
akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. 
Melihat wajah gadis itu menjadi tegang, Rimang 
juga menyadari akan sikapnya. Ditariknya napas 
panjang berulang-ulang untuk menenteramkan hati-
nya yang dilanda ketegangan. Dicobanya untuk me-
nahan gejolak dalam dadanya dan kembali bersikap 
wajar. 
Sejenak suasana jadi hening. 
"Tidak. Aku sama sekali tidak mempunyai maksud 
tertentu. Aku berada di tempat ini hanya suatu 
kebetulan saja. Maaf kalau aku telah membuatmu 
terkejut dengan pertanyaan tadi," kilah Rimang. Dia 
merasa bersyukur karena telah dapat bersikap wajar 
kembali. 
"Tapi, apa maksudmu menanyakan nama ayahku? 
Apakah kau hanya sekadar ingin tahu?" tanya 
Kencana Wungu yang masih penasaran dengan 
pertanyaan yang tadi dilontarkan pemuda itu. 
Sepasang matanya yang indah memandang penuh 
selidik. 
"Hanya sekadar ingin tahu saja. Karena aku 
menduga, kau pasti putri seorang yang terpandang di

desa ini. Jadi aku merasa penasaran ingin 
mengetahui nama orang tuamu. Tapi kalau merasa 
keberatan, tidak perlu kau jawab pertanyaanku itu. 
Lupakanlah," sahut Rimang mengajukan alasan yang 
kira-kira dapat diterima gadis yang telah menarik 
hatinya itu. 
"Kalau memang benar-benar ingin mengetahuinya, 
aku tidak keberatan, Kakang. Seperti yang pernah 
kuceritakan kepadamu, ibuku sudah lama meninggal. 
Dan aku tinggal bersama ayahku yang bernama Ki 
Burga dan menjadi kepala desa ini. Nah! Apakah kau 
sudah puas dengan jawabanku? Kalau sudah puas, 
sekarang aku ingin mendengar riwayat hidupmu. 
Boleh?" jelas Kencana Wungu. 
Mendengar kalau gadis itu adalah anak Ki Burga, 
seketika gemetar seluruh anggota tubuh Rimang. 
Kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat dan 
mata terbelalak lebar. Keterangan yang meluncur dari 
mulut gadis itu bagai ledakan petir di telinganya. Kali 
ini Rimang tidak dapat lagi menyembunyikan rasa 
terkejutnya. 
"Kau... kau kenapa, Kakang?" seru Kencana 
Wungu lirih dan bergetar. 
Wajah gadis ini langsung berubah pucat melihat 
laki-laki itu terhuyung mundur sambil menekap 
dadanya. Gadis cantik ini semakin tak mengerti 
melihat wajah Rimang yang berkerut-kerut seperti 
hendak menangis juga hendak tertawa. Jelas sekali 
kalau pemuda itu tengah dilanda penderitaan hebat 
Sedangkan Rimang terus terhuyung mundur. 
Sesekali terdengar keluhan yang keluar dari bibirnya. 
Tangan kanannya terjulur ke depan seperti hendak 
menghalangi gadis itu agar tidak melangkah men-
dekatinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat pergi

sambil memperdengarkan jeritan melengking memilu-
kan. Dari nada suara jeritannya, jelas sekali kalau dia 
tengah mengalami suatu pukulan dalam hatinya yang 
sama sekali tidak dimengerti Kencana Wungu. Dan 
gadis itu hanya dapat memandang bingung. 
"Kakang Rimang...!" Kencana Wungu berteriak 
memanggil nama pemuda itu setelah terbebas dari 
keterpakuannya. 
Sambil berteriak memanggil, tubuh gadis cantik itu 
cepat melesat ke arah perginya pemuda pemetik 
kecapi itu. Namun hatinya jadi kecewa ketika tidak 
berhasil menemukan pemuda itu meskipun telah 
berlari dalam jarak yang cukup jauh. Rimang yang 
berjuluk Kecapi Perak dari Selatan lenyap bagaikan 
ditelan bumi saja. 
"Kakang.... Apakah sebenarnya yang terjadi de-
nganmu? Mengapa tiba-tiba saja kau meninggalkan 
aku?" keluh Kencana Wungu dengan tubuh lunglai. 
Tiba-tiba saja gadis itu merasa begitu sepi dan 
nelangsa. Sepertinya seluruh hati dan semangatnya 
ikut terbang bersama kepergian pemuda yang telah 
menimbulkan rasa kagum dan simpati dalam hatinya. 
Ingin rasanya dia berteriak sekuat-kuatnya memanggil 
nama pemuda pemetik kecapi itu. Dan kini dadanya 
terasa sesak oleh berbagai perasaan yang bercampur 
aduk di dalam hatinya saat itu. 
"Oh, Kakang...," Kencana Wungu kembali 
mengeluh, menyebut nama pemuda yang telah 
mencuri sekeping hatinya. 
Dilangkahkan kakinya perlahan-lahan meninggal-
kan tempat itu. Lambat sekali kakinya melangkah 
dengan kepala tertunduk. Air mata yang hendak 
runtuh ditahan dengan sekuat hatinya. Baru kali 
inilah ia benar-benar merasa sepi dan sendiri dalam

dunia ini. Hatinya terasa kosong dan pedih mengingat 
kepergian pemuda itu yang telah membawa kesan 
pada dirinya. Tanpa sadar, dua butir air bening 
menggelinding di kiri kanan pipinya. 
*** 
Kencana Wungu baru tersentak ketika mendengar 
langkah langkah kaki yang mendatanginya. Dengan 
hati berdebar, gadis itu menunggu dan berharap 
kalau orang yang datang itu adalah Rimang, pemuda 
yang telah menimbulkan getar-getar aneh di dalam 
hatinya. Namun hatinya menjadi kecewa ketika orang 
yang datang itu ternyata dua orang pembantu 
ayahnya. Cepat air mata yang membasahi wajahnya 
dihapus dengan punggung tangan. Ditariknya napas 
berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya dan 
berusaha bersikap wajar. 
"Nini Kencana? Nini... sedang apa di sini?" tegur 
salah seorang dari mereka dengan perasaan heran. 
Karena, tidak biasanya gadis itu berada di luar pada 
saat malam seperti itu, meskipun saat itu bulan 
purnama. 
Kedua orang pembantu utama Ki Burga itu saling 
pandang satu sama lain dengan wajah bingung. 
Keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tak 
mengerti. Mereka kembali mengalihkan pandang ke 
arah gadis yang tampak berusaha tersenyum. Tapi 
sayang, senyum di wajah cantik itu tampak getir 
sehingga seperti sebuah seringai. 
"Hm.... Apakah aku tidak boleh menikmati 
keindahan purnama malam ini? Dan Paman berdua 
mengapa pula berada di tempat ini?" tanya Kencana 
Wungu.

Gadis itu rupanya telah dapat menyembunyikan 
perasaannya dari pandangan kedua orang pembantu 
ayahnya itu. Ia mencoba bersikap wajar dan 
melangkah menghampiri keduanya dengan senyum 
yang dibuat semanis mungkin untuk menutupi 
kedukaan. 
"Ah, tidak apa-apa. Kami berdua diperintahkan 
ayahmu untuk mengamati daerah sekitar tempat ini. 
Karena kami tadi mendengar suara nyanyian dan 
alunan kecapi," sahut salah seorang, sambil mencoba 
bersikap wajar. Meskipun bagi sepasang mata 
Kencana Wungu jelas terlihat kalau mereka 
menyembunyikan sesuatu. 
"Apakah Nini juga mendengar suara itu?" tanya 
yang lain dengan pandangan menyelidik. 
"Tidak. Memangnya kenapa, Paman? Apakah 
nyanyian itu mengganggu perasaan ayah?" Kencana 
Wungu berbalik bertanya. 
Memang, tidak biasanya kedua orang itu meronda. 
Padahal biasanya mereka hanya disuruh menjaga 
saja. Dan sebagai seorang gadis cerdik, ia pun mulai 
dapat meraba kalau ada sesuatu yang tidak wajar 
yang tengah dialami ayahnya. Hal itu terlihat dari 
sikap ayahnya yang nampak gelisah dan selalu 
marah-marah waktu belakangan ini. Dan ketika ia 
melihat keanehan pada si pemetik kecapi tadi, maka 
gadis yang banyak akal ini pun mulai merangkai dan 
menduga-duga. Meskipun ia belum dapat menemu-
kan apa yang terjadi penyebab semua itu, Kencana 
Wungu bemiat menyelidikinya. 
"Ah! Sama sekali tidak, Nini. Sebaiknya kita lekas 
kembali. Siapa tahu, saat ini ayahmu tengah mencari-
carimu. Dan kami bisa mendapat marah besar kalau 
beliau mengetahui Nini ada di sini," ajak salah satu
dari keduanya dengan sikap hormat dan tidak terlalu 
berani mendesak. 
"Hm.... Baiklah, Paman. Ayo kita pulang!" setelah 
berkata demikian, gadis itu melangkah mendahului 
kedua orang pembantu ayahnya itu. Tanpa berkata 
sepatah pun, kedua orang itu bergegas mengikuti 
langkah kaki putri majikannya meninggalkan tempat 
itu. 
***
DELAPAN

Setelah merasa cukup jauh, Rimang segera 
memperlambat larinya dan kemudian berhenti. 
Pemuda gagah berusia tiga puluh tahun itu menghela 
napas panjang berulang-ulang, lalu duduk di atas 
sebongkah batu besar di luar perbatasan Desa 
Dadapan. 
"Hhh.... Mengapa kejadian ini harus terulang lagi? 
Haruskah aku mengalami kehancuran hati untuk yang 
kedua kali? Apakah Wirani tidak rela kalau aku jatuh 
cinta lagi?" keluh pemuda itu dengan suara bergetar 
penuh kedukaan. 
Terbayang kembali di pelupuk matanya, peristiwa 
sepuluh tahun lalu. Waktu itu dia diperintah gurunya 
untuk membasmi para perampok yang mengganggu 
dusun yang terletak cukup jauh dari tempat tinggal 
gurunya. Betapa terkejut dan hancurnya hati Rimang. 
Ketika kembali dari tugas, dia menemukan tubuh 
guru dan istri gurunya, serta Wirani, telah terkapar 
mandi darah! Sedihnya lagi, Wirani yang anak gurunya 
itu, adalah juga tunangannya. 
Tiba-tiba Rimang tersentak bangkit dengan 
sepasang mata nyalang. Pendengarannya yang 
terlatih menangkap suara berkeresek di belakangnya. 
Namun pemuda itu menghela napas lega, dan 
kembali duduk tenang ketika melihat seekor kelinci 
gemuk berlari ke arah semak-semak. 
"Guru. Mengapa derita ini tak habisnya mendera 
jiwaku?" keluh pemuda itu. 
Wajah Rimang semakin berduka. Karena di saat

tugas pembalasan dendamnya hampir tuntas, ia 
dihadapkan pada sebuah pilihan yang sangat sulit. 
Betapa tidak? Sebab ternyata musuh besarnya yang 
hanya tinggal Ki Burga seorang itu, mempunyai 
seorang putri cantik dan telah dikenalnya. Bahkan 
mereka telah bersahabat. Selain itu, gadis putri 
musuh besarnya justru telah menebarkan benih kasih 
di dalam hatinya yang selama ini kering dan hampa. 
Rimang benar-benar bingung menghadapi keadaan 
itu. Ia harus memilih antara perasaan cinta dan bakti 
terhadap gurunya sekeluarga. 
"Hhh...," pemuda itu menghembuskan napasnya 
kuat-kuat seolah ingin membuang semua kekalutan 
melalui hembusan napas beratnya itu. 
Hati Rimang kembali terbakar dendam dan 
kemarahan mengingat kalau orang yang telah 
membunuh dan menodai tunangannya itu masih 
tersisa seorang lagi. Dan orang itu adalah ayah dari 
gadis yang telah membangkitkan gairah dan 
semangat hidupnya kembali. 
"Tidak! Apa pun yang terjadi, aku harus melunasi 
dendam penasaran guruku sekeluarga! Aku tidak 
peduli, meskipun hal itu membuatku menderita 
selamanya. Tunggulah, Ki Burga! Aku akan datang 
untuk mengambil nyawamu!" geram Rimang yang 
segera bangkit dengan sorot mata penuh dendam. 
Pemuda itu memang harus mengenyampingkan 
perasaan pribadi demi bakti terhadap gurunya dan 
demi kecintaannya terhadap kekasihnya yang telah 
dibunuh dan dinodai secara biadab. 
Setelah mengambil keputusan bulat, dia 
melangkah memasuki mulut desa sambil menenteng 
kecapi peraknya. Wajahnya yang gagah dan cukup 
tampan itu kembali dingin dan beku. Demi guru dan

tunangannya, semua perasaan terhadap Kencana 
Wungu ditekan dan dimatikannya. Tubuhnya ber-
kelebat cepat di antara bayang-bayang pepohonan 
yang memanjang tertimpa cahaya pumama malam 
itu. 
Tubuh pemuda yang kini terbakar dendam itu 
berlompatan di atas atap rumah-rumah penduduk 
menuju kediaman kepala Desa Dadapan. Begitu tiba 
di tempat tujuan, tubuhnya segera menyelinap 
memasuki bangunan besar rumah kepala desa. 
Wuuut! 
Tangan pemuda itu bergerak melemparkan sebilah 
pisau ke arah tiang penyangga rumah yang berada di 
ruangan depan. Setelah itu tubuhnya kembali ber-
kelebat lenyap meninggalkan rumah kediaman Ki 
Burga. 
Tappp! 
"Hei, apa itu...?" teriak lelaki gagah yang bukan lain 
dari Ki Burga sendiri. 
Tubuh Ki Burga langsung mencelat bangkit dari 
kursinya. Gerakan ini diikuti pula oleh dua orang 
pembantunya, karena saat itu mereka memang 
tengah berbicara di ruang depan. 
Ki Burga melangkah hati-hati ke arah tiang yang 
menjadi sasaran sinar putih yang tadi dilihatnya itu. 
Dua orang pengawalnya ikut melangkah di belakang 
majikannya, siap dengan senjata di tangan. 
"Lihat, Ki! Di gagang pisau itu sepertinya ada 
selembar daun lontar!" kata salah seorang dari kedua 
pengawal kepala desa itu. 
"Ambillah, dan bawa kemari!" perintah Ki Burga 
dengan hati tegang dan diliputi tanda tanya. 
Seorang penjaga kemudian mengambil pisau yang 
tertancap, kemudian membuka gulungan daun lontar.

Diserahkannya daun lontar itu, yang kemudian 
diambil Ki Burga. Dengan hati-hati, kepala desa itu 
membuka gulungan daun lontar yang kemudian 
segera dibacanya. 
Ia yang sudah mendengar kabar terbunuhnya tiga 
orang sahabatnya, langsung dapat menerka. 
Mungkinkah ini perbuatan orang yang dijuluki Kecapi 
Perak dari Selatan? Kalau benar, mengapa mengirim-
kan surat ini? Mengapa tidak datang langsung 
menemuinya seperti yang dilakukan terhadap ketiga 
orang kawannya? 
Dengan tangan gemetar karena dilanda 
ketegangan hebat, Ki Burga pun mulai membaca 
tulisan di dalam surat itu. 
Ki Burga! Kutunggu kau malam ini juga! 
Datanglah ke sebuah lapangan rumput di Selatan 
desa. 
Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan-
mu! 
Wajah Ki Burga mendadak gelap sesudah 
membaca isi surat itu. Diremasnya surat itu dengan 
penuh geram, lalu dilemparkannya jauh-jauh. 
"Huh! Jangan kau kira aku takut kepadamu, 
Manusia Keparat! Akan kuremas hancur batang 
lehermu!" geram Ki Burga dengan suara lirih. "Kalian 
berdua ikut aku!" 
Dengan diiringi dua pembantu utamanya, lelaki 
gagah berusia empat puluh lima tahun itu bergegas 
memenuhi tantangan Kecapi Perak dari Selatan. 
***

Tiga orang tampak berkelebat menuju suatu 
tempat Mereka adalah, Ki Burga dan dua orang 
pengawal pribadinya. Kini mereka telah tiba di 
lapangan yang dimaksud di dalam surat. Dari 
kejauhan, mereka melihat sesosok tubuh berambut 
meriap berdiri angker sambil menyandang sebuah 
kecapi berwarna perak. 
"Hm.... Ternyata kau cukup gagah dan jantan, Ki 
Burga!" puji sosok tubuh yang tak lain Rimang itu. 
Suara si pemetik kecapi itu terdengar dingin dan 
angker. Sehingga hati ketiga orang itu berdebar dan 
semakin tegang. Dan memang mereka sudah 
mendengar sepak terjang tokoh itu yang meng-
giriskan. 
"Hmh...! Aku tidak akan lari dari tanggung jawab, 
Kisanak. Kedatanganku kemari bukan bermaksud 
untuk membela tiga orang kawanku yang telah kau 
bunuh itu, tapi justru untuk menebus dosa-dosa 
akibat kekhilafanku dulu. Dulu aku telah dibujuk Ki 
Suta untuk mengeroyok dan membunuh gurumu itu. 
Selama sepuluh tahun aku menyesali perbuatanku 
yang telah membuat dosa besar terhadap gurumu. 
Kini, aku datang untuk menebusnya," tegas Ki Burga 
sambil melangkah perlahan mendekati Rimang. 
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku datang untuk 
menagih hutang nyawa guruku?" tanya Rimang. 
"Tidak perlu heran, Kisanak. Aku sudah mulai 
menduga ketika mendengar kematian tiga orang 
sahabatku itu. Sebab, peristiwa itu sampai saat ini 
masih tetap mengganggu pikiranku. Itulah sebabnya, 
mengapa aku dapat memastikan dirimu sesungguh-
nya," sahut Ki Burga yang telah dapat menenangkan 
dirinya. 
"Hm.... Meskipun begitu, jangan harap aku akan

mengampunimu, Orang Tua! Meskipun kau mengata-
kan sangat menyesali perbuatanmu itu, namun aku 
akan tetap mengirimmu ke liang kubur!" bentak 
Rimang yang tak tergerak hatinya oleh pengakuan Ki 
Burga. 
"Hm.... Apakah kau tahu, apa yang menyebabkan 
gurumu sampai tewas di tangan kami?" tanya Ki 
Burga. 
"Tentu! Pada saat usai pembantaian, aku datang. 
Kutemui kalau ternyata guruku masih belum tewas. 
Beliau menceritakan kalau perbuatan itu dilakukan 
oleh seorang yang pernah menjadi tunangan istri 
guruku. Tapi istri guruku menolaknya, dan memilih 
beliau sebagai suaminya. Tapi, rupanya orang yang 
bernama Ki Suta itu mendendam. Maka diajaknya 
tiga orang kawannya untuk membunuh guruku 
sekeluarga, setelah dua puluh tahun menahan 
dendam. Bahkan salah seorang dari kalian telah 
menodai tunanganku sebelum membunuhnya!" 
Rimang berhenti sebentar. Dihirupnya napas 
dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat. Dada-
nya terasa bergemuruh, menahan gejolak amarah. 
Sedangkan Ki Burga tetap mendengarkan dengan 
sabar, walau hatinya juga tidak menentu. 
"Beliau telah mewariskan aku sebuah kitab dan 
kecapi perak yang kupelajari selama sepuluh tahun 
untuk membalaskan dendam. Ia juga menyebutkan 
nama-nama orang yang mengeroyoknya. Itulah sebab-
nya, mengapa aku tidak terlalu sulit mencari keempat 
orang pembunuh biadab itu. Aku memang tidak tahu, 
siapa di antara kalian yang telah menodai tunangan-
ku. Namun, aku telah cukup puas bisa melenyapkan 
kalian dari muka bumi ini!" tegas Rimang dengan 
suara bergetar mengingat kematian gurunya

sekeluarga. 
"Ah! Aku sama sekali tidak mengetahui kalau salah 
seorang dari kami telah menodai putri gurumu itu." 
desah Ki Burga agak kaget 
"Sudahlah, Ki Burga. Sekarang bersiaplah untuk 
menerima hukuman atas perbuatanmu itu!" bentak 
Rimang yang segera bersiap untuk melakukan 
serangan. 
Pemuda itu menggeser kaki kanannya ke samping 
membentuk kuda-kuda silang. Tangan kirinya ditekuk 
di atas kepala. Sedangkan tangan kanannya yang 
memegang kecapi berada di depan dada. 
"Menepilah kalian. Jangan mencampuri urusan 
ini," perintah orang tua itu kepada kedua orang 
pembantunya. "Kalau aku tewas, bawa mayatku 
pulang!" 
"Baik, Ki," sahut kedua orang itu serempak. 
Meskipun dengan hati dipenuhi tanda tanya, namun 
kedua orang pembantu yang setia itu pun melangkah 
ke tepi arena. 
"Aku sudah siap, Kisanak!" seru Ki Burga yang 
sudah mencabut sepasang pedang yang tergantung 
di punggung. 
Wuuut! Wuuut..! 
Ki Burga memutar pedang secara bersilangan. 
Sepasang pedang itu berkesiutan membentuk 
gulungan sinar putih yang bergerak cepat turun naik. 
"Yeaaat..!" 
Diiringi teriakan keras, Rimang mulai membuka 
serangan. Tubuhnya yang tinggi tegap itu meluncur 
cepat ke arah lawannya. 
Wuuut! 
Kecapi perak yang berada di tangan kanannya 
menyambar cepat dengan kekuatan menggiriskan,

tertuju ke arah kepala Ki Burga. Laki-laki kepala desa 
itu segera menggerakkan pedangnya untuk me-
nangkis. Namun, serangan itu ternyata hanyalah 
sebuah tipuan. Karena pada saat hampir mencapai 
sasaran, tiba-tiba kecapi perak itu tertarik pulang. 
Rimang segera menggantikannya dengan tusukan 
jari-jari tangan kiri yang terbuka mengancam lambung 
lawan. 
Zebbb! 
"Aaah...!" 
Ki Burga yang tidak mengira gerakan lawan 
demikian cepatnya, cepat melompat ke belakang 
untuk menghindari serangan berbahaya itu. Sambil 
melompat, dikirimkannya sebuah bacokan yang tidak 
kalah berbahayanya. Pedang di tangan kanannya 
menyambar ganas mengancam leher lawan. 
Rimang pun bukanlah orang bodoh. Kaki kanannya 
segera digeser ke samping disertai liukan tubuhnya, 
maka serangan Ki Burga hanya mengenai tempat 
kosong. Kemudian dilancarkannya serangkai 
serangan balasan yang mengancam jalan-jalan darah 
kematian di tubuh orang tua itu. Dengan tidak kalah 
ganas, sepasang pedang di tangan kepala Desa 
Dadapan menyambar, menyambut serangan lawan. 
Pertarungan pun berjalan semakin sengit. Kedua 
tokoh itu saling menyerang dahsyat. Dalam waktu 
singkat, mereka telah bertarung lebih kurang empat 
puluh jurus. Namun, masih terlihat sama-sama 
seimbang. 
"Yeaaat...!" 
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, Ki 
Burga berteriak melengking tinggi. Sepasang pedang-
nya berkelebat membentuk gulungan sinar yang 
menyilaukan mata. Nampaknya, orang tua itu telah

mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera 
menjatuhkan lawan. Serangannya kali ini benar-benar 
hebat dan menggiriskan. 
Wukkk! Wukkk! 
"Haiiit...!" 
Sambil membentak keras, Rimang berkelebat 
cepat menghindari sambaran pedang yang berhawa 
maut itu. Di sini diperlihatkannya kehebatan ilmu 
meringankan tubuhnya yang jarang ada duanya. 
Setiap kali pedang di tangan lawan menyambar, 
selalu saja hanya mengenai tempat kosong. Dan 
memang, gerakan tubuh pemuda itu masih jauh lebih 
cepat daripada sambaran pedang lawan. Bukan 
hanya itu saja. Dalam setiap elakannya, laki-laki tinggi 
tegap itu selalu mengisinya dengan sambaran kecapi 
peraknya maupun tusukan jari-jari tangan yang dapat 
meremukkan batu karang. Sehingga dalam beberapa 
jurus kemudian, Rimang kini sudah mulai dapat 
mendesak lawannya. Ki Burga terus dipaksa bermain 
mundur dan semakin dipersempit ruang geraknya. 
Memasuki jurus kelima puluh tiga, Ki Burga sudah 
tidak mampu lagi membalas serangan. Setiap kali 
pedangnya menyambar, selalu membentur kecapi 
perak yang bergulung-gulung membentuk gundukan 
sinar bagai benteng baja yang kokoh. Setiap kali 
membentur gundukan sinar perak itu, pedangnya 
selalu terpental balik dan tangannya kontan terasa 
nyeri. Hal itu menandakan kalau kekuatan tenaga 
dalam lawan ternyata masih beberapa tingkat di 
atasnya. Dan hal itu membuatnya semakin 
kewalahan. 
"Gila! Kepandaian pemuda ini benar-benar hebat. 
Pantas saja kalau ketiga orang kawanku sampai 
tewas di tangannya. Dan rasa-rasanya, aku pun tidak

akan bertahan lebih lama lagi," keluh Ki Burga yang 
seluruh tubuhnya sudah dibasahi peluh yang mem-
banjir keluar. Bahkan napasnya pun terlihat mulai 
memburu karena harus mengerahkan seluruh tenaga 
untuk mempertahankan nyawa. 
"Heaaat..!" 
Pada saat pertarungan memasuki jurus yang 
kelima puluh lima, Rimang berteriak nyaring disertai 
sentilan jari-jarinya pada dawai kecapi. Hebat sekali 
akibat yang ditimbulkan oleh petikan kecapi yang 
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sekitar 
arena pertarungan bagai dilanda angin ribut, hingga 
membuat pepohonan berderak bagaikan hendak 
roboh! Bahkan dua orang pembantu Ki Burga yang 
menyaksikan pertarungan dari tepi arena sampai 
terjengkang ke belakang. Mereka terkejut bukan main 
ketika merasakan sebuah getaran yang amat kuat 
seperti menghantam bagian dalam dada. Maka 
kedua orang itu cepat mengerahkan tenaga untuk 
melindungi tubuh mereka dengan jalan melakukan 
semadi dan mengatur jalan napas. 
Kejadian itu juga dialami Ki Burga. Bahkan akibat 
yang dialaminya lebih hebat lagi, karena serangan itu 
memang ditujukan kepadanya. Tubuh orang tua itu 
gemetar bagai orang terserang demam tinggi. 
Padahal dirinya sudah dilindungi tenaga dalam 
penuh. Namun tetap saja suara itu mem-
pengaruhinya. Dari mulut, hidung, dan telinganya 
nampak mengalir darah segar. Jelas kalau Ki Burga 
mengalami luka dalam yang cukup parah. 
"Hiaaa...!" 
Karena tidak sanggup bertahan lebih lama, tiba-
tiba Ki Burga mengeluarkan lengkingan tinggi yang 
nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat disertai

sambaran sepasang pedangnya. Orang tua itu tidak 
sadar kalau keadaannya yang lemah telah mem-
perlambat gerakannya. Sehingga pada saat 
melompat, ia tidak sempat lagi menghindari 
sambaran kecapi perak yang menghantam 
punggungnya. 
Desss! 
"Huagkh...!" 
Tubuh Ki Burga langsung terjengkang disertai 
semburan darah segar dari mulut. Sepasang 
pedangnya pun terlempar entah ke mana. Sebelum 
tubuhnya menyentuh permukaan tanah, Rimang 
sudah menyusul dengan tusukan jari-jari tangan yang 
meluncur ke arah leher orang tua itu. Rasanya, nyawa 
Ki Burga hanya sampai di sini. Laki-laki tua itu hanya 
dapat memejamkan mata, menunggu ajal tiba. 
Sikapnya sudah benar-benar pasrah. 
***

SEMBILAN

"Aaah...!" 
Tubuh Rimang terpental balik ketika tusukan jari 
tangannya membentur lengan kokoh bagai sebatang 
baja yang mengeluarkan hawa dingin menggigit 
tulang. Cepat tubuhnya bersalto beberapa kali di 
udara untuk mematahkan daya luncur tubuhnya. 
"Pendekar Naga Putih...!" seru Rimang. 
Laki-laki pemetik kecapi itu terkejut melihat 
sesosok tubuh sedang dan berjubah putih tengah 
berdiri tegak beberapa langkah di depan Ki Burga. 
Orang itu dikenalnya betul karena sekujur tubuhnya 
dikelilingi selapis kabut yang bersinar putih 
keperakan. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan 
Pendekar Naga Putih. 
Sementara tubuh Ki Burga yang terluka, tengah 
dipapah ke tepi oleh seorang gadis jelita berpakaian 
serba hijau. Gadis itu tak lain adalah Kenanga yang 
datang bersama Panji. 
"Hm.... Mengapa kau mencampuri urusanku, 
Pendekar Naga Putih?! Bukankah hal ini tidak ada 
sangkut pautnya denganmu? Lagi pula keparat itu 
adalah musuh besarku yang telah membantai guruku 
sekeluarga," tegur Rimang dengan suara tak senang. 
Keningnya berkerut dalam, melihat campur tangan 
pendekar muda itu. 
"Kisanak. Membunuh musuh yang sudah tidak 
berdaya bukanlah suatu sifat bijaksana," sahut Panji 
yang menjadi semakin bijak karena pengalaman

pengalamannya dalam petualangan. "Adalah merupa-
kan sikap terpuji apabila kita sudi memaafkan lawan 
yang sudah tidak berdaya. Siapa tahu ia akan men-
jadi sadar dan tidak mengulangi perbuatannya lagi," 
"Jangan coba menasihatiku, Pendekar Naga Putih! 
Biarpun kau seorang pendekar besar, namun usiaku 
jauh lebih tua darimu. Dan aku tidak membutuhkan 
nasihatmu! Lebih baik serahkan orang tua itu 
kepadaku, dan kau boleh pergi tanpa kuganggu!" 
bentak Rimang. 
Dia memang menjadi tersinggung mendapat 
nasihat dari Pendekar Naga Putih yang dianggapnya 
sebagai anak kemarin sore. Sepasang matanya 
memancarkan sinar berkilat dan penuh ancaman. 
*** 
"Kakang, orang tua itu terluka cukup parah. Dan 
menurut keterangan dua orang yang mungkin 
pembantunya, dia memang sengaja datang ke sini 
untuk memenuhi tantangan Kecapi Perak dari 
Selatan. Hal ini dilakukan untuk menebus dosa-dosa 
yang telah dilakukannya pada masa silam," jelas 
Kenanga yang sudah berada di samping Panji. Gadis 
jelita itu melemparkan pandang sejenak kepada 
Rimang yang tengah berdiri dengan sikap menantang. 
"Nah! Kau dengar itu, Kisanak. Orang tua yang 
menjadi musuh besarmu itu telah lama menyesali 
perbuatannya. Apakah kau tidak sudi mengampuni 
dan memaafkannya?" bujuk Panji dengan suara 
halus. 
Meskipun demikian, Panji tetap tidak meninggal-
kan kewaspadaannya. Karena dari benturan tadi, bisa 
diduga kalau kepandaian lelaki berambut meriap itu

tidak bisa dipandang remeh. 
"Tidak perlu banyak cakap, Pendekar Naga Putih! 
Kalau kau hendak membelanya, bersiaplah! Aku ingin 
tahu, apakah kepandaianmu sehebat perkataanmu?" 
tantang Rimang yang tidak ingin berpanjang kata lagi. 
"Tunggu dulu, Kisanak. Bagaimana kalau kita ber-
taruh saja?" usul Panji yang rupanya telah mendapat 
jalan keluar untuk memecahkan persoalan. 
"Apa maksudmu?" tanya Rimang mengerutkan 
kening. 
"Hm.... Aku terima tantanganmu, tapi dengan satu 
syarat. Apabila dalam pertarungan nanti aku kalah, 
kau boleh membunuhku dan juga orang tua itu. Tapi 
sebaliknya, apabila kau yang kalah, kau harus 
mengampuni dan memaafkan orang tua itu. 
Bagaimana? Setuju?" 
Rimang tidak segera menjawab. Ia termenung 
sejenak memikirkan usul yang diajukan Pendekar 
Naga Putih. Sekilas terbayang mayat ibu guru dan 
tunangannya yang bermandi darah. Masih terngiang 
di telinganya rintihan kesakitan sang Guru saat 
menjelang ajal dan menyerahkan kecapi perak 
berikut sebuah kitab. Terbayang juga wajah Kencana 
Wungu, gadis yang telah mempu membangkitkan 
gairah hidupnya yang telah lama marl. 
Apa yang akan dilakukan Kencana Wungu yang 
telah mencuri sekeping hatinya, apabila mengetahui 
kalau dirinya yang membunuh orang tua satu-satunya 
yang masih tinggal? Apakah mungkin kalau gadis itu 
akan berduka dan kemudian melakukan pembalasan 
terhadapnya? 
Rimang meringis menahan rasa nyeri yang tiba-
tiba menusuk jantungnya. Karena ia tidak mungkin 
sanggup membayangkan kesedihan dan kedukaan

gadis yang telah dicintainya itu. Apalagi untuk 
menghadapinya. Ia tidak akan sanggup. 
"Hhh...," Rimang menghembuskan napasnya kuat-
kuat untuk menghilangkan rasa pening akibat 
pertentangan batinnya. Ia benar-benar bingung dan 
tak tahu harus memilih yang mana. 
"Kisanak, aku percaya kalau mendiang gurumu 
adalah seorang yang bijaksana. Dan aku pun percaya 
apabila saat ini beliau masih ada, pasti akan 
mengampuni dan memaafkan musuhnya yang telah 
sadar akan kesalahannya," bujuk Panji yang membuat 
Rimang mengangkat kepalanya dan menatap 
pemuda berjubah putih itu lekat-lekat 
"Betulkah ucapanmu itu, Pendekar Naga Putih?" 
tanya Rimang yang hatinya telah dilanda keraguan. 
"Untuk apa berbohong," sahut Panji tersenyum. 
"Lagi pula dengan melukai orang tua itu, bukankah 
kau telah memberikan ganjaran atas perbuatannya? 
Dan itu, sama artinya bahwa kau telah menunaikan 
tugasmu dengan baik." 
"Hm.... Kurasa ucapanmu itu cukup masuk akal," 
gumam Rimang seraya mengangguk-anggukkan 
kepalanya. "Baiklah. Aku setuju dengan usulmu tadi. 
Nah, sekarang bersiaplah!" 
Laki-laki pemetik kecapi itu segera memasang 
kuda-kuda, siap menghadapi Pendekar Naga Putih. 
"Sudah kuduga, kalau kau sebenarnya memiliki 
sifat bijaksana, Kisanak. Aku kagum padamu," jawab 
Pendekar Naga Putih yang segera bersiap meng-
hadapi Kecapi Perak dari Selatan. 
"Jangan terlalu memujiku, Pendekar Naga Putih," 
sahut Rimang. 
Terus terang, diam-diam si Pemetik Kecapi dari 
Selatan merasa malu. Karena keputusan yang

diambilnya itu bukan dari kebijaksanaan. Keputusan 
itu diambil karena ia takut akan kemarahan dan 
kedukaan putri musuh besarnya yang telah mencuri 
sekeping hatinya itu. 
Sesudah mengeluarkan ucapan itu, Rimang mulai 
bergerak maju dengan sikap hati-hati. Karena 
disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukanlah 
orang sembarangan. Mau tak mau dia harus berjuang 
keras untuk mengalahkannya. Bahkan, jarinya sudah 
digerakkan memetik dawai kecapi dengan 
pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Mendengar irama kecapi yang kian lama kian 
menggetarkan dan melengking itu, Kenanga dan tiga 
orang lainnya bergegas menjauhi arena pertarungan. 
Sedangkan Panji sendiri sudah melolos Pedang Naga 
Langit yang tersandang di punggungnya. Cepat-cepat 
pedang itu diputar untuk menindih suara kecapi yang 
mengaung dan melengking menggetarkan dadanya. 
Wuuuk!Wuuuk...! 
Segunduk sinar putih keperakan bergulung-gulung 
menimbulkan deruan angin dahsyat. Gundukan sinar 
itu bergerak turun naik, bagai seekor naga yang 
melayang-layang di angkasa. Suaranya mengaung 
dahsyat bagai pekikan naga yang marah! 
Rimang tercekat ketika merasakan suara 
mengaung yang ditimbulkan putaran pedang lawan 
ternyata mampu menindih irama petikan kecapinya. 
Dibarengi teriakan nyaring, laki-laki gagah itu 
melompat menerjang Panji dengan seluruh kekuatan 
tenaga dalamnya. 
"Heaaat..!" 
Wuuuk! 
Angin tajam berhembus keras ketika Rimang 
mengayunkan kecapi peraknya untuk menerjang

Panji. Namun Pendekar Naga Putih bergegas 
menyambut dengan sambaran Pedang Naga Langit 
yang mengaung menggetarkan sukma. Sesaat 
kemudian, kedua orang tokoh sakti itu sudah terlibat 
pertarungan dahsyat 
Trang! 
"Aaah...!" 
Terdengar benturan keras yang memekakkan 
telinga ketika pedang di tangan Panji membentur 
kecapi perak lawan. Tubuh Rimang terdorong sejauh 
hampir dua tombak dan wajahnya terlihat agak pucat 
Sedangkan Panji hanya terjajar mundur sejauh tiga 
langkah. Dari sini saja sudah dapat ditakar kalau 
tenaga dalam yang dimiliki si Pemetik Kecapi dari 
Selatan cukup lumayan juga. Paling tidak, ini 
membuat Pendekar Naga Putih harus mengakui 
kehebatan lawannya. 
"Sudah kuduga kalau kau pasti memiliki tenaga 
dalam hebat, Kisanak," puji Pendekar Naga Putih 
tulus tanpa bermaksud menghina. 
"Hhh...!" 
Rimang hanya menggeram sambil menyedot 
napas dalam-dalam. Tubuhnya tampak bergetar, 
pertanda kalau laki-laki gagah itu tengah mengerah-
kan seluruh tenaga saktinya untuk penyerangan 
selanjutnya. Dengan sebuah bentakan menggeledek, 
tubuh Rimang kembali melayang ke arah Panji. 
"Hiaaa...!" 
Wuuut! Wuuut..! 
Dalam sekejapan mata saja, laki-laki gagah 
berambut meriap itu telah melancarkan serangkai 
serangan maut yang membahayakan nyawa lawan. 
Sepertinya, kali ini Rimang benar-benar marah dan 
bermaksud menjatuhkan lawan secepat mungkin.

Maka serangannya kali ini tidak bisa dipandang 
enteng. 
Wuuut! Derrr! 
Sambaran kecapi perak yang mengandung 
kekuatan dahsyat itu hanya menghantam sebatang 
pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa. 
Pohon itu langsung tumbang sehingga menimbulkan 
suara berderak ribut. Untung gerakan Panji lebih 
cepat dalam menghindari hantaman maut itu. Kalau 
tidak, niscaya tubuhnya akan terkena hantaman yang 
kuat dari lawannya itu. 
"Haiiit...!" 
Panji memutar pedang di tangannya dengan 'Ilmu 
Pedang Naga Sakti' yang sudah tersohor itu. Sinar 
emas pun bergulung semakin cepat, menimbulkan 
terpaan angin dingin yang dapat membekukan jalan 
darah di tubuh lawan yang tidak memiliki tenaga 
dalam tinggi. Gulungan sinar itu menukik cepat 
menyambar lambung Rimang yang sudah bersiap 
menghadapinya. 
Wuuut! 
Sambil melompat menghindari sambaran pedang 
lawan, tangan kiri Rimang bergerak cepat melakukan 
tusukan dengan jari-jari terbuka ke arah ubun-ubun 
Pendekar Naga Putih. Bergegas Panji memiringkan 
tubuh dengan kuda-kuda rendah ketika merasakan 
sambaran angin tajam di atas kepalanya. Dengan 
sebuah gerakan indah dan kuat kaki kiri Panji 
mencelat naik melakukan tendangan kilat ke dada 
lawan. Namun Rimang pun bergerak cepat memapak 
tendangan itu dengan hantaman kecapi perak ke 
lutut lawan. 
Wuuut! 
Tendangan Panji yang ternyata hanya sebuah

tipuan, menekuk cepat hingga hantaman kecapi 
perak lawan hanya mengenai tempat kosong. Sambil 
menarik pulang tendangannya, tubuh pemuda 
tampan itu berputar setengah lingkaran. Dan tahu-
tahu saja tumit kanannya telah mencelat menuju 
pelipis lawan. Memang, gerakan berputar yang 
dilakukan Pendekar Naga Putih diiringi pula dengan 
lompatan. 
Dungngng! 
Rimang terjajar mundur ketika berhasil menangkis 
tendangan Panji dengan bagian samping kecapi 
peraknya. Ia segera melakukan beberapa kali salto ke 
belakang, karena khawatir kalau-kalau lawan akan 
melakukan serangan berikut. Dan ternyata apa yang 
diduganya menjadi kenyataan 
Panji yang sempat merasa tergetar akibat 
tangkisan kecapi perak lawan, segera melesat. 
Bahkan pedangnya langsung ditusukkan ke arah 
dada lawan. Serangkum angin dingin yang menggigit 
kulit mendahului sambaran Pedang Naga Langitnya. 
Wuuut! Trangngng! 
"Ahhh...!" 
Meskipun berhasil menangkis tusukan pedang 
dengan senjatanya, namun tubuh si Pemetik Kecapi 
dari Selatan hampir terjengkang karenanya. Dan 
sebelum sempat merubah posisi kuda-kuda, sebuah 
tendangan kilat telah hinggap di tubuhnya. 
Desss! 
"Hugkh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Rimang terbanting jatuh 
dengan suara berdebuk keras. Darah segar tampak 
mengucur dari mulut, sehingga membasahi pakaian-
nya. Sedangkan kecapi peraknya sudah terlepas dari 
pegangan. Namun sebagai seorang yang ber

kepandaian tinggi, ia pun cepat menguasai keadaan. 
Tubuhnya melenting bangkit, lalu bergulingan men-
jauhi lawannya. 
"Hhh.... Kau hebat Pendekar Naga Putih. Tapi aku 
belum kalah!" kata Rimang terengah-engah sambil 
menekap perutnya yang terkena tendangan tadi. 
"Hm...." 
Panji hanya bergumam sambil menyimpan 
senjatanya. Memang, Pendekar Naga Putih tidak ingin 
dikatakan mendapatkan kemenangan dengan meng-
andalkan senjata. Apalagi, lawannya kini sudah tidak 
memegang senjata lagi. Dan kini kedua tangannya 
bergerak membentuk cakar naga. 
"Sambutlah ini, Kisanak!" ujar Panji mem-
peringatkan lawannya. 
Saat itu juga tubuh Pendekar Naga Putih melesat 
menerjang lawan yang sudah mempersiapkan jurus-
jurus tangan kosongnya. 
Wuuut! Wuuut! 
Dua buah cakar Panji yang mengarah lambung 
dan dada, berhasil dihindari Rimang dengan 
menggeser tubuhnya ke samping. Sambil mengelak, 
dilepaskannya sebuah pukulan dan tendangan secara 
berturut-turut. Meskipun dalam keadaan terluka, 
ternyata pukulan dan tendangan si Pemetik Kecapi 
dari Selatan masih tetap berbahaya. Akibatnya, Panji 
tidak mau bersikap ayal-ayalan, dan cepat menggeser 
tubuhnya dua langkah ke belakang. 
"Yeaaat..!" 
Begitu serangan lawan mengenai tempat kosong, 
tubuh Panji kembali melesat sambil mendorong 
sepasang telapak tangannya yang meluncur deras 
dan menghantam dada lawan. 
Bresss!

"Aaakh...!" 
Rimang menjerit ketika sepasang telapak tangan 
Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' 
itu telak menghantam dadanya. Tubuhnya langsung 
terjungkal dan tak mampu bangkit lagi. 
"Kau.... Kau..., benar-benar..., hebat, Pendekar 
Naga Putih. Aku..., mengaku kalah...," kata Rimang 
dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya tampak 
kehijauan akibat serangan hawa dingin yang telah 
merasuk ke dalam tubuhnya akibat hantaman Panji. 
Melihat lawannya sudah mengaku kalah dan tidak 
berdaya, Panji bergegas menghampirinya. Cepat-
cepat Pendekar Naga Putih menotok dan mengurut di 
beberapa jalan darah tubuh Rimang untuk 
menyembuhkan luka akibat pukulannya tadi. Ini 
dimaksudkan agar laki-laki gagah itu tidak sampai 
tewas oleh pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya 
tadi. 
"Nah! Sekarang, beristiraharlah untuk memulihkan 
tenagamu," ujar Panji setelah memberi obat penawar 
luka yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya. 
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kau benar-
benar seorang pendekar sejati yang bijaksana," ucap 
Rimang. 
Si Pemetik Kecapi dari Selatan benar-benar 
terharu melihat, betapa bekas lawannya itu ternyata 
malah mengobatinya. Dan sebagai seorang pendekar, 
Rimang pun tahu maksud dari kata 'istirahat' yang 
dilontarkan Panji. Maka, matanya pun mulai 
dipejamkan, lalu bersemadi. 
***

Saat itu kegelapan sudah sirna. Semburat ke 
menahan mulai tampak menghias kaki langit sebelah 
Timur. Seorang gadis tampak berlari mendatangi 
tempat itu. 
"Ayah...! 
Begitu melihat sesosok tubuh yang tengah 
terduduk, gadis yang tak lain dari Kencana Wungu itu 
langsung berteriak dan hendak menubruk ayahnya. 
"Tahan dulu, Adik Manis. Ayahmu tengah ber-
semadi untuk mengobati luka dalamnya," Kenanga 
buru-buru mencegah gadis itu agar tidak mengganggu 
ayahnya. 
"Siapa..., siapa yang telah melukai ayah?" tanya 
Kencana Wungu seraya mengedarkan pandangannya 
ke sekeliling tempat itu. 
Dan gadis itu semakin terkejut ketika melihat 
sosok tubuh tegap tiba-tiba bergerak bangkit setelah 
menyelesaikan semadinya. 
"Aku yang telah melukainya, Kencana!" sahut 
Rimang sambil menahan debaran dalam dadanya. 
Rimang terpaksa mengakui perbuatannya karena 
tidak mau menanggung beban perasaan yang terlalu 
berat. Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata 
sayu. Wajahnya yang semula telah segar kembali 
pucat. Rupanya laki-laki tegap itu telah siap 
menghadapi pukulan yang seberat apa pun. 
"Kau yang melukai ayahku?" tanya gadis cantik itu 
lirih dan tak percaya. 
Sepertinya Kencana Wungu akan lebih percaya 
kalau pemuda tampan berjubah putih itu yang 
melukai ayahnya, karena dia sama sekali belum 
mengenalnya. 
"Tapi..., mengapa, Kakang?" tanya gadis itu 
menuntut jawaban.

"Karena aku dahulu adalah salah seorang 
pembunuh gurunya sekeluarga!" tiba-tiba terdengar 
suara berat menyahuti. 
"Ayah...!" 
Begitu melihat ayahnya tengah bergerak bangkit 
Kencana Wungu segera berlari menghambur ke 
dalam pelukan ayahnya. Orang tua yang sangat 
mengasihi putri satu-satunya itu memeluk dan 
membelai rambut kepala anak gadisnya. 
"Mengapa, Ayah?" tanya gadis itu seraya meng-
angkat wajahnya yang bersimbah air mata. 
Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak penuh 
garis-garis penderitaan. 
Setelah menarik napas sejenak, Ki Burga 
kemudian menceritakan duduk persoalan yang 
sebenarnya. Ditumpahkannya seluruh beban yang 
selama sepuluh tahun mengganjal hatinya itu. 
"Oh, Ayah...." 
Tangis gadis itu kembali melesak begitu men-
dengar cerita ayahnya. Sekilas terbayang di benaknya 
seraut wajah gagah milik Rimang yang selalu pucat 
dan tak bergairah itu. Kini baru dimengerti, mengapa 
laki-laki itu seperti tidak mempunyai gairah hidup. 
Rupanya hatinya penuh beban derita yang sangat 
berat. Kencana Wungu mengangkat kepalanya ketika 
teringat akan laki-laki itu. 
"Ke mana dia...? Mana, Kakang Rimang?" tanya 
Kencana Wungu yang segera melepaskan pelukan 
ayahnya. Gadis itu mencari-cari orang yang dimaksud 
bagai seorang ibu yang kehilangan anaknya. 
"Dia telah pergi," sahut Kenanga yang melangkah 
mendekati gadis itu. Sebagai seorang gadis, ia pun 
tahu apa yang terkandung di dalam perasaan 
Kencana Wungu. "Kulihat ia pun sangat mencintaimu.

Kau susullah. Karena dia tidak mungkin mendatangi-
mu. Ia merasa terlalu tua untukmu." 
Kenanga rupanya telah dapat menyelami perasaan 
Rimang. Rupanya dalam perantauan bersama Panji, 
gadis ini telah banyak melihat pengalaman yang 
dipetik sebagai pelajaran. Dan salah satunya adalah 
persoalan yang terjadi antara Rimang dengan 
Kencana Wungu. Buktinya, si Pemetik Kecapi dari 
Selatan itu bergegas pergi begitu Kencana Wungu 
datang. Tentunya, setelah mengakui perbuatannya 
terlebih dahulu. 
"Oh." 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kencana 
Wungu bergegas menyusul ke arah yang ditunjukkan 
Kenanga. Sementara Ki Burga memandanginya 
dengan hati terharu. Dan orang tua itu pun berharap 
agar putrinya dapat menyusul Rimang. Sepertinya, ia 
setuju karena hal itu bisa mengurangi rasa ber-
salahnya. 
*** 
"Kakang...!" Kencana Wungu berseru ketika 
melihat sosok tubuh tegap tampak melangkah lesu 
beberapa tombak di depannya. 
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis cantik itu segera 
memeluk tubuh Rimang yang menjadi terkejut 
setengah mati. Ia hanya berdiri terpaku dengan tubuh 
gemetar. Benar-benar sulit untuk mempercayai 
keadaan itu. 
"Tidak perlu banyak bicara dan alasan lagi. Aku 
bersedia menerimamu, walaupun kau telah melukai 
ayahku. Ayo, kita menghadap ayah!" ajak gadis itu. 
Kencana Wungu sama sekali tidak memberi

kesempatan kepada Rimang untuk berbicara. 
Ditariknya tangan laki-laki itu untuk menemui 
ayahnya. 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tersenyum 
melihat kedua orang itu sudah kembali sambil 
bergandengan tangan. Selagi seluruh perhatian Ki 
Burga dan dua orang pembantunya tercurah kepada 
Rimang dan Kencana Wungu, mereka bergegas 
meninggalkan tempat itu. Memang, sepasang 
pendekar itu harus menyelesaikan tugas lain yang masih menunggu. 


 
                               SELESAI 
 
 



Share:

0 comments:

Posting Komentar